Cersil : Hikmah Pedang Hijau 2

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 07 Oktober 2011

Karena bahaya dan risiko yang harus di hadapi, maka jarang ada jago

persilatan yang mau adu tenaga dalam jika hal ini tidak terpaksa,

Begitulah, tidak lama kemudian uap putih sudah mulai mengepul keluar dari

ubun kedua orang itu, dalam waktu singkat uap putih itu menggumpal jadi kabut

tebal, keadaan mereka semakin payah, sepatu yang mereka kenakan mulai

merekah dan pecah, sementara kakinya terbenam satu-dua inci ke dalam tanah,

Secara akal, sepantasnya Tian Pek yang masih muda belia tak mungkin bisa

menandingi kelihayan Hui It tong yang sudah berlatih empat lima puluh tahunan

lamanya sudah pasti Lwekang yang dimilikinya telan mendekati puncak

kesempurnaan.

Apa mau dikata Tian Pek telah mempelajari Sim-hoat yang tercantum dalam

Soh-hun-siau-kut-thian-hud pit-kip, suatu kitab ilmu silat paling aneh di kolong

langit ini, kitab ciptaan Ciah-gan long-kun, seorang jago silat luar biasa.

Bukan begitu saja, malahan dari gemblengan irama seruling Im-mo-toa-hoat

dari Ciang Su-peng serta gebukan Leng-hong Kongcu telah mengakibatkan dua

urat penting dalam tubuhnya berhasil ditembusi.

Kesemuanya itu membuat tenaga dalam Tian Pek melampui batas

kemampuan seorang pemuda seusia dia, bukan saja dalam sebulan terakhir ini

dia bertambah kosen. tenaga dalam yang dia miliki-pun mencapai taraf latihan

enam-puluhan tahun.

Oleh sebab itulah, meski berbeda menyolok dalam usia, dalam kenyataan

tenaga dalam yang dimiliki kedua orang itu tidak jauh berbeda.

Pada permulaan terjadi bentrokan tadi, keadaan Tian Pek memang sangat

payah, bahkan boleh dibilang hampir saja mati konyol hal itu disebabkan karena

siasat busuk Hui It tiong, tapi setelah hawa murni beredar kembali dalam

pusarnya, ia merasa daya tekanan kakek itu kian berkurang, sementara hawa

murni miliknya mengalir makin deras, hatinya jadi tenang dan makin

bersemangat melakukan perlawanan.

Lambat-laun kedudukannya bertambah kuat, dan kini dia telah menambah

kekuatannya dua bagian lebih besar, seketika itu juga tenaga tekanan dari Hui-

It-tong dapat ditolak balik,

Bagi Hui It tong sendiri, ia memang menang posisi ketika serangan pertama

dilancarkan tadi, namun lambat laun ia merasa tenaga tekanannya makin

terdesak kembali, iapun tak menyangka anak muda itu sanggup

mempertahankan diri dalam keadaan gawat.

Tidak lama kemudian. suasana amat sunyi dalam hutan itu, sang surya telah

mendoyong ke barat, angin berembus sepoi2, dalam keheningan hanya kicauan

burung yang terdengar nun di pucuk pohon. Siapa tahu di balik kesunyian ini

tersembunyi suatu pertarungan sengit, pertarungan yang mempertaruhkan jiwa.

Setelah posisi Tian Pek bertambah kuat, ia mulai tenang, dalam kesunyian

itulah terlintas satu ingatan dalam benaknya.

Teringat olehnya akan dua kata sandi yang tercantum dalam kitab Thian-hud-

pit-kip. kata2 itu berbunyi "Kosong tapi tidak kosong, lemah sebetulnya bukan

lemah".

Kata sandi itu jelas menerangkan tcntang suatu taktik ilmu Lwekang, suatu

taktik mengenai daya hisap".

Diam2 Tian Psk berpikir: "Aku harus segera berangkatke kota Lam-keng untuk

selidiki pembunuh ayahku, kenapa aku buang2 waktu percuma di sini?"

Begitu timbul pikiran ini, dia lantas tarik napas panjang dan memakai taktik

mengisap untuk melepaskan diri dari godaan kakek sialan itu.

Dasar masih muda dan berdarah panas, Tian Pek tidak mempertimbangkan

lagi apakah cara itu akan membahayakan diri sendiri atau tidak, begitu berpikir

dia lantas bertindak,

Hawa murni yang sedang dikerahkan itu cepat ditarik kembali, tapi serentak

iapun merasakan tenaga dalam Hui It-tong membanjir ke tubuhnya ibarat

tanggul yang dadal, begitu dahsyat dan kuatnya tenaga itu hingga membuat

anak muda itu amat terkejut.

Betapa girangnya Hui It-tong, begitu merasa tenaga tekanan musuhnya

lenyap, dia mengira Tian Pek sudah tak sanggup melawan lagi, dia lantas

membentak keras: "Roboh"

Kata telanjutnya tak sempat dilanjutkan sebab mendadak dia merasa tenaga

Tian Pek menggetar balik, seketika Hui It-toug merasakan daya tckanan yang

dahsyat, ia merasa pandangan matanya jadi gelap. telinga mendengung dan

pertahanannya runtuh.

Terdengar jeritan mengerikan, Hui It-tong mencelat jauh dan terkapar tak

bsrkutik lagi.

Rupanya dikala Tian Pek merasa gelagat tidak menguntungkan sesudah ia

memakai taktik "meng-isap dari Lwekangnya, cepat ia ubah menjadi taktik

"memantul", yang di dalam pelajaran disebut "Yang nyata adalah kenyataan,

yang-kau adalah kekuatan,"

Taktik yang tercantum dalam kitab "Thian-hud-pit-kip" ini memang sangat

dahsyat, begitu termakan tenaga pantulan tersebut, langsung saja Lak-jiu-tong-

sim mencelat ke belakang.

Untuk sejenak anak muda itu berdiri sambil atur pernapasan, ketika

dilihatnya Hui It-tong tidak bangkit berdiri, dia menghampiri kakek itu.

Sungguh sukar dipercaya bahwa Lak-jiu-tong-sim yang perkasa kini terkapar

dalam keadaan mengenaskan, darah mengalir keluar dari lubang hidung, mulut,

mata dan telinganya, jago lihay itu sudah menemui ajalnya secara konyol.

Baru pertama kali ini Tian Pek membunuh orang sakti, meskipun sudah lama

ia berkelana, akan tetapi di masa lalu ia tak berkekuatan apa2, tentu saja tak

mampu mencelakai jiwa orang. Melihat darah yang mengalir serta mata si kakek

yang melotot penasaran, diam2 anak muda itu bergidik sendiri.

Timbul rasa menyesal dalam hati kecilnya, berdiri di depan jenazah Hui It-

tong diam2 Tian Pek berdoa: "Locianpwe, kalau engkau tidak selalu mencari

gara2 padaku, tak nanti kucelakai jiwamu, itupun kulakukan tidak sengaja. Ai,

aku tak menduga kalau tenaga pukulanku tadi dapat menewaskan kau,

benstirahatlah dengan tenang di alam baka dan maafkanlah perbuatanku ini .

Menyusul anak muida itu berpikir lebih jauh 'Aku sudah salah mencelakai

jiwanya, sepantasnya kukubur jenasahnya. Ai, kalau sampai dimakan serigala

atau elang, hatiku pasti akan bertambah menyesal ..."

Maka dicabutnya pedang mestikanya dan menggali sebuah liang kubur di

hutan itu.

Belum sempat dia masukkan jenasah Hui lt-tong ke dalam liang kubur, tiba2

dari luar hutan melayang datang tiga sosok bayangan, cepat sekali gerak tubuh

mereka ibaratnya anak panah yang terlepas dari busurnya.

"Bagus, bagus sekali perbuatanmu!" segera seorang laki2 barmata besar

menegur. "Setelah membunuh orang di siang hari bolong, rupanya kau-hendak

lenyapkan bukti. Hehehe, anak muda, jangan harap kau bisa cuci tangan dari

tanggung-jawab ini!"

Tian Pek melengak, sebelum ia sempat berkata, laki2 lain yang bermuka

kereng segera menambahkan sambi tertawa seram: "Hehehe. sahabat, kau

berasal dari garis mana? Masa kau akan mengangkangi sendiri hasil

pendapatanmu?"

"Betul!" sambung lelaki ketiga yang bermuka pucat, "siapa yang melihat,

siapa dapat bagian. Yang besar mendapat emas, yang kecil mendapat perak,

masa kami tidak diberi bagian?"

Tian Pek dapat menangkap arti kata istilah2 golongon hitam yang diucapkan

beberapa orang itu sekalipun belum beberapa lama ia berkelana di dunia

persilatan.

Betapa dongkol perasaan Tian Pek ketika mendengar ketiga orang itu

menganggap dia sebagai pembegal yang baru mendapat hasil begalan.

Segera ia menjawab dengan kata2 rahasia yang setengah mentah: "O,

rupanya kalian bertiga berasal dari satu garis, sayang sasarannya tak tepat dan

di sini tak ada apa2 yang bisa dibagi, ketahuilah yang mati adaleh seorang

rekanku yang sakit di tengah jalan, karena jauh dari kota maka aku ber-maksud

menguhurnya di sini!"

Rupanya ketiga orang itu kurang percaya, mereka menghampiri untuk

memeriksa sendiri Demi melihat keadaan kematian Hui It-tong, tentu saja

orang2 itu tidak percaya.

Si muka pucat kembali menegur: "'Sahabat, jangan main bohong di depan

rekan sendiri, masa temanmu ini mati karena sakit?"

Tian Pek ingin msmberi penjelasan, tapi sebelum buka suara, laki2 bermuka

pucat itu lantas menjerit kaget: "He, bukankah yang mati ini Lak-jiu-tong-sim Hui

locianpwe?"

Kedua orang lain terbelalak, mereka mengamati lagi jenasah itu, setelah yakin

korban itu adalah Lak-jiu-tong-sim Hui It-tong, cepat mereka menyurut mundur

dan melolos senjata masing2.

Dengan golok terhunus, ketiga orang itu mengurung Tian Pek di tengah.

"Hei bocah, hayo ngaku! Kenapa kau bunuh Hui-locianpwe?" bentak laki2

bermata besar dengan melotot.

"Lotoa, buat apa banyak bertanya?" sambung kedua orang temannya. "Hajar

saja keparat itu sampai mampus! Kita harus membalaskan dendam kematian

Hui-locianpwe!"

Dengan garang mereka terus menerjang dan membacok.

"Eeh eeh, nanti dulu, nanti dulu

" seru Tian Pek. "Secara tidak sengaja

kucelakai jiwa Hui-locianpwe, kami sedang bertanding. tak tahunya aku salah

turun tangan hingga terjadi kecelakaan ini"

"Huh, omong kosong!" bentak laki2 bermuka pucat dengan seram. "Sekalipun

kau membantah sampai lidahmu putus juga aku tak percaya. Huh, memangnya

kau bisa menandingi Hui-locianpwe jika bertempur secara terbuka? Pasti kau

pakai tipu muslihat untuk menyergap Hui-locianpwe!"

"Keparat, tak usah banyak omong, serahkan jiwamu!" teriak laki2 yang lain

dengan marah.

Secepat kilat ia menerkam ke depan, golok langsung membacok kepala Tian

Pek.

Dengan cekatan anak muda itu mengegos ke samping, kedua orang yang

berada di sisi kiri-kanannya segera juga bertindak, golok merekapun menabas

iga dan punggung Tian Pek dengan suatu gerakan serentak.

Cepat Tian Pek putar badan dan balas menyerang, ia hindarkan bacokan dari

belakang itu, pukulan dahsyatnya membuat golok yang mengancam iganya

tersingkir ke samping.

Gagal dalam serangan pertama, ketiga orang itu serentak menerjang maju

pula.

Hebat juga serangan golok ketiga orang itu, Tian Pek merasa sukar untuk

memberi penjelasan, cepat ia melompat ke atas, kesempatan mana digunakan

mencabut pedang mestika yang terselip di punggung-

Seketika terdengar suara mendenging, cahaya hijau menyilaukau mata

terpancar di angkasa, begitu pedang lolos dari sarungnya, anak muda itu terus

membabat dengan gerakan Heng sau-jian kun ( menyapu bersih beribu perajurit

).

"Traang! Traaang!" benturan nyaring terjadi, mana mungkin golok lawan

mampu menahan ketajaman Pedang Hijau yang luar biasa? Tak ampun lagi dua

bilah golok terpapas kutung.

Tiga orang itu menjerit kaget dan cepat melompat mundur, mereka

mengawasi anak muda itu dengan sorot mata heran.

Setelah kejadian tersebut, mereka tak berani lagi pandang enteng lawannya,

terutama sekali senjata mestika yang amat tajam itu. Mendadak kedua orang

yang goloknya tertabas kutung meraung sambil menyambitkan kutungan golok

kearah Tian Pek.

"Criiit! Crnit!" dengan membawa desiran angin tajam, kutungan golok itu

meluncur ke muka serta dada anak muda itu.

Serangan itu cukup keras, Tian Pek tak berani menangkap kutungan golok itu,

cepat dia merendahkan tubuh ke bawah, dengan gerak Pek-lon oh po (burung

kuntul menyambar ombak) dia hindarkan sambitan itu.

Baru saja Tian Pek mendak ke bawah, laki2 ketiga segera mengunakan

kesempatan itu, ia angkat goloknya dan membacok Tian Pek dengan gerakan

Hian-niau-hua-seh (burung merah menyapu pasir).

Ketiga orang itu memang sangat ulet, sekali-pun sudah kalah mereka tak mau

menyerah begitu saja, hal ini tak terduga oleb Tian Pek.

Ketika ia melihat bacokan datang lagi, dengan ujung pedang Tian Pek menutul

permukaan tanah, lalu ia melayang ke atas dan sebelah kakinya sempat

mendepak pinggang orang itu, kontan orang itu mengerang kesakitan dan

mencelat jauh ke sana, lama sekali dia baru sanggup berdiri kembali.

Dengan kekalahan yang mengenaskan ini, pucatlah muka ketiga orang itu,

tampaknya mereka kuatir kalau2 anak muda itu menerjang maju lagi dan

membinasakan mereka.

Selangkah demi selangkah mereka mundur ke belakang, tapi tak seorangpun

yang berani mendahului kabur dari situ, kemudian setelah yakin Tian Pek tidak

bermaksud mengejar dan membunuh mereka, barulah laki2 bermuka pucat itu

berseru dengau garang di luar tapi takut di dalam: "Kawan, kalau engkau

memang jantan, hayo sebutkan namamu!"

Diam2 bergembira Tian Pek setelah menyadari ilmu silatnya memperoleh

kemajuan yang pesat, dia bangga dan berbesar hati. Mendengar pertanyaan

lawan segera ia menyahut: "Aku Tian Pek! Apa yang hendak kalian lakukan lagi?"

"Hm, jangan kau jumawa dulu," seru laki2 kekar tadi dengan mendongkol.

"Hari ini kami bertiga memang kalah di tanganmu, tapi lihat saja nanti!

Tunggulah pembalasan kami . . " — Habis berkata mereka terus berlalu dengan

penasaran.

Memandangi kepergian ketiga orang itu, Tian Pek tertawa geli, pikirnya:

"Sekarang tibalah saatnya bagiku untuk melampiaskan penderitaan yang pernah

kualami di masa lalu . . . . "

Setelah mengubur jenazah Hui It-tong, dia melanjutkan perjalanannya

mcnuju ke kota Lam-keng.

Ketika malam tiba ia berada di sebuah kota besar, Tian Pek tak tahu kota

apakah ini, yang jelas lampu di dalam kota terang benderang, banyak orang

berlalu lalang di jalan, ramai benar kota ini.

Dengan perut lapar Tian Pek masuk ke dalam kota dan celingukan ke sana

kemari mencari hotel, maksudnya hendak menangsal perut lalu beristirahat,

besok perjalanan baru akan dilanjutkan lagi.

Sepanjang jalan dia celingukan ke sana kemari, mencari rumah makan, ia tak

menyangka kalau banyak lelaki kekar berpakaian ringkas cekak juga sedang

memperhatikan gerak-geriknya.

Entah berapa jauh dia sudah berjalan, akhir ia lihat sebuah rumah makan

yang memakai merek "Kim eng ciu lau" (rumah makan berkumpulnya orang

gagah), tulisan papan merek itu berwarna emas, ruangan atas maupun ruangan

bawah terang benderang bermandikan cahaya, banyak tamu yang berlalu lalang

di sana, bau harum arak dan masakan yang lezat teruar sampai jauh, tak tahan

anak muda itu, ia menelan liur dan menghampiri rumah makan itu.

Baru melangkah masuk pintu depan, seorang laki2 berpakaian ringkas

memapak kedatangannya dan mengadang di depan anak muda itu, tegurnya:

"Kau hendak bersantap atau ingin menginap?"

Meskipun sangsi karena tampang orang itu tidak mirip dengan pelayan,

namun Tian Pek menjawab juga dengan jujur: "Aku hendak mengisi perut dan

juga hendak menginap."

Dengan seksama orang itu mengamati anak muda kita dari atas sampai ke

bawah, kemudian sahutnya dengan dingin: "Maaf saudara, rumah makan kami

sudah penuh dan tidak terima tamu lagi, silakan mencari rumah penginapan

yang lain saja!"

Beberapa pelayan tampak berdiri jauh di dekat meja kasir sana dengan muka

takut2, mereka tak berani menghampiri anak muda ini melainkan cuma

memandang saja dari kejauhan.

Walaupun curiga, Tian Pek tidak mau rewel. jika orang bilang kamar penuh,

tentu saja dia harus percaya, terpaksa ia mengundurkan diri dari sana.

Siapa tahu, kejadisn serupa tidak cuma dialami di satu tempat saja, secara

beruntun ia memasuki lima-enam buah restoran merangkap penginapan tapi

apa yang dialami tidak jauh berbeda, semua rumah makan itu dijaga orang yang

berpakaian ringkas cekak dan menolak kehadirannya.

Akhirnya sampailah pemuda itu di rumah makan yang terakhir, tempat itu

letaknya di ujung kota, suasana di situ remang2 tidak seterang tempat2 tadi, ke

depan lagi jelas tiada rumah penduduk pula, sekarang kecurigaan dalam hati

Tian Pek makin menjadi. ia rada dongkol, pikirnya: "Masa kedatanganku ini

sedemikian kebetulan, semua rumah makan dan penginapan yang ada di kota

ini penuh? Jelas di balik hal ini ada yang tidak beres. Aku harus menyelidikinya

dengan seksama!"

Dengan penasaran anak muda itu menghampiri rumah makan yang terakhir.

Kali ini ia bertindak lebih cerdik, bukan langsung memasuki rumah makan itu

sebaliknya dia mengintip dulu lewat jendela, dilihatnya ruang yang luas hanya

dua tiga meja yang berisi tamu, selebih-nya dalam keadaan kosong, setelah

yakin penglihatannya tak keliru, barulah dia masuk ke sana.

Tapi baru dia melangkah masuk, seorang laki2 berpakaian ringkas segera

mengadangnya.

"Sahabat, mau apa kau kemari?" tegurnya dengan lantang.

Tiba2 timbul akalnya, ia lantas menjawab: "Aku mencari orang!"

Ia tahu kalau mengatakan hendak makan atau menginap dia pasti dilarang

masuk, maka dia menggunakan alasan lain untuk membohongi orang.

Tapi orang itu tidsk melepaskan dia masuk begitu saja dan tetap mengadang

di depan anak muda itu "Siapa yang kau can?" kembali ia menegur.

"Ah, masa aku harus laporkan juga siapa yang kucari?" kata Tian Pek dengan

lagak bingung.

"Hehe, memangnya kenapa?" kata laki2 itu sambil tertawa dingin, "kaiau kau

ingin cari orang, sebutkan dulu namanya dan aku akan panggilkan orang itu

keluar ke sini, pokoknya kau tak boleh sembarangan masuk."

"Peraturan apa ini?" pikir Tian Pek, tapi sekarang ia sudah tahu, rupanya

orang2 itu memang sengaja hendak mencari perkara.

Maka iapun berlagak blo'on dan menyahut: "Aku mencari pelayan rumah

makan ini!"

Kali ini orang itulah yang tertegun, rupanya ia tak menyangka. Tian Pek akan

menjawab begini-Tapi sepera orang itu menyadari telah dipermainkan Tian Pek,

dengan mata melotot kembali ia membentak: "Mau apa kau cari pelayan?"

“Mau apa lagi?" jawab Tian Pek "tentu saja mau pesan makanan dan mau

menginap!"

Laki2 berpakaian ringkas itu tertawa dingin "Hehehe, sahabat, terus terang

kuberitahu padamu, tak ada makanan bagimu di sini, juga tak ada tempat tidur

bagimu untuk menginap, kulihat iebih baik kau pindah saja ke tempat lain!"

Dasar perutnya sudah keruyukan, Tian Pek menjadi gusar, segera iapun balas

menjengek: "Kenapa aku mesti cari tempat lain? Aku bayar makanan yang

kumakan, kubayar juga tempat penginapan yang kupakai, kenapa kau ikut

campur urusan pribadiku?'

Sehabis berkata, tanpa menggubris lagi dia masuk ke dalam dengan mcngitari

laki2 yang mengadangnva ini.

"Hei," bentak orang itu dengan marah, "sudah kukatakan tak boleh masuk

kalau kau memaksa berarti kau cari penyakit sendiri!"

Dengan suatu gerakan kasar, bagaikan burung elang menyambar kelinci, dia

terus cengkeram bahu Tian Pek.

Tapi Tian Pek mana bisa disentuh lagi, dengan mudah saja ia berkelit ke

samping.

Orang itu makin penasaran, kembali tangan kanannya diayun menghajar dada

anak muda itu.

Cepat sekal gerak serangan itu dan keras pula pukulannya.

Tian Pek menunggu ketika kepala musuh hampir menyentuh dadanya,

mendadak tangan kirinya berputar keatas dan mencengkeram pergelangan

tangan lawan, kemudian sekali betot ia lemparkan tubuh orang.

"Enyah kau keluar!" bentaknya. Kontan orang itu menggelinding keluar

ruangan itu.

Cepat orang itu merangkak bangun, sambil menuding Tian Pek ia mencaci

maki kalang kabut: "Anak jadah, jika berani kau jangan lari! Tunggu saja di sini"

— Dengan ter-birit2 dia terus ngacir dari situ.

Tian Pek tertawa hambar, ia melangkah masuk ke dalam ruangan, lalu

mencari tempat duduk di ujung ruangan sana.

Suasana dalam rumah makan amat sepi tak ada yang buka suara. malahan

tamu yang sedang bersantap sama memandang Tian Pek dengan ter-belalak,

sedangkan pelayannya berdiri jauh di sudut ruangan dengan takut2.

Melihat pelayan tidak meladeni dirinya. Tian Pek berteriak keras: "He,

bawakan arak dan daharan!"

Para pelayan dan kasir berpandangan sekejap, akhirnya salah seorang di

antaranya dengan takut2 menghampiri Tian Pek seraya memohon "Tuan

silahkan pindah ke tempat lain saja, rumah makan kami benar2 tak berani

melayani kehendak tuan, hamba mohon sudilah tuan pergi dari sini."

"Kalian tak usah kuatir!" kata Tian Pek, "hidangkan saja makanan dan arak!

Kalau ada yang berani mencari perkara, akan kuhadapi dia, tanggung kalian tak

akan memikul akibatnya!"

"Tuan, betul juga katamu!" sahut si pelayan sambil menyengir, "tapi kalau

kami layani engkau bersantap di sini, maka selanjutnya jangan harap rumah

makan ini bisa dibuka lagi."

"Apa kerjanya bangsat tadi? Kenapa kalian takut kepadanya? Apa hukum

negara tidak berlaku di sini?" tanya Tian Pek.

"Hukum negara memang ada, tapi pernahkah tuan mendengar istilah An-lok

hong lin (An-lok yang romantis)?"

Tian Pek terkesiap segera ia paham persoalan yang sebenarnya, pikirnya: "Tak

heran kalau orang2 di sini pada ketakutan, rupanya keparat tadi adalah anak

buah An-lok Kongcu!"

Menyusul ia lantas berpikir lebih jauh: "Sebulan yang lalu aku berjumpa

dengan An-lok Kongcu, kalau melihat gerak-gerik dan tingkah lakunya jelas dia

sangat gagah dan berbudi, masa anak buahnya berani berbuat se-wenang2 dan

bikin onar di sini?

Apakah An-lok Kongcu tak pernah mengurusi anak buahnya?"

Berpikir sampai di sini, segera ia berkata: "Ana kaumaksudkan An-lok Kongcu?

Jadi An-lok Kongcu berdiam di kota ini?"

Mendengar Tian Pek langsung menyebut nama An-lok Kongcu, pelayan itu

cepat memberi hormst sambil menjawab: "Alangkah baiknya bila tuan kenal

Kongcu, meski An-lok Kongcu tidak berdiam di sini, tapi sebagian besar kota ini

adalah milik Kongcu, beliau yang memberi makan, pakaian serta tempat

berteduh bagi kami rakyat kecil di sini, siapa yang tidak menghormati beliau . . ..

"

Diam2 Tian Pek berpikir: "Kalau begitu kawanan orang berpakaian ringkas

tadi pasti berbuat keonaran di sini dengan membonceng nama besar An-lok

Kongcu, sayang An-lok Kongcu tidak tinggal di sini. sekalipun ada persoalan juga

tidak bisa dibicarakan, biarpun kukatakan kukenal An-lok Kongcu tentu juga

mereka tak percaya. Agaknya malam ini aku bisa kelaparan."

Tiba2 ia melihat di dapur sana tersedia ayam panggang, bebek, daging babi

dan sebagainya, segera ia berkata: "Kalau memang begitu, akupun tak akan

menyusahkan kalian, bungkuskan saja daging babi dan bakpao, akan kumakan

nanti di tengah jalan!"

Kembali pelayan itu tertawa getir, dengan serba salah dia cuma

membungkuk2 berulang kali.

Lambat laun habis juga kesabaran Tian Pek, dia melotot, dengan suara keras

ia membentak: "Sungguh keterlaluan, cepat siapkan makanan itu bagiku! Kalau

tidak, hm, aku tak mau sungkan2 lagi...”

"Kalau tidak sungkan, lantas apa yang akan kau lakukan?" tiba2 seorang

menanggapi dari belakang, menyusul mana lampu dalam ruangan itu hampir

tersirap.

Ketika lampu terang kembali, tampaklah dalam ruangan telah bertambah dua

orang laki2 berpakaian ringkas,

Mereka adalah seorang tua dan seorang muda, yang tua berusia enam

puluhan, rambut beruban pendek seperti duri landak, mukanya merah

bercahaya, alis tebal dan mata besar bersinar tajam, memakai jubah satin warna

hijau pupus, sebuah senjata aneh berbentuk telapak tangan terselip di

punggungnya, tali sutera dan gelang baja pada senjata itu gemerlapan

menambah keangkeran orang tua ini.

Sedang yang muda berusia dua puluhan, mukanya tampan dan perawakan

kekar, sayang agak pucat dan lagaknya tengik, iapun memakai baju ringkas

ketat, pedang melintang di punggungnya dia mengawasi Tian Pek dengan

pandangan menghina.

Kemunculan kedua orang ini mengakibatkan suasana dalam rumah makan

menjadi kalut, dengan muka pucat pelayan kelihatan gemetar, sementara para

tamu yang sedang bersantap juga cepat2 bangkit dan pergi.

Per-lahan2 Tian Pek berdiri, sebelum dia buka suara, kakek bermuka merah

itu menegur: "Kau ini yang menyergap dan membunuh Lak jiu-tong sim Hui-it-

tong?"

Sungguh lantang suara kakek ini, begitu keras sampai msndengung dan

membikin anak telinga orang terasa sakit.

Tian Pek sangat mendongkol, kematian Hui It-tong akibat beradu tenaga

dalam dengannya, tapi orang justeru menuduh dia membunuh lawannya

dengan cara licik.

Sambil tertawa getir sahutnya: "Kejadian itu hanya kesalah-pahaman belaka,

masalah ini akan kujelaskan setelah bertemu dengan Kongcu kalian, kebetulan

kukenal An-lok Kongcu . . .. "

'Huh! Omong kosong!" dengus pemuda angkuh itu. "Tak mungkin An-lok

Kongcu punya kenalan seorang Bu-beng-siau cut (perajurit tak bernama) macam

kau. Lebih baik tutup mulut dan bayar jiwamu bagi kematian Hui-locianpwe!"

Sambil bicara ia terus menerkam lawan, lima jari tangannya terpentang lebar

langsung mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kanan Tian Pek-

Serangan itu cukup lihay, Tian Pek tak berani gegabah, cepat dia bergeser

sambil putar badan dengan mudah ia hindarkan ancaman pemuda jumawa itu.

Melihat serangannya gagal, dari cengkeraman pemuda jumawa itu ganti

serangannya menjadi pukulan telapak tangan, mengikuti perputaran tubuh

lawan, dia menusuk iga Tian Pek dengan gerakan Kim-ca-jiu (tusukan tangan

emas), berbareng itu juga dia maju selangkah dan memotong jalan darah Cian-

keng-hiat di bahu lawan dengan telapak tangan kanannya.

Satu serangan dengan dua gerakan ini bukan saja dilakukan dengan cepat

dan menimbulkan deru angin keras, dari sini dapat pula diketahui kehebatan

tenaga dalam yang dimiliki pemuda itu.

Bila peristiwa ini berlangsung pada dua bulan yang lalu tentu Tian Pek sudah

kecundang, tapi Tian Pek sekarang bukan Tian Pek yang dulu, ketika merasakan

datangnya serangan maut, cepat dia menyambut dengan kedua telapak

tangannya.

"Duk! Duuk!" berbareng dengan benturan itu, tahu2 pergelangan tangan

pemuda jumawa itu malah kena dicengkeram oleh Tian Pek.

Sedikit Tian Pek mengerahkan tenaga cengkeramannya, seketika keringat

membasahi jidat pemuda jumawa itu, mukanya berubah menjadi pucat seperti

mayat, saking sakitnya hampir saja ia menjerit.

Jurus aneh yang barusan digunakan oleh Tian Pek bernama Ciau-tau-siang-soh

(membelenggu tangan dengan jitu), suatu jurus ampuh hasil sadapannya dari

Tok-kah-hui-mo, mimpipun tak pcrnah disangka olehnya kalau hasil sadapannya

ternyata sangat bermanfaat, bukan saja berhasil lolos dari serangan maut

musuh, malahan lawan kena dibekuk olehnya.

Cengkeraman itu persis menjepit persendian tulang pergelangan pemuda

jumawa itu, bisa dibayangkan betapa menderitanya pemuda jumawa itu, dalam

keadaan demikian ia merasa tangannya kesakitan dan kaku, seluruh badanpun

tak bisa berkutik.

Tian Pek tiada maksud mencelakai jiwa tawanannya, dia bermaksud melepaskan

tawanannya setelah memberi peringatan seperlunya.

Siapa tahu sebelum ia bicara, tiba2 dari belakang menggulung datang angin

pukulan yang keras.

"Lepaskan!" terdengar si kakek muka merah membentak.

Sudah tentu Tian Pek tahu dirinya sendiri sedang diserang si kakek muka

merah, cepat ia lepaskan cengkeramannya pada pergelangan tangan lawan dan

dengan suatu gerakan enteng ia melayang jauh ke samping sana.

"Duuk!" tak sempat si kakek muka merah menarik kembali pukulannya yang

dahsyat, sedangkan Tian Pek berkelit tepat pada waktunya, tanpa ampun lagi

pukulan dahsyat itu menghajar pada dada pemuda jumawa itu dengan telak.

Pemuda itu mencelat dan menumbuk dinding.

Terkapar pemuda yang jumawa itu dengan bermandikan darah dan tak

berkutik lagi, tampaknya lebih banyak mampus daripada hidupnya

"Ada pembunuhan" segera ada orang menjerit, suasana rumah makan itu

menjadi kacau balau, para tamu dan pelayan pada lari ter-birit2 dengan

ketakutan.

Betapa gusarnya kakek muka merah itu, pukulannya tidak mengenai musuh,

sebaliknya malahan membinasakan muridnya sendiri, dengan muka beringas,

mata melotot dan mulut menyeringai, sekali lagi ia terjang Tian Pek.

Tian Pek sendiri tak menduga kalau kelitannya tadi akan mengakibatkan

kematian pemuda jumawa tersebut, cepat ia berkelit pula ke samping tatkala

pukulan gencar dan dahsyat si kakek muka merah itu menyambar tiba.

Kakek muka merah itu semakin kalap, ketika Tian Pek berkelit ke samping,

bagaikan harimau gila dia meraung keras, kemudian menghajar lagi pinggang

anak muda itu dengan tabasan telapak tangannya.

Ruangan itu tidak terlalu luas dan lagi dipenuhi dengan meja kursi, sementara

pukulan yang dilancarkan kakek itu sangat cepat dan juga keras, dalam keadaan

begini tak mungkin bagi Tian Pek untuk berkelit terus menerus, terpaksa ia harus

menyambut serangan dahsyat itu dengan keras lawan keras.

"Duuk! Blang!" akibat benturan keras pukulan yang dahsyat, seketika meja

kursi tergetar roboh, mangkuk piring berantakan memenuhi lantai

Hampir semua pelayan rumah makan dan tetamu sudah menyingkir jauh atau

lari kcluar ruangan itu, sekalipun mereka lari dengan cepat, tapi ada pula

beberapa orang di antaranya yang tersambar oleh angin pukulan atau pecahan

mangkuk-piring hingga terluka, jerit panik dan teriakan kesakitan membuat

suanana tambah kacau-balau tak keruan.

Sungguh dahsyat tenaga pukulan yang dipancarkan kakek muka merah itu,

Tian Pek merasakan telapak tangannya jadi panas dan kesemutan, mata-nya

berkunang, diam2 ia terkejut oleh kedahsyatan tenaga pukulan musuh.

Tiba2 dilihatnya pula rambut si kakek sama menegak dan mata melotot, biji

matanya se-akan2 meloncat keluar, kedua telapak tangan yang diluruskan ke

depan berubah menjadi merah membara, dengan wajah menyermkan ia

menubruk pula ke depan.

----------------------------------------

Siapakah kakek ini dan ada hubungan apa di antara orang2 ini dengan An- lok

Kongcu?

Peristiwa apa pula yang terjadi di kota yang belum di ketahui namanya ini?

Bacalah jilid ke 8 —

----------------------------------------

Isi di luar tanggung-jawab Perc. "PS", Semarang

AXD002

HIKMAH PEDANG HIJAU

(The Swordsman Journey)

Karya : Gu Long

Diceritakan Oleh : GAN K L

Jilid 8 : Kediaman orang mati

Menyaksikan telapak tangan yang merah itu, tiba2 Tian Pek teringat akan

sejenis pukulan beracun yang bernama Ang-seh-hiat-heng-ciang (pukulan darah

pasir merah), konon barang siapa terkena pukulan beracun itu, maka badannya

akan terasa panas bagai dibakar, isi perutnya akan menjadi hangus dan mati

konyol.

Ilmu ini hanya di dengar saja dan baru sekarang disaksikan dahsyatnya

pukulan tersebut, dan hawa pjnas yang dirasakan dari benturan tadi, diam2 Tian

Pek merasa ngeri juga akan akibatnya.

Tiba2 terbayang akan bantuan yang pernah diberikan An-lok Kongcu

kepadaoya, bagaimanapun ia pernah berutang budi kepada orang, kalau sampa1

timbul kesalahan pahamannya dengam anak buah orang, bila berjumpa lagi

kelak pasti akan terasa tidak enak. Maka ia pikir tidak perlu melayani orang ini

dan lebih baik tinggal pergi saja? Kalau ada urusan toh lain kali masih bisa

dibicarakan secara baik2.

Selagi Tian Pek berpikir begitu, pukulan Ang-seh-hiat-beng-ciang yang maha

dahsyat si kakek telah menggulung tiba pula dengan hebatnya.

Dalam keadaan terancam terpaksa Tian Pek menangkis, kemudian dengan

meminjam tenaga pukulan orang dia terus melayang ke sana sambil berseru:

"Maaf sahabat, aku tak dapat menemani lebih lama!" — Dengan cepat ia

menerobos keluar jendela.

"Mm kabur kemana?" bentak si kakek muka merah sambil mengejar.

"Lihat serangan!" mendada dari depan menyambar tiba tiga titik cahaya

langsung menyerang muka Tian Pek selagi anak muda itu masih mengapung di

udara.

Tian Pek cepat berjumpalitan di udara dengan gerakan in-li-huan

(berjumpalitan di awan) sehingga tubuhnya mengapung lebih tinggi ke atas,

maka terdengarlah suara "Crett Crett Crett!", tiga batang "paku penembus

tulang" menancap di belandar jendela, untung anak muda itu berkelit cepat,

kalau tidak tubuhnya pasti sudah tertembus oleh serangan maut itu.

Setelab melayang turun ke bawah, Tian Pek menengadah, tapi ia menjadi

terkejut, tahu2 angin keras menyambar tiba menindih kepalanya bagai gugur

gunung dahsyatnya.

Tian Pek terkejut, ia tak tahu benda apa yang menyambar tiba itu, cepat

dengan gerak Su-liang-poat-ciin-kin ( empat tahil menyampuk seribu kati ),

ujung pedangnya meraih ke atas untuk menyampuk.

Tapi "wuut", tahu2 benda besar itu melayang di atas kepalanya, waktu ia

menoleh, ternyata seorang Hwesio gemuk dengan membawa sebuab tameng

baja yang amat besar seperti sebuah daun pintu.

Hwesio gemuk itu berperawakan tinggi besar, mukanya penuh bercambang,

kepalanya gundul kelimis dengan delapan titik bekas diselomot dengan mata

melotot sedang memandangnya dengan tercengang.

Tiba2 anak muda itu teringat akan seseorang, menurut berita dalam dunia

persilatan katanya dalam Kangouw terdapat seorang Hwesio bertenaga raksasa

yang bernama Tiat-pay Hwesio ( paderi lempengan baja ), senjatanya adalah

sebuah lempengan baja seperti tameng ribuan kati yang besarnya seperti daun

pintu, tubrukan serta sambaran lempengan bajanya itu jarang bisa dihadapi

orang, pantas kalau Hwwsio lempengan baja jadi kaget melihat Tian Pek mampu

menyambut serangan dahsyat itu dengan ujung pedangnya.

Sementara itu seiuruh jalan raya sudah dikerumuni berpuluh orang jago

persilatan, rumah makan itu tcrkepung rapat dan tak mungkin bisa lolos dengan

mudah.

Tian Pek jadi rada bingung, pada saat itulah mendadak dua titik cahaya tajam

menyambar ke Tay yang hiat di pelipis anak muda itu.

Cepat Tian Pek rendahkan tubuhnya ke bawah, itu pedang mestikanya

dengan jurus Ki hwe liau thian (angkat obor membakar langit) dia sambut kedua

titik sinar itu.

"Cring! Cring" terdengar dering nyaring pelahan, kiranya dua bandul Li hai ca-

liu-seng-cui (bandul berantai) yang menyambar tiba terpapas kutung oleh

pedang hijau Tian Pek dan mencelat jauh ke sana.

Tapi segera terdengar bentakan gusar beberapa orang, cahaya tajam kembali

menyambar tiba, dua pedang dan sebilah golok berbareng menusuk dan

membacok arak muda itu.

Tian Pek putar badan mengikuti gerak pedang, setelah menciptakan sinar

hijau berkilauan, pedang mestikanya menabas ketiga senjata musuh.

Rupanya orang itu mengetahui sampai di mana kelihayan pedang mestika itu,

cepat mereka tarik serangan dan melompat mundur.

"Wutt!" kembali segulung angin pukulan yang kuat menghantam tubuh anak

muda itu.

Tian Pek sedang putar pedangnya, maka tak sempat ditarik kenbali, terpaksa

dia angkat telapak tangan kiri dan langsung memapak datangnya pukulan itu.

"Plak!" benturan keras terjadi. Tian Pek hanya bergetar sedikit, sebaliknya

kakek yang melakukan sergapan tersebut terhajar mundur dengan

sempoyongan, ia memandang Tian Pek dengan kaget dan heran.

Kakek ini adalab jago yang tersohor namanya di wilayah Lu-lam karena

telapak tangannya yang ampuh laksana baja, orang persilatan menjuluki dia

sebagai Tiat ciang (pukulan telapak tangan baja), Lu Lak-sun, llmu pukulan

andalannya disebut Tiat-seh ciang (pukulan pasir besi) tiga puluh tahun sudab

dia mendalami pukulan sakti itu, dalam anggapannya di kolong langit jarang ada

orang yang mampu menahan pukulan mautnya itu.

Ketika ia lihat Tian Pek yang masih muda secara beruntun dapat menangkan

lima orang lawan, dia mengira kehebatan anak muda itu hanya karena

mengandalkan ketajaman pedang, tenaga dalamnya pasti belum kuat.

Ketika ia lihat Tian Pek sedang menyerang, kesempatan itu dia gunakan uotuk

melancarkan sebuah pukulan dahsyat.

Siapa tahu dugaannya ternyata meleset, bukan saja Tian Pek sanggup

menahan pukulan dahsyatnya dengan tangan kiri, malahan dia sendirilah yang

tergetar mundur beberapa langkah, keruan ia kaget dan keheranan.

Msnurut perkiraannya, dengan usia Tian Pek yang masih muda ini, sekalipun

semenjak masih berada dalam rahim ibunya ia sudah belajar juga tenaganya

takkan melebihi dirinya, tapi fakta membuktikan lain, tentu saja si Telapak

Tangan Baja terkejut.

Tian Pek merasa perutnya semakin lapar, belum sempat makan sudah

dikerubut, akhirnya ia menjadi gusar juga, dengan sorot mata yang tajam

ditatapnya belasan jago silat itu dengan Pedang Hijau bergetar.

Sebenarnya anak muda itu belum menyerang, tapi jago2 yang mengepungnya

itu menyangka Tian Pek akan menyerang mereka, buru2 mereka pada mundur

lebih dulu dengan rata jeri

Tian Pek tertawa geli, tak disangkanya musuh yang kelihatannya garang

ternyata bernyali kecil.

Tertawa anak muda itu menyadarkan jago itu dari sikapnya yang memalukan.

Dengan muka merah beberapa orang di antaranya segera membentak, dengan

garang terus menerjang, sinar golok, pedang dan senjata lain sama menyambar

ke tubuh Tian Pek.

Dalam keadaan gawat, cepat Tian Pek gunakan Hong-cam keng-cau (angin

payuh membabat rumput kering) pedang mestika berputar membentuk dinding

cahaya hijau yang menyilaukan mata, segera terdengar suara "crang-cring"

beberapa kali, senjata beberapa orang di antaranya tertabas kutung dan sama

berteriak kaget sambil melompat mundur.

Hanya dua kali Tian Pek menyaksikan Tui-hong-kiam Hui Kiat menggunakan

jurus Ki-hong-keng-cau tatkala terjadi pertarungan sengit di perkampungan Pah-

to-san-ceng, akan tetapi ia sudah dapat menyadapnya dengan baik sekalipun

belum sempurna benar, tetapi gayanya dan jurus itu sudah hampir mirip, Tian

Pek sendiri tidak menyangka jurus serangan ini akan demikian hebatnya.

Berhasil dengan jurus pertama, selagi anak muda itu siap melancarkan

serangan kedua, mendadak terdengar seorang membentak: "Berhenti!" —

Suaranya keras nyaring memekak telinga.

Tian Pek brrpaling, ia libat si kakek muka merah tadi sedang melangkah

keluar dari pintu rumah makan, seorang pemuda tampan mengikuti

dibelakangnya.

Setelah berhadapan, kakek itu menuding Tian Pek dan menegur: "Kau anak

murid siapa? Apa hubunganmu dengan Hoan-toaya dari Tin-kang? Hendaklah

lekas bieara terus terang agar tidak terjadi salah paham."

"Aku tidak kenal Hoan-toaya dari Tin-kang, juga tak pernah berjumpa dengan

orang itu!" jawab Tian Pek. "Mengenai perguruan, maaf, aku tak dapat

menjelaskan!"

Sebagai pemuda jujur yang tak biasa berbohong serta tak kenal akan liku2

kelicikan orang persilatan apa yang terpikir oleh Tian Pek langsung diutarakan

tanpa tedeng aling2.

Memang ia gemar belajar silat, tapi dia tidak pernah angkat guru kepada

siapapun, kepandaiannya sekarang adalah hasil penyadapannya dari ilmu silat

orang lain, sudah tentu ia sendiri tak tahu siapa gurunya.

Mendengar keterangan tersebut, si kakek muka merah tertawa ter-bahak2,

seruuya: "Bocah yang takabur, kau tahu siapa aku?"

"Maaf, aku tak kenal Lo... anda," mestinya Tian Pek hendak membahasai kakek

itu sebagai Locanpwe, tapi melihat sikap orang yang memandang hina

kepadanya, mendadak ia berganti nada, nada yang tidak sungkan2 lagi.

"Anak kecil yang tak tahu diri, baru saja muncul lagaknya sudah takabur,"

seru pula kakek itu lagi dengan tertawa. "Hm, aku tidak percaya bahwa Lak-jiu-

tong-sim bisa mampus ditanganmu. Nih, banyak bicara juga tiada gunanya,

sekarang aku hanya akan menguji kau dengan tiga kali pukulanku, kalau kau

mampu mempertahankan diri, maka kau bebas bergerak di wilayah Kangsoh dan

Shoatang sini. Nah, anak muda, kau setuju?!"

Tian Pek tidak kenal siapa kakek muka merah ini, padahal kakek ini adalab

teorang jago kosen yang aniat iersohor di propinsi2 Kangsoh dan Shoatang. Hiat-

ciang-hwi-liong ( naga api pukulan bcr-darab ) Yau Peng-gun.

Bukan saja ilmu pukulan Ang-seh-hiat-heng-ciang andalannya sudah

mencapai tingkatan sempurna bahkan macam2 senjata rahasia mes unya juga

tiada tandirgan di dunia Kangouw, lebih2 senjata aodal-nmnya, yaitu senjata

aneh berbentuk telapak tangan manusia, cuma ukurannya lebih besar dan

terbuat dari baja uiurni

Besar manfaat senjata berbentuk aneh ini, selain untuk menutuk jalan darah,

dapat juga dipakai merebut senjata lawan, selain itu ujung jari tengah senjata

mesin sunggub sangat lihay, apabila tombol rahasianya dipencet, maka senjata

rahasia itu akan menyergap musuh secara telak.

Senjata aneh yang serba guna ini diberinya bernama Sian-jin-ciang (telapak

tangan sang dewa), selama malang melintang disekitar propinsi Kangsoh dan

Shoatang belum pernah menemukan tandingan. lambat-laun ia menjadi angkuh

dan suka pandang rendah orang lain.

Sebagai seoraag jagoan yang tak terkalahkan ia jarang mau tunduk kepada

orang, entah bagaimana kemudian, tahu2 dia diserap oleh An-lok Kong-cu dan

ditempatkan di kota Hin-liong-tin ini sebagai pos perlindungan perkampungan

In-bong-san-ceng yang terletak di kota Soh ciu, dimana An-lok Kong-cu sendiri

bertempat tinggal.

Hari ini dia mendapat laporan bahwa Lak jiu tong-sim Hui It-tong telah

terbunuh oleh seorang pemuda berpedang di hutan utara kota, sudah tentu ia

tidak percaya atas laporan tersebut.

Babwa Hui It-tong bisa dibunuh orang. apalagi oleb seorang pemuda ingusan,

berita ini tentu saja sangat meragukan, Lak-jiu-tong-sim juga seorang Jago

andalan An lok Kongcu, ilmu silatnya luar biasa lihaynya, kakek muka merah

sendiripun tak berani mengatakan ilmu silatnya lebih unggul daripada Hui It

tong. tapi tokoh lihay itu bisa mati di tangan seorang pemuda?

Sebab itulah dengan setengah percaya setengah tidak cepat ia

memerintahkah anak buahnya untuk mengikuti gerak-gerik anak muda itu,

sementara dia kirim pula seorang khusus melaporkan kejadian ini kepada An-lok

Kongcu di Sohciu.

Kemudian ia mendapatkan laporan pula bahwa pemuda bersenjata pedang

itu sudah tiba di Hin-liong-tin. maka dia lantas membawa muridnya, Giok-bin lo-

cia (Lo Cia muka putih) Song Siau-hui serta sekalian jago lihay lainnya untuk

mencari anak muda itu.

Setelah pertarungan berkobar, ia lihat Tian Pek menggunakan ilmu pedang

Tui-hong-kiam-hoat dan keluarga Hoan, disangkanya pemuda itu ada hubungan

dengan keluarga Hoan, sebab dia tahu An-lok Kongcu mempunyai hubungan

yang akrab sekali dengan keluarga Hoan, takut terjadi salah paham, maka dia

lantas menegur.

Siapa tahu Tian Pek telah menyangkal, bahkan ucapannya kasar dan jumawa

sekali, maka meledaklah amarah Hiat-ciang-hwe-liong, dia lantas menantang

anak muda itu untuk beradu pukulan sebanyak tiga jurus.

Dasar Tian Pek adalah pemuda yang tinggi hati, diapun tak kenal tingginya

langit dan tebalnya bumi, betapa panas bati anak muda itu setelah mendengar

tantangan tersebut, dianggapnya kakek itu memandang rendah dirinya. Maka

dengan angkuh dia menjawab: 'Baik! Kuterima tantanganmu, coba katakan

caranya!"

Lalu ia masukkan pedang ke sarungnya dan pasang kuda2 menanti serangan

musuh.

"Bagus! Bocah bagus, kau memang punya nyali!" teriak Hiat-ciang hwe-liong

dengan gusar.

Sambil membentak bahunya terangkat hingga tubuhnya melengkung ke

depan, rambut yang putih pendek seperti duri landak makin kaku bagaikan

kawat, muka yang merah makin membara, dia membentak: '"Awas, bocah

bagus, inilah pukulanku yang pertama!"

Sambil angkat telapak tangannya Hiat-ciang-hwe-liong mengerahkan tenaga

pukulan Ang seh hiat heng-ciang hingga lima bagian, segera pukulan dahsyat

menghajar dada Tian Pek.

Diam2 anak muda itu terperanjat, dari cara pengerahan tenaga yang berbeda

dengan umum serta pancaran hawa merah membara dari telapak tangan

musuh, dia tahu ilmu andalan si kakek muka merah ini adalah sejenis ilmu

pukulan beracun. Namun sifat angkuhnya membuatnya pantang takut, biar tahu

lihay, ia tak sudi menghindar, ketika kakek muka merah itu mendorong telapak

tangan ke depan, cepat iapun menghimpun hawa murninya dan menyambut

datangnya ancaman tersebut dengan pukulan pula.

"Plak", benturan keras terjadi, pusaran angin kencang memancar, debu pasir

beterbangan.

Di tengah getaran keras itu, Tian Pek hanya merasakan tubuhnya bergeliat,

namun ia masih tetap berdiri tak bergerak, sementara segulung hawa panas

serasa menembusi telapak tangannya dan menyusup ke dalam tubuh. Terasa

bawa panas membara bagaikan dibakar, aneh sekali rasa panas itu, bukan saja

membuat tenggorokan jadi kering, kepala pun terasa pusing.

Hiat-ciang-hwe liong sendiri terdesak mundur juga dua langkah. Hal ini

disebabkan dia cuma memakai lima bagian tenaga dalamnya, sedang Tian Pek

sudah mengerahkan sepenuh tenaganya.

Semakin memuncak rasa gusar Hiat-ciang-hwe-liong. matanya melotot, segera ia

meraung pula; "Bocah keparat! Terima pula pukulan berikut ini!'

Sambil meraung kakek itu menarik telapak tangan kanannya ke belakang,

menyusul telapak tangan kirinya tsrus didorong ke depan, kali ini dia sertakan

delapan bagian tenaganya, tentu saja kekuatannya jauh lebih hebat daripada

serangan yang pertama tadi.

Kebanyakan jago silat yang berpengalaman jarang ada yang mau bertarung

menggunakan tenaga sepenuhnya pada pertempuran permulaan, seringkali

mereka cuma menggunakan tenaga sebesar empat-lima bagian untuk mencoba

kekuatan musuh, kemudian baru perhebat pada serangan berikutnya.

Sebab itulah tenaga pukulan kcdua yang digunakan Hiat-ciang-bwe-liong lebih

kuat daripada pukulan pertamanya, dengan demikan akan kehebatan makin

lama bertarung makin perkasa dan bukan sebaliknya.

Tian Pek masib muda dan kurang pengalaman, pada pukulan pertamanya dia

sudah mengerahkan seluruh tenaganya, waktu pukulan kedua Hiat-ciang-hwe-

liong menggulung tiba pula ia baru merasa tidak kuat menahan serangan maha

dahsyat itu.

Dasar sifatnya memang keras kepala dan pantang menyerah, meskipun tahu

serangan itu maha dahsyat dan tak mungkin bisa dilawan dengan kekuatannya,

namun ia tak sudi menghindar, seperti pada serangan pertama tadi, dia sambut

pukulan dahsyat itu dengan tangan kirinya.

"Blang!" kembali benturan keras yang memekak telinga, ketika kedua gulung

angin pukulan saling membentur. begitu dahsyat pancaran angin pukulan itu

membuat jago2 yang berada di sekitar situ tak sanggup berdiri tegak dan sama

terdesak mundur.

Hiat-ciang-hwe-liong yang berperawakan tinggj besar sama sekali tidak

bergerak dari kedudukan semula, sebaliknya Tian Pek sekali ini tergetar dua

langkah ke belakang.

Kalau cuma mundur saja masih mendingan, yang lebih celaka lagi hawa

pukulan yang mengalir masuk membuat telapak tangan kiri anak muda itu

kepanasan seperti dibakar, keringat membasahi sekujur badannya, kepalanya

terasa pusing, hampir saja ia jatuh terjungkal.

Meski kedua pukulan dahsyat yang disambut Tian Pek secara beruntun itu

membuat isi perutnya terbakar luka, namun dia tetap bertahan, tubuhnya tetap

tegak bagaikan bukit, hal ini tentu saja membuat gempar para jago yang ikut

menyaksikan itu.

Dengan mata terbelalak karena heran bercampur kaget, puluhan jago

persilatan yang berkumpul disitu sama meleletkan lidah sambil membatin:

"Hebat benar bocab ini, tak tersangka dia sanggup menerima dua kali pukulan

berantai Hiat-ciang hwe-liong yang tak pernah ketemu tandingan itu"

Rupanya Hiat ciang hwe-liong sendiripun dapat menyadari gawatnya

keadaan, ia sudah telanjur omong besar akan merobohkan Tian Pek dalam tiga

kali pukul, kini dua kali sudab berlangsung, jika pukulan ketiga juga tak mampu

merobohkan lawan, maka tamatlah nama baiknya. Iapun tahu tenaga anak

muda itu sudah mulai lemah, ia tidak memberi kesempatan bernapas lagi pada

lawan, segera ia membentak pula: "Pukulan ketiga! Robohlah kau, anak muda!"

Di tengah bentakan itu, Hiat ciang-hwe-liong angkat kedua telapak tangannya

sambil mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya terus menghantam

dada Tian Pek.

Kebesaran nama Hiat-ciaug-hwe-lioug memang tidak omong kosong,

kedahsyatan pukulan yang dilancarkan ini ibaratnya bendungan yang dadal,

membanjir dengan hebatnya menekan lawan.

Seketika Tian Pek mcrasakan sambaran hawa panas, dada terasa sesak dan

susah untuk bernapas. sadarlab anak muda ini bahwa pukulan musuh terlampau

berat baginya untuk disambut dengan kekerasan seperti tadi, akan tetapi dasar

dia memang kepala batu, dia tak mau tunjuk kelemahan di depan orang banyak,

dia tetap mengerahkan segenap tenaga pada kedua telapak tangan dan menolak

ke depan.

"Blang! Krak! Krak!" di tengah benturan keras, debu pasir beterbangan hingga

pemandangan di sekitar gelanggang jadi buram dan kawanan jago yang berada

disekitar gelanggang tak tahu jelas apa yang terjadi.

Selang sesaat, angin reda dan debu hilang, keadaan di depan jadi jelas

kelihatan kembali, tampak Hiat-ciang-bwe-liong masih tetap berdiri saling

berhadapan dengan Tian Pek, tak seorangpun di antara mereka ada yang roboh.

Suasana menjadi gempar lagi, semua orang sama terkcsiap, mereka tak

mengira kekuatan anak muda itu bisa sedemikian hebatnya. "Siapakah gerangan

anak muda ini? Cara bagaimana ia latih ilmu silatnya hingga mampu menahan

tiga kali pukulan Yau-locianpwe?" demikian mereka membatin.

Semua orang kaget, diam2 juga kagum, belum pernah terjadi adu kekerasan

yang begini hebatnya dalam dunia persilatan, apalagi yang terlibat dalam

pertarungan ini adalah Hiat-ciang-hwe-liong, seorang tokoh kosen yang sudah

punya nama besar sejak belasan tahun yang lalu, sebaliknya lawannya cuma

seorang pemuda yang sama sekali tak terkenal.

Orang lain kaget, Hiat-ciang-hwe-liong jauh lebih kaget, ia tak menyangka

kalau tiga kali pukulan dahsyat yang dilancarkan olehnya dapat disambut oleh

pemuda itu dengan kekerasan.

Ketka pukulan kedua dilancarkan dengan tenaga delapan bagian tadi, ia

sudah merasakan anak muda itu pasti tak mampu menahan pnkulannya yang

ketiga.

Siapa tahu dugaan itu ternyata meleset, ketika pukulan ketiga dengan

sepenuh tenaga dilontarkan, bukan saja pemuda itu tetap menerimanya dengan

keras lawan keras, malahan orang sama sekali tak roboh.

Hiat ciang hwe liong tabu sampai di manakah kekuatan sendiri, ia tahu

pukulan yang dilontarkan itu paling sedikit berkekuatan ribuan kati, apalagi

pukulan Ang seh hiat-heng ciang yang kuat, panas dan beracun, jangankan

manusia yang terdiri dari darah daging, sekalipun batu padas juga akan hancur,

pohon besar juga akan tumbang bila terlanggar tenaga pukulannya.

Sudah beratus orang jago yang pernah ditemuinya semenjak ia terjun ke

dunia persilatan. tap1 belum pernah ia temui seorang pemuda ingusan tak

dikenal yang kosen dan ulet, bukan saja pukulan dahsyatnya gagal

merobohkannya, malahan dapat menandinginya dengan sama kuat, tentu saja

jago tua ini terkesima heran dan kaget.

Tapi setelah diamatinya dengan seksama, ia baru menemukan ada kelainan

pada anak muda itu, mukanya kelihatan merah membara seperti terbakar, sinar

matanya pudar, meski tetap melototinya, namun sinarnya sudah buram.

Tahulah Hiat ciang-hwe-liong bahwa anak muda itu telah terluka isi perutnya

oleh pukulan hawa panasnya yang dahsyat dan kini berada dalam keadaan tak

sadar. Sebabnya ia tidak roboh mungkin karena tenaga pantulan yang membalik

dari dinding di belakang anak muda itu sehingga tubuhnya tertahan untuk

sementara.

Karena pikiran itu, dia lantas menegur: "He, anak muda, bagaimana rasanya

ketiga pukulanku ini?"

Tian Pek tetap diam saja, tidak menjawab juga tidak bergerak.

"Hahaha!" Hiat-ciang-hwe-liong terbahak-bahak dengan bangganya, "kukira kau

tak mampu lagi menjawab pertanyaanku bukan? Hahaha, dan kenapa kau tidak

rebah saja?"

Sambil mengejek, secepat kilat ia menubruk maju dan langsung menutuk Bi-

sim-hiat di tubuh anak muda itu.

Ada dua maksud tujuan tindakannya ini. Pertama, jika Tian Pek sudah mati,

maka mayatnya harus dirobohkan sehingga ia dapat memerintahkan anak

buahnya untuk membereskan jenazahnya. Kedua, kalau Tian Pek tidak mati dan

hanya terluka parah, maka tutukan ini akan mengirim anak muda itu ke akhirat.

Perlu diketahui, Hiat-ciang-hwe-liong Yau Peng-gun adalah jago silat yang

tersohor kekejamannya, belum pernah ia ampuni jiwa musuhnya, bila terjadi

pertarungan, maka ia pasti akan membunuh lawannya.

Sebab ia mempunyai prinsip hidup yang aneh, baginya kalau berbaik hati

kepada musuh berarti bertindak kejam terhadap diri sendiri, bila membabat

rumput tidak se-akar2nya, angin musim semi berembus dan rumput itu akan

tumbuh kembali.

Dengan prinsip hidupnya inilah ia tak mau berbuat baik hati kepada lawan

hingga mendatangkan bencana bagi dirinya di kemudian hari.

Tampaknya jika tutukan maut itu kena sasarannya niscaya Tian Pek akan mati

konyol.

"Setan tua, kau berani?'' tiba2 suara bentakan nyaring menggelegar di udara.

Berbareng bentakan tersebut, sejalur bayangan hitam meluncur tiba dan

menyabat jalan darah Im-tok-hiat di lengan kanan Hiat-ciang-hwe-liong.

Ilmu silat kakek itu memang hebat, meskipun menghadapi sergapan dia tidak

menjadi gugup, tubuhnya yang sedang menerjang ke depan mendadak melejit

ke udara, kemudian dengan gerak In-li-hoan (jumpalitan di tengah awan) dia

mengerem gerak tubuhnya yang sedang meluncur itu dan melayang kembali ke

tempat semula.

"Tarr! Aduuh! Bluk!" serentetan suara nyaring terdengar serta berkelebatnya

bayangan orang, tahu2 seorang nooa cantik berpakaian sutera halus sudah

berdiri tegak di tengah2 antara Tian Pek dan si kakek.

Kiranya suara "Tarr!" tadi adalah bunyi cambuk kulit sepanjang tiga depa yang

dilemparkan anak dara itu untuk menyerang pergelangan tangan kanan Hiat-

ciang-hwe-liong dan menolong Tian Pek, tapi tiba2 kakek itu melejit di udara

dengan gerakan yang indab, maka cambuk tersebut menyambar ke sana dan

menyerempct telinga Hwesio gemuk tadi.

Tiat-pay Hwesio ini bertenaga raksasa, tapi sayang dia adalah manusia kasar

dan dungu, waktu itu ia sedang mengikuti jalannya pertarungan, ketika

telinganya secara tiba2 terasa sakit, cepat dia meraba dan betapa kaget dan

marahnya setelah mengetahui daun telinganya terkupas sebagian dan

berlepotan darah, kontan dia menjerit: "Aduh!'

Sedangkan suara "Bluk!' yang terakhir adalah suara benturan ujung cambuk

yang menancap dinding tembok, cambuk itu menembusi dinding yang keras itu

hingga tiga-empat inci dalamnya, dapat dibayangkan betapa dahsyatnya tenaga

dalam yang dimiliki penyambit cambuk itu.

Apalagi setelah semua orang tahu kalau penyergap itu adalah seorang dara

muda yang cantik jelita, hampir sebagian besar jago persilatan yang hadir itu

sama terbelalak lebar matanya.

Pudahal cambuk adalah kenda yang lemas, tapi disambitkan oleh anak dara

itu cambuk menjadi lurus dan keras bagaikan anak panah, bukan saja telah

melukai seorang jago lihay, malahan terus menembus dinding tembok yang

keras sedalam empat lima inci, bila seseorang tidak memiliki tenaga dalam yang

sempurna, tak mungkin bisa melakukannya-Nona itu berusia enam-belasan,

mukanya cantik dengan mata yang jeli, hidung mancung serta bibir yang kecil

mungil menawan, giginya putih bersih, rambutnya disanggul model keraton, di

balik kecantikannya tersembunyi keagungan. terutama sekali sifat ke-

kanak2annya yang jelas masih kelihatan diwajahnya sehingga anak dara itu

kelihatan polos, lincah dan menawan hati.

Betapa gusarnya Hiat-ciang-hwe-liong setelah mengetahui yang datang hanya

seorang anak dara yang cantik, tapi ia sendiri telah dibikin kalang kabut, bahkan

seorang anak buahnya juga dilukai.

Dengan gusar ia lantas membentak: "Budak liar darimana? Berani kau campur

urusan pribadiku? Hm, kautahu tidak aku ini Hiat-ciang-hwe-liong ... ?"

"Jangan temberang kakek muka merah!' jawab si gadis dengan bertolak

pinggang sambil menuding hidung lawannya. "Coba jawab dulu pertanyaanku.

Kau sudah tua bangka, masakah kau tidak pegang janji, bicaramu tidak ditaati?"

"Hm, budak liar. rupanya kau tak pernah mendapat didikan!" teriak Hiat-

ciang-hwe-liong, "berani kau bicara tak sopan dihadapanku? Kalau kau tidak

tahu adat jangan salahkan aku bila kuhajar kau."

"Huh, tua bangka sialan yang tak bisa dipercaya omongannya? Jangankan kau

tak mampu menghajar diriku, suatu pukulanku saja kukira belum tentu kau

sanggup menerimanya, asal kau mampu menyambut pukulan nonamu, enam

propinsi di utara dan selatan sungai boleh kau jelajahi dengan bebas, tanggung

takkan ada orang yang berani mengganggu dirimu ...

"Tutup mulut.... !" bentak Hiat-ciang-hwe-liong semakin gusar, rupanya ia

merasa ucapan gadis itu persis menirukan nada ucapannya terhadap Tian Pek

tadi, dia menggosok telapak tangan dan siap menerjang maju.

"Budak kurang ajar, kau berani melukai telinga Hudya, hayo bayar kerugian

kepadaku dengan jiwamu," demikian terdengar bentakan mcnggelegar.

Berbareng itu, Tiat-pay Hwesio lantas putar tameng baja yang beratus kati

beratnya itu terus menghantam batok kepala si nona.

Nona itu tersenyum simpul, ia tetap berdiri santai di tempat semula, bukan

saja tidak menaruh perhatian pada serangan dahsyat lempengan baja itu,

bahkan melirikpun tidak.

Ketika lempengan baja itu sudah dekat batok kepalanya, mendadak ia

merendahkan tubuhnya, kemudian entah memakai gerakan apa, tahu2 ia sudah

menerobos keluar dari bawah, menyusul tubuhnya melejit ke atas, dengan

gerak Yan-cu-hoan-sin (burung Walet putar badan) ia berjumpalitan di udara

terus melayang turun dan tepat berdiri tegak di atas lempengan baja lawan.

"Hei, Hwesio dogol," ejeknya sambil tertawa cekikikan "kutahu kau memang

tak becus berkelahi, rupanya kau kehabisan senjata, maka kau bongkar daun

pintu kuilmu untuk digunakan sebagai senjata!"

Tiat-pay Hwesio ber-kaok2 gusar, lempengan bajanva diputar kencang

bagaikan baling2, maksudnya bendak melemparkan tubuh gadis itu agar jatuh.

Siapa sangka bukan saja anak dara itu tidak terlempar, sebaliknya dia

malahan main loncat, menari dan berjingkrak di atas lempengan baja itu dengan

riang gembira

Sambil berloncatan kian kemari, ia tertawa ngikik tiada hentinya: "Hihihi,

sungguh menyenang-kan, sungguh menyenangkan . . . !"

Sunguh tontonan yang menarik, seorang Hwesio gede mcmutar lempengan

baja sebesar daun pintu bagaikan baling2 dan seorang gadis cantik berloncatan

kian kemari di atasnya sambil cckikikan, bila orang tak tahu duduknya persoalan

pasti akan menganggap di sini sedang berlangsung permainan akrobatik-

Pada waktu itu, bukan saja kawanan jago yang dibawa Hiat-ciang hwe liong

telab berkumpul, malahan rakyat jelata juga berkerumun untuk menonton

keramaian meski tadi mereka sudah kabur ter-birit2 ketika terjadi pertarungan

sengit tadi.

Sekalipun Tiat pay Hwesio adalah seorang manusia kasar dan blo'on, lambat

laun ia dibikin kheki juga setelah setengah harian tak sanggup merontokkan

gadis itu dari atas lempengan bajanya, akhirnya ia tahu sekali pun cara itu

dilanjutkan sampai pagi juga belum tentu bisa bikin jatuh nona itu

Maka akhirnya ia putar lempengan baja tersebut dengan tangan sebelah,

sementara tangan yang lain langsung menyodok ke selangkangan anak dara itu

sambil memaki: "Neneknya, jangan kauanggap Hudya mudah dipermainkan!

Hayo turun!"

Bagi seorang gadis, serangan macam itu di-anggap sebagai suatu serangan

kotor dan rendah. merah padam selembar wajah si nona, kali ini ia tak dapat

tertawa lagi.

Dengan gerak Thio Hui-pian be (Thio Hui merosot ke bawah kuda), gadis itu

angkat kaki sebelahnya untuk menghindari tonjokan maut lawan, kemudian

mengerahkan tenaga ia tekan lempengan baja tadi. lalu melayang turun ke sana.

Sungguh menarik kejadian selanjutnya, karena tenaga tekanan kaki si nona,

Tiat-pay Hwesio tak sunggup menahan lempengan baja sendiri yang berat,

apalagi lempengan baja itu hanya dipegang dengan satu tangan, begitu terlepas

dari pegangan langsung saja lempengan baja itu menjatuhi kaki sendiri.

Lempengan baja itu memang berat, jatuhnya karena tekanan anak dara tadi,

walaupun kaki Hwesio itu terlindung oleh sepatu, tak urung juga kesepuluh jari

kakinya hancur tertindih senjata sendiri.

Itulah yang dinamakan senjata makan tuan, sambil menungging Hwesio dogol

itu ber-kaok2 ke-sakitan.

Sementara itu dengan tenangnya nona cantik itu sudah berdiri di depan Hiat-

ciang hwe liong, ujarnya sambil membetulkan rambutnya yang kusut: "Eeh,

kakek tua muka merah, tentunya kaupun orang yang punya nama dan

berkedudukan baik di dunia persilatan, masa sebagai seorang tokoh kenamaan

kau tidak pegang janji?"

Lagak angkuh dan rasa gusar Hiat-ciang-hwe-liong tadi kini sudah lenyap tak

berbekas, sebaliknya dia lantas tersenyum sebisanya dengan sikap ramah dan

menghormat.

Sekarang ia tak berani pandang enteng anak dara itu lagi, terutama sekali

setelah menyaksikan gerak tubuh Ni-gong-huan-ing (melintas di angkasa dengan

bayangan semu) yang dipraktekkan si gadis waktu mempermainkan Tiat-pay

Hwesio, karena ia kenal gerak tubuh ini adalah suatu kepandaian rahasia yang

tak pernah diwariskan kepada orang luar dari suatu keluarga persilatan yang

besar.

Tidaklah mungkin gadis ini bisa menguasai gerak tubuh sakti itu tanpa

mempunyai hubungan yang erat dengan keluarga persilatan besar yang

dimaksud itu, betapa besarnya pengaruh keluarga persilatan itu, jangankan Hiat-

ciang hwe-liong sendiri, sekalipun An-lok Kongcu juga belum tentu berani cari

gara2 pada keluarga itu.

"Nona!" ucapnya kemudian, "cukup kiranya kalau engkau mengetahui bahwa

aku mempunyai nama dan kedudukan lumayan di dunia persilatan-Coba

jelaskan, perkataan apa yang telab kuucapkan dan kauanggap tidak pegang

janji?"

Hiat-ciang hwe-liong memang jago kawakan yang licik, sekalipun dia ada

maksud untuk mengalah kepada gadis itu, akan tetapi pembicaraannya tetap

angkuh demi menjaga gengsi.

"Hm!" anak dara itu mendengus, "kakek keriputan, tak perlu kau tempeli

mukamu sendiri dengan emas, kaupun tak usah berlagak pilon! Sebelum

pertarungan dimulai tadi, bukankah kau telah berjanji akan mengaku kalah bila

Tian-siauhiap sanggup menerima tiga pukulanmu?"

Hiat-ciang-hwe-liong ter-bahak2. "Hahaha! Rupanya nona sudah mengikuti

semua pembicaraanku dengan engkoh cilik ini. Baik, baiklah! Kalau nona sudah

mengatakan begitu, akan kulepaskan engkoh cilik ini pergi dari sini!"

"Nah, begitu baru pantas, kalau sudah berani buka suara maka sepantasnya

berani pegang janji. Hayo suruh orang2mu menyingkir!"

Habis berkata gadis itu lantas bersiul nyaring, seekor kuda berwarna merah

yang tinggi besar muncul dari belakang kerumunan orang banyak, setibanya di

sisi gadis itu dengan kepalanya kuda itu meng-usap2 badan majikannya dengan

mesra sekali.

Melenggonglah berpuluh lelaki yang menyaksikan kejadian itu, meski tidak

sedikit di antaranya yang tergolong lelaki bangor dan tergiur oleh kecantikan

anak dara itu, namun tak seorangpun yang berani mencari penyakit, apalagi

setelah menyaksikan pemimpin mereka, Hiat-ciang-hwe-liong juga segan kepada

si nona.

Dalam hati orang2 itu menjadi dongkol demi mslihat sikap kuda merah itu

begitu mesranya dengan si nona, memangnya manusia kalah daripada kuda,

demikian gerutu mereka.

Dengan kasih sayang gadis itu membelai bulu suri kudanya, kemudian dengan

sekali berkelebat ia sudah berada di kaki tembok sana untuk mencabut

cambuknya, entah bagaimana caranya tahu2 ia sudah melayang kembali ke

tempat semula, semua gerak-geriknya dilakukan amat cepat, suatu bukti entah

betapa sempurnanya Ginkang yang dimilikiaya. Setelah mengambil kembali

pecutnya, nona itu menarik kudanya ke samping Tian Pek. Waktu itu

Tian Pek masih berdiri kaku di tempat semula dengan muka merah membara.

"Engkoh Pek, engkau teriuka?" ucap dara itu dengan lembut dan sedih melihat

keadaan anak muda itu.

Tian Pek tetap diam saja.

"Engkoh Pek, parahkah lukamu? Mengapa kau tidak menjawab?" kembali gadis

itu berbisik.

Tian Pek tetap bungkam dan tidak bergetak, biji matanya juga tak berputar

sama sekali.

Betapa sedih anak dara itu menyaksikan keadaan Tian Pek, matanya jadi

merah dan hampir meneteskan air mata.

Akhirnya dengan gemas ia berkata: "Hm, pasti kakek sialan ini yang melukai

kau. Baik! Akan kubalaskan dendammu nanti pada kakek sialan ini setelah

kubawa kau pulang dulu kerumah untuk merawat lukamu."

Dengan mata melotot ia melirik sekejap ke arah Hiat-ciang-hwe-liong, lalu

loncat ke atas kudanya, ia tarik Tian Pek ke atas pelana.

Dengan tangan sebelah memeluk tubuh anak muda itu, si nona cemplak

kudanya dan siap berlalu.

"He, nona, tunggu sebentar!" tiba2 Hiat-ciang-hwe-liong maju selangkah ke

depan sambil berseru.

"Ada apa?" tanya si nona dengan muka tak senang, alis matanya bekernyit

"Memangnya kau menyesal dan ingkar janji? Tua bangka celaka!"

Hiat-ciang-hwe-liong menyengir, ucapnya: "Nona,jangan kau sebut aku tua

bangka celaka segala, sedikitnya kau harus meghormati aku dan jangan berbuat

kurang sopan terbadap orang yang lebih tua daripadamu bukan?"

"Sudah, tak usah banyak bicara, apa lagi yang hendak kaukatakan?" tukas

gadis itu tak sabar.

"Budak cilik yang tak tahu diri, jangan kelewat batas sikap angkuhmu!" teriak

Giok-bin-lo-cia dengan marah, segera ia hendak melabrak si nona.

"Anak Hui, jangan turut campur!" cepat Hiat-ciang-hwe-liong mcncegah. Lalu

katanya pula kepada anak dara itu: "Nona, kctahinlah bahwa aku mengalah

kepadamu lantaran mengingat orang tua-mu kalau engkau tak suka banyak

bicara, akupun tak akan banyak omong, pemuda she Tian ini sudah tcrkena

pukulan Ang-seh hiat-heng-ciang yang beracun, jika dalam tiga hari tidak

memperoleh obat penawarnya, maka dia akan mati dengan tubun hangus. Nah.

karena aku mau berbuat baik, untuk membuktikan maksud baikku, akan

kuberikan sebutir obat penawar, asal pemuda itu sudah minum obatku dan

beristirahat selama beberapa hari, maka lukanya akan sembuh dengan

sendirinya!"

Sambil berkata is keluarkan sebuah botol kecil dan mengambil sebutir pil

warna hijau, lalu di selentikkan ke arah gadis itu.

Sambil tersenyum nona itu menjepit obat tersebut dengan kedua jarinya.

Pil itu kecil sekali bentuknya tapi diselentikkan Hiat-ciang-hwe-liong dengan

tenaga yang keras pil yang kecil itu meluncur secepat kilat, tapi anak dara itu

sanggup menjepitnya dengan tepat dan jitu dengan dua jari, untuk itu bukan

saja dia harus tajam dalam penglihatan, tenaga dalam serta gerak japitannya

juga harus tepat dan sempurna pula.

Sekarang Hiat-ciang-hwe-liong baru benar2 kagum atas kelihayan si nona,

sambil menghela napas ia berpeling ke arah muridnya, mau-tak-mau Song Siau-

hui merasa kalah dan menunduk malu.

Gudis itu mengamati pil itu sekejap, lalu ia berkata: "Cara bagaimana kutahu

obat ini benar2 obat penawar? Seandainya kau beri sebutir obat racun

kepadaku . . . ?"

Bicara sesungguhnya, Hiat-ciang-hwe-liong memang bukan sungguh2 hendak

menolong jiwa Tian Pek, yang benar ia berbuat begitu karena takut pada

pengaruh keluarga si gadis yang besar dan kuat itu.

Ia menduga pasti ada hubungan yang luar biasa antara gadis itu dengan Tian

Pek, terutama sikap mesra yang diperlihatkan anak dara itu. Ia maklum, bila Tian

Pek sumpai mati di tangannya. niscaya anak dara itu akan menuntut balas

padanya.

Karena itulah dia lantas putar haluan mengikuti arah angin, ia sengaja

menolong anak muda itu agar di kemudian hari gadis itu tak mencari perkara

lagi padanya,

Siapa tahu, bukan rasa terima kasih yang didapat, ia malah dicurigai sengaja

memberi obat racun, keruan ia mendongkol, segera ia menjengek; "Nona, kalau

aku tidak bermaksud menolong jiwanya, biarpun tidak kuberi obat racun juga

dia tetap akan mampus. "

"Oh, kalau begitu aku mesti berterima kasih kepadamu, begitukah kakek

sialan?" kata gadis itu sambil cekikikan.

Sekarang ia percaya obat yang diberi Hiat-ciang-hwe-liong itu adalah obat

penawar, maka tanpa menunggu jawaban orang lagi ia lantas mencemplak ke

atas kudanya dan pergi dari situ.

Dalam sekejap mata bayangannya sudah lenyap di balik kegelapan sana,

betapa mendongkol-nya Hiat-ciang-hwe-liong menyaksikan tingkah laku nona

itu, terutama sebutan "kakek sialan" yang terakhir itu . . . .

Udara cerah, sang surya memancarkan sinar emasnya yang cerlang

cemerlang.

Seekor kuda merah yang tinggi besar sedang berlari kencang di jalan raya.

Penunggang kuda itu adalah seorang gsdis cantik jelita serta merangkul

seorang pemuda tampan yang berada dalam keadaaan tak sadar.

Banyak orang memandang heran pada penunggang kuda itu. Betapa tidak?

Seorang gadis cantik merangkul seorang pemuda di siang hari bolong. sudah

tentu kejadian ini sangat menarik perhatian.

Untungnya kuda itu berlari dengan cepatnya, hanya sekilas pandang saja

kuda itu sudah lewat jauh ke sana meninggalkan debu yang beterbangan

memenuhi angkasa.

Sambil membedal kudanya kencang2, berulang kali anak dara itu

meuundukkan kepalanya memandang pemuda yang berada dalam pelukannya

dengan rasa kuatir dan kasih sayangnya. Bila dalam keadaan sadar pemuda itu

menyaksikan kemesraan dan rasa kuatir yang ditunjukkan si gadis cantik ini

kepadanya, niscaya dia akan merasa dirinya orang yang paling bahagia di dunia.

Sayang pemuda itu pingsan, sepanjang perjalanan ia tak dapat menikmati

kehangatan serta kemesraan yang ditunjukkan gadis itu, malahan mukanya

semakin merah membara, napasnya makin memburu, dadanya turun naik makin

keras dan jiwanya sudah berada ditepi jurang kematian.

Cemas dan gelisah anak dara itu menyaksikan keadaan pemuda itu yang

semakin payah, ia dapat merasakan suhu badannya yang kian meninggi, ia

merasa se-akan2 sedang memeluk segumpal bara.

Akhirnya ia tak dapat menahan perasaan kuatirnya, lari kudanya diperlambat

dan akhirnya ber~benti.

"Apa yang mesti kulakukan sekarang?" pikirnva dengan gelisah, "jelas tak

mungkin kubawa pulang ke rumah. tapi di tengah jalan yang begini sunyi ke

mana aku mesti mencari tabib untuk menyembuhkan sakit engkoh Pek?''

Setelah ter-mangu2 sejenak, gadis itu berpikir lebih jauh: "Aku memang

bodoh. jika kubekal beberapa biji Toa hoan-wan dari rumah, pasti aku tak perlu

repot2 melakukan perjalanan cepat

"

Teringat pada obat Toa-hoa-wan milik keluarganya. tiba2 gadis itu teringat

pula akan obat penawar pemberian si kakek muka merah itu.

"Kenapa aku melupakan obat penawar pemberian kakek itu?" kembali ia

berpikir, "kenapa tidak kuminumkan dulu obat ini kepada engkoh Pek untuk

menolong jiwanya lebih dulu ......?"

Berpikir sampai di sini, ia coba mengawasi sekitar tempat ini, maksudnya mau

mencari rumah penduduk untuk minta air putih bagi engkoh Tian.

Tapi lempat itu jauh dari keramaian dan tiada rumah penduduk, yang

terbentang sejauh mata memandang hanya rumput serta ladang belaka.

Ia melihat sebuah bukit kurang lebih lima-enam li di sebelah kiri sana, gadis

yang cerdik ini segera membedal kudanya menuju ke arah bukit kecil itu.

Walaupun dia tak berpengalaman dan jarang keluar rumah, namun otaknya

memang encer, ia pikir di atas bukit yang tinggi itu tentu bisa memandang ke

seluruh peujuru dengan lebih leluasa?

Kuda merah yang ditunggangi anak dara itu adalah seekor kuda jempolan

yang disebut Ci hua liu (kuda cepat berbulu merah) sekalipun mendaki bukit

yang tinggi tetap t;dak menjadi alangan baginya, hanya sekejap saja lima-enam li

sudah di tempuhnya.

Berdiri di puncak bukit itu, si nona dapat memandang keadaan sekitar situ

dengan lebih leluasa. Dilihatnya jauh di belakang bukit sana suatu lembah yang

permai dengan pepobonan yang rindang, sebuah bangunan mengintip di balik

pepohonan itu, meskipun masih bclasan li jauhnya, akan tetapi kecuali

bangunan itu tidak nampak lagi ada rumah penduduk yang lain.

Apa boleh buat, terpaksa ia membedal kudanya menuruni bukit itu dan

menuju ke arah bangunan tersebut.

Kuda Ci-hoa-liu memang kuda jempolan. bukan saja dapat berlari cepat di

tanah yang datar, sekalipun lari mendaki bukit atau menelusuri lereng-pun

kecepatannya tak berkurang, sekejap kemudian ia sudab membawa kedua

orang itu sampai di depan rumah tadi.

Gadis itu menurunkan pemuda yang belum sadar itu, tapi setelah mendekati

rumah itu ia jadi melenggong.

Bangunan itu aneh sekali bentuknya, atap ber-bentuk bundar warna merah.

dinding pckarangan terbuat dari batu putih, daun pintu juga berwarna putih,

pada ambang pintu warns putih tertulis tiga huruf besar: "Si-jin ki" (rumab

kediaman orang mati).

Bangunan tersebut memang aneh sekali, bukan saja dibangun membelakangi

bukit, bentuk bangunannya mirip kuil tapi bukan kuil. seperti kuburan tapi

bukan kuburan, untuk sesaat gadis itu menjadi serba susah dan ragu2 apakah

harus masuk ke sana atau tidak?

Ilmu silat si nona memang tinggi, tapi ia jarang berkelana di dunia persilatan,

tentu saja tak pernah menjumpai pula bangunan seaneh ini, makanya untuk

beberapa waktu gadis itu cuma berdiri tertegun. Betapa cerdiknya ia menjadi

bingung juga menghadapi bangunan aneh ini.

Tak mungkin di dunia ini ada tempat seaneh ini, siapa yang mau memberi

nama "Sin-jin-ki" untuk rumahnya? Sekalipun tempat itu adalah kuburan juga

tak akan ditulis dengan kata2 begitu.

Tapi kenyataan terbentang di depan mata, mau tak-mau si gadis harus

mempercayai kejadian aneh ini.

Selagi gadis itu berdiri tertegun, tiba2 pemuda yang berada dalam

pelukannya gemetar keras, alisnya terkerut rapat, tampaknya sedang menahan

pcnderitaan yang sangat hebat.

Gadis itu tersadar dari lamunannya, ia pikir menolong orang lebih penting

daripada memikirkan urusan lain, peduli amat penghuninya orang hidup atau

orang mati, paling penting masuk dulu dan urusan belakang.

Begitulah kalau seorang gadis sudah jatuh cinta, kekuatan cinta membuatnva

bersedia untuk berkorban apapun juga, sekalipun gadis itu adalah seorang

puteri jago kenamaan yang selalu dimanja oleh orang tuanya, tapi dorongan

cinta membuat dia melupakan se-gala2nya, lupa akan marabahaya yang

mungkin akan mengancam jiwanya. Tanpa berpikir panjang ia lantas menerobos

ke dalam bangunan aneh yang bernama "kediaman orang mati" itu.

Ia membiarkan kudanya makan rumput di kaki bukit dengan bebas, sambil

menggigit bibir ia pondong Tian Pek yang tak sadar itu dan mendekati pintu,

serunya dengan suara lantang: "Adakah orang di dalam?"

Dia ulangi teriakan tersebut sarnpai beberapa kali, suaranya berkumandang

jauh, namun tiada seorangpun yang menjawab.

Akhirnya ia memberanikan diri dan mendepak daun pintu warna putih itu

yang segera terbuka.

Dibalik pintu adalah sebuah halaman kecil bunga beraneka warna tumbuh

dengan segarnya dalam halaman itu, suasana hening sepi, keheningan yang

menimbulkan rasa seram.

Sebuah jalan setapak beralas batu putih membentang lurus ke depan

menghubungkan rumah berloteng kecil berwarna merah tadi, pintu loteng

tertutup rapat se-olah2 menyimpan teka teki yang mistenus di dalamnya.

Jangankan seorang nona cilik berusia enam-tujuh belassn yang tak pernah

keluar rumah, sekalipun seorang jago kawakan yang berpengalaman luaspun

akan bergidik berada di tempat begini.

Tapi nona itu sama sekali tak gentar, sambil memondong Tian Pek yang tak

sadarkan diri, selangkah demi selangkah ia menghampiri bangunan loteng yang

serba misterius itu.

Pintu loteng itupun terbuat dari kayu putih pintunya tertutup rapat, di atas

pintu ada tulisan pula yang berbunyi: "KEDIAMAN ORANG MATI, ORANG HIDUP

DILARANG MASUK".

"Hei, orang mati! Ada orang hidup datang ber-kunjung!" teriak nona itu.

"Yaok Yaook kuk kuk !" bunyi burung aneh menggema memecah kesunyian,

seekor burung terbang melintasi atap loteng dan melayang ke belakang bukit.

Hampir saja gadis itu menjerit kaget, jantung berdebar keras, selang sesaat

belum nampak juga bayangan orang. akhirnya gadis itu mendepak pelahan pintu

loteng.

Pintu itu tidak terkunci dan segera terpentang lebar, di balik pintu adalah

sebuah ruang kecil yang longgar.

Perabot dalam ruangan itu amat sederhana, tapi lantainya bersih sekali. tidak

perlu ditanya lagi, semua ini pastilah hasil pekerjaan si "orang mati" itu.

Gadis itu tambah waspada, matanya terbelalak dan siap menghadapi segala

kemungkinan.

Tepat di tengah ruangan ada sebuah meja panjang yang juga terbuat dari

kayu putih, dua buah kursi terletak di kedua sisi meja. Tampaknya baik pintu,

jendela serta bahan bangunan lain yang ada disini semua terbuat dari sejenis

kayu yang sama, tidak dicat atau dipelitur sehingga terciptalah semacam bau

yang khas, bau itu mengingatkan orang pada bau yang terdapat di toko peti

mati,

Sekali lagi gadis itu memeriksa setiap sudut ruangan dengan seksama, setelah

yakin di sekitar sana tak ada yang mencurigakan, baru ia membaringkan Tian

Pek di atas kursi, sebab tangannya mulai terasa kesemutan dan pegal.

Setelah menaruh pemuda itu di atas kursi, nona itu mengembus napas lega,

pikirnya: "Tempat ini dinamakan kediaman orang mati, kenapa tidak terlihat

seorang matipun?"

Kembali dia awasi sekeliling ruangan itu. kebetulan angin berembus

mengibarkan kain tirai di dinding bagian tengah, tampaklah dibalik kain tirai

terdapat sebuah ruangan lagi dan entah apa isi ruangan itu?

Karena itu rasa ingin tahu, si nona memberanikan diri mendekati tempat itu

dan menyingkap tirai tadi, maka tampaklah sebuah meja sembahyang teratur

rapi di sana, di atas meja sembahyang berdiri sebuah papan kecil yang juga

terbuat dari kayu putih, empat sisinya diukir secara indah, sedang di tengah

papan kecil itu terukir beberapa patah kata: "Tempat abu Injin Pek lek-kiam

Tian-tayhiap, Tian In-thian!"

Hampir saja nona itu berseru kaget, dia masih ingat ketika engkoh Tian

dirawat di rumahnya tempo hari, tiba2 paman Lui meloncat masuk ke dalam

kamar ketika anak muda itu sedang bercerita asal usulnya, waktu itu paman Lui

mencengkeram tangan engkoh Tian sambil bertanya: "Apa hubunganmu dengan

Tian In thian ....?"

Dan kini di kediaman orang mati muncul pula meja abu Tian In thian, jangan2

antara engkoh Tian dengan Tian In-thian memang mempunyai hubungan yang

erat?

Kiranya tak perlu dijelaskan lagi siapa anak dara ini, ialah Tian Wan-ji adanya!

Rupanya gadis ini diam2 jatuh cinta pada Tian Pek, setelah kembali ke

kamarnya akibat dibuat mendongkol karena Tian Pek bersikap mesra terhadap

Hoan Soh-ing, kemudian ia dengar Tian Pek telah mengejar Sin-liu-liat-tan Tan

Can-li, ia menjadi kuatir, maka diam2 ia kabur dan rumahnya dengan membawa

Ci-hoa liu, kuda merah mestika miiik ayahnya.

Walaupun dia berasal dari keluarga cendekia dan sejak kecil disayang orang

tuanya dan memiliki ilmu silat yang tinggi, tapi belum pernah melakukan

perjalanan di dunia Karigouw, selain itu iapun tak tahu ke mana perginya Tian

Pek, untunglah secara kebetulan ia berhasil menemukan Tian Pek di kota Hin-

liong-tin.

Waktu itu dia sedang bersantap di atas loteng, sedang Tian Pek di bawah,

maka kedua orang tidak saling bertemu.

Setelah terjadi ribut2 barulah Wan-ji melongok ke bawah. Betapa gembiranya

nona itu setelah mengetahui salah seorang di antaranya adalah Tian Pek, ia

lihat betapa gagahnya anak muda itu menghadapi kerubutan belasan orang

dengan pedang hijaunya.

Karena tak ingin mengganggu orang yang berkelahi, gadis itu tidak lantas

unjuk diri, baru setelah Tian Pek terluka karena beradu kekuatan dengan Hiat-

ciang-hwe liong dan kakek itu hendak mencelakai jiwa anak muda itu, cepat ia

turun tangan menyelamatkan Tian Pek dengan menyambitkan cambuk kudanya.

Dan kini tanpa disengaja pula sampailah mereka di Si-jin-ki, sempat pula

menyaksikan meja abu Tian In-thian, ia makin yakin kalau antara Tian Pek

dengan Tian In-thian pasti mempunyai hubungan yang erat, sudah tentu hal ini

membuatnya prihatin.

Boleh dibilang gadis itu sudah lupa maksudnya hendak mencari air untuk

minum obat engkoh Tian, perhatiannya kini tercurahkan pada meja abu itu.

Meja abu itu sangat bersih, ada sesajian buah2-an dan bunga yang teratur

dengan rapi di atas meja, hiolo dengan sisa abu dupa terletak di tengah meja ini

menandakan kalau selalu ada orang bersembahyang di situ secara teratur.

Di depan meja abu sana terdapat sebuah jalan samping yang luasnya lima

kaki, di samping kiri—kanan jalan serambi itu terdapat kamar tidur, pintu kamar

terbuat pula dari kayu putih.

Pada pintu kamar sebelah kiri tertempel secarik kertas putih yang bertuliskan:

"Hoat-si jin", sedang-kan di pintu kamar sebelab kanan tertempel kertas dengan

tulisan "Si-hoat-jin".

Selain itu, di samping kanan-kiri pintu masing2 tertempel pula sebuah "Lian"

dengan kertas warna putih, lian itu bcrtuliskan: "Utang budi tak dapat

membalas, lebih baik mati daripada hidup".

Sedang Lian yang lain bertulisan: "Punya dendam tidak menuntut balas, malu

untuk hidup".

Selanjutnya tepat di atas pintu tertulis kata2 yaisg berbunyi: "Membslas

dendam dan membayar budi".

Sekarang Wan-ji dapat meraba duduknya persoalan, jelas 'SI-JIN-KI"

(kediaman orang mati) bukanlah dihuni oleh orang mati sungguh2 melainkan

orang hidup yang berutang budi kepada Tian-taybiap, karena tak mampu

membalaskan dendam bagi kematian Tian tayhiap, mereka lantas menganggap

diri sendiri sebagai orang yang sudah mati.

Ia menjadi heran macam apakah manusia yang bernama Hoat-si-jin (orang

mati hidup) dan Si hoat-jin (orang hidup mati) itu?

Dia mendekati kamar sebelah kiri dan mendorong pintu hingga terbuka, ia

lihat isi ruangan itu sederhana sekali, kecuali sebuab meja dan sebuah kursi

tiada perabot lain, juga tidak nampak pembaringan sebagai layaknya sebuah

kamar tidur, hanya di sudut ruangan sana ada sebuah peti mati.

Peti mati itu juga terbuat dari kayu putih dan tertutup rapat sekali, lama

Wan-ji mengamati ruangan tersebut, karena tak menemukan sesuatu akhirnya

gadis itu mengundurkan diri dan masuk ke kamar sebelah kanan.

Apa yang dilihat di kamar kanan ini sama sekali tak berbeda dengan keadaan

di kamar sebelah kiri, kecuali sebuah meja dan kursi, juga cuma terdapat sebuab

peti mati.

Mau-tak-mau mengkirik juga Wan-ji, jantung-nya berdebar keras,

Bangunan sebesar ini sama sekali tiada penghuninya dan di dalam kamar

kecuali dua peti mati besar tidak nampak benda lain, ditambah pula gedung itu

dinamakan "kediamun orang mati", suatu nama yang menimbulkan rasa ngeri

bagi yang mendengarkan, tidaklah heran kalau gadis cilik itu jadi ketakutan.

Sampai sekian lamanya ia berdiri ter-mangu2 di depan kamar itu, ia tak tahu

apa yang harus dilakukannya?

"Dukk"'!" mendadak "terdengar suara keras di luar ruangan, Wan-ji

terperanjat dan hampir saja menjerit, cepat telapak tangan kiri siap melindungi

dada, sementara telapak tangan kanan siap menghadapi serangan musuh, cepat

ia melayang keluar kamar itu.

Ia libat Tian Pek sudah terjungkal dari kursi dan terkapar di lantai, tanpa

berpikir Wan-ji melayang ke sarnping anak muda itu dan memeriksanya

Dilihatnya muka Tian Pek tetap merah membara, napasnya kini semakin

lemah hingga hampir tak terdengar, dahinya berkerut dan darah meleleh keluar

dan ujung bibirnya.

Wan-ji amat terperanjat, cepat ia periksa tubuh anak muda itu, tapi tidak

menemukan sesuatu tanda luka baru, anak dara itu baru menyadari akan

keteledoran sendiri.

Tentulah anak muda itu terguling dari kursinya sewaktu ia melakukan

penggeledahan ke dalam kamar tadi, diam2 ia memaki ketidak becusan sendiri

urusan yang penting tidak dibereskan dulu, sebalik-nya mengurusi hal tetek

bengek.

Cepat ia angkat anak muda itu ke atas kursi, kemudian ia keluarkan pil bijau

pemberian kakek muka merah itu, karena tidak menemukan air matang

akhirnya gadis itu mengunyah obat tersebut di mulutnya sendiri, kemudian

dengan bibir menempel bibir, pelahan ia meloloh obat yang telah hancur itu ke

mulut Tian Pek.

Maklum, usia Wan-ji masih amat muda, hatinya masih suci bersih dan

pengetahuannya mengenai hubungan antara lelaki dan perempuan masih

sangat minim, ia tak tahu kalau perbuatan mesra itu pantang dilakukan oleh

anak dara seperti dia melainkan hanya suami-istri yang boleh berbuat begitu.

Selain itu, karena dia terlalu mencintai Tian Pek, dalam keadaan terpaksa

tanpa pikir ia meloloh anak muda itu dengan obat yang telah bercampur dengan

air liurnya.

Malahan dia kuatir engkoh Tian tercintanya tak dapit menelan hancuran obat

itu karena masih pingsan, maka dengan mengerahkan hawa murninya, dia

lantas menguruti dada anak muda itu.

Ketika tangannya meraba dada Tian Pek, mendadak Wan-ji merasa seperti

menyentuh sebuah benda. gadis itu heran, benda apa yang berada di dalam

baju pemuda itu? Karena rasa ingin tahu dirabanya dada Tian Pek dan

mengeluarkan benda itu, kiranya benda itu adalah sejilid kitab yang bersampul

warna-warni.

Melihat kitab yaag indah itu Wan ji tertawa geli, pikirnya: "Engkoh Tian masih

seperti anak kecil saja, sudah jejaka masih suka baca buku komik begini?"

Tanpa sengaja Wan ji membalik2 halaman kitab itu. Tapi apa yang dia lihat?

Ternyata gambar gadis bugil melulu dengan pose yang menggiurkan.

"Ah, brengsek kau!" Wan ji menggerutu dengan muka merah karena jengah,

ia lupa bahwa Tian Pek belum lagi ssdar, segera ia lemparkan buku itu ke atas

dada Tian Pek.

"Bluk." buku itu terjatuh ke lantai.

Pada saat itulah mendadak terdengar seorang membentak: "Siapa yang

berani memasuki kediaman orang mati!?"

Berbareng dengan bentakan tersebut, sesosok bayangan menerjang masuk

ke dalam ruangan dengan cepat luar biasa. Belum lagi Wan-ji sempat membalik

tubuh, tahu2 segulung angin pukulan yang dahsyat menerjang tiba dari

belakang.

Wan-ji kuatir pukulan dahsyat itu melukai Tian Pek yang pingsan, ia tidak

menghindar atau berkelit, dengan gerakan To coan-im-yang (memutar balik im

dan yang), sambil berputar kedua telapak tangan terus di dorong ke depan

untuk menyambut ancaman tadi.

"Ah, rupanya Siau-in-kong (tuan penolong kecil)!" seru penyerang itu.

Tatkala Wan-ji putar badan, orang itu sempat melihat wajah Tian Pek dengan

jelas, maka ia berseru kaget dan lekas2 hendak menarik kembali pukulannya.

Tapi sayang agak terlambat- "Blang"!" benturan keras terjadi, Wan-ji

merasakan sekujur badannya bergetar keras, lengannya kaku kesemutan.

"Hebat benar tenaga pukulan orang ini!" pikir Wan-ji dengan terperanjat.

Pendatang adalah dua orang aneh yang berpakaian belacu putih dengan ikat

pinggang tali rami, mukanya pucat menyeramkan tanpa emosi dan kaku seperti

orang mati, mereka berdiri di kiri kanan depan Wan ji, gerak gerik mereka persis

seperti mayat hidup.

Kedua orang aneh itu memancarkan sorot mata yang tajam, mereka

mengamati mulai dari Wan-ji, lalu beralih ke wajah Tian Pek, kemudian dari

wajah Tian Pek beralih kembali pada wajah si nona-

Wan-ji kuatir kalau kedua orang aneh itu bermaksud jahat terhadap Tian Pek,

maka walaupun tahu ilmu silat sendiri bukan tandingan lawan, tapi demi

melindungi keselamatan pemuda itu diam2 dia kerahkan tenaga dalamnya dan

siap siaga.

Gadis itu sudah bertekad bila kedua orang aneh itu menunjukkan suatu

gerakan yang tidak menguntungkan Tian Pek, maka dia akan melakukan

serangan balasan dengan segenap kekuatannya.

"Aih, cukup parah luka yang diderita Siau-in-kong!" terdengar manusia aneh

yang berdiri di sebelah kiri itu berseru, entah ditujukan kepada siapa

perkataannya itu?

"Oleh karena itulah kita tak boleh mati!" sambung manusia aneh yang berada

di sebelah kanan-"Hidup kita di dunia ini masih banyak gunanya "

Diam2 Wan-ji merasa heran, kedua orang aneh itu seperti sedang bicara

sendiri, akan tetapi sinar matanya tertuju kepada dirinya dan engkoh Tian,

sungguh aneh dan apa maksudnya?

"Perempuan cilik, apakah kau yang meiukai Siau-in-kong?" tiba2 orang aneh

sebelah kiri menegur dengan bengis.

Wan-ji balas bertanvac "Siapa kalian? Untuk apa aku melukai engkoh

Tian . .. ?

"Ciat!" mendadak manusia aneh yang sebelah kanan membentak keras terus

melayang ke atas-tangan kirinya dikebaskan menyingkirkan Wan-ji, sementara

tubuhnya langsung mnnubruk Tian Pek yang masih tak sadar.

"He, apa yang hendak kau lakukan?" teriak Wan ji kuatir, ia takut orang aneh

itu meiukai pujaan hatinya Sambil membentak, tangan kanannya menangkis

lengan manusia aneh itu dengan gerak Lek poat-cian-kun (menyingkirkan

rintangan sekuatnya).

Karena kuatir, serangan tersebut dilancarkan Wan ji dengan mengerahkan

segenap tenaganya, jangankan lengan manusia, sekalipun baja juga akan

bengkok.

Tapi msnghadapi tenaga pukulan Wan-ji yang dahsyat itu, manusia aneh itu

seperti tidak menggubris atau memandang sekejappun, ia tetap melayang ke

depan Tian Pek.

"Plok!" dengan telak pukulan Wan-ji itu mengenai lengan kiri manusia aneh

itu, ia merasa telapak tangan sendiri se-akan2 menghantam baja yang sangat

kuat, separoh badan sendiri menjadi kesemutan, tanganpun sakit luar biasa, ia

tergetar mundur lima-enam langkah.

Dalam pada itu manusia aneh tadi sudah menubruk tiba di depan Tian Pek,

telapak tangannya yang besar dan berbulu segera direntangkan lebar2 terus

menekan ulu hati anak muda itu.

Betapa kaget dan kuatir Wan ji, ia berteriak:

"Siluman tua, kalau kau berani menyentub engkoh Tian, nonamu akan beradu

jiwa dengan kau!"

Sambil membentak, kedua tangan lantas didorong ke depan dengan jurus Wi-

ing-jut kok (burung kenari keluar sarang), dia menghantam dengan sekuat

tenaganya.

"Nona cilik jangan sembrono .... !" bentak manusia aneh yang lain, sebelah

tangannya terus bergerak dan membuat Wan-ji teralang oleh selapis dinding

tenaga pukulan yang tak kelihatan, kontan tubuh nona itu terpental balik dan

"blang", puuggungnya membentur dinding dengan keras.

Wan-ji merasakan padangannya menjadi gclap, hampir saja ia jatuh tak

sadarkan diri, cepat dia himpun hawa murninya dan mengatur pernapasan.

Ketika ia membuka matanya kembali, terlihat telapak tangan manusia aneh yang

pertama tadi sudah ditempelkan di jalan darah Mia-bun-hiat di tubuh Tian Pek.

Mia bun-hiat merupakan jalan darah kematian di tubuh manusia, apabila

orang aneh itu memencet tempat penting tersebut, niscaya Tian Pek akan mati

konyol.

Wan-ji menjadi kuatir bercampur panik, tanpa terasa air matanya jatuh

bercucuran. Tapi setelah diperhatikan dengan lebih seksama, legalah gadis itu,

rupanya orang aneh itu tidak bermaksud mencelakai Tian Pek melainkan sedang

menggunakan tenaga dalamnya untuk mengurut jalan darabnya.

Selang sejenak, warna merah membara yang menghiasi wajah Tian Pek tadi

sudah jauh berkurang, malahan pelahan sedang membuka matanya.

"Busyet! aku malah mengira dia akan mencelakai jiwa engkoh Tian," demikian

pikir Wan-ji, dia lantas bersandar di dinding dan menggunakan kesempatan itu

untuk mengatur pernapasannya.

Orang aneh yang kedua juga telah menghampiri Tian Pek, tiba2 ia tertegun,

sorot matanya tertuju pada kitab berwarna-warni yang tergeletak di bawah kaki

anak muda itu.

Cepat dipungutnya kitab tersebut, setelah dipandang sekejap ia menjerit

kaget: "Hah! Soh kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip! Kak .... coba lihat

"

Sambil berseru kaget ia memandang ke arah-kakaknya, tapi ketika dilihatnya

orang aneh itu sedang mengurut jalan darah Tian Pek dengan sepenuh tenaga,

malahan uap tipis mengepul keluar dari ubun2nya, kata2 yang akan diutarakan

cepat ditelan kembali. Tapi pada wajahnya yang kaku dingin itu jelas kelihatan

emosinya yang sukar ditahan, sinar matanya berkilat, sampai kedua tangan yang

memegang kitab itupun gemetar.

Wan-ji yang sedang atur pernapasan sambil bersandar dinding juga

terperanjat ketika didengarnya orang aneh itu meneriakkan nama "Soh-hun-

siau-kut-thian hud-pit-kip"", ia pernah mcndengar nama kitab itu waktu ayahnya

ber-cakap2 dengan para jago anak buahnya.

Da tahu kitab tersebut merupakan hasil karya Ciah-gan-long-kun, seorang

tokoh aneh yang hidup dua ratus tahun yang lalu, kitab itu terkenal sebagai

kitab paling aneh di kolong langit ini, barang siapa berhasil mendapatkan kitab

tersebut dan mempelajari isinya, maka ilmu silatnya akan merajai dunia

Kangonw.

Tapi sekarang Wan-ji jadi sangsi, masakah begini isi kitab yang dikatakan kitab

sakti luar biasa itu? Masakah gambar perempuan bugil dengan pose yang

merangsang itu merupakan rahasia pelajaran ilmu silat yang maha hebat?

Sambil berpikir nona itupun nengawasi gerak-gerik manusia aneh itu. Dengan

tangan gemetar orang itu sedang mem-balik2 halaman kitab, makin jauh ia

membaca kitab itu, air mukanya semakin aneh, sebentar berkerut kening,

kemudian bibirnya mencibir, lalu sinar matanya mencorong terang, lain saat

mukanya yang pucat seperti mayat berubah juga dan bersemu ke-merah2an.

Sejenak kemudian sekujur tubuhnya mulai gemetar keras, agaknya orang

aneh itupun tak mampu mcnguasai gejolak perasaannya, akhirnya dia pejamkan

matanya . ,

Di pihak lain, kabut tipis yang menguap dari ubun2 manusia aneh yang

sedang mengobati Tian Pek itu kian lama kian bertambah tebal. akhirnya kabut

bergerombol di atas ubun2nya dan menciptakan tiga kuntum cendawan putih,

dipandang dari kejauhan ketiga gumpalan kabut tersebut mirip tiga kuntum

bunga teratai putih.

Wan-ji makin terbelalak matanya, sebentar ia memandang manusia aneh

yang sedang membaca Soh hun siau kut pit-kip, lain saat ia memandang orang

aneh yang sedang mengobati Tian Pek, ia terperanjat menyaksikan

menggumpalnya uap di atas kepala orang itu menjadi tiga kuntum bunga teratai

putih yang aneh itu, dia tahu inilah tandanya seorang mempunyai tenaga dalam

yang ssmpurna, inilah ilmu Lwekang yang disebut Sam-hoa-cip-teng (tiga bunga

menghimpun di atas kepala).

Tiba2 ia merasa ada sorot mata yang tajam sedang menatap padanya, cepat ia

berpaling, tam-paklah manusia aneh yang membaca Soh-kut-siau-hun thian-hud

pit-kip tadi sedang memandangnya dengan sikap yang aneh, padahal mata

orang itu telah dipejamkan untuk mengatasi gejolak perasaannya, tapi kini telah

membuka mata pula.

Muka orang itu sudah bcrubah menjadi merah membara, sekujur badannya

gernetar keras, dengan melotot orang itu mengawasi dada serta bagian

perutnya, bahkan selangkah demi selangkah menghampirinya.

Wan-ji masih polos dan belum tahu urusan, mimpipun ia tak menyangka

bahwa tanda itu menunjukkan seorang lelaki yang sedang terangsang napsu

berahinya dan ingin mencari sasaran pelampiasan napsunya, dia mengira orang

itu sudah gila dan hendak membunuhnya.

Manusia aneh itu sebenarnva terhitung seorang tokoh kosen yang

mempunyai tenaga dalam yang serpurna, baik ilmu silat yang sudah terlatih

puluhan tahun maupun kekuatan batinnya boleh di katakan sudah tergolong

top, siapa tahu iapun tak sanggup mempertahankan diri oleh daya rangsangan

yang dibacanya dari kitab Soh-hun-siau-kut tersebut, kekuatan batin yang

diyakinkan selama puluhan tahun tidak mampu lagi membendung rangsangan

napsu berahi yang berkobar dengan dahsyatnva apalagi melihat lawan jenis

berada di depannya, rangsangan napsu semakin bergelora dengan hebat.

Ia menjadi lupa daratan, lupa akan nama baik serta kedudukannya sendiri,

lupa kalau di situ masih hadir saudaranya dan puteta tuan penolongnya. Kini

napsu berahi yang membara telah menguasai seluruh jalan pikirannya, bagaikan

harimau lapar yang menemukan anak domba, dengan buas ia menerkam

mangsanya.

Wan-ji menjerit kaget, cepat dia himpun Lwe-kangnya pada kedua telapak

tangan, dengan jurus Pi-bun-sia-kek (tutup pintu menolak tamu), ia hantam

dada manusia aneh yang sudah kalap itu.

"Bluk!" manusia aneh itu sama sekali tidak menghindar ataupun berkelit,

dengan telak pukulan dahsyat si nona mengenai sasarannya.

Pukulan Wan-ji ini sedikitnya berkekuatan beberapa ratus kati, sekalipun batu

karang yang keraspun akan terhajar hancur bila terlanggar pukulannya.

Tak tersangka manusia aneh itu hanya bergeliat sedikit, ia tetap menerjang ke

depan, kedua tangan terpentang terus menubruk si nona.

Wan-ji tak mampu berkelit lagi, tubuhnya dirangkul dengan kencangnya,

begitu erat hingga seperti jepitan besi, daya tekan di dadanya membuatnya

hampir tak dapat bernapas, saking cemas karena tidak sanggup melawan lagi,

akhirnya ia jatuh pingsan.

Manusia aneh yang dirangsang oleh napsu berahi semakin kalap, sesudah

berhasil memeluk mangsanya, ia mulai menarik pakaian Wan-ji sambil

mengeluarkan dengusan napas yang kehausan, haus akan pelampisan napsu.

Dalam waktu singkat pakaian yang dikenakan anak dara itu sudah terkoyak

oleh jari tangannya yang kuat bagaikan cakar baja, tubuh Wan-ji mulai telanjang,

anggota badannya yang terlarangpun ter-bentang di depan mata.

Sementara itu dengus napas manusia aneh itu semakin memburu, mukanya

makin merah membara dan beringas mengerikan, tampaknya Wan-ji sukar

terhindar dari nasib buruk, sebentar lagi kesuciannya pasti akan ternoda oleh

orang itu.

Untunglah pada saat gawat itu terdengar orang membentak, secepat kilat

manusia aneh yang sedang menyembuhkan luka Tian Pek itu menerjang tiba,

secepat kilat ia tutuk Cing-cu-hiat di punggung rekannya. Kontan manusia aneh

yang merangkul Wan ji itu roboh terkulai.

Tidak sampai di situ saja, serentak orang itu menutuk pula jalan darah Tiang

jian-hiat, Leng tay-hiat serta Seng-bun-hiat, tiga Hiat-to panting di tubuh

saudaranya, habis itu ia mengangkatnya ke kamnr tidur sebelah kiri dan

melemparkannya ke dalam peti mati di situ.

Kemudian dengan gerak cepat iapun membawa Wan-ji ke kamar lain dan

dimasukkan ke dalam peti mati yang serupa.

Sehabis menyingkirkan kedua orang itu barulah dia pungut kitab Thian-hud-

pit kip tadi serta di-simpan dalam bajunya, kini keadain se-akan2 tak pernah

terjadi sesuatu apapun, lalu dia melanjutkan mengurut jalan darah penting di

badan Tian Pek. Sejenak kemudian, pelahan anak muda itu siuman kembali.

Begitu membuka matanya, pertama yang terlihat oleh Tian Pek adalah

manusia aneh seperti setan iblis ini, seketika ia melenggong.

"Tian-siauhiap, masih kenal padaku?" orang aneh itu lantas menegur.

Segera Tian Pek teringat kembali pada kedua orang manusia aneh yang

pernah dijumpainya di hutan siong sana serta gagal membunuh diri dengan

membenturkan kepala pada pohon itu.

"Bagaimana caranya aku bisa sampai di sini?" tanyanya kemudian dengan

bingung. "Dan dimana rekanmu itu?"

Manusia aneh itu menggeleng, jawabnya "Rekanku sedang keluar dan belum

pulang, mengenai bagaimana caranya kau bisa sampai di sini, hal ini harus

ditanyakan kepada dirimu sendiri!"

"Bertanya kepada diriku sendiri?" Tian Pek menjadi bingung pula.

Lapat2 dia masih ingat bagaimana dirinya beradu pukulan dengan seorang

kakek muka merah di suatu kota, kemudian ia tak sadarkan diri karena tak kuat

menahan hawa panas yang menyengat tubuhnya. Mengapa sekarang dirinya

bisa berada di kamar manusia aneh ini?

------------------------------------

Apakah Tian Pek dapat sehat kembali dan siapakah sebenarnya kedua

manusia aneh ini?

Bagaimana dengan nasib Tian Wan ji yang dilemparkan ke dalam peti mati

itu?

— Baealah jilid ke- 9 —

------------------------

Isi di luar tanggung-jawab Perc. "PS", Semarang.

AXD002

HIKMAH PEDANG HIJAU

(The Swordsman Journey)

Karya : Gu Long

Scan djvu : axd002

Edited : Lavender

Diceritakan Oleh : GAN-KL

Jilid-09.

Tiba2 timbul pikirannya, cepat ia bertanya "Apakah Locianpwe yang menolong

diriku?"

"Akupun tidak tahu siapa yang telah menolong kau, tapi memang akulah yang

membantu menyadarkan kau. Tian-siauhiap, coba ceritakan kemana saja setelah

kita berpisah tempo hari?"

Tian Pek lantas menceritakan semua pengalamannya semenjak berpisah dengan

kedua orang itu.

Habis mendengar penuturan itu, manusia aneh tadi menghela napas, ucapnya:

"Ai...rupanya takdir menghendaki demikian, aku gagal membunuh diri sehingga

sekarang malah bisa menyumbangkan sedikit tenagaku bagi keturunan In-jin!"

Pe|ahan ia bangkit dan mengajak Tian Pek kedepan meja abu Tian In-thian,

kata-katanya kemudian: "Tuan penolong kami yang kumaksudkan ialah ayahmu

sendiri!"

Memandang meja abu ayahnya, tanpa terasa air mata Tian Pek bercucuran, ia

berlutut dan menyembah beberapa kali.

Ketika itulah semua penderitaan lahir batin yang dideritanya selama ini

terbayang kembali, tak kuasa lagi anak muda itu menangis tersedu-sedan.

Watak Tian Pek memang keras, belasan tahun hidup terluntang-lantung

seatangkara, sudah banyak penderitaan dan siksaan yang dialaminya, tapi belum

pernah dia meneteskan air mata atau mengerutkan dahi. Tapi sekarang

berhadapan dengan meja abu ayahnya, ia tak dapat membendung rasa sedihnya

yang selama ini mengganjal dalam hatinya.

Apalagi bila terbayang kegagalannya selama ini untuk mencari tahu musuh besar

ayahnya, bukan saja dendam belum dapat dituntut, siapa pembunuhnya pun tak

tahu, kesedihan ini membuat ia tak mampu menahan diri lagi dan menangislah

dia ter-gerung2.

Tiba2 manusia aneh itupun ikut menangis sambil memukuli dada sendiri,

rupanya iapun terbayang pada penderitaan sendiri dan usahanya yang sia2

mencari pembunuh tuan penolongnya.

Setengah barian lamanya kedua orang itu menangis, akhirnya manusia aneh itu

menengadah dan bersuit panjang se-olah2 hendak melimpahkan segenap rasa

sedih yang dideritanya selama ini.

Sambil mengusap air mata katanya dengan lantang: "Air mata seorang Enghiong

tak akan menetes dengan percuma, Siau-in-kong! Jangan menangis lagi, ada

beberapa patah kata hendak kubicarakan denganmu!"

Sesudah menangis, rasa sedih Tian Pek yang bertumpuk selama ini jauh

berkurang, mendengar perkataan itu, ia berhenti menangis, ia berbangkit dan

berkata: "Locianpwe jangan sungkan2 padaku, bila ingin mengatakan sesuatu,

silakan bicara saja."

Hoat-si-jin (orang hidup mati) menghela napas sedih, ucapnya: "Ai, bila

dibicarakan sungguh memalukan sekali, terlalu besar budi yang kami peroleh

dari In-jin, begitu besar budi kebaikan tersebut sehingga sulit rasanya untuk

membalasnya. Sungguh tak tersangka setelah kematian In-kong, bukan saja

kami tak dapat balaskan dendamnya, malah siapakah pembunuhnya juga sama

sekali tidak tahu, lalu apakah kami punya muka untuk tetap hidup di dunia ini?

Waktu itu sebenarnya kami hendak bunuh diri dan menyusul In-kong ke alam

baka, tapi kami pikir perlu juga mencari tahu siada pembunuh In-kong serta

membalaskan dendamnya, maka kami terima hidup menderita sampai sekarang,

kami bersumpah akan merabalaskan dendam kematian In- kong, sebelum

berhasil kami takkan berhenti berusaha!"

Ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan: "Sejak itu, kami menghapuskan nama

kami yang asli dan menggunakan nama Hoat-si-jin serta Si-hoat-jin, sehari

dendam In-koog belum terbalas, sehari pula kami tak akan menggunakan nama

asli kami. Tapi pembunuh In-kong memang terlampau keji dan licik, gerak-

geriknya amat rahasia dan cermat sekali, setelah melakukan penyelidikan yang

seksama, akhirnya kami hanya tahu bahwa pembunuh In-kong ada enam orang

banyaknya dan keenam orang ini merupakan tokoh kenamaan di dunia

persilatan sekarang."

Sampai disini Hoat-si-jin berhenti pula dan mengembus napas panjang.

Tergetar hati Tian Pek mendengar nama musuh yang hampir disebutkan itu.

dengan tubuh gemetar dan suara serak ia berseru: "'Lanjutkan ceritamu

Locianpwe, lanjutkan . . . ."

Hoat-si-jin tarik napas panjang dan menggeleng: "Ai, keenam tokoh silat itupun

mempunyai nama serta kedudukan yang terhormat di dunia persilatan, bahkan

mereka adalah saudara angkat ayahmU, Orang persilatan menyebut mereka

sebagai Tionggoan. jit-hiap (tujuh pendekar besar dari daratan Tionggoan)

Sungguh tak tersangka lantaran satu partai harta karun yang berada didasar

telaga Tong-ting-ouw, mereka lantas berkomplot dan membunuh ayahmu...."

"Locianpwe! Lanjutkan ceritamu, siapakah mereka? Siapa nama mereka

semua?" seru Tian Pek dengan tak sabar.

"Di antara keenam orang itu, kecuali seorang di antaranya jauh di luar lautan

dan tidak diketahui jejaknya, sisanya yang lima orang rata2 adalah tokoh

kenamaan di dunia persilatan dewasa ini Oh, Thian! Kenapa orang baik tidak

diberkahi, sebaliknya orang jahat malang melintang dengan leluasa."

?"

"Locianpwe, cepat katakan, siapakah mereka? Siapa nama mereka?" desak Tian

Pek.

Anak muda ini tak dapat menahan sabar lagi, apalagi setelah dilihatnya Hoat-si-

jin hanya berkeluh kesah belaka tanpa menyebutkan nama pembunuh ayahnya.

Akhirnya dengan mata melotot Hoat-si-jin menjawab: "Orang pertama adalah

Pah-ong-pian (Cambuk raja ganas) dari kota Tin-kang, Hoan Hui! Sedangkan

empat orang lainnya adalah orang tua

Bu-lim su-kongcu (empat kongcu dari dunia persilatan) yang tersohor itu."

"Apa? Bu-lim-su-kongcu!" teriak Tian Pek dengan terbelalak, ia cengkeram

lengan Hoat-si-jin kencang2 dengan mata merah membara, sambil melototi

manusia aneh itu ia menegas: "Jadi pembunuh ayahku juga termasuk Bu-lim su-

kongcu?"

Dengan keren Hoat-si-jin mengangguk. "Benar Pembunuh ayahmu adalah ayah

Bu-lim-su-kongcu...?"'

"Jadi antara lain adalah ayah Lenghong Kong¬cu. Ti seng-jiu Buyung Ham?"

teriak Tian Pek.

Hoat-si-jin mengangguk.

"Dan ayah An-lok Kongcu, Kun-goan-ci (telapak tangan sapu jagat) In Tiong-

liong?"

Kembali Hoat si—jin mengangguk tanpa ber suara.

"Ayah Toanhong Kongcu, Kun-goan-ci (jarj sakti) Su-gong Cing dan ayah Siang-

ling Kongcu. Cing-tu-sin (malaikat labah2 hijau) Kim Kiu?"

Dengan wajah serius kembali Hoat si-jin mengangguk, setelah Tian Pek selesai

berkata dia menambahkan: "Masih ada seorang lagi, dia telah jauh

mengasingkan diri keluar lautan, sampai kini jejaknya tak ketahuan, orang itu

adalah Gin-san-cu (kipas perak) Liu Ciong bo!"

"Ooo!...." tiba2 Tian Pek berteriak terus roboh tak sadarkan diri.

Cepat Hoat-si-jin menyambar badan si arak muda dan salurkan hawa murninya

lewat jalan darah Mia-bun-hiat dipunggungnya, selang sesaat Tian Pek baru

sadar kembali dari pingsannya.

Dengan air mata bercucuran dan sedih katanya: "O, Locianpwe, tampaknya sakit

hati ayahku sukar untuk dituntut balas, apa yang mesti kulakukan?"

"Ai. . .!" Hoat- si-jin menghela napas panjang, "Siau-in-kong! Jangankan engkau

kamipun jadi putus asa dan menyesal setelah mengetahui nama2 pembunuh itu,

kami sadar tiada harapan kami untuk balas dendam bagi kematian In-kong,

karena putus asa maka kami ambil keputusan untuk bunuh diri dengan

menumbukkan kepala pada pohon!"

Sampai disini. Hoat si-jin pandang sekejap anak muda ini, diam2 ia menghela

napas, pikirnya: "Persoalan ini jelas sukar diselesaikan karena menyangkut

kelima orang tokoh silat yang paling top di dunia persilatan jaman ini, bukan saja

kekayaan yang mereka miliki ber-limpah2, merekapun mengumpulkan jago

persilatan se-banyak2nya di kolong langit jangankan hendak bermusuhan

dengan mereka berlima sekaligus, untuk memusuhi salah satu diantaranya saja

sukar, kami berdua yang selamanya tak kenal takut saja mesti berpikir dua kali

sebelum bertindak, apalagi Siau-in-kong hanya seorang muda yang sebatang

kara, mana kau mampu menandingi kelihayan lima tokoh tersebut? Mana

mungkin dendam ayahmu bisa dituntut balas?"

Sekalipun demikian, Hoat si-jin tak tega mengutarakan isi hatinya itu, dia kuatir

Tian Pek mengalami pukulan batin yang lebih hebat lagi, terpaksa dia berkata

pula: Siau-in-kong, engkau tak usah berputus asa, bukankah pepatah bilang 'di

dunia ini tiada soal yang sukar, asalkan kita punya tekad besar'. Maka bila

engkau berani berusaha dan siap menhadapi segala aral melintang, pada suatu

hari akhirnya sakit hati In-kong pasti berhasil dituntut balas."

Semangat Tian Pek bangkit kembali sehabis mendengar perkataan itu, dia

berpikir: "Benar juga ucapan Locianpwe ini, kenapa aku mesti patah semangat?

Tidak selayaknya seorang laki2 sejati takut menghadapi kesukaran, asal kulatih

ilmu silatku dengan tekun hingga kepandaian yang kumiiiki memperoleh

kemajuan pesat, masa tidak mampu kubunuh musuh ayah satu persatu?

Sekalipun nanti harus berusaha mati2an, tetap harus kulaksanakan juga agar

setiap orang persilatan menpetahui ayahku masih mempunyai seorang

keturunan seperti diriku ini."

Berpikir sampai disini, satu ingatan cepat timbul dalam benak anak muda itu,

tiba2 ia berlutut di depan Hoat-si-jin dan berkata dengan serius: "Terima kasih

atas nasihat Cianpwe sehingga pikiran Wanpwe yang cupat bisa terbuka

kembali, bagaimanapun Locienpwe adalah sahabat karib mendiang ayahku?

Terimalah Wanpwe sebagai muridmu, asal Wanpwe berhasil mempelajari ilmu

silat yang tinggi, suatu hari aku pasti akan berhasil balaskan dendam ayah . . . "

Gugup Hoat-si-jin melihat Tian Pek berlutut padanya, karena tak sempat

membangunkan anak muda itu, cepat ia sendiripun berlutut, sahutnya: "Siau-in-

kong, lekas bangkit berdiri, kalau engkau berbuat demikian, bukankah sama

artinya bikin repot aku saja?"

Tian Pek mengira Hoat-si-jin tak mau menerimanya sebagai murid, ia semakin

ngotot tak mau bangun, akhirnya manusia aneh itu menarik anak muda itu dan

didudukan keatas kursi. lalu ia berkata dengan serius: "Bukannya aku menolak

permintaanmu dan tak sudi memberi pelajaran silat kepadamu, tapi kenyataan

dibalik persoalan ini sebenarnya terselip alasan lain yang jauh lebih penting,

pada hakikatnya ilmu silat yang kumiliki cuma dapat digunakan menghadapi

kaum keroco kelas kambing, kalau dibandingkan dengan jago2 lihay, terus

terang saja masih bukan tandingannya, karena itulah walaupun kuajarkan

seluruh ilmu silat yang kumiliki kepadamu juga percuma, apalagi peraturan

persilatan mengenai pengangkatan guru sangat ketat sekali, bila kau angkat aku

menjadi guru, maka dikemudian hari sulitlah jika kau ingin belajar silat pada

orang lain, bukankah itu berarti akulah vang merusak masa depan Siau-in-kong?

Kedua, kami berdua tak lain hanya pelayan Tian-tayhiap, atau tegasnya Siau-in

-kong adalah majikan muda kami, masa pelayan bisa menjadi guru sang

majikan? Kan lucu . . . "

Tian Pek pikir benar juga perkataan Hoat-si-jin ini, terpaksa ia diam saja.

terlihatlah rasa kecewa pada wajah anak muda ini.

Melihat kekecewaan anak muda itu, Hoat-si-jin segera berkata pula: "Kenapa

Siau-in-kong mesti putus asa? Bukankah engkau membawa kitab ilmu silat yang

jauh lebih hebat daripada guru kenamaan manapun juga?"

Ucapan tersebut menyadarkan Tian Pek dari lamunannya, ia lantas teringat

kepada kitab Thian- hud-pit-kip, cepat ia meraba bajunya, tapi kosong, kitab itu

telah hilang, keruan mukanya berubah pucat karena terperanjat.

Pelahan Hoat-si-jin mengeluarkan kitab Thian-hud-pit-kip itu dari sakunya dan

bertanya: "Siau-in-kong, darimana kau dapatkan kitab paling aneh dikolong

langit ini?"

"O, seorang bernama paman Lui yang menghadiahkannya kepadaku!" sahut Tian

Pek dengan lega melihat kitab pusaka itu ternyata tidak hilang.

Sambil bicara, Hoat-si-jin mem-balik2 halaman kitab itu dan melihat isinya, tapi

baru satu-dua halaman dilihatnya, cepat ia pejamkan mata sambil mengatur

pernapasan,

Sesaat kemudian dia baru buka mata seraya berkata: "O, sungguh lihay! Kitab ini

mudah membawa orang kejalan yang sesat. . ..Siau in-kong, engkau mssih muda

dan berdarah panas, aku jadi ingin tahu bagaimana caramu mempelajari isi kitab

ini."

"Wanpwe merabanya dengan tangan di tempat gelap!" jawab Tian Pek dengan

berterus terang.

Hoat si-jin tidak percaya, cepat dia pejamkan mata dan coba meraba kitab

tersebut dengan tangannya, hanya sebentar saja dia lantas mengetahui

duduknya perkara, tanpa terasa napsu ingin memiliki kitab tersebut terlintas

pada wajahnya.

Hal ini tak dapat menyalahkan Hoat-si-jin. Maklumlah kitab Soh-kut-siau-bun-

thian-hud-pit-kip adalah kitab pusaka yang di-idam2kan setiap umat persilatan

di kolong langit ini, sejak dua ratus tahun berselang entah sudah berapa banyak

jago yang mati karena berebut kitab tersebut. pengakuan Tian Pek atas rahasia

kitab itu tentu saja menimbulkan curiga Hoat si-jin.

Untung Hoat-si-jin bukan seorang yang tamak, ia lebih mengutamakan rasa setia

kawan daripada napsu untuk memiliki kitab tersebut bagi kepentingan pribadi,

meskipun kitab pusaka itu dipegangnya beberapa saat dengan kencang dan

terjadilah pertentangan batin yang hebat, tapi akhirnya budi yang luhur

menangkan napsu tamaknya.

Dia menghela napas punjang, ia mengembalikan kitab pusaka itu kepada Tian

Pek, pesannya dengan prihatin: "Siau-in-kong, ketahuilah kitab ini adalah kitab

pusaka yang diincar oleh setiap umat persilatan di kolong langit ini, jika engkau

tidak hati2 menyimpan kitab ini sehingga rahasianya diketabui orang niscaya

Celakalah jiwamu, engkau harus ingat, lebih

banyak manusia yang berjiwa tamak dan bermoral rendah daripada orang2 yang

berjiwa besar. Karena itu rahasia ini harus kau simpan baik2 jangan sampai kitab

pusaka ini mengakibatkan jiwa sendiripun ikut jadi korban!"

Tian Pek bukan orang bodoh, tentu saja dia dapat menyaksikan pula mimik

wajah orang yang aneh dan ingin memiliki itu, apalagi setelah mendengar dan

melihatnya, diam2 ia berkeringat dingin dan bersyukur.

Hoat-si-jin lantas menyerahkan kembali kitab itu ketangan Tian Pek, setelah

hening sebentar kembali ia bertanya: "Macam apakah manusia yang kau sebut

paman Lui itu? Sungguh besar jiwanya."

Tian Pek segera menjalaskan air muka serta bentuk tubuh paman Lui.

"O! Rupanya Lui Ceng-wan!" seru Hoat-si-jin dengan cepat setelah mendengar

penjelasan tersebut.

"Locianpwe kenal dia?" tanya Tian Pek.

"Tentu saja kenal?" sahut Hoat-si-jin dengan wajah berseri. "Dia adalah sahabat

paling karib mendiang ayahmu, seringkali kami ikut beliau melakukan perjalanan

di dunia Kangouw"

"Lalu siapakah Locianpwc sendiri?" sela Tian Pek tiba2. "Apakah Wanpwe boleh

tahu nama besarmu agar tidak sia2 pertemuan kita ini."

Hoat-si-jin tampak muram, sesaat kemudian baru berkata sambil menghela

napas panjang: "Untuk hal ini, maafkanlah Siau-in-kong, aku tak dapat

memenuhi permintaanmu sebab kami bersaudara pernah bersumpah sebelum

sakit hati In-kong terbalas, maka selamanya kami takkan pakai nama asli lagi,

bila perlu boleh panggil kami dengan sebutan Hoat-si-jin dan Si-hoat-jin saja."

Tentu saja Tian Pek tak mau memaksa orang untuk menyebutkan namanya.

Sejenak kemudian baru ia tanya pula: "Locianpwe, darimana kalian tahu tentang

nama para pembunuh ayahku . . ."

Belum habis anak muda itu berkata, Hoat-si-jin lantas memotong: "Tentang ini,

engkau boleh tanya saja kepada Sin-lu-tiat-tan (keledai sakti peiuru baja) Tang-

locianpwe, Bukan engkau saja, kami berdua pada mulanya juga tidak percaya

setelah mendengar kabar itu, tapi akhirnya Tang-locianpwe muncul dan

memberi kesaksian. Kemudian, dua hari yang lalu kamipun berhasil menemui

Siau-in-kong itu kami temukan Cing-hu-piau, yaitu mata uang tembaga

tersebut . . , . "

Ia berhenti sejenak untuk ganti napas lalu melanjutkan: "Engkau tahu apa arti

mata uang itu? Itulah senjata rahasia khas milik Cing-hu-sin Kim Kiu. Sejak itulah

sekalipun kami tidak percaya terpaksa harus mempercayainya juga, sebab bukti

sudah kami lihat sendiri."

"Sin-lu-tiat-tan!" gumam Tian Pek. "Apakah yang dimassudkan Tang-locianpwe

itu adalah seorang kakek pedagang kelontong kelilingan yang menuggang

keledai?"

"Benar, itulah orangnya!" seru Hoat-si-jin.

Tiba2 ia seperti teringat pada sesuatu yang penting, segera ia berseru pula: "Sin-

lu-tiat-tan Tang- locianpwe adalah sesepuh dunia persilatan yang berilmu tinggi,

umurnya mungkin sudah melebihi seratus tahun, ilmu silatnya amat tinggi,

terutama ketiga biji peluru baja serta ke-64 jurus pukulan Ki-beng-tui-hong-ciang

adalah Kungfu yang sukar dicari bandingannya dikolong langit ini, jika Siau in-

kong ingin cari guru pandai, kenapa tidak mencari orang tua itu dan belajar silat

padanya?"

Tian Pek jadi girang mendengar keterangan tersebut, dengan muka berseri ia

bertanya: "Apakah Locianpwe tahu orang tua kosen itu berdiam dimana?"

"Jejak orang tua itu sukar dicari sebab tak menentu tempatnya, namun sering

dia mengasingkan diri disekitar duabelas gua bukit karang Yan-cu-ki yang

terletak di lepi sungai dipinggir kota Lam-keng, bila Siau-in-kong berhasrat

mencari beliau, pergi saja ke situ, kemungkinan besar engkau dapat

menemuinya."

Tanpa membuang waktu lagi Tian Pek lantas melompat bangun, ia memberi

hormat kepada manusia aneh itu dan ucapnya: "Kalau memang begitu, Wanpwe

mohon diri sekarang juga, pertolongan dan budi yang telah Cianpwe berikan

padaku tak akan kulupakan untuk selamanya. . . ."

Habis bicara ia terus melayang keluar ruangan itu, hanya sebentar saja tubuhnya

sudah berada jauh diluar gedung Si—jin-ki....

"Siau-in-kong . . . . !" teriak Hoat si-jin dari belakang, maksudnya hendak

memberitahu bahwa seorang teman gadisnya masih tertinggal disitu, tapi

tatkala teringat pada hal2 yang tidak enak. ia tidak jadi berseru lagi.

Sementara itu Tian Pek sudah turun dari bukit itu, perjalanan dilakukan sangat

cepat.

Setelah keluar dari pintu Si-jin-ki, anak muda itu tak berpaling lagi, dikaki bukit ia

lihat seekor kuda merah bagus dan gagah sedang makan rumput disana, Tian

Pek mengira kuda itu milik Hoat-si-jin. Ia lupa orang yang mempunyai tampang

aneh itu masakah memiliki kuda tunganggan sebagus itu?

Setelah menentukan arah, berangkatlah Tian Pek menuju ke Lam-keng, ia

melakukan perjalanan cepat, kalau lapar ia mengisi perut ala kadarnya, untuk

menghemat waktu seringkali hanya memetik buah-buahan yang ada di tepi jalan

untuk menangsal perut. kadangkala iapun membidik beberapa ekor burung dan

dipanggang, karena itu beberapa hari kemudian ia sudah tiba di kota Lam-keng.

Pakaian yang dikenakannya waktu itu masih tetap baju dengan simbol sulaman

macan tutul, lambang khas perkampungan Pah-to-san-ceng, hanya saja pakaian

tersebut sudah robek dan dekil, ditambah pula mukanya penuh debu,

rambutnya kusut dan bau keringat, tapi menyandang pedang pusaka dengan

sarung berlapis emas, dandanan semacam ini tentu saja sangat menarik

perhatian orang sepanjang jalan.

Tapi ia tak ambil pusing semua itu, perjalanan dilakukan tanpa melirik ke kanan-

kiri, hanya ada satu tujuan baginya, yakni cepat tiba di "dua belas gua bukit

karang".

Lam-keng atau Nanking adalah sebuah ibu kota kerajaan dijaman dulu, banyak

tempat terkenal tersebar di seputar kota ini. Kota ini juga disebut dengan nama

Kim-leng.

Diluar pintu barat kota terdapat sebuah telaga Bok-ciu-oh. Di utara kota ada

pantai Yan-cu-ki. Sebelah timur kota di kaki bukit Ciong-san ada makam raja

dinasti Beng-hau-leng dan telaga Hian-bu-oh. Dalam kota terdapat Pak-kek-kok

dan bukit Cing-liang-san, semuanya berpemandangan indah, megah dan

mempesona siapa saja yang berkunjung.

Waktu itu tengah musim gugur, namun hawa panas masih menyengat kota Lam-

keng yang tersohor sebagai kota terpanas, dalam cuaca begitu banyaklah

penduduk kota yang berpariwisata dan cari angin ketepi sungai sebelah utara

kota yang dikenal sebagai Yan-cu-ki.

Yan-cu-ki menjulang tinggi di tepi sungai, batu karang itu bentuknya persis

seperti burung walet, megah dan indah dipandang. di dekatnya ada dua belas

buah gua karang yang tersebar diseputarnya dan merupakan tempat yang ideal

sebagai tempat tetirah untuk menghindari sengatan sinar matahari. Banyak

kedai minum, rumah makan tersebar diisekitar "dua belas gua karang" itu, tidak

sedikit laki perempuan duduk santai disana sambil mengobrol dan menikmati

pemandangan alam yang indah.

Di kala itulah seorang pemuda sedang berjalan menyusur tepi sungai.

Ia mengenakan mantel warna hitam, meski bahannya mahal, namun di sana sini

sudah robek, sepatunya penuh debu, tubuhnya basah oleh air keringat,

siapapun akan tahu bahwa orang ini baru saja melakukan perjalanan jauh.

Sebilah pedang mestika terpanggul dipunggungnya, pemuda itu berjalan dengan

kepala tertunduk. alis terkernyit, rupa-rupanya ada sesuatu yang sedang

dipikirkan olehnya, bukan saja tidak tertarik oleh keindahan alam yang

terbentang didepan mata. iapun tak pernah menengok ke arah orang2 yang

sedang mengobrol santai disana.

Selagi pemuda itu berjalan dengan kepala tertunduk, tiba2 sebutir batu kecil

meluncur datang dan "plok" tepat menghantam belakang kepala anak muda

tadi.

Pemuda itu melonjak kaget, cepat ia berpaling, tapi tak diketahui olehnya siapa

yang menimbuk kepalanya dengan batu. sebab orang2 yang berada di situ sama

tertawa geli memandanginya.

Aneh datangnya batu itu, sekalipun tak sampai melukainya, tapi sakit juga

pemuda itu.

Tidak aneh bila orang yang ditimpuk batu dari belakang adalah seorang manusia

biasa, tapi anak muda ini berkepadaian tinggi, sekalipun belum mencapai

tingkatan yang luar biasa, akan tetapi tenaga dalamnya dan ketajaman mata

serta pendengarannya sudah lain dari pada yang lain, tak mungkin timpukan

seorang jago silat biasa mampu melakukannya. Tapi sekarang terbukti ia kena

timpuk, tak perlu ditanya lagi sang penimpuk pastilah seorang ahli ilmu senjata

rahasia,

Kalau mahir menimpukkan senjata rahasia berarti pula ilmu silat yang dimiliki

orang itu pasti jauh lebih lihay lagi, karena itu rasa kaget pemuda itu jauh lebih

hebat daripada rasa sakitnya.

Dengan mata jelalatan anak muda itu mengawasi seputarnya, ia lihat orang2

yang disana sedang memandangnya sambil tertawa, namun tak diketahuinya

siapakah si pembuat gara2 itu.

Dengan perasaan apa boleh buat pemuda itu meraba kepalanya yang benjut

besar, namun tidak sampai keluar darah, sekalipun begitu cukup membuat

hatinya mendongkol.

Diluar dugaan, baru saja ia berpaling, "plok!" kembali sebutir batu hinggap telak

di kepalanya.

Kali ini tenaga sambitan tersebut jauh lebih keras daripada tadi, pemuda itu

sampai meloncat setinggi dua-tiga kaki karena kesakitan, cepat ia berpaling

dengan mata melotot gusar, mukanya merah padara karena menahan emosi

yang meluap.

Gelak tertawa orang banyak terdengar pula. Tapi sekali ini pemuda itu dapat

mengetahui siapa si pembuat gara2 itu.

Ternyata mereka adalah dua orang bocah cilik. seorang anak laki2 dan seorang

anak perempuan.

Yang laki2 berusia tujuh-delapan tahunan, sedang yang perempuan berusia

enam-tujuh tahunan, wajah mereka tampan dan cantik, baju mereka indah.

Kedua anak itu berdiri dibelakang sebuah pot bunga, tangan mereka

disembunyikan dibelakang punggung, sedang dalam pot bunga itu tertumpuklah

biji batu persis seperti apa yang dipakai untuk menimpuk kepala pemuda tadi,

melihat kekonyolan pemuda itu, mata mereka yang kecil terbelalak, bibnnya

terkancing rapat, agaknya sedang menahan geli sehingga tidak sampai

mengeluarkan suara tertawa.

Tidak jauh dari kedua anak itu terdapat sebuah gardu yang megah, sebuah meja

bulat dengan taplak warna putih berada di tengah gardu itu, be-buahan yang

segar serta beberapa cangkir minuman segar tersedia di atas meja.

Beberapa orang laki perempuan dengan dandanan yang perlente duduk

mengitari meja bulat itu, wajah mereka segar, pelipis menonjol dan mata

bersinar tajam, sekilas pandang siapapun akan tahu bahwa mereka pasti

memiliki ilmu silat yang tinggi,

Di antara sekian orang2, itu yang paling menyolok adalah pemuda yang duduk di

kursi utama, dia berwajah tampan dengan kulit badan yang putih halus,

umurnya antara dua puluhan dan memakai baju sutera warna putih, sikapnya

gagah, agung dan berwibawa.

Di sisi pemuda itu duduk seorang gadis cantik, usianya masih muda, tapi

kelembutan serta keagungannya menunjukkan ia adalah keturunan orang yang

berkedudukan tinggi.

Waktu itu sambil tersenyum si gadis lagi memandang sekejap pemuda linglung

yang konyol itu, kemudian dengan gusar ia mendekiki kedua anak kecil tadi,

agaknya ia hendak menegur kenakalan kedua bocah tersebut.

Betapa gusar dan mendongkolnya pemuda itu setelah kepalanya disambit batu

dan ditertawakan orang banyak tapi ingatan lain cepat terlintas dalam

benaknya: "Ai, buat apa aku mesti ribut dengan knak keci!?"

Karena itu rasa gusarnya lantas jauh berkurang, ia hanya menegur: "Hei, kawan

kecil, jangan kalian sambit orang tanpa alasan, untung akulah yang kau sambit,

coba kalau orang yang berangasan, tentu kalian takkan diampuni begitu saja ...."

Anak laki2 itu mengerling, lalu dengan tersenyum nakal ia balik bertanya: "Wah,

kalau begitu engkau bukan orang berangasan kan?"

Anak perempuan yang berada di sisinya tertawa cekikikan, tapi segera ia merasa

rikuh untuk tertawa, maka cepat ia berpaling ke arah sungai.

Saat itulah dilihatnya seekor kura2 besar sedang merangkak naik dari tepi

sungai, timbul sifat kekanakan yang suka usil, dia lantas menjentikkan sebiji batu

dan dengan telak menghnjar kepala kura-kura tadi sehingga badannya terbalik.

Kalau kura2 terbalik dengan kaki di atas, sekalipun meronta bagimanapun juga

sukar untuk bangun lagi.

"Hihi, lihat Koko. aku dapat menyambit kepala kura2 itu dengan tepat!" teriak si

anak perempuan sambil berkeplok kegirangan.

"Lan-lan, jangan nakal . . . ." pemuda tampan maupun gadis cantik di dalam

gardu tadi segera menghardik.

Belum habis suara bentakan kedua orang itu. tahu2 anak laki2 itupun menimpuk

pula kepala kura2 itu dengan gerakan yang sama. Berat dan cepat serangan

tersebut, kura2 yang terbalik itu kontan mencelat ke dalam sungai.

Sorak-sorai dan gelak tertawa menggema disekitar gardu, semua orang tertawa

geli menyaksikan peristiwa yang kocak itu.

"Apanya yang aneh?" seru anak laki2 itu. "Lihatlah, kan aku juga bisa menimpuk

kepala kura2 itu dengan jitu!

Kembali gelak tertawa menggema terlebih keras.

Sekalipun perkataan itu diucapkan oleh bocah yang tak tahu urusan, namun

perkataan itu seperti mempunyaj arti ganda, ditambah lagi orang2 di sekitar situ

sama bergelak tertawa, maka merah padamlah wajah anak muda tadi.

Matanya lantas melotot, segera dia hendak mengumbar rasa marahnya, tapi

lantas terpikir buat apa berurusan dengan anak kecil yang tak tahu urusan.

Akhirnya ia menghela napas, pikirnya: "Ai, dasar lagi sial! Penderitaan macam

apapun sudah kualami, kenapa aku musti ribut dengan bocah cilik . . . .?"

Berpikir begini, dengan kepala tertunduk cepat ia berlalu dari situ.

Belum jauh anak muda itu melangkah pergi tiba2 terdengar seorang mengejek

dengan suara yang serak: "He, Lo-ji, tadi kau bilang seorang lelaki sejati lebih

baik kehilangan kepala, lebih suka mandi darah daripada hidup dihina. Tapi coba

lihat sekarang agaknya di dunia ini lebih banyak kura2 yang suka

menyembunyikan kepala dari pada manusia berjiwa besar sudah dihina, kentut

saya tidak berani."

Kata2 itu diucapkan dengan suara yang besar seperti suara bandot sehingga

semua orang dapat mendengar dengan jelas.

Pemuda itu berada tidak jauh dengan si pembicara, tentu saja semua

perkataannya dapat didengar olehnya. Segera ia berpaling, dilihatnya dua orang

kakek dan seorang anak kecil duduk mencari angin di bawah pohon di tepi

sungai, mereka sedang mengawasi si anak muda dengan sorot mata menghina.

Umur kakek2 itu sudah amat lanjut, tapi wajah mereka sangat istimewa. Yang

satu berambut merah dengan kulit badan hitam kasar, hanya pada lekukan

antara mata dan hidung saja berkulit agak putih bersih, matanya kecil, bulat dan

memancarkan cahaya tajam, punggungnya rada bongkok hingga sepintas

pandang seperti kunyuk.

Di depan kakek seperti kunyuk itu berduduk kakek lainnya, meskipun

tampangnya tidak menjolok, tapi badannya yang kecil kurus serta topi dan

mantel tebal yang dikenakannya cukup mengherankan siapapun yang

memandangnya.

Coba pikir, udara waktu itu panas bagaikan dibakar, orang lain berusaha

mengenakan pakaian setipis dan seminim mungkin, tapi kakek itu justru

mengenakan mantel yang tebal.

Kakek kurus kecil yang memakai mantel tebal itu sedang mengawasi anak muda

tadi dengan dahi berkerut, sambil menggerakkan kumisnya yang kecil dari

hidungnya yang merah besar, ia menggeleng kepala sambil menyahut ucapan

temannya tadi: "Ehm. memang benar perkataanmu!" —

Cara bicaranya dengan lagak seorang guru kampungan.

Gusar dan mendongkol juga pemuda linglung tadi sebelum ia sempat berbuat

apa2 tiba2 kakek kurus kecil ini menggapai padanya: "Kemari, coba kemari!"

"Losianieng panggil aku?" tanya pemuda itu pura2 tak mengerti dengan

menahan perasaannya.

"Huh, dasar bebal," maki si guru kampungan sambil menarik muka. "Kalau

bukan dirimu, memangnya aku memanggil anjing?"

Gelak tertawa riuh kembali menggema.

Betapapun sabar si anak muda akhirnya juga tak tahan, dengan gusar ia berseru:

"Losiansing. tampaknya engkau seperti orang sekolahan, tapi kenapa engkau

bermulut kotor? Kalau tidak mengingat usiamu sudah lanjut, hmm ... ."

Sekalipun tidak jelas apa yang hendak dilakukan, namun dapat pula diketahui

dari suara jengekannya.

Tak terduga kakek berambut merah segera bergelak tertawa sesudah

mendengar ucapannya itu. dengan suaranya yang serak ia berseru: "Hahaha...

Bun-loji, sepanjang hari kau selalu mengoceh isi kitab yang kau baca, tapi

sekarang bocah itu mengatakan kau orang sekolahan yang bermulut kotor,

hahaha . . ."

Kontan si kakek kurus kecil melotot gusar ia pandang pemuda itu dengan marah,

hardiknya: "Kurangajar! Kau benar2 anak yang tak bisa dididik secara baik2,

kusuruh kau kemari, kau tak mau, tapi malahan berani mencaci-maki padaku.

Hm, benar2 kurangajar!" — Habis berkata segera ia berlagak hendak berdiri.

"Guru, tunggu sebentar!" anak kecil yang berduduk didepan kedua orang kakek

itu segera berbangkit. "Biarlah Tecu yang memikul tugas ini, membunuh ayam

kenapa mesti pakai golok pejagal kerbau? Untuk memberi pelajaran kepada

keparat ini tak perlu engkau repot2 turun tangan sendiri, biar Tecu yang hajar

adat padanya."

Dengan pelahan kakek itu mengangguk dan duduk kembali.

Sementara itu bocah tadi sudah merosot turun dari kursinya kemudian lompat

kedepan pemuda tadi.

Kiranya bocah itu berbadan pendek, cebol, badannya yang istimewa cebolnya

itu sewaktu duduk dikursi hampir boleh dibilang kakinya tidak menempel tanah,

karena itu untuk turun dari kursinya dia harus melorot lebih dulu ke bawah.

Si cebol ini tingginya tak sampai tiga kaki, tapi kepalanya amat besar melebihi

ukuran kepala manusia biasa, pada kepala dan wajahnya yang besar itu terdapat

mata dan hidung yang kecil, ingus meleleh dari lubang hidungnya, kakinya amat

pendek gemuk, rupanya kotor dan buruk.

Gelak tertawa orang banyak menggeletar pula. mentertawakan bentuk tubuh si

cebol yang aneh dan lucu itu.

Tapi si cebol tidak ambil pusing, dengan lagak tuan besar ia menghampiri anak

muda itu, setelah berdiri di depannya, ia tuding pemuda itu sambil berseru:

"Hei, kunyuk! Berani kau mencaci-maki guruku, sekarang kalau kau mau

menyembah padaku, maka tuan kecil akan mintakan ampun bagimu, mungkin

tuan besar Suhu mau mengampuni dirimu, tapi kalau tidak, hm, jangankan Suhu

akan marah2, bahkan tuan kecil juga tak akan mengampuni dirimu!"

Lagak si cebol itu benar2 amat kocak, ditambah pula sebutan tuan besar dan

tuan kecil segala diiringi ingus yang meleleh terus diusap dengan lengan

bajunya, maka gelak tertawa geli orang banyak kembali bergemuruh.

Anak muda itu benar2 menjadi gusar, apalagi setelah dilihatnya si cebol yang

lebih mirip setan daripada manusia ini mencaci maki padanya, untuk sesaat ia

sampai tak mampu ber-kata2 saking mendongkolnya.

"Eh, bocah, kenapa kau diam saja? Memangnya ingin digebuk?" teriak si cebol

dengan mata melotot.

Pemuda itu hanya tertawa dingin saja, ia tidak bicara juga tidak turun tangan.

Sesungguhnya ia tak sudi bertempur melawan si cebol, sebab kalau menangpun

tidak ada yang bisa dibanggakan olehnya, malahan mungkin orang lain akau

menonton perkelahian mereka ibarat nonton komidi kera di tepi jalan,

bukankah pamornya bisa merosot malah?

Lain lagi dengan jalan pikiran si cebol, ketika dilihatnya si anak muda tetap

membungkam, dikiranya orang tak pandang sebelah mata padanya, ia menjadi

gusar.

Tiba2 ia melompat maju sambil putar tangan kiri hendak mencengkeram dada

pemuda itu, lihay sekali cengkeraman si cebol ini, gerakan yang dipakai adalah

Toa-kim-na-jiu-hoat yang hebat, bukan saja cepat, gayanya juga aneh dan tidak

lebih lemah dari pada jagoan kelas satu.

Betapa terkejut anak muda itu menghadapi serangan lihay itu, dia tak

manyangka kalau sicebol yang kocak dan aneh bentuknya itu memiliki ilmu silat

yang luar biasa.

Ia tak berani gegabah, melihat ancaman sudah berada didepan mata, cepat ia

bergeser, kemudian dia balas mencengkeram pergelangan tangan si cebol

dengan jurus Toan-Un-cay-meh (memotong otot memutus nadi), suatu gerakan

yang ampuh juga dari ilmu Toa-kim-na-jiu-hoat pula.

"Serangnn bagus!" teriak si cebol dengan suara melengking sambil berputar

tangan kanannya menurun ke samping untuk menghindari cengkeraman lawan,

menyusul ia lantas mencengkeram pula perut musuh.

Berbareng itu tangan kirinya seperti garpu menusuk tenggorokan anak muda itu.

Setelah menyaksikan serangan gencar dan lihay si cebol. pemuda itu tak berani

pandang enteng lawannya lagi, kelima jari tangan kanannya balik mengunci

pergelangan kiri si cebol yang sedang mengancam tenggorokannya itu dengan

gerakan Kim-si-cian-wan (serat emas membelenggu pergelangan) berbareng

pula tangan kirinya memotong Keng-liang-hiat pada lengan kanan si cebol.

Sambil berpekik si cebol menghindar kesamping, pertarungan makin lama

semakin cepat, semua yang digunakan adalah Kim-na-jiu-hoat yang lihay.

Sekejap kemudian belasan jurus sudah berlangsung.

Perlu diketahui, tempat minum ditepi sungai Yan cu-ki biasanya memang banyak

terdapat tokoh persilatan yang berilmu tinggi, semula mereka mengira

pertarungan antara pemuda melawan si cebol itu tidak lebih cuma pertarungan

kaum gelandangan, maka mereka tidak menaruh perhatian.

Tapi setelah pertarungan berlangsung lebih jauh. semua orang terbelalak

matanya, sekarang mereka baru bisa merasakan betapa serunya pertarungan

itu.

Sebagian besar tamu yang berkumpul disitu hanya jago silat biasa saja, melihat

pertarungan berjalan sangat seru, kebanyakan mereka hanya ingin menonton

keramaian belaka. Tapi ada pu]a di antaranya yang berkepandaian tinggi,

mereka justeru sangat memperhatikan jurus serangan yang digunakan kedua

orang itu.

Di antara sekian banyak orang, kedua kakek aneh serta pemuda pemudi

perlente itulah yang paling menaruh perhatian.

Siapakah kedua orang kakek itu? Mereka tak lain adalah Kanglam ji-ki (dua

manusia aneh dari wilayah Kanglam) yang disegani baik tokoh kalangan putih

maupun jago golongan hitam di seputar selatan sungai Tiang-kang.

Kakek berambut merah, berkulit hitam pekat dan bermuka seperti kunyuk itu

adalah Lotoa atau tertua Kanglam-ji ki, orang menyebutnya sebagai Jik-hoat

Lojin (kakek berambut merah), Siang Ki-ok.

Sedangkan kakek kurus kecil yang berhidung merah dan bermantel tebal itu

adalah Loji (kedua) yang bernama Bun Ceng-ki, orang Kangouw menjuluki dia

sebagai Kui-kok-im-soh (kakek pertapa dari lembah setan).

Sudah puluhan tahun lamanya mereka tersohor di dunia persilatan, baik

Lwekang Gwakang atau-pun Ginkang telah mencapai puncak kesempurnaan

yang tiada taranya, cuma tabiat mereka aneh dan jarang bergaul dengan orang

lain.

Sepanjang tahun mereka hidup mengasingkan diri di Kui-kok, di mana letak

lembah tersebut tak seorangpun yang tahu, sebab tak pernah ada yang berani

berkunjung ke sana, orang hanya tahu kira2 lembah tersebut terletak di Gan-

tang-san.

Sekalipun jarang muncul di depan umum, tapi setiap kali mereka muncul di

dunia persilatan tentu akan digemparkan oleh kejadian2 yang luar biasa.

Si cebol jelek yang sedang bertempur melawan anak muda itu adalah satu2nya

murid kesayangan mereka berdua. bocah itu ditemukan mereka di tepi jalan

sewaktu masih bayi. Kanglam ji-ki biasanya tak suka bergaul dengan orang lain,

entah apa sebabnya timbul pikiran bajik mereka dan memelihara bayi itu sampai

dewasa, bahkan ajarkan pula ilmu silat.

Lantaran badannya cebol dan bentuknya aneh, karena asal usul bayi itu tak

diketahui pula maka mereka memberi nama Sam-cun-teng (palu tiga dim)

kepada si cebol ini dan memberi pula julukan Siau-siang-bun (si pembawa

celaka) kepadanya.

Jangan mengira Sam-cun-teng berbentuk manusia bukan manusia, seperti setan

tapi bukan setan, kenyataan ia telah mendapat ajaran langsung ilmu silat

Kanglam-ji-ki, sekalipun belum bisa dikatakan tiada tandingannya di kolong

langit ini, tapi paling tidak ia sudah tergolong jago kelas satu di dunia persilatan.

Tapi sekarang anak muda tadi sanggup menandingi Sam-cun-teng dengan

seimbang, tentu Kanglam-ji-ki jadi sangat heran.

Mata kedua kakek itu terbelalak lebar, mereka ikuti semua gerakan dan jurus

yang dipakai anak muda itu, ketika diiihatnya Kim-na-jiu-hoat yang digunakan

ternyata sangat mirip dengan To-liong-cap-pwe-jiu (delapan belas gerakan sakti

pembunuh naga) yang diajarkan Kui-kok-in-siu. kepada Sam-cun-teng, mereka

tambah tercengang dan melongo.

Adapun pemuda perlente yang duduk dalam gardu di sebelah lain juga bukan

orang sembarangan, dia termasuk salah satu di antara Bu-lim-su kongcu yang

tersohor, ia bukan lain adalah Siang-lin Kongcu Kim Cay-hoan, Kongcu yang

tersohor karena simpatiknya memupuk persahabatan dengan tiap umat

persilatan.

Siang-lin Kongcu turun temurun berdiam di kota Lam-keng, dia putera hartawan

terkenal, ilmu silatnya tinggi sebab sejak kecil mendapat didikan orang kosen,

be-ratus2 jago persilatan yang selalu ngendon dirumahnya dan tidak sedikit jago

kelas satu, maka pemuda ini terhitung salah seorang yang paling berpengaruh di

Lam-keng ini.

Gadis cantik yang duduk disamping Siang-lin Kongcu adalah adik kandungnya,

bernama Kim Cay-hong, karena sekuntum bunga bwe selalu menghiasi

sanggulnya dan lagi mukanya cantik jelita bak bidadari, maka orang memberi

julukan Bwe-ing-sian (dewi bayangan bunga bwe) kepadanya-

Hari ini udara sangat panas, Siang-lin Kongcu kakak beradik dengan membawa

beberapa orang "tukang pukul" berserta dua keponakan mereka yang bernama

Beng-beng dan Lan-lan juga pesiar ke pantai Yan-cu-ki ini.

Tak terduga disini mereka berjumpa dengan Kanglam-ji-ki serta si cebol Sam-

cun-teng.

Sesungguhnya kemunculan Kanglam ji-ki beserta murid cebolnya ini memang

sengaja hendak mencari perkara pada Siang-lin Kongcu.

Kebetulan mereka menemukan Siang-lin Kongcu disini, maka berulang kali

kedua mahkluk aneh ini mencemooh, menyindir dan mengejek, tapi setiap kali

tidak dilayani oleh Siang-lin Kongcu, ia tak ingin bertengkar dengan orang yang

belum diketahui asal-usulnya, bahkan beberapa kali iapun mengalangi tukang

pukulnya yang sudah tak tahan dan ingin melabrak kedua kakek itu.

Kanglam-ji-ki sangat jarang keluar dari lembahnya, dengan sendirinya tidak tahu

pula pengaruh serta kekuatan Siang-lin Kongcu, kemunculan mereka untuk

mencari perkara juga disebabkan hasutan manusia rendah yang ingin mencari

keuntungan bagi diri sendiri.

Ketika dilihatnya Siang-lin Kongcu sama sekali tidak menghiraukan olok2 dan

ejekan mereka, tentu saja kedua kakek itu menjadi kikuk sendiri, maka untuk

beberapa waktu lamanya kedua pihak sama2 tidak bertindak apa2.

Tatkala itulah kebetulan lewat pemuda yang berjalan dengan kepala tertunduk,

mungkin karena sedang gundah pikirannya, tanpa sengaja anak muda itu telah

menginjak mati seekor jengkerik milik Lan-lan yang terlepas.

"Hei! Awas!.. . . " teriak Lan-lan dengan kuatir, tapi jengkeriknya sudah mati

terinjak, maka gadis cilik itu lantas ber-teriak2 pula: "Hei, kau injak mati

jengkerikku, hayo ganti!"

Akan tetapi pemuda itu seperti orang linglung dan melanjutkan langkahnya

dengan kepala tertunduk.

Meski Lan-lan baru enam-tujuh tahun, tapi dasar ilmu silatnya sudah cukup

tangguh. Dengan mendongkol anak perempuan itu lantas pungut sebiji batu dan

disentil kebelakang pemuda itu dengan ilmu Tan-ci-gin-wan (sentilan jari peluru

perak).

Dalam keadaan pikiran kalut dan berada di tempat yang ramai begitu, tentu saja

anak muda itu tak menyangka kalau dirinya bakal dikerjai orang, dan selentikan

Tan-ci-gin-wan Lan-lan sangat jitu, sekalipun tenaganya masih kurang, tapi batu

kecil itu tepat mampir di kepalanya.

Tatkala pemuda itu berpaling dengan marah, anak perempuan itu jadi takut dan

tak berani ber suara.

Waktu pemuda itu berlalu karena tidak menemukan si penyambit, Lan-lan

menjulurkan lidahnya kepada Beng-beng sambil tertawa.

Juluran lidah tersebut diterima Beng-beng sebagai suatu tantangan untuk adu

kepandaian, maka anak lelaki inipun mengamhil sebutir batu dan sekali lagi

menyambit batok kepala pemuda itu.

Kanglam-ji-ki melihat kejadian itu sebagai kesempatan baik untuk mencari

gara2, cepat Kui- kok-in-soh Bun Ceng-ki menggapai si pemuda dengan maksud

hendak menghasut anak muda itu untuk bikin perhitungan dengan Siang-lin

Kongcu.

Bila sampni terjadi pertarungan, maka merekapun akan menggunakan alasan

tersebut untuk cari perkara pada Siang-lin Kongcu.

Siapa tahu apa yang diharapkan tidak tercapai, malahan Kanglam-ji-ki bentrok

sendiri dengan pemuda tersebut dan terjadi pertarungan Sam-cun-teng dengan

pemuda itu.

Kanglam ji-ki baru menyadari kalau mereka telah salah melihat. sebab pemuda

tersebut ternyata memiliki ilmu silat yang sangat tinggi.

Kalau Kanglam-ji-ki kaget maka Siang-lin Kongcu kakak beradik jauh lebih

terperanjat. Ia pikir bukan saja ada orang berani mencari onar di wilayah

kekuatannya, bahkan pemuda itu memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan

berita ini sama sekali tak diketahui oleh anak buahnya, belum pernah terjadi

peristiwa demikian selama ini.

Tidaklah heran kalau Siang-lin Kongcu kakak beradik maupun semua tukang

pukulnya jadi terperanjat dan terbelalak mengikuti pertarungan itu.

Pertarungan itu berlangsung cepat, dalam sekejap saja belasan jurus sudah

lewat tanpa terasa.

Jangan mengira si cebol itu berbadan pendek dan berkaki cekak, tapi kalau

sudah bergerak lincah dan gesitnya tidak kepalang, baik melejit, melompat,

mengegos, semuanya dilakukan dengan cepat. ditambah pula permainan To-

liong-cap-pwe-jiu yang tepat dan mantap, setiap serangannya sangat aneh dan

lihay serta di luar dugaan.

Tapi si anak muda tidak kalah tangkasnya, setiap jurus pukulannya menimbulkan

angin pukulan yang men-deru2, jelas Lwekang pemuda itu jauh melebihi si

cebol.

Walaupun demikian, bicara soal kelincahan dan kegesitan, dia masih tertinggal

jauh, justeru karena adanya selisih inilah maka sekalipun anak muda itu lebih

sempurna dalam hal tenaga, toh kedudukan tetap berimbang dan untuk sesaat

sukarlah menentukan siapa lebih unggul dan siapa yang asor.

Kembali pertarungan berlangsung amat seru, lama2 pemuda itu ketetar juga

oleh aneka macam pukulan si cebol.

Suatu ketika, Sam-cun-teng loncat ke udara dan menyerang dengan jurus In-

liong-sam-hian (naga tiga kali muncul dari mega), tangan kiri melancarkun

cengkeraman kilat mengancam batok kepala anak muda itu, sementara telapak

tangan kanan berputar setengah lingkaran terus menghajar jalan darah Sam-

yang-hiat pada dadanya.

Dalam keadaan begini bila pemuda itu menangkis pakai jurus Heng-in-toan-hong

(awan melintang memotong puncak), dengan enteng niscaya serangan maut

biasa dipatahkan.

Dasar pemuda itu memang belum apal pada permainan ilmu pukulan, ketika

menghadapi ancaman tersebut. sekalipun badan sudah menghindar, namun kaki

tidak ikut bergeser, maka kendatipun cengkeraman lawan ke arah batok

kepalanya dapat dihindarkan ia tak mampu mematahkan pukulan yang

diarahkan pada dadanya.

Sam-cun-ceng dijuluki orang sebagai Siau-siang-bun (si pembawa celaka), dari

situ bisa diketahui bahwa hatinya memang kejam dan caranya turun tangan

ganas.

Ia merasa malu setelah bertarung sekian lama belum juga berhasil merobohkan

lawan, maka begitu memperoleh kesempatan baik untuk menghajar musuh,

dengan cepat tenaga dalamnya dua kali lipat diperhebat, segenap tenaga murni

yang ada di dalam tubuh segera dihimpun pada telapak tangan kanannya.

"Kena!"' bentaknya, Hembusan angin pukulan yang keras langsung menghantam

dada anak muda itu.

Jika pukulan ini sampai bersarang di dada musuh, andaikan anak muda itu tidak

mampus sedikitnya jupa akan terluka parah.

"Haya!" banyak orang menjerit kaget, terutama Kim Cay-hong, si gadis cantik

yang berada di sisi Siang-lin Kongcu. sekilas rasa gegetun terlintas pada

Wajahnya, ia merasa sayang dan tak tega menyaksikan anak muda itu menemui

ajalnya, tapi iapun merasa tidak enak untuk memberikan pertolongan.

Pada saat gawat itulah se-konyong2 anak muda itu membentak: "Haitt! .. .. "

"Blang!" terdengar benturan keras.

Tatkala semua orang menyangka serangan itu tak mungkin bisa dihindari anak

muda tersebut, ternyata secara cepat dan gesit anak muda itu mampu menarik

dadanya sambil melepaskan pula pukulan keras yang tak kalah mantapnya

sehingga terjadi adu pukulan.

Si cebol yang kate dan kecil tak mampu menahan benturan keras itu, kontan

badannya mencelat ke udara seperti layang2 putus, kemudian melayang ke

belakang dan kebetulan meluncur ke tempat dimana Kanglam ji-ki sedang

berduduk.

Berubah air muka Kanglam-ji-ki menghadapi kejadian itu, Ang-hoat Lojin Siang

Ki-ok cepat menyambar tubuh si cebol dan menurunkaunya ke atas kursi.

"Suhu, jangan kuatir! Aku tidak terluka »ama sekali . . . . " teriak si cebol dengan

suara penasaran, cepat ia bangkit dari kursinya dan hendak menerjang maju

lagi.

Sam cun-teng memang hebat, bukan saja dia kebal dipukul, bahkan sama sekali

tidak menunjukkan tanda terluka atau jeri sesudah dihajar sampai mencelat

oleh pemuda itu, orang2 sama heran dan tercengang.

Sebelum si cebol sempat bertindak lagi, Kui-kok-im-soh (kakek pertapa dari

lembah setan) telah bangkit berdiri, dengan langkah lebar ia menghampiri anak

muda itu.

"Hei, anak murid siapa namamu? Kau murid siapa?" bentaknya dengan bengis.

"Aku Tian Pek, tentang perguruan, maaf, tak dapat kuberitahu!" sahut pemuda

itu dengan angkuh-

Kui-kok-in-soh termenung dan berpikir sebentar, tapi ia merasa tak pernah

mendengar seorang jago yang bernama Tian Pek, maka sambil menggeleng

kepala ia berguraam: "Aneh, sungguh aneh kau tak sanggup menyebut

perguruanmu, kenapa Kim-na-jiu-hoat yang kau pakai mirip dengan ilmu

cengkeraman yang kuciptakan? Darimana kau curi belajar ilmu kepandaian itu?"

Tian Pek sendiri memang merasa tercengang sewaktu melihat gerak serangan

yang digunakan si cebol tadi seperti sudah dikenalnya, cuma saja waktu itu ia tak

dapat berpikir banyak.

Sekarang demi mendengar pertanyaan orang barulah dia ingat Kim-na-jiu yang

digunakan Sam- cun-teng memang mirip ilmu cengkeraman yang dimainkan

oleh Tok kok-hui-mo Li Ki.

Karena pikiran ini, ia mengira si cebol dan si kakek kurus ini pasti berasal dari

satu perguruan dengan Tok-kah-hui-mo.

"Losiansiang, engkau kenal dengan seorang yang cacat kaki?" tanyanya

kemudian.

Air muka Kui-kok-in-soh seketika berubah hebat, lagaknya yang angkuh seketika

berubah menjadi jeri, kikuk dan tidak tenteram, dengan suara rada parau ia

berseru: "Jadi. . .jadi kau adalah. . .mu. . .muridnya?"

Sementara itu si kakek rambut merah sudah memburu maju pula ke sisi

rekannya, dengan bingung dia pegang bahu Kui-kok-in-soh sambil berbisik: "Jadi

anak muda ini adalah ahli warisnya....

Tapi. . .masa. . . . masa dia masih hidup di dunia ini?"

Diam2 Tian Pek merasa heran atas sikap kedua orang tua ini, dia tak habis

mengerti kenapa kedua orang tua yang semula tampaknya keren dan garang

mendadak berubah menjadi ketakutan dan tegang seperti tikus ketemu kucing,

ia pikir mungkin di balik urusan ini tersimpan rahasia lain?

Sudah tentu anak muda ini tak dapat menganggap dirinya sebagai murid si iblis

berkaki satu itu, maka dengan tegas ia berseru: "Kalian jangan kuatir, aku tidak

nanti mempunyai guru begitu. . ."

"Dan aku si orang tua juga tak nanti punya murid macam begitu!" sambung

seseorang secara mendadak dari kejauhan. Baru dua orang murid yang kuterima

selama hidupku dan kedua kakiku sudah harus menjadi korban, kalau kuterima

murid lagi. memangnya aku mesti korbankan pula batok kepalaku?"

Cepat Tian Pek berpaling ke arah datangnya suara itu, seorang kakek yang tak

berkaki sedang berayun datang dari tepi sungai sana, kedua kakinya buntung

sebatas paha ke bawah, tapi disambung dengan dua potong kayu untuk

menahan anggota badan, lalu memakai dua tongkat penyangga bahu sehingga

cara berjalannya bukannya melangkah tapi berayun.

Waktu Tian Pek berpaling lagi ke arah Kanglam-ji-ki, kedua orang tua itu

ternyata sudah lenyap eatah ke mana.

Tampaknya begitu melihat kemunculan kakek yang buntung ini, Kanglam-ji-ki

lantas ngacir ter-birit2, begitu pula Sam-cun-teng juga ikut kabur.

"Murid murtad, kemana kalian mau lari?" bentak kakek cacat itu dengan gusar.

"Sudah tiga-empat puluh tahun kucari kalian, setelah berjumpa hari ini, masa

kalian mau kabur lagi?"

Sepasang tongkat penyangga badannya segera ditutulkan ke permukaan tanah,

lalu badannya terayun ke depan dan begitu seterusnya.

Meski kedua kakinya buntung, tapi cara jalan berayunnya ternyata secepat

terbang, segera ia mengejar ke sana.

Tian Pek berpaling ke arah pergi kakek itu, arah tersebut tak lain adalah jalan

gunung yang ber-liku2 menuju Giam-san-cap-ji-tong (dua belas gua bukit

karang), ia lihat tiga titik hitam sedang kabur menuju ke tengah hutan lebat di

atas bukit sana, tak perlu ditanya lagi ketiga orang itu pasti Kanglam ji-ki serta

Sam cun-teng alias si cebol?

Tian Pek ter-mangu2 bingung, sungguh tak terduga di tempat pesiar Yan cu-ki ini

akan mengalami kejadian begitu.

Lebih dulu terjadi pertarungan melawan Sam-cun-teng tanpa sebab, kemudian

menyaksikan Kanglam-ji-ki dan si cebol lari ter-birit2 demi melihat datangnya

kakek buntung, semua ini membuatnya bingung.

Setelah termenung sebentar, lalu iapun bergerak menuju dua belas gua bukit

karang sana.

Belum jauh Tian Pek berjalan, tiba2 pandangannya kabur, sesosok bayangan

mendadak menghadang di depannya,

Si pengadang adalah seorang laki2 kekar berusia tiga-puluhan dan tidak

dikenalnya, maka ia jadi melenggong keheranan.

Laki2 itu lantas berkata dengan suara nyaring: "Sahabat. jangan pergi dulu!

Kongcu-ya kami ingin bicara denganmu!"

"Maaf saudara, aku tak punya waktu," tolak Tian Pek cepat.

Semenjak dia tahu bahwa musuh besar pembunuh ayah adalah orang tua Bulim-

su-kongcu, pandangannya terhadap Kongcu2 itu sudah jauh berubah, ia menjadi

benci dan muak.

Maka setelah berhenti sebentar, iapun menambahkan dengan dahi berkerut:

"Dan lagi aku pun tidak kenal dengan Kongcu kalian?"

Dia menghindari pengadangan laki2 itu dan melanjutkan perjalanannya.

Agak mendoogkol laki2 itu, dia mendengus dan sekali lagi mengadang di depan

Tian Pek.

"Hei. sahabat, kuanjurkan agar menuruti saja perkataanku" ancamnya dengan

mata melotot, "Untung Kongcu-ya kami mau mengundang dirimu. padahal

biasanya sekalipun kau menyembah sehari semalam belum tentu beliau sudi

menemui kau."

Gusar Tian Pek karena jalan perginya berulang kali dihadang, habis

kesabarannya, sebelum laki2 itu menyelesaikan ucapannya ia lantas menukas

dengan suara keras: "Hehe, sungguh lucu. sekalipun Kongcu-ya kalian adalah

raja atau pentolan di tempat ini, kalau aku tidak mau bertemu, dia mau apa?"

Laki2 itupun naik darah demi mendengar jawaban ketus lawan, apalagi nama

sang majikan ikut di-olok2, ia menjadi marah.

"Mau atau tidak mau kau harus menemui beliau!" bentaknya sambil melangkah

maju, tangan terjulur hendak mencengkeram dada Tian Pek dengan gerakan

Tam-li-gi-cu (mencomot dagu merampas mutiara).

Melihat serangan yang cukup lihay ini. tahulah Tian Pek ilmu silat laki2 itu tidak

lemah.

Anak muda itu tidak berkelit dia benar2 gemas maka ketika serangan musuh

tiba, cepat tangan kiri menangkis sedangkan telapak tangan kanan menyodok

dada lawan dengan gerakan Pok-hou-kim- liong (Membelenggu harimau

membekuk naga). ,

Taktik serangan dibalas dengan serangan macam begini jarang di jumpai didunia

persilatan, jarang ada orang yang mau melakukan pertarungan dengan keras

lawan keras begitu, tentu saja kejadian ini sama sekali di luar dugaan laki2 itu,

bahkan Siang-lin Kongcu kakak beradik serta anak buahnya yang lain ikut

terkesiap.

Cepat serangan kedua orang itu sebelum Siang-lin Kongcu sempat mencegah

pertarungan itu, "blang" pukulan keras telah bersarang teluk di dada laki2 itu,

badannya mencelat ke udara dan muntah darah,

"bruk", jatuh terkapar dan tak berkutik lagi, tampaknya lebih banyak

mampusnya daripada hidup.

Suasana menjadi gempar dan gaduh, apalagi jatuh korban sampai tewas, banyak

orang yang segera tinggalkan tempat ini.

Di tengah kegaduhan dan orang sama lari simpang siur itu tiba2 terdengar

bentakan keras, sesosok bayangan melayang ke tengah gelanggang, sebelum

kakinya mencapai permukaan tanah serangan dahsyat lantas dilancarkan, ibarat

seekor burung rajawali yang mengincar mangsanya, kesepuluh jari tangan yang

terpentang terus mencengkeram batok kepala Tian Pek.

Serangan ini sungguh cepat dan dahsyat, biar pun Tian Pek ingin menghindar

juga tidak sempat lagi. terpaksa ia angkat kedua tangannya menyambut

serangan itu.

"Blang!" kembali terjadi benturan keras, Tian Pek merasa lengannya seperti

dihantam oleh palu besar, dada terasa sesak, darah bergolak hebat, matanya

ber-kunang2, dengan sempoyongan dia terdorong mundur sejauh lima-enam

langkah, akhirnya tak tahan lagi dan itu jatuh terduduk.

Lihay sekali penyerang itu, setelah berhasil merobohkan Tian Pek, dia menukik

kebawah dan kembali kedua tangan menghantam pula ke dada Tian Pek

sebelum anak muda itu sempat berbangkit.

Betapa kejinya penyerang itu terbukti dari pukulan terakhir yang dilancarkan itu,

rupanya dia memang bermaksud membinasakan Tian Pek untuk balas dendam

bagi anak buahnya yang mati konyol, maka pukulan ini dilontarkan dengan

segenap tenaganya.

Tian Pek terperanjat, ingin menghindar juga tidak sempat lagi, dalam keadaan

begini dia cuma bisa menanti kematian saja dan tiada jalan lain.

Untung pada detik terakhir tiba2 terdengar suara bentakan: "Pa-heng, tunggu

sebentar .. . ."

Cepat orang itu menahan pukulannya, maka Tian Pek lantas melompat bangun

dan menyingkir kesamping sana. Ia lihat penyerang itu adalah seorang kakek

kurus kecil bermuka hitam, pakai baju hitam bercahaya, kedua telapak

tangannya tersilang di depan dada, jari kelingking kedua tangannya memakai

gelang baja, ujung gelang lainnya terikat pada ujung baju lehernya, dengan sorot

mata tajam bagaikan sembilu ia sedang menatap Tian-Pek tanpa berkedip.

Tian Pek tercengang, seingatnya belum pernah dia kenal kakek ini, terutama

dandanannya yang sangat aneh ini rasanya juga tak pernah dengar dari cerita

orang lain,

Dilihatnya orang yang mencegah serangan si kakek tak lain adalah Siang-lin

Kongcu yang agung itu.

Sementara itu Siang-lin Kongcu telah melangkah maju dan berkata kepada si

kakek baju hitam: "Saudara Thian-ho, maksudku bukan suruh berkelahi

melainkan ingin bersahabat dengan saudara ini."

Lalu dengan tersenyum ia berpaling ke arah Tian Pek dan berkata: "Sungguh

hebat Kungfu yang saudara miliki. Aku Kim Cay-hoan, tinggal di Lam-keng, bila

tidak keberatan sudilah kirinya saudara tinggal beberapa hari di rumah kami?!"

Belum sempat Tian Pek menjawab, kakek kurus tadi menyela dengan

mendongkol: "Kongcu, memangnya anak buah kita akan dibiarkan mati sia2.?"

Sambil berkata kedua telapak tangannya direntangkan kesamping lalu dirangkap

kembali menjadi satu, sorot mata yang tajam menatap Tian Pek tanpa berkedip

rupanya dia sudah bersiap pula untuk menerjang anak muda itu.

Siang-lin Kongcu tersenyum, dia mengadang di depan kakek kurus itu seraya

berseru. "Tiada percekcokan yang menggunakan kata manis, tiada pertarungan

yang tak diakhiri dengan jatuh korban. Kejadian begini sudah jamak bagi kaum

persilatan kita, kalau sudah terjadi begini kenapa kita mesti ribut? Kalau tak

mampu melawan dan mengakibatkan kematian diri sendiri, itu tandanya

kepandaian sendiri tak becus, masa kita mesti salahkan lawannya?"

Setelah merandek sejenak, lalu dia menambahkan: "Kematian Liang Peng

memang kehilangan besar bagi kita, akan kubelikan sebuah peti mati yang paling

bagus baginya dan mengadakan upacara besar bagi penguburannya, selain itu

akan kuhadiahkan pula sejumlah barang berharga bagi ahli warisnya, semua ini

kurasa sudah cukup untuk menunjukkan rasa terima kasihku kepadanya!"

Sampai disini dia lantas berpaling sambil berseru: "Liang Giok, kemarilah!"

Seorang laki2 kekar mengiakan dan muncul dari belakang gardu, air mukanya

diliputi kesedihan, setelah melotot sekejap pada Tian Pek dengan penuh rasa

benci, dia lantas menjura kepada majikannya.

"Ada petunjuk apa, Kongcu-ya?" dia bertanya.

"Ambil tiga ribu tahil perak pada kasir sebagai biaya penguburan kakakmu ....!"

kata Siang-lin Kongcu lebih jauh.

"Terima kasih Kongcu-ya!"

Setelah memberi hormat, Liang Giok membawa jenasah kakaknya dan berlalu

dari situ, sebelum berangkat sekali lagi dia melototi Tian Pek dengan pandangan

penuh dendam.

Timbul rasa menyesal dalam hati Tian Pek setelah terjadinya peristiwa tadi,

terutama setelah menyaksikan pancaran sinar mata kebencian yang mencorong

dari mata laki2 itu, dia menyesal pukulan yang dilancarkannya itu terlalu keras

dan mengakibatkan kematian Liang Peng. Diam2 iapun merasa kagum pada

sikap "Kongcu-ya" yang palente itu.

Tiga ribu tahil perak bukan suatu jumlah yang kecil apalagi didengarnya orang

mengaku she Kim, dia menduga orang ini pasti Siang-lin Kongcu, sebab orang ini

memang tersohor sebagai Kongcu yang simpatik dan berjiwa sosial.

"Huh! Lagaknya saja hebat" pikir Tian Pek "Paling2 hanya mengandalkan

beberapa tahil perak untuk membeli simpatik orang agar orang lain rela jual

nyawa baginya ... !"

Setelah diberi muka dihadapan orang banyak? kakek kurus tadipun buyarkan

himpunan tenaga murninya, rasa marahnya juga reda, kedua tangan pun

diturunkan kembali ke bawah.

Kepada Tian Pek dia tetap mendengus seraya berkata: "Hm, untung Kongcu-ya

melerai, kalau tidak sejak tadi kau tentu sudah mampus!"

"Ah, belum tentu . . . ." jengek Tian Pek.

Rasa gusar yang sudah mereda kembali menyala lagi, kakek kurus itu melotot

pula . .

Tapi Siang-lin Kongku cepat menengahi pula sebelum Tian Pek sempat

menanggapi, ia menukas sambil tertawa: "Hahaha, betapa besar persoalannya.

kalau sudah lewat juga harus dianggap sudah selesai! Saudara, boleh kutahu

siapa nama besarmu?"

Tian Pek tidak lantas menjawab, tiba2 terpikir olehnya: "Ayah Siang-lin Kongcu

adalah pembunuh ayahku, cepat atau lambat aku bakal membuat perhitungan

dengan bapaknya! Baik juga pada kesempatan ini kuperkenalkan namaku

didepan umum agar orang persilatan tahu bahwasanya keluarga Tian bukan

keluarga kintal dan keluarga Tian masih ada keturunan yang sanggup menuntut

balas bagi orang tuanya."

Berpikir sampai di sini, dia lantas menjawab: "Aku bernama Tian Pek! Dan kalau

dugaanku tidak keliru, mungkin anda ini Siang-lin Kongcu yang tersohor di

kolong langit ini!?"

"Terima kasih atas pujianmu!" kata Siang-lin Kongcu sambil tertawa, tertawa

yang agung dan berwibawa. "Siang-lin memang suka punya tamu orang gagah

seperti kau, jika Tian-siauhiap tak keberatan sudilah kiranya mampir beberapa

hari di rumahku, Siang-lin pasti akan berusaha menjadi tuan rumah yang baik!"

Tian Pek ingin menolak undangan orang, tapi sebelum ia sempat bicara, tiba2

pandangannya terbeliak, tahu2 Kim Cay-hong, adik perempuan Siang-lin Kongcu

yang cantik jelita itu telah mendekati kakaknya dan berdiri di belakangnya, sorot

matanya yang bening menatap Tian Pek tanpa berkedip. ini membuat jantung

anak muda itu berdebar,

Kim Cay-hong memang cantik luar biasa dan sukar dilukiskan dengan kata2,

lebih2 perangainya yang halus, sedikitpun tidak ada sikap angkuh atau tinggi

hati, membuat setiap orang merasa senang, terpesona dan kagum.

Oleh karena kecantikannya yang luar biasa ini, maka dia tersohor sebagai

perempuan cantik nomor satu di seluruh wilayah Kanglam.

Tian Pek sendiri adalah pemuda yang sederhana, polos berhati suci bersih dan

tidak punya ingatan jahat apapun, sekalipun beberapa hari belakangan ini ia

sudah berkenalan dengan beberapa orang gadis jelita, akan tetapi Buyung Hong,

Tian Wan-ji serta Hoan Soh~ing tetap tak dapat dibandingkan dengan Kim Cay-

hong.

Terkesima juga Tian Pek setelah beradu pandang dengan si nona, jantungnya

berdebar keras dan mukanya terasa panas, dalam hati diam2 ia memuji: "Ehm,

benar2 gadis yang cantik. . . ."

Melihat anak muda itu membungkam, Siang-lin Kongcu mengira Tian Pek telah

menerima undangannya, maka dia lantas perintahkan orang2nya untuk siapkan

kuda.

"Silakan!" kata Siang lin Kongcu seraya menjura.

Dalam keadaan demikian, tak mungkin bagi Tian Pek untuk menolak, terpaksa

dia naik ke atas kuda dan menurut saja ke mana akan dibawa pergi. . . .

Sepanjang jalan Siang-lin Kongcu mendampingi terus di samping Tian Pek, ia

bicara ini itu dengan akrabnya. begitu terbuka, jujur dan simpatik sikap pemuda

itu hingga Tian Pek merasa kagum pula.

Kim Cay-hong sendiripun meninggalkan tandunya dan ikut menunggang seekor

kuda putih di sisi Siang-lin Kongcu. sepanjang jalan ia sering melirik ke arah Tian

Pek, sekalipun tak sepatah katapun yang diucapkan. tapi kerlingan matanya

membuat Tian Pek hampir2 lupa daratan.

"Ai, betapa cakap mereka berdua, entah bagaimana jadinya andaikan pada

suatu hari kelak kudatang mencari balas terhadap ayah mereka? Tegakah aku

bertindak dan bermusuhan dengan mereka?"

Dengan pikiran yang kusut, Tian Pek tidak memperhatikan jalan yang dilaluinya

dan tahu2 sampailah mereka di depan sebuah bangunan yang besar dan megah.

Gedung ini sangat megah arca singa berdiri dengan angkernya di samping pintu

gerbang, undak- undakan batu yang terbuat dari marmer menghubungkan

pelataran dengan lantai depan gedung itu.

Pada setiap undak-undakan berdirilah dua orang pengawal berpakaian perang

lengkap dengan pedang dan tombak terhunus, dari pelataran sampai ke pintu

gerbang berjajar penjaga yang berjumlah lima-enam puluh orang banyaknya,

"Sungguh luar biasa!" pikir Tian Pek, "sungguh tak nyana tempat tinggal seorang

tokoh persilatan semewah dan semegah ini, rasanya sekalipun istana raja atau

pangeran juga cuma begini saja.. . ."

Setibanya di depan gedung itu, semua orang turun dari kuda, Siang-lin Kongcu

memang tuan rumah yang ramah dan simpatik, dengan hangat digandengnya

tangan Tian Pek dan diajak naik ke undak-undakan batu itu

Di mana pemuda itu berlalu, kawanan pengawal bersenjata tombak di kiri-kanan

undak-undakan sama memberi hormat.

Diam2 Tian Pek menyesal, dia berpikir: "Sebutan Siang-lin paling simpatik dalam

pergaulan memang bukan nama kosong balaka. ini terkukti dari sikap hangatnya

terhadap seorang pemuda gelandangan sepertiku ini, padahal dia sendiri hidup

terhormat seperti seorang pangeran . .."

Setelah menaiki undak2an batu. tibalah mereka di depan pintu gerbang, pada

sisi kanan pintu tergantung pelbagai pigura besar dengan kata2 pujian, di

antaranya yang paling menyolok adalah papan yang tergantung di atas pintu

gerbang.

Papan itu dicat merah dengan huruf2 emas besar yang berbunyi: "BU-LIM-TE-IT-

KEH" (Keluarga nomor satu di dunia persilatan).

"Huh! Besar amat nada mereka!" demikian pikir Tian Pek.

Sepanjang jalan setelah memasuki gedung tersebut, anak muda itu dibikin

kagum oleh keindahan bangunannya, Akhirnya Siang-lin Kongcu membawanya

menuju sebuah ruang besar.

Sementara itu suasana telah gelap, lampu telah dipasang dalam ruangan, di

bawah cahaya lampu yang terang benderang tampaklah betapa megah dan

mewahnya ruangan tersebut.

"Tian-beng, tentunya kau belum bersantap bukan?" tanya Siang-lin Kongcu

sambil tertawa. "Siaute sebagai tuan rumah sudah sepantasnya mengundang

Tian-heng untuk makan bersama, harap engkau jangan sungkan2!"

Sebelum Tian Pek menjawab, dia lantas perintahkan anak buahnya untuk

siapkan perjamuan.

"Koko, kau ini .. . Kim Cay-hong yang sejak tadi membungkam saja tiba2 buka

suara, biji matanya yang bening dan indah mengerling sekejap kakaknya, lalu

memandang Tian Pek pula.

"Coba Koko lihat, kan Teng-siauhiap belum. . . ."

Siang-lin Kongcu bukan orang bodoh. tentu saja ia dapat mengetahui maksud

hati adiknya, dia bergelak tertawa, katanva; "Hahaha, kalau adik tidak

mengingatkan, hampir saja aku lupa . . . ." —segera dia berpaling dan berseru

lantang: "Pelayan. . ."

Dari belakang pintu angin lantas muncul empat orang dayang cilik berbaju hijau,

dengan lemah gemulai mereka menghampiri Siang-lin Kongcu dan memberi

hormat.

"Kongcu-ya, ada perintah apa. . .?" tanya mereka hampir berbareng,

"Layani tamu agung untuk mandi dan tukar pakaian!" perintah Siang-lin Kongcu.

Keempat dayang cilik itu mengiakan, mereka terus menghampiri Tian Pek dan

berkata: "Tamu agung, silahkan ikut hamba. . . . .!" —Habis berkata mereka

lantas menduhului berjalan ke depan.

Tian Pek agak ragu2, tapi setelah melihat badannya yang kotor, diapun tidak

sungkan2 lagi, segera ia ikut ke sana.

Setelah melewati beberapa jalan serambi yang indah, akhirnya sampailah

mereka di depan sebuah pintu kaca yang amat besar, ketika pintu itu dibuka

beradalah mereka di dalam sebuah kamar mandi yang megah, lux kalau

menurut istilah kini.

Di tengah ruangan membujur sebuah bak mandi sepanjang dua tombak lebih,

air dalam bak itu bening sekali, di tengah bak berdiri sebuah patung kemala

putih seorang gadis setengah telanjang, pada bahu patung gadis itu membawa

sebuah pancuran yang mirip pot bunga, air yang jernih dan bersih terpancar

keluar dari pot tersebut.

Begitu berada di dalam ruangan itu tanpa disuruh keempat dayang cilik itu

lantas membuka pakaian mereka.

Keruan Tian Pek terperanjat, cepat ia menegor: "Hei, apakah kalian mau ikut

mandi?"

Sungguh di luar dugaan Tian Pek, keempat gadis cilik ternyata melepaskan

semua pakaian yang dikenakan dihadapan seorang pemuda asing dalam sebuah

kamar mandi yang tertutup.

Keempat dara cantik itu tetap tersenyum dan sibuk melepaskan busana mereka,

dalam sekejap saja tampaklah tubuh mereka yang putih mulus, dada yang

menggiurkan dan pantat yang padat.

Kecuali secarik kain cawat yang masih menutupi bagian tertentu serta kutang

yang tipis, keempat dayang itu hampir berada dalam keadaan telanjang bulat.

Tian Pek berdiri terbelalak dan melongo menghadapi pemandangan menggetar

sukma ini, sampai setengah harian ia tak mampu mengucapkan sepatah

katapun.

Keempat dayang itu tetap tenang saja seperti tidak terjadi sesuatu yang luar

biasa, dengan cekatan mereka lantas siapkan handuk serta alat mandi lainnya.

Tian Pek masih berdiri dengan terkesima, ke empat dayang itu tersenyum

melihat anak muda itu hanya diam saja, sinar mata mereka yang genit itu se-

akan2 sedang bertanya: "Kalau mau mandi, kenapa tidak membuka pakaian?"

Rasa malu dimiliki oleh setiap orang. apa lagi seorang laki2 muda harus lepas

pakaian di depan empat gadis yang masih asing baginya, kecuali orang sinting

mungkin tiada orang lain yang berani berbuat demikian.

Tian Pek memang pernah merobek pakaian sendiri hingga telanjaag di hadapan

seorang gadis, akan tetapi kejadian itu berlangsung karena pengaruh irama

suling pembetot sukma Ciang Su-peng, perbuatannya dilakukannya di bawah

sadarnya, karenanya peristiwa itu tak bisa dimasukkan dalam hitungan.

=====

Siapakah tokoh aneh si kakek buntung yang membuat Kanglam ji-ki lari ter-birit2

itu dan ada persoalan apa di antara mereka?

- Cara bagaimana Tian Pek akan menghadapi sikap Siang-lin Kongcu yang

simpatik dengan suguhan "mandi uap" itu?

Jilid-10.

Lain keadaannya dengan sekarang, pemuda itu berada dalam keadaan sadar,

pikirannya seratus persen segar waras, sekalipun dia dapat menangkap maksud

kerlingan mata keempat dayang itu, namun untuk sesaat dia tak mempunyai

keberanian untuk melepaskan pakaian sendiri.

Pada saat itulah tiba2 di luar ruangan itu menggema suara langkah orang,

menyusul seorang berseru dengan suara merdu: "Perjamuan telah di siapkan di

ruangan depan, selesai bersihkan badan tamu agung dipersilakan untuk

menghadiri perjamuan!"

"Hihihi . . . dia. . .dia belum lagi membuka pakaiannya . . . ." seru keempat

dayang itu sambil tertawa cekikikan.

"Ah, masa? Sudah sekian lama kalian tidak melayani . . .." berkata sampai disini,

orang di luar itu tiba2 mendorong pintu dau melangkah masuk,

Ketika dilihatnya Tian Pek masih berdiri terkesima dengan pakaian lengkap,

sambil tertawa ia lantas mengomel: "Ah, kalian berempat memang keterlaluan,

bukannya membukakan pakaian tamu, kalian malahan ter-buru2 melepaskan

pakaian sendiri, makin lama kalian memang semakin tak becus bekerja .

Yang masuk ini juga seorang dayang muda, tapi kalau dibandingkan keempat

dayang cilik tadi usianya lebih tua sedikit. bukan saja pakaiannya lebih indah

dandanan pun lebih terpelihara, dari sini bisa diketahui kalau kedudukannya

pasti jauh lebih tinggi dibandingkan keempat dayang cilik itu.

Sambil mengomel, dayang itu lantas menghampiri Tian Pek dan hendak

membuka pakaian anak muda itu.

Keruan Tian Pek tercengang, untuk sesaat ia menjadi bingung dan tak tahu apa

yang mesti dilakukan. Sementara tangan gadis itu sudah hampir menempel

dadanya, Tian Pek terkejut, cepat dia berusaha mengelak kesamping.

Tapi gadis itu ternyata tidak lemah dan juga cerdik, agaknya sebelum melakukan

gerakan tersebut ia telah memperhitungkan ke arah mana anak muda itu

mungkin akan menghindar, maka baru saja Tian Pek berkelit ke samping, cepat

ia menghadang di depan anak muda itu, sementara jari jemari yang lentik

langsung menyambar leher baju dan membuka kancing pakaian Tian Pek.

"Hihihi, mungkin tuan tamu baru pertama kali ini berkunjung kemari!" kata

dayang itu sambil tertawa cekikikan, " makanya engkau tidak terbiasa dengan

pelayanan kami, maaf jika kami bekerja bagimu!"

Sambil bicara dayang itu, tidak berhenti bekerja setelah sebuah kancing baju

Tian Pek dapat dilepaskan, dengan suatu gerakan yang manis dan lincah dia

putar badan untuk melepaskan pakaian yang dikenakan anak muda itu.

Pakaian yang dikenakan Tian Pek ini adalah mantel hitam perkampungan Pah-

to-san-ceng yang berlambangkan seekor macan tutul, mantel tersebut cuma

mempunyai sebuah kancing pada bagian pinggang maka begitu ditarik oleh

dayang itu, sebagian baju yang dikenakan itupun tersingkap.

Terperanjat Tian Pek menghadapi kejadian itu, tak terduga seorang dayang dari

keluarga Kim saja memiliki Kungfu yang begini tangguh,

Sementara itu dayang tadi telah menarik pakaian Tian Pek kemudian putar ke

belakang, andaikata pemuda itu bermaksud mencelakai dayang ini, maka

pekerjaan tersebut bisa dilakukan dengan mudah sekali.

Tentu saja Tian Pek tak ingin berbuat demikian, sekarang dia adalah tamu,

biarpun sudah diketahui Kim Kiu, ayah Siang-lin Kongcu adalah musuhnya, tapi

sebelum terjadi pertikaian ia tak sudi melukai seorang dayang lebih dahulu.

Oleh karena pertimbangan inilah, walaupun perbuatan davang itu membikin

Tian Pek merasa malu sehingga mukanya berubah merah padam, namun ia tidak

berusaha untuk melepaskan tangan dayang itu, hanya dengan gelagapan ia

berkata: "Nona, lebih baik kalian keluar saja dari sini, biarlah aku mandi sendiri

saja.

"Plok!" belum habis dia berkata, tiba2 sejilid kitab berwarna warni terjatuh dari

dalam baju anak muda itu.

"Ha, buku bacaan apa itu?" seru dayang tadi dengan mata melirik, "wah,

tampaknya menarik sekali, coba kulihat, apa isinya!"

Sanmbil berkata dayang itu terus hendak menjemput kitab itu.

Kaget Tian Pek, ia tahu Thian-hud-pit-kip itu harus dirahasiakan, apalagi

sekarang ia justeru berada di sarang pembunuh ayahnya, disini banyak berdiam

jago lihay dari dunia persilatan, bila kitab itu dilihat orang tentu akan dijadikan

sasaran perebutan.

Karena itu, dalam gugupnya cepat dia mendorong tubuh anak dara itu dengan

kuat. Lantara tak terduga dayang itu menjerit kaget dan "plung" ia tercebur ke

dalam bak mandi.

Air muncrat, seketika dayang itu basah kuyup, cepat dia merangkak naik dari

dalam bak sambil menyemburkan air.

Dalam pada itu Tian Pek telah ambil dan simpan kembali kitabnya, sesudah itu

barulah dia memandang ke arah si dayang yang tercebur ke dalam bak mandi itu

dengan sorot mata menyesal.

Keempat dayang cilik tadi bergelak tertawa, mereka berkeplok tangan sambil

mengikik, saking gelinya sampai menungging dengan memegang perut.

"Empat setan cilik, apa yang kalian tertawakan?" teriak dayang tadi dengan

mendongkol, kemudian ia melirik sekejap kearah Tian Pek, dia melampiaskan

kemarahannya kepada keempat dayang cilik itu: "Setan cilik, hayo cepat tarik

aku keluar dari sini, cepat ganti dengan air baru dan layani tamu se-baik2nya!"

Agaknya keempat dayang cilik itu sangat jeri terhadap dayang yang tercebur ke

dalam bak itu, mereka segera berhenti tertawa dan menarik dayang itu ke atas,

lalu menguras air dalam bak dan mengisinya dengan air yang baru.

Sebelum selesai mereka mengisi bak mandi lagi, tiba2 dayang tadi berkata:

"Tamu ini adalah tamu agung Kongcu-ya kita, rasanya kurang hormat kalau kita

bersihkan badannya dengan Lan-giok-teng; pancurkan Un-hiang-sui (air hangat)

saja agar tamu kita ini bisa mandi dengan lebih nikmat!"

Tercengang keempat dayang cilik itu, mereka seperti mau mengucapkan

sesuatu, tapi setelah menyaksikan air muka pemimpin mereka yang kereng,

mereka tak berani membantah dan segera tundukkan kepala.

Seorang lantas membuka kran air yang ada disamping kiri aana, air bersihpun

segera mengalir keluar dari pot bunga yang dibawa patung gadis telanjang tadi

dengan derasnya. hanya sebentar saja air dalam bak mandi lantas penuh

kembali.

Tian Pek sama sekali tidak memperhatikan tingkah laku dayang2 itu, dia hanya

memperhatikan tubuh dayang yang basah kuyup hingga tampak lekukan

tubuhnya yang indah dan berisi itu.

Bentuk tubuh dayang itu memang cukup cantik, hanya keadaannya

mengenaskan sekali, Tian Pek tidak tega, ia minta maaf: "Nona, harap suka

maafkan kekasaranku tadi, terus terang aku tidak sengaja berbuat begitu

terhadapmu, soalnya kitab itu tidak pantas kau lihat, karenanya kuharap nona

bisa memaklumi keadaanku!"

"Ah, tak apalah, tugas dari kami harus melayani segala kebutuhan tuan2, jika

pelayanan kurang memadahi, mau dipukul atau dimaki terserah kepada tuan2,

nasib kami sendiri yang kurang beruntung, hingga sejak dilahirkan sudah

ditakdirkan menjadi budak orang!"

Ucapan tersebut diutarakan dengan nada dingin, bahkan tajam sekali.

Tian Pek merasa bersalah, maka dengan sungguh-sungguh ia berkata: "Sejak

kecil aku sudah terbiasa hidup sengsara dan telantar, tidak biasa bagiku segala

sesuatunya dilayani orang, maka kuharap kalian keluar saja, biar kumandi

sendiri."

Dayang itu ragu2 sejenak.. akhirnya dia menjawab: "Kalau tuan tamu

menghendaki demikian, baiklah kami turut perintah saja, mungkin tuan tamu

merasa pelayanan kami kurang baik dan kami diperintahkan keluar, terpaksa

kami keluar dari sini."

Kepada keempat dayang yang sudah telanjang dan masih berdiri tertegun, ia

menambahkan: "Hayo kenakan pakaian, mari kita pergi!"

Keempat dayang cilik itu tak berari membangkang perintah, cepat mereka

kenakan pakaiannya dan mengurndurkan diri.

Sesaat meninggalkan ruangan itu, kembali dayang tadi berpesan: "Cepatan dikit

tuan tamu bersihkan badan, Kongcu-ya kami sudah menunggu di ruang

perjamuan!"

Sebelum Tian Pek menjawab, ia lantas menyelinap keluar kamar mandi itu.

Pintu ruangan menutup kembali secara otomatis, setelah bayangan kelima

dayang itu lenyap dari pandangan, Tian Pek menggeleng kepala.

Ia tidak merasa benci atau sakit hati karena ucapan si dayang yang kasar tadi,

sebaliknya ia menaruh simpatik padanya, sama2 manusia, mengapa ada yang

hidup mewah dan berkuasa, tapi ada pula yang hidup sengsara dan harus

menjadi budak? Sungguh tidak adil.

Cepat2 Tian Pek bersihkan badannya, ia tidak mengenakan pakaian baru yang

disediakan keluarga Kim, tapi masih tetap mengenakan pakaian rombeng itu.

Keluar dari kamar mandi. dilihatnya keempat dayang cilik itu masih menanti di

depan pintu.

Maka iapun mengikuti keempat dayang itu menuju ke ruang perjamuan.

Jauh dari ruangan perjamuan itu, lapat2 ia sempat mendengar pembicaraan

serta gelak tertawa kawanan jago yang hadir di ruangan itu, sebagian besar

mereka sedang membicarakan dirinya-

Terdengar seorang berkata dengan suara lantang: "Sepintas lalu, anak muda itu

tidak nampak sesuatu keistimewaannya, tak nyana ilmu silatnya lumayan juga,

sampai2 Kun-kang-liong Liang Peng tak tahan suatu pukulannya!"

"Benar! Ilmu silatnya memang luar biasa" sambung yang lain, "dan lagi gaya

silatnya beraneka ragam, entah bagaimana cara melatihnya? Padahal usianya

masih sangat muda."

Terasa bangga juga Tian Pek mendengar orang sedang memuji dirinya. Tapi

segera terdengar pula seorang berseru dengan suara lantang: "Kalian tak perlu

mengibul dan me-muji2 kehebatannya, bukankah dia juga tidak mampu

menahan sekali pukul Tiat-ih-hui-peng (rajawali sakti bersayap baja) Pa-

jiya . . . ."

Sementara itu Tian Pek sudah melangkah masuk ke dalam ruang perjamuan,

puluhan pasang mata orang segera teralih ke arahnya.

Semua orang terbeliak dan merasa pangling, sebab ketika datang pemuda itu

berambut kusut dan muka kotor, tapi sekarang pemuda ini menjadi begitu

gagah dan tampan sekali, sungguh seorang pemuda tampan yang jarang ada

bandingannya.

Sekalipun dia masih mengenakan mantel hitam yang rombeng, namun tidak

mengurangi kegantengan dan kegagahan anak muda ini.

Pembicaraan para jago segera terputus oleh kegagahan Tian Pek yang

mempesona ini, semua terbungkam dan terbelalak lebar mengawasi Tian Pek.

Kanglam-te-it-bi-jin Kim Cay-hong pun mengawasi anak muda itu dengan

kesima, terpancar sinar aneh dari sorot matanya.

Dalam pada itu Siang-lin Kongcu telah berbangkit menyambut kedatangan

tamunya, setelah persilakan tamunya duduk, lalu iapun memperkenalkan tamu

lain yang hadir.

Meja perjamuan diatur dengan model tapal kuda, kawanan jago yang ikut hadir

dalam perjamuan berjumlah belasan orang banyaknya, semuanya bersinar mata

tajam dan bersikap kereng, jelas terdiri dari tokoh2 piliban.

Terdengar Siang-lin Kongcu memperkenalkan satu persatu sambil menunjuk

orangnya: "Saudara ini adalah Tiat-pi-to-liong (Naga bungkuk berpunggung baja)

Kongsun Coh, Kongsun-cinnpwe!"

Kakek itu berbadan bungkuk, bermata tajam dan berkening tinggi, jelas seorang

jago silat kelas tinggi. Cepat Tian Pek memberi hormat.

"O, Kongsun-ciapwe, sudah lama kukagumi nama anda!" ucapnya.

"Hahaha. engkoh cilik tak perlu sungkan2!" sahut Tiat-pi-to-liong sambil

bergelak tertawa, suara- nya nyaring membuat seluruh ruangan se-olah2 ber-

getar keras.

"Dan yang ini adalah Tiat-ih-hui-peng (rajawali sakti bersayap baja) Pa Thian-ho,

Pa-cianpwe!" ketika memperkenalkan jago tua ini, Siang-lim Kong¬cu sengaja

memperberat nada suaranya.

Setelah berhenti sebentar, ia menambahkan lagi: "Hahaha, tadi Tian-heng sudah

berjumpa dengan Pa-locianpwe bukan? Itulah yang dinamakan tidak berkelahi

tidak saling mengenal, semoga selanjutnya kalian berdua dapat bergaul lebih

akrab!"

Merah padam wajah Tian Pek setelah mendengar perkataan itu, ia merasa gusar

karena perkataan tersebut dirasakannya sebagai suatu penghinaan, suatu

cemoohan, tapi anak muda ini berusaha untuk menahan diri, mengendalikan

emosinya agar jangan sampai meledak.

"Wahai Tian Pek! Hanya seorang tukang pukul saja engkau tak mampu

mengatasinya, bagaimana mungkin kau mampu menuntut balas terhadap

majikannya . . ?" demikian di dalam hati ia mengomeli dirinya sendiri.

Karena pergolakan emosinya Tian Pek sama sekali tidak memperhatikan lagi

orang yang diperkenalkan Siang-lin Kongcu kepadanya, sekalipun jago2 itu

semuanya jago kelas satu dan terkenal di dunia persilatan.

Untuk sesaat anak muda itu jadi lupa daratan, dia hanya berdiri termangu

dengan darah bergolak dalam rongga dadanya, sopan santun dalam pesta

perkenalanpun terlupakan olehnya.

Tiba2 terdengar orang mendengus di sisi sana. suaranya tidak keras, namun

nadanya dingin mengejek.

Menyusul seorang lantas berseru dengan ketus: "Huh! Bukan saja tidak punya

kepandaian sejati, juga tak tahu sopan santun dunia persilatan, begitu saja

berani menduduki kursi utama. Hmm! Benar2 manusia tak tahu diri!"

Meja perjamuan ini berbentuk tapal kuda, Siang-lin Kongcu duduk pada kursi

utama persis di tengah2 yang melengkung itu, Kim Cay-hong duduk di sebelah

kursinya dan kursi kosong di sebelah kanan disediakan bagi Tian Pek, sementara

tokoh2 lain duduk pada kursi samping kanan-kiri, dari sini dapat diketahui

bahwa kedudukan yang disediakan bagi Tian Pek itu lebih terhormat

Biasanya kawanan jago silat yang diundang keluarga Kim selalu ditempatkan

pada kedudukan yang utama oleh Siang-lin Kongcu sebagai tanda bahwa ia

sangat menghormati tamunya ini.

Akan tetapi jago silat kawakan yang sudah berpengalaman biasanya menolak

kalau dipersilakan duduk pada kursi utama, sebaliknya selalu mohon diberi kursi

baru pada urutan yang terakhir, hal ini melambangkan dia menaruh hormat

kepada rekan-rekan lainnya yang masuk lebih dulu.

Tian Pek masih muda dan sama sekali tidak paham tata adat tersebut, begitu

masuk dia terus digandeng Kim-kongcu don diajak menempati kursi kehormatan

utama itu, menyusul lantas diperkenalkan kepada tokoh2 lainnya dan yang

terakhir membuat anak muda itu jadi kikuk ketika diperkenalkan kepada Pa

Thian-ho sehingga lupa pada adat yang sepele itu.

Sebenarnya Tian Pek tidak perlu malu lantaran dikalahkan Tiat-ih-hui-peng, jago

persilatan manapun takkan memandang rendah kekalahannya itu. sebab

bagaimanapun juga dalam pandangan kawanan jago itu Tian Pek tak lebih hanya

seorang muda yang baru muncul di dunia persilatan.

Sebaliknya Tiat-ih-hui-peng Pa Thian-ho adalah tokoh persilatan yang sudah

puluhan tahun merajai dunia Kangouw, dia memiliki Kungfu yang luar biasa,

terutama baju pusaka Thiat-ih-po-ih yang dipakainya bila dikembangkan bisa

melayang terbang diangkasa bagaikan burung, ini merupakan senjata penyergap

musuh yang sukar dilawan.

Kebanyakan orang sudah merasa kagum atas kehebatan Tian Pek ketika ia

sanggup menerima pukulan Pa Thian-ho tanpa terluka ditepi sungai Yan-cu-ki,

jadi sebenarnya tiada orang yang berani mentertawakan dia.

Sayang Tian Pek tak dapat berpikir sampai kesitu, dia anggap kejadian itu sangat

memalukan, diam2 ia sangat mendongkol.

Ketika mendengar suara jengekan tadi, barulah Tian Pek tersadar dari rasa malu

dan dongkolnya. Cepat ia berpaling, kiranya orang yang menyindir dirinya itu tak

lain adalah seorang pemuda tampan berbaju hitam.

Usia pemuda tampan ini baru dua puluhan, mukanya putih bersih, alis panjang

dan bibir merah, matapun jeli. Bukan saja wajahnya tampan, ilmu silatnya pasti

juga lihay, ini terbukti dari posisi duduknya diantara jago2 lainnya.

Kiranya pemuda baju hitam ini adalah murid kesayangan Cing-hu-cin Kim Kiu,

namanya Beng Ji-peng, sejak kecil hingga dewasa ia berdiam di-tengah2

keluarga Kim dan amat disayang Oleh Kim Kiu melebihi rasa sayangnya terhadap

putera sendiri, yaitu Kim Lin. oleh karena itu segenap ilmu silatnya telah

diajarkan kepadanya.

Tidaklah heran kalau ilmu silatnya amat lihay kendatipun usianya masih sangat

muda, terutama dalam hal senjata rahasia Cing-hu-kim-ci-piau, senjata rahasia

mata uang yang paling diandalkan Cing-hu-lin, boleh dibilang sudah dikuasainya

dengan sempurna.

Kecuali dalam hal Lwekang saja masih belum sempurna, Beng Ji-peng sudah

merupakan jago muda yang disegani, untuk itu orang persilatan telah memberi

julukan Giok-bin-siau-cing-hu (kecapung hijau kecil bermuka kemala)

kepadanya!

Usia Giok-bin-siau-cing-hu ini hampir sebaya dengan kakak beradik Kim Lin atau

Kim Cay-hoan dan Kim Cay-hong, dengan Siang-lin Kongcu ia lebih kecil dua

tahun dan setahun lebih tua daripada Cay-hong.

Sejak kecil mereka hidup bersama hingga dewasa, hubungnn mereka seperti

saudara sekandung.

Setelah usia mereka meningkat dan sudah mengerti urusan kehidupan manusia,

diam2 Beng Ji-peng menaruh hati terhadap Kim Cay-hong dan menganggap Kim

Cay-hong sebagai kekasihnya.

Kim Cay-hong juga bersikap baik padanya, se-hari2 dia biasa memanggil engkoh

Peng padanya tapi Giok-bin-siau-cing-hu tidak puas sampai disitu saja, sebab ia

merasa kebaikan anak dara itu hanya terbatas pada hubuugan persaudaraan

belaka, ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya, yaitu kasih mesra orang

muda.

Sebagai puteri kesayangan Cing-hu-sin, sejak kecil Kim Cay-hong sudah terbiasa

dimanja, apa yang diinginkan anak dara itu tak pernah dialangi oleh siapapun,

apalagi sikapnya suka bergaul dan berteman dengan siapapun, terutama

terhadap kaum mudanya, semua ini seringkali menimbulkan rasa cemburu bagi

Giok-bin-siau-cing-hu.

Hari ini kehadiran Tian Pek ternyata sangat menarik perhatian si nona, sekalipun

Kim Cay-hong tak pernah bicara dengan anak muda itu, akan tetapi sinar

matanya selalu memandang tak berkedip terhadap Tian Pek, bahkan sinar

matanya jauh berbeda daripada biasanya, hal ini menyebabkan Giok-bin-siau-

cing-hu tambah kuatir.

Semenjak dalam perjalanan pulang dan setelah berada di rumah, Giok-bin-siau-

cing-hu mengawasi terus tingkah-laku gadis itu, diam2 ia merasakan firasat yang

tidak enak, sikap istimewa yang ditunjukkan Kim Cay-hong lain daripada yang

lain, ia jadi kuatir kalau gadis pujaannya sampai direbut oleh anak muda yang

linglung itu.

Apalagi didengarnya orang sama memuji kehebatan Tian Pek, dia lantas

nyelutuk dengan rasa tak senang: "Huh, bagaimanapun dia kan tak mampu

menahan pukulan Pa-jiya!?"

Dan kini, dilihatnya Tian Pek sama sekali tidak menolak sebagai lazimnya jago2

silat lain bila dipersilakan duduk di kursi utama, dia lantas manfaatkan

kesempatan itu untuk ber-olok2 pula, tujuannya ingin membikin malu pemuda

itu, di samping itu iapun hendak menggunakan kesempatan ini untuk

menantang Tian Pek untuk berduel, ia yakin dengan sebilah pedang dan

sekantong Cing-hu-kim-ci-piau pasti dapat mengusir atau membinasakan Tian

Pek, menghilangkan duri didalam daging ini.

Tian Pek sendiri sejak mula sudah mendongkol dan ditahannya sebisanya,

sekarang di-olok2 pula, seketika meledaklah emosinya.

Segera ia menjura kepada para hadirin, kemudian berkata: "Bukan kehendakku

sendiri datang kesini, jika kedatanganku tidak diterima saudara sekalian dengan

baik. maka biarlah kumohon diri sekarang juga!"

Sambil berbangkit dari tempat duduknya, ia siap meninggalkan ruang

perjamuan.

Cepat Siang-lin Kongcu maju menghanginya, katanya sambil tersenyum: "Ah,

Tian-heng, harap jangan berpikir demikian, masa kami tak suka akan

kedatanganmu? Coba lihatlah, perjamuan sudah disiapkan, bagaimanapun juga

harap engkau suka minum barang tiga cawan arak lebih dulu, dengan demikian

sekadar terpenuhilah kewajibanku sebagai tuan rumah."

Diam2 Tian Pek menghela napas, pikirnya: "Orang persilatan sama mengatakan

bahwa Siang-lin Kongcu paling simpatik dalam memupuk persahabatan, ucapan

ini memang sedikitpun tak salah, dilihat dari kehalusan budinya serta keramah

tamahannya memang semua itu muncul dari lubuk hatinya yang bersih, dia tak

mungkin adalah seorang licik yang suka menjebak orang."

Dalam hati berpikir demikian, diluar segera jawabnya: "Maksud baik Kim-heng

kuterima didalam hati saja! Bicara sesungguhnya, aku memang masih ada

urusan penting yang harus dikerjakan, biarlah lain hari saja aku akan berkunjung

pula ke sini."

Selesai berkata dia lantas berbangkit dan melangkah keluar ruangan.

Bahwasanya keluarga Kim berani memakai nama "Keluarga nomor satu di

Kanglam", sudah tentu caranya menjamu tamu memang lain daripada yang lain,

baik hidangannya maupun araknya, semuanya kelas satu dan pilihan.

Tapi biarpun perut Tiak Pek sangat lapar, seleranya sekarang sudah lenyap dan

tetap erkeras hendak pergi.

Mendadak Beng Ji-peng berdiri dan menjengek: "Hm, mau pergi boleh pergi,

uutuk apa berlagak disini, memangnya keluarga Kim kekurangan tamu agung

semacam kau?!"

"Suheng! Apa-apaan kau ini? Koko berusaha menahan tamu, sebaliknya kau

malah mengusir tamu," tegur Kim Cay-hong dengan kurang senang-

Siang-lin Kongcu pun melotot sekejap ke arah Beng Ji-peng. lalu dengan

sungguh2 ia menarik tangan Tian Pek seraya berkata: "Tian-heng, harap engkau

jangan gusar atau tersinggung. Suteku ini memang berangasan tabiatnya, atas

kelancangan dan kekasarannya harap engkau sudi memberi maaf, Silakan duduk

Tian-heng, sekalipun engkau masih ada urusan penting rasanya tak ada salahnya

kalau minum secawan dua cawan arak lebih dahulu, masa cuma permintaanku

yang kecilpun tidak kau kabulkan? Itu namanya Tian-heng memandang rendah

Siang-lin!"

Tapi sekali Tian Pek menyatakan mau pergi, sukar lagi ditahan, meski beberapa

tokoh angkatan tua ikut menahannya, namun dia tetap tidak mau.

"Hei, orang muda jangan maju mundur tak menentu, ambillah keputusan yang

tegas!" seru Tiat-pi-to liong tiba2, dia terkenal setan arak, maka ia menjadi tidak

sabar dan ingin lekas makan minum. "Memangnya kau kuatir arak ini beracun?

Maka kau tak berani meminumnya?"

Manjur sekali perkataan ini, panas hati Tian Pek, cepat ia menjawab: "Baik,

karena ucapan Kongsun-cianpwe ini. mau-tak-mau aku Tian Pek harus minum

tiga cawan dan tak akan lebih, setelah itu aku akan segera angkat kaki dan sini,

akan kubuktikan Tian Pek bukan pemuda yang bernyali tikus dan takut mati!"

Habis berkata dia lantas mengangkat cawan araknya dan kepada hadirin dia

berseru: "Cianpwe sekalian, marilah minum secawan sebagai tanda hormatku

kepada para Cianpwe!"

Sekali tenggak dia mendahului menghabiskan isi cawan tersebut.

"Eh, masa kau juga anggap aku sebagai Cianpwe?" goda Kim Cay-hong sambil

tertawa cekikikan, iapun menghabiskan secawan arak.

Begitu arak masuk perut, seketika Tian Pek merasa perutnya panas seperti

dibakar, se-olah2 ada cairan baja mendidih dituang ke dalam perutnya, ia pikir

jangan2 di dalam arak benar2 ada racunnya.

Tapi segera terpikir pula hal ini tak mungkin terjadi, sedangkan Siang-lin Kongcu

belum mengetahui asal-usulnya yang sebenarnya, tiada alasan baginya untuk

mencelakainya, selain itu sebagai salah satu di antara Bu-lim-su-kongcu tidaklah

mungkin ia melakukan perbuatan serendah itu dihadapan tokoh persilatan

sebanyak ini.

Karena pikiran ini, nmaka ditengah seruan para hadirin yang sedang

menghabiskan isi cawan masing2 segera ia angkat cawan kedua sambil berseru

pula: "Aku Tian Pek terlalu muda dan kurang pengetahuan, jika tadi aku salah

bicara atau salah bertindak, maka cawan yang kedua ini anggaplah sebagai

penghormatanku bagi kawan2 persilatan yang seangkatan."

"Nah, beginilah seharusnya!" Kim Cay-hong menanggapi pula sambil tertawa

manis, alangkah menggiurkan kerlingan matanya yang menggetar kalbu.

Tian Pek pura2 tidak tahu, sekali tenggak dia menghabiskan pula isi cawan yang

kedua itu.

Giok-bin-siau-cing-hu Beng Ji-peng makin panas hatinya, sungguh ia ingin

merogoh kantong senjata rahasia dan menghajar saingan cintanya itu hingga

mampus.

Tian Pek tidak menyangka bahwa senyum dan kerlingan Kim Cay-hong itu telah

mendatangkan kesulitan baginya. Tatkala isi cawan kedua masuk perutnya, Tian

Pek makin terperanjat, ia merasa isi perut seperti dibakar, semacam hawa panas

terus mengalir dari perut menuju kebagian bawah dan menimbulkan

rangsangan napsu berahi . ..

Tian Pek yakin Siang-lin Kongcu tak nanti mengerjainya di depan orang banyak,

maka iapun tidak memikirkan munculnya hawa panas itu, malahan dia mengira

gejala itu timbul lantaran dia minum arak dalam keadaan perut kosong.

Tapi Kim Cay-hong yang teliti telah melihat gelagat yang tidak beres itu. Sebagai

tuan rumah, dia tahu sampai dimana kadar alkohol yang terkandung dalam arak

Li-ji-hong yang disuguhkan itu? jangankan seorang pemuda gagah seperti Tian

Pek, sekalipun anak dara yang tak biasa minum arakpun dua tiga cawan takkan

mendatangkan pengaruh apa2 baginya.

Tapi sekarang, kenyataan membuktikan lain, baru dua cawan arak ditenggak

Tian Pek, mukanya berubah menjadi merah membara, bahkan matanya

memancarkan cahaya yang aneh, tubuhnya juga sempoyongan, memangnya apa

gerangan yang terjadi?

Baru saja gadis itu bersuara heran dan belum sempat menanyakan sebab

musababnya, Tian Pek telah angkat cawannya dan minum habis isi cawan yang

ketiga kalinya itu.

"Arak bagus, arak enak ...,.!" seru anak muda itu. Ia merasa sekujur badan

semakin panas bagaikan dibakar, begitu tinggi suhu badannya hingga dia

setengah tak sadar, diam2 ia merasakan gelagat tidak baik, mendadak perutnya

terasa sakit keras, segera ia tahu telah dikerjai orang.

Ia tak menyangka Siang-lin Kongcu yang berkedudukan begitu terhormat di

dunia persilatan ternyata sudi melakukan tindakan yang begini rendah dan

kotor.

Terbayang bilamana ia terjatuh ke tangan musuh, akibatnya pasti sukar

terbayangkan, dia mati tak menjadi soal, tapi keturunan keluarga Tian akan ikut

musnah dan dendam kesumat kematian ayahnya pun tak bisa terbalas lagi.

Dengan marah dan kecewa dia lantas berseru: "Arak bagus ... arak keluarga Kim

yang sangat bagus . . . cukup tiga cawan ....hahaha . . .tiga cawan mampu

merantas usus. . . ."

Berbicara sampai disini, ia sempoyongun lalu roboh tak sadarkan diri . ..,

o—0O0—o o—0O0—o

Entah selang berapa lama, ketika ia menemukan dirinya berbaring disebuah

tempat tidur yang sangat indah. Baik seprai, selimut, maupun kelambu

semuanya terbuat dari bahan yang mahal, sekalipun kalah tenangnya jika

dibandingkan dengan kamar tidur Leng-hong Kongcu dari keluarga Buyung

namun dalam hal kemewahan boleh dibilang jauh melebihinya.

Setelah sadar dari pingsannya, Tian Pek merasakan tenggorokannya kering dan

haus sekali, perutnya tetap serasa dibakar. ia mengeluh pelahan: "Oh air. . .air . .

."

Seorang anak laki2 yang cakap dan seorang anak perempuan yang cantik berdiri

di depan pembaringan, mereka tak lain adalah Beng-beng dan Lan-lan, melihat

Tian Pek sudah sadar dari pingsannya, dengan wajah berseri cepat mereka lari

keluar seraya berteriak: "Bibi. . .bibi, dia sudah sadar kembali!"

Suara merdu mengiakan, seorang nona cantik lantas masuk ke ruangan itu, dia

bukan lain adalah Kanglam-te-it-bi-jin Kim Cay-hong.

Hari ini dia cuma mengenakan baju sutera yang tipis dengan rambut digelung di

atas kepala, ia tidak memakai perhiasan apa2, mukanya juga tidak memakai

bedak, walaupun begitu sedikitpun tidak mengurangi kecantikannya.

Setiba didalam ruangan, ia menghampiri sisi pembaringan, dilihatnya Tian Pek

betul sudah sadar kembali, matanya yang jeli memancarkan sinar berkilau,

lesung pipitnya kelihatan nyata dan sekulum senyum menghiasi bibirnya.

Tian Pek adalah pemuda jujur dan polos, jarang ia tertarik oleh kecantikan dara

ayu seperti apapun, tapi sekarang tak urung jantungnya berdebar keras.

"Tian siauhiap!" terdengar Kim Cay-hong menegur sambil tertawa, suaranya

merdu bagaikan kicauan burung, "kau sudah sadar?.' Siau-hong! Cepat ambilkan

air teh?"

Waktu itu Tian Pek memang merasa haus sekali, belum sempat ia mengucapkan

sesuatu, agaknya Kim Cay-hong telah mengetahui apa yang diharapkan anak

muda itu, maka diperintahnya orang mengambilkan air teh.

Tirai lantas tersingkap dan seorang dayang berbaju putih muncul sambil

membawa secangkir air teh.

Sekilas pandang Tian Pek kenal dayang itu sebagai dayang yang mau jemput

kitab Soh-kut-siau-bun-pit-kip yang terjatuh dan kemudian terdorong masuk

kedalam bak mandi itu.

Tapi ia tidak berpikir lagi, segera ia menghabiskan isi cangkir itu, tapi rasanya

masih haus, dengan lidahnya ia menjilat sekitar bibirnya yang kering.

Tertawa geli Kim Cay-hong menyaksikan tingkah laku anak muda itu, katanya:

"Tentu kau sangat haus."

Dia berkata pula kepada dayang baju putih: "Siau-hong, ambilkan secangkir

lagi!"

Bukan saja cantik wajahnya, gadis ini juga cerdik, apa yang dipikirkan orang lain

sebelum diutarakan ia telah dapat menebaknya.

Tapi sebelum Siau-hong melangkah keluar, Beng-beng dan Lan-lan telah muncul

dari luar dengan membawa sebuah teko porselen yang indah sambil berseru:

"Ini air tehnya sudah datang. . .air

tehnya sudah datang!"

Cepat Siau-hong maju menyambut teko itu, omelnya: "Ai, jalan pelan2, kalau

tekonya yang pecah tidak menjadi soal, bila kaki kalian tersiram air panas, bisa

susah!"

"Enci Hong, jangan menghina orang!" sahut Beng-beng dengan penasaran,

"Sekalipun tekonya kulemparkan kepadamu juga airnya takkan tumpah keluar?"

Teko itu benar2 terus dilemparkan ke depan, keruan Siau-hong menjerit kaget,

jika sambitan senjata rahasia dia dapat menghindar, tapi teko ini adalah benda

hadiah Sri Baginda, kalau pecah, tentu akan didamperat majikan tua.

Untung Kim Cay-hong bertindak cepat, ketika diiihatnya Siau-hong kelabakan,

dengan tersenyum omelnya: "Beng-beng? Kau memang nakal sekali!"

Tangannva segera diayun ke depan, teko yang sedang meluncur itu tiba2

tertolak ke atas oleh angin pukulannya, ketika teko itu meluncur kembali ke

bawah, dengan sigap Siau-hong menyambar pegangan teko tadi.

Air panas dalam teko memang tak sampai berhamburan, meski demikian Siau-

hong sudah dibuat terperanjat hingga berkeringat dingin.

Tian Pek berbaring di pembaringan dan dapat mengikuti semua kejadian itu

dengan jelas, diam2 ia menyesal, kalau seorang gadis dan anak kecil juga

memiliki ilmu silat selihay itu, apa lagi bapaknya?

Siau-hong lantas tuang air teh ke cangkir dengan tangan masih terasa lemas dan

agak gemetar. Pada saat itulah tirai tersingkap dan empat dayang cilik baju hijau

melangkah masuk.

Salah seorang di antaranya segera berlutut di depan Kim Cay-hong sambil

berkata: "Lapor Sio-cia, Kongcu telah tiba!"

"Cepat amat beritanya!" omel si nona.

Baru selesai perkataannya, Siang-lin tCongcu telah melangkah masuk diiringi

Tiat-pi-to-hong serta Tiat-ih-hui-peng.

"Tian-heng, engkau telah sadar?" sapa Siang¬lin Kongcu sambil mendekati

pembaringan, sikapnya sangat simpatik.

Tapi Tian Pek tidak menggubris, malahan ia melengos ke arah lain.

Siang-lin Kongcu tidak memusingkan sikap angkuh Tian Pek itu, malahan dengan

suara yang hangat ia berkata lagi: "Ketahuilah Tian-heng, engkau telah salah

merendam dirimu dengan air dingin Han-Cwan-sui, hawa yang dingin

menyumbat jalan darahmu, kemudian engkau minum tiga cawan arak,

peredaran darahmu makin bergolak hingga akhirnya jatuh pingsan, tapi kejadian

ini tidak terlalu menguatirkan, sekalipun badanmu untuk sementara menjadi

lemas, untung saja kami punya obat penawar yang mujarab, tak sampai tiga hari

engkau akan pulih kembali seperti sediakala . . . ."

Siang-lin Kongcu hendak melanjutkan lagi, tapi dengan nada dingin Tian Pek

menyela: "Hm, masa begitu kebetulan!"

"

Dingin sekali ucapan anak muda itu, nadanya amat tajam dan menusuk

perasaan, melengak juga

Siang-lin Kongcu yang terkenal ramah tamah dan sabar. Tapi segera ia tahu

pikiran orang, katanya pula dengan tertawa: "Bisa kumaklumi kalau Tian-heng

bercuriga, apalagi setelah Tiat-pi-to-liong bergurau, tentulah Tian-heng

menganggap kami benar2 telah mencampuri arak itu dengan racun, jangankan

Tian-heng, bahkan aku sendiripun bingung oleh kejadian ini, kemudian barulah

kudengar laporan Siau-hong yang mengatakan Tian-heng tidak biasa dimandikan

orang dan buka sendiri kran air di dalam kamar mandi itu, maka aku lantas

menduga Tian-heng telah salah membuka kran, air hangat yang seharusnya

dipakai telah salah memakai air dingin."

Selesai berkata, Siang-lin Kongcu tertawa ter-bahak2, berulang kali dia minta

maaf pula.

Tiat-pi-to-liong ikut ter-bahak2, katanya: "Ha-haha, dengan peristiwa ini,

kamipun dapat menyaksikan sampai dimana keberanian engkoh cilik, sungguh

perbuatan yang mengagumkan."

Kakek bungkuk ini termasuk jago persilatan terkemuka, gelak tertawanya yang

nyaring menggetar seluruh ruangan, berulang kali dia acungkan jempolnya

memuji kejantanan Tian Pek.

Tiat-ih-hui-peng juga ikut berkata: "Kukira lebih baik jangan kau pikir yang

bukan2, ketahuilah Siang-lin Kongcu adalah ksatria muda yang berjiwa luhur.

simpatiknya maupun keramah-tamahannya sudah tersohor di seantero jagat,

sekalipun dia sakit hati padamu juga tak nanti meracuni kau, maka semua ini

hanya terjadi secara kebetulan saja, bagaimanapun juga engkau harus

mempercayainya!"

Perlu diketahui, Tiat-pi-to-liong serta Tiat-ih-hui-peng sama2 disebut Kim-hu-

siang-tiat-wi (dua pengawal baja dari istana keluarga Kim), kedudukan mereka

dalam keluarga Kim sangat tinggi, nama besar mereka di dunia persilatanpun

sangat terhormat, dengan derajat mereka itu tentu saja mereka takkan bicara

bohong.

Sekalipun demikian Tian Pek yang keras kepala tetap tidak percaya.

"Memang aku Tian Pek tak biasa dilayani orang," demikian katanya, "tapi air

dalam bak mandi itu bukan aku sendiri yang mengisinya, tentu saja aku

mempercayai apa yang diucapkan Cianpwe berdua, selain itu akupun percaya

bahwa Kim-kongcu adalah seorang laki2 sejati yang tak suka mencelakai orang

dengan cara yang licik, setelah aku pikirkan kembali, kurasa kejadian ini mungkin

hanya kebetulan saja, bisa jadi aku masuk angin dan tiba2 pingsan, atau

mungkin aku tak kuat minum arak sehingga baru tiga cawan sudah mabuk?"

Perkataan Tian Pek itu tidak menuduh siapaa, tapi setiap orang dapat

menangkap maksud ucapannya itu.

Siang-lin Kongcu termasuk tokoh persilatan yang berkedudukan tinggi, sudah

tentu ia tak tahan mendengar sindiran Tian Pek yang tajam itu. Jangankan Siang-

lin Kongcu, Kim Cay-hong juga melengak setelah mendengar perkataan itu,

lebih2 kedua kakek "pengawal baja" itu, mereka menjadi gusar dan segera

hendak bertindak.

Tapi Siang-lin Kongcu tetap tenang2 saja, dia tidak marah oleh sindiran Tian Pek.

ia lantas berpaling dan berkata kepada Siau-hong, si dayang berbaju putih,

katanya dengan dingin: '"Membohongi majikan, melayani tamu dengan angkuh,

tahukah berapa besar kesalahan yang kau lakukan? Hm, perbuatan semacam itu

tak dapat diampuni, apakah perlu kukatakan pula?"

Berubah hebat air muka Siau-hong demi mendengar perkataan itu, dia tertegun

sejenak lalu tanpa mengucapkan sepatah katapun dia mengundurkan diri dan

ruangan itu.

"Blang!" dari luar segera terdengar suara benturan keras, lalu suara benda berat

terjatuh, kemudian suasanapun hening kembali.

Dari suara tersebut Tian Pek dapat menduga apa yang telah terjadi, betapa

terperanjatnya anak muda itu, ia berpikir. "Masa beberapa patah kata Siang-lin

Kongcu tadi sudah cukup membuat dayang itu membuuuh diri? Ah, tak

kusangka begini keras peraturan rumah tangga keluarga Kim ..."

Bagi pandangan Tian Pek, peristiwa itu dianggapnya sebagai suatu kejadian yang

amat menggetarkan hati, tapi bagi anggota keluarga Kim kejadian itu sama

sekali bukan apa2, se-akan2 tak pernah terjadi sesuatu, malahan air muka

beberapa orang itu tetap tenang.

Sesaat kemudian, Siang-lin Kongcu berdiri dan berkata: "Beristirahatlah baik2,

tiga hari lagi kutanggung Tian-heng akan sehat kembali seperti sediakala!"

Habis bicara tanpa berpaling lagi ia berlalu dari situ dengan membawa Kim-hu-

siang-tiat-wi serta keempat dayang cilik itu.

Sementara itu Beng-beng dan Lan-lan entah sudah kemana perginya, mungkin

bermain di luar-

Dengan begitu, dalam ruangan hanya tinggal Kim Cay-hong dan Tian Pek berdua

saja.

Memandangi anak muda itu, dengan rawan Cay-hong berkata "Kutahu tindakan

kakakku ini akan dianggap suatu penghormatan besar bagi orang lain, tapi bagi

dirimu mungkin kebalikannya, tentunya kau merasa tidak senang dengan

peristiwa itu?"

"Aku tak tahu apa yang kau masudkan, coba terangkan?" sahut anak muda itu.

Ia sudah telanjur dendam pada keluarga Kim, setelah menyaksikan peristiwa

tadi, ia tambah benci dan muak, sekalipun menghadapi Kanglam-te-it-bi-jin atau

perempuan tercantik di Kanglam, sikapnya tetap ketus.

Kim Cay-hong tidak menghiraukan keketusan anak muda itu, dengan suara halus

ia berkata: "Engkau harus mengerti, Siau-hong bukanlah seorang dayang biasa,

dia adalah pembantu rumah tangga kami yang mempunyai kedudukan tinggi,

tapi sekarang hanya disebabkan dia salah melayani tamunya, kakak telah

menghadiahkan kematian baginya, andaikata kejadian ini berlangsung

dihadapan jago persilatan yang lain, maka mereka pasti akan merasa terharu

dan amat berterima kasih, mereka pasti akan berbakti mati2an kepada keluarga

kami. Sedang kau, kau sama sekali berbeda. . . ."

Kim Cay-hong hendak melanjutkan kata2nya, tapi Tian Pek lantas tertawa dingin

dan memotong: "Aku tidak sekejam itu, memancing rasa terima kasih orang

dengan korbankan jiwa orang lain. Jika menginginkan aku berbakti kepadanya

dengan mengorbankan nyawa orang, hal ini malah menimbulkan rasa benciku."

"Itulah sebabnya kenapa kukatakan kau berbeda dengan orang lain!" seru Kim

Cay-hong. "Cuma didalam peristiwa ini engkohku tiada maksud membeli

simpatimu, dia bertindak demikian berdasarkan kebijaksanaan dan keadilan."

"Hmm!" Tian Pek mendengus.

Kim Cay-hong adalah gadis yang cerdik, berhadapan dengan dia, tanpa

bicarapun dia dapat membaca isi hati orang, dan cukup dengan pandangannya

orangpun akan tahu apa yang dia harap agar dikerjakan.

Karenanya dengusan Tian Pek telah mengejutkan dia, ditatapnya anak muda itu

dengan tercengang, kemudian ujarnya lagi: "Setelah kau pingsan sehabis minum

arak hari itu, Siau-hong membohongi kakak bahwa kau sendiri yang mengisi Te-

sim-han-cwan-sui di bak mandi itu, sekaiipun dia tinggi kedudukannya dalam

keluarga kami. Dengan perbuatannya membohongi majikan menunjukkan dia

tidak setia kepada majikan, dosa semacam itu tak dapat diampuni. Selain itu

dengan bersungguh hati engkohku ingin mengikat tali persahabatan dengan kau,

tapi Siau-hong mencelakakan tamunya, perbuatan seperti ini sama artinya tidak

menghormati tamu majikannya. Oleh sebab itulah, setelah ditegur oleh

engkohku, dia jadi malu, untuk menebus kesalahannya hanya ada satu jalan saja

yang bisa ditempuh, yakni bunuh diri dengan perbuatannya itu bukan saja ia

telah menebus dosa bahkan telah menunjukkan pula keberanian yang

bertanggung jawab, tindakannya ini mengagumkan dan bukan kesalahan

kakakku, karenanya aku jadi heran melihat engkau begitu benci kepada

engkohku, aku lantas berpikir bila tiada alasan lain, tak mungkin engkau bersikap

demikian, benar tidak ucapanku ini?"

Memang lihay Kim Cay-hong menganalisa persoalan itu, diam2 Tian Pek merasa

kagum sekali pada kecerdasannya. Anak muda ini tidak berani bicara lebih jauh

dengan gadis itu, dia kuatir jika pembicaraan dilanjutkan maka sebelum dia

mengetahui latar belakang musuhnya, rahasia sendiri mungkin akan terbongkar

lebih dahulu, kalau sampai terjadi begitu, niscaya rencananya untuk membalas

dendam akan berantakan.

Maka setelah termenung sebentar, ia pun alihkan pokok pembicaraan ke soal

lain: "Kalau memang air dingin Te-sim-han-cwan-cui itu beracun, kenapa kalian

pasang di kamar mandi, jangan-jangan . . ."

Sebelum anak muda itu menyelesaikan kata2nya, Kim Cay-hong lantas menyela

dengan tertawa: "Ah, kau ini ada2 saja! Bila kami mau mencelakai orang, apakah

perlu kami pancing orang itu masuk ke kamar mandi? Ketahuilah, air itu khusus

disediakan bagi ayahku untuk berlatih ilmu."

"Ayahmu?" seru Tian Pek dengan mata terbelalak, "masa ayahmu berada di

rumah? Kenapa selama ini tak pernah kulihat ayahmu?"

"Ayahku tentu saja tinggal di rumah, cuma beliau kurang leluasa bergerak. maka

jarang menemui tamu!" sahut Kim Cay-hong dengan heran.

"Lalu dia berdiam di mana?" tanya Tian Pek pula.

Kim Cay-hong tidak lantas menjawab, ditatapnya anak muda itu dengan heran,

sahutnva kemudian: "O, Tian-siauhiap kenal dengan ayahku?"

Tian Pek tertawa pedih, ucapnya: "Nama besar Cing-hu-sin Kim Kiu sudah

termashur di seluruh jagat, siapakah yang tak kenal nama kebesarannya?"

"O, jadi kau cuma mendengar nama tapi tak pernah berjumpa?"

Tian Pek mengangguk tanda membenarkan.

"Memang benar!" ucap Kim Cay-hong pula, "sudah puluhan tahun ayahku tak

pernah melakukan perjalanan keluar, usiamu masih muda, tak mungkin pernah

bertemu dengan ayahku!"

"Kenapa begitu?''

Kim Cay-hong tidak menjawab, terpancar sinar matanya yang ragu dan heran,

katanya kemudian: "Tian-siauhiap, tampaknya engkau menaruh perhatian

khusus terhadap ayahku?"

Merah muka Tiau Pek, ia tahu pertanyaan sendiri terlalu menonjol dan telah

menimbulkan curiga orang.

Cepat ia menggelengkan kepala dan menyahut: "Ah, aku cuma bertanya

lantaran ingin tahu saja, coba bayangkan! Ayahmu kan seorang tokoh yang

ternama dan berkedudukkan tinggi di dunia persilatan, kenapa puluhan tahun

berdiam di rumah dan tak pernah berkecimpung di dalam dunia persilatan?"

Rasa curiga Kim Cay-hong lantas lenyap, terlihat rasa sedih menghiasi wajahnya

yang cantik, ucapnya dengan muram: "Belasan tahun yang lalu ayahku

mengidap suatu penyakit aneh, setelah sembuh dari sakitnya maka kedua

kakinya menjadi lumpuh dan tak bisa bergerak lagi. Oleh karena itu beliau jarang

keluar rumah, selama ini dia hanya beristirahat di ruang Gi-cing-wan di belakang

gedung sana!"

Sekarang Tian Pek baru tahu sebab musababnya mengapa tokoh lihay itu tidak

kelihatan. Diam2 ia sudah punya pendirian, maka ia tidak bertanya lagi, Sejak

itulah Tian Pek merawat lukanya di gedung keluarga Kim, setiap hari Kim Cay-

hong berkunjung ke situ. Sementara Siang-lin Kongcu sendiri karena sibuk

dengan tamunya, ia jarang menyambangi Tian Pek.

Dengan cepat 3 hari telah lalu, senja hari ketiga, sakit Tian Pek sudah sembuh,

sebenarnya dia ingin pamit dan pergi, kebetulan Siang-lin Kongcu tak berada di

rumah, Kim Cay-hong berusaha menahannya. tapi anak muda itu bersikeras

akan pergi juga.

Dari sikap Kim Cay-hong yang berat melepaskan pemuda itu, dapatlah diketahui

bahwa selama dua hari berkumpul, diam2 gadis yang mendapat julukan

"Perempuan paling cantik di seluruh wilayah Kanglam" ini telah jatuh cinta

kepada Tian Pek-

Sebaliknya anak muda itu sendiri sama sekali tidak menaruh perhatian apapun

terhadap gadis

cantik yang menjadi pujaan kebanyakan orang itu,

sikap Kim Cay-hong yang lembut dan perkataannya yang hangat sama sekali

tidak menggerakkan perasaan Tian Pek, malahan memandangpun enggan.

Manusia memang makhluk yang aneh, semakin sukar mendapatkan sesuatu,

semakin besar pula hasratnya untuk mendapatkannya. Semakin tawar sikap

anak muda itu, semakin bergairah anak dara itu mendekatinya, rasa cintapun

makin menebal.

"Engkau kan baru sembuh, kenapa ter-buru2 pergi dari sini?" tanya Kim Cay-

hong sambil menatap wajah anak muda itu dengan pandangan lembut, "masa

kau tak sudi tinggal beberapa hari lagi di rumahku?"

"Tidak mungkin!" jawab Tian Pek dengan tegas, "sekarang juga aku harus pergi,

aku masih ada urusan penting lainnya yang harus segera diselesaikan!"

"Mungkin rumahku tidak baik atau pelayanan kurang memuaskan hatimu. .."

tanya si nona dengan sedih.

"Aku tak pernah berkata begitu!" tukas Tian Pek cepat, "aku cuma tidak bisa

tinggal lebih lama lagi di sini."

"Masa menginap semalam lagi kau pun tak mau. . . .?" pinta Kim Cay-hong

dengan air mata meleleh.

Melihat wajahnya yang sedih dan air mata yang berlinang sehingga mirip butiran

embun di atas kelopak bunga, mau-tak-mau hati Tian Pek terguncang.

"Ai, hal ini , . .. .tak mungkin.. ." katanya dengan menyesal.

Tian Pek bukan pemuda yang bodoh, bukan pula pemuda yang tak berperasaan,

iapun dapat meresapi kasih mesra yang diperlihatkan Kim Cay-hong kepadanya,

tapi dendam yang terpendam dalam hatinya membuatnya tak dapat menerima

cinta kasih si nona.

Maka dengan perasaan yang kusut ia panggul Pedang Hijau dan melangkah pergi

tanpa berpaling lagi.

Anak muda itu menyadari akan posisinya saat ini, ia sadar bila tidak cepat2

pergi, bisa jadi dia tak tega lagi tinggalkan gedung keluarga Kim. Ia tahu bila

dirinya tidak mampu menguasai perasaannya dan jatuh cinta pada puteri musuh

maka itu berarti untuk selamanya dia akan terikat dan tak dapat lagi menuntut

balas.

Baru dua langkah Tian Pek berjalan, tiba2 Kim Cay-hong menarik tangan pemuda

itu sambil ber-seru dengan sedih: "Tunggulah sebentar lagi, dengarkan dulu

sepatah kataku kepadamu ....!"

Belum sempat Tian Pek menjawab, mendadak terdengar bunyi ujung baju

berkibar tersampuk angin, menyusul sesosok bayangan orang lantas menerobos

masuk lewat jendela.

Orang ini tak lain adalah murid kesayangan Cing-hu-sin. saudara seperguruan

kedua Kim bersaudura yaitu Giok-bin-siau-cing-hu Beng Ji-peng adanya!

Waktu itu Beng Ji-peng mengenakan pakaian ringkas warna hitam pekat,

mukanya yang tampan tampak pucat, dengan mata melotot ia membentak:

"Sumoay, biarlan dia pergi dari sini!"

"Hm, siapa yang suruh kau campur urusanku? " sahut Kim Cay-hong dengan tak

senang. "Lebih baik cepat kau enyah dari sini, tak perlu kau mencampuri

urusanku."

Beng Ji-peng melengak, tak diduganya Sumoay yang sejak kecil dibesarkan

bersama ini dapat bicara padanya sekasar ini.

Sikap Kim Cay-hong yang kasar ini semakin mengobarkan rasa gusarnya,

teriaknya dengan mendongkol: "Saat ini Suko tidak di rumah. kalau bukan aku

lantas siapa yang akan mengurusi kau? Akan membiarkan kau bikin malu

keluarga Kim....?"

"Plok!" tempelengan telak bersarang di muka pemuda itu, dengan muka pucat

karena menahan marahnya. Kim Cay-hong berteriak: "Perbuatan apa yang

memalukan? Koko sendiripun tak berani memaki begitu padaku."

Beng Ji-peng tak menyangka Kim Cay-hong akan menamparnya, untuk sesaat ia

berdiri tertegun, pipinya yang putih segera tertera lima jalur jari tangan yang

barwarna merah.

Dengan muka pucat hijau ditatapnya beberapa kejap si nona, kemudian kepada

Tian Pek ia berkata: "Anak busuk! Kulau malam ini kau tidak tinggalkan gedung

keluarga Kim, tuan muda akan suruh kau mampus tanpa terkubur."

Habis berkata ia lantas melayang keluar ruangan itu.

Tian Pek tertawa dingin. "Hehe, karena kau menantang, maka malam ini aku

sengaja akan menginap lagi di sini, ingin kulihat apa yang bisa kau lakukan!"

Sayang Beng Ji-peng sudah pergi, ucapan tersebut tak terdengar oleh yang

bersangkutan.

Kim Cay-hong yang berada di sisinya segera berseru: "Tian-siauhiap jangan

kuatir, selama aku berada di sini, tak nanti dia berani ganggu seujung

rambutmu!"

"Aku tak ingin membonceng kekuasaan nona, aku percaya masih sanggup

menghadapi dia."

Kim Cay-hong mengawasi anak muda itu sejenak, akhirnya dia menghela napas

panjang dan menggeleng kepala, katanya kemudian: "Bukannya kupuji diri

sendiri, setiap orang yang bertemu dengan aku, tak seorangpun yang tidak

memuji kecantikanku, mereka berusaha menyanjung, menjilat agar aku tertarik

dan ingin mempersunting diriku, tapi tak pernah kugubris mereka, aku tak

pernah tertarik kepada mereka. Tapi sejak kujumpai Tian siauhiap, entah

mengapa aku. .,.." Berbicara sampai disini tiba2 mukanya berubah jadi merah

dan bungkam.

Sekalipun dia adalah seorang gadis persilatan yang lebih suka berbuat bebas dan

berbicara terbuka, tapi bagaimanapun dia tetap seorang nona, dengan

sendirinya ia malu meneruskan ucapannya,

Tian Pek mengakui kecantikan si nona memang tidak ada bandingannya, apalagi

si nona sendiri jatuh cinta padanya, sayang gadis ini adalah puteri musuh

besarnya, tak mungkin baginya untuk menerima cintanya, hal ini mungkin sudah

suratan nasib.

Karena itu, untuk beberapa saat lamanya Tian Pek hanya berdiri termangu tanpa

mengucapkan sepatah katapun.

Selagi mereka sama2 berdiri termangu dan membungkam, tiba2 terdengar gelak

tertawa yang nyaring berkumandang di luar jendela, suara tertawa itu keras

sekali hingga menggetar dinding ruangan.

Menyusul terdengar seorang berseru: "Keponakan yang baik, kudengar engkau

telah membikin malu keluarga Kim, apakah lantaran bocah keparat itu."

Air muka Kim Cay-hong dan Tian Pek berubah seketika, serentak mereka

melompat keluar.

Dengan muka pucat karena marah, Kim Cay-hong langsung memaki dengan

suara melengking; "Beng Ji-peng, apa maksudmu menfitnah orang dengan kata2

yang kotor? Hm, mulai hari ini kita putus hubungan, aku Kim Cay-hong tidak

mengakui kau sebagai Suheng lagi!"

Tian Pek sendiripun tak kalah mendongkolnya, sambil tertawa iapun menyindir:

"Hahaha, kukira kau masih ada ilmu simpanan, hingga berani omong besar

seberti tadi. Huh, tak tahunya kau pergi mencari bala bantuan dan

mengharapkan orang lain yang turun tangan bagimu."

Hati Beng Ji-peng sudah panas ketika dimaki Kim Cay-hong, apalagi sekarang

disindir lagi oleh

Tian Pek, keruan tak terbendung lagi gusarnya, segera ia berteriak: "Anak busuk

she-Tian, bukan maksudku mencari bantuan, kuundang kehadiran kedua

Ciandwe ini untuk bertindak sebagai saksi, jangan kau anggap istana keluarga

Kim adalah tempat yang boleh kau main gila sesukamu, cukup seorang tuan

Beng saja dapat mencabut jiwa anjingmu."

Mengapa Giok-bin-siau-cing-hu begitu benci terhadap Tian Pek? Tidak sukar

menjawab pertanyaan ini. Tentu saja karena camhuru yang mengakibatkan

terjadinya peristiwa ini, Sejak kehadiran Tian Pek di gedung keluarga Kim,

terutama dua hari beruntun setelah pemuda itu sakit, boleh dibilang Kim Cay-

hong senantiasa menjaga anak muda itu disisi pembaringannya, ia menyuapkan

obat, memberi minum, sikapnya begitu mesra dan penuh perhatian, semua ini

membikin panas hati Beng Ji-peng.

Sudah ber-tahun2 pemuda she Beng ini mencintai adik seperguruannya, tapi

selama ini belum pernah ia cicipi adegan mesra semacam itu sekali¬pun ia sakit.

Bisa dibayangkan betapa cemburu dan gusar anak muda itu, kalau bisa dia ingin

menghajar Tian Pek sampai mampus sehingga saingan ini tersingkir.

Beng Ji-peng berusaha menasihati Sumoaynya agar menjauhi anak muda itu,

tapi Kim Cay-hong tak mau menurut perkataannya. kemudian ia menyaksikan

pula Tian Pek hendak pergi, tapi gadis itu merasa berat untuk melepaskannya,

malahan menarik tangannya.

Adegan itu kontan membuat darahnya tersirap ia tak mampu menguasai dirinya

lagi dan segera tampil kemuka. Siapa tahu Kim Cay-hong bukannya menuruti

perkataannya, malahan membantu Tian Pek dan menyerangnya dengan kata2

pedas, dengan dongkol dia menuju ke ruang depan dan mengundang Tiat-pi-to-

liong serta Tiat-ih-hui-peng, kedua kakek "pengawal baja" istana keluaga Kim.

Cemooh dan hinaan Tian Pek seketika memuncakkan hawa amarahnya, apalagi

setelah Kim Cay-hong memutuskan hubungan persaudaraan, ia tambah kalap.

Tanpa bicara lagi dia berpekik nyaring. ia mencabut pedangnya, dengan jurus

Sin-liong-jut-sui (naga sakti muncul dari air), pedangnya langsung menyambar

dan menusuk perut Tian Pek.

Dengan tenang Tian Pek berkelit, berbareng iapun hendak melolos pedang

hijaunya.

Tentu saja Beng Ji-peng tidak memberi peluang bagi musuhnya untuk melolos

senjata. beruntun ia melancarkan tiga kali serangan berantai dengan jurus Wu-

in-pit-gwat (awan hitam menutupi rembulan), Siau-ki-lam-thian (sambil

tersenyum menunjuk langit selatan) serta Hian-niau-hua-sah (burung hitam

mencakar pasir), semua mengarah Hiat-to penting di tubuh musuh.

Karena serangan berantai musuh, Tian Pek kehilangan kesempatan, terpaksa dia

harus berkelit, melompat dan menyingkir untuk melepaskan diri dari ancaman

tersebut.

Meskipun cukup gesit dia mengelak, namun akhirnya toh tetap terlambat satu

tindak, bajunya terpapas sebagian, hampir saja paha kanannya ikut tertabas

oleh sambaran pedang Beng Ji-peng itu.

Terperanjat Tian Pek, dalam pada itu iapun sempat melolos pedang pusakanya.

Kim Cay-hong terperanjat melihat Tian Pek hampir terluka, tapi setelah

menyaksikan Tian Pek lolos dari ancaman dengan selamat, hatinya merasa lega,

dengan penasaran ia berteriak terhadap Beng Ji peng: "Huh! Begitukah caramu

menghadapi lawan? Apa kau sengaja hendak bikin malu keluarga Kim?"

"Perbuatan apa yang pernah kubikin malu keluarga Kim?" teriak Beng Ji-peng.

"kau sendiri yang bikin malu keluarga Kim, perbuatanmu yang pantas dikatakan

perbuatan memalukan.'"

Merah padam wajah Kim Cay-hong karena marah, sekujur badan gemetar,

dengan benci ia berteriak: "Kau tak perlu mencampuri urusan pribadiku, caramu

bertempur tanpa menunggu lawan melolos senjata, tahu2 kau menyerang lebih

dulu, begitukah kepandaian yang berhasil kau yakinkan selama ini? Hm, nama

baik ayah pun ikut ternoda oleh perbuatan rendahmu itu!"

"Tutup mulut!" bentak Beng Ji-peng dengan kalap, "kalau dia mampus, itu salah

dia sendiri yang tak becus, kalau dia tak mampu mencabut pedangnya sendiri,

memangnya perlu orang lain yang memberikan pedang kepadanya?"

Cekcok mulut antara kakak beradik seperguruan berlangsung makin tajam,

siapapun tak mau mengalah.

Tian Pek sendiri tetap bersikap tenang, "sret" begitu Pedang Hijau terlolos,

terpancarlah cahaya kemilauan di ambang senja.

Sementara itu malam telah tiba, lampu telah dipasang dan baberapa orang

pelayan laki2 maupun perempuan membawa pula beberapa buah lampu lentera

mengitari gelanggang, ini membuat suasana tempat itu jadi terang benderang

bagaikan di siang hari.

Air muka para pelayan yang mengitari gelanggang itu tiada yang menunjuk rasa

kaget atau kuatir, malahan rata2 menunjuk rasa gembira karena sebentar lagi

akan berlangsung suatu pertarungan seru, ini suatu tanda bahwa kaum hamba

keluarga Kim juga sudah terbiasa dengan pertarungan orang Kangouw ini.

Pelahan Tian Pek menggetar pedang mestikanya hingga memancarkan cahaya

hijau, kemudian sambil melangkah ke tengah gelanggang, serunya dengan

lantang: "Nona Kim, silakan menyingkir kesamping, berilah kesempatan bagi

Tian Pek untuk menghadapi orang kosen pada malam ini!"

"Hahaha, bagus, bagus sekali!" teriak Tiat-pi-to-liong. "Hayo maju!"

Begitulah watak aneh sepasang "pengawal baja" itu, bukannya melerai, mereka

malahan menganjurkan berlangsungnya pertarungan.

Sebelum Kim Cay-hong sempat buka suara, Beng Ji-peng mengejek pula dengan

nyaring: "Hei, cecunguk cilik, sekarang kau telah memegang pedang, jika

mampus tentu kau tak dapat bilang apa2 lagi bukan? Nah, anak busuk, serahkan

jiwamu!"

Berbareng dengan perkataan tersebut, Beng Ji-peng segera meloncat ke udara,

pedangnya berputar menciptakan selapis cahaya terus merabas kepala Tian Pek.

Tian Pek tidak berani gegabah, dari gerak tubuh musuh yang enteng, gesit dan

lincah serta jurus pedangnya yang ganas, ia tahu Kungfu lawan cukup tangguh,

Belum tiba serangan itu, hawa pedang yang tajam dan dingin serasa menyayat

tubuhnya, cepat ia pusatkan perhatiannya, dengan jurus Koan-te-hoan-thian

(menggulung bumi membalik langit) pedangnya menangkis ke atas.

Pedang Hijau Bu-cing-pek-kiam memang pedang mestika yang amat tajam,

mengikuti gerakan itu terciptalah selapis cahaya hijau yang menyilaukan mata

dalam sekejap cahaya pedang yang terpancar oleh serangan Beng Ji-peng tadi

tergulung lenyap.

Beng Ji-peng sendiri tentu saja dapat merasakan pedang lawan adalah senjata

mestika, namun ia tidak berusaha menghindar, sebab ia hendak manfaatkan

tenaga tekanan dari udara untuk memperbesar daya serangannya atas lawan ia

himpun tenaga pada pergelangan tangan, dengan sekuat tenaga ia menabas ke

bawah.

"Cring!" benturan nyaring terdengar, kedua senjata saling bentur dan

menimbulkan percikan bunga api, terciptalah pemandangan menakjubkan di

udara-

Kedua orang sama2 merasakan lengan kaku kesemutan, nyata tenaga kedua

orang sama kuat.

Sudah tentu posisi Beng Ji-peng lebih menguntungkan, sebab dia menekan ke

bawah, namun dia harus melayang turun beberapa kaki di sebelah sana, sedang

Tian Pek tetap berdiri tegak di tempatnya, cepat kedua orang memeriksa senjata

masing-masing.

Pedang hijau Bu-cing-pek-kiam tetap mulus tiada cacat apapun, sebaliknya

pedang hitam Beng Ji-peng pun tetap bercahaya tajam, ternyata senjata itupun

tidak mengalami kerusakan apa2.

Meskipun pedang hitam yang digunakan Beng Ji-peng bentuknya jelek dan tiada

keistimewaan, namun senjata itu sebenarnya terbuat dari inti baja yang berusia

laksaan tahun dari dasar laut, tajamnya luar biasa dan keras pula.

Sebab itulah meski Beng Ji-peng sutelah melihat pedang yang dipakai Tian Pek

memancarkan sinar tajam dan pasti pedang mestika, namun ia tidak gentar,

bahkan memperkuat tenaga tabasannya, ia justeru ingin mengutungi pedang

Tian Pek lebih dahulu.

Siapa tahu pedang mestika lawan bukan saja tidak cedera malahan mampu

menandingi kekerasan senjatanya, hal ini sungguh di luar dugaan Beng Ji-peng.

Tian Pek sendiripun terperanjat, dia tak mengira pedang baja yang jelek

bentuknya milik lawan ternyata sanggup menandingi ketajaman pedang

mestikanya.

Tapi justeru dengan terjadinya peristiwa ini, maka kedua pihakpun mempunyai

perhitungan sendiri tentang kekuatan musuh, merekapun tahu kemenangan tak

mungkin dapat diraih dengan mengandalkan ketajaman pedang mestikanya.

Pertarungan lantas dilanjutkan dengan mengandalkan ilmu silat sejati yang

dimiliki masing2.

Tampaklah pedang hijau Tian Pek berputar di udara menerbitkan sinar bagai

bianglala membelah udara, sebaliknya pedang hitam Beng Ji-peng menyambar

kian kemari bagaikan naga hitam mengaduk samudera, cahaya hijau dan hitam

saling bergumul, membuat suasana gelanggang berubah seram, hawa pedang

yang tebal menyelimuti sekujur badan kedua orang muda itu.

Pertarungan berlangsung kian cepat, dalam waktu singkat empat puluhan

gebrakan sudah lewat.

Tiat-pi-to-liong mengikuti pertarungan itu sambil mengelus cambangnya,

kadang2 dia berteriak memuji, memberi penilaian terhadap jurus serangan

mereka.

Sementara Tiat-ih-hui-peng menonton dengan serius, ia mengawasi jalannya

pertarungan dengan sorot mata tajam, tapi mulutnya tetap bungkam tanpa

memberi komentar.

Gadis paling cantik di seluruh wilayah Kanglam diam2 menguatirkan

keselamatan pujaan hatinya, dia tahu ilmu silat Suhengnya telah hampir

mewarisi seluruh kemahiran ayahnya, selama ini jarang ada yang mampu

menandingi dia.

Kawanan pelayan baik laki2 ataupun perempuan yang mengerumuni seputar

gelanggang, sama menonton dengan mata terbelalak, memang seringkali

mereka menyaksikan pertarungan seru, akan tetapi belum pernah melihat

pertarungan tegang dan sengit begini.

Sementara itu pertarungan sudah meningkat tegang dan menentukan mati dan

hidup.

Beng Ji-peng lebih mahir melancarkan serangan, gerak-geriknya juga lebih

lincah, serangannya lebih ganas, selalu mengincar bagian2 mematikan di tubuh

Tian Pek, saking gemasnya, sekali tusuk dia ingin menembusi dada lawan

cintanya ini.

Sebaliknya Tian Pek lebih sempurna dalam hal tenaga dalam, dia lebih

mengutamakan ketenangan dan kemantapan, jurus2 serangannya terang dan

kuat, anggun dan wibawa se-olah2 seorang tokoh suatu aliran besar.

Setelah pertarungan berlangsung sekian saat, Beng Ji-peng mulai heran, dengan

jelas ia lihat betapa sederhana ilmu pedang yang dipakai Tian Pek, hanya ilmu

pedang Sam-cay-kiam-hoat yang sangat umum dan dipelajari banyak orang,

biarpun lawan menyelingi pula beberapa jurus serangan yang aneh, itupun tidak

membuat ilmu pedangnya jadi lebih tangguh.

Kendatipun demikian, namun serangan Ji-peng yang cepat dan dahsyat tak

pernah berhasil menambus pertahanan lawan, bahkan setiap kali serangan

mematikan yang tampaknya tak mungkin bisa dihindarkan musuh, tanpa gugup

sedikitpun tahu2 Tian Pek dapat mematahkannya dengan jurus yang amat

sederhana.

Tentu saja hal ini amat mengejutkan dia. Sudah tentu Beng Ji-peng tak menduga

kalau Tian Pek telah mempelajari isi kitab Soh-kut-siau-hun-pit-kip yang hebat

itu, apalagi semua urat nadi penting di tubuh lawan ini telah tertembus semua

sehingga Lwekangnya kuat luar biasa.

Walaupun dalam hal tenaga dalam lebih tangguh daripada Ji-peng, akan tetapi

Tian Pek kalah bagus jurus pedangnya, kecuali serangkaian iliran pedang Sam-

cay-kiam-hoat yang sederhana, boleh dibilang dia tak memiliki kepandaian yang

lain.

Untung sudah lama ilmu pedang ini dilatihnya dengan tekun, walaupun jurus

serangannya sederhana dalam permainannya telah berubah menjadi cukup

lihay.

Tian Pek dapat memahami bahwa untuk menang seseorang harus memiliki jurus

serangan yang aneh dan diluar dugaaan musuh, bila lawan sudah mengetahui

akan jurus serangannya, percumalah dia melepaskan serangan itu, sebab

akhirnya tak mampu melukai musuh,

Karena itulah, setiap kali mendapat kesempatan yang baik ia lantas mencoba

untuk menyerang dengan jurus Tui-hong-kiam-hoat yang berhasil di sadapnya

dulu, sayang permainanya belum matang hingga kurang keampuhannya.

Maka kedua pihak tetap bertahan dalam keadaan seimbang meskipun sudah

bertarung sekian lama, sukar untuk menentukan siapa lebih tangguh di antara

kedua jago muda itu dalam waktu yang yang singkat.

Sementara itu pertarungan telah berlangsung hampir mendekati seratus

gebrakan, akan tetapi menang-kalah belum juga bisa ditentukan, lama2 Beng Ji-

peng menjadi tidak sabar.

Kebetulan waktu itu pedang Tian Pek sedang menyabat kepala lawannya dengan

jurus Lip-sau-ih-yu (berdiri tegak menyapu jagat), cepat Beng Ji-peng mendak ke

bawah, setelah lolos dari sambaran pedang itu, pedang baja hitamnya dengan

jurus Sui-tiong-lau-gwat (menangkap rembulan di dalam air), dia babat tubuh

bagian bawah Tian Pek.

Dengan cepat Tian Pek melayang ke udara, pedang balas menutul Hoa-kay-hiat

pada ubun2 Beng Ji-peng dengan jurus Han-seng-peng-gwat (bintang tajam

mengejar rembulan).

Menurut peraturan, bila terancam oleh serangan tersebut, biasanya dia akan

menggunakan jurus Hui-hong-hud-liu (pusaran angin menyapu pohon liu) atau

Bun-hong-si-sui (kawanan lebah bermain di atas putik) untuk meloloskan diri

dari ancaman.

Akan tetapi Beng Ji-peng tidak berbuat begitu, sebab ia penasaran dan ingin

merebut kemenangan dengan menempuh bahaya, bukannya menghindar atau

berkelit, dengan cepat dia menerobos maju ke depan, dengan jurus Ban-hoa-

cam-hud (selaksa bunga menyembah Buddha) dia tangkis pedang musuh

kemudian sambil mendesak maju dia bacok dada Tian Pek.

Gerakan ini amat berbahaya, jika Tian Pek memiliki Ginkang yang tinggi dan bisa

melompat tiga depa lebih keatas, lalu ujung pedangnya tetap menusuk ke

bawah dengan gerakan yang tak berubah, niscaya jalan darah Hoa-kay-hiat pada

ubun2 Beng Ji-peng akan tertembus.

Rupanya setelah pertarungan berlangsung seratusan gebrakan, Beng Ji-peng

melihat gerak gerik musuh amat lamban, menurut perkiraannya tak mungkin

Tian Pek bakal melayang ke udara untuk menyergap dirinya, maka iapun

mengambil keputusan untuk melakukan serangan berbahaya.

Lalu, apakah Tian Pek mampu melayang lebih tinggi dan melakukan sergapan

dari situ? Mampu! Dia mampu melakukan hal ini. terutama sesudah tenaga

dalamnya memperoleh kemajuan yang pesat, hanya saja ia tidak tahu sampai di

manakah kemajuan yang dicapainya, selain itu iapun kekurangan pengalaman

tempur, makanya setelah melepaskan tusukan tadi, dia mengira Beng Ji-peng

pasti akan berkelit ke samping.

Siapa tahu bukannya mundur, Beng Ji peng malahan mendesak maju dan

langsung membacok dadanya, dalam keadaan demikian tidak sempat lagi untuk

menghindar, tampaknya dadanya pasti akan berlubang.

"Hei, Siau-hu-cu! Masa begitu caramu bertarung?" teriak Tiat-pi-to-liong dengan

lantang, cepat ia menerjang maju ke depan, rupanya jago tua ini melihat gelagat

jelek.

Tapi belum sempat jago tua itu menerjang masuk ke tengah gelanggang.

keadaan telah mengalami perubahan mendadak.

Kiranya dalam gugupnya Tian Pek telah menghimpun segenap tenaga pada

pergelangan tangannya, kemudian dengan sekali sentakan, "trang!" pedang

beradu, Beng Ji-peng merasakan tangannya kesemutan, tanpa ampun lagi

pedangnya terlepas dari cekalan.

Dengan kesempatan itu Tian Pek terus putar pedang Bu-cing-pek-kiam ke

depan, tahu2 ujung pedang yang tajam telah menempel di tenggorokan musuh.

Pucat wajah Beng Ji-peng, bukan saja usahanya merebut kemenangan

mengalami kegagalan total, bahkan dia sendiri yang kecundang, bisa

dibayangkan betapa sedih perasaan anak muda itu, selama hidup baru kali ini

dia mengalami kekalahan secara mengenaskan.

Tian Pek sendiri tak menyangka tenaga dalamnya telah mencapai tarap

sedemikian tingginya, dan dapat digunakan menurut kehendaknya Setelah

berhasil menggetar jatuh pedang lawan, bahkan ujung pedangnya terus

mengancam pula tenggorokan pemuda she Beng itu, untuk sesaat dia berdiri

tertegun dan tidak melanjutkan tusukan maut.

Bagaikan embusan angin cepatnya Tiat-pi-to-liong menyusup maju kedepan dan

berdiri di antara kedua anak muda itu, sambil tertawa ia berkata: "Hahaha,

engkoh cilik. kau memang hebat! Kemenanganmu ini kau raih secara gemilang

dan mengagumkan ... Hahaha, di antara kalian kan tiada permusuhan apapun?

Maka pertarungan ini hanya saling mengukur kepandaian saja, silakan kau tarik

kembali senjatamu."

Tiat-pi-to-liong Kongsun Coh adalah kakek bermuka merah dan bercambang,

tubuhnya meski agak bungkuk tapi kekar dan gagah, suaranya keras bagaikan

bunyi guntur, berwibawa dan disegani orang.

Tian Pek bukan pemuda pengecut, ia tak sudi membunuh orang yang tak

mampu melawan, selain itu, sebelum yakin benar Cing-hu-sin Kim Kiu adalah

pembunuh ayahnya, dia tak ingin membuat onar dalam gedung ini, maka

setelah mendengar perkataan Tiat-pi-to-liong, cepat ia tarik kembali pedangnya

dan mundur ke belakang.

"Kalau Locianpwe sudah berkata begitu, tentu saja Wanpwe menurut saja," Lata

Tian Pek, Lalu ia berpaling dan berkata kepada Beng Ji-peng: "Asal kau tahu rasa

dan selanjutaya tidak congkak lagi "

"Anak busuk, jangan latah!" bentak Beng Ji-peng mendadak. "Nih, rasakan

kelihayan tuanmu ini!"

Di tengah bentakan Giok-bin-siau-cing-hu itu ia ayun tangan ke depan, segumpal

cahaya hijau yang menyilaukan mata segera menyambar kearah Tian Pek.

Rupanya setelah dikalahkan oleh Tian Pek, karena malunya Beng Ji-peng jadi

nekat, diam2 ia merogoh sakunya dan meraup segenggam senjata rahasia Cing-

hu-kim-ci-piau andalan perguruan, di kala musuh tidak siap, segera ia

menyergapnya dengan gerakan Boan-thian-boa-uh (hujan bunga memenuhi

angkasa).

"Suheng, kau berani main curang. . . ?" jerit Kim Cay-hong dengan kuatir.

"Ji-peng, kau.. . " Tiat-pi-to-liong juga membentak.

Sebagai tamu keluarga Kim saja Tian Pek sedia menurut. sedangkan Beng Ji-peng

sebagai orang sendiri malahan tidak memberi muka kepadanya, bahkan

menyergap lawan dikala tidak siap, tentu saja ia sangat gusar.

Di tengah bentakan keras segera ia menghantam ke depan, segulung angin

pukulan langsung menyambar ke arah cahaya hijau yang sedang berhamburan

itu.

Senjata rahasia Cing-hu-kim-ci-piau andalan Cing hu-sin ini dibuat secara khusus

dan dilancarkan dengan cara yang khusus pula, kendatipun angin pukulan yang

dilancarkan Tiat-pi-to-liong sangat kuat, akan tetapi pukulan itu belum sanggup

untuk merontokkan semua senjata rahasia itu.

=====

Berbahayakah luka Tian Pek? Dapatlah dia mengalahkan Beng Ji-peng yang keji

itu?

Dapatkah Tian Pek menemui Thi-tan-sui-lu Tang Jian-li. satu2nya tokoh yang

tahu rahasia kematian ayahnya itu?

Jilid 11 : Duel Kakek Keledai sakti dan Kakek Monyet Sakti

Scan djvu: AXD002

Editor: MCH

Dentingan nyaring terjadi secara beruntun, sebagian senjata rahasia itu berhasil

dirontokkau oleh angin pukulan dahsyat tersebut, tapi ada pula beberapa

batang di antaranya berhasil menembusi angin pukulan jago tua itu dan tetap

meluncur cepat dan menyambar tubuh Tian Pek.

"Cringl Cring! Cring!" terdengar dentingan nyaring menggema di udara

menyusul terjadinya percikan bunga api.

Rupanya Kim Cay-hong telah bertindak, iapun melepaskan tiga buah Cinghu-piau

untuk melontokkan senjata rahasia Beng Ji-peng.

Meskipun tiga senjata rahasia itu berhasil dipukul jatuh, namun masih ada

empat Cung-hupiau lain yang melucur ke depan dengan kecepatan penuh, dua

buah mengancam bahu Tian Pek sedangkan dua lagi mengancam kedua kakinya.

Dalam keadaan begini, tak sempat lagi bagi Kim Cay-hong untuk ambil senjata

rahasia, dengan cemas ia pandang ke sana dan tak tahu apa yang akan terjadi.

Tapi Tian Pek mengelak kekanan dan mengegos ke kiri, tiga senjata rahasia itu

dapat dihindarkan dengan baik tapi akhirnya ada sebuah yang tak terhindar.

“Cret!" senjata rahasia itu bersarang pada bahunya, darah segar lantas mancar

keluar.

Kejadian itu lambat untuk diceritakan, tapi semuanya berlangsung dalam

sekejap, begitu menyaksikan Tian Pek terluka, semua orang melengak, kecuali

sebagian kecil hampir semua orang merasa tidak puas atas tindakan Beng Jipeng

itu.

Sebab tadi kalau Tian Pek bermaksud membunuhnya, maka ujung pedang yang

telah menempel pada tenggorokannya cukup didorong sedikit ke depan dan

pemuda itu pasti sudah mampus, namun Tian Pek telah menuruti nasihat dan

melepaskan lawan. Tapi kesempatan itu malah digunakan Beng Ji peng untuk

menyerang Tian Pek secara keji, tindakan semacam ini bagi orang Kangouw

boleh dikatakan sangat memalukan.

Tapi Beng Ji peng adalah murid kesayangan Cing-hu-sin, pemilik istana keluarga

Kim, kedudukannya hampir sederajat dengan Siang lin Kongcu, tindakannya

yang rendah dan memalukan ini sungguh tak terduga oleh siapapun juga.

Tian Pek segera merasakan hawa dingin merasa tulang, segera ia tahu senjata

rahasia itu beracun.

Meskipun sakitnya tidak kepalang pemuda itu tidak mengluh, ia mengertak gigi

dan mencabut senjata rahasia itu.

Kim Cay-bong menghampiri anak muda itu sambil memberi sebutir obat,

katanya dengan pedih: "Tian-siauhiap, lekas bubuhkan obat ini pada lukamu,

kalau tidak.........."

Tian Pek berdiri dengan muka menyeringai, matanya melotot penuh kegusaran,

darah menetes keluar dari kelopak matanya dan membasahi pipinya, sementara

Cing-hu-piau yang berlumuran darah masih targenggam di tangannya, ia tidak

menghiraukan perkataan anak dara itu.

Terperanjat Kim Cay hong melihat keadaan Tian Pek. "Tian siauhiap?" katanya

dengan gemetar, janganlah beginI, perbuatan Suhengku memang tak benar. Biar

engkohku pulang pasti akan kulaporkan kejadian ini kepadanya, akan kuminta

kakak memberikan keadilan secara bijaksana."

Dengan lembut dan penuh kasih sayang dia menggenggam lengan kiri Tian Pek,

setelah merobek pakaian disekitar luka obat penawar tadi dibubuhkan pada

lukanya, pelahan ia memijit sekitar luka yang membengkak itu .......

Tian Pek tetap berdiri mematung, sorot matanya yang penuh kemarahan

memandang jauh ke sana, seperti sedang memikirkan sesuatu yang sangat

menyedihkan, tapi orang lain tak tahu apa yang sedang dipikirnya?

"Hmmm!" Beng Ji-peng mendengus ketika melihat Kim Cay-hong bersikap

begitu mesra terhadap musuhnya, api cemburu kembali membakar hatinya, rasa

bencinya terhadap Tian Pek semakin menjadi, pelahan ia merogoh kantong dan

siap mengarnbil senjata rahasia lagi.

Tiat-pi-to-liong menyaksikan perbuatan anak muda itu, dengan gusar ia

membentak: "Ji-peng, apa yang hendak kaulakukan? Masa kau tak tahu malu.

Apakah perlu aku si bungkuk turut campur persoalan ini ....?"

Percakapan orang2 itu dan Kim Cay-hong membubuhi lukanya dengan obat,

semua ini se- olah2 tidak diketahui Tian Pek. Kiranya ia sedang membayangkan

kembali kematian ayahnya yang

mengenaskan, ia raerasa Cing hu-piau yang berlumuran darah ini persis seperti

mata uang tembaga yang ditinggalkan ayahnya itu.

Dalam khayalnya terbayang olehnya ayahnya dikerubut keenam tokoh besar

dan ayahnya melakukan perlawanan yang sengit dengan Pedang Hijau, setelah

tenaga terkuras habis, lalu Cing-hu-sin Kim Kiu menyergapnya dengan senjata

rahasia hingga terluka, mungkin juga keenam orang itu bersama menyerang

ayahnya dengan senjata rahasia, setelah ayahnya tak berkutik

barulah mereka mencincangnya......

Herannya mereka bertujuh terkenal sebagai saudara angkat dan bersumpah

setia, mengapa keenam saudaranya bersekongkol untuk membunuh ayahnya itu

sekeji? Inilah teka-teki yang sukar dipecahkan.

"Ai, seandainya ayahnya tidak meninggal dan Kanglam jit tayhiap masih hidup

dengan rukun hingga kini, sekalipun aku tak bisa menyamai kedudukan Bu-lim-

su kongcu, paling sedIkit hidupku takkan sengsara dan terhina seperti sekarang

ini, paling tidak aku bersama orang tuaku dapat hidup bahagia di tempat yang

aman sentosa...... Akan tetapi," demikian Tian Pek berpikir lebih

jauh, "sekarang terbukti bahwa Cing hu- piau adalah senjata rahasia andalan Kim

Kiu, itu berarti pula Kim Kiu adalah salah seorang pembunuh ayahku, mengapa

tidak kubunuh pemuda ini lebih dulu? Sekalipun selama ini tak sempat kujumpai

Kim Kiu, tapi jika pemuda ini sudah kubunuh, masakah ia

takkan tampil? Kesempatan baik ada di depan mata, bila tidak kumanfaatkan

sekarang juga, aku akan menunggu sampai kapan lagi?"

Barpikir sampai di sini, anak muda itu segera membontak nyaring: "Hei,

berhenti!"

Bentakan ini dilontarkan dalam keadaan gusar dan penuh perasaan dendam,

suaranya keras luar biasa ibarat bunyi guntur membelah bumi, semua orang

merasa anak telinga jadi sakit dan mendengung. Sementara itu Beng Ji-peng

yang dibentak Tiat-pi to liong sedang memungut pedangnya dan mundur ke

belakang, mendengar bentakan tersebut, cepat ia berhenti dan membalik

badan.

"Berhenti ya berheti, memangnya aku jeri padamu?" jengeknya sambil menatap

Tian Pek dengan melotot. "Hm jangan kau kira dengan sedikit ilmu pedang

busuk itu lantas bisa menangkan tuanmu? kalau aku tidak salah perhitungan,

kau kira bisa memperoleh kemenangan itu? Bangsat cilik, untung

Kongsun-Cianpwe mintakan ampun bagimu, hm, kalau tidak, sejak tadi kau

sudah mampus tertembus Cing--hu sin- plan tuanmu!"

Tian Pek tidak melayani ejekan musuh, sekali lagi dia melolos pedangnya, lalu

berkata: "Apa gunanya mengobrol, kalau belum puas, hayo kita ulangi kembali

pertarungan ini, mari kita tentukan siapa yang lebih unggul."

"Hehehe, memangnya aku takut padamu?" teriak Bang Ji-peng sambil lolos

pedangnya yang hitam.

Kim Cay hong merasa kuatir, ia tarik lengan kiri Tian Pek dan berseru:

"Tian-siauhiap, engkau telah terluka, jangan kau layani orang gila itu........... "

Tiat-pi-to-liong pun berusaha melerai: "Sudahlah Siauhiap apa gunanya

menuruti emosi dan beradu nyawa, kan di antara kalian tidak ada sakit hati

apapun......... “

Tian Pek melepaskan pegangan Kim Cay-hong, dia angkat pedangnya dan

berseru: "Siapapun tak ada yang bisa mengalangi niatku, hari ini kalau bukan dia

yang mampus biarlah aku yang mati!"

Diam2 semua orang terperanjat dan mengira kedua anak muda itu benar2 telah

kalap, mereka tidak tahu dendam Tian Pek dan tidak menyangka cernburu Beng

Ji pang yang berkobar.

"Baik!" Beng Ji-peng menyambut tantangan Tian Pek dengan suara lantang,

"sebelum salah satu pihak mampus, pertarungan ini takkan berakhir."

Di tengah bentakannya yang nyaring, dia loncat ke udara, pedang hitam

memancarkan sinar tajam langsung menusuk ke muka Tian Pek dengan jurus Jik-

khong-koan-jit (bianglala merah menembus sinar sang surya).

Sekarang Tian Pek tahu tenaga dalam sendiri lebih kuat dibandingkan lawan,

kalau selama ini Beng Ji peng mampu bertahan pada posisi seimbang, hal ini tak

lain karena dia mengandalkan jurus pedangnya yang lebih lincah. Kuatir

kehilangan kesempatan yang menguntungkan, maka begitu melihat Beng Ji-

peng menubruk maju, cepat ia pun ikut meloncat ke atas menyongsong

ancaman itu dengan keras lawan keras.

Pedang Hijau menciptakan selapis dinding cahaya untuk mengunci serangan

lawan dengan jurus Hoan-tiau-lam-hay (pasang naik di laut selatan).

Pertarungan macam begini sangat jarang terjadi di dunia persilatan, bukan saja

para penonton yang berada di sekitar gelanggang, bahkan Tiat pi-to- liong, Kim

Cay-hong serta Tiat-ih-hui peng juga sama bersuara kuatir. Tubrukan kedua anak

muda itu dilakukan dengan cepat sekali, belum

lenyap suara orang berseru kaget kedua pedang telah saling membentur.

Percikan bunga api muncrat ke empat penjuru, dentingan nyaring memekak

telinga, kedua orang segera terpisah dan turun kembali ke atas tanah.

Beng Ji-peng merasakan separoh badannya kesemutan dan kaku, telapak tangan

terasa sakit, hampir saja pedang hitamnya tak mampu dipegang lagi, ketika

mencapai permukaan tanah, ia sempoyongan beberapa langkah dan akhirnya

baru dapat berdiri tegak.

Sebaliknya Tian Pek tetap tenang se-akan2 tak pernah terjadi sesuatu, begitu

mencapai permukaan tanah, ia segera menerjang lagi ke depan. "Sret! Sret!

Sreet!" beruntun dia melancarkan beberapa kali serangan sehingga Beng Ji peng

yang sombong itu dibikin kelabakan, bukan saja tak

mampu melakukan serangan balasan, untuk mempertahankan diripun repot.

Namun Giok-bin-siau-cing-hu Beng Ji-peng cukup tangkas juga, sekalipun

terdesak, dengan kelincahan dan kecepatannya bertahan terus meski dia harus

mundur belasan kaki, tapi tidak sampai terluka.

Karena terdesak, Beng Ji-peng telah mundur hingga dekat pagar kebun bunga,

dengan sendirinya para penonton yang berkerumun sama menyingkir.

Mendadak Tian Pek memburu ke depan, dengan jurus Heng-sau-ngo-gak

(menyapu rata lima bukit), dia sabat pinggang lawannya. Beng Ji-peng berkelit,

dengan lincah dia menghindar ke belakang pagar kebun. Serangan Tian Pek itu

menggunakan tenaga yang keras, untuk menarik

kembali serangannya tak mungkin lagi, kontan sederetan pot bunga yang berada

di atas pagar tcrsambar hingga hancur berantakan.

Sementara itu Beng Ji peng sempat berganti napas, segera iapun unjuk gigi.

“Sret! Sret! Sreet!" beruntun diapun melancarkan belasan kali serangan, karena

jurus serangan juga tidak kurang ganasnya, yang diarah adalah bagian

mematikan, maka Tian Pek juga terdesak mundur dengan repot.

Tapi sekali mengendur serangan Beng Ji peng, Tian Pek segera balas mendesak

lawan, dengan begitu maka pertarungan berlangsung dengan seru, ke dua pihak

secara bergilir mendesak mundur lawannya, dengan begitu posisi kedua orang

tetap sama kuat.

Dalam dunia persilatan jarang terjadi pertarungan seperti ini, tentu saja

kawanan jago yang berkumpul disekitar gelanggang, termasuk juga kedua

"pengawal baja" itu, dibuat tertegun dan melongo, saking terpesonanya sampai

mereka lupa untuk melerai .....

Hanya Kim Cay-hong yang paling gelisah dan kuatir, meskipun dia tidak

mengharapkan Tian Pek terluka di tangan Beng Ji-peng, tapi iapun tidak

berharap Beng Ji-peng dilukai Tian Pek.

Berulang kali in berteriak untuk melerai, namun teriakannya tak pernah digubris,

bagaikan harimau terluka keduanya tetap saling menggempur, tak seorangpun

yang mau menurut.

Aneh sekali jalannya pertarungan itu, di satu pihak mengandalkan kelincahan

dan keampuhan jurus pedangnya, di lain pihak mengandalkan tenaga dalamnya

yang kuat serta keganasan jurus pedang yang hebat, dalam waktu singkat

seluruh halaman telah diobrak-abrik menjadi tidak keruan,

dinding ambrol dan tiang roboh, banyak pot bunga yang hancur, dalam waktu

singkat taman itu menjadi porak poranda .....

Ratusan gebrakan sudah lewat, akan tetapi menang-kalah belum lagi bisa

ditentukan, banyak orang mulai menghela napas gegetun, semuanya memuji

dan menyatakan kagum, mereka anggap pertarungan sengit mi jarang ditemui

di dunia persilatan. Banyak pula di antara jago2 itu yang merasa cemas dan

kuatir, mereka ingin tahu bagaimana pertarungan itu bisa diakhiri? Dan

bagaimann pula akhir dari pertarungan tersebut.

Jangankan jago2 lain, kedua "pengawal baja" istana keluarga Kim itupun dibikin

terkesima sehingga untuk sesaat mereka lupa kedudukan dan tugas kewajiban

mereka sebagai pengawal istana.

Tiat-pi-to-liong berulang kali berseru: "Bagus!" — Sementara tangannya

mengelusi cambangnya sang lebat, sebaliknya Tiat-ih hui pang yang bermuka

murung juga gelisah, bijimatanya memancarkan sinar tajam dan terbelalak

lebar.

Lambat laun, Giok- bin-siau-hing-hu Beng Ji - pen: yang kalah tenaga dalam

mulai mandi keringat.

Berbeda dengan Tian Pek, rnakin bertempur ia semakin gagah, sekalipun darah

segar mengucur derasnya dari luka di bahu kiri, namun ia tak pernah berhenti

menyerang, se olah2 lwekangnya tiada habisnya, malahan makin bertarung

makin bertambah kuat.

Lambat laun Beng Ji-peng menjadi gelisah, ia tahu jika pertarungan berlangsung

terus dalam ke adaan begini, maka lama2 dia pasti akan kalah, ia menjadi nekat,

diam2 ia rnerogoh kantong dan manyiapkan segenggain senjata rahasia Clog hu-

kim ci-piau.

Kim Cay-hong sendiri tidak bersuara lagi, mungkin disebabkan Tian Pek sudah di

atas angin, dia tahu bila Tian Pek menang, maka pedangnya pasti tidak kenal

ampun dan Beng Ji-peng pasti akan dibunuh olehnya. Sebaliknya iapun melihat

wajah Beng Ji-peng yang menyeramkan, iapun

tahu kalau Suhengnya berniat jahat, apalagi setelah melihat dia merogoh lagi

senjata rahasia Cing-hu-piau, asal senjata rahasia itu disebarkan, maka sekalipun

Tian Pek dapat lolos dari kematian, paling tidak pasti juga akan terluka parah.

Padahal ia tidak mengharapkan kematian di antara kedua orang itu, dia ingin

urusan diselesaikan secara damai saja, keadaan ini membuatnya gelisah dan

panik, pucat wajahnya, ketenangan dan kecerdikannya pada hari biasa kini

lenyap, ia menjadi bingung dan kehabisan akal.

Tiba2 ia teringat pada Kim-hu-siang-tiat-wi (sepasang pengawal baja istana Kim),

kalau engkohnya tidak ada di rumah, berarti hanya mereka berdua yang

sanggup mengatasi pertikaian ini, maka ia lantas berpaling ke arah Tiat-ih-

huipeng yang sedang mengikuti pertarungan sengit itu dengan terkesima. "Pa-

jisiok, cepatlah lerai mereka!" teriaknya. "Kalau pertarungan itu dibiarkan

berlangsung terus, lama kelarnaan akan......... “

Tapi dilihatnya air muka Tiat-ih hui-peng menunjukkan rasa prihatin,

perkataannya sama sekali tak digubris dan tetap mengawasi jalannya

pertarungan dengan terbelalak. Teringatlah anak dara ini watak aneh parnan ini

bukannya melerai, bisa jadi malah akan me!akukan hal2 yang tak terduga.

Maka ia lantas berseru kepada Tiat-pi-to hong. “Paman Kongsun, cobalah lerai

mereka, jangan berlanjut lagi pertarungnn itu"

"Hahaha, nona tak usah kuatir!" jawab Kong-sun Coh sambil bergelak tertawa.

"Meski mereka saling gempur dengan serunya, kemenangan belum bisa

ditentukan dalam waktu singkat ...... wah celaka!"

Kiranya ketika Tiat-pi-to-liong sedang berbicara dengan Kim Cay-bong,

mendadak terdengar jeritan ngeri, di mana cahaya pedang berkelehat,

berhamburkan darah membasahi permukaan tanah, dengan wajah pucat seperti

mayat Beng Ji-peng mundur beberapa Iangkah dengan sempoyongan,

lengan kirinya sebatas bahu telah terpapas kutung.

Jerit kaget dan teriakan panik berkumandang dari mulut orang2 istana Kim

menyaksikan murid kesayangan majikan mereka terluku parah. Rupanya tatkala

Kim Cay hong sedang mohon bantuan Tiat-pi-to-liong untuk melerai

pertarungan itu, saat itu juga Tian Pek melihat Beng Ji-peng

meragoh kantong untuk mengambil senjata rahasia Cing-hu-kim-ci-piau, ia

rnenjadi gusar, beruntun ia melancarkan beberapa kali serangan berantai,

sebagai puncak serangan tersebut dia gunakan jurus Cay-sian-sia-pau

(melempar miring benang berwarna), suatu jurus serangan ampuh dari Tuihong-

kiam hoat.

Jurus serangan ini sangat hebat, gerakannya sukar diraba, tampaknya tertuju

pada lengan kanan Bang Ji-peng, tapi sewaktu anak muda itu menangkis dengan

pedangnya sambil berputar ke kiri, kesempatan yang baik ini digunakan Tian Pek

untuk menabas lengan kiri lawan yang siap melepaskan

senjata rahasia Cing-hu-piau itu.

Beng Ji peng sama sekali tak menduga akan tabasan itu, dalam keadaan begitu

dia tak sempat menghindar, tanpa ampun lagi lengan kirinya kena tertabas

kutung sebatas bahu Senjata rahasia Cing hu-kini- ci-piau yang berada dalam

genggam tangan kiri yang kutung itupun berserakan di lantai.

Sesungguhnya hal ini terjadi secara kebetulan, seandainya Kim Cay-hong tidak

mangajak bicara Tiat-pi-to-liong, niscaya jago tua itu takkan terpencar

perhatiannya dan pasti dapat menyelamatkan Beng Ji-peng.

Tiat ih-hui- peng sendiri meski menyaksikan peristwa itu dengan jelas, akan tepi

ia segan untuk mencegah, sebab menurut jalan pikirannya, kalau orang berani

bertarung maka dia harus berani puIa menanggung risikonya, jila kalah dan

terluka atau mampus, maka itulah konsekwensi yang harus diterimanya sebagai

seorang jago silat, salahnya sendiri mengapa tak becus.

Jangankan orang lain, sekalipun orang itu adalah putera kandungnya sendiri juga

takkan dihiraukan, sebab ia anggap tidak marem pertandingan yang tidak

mencucurkan darah.

Setelah bencana berlangsung, Tiat-pi-to-liong tak dapat berpeluk tangan dengan

begitu saja, ia segera membentak dan menerjang masuk ke tengah gelanggang,

selagi masih berada di udara sebuah pukulan keras dilancarkan ke arah Tian Pek,

sementara tubuhnya melayang ke arah Beng Ji-peng. Rapanya jago tua ini kuatir

Tian Pek melancarkan serangan mematikan yang lebih keji di kala lawannya

sudah terluka.

Tiat-pi-to-liang cepat, Tiat-ih- hui peng jauh lebih cepat lagi, sayap bajanya

segera terpentang lebar, ibarat seekor hurung ia terbang ke udara, sayap

bajanya mengebas ke batok kepala Tian Pek.

Tian Pek tak berani menyambut serangan itu dengan kekerasan, cepat ia

melompat jauh ke samping.

"Blang!" suara benturan keras menggelegar di udara, angin pukulan beradu

dengan kebasan sayap, debu pasir seketika berhamburan.

Tian Pek tak gentar, sambil melintangkan pedang di depan dada ia berkata:

"Apakah kedua Ciaupwe juga ingin memberi petunjuk padaku?"

Tiat pi-to- liong tidak menjawab, ia sibuk menutuk Hiat- to di bahu Beng Ji peng

untuk menghentikan darah yang mengalir, setelah itu ia memerintahkan dua

anak buahnya memayang pergi anak muda itu untuk dibubuhi obat luka. Tiat ih-

hui-peng lantas berkata dengan ketus, "Anak muda, kutungi sendiri sebuah

lenganmu agar aku tidak perlu turun tangan!"

Berkerut alit Tian Pek, tapi sebelum ia buka suara, Tiat-pi-to liong telah

terbahak2, katanya: "Hahaha, Pa loji, biarkan urusan kaum niuda diselesaikan

sendiri oleh kaum muda, untuk apa kita ikut campur urusan mereka? Kalau

tersiar orang Kangouw mungkin akan menuduh kita menganiaya kaum

muda ...!"

Giok-bin-siau cing-hu Bang Ji-peng telah dipayang dua Iaki2 kekar, sebelum

berlalu dari situ in sempat melotot sekeja pada Tian Pek dan mengancam:

"Nantikanlah pembalasanku, selama hidup aku Beng Ji-peng takkan melupakan

sakit hati buntungnya tangan ini."

"Setiap saat kunantikan kedatanganmu," jawab Tian Pek.

Dalarn pada itu Tiat-in-hui-peng tampaknya sudah menuruti perkataan Tiat pi-

to-liong, dia tidak berbicara lagi.

Hanya Kim Cay hong, mukanya berubah pucat, ia kelabakan sendiri dan tak tahu

apa yang mesti dilakukannya.

Akhirnya Tian Pek nenjura kepada Tiat pi to-liong, katanya dengan lantang

"Locianpwe, apakah engkau masih ada pesan lain? Kalau tidak ada, maka aku

akan mohon diri.”

"Engkoh cilik, kenapa ter-buru2?" ujar Tiat pi-to liong, "bagaimana kalau

menunggu sampai besok saja? Besok Kongcu pasti pulang, kan !ebih enak

berpamitan sendiri dengan Kongcu kami?"

"Maaf, aku masih ada urusan penting yang harus kuselesaikan, tak mungkin aku

menunggu lagi," sahut Tian Pek. "Terima kasih atas perhatian Locianpwe, maaf,

kumohon diri."

Setelah masukkan pedang ke dalam sarungnya dan memberi hormat, ia puter

badan dan berlalu.

“Tian-siauhiap............" Kim Cay hong berseru dengan gelisah. Namun Tian Pek

tidak berpaling lagi, dengan langkah lebar ia berjalan menuju ke luar.

Tiat-pi-to-liong berdiri tertegun mengikuti kepergian Tian Pek yang kian

menjauh dan akhirnya lenyap di balik pintu, ia tak bersuara lagi untuk mencegah

kepergian orang.

Sekeluarnya dari istana keluarga Kim, Tian Pek tidak mencari penginaparn dia

langsung berangkat menuju ke "duabelas gua batu karang" pada malam itu juga.

==mch==

Bulan sabit menghiasi angkasa, air sungai mengalir dengan derasnya, di bawah

cahaya rembulan yang redup Yan-cu ki menjulang tinggi di tepi sungai ibarat

seekor burung raksasa yang siap terbang ke langit.

Angin meniup sepoi2, suasana hening sepi, kecuali dua-tiga pelita perahu

nelayan berkelip jauh di tengah sungai, Tian Pek menengadah dan mengembus

napas panjang.

Kini ia merasa puas tapi juga tidak puas. merasa gembira juga merasa murung, ia

berjalan menyusuri sungai itu dengan perasaan yang bercampur aduk.

la puas karena ilmu silatnya telah mendapat kemajuan yang pesat, malahan

sudah mampu mengalahkan Beng Ji-peng, murid tunggal Cing-hu-sin Kim Kiu,

musuh besar pembunuh ayah.

Tapi iapun merasa tak puas, merasa kecewa karena kepandaian yang dimiliki

kedua "pengawal baja" ternyata amat lihay, ia merasa tak mungkin bisa

menandingi mereka dengan Kungfu yang dimilikinya sekarang, apalagi jago yang

menjaga istana Kim begitu banyak jumlahnya, tak mungkin dia bisa

rnenandingi kekuatan mereka dengan seorang diri, itu berarti tiada harapan

baginya untuk membalas sakit hati ayahnya.

Sedangkan perasaan gembira dan murung sukarlah untuk menerangkan, dia

hanya merasa bayangan tubuh Kim Cay-hong yang jelita itu selalu muncul dalam

benaknya, iapun sering terbayang kembali kasih mesra Kim Cay-hong selama

dua hari dia jatuh sakit, itu mendatangkan rasa manis dan getir, ada yang

menggembirakan juga ada yang membikin hatinya menjadi kesal.

Dengan pikiran yang dirundung pelbagai masalah, Tian Pek meianjutkan

perjalanan menuju ke jalan pegunungan yang rnenghubungkan pantai dengan

"dua belas gua karang", ia tidak ter-buru2 sebab ia sendiripun tak tahu Sin lutiat-

tan berdiam di mana, dia akan mencari tokoh persilatan Itu secara pelahan.

Sudah tiga buah gua karang yang diperiksa olehnya, tapi kecuali segerombol

kelawar yang terbang ketakutan, tiada sesuatu apapun yang terlihat olehnya.

Meskipun gua2 karang itu terpencil letaknya, akan tetapi di sana-sini masih

terlihat bekas2 kaum pelancong, seringkali di atas dinding gua terbaca olehnya

catatan tanggal si pengunjung, ada pula bait2 syair yang sengaja diukir di sana

sebagai kenangan, di lantai gua tersisa kulit buah2an yang berserakan, kotor

sekali tempatnya.

Diam2 Tian Pek merasa kecewa, sebab ia berpendapat Sin-lo tiat-tan tak

mungkin berdiam di tempat kotor yang ramai didatangi kaum pelancong ini,

diam2 iapun mulai meragukan keterangan si "orang mati hidup" Walaupun

sangsi, namun dia masih terus melakukan pencarian dengan

saksama. Kembali tiga buah gua sudah diperiksa, namun hasilnva tetap tiada

sesuatu yang ditemukan.

Makin tinggi ia mendaki bukit karang itu suasana makin hening, baru saja anak

muda itu melewati sebuah bukit karang, tiba2 terdengar seorang gadis sedang

berseru dengan suara merdu: "Ini tidak masuk hitungan, hayo sekali lagi!"

Lalu seorang kakek dengan suara serak menjawab: "Eeh, anak perempuan, ada2

saja tingkah polahmu, orang tua juga kau permainkan. Tidak aku tidak.........

tidak mau lagi!"

Suara serak tua lain segera bergelak tertawa, katanya: "Hahaha, jangan coba2

menolak ya. Hahaha, kalau kau tak mau mengulangi kembali, maka kau harus

mengaku kalah!"

"Hm, tidak segampang itu untuk mengalahkan aku!" suara pertama tadi berseru

apula: "Jangan kau kira kakiku cacat, lalu mempersulit aku dengan permainan

begini!"

Sampai di sini, lapat2 terdengar kibaran kain baju tersampuk angin. Tian Pek

merasa tertarik, ia merasa; sudah kenal suara ketiga orang itu, cuma seketika

tidak ingat siapa mereka. Ia heran apa yang sedang dilakukan ketiga orang itu di

bukit ini pada tengah malarn buta? Permainan apa yang

sedang mereka lakukan?

Timbul rasa ingin tahunya, dengan hati2 ia mendekati tempat suara itu, berkat

rindangnya pepohonan ia mengintip ke sana.

Di depan sana ada tanah datar yang agak menonjol tinggi dengan sebuah batu

raksasa yang rata permukaannya, batu ini tinggi dua-tiga tombak dan lebar

hampir sepuluh tombak, di sekeliling tetumbuhan permai, batu raksasa ini mirip

sebuah panggung alam.

Di samping batu itu terdapat beberapa batang pohon siong yang sangat besar, di

depan pohon siong itu berdirilah seorang nona berbaju putih dan seorang kakek

berjenggot putih, di depan mereka ada pula seorang kakek yang aneh, kedua

kakinya sebatas, paha ke bawah sudah buntung dan sebagai gantinya dipasang

dua potong kayu, waktu itu si kakek buntung lagi berjungkir

dengan kaki di atas dan kepala di bawah, dan sedang berloncatan kian-kemari

secepat terbang.

Kayu pengganti kakinya itu berbentuk aneh, bagian atas dekat paha besar dan

kasar, bagian ujung lebih kecil, gerak-geriknya aneh dan lucu se-akan2 dia

sedang membawakan tarian setan.

Setelah memperoleh kemajuan pesat dalam tenaga dalam, ketajaman mata Tian

Pek luar biasa, sekalipun jaraknya cukup jauh, namun ia dapat melihat jelas

keadaan di sekitar sana.

Ia melihat kakek aneh yang sedang membawakan "tarian setan" itu tak lain

adalah kakek buntung yang tiga hari berselang pernah membuat Kanglam-ji- ki

lari ter- birit2.

Sedangkan kakek berambut putih itu tak terlihat jelas karena jaraknya

terlampau jauh, tapi ia yakin orang itupun pernah dijumpainya, sedangkan anak

dara berbaju putih itu ternyata tak-lain-takbukan adalah Tian Wan-ji yang lincah

itu.

Waktu Tian Pek terluka di restoran Hin-liong-ciu-lau tempo hari dan ditolong

oleh Wan-ji serta dibawa ke rumah Hoat-si-jin dan Si-hoat-jin, anak muda itu

sama sekali tak tahu, maka ia heran melihat anak dara itu berada di sini bersama

kedua kakek aneh itu.

"Aneh, mengapa dia bisa berada di sini?" demikian pikirnya. "Bukankah dia

berada di rumahnya tempo hari? Mau apa dia berkumpul dengan kedua kakek

aneh di bukit yang sunyi ini? Permainan apa yang sedang mereka lakukan.........

Sementara Tian Pek keheranan, kakek buntung yang sedang menari dengan

tangan menggantikan kaki itu sudah meloncat bangun berbareng meraih kedua

tongkat penompang tubuhnya, lain dengan, bangga dia berkata.

"Coba, hebat bukan? Hahaha jangan kalian mengira aku tak punya kaki, kan

sudah kulakukan juga permainan ini?"

Wan-ji menghela napas, katanya: "Ai, kukira Kungfu kalian selisih tidak banyak

dan sukar ditentukan, siapa lebih unggul, kurasa lebih baik tak dilanjutkan

pertandingan ini !"

"Selisih tidak banyak apa?" teriak kakek rambut putih itu dengan penasaran.

"Anak perempuan, bilang saja bahwa Kungfu kami sangat tinggi dan luar biasa.

Hehe, bagaimanapun juga, aku harus menentukan siapa yang lebih unggul

dengan dia."

"Betul!" sarnbung kakek buntung itu dengan cepat. "Kita sudah bertanding

selama tiga hari tiga malain dan tetap belum tahu siapa yang lebih unggul,

mungkin sernua Kungfumu sudah kau kuras keluar semua. Huh, apakah mungkin

kau memiliki jurus lain lagi yang bisa kau gunakan?"

"Tapi, kalian akan bertanding apa lagi?" seru Wan ji. "Ilmu pukulan, pakai

senjata tajam, ilmu senjata rahasia, tenaga dalam, gerakan tubuh maupun

kecepatan langkah, sernua telah kalian pertandingkan, kukira kita sudah

kehabisan bahan untuk melanjutkan pertandingan ini, lebih baik dianggap seri

saja."

"Tidak, tidak bisa," teriak si kakek rambut putih sambil menggelengkan

kepalanya berulang kali. "Hahaha, ini dia, ada persoalan baru lagi, barusan telah

kedatangan satu orang dan orang itu bersembunyi di sana sedang rnengintip

gerak-gerik kita .......... "

Sebelum kakek itu selesai berkata, kakek buntung lantas tertawa terbahak2:

"Hahaha, jangan kau anggap aku tidak tahu apa2, sedari tadi akupun sudah tahu

akan kedatangannya. Itu dia, sembunyi di belakang pohon sana?"

Sambil berkata iapun menuding ke tempat sembunyi Tian Pek.

Betapa terperanjatnya anak muda itu demi mendengar perkataan tersebut, ia

mengira tempat sembunyinya cukup rahasia, tak tahunya tetap tak dapat

mengelabui kedua kakek itu.

Dalam keadaan begini tentu saja ia tak dapat berdiam terus di situ, terpaksa

Tian Pek berbangkit dan siap unjuk diri.

"Eeh, tunggu sebentar, teriak kakek rambut putih itu mendadak, "kau jangan

keluar dulu dari tempat persernbunyianmu......... "

Sekali lagi Tian Pek terperanjat, pikirnya: "Aku belum bergerak dan dia lantas

dapat menebak isi hatiku, memangnya dia memilki ilmu gaib?"

Selagi dia masih termenung, kakek rambut putih itu telah berkata pula:

"Nah, sekarang marilah kita menebak orang ini, siapa yang dapat menebak

dengan jitu, dialah yang menang, siapa yang tak mampu menebak, dia yang tak

becus. Nah, setuju?"

Tanpa menanti jawaban, kakek itu melanjutkan pula kata-katanya:

"Hayolah, kita menebak berapa usia pendatang ini, laki2 atau perempuan?

Kalau kau tak mampu menebaknya, lebih baik jadi kunyuk saja, setuju bukan?"

Kakek cacat kaki itu bergelak tertawa. 'Haha, setan tua penunggang keledai,

sekalipun tipu muslihatmu banyak, jangan kauharap akan menipu diriku, kalau

pendatang itu orang yang sudah kaukenal, kan aku yang rugi?

Memangnya aku dapat kautipu?"

Mula2 Tian Pek agak terkejut sewaktu mendengar disebutnya “si penunggang

keledai", dengan cepat iapun paham, bukankah kakek berambut putih ini adalah

Sin lu- tiat tan (keledai sakti peluru baja) Tan Jian-li yang sedang dicarinya?

Setelah mengetahui siapa kakek ini, Tian Pek tak dapat menahan emosinya lagi,

iapun tak mau tahu pertaruhan apa yang sedang dilakukan kedua kakek itu,

segera ia melayang ke atas panggung batu itu sambil berseru lantang: 'O,Tang-

lociaupwe sungguh susah Wanpwe mencari jejakmu ...

Tang Jian-li melengak, dengan ketajaman pendengarannya sebenarnya kakek itu

mengetahui ada seorang bersembunyi di belakang pohon, dan langkah kakinya

yang mantap ia tahu orang itu pasti masih muda dan jelas seorang laki2, maka

diajukannya syarat pertandingan itu dengan maksud akan

mengalahkan si kakek cacat.

Siapa tahu pendatang ini benar2 kenal padanya, kejadian ini sama sekali tak

terduga olehnya, sebab ia merasa sudah puluhan tahun lamanya mengasingkan

diri, sudah jarang ada orang persilatan yang kenal nama aslinya. Kini Tian Pek

menyebut namanya dengan jitu, itu berarti orang yang sudah kenal seperti apa

yang tuduhkan si kakek cacat tadi.

Dengan sorot mata yang tajam ia menatap Tian Pek tanpa berkedip, kemudian

in bertanya: "Heh anak muda, darimana kautahu aku she Tang?"

Belum lagi Tian Pek menjawab, kakek cacat itu sudah tertawa ter kekeh2 dan

berkata: "Hehehe, kau tak perlu main sandiwara lagi, kan sudah kukatakan

sedari tadi, kau si setan tua penunggang keledai ini banyak akal muslihatnya,

rupanya dugaanku memang tak keliru. Hahaha, kau sengaja menyuruh seorang

muda bersembunyi di sana untuk menipu aku. Huh, biarpun anak berusia tiga

tahunpun tak bisa kautipu."

Gusar Sin-lu-tiat-tan Tang Jian li mendengar tuduhan itu, dia angkat telapak

tangannya dan melayang ke depan sambil melepaskan suatu pukulan teriaknya

dengan gusar: "Tua bangka, tak usah cerewet lagi, rasakan pukulanku ini ...... !"

Serangan itu tidak membawa desiran angin, akan tetapi tenaga pukulan yang

terpancar ternyata sangat hebat. "Huh, biarpun seratus kali pukulan juga akan

kulayani," jengek si kakek buntung.

Sambil bicara kakek cacat itu terus bergerak, setelah tongkat penompang

digantolkan pada sikunya, tangannya berputar, segulung angin pukulan dingin

terpancar dari telapak tangannya.

Dua gulung angin pukulan salirg bentur dan menimbulkan suara keras, kedua

orang sama tergentak ke atas, dengan cepat mereka terlibat pula dalam

serentetan pukulan dahsyat. "Blang! Biang! Blang!" dalarn waktu singkat mereka

telah beradu tenaga pukulan beberapa kali.

Suara benturan itu tidak terlalu keras bunyinya, namun memantul cukup jauh

dan menimbulkan gema yang bergemuruh.

Diam2 Tian Pek terperanjat, gerak tubuh kedua orang yang sangat cepat dan

aneh ini menandakan kepandaian mereka sungguh luar biasa. Tian Wan-ji

terkejut dan gembira melihat kemunculan Tian Pek tadi, tapi ketika dilihatnya

anak muda itu tidak menggubrisnya tapi terkesima oleh

pertarungan kedua kakek, Nona itu jadi sedih, katanya dengan rawan: "Ai,

mereka telah saling hantam dan mungkin sukar diakhiri. Sungguh tak terduga,

usia mereka sudah setua itu, akan tetapi emosi mereka masih begitu besar,

entah bagaimana akhirnya nanti?"

Tian Pek tetap membungkam, ia sedang terkesima oleh kelincahan serta

kegesitan kakek cacat itu, meski kedua kakinya buntung, dan sebagai

penggantinya adalah kaki kayu yang besar di atas dan kecil di bawah, akan tetapi

semua itu sama sekali tidak mengurangi kegesstannya, kedua telapak

tangannya masih terus berputar kian kemari tanpa alangan, tubuhpun bisa

mengegos ke kiri kanan atau merendah atau meloncat dengan leluasa,

sedikitpun tidak berada di bawah kelihayan Siu-lu-tiat-tan yang bertubuh

sempurna.

Diam2 anak muda ini kagum sekali, iapun heran dan bertanya: "Kenapa kedua

kakek ini saling bergebrak?"

"Akupun tidak tahu kenapa mereka saling bargebrak!" jawab Wan-ji sambil

menggeleng, "aku datang kemari untuk mencari kau, bukan kau yang

kutemukan, tapi merekalah yang kulihat sedang bertarung, katanya mereka

telah bertempur selama tigahari tiga malam. Sewaktu aku tiba di sini tadi,

katanya baik pukulan bertangan kosong, senjata tajam, tenaga dalam dan

semua telah dipertandingkan tapi mereka belum berhasil menentukan siapa

yang lebih unggul, maka mereka lantas minta aku sebagai wasit dan

mengajukan berbagai acara pertandingan, sudah kugunakan macam2 cara

yang sulit, tapi mereka tetap sama tangguhnya, ketika engkau datang tadi,

mereka sedang mempertandingkan ilmu langkah Ni-gong-huan-ing (lintas

angkasa bayangan semu), sekalipun kakek aneh itu tak punya kaki, tapi ia telah

menggantikan kakinya dengan tangan dan tetap tidak kurang gesitnya, maka

keadaan pun masih tetap seri!"

Setelah mendengar penuturan tersebut sedikit banyak Tian Pek dapat

meraba garis besar kejadian itu, tapi dia tetap tidak tahu sebab apa kedua

kakek saling bergebrak.

Tiba2 hatinya tergerak, dia berpaling dan bertanya: "Wan-ji, kau bilang

sedang mencari aku? Ada urusun apa kau mencari ku?"

Sedih Wan-ji, hampir saja air mata menetes. "Dengan susah payah

kutolong dirimu hampir saja nyawaku ikut berkorban, masa kau sama sekali

tidak mengetahuinya?" demikian pikir anak dara itu.

Meskipun berpikir demikian, namun perasaan tersebut tidak sampai

diutarakannya, ucapnya: "Bukankah kau terluka oleh Hiat-ciang-hwe-liong

ketika berada di restoran Hin-liong-cin-Iau? Memangnya siapa yang

menyelamatkan jiwaniu?

"O, jadi nona yang telah menyelamatkan jiwaku?" seru Tian Pek. "Kalau

begitu tentunya engkau telah bertemu dengan Hoat-si-jin bukan? Tapi aneh, ke

mana kau pada waktu itu? Kenapa tidak kulihat dirimu di sana?"

Merah wajah Wan-ji membayangkan peristiwa pahit yang dialaminya itu,

hampir saja ia menangis ter-sedu2.

"Eh, sudah selesai belum kalian mengobrol?" tiba2 dr tengah pertarungan

seru itu terdengar teriakan "Kalau sudah cakup kongkou hendaknya cepat

menyingkir dari sini, awas, aku akan melepaskan serangan yang mematikan!"

"Hehe. besar amat mulutmu!" ejek si kakek cacat sambil tertawa. "Tua

bangka penunggang keIedai, Iebih baik kurangi teriakaimu, kalau memang mau

kentut hayolah lepaskan kentutmu itu, kalau mau pamer kepandaian cepatlah

pamerkan, jangan kuatir, semua permainanmu pasti akan kuterima dengan

tangan terbuka!"

“Ciaat! . " tiba2 Sin-lu-tiat-tan berteriak gusar, menyusul segulung angin

keras mendampar disertai suara gemuruh yang mernekak telinga.

Karena damparan angin pukulan yang dahsyat itu, baik Tian Pek maupun

Wan-ji tak sanggup berdiri tegak lagi, mereka sama2 melompat turun dari

panggung batu itu dan meloncat ke atas pohon liong di depan situ Sambil

bicara mereka menonton jalannya pertarungan yang semakin seru itu.

Kedua kakek itu mernang sama2 lihaynya, semua jurus serargan maupun

gerakan tubuh dilakukan dengan secepat kilat angin pukulan mereka pun

sama2 santar dan kuat, meskipun sama2 menggunakan tenaga lunak, akan

tetapi kekuatan yang terpancar dari serangan masing2 tetap sangat hebat.

Setelah merapelajari ilmu menurut isi kitab Soh- kut-siau hun pit-kip,

ditambah pula urat penting dalam rubuhn)a telah lancar semua, baik

pendengaran ataupun penglihatan Tian Pek boleh dibilang sudah mencapai

kesempurnaan, sekalipun berada di kegelagran ia sanggup melihat benda

dengan cukup jelas. Namun begitu tetap tak dapat dimanfaatkan untuk

mengikuti jalannya pertarungan itu, ia merasa kabur gerak tubuh kedua orang

tua itu sehingga semua gerak-gerik sukar diikuti.

Kalau Tian Pek saja tak mampu mengikuti pertarungan itu, apalagi Wan-ji?

"Blang! Blang ..!" beberapa kali benturan berkumandang rnemecah

kesunyian malam yang mencekam itu, dengan gerakan cepat kedua orang itu

saling memisahkan diri.

"Hehehe, setan tua penunggang keledai," teriak kakek cacat itu sambil

tertawa, "tadinya kukira pukulan Ki-heng-tui-hong-ciang (pukulan aneh pengajar

angin) sangat lihay, hah, tak tahunya hanya begini saja. Hayo kalau punya

simpanan lain yang lebih baru dan lebih segar, keluarkan saja semuanya, jadi

manusia jangan terlalu pelit."

Sin-lu-tiat-tan sudah tersohor pada puluhan tahun yang lalu, ilmu silatnya

sangat tinggi dan sudah mencapai puncaknya, semakin menanjak usianya

boleh dibilang makin berkurang ambisinya untuk cari nama, sebab itulah sudah

puluhan tahun dia rnengasingkan diri dan sudah dilupakan oleh dunia

persilatan.

Sekalipun begitu, kadangkala dia muncul juga di dunia Kangouw dengan

menyaru sebagai pedagang kecil atau penjual makanan. Selamanya dia hanya

suka mempermainkan orang lain dan belum pernah merasakan dipermainkan

orang lain.

Sekarang berjumpa dengan kakek buntung yang tak diketahui namanya ini,

sudah tiga-haritiga malam mereka bertempur, akan tetapi menang-kalah belum

juga dapat ditentukan. Apalagi kakek buntung ini suka ber olok2 dan mengejek,

setelah berlangsung tiga-hari tiga malam, habis juga kesabarannya, mendengar

ejekan tadi kontan saja dia rnernbentak murka: "Hei, makhluk tua kau jangan

latah, ini, rasakan dulu dua buah peluru bajaku ini!

Sambil berseru tangannya lantas terayun ke depan, sejalur cahaya tajam

meluncur ke, depan. Dengan membawa desing angin keras cahaya tersebut

langsung mengancam muka kakek cacat itu.

Tapi kakek cacat itu malahan menengadah dan tertawa ter-babak.

"Hahahaha, permainan anak kecil begini juga berani diparnerkan di

hadapanku ejeknya. Dengan suatu gerakan seenaknya, kakek itu angkat

tongkat kanannya rnenangkis ke atas. "Criing .... !" denting nyaring terdengar,

peluru baja yang meluncur tiba itu mencelat ke udara.

Sin-lu-tiat-tan membentak gusar, kembali peluru baja kedua menyambar

pula ke depan, tapi arah yang dituju sekali ini bukan si kakek cacat melainkan

menghantam peluru baja pertaina yang terpental oleh tangkisan tongkat si

kakek btintung tadi.

"Tring . !" kcdua peluru baja itu saling membentur di udara, terjadilah

percikan bunga api yang membura ke bawah bagai hujan sinar perak disertai

suara mendengung, dari kanan-kiri kedua peluru itu mengancam lambung si

kakek buntung.

Melengak juga kakek cacat itu oleh kelihayan senjata rahasia yang aneh itu,

dengan tertawa berseru: "Haha, permainan tukang jual obat ini belum lagi

mampu merepotkan aku!"

Sambil bicara tongkatnya menangkis pula. "Tring, tring..... !" kedua biji

peluru itu tahu2 mencelat lagi ke udara.

16

Tapi kedua biji peluru itu seperti benda hidup saja, setelah berputar satu

lingkaran, lalu saling berturnbuk lagi, "tring!" kedua peluru baja itu menyambar

pula ke dada kakek aneh itu.

"Haha, setan tua penunggang keledai, tak kusangka permainanmu lumayan

juga, hahaha, begini-baru menyegarkan badan!" Sambil berkata si kakek

buntung angkat tongkat menangkis pula, dentingan nyaring sekali lagi

menggema, kedua biji peluru baja itu terpental ke udara, tapi bagaikan

bersayap benda itu segera berputar balik dengan dentingan nyaring dan

menyambar pula mengancam jalan darah penting di sekujur badan musuh.

Cara melepaskan senjata rahasia yang aneh oleh kakek perrunggang

keledai ini boleh dibilang jarang ada di kolong langit ini, baik Tian Pek maupun

Wan-ji mengikuti jalannya pertarungan dari atas dahan pohon dengan mulut

melongo dan lupa berbicara lagi.

Akan tetapi kakek aneh itu sama sekali tak pandang sebelah mata terhadap

ancaman yang tiba, sambil mengoceh terus mengejek lawannya dia mengegos

ke sana dan menghindar sini dengan gesitnya, setiap kali tongkat berputar,

peluru baja yang mendekat segera mencelat jauh ke udara.

Melihat dua biji peluru baja gagal melukai lawan, Sin-lu-tiat-tan berkata:

"Makhluk tua, supaya kau puas bermain dengan peluruku ini kutambah satu biji

lagi."

Berbareng dengan ucapan tersebut, peluru ke tiga segera menyambar ke

depan.

Peluru ketiga ini bentuknya jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan kedua

peluru yang duluan, setelah dilepaskan bukan suara mendengung yang

terdengar, tapi suara mendenging seperti suara sempritan, gerak luncurannya

juga sangat cepat, malahan jauh lebih cepat daripada kedua peluru yang

pertama, terus menyambar ke muka si kakek buntung.

“Eeh jangan tambah lagi, aku bisa kewalahan nanti ..... !" teriak kakek aneh

sambil rnenjerit seperti orang kerepotan.

Meskipun di mulut di mulut ber kaok2, tapi tangannya tidak rnengarggur,

sebelum peluru sakti itu mengenai badannya, cepat dia putar tongkat untuk

menangkis.

Tapi sekali ini dia kecelik, ternyata tangkisan itu mengenai tempat kosong,

sebelum ujung tongkat nienyentuh peluru tersebut, secara otomatis senjata itu

mengegos ke samping.

Kiranya peluru kecil itu dibikin secara khusus, apabila menjumpai rintangan,

maka secara otomatis senjata rahasia itu akan berbelok arah, maka dengan

sendirinya tangkisan si kakek aneh itu meleset.

Sementara itu peluru kecil tadi sudah berputar satu lingkaran dan

mengancam pula telinga kiri si kakek.

Kakek aneh itu tidak menyangka akan sergapan luar biasa ini, hampir saja

ia kena diterjang, untung ilmu silatnya sudah mencapai puncak

17

kesempurnaannya, ke mana ia mau bergerak, secara otomatis tenaganya

tersalur dengan sendirinya.

Ketika desiran angin tiba2 muncul di tepi telinganya, serentak dia tarik

kepalanya ke belakang lalu rnenghindar ke samping, diiringi desingan tajam,

peluru itu menyambar lewat.

Baru lolos dari ancaman pertama, kedua peluru yang mencelat ke udara

tadi tiba2 menyambar kembali ke bawah.

Dengan cekatan kakek aneh itu putar tongkat untuk menangkis, siapa tahu

peluru ketiga yang meleset tadi sudah menikung balik dan menyambar

lambungnya, hal ini membuat si kakek rada kelabakan dan ber kaok2.

Ketiga peluru sakti milik Sin-lu-tiat-tan memang tersohor akan kelihayannya,

jarang sekali ia menggunakan ketiga pelurunya itu sekaligus, biasanya hanya

cukup menggunakan sebiji saja, kawanan jago persilatan baik dari golongan

putih maupun dari kalangan hitam pasti akan lari terbirit2.

Bilamana dua biji peluru digunakan jelas terlebih sukar melawan apalagi

sekarang tiga biji peluru digunakan sekaligus, ia yakin si kakek buntung pasti

tidak mampu, menahannya.

Tian Pek serta Wan ji sampai kabur mengikuti jalannya pertarungan itu dari

atas dahan, mereka tak mampu mengikuti lagi jalannya pertarungan dengan

jelas, hanya terlihat serentetan cahaya perak, ibarat tiga ekor ular lincah

berputar dan menyambar tiada hentinya mengitari badan kakek aneh itu,

denging nyaring bercampur aduk menciptakan gema suara yang membetot

sukma, ditambah pula suara benturan nyaring yang menerbitkan bunga api,

membentuk serangkaian pemandangan yang indah dan aneh pula.

Setelah ketiga biji peluru berhasil membuat musuh kalang kabut barulah Sin

lu-tiat tan berdiri sambil berpeluk tangan, katanya dengan tertawa: "Bagairnana

rasanya peluru saktiku, kawan? Hahaha! Ketiga biji peluruku sekaligus, rasanya

tentu lain bukan?"

Si kakek aneh meraung gusar, kedua tongkatnya kencang. terdengar dering

nyaring dan letupan bunga api, ketiga peluru itu tertangkis mancelat jauh, tiba2

ia sendiri menjatuhkan diri ke atas tanah,

Ketika ketiga peluru tadi berputar satu lingkaran di udara dan menyambar

balik ke sasarannya, jejak si kakek aneh itu sudah lenyap.

Dangan begitu, ketiga peluru itupun kehilangan sasarannya, benda itu

hanya berputar terus di udara.

Melenggong juga Sin lu tiat tan menghadapi kejadian yang tak terduga ini,

ia angkat tangan dan menarik kembali senjata rahasianya.

Selagi berdiri melongo, tiba2 dari belakang di dengarnya kakek aneh itu

mengejek: "Huh, tiga biji pelurumu juga tidak mampu menandingi ilmu

Sansinbu-

ing (tubuh berkelebat tanpa bayangan), hehe, apabila aku tidak jaga harga

din', sejak tadi kau tentu sudah terluka oleh seranganku dari belakang!"

18

Sin-lu-tiat-tan menarik muka, mendadak ia putar badan sambil melontarkan

pukulan pelahan. Segulung angin pukulan yang lunak terus mendampar ke

belakang.

"Hah, Lui-im-hud-ciang!" teriak kakek aneh itu dengan terperanjat

Mendadak ia jatuhkan diri ke tanah, dan tahu2 bayangan tubuhnya sudah

lenyap pula.

Karena sasaran yang dituju menghilang mendadak, maka angin pukulan

yang dahsyat itu langsung menggulung ke depan dan menumbuk sebatang

pohon siong.

"Blang!" suara gemuruh keras memecah kesunyian, pohon siong itu patah

menjadi dua dan tumbang.

Pasir debu dan patahan ranting pohon berhamburan, suasana terasa

mengerikan.

"Sungguh hebat tenaga pukulan itu!" puji Tian Pek sambil menjulurkan

lidah. "Seorang mampu melatih ilmu silatnya hingga tingkat setinggi ini,

sungguh sukar untuk dibayangkan."

"Memang ilmu pukulan yang lihay!" sahut Wan Ji mengangguk, "seringkali

kulihat jago silat kelas wahid yang berkumpul dirumahku saling beradu tenaga

pukulan, tapi belum pernah kulihat seorang yang memiliki tenaga pukulan

sedahsyat ini!"

Menyinggung keluarga gadis itu, tanpa terasa Tian Pek teringat kembali

akan dendamnya, dia lantas bertanya: “Apakah ayahmu bernama Ta sangjiu

Buyung Ham?"

"Engkau kan sudah tahu, kenapa bertanya lagi?" omel Wan-ji sambil

mengerling sayu.

"Aku cuma heran, kalau Buyung Ham benar ayahmu, mengapa kau tidak

she Buyung, tapi she Tian?"

"Eeh, kau benar2 seorang pelupa atau sengaja berlagak bodoh?" kata

gadis itu dengan kurang senang. "Kan sejak mula sudah kuterangkan padamu

bahwa aku ikut she ibuku!"

"Di dunia ini umumnya anak ikut she ayahnya, jarang yang ikut she ibunya.

Atau nona Wan, jangan2 kau bukan ana k kandung Ti-seng-jiu?"

Hebat sekali perubahan air muka Wan-ji katanya dengan gusar: "Kau tidak

percaya padaku dan mengira aku berdusta?"

Tian Pek menjadi sedih, pikirnya: "Wan-ji adalah gadis yang masih suci

murni dan baik hati, sudah dua kali dia selamatkan jiwaku. Bila suatu hari kucari

ayahnya untuk menuntut balas, oh, entah betapa sedih dan bencinya nona ini

padaku?"

Jelas Wan-ji jatuh cinta kepada Tian Pek, kaIau tidak tentu dia tak perlu

meninggalkan rumah secara diam2 dan menempuh bahaya untuk mencari anak

muda itu.

19

'Tapi apa mau dikata? Wan-ji tak lain adalah putri musuh besarnya,

mungkinkah hubungan cinta ini dapat berlangsung dengan lancar dan

langgeng?

Melihat Tian Pek termenung dengan alis berkernyit, Wan-ji mengira

kata2nya yang kasar tadi telah menyinggung perasaan anak muda itu. Maka ia

menjadi tak tega dan cepat berkata pula: "Engkoh Tian, engkau marah

kepadaku?"

Tian Pek menggeleng dan tarik napas panjang2. jawabnya: "Aku tidak

marah, aku cuma .... ahh!"

Mendadak pemuda itu menjerit kaget dan perhatiannya ke atas pauggung

baru, rupanya pertarungan yang berlangsung antara kedua jago tua itu telah

mencapai saat yang gawat.

Kaget juga Wan-ji mendengar seruan tersebut, cepat iapun menengok ke

sana, dilihatnya kedua kakek itu sedang saling melotot sambil mengitari

gelanggang. Gerak-gerik mereka persis dua ekor ayam jago yang siap

bertarung.

Pertarungan mereka tidak berlangsung dengan kecepatan tinggi lagi, kedua

orang sama bergerak mengitari gelanggang dengan langkah yang sangat

lambat, dengan mata melotot tajam saling pandang tanpa berkedip, beberapa

lingkaran kemudian baru kedua orang saling hantam satu kali dengan dahsyat.

Sekilas pandang pertarungan mereka memang berlangsung lamban dan

Iucu, tapi justeru pertarungan macam inilah yang paling banyak menggunakan

tenaga serta banyak menanggung resiko.

Baik Tian Pek maupun Wan-ji, keduanya cukup tahu apa yang sedang

terjadi, mereka tahu resiko pertarungan macam begitu. Bukan saja segenap

tenaga dalam yang mereka miliki harus diadu, malahan setiap pukulan pasti

pukulan mematikan, siapa meleng dia akan celaka.

Tian Pek menguatirkan keselamatan Sin-lu-tiat-tan, sebab hanya orang tua

inilah yang mengetahui tentang kematian ayahnya, hanya dia pula akan

menambah ilmu silatnya jadi lebih lihay. Bila Sin-lu-tiat-tan kalah, bukan saja

harapannya untuk belajar akan musnah, bahkan siapa pembunuh ayahnya juga

takkan diketahuinya, maka ia ikut tegang hingga keringat dingin membasahi

tubuhnya.

Ilmu silat kakek aneh itupun sangat lihay, malahan boleh dibilang hampir

seimbang dengan Sin-lu-tiat-tan, tapi Tian Pek tak pernah ingin belajar silat

padanya, apalagi tingkah laku kakek itu-pun rada kurang beres, gaya ilmu

silatnya tidak mirip Kungfu aliran baik bahkan kakek aneh itu pun tidak tahu

tentang kematian ayahnya.

Berdasarkan alasan inilah, maka Tian Pek lebih condong untuk menjagoi

Sin-lu tiat tan dari pada kakek aneh itu, kendatipun kedua orang kakek itu sama

sekali tak ada hubungan apa2 dengan dia.

20

Wan-ji sendiri sama sekali tidak memperhatikan jalannya pertarungan

kedua kakek itu, seluruh pikiran dan perhatiannya hanya tertuju kepada Tian

Pek seorang.

Betapa cemasnya gadis itu ketika dilihatnya Tian Pek duduk dengan dahi

berkerut, badan menggigil karena tegang dan keringat membasahi sekujur

badannya.

"Engko Tian, apa gunanya ikut tegang? Kedua kakek itu sama2 anehnya,

siapa menang dan siapa kalah kan tak ada hubungannya dengan kita......"

Tian Pek sama sekali tak meuggubris bisikan lembut si nona, mendadak ia

menyingkirkan Wan ji yang bersandar di bahunya itu, kemudian ia melompat

turun dari dahan pohon dan melayang ke atas panggung batu.

"Engkoh Tian, jangan!" seru Wan-ji dengan kuatir, cepat iapun melompat

turun menyusul ke atas.

Kiranya pertarungan waktu itu sudah berhenti, kedua kakek itu tidak

mengitari gelanggang lagi melainkan berdiri saling berhadapan dengan telapak

tangan saling menenipel, sementara tenaga dalam mereka rnengalir keluar

tiada hentinya dari tangan masing2.

Uap mengepul keluar dari atas kepala kcdua orang tua itu, sedangkan kaki

mereka sama ambles ke dalam batu karang itu.

Melihat gelagatnya, dapat diketahui bahwa pertempuran telah mencapai

puncaknya yang paling gawat.

Air muka Sin-lu-tiat-tan tampak prihatin, kuda2nya kuat, rambut sama

berdiri seperti duri landak, matanya melotot, sepatunya sudah pecah, kakinya

sudah ambles sedalam tiga dim di dalam batu karang, tampaknya ia sudah

kepayahan.

Kakek buntung itu lebih aneh lagi, kaki palsunya sudah menancap ke dalam

batu separoh bagian, telapak tangannya yang direntangkan sejajar dada

tampak gemetar. kabut putih yang mengcpul dari kepalanya juga lebih tebal

daripada kabut di kepala Sin lu tiat- tan, dari keadaan itu dapat diketahui bahwa

jago tua inipun tidak lebih unggul.

Tian Pek tahu pertarungan adu tenaga adalah pertarungan yang paling

berbahaya, apabila salah satu pihak kalah kuat, niscaya isi perutnya akan

hancur berantakan terhajar tenaga pukulan lawan dan akhirnya binasa.

Sebaliknya jika kekuatan mereka berimbang, maka risikonya kedua pihak akan

sama2 terluka atau lebih parah lagi bisa mengakibatkan kedua orang itu gugur

bersama.

Dengan gelisah Tian Pek menghampiri kedua orang tua itu. serunya

dengan lantang: "Locianpwe berdua, kalau ada perselisihan alangkah baiknya

dibicarakan secara baik2, buat apa kalian mesti berkelahi mati2an begini?"

Waktu itu pertempuran sudah berlangsung mencapai puncaknya, mereka

tidak menghiraukan ucapan Tian Pek, umpama mendengar juga tak sempat

menjawab.

21

Tian Pek semakin gelisah, dia luntas mendekati mereka, maksudnya mau

memisah.

Terperanjat Wan-ji, cepat ia menariknya dan berseru: "Jangan ke situ,

engkoh Tian! Pertarungan mereka telah mencapai puncaknya, Lwekang

mereka telah tersebar di empat penjuru, jika engkau berani mendekati mereka,

engkau sendiri yang akan terluka......... ."

"Tapi kita tak boleti berpeluk tangan menyaksikan kedua orang kakek itu

mati konyol!" sahut Tian Pek sambil melepaskan pegangan Wan-ji dan

melangkah maju pula.

Tapi sebelum rnendekat, segera Tian Pek merasa ditahan oleh suatu

tenaga yang tidak kelihatan. Untuk melangkah maju lagi sudah tidak mampu,

keruan Tian Pek terkejut.

Namun ia masih coba lagi. "Blang!" Tian Pek sendiri tergetar mundur, dada

terasa sesak dan telinga mendengung.

"Hebat sekali!" gumamnya sambil menjulur lidah.

Cepat Wan-ji memapah anak muda itu dan bertanya kuatir: "Engkoh Tian,

terluka tidak?"

"Ah, tidak apa2......... " sahut pemuda itu sambil menggeleng.

Mendadak terdengar bentakan kedua kakek, seperti ledakan hawa, sekonyong2

angin keras terpancar ke segenap penjuru.

Padahal Tian Pek dan Wan-ji berdiri jauh di tepi panggung, tapi tidak urung

mereka terdesak mundur dan akhirnya jatuh ke bawah.

Untungnya mereka berdiri rada jauh, lagi pula tenaga pukulan yang

dilancarkan kedua orang tua itu bukan ditujukan ke tubuh mereka, maka

kendatipun tergetar jatuh dari panggung batu mereka tidak terluka. Begitu

menyentuh tanah, sekali kaki menutul, kembali mereka meloncat ke atas

panggung batu.

Tapi setelah tahu keadaan di atas panggung, mereka jadi terkejut.

Sin lu-tiat- tan Tan Cian-li dengan wajah pucat seperti mayat duduk di

tempat semula, rambut, jenggot dan ujung bibirnya berlepotan darah, mata

terpejam rapat, jelas menderita luka dalam yang cukup parah.

Keadaan kakek buntung itupun sama parahnya seperti Sin lu-tiat tan, kaki

palsunya serta kedua tongkat penyanggah badannya patah semua, separoh

badannya berduduk dengan mata terpejam muka kuning pucat dan ujung

bibirnya berkelepotan darah, keadaannya juga cukup parah.

Tian Pek memburu ke depan, menghampiri Sin-lu-tiiat-tao, tanyanya

dengan kuatir: "Tang-locianpwe, parahkah Iukamur

Sin lu tiat-tan tetap membungkarn dengan mata terpejam, selang sesaat

kemudian dia merogoh sakunya dan mengambil keluar beberapa biji obat, obat

itu ditelannya sekaligus.

22

Kemudian baru ia membuka mata dan mengejek dengan tertawa rawan:

"Hei, makhluk tua, engkau masih hidup?"

"Hahaha, jangan kuatir!" sahut kakek aneh itu sambil membuka matanya,

"selama kau si penunggang keledai belum mampus, tak nanti aku mampus

duluan!" Segera iapun keluarkan sebungkus obat bubuk dan ditelannya.

Menyaksikan ketangguhan lawannya, Tang Cianli menghela napas, ia

berkata: "Ai, makhluk tua! Kuakui kau ini lawan tangguh yang belum pernah

kujumpai sepanjang hidupku."

"Hahaha, kauanggap aku paling tangguh, aku-pun anggap kau paling lihay,

selama hidupku belum pernah ketemu tandingan, tak tersangka pada saat

ajalku bisa kutemui orang setangguh kau. meskipun kita tak akan hidup lama

lagi, tapi pertarungan ini cukup memuaskan hatiku. Hahaha, orang belajar silat

mati karena ilmu silat, itulah namanya cocok, mati pada ternpatnya yang tepat "

"Eeh makhluk tua, sebenarnya siapakah engkau? Mengapa aku merasa

asing atas dirimu, aku rnerasa belum pernah menjumpai kau di dunia

persilatan? Siapakah namarnu? Dapatkah kau memberitahu agar kematian kita

ini tidak sia2."

Kakek aneh itu menengadah dan tertawa terbahak2, tentu saja suaranya

kalah nyaring jika dibandingkau sebelum bertempur tadi.

"Hahaha, percuma kau bernama Sin-lu (keledai sakti), masa kau tak pernah

mendengar nama Sin kau (monyet sakti)?"

"Ah, jadi kau ini Sin kau Tiat Leng yang sepuluh tahun yang lalu bercokol di

Le-kung-san?"

"Tepat, itulah diriku. Meskipun kita belum pernah bertemu, namun nama kita

Lam-kau-pak-lu (monyet dari selatan, keledai dari utara) sudah tersohor sejak

puluhan tahun berselang, itu berarti nama kita sudah bersahabat sejak lama.

Hahaha!"

Tian Pek maupun Wan-jt merasa heran bercampur kaget, mereka tak

menyangka kalau kakek aneh itu adalah "monyet sakti" yang sudah tersohor

namanya puluhan tahun yang lalu. Sekalipun sudah belasan tahun tak muncul

di muka umum, namun kelihayan dan kesaktiannya seringkali dibicarakan

orang, tidaklah heran apabila generasi muda masih kenal namanva.

Sementara itu Tang Cian-li telah tertawa pula dengan suara serak,

kemudian berkata: "Sejak puluhan tahun berselang aku sudah punya niat

menemui diriniu, sayang pada waktu itu terlalu banyak pekerjaan yang harus

kuselesatkan sehingga rencana itu terbengkalai, sungguh tak tersangka

puluhan tahun kemudian kita masih dapat bertemu. Hahaha, sekarang harapan

kita sudah terkabul, matipun merasa puas dan tak rnenyesal."

"Apanya yang puas?" teriak Sin kau dengan mata melotot, "bisa bertemu

dengan kau si keledai ini memang memuaskan, tapi tidak berarti tiada lagi hal

lain yang menyesalkan."

Sin-lu Tang Cian-li melanggong, katanya: "Usiaku sudah mendekati seratus

tahun, kupercaya umurmu juga hampir satu abad, hidup sampai setua ini bagi

23

kita orang persilatan bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, apa lagi bisa mati

di tangan sahabat tua yang sama2 kagum, memangnya kau menyesalkan

urusan apalagi?"

Sin- kau menggeleng sedih. "Ai, pikiranku tidak terbuka seperti dirimu, coba

bayangkan, kalau kita mampus di sini, bukan saja jenazah kita tak ada yang

mengurus, bahkan setelah mati, mayat kita mungkin akan dimakan atau dirusak

binatang buas, apakah kematian semacam ini kematian yang aman?"

"Ya, hidupku salama ini hanya cari ketenangan, tidak beristeri tak beranak,

juga tak pernah menerima murid, sudah kuputuskan beberapa karat tuIangku

ini akan kuberi makan anjing. Akan tetapi kudengar kau si monyet tua ini

pernah menerima dua orang murid, memangnya kedua muridmu itu tak dapat

membereskan jenazahmu setelah kau mati?"

Air maka Sin-kau tiba2 berubah jadi gemas bercampur benci katanya:

"Jangan kau sebut lagi kedua murid durhaka itu, setiap kali teringat mereka,

aku jadi benci dan ingin melalap mereka. Hmm, coba lihat ini .... "

Dia menuding kedua kakinya yang buntung, lalu meneruskan : "Lantaran

mereka, kakiku terkutung, selama pu!uhan tahun aku takbisa berkelana di dunia

Kangouw, inilah hadiah yang diberikan kedua murid murtad itu!"

“Tapi mengapa kedua murid durhaka itu kau lepaskan begitu saja?" kata

Sin-lu.

Sin-kau melotot sekejap lawannya, katanya: "Hm, omong lagi? Jika bukan

gara2mu yang mengalangi diriku, niscaya kedua murid murtad itu sudah

mampus di ujung tongkatku, mana mereka bisa kabur lagi?!"

"Haah, jadi kedua orang yang kau kejar sampai lari ter-birit2 tiga hari yang

lalu itu adalah murid2 yang mencelakai darimu?" seru Tang Cian-li dengan

terperanjat. "Lalu siapakah si cebol itu? Apakah dia juga muridmu?"

"Dua orang itulah murid murtad yang sedang kucari" sahut Sin-kau dengan

sedih "sedangkan si cebol itu adalah ahliwaris mereka berdua. Tentunya

sekarang kau maklum bukan, betapa gusarnya hatiku ketika engkau

mengalangi niatku membinasakan mereka, jadinya kita berdua yang saling

labrak, mungkin waktu itu kau anggap aku ini orang jahat."

Dia menghela napas panjang, lalu menyambung pula: "Waktu itu aku

memang terlalu ceroboh, tanpa penjelasan lantas kulabrak kau, kemudian

ketika kukenali kau sebagai kesempatan bertanding ini tidak kusia-siakan. Tapi

kedua murid durhaka itu lantas kabur, aku jadi gagal membunuh mereka,

setelah kuamati mereka pasti akan semakin malang melintang, entah keonaran

apalagi yang akan mereka lakukan di masa mendatang?"

Betapa menyesalnya Sin-lu-tiat-tan setelah mendengar penjelasan itu, dia

menghela napas dan berkata: "Ai, akupun tak mengira pertolonganku justeru

malahan menyelamatkan kedua keparat itu dan kematian, agaknya mau

berbuat kebaikan juga perlu berhati2, sekali bertindak gegabah akibatnya jadi

salah besar."

24

Waktu itulah Tian Pek lantas maju ke depan, ia memberi hormat dan

berkata: "Lociaupwe berdua telah menderita luka yang cukup parah,

kesalahpahaman

sudah jelas, apa gunanya banyak berbicara lagi, lebih baik aturlah

pernapasan dan sembuhkan dulu luka kalian,"

"Huh, memangnya kaukira kami berdua tua bangka ini masih dapat hidup?"

kata Tang Cian-li dengan mata melotot.

Tian Pek melengak mendengar jawaban tersebut.

Tapi Sin-kau lantas berkata dengan menyengir: "Tampaknya hatitnu tidak

jelek, anak muda, tapi tenaga murni kami telah terpakai meleblhi batas, isi perut

kami sudah terluka parah dan jiwa kami cuma bisa dipertahankan beberapa

hari saja, kalau sekarang tidak ber-cakap2 sepuasnya, memangnya kami mesti

menunggu masuk neraka dahulu?"

Kembali Tian Pek melengak, dengan terharu ia berkata. "Apakah luka

Locianpwe berdua tak mungkin bisa diobati lagi? Sekalipun aku Tian Pek masih

muda dan belum berpengalaman, tapi aku bersedia mencarikan obat buat

kalian, bila Locianpwe tahu di mana ada obat mujarab atau tabib sakti,

katakanlah kepadaku dan Wanpwe akan segera berangkat untuk

mengusahakannya."

"Benar!" sambung Wan-ji dari samping, "di rurnahku banyak terdapat bahan

obat2an yang amat mujarab, ada Jinsom seribu tahun, ada Lengci sakti dan

ber-macam2 obat lainnya, asal aku pulang ke rumah dan minta kepada ayahku,

niscaya obat mujarab bisa kudapatkan, selain itu, To-ki-sin ih (tabib sakti)

paman Liang juga bnrada di rumahku......... "

"Hai, anak perempuan, siapakah ayahmu?" sela Sin-kau tiba2.

Sebelum Wan-ji menjawab, Tang Cian-li telah menimbrung dari samping:

"Siapa lagi kalau bukan Ti-seng-jiu Buyung Ham?"

"Engkau maksudkan Losarn dari Kanglamjit-hiap?" Sin-kau menegas.

"Kalau bukan......... memangnya ada orang lain?" kata Sin-lu.

"O, jadi kau kenal ayahku?" seru Wan ji dengan heran.

"Hahaha, ayahmu adalah tokoh silat yang tersohor, salah seorang di antara

empat keluarga persilatan terbesar di dunia persilatan dewasa ini, jangankan

aku, hampir semua umat persilatan yang sering mengadakan perjalanan pasti

kenal namanya." ajar Sin- lu dengan tertawa.

"O, jadi Buyung Ham sudah menjadi salah satu di antara empat keluarga

persilatan yang terbesar? Puluhan tahun aku berkecimpung di dunia Kangouw,

tak nyana banyak generasi muda telah menjagoi dunia persilatan. Dan siapa

pula ketiga keluarga besar yang lain?"

"Hei, monyet tua, pengetahuanmu ternyata sangat dangkal, jaman ini bukan

saja generasi muda banyak yang menonjol, malahan putera merekapun

terhitung jago silat kenamaan di dunia persilatan. Orang persilatan menyebut

mereka sebagai Bu-Iimsu-toa-kongcu, yaitu Ao lok Kongcu, Leng-hong Kongcu,

Toan hong Kongcu serta Siang-lin Kongcu. Hahaha, sayang kau si monyet tua

25

sudah hampir pulang ke alam baka hingga tak sempat lagi bertemu dengan

jago2 muda itu....."

Monyet Sakti Tint Lang melotot, serunya tak sabar: "He, keledai busuk,

jangan omong.tak keruan, bagaimana ceritanya dengan keempat keluarga

besar? Belum jelas keterangannya sudah melantur pula kepada empat Kongcu

besar. Lekas kau ceritakan sejelasnya agar mampuspun aku bisa tenang di

alam baka."

"Dasar picik pengetahuanmu, tanya melulu," sahut Tang Clan li sambii

tertawa, "pada hakikatnya ernpat keluarga besar dan empat Kongcu adalah

satu cerita yang sama. Leng-hong Kougcu adalah kakak nona yang ada di

depanmu ini atau putera Ti-seng-jiu Buyung Ham, An-lok Kongcu adalah putera

Kian-kun-ciang In Tiong-liong, Toan-hong Kongcu adalah anak Kun-goan-ci

Sugong Cing sedangkan Siang-lin Kongcu adalah anak Cing-hu-sin......... Kim

Kiu......... Mengenai keernpat keluarga besar dunia persilatan, mereka adalah

bapaknya keempat Kongcu tadi, selain keempat Kongcu ini masih ada seorang

lagi yakni Pak-ong-pian (cam buk raja bengis) Hoan Hui yang bercokol di kota

Tin kang, sekalipun kekuatannya tidak sebesar keempat saudara angkatnya,

namun dia terhitung juga seorang jago yang berkekuasaan besar. Nah, monyet

tua, sekarang tentunya kau tahu dunia persilatan jaman ini milik siapa?"

Sin-kau Tiat Lang manggut2, katanya: "Berbicara soal kelima orang itu, aku

jadi teringat pada Kanglam-jit-hiap yang namanya tersohor di masa lalu, bila

kelima orang itu telah menjadi jagoam yang berkuasa kenapa tidak kau ungkap

juga Pek-lek-kiam (pedang geledek) Tian In-thian yang menjadi pemimpinnya

Kanglam-jit-hiap? Masakah Tian In-thian yang hebat malahan kalah

dibandingkan saudata2 nya sehingga terpaksa mesti mengasingkan diri?"

Mata Tian Pek seketika melotot demi mendengar kedua orang itu

menyinggung ayahnya, perubahan air mukanya sukar menutupi guncangan

perasaannya.

Dengan penuh arti Tang Ciang-li melirik sekejap ke arah pemuda itu,

kemudian menjawab: "Dan In thian sudah tewas dikerubut oleh berpuluh tokoh

persilatan...”

Sampai di sini Tian Pek tak tahan lagi, dengan air mata bercucuran ia

menubruk kedepan Sinlu-tiat-tan, sambil menangis ia memohon: "Locianpwe,

sudilah kiranya engkau memberitahukan nama pembunuh ayahku, agar Wan

pwe dapat membalaskan dendam kematian ayahku ........... “

Seketika Sin- kau melotot dan berteriak: "Jadi Tian In-thian benar telah mati?"

"Masa kubohongi kau? Bukankah sekarang ada keturunan Tian In-thian yang

bisa menjadi saksi," kata Sin-lu.

Dengan sorot mata murka, Sin-kau melototi Tian Pek sambil angkat telapak

tangan kanannya, tapi ketika ia menghimpun tenaga dalamnya, ternyata

kekuatan yang dimilikinya telah buyar, ketika itu baru teringat dirinya terluka

parah. Tanpa terasa ia menghela napas, dia turunkan kembali telapak

tangannya dengan lemas, lalu katanya: "Ah, tak kusangka Tian In-thian sudah

mati, itu berarti persoalannya denganku tak dapat diperhitungkan lagi ....”

Tian Pek tidak memperhatikan perubahan sikap Sin kau itu, dia tetap berlutut di

hadapan Tang Cian-li dan memohon agar diberitahu mama pembunuh

ayahnya ...........

Baru sekarang Wan-ji tahu bahwa Tian Pek adalah keturunan Pek lek-kiam Tian

Ih-thian, ia terkejut dan bergirang. Ia terkejut karena engkoh Thian yang rudin

dan telantar ini adalah keturunan dari seorang pendekar besar.

Iapun bergirang karena ayahnya dan ayah Tian Pek sama2 anggota Kanglam jit-

hiap, itu berarti ada hubungan kekeluargaan yang erat antara mereka.

Sebab itulah cepat dihiburnya pemuda itu dengan kata2 manis dan berusaha

membangunkannya.

Sin-lu-tiat-tan melengak ketika melihat sikap benci Sin-kau, cepat ia bangunkan

Tian Pek. lalu ia berkata kapada Sin-kau: 'Eh. monyet tua, kau pernah

bersengketa dengan Tian In-thian?"

------------------------

Bagaimana akhir daripada kedua kakek sakti yang sudah sarna2 payah itu ?

Siapakah sebenarnya Sin-kau Tiat Leng, si Monyet Sakti yang buntung ini dan

apa hubungannya dengan misteri kematian ayah Tian Pek ?

-----------------------------

Jilid 12 : Toan-hong Kongcu yang suka gentayangan

Scan djvu : axd002

Edited : Lovecan

Sin-kau Tiat Leng menghela napas panjang, bibirnya bergetar seperti hendak

mengatakan sesuatu, tapi tak tahu darimana ia mesti mulai berbicara, untuk

sesaat jago tua itu jadi gelagapan sendiri.

Tang Cian-li segera berkata lagi: "He, monyet tua, bagaimanapun Tian In-thian

sudah mati, sedangkan kita juga tak akan hidup lama lagi di dunia ini, masa ada

sesuatu yang hendak kaurahasiakan?"

Setelah didesak berulang kali, akhirnya Sin-kau menghela napas dan berkata:

"Ai, kalau diceritakan, mungkin kaupun tidak percaya, selama hidupku kuanggap

ilmu silatku paling top dan tiada tandingannya di dunia ini, tak tersangka aku

menderita kekalahan satu jurus di tangan Tian In-thian!"

"Aku psrcaya penuh pada perkataanmu, sebab bila Tian In thian masih hidup,

tentu akupun bukan tandingannya," kata Sin-lui.

"Setan tua penunggang keledai. jadi kau anggap ilmu silatmu jauh lebih lihay

dibandingkan ilmu silatku?" kontan Sin-kau mencaci maki.

Tang Cian-li tidak menyangka rekannya sedemikian besar ambisinya ingin

menang, ia tersenyum getir dan berkata: "Bila ilmu silatku lebih tinggi

daripadamu, tak nanti hasil pertarungan ini berakhir dengan sama2 terluka.

Sudah hampir mampus saja, kenapa mesti ribut urusan yang tak ada gunanya.

Hayo, lanjutkan saja ceritamu!"

Setelah rasa marahnya agak mereda, Sin-kau melanjutkan kisahnya.

"Beberapa puluh tahun yang lalu, Tian In-thian berkunjung ke tempat

pertapaanku di Le-kun-san, dia bilang hendak meminjam sebentar mutiara sakti

penolak air milikku, meskipun permintaan itu di ajukan secara halus dan sopan,

akan tetapi mutiara penolak air itu adalah benda mestikaku, memangnva benda

tersebut boleh dipinjam orang seenaknya? Selain itu, ia tidak mengemukakan

alasannya, hanya menjamin mutiara tersebut pasti akan dikembalikan, bahkan

ia menjamin dengan nama baik Kanglam jit-hiap!

"Ketika kuketahui bahwa Tian In-thian tak lebih cuma seorang pendekar muda

yang baru menonjol di dunia pcrsilatan, aku lebih2 tak sudi meminjamkan benda

mestika itu kepadanya. Pikirku, jika mutiara penolak air kupinjamkan, maka di

dunia persilatan pasti akan tersiar berita se-olah2 aku keder pada nama

kebesarm Kanglam~jit hiap. Karena itulah kuajukan syarat dengan adu

kepandaian, bila dia berhasil mengalahkan aku, maka mutiara penolak air itu

akan didapatnya, sebaliknya bila dia kalah, maka jangan harap bisa

meninggalkan Le-kun-san dengan hidup. "

"Akhirnya kau si monyet tua ini dibikin keok oleh Tian In-thian, bukan?" sela

Tang Cian-li tiba2.

"Setan tua, dengarkan dulu!" kata Sin-kau dengan mendongkol, "setelah

syaratku disetujui, maka selama tiga-hari-tiga-malam kami bertarung sengit di

depan gua Kiu-ci-tong Le-kun-san, keadaannya persis seperti apa yang kits alami

sekarang, cuma ia tidak terluka waktu itu. Ketika pertarungan sudah

berlangsung sampai puncaknya, pedang hijaunya berhasil meninggalkan goresan

di depan dadaku. tapi hanya merobek satu jalur panjang pada pakaianku dan

tidak sampai melukai kulit dagingku, kutahu dia sengaja memberi kelonggaran

padaku, akan tetapi hal ini bagiku jauh lebih tersiksa daripada ia membinasakan

aku. segera aku berteriak: 'Tian In-thian, mengapa tidak sekalian kau bunuh aku.

Cepat binasakan aku!'"

"Akhirnya, Tian In-thian tidak membunuh kau?" kembali Tang Ciang-li mcnyela.

"Omong kosong!" jerit Sin kau dengun penasaran, "bila dia membunuh diriku

waktu itu, hari ini tentu aku tak akan bertarungan denganmu hingga

sama2 terluka begini, justeru karena ia tidak membunuhku, maka aku terlebih

menderita, seperti yang dijanjikan, mutiara penolak air itu kuserahkan

kepadanya, kutantang pula untuk bertempur lagi tiga tahun mendatang di

tempat yang sama.”

Kembali "monyet sakti" ini berhenti sebentar, kemudian melanjutnya: "Setelah

dia pergi, aku lantas menutup diri untuk meyakinkan beberapa macam ilmu

sakti. Ai, siapa tahu ketika latihanku mencapai tingkat yang paling kritis, dua

orang muridku telah membawa lari kitab pusaka 'Sin-kang-pit-kip', hal mana

membuat aku mengalami kelumpuhan total, setelah kakiku kukutungi, kedua

mund murtad itu kabur membawa kitab pusaka, malahan sebelum pergi mereka

menyumbat guaku dengan harapan agar aku mati kelaparan di dalam gua "

Sebelum Sin-kau menyelesaikan kisahnya, kembali Tang Cian li menyela: "Sejak

kepergian Pek lek-kiam Tian In-thian, iapun tak pernah muncul kembali untuk

mengembalikan mutiaramu, begitu bukan?"

"Tentu saja Tian In-thian tak pernah muncul kembali!" sahut Sin-kau sambil

menggigit bibir dan menahan emosi, "sejak gagal berlatih ilmu dan kedua kakiku

kukutungi sendiri, dengan susah payah aku mempertahankan hidupku dalam

gua itu, untung ilmu silatku tidak punah, setelah lukaku sembuh, gua itu

kudobrak dan muncul kembali ke dunia persilatan. Tujuanku yang terutama

adalah mencari kedua mund murtad itu dan membinasakan mereka. Kedua akan

kucari Tian In-thian untuk membalas dendam atas kekalahan yang kuderita

tempo dulu. Ai, siapa tahu gara2 kepergok kau si tua bangka, bnkan saja kugagal

membinasakan kedua murid durhaka itu, maksudku membalas dendam juga

buyar”

"Sungguh aku menyesal karena telah mengalangi niatmu membinasakan kedua

muridmu itu, tapi kejadion sudah telanjur begini, menyesalpun tak ada gunanya.

Mengenai Tian In-thian tidak mengembalikan mutiaramu sesuai janjinya, hal ini

bukan lantaran dia ingkar janji, tapi maksud tujuannya pinjam mutiara tersebut

adalah untuk mencari satu partai harta karun di dasar telaga Tong-ting-ou, di

sana Tian In-thian telah mati dikerubut belasan orang, kalau orangnya sudah

mati, dengan sendirinya mutiara itu tak dapat dikembalikan kepadamu? Kukira

setelah Tian In-thian mati, urusanmu dengan dia tentu juga impas, adapun

urusan kita berdua, jika kau monyet tua ini tetap tak puas, mari kita lanjutkan

kembali pertarungan ini!"

Sin-kau melengak: "Tenaga murni kita sudah buyar, isi perut kita terluka parah,

keadaan kita sekarang tiada ubahnya seperti orang biasa, apanya yang bisa

ditandingkan lagi?"

"Locianpwe berdua tak usah kuatir" sela Wan-ji, "asal kupulang ke rumah dan

mengambil obat mujarab milik ayahku, niscaya jiwa kalian dapat di-

selamatkan!"

Wan-ji adalah gadis yang polos, kendatipun ia tak tahu kehadiran kedua kakek

ini akan menguntungkan atau merugikan dirinya dan Tian Pek tapi ia merasa tak

tega membiarkan kedua orang itu tersiksa. Habis berkata, ia lantas menarik

tang-an Tian Pek untuk diajak pulang mengambil obat-

Sin-kau adalah seorang tokoh yang berwatak aneh, baginya bila utang budi

harus dibalas, ada dendam mesti di tuntut, maka ketika dilihatnya

Wan-ji yang cantik berulang kali mengusulkan akan mengambil obat, ia jadi

sangat terharu.

"Anak perempuan yang baik hati, kemuliaan-mu sungguh mengagumkan

hatiku!" katanya kemudian. "Dahulu kuanggap di dunia ini tiada orang yang baik,

tak tersangka hari ini kujumpai seorang yang benar2 berjiwa mulia seperti

dirimu, tampaknya pandanganku harus berubah. ..."

Tang Cian-l tertawa, dia ikut beikata: "Nona, tak perlu repot kau, sekalipun

ayahmu memiliki obat mujarab juga tak mampu menandingi kemanjuran Si-mia-

san (puyer penyambung nyawa) yang diminum si monyet tua tadi serta Toa-

hoan-wan milikku, jika obat maha manjur yang telah kami minum ini tak dapat

menyelamatkan jiwa kami, apa lagi obat lainnya?"

Wan-ji kurang percaya, ia berpaling ke arah Sin-kau. dilihatnya "monyet sakti"

itupun mengangguk membenarkan, ia menjadi sedih katanya: "Kalau begitu, jadi

jiwa kalian tak dapat ditolong lagi?”

"Nona tak perlu berduka," hibur Tang Cian-li, "mati-hidup manusia telah

ditentukan oleh takdir, apalagi kami sudah hidup selama hampir seabad, hidup

kami sudah lebih dari cukup, kami sendiri tidak sedih, kenapa kau malahan

murung sendiri?"

Sin-kau seperti mau mengatakan suatu, tapi Tang Cian-li telah melanjutkan

ucapannya: "He, aku ada usul yang bagus, dengan caraku ini bukan saja ada

orang yang akan mengurusi mayat kita, bahkan kitapun bisa melanjutkan

kembali pertarungan kita yang belum selesai ini."

"Setan tua penunggang keledai, sekalipun tidak kaukatakan juga kutahu apa

rencanamu itu!" seru Sin-kau dengan memutar biji matanya, "bukankah kau

hendak mengusulkan agar kita masing2 menerima seorang murid untuk

mewarisi ilmu silat kita, kemudian suruh mereka pula yang mengurusi jenezah

kita serta melanjutkan pertarungan kita yang belum selesai ini? Huh, suruh

mereka mengurus jenazah kita memang bisa saja, tapi kalau suruh mereka saling

beradu silat, jelas sukar terlaksana."

"Hahaha, monyet tua, kau memang cerdik, orang bilang monyet adalah binatang

yang pintar, setelah kubuktikan sekarang baru kuakui bahwa uoapan itu

memang benar. Cuma sayang pintarnya monyet tua macam kau agak keblinger,

usulku cuma sebagian saja yang bisa kautebak, sedang sebagian yang lain tetap

ketinggalan!"

"Hm, coba terangkan," jengek Sin-kau.

"Ditinjau dari sikap mereka yang begitu mesra, tentu saja tak mungkin kita

menyuruh mereka saling bertarung mati2an, tapi kita kan dapat mendidik

mereka dengan berbagai ilmu kemudian suruh mereka mendemontrasikan ilmu

itu di hadapan kita? Siapa lebih cekatan dan lebih banyak menguasai ilmunya,

dia dianggap menang. Coba, bagus tidak usulku ini?"

"Kalau begitu, jadi kaupilih yang laki2?" tanya Sin-kau.

"Tentu saja, Tian In-thian adalah musuh besarmu, tentu saja kau tak akan sudi

memberi pelajaran ilmu silat kepada puteranya!"

Lama sekali Sin kau mengamati wajah Tian Pek dan Wan-ji tanpa berkedip,

setelah itu baru berseru: "Setan tua, kau curang, tentu saja kau bakal menang,

jelas tenaga dalam yang dimiliki anak laki2 ini jauh lebih kuat daripada yang

perempuan!"

"Tapi dalam ilmu meringankan tubuh yang perempuan kan lebih hebat daripada

yang laki2? Kedua pihak memiliki keistimewaannya masing2, itu berarti

kedudukan kita seri, siapapun tidak menarik keuetungan dari yang lain."

Sin kau kembali termenung sebentar, akhirnya dia manggut: "Baik, aku setuju

dengan usulmu itu, tapi, berapa lama lagi kita bisa hidup? Nah, setan tua

penunggang keledai, kita harus tetapkan batas waktunya!'

"Kurasa takkan lebih seratus hari lagi!"

Diam2 Sin kau menghitung, kemudian ia berseru tegas: "Bagus, akupun kira2

cuma tahan seratus hari lagi, kalau begitu kita tetapkan batas waktu selama tiga

bulan, akan kusaksikan ilmu silat dari utara atau dari selatan yang lebih

unggul?!"

"Kalau setuju, hayo kita bertepuk tangan tiga kali!" Tang Cian-li meronta

bangun, dengan sempoyongan ia menghampiri Sin-kau dan "Plok! Plok!" kedua

kakek itu saling bertepuk tangan sebanyak tiga kali. Tepukan mereka sudah tak

bertenaga, nyata mereka sudah tiada ubahnya seperti orang biasa.

Mendengar hubungan mereka dikatakan mesra, air muka Tian Pek dan Wan-ji

menjadi merah jengah. tetapi ketika dilihatnya kedua kakek itu sama2 tak mau

mengalah kendatipun dekat ajalnya, seketika merekapun melengak.

Setelah tiga kali tepukan dilakuka dan kedua kakek itu berpaling memanggil,

Tian Pek dan Wan-ji baru saling pandang, kemudian menhampiri kedua kakek

itu.

"Anak muda, hayo ikut padaku!" seru Tang Cian-li kepada Tian Pek.

Habis berkata, dengan sempoyongan ia menuju ke tepi panggung batu itu,

lantaran tenaga dalamnya sudah buyar dan isi perutnya terluka, ia tak mampu

lagi melompat turun panggung yang tinggi itu.

Ia kelabakan sendiri mengitari panggung batu itu, dia menghela napas, lalu

meminta: "Anak muda, harap kaugendong aku turun dari panggung batu ini."

Baru sekarang Tian Pek yakin jago tua itu tidak ber-pura2, Sin-lui tiat tan yang

tersohor betul2 telah menjadi manusia biasa yang cacat dan seluruh ilmu

silatnya punah, pemuda ini membatin dengan cara bagaimana ilmu sakti kakek

ini akan diajarkan kepadanya?

Walaupun ragu namun Tian Pek tidak membantah perintah kakek itu, dia segera

menggendong Tang Cian-li dan membawanya loncat turun dari panggung batu,

menurut petunjuk kakek itu, akhirnya mereka menyusup masuk ke dalam

sebuah gua rahasia di balik lereng sana.

Bagaimanapun juga Tian Pek ingin tahu nama2 pembunuh ayahnya, selain itu

iapun ingin memperdalam ilmu silatnya, maka meski ragu ia turuti segala

kehendak si kakek.

Menanti bayangan kedua orang itu sudah lenyap dari pandangan, Sin- kau yang

cacat baru menegur: "Anak perempuan, bagaimaaa caranya kita tinggalkan

tempat ini?"

Kaki palsu serta tongkat penyangganya telab patah, tentu saja "monyet sakti" itu

malu untuk minta digendong seorang gadis, maka dia ajukan partanyaan

tersebut.

Tak terduga air muka Wan-ji hanya berubah merab sedikit, tapi dengan tegas dia

segera menjawab: "Tampaknya kau tak sanggup berjalan sendiri, biarlah

kugendong kau pergi dari sini! Tapi kemana kita akan pergi?"

Cara bicara Wan-ji tidak seramah Tian Pek, tapi justeru sikap semacam inilah

yang cocok dengan watak Sin kau.

'Di sekitar sini banyak sekali gua rahasia, bolehlah kita mencari sebuah gua,"

katanya dengan tertawa, "tapi jangan mencari gua yang terlalu jauh letaknya.

sebab tiga bulan kemudian dengan mata kepala sendiri ingin kusaksikan kau

mengalahkan ahliwaris si tua bangka penunggang keledai itu...."

"Ah. ogah!" seru Wan-ji cepat, "Gua di sekitar sini gelap lagi kotor, mana

kubetah tinggal di gua begini selama tiga bulan?"

"Masa kau tidak ingin belajar ilmu sakti?" tanya Sin-kau dengan melengak.

"Kan boleh juga dilakukan di atas panggung batu ini!" kafa Wan-ji.

"Wah, tidak bisa, belajar silat harus dirahasiakan, kesatu harus menghindarkan

diintip orang, kedua bisa juga akan terganggu oleh sesuatu. Bila kuwariskan

beberapa macam ilmu silat yang maha sakti yang aku sendiri tidak berhasil

melatihnya, tanggung ahliwaris keledai tua itu pasti bukan tandinganmu."

Habis berkata dia bersenyum misterius pada si nona.

Sudah tentu Wan ji tak percaya, katanya: "Kalau kau sendiri tak bisa, cara

bagaimana akan kau ajarkau padaku? Apalagi ilmu silatmu sudah punah, kau

pun terluka sekarang"

"Sebetulnya kau ingin belajar atau tidak.. .?" teriak Sin-kau dengan melotot.

"Tidak" jawab Wan-ji terns putar badan dan melangkah pergi.

"Heh he..jangan pergi dulu!" seru Sin-kau, ia memohon dengan sangat. "Kau

menyaksikan sendiri aku telah mengikat janji dengan keledai tua itu, kami sudah

bertepuk tangan tiga kali masa kau hendak pergi begitu saja? "

Tidak tega Wan-ji menolak permohonan orang yang ber sungguh2 itu, ia kembali

ke sisi Sin-kau seraya berkata: "Kalau ingin kuturut kemauanmu, maka kau harus

menurut kehendakku, kita berlatih di panggung batu ini . “

Sin-kau tampak serba susah, ia termenung sebentar, lalu menjawab: "Anak

manis, kautahu rahasia ilmu silat sakti tak boleh didengar pihak ke tiga, lagi

pantang diganggu kejadian yang tak terduga, hilangnya kedua kakiku ini

merupakan contoh yang nyata, jangan kau kuatir aku akan berbuat jahat

padamu, tujuanku hanya mcwariskan ilmu silatku kepadamu agar dapet

mengalahkan ahliwaris si keledai tua itu . . "

Sesudah berhenti sebentar, ia membujuk lebih jauh: "Nah turutluh perkataanku,

bawalah aku ke sebuah gua rahasia, di sana akan kuwariskan ilmu silat yang

maha sakti kepadamu, selain waktu berlatih, kau boleh bebas pergi ke manapun,

setuju?"

"Ai, sebenarnya aku tak berminat belajar silat, akan tetapi akupun tak tega

menolak permintaanmu, tampaknya aku terpaksa mesti menuruti

kehendak hatimu ini!" jawab Wan-ji.

Ia lantas berjongkok di depan Sin-kau dan siap menggendongnya, girang sekali

"monyet sakti" itu, cepat ia merangkul leher gadis itu dan mendekam di atas

punggungnya.

Begitulah, dengan dipanggul oleh Wan-ji berangkatlah mereka menuruni

panggung batu untuk mencari tempat yang cocok buat belajar silst.

Akan tetapi meskipun sudah mencari beberapa buah gua, ternyata tempat2 itu

tidak cocok dengan kehendak hati Sin-kau.

Akhirnya sampailah mereka di sebuah gua di sisi sepotong batu padas raksasa,

dengan agak mendongkol Wan-ji mengomel: 'Kali ini tak boleh di-tolak lagi, jelek

atau bagus kita akan nenetap di gua ini, kalau kau tak senang, lebih baik mencari

orang lain saja, aku ogah nienggendong kau terus menerus . . " sampai akhir

ucapannya itu, Wan-ji tak dapat menahan rasa gelinya lagi, ia tertawa sendiri

dan Sin-kau diturunkan di mulut gua.

Dengan sorot matanya yang tajam seperti mata monyet, Sin-kau

memperhatikan sekejap sekeliling gua tersebut, lalu dengan dahi berkerut

gerutunya: "Wah, gua ini lebih jelek daripada kedua gua yang kita periksa tadi,

coba, angin keras ini, bisa jadi gua ini bukan gua yang buntu . .”

"Ah, peduli amat, pokoknya aku tak mau cari gua lain lagi, jika kau takut angin,

akan kubawa kau ke dalam sana dan pasti tak ada anginnya!" lalu Wan-ji

berjongkok lagi siap menggendong orang tua itu.

"Ai. tak tersangka aku si manyet sakti Tiat Leng yang pernah malang melintang

tiada tandingan di dunia ini, sebelum ajalku masih harus di-buat jengkel oleh

anak perempuan macam ini!" demikiau Sin-kau menggerutu.

Serentak Wan-ji berbangkit lagi dan berseru dengan marah, "Kalau kau tak

senang dengan aku, biarlab aku pergi dari sini dan batal semuanya! Hm, jangan

kaukira aku ingin belajar ilmu silatmu supaya kau tidak mendongkol melulu,

lebih baik kita berpisah menempuh jalannya masing2." — Habis berkata ia

berlagak hendak melangkah pergi.

Cepat Sin-kau berseru: "Eeh, anak perempuan, mau ke mana kau? Jangan marah

dulu, hayo kemari, aku turut semua kemauanmu!"

"Kalau mau nurut, maka selanjutnya tidak boleh lagi memanggil anak

perempuan segala, namaku Tian Wan ji, bila perlu panggil saja namaku,”

demikian kata si nona.

"Baik! Aku turut perintah!" Sin-kau manggut2. "Anggaplah selama hidupku baru

pertama kali ini jeri kepada orang lain . "

"Keliru, bukan untuk pertama kalinya, paling sedikit di dunia ini sudah ada dua

orang yang kau takuti, kecuali diriku, ada pula Tian In-thian, si pedang geledek

dari Kanglam-jit-hiap yang pernah mengalahkan dirimu."

Kontan Sin-kau mendelik dengan mendongkol:

"Tidak! selama hidup tak pernah kutakut pada orang kedua, dengan

kepandaianku sekarang, aku mampu mengalahkan Tian In thian, apalagi kalau

aku diberi waktu untuk meyakinkan pula beberapa macam ilmu saktiku, huh,

jangankan melawan, mungkin satu jurus saja Tian In-thian tak tahan"

"Ckk . . .cckk, jangan ngibul!" ejek Wan-ji "Masa engkau benar2 sehebat itu?

Padahal sekarang seorang kakek saja tak mampu kaukalahkan."

Ucapan ini kontan membungkamkan Sin-kau, tapi sekilas terbayang rasa

bencinya terhadap Sin-lu tiat-tan bertambah mendalam.

Rupanya Wan-ji sendiripun merasa ucapannya kelewat batas dan mungkin

menyinggung perasaan orang. ia jadi tak tega.

Sambil berjongkok dihadapannya dia coba menghibur: "Sudahlah, urusan yang

sudah lewat biarkan lewat, mari kita hadapi saja masalah yang akan datang,

sekarang mari kugendong kau mencari tempat yang tak ada anginnya!"

Sin-kau Tiat Leng tidak bicara lagi, ia menggelendot di punggung Wan-ji dan

membiarkan gadis itu menggendongnya ke dalam gua.

Gua itu aneh sekali bentuknya, meskipun mulutnya tidak begitu besar, namun

lorong dibalik gua itu panjangnya bukan kepalang, sudah puluhan tombak Wan-

ji menembusi gua itu, bukan saja belum mencapai ujungnya, bahkan semakin ke

dalam semakin banyak jalan bercabang yang ditemui. Dari tiap mulut gua yang

ditemuinya terasalah embusan angin yang menderu kencang.

Diam2 mereka merasa gelagat tidak enak, tapi keduanya tetap membungkam.

Tampaknya Sin-kau sudah cukup kenal tabiat Wan-ji, meskipun cantik wajahnya

dan baik hatinya, namun berwatak lebih keras dari pada batu karang.

Iapun sadar apabila banyak cincong, bisa jadi si nona akan marah dan mungkin

dia akan di tinggalkan dengan begitu saja di gua ini.

Padahal kakinya buntung, tongkat penyanggah badannya sudah patah,

sejengkalpun ia tak mampu melangkah, bila ditinggalkan dengan begitu saja kan

bisa berabe?

Oleb sebab itulah, meskipun ia merasa gelagat kurang baik, terpaksa ia

membungkam dan membiarkan Wan-ji menggendongnya ke depan.

Wan ji sendiripun dapat merasakan pula bahwa gua itu tidak cocok digunakan

untuk berlatih silat, tapi berhubung telanjur mengatakan akan tetap berada di

gua ini, tentu saja ia malu untuk menjilat kembali kata2nya.

Ginkang Wan-ji cukup hebat, apalagi tubuhnya ramping dan kecil serta

mendapatkan didikan Nia-gong-hoan-ing ( mengrjar udara bayangan setan) dari

Buyung Ham, dengan sendirinya gesit dan lincahnya gerak-gerik Wan-ji.

Maka ia terus menerobos masuk ke dalam gua, kendatipun suasana remang2

dan permukaan tanah tinggi-rendah tak menentu, namun ia mampu bergerak

maju dengan kecepatan tinggi.

Setanakan nasi kemudian, mereka sudah beberapa li memasuki gua, sekalipun

suasana gelap gulita dan jalannya ber-liku2 tidak rata, namun gadis itu tahu

bahwa perjalanan yang di tempuh sudah amat jauh, sementara ujung gua belum

nampak juga.

Timbul pikiran kedua orang untuk mengundurkan diri dari tempat itu, sekalipun

niat tersebut tidak sampai diutarakan, akan tetapi langkah Wan-ji sudah mulai

lambat daripada tadi.

Suatu ketika, tiba2 gadis itu menjerit kaget. "Wan-ji, ada apa?" cepat Sin-kau

menegur, sejak tenaga dalamnya punah, ketajaman mata dan telinga jadi

mundur juga.

"Coba lihat, di sini ada mayat manusia."

Ketika mereka menghampiri barulah Sin-kau dapat melihat sesosok mayat yang

bermandikan darah berdiri bersandar dinding gua.

Mula2 mereka mengira mayat tersebut berdiri bersandar dinding, akan tetapi

setelah diamati dengan saksama. tampaklah pada ulu hati mayat tersebut

tertancap sebatang senjata rahasia yang berbentuk seperti piau tapi tidak mirip

Piau, seperti cundrik tapi juga bukan cundrik, yang pasti sekitar senjata itu

mengkilap ke-biru2an.

Bagi jago silat yang berpengalaman, sekilas pandang saja segera akan tahu

bahwa senjata tersebut pasti beracun, panjang senjata itu kira2 belasan senti

dan menancap dari hagian dada hingga tembus ke punggung, jadi mayat itu

bukan mati bersandar di dinding, justeru mayatnya tak sampai roboh lantaran

badannya terpantek di dinding.

Wan-ji tertegun, akhirnya ia berkata: "Rupanya orang ini mati karena terserang

oleh senjata rahasia beracun, karena terpantek di dinding maka tu buhnya tak

roboh. Darah yang menodai badannya tampak masih baru, mungkin mati belum

lama. Apakah engkau kenal senjata rahasia yang digunakan si pembunuh ini?"

Sin kau mengamati sekejap benda itu, kemudian menggeleng: "Sudah puluhan

tahun aku berkelana di dunia persilntan, tapi belum pernah ku jumpai senjata

rahasia macam ini, yang jelas tenaga serangan orang ini kuat sekali dan lagi

senjata rahasia ini beracun keji!"

"Locianpwe kenal tidak dengan korban ini?" tanya Wan-ji pula.

Sin-kau coba mengamati mayat itu, ia lihat orang itu mengenakan baju sutera

halus berwarna hijau, memakai ikat kepala dengan sebiji mutiara di teagahnya,

pakaian orang ini mewah, tubuhnya kekar berotot, alisnya tebal dan mukanya

berewok, sekilas pandang dapat diketahui bahwa dia adalah seorang jago silat.

Walaupun sudab mati, mukanya masih kelihatan seram dan gagah perkasa.

Karena tidak kenal orang itu, Sin-kau menggeleng: "Aku jarang sekali bergerak di

daerah Tionggoan, apalagi puluhan tahun terakhir ini tak pernah kuinjak dunia

persilatan, entahlah siapa orang ini?"

Milihat kematian laki2 yang mengerikan dengan darah berlumuran di dadanya,

Wan-ji merasa gua ini penuh bawa pembunuhan dan menyeramkan. Namun

lahirnya ia tetap berkata dengan angkuh: "Locianpwe, aku yakin dalam gua ini

ada hal yang aneh, siapa tahu kalau pembunuhnya masih bersembunyi di sini,

bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan ke dalam sana?'

"Terserah pada nona, toh bagaimanapun juga bukan kehendakku masuk ke sini,"

sahut Sin-kau sambil tertawa.

Wan-ji mendongkol, ia tidak menggubris kakek itu lagi, dengan gemas

langkahnya dipercepat. Tak jauh dua sosok mayat kembali mereka temui,

dandanan maupun potongan badan kedua mayat ini tidak berbeda dengan

korban pertama, cuma punggung mereka tertancap senjata rahasia beracun dan

roboh tertelungkup, karena itulah mukanya tidak kelihatan.

Darah meleleh dari mulut dan berlepotan di tanah, lkat kepala seorang terlepas

jauh di sana dan kelihatan rambutnya yang kusut masai.

Wan-ji bergidik menyaksikan adegan seram itu, tapi ia tak mau menyerah,

apalagi hatinya lagi mendongkol, dengan cepat ia menerobos pula lebih jauh ke

dalam gua.

Sin-kau tetap membungkam, diam2 iapun bergidik, ia pikir sekarang ilmu

silatnya telah punah, sedangkan gadis itu kurang berpengalaman, bila ada

sergapan gelap niscaya mereka tak mampu melawan dan akan mengalami nisib

seperti mayat2 tadi.

Tidak jauh sampailah mereka di depan sebuah dinding batu, embusan angin di

situ agak lemah, dengan sangat ber-hati2 Wan-ji menghampiri dinding batu itu.

Ada sebuah pintu batu di samping dinding itu, agaknya sebuah ruangan, Wan-ji

trus melangkah masuk.

"Awas! ....!" teriak Sin-kau.

Wan-ji terperanjat dan berhenti, dari kegelapan mendadak meluncur keluar

sebuah tangan hitam terus mencengkeram ke muka si nona.

Saking terkejut Wan-ji menjerit kaget dan lompat mundur. berbareng ia angkat

tangannya hendak balas menyerang.

Sin-kau telah punah ilmu silatnya, tapi dia berpengalaman luas, segera ia

berseru: "Wan-ji, jangan gugup! Hanya sesosok mayat belaka!"

Gadis itu mengamati lawannya dengan seksama, memang benar ucapan si

monyet tua itu, hanya sesosok mayat yang berdiri di depannya, sebilah pedang

Siang-bun-kiam yang memancarkan cahaya hijau tergeletak di tanah.

Sekarang ia baru tahu, rupanya korban ini bersembunyi di belakang pintu dan

menyergap musuh dengan pedang, tapi sergapan itu berhasil di-hindarkan,

sebaliknya ia terbunuh oleh sebuah pukulan berat yang mematikan.

Sebuah lubang berdarah tertera di dada laki2 yang mati ini, tampaknya lubang

besar inilah penyebab kematiannya, dari bukti ini Sin-kau berdua yakin ilmu silat

si pembunuh pasti sangat tinggi.

Dalam ruangan dekat dinding sana menggeletak pula sesosok mayat, bersenjata

Poan-koan pit, luka besar tertera di dada, kematian yang dialami orang ini tak

berbeda dengan korban di belakang pintu, cuma wajah mayat ini masih

menunjuk rasa ngeri dan takut, ini membuktikan bahwa sang korban sangat jeri

terhadap pembunuhnya. Senjata Poan-koan-pit yang dipegang tak semput

dipakai, sebelum melakukan perlawanannya ia sudah dihantam mati.

"Kedua koiban ini mati dipukul dengan ilmu pukulan keras apa?" tanya Wan ji.

"Tampaknya mereka dibunuh oleh sebangsa Kim-kong-ci atau It-ci-sian (tenaga

jari sakti), Kim-kong-ci atau It-ci-sian si pembunuh ini jelas telah mencapai

puncak kesempurnaan," jawab Sin-kau dengan prihatin.

"Ah, Cianpwe, lihatlah!" kembali si nona berseru. "coba lihat, di sini ada dua peti

batu permata"

Dalam ruangan batu itu terdapat dua buah peti besi berukuran setengah meter

persegi, tutup peti terbuka hingga tampak isinya yang berupa mutu manikam

yang tak terhingga jumlahnya.

Sin-kau memang tokoh yang aneh, dia tidak tertarik sedikitpun oleh dua peti

intan permata itu.

Wan-ji sendiri adalah puteri salah seorang empat keluarga besar, intan permata

semacam itu sudah sering dilihatnya di rumahnya, maka iapun tidak tertarik.

Wan ji menurunkan kakek itu ke lantai, kemudian menghampiri peti batu

permata itu dan memeriksanya satu demi satu, dilihatnya batu permata di

dalam peti tersebut bukan barang sembarangan, mutiara dan intan yang ada di

situ rata2 amat besar dan berkilat, malahan jauh lebih besar daripada benda

yang tersimpan di rumahnya. Terutama kedua peti ymg berukir indah itu terang

serupa dengan peti besi yang terdapat di rumahnya.

Wan ji makin heran, ia tertegun dan berpikir: "Aneh, jangan2 benda mestika ini

dicurinya dari rumahku."

Sementara ia melamun tiba2 Sin-kau berseru: "Wan ji, daripada kita lari ke sana

kemari, alangkah baiknya kita berdiam ssja di ruangan ini, biarlah kuwariskan

ilmu silatku di sini."

Seruan tersebut menyadarkan Wan-ji dari lamunannya. dengan dahi berkerut ia

berkata: "Apa? Kita harus tinggal bersama dua sosok mayat ini? Aku tidak mau!"

"Memangnya kenapa? Kalau kau jijik bercampur dengan mereka, seret saja

mayat itu keluar kan beres?"

"Kalau ingin membuang mayat itu, kau saja yang lakukan," kata si nona.

Sin-kau menyengir menghadapi kebandelan anak dara itu, ucapnya: "Wan-ji

kalau aku bisa berjalan sendiri, aku tak akan suruh kau menggendong diriku "

"Kalau begitu, tidak perlu banyak omong lagi, pokoknya aku tak mau menyentuh

mereka, lebih baik kita pergi dan mencari tempat lain saja!"

Setelah mengembalikan batu permata itu ke dalam peti, ia menggendong Sin-

kau dan berlalu dari ruang batu itu.

Belum jauh mereka lanjutkan perjalanan, sampailah kedua orang itu di mulut

gua. Ternyata gua ini menembus perut bukit dan mempunyai pintu masuk yang

berbeda, malahan jaraknya dari ruang batu ke mulut gua ini dekat sekali.

Menghirup udara segar di tempat terbuka serta memandang cahaya sang surya

yang gemilang, Wan-ji berdua merasa dada jadi lega, rupanya fajar telah

menyingsing, sudah dua-tiga jam Wan-ji berdua menyusuri gua itu.

Keadaan Sin-kau sudah payah, setelah bertempur selama tiga hari tiga malam

melawan Tang Cian-li, kemudian masih harus melakukan perjalanan setengah

malaman digendong Wan-ji, kesehatannya telah jauh lebih menurun, sekalipun

ia sudah makan bubuk Si mia-san, ia merasa lapar dan dahaga, sekeluar dari gua,

ketika melihat sebuah selokan yang mengalirkan air jernih, ia segera berseru:

"Oo .... air. Air! Aku sangat haus, aku ingin minum!"

Wan-ji sendiri juga merasa lapar dan dahaga, tanpa di suruh lagi ia menghampiri

selokan itu dan menurunkan Sin-kau untuk minum ber-sama2.

"Jangan minum air itu!" tiba2 seorang berseru dengan nyaring, "lebih baik mati

dahaga daripada minum air selokan itu! Masa kalian tidak tahu akan kata2

tersebut bila sudah berani memasuki 'lembah pemutus nyawa'!"

Betapa kaget Sin kau serta Wan-ji demi mendengar teguran itu, mereka

menengadsh dan terlihat seorang pemuda tampan berdiri di lereng bukit di

seberang sana.

Pemuda itu baru berusia dua puluhan, badannya jangkung, tegap dengan wajah

yang cakap, sekalipun dandanannya sederhana mirip dandanan petani, namun

tidak mengurangi ketampanannya.

Sembil bergendong tangan ia berdiri di lereng bukit itu, sikapnya yang santai dan

tenang menambah gayanya yang mempesona.

"Eh, bocah. jangan kau sembarang omong," sera Sin kau dengan mata melotot.

"Kalau berani bergurau atau sengaja menakut2i aku, hmm, jangan menyesal bila

kubikin kau mampus tak terkubur."

Wan-ji geli mendengar kecongkakan Sin kau, ia merasa orang tua ini terlalu

jumawa, ilmu silat sendiri saja telah punah, terluka dan badan cacat, tapi

bicaranya masih garang dan tak mau kalah.

Padahal dilihatnya pemuda itu tampan dan berilmu silat, sinar matanya tajam

dan badannya tegap, bila benar terjadi pertarungan, hanya satu gebrak saja

"monyet tua" ini pasti akan terkapar.

Karena merasa geli, air yang terkumur di mulutnya tersembur keluar, ia tertawa

cekikikan.

Terkesima pemuda itu menyaksikan kecantikan Wan ji, melihat si nona tertawa

geli, ia berkata pula dengan heran: "Jadi kalian tidak percaya dengan

peringatanku? Coba lihatlah ke sebelah sana."

Seraya berkata dia menuding ke hulu sungai kecil itu.

Mengikuti arah yang ditunjuk, tampaklah di samping selokan terpancang sebuah

papan kayu putih, di atas papan tertulis beberapa huruf: "Air selokan ini beracun

keras, tujuh langkah pencabut nyawa, jangan sekali2 diminum!"

Air muka Wan ji kontan berubah pucat, jeritnya kuatir: "Wah, celaka, aku sudah

banyak minum air ini, bagaimaaa sekarang?"

"Wan-ji, jangan gugup!" hibur Sin-kau dengan tenang. "Siapa tahu kalau dia

cuma membohongi kita?"

"Aku tak berbohong, peringatanku tadi hanya timbul dari maksud baik, jika

kalian tidak mau percaya, ya apa boleh buat?"

"Coba lihat, betul bukan perkataanku?" kata Sin-kau sambil berpaling ke arah

Wan-ji dan tertawa, "sekali tebak saja kutahu orang itu sengaja me-nakut2i kita,

kalau air sungai ini benar2 beracun jahat, kenapa perut kita tidak merasakan

apa2?”

“Betul juga,” pikir Wan ji, “kalau air sungai kecil ini beracun, kenapa perutku

tidak merasakan gejala apa2?” Diam2 ia mengagumi Sin-kau yang sudah

berpengalaman dan tidak mudah tertipu itu.

"Aku tidak bohong!" kembali pemuda itu menegaskan ucapannya, "racun yang

terkandung di dalam air ini benar2 sangat istimewa, bukan saja tidak berbau,

tidak berwarna, bahkan tidak terasa apa2, baik manusia maupun hewan yang

minum air ini, asalkan tidak bergerak, maka tiada perasaan apa pun yang

dalamnya, tapi kaiau berdiri dan berjalan, maka tidak sampai tujuh langkah,

ususmu akan rantas dan mati ....!"

Sin-kau tertawa ter-bahak2: "Hahaha, kalau dulu Coh Cu-kian (pujangga di jamas

Sam Kok) bisa membuat syair dalam tujuh langkah, sekarang aku bisa putus usus

dalam tujuh langkah. wah, itulah kejadian yang pantas dicatat dalam sejarah.

Sayang aku tidak punya kaki sehingga tidak mampu berjalan sediri. andaikata

kakiku utuh, niscaya akan kulangkah tujuh tindak untuk membuktikan apukah

benar ususku akan rantas atau tidak?"

"Engkau tidak berkaki tapi kakiku kan utuh!" sambung Wan ji, jangankan tujuh

langkah, tujuh puluh atu tujuh ratus langkahpun akan kulalui. Hm, air sudah

kenyang kita minum, peduli amat dengan urusan tetek-bengek ini."

Segera ia menggendong pula si "monyet sakti" dan akan meninggalkan sungai

kecil ini ... ,

Tapi mendadak dengan gerakan enteng bagaikan burung walet melayang di

udara, pemuda tampan itu melompat dari turun lereng seberang sana dan

hinggap di depan Wan-ji.

Katanya dengan sungguh2: "Nona, kuanjurkan agar jangan keras kepala,

ketahuilah aku tidak bermaksud bohong, setiap perkataanku adalah kata2

sejujurnya, selokan ini bernama Sui gin-han-cwan (sumber air dingin berwarna

perak) dan sudah ter-sohor kelihayannya. Jangan kau anggap perutmu masih

segar setelah minum air itu, sekarang kau memang belum merasakan apa2, tapi

lama kelamaan ususmu akan rantas dan akhirnya putus. Ketahuilah air ini sungai

mengandung air rasa, bobot air rasa sangat berat dan sanggup merantas usus

dan merusak isi perut, bila orang tetap diam, maka air perak itu bergerak agak

lambat, tapi kalau orangnya bergerak, maka air rasa juga cepat bergerak ke

dalam usus, dengan sendirinya luka yang timbul juga makin cepat. Untung aku

membawa obat penawarnya, Nah, kuhadiahkan kalian seorang sebungkus . . . ."

Sebelum Wan ji buka suara, dengan cepat Sin kau menggoyangkan tangannya.

"Sudahlah, tak usah banyak omong, cepat pergi dari sini!" serunya tidak sabar

"Jangankan air itu tak beracun, sekalipun kami sudah keracunan juga tak perlu

kau turut kuatir : . . . !"

Berbicara sampai di sini, ia mendesak Wan-ji agar cepat2 pergi.

Wan-ji merasa pemuda itu bukan orang jahat, tetapi ia tak berani menerima

obat pemberian orang yang tak dikenal ini, maka ketika pemuda itu

mengangsurkan dua bungkus obat tadi, ia tidak menerimanya, tapi berkata:

"Terima kasih atas maksud baikmu, biarlah kami terima di hati saja!" Habis

berkata segera ia melompat ke sana dan akan pergi.

Tapi baru saja bergerak, tiba2 Wan-ji merasakan perutnya melilit dan sakit luar

biasa, ia anjlok ke bawah mendadak, untung Ginkangnya cukup lihay sehingga

tidak sampai jatuh terjengkang.

Air muka Wan-ji berubah pucat. perutnya semakin sakit seperti disayat dengan

pisau, akhirnya dengan dahi berkerut jeritnya: “Oo, Locianpwe, kita benar2

keracunan . . !"

Karena Wan-ji anjlok dari atas, Sin-kau yang sudah kehilangan tenaga dalamnya

tak mampu ber-tahan lagi, isi perutnya juga mengalami goncangan keras. Tanpa

ampun lagi, pandangannya jadi gelap, perut kesakitan seperti di sayat2, akhirnya

iapun tak sadarkan diri.

Cepat pemuda tampan tadi memburu maju, katanya: ' Nona, sekarang tentunya

kau percaya perkataanku bukan? Hayo cepat makan obat penawar ini!"

Perutnya yang sakit terasa tak bisa ditahan lagi, dalam keadaan begitu Wan-ji

tidak peduli lagi apakah obat penawar pemuda itu benar2 obat penawar atau

bukan, bungkusan itu segera diterima, dibuka lalu isinya ditelan.

Dalam waktu singkat tubuhnya lantas terasa nyaman, rasa sakit yang melilit tadi

berhenti dan jadi segar kembali.

Sekarang gadis itu baru percaya bahwa pemuda ini memang bermaksud baik

kepada mereka, dengan sorot mata penuh rasa terima kasih ditatapnya sekejap

pemuda itu.

Karena pandangan si nona. hati pemuda itu berdebar keras, Dari sakunya

kembali ia keluarkan sebungkus obat penawar lagi dan diserahkan kepada Wan-

ji. katanya: "Nona, kakek yang kau gendong ini pingsan, minumkan obat

penawar ini kepadanya, niscaya dia akan segera sadar kembali "

Wan ji tidak ragu lagi sekarang, ia percaya penuh perkataan pemuda itu, obat

penawar diterimanya, ia baringkan Sin-kau ke tanah, kemudian melolohkan

bubuk obat itu ke dalam mulutnya.

Sesaat kemudian, Sin-kau sadar kembali dan pingsannya, dengan mata melotot

ia berteriak keras: "Aduh, perutku sakit”

Melihat Sin-kau juga sudah tertolong, Wan-ji berkata kepada pemuda itu:

"Terima kasih atas bantuanmu apakah boleh kutahu siapa nama Kongcu? Bila

perkataanku tadi menyinggung perasaanmu harap sudi dimaafkan"

"Nona terlalu rcudah hati, aku bernama Sugong Siang-cin”

"Oo. jadi engkaulah Toan-hong Kongcu?" seru Wan-ji dengan terkejut, "jadi

engkaulah yang disebut Toan hong si Kongcu yang suka gentayangan, salah satu

di antara Bu lim-su kongcu?"

"Tepat sekali tebakan nona!" sahut pemuda itu sambil tertawa, malu aku

disanjung oleh kawan persilatan sebagai salah satu dari Su-kongcu, padahal aku

tidak lebih hanya seorang pemuda yang suka gentayangan kian kemari seorang

diri tanpa tujuan tertentu!"

Tertegun Wan-ji menatap pemuda di hadapannya, ia merasa pemuda ini

sungguh ganteng dan menawan hati, sekalipun pakaian yang dikenakan amat

sederhana, namun memiliki daya pesona yang kuat.

Makin dipandang Wan-ji merasakan jantungnya makin berdebar keras, pujinya

di dalam hati;

"Oo..alangkah tampannya pemuda ini, tampaknya di dunia saat ini belum ada

pemuda setampan dia”

Teringat pada engkoh Tian yang dicintainya, seketika merah padam wajahnya,

cepat ia tundukkan kepala dan tak berani lagi memandang pemuda itu.

"Aku tak boleh punya pikiran pada pemuda lain" demikian ia menggerutu pada

diri sendiri.

Kalau Wan-ji berdebar oleh ketampanan Toan-hong Kongcu, sebaliknya Toan-

hong Kongcu juga tidak kurang terpesonanya oleh kecantikan Wan-ji.

Sudah banyak gadis cantik yang dijumpai Toan-hong Kongcu, namun tak

seorangpun yarg dapat melawan kecantikan Wan-ji.

Ia merasa kecantikan gadis ini bak bidadari yang turun dari kahyangan, matanya

yang jeli, hidungnya yang mancung, bibirnya yang mungil tubuhnya yang

semampai dan kulit badannya yang putih halus, benar2 suatu perpaduan yang

indah mempesona.

Untuk sesaat lamanya Toan-hong Kongcu berdiri ter-mangu2, kecantikan gadis

itu serta kerlingan matanya membuat ia terkesima, hampir lupa pada keadaan di

sekitarnya,

Semua gerak gerik kedua muda-mudi itu tak lepas dari pengawasan Sin-kau,

karena wataknya yang aneh, ia tidak suka dingan pat-gulipat orang muda

semacam ini, segera ia berdeham lalu berseru: "Wan-ji, kalau sudah

mengucapkan terima kasih, marilah kita berangkat!"

Merah muka Wan ji, tapi sebelum ia buka suara, Toan-hong Kongcu telah

berseru pula: "Sudah kuketahui nama harum nona, tapi belum tahu tempat

tinggal nona sarta apa hubunganmu dengan orang tua itu, bolehkah aku

mengetahuinya?"

Belum Wan-ji menjawab, dengan melotot Sin-kau segera berseru: "Anak muda

yang tak tahu diri, jangan kaukira dengan sedikit budimu itu akan memperoleh

balasan yang lebih besar. Hm, bila berani banyak bicara lagi, jangan salahkan aku

tidak sungkan2 lagi!"

"Hei, kenapa kau begini bengis?" omel Wan-ji. "Toan-hong Kongcu telah

menyelamatkaii jiwa kita, Kongcu inipun sangat sopan kepada kita, masa kau

membalas air susu dengan air tuba!"

Lalu iapun berkata kepada Toan-hong Kongcu: "Aku sama sekali tiada hubungan

apa2 dengan orang tua ini, kami hanya berjumpa secara kebetulan saja! Aku she

Tian bernama Wan-ji, rumahku di Ce-lam dan terkenal sebagai perkampungan

Pah-to-san-ceng, bila Kongcu ada waktu, silakan hampir dan bermain beberapa

hari di rumahku "

Toan-hong Kongcu terkejut setelah mengetahui asal-usul anak dara ini. "O, jadi

nona masib sanak keluarga Ti-seng-jiu Buyung-cengcu?" demikian ia bertanya.

"Ya, beliau adalah ayahku!" jawab Wan-ji sambil tertawa.

Toan-hong Kongcu jadi melengak: "Tapi. . .kenapa nona she Tian? "

Sin-kau tidak sabar lagi. ia jadi berang din menukas: "Anak muda, sudah selesai

belum obrolan kalian' Kalau ngoceh melulu. jangan salahkan aku tidak sungkan2

lagi. .”

Wan-ji jadi tak senang hati, ia akan mendamperat, tapi Toan-hong Kongcu

keburu berkata sambil tertawa: "Air muka Locianpwe ini lesu dan kuyu. sinar

matanya buyar dan buram, bukan saja terluka dalam yang parah, bahkan

kematian sudah berada di depan mata. tak tersangka masih juga pemberang

begini "

Perkataan yang sederhana ini cukup menggusarkan hati Sin-kau, hampir saja

dadanya meledak saking mendongkolnya.

Segera ia membentak: "Bagus, anggaplah matamu memang tajam, tenaga

dalamku memang sudah buyar dan nyawaku akan melayang, tapi dengan

kondisi seperti ini aku masih sanggup membereskan jiwa anjingmu. Nah,

sambutlah seranganku ini, jurus Hoan ciu lam-hay (dayung sampan di laut

selatan)!"

Tindakan aneh kakek itu bukan saja mencengangkan Toan hong Kongcu, Wan ji

juga melengak. Pikirnya: "Tenaga dalamnya telah punah, bagaimana caranya dia

akan bertempur . . "

Ia berpaling ke arah Sin-kau, dilihatnya kakek itu masih duduk di tanah tanpa

bergerak sedikitpun.

"Eh kautahu bila jurus seranganku ini kumainkan, maka dengan cepat akan

kuhantam dulu hiat-to maut di kanan telingamu," teriak Sin-kau masih tetap

berduduk di tanah. "Di tengah serangan ini banyak pula gerak perubahannya,

bila kau tidak menghindar maka jalan darah kematian di telingamu akan terhajar

telak dan jiwamu pasti melayang! Sebaliknya bila kau menghindar, kedua

kepalanku tidak kutarik, cuma sikut segera bergerak menyongsong jalan

mundurmu, kalau kau berkelit ke kiri maka jalan darah Sim gi-hiatmu akan

tersikut, sebaliknya kalau menghindar ke kanan maka jalan darah Seng-bun hiat

akan menumbuk sikut kiriku, itu berarti berkelit ke kiri atau ke kanan hanya

jatah kematian bagimu. Sebaliknya kalau kau merasa sanggup untuk

membendung tenaga pukulan Ceng-goan-cing-khi yang sudah kulatih enam

puluh tahun. umpama kau menangkis dengan jurus Po-in kian-jit (menyingkap

kabut melihat sang surya), maka waktu itulah kedua kepalan kutarik kembali

dan .... Nah, bayangkan saja, kau punya nyawa serep berapa lembar? Mampus

tidak kau oleh jurus serangan dayung sampan di laut selatan ku ini?"

Setelah mendengar ocehan si kakek barulah Wan ji dan Toan hong Kongcu

mengerti maksud-nya, ternyata kakek itu hanya menyerang Toan-hong Kongcu

dengan suatu jurus ampuh yang di lontarkan dengan uraian saja.

Kendatipun tenaga dalam yang dimiliki Sin-kau ini sudah punah, lagi

»erangannya hanya di-utarakan dengan kata2 akan tetapi baik Wan ji maupun

Toan hong Kongcu amat terperanjat.

Jurus serangan Hoan-ciu lam-hay yang dipergunakan kakek itu memang benar2

tangguh, jangankan ditangkis, dihindaripun sukar.

Lebih2 Toan-hong Kongcu, keringat dingin membasahi tubuhnya, biasanya ia

yakin ilmu silat-nya tinggi, namun bila benar2 menghadapi jurus serangan si

kakek tadi, memang betul hanya ada jalan kematian baginya.

Dengan dahi berkeringat dan jantung berdebar segera ia berkata: "Locianpwe,

ilmu silatmu memang ampuh, aku merasa tak sanggup memecahkan jurus

seranganmu itu."

Satu pikiran tiba2 terlintas dalam benak Wan-ji, cepat ia menimbrung: "Huh,

apanya yang lihay, toh jurus serangan itu masih bisa dihindari, asal kita loncat ke

depan lalu mengegos, bukankah ancaman itu akan terhindar? Kemudian dengan

..”

"Hahaha, tak usah kemudian apa segala!?" tukas Sin-kau sambil tertawa

"Tanyakan saja kepadanya, mampukah ia menghindari seranganku itu dengan

meloncat ke depan?"

Dengan wajah ber-sungguh2 Toan-hong Kongcu menggeleng: 'Perkataan

Locianpwe memang benar, baik melompat ke muka ataupun menjatuhkan diri

bergelinding hasilnya tetap nihil. Kuakui jurus serangan itu memang sangat

ampuh, sungguh ber-untung aku tak sampai mati ditanganmu, atas kemurahan

hati Locianpwe kuucapkan terima kasih, selamat tinggal!"

Setelah memberi hormat ia lantas melayang ke seberang selokan itu, hanya dua-

tiga lompatan saja bayangannya lantas menghilang di balik batu padas sana.

Dengan ter mangu2 Wan-ji memandangi lenyapnya bayangan punggung Toan-

hong Kongcu. akhirnya ia berkata kepada Sin-kau: "Wah, Locianpwe, kau

memang hebat. hanya dengan mulut saja Toan-hong Kongcu yang termashur

dapat kau bikin kabur . . . . "

"Wan-ji, sekarang percaya bukan dengan kehebatanku?" kata Sin-kau dengan

bangga, "asal kau dapat berlatih lima bagian saja ilmu silatku, maka dunia

persilatan akan kau jelajahi tanpa tandingan!"

"Huh, apanya yang hebat?" ejek Wan-ji mendadak, "sekalipun berhasil melatih

sampai sepuluh bagian, buktinya seorang kakek penunggang keledai saja tak

dapat kau kalahkan."

Betapa mendongkolnya Sin-kau demi mendengar olok2 itu, dia ber-kaok2 gusar:

"Hei, anak perempuan, tak perlu kaubikin panas hatiku, sampai detik ini

kekuatan kami masih seri, menang kalah belum ada kepastian, lagi pula .... lagi

pula aku telah berjanji dengan setan tua itu untuk bertanding lagi. aku punya

keyakinan akan mengalahkan dia ... !"

"Ah, sudahlah, kalau aku ogah berlatih ilmu silatmu, apa yang bisa kau lakukan?"

ejek Wan ji« "Pula, sekalipun sudah kupelajari ilmu silatmu, tapi aku tak sudi

bertanding dengan engkoh Tian, lalu bagaimana caramu mengalahkan dia?"

Tertegun Sin-kau mendengar perkataan itu, akhirnya dengan air muka kecewa ia

berkata: " Tentunya, tentunya kau takkan ingkar janji bukan? Kau sudah

menyanggupi permintaanku, masa sekarang kau hendak membatalkan janji ini

secara sepihak?"

Geli Wan-ji menyaksikan kepanikan orang, ia tertawa cekikikan, katanya: "Hihihi,

kapan pernah kusanggupi permintaanmu? Dan kapan pula aku setuju belajar

silat darimu? Sejak awal sampai akhir kan kau yang mengoceh sendiri. . . . "

"Jadi, jadi kau tak mau belajar ilmu silatku lagi?" seru Sin-kau dengan air muka

berubah hebat.

"Memangnya aku senang belajar silatmu?" ejek Wan-ji lebih lanjut. "Huh,

umpama kakek celaka penunggang keledai itu berhasil kau kalahkan atau

kepandaian kalian bergabung menjadi satu, apa itu berarti tidak ada

tandingannya di kolong langit ini?

Huh, kukira bila ada jago nomor satu di dunia ini maka dia tak lain adalah Pek-

lek-kiam Tian In-thian, sebab bagaimanapun Tian-tayhiap tak pernah kalah, yang

pasti kau pernah keok ditangannya "

"Mati aku !” jerit Sin-kau saking kekinya, dada jadi sesak, darah segar tersembur

dari mulutnya, ia roboh terjengkang.

(xxxxx)

Sementara itu di gua yang lain Tian Pek telah mendapat ajaran ilmu pukulan Lui-

im-hud-ciang dari si keledai sakti, bahkan iapun mengetahui kisah pembunuhan

yang menimpa ayahnya di masa lampau.

Ayah Tian Pek, Pek-lek-kiam (pedang geledek) Tian In-thian adalah seorang

pendekar besar yang amat lihay, bukan saja ilmu silatnya sangat tinggi, iapun

berbudi luhur dan berjiwa besar, dengan pedang hijau Bu-cing-pek-kiam dia

malang melintang tanpa tandingan di kolong langit, oleh karena wataknya yang

jujur dan lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan

pribadi, maka banyak orang yang suka dan kagum kepadanya, tapi juga ada yang

membenci dan dendam kepadanya.

Yang tak terduga lalah Tian In-thian bukan mati di tangan musuh, tapi justeru

menemui ajalnya di tangan keenam saudara angkatnya sendiri.

Waktu itu bersama keenam saudaranya mereka tersohor sebagai Kanglam-jit-

hiap (tujuh perdekar Kanglam).

Selain Ti-seng-jiu Buyung Ham, saudara angkatnya yang lain ialah Kian-kun-ciang

(Pukulan sapu jagal) In Tiong-liong, Cing-hu-sin (dewa kecapung hijau) Kim-Kiu.

Kun-goan-ci (Jari sakti) Sugong Cing, Pak-ong-pian (cambuk raja bengis) Hoan

Hui serta Gin-san-cu (kipas perak sakti)

Liu Tiong-goan.

Kalau Tian In-thian mengutamakan kepentingan umum dan berjiwa ksatria,

maka keenam saudaranya jauh bertolak ke belakang, mereka sering mengeluh

dan menggerutu kalau diajak saudaranya menghadapi pertarungan sengit demi

kepentingan umum, kemudian mereka merasa tiada keuntungan apa2 yang

diperoleh selama ini, maka timbul rasa tidak puas dalam hati masing2.

Kalau hanya sampai di situ saja mungkin urusan tak akan bertambah serius,

jasteru karena watak Tian In-thian yang aneh dan lebih mengutamakan

kepentingan umum itulah, seringkali ia bertindak tanpa mempedulikan

keberatan2 saudara angkat lainnya, pedomannya asal tindakan itu tidak

melanggar peraturan persilatan dan demi kepentingan umum, maka semuanya

akan dilaksanakan tanpa pamrih.

Oleh sebab beberapa hal itulah, rasa tidak puas dalam hati keenam orang

saudara angkatnya kian menjadi.

Kendatipun begitu, mereka tak berani membangkang ataupun melakukan

perlawanan secara terang2an, sebab nama Kanglam-jit-hiap semakin tenar dan

harum, betapapun mereka tak berani ribut dengan pimpinannya sendiri.

Suatu ketika tanpa sengaja Ti-seng-jiu Buyung Ham menemukan sebuah peta

harta karun di sebuah gua rahasia dipuncak Ay-lau-san, menurut keterangan

yang tertera di peta itu dapat diketahui bahwa pada dasar telega Tong-ting-oh

terpendam satu partai harta pusaka yang telah berusia ribuan tahun, barang

siapa berhasil mcndapatkan harta itu maka dia akan jadi kaya raya di dunia ini.

Betapa girangnya Buyung Ham sukar dilukiskan, teringat betapa menderitanya

selama berkecimpung di dunia persilatan selama ini, timbul niatnya uutuk

mendapatkan harta karun itu dan mengundurkan diri dari keramaian dunia,

betapa bahagianya hidup mewah di kemudian hari.

Maka berangkatlah Buyung Ham menuju ke tepi Tong-ting-oh untuk mencari

harta karun itu. Apa mau dikata, di sana sudah banyak sekali jago silat yang

bergerombol di seputar telaga itu.

Sebagai seorang cerdik Buyung Ham tak berani bertindak gegabah, ia tidak

langsung mencari harta karun sebaliknya ia melakukan penyelidikan yang

saksama di sekitar sana.

Akhirnya berhasil diketahui olehnya bahwa berita tentang adanya harta karun di

dasar Tong ting-oh telah bocor dan diketahui oleh umum, jago silat yang

berdatangan ke situ banyak sekali jumlahnya.

Kemudian didengar pula bahwa kecuali harta karun konon ada pula sejilid kitab

pusaka Bu hak-cin-keng, sepotong batu pualam Pi-sui-giok-pi serta tiga biji obat

mujarab Toa-lo kim-wan.

Menurut kabar ceritanya, kitab pusaka Bu hak cin-keng adalah peninggalan Jik-

siong-cu, seorang tokoh silat setengah dewa yang memiliki kepandaian tinggi,

dalam kitab tercatat pelbagai ilmu yang sukar ditemukan di dunia ini, barang

siapa berhasil mempelajari ilmu silat yang tercantum dalam kitab itu maka dia

akan menjagoi dunia tanpa ada tandingannya.

Sedangkan Pi-sui-giok-pi (batu kemala penolak air) bukan saja mampu menolak

air, dengan membawa benda mestika tersebut maka makhluk berbisa tak berani

mendekat, bagi mereka yang bersemadi dan berlatih ilmupun tidak takut akan

menghadapi bahaya-bahaya kelumpuhan, malahan katanya menambah

kekuatan dan mempercepat latihannya.

Tentang pil Toa-lo-kim-wan lain lagi kehebatannya, konon bila orang biasa yang

makan obat itu, maka rambut yang beruban akan menjadi hitam kembali,

mereka yang giginya sudab ompong bisa tumbuh lagi giginya, akan awet muda

dan tak kenal tua.

Sebaliknya bila orang persilatan yang makan pil itu, maka tenaga dalam mereka

akan seperti mendapat tambahan enam puluh tahun latihan, kalau tiga butir

dimakan sekaligus akan panjang umur dan mendekati seperti dewa.

Bayangkan, siapa yang tidak tergiur oleh ke-tiga macam benda mestika yang

sangat bermanfaat bagi umat persilatan ini? Apalagi masih terdapat batu

permata yang tak terhingga jumlahnya, siapa saja yang berhasil mendapatkan

harta itu berarti akan menjadi manusia yang palin kaya di dunia dan jago silat

tanpa tandingan di kolong langit.

Tidak mengherankan apabila dunia persilatan lantas bergolak dan berkumpul di

seputar telaga Tong ting oh.

Cemas dan girang Ti-seng jiu Buyung Ham setelah memperoleh berita itu, ia

girang karena peta pusaka sudah didapatkannya, tapi merasa cemas karena

berita tentang harta kekayaan itu telah bocor ke seluruh dunia persilatan.

Ia sadar dengan kekuatannya sendiri tak mungkin bisa menghadapi jago

persilatan sebanyak itu. Ada lagi satu hal yang terpenting, sekalipun ia

mempunyai peta pusaka, namunn tak pandai berenang, itu berarti tak mnngkin

baginya untuk masuk ke dasar telaga.

Karena tak berdaya, terpaksa Ti-seng-jiu Buyung Ham berunding dengan

keenam saudara angkatnya.

Ti seng-jiu Buyung Ham adalah orang licin tentu saja dihadapan keenam

saudaranya ia tak berani mengungkapkan keserakahannya akan mengangkangi

sendiri kekayaan tersebut, sebaliknya dia pakai alasan bahwa peta pusaka itu di

dapatkan tanpa sengaja, karena tak berani mengangkangi sendiri penemuannya

itu, maka diajaknya keenam saudara lainnya untuk menikmati bersama.

Pek-lek-kiam Tian In-thian yang berbudi luhur menentang usul keenam

saudaranya untuk mendapatkan harta tersebut demi kepentingan sendiri, ia

usulkan agar harta karun itu digunakan menolong rakyat jelata di beberapa

propini yang tertimpa bencana alam.

Waktu itu rakyat di sekitar daerah itu sedang mengalami penderitaan yang

hebat, mereka kekurangan bahan makanan, sedang pihak pemerintah tak

mampu memberikan pertolongannya, setiap hari ada be-ribu2 orang mati

kelaparan.

Benta sedih itu sangat menyentuh perasaan Tian In-thian, maka dia ingin

menggunakan harta karun untuk membeli bahan makanan dan menolong rakyat

yang menderita.

Dingin hati Buyung Ham mendengar usul tersebut, ia sadar harapannya untuk

memperoleh batu permata itu demi kepentingan prihadi tak mungkin terlaksana

lagi, tapi ia tak menyerah begitu saja, ia mengusulkan agar ketiga macam benda

mestika itu dibagi rata ....

Tapi kelima saudara lainnya menganggap sama sekali tak ada manfaatnya untuk

mengambil harta kekayaan itu dengan pertaruhan nyawa, padahal tiada

keuntungan apa2 bagi mereka, maka mereka sama menasehati Tian In-thian

agar membatalkan niatnya itu.

Akan tetapi Tian In thian tetap bersikeras dengan pendiriannya, untuk

mengatasi sergapan dari jago2 silat lainnya dia mengusulkan agar ketiga macam

benda mestika itu dipersembahkan saja kepada dunia persilatan, sedangkan

mutu manikam itu digunakan untuk menolong rakyat yang tertimpa bencana

alam, menurut pendapatnya umat persilatan hanya mengincar ketiga macam

benda mestika itu saja, maka bila ketiga benda itu diserahkan kepada mereka,

bukan saja niat mereka menggali harta karun takkan digangggu, bisa jadi

malahan akan memperoleh bantuan mereka

sehingga tujuan mulia dari Kanglam-jit-hiap akan terwujud.

Buyung Ham semakin dingin hatinya, ia lantas mcndukung usul kelima saudara

lainnya untuk batalkan maksud mereka menggali harta karun.

Tapi Tian In-thian bertekad akan mewujudkan tugas mulia itu. ia tak peduli lagi

pikiran ke enam saudara angkatnya dan meneruskan rencananya,

Keenam saudaranya tak berani membantah keputusan Tian In-thian itu, maka

berangkatlah mereka menuju ke tepi telaga dan berunding dengan para jago

yang berkumpul di situ.

Alhasil usul Tian In-thian memperoleh persetujuan dari kawanan jago silat,

segera dibentuk suatu panitia yang terdiri dari tokoh2 Bu-tong-pay Go-bi-pay,

Siau-lim-pay dan perguruan besar lainnya untuk ber-sama2 menyelam ke dasar

telaga dan membantu Kanglam-jit-hiap mencari harta karun.

Apabila harta karun ditemukan, maka mutu manikam yang berhasil didapatkan

akan digunakan menolong rakyat yang kelaparan sementara ketiga macam

benda mestika itu akan diperebutkan dalam suatu pertemuan besar para jago

yang akan diadakan di puncak Kun-san, dalam pertemuan itu akan diadakan

pertarungan secara adil, barang siapa tangguh maka dialah yang akan berhak

mendapatkan ketiga macam benda mestika itu, untuk ini Kanglam jit-hiap juga

harus ikut serta.

Setelah hasil perundingan itu diumumkan, semua orang dapat menerima usul

tadi, bahkan Buyung Ham yang sudah putus asa merasa ada harapan lagi untuk

momenangkan ketiga macam benda mestika itu.

Begitulah peta harta karun itupun diserahkan kepada panitia dan dipelajari

bersama, alhasil ditemukan bahwa harta pusaka itu berada di dasar telaga Tong-

tlng-oh yang amat luas dan dalam itu.

Berhubung di antara Kanglam-jit-hiap hanya Gin-san-cu (kipas perak sakti) Liu

Tiong ho saja yang mahir menyelam, maka diutuslah jago ini untuk melakukan

pencarian.

Dua hari dua malam lamanya Gin-san-cu berada di dasar telaga untuk

melakukan pencarian, tapi ketika muncul kembali di permukaan air, dia

menderita luka yang cukup parah.

Kiranya dasar telaga itu be-ratus2 kaki dalam-nya, bukan saja daya tekanan air

sangat besar, arus didasar telaga pun sangat deras, Liu Tiong-ho yang mahir

menyelampun hampir kehilangan nyawanya di sana.

Secara beruntun jago lain yang merasa punya kepandaian berenang juga

menyelam ke dasar telaga untuk melakukan penyelidikan, hasilnya semua orang

menderita luka cukup parah, malahan banyak di antaranya yang tidak berhasil

mencapai ke dasar telaga itu, ada pula yang penasaran dan berulang kali

berusaha mencapai dasar telaga, akibatnya nyawa mereka melayang ke akhirat.

Gagal dengan cara ini, jago2 itu berusaha dengan pelbagai cara yang lain,

kembali berpuluh orang jadi korban di dasar telaga tanpa hasil apapun-Setelah

mengalami kegagalan demi kegagalan, akhirnya mereka jadi putus asa, banyak

diantaranya segera berlalu dari sana.

Lama2 orang yang berkumpul ratusan orang itu pergi semua, bahkan Kanglam-

jit-hiap sendiripun lepaskan harapan untuk menggali harta karun itu.

Beberapa tahun kemudian, meski terkadang masih juga ada satu dua

rombongan jago silat yang datang ke situ untuk mencari harta karun, tapi

kebanyakan mereka kalau bukan pulang dengan luka parah, tentu nyawa

mereka ikut terkubur di dasar telaga.

Sejak itu tak seorangpun yang berani lagi mencari harta karun di dasar telaga

Tong-ting oh.

Malahan dalam dunia persilatan lantas timbul kata2 ejekan yang ditujukan

kepada para pencari harta karun: "Kalau ingin kaya, pergilah ke telaga Tong-ting-

oh!"

Lima atau enam tahun kemudian, kebanyakan orang sudah melupakan harta

karun di dasar telaga Tong-ting-oh itu.

Pada waktu itulah Tian In thian mendapat tahu bahwa Sin-kau (monyet sakti)

Tiat Leng yang bercokol di Le-kun san di bilangan propinsi Hunlam memiliki

sebutir "mutiara penolak air" yang sakti, katanya dengan membawa mutiara

tersebut bukan saja air akan memisah dengan sendirinya, pakaianpun tak akan

sampai basah.

Berita tersebut menggerakkan ingatan Tian In-thian, ia merasa bila mutiara

penolak air itu bisa dipinjam, niscaya harta karun di dasar telaga Tong-ting-oh

bisa diperoleh dengan mudah.

Seorang diri berangkatlah Tian In thian kedaerah suku Miau dan mendaki Le-

kung-san untuk meminjam mutiara mestika, di situ dia melakukan pertempuran

selama tiga-hari tiga-malam melawan Sin-kau, akhirnya ia berhasil menangkan

pertaruhan itu dan mendapatkau mutiara penolak air.

Serta merta ia kembali ke wilayah Kanglam untuk mengumpulkan keenam

saudara angkatnya, dan ber-sama2 berangkat menuju Tong-ting-oh.

Tak disangka karena usahanya inilah Tian In thian harus menemui ajalnya

dibunuh oleh keenam saudara angkatnya sendiri.

Maklum, dalam usaha pencarian harta karun ini, Kanglam-jit-hiap bertindak

secara rahasia, jarang orang yang tahu tindakan mereka itu, tak heran kalau

kematian Tian In-thian di tangan keenam saudara angkatpun tidak diketahui

orang luar.

Lewat beberapa tahun kemudian, semua orang telah melupakan kejadian itu,

sedang keenam saudara angkat itupun sama menikah dan punya anak, mereka

hidup terpisah dan boleh dibilang jarang berkumpul.

Sebab itulah orang lain mengira Tian In-thian mati dibunuh musuh, tiada orang

menyangka dia justeru dicelakai oleh keenam saudara angkatnya sendiri.

Dengan modal harta karun yang berhasil di-dapatkan dari dasar telaga itulah, Ti-

seng-jiu Buyung Ham, Kian-kun-ciang In Tiong-liong, Cing-hu-sin Kim Kiu serta

Kun-goan-ci Sugong Cing membeli tenaga jago persilatan untuk memupuk

kekuatan sendiri dan akhirnya terbentuklah empat keluarga besar dunia

persilatan.

Pak-ong-pian Hoan Hui yang berdiam di kota Tin-kang tidak mengumpulkan jago

persilatan, kendatipun demikian kekuatan serta kekuasaannya tidak di bawah

keempat saadara-angkatnya.

Hanya Gin-san-cu Liu Tiong-ho saja yang kabur keluar lautan dan tak tahu kabar

beritanya, mungkin mengasingkan diri karena menyesal telah membunuh

saudara angkatnva sendiri.

Peristiwa ini jarang diketahui orang, sekali pun sahabat karib mendiang Tian In-

thian seperti Tay-pek-siang-yat Lui Ceng-wan serta Bu-ing-sin tau (pencuri sakti

tanpa bayangan) Hoa Jing-coan dan lain2 siang-malam melakukan penyelidikan

hasilnya tetap nihil.

Begitulah akhirnya Sin-lu-tiat-tan berkata: "Hanya aku saja yang mengetahui

peristiwa itu, inipun kuselidiki dan kubuktikan kebenarannya selama ber-tahun2,

apabila tidak bcrtemu dengan Sin-kau dan ia tidak berceritera tentang ayahmu

pinjam mutiara penolak air miliknya, mungkin sampai kinipun aku tak tahu

caranya ayahmu mengangkat harta karun itu dari dasar telaga”

Tian Pek tidak mencucurkan air mata, akan terapi ia melotot beringas setelah

tabu jelas kisah terbunuhnya ayah.

Sin-lu-tiat-tan menghela napas panjang, ia tahu betapa benci dan dendam si

anak muda, maka katanya dengan lembut: "Sayang aku bertindak menuruti

nafsu dan melayani monyet tua itu hingga akibatnya sama2 terluka. dalam

kcadaan begini aku tak mungkin bisa membantu kau membalas dendam,

hidupku tinggal beberapa hari lagi, ilmu silat yang kuwariskan kepadamu juga

tak bisa terlalu banyak, sekarang lebih baik tekan duhulu rasa sedihmu,

mumpung aku masih bernapas, akan kuwariskan semua ilmuku padamu. Nah,

sekarang dengar baik2 kunci ilmu saktiku ini!"

"Ucapan Locianpwe sangat tepat, seorang ksatria sejati tak boleh sedih, aku

harus dapat mengendalikan perasaan sendiri, silakan Locianpwe menguraikan

ilmu silatmu, akan kuperhatlkan dengan saksama!"

Maka Sin-lu-tiat-tan lantas mewariskan segenap ilmu silatnya yang paling

ampuh kepada anak muda itu serta teori cara bagaimana merebut kemenangan

bila berhadapau dengan musuh.

Tian Pek berbakat bagus untuk berlatih ilmu silat, selain itu iapun memiliki dasar

tenaga dalam yang kuat hasil pelajaran dari Thian-hud-pit-kip, maka tak heran

kalau kemajuannya pesat sekali.

Kecerdikan Tian Pek memang lain daripada yang lain, hampir semua pelajaran

dapat dipahaminya dengan cepat, hal ini sangat menggirangkan hati Sin-lu tiat

tan sampai lupa pada keadaan sendiri yang payah, segenap tenaga dan pikiran

yang dimilikinya dicurahkan untuk mendidik anak muda itu.

Sayang waktu yang tersedia minim sekali, hari itu adalah hari ke sembilan puluh

Sin-lu-tiat-tan menurunkan ilmu silatnya kepada Tian Pek, karena terlalu banyak

memeras tenaga dan pikirannya, genap tiga bulan keadaan jago tua itupun

makin payah, keadaannya tak ubah seperti pelita kehabisan minyak.

Tian Pek keranjingan belajar ilmu silat, sayang selama ini tak pernah ketemu

guru yang pandai. kendatipun Lui Ceng-wan telah menghadiahkan Soh-kut-siau-

hun-thian-hud-pit-kip kepadanya, itupun harus dilatih sendiri dengan jalan

meraba, betul atau salah dan bagaimana kemajuan yang dicapai, ia sama sekali

tidak tahu.

Dan kini ia berjumpa dengan Sin-lu-tiat-tan yang lihay, setiap patah kata yang

diwariskan kepadanya merupakan intisari paling tinggi suatu ilmu silat, bisa

dibayangkan betapa rajin dan tekunnya pemuda itu mempelajari ilmu silat

tersebut, kecuali makan dan minum, boleh dibilang dia lupa tidur dan lupa

beristirahat, seluruh perhatiannya ditujukan pada ilmu, keadaan Sin-lu-tiat-tan

yang makin lemahpun tidak diperhatikan olehnya.

Dalam gua itu sudah tersedia bahan makaran dan air minum, selama tiga bulan

hampir Tian Pek tak pernah keluar gua, ia mempelajari semua ilmu silat yang

diwariskan kepadanya, pada hari yang ke sembilan puluh, hampir sembilan

puluh persen ilmu kepandaian itu telah dikuasainya.

Hari itu juga keadaan Sin-lu-tiat-tan semakin payah, untuk berbicarapun sudah

tak mampu, setelah beristirahat lama sekali baru orang tua itu buka mata seraya

berkata: "Aku hanya mampu mewariskan ilmu silatku sampai di sini saja, untung

kau memiliki kitab Thian-hud-pit-kip yang ampuh, asal kau berlatih terus dengan

tekun dan rajin, tidak susah untuk mencapai tingkatan melebihi diriku . . . .

aku .... aku rasa jodoh kita hanya sampai di sini saja, keluarlah kau . . dari gua

ini.... "

Ucapannya kian lama kian lemah dan lirih, akhirnya tinggal mulutnya saja yang

berkomat-kamit namun tak terdengar lagi suaranya.

Tian Pek melenggong, saat itulah baru dia memperhatikan keadaan Sin lu-tiat-

tan yang payah, dilihatnya sorot mata kakek itu sudah buram, mukanya pucat

dan dadanya bergelombang naik-turun, tahulah anak muda ini bahwa saat

ajalnya sudah tak jauh lagi.

"Locianpwe, kau kenapa kau .” teriak Tian Pek kuatir.

Sin-lu-tiat-tan tarik napas panjang2, dia membuka matanya kembali, dengan

susah payah ia berkata: "Tak usah urus diriku lagi, ingat saja baik2 jangan

bertindak gegabah dalam pembalasan dendammu, giatlah berlatih ilmu dan

perbanyak mengikat tali persahabatan dengan jago di dunia, bila perlu

umumkan peristiwa berdarah yang menimpa ayahmu pada dunia persilatan "

Sebelum kakek itu menyelesaikan kata2nya, tiba2 di luar gua berkumandang

suara gaduh, terdengar seseorang berseru dengan lantang: "Pasti berada di sini!

Coba lihat bekas telapak kaki di mulut gua ini, sudah pasti ada orang pernah

masuk sini!"

"Hayo geledah saja! Mari masuk ke dalam, hayo!" beberapa orang lantas

menanggapi dengan ramai.

Suara langkah kaki yang ramai menggema di luar gua, jelas ada beberapa orang

telah memasuki gua itu.

Tian Pek jadi gelisah, dia kuatir kehadiran beberapa orang itu akan mengganggu

ketenangan Sin lu-tiat tan menjelang ajalnya. Cepat ia bertindak keluar gua,

serunya dengan lantang: "Siapa itu di luar? Jangan sembarangan terobosan di

sini!"

Belum habis ia berseru, mendadak seorang membentak: "Serang!"

Berpuluh titik cahaya tajam diiringi suara desingan langsung menyambar ke

muka Tian Pek.

Gusar Tian Pek menghadapi serangan tanpa alasan itu, segera ia ayunkan

tangannya ke depan, "trang! trang!" terdengar dentingan nyaring, tiga batang

piau perak yang menyambar tiba tergetar mencelat menumbuk dinding gua,

tenaga sakti anak muda mulai memperlihatkan kehebatannya.

Pemuda itu benci kepada penyerang yang keji itu, setelah merontokkan senjata

rahasia musuh, cepat telapak tangannya menghantam pula ke depan, berbareng

Tian Pek ikut menyusup keluar gua.

Gulungan angin pukulan bagaikan taupan mendampar dengan hebat, dua kali

jeritan ngeri menggema di udara, menyusul tiga sosok bayangan melayang

keluar.

"Blang, blang!" kedua sosok tubuh yang melayang masuk ke dalam gua itu

terhempas di tanah, sementara Tian Pek sendiri juga meluncur keluar secepat

terbang, telapak tangan kanan siap di depan dada dan telapak tangan kiri

melindungi tubuh dari ancaman musuh.

Dilihatnya puluhan orang berkerumun di situ, salah seorang di antaranya

dikenali sebagai Siang-lin Kougcu yang tampan.

Di sisi Siang-lin Kongcu berdiri Kanglam-te-it-bi-jin (gadis paling cantik di wilayah

Kanglam) Kim Cay-hong.

Di belakang kakak beradik itu berdiri Kim na-siang tiat-wi (sepasang pengawal

baja keluarga Kim), yaitu Tiat-pi-to-liong (Naga bungkuk berlengan baja)

Kongsun Coh serta Tiat-ih-hui-peng (Rajawali sakti bersayap baja) Pah Thian-ho.

------------------------

Untuk apa dan mengapa rombongan Siang-lin Kongcu mendadak muncul di

"Duabelas gua karang" ini?

Siapakah lebih unggul antara anak didik Sin lu dan Sin kau, apakah jadi

dipertandingkan?

-----------------------------

Jilid 13 : Bu-lim su-toa kongcu bertemu

Editor : MCH

Sementara di belakang kedua jago tua itu berdiri pula berpuluh jago keluarga

Kim, hanya seketika Tian Pek tak dapat menyebut nama mereka satu persatu.

Dalam pada itu, baik Siang-lin Kongcu kakak beradik maupuh jago2 keluarga

Kim sama berdiri tertegun tatkala melihat Tian Pek muncul dari dalam gua,

untuk sesaat mereka sama bungkam.

Mereka heran bahwa kedua orang kawannya yang ditugaskan menggeledah

gua ternyata mampus di tangan Tian Pek hanya dalam satu gebrakan saja.

Setelah melengak segera Siang-lin Kongcu tenang kembali, dengan serius dia

menegur: "Oo, rupanya Tian-heng yang berada di dalam goa ini, bolehkah

kutahu tokoh silat mana yang masih berada di dalam gua itu? Bagaimana kalau

persilakan keluar untuk berkenalan!"

Tian Pek sendiri tak mengira jago yang menyergap dirinya dengan senjata

rahasia itu adalah anak buah Kongcu, mendengar pertanyaan tersebut, dia

tertawa dingin.

"Hehehe, tokoh silat yang berada di dalam gua ini tak sudi bertemu dengan

orang berhati keji dan suka menyergap orang dengan senjata rahasia, bila

Kongcu ada urusan, akan kulayani saja!"

Kata2nya ketus dan kasar, sedikitpun tidak sungkan2.

Hati Kim Cay-hong berdebar keras demi mendadak melihat Tian Pek muncul

dari dalam gua, tapi sebelum ia sempat buka suara, kakaknya telah mendahului

berkata: "Harap Tian-hang jangan salah paham, aku benar2 tak tahu Tian-heng

berada di dalam gua.......... . "

“O, jadi kalau orang lain yang berada di dalam gua maka Kongcu boleh

menurunkan derajat sendiri dengan melancarkan serangan gelap?" ejek Tian

Pek.

"Hehe, kalau begitu, mestinya aku berterima kaiih atas kebaikan Kongcu!"

“Eh, jangan kau salah paham pada engkohku," seta Kim Cay-hong dari

samping. “Oleh karena ada benda mestika milik kami hilang dicuri orang, sudah

dua rombongan jago kami yang ditugaskan melakukan pencarian di sekitar dua

belas gua karang ini menderita kerugian berat, maka kami .. "

Di antara jago tangguh yang berkumpul dalam istana ke!uarga Tiat-ih-hui-peng

terhitung seorang yang paling aneh tabiatnya, ilmu silatnya sangat tinggi,

orangnya juga angkuh, seorang pemberang yang sukar menguasai emosinya.

Sejak benda mestika milik istana mereka lenyap dicuri orang, setiap hari dia

selalu uring2an, apalagi setelah dua rombongan jago yang dikirim ke “dua belas

gua karang" menderita kerugian besar, ia bartambah murka.

Dan sekarang, dengan mata kepala sendiri ia saksikan kedua orang anak

buahnya mati konyol, sedangkan Tian Pek yang menongol dari dalam gua

bersikap jumawa, rasa gusarnya susah dikendalikan lagi.

Maka sebelum Kim Cay-hong menyelesaikan kata2nya, dengan langkah lebar

segera ia tampil ke depan.

"Anak anjing yang tak tahu diri, jangan takabur," teriaknya lantang, “diberi hati

malah minta rempeia memangnya kau anggap orang2 istana keluarga Kim takut

padamu? Huh, jika tak mau mengaku siapa yang berada di dalam gua, jangan

menyesal bila tuan besarmu tak sungkan2 lagi!"

"Hehehe.......... . kalau tak sungkan, lantas mau apa?" ejek Tien Pek.

"Bangsat, tampaknya kau harus dibekuk lebih dahulu!" teriak Tiat-ih-hui-peng

dengan gusar.

Secepat kilat ia menubruk maju dan menyambar batok kepala pemuda itu.

Tiat-ih-hui-peng tak malu disebut jago nomor wahid di kota Lam-keng, gerak

tubuhnya cepat dan jurus serangannya lihay, sekalipun hanya serangan yang

sederhana, ternyata desingan angin tajam berembus dengan keras.

Tian Pek merasakan tibanya tenaga tekanan yang sangat kuat.

Tapi Tian Pek sekarang bukanlah Tian Pek yang dulu, selama tiga bulan

mendapat pendidikan yang ketat dari Sin-lu-tiat-tan, ilmu silatnya telah maju

pesat, banyak gerak jurus aneh berhasil dipahami olehnya, dan lagi tenaga

dalamnya dapat digerakkan menurut kehendak hatinya.

Maka dikala serangan Tiat-ib-hui-peng yang dahsyat menyambar tiba, cepat ia

mengegos ke samping, kemudian ia membaliki telapak tangannya untuk

mengunci tulang persendian lengan musuh.

Gerak serangan yang dipakai Tian Pek tampak amat sederhana sekali, tapi

sebenarnya merupakan ilmu Soh - liong - jiu ( gerak tangkap naga ) yang ampuh.

Terkejut Tiat-ih-hui-peng, cepat ia tarik tangan, menyusul jarinya lantas

mencengkeram tenggorokan.

Tian Pek terperanjat, ia merasa kecepatan Tiat-ih-hui-peng sukar dibayangkan,

untung salama tiga bulan ia berlatih tekun di bawah asuhan Sin-lu-tiat-tan, kalau

tidak niscaya serangan berantai itu akan bersarang dibadannya.

Tian Pek tak berani gegabah, setelah mengegos ke samping, kedua telapak

tangan menyodok ke depan, inilah jurus Bu-bong-tui-ing (merangkap angin

mengejar bayangan), suatu jurus mematikan yang baru dipelajari dari Sin-lu-tiat

tan.

Pertempuran dari jarak dekat ini berlangsung dengan gerak cepat dan sama

gesitnya, dalam waktu singkat enam tujuh gebrakan sudah berlalu, demikian

cepatnya pertarungan itu sehingga pandangan kawanan jago istana Kim yang

berkumpul di situ jadi kabur.

Dalam istana keluarga Kim, ilmu silat Tiat-ih-bui-peng tergolong paling top,

sehari2 dia disanjung dan dihormati.

TapI kenyataan jago yang tersohor karena ketangguhannya itu hanya

bertanding seimbang dengan Tian Pak, seorang pemuda yang masih ingusan,

sudah tentu peristiwa ini cukup menggemparkan, kawanan jago itu sama berdiri

dengan terbelalak dan melongo.

Siang--lin Kongcu adalah jago muda yang suka pada tokoh silat yang tangguh,

sudah banyak pengalaman tempurnya, tapi belum pernah ia menyaksikan

pertarungan dahsyat seperti Tian Pek melawan Tiat- ih bui-peng sekarang ini.

Oleh sebab itulah, untuk sesaat iapun termangu dan lupa menghentikan

pertarungan itu.

Kim Cay-hong pun terbelalak memandang Tian Pek dengan rasa heran, dari

sikapnya yang mesra siapapun tahu bahwa gadis yang mendapat predikat

Kanglam-te-it-bi-jin ini sudah kecantol hatinya oleh kegantengan Tian Pek si

musafir.

Selama pertarungan itu Tian Pek melayani musuh dengan mantap, tiap

serangan segera dibalas dengan serangan, setiap pukulan disambut dengan

pukulan, seketika pertempuran berjalan seimbang, kedua pihak sama tak

mampu merobohkan lawannya.

Kalau Tian Pek bertempur dengan mantap, sebaliknya Tiat-ih-hui-peng

bertempur dengan kejut, marah dan rada panik.

Sudah belasan tahun ia malang melintang di dunia persilatan tanpa tandingan,

tapi sekarang serangannya yang ampuh tak mampu menjatuhkan seorang

pemuda. macam Tian Pek, bisa dibayangkan betapa kesalnya.

Dengan mempergencar serangan, kalau bisa dia hendak membinasakan Tian

Pek dengan sekali hantam.

Suatu ketika, tiba2 terdengar benturan keras, "Ptak! Plak!" menyusul mana

tubuh kedua orang itu saling berpisah sejauh dua tombak Lebih.

Tiat-ih hui-peng berdiri dengan wajah hijau membesi dan mata melotot,

sebaliknya Tian Pek juga berdiri dengan muka buram dan mendelik.

Agak lama kedua orang itu saling memandang dengan gusar, dan tidak saling

menyerang pula.

Watak Siang-lin Kongcu suka pada orang pandai, ia sangat gembira karena

berhasil menemukan seorang jago muda yang ilmu silatnya mampu menandingi

Tiat ih-hui pang yang tangguh, selagi ia hendak membentak untuk memisah,

mendadak kedua orang yang saling melotot itu membentak keras, kemudian

saling menerjang pula.

“Plak ! Plak .... !" benturan nyaring kembali menggelegar.

Beruntun kedua orang saling beradu tenaga beberapa kali di udara, setelah itu

masing2 melayang kembali ke kiri dan kanan gelanggang, sekalipun menang

kalah belum bisa ditentukan, namun kedua pihak tetap berdiri tak bergerak dan

tak bicara, seperti ayam jago saja mereka saling melotot.

Tiat-pi-to-liong Kongsun Coh yang sejak tadi hanya berpeluk tangan tiba2 maju

mElerai sambil tertawa. "Hahaha, saudara cilik, memang hebat kau! Tak sangka

kepandaian silatmu seimbang dengan kemampuan Lo Peng kita!"

Jika jago tua ini tidak berteriak begitu keadaan mungkin masih mendingan, tapi

justeru mendengar kata2 yang tak sedap didengar ini, hui-peng marasa

kehilangan muka, dengan sendirinya dia tambah gusar dan nekad.

Sambil membentak mendadak kedua tangannya mencengkeram Tian Pak

dengan sepenuh tenaga.

Sudah tentu Tian Pek tak tinggal diam, dengan segenap tenaga ia sambut

ancaman tersebut dengan keras lawan keras,

"Blang!" dua arus pukulan terbentur dan mengakibatkan goncangan hebat,

debu pasir beterhangan memenuhi udara.

Di tengah berembusnya angin puyuh yang bercampur dengan debu pasir,

terlihatlah sesosok bayangan melayang ke atas bagaikan seekor burung rajawali,

setelah mencapai ketinggian dua-tiga tombak lalu menukik ke bawah, kedua

telapak tangannya terus menabas pula.

Rupanya Tiat-ih-hui-peng telah menggunakan baju mestika sayap bajanya

untuk melambung ke udara, karena sejak tadi tak berhasil merobohkan lawan,

maka setelah melambung ia melancarkan serangan lagi dengan segenap

kekuatan yang dimilikinya.

Tian Pek tetap tak gentar, dengan jurus Pahong-ki-teng (raja bengis

mengangkat wajan), kedua telapak tangannya memapak ke atas.

"Blang!" kembali terjadi benturan keras, pusaran angin kencang menyebar ke

sekitar gelanggang, kawanan jago istana keluarga Kim berpekik kaget dan

melompat mundur.

Gagal dengan serangannya, cepat Tiat- ih-huipang melambung lagi ke atas, ia

berputar beberapa kali kemudian melayang turun ke atas tanah dan

memandang dengan mata melotot, dengan tenang ia menantikan robohnya

anak muda itu.

Rupanya ia telah mengerahkan segenap tenaga sakti Tiat ih sin-kang, selama ini

belum pernah ada orang mampu menahan tenaga serangan tersebut.

Tak sersangka Tian Pek masih tetap berdiri tegak di tempat semula, kuda2nya

tetap kuat, malahan matanya memancarkan sinar tajam mengkilat, sama sekali

tiada tanda terluka.

Kenyataan ini bukan saja mercengangkan Tiat-ih- hui peng, bahkan Siang-lin

Kongcu kakak beradik, Tiat-pi-to-liong serta jago istana keluarga Kim lainnya ikut

melongo, peristiwa ini betul2 di luar dugaan siapapun.

Sebagai orang yang yang suka mencari bakat bagus, sejak melihat

ketangguhan Tian Pek, timbul niat Siang-lin Kongcu akan menariknya agar

berpihak kepadanya. Tapi sebelum maksud itu diutarakan, Tiat-ih hui peng

keburu melancarkan serangan yang mematikan. la tak sempat lagi untuk

menghalangi perbuatan anak buahnya, menurut dugaan Suang-lin Kongcu, kali

ini Tian Pek pasti akan mati atau terluka parah termakan oleh pukulan dahsyat

itu, sebab dia tahu Tiat-ih-hui-peng telah mengerahkan Tiat-ih-sin-kang yang

maha dahsyat.

Apa yang tejadi kemudian sama sekali di luar dugaan, bukan saja Tian Pek

mampu menahan pukulan dahsyat yang maha sakti itu, bahkan ia sama sekali

tidak terluka sedikitpun.

Kejadian ini membuat Siang-lin Kongcu semakin kegirangan, dengan

sendirinya niat untuk menarik Tian Pak ke pihaknya semakin besar.

Di pihak lain, air muka Kim Cay-hong telah berubah pucat pias tatkala

menyaksikan Tiat-ih hui-peng menyerang dengan Tiat-ih-sin-kangnya, untuk

mencegah jelas tak sempat lagi, ia mengira Tian Pek pasti akan celaka, maka

dengan sedih ia pejamkan matanya.

Tak tahunya setelah terjadi benturan keras dan dia membuka mata lagi, Tian Pek

masih berdiri dengan gagahnya, hal ini membuat anak dara itu bersorak

kegirangan.

Reaksi Tiat-pi-to-liong berbeda lagi, ialah yang paling jelas mengetahui sampai

dimanakah kelihayan Tiat-ih-sin-kang rekannya, apalagi serangan itu dilepaskan

dari udara disertai pula dengan daya luncur yang kuat, ia merasa dirinya sendiri

juga belum tentu mampu menahan serangan itu.

Dan sekarang Tian Pek ternyata sanggup menyambut serangan maut itu

dengan mantap, saking herannya sampai lama ia tak mampu bersuara dan

dengan mata tebelalak lebar ia mengawasi Tian Pek.

"Bocah ini luar biasa tangguhnya, kalau melihat umumya jelas masih sangat

muda, tapi aneh, kenapa Kungfunya sudah mencapai tarap satinggi ini dan

melampaui jago tua seperti diriku, sungguh kejadian yang sukar dimengerti, .....

" demikian ia berpikir.

Pada saat itulah, tiba2 Tian Pek membentak keras: "Kau juga merasakan suatu

pukulan Siauyamu ini!"

Berbareng dengan bentakannya, ia sedikit mendak ke bawah, tenaga murni

terhimpun pada perut, pelahan kedua telapak tangannya di dorong ke depan.

Inilah jurus Se-thian-lui-im (suara guntur di langit barat), satu jurus pukulan yang

tangguh dari Lui-im--hud-ciang ajaran Sin-lu-tiat- tan.

Segulung angin lembut menyambar ke depan mengikuti gerakan tangan anak

muda itu, kendatipun tidak terdengar desingan akan tetapi suatu embusan

angin kencang yang tak terwujud lantas meluncur ke depan dan mengurung

sekujur badan musuh.

Tiat-ih-hui pang terhitung jago lihay yang berwatak angkuh, ia lihat pukulan Tian

Pek itu sangat enteng dan sedikrtpun tiada tanda mengerikan, akan tetapi

sebagai seorang jago yang berpengalman, tentu saja dia sadar bahwa pukulan

tersebut pastilah sejenis pukulan lunak yang lihay. Ia malu untuk berkelit, musuh

yang masih muda beliapun berani menyambut dua kali serangannya dengan

keras lawan keras, masa ia tak berani menyambut pukulan lawan yang kelihatan

enteng ini?

Terpaksa sambil menggigIt bibir dia himpun segenap kekuatan pada kedua

telapak tangan dan menyambut datangnya ancaman.

Tiat- pi-to hong yang menonton di samping merasakan anehnya pukulan anak

muda itu, satu ingatan cepat melintas dalam benaknya, ia teringat pada suatu

cerita yang pernah didengarnya sekalipun belum pernah disaksikan dengan

mata kepala sendiri, yaitu sejenis ilmu pukulan sakti dari benua barat.

Cepat ia berteriak: "Saudara Pah, hati2 ilmu pukulan Lui im bud-ciang.......... ."

Tapi sayang peringatan itu terlambat, belum lenyap suara. Tiat- pi to hong,

telapak tangan Tiat ih-hui- pang telah saling beradu dengan angin pukulan Tian

Pek.

"Blang!" benturan keras segera bergetar, debu pasir beterbangan Tiat-ih-hUi

peng mencelat sejauh beberapa tombak, kendati tidak sampai roboh, namun air

mukanya berubah jadi hijau, napasnya berat dan sayap besi di badannya

mengembang-kenpis seperti perahu, dia hendak "terbang" lagi tapi gaga! .....

Ilmu pukulan Lui-im-bud-ciang yang hebat itu sekalipun si "Monyet Sakti" tak

sanggup menyambut serangan tersebut dengan keras lawan keras, apalagi Tiai-

ih hui-peng.

Padahal Tian Pek baru saja mempelajari ilmu pukulan itu, akan tetapi teraga

pukulannya sudah luar biasa.

Masih untung Tiat-ih-hui-peng dilindungi oleh baju bersayap, kalau tidak,

mungkin sejak tadi dia sudah roboh tak bernyawa.

Sekejap itu kawanan jago istana keluarga. Kim serta Siang-lin Kongcu kakak

beradik jadi tertegun kaget dan heran, Tiat-ih-hui-peng yang menjadi andalan

mereka ternyata kena dihajar sampai mencelat oleh seorang pemuda yang

belum terkenal, apabila tidak menyaksikan sendiri, siapapun takkan percaya.

"Pukulan sakti yang hebat!" tiba2 ada orang berseru memuji di belakang sana.

"Engkoh Tian!" terdengar pula seorang gadis menyapa.

Semua orang berpaling, tampak lah seorang pamuda tampan berdandan

sederhana bersama seorang nona cantik jelita sedang menghampiri gelanggang,

Nona ini berusia enambelas atau tujuhbelasan, cantik bak bidadari dari

kahyangan, meskipun Kim Cay-hong terhitung Kanglam-te-it-hi-jin, tapi

kecantikan anak dara itu tidak berada di bawah Kim Cay hong. Lebih2 mukanya

yang masih ke-kanak2an itu, gerak geriknya lincah, siapa lagi dia kalau bukan

Tian Wan-ji.

Sedangkan pemuda tampan berdandan sederhana itu bermata jeli, hidung

mancung, alis tebal serta perawakan yang tinggi kekar.

Sekalipun ia berdandan sebagai orang udik, tapi kesederhanaannya itu tidak

mengurangi kegantengannya

Berbicara tentang ketampanannya, ia tak kalah dengan kegantengan Tian Pek,

malah lebih gagah daripada Tian Pek, berbicara soal kegagahan dan ketampanan

juga, melebihi Siang-lin Kongcu, malahan terasa lebih sederhana dan lebih polos.

Tian Pek tidak kenal dengan pemuda tampan ini, namun ketika dilihatnya dia

muncul bersama Wan ji, terasa kecut juga hatinya.

Mengapa timbul perasaan begitu, Tian Pek sendiripun tak sanggup menjawab,

sekalipun ia tidak menaruh perasaan apa2 terhadap Wan-ji, tapi entah

mengapa, ketika menyaksikan nona itu berada dengan pemuda lain, hatinya jadi

kurang senang........... ‘

Wan -ji tak peduli lagi perasaan orang lain, begitu melihat Tian Pek ada di situ,

dia lantas berseru girang dan bagaikan burung kecil dia menubruk ke arah

pemuda itu dan merangkul bahunya sambil berseru kegirangan: “Engkoh Tian,

apakah ilmu silatmu sudah jadi? O, bagus sekali ..... "

Ketika Wan--ji muncul bersama pemuda tampan tadi, meskipun dalam hati

Tian Pek merasa cemburu, akan tetapi perasaan itu tak sampai diperlihatkan.

Berbeda dengan pemuda tampan itu, ketika melihat Wan-ji bersikap begitu

mesra pada Tian Pek, air mukanya kontan berubah hebat, rasa cemburu dan

benci selintas berkelebat di wajahnya.

"Hehehe, tampaknya kalian sudah lama saling kenal..... ' jengeknya segera.

Kim Cay-hong tertarik juga oleh ketampanan pemuda yang baru datang, ia

pandang pemuda itu dengan melenggong, tapi ketika Wan-ji bermesraan

dengan Tian Pek, cepat ia alihkan pandangannya kepada kedua orang itu,

wajahnya juga terlintas rasa cemburu.

"Bukan saja kenal bahkan kelihatan hubungan mereka sudah sangat erat,"

demikian ia menukas dengan mencibir.

Hanya Siang-lin Kongcu yang tidak terpengaruh apa2 atas kedatangan kedua

muda mudi itu, dengan jiwanya yang terbuka dan wataknya yang suka

bersahabat, cepat ia melangkah ke depan dan memberi hormat, katanya:

"Caybe Siang-lin, apa boleh kutahu siapa nama besar ksatria muda ini?"

Air muka pemuda tampan tadi kembali berubah, cepat dia balas memberi

hormat. “O, maaf! Kiranya engkau Siang-lin Kongcu dari Lam- keng, aku ini orang

miskin, orang menyebut diriku sebagai Toan- hong, sungguh beruntung dapat

berkenalan dengan anda!"

Semua orang melengak setelah pemuda itu memperkenalkan diri, pemuda

udik ini ternyata tak-lain-tak-bukan adalah Toan-hong Kongcu yang punya nama

besar sejajar dengan Siang-lin Kongcu.

Air muka Siang-lin Kongcu juga berubah setelah mengetahui siapa lawannya,

hasrat akan menarik orang ke dalam lingkungannya segera lenyap, diam2 timbul

pikiran akan menjatuhkan pihak Iawan, segera ia tertawa ter-bahak2.

“Hahaha, suatu pertemuan yang sama sekali tak terduga!" serunya lantang, "tak

tersangka anda inilah Toan-hong Kongcu yang terkenal itu."

"Suatu pertemuan yang sangat berarti!" sambung Wan-ji dari samping dengan

tertawa. "Siang lin yang simpatik serta Toan-hong yang suka keluyuran bertemu

di sini, bila kuundang kehadiran engkohku. kemudian menemukan pula An-lok

yang romantis, waah, kan terjadilah pertemuan Bu lim-su kongcu."

Mendengar itu, Siang-lin Kongcu berpaling dengan terkejut. "O, jadi kakak

nona adalah Leng-hong Kongcu?" tanyanya.

"Betul," sahut Wan-ji sambil tertawa.

Siang-lin Kongcu bergelak tertawa: "Hahaha, kalau begitu tolong nona. Buyung

suka menyampaikan pesanku kepada kakakmu, katakan saja bahwa Siang-lin

dari Lam-keng ingin sekali berjumpa..."

"Kau keliru, aku tidak she Buyung, aku she Tian!" sela Wan-ji.

"O, jadi nona dan Leng-hong Kongcu bukan saudara sekandung?" tanya

Siang-lin Kongcu.

Wan-ji semakin tak senang hati. "Siapa bilang aku bukan saudara sekandung

engkohku" Aku she Tian.... " Biji matanya yang jeli tiba2 melirik sekejap ke arah

Tian Pek, kemudian sambil menggenggam tangan pemuda itu ia menyambung:

"Aku she Tian, sama seperti she engkoh Tian ini!"

Tergetar hati Tian Pek mendengar ucapan gadis itu, biarpun ia tahu gadis itu she

Tian karena ikut nama marga ibunya, tapi secara blak2an di hadapan orang

banyak gadis itu mengaku mengikuti she dirinya, ucapan yang begitu berani dan

mesra.

Iapun heran setelah mengetahui bahwa su-kongcu yang amat tersohor itu

ternyata tidak sailing mengenal, padahal ayah mereka berempat sama2

tergabung dalam Kang-lam jit hiap di masa lampau. Mungkinkah ayah mereka

tak pernah berhubungan lagi sejak peristiwa. pembunuhan ayah?

Tebakan Tian Pek memang tepat, sejak keenam orang dari Kanglam-jit-hiap

membinasakan kakak angkat mereka, Tian In-thian, dan membagi rata harta

karun yang berhasil mereka rampas, masing2 lantas hidup terpisah dan tak

pernah berhubungan !agi, lebih2 setelah mereka beristeri dan beranak. bahkan

boleh dibilang tak pernah berjumpa kembali, dihadapan anak isteri merekapun

tak pernah mengungkap kejadian tentang Kanglam-jit-hiap, dengan begitu

keturunan merekapun tidak saling mengenaI dan tidak mengetahui rahasia

orang tua mereka.

Di antara keenam orang itu, hanya Buyung Ham dan Hoan Hui saja yang

masih bergaul rapat dan sering mengadakan hubungan.

Tapi suatu peristiwa telah terjadi menyangkut rumah tangga mereka.

Soalnya isteri Buyung Ham adalah perempuan cantik yang tersohor, sedang

Buyung Ham adalah laki2 yang besar rasa cemburunya, ia tak senang bila

isterinya bergaul dengan laki2 lain, seringkali dia jadi berang karena cemburunya

ini.

Suatu hari, Hoan Hui suami-isteri berkunjung ke rumah Buyung Ham,

kebetulan pada waktu Buyung Ham tidak ada di rumah, karena udara sangat

panas, isteri Buyung Ham mengundang nyonya Hoan untuk mandi di dalam

kamarnya. sementara Hoan Hui sendiri duduk iseng di serambi, karena

terembus angin yang sepoi2 akhirnya ia tertidur.

Ia tak menyangka bahwa tempat duduknya yang dekat pintu masuk ke kamar

tidur nyonya Buyung Ham akan menjadi persoalan, Buyung Ham mendadak

pulang dan naik darah demi menyaksikan Hoan Hui berada di situ, dia mengira

isterinya main gila dengan Hoan Hui, hal ini diperkuat setelah mendengar suara

air mandi di dalam kamar.

Tanpa mencari keterangan lebih jauh, dengan gusar ia langsung menerjang

masuk kedalam kamar mandi, tentu saja nyonya Hoan Hui yang sedang mandi

menjerit kaget, tubuhnya yang bugil terlihat semua oleh Buyung Ham.

Betapa malu dan sedih isteri Hoan Hui, nyonya Buyung juga mencaci maki

suaminya yang tidak tahu aturan.

Keributan ini dengan cepat tersiar ke seluruh gedung, hampir semua orang

mengetahui kejadian ini, tentu saja Hoan Hui dan isterinya menjadi malu dan

buru2 pulang.

Bila kejadian hanya sampai di sini saja mungkin tidak menjadi soal lagi, justeru

setelah peristiwa itu di dunia persilatan lantas tersiar berita yang mengatakan

bahwa Buyang Ham dan Hoan Hui saling tukar isteri dan berbuat tak senonoh di

kamar mandi, keruan isteri Hoan Hui tak tahan menanggung malu, suatu malam

akhirnya ia membunuh diri.

Dari sinilah dendampun timbul sampai belasan tahun kemudian ketika tiga jago

keluarga Hoan telah dewaca, bersama adik kecil perempuannya dan puluhan

jago lihay mereka menyerbu ke gedung keluarga Buyung untuk melakukan

pembalasan!

Begitulah Siang-lin Kongcu baru tahu setelah Wan-ji menerangkan bahwa ia

she Tian karena mengikuti she Tian Pek, sambil tertawa segera ia berkata: "O,

jadi nona Buyung telah mengikat perjodohan dengan Tian-heng? Hahaha, yang

perempuan cantik dan yang laki2 tampan, kalian memang dua sejoli yang amat

cocok, kionghi, kionghi ...... "

Merah jengah wajah Wan-ji dan Tian Pek mendengar ucapan itu, mereka tahu

Siang-lin Kongcu telah salah paham, sementara di pihak Kim Cay-hong dan

Toanhong Kongcu juga lantas unjuk wajah kecewa.

"Kongcu," buru2 Tian Pek berseru, "bukan begitu duduknya perkara, engkau

keliru, kami tidak...."

Belum Tian Pek menyelesaikan kata2nya, Toanhong Kongcu telah putar badan

dan berlalu dengan langkah lebar.

Siang-ling Kongcu tidak melayani pula sanggahan Tian Pek, ketika dilihatnya

Toan hong Kongcu berlalu tanpa pamit, cepat dia berseru: "Toanhong Kongcu,

harap tunggu sebentar! Masih ada urusan ingin kubicarakan dengan

engkau.........."

"Maaf, Toan-hong masih ada urusan lain, selamat tinggal!" jawab pemuda itu

tanpa berpaling.

Siang-lin Kongcu bertindak cepat, sekali melayang tahu2 ia sudah

mengadang di depan Toan-hong Kongcu.

"Toan-hong Kongcu, sekalipun ada urusan kenapa musti ter buru2 pergi?"

ucapnya, "ada suatu urusan ingin kutanyakan padamu, apakah kau bersedia

menjawab?"

"Urusan apa?" jawab Toan-hong.

"Bukannya tinggal di rumah indah yang ada di kota Hang-ciu, Kongcu jauh2

malah datang ke Kim-leng yang gersang ini? Apa boleh kutahu untuk urusan

apakah Kongcu berada di sini?"

Toan-hong Kongcu unjuk muka tak senang, ia tertawa dingin dan menjawab:

"Gunung dan hutan tak bertuan, sudah biasa aku Toan-hong suka berpesiar ke

mana saja yang kukehendaki, kenapa kau melarang kebebasanku?"

"Hehehe, jalan yang ada di dunia ini memang diperuntukkan semua manusia,

tentu saja kami tidak berani mengalangi kehendak Toan- hong Kongcu untuk

berpesiar. Cuma keadaan pada saat ini lain daripada biasanya, maka ingin

kuketahui alasan Kongcu berkunjung ke sini!"

Siang-lin Kongcu suka bergurau dan simpatik, tapi kini bicara dengan serius, ia

tak pernah main kasar bilamana tak perlu, tapi sekarang berbicara dengan muka

gusar, sikap macam ini jarang terjadi.

Rupanya kawanan jago istana keluarga Kim dapat merasakan pula sikap

majikan mereka, serentak mereka mengerumun dan mengambil posisi

mengepung. Asal Siang-lin Kongcu memberi aba2, maka kawanan jago itu

serentak akan menyerbu..........

Toan-bong Kongcu memandang sekejap sekelilingnya, tiba2 ia tertawa dan

berkata: "Hahaha, kalau aku keberatan untuk menerangkan? Kalian mau apa?"

"Terpaksa aku menahan dirimu!" jawab Siang-lin Kongcu sambil menarik

muka.

"Hahaha, kau akan main kerubut?"

"Aku sendiri saja masih mampu menahan dirimu di sini!" sahut Siang Li

Kongcu dengan marah.

Tiat-pi-to-liong tiba2 melangkah ke depan. ujarnya: "Kongcu, untuk menangkap

bocah ini tak perlu turun tangan sendiri, serahkan saja tugas ini kepada Kongsun

Coh, ingin kucoba sampai di manakah kelihayan Toan-hong Kongcu yang

tersohor itu!"

Tapi Siang-lin Kongcu memberi tanda pada Tiat-pi-to-liong agar jangan maju,

katanya pula kepada Toan-liong Kongcu: "Bicara terus terang, kami telah

kehilangan sebuah benda berharga di sakitar bukit ini, kebetulan Kongcu juga

berada di sini, hal inilah yang menimbulkan curiga kami atas diri Kongcu!"

"Hehehe, apa betul kau kehilangan barang dan bukan barang rampasan yang

kemudian diserobot orang?" ejek Toan-hong.

Air muka Siang-lin Kongcu seketika berubah hebat, ia membentak nyaring:

"Bagus, rupanya kau inilah pelakunya! Lihat serangan.”

Sekaligus dua jarinya terus menyolok mata Toan-hong Kongcu, sementara

telapak tangan kanan juga memotong bahu kiri lawan, satu jurus dua gerakan,

serangan keras dan lihay.

“Bagus!" bentak Toan-hong Kongcu.

Sedikit miring ke samping, tangan kanan balas menghantam sikut kiri Siang-lin

Kongcu, sedang tangan kiri mencengkeram pinggang kanan lawan, dengan

serangan ia patahkan serangan lawan, sungguh hebat caranya.

Dengan gerakan yang sama2 cepat dalam waktu singkat kedua pihak telah

bertempur beberapa gebrakan. "Blang! Blang!" benturan keras menggelegar,

tiba2 kedua orang memisahkan diri kebelakang.

Toan-hong Kongcu merasakan lengannya linu, kaku dan kesemutan,

sedangkan Siang-lin Kongcu merasa telapak tangannya sakit, panas pedas, nyata

kekuatan kedua pihak seimbang.

Setelah saling melotot sekejap, sekali lagi Siang-lin Kongcu menerjang maju,

pukulan demi pukulan dilepaskan dengan kecepatan tinggi, secara beruntun dia

memukul beberapa kali sehingga Toan-hong Kongcu terdesak mundur beberapa

kaki.

Penasaran jago muda itu, ia membentak keras dan melancarkan serangan

balasan dengan pukulan-pukulan yang tak kaiah cepatnya.

Tiat-pi-to-tiong kuatir majikannya terluka, ia membentak dan ikut terjun ke

tengah gelanggang, pukulan dahsyat segera menyambar punggung Toan hong

Kongcu.

Sekuatnya Toan hong melancarkan pukulan maut dan memaksa mundur

Siang-lin Kongcu, lalu dia melompat ke samping. ia berhasil lolos dari ancaman

pukulan Tiat-pi-to-liong pada saat yang tepat.

Setelah pemimpinnya turun gelanggang, kawanan jago lainnya ikut bergerak

pula mendekati gelanggang, dalam sekejap Toan-hong Kongcu sudah terkurung

rapat.

Dengan angkuh pemuda itu berdiri tegak di tengah gelanggang, tiba2 ia

menengadah dan tertawa ter-bahak2, katanya: "Hahaha, sungguh tak tersangka

Siang-lin Kongcu yang tersohor namanya adalah manusia pengecut yang suka

cari kemenangah dengan main keroyok!"

Mendadak ia masukkan jari kecil ke mulut dan bersuit melengking panjang.

Suitan nyaring menggema angkasa, serentak dari hufan sisi kiri sana muncul

puluhan sosok bayangan manusia, mereka adalah sekawanan pengemis yang

bersenjata tongkat penggebuk anjing. Menyusul munculnya kawanan pengemis

itu, dari hutan sebelah kananpun bermunculan puluhun orang pengemis lain

yang juga bersenjata pentung.

Dalam waktu singkat, di sekeliling situ telah muncul kawanan pengemis

bersenjata pentung bambu, sedikitnya berjumlah ratusan orang.

Baik, Siang-lin Kongcu maupun kawanan jago istana keluarga Kim serentak

berdiri tertegun, sama sekali mereka tak menyangka kalau Toan-hong Kongcu

telah menyiapkan barisan pengemis yang begitu banyak jumlahnya di sekitar

bukit.

Begitu muncul dari tempat sembunyinya, kawanan pengemis itu lantas

membuat kegaduhan dengan teriakan2: "O, kasihan tuan, berilah sedekah pada

kami.......... !"

"Kasihanilah kami orang miskin yang tak punya.......... !!

"Berilah uang kecil, sudah tiga hari kami tidak makan.......... !"

"Berilah sisa makanan buat kami orang yang tak punya..... kami lapar.”

Sambil ber-teriak2 kawanan pengemis itu berkerumun maju, dalam waktu

singkat sekeliling gelanggang tadi sudah terkepung.

"O, rupanya dia pentolan kaum pengemis!" bisik Wan-ji dengan dahi berkerut,

“Siapa yang kau maksudkan pentolan kaum pengemis?" tanya Tian Pek tak

mengerti.

Sambil mencibir Wan-ji menunjuk ke arah Toan hong Kongcu: "Itu dia, masa

tidak tahu?'

Teringat pada kemunculan Wan ji bersama pemuda tampan itu, cepat dia

bertanya: "Wan-ji, bagaimana hasilmu berlatih silat dari Sin-kau? Kenapa kau

bisa berkumpul dengan Toan- hong Kongcu?"

Wan ji lantas menuturkan kisahnya waktu mencari gua bersama Sin kau dan

bagaimana mereka salah minum air Sin-gin-han-cwan dan sebagainya ......

Kemudian iapun menceritakan cara bagaimana ia mendapat latihan ilmu silat

dari Sin kau dan pada hari yang kesembilan puluh "Monyet Sakti" itu menemui

ajalnya, bagaimana pula Toan- hong Kong-cu muncul serta bantu mengubur

jenazah orang tua itu.

Sepanjang mendengarkan penuturan tersebut, dalam hati Tian Pek

memikirkan satu kejadian yang mencurigakan, yaitu keterangan yang dilukiskan

Wan-ji mengenai kelima sosok mayat yang ditemukan dalam gua. Ia menduga

kelima orang itu bisa jadi adalah Yam-in-ngo pah thizIn yang membegal barang

kawalannya di hutan tempo dulu itu. Padahal Yan-in ngo- pah-thian tidak

berhasil membegalnya, darimana mereka bisa mendapatkan kedua peti intan

permata itu dan mengapa mereka mampus di dalam gua sana?

Ia tak sempat berpikir lebih jauh karena kawanan pengemis tadi telah

mengepung semakin rapat, dengan sendirinya suasana menjadi tegang dan tak

sempat lagi baginya untuk menanyai Wan-ji.

Setelah gelanggang terkepung rapat, Toan hong Kongcu tertawa ter- bahak2,

katanya: "Ha-haha, mereka suka mencari kemenangan dengan jumlah banyak,

mari kita pun mencari kemenangan dengan jumlah orang yang lebih banyak!"

Bicara sampai disini, anak muda itu lantas melompat ke atas dan duduk di

sebuah batu karang yang tinggi letaknya, lalu katanya lagi: "Saudara-saudaraku

kaum miskin, orang2 yang berada di hadapan kalian sekarang adalah tuan2

besar yang paling kaya di wilayah ini, baik2lah kalian minta sedekah kepada

beberapa orang di antaranya!"

Mendengar ucapan tersebut, kawanan pengemis itu segera angkat tongkat dan

mulai berkeliaran ke sana kemari sambil ber-teriak2 minta sedekah.

Hanya saja teriakan kali ini sangat beraturan ibaratnya serombongan penyanyi

koor, setelah pemimpinnya menyanyikan sebait lagu, lalu kawanan pengemis

lainnya menyambung dengan irama yang mirip kidungan.

Terdengar pemimpin rombongan pengemis itu mulai berteriak lantang: "Kita

semua adalah kaum miskin yang tak bisa makan ..... "

"Kaum miskin! Kaum miskin.......... " demikian kawanan pengemis lain lantas

menyambung bersama "Sekuntum bunga teratai, mekar indah menawan...”

"Bunga teratai, bunga teratai .....habis mekar lantas rontok.......... "

Di tengah senandung itulah rombongan pengemis itu mulai angkat pentung

mereka dan bergebrak ke sana kemari dengan teraturnya, dalam sekejap

mereka telah membentuk suatu barisan pengemis yang rapi.

Tian Pek masih hijau, Wan-ji juga baru pertama kali keluar rumah tentu saja

belum pernah mereka saksikan barisan pengemis sebanyak ini, seketika mata

mereka terbelalak mengikuti barisan kaum jembel yang hebat itu.

Lain halnya dengan sepasang pengawal baja istana Kim yang sudah kenyang

pengalaman dunia Kangouw, mereka tau kawanan minta2 itu sedang

membentuk

barisan pengemis yang ampuh, air muka mereka sama berubah hebat. Mereka

menyadari musuh tangguh yang dihadapi, sedikit salah bertindak niscaya jiwa

akan melayang.

Mendingan kalau cuma beberapa korban yang jatuh bila Siang-Ian Kongcu

kakak-beradik juga cedera, bukan saja nama besar mereka yang terpupuk

selama ini akan hancur, tentu merekapun tak punya muka untuk bertemu lagi

dengan Cing-husin Kim Kin.

Dalam pada itu, Tiat-ih-hui-peng yang terluka oleh pukulan Lui-im-hud-ciang

Tian Pek tadi sudah dapat memulihkan tenaganya, ia lantas menghampiri Siang-

lin Kongcu dan siap menghadapi serangan kawanan pengemis itu.

Suasana itu cukup tegang dan mendebarkan hati. Tiat-pi-to-liong berbisik

kepada Siang-lin Kongcu: "Kongcu, engkau harus ber-hati2, barisan kaum jambel

ini tak boleh dipandang enteng, biar aku dan Pah-hiante yang membendungnya

lebih dahulu, sementara nona dan Kongcu berusahalah mundur dan melepaskan

diri dari kepungan, bila ada urusan kita bicarakan lagi nanti."

Dalam hati Kongcu memang ada niat mundur lebih dahulu terutama setelah

menyaksikan betapa hebat gerakan ratusan pentung pengemis itu maka ia

terima kisikan Kongsun Coh itu dengan mengangguk.

Tiat-pi-to-liong menunjuk pula Thiati-bun-itkiam (pedang sakti dari Thian-bun

Ong Yau-beng, Siang-san-coa (ular dari bukit Siang-san) Cau Liang serta

Hengsan-ji-niau (sepasang burung dari Hang-sat)) kakak beradik Auyang untuk

melindungi Sianglin Kongcu kakak beradik, sementara jago yang lain ikut

sepasang pengawal baja untuk membendung barisan kaum pengemis.

Dikala Tiat-pi-to-liong mengatur siasat, kawanan pengemis sudah makin dekat,

terdengar pemimpin pengemis berseru lagi: "Perut lapar, Loya yang kaya,

berilah kami sedekah!"

"Beri sedekah! Beri sedekah ..... ! " sambung kaum pengemis serentak.

Toan-hong Kongcu yang duduk di atas batu karang mendadak menyela: "Hei,

kalian jangan menyanyi melulu, orang kaya biasanya pelit, mau minta sedekah

harus cepat!"

Pemimpin pengemis itu tetap menyanyi: "Dua kuntum bunga teratai mekar

bersama!"

Beratus pentung bambu tiba2 diangkat, berbareng kawanan pengemis lantas

berteriak: "Bunga teratai, bunga teratai, habis mekar segera rontok!"

Serentak beratus batang pentung bambu mulai berputar dengan kencangnya,

begitu nyanyian berakhir pentung bambu terus menyabat Siang-lin Kongcu dan

rombongannya.

Tiat-pi-to-liong bertindak cepat, ia lantas membentak, dengan tenaga pukulan

dahsyat ia sambut ancaman tersebut.

Angin pukulan mendampar bagai ombak samudera yang ber-gulung2. Pada

saat yang sama, Tiat-ih-hui-pang juga berpekik nyaring, sayap bajanya

berkembang dan melayanglah dia ke udara, dari atas ia melancarkan serangan

Tiat-ih-sin-kang ke arah kawanan pengemis.

Tapi barisan perang kaum pengemis ini sangat ruwet perubahannya dan

berdasarkan perhitungau Ngo-heng dan Pat-kwa, malah ada orang yang

membandingkan barisan ini dengan ketangguhan Lo-hantin dari Siau-lim-pay.

Di tengah suara kidungan kaum pengemis itu, serangan gabungan kedua

pengawal baja telah dipatahkan bahkan para jago istana Kim berikut Siang-lin

Kongcu kakak beradik terkepung semakin rapat oleh barisan itu,

Malahan Tian Pek dan Wan-ji yang tidak ikut berurusan juga terkepung di

tengah.

Gusar dan mendongkol Wan-ji melihat kawanan pengemis itu semakin

mendekat, dengan dahi berkerut dia menghardik: "Bagus, jadi akupun tidak

kalian lepaskan?"

Seraya membentak, dua jari menjentik, dua arus angin segera menyambar ke

depan.

"Bluk! Bluk!" dua sosok tubuh seketika roboh tak berkutik.

Sungguh kejadian aneh. Coba bayangkan, kalau tenaga gabungan hu-siang

tiat- wi yang dahsyatpun tak mampu merobohkan orang dari barisan pengemis,

tapi hanya jentikan jari seorang nona berusia tujuh-belasan berhasil

merobohkannya.

Tapi sekilas pandang saja Tian Pek lantas tahu darimana ilmu, jentikan ini. sebab

Sin lu-tiat-tan pernah beritahu kepadanya bahwa Sinkau, si monyet sakti

memiliki beberapa macam ilmu sakti, antara lain adalah ilmu jentikan jari

tersebut.

Maka dengan kaget bercampur heran ia barseru: "Wan-ji jadi kau telah

menguasai pula Sohhun-ci (ilmu jari pembetot sukma) dari monyet sakti?"

"Huh, tadinya aku tidak mau belajar.. tapi makhluk tua itu memaksa aku

belajar, apa boleh buat? Terpaksa aku mempelajarinya!" jawab Wanji mencibir.

Lalu sambil tertawa genit ia menambahkan: "Tapi engkoh Tian tak perlu kuatir,

tak nanti kugunakan ilmu keji ini untuk menghadapi dirimu.......... "

Diam2 Tian Pek kurang senang, ia merasa tidak pantas Wan-ji menyebut Sinkau

sebagai makhluk tua.

Jelek2 Sin-kau telah mewariskan ilmu silatnya kepada gadis itu, walapun

resminya bukan guru dan murid, pada hakikatnya antara kedua orang itu sudah

mempunyai hubungan begitu, padahal orang persilatan sangat menghormati

guru mereka, sebutan kasar tadi berarti pula tidak menghormati gurunya.

Di samping itu Tian Pek juga tak senang karena Wan-ji berjanji tak akan

menggunakan ilmu sakti itu padanya, meski hal itu timbul dari maksud baik si

nona yang jatuh hati padanya, tapi bagi Tian Pek ucapan tersebut sebagai suatu

penghinaan.

Dengan dahi berkerut pemuda itu segera akan mengumbar rasa marahnya,

tapi kawanan pengemis tadi telah bertindak, melihat dua rekannya tewas di

tangan gadis itu, daya tekanan barisan yang maha dahsyat itu lantas dialihkan ke

arah Wan-ji dan Tian Pek.

Terdengar pemimpin mereka bernyanyi: "Nona yang kaya. berilah sedekah!

Siauya yang baik hati kasihanilah........... . !'

"Minta sedekah............. minta sedekahl ...... " kawanan pengemis berteriak

serentak.

"Tiga kuntum bunga teratai, mekar bersama!" "Bunga teratai, mekar

bersama.... "

Ratusan pentung kembali berputar di udara, di antara kelebatan bayangan

pentung yang memenuhi udara serentak memburu ke tubuh Tian Pak dan Wan

ji.

Jelas kaum jambel itu telah murka, daya serangan mereka sekarang berlipat

dahsyat daripada ancaman terhadap kedua pengawal baja tadi.

Wan ji terkesiap, cepat kedua tangannya beraksi, berbareng empat jari

tangannya menjentik pula untuk menghalau musuh.

Soh-hun-ci memang lihay, di tengah desiran angin jari yang tajam itu dua

orang pengemis kembali roboh tak bernyawa.

Segera empat tokoh pengemis menyergap maju, keempat jari Wan-ji menjentik

pula, tapi hanya dua orang saja roboh terluka, sementara dua jentikan lain tidak

mengenai sasarannya. Namun beratus bayangan pentung dari barisan itu

serentak menyambar pula ke arah Wan-ji.

Wan-ji menjerit kaget, kedua tangannya bergerak naik-turun, menghantam

sana dan menangkis sini, ditambah Ni-gong-hoan-ing yang gesit, ia terus

menyelinap kian kemari.

Tian Pek yang berada di sampingnya juga segera bertindak, ia menyerang

dengan ilmu pukulan Lui-im-hud-ciang.

Pukulan yang lunak dengan tenaga besar, ia dapat merobohkan tiga atau lima

orang pengemis yang berada paling depan, tapi berpuluh jago pengemis lain

segera mendesak maju sehingga sukar untuk membendungnya.

Sabagaimana Wan-ji, karena ilmu pukulan Lui-im-hud-ciang itu baru saja

dipelajari, maka daya serangan Tian Pak juga belum sanggup mencapai

puncaknya.

Ketika merasakan tekanan musuh yang sangat kuat, menyusul ratusan

bayangan pentung menyambar bersama, pemuda ini jadi gugup dan lupa

memainkan Lui-im-hud-ciang terpaksa ia cuma berkelit ke kiri dan menghindar

ke kanan.

Begitulah, dalam sekejap Wan-ji dan Tian Pek telah terkepung oleh barisan

pengemis yang tangguh itu.

Karena keampuhan yang dimiliki kedua orang itu berbeda, dalam waktu

singkat Wan-ji dan Tian Pek sudah terpisah jauh, dalam keadaan begitu mereka

harus mengerahkan segenap kekuatan untuk mempertahankan diri, tapi

semakin melawan merekapun semakin jauh terperangkap dalam barisan

pengemis.

Kalau di sini Win-ji dan Tian Pek harus melakukan perlawanan yang gigih

maka keadaan ini pun dialami oleh kawanan jago istana Kim, kedua pengawal

baja serta Siang-lin Kongcu kakak beradik telah tercerai-berai oleh kekuatan

barisan pengemis sehingga masing2 orang harus bertempur secara terpisah

untuk melindungi diri sendiri.

Sekalipun sebelumnya Tiat-pi-to-liong juga telah mengatur barisan

penyerangnya dan membagi pula beberapa jago lihaynya untuk melindungi

Sianglin Kongcu, sayang ia tak mengetahui betapa hebatnya barisan musuh,

tentu saja usahanya mengalami kegagalan total.

Kedua pengawal baja mulai melancarkan serangan lagi, satu dari atas dan

yang lain di bawah, mereka herusaha menjebol kepungan musuh yang telah

mengurung Siang-lin Kongcu.

Tapi barisan pengemis itu terlalu lihay dan kuat, kendatipun terbentuk dari

ratusan orang pengemis, namun akibat perubahan2 barisannya, terciptalah

suatu kekuatan yang se-akan2 terdiri dari beribu2 pentung bambu hijau. Apalagi

kaum jambel itu sama berambut semrawut, baju compang-camping, senjata

merekapun sama berupa pentung bambu hijau, satu dan lain hampir serupa, hal

inilah yang membikin bingung musuh.

Hanya Tiat-ih-hui-peng saja agak mendingan, dengan sayap baja mestikanya

dia bisa melambung ke udara dan menyerang dari atas, dengan begitu

gerakgeriknya masih bebas dan leluasa.

Sekalipun begitu iapun tak bisa berbuat banyak, sebab apa yang dilihat di

bawah hanya bayangau pentung dengan tampang yang dekil, sedang rekan2 nya

yang terjebak berbalik hampir tidak kelihatan.

Sekalipun ia sempat melihat Tiat-pi-to-liong yang berambut putih sedang

diamuk bayangan pentung, tapi setiap kali ia memberi bantuan, tahu2 iapun

dihujani pentung musuh dan terpaksa ia harus melayang lagi ke atas.

Begitulah jago keluarga Kim serta Siang Lin-Kongcu se-akan2 tenggelam di

lautan pentung barisan pengemis. Meski Tiat-ih hui-pang dapat melayang di

udara, tapi tidak lebih hanya seperti burung yang melintas di lautan lepas dan

tidak bisa berbuat banyak.

Untung Tian Pek dan Wan-ji memiliki ilmu Lui-im-hud clang serta Soh-hun-ci

yang hebat, setiap saat mereka mampu membobolkan barisan musuh dan lolos

dari kepungan.

Suatu ketika tiba2 terdengar jeritan ngeri, mayat seorang jago istana keluarga

Kim terlempar jauh, sekujur badan merah bengkak dan penuh jalur-jalur matang

biru yang mengerikan, jelas orang itu mati konyol karena kena dihajar oleh

berpuluh pentung.

Kejut dan gusar Tiat--ih-hui-peng, ia mengerahkan ilmu sakti Tiat- ih sinkangnya,

dengan gerakan Ing po-kiu-siau (burung elang melambung ke angkasa), sayap

bajanya dikibaskan. ia menyerang dengan gencar.

"Blang! Blang!" terdengar benturan menggelegar, barisan pengemis yang

terpencar itu segera menutup kembali, ketika sayap baja jago tua itu

menyambar tiba, otomatis barisan mereka membuka, tapi setelah angin pukulan

lewat barisanpun menutup kembali dengan rapat, di tengah nyanyian pentung

bambu itu terangkat dan menyabat jago tua itu.

Dalam keadaan demikian, terpaksa Tiat ih-hui peng melambung lagi ke atas,

sebab hanya dengan gerakan itulah dia akan terhindar dari kepungan pentung.

Sergapan Tiat ih-hui-peng dari udara itu rupanya telah memberi ilham bagi

Wan-ji. ia berpikir: "Daripada terkurung dalam barisan, kenapa aku tidak

menggunakan Ni-gong-hoan-ing untuk mengacau barisan mereka, kan lebih baik

daripada terkepung di sini."

Berpikir demikian, ia membentak, jari menyelentik ke depan untuk mendesak

mundur musuh, habis itu ia terus melambung tinggi ke udara.

Setelah berputar di atas, lalu ia melayang ke bawah, ujung kaki menutul ujung

pentung lawan dan segera mengapung kembali ke udara.

Dengan cara inilah Wan-ji bergerak Iincah ke sana kemari dengan leluasa.

Dasar wajahnya cantik dan tubuhnya Iangsing, gerakan Wan-ji tampak lebih

menawan hati, begitu indah gayanya ibarat bidadari yang turun dari kahyangan.

Toan-hong Kongcu duduk di atas karang sana dan memuji: "Gerak tubuh yang

indah, sungguh menarik ........... . "

Mendingan pemuda itu tidak berteriak, karena suaranya ini dia telah menarik

perhatian Wan-ji.

Sekian lama gadis itu tanpa sebab ikut terkurung di dalam barisan pengemis dan

kini baru terlepas dari kepungan, sebaliknya Toan-hong Kongcu enak2 duduk

santai di atas batu, kontan meledak marah si nona.

Cepat dia melejit ke udara, dengan meminjam daya tolak ujung pentung lawan,

tubuhnya melayang ke sana, menubruk ke arah Toan-hong Kongcu.

Dengan ilmu meringankan tubuh Wan-ji menyeberangi barisan pengemis, lalu

dia melayang ke atas batu karang yang beberapa tombak tingginya.

Toan-hong Kongcu bersorak memuji, bahkan bangkit dari tempat duduknya,

dengan wajah berseri dia se-akan2 hendak menyambut kedatangan si nona.

Tapi Wan-ji sudah kadung gemas terhadap pemuda itu yang menyiksa dirinya

dalam kepungan barisan, begitu meluncur tiba, suatu jentikan jari yang lihay

segera dilontarkan mengarah jalan darah Sam-yang-biat di dada Toan-hong

Kongcu.

Terperanjat pemuda itu, ia tak berani menyambut serangan tersebut dengan

kekerasan, cepat ia berkelit ke sampiug, kemudian serunya dengan gelisah:

"Heh..nona, ada apa . . . Masa akupun kau serang?"

"Hm, tak perlu berlagak lagi, apa pula maksudmu memerintahkan kawanan

pengemis itu mengepung aku?" balas Wan-ji sambil mendengus.

Toan-hong Kongcu tertawa getir: "Nona, kalau engkau tidak berdiri di tengah

mereka, niscaya kawan2 dari perkumpulan kaum miskin itu takkan mengganggu

nona. .... "

"Bagus, kalau begitu ingin kuberitahu padamu, bila kau tidak berdiri di sini,

akupun takkan menyerang dirimu!"

Toan-hong Kongcu jadi serba salah, dengan menyengir ia bertanya pula:

"Kalau begitu. nona suruh aku pergi ke mana?"

"Peduli amat kau akan ke mana!" sahut Wanji sambil melotot. "Pokoknya, bila

kawanan pengemis itu sampai melukai seujung rambut engkoh Tian, segera

akan kubunuh kau."

Perkataan ini mengobarkan rasa gusar Toanhong Kongsu, ia merasa gadis itu

bukan saja tidak ingat lagi pada kebaikannya, bahkan membela Tian Pek

mati2an, ini pula menimbulkan rasa dengkinya.

Sambil mengerut dahi, napsu membunuh terlintas pada wajahnya yang cakap

itu, segera ia menjengek: "Hehehe, masa kau anggap nyawa Toanhong Kongcu

tidak lebih berharga daripada seujung rambut orang lain?!"

"O, jadi kau anggap aku tak mampu membunuh kau?" teriak Wan-ji.

Sebelum Toan- hong Kongcu menjawab, tiba2 jeritan ngeri berkumandang di

tengah barisan sana, serentak Wan-ji dan Toan-hong Kongcu memandang ke

bawah. Kiranya seorang jago istana keluarga Kim kembali binasa, terlempar

keluar dari barisan, kematiannya kelihatan mengerikan sekali.

Siang-lin Kongcu dan Tiat-pi-to liong segera membentak gusar, mereka

mengamuk dan menerjang kian kemari.

"Blang! Blang!" terdengar benturan menggeletar, dapat diduga kawanan jago

istana Kim juga menyerang mati2an.

Tiat-ih- hui peng yang melayang di udara juga tak mau ketinggalan, sayap baja

menyabat dan menubruk dengan gencar.

Tapi kekuatan barisan pengemis terlalu tangguh, perubahan barisan itupun

sukar diraba, sekalipun kawanan jago itu berusaha mati2an tetap tak dapat

membobol kepungan.

Pada saat gawat itulah mendadak di tengah bayangan pentung bamhu hijau

berjangkit pula sejalur cahaya hijau kemilau dan terdengar suara gemerincing

berulang2.

Menyusul terdengar suara suitan nyaring melengking, di tengah kepungan

barisan pengemis yang ketat tadi mendadak terluang suatu kalangan luas, lima

enam kaki.

Di tengah lingkaran itu berdirilah Tian Pek dengan Pedang hijau terhunus.

Kiranya anak muda itu jadi penasaran dan gusar setelah sekian lama tak dapat

membobol barisan musuh, segera ia mengeluarkan pedang mestika peninggalan

ayahnya.

Ba-cing-pek-kiam memang pedang mestika yang tajam, ditambah ilmu pedang

Hong-lui-pat-kiam yang baru dipelajari dari Sin-lu-tiat-tan, terciptalah daya

kekuatan yang maha hebat.

Begitu pedang mestika tersebut keluar, dengan jurus Hong-ceng-lui-bing

(angin merderu guntur menggelegar) seketika ia memapas pentung lawan

sehingga terluang satu kalangan di tengah, sebagian pentung bambu musuh

juga terpapas kutung.

Perlu diketahui pentung bambu hijau kaum pengemis ini bernama "tongkat

penggebuk anjing" dan langsung diterima dari ketua mereka, itupun harus

mengalami banyak percobaan dan rintangan yang berat. Upacara penyerahan

tongkat diadakan setiap tlga tahun sekali.

Untuk mendapatkan pentung bambu, mereka harus mengalami beberapa

tingkat lebih dahulu, pertama kali mereka menerima tongkat kayu biasa, ini

berlaku bagi anggota yang sudah aktip selama tiga tahun. Kedua kalinya mereka

menerima tongkat bambu kuning, yakni bila sudah menjadi anggota

perkumpulan salama enam tahun.

Untuk ketiga kalinya mereka akan menerima tongkat bambu hijau muda, ini

hanya berlaku bagi anggota pengemis yang telah aktip selama sembilan tahun.

Dan akhirnya akan menerima tongkat bambu hijau tua bila sudah duabelas

tahun menjadi anggota, hanya murid2 yang berilmu silat tinggi saja berhak

menggunakannya, oleh karena itulah tak heran kalau ber-puluh2 jago istana Kim

serta Sianglin Kongcu dan Tian Pek sekalian tak mampu menembus kepungan

mereka, sebab kawanan pengemis yang hadir saat ini rata2 berilmu silat tinggi.

Pentung bambu hijau tua tersebut berasal dari Lam-bay (laut selatan),

kerasnya melebihi besi, golok atau pedang tak mampu memapasnya kutung,

maka tidaklah heran jika kaum pengemis itu terperanjat setelah menyaksikan

beberapa batang pentung bambu hijau mereka tertabas kutung.

Untuk sejenak kawanan pengemis itu sampai lupa melancarkan serangan lagi,

otomatis barisan pengemis terhenti, mereka berdiri tertegun sambil mengawasi

Tian Pek, terutama pengemis yang kehilangan pentung bambunya, mereka

menjadi jeri dan juga sedih.

Dengan gagah Tian Pek berdiri di tengah geIanggang, ia tidak manfaatkan

kesempatan itu untuk melabrak musuh.

"Engkoh Tian .... " Wan-ji berteriak kegirangan.

Air muka Toan-hong Kongcu berubah hebat, cepat ia berseru: "Kawan2 kaum

miskin, senjata pencari kalian makan sudah rusak, kalian tak punya muka untuk

bertemu dengan Cousuya lagi!"

Ucapan ini membakar semangat tempur kaum pengemis itu, timbul niat beradu

jiwa mereka, serentak mereka meraung gusar, tongkat bambu hijau kembali

berputar ke sana kemari menyerang Tian Pek.

Kali ini mereka tidak menyertakan nyanyian lagi, semua orang melancarkan

serangan dengan nekat, beratus pentung bambu hijau menghujani pemuda itu

dengan rapat.

Tian Pek tidak gentar, dengan pedang di tangan keadaan pemuda itu ibarat

harimau tumbuh sayap, pedang mestikanya segera menyabat dan menusuk

dengan gencar.

Sebenarnya pemuda itu tak ingin mencari permusuhan, maka setelah berhasil

memaksa mundur musuh. iapun meughentikan serangannya, tetapi setelah ia

diserang tanpa kenal ampun, terpaksa ia layani mereka.

Dengan jurus No-lui-hong-biau (Guntur mengamuk angin menyambar), jurus

kedua dari Honglui-pat-kiam (delapan jurus ilmu pedang angin dan guntur),

serentak ia melancarkan serangan balasan, tertampaklah serentetan cahaya

disertai deru angin keras.

"Creng! Creng!" kutungan pentung bambu berhamburan di tanah, menyusul

darah segar bermuncratan pula.

Tujuh-delapan pengemis yang berada paling depan segera kehilangan

pentung mereka, sementara dua orang lainnya yang tak sempat menghindar,

lengannya tertebas kutung.

Dengan rasa kaget bercampur ngeri serentak kawanan pengemis itu

mengundurkan diri ke belakang, mereka melototi pemuda itu, akan tetapi tak

seorangpun berani maju lagi secara gegabah.

Dengan kereng Tian Pek berkata: "Bila kalian tahu diri, lekas mundur dari sini,

jika tetap membandel, hm, jangan menyesal bila aku tidak sungkan2 lagi."

Rupanya kawanan pengemis itu sudah dibikin gentar oleh keampuhan Tian

Pek, ternyata tiada seorangpun berani maju.

Sejenak kemudian, seorang pengemis tua berusia enam-puluhan tampil ke

depan, katanya: "Kami kami, miskin sangat berterima kasih atas sedekah yang

telah tuan berikan kepada kami, bolehkah kutahu siapa nama tuan agar di

kemudian hari bila ada kesempatan kami dapat membalas kebaikanmu?”

"Aku beruama Tian Pek!"

“O, kiranya Tian-tayhiap! Selama hidup kami akan ingat budi ini, suatu ketika

budi ini pasti akan kami balas."

"Karena terdesak dan terpaksa turun tangan, Tian Pek sama sekali tidak

bermusuhan dengan kalian, tapi bila kalian sudah menganggap kejadian ingin ini

sebagai utang, akupun tak akan menolak, setiap saat akan kunantikan

pembalasan perknmpulan kalian!"

"Sungguh ksatria sejati!" pun pengemis tua itu acungkan jempolnya.

Rupanya Toan-hong Kongcu merasakan gelagat tidak menguntungkan, tiba2

ia berseru: "Hei Kiong lokiauhoa, (pengemis tua she Kiong), apa yang kau

bicarakan? Coba lihat musuh sebelah sana sudah hampir lolos.”

Ketika pengemis tua itu ber-cakap2 dengan Tian Pek, otomatis barisan

pengemis bagian sini tidak berfungsi, rupanya kesempatan itu segera

dimanfaatkan oleh rombongan Siang-lin Kongcu untuk melancarkan serangan

balasan sehingga barisan pengemis di sebelah sana agak kacau.

Untung Toan-hong Kongcu memperingatkan dengan cepat, serentak pengemis

tua tadi memimpin barisannya ke sana dan merapatkan kepungan pula segera

pertempuran sengit berkobar lagi.

Sambil melayang naik turun, diam2 Tiat-ih-hui berpikir menangkap maling

harus menangkap pentolannya, bocah keparat ini enak2 nongkrong disitu

menonton pertempuran, bila kubekuk dia tentu barisan pengemis ini akan bubar

dengan sendirinya.

Berpikir begitu, sayap bajanya segera terpentang, ia melayang ke arah Toanhong

Kongcu.

Bagaikan burung elang menerkam mangsanya, sebelum mencapai sasaran,

kedua sayap bajanya di kebaskan berulang kali, kemudian ia menukik ke bawah

dan menerkam anak muda itu.

Toan- hong Kongcu tak berani menyambut ancaman yang mengerikan itu

dengan keras lawan keras, dari jauh ia lepaskan pukulan ke udara.

“Blang! Blang!" benturan terjadi, desir angin tajam menyebar keempat penjuru.

Walaupun angin pukulan yang memancar cukup kuat, namun hal ini tidak

mengalangi daya maju Tiat-ih-hui-peng, kedua sayapnya dikebaskan, setelah

menggeser ke samping, sekali lagi dia menerjang lawan.

Betapa kejut Toan hong Kongcu menghadapi serangan lihay itu, cepat ia

mengegos ke samping, tapi sayap baja Teat-ih-hui-peng bergerak lebih cepat,

tiba2 ia sudah berada di atas kepala anak muda itu dan membentak bengis:

"Keparat, serahkan nyawamu!' — Berbareng itu sayap bajanya terus menyabat

batok kepala anak muda itu.

"Celaka!.......... " tanpa terasa Toan-hong menjerit.

Wan-ji yang berada di samping Toan-hong Kongcu dapat menyaksikan

datangnya ancaman itu, pada saat gawat itu mendadak anak dara itu

menghardik:

"Apa kau cari mampus?"

Sambil membentak, jari tangannya segera menyelentik ke depan, angin tajam

mendesis ke muka dan mengancam jalan darah Sim-gi-hiat di tubuh Tiat-ih-

huipeng.

'Rajawali sakti bersayap baja' ini sudah pernah merasakan keampuhan ilmu

jari Soh-hun-ci Wan-ji, tentu saja ia tak berani menangkis secara gegabah.

Cepat sayap bajanya menutup kemudian menggeser ke samping, sayang

gerakannya itu tetap terlambat, sekalipun Hiat-to penting terhindar dari

ancaman,

namun sayap bajanya tak terlepas dari serangan itu.

"Criit!" desingan angin tajam menembus sayap baja mestikanya, tanpa ampun

sayap yang tidak mempan ditusuk senjata tajam itu berlubang.

Buru2 Tiat-gi-hut- bong menarik kembali sayap bajanya dan melayang turun,

air mukanya berubah hebat, mimpipun ia tak menyangka kalau baju mestika

yang kuat dan ampuh itu tak tahan oleh selentikan jari Wan ji, Kejut dan

gusarnya tidak kepalang.

"Budak hina, berani kau merusak baju mestikaku?" teriaknya sambil mengertak

gigi. "Hm, harus kuhancurkan kali!"

Serentak kesepuluh jari tangannya diluruskan ke depan, persendian tulang

sekujur badan bergemertuk, dengan muka yang bengis dan menyeramkan

selangkah demi selangkah ia menghanipiri Wan ji.

Gadis muda yang belum berpengalaman ini tidak tahu ilmu keji apa yang akan

digunakan lawan, tapi melihat kebengisan lawan, diam2 iapun terkesiap, segera

ia himpun tenaga dan siap menghadapi serangan.

Sementara itu Toan-hong Kongcu sudah tenang kembali setelah diselamatkan

Wan-ji, ia menjadi murka ketika dilihatnya Tiat-ih-hui peng sedang bergerak

menghampiri Wan-ji. Ia membentak, ilmu jari Kun-goan ci ajaran ayahnya segera

digunakan, desiran angin tajam segera menyambar punggung lawan.

Waktu itu Tiat ih-hui-peng sedang menghimpun segenap tenaga dalam untuk

menghadapi Wan-ji, ketika merasakan desiran angin tajam dari belakang, ia tahu

ada orang sedang menyergapnya.

Kejadian ini makin merggusarkan hatinya, ia meraung murka, sambil putar

badan, telapak tangannya serentak menghantam ke belakang.

“Blang.......... . !" benturan keras terjadi dan terdengar dua.......... jerit kesakitan.

Karena pukulan Tiat-ih-hui-peng yang dahsyat itu, tubuah Toan-hong Kongcu

mencelat ke bawah karang dengan terjungkir.

Sebaliknya Tiat-ih-hui peng juga tergetar oleh tenaga Kim goan-ci musuh, rasa

sakit yang tak terkira membuat dia menjerit, malahan tangannya juga lantas

merah bengkak.

Sudah puluhan tahun "Rajawali bersayap baja" ini malang melintang di dunia

persilatan dan jarang ketemu tandingan, tapi sekarang lengannya terluka,

bahkan baju mestika yang paling disayangpun ikut rusak, kekalahan demi

kekalahan ini menimbulkan nafsu membunuh. Segera iapun menubruk ke

bawah begitu Toanhong Kongcu terjurgkir ke bawah karang.

Tapi Toan-hong Kongcu hanya terluka ringan oleh sampukan baju Tiat-ih-

huipeng, meski jatuh tersungkur ke bawah, namun di tengah udara ia sempat

berjumpalitan, lalu hinggap di tanah dengan enteng.

Ia terkejut ketika mengetahui musuh ikut melayang turun terus menghantam.

Toan-hong Kongcu tahu tenaga pukulan musuh sangat kuat, maka begitu

pukulan menyambar datang, cepat ia melejit ke samping.

Ketika Toan-hong Kongcu menjerit kesakitan tadi, kawanan pengemis yang

sedang bertempur mengetahui pemimpin mereka terancam bahaya, beberapa

puluh orang diantaranya segera tinggalkan barisannya dan memberikan

pertolongan.

Karena itulah sebelum serangan kedua Tiat-ih-hui-peng mencapai sasaran,

puluhan pentung bambu hijau telah menyambar tiba dan mendesak mundur

jago

tua itu. Maka pertempuran sengit segera berkobar pula.

"Tahan!" tiba2 seorang membentak.

Bentakan itu dipancarkan dengan tenaga dalam yang kuat,suaranya

mengelegar memekak telinga tanpa terasa pertarungan lantas berhenti.

Terlihat di puncak bukit sebelah depan muncul serombongan jago persilatan.

Rombongan ini berjumlah puluhan orang, suara bentakan tadi entah dilakukan

siapa. Tapi gerak tubuh mereka sangat cepat, hanya sekejap saja beberapa

puluh orang itu sudah berada di tengah medan pertempuran.

Rombongan itu dikepalai seorang pemuda pelajar rudin, bajunya kumal,

sepatunya butut, tangannya membawa sejilid buku yang sudah robek.

Meskipun dandanannya tak sedap, namun wajahnya bersih dan tampan,

sikapnya gagah, umurnya sekitar 24 25 tahunan.

Tian Pek segera mengenali orang ini ialah An-lok Kongcu yang pernah

dijumpainya tempo dulu.

Mo-in-sin-jiu Siang Cong-thian juga ikut di belakang An-lok Kongcu, sedangkan

jago2 yang ada di belakang mereka tak dikenalnya.

An- lok Kongcu juga mengenali Tian Pek, ia tersenyum dan mengangguk

kepada Tian Pek, tiba2 pandangannya tertarik oleh pedang mestika yang berada

di tangan anak muda itu, serunya: "Tian-hang, rupanya pedangmu yang hilang

telah ditemukan kembali. Kionghi, Kionghi!”

"Terima kasih atas perkataan Kongcu," jawab Tian Pek.

Dahulu sebelum Tian Pek mengetahui bahwa An-lok Kongcu adalah salah

seorang Bu-lim-sukongcu yang merupakan putera2 pembunuh ayahnya, ia

memang ada maksud untuk mengikat tali persaudaraan dengan dia, tapi

sekarang niat itu sudah tersapu lenyap dari benaknya, perkataan yang

diucapkannya juga rada ketus.

Marah juga wajah An-lok Kongcu, maklum. pedang mestika itu lenyap

dirampas orang sewaktu berada di tangannya, ia mengejar setengah harian dan

gagal merebutnya kembali, sekarang pedang itu ternyata sudah ditemukan oleh

Tian Pek sendiri, makanya ia merasa malu.

Dalam pada itu Wan-ji telah melayang turun dan berdiri di samping Tian Pek,

ketika mendengar pembicaraan tersebut, dengan tertawa ia berseru: "Wah,

datang lagi seorang Kongcu, kok banyak benar orang mengaku sebagai

Kongcu?!"

Jelas maksud perkataan si nona memandang rendah pemuda miskin yang

baru datang ini, ia merasa pemuda macam begini tak pantas disebut sebagai

Kongcu.

"Ah, masa kau tak kenal?" kata Tian Pek. "Dia kan Kongcu yang sejajar

dengan kebesaran engkohmu!"

Mendengar ini, semua orang segera berpaling ke arah An-lok Kongcu dengan

terperanjat, agaknya semula orang tak menyangka An-lok Kongcu yang

dikatakan paling romantic itu adalah seorang pemuda, rudin.

An lok Kongcu sendiri sama sekali tidak peduli pandangan orang, setelah

menjura ke empat penjuru, katanya: "Cayhe In Ceng, berkat pujian kawan2

persilatan, orang menyebut diriku sebagai An-lok Kongcu, maaf bila kedatangan

kami ini terlalu mendadak, apa boleh kutanya lantaran urusan apakah kalian

saling baku-hantam di sini?"

Siang-lin Kongcu segera balas memberi hormat, jawabnya: "Hahaha, selamat

berjumpa, selamat berjumpa! Cayhe Siang-lin, meskipun belum pernah

bertemu, tapi sudah lama kudengar nama anda."

Kali ini giliran kawanan jago di bawah pimpinan An-lok Kongcu yang merasa

kaget.

An lok Kongcu ter-bahak2, katanya: "Hahaha, maaf, maaf, kiranya Siang-lin

Kongcu yang termashur, tampaknya kemunculanku ini hanya tindakan yang

percuma."

Sebagaimana diketahui, An-lok Kongcu adalah tokoh yang paling suka

mencampuri urusan orang tapi setelah mengetahui si pembuat gara-gara ini tak

lain adalah Siang-lin Kongcu, ia lantas mengerti urusan yang hendak dicampuri

tak perlu dilanjutkan.

Sementara itu Toan-hong Kongcu yang berada di sebelah sana tiada yang

gubris, segera berdeham maksudnya hendak menarik perhatian kedua jago

muda yang sedang ber-cakap2 itu.

Wan-ji yang cerdik segera dapat menebak apa arti dehewan pemuda tampan

itu, ia tertawa seraya berseru: "Wah, ini memang pertemuan yang tak terduga.

Di antara Bu-lim-su-kongcu ada tiga di antaranya yang hadir di sini. Mari, Mari

kuperkenalkan kalian " Sambil menuding Toan-hong Kongcu ia menyambung:

"Saudara ini ialah Toan hong Kongcu!"

Cepat Toan-hong Kongcu memberi hormat ucapnya: "Selainat berjumpa!

Selamat berjumna!"

Kali ini baik An-lok Kongcu maupun kawanan jago yang dipimpinnya lebih

tercengang lagi. mimpipun mereka tak menyangka kalau pertikaian yang baru

saja berlangsung ini tak lain adalah pertikaian antara dua orang Kongcu dari Bu-

limkongcu.

"Wah: agaknya aku perlu pulang ke rumah dan mengundang engkohku agar

tempat ini bisa lebih semarak lagi!" demikian Wan-ji berkata.

-Buat apa mengundang engkohmu?" tanya Tian Pek heran, rupanya ia belum

dapat menangkap maksud ucapan anak dara itu.

An -lok Kongcu tertawa ter-bahak2: "Ha - haha, tak perlu ditanya lagi, nona ini

pastilah adik perempuan Leng-hong Kongcu bukan?"

Tian Pek baru paham, iapun berkata: "Apabila empat Kongcu dari dunia

persilatan bisa sating bertemu, peristiwa ini benar2 luar piasa dan menarik,

cuma sayang engkohmu tak keburu datang ke mari untuk menghadiri

pertemuan besar ini!"

Ucapan Tian Pek menggerakan hati Siang-lin Kongcu, ia memang mempunyai

cita2 dan besar berambisi menjatuhkan ketiga orang Kongcu lainnva sebab bila

ketiga rekannya dapat didorong atau paling sedikit menderita kekalahan di

tangannya, maka dialah yang akan merajai dunia persilatan dan semua orang

akan tunduk padanya.

Karena itu dia lantas menengadah dan terbahak2, katanya: "Hahaha, apa

susahnya untuk menyelenggarakan pertemuan besar semacam itu? Bu-lim-

sukong-cu sama terkenal di dunia persilatan, sudah lama Siang-lin ingin

berkenalan, sekarang diingatkan oleh saudara Tian, maka kesempatan ini

hendak kugunakan untuk mengundang kehadiran ketiga Kongcu di rumahku,

apakah Kong -cu berdua serta nona Tian bersedia memberi muka?"

"Lalu bagaimana penyelesaian persoalan yang terjadi sekarang ini?' tanya

Toan-hong Kongcu dengan ketus.

Karena sudah banyak jatuh korban, ada yang terluka parah dan ada pula yang

tewas, maka kawanan pengemis tadi masih penasaran dan ingin menyerbu pula.

Siang-lin Kongcu mendengus, sahutnya: "Hehe, apa susahnya menyelesatkan

masalah ini? Bila Bu lim su kongcu telah berkumpul, segala utang lama dan

utang baru boleh sekalian kita bereskan nanti, bukankah cara ini cukup adil?"

Siang-lin Kongcu cukup cerdik, iapun sadar bila pertarungan dilanjutkan

mungkin pihaknya akan menderita kerugian, apalagi An-lok Kongcu belum

diketahui berdiri di pihak mana, karena pertimbangkan inilah akhirnya dia

memutuskan akan menyelesaikan sengketa ini pada pertemuan yang akan

datang.

Toan-hong Kongcu sendiri juga ragu melanjutkan pertarungan, sebab pihak

pengemis sudah banyak yang jatuh korban, namun begitu mendengar ucapan

Siang-Iin Kongcu itu, segera ia bertanya: "Kalau begitu, kapan hari pertemuan

itu?"

Siang- lin Kongcu termenung sejenak, laIu jawabnya: "Kini sudah dekat akhir

tahun, kukira kebanyakan orang tentu sibuk menyelesaikan urusan pribadi

masing2 menjelang tahun baru, maka, bagaimana kalau kita tetapkan pada hari

Cap- go-meh tahun depan?"

=========

Apa yang akan terjadi dalam pertemuan besar antara Bu-lim-su-kongcu yang

termashur itu?

Apakah Tian Pek juga akan hadir dan apa yang akan dilakukannya?

-------------

HIKMAT PEDANG HIJAU

Diceritakan Oleh : GAN KL

Jilid ke – 14

Scan djvu: axd002

Edit: MCH

Belum sempat Toan-hong Kongcu memberikan jawaban, An-lok Kongcu telah

tertawa ter-bahak2; "Hahaha, Cap go-meh memang saat yang paling tepat untuk

mengadakan pertemuan. Bu- lim-su-kongcu akan mengadakan pertemuan di

Lam keng sambil menikmati pasta lentera bias ... O, peristiwa ini pasti akan

dikenang selalu oleh setiap umat persilatan di masa mendatangl"

"Sebelum Cap-go-meh tiba. Toan-hong pasti akan hadir di Lam-kengl" seru

Toan-hong Kongcu pula dengan penuh semangat, "dan lagi, untuk menambah

semaraknya suasana pertemuan itu, Toan-hong akan membawa serta batu

kemala penolak air Pi- sui giok pik:"

Pernyataan benar-benar menggemparkan, air muka semua orang berubah

hebat. lebih2 Siang-lin Kongcu, sebab Pi-sui giok-pik yang dimaksudkan Toan-

hong Kongcu bukan lain adalah benda mestika keluarganya yang hilang dicuri

orang tiga bulan yang laIu, tujuannya membawa kawanan jagonya melakukan

penggeledahan di sekitar "dua belas gua karang" tak lain adalah untuk

menyelidiki jejak benda mestikanya itu.

Sejak mula ia memang curiga bahwasanya Toan-hong Kongcu yang mengutus

anak buahnya untuk melakukan pencurian tersebut, tapi lantaran tiada bukti

nyata, ia tak berani sembarangan menuduh, tapi setelah diucapkan sendiri oleh

Toan-hong Kongcu, kegusaran dan rasa kagetnya tak terkendalikan lagi.

"Bagus! Kita tetapkan begitu," serunya, "agar suasana dalam pertemuan itu

lebih semarak, sampai waktunya Siang-lin juga akan mengeluarkan Tua-lo-kim-

wan, pil mestika yang tak ternilai harganya itu untuk dipertontonkan kepada

semua yang hadir!"

Kali ini giliran Toan-hong Kongcu yang berubah hebat wajahnya, sebab pil

mestika Toa-lo-kim-wan justeru adalah benda mestika milik keluarganya.

Ketika benda itu diangkut dari kota Peking menuju Hang-ciu, tahu2 benda

mestika itu lenyap dicuri orang, lantaran peristiwa inilah terpaksa dia membawa

jago2nya dari kaum pengemis untuk mencari pencurinya.

Sudah ber-bulan2 lamanya ia melakukan penyelidikan dan pencarian yang

saksama di sekitar bukit "dua belas gua karang", tapi tiada sesuatupun yang ia

temukan.

Dan sekarang, setelah diakui sendiri oleh Sianglin Kongcu, dia baru tahu

pembegal barang mestikanya itu adalah kawanan jago dari istana keluarga Kim.

Perlu diketahui, meski benda2 mestika itu sangat terkenal di dunia persilatan,

namun belum ada seorangpun dari kalangan persilatan yang pernah

menyaksikan dengan mata kepala sendiri, tentu saja kawanan jago yang

berpengalaman dan hadir saat itu jadi melongo demi mendengar Siang-lin

maupun Toan-hong Kongcu menyebutkan nama benda mestika itu.

An-lok Kongcu tak mau kalah, sambil menggoncangkan buku kumal yang

dipegangnya, ia berseru sambil tertawa: "Hahaha, kalau kedua Kongcu sudi

membawa serta benda mestikanya guna dipertunjukkan kepada orang

persilatan, sepantasnya In Ceng turut mengeluarkan pula benda mestika milik

keluarganya, sampai waktunya nanti akan kubawa juga kitib pusaka Bu-hak-cin-

keng."

Semua orang tambah terperanjat setelah An-lok Kongcu berkata demikian,

bayangkan, tiga macam benda mestika yang paling berharga di dunia persilatan

ternyata dimiliki oieh tiga orang Kongcu itu sudah tentu berita ini sangat

menggemparkan.

Dalam pada itu Tian Pek berdiri dengan wajah sedih, gusar dan penuh rasa

dendam, matanya merah membara, sambil mengertak gigi ia bergumam: "Tiga

macam benda mestika telah muncul ..... ya, tiga macam benda mestika ..... tak

salah lagi, pastilah mereka ....

==mch==

Tibalah malam Cap-go-meh, suasana di kota Lam-keng amat meriah, banyak

bangunan dihias dengain indah, lampion berwarna-warni bergantungan pada

setiap sudut rumah penduduk dan membuat suasana jadi lebih semarak dan

meriah.

Istana keluarga Kim yang terkenal sebagai keluarga nomor wahid di kota Lam

keng berada didalam keadaan yang terang bendarang bermandikan cahaya,

depan gedung dihias dengan indah, lampu berwarna-warni bergantungan

hampir di setiap sudut tempat, membuat pintu gerbang istana yang tinggi besar

jadi terang bagaikan di siang hari.

Dua baris pengawal bersenjata pedang dan berpakaian perang bersisik emas

berdiri berjajar di sepanjang undak2an yang terbuat dari batu marmer warna

putih, di bawah sinar lampu kawanan pengawal itu tampak begitu angker se-

akan2 malaikat penjaga kuil.

Selain pengawal berpakaian lengkap itu terdapat pula puluhan jago persilatan

yang berdiri di sepanjang halaman untuk menyambut tamu mereka, satu di

antaranya adalah seorang pemuda tampan berlengan satu, air mukanya

kelihatan bengis dan penuh hawa napsu membunuh.

Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Siau-cinghu (kecapung kecil) Beng Ki-peng

yang lengannya kena ditebas oleh pedang Tian Pek.

Sejak lengan yang kutung sembuh kembali, rasa benci Beng Ki peng terhadap

musuhnya itu boleh dibilang sudah merasuk ke tulang sumsum, sebenarnya dia

ada maksud mencari Tian Pek untuk membalas dendam, tapi ketika didengarnya

pemuda itu akan hadir pada pertemuan yang akan diselenggarakan pada malam

Cap-go-meh, maka dia memutuskan untuk menanti kedatangan musuh ini di

istana keluarga Kim.

Sebagai persiapan untuk menghadapi kejadian tersebut, secara khusus dia

telah mempelajari pula beberapa macam ilmu silat yang keji dan beracun,

pemuda ini bertekad membalas sakit hatinya walau dengan cara apapun.

Sejak sang surya terbenam di ufuk barat ia sudah menanti kedatangan

musuhnya di depan pintu gerbang, maksudnya begitu musuh yang dibenci itu

datang, seketika itu juga dendamnya akan dibalas.

Tapi apa mau dikata, malam sudah larut, jago dari pelbagai penjuru dunia

sudah hadir di istana itu, hanya Tian Pak saja yang belum muncul.

Sian-cing-hu Beng Ki-peng merasa kecewa, ia mengira Tian Pek tak akan hadir

dalam pertemuan itu, dengan murung iapun hendak masuk ke dalam.

Baru beberapa langkah dia masuk ke dalam gedung, tiba2 berkumandang

suara derap kaki kuda, manyusul muncul seorang pemuda tampan dengan

sebilah pedang mestika tersandang di punggung, tapi binatang tunggangannya

adalah seekor keledai kecil lagi kurus, begitu tiba di depan pintu gerbang istana

Kam, ia lantas berhentikan keledainya.

Pertemuan besar yang diadakan malam ini bukan saja diselenggarakan

sebagai pertemuan antara empat Kongcu dunia persilatan, dalam pertemuan ini

pula akan dipamerkan pelbagai macam benda mestika yang tak ternilai

harganva, tidaklah heran apabila sebagian besar tamu yang hadir ini adalah jago

kenamaan dari segenap penjuru dunia, kebanyakan di antara mereka kalau

bukan datang dengan menunggang kuda bagus tentu datang dengan

menumpang kereta yang indah.

Tapi luar biasa kedatangan pemuda ini, bukan saja dandanannya amat

sederhana, malahan ia menunggang seekor keledai kurus kecil dan tak sedap

dipandang.

Sementara semua orang tertegun oleh kemunculan anak muda itu, mendadak

pemuda tadi telah melompat turun dari keledainya dan melangkah masuk ke

dalam gedung.

Serentak kawanan pengawal yang berpakaian perang melintangkan tombak

untuk mengalangi jaIan masuknya. "Cring" beberapa tombak saling menyilang

menghentikan gerak maju pemuda itu.

"Berhenti!" seorang pengawal menghardik, “Istana keluarga Kim bukan

tempat sembarangan yang boleh dikunjungi ............. aduh! ............. "

Tanpa terlihat dengan cara apa pemuda itu bertindak, tahu2 dua orang

pengawal yang berada paling depan menjerit kaget sambil mundur lima enam

langkah dengan sempoyongan. sementara pemuda itu sendiri melanjutkan

Iangkahnya menaiki anak tangga.

Kawanan jago persilatan yang bertugas menyambut tamu tentu saja dapat

menyaksikan peristiwa itu, sebagai jago silat yang berpengalaman tentu saja

merekapun tahu apa sebabnya pengawal2 itu mundur sempoyongan

kendatipun pemuda itu tidak turun tangan. Jelas pemuda itu memiliki Khi-kang

(ilmu tenaga dalam) yang tinggi sehingga kedua orang pengawal tadi tergentak

mundur.

Dua orang segera melompat maju ke depan, setelah memberi hormat kepada

pemuda penunggang k eledai itu, mereka menyapa: "Sahabat, sukalah

menyebutkan nama lebih dahulu agar kami ..... " tapi mereka lantas melenggong

demi melihat jelas siapa tamu muda ini, serta merta kedua orang itu berseru:

“O, kiranya Tian-siauhiap, silakan masuk!"

Dengan mata kepala sendiri kawanan jago itu pernah menyaksikan Tian Pek

bertempur melawan Beng Ki-peng, dengan sendirinya mereka lantas mengenali

tamunya ini.

Tian Pek tersenyum sinis, ia tetap membungkam dalam seribu bahasa, entah

dengan cara apa, orang hanya merasakan pandangannya kabur dan tahu2

pemuda itu sudah melayang ke atas undak2an dan berada di depan pintu

gerbang.

"Wah, sungguh hebat ilmu meringankan tubuhnya ............. " diam2 semua

orang sama memuji.

Ketika itulah Siau-cing-hu Beng Ki-peng sedang melangkah masuk ke dalam,

ketika mendengar suara ribut2, ia memutar balik dan tahu2 seorang pemuda

tampan sudah berdiri di depannya.

Setelah mengetahui siapa yang datang, air muka Beng Ki-peng kontan

berubah hebat.

"Keparat, baru sekarang kau datang?" hardiknya dengan murka.

Tanpa membuang waktu lagi, telapak tangannya terangkat terus menyodok ke

dada musuh.

Angin dingin segera berembus mengikuti tolakan tangan pemuda itu. Tian Pek

tahu serangan ini adalah sejenis pukulan berhawa dingin yang beracun, tapi ia

tak gentar, mendadak ia mengebaskan lengan bajunya.

Tampaknya ringan kebasan Tian Pek ini, kenyataan pukulan ganas lawan

dapat dipatahkan bahkan Beng Ki-peng segera merasakan daya tekanan yang

maha dahsyat menindih dadanya, ia tak kuasa menahan diri lagi, tanpa ampun

tubuhnya mencelat ke belakang. Untung punggungnya tertahan oleh dinding,

bila tidak, entah berapa jauh lagi dia akan terlempar?

"Duuk!" begitu keras punggung Beng Ki-peng menumbuk dinding, membuat

isi perutnya terguncang keras, pucat pasi wajahnya, sambil menggigit bibir dan

menahan sakit dia melotot sekejap pada Tian Pek dengan sorot mata penuh

kebencian.

Beng Ki-peng tak menyangka dalam beberapa hari saja ilmu silat lawan telah

memperoleh kemajuan yang begini pesat, bukan saja pukulan beracun yang

dilatihnya dengan tekun selama ini tidak mempan, bahkan ia sendirilah yang

menderita luka.

Betapa marah dan kagetnya, ia tak berani bertindak gegabah lagi, sebab

benturan keras yang barusan terjadi telah mengakibatkan luka dalam yang

cukup parah, terpaksa ia saksikan Tian Pek tertawa dingin dan di antar masuk ke

ruang dalam oleh para petugas penyambut tamu.

Padahal perasaan dendam Tian Pek dan tekad membalas sakit hati entah

berapa kali lipat lebih hebat daripada perasaan Beng Ki-peng, ia telah

mengambil keputusan akan menunaikan dendam kesumat atas kematian

ayahnya pada malam ini juga, ia bertekad akan mewujudkan cita2nya itu tanpa

memikirkan apa yang akan terjadi.

Sebab itulah ia sama sekali tidak berusaha menyembunyikan kepandaian

saktinya, setibanya di depan gedung ia mendemontrasikan Ginkang Leng-gong-

hi-toh, kemudian menggunakan Ceng-ki-pu-te (hawa khikang pelindung badan)

untuk menggetarkan tombak pengawal dan akhirnya mendemontrasikan Lui-in-

tiat-siu (baju baja awan meluncur) untuk melemparkan tubuh Beng Ki-peng,

semua ini ia lakukan hanya dengan satu tujuan, yakni membuat keder musuh.

Hanya kebetulan Beng Ki-peng yang per-tama2 ketiban pulung saja.

Syukur orang2 ini sudah mengetahui betapa Iihaynya ilmu silat Tian Pek,

selain itu merekapun mendapat pesan dari Siang-lin Kongcu agar menyambut

tamunya secara hormat, oleh sebab itu kendatipun Beng Ki-peng terluka,

mereka tetap mempersilakan Tian Pek masuk keruangan tengah.

Tian Pek sudah pernah masuk ruangan tersebut, waktu itu di siang hari,

perasaannya ketika itu juga tidak sekalut perasaannya saat ini.

Kini ia sudah tahu pemilik gedung ini adalah biangkeladi pembunuh ayahnya.

darahnya bergolak, dengan pandangan lurus ia langsung masuk ke ruang

perjamuan.

Indah sekali ruangan perjamuan itu, lampu hias bergantungan di sana sini,

tiang berukiran naga berwarna kuning membuat bangunan tersebut kelihatan

angker, lilin yang tinggi dan besar memancarkan sinarnya yang terang

benderang bagaikan di siang hari.

Meja perjamuan diatur dengan model tapal kuda, beratus jago persilatan

telah hadir di situ, buah2an segar dan makanan ringan telah dihidangkan lebih

dulu, sementara Bu-lim-su-kongcu yang punya nama besar duduk di kursi

utama.

Di kedua sini keempat Kongcu itu berduduk lah tokoh yang dibawa oleh

keempat Kongcu tersebut, menyusul kemudian berduduklah para jago

persilatan lainnya yang datang dari segenap penjuru dunia.

Suasana pertemuan besar yang penuh tersembunyi hawa napsu membunuh

ini tampaknya sangat gembira ria dan penuh dengan gelak tertawa.

Begitu gaduh dan ramainya suasana dalam ruangan oleh suara bercakap dan

gelak tertawa sehingga kedatangan Tian Pek tak terdengar ketika pengantar

menyerukan namanya.

Kedatangan Tian Pek adalah untuk mencari perkara, tentu saja ia tak sudi

disambut secara dingin oleh tuan rumah, ketika ia lihat semua orang tidak

menaruh perhatian atas kehadirannya, pedang mestika Bo-cing-pek-kiam segera

dilolosnya, kemudian setelah menyentilnya hingga terdengar suata dentingan

nyaring, dia bersenandung: "Menyentii pedang membuat syair menyanyikan

irama sedih, hidup senang dipelihara orang kurang bermutu! Cayhe seorang

pengembara Tian Pek datang berkunjung!'

Suasana ramai dan gaduh dalam ruangan itu, seketika berubah menjadi sunyi

senyap, beratus pasang mata sama ditujukan ke arah pemuda itu.

Segera Siang lin Kongcu berbangkit dan bergelak tertawa. "Hahaha, kiranya

saudara Tian? Mari, akan Siang lin perkenalkan beberapa orang Cianpwe

kepadamu!"

Ia menghampiri Tian Pek, kemudian sambil menggandeng tangannya mereka

mendekati seorang kakek yang bermata tajam dan berduduk di tempat utama,

katanya: "Inilah ayahku............ "

Darah Tian Pek bergolak, matanya serasa berkunang2 dan pandangannya jadi

gelap, saking emosinya sampai kata2 Siang lin Kongcu selanjutnya tak

didengarnya lagi.

Menurut Sin-lu-tiat-tan, datang pembunuhan atas diri ayahnya tak lain adalah

Cing- hu-sin Kim Kiu, sebab orang inilah yang mengusulkan kepada saudara

angkat lainnya untuk melakukan pembunuhan, bahkan menurut cerita dialah

yang pertama melukai ayahnya dengan senjata rahasia.

Dilihatnya orang tua ini berusia di atas lima puluh, sinar matanya tajam, ini

membuktikan tenaga dalamnya pasti sangat kuat.

Jubahnya terbuat dari sutera halus, wajahnya bulat, jenggotnya yang panjang

sudah mulai putih, gagah dan kereng.

Tian Pek radar, bila ia bertindak gegabah dalam keadaan begini niscaya

rencana pembalasan dendamnya akan mengalami kegagalan total, sekuat

tenaga ia berusaha menekan emosinya yang menggelora, sambil menjura ia

berkata: "Selamat berjumpa! Selamat berjumpa! Sudah lama kudengar nama

besar Cing hu sin Kim-tayhiap, sungguh beruntung hari ini dapat bertemu."

Cing hu sin Kim Kin sama sekali tidak berbangkit ataupun balas memberi

hormat dengan angkuh dia hanya mengangguk katanya: "Bagus! Bagus ..... !"

dengan sorot mata yang tajam ia mengawasi beberapa kejap sekujur badan

anak muda itu.

Sikap congkak tersebut membikin Tian Pek naik darah, ia mengira Cing-hu sin

tak pandang sebelah mata padanya.

Rupanya Siang-lin Kongcu dapat melihat air muka Tian Pek yang kurang

senang itu, buru2 ia menerangkan: "Harap Tian-heng maklum, kedua kaki

ayahku tidak leluasa untuk berdiri ...."

Sesudah diberi keterangan, Tian Pek baru melihat tempat duduk Cing-hu-sin

Kim Kiu itu bukan kursi melainkan sebuah kereta beroda, kedua kakinya ditutup

dengan selimut tebal sehingga tidak diketahui apa sebabnya tidak leluasa

bergerak.

Lalu Siang-lin Kongcu memperkenalkan pula tokoh lain. mulai dan Bu-lim- so-

kongcu, para anak buahnya sampai kawanan jago yang hadir di situ.

Tian Pek hanya memperhatikan orang2 itu secara sambil lalu, seluruh

perhatiannya hanya dicurahkan untuk mengamati Kian kun-ciang In Tiong hong,

Kun-goan-ci Sugong Cing serta Pak-ong-pian Hoan Hui.

Anehnya Ti-seng-jiu Buyung Ham tidak nampak hadir, pihak Pah -to-san- ceng

hanya diwakili Leng-hang Kongcu yang angkuh serta kawanan jagonya yang tak

dikenal. Sampai2 "paman Lui", Gin-siau-toh-hun Ciang Su-peng, Tui-hun-leng

Sama Siok, Tok-kah-hui-mo Li Ki maupun Heng-san-ya siau si Tojin buta juga

tidak kelihatan hadir.

Sikap Leng-hong Kongcu tetap dingin dan angkuh, ketika Siang-lin Kongcu

memperkenalkannya pada Tian Pek, bukan saja pandangannya dialihkan ke

langit2 ruangan, bahkan mencibir dengan sikap jumawa.

Sebagai tuan rumah Siang-lin Kongcu merasa kikuk. tapi dengan tenang Tian

Pek malah berkata sambil tertawa: “Tak perlu Kongcu perkenalkan lagi sudah

lama kami kenal."

"Siapa yang kenal kau?" tukar Lang- hong Kongcu dengan mendelik,

"Kongcumu tak pernah kenal seorang keroco macam dirimu ini!"

Siang-lin Kongcu juga tahu betapa tinggi hatinya Tian Pek, selain ilmu silatnya

hebat, pemuda itupun mudah tersinggung, ia menduga sikap Langhong ini pasti

akan menimbulkan gusar Tian Pek.

Kuatir rencananya akan berantakan oleh pertarungan yang mungkin akan

terjadi antara kedua orang itu, cepat Siang-lin Kongcu melerai, katanya:

"Saudara Tian, harap engkau jangan marah, memang begitulah tabiat saudara

Buyung ini!"

Tak terduga Tian Pek sama sekali tidak gusar, ia malahan tertawa dan

menjawab: 'O, memang sudah pernah kurasakan keangkuhannya itu."

Leng-bong Kongcu hanya tertawa dingin saja.

Waktu itu Tian Pek sudah mulai melangkah ke sana, ketika mendengar suara

tertawa dingin itu dia lantas berpaling dan mengejek: "Jangan terburu napsu,

tidak lama lagi Buyuug-kongcu pasti akan tahu kelihayanku!"

Air muka Leng-hong Kongcu berubah hebat, mendadak ia berbangkit, kelima

jarinya terus mencengkeram Hiat-to penting di punggung Tian Pek.

Serangan itu sangat Iihay dan luar biasa kejinya, apalagi disergap dari

belakang. Untung Tian Pek sekarang bukan lagi Tian Pek dulu, ilmu silatnya saat

ini telah mendapat kemajuan yang sangat pesat, terutama setelah mendapat

kursus kilat selama tiga bulan dan Sin-In-tiat-tan. Dengan kelebihan yang dimiliki

saat ini, tak mungkin ia terserang secara mudah, meskipun sergapan Leng-hong

Kongcu itu cukup lihay, akan tetapi bagi pandangan Tian Pek serangan itu belum

seberapa hebatnya.

Dengan suatu gerakan yang enteng ia kebaskan lengan bajunya ke belakang,

seketika serangan Lang-bong Kongcu dipatahkan.

"Jangan terburu napsu” kembali Tian Pek mengejek, "tunggu saja nanti!”

Kebasan Tian Pek ternyata tidak cuma memunahkan serangan lawan saja,

bahkan sisa tenaganya cukup kuat pula menolak tubuh lawan.

"Duuk!" tahu2 Lang-hong Kongcu terdorong dan terduduk kembali di atas

kursinya.

Kejadian ini menggetarkan perasaan Leng-hong, dia melongo bingung dan tak

mampu bersuara pula.

Masih untung Tian Pek mempergunakan tenaga serangan halus dan tidak

menyolok, apabila tidak diperhatikan dengan seksama, siapapun tidak tahu

kalau Leng-hong Kongcu sudah kecundang olehnya.

Hanya An-lok Kongcu yang menyaksikan kejadian itu dengan jelas, meskipun

ia tahu Leng-hong Kongcu dibikin malu oleh pemuda itu, namun iapun pura2

tidak tahu An-lok memang tertarik oleh kegagahan Tian Pak dan ada maksudnya

ingin menarik pemuda itu berpihak padanya, maka setelah Leng-hong Kongcu

kena terhajar, ia lantas berbangkit dan menarik Tian Pek untuk duduk di

sampingnya.

Ajakan itu tidak ditolak oleh Tian Pek, ia lantas duduk di samping An-lok

Kongcu. Sebisanya pemuda itu berusaha untuk menguasai perasaannya yang

bergolak, terutama bila terbayang betapa dengan kekuatan sendiri harus

menghadapi musuh sebanyak itu.

Ia tak tahu harus merasa sedih atau gembira karena sebentar lagi dia akan

melakukan pembalasan dendam, tapi iapun menyadari bila berhasil pasti

peristiwa itu akan menggemparkan dunia Kangouw, sebaliknya kalau gagal maka

dia akan mati konyol ............

Sementara dia masih termenung, tiba2 ia merasa dirinya sedang diperhatikan

oleh sepasang mata yang jeli, cepat ia berpaling. Tampaklah orang yang sedang

menaruh perhatian kepadanya itu tak lain adalah Kim Cay-hong yang cantik.

Berdebar jantungnya, mukanya menjadi merah, ia pikir: "Melihat tatapan

matanya ini, apakah ia jatuh cinta padaku? Mengapa tiap kali kami berjumpa,

selalu dia tatap diriku dengan pandangan begini............ ?"

Tapi ingatan lain lantas melintas pula delam benaknya: "Ah, tak mungkin hal

ini terjadi, dia adalah seorang nona keluarga kaya raya dan cantik jelita, sedang

aku tak lebih hanya seorang pemuda gelandangan dan tak punya apa2,

mungkinkah dia mencintai seorang pemuda macam aku? Ai. sekalipun ia jatuh

hati padaku, dengan modal apakah aku harus membalas cintanya itu? Jelas hal

ini tak mungkin............ "

Segera ia berpikir pula: "Dia adalah puteri musuh-besarku, ayahku dibunuh

oleh ayahnya, sebentar lagi mungkin darah akan mengalir, peduli amat dia cinta

atau tidak padaku . ............ !”

Pikiran terakhir inilah seperti air dingin mengguyur kepalanya, seketika ia

sadar dari lamunannya.

Ketika itulah Cing hu-sin Kim Kiu menggapai Siang-tin Kongcu, kemudian

membisikhan sesuatu padanya.

Siang lin tampak mengangguk berulang kali, kemudian melangkah ke tengah,

katanya sambil menjura kepada hadirin: "Para orang gagah sekalian, meja

perjamuan telah siap di luar. Bagaimana kalau hadirin sekalian kami persilahkan

menikmati perjamuan sambil memandang rembulan yang sedang purnama?"

Toan-hong Kongcu paling tidak sabaran, ia berbangkit dan menyela: "Sampai

kapan Toa lokim -wan baru akan dIpamerkan? Aku sudah tak sabar lagi ingin

menyaksikannya!"

"Sugong-heng tak perlu terburu napsu,” sahut Siang-lin Kongcu sambil

tertawa "Kalau kau telah membawa Pi-sui-giok-pik, masa Toa-lo-kin-wan dari

keluarga kami akan disembunyikan? Sementara semua orang menikmati

santapan di luar, engkau aku serta saudara In secara bergilitan akan

mengeluarkan benda mestika masing2 untuk dinikmati setiap orang, bukankah

acara begitu jauh lebih menawan hati?"

Mendadak An-lok Kongcu menepuk buku kumalnya seraya tertawa tergelak:

"Hahaha, di bawah sinar bulan purnama, sambil meniknati arak kita

menyaksikan munculnya benda mestikka, sungguh acara yang benar2

menyenangkan. Eeh. saudara Sugong, kita sebagai tamu sepantasnya menuruti

keinginan tuan rumah, biarlah saudara Siang-lin yang mengatur acara buat kita!"

Tentu saja tujuan para jago hanya ingin menyaksikan ketiga macam benda

mestika yang akan dipamerkan itu, soal menikmati arak dan santapan di bawah

bulan purnama segala tak lebih hanya suatu alasan belaka.

Begitu An-lok Kongcu berkata demikian, para jago segera menanggapi dengan

sorak-sorai, para tamu lantas berbangkit dan menuju ke luar ruangan.

Hanya Tian Pek seorang yang tidak tertarik oleh acara tersebut, yang selalu

diperhatikan adalah gerak-gerak Cing-hu-sin Kim Kiu, Kian kunciang In Tiong-

liong, Kun-goan-ci Sugong Cing serta Pak-ong-pian Hoan Hui, mereka itu jarang

bicara dan cuma duduk termenung membiarkan para puteranya saja yang

bersuara.

Di tengah kegaduhan itulah tiba2 terdengar Leng-hong Kongcu berkata

dengan dingin: "Semua orang mengatakan Siang-lin paling hangat, An-lok paling

romantis dan Toan-hong suka kelayapan, kalau kalian bertiga sanggup pamer

barang mestika masing2, memangnya aku tak punya benda mestiku yang bisa

dipertontonkan?"

Ucapan ini cukup menarik perhatian banyak orang, kawanan jago yang semula

mulai berjalan menuju keluar serentak berhenti dan berpaling, mereka

memandang ke arah Leng-hong Kongcu dengan terbeliak. agaknya merekapun

ingin tahu benda mestika apa yang akan dipamerkan Leng-hong Kongcu.

Betapa bangga Leng-hong Kongcu melihat perkataannya mendatangkan

perhatian yang cukup besar, ia lantas berpaling pada seorang kakek berambut

panjang terurai dan memerintahkan: "Paman Hek-lian, pertunjukkan benda

mestika milik kita!"

Kakek yang dipanggil paman Hek-Iian itu segera mengambil keluar sebuah

bungkusan kain sutera dari bajunya, ketika bungkusan itu dibuka ternyata isinya

adalah sebuah kotak kayu warna merah, kotak itu dibungkus pula dengan kertas

warna putih, tiga lapis di luar dan tiga lapis di dalam. Dengan hati2 kakek itu

membuka lembaran kertas itu selapis demi selapis, tapi ditinjau dari cara

penyimpanannya yang begitu rapat, dapatlah diduga benda itu pasti tak ternilai

harganya.

Barbareng dengan dibukanya kertas pembungkus itu, bau harum semerbak

lantas tersebar memenuhi ruangan, makin banyak lapisan yang dibuka bau

harum itupun semakin tebal, sehingga akhirnya seluruh ruangan yang lebar itu

diliputi oleh bau harum itu............

Pandangan semua orang tertuju ke arah si kakek berambut panjang tanpa

berkedip sekalipun peristiwa ini bukan pertempuran berdarah yang mengerikan,

akan tetapi suasana seketika berubah jadi tegang, beratus orang yang berjubel

di dalam ruangan sama membungkam, demikian sepinya suasana ketika itu,

sampai jarum yang terjatuh ke lantaipun dapat terdengar jelas.

Di tengah kesunyian entah siapa, tiba2 berbisik lirih "Apabila bau harum ini

mengandung racun yang jahat, ini berarti tak seorangpun yang hadir di ruangan

ini dapat lolos dalam keadaan hidup!"

Lirih sekali suara bisikan ini, tapi di tengah keheningan yang mencekam,

bisikan tersebut ibaratnya guntur yang membelah bumi di siang hari bolong,

semua orang terperanjat dan jantung berdetak keras.

Segera banyak di antara para jago yang hadir itu sama menutup

pernapasannya masing2 untuk menjaga segala sesuatu yang tidak diinginkan,

malahan ada pula yang segera menghimpun tenaga dalam dan siap melancarkan

pukulan maut bila perlu.

Seorang pengemis tua bermuka merah tiba2 tampil ke muka dari rombongan

yang dipimpin Toan-hong Kongcu, dengan bau arak ia tertawa ter-babak2 dan

mengoceh sendiri: "Wah, harum, sungguh bau yang harum. Biarpun betul racun

perantas usus, aku si pengemis tua tetap ingin mencicipinya!"

Dengan gerakan yang enteng, tahu2 pengemis tua ini sudah mendekati kakek

berambut panjang itu, tangannya yang kecil dan kotor serentak terjulur untuk

merampas bungkusan yang dipegang kakek berambut panjang itu.

Menghadapi ancaman ini, si kakek berambut panjang sama sekali tidak

menggubris, akan tetapi ketika ujung tangan pengemis tua itu hampir

menyentuh kertas bungkus kotak tadi, tiba2 jari kakek berambut panjang itu

menyelentik.

Bagaikan dipagut ular berbisa cepat2 pengemis tua itu menarik kembali

tangannya. Air mukanya seketika berubah, biji matanya yang kecil jelalatan,

kendatipun ia tidak mengeluh kesakitan, tapi semua orang tahu dia telah dikerjai

lawan.

Orang lain mungkin tak seberapa kaget, justeru Toan-hong Kongcu beserta

para tokoh pengemis yang terperanjat setelah menyaksikan peristiwa itu.

Maklumlah, pengemis tua bermuka merah ini adalah tokoh terkemuka kaum

pengemis. Ia bernama Pui Pit dengan julukan Ciu-kay (pengemis pemabok).

Bersama Hong-kay (pengemis sinting) Cu Liang, Liong-kay (pengemis tuli) Go

Hua, mereka disebut orang sebagai Hong-jan-sam-kay atau tiga pengemis sakti

pengelana.

Bukan saja kedudukan mereka dalam perkumpulan pengemis sangat

terhormat, di dunia persilatanpun mereka tergolong jago kelas satu.

Tapi sekarang, jago yang tangguh itu ternyata tak mampu menahan selentikan

jari si kakek berambut panjang yang pada hakikatnya cuma seorang jago

peliharaan keluarga Buyung, maka bisa dibayangkan betapa kaget dan gusar

kawannya, segera mereka bermaksud menerjang ke depan.

Mendadak Leng-hong Kongcu menjengek: "Ketahuilah. Pah-to-san-ceng suka

menerima jago2 yang berbakat bagus, aku Buyung Seng-yap lebih2

menghormati kaum cerdik pandai, tak nanti kucelakai orang yang ada di ruangan

ini dengan cara licik! Hm, si penyebar sas-sus tadi yang berniat jahat, rupanya

dia ingin merusak nama baik keluarga Buyung, sungguh dosanva takdapat

diampuni."

Berbicara sampai di sini, dia lantas mengerling sekejap ke arah belakang.

Seorang laki2 kurus jangkung dengan muka kuning ke-pucat2an segera

mengayunkan tangannya ke depan.

Jerit Iengking memilukan hati seketika bergema di antara kawanan jago yang

berkumpul di dalam ruangan, seorang laki2 berusia setengah baya segera

memegangi dadanya sambil menungging kesakitan, darah segar tampak

merembes keluar diri celah2 jari tangannya.

Semua orang tidak tahu dengan cara bagaimana pria jangkung itu melukai

korbannya, tapi mereka sama menunjuk rasa gusar setelah menyaksikan

tindakan se-wenang2 dan kejam dari anak buah Lengbong Kongcu.

Di antara mereka, yang paling gusar adalah anggota perkampungan Ki-lin-ceng

di bawah pimpinan Hoan Hui, semuanya siap sedia melakukan pembalasan.

Rupanya pria yang terluka itu adalah salah seorang anak buah Pak-ong-pian

Hoan Hui.

Siang-lin Kongcupun hampir tak kuasa mengendalikan rasa gusarnya

menyaksikan tindakan Leng-hong Kongcu yang secara tidak se-mena2 melukai

orang di rumahnya.

Tapi dia memang pemuda yang bisa berpikir, ia kuatir rencananya akan gagal,

iapun tidak berharap terjadinya bentrokan dalam keadaan seperti ini, maka ia

berusaha menahan perasaannya, katanya segera: "Buyung-heng, jika betul

engkau membawa benda mestika, lebih baik pamerkan saja di pesta kebun

nanti, untuk sementara lebih baik mestika itu kau simpan dulu .....”

Belum habis ucapannya, kakek berambut panjang tadi telah membuka lapisan

kertas yang terakhir, dua jari tangannya tiba2 mencomot secuil benda warna

putih dari bungkusan tadi, kemudian diselentikkan ke depan, sejalur cahaya

putih langsung menyambar ke arah "Pengemis Pemabuk" seraya berseru: "Hei,

jembel tua, kalau kau ingin mencicipi, nah kuberi sedikit agar orang tidak

mentertawakan kami orang Pah-to-san-ceng sebagai manusia pelit!"

Pengemis pemabuk Pui Pit benar2 bernyali besar, dia tak peduli benda apakah

yang disambitkan ke arahnya, iapun tak tahu apa tujuan lawannya berbuat

demikian, ketika benda putih ini menyambar tiba, cepat ia membuka mulutnva,

benda itu dicaploknya dan terus ditelan ke dalam perut.

Tindakan yang sangat berani ini seketika membuat para hadirin menjadi

gempar, bukan saja orang2 dari pihak Toan-hong Kongcu merasa terkejut,

mereka yang sama sekali tak ada hubungan dengan Ciu-kay juga ikut kuatir.

Tak tahunya, setelah Ciu-kay menelan benda putih itu, dia menjilat seputar

bibirnya, kemudian mengambil buli2 araknya dan menenggak beberapa

cegukan.

Sesudah itu barulah dia berseru lantang: “Eh, makhluk tua berambut panjang,

benda apa yang kau berikan padaku? Apakah buah jinsom yang pernah dicuri

oleh siluman kera itu? Wah, lezat sekali rasanya!"

"Hahaha, pengemis tua, nasibmu memang lagi mujur" sahut kakek berambut

panjang sambil tertawa. "Sekalipun bukan buah Jinsom yang bisa bikin orang

jadi dewa, tapi benda ini adalah jinsom asli berumur seribu tahun, bila engkau

mengatur pernapasan pada saat ini juga, maka tenaga dalammu akan

bertumbuh sebesar tiga tahun hasil latihanmu.”

Sudah tentu semua orang tidak mau percaya ocehan tersebut, masa mereka

bersedia memberikan benda mestika yang tak ternilai harganya itu untuk

seorang yang sama sekali tak ada hubungannya dengan mereka.?

Tapi Ciu-kay Pui Pit ternyata tidak sangsi sedikitpun, ia segera duduk bersila

dan mulai mengatur pernapasan.

Perasaan ingin tahu menyelimuti hati setiap orang, untuk sesaat suasana di

dalam ruang itu menjadi sunyi, tak ada yang bergerak, tak ada yang berbicara,

dengan terbelalak semua orang memandang Ciu-kay yang sedang bersemadi.

Selang seminuman teh kemudian, Ciu-kay melompat bangun, sinar mata yang

terpancar dari mata pengemis ini jauh lebih tajam daripada sebelumnya,

mukanya kelihatan lebih segar dan langkahpun jauh lebih tegap.

"Sungguh benda mestika ...... sungguh luar biasa .... !” serunya berulang kali.

Setelah Pengemis tua itu membuktikan kemujaraban benda di dalam kotak

tadi, semua orang mulai percaya pada perkataan kakek berambut panjang itu itu

tanpa sadar sinar mata merekapun di tujukan ke arah kotak tersebut.

Kakek berambut panjang itu sama sekali tidak menunjukkan reaksi apa2, dia

hanya bergumam sendiri: "Barang siapa bersedia menjadi anggota

perkampungan Pah-to-san-ceng, dialah yang akan menikmati secuwil jinsom

berumur seribu tahun!"

Sekarang Tian Pek baru paham apa maksud Leng-hong Kongsu menyuruh

jagonya mengeluarkan benda mestika itu, rupanya ia hendak menggunakan

benda mestika itu sebagai umpan untuk menarik simpati para jago yang

bersedia menjadi anggota perkampungannya. Di samping itu iapun menyadari

taktik yang digunakan ketiga Kongcu lainnya, jelas mereka semua hendak

menggunakan benda mestikanya masing2 untuk mencari simpati tokoh

persilatan sehingga lebih banyak lagi kekuatan yang berpihak kepada mereka.

Diam2 Tian Pek merasa geli dan mendengus, ia tidak menyangka Bu-lim-su-

kongcu yang termashur itu lebih suka. menggunakan cara yang rendah itu untuk

memperbesar pengaruhnya di dalam dunia persilatan.

Leng-hong Kongcu tidak menggubris suara jengekan Tian Pek, melihat siasat

yang diaturnya berhasil mendatangkan perhatian serta minat yang cukup besar

dari kawanan jago, dengan bangga ia berkata lagi: "Di Pah to san-ceng kami

tidak cuma jinsom berumur seribu tahun saja, bahkan terdapat pula Ho-siu-oh

dan Langci berumur seribu tahun serta aneka macam benda mestika lain yang

tak terhitung jumlahnya, barang2 itu sengaja kami sediakan untuk dinikmati

bersama dengan kawan2 persilatan yang sudi bergabung dengan keluarga

Buyung kami............ . "

Pada umumnya orang persilatan tidak suka emas dan juga tidak gemar perak,

tapi mereka sangat senang bila mendapat obat mujarab yang bisa menambah

tenaga dalam yang mereka miliki, seringkali terjadi saling bunuh membunuh

hanya lantaran memperebutkan sepotong obat mujarab saja.

Bisa dibayangkan betapa tergiurnya kawanan jago ini setelah mendengar

tawaran pihak Pah-to-san-ceng.

Andaikata pengemis pemabuk tidak menunjukkan khasiat yang luar biasa

setelah makan obat mestika itu, keadaan mungkin masih mendingan, tapi

setelah menyaksikan apa yang terjadi, segera timbul minat mereka untuk turut

serta menerima pembagian rejeki tersebut. Cuma karena ingin menjaga gengsi,

maka meteka tidak merubung ke sana, tapi ada juga di antaranya sudah mulai

melangkah ke depan..........

Gelisah Siang-lin Kongcu menyaksikan siasat licik Leng-hong Kongcu itu akan

berhasil, buru2 ia berseru: "Saudara sekalian, harap tenang dahulu, silakan

masuk ke kebun samping ruangan, sebentar perjamuan akan dimulai dan lebih

banyak benda mestika yang akan kalian saksikan dalam perjamuan nanti!"

Di tengah suasana gaduh itu, tiba2 Tian Pek melihat sebuah kursi beroda

bergerak menuju ke ruang belakang. Ketajaman pandangan Tian Pek sekarang

sudah luar biasa, meski hanya sekilas pandang saja ia kenal orang itu adalah

Cing-hu sin Kim Kiu.

Tian Pek kuatir setelah Cing-hu-sin kabur kesempatan lain tentu sulit dicari

lagi untuk bertemu dengan dia, segera ia berteriak: "Kim-locianpwe jangan pergi

dulu!"

Keras sekali suara bentakan itu, seketika sinar lilin dan lampu yang tergantung

di dalam ruangan ikut tergetar.

Dengan kaget semua orang berpaling, namun Tian Pek tidak pedulikan

perhatian orang, dengan suatu gerakan cepat ia memburu ke depan Cing-hu-sin

Kim Kiu, lalu serunya lagi: "Cayhe bernama Tian Pek, ingin kutanya suatu hal

kepada Kim locianpwe, apakah engkau bersedia untuk memberi keterangan?"

Sekalipun Cing-hu-sin Kim Kiu telah menghentikan kursi berodanya, namun

mukanya tetap kaku tanpa emosi, dengan dahi berkerut ia berkata: "Sudah

puluhan tahun aku tak pernah muncul di dunia persilatan, tak sepotong

urusanpun yang kuketahui, bila ada persoalan silakan bertanya kepada orang

lain saja!"

Habis berkata dia menggerakkan kembali kursi berodanya dan bergerak

menuju ruang belakang.

"Tunggu sebentar............ ... " seru Tian Pek cepat.

Tapi Cing-hu-sin Kim Kiu tidak mempedulikan lagi, tanpa berpaling ia

luncurkan kursi beroda ke depan.

Tian Pek jadi penasaran dan segera hendak mengejar, tapi baru saja ia

bergerak, se-konyong2 "trang", pintu besi yang berada di depan, secara

otomatis menutup sendiri.

Untung Tian Pek keburu menghentikan gerak tubuhnya, hampir saja

kepalanya menumbuk pintu besi tersebut.

Sebelum ia berbuat sesuatu, mendadak enam orang anak kecil berbaju putih

muncul di situ, semuanya bersenjata pedang perak. Usia keenam anak kecil

berbaju putih ini kira2 empat-lima belas tahun, namun gerak tubuh mereka

cepat Iuar biasa, sampai2 Tian Pek tidak tahu mereka muncul dari mana?

Dengan pedang perak terhunus di tangan, keenam anak tanggung berbaju

putih itu mengadang di depan pintu, tak seorangpun di antara mereka yang

bersuara atau menegur, tapi enam pasang mata menatap Tian Pek tanpa

berkedip, rupanya asal pemuda itu bergerak maka merekapun akan menyerang

secara kilat.

Untuk sessaat Tian Pek jadi tertegun, saat itulah terdengar Kim Cay-hong

menegur dari belakang dengan suaranya yang merdu: "Tian-siauhiap!"

Tian Pek berpaling, terlihat Kim Cay-hong sedang memandangnya, sinar

matanya penuh mengandung pertanyaan, heran dan tercengang.

Di sinilah letak keistimewaan gadis itu, sering2 apa yang dipikirnya tidak perlu

diucapkan dengan mulut dan orang lainpun tahu sendiri apa maksudnya.

Mungkin inilah apa yang disebut "Mata yang bisa bicara".

Tian Pek menghela napas, pikirnya: "Ai, aku hanya bermusuhan dengan Cing

hu-sin Kim Kiu karena dia telah membunuh ayahku, sedang dengan putera

puterinya boleh dibilang sama sekali tak ada sangkut pautnya, kini Cing-hu-sin

telah berlalu, tampaknya soal balas dendam harus kutunda untuk sementara

waktu ............. "

Berpikir sampai di sini, Tian Pak lantas menggeleng dan menjawab: "O tidak

ada apa2!"

"Tapi aku tahu, engkau menyimpan suatu rahasia di dalam hatimu," bisik Kim

Cay hang dengan suara sendu.

Tentu saja Tian Pek tak mau mengakui apa yang sebenarnya terkandung

dalam hatinya. Kembali ia menggeleng. "Sungguh, aku tidak menyimpan

rahasia,apa2!" sahutnya sambil menyengir.

Sekalipun ia menyangkal, akan tetapi mata Kim Cay-hong yang jeli dan bening

masih menatapnya dengan mesra, di balik sorot matanya itu tersembunyi

perasaan yang rawan.

Pancaran sinar mata yang simpatik, sayu dan mesra ini membuat hati Tian Pak

bergetar.

Cepat pemuda itu tunduk kepala sinar mata yang indah itu membuatnya

takut, terpaksa ia harus menghindari tatapan orang, jantungnya berdebar

semakin keras.

Rasa dendam, cinta, benci dan pelbagai macam perasaan lain berkecamuk

menjadi satu di dalam hatinya, membuat pikirannya menjadi kalut, gundah-

gulana

Pada saat itulah mendadak cahaya lampu yang menerangi ruangan perjamuan

padam seluruhnya, seketika suasana menjadi gelap gulita bagaikan berada di

dalam gua, jeritan kaget berkumandang dari mulut orang banyak.

Di tengah kepanikan karena kejadian itu, terdengarlah gelak tertawa yang

melengking bagaikan lolong srigala di malam buta berkumandang memenuhi

ruangan gelap itu, suara itu seram dan mengerikan sekali, membuat berdiri bulu

kuduk setiap orang.

Terlalu mendadak terjadinya perubahan itu, tak seorangpun yang sempat

berpikir apa yang terjadi, dalam waktu singkat suasana dalam ruangan menjadi

gempar dan gaduh .....

"Hei, apa yang telah terjadi?” terdengar orang berteriak.

"Kenapa lampunya padam semua?"

"Siapa itu yang tertawa? Seram amat suara tertawanya ...... "

Di tengah kegaduhan dan kepanikan yang mencekam itu, tiba2 terdengar

suara gemuruh yang amat dahsyat dan memekak telinga, menyusul mana

semua dinding ruangan terasa berguncang keras.

"He, lindu! ..... " jerit seorang.

"Gempa bumi ..... ! " teriak seorang lagi.

Sedahsyat-dahsyatnya gempa bumi tak mungkin menimbulkan suara dan

getaran sedahsyat itu, sebab mendadak seluruh ruangan lantas berputar.

Begitu seorang berteriak gempa semua orang lantas berusaha lari ke luar

untuk menyelamatkan diri.

Tapi karena ruangan lantas berguncang dan berputar, mereka yang berusaha

lari meninggalkan ruangan lantas kehilangan imbangan badan, banyak di

antaranya terlempar jatuh ada pula yang terhempas hingga menumbuk dinding

atau tiang.....

"Blang! Blang . !" benturan demi benturan berlangsung tiada hentinya, jerit

kesakitan terdengar di sana-sini, jelas tak sedikit di antara kawanan jago itu

telah menderita luka cukup parah.

Di tengah kegelapan dan kepanikan itu terdengar Siang-lin Kongcu berteriak

dengan gusar: "Siapa itu yang menjalankan 'Sek-ki-tay-tin' ( barisan bukit

batu )?!"

Sesudah Siang-lin Kongcu berteriak, semua orang baru sadar apa yang terjadi,

rupanya mereka semua telah terjebak oleh alat rahasia yang dipasang dalam

gedung ini.

Kalau alat rahasia ini berada di dalam gedung keluarga Kim, itu berarti orang

yang menggerakkan perangkap rahasia inipun orang keluarga Kim, tapi aneh,

mengapa Siauya dan Siocia merekapun ikut dijebak di dalam ruangan, atau

mungkin kedua majikan mudanya ini juga akan dibinasakan.

Sungguh peristiwa aneh yang sukar dimengerti.

Bentakan yang dilontarkan Siang-lin Kongcu makin lama makin keras, nadanya

makin gusar dan gelisah, siapapun dapat mengetahui bahwa perintah tersebut

sudah pasti bukan berasal dari pemuda ini, malahan jelas bahwa keselamatan

jiwanyapun ikut terancam.

Gelak tertawa yang sangat aneh dan mengerikan tadi masih berkumandang

terus dari atap bangunan, sekalipun Siang-lin Kongcu telah membentak berulang

kali ternyata bentakan tersebut sama sekali tak digubris.

Bisa dibayangkan betapa gusarnya Siang-lin, dia mencak2 seperti orang gila.

Kim Cay-hong berada di samping kakaknya, dengan tenang ia berkata: 'Koko,

engkau tak perlu marah2, orang yang berada di atap rumah sambil tertawa itu

adalah Suheng, tentu dia pula yang menggerakkan alat rahasia Sek ki-tay-tin."

Siang-lin Kongcu semakin kalap setelah mengetahui murid ayahnya yang telah

main gila, dengan penuh kegusaran ia berteriak lagi: "Beng Ki-peng! Apa kau

sudah gila? Hayo cepat hentikan perbuatanmu!"

Namun bentakan ini tetap tidak digubris, malahan seluruh ruangan yang

sedang berputar itu mendadak tenggelam ke bawah dengan cepat.

Tiba2 Toan-hong Kongcu bergelak tertawa, ejeknya: "Hahaha, Kim Siang-lin,

bagus sekali siasat busukmu ini, tak kusangka dengan rencanamu yang begini

rapi kau berhasil menjaring semua jago di dunia ini. Hahaha, tapi kau pun jangan

harap bisa lolos dari sini dalam keadaan hidup, sebelum kami mati konyol, kalian

berdua kakak beradik harus mampus terlebih dahulu!"

"Apa yang hendak kau lakukan?" seru Siang-lin Kongcu dengan gusar.

“Dengan mengandalkan alat jebakan kau menipu semua jago di kolong langit

ini untuk mamasuki ruanganmu ini. Hmm, bukankah kau bertujuan membasmi

kami dari muka bumi? Tapi sayang kau sendiri tak akan hidup terlalu lama,

sebelum kami mati, aku Toan-hong dengan barisan bambu hijau kaum jembel ini

akan membuat kalian kakak beradik mampus tak terkubur!"

Saking gusarnya Siang-Lin Kongcu malah tertawa ter bahak2.

Suara tertawanya keras, tinggi melengking menyerupai suara tertawa seram

yang terdengar di atap rumah, suasana terasa seram memilukan.

"Saudara Sugong!" katanya lantang, "Tak perlu kau memfitnah orang secara

keji, aku Kim Siang-lin sama sekali tidak bermaksud menjebak kalian, sekalipun

aku memang berniat membasmi kalian, tak nanti aku mengorbankan diriku

sendiri!"

"Hehehe, siapa yang akan mempercayai perkataanmu?' ejek Toan-hong

Kongcu "masa alat perangkap yang berada di rumah sendiri dapat mencelakai

dirimu pula, aku tak percaya dengan segala macam ocehanmu ini. Bila kau lelaki

sejati dan bukan manusia yang takut mati, hayo terimalah tantanganku untuk

berduel!"

Sebelum Siang-lin Kongcu sempat menjawab, tiba2 Kian-kun-cang In Tiong-

liong menimbrung: "Sugong-suheng, sekalipun kau berniat mengadu jiwa, dalam

kegelapan yang mencekam begini, belum tentu kau sanggup melancarkan

serangan mautmu!"

"Hahaha, kegelapan bagi tukang minta2 semacam diriku hanya permainan

kecil saja," seru Ciu-kay Pui Pit mendadak sambil bergelak tertawa.

“Sahabat2 perkumpulan pengemis, demonstrasikan keampuhan kalian agar

ditonton para pahlawan di dunia!" seru Toan-hong Kongcu dengan lantang.

Bersamaan dengan selesainya seruan itu, terdengar suara "crat-cret" yang

ramai, dalam waktu singkat puluhan batang obor telah bermunculan di sana-

sini....

Rupanya di saku tiap anggota perkumpulan pengemis selalu membekal

geretan api dan obor, mereka menamai obornya sebagai Cian-li-hwe (api seribu

Li).

Obor Cian-li-hwe hanya khusus terdapat pada perkumpulan pengemis, bukan

saja obor itu tak takut embusan angin, tak takut curahan hujan, bahkan

sepanjang waktu selalu menyala.

Dengan bermunculnya berpuluh obor, sekejap saja seluruh ruangan menjadi

terang benderang lagi bermandikan cahaya.

Tatkala ruangan itu berputar sambil ambles ke bawah itulah, puluhan jago

pengemis lantas cabut pentung bambu hijau mereka, dalam waktu singkat

mereka membentuk sebuah barisan bambu hijau yang tangguh dan mengepung

Siang-lin Kongcu kakak beradik di tengah.

Cemas dan marah Siang-lin Kongcu menghadapi peristiwa itu, setelah murid

kesayangan ayahnya melakukan pengacauan, Toan-hong Kongcu menggunakan

kesempatan itu menghasut para jago untuk memusuhi pihaknya, untuk

memberi penjelasan juga sukar.

Kini semua orang sama melotot gusar ke arahnya, Siang-lin tahu sekalipun

Tong-hong Kongcu tidak menantang duel juga orang lain takkan lepaskan dia

dengan begitu saja.

Para jago keluarga Kim sekalipun dalam keadaan kacau dan berbahaya,

namun mereka tidak lupa melindungi keselamatan Kongcu dan Siocia mereka.

Beramai2 mereka mengelilingi Siang-lin berdua dan menghadapi musuh.

Barisan bambu hijau yang dipimpin langsung oleh Hong-jan-sam-kay itu

jumlahnya mencapai delapan puluh satu orang, setiap orang bersenjata pentung

bambu hijau.

"Rangkuman bunga teratai terbang terembus angin!" tiba2 si Pengemis

Pemabuk mulai bersenandung.

"Hud-co (Budha) turun dari kahyangan!" sambung pengemis sinting Cu Liang.

Bayangan pentung laksana hujan badai serentak memburu ke tubuh Siang-lin

Kongcu.

Baik Tiat-ih-hui-peng Pah Thian-ho maupun Tiat-pi-to-liong Kongsun Coh,

keduanya sudah pernah merasakan kehebatan barisan pengemis itu ketika

berada di bukit dua belas gua karang, cepat mereka membentak, telapak tangan

segera menghantam menyambut datangnya ancaman. Puluhan jago lihay istana

Kim lain serentak juga mengikuti jejak kedua pengawal baja dan melancarkan

serangan.

Deru angin pukulan yang dahsyat disertai kilatan cahaya golok dan bayangan

pedang serentak menerjang ke arah musuh, tapi begitu bentrok dengan

bayangan pentung bambu yang berhamburan, seketika mereka berteriak kaget

dan melompat mundur.

Rupanya Toan-hong Kongcu telah mengerahkan tokoh2 pengemis yang paling

kuat, ditambah lagi barisan pentung bambu itu memang luar biasa

perubahannya, maka jago2 istana Kim tak mampu membendung meskipun

mereka juga tergolong jago pilihan.

Melihat musuh terdesak mundur, para jago pengemis segera mendesak maju

lagi, diiringi nyanyian bersama "bunga teratai, bunga teratai ...” bayangan

pentung bambu yang kuat dan lebat terus membanjir menggulung musuh.

Pucat wajah Siang-ling Kongcu, bentaknya gusar: "Sahabat kaum pengemis,

kalian terlalu menghina, maka jangan kalian salahkan Siang-lin bertindak kejam,

lihat senjata rahasia!"

Serentak tangan kanannya diayun, desingan angin tajam seketika menyambar

dengan gencar.

Da bawah cahaya obor yang cukup terang, tampaklah berpuluh buah titik

hitam bagaikan sekelompok kecapung menyanbar bersama ke tubuh kawanan

pengemis itu.

Kiranya dalam keadaan terdesak, Siang-lin Kongcu telah menggunakan Cing-

hu-piau.

Pengemis sinting Cu Liang tertawa, serunya: "Hehehe, Kongcuya ini memang

baik hati, sekali turun tangan telah menyebar uang emas sebanyak ini buat

kita!"

Meskipun ucapan itu diutarakan dengan seenaknya, tapi diam2 iapun merasa

terkejut oleh kedahsyatan senjata rahasia musuh, menyaksikan tibanya cahaya

hijau yang membawa desingan tajam, cepat ia melangkah ke samping untuk

menggerakkan barisan, kemudian pentung bambunya dengan sepenuh tenaga

menyabat ke depan. Beratus batang pentung bambu hijau serentak

menciptakan dinding hijau yang sangat kuat.

"Tring, Tring!" suara dentingan menggema riuh, setelah desingan tajam

menyambar lewat, terdengarlah dengusan tertahan beberapa kali.

Dalam sibuknya Pengemis Sinting sempat berpaling ke belakang, dilihatnya

tidak sedikit anggota perkumpulannya terluka oleh sambaran am-gi tersebut.

Bukan begitu saja, malahan Pengemis Tuli Go Hua yang berada di sampingnya

juga tergores wajahnya sehingga terluka panjang dan darah menetes dengan

derasnya.

Sesungguhnya kepandaian Pengemis Tuli ini sama sekali tidak berada di

bawah kemampuan Pengemis Pemabuk dan Pengemis Sinting, tapi berhubung

telinganya tuli dan di tengah pertarungannya melawan musuh hanya

mengandalkan ketajaman matanya saja, maka dalam keremangan yang

diterangi beberapa puluh obor itu, dengan sendirinya penglihatannya jadi

terpengaruh.

Selain itu Cing-hi-piau lain daripada Am-gi biasa, di bawah sistim pelepasan

yang unik dari Siang-lin Kongcu, senjata rahasia itu bukannya meluncur ke

depan, tapi melayang dari arah samping.

Dalam keadaan sama sekali tak terduga itulah tahu2 sebuah senjata rahasia

musuh sempat menyerempet mukanya.

Karena tangan kirinya membawa obor, tangan kanan memegang pentung

bambu. setelah pipinya terluka ia mengusap dengan lengan baju. Ia jadi murka

melihat lengan baju berlepotan darah, ia meraung, segera ia mengerahkan

barisan, puluhan pentung bambu terus menghantam Siang-Lin Kongcu.

Mendadak Siang-lin menghamburkan lagi segenggam Cing-hu-piau.

Pengemis Tuli terkejut, cepat ia putar pentungnya, dari menyerang terpaksa

harus bertahan.

"Tring! Tring!" dentingan nyaring kembali berkumandang, belasan buah mata

uang tembaga hijau menancap pada pentung bambunya, malahan tidak sedikit

anggota pengemis yang berada di sebelahnya sama menjerit tertahan, jelas

mereka sama terluka.

Barisan bambu hijau mengubah taktik, mereka mulai bergerak maju dan

mundur selicin ular, ketika Pengemis Tuli melakukan gerak mundur, kawanan

pengemis di bawah pimpinan Pengemis Pemabuk dan Pengemis Sinting segera

melakukan penyergapan.

Jeritan ngeri berkumandang, beberapa orang jago lihay dari istana Kim

terkena serangan dan tewas, bahkan pada saat yang sama puluhan pentung

bambu serentak mengepung dan mengancam Hiat to penting di tubuh Siang-lin

Kongcu kakak beradik.

Pucat wajah Siang-lin, sedangkan Kim Cay -hong menjerit kaget, tampaknya

kakak beradik ini sukar melepaskan diri dari ancaman maut.

Entah bagaimana jalan pikiran Tian Pek, ia merasa tak tega membiarkan gadis

yang cantik bak bidadari dari kahyangan itu mati konyol di tangan musuh.

Mendadak pemuda itu melambung ke udara, Bu-cing-pek-kiam terlolos,

dengan jurus Sun-hong-cit-lui (angin puyuh kilat menyambar) ia terjang ke

depan Kim Cay hong dan menangkis hujan serangan pentung bambu kawanan

pengemis itu.

"Cring! Cring! Ting .... !" dentingan nyaring kembali menggema angkasa,

belasan pentung bambu hijau yang mengancam si gadis cantik serentak

terpapas kutung oleh pedang Tian Pek.

Sebagian besar kaum pengemis amat menyayangi pentungnya melebihi

nyawa sendiri, keruan mereka menjerit kaget dan melompat mundur.

Lolos dari ancaman maut, Kim Cay-hong merasa jantungnya berdebar dan

peluh dingin membasahi tubuhnya, ia menatap Tian Pek dengan sorot mata

yang berterima kasih.

Tian Pek dapat merasakan betapa mesranya tatapan anak dara itu, wajahnya

jadi merah jengah.

Mendadak terdengar pula suara desingan angin tajam yang santar, dengan

bingung semua orang celingukan kian kemari, sekali ini serangan itu ternyata

berhamburan dari atap rumah, bintik hijau bertaburan dari atas sehingga Siang-

lin Kongcu juga dapat diselamatkan.

Banyak orang yang tak sempat menghindar sergapan itu sehingga yang terluka

dan tewas semakin banyak, malahan bukan melulu kaum pengemis saja yang

diserang, banyak jago golongan lain ikut menjadi korban dari kerubutan musuh.

Semua orang menjadi gusar dan ingin mencari Siang-lin Kongcu dan

melabraknya.

Tapi si penyebar senjata rahasia di atas atap rumah itu ternyata

berkepandaian sangat tinggi, bukan saja senjata rahasia yang disebarkan itu

melukai banyak orang, bahkan semua obor kaum pengemis itu ikut tertimpuk

padam.

Suasana dalam ruangan kembali berubah gelap gulita, demikian gelapnya

sampai lima jari sendiri pun tidak kelihatan. Jangankan orang lain, Tian Pek yang

dapat memandang dalam kegelapanpun hanya mampu melihat secara samar2.

Di tengah kegaduhan dan kepanikan, dari atas atap sekali lagi barkumandang

gelak tertawa seorang yang bersuara serak tua, katanya: "Sekarang kalian segera

menentukan sikap, bagi mereka yang bersedia menjadi sahabat keluarga Kim,

harap memberitahukan lebih dulu dan segera akan kuberitahu jalan keluarnya

dengan ilmu gelombang suara.. Sebaliknya bila kalian tetap memusuhi istana

Kim kami, apa boleh buat, terpaksa persilahkan kalian keluar dari barisan Set-ki

nay tin ini menurut kemampuan kalian sendiri, asal kalian dapat meloloskan diri,

pihak istana Kim niscaya takkan menghalangi, kalian boleh bebas berlalu dari

sini............ "

Belum habis perkataannya, cari-maki penuh kegusaran segera terlontar dan

mulut orang banyak.

Kun-goan-ci Sugong Ong dengan suara lantang lantas bcrseru: “Loji (saudara

kedua), apakah pantas perbuatanmu ini terhadap teman lama?!"

Orang yang berada di atas atap ruangan itu ternyata adalah Cing-hu-sin Kim

Kiu, ia tertawa ter-bahak2 dan berkata: “Sugong Cing, kutahu kau ini tak lebih

hanya seorang Siaujin, manusia rendah yang licik dan berakal busuk, dengan

Toa-lo-kim-wan palsu kau mencelakai diriku sehingga kedua kakiku jadi lumpuh,

kemudian kau menghasut orang2 dari perkumpulan pengemis untuk mencuri

mestika Pi-sui-giok-pik milikku, tindakan semacam itu apakah tidak lebih keji

daripada membinasakan aku? Hahaha, sekarang kau bicara tentang teman lama

segala. Terus terang kukatakan, tujuanku yang utama dengan tindakanku ini tak

lain hanya untuk menghadapi kalau orang lain ikut terjebak di dalam Sek-ki-tay-

tin ini boleh dibilang lantaran kau ..... "

Betapa gusar kawanan jago lainnya setelah mendengar keterangan itu,

rupanya mereka tak lebih hanya ikut menjadi korban persengketaan kedua

keluarga itu.

Kian-kun-ciang In Tiong-liong juga lantas berseru lantang: "Jiko,

bagaimanapun juga kau tak boleh mencelakai pula diriku di sini, ingatlah betapa

akrabnya persaudaraan kita di masa lalu ...."

"Persaudaraan?" seru Cing-hu-sin Kim Kiu sambil tertawa ter-bahak2.

"Hahaha, sejak belasan tahun berselang, hubungan persaudaraan itu sudah

berakhir, bukankah kita masing2 telah bersumpah, sejak peristiwa berdarah itu,

kita tidak saling kenal mengenaI lagi, semua hubungan telah tamat pada detik

itu juga. Hahaha, tak tersangka dalam keadaan bahaya kau lantas panggil Jiko

lagi padaku! Bicara terus terang, hari ini yang lain boleh kubebaskan, tapi kalian

beberapa orang jangan harap bisa lolos dan sini ............. "

Pak-ong-pian Hoan Hui berdiri di samping Kian-kun-ciang In Tiong-long, ia

lantas berbisik: "Suko, tak ada gunanya kita banyak bicara dengan dia,

bayangkan betapa kejinya waktu dia menyusun rencana untuk membunuh

Toako? Sekarang kita sudah terjebak, memohon ampun juga tiada gunanya,

akan lebih baik kalau .....”

Sampai di sini suaranya lantas lebih lirih lagi. Tapi Tian Pek kini dapat

menangkap semua ucapan Pak-ong-pian Hoan Hui itu, didengarnya: " ..... kita

tawan anak setan tua itu, dengan menyandera bocah itu kita dapat paksa

dia ...... "

Jelas sekarang, rupanya Pak-ong-pian Hoan Hui mengusulkan kepada bekas

saudara angkatnya agar menangkap Siang-lin kongcu dan kemudian menjadikan

pemuda itu sebagai sanderanya, dengan begitu mereka dapat memaksa Cing-

hu-sin untuk menyerah dan membuka perangkap rahasianya untuk melepaskan

mereka semua.

Selain itu, dari pembicaraan mereka tadi Tian Pek dapat menarik kesimpulan

bahwa Cing hu-sin Kim Kiu yang merencanakan pembunuhan terhadap ayahnya,

kemudian mereka berenam turun tangan bersama dan membagi barang

rampasan secara merata, lalu bubar dan tidak saling mengenal lagi....

Darah seketika bergolak dalam dada pemuda itu, ia jadi benci bercampur

gemas, ingin sekali ia cari musuh besar itu dan mencincang tubuhnya jadi ber-

keping2 .

Sementara Tian Pek termenung, tiba2 ia merasa ada sabuah tangan halus dan

hangat memegang tangannya, menyusul mana ia lantas mencium bau harum,

sebelum ia sempat berpikir, tangan yang yang halus dan hangat itu telah

menariknya menuju ke sudut ruangan.

Kontan sekujur badan Tian Pek bergetar keras, ia merasa seperti ada aliran

hawa panas yang merembes lewat ujung jari orang meresap ke setiap syaraf di

tubuhnya, di tengah kegelapan ia tak tahu musuhlah atau temankah yang

menggandeng tangannya, tapi anak muda itu tidak melawan, ia mengikut saja

ke manapun dia ditarik ......

Setelah mengitar beberapa kali, di tengah kegelapan lapat2 Tian Pek dapat

menyaksikan berpuluh sosok bayangan manusia sedang saling berdesakan kian

kemari, di sana-sini terdengar bentakan gusar den caci maki serta saling tonjok,

rupanya para jago yang terjebak dalam ruangan itu telah saling menyerang

sendiri secara membabi-buta, suasana seketika bertambah kacau-balau.

Meskipun pandangan Tian Pek belum pulih kembali dalam kegelapan, tapi

secara di bawah sadar ia menduga orang yang menggandeng tangannya itu pasti

Kanglam-te-it-bi-jin Kim Cay-hong adanya.

Terdorong oleh suatu perasaan aneh, ternyata pemuda itu tak tega untuk

menolak ajakan tersebut, meski tidak tahu kemana dia akan diajak pergi, dan

apa pula maksud tujuan anak dara itu?
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil : Hikmah Pedang Hijau 2 dan anda bisa menemukan artikel Cersil : Hikmah Pedang Hijau 2 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/10/cersil-hikmah-pedang-hijau-2.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil : Hikmah Pedang Hijau 2 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil : Hikmah Pedang Hijau 2 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil : Hikmah Pedang Hijau 2 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/10/cersil-hikmah-pedang-hijau-2.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar