persilatan yang mau adu tenaga dalam jika hal ini tidak terpaksa,
Begitulah, tidak lama kemudian uap putih sudah mulai mengepul keluar dari
ubun kedua orang itu, dalam waktu singkat uap putih itu menggumpal jadi kabut
tebal, keadaan mereka semakin payah, sepatu yang mereka kenakan mulai
merekah dan pecah, sementara kakinya terbenam satu-dua inci ke dalam tanah,
Secara akal, sepantasnya Tian Pek yang masih muda belia tak mungkin bisa
menandingi kelihayan Hui It tong yang sudah berlatih empat lima puluh tahunan
lamanya sudah pasti Lwekang yang dimilikinya telan mendekati puncak
kesempurnaan.
Apa mau dikata Tian Pek telah mempelajari Sim-hoat yang tercantum dalam
Soh-hun-siau-kut-thian-hud pit-kip, suatu kitab ilmu silat paling aneh di kolong
langit ini, kitab ciptaan Ciah-gan long-kun, seorang jago silat luar biasa.
Bukan begitu saja, malahan dari gemblengan irama seruling Im-mo-toa-hoat
dari Ciang Su-peng serta gebukan Leng-hong Kongcu telah mengakibatkan dua
urat penting dalam tubuhnya berhasil ditembusi.
Kesemuanya itu membuat tenaga dalam Tian Pek melampui batas
kemampuan seorang pemuda seusia dia, bukan saja dalam sebulan terakhir ini
dia bertambah kosen. tenaga dalam yang dia miliki-pun mencapai taraf latihan
enam-puluhan tahun.
Oleh sebab itulah, meski berbeda menyolok dalam usia, dalam kenyataan
tenaga dalam yang dimiliki kedua orang itu tidak jauh berbeda.
Pada permulaan terjadi bentrokan tadi, keadaan Tian Pek memang sangat
payah, bahkan boleh dibilang hampir saja mati konyol hal itu disebabkan karena
siasat busuk Hui It tiong, tapi setelah hawa murni beredar kembali dalam
pusarnya, ia merasa daya tekanan kakek itu kian berkurang, sementara hawa
murni miliknya mengalir makin deras, hatinya jadi tenang dan makin
bersemangat melakukan perlawanan.
Lambat-laun kedudukannya bertambah kuat, dan kini dia telah menambah
kekuatannya dua bagian lebih besar, seketika itu juga tenaga tekanan dari Hui-
It-tong dapat ditolak balik,
Bagi Hui It tong sendiri, ia memang menang posisi ketika serangan pertama
dilancarkan tadi, namun lambat laun ia merasa tenaga tekanannya makin
terdesak kembali, iapun tak menyangka anak muda itu sanggup
mempertahankan diri dalam keadaan gawat.
Tidak lama kemudian. suasana amat sunyi dalam hutan itu, sang surya telah
mendoyong ke barat, angin berembus sepoi2, dalam keheningan hanya kicauan
burung yang terdengar nun di pucuk pohon. Siapa tahu di balik kesunyian ini
tersembunyi suatu pertarungan sengit, pertarungan yang mempertaruhkan jiwa.
Setelah posisi Tian Pek bertambah kuat, ia mulai tenang, dalam kesunyian
itulah terlintas satu ingatan dalam benaknya.
Teringat olehnya akan dua kata sandi yang tercantum dalam kitab Thian-hud-
pit-kip. kata2 itu berbunyi "Kosong tapi tidak kosong, lemah sebetulnya bukan
lemah".
Kata sandi itu jelas menerangkan tcntang suatu taktik ilmu Lwekang, suatu
taktik mengenai daya hisap".
Diam2 Tian Psk berpikir: "Aku harus segera berangkatke kota Lam-keng untuk
selidiki pembunuh ayahku, kenapa aku buang2 waktu percuma di sini?"
Begitu timbul pikiran ini, dia lantas tarik napas panjang dan memakai taktik
mengisap untuk melepaskan diri dari godaan kakek sialan itu.
Dasar masih muda dan berdarah panas, Tian Pek tidak mempertimbangkan
lagi apakah cara itu akan membahayakan diri sendiri atau tidak, begitu berpikir
dia lantas bertindak,
Hawa murni yang sedang dikerahkan itu cepat ditarik kembali, tapi serentak
iapun merasakan tenaga dalam Hui It-tong membanjir ke tubuhnya ibarat
tanggul yang dadal, begitu dahsyat dan kuatnya tenaga itu hingga membuat
anak muda itu amat terkejut.
Betapa girangnya Hui It-tong, begitu merasa tenaga tekanan musuhnya
lenyap, dia mengira Tian Pek sudah tak sanggup melawan lagi, dia lantas
membentak keras: "Roboh"
Kata telanjutnya tak sempat dilanjutkan sebab mendadak dia merasa tenaga
Tian Pek menggetar balik, seketika Hui It-toug merasakan daya tckanan yang
dahsyat, ia merasa pandangan matanya jadi gelap. telinga mendengung dan
pertahanannya runtuh.
Terdengar jeritan mengerikan, Hui It-tong mencelat jauh dan terkapar tak
bsrkutik lagi.
Rupanya dikala Tian Pek merasa gelagat tidak menguntungkan sesudah ia
memakai taktik "meng-isap dari Lwekangnya, cepat ia ubah menjadi taktik
"memantul", yang di dalam pelajaran disebut "Yang nyata adalah kenyataan,
yang-kau adalah kekuatan,"
Taktik yang tercantum dalam kitab "Thian-hud-pit-kip" ini memang sangat
dahsyat, begitu termakan tenaga pantulan tersebut, langsung saja Lak-jiu-tong-
sim mencelat ke belakang.
Untuk sejenak anak muda itu berdiri sambil atur pernapasan, ketika
dilihatnya Hui It-tong tidak bangkit berdiri, dia menghampiri kakek itu.
Sungguh sukar dipercaya bahwa Lak-jiu-tong-sim yang perkasa kini terkapar
dalam keadaan mengenaskan, darah mengalir keluar dari lubang hidung, mulut,
mata dan telinganya, jago lihay itu sudah menemui ajalnya secara konyol.
Baru pertama kali ini Tian Pek membunuh orang sakti, meskipun sudah lama
ia berkelana, akan tetapi di masa lalu ia tak berkekuatan apa2, tentu saja tak
mampu mencelakai jiwa orang. Melihat darah yang mengalir serta mata si kakek
yang melotot penasaran, diam2 anak muda itu bergidik sendiri.
Timbul rasa menyesal dalam hati kecilnya, berdiri di depan jenazah Hui It-
tong diam2 Tian Pek berdoa: "Locianpwe, kalau engkau tidak selalu mencari
gara2 padaku, tak nanti kucelakai jiwamu, itupun kulakukan tidak sengaja. Ai,
aku tak menduga kalau tenaga pukulanku tadi dapat menewaskan kau,
benstirahatlah dengan tenang di alam baka dan maafkanlah perbuatanku ini .
Menyusul anak muida itu berpikir lebih jauh 'Aku sudah salah mencelakai
jiwanya, sepantasnya kukubur jenasahnya. Ai, kalau sampai dimakan serigala
atau elang, hatiku pasti akan bertambah menyesal ..."
Maka dicabutnya pedang mestikanya dan menggali sebuah liang kubur di
hutan itu.
Belum sempat dia masukkan jenasah Hui lt-tong ke dalam liang kubur, tiba2
dari luar hutan melayang datang tiga sosok bayangan, cepat sekali gerak tubuh
mereka ibaratnya anak panah yang terlepas dari busurnya.
"Bagus, bagus sekali perbuatanmu!" segera seorang laki2 barmata besar
menegur. "Setelah membunuh orang di siang hari bolong, rupanya kau-hendak
lenyapkan bukti. Hehehe, anak muda, jangan harap kau bisa cuci tangan dari
tanggung-jawab ini!"
Tian Pek melengak, sebelum ia sempat berkata, laki2 lain yang bermuka
kereng segera menambahkan sambi tertawa seram: "Hehehe. sahabat, kau
berasal dari garis mana? Masa kau akan mengangkangi sendiri hasil
pendapatanmu?"
"Betul!" sambung lelaki ketiga yang bermuka pucat, "siapa yang melihat,
siapa dapat bagian. Yang besar mendapat emas, yang kecil mendapat perak,
masa kami tidak diberi bagian?"
Tian Pek dapat menangkap arti kata istilah2 golongon hitam yang diucapkan
beberapa orang itu sekalipun belum beberapa lama ia berkelana di dunia
persilatan.
Betapa dongkol perasaan Tian Pek ketika mendengar ketiga orang itu
menganggap dia sebagai pembegal yang baru mendapat hasil begalan.
Segera ia menjawab dengan kata2 rahasia yang setengah mentah: "O,
rupanya kalian bertiga berasal dari satu garis, sayang sasarannya tak tepat dan
di sini tak ada apa2 yang bisa dibagi, ketahuilah yang mati adaleh seorang
rekanku yang sakit di tengah jalan, karena jauh dari kota maka aku ber-maksud
menguhurnya di sini!"
Rupanya ketiga orang itu kurang percaya, mereka menghampiri untuk
memeriksa sendiri Demi melihat keadaan kematian Hui It-tong, tentu saja
orang2 itu tidak percaya.
Si muka pucat kembali menegur: "'Sahabat, jangan main bohong di depan
rekan sendiri, masa temanmu ini mati karena sakit?"
Tian Pek ingin msmberi penjelasan, tapi sebelum buka suara, laki2 bermuka
pucat itu lantas menjerit kaget: "He, bukankah yang mati ini Lak-jiu-tong-sim Hui
locianpwe?"
Kedua orang lain terbelalak, mereka mengamati lagi jenasah itu, setelah yakin
korban itu adalah Lak-jiu-tong-sim Hui It-tong, cepat mereka menyurut mundur
dan melolos senjata masing2.
Dengan golok terhunus, ketiga orang itu mengurung Tian Pek di tengah.
"Hei bocah, hayo ngaku! Kenapa kau bunuh Hui-locianpwe?" bentak laki2
bermata besar dengan melotot.
"Lotoa, buat apa banyak bertanya?" sambung kedua orang temannya. "Hajar
saja keparat itu sampai mampus! Kita harus membalaskan dendam kematian
Hui-locianpwe!"
Dengan garang mereka terus menerjang dan membacok.
"Eeh eeh, nanti dulu, nanti dulu
" seru Tian Pek. "Secara tidak sengaja
kucelakai jiwa Hui-locianpwe, kami sedang bertanding. tak tahunya aku salah
turun tangan hingga terjadi kecelakaan ini"
"Huh, omong kosong!" bentak laki2 bermuka pucat dengan seram. "Sekalipun
kau membantah sampai lidahmu putus juga aku tak percaya. Huh, memangnya
kau bisa menandingi Hui-locianpwe jika bertempur secara terbuka? Pasti kau
pakai tipu muslihat untuk menyergap Hui-locianpwe!"
"Keparat, tak usah banyak omong, serahkan jiwamu!" teriak laki2 yang lain
dengan marah.
Secepat kilat ia menerkam ke depan, golok langsung membacok kepala Tian
Pek.
Dengan cekatan anak muda itu mengegos ke samping, kedua orang yang
berada di sisi kiri-kanannya segera juga bertindak, golok merekapun menabas
iga dan punggung Tian Pek dengan suatu gerakan serentak.
Cepat Tian Pek putar badan dan balas menyerang, ia hindarkan bacokan dari
belakang itu, pukulan dahsyatnya membuat golok yang mengancam iganya
tersingkir ke samping.
Gagal dalam serangan pertama, ketiga orang itu serentak menerjang maju
pula.
Hebat juga serangan golok ketiga orang itu, Tian Pek merasa sukar untuk
memberi penjelasan, cepat ia melompat ke atas, kesempatan mana digunakan
mencabut pedang mestika yang terselip di punggung-
Seketika terdengar suara mendenging, cahaya hijau menyilaukau mata
terpancar di angkasa, begitu pedang lolos dari sarungnya, anak muda itu terus
membabat dengan gerakan Heng sau-jian kun ( menyapu bersih beribu perajurit
).
"Traang! Traaang!" benturan nyaring terjadi, mana mungkin golok lawan
mampu menahan ketajaman Pedang Hijau yang luar biasa? Tak ampun lagi dua
bilah golok terpapas kutung.
Tiga orang itu menjerit kaget dan cepat melompat mundur, mereka
mengawasi anak muda itu dengan sorot mata heran.
Setelah kejadian tersebut, mereka tak berani lagi pandang enteng lawannya,
terutama sekali senjata mestika yang amat tajam itu. Mendadak kedua orang
yang goloknya tertabas kutung meraung sambil menyambitkan kutungan golok
kearah Tian Pek.
"Criiit! Crnit!" dengan membawa desiran angin tajam, kutungan golok itu
meluncur ke muka serta dada anak muda itu.
Serangan itu cukup keras, Tian Pek tak berani menangkap kutungan golok itu,
cepat dia merendahkan tubuh ke bawah, dengan gerak Pek-lon oh po (burung
kuntul menyambar ombak) dia hindarkan sambitan itu.
Baru saja Tian Pek mendak ke bawah, laki2 ketiga segera mengunakan
kesempatan itu, ia angkat goloknya dan membacok Tian Pek dengan gerakan
Hian-niau-hua-seh (burung merah menyapu pasir).
Ketiga orang itu memang sangat ulet, sekali-pun sudah kalah mereka tak mau
menyerah begitu saja, hal ini tak terduga oleb Tian Pek.
Ketika ia melihat bacokan datang lagi, dengan ujung pedang Tian Pek menutul
permukaan tanah, lalu ia melayang ke atas dan sebelah kakinya sempat
mendepak pinggang orang itu, kontan orang itu mengerang kesakitan dan
mencelat jauh ke sana, lama sekali dia baru sanggup berdiri kembali.
Dengan kekalahan yang mengenaskan ini, pucatlah muka ketiga orang itu,
tampaknya mereka kuatir kalau2 anak muda itu menerjang maju lagi dan
membinasakan mereka.
Selangkah demi selangkah mereka mundur ke belakang, tapi tak seorangpun
yang berani mendahului kabur dari situ, kemudian setelah yakin Tian Pek tidak
bermaksud mengejar dan membunuh mereka, barulah laki2 bermuka pucat itu
berseru dengau garang di luar tapi takut di dalam: "Kawan, kalau engkau
memang jantan, hayo sebutkan namamu!"
Diam2 bergembira Tian Pek setelah menyadari ilmu silatnya memperoleh
kemajuan yang pesat, dia bangga dan berbesar hati. Mendengar pertanyaan
lawan segera ia menyahut: "Aku Tian Pek! Apa yang hendak kalian lakukan lagi?"
"Hm, jangan kau jumawa dulu," seru laki2 kekar tadi dengan mendongkol.
"Hari ini kami bertiga memang kalah di tanganmu, tapi lihat saja nanti!
Tunggulah pembalasan kami . . " — Habis berkata mereka terus berlalu dengan
penasaran.
Memandangi kepergian ketiga orang itu, Tian Pek tertawa geli, pikirnya:
"Sekarang tibalah saatnya bagiku untuk melampiaskan penderitaan yang pernah
kualami di masa lalu . . . . "
Setelah mengubur jenazah Hui It-tong, dia melanjutkan perjalanannya
mcnuju ke kota Lam-keng.
Ketika malam tiba ia berada di sebuah kota besar, Tian Pek tak tahu kota
apakah ini, yang jelas lampu di dalam kota terang benderang, banyak orang
berlalu lalang di jalan, ramai benar kota ini.
Dengan perut lapar Tian Pek masuk ke dalam kota dan celingukan ke sana
kemari mencari hotel, maksudnya hendak menangsal perut lalu beristirahat,
besok perjalanan baru akan dilanjutkan lagi.
Sepanjang jalan dia celingukan ke sana kemari, mencari rumah makan, ia tak
menyangka kalau banyak lelaki kekar berpakaian ringkas cekak juga sedang
memperhatikan gerak-geriknya.
Entah berapa jauh dia sudah berjalan, akhir ia lihat sebuah rumah makan
yang memakai merek "Kim eng ciu lau" (rumah makan berkumpulnya orang
gagah), tulisan papan merek itu berwarna emas, ruangan atas maupun ruangan
bawah terang benderang bermandikan cahaya, banyak tamu yang berlalu lalang
di sana, bau harum arak dan masakan yang lezat teruar sampai jauh, tak tahan
anak muda itu, ia menelan liur dan menghampiri rumah makan itu.
Baru melangkah masuk pintu depan, seorang laki2 berpakaian ringkas
memapak kedatangannya dan mengadang di depan anak muda itu, tegurnya:
"Kau hendak bersantap atau ingin menginap?"
Meskipun sangsi karena tampang orang itu tidak mirip dengan pelayan,
namun Tian Pek menjawab juga dengan jujur: "Aku hendak mengisi perut dan
juga hendak menginap."
Dengan seksama orang itu mengamati anak muda kita dari atas sampai ke
bawah, kemudian sahutnya dengan dingin: "Maaf saudara, rumah makan kami
sudah penuh dan tidak terima tamu lagi, silakan mencari rumah penginapan
yang lain saja!"
Beberapa pelayan tampak berdiri jauh di dekat meja kasir sana dengan muka
takut2, mereka tak berani menghampiri anak muda ini melainkan cuma
memandang saja dari kejauhan.
Walaupun curiga, Tian Pek tidak mau rewel. jika orang bilang kamar penuh,
tentu saja dia harus percaya, terpaksa ia mengundurkan diri dari sana.
Siapa tahu, kejadisn serupa tidak cuma dialami di satu tempat saja, secara
beruntun ia memasuki lima-enam buah restoran merangkap penginapan tapi
apa yang dialami tidak jauh berbeda, semua rumah makan itu dijaga orang yang
berpakaian ringkas cekak dan menolak kehadirannya.
Akhirnya sampailah pemuda itu di rumah makan yang terakhir, tempat itu
letaknya di ujung kota, suasana di situ remang2 tidak seterang tempat2 tadi, ke
depan lagi jelas tiada rumah penduduk pula, sekarang kecurigaan dalam hati
Tian Pek makin menjadi. ia rada dongkol, pikirnya: "Masa kedatanganku ini
sedemikian kebetulan, semua rumah makan dan penginapan yang ada di kota
ini penuh? Jelas di balik hal ini ada yang tidak beres. Aku harus menyelidikinya
dengan seksama!"
Dengan penasaran anak muda itu menghampiri rumah makan yang terakhir.
Kali ini ia bertindak lebih cerdik, bukan langsung memasuki rumah makan itu
sebaliknya dia mengintip dulu lewat jendela, dilihatnya ruang yang luas hanya
dua tiga meja yang berisi tamu, selebih-nya dalam keadaan kosong, setelah
yakin penglihatannya tak keliru, barulah dia masuk ke sana.
Tapi baru dia melangkah masuk, seorang laki2 berpakaian ringkas segera
mengadangnya.
"Sahabat, mau apa kau kemari?" tegurnya dengan lantang.
Tiba2 timbul akalnya, ia lantas menjawab: "Aku mencari orang!"
Ia tahu kalau mengatakan hendak makan atau menginap dia pasti dilarang
masuk, maka dia menggunakan alasan lain untuk membohongi orang.
Tapi orang itu tidsk melepaskan dia masuk begitu saja dan tetap mengadang
di depan anak muda itu "Siapa yang kau can?" kembali ia menegur.
"Ah, masa aku harus laporkan juga siapa yang kucari?" kata Tian Pek dengan
lagak bingung.
"Hehe, memangnya kenapa?" kata laki2 itu sambil tertawa dingin, "kaiau kau
ingin cari orang, sebutkan dulu namanya dan aku akan panggilkan orang itu
keluar ke sini, pokoknya kau tak boleh sembarangan masuk."
"Peraturan apa ini?" pikir Tian Pek, tapi sekarang ia sudah tahu, rupanya
orang2 itu memang sengaja hendak mencari perkara.
Maka iapun berlagak blo'on dan menyahut: "Aku mencari pelayan rumah
makan ini!"
Kali ini orang itulah yang tertegun, rupanya ia tak menyangka. Tian Pek akan
menjawab begini-Tapi sepera orang itu menyadari telah dipermainkan Tian Pek,
dengan mata melotot kembali ia membentak: "Mau apa kau cari pelayan?"
“Mau apa lagi?" jawab Tian Pek "tentu saja mau pesan makanan dan mau
menginap!"
Laki2 berpakaian ringkas itu tertawa dingin "Hehehe, sahabat, terus terang
kuberitahu padamu, tak ada makanan bagimu di sini, juga tak ada tempat tidur
bagimu untuk menginap, kulihat iebih baik kau pindah saja ke tempat lain!"
Dasar perutnya sudah keruyukan, Tian Pek menjadi gusar, segera iapun balas
menjengek: "Kenapa aku mesti cari tempat lain? Aku bayar makanan yang
kumakan, kubayar juga tempat penginapan yang kupakai, kenapa kau ikut
campur urusan pribadiku?'
Sehabis berkata, tanpa menggubris lagi dia masuk ke dalam dengan mcngitari
laki2 yang mengadangnva ini.
"Hei," bentak orang itu dengan marah, "sudah kukatakan tak boleh masuk
kalau kau memaksa berarti kau cari penyakit sendiri!"
Dengan suatu gerakan kasar, bagaikan burung elang menyambar kelinci, dia
terus cengkeram bahu Tian Pek.
Tapi Tian Pek mana bisa disentuh lagi, dengan mudah saja ia berkelit ke
samping.
Orang itu makin penasaran, kembali tangan kanannya diayun menghajar dada
anak muda itu.
Cepat sekal gerak serangan itu dan keras pula pukulannya.
Tian Pek menunggu ketika kepala musuh hampir menyentuh dadanya,
mendadak tangan kirinya berputar keatas dan mencengkeram pergelangan
tangan lawan, kemudian sekali betot ia lemparkan tubuh orang.
"Enyah kau keluar!" bentaknya. Kontan orang itu menggelinding keluar
ruangan itu.
Cepat orang itu merangkak bangun, sambil menuding Tian Pek ia mencaci
maki kalang kabut: "Anak jadah, jika berani kau jangan lari! Tunggu saja di sini"
— Dengan ter-birit2 dia terus ngacir dari situ.
Tian Pek tertawa hambar, ia melangkah masuk ke dalam ruangan, lalu
mencari tempat duduk di ujung ruangan sana.
Suasana dalam rumah makan amat sepi tak ada yang buka suara. malahan
tamu yang sedang bersantap sama memandang Tian Pek dengan ter-belalak,
sedangkan pelayannya berdiri jauh di sudut ruangan dengan takut2.
Melihat pelayan tidak meladeni dirinya. Tian Pek berteriak keras: "He,
bawakan arak dan daharan!"
Para pelayan dan kasir berpandangan sekejap, akhirnya salah seorang di
antaranya dengan takut2 menghampiri Tian Pek seraya memohon "Tuan
silahkan pindah ke tempat lain saja, rumah makan kami benar2 tak berani
melayani kehendak tuan, hamba mohon sudilah tuan pergi dari sini."
"Kalian tak usah kuatir!" kata Tian Pek, "hidangkan saja makanan dan arak!
Kalau ada yang berani mencari perkara, akan kuhadapi dia, tanggung kalian tak
akan memikul akibatnya!"
"Tuan, betul juga katamu!" sahut si pelayan sambil menyengir, "tapi kalau
kami layani engkau bersantap di sini, maka selanjutnya jangan harap rumah
makan ini bisa dibuka lagi."
"Apa kerjanya bangsat tadi? Kenapa kalian takut kepadanya? Apa hukum
negara tidak berlaku di sini?" tanya Tian Pek.
"Hukum negara memang ada, tapi pernahkah tuan mendengar istilah An-lok
hong lin (An-lok yang romantis)?"
Tian Pek terkesiap segera ia paham persoalan yang sebenarnya, pikirnya: "Tak
heran kalau orang2 di sini pada ketakutan, rupanya keparat tadi adalah anak
buah An-lok Kongcu!"
Menyusul ia lantas berpikir lebih jauh: "Sebulan yang lalu aku berjumpa
dengan An-lok Kongcu, kalau melihat gerak-gerik dan tingkah lakunya jelas dia
sangat gagah dan berbudi, masa anak buahnya berani berbuat se-wenang2 dan
bikin onar di sini?
Apakah An-lok Kongcu tak pernah mengurusi anak buahnya?"
Berpikir sampai di sini, segera ia berkata: "Ana kaumaksudkan An-lok Kongcu?
Jadi An-lok Kongcu berdiam di kota ini?"
Mendengar Tian Pek langsung menyebut nama An-lok Kongcu, pelayan itu
cepat memberi hormst sambil menjawab: "Alangkah baiknya bila tuan kenal
Kongcu, meski An-lok Kongcu tidak berdiam di sini, tapi sebagian besar kota ini
adalah milik Kongcu, beliau yang memberi makan, pakaian serta tempat
berteduh bagi kami rakyat kecil di sini, siapa yang tidak menghormati beliau . . ..
"
Diam2 Tian Pek berpikir: "Kalau begitu kawanan orang berpakaian ringkas
tadi pasti berbuat keonaran di sini dengan membonceng nama besar An-lok
Kongcu, sayang An-lok Kongcu tidak tinggal di sini. sekalipun ada persoalan juga
tidak bisa dibicarakan, biarpun kukatakan kukenal An-lok Kongcu tentu juga
mereka tak percaya. Agaknya malam ini aku bisa kelaparan."
Tiba2 ia melihat di dapur sana tersedia ayam panggang, bebek, daging babi
dan sebagainya, segera ia berkata: "Kalau memang begitu, akupun tak akan
menyusahkan kalian, bungkuskan saja daging babi dan bakpao, akan kumakan
nanti di tengah jalan!"
Kembali pelayan itu tertawa getir, dengan serba salah dia cuma
membungkuk2 berulang kali.
Lambat laun habis juga kesabaran Tian Pek, dia melotot, dengan suara keras
ia membentak: "Sungguh keterlaluan, cepat siapkan makanan itu bagiku! Kalau
tidak, hm, aku tak mau sungkan2 lagi...”
"Kalau tidak sungkan, lantas apa yang akan kau lakukan?" tiba2 seorang
menanggapi dari belakang, menyusul mana lampu dalam ruangan itu hampir
tersirap.
Ketika lampu terang kembali, tampaklah dalam ruangan telah bertambah dua
orang laki2 berpakaian ringkas,
Mereka adalah seorang tua dan seorang muda, yang tua berusia enam
puluhan, rambut beruban pendek seperti duri landak, mukanya merah
bercahaya, alis tebal dan mata besar bersinar tajam, memakai jubah satin warna
hijau pupus, sebuah senjata aneh berbentuk telapak tangan terselip di
punggungnya, tali sutera dan gelang baja pada senjata itu gemerlapan
menambah keangkeran orang tua ini.
Sedang yang muda berusia dua puluhan, mukanya tampan dan perawakan
kekar, sayang agak pucat dan lagaknya tengik, iapun memakai baju ringkas
ketat, pedang melintang di punggungnya dia mengawasi Tian Pek dengan
pandangan menghina.
Kemunculan kedua orang ini mengakibatkan suasana dalam rumah makan
menjadi kalut, dengan muka pucat pelayan kelihatan gemetar, sementara para
tamu yang sedang bersantap juga cepat2 bangkit dan pergi.
Per-lahan2 Tian Pek berdiri, sebelum dia buka suara, kakek bermuka merah
itu menegur: "Kau ini yang menyergap dan membunuh Lak jiu-tong sim Hui-it-
tong?"
Sungguh lantang suara kakek ini, begitu keras sampai msndengung dan
membikin anak telinga orang terasa sakit.
Tian Pek sangat mendongkol, kematian Hui It-tong akibat beradu tenaga
dalam dengannya, tapi orang justeru menuduh dia membunuh lawannya
dengan cara licik.
Sambil tertawa getir sahutnya: "Kejadian itu hanya kesalah-pahaman belaka,
masalah ini akan kujelaskan setelah bertemu dengan Kongcu kalian, kebetulan
kukenal An-lok Kongcu . . .. "
'Huh! Omong kosong!" dengus pemuda angkuh itu. "Tak mungkin An-lok
Kongcu punya kenalan seorang Bu-beng-siau cut (perajurit tak bernama) macam
kau. Lebih baik tutup mulut dan bayar jiwamu bagi kematian Hui-locianpwe!"
Sambil bicara ia terus menerkam lawan, lima jari tangannya terpentang lebar
langsung mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kanan Tian Pek-
Serangan itu cukup lihay, Tian Pek tak berani gegabah, cepat dia bergeser
sambil putar badan dengan mudah ia hindarkan ancaman pemuda jumawa itu.
Melihat serangannya gagal, dari cengkeraman pemuda jumawa itu ganti
serangannya menjadi pukulan telapak tangan, mengikuti perputaran tubuh
lawan, dia menusuk iga Tian Pek dengan gerakan Kim-ca-jiu (tusukan tangan
emas), berbareng itu juga dia maju selangkah dan memotong jalan darah Cian-
keng-hiat di bahu lawan dengan telapak tangan kanannya.
Satu serangan dengan dua gerakan ini bukan saja dilakukan dengan cepat
dan menimbulkan deru angin keras, dari sini dapat pula diketahui kehebatan
tenaga dalam yang dimiliki pemuda itu.
Bila peristiwa ini berlangsung pada dua bulan yang lalu tentu Tian Pek sudah
kecundang, tapi Tian Pek sekarang bukan Tian Pek yang dulu, ketika merasakan
datangnya serangan maut, cepat dia menyambut dengan kedua telapak
tangannya.
"Duk! Duuk!" berbareng dengan benturan itu, tahu2 pergelangan tangan
pemuda jumawa itu malah kena dicengkeram oleh Tian Pek.
Sedikit Tian Pek mengerahkan tenaga cengkeramannya, seketika keringat
membasahi jidat pemuda jumawa itu, mukanya berubah menjadi pucat seperti
mayat, saking sakitnya hampir saja ia menjerit.
Jurus aneh yang barusan digunakan oleh Tian Pek bernama Ciau-tau-siang-soh
(membelenggu tangan dengan jitu), suatu jurus ampuh hasil sadapannya dari
Tok-kah-hui-mo, mimpipun tak pcrnah disangka olehnya kalau hasil sadapannya
ternyata sangat bermanfaat, bukan saja berhasil lolos dari serangan maut
musuh, malahan lawan kena dibekuk olehnya.
Cengkeraman itu persis menjepit persendian tulang pergelangan pemuda
jumawa itu, bisa dibayangkan betapa menderitanya pemuda jumawa itu, dalam
keadaan demikian ia merasa tangannya kesakitan dan kaku, seluruh badanpun
tak bisa berkutik.
Tian Pek tiada maksud mencelakai jiwa tawanannya, dia bermaksud melepaskan
tawanannya setelah memberi peringatan seperlunya.
Siapa tahu sebelum ia bicara, tiba2 dari belakang menggulung datang angin
pukulan yang keras.
"Lepaskan!" terdengar si kakek muka merah membentak.
Sudah tentu Tian Pek tahu dirinya sendiri sedang diserang si kakek muka
merah, cepat ia lepaskan cengkeramannya pada pergelangan tangan lawan dan
dengan suatu gerakan enteng ia melayang jauh ke samping sana.
"Duuk!" tak sempat si kakek muka merah menarik kembali pukulannya yang
dahsyat, sedangkan Tian Pek berkelit tepat pada waktunya, tanpa ampun lagi
pukulan dahsyat itu menghajar pada dada pemuda jumawa itu dengan telak.
Pemuda itu mencelat dan menumbuk dinding.
Terkapar pemuda yang jumawa itu dengan bermandikan darah dan tak
berkutik lagi, tampaknya lebih banyak mampus daripada hidupnya
"Ada pembunuhan" segera ada orang menjerit, suasana rumah makan itu
menjadi kacau balau, para tamu dan pelayan pada lari ter-birit2 dengan
ketakutan.
Betapa gusarnya kakek muka merah itu, pukulannya tidak mengenai musuh,
sebaliknya malahan membinasakan muridnya sendiri, dengan muka beringas,
mata melotot dan mulut menyeringai, sekali lagi ia terjang Tian Pek.
Tian Pek sendiri tak menduga kalau kelitannya tadi akan mengakibatkan
kematian pemuda jumawa tersebut, cepat ia berkelit pula ke samping tatkala
pukulan gencar dan dahsyat si kakek muka merah itu menyambar tiba.
Kakek muka merah itu semakin kalap, ketika Tian Pek berkelit ke samping,
bagaikan harimau gila dia meraung keras, kemudian menghajar lagi pinggang
anak muda itu dengan tabasan telapak tangannya.
Ruangan itu tidak terlalu luas dan lagi dipenuhi dengan meja kursi, sementara
pukulan yang dilancarkan kakek itu sangat cepat dan juga keras, dalam keadaan
begini tak mungkin bagi Tian Pek untuk berkelit terus menerus, terpaksa ia harus
menyambut serangan dahsyat itu dengan keras lawan keras.
"Duuk! Blang!" akibat benturan keras pukulan yang dahsyat, seketika meja
kursi tergetar roboh, mangkuk piring berantakan memenuhi lantai
Hampir semua pelayan rumah makan dan tetamu sudah menyingkir jauh atau
lari kcluar ruangan itu, sekalipun mereka lari dengan cepat, tapi ada pula
beberapa orang di antaranya yang tersambar oleh angin pukulan atau pecahan
mangkuk-piring hingga terluka, jerit panik dan teriakan kesakitan membuat
suanana tambah kacau-balau tak keruan.
Sungguh dahsyat tenaga pukulan yang dipancarkan kakek muka merah itu,
Tian Pek merasakan telapak tangannya jadi panas dan kesemutan, mata-nya
berkunang, diam2 ia terkejut oleh kedahsyatan tenaga pukulan musuh.
Tiba2 dilihatnya pula rambut si kakek sama menegak dan mata melotot, biji
matanya se-akan2 meloncat keluar, kedua telapak tangan yang diluruskan ke
depan berubah menjadi merah membara, dengan wajah menyermkan ia
menubruk pula ke depan.
----------------------------------------
Siapakah kakek ini dan ada hubungan apa di antara orang2 ini dengan An- lok
Kongcu?
Peristiwa apa pula yang terjadi di kota yang belum di ketahui namanya ini?
Bacalah jilid ke 8 —
----------------------------------------
Isi di luar tanggung-jawab Perc. "PS", Semarang
AXD002
HIKMAH PEDANG HIJAU
(The Swordsman Journey)
Karya : Gu Long
Diceritakan Oleh : GAN K L
Jilid 8 : Kediaman orang mati
Menyaksikan telapak tangan yang merah itu, tiba2 Tian Pek teringat akan
sejenis pukulan beracun yang bernama Ang-seh-hiat-heng-ciang (pukulan darah
pasir merah), konon barang siapa terkena pukulan beracun itu, maka badannya
akan terasa panas bagai dibakar, isi perutnya akan menjadi hangus dan mati
konyol.
Ilmu ini hanya di dengar saja dan baru sekarang disaksikan dahsyatnya
pukulan tersebut, dan hawa pjnas yang dirasakan dari benturan tadi, diam2 Tian
Pek merasa ngeri juga akan akibatnya.
Tiba2 terbayang akan bantuan yang pernah diberikan An-lok Kongcu
kepadaoya, bagaimanapun ia pernah berutang budi kepada orang, kalau sampa1
timbul kesalahan pahamannya dengam anak buah orang, bila berjumpa lagi
kelak pasti akan terasa tidak enak. Maka ia pikir tidak perlu melayani orang ini
dan lebih baik tinggal pergi saja? Kalau ada urusan toh lain kali masih bisa
dibicarakan secara baik2.
Selagi Tian Pek berpikir begitu, pukulan Ang-seh-hiat-beng-ciang yang maha
dahsyat si kakek telah menggulung tiba pula dengan hebatnya.
Dalam keadaan terancam terpaksa Tian Pek menangkis, kemudian dengan
meminjam tenaga pukulan orang dia terus melayang ke sana sambil berseru:
"Maaf sahabat, aku tak dapat menemani lebih lama!" — Dengan cepat ia
menerobos keluar jendela.
"Mm kabur kemana?" bentak si kakek muka merah sambil mengejar.
"Lihat serangan!" mendada dari depan menyambar tiba tiga titik cahaya
langsung menyerang muka Tian Pek selagi anak muda itu masih mengapung di
udara.
Tian Pek cepat berjumpalitan di udara dengan gerakan in-li-huan
(berjumpalitan di awan) sehingga tubuhnya mengapung lebih tinggi ke atas,
maka terdengarlah suara "Crett Crett Crett!", tiga batang "paku penembus
tulang" menancap di belandar jendela, untung anak muda itu berkelit cepat,
kalau tidak tubuhnya pasti sudah tertembus oleh serangan maut itu.
Setelab melayang turun ke bawah, Tian Pek menengadah, tapi ia menjadi
terkejut, tahu2 angin keras menyambar tiba menindih kepalanya bagai gugur
gunung dahsyatnya.
Tian Pek terkejut, ia tak tahu benda apa yang menyambar tiba itu, cepat
dengan gerak Su-liang-poat-ciin-kin ( empat tahil menyampuk seribu kati ),
ujung pedangnya meraih ke atas untuk menyampuk.
Tapi "wuut", tahu2 benda besar itu melayang di atas kepalanya, waktu ia
menoleh, ternyata seorang Hwesio gemuk dengan membawa sebuab tameng
baja yang amat besar seperti sebuah daun pintu.
Hwesio gemuk itu berperawakan tinggi besar, mukanya penuh bercambang,
kepalanya gundul kelimis dengan delapan titik bekas diselomot dengan mata
melotot sedang memandangnya dengan tercengang.
Tiba2 anak muda itu teringat akan seseorang, menurut berita dalam dunia
persilatan katanya dalam Kangouw terdapat seorang Hwesio bertenaga raksasa
yang bernama Tiat-pay Hwesio ( paderi lempengan baja ), senjatanya adalah
sebuah lempengan baja seperti tameng ribuan kati yang besarnya seperti daun
pintu, tubrukan serta sambaran lempengan bajanya itu jarang bisa dihadapi
orang, pantas kalau Hwwsio lempengan baja jadi kaget melihat Tian Pek mampu
menyambut serangan dahsyat itu dengan ujung pedangnya.
Sementara itu seiuruh jalan raya sudah dikerumuni berpuluh orang jago
persilatan, rumah makan itu tcrkepung rapat dan tak mungkin bisa lolos dengan
mudah.
Tian Pek jadi rada bingung, pada saat itulah mendadak dua titik cahaya tajam
menyambar ke Tay yang hiat di pelipis anak muda itu.
Cepat Tian Pek rendahkan tubuhnya ke bawah, itu pedang mestikanya
dengan jurus Ki hwe liau thian (angkat obor membakar langit) dia sambut kedua
titik sinar itu.
"Cring! Cring" terdengar dering nyaring pelahan, kiranya dua bandul Li hai ca-
liu-seng-cui (bandul berantai) yang menyambar tiba terpapas kutung oleh
pedang hijau Tian Pek dan mencelat jauh ke sana.
Tapi segera terdengar bentakan gusar beberapa orang, cahaya tajam kembali
menyambar tiba, dua pedang dan sebilah golok berbareng menusuk dan
membacok arak muda itu.
Tian Pek putar badan mengikuti gerak pedang, setelah menciptakan sinar
hijau berkilauan, pedang mestikanya menabas ketiga senjata musuh.
Rupanya orang itu mengetahui sampai di mana kelihayan pedang mestika itu,
cepat mereka tarik serangan dan melompat mundur.
"Wutt!" kembali segulung angin pukulan yang kuat menghantam tubuh anak
muda itu.
Tian Pek sedang putar pedangnya, maka tak sempat ditarik kenbali, terpaksa
dia angkat telapak tangan kiri dan langsung memapak datangnya pukulan itu.
"Plak!" benturan keras terjadi. Tian Pek hanya bergetar sedikit, sebaliknya
kakek yang melakukan sergapan tersebut terhajar mundur dengan
sempoyongan, ia memandang Tian Pek dengan kaget dan heran.
Kakek ini adalab jago yang tersohor namanya di wilayah Lu-lam karena
telapak tangannya yang ampuh laksana baja, orang persilatan menjuluki dia
sebagai Tiat ciang (pukulan telapak tangan baja), Lu Lak-sun, llmu pukulan
andalannya disebut Tiat-seh ciang (pukulan pasir besi) tiga puluh tahun sudab
dia mendalami pukulan sakti itu, dalam anggapannya di kolong langit jarang ada
orang yang mampu menahan pukulan mautnya itu.
Ketika ia lihat Tian Pek yang masih muda secara beruntun dapat menangkan
lima orang lawan, dia mengira kehebatan anak muda itu hanya karena
mengandalkan ketajaman pedang, tenaga dalamnya pasti belum kuat.
Ketika ia lihat Tian Pek sedang menyerang, kesempatan itu dia gunakan uotuk
melancarkan sebuah pukulan dahsyat.
Siapa tahu dugaannya ternyata meleset, bukan saja Tian Pek sanggup
menahan pukulan dahsyatnya dengan tangan kiri, malahan dia sendirilah yang
tergetar mundur beberapa langkah, keruan ia kaget dan keheranan.
Msnurut perkiraannya, dengan usia Tian Pek yang masih muda ini, sekalipun
semenjak masih berada dalam rahim ibunya ia sudah belajar juga tenaganya
takkan melebihi dirinya, tapi fakta membuktikan lain, tentu saja si Telapak
Tangan Baja terkejut.
Tian Pek merasa perutnya semakin lapar, belum sempat makan sudah
dikerubut, akhirnya ia menjadi gusar juga, dengan sorot mata yang tajam
ditatapnya belasan jago silat itu dengan Pedang Hijau bergetar.
Sebenarnya anak muda itu belum menyerang, tapi jago2 yang mengepungnya
itu menyangka Tian Pek akan menyerang mereka, buru2 mereka pada mundur
lebih dulu dengan rata jeri
Tian Pek tertawa geli, tak disangkanya musuh yang kelihatannya garang
ternyata bernyali kecil.
Tertawa anak muda itu menyadarkan jago itu dari sikapnya yang memalukan.
Dengan muka merah beberapa orang di antaranya segera membentak, dengan
garang terus menerjang, sinar golok, pedang dan senjata lain sama menyambar
ke tubuh Tian Pek.
Dalam keadaan gawat, cepat Tian Pek gunakan Hong-cam keng-cau (angin
payuh membabat rumput kering) pedang mestika berputar membentuk dinding
cahaya hijau yang menyilaukan mata, segera terdengar suara "crang-cring"
beberapa kali, senjata beberapa orang di antaranya tertabas kutung dan sama
berteriak kaget sambil melompat mundur.
Hanya dua kali Tian Pek menyaksikan Tui-hong-kiam Hui Kiat menggunakan
jurus Ki-hong-keng-cau tatkala terjadi pertarungan sengit di perkampungan Pah-
to-san-ceng, akan tetapi ia sudah dapat menyadapnya dengan baik sekalipun
belum sempurna benar, tetapi gayanya dan jurus itu sudah hampir mirip, Tian
Pek sendiri tidak menyangka jurus serangan ini akan demikian hebatnya.
Berhasil dengan jurus pertama, selagi anak muda itu siap melancarkan
serangan kedua, mendadak terdengar seorang membentak: "Berhenti!" —
Suaranya keras nyaring memekak telinga.
Tian Pek brrpaling, ia libat si kakek muka merah tadi sedang melangkah
keluar dari pintu rumah makan, seorang pemuda tampan mengikuti
dibelakangnya.
Setelah berhadapan, kakek itu menuding Tian Pek dan menegur: "Kau anak
murid siapa? Apa hubunganmu dengan Hoan-toaya dari Tin-kang? Hendaklah
lekas bieara terus terang agar tidak terjadi salah paham."
"Aku tidak kenal Hoan-toaya dari Tin-kang, juga tak pernah berjumpa dengan
orang itu!" jawab Tian Pek. "Mengenai perguruan, maaf, aku tak dapat
menjelaskan!"
Sebagai pemuda jujur yang tak biasa berbohong serta tak kenal akan liku2
kelicikan orang persilatan apa yang terpikir oleh Tian Pek langsung diutarakan
tanpa tedeng aling2.
Memang ia gemar belajar silat, tapi dia tidak pernah angkat guru kepada
siapapun, kepandaiannya sekarang adalah hasil penyadapannya dari ilmu silat
orang lain, sudah tentu ia sendiri tak tahu siapa gurunya.
Mendengar keterangan tersebut, si kakek muka merah tertawa ter-bahak2,
seruuya: "Bocah yang takabur, kau tahu siapa aku?"
"Maaf, aku tak kenal Lo... anda," mestinya Tian Pek hendak membahasai kakek
itu sebagai Locanpwe, tapi melihat sikap orang yang memandang hina
kepadanya, mendadak ia berganti nada, nada yang tidak sungkan2 lagi.
"Anak kecil yang tak tahu diri, baru saja muncul lagaknya sudah takabur,"
seru pula kakek itu lagi dengan tertawa. "Hm, aku tidak percaya bahwa Lak-jiu-
tong-sim bisa mampus ditanganmu. Nih, banyak bicara juga tiada gunanya,
sekarang aku hanya akan menguji kau dengan tiga kali pukulanku, kalau kau
mampu mempertahankan diri, maka kau bebas bergerak di wilayah Kangsoh dan
Shoatang sini. Nah, anak muda, kau setuju?!"
Tian Pek tidak kenal siapa kakek muka merah ini, padahal kakek ini adalab
teorang jago kosen yang aniat iersohor di propinsi2 Kangsoh dan Shoatang. Hiat-
ciang-hwi-liong ( naga api pukulan bcr-darab ) Yau Peng-gun.
Bukan saja ilmu pukulan Ang-seh-hiat-heng-ciang andalannya sudah
mencapai tingkatan sempurna bahkan macam2 senjata rahasia mes unya juga
tiada tandirgan di dunia Kangouw, lebih2 senjata aodal-nmnya, yaitu senjata
aneh berbentuk telapak tangan manusia, cuma ukurannya lebih besar dan
terbuat dari baja uiurni
Besar manfaat senjata berbentuk aneh ini, selain untuk menutuk jalan darah,
dapat juga dipakai merebut senjata lawan, selain itu ujung jari tengah senjata
mesin sunggub sangat lihay, apabila tombol rahasianya dipencet, maka senjata
rahasia itu akan menyergap musuh secara telak.
Senjata aneh yang serba guna ini diberinya bernama Sian-jin-ciang (telapak
tangan sang dewa), selama malang melintang disekitar propinsi Kangsoh dan
Shoatang belum pernah menemukan tandingan. lambat-laun ia menjadi angkuh
dan suka pandang rendah orang lain.
Sebagai seoraag jagoan yang tak terkalahkan ia jarang mau tunduk kepada
orang, entah bagaimana kemudian, tahu2 dia diserap oleh An-lok Kong-cu dan
ditempatkan di kota Hin-liong-tin ini sebagai pos perlindungan perkampungan
In-bong-san-ceng yang terletak di kota Soh ciu, dimana An-lok Kong-cu sendiri
bertempat tinggal.
Hari ini dia mendapat laporan bahwa Lak jiu tong-sim Hui It-tong telah
terbunuh oleh seorang pemuda berpedang di hutan utara kota, sudah tentu ia
tidak percaya atas laporan tersebut.
Babwa Hui It-tong bisa dibunuh orang. apalagi oleb seorang pemuda ingusan,
berita ini tentu saja sangat meragukan, Lak-jiu-tong-sim juga seorang Jago
andalan An lok Kongcu, ilmu silatnya luar biasa lihaynya, kakek muka merah
sendiripun tak berani mengatakan ilmu silatnya lebih unggul daripada Hui It
tong. tapi tokoh lihay itu bisa mati di tangan seorang pemuda?
Sebab itulah dengan setengah percaya setengah tidak cepat ia
memerintahkah anak buahnya untuk mengikuti gerak-gerik anak muda itu,
sementara dia kirim pula seorang khusus melaporkan kejadian ini kepada An-lok
Kongcu di Sohciu.
Kemudian ia mendapatkan laporan pula bahwa pemuda bersenjata pedang
itu sudah tiba di Hin-liong-tin. maka dia lantas membawa muridnya, Giok-bin lo-
cia (Lo Cia muka putih) Song Siau-hui serta sekalian jago lihay lainnya untuk
mencari anak muda itu.
Setelah pertarungan berkobar, ia lihat Tian Pek menggunakan ilmu pedang
Tui-hong-kiam-hoat dan keluarga Hoan, disangkanya pemuda itu ada hubungan
dengan keluarga Hoan, sebab dia tahu An-lok Kongcu mempunyai hubungan
yang akrab sekali dengan keluarga Hoan, takut terjadi salah paham, maka dia
lantas menegur.
Siapa tahu Tian Pek telah menyangkal, bahkan ucapannya kasar dan jumawa
sekali, maka meledaklah amarah Hiat-ciang-hwe-liong, dia lantas menantang
anak muda itu untuk beradu pukulan sebanyak tiga jurus.
Dasar Tian Pek adalah pemuda yang tinggi hati, diapun tak kenal tingginya
langit dan tebalnya bumi, betapa panas bati anak muda itu setelah mendengar
tantangan tersebut, dianggapnya kakek itu memandang rendah dirinya. Maka
dengan angkuh dia menjawab: 'Baik! Kuterima tantanganmu, coba katakan
caranya!"
Lalu ia masukkan pedang ke sarungnya dan pasang kuda2 menanti serangan
musuh.
"Bagus! Bocah bagus, kau memang punya nyali!" teriak Hiat-ciang hwe-liong
dengan gusar.
Sambil membentak bahunya terangkat hingga tubuhnya melengkung ke
depan, rambut yang putih pendek seperti duri landak makin kaku bagaikan
kawat, muka yang merah makin membara, dia membentak: '"Awas, bocah
bagus, inilah pukulanku yang pertama!"
Sambil angkat telapak tangannya Hiat-ciang-hwe-liong mengerahkan tenaga
pukulan Ang seh hiat heng-ciang hingga lima bagian, segera pukulan dahsyat
menghajar dada Tian Pek.
Diam2 anak muda itu terperanjat, dari cara pengerahan tenaga yang berbeda
dengan umum serta pancaran hawa merah membara dari telapak tangan
musuh, dia tahu ilmu andalan si kakek muka merah ini adalah sejenis ilmu
pukulan beracun. Namun sifat angkuhnya membuatnya pantang takut, biar tahu
lihay, ia tak sudi menghindar, ketika kakek muka merah itu mendorong telapak
tangan ke depan, cepat iapun menghimpun hawa murninya dan menyambut
datangnya ancaman tersebut dengan pukulan pula.
"Plak", benturan keras terjadi, pusaran angin kencang memancar, debu pasir
beterbangan.
Di tengah getaran keras itu, Tian Pek hanya merasakan tubuhnya bergeliat,
namun ia masih tetap berdiri tak bergerak, sementara segulung hawa panas
serasa menembusi telapak tangannya dan menyusup ke dalam tubuh. Terasa
bawa panas membara bagaikan dibakar, aneh sekali rasa panas itu, bukan saja
membuat tenggorokan jadi kering, kepala pun terasa pusing.
Hiat-ciang-hwe liong sendiri terdesak mundur juga dua langkah. Hal ini
disebabkan dia cuma memakai lima bagian tenaga dalamnya, sedang Tian Pek
sudah mengerahkan sepenuh tenaganya.
Semakin memuncak rasa gusar Hiat-ciang-hwe-liong. matanya melotot, segera ia
meraung pula; "Bocah keparat! Terima pula pukulan berikut ini!'
Sambil meraung kakek itu menarik telapak tangan kanannya ke belakang,
menyusul telapak tangan kirinya tsrus didorong ke depan, kali ini dia sertakan
delapan bagian tenaganya, tentu saja kekuatannya jauh lebih hebat daripada
serangan yang pertama tadi.
Kebanyakan jago silat yang berpengalaman jarang ada yang mau bertarung
menggunakan tenaga sepenuhnya pada pertempuran permulaan, seringkali
mereka cuma menggunakan tenaga sebesar empat-lima bagian untuk mencoba
kekuatan musuh, kemudian baru perhebat pada serangan berikutnya.
Sebab itulah tenaga pukulan kcdua yang digunakan Hiat-ciang-bwe-liong lebih
kuat daripada pukulan pertamanya, dengan demikan akan kehebatan makin
lama bertarung makin perkasa dan bukan sebaliknya.
Tian Pek masib muda dan kurang pengalaman, pada pukulan pertamanya dia
sudah mengerahkan seluruh tenaganya, waktu pukulan kedua Hiat-ciang-hwe-
liong menggulung tiba pula ia baru merasa tidak kuat menahan serangan maha
dahsyat itu.
Dasar sifatnya memang keras kepala dan pantang menyerah, meskipun tahu
serangan itu maha dahsyat dan tak mungkin bisa dilawan dengan kekuatannya,
namun ia tak sudi menghindar, seperti pada serangan pertama tadi, dia sambut
pukulan dahsyat itu dengan tangan kirinya.
"Blang!" kembali benturan keras yang memekak telinga, ketika kedua gulung
angin pukulan saling membentur. begitu dahsyat pancaran angin pukulan itu
membuat jago2 yang berada di sekitar situ tak sanggup berdiri tegak dan sama
terdesak mundur.
Hiat-ciang-hwe-liong yang berperawakan tinggj besar sama sekali tidak
bergerak dari kedudukan semula, sebaliknya Tian Pek sekali ini tergetar dua
langkah ke belakang.
Kalau cuma mundur saja masih mendingan, yang lebih celaka lagi hawa
pukulan yang mengalir masuk membuat telapak tangan kiri anak muda itu
kepanasan seperti dibakar, keringat membasahi sekujur badannya, kepalanya
terasa pusing, hampir saja ia jatuh terjungkal.
Meski kedua pukulan dahsyat yang disambut Tian Pek secara beruntun itu
membuat isi perutnya terbakar luka, namun dia tetap bertahan, tubuhnya tetap
tegak bagaikan bukit, hal ini tentu saja membuat gempar para jago yang ikut
menyaksikan itu.
Dengan mata terbelalak karena heran bercampur kaget, puluhan jago
persilatan yang berkumpul disitu sama meleletkan lidah sambil membatin:
"Hebat benar bocab ini, tak tersangka dia sanggup menerima dua kali pukulan
berantai Hiat-ciang hwe-liong yang tak pernah ketemu tandingan itu"
Rupanya Hiat ciang hwe-liong sendiripun dapat menyadari gawatnya
keadaan, ia sudah telanjur omong besar akan merobohkan Tian Pek dalam tiga
kali pukul, kini dua kali sudab berlangsung, jika pukulan ketiga juga tak mampu
merobohkan lawan, maka tamatlah nama baiknya. Iapun tahu tenaga anak
muda itu sudah mulai lemah, ia tidak memberi kesempatan bernapas lagi pada
lawan, segera ia membentak pula: "Pukulan ketiga! Robohlah kau, anak muda!"
Di tengah bentakan itu, Hiat ciang-hwe-liong angkat kedua telapak tangannya
sambil mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya terus menghantam
dada Tian Pek.
Kebesaran nama Hiat-ciaug-hwe-lioug memang tidak omong kosong,
kedahsyatan pukulan yang dilancarkan ini ibaratnya bendungan yang dadal,
membanjir dengan hebatnya menekan lawan.
Seketika Tian Pek mcrasakan sambaran hawa panas, dada terasa sesak dan
susah untuk bernapas. sadarlab anak muda ini bahwa pukulan musuh terlampau
berat baginya untuk disambut dengan kekerasan seperti tadi, akan tetapi dasar
dia memang kepala batu, dia tak mau tunjuk kelemahan di depan orang banyak,
dia tetap mengerahkan segenap tenaga pada kedua telapak tangan dan menolak
ke depan.
"Blang! Krak! Krak!" di tengah benturan keras, debu pasir beterbangan hingga
pemandangan di sekitar gelanggang jadi buram dan kawanan jago yang berada
disekitar gelanggang tak tahu jelas apa yang terjadi.
Selang sesaat, angin reda dan debu hilang, keadaan di depan jadi jelas
kelihatan kembali, tampak Hiat-ciang-bwe-liong masih tetap berdiri saling
berhadapan dengan Tian Pek, tak seorangpun di antara mereka ada yang roboh.
Suasana menjadi gempar lagi, semua orang sama terkcsiap, mereka tak
mengira kekuatan anak muda itu bisa sedemikian hebatnya. "Siapakah gerangan
anak muda ini? Cara bagaimana ia latih ilmu silatnya hingga mampu menahan
tiga kali pukulan Yau-locianpwe?" demikian mereka membatin.
Semua orang kaget, diam2 juga kagum, belum pernah terjadi adu kekerasan
yang begini hebatnya dalam dunia persilatan, apalagi yang terlibat dalam
pertarungan ini adalah Hiat-ciang-hwe-liong, seorang tokoh kosen yang sudah
punya nama besar sejak belasan tahun yang lalu, sebaliknya lawannya cuma
seorang pemuda yang sama sekali tak terkenal.
Orang lain kaget, Hiat-ciang-hwe-liong jauh lebih kaget, ia tak menyangka
kalau tiga kali pukulan dahsyat yang dilancarkan olehnya dapat disambut oleh
pemuda itu dengan kekerasan.
Ketka pukulan kedua dilancarkan dengan tenaga delapan bagian tadi, ia
sudah merasakan anak muda itu pasti tak mampu menahan pnkulannya yang
ketiga.
Siapa tahu dugaan itu ternyata meleset, ketika pukulan ketiga dengan
sepenuh tenaga dilontarkan, bukan saja pemuda itu tetap menerimanya dengan
keras lawan keras, malahan orang sama sekali tak roboh.
Hiat ciang hwe liong tabu sampai di manakah kekuatan sendiri, ia tahu
pukulan yang dilontarkan itu paling sedikit berkekuatan ribuan kati, apalagi
pukulan Ang seh hiat-heng ciang yang kuat, panas dan beracun, jangankan
manusia yang terdiri dari darah daging, sekalipun batu padas juga akan hancur,
pohon besar juga akan tumbang bila terlanggar tenaga pukulannya.
Sudah beratus orang jago yang pernah ditemuinya semenjak ia terjun ke
dunia persilatan. tap1 belum pernah ia temui seorang pemuda ingusan tak
dikenal yang kosen dan ulet, bukan saja pukulan dahsyatnya gagal
merobohkannya, malahan dapat menandinginya dengan sama kuat, tentu saja
jago tua ini terkesima heran dan kaget.
Tapi setelah diamatinya dengan seksama, ia baru menemukan ada kelainan
pada anak muda itu, mukanya kelihatan merah membara seperti terbakar, sinar
matanya pudar, meski tetap melototinya, namun sinarnya sudah buram.
Tahulah Hiat ciang-hwe-liong bahwa anak muda itu telah terluka isi perutnya
oleh pukulan hawa panasnya yang dahsyat dan kini berada dalam keadaan tak
sadar. Sebabnya ia tidak roboh mungkin karena tenaga pantulan yang membalik
dari dinding di belakang anak muda itu sehingga tubuhnya tertahan untuk
sementara.
Karena pikiran itu, dia lantas menegur: "He, anak muda, bagaimana rasanya
ketiga pukulanku ini?"
Tian Pek tetap diam saja, tidak menjawab juga tidak bergerak.
"Hahaha!" Hiat-ciang-hwe-liong terbahak-bahak dengan bangganya, "kukira kau
tak mampu lagi menjawab pertanyaanku bukan? Hahaha, dan kenapa kau tidak
rebah saja?"
Sambil mengejek, secepat kilat ia menubruk maju dan langsung menutuk Bi-
sim-hiat di tubuh anak muda itu.
Ada dua maksud tujuan tindakannya ini. Pertama, jika Tian Pek sudah mati,
maka mayatnya harus dirobohkan sehingga ia dapat memerintahkan anak
buahnya untuk membereskan jenazahnya. Kedua, kalau Tian Pek tidak mati dan
hanya terluka parah, maka tutukan ini akan mengirim anak muda itu ke akhirat.
Perlu diketahui, Hiat-ciang-hwe-liong Yau Peng-gun adalah jago silat yang
tersohor kekejamannya, belum pernah ia ampuni jiwa musuhnya, bila terjadi
pertarungan, maka ia pasti akan membunuh lawannya.
Sebab ia mempunyai prinsip hidup yang aneh, baginya kalau berbaik hati
kepada musuh berarti bertindak kejam terhadap diri sendiri, bila membabat
rumput tidak se-akar2nya, angin musim semi berembus dan rumput itu akan
tumbuh kembali.
Dengan prinsip hidupnya inilah ia tak mau berbuat baik hati kepada lawan
hingga mendatangkan bencana bagi dirinya di kemudian hari.
Tampaknya jika tutukan maut itu kena sasarannya niscaya Tian Pek akan mati
konyol.
"Setan tua, kau berani?'' tiba2 suara bentakan nyaring menggelegar di udara.
Berbareng bentakan tersebut, sejalur bayangan hitam meluncur tiba dan
menyabat jalan darah Im-tok-hiat di lengan kanan Hiat-ciang-hwe-liong.
Ilmu silat kakek itu memang hebat, meskipun menghadapi sergapan dia tidak
menjadi gugup, tubuhnya yang sedang menerjang ke depan mendadak melejit
ke udara, kemudian dengan gerak In-li-hoan (jumpalitan di tengah awan) dia
mengerem gerak tubuhnya yang sedang meluncur itu dan melayang kembali ke
tempat semula.
"Tarr! Aduuh! Bluk!" serentetan suara nyaring terdengar serta berkelebatnya
bayangan orang, tahu2 seorang nooa cantik berpakaian sutera halus sudah
berdiri tegak di tengah2 antara Tian Pek dan si kakek.
Kiranya suara "Tarr!" tadi adalah bunyi cambuk kulit sepanjang tiga depa yang
dilemparkan anak dara itu untuk menyerang pergelangan tangan kanan Hiat-
ciang-hwe-liong dan menolong Tian Pek, tapi tiba2 kakek itu melejit di udara
dengan gerakan yang indab, maka cambuk tersebut menyambar ke sana dan
menyerempct telinga Hwesio gemuk tadi.
Tiat-pay Hwesio ini bertenaga raksasa, tapi sayang dia adalah manusia kasar
dan dungu, waktu itu ia sedang mengikuti jalannya pertarungan, ketika
telinganya secara tiba2 terasa sakit, cepat dia meraba dan betapa kaget dan
marahnya setelah mengetahui daun telinganya terkupas sebagian dan
berlepotan darah, kontan dia menjerit: "Aduh!'
Sedangkan suara "Bluk!' yang terakhir adalah suara benturan ujung cambuk
yang menancap dinding tembok, cambuk itu menembusi dinding yang keras itu
hingga tiga-empat inci dalamnya, dapat dibayangkan betapa dahsyatnya tenaga
dalam yang dimiliki penyambit cambuk itu.
Apalagi setelah semua orang tahu kalau penyergap itu adalah seorang dara
muda yang cantik jelita, hampir sebagian besar jago persilatan yang hadir itu
sama terbelalak lebar matanya.
Pudahal cambuk adalah kenda yang lemas, tapi disambitkan oleh anak dara
itu cambuk menjadi lurus dan keras bagaikan anak panah, bukan saja telah
melukai seorang jago lihay, malahan terus menembus dinding tembok yang
keras sedalam empat lima inci, bila seseorang tidak memiliki tenaga dalam yang
sempurna, tak mungkin bisa melakukannya-Nona itu berusia enam-belasan,
mukanya cantik dengan mata yang jeli, hidung mancung serta bibir yang kecil
mungil menawan, giginya putih bersih, rambutnya disanggul model keraton, di
balik kecantikannya tersembunyi keagungan. terutama sekali sifat ke-
kanak2annya yang jelas masih kelihatan diwajahnya sehingga anak dara itu
kelihatan polos, lincah dan menawan hati.
Betapa gusarnya Hiat-ciang-hwe-liong setelah mengetahui yang datang hanya
seorang anak dara yang cantik, tapi ia sendiri telah dibikin kalang kabut, bahkan
seorang anak buahnya juga dilukai.
Dengan gusar ia lantas membentak: "Budak liar darimana? Berani kau campur
urusan pribadiku? Hm, kautahu tidak aku ini Hiat-ciang-hwe-liong ... ?"
"Jangan temberang kakek muka merah!' jawab si gadis dengan bertolak
pinggang sambil menuding hidung lawannya. "Coba jawab dulu pertanyaanku.
Kau sudah tua bangka, masakah kau tidak pegang janji, bicaramu tidak ditaati?"
"Hm, budak liar. rupanya kau tak pernah mendapat didikan!" teriak Hiat-
ciang-hwe-liong, "berani kau bicara tak sopan dihadapanku? Kalau kau tidak
tahu adat jangan salahkan aku bila kuhajar kau."
"Huh, tua bangka sialan yang tak bisa dipercaya omongannya? Jangankan kau
tak mampu menghajar diriku, suatu pukulanku saja kukira belum tentu kau
sanggup menerimanya, asal kau mampu menyambut pukulan nonamu, enam
propinsi di utara dan selatan sungai boleh kau jelajahi dengan bebas, tanggung
takkan ada orang yang berani mengganggu dirimu ...
"Tutup mulut.... !" bentak Hiat-ciang-hwe-liong semakin gusar, rupanya ia
merasa ucapan gadis itu persis menirukan nada ucapannya terhadap Tian Pek
tadi, dia menggosok telapak tangan dan siap menerjang maju.
"Budak kurang ajar, kau berani melukai telinga Hudya, hayo bayar kerugian
kepadaku dengan jiwamu," demikian terdengar bentakan mcnggelegar.
Berbareng itu, Tiat-pay Hwesio lantas putar tameng baja yang beratus kati
beratnya itu terus menghantam batok kepala si nona.
Nona itu tersenyum simpul, ia tetap berdiri santai di tempat semula, bukan
saja tidak menaruh perhatian pada serangan dahsyat lempengan baja itu,
bahkan melirikpun tidak.
Ketika lempengan baja itu sudah dekat batok kepalanya, mendadak ia
merendahkan tubuhnya, kemudian entah memakai gerakan apa, tahu2 ia sudah
menerobos keluar dari bawah, menyusul tubuhnya melejit ke atas, dengan
gerak Yan-cu-hoan-sin (burung Walet putar badan) ia berjumpalitan di udara
terus melayang turun dan tepat berdiri tegak di atas lempengan baja lawan.
"Hei, Hwesio dogol," ejeknya sambil tertawa cekikikan "kutahu kau memang
tak becus berkelahi, rupanya kau kehabisan senjata, maka kau bongkar daun
pintu kuilmu untuk digunakan sebagai senjata!"
Tiat-pay Hwesio ber-kaok2 gusar, lempengan bajanva diputar kencang
bagaikan baling2, maksudnya bendak melemparkan tubuh gadis itu agar jatuh.
Siapa sangka bukan saja anak dara itu tidak terlempar, sebaliknya dia
malahan main loncat, menari dan berjingkrak di atas lempengan baja itu dengan
riang gembira
Sambil berloncatan kian kemari, ia tertawa ngikik tiada hentinya: "Hihihi,
sungguh menyenang-kan, sungguh menyenangkan . . . !"
Sunguh tontonan yang menarik, seorang Hwesio gede mcmutar lempengan
baja sebesar daun pintu bagaikan baling2 dan seorang gadis cantik berloncatan
kian kemari di atasnya sambil cckikikan, bila orang tak tahu duduknya persoalan
pasti akan menganggap di sini sedang berlangsung permainan akrobatik-
Pada waktu itu, bukan saja kawanan jago yang dibawa Hiat-ciang hwe liong
telab berkumpul, malahan rakyat jelata juga berkerumun untuk menonton
keramaian meski tadi mereka sudah kabur ter-birit2 ketika terjadi pertarungan
sengit tadi.
Sekalipun Tiat pay Hwesio adalah seorang manusia kasar dan blo'on, lambat
laun ia dibikin kheki juga setelah setengah harian tak sanggup merontokkan
gadis itu dari atas lempengan bajanya, akhirnya ia tahu sekali pun cara itu
dilanjutkan sampai pagi juga belum tentu bisa bikin jatuh nona itu
Maka akhirnya ia putar lempengan baja tersebut dengan tangan sebelah,
sementara tangan yang lain langsung menyodok ke selangkangan anak dara itu
sambil memaki: "Neneknya, jangan kauanggap Hudya mudah dipermainkan!
Hayo turun!"
Bagi seorang gadis, serangan macam itu di-anggap sebagai suatu serangan
kotor dan rendah. merah padam selembar wajah si nona, kali ini ia tak dapat
tertawa lagi.
Dengan gerak Thio Hui-pian be (Thio Hui merosot ke bawah kuda), gadis itu
angkat kaki sebelahnya untuk menghindari tonjokan maut lawan, kemudian
mengerahkan tenaga ia tekan lempengan baja tadi. lalu melayang turun ke sana.
Sungguh menarik kejadian selanjutnya, karena tenaga tekanan kaki si nona,
Tiat-pay Hwesio tak sunggup menahan lempengan baja sendiri yang berat,
apalagi lempengan baja itu hanya dipegang dengan satu tangan, begitu terlepas
dari pegangan langsung saja lempengan baja itu menjatuhi kaki sendiri.
Lempengan baja itu memang berat, jatuhnya karena tekanan anak dara tadi,
walaupun kaki Hwesio itu terlindung oleh sepatu, tak urung juga kesepuluh jari
kakinya hancur tertindih senjata sendiri.
Itulah yang dinamakan senjata makan tuan, sambil menungging Hwesio dogol
itu ber-kaok2 ke-sakitan.
Sementara itu dengan tenangnya nona cantik itu sudah berdiri di depan Hiat-
ciang hwe liong, ujarnya sambil membetulkan rambutnya yang kusut: "Eeh,
kakek tua muka merah, tentunya kaupun orang yang punya nama dan
berkedudukan baik di dunia persilatan, masa sebagai seorang tokoh kenamaan
kau tidak pegang janji?"
Lagak angkuh dan rasa gusar Hiat-ciang-hwe-liong tadi kini sudah lenyap tak
berbekas, sebaliknya dia lantas tersenyum sebisanya dengan sikap ramah dan
menghormat.
Sekarang ia tak berani pandang enteng anak dara itu lagi, terutama sekali
setelah menyaksikan gerak tubuh Ni-gong-huan-ing (melintas di angkasa dengan
bayangan semu) yang dipraktekkan si gadis waktu mempermainkan Tiat-pay
Hwesio, karena ia kenal gerak tubuh ini adalah suatu kepandaian rahasia yang
tak pernah diwariskan kepada orang luar dari suatu keluarga persilatan yang
besar.
Tidaklah mungkin gadis ini bisa menguasai gerak tubuh sakti itu tanpa
mempunyai hubungan yang erat dengan keluarga persilatan besar yang
dimaksud itu, betapa besarnya pengaruh keluarga persilatan itu, jangankan Hiat-
ciang hwe-liong sendiri, sekalipun An-lok Kongcu juga belum tentu berani cari
gara2 pada keluarga itu.
"Nona!" ucapnya kemudian, "cukup kiranya kalau engkau mengetahui bahwa
aku mempunyai nama dan kedudukan lumayan di dunia persilatan-Coba
jelaskan, perkataan apa yang telab kuucapkan dan kauanggap tidak pegang
janji?"
Hiat-ciang hwe-liong memang jago kawakan yang licik, sekalipun dia ada
maksud untuk mengalah kepada gadis itu, akan tetapi pembicaraannya tetap
angkuh demi menjaga gengsi.
"Hm!" anak dara itu mendengus, "kakek keriputan, tak perlu kau tempeli
mukamu sendiri dengan emas, kaupun tak usah berlagak pilon! Sebelum
pertarungan dimulai tadi, bukankah kau telah berjanji akan mengaku kalah bila
Tian-siauhiap sanggup menerima tiga pukulanmu?"
Hiat-ciang-hwe-liong ter-bahak2. "Hahaha! Rupanya nona sudah mengikuti
semua pembicaraanku dengan engkoh cilik ini. Baik, baiklah! Kalau nona sudah
mengatakan begitu, akan kulepaskan engkoh cilik ini pergi dari sini!"
"Nah, begitu baru pantas, kalau sudah berani buka suara maka sepantasnya
berani pegang janji. Hayo suruh orang2mu menyingkir!"
Habis berkata gadis itu lantas bersiul nyaring, seekor kuda berwarna merah
yang tinggi besar muncul dari belakang kerumunan orang banyak, setibanya di
sisi gadis itu dengan kepalanya kuda itu meng-usap2 badan majikannya dengan
mesra sekali.
Melenggonglah berpuluh lelaki yang menyaksikan kejadian itu, meski tidak
sedikit di antaranya yang tergolong lelaki bangor dan tergiur oleh kecantikan
anak dara itu, namun tak seorangpun yang berani mencari penyakit, apalagi
setelah menyaksikan pemimpin mereka, Hiat-ciang-hwe-liong juga segan kepada
si nona.
Dalam hati orang2 itu menjadi dongkol demi mslihat sikap kuda merah itu
begitu mesranya dengan si nona, memangnya manusia kalah daripada kuda,
demikian gerutu mereka.
Dengan kasih sayang gadis itu membelai bulu suri kudanya, kemudian dengan
sekali berkelebat ia sudah berada di kaki tembok sana untuk mencabut
cambuknya, entah bagaimana caranya tahu2 ia sudah melayang kembali ke
tempat semula, semua gerak-geriknya dilakukan amat cepat, suatu bukti entah
betapa sempurnanya Ginkang yang dimilikiaya. Setelah mengambil kembali
pecutnya, nona itu menarik kudanya ke samping Tian Pek. Waktu itu
Tian Pek masih berdiri kaku di tempat semula dengan muka merah membara.
"Engkoh Pek, engkau teriuka?" ucap dara itu dengan lembut dan sedih melihat
keadaan anak muda itu.
Tian Pek tetap diam saja.
"Engkoh Pek, parahkah lukamu? Mengapa kau tidak menjawab?" kembali gadis
itu berbisik.
Tian Pek tetap bungkam dan tidak bergetak, biji matanya juga tak berputar
sama sekali.
Betapa sedih anak dara itu menyaksikan keadaan Tian Pek, matanya jadi
merah dan hampir meneteskan air mata.
Akhirnya dengan gemas ia berkata: "Hm, pasti kakek sialan ini yang melukai
kau. Baik! Akan kubalaskan dendammu nanti pada kakek sialan ini setelah
kubawa kau pulang dulu kerumah untuk merawat lukamu."
Dengan mata melotot ia melirik sekejap ke arah Hiat-ciang-hwe-liong, lalu
loncat ke atas kudanya, ia tarik Tian Pek ke atas pelana.
Dengan tangan sebelah memeluk tubuh anak muda itu, si nona cemplak
kudanya dan siap berlalu.
"He, nona, tunggu sebentar!" tiba2 Hiat-ciang-hwe-liong maju selangkah ke
depan sambil berseru.
"Ada apa?" tanya si nona dengan muka tak senang, alis matanya bekernyit
"Memangnya kau menyesal dan ingkar janji? Tua bangka celaka!"
Hiat-ciang-hwe-liong menyengir, ucapnya: "Nona,jangan kau sebut aku tua
bangka celaka segala, sedikitnya kau harus meghormati aku dan jangan berbuat
kurang sopan terbadap orang yang lebih tua daripadamu bukan?"
"Sudah, tak usah banyak bicara, apa lagi yang hendak kaukatakan?" tukas
gadis itu tak sabar.
"Budak cilik yang tak tahu diri, jangan kelewat batas sikap angkuhmu!" teriak
Giok-bin-lo-cia dengan marah, segera ia hendak melabrak si nona.
"Anak Hui, jangan turut campur!" cepat Hiat-ciang-hwe-liong mcncegah. Lalu
katanya pula kepada anak dara itu: "Nona, kctahinlah bahwa aku mengalah
kepadamu lantaran mengingat orang tua-mu kalau engkau tak suka banyak
bicara, akupun tak akan banyak omong, pemuda she Tian ini sudah tcrkena
pukulan Ang-seh hiat-heng-ciang yang beracun, jika dalam tiga hari tidak
memperoleh obat penawarnya, maka dia akan mati dengan tubun hangus. Nah.
karena aku mau berbuat baik, untuk membuktikan maksud baikku, akan
kuberikan sebutir obat penawar, asal pemuda itu sudah minum obatku dan
beristirahat selama beberapa hari, maka lukanya akan sembuh dengan
sendirinya!"
Sambil berkata is keluarkan sebuah botol kecil dan mengambil sebutir pil
warna hijau, lalu di selentikkan ke arah gadis itu.
Sambil tersenyum nona itu menjepit obat tersebut dengan kedua jarinya.
Pil itu kecil sekali bentuknya tapi diselentikkan Hiat-ciang-hwe-liong dengan
tenaga yang keras pil yang kecil itu meluncur secepat kilat, tapi anak dara itu
sanggup menjepitnya dengan tepat dan jitu dengan dua jari, untuk itu bukan
saja dia harus tajam dalam penglihatan, tenaga dalam serta gerak japitannya
juga harus tepat dan sempurna pula.
Sekarang Hiat-ciang-hwe-liong baru benar2 kagum atas kelihayan si nona,
sambil menghela napas ia berpeling ke arah muridnya, mau-tak-mau Song Siau-
hui merasa kalah dan menunduk malu.
Gudis itu mengamati pil itu sekejap, lalu ia berkata: "Cara bagaimana kutahu
obat ini benar2 obat penawar? Seandainya kau beri sebutir obat racun
kepadaku . . . ?"
Bicara sesungguhnya, Hiat-ciang-hwe-liong memang bukan sungguh2 hendak
menolong jiwa Tian Pek, yang benar ia berbuat begitu karena takut pada
pengaruh keluarga si gadis yang besar dan kuat itu.
Ia menduga pasti ada hubungan yang luar biasa antara gadis itu dengan Tian
Pek, terutama sikap mesra yang diperlihatkan anak dara itu. Ia maklum, bila Tian
Pek sumpai mati di tangannya. niscaya anak dara itu akan menuntut balas
padanya.
Karena itulah dia lantas putar haluan mengikuti arah angin, ia sengaja
menolong anak muda itu agar di kemudian hari gadis itu tak mencari perkara
lagi padanya,
Siapa tahu, bukan rasa terima kasih yang didapat, ia malah dicurigai sengaja
memberi obat racun, keruan ia mendongkol, segera ia menjengek; "Nona, kalau
aku tidak bermaksud menolong jiwanya, biarpun tidak kuberi obat racun juga
dia tetap akan mampus. "
"Oh, kalau begitu aku mesti berterima kasih kepadamu, begitukah kakek
sialan?" kata gadis itu sambil cekikikan.
Sekarang ia percaya obat yang diberi Hiat-ciang-hwe-liong itu adalah obat
penawar, maka tanpa menunggu jawaban orang lagi ia lantas mencemplak ke
atas kudanya dan pergi dari situ.
Dalam sekejap mata bayangannya sudah lenyap di balik kegelapan sana,
betapa mendongkol-nya Hiat-ciang-hwe-liong menyaksikan tingkah laku nona
itu, terutama sebutan "kakek sialan" yang terakhir itu . . . .
Udara cerah, sang surya memancarkan sinar emasnya yang cerlang
cemerlang.
Seekor kuda merah yang tinggi besar sedang berlari kencang di jalan raya.
Penunggang kuda itu adalah seorang gsdis cantik jelita serta merangkul
seorang pemuda tampan yang berada dalam keadaaan tak sadar.
Banyak orang memandang heran pada penunggang kuda itu. Betapa tidak?
Seorang gadis cantik merangkul seorang pemuda di siang hari bolong. sudah
tentu kejadian ini sangat menarik perhatian.
Untungnya kuda itu berlari dengan cepatnya, hanya sekilas pandang saja
kuda itu sudah lewat jauh ke sana meninggalkan debu yang beterbangan
memenuhi angkasa.
Sambil membedal kudanya kencang2, berulang kali anak dara itu
meuundukkan kepalanya memandang pemuda yang berada dalam pelukannya
dengan rasa kuatir dan kasih sayangnya. Bila dalam keadaan sadar pemuda itu
menyaksikan kemesraan dan rasa kuatir yang ditunjukkan si gadis cantik ini
kepadanya, niscaya dia akan merasa dirinya orang yang paling bahagia di dunia.
Sayang pemuda itu pingsan, sepanjang perjalanan ia tak dapat menikmati
kehangatan serta kemesraan yang ditunjukkan gadis itu, malahan mukanya
semakin merah membara, napasnya makin memburu, dadanya turun naik makin
keras dan jiwanya sudah berada ditepi jurang kematian.
Cemas dan gelisah anak dara itu menyaksikan keadaan pemuda itu yang
semakin payah, ia dapat merasakan suhu badannya yang kian meninggi, ia
merasa se-akan2 sedang memeluk segumpal bara.
Akhirnya ia tak dapat menahan perasaan kuatirnya, lari kudanya diperlambat
dan akhirnya ber~benti.
"Apa yang mesti kulakukan sekarang?" pikirnva dengan gelisah, "jelas tak
mungkin kubawa pulang ke rumah. tapi di tengah jalan yang begini sunyi ke
mana aku mesti mencari tabib untuk menyembuhkan sakit engkoh Pek?''
Setelah ter-mangu2 sejenak, gadis itu berpikir lebih jauh: "Aku memang
bodoh. jika kubekal beberapa biji Toa hoan-wan dari rumah, pasti aku tak perlu
repot2 melakukan perjalanan cepat
"
Teringat pada obat Toa-hoa-wan milik keluarganya. tiba2 gadis itu teringat
pula akan obat penawar pemberian si kakek muka merah itu.
"Kenapa aku melupakan obat penawar pemberian kakek itu?" kembali ia
berpikir, "kenapa tidak kuminumkan dulu obat ini kepada engkoh Pek untuk
menolong jiwanya lebih dulu ......?"
Berpikir sampai di sini, ia coba mengawasi sekitar tempat ini, maksudnya mau
mencari rumah penduduk untuk minta air putih bagi engkoh Tian.
Tapi lempat itu jauh dari keramaian dan tiada rumah penduduk, yang
terbentang sejauh mata memandang hanya rumput serta ladang belaka.
Ia melihat sebuah bukit kurang lebih lima-enam li di sebelah kiri sana, gadis
yang cerdik ini segera membedal kudanya menuju ke arah bukit kecil itu.
Walaupun dia tak berpengalaman dan jarang keluar rumah, namun otaknya
memang encer, ia pikir di atas bukit yang tinggi itu tentu bisa memandang ke
seluruh peujuru dengan lebih leluasa?
Kuda merah yang ditunggangi anak dara itu adalah seekor kuda jempolan
yang disebut Ci hua liu (kuda cepat berbulu merah) sekalipun mendaki bukit
yang tinggi tetap t;dak menjadi alangan baginya, hanya sekejap saja lima-enam li
sudah di tempuhnya.
Berdiri di puncak bukit itu, si nona dapat memandang keadaan sekitar situ
dengan lebih leluasa. Dilihatnya jauh di belakang bukit sana suatu lembah yang
permai dengan pepobonan yang rindang, sebuah bangunan mengintip di balik
pepohonan itu, meskipun masih bclasan li jauhnya, akan tetapi kecuali
bangunan itu tidak nampak lagi ada rumah penduduk yang lain.
Apa boleh buat, terpaksa ia membedal kudanya menuruni bukit itu dan
menuju ke arah bangunan tersebut.
Kuda Ci-hoa-liu memang kuda jempolan. bukan saja dapat berlari cepat di
tanah yang datar, sekalipun lari mendaki bukit atau menelusuri lereng-pun
kecepatannya tak berkurang, sekejap kemudian ia sudab membawa kedua
orang itu sampai di depan rumah tadi.
Gadis itu menurunkan pemuda yang belum sadar itu, tapi setelah mendekati
rumah itu ia jadi melenggong.
Bangunan itu aneh sekali bentuknya, atap ber-bentuk bundar warna merah.
dinding pckarangan terbuat dari batu putih, daun pintu juga berwarna putih,
pada ambang pintu warns putih tertulis tiga huruf besar: "Si-jin ki" (rumab
kediaman orang mati).
Bangunan tersebut memang aneh sekali, bukan saja dibangun membelakangi
bukit, bentuk bangunannya mirip kuil tapi bukan kuil. seperti kuburan tapi
bukan kuburan, untuk sesaat gadis itu menjadi serba susah dan ragu2 apakah
harus masuk ke sana atau tidak?
Ilmu silat si nona memang tinggi, tapi ia jarang berkelana di dunia persilatan,
tentu saja tak pernah menjumpai pula bangunan seaneh ini, makanya untuk
beberapa waktu gadis itu cuma berdiri tertegun. Betapa cerdiknya ia menjadi
bingung juga menghadapi bangunan aneh ini.
Tak mungkin di dunia ini ada tempat seaneh ini, siapa yang mau memberi
nama "Sin-jin-ki" untuk rumahnya? Sekalipun tempat itu adalah kuburan juga
tak akan ditulis dengan kata2 begitu.
Tapi kenyataan terbentang di depan mata, mau tak-mau si gadis harus
mempercayai kejadian aneh ini.
Selagi gadis itu berdiri tertegun, tiba2 pemuda yang berada dalam
pelukannya gemetar keras, alisnya terkerut rapat, tampaknya sedang menahan
pcnderitaan yang sangat hebat.
Gadis itu tersadar dari lamunannya, ia pikir menolong orang lebih penting
daripada memikirkan urusan lain, peduli amat penghuninya orang hidup atau
orang mati, paling penting masuk dulu dan urusan belakang.
Begitulah kalau seorang gadis sudah jatuh cinta, kekuatan cinta membuatnva
bersedia untuk berkorban apapun juga, sekalipun gadis itu adalah seorang
puteri jago kenamaan yang selalu dimanja oleh orang tuanya, tapi dorongan
cinta membuat dia melupakan se-gala2nya, lupa akan marabahaya yang
mungkin akan mengancam jiwanya. Tanpa berpikir panjang ia lantas menerobos
ke dalam bangunan aneh yang bernama "kediaman orang mati" itu.
Ia membiarkan kudanya makan rumput di kaki bukit dengan bebas, sambil
menggigit bibir ia pondong Tian Pek yang tak sadar itu dan mendekati pintu,
serunya dengan suara lantang: "Adakah orang di dalam?"
Dia ulangi teriakan tersebut sarnpai beberapa kali, suaranya berkumandang
jauh, namun tiada seorangpun yang menjawab.
Akhirnya ia memberanikan diri dan mendepak daun pintu warna putih itu
yang segera terbuka.
Dibalik pintu adalah sebuah halaman kecil bunga beraneka warna tumbuh
dengan segarnya dalam halaman itu, suasana hening sepi, keheningan yang
menimbulkan rasa seram.
Sebuah jalan setapak beralas batu putih membentang lurus ke depan
menghubungkan rumah berloteng kecil berwarna merah tadi, pintu loteng
tertutup rapat se-olah2 menyimpan teka teki yang mistenus di dalamnya.
Jangankan seorang nona cilik berusia enam-tujuh belassn yang tak pernah
keluar rumah, sekalipun seorang jago kawakan yang berpengalaman luaspun
akan bergidik berada di tempat begini.
Tapi nona itu sama sekali tak gentar, sambil memondong Tian Pek yang tak
sadarkan diri, selangkah demi selangkah ia menghampiri bangunan loteng yang
serba misterius itu.
Pintu loteng itupun terbuat dari kayu putih pintunya tertutup rapat, di atas
pintu ada tulisan pula yang berbunyi: "KEDIAMAN ORANG MATI, ORANG HIDUP
DILARANG MASUK".
"Hei, orang mati! Ada orang hidup datang ber-kunjung!" teriak nona itu.
"Yaok Yaook kuk kuk !" bunyi burung aneh menggema memecah kesunyian,
seekor burung terbang melintasi atap loteng dan melayang ke belakang bukit.
Hampir saja gadis itu menjerit kaget, jantung berdebar keras, selang sesaat
belum nampak juga bayangan orang. akhirnya gadis itu mendepak pelahan pintu
loteng.
Pintu itu tidak terkunci dan segera terpentang lebar, di balik pintu adalah
sebuah ruang kecil yang longgar.
Perabot dalam ruangan itu amat sederhana, tapi lantainya bersih sekali. tidak
perlu ditanya lagi, semua ini pastilah hasil pekerjaan si "orang mati" itu.
Gadis itu tambah waspada, matanya terbelalak dan siap menghadapi segala
kemungkinan.
Tepat di tengah ruangan ada sebuah meja panjang yang juga terbuat dari
kayu putih, dua buah kursi terletak di kedua sisi meja. Tampaknya baik pintu,
jendela serta bahan bangunan lain yang ada disini semua terbuat dari sejenis
kayu yang sama, tidak dicat atau dipelitur sehingga terciptalah semacam bau
yang khas, bau itu mengingatkan orang pada bau yang terdapat di toko peti
mati,
Sekali lagi gadis itu memeriksa setiap sudut ruangan dengan seksama, setelah
yakin di sekitar sana tak ada yang mencurigakan, baru ia membaringkan Tian
Pek di atas kursi, sebab tangannya mulai terasa kesemutan dan pegal.
Setelah menaruh pemuda itu di atas kursi, nona itu mengembus napas lega,
pikirnya: "Tempat ini dinamakan kediaman orang mati, kenapa tidak terlihat
seorang matipun?"
Kembali dia awasi sekeliling ruangan itu. kebetulan angin berembus
mengibarkan kain tirai di dinding bagian tengah, tampaklah dibalik kain tirai
terdapat sebuah ruangan lagi dan entah apa isi ruangan itu?
Karena itu rasa ingin tahu, si nona memberanikan diri mendekati tempat itu
dan menyingkap tirai tadi, maka tampaklah sebuah meja sembahyang teratur
rapi di sana, di atas meja sembahyang berdiri sebuah papan kecil yang juga
terbuat dari kayu putih, empat sisinya diukir secara indah, sedang di tengah
papan kecil itu terukir beberapa patah kata: "Tempat abu Injin Pek lek-kiam
Tian-tayhiap, Tian In-thian!"
Hampir saja nona itu berseru kaget, dia masih ingat ketika engkoh Tian
dirawat di rumahnya tempo hari, tiba2 paman Lui meloncat masuk ke dalam
kamar ketika anak muda itu sedang bercerita asal usulnya, waktu itu paman Lui
mencengkeram tangan engkoh Tian sambil bertanya: "Apa hubunganmu dengan
Tian In thian ....?"
Dan kini di kediaman orang mati muncul pula meja abu Tian In thian, jangan2
antara engkoh Tian dengan Tian In-thian memang mempunyai hubungan yang
erat?
Kiranya tak perlu dijelaskan lagi siapa anak dara ini, ialah Tian Wan-ji adanya!
Rupanya gadis ini diam2 jatuh cinta pada Tian Pek, setelah kembali ke
kamarnya akibat dibuat mendongkol karena Tian Pek bersikap mesra terhadap
Hoan Soh-ing, kemudian ia dengar Tian Pek telah mengejar Sin-liu-liat-tan Tan
Can-li, ia menjadi kuatir, maka diam2 ia kabur dan rumahnya dengan membawa
Ci-hoa liu, kuda merah mestika miiik ayahnya.
Walaupun dia berasal dari keluarga cendekia dan sejak kecil disayang orang
tuanya dan memiliki ilmu silat yang tinggi, tapi belum pernah melakukan
perjalanan di dunia Karigouw, selain itu iapun tak tahu ke mana perginya Tian
Pek, untunglah secara kebetulan ia berhasil menemukan Tian Pek di kota Hin-
liong-tin.
Waktu itu dia sedang bersantap di atas loteng, sedang Tian Pek di bawah,
maka kedua orang tidak saling bertemu.
Setelah terjadi ribut2 barulah Wan-ji melongok ke bawah. Betapa gembiranya
nona itu setelah mengetahui salah seorang di antaranya adalah Tian Pek, ia
lihat betapa gagahnya anak muda itu menghadapi kerubutan belasan orang
dengan pedang hijaunya.
Karena tak ingin mengganggu orang yang berkelahi, gadis itu tidak lantas
unjuk diri, baru setelah Tian Pek terluka karena beradu kekuatan dengan Hiat-
ciang-hwe liong dan kakek itu hendak mencelakai jiwa anak muda itu, cepat ia
turun tangan menyelamatkan Tian Pek dengan menyambitkan cambuk kudanya.
Dan kini tanpa disengaja pula sampailah mereka di Si-jin-ki, sempat pula
menyaksikan meja abu Tian In-thian, ia makin yakin kalau antara Tian Pek
dengan Tian In-thian pasti mempunyai hubungan yang erat, sudah tentu hal ini
membuatnya prihatin.
Boleh dibilang gadis itu sudah lupa maksudnya hendak mencari air untuk
minum obat engkoh Tian, perhatiannya kini tercurahkan pada meja abu itu.
Meja abu itu sangat bersih, ada sesajian buah2-an dan bunga yang teratur
dengan rapi di atas meja, hiolo dengan sisa abu dupa terletak di tengah meja ini
menandakan kalau selalu ada orang bersembahyang di situ secara teratur.
Di depan meja abu sana terdapat sebuah jalan samping yang luasnya lima
kaki, di samping kiri—kanan jalan serambi itu terdapat kamar tidur, pintu kamar
terbuat pula dari kayu putih.
Pada pintu kamar sebelah kiri tertempel secarik kertas putih yang bertuliskan:
"Hoat-si jin", sedang-kan di pintu kamar sebelab kanan tertempel kertas dengan
tulisan "Si-hoat-jin".
Selain itu, di samping kanan-kiri pintu masing2 tertempel pula sebuah "Lian"
dengan kertas warna putih, lian itu bcrtuliskan: "Utang budi tak dapat
membalas, lebih baik mati daripada hidup".
Sedang Lian yang lain bertulisan: "Punya dendam tidak menuntut balas, malu
untuk hidup".
Selanjutnya tepat di atas pintu tertulis kata2 yaisg berbunyi: "Membslas
dendam dan membayar budi".
Sekarang Wan-ji dapat meraba duduknya persoalan, jelas 'SI-JIN-KI"
(kediaman orang mati) bukanlah dihuni oleh orang mati sungguh2 melainkan
orang hidup yang berutang budi kepada Tian-taybiap, karena tak mampu
membalaskan dendam bagi kematian Tian tayhiap, mereka lantas menganggap
diri sendiri sebagai orang yang sudah mati.
Ia menjadi heran macam apakah manusia yang bernama Hoat-si-jin (orang
mati hidup) dan Si hoat-jin (orang hidup mati) itu?
Dia mendekati kamar sebelah kiri dan mendorong pintu hingga terbuka, ia
lihat isi ruangan itu sederhana sekali, kecuali sebuab meja dan sebuah kursi
tiada perabot lain, juga tidak nampak pembaringan sebagai layaknya sebuah
kamar tidur, hanya di sudut ruangan sana ada sebuah peti mati.
Peti mati itu juga terbuat dari kayu putih dan tertutup rapat sekali, lama
Wan-ji mengamati ruangan tersebut, karena tak menemukan sesuatu akhirnya
gadis itu mengundurkan diri dan masuk ke kamar sebelah kanan.
Apa yang dilihat di kamar kanan ini sama sekali tak berbeda dengan keadaan
di kamar sebelah kiri, kecuali sebuah meja dan kursi, juga cuma terdapat sebuab
peti mati.
Mau-tak-mau mengkirik juga Wan-ji, jantung-nya berdebar keras,
Bangunan sebesar ini sama sekali tiada penghuninya dan di dalam kamar
kecuali dua peti mati besar tidak nampak benda lain, ditambah pula gedung itu
dinamakan "kediamun orang mati", suatu nama yang menimbulkan rasa ngeri
bagi yang mendengarkan, tidaklah heran kalau gadis cilik itu jadi ketakutan.
Sampai sekian lamanya ia berdiri ter-mangu2 di depan kamar itu, ia tak tahu
apa yang harus dilakukannya?
"Dukk"'!" mendadak "terdengar suara keras di luar ruangan, Wan-ji
terperanjat dan hampir saja menjerit, cepat telapak tangan kiri siap melindungi
dada, sementara telapak tangan kanan siap menghadapi serangan musuh, cepat
ia melayang keluar kamar itu.
Ia libat Tian Pek sudah terjungkal dari kursi dan terkapar di lantai, tanpa
berpikir Wan-ji melayang ke sarnping anak muda itu dan memeriksanya
Dilihatnya muka Tian Pek tetap merah membara, napasnya kini semakin
lemah hingga hampir tak terdengar, dahinya berkerut dan darah meleleh keluar
dan ujung bibirnya.
Wan-ji amat terperanjat, cepat ia periksa tubuh anak muda itu, tapi tidak
menemukan sesuatu tanda luka baru, anak dara itu baru menyadari akan
keteledoran sendiri.
Tentulah anak muda itu terguling dari kursinya sewaktu ia melakukan
penggeledahan ke dalam kamar tadi, diam2 ia memaki ketidak becusan sendiri
urusan yang penting tidak dibereskan dulu, sebalik-nya mengurusi hal tetek
bengek.
Cepat ia angkat anak muda itu ke atas kursi, kemudian ia keluarkan pil bijau
pemberian kakek muka merah itu, karena tidak menemukan air matang
akhirnya gadis itu mengunyah obat tersebut di mulutnya sendiri, kemudian
dengan bibir menempel bibir, pelahan ia meloloh obat yang telah hancur itu ke
mulut Tian Pek.
Maklum, usia Wan-ji masih amat muda, hatinya masih suci bersih dan
pengetahuannya mengenai hubungan antara lelaki dan perempuan masih
sangat minim, ia tak tahu kalau perbuatan mesra itu pantang dilakukan oleh
anak dara seperti dia melainkan hanya suami-istri yang boleh berbuat begitu.
Selain itu, karena dia terlalu mencintai Tian Pek, dalam keadaan terpaksa
tanpa pikir ia meloloh anak muda itu dengan obat yang telah bercampur dengan
air liurnya.
Malahan dia kuatir engkoh Tian tercintanya tak dapit menelan hancuran obat
itu karena masih pingsan, maka dengan mengerahkan hawa murninya, dia
lantas menguruti dada anak muda itu.
Ketika tangannya meraba dada Tian Pek, mendadak Wan-ji merasa seperti
menyentuh sebuah benda. gadis itu heran, benda apa yang berada di dalam
baju pemuda itu? Karena rasa ingin tahu dirabanya dada Tian Pek dan
mengeluarkan benda itu, kiranya benda itu adalah sejilid kitab yang bersampul
warna-warni.
Melihat kitab yaag indah itu Wan ji tertawa geli, pikirnya: "Engkoh Tian masih
seperti anak kecil saja, sudah jejaka masih suka baca buku komik begini?"
Tanpa sengaja Wan ji membalik2 halaman kitab itu. Tapi apa yang dia lihat?
Ternyata gambar gadis bugil melulu dengan pose yang menggiurkan.
"Ah, brengsek kau!" Wan ji menggerutu dengan muka merah karena jengah,
ia lupa bahwa Tian Pek belum lagi ssdar, segera ia lemparkan buku itu ke atas
dada Tian Pek.
"Bluk." buku itu terjatuh ke lantai.
Pada saat itulah mendadak terdengar seorang membentak: "Siapa yang
berani memasuki kediaman orang mati!?"
Berbareng dengan bentakan tersebut, sesosok bayangan menerjang masuk
ke dalam ruangan dengan cepat luar biasa. Belum lagi Wan-ji sempat membalik
tubuh, tahu2 segulung angin pukulan yang dahsyat menerjang tiba dari
belakang.
Wan-ji kuatir pukulan dahsyat itu melukai Tian Pek yang pingsan, ia tidak
menghindar atau berkelit, dengan gerakan To coan-im-yang (memutar balik im
dan yang), sambil berputar kedua telapak tangan terus di dorong ke depan
untuk menyambut ancaman tadi.
"Ah, rupanya Siau-in-kong (tuan penolong kecil)!" seru penyerang itu.
Tatkala Wan-ji putar badan, orang itu sempat melihat wajah Tian Pek dengan
jelas, maka ia berseru kaget dan lekas2 hendak menarik kembali pukulannya.
Tapi sayang agak terlambat- "Blang"!" benturan keras terjadi, Wan-ji
merasakan sekujur badannya bergetar keras, lengannya kaku kesemutan.
"Hebat benar tenaga pukulan orang ini!" pikir Wan-ji dengan terperanjat.
Pendatang adalah dua orang aneh yang berpakaian belacu putih dengan ikat
pinggang tali rami, mukanya pucat menyeramkan tanpa emosi dan kaku seperti
orang mati, mereka berdiri di kiri kanan depan Wan ji, gerak gerik mereka persis
seperti mayat hidup.
Kedua orang aneh itu memancarkan sorot mata yang tajam, mereka
mengamati mulai dari Wan-ji, lalu beralih ke wajah Tian Pek, kemudian dari
wajah Tian Pek beralih kembali pada wajah si nona-
Wan-ji kuatir kalau kedua orang aneh itu bermaksud jahat terhadap Tian Pek,
maka walaupun tahu ilmu silat sendiri bukan tandingan lawan, tapi demi
melindungi keselamatan pemuda itu diam2 dia kerahkan tenaga dalamnya dan
siap siaga.
Gadis itu sudah bertekad bila kedua orang aneh itu menunjukkan suatu
gerakan yang tidak menguntungkan Tian Pek, maka dia akan melakukan
serangan balasan dengan segenap kekuatannya.
"Aih, cukup parah luka yang diderita Siau-in-kong!" terdengar manusia aneh
yang berdiri di sebelah kiri itu berseru, entah ditujukan kepada siapa
perkataannya itu?
"Oleh karena itulah kita tak boleh mati!" sambung manusia aneh yang berada
di sebelah kanan-"Hidup kita di dunia ini masih banyak gunanya "
Diam2 Wan-ji merasa heran, kedua orang aneh itu seperti sedang bicara
sendiri, akan tetapi sinar matanya tertuju kepada dirinya dan engkoh Tian,
sungguh aneh dan apa maksudnya?
"Perempuan cilik, apakah kau yang meiukai Siau-in-kong?" tiba2 orang aneh
sebelah kiri menegur dengan bengis.
Wan-ji balas bertanvac "Siapa kalian? Untuk apa aku melukai engkoh
Tian . .. ?
"Ciat!" mendadak manusia aneh yang sebelah kanan membentak keras terus
melayang ke atas-tangan kirinya dikebaskan menyingkirkan Wan-ji, sementara
tubuhnya langsung mnnubruk Tian Pek yang masih tak sadar.
"He, apa yang hendak kau lakukan?" teriak Wan ji kuatir, ia takut orang aneh
itu meiukai pujaan hatinya Sambil membentak, tangan kanannya menangkis
lengan manusia aneh itu dengan gerak Lek poat-cian-kun (menyingkirkan
rintangan sekuatnya).
Karena kuatir, serangan tersebut dilancarkan Wan ji dengan mengerahkan
segenap tenaganya, jangankan lengan manusia, sekalipun baja juga akan
bengkok.
Tapi msnghadapi tenaga pukulan Wan-ji yang dahsyat itu, manusia aneh itu
seperti tidak menggubris atau memandang sekejappun, ia tetap melayang ke
depan Tian Pek.
"Plok!" dengan telak pukulan Wan-ji itu mengenai lengan kiri manusia aneh
itu, ia merasa telapak tangan sendiri se-akan2 menghantam baja yang sangat
kuat, separoh badan sendiri menjadi kesemutan, tanganpun sakit luar biasa, ia
tergetar mundur lima-enam langkah.
Dalam pada itu manusia aneh tadi sudah menubruk tiba di depan Tian Pek,
telapak tangannya yang besar dan berbulu segera direntangkan lebar2 terus
menekan ulu hati anak muda itu.
Betapa kaget dan kuatir Wan ji, ia berteriak:
"Siluman tua, kalau kau berani menyentub engkoh Tian, nonamu akan beradu
jiwa dengan kau!"
Sambil membentak, kedua tangan lantas didorong ke depan dengan jurus Wi-
ing-jut kok (burung kenari keluar sarang), dia menghantam dengan sekuat
tenaganya.
"Nona cilik jangan sembrono .... !" bentak manusia aneh yang lain, sebelah
tangannya terus bergerak dan membuat Wan-ji teralang oleh selapis dinding
tenaga pukulan yang tak kelihatan, kontan tubuh nona itu terpental balik dan
"blang", puuggungnya membentur dinding dengan keras.
Wan-ji merasakan padangannya menjadi gclap, hampir saja ia jatuh tak
sadarkan diri, cepat dia himpun hawa murninya dan mengatur pernapasan.
Ketika ia membuka matanya kembali, terlihat telapak tangan manusia aneh yang
pertama tadi sudah ditempelkan di jalan darah Mia-bun-hiat di tubuh Tian Pek.
Mia bun-hiat merupakan jalan darah kematian di tubuh manusia, apabila
orang aneh itu memencet tempat penting tersebut, niscaya Tian Pek akan mati
konyol.
Wan-ji menjadi kuatir bercampur panik, tanpa terasa air matanya jatuh
bercucuran. Tapi setelah diperhatikan dengan lebih seksama, legalah gadis itu,
rupanya orang aneh itu tidak bermaksud mencelakai Tian Pek melainkan sedang
menggunakan tenaga dalamnya untuk mengurut jalan darabnya.
Selang sejenak, warna merah membara yang menghiasi wajah Tian Pek tadi
sudah jauh berkurang, malahan pelahan sedang membuka matanya.
"Busyet! aku malah mengira dia akan mencelakai jiwa engkoh Tian," demikian
pikir Wan-ji, dia lantas bersandar di dinding dan menggunakan kesempatan itu
untuk mengatur pernapasannya.
Orang aneh yang kedua juga telah menghampiri Tian Pek, tiba2 ia tertegun,
sorot matanya tertuju pada kitab berwarna-warni yang tergeletak di bawah kaki
anak muda itu.
Cepat dipungutnya kitab tersebut, setelah dipandang sekejap ia menjerit
kaget: "Hah! Soh kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip! Kak .... coba lihat
"
Sambil berseru kaget ia memandang ke arah-kakaknya, tapi ketika dilihatnya
orang aneh itu sedang mengurut jalan darah Tian Pek dengan sepenuh tenaga,
malahan uap tipis mengepul keluar dari ubun2nya, kata2 yang akan diutarakan
cepat ditelan kembali. Tapi pada wajahnya yang kaku dingin itu jelas kelihatan
emosinya yang sukar ditahan, sinar matanya berkilat, sampai kedua tangan yang
memegang kitab itupun gemetar.
Wan-ji yang sedang atur pernapasan sambil bersandar dinding juga
terperanjat ketika didengarnya orang aneh itu meneriakkan nama "Soh-hun-
siau-kut-thian hud-pit-kip"", ia pernah mcndengar nama kitab itu waktu ayahnya
ber-cakap2 dengan para jago anak buahnya.
Da tahu kitab tersebut merupakan hasil karya Ciah-gan-long-kun, seorang
tokoh aneh yang hidup dua ratus tahun yang lalu, kitab itu terkenal sebagai
kitab paling aneh di kolong langit ini, barang siapa berhasil mendapatkan kitab
tersebut dan mempelajari isinya, maka ilmu silatnya akan merajai dunia
Kangonw.
Tapi sekarang Wan-ji jadi sangsi, masakah begini isi kitab yang dikatakan kitab
sakti luar biasa itu? Masakah gambar perempuan bugil dengan pose yang
merangsang itu merupakan rahasia pelajaran ilmu silat yang maha hebat?
Sambil berpikir nona itupun nengawasi gerak-gerik manusia aneh itu. Dengan
tangan gemetar orang itu sedang mem-balik2 halaman kitab, makin jauh ia
membaca kitab itu, air mukanya semakin aneh, sebentar berkerut kening,
kemudian bibirnya mencibir, lalu sinar matanya mencorong terang, lain saat
mukanya yang pucat seperti mayat berubah juga dan bersemu ke-merah2an.
Sejenak kemudian sekujur tubuhnya mulai gemetar keras, agaknya orang
aneh itupun tak mampu mcnguasai gejolak perasaannya, akhirnya dia pejamkan
matanya . ,
Di pihak lain, kabut tipis yang menguap dari ubun2 manusia aneh yang
sedang mengobati Tian Pek itu kian lama kian bertambah tebal. akhirnya kabut
bergerombol di atas ubun2nya dan menciptakan tiga kuntum cendawan putih,
dipandang dari kejauhan ketiga gumpalan kabut tersebut mirip tiga kuntum
bunga teratai putih.
Wan-ji makin terbelalak matanya, sebentar ia memandang manusia aneh
yang sedang membaca Soh hun siau kut pit-kip, lain saat ia memandang orang
aneh yang sedang mengobati Tian Pek, ia terperanjat menyaksikan
menggumpalnya uap di atas kepala orang itu menjadi tiga kuntum bunga teratai
putih yang aneh itu, dia tahu inilah tandanya seorang mempunyai tenaga dalam
yang ssmpurna, inilah ilmu Lwekang yang disebut Sam-hoa-cip-teng (tiga bunga
menghimpun di atas kepala).
Tiba2 ia merasa ada sorot mata yang tajam sedang menatap padanya, cepat ia
berpaling, tam-paklah manusia aneh yang membaca Soh-kut-siau-hun thian-hud
pit-kip tadi sedang memandangnya dengan sikap yang aneh, padahal mata
orang itu telah dipejamkan untuk mengatasi gejolak perasaannya, tapi kini telah
membuka mata pula.
Muka orang itu sudah bcrubah menjadi merah membara, sekujur badannya
gernetar keras, dengan melotot orang itu mengawasi dada serta bagian
perutnya, bahkan selangkah demi selangkah menghampirinya.
Wan-ji masih polos dan belum tahu urusan, mimpipun ia tak menyangka
bahwa tanda itu menunjukkan seorang lelaki yang sedang terangsang napsu
berahinya dan ingin mencari sasaran pelampiasan napsunya, dia mengira orang
itu sudah gila dan hendak membunuhnya.
Manusia aneh itu sebenarnva terhitung seorang tokoh kosen yang
mempunyai tenaga dalam yang serpurna, baik ilmu silat yang sudah terlatih
puluhan tahun maupun kekuatan batinnya boleh di katakan sudah tergolong
top, siapa tahu iapun tak sanggup mempertahankan diri oleh daya rangsangan
yang dibacanya dari kitab Soh-hun-siau-kut tersebut, kekuatan batin yang
diyakinkan selama puluhan tahun tidak mampu lagi membendung rangsangan
napsu berahi yang berkobar dengan dahsyatnva apalagi melihat lawan jenis
berada di depannya, rangsangan napsu semakin bergelora dengan hebat.
Ia menjadi lupa daratan, lupa akan nama baik serta kedudukannya sendiri,
lupa kalau di situ masih hadir saudaranya dan puteta tuan penolongnya. Kini
napsu berahi yang membara telah menguasai seluruh jalan pikirannya, bagaikan
harimau lapar yang menemukan anak domba, dengan buas ia menerkam
mangsanya.
Wan-ji menjerit kaget, cepat dia himpun Lwe-kangnya pada kedua telapak
tangan, dengan jurus Pi-bun-sia-kek (tutup pintu menolak tamu), ia hantam
dada manusia aneh yang sudah kalap itu.
"Bluk!" manusia aneh itu sama sekali tidak menghindar ataupun berkelit,
dengan telak pukulan dahsyat si nona mengenai sasarannya.
Pukulan Wan-ji ini sedikitnya berkekuatan beberapa ratus kati, sekalipun batu
karang yang keraspun akan terhajar hancur bila terlanggar pukulannya.
Tak tersangka manusia aneh itu hanya bergeliat sedikit, ia tetap menerjang ke
depan, kedua tangan terpentang terus menubruk si nona.
Wan-ji tak mampu berkelit lagi, tubuhnya dirangkul dengan kencangnya,
begitu erat hingga seperti jepitan besi, daya tekan di dadanya membuatnya
hampir tak dapat bernapas, saking cemas karena tidak sanggup melawan lagi,
akhirnya ia jatuh pingsan.
Manusia aneh yang dirangsang oleh napsu berahi semakin kalap, sesudah
berhasil memeluk mangsanya, ia mulai menarik pakaian Wan-ji sambil
mengeluarkan dengusan napas yang kehausan, haus akan pelampisan napsu.
Dalam waktu singkat pakaian yang dikenakan anak dara itu sudah terkoyak
oleh jari tangannya yang kuat bagaikan cakar baja, tubuh Wan-ji mulai telanjang,
anggota badannya yang terlarangpun ter-bentang di depan mata.
Sementara itu dengus napas manusia aneh itu semakin memburu, mukanya
makin merah membara dan beringas mengerikan, tampaknya Wan-ji sukar
terhindar dari nasib buruk, sebentar lagi kesuciannya pasti akan ternoda oleh
orang itu.
Untunglah pada saat gawat itu terdengar orang membentak, secepat kilat
manusia aneh yang sedang menyembuhkan luka Tian Pek itu menerjang tiba,
secepat kilat ia tutuk Cing-cu-hiat di punggung rekannya. Kontan manusia aneh
yang merangkul Wan ji itu roboh terkulai.
Tidak sampai di situ saja, serentak orang itu menutuk pula jalan darah Tiang
jian-hiat, Leng tay-hiat serta Seng-bun-hiat, tiga Hiat-to panting di tubuh
saudaranya, habis itu ia mengangkatnya ke kamnr tidur sebelah kiri dan
melemparkannya ke dalam peti mati di situ.
Kemudian dengan gerak cepat iapun membawa Wan-ji ke kamar lain dan
dimasukkan ke dalam peti mati yang serupa.
Sehabis menyingkirkan kedua orang itu barulah dia pungut kitab Thian-hud-
pit kip tadi serta di-simpan dalam bajunya, kini keadain se-akan2 tak pernah
terjadi sesuatu apapun, lalu dia melanjutkan mengurut jalan darah penting di
badan Tian Pek. Sejenak kemudian, pelahan anak muda itu siuman kembali.
Begitu membuka matanya, pertama yang terlihat oleh Tian Pek adalah
manusia aneh seperti setan iblis ini, seketika ia melenggong.
"Tian-siauhiap, masih kenal padaku?" orang aneh itu lantas menegur.
Segera Tian Pek teringat kembali pada kedua orang manusia aneh yang
pernah dijumpainya di hutan siong sana serta gagal membunuh diri dengan
membenturkan kepala pada pohon itu.
"Bagaimana caranya aku bisa sampai di sini?" tanyanya kemudian dengan
bingung. "Dan dimana rekanmu itu?"
Manusia aneh itu menggeleng, jawabnya "Rekanku sedang keluar dan belum
pulang, mengenai bagaimana caranya kau bisa sampai di sini, hal ini harus
ditanyakan kepada dirimu sendiri!"
"Bertanya kepada diriku sendiri?" Tian Pek menjadi bingung pula.
Lapat2 dia masih ingat bagaimana dirinya beradu pukulan dengan seorang
kakek muka merah di suatu kota, kemudian ia tak sadarkan diri karena tak kuat
menahan hawa panas yang menyengat tubuhnya. Mengapa sekarang dirinya
bisa berada di kamar manusia aneh ini?
------------------------------------
Apakah Tian Pek dapat sehat kembali dan siapakah sebenarnya kedua
manusia aneh ini?
Bagaimana dengan nasib Tian Wan ji yang dilemparkan ke dalam peti mati
itu?
— Baealah jilid ke- 9 —
------------------------
Isi di luar tanggung-jawab Perc. "PS", Semarang.
AXD002
HIKMAH PEDANG HIJAU
(The Swordsman Journey)
Karya : Gu Long
Scan djvu : axd002
Edited : Lavender
Diceritakan Oleh : GAN-KL
Jilid-09.
Tiba2 timbul pikirannya, cepat ia bertanya "Apakah Locianpwe yang menolong
diriku?"
"Akupun tidak tahu siapa yang telah menolong kau, tapi memang akulah yang
membantu menyadarkan kau. Tian-siauhiap, coba ceritakan kemana saja setelah
kita berpisah tempo hari?"
Tian Pek lantas menceritakan semua pengalamannya semenjak berpisah dengan
kedua orang itu.
Habis mendengar penuturan itu, manusia aneh tadi menghela napas, ucapnya:
"Ai...rupanya takdir menghendaki demikian, aku gagal membunuh diri sehingga
sekarang malah bisa menyumbangkan sedikit tenagaku bagi keturunan In-jin!"
Pe|ahan ia bangkit dan mengajak Tian Pek kedepan meja abu Tian In-thian,
kata-katanya kemudian: "Tuan penolong kami yang kumaksudkan ialah ayahmu
sendiri!"
Memandang meja abu ayahnya, tanpa terasa air mata Tian Pek bercucuran, ia
berlutut dan menyembah beberapa kali.
Ketika itulah semua penderitaan lahir batin yang dideritanya selama ini
terbayang kembali, tak kuasa lagi anak muda itu menangis tersedu-sedan.
Watak Tian Pek memang keras, belasan tahun hidup terluntang-lantung
seatangkara, sudah banyak penderitaan dan siksaan yang dialaminya, tapi belum
pernah dia meneteskan air mata atau mengerutkan dahi. Tapi sekarang
berhadapan dengan meja abu ayahnya, ia tak dapat membendung rasa sedihnya
yang selama ini mengganjal dalam hatinya.
Apalagi bila terbayang kegagalannya selama ini untuk mencari tahu musuh besar
ayahnya, bukan saja dendam belum dapat dituntut, siapa pembunuhnya pun tak
tahu, kesedihan ini membuat ia tak mampu menahan diri lagi dan menangislah
dia ter-gerung2.
Tiba2 manusia aneh itupun ikut menangis sambil memukuli dada sendiri,
rupanya iapun terbayang pada penderitaan sendiri dan usahanya yang sia2
mencari pembunuh tuan penolongnya.
Setengah barian lamanya kedua orang itu menangis, akhirnya manusia aneh itu
menengadah dan bersuit panjang se-olah2 hendak melimpahkan segenap rasa
sedih yang dideritanya selama ini.
Sambil mengusap air mata katanya dengan lantang: "Air mata seorang Enghiong
tak akan menetes dengan percuma, Siau-in-kong! Jangan menangis lagi, ada
beberapa patah kata hendak kubicarakan denganmu!"
Sesudah menangis, rasa sedih Tian Pek yang bertumpuk selama ini jauh
berkurang, mendengar perkataan itu, ia berhenti menangis, ia berbangkit dan
berkata: "Locianpwe jangan sungkan2 padaku, bila ingin mengatakan sesuatu,
silakan bicara saja."
Hoat-si-jin (orang hidup mati) menghela napas sedih, ucapnya: "Ai, bila
dibicarakan sungguh memalukan sekali, terlalu besar budi yang kami peroleh
dari In-jin, begitu besar budi kebaikan tersebut sehingga sulit rasanya untuk
membalasnya. Sungguh tak tersangka setelah kematian In-kong, bukan saja
kami tak dapat balaskan dendamnya, malah siapakah pembunuhnya juga sama
sekali tidak tahu, lalu apakah kami punya muka untuk tetap hidup di dunia ini?
Waktu itu sebenarnya kami hendak bunuh diri dan menyusul In-kong ke alam
baka, tapi kami pikir perlu juga mencari tahu siada pembunuh In-kong serta
membalaskan dendamnya, maka kami terima hidup menderita sampai sekarang,
kami bersumpah akan merabalaskan dendam kematian In- kong, sebelum
berhasil kami takkan berhenti berusaha!"
Ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan: "Sejak itu, kami menghapuskan nama
kami yang asli dan menggunakan nama Hoat-si-jin serta Si-hoat-jin, sehari
dendam In-koog belum terbalas, sehari pula kami tak akan menggunakan nama
asli kami. Tapi pembunuh In-kong memang terlampau keji dan licik, gerak-
geriknya amat rahasia dan cermat sekali, setelah melakukan penyelidikan yang
seksama, akhirnya kami hanya tahu bahwa pembunuh In-kong ada enam orang
banyaknya dan keenam orang ini merupakan tokoh kenamaan di dunia
persilatan sekarang."
Sampai disini Hoat-si-jin berhenti pula dan mengembus napas panjang.
Tergetar hati Tian Pek mendengar nama musuh yang hampir disebutkan itu.
dengan tubuh gemetar dan suara serak ia berseru: "'Lanjutkan ceritamu
Locianpwe, lanjutkan . . . ."
Hoat-si-jin tarik napas panjang dan menggeleng: "Ai, keenam tokoh silat itupun
mempunyai nama serta kedudukan yang terhormat di dunia persilatan, bahkan
mereka adalah saudara angkat ayahmU, Orang persilatan menyebut mereka
sebagai Tionggoan. jit-hiap (tujuh pendekar besar dari daratan Tionggoan)
Sungguh tak tersangka lantaran satu partai harta karun yang berada didasar
telaga Tong-ting-ouw, mereka lantas berkomplot dan membunuh ayahmu...."
"Locianpwe! Lanjutkan ceritamu, siapakah mereka? Siapa nama mereka
semua?" seru Tian Pek dengan tak sabar.
"Di antara keenam orang itu, kecuali seorang di antaranya jauh di luar lautan
dan tidak diketahui jejaknya, sisanya yang lima orang rata2 adalah tokoh
kenamaan di dunia persilatan dewasa ini Oh, Thian! Kenapa orang baik tidak
diberkahi, sebaliknya orang jahat malang melintang dengan leluasa."
?"
"Locianpwe, cepat katakan, siapakah mereka? Siapa nama mereka?" desak Tian
Pek.
Anak muda ini tak dapat menahan sabar lagi, apalagi setelah dilihatnya Hoat-si-
jin hanya berkeluh kesah belaka tanpa menyebutkan nama pembunuh ayahnya.
Akhirnya dengan mata melotot Hoat-si-jin menjawab: "Orang pertama adalah
Pah-ong-pian (Cambuk raja ganas) dari kota Tin-kang, Hoan Hui! Sedangkan
empat orang lainnya adalah orang tua
Bu-lim su-kongcu (empat kongcu dari dunia persilatan) yang tersohor itu."
"Apa? Bu-lim-su-kongcu!" teriak Tian Pek dengan terbelalak, ia cengkeram
lengan Hoat-si-jin kencang2 dengan mata merah membara, sambil melototi
manusia aneh itu ia menegas: "Jadi pembunuh ayahku juga termasuk Bu-lim su-
kongcu?"
Dengan keren Hoat-si-jin mengangguk. "Benar Pembunuh ayahmu adalah ayah
Bu-lim-su-kongcu...?"'
"Jadi antara lain adalah ayah Lenghong Kong¬cu. Ti seng-jiu Buyung Ham?"
teriak Tian Pek.
Hoat-si-jin mengangguk.
"Dan ayah An-lok Kongcu, Kun-goan-ci (telapak tangan sapu jagat) In Tiong-
liong?"
Kembali Hoat si—jin mengangguk tanpa ber suara.
"Ayah Toanhong Kongcu, Kun-goan-ci (jarj sakti) Su-gong Cing dan ayah Siang-
ling Kongcu. Cing-tu-sin (malaikat labah2 hijau) Kim Kiu?"
Dengan wajah serius kembali Hoat si-jin mengangguk, setelah Tian Pek selesai
berkata dia menambahkan: "Masih ada seorang lagi, dia telah jauh
mengasingkan diri keluar lautan, sampai kini jejaknya tak ketahuan, orang itu
adalah Gin-san-cu (kipas perak) Liu Ciong bo!"
"Ooo!...." tiba2 Tian Pek berteriak terus roboh tak sadarkan diri.
Cepat Hoat-si-jin menyambar badan si arak muda dan salurkan hawa murninya
lewat jalan darah Mia-bun-hiat dipunggungnya, selang sesaat Tian Pek baru
sadar kembali dari pingsannya.
Dengan air mata bercucuran dan sedih katanya: "O, Locianpwe, tampaknya sakit
hati ayahku sukar untuk dituntut balas, apa yang mesti kulakukan?"
"Ai. . .!" Hoat- si-jin menghela napas panjang, "Siau-in-kong! Jangankan engkau
kamipun jadi putus asa dan menyesal setelah mengetahui nama2 pembunuh itu,
kami sadar tiada harapan kami untuk balas dendam bagi kematian In-kong,
karena putus asa maka kami ambil keputusan untuk bunuh diri dengan
menumbukkan kepala pada pohon!"
Sampai disini. Hoat si-jin pandang sekejap anak muda ini, diam2 ia menghela
napas, pikirnya: "Persoalan ini jelas sukar diselesaikan karena menyangkut
kelima orang tokoh silat yang paling top di dunia persilatan jaman ini, bukan saja
kekayaan yang mereka miliki ber-limpah2, merekapun mengumpulkan jago
persilatan se-banyak2nya di kolong langit jangankan hendak bermusuhan
dengan mereka berlima sekaligus, untuk memusuhi salah satu diantaranya saja
sukar, kami berdua yang selamanya tak kenal takut saja mesti berpikir dua kali
sebelum bertindak, apalagi Siau-in-kong hanya seorang muda yang sebatang
kara, mana kau mampu menandingi kelihayan lima tokoh tersebut? Mana
mungkin dendam ayahmu bisa dituntut balas?"
Sekalipun demikian, Hoat si-jin tak tega mengutarakan isi hatinya itu, dia kuatir
Tian Pek mengalami pukulan batin yang lebih hebat lagi, terpaksa dia berkata
pula: Siau-in-kong, engkau tak usah berputus asa, bukankah pepatah bilang 'di
dunia ini tiada soal yang sukar, asalkan kita punya tekad besar'. Maka bila
engkau berani berusaha dan siap menhadapi segala aral melintang, pada suatu
hari akhirnya sakit hati In-kong pasti berhasil dituntut balas."
Semangat Tian Pek bangkit kembali sehabis mendengar perkataan itu, dia
berpikir: "Benar juga ucapan Locianpwe ini, kenapa aku mesti patah semangat?
Tidak selayaknya seorang laki2 sejati takut menghadapi kesukaran, asal kulatih
ilmu silatku dengan tekun hingga kepandaian yang kumiiiki memperoleh
kemajuan pesat, masa tidak mampu kubunuh musuh ayah satu persatu?
Sekalipun nanti harus berusaha mati2an, tetap harus kulaksanakan juga agar
setiap orang persilatan menpetahui ayahku masih mempunyai seorang
keturunan seperti diriku ini."
Berpikir sampai disini, satu ingatan cepat timbul dalam benak anak muda itu,
tiba2 ia berlutut di depan Hoat-si-jin dan berkata dengan serius: "Terima kasih
atas nasihat Cianpwe sehingga pikiran Wanpwe yang cupat bisa terbuka
kembali, bagaimanapun Locienpwe adalah sahabat karib mendiang ayahku?
Terimalah Wanpwe sebagai muridmu, asal Wanpwe berhasil mempelajari ilmu
silat yang tinggi, suatu hari aku pasti akan berhasil balaskan dendam ayah . . . "
Gugup Hoat-si-jin melihat Tian Pek berlutut padanya, karena tak sempat
membangunkan anak muda itu, cepat ia sendiripun berlutut, sahutnya: "Siau-in-
kong, lekas bangkit berdiri, kalau engkau berbuat demikian, bukankah sama
artinya bikin repot aku saja?"
Tian Pek mengira Hoat-si-jin tak mau menerimanya sebagai murid, ia semakin
ngotot tak mau bangun, akhirnya manusia aneh itu menarik anak muda itu dan
didudukan keatas kursi. lalu ia berkata dengan serius: "Bukannya aku menolak
permintaanmu dan tak sudi memberi pelajaran silat kepadamu, tapi kenyataan
dibalik persoalan ini sebenarnya terselip alasan lain yang jauh lebih penting,
pada hakikatnya ilmu silat yang kumiliki cuma dapat digunakan menghadapi
kaum keroco kelas kambing, kalau dibandingkan dengan jago2 lihay, terus
terang saja masih bukan tandingannya, karena itulah walaupun kuajarkan
seluruh ilmu silat yang kumiliki kepadamu juga percuma, apalagi peraturan
persilatan mengenai pengangkatan guru sangat ketat sekali, bila kau angkat aku
menjadi guru, maka dikemudian hari sulitlah jika kau ingin belajar silat pada
orang lain, bukankah itu berarti akulah vang merusak masa depan Siau-in-kong?
Kedua, kami berdua tak lain hanya pelayan Tian-tayhiap, atau tegasnya Siau-in
-kong adalah majikan muda kami, masa pelayan bisa menjadi guru sang
majikan? Kan lucu . . . "
Tian Pek pikir benar juga perkataan Hoat-si-jin ini, terpaksa ia diam saja.
terlihatlah rasa kecewa pada wajah anak muda ini.
Melihat kekecewaan anak muda itu, Hoat-si-jin segera berkata pula: "Kenapa
Siau-in-kong mesti putus asa? Bukankah engkau membawa kitab ilmu silat yang
jauh lebih hebat daripada guru kenamaan manapun juga?"
Ucapan tersebut menyadarkan Tian Pek dari lamunannya, ia lantas teringat
kepada kitab Thian- hud-pit-kip, cepat ia meraba bajunya, tapi kosong, kitab itu
telah hilang, keruan mukanya berubah pucat karena terperanjat.
Pelahan Hoat-si-jin mengeluarkan kitab Thian-hud-pit-kip itu dari sakunya dan
bertanya: "Siau-in-kong, darimana kau dapatkan kitab paling aneh dikolong
langit ini?"
"O, seorang bernama paman Lui yang menghadiahkannya kepadaku!" sahut Tian
Pek dengan lega melihat kitab pusaka itu ternyata tidak hilang.
Sambil bicara, Hoat-si-jin mem-balik2 halaman kitab itu dan melihat isinya, tapi
baru satu-dua halaman dilihatnya, cepat ia pejamkan mata sambil mengatur
pernapasan,
Sesaat kemudian dia baru buka mata seraya berkata: "O, sungguh lihay! Kitab ini
mudah membawa orang kejalan yang sesat. . ..Siau in-kong, engkau mssih muda
dan berdarah panas, aku jadi ingin tahu bagaimana caramu mempelajari isi kitab
ini."
"Wanpwe merabanya dengan tangan di tempat gelap!" jawab Tian Pek dengan
berterus terang.
Hoat si-jin tidak percaya, cepat dia pejamkan mata dan coba meraba kitab
tersebut dengan tangannya, hanya sebentar saja dia lantas mengetahui
duduknya perkara, tanpa terasa napsu ingin memiliki kitab tersebut terlintas
pada wajahnya.
Hal ini tak dapat menyalahkan Hoat-si-jin. Maklumlah kitab Soh-kut-siau-bun-
thian-hud-pit-kip adalah kitab pusaka yang di-idam2kan setiap umat persilatan
di kolong langit ini, sejak dua ratus tahun berselang entah sudah berapa banyak
jago yang mati karena berebut kitab tersebut. pengakuan Tian Pek atas rahasia
kitab itu tentu saja menimbulkan curiga Hoat si-jin.
Untung Hoat-si-jin bukan seorang yang tamak, ia lebih mengutamakan rasa setia
kawan daripada napsu untuk memiliki kitab tersebut bagi kepentingan pribadi,
meskipun kitab pusaka itu dipegangnya beberapa saat dengan kencang dan
terjadilah pertentangan batin yang hebat, tapi akhirnya budi yang luhur
menangkan napsu tamaknya.
Dia menghela napas punjang, ia mengembalikan kitab pusaka itu kepada Tian
Pek, pesannya dengan prihatin: "Siau-in-kong, ketahuilah kitab ini adalah kitab
pusaka yang diincar oleh setiap umat persilatan di kolong langit ini, jika engkau
tidak hati2 menyimpan kitab ini sehingga rahasianya diketabui orang niscaya
Celakalah jiwamu, engkau harus ingat, lebih
banyak manusia yang berjiwa tamak dan bermoral rendah daripada orang2 yang
berjiwa besar. Karena itu rahasia ini harus kau simpan baik2 jangan sampai kitab
pusaka ini mengakibatkan jiwa sendiripun ikut jadi korban!"
Tian Pek bukan orang bodoh, tentu saja dia dapat menyaksikan pula mimik
wajah orang yang aneh dan ingin memiliki itu, apalagi setelah mendengar dan
melihatnya, diam2 ia berkeringat dingin dan bersyukur.
Hoat-si-jin lantas menyerahkan kembali kitab itu ketangan Tian Pek, setelah
hening sebentar kembali ia bertanya: "Macam apakah manusia yang kau sebut
paman Lui itu? Sungguh besar jiwanya."
Tian Pek segera menjalaskan air muka serta bentuk tubuh paman Lui.
"O! Rupanya Lui Ceng-wan!" seru Hoat-si-jin dengan cepat setelah mendengar
penjelasan tersebut.
"Locianpwe kenal dia?" tanya Tian Pek.
"Tentu saja kenal?" sahut Hoat-si-jin dengan wajah berseri. "Dia adalah sahabat
paling karib mendiang ayahmu, seringkali kami ikut beliau melakukan perjalanan
di dunia Kangouw"
"Lalu siapakah Locianpwc sendiri?" sela Tian Pek tiba2. "Apakah Wanpwe boleh
tahu nama besarmu agar tidak sia2 pertemuan kita ini."
Hoat-si-jin tampak muram, sesaat kemudian baru berkata sambil menghela
napas panjang: "Untuk hal ini, maafkanlah Siau-in-kong, aku tak dapat
memenuhi permintaanmu sebab kami bersaudara pernah bersumpah sebelum
sakit hati In-kong terbalas, maka selamanya kami takkan pakai nama asli lagi,
bila perlu boleh panggil kami dengan sebutan Hoat-si-jin dan Si-hoat-jin saja."
Tentu saja Tian Pek tak mau memaksa orang untuk menyebutkan namanya.
Sejenak kemudian baru ia tanya pula: "Locianpwe, darimana kalian tahu tentang
nama para pembunuh ayahku . . ."
Belum habis anak muda itu berkata, Hoat-si-jin lantas memotong: "Tentang ini,
engkau boleh tanya saja kepada Sin-lu-tiat-tan (keledai sakti peiuru baja) Tang-
locianpwe, Bukan engkau saja, kami berdua pada mulanya juga tidak percaya
setelah mendengar kabar itu, tapi akhirnya Tang-locianpwe muncul dan
memberi kesaksian. Kemudian, dua hari yang lalu kamipun berhasil menemui
Siau-in-kong itu kami temukan Cing-hu-piau, yaitu mata uang tembaga
tersebut . . , . "
Ia berhenti sejenak untuk ganti napas lalu melanjutkan: "Engkau tahu apa arti
mata uang itu? Itulah senjata rahasia khas milik Cing-hu-sin Kim Kiu. Sejak itulah
sekalipun kami tidak percaya terpaksa harus mempercayainya juga, sebab bukti
sudah kami lihat sendiri."
"Sin-lu-tiat-tan!" gumam Tian Pek. "Apakah yang dimassudkan Tang-locianpwe
itu adalah seorang kakek pedagang kelontong kelilingan yang menuggang
keledai?"
"Benar, itulah orangnya!" seru Hoat-si-jin.
Tiba2 ia seperti teringat pada sesuatu yang penting, segera ia berseru pula: "Sin-
lu-tiat-tan Tang- locianpwe adalah sesepuh dunia persilatan yang berilmu tinggi,
umurnya mungkin sudah melebihi seratus tahun, ilmu silatnya amat tinggi,
terutama ketiga biji peluru baja serta ke-64 jurus pukulan Ki-beng-tui-hong-ciang
adalah Kungfu yang sukar dicari bandingannya dikolong langit ini, jika Siau in-
kong ingin cari guru pandai, kenapa tidak mencari orang tua itu dan belajar silat
padanya?"
Tian Pek jadi girang mendengar keterangan tersebut, dengan muka berseri ia
bertanya: "Apakah Locianpwe tahu orang tua kosen itu berdiam dimana?"
"Jejak orang tua itu sukar dicari sebab tak menentu tempatnya, namun sering
dia mengasingkan diri disekitar duabelas gua bukit karang Yan-cu-ki yang
terletak di lepi sungai dipinggir kota Lam-keng, bila Siau-in-kong berhasrat
mencari beliau, pergi saja ke situ, kemungkinan besar engkau dapat
menemuinya."
Tanpa membuang waktu lagi Tian Pek lantas melompat bangun, ia memberi
hormat kepada manusia aneh itu dan ucapnya: "Kalau memang begitu, Wanpwe
mohon diri sekarang juga, pertolongan dan budi yang telah Cianpwe berikan
padaku tak akan kulupakan untuk selamanya. . . ."
Habis bicara ia terus melayang keluar ruangan itu, hanya sebentar saja tubuhnya
sudah berada jauh diluar gedung Si—jin-ki....
"Siau-in-kong . . . . !" teriak Hoat si-jin dari belakang, maksudnya hendak
memberitahu bahwa seorang teman gadisnya masih tertinggal disitu, tapi
tatkala teringat pada hal2 yang tidak enak. ia tidak jadi berseru lagi.
Sementara itu Tian Pek sudah turun dari bukit itu, perjalanan dilakukan sangat
cepat.
Setelah keluar dari pintu Si-jin-ki, anak muda itu tak berpaling lagi, dikaki bukit ia
lihat seekor kuda merah bagus dan gagah sedang makan rumput disana, Tian
Pek mengira kuda itu milik Hoat-si-jin. Ia lupa orang yang mempunyai tampang
aneh itu masakah memiliki kuda tunganggan sebagus itu?
Setelah menentukan arah, berangkatlah Tian Pek menuju ke Lam-keng, ia
melakukan perjalanan cepat, kalau lapar ia mengisi perut ala kadarnya, untuk
menghemat waktu seringkali hanya memetik buah-buahan yang ada di tepi jalan
untuk menangsal perut. kadangkala iapun membidik beberapa ekor burung dan
dipanggang, karena itu beberapa hari kemudian ia sudah tiba di kota Lam-keng.
Pakaian yang dikenakannya waktu itu masih tetap baju dengan simbol sulaman
macan tutul, lambang khas perkampungan Pah-to-san-ceng, hanya saja pakaian
tersebut sudah robek dan dekil, ditambah pula mukanya penuh debu,
rambutnya kusut dan bau keringat, tapi menyandang pedang pusaka dengan
sarung berlapis emas, dandanan semacam ini tentu saja sangat menarik
perhatian orang sepanjang jalan.
Tapi ia tak ambil pusing semua itu, perjalanan dilakukan tanpa melirik ke kanan-
kiri, hanya ada satu tujuan baginya, yakni cepat tiba di "dua belas gua bukit
karang".
Lam-keng atau Nanking adalah sebuah ibu kota kerajaan dijaman dulu, banyak
tempat terkenal tersebar di seputar kota ini. Kota ini juga disebut dengan nama
Kim-leng.
Diluar pintu barat kota terdapat sebuah telaga Bok-ciu-oh. Di utara kota ada
pantai Yan-cu-ki. Sebelah timur kota di kaki bukit Ciong-san ada makam raja
dinasti Beng-hau-leng dan telaga Hian-bu-oh. Dalam kota terdapat Pak-kek-kok
dan bukit Cing-liang-san, semuanya berpemandangan indah, megah dan
mempesona siapa saja yang berkunjung.
Waktu itu tengah musim gugur, namun hawa panas masih menyengat kota Lam-
keng yang tersohor sebagai kota terpanas, dalam cuaca begitu banyaklah
penduduk kota yang berpariwisata dan cari angin ketepi sungai sebelah utara
kota yang dikenal sebagai Yan-cu-ki.
Yan-cu-ki menjulang tinggi di tepi sungai, batu karang itu bentuknya persis
seperti burung walet, megah dan indah dipandang. di dekatnya ada dua belas
buah gua karang yang tersebar diseputarnya dan merupakan tempat yang ideal
sebagai tempat tetirah untuk menghindari sengatan sinar matahari. Banyak
kedai minum, rumah makan tersebar diisekitar "dua belas gua karang" itu, tidak
sedikit laki perempuan duduk santai disana sambil mengobrol dan menikmati
pemandangan alam yang indah.
Di kala itulah seorang pemuda sedang berjalan menyusur tepi sungai.
Ia mengenakan mantel warna hitam, meski bahannya mahal, namun di sana sini
sudah robek, sepatunya penuh debu, tubuhnya basah oleh air keringat,
siapapun akan tahu bahwa orang ini baru saja melakukan perjalanan jauh.
Sebilah pedang mestika terpanggul dipunggungnya, pemuda itu berjalan dengan
kepala tertunduk. alis terkernyit, rupa-rupanya ada sesuatu yang sedang
dipikirkan olehnya, bukan saja tidak tertarik oleh keindahan alam yang
terbentang didepan mata. iapun tak pernah menengok ke arah orang2 yang
sedang mengobrol santai disana.
Selagi pemuda itu berjalan dengan kepala tertunduk, tiba2 sebutir batu kecil
meluncur datang dan "plok" tepat menghantam belakang kepala anak muda
tadi.
Pemuda itu melonjak kaget, cepat ia berpaling, tapi tak diketahui olehnya siapa
yang menimbuk kepalanya dengan batu. sebab orang2 yang berada di situ sama
tertawa geli memandanginya.
Aneh datangnya batu itu, sekalipun tak sampai melukainya, tapi sakit juga
pemuda itu.
Tidak aneh bila orang yang ditimpuk batu dari belakang adalah seorang manusia
biasa, tapi anak muda ini berkepadaian tinggi, sekalipun belum mencapai
tingkatan yang luar biasa, akan tetapi tenaga dalamnya dan ketajaman mata
serta pendengarannya sudah lain dari pada yang lain, tak mungkin timpukan
seorang jago silat biasa mampu melakukannya. Tapi sekarang terbukti ia kena
timpuk, tak perlu ditanya lagi sang penimpuk pastilah seorang ahli ilmu senjata
rahasia,
Kalau mahir menimpukkan senjata rahasia berarti pula ilmu silat yang dimiliki
orang itu pasti jauh lebih lihay lagi, karena itu rasa kaget pemuda itu jauh lebih
hebat daripada rasa sakitnya.
Dengan mata jelalatan anak muda itu mengawasi seputarnya, ia lihat orang2
yang disana sedang memandangnya sambil tertawa, namun tak diketahuinya
siapakah si pembuat gara2 itu.
Dengan perasaan apa boleh buat pemuda itu meraba kepalanya yang benjut
besar, namun tidak sampai keluar darah, sekalipun begitu cukup membuat
hatinya mendongkol.
Diluar dugaan, baru saja ia berpaling, "plok!" kembali sebutir batu hinggap telak
di kepalanya.
Kali ini tenaga sambitan tersebut jauh lebih keras daripada tadi, pemuda itu
sampai meloncat setinggi dua-tiga kaki karena kesakitan, cepat ia berpaling
dengan mata melotot gusar, mukanya merah padara karena menahan emosi
yang meluap.
Gelak tertawa orang banyak terdengar pula. Tapi sekali ini pemuda itu dapat
mengetahui siapa si pembuat gara2 itu.
Ternyata mereka adalah dua orang bocah cilik. seorang anak laki2 dan seorang
anak perempuan.
Yang laki2 berusia tujuh-delapan tahunan, sedang yang perempuan berusia
enam-tujuh tahunan, wajah mereka tampan dan cantik, baju mereka indah.
Kedua anak itu berdiri dibelakang sebuah pot bunga, tangan mereka
disembunyikan dibelakang punggung, sedang dalam pot bunga itu tertumpuklah
biji batu persis seperti apa yang dipakai untuk menimpuk kepala pemuda tadi,
melihat kekonyolan pemuda itu, mata mereka yang kecil terbelalak, bibnnya
terkancing rapat, agaknya sedang menahan geli sehingga tidak sampai
mengeluarkan suara tertawa.
Tidak jauh dari kedua anak itu terdapat sebuah gardu yang megah, sebuah meja
bulat dengan taplak warna putih berada di tengah gardu itu, be-buahan yang
segar serta beberapa cangkir minuman segar tersedia di atas meja.
Beberapa orang laki perempuan dengan dandanan yang perlente duduk
mengitari meja bulat itu, wajah mereka segar, pelipis menonjol dan mata
bersinar tajam, sekilas pandang siapapun akan tahu bahwa mereka pasti
memiliki ilmu silat yang tinggi,
Di antara sekian orang2, itu yang paling menyolok adalah pemuda yang duduk di
kursi utama, dia berwajah tampan dengan kulit badan yang putih halus,
umurnya antara dua puluhan dan memakai baju sutera warna putih, sikapnya
gagah, agung dan berwibawa.
Di sisi pemuda itu duduk seorang gadis cantik, usianya masih muda, tapi
kelembutan serta keagungannya menunjukkan ia adalah keturunan orang yang
berkedudukan tinggi.
Waktu itu sambil tersenyum si gadis lagi memandang sekejap pemuda linglung
yang konyol itu, kemudian dengan gusar ia mendekiki kedua anak kecil tadi,
agaknya ia hendak menegur kenakalan kedua bocah tersebut.
Betapa gusar dan mendongkolnya pemuda itu setelah kepalanya disambit batu
dan ditertawakan orang banyak tapi ingatan lain cepat terlintas dalam
benaknya: "Ai, buat apa aku mesti ribut dengan knak keci!?"
Karena itu rasa gusarnya lantas jauh berkurang, ia hanya menegur: "Hei, kawan
kecil, jangan kalian sambit orang tanpa alasan, untung akulah yang kau sambit,
coba kalau orang yang berangasan, tentu kalian takkan diampuni begitu saja ...."
Anak laki2 itu mengerling, lalu dengan tersenyum nakal ia balik bertanya: "Wah,
kalau begitu engkau bukan orang berangasan kan?"
Anak perempuan yang berada di sisinya tertawa cekikikan, tapi segera ia merasa
rikuh untuk tertawa, maka cepat ia berpaling ke arah sungai.
Saat itulah dilihatnya seekor kura2 besar sedang merangkak naik dari tepi
sungai, timbul sifat kekanakan yang suka usil, dia lantas menjentikkan sebiji batu
dan dengan telak menghnjar kepala kura-kura tadi sehingga badannya terbalik.
Kalau kura2 terbalik dengan kaki di atas, sekalipun meronta bagimanapun juga
sukar untuk bangun lagi.
"Hihi, lihat Koko. aku dapat menyambit kepala kura2 itu dengan tepat!" teriak si
anak perempuan sambil berkeplok kegirangan.
"Lan-lan, jangan nakal . . . ." pemuda tampan maupun gadis cantik di dalam
gardu tadi segera menghardik.
Belum habis suara bentakan kedua orang itu. tahu2 anak laki2 itupun menimpuk
pula kepala kura2 itu dengan gerakan yang sama. Berat dan cepat serangan
tersebut, kura2 yang terbalik itu kontan mencelat ke dalam sungai.
Sorak-sorai dan gelak tertawa menggema disekitar gardu, semua orang tertawa
geli menyaksikan peristiwa yang kocak itu.
"Apanya yang aneh?" seru anak laki2 itu. "Lihatlah, kan aku juga bisa menimpuk
kepala kura2 itu dengan jitu!
Kembali gelak tertawa menggema terlebih keras.
Sekalipun perkataan itu diucapkan oleh bocah yang tak tahu urusan, namun
perkataan itu seperti mempunyaj arti ganda, ditambah lagi orang2 di sekitar situ
sama bergelak tertawa, maka merah padamlah wajah anak muda tadi.
Matanya lantas melotot, segera dia hendak mengumbar rasa marahnya, tapi
lantas terpikir buat apa berurusan dengan anak kecil yang tak tahu urusan.
Akhirnya ia menghela napas, pikirnya: "Ai, dasar lagi sial! Penderitaan macam
apapun sudah kualami, kenapa aku musti ribut dengan bocah cilik . . . .?"
Berpikir begini, dengan kepala tertunduk cepat ia berlalu dari situ.
Belum jauh anak muda itu melangkah pergi tiba2 terdengar seorang mengejek
dengan suara yang serak: "He, Lo-ji, tadi kau bilang seorang lelaki sejati lebih
baik kehilangan kepala, lebih suka mandi darah daripada hidup dihina. Tapi coba
lihat sekarang agaknya di dunia ini lebih banyak kura2 yang suka
menyembunyikan kepala dari pada manusia berjiwa besar sudah dihina, kentut
saya tidak berani."
Kata2 itu diucapkan dengan suara yang besar seperti suara bandot sehingga
semua orang dapat mendengar dengan jelas.
Pemuda itu berada tidak jauh dengan si pembicara, tentu saja semua
perkataannya dapat didengar olehnya. Segera ia berpaling, dilihatnya dua orang
kakek dan seorang anak kecil duduk mencari angin di bawah pohon di tepi
sungai, mereka sedang mengawasi si anak muda dengan sorot mata menghina.
Umur kakek2 itu sudah amat lanjut, tapi wajah mereka sangat istimewa. Yang
satu berambut merah dengan kulit badan hitam kasar, hanya pada lekukan
antara mata dan hidung saja berkulit agak putih bersih, matanya kecil, bulat dan
memancarkan cahaya tajam, punggungnya rada bongkok hingga sepintas
pandang seperti kunyuk.
Di depan kakek seperti kunyuk itu berduduk kakek lainnya, meskipun
tampangnya tidak menjolok, tapi badannya yang kecil kurus serta topi dan
mantel tebal yang dikenakannya cukup mengherankan siapapun yang
memandangnya.
Coba pikir, udara waktu itu panas bagaikan dibakar, orang lain berusaha
mengenakan pakaian setipis dan seminim mungkin, tapi kakek itu justru
mengenakan mantel yang tebal.
Kakek kurus kecil yang memakai mantel tebal itu sedang mengawasi anak muda
tadi dengan dahi berkerut, sambil menggerakkan kumisnya yang kecil dari
hidungnya yang merah besar, ia menggeleng kepala sambil menyahut ucapan
temannya tadi: "Ehm. memang benar perkataanmu!" —
Cara bicaranya dengan lagak seorang guru kampungan.
Gusar dan mendongkol juga pemuda linglung tadi sebelum ia sempat berbuat
apa2 tiba2 kakek kurus kecil ini menggapai padanya: "Kemari, coba kemari!"
"Losianieng panggil aku?" tanya pemuda itu pura2 tak mengerti dengan
menahan perasaannya.
"Huh, dasar bebal," maki si guru kampungan sambil menarik muka. "Kalau
bukan dirimu, memangnya aku memanggil anjing?"
Gelak tertawa riuh kembali menggema.
Betapapun sabar si anak muda akhirnya juga tak tahan, dengan gusar ia berseru:
"Losiansing. tampaknya engkau seperti orang sekolahan, tapi kenapa engkau
bermulut kotor? Kalau tidak mengingat usiamu sudah lanjut, hmm ... ."
Sekalipun tidak jelas apa yang hendak dilakukan, namun dapat pula diketahui
dari suara jengekannya.
Tak terduga kakek berambut merah segera bergelak tertawa sesudah
mendengar ucapannya itu. dengan suaranya yang serak ia berseru: "Hahaha...
Bun-loji, sepanjang hari kau selalu mengoceh isi kitab yang kau baca, tapi
sekarang bocah itu mengatakan kau orang sekolahan yang bermulut kotor,
hahaha . . ."
Kontan si kakek kurus kecil melotot gusar ia pandang pemuda itu dengan marah,
hardiknya: "Kurangajar! Kau benar2 anak yang tak bisa dididik secara baik2,
kusuruh kau kemari, kau tak mau, tapi malahan berani mencaci-maki padaku.
Hm, benar2 kurangajar!" — Habis berkata segera ia berlagak hendak berdiri.
"Guru, tunggu sebentar!" anak kecil yang berduduk didepan kedua orang kakek
itu segera berbangkit. "Biarlah Tecu yang memikul tugas ini, membunuh ayam
kenapa mesti pakai golok pejagal kerbau? Untuk memberi pelajaran kepada
keparat ini tak perlu engkau repot2 turun tangan sendiri, biar Tecu yang hajar
adat padanya."
Dengan pelahan kakek itu mengangguk dan duduk kembali.
Sementara itu bocah tadi sudah merosot turun dari kursinya kemudian lompat
kedepan pemuda tadi.
Kiranya bocah itu berbadan pendek, cebol, badannya yang istimewa cebolnya
itu sewaktu duduk dikursi hampir boleh dibilang kakinya tidak menempel tanah,
karena itu untuk turun dari kursinya dia harus melorot lebih dulu ke bawah.
Si cebol ini tingginya tak sampai tiga kaki, tapi kepalanya amat besar melebihi
ukuran kepala manusia biasa, pada kepala dan wajahnya yang besar itu terdapat
mata dan hidung yang kecil, ingus meleleh dari lubang hidungnya, kakinya amat
pendek gemuk, rupanya kotor dan buruk.
Gelak tertawa orang banyak menggeletar pula. mentertawakan bentuk tubuh si
cebol yang aneh dan lucu itu.
Tapi si cebol tidak ambil pusing, dengan lagak tuan besar ia menghampiri anak
muda itu, setelah berdiri di depannya, ia tuding pemuda itu sambil berseru:
"Hei, kunyuk! Berani kau mencaci-maki guruku, sekarang kalau kau mau
menyembah padaku, maka tuan kecil akan mintakan ampun bagimu, mungkin
tuan besar Suhu mau mengampuni dirimu, tapi kalau tidak, hm, jangankan Suhu
akan marah2, bahkan tuan kecil juga tak akan mengampuni dirimu!"
Lagak si cebol itu benar2 amat kocak, ditambah pula sebutan tuan besar dan
tuan kecil segala diiringi ingus yang meleleh terus diusap dengan lengan
bajunya, maka gelak tertawa geli orang banyak kembali bergemuruh.
Anak muda itu benar2 menjadi gusar, apalagi setelah dilihatnya si cebol yang
lebih mirip setan daripada manusia ini mencaci maki padanya, untuk sesaat ia
sampai tak mampu ber-kata2 saking mendongkolnya.
"Eh, bocah, kenapa kau diam saja? Memangnya ingin digebuk?" teriak si cebol
dengan mata melotot.
Pemuda itu hanya tertawa dingin saja, ia tidak bicara juga tidak turun tangan.
Sesungguhnya ia tak sudi bertempur melawan si cebol, sebab kalau menangpun
tidak ada yang bisa dibanggakan olehnya, malahan mungkin orang lain akau
menonton perkelahian mereka ibarat nonton komidi kera di tepi jalan,
bukankah pamornya bisa merosot malah?
Lain lagi dengan jalan pikiran si cebol, ketika dilihatnya si anak muda tetap
membungkam, dikiranya orang tak pandang sebelah mata padanya, ia menjadi
gusar.
Tiba2 ia melompat maju sambil putar tangan kiri hendak mencengkeram dada
pemuda itu, lihay sekali cengkeraman si cebol ini, gerakan yang dipakai adalah
Toa-kim-na-jiu-hoat yang hebat, bukan saja cepat, gayanya juga aneh dan tidak
lebih lemah dari pada jagoan kelas satu.
Betapa terkejut anak muda itu menghadapi serangan lihay itu, dia tak
manyangka kalau sicebol yang kocak dan aneh bentuknya itu memiliki ilmu silat
yang luar biasa.
Ia tak berani gegabah, melihat ancaman sudah berada didepan mata, cepat ia
bergeser, kemudian dia balas mencengkeram pergelangan tangan si cebol
dengan jurus Toan-Un-cay-meh (memotong otot memutus nadi), suatu gerakan
yang ampuh juga dari ilmu Toa-kim-na-jiu-hoat pula.
"Serangnn bagus!" teriak si cebol dengan suara melengking sambil berputar
tangan kanannya menurun ke samping untuk menghindari cengkeraman lawan,
menyusul ia lantas mencengkeram pula perut musuh.
Berbareng itu tangan kirinya seperti garpu menusuk tenggorokan anak muda itu.
Setelah menyaksikan serangan gencar dan lihay si cebol. pemuda itu tak berani
pandang enteng lawannya lagi, kelima jari tangan kanannya balik mengunci
pergelangan kiri si cebol yang sedang mengancam tenggorokannya itu dengan
gerakan Kim-si-cian-wan (serat emas membelenggu pergelangan) berbareng
pula tangan kirinya memotong Keng-liang-hiat pada lengan kanan si cebol.
Sambil berpekik si cebol menghindar kesamping, pertarungan makin lama
semakin cepat, semua yang digunakan adalah Kim-na-jiu-hoat yang lihay.
Sekejap kemudian belasan jurus sudah berlangsung.
Perlu diketahui, tempat minum ditepi sungai Yan cu-ki biasanya memang banyak
terdapat tokoh persilatan yang berilmu tinggi, semula mereka mengira
pertarungan antara pemuda melawan si cebol itu tidak lebih cuma pertarungan
kaum gelandangan, maka mereka tidak menaruh perhatian.
Tapi setelah pertarungan berlangsung lebih jauh. semua orang terbelalak
matanya, sekarang mereka baru bisa merasakan betapa serunya pertarungan
itu.
Sebagian besar tamu yang berkumpul disitu hanya jago silat biasa saja, melihat
pertarungan berjalan sangat seru, kebanyakan mereka hanya ingin menonton
keramaian belaka. Tapi ada pu]a di antaranya yang berkepandaian tinggi,
mereka justeru sangat memperhatikan jurus serangan yang digunakan kedua
orang itu.
Di antara sekian banyak orang, kedua kakek aneh serta pemuda pemudi
perlente itulah yang paling menaruh perhatian.
Siapakah kedua orang kakek itu? Mereka tak lain adalah Kanglam ji-ki (dua
manusia aneh dari wilayah Kanglam) yang disegani baik tokoh kalangan putih
maupun jago golongan hitam di seputar selatan sungai Tiang-kang.
Kakek berambut merah, berkulit hitam pekat dan bermuka seperti kunyuk itu
adalah Lotoa atau tertua Kanglam-ji ki, orang menyebutnya sebagai Jik-hoat
Lojin (kakek berambut merah), Siang Ki-ok.
Sedangkan kakek kurus kecil yang berhidung merah dan bermantel tebal itu
adalah Loji (kedua) yang bernama Bun Ceng-ki, orang Kangouw menjuluki dia
sebagai Kui-kok-im-soh (kakek pertapa dari lembah setan).
Sudah puluhan tahun lamanya mereka tersohor di dunia persilatan, baik
Lwekang Gwakang atau-pun Ginkang telah mencapai puncak kesempurnaan
yang tiada taranya, cuma tabiat mereka aneh dan jarang bergaul dengan orang
lain.
Sepanjang tahun mereka hidup mengasingkan diri di Kui-kok, di mana letak
lembah tersebut tak seorangpun yang tahu, sebab tak pernah ada yang berani
berkunjung ke sana, orang hanya tahu kira2 lembah tersebut terletak di Gan-
tang-san.
Sekalipun jarang muncul di depan umum, tapi setiap kali mereka muncul di
dunia persilatan tentu akan digemparkan oleh kejadian2 yang luar biasa.
Si cebol jelek yang sedang bertempur melawan anak muda itu adalah satu2nya
murid kesayangan mereka berdua. bocah itu ditemukan mereka di tepi jalan
sewaktu masih bayi. Kanglam ji-ki biasanya tak suka bergaul dengan orang lain,
entah apa sebabnya timbul pikiran bajik mereka dan memelihara bayi itu sampai
dewasa, bahkan ajarkan pula ilmu silat.
Lantaran badannya cebol dan bentuknya aneh, karena asal usul bayi itu tak
diketahui pula maka mereka memberi nama Sam-cun-teng (palu tiga dim)
kepada si cebol ini dan memberi pula julukan Siau-siang-bun (si pembawa
celaka) kepadanya.
Jangan mengira Sam-cun-teng berbentuk manusia bukan manusia, seperti setan
tapi bukan setan, kenyataan ia telah mendapat ajaran langsung ilmu silat
Kanglam-ji-ki, sekalipun belum bisa dikatakan tiada tandingannya di kolong
langit ini, tapi paling tidak ia sudah tergolong jago kelas satu di dunia persilatan.
Tapi sekarang anak muda tadi sanggup menandingi Sam-cun-teng dengan
seimbang, tentu Kanglam-ji-ki jadi sangat heran.
Mata kedua kakek itu terbelalak lebar, mereka ikuti semua gerakan dan jurus
yang dipakai anak muda itu, ketika diiihatnya Kim-na-jiu-hoat yang digunakan
ternyata sangat mirip dengan To-liong-cap-pwe-jiu (delapan belas gerakan sakti
pembunuh naga) yang diajarkan Kui-kok-in-siu. kepada Sam-cun-teng, mereka
tambah tercengang dan melongo.
Adapun pemuda perlente yang duduk dalam gardu di sebelah lain juga bukan
orang sembarangan, dia termasuk salah satu di antara Bu-lim-su kongcu yang
tersohor, ia bukan lain adalah Siang-lin Kongcu Kim Cay-hoan, Kongcu yang
tersohor karena simpatiknya memupuk persahabatan dengan tiap umat
persilatan.
Siang-lin Kongcu turun temurun berdiam di kota Lam-keng, dia putera hartawan
terkenal, ilmu silatnya tinggi sebab sejak kecil mendapat didikan orang kosen,
be-ratus2 jago persilatan yang selalu ngendon dirumahnya dan tidak sedikit jago
kelas satu, maka pemuda ini terhitung salah seorang yang paling berpengaruh di
Lam-keng ini.
Gadis cantik yang duduk disamping Siang-lin Kongcu adalah adik kandungnya,
bernama Kim Cay-hong, karena sekuntum bunga bwe selalu menghiasi
sanggulnya dan lagi mukanya cantik jelita bak bidadari, maka orang memberi
julukan Bwe-ing-sian (dewi bayangan bunga bwe) kepadanya-
Hari ini udara sangat panas, Siang-lin Kongcu kakak beradik dengan membawa
beberapa orang "tukang pukul" berserta dua keponakan mereka yang bernama
Beng-beng dan Lan-lan juga pesiar ke pantai Yan-cu-ki ini.
Tak terduga disini mereka berjumpa dengan Kanglam-ji-ki serta si cebol Sam-
cun-teng.
Sesungguhnya kemunculan Kanglam ji-ki beserta murid cebolnya ini memang
sengaja hendak mencari perkara pada Siang-lin Kongcu.
Kebetulan mereka menemukan Siang-lin Kongcu disini, maka berulang kali
kedua mahkluk aneh ini mencemooh, menyindir dan mengejek, tapi setiap kali
tidak dilayani oleh Siang-lin Kongcu, ia tak ingin bertengkar dengan orang yang
belum diketahui asal-usulnya, bahkan beberapa kali iapun mengalangi tukang
pukulnya yang sudah tak tahan dan ingin melabrak kedua kakek itu.
Kanglam-ji-ki sangat jarang keluar dari lembahnya, dengan sendirinya tidak tahu
pula pengaruh serta kekuatan Siang-lin Kongcu, kemunculan mereka untuk
mencari perkara juga disebabkan hasutan manusia rendah yang ingin mencari
keuntungan bagi diri sendiri.
Ketika dilihatnya Siang-lin Kongcu sama sekali tidak menghiraukan olok2 dan
ejekan mereka, tentu saja kedua kakek itu menjadi kikuk sendiri, maka untuk
beberapa waktu lamanya kedua pihak sama2 tidak bertindak apa2.
Tatkala itulah kebetulan lewat pemuda yang berjalan dengan kepala tertunduk,
mungkin karena sedang gundah pikirannya, tanpa sengaja anak muda itu telah
menginjak mati seekor jengkerik milik Lan-lan yang terlepas.
"Hei! Awas!.. . . " teriak Lan-lan dengan kuatir, tapi jengkeriknya sudah mati
terinjak, maka gadis cilik itu lantas ber-teriak2 pula: "Hei, kau injak mati
jengkerikku, hayo ganti!"
Akan tetapi pemuda itu seperti orang linglung dan melanjutkan langkahnya
dengan kepala tertunduk.
Meski Lan-lan baru enam-tujuh tahun, tapi dasar ilmu silatnya sudah cukup
tangguh. Dengan mendongkol anak perempuan itu lantas pungut sebiji batu dan
disentil kebelakang pemuda itu dengan ilmu Tan-ci-gin-wan (sentilan jari peluru
perak).
Dalam keadaan pikiran kalut dan berada di tempat yang ramai begitu, tentu saja
anak muda itu tak menyangka kalau dirinya bakal dikerjai orang, dan selentikan
Tan-ci-gin-wan Lan-lan sangat jitu, sekalipun tenaganya masih kurang, tapi batu
kecil itu tepat mampir di kepalanya.
Tatkala pemuda itu berpaling dengan marah, anak perempuan itu jadi takut dan
tak berani ber suara.
Waktu pemuda itu berlalu karena tidak menemukan si penyambit, Lan-lan
menjulurkan lidahnya kepada Beng-beng sambil tertawa.
Juluran lidah tersebut diterima Beng-beng sebagai suatu tantangan untuk adu
kepandaian, maka anak lelaki inipun mengamhil sebutir batu dan sekali lagi
menyambit batok kepala pemuda itu.
Kanglam-ji-ki melihat kejadian itu sebagai kesempatan baik untuk mencari
gara2, cepat Kui- kok-in-soh Bun Ceng-ki menggapai si pemuda dengan maksud
hendak menghasut anak muda itu untuk bikin perhitungan dengan Siang-lin
Kongcu.
Bila sampni terjadi pertarungan, maka merekapun akan menggunakan alasan
tersebut untuk cari perkara pada Siang-lin Kongcu.
Siapa tahu apa yang diharapkan tidak tercapai, malahan Kanglam-ji-ki bentrok
sendiri dengan pemuda tersebut dan terjadi pertarungan Sam-cun-teng dengan
pemuda itu.
Kanglam ji-ki baru menyadari kalau mereka telah salah melihat. sebab pemuda
tersebut ternyata memiliki ilmu silat yang sangat tinggi.
Kalau Kanglam-ji-ki kaget maka Siang-lin Kongcu kakak beradik jauh lebih
terperanjat. Ia pikir bukan saja ada orang berani mencari onar di wilayah
kekuatannya, bahkan pemuda itu memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan
berita ini sama sekali tak diketahui oleh anak buahnya, belum pernah terjadi
peristiwa demikian selama ini.
Tidaklah heran kalau Siang-lin Kongcu kakak beradik maupun semua tukang
pukulnya jadi terperanjat dan terbelalak mengikuti pertarungan itu.
Pertarungan itu berlangsung cepat, dalam sekejap saja belasan jurus sudah
lewat tanpa terasa.
Jangan mengira si cebol itu berbadan pendek dan berkaki cekak, tapi kalau
sudah bergerak lincah dan gesitnya tidak kepalang, baik melejit, melompat,
mengegos, semuanya dilakukan dengan cepat. ditambah pula permainan To-
liong-cap-pwe-jiu yang tepat dan mantap, setiap serangannya sangat aneh dan
lihay serta di luar dugaan.
Tapi si anak muda tidak kalah tangkasnya, setiap jurus pukulannya menimbulkan
angin pukulan yang men-deru2, jelas Lwekang pemuda itu jauh melebihi si
cebol.
Walaupun demikian, bicara soal kelincahan dan kegesitan, dia masih tertinggal
jauh, justeru karena adanya selisih inilah maka sekalipun anak muda itu lebih
sempurna dalam hal tenaga, toh kedudukan tetap berimbang dan untuk sesaat
sukarlah menentukan siapa lebih unggul dan siapa yang asor.
Kembali pertarungan berlangsung amat seru, lama2 pemuda itu ketetar juga
oleh aneka macam pukulan si cebol.
Suatu ketika, Sam-cun-teng loncat ke udara dan menyerang dengan jurus In-
liong-sam-hian (naga tiga kali muncul dari mega), tangan kiri melancarkun
cengkeraman kilat mengancam batok kepala anak muda itu, sementara telapak
tangan kanan berputar setengah lingkaran terus menghajar jalan darah Sam-
yang-hiat pada dadanya.
Dalam keadaan begini bila pemuda itu menangkis pakai jurus Heng-in-toan-hong
(awan melintang memotong puncak), dengan enteng niscaya serangan maut
biasa dipatahkan.
Dasar pemuda itu memang belum apal pada permainan ilmu pukulan, ketika
menghadapi ancaman tersebut. sekalipun badan sudah menghindar, namun kaki
tidak ikut bergeser, maka kendatipun cengkeraman lawan ke arah batok
kepalanya dapat dihindarkan ia tak mampu mematahkan pukulan yang
diarahkan pada dadanya.
Sam-cun-ceng dijuluki orang sebagai Siau-siang-bun (si pembawa celaka), dari
situ bisa diketahui bahwa hatinya memang kejam dan caranya turun tangan
ganas.
Ia merasa malu setelah bertarung sekian lama belum juga berhasil merobohkan
lawan, maka begitu memperoleh kesempatan baik untuk menghajar musuh,
dengan cepat tenaga dalamnya dua kali lipat diperhebat, segenap tenaga murni
yang ada di dalam tubuh segera dihimpun pada telapak tangan kanannya.
"Kena!"' bentaknya, Hembusan angin pukulan yang keras langsung menghantam
dada anak muda itu.
Jika pukulan ini sampai bersarang di dada musuh, andaikan anak muda itu tidak
mampus sedikitnya jupa akan terluka parah.
"Haya!" banyak orang menjerit kaget, terutama Kim Cay-hong, si gadis cantik
yang berada di sisi Siang-lin Kongcu. sekilas rasa gegetun terlintas pada
Wajahnya, ia merasa sayang dan tak tega menyaksikan anak muda itu menemui
ajalnya, tapi iapun merasa tidak enak untuk memberikan pertolongan.
Pada saat gawat itulah se-konyong2 anak muda itu membentak: "Haitt! .. .. "
"Blang!" terdengar benturan keras.
Tatkala semua orang menyangka serangan itu tak mungkin bisa dihindari anak
muda tersebut, ternyata secara cepat dan gesit anak muda itu mampu menarik
dadanya sambil melepaskan pula pukulan keras yang tak kalah mantapnya
sehingga terjadi adu pukulan.
Si cebol yang kate dan kecil tak mampu menahan benturan keras itu, kontan
badannya mencelat ke udara seperti layang2 putus, kemudian melayang ke
belakang dan kebetulan meluncur ke tempat dimana Kanglam ji-ki sedang
berduduk.
Berubah air muka Kanglam-ji-ki menghadapi kejadian itu, Ang-hoat Lojin Siang
Ki-ok cepat menyambar tubuh si cebol dan menurunkaunya ke atas kursi.
"Suhu, jangan kuatir! Aku tidak terluka »ama sekali . . . . " teriak si cebol dengan
suara penasaran, cepat ia bangkit dari kursinya dan hendak menerjang maju
lagi.
Sam cun-teng memang hebat, bukan saja dia kebal dipukul, bahkan sama sekali
tidak menunjukkan tanda terluka atau jeri sesudah dihajar sampai mencelat
oleh pemuda itu, orang2 sama heran dan tercengang.
Sebelum si cebol sempat bertindak lagi, Kui-kok-im-soh (kakek pertapa dari
lembah setan) telah bangkit berdiri, dengan langkah lebar ia menghampiri anak
muda itu.
"Hei, anak murid siapa namamu? Kau murid siapa?" bentaknya dengan bengis.
"Aku Tian Pek, tentang perguruan, maaf, tak dapat kuberitahu!" sahut pemuda
itu dengan angkuh-
Kui-kok-in-soh termenung dan berpikir sebentar, tapi ia merasa tak pernah
mendengar seorang jago yang bernama Tian Pek, maka sambil menggeleng
kepala ia berguraam: "Aneh, sungguh aneh kau tak sanggup menyebut
perguruanmu, kenapa Kim-na-jiu-hoat yang kau pakai mirip dengan ilmu
cengkeraman yang kuciptakan? Darimana kau curi belajar ilmu kepandaian itu?"
Tian Pek sendiri memang merasa tercengang sewaktu melihat gerak serangan
yang digunakan si cebol tadi seperti sudah dikenalnya, cuma saja waktu itu ia tak
dapat berpikir banyak.
Sekarang demi mendengar pertanyaan orang barulah dia ingat Kim-na-jiu yang
digunakan Sam- cun-teng memang mirip ilmu cengkeraman yang dimainkan
oleh Tok kok-hui-mo Li Ki.
Karena pikiran ini, ia mengira si cebol dan si kakek kurus ini pasti berasal dari
satu perguruan dengan Tok-kah-hui-mo.
"Losiansiang, engkau kenal dengan seorang yang cacat kaki?" tanyanya
kemudian.
Air muka Kui-kok-in-soh seketika berubah hebat, lagaknya yang angkuh seketika
berubah menjadi jeri, kikuk dan tidak tenteram, dengan suara rada parau ia
berseru: "Jadi. . .jadi kau adalah. . .mu. . .muridnya?"
Sementara itu si kakek rambut merah sudah memburu maju pula ke sisi
rekannya, dengan bingung dia pegang bahu Kui-kok-in-soh sambil berbisik: "Jadi
anak muda ini adalah ahli warisnya....
Tapi. . .masa. . . . masa dia masih hidup di dunia ini?"
Diam2 Tian Pek merasa heran atas sikap kedua orang tua ini, dia tak habis
mengerti kenapa kedua orang tua yang semula tampaknya keren dan garang
mendadak berubah menjadi ketakutan dan tegang seperti tikus ketemu kucing,
ia pikir mungkin di balik urusan ini tersimpan rahasia lain?
Sudah tentu anak muda ini tak dapat menganggap dirinya sebagai murid si iblis
berkaki satu itu, maka dengan tegas ia berseru: "Kalian jangan kuatir, aku tidak
nanti mempunyai guru begitu. . ."
"Dan aku si orang tua juga tak nanti punya murid macam begitu!" sambung
seseorang secara mendadak dari kejauhan. Baru dua orang murid yang kuterima
selama hidupku dan kedua kakiku sudah harus menjadi korban, kalau kuterima
murid lagi. memangnya aku mesti korbankan pula batok kepalaku?"
Cepat Tian Pek berpaling ke arah datangnya suara itu, seorang kakek yang tak
berkaki sedang berayun datang dari tepi sungai sana, kedua kakinya buntung
sebatas paha ke bawah, tapi disambung dengan dua potong kayu untuk
menahan anggota badan, lalu memakai dua tongkat penyangga bahu sehingga
cara berjalannya bukannya melangkah tapi berayun.
Waktu Tian Pek berpaling lagi ke arah Kanglam-ji-ki, kedua orang tua itu
ternyata sudah lenyap eatah ke mana.
Tampaknya begitu melihat kemunculan kakek yang buntung ini, Kanglam-ji-ki
lantas ngacir ter-birit2, begitu pula Sam-cun-teng juga ikut kabur.
"Murid murtad, kemana kalian mau lari?" bentak kakek cacat itu dengan gusar.
"Sudah tiga-empat puluh tahun kucari kalian, setelah berjumpa hari ini, masa
kalian mau kabur lagi?"
Sepasang tongkat penyangga badannya segera ditutulkan ke permukaan tanah,
lalu badannya terayun ke depan dan begitu seterusnya.
Meski kedua kakinya buntung, tapi cara jalan berayunnya ternyata secepat
terbang, segera ia mengejar ke sana.
Tian Pek berpaling ke arah pergi kakek itu, arah tersebut tak lain adalah jalan
gunung yang ber-liku2 menuju Giam-san-cap-ji-tong (dua belas gua bukit
karang), ia lihat tiga titik hitam sedang kabur menuju ke tengah hutan lebat di
atas bukit sana, tak perlu ditanya lagi ketiga orang itu pasti Kanglam ji-ki serta
Sam cun-teng alias si cebol?
Tian Pek ter-mangu2 bingung, sungguh tak terduga di tempat pesiar Yan cu-ki ini
akan mengalami kejadian begitu.
Lebih dulu terjadi pertarungan melawan Sam-cun-teng tanpa sebab, kemudian
menyaksikan Kanglam-ji-ki dan si cebol lari ter-birit2 demi melihat datangnya
kakek buntung, semua ini membuatnya bingung.
Setelah termenung sebentar, lalu iapun bergerak menuju dua belas gua bukit
karang sana.
Belum jauh Tian Pek berjalan, tiba2 pandangannya kabur, sesosok bayangan
mendadak menghadang di depannya,
Si pengadang adalah seorang laki2 kekar berusia tiga-puluhan dan tidak
dikenalnya, maka ia jadi melenggong keheranan.
Laki2 itu lantas berkata dengan suara nyaring: "Sahabat. jangan pergi dulu!
Kongcu-ya kami ingin bicara denganmu!"
"Maaf saudara, aku tak punya waktu," tolak Tian Pek cepat.
Semenjak dia tahu bahwa musuh besar pembunuh ayah adalah orang tua Bulim-
su-kongcu, pandangannya terhadap Kongcu2 itu sudah jauh berubah, ia menjadi
benci dan muak.
Maka setelah berhenti sebentar, iapun menambahkan dengan dahi berkerut:
"Dan lagi aku pun tidak kenal dengan Kongcu kalian?"
Dia menghindari pengadangan laki2 itu dan melanjutkan perjalanannya.
Agak mendoogkol laki2 itu, dia mendengus dan sekali lagi mengadang di depan
Tian Pek.
"Hei. sahabat, kuanjurkan agar menuruti saja perkataanku" ancamnya dengan
mata melotot, "Untung Kongcu-ya kami mau mengundang dirimu. padahal
biasanya sekalipun kau menyembah sehari semalam belum tentu beliau sudi
menemui kau."
Gusar Tian Pek karena jalan perginya berulang kali dihadang, habis
kesabarannya, sebelum laki2 itu menyelesaikan ucapannya ia lantas menukas
dengan suara keras: "Hehe, sungguh lucu. sekalipun Kongcu-ya kalian adalah
raja atau pentolan di tempat ini, kalau aku tidak mau bertemu, dia mau apa?"
Laki2 itupun naik darah demi mendengar jawaban ketus lawan, apalagi nama
sang majikan ikut di-olok2, ia menjadi marah.
"Mau atau tidak mau kau harus menemui beliau!" bentaknya sambil melangkah
maju, tangan terjulur hendak mencengkeram dada Tian Pek dengan gerakan
Tam-li-gi-cu (mencomot dagu merampas mutiara).
Melihat serangan yang cukup lihay ini. tahulah Tian Pek ilmu silat laki2 itu tidak
lemah.
Anak muda itu tidak berkelit dia benar2 gemas maka ketika serangan musuh
tiba, cepat tangan kiri menangkis sedangkan telapak tangan kanan menyodok
dada lawan dengan gerakan Pok-hou-kim- liong (Membelenggu harimau
membekuk naga). ,
Taktik serangan dibalas dengan serangan macam begini jarang di jumpai didunia
persilatan, jarang ada orang yang mau melakukan pertarungan dengan keras
lawan keras begitu, tentu saja kejadian ini sama sekali di luar dugaan laki2 itu,
bahkan Siang-lin Kongcu kakak beradik serta anak buahnya yang lain ikut
terkesiap.
Cepat serangan kedua orang itu sebelum Siang-lin Kongcu sempat mencegah
pertarungan itu, "blang" pukulan keras telah bersarang teluk di dada laki2 itu,
badannya mencelat ke udara dan muntah darah,
"bruk", jatuh terkapar dan tak berkutik lagi, tampaknya lebih banyak
mampusnya daripada hidup.
Suasana menjadi gempar dan gaduh, apalagi jatuh korban sampai tewas, banyak
orang yang segera tinggalkan tempat ini.
Di tengah kegaduhan dan orang sama lari simpang siur itu tiba2 terdengar
bentakan keras, sesosok bayangan melayang ke tengah gelanggang, sebelum
kakinya mencapai permukaan tanah serangan dahsyat lantas dilancarkan, ibarat
seekor burung rajawali yang mengincar mangsanya, kesepuluh jari tangan yang
terpentang terus mencengkeram batok kepala Tian Pek.
Serangan ini sungguh cepat dan dahsyat, biar pun Tian Pek ingin menghindar
juga tidak sempat lagi. terpaksa ia angkat kedua tangannya menyambut
serangan itu.
"Blang!" kembali terjadi benturan keras, Tian Pek merasa lengannya seperti
dihantam oleh palu besar, dada terasa sesak, darah bergolak hebat, matanya
ber-kunang2, dengan sempoyongan dia terdorong mundur sejauh lima-enam
langkah, akhirnya tak tahan lagi dan itu jatuh terduduk.
Lihay sekali penyerang itu, setelah berhasil merobohkan Tian Pek, dia menukik
kebawah dan kembali kedua tangan menghantam pula ke dada Tian Pek
sebelum anak muda itu sempat berbangkit.
Betapa kejinya penyerang itu terbukti dari pukulan terakhir yang dilancarkan itu,
rupanya dia memang bermaksud membinasakan Tian Pek untuk balas dendam
bagi anak buahnya yang mati konyol, maka pukulan ini dilontarkan dengan
segenap tenaganya.
Tian Pek terperanjat, ingin menghindar juga tidak sempat lagi, dalam keadaan
begini dia cuma bisa menanti kematian saja dan tiada jalan lain.
Untung pada detik terakhir tiba2 terdengar suara bentakan: "Pa-heng, tunggu
sebentar .. . ."
Cepat orang itu menahan pukulannya, maka Tian Pek lantas melompat bangun
dan menyingkir kesamping sana. Ia lihat penyerang itu adalah seorang kakek
kurus kecil bermuka hitam, pakai baju hitam bercahaya, kedua telapak
tangannya tersilang di depan dada, jari kelingking kedua tangannya memakai
gelang baja, ujung gelang lainnya terikat pada ujung baju lehernya, dengan sorot
mata tajam bagaikan sembilu ia sedang menatap Tian-Pek tanpa berkedip.
Tian Pek tercengang, seingatnya belum pernah dia kenal kakek ini, terutama
dandanannya yang sangat aneh ini rasanya juga tak pernah dengar dari cerita
orang lain,
Dilihatnya orang yang mencegah serangan si kakek tak lain adalah Siang-lin
Kongcu yang agung itu.
Sementara itu Siang-lin Kongcu telah melangkah maju dan berkata kepada si
kakek baju hitam: "Saudara Thian-ho, maksudku bukan suruh berkelahi
melainkan ingin bersahabat dengan saudara ini."
Lalu dengan tersenyum ia berpaling ke arah Tian Pek dan berkata: "Sungguh
hebat Kungfu yang saudara miliki. Aku Kim Cay-hoan, tinggal di Lam-keng, bila
tidak keberatan sudilah kirinya saudara tinggal beberapa hari di rumah kami?!"
Belum sempat Tian Pek menjawab, kakek kurus tadi menyela dengan
mendongkol: "Kongcu, memangnya anak buah kita akan dibiarkan mati sia2.?"
Sambil berkata kedua telapak tangannya direntangkan kesamping lalu dirangkap
kembali menjadi satu, sorot mata yang tajam menatap Tian Pek tanpa berkedip
rupanya dia sudah bersiap pula untuk menerjang anak muda itu.
Siang-lin Kongcu tersenyum, dia mengadang di depan kakek kurus itu seraya
berseru. "Tiada percekcokan yang menggunakan kata manis, tiada pertarungan
yang tak diakhiri dengan jatuh korban. Kejadian begini sudah jamak bagi kaum
persilatan kita, kalau sudah terjadi begini kenapa kita mesti ribut? Kalau tak
mampu melawan dan mengakibatkan kematian diri sendiri, itu tandanya
kepandaian sendiri tak becus, masa kita mesti salahkan lawannya?"
Setelah merandek sejenak, lalu dia menambahkan: "Kematian Liang Peng
memang kehilangan besar bagi kita, akan kubelikan sebuah peti mati yang paling
bagus baginya dan mengadakan upacara besar bagi penguburannya, selain itu
akan kuhadiahkan pula sejumlah barang berharga bagi ahli warisnya, semua ini
kurasa sudah cukup untuk menunjukkan rasa terima kasihku kepadanya!"
Sampai disini dia lantas berpaling sambil berseru: "Liang Giok, kemarilah!"
Seorang laki2 kekar mengiakan dan muncul dari belakang gardu, air mukanya
diliputi kesedihan, setelah melotot sekejap pada Tian Pek dengan penuh rasa
benci, dia lantas menjura kepada majikannya.
"Ada petunjuk apa, Kongcu-ya?" dia bertanya.
"Ambil tiga ribu tahil perak pada kasir sebagai biaya penguburan kakakmu ....!"
kata Siang-lin Kongcu lebih jauh.
"Terima kasih Kongcu-ya!"
Setelah memberi hormat, Liang Giok membawa jenasah kakaknya dan berlalu
dari situ, sebelum berangkat sekali lagi dia melototi Tian Pek dengan pandangan
penuh dendam.
Timbul rasa menyesal dalam hati Tian Pek setelah terjadinya peristiwa tadi,
terutama setelah menyaksikan pancaran sinar mata kebencian yang mencorong
dari mata laki2 itu, dia menyesal pukulan yang dilancarkannya itu terlalu keras
dan mengakibatkan kematian Liang Peng. Diam2 iapun merasa kagum pada
sikap "Kongcu-ya" yang palente itu.
Tiga ribu tahil perak bukan suatu jumlah yang kecil apalagi didengarnya orang
mengaku she Kim, dia menduga orang ini pasti Siang-lin Kongcu, sebab orang ini
memang tersohor sebagai Kongcu yang simpatik dan berjiwa sosial.
"Huh! Lagaknya saja hebat" pikir Tian Pek "Paling2 hanya mengandalkan
beberapa tahil perak untuk membeli simpatik orang agar orang lain rela jual
nyawa baginya ... !"
Setelah diberi muka dihadapan orang banyak? kakek kurus tadipun buyarkan
himpunan tenaga murninya, rasa marahnya juga reda, kedua tangan pun
diturunkan kembali ke bawah.
Kepada Tian Pek dia tetap mendengus seraya berkata: "Hm, untung Kongcu-ya
melerai, kalau tidak sejak tadi kau tentu sudah mampus!"
"Ah, belum tentu . . . ." jengek Tian Pek.
Rasa gusar yang sudah mereda kembali menyala lagi, kakek kurus itu melotot
pula . .
Tapi Siang-lin Kongku cepat menengahi pula sebelum Tian Pek sempat
menanggapi, ia menukas sambil tertawa: "Hahaha, betapa besar persoalannya.
kalau sudah lewat juga harus dianggap sudah selesai! Saudara, boleh kutahu
siapa nama besarmu?"
Tian Pek tidak lantas menjawab, tiba2 terpikir olehnya: "Ayah Siang-lin Kongcu
adalah pembunuh ayahku, cepat atau lambat aku bakal membuat perhitungan
dengan bapaknya! Baik juga pada kesempatan ini kuperkenalkan namaku
didepan umum agar orang persilatan tahu bahwasanya keluarga Tian bukan
keluarga kintal dan keluarga Tian masih ada keturunan yang sanggup menuntut
balas bagi orang tuanya."
Berpikir sampai di sini, dia lantas menjawab: "Aku bernama Tian Pek! Dan kalau
dugaanku tidak keliru, mungkin anda ini Siang-lin Kongcu yang tersohor di
kolong langit ini!?"
"Terima kasih atas pujianmu!" kata Siang-lin Kongcu sambil tertawa, tertawa
yang agung dan berwibawa. "Siang-lin memang suka punya tamu orang gagah
seperti kau, jika Tian-siauhiap tak keberatan sudilah kiranya mampir beberapa
hari di rumahku, Siang-lin pasti akan berusaha menjadi tuan rumah yang baik!"
Tian Pek ingin menolak undangan orang, tapi sebelum ia sempat bicara, tiba2
pandangannya terbeliak, tahu2 Kim Cay-hong, adik perempuan Siang-lin Kongcu
yang cantik jelita itu telah mendekati kakaknya dan berdiri di belakangnya, sorot
matanya yang bening menatap Tian Pek tanpa berkedip. ini membuat jantung
anak muda itu berdebar,
Kim Cay-hong memang cantik luar biasa dan sukar dilukiskan dengan kata2,
lebih2 perangainya yang halus, sedikitpun tidak ada sikap angkuh atau tinggi
hati, membuat setiap orang merasa senang, terpesona dan kagum.
Oleh karena kecantikannya yang luar biasa ini, maka dia tersohor sebagai
perempuan cantik nomor satu di seluruh wilayah Kanglam.
Tian Pek sendiri adalah pemuda yang sederhana, polos berhati suci bersih dan
tidak punya ingatan jahat apapun, sekalipun beberapa hari belakangan ini ia
sudah berkenalan dengan beberapa orang gadis jelita, akan tetapi Buyung Hong,
Tian Wan-ji serta Hoan Soh~ing tetap tak dapat dibandingkan dengan Kim Cay-
hong.
Terkesima juga Tian Pek setelah beradu pandang dengan si nona, jantungnya
berdebar keras dan mukanya terasa panas, dalam hati diam2 ia memuji: "Ehm,
benar2 gadis yang cantik. . . ."
Melihat anak muda itu membungkam, Siang-lin Kongcu mengira Tian Pek telah
menerima undangannya, maka dia lantas perintahkan orang2nya untuk siapkan
kuda.
"Silakan!" kata Siang lin Kongcu seraya menjura.
Dalam keadaan demikian, tak mungkin bagi Tian Pek untuk menolak, terpaksa
dia naik ke atas kuda dan menurut saja ke mana akan dibawa pergi. . . .
Sepanjang jalan Siang-lin Kongcu mendampingi terus di samping Tian Pek, ia
bicara ini itu dengan akrabnya. begitu terbuka, jujur dan simpatik sikap pemuda
itu hingga Tian Pek merasa kagum pula.
Kim Cay-hong sendiripun meninggalkan tandunya dan ikut menunggang seekor
kuda putih di sisi Siang-lin Kongcu. sepanjang jalan ia sering melirik ke arah Tian
Pek, sekalipun tak sepatah katapun yang diucapkan. tapi kerlingan matanya
membuat Tian Pek hampir2 lupa daratan.
"Ai, betapa cakap mereka berdua, entah bagaimana jadinya andaikan pada
suatu hari kelak kudatang mencari balas terhadap ayah mereka? Tegakah aku
bertindak dan bermusuhan dengan mereka?"
Dengan pikiran yang kusut, Tian Pek tidak memperhatikan jalan yang dilaluinya
dan tahu2 sampailah mereka di depan sebuah bangunan yang besar dan megah.
Gedung ini sangat megah arca singa berdiri dengan angkernya di samping pintu
gerbang, undak- undakan batu yang terbuat dari marmer menghubungkan
pelataran dengan lantai depan gedung itu.
Pada setiap undak-undakan berdirilah dua orang pengawal berpakaian perang
lengkap dengan pedang dan tombak terhunus, dari pelataran sampai ke pintu
gerbang berjajar penjaga yang berjumlah lima-enam puluh orang banyaknya,
"Sungguh luar biasa!" pikir Tian Pek, "sungguh tak nyana tempat tinggal seorang
tokoh persilatan semewah dan semegah ini, rasanya sekalipun istana raja atau
pangeran juga cuma begini saja.. . ."
Setibanya di depan gedung itu, semua orang turun dari kuda, Siang-lin Kongcu
memang tuan rumah yang ramah dan simpatik, dengan hangat digandengnya
tangan Tian Pek dan diajak naik ke undak-undakan batu itu
Di mana pemuda itu berlalu, kawanan pengawal bersenjata tombak di kiri-kanan
undak-undakan sama memberi hormat.
Diam2 Tian Pek menyesal, dia berpikir: "Sebutan Siang-lin paling simpatik dalam
pergaulan memang bukan nama kosong balaka. ini terkukti dari sikap hangatnya
terhadap seorang pemuda gelandangan sepertiku ini, padahal dia sendiri hidup
terhormat seperti seorang pangeran . .."
Setelah menaiki undak2an batu. tibalah mereka di depan pintu gerbang, pada
sisi kanan pintu tergantung pelbagai pigura besar dengan kata2 pujian, di
antaranya yang paling menyolok adalah papan yang tergantung di atas pintu
gerbang.
Papan itu dicat merah dengan huruf2 emas besar yang berbunyi: "BU-LIM-TE-IT-
KEH" (Keluarga nomor satu di dunia persilatan).
"Huh! Besar amat nada mereka!" demikian pikir Tian Pek.
Sepanjang jalan setelah memasuki gedung tersebut, anak muda itu dibikin
kagum oleh keindahan bangunannya, Akhirnya Siang-lin Kongcu membawanya
menuju sebuah ruang besar.
Sementara itu suasana telah gelap, lampu telah dipasang dalam ruangan, di
bawah cahaya lampu yang terang benderang tampaklah betapa megah dan
mewahnya ruangan tersebut.
"Tian-beng, tentunya kau belum bersantap bukan?" tanya Siang-lin Kongcu
sambil tertawa. "Siaute sebagai tuan rumah sudah sepantasnya mengundang
Tian-heng untuk makan bersama, harap engkau jangan sungkan2!"
Sebelum Tian Pek menjawab, dia lantas perintahkan anak buahnya untuk
siapkan perjamuan.
"Koko, kau ini .. . Kim Cay-hong yang sejak tadi membungkam saja tiba2 buka
suara, biji matanya yang bening dan indah mengerling sekejap kakaknya, lalu
memandang Tian Pek pula.
"Coba Koko lihat, kan Teng-siauhiap belum. . . ."
Siang-lin Kongcu bukan orang bodoh. tentu saja ia dapat mengetahui maksud
hati adiknya, dia bergelak tertawa, katanva; "Hahaha, kalau adik tidak
mengingatkan, hampir saja aku lupa . . . ." —segera dia berpaling dan berseru
lantang: "Pelayan. . ."
Dari belakang pintu angin lantas muncul empat orang dayang cilik berbaju hijau,
dengan lemah gemulai mereka menghampiri Siang-lin Kongcu dan memberi
hormat.
"Kongcu-ya, ada perintah apa. . .?" tanya mereka hampir berbareng,
"Layani tamu agung untuk mandi dan tukar pakaian!" perintah Siang-lin Kongcu.
Keempat dayang cilik itu mengiakan, mereka terus menghampiri Tian Pek dan
berkata: "Tamu agung, silahkan ikut hamba. . . . .!" —Habis berkata mereka
lantas menduhului berjalan ke depan.
Tian Pek agak ragu2, tapi setelah melihat badannya yang kotor, diapun tidak
sungkan2 lagi, segera ia ikut ke sana.
Setelah melewati beberapa jalan serambi yang indah, akhirnya sampailah
mereka di depan sebuah pintu kaca yang amat besar, ketika pintu itu dibuka
beradalah mereka di dalam sebuah kamar mandi yang megah, lux kalau
menurut istilah kini.
Di tengah ruangan membujur sebuah bak mandi sepanjang dua tombak lebih,
air dalam bak itu bening sekali, di tengah bak berdiri sebuah patung kemala
putih seorang gadis setengah telanjang, pada bahu patung gadis itu membawa
sebuah pancuran yang mirip pot bunga, air yang jernih dan bersih terpancar
keluar dari pot tersebut.
Begitu berada di dalam ruangan itu tanpa disuruh keempat dayang cilik itu
lantas membuka pakaian mereka.
Keruan Tian Pek terperanjat, cepat ia menegor: "Hei, apakah kalian mau ikut
mandi?"
Sungguh di luar dugaan Tian Pek, keempat gadis cilik ternyata melepaskan
semua pakaian yang dikenakan dihadapan seorang pemuda asing dalam sebuah
kamar mandi yang tertutup.
Keempat dara cantik itu tetap tersenyum dan sibuk melepaskan busana mereka,
dalam sekejap saja tampaklah tubuh mereka yang putih mulus, dada yang
menggiurkan dan pantat yang padat.
Kecuali secarik kain cawat yang masih menutupi bagian tertentu serta kutang
yang tipis, keempat dayang itu hampir berada dalam keadaan telanjang bulat.
Tian Pek berdiri terbelalak dan melongo menghadapi pemandangan menggetar
sukma ini, sampai setengah harian ia tak mampu mengucapkan sepatah
katapun.
Keempat dayang itu tetap tenang saja seperti tidak terjadi sesuatu yang luar
biasa, dengan cekatan mereka lantas siapkan handuk serta alat mandi lainnya.
Tian Pek masih berdiri dengan terkesima, ke empat dayang itu tersenyum
melihat anak muda itu hanya diam saja, sinar mata mereka yang genit itu se-
akan2 sedang bertanya: "Kalau mau mandi, kenapa tidak membuka pakaian?"
Rasa malu dimiliki oleh setiap orang. apa lagi seorang laki2 muda harus lepas
pakaian di depan empat gadis yang masih asing baginya, kecuali orang sinting
mungkin tiada orang lain yang berani berbuat demikian.
Tian Pek memang pernah merobek pakaian sendiri hingga telanjaag di hadapan
seorang gadis, akan tetapi kejadian itu berlangsung karena pengaruh irama
suling pembetot sukma Ciang Su-peng, perbuatannya dilakukannya di bawah
sadarnya, karenanya peristiwa itu tak bisa dimasukkan dalam hitungan.
=====
Siapakah tokoh aneh si kakek buntung yang membuat Kanglam ji-ki lari ter-birit2
itu dan ada persoalan apa di antara mereka?
- Cara bagaimana Tian Pek akan menghadapi sikap Siang-lin Kongcu yang
simpatik dengan suguhan "mandi uap" itu?
Jilid-10.
Lain keadaannya dengan sekarang, pemuda itu berada dalam keadaan sadar,
pikirannya seratus persen segar waras, sekalipun dia dapat menangkap maksud
kerlingan mata keempat dayang itu, namun untuk sesaat dia tak mempunyai
keberanian untuk melepaskan pakaian sendiri.
Pada saat itulah tiba2 di luar ruangan itu menggema suara langkah orang,
menyusul seorang berseru dengan suara merdu: "Perjamuan telah di siapkan di
ruangan depan, selesai bersihkan badan tamu agung dipersilakan untuk
menghadiri perjamuan!"
"Hihihi . . . dia. . .dia belum lagi membuka pakaiannya . . . ." seru keempat
dayang itu sambil tertawa cekikikan.
"Ah, masa? Sudah sekian lama kalian tidak melayani . . .." berkata sampai disini,
orang di luar itu tiba2 mendorong pintu dau melangkah masuk,
Ketika dilihatnya Tian Pek masih berdiri terkesima dengan pakaian lengkap,
sambil tertawa ia lantas mengomel: "Ah, kalian berempat memang keterlaluan,
bukannya membukakan pakaian tamu, kalian malahan ter-buru2 melepaskan
pakaian sendiri, makin lama kalian memang semakin tak becus bekerja .
Yang masuk ini juga seorang dayang muda, tapi kalau dibandingkan keempat
dayang cilik tadi usianya lebih tua sedikit. bukan saja pakaiannya lebih indah
dandanan pun lebih terpelihara, dari sini bisa diketahui kalau kedudukannya
pasti jauh lebih tinggi dibandingkan keempat dayang cilik itu.
Sambil mengomel, dayang itu lantas menghampiri Tian Pek dan hendak
membuka pakaian anak muda itu.
Keruan Tian Pek tercengang, untuk sesaat ia menjadi bingung dan tak tahu apa
yang mesti dilakukan. Sementara tangan gadis itu sudah hampir menempel
dadanya, Tian Pek terkejut, cepat dia berusaha mengelak kesamping.
Tapi gadis itu ternyata tidak lemah dan juga cerdik, agaknya sebelum melakukan
gerakan tersebut ia telah memperhitungkan ke arah mana anak muda itu
mungkin akan menghindar, maka baru saja Tian Pek berkelit ke samping, cepat
ia menghadang di depan anak muda itu, sementara jari jemari yang lentik
langsung menyambar leher baju dan membuka kancing pakaian Tian Pek.
"Hihihi, mungkin tuan tamu baru pertama kali ini berkunjung kemari!" kata
dayang itu sambil tertawa cekikikan, " makanya engkau tidak terbiasa dengan
pelayanan kami, maaf jika kami bekerja bagimu!"
Sambil bicara dayang itu, tidak berhenti bekerja setelah sebuah kancing baju
Tian Pek dapat dilepaskan, dengan suatu gerakan yang manis dan lincah dia
putar badan untuk melepaskan pakaian yang dikenakan anak muda itu.
Pakaian yang dikenakan Tian Pek ini adalah mantel hitam perkampungan Pah-
to-san-ceng yang berlambangkan seekor macan tutul, mantel tersebut cuma
mempunyai sebuah kancing pada bagian pinggang maka begitu ditarik oleh
dayang itu, sebagian baju yang dikenakan itupun tersingkap.
Terperanjat Tian Pek menghadapi kejadian itu, tak terduga seorang dayang dari
keluarga Kim saja memiliki Kungfu yang begini tangguh,
Sementara itu dayang tadi telah menarik pakaian Tian Pek kemudian putar ke
belakang, andaikata pemuda itu bermaksud mencelakai dayang ini, maka
pekerjaan tersebut bisa dilakukan dengan mudah sekali.
Tentu saja Tian Pek tak ingin berbuat demikian, sekarang dia adalah tamu,
biarpun sudah diketahui Kim Kiu, ayah Siang-lin Kongcu adalah musuhnya, tapi
sebelum terjadi pertikaian ia tak sudi melukai seorang dayang lebih dahulu.
Oleh karena pertimbangan inilah, walaupun perbuatan davang itu membikin
Tian Pek merasa malu sehingga mukanya berubah merah padam, namun ia tidak
berusaha untuk melepaskan tangan dayang itu, hanya dengan gelagapan ia
berkata: "Nona, lebih baik kalian keluar saja dari sini, biarlah aku mandi sendiri
saja.
"Plok!" belum habis dia berkata, tiba2 sejilid kitab berwarna warni terjatuh dari
dalam baju anak muda itu.
"Ha, buku bacaan apa itu?" seru dayang tadi dengan mata melirik, "wah,
tampaknya menarik sekali, coba kulihat, apa isinya!"
Sanmbil berkata dayang itu terus hendak menjemput kitab itu.
Kaget Tian Pek, ia tahu Thian-hud-pit-kip itu harus dirahasiakan, apalagi
sekarang ia justeru berada di sarang pembunuh ayahnya, disini banyak berdiam
jago lihay dari dunia persilatan, bila kitab itu dilihat orang tentu akan dijadikan
sasaran perebutan.
Karena itu, dalam gugupnya cepat dia mendorong tubuh anak dara itu dengan
kuat. Lantara tak terduga dayang itu menjerit kaget dan "plung" ia tercebur ke
dalam bak mandi.
Air muncrat, seketika dayang itu basah kuyup, cepat dia merangkak naik dari
dalam bak sambil menyemburkan air.
Dalam pada itu Tian Pek telah ambil dan simpan kembali kitabnya, sesudah itu
barulah dia memandang ke arah si dayang yang tercebur ke dalam bak mandi itu
dengan sorot mata menyesal.
Keempat dayang cilik tadi bergelak tertawa, mereka berkeplok tangan sambil
mengikik, saking gelinya sampai menungging dengan memegang perut.
"Empat setan cilik, apa yang kalian tertawakan?" teriak dayang tadi dengan
mendongkol, kemudian ia melirik sekejap kearah Tian Pek, dia melampiaskan
kemarahannya kepada keempat dayang cilik itu: "Setan cilik, hayo cepat tarik
aku keluar dari sini, cepat ganti dengan air baru dan layani tamu se-baik2nya!"
Agaknya keempat dayang cilik itu sangat jeri terhadap dayang yang tercebur ke
dalam bak itu, mereka segera berhenti tertawa dan menarik dayang itu ke atas,
lalu menguras air dalam bak dan mengisinya dengan air yang baru.
Sebelum selesai mereka mengisi bak mandi lagi, tiba2 dayang tadi berkata:
"Tamu ini adalah tamu agung Kongcu-ya kita, rasanya kurang hormat kalau kita
bersihkan badannya dengan Lan-giok-teng; pancurkan Un-hiang-sui (air hangat)
saja agar tamu kita ini bisa mandi dengan lebih nikmat!"
Tercengang keempat dayang cilik itu, mereka seperti mau mengucapkan
sesuatu, tapi setelah menyaksikan air muka pemimpin mereka yang kereng,
mereka tak berani membantah dan segera tundukkan kepala.
Seorang lantas membuka kran air yang ada disamping kiri aana, air bersihpun
segera mengalir keluar dari pot bunga yang dibawa patung gadis telanjang tadi
dengan derasnya. hanya sebentar saja air dalam bak mandi lantas penuh
kembali.
Tian Pek sama sekali tidak memperhatikan tingkah laku dayang2 itu, dia hanya
memperhatikan tubuh dayang yang basah kuyup hingga tampak lekukan
tubuhnya yang indah dan berisi itu.
Bentuk tubuh dayang itu memang cukup cantik, hanya keadaannya
mengenaskan sekali, Tian Pek tidak tega, ia minta maaf: "Nona, harap suka
maafkan kekasaranku tadi, terus terang aku tidak sengaja berbuat begitu
terhadapmu, soalnya kitab itu tidak pantas kau lihat, karenanya kuharap nona
bisa memaklumi keadaanku!"
"Ah, tak apalah, tugas dari kami harus melayani segala kebutuhan tuan2, jika
pelayanan kurang memadahi, mau dipukul atau dimaki terserah kepada tuan2,
nasib kami sendiri yang kurang beruntung, hingga sejak dilahirkan sudah
ditakdirkan menjadi budak orang!"
Ucapan tersebut diutarakan dengan nada dingin, bahkan tajam sekali.
Tian Pek merasa bersalah, maka dengan sungguh-sungguh ia berkata: "Sejak
kecil aku sudah terbiasa hidup sengsara dan telantar, tidak biasa bagiku segala
sesuatunya dilayani orang, maka kuharap kalian keluar saja, biar kumandi
sendiri."
Dayang itu ragu2 sejenak.. akhirnya dia menjawab: "Kalau tuan tamu
menghendaki demikian, baiklah kami turut perintah saja, mungkin tuan tamu
merasa pelayanan kami kurang baik dan kami diperintahkan keluar, terpaksa
kami keluar dari sini."
Kepada keempat dayang yang sudah telanjang dan masih berdiri tertegun, ia
menambahkan: "Hayo kenakan pakaian, mari kita pergi!"
Keempat dayang cilik itu tak berari membangkang perintah, cepat mereka
kenakan pakaiannya dan mengurndurkan diri.
Sesaat meninggalkan ruangan itu, kembali dayang tadi berpesan: "Cepatan dikit
tuan tamu bersihkan badan, Kongcu-ya kami sudah menunggu di ruang
perjamuan!"
Sebelum Tian Pek menjawab, ia lantas menyelinap keluar kamar mandi itu.
Pintu ruangan menutup kembali secara otomatis, setelah bayangan kelima
dayang itu lenyap dari pandangan, Tian Pek menggeleng kepala.
Ia tidak merasa benci atau sakit hati karena ucapan si dayang yang kasar tadi,
sebaliknya ia menaruh simpatik padanya, sama2 manusia, mengapa ada yang
hidup mewah dan berkuasa, tapi ada pula yang hidup sengsara dan harus
menjadi budak? Sungguh tidak adil.
Cepat2 Tian Pek bersihkan badannya, ia tidak mengenakan pakaian baru yang
disediakan keluarga Kim, tapi masih tetap mengenakan pakaian rombeng itu.
Keluar dari kamar mandi. dilihatnya keempat dayang cilik itu masih menanti di
depan pintu.
Maka iapun mengikuti keempat dayang itu menuju ke ruang perjamuan.
Jauh dari ruangan perjamuan itu, lapat2 ia sempat mendengar pembicaraan
serta gelak tertawa kawanan jago yang hadir di ruangan itu, sebagian besar
mereka sedang membicarakan dirinya-
Terdengar seorang berkata dengan suara lantang: "Sepintas lalu, anak muda itu
tidak nampak sesuatu keistimewaannya, tak nyana ilmu silatnya lumayan juga,
sampai2 Kun-kang-liong Liang Peng tak tahan suatu pukulannya!"
"Benar! Ilmu silatnya memang luar biasa" sambung yang lain, "dan lagi gaya
silatnya beraneka ragam, entah bagaimana cara melatihnya? Padahal usianya
masih sangat muda."
Terasa bangga juga Tian Pek mendengar orang sedang memuji dirinya. Tapi
segera terdengar pula seorang berseru dengan suara lantang: "Kalian tak perlu
mengibul dan me-muji2 kehebatannya, bukankah dia juga tidak mampu
menahan sekali pukul Tiat-ih-hui-peng (rajawali sakti bersayap baja) Pa-
jiya . . . ."
Sementara itu Tian Pek sudah melangkah masuk ke dalam ruang perjamuan,
puluhan pasang mata orang segera teralih ke arahnya.
Semua orang terbeliak dan merasa pangling, sebab ketika datang pemuda itu
berambut kusut dan muka kotor, tapi sekarang pemuda ini menjadi begitu
gagah dan tampan sekali, sungguh seorang pemuda tampan yang jarang ada
bandingannya.
Sekalipun dia masih mengenakan mantel hitam yang rombeng, namun tidak
mengurangi kegantengan dan kegagahan anak muda ini.
Pembicaraan para jago segera terputus oleh kegagahan Tian Pek yang
mempesona ini, semua terbungkam dan terbelalak lebar mengawasi Tian Pek.
Kanglam-te-it-bi-jin Kim Cay-hong pun mengawasi anak muda itu dengan
kesima, terpancar sinar aneh dari sorot matanya.
Dalam pada itu Siang-lin Kongcu telah berbangkit menyambut kedatangan
tamunya, setelah persilakan tamunya duduk, lalu iapun memperkenalkan tamu
lain yang hadir.
Meja perjamuan diatur dengan model tapal kuda, kawanan jago yang ikut hadir
dalam perjamuan berjumlah belasan orang banyaknya, semuanya bersinar mata
tajam dan bersikap kereng, jelas terdiri dari tokoh2 piliban.
Terdengar Siang-lin Kongcu memperkenalkan satu persatu sambil menunjuk
orangnya: "Saudara ini adalah Tiat-pi-to-liong (Naga bungkuk berpunggung baja)
Kongsun Coh, Kongsun-cinnpwe!"
Kakek itu berbadan bungkuk, bermata tajam dan berkening tinggi, jelas seorang
jago silat kelas tinggi. Cepat Tian Pek memberi hormat.
"O, Kongsun-ciapwe, sudah lama kukagumi nama anda!" ucapnya.
"Hahaha. engkoh cilik tak perlu sungkan2!" sahut Tiat-pi-to-liong sambil
bergelak tertawa, suara- nya nyaring membuat seluruh ruangan se-olah2 ber-
getar keras.
"Dan yang ini adalah Tiat-ih-hui-peng (rajawali sakti bersayap baja) Pa Thian-ho,
Pa-cianpwe!" ketika memperkenalkan jago tua ini, Siang-lim Kong¬cu sengaja
memperberat nada suaranya.
Setelah berhenti sebentar, ia menambahkan lagi: "Hahaha, tadi Tian-heng sudah
berjumpa dengan Pa-locianpwe bukan? Itulah yang dinamakan tidak berkelahi
tidak saling mengenal, semoga selanjutnya kalian berdua dapat bergaul lebih
akrab!"
Merah padam wajah Tian Pek setelah mendengar perkataan itu, ia merasa gusar
karena perkataan tersebut dirasakannya sebagai suatu penghinaan, suatu
cemoohan, tapi anak muda ini berusaha untuk menahan diri, mengendalikan
emosinya agar jangan sampai meledak.
"Wahai Tian Pek! Hanya seorang tukang pukul saja engkau tak mampu
mengatasinya, bagaimana mungkin kau mampu menuntut balas terhadap
majikannya . . ?" demikian di dalam hati ia mengomeli dirinya sendiri.
Karena pergolakan emosinya Tian Pek sama sekali tidak memperhatikan lagi
orang yang diperkenalkan Siang-lin Kongcu kepadanya, sekalipun jago2 itu
semuanya jago kelas satu dan terkenal di dunia persilatan.
Untuk sesaat anak muda itu jadi lupa daratan, dia hanya berdiri termangu
dengan darah bergolak dalam rongga dadanya, sopan santun dalam pesta
perkenalanpun terlupakan olehnya.
Tiba2 terdengar orang mendengus di sisi sana. suaranya tidak keras, namun
nadanya dingin mengejek.
Menyusul seorang lantas berseru dengan ketus: "Huh! Bukan saja tidak punya
kepandaian sejati, juga tak tahu sopan santun dunia persilatan, begitu saja
berani menduduki kursi utama. Hmm! Benar2 manusia tak tahu diri!"
Meja perjamuan ini berbentuk tapal kuda, Siang-lin Kongcu duduk pada kursi
utama persis di tengah2 yang melengkung itu, Kim Cay-hong duduk di sebelah
kursinya dan kursi kosong di sebelah kanan disediakan bagi Tian Pek, sementara
tokoh2 lain duduk pada kursi samping kanan-kiri, dari sini dapat diketahui
bahwa kedudukan yang disediakan bagi Tian Pek itu lebih terhormat
Biasanya kawanan jago silat yang diundang keluarga Kim selalu ditempatkan
pada kedudukan yang utama oleh Siang-lin Kongcu sebagai tanda bahwa ia
sangat menghormati tamunya ini.
Akan tetapi jago silat kawakan yang sudah berpengalaman biasanya menolak
kalau dipersilakan duduk pada kursi utama, sebaliknya selalu mohon diberi kursi
baru pada urutan yang terakhir, hal ini melambangkan dia menaruh hormat
kepada rekan-rekan lainnya yang masuk lebih dulu.
Tian Pek masih muda dan sama sekali tidak paham tata adat tersebut, begitu
masuk dia terus digandeng Kim-kongcu don diajak menempati kursi kehormatan
utama itu, menyusul lantas diperkenalkan kepada tokoh2 lainnya dan yang
terakhir membuat anak muda itu jadi kikuk ketika diperkenalkan kepada Pa
Thian-ho sehingga lupa pada adat yang sepele itu.
Sebenarnya Tian Pek tidak perlu malu lantaran dikalahkan Tiat-ih-hui-peng, jago
persilatan manapun takkan memandang rendah kekalahannya itu. sebab
bagaimanapun juga dalam pandangan kawanan jago itu Tian Pek tak lebih hanya
seorang muda yang baru muncul di dunia persilatan.
Sebaliknya Tiat-ih-hui-peng Pa Thian-ho adalah tokoh persilatan yang sudah
puluhan tahun merajai dunia Kangouw, dia memiliki Kungfu yang luar biasa,
terutama baju pusaka Thiat-ih-po-ih yang dipakainya bila dikembangkan bisa
melayang terbang diangkasa bagaikan burung, ini merupakan senjata penyergap
musuh yang sukar dilawan.
Kebanyakan orang sudah merasa kagum atas kehebatan Tian Pek ketika ia
sanggup menerima pukulan Pa Thian-ho tanpa terluka ditepi sungai Yan-cu-ki,
jadi sebenarnya tiada orang yang berani mentertawakan dia.
Sayang Tian Pek tak dapat berpikir sampai kesitu, dia anggap kejadian itu sangat
memalukan, diam2 ia sangat mendongkol.
Ketika mendengar suara jengekan tadi, barulah Tian Pek tersadar dari rasa malu
dan dongkolnya. Cepat ia berpaling, kiranya orang yang menyindir dirinya itu tak
lain adalah seorang pemuda tampan berbaju hitam.
Usia pemuda tampan ini baru dua puluhan, mukanya putih bersih, alis panjang
dan bibir merah, matapun jeli. Bukan saja wajahnya tampan, ilmu silatnya pasti
juga lihay, ini terbukti dari posisi duduknya diantara jago2 lainnya.
Kiranya pemuda baju hitam ini adalah murid kesayangan Cing-hu-cin Kim Kiu,
namanya Beng Ji-peng, sejak kecil hingga dewasa ia berdiam di-tengah2
keluarga Kim dan amat disayang Oleh Kim Kiu melebihi rasa sayangnya terhadap
putera sendiri, yaitu Kim Lin. oleh karena itu segenap ilmu silatnya telah
diajarkan kepadanya.
Tidaklah heran kalau ilmu silatnya amat lihay kendatipun usianya masih sangat
muda, terutama dalam hal senjata rahasia Cing-hu-kim-ci-piau, senjata rahasia
mata uang yang paling diandalkan Cing-hu-lin, boleh dibilang sudah dikuasainya
dengan sempurna.
Kecuali dalam hal Lwekang saja masih belum sempurna, Beng Ji-peng sudah
merupakan jago muda yang disegani, untuk itu orang persilatan telah memberi
julukan Giok-bin-siau-cing-hu (kecapung hijau kecil bermuka kemala)
kepadanya!
Usia Giok-bin-siau-cing-hu ini hampir sebaya dengan kakak beradik Kim Lin atau
Kim Cay-hoan dan Kim Cay-hong, dengan Siang-lin Kongcu ia lebih kecil dua
tahun dan setahun lebih tua daripada Cay-hong.
Sejak kecil mereka hidup bersama hingga dewasa, hubungnn mereka seperti
saudara sekandung.
Setelah usia mereka meningkat dan sudah mengerti urusan kehidupan manusia,
diam2 Beng Ji-peng menaruh hati terhadap Kim Cay-hong dan menganggap Kim
Cay-hong sebagai kekasihnya.
Kim Cay-hong juga bersikap baik padanya, se-hari2 dia biasa memanggil engkoh
Peng padanya tapi Giok-bin-siau-cing-hu tidak puas sampai disitu saja, sebab ia
merasa kebaikan anak dara itu hanya terbatas pada hubuugan persaudaraan
belaka, ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya, yaitu kasih mesra orang
muda.
Sebagai puteri kesayangan Cing-hu-sin, sejak kecil Kim Cay-hong sudah terbiasa
dimanja, apa yang diinginkan anak dara itu tak pernah dialangi oleh siapapun,
apalagi sikapnya suka bergaul dan berteman dengan siapapun, terutama
terhadap kaum mudanya, semua ini seringkali menimbulkan rasa cemburu bagi
Giok-bin-siau-cing-hu.
Hari ini kehadiran Tian Pek ternyata sangat menarik perhatian si nona, sekalipun
Kim Cay-hong tak pernah bicara dengan anak muda itu, akan tetapi sinar
matanya selalu memandang tak berkedip terhadap Tian Pek, bahkan sinar
matanya jauh berbeda daripada biasanya, hal ini menyebabkan Giok-bin-siau-
cing-hu tambah kuatir.
Semenjak dalam perjalanan pulang dan setelah berada di rumah, Giok-bin-siau-
cing-hu mengawasi terus tingkah-laku gadis itu, diam2 ia merasakan firasat yang
tidak enak, sikap istimewa yang ditunjukkan Kim Cay-hong lain daripada yang
lain, ia jadi kuatir kalau gadis pujaannya sampai direbut oleh anak muda yang
linglung itu.
Apalagi didengarnya orang sama memuji kehebatan Tian Pek, dia lantas
nyelutuk dengan rasa tak senang: "Huh, bagaimanapun dia kan tak mampu
menahan pukulan Pa-jiya!?"
Dan kini, dilihatnya Tian Pek sama sekali tidak menolak sebagai lazimnya jago2
silat lain bila dipersilakan duduk di kursi utama, dia lantas manfaatkan
kesempatan itu untuk ber-olok2 pula, tujuannya ingin membikin malu pemuda
itu, di samping itu iapun hendak menggunakan kesempatan ini untuk
menantang Tian Pek untuk berduel, ia yakin dengan sebilah pedang dan
sekantong Cing-hu-kim-ci-piau pasti dapat mengusir atau membinasakan Tian
Pek, menghilangkan duri didalam daging ini.
Tian Pek sendiri sejak mula sudah mendongkol dan ditahannya sebisanya,
sekarang di-olok2 pula, seketika meledaklah emosinya.
Segera ia menjura kepada para hadirin, kemudian berkata: "Bukan kehendakku
sendiri datang kesini, jika kedatanganku tidak diterima saudara sekalian dengan
baik. maka biarlah kumohon diri sekarang juga!"
Sambil berbangkit dari tempat duduknya, ia siap meninggalkan ruang
perjamuan.
Cepat Siang-lin Kongcu maju menghanginya, katanya sambil tersenyum: "Ah,
Tian-heng, harap jangan berpikir demikian, masa kami tak suka akan
kedatanganmu? Coba lihatlah, perjamuan sudah disiapkan, bagaimanapun juga
harap engkau suka minum barang tiga cawan arak lebih dulu, dengan demikian
sekadar terpenuhilah kewajibanku sebagai tuan rumah."
Diam2 Tian Pek menghela napas, pikirnya: "Orang persilatan sama mengatakan
bahwa Siang-lin Kongcu paling simpatik dalam memupuk persahabatan, ucapan
ini memang sedikitpun tak salah, dilihat dari kehalusan budinya serta keramah
tamahannya memang semua itu muncul dari lubuk hatinya yang bersih, dia tak
mungkin adalah seorang licik yang suka menjebak orang."
Dalam hati berpikir demikian, diluar segera jawabnya: "Maksud baik Kim-heng
kuterima didalam hati saja! Bicara sesungguhnya, aku memang masih ada
urusan penting yang harus dikerjakan, biarlah lain hari saja aku akan berkunjung
pula ke sini."
Selesai berkata dia lantas berbangkit dan melangkah keluar ruangan.
Bahwasanya keluarga Kim berani memakai nama "Keluarga nomor satu di
Kanglam", sudah tentu caranya menjamu tamu memang lain daripada yang lain,
baik hidangannya maupun araknya, semuanya kelas satu dan pilihan.
Tapi biarpun perut Tiak Pek sangat lapar, seleranya sekarang sudah lenyap dan
tetap erkeras hendak pergi.
Mendadak Beng Ji-peng berdiri dan menjengek: "Hm, mau pergi boleh pergi,
uutuk apa berlagak disini, memangnya keluarga Kim kekurangan tamu agung
semacam kau?!"
"Suheng! Apa-apaan kau ini? Koko berusaha menahan tamu, sebaliknya kau
malah mengusir tamu," tegur Kim Cay-hong dengan kurang senang-
Siang-lin Kongcu pun melotot sekejap ke arah Beng Ji-peng. lalu dengan
sungguh2 ia menarik tangan Tian Pek seraya berkata: "Tian-heng, harap engkau
jangan gusar atau tersinggung. Suteku ini memang berangasan tabiatnya, atas
kelancangan dan kekasarannya harap engkau sudi memberi maaf, Silakan duduk
Tian-heng, sekalipun engkau masih ada urusan penting rasanya tak ada salahnya
kalau minum secawan dua cawan arak lebih dahulu, masa cuma permintaanku
yang kecilpun tidak kau kabulkan? Itu namanya Tian-heng memandang rendah
Siang-lin!"
Tapi sekali Tian Pek menyatakan mau pergi, sukar lagi ditahan, meski beberapa
tokoh angkatan tua ikut menahannya, namun dia tetap tidak mau.
"Hei, orang muda jangan maju mundur tak menentu, ambillah keputusan yang
tegas!" seru Tiat-pi-to liong tiba2, dia terkenal setan arak, maka ia menjadi tidak
sabar dan ingin lekas makan minum. "Memangnya kau kuatir arak ini beracun?
Maka kau tak berani meminumnya?"
Manjur sekali perkataan ini, panas hati Tian Pek, cepat ia menjawab: "Baik,
karena ucapan Kongsun-cianpwe ini. mau-tak-mau aku Tian Pek harus minum
tiga cawan dan tak akan lebih, setelah itu aku akan segera angkat kaki dan sini,
akan kubuktikan Tian Pek bukan pemuda yang bernyali tikus dan takut mati!"
Habis berkata dia lantas mengangkat cawan araknya dan kepada hadirin dia
berseru: "Cianpwe sekalian, marilah minum secawan sebagai tanda hormatku
kepada para Cianpwe!"
Sekali tenggak dia mendahului menghabiskan isi cawan tersebut.
"Eh, masa kau juga anggap aku sebagai Cianpwe?" goda Kim Cay-hong sambil
tertawa cekikikan, iapun menghabiskan secawan arak.
Begitu arak masuk perut, seketika Tian Pek merasa perutnya panas seperti
dibakar, se-olah2 ada cairan baja mendidih dituang ke dalam perutnya, ia pikir
jangan2 di dalam arak benar2 ada racunnya.
Tapi segera terpikir pula hal ini tak mungkin terjadi, sedangkan Siang-lin Kongcu
belum mengetahui asal-usulnya yang sebenarnya, tiada alasan baginya untuk
mencelakainya, selain itu sebagai salah satu di antara Bu-lim-su-kongcu tidaklah
mungkin ia melakukan perbuatan serendah itu dihadapan tokoh persilatan
sebanyak ini.
Karena pikiran ini, nmaka ditengah seruan para hadirin yang sedang
menghabiskan isi cawan masing2 segera ia angkat cawan kedua sambil berseru
pula: "Aku Tian Pek terlalu muda dan kurang pengetahuan, jika tadi aku salah
bicara atau salah bertindak, maka cawan yang kedua ini anggaplah sebagai
penghormatanku bagi kawan2 persilatan yang seangkatan."
"Nah, beginilah seharusnya!" Kim Cay-hong menanggapi pula sambil tertawa
manis, alangkah menggiurkan kerlingan matanya yang menggetar kalbu.
Tian Pek pura2 tidak tahu, sekali tenggak dia menghabiskan pula isi cawan yang
kedua itu.
Giok-bin-siau-cing-hu Beng Ji-peng makin panas hatinya, sungguh ia ingin
merogoh kantong senjata rahasia dan menghajar saingan cintanya itu hingga
mampus.
Tian Pek tidak menyangka bahwa senyum dan kerlingan Kim Cay-hong itu telah
mendatangkan kesulitan baginya. Tatkala isi cawan kedua masuk perutnya, Tian
Pek makin terperanjat, ia merasa isi perut seperti dibakar, semacam hawa panas
terus mengalir dari perut menuju kebagian bawah dan menimbulkan
rangsangan napsu berahi . ..
Tian Pek yakin Siang-lin Kongcu tak nanti mengerjainya di depan orang banyak,
maka iapun tidak memikirkan munculnya hawa panas itu, malahan dia mengira
gejala itu timbul lantaran dia minum arak dalam keadaan perut kosong.
Tapi Kim Cay-hong yang teliti telah melihat gelagat yang tidak beres itu. Sebagai
tuan rumah, dia tahu sampai dimana kadar alkohol yang terkandung dalam arak
Li-ji-hong yang disuguhkan itu? jangankan seorang pemuda gagah seperti Tian
Pek, sekalipun anak dara yang tak biasa minum arakpun dua tiga cawan takkan
mendatangkan pengaruh apa2 baginya.
Tapi sekarang, kenyataan membuktikan lain, baru dua cawan arak ditenggak
Tian Pek, mukanya berubah menjadi merah membara, bahkan matanya
memancarkan cahaya yang aneh, tubuhnya juga sempoyongan, memangnya apa
gerangan yang terjadi?
Baru saja gadis itu bersuara heran dan belum sempat menanyakan sebab
musababnya, Tian Pek telah angkat cawannya dan minum habis isi cawan yang
ketiga kalinya itu.
"Arak bagus, arak enak ...,.!" seru anak muda itu. Ia merasa sekujur badan
semakin panas bagaikan dibakar, begitu tinggi suhu badannya hingga dia
setengah tak sadar, diam2 ia merasakan gelagat tidak baik, mendadak perutnya
terasa sakit keras, segera ia tahu telah dikerjai orang.
Ia tak menyangka Siang-lin Kongcu yang berkedudukan begitu terhormat di
dunia persilatan ternyata sudi melakukan tindakan yang begini rendah dan
kotor.
Terbayang bilamana ia terjatuh ke tangan musuh, akibatnya pasti sukar
terbayangkan, dia mati tak menjadi soal, tapi keturunan keluarga Tian akan ikut
musnah dan dendam kesumat kematian ayahnya pun tak bisa terbalas lagi.
Dengan marah dan kecewa dia lantas berseru: "Arak bagus ... arak keluarga Kim
yang sangat bagus . . . cukup tiga cawan ....hahaha . . .tiga cawan mampu
merantas usus. . . ."
Berbicara sampai disini, ia sempoyongun lalu roboh tak sadarkan diri . ..,
o—0O0—o o—0O0—o
Entah selang berapa lama, ketika ia menemukan dirinya berbaring disebuah
tempat tidur yang sangat indah. Baik seprai, selimut, maupun kelambu
semuanya terbuat dari bahan yang mahal, sekalipun kalah tenangnya jika
dibandingkan dengan kamar tidur Leng-hong Kongcu dari keluarga Buyung
namun dalam hal kemewahan boleh dibilang jauh melebihinya.
Setelah sadar dari pingsannya, Tian Pek merasakan tenggorokannya kering dan
haus sekali, perutnya tetap serasa dibakar. ia mengeluh pelahan: "Oh air. . .air . .
."
Seorang anak laki2 yang cakap dan seorang anak perempuan yang cantik berdiri
di depan pembaringan, mereka tak lain adalah Beng-beng dan Lan-lan, melihat
Tian Pek sudah sadar dari pingsannya, dengan wajah berseri cepat mereka lari
keluar seraya berteriak: "Bibi. . .bibi, dia sudah sadar kembali!"
Suara merdu mengiakan, seorang nona cantik lantas masuk ke ruangan itu, dia
bukan lain adalah Kanglam-te-it-bi-jin Kim Cay-hong.
Hari ini dia cuma mengenakan baju sutera yang tipis dengan rambut digelung di
atas kepala, ia tidak memakai perhiasan apa2, mukanya juga tidak memakai
bedak, walaupun begitu sedikitpun tidak mengurangi kecantikannya.
Setiba didalam ruangan, ia menghampiri sisi pembaringan, dilihatnya Tian Pek
betul sudah sadar kembali, matanya yang jeli memancarkan sinar berkilau,
lesung pipitnya kelihatan nyata dan sekulum senyum menghiasi bibirnya.
Tian Pek adalah pemuda jujur dan polos, jarang ia tertarik oleh kecantikan dara
ayu seperti apapun, tapi sekarang tak urung jantungnya berdebar keras.
"Tian siauhiap!" terdengar Kim Cay-hong menegur sambil tertawa, suaranya
merdu bagaikan kicauan burung, "kau sudah sadar?.' Siau-hong! Cepat ambilkan
air teh?"
Waktu itu Tian Pek memang merasa haus sekali, belum sempat ia mengucapkan
sesuatu, agaknya Kim Cay-hong telah mengetahui apa yang diharapkan anak
muda itu, maka diperintahnya orang mengambilkan air teh.
Tirai lantas tersingkap dan seorang dayang berbaju putih muncul sambil
membawa secangkir air teh.
Sekilas pandang Tian Pek kenal dayang itu sebagai dayang yang mau jemput
kitab Soh-kut-siau-bun-pit-kip yang terjatuh dan kemudian terdorong masuk
kedalam bak mandi itu.
Tapi ia tidak berpikir lagi, segera ia menghabiskan isi cangkir itu, tapi rasanya
masih haus, dengan lidahnya ia menjilat sekitar bibirnya yang kering.
Tertawa geli Kim Cay-hong menyaksikan tingkah laku anak muda itu, katanya:
"Tentu kau sangat haus."
Dia berkata pula kepada dayang baju putih: "Siau-hong, ambilkan secangkir
lagi!"
Bukan saja cantik wajahnya, gadis ini juga cerdik, apa yang dipikirkan orang lain
sebelum diutarakan ia telah dapat menebaknya.
Tapi sebelum Siau-hong melangkah keluar, Beng-beng dan Lan-lan telah muncul
dari luar dengan membawa sebuah teko porselen yang indah sambil berseru:
"Ini air tehnya sudah datang. . .air
tehnya sudah datang!"
Cepat Siau-hong maju menyambut teko itu, omelnya: "Ai, jalan pelan2, kalau
tekonya yang pecah tidak menjadi soal, bila kaki kalian tersiram air panas, bisa
susah!"
"Enci Hong, jangan menghina orang!" sahut Beng-beng dengan penasaran,
"Sekalipun tekonya kulemparkan kepadamu juga airnya takkan tumpah keluar?"
Teko itu benar2 terus dilemparkan ke depan, keruan Siau-hong menjerit kaget,
jika sambitan senjata rahasia dia dapat menghindar, tapi teko ini adalah benda
hadiah Sri Baginda, kalau pecah, tentu akan didamperat majikan tua.
Untung Kim Cay-hong bertindak cepat, ketika diiihatnya Siau-hong kelabakan,
dengan tersenyum omelnya: "Beng-beng? Kau memang nakal sekali!"
Tangannva segera diayun ke depan, teko yang sedang meluncur itu tiba2
tertolak ke atas oleh angin pukulannya, ketika teko itu meluncur kembali ke
bawah, dengan sigap Siau-hong menyambar pegangan teko tadi.
Air panas dalam teko memang tak sampai berhamburan, meski demikian Siau-
hong sudah dibuat terperanjat hingga berkeringat dingin.
Tian Pek berbaring di pembaringan dan dapat mengikuti semua kejadian itu
dengan jelas, diam2 ia menyesal, kalau seorang gadis dan anak kecil juga
memiliki ilmu silat selihay itu, apa lagi bapaknya?
Siau-hong lantas tuang air teh ke cangkir dengan tangan masih terasa lemas dan
agak gemetar. Pada saat itulah tirai tersingkap dan empat dayang cilik baju hijau
melangkah masuk.
Salah seorang di antaranya segera berlutut di depan Kim Cay-hong sambil
berkata: "Lapor Sio-cia, Kongcu telah tiba!"
"Cepat amat beritanya!" omel si nona.
Baru selesai perkataannya, Siang-lin tCongcu telah melangkah masuk diiringi
Tiat-pi-to-hong serta Tiat-ih-hui-peng.
"Tian-heng, engkau telah sadar?" sapa Siang¬lin Kongcu sambil mendekati
pembaringan, sikapnya sangat simpatik.
Tapi Tian Pek tidak menggubris, malahan ia melengos ke arah lain.
Siang-lin Kongcu tidak memusingkan sikap angkuh Tian Pek itu, malahan dengan
suara yang hangat ia berkata lagi: "Ketahuilah Tian-heng, engkau telah salah
merendam dirimu dengan air dingin Han-Cwan-sui, hawa yang dingin
menyumbat jalan darahmu, kemudian engkau minum tiga cawan arak,
peredaran darahmu makin bergolak hingga akhirnya jatuh pingsan, tapi kejadian
ini tidak terlalu menguatirkan, sekalipun badanmu untuk sementara menjadi
lemas, untung saja kami punya obat penawar yang mujarab, tak sampai tiga hari
engkau akan pulih kembali seperti sediakala . . . ."
Siang-lin Kongcu hendak melanjutkan lagi, tapi dengan nada dingin Tian Pek
menyela: "Hm, masa begitu kebetulan!"
"
Dingin sekali ucapan anak muda itu, nadanya amat tajam dan menusuk
perasaan, melengak juga
Siang-lin Kongcu yang terkenal ramah tamah dan sabar. Tapi segera ia tahu
pikiran orang, katanya pula dengan tertawa: "Bisa kumaklumi kalau Tian-heng
bercuriga, apalagi setelah Tiat-pi-to-liong bergurau, tentulah Tian-heng
menganggap kami benar2 telah mencampuri arak itu dengan racun, jangankan
Tian-heng, bahkan aku sendiripun bingung oleh kejadian ini, kemudian barulah
kudengar laporan Siau-hong yang mengatakan Tian-heng tidak biasa dimandikan
orang dan buka sendiri kran air di dalam kamar mandi itu, maka aku lantas
menduga Tian-heng telah salah membuka kran, air hangat yang seharusnya
dipakai telah salah memakai air dingin."
Selesai berkata, Siang-lin Kongcu tertawa ter-bahak2, berulang kali dia minta
maaf pula.
Tiat-pi-to-liong ikut ter-bahak2, katanya: "Ha-haha, dengan peristiwa ini,
kamipun dapat menyaksikan sampai dimana keberanian engkoh cilik, sungguh
perbuatan yang mengagumkan."
Kakek bungkuk ini termasuk jago persilatan terkemuka, gelak tertawanya yang
nyaring menggetar seluruh ruangan, berulang kali dia acungkan jempolnya
memuji kejantanan Tian Pek.
Tiat-ih-hui-peng juga ikut berkata: "Kukira lebih baik jangan kau pikir yang
bukan2, ketahuilah Siang-lin Kongcu adalah ksatria muda yang berjiwa luhur.
simpatiknya maupun keramah-tamahannya sudah tersohor di seantero jagat,
sekalipun dia sakit hati padamu juga tak nanti meracuni kau, maka semua ini
hanya terjadi secara kebetulan saja, bagaimanapun juga engkau harus
mempercayainya!"
Perlu diketahui, Tiat-pi-to-liong serta Tiat-ih-hui-peng sama2 disebut Kim-hu-
siang-tiat-wi (dua pengawal baja dari istana keluarga Kim), kedudukan mereka
dalam keluarga Kim sangat tinggi, nama besar mereka di dunia persilatanpun
sangat terhormat, dengan derajat mereka itu tentu saja mereka takkan bicara
bohong.
Sekalipun demikian Tian Pek yang keras kepala tetap tidak percaya.
"Memang aku Tian Pek tak biasa dilayani orang," demikian katanya, "tapi air
dalam bak mandi itu bukan aku sendiri yang mengisinya, tentu saja aku
mempercayai apa yang diucapkan Cianpwe berdua, selain itu akupun percaya
bahwa Kim-kongcu adalah seorang laki2 sejati yang tak suka mencelakai orang
dengan cara yang licik, setelah aku pikirkan kembali, kurasa kejadian ini mungkin
hanya kebetulan saja, bisa jadi aku masuk angin dan tiba2 pingsan, atau
mungkin aku tak kuat minum arak sehingga baru tiga cawan sudah mabuk?"
Perkataan Tian Pek itu tidak menuduh siapaa, tapi setiap orang dapat
menangkap maksud ucapannya itu.
Siang-lin Kongcu termasuk tokoh persilatan yang berkedudukan tinggi, sudah
tentu ia tak tahan mendengar sindiran Tian Pek yang tajam itu. Jangankan Siang-
lin Kongcu, Kim Cay-hong juga melengak setelah mendengar perkataan itu,
lebih2 kedua kakek "pengawal baja" itu, mereka menjadi gusar dan segera
hendak bertindak.
Tapi Siang-lin Kongcu tetap tenang2 saja, dia tidak marah oleh sindiran Tian Pek.
ia lantas berpaling dan berkata kepada Siau-hong, si dayang berbaju putih,
katanya dengan dingin: '"Membohongi majikan, melayani tamu dengan angkuh,
tahukah berapa besar kesalahan yang kau lakukan? Hm, perbuatan semacam itu
tak dapat diampuni, apakah perlu kukatakan pula?"
Berubah hebat air muka Siau-hong demi mendengar perkataan itu, dia tertegun
sejenak lalu tanpa mengucapkan sepatah katapun dia mengundurkan diri dan
ruangan itu.
"Blang!" dari luar segera terdengar suara benturan keras, lalu suara benda berat
terjatuh, kemudian suasanapun hening kembali.
Dari suara tersebut Tian Pek dapat menduga apa yang telah terjadi, betapa
terperanjatnya anak muda itu, ia berpikir. "Masa beberapa patah kata Siang-lin
Kongcu tadi sudah cukup membuat dayang itu membuuuh diri? Ah, tak
kusangka begini keras peraturan rumah tangga keluarga Kim ..."
Bagi pandangan Tian Pek, peristiwa itu dianggapnya sebagai suatu kejadian yang
amat menggetarkan hati, tapi bagi anggota keluarga Kim kejadian itu sama
sekali bukan apa2, se-akan2 tak pernah terjadi sesuatu, malahan air muka
beberapa orang itu tetap tenang.
Sesaat kemudian, Siang-lin Kongcu berdiri dan berkata: "Beristirahatlah baik2,
tiga hari lagi kutanggung Tian-heng akan sehat kembali seperti sediakala!"
Habis bicara tanpa berpaling lagi ia berlalu dari situ dengan membawa Kim-hu-
siang-tiat-wi serta keempat dayang cilik itu.
Sementara itu Beng-beng dan Lan-lan entah sudah kemana perginya, mungkin
bermain di luar-
Dengan begitu, dalam ruangan hanya tinggal Kim Cay-hong dan Tian Pek berdua
saja.
Memandangi anak muda itu, dengan rawan Cay-hong berkata "Kutahu tindakan
kakakku ini akan dianggap suatu penghormatan besar bagi orang lain, tapi bagi
dirimu mungkin kebalikannya, tentunya kau merasa tidak senang dengan
peristiwa itu?"
"Aku tak tahu apa yang kau masudkan, coba terangkan?" sahut anak muda itu.
Ia sudah telanjur dendam pada keluarga Kim, setelah menyaksikan peristiwa
tadi, ia tambah benci dan muak, sekalipun menghadapi Kanglam-te-it-bi-jin atau
perempuan tercantik di Kanglam, sikapnya tetap ketus.
Kim Cay-hong tidak menghiraukan keketusan anak muda itu, dengan suara halus
ia berkata: "Engkau harus mengerti, Siau-hong bukanlah seorang dayang biasa,
dia adalah pembantu rumah tangga kami yang mempunyai kedudukan tinggi,
tapi sekarang hanya disebabkan dia salah melayani tamunya, kakak telah
menghadiahkan kematian baginya, andaikata kejadian ini berlangsung
dihadapan jago persilatan yang lain, maka mereka pasti akan merasa terharu
dan amat berterima kasih, mereka pasti akan berbakti mati2an kepada keluarga
kami. Sedang kau, kau sama sekali berbeda. . . ."
Kim Cay-hong hendak melanjutkan kata2nya, tapi Tian Pek lantas tertawa dingin
dan memotong: "Aku tidak sekejam itu, memancing rasa terima kasih orang
dengan korbankan jiwa orang lain. Jika menginginkan aku berbakti kepadanya
dengan mengorbankan nyawa orang, hal ini malah menimbulkan rasa benciku."
"Itulah sebabnya kenapa kukatakan kau berbeda dengan orang lain!" seru Kim
Cay-hong. "Cuma didalam peristiwa ini engkohku tiada maksud membeli
simpatimu, dia bertindak demikian berdasarkan kebijaksanaan dan keadilan."
"Hmm!" Tian Pek mendengus.
Kim Cay-hong adalah gadis yang cerdik, berhadapan dengan dia, tanpa
bicarapun dia dapat membaca isi hati orang, dan cukup dengan pandangannya
orangpun akan tahu apa yang dia harap agar dikerjakan.
Karenanya dengusan Tian Pek telah mengejutkan dia, ditatapnya anak muda itu
dengan tercengang, kemudian ujarnya lagi: "Setelah kau pingsan sehabis minum
arak hari itu, Siau-hong membohongi kakak bahwa kau sendiri yang mengisi Te-
sim-han-cwan-sui di bak mandi itu, sekaiipun dia tinggi kedudukannya dalam
keluarga kami. Dengan perbuatannya membohongi majikan menunjukkan dia
tidak setia kepada majikan, dosa semacam itu tak dapat diampuni. Selain itu
dengan bersungguh hati engkohku ingin mengikat tali persahabatan dengan kau,
tapi Siau-hong mencelakakan tamunya, perbuatan seperti ini sama artinya tidak
menghormati tamu majikannya. Oleh sebab itulah, setelah ditegur oleh
engkohku, dia jadi malu, untuk menebus kesalahannya hanya ada satu jalan saja
yang bisa ditempuh, yakni bunuh diri dengan perbuatannya itu bukan saja ia
telah menebus dosa bahkan telah menunjukkan pula keberanian yang
bertanggung jawab, tindakannya ini mengagumkan dan bukan kesalahan
kakakku, karenanya aku jadi heran melihat engkau begitu benci kepada
engkohku, aku lantas berpikir bila tiada alasan lain, tak mungkin engkau bersikap
demikian, benar tidak ucapanku ini?"
Memang lihay Kim Cay-hong menganalisa persoalan itu, diam2 Tian Pek merasa
kagum sekali pada kecerdasannya. Anak muda ini tidak berani bicara lebih jauh
dengan gadis itu, dia kuatir jika pembicaraan dilanjutkan maka sebelum dia
mengetahui latar belakang musuhnya, rahasia sendiri mungkin akan terbongkar
lebih dahulu, kalau sampai terjadi begitu, niscaya rencananya untuk membalas
dendam akan berantakan.
Maka setelah termenung sebentar, ia pun alihkan pokok pembicaraan ke soal
lain: "Kalau memang air dingin Te-sim-han-cwan-cui itu beracun, kenapa kalian
pasang di kamar mandi, jangan-jangan . . ."
Sebelum anak muda itu menyelesaikan kata2nya, Kim Cay-hong lantas menyela
dengan tertawa: "Ah, kau ini ada2 saja! Bila kami mau mencelakai orang, apakah
perlu kami pancing orang itu masuk ke kamar mandi? Ketahuilah, air itu khusus
disediakan bagi ayahku untuk berlatih ilmu."
"Ayahmu?" seru Tian Pek dengan mata terbelalak, "masa ayahmu berada di
rumah? Kenapa selama ini tak pernah kulihat ayahmu?"
"Ayahku tentu saja tinggal di rumah, cuma beliau kurang leluasa bergerak. maka
jarang menemui tamu!" sahut Kim Cay-hong dengan heran.
"Lalu dia berdiam di mana?" tanya Tian Pek pula.
Kim Cay-hong tidak lantas menjawab, ditatapnya anak muda itu dengan heran,
sahutnva kemudian: "O, Tian-siauhiap kenal dengan ayahku?"
Tian Pek tertawa pedih, ucapnya: "Nama besar Cing-hu-sin Kim Kiu sudah
termashur di seluruh jagat, siapakah yang tak kenal nama kebesarannya?"
"O, jadi kau cuma mendengar nama tapi tak pernah berjumpa?"
Tian Pek mengangguk tanda membenarkan.
"Memang benar!" ucap Kim Cay-hong pula, "sudah puluhan tahun ayahku tak
pernah melakukan perjalanan keluar, usiamu masih muda, tak mungkin pernah
bertemu dengan ayahku!"
"Kenapa begitu?''
Kim Cay-hong tidak menjawab, terpancar sinar matanya yang ragu dan heran,
katanya kemudian: "Tian-siauhiap, tampaknya engkau menaruh perhatian
khusus terhadap ayahku?"
Merah muka Tiau Pek, ia tahu pertanyaan sendiri terlalu menonjol dan telah
menimbulkan curiga orang.
Cepat ia menggelengkan kepala dan menyahut: "Ah, aku cuma bertanya
lantaran ingin tahu saja, coba bayangkan! Ayahmu kan seorang tokoh yang
ternama dan berkedudukkan tinggi di dunia persilatan, kenapa puluhan tahun
berdiam di rumah dan tak pernah berkecimpung di dalam dunia persilatan?"
Rasa curiga Kim Cay-hong lantas lenyap, terlihat rasa sedih menghiasi wajahnya
yang cantik, ucapnya dengan muram: "Belasan tahun yang lalu ayahku
mengidap suatu penyakit aneh, setelah sembuh dari sakitnya maka kedua
kakinya menjadi lumpuh dan tak bisa bergerak lagi. Oleh karena itu beliau jarang
keluar rumah, selama ini dia hanya beristirahat di ruang Gi-cing-wan di belakang
gedung sana!"
Sekarang Tian Pek baru tahu sebab musababnya mengapa tokoh lihay itu tidak
kelihatan. Diam2 ia sudah punya pendirian, maka ia tidak bertanya lagi, Sejak
itulah Tian Pek merawat lukanya di gedung keluarga Kim, setiap hari Kim Cay-
hong berkunjung ke situ. Sementara Siang-lin Kongcu sendiri karena sibuk
dengan tamunya, ia jarang menyambangi Tian Pek.
Dengan cepat 3 hari telah lalu, senja hari ketiga, sakit Tian Pek sudah sembuh,
sebenarnya dia ingin pamit dan pergi, kebetulan Siang-lin Kongcu tak berada di
rumah, Kim Cay-hong berusaha menahannya. tapi anak muda itu bersikeras
akan pergi juga.
Dari sikap Kim Cay-hong yang berat melepaskan pemuda itu, dapatlah diketahui
bahwa selama dua hari berkumpul, diam2 gadis yang mendapat julukan
"Perempuan paling cantik di seluruh wilayah Kanglam" ini telah jatuh cinta
kepada Tian Pek-
Sebaliknya anak muda itu sendiri sama sekali tidak menaruh perhatian apapun
terhadap gadis
cantik yang menjadi pujaan kebanyakan orang itu,
sikap Kim Cay-hong yang lembut dan perkataannya yang hangat sama sekali
tidak menggerakkan perasaan Tian Pek, malahan memandangpun enggan.
Manusia memang makhluk yang aneh, semakin sukar mendapatkan sesuatu,
semakin besar pula hasratnya untuk mendapatkannya. Semakin tawar sikap
anak muda itu, semakin bergairah anak dara itu mendekatinya, rasa cintapun
makin menebal.
"Engkau kan baru sembuh, kenapa ter-buru2 pergi dari sini?" tanya Kim Cay-
hong sambil menatap wajah anak muda itu dengan pandangan lembut, "masa
kau tak sudi tinggal beberapa hari lagi di rumahku?"
"Tidak mungkin!" jawab Tian Pek dengan tegas, "sekarang juga aku harus pergi,
aku masih ada urusan penting lainnya yang harus segera diselesaikan!"
"Mungkin rumahku tidak baik atau pelayanan kurang memuaskan hatimu. .."
tanya si nona dengan sedih.
"Aku tak pernah berkata begitu!" tukas Tian Pek cepat, "aku cuma tidak bisa
tinggal lebih lama lagi di sini."
"Masa menginap semalam lagi kau pun tak mau. . . .?" pinta Kim Cay-hong
dengan air mata meleleh.
Melihat wajahnya yang sedih dan air mata yang berlinang sehingga mirip butiran
embun di atas kelopak bunga, mau-tak-mau hati Tian Pek terguncang.
"Ai, hal ini , . .. .tak mungkin.. ." katanya dengan menyesal.
Tian Pek bukan pemuda yang bodoh, bukan pula pemuda yang tak berperasaan,
iapun dapat meresapi kasih mesra yang diperlihatkan Kim Cay-hong kepadanya,
tapi dendam yang terpendam dalam hatinya membuatnya tak dapat menerima
cinta kasih si nona.
Maka dengan perasaan yang kusut ia panggul Pedang Hijau dan melangkah pergi
tanpa berpaling lagi.
Anak muda itu menyadari akan posisinya saat ini, ia sadar bila tidak cepat2
pergi, bisa jadi dia tak tega lagi tinggalkan gedung keluarga Kim. Ia tahu bila
dirinya tidak mampu menguasai perasaannya dan jatuh cinta pada puteri musuh
maka itu berarti untuk selamanya dia akan terikat dan tak dapat lagi menuntut
balas.
Baru dua langkah Tian Pek berjalan, tiba2 Kim Cay-hong menarik tangan pemuda
itu sambil ber-seru dengan sedih: "Tunggulah sebentar lagi, dengarkan dulu
sepatah kataku kepadamu ....!"
Belum sempat Tian Pek menjawab, mendadak terdengar bunyi ujung baju
berkibar tersampuk angin, menyusul sesosok bayangan orang lantas menerobos
masuk lewat jendela.
Orang ini tak lain adalah murid kesayangan Cing-hu-sin. saudara seperguruan
kedua Kim bersaudura yaitu Giok-bin-siau-cing-hu Beng Ji-peng adanya!
Waktu itu Beng Ji-peng mengenakan pakaian ringkas warna hitam pekat,
mukanya yang tampan tampak pucat, dengan mata melotot ia membentak:
"Sumoay, biarlan dia pergi dari sini!"
"Hm, siapa yang suruh kau campur urusanku? " sahut Kim Cay-hong dengan tak
senang. "Lebih baik cepat kau enyah dari sini, tak perlu kau mencampuri
urusanku."
Beng Ji-peng melengak, tak diduganya Sumoay yang sejak kecil dibesarkan
bersama ini dapat bicara padanya sekasar ini.
Sikap Kim Cay-hong yang kasar ini semakin mengobarkan rasa gusarnya,
teriaknya dengan mendongkol: "Saat ini Suko tidak di rumah. kalau bukan aku
lantas siapa yang akan mengurusi kau? Akan membiarkan kau bikin malu
keluarga Kim....?"
"Plok!" tempelengan telak bersarang di muka pemuda itu, dengan muka pucat
karena menahan marahnya. Kim Cay-hong berteriak: "Perbuatan apa yang
memalukan? Koko sendiripun tak berani memaki begitu padaku."
Beng Ji-peng tak menyangka Kim Cay-hong akan menamparnya, untuk sesaat ia
berdiri tertegun, pipinya yang putih segera tertera lima jalur jari tangan yang
barwarna merah.
Dengan muka pucat hijau ditatapnya beberapa kejap si nona, kemudian kepada
Tian Pek ia berkata: "Anak busuk! Kulau malam ini kau tidak tinggalkan gedung
keluarga Kim, tuan muda akan suruh kau mampus tanpa terkubur."
Habis berkata ia lantas melayang keluar ruangan itu.
Tian Pek tertawa dingin. "Hehe, karena kau menantang, maka malam ini aku
sengaja akan menginap lagi di sini, ingin kulihat apa yang bisa kau lakukan!"
Sayang Beng Ji-peng sudah pergi, ucapan tersebut tak terdengar oleh yang
bersangkutan.
Kim Cay-hong yang berada di sisinya segera berseru: "Tian-siauhiap jangan
kuatir, selama aku berada di sini, tak nanti dia berani ganggu seujung
rambutmu!"
"Aku tak ingin membonceng kekuasaan nona, aku percaya masih sanggup
menghadapi dia."
Kim Cay-hong mengawasi anak muda itu sejenak, akhirnya dia menghela napas
panjang dan menggeleng kepala, katanya kemudian: "Bukannya kupuji diri
sendiri, setiap orang yang bertemu dengan aku, tak seorangpun yang tidak
memuji kecantikanku, mereka berusaha menyanjung, menjilat agar aku tertarik
dan ingin mempersunting diriku, tapi tak pernah kugubris mereka, aku tak
pernah tertarik kepada mereka. Tapi sejak kujumpai Tian siauhiap, entah
mengapa aku. .,.." Berbicara sampai disini tiba2 mukanya berubah jadi merah
dan bungkam.
Sekalipun dia adalah seorang gadis persilatan yang lebih suka berbuat bebas dan
berbicara terbuka, tapi bagaimanapun dia tetap seorang nona, dengan
sendirinya ia malu meneruskan ucapannya,
Tian Pek mengakui kecantikan si nona memang tidak ada bandingannya, apalagi
si nona sendiri jatuh cinta padanya, sayang gadis ini adalah puteri musuh
besarnya, tak mungkin baginya untuk menerima cintanya, hal ini mungkin sudah
suratan nasib.
Karena itu, untuk beberapa saat lamanya Tian Pek hanya berdiri termangu tanpa
mengucapkan sepatah katapun.
Selagi mereka sama2 berdiri termangu dan membungkam, tiba2 terdengar gelak
tertawa yang nyaring berkumandang di luar jendela, suara tertawa itu keras
sekali hingga menggetar dinding ruangan.
Menyusul terdengar seorang berseru: "Keponakan yang baik, kudengar engkau
telah membikin malu keluarga Kim, apakah lantaran bocah keparat itu."
Air muka Kim Cay-hong dan Tian Pek berubah seketika, serentak mereka
melompat keluar.
Dengan muka pucat karena marah, Kim Cay-hong langsung memaki dengan
suara melengking; "Beng Ji-peng, apa maksudmu menfitnah orang dengan kata2
yang kotor? Hm, mulai hari ini kita putus hubungan, aku Kim Cay-hong tidak
mengakui kau sebagai Suheng lagi!"
Tian Pek sendiripun tak kalah mendongkolnya, sambil tertawa iapun menyindir:
"Hahaha, kukira kau masih ada ilmu simpanan, hingga berani omong besar
seberti tadi. Huh, tak tahunya kau pergi mencari bala bantuan dan
mengharapkan orang lain yang turun tangan bagimu."
Hati Beng Ji-peng sudah panas ketika dimaki Kim Cay-hong, apalagi sekarang
disindir lagi oleh
Tian Pek, keruan tak terbendung lagi gusarnya, segera ia berteriak: "Anak busuk
she-Tian, bukan maksudku mencari bantuan, kuundang kehadiran kedua
Ciandwe ini untuk bertindak sebagai saksi, jangan kau anggap istana keluarga
Kim adalah tempat yang boleh kau main gila sesukamu, cukup seorang tuan
Beng saja dapat mencabut jiwa anjingmu."
Mengapa Giok-bin-siau-cing-hu begitu benci terhadap Tian Pek? Tidak sukar
menjawab pertanyaan ini. Tentu saja karena camhuru yang mengakibatkan
terjadinya peristiwa ini, Sejak kehadiran Tian Pek di gedung keluarga Kim,
terutama dua hari beruntun setelah pemuda itu sakit, boleh dibilang Kim Cay-
hong senantiasa menjaga anak muda itu disisi pembaringannya, ia menyuapkan
obat, memberi minum, sikapnya begitu mesra dan penuh perhatian, semua ini
membikin panas hati Beng Ji-peng.
Sudah ber-tahun2 pemuda she Beng ini mencintai adik seperguruannya, tapi
selama ini belum pernah ia cicipi adegan mesra semacam itu sekali¬pun ia sakit.
Bisa dibayangkan betapa cemburu dan gusar anak muda itu, kalau bisa dia ingin
menghajar Tian Pek sampai mampus sehingga saingan ini tersingkir.
Beng Ji-peng berusaha menasihati Sumoaynya agar menjauhi anak muda itu,
tapi Kim Cay-hong tak mau menurut perkataannya. kemudian ia menyaksikan
pula Tian Pek hendak pergi, tapi gadis itu merasa berat untuk melepaskannya,
malahan menarik tangannya.
Adegan itu kontan membuat darahnya tersirap ia tak mampu menguasai dirinya
lagi dan segera tampil kemuka. Siapa tahu Kim Cay-hong bukannya menuruti
perkataannya, malahan membantu Tian Pek dan menyerangnya dengan kata2
pedas, dengan dongkol dia menuju ke ruang depan dan mengundang Tiat-pi-to-
liong serta Tiat-ih-hui-peng, kedua kakek "pengawal baja" istana keluaga Kim.
Cemooh dan hinaan Tian Pek seketika memuncakkan hawa amarahnya, apalagi
setelah Kim Cay-hong memutuskan hubungan persaudaraan, ia tambah kalap.
Tanpa bicara lagi dia berpekik nyaring. ia mencabut pedangnya, dengan jurus
Sin-liong-jut-sui (naga sakti muncul dari air), pedangnya langsung menyambar
dan menusuk perut Tian Pek.
Dengan tenang Tian Pek berkelit, berbareng iapun hendak melolos pedang
hijaunya.
Tentu saja Beng Ji-peng tidak memberi peluang bagi musuhnya untuk melolos
senjata. beruntun ia melancarkan tiga kali serangan berantai dengan jurus Wu-
in-pit-gwat (awan hitam menutupi rembulan), Siau-ki-lam-thian (sambil
tersenyum menunjuk langit selatan) serta Hian-niau-hua-sah (burung hitam
mencakar pasir), semua mengarah Hiat-to penting di tubuh musuh.
Karena serangan berantai musuh, Tian Pek kehilangan kesempatan, terpaksa dia
harus berkelit, melompat dan menyingkir untuk melepaskan diri dari ancaman
tersebut.
Meskipun cukup gesit dia mengelak, namun akhirnya toh tetap terlambat satu
tindak, bajunya terpapas sebagian, hampir saja paha kanannya ikut tertabas
oleh sambaran pedang Beng Ji-peng itu.
Terperanjat Tian Pek, dalam pada itu iapun sempat melolos pedang pusakanya.
Kim Cay-hong terperanjat melihat Tian Pek hampir terluka, tapi setelah
menyaksikan Tian Pek lolos dari ancaman dengan selamat, hatinya merasa lega,
dengan penasaran ia berteriak terhadap Beng Ji peng: "Huh! Begitukah caramu
menghadapi lawan? Apa kau sengaja hendak bikin malu keluarga Kim?"
"Perbuatan apa yang pernah kubikin malu keluarga Kim?" teriak Beng Ji-peng.
"kau sendiri yang bikin malu keluarga Kim, perbuatanmu yang pantas dikatakan
perbuatan memalukan.'"
Merah padam wajah Kim Cay-hong karena marah, sekujur badan gemetar,
dengan benci ia berteriak: "Kau tak perlu mencampuri urusan pribadiku, caramu
bertempur tanpa menunggu lawan melolos senjata, tahu2 kau menyerang lebih
dulu, begitukah kepandaian yang berhasil kau yakinkan selama ini? Hm, nama
baik ayah pun ikut ternoda oleh perbuatan rendahmu itu!"
"Tutup mulut!" bentak Beng Ji-peng dengan kalap, "kalau dia mampus, itu salah
dia sendiri yang tak becus, kalau dia tak mampu mencabut pedangnya sendiri,
memangnya perlu orang lain yang memberikan pedang kepadanya?"
Cekcok mulut antara kakak beradik seperguruan berlangsung makin tajam,
siapapun tak mau mengalah.
Tian Pek sendiri tetap bersikap tenang, "sret" begitu Pedang Hijau terlolos,
terpancarlah cahaya kemilauan di ambang senja.
Sementara itu malam telah tiba, lampu telah dipasang dan baberapa orang
pelayan laki2 maupun perempuan membawa pula beberapa buah lampu lentera
mengitari gelanggang, ini membuat suasana tempat itu jadi terang benderang
bagaikan di siang hari.
Air muka para pelayan yang mengitari gelanggang itu tiada yang menunjuk rasa
kaget atau kuatir, malahan rata2 menunjuk rasa gembira karena sebentar lagi
akan berlangsung suatu pertarungan seru, ini suatu tanda bahwa kaum hamba
keluarga Kim juga sudah terbiasa dengan pertarungan orang Kangouw ini.
Pelahan Tian Pek menggetar pedang mestikanya hingga memancarkan cahaya
hijau, kemudian sambil melangkah ke tengah gelanggang, serunya dengan
lantang: "Nona Kim, silakan menyingkir kesamping, berilah kesempatan bagi
Tian Pek untuk menghadapi orang kosen pada malam ini!"
"Hahaha, bagus, bagus sekali!" teriak Tiat-pi-to-liong. "Hayo maju!"
Begitulah watak aneh sepasang "pengawal baja" itu, bukannya melerai, mereka
malahan menganjurkan berlangsungnya pertarungan.
Sebelum Kim Cay-hong sempat buka suara, Beng Ji-peng mengejek pula dengan
nyaring: "Hei, cecunguk cilik, sekarang kau telah memegang pedang, jika
mampus tentu kau tak dapat bilang apa2 lagi bukan? Nah, anak busuk, serahkan
jiwamu!"
Berbareng dengan perkataan tersebut, Beng Ji-peng segera meloncat ke udara,
pedangnya berputar menciptakan selapis cahaya terus merabas kepala Tian Pek.
Tian Pek tidak berani gegabah, dari gerak tubuh musuh yang enteng, gesit dan
lincah serta jurus pedangnya yang ganas, ia tahu Kungfu lawan cukup tangguh,
Belum tiba serangan itu, hawa pedang yang tajam dan dingin serasa menyayat
tubuhnya, cepat ia pusatkan perhatiannya, dengan jurus Koan-te-hoan-thian
(menggulung bumi membalik langit) pedangnya menangkis ke atas.
Pedang Hijau Bu-cing-pek-kiam memang pedang mestika yang amat tajam,
mengikuti gerakan itu terciptalah selapis cahaya hijau yang menyilaukan mata
dalam sekejap cahaya pedang yang terpancar oleh serangan Beng Ji-peng tadi
tergulung lenyap.
Beng Ji-peng sendiri tentu saja dapat merasakan pedang lawan adalah senjata
mestika, namun ia tidak berusaha menghindar, sebab ia hendak manfaatkan
tenaga tekanan dari udara untuk memperbesar daya serangannya atas lawan ia
himpun tenaga pada pergelangan tangan, dengan sekuat tenaga ia menabas ke
bawah.
"Cring!" benturan nyaring terdengar, kedua senjata saling bentur dan
menimbulkan percikan bunga api, terciptalah pemandangan menakjubkan di
udara-
Kedua orang sama2 merasakan lengan kaku kesemutan, nyata tenaga kedua
orang sama kuat.
Sudah tentu posisi Beng Ji-peng lebih menguntungkan, sebab dia menekan ke
bawah, namun dia harus melayang turun beberapa kaki di sebelah sana, sedang
Tian Pek tetap berdiri tegak di tempatnya, cepat kedua orang memeriksa senjata
masing-masing.
Pedang hijau Bu-cing-pek-kiam tetap mulus tiada cacat apapun, sebaliknya
pedang hitam Beng Ji-peng pun tetap bercahaya tajam, ternyata senjata itupun
tidak mengalami kerusakan apa2.
Meskipun pedang hitam yang digunakan Beng Ji-peng bentuknya jelek dan tiada
keistimewaan, namun senjata itu sebenarnya terbuat dari inti baja yang berusia
laksaan tahun dari dasar laut, tajamnya luar biasa dan keras pula.
Sebab itulah meski Beng Ji-peng sutelah melihat pedang yang dipakai Tian Pek
memancarkan sinar tajam dan pasti pedang mestika, namun ia tidak gentar,
bahkan memperkuat tenaga tabasannya, ia justeru ingin mengutungi pedang
Tian Pek lebih dahulu.
Siapa tahu pedang mestika lawan bukan saja tidak cedera malahan mampu
menandingi kekerasan senjatanya, hal ini sungguh di luar dugaan Beng Ji-peng.
Tian Pek sendiripun terperanjat, dia tak mengira pedang baja yang jelek
bentuknya milik lawan ternyata sanggup menandingi ketajaman pedang
mestikanya.
Tapi justeru dengan terjadinya peristiwa ini, maka kedua pihakpun mempunyai
perhitungan sendiri tentang kekuatan musuh, merekapun tahu kemenangan tak
mungkin dapat diraih dengan mengandalkan ketajaman pedang mestikanya.
Pertarungan lantas dilanjutkan dengan mengandalkan ilmu silat sejati yang
dimiliki masing2.
Tampaklah pedang hijau Tian Pek berputar di udara menerbitkan sinar bagai
bianglala membelah udara, sebaliknya pedang hitam Beng Ji-peng menyambar
kian kemari bagaikan naga hitam mengaduk samudera, cahaya hijau dan hitam
saling bergumul, membuat suasana gelanggang berubah seram, hawa pedang
yang tebal menyelimuti sekujur badan kedua orang muda itu.
Pertarungan berlangsung kian cepat, dalam waktu singkat empat puluhan
gebrakan sudah lewat.
Tiat-pi-to-liong mengikuti pertarungan itu sambil mengelus cambangnya,
kadang2 dia berteriak memuji, memberi penilaian terhadap jurus serangan
mereka.
Sementara Tiat-ih-hui-peng menonton dengan serius, ia mengawasi jalannya
pertarungan dengan sorot mata tajam, tapi mulutnya tetap bungkam tanpa
memberi komentar.
Gadis paling cantik di seluruh wilayah Kanglam diam2 menguatirkan
keselamatan pujaan hatinya, dia tahu ilmu silat Suhengnya telah hampir
mewarisi seluruh kemahiran ayahnya, selama ini jarang ada yang mampu
menandingi dia.
Kawanan pelayan baik laki2 ataupun perempuan yang mengerumuni seputar
gelanggang, sama menonton dengan mata terbelalak, memang seringkali
mereka menyaksikan pertarungan seru, akan tetapi belum pernah melihat
pertarungan tegang dan sengit begini.
Sementara itu pertarungan sudah meningkat tegang dan menentukan mati dan
hidup.
Beng Ji-peng lebih mahir melancarkan serangan, gerak-geriknya juga lebih
lincah, serangannya lebih ganas, selalu mengincar bagian2 mematikan di tubuh
Tian Pek, saking gemasnya, sekali tusuk dia ingin menembusi dada lawan
cintanya ini.
Sebaliknya Tian Pek lebih sempurna dalam hal tenaga dalam, dia lebih
mengutamakan ketenangan dan kemantapan, jurus2 serangannya terang dan
kuat, anggun dan wibawa se-olah2 seorang tokoh suatu aliran besar.
Setelah pertarungan berlangsung sekian saat, Beng Ji-peng mulai heran, dengan
jelas ia lihat betapa sederhana ilmu pedang yang dipakai Tian Pek, hanya ilmu
pedang Sam-cay-kiam-hoat yang sangat umum dan dipelajari banyak orang,
biarpun lawan menyelingi pula beberapa jurus serangan yang aneh, itupun tidak
membuat ilmu pedangnya jadi lebih tangguh.
Kendatipun demikian, namun serangan Ji-peng yang cepat dan dahsyat tak
pernah berhasil menambus pertahanan lawan, bahkan setiap kali serangan
mematikan yang tampaknya tak mungkin bisa dihindarkan musuh, tanpa gugup
sedikitpun tahu2 Tian Pek dapat mematahkannya dengan jurus yang amat
sederhana.
Tentu saja hal ini amat mengejutkan dia. Sudah tentu Beng Ji-peng tak menduga
kalau Tian Pek telah mempelajari isi kitab Soh-kut-siau-hun-pit-kip yang hebat
itu, apalagi semua urat nadi penting di tubuh lawan ini telah tertembus semua
sehingga Lwekangnya kuat luar biasa.
Walaupun dalam hal tenaga dalam lebih tangguh daripada Ji-peng, akan tetapi
Tian Pek kalah bagus jurus pedangnya, kecuali serangkaian iliran pedang Sam-
cay-kiam-hoat yang sederhana, boleh dibilang dia tak memiliki kepandaian yang
lain.
Untung sudah lama ilmu pedang ini dilatihnya dengan tekun, walaupun jurus
serangannya sederhana dalam permainannya telah berubah menjadi cukup
lihay.
Tian Pek dapat memahami bahwa untuk menang seseorang harus memiliki jurus
serangan yang aneh dan diluar dugaaan musuh, bila lawan sudah mengetahui
akan jurus serangannya, percumalah dia melepaskan serangan itu, sebab
akhirnya tak mampu melukai musuh,
Karena itulah, setiap kali mendapat kesempatan yang baik ia lantas mencoba
untuk menyerang dengan jurus Tui-hong-kiam-hoat yang berhasil di sadapnya
dulu, sayang permainanya belum matang hingga kurang keampuhannya.
Maka kedua pihak tetap bertahan dalam keadaan seimbang meskipun sudah
bertarung sekian lama, sukar untuk menentukan siapa lebih tangguh di antara
kedua jago muda itu dalam waktu yang yang singkat.
Sementara itu pertarungan telah berlangsung hampir mendekati seratus
gebrakan, akan tetapi menang-kalah belum juga bisa ditentukan, lama2 Beng Ji-
peng menjadi tidak sabar.
Kebetulan waktu itu pedang Tian Pek sedang menyabat kepala lawannya dengan
jurus Lip-sau-ih-yu (berdiri tegak menyapu jagat), cepat Beng Ji-peng mendak ke
bawah, setelah lolos dari sambaran pedang itu, pedang baja hitamnya dengan
jurus Sui-tiong-lau-gwat (menangkap rembulan di dalam air), dia babat tubuh
bagian bawah Tian Pek.
Dengan cepat Tian Pek melayang ke udara, pedang balas menutul Hoa-kay-hiat
pada ubun2 Beng Ji-peng dengan jurus Han-seng-peng-gwat (bintang tajam
mengejar rembulan).
Menurut peraturan, bila terancam oleh serangan tersebut, biasanya dia akan
menggunakan jurus Hui-hong-hud-liu (pusaran angin menyapu pohon liu) atau
Bun-hong-si-sui (kawanan lebah bermain di atas putik) untuk meloloskan diri
dari ancaman.
Akan tetapi Beng Ji-peng tidak berbuat begitu, sebab ia penasaran dan ingin
merebut kemenangan dengan menempuh bahaya, bukannya menghindar atau
berkelit, dengan cepat dia menerobos maju ke depan, dengan jurus Ban-hoa-
cam-hud (selaksa bunga menyembah Buddha) dia tangkis pedang musuh
kemudian sambil mendesak maju dia bacok dada Tian Pek.
Gerakan ini amat berbahaya, jika Tian Pek memiliki Ginkang yang tinggi dan bisa
melompat tiga depa lebih keatas, lalu ujung pedangnya tetap menusuk ke
bawah dengan gerakan yang tak berubah, niscaya jalan darah Hoa-kay-hiat pada
ubun2 Beng Ji-peng akan tertembus.
Rupanya setelah pertarungan berlangsung seratusan gebrakan, Beng Ji-peng
melihat gerak gerik musuh amat lamban, menurut perkiraannya tak mungkin
Tian Pek bakal melayang ke udara untuk menyergap dirinya, maka iapun
mengambil keputusan untuk melakukan serangan berbahaya.
Lalu, apakah Tian Pek mampu melayang lebih tinggi dan melakukan sergapan
dari situ? Mampu! Dia mampu melakukan hal ini. terutama sesudah tenaga
dalamnya memperoleh kemajuan yang pesat, hanya saja ia tidak tahu sampai di
manakah kemajuan yang dicapainya, selain itu iapun kekurangan pengalaman
tempur, makanya setelah melepaskan tusukan tadi, dia mengira Beng Ji-peng
pasti akan berkelit ke samping.
Siapa tahu bukannya mundur, Beng Ji peng malahan mendesak maju dan
langsung membacok dadanya, dalam keadaan demikian tidak sempat lagi untuk
menghindar, tampaknya dadanya pasti akan berlubang.
"Hei, Siau-hu-cu! Masa begitu caramu bertarung?" teriak Tiat-pi-to-liong dengan
lantang, cepat ia menerjang maju ke depan, rupanya jago tua ini melihat gelagat
jelek.
Tapi belum sempat jago tua itu menerjang masuk ke tengah gelanggang.
keadaan telah mengalami perubahan mendadak.
Kiranya dalam gugupnya Tian Pek telah menghimpun segenap tenaga pada
pergelangan tangannya, kemudian dengan sekali sentakan, "trang!" pedang
beradu, Beng Ji-peng merasakan tangannya kesemutan, tanpa ampun lagi
pedangnya terlepas dari cekalan.
Dengan kesempatan itu Tian Pek terus putar pedang Bu-cing-pek-kiam ke
depan, tahu2 ujung pedang yang tajam telah menempel di tenggorokan musuh.
Pucat wajah Beng Ji-peng, bukan saja usahanya merebut kemenangan
mengalami kegagalan total, bahkan dia sendiri yang kecundang, bisa
dibayangkan betapa sedih perasaan anak muda itu, selama hidup baru kali ini
dia mengalami kekalahan secara mengenaskan.
Tian Pek sendiri tak menyangka tenaga dalamnya telah mencapai tarap
sedemikian tingginya, dan dapat digunakan menurut kehendaknya Setelah
berhasil menggetar jatuh pedang lawan, bahkan ujung pedangnya terus
mengancam pula tenggorokan pemuda she Beng itu, untuk sesaat dia berdiri
tertegun dan tidak melanjutkan tusukan maut.
Bagaikan embusan angin cepatnya Tiat-pi-to-liong menyusup maju kedepan dan
berdiri di antara kedua anak muda itu, sambil tertawa ia berkata: "Hahaha,
engkoh cilik. kau memang hebat! Kemenanganmu ini kau raih secara gemilang
dan mengagumkan ... Hahaha, di antara kalian kan tiada permusuhan apapun?
Maka pertarungan ini hanya saling mengukur kepandaian saja, silakan kau tarik
kembali senjatamu."
Tiat-pi-to-liong Kongsun Coh adalah kakek bermuka merah dan bercambang,
tubuhnya meski agak bungkuk tapi kekar dan gagah, suaranya keras bagaikan
bunyi guntur, berwibawa dan disegani orang.
Tian Pek bukan pemuda pengecut, ia tak sudi membunuh orang yang tak
mampu melawan, selain itu, sebelum yakin benar Cing-hu-sin Kim Kiu adalah
pembunuh ayahnya, dia tak ingin membuat onar dalam gedung ini, maka
setelah mendengar perkataan Tiat-pi-to-liong, cepat ia tarik kembali pedangnya
dan mundur ke belakang.
"Kalau Locianpwe sudah berkata begitu, tentu saja Wanpwe menurut saja," Lata
Tian Pek, Lalu ia berpaling dan berkata kepada Beng Ji-peng: "Asal kau tahu rasa
dan selanjutaya tidak congkak lagi "
"Anak busuk, jangan latah!" bentak Beng Ji-peng mendadak. "Nih, rasakan
kelihayan tuanmu ini!"
Di tengah bentakan Giok-bin-siau-cing-hu itu ia ayun tangan ke depan, segumpal
cahaya hijau yang menyilaukan mata segera menyambar kearah Tian Pek.
Rupanya setelah dikalahkan oleh Tian Pek, karena malunya Beng Ji-peng jadi
nekat, diam2 ia merogoh sakunya dan meraup segenggam senjata rahasia Cing-
hu-kim-ci-piau andalan perguruan, di kala musuh tidak siap, segera ia
menyergapnya dengan gerakan Boan-thian-boa-uh (hujan bunga memenuhi
angkasa).
"Suheng, kau berani main curang. . . ?" jerit Kim Cay-hong dengan kuatir.
"Ji-peng, kau.. . " Tiat-pi-to-liong juga membentak.
Sebagai tamu keluarga Kim saja Tian Pek sedia menurut. sedangkan Beng Ji-peng
sebagai orang sendiri malahan tidak memberi muka kepadanya, bahkan
menyergap lawan dikala tidak siap, tentu saja ia sangat gusar.
Di tengah bentakan keras segera ia menghantam ke depan, segulung angin
pukulan langsung menyambar ke arah cahaya hijau yang sedang berhamburan
itu.
Senjata rahasia Cing-hu-kim-ci-piau andalan Cing hu-sin ini dibuat secara khusus
dan dilancarkan dengan cara yang khusus pula, kendatipun angin pukulan yang
dilancarkan Tiat-pi-to-liong sangat kuat, akan tetapi pukulan itu belum sanggup
untuk merontokkan semua senjata rahasia itu.
=====
Berbahayakah luka Tian Pek? Dapatlah dia mengalahkan Beng Ji-peng yang keji
itu?
Dapatkah Tian Pek menemui Thi-tan-sui-lu Tang Jian-li. satu2nya tokoh yang
tahu rahasia kematian ayahnya itu?
Jilid 11 : Duel Kakek Keledai sakti dan Kakek Monyet Sakti
Scan djvu: AXD002
Editor: MCH
Dentingan nyaring terjadi secara beruntun, sebagian senjata rahasia itu berhasil
dirontokkau oleh angin pukulan dahsyat tersebut, tapi ada pula beberapa
batang di antaranya berhasil menembusi angin pukulan jago tua itu dan tetap
meluncur cepat dan menyambar tubuh Tian Pek.
"Cringl Cring! Cring!" terdengar dentingan nyaring menggema di udara
menyusul terjadinya percikan bunga api.
Rupanya Kim Cay-hong telah bertindak, iapun melepaskan tiga buah Cinghu-piau
untuk melontokkan senjata rahasia Beng Ji-peng.
Meskipun tiga senjata rahasia itu berhasil dipukul jatuh, namun masih ada
empat Cung-hupiau lain yang melucur ke depan dengan kecepatan penuh, dua
buah mengancam bahu Tian Pek sedangkan dua lagi mengancam kedua kakinya.
Dalam keadaan begini, tak sempat lagi bagi Kim Cay-hong untuk ambil senjata
rahasia, dengan cemas ia pandang ke sana dan tak tahu apa yang akan terjadi.
Tapi Tian Pek mengelak kekanan dan mengegos ke kiri, tiga senjata rahasia itu
dapat dihindarkan dengan baik tapi akhirnya ada sebuah yang tak terhindar.
“Cret!" senjata rahasia itu bersarang pada bahunya, darah segar lantas mancar
keluar.
Kejadian itu lambat untuk diceritakan, tapi semuanya berlangsung dalam
sekejap, begitu menyaksikan Tian Pek terluka, semua orang melengak, kecuali
sebagian kecil hampir semua orang merasa tidak puas atas tindakan Beng Jipeng
itu.
Sebab tadi kalau Tian Pek bermaksud membunuhnya, maka ujung pedang yang
telah menempel pada tenggorokannya cukup didorong sedikit ke depan dan
pemuda itu pasti sudah mampus, namun Tian Pek telah menuruti nasihat dan
melepaskan lawan. Tapi kesempatan itu malah digunakan Beng Ji peng untuk
menyerang Tian Pek secara keji, tindakan semacam ini bagi orang Kangouw
boleh dikatakan sangat memalukan.
Tapi Beng Ji peng adalah murid kesayangan Cing-hu-sin, pemilik istana keluarga
Kim, kedudukannya hampir sederajat dengan Siang lin Kongcu, tindakannya
yang rendah dan memalukan ini sungguh tak terduga oleh siapapun juga.
Tian Pek segera merasakan hawa dingin merasa tulang, segera ia tahu senjata
rahasia itu beracun.
Meskipun sakitnya tidak kepalang pemuda itu tidak mengluh, ia mengertak gigi
dan mencabut senjata rahasia itu.
Kim Cay-bong menghampiri anak muda itu sambil memberi sebutir obat,
katanya dengan pedih: "Tian-siauhiap, lekas bubuhkan obat ini pada lukamu,
kalau tidak.........."
Tian Pek berdiri dengan muka menyeringai, matanya melotot penuh kegusaran,
darah menetes keluar dari kelopak matanya dan membasahi pipinya, sementara
Cing-hu-piau yang berlumuran darah masih targenggam di tangannya, ia tidak
menghiraukan perkataan anak dara itu.
Terperanjat Kim Cay hong melihat keadaan Tian Pek. "Tian siauhiap?" katanya
dengan gemetar, janganlah beginI, perbuatan Suhengku memang tak benar. Biar
engkohku pulang pasti akan kulaporkan kejadian ini kepadanya, akan kuminta
kakak memberikan keadilan secara bijaksana."
Dengan lembut dan penuh kasih sayang dia menggenggam lengan kiri Tian Pek,
setelah merobek pakaian disekitar luka obat penawar tadi dibubuhkan pada
lukanya, pelahan ia memijit sekitar luka yang membengkak itu .......
Tian Pek tetap berdiri mematung, sorot matanya yang penuh kemarahan
memandang jauh ke sana, seperti sedang memikirkan sesuatu yang sangat
menyedihkan, tapi orang lain tak tahu apa yang sedang dipikirnya?
"Hmmm!" Beng Ji-peng mendengus ketika melihat Kim Cay-hong bersikap
begitu mesra terhadap musuhnya, api cemburu kembali membakar hatinya, rasa
bencinya terhadap Tian Pek semakin menjadi, pelahan ia merogoh kantong dan
siap mengarnbil senjata rahasia lagi.
Tiat-pi-to-liong menyaksikan perbuatan anak muda itu, dengan gusar ia
membentak: "Ji-peng, apa yang hendak kaulakukan? Masa kau tak tahu malu.
Apakah perlu aku si bungkuk turut campur persoalan ini ....?"
Percakapan orang2 itu dan Kim Cay-hong membubuhi lukanya dengan obat,
semua ini se- olah2 tidak diketahui Tian Pek. Kiranya ia sedang membayangkan
kembali kematian ayahnya yang
mengenaskan, ia raerasa Cing hu-piau yang berlumuran darah ini persis seperti
mata uang tembaga yang ditinggalkan ayahnya itu.
Dalam khayalnya terbayang olehnya ayahnya dikerubut keenam tokoh besar
dan ayahnya melakukan perlawanan yang sengit dengan Pedang Hijau, setelah
tenaga terkuras habis, lalu Cing-hu-sin Kim Kiu menyergapnya dengan senjata
rahasia hingga terluka, mungkin juga keenam orang itu bersama menyerang
ayahnya dengan senjata rahasia, setelah ayahnya tak berkutik
barulah mereka mencincangnya......
Herannya mereka bertujuh terkenal sebagai saudara angkat dan bersumpah
setia, mengapa keenam saudaranya bersekongkol untuk membunuh ayahnya itu
sekeji? Inilah teka-teki yang sukar dipecahkan.
"Ai, seandainya ayahnya tidak meninggal dan Kanglam jit tayhiap masih hidup
dengan rukun hingga kini, sekalipun aku tak bisa menyamai kedudukan Bu-lim-
su kongcu, paling sedIkit hidupku takkan sengsara dan terhina seperti sekarang
ini, paling tidak aku bersama orang tuaku dapat hidup bahagia di tempat yang
aman sentosa...... Akan tetapi," demikian Tian Pek berpikir lebih
jauh, "sekarang terbukti bahwa Cing hu- piau adalah senjata rahasia andalan Kim
Kiu, itu berarti pula Kim Kiu adalah salah seorang pembunuh ayahku, mengapa
tidak kubunuh pemuda ini lebih dulu? Sekalipun selama ini tak sempat kujumpai
Kim Kiu, tapi jika pemuda ini sudah kubunuh, masakah ia
takkan tampil? Kesempatan baik ada di depan mata, bila tidak kumanfaatkan
sekarang juga, aku akan menunggu sampai kapan lagi?"
Barpikir sampai di sini, anak muda itu segera membontak nyaring: "Hei,
berhenti!"
Bentakan ini dilontarkan dalam keadaan gusar dan penuh perasaan dendam,
suaranya keras luar biasa ibarat bunyi guntur membelah bumi, semua orang
merasa anak telinga jadi sakit dan mendengung. Sementara itu Beng Ji-peng
yang dibentak Tiat-pi to liong sedang memungut pedangnya dan mundur ke
belakang, mendengar bentakan tersebut, cepat ia berhenti dan membalik
badan.
"Berhenti ya berheti, memangnya aku jeri padamu?" jengeknya sambil menatap
Tian Pek dengan melotot. "Hm jangan kau kira dengan sedikit ilmu pedang
busuk itu lantas bisa menangkan tuanmu? kalau aku tidak salah perhitungan,
kau kira bisa memperoleh kemenangan itu? Bangsat cilik, untung
Kongsun-Cianpwe mintakan ampun bagimu, hm, kalau tidak, sejak tadi kau
sudah mampus tertembus Cing--hu sin- plan tuanmu!"
Tian Pek tidak melayani ejekan musuh, sekali lagi dia melolos pedangnya, lalu
berkata: "Apa gunanya mengobrol, kalau belum puas, hayo kita ulangi kembali
pertarungan ini, mari kita tentukan siapa yang lebih unggul."
"Hehehe, memangnya aku takut padamu?" teriak Bang Ji-peng sambil lolos
pedangnya yang hitam.
Kim Cay hong merasa kuatir, ia tarik lengan kiri Tian Pek dan berseru:
"Tian-siauhiap, engkau telah terluka, jangan kau layani orang gila itu........... "
Tiat-pi-to-liong pun berusaha melerai: "Sudahlah Siauhiap apa gunanya
menuruti emosi dan beradu nyawa, kan di antara kalian tidak ada sakit hati
apapun......... “
Tian Pek melepaskan pegangan Kim Cay-hong, dia angkat pedangnya dan
berseru: "Siapapun tak ada yang bisa mengalangi niatku, hari ini kalau bukan dia
yang mampus biarlah aku yang mati!"
Diam2 semua orang terperanjat dan mengira kedua anak muda itu benar2 telah
kalap, mereka tidak tahu dendam Tian Pek dan tidak menyangka cernburu Beng
Ji pang yang berkobar.
"Baik!" Beng Ji-peng menyambut tantangan Tian Pek dengan suara lantang,
"sebelum salah satu pihak mampus, pertarungan ini takkan berakhir."
Di tengah bentakannya yang nyaring, dia loncat ke udara, pedang hitam
memancarkan sinar tajam langsung menusuk ke muka Tian Pek dengan jurus Jik-
khong-koan-jit (bianglala merah menembus sinar sang surya).
Sekarang Tian Pek tahu tenaga dalam sendiri lebih kuat dibandingkan lawan,
kalau selama ini Beng Ji peng mampu bertahan pada posisi seimbang, hal ini tak
lain karena dia mengandalkan jurus pedangnya yang lebih lincah. Kuatir
kehilangan kesempatan yang menguntungkan, maka begitu melihat Beng Ji-
peng menubruk maju, cepat ia pun ikut meloncat ke atas menyongsong
ancaman itu dengan keras lawan keras.
Pedang Hijau menciptakan selapis dinding cahaya untuk mengunci serangan
lawan dengan jurus Hoan-tiau-lam-hay (pasang naik di laut selatan).
Pertarungan macam begini sangat jarang terjadi di dunia persilatan, bukan saja
para penonton yang berada di sekitar gelanggang, bahkan Tiat pi-to- liong, Kim
Cay-hong serta Tiat-ih-hui peng juga sama bersuara kuatir. Tubrukan kedua anak
muda itu dilakukan dengan cepat sekali, belum
lenyap suara orang berseru kaget kedua pedang telah saling membentur.
Percikan bunga api muncrat ke empat penjuru, dentingan nyaring memekak
telinga, kedua orang segera terpisah dan turun kembali ke atas tanah.
Beng Ji-peng merasakan separoh badannya kesemutan dan kaku, telapak tangan
terasa sakit, hampir saja pedang hitamnya tak mampu dipegang lagi, ketika
mencapai permukaan tanah, ia sempoyongan beberapa langkah dan akhirnya
baru dapat berdiri tegak.
Sebaliknya Tian Pek tetap tenang se-akan2 tak pernah terjadi sesuatu, begitu
mencapai permukaan tanah, ia segera menerjang lagi ke depan. "Sret! Sret!
Sreet!" beruntun dia melancarkan beberapa kali serangan sehingga Beng Ji peng
yang sombong itu dibikin kelabakan, bukan saja tak
mampu melakukan serangan balasan, untuk mempertahankan diripun repot.
Namun Giok-bin-siau-cing-hu Beng Ji-peng cukup tangkas juga, sekalipun
terdesak, dengan kelincahan dan kecepatannya bertahan terus meski dia harus
mundur belasan kaki, tapi tidak sampai terluka.
Karena terdesak, Beng Ji-peng telah mundur hingga dekat pagar kebun bunga,
dengan sendirinya para penonton yang berkerumun sama menyingkir.
Mendadak Tian Pek memburu ke depan, dengan jurus Heng-sau-ngo-gak
(menyapu rata lima bukit), dia sabat pinggang lawannya. Beng Ji-peng berkelit,
dengan lincah dia menghindar ke belakang pagar kebun. Serangan Tian Pek itu
menggunakan tenaga yang keras, untuk menarik
kembali serangannya tak mungkin lagi, kontan sederetan pot bunga yang berada
di atas pagar tcrsambar hingga hancur berantakan.
Sementara itu Beng Ji peng sempat berganti napas, segera iapun unjuk gigi.
“Sret! Sret! Sreet!" beruntun diapun melancarkan belasan kali serangan, karena
jurus serangan juga tidak kurang ganasnya, yang diarah adalah bagian
mematikan, maka Tian Pek juga terdesak mundur dengan repot.
Tapi sekali mengendur serangan Beng Ji peng, Tian Pek segera balas mendesak
lawan, dengan begitu maka pertarungan berlangsung dengan seru, ke dua pihak
secara bergilir mendesak mundur lawannya, dengan begitu posisi kedua orang
tetap sama kuat.
Dalam dunia persilatan jarang terjadi pertarungan seperti ini, tentu saja
kawanan jago yang berkumpul disekitar gelanggang, termasuk juga kedua
"pengawal baja" itu, dibuat tertegun dan melongo, saking terpesonanya sampai
mereka lupa untuk melerai .....
Hanya Kim Cay-hong yang paling gelisah dan kuatir, meskipun dia tidak
mengharapkan Tian Pek terluka di tangan Beng Ji-peng, tapi iapun tidak
berharap Beng Ji-peng dilukai Tian Pek.
Berulang kali in berteriak untuk melerai, namun teriakannya tak pernah digubris,
bagaikan harimau terluka keduanya tetap saling menggempur, tak seorangpun
yang mau menurut.
Aneh sekali jalannya pertarungan itu, di satu pihak mengandalkan kelincahan
dan keampuhan jurus pedangnya, di lain pihak mengandalkan tenaga dalamnya
yang kuat serta keganasan jurus pedang yang hebat, dalam waktu singkat
seluruh halaman telah diobrak-abrik menjadi tidak keruan,
dinding ambrol dan tiang roboh, banyak pot bunga yang hancur, dalam waktu
singkat taman itu menjadi porak poranda .....
Ratusan gebrakan sudah lewat, akan tetapi menang-kalah belum lagi bisa
ditentukan, banyak orang mulai menghela napas gegetun, semuanya memuji
dan menyatakan kagum, mereka anggap pertarungan sengit mi jarang ditemui
di dunia persilatan. Banyak pula di antara jago2 itu yang merasa cemas dan
kuatir, mereka ingin tahu bagaimana pertarungan itu bisa diakhiri? Dan
bagaimann pula akhir dari pertarungan tersebut.
Jangankan jago2 lain, kedua "pengawal baja" istana keluarga Kim itupun dibikin
terkesima sehingga untuk sesaat mereka lupa kedudukan dan tugas kewajiban
mereka sebagai pengawal istana.
Tiat-pi-to-liong berulang kali berseru: "Bagus!" — Sementara tangannya
mengelusi cambangnya sang lebat, sebaliknya Tiat-ih hui pang yang bermuka
murung juga gelisah, bijimatanya memancarkan sinar tajam dan terbelalak
lebar.
Lambat laun, Giok- bin-siau-hing-hu Beng Ji - pen: yang kalah tenaga dalam
mulai mandi keringat.
Berbeda dengan Tian Pek, rnakin bertempur ia semakin gagah, sekalipun darah
segar mengucur derasnya dari luka di bahu kiri, namun ia tak pernah berhenti
menyerang, se olah2 lwekangnya tiada habisnya, malahan makin bertarung
makin bertambah kuat.
Lambat laun Beng Ji-peng menjadi gelisah, ia tahu jika pertarungan berlangsung
terus dalam ke adaan begini, maka lama2 dia pasti akan kalah, ia menjadi nekat,
diam2 ia rnerogoh kantong dan manyiapkan segenggain senjata rahasia Clog hu-
kim ci-piau.
Kim Cay-hong sendiri tidak bersuara lagi, mungkin disebabkan Tian Pek sudah di
atas angin, dia tahu bila Tian Pek menang, maka pedangnya pasti tidak kenal
ampun dan Beng Ji-peng pasti akan dibunuh olehnya. Sebaliknya iapun melihat
wajah Beng Ji-peng yang menyeramkan, iapun
tahu kalau Suhengnya berniat jahat, apalagi setelah melihat dia merogoh lagi
senjata rahasia Cing-hu-piau, asal senjata rahasia itu disebarkan, maka sekalipun
Tian Pek dapat lolos dari kematian, paling tidak pasti juga akan terluka parah.
Padahal ia tidak mengharapkan kematian di antara kedua orang itu, dia ingin
urusan diselesaikan secara damai saja, keadaan ini membuatnya gelisah dan
panik, pucat wajahnya, ketenangan dan kecerdikannya pada hari biasa kini
lenyap, ia menjadi bingung dan kehabisan akal.
Tiba2 ia teringat pada Kim-hu-siang-tiat-wi (sepasang pengawal baja istana Kim),
kalau engkohnya tidak ada di rumah, berarti hanya mereka berdua yang
sanggup mengatasi pertikaian ini, maka ia lantas berpaling ke arah Tiat-ih-
huipeng yang sedang mengikuti pertarungan sengit itu dengan terkesima. "Pa-
jisiok, cepatlah lerai mereka!" teriaknya. "Kalau pertarungan itu dibiarkan
berlangsung terus, lama kelarnaan akan......... “
Tapi dilihatnya air muka Tiat-ih hui-peng menunjukkan rasa prihatin,
perkataannya sama sekali tak digubris dan tetap mengawasi jalannya
pertarungan dengan terbelalak. Teringatlah anak dara ini watak aneh parnan ini
bukannya melerai, bisa jadi malah akan me!akukan hal2 yang tak terduga.
Maka ia lantas berseru kepada Tiat-pi-to hong. “Paman Kongsun, cobalah lerai
mereka, jangan berlanjut lagi pertarungnn itu"
"Hahaha, nona tak usah kuatir!" jawab Kong-sun Coh sambil bergelak tertawa.
"Meski mereka saling gempur dengan serunya, kemenangan belum bisa
ditentukan dalam waktu singkat ...... wah celaka!"
Kiranya ketika Tiat-pi-to-liong sedang berbicara dengan Kim Cay-bong,
mendadak terdengar jeritan ngeri, di mana cahaya pedang berkelehat,
berhamburkan darah membasahi permukaan tanah, dengan wajah pucat seperti
mayat Beng Ji-peng mundur beberapa Iangkah dengan sempoyongan,
lengan kirinya sebatas bahu telah terpapas kutung.
Jerit kaget dan teriakan panik berkumandang dari mulut orang2 istana Kim
menyaksikan murid kesayangan majikan mereka terluku parah. Rupanya tatkala
Kim Cay hong sedang mohon bantuan Tiat-pi-to-liong untuk melerai
pertarungan itu, saat itu juga Tian Pek melihat Beng Ji-peng
meragoh kantong untuk mengambil senjata rahasia Cing-hu-kim-ci-piau, ia
rnenjadi gusar, beruntun ia melancarkan beberapa kali serangan berantai,
sebagai puncak serangan tersebut dia gunakan jurus Cay-sian-sia-pau
(melempar miring benang berwarna), suatu jurus serangan ampuh dari Tuihong-
kiam hoat.
Jurus serangan ini sangat hebat, gerakannya sukar diraba, tampaknya tertuju
pada lengan kanan Bang Ji-peng, tapi sewaktu anak muda itu menangkis dengan
pedangnya sambil berputar ke kiri, kesempatan yang baik ini digunakan Tian Pek
untuk menabas lengan kiri lawan yang siap melepaskan
senjata rahasia Cing-hu-piau itu.
Beng Ji peng sama sekali tak menduga akan tabasan itu, dalam keadaan begitu
dia tak sempat menghindar, tanpa ampun lagi lengan kirinya kena tertabas
kutung sebatas bahu Senjata rahasia Cing hu-kini- ci-piau yang berada dalam
genggam tangan kiri yang kutung itupun berserakan di lantai.
Sesungguhnya hal ini terjadi secara kebetulan, seandainya Kim Cay-hong tidak
mangajak bicara Tiat-pi-to-liong, niscaya jago tua itu takkan terpencar
perhatiannya dan pasti dapat menyelamatkan Beng Ji-peng.
Tiat ih-hui- peng sendiri meski menyaksikan peristwa itu dengan jelas, akan tepi
ia segan untuk mencegah, sebab menurut jalan pikirannya, kalau orang berani
bertarung maka dia harus berani puIa menanggung risikonya, jila kalah dan
terluka atau mampus, maka itulah konsekwensi yang harus diterimanya sebagai
seorang jago silat, salahnya sendiri mengapa tak becus.
Jangankan orang lain, sekalipun orang itu adalah putera kandungnya sendiri juga
takkan dihiraukan, sebab ia anggap tidak marem pertandingan yang tidak
mencucurkan darah.
Setelah bencana berlangsung, Tiat-pi-to-liong tak dapat berpeluk tangan dengan
begitu saja, ia segera membentak dan menerjang masuk ke tengah gelanggang,
selagi masih berada di udara sebuah pukulan keras dilancarkan ke arah Tian Pek,
sementara tubuhnya melayang ke arah Beng Ji-peng. Rapanya jago tua ini kuatir
Tian Pek melancarkan serangan mematikan yang lebih keji di kala lawannya
sudah terluka.
Tiat-pi-to-liang cepat, Tiat-ih- hui peng jauh lebih cepat lagi, sayap bajanya
segera terpentang lebar, ibarat seekor hurung ia terbang ke udara, sayap
bajanya mengebas ke batok kepala Tian Pek.
Tian Pek tak berani menyambut serangan itu dengan kekerasan, cepat ia
melompat jauh ke samping.
"Blang!" suara benturan keras menggelegar di udara, angin pukulan beradu
dengan kebasan sayap, debu pasir seketika berhamburan.
Tian Pek tak gentar, sambil melintangkan pedang di depan dada ia berkata:
"Apakah kedua Ciaupwe juga ingin memberi petunjuk padaku?"
Tiat pi-to- liong tidak menjawab, ia sibuk menutuk Hiat- to di bahu Beng Ji peng
untuk menghentikan darah yang mengalir, setelah itu ia memerintahkan dua
anak buahnya memayang pergi anak muda itu untuk dibubuhi obat luka. Tiat ih-
hui-peng lantas berkata dengan ketus, "Anak muda, kutungi sendiri sebuah
lenganmu agar aku tidak perlu turun tangan!"
Berkerut alit Tian Pek, tapi sebelum ia buka suara, Tiat-pi-to liong telah
terbahak2, katanya: "Hahaha, Pa loji, biarkan urusan kaum niuda diselesaikan
sendiri oleh kaum muda, untuk apa kita ikut campur urusan mereka? Kalau
tersiar orang Kangouw mungkin akan menuduh kita menganiaya kaum
muda ...!"
Giok-bin-siau cing-hu Bang Ji-peng telah dipayang dua Iaki2 kekar, sebelum
berlalu dari situ in sempat melotot sekeja pada Tian Pek dan mengancam:
"Nantikanlah pembalasanku, selama hidup aku Beng Ji-peng takkan melupakan
sakit hati buntungnya tangan ini."
"Setiap saat kunantikan kedatanganmu," jawab Tian Pek.
Dalarn pada itu Tiat-in-hui-peng tampaknya sudah menuruti perkataan Tiat pi-
to-liong, dia tidak berbicara lagi.
Hanya Kim Cay hong, mukanya berubah pucat, ia kelabakan sendiri dan tak tahu
apa yang mesti dilakukannya.
Akhirnya Tian Pek nenjura kepada Tiat pi to-liong, katanya dengan lantang
"Locianpwe, apakah engkau masih ada pesan lain? Kalau tidak ada, maka aku
akan mohon diri.”
"Engkoh cilik, kenapa ter-buru2?" ujar Tiat pi-to liong, "bagaimana kalau
menunggu sampai besok saja? Besok Kongcu pasti pulang, kan !ebih enak
berpamitan sendiri dengan Kongcu kami?"
"Maaf, aku masih ada urusan penting yang harus kuselesaikan, tak mungkin aku
menunggu lagi," sahut Tian Pek. "Terima kasih atas perhatian Locianpwe, maaf,
kumohon diri."
Setelah masukkan pedang ke dalam sarungnya dan memberi hormat, ia puter
badan dan berlalu.
“Tian-siauhiap............" Kim Cay hong berseru dengan gelisah. Namun Tian Pek
tidak berpaling lagi, dengan langkah lebar ia berjalan menuju ke luar.
Tiat-pi-to-liong berdiri tertegun mengikuti kepergian Tian Pek yang kian
menjauh dan akhirnya lenyap di balik pintu, ia tak bersuara lagi untuk mencegah
kepergian orang.
Sekeluarnya dari istana keluarga Kim, Tian Pek tidak mencari penginaparn dia
langsung berangkat menuju ke "duabelas gua batu karang" pada malam itu juga.
==mch==
Bulan sabit menghiasi angkasa, air sungai mengalir dengan derasnya, di bawah
cahaya rembulan yang redup Yan-cu ki menjulang tinggi di tepi sungai ibarat
seekor burung raksasa yang siap terbang ke langit.
Angin meniup sepoi2, suasana hening sepi, kecuali dua-tiga pelita perahu
nelayan berkelip jauh di tengah sungai, Tian Pek menengadah dan mengembus
napas panjang.
Kini ia merasa puas tapi juga tidak puas. merasa gembira juga merasa murung, ia
berjalan menyusuri sungai itu dengan perasaan yang bercampur aduk.
la puas karena ilmu silatnya telah mendapat kemajuan yang pesat, malahan
sudah mampu mengalahkan Beng Ji-peng, murid tunggal Cing-hu-sin Kim Kiu,
musuh besar pembunuh ayah.
Tapi iapun merasa tak puas, merasa kecewa karena kepandaian yang dimiliki
kedua "pengawal baja" ternyata amat lihay, ia merasa tak mungkin bisa
menandingi mereka dengan Kungfu yang dimilikinya sekarang, apalagi jago yang
menjaga istana Kim begitu banyak jumlahnya, tak mungkin dia bisa
rnenandingi kekuatan mereka dengan seorang diri, itu berarti tiada harapan
baginya untuk membalas sakit hati ayahnya.
Sedangkan perasaan gembira dan murung sukarlah untuk menerangkan, dia
hanya merasa bayangan tubuh Kim Cay-hong yang jelita itu selalu muncul dalam
benaknya, iapun sering terbayang kembali kasih mesra Kim Cay-hong selama
dua hari dia jatuh sakit, itu mendatangkan rasa manis dan getir, ada yang
menggembirakan juga ada yang membikin hatinya menjadi kesal.
Dengan pikiran yang dirundung pelbagai masalah, Tian Pek meianjutkan
perjalanan menuju ke jalan pegunungan yang rnenghubungkan pantai dengan
"dua belas gua karang", ia tidak ter-buru2 sebab ia sendiripun tak tahu Sin lutiat-
tan berdiam di mana, dia akan mencari tokoh persilatan Itu secara pelahan.
Sudah tiga buah gua karang yang diperiksa olehnya, tapi kecuali segerombol
kelawar yang terbang ketakutan, tiada sesuatu apapun yang terlihat olehnya.
Meskipun gua2 karang itu terpencil letaknya, akan tetapi di sana-sini masih
terlihat bekas2 kaum pelancong, seringkali di atas dinding gua terbaca olehnya
catatan tanggal si pengunjung, ada pula bait2 syair yang sengaja diukir di sana
sebagai kenangan, di lantai gua tersisa kulit buah2an yang berserakan, kotor
sekali tempatnya.
Diam2 Tian Pek merasa kecewa, sebab ia berpendapat Sin-lo tiat-tan tak
mungkin berdiam di tempat kotor yang ramai didatangi kaum pelancong ini,
diam2 iapun mulai meragukan keterangan si "orang mati hidup" Walaupun
sangsi, namun dia masih terus melakukan pencarian dengan
saksama. Kembali tiga buah gua sudah diperiksa, namun hasilnva tetap tiada
sesuatu yang ditemukan.
Makin tinggi ia mendaki bukit karang itu suasana makin hening, baru saja anak
muda itu melewati sebuah bukit karang, tiba2 terdengar seorang gadis sedang
berseru dengan suara merdu: "Ini tidak masuk hitungan, hayo sekali lagi!"
Lalu seorang kakek dengan suara serak menjawab: "Eeh, anak perempuan, ada2
saja tingkah polahmu, orang tua juga kau permainkan. Tidak aku tidak.........
tidak mau lagi!"
Suara serak tua lain segera bergelak tertawa, katanya: "Hahaha, jangan coba2
menolak ya. Hahaha, kalau kau tak mau mengulangi kembali, maka kau harus
mengaku kalah!"
"Hm, tidak segampang itu untuk mengalahkan aku!" suara pertama tadi berseru
apula: "Jangan kau kira kakiku cacat, lalu mempersulit aku dengan permainan
begini!"
Sampai di sini, lapat2 terdengar kibaran kain baju tersampuk angin. Tian Pek
merasa tertarik, ia merasa; sudah kenal suara ketiga orang itu, cuma seketika
tidak ingat siapa mereka. Ia heran apa yang sedang dilakukan ketiga orang itu di
bukit ini pada tengah malarn buta? Permainan apa yang
sedang mereka lakukan?
Timbul rasa ingin tahunya, dengan hati2 ia mendekati tempat suara itu, berkat
rindangnya pepohonan ia mengintip ke sana.
Di depan sana ada tanah datar yang agak menonjol tinggi dengan sebuah batu
raksasa yang rata permukaannya, batu ini tinggi dua-tiga tombak dan lebar
hampir sepuluh tombak, di sekeliling tetumbuhan permai, batu raksasa ini mirip
sebuah panggung alam.
Di samping batu itu terdapat beberapa batang pohon siong yang sangat besar, di
depan pohon siong itu berdirilah seorang nona berbaju putih dan seorang kakek
berjenggot putih, di depan mereka ada pula seorang kakek yang aneh, kedua
kakinya sebatas, paha ke bawah sudah buntung dan sebagai gantinya dipasang
dua potong kayu, waktu itu si kakek buntung lagi berjungkir
dengan kaki di atas dan kepala di bawah, dan sedang berloncatan kian-kemari
secepat terbang.
Kayu pengganti kakinya itu berbentuk aneh, bagian atas dekat paha besar dan
kasar, bagian ujung lebih kecil, gerak-geriknya aneh dan lucu se-akan2 dia
sedang membawakan tarian setan.
Setelah memperoleh kemajuan pesat dalam tenaga dalam, ketajaman mata Tian
Pek luar biasa, sekalipun jaraknya cukup jauh, namun ia dapat melihat jelas
keadaan di sekitar sana.
Ia melihat kakek aneh yang sedang membawakan "tarian setan" itu tak lain
adalah kakek buntung yang tiga hari berselang pernah membuat Kanglam-ji- ki
lari ter- birit2.
Sedangkan kakek berambut putih itu tak terlihat jelas karena jaraknya
terlampau jauh, tapi ia yakin orang itupun pernah dijumpainya, sedangkan anak
dara berbaju putih itu ternyata tak-lain-takbukan adalah Tian Wan-ji yang lincah
itu.
Waktu Tian Pek terluka di restoran Hin-liong-ciu-lau tempo hari dan ditolong
oleh Wan-ji serta dibawa ke rumah Hoat-si-jin dan Si-hoat-jin, anak muda itu
sama sekali tak tahu, maka ia heran melihat anak dara itu berada di sini bersama
kedua kakek aneh itu.
"Aneh, mengapa dia bisa berada di sini?" demikian pikirnya. "Bukankah dia
berada di rumahnya tempo hari? Mau apa dia berkumpul dengan kedua kakek
aneh di bukit yang sunyi ini? Permainan apa yang sedang mereka lakukan.........
Sementara Tian Pek keheranan, kakek buntung yang sedang menari dengan
tangan menggantikan kaki itu sudah meloncat bangun berbareng meraih kedua
tongkat penompang tubuhnya, lain dengan, bangga dia berkata.
"Coba, hebat bukan? Hahaha jangan kalian mengira aku tak punya kaki, kan
sudah kulakukan juga permainan ini?"
Wan-ji menghela napas, katanya: "Ai, kukira Kungfu kalian selisih tidak banyak
dan sukar ditentukan, siapa lebih unggul, kurasa lebih baik tak dilanjutkan
pertandingan ini !"
"Selisih tidak banyak apa?" teriak kakek rambut putih itu dengan penasaran.
"Anak perempuan, bilang saja bahwa Kungfu kami sangat tinggi dan luar biasa.
Hehe, bagaimanapun juga, aku harus menentukan siapa yang lebih unggul
dengan dia."
"Betul!" sarnbung kakek buntung itu dengan cepat. "Kita sudah bertanding
selama tiga hari tiga malain dan tetap belum tahu siapa yang lebih unggul,
mungkin sernua Kungfumu sudah kau kuras keluar semua. Huh, apakah mungkin
kau memiliki jurus lain lagi yang bisa kau gunakan?"
"Tapi, kalian akan bertanding apa lagi?" seru Wan ji. "Ilmu pukulan, pakai
senjata tajam, ilmu senjata rahasia, tenaga dalam, gerakan tubuh maupun
kecepatan langkah, sernua telah kalian pertandingkan, kukira kita sudah
kehabisan bahan untuk melanjutkan pertandingan ini, lebih baik dianggap seri
saja."
"Tidak, tidak bisa," teriak si kakek rambut putih sambil menggelengkan
kepalanya berulang kali. "Hahaha, ini dia, ada persoalan baru lagi, barusan telah
kedatangan satu orang dan orang itu bersembunyi di sana sedang rnengintip
gerak-gerik kita .......... "
Sebelum kakek itu selesai berkata, kakek buntung lantas tertawa terbahak2:
"Hahaha, jangan kau anggap aku tidak tahu apa2, sedari tadi akupun sudah tahu
akan kedatangannya. Itu dia, sembunyi di belakang pohon sana?"
Sambil berkata iapun menuding ke tempat sembunyi Tian Pek.
Betapa terperanjatnya anak muda itu demi mendengar perkataan tersebut, ia
mengira tempat sembunyinya cukup rahasia, tak tahunya tetap tak dapat
mengelabui kedua kakek itu.
Dalam keadaan begini tentu saja ia tak dapat berdiam terus di situ, terpaksa
Tian Pek berbangkit dan siap unjuk diri.
"Eeh, tunggu sebentar, teriak kakek rambut putih itu mendadak, "kau jangan
keluar dulu dari tempat persernbunyianmu......... "
Sekali lagi Tian Pek terperanjat, pikirnya: "Aku belum bergerak dan dia lantas
dapat menebak isi hatiku, memangnya dia memilki ilmu gaib?"
Selagi dia masih termenung, kakek rambut putih itu telah berkata pula:
"Nah, sekarang marilah kita menebak orang ini, siapa yang dapat menebak
dengan jitu, dialah yang menang, siapa yang tak mampu menebak, dia yang tak
becus. Nah, setuju?"
Tanpa menanti jawaban, kakek itu melanjutkan pula kata-katanya:
"Hayolah, kita menebak berapa usia pendatang ini, laki2 atau perempuan?
Kalau kau tak mampu menebaknya, lebih baik jadi kunyuk saja, setuju bukan?"
Kakek cacat kaki itu bergelak tertawa. 'Haha, setan tua penunggang keledai,
sekalipun tipu muslihatmu banyak, jangan kauharap akan menipu diriku, kalau
pendatang itu orang yang sudah kaukenal, kan aku yang rugi?
Memangnya aku dapat kautipu?"
Mula2 Tian Pek agak terkejut sewaktu mendengar disebutnya “si penunggang
keledai", dengan cepat iapun paham, bukankah kakek berambut putih ini adalah
Sin lu- tiat tan (keledai sakti peluru baja) Tan Jian-li yang sedang dicarinya?
Setelah mengetahui siapa kakek ini, Tian Pek tak dapat menahan emosinya lagi,
iapun tak mau tahu pertaruhan apa yang sedang dilakukan kedua kakek itu,
segera ia melayang ke atas panggung batu itu sambil berseru lantang: 'O,Tang-
lociaupwe sungguh susah Wanpwe mencari jejakmu ...
Tang Jian-li melengak, dengan ketajaman pendengarannya sebenarnya kakek itu
mengetahui ada seorang bersembunyi di belakang pohon, dan langkah kakinya
yang mantap ia tahu orang itu pasti masih muda dan jelas seorang laki2, maka
diajukannya syarat pertandingan itu dengan maksud akan
mengalahkan si kakek cacat.
Siapa tahu pendatang ini benar2 kenal padanya, kejadian ini sama sekali tak
terduga olehnya, sebab ia merasa sudah puluhan tahun lamanya mengasingkan
diri, sudah jarang ada orang persilatan yang kenal nama aslinya. Kini Tian Pek
menyebut namanya dengan jitu, itu berarti orang yang sudah kenal seperti apa
yang tuduhkan si kakek cacat tadi.
Dengan sorot mata yang tajam ia menatap Tian Pek tanpa berkedip, kemudian
in bertanya: "Heh anak muda, darimana kautahu aku she Tang?"
Belum lagi Tian Pek menjawab, kakek cacat itu sudah tertawa ter kekeh2 dan
berkata: "Hehehe, kau tak perlu main sandiwara lagi, kan sudah kukatakan
sedari tadi, kau si setan tua penunggang keledai ini banyak akal muslihatnya,
rupanya dugaanku memang tak keliru. Hahaha, kau sengaja menyuruh seorang
muda bersembunyi di sana untuk menipu aku. Huh, biarpun anak berusia tiga
tahunpun tak bisa kautipu."
Gusar Sin-lu-tiat-tan Tang Jian li mendengar tuduhan itu, dia angkat telapak
tangannya dan melayang ke depan sambil melepaskan suatu pukulan teriaknya
dengan gusar: "Tua bangka, tak usah cerewet lagi, rasakan pukulanku ini ...... !"
Serangan itu tidak membawa desiran angin, akan tetapi tenaga pukulan yang
terpancar ternyata sangat hebat. "Huh, biarpun seratus kali pukulan juga akan
kulayani," jengek si kakek buntung.
Sambil bicara kakek cacat itu terus bergerak, setelah tongkat penompang
digantolkan pada sikunya, tangannya berputar, segulung angin pukulan dingin
terpancar dari telapak tangannya.
Dua gulung angin pukulan salirg bentur dan menimbulkan suara keras, kedua
orang sama tergentak ke atas, dengan cepat mereka terlibat pula dalam
serentetan pukulan dahsyat. "Blang! Biang! Blang!" dalarn waktu singkat mereka
telah beradu tenaga pukulan beberapa kali.
Suara benturan itu tidak terlalu keras bunyinya, namun memantul cukup jauh
dan menimbulkan gema yang bergemuruh.
Diam2 Tian Pek terperanjat, gerak tubuh kedua orang yang sangat cepat dan
aneh ini menandakan kepandaian mereka sungguh luar biasa. Tian Wan-ji
terkejut dan gembira melihat kemunculan Tian Pek tadi, tapi ketika dilihatnya
anak muda itu tidak menggubrisnya tapi terkesima oleh
pertarungan kedua kakek, Nona itu jadi sedih, katanya dengan rawan: "Ai,
mereka telah saling hantam dan mungkin sukar diakhiri. Sungguh tak terduga,
usia mereka sudah setua itu, akan tetapi emosi mereka masih begitu besar,
entah bagaimana akhirnya nanti?"
Tian Pek tetap membungkam, ia sedang terkesima oleh kelincahan serta
kegesitan kakek cacat itu, meski kedua kakinya buntung, dan sebagai
penggantinya adalah kaki kayu yang besar di atas dan kecil di bawah, akan tetapi
semua itu sama sekali tidak mengurangi kegesstannya, kedua telapak
tangannya masih terus berputar kian kemari tanpa alangan, tubuhpun bisa
mengegos ke kiri kanan atau merendah atau meloncat dengan leluasa,
sedikitpun tidak berada di bawah kelihayan Siu-lu-tiat-tan yang bertubuh
sempurna.
Diam2 anak muda ini kagum sekali, iapun heran dan bertanya: "Kenapa kedua
kakek ini saling bergebrak?"
"Akupun tidak tahu kenapa mereka saling bargebrak!" jawab Wan-ji sambil
menggeleng, "aku datang kemari untuk mencari kau, bukan kau yang
kutemukan, tapi merekalah yang kulihat sedang bertarung, katanya mereka
telah bertempur selama tigahari tiga malam. Sewaktu aku tiba di sini tadi,
katanya baik pukulan bertangan kosong, senjata tajam, tenaga dalam dan
semua telah dipertandingkan tapi mereka belum berhasil menentukan siapa
yang lebih unggul, maka mereka lantas minta aku sebagai wasit dan
mengajukan berbagai acara pertandingan, sudah kugunakan macam2 cara
yang sulit, tapi mereka tetap sama tangguhnya, ketika engkau datang tadi,
mereka sedang mempertandingkan ilmu langkah Ni-gong-huan-ing (lintas
angkasa bayangan semu), sekalipun kakek aneh itu tak punya kaki, tapi ia telah
menggantikan kakinya dengan tangan dan tetap tidak kurang gesitnya, maka
keadaan pun masih tetap seri!"
Setelah mendengar penuturan tersebut sedikit banyak Tian Pek dapat
meraba garis besar kejadian itu, tapi dia tetap tidak tahu sebab apa kedua
kakek saling bergebrak.
Tiba2 hatinya tergerak, dia berpaling dan bertanya: "Wan-ji, kau bilang
sedang mencari aku? Ada urusun apa kau mencari ku?"
Sedih Wan-ji, hampir saja air mata menetes. "Dengan susah payah
kutolong dirimu hampir saja nyawaku ikut berkorban, masa kau sama sekali
tidak mengetahuinya?" demikian pikir anak dara itu.
Meskipun berpikir demikian, namun perasaan tersebut tidak sampai
diutarakannya, ucapnya: "Bukankah kau terluka oleh Hiat-ciang-hwe-liong
ketika berada di restoran Hin-liong-cin-Iau? Memangnya siapa yang
menyelamatkan jiwaniu?
"O, jadi nona yang telah menyelamatkan jiwaku?" seru Tian Pek. "Kalau
begitu tentunya engkau telah bertemu dengan Hoat-si-jin bukan? Tapi aneh, ke
mana kau pada waktu itu? Kenapa tidak kulihat dirimu di sana?"
Merah wajah Wan-ji membayangkan peristiwa pahit yang dialaminya itu,
hampir saja ia menangis ter-sedu2.
"Eh, sudah selesai belum kalian mengobrol?" tiba2 dr tengah pertarungan
seru itu terdengar teriakan "Kalau sudah cakup kongkou hendaknya cepat
menyingkir dari sini, awas, aku akan melepaskan serangan yang mematikan!"
"Hehe. besar amat mulutmu!" ejek si kakek cacat sambil tertawa. "Tua
bangka penunggang keIedai, Iebih baik kurangi teriakaimu, kalau memang mau
kentut hayolah lepaskan kentutmu itu, kalau mau pamer kepandaian cepatlah
pamerkan, jangan kuatir, semua permainanmu pasti akan kuterima dengan
tangan terbuka!"
“Ciaat! . " tiba2 Sin-lu-tiat-tan berteriak gusar, menyusul segulung angin
keras mendampar disertai suara gemuruh yang mernekak telinga.
Karena damparan angin pukulan yang dahsyat itu, baik Tian Pek maupun
Wan-ji tak sanggup berdiri tegak lagi, mereka sama2 melompat turun dari
panggung batu itu dan meloncat ke atas pohon liong di depan situ Sambil
bicara mereka menonton jalannya pertarungan yang semakin seru itu.
Kedua kakek itu mernang sama2 lihaynya, semua jurus serargan maupun
gerakan tubuh dilakukan dengan secepat kilat angin pukulan mereka pun
sama2 santar dan kuat, meskipun sama2 menggunakan tenaga lunak, akan
tetapi kekuatan yang terpancar dari serangan masing2 tetap sangat hebat.
Setelah merapelajari ilmu menurut isi kitab Soh- kut-siau hun pit-kip,
ditambah pula urat penting dalam rubuhn)a telah lancar semua, baik
pendengaran ataupun penglihatan Tian Pek boleh dibilang sudah mencapai
kesempurnaan, sekalipun berada di kegelagran ia sanggup melihat benda
dengan cukup jelas. Namun begitu tetap tak dapat dimanfaatkan untuk
mengikuti jalannya pertarungan itu, ia merasa kabur gerak tubuh kedua orang
tua itu sehingga semua gerak-gerik sukar diikuti.
Kalau Tian Pek saja tak mampu mengikuti pertarungan itu, apalagi Wan-ji?
"Blang! Blang ..!" beberapa kali benturan berkumandang rnemecah
kesunyian malam yang mencekam itu, dengan gerakan cepat kedua orang itu
saling memisahkan diri.
"Hehehe, setan tua penunggang keledai," teriak kakek cacat itu sambil
tertawa, "tadinya kukira pukulan Ki-heng-tui-hong-ciang (pukulan aneh pengajar
angin) sangat lihay, hah, tak tahunya hanya begini saja. Hayo kalau punya
simpanan lain yang lebih baru dan lebih segar, keluarkan saja semuanya, jadi
manusia jangan terlalu pelit."
Sin-lu-tiat-tan sudah tersohor pada puluhan tahun yang lalu, ilmu silatnya
sangat tinggi dan sudah mencapai puncaknya, semakin menanjak usianya
boleh dibilang makin berkurang ambisinya untuk cari nama, sebab itulah sudah
puluhan tahun dia rnengasingkan diri dan sudah dilupakan oleh dunia
persilatan.
Sekalipun begitu, kadangkala dia muncul juga di dunia Kangouw dengan
menyaru sebagai pedagang kecil atau penjual makanan. Selamanya dia hanya
suka mempermainkan orang lain dan belum pernah merasakan dipermainkan
orang lain.
Sekarang berjumpa dengan kakek buntung yang tak diketahui namanya ini,
sudah tiga-haritiga malam mereka bertempur, akan tetapi menang-kalah belum
juga dapat ditentukan. Apalagi kakek buntung ini suka ber olok2 dan mengejek,
setelah berlangsung tiga-hari tiga malam, habis juga kesabarannya, mendengar
ejekan tadi kontan saja dia rnernbentak murka: "Hei, makhluk tua kau jangan
latah, ini, rasakan dulu dua buah peluru bajaku ini!
Sambil berseru tangannya lantas terayun ke depan, sejalur cahaya tajam
meluncur ke, depan. Dengan membawa desing angin keras cahaya tersebut
langsung mengancam muka kakek cacat itu.
Tapi kakek cacat itu malahan menengadah dan tertawa ter-babak.
"Hahahaha, permainan anak kecil begini juga berani diparnerkan di
hadapanku ejeknya. Dengan suatu gerakan seenaknya, kakek itu angkat
tongkat kanannya rnenangkis ke atas. "Criing .... !" denting nyaring terdengar,
peluru baja yang meluncur tiba itu mencelat ke udara.
Sin-lu-tiat-tan membentak gusar, kembali peluru baja kedua menyambar
pula ke depan, tapi arah yang dituju sekali ini bukan si kakek cacat melainkan
menghantam peluru baja pertaina yang terpental oleh tangkisan tongkat si
kakek btintung tadi.
"Tring . !" kcdua peluru baja itu saling membentur di udara, terjadilah
percikan bunga api yang membura ke bawah bagai hujan sinar perak disertai
suara mendengung, dari kanan-kiri kedua peluru itu mengancam lambung si
kakek buntung.
Melengak juga kakek cacat itu oleh kelihayan senjata rahasia yang aneh itu,
dengan tertawa berseru: "Haha, permainan tukang jual obat ini belum lagi
mampu merepotkan aku!"
Sambil bicara tongkatnya menangkis pula. "Tring, tring..... !" kedua biji
peluru itu tahu2 mencelat lagi ke udara.
16
Tapi kedua biji peluru itu seperti benda hidup saja, setelah berputar satu
lingkaran, lalu saling berturnbuk lagi, "tring!" kedua peluru baja itu menyambar
pula ke dada kakek aneh itu.
"Haha, setan tua penunggang keledai, tak kusangka permainanmu lumayan
juga, hahaha, begini-baru menyegarkan badan!" Sambil berkata si kakek
buntung angkat tongkat menangkis pula, dentingan nyaring sekali lagi
menggema, kedua biji peluru baja itu terpental ke udara, tapi bagaikan
bersayap benda itu segera berputar balik dengan dentingan nyaring dan
menyambar pula mengancam jalan darah penting di sekujur badan musuh.
Cara melepaskan senjata rahasia yang aneh oleh kakek perrunggang
keledai ini boleh dibilang jarang ada di kolong langit ini, baik Tian Pek maupun
Wan-ji mengikuti jalannya pertarungan dari atas dahan pohon dengan mulut
melongo dan lupa berbicara lagi.
Akan tetapi kakek aneh itu sama sekali tak pandang sebelah mata terhadap
ancaman yang tiba, sambil mengoceh terus mengejek lawannya dia mengegos
ke sana dan menghindar sini dengan gesitnya, setiap kali tongkat berputar,
peluru baja yang mendekat segera mencelat jauh ke udara.
Melihat dua biji peluru baja gagal melukai lawan, Sin-lu-tiat-tan berkata:
"Makhluk tua, supaya kau puas bermain dengan peluruku ini kutambah satu biji
lagi."
Berbareng dengan ucapan tersebut, peluru ke tiga segera menyambar ke
depan.
Peluru ketiga ini bentuknya jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan kedua
peluru yang duluan, setelah dilepaskan bukan suara mendengung yang
terdengar, tapi suara mendenging seperti suara sempritan, gerak luncurannya
juga sangat cepat, malahan jauh lebih cepat daripada kedua peluru yang
pertama, terus menyambar ke muka si kakek buntung.
“Eeh jangan tambah lagi, aku bisa kewalahan nanti ..... !" teriak kakek aneh
sambil rnenjerit seperti orang kerepotan.
Meskipun di mulut di mulut ber kaok2, tapi tangannya tidak rnengarggur,
sebelum peluru sakti itu mengenai badannya, cepat dia putar tongkat untuk
menangkis.
Tapi sekali ini dia kecelik, ternyata tangkisan itu mengenai tempat kosong,
sebelum ujung tongkat nienyentuh peluru tersebut, secara otomatis senjata itu
mengegos ke samping.
Kiranya peluru kecil itu dibikin secara khusus, apabila menjumpai rintangan,
maka secara otomatis senjata rahasia itu akan berbelok arah, maka dengan
sendirinya tangkisan si kakek aneh itu meleset.
Sementara itu peluru kecil tadi sudah berputar satu lingkaran dan
mengancam pula telinga kiri si kakek.
Kakek aneh itu tidak menyangka akan sergapan luar biasa ini, hampir saja
ia kena diterjang, untung ilmu silatnya sudah mencapai puncak
17
kesempurnaannya, ke mana ia mau bergerak, secara otomatis tenaganya
tersalur dengan sendirinya.
Ketika desiran angin tiba2 muncul di tepi telinganya, serentak dia tarik
kepalanya ke belakang lalu rnenghindar ke samping, diiringi desingan tajam,
peluru itu menyambar lewat.
Baru lolos dari ancaman pertama, kedua peluru yang mencelat ke udara
tadi tiba2 menyambar kembali ke bawah.
Dengan cekatan kakek aneh itu putar tongkat untuk menangkis, siapa tahu
peluru ketiga yang meleset tadi sudah menikung balik dan menyambar
lambungnya, hal ini membuat si kakek rada kelabakan dan ber kaok2.
Ketiga peluru sakti milik Sin-lu-tiat-tan memang tersohor akan kelihayannya,
jarang sekali ia menggunakan ketiga pelurunya itu sekaligus, biasanya hanya
cukup menggunakan sebiji saja, kawanan jago persilatan baik dari golongan
putih maupun dari kalangan hitam pasti akan lari terbirit2.
Bilamana dua biji peluru digunakan jelas terlebih sukar melawan apalagi
sekarang tiga biji peluru digunakan sekaligus, ia yakin si kakek buntung pasti
tidak mampu, menahannya.
Tian Pek serta Wan ji sampai kabur mengikuti jalannya pertarungan itu dari
atas dahan, mereka tak mampu mengikuti lagi jalannya pertarungan dengan
jelas, hanya terlihat serentetan cahaya perak, ibarat tiga ekor ular lincah
berputar dan menyambar tiada hentinya mengitari badan kakek aneh itu,
denging nyaring bercampur aduk menciptakan gema suara yang membetot
sukma, ditambah pula suara benturan nyaring yang menerbitkan bunga api,
membentuk serangkaian pemandangan yang indah dan aneh pula.
Setelah ketiga biji peluru berhasil membuat musuh kalang kabut barulah Sin
lu-tiat tan berdiri sambil berpeluk tangan, katanya dengan tertawa: "Bagairnana
rasanya peluru saktiku, kawan? Hahaha! Ketiga biji peluruku sekaligus, rasanya
tentu lain bukan?"
Si kakek aneh meraung gusar, kedua tongkatnya kencang. terdengar dering
nyaring dan letupan bunga api, ketiga peluru itu tertangkis mancelat jauh, tiba2
ia sendiri menjatuhkan diri ke atas tanah,
Ketika ketiga peluru tadi berputar satu lingkaran di udara dan menyambar
balik ke sasarannya, jejak si kakek aneh itu sudah lenyap.
Dangan begitu, ketiga peluru itupun kehilangan sasarannya, benda itu
hanya berputar terus di udara.
Melenggong juga Sin lu tiat tan menghadapi kejadian yang tak terduga ini,
ia angkat tangan dan menarik kembali senjata rahasianya.
Selagi berdiri melongo, tiba2 dari belakang di dengarnya kakek aneh itu
mengejek: "Huh, tiga biji pelurumu juga tidak mampu menandingi ilmu
Sansinbu-
ing (tubuh berkelebat tanpa bayangan), hehe, apabila aku tidak jaga harga
din', sejak tadi kau tentu sudah terluka oleh seranganku dari belakang!"
18
Sin-lu-tiat-tan menarik muka, mendadak ia putar badan sambil melontarkan
pukulan pelahan. Segulung angin pukulan yang lunak terus mendampar ke
belakang.
"Hah, Lui-im-hud-ciang!" teriak kakek aneh itu dengan terperanjat
Mendadak ia jatuhkan diri ke tanah, dan tahu2 bayangan tubuhnya sudah
lenyap pula.
Karena sasaran yang dituju menghilang mendadak, maka angin pukulan
yang dahsyat itu langsung menggulung ke depan dan menumbuk sebatang
pohon siong.
"Blang!" suara gemuruh keras memecah kesunyian, pohon siong itu patah
menjadi dua dan tumbang.
Pasir debu dan patahan ranting pohon berhamburan, suasana terasa
mengerikan.
"Sungguh hebat tenaga pukulan itu!" puji Tian Pek sambil menjulurkan
lidah. "Seorang mampu melatih ilmu silatnya hingga tingkat setinggi ini,
sungguh sukar untuk dibayangkan."
"Memang ilmu pukulan yang lihay!" sahut Wan Ji mengangguk, "seringkali
kulihat jago silat kelas wahid yang berkumpul dirumahku saling beradu tenaga
pukulan, tapi belum pernah kulihat seorang yang memiliki tenaga pukulan
sedahsyat ini!"
Menyinggung keluarga gadis itu, tanpa terasa Tian Pek teringat kembali
akan dendamnya, dia lantas bertanya: “Apakah ayahmu bernama Ta sangjiu
Buyung Ham?"
"Engkau kan sudah tahu, kenapa bertanya lagi?" omel Wan-ji sambil
mengerling sayu.
"Aku cuma heran, kalau Buyung Ham benar ayahmu, mengapa kau tidak
she Buyung, tapi she Tian?"
"Eeh, kau benar2 seorang pelupa atau sengaja berlagak bodoh?" kata
gadis itu dengan kurang senang. "Kan sejak mula sudah kuterangkan padamu
bahwa aku ikut she ibuku!"
"Di dunia ini umumnya anak ikut she ayahnya, jarang yang ikut she ibunya.
Atau nona Wan, jangan2 kau bukan ana k kandung Ti-seng-jiu?"
Hebat sekali perubahan air muka Wan-ji katanya dengan gusar: "Kau tidak
percaya padaku dan mengira aku berdusta?"
Tian Pek menjadi sedih, pikirnya: "Wan-ji adalah gadis yang masih suci
murni dan baik hati, sudah dua kali dia selamatkan jiwaku. Bila suatu hari kucari
ayahnya untuk menuntut balas, oh, entah betapa sedih dan bencinya nona ini
padaku?"
Jelas Wan-ji jatuh cinta kepada Tian Pek, kaIau tidak tentu dia tak perlu
meninggalkan rumah secara diam2 dan menempuh bahaya untuk mencari anak
muda itu.
19
'Tapi apa mau dikata? Wan-ji tak lain adalah putri musuh besarnya,
mungkinkah hubungan cinta ini dapat berlangsung dengan lancar dan
langgeng?
Melihat Tian Pek termenung dengan alis berkernyit, Wan-ji mengira
kata2nya yang kasar tadi telah menyinggung perasaan anak muda itu. Maka ia
menjadi tak tega dan cepat berkata pula: "Engkoh Tian, engkau marah
kepadaku?"
Tian Pek menggeleng dan tarik napas panjang2. jawabnya: "Aku tidak
marah, aku cuma .... ahh!"
Mendadak pemuda itu menjerit kaget dan perhatiannya ke atas pauggung
baru, rupanya pertarungan yang berlangsung antara kedua jago tua itu telah
mencapai saat yang gawat.
Kaget juga Wan-ji mendengar seruan tersebut, cepat iapun menengok ke
sana, dilihatnya kedua kakek itu sedang saling melotot sambil mengitari
gelanggang. Gerak-gerik mereka persis dua ekor ayam jago yang siap
bertarung.
Pertarungan mereka tidak berlangsung dengan kecepatan tinggi lagi, kedua
orang sama bergerak mengitari gelanggang dengan langkah yang sangat
lambat, dengan mata melotot tajam saling pandang tanpa berkedip, beberapa
lingkaran kemudian baru kedua orang saling hantam satu kali dengan dahsyat.
Sekilas pandang pertarungan mereka memang berlangsung lamban dan
Iucu, tapi justeru pertarungan macam inilah yang paling banyak menggunakan
tenaga serta banyak menanggung resiko.
Baik Tian Pek maupun Wan-ji, keduanya cukup tahu apa yang sedang
terjadi, mereka tahu resiko pertarungan macam begitu. Bukan saja segenap
tenaga dalam yang mereka miliki harus diadu, malahan setiap pukulan pasti
pukulan mematikan, siapa meleng dia akan celaka.
Tian Pek menguatirkan keselamatan Sin-lu-tiat-tan, sebab hanya orang tua
inilah yang mengetahui tentang kematian ayahnya, hanya dia pula akan
menambah ilmu silatnya jadi lebih lihay. Bila Sin-lu-tiat-tan kalah, bukan saja
harapannya untuk belajar akan musnah, bahkan siapa pembunuh ayahnya juga
takkan diketahuinya, maka ia ikut tegang hingga keringat dingin membasahi
tubuhnya.
Ilmu silat kakek aneh itupun sangat lihay, malahan boleh dibilang hampir
seimbang dengan Sin-lu-tiat-tan, tapi Tian Pek tak pernah ingin belajar silat
padanya, apalagi tingkah laku kakek itu-pun rada kurang beres, gaya ilmu
silatnya tidak mirip Kungfu aliran baik bahkan kakek aneh itu pun tidak tahu
tentang kematian ayahnya.
Berdasarkan alasan inilah, maka Tian Pek lebih condong untuk menjagoi
Sin-lu tiat tan dari pada kakek aneh itu, kendatipun kedua orang kakek itu sama
sekali tak ada hubungan apa2 dengan dia.
20
Wan-ji sendiri sama sekali tidak memperhatikan jalannya pertarungan
kedua kakek itu, seluruh pikiran dan perhatiannya hanya tertuju kepada Tian
Pek seorang.
Betapa cemasnya gadis itu ketika dilihatnya Tian Pek duduk dengan dahi
berkerut, badan menggigil karena tegang dan keringat membasahi sekujur
badannya.
"Engko Tian, apa gunanya ikut tegang? Kedua kakek itu sama2 anehnya,
siapa menang dan siapa kalah kan tak ada hubungannya dengan kita......"
Tian Pek sama sekali tak meuggubris bisikan lembut si nona, mendadak ia
menyingkirkan Wan ji yang bersandar di bahunya itu, kemudian ia melompat
turun dari dahan pohon dan melayang ke atas panggung batu.
"Engkoh Tian, jangan!" seru Wan-ji dengan kuatir, cepat iapun melompat
turun menyusul ke atas.
Kiranya pertarungan waktu itu sudah berhenti, kedua kakek itu tidak
mengitari gelanggang lagi melainkan berdiri saling berhadapan dengan telapak
tangan saling menenipel, sementara tenaga dalam mereka rnengalir keluar
tiada hentinya dari tangan masing2.
Uap mengepul keluar dari atas kepala kcdua orang tua itu, sedangkan kaki
mereka sama ambles ke dalam batu karang itu.
Melihat gelagatnya, dapat diketahui bahwa pertempuran telah mencapai
puncaknya yang paling gawat.
Air muka Sin-lu-tiat-tan tampak prihatin, kuda2nya kuat, rambut sama
berdiri seperti duri landak, matanya melotot, sepatunya sudah pecah, kakinya
sudah ambles sedalam tiga dim di dalam batu karang, tampaknya ia sudah
kepayahan.
Kakek buntung itu lebih aneh lagi, kaki palsunya sudah menancap ke dalam
batu separoh bagian, telapak tangannya yang direntangkan sejajar dada
tampak gemetar. kabut putih yang mengcpul dari kepalanya juga lebih tebal
daripada kabut di kepala Sin lu tiat- tan, dari keadaan itu dapat diketahui bahwa
jago tua inipun tidak lebih unggul.
Tian Pek tahu pertarungan adu tenaga adalah pertarungan yang paling
berbahaya, apabila salah satu pihak kalah kuat, niscaya isi perutnya akan
hancur berantakan terhajar tenaga pukulan lawan dan akhirnya binasa.
Sebaliknya jika kekuatan mereka berimbang, maka risikonya kedua pihak akan
sama2 terluka atau lebih parah lagi bisa mengakibatkan kedua orang itu gugur
bersama.
Dengan gelisah Tian Pek menghampiri kedua orang tua itu. serunya
dengan lantang: "Locianpwe berdua, kalau ada perselisihan alangkah baiknya
dibicarakan secara baik2, buat apa kalian mesti berkelahi mati2an begini?"
Waktu itu pertempuran sudah berlangsung mencapai puncaknya, mereka
tidak menghiraukan ucapan Tian Pek, umpama mendengar juga tak sempat
menjawab.
21
Tian Pek semakin gelisah, dia luntas mendekati mereka, maksudnya mau
memisah.
Terperanjat Wan-ji, cepat ia menariknya dan berseru: "Jangan ke situ,
engkoh Tian! Pertarungan mereka telah mencapai puncaknya, Lwekang
mereka telah tersebar di empat penjuru, jika engkau berani mendekati mereka,
engkau sendiri yang akan terluka......... ."
"Tapi kita tak boleti berpeluk tangan menyaksikan kedua orang kakek itu
mati konyol!" sahut Tian Pek sambil melepaskan pegangan Wan-ji dan
melangkah maju pula.
Tapi sebelum rnendekat, segera Tian Pek merasa ditahan oleh suatu
tenaga yang tidak kelihatan. Untuk melangkah maju lagi sudah tidak mampu,
keruan Tian Pek terkejut.
Namun ia masih coba lagi. "Blang!" Tian Pek sendiri tergetar mundur, dada
terasa sesak dan telinga mendengung.
"Hebat sekali!" gumamnya sambil menjulur lidah.
Cepat Wan-ji memapah anak muda itu dan bertanya kuatir: "Engkoh Tian,
terluka tidak?"
"Ah, tidak apa2......... " sahut pemuda itu sambil menggeleng.
Mendadak terdengar bentakan kedua kakek, seperti ledakan hawa, sekonyong2
angin keras terpancar ke segenap penjuru.
Padahal Tian Pek dan Wan-ji berdiri jauh di tepi panggung, tapi tidak urung
mereka terdesak mundur dan akhirnya jatuh ke bawah.
Untungnya mereka berdiri rada jauh, lagi pula tenaga pukulan yang
dilancarkan kedua orang tua itu bukan ditujukan ke tubuh mereka, maka
kendatipun tergetar jatuh dari panggung batu mereka tidak terluka. Begitu
menyentuh tanah, sekali kaki menutul, kembali mereka meloncat ke atas
panggung batu.
Tapi setelah tahu keadaan di atas panggung, mereka jadi terkejut.
Sin lu-tiat- tan Tan Cian-li dengan wajah pucat seperti mayat duduk di
tempat semula, rambut, jenggot dan ujung bibirnya berlepotan darah, mata
terpejam rapat, jelas menderita luka dalam yang cukup parah.
Keadaan kakek buntung itupun sama parahnya seperti Sin lu-tiat tan, kaki
palsunya serta kedua tongkat penyanggah badannya patah semua, separoh
badannya berduduk dengan mata terpejam muka kuning pucat dan ujung
bibirnya berkelepotan darah, keadaannya juga cukup parah.
Tian Pek memburu ke depan, menghampiri Sin-lu-tiiat-tao, tanyanya
dengan kuatir: "Tang-locianpwe, parahkah Iukamur
Sin lu tiat-tan tetap membungkarn dengan mata terpejam, selang sesaat
kemudian dia merogoh sakunya dan mengambil keluar beberapa biji obat, obat
itu ditelannya sekaligus.
22
Kemudian baru ia membuka mata dan mengejek dengan tertawa rawan:
"Hei, makhluk tua, engkau masih hidup?"
"Hahaha, jangan kuatir!" sahut kakek aneh itu sambil membuka matanya,
"selama kau si penunggang keledai belum mampus, tak nanti aku mampus
duluan!" Segera iapun keluarkan sebungkus obat bubuk dan ditelannya.
Menyaksikan ketangguhan lawannya, Tang Cianli menghela napas, ia
berkata: "Ai, makhluk tua! Kuakui kau ini lawan tangguh yang belum pernah
kujumpai sepanjang hidupku."
"Hahaha, kauanggap aku paling tangguh, aku-pun anggap kau paling lihay,
selama hidupku belum pernah ketemu tandingan, tak tersangka pada saat
ajalku bisa kutemui orang setangguh kau. meskipun kita tak akan hidup lama
lagi, tapi pertarungan ini cukup memuaskan hatiku. Hahaha, orang belajar silat
mati karena ilmu silat, itulah namanya cocok, mati pada ternpatnya yang tepat "
"Eeh makhluk tua, sebenarnya siapakah engkau? Mengapa aku merasa
asing atas dirimu, aku rnerasa belum pernah menjumpai kau di dunia
persilatan? Siapakah namarnu? Dapatkah kau memberitahu agar kematian kita
ini tidak sia2."
Kakek aneh itu menengadah dan tertawa terbahak2, tentu saja suaranya
kalah nyaring jika dibandingkau sebelum bertempur tadi.
"Hahaha, percuma kau bernama Sin-lu (keledai sakti), masa kau tak pernah
mendengar nama Sin kau (monyet sakti)?"
"Ah, jadi kau ini Sin kau Tiat Leng yang sepuluh tahun yang lalu bercokol di
Le-kung-san?"
"Tepat, itulah diriku. Meskipun kita belum pernah bertemu, namun nama kita
Lam-kau-pak-lu (monyet dari selatan, keledai dari utara) sudah tersohor sejak
puluhan tahun berselang, itu berarti nama kita sudah bersahabat sejak lama.
Hahaha!"
Tian Pek maupun Wan-jt merasa heran bercampur kaget, mereka tak
menyangka kalau kakek aneh itu adalah "monyet sakti" yang sudah tersohor
namanya puluhan tahun yang lalu. Sekalipun sudah belasan tahun tak muncul
di muka umum, namun kelihayan dan kesaktiannya seringkali dibicarakan
orang, tidaklah heran apabila generasi muda masih kenal namanva.
Sementara itu Tang Cian-li telah tertawa pula dengan suara serak,
kemudian berkata: "Sejak puluhan tahun berselang aku sudah punya niat
menemui diriniu, sayang pada waktu itu terlalu banyak pekerjaan yang harus
kuselesatkan sehingga rencana itu terbengkalai, sungguh tak tersangka
puluhan tahun kemudian kita masih dapat bertemu. Hahaha, sekarang harapan
kita sudah terkabul, matipun merasa puas dan tak rnenyesal."
"Apanya yang puas?" teriak Sin kau dengan mata melotot, "bisa bertemu
dengan kau si keledai ini memang memuaskan, tapi tidak berarti tiada lagi hal
lain yang menyesalkan."
Sin-lu Tang Cian-li melanggong, katanya: "Usiaku sudah mendekati seratus
tahun, kupercaya umurmu juga hampir satu abad, hidup sampai setua ini bagi
23
kita orang persilatan bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, apa lagi bisa mati
di tangan sahabat tua yang sama2 kagum, memangnya kau menyesalkan
urusan apalagi?"
Sin- kau menggeleng sedih. "Ai, pikiranku tidak terbuka seperti dirimu, coba
bayangkan, kalau kita mampus di sini, bukan saja jenazah kita tak ada yang
mengurus, bahkan setelah mati, mayat kita mungkin akan dimakan atau dirusak
binatang buas, apakah kematian semacam ini kematian yang aman?"
"Ya, hidupku salama ini hanya cari ketenangan, tidak beristeri tak beranak,
juga tak pernah menerima murid, sudah kuputuskan beberapa karat tuIangku
ini akan kuberi makan anjing. Akan tetapi kudengar kau si monyet tua ini
pernah menerima dua orang murid, memangnya kedua muridmu itu tak dapat
membereskan jenazahmu setelah kau mati?"
Air maka Sin-kau tiba2 berubah jadi gemas bercampur benci katanya:
"Jangan kau sebut lagi kedua murid durhaka itu, setiap kali teringat mereka,
aku jadi benci dan ingin melalap mereka. Hmm, coba lihat ini .... "
Dia menuding kedua kakinya yang buntung, lalu meneruskan : "Lantaran
mereka, kakiku terkutung, selama pu!uhan tahun aku takbisa berkelana di dunia
Kangouw, inilah hadiah yang diberikan kedua murid murtad itu!"
“Tapi mengapa kedua murid durhaka itu kau lepaskan begitu saja?" kata
Sin-lu.
Sin-kau melotot sekejap lawannya, katanya: "Hm, omong lagi? Jika bukan
gara2mu yang mengalangi diriku, niscaya kedua murid murtad itu sudah
mampus di ujung tongkatku, mana mereka bisa kabur lagi?!"
"Haah, jadi kedua orang yang kau kejar sampai lari ter-birit2 tiga hari yang
lalu itu adalah murid2 yang mencelakai darimu?" seru Tang Cian-li dengan
terperanjat. "Lalu siapakah si cebol itu? Apakah dia juga muridmu?"
"Dua orang itulah murid murtad yang sedang kucari" sahut Sin-kau dengan
sedih "sedangkan si cebol itu adalah ahliwaris mereka berdua. Tentunya
sekarang kau maklum bukan, betapa gusarnya hatiku ketika engkau
mengalangi niatku membinasakan mereka, jadinya kita berdua yang saling
labrak, mungkin waktu itu kau anggap aku ini orang jahat."
Dia menghela napas panjang, lalu menyambung pula: "Waktu itu aku
memang terlalu ceroboh, tanpa penjelasan lantas kulabrak kau, kemudian
ketika kukenali kau sebagai kesempatan bertanding ini tidak kusia-siakan. Tapi
kedua murid durhaka itu lantas kabur, aku jadi gagal membunuh mereka,
setelah kuamati mereka pasti akan semakin malang melintang, entah keonaran
apalagi yang akan mereka lakukan di masa mendatang?"
Betapa menyesalnya Sin-lu-tiat-tan setelah mendengar penjelasan itu, dia
menghela napas dan berkata: "Ai, akupun tak mengira pertolonganku justeru
malahan menyelamatkan kedua keparat itu dan kematian, agaknya mau
berbuat kebaikan juga perlu berhati2, sekali bertindak gegabah akibatnya jadi
salah besar."
24
Waktu itulah Tian Pek lantas maju ke depan, ia memberi hormat dan
berkata: "Lociaupwe berdua telah menderita luka yang cukup parah,
kesalahpahaman
sudah jelas, apa gunanya banyak berbicara lagi, lebih baik aturlah
pernapasan dan sembuhkan dulu luka kalian,"
"Huh, memangnya kaukira kami berdua tua bangka ini masih dapat hidup?"
kata Tang Cian-li dengan mata melotot.
Tian Pek melengak mendengar jawaban tersebut.
Tapi Sin-kau lantas berkata dengan menyengir: "Tampaknya hatitnu tidak
jelek, anak muda, tapi tenaga murni kami telah terpakai meleblhi batas, isi perut
kami sudah terluka parah dan jiwa kami cuma bisa dipertahankan beberapa
hari saja, kalau sekarang tidak ber-cakap2 sepuasnya, memangnya kami mesti
menunggu masuk neraka dahulu?"
Kembali Tian Pek melengak, dengan terharu ia berkata. "Apakah luka
Locianpwe berdua tak mungkin bisa diobati lagi? Sekalipun aku Tian Pek masih
muda dan belum berpengalaman, tapi aku bersedia mencarikan obat buat
kalian, bila Locianpwe tahu di mana ada obat mujarab atau tabib sakti,
katakanlah kepadaku dan Wanpwe akan segera berangkat untuk
mengusahakannya."
"Benar!" sambung Wan-ji dari samping, "di rurnahku banyak terdapat bahan
obat2an yang amat mujarab, ada Jinsom seribu tahun, ada Lengci sakti dan
ber-macam2 obat lainnya, asal aku pulang ke rumah dan minta kepada ayahku,
niscaya obat mujarab bisa kudapatkan, selain itu, To-ki-sin ih (tabib sakti)
paman Liang juga bnrada di rumahku......... "
"Hai, anak perempuan, siapakah ayahmu?" sela Sin-kau tiba2.
Sebelum Wan-ji menjawab, Tang Cian-li telah menimbrung dari samping:
"Siapa lagi kalau bukan Ti-seng-jiu Buyung Ham?"
"Engkau maksudkan Losarn dari Kanglamjit-hiap?" Sin-kau menegas.
"Kalau bukan......... memangnya ada orang lain?" kata Sin-lu.
"O, jadi kau kenal ayahku?" seru Wan ji dengan heran.
"Hahaha, ayahmu adalah tokoh silat yang tersohor, salah seorang di antara
empat keluarga persilatan terbesar di dunia persilatan dewasa ini, jangankan
aku, hampir semua umat persilatan yang sering mengadakan perjalanan pasti
kenal namanya." ajar Sin- lu dengan tertawa.
"O, jadi Buyung Ham sudah menjadi salah satu di antara empat keluarga
persilatan yang terbesar? Puluhan tahun aku berkecimpung di dunia Kangouw,
tak nyana banyak generasi muda telah menjagoi dunia persilatan. Dan siapa
pula ketiga keluarga besar yang lain?"
"Hei, monyet tua, pengetahuanmu ternyata sangat dangkal, jaman ini bukan
saja generasi muda banyak yang menonjol, malahan putera merekapun
terhitung jago silat kenamaan di dunia persilatan. Orang persilatan menyebut
mereka sebagai Bu-Iimsu-toa-kongcu, yaitu Ao lok Kongcu, Leng-hong Kongcu,
Toan hong Kongcu serta Siang-lin Kongcu. Hahaha, sayang kau si monyet tua
25
sudah hampir pulang ke alam baka hingga tak sempat lagi bertemu dengan
jago2 muda itu....."
Monyet Sakti Tint Lang melotot, serunya tak sabar: "He, keledai busuk,
jangan omong.tak keruan, bagaimana ceritanya dengan keempat keluarga
besar? Belum jelas keterangannya sudah melantur pula kepada empat Kongcu
besar. Lekas kau ceritakan sejelasnya agar mampuspun aku bisa tenang di
alam baka."
"Dasar picik pengetahuanmu, tanya melulu," sahut Tang Clan li sambii
tertawa, "pada hakikatnya ernpat keluarga besar dan empat Kongcu adalah
satu cerita yang sama. Leng-hong Kougcu adalah kakak nona yang ada di
depanmu ini atau putera Ti-seng-jiu Buyung Ham, An-lok Kongcu adalah putera
Kian-kun-ciang In Tiong-liong, Toan-hong Kongcu adalah anak Kun-goan-ci
Sugong Cing sedangkan Siang-lin Kongcu adalah anak Cing-hu-sin......... Kim
Kiu......... Mengenai keernpat keluarga besar dunia persilatan, mereka adalah
bapaknya keempat Kongcu tadi, selain keempat Kongcu ini masih ada seorang
lagi yakni Pak-ong-pian (cam buk raja bengis) Hoan Hui yang bercokol di kota
Tin kang, sekalipun kekuatannya tidak sebesar keempat saudara angkatnya,
namun dia terhitung juga seorang jago yang berkekuasaan besar. Nah, monyet
tua, sekarang tentunya kau tahu dunia persilatan jaman ini milik siapa?"
Sin-kau Tiat Lang manggut2, katanya: "Berbicara soal kelima orang itu, aku
jadi teringat pada Kanglam-jit-hiap yang namanya tersohor di masa lalu, bila
kelima orang itu telah menjadi jagoam yang berkuasa kenapa tidak kau ungkap
juga Pek-lek-kiam (pedang geledek) Tian In-thian yang menjadi pemimpinnya
Kanglam-jit-hiap? Masakah Tian In-thian yang hebat malahan kalah
dibandingkan saudata2 nya sehingga terpaksa mesti mengasingkan diri?"
Mata Tian Pek seketika melotot demi mendengar kedua orang itu
menyinggung ayahnya, perubahan air mukanya sukar menutupi guncangan
perasaannya.
Dengan penuh arti Tang Ciang-li melirik sekejap ke arah pemuda itu,
kemudian menjawab: "Dan In thian sudah tewas dikerubut oleh berpuluh tokoh
persilatan...”
Sampai di sini Tian Pek tak tahan lagi, dengan air mata bercucuran ia
menubruk kedepan Sinlu-tiat-tan, sambil menangis ia memohon: "Locianpwe,
sudilah kiranya engkau memberitahukan nama pembunuh ayahku, agar Wan
pwe dapat membalaskan dendam kematian ayahku ........... “
Seketika Sin- kau melotot dan berteriak: "Jadi Tian In-thian benar telah mati?"
"Masa kubohongi kau? Bukankah sekarang ada keturunan Tian In-thian yang
bisa menjadi saksi," kata Sin-lu.
Dengan sorot mata murka, Sin-kau melototi Tian Pek sambil angkat telapak
tangan kanannya, tapi ketika ia menghimpun tenaga dalamnya, ternyata
kekuatan yang dimilikinya telah buyar, ketika itu baru teringat dirinya terluka
parah. Tanpa terasa ia menghela napas, dia turunkan kembali telapak
tangannya dengan lemas, lalu katanya: "Ah, tak kusangka Tian In-thian sudah
mati, itu berarti persoalannya denganku tak dapat diperhitungkan lagi ....”
Tian Pek tidak memperhatikan perubahan sikap Sin kau itu, dia tetap berlutut di
hadapan Tang Cian-li dan memohon agar diberitahu mama pembunuh
ayahnya ...........
Baru sekarang Wan-ji tahu bahwa Tian Pek adalah keturunan Pek lek-kiam Tian
Ih-thian, ia terkejut dan bergirang. Ia terkejut karena engkoh Thian yang rudin
dan telantar ini adalah keturunan dari seorang pendekar besar.
Iapun bergirang karena ayahnya dan ayah Tian Pek sama2 anggota Kanglam jit-
hiap, itu berarti ada hubungan kekeluargaan yang erat antara mereka.
Sebab itulah cepat dihiburnya pemuda itu dengan kata2 manis dan berusaha
membangunkannya.
Sin-lu-tiat-tan melengak ketika melihat sikap benci Sin-kau, cepat ia bangunkan
Tian Pek. lalu ia berkata kapada Sin-kau: 'Eh. monyet tua, kau pernah
bersengketa dengan Tian In-thian?"
------------------------
Bagaimana akhir daripada kedua kakek sakti yang sudah sarna2 payah itu ?
Siapakah sebenarnya Sin-kau Tiat Leng, si Monyet Sakti yang buntung ini dan
apa hubungannya dengan misteri kematian ayah Tian Pek ?
-----------------------------
Jilid 12 : Toan-hong Kongcu yang suka gentayangan
Scan djvu : axd002
Edited : Lovecan
Sin-kau Tiat Leng menghela napas panjang, bibirnya bergetar seperti hendak
mengatakan sesuatu, tapi tak tahu darimana ia mesti mulai berbicara, untuk
sesaat jago tua itu jadi gelagapan sendiri.
Tang Cian-li segera berkata lagi: "He, monyet tua, bagaimanapun Tian In-thian
sudah mati, sedangkan kita juga tak akan hidup lama lagi di dunia ini, masa ada
sesuatu yang hendak kaurahasiakan?"
Setelah didesak berulang kali, akhirnya Sin-kau menghela napas dan berkata:
"Ai, kalau diceritakan, mungkin kaupun tidak percaya, selama hidupku kuanggap
ilmu silatku paling top dan tiada tandingannya di dunia ini, tak tersangka aku
menderita kekalahan satu jurus di tangan Tian In-thian!"
"Aku psrcaya penuh pada perkataanmu, sebab bila Tian In thian masih hidup,
tentu akupun bukan tandingannya," kata Sin-lui.
"Setan tua penunggang keledai. jadi kau anggap ilmu silatmu jauh lebih lihay
dibandingkan ilmu silatku?" kontan Sin-kau mencaci maki.
Tang Cian-li tidak menyangka rekannya sedemikian besar ambisinya ingin
menang, ia tersenyum getir dan berkata: "Bila ilmu silatku lebih tinggi
daripadamu, tak nanti hasil pertarungan ini berakhir dengan sama2 terluka.
Sudah hampir mampus saja, kenapa mesti ribut urusan yang tak ada gunanya.
Hayo, lanjutkan saja ceritamu!"
Setelah rasa marahnya agak mereda, Sin-kau melanjutkan kisahnya.
"Beberapa puluh tahun yang lalu, Tian In-thian berkunjung ke tempat
pertapaanku di Le-kun-san, dia bilang hendak meminjam sebentar mutiara sakti
penolak air milikku, meskipun permintaan itu di ajukan secara halus dan sopan,
akan tetapi mutiara penolak air itu adalah benda mestikaku, memangnva benda
tersebut boleh dipinjam orang seenaknya? Selain itu, ia tidak mengemukakan
alasannya, hanya menjamin mutiara tersebut pasti akan dikembalikan, bahkan
ia menjamin dengan nama baik Kanglam jit-hiap!
"Ketika kuketahui bahwa Tian In-thian tak lebih cuma seorang pendekar muda
yang baru menonjol di dunia pcrsilatan, aku lebih2 tak sudi meminjamkan benda
mestika itu kepadanya. Pikirku, jika mutiara penolak air kupinjamkan, maka di
dunia persilatan pasti akan tersiar berita se-olah2 aku keder pada nama
kebesarm Kanglam~jit hiap. Karena itulah kuajukan syarat dengan adu
kepandaian, bila dia berhasil mengalahkan aku, maka mutiara penolak air itu
akan didapatnya, sebaliknya bila dia kalah, maka jangan harap bisa
meninggalkan Le-kun-san dengan hidup. "
"Akhirnya kau si monyet tua ini dibikin keok oleh Tian In-thian, bukan?" sela
Tang Cian-li tiba2.
"Setan tua, dengarkan dulu!" kata Sin-kau dengan mendongkol, "setelah
syaratku disetujui, maka selama tiga-hari-tiga-malam kami bertarung sengit di
depan gua Kiu-ci-tong Le-kun-san, keadaannya persis seperti apa yang kits alami
sekarang, cuma ia tidak terluka waktu itu. Ketika pertarungan sudah
berlangsung sampai puncaknya, pedang hijaunya berhasil meninggalkan goresan
di depan dadaku. tapi hanya merobek satu jalur panjang pada pakaianku dan
tidak sampai melukai kulit dagingku, kutahu dia sengaja memberi kelonggaran
padaku, akan tetapi hal ini bagiku jauh lebih tersiksa daripada ia membinasakan
aku. segera aku berteriak: 'Tian In-thian, mengapa tidak sekalian kau bunuh aku.
Cepat binasakan aku!'"
"Akhirnya, Tian In-thian tidak membunuh kau?" kembali Tang Ciang-li mcnyela.
"Omong kosong!" jerit Sin kau dengun penasaran, "bila dia membunuh diriku
waktu itu, hari ini tentu aku tak akan bertarungan denganmu hingga
sama2 terluka begini, justeru karena ia tidak membunuhku, maka aku terlebih
menderita, seperti yang dijanjikan, mutiara penolak air itu kuserahkan
kepadanya, kutantang pula untuk bertempur lagi tiga tahun mendatang di
tempat yang sama.”
Kembali "monyet sakti" ini berhenti sebentar, kemudian melanjutnya: "Setelah
dia pergi, aku lantas menutup diri untuk meyakinkan beberapa macam ilmu
sakti. Ai, siapa tahu ketika latihanku mencapai tingkat yang paling kritis, dua
orang muridku telah membawa lari kitab pusaka 'Sin-kang-pit-kip', hal mana
membuat aku mengalami kelumpuhan total, setelah kakiku kukutungi, kedua
mund murtad itu kabur membawa kitab pusaka, malahan sebelum pergi mereka
menyumbat guaku dengan harapan agar aku mati kelaparan di dalam gua "
Sebelum Sin-kau menyelesaikan kisahnya, kembali Tang Cian li menyela: "Sejak
kepergian Pek lek-kiam Tian In-thian, iapun tak pernah muncul kembali untuk
mengembalikan mutiaramu, begitu bukan?"
"Tentu saja Tian In-thian tak pernah muncul kembali!" sahut Sin-kau sambil
menggigit bibir dan menahan emosi, "sejak gagal berlatih ilmu dan kedua kakiku
kukutungi sendiri, dengan susah payah aku mempertahankan hidupku dalam
gua itu, untung ilmu silatku tidak punah, setelah lukaku sembuh, gua itu
kudobrak dan muncul kembali ke dunia persilatan. Tujuanku yang terutama
adalah mencari kedua mund murtad itu dan membinasakan mereka. Kedua akan
kucari Tian In-thian untuk membalas dendam atas kekalahan yang kuderita
tempo dulu. Ai, siapa tahu gara2 kepergok kau si tua bangka, bnkan saja kugagal
membinasakan kedua murid durhaka itu, maksudku membalas dendam juga
buyar”
"Sungguh aku menyesal karena telah mengalangi niatmu membinasakan kedua
muridmu itu, tapi kejadion sudah telanjur begini, menyesalpun tak ada gunanya.
Mengenai Tian In-thian tidak mengembalikan mutiaramu sesuai janjinya, hal ini
bukan lantaran dia ingkar janji, tapi maksud tujuannya pinjam mutiara tersebut
adalah untuk mencari satu partai harta karun di dasar telaga Tong-ting-ou, di
sana Tian In-thian telah mati dikerubut belasan orang, kalau orangnya sudah
mati, dengan sendirinya mutiara itu tak dapat dikembalikan kepadamu? Kukira
setelah Tian In-thian mati, urusanmu dengan dia tentu juga impas, adapun
urusan kita berdua, jika kau monyet tua ini tetap tak puas, mari kita lanjutkan
kembali pertarungan ini!"
Sin-kau melengak: "Tenaga murni kita sudah buyar, isi perut kita terluka parah,
keadaan kita sekarang tiada ubahnya seperti orang biasa, apanya yang bisa
ditandingkan lagi?"
"Locianpwe berdua tak usah kuatir" sela Wan-ji, "asal kupulang ke rumah dan
mengambil obat mujarab milik ayahku, niscaya jiwa kalian dapat di-
selamatkan!"
Wan-ji adalah gadis yang polos, kendatipun ia tak tahu kehadiran kedua kakek
ini akan menguntungkan atau merugikan dirinya dan Tian Pek tapi ia merasa tak
tega membiarkan kedua orang itu tersiksa. Habis berkata, ia lantas menarik
tang-an Tian Pek untuk diajak pulang mengambil obat-
Sin-kau adalah seorang tokoh yang berwatak aneh, baginya bila utang budi
harus dibalas, ada dendam mesti di tuntut, maka ketika dilihatnya
Wan-ji yang cantik berulang kali mengusulkan akan mengambil obat, ia jadi
sangat terharu.
"Anak perempuan yang baik hati, kemuliaan-mu sungguh mengagumkan
hatiku!" katanya kemudian. "Dahulu kuanggap di dunia ini tiada orang yang baik,
tak tersangka hari ini kujumpai seorang yang benar2 berjiwa mulia seperti
dirimu, tampaknya pandanganku harus berubah. ..."
Tang Cian-l tertawa, dia ikut beikata: "Nona, tak perlu repot kau, sekalipun
ayahmu memiliki obat mujarab juga tak mampu menandingi kemanjuran Si-mia-
san (puyer penyambung nyawa) yang diminum si monyet tua tadi serta Toa-
hoan-wan milikku, jika obat maha manjur yang telah kami minum ini tak dapat
menyelamatkan jiwa kami, apa lagi obat lainnya?"
Wan-ji kurang percaya, ia berpaling ke arah Sin-kau. dilihatnya "monyet sakti"
itupun mengangguk membenarkan, ia menjadi sedih katanya: "Kalau begitu, jadi
jiwa kalian tak dapat ditolong lagi?”
"Nona tak perlu berduka," hibur Tang Cian-li, "mati-hidup manusia telah
ditentukan oleh takdir, apalagi kami sudah hidup selama hampir seabad, hidup
kami sudah lebih dari cukup, kami sendiri tidak sedih, kenapa kau malahan
murung sendiri?"
Sin-kau seperti mau mengatakan suatu, tapi Tang Cian-li telah melanjutkan
ucapannya: "He, aku ada usul yang bagus, dengan caraku ini bukan saja ada
orang yang akan mengurusi mayat kita, bahkan kitapun bisa melanjutkan
kembali pertarungan kita yang belum selesai ini."
"Setan tua penunggang keledai, sekalipun tidak kaukatakan juga kutahu apa
rencanamu itu!" seru Sin-kau dengan memutar biji matanya, "bukankah kau
hendak mengusulkan agar kita masing2 menerima seorang murid untuk
mewarisi ilmu silat kita, kemudian suruh mereka pula yang mengurusi jenezah
kita serta melanjutkan pertarungan kita yang belum selesai ini? Huh, suruh
mereka mengurus jenazah kita memang bisa saja, tapi kalau suruh mereka saling
beradu silat, jelas sukar terlaksana."
"Hahaha, monyet tua, kau memang cerdik, orang bilang monyet adalah binatang
yang pintar, setelah kubuktikan sekarang baru kuakui bahwa uoapan itu
memang benar. Cuma sayang pintarnya monyet tua macam kau agak keblinger,
usulku cuma sebagian saja yang bisa kautebak, sedang sebagian yang lain tetap
ketinggalan!"
"Hm, coba terangkan," jengek Sin-kau.
"Ditinjau dari sikap mereka yang begitu mesra, tentu saja tak mungkin kita
menyuruh mereka saling bertarung mati2an, tapi kita kan dapat mendidik
mereka dengan berbagai ilmu kemudian suruh mereka mendemontrasikan ilmu
itu di hadapan kita? Siapa lebih cekatan dan lebih banyak menguasai ilmunya,
dia dianggap menang. Coba, bagus tidak usulku ini?"
"Kalau begitu, jadi kaupilih yang laki2?" tanya Sin-kau.
"Tentu saja, Tian In-thian adalah musuh besarmu, tentu saja kau tak akan sudi
memberi pelajaran ilmu silat kepada puteranya!"
Lama sekali Sin kau mengamati wajah Tian Pek dan Wan-ji tanpa berkedip,
setelah itu baru berseru: "Setan tua, kau curang, tentu saja kau bakal menang,
jelas tenaga dalam yang dimiliki anak laki2 ini jauh lebih kuat daripada yang
perempuan!"
"Tapi dalam ilmu meringankan tubuh yang perempuan kan lebih hebat daripada
yang laki2? Kedua pihak memiliki keistimewaannya masing2, itu berarti
kedudukan kita seri, siapapun tidak menarik keuetungan dari yang lain."
Sin kau kembali termenung sebentar, akhirnya dia manggut: "Baik, aku setuju
dengan usulmu itu, tapi, berapa lama lagi kita bisa hidup? Nah, setan tua
penunggang keledai, kita harus tetapkan batas waktunya!'
"Kurasa takkan lebih seratus hari lagi!"
Diam2 Sin kau menghitung, kemudian ia berseru tegas: "Bagus, akupun kira2
cuma tahan seratus hari lagi, kalau begitu kita tetapkan batas waktu selama tiga
bulan, akan kusaksikan ilmu silat dari utara atau dari selatan yang lebih
unggul?!"
"Kalau setuju, hayo kita bertepuk tangan tiga kali!" Tang Cian-li meronta
bangun, dengan sempoyongan ia menghampiri Sin-kau dan "Plok! Plok!" kedua
kakek itu saling bertepuk tangan sebanyak tiga kali. Tepukan mereka sudah tak
bertenaga, nyata mereka sudah tiada ubahnya seperti orang biasa.
Mendengar hubungan mereka dikatakan mesra, air muka Tian Pek dan Wan-ji
menjadi merah jengah. tetapi ketika dilihatnya kedua kakek itu sama2 tak mau
mengalah kendatipun dekat ajalnya, seketika merekapun melengak.
Setelah tiga kali tepukan dilakuka dan kedua kakek itu berpaling memanggil,
Tian Pek dan Wan-ji baru saling pandang, kemudian menhampiri kedua kakek
itu.
"Anak muda, hayo ikut padaku!" seru Tang Cian-li kepada Tian Pek.
Habis berkata, dengan sempoyongan ia menuju ke tepi panggung batu itu,
lantaran tenaga dalamnya sudah buyar dan isi perutnya terluka, ia tak mampu
lagi melompat turun panggung yang tinggi itu.
Ia kelabakan sendiri mengitari panggung batu itu, dia menghela napas, lalu
meminta: "Anak muda, harap kaugendong aku turun dari panggung batu ini."
Baru sekarang Tian Pek yakin jago tua itu tidak ber-pura2, Sin-lui tiat tan yang
tersohor betul2 telah menjadi manusia biasa yang cacat dan seluruh ilmu
silatnya punah, pemuda ini membatin dengan cara bagaimana ilmu sakti kakek
ini akan diajarkan kepadanya?
Walaupun ragu namun Tian Pek tidak membantah perintah kakek itu, dia segera
menggendong Tang Cian-li dan membawanya loncat turun dari panggung batu,
menurut petunjuk kakek itu, akhirnya mereka menyusup masuk ke dalam
sebuah gua rahasia di balik lereng sana.
Bagaimanapun juga Tian Pek ingin tahu nama2 pembunuh ayahnya, selain itu
iapun ingin memperdalam ilmu silatnya, maka meski ragu ia turuti segala
kehendak si kakek.
Menanti bayangan kedua orang itu sudah lenyap dari pandangan, Sin- kau yang
cacat baru menegur: "Anak perempuan, bagaimaaa caranya kita tinggalkan
tempat ini?"
Kaki palsu serta tongkat penyangganya telab patah, tentu saja "monyet sakti" itu
malu untuk minta digendong seorang gadis, maka dia ajukan partanyaan
tersebut.
Tak terduga air muka Wan-ji hanya berubah merab sedikit, tapi dengan tegas dia
segera menjawab: "Tampaknya kau tak sanggup berjalan sendiri, biarlah
kugendong kau pergi dari sini! Tapi kemana kita akan pergi?"
Cara bicara Wan-ji tidak seramah Tian Pek, tapi justeru sikap semacam inilah
yang cocok dengan watak Sin kau.
'Di sekitar sini banyak sekali gua rahasia, bolehlah kita mencari sebuah gua,"
katanya dengan tertawa, "tapi jangan mencari gua yang terlalu jauh letaknya.
sebab tiga bulan kemudian dengan mata kepala sendiri ingin kusaksikan kau
mengalahkan ahliwaris si tua bangka penunggang keledai itu...."
"Ah. ogah!" seru Wan-ji cepat, "Gua di sekitar sini gelap lagi kotor, mana
kubetah tinggal di gua begini selama tiga bulan?"
"Masa kau tidak ingin belajar ilmu sakti?" tanya Sin-kau dengan melengak.
"Kan boleh juga dilakukan di atas panggung batu ini!" kafa Wan-ji.
"Wah, tidak bisa, belajar silat harus dirahasiakan, kesatu harus menghindarkan
diintip orang, kedua bisa juga akan terganggu oleh sesuatu. Bila kuwariskan
beberapa macam ilmu silat yang maha sakti yang aku sendiri tidak berhasil
melatihnya, tanggung ahliwaris keledai tua itu pasti bukan tandinganmu."
Habis berkata dia bersenyum misterius pada si nona.
Sudah tentu Wan ji tak percaya, katanya: "Kalau kau sendiri tak bisa, cara
bagaimana akan kau ajarkau padaku? Apalagi ilmu silatmu sudah punah, kau
pun terluka sekarang"
"Sebetulnya kau ingin belajar atau tidak.. .?" teriak Sin-kau dengan melotot.
"Tidak" jawab Wan-ji terns putar badan dan melangkah pergi.
"Heh he..jangan pergi dulu!" seru Sin-kau, ia memohon dengan sangat. "Kau
menyaksikan sendiri aku telah mengikat janji dengan keledai tua itu, kami sudah
bertepuk tangan tiga kali masa kau hendak pergi begitu saja? "
Tidak tega Wan-ji menolak permohonan orang yang ber sungguh2 itu, ia kembali
ke sisi Sin-kau seraya berkata: "Kalau ingin kuturut kemauanmu, maka kau harus
menurut kehendakku, kita berlatih di panggung batu ini . “
Sin-kau tampak serba susah, ia termenung sebentar, lalu menjawab: "Anak
manis, kautahu rahasia ilmu silat sakti tak boleh didengar pihak ke tiga, lagi
pantang diganggu kejadian yang tak terduga, hilangnya kedua kakiku ini
merupakan contoh yang nyata, jangan kau kuatir aku akan berbuat jahat
padamu, tujuanku hanya mcwariskan ilmu silatku kepadamu agar dapet
mengalahkan ahliwaris si keledai tua itu . . "
Sesudah berhenti sebentar, ia membujuk lebih jauh: "Nah turutluh perkataanku,
bawalah aku ke sebuah gua rahasia, di sana akan kuwariskan ilmu silat yang
maha sakti kepadamu, selain waktu berlatih, kau boleh bebas pergi ke manapun,
setuju?"
"Ai, sebenarnya aku tak berminat belajar silat, akan tetapi akupun tak tega
menolak permintaanmu, tampaknya aku terpaksa mesti menuruti
kehendak hatimu ini!" jawab Wan-ji.
Ia lantas berjongkok di depan Sin-kau dan siap menggendongnya, girang sekali
"monyet sakti" itu, cepat ia merangkul leher gadis itu dan mendekam di atas
punggungnya.
Begitulah, dengan dipanggul oleh Wan-ji berangkatlah mereka menuruni
panggung batu untuk mencari tempat yang cocok buat belajar silst.
Akan tetapi meskipun sudah mencari beberapa buah gua, ternyata tempat2 itu
tidak cocok dengan kehendak hati Sin-kau.
Akhirnya sampailah mereka di sebuah gua di sisi sepotong batu padas raksasa,
dengan agak mendongkol Wan-ji mengomel: 'Kali ini tak boleh di-tolak lagi, jelek
atau bagus kita akan nenetap di gua ini, kalau kau tak senang, lebih baik mencari
orang lain saja, aku ogah nienggendong kau terus menerus . . " sampai akhir
ucapannya itu, Wan-ji tak dapat menahan rasa gelinya lagi, ia tertawa sendiri
dan Sin-kau diturunkan di mulut gua.
Dengan sorot matanya yang tajam seperti mata monyet, Sin-kau
memperhatikan sekejap sekeliling gua tersebut, lalu dengan dahi berkerut
gerutunya: "Wah, gua ini lebih jelek daripada kedua gua yang kita periksa tadi,
coba, angin keras ini, bisa jadi gua ini bukan gua yang buntu . .”
"Ah, peduli amat, pokoknya aku tak mau cari gua lain lagi, jika kau takut angin,
akan kubawa kau ke dalam sana dan pasti tak ada anginnya!" lalu Wan-ji
berjongkok lagi siap menggendong orang tua itu.
"Ai. tak tersangka aku si manyet sakti Tiat Leng yang pernah malang melintang
tiada tandingan di dunia ini, sebelum ajalku masih harus di-buat jengkel oleh
anak perempuan macam ini!" demikiau Sin-kau menggerutu.
Serentak Wan-ji berbangkit lagi dan berseru dengan marah, "Kalau kau tak
senang dengan aku, biarlab aku pergi dari sini dan batal semuanya! Hm, jangan
kaukira aku ingin belajar ilmu silatmu supaya kau tidak mendongkol melulu,
lebih baik kita berpisah menempuh jalannya masing2." — Habis berkata ia
berlagak hendak melangkah pergi.
Cepat Sin-kau berseru: "Eeh, anak perempuan, mau ke mana kau? Jangan marah
dulu, hayo kemari, aku turut semua kemauanmu!"
"Kalau mau nurut, maka selanjutnya tidak boleh lagi memanggil anak
perempuan segala, namaku Tian Wan ji, bila perlu panggil saja namaku,”
demikian kata si nona.
"Baik! Aku turut perintah!" Sin-kau manggut2. "Anggaplah selama hidupku baru
pertama kali ini jeri kepada orang lain . "
"Keliru, bukan untuk pertama kalinya, paling sedikit di dunia ini sudah ada dua
orang yang kau takuti, kecuali diriku, ada pula Tian In-thian, si pedang geledek
dari Kanglam-jit-hiap yang pernah mengalahkan dirimu."
Kontan Sin-kau mendelik dengan mendongkol:
"Tidak! selama hidup tak pernah kutakut pada orang kedua, dengan
kepandaianku sekarang, aku mampu mengalahkan Tian In thian, apalagi kalau
aku diberi waktu untuk meyakinkan pula beberapa macam ilmu saktiku, huh,
jangankan melawan, mungkin satu jurus saja Tian In-thian tak tahan"
"Ckk . . .cckk, jangan ngibul!" ejek Wan-ji "Masa engkau benar2 sehebat itu?
Padahal sekarang seorang kakek saja tak mampu kaukalahkan."
Ucapan ini kontan membungkamkan Sin-kau, tapi sekilas terbayang rasa
bencinya terhadap Sin-lu tiat-tan bertambah mendalam.
Rupanya Wan-ji sendiripun merasa ucapannya kelewat batas dan mungkin
menyinggung perasaan orang. ia jadi tak tega.
Sambil berjongkok dihadapannya dia coba menghibur: "Sudahlah, urusan yang
sudah lewat biarkan lewat, mari kita hadapi saja masalah yang akan datang,
sekarang mari kugendong kau mencari tempat yang tak ada anginnya!"
Sin-kau Tiat Leng tidak bicara lagi, ia menggelendot di punggung Wan-ji dan
membiarkan gadis itu menggendongnya ke dalam gua.
Gua itu aneh sekali bentuknya, meskipun mulutnya tidak begitu besar, namun
lorong dibalik gua itu panjangnya bukan kepalang, sudah puluhan tombak Wan-
ji menembusi gua itu, bukan saja belum mencapai ujungnya, bahkan semakin ke
dalam semakin banyak jalan bercabang yang ditemui. Dari tiap mulut gua yang
ditemuinya terasalah embusan angin yang menderu kencang.
Diam2 mereka merasa gelagat tidak enak, tapi keduanya tetap membungkam.
Tampaknya Sin-kau sudah cukup kenal tabiat Wan-ji, meskipun cantik wajahnya
dan baik hatinya, namun berwatak lebih keras dari pada batu karang.
Iapun sadar apabila banyak cincong, bisa jadi si nona akan marah dan mungkin
dia akan di tinggalkan dengan begitu saja di gua ini.
Padahal kakinya buntung, tongkat penyanggah badannya sudah patah,
sejengkalpun ia tak mampu melangkah, bila ditinggalkan dengan begitu saja kan
bisa berabe?
Oleb sebab itulah, meskipun ia merasa gelagat kurang baik, terpaksa ia
membungkam dan membiarkan Wan-ji menggendongnya ke depan.
Wan ji sendiripun dapat merasakan pula bahwa gua itu tidak cocok digunakan
untuk berlatih silat, tapi berhubung telanjur mengatakan akan tetap berada di
gua ini, tentu saja ia malu untuk menjilat kembali kata2nya.
Ginkang Wan-ji cukup hebat, apalagi tubuhnya ramping dan kecil serta
mendapatkan didikan Nia-gong-hoan-ing ( mengrjar udara bayangan setan) dari
Buyung Ham, dengan sendirinya gesit dan lincahnya gerak-gerik Wan-ji.
Maka ia terus menerobos masuk ke dalam gua, kendatipun suasana remang2
dan permukaan tanah tinggi-rendah tak menentu, namun ia mampu bergerak
maju dengan kecepatan tinggi.
Setanakan nasi kemudian, mereka sudah beberapa li memasuki gua, sekalipun
suasana gelap gulita dan jalannya ber-liku2 tidak rata, namun gadis itu tahu
bahwa perjalanan yang di tempuh sudah amat jauh, sementara ujung gua belum
nampak juga.
Timbul pikiran kedua orang untuk mengundurkan diri dari tempat itu, sekalipun
niat tersebut tidak sampai diutarakan, akan tetapi langkah Wan-ji sudah mulai
lambat daripada tadi.
Suatu ketika, tiba2 gadis itu menjerit kaget. "Wan-ji, ada apa?" cepat Sin-kau
menegur, sejak tenaga dalamnya punah, ketajaman mata dan telinga jadi
mundur juga.
"Coba lihat, di sini ada mayat manusia."
Ketika mereka menghampiri barulah Sin-kau dapat melihat sesosok mayat yang
bermandikan darah berdiri bersandar dinding gua.
Mula2 mereka mengira mayat tersebut berdiri bersandar dinding, akan tetapi
setelah diamati dengan saksama. tampaklah pada ulu hati mayat tersebut
tertancap sebatang senjata rahasia yang berbentuk seperti piau tapi tidak mirip
Piau, seperti cundrik tapi juga bukan cundrik, yang pasti sekitar senjata itu
mengkilap ke-biru2an.
Bagi jago silat yang berpengalaman, sekilas pandang saja segera akan tahu
bahwa senjata tersebut pasti beracun, panjang senjata itu kira2 belasan senti
dan menancap dari hagian dada hingga tembus ke punggung, jadi mayat itu
bukan mati bersandar di dinding, justeru mayatnya tak sampai roboh lantaran
badannya terpantek di dinding.
Wan-ji tertegun, akhirnya ia berkata: "Rupanya orang ini mati karena terserang
oleh senjata rahasia beracun, karena terpantek di dinding maka tu buhnya tak
roboh. Darah yang menodai badannya tampak masih baru, mungkin mati belum
lama. Apakah engkau kenal senjata rahasia yang digunakan si pembunuh ini?"
Sin kau mengamati sekejap benda itu, kemudian menggeleng: "Sudah puluhan
tahun aku berkelana di dunia persilntan, tapi belum pernah ku jumpai senjata
rahasia macam ini, yang jelas tenaga serangan orang ini kuat sekali dan lagi
senjata rahasia ini beracun keji!"
"Locianpwe kenal tidak dengan korban ini?" tanya Wan-ji pula.
Sin-kau coba mengamati mayat itu, ia lihat orang itu mengenakan baju sutera
halus berwarna hijau, memakai ikat kepala dengan sebiji mutiara di teagahnya,
pakaian orang ini mewah, tubuhnya kekar berotot, alisnya tebal dan mukanya
berewok, sekilas pandang dapat diketahui bahwa dia adalah seorang jago silat.
Walaupun sudab mati, mukanya masih kelihatan seram dan gagah perkasa.
Karena tidak kenal orang itu, Sin-kau menggeleng: "Aku jarang sekali bergerak di
daerah Tionggoan, apalagi puluhan tahun terakhir ini tak pernah kuinjak dunia
persilatan, entahlah siapa orang ini?"
Milihat kematian laki2 yang mengerikan dengan darah berlumuran di dadanya,
Wan-ji merasa gua ini penuh bawa pembunuhan dan menyeramkan. Namun
lahirnya ia tetap berkata dengan angkuh: "Locianpwe, aku yakin dalam gua ini
ada hal yang aneh, siapa tahu kalau pembunuhnya masih bersembunyi di sini,
bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan ke dalam sana?'
"Terserah pada nona, toh bagaimanapun juga bukan kehendakku masuk ke sini,"
sahut Sin-kau sambil tertawa.
Wan-ji mendongkol, ia tidak menggubris kakek itu lagi, dengan gemas
langkahnya dipercepat. Tak jauh dua sosok mayat kembali mereka temui,
dandanan maupun potongan badan kedua mayat ini tidak berbeda dengan
korban pertama, cuma punggung mereka tertancap senjata rahasia beracun dan
roboh tertelungkup, karena itulah mukanya tidak kelihatan.
Darah meleleh dari mulut dan berlepotan di tanah, lkat kepala seorang terlepas
jauh di sana dan kelihatan rambutnya yang kusut masai.
Wan-ji bergidik menyaksikan adegan seram itu, tapi ia tak mau menyerah,
apalagi hatinya lagi mendongkol, dengan cepat ia menerobos pula lebih jauh ke
dalam gua.
Sin-kau tetap membungkam, diam2 iapun bergidik, ia pikir sekarang ilmu
silatnya telah punah, sedangkan gadis itu kurang berpengalaman, bila ada
sergapan gelap niscaya mereka tak mampu melawan dan akan mengalami nisib
seperti mayat2 tadi.
Tidak jauh sampailah mereka di depan sebuah dinding batu, embusan angin di
situ agak lemah, dengan sangat ber-hati2 Wan-ji menghampiri dinding batu itu.
Ada sebuah pintu batu di samping dinding itu, agaknya sebuah ruangan, Wan-ji
trus melangkah masuk.
"Awas! ....!" teriak Sin-kau.
Wan-ji terperanjat dan berhenti, dari kegelapan mendadak meluncur keluar
sebuah tangan hitam terus mencengkeram ke muka si nona.
Saking terkejut Wan-ji menjerit kaget dan lompat mundur. berbareng ia angkat
tangannya hendak balas menyerang.
Sin-kau telah punah ilmu silatnya, tapi dia berpengalaman luas, segera ia
berseru: "Wan-ji, jangan gugup! Hanya sesosok mayat belaka!"
Gadis itu mengamati lawannya dengan seksama, memang benar ucapan si
monyet tua itu, hanya sesosok mayat yang berdiri di depannya, sebilah pedang
Siang-bun-kiam yang memancarkan cahaya hijau tergeletak di tanah.
Sekarang ia baru tahu, rupanya korban ini bersembunyi di belakang pintu dan
menyergap musuh dengan pedang, tapi sergapan itu berhasil di-hindarkan,
sebaliknya ia terbunuh oleh sebuah pukulan berat yang mematikan.
Sebuah lubang berdarah tertera di dada laki2 yang mati ini, tampaknya lubang
besar inilah penyebab kematiannya, dari bukti ini Sin-kau berdua yakin ilmu silat
si pembunuh pasti sangat tinggi.
Dalam ruangan dekat dinding sana menggeletak pula sesosok mayat, bersenjata
Poan-koan pit, luka besar tertera di dada, kematian yang dialami orang ini tak
berbeda dengan korban di belakang pintu, cuma wajah mayat ini masih
menunjuk rasa ngeri dan takut, ini membuktikan bahwa sang korban sangat jeri
terhadap pembunuhnya. Senjata Poan-koan-pit yang dipegang tak semput
dipakai, sebelum melakukan perlawanannya ia sudah dihantam mati.
"Kedua koiban ini mati dipukul dengan ilmu pukulan keras apa?" tanya Wan ji.
"Tampaknya mereka dibunuh oleh sebangsa Kim-kong-ci atau It-ci-sian (tenaga
jari sakti), Kim-kong-ci atau It-ci-sian si pembunuh ini jelas telah mencapai
puncak kesempurnaan," jawab Sin-kau dengan prihatin.
"Ah, Cianpwe, lihatlah!" kembali si nona berseru. "coba lihat, di sini ada dua peti
batu permata"
Dalam ruangan batu itu terdapat dua buah peti besi berukuran setengah meter
persegi, tutup peti terbuka hingga tampak isinya yang berupa mutu manikam
yang tak terhingga jumlahnya.
Sin-kau memang tokoh yang aneh, dia tidak tertarik sedikitpun oleh dua peti
intan permata itu.
Wan-ji sendiri adalah puteri salah seorang empat keluarga besar, intan permata
semacam itu sudah sering dilihatnya di rumahnya, maka iapun tidak tertarik.
Wan ji menurunkan kakek itu ke lantai, kemudian menghampiri peti batu
permata itu dan memeriksanya satu demi satu, dilihatnya batu permata di
dalam peti tersebut bukan barang sembarangan, mutiara dan intan yang ada di
situ rata2 amat besar dan berkilat, malahan jauh lebih besar daripada benda
yang tersimpan di rumahnya. Terutama kedua peti ymg berukir indah itu terang
serupa dengan peti besi yang terdapat di rumahnya.
Wan ji makin heran, ia tertegun dan berpikir: "Aneh, jangan2 benda mestika ini
dicurinya dari rumahku."
Sementara ia melamun tiba2 Sin-kau berseru: "Wan ji, daripada kita lari ke sana
kemari, alangkah baiknya kita berdiam ssja di ruangan ini, biarlah kuwariskan
ilmu silatku di sini."
Seruan tersebut menyadarkan Wan-ji dari lamunannya. dengan dahi berkerut ia
berkata: "Apa? Kita harus tinggal bersama dua sosok mayat ini? Aku tidak mau!"
"Memangnya kenapa? Kalau kau jijik bercampur dengan mereka, seret saja
mayat itu keluar kan beres?"
"Kalau ingin membuang mayat itu, kau saja yang lakukan," kata si nona.
Sin-kau menyengir menghadapi kebandelan anak dara itu, ucapnya: "Wan-ji
kalau aku bisa berjalan sendiri, aku tak akan suruh kau menggendong diriku "
"Kalau begitu, tidak perlu banyak omong lagi, pokoknya aku tak mau menyentuh
mereka, lebih baik kita pergi dan mencari tempat lain saja!"
Setelah mengembalikan batu permata itu ke dalam peti, ia menggendong Sin-
kau dan berlalu dari ruang batu itu.
Belum jauh mereka lanjutkan perjalanan, sampailah kedua orang itu di mulut
gua. Ternyata gua ini menembus perut bukit dan mempunyai pintu masuk yang
berbeda, malahan jaraknya dari ruang batu ke mulut gua ini dekat sekali.
Menghirup udara segar di tempat terbuka serta memandang cahaya sang surya
yang gemilang, Wan-ji berdua merasa dada jadi lega, rupanya fajar telah
menyingsing, sudah dua-tiga jam Wan-ji berdua menyusuri gua itu.
Keadaan Sin-kau sudah payah, setelah bertempur selama tiga hari tiga malam
melawan Tang Cian-li, kemudian masih harus melakukan perjalanan setengah
malaman digendong Wan-ji, kesehatannya telah jauh lebih menurun, sekalipun
ia sudah makan bubuk Si mia-san, ia merasa lapar dan dahaga, sekeluar dari gua,
ketika melihat sebuah selokan yang mengalirkan air jernih, ia segera berseru:
"Oo .... air. Air! Aku sangat haus, aku ingin minum!"
Wan-ji sendiri juga merasa lapar dan dahaga, tanpa di suruh lagi ia menghampiri
selokan itu dan menurunkan Sin-kau untuk minum ber-sama2.
"Jangan minum air itu!" tiba2 seorang berseru dengan nyaring, "lebih baik mati
dahaga daripada minum air selokan itu! Masa kalian tidak tahu akan kata2
tersebut bila sudah berani memasuki 'lembah pemutus nyawa'!"
Betapa kaget Sin kau serta Wan-ji demi mendengar teguran itu, mereka
menengadsh dan terlihat seorang pemuda tampan berdiri di lereng bukit di
seberang sana.
Pemuda itu baru berusia dua puluhan, badannya jangkung, tegap dengan wajah
yang cakap, sekalipun dandanannya sederhana mirip dandanan petani, namun
tidak mengurangi ketampanannya.
Sembil bergendong tangan ia berdiri di lereng bukit itu, sikapnya yang santai dan
tenang menambah gayanya yang mempesona.
"Eh, bocah. jangan kau sembarang omong," sera Sin kau dengan mata melotot.
"Kalau berani bergurau atau sengaja menakut2i aku, hmm, jangan menyesal bila
kubikin kau mampus tak terkubur."
Wan-ji geli mendengar kecongkakan Sin kau, ia merasa orang tua ini terlalu
jumawa, ilmu silat sendiri saja telah punah, terluka dan badan cacat, tapi
bicaranya masih garang dan tak mau kalah.
Padahal dilihatnya pemuda itu tampan dan berilmu silat, sinar matanya tajam
dan badannya tegap, bila benar terjadi pertarungan, hanya satu gebrak saja
"monyet tua" ini pasti akan terkapar.
Karena merasa geli, air yang terkumur di mulutnya tersembur keluar, ia tertawa
cekikikan.
Terkesima pemuda itu menyaksikan kecantikan Wan ji, melihat si nona tertawa
geli, ia berkata pula dengan heran: "Jadi kalian tidak percaya dengan
peringatanku? Coba lihatlah ke sebelah sana."
Seraya berkata dia menuding ke hulu sungai kecil itu.
Mengikuti arah yang ditunjuk, tampaklah di samping selokan terpancang sebuah
papan kayu putih, di atas papan tertulis beberapa huruf: "Air selokan ini beracun
keras, tujuh langkah pencabut nyawa, jangan sekali2 diminum!"
Air muka Wan ji kontan berubah pucat, jeritnya kuatir: "Wah, celaka, aku sudah
banyak minum air ini, bagaimaaa sekarang?"
"Wan-ji, jangan gugup!" hibur Sin-kau dengan tenang. "Siapa tahu kalau dia
cuma membohongi kita?"
"Aku tak berbohong, peringatanku tadi hanya timbul dari maksud baik, jika
kalian tidak mau percaya, ya apa boleh buat?"
"Coba lihat, betul bukan perkataanku?" kata Sin-kau sambil berpaling ke arah
Wan-ji dan tertawa, "sekali tebak saja kutahu orang itu sengaja me-nakut2i kita,
kalau air sungai ini benar2 beracun jahat, kenapa perut kita tidak merasakan
apa2?”
“Betul juga,” pikir Wan ji, “kalau air sungai kecil ini beracun, kenapa perutku
tidak merasakan gejala apa2?” Diam2 ia mengagumi Sin-kau yang sudah
berpengalaman dan tidak mudah tertipu itu.
"Aku tidak bohong!" kembali pemuda itu menegaskan ucapannya, "racun yang
terkandung di dalam air ini benar2 sangat istimewa, bukan saja tidak berbau,
tidak berwarna, bahkan tidak terasa apa2, baik manusia maupun hewan yang
minum air ini, asalkan tidak bergerak, maka tiada perasaan apa pun yang
dalamnya, tapi kaiau berdiri dan berjalan, maka tidak sampai tujuh langkah,
ususmu akan rantas dan mati ....!"
Sin-kau tertawa ter-bahak2: "Hahaha, kalau dulu Coh Cu-kian (pujangga di jamas
Sam Kok) bisa membuat syair dalam tujuh langkah, sekarang aku bisa putus usus
dalam tujuh langkah. wah, itulah kejadian yang pantas dicatat dalam sejarah.
Sayang aku tidak punya kaki sehingga tidak mampu berjalan sediri. andaikata
kakiku utuh, niscaya akan kulangkah tujuh tindak untuk membuktikan apukah
benar ususku akan rantas atau tidak?"
"Engkau tidak berkaki tapi kakiku kan utuh!" sambung Wan ji, jangankan tujuh
langkah, tujuh puluh atu tujuh ratus langkahpun akan kulalui. Hm, air sudah
kenyang kita minum, peduli amat dengan urusan tetek-bengek ini."
Segera ia menggendong pula si "monyet sakti" dan akan meninggalkan sungai
kecil ini ... ,
Tapi mendadak dengan gerakan enteng bagaikan burung walet melayang di
udara, pemuda tampan itu melompat dari turun lereng seberang sana dan
hinggap di depan Wan-ji.
Katanya dengan sungguh2: "Nona, kuanjurkan agar jangan keras kepala,
ketahuilah aku tidak bermaksud bohong, setiap perkataanku adalah kata2
sejujurnya, selokan ini bernama Sui gin-han-cwan (sumber air dingin berwarna
perak) dan sudah ter-sohor kelihayannya. Jangan kau anggap perutmu masih
segar setelah minum air itu, sekarang kau memang belum merasakan apa2, tapi
lama kelamaan ususmu akan rantas dan akhirnya putus. Ketahuilah air ini sungai
mengandung air rasa, bobot air rasa sangat berat dan sanggup merantas usus
dan merusak isi perut, bila orang tetap diam, maka air perak itu bergerak agak
lambat, tapi kalau orangnya bergerak, maka air rasa juga cepat bergerak ke
dalam usus, dengan sendirinya luka yang timbul juga makin cepat. Untung aku
membawa obat penawarnya, Nah, kuhadiahkan kalian seorang sebungkus . . . ."
Sebelum Wan ji buka suara, dengan cepat Sin kau menggoyangkan tangannya.
"Sudahlah, tak usah banyak omong, cepat pergi dari sini!" serunya tidak sabar
"Jangankan air itu tak beracun, sekalipun kami sudah keracunan juga tak perlu
kau turut kuatir : . . . !"
Berbicara sampai di sini, ia mendesak Wan-ji agar cepat2 pergi.
Wan-ji merasa pemuda itu bukan orang jahat, tetapi ia tak berani menerima
obat pemberian orang yang tak dikenal ini, maka ketika pemuda itu
mengangsurkan dua bungkus obat tadi, ia tidak menerimanya, tapi berkata:
"Terima kasih atas maksud baikmu, biarlah kami terima di hati saja!" Habis
berkata segera ia melompat ke sana dan akan pergi.
Tapi baru saja bergerak, tiba2 Wan-ji merasakan perutnya melilit dan sakit luar
biasa, ia anjlok ke bawah mendadak, untung Ginkangnya cukup lihay sehingga
tidak sampai jatuh terjengkang.
Air muka Wan-ji berubah pucat. perutnya semakin sakit seperti disayat dengan
pisau, akhirnya dengan dahi berkerut jeritnya: “Oo, Locianpwe, kita benar2
keracunan . . !"
Karena Wan-ji anjlok dari atas, Sin-kau yang sudah kehilangan tenaga dalamnya
tak mampu ber-tahan lagi, isi perutnya juga mengalami goncangan keras. Tanpa
ampun lagi, pandangannya jadi gelap, perut kesakitan seperti di sayat2, akhirnya
iapun tak sadarkan diri.
Cepat pemuda tampan tadi memburu maju, katanya: ' Nona, sekarang tentunya
kau percaya perkataanku bukan? Hayo cepat makan obat penawar ini!"
Perutnya yang sakit terasa tak bisa ditahan lagi, dalam keadaan begitu Wan-ji
tidak peduli lagi apakah obat penawar pemuda itu benar2 obat penawar atau
bukan, bungkusan itu segera diterima, dibuka lalu isinya ditelan.
Dalam waktu singkat tubuhnya lantas terasa nyaman, rasa sakit yang melilit tadi
berhenti dan jadi segar kembali.
Sekarang gadis itu baru percaya bahwa pemuda ini memang bermaksud baik
kepada mereka, dengan sorot mata penuh rasa terima kasih ditatapnya sekejap
pemuda itu.
Karena pandangan si nona. hati pemuda itu berdebar keras, Dari sakunya
kembali ia keluarkan sebungkus obat penawar lagi dan diserahkan kepada Wan-
ji. katanya: "Nona, kakek yang kau gendong ini pingsan, minumkan obat
penawar ini kepadanya, niscaya dia akan segera sadar kembali "
Wan ji tidak ragu lagi sekarang, ia percaya penuh perkataan pemuda itu, obat
penawar diterimanya, ia baringkan Sin-kau ke tanah, kemudian melolohkan
bubuk obat itu ke dalam mulutnya.
Sesaat kemudian, Sin-kau sadar kembali dan pingsannya, dengan mata melotot
ia berteriak keras: "Aduh, perutku sakit”
Melihat Sin-kau juga sudah tertolong, Wan-ji berkata kepada pemuda itu:
"Terima kasih atas bantuanmu apakah boleh kutahu siapa nama Kongcu? Bila
perkataanku tadi menyinggung perasaanmu harap sudi dimaafkan"
"Nona terlalu rcudah hati, aku bernama Sugong Siang-cin”
"Oo. jadi engkaulah Toan-hong Kongcu?" seru Wan-ji dengan terkejut, "jadi
engkaulah yang disebut Toan hong si Kongcu yang suka gentayangan, salah satu
di antara Bu lim-su kongcu?"
"Tepat sekali tebakan nona!" sahut pemuda itu sambil tertawa, malu aku
disanjung oleh kawan persilatan sebagai salah satu dari Su-kongcu, padahal aku
tidak lebih hanya seorang pemuda yang suka gentayangan kian kemari seorang
diri tanpa tujuan tertentu!"
Tertegun Wan-ji menatap pemuda di hadapannya, ia merasa pemuda ini
sungguh ganteng dan menawan hati, sekalipun pakaian yang dikenakan amat
sederhana, namun memiliki daya pesona yang kuat.
Makin dipandang Wan-ji merasakan jantungnya makin berdebar keras, pujinya
di dalam hati;
"Oo..alangkah tampannya pemuda ini, tampaknya di dunia saat ini belum ada
pemuda setampan dia”
Teringat pada engkoh Tian yang dicintainya, seketika merah padam wajahnya,
cepat ia tundukkan kepala dan tak berani lagi memandang pemuda itu.
"Aku tak boleh punya pikiran pada pemuda lain" demikian ia menggerutu pada
diri sendiri.
Kalau Wan-ji berdebar oleh ketampanan Toan-hong Kongcu, sebaliknya Toan-
hong Kongcu juga tidak kurang terpesonanya oleh kecantikan Wan-ji.
Sudah banyak gadis cantik yang dijumpai Toan-hong Kongcu, namun tak
seorangpun yarg dapat melawan kecantikan Wan-ji.
Ia merasa kecantikan gadis ini bak bidadari yang turun dari kahyangan, matanya
yang jeli, hidungnya yang mancung, bibirnya yang mungil tubuhnya yang
semampai dan kulit badannya yang putih halus, benar2 suatu perpaduan yang
indah mempesona.
Untuk sesaat lamanya Toan-hong Kongcu berdiri ter-mangu2, kecantikan gadis
itu serta kerlingan matanya membuat ia terkesima, hampir lupa pada keadaan di
sekitarnya,
Semua gerak gerik kedua muda-mudi itu tak lepas dari pengawasan Sin-kau,
karena wataknya yang aneh, ia tidak suka dingan pat-gulipat orang muda
semacam ini, segera ia berdeham lalu berseru: "Wan-ji, kalau sudah
mengucapkan terima kasih, marilah kita berangkat!"
Merah muka Wan ji, tapi sebelum ia buka suara, Toan-hong Kongcu telah
berseru pula: "Sudah kuketahui nama harum nona, tapi belum tahu tempat
tinggal nona sarta apa hubunganmu dengan orang tua itu, bolehkah aku
mengetahuinya?"
Belum Wan-ji menjawab, dengan melotot Sin-kau segera berseru: "Anak muda
yang tak tahu diri, jangan kaukira dengan sedikit budimu itu akan memperoleh
balasan yang lebih besar. Hm, bila berani banyak bicara lagi, jangan salahkan aku
tidak sungkan2 lagi!"
"Hei, kenapa kau begini bengis?" omel Wan-ji. "Toan-hong Kongcu telah
menyelamatkaii jiwa kita, Kongcu inipun sangat sopan kepada kita, masa kau
membalas air susu dengan air tuba!"
Lalu iapun berkata kepada Toan-hong Kongcu: "Aku sama sekali tiada hubungan
apa2 dengan orang tua ini, kami hanya berjumpa secara kebetulan saja! Aku she
Tian bernama Wan-ji, rumahku di Ce-lam dan terkenal sebagai perkampungan
Pah-to-san-ceng, bila Kongcu ada waktu, silakan hampir dan bermain beberapa
hari di rumahku "
Toan-hong Kongcu terkejut setelah mengetahui asal-usul anak dara ini. "O, jadi
nona masib sanak keluarga Ti-seng-jiu Buyung-cengcu?" demikian ia bertanya.
"Ya, beliau adalah ayahku!" jawab Wan-ji sambil tertawa.
Toan-hong Kongcu jadi melengak: "Tapi. . .kenapa nona she Tian? "
Sin-kau tidak sabar lagi. ia jadi berang din menukas: "Anak muda, sudah selesai
belum obrolan kalian' Kalau ngoceh melulu. jangan salahkan aku tidak sungkan2
lagi. .”
Wan-ji jadi tak senang hati, ia akan mendamperat, tapi Toan-hong Kongcu
keburu berkata sambil tertawa: "Air muka Locianpwe ini lesu dan kuyu. sinar
matanya buyar dan buram, bukan saja terluka dalam yang parah, bahkan
kematian sudah berada di depan mata. tak tersangka masih juga pemberang
begini "
Perkataan yang sederhana ini cukup menggusarkan hati Sin-kau, hampir saja
dadanya meledak saking mendongkolnya.
Segera ia membentak: "Bagus, anggaplah matamu memang tajam, tenaga
dalamku memang sudah buyar dan nyawaku akan melayang, tapi dengan
kondisi seperti ini aku masih sanggup membereskan jiwa anjingmu. Nah,
sambutlah seranganku ini, jurus Hoan ciu lam-hay (dayung sampan di laut
selatan)!"
Tindakan aneh kakek itu bukan saja mencengangkan Toan hong Kongcu, Wan ji
juga melengak. Pikirnya: "Tenaga dalamnya telah punah, bagaimana caranya dia
akan bertempur . . "
Ia berpaling ke arah Sin-kau, dilihatnya kakek itu masih duduk di tanah tanpa
bergerak sedikitpun.
"Eh kautahu bila jurus seranganku ini kumainkan, maka dengan cepat akan
kuhantam dulu hiat-to maut di kanan telingamu," teriak Sin-kau masih tetap
berduduk di tanah. "Di tengah serangan ini banyak pula gerak perubahannya,
bila kau tidak menghindar maka jalan darah kematian di telingamu akan terhajar
telak dan jiwamu pasti melayang! Sebaliknya bila kau menghindar, kedua
kepalanku tidak kutarik, cuma sikut segera bergerak menyongsong jalan
mundurmu, kalau kau berkelit ke kiri maka jalan darah Sim gi-hiatmu akan
tersikut, sebaliknya kalau menghindar ke kanan maka jalan darah Seng-bun hiat
akan menumbuk sikut kiriku, itu berarti berkelit ke kiri atau ke kanan hanya
jatah kematian bagimu. Sebaliknya kalau kau merasa sanggup untuk
membendung tenaga pukulan Ceng-goan-cing-khi yang sudah kulatih enam
puluh tahun. umpama kau menangkis dengan jurus Po-in kian-jit (menyingkap
kabut melihat sang surya), maka waktu itulah kedua kepalan kutarik kembali
dan .... Nah, bayangkan saja, kau punya nyawa serep berapa lembar? Mampus
tidak kau oleh jurus serangan dayung sampan di laut selatan ku ini?"
Setelah mendengar ocehan si kakek barulah Wan ji dan Toan hong Kongcu
mengerti maksud-nya, ternyata kakek itu hanya menyerang Toan-hong Kongcu
dengan suatu jurus ampuh yang di lontarkan dengan uraian saja.
Kendatipun tenaga dalam yang dimiliki Sin-kau ini sudah punah, lagi
»erangannya hanya di-utarakan dengan kata2 akan tetapi baik Wan ji maupun
Toan hong Kongcu amat terperanjat.
Jurus serangan Hoan-ciu lam-hay yang dipergunakan kakek itu memang benar2
tangguh, jangankan ditangkis, dihindaripun sukar.
Lebih2 Toan-hong Kongcu, keringat dingin membasahi tubuhnya, biasanya ia
yakin ilmu silat-nya tinggi, namun bila benar2 menghadapi jurus serangan si
kakek tadi, memang betul hanya ada jalan kematian baginya.
Dengan dahi berkeringat dan jantung berdebar segera ia berkata: "Locianpwe,
ilmu silatmu memang ampuh, aku merasa tak sanggup memecahkan jurus
seranganmu itu."
Satu pikiran tiba2 terlintas dalam benak Wan-ji, cepat ia menimbrung: "Huh,
apanya yang lihay, toh jurus serangan itu masih bisa dihindari, asal kita loncat ke
depan lalu mengegos, bukankah ancaman itu akan terhindar? Kemudian dengan
..”
"Hahaha, tak usah kemudian apa segala!?" tukas Sin-kau sambil tertawa
"Tanyakan saja kepadanya, mampukah ia menghindari seranganku itu dengan
meloncat ke depan?"
Dengan wajah ber-sungguh2 Toan-hong Kongcu menggeleng: 'Perkataan
Locianpwe memang benar, baik melompat ke muka ataupun menjatuhkan diri
bergelinding hasilnya tetap nihil. Kuakui jurus serangan itu memang sangat
ampuh, sungguh ber-untung aku tak sampai mati ditanganmu, atas kemurahan
hati Locianpwe kuucapkan terima kasih, selamat tinggal!"
Setelah memberi hormat ia lantas melayang ke seberang selokan itu, hanya dua-
tiga lompatan saja bayangannya lantas menghilang di balik batu padas sana.
Dengan ter mangu2 Wan-ji memandangi lenyapnya bayangan punggung Toan-
hong Kongcu. akhirnya ia berkata kepada Sin-kau: "Wah, Locianpwe, kau
memang hebat. hanya dengan mulut saja Toan-hong Kongcu yang termashur
dapat kau bikin kabur . . . . "
"Wan-ji, sekarang percaya bukan dengan kehebatanku?" kata Sin-kau dengan
bangga, "asal kau dapat berlatih lima bagian saja ilmu silatku, maka dunia
persilatan akan kau jelajahi tanpa tandingan!"
"Huh, apanya yang hebat?" ejek Wan-ji mendadak, "sekalipun berhasil melatih
sampai sepuluh bagian, buktinya seorang kakek penunggang keledai saja tak
dapat kau kalahkan."
Betapa mendongkolnya Sin-kau demi mendengar olok2 itu, dia ber-kaok2 gusar:
"Hei, anak perempuan, tak perlu kaubikin panas hatiku, sampai detik ini
kekuatan kami masih seri, menang kalah belum ada kepastian, lagi pula .... lagi
pula aku telah berjanji dengan setan tua itu untuk bertanding lagi. aku punya
keyakinan akan mengalahkan dia ... !"
"Ah, sudahlah, kalau aku ogah berlatih ilmu silatmu, apa yang bisa kau lakukan?"
ejek Wan ji« "Pula, sekalipun sudah kupelajari ilmu silatmu, tapi aku tak sudi
bertanding dengan engkoh Tian, lalu bagaimana caramu mengalahkan dia?"
Tertegun Sin-kau mendengar perkataan itu, akhirnya dengan air muka kecewa ia
berkata: " Tentunya, tentunya kau takkan ingkar janji bukan? Kau sudah
menyanggupi permintaanku, masa sekarang kau hendak membatalkan janji ini
secara sepihak?"
Geli Wan-ji menyaksikan kepanikan orang, ia tertawa cekikikan, katanya: "Hihihi,
kapan pernah kusanggupi permintaanmu? Dan kapan pula aku setuju belajar
silat darimu? Sejak awal sampai akhir kan kau yang mengoceh sendiri. . . . "
"Jadi, jadi kau tak mau belajar ilmu silatku lagi?" seru Sin-kau dengan air muka
berubah hebat.
"Memangnya aku senang belajar silatmu?" ejek Wan-ji lebih lanjut. "Huh,
umpama kakek celaka penunggang keledai itu berhasil kau kalahkan atau
kepandaian kalian bergabung menjadi satu, apa itu berarti tidak ada
tandingannya di kolong langit ini?
Huh, kukira bila ada jago nomor satu di dunia ini maka dia tak lain adalah Pek-
lek-kiam Tian In-thian, sebab bagaimanapun Tian-tayhiap tak pernah kalah, yang
pasti kau pernah keok ditangannya "
"Mati aku !” jerit Sin-kau saking kekinya, dada jadi sesak, darah segar tersembur
dari mulutnya, ia roboh terjengkang.
(xxxxx)
Sementara itu di gua yang lain Tian Pek telah mendapat ajaran ilmu pukulan Lui-
im-hud-ciang dari si keledai sakti, bahkan iapun mengetahui kisah pembunuhan
yang menimpa ayahnya di masa lampau.
Ayah Tian Pek, Pek-lek-kiam (pedang geledek) Tian In-thian adalah seorang
pendekar besar yang amat lihay, bukan saja ilmu silatnya sangat tinggi, iapun
berbudi luhur dan berjiwa besar, dengan pedang hijau Bu-cing-pek-kiam dia
malang melintang tanpa tandingan di kolong langit, oleh karena wataknya yang
jujur dan lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan
pribadi, maka banyak orang yang suka dan kagum kepadanya, tapi juga ada yang
membenci dan dendam kepadanya.
Yang tak terduga lalah Tian In-thian bukan mati di tangan musuh, tapi justeru
menemui ajalnya di tangan keenam saudara angkatnya sendiri.
Waktu itu bersama keenam saudaranya mereka tersohor sebagai Kanglam-jit-
hiap (tujuh perdekar Kanglam).
Selain Ti-seng-jiu Buyung Ham, saudara angkatnya yang lain ialah Kian-kun-ciang
(Pukulan sapu jagal) In Tiong-liong, Cing-hu-sin (dewa kecapung hijau) Kim-Kiu.
Kun-goan-ci (Jari sakti) Sugong Cing, Pak-ong-pian (cambuk raja bengis) Hoan
Hui serta Gin-san-cu (kipas perak sakti)
Liu Tiong-goan.
Kalau Tian In-thian mengutamakan kepentingan umum dan berjiwa ksatria,
maka keenam saudaranya jauh bertolak ke belakang, mereka sering mengeluh
dan menggerutu kalau diajak saudaranya menghadapi pertarungan sengit demi
kepentingan umum, kemudian mereka merasa tiada keuntungan apa2 yang
diperoleh selama ini, maka timbul rasa tidak puas dalam hati masing2.
Kalau hanya sampai di situ saja mungkin urusan tak akan bertambah serius,
jasteru karena watak Tian In-thian yang aneh dan lebih mengutamakan
kepentingan umum itulah, seringkali ia bertindak tanpa mempedulikan
keberatan2 saudara angkat lainnya, pedomannya asal tindakan itu tidak
melanggar peraturan persilatan dan demi kepentingan umum, maka semuanya
akan dilaksanakan tanpa pamrih.
Oleh sebab beberapa hal itulah, rasa tidak puas dalam hati keenam orang
saudara angkatnya kian menjadi.
Kendatipun begitu, mereka tak berani membangkang ataupun melakukan
perlawanan secara terang2an, sebab nama Kanglam-jit-hiap semakin tenar dan
harum, betapapun mereka tak berani ribut dengan pimpinannya sendiri.
Suatu ketika tanpa sengaja Ti-seng-jiu Buyung Ham menemukan sebuah peta
harta karun di sebuah gua rahasia dipuncak Ay-lau-san, menurut keterangan
yang tertera di peta itu dapat diketahui bahwa pada dasar telega Tong-ting-oh
terpendam satu partai harta pusaka yang telah berusia ribuan tahun, barang
siapa berhasil mcndapatkan harta itu maka dia akan jadi kaya raya di dunia ini.
Betapa girangnya Buyung Ham sukar dilukiskan, teringat betapa menderitanya
selama berkecimpung di dunia persilatan selama ini, timbul niatnya uutuk
mendapatkan harta karun itu dan mengundurkan diri dari keramaian dunia,
betapa bahagianya hidup mewah di kemudian hari.
Maka berangkatlah Buyung Ham menuju ke tepi Tong-ting-oh untuk mencari
harta karun itu. Apa mau dikata, di sana sudah banyak sekali jago silat yang
bergerombol di seputar telaga itu.
Sebagai seorang cerdik Buyung Ham tak berani bertindak gegabah, ia tidak
langsung mencari harta karun sebaliknya ia melakukan penyelidikan yang
saksama di sekitar sana.
Akhirnya berhasil diketahui olehnya bahwa berita tentang adanya harta karun di
dasar Tong ting-oh telah bocor dan diketahui oleh umum, jago silat yang
berdatangan ke situ banyak sekali jumlahnya.
Kemudian didengar pula bahwa kecuali harta karun konon ada pula sejilid kitab
pusaka Bu hak-cin-keng, sepotong batu pualam Pi-sui-giok-pi serta tiga biji obat
mujarab Toa-lo kim-wan.
Menurut kabar ceritanya, kitab pusaka Bu hak cin-keng adalah peninggalan Jik-
siong-cu, seorang tokoh silat setengah dewa yang memiliki kepandaian tinggi,
dalam kitab tercatat pelbagai ilmu yang sukar ditemukan di dunia ini, barang
siapa berhasil mempelajari ilmu silat yang tercantum dalam kitab itu maka dia
akan menjagoi dunia tanpa ada tandingannya.
Sedangkan Pi-sui-giok-pi (batu kemala penolak air) bukan saja mampu menolak
air, dengan membawa benda mestika tersebut maka makhluk berbisa tak berani
mendekat, bagi mereka yang bersemadi dan berlatih ilmupun tidak takut akan
menghadapi bahaya-bahaya kelumpuhan, malahan katanya menambah
kekuatan dan mempercepat latihannya.
Tentang pil Toa-lo-kim-wan lain lagi kehebatannya, konon bila orang biasa yang
makan obat itu, maka rambut yang beruban akan menjadi hitam kembali,
mereka yang giginya sudab ompong bisa tumbuh lagi giginya, akan awet muda
dan tak kenal tua.
Sebaliknya bila orang persilatan yang makan pil itu, maka tenaga dalam mereka
akan seperti mendapat tambahan enam puluh tahun latihan, kalau tiga butir
dimakan sekaligus akan panjang umur dan mendekati seperti dewa.
Bayangkan, siapa yang tidak tergiur oleh ke-tiga macam benda mestika yang
sangat bermanfaat bagi umat persilatan ini? Apalagi masih terdapat batu
permata yang tak terhingga jumlahnya, siapa saja yang berhasil mendapatkan
harta itu berarti akan menjadi manusia yang palin kaya di dunia dan jago silat
tanpa tandingan di kolong langit.
Tidak mengherankan apabila dunia persilatan lantas bergolak dan berkumpul di
seputar telaga Tong ting oh.
Cemas dan girang Ti-seng jiu Buyung Ham setelah memperoleh berita itu, ia
girang karena peta pusaka sudah didapatkannya, tapi merasa cemas karena
berita tentang harta kekayaan itu telah bocor ke seluruh dunia persilatan.
Ia sadar dengan kekuatannya sendiri tak mungkin bisa menghadapi jago
persilatan sebanyak itu. Ada lagi satu hal yang terpenting, sekalipun ia
mempunyai peta pusaka, namunn tak pandai berenang, itu berarti tak mnngkin
baginya untuk masuk ke dasar telaga.
Karena tak berdaya, terpaksa Ti-seng-jiu Buyung Ham berunding dengan
keenam saudara angkatnya.
Ti seng-jiu Buyung Ham adalah orang licin tentu saja dihadapan keenam
saudaranya ia tak berani mengungkapkan keserakahannya akan mengangkangi
sendiri kekayaan tersebut, sebaliknya dia pakai alasan bahwa peta pusaka itu di
dapatkan tanpa sengaja, karena tak berani mengangkangi sendiri penemuannya
itu, maka diajaknya keenam saudara lainnya untuk menikmati bersama.
Pek-lek-kiam Tian In-thian yang berbudi luhur menentang usul keenam
saudaranya untuk mendapatkan harta tersebut demi kepentingan sendiri, ia
usulkan agar harta karun itu digunakan menolong rakyat jelata di beberapa
propini yang tertimpa bencana alam.
Waktu itu rakyat di sekitar daerah itu sedang mengalami penderitaan yang
hebat, mereka kekurangan bahan makanan, sedang pihak pemerintah tak
mampu memberikan pertolongannya, setiap hari ada be-ribu2 orang mati
kelaparan.
Benta sedih itu sangat menyentuh perasaan Tian In-thian, maka dia ingin
menggunakan harta karun untuk membeli bahan makanan dan menolong rakyat
yang menderita.
Dingin hati Buyung Ham mendengar usul tersebut, ia sadar harapannya untuk
memperoleh batu permata itu demi kepentingan prihadi tak mungkin terlaksana
lagi, tapi ia tak menyerah begitu saja, ia mengusulkan agar ketiga macam benda
mestika itu dibagi rata ....
Tapi kelima saudara lainnya menganggap sama sekali tak ada manfaatnya untuk
mengambil harta kekayaan itu dengan pertaruhan nyawa, padahal tiada
keuntungan apa2 bagi mereka, maka mereka sama menasehati Tian In-thian
agar membatalkan niatnya itu.
Akan tetapi Tian In thian tetap bersikeras dengan pendiriannya, untuk
mengatasi sergapan dari jago2 silat lainnya dia mengusulkan agar ketiga macam
benda mestika itu dipersembahkan saja kepada dunia persilatan, sedangkan
mutu manikam itu digunakan untuk menolong rakyat yang tertimpa bencana
alam, menurut pendapatnya umat persilatan hanya mengincar ketiga macam
benda mestika itu saja, maka bila ketiga benda itu diserahkan kepada mereka,
bukan saja niat mereka menggali harta karun takkan digangggu, bisa jadi
malahan akan memperoleh bantuan mereka
sehingga tujuan mulia dari Kanglam-jit-hiap akan terwujud.
Buyung Ham semakin dingin hatinya, ia lantas mcndukung usul kelima saudara
lainnya untuk batalkan maksud mereka menggali harta karun.
Tapi Tian In-thian bertekad akan mewujudkan tugas mulia itu. ia tak peduli lagi
pikiran ke enam saudara angkatnya dan meneruskan rencananya,
Keenam saudaranya tak berani membantah keputusan Tian In-thian itu, maka
berangkatlah mereka menuju ke tepi telaga dan berunding dengan para jago
yang berkumpul di situ.
Alhasil usul Tian In-thian memperoleh persetujuan dari kawanan jago silat,
segera dibentuk suatu panitia yang terdiri dari tokoh2 Bu-tong-pay Go-bi-pay,
Siau-lim-pay dan perguruan besar lainnya untuk ber-sama2 menyelam ke dasar
telaga dan membantu Kanglam-jit-hiap mencari harta karun.
Apabila harta karun ditemukan, maka mutu manikam yang berhasil didapatkan
akan digunakan menolong rakyat yang kelaparan sementara ketiga macam
benda mestika itu akan diperebutkan dalam suatu pertemuan besar para jago
yang akan diadakan di puncak Kun-san, dalam pertemuan itu akan diadakan
pertarungan secara adil, barang siapa tangguh maka dialah yang akan berhak
mendapatkan ketiga macam benda mestika itu, untuk ini Kanglam jit-hiap juga
harus ikut serta.
Setelah hasil perundingan itu diumumkan, semua orang dapat menerima usul
tadi, bahkan Buyung Ham yang sudah putus asa merasa ada harapan lagi untuk
momenangkan ketiga macam benda mestika itu.
Begitulah peta harta karun itupun diserahkan kepada panitia dan dipelajari
bersama, alhasil ditemukan bahwa harta pusaka itu berada di dasar telaga Tong-
tlng-oh yang amat luas dan dalam itu.
Berhubung di antara Kanglam-jit-hiap hanya Gin-san-cu (kipas perak sakti) Liu
Tiong ho saja yang mahir menyelam, maka diutuslah jago ini untuk melakukan
pencarian.
Dua hari dua malam lamanya Gin-san-cu berada di dasar telaga untuk
melakukan pencarian, tapi ketika muncul kembali di permukaan air, dia
menderita luka yang cukup parah.
Kiranya dasar telaga itu be-ratus2 kaki dalam-nya, bukan saja daya tekanan air
sangat besar, arus didasar telaga pun sangat deras, Liu Tiong-ho yang mahir
menyelampun hampir kehilangan nyawanya di sana.
Secara beruntun jago lain yang merasa punya kepandaian berenang juga
menyelam ke dasar telaga untuk melakukan penyelidikan, hasilnya semua orang
menderita luka cukup parah, malahan banyak di antaranya yang tidak berhasil
mencapai ke dasar telaga itu, ada pula yang penasaran dan berulang kali
berusaha mencapai dasar telaga, akibatnya nyawa mereka melayang ke akhirat.
Gagal dengan cara ini, jago2 itu berusaha dengan pelbagai cara yang lain,
kembali berpuluh orang jadi korban di dasar telaga tanpa hasil apapun-Setelah
mengalami kegagalan demi kegagalan, akhirnya mereka jadi putus asa, banyak
diantaranya segera berlalu dari sana.
Lama2 orang yang berkumpul ratusan orang itu pergi semua, bahkan Kanglam-
jit-hiap sendiripun lepaskan harapan untuk menggali harta karun itu.
Beberapa tahun kemudian, meski terkadang masih juga ada satu dua
rombongan jago silat yang datang ke situ untuk mencari harta karun, tapi
kebanyakan mereka kalau bukan pulang dengan luka parah, tentu nyawa
mereka ikut terkubur di dasar telaga.
Sejak itu tak seorangpun yang berani lagi mencari harta karun di dasar telaga
Tong-ting oh.
Malahan dalam dunia persilatan lantas timbul kata2 ejekan yang ditujukan
kepada para pencari harta karun: "Kalau ingin kaya, pergilah ke telaga Tong-ting-
oh!"
Lima atau enam tahun kemudian, kebanyakan orang sudah melupakan harta
karun di dasar telaga Tong-ting-oh itu.
Pada waktu itulah Tian In thian mendapat tahu bahwa Sin-kau (monyet sakti)
Tiat Leng yang bercokol di Le-kun san di bilangan propinsi Hunlam memiliki
sebutir "mutiara penolak air" yang sakti, katanya dengan membawa mutiara
tersebut bukan saja air akan memisah dengan sendirinya, pakaianpun tak akan
sampai basah.
Berita tersebut menggerakkan ingatan Tian In-thian, ia merasa bila mutiara
penolak air itu bisa dipinjam, niscaya harta karun di dasar telaga Tong-ting-oh
bisa diperoleh dengan mudah.
Seorang diri berangkatlah Tian In thian kedaerah suku Miau dan mendaki Le-
kung-san untuk meminjam mutiara mestika, di situ dia melakukan pertempuran
selama tiga-hari tiga-malam melawan Sin-kau, akhirnya ia berhasil menangkan
pertaruhan itu dan mendapatkau mutiara penolak air.
Serta merta ia kembali ke wilayah Kanglam untuk mengumpulkan keenam
saudara angkatnya, dan ber-sama2 berangkat menuju Tong-ting-oh.
Tak disangka karena usahanya inilah Tian In thian harus menemui ajalnya
dibunuh oleh keenam saudara angkatnya sendiri.
Maklum, dalam usaha pencarian harta karun ini, Kanglam-jit-hiap bertindak
secara rahasia, jarang orang yang tahu tindakan mereka itu, tak heran kalau
kematian Tian In-thian di tangan keenam saudara angkatpun tidak diketahui
orang luar.
Lewat beberapa tahun kemudian, semua orang telah melupakan kejadian itu,
sedang keenam saudara angkat itupun sama menikah dan punya anak, mereka
hidup terpisah dan boleh dibilang jarang berkumpul.
Sebab itulah orang lain mengira Tian In-thian mati dibunuh musuh, tiada orang
menyangka dia justeru dicelakai oleh keenam saudara angkatnya sendiri.
Dengan modal harta karun yang berhasil di-dapatkan dari dasar telaga itulah, Ti-
seng-jiu Buyung Ham, Kian-kun-ciang In Tiong-liong, Cing-hu-sin Kim Kiu serta
Kun-goan-ci Sugong Cing membeli tenaga jago persilatan untuk memupuk
kekuatan sendiri dan akhirnya terbentuklah empat keluarga besar dunia
persilatan.
Pak-ong-pian Hoan Hui yang berdiam di kota Tin-kang tidak mengumpulkan jago
persilatan, kendatipun demikian kekuatan serta kekuasaannya tidak di bawah
keempat saadara-angkatnya.
Hanya Gin-san-cu Liu Tiong-ho saja yang kabur keluar lautan dan tak tahu kabar
beritanya, mungkin mengasingkan diri karena menyesal telah membunuh
saudara angkatnva sendiri.
Peristiwa ini jarang diketahui orang, sekali pun sahabat karib mendiang Tian In-
thian seperti Tay-pek-siang-yat Lui Ceng-wan serta Bu-ing-sin tau (pencuri sakti
tanpa bayangan) Hoa Jing-coan dan lain2 siang-malam melakukan penyelidikan
hasilnya tetap nihil.
Begitulah akhirnya Sin-lu-tiat-tan berkata: "Hanya aku saja yang mengetahui
peristiwa itu, inipun kuselidiki dan kubuktikan kebenarannya selama ber-tahun2,
apabila tidak bcrtemu dengan Sin-kau dan ia tidak berceritera tentang ayahmu
pinjam mutiara penolak air miliknya, mungkin sampai kinipun aku tak tahu
caranya ayahmu mengangkat harta karun itu dari dasar telaga”
Tian Pek tidak mencucurkan air mata, akan terapi ia melotot beringas setelah
tabu jelas kisah terbunuhnya ayah.
Sin-lu-tiat-tan menghela napas panjang, ia tahu betapa benci dan dendam si
anak muda, maka katanya dengan lembut: "Sayang aku bertindak menuruti
nafsu dan melayani monyet tua itu hingga akibatnya sama2 terluka. dalam
kcadaan begini aku tak mungkin bisa membantu kau membalas dendam,
hidupku tinggal beberapa hari lagi, ilmu silat yang kuwariskan kepadamu juga
tak bisa terlalu banyak, sekarang lebih baik tekan duhulu rasa sedihmu,
mumpung aku masih bernapas, akan kuwariskan semua ilmuku padamu. Nah,
sekarang dengar baik2 kunci ilmu saktiku ini!"
"Ucapan Locianpwe sangat tepat, seorang ksatria sejati tak boleh sedih, aku
harus dapat mengendalikan perasaan sendiri, silakan Locianpwe menguraikan
ilmu silatmu, akan kuperhatlkan dengan saksama!"
Maka Sin-lu-tiat-tan lantas mewariskan segenap ilmu silatnya yang paling
ampuh kepada anak muda itu serta teori cara bagaimana merebut kemenangan
bila berhadapau dengan musuh.
Tian Pek berbakat bagus untuk berlatih ilmu silat, selain itu iapun memiliki dasar
tenaga dalam yang kuat hasil pelajaran dari Thian-hud-pit-kip, maka tak heran
kalau kemajuannya pesat sekali.
Kecerdikan Tian Pek memang lain daripada yang lain, hampir semua pelajaran
dapat dipahaminya dengan cepat, hal ini sangat menggirangkan hati Sin-lu tiat
tan sampai lupa pada keadaan sendiri yang payah, segenap tenaga dan pikiran
yang dimilikinya dicurahkan untuk mendidik anak muda itu.
Sayang waktu yang tersedia minim sekali, hari itu adalah hari ke sembilan puluh
Sin-lu-tiat-tan menurunkan ilmu silatnya kepada Tian Pek, karena terlalu banyak
memeras tenaga dan pikirannya, genap tiga bulan keadaan jago tua itupun
makin payah, keadaannya tak ubah seperti pelita kehabisan minyak.
Tian Pek keranjingan belajar ilmu silat, sayang selama ini tak pernah ketemu
guru yang pandai. kendatipun Lui Ceng-wan telah menghadiahkan Soh-kut-siau-
hun-thian-hud-pit-kip kepadanya, itupun harus dilatih sendiri dengan jalan
meraba, betul atau salah dan bagaimana kemajuan yang dicapai, ia sama sekali
tidak tahu.
Dan kini ia berjumpa dengan Sin-lu-tiat-tan yang lihay, setiap patah kata yang
diwariskan kepadanya merupakan intisari paling tinggi suatu ilmu silat, bisa
dibayangkan betapa rajin dan tekunnya pemuda itu mempelajari ilmu silat
tersebut, kecuali makan dan minum, boleh dibilang dia lupa tidur dan lupa
beristirahat, seluruh perhatiannya ditujukan pada ilmu, keadaan Sin-lu-tiat-tan
yang makin lemahpun tidak diperhatikan olehnya.
Dalam gua itu sudah tersedia bahan makaran dan air minum, selama tiga bulan
hampir Tian Pek tak pernah keluar gua, ia mempelajari semua ilmu silat yang
diwariskan kepadanya, pada hari yang ke sembilan puluh, hampir sembilan
puluh persen ilmu kepandaian itu telah dikuasainya.
Hari itu juga keadaan Sin-lu-tiat-tan semakin payah, untuk berbicarapun sudah
tak mampu, setelah beristirahat lama sekali baru orang tua itu buka mata seraya
berkata: "Aku hanya mampu mewariskan ilmu silatku sampai di sini saja, untung
kau memiliki kitab Thian-hud-pit-kip yang ampuh, asal kau berlatih terus dengan
tekun dan rajin, tidak susah untuk mencapai tingkatan melebihi diriku . . . .
aku .... aku rasa jodoh kita hanya sampai di sini saja, keluarlah kau . . dari gua
ini.... "
Ucapannya kian lama kian lemah dan lirih, akhirnya tinggal mulutnya saja yang
berkomat-kamit namun tak terdengar lagi suaranya.
Tian Pek melenggong, saat itulah baru dia memperhatikan keadaan Sin lu-tiat-
tan yang payah, dilihatnya sorot mata kakek itu sudah buram, mukanya pucat
dan dadanya bergelombang naik-turun, tahulah anak muda ini bahwa saat
ajalnya sudah tak jauh lagi.
"Locianpwe, kau kenapa kau .” teriak Tian Pek kuatir.
Sin-lu-tiat-tan tarik napas panjang2, dia membuka matanya kembali, dengan
susah payah ia berkata: "Tak usah urus diriku lagi, ingat saja baik2 jangan
bertindak gegabah dalam pembalasan dendammu, giatlah berlatih ilmu dan
perbanyak mengikat tali persahabatan dengan jago di dunia, bila perlu
umumkan peristiwa berdarah yang menimpa ayahmu pada dunia persilatan "
Sebelum kakek itu menyelesaikan kata2nya, tiba2 di luar gua berkumandang
suara gaduh, terdengar seseorang berseru dengan lantang: "Pasti berada di sini!
Coba lihat bekas telapak kaki di mulut gua ini, sudah pasti ada orang pernah
masuk sini!"
"Hayo geledah saja! Mari masuk ke dalam, hayo!" beberapa orang lantas
menanggapi dengan ramai.
Suara langkah kaki yang ramai menggema di luar gua, jelas ada beberapa orang
telah memasuki gua itu.
Tian Pek jadi gelisah, dia kuatir kehadiran beberapa orang itu akan mengganggu
ketenangan Sin lu-tiat tan menjelang ajalnya. Cepat ia bertindak keluar gua,
serunya dengan lantang: "Siapa itu di luar? Jangan sembarangan terobosan di
sini!"
Belum habis ia berseru, mendadak seorang membentak: "Serang!"
Berpuluh titik cahaya tajam diiringi suara desingan langsung menyambar ke
muka Tian Pek.
Gusar Tian Pek menghadapi serangan tanpa alasan itu, segera ia ayunkan
tangannya ke depan, "trang! trang!" terdengar dentingan nyaring, tiga batang
piau perak yang menyambar tiba tergetar mencelat menumbuk dinding gua,
tenaga sakti anak muda mulai memperlihatkan kehebatannya.
Pemuda itu benci kepada penyerang yang keji itu, setelah merontokkan senjata
rahasia musuh, cepat telapak tangannya menghantam pula ke depan, berbareng
Tian Pek ikut menyusup keluar gua.
Gulungan angin pukulan bagaikan taupan mendampar dengan hebat, dua kali
jeritan ngeri menggema di udara, menyusul tiga sosok bayangan melayang
keluar.
"Blang, blang!" kedua sosok tubuh yang melayang masuk ke dalam gua itu
terhempas di tanah, sementara Tian Pek sendiri juga meluncur keluar secepat
terbang, telapak tangan kanan siap di depan dada dan telapak tangan kiri
melindungi tubuh dari ancaman musuh.
Dilihatnya puluhan orang berkerumun di situ, salah seorang di antaranya
dikenali sebagai Siang-lin Kougcu yang tampan.
Di sisi Siang-lin Kongcu berdiri Kanglam-te-it-bi-jin (gadis paling cantik di wilayah
Kanglam) Kim Cay-hong.
Di belakang kakak beradik itu berdiri Kim na-siang tiat-wi (sepasang pengawal
baja keluarga Kim), yaitu Tiat-pi-to-liong (Naga bungkuk berlengan baja)
Kongsun Coh serta Tiat-ih-hui-peng (Rajawali sakti bersayap baja) Pah Thian-ho.
------------------------
Untuk apa dan mengapa rombongan Siang-lin Kongcu mendadak muncul di
"Duabelas gua karang" ini?
Siapakah lebih unggul antara anak didik Sin lu dan Sin kau, apakah jadi
dipertandingkan?
-----------------------------
Jilid 13 : Bu-lim su-toa kongcu bertemu
Editor : MCH
Sementara di belakang kedua jago tua itu berdiri pula berpuluh jago keluarga
Kim, hanya seketika Tian Pek tak dapat menyebut nama mereka satu persatu.
Dalam pada itu, baik Siang-lin Kongcu kakak beradik maupuh jago2 keluarga
Kim sama berdiri tertegun tatkala melihat Tian Pek muncul dari dalam gua,
untuk sesaat mereka sama bungkam.
Mereka heran bahwa kedua orang kawannya yang ditugaskan menggeledah
gua ternyata mampus di tangan Tian Pek hanya dalam satu gebrakan saja.
Setelah melengak segera Siang-lin Kongcu tenang kembali, dengan serius dia
menegur: "Oo, rupanya Tian-heng yang berada di dalam goa ini, bolehkah
kutahu tokoh silat mana yang masih berada di dalam gua itu? Bagaimana kalau
persilakan keluar untuk berkenalan!"
Tian Pek sendiri tak mengira jago yang menyergap dirinya dengan senjata
rahasia itu adalah anak buah Kongcu, mendengar pertanyaan tersebut, dia
tertawa dingin.
"Hehehe, tokoh silat yang berada di dalam gua ini tak sudi bertemu dengan
orang berhati keji dan suka menyergap orang dengan senjata rahasia, bila
Kongcu ada urusan, akan kulayani saja!"
Kata2nya ketus dan kasar, sedikitpun tidak sungkan2.
Hati Kim Cay-hong berdebar keras demi mendadak melihat Tian Pek muncul
dari dalam gua, tapi sebelum ia sempat buka suara, kakaknya telah mendahului
berkata: "Harap Tian-hang jangan salah paham, aku benar2 tak tahu Tian-heng
berada di dalam gua.......... . "
“O, jadi kalau orang lain yang berada di dalam gua maka Kongcu boleh
menurunkan derajat sendiri dengan melancarkan serangan gelap?" ejek Tian
Pek.
"Hehe, kalau begitu, mestinya aku berterima kaiih atas kebaikan Kongcu!"
“Eh, jangan kau salah paham pada engkohku," seta Kim Cay-hong dari
samping. “Oleh karena ada benda mestika milik kami hilang dicuri orang, sudah
dua rombongan jago kami yang ditugaskan melakukan pencarian di sekitar dua
belas gua karang ini menderita kerugian berat, maka kami .. "
Di antara jago tangguh yang berkumpul dalam istana ke!uarga Tiat-ih-hui-peng
terhitung seorang yang paling aneh tabiatnya, ilmu silatnya sangat tinggi,
orangnya juga angkuh, seorang pemberang yang sukar menguasai emosinya.
Sejak benda mestika milik istana mereka lenyap dicuri orang, setiap hari dia
selalu uring2an, apalagi setelah dua rombongan jago yang dikirim ke “dua belas
gua karang" menderita kerugian besar, ia bartambah murka.
Dan sekarang, dengan mata kepala sendiri ia saksikan kedua orang anak
buahnya mati konyol, sedangkan Tian Pek yang menongol dari dalam gua
bersikap jumawa, rasa gusarnya susah dikendalikan lagi.
Maka sebelum Kim Cay-hong menyelesaikan kata2nya, dengan langkah lebar
segera ia tampil ke depan.
"Anak anjing yang tak tahu diri, jangan takabur," teriaknya lantang, “diberi hati
malah minta rempeia memangnya kau anggap orang2 istana keluarga Kim takut
padamu? Huh, jika tak mau mengaku siapa yang berada di dalam gua, jangan
menyesal bila tuan besarmu tak sungkan2 lagi!"
"Hehehe.......... . kalau tak sungkan, lantas mau apa?" ejek Tien Pek.
"Bangsat, tampaknya kau harus dibekuk lebih dahulu!" teriak Tiat-ih-hui-peng
dengan gusar.
Secepat kilat ia menubruk maju dan menyambar batok kepala pemuda itu.
Tiat-ih-hui-peng tak malu disebut jago nomor wahid di kota Lam-keng, gerak
tubuhnya cepat dan jurus serangannya lihay, sekalipun hanya serangan yang
sederhana, ternyata desingan angin tajam berembus dengan keras.
Tian Pek merasakan tibanya tenaga tekanan yang sangat kuat.
Tapi Tian Pek sekarang bukanlah Tian Pek yang dulu, selama tiga bulan
mendapat pendidikan yang ketat dari Sin-lu-tiat-tan, ilmu silatnya telah maju
pesat, banyak gerak jurus aneh berhasil dipahami olehnya, dan lagi tenaga
dalamnya dapat digerakkan menurut kehendak hatinya.
Maka dikala serangan Tiat-ib-hui-peng yang dahsyat menyambar tiba, cepat ia
mengegos ke samping, kemudian ia membaliki telapak tangannya untuk
mengunci tulang persendian lengan musuh.
Gerak serangan yang dipakai Tian Pek tampak amat sederhana sekali, tapi
sebenarnya merupakan ilmu Soh - liong - jiu ( gerak tangkap naga ) yang ampuh.
Terkejut Tiat-ih-hui-peng, cepat ia tarik tangan, menyusul jarinya lantas
mencengkeram tenggorokan.
Tian Pek terperanjat, ia merasa kecepatan Tiat-ih-hui-peng sukar dibayangkan,
untung salama tiga bulan ia berlatih tekun di bawah asuhan Sin-lu-tiat-tan, kalau
tidak niscaya serangan berantai itu akan bersarang dibadannya.
Tian Pek tak berani gegabah, setelah mengegos ke samping, kedua telapak
tangan menyodok ke depan, inilah jurus Bu-bong-tui-ing (merangkap angin
mengejar bayangan), suatu jurus mematikan yang baru dipelajari dari Sin-lu-tiat
tan.
Pertempuran dari jarak dekat ini berlangsung dengan gerak cepat dan sama
gesitnya, dalam waktu singkat enam tujuh gebrakan sudah berlalu, demikian
cepatnya pertarungan itu sehingga pandangan kawanan jago istana Kim yang
berkumpul di situ jadi kabur.
Dalam istana keluarga Kim, ilmu silat Tiat-ih-bui-peng tergolong paling top,
sehari2 dia disanjung dan dihormati.
TapI kenyataan jago yang tersohor karena ketangguhannya itu hanya
bertanding seimbang dengan Tian Pak, seorang pemuda yang masih ingusan,
sudah tentu peristiwa ini cukup menggemparkan, kawanan jago itu sama berdiri
dengan terbelalak dan melongo.
Siang--lin Kongcu adalah jago muda yang suka pada tokoh silat yang tangguh,
sudah banyak pengalaman tempurnya, tapi belum pernah ia menyaksikan
pertarungan dahsyat seperti Tian Pek melawan Tiat- ih bui-peng sekarang ini.
Oleh sebab itulah, untuk sesaat iapun termangu dan lupa menghentikan
pertarungan itu.
Kim Cay-hong pun terbelalak memandang Tian Pek dengan rasa heran, dari
sikapnya yang mesra siapapun tahu bahwa gadis yang mendapat predikat
Kanglam-te-it-bi-jin ini sudah kecantol hatinya oleh kegantengan Tian Pek si
musafir.
Selama pertarungan itu Tian Pek melayani musuh dengan mantap, tiap
serangan segera dibalas dengan serangan, setiap pukulan disambut dengan
pukulan, seketika pertempuran berjalan seimbang, kedua pihak sama tak
mampu merobohkan lawannya.
Kalau Tian Pek bertempur dengan mantap, sebaliknya Tiat-ih-hui-peng
bertempur dengan kejut, marah dan rada panik.
Sudah belasan tahun ia malang melintang di dunia persilatan tanpa tandingan,
tapi sekarang serangannya yang ampuh tak mampu menjatuhkan seorang
pemuda. macam Tian Pek, bisa dibayangkan betapa kesalnya.
Dengan mempergencar serangan, kalau bisa dia hendak membinasakan Tian
Pek dengan sekali hantam.
Suatu ketika, tiba2 terdengar benturan keras, "Ptak! Plak!" menyusul mana
tubuh kedua orang itu saling berpisah sejauh dua tombak Lebih.
Tiat-ih hui-peng berdiri dengan wajah hijau membesi dan mata melotot,
sebaliknya Tian Pek juga berdiri dengan muka buram dan mendelik.
Agak lama kedua orang itu saling memandang dengan gusar, dan tidak saling
menyerang pula.
Watak Siang-lin Kongcu suka pada orang pandai, ia sangat gembira karena
berhasil menemukan seorang jago muda yang ilmu silatnya mampu menandingi
Tiat ih-hui pang yang tangguh, selagi ia hendak membentak untuk memisah,
mendadak kedua orang yang saling melotot itu membentak keras, kemudian
saling menerjang pula.
“Plak ! Plak .... !" benturan nyaring kembali menggelegar.
Beruntun kedua orang saling beradu tenaga beberapa kali di udara, setelah itu
masing2 melayang kembali ke kiri dan kanan gelanggang, sekalipun menang
kalah belum bisa ditentukan, namun kedua pihak tetap berdiri tak bergerak dan
tak bicara, seperti ayam jago saja mereka saling melotot.
Tiat-pi-to-liong Kongsun Coh yang sejak tadi hanya berpeluk tangan tiba2 maju
mElerai sambil tertawa. "Hahaha, saudara cilik, memang hebat kau! Tak sangka
kepandaian silatmu seimbang dengan kemampuan Lo Peng kita!"
Jika jago tua ini tidak berteriak begitu keadaan mungkin masih mendingan, tapi
justeru mendengar kata2 yang tak sedap didengar ini, hui-peng marasa
kehilangan muka, dengan sendirinya dia tambah gusar dan nekad.
Sambil membentak mendadak kedua tangannya mencengkeram Tian Pak
dengan sepenuh tenaga.
Sudah tentu Tian Pek tak tinggal diam, dengan segenap tenaga ia sambut
ancaman tersebut dengan keras lawan keras,
"Blang!" dua arus pukulan terbentur dan mengakibatkan goncangan hebat,
debu pasir beterhangan memenuhi udara.
Di tengah berembusnya angin puyuh yang bercampur dengan debu pasir,
terlihatlah sesosok bayangan melayang ke atas bagaikan seekor burung rajawali,
setelah mencapai ketinggian dua-tiga tombak lalu menukik ke bawah, kedua
telapak tangannya terus menabas pula.
Rupanya Tiat-ih-hui-peng telah menggunakan baju mestika sayap bajanya
untuk melambung ke udara, karena sejak tadi tak berhasil merobohkan lawan,
maka setelah melambung ia melancarkan serangan lagi dengan segenap
kekuatan yang dimilikinya.
Tian Pek tetap tak gentar, dengan jurus Pahong-ki-teng (raja bengis
mengangkat wajan), kedua telapak tangannya memapak ke atas.
"Blang!" kembali terjadi benturan keras, pusaran angin kencang menyebar ke
sekitar gelanggang, kawanan jago istana keluarga Kim berpekik kaget dan
melompat mundur.
Gagal dengan serangannya, cepat Tiat- ih-huipang melambung lagi ke atas, ia
berputar beberapa kali kemudian melayang turun ke atas tanah dan
memandang dengan mata melotot, dengan tenang ia menantikan robohnya
anak muda itu.
Rupanya ia telah mengerahkan segenap tenaga sakti Tiat ih sin-kang, selama ini
belum pernah ada orang mampu menahan tenaga serangan tersebut.
Tak sersangka Tian Pek masih tetap berdiri tegak di tempat semula, kuda2nya
tetap kuat, malahan matanya memancarkan sinar tajam mengkilat, sama sekali
tiada tanda terluka.
Kenyataan ini bukan saja mercengangkan Tiat-ih- hui peng, bahkan Siang-lin
Kongcu kakak beradik, Tiat-pi-to-liong serta jago istana keluarga Kim lainnya ikut
melongo, peristiwa ini betul2 di luar dugaan siapapun.
Sebagai orang yang yang suka mencari bakat bagus, sejak melihat
ketangguhan Tian Pek, timbul niat Siang-lin Kongcu akan menariknya agar
berpihak kepadanya. Tapi sebelum maksud itu diutarakan, Tiat-ih hui peng
keburu melancarkan serangan yang mematikan. la tak sempat lagi untuk
menghalangi perbuatan anak buahnya, menurut dugaan Suang-lin Kongcu, kali
ini Tian Pek pasti akan mati atau terluka parah termakan oleh pukulan dahsyat
itu, sebab dia tahu Tiat-ih-hui-peng telah mengerahkan Tiat-ih-sin-kang yang
maha dahsyat.
Apa yang tejadi kemudian sama sekali di luar dugaan, bukan saja Tian Pek
mampu menahan pukulan dahsyat yang maha sakti itu, bahkan ia sama sekali
tidak terluka sedikitpun.
Kejadian ini membuat Siang-lin Kongcu semakin kegirangan, dengan
sendirinya niat untuk menarik Tian Pak ke pihaknya semakin besar.
Di pihak lain, air muka Kim Cay-hong telah berubah pucat pias tatkala
menyaksikan Tiat-ih hui-peng menyerang dengan Tiat-ih-sin-kangnya, untuk
mencegah jelas tak sempat lagi, ia mengira Tian Pek pasti akan celaka, maka
dengan sedih ia pejamkan matanya.
Tak tahunya setelah terjadi benturan keras dan dia membuka mata lagi, Tian Pek
masih berdiri dengan gagahnya, hal ini membuat anak dara itu bersorak
kegirangan.
Reaksi Tiat-pi-to-liong berbeda lagi, ialah yang paling jelas mengetahui sampai
dimanakah kelihayan Tiat-ih-sin-kang rekannya, apalagi serangan itu dilepaskan
dari udara disertai pula dengan daya luncur yang kuat, ia merasa dirinya sendiri
juga belum tentu mampu menahan serangan itu.
Dan sekarang Tian Pek ternyata sanggup menyambut serangan maut itu
dengan mantap, saking herannya sampai lama ia tak mampu bersuara dan
dengan mata tebelalak lebar ia mengawasi Tian Pek.
"Bocah ini luar biasa tangguhnya, kalau melihat umumya jelas masih sangat
muda, tapi aneh, kenapa Kungfunya sudah mencapai tarap satinggi ini dan
melampaui jago tua seperti diriku, sungguh kejadian yang sukar dimengerti, .....
" demikian ia berpikir.
Pada saat itulah, tiba2 Tian Pek membentak keras: "Kau juga merasakan suatu
pukulan Siauyamu ini!"
Berbareng dengan bentakannya, ia sedikit mendak ke bawah, tenaga murni
terhimpun pada perut, pelahan kedua telapak tangannya di dorong ke depan.
Inilah jurus Se-thian-lui-im (suara guntur di langit barat), satu jurus pukulan yang
tangguh dari Lui-im--hud-ciang ajaran Sin-lu-tiat- tan.
Segulung angin lembut menyambar ke depan mengikuti gerakan tangan anak
muda itu, kendatipun tidak terdengar desingan akan tetapi suatu embusan
angin kencang yang tak terwujud lantas meluncur ke depan dan mengurung
sekujur badan musuh.
Tiat-ih-hui pang terhitung jago lihay yang berwatak angkuh, ia lihat pukulan Tian
Pek itu sangat enteng dan sedikrtpun tiada tanda mengerikan, akan tetapi
sebagai seorang jago yang berpengalman, tentu saja dia sadar bahwa pukulan
tersebut pastilah sejenis pukulan lunak yang lihay. Ia malu untuk berkelit, musuh
yang masih muda beliapun berani menyambut dua kali serangannya dengan
keras lawan keras, masa ia tak berani menyambut pukulan lawan yang kelihatan
enteng ini?
Terpaksa sambil menggigIt bibir dia himpun segenap kekuatan pada kedua
telapak tangan dan menyambut datangnya ancaman.
Tiat- pi-to hong yang menonton di samping merasakan anehnya pukulan anak
muda itu, satu ingatan cepat melintas dalam benaknya, ia teringat pada suatu
cerita yang pernah didengarnya sekalipun belum pernah disaksikan dengan
mata kepala sendiri, yaitu sejenis ilmu pukulan sakti dari benua barat.
Cepat ia berteriak: "Saudara Pah, hati2 ilmu pukulan Lui im bud-ciang.......... ."
Tapi sayang peringatan itu terlambat, belum lenyap suara. Tiat- pi to hong,
telapak tangan Tiat ih-hui- pang telah saling beradu dengan angin pukulan Tian
Pek.
"Blang!" benturan keras segera bergetar, debu pasir beterbangan Tiat-ih-hUi
peng mencelat sejauh beberapa tombak, kendati tidak sampai roboh, namun air
mukanya berubah jadi hijau, napasnya berat dan sayap besi di badannya
mengembang-kenpis seperti perahu, dia hendak "terbang" lagi tapi gaga! .....
Ilmu pukulan Lui-im-bud-ciang yang hebat itu sekalipun si "Monyet Sakti" tak
sanggup menyambut serangan tersebut dengan keras lawan keras, apalagi Tiai-
ih hui-peng.
Padahal Tian Pek baru saja mempelajari ilmu pukulan itu, akan tetapi teraga
pukulannya sudah luar biasa.
Masih untung Tiat-ih-hui-peng dilindungi oleh baju bersayap, kalau tidak,
mungkin sejak tadi dia sudah roboh tak bernyawa.
Sekejap itu kawanan jago istana keluarga. Kim serta Siang-lin Kongcu kakak
beradik jadi tertegun kaget dan heran, Tiat-ih-hui-peng yang menjadi andalan
mereka ternyata kena dihajar sampai mencelat oleh seorang pemuda yang
belum terkenal, apabila tidak menyaksikan sendiri, siapapun takkan percaya.
"Pukulan sakti yang hebat!" tiba2 ada orang berseru memuji di belakang sana.
"Engkoh Tian!" terdengar pula seorang gadis menyapa.
Semua orang berpaling, tampak lah seorang pamuda tampan berdandan
sederhana bersama seorang nona cantik jelita sedang menghampiri gelanggang,
Nona ini berusia enambelas atau tujuhbelasan, cantik bak bidadari dari
kahyangan, meskipun Kim Cay-hong terhitung Kanglam-te-it-hi-jin, tapi
kecantikan anak dara itu tidak berada di bawah Kim Cay hong. Lebih2 mukanya
yang masih ke-kanak2an itu, gerak geriknya lincah, siapa lagi dia kalau bukan
Tian Wan-ji.
Sedangkan pemuda tampan berdandan sederhana itu bermata jeli, hidung
mancung, alis tebal serta perawakan yang tinggi kekar.
Sekalipun ia berdandan sebagai orang udik, tapi kesederhanaannya itu tidak
mengurangi kegantengannya
Berbicara tentang ketampanannya, ia tak kalah dengan kegantengan Tian Pek,
malah lebih gagah daripada Tian Pek, berbicara soal kegagahan dan ketampanan
juga, melebihi Siang-lin Kongcu, malahan terasa lebih sederhana dan lebih polos.
Tian Pek tidak kenal dengan pemuda tampan ini, namun ketika dilihatnya dia
muncul bersama Wan ji, terasa kecut juga hatinya.
Mengapa timbul perasaan begitu, Tian Pek sendiripun tak sanggup menjawab,
sekalipun ia tidak menaruh perasaan apa2 terhadap Wan-ji, tapi entah
mengapa, ketika menyaksikan nona itu berada dengan pemuda lain, hatinya jadi
kurang senang........... ‘
Wan -ji tak peduli lagi perasaan orang lain, begitu melihat Tian Pek ada di situ,
dia lantas berseru girang dan bagaikan burung kecil dia menubruk ke arah
pemuda itu dan merangkul bahunya sambil berseru kegirangan: “Engkoh Tian,
apakah ilmu silatmu sudah jadi? O, bagus sekali ..... "
Ketika Wan--ji muncul bersama pemuda tampan tadi, meskipun dalam hati
Tian Pek merasa cemburu, akan tetapi perasaan itu tak sampai diperlihatkan.
Berbeda dengan pemuda tampan itu, ketika melihat Wan-ji bersikap begitu
mesra pada Tian Pek, air mukanya kontan berubah hebat, rasa cemburu dan
benci selintas berkelebat di wajahnya.
"Hehehe, tampaknya kalian sudah lama saling kenal..... ' jengeknya segera.
Kim Cay-hong tertarik juga oleh ketampanan pemuda yang baru datang, ia
pandang pemuda itu dengan melenggong, tapi ketika Wan-ji bermesraan
dengan Tian Pek, cepat ia alihkan pandangannya kepada kedua orang itu,
wajahnya juga terlintas rasa cemburu.
"Bukan saja kenal bahkan kelihatan hubungan mereka sudah sangat erat,"
demikian ia menukas dengan mencibir.
Hanya Siang-lin Kongcu yang tidak terpengaruh apa2 atas kedatangan kedua
muda mudi itu, dengan jiwanya yang terbuka dan wataknya yang suka
bersahabat, cepat ia melangkah ke depan dan memberi hormat, katanya:
"Caybe Siang-lin, apa boleh kutahu siapa nama besar ksatria muda ini?"
Air muka pemuda tampan tadi kembali berubah, cepat dia balas memberi
hormat. “O, maaf! Kiranya engkau Siang-lin Kongcu dari Lam- keng, aku ini orang
miskin, orang menyebut diriku sebagai Toan- hong, sungguh beruntung dapat
berkenalan dengan anda!"
Semua orang melengak setelah pemuda itu memperkenalkan diri, pemuda
udik ini ternyata tak-lain-tak-bukan adalah Toan-hong Kongcu yang punya nama
besar sejajar dengan Siang-lin Kongcu.
Air muka Siang-lin Kongcu juga berubah setelah mengetahui siapa lawannya,
hasrat akan menarik orang ke dalam lingkungannya segera lenyap, diam2 timbul
pikiran akan menjatuhkan pihak Iawan, segera ia tertawa ter-bahak2.
“Hahaha, suatu pertemuan yang sama sekali tak terduga!" serunya lantang, "tak
tersangka anda inilah Toan-hong Kongcu yang terkenal itu."
"Suatu pertemuan yang sangat berarti!" sambung Wan-ji dari samping dengan
tertawa. "Siang lin yang simpatik serta Toan-hong yang suka keluyuran bertemu
di sini, bila kuundang kehadiran engkohku. kemudian menemukan pula An-lok
yang romantis, waah, kan terjadilah pertemuan Bu lim-su kongcu."
Mendengar itu, Siang-lin Kongcu berpaling dengan terkejut. "O, jadi kakak
nona adalah Leng-hong Kongcu?" tanyanya.
"Betul," sahut Wan-ji sambil tertawa.
Siang-lin Kongcu bergelak tertawa: "Hahaha, kalau begitu tolong nona. Buyung
suka menyampaikan pesanku kepada kakakmu, katakan saja bahwa Siang-lin
dari Lam-keng ingin sekali berjumpa..."
"Kau keliru, aku tidak she Buyung, aku she Tian!" sela Wan-ji.
"O, jadi nona dan Leng-hong Kongcu bukan saudara sekandung?" tanya
Siang-lin Kongcu.
Wan-ji semakin tak senang hati. "Siapa bilang aku bukan saudara sekandung
engkohku" Aku she Tian.... " Biji matanya yang jeli tiba2 melirik sekejap ke arah
Tian Pek, kemudian sambil menggenggam tangan pemuda itu ia menyambung:
"Aku she Tian, sama seperti she engkoh Tian ini!"
Tergetar hati Tian Pek mendengar ucapan gadis itu, biarpun ia tahu gadis itu she
Tian karena ikut nama marga ibunya, tapi secara blak2an di hadapan orang
banyak gadis itu mengaku mengikuti she dirinya, ucapan yang begitu berani dan
mesra.
Iapun heran setelah mengetahui bahwa su-kongcu yang amat tersohor itu
ternyata tidak sailing mengenal, padahal ayah mereka berempat sama2
tergabung dalam Kang-lam jit hiap di masa lampau. Mungkinkah ayah mereka
tak pernah berhubungan lagi sejak peristiwa. pembunuhan ayah?
Tebakan Tian Pek memang tepat, sejak keenam orang dari Kanglam-jit-hiap
membinasakan kakak angkat mereka, Tian In-thian, dan membagi rata harta
karun yang berhasil mereka rampas, masing2 lantas hidup terpisah dan tak
pernah berhubungan !agi, lebih2 setelah mereka beristeri dan beranak. bahkan
boleh dibilang tak pernah berjumpa kembali, dihadapan anak isteri merekapun
tak pernah mengungkap kejadian tentang Kanglam-jit-hiap, dengan begitu
keturunan merekapun tidak saling mengenaI dan tidak mengetahui rahasia
orang tua mereka.
Di antara keenam orang itu, hanya Buyung Ham dan Hoan Hui saja yang
masih bergaul rapat dan sering mengadakan hubungan.
Tapi suatu peristiwa telah terjadi menyangkut rumah tangga mereka.
Soalnya isteri Buyung Ham adalah perempuan cantik yang tersohor, sedang
Buyung Ham adalah laki2 yang besar rasa cemburunya, ia tak senang bila
isterinya bergaul dengan laki2 lain, seringkali dia jadi berang karena cemburunya
ini.
Suatu hari, Hoan Hui suami-isteri berkunjung ke rumah Buyung Ham,
kebetulan pada waktu Buyung Ham tidak ada di rumah, karena udara sangat
panas, isteri Buyung Ham mengundang nyonya Hoan untuk mandi di dalam
kamarnya. sementara Hoan Hui sendiri duduk iseng di serambi, karena
terembus angin yang sepoi2 akhirnya ia tertidur.
Ia tak menyangka bahwa tempat duduknya yang dekat pintu masuk ke kamar
tidur nyonya Buyung Ham akan menjadi persoalan, Buyung Ham mendadak
pulang dan naik darah demi menyaksikan Hoan Hui berada di situ, dia mengira
isterinya main gila dengan Hoan Hui, hal ini diperkuat setelah mendengar suara
air mandi di dalam kamar.
Tanpa mencari keterangan lebih jauh, dengan gusar ia langsung menerjang
masuk kedalam kamar mandi, tentu saja nyonya Hoan Hui yang sedang mandi
menjerit kaget, tubuhnya yang bugil terlihat semua oleh Buyung Ham.
Betapa malu dan sedih isteri Hoan Hui, nyonya Buyung juga mencaci maki
suaminya yang tidak tahu aturan.
Keributan ini dengan cepat tersiar ke seluruh gedung, hampir semua orang
mengetahui kejadian ini, tentu saja Hoan Hui dan isterinya menjadi malu dan
buru2 pulang.
Bila kejadian hanya sampai di sini saja mungkin tidak menjadi soal lagi, justeru
setelah peristiwa itu di dunia persilatan lantas tersiar berita yang mengatakan
bahwa Buyang Ham dan Hoan Hui saling tukar isteri dan berbuat tak senonoh di
kamar mandi, keruan isteri Hoan Hui tak tahan menanggung malu, suatu malam
akhirnya ia membunuh diri.
Dari sinilah dendampun timbul sampai belasan tahun kemudian ketika tiga jago
keluarga Hoan telah dewaca, bersama adik kecil perempuannya dan puluhan
jago lihay mereka menyerbu ke gedung keluarga Buyung untuk melakukan
pembalasan!
Begitulah Siang-lin Kongcu baru tahu setelah Wan-ji menerangkan bahwa ia
she Tian karena mengikuti she Tian Pek, sambil tertawa segera ia berkata: "O,
jadi nona Buyung telah mengikat perjodohan dengan Tian-heng? Hahaha, yang
perempuan cantik dan yang laki2 tampan, kalian memang dua sejoli yang amat
cocok, kionghi, kionghi ...... "
Merah jengah wajah Wan-ji dan Tian Pek mendengar ucapan itu, mereka tahu
Siang-lin Kongcu telah salah paham, sementara di pihak Kim Cay-hong dan
Toanhong Kongcu juga lantas unjuk wajah kecewa.
"Kongcu," buru2 Tian Pek berseru, "bukan begitu duduknya perkara, engkau
keliru, kami tidak...."
Belum Tian Pek menyelesaikan kata2nya, Toanhong Kongcu telah putar badan
dan berlalu dengan langkah lebar.
Siang-ling Kongcu tidak melayani pula sanggahan Tian Pek, ketika dilihatnya
Toan hong Kongcu berlalu tanpa pamit, cepat dia berseru: "Toanhong Kongcu,
harap tunggu sebentar! Masih ada urusan ingin kubicarakan dengan
engkau.........."
"Maaf, Toan-hong masih ada urusan lain, selamat tinggal!" jawab pemuda itu
tanpa berpaling.
Siang-lin Kongcu bertindak cepat, sekali melayang tahu2 ia sudah
mengadang di depan Toan-hong Kongcu.
"Toan-hong Kongcu, sekalipun ada urusan kenapa musti ter buru2 pergi?"
ucapnya, "ada suatu urusan ingin kutanyakan padamu, apakah kau bersedia
menjawab?"
"Urusan apa?" jawab Toan-hong.
"Bukannya tinggal di rumah indah yang ada di kota Hang-ciu, Kongcu jauh2
malah datang ke Kim-leng yang gersang ini? Apa boleh kutahu untuk urusan
apakah Kongcu berada di sini?"
Toan-hong Kongcu unjuk muka tak senang, ia tertawa dingin dan menjawab:
"Gunung dan hutan tak bertuan, sudah biasa aku Toan-hong suka berpesiar ke
mana saja yang kukehendaki, kenapa kau melarang kebebasanku?"
"Hehehe, jalan yang ada di dunia ini memang diperuntukkan semua manusia,
tentu saja kami tidak berani mengalangi kehendak Toan- hong Kongcu untuk
berpesiar. Cuma keadaan pada saat ini lain daripada biasanya, maka ingin
kuketahui alasan Kongcu berkunjung ke sini!"
Siang-lin Kongcu suka bergurau dan simpatik, tapi kini bicara dengan serius, ia
tak pernah main kasar bilamana tak perlu, tapi sekarang berbicara dengan muka
gusar, sikap macam ini jarang terjadi.
Rupanya kawanan jago istana keluarga Kim dapat merasakan pula sikap
majikan mereka, serentak mereka mengerumun dan mengambil posisi
mengepung. Asal Siang-lin Kongcu memberi aba2, maka kawanan jago itu
serentak akan menyerbu..........
Toan-bong Kongcu memandang sekejap sekelilingnya, tiba2 ia tertawa dan
berkata: "Hahaha, kalau aku keberatan untuk menerangkan? Kalian mau apa?"
"Terpaksa aku menahan dirimu!" jawab Siang-lin Kongcu sambil menarik
muka.
"Hahaha, kau akan main kerubut?"
"Aku sendiri saja masih mampu menahan dirimu di sini!" sahut Siang Li
Kongcu dengan marah.
Tiat-pi-to-liong tiba2 melangkah ke depan. ujarnya: "Kongcu, untuk menangkap
bocah ini tak perlu turun tangan sendiri, serahkan saja tugas ini kepada Kongsun
Coh, ingin kucoba sampai di manakah kelihayan Toan-hong Kongcu yang
tersohor itu!"
Tapi Siang-lin Kongcu memberi tanda pada Tiat-pi-to-liong agar jangan maju,
katanya pula kepada Toan-liong Kongcu: "Bicara terus terang, kami telah
kehilangan sebuah benda berharga di sakitar bukit ini, kebetulan Kongcu juga
berada di sini, hal inilah yang menimbulkan curiga kami atas diri Kongcu!"
"Hehehe, apa betul kau kehilangan barang dan bukan barang rampasan yang
kemudian diserobot orang?" ejek Toan-hong.
Air muka Siang-lin Kongcu seketika berubah hebat, ia membentak nyaring:
"Bagus, rupanya kau inilah pelakunya! Lihat serangan.”
Sekaligus dua jarinya terus menyolok mata Toan-hong Kongcu, sementara
telapak tangan kanan juga memotong bahu kiri lawan, satu jurus dua gerakan,
serangan keras dan lihay.
“Bagus!" bentak Toan-hong Kongcu.
Sedikit miring ke samping, tangan kanan balas menghantam sikut kiri Siang-lin
Kongcu, sedang tangan kiri mencengkeram pinggang kanan lawan, dengan
serangan ia patahkan serangan lawan, sungguh hebat caranya.
Dengan gerakan yang sama2 cepat dalam waktu singkat kedua pihak telah
bertempur beberapa gebrakan. "Blang! Blang!" benturan keras menggelegar,
tiba2 kedua orang memisahkan diri kebelakang.
Toan-hong Kongcu merasakan lengannya linu, kaku dan kesemutan,
sedangkan Siang-lin Kongcu merasa telapak tangannya sakit, panas pedas, nyata
kekuatan kedua pihak seimbang.
Setelah saling melotot sekejap, sekali lagi Siang-lin Kongcu menerjang maju,
pukulan demi pukulan dilepaskan dengan kecepatan tinggi, secara beruntun dia
memukul beberapa kali sehingga Toan-hong Kongcu terdesak mundur beberapa
kaki.
Penasaran jago muda itu, ia membentak keras dan melancarkan serangan
balasan dengan pukulan-pukulan yang tak kaiah cepatnya.
Tiat-pi-to-tiong kuatir majikannya terluka, ia membentak dan ikut terjun ke
tengah gelanggang, pukulan dahsyat segera menyambar punggung Toan hong
Kongcu.
Sekuatnya Toan hong melancarkan pukulan maut dan memaksa mundur
Siang-lin Kongcu, lalu dia melompat ke samping. ia berhasil lolos dari ancaman
pukulan Tiat-pi-to-liong pada saat yang tepat.
Setelah pemimpinnya turun gelanggang, kawanan jago lainnya ikut bergerak
pula mendekati gelanggang, dalam sekejap Toan-hong Kongcu sudah terkurung
rapat.
Dengan angkuh pemuda itu berdiri tegak di tengah gelanggang, tiba2 ia
menengadah dan tertawa ter-bahak2, katanya: "Hahaha, sungguh tak tersangka
Siang-lin Kongcu yang tersohor namanya adalah manusia pengecut yang suka
cari kemenangah dengan main keroyok!"
Mendadak ia masukkan jari kecil ke mulut dan bersuit melengking panjang.
Suitan nyaring menggema angkasa, serentak dari hufan sisi kiri sana muncul
puluhan sosok bayangan manusia, mereka adalah sekawanan pengemis yang
bersenjata tongkat penggebuk anjing. Menyusul munculnya kawanan pengemis
itu, dari hutan sebelah kananpun bermunculan puluhun orang pengemis lain
yang juga bersenjata pentung.
Dalam waktu singkat, di sekeliling situ telah muncul kawanan pengemis
bersenjata pentung bambu, sedikitnya berjumlah ratusan orang.
Baik, Siang-lin Kongcu maupun kawanan jago istana keluarga Kim serentak
berdiri tertegun, sama sekali mereka tak menyangka kalau Toan-hong Kongcu
telah menyiapkan barisan pengemis yang begitu banyak jumlahnya di sekitar
bukit.
Begitu muncul dari tempat sembunyinya, kawanan pengemis itu lantas
membuat kegaduhan dengan teriakan2: "O, kasihan tuan, berilah sedekah pada
kami.......... !"
"Kasihanilah kami orang miskin yang tak punya.......... !!
"Berilah uang kecil, sudah tiga hari kami tidak makan.......... !"
"Berilah sisa makanan buat kami orang yang tak punya..... kami lapar.”
Sambil ber-teriak2 kawanan pengemis itu berkerumun maju, dalam waktu
singkat sekeliling gelanggang tadi sudah terkepung.
"O, rupanya dia pentolan kaum pengemis!" bisik Wan-ji dengan dahi berkerut,
“Siapa yang kau maksudkan pentolan kaum pengemis?" tanya Tian Pek tak
mengerti.
Sambil mencibir Wan-ji menunjuk ke arah Toan hong Kongcu: "Itu dia, masa
tidak tahu?'
Teringat pada kemunculan Wan ji bersama pemuda tampan itu, cepat dia
bertanya: "Wan-ji, bagaimana hasilmu berlatih silat dari Sin-kau? Kenapa kau
bisa berkumpul dengan Toan- hong Kongcu?"
Wan ji lantas menuturkan kisahnya waktu mencari gua bersama Sin kau dan
bagaimana mereka salah minum air Sin-gin-han-cwan dan sebagainya ......
Kemudian iapun menceritakan cara bagaimana ia mendapat latihan ilmu silat
dari Sin kau dan pada hari yang kesembilan puluh "Monyet Sakti" itu menemui
ajalnya, bagaimana pula Toan- hong Kong-cu muncul serta bantu mengubur
jenazah orang tua itu.
Sepanjang mendengarkan penuturan tersebut, dalam hati Tian Pek
memikirkan satu kejadian yang mencurigakan, yaitu keterangan yang dilukiskan
Wan-ji mengenai kelima sosok mayat yang ditemukan dalam gua. Ia menduga
kelima orang itu bisa jadi adalah Yam-in-ngo pah thizIn yang membegal barang
kawalannya di hutan tempo dulu itu. Padahal Yan-in ngo- pah-thian tidak
berhasil membegalnya, darimana mereka bisa mendapatkan kedua peti intan
permata itu dan mengapa mereka mampus di dalam gua sana?
Ia tak sempat berpikir lebih jauh karena kawanan pengemis tadi telah
mengepung semakin rapat, dengan sendirinya suasana menjadi tegang dan tak
sempat lagi baginya untuk menanyai Wan-ji.
Setelah gelanggang terkepung rapat, Toan hong Kongcu tertawa ter- bahak2,
katanya: "Ha-haha, mereka suka mencari kemenangan dengan jumlah banyak,
mari kita pun mencari kemenangan dengan jumlah orang yang lebih banyak!"
Bicara sampai disini, anak muda itu lantas melompat ke atas dan duduk di
sebuah batu karang yang tinggi letaknya, lalu katanya lagi: "Saudara-saudaraku
kaum miskin, orang2 yang berada di hadapan kalian sekarang adalah tuan2
besar yang paling kaya di wilayah ini, baik2lah kalian minta sedekah kepada
beberapa orang di antaranya!"
Mendengar ucapan tersebut, kawanan pengemis itu segera angkat tongkat dan
mulai berkeliaran ke sana kemari sambil ber-teriak2 minta sedekah.
Hanya saja teriakan kali ini sangat beraturan ibaratnya serombongan penyanyi
koor, setelah pemimpinnya menyanyikan sebait lagu, lalu kawanan pengemis
lainnya menyambung dengan irama yang mirip kidungan.
Terdengar pemimpin rombongan pengemis itu mulai berteriak lantang: "Kita
semua adalah kaum miskin yang tak bisa makan ..... "
"Kaum miskin! Kaum miskin.......... " demikian kawanan pengemis lain lantas
menyambung bersama "Sekuntum bunga teratai, mekar indah menawan...”
"Bunga teratai, bunga teratai .....habis mekar lantas rontok.......... "
Di tengah senandung itulah rombongan pengemis itu mulai angkat pentung
mereka dan bergebrak ke sana kemari dengan teraturnya, dalam sekejap
mereka telah membentuk suatu barisan pengemis yang rapi.
Tian Pek masih hijau, Wan-ji juga baru pertama kali keluar rumah tentu saja
belum pernah mereka saksikan barisan pengemis sebanyak ini, seketika mata
mereka terbelalak mengikuti barisan kaum jembel yang hebat itu.
Lain halnya dengan sepasang pengawal baja istana Kim yang sudah kenyang
pengalaman dunia Kangouw, mereka tau kawanan minta2 itu sedang
membentuk
barisan pengemis yang ampuh, air muka mereka sama berubah hebat. Mereka
menyadari musuh tangguh yang dihadapi, sedikit salah bertindak niscaya jiwa
akan melayang.
Mendingan kalau cuma beberapa korban yang jatuh bila Siang-Ian Kongcu
kakak-beradik juga cedera, bukan saja nama besar mereka yang terpupuk
selama ini akan hancur, tentu merekapun tak punya muka untuk bertemu lagi
dengan Cing-husin Kim Kin.
Dalam pada itu, Tiat-ih-hui-peng yang terluka oleh pukulan Lui-im-hud-ciang
Tian Pek tadi sudah dapat memulihkan tenaganya, ia lantas menghampiri Siang-
lin Kongcu dan siap menghadapi serangan kawanan pengemis itu.
Suasana itu cukup tegang dan mendebarkan hati. Tiat-pi-to-liong berbisik
kepada Siang-lin Kongcu: "Kongcu, engkau harus ber-hati2, barisan kaum jambel
ini tak boleh dipandang enteng, biar aku dan Pah-hiante yang membendungnya
lebih dahulu, sementara nona dan Kongcu berusahalah mundur dan melepaskan
diri dari kepungan, bila ada urusan kita bicarakan lagi nanti."
Dalam hati Kongcu memang ada niat mundur lebih dahulu terutama setelah
menyaksikan betapa hebat gerakan ratusan pentung pengemis itu maka ia
terima kisikan Kongsun Coh itu dengan mengangguk.
Tiat-pi-to-liong menunjuk pula Thiati-bun-itkiam (pedang sakti dari Thian-bun
Ong Yau-beng, Siang-san-coa (ular dari bukit Siang-san) Cau Liang serta
Hengsan-ji-niau (sepasang burung dari Hang-sat)) kakak beradik Auyang untuk
melindungi Sianglin Kongcu kakak beradik, sementara jago yang lain ikut
sepasang pengawal baja untuk membendung barisan kaum pengemis.
Dikala Tiat-pi-to-liong mengatur siasat, kawanan pengemis sudah makin dekat,
terdengar pemimpin pengemis berseru lagi: "Perut lapar, Loya yang kaya,
berilah kami sedekah!"
"Beri sedekah! Beri sedekah ..... ! " sambung kaum pengemis serentak.
Toan-hong Kongcu yang duduk di atas batu karang mendadak menyela: "Hei,
kalian jangan menyanyi melulu, orang kaya biasanya pelit, mau minta sedekah
harus cepat!"
Pemimpin pengemis itu tetap menyanyi: "Dua kuntum bunga teratai mekar
bersama!"
Beratus pentung bambu tiba2 diangkat, berbareng kawanan pengemis lantas
berteriak: "Bunga teratai, bunga teratai, habis mekar segera rontok!"
Serentak beratus batang pentung bambu mulai berputar dengan kencangnya,
begitu nyanyian berakhir pentung bambu terus menyabat Siang-lin Kongcu dan
rombongannya.
Tiat-pi-to-liong bertindak cepat, ia lantas membentak, dengan tenaga pukulan
dahsyat ia sambut ancaman tersebut.
Angin pukulan mendampar bagai ombak samudera yang ber-gulung2. Pada
saat yang sama, Tiat-ih-hui-pang juga berpekik nyaring, sayap bajanya
berkembang dan melayanglah dia ke udara, dari atas ia melancarkan serangan
Tiat-ih-sin-kang ke arah kawanan pengemis.
Tapi barisan perang kaum pengemis ini sangat ruwet perubahannya dan
berdasarkan perhitungau Ngo-heng dan Pat-kwa, malah ada orang yang
membandingkan barisan ini dengan ketangguhan Lo-hantin dari Siau-lim-pay.
Di tengah suara kidungan kaum pengemis itu, serangan gabungan kedua
pengawal baja telah dipatahkan bahkan para jago istana Kim berikut Siang-lin
Kongcu kakak beradik terkepung semakin rapat oleh barisan itu,
Malahan Tian Pek dan Wan-ji yang tidak ikut berurusan juga terkepung di
tengah.
Gusar dan mendongkol Wan-ji melihat kawanan pengemis itu semakin
mendekat, dengan dahi berkerut dia menghardik: "Bagus, jadi akupun tidak
kalian lepaskan?"
Seraya membentak, dua jari menjentik, dua arus angin segera menyambar ke
depan.
"Bluk! Bluk!" dua sosok tubuh seketika roboh tak berkutik.
Sungguh kejadian aneh. Coba bayangkan, kalau tenaga gabungan hu-siang
tiat- wi yang dahsyatpun tak mampu merobohkan orang dari barisan pengemis,
tapi hanya jentikan jari seorang nona berusia tujuh-belasan berhasil
merobohkannya.
Tapi sekilas pandang saja Tian Pek lantas tahu darimana ilmu, jentikan ini. sebab
Sin lu-tiat-tan pernah beritahu kepadanya bahwa Sinkau, si monyet sakti
memiliki beberapa macam ilmu sakti, antara lain adalah ilmu jentikan jari
tersebut.
Maka dengan kaget bercampur heran ia barseru: "Wan-ji jadi kau telah
menguasai pula Sohhun-ci (ilmu jari pembetot sukma) dari monyet sakti?"
"Huh, tadinya aku tidak mau belajar.. tapi makhluk tua itu memaksa aku
belajar, apa boleh buat? Terpaksa aku mempelajarinya!" jawab Wanji mencibir.
Lalu sambil tertawa genit ia menambahkan: "Tapi engkoh Tian tak perlu kuatir,
tak nanti kugunakan ilmu keji ini untuk menghadapi dirimu.......... "
Diam2 Tian Pek kurang senang, ia merasa tidak pantas Wan-ji menyebut Sinkau
sebagai makhluk tua.
Jelek2 Sin-kau telah mewariskan ilmu silatnya kepada gadis itu, walapun
resminya bukan guru dan murid, pada hakikatnya antara kedua orang itu sudah
mempunyai hubungan begitu, padahal orang persilatan sangat menghormati
guru mereka, sebutan kasar tadi berarti pula tidak menghormati gurunya.
Di samping itu Tian Pek juga tak senang karena Wan-ji berjanji tak akan
menggunakan ilmu sakti itu padanya, meski hal itu timbul dari maksud baik si
nona yang jatuh hati padanya, tapi bagi Tian Pek ucapan tersebut sebagai suatu
penghinaan.
Dengan dahi berkerut pemuda itu segera akan mengumbar rasa marahnya,
tapi kawanan pengemis tadi telah bertindak, melihat dua rekannya tewas di
tangan gadis itu, daya tekanan barisan yang maha dahsyat itu lantas dialihkan ke
arah Wan-ji dan Tian Pek.
Terdengar pemimpin mereka bernyanyi: "Nona yang kaya. berilah sedekah!
Siauya yang baik hati kasihanilah........... . !'
"Minta sedekah............. minta sedekahl ...... " kawanan pengemis berteriak
serentak.
"Tiga kuntum bunga teratai, mekar bersama!" "Bunga teratai, mekar
bersama.... "
Ratusan pentung kembali berputar di udara, di antara kelebatan bayangan
pentung yang memenuhi udara serentak memburu ke tubuh Tian Pak dan Wan
ji.
Jelas kaum jambel itu telah murka, daya serangan mereka sekarang berlipat
dahsyat daripada ancaman terhadap kedua pengawal baja tadi.
Wan ji terkesiap, cepat kedua tangannya beraksi, berbareng empat jari
tangannya menjentik pula untuk menghalau musuh.
Soh-hun-ci memang lihay, di tengah desiran angin jari yang tajam itu dua
orang pengemis kembali roboh tak bernyawa.
Segera empat tokoh pengemis menyergap maju, keempat jari Wan-ji menjentik
pula, tapi hanya dua orang saja roboh terluka, sementara dua jentikan lain tidak
mengenai sasarannya. Namun beratus bayangan pentung dari barisan itu
serentak menyambar pula ke arah Wan-ji.
Wan-ji menjerit kaget, kedua tangannya bergerak naik-turun, menghantam
sana dan menangkis sini, ditambah Ni-gong-hoan-ing yang gesit, ia terus
menyelinap kian kemari.
Tian Pek yang berada di sampingnya juga segera bertindak, ia menyerang
dengan ilmu pukulan Lui-im-hud-ciang.
Pukulan yang lunak dengan tenaga besar, ia dapat merobohkan tiga atau lima
orang pengemis yang berada paling depan, tapi berpuluh jago pengemis lain
segera mendesak maju sehingga sukar untuk membendungnya.
Sabagaimana Wan-ji, karena ilmu pukulan Lui-im-hud-ciang itu baru saja
dipelajari, maka daya serangan Tian Pak juga belum sanggup mencapai
puncaknya.
Ketika merasakan tekanan musuh yang sangat kuat, menyusul ratusan
bayangan pentung menyambar bersama, pemuda ini jadi gugup dan lupa
memainkan Lui-im-hud-ciang terpaksa ia cuma berkelit ke kiri dan menghindar
ke kanan.
Begitulah, dalam sekejap Wan-ji dan Tian Pek telah terkepung oleh barisan
pengemis yang tangguh itu.
Karena keampuhan yang dimiliki kedua orang itu berbeda, dalam waktu
singkat Wan-ji dan Tian Pek sudah terpisah jauh, dalam keadaan begitu mereka
harus mengerahkan segenap kekuatan untuk mempertahankan diri, tapi
semakin melawan merekapun semakin jauh terperangkap dalam barisan
pengemis.
Kalau di sini Win-ji dan Tian Pek harus melakukan perlawanan yang gigih
maka keadaan ini pun dialami oleh kawanan jago istana Kim, kedua pengawal
baja serta Siang-lin Kongcu kakak beradik telah tercerai-berai oleh kekuatan
barisan pengemis sehingga masing2 orang harus bertempur secara terpisah
untuk melindungi diri sendiri.
Sekalipun sebelumnya Tiat-pi-to-liong juga telah mengatur barisan
penyerangnya dan membagi pula beberapa jago lihaynya untuk melindungi
Sianglin Kongcu, sayang ia tak mengetahui betapa hebatnya barisan musuh,
tentu saja usahanya mengalami kegagalan total.
Kedua pengawal baja mulai melancarkan serangan lagi, satu dari atas dan
yang lain di bawah, mereka herusaha menjebol kepungan musuh yang telah
mengurung Siang-lin Kongcu.
Tapi barisan pengemis itu terlalu lihay dan kuat, kendatipun terbentuk dari
ratusan orang pengemis, namun akibat perubahan2 barisannya, terciptalah
suatu kekuatan yang se-akan2 terdiri dari beribu2 pentung bambu hijau. Apalagi
kaum jambel itu sama berambut semrawut, baju compang-camping, senjata
merekapun sama berupa pentung bambu hijau, satu dan lain hampir serupa, hal
inilah yang membikin bingung musuh.
Hanya Tiat-ih-hui-peng saja agak mendingan, dengan sayap baja mestikanya
dia bisa melambung ke udara dan menyerang dari atas, dengan begitu
gerakgeriknya masih bebas dan leluasa.
Sekalipun begitu iapun tak bisa berbuat banyak, sebab apa yang dilihat di
bawah hanya bayangau pentung dengan tampang yang dekil, sedang rekan2 nya
yang terjebak berbalik hampir tidak kelihatan.
Sekalipun ia sempat melihat Tiat-pi-to-liong yang berambut putih sedang
diamuk bayangan pentung, tapi setiap kali ia memberi bantuan, tahu2 iapun
dihujani pentung musuh dan terpaksa ia harus melayang lagi ke atas.
Begitulah jago keluarga Kim serta Siang Lin-Kongcu se-akan2 tenggelam di
lautan pentung barisan pengemis. Meski Tiat-ih hui-pang dapat melayang di
udara, tapi tidak lebih hanya seperti burung yang melintas di lautan lepas dan
tidak bisa berbuat banyak.
Untung Tian Pek dan Wan-ji memiliki ilmu Lui-im-hud clang serta Soh-hun-ci
yang hebat, setiap saat mereka mampu membobolkan barisan musuh dan lolos
dari kepungan.
Suatu ketika tiba2 terdengar jeritan ngeri, mayat seorang jago istana keluarga
Kim terlempar jauh, sekujur badan merah bengkak dan penuh jalur-jalur matang
biru yang mengerikan, jelas orang itu mati konyol karena kena dihajar oleh
berpuluh pentung.
Kejut dan gusar Tiat--ih-hui-peng, ia mengerahkan ilmu sakti Tiat- ih sinkangnya,
dengan gerakan Ing po-kiu-siau (burung elang melambung ke angkasa), sayap
bajanya dikibaskan. ia menyerang dengan gencar.
"Blang! Blang!" terdengar benturan menggelegar, barisan pengemis yang
terpencar itu segera menutup kembali, ketika sayap baja jago tua itu
menyambar tiba, otomatis barisan mereka membuka, tapi setelah angin pukulan
lewat barisanpun menutup kembali dengan rapat, di tengah nyanyian pentung
bambu itu terangkat dan menyabat jago tua itu.
Dalam keadaan demikian, terpaksa Tiat ih-hui peng melambung lagi ke atas,
sebab hanya dengan gerakan itulah dia akan terhindar dari kepungan pentung.
Sergapan Tiat ih-hui-peng dari udara itu rupanya telah memberi ilham bagi
Wan-ji. ia berpikir: "Daripada terkurung dalam barisan, kenapa aku tidak
menggunakan Ni-gong-hoan-ing untuk mengacau barisan mereka, kan lebih baik
daripada terkepung di sini."
Berpikir demikian, ia membentak, jari menyelentik ke depan untuk mendesak
mundur musuh, habis itu ia terus melambung tinggi ke udara.
Setelah berputar di atas, lalu ia melayang ke bawah, ujung kaki menutul ujung
pentung lawan dan segera mengapung kembali ke udara.
Dengan cara inilah Wan-ji bergerak Iincah ke sana kemari dengan leluasa.
Dasar wajahnya cantik dan tubuhnya Iangsing, gerakan Wan-ji tampak lebih
menawan hati, begitu indah gayanya ibarat bidadari yang turun dari kahyangan.
Toan-hong Kongcu duduk di atas karang sana dan memuji: "Gerak tubuh yang
indah, sungguh menarik ........... . "
Mendingan pemuda itu tidak berteriak, karena suaranya ini dia telah menarik
perhatian Wan-ji.
Sekian lama gadis itu tanpa sebab ikut terkurung di dalam barisan pengemis dan
kini baru terlepas dari kepungan, sebaliknya Toan-hong Kongcu enak2 duduk
santai di atas batu, kontan meledak marah si nona.
Cepat dia melejit ke udara, dengan meminjam daya tolak ujung pentung lawan,
tubuhnya melayang ke sana, menubruk ke arah Toan-hong Kongcu.
Dengan ilmu meringankan tubuh Wan-ji menyeberangi barisan pengemis, lalu
dia melayang ke atas batu karang yang beberapa tombak tingginya.
Toan-hong Kongcu bersorak memuji, bahkan bangkit dari tempat duduknya,
dengan wajah berseri dia se-akan2 hendak menyambut kedatangan si nona.
Tapi Wan-ji sudah kadung gemas terhadap pemuda itu yang menyiksa dirinya
dalam kepungan barisan, begitu meluncur tiba, suatu jentikan jari yang lihay
segera dilontarkan mengarah jalan darah Sam-yang-biat di dada Toan-hong
Kongcu.
Terperanjat pemuda itu, ia tak berani menyambut serangan tersebut dengan
kekerasan, cepat ia berkelit ke sampiug, kemudian serunya dengan gelisah:
"Heh..nona, ada apa . . . Masa akupun kau serang?"
"Hm, tak perlu berlagak lagi, apa pula maksudmu memerintahkan kawanan
pengemis itu mengepung aku?" balas Wan-ji sambil mendengus.
Toan-hong Kongcu tertawa getir: "Nona, kalau engkau tidak berdiri di tengah
mereka, niscaya kawan2 dari perkumpulan kaum miskin itu takkan mengganggu
nona. .... "
"Bagus, kalau begitu ingin kuberitahu padamu, bila kau tidak berdiri di sini,
akupun takkan menyerang dirimu!"
Toan-hong Kongcu jadi serba salah, dengan menyengir ia bertanya pula:
"Kalau begitu. nona suruh aku pergi ke mana?"
"Peduli amat kau akan ke mana!" sahut Wanji sambil melotot. "Pokoknya, bila
kawanan pengemis itu sampai melukai seujung rambut engkoh Tian, segera
akan kubunuh kau."
Perkataan ini mengobarkan rasa gusar Toanhong Kongsu, ia merasa gadis itu
bukan saja tidak ingat lagi pada kebaikannya, bahkan membela Tian Pek
mati2an, ini pula menimbulkan rasa dengkinya.
Sambil mengerut dahi, napsu membunuh terlintas pada wajahnya yang cakap
itu, segera ia menjengek: "Hehehe, masa kau anggap nyawa Toanhong Kongcu
tidak lebih berharga daripada seujung rambut orang lain?!"
"O, jadi kau anggap aku tak mampu membunuh kau?" teriak Wan-ji.
Sebelum Toan- hong Kongcu menjawab, tiba2 jeritan ngeri berkumandang di
tengah barisan sana, serentak Wan-ji dan Toan-hong Kongcu memandang ke
bawah. Kiranya seorang jago istana keluarga Kim kembali binasa, terlempar
keluar dari barisan, kematiannya kelihatan mengerikan sekali.
Siang-lin Kongcu dan Tiat-pi-to liong segera membentak gusar, mereka
mengamuk dan menerjang kian kemari.
"Blang! Blang!" terdengar benturan menggeletar, dapat diduga kawanan jago
istana Kim juga menyerang mati2an.
Tiat-ih- hui peng yang melayang di udara juga tak mau ketinggalan, sayap baja
menyabat dan menubruk dengan gencar.
Tapi kekuatan barisan pengemis terlalu tangguh, perubahan barisan itupun
sukar diraba, sekalipun kawanan jago itu berusaha mati2an tetap tak dapat
membobol kepungan.
Pada saat gawat itulah mendadak di tengah bayangan pentung bamhu hijau
berjangkit pula sejalur cahaya hijau kemilau dan terdengar suara gemerincing
berulang2.
Menyusul terdengar suara suitan nyaring melengking, di tengah kepungan
barisan pengemis yang ketat tadi mendadak terluang suatu kalangan luas, lima
enam kaki.
Di tengah lingkaran itu berdirilah Tian Pek dengan Pedang hijau terhunus.
Kiranya anak muda itu jadi penasaran dan gusar setelah sekian lama tak dapat
membobol barisan musuh, segera ia mengeluarkan pedang mestika peninggalan
ayahnya.
Ba-cing-pek-kiam memang pedang mestika yang tajam, ditambah ilmu pedang
Hong-lui-pat-kiam yang baru dipelajari dari Sin-lu-tiat-tan, terciptalah daya
kekuatan yang maha hebat.
Begitu pedang mestika tersebut keluar, dengan jurus Hong-ceng-lui-bing
(angin merderu guntur menggelegar) seketika ia memapas pentung lawan
sehingga terluang satu kalangan di tengah, sebagian pentung bambu musuh
juga terpapas kutung.
Perlu diketahui pentung bambu hijau kaum pengemis ini bernama "tongkat
penggebuk anjing" dan langsung diterima dari ketua mereka, itupun harus
mengalami banyak percobaan dan rintangan yang berat. Upacara penyerahan
tongkat diadakan setiap tlga tahun sekali.
Untuk mendapatkan pentung bambu, mereka harus mengalami beberapa
tingkat lebih dahulu, pertama kali mereka menerima tongkat kayu biasa, ini
berlaku bagi anggota yang sudah aktip selama tiga tahun. Kedua kalinya mereka
menerima tongkat bambu kuning, yakni bila sudah menjadi anggota
perkumpulan salama enam tahun.
Untuk ketiga kalinya mereka akan menerima tongkat bambu hijau muda, ini
hanya berlaku bagi anggota pengemis yang telah aktip selama sembilan tahun.
Dan akhirnya akan menerima tongkat bambu hijau tua bila sudah duabelas
tahun menjadi anggota, hanya murid2 yang berilmu silat tinggi saja berhak
menggunakannya, oleh karena itulah tak heran kalau ber-puluh2 jago istana Kim
serta Sianglin Kongcu dan Tian Pek sekalian tak mampu menembus kepungan
mereka, sebab kawanan pengemis yang hadir saat ini rata2 berilmu silat tinggi.
Pentung bambu hijau tua tersebut berasal dari Lam-bay (laut selatan),
kerasnya melebihi besi, golok atau pedang tak mampu memapasnya kutung,
maka tidaklah heran jika kaum pengemis itu terperanjat setelah menyaksikan
beberapa batang pentung bambu hijau mereka tertabas kutung.
Untuk sejenak kawanan pengemis itu sampai lupa melancarkan serangan lagi,
otomatis barisan pengemis terhenti, mereka berdiri tertegun sambil mengawasi
Tian Pek, terutama pengemis yang kehilangan pentung bambunya, mereka
menjadi jeri dan juga sedih.
Dengan gagah Tian Pek berdiri di tengah geIanggang, ia tidak manfaatkan
kesempatan itu untuk melabrak musuh.
"Engkoh Tian .... " Wan-ji berteriak kegirangan.
Air muka Toan-hong Kongcu berubah hebat, cepat ia berseru: "Kawan2 kaum
miskin, senjata pencari kalian makan sudah rusak, kalian tak punya muka untuk
bertemu dengan Cousuya lagi!"
Ucapan ini membakar semangat tempur kaum pengemis itu, timbul niat beradu
jiwa mereka, serentak mereka meraung gusar, tongkat bambu hijau kembali
berputar ke sana kemari menyerang Tian Pek.
Kali ini mereka tidak menyertakan nyanyian lagi, semua orang melancarkan
serangan dengan nekat, beratus pentung bambu hijau menghujani pemuda itu
dengan rapat.
Tian Pek tidak gentar, dengan pedang di tangan keadaan pemuda itu ibarat
harimau tumbuh sayap, pedang mestikanya segera menyabat dan menusuk
dengan gencar.
Sebenarnya pemuda itu tak ingin mencari permusuhan, maka setelah berhasil
memaksa mundur musuh. iapun meughentikan serangannya, tetapi setelah ia
diserang tanpa kenal ampun, terpaksa ia layani mereka.
Dengan jurus No-lui-hong-biau (Guntur mengamuk angin menyambar), jurus
kedua dari Honglui-pat-kiam (delapan jurus ilmu pedang angin dan guntur),
serentak ia melancarkan serangan balasan, tertampaklah serentetan cahaya
disertai deru angin keras.
"Creng! Creng!" kutungan pentung bambu berhamburan di tanah, menyusul
darah segar bermuncratan pula.
Tujuh-delapan pengemis yang berada paling depan segera kehilangan
pentung mereka, sementara dua orang lainnya yang tak sempat menghindar,
lengannya tertebas kutung.
Dengan rasa kaget bercampur ngeri serentak kawanan pengemis itu
mengundurkan diri ke belakang, mereka melototi pemuda itu, akan tetapi tak
seorangpun berani maju lagi secara gegabah.
Dengan kereng Tian Pek berkata: "Bila kalian tahu diri, lekas mundur dari sini,
jika tetap membandel, hm, jangan menyesal bila aku tidak sungkan2 lagi."
Rupanya kawanan pengemis itu sudah dibikin gentar oleh keampuhan Tian
Pek, ternyata tiada seorangpun berani maju.
Sejenak kemudian, seorang pengemis tua berusia enam-puluhan tampil ke
depan, katanya: "Kami kami, miskin sangat berterima kasih atas sedekah yang
telah tuan berikan kepada kami, bolehkah kutahu siapa nama tuan agar di
kemudian hari bila ada kesempatan kami dapat membalas kebaikanmu?”
"Aku beruama Tian Pek!"
“O, kiranya Tian-tayhiap! Selama hidup kami akan ingat budi ini, suatu ketika
budi ini pasti akan kami balas."
"Karena terdesak dan terpaksa turun tangan, Tian Pek sama sekali tidak
bermusuhan dengan kalian, tapi bila kalian sudah menganggap kejadian ingin ini
sebagai utang, akupun tak akan menolak, setiap saat akan kunantikan
pembalasan perknmpulan kalian!"
"Sungguh ksatria sejati!" pun pengemis tua itu acungkan jempolnya.
Rupanya Toan-hong Kongcu merasakan gelagat tidak menguntungkan, tiba2
ia berseru: "Hei Kiong lokiauhoa, (pengemis tua she Kiong), apa yang kau
bicarakan? Coba lihat musuh sebelah sana sudah hampir lolos.”
Ketika pengemis tua itu ber-cakap2 dengan Tian Pek, otomatis barisan
pengemis bagian sini tidak berfungsi, rupanya kesempatan itu segera
dimanfaatkan oleh rombongan Siang-lin Kongcu untuk melancarkan serangan
balasan sehingga barisan pengemis di sebelah sana agak kacau.
Untung Toan-hong Kongcu memperingatkan dengan cepat, serentak pengemis
tua tadi memimpin barisannya ke sana dan merapatkan kepungan pula segera
pertempuran sengit berkobar lagi.
Sambil melayang naik turun, diam2 Tiat-ih-hui berpikir menangkap maling
harus menangkap pentolannya, bocah keparat ini enak2 nongkrong disitu
menonton pertempuran, bila kubekuk dia tentu barisan pengemis ini akan bubar
dengan sendirinya.
Berpikir begitu, sayap bajanya segera terpentang, ia melayang ke arah Toanhong
Kongcu.
Bagaikan burung elang menerkam mangsanya, sebelum mencapai sasaran,
kedua sayap bajanya di kebaskan berulang kali, kemudian ia menukik ke bawah
dan menerkam anak muda itu.
Toan- hong Kongcu tak berani menyambut ancaman yang mengerikan itu
dengan keras lawan keras, dari jauh ia lepaskan pukulan ke udara.
“Blang! Blang!" benturan terjadi, desir angin tajam menyebar keempat penjuru.
Walaupun angin pukulan yang memancar cukup kuat, namun hal ini tidak
mengalangi daya maju Tiat-ih-hui-peng, kedua sayapnya dikebaskan, setelah
menggeser ke samping, sekali lagi dia menerjang lawan.
Betapa kejut Toan hong Kongcu menghadapi serangan lihay itu, cepat ia
mengegos ke samping, tapi sayap baja Teat-ih-hui-peng bergerak lebih cepat,
tiba2 ia sudah berada di atas kepala anak muda itu dan membentak bengis:
"Keparat, serahkan nyawamu!' — Berbareng itu sayap bajanya terus menyabat
batok kepala anak muda itu.
"Celaka!.......... " tanpa terasa Toan-hong menjerit.
Wan-ji yang berada di samping Toan-hong Kongcu dapat menyaksikan
datangnya ancaman itu, pada saat gawat itu mendadak anak dara itu
menghardik:
"Apa kau cari mampus?"
Sambil membentak, jari tangannya segera menyelentik ke depan, angin tajam
mendesis ke muka dan mengancam jalan darah Sim-gi-hiat di tubuh Tiat-ih-
huipeng.
'Rajawali sakti bersayap baja' ini sudah pernah merasakan keampuhan ilmu
jari Soh-hun-ci Wan-ji, tentu saja ia tak berani menangkis secara gegabah.
Cepat sayap bajanya menutup kemudian menggeser ke samping, sayang
gerakannya itu tetap terlambat, sekalipun Hiat-to penting terhindar dari
ancaman,
namun sayap bajanya tak terlepas dari serangan itu.
"Criit!" desingan angin tajam menembus sayap baja mestikanya, tanpa ampun
sayap yang tidak mempan ditusuk senjata tajam itu berlubang.
Buru2 Tiat-gi-hut- bong menarik kembali sayap bajanya dan melayang turun,
air mukanya berubah hebat, mimpipun ia tak menyangka kalau baju mestika
yang kuat dan ampuh itu tak tahan oleh selentikan jari Wan ji, Kejut dan
gusarnya tidak kepalang.
"Budak hina, berani kau merusak baju mestikaku?" teriaknya sambil mengertak
gigi. "Hm, harus kuhancurkan kali!"
Serentak kesepuluh jari tangannya diluruskan ke depan, persendian tulang
sekujur badan bergemertuk, dengan muka yang bengis dan menyeramkan
selangkah demi selangkah ia menghanipiri Wan ji.
Gadis muda yang belum berpengalaman ini tidak tahu ilmu keji apa yang akan
digunakan lawan, tapi melihat kebengisan lawan, diam2 iapun terkesiap, segera
ia himpun tenaga dan siap menghadapi serangan.
Sementara itu Toan-hong Kongcu sudah tenang kembali setelah diselamatkan
Wan-ji, ia menjadi murka ketika dilihatnya Tiat-ih-hui peng sedang bergerak
menghampiri Wan-ji. Ia membentak, ilmu jari Kun-goan ci ajaran ayahnya segera
digunakan, desiran angin tajam segera menyambar punggung lawan.
Waktu itu Tiat ih-hui-peng sedang menghimpun segenap tenaga dalam untuk
menghadapi Wan-ji, ketika merasakan desiran angin tajam dari belakang, ia tahu
ada orang sedang menyergapnya.
Kejadian ini makin merggusarkan hatinya, ia meraung murka, sambil putar
badan, telapak tangannya serentak menghantam ke belakang.
“Blang.......... . !" benturan keras terjadi dan terdengar dua.......... jerit kesakitan.
Karena pukulan Tiat-ih-hui-peng yang dahsyat itu, tubuah Toan-hong Kongcu
mencelat ke bawah karang dengan terjungkir.
Sebaliknya Tiat-ih-hui peng juga tergetar oleh tenaga Kim goan-ci musuh, rasa
sakit yang tak terkira membuat dia menjerit, malahan tangannya juga lantas
merah bengkak.
Sudah puluhan tahun "Rajawali bersayap baja" ini malang melintang di dunia
persilatan dan jarang ketemu tandingan, tapi sekarang lengannya terluka,
bahkan baju mestika yang paling disayangpun ikut rusak, kekalahan demi
kekalahan ini menimbulkan nafsu membunuh. Segera iapun menubruk ke
bawah begitu Toanhong Kongcu terjurgkir ke bawah karang.
Tapi Toan-hong Kongcu hanya terluka ringan oleh sampukan baju Tiat-ih-
huipeng, meski jatuh tersungkur ke bawah, namun di tengah udara ia sempat
berjumpalitan, lalu hinggap di tanah dengan enteng.
Ia terkejut ketika mengetahui musuh ikut melayang turun terus menghantam.
Toan-hong Kongcu tahu tenaga pukulan musuh sangat kuat, maka begitu
pukulan menyambar datang, cepat ia melejit ke samping.
Ketika Toan-hong Kongcu menjerit kesakitan tadi, kawanan pengemis yang
sedang bertempur mengetahui pemimpin mereka terancam bahaya, beberapa
puluh orang diantaranya segera tinggalkan barisannya dan memberikan
pertolongan.
Karena itulah sebelum serangan kedua Tiat-ih-hui-peng mencapai sasaran,
puluhan pentung bambu hijau telah menyambar tiba dan mendesak mundur
jago
tua itu. Maka pertempuran sengit segera berkobar pula.
"Tahan!" tiba2 seorang membentak.
Bentakan itu dipancarkan dengan tenaga dalam yang kuat,suaranya
mengelegar memekak telinga tanpa terasa pertarungan lantas berhenti.
Terlihat di puncak bukit sebelah depan muncul serombongan jago persilatan.
Rombongan ini berjumlah puluhan orang, suara bentakan tadi entah dilakukan
siapa. Tapi gerak tubuh mereka sangat cepat, hanya sekejap saja beberapa
puluh orang itu sudah berada di tengah medan pertempuran.
Rombongan itu dikepalai seorang pemuda pelajar rudin, bajunya kumal,
sepatunya butut, tangannya membawa sejilid buku yang sudah robek.
Meskipun dandanannya tak sedap, namun wajahnya bersih dan tampan,
sikapnya gagah, umurnya sekitar 24 25 tahunan.
Tian Pek segera mengenali orang ini ialah An-lok Kongcu yang pernah
dijumpainya tempo dulu.
Mo-in-sin-jiu Siang Cong-thian juga ikut di belakang An-lok Kongcu, sedangkan
jago2 yang ada di belakang mereka tak dikenalnya.
An- lok Kongcu juga mengenali Tian Pek, ia tersenyum dan mengangguk
kepada Tian Pek, tiba2 pandangannya tertarik oleh pedang mestika yang berada
di tangan anak muda itu, serunya: "Tian-hang, rupanya pedangmu yang hilang
telah ditemukan kembali. Kionghi, Kionghi!”
"Terima kasih atas perkataan Kongcu," jawab Tian Pek.
Dahulu sebelum Tian Pek mengetahui bahwa An-lok Kongcu adalah salah
seorang Bu-lim-sukongcu yang merupakan putera2 pembunuh ayahnya, ia
memang ada maksud untuk mengikat tali persaudaraan dengan dia, tapi
sekarang niat itu sudah tersapu lenyap dari benaknya, perkataan yang
diucapkannya juga rada ketus.
Marah juga wajah An-lok Kongcu, maklum. pedang mestika itu lenyap
dirampas orang sewaktu berada di tangannya, ia mengejar setengah harian dan
gagal merebutnya kembali, sekarang pedang itu ternyata sudah ditemukan oleh
Tian Pek sendiri, makanya ia merasa malu.
Dalam pada itu Wan-ji telah melayang turun dan berdiri di samping Tian Pek,
ketika mendengar pembicaraan tersebut, dengan tertawa ia berseru: "Wah,
datang lagi seorang Kongcu, kok banyak benar orang mengaku sebagai
Kongcu?!"
Jelas maksud perkataan si nona memandang rendah pemuda miskin yang
baru datang ini, ia merasa pemuda macam begini tak pantas disebut sebagai
Kongcu.
"Ah, masa kau tak kenal?" kata Tian Pek. "Dia kan Kongcu yang sejajar
dengan kebesaran engkohmu!"
Mendengar ini, semua orang segera berpaling ke arah An-lok Kongcu dengan
terperanjat, agaknya semula orang tak menyangka An-lok Kongcu yang
dikatakan paling romantic itu adalah seorang pemuda, rudin.
An lok Kongcu sendiri sama sekali tidak peduli pandangan orang, setelah
menjura ke empat penjuru, katanya: "Cayhe In Ceng, berkat pujian kawan2
persilatan, orang menyebut diriku sebagai An-lok Kongcu, maaf bila kedatangan
kami ini terlalu mendadak, apa boleh kutanya lantaran urusan apakah kalian
saling baku-hantam di sini?"
Siang-lin Kongcu segera balas memberi hormat, jawabnya: "Hahaha, selamat
berjumpa, selamat berjumpa! Cayhe Siang-lin, meskipun belum pernah
bertemu, tapi sudah lama kudengar nama anda."
Kali ini giliran kawanan jago di bawah pimpinan An-lok Kongcu yang merasa
kaget.
An lok Kongcu ter-bahak2, katanya: "Hahaha, maaf, maaf, kiranya Siang-lin
Kongcu yang termashur, tampaknya kemunculanku ini hanya tindakan yang
percuma."
Sebagaimana diketahui, An-lok Kongcu adalah tokoh yang paling suka
mencampuri urusan orang tapi setelah mengetahui si pembuat gara-gara ini tak
lain adalah Siang-lin Kongcu, ia lantas mengerti urusan yang hendak dicampuri
tak perlu dilanjutkan.
Sementara itu Toan-hong Kongcu yang berada di sebelah sana tiada yang
gubris, segera berdeham maksudnya hendak menarik perhatian kedua jago
muda yang sedang ber-cakap2 itu.
Wan-ji yang cerdik segera dapat menebak apa arti dehewan pemuda tampan
itu, ia tertawa seraya berseru: "Wah, ini memang pertemuan yang tak terduga.
Di antara Bu-lim-su-kongcu ada tiga di antaranya yang hadir di sini. Mari, Mari
kuperkenalkan kalian " Sambil menuding Toan-hong Kongcu ia menyambung:
"Saudara ini ialah Toan hong Kongcu!"
Cepat Toan-hong Kongcu memberi hormat ucapnya: "Selainat berjumpa!
Selamat berjumna!"
Kali ini baik An-lok Kongcu maupun kawanan jago yang dipimpinnya lebih
tercengang lagi. mimpipun mereka tak menyangka kalau pertikaian yang baru
saja berlangsung ini tak lain adalah pertikaian antara dua orang Kongcu dari Bu-
limkongcu.
"Wah: agaknya aku perlu pulang ke rumah dan mengundang engkohku agar
tempat ini bisa lebih semarak lagi!" demikian Wan-ji berkata.
-Buat apa mengundang engkohmu?" tanya Tian Pek heran, rupanya ia belum
dapat menangkap maksud ucapan anak dara itu.
An -lok Kongcu tertawa ter-bahak2: "Ha - haha, tak perlu ditanya lagi, nona ini
pastilah adik perempuan Leng-hong Kongcu bukan?"
Tian Pek baru paham, iapun berkata: "Apabila empat Kongcu dari dunia
persilatan bisa sating bertemu, peristiwa ini benar2 luar piasa dan menarik,
cuma sayang engkohmu tak keburu datang ke mari untuk menghadiri
pertemuan besar ini!"
Ucapan Tian Pek menggerakan hati Siang-lin Kongcu, ia memang mempunyai
cita2 dan besar berambisi menjatuhkan ketiga orang Kongcu lainnva sebab bila
ketiga rekannya dapat didorong atau paling sedikit menderita kekalahan di
tangannya, maka dialah yang akan merajai dunia persilatan dan semua orang
akan tunduk padanya.
Karena itu dia lantas menengadah dan terbahak2, katanya: "Hahaha, apa
susahnya untuk menyelenggarakan pertemuan besar semacam itu? Bu-lim-
sukong-cu sama terkenal di dunia persilatan, sudah lama Siang-lin ingin
berkenalan, sekarang diingatkan oleh saudara Tian, maka kesempatan ini
hendak kugunakan untuk mengundang kehadiran ketiga Kongcu di rumahku,
apakah Kong -cu berdua serta nona Tian bersedia memberi muka?"
"Lalu bagaimana penyelesaian persoalan yang terjadi sekarang ini?' tanya
Toan-hong Kongcu dengan ketus.
Karena sudah banyak jatuh korban, ada yang terluka parah dan ada pula yang
tewas, maka kawanan pengemis tadi masih penasaran dan ingin menyerbu pula.
Siang-lin Kongcu mendengus, sahutnya: "Hehe, apa susahnya menyelesatkan
masalah ini? Bila Bu lim su kongcu telah berkumpul, segala utang lama dan
utang baru boleh sekalian kita bereskan nanti, bukankah cara ini cukup adil?"
Siang-lin Kongcu cukup cerdik, iapun sadar bila pertarungan dilanjutkan
mungkin pihaknya akan menderita kerugian, apalagi An-lok Kongcu belum
diketahui berdiri di pihak mana, karena pertimbangkan inilah akhirnya dia
memutuskan akan menyelesaikan sengketa ini pada pertemuan yang akan
datang.
Toan-hong Kongcu sendiri juga ragu melanjutkan pertarungan, sebab pihak
pengemis sudah banyak yang jatuh korban, namun begitu mendengar ucapan
Siang-Iin Kongcu itu, segera ia bertanya: "Kalau begitu, kapan hari pertemuan
itu?"
Siang- lin Kongcu termenung sejenak, laIu jawabnya: "Kini sudah dekat akhir
tahun, kukira kebanyakan orang tentu sibuk menyelesaikan urusan pribadi
masing2 menjelang tahun baru, maka, bagaimana kalau kita tetapkan pada hari
Cap- go-meh tahun depan?"
=========
Apa yang akan terjadi dalam pertemuan besar antara Bu-lim-su-kongcu yang
termashur itu?
Apakah Tian Pek juga akan hadir dan apa yang akan dilakukannya?
-------------
HIKMAT PEDANG HIJAU
Diceritakan Oleh : GAN KL
Jilid ke – 14
Scan djvu: axd002
Edit: MCH
Belum sempat Toan-hong Kongcu memberikan jawaban, An-lok Kongcu telah
tertawa ter-bahak2; "Hahaha, Cap go-meh memang saat yang paling tepat untuk
mengadakan pertemuan. Bu- lim-su-kongcu akan mengadakan pertemuan di
Lam keng sambil menikmati pasta lentera bias ... O, peristiwa ini pasti akan
dikenang selalu oleh setiap umat persilatan di masa mendatangl"
"Sebelum Cap-go-meh tiba. Toan-hong pasti akan hadir di Lam-kengl" seru
Toan-hong Kongcu pula dengan penuh semangat, "dan lagi, untuk menambah
semaraknya suasana pertemuan itu, Toan-hong akan membawa serta batu
kemala penolak air Pi- sui giok pik:"
Pernyataan benar-benar menggemparkan, air muka semua orang berubah
hebat. lebih2 Siang-lin Kongcu, sebab Pi-sui giok-pik yang dimaksudkan Toan-
hong Kongcu bukan lain adalah benda mestika keluarganya yang hilang dicuri
orang tiga bulan yang laIu, tujuannya membawa kawanan jagonya melakukan
penggeledahan di sekitar "dua belas gua karang" tak lain adalah untuk
menyelidiki jejak benda mestikanya itu.
Sejak mula ia memang curiga bahwasanya Toan-hong Kongcu yang mengutus
anak buahnya untuk melakukan pencurian tersebut, tapi lantaran tiada bukti
nyata, ia tak berani sembarangan menuduh, tapi setelah diucapkan sendiri oleh
Toan-hong Kongcu, kegusaran dan rasa kagetnya tak terkendalikan lagi.
"Bagus! Kita tetapkan begitu," serunya, "agar suasana dalam pertemuan itu
lebih semarak, sampai waktunya Siang-lin juga akan mengeluarkan Tua-lo-kim-
wan, pil mestika yang tak ternilai harganya itu untuk dipertontonkan kepada
semua yang hadir!"
Kali ini giliran Toan-hong Kongcu yang berubah hebat wajahnya, sebab pil
mestika Toa-lo-kim-wan justeru adalah benda mestika milik keluarganya.
Ketika benda itu diangkut dari kota Peking menuju Hang-ciu, tahu2 benda
mestika itu lenyap dicuri orang, lantaran peristiwa inilah terpaksa dia membawa
jago2nya dari kaum pengemis untuk mencari pencurinya.
Sudah ber-bulan2 lamanya ia melakukan penyelidikan dan pencarian yang
saksama di sekitar bukit "dua belas gua karang", tapi tiada sesuatupun yang ia
temukan.
Dan sekarang, setelah diakui sendiri oleh Sianglin Kongcu, dia baru tahu
pembegal barang mestikanya itu adalah kawanan jago dari istana keluarga Kim.
Perlu diketahui, meski benda2 mestika itu sangat terkenal di dunia persilatan,
namun belum ada seorangpun dari kalangan persilatan yang pernah
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, tentu saja kawanan jago yang
berpengalaman dan hadir saat itu jadi melongo demi mendengar Siang-lin
maupun Toan-hong Kongcu menyebutkan nama benda mestika itu.
An-lok Kongcu tak mau kalah, sambil menggoncangkan buku kumal yang
dipegangnya, ia berseru sambil tertawa: "Hahaha, kalau kedua Kongcu sudi
membawa serta benda mestikanya guna dipertunjukkan kepada orang
persilatan, sepantasnya In Ceng turut mengeluarkan pula benda mestika milik
keluarganya, sampai waktunya nanti akan kubawa juga kitib pusaka Bu-hak-cin-
keng."
Semua orang tambah terperanjat setelah An-lok Kongcu berkata demikian,
bayangkan, tiga macam benda mestika yang paling berharga di dunia persilatan
ternyata dimiliki oieh tiga orang Kongcu itu sudah tentu berita ini sangat
menggemparkan.
Dalam pada itu Tian Pek berdiri dengan wajah sedih, gusar dan penuh rasa
dendam, matanya merah membara, sambil mengertak gigi ia bergumam: "Tiga
macam benda mestika telah muncul ..... ya, tiga macam benda mestika ..... tak
salah lagi, pastilah mereka ....
==mch==
Tibalah malam Cap-go-meh, suasana di kota Lam-keng amat meriah, banyak
bangunan dihias dengain indah, lampion berwarna-warni bergantungan pada
setiap sudut rumah penduduk dan membuat suasana jadi lebih semarak dan
meriah.
Istana keluarga Kim yang terkenal sebagai keluarga nomor wahid di kota Lam
keng berada didalam keadaan yang terang bendarang bermandikan cahaya,
depan gedung dihias dengan indah, lampu berwarna-warni bergantungan
hampir di setiap sudut tempat, membuat pintu gerbang istana yang tinggi besar
jadi terang bagaikan di siang hari.
Dua baris pengawal bersenjata pedang dan berpakaian perang bersisik emas
berdiri berjajar di sepanjang undak2an yang terbuat dari batu marmer warna
putih, di bawah sinar lampu kawanan pengawal itu tampak begitu angker se-
akan2 malaikat penjaga kuil.
Selain pengawal berpakaian lengkap itu terdapat pula puluhan jago persilatan
yang berdiri di sepanjang halaman untuk menyambut tamu mereka, satu di
antaranya adalah seorang pemuda tampan berlengan satu, air mukanya
kelihatan bengis dan penuh hawa napsu membunuh.
Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Siau-cinghu (kecapung kecil) Beng Ki-peng
yang lengannya kena ditebas oleh pedang Tian Pek.
Sejak lengan yang kutung sembuh kembali, rasa benci Beng Ki peng terhadap
musuhnya itu boleh dibilang sudah merasuk ke tulang sumsum, sebenarnya dia
ada maksud mencari Tian Pek untuk membalas dendam, tapi ketika didengarnya
pemuda itu akan hadir pada pertemuan yang akan diselenggarakan pada malam
Cap-go-meh, maka dia memutuskan untuk menanti kedatangan musuh ini di
istana keluarga Kim.
Sebagai persiapan untuk menghadapi kejadian tersebut, secara khusus dia
telah mempelajari pula beberapa macam ilmu silat yang keji dan beracun,
pemuda ini bertekad membalas sakit hatinya walau dengan cara apapun.
Sejak sang surya terbenam di ufuk barat ia sudah menanti kedatangan
musuhnya di depan pintu gerbang, maksudnya begitu musuh yang dibenci itu
datang, seketika itu juga dendamnya akan dibalas.
Tapi apa mau dikata, malam sudah larut, jago dari pelbagai penjuru dunia
sudah hadir di istana itu, hanya Tian Pak saja yang belum muncul.
Sian-cing-hu Beng Ki-peng merasa kecewa, ia mengira Tian Pek tak akan hadir
dalam pertemuan itu, dengan murung iapun hendak masuk ke dalam.
Baru beberapa langkah dia masuk ke dalam gedung, tiba2 berkumandang
suara derap kaki kuda, manyusul muncul seorang pemuda tampan dengan
sebilah pedang mestika tersandang di punggung, tapi binatang tunggangannya
adalah seekor keledai kecil lagi kurus, begitu tiba di depan pintu gerbang istana
Kam, ia lantas berhentikan keledainya.
Pertemuan besar yang diadakan malam ini bukan saja diselenggarakan
sebagai pertemuan antara empat Kongcu dunia persilatan, dalam pertemuan ini
pula akan dipamerkan pelbagai macam benda mestika yang tak ternilai
harganva, tidaklah heran apabila sebagian besar tamu yang hadir ini adalah jago
kenamaan dari segenap penjuru dunia, kebanyakan di antara mereka kalau
bukan datang dengan menunggang kuda bagus tentu datang dengan
menumpang kereta yang indah.
Tapi luar biasa kedatangan pemuda ini, bukan saja dandanannya amat
sederhana, malahan ia menunggang seekor keledai kurus kecil dan tak sedap
dipandang.
Sementara semua orang tertegun oleh kemunculan anak muda itu, mendadak
pemuda tadi telah melompat turun dari keledainya dan melangkah masuk ke
dalam gedung.
Serentak kawanan pengawal yang berpakaian perang melintangkan tombak
untuk mengalangi jaIan masuknya. "Cring" beberapa tombak saling menyilang
menghentikan gerak maju pemuda itu.
"Berhenti!" seorang pengawal menghardik, “Istana keluarga Kim bukan
tempat sembarangan yang boleh dikunjungi ............. aduh! ............. "
Tanpa terlihat dengan cara apa pemuda itu bertindak, tahu2 dua orang
pengawal yang berada paling depan menjerit kaget sambil mundur lima enam
langkah dengan sempoyongan. sementara pemuda itu sendiri melanjutkan
Iangkahnya menaiki anak tangga.
Kawanan jago persilatan yang bertugas menyambut tamu tentu saja dapat
menyaksikan peristiwa itu, sebagai jago silat yang berpengalaman tentu saja
merekapun tahu apa sebabnya pengawal2 itu mundur sempoyongan
kendatipun pemuda itu tidak turun tangan. Jelas pemuda itu memiliki Khi-kang
(ilmu tenaga dalam) yang tinggi sehingga kedua orang pengawal tadi tergentak
mundur.
Dua orang segera melompat maju ke depan, setelah memberi hormat kepada
pemuda penunggang k eledai itu, mereka menyapa: "Sahabat, sukalah
menyebutkan nama lebih dahulu agar kami ..... " tapi mereka lantas melenggong
demi melihat jelas siapa tamu muda ini, serta merta kedua orang itu berseru:
“O, kiranya Tian-siauhiap, silakan masuk!"
Dengan mata kepala sendiri kawanan jago itu pernah menyaksikan Tian Pek
bertempur melawan Beng Ki-peng, dengan sendirinya mereka lantas mengenali
tamunya ini.
Tian Pek tersenyum sinis, ia tetap membungkam dalam seribu bahasa, entah
dengan cara apa, orang hanya merasakan pandangannya kabur dan tahu2
pemuda itu sudah melayang ke atas undak2an dan berada di depan pintu
gerbang.
"Wah, sungguh hebat ilmu meringankan tubuhnya ............. " diam2 semua
orang sama memuji.
Ketika itulah Siau-cing-hu Beng Ki-peng sedang melangkah masuk ke dalam,
ketika mendengar suara ribut2, ia memutar balik dan tahu2 seorang pemuda
tampan sudah berdiri di depannya.
Setelah mengetahui siapa yang datang, air muka Beng Ki-peng kontan
berubah hebat.
"Keparat, baru sekarang kau datang?" hardiknya dengan murka.
Tanpa membuang waktu lagi, telapak tangannya terangkat terus menyodok ke
dada musuh.
Angin dingin segera berembus mengikuti tolakan tangan pemuda itu. Tian Pek
tahu serangan ini adalah sejenis pukulan berhawa dingin yang beracun, tapi ia
tak gentar, mendadak ia mengebaskan lengan bajunya.
Tampaknya ringan kebasan Tian Pek ini, kenyataan pukulan ganas lawan
dapat dipatahkan bahkan Beng Ki-peng segera merasakan daya tekanan yang
maha dahsyat menindih dadanya, ia tak kuasa menahan diri lagi, tanpa ampun
tubuhnya mencelat ke belakang. Untung punggungnya tertahan oleh dinding,
bila tidak, entah berapa jauh lagi dia akan terlempar?
"Duuk!" begitu keras punggung Beng Ki-peng menumbuk dinding, membuat
isi perutnya terguncang keras, pucat pasi wajahnya, sambil menggigit bibir dan
menahan sakit dia melotot sekejap pada Tian Pek dengan sorot mata penuh
kebencian.
Beng Ki-peng tak menyangka dalam beberapa hari saja ilmu silat lawan telah
memperoleh kemajuan yang begini pesat, bukan saja pukulan beracun yang
dilatihnya dengan tekun selama ini tidak mempan, bahkan ia sendirilah yang
menderita luka.
Betapa marah dan kagetnya, ia tak berani bertindak gegabah lagi, sebab
benturan keras yang barusan terjadi telah mengakibatkan luka dalam yang
cukup parah, terpaksa ia saksikan Tian Pek tertawa dingin dan di antar masuk ke
ruang dalam oleh para petugas penyambut tamu.
Padahal perasaan dendam Tian Pek dan tekad membalas sakit hati entah
berapa kali lipat lebih hebat daripada perasaan Beng Ki-peng, ia telah
mengambil keputusan akan menunaikan dendam kesumat atas kematian
ayahnya pada malam ini juga, ia bertekad akan mewujudkan cita2nya itu tanpa
memikirkan apa yang akan terjadi.
Sebab itulah ia sama sekali tidak berusaha menyembunyikan kepandaian
saktinya, setibanya di depan gedung ia mendemontrasikan Ginkang Leng-gong-
hi-toh, kemudian menggunakan Ceng-ki-pu-te (hawa khikang pelindung badan)
untuk menggetarkan tombak pengawal dan akhirnya mendemontrasikan Lui-in-
tiat-siu (baju baja awan meluncur) untuk melemparkan tubuh Beng Ki-peng,
semua ini ia lakukan hanya dengan satu tujuan, yakni membuat keder musuh.
Hanya kebetulan Beng Ki-peng yang per-tama2 ketiban pulung saja.
Syukur orang2 ini sudah mengetahui betapa Iihaynya ilmu silat Tian Pek,
selain itu merekapun mendapat pesan dari Siang-lin Kongcu agar menyambut
tamunya secara hormat, oleh sebab itu kendatipun Beng Ki-peng terluka,
mereka tetap mempersilakan Tian Pek masuk keruangan tengah.
Tian Pek sudah pernah masuk ruangan tersebut, waktu itu di siang hari,
perasaannya ketika itu juga tidak sekalut perasaannya saat ini.
Kini ia sudah tahu pemilik gedung ini adalah biangkeladi pembunuh ayahnya.
darahnya bergolak, dengan pandangan lurus ia langsung masuk ke ruang
perjamuan.
Indah sekali ruangan perjamuan itu, lampu hias bergantungan di sana sini,
tiang berukiran naga berwarna kuning membuat bangunan tersebut kelihatan
angker, lilin yang tinggi dan besar memancarkan sinarnya yang terang
benderang bagaikan di siang hari.
Meja perjamuan diatur dengan model tapal kuda, beratus jago persilatan
telah hadir di situ, buah2an segar dan makanan ringan telah dihidangkan lebih
dulu, sementara Bu-lim-su-kongcu yang punya nama besar duduk di kursi
utama.
Di kedua sini keempat Kongcu itu berduduk lah tokoh yang dibawa oleh
keempat Kongcu tersebut, menyusul kemudian berduduklah para jago
persilatan lainnya yang datang dari segenap penjuru dunia.
Suasana pertemuan besar yang penuh tersembunyi hawa napsu membunuh
ini tampaknya sangat gembira ria dan penuh dengan gelak tertawa.
Begitu gaduh dan ramainya suasana dalam ruangan oleh suara bercakap dan
gelak tertawa sehingga kedatangan Tian Pek tak terdengar ketika pengantar
menyerukan namanya.
Kedatangan Tian Pek adalah untuk mencari perkara, tentu saja ia tak sudi
disambut secara dingin oleh tuan rumah, ketika ia lihat semua orang tidak
menaruh perhatian atas kehadirannya, pedang mestika Bo-cing-pek-kiam segera
dilolosnya, kemudian setelah menyentilnya hingga terdengar suata dentingan
nyaring, dia bersenandung: "Menyentii pedang membuat syair menyanyikan
irama sedih, hidup senang dipelihara orang kurang bermutu! Cayhe seorang
pengembara Tian Pek datang berkunjung!'
Suasana ramai dan gaduh dalam ruangan itu, seketika berubah menjadi sunyi
senyap, beratus pasang mata sama ditujukan ke arah pemuda itu.
Segera Siang lin Kongcu berbangkit dan bergelak tertawa. "Hahaha, kiranya
saudara Tian? Mari, akan Siang lin perkenalkan beberapa orang Cianpwe
kepadamu!"
Ia menghampiri Tian Pek, kemudian sambil menggandeng tangannya mereka
mendekati seorang kakek yang bermata tajam dan berduduk di tempat utama,
katanya: "Inilah ayahku............ "
Darah Tian Pek bergolak, matanya serasa berkunang2 dan pandangannya jadi
gelap, saking emosinya sampai kata2 Siang lin Kongcu selanjutnya tak
didengarnya lagi.
Menurut Sin-lu-tiat-tan, datang pembunuhan atas diri ayahnya tak lain adalah
Cing- hu-sin Kim Kiu, sebab orang inilah yang mengusulkan kepada saudara
angkat lainnya untuk melakukan pembunuhan, bahkan menurut cerita dialah
yang pertama melukai ayahnya dengan senjata rahasia.
Dilihatnya orang tua ini berusia di atas lima puluh, sinar matanya tajam, ini
membuktikan tenaga dalamnya pasti sangat kuat.
Jubahnya terbuat dari sutera halus, wajahnya bulat, jenggotnya yang panjang
sudah mulai putih, gagah dan kereng.
Tian Pek radar, bila ia bertindak gegabah dalam keadaan begini niscaya
rencana pembalasan dendamnya akan mengalami kegagalan total, sekuat
tenaga ia berusaha menekan emosinya yang menggelora, sambil menjura ia
berkata: "Selamat berjumpa! Selamat berjumpa! Sudah lama kudengar nama
besar Cing hu sin Kim-tayhiap, sungguh beruntung hari ini dapat bertemu."
Cing hu sin Kim Kin sama sekali tidak berbangkit ataupun balas memberi
hormat dengan angkuh dia hanya mengangguk katanya: "Bagus! Bagus ..... !"
dengan sorot mata yang tajam ia mengawasi beberapa kejap sekujur badan
anak muda itu.
Sikap congkak tersebut membikin Tian Pek naik darah, ia mengira Cing-hu sin
tak pandang sebelah mata padanya.
Rupanya Siang-lin Kongcu dapat melihat air muka Tian Pek yang kurang
senang itu, buru2 ia menerangkan: "Harap Tian-heng maklum, kedua kaki
ayahku tidak leluasa untuk berdiri ...."
Sesudah diberi keterangan, Tian Pek baru melihat tempat duduk Cing-hu-sin
Kim Kiu itu bukan kursi melainkan sebuah kereta beroda, kedua kakinya ditutup
dengan selimut tebal sehingga tidak diketahui apa sebabnya tidak leluasa
bergerak.
Lalu Siang-lin Kongcu memperkenalkan pula tokoh lain. mulai dan Bu-lim- so-
kongcu, para anak buahnya sampai kawanan jago yang hadir di situ.
Tian Pek hanya memperhatikan orang2 itu secara sambil lalu, seluruh
perhatiannya hanya dicurahkan untuk mengamati Kian kun-ciang In Tiong hong,
Kun-goan-ci Sugong Cing serta Pak-ong-pian Hoan Hui.
Anehnya Ti-seng-jiu Buyung Ham tidak nampak hadir, pihak Pah -to-san- ceng
hanya diwakili Leng-hang Kongcu yang angkuh serta kawanan jagonya yang tak
dikenal. Sampai2 "paman Lui", Gin-siau-toh-hun Ciang Su-peng, Tui-hun-leng
Sama Siok, Tok-kah-hui-mo Li Ki maupun Heng-san-ya siau si Tojin buta juga
tidak kelihatan hadir.
Sikap Leng-hong Kongcu tetap dingin dan angkuh, ketika Siang-lin Kongcu
memperkenalkannya pada Tian Pek, bukan saja pandangannya dialihkan ke
langit2 ruangan, bahkan mencibir dengan sikap jumawa.
Sebagai tuan rumah Siang-lin Kongcu merasa kikuk. tapi dengan tenang Tian
Pek malah berkata sambil tertawa: “Tak perlu Kongcu perkenalkan lagi sudah
lama kami kenal."
"Siapa yang kenal kau?" tukar Lang- hong Kongcu dengan mendelik,
"Kongcumu tak pernah kenal seorang keroco macam dirimu ini!"
Siang-lin Kongcu juga tahu betapa tinggi hatinya Tian Pek, selain ilmu silatnya
hebat, pemuda itupun mudah tersinggung, ia menduga sikap Langhong ini pasti
akan menimbulkan gusar Tian Pek.
Kuatir rencananya akan berantakan oleh pertarungan yang mungkin akan
terjadi antara kedua orang itu, cepat Siang-lin Kongcu melerai, katanya:
"Saudara Tian, harap engkau jangan marah, memang begitulah tabiat saudara
Buyung ini!"
Tak terduga Tian Pek sama sekali tidak gusar, ia malahan tertawa dan
menjawab: 'O, memang sudah pernah kurasakan keangkuhannya itu."
Leng-bong Kongcu hanya tertawa dingin saja.
Waktu itu Tian Pek sudah mulai melangkah ke sana, ketika mendengar suara
tertawa dingin itu dia lantas berpaling dan mengejek: "Jangan terburu napsu,
tidak lama lagi Buyuug-kongcu pasti akan tahu kelihayanku!"
Air muka Leng-hong Kongcu berubah hebat, mendadak ia berbangkit, kelima
jarinya terus mencengkeram Hiat-to penting di punggung Tian Pek.
Serangan itu sangat Iihay dan luar biasa kejinya, apalagi disergap dari
belakang. Untung Tian Pek sekarang bukan lagi Tian Pek dulu, ilmu silatnya saat
ini telah mendapat kemajuan yang sangat pesat, terutama setelah mendapat
kursus kilat selama tiga bulan dan Sin-In-tiat-tan. Dengan kelebihan yang dimiliki
saat ini, tak mungkin ia terserang secara mudah, meskipun sergapan Leng-hong
Kongcu itu cukup lihay, akan tetapi bagi pandangan Tian Pek serangan itu belum
seberapa hebatnya.
Dengan suatu gerakan yang enteng ia kebaskan lengan bajunya ke belakang,
seketika serangan Lang-bong Kongcu dipatahkan.
"Jangan terburu napsu” kembali Tian Pek mengejek, "tunggu saja nanti!”
Kebasan Tian Pek ternyata tidak cuma memunahkan serangan lawan saja,
bahkan sisa tenaganya cukup kuat pula menolak tubuh lawan.
"Duuk!" tahu2 Lang-hong Kongcu terdorong dan terduduk kembali di atas
kursinya.
Kejadian ini menggetarkan perasaan Leng-hong, dia melongo bingung dan tak
mampu bersuara pula.
Masih untung Tian Pek mempergunakan tenaga serangan halus dan tidak
menyolok, apabila tidak diperhatikan dengan seksama, siapapun tidak tahu
kalau Leng-hong Kongcu sudah kecundang olehnya.
Hanya An-lok Kongcu yang menyaksikan kejadian itu dengan jelas, meskipun
ia tahu Leng-hong Kongcu dibikin malu oleh pemuda itu, namun iapun pura2
tidak tahu An-lok memang tertarik oleh kegagahan Tian Pak dan ada maksudnya
ingin menarik pemuda itu berpihak padanya, maka setelah Leng-hong Kongcu
kena terhajar, ia lantas berbangkit dan menarik Tian Pek untuk duduk di
sampingnya.
Ajakan itu tidak ditolak oleh Tian Pek, ia lantas duduk di samping An-lok
Kongcu. Sebisanya pemuda itu berusaha untuk menguasai perasaannya yang
bergolak, terutama bila terbayang betapa dengan kekuatan sendiri harus
menghadapi musuh sebanyak itu.
Ia tak tahu harus merasa sedih atau gembira karena sebentar lagi dia akan
melakukan pembalasan dendam, tapi iapun menyadari bila berhasil pasti
peristiwa itu akan menggemparkan dunia Kangouw, sebaliknya kalau gagal maka
dia akan mati konyol ............
Sementara dia masih termenung, tiba2 ia merasa dirinya sedang diperhatikan
oleh sepasang mata yang jeli, cepat ia berpaling. Tampaklah orang yang sedang
menaruh perhatian kepadanya itu tak lain adalah Kim Cay-hong yang cantik.
Berdebar jantungnya, mukanya menjadi merah, ia pikir: "Melihat tatapan
matanya ini, apakah ia jatuh cinta padaku? Mengapa tiap kali kami berjumpa,
selalu dia tatap diriku dengan pandangan begini............ ?"
Tapi ingatan lain lantas melintas pula delam benaknya: "Ah, tak mungkin hal
ini terjadi, dia adalah seorang nona keluarga kaya raya dan cantik jelita, sedang
aku tak lebih hanya seorang pemuda gelandangan dan tak punya apa2,
mungkinkah dia mencintai seorang pemuda macam aku? Ai. sekalipun ia jatuh
hati padaku, dengan modal apakah aku harus membalas cintanya itu? Jelas hal
ini tak mungkin............ "
Segera ia berpikir pula: "Dia adalah puteri musuh-besarku, ayahku dibunuh
oleh ayahnya, sebentar lagi mungkin darah akan mengalir, peduli amat dia cinta
atau tidak padaku . ............ !”
Pikiran terakhir inilah seperti air dingin mengguyur kepalanya, seketika ia
sadar dari lamunannya.
Ketika itulah Cing hu-sin Kim Kiu menggapai Siang-tin Kongcu, kemudian
membisikhan sesuatu padanya.
Siang lin tampak mengangguk berulang kali, kemudian melangkah ke tengah,
katanya sambil menjura kepada hadirin: "Para orang gagah sekalian, meja
perjamuan telah siap di luar. Bagaimana kalau hadirin sekalian kami persilahkan
menikmati perjamuan sambil memandang rembulan yang sedang purnama?"
Toan-hong Kongcu paling tidak sabaran, ia berbangkit dan menyela: "Sampai
kapan Toa lokim -wan baru akan dIpamerkan? Aku sudah tak sabar lagi ingin
menyaksikannya!"
"Sugong-heng tak perlu terburu napsu,” sahut Siang-lin Kongcu sambil
tertawa "Kalau kau telah membawa Pi-sui-giok-pik, masa Toa-lo-kin-wan dari
keluarga kami akan disembunyikan? Sementara semua orang menikmati
santapan di luar, engkau aku serta saudara In secara bergilitan akan
mengeluarkan benda mestika masing2 untuk dinikmati setiap orang, bukankah
acara begitu jauh lebih menawan hati?"
Mendadak An-lok Kongcu menepuk buku kumalnya seraya tertawa tergelak:
"Hahaha, di bawah sinar bulan purnama, sambil meniknati arak kita
menyaksikan munculnya benda mestikka, sungguh acara yang benar2
menyenangkan. Eeh. saudara Sugong, kita sebagai tamu sepantasnya menuruti
keinginan tuan rumah, biarlah saudara Siang-lin yang mengatur acara buat kita!"
Tentu saja tujuan para jago hanya ingin menyaksikan ketiga macam benda
mestika yang akan dipamerkan itu, soal menikmati arak dan santapan di bawah
bulan purnama segala tak lebih hanya suatu alasan belaka.
Begitu An-lok Kongcu berkata demikian, para jago segera menanggapi dengan
sorak-sorai, para tamu lantas berbangkit dan menuju ke luar ruangan.
Hanya Tian Pek seorang yang tidak tertarik oleh acara tersebut, yang selalu
diperhatikan adalah gerak-gerak Cing-hu-sin Kim Kiu, Kian kunciang In Tiong-
liong, Kun-goan-ci Sugong Cing serta Pak-ong-pian Hoan Hui, mereka itu jarang
bicara dan cuma duduk termenung membiarkan para puteranya saja yang
bersuara.
Di tengah kegaduhan itulah tiba2 terdengar Leng-hong Kongcu berkata
dengan dingin: "Semua orang mengatakan Siang-lin paling hangat, An-lok paling
romantis dan Toan-hong suka kelayapan, kalau kalian bertiga sanggup pamer
barang mestika masing2, memangnya aku tak punya benda mestiku yang bisa
dipertontonkan?"
Ucapan ini cukup menarik perhatian banyak orang, kawanan jago yang semula
mulai berjalan menuju keluar serentak berhenti dan berpaling, mereka
memandang ke arah Leng-hong Kongcu dengan terbeliak. agaknya merekapun
ingin tahu benda mestika apa yang akan dipamerkan Leng-hong Kongcu.
Betapa bangga Leng-hong Kongcu melihat perkataannya mendatangkan
perhatian yang cukup besar, ia lantas berpaling pada seorang kakek berambut
panjang terurai dan memerintahkan: "Paman Hek-lian, pertunjukkan benda
mestika milik kita!"
Kakek yang dipanggil paman Hek-Iian itu segera mengambil keluar sebuah
bungkusan kain sutera dari bajunya, ketika bungkusan itu dibuka ternyata isinya
adalah sebuah kotak kayu warna merah, kotak itu dibungkus pula dengan kertas
warna putih, tiga lapis di luar dan tiga lapis di dalam. Dengan hati2 kakek itu
membuka lembaran kertas itu selapis demi selapis, tapi ditinjau dari cara
penyimpanannya yang begitu rapat, dapatlah diduga benda itu pasti tak ternilai
harganya.
Barbareng dengan dibukanya kertas pembungkus itu, bau harum semerbak
lantas tersebar memenuhi ruangan, makin banyak lapisan yang dibuka bau
harum itupun semakin tebal, sehingga akhirnya seluruh ruangan yang lebar itu
diliputi oleh bau harum itu............
Pandangan semua orang tertuju ke arah si kakek berambut panjang tanpa
berkedip sekalipun peristiwa ini bukan pertempuran berdarah yang mengerikan,
akan tetapi suasana seketika berubah jadi tegang, beratus orang yang berjubel
di dalam ruangan sama membungkam, demikian sepinya suasana ketika itu,
sampai jarum yang terjatuh ke lantaipun dapat terdengar jelas.
Di tengah kesunyian entah siapa, tiba2 berbisik lirih "Apabila bau harum ini
mengandung racun yang jahat, ini berarti tak seorangpun yang hadir di ruangan
ini dapat lolos dalam keadaan hidup!"
Lirih sekali suara bisikan ini, tapi di tengah keheningan yang mencekam,
bisikan tersebut ibaratnya guntur yang membelah bumi di siang hari bolong,
semua orang terperanjat dan jantung berdetak keras.
Segera banyak di antara para jago yang hadir itu sama menutup
pernapasannya masing2 untuk menjaga segala sesuatu yang tidak diinginkan,
malahan ada pula yang segera menghimpun tenaga dalam dan siap melancarkan
pukulan maut bila perlu.
Seorang pengemis tua bermuka merah tiba2 tampil ke muka dari rombongan
yang dipimpin Toan-hong Kongcu, dengan bau arak ia tertawa ter-babak2 dan
mengoceh sendiri: "Wah, harum, sungguh bau yang harum. Biarpun betul racun
perantas usus, aku si pengemis tua tetap ingin mencicipinya!"
Dengan gerakan yang enteng, tahu2 pengemis tua ini sudah mendekati kakek
berambut panjang itu, tangannya yang kecil dan kotor serentak terjulur untuk
merampas bungkusan yang dipegang kakek berambut panjang itu.
Menghadapi ancaman ini, si kakek berambut panjang sama sekali tidak
menggubris, akan tetapi ketika ujung tangan pengemis tua itu hampir
menyentuh kertas bungkus kotak tadi, tiba2 jari kakek berambut panjang itu
menyelentik.
Bagaikan dipagut ular berbisa cepat2 pengemis tua itu menarik kembali
tangannya. Air mukanya seketika berubah, biji matanya yang kecil jelalatan,
kendatipun ia tidak mengeluh kesakitan, tapi semua orang tahu dia telah dikerjai
lawan.
Orang lain mungkin tak seberapa kaget, justeru Toan-hong Kongcu beserta
para tokoh pengemis yang terperanjat setelah menyaksikan peristiwa itu.
Maklumlah, pengemis tua bermuka merah ini adalah tokoh terkemuka kaum
pengemis. Ia bernama Pui Pit dengan julukan Ciu-kay (pengemis pemabok).
Bersama Hong-kay (pengemis sinting) Cu Liang, Liong-kay (pengemis tuli) Go
Hua, mereka disebut orang sebagai Hong-jan-sam-kay atau tiga pengemis sakti
pengelana.
Bukan saja kedudukan mereka dalam perkumpulan pengemis sangat
terhormat, di dunia persilatanpun mereka tergolong jago kelas satu.
Tapi sekarang, jago yang tangguh itu ternyata tak mampu menahan selentikan
jari si kakek berambut panjang yang pada hakikatnya cuma seorang jago
peliharaan keluarga Buyung, maka bisa dibayangkan betapa kaget dan gusar
kawannya, segera mereka bermaksud menerjang ke depan.
Mendadak Leng-hong Kongcu menjengek: "Ketahuilah. Pah-to-san-ceng suka
menerima jago2 yang berbakat bagus, aku Buyung Seng-yap lebih2
menghormati kaum cerdik pandai, tak nanti kucelakai orang yang ada di ruangan
ini dengan cara licik! Hm, si penyebar sas-sus tadi yang berniat jahat, rupanya
dia ingin merusak nama baik keluarga Buyung, sungguh dosanva takdapat
diampuni."
Berbicara sampai di sini, dia lantas mengerling sekejap ke arah belakang.
Seorang laki2 kurus jangkung dengan muka kuning ke-pucat2an segera
mengayunkan tangannya ke depan.
Jerit Iengking memilukan hati seketika bergema di antara kawanan jago yang
berkumpul di dalam ruangan, seorang laki2 berusia setengah baya segera
memegangi dadanya sambil menungging kesakitan, darah segar tampak
merembes keluar diri celah2 jari tangannya.
Semua orang tidak tahu dengan cara bagaimana pria jangkung itu melukai
korbannya, tapi mereka sama menunjuk rasa gusar setelah menyaksikan
tindakan se-wenang2 dan kejam dari anak buah Lengbong Kongcu.
Di antara mereka, yang paling gusar adalah anggota perkampungan Ki-lin-ceng
di bawah pimpinan Hoan Hui, semuanya siap sedia melakukan pembalasan.
Rupanya pria yang terluka itu adalah salah seorang anak buah Pak-ong-pian
Hoan Hui.
Siang-lin Kongcupun hampir tak kuasa mengendalikan rasa gusarnya
menyaksikan tindakan Leng-hong Kongcu yang secara tidak se-mena2 melukai
orang di rumahnya.
Tapi dia memang pemuda yang bisa berpikir, ia kuatir rencananya akan gagal,
iapun tidak berharap terjadinya bentrokan dalam keadaan seperti ini, maka ia
berusaha menahan perasaannya, katanya segera: "Buyung-heng, jika betul
engkau membawa benda mestika, lebih baik pamerkan saja di pesta kebun
nanti, untuk sementara lebih baik mestika itu kau simpan dulu .....”
Belum habis ucapannya, kakek berambut panjang tadi telah membuka lapisan
kertas yang terakhir, dua jari tangannya tiba2 mencomot secuil benda warna
putih dari bungkusan tadi, kemudian diselentikkan ke depan, sejalur cahaya
putih langsung menyambar ke arah "Pengemis Pemabuk" seraya berseru: "Hei,
jembel tua, kalau kau ingin mencicipi, nah kuberi sedikit agar orang tidak
mentertawakan kami orang Pah-to-san-ceng sebagai manusia pelit!"
Pengemis pemabuk Pui Pit benar2 bernyali besar, dia tak peduli benda apakah
yang disambitkan ke arahnya, iapun tak tahu apa tujuan lawannya berbuat
demikian, ketika benda putih ini menyambar tiba, cepat ia membuka mulutnva,
benda itu dicaploknya dan terus ditelan ke dalam perut.
Tindakan yang sangat berani ini seketika membuat para hadirin menjadi
gempar, bukan saja orang2 dari pihak Toan-hong Kongcu merasa terkejut,
mereka yang sama sekali tak ada hubungan dengan Ciu-kay juga ikut kuatir.
Tak tahunya, setelah Ciu-kay menelan benda putih itu, dia menjilat seputar
bibirnya, kemudian mengambil buli2 araknya dan menenggak beberapa
cegukan.
Sesudah itu barulah dia berseru lantang: “Eh, makhluk tua berambut panjang,
benda apa yang kau berikan padaku? Apakah buah jinsom yang pernah dicuri
oleh siluman kera itu? Wah, lezat sekali rasanya!"
"Hahaha, pengemis tua, nasibmu memang lagi mujur" sahut kakek berambut
panjang sambil tertawa. "Sekalipun bukan buah Jinsom yang bisa bikin orang
jadi dewa, tapi benda ini adalah jinsom asli berumur seribu tahun, bila engkau
mengatur pernapasan pada saat ini juga, maka tenaga dalammu akan
bertumbuh sebesar tiga tahun hasil latihanmu.”
Sudah tentu semua orang tidak mau percaya ocehan tersebut, masa mereka
bersedia memberikan benda mestika yang tak ternilai harganya itu untuk
seorang yang sama sekali tak ada hubungannya dengan mereka.?
Tapi Ciu-kay Pui Pit ternyata tidak sangsi sedikitpun, ia segera duduk bersila
dan mulai mengatur pernapasan.
Perasaan ingin tahu menyelimuti hati setiap orang, untuk sesaat suasana di
dalam ruang itu menjadi sunyi, tak ada yang bergerak, tak ada yang berbicara,
dengan terbelalak semua orang memandang Ciu-kay yang sedang bersemadi.
Selang seminuman teh kemudian, Ciu-kay melompat bangun, sinar mata yang
terpancar dari mata pengemis ini jauh lebih tajam daripada sebelumnya,
mukanya kelihatan lebih segar dan langkahpun jauh lebih tegap.
"Sungguh benda mestika ...... sungguh luar biasa .... !” serunya berulang kali.
Setelah Pengemis tua itu membuktikan kemujaraban benda di dalam kotak
tadi, semua orang mulai percaya pada perkataan kakek berambut panjang itu itu
tanpa sadar sinar mata merekapun di tujukan ke arah kotak tersebut.
Kakek berambut panjang itu sama sekali tidak menunjukkan reaksi apa2, dia
hanya bergumam sendiri: "Barang siapa bersedia menjadi anggota
perkampungan Pah-to-san-ceng, dialah yang akan menikmati secuwil jinsom
berumur seribu tahun!"
Sekarang Tian Pek baru paham apa maksud Leng-hong Kongsu menyuruh
jagonya mengeluarkan benda mestika itu, rupanya ia hendak menggunakan
benda mestika itu sebagai umpan untuk menarik simpati para jago yang
bersedia menjadi anggota perkampungannya. Di samping itu iapun menyadari
taktik yang digunakan ketiga Kongcu lainnya, jelas mereka semua hendak
menggunakan benda mestikanya masing2 untuk mencari simpati tokoh
persilatan sehingga lebih banyak lagi kekuatan yang berpihak kepada mereka.
Diam2 Tian Pek merasa geli dan mendengus, ia tidak menyangka Bu-lim-su-
kongcu yang termashur itu lebih suka. menggunakan cara yang rendah itu untuk
memperbesar pengaruhnya di dalam dunia persilatan.
Leng-hong Kongcu tidak menggubris suara jengekan Tian Pek, melihat siasat
yang diaturnya berhasil mendatangkan perhatian serta minat yang cukup besar
dari kawanan jago, dengan bangga ia berkata lagi: "Di Pah to san-ceng kami
tidak cuma jinsom berumur seribu tahun saja, bahkan terdapat pula Ho-siu-oh
dan Langci berumur seribu tahun serta aneka macam benda mestika lain yang
tak terhitung jumlahnya, barang2 itu sengaja kami sediakan untuk dinikmati
bersama dengan kawan2 persilatan yang sudi bergabung dengan keluarga
Buyung kami............ . "
Pada umumnya orang persilatan tidak suka emas dan juga tidak gemar perak,
tapi mereka sangat senang bila mendapat obat mujarab yang bisa menambah
tenaga dalam yang mereka miliki, seringkali terjadi saling bunuh membunuh
hanya lantaran memperebutkan sepotong obat mujarab saja.
Bisa dibayangkan betapa tergiurnya kawanan jago ini setelah mendengar
tawaran pihak Pah-to-san-ceng.
Andaikata pengemis pemabuk tidak menunjukkan khasiat yang luar biasa
setelah makan obat mestika itu, keadaan mungkin masih mendingan, tapi
setelah menyaksikan apa yang terjadi, segera timbul minat mereka untuk turut
serta menerima pembagian rejeki tersebut. Cuma karena ingin menjaga gengsi,
maka meteka tidak merubung ke sana, tapi ada juga di antaranya sudah mulai
melangkah ke depan..........
Gelisah Siang-lin Kongcu menyaksikan siasat licik Leng-hong Kongcu itu akan
berhasil, buru2 ia berseru: "Saudara sekalian, harap tenang dahulu, silakan
masuk ke kebun samping ruangan, sebentar perjamuan akan dimulai dan lebih
banyak benda mestika yang akan kalian saksikan dalam perjamuan nanti!"
Di tengah suasana gaduh itu, tiba2 Tian Pek melihat sebuah kursi beroda
bergerak menuju ke ruang belakang. Ketajaman pandangan Tian Pek sekarang
sudah luar biasa, meski hanya sekilas pandang saja ia kenal orang itu adalah
Cing-hu sin Kim Kiu.
Tian Pek kuatir setelah Cing-hu-sin kabur kesempatan lain tentu sulit dicari
lagi untuk bertemu dengan dia, segera ia berteriak: "Kim-locianpwe jangan pergi
dulu!"
Keras sekali suara bentakan itu, seketika sinar lilin dan lampu yang tergantung
di dalam ruangan ikut tergetar.
Dengan kaget semua orang berpaling, namun Tian Pek tidak pedulikan
perhatian orang, dengan suatu gerakan cepat ia memburu ke depan Cing-hu-sin
Kim Kiu, lalu serunya lagi: "Cayhe bernama Tian Pek, ingin kutanya suatu hal
kepada Kim locianpwe, apakah engkau bersedia untuk memberi keterangan?"
Sekalipun Cing-hu-sin Kim Kiu telah menghentikan kursi berodanya, namun
mukanya tetap kaku tanpa emosi, dengan dahi berkerut ia berkata: "Sudah
puluhan tahun aku tak pernah muncul di dunia persilatan, tak sepotong
urusanpun yang kuketahui, bila ada persoalan silakan bertanya kepada orang
lain saja!"
Habis berkata dia menggerakkan kembali kursi berodanya dan bergerak
menuju ruang belakang.
"Tunggu sebentar............ ... " seru Tian Pek cepat.
Tapi Cing-hu-sin Kim Kiu tidak mempedulikan lagi, tanpa berpaling ia
luncurkan kursi beroda ke depan.
Tian Pek jadi penasaran dan segera hendak mengejar, tapi baru saja ia
bergerak, se-konyong2 "trang", pintu besi yang berada di depan, secara
otomatis menutup sendiri.
Untung Tian Pek keburu menghentikan gerak tubuhnya, hampir saja
kepalanya menumbuk pintu besi tersebut.
Sebelum ia berbuat sesuatu, mendadak enam orang anak kecil berbaju putih
muncul di situ, semuanya bersenjata pedang perak. Usia keenam anak kecil
berbaju putih ini kira2 empat-lima belas tahun, namun gerak tubuh mereka
cepat Iuar biasa, sampai2 Tian Pek tidak tahu mereka muncul dari mana?
Dengan pedang perak terhunus di tangan, keenam anak tanggung berbaju
putih itu mengadang di depan pintu, tak seorangpun di antara mereka yang
bersuara atau menegur, tapi enam pasang mata menatap Tian Pek tanpa
berkedip, rupanya asal pemuda itu bergerak maka merekapun akan menyerang
secara kilat.
Untuk sessaat Tian Pek jadi tertegun, saat itulah terdengar Kim Cay-hong
menegur dari belakang dengan suaranya yang merdu: "Tian-siauhiap!"
Tian Pek berpaling, terlihat Kim Cay-hong sedang memandangnya, sinar
matanya penuh mengandung pertanyaan, heran dan tercengang.
Di sinilah letak keistimewaan gadis itu, sering2 apa yang dipikirnya tidak perlu
diucapkan dengan mulut dan orang lainpun tahu sendiri apa maksudnya.
Mungkin inilah apa yang disebut "Mata yang bisa bicara".
Tian Pek menghela napas, pikirnya: "Ai, aku hanya bermusuhan dengan Cing
hu-sin Kim Kiu karena dia telah membunuh ayahku, sedang dengan putera
puterinya boleh dibilang sama sekali tak ada sangkut pautnya, kini Cing-hu-sin
telah berlalu, tampaknya soal balas dendam harus kutunda untuk sementara
waktu ............. "
Berpikir sampai di sini, Tian Pak lantas menggeleng dan menjawab: "O tidak
ada apa2!"
"Tapi aku tahu, engkau menyimpan suatu rahasia di dalam hatimu," bisik Kim
Cay hang dengan suara sendu.
Tentu saja Tian Pek tak mau mengakui apa yang sebenarnya terkandung
dalam hatinya. Kembali ia menggeleng. "Sungguh, aku tidak menyimpan
rahasia,apa2!" sahutnya sambil menyengir.
Sekalipun ia menyangkal, akan tetapi mata Kim Cay-hong yang jeli dan bening
masih menatapnya dengan mesra, di balik sorot matanya itu tersembunyi
perasaan yang rawan.
Pancaran sinar mata yang simpatik, sayu dan mesra ini membuat hati Tian Pak
bergetar.
Cepat pemuda itu tunduk kepala sinar mata yang indah itu membuatnya
takut, terpaksa ia harus menghindari tatapan orang, jantungnya berdebar
semakin keras.
Rasa dendam, cinta, benci dan pelbagai macam perasaan lain berkecamuk
menjadi satu di dalam hatinya, membuat pikirannya menjadi kalut, gundah-
gulana
Pada saat itulah mendadak cahaya lampu yang menerangi ruangan perjamuan
padam seluruhnya, seketika suasana menjadi gelap gulita bagaikan berada di
dalam gua, jeritan kaget berkumandang dari mulut orang banyak.
Di tengah kepanikan karena kejadian itu, terdengarlah gelak tertawa yang
melengking bagaikan lolong srigala di malam buta berkumandang memenuhi
ruangan gelap itu, suara itu seram dan mengerikan sekali, membuat berdiri bulu
kuduk setiap orang.
Terlalu mendadak terjadinya perubahan itu, tak seorangpun yang sempat
berpikir apa yang terjadi, dalam waktu singkat suasana dalam ruangan menjadi
gempar dan gaduh .....
"Hei, apa yang telah terjadi?” terdengar orang berteriak.
"Kenapa lampunya padam semua?"
"Siapa itu yang tertawa? Seram amat suara tertawanya ...... "
Di tengah kegaduhan dan kepanikan yang mencekam itu, tiba2 terdengar
suara gemuruh yang amat dahsyat dan memekak telinga, menyusul mana
semua dinding ruangan terasa berguncang keras.
"He, lindu! ..... " jerit seorang.
"Gempa bumi ..... ! " teriak seorang lagi.
Sedahsyat-dahsyatnya gempa bumi tak mungkin menimbulkan suara dan
getaran sedahsyat itu, sebab mendadak seluruh ruangan lantas berputar.
Begitu seorang berteriak gempa semua orang lantas berusaha lari ke luar
untuk menyelamatkan diri.
Tapi karena ruangan lantas berguncang dan berputar, mereka yang berusaha
lari meninggalkan ruangan lantas kehilangan imbangan badan, banyak di
antaranya terlempar jatuh ada pula yang terhempas hingga menumbuk dinding
atau tiang.....
"Blang! Blang . !" benturan demi benturan berlangsung tiada hentinya, jerit
kesakitan terdengar di sana-sini, jelas tak sedikit di antara kawanan jago itu
telah menderita luka cukup parah.
Di tengah kegelapan dan kepanikan itu terdengar Siang-lin Kongcu berteriak
dengan gusar: "Siapa itu yang menjalankan 'Sek-ki-tay-tin' ( barisan bukit
batu )?!"
Sesudah Siang-lin Kongcu berteriak, semua orang baru sadar apa yang terjadi,
rupanya mereka semua telah terjebak oleh alat rahasia yang dipasang dalam
gedung ini.
Kalau alat rahasia ini berada di dalam gedung keluarga Kim, itu berarti orang
yang menggerakkan perangkap rahasia inipun orang keluarga Kim, tapi aneh,
mengapa Siauya dan Siocia merekapun ikut dijebak di dalam ruangan, atau
mungkin kedua majikan mudanya ini juga akan dibinasakan.
Sungguh peristiwa aneh yang sukar dimengerti.
Bentakan yang dilontarkan Siang-lin Kongcu makin lama makin keras, nadanya
makin gusar dan gelisah, siapapun dapat mengetahui bahwa perintah tersebut
sudah pasti bukan berasal dari pemuda ini, malahan jelas bahwa keselamatan
jiwanyapun ikut terancam.
Gelak tertawa yang sangat aneh dan mengerikan tadi masih berkumandang
terus dari atap bangunan, sekalipun Siang-lin Kongcu telah membentak berulang
kali ternyata bentakan tersebut sama sekali tak digubris.
Bisa dibayangkan betapa gusarnya Siang-lin, dia mencak2 seperti orang gila.
Kim Cay-hong berada di samping kakaknya, dengan tenang ia berkata: 'Koko,
engkau tak perlu marah2, orang yang berada di atap rumah sambil tertawa itu
adalah Suheng, tentu dia pula yang menggerakkan alat rahasia Sek ki-tay-tin."
Siang-lin Kongcu semakin kalap setelah mengetahui murid ayahnya yang telah
main gila, dengan penuh kegusaran ia berteriak lagi: "Beng Ki-peng! Apa kau
sudah gila? Hayo cepat hentikan perbuatanmu!"
Namun bentakan ini tetap tidak digubris, malahan seluruh ruangan yang
sedang berputar itu mendadak tenggelam ke bawah dengan cepat.
Tiba2 Toan-hong Kongcu bergelak tertawa, ejeknya: "Hahaha, Kim Siang-lin,
bagus sekali siasat busukmu ini, tak kusangka dengan rencanamu yang begini
rapi kau berhasil menjaring semua jago di dunia ini. Hahaha, tapi kau pun jangan
harap bisa lolos dari sini dalam keadaan hidup, sebelum kami mati konyol, kalian
berdua kakak beradik harus mampus terlebih dahulu!"
"Apa yang hendak kau lakukan?" seru Siang-lin Kongcu dengan gusar.
“Dengan mengandalkan alat jebakan kau menipu semua jago di kolong langit
ini untuk mamasuki ruanganmu ini. Hmm, bukankah kau bertujuan membasmi
kami dari muka bumi? Tapi sayang kau sendiri tak akan hidup terlalu lama,
sebelum kami mati, aku Toan-hong dengan barisan bambu hijau kaum jembel ini
akan membuat kalian kakak beradik mampus tak terkubur!"
Saking gusarnya Siang-Lin Kongcu malah tertawa ter bahak2.
Suara tertawanya keras, tinggi melengking menyerupai suara tertawa seram
yang terdengar di atap rumah, suasana terasa seram memilukan.
"Saudara Sugong!" katanya lantang, "Tak perlu kau memfitnah orang secara
keji, aku Kim Siang-lin sama sekali tidak bermaksud menjebak kalian, sekalipun
aku memang berniat membasmi kalian, tak nanti aku mengorbankan diriku
sendiri!"
"Hehehe, siapa yang akan mempercayai perkataanmu?' ejek Toan-hong
Kongcu "masa alat perangkap yang berada di rumah sendiri dapat mencelakai
dirimu pula, aku tak percaya dengan segala macam ocehanmu ini. Bila kau lelaki
sejati dan bukan manusia yang takut mati, hayo terimalah tantanganku untuk
berduel!"
Sebelum Siang-lin Kongcu sempat menjawab, tiba2 Kian-kun-cang In Tiong-
liong menimbrung: "Sugong-suheng, sekalipun kau berniat mengadu jiwa, dalam
kegelapan yang mencekam begini, belum tentu kau sanggup melancarkan
serangan mautmu!"
"Hahaha, kegelapan bagi tukang minta2 semacam diriku hanya permainan
kecil saja," seru Ciu-kay Pui Pit mendadak sambil bergelak tertawa.
“Sahabat2 perkumpulan pengemis, demonstrasikan keampuhan kalian agar
ditonton para pahlawan di dunia!" seru Toan-hong Kongcu dengan lantang.
Bersamaan dengan selesainya seruan itu, terdengar suara "crat-cret" yang
ramai, dalam waktu singkat puluhan batang obor telah bermunculan di sana-
sini....
Rupanya di saku tiap anggota perkumpulan pengemis selalu membekal
geretan api dan obor, mereka menamai obornya sebagai Cian-li-hwe (api seribu
Li).
Obor Cian-li-hwe hanya khusus terdapat pada perkumpulan pengemis, bukan
saja obor itu tak takut embusan angin, tak takut curahan hujan, bahkan
sepanjang waktu selalu menyala.
Dengan bermunculnya berpuluh obor, sekejap saja seluruh ruangan menjadi
terang benderang lagi bermandikan cahaya.
Tatkala ruangan itu berputar sambil ambles ke bawah itulah, puluhan jago
pengemis lantas cabut pentung bambu hijau mereka, dalam waktu singkat
mereka membentuk sebuah barisan bambu hijau yang tangguh dan mengepung
Siang-lin Kongcu kakak beradik di tengah.
Cemas dan marah Siang-lin Kongcu menghadapi peristiwa itu, setelah murid
kesayangan ayahnya melakukan pengacauan, Toan-hong Kongcu menggunakan
kesempatan itu menghasut para jago untuk memusuhi pihaknya, untuk
memberi penjelasan juga sukar.
Kini semua orang sama melotot gusar ke arahnya, Siang-lin tahu sekalipun
Tong-hong Kongcu tidak menantang duel juga orang lain takkan lepaskan dia
dengan begitu saja.
Para jago keluarga Kim sekalipun dalam keadaan kacau dan berbahaya,
namun mereka tidak lupa melindungi keselamatan Kongcu dan Siocia mereka.
Beramai2 mereka mengelilingi Siang-lin berdua dan menghadapi musuh.
Barisan bambu hijau yang dipimpin langsung oleh Hong-jan-sam-kay itu
jumlahnya mencapai delapan puluh satu orang, setiap orang bersenjata pentung
bambu hijau.
"Rangkuman bunga teratai terbang terembus angin!" tiba2 si Pengemis
Pemabuk mulai bersenandung.
"Hud-co (Budha) turun dari kahyangan!" sambung pengemis sinting Cu Liang.
Bayangan pentung laksana hujan badai serentak memburu ke tubuh Siang-lin
Kongcu.
Baik Tiat-ih-hui-peng Pah Thian-ho maupun Tiat-pi-to-liong Kongsun Coh,
keduanya sudah pernah merasakan kehebatan barisan pengemis itu ketika
berada di bukit dua belas gua karang, cepat mereka membentak, telapak tangan
segera menghantam menyambut datangnya ancaman. Puluhan jago lihay istana
Kim lain serentak juga mengikuti jejak kedua pengawal baja dan melancarkan
serangan.
Deru angin pukulan yang dahsyat disertai kilatan cahaya golok dan bayangan
pedang serentak menerjang ke arah musuh, tapi begitu bentrok dengan
bayangan pentung bambu yang berhamburan, seketika mereka berteriak kaget
dan melompat mundur.
Rupanya Toan-hong Kongcu telah mengerahkan tokoh2 pengemis yang paling
kuat, ditambah lagi barisan pentung bambu itu memang luar biasa
perubahannya, maka jago2 istana Kim tak mampu membendung meskipun
mereka juga tergolong jago pilihan.
Melihat musuh terdesak mundur, para jago pengemis segera mendesak maju
lagi, diiringi nyanyian bersama "bunga teratai, bunga teratai ...” bayangan
pentung bambu yang kuat dan lebat terus membanjir menggulung musuh.
Pucat wajah Siang-ling Kongcu, bentaknya gusar: "Sahabat kaum pengemis,
kalian terlalu menghina, maka jangan kalian salahkan Siang-lin bertindak kejam,
lihat senjata rahasia!"
Serentak tangan kanannya diayun, desingan angin tajam seketika menyambar
dengan gencar.
Da bawah cahaya obor yang cukup terang, tampaklah berpuluh buah titik
hitam bagaikan sekelompok kecapung menyanbar bersama ke tubuh kawanan
pengemis itu.
Kiranya dalam keadaan terdesak, Siang-lin Kongcu telah menggunakan Cing-
hu-piau.
Pengemis sinting Cu Liang tertawa, serunya: "Hehehe, Kongcuya ini memang
baik hati, sekali turun tangan telah menyebar uang emas sebanyak ini buat
kita!"
Meskipun ucapan itu diutarakan dengan seenaknya, tapi diam2 iapun merasa
terkejut oleh kedahsyatan senjata rahasia musuh, menyaksikan tibanya cahaya
hijau yang membawa desingan tajam, cepat ia melangkah ke samping untuk
menggerakkan barisan, kemudian pentung bambunya dengan sepenuh tenaga
menyabat ke depan. Beratus batang pentung bambu hijau serentak
menciptakan dinding hijau yang sangat kuat.
"Tring, Tring!" suara dentingan menggema riuh, setelah desingan tajam
menyambar lewat, terdengarlah dengusan tertahan beberapa kali.
Dalam sibuknya Pengemis Sinting sempat berpaling ke belakang, dilihatnya
tidak sedikit anggota perkumpulannya terluka oleh sambaran am-gi tersebut.
Bukan begitu saja, malahan Pengemis Tuli Go Hua yang berada di sampingnya
juga tergores wajahnya sehingga terluka panjang dan darah menetes dengan
derasnya.
Sesungguhnya kepandaian Pengemis Tuli ini sama sekali tidak berada di
bawah kemampuan Pengemis Pemabuk dan Pengemis Sinting, tapi berhubung
telinganya tuli dan di tengah pertarungannya melawan musuh hanya
mengandalkan ketajaman matanya saja, maka dalam keremangan yang
diterangi beberapa puluh obor itu, dengan sendirinya penglihatannya jadi
terpengaruh.
Selain itu Cing-hi-piau lain daripada Am-gi biasa, di bawah sistim pelepasan
yang unik dari Siang-lin Kongcu, senjata rahasia itu bukannya meluncur ke
depan, tapi melayang dari arah samping.
Dalam keadaan sama sekali tak terduga itulah tahu2 sebuah senjata rahasia
musuh sempat menyerempet mukanya.
Karena tangan kirinya membawa obor, tangan kanan memegang pentung
bambu. setelah pipinya terluka ia mengusap dengan lengan baju. Ia jadi murka
melihat lengan baju berlepotan darah, ia meraung, segera ia mengerahkan
barisan, puluhan pentung bambu terus menghantam Siang-Lin Kongcu.
Mendadak Siang-lin menghamburkan lagi segenggam Cing-hu-piau.
Pengemis Tuli terkejut, cepat ia putar pentungnya, dari menyerang terpaksa
harus bertahan.
"Tring! Tring!" dentingan nyaring kembali berkumandang, belasan buah mata
uang tembaga hijau menancap pada pentung bambunya, malahan tidak sedikit
anggota pengemis yang berada di sebelahnya sama menjerit tertahan, jelas
mereka sama terluka.
Barisan bambu hijau mengubah taktik, mereka mulai bergerak maju dan
mundur selicin ular, ketika Pengemis Tuli melakukan gerak mundur, kawanan
pengemis di bawah pimpinan Pengemis Pemabuk dan Pengemis Sinting segera
melakukan penyergapan.
Jeritan ngeri berkumandang, beberapa orang jago lihay dari istana Kim
terkena serangan dan tewas, bahkan pada saat yang sama puluhan pentung
bambu serentak mengepung dan mengancam Hiat to penting di tubuh Siang-lin
Kongcu kakak beradik.
Pucat wajah Siang-lin, sedangkan Kim Cay -hong menjerit kaget, tampaknya
kakak beradik ini sukar melepaskan diri dari ancaman maut.
Entah bagaimana jalan pikiran Tian Pek, ia merasa tak tega membiarkan gadis
yang cantik bak bidadari dari kahyangan itu mati konyol di tangan musuh.
Mendadak pemuda itu melambung ke udara, Bu-cing-pek-kiam terlolos,
dengan jurus Sun-hong-cit-lui (angin puyuh kilat menyambar) ia terjang ke
depan Kim Cay hong dan menangkis hujan serangan pentung bambu kawanan
pengemis itu.
"Cring! Cring! Ting .... !" dentingan nyaring kembali menggema angkasa,
belasan pentung bambu hijau yang mengancam si gadis cantik serentak
terpapas kutung oleh pedang Tian Pek.
Sebagian besar kaum pengemis amat menyayangi pentungnya melebihi
nyawa sendiri, keruan mereka menjerit kaget dan melompat mundur.
Lolos dari ancaman maut, Kim Cay-hong merasa jantungnya berdebar dan
peluh dingin membasahi tubuhnya, ia menatap Tian Pek dengan sorot mata
yang berterima kasih.
Tian Pek dapat merasakan betapa mesranya tatapan anak dara itu, wajahnya
jadi merah jengah.
Mendadak terdengar pula suara desingan angin tajam yang santar, dengan
bingung semua orang celingukan kian kemari, sekali ini serangan itu ternyata
berhamburan dari atap rumah, bintik hijau bertaburan dari atas sehingga Siang-
lin Kongcu juga dapat diselamatkan.
Banyak orang yang tak sempat menghindar sergapan itu sehingga yang terluka
dan tewas semakin banyak, malahan bukan melulu kaum pengemis saja yang
diserang, banyak jago golongan lain ikut menjadi korban dari kerubutan musuh.
Semua orang menjadi gusar dan ingin mencari Siang-lin Kongcu dan
melabraknya.
Tapi si penyebar senjata rahasia di atas atap rumah itu ternyata
berkepandaian sangat tinggi, bukan saja senjata rahasia yang disebarkan itu
melukai banyak orang, bahkan semua obor kaum pengemis itu ikut tertimpuk
padam.
Suasana dalam ruangan kembali berubah gelap gulita, demikian gelapnya
sampai lima jari sendiri pun tidak kelihatan. Jangankan orang lain, Tian Pek yang
dapat memandang dalam kegelapanpun hanya mampu melihat secara samar2.
Di tengah kegaduhan dan kepanikan, dari atas atap sekali lagi barkumandang
gelak tertawa seorang yang bersuara serak tua, katanya: "Sekarang kalian segera
menentukan sikap, bagi mereka yang bersedia menjadi sahabat keluarga Kim,
harap memberitahukan lebih dulu dan segera akan kuberitahu jalan keluarnya
dengan ilmu gelombang suara.. Sebaliknya bila kalian tetap memusuhi istana
Kim kami, apa boleh buat, terpaksa persilahkan kalian keluar dari barisan Set-ki
nay tin ini menurut kemampuan kalian sendiri, asal kalian dapat meloloskan diri,
pihak istana Kim niscaya takkan menghalangi, kalian boleh bebas berlalu dari
sini............ "
Belum habis perkataannya, cari-maki penuh kegusaran segera terlontar dan
mulut orang banyak.
Kun-goan-ci Sugong Ong dengan suara lantang lantas bcrseru: “Loji (saudara
kedua), apakah pantas perbuatanmu ini terhadap teman lama?!"
Orang yang berada di atas atap ruangan itu ternyata adalah Cing-hu-sin Kim
Kiu, ia tertawa ter-bahak2 dan berkata: “Sugong Cing, kutahu kau ini tak lebih
hanya seorang Siaujin, manusia rendah yang licik dan berakal busuk, dengan
Toa-lo-kim-wan palsu kau mencelakai diriku sehingga kedua kakiku jadi lumpuh,
kemudian kau menghasut orang2 dari perkumpulan pengemis untuk mencuri
mestika Pi-sui-giok-pik milikku, tindakan semacam itu apakah tidak lebih keji
daripada membinasakan aku? Hahaha, sekarang kau bicara tentang teman lama
segala. Terus terang kukatakan, tujuanku yang utama dengan tindakanku ini tak
lain hanya untuk menghadapi kalau orang lain ikut terjebak di dalam Sek-ki-tay-
tin ini boleh dibilang lantaran kau ..... "
Betapa gusar kawanan jago lainnya setelah mendengar keterangan itu,
rupanya mereka tak lebih hanya ikut menjadi korban persengketaan kedua
keluarga itu.
Kian-kun-ciang In Tiong-liong juga lantas berseru lantang: "Jiko,
bagaimanapun juga kau tak boleh mencelakai pula diriku di sini, ingatlah betapa
akrabnya persaudaraan kita di masa lalu ...."
"Persaudaraan?" seru Cing-hu-sin Kim Kiu sambil tertawa ter-bahak2.
"Hahaha, sejak belasan tahun berselang, hubungan persaudaraan itu sudah
berakhir, bukankah kita masing2 telah bersumpah, sejak peristiwa berdarah itu,
kita tidak saling kenal mengenaI lagi, semua hubungan telah tamat pada detik
itu juga. Hahaha, tak tersangka dalam keadaan bahaya kau lantas panggil Jiko
lagi padaku! Bicara terus terang, hari ini yang lain boleh kubebaskan, tapi kalian
beberapa orang jangan harap bisa lolos dan sini ............. "
Pak-ong-pian Hoan Hui berdiri di samping Kian-kun-ciang In Tiong-long, ia
lantas berbisik: "Suko, tak ada gunanya kita banyak bicara dengan dia,
bayangkan betapa kejinya waktu dia menyusun rencana untuk membunuh
Toako? Sekarang kita sudah terjebak, memohon ampun juga tiada gunanya,
akan lebih baik kalau .....”
Sampai di sini suaranya lantas lebih lirih lagi. Tapi Tian Pek kini dapat
menangkap semua ucapan Pak-ong-pian Hoan Hui itu, didengarnya: " ..... kita
tawan anak setan tua itu, dengan menyandera bocah itu kita dapat paksa
dia ...... "
Jelas sekarang, rupanya Pak-ong-pian Hoan Hui mengusulkan kepada bekas
saudara angkatnya agar menangkap Siang-lin kongcu dan kemudian menjadikan
pemuda itu sebagai sanderanya, dengan begitu mereka dapat memaksa Cing-
hu-sin untuk menyerah dan membuka perangkap rahasianya untuk melepaskan
mereka semua.
Selain itu, dari pembicaraan mereka tadi Tian Pek dapat menarik kesimpulan
bahwa Cing hu-sin Kim Kiu yang merencanakan pembunuhan terhadap ayahnya,
kemudian mereka berenam turun tangan bersama dan membagi barang
rampasan secara merata, lalu bubar dan tidak saling mengenal lagi....
Darah seketika bergolak dalam dada pemuda itu, ia jadi benci bercampur
gemas, ingin sekali ia cari musuh besar itu dan mencincang tubuhnya jadi ber-
keping2 .
Sementara Tian Pek termenung, tiba2 ia merasa ada sabuah tangan halus dan
hangat memegang tangannya, menyusul mana ia lantas mencium bau harum,
sebelum ia sempat berpikir, tangan yang yang halus dan hangat itu telah
menariknya menuju ke sudut ruangan.
Kontan sekujur badan Tian Pek bergetar keras, ia merasa seperti ada aliran
hawa panas yang merembes lewat ujung jari orang meresap ke setiap syaraf di
tubuhnya, di tengah kegelapan ia tak tahu musuhlah atau temankah yang
menggandeng tangannya, tapi anak muda itu tidak melawan, ia mengikut saja
ke manapun dia ditarik ......
Setelah mengitar beberapa kali, di tengah kegelapan lapat2 Tian Pek dapat
menyaksikan berpuluh sosok bayangan manusia sedang saling berdesakan kian
kemari, di sana-sini terdengar bentakan gusar den caci maki serta saling tonjok,
rupanya para jago yang terjebak dalam ruangan itu telah saling menyerang
sendiri secara membabi-buta, suasana seketika bertambah kacau-balau.
Meskipun pandangan Tian Pek belum pulih kembali dalam kegelapan, tapi
secara di bawah sadar ia menduga orang yang menggandeng tangannya itu pasti
Kanglam-te-it-bi-jin Kim Cay-hong adanya.
Terdorong oleh suatu perasaan aneh, ternyata pemuda itu tak tega untuk
menolak ajakan tersebut, meski tidak tahu kemana dia akan diajak pergi, dan
apa pula maksud tujuan anak dara itu?
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar