Cersil : Rahasia Kunci Wasiat 2 , Serial Kunci Wasiat Yang Pertama

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 03 Oktober 2011

“Kalau demikian adanya budakmu mohon diri dulu,” katanya berbareng.
“Ehmm…? kalian cepat-cepatlah pergi.”
Menanti kedua dayang itu sudah mengundurkan diri dari kamar mandi, Siauw Ling baru
menutup pintu, melepas pakaian dan mandi.
Selesai membersihkan badan, kedua orang dayang itu sudah menanti dipintu luar,
kemudian membawa pemuda itu ke kamar tidur.
Ruangan kamar itu sangat mewah dengan perabot yang menarik sekali, pembaringan
beralaskan seprei dari kain sutra yang halus dengan ukiran naga emas. Hal ini membuat
pemuda tersebut rada tercengang dibuatnya.
“Siauw ya?” kata Liem Lan kemudian sambil mengangsurkansatu stel pakaian baru.
“Cungcu memberi pesan kepada budakmu agar Siauw ya suka berganti dengan pakaian
ini. Harap Siauw ya suka mencobanya dulu pas dengan badan atau tidak!”
“Ehmm! kalian keluarlah, aku bisa mencoba sendiri!” kata Siauw Ling setelah
memandang sekejap ke arah pakaian yang baru diangsurkan ke arahnya itu.
Kedua orang budak tersebut mengerti bila pemuda itu masih kolot. Karenanya tanpa
banyak cakap lagi mereka sama-sama mengundurkan diri.
Baru saja Siauw Ling berganti pakaian. Giok Lan sudah masuk kembali ke dalam kamar
sambil membawa semangkok kuah teratai bercampur jinsom, ujarnya sambil tertawa,
“Siauw ya setelah berganti pakaian baru kelihatan semakin ganteng, budakmu sekalian
merasa sangat beruntung sekali bila melayang diri Siauw ya.”
Siauw Ling adalah seorang pemuda yang berasal dari keluarga kaum pembesar sejak
kecil ia sudah terbiasa dengan pelayanan kaum dayang.
Karenanya sewaktu mendengar perkataan tersebut tak tertahan lagi tertawa geli.
“Eeeei, kau sungguh pandai berbicara!” serunya.
“Bukankah budakmu hendak mencari muka dihadapan Siauw ya,” kata Giok Lan sambil
tertawa. “Kebanyakan tamu terhormat yang mengunjungi perkampungan Pek Hoa
Sanceng ini merupakan manusia-manusia yang tidak genah sekalipun ada beberapa orang
yang merupakan pemuda-pemuda tampan dan gagah, tetapi bilamana dibandingkan
dengan Siauw ya waaah sangat jauh berbeda seperti langit dan bumi?”
Bukan saja kedua orang dayang itu mempunyai raut muka yang cantik menarik dengan
perawakan tubuh yang langsing dan padat bahkan setiap perkataan yang diucapkan
sangat menarik hati.
Agaknya mereka sudah memperoleh pendidikan yang sangat keras dan ketat selama
suatu masa yang amat panjang sehingga sikapnya bisa begitu luwes dan menarik hati
setiap orang.

Mendengar kata pujian tadi, Siauw Ling segera menoleh dan memandang sekejap ke
arah Giok Lan.
“Perkampungan Pek Hoa Sanceng kalian bukan saja berpandangan sangat indah
bahkan bangunan rumahnya besar, megah, dan sangat mewah mirip dnegan kemegahan
dari istana kaisar” pujinya sambil tertawa.
“Cuma budakmu sekalian yang sudah sejak kecil menginjak dewasa diperkampungan
Pek Hoa Sanceng ini lama kelamaan merasa rada bosan dengan pemandangan disini,” sela
Giok Lan tertawa.
Perlahan-lahan Siauw Ling mengangguk.
Setelah lama berada di dalam kamar yang penuh dengan bunga melati. Lama kelamaan
memang tidak lagi merasa harumnya bunga.
“Siauwte usiamu bukan saja masih muda dan berwajah tampan bahkan baik
kepandaian Bun mau Boe mempunyai kesempurnaan, tidak aneh kalau Cungcu kami
sangat menghormati dirimu,” kata Kiem Lan sambil tertawa cekikikan. “Bangunan Lan Hoa
Cing Si ini selamanya paling jarang digunakan untuk menerima tamu sehingga budakmu
selama beberapa tahun ini cuma tiga kali saja digunakan.”
“Jika demikian adanya, ruangan menerima tamu yang ada di dalam perkampungan Pek
Hoa Sanceng ini tentu amat banyak sekali bukan?”
“Menurut apa yang budakmu ketahui”, sambung Giok Lan sambil tertawa. “Kecuali
bangunan Lan Hoa ini masih ada loteng Bwee Hoa Khek, pagoda Tu Tan Teng yang
beserta ruangan mungil Ciu Cau Sian tiga tempat. Perkampungan Pek Hoa Sanceng kami
sepanjang tahun selalu penuh dengan tamu-tamu terhormat yang datang silih berganti,
tetapi bangunan Lan Hoa ini sepanjang tahun selalu kosong dan jarang ada tamu yang
menginap disini tetapi tahun ini sudah digunakan dua kali untuk menyambut tamu
terhormat. Hal ini benar-benar merupakan suatu hal yang istimewa sejak tempat ini
didirikan.”
Mendengar perkataan tersebut mendadak Siauw Ling merasakan hatinya rada bergerak
pikirnya, “Jika didengar dari perkataannya itu. Setiap orang yang bisa berdiam di dalam
bangunan Lan Hoa ini merupakan tamu terhormat yang dipandang oleh orang Pek Hoa
Sanceng sedang aku dengan Ciu Cau Liong pun tidak lebih hanya perkenalan biasa saja
dan belum lama berkenalan, mengapa mereka bersikap begitu menghormat terhadap
diriku? Sungguh aneh sekali.”
Sekalipun di dalam hati ia berpikir demikian tetapi dimulut ia berbicara lain.
“Apakah nona berdua sering sekali berdiam di dalam ruangan Lan Hoa ini?”
Agaknya kedua dayang tersebut merasakan sangat cocok sekali dengan kepribadian
Siauw Ling setiap pertanyaan yang diajukan oleh pemuda tersebut tentu memperoleh
jawaban yang memuaskan hati.
Tampak Kiem Lan tersenyum manis.

“Sedikitpun tidak salah” serunya. “Setiap tamu yang tinggal di dalam ruangan Lan Hoa
Cing Si ini tentu dilayani oleh kami kakak beradik berdua demikian pula dengan ruangan
lain yang ada di dalam perkampungan Pek Hoa Sanceng. Setiap kamar tentu ada orang
yang khusus melayani tempat itu.”
“Lalu masih ingatkah kalian tamu terhormat siapakah yang tempo dulu pernah bertemu
di dalam ruangan Lan Hoa Cing Si ini?”
Kedua orang dayang itu segera termenung lama sekali baru terdengar Giok Lan berbisik
dengan suara yang amat lirih.
“Sebenarnya hal ini termasuk rahasia. Perkampungan kami dan budakmu berdua tidak
berani banyak berbicara. Tetapi Siauw ya adalah seorang lelaki sejati yang berbeda
dengan orang-orang lain, tentu kami tidak berani mengecewakan hati Siauw ya. Tetapi
sebelum itu harap Siauw ya suka mengabulkan satu syarat yang kami ajukan lebih dulu.
Setelah itu kami kakak beradik berdua baru mau memberitahukan hal itu.”
“Urusan apa? cepatlah kalian katakan?”
“Sebenarnya bukan satu urusan yang besar, asalkan Siauw ya tidak menceritakan apa
yang kita bicarakan pada malam ini kepada orang lain sudahlah cukup.”
Perasaan ingin tahu dan keheranan semakin meliputi benak pemuda tersebut, tetapi
akhirnya ia mengangguk juga.
“Baiklah aku berjanji tidak akan menceritakan hal ini kepada siapapun,” ujarnya.
“Pada tiga bulan yang lalu, tetamu yang berdiam di dalam ruangan Lan Hoa Cing Si
inipun mendapatkan penghormatan yang luar biasa dari Cungcu kami dia adalah Ih Bun
Han To adanya.”
“Ih Bun Han To? kenal benar dengan nama ini,” bisik Siauw Ling di dalam hati.
Waktu itu Kiem Lan sudah tersenyum dan menyambung kembali perkataan dari
saudaranya Giok Lan.
“Kecuali Ih Bun Han Toaya itu ruangan Lan Hoa Cing Si inipun pernah ditinggali satu
kali oleh seorang tamu terhormat, cuma saja waktu itu usia budakmu sekalian masih kecil
sehingga tidak teringat lagi siapakah nama dari orang itu.”
Selama ini Siauw Ling hanya merasa bilamana Ih Bun Han To ini terasa sangat dikenal
olehnya cuma saja tidak teringat lagi kapankah dia orang pernah bertemu dengan orang
ini.
Giok Lan yang melihat Siauw Ling termenung seperti sedang memikirkan sesuatu, tak
tertahan lagi sudah berseru, “Eeee… Siauw ya! kau lagi pikirkan apa?”
“Oooohw…” Siauw Ling segera tersadar kembali dari lamunannya . “Manusia macam
apakah Ie Bun Han To itu?”

“Usianya kurang lebih empat puluh tahunan dandanannya mirip seorang sastrawan
jenggot hitamnya terurai sepanjang lambung, bagaimana? Apakah Siauw ya kenal dengan
dirinya?” kata Kiem Lan memberi keterangan.
“Ehmm… nama ini rasanya sangat kekenal…”
“Ih Bun Han To itu mempunyai suatu keistimewaan yang mudah sekali untuk diingat”
sambung Giok Lan. “Satu harian penuh entah pergi kemanapun ia selalu membawa
sebuah peti yang terbuat dari emas benda itu tidak pernah terpisah setengah coenpun dari
sisi tubuhnya seperti di dalam peti itu sudah tersimpan suatu benda yang sangat berharga
sekali. Bahkan tidurpun digunakan sebagai bantal, sewaktu bersantap diletakkan disisi
tubuhnya. Hmmm! Seperti takut ada orang yang hendak mencuri baranganya itu.”
Sehabis mendengar perkataan tersebut di dalam benak Siauw Ling mendadak
berkelebatnya satu ingatan. Peristiwa yang terjadi dikuil Sam Yen Koan lima tahun
berselang kembali terbayang di dalam benaknya, hal ini membuat hatinya tergoncang
keras, sehingga lama sekali ia bungkam diri.
“Siauw ya!” tegur Kiem Lan sambil tertawa cekikikan. “Agaknya kau mempunyai banyak
urusan yang mengacaukan pikiranmu. Apakah perlu budakmu sekalian menyaksikan
sebuah lagu?”
“Tidak berani merepotkan kalian berdua. Kalian boleh pergi beristirahat!” kata Siauw
Ling tersenyum.
Kedua orang dayang tersebut tukar pandangan mendadak di atas pipi mereka terlintas
warna merah jengah diiringi senyuman malu-malu.
“Kalian ada urusan apa lagi?” tegur Siauw Ling keheranan, ketika dilihat kedua orang
gadis itu belum juga berlalu.
Giok Lan tersenyum jengah, dengan malu-malu dan kepala yang ditundukkan rendahrendah
ujarnya, “Siauw ya! bilamana kau membutuhkan pelayanan kami kakak beradik
silahkan memberitahu saja.”
“Soal ini aku sudah tahu, sekarang kalian pergilah beristirahat?”
Kedua orang dayang itu segera memberi hormat dan mengundurkan diri dalam kamar.
Menanti mereka sudah berlalu Siauw Ling segera menutup pintu kamarnya rapat-rapat
dan duduk bersemedi untuk mulai mengatur pernapasan.
Siapa sangka berbagai persoalan rumit yang sedang bergolak di dalam benaknya terasa
sudah untuk ditenangkan kembali. Walaupun ia sudah berusaha untuk membuang semua
persoalan keluar dari benaknya tidak urung semedinya kali ini sama sekali tidak mencapai
hasil.
Sang pemuda yang sama sekali tidak memiliki pengalaman sedikitpun tentang soal
yang menyangkut dunia persilatan, walaupun dalam hati merasa keadaan di dalam
perkampungan Pek Hoa Sanceng ini rada tidak beres tetapi mengetahui bagian manakah
yang terasa tidak beres itu.

Cuaca perlahan-lahan semakin menggelap, pintu kamar kembali terbuka dan tampaklah
Giok Lan dengan membawa sebatang lilin merah berjalan masuk ke dalam kamar.
Setelah meletakkan lilin itu keatas meja ujarnya dengan suara amat halus.
“Siauw ya hari mau hujan deras, apakah kau hendak beristirahat? mari biar aku bantu
bukalah pakaianmu.”
“Tidak perlu.”
Giok Lan mengetahui pemuda ini sangat disiplin, karenanya ia tidak berani terlalu
memaksa setelah melepaskan kelambu ia lantas mengundurkan diri dari kamar.
Sinar kilat menyambar-nyambar diikuti suara halilintar yang bergema membelah bumi,
hujan turun dengan amat derasnya serasa dituangkan dari langit.
Siauw Ling lantas kebutkan tangannya memadamkan api lilin kemudia merebahkan
dirinya keatas pembaringan.
Pikirannya mulai melayang memikirkan apa yang sudah didengar dan dilihatnya selama
seharian ini semakin dipikir ia merasa keadaannya semakin tidak beres.
Beberapa patah perkataannya sudah banyak yang sudah membocorkan asal usulnya
sendiri, agaknya Ciu Cau Liong itupun sudah mengetahui bila dirinya bukan Siauw Ling
yang telah menggetarkan seluruh dunia kangouw.
Di atas pagoda Wan Han Hoa Loo-yang terdiri dari tiga belas tingkat itupun agaknya
sudah dipasangi dengan alat rahasia di sekelilingnya, penjagaan disanapun sangat ketat
sekali, sepertinya setiap saat bakal ada orang yang melancarkan serangan bokongan
terhadap mereka saja.
Semakin melamun pikirannya semakin kacau sehingga sukar untuk memejamkan mata
tidak terasa lagi kentongan kedua sudah berlalu.
Suasana terasa amat sunyi, kecuali suara rintikan air hujan di tempat luaran sedikitpun
tidak kedengaran suara lain.
Perlahan-lahan pemuda itu bangun dari pembaringannya memakai pakaian membuka
pintu dan berjalan menuju kehalaman depan.
Karena takut sampai mengejutkan kedua orang dayang tersebut maka setiap
langkahnya dilakukan sangat ringan sekali.
Terasa angin dingin bertiup kencang membuat badan terasa dingin pikirannyapun
tersadar kembali dari segala persoalan.
Ketika ia mendongakkan kepalanya memandang keatas loteng Wang Hoa Loo, maka
tampaklah tempat itu masih terang benderang, agaknya Jan Bok Hong pun waktu itu
belum beristirahat.
Di tengah sambaran kilat dan menerangi seluruh permukaan bumi, mendadak
tampaklah sesosok bayangan manusia berjalan mendatang dari kejauhan.

Walaupun Siauw Ling mempunyai ketajaman mata yang melebihi orang lain, waktu
itupun tidak lebih cuma dapat menangkap bila bayangan manusia itu berperawakan kecil
langsing buru-buru ia menarik hawa murninya panjang-panjang tubuhnya bergeser
beberapa depa kesamping dan menempelkan dirinya keatas dinding.
Tampaklah orang ternyata sama sekali tidak menghindarkan diri atau bersembunyi
dengan langkah perlahan ia berjalan menuju ke arahnya.
Siauw Ling sebagai seorang pemuda yang baru saja menerjunkan diri ke dalam dunia
kangouw hatinya masih sukar untuk bersabar tak kuasa lagi bentaknya lirih.
“Siapa?”
“Aku!” jawab orang itu sambil menghentikan gerakannya. Apakah kau orang adalah
Siauw Ling?”
Suaranya empuk, lunak dan nyaring, sedikitpun tidak salah lagi berasal dari mulut Tang
Sam Kauw.
“Di tengah malam buta seperti ini bukannya tidur ada apa kau datang kemari?” tegur
pemuda tersebut sambil maju menyongsong kedatangannya.
“Sttt… perlahan sedikit suara pembicaraanmu!” seru Tang Sam Kauw dengan suara
lirih.
“Jangan sampai mengejutkan kedua orang budak itu, orang-orang yang ada di dalam
perkampungan Pek Hoa Sanceng kebanyakan mempunyai pendengaran serta pandangan
yang tajam.”
Tidak menunggu Siauw Ling memberikan jawabannya, ia sudah berebut menegur
kembali, “Lalu mengapa kaupun tidak tidur?”
“Aku tidak bisa pejamkan mata, karenanya kepingin jalan-jalan cari angin di bawah
curahan hujan malam hari.”
“Akupun tak bisa tidur” kata Tang Sam Kauw sambil tertawa karena itu aku datang
mencari kau untuk diajak ngomong-ngomong.”
“Di tengah malam buta yang gelap dan sunyi apalagi kau merupakan seorang gadis
perawan dan aku seorang pemuda jejaka, bukankah terasa agak canggung jika kita
ngomong-ngomong? Ada urusan bukankah sama saja bila kita bicarakan esok pagi?”
“Tidak malu kau disebutnya seorang Enghiong Hoohan seorang lelaki sejati, aku saja
tidak takut apa yang perlu kau takuti?”
“Walaupun di dalam hati kita tiada terkandung suatu maksud cabul maupun maksud
jahat. Tetapi bagaimana antara lelaki dan perempuan ada batas-batasnya, jika sampai
terlihat orang lain bukankah hanya memberi bahan pembicaraan yang bukan buat mereka
saja?”

“Kita adalah orang keluaran Bulim peraturan semacam itu sudah tidak berlaku lagi buat
kau dan aku bilamana aku diharuskan mengikuti adat istiadat seperti kaum gadis lainnya
lalu buat apa? Aku orang melakukan perjalanan di tempat luaran.”
“Ehmm perkataannya sedikitpun tidak salah” pikir Siauw Ling diam-diam. “Kita semua
adalah orang-orang Bulim, adat istiadat kesopanan itupun sudah tak dipertahankan lagi
terhadap kita…”
Tang Sam Kauw yang melihat pemuda itu tidak berbicara dalam hati lantas mengerti ia
sudah ditaklukan oleh kata-katanya tak terasa lagi ia tersenyum.
“Bagaimana kalau kita bersama-sama jalan-jalan di bawah curahan hujan?” ajaknya.
Ketika itu dalam hati Siauw Ling lagi murung oleh berbagai persoalan yang
membingungkan kepalanya, mendengar ajakan tersebut diam-diam pikirnya kembali,
“Walaupun dia adalah seorang gadis muda tetapi kelahirannya dari keluarga Bulim tentu
memiliki pengetahuan yang sangat luas, mengapa aku tidak menanyakan semua
persoalan-persoalan yang rumit dan membingungkan kepadanya?”
Tak terasa lagi iapun ikut berjalan menuju kehalaman yang penuh ditumbuhi bungabunga
itu.
Tang Sam Kauw yang berjalan kemari di bawah curahan hujan tadi, pakaian yang
dikenakan Siauw Ling masih kering tak terasa lagi sambil menarik pergelangan tangan kiri
pemuda itu serunya, “Kita menuju ke bawah tumbuhan bunga-bunga itu saja, jangan
sampai pakaianmu ikut basah.”
“Siauw Ling mengerti ia bermaksud baik terhadap dirinya, karena itu dalam hati merasa
tak enak untuk menolak, terpaksa ia membiarkan dirinya digandeng menuju ke depan.
Awan gelap menutupi seluruh angkasa membuat malam itu semakin gelap bilamana
kedua orang itu bukannya memiliki tenaga dalam yang amat sempurna kemungkinan
sekali dengan ketajaman, pandangannya sulit untuk melihat benda yang ada tiga depa
dihadapan mereka.
Baru saja kedua orang itu tiba di bawah tumbuhan bunga, mendadak cahaya merah
yang menyilaukan mata berkelebat memenuhi angkasa setinggi tujuh delapan kaki dan
meledakan serentetan bunga api.
Diikuti berpuluh-puluh buah lentera merah tersebut sedang bergerak keatas ke bawah
dengan tiada hentinya.
Melihat kejadian tersebut diam Tang Sam Kauw menarik ujung baju pemuda tersebut.
“Ada orang sudah menyelundup masuk ke dalam perkampungan Pek Hoa Sanceng!”
bisiknya lirih. “Jikalau tidak mencari gara-gara dengan kita lebih baik kita orang tidak usah
ikut campur urusan ornag lain.”
“Tetapi kita sebagi tamu orang-orang perkampungan Pek Hoa Sanceng apakah harus
berpeluk tangan tidak menggubris?”

“Dengarkanlah perkataanku hal ini tidak bakal salah lagi! bilamana kita ikut campur
sesuka hati kita bukan saja tidak akan menerima rasa terima kasih dari Ciu Cau Liong,
bahkan gerak-gerik kita akan dicurigai oleh mereka.”
“Kenapa?” tanya pemuda itu keheranan.
“Ia tidak memperkenankan kita orang terlalu banyak mengetahui rahasia yang
menyangkut perkampungan Pek Hoa Sanceng mereka.”
“Eeehmm pendapat dari nona Sam sedikitpun tidak salah!” akhirnya Siauw Ling berseru
perlahan.
Ketika sinar matanya dialihkan kembali ke tengah udara maka tampaklah lentera merah
itu masih bergerak naik turun, kekanan kekiri tiada hentinya di bawah curahan hujan deras
tetapi sedikit suarapun tidak kedengaran.
Ketika Tang Sam Kauw gerakan lentera merah tersebut lama sekali bergoyang tiada
hentinya, kembali ia berbisik kepada Siauw Ling, “Orang yang datang menyelundup ke
dalam perkampungan memiliki kepandaian silat yang sangat tinggi kelihatannya untuk
beberapa saat sulit untuk dipukul mundur.Ehmm? benar orang-orang ini tentunya sudah
pernah datang kemari pada siang hari tadi sehingga terhadap penjagaan yang diatur
dalam perkampungan walaupun belum bisa memahami seperti melihat jari sendiri, tetapi
sebagian besar sudah berhasil mereka ketahui.”
Agaknya gadis itu ada maksud hendak memperlihatkan kepada Siauw Ling bahwa dia
memiliki pengetahuan yang amat luas sekali, setelah merendek sejenak sambungnya
kembali, “Agaknya orang itu ada maksud hendak menyerang loteng Wang Loo tersebut.”
Ketika Siauw Ling memperhatikan keadaan di sekelilingnya dengan lebih teliti lagi maka
sedikitpun tidak salah, ia menemukan bila lentera merah itu perlahan-lahan berkumpulan
dari mengarah keloteng Wang Hoa Loo tersebut.
Ketika itu cahaya lampu yang semula menyinari loteng Wang Hoa Loo pada saat ini
sudah padam sama sekali.
Siauw ya mendadak dari tempat kejauhan berkumandang datang suara panggilan
dengan suara panggilan dengan nada amat cemas.
Mendengar suara sapaan tersebut Siauw Ling segera mengerutkan alisnya rapat-rapat
dan dengan langkah lebar berjalan keluar dari antara pepohonan tersebut.
“Apakah Giok Lan?” tanyanya.
“Benar” sahut seseornag diiringi suara langkah kaki yang amat ramai sekali.
Baru saja perkataan tersebut diucapkan tampaklah Giok Lan serta Kiem Lan dengan
rambutnya yang terikat secarik kain hijau pakaian singsat dan menggembol pedang sudah
lari mendatang.
Ketika dilihatnya Tang Sam Kauw pun berada disana, Kiem Lan lantas berseru, “Akhh…!
kebetulan sekali nona Sam ada disini. Hal ini jauh lebih kebetulan.”

“Ehmm aku baru saja sampai.”
Giok Lan tersenyum manis.
“Baru saja budakmu sekalian memperoleh perintah lisan dari Jie Cungcu, apakah kalian
berdua ada maksud untuk melihat keramaian atau tidak, bilamana tertarik maka kami
berdua segera akan menunjuk jalan buat kalian dan semisalnya tidak tertarik maka
dipersilahkan kalian berdua cepat-cepat beristirahat.”
Beberapa patah perkataan ini di dalam pendengaran Siauw Ling yang mendengar
perkataan tersebut dalam hati merasa amat terperanjat.
Maksud dari perkataan kedua orang budak itu sudah jelas sekali menunjukkan bila
gerak-gerik mereka berdua secara diam-diam sudah diawasi terus.
Siauw Ling yang melihat lampu lentera berwarna merah itu mendadak merosot ke
bawah semua sehingga tinggal sebuah saja yang bergerak tiada hentinya di tengah tiupan
angin kencang serta curahan hujan deras, dalam hatinya timbul perasaan ingin tahu.
Kalau memang Ciu Jie Cungcu mengundang kita, seharusnya kita orang pergi
menengok sebentar katanya.
“Jika Siauw ya memang tertarik kami akan berjalan lebih dulu selangkah untuk
menunjuk jalan buat kalian berdua!” seru Giok Lan dengan cepat.
“Tidak usah keburu!” sembari berseru Siauw Ling lantas berlari masuk ke dalam
kamarnya untuk mengambil barang yang dibawa olehnya kemudian mengikuti kedua
orang dayang tersebut berangkat ke tempat kejadian.
Secara diam-diam ia mulai memperhatikan gerak-gerik kedua orang dayang tersebut, ia
merasa gerakan tubuh mereka sangat gesit dan lincah sehingga tak terasa lagi diam-diam
ia merasa kagum.
Tidak kusangka seorang dayang yang ada di dalam perkampungan Pek Hoa Sanceng
pun memiliki kepandaian silat yang sangat lihay pikirnya diam-diam.
Gerakan dari kedua orang budak tersebut amat tepat sekali, terhadap keadaan
disanapun sangat hapal tampaklah tubuh mereka berjalan kesana kemari mengitari pohon
dan hanya di dalam sekejap saja sudah tiba di bawah loteng Wang Hoa Loo.
Ketika Siauw Ling mendongakkan kepalanya maka tampaklah seorang lelaki kasar
berperawakan tinggi besar yang memakai pakaian singsat sedang mencekal sebuah lampu
lentera berwarna merah tinggi-tinggi Ciu Cau Liong masih tetap mengenakan pakaian yang
perlente dengan tangan kosong, tetapi di belakang tubuhnya berbarislah serentetan lelaki
berpakaian singsat dengan senjata terhunus.
************http://ecersildejavu.wordpress.com/***************
Gerakan tubuh Giok Lan serta Kiem Lan semakin cepat lagi, di dalam dua tiga lompatan
mereka sudah tiba dihadapan Ciu Cau Liong.

“Jie Cungcu! Siauw ya serta nona Sam telah tiba!” ujarnya sambil menjura memberi
hormat.
Ciu Cau Liong segera putar badan menyambut.
“Kembali Siauwte mengganggu ketenangan kalian berdua hal ini membuat hatiku
merasa tidak tentram,” ujarnya sambil tertawa.
“Ciu heng terlalu merendah, dimana orang yang sudah mengacau perkampungan??”
seru Siauw Ling sambil berlari mendekat.
“Mereka telah berada diats loteng Wang Hoa Loo!”
“Lalu mengapa Ciu heng tidak menghalangi gerakan mereka?”
“Mereka ngotot hendak menerjang keatas loteng Wang Hoa Loo ini. Bilamana aku tidak
memberi kesempatan kepada mereka untuk mencoba, maka sekalipun mati mereka pasti
tidak akan meram” sahut Ciu Cau Liong sambil tertawa.
Perkataan itu diucapkan dengan sangat tenang sedikitpun tidak gugup maupun cemas.
Seperti di tempat itu sama sekali belum pernah terjadi sesuatu.
Tampak cahaya lampu berkelebat dari atas loteng Wang Hoa Loo tingkat ketiga belas
kembali jadi terang benderang bermandikan cahaya lampu.
Perasaan Siauw Ling pada waktu ini sangat murung sekali. Diam-diam pikirnya,
“Sungguh aneh sekali pihak musuh hendak menyerbu kemari, mereka lantas membiarkan
mereka datang kemari. Hal ini benar-benar merupakan suatu kejadian yang belum pernah
terjadi.”
“Bagaimana??” tegur Ciu Cau Liong sambil tertawa. “Apakah Siauw heng serta nona
Sam ada maksud hendak naik keloteng untuk melihat jalannya pertempuran??”
Saat ini Siauw Ling benar-benar tak dapat menguasai perasaan ingin tahunya.
“Bilamana boleh Siauwte memang kepingin sekali naik keatas loteng untuk melihat
jalannya pertempuran!”
Jie Cungcu dari perkampungan Pek Hoa Sanceng ini lantas menoleh ke arah Kiem Lan
serta Giok Lan yang berdiri disisinya.
“Kalian kembalilah kebangunan Lan Hoa Cing Si!” perintahnya.
Kedua orang dayang itu segera memberi hormat lantas putar badan dan berlalu.
Setelah kedua orang budak itu berlalu, sinar matanya kembali berputar memandang
sekejap ke arah si lelaki kasar berpakaian singsat yang mencekal senjata terhunus itu,
sambungnya, “Kalian berjaga-jagalah di bawah loteng bilamana orang-orang yang naik
keatas loteng itu dapat turun kembali dalam keadaan utuh. Hantar mereka keluar dari
perkampungan dan jangan menahan mereka lagi.”

Siauw Ling yang mendengar perkataan terakhir dari Jie Cungcu ini diam-diam lantas
mangangguk.
“Sikap dari Ciu Cau Liong benar-benar luar biasa sekali,” pujinya dihati.
Ciu Cau Liong sehabis mengatur seluruh persoalannya kemudian baru merangkap
tangannya menjura ke arah mereka berdua.
“Siauw heng, nona Sam? Silahkan!” serunya sambil tersenyum.
Sebenarnya Tang Sam Kauw ada maksud hendak manampik tetapi sewaktu dilihatnya
Siauw Ling dengan langkah lebar sudah memasuki loteng Wang Hoa Loo tersebut,
terpaksa iapun ikut melangkah masuk mengikuti dari belakang tubuh Siauw Ling.
Ciu Cau Liong sambil bergendong tangan mengiringi dari belakang.
“Ketika itu pengawal yang berjaga diloteng tingkat pertama dengan wajah yang pucat
pasi bersandar di atas dinding senjata golok bergerigi ditangannya dengan lemas
menggeletak di atas tanah lengan kanannya sudah basah kuyup oleh darah yang
mengucur keluar bagaikan air ledeng agaknya ia sudah menderita luka yang amat parah.”
“Bagaimana?” ujar Ciu Cau Liong kepada pengawal yang terluka itu sambil tertawa
tawar mereka sudah naik ketingkat kedua.
Nada ucapan tersebut sama sekali tidak mengundang maksud menghibur maupun
membantu untuk mengobati lukanya itu.
Lelaki kasar tersebut sedikit menggerakkan badan dan membuka matanya kembali.
Hamba tidak becus, musuh-musuh tangguh tersebut tidak berhasil hamba tahan
katanya tak bertenaga.
“Ooow…. tidak mengapa,” potong Ciu Cau Liong cepat.
Sambil menggandeng tangan Siauw Ling ia lantas melanjutkan langkahnya menuju
keloteng tingkat dua.
Pengawal yang berjaga di depan pintu loteng tingkat kedua inipun sedang duduk
bersemedi di atas tanah di depan tubuhnya menggeletak sebilah senjata yang berbentuk
sangat aneh Ban Ci Bwee Hoa Tauw pada ujung kelopak mata serta ujung bibirnya
kelihatan terluka hebat, darah segar mengucur keluar dengan sangat derasnya.
“Dimana pengacau-pengacau itu?” tanya Ciu Cau Liong dengan nada berat alisnya
dikerutkan.
“Hamba terkena satu pukulannya sehingga terluka dalam mereka sudah berhasil
menerjang keatas.”
“Siauw heng mari kita menengok ketingkat ketiga,” ajak Jie Cungcu kemudian sambil
menoleh ke arah pemuda tersebut.

Tanpa menanti jawaban lagi ia lantas menarik tangan Siauw Ling untuk berlari
ketingkat tiga.
Suasana diloteng ketigapun kacau balau akibat pertempuran yang baru saja terjadi,
lelaki penjaga loteng tersebut sambil mencekal lambungnya bersandar di atas meja dan
rubuh keatas tanah.
Kali ini Ciu Cau Liong tak menanyai pengawal yang terluka itu lagi, ia langsung
membawa Siauw Ling menuju keloteng tingkat keempat.
Di bawah sorotan sinar lilim yang menerangi ruangan tersebut tampaklah lelaki
pengawal ruangan tersebut menggeletak di atas lantai dengan empat, lima bekas luka
guratan pedang di atas dadanya, darah segar masih mengucur keluar dengan derasnya.
Suara bentrokan senjata tajam yang amat ramai saat itu dapat didengar berkumandang
datang dari loteng tingkat kelima.
“Siauw heng! musuh sudah tiba diloteng tingkat kelima, mari kita cepat pergi melihat”
ajak Ciu Cau Liong kembali.
Siauw Ling yang melihat pengawal loteng tersebut menggeletak di atas tanah dalam
keadaan terluka berat. Bahkan darah segar masih mengucur keluar dengan sangat
derasnya, sehingga bilamana tidak keburu ditolong menghentikan aliran darah tersebut
nyawanya akan terancam, dalam hati merasa rada tidak tega.
Dengan paksaan diri ia meronta dan melepaskan diri dari cekalan Ciu Cau Liong.
“Orang ini terluka parah kita harus berusaha untuk menolong dirinya terlebih dulu,”
katanya.
Ciu Cau Liong hanya tersenyum, ia sama sekali tidak turun tangan mencegahi.
Tang Sam Kauw lantas berebut maju, dari sakunya ia mengambil keluar sebuah botol
obat luar untuk kemudian dibubuhkan keatas keempat bekas luka tersebut.
Sedang Siauw Lingpun dengan gerakan yang amat hebat lantas menotok keempat buah
jalan darahnya.
“Terima kasih atas bantuan saudara sekalian”, buru-buru lelaki berpakaian singsat itu
meronta untuk bangun dan menjura.
Di dalam satu jam mendatang lebih baik kau jangan terlalu banyak bergerak” seru
Siauw Ling memberi peringatan.
Ketika itulah suara bentrokan senjata tajam yang berkumandang keluar dari loteng
tingkat kelima terdnegar semakin bertambah santar, jelas pertempuran sengit tersebut
sudah tiba pada saat-saat yang kritis dan tegang.
Siauw Ling tidak memperdulikan lagi perkataan dari lelaki itu tubuhnya lantas meloncat
bangun dan berlari keatas loteng tingkat kelima.

Di atas ruangan loteng tingkat kelima sedang berlangsung suatu pertempuran yang
amat sengit dan ramai, bunga-bunga pedang berterbangan memenuhi angkasa, cahaya
golok berkelebat laksana salju, mendadak muncullah dua sosok bayangan manusia.
Orang yang berdiri di depan mulut tangga loteng adalah seorang kakek tua yang
rambutnya sudah memutih dengan di atas tangannya mencekal sebuah tongkat besi,
sedang orang yang berusia tiga puluh tahunan dengan sebilah pedang terlintang di depan
dada.
Kakek tua itu bersikap sangat heran, ia cuma melirik sekejap ke arah Ciu Cau Liong
serta Siauw Ling, air mukanya sama sekali tidak berubah.
Sebaliknya lelaki itu rada tidak sabaran pedangnya segera digerakkan menghalangi
jalan dari ketiga orang itu.
Melihat sikapnya ini Ciu Cau Liong lantas tersenyum.
“Heng thay jangan kuatir, kami tidak ada maksud untuk turun tangan,” katanya.
“Heee, heee tidak kusangka kaupun mengetahui kekuatanmu sendiri!” seru sikakek tua
itu dengan nada yang amat dingin.
Siauw Ling adalah orang pertama yang tiba di dalam ruangan loteng tingkat kelima itu,
karenanya ujung pedang dari si lelaki kasar itupun digerakkan mengancam dada pemuda
tersebut kurang lebih setengah coen dari pakaian luarnya.
Melihat sikapnya ini pemuda tersebut merasa rada benci.
“Minggir” bentaknya dingin.
Tangan kirinya segera disentilkan ke depan, secara diam-diam ia sudah mengerahkan
ilmu jari Siauw Loo Sin Cienya menyentil keatas pedang tersebut.
Triiing… dengan menimbulkan suara yang amat nyaring, pednag di tangan lelaki kasar
itu mendadak tersentil lepas dari cekalannya dan menimpuk dinding loteng.
Melihat kejadian tersebut air muka sikakek berambut putih itu kontan saja berubah
hebat.
“Heng thay ilmu jari It Cie Sian Kang-mu sangat mengejutkan sekali!” serunya sambil
memandang wajah Siauw Ling tajam-tajam.
“Cayhe sama sekali tidak menggunakan ilmu jari It Cie Sian Kang.”
Air muka kakek tua itu seketika itu juga berubah jadi merah jengah, kepalanya
ditundukkan rendah-rendah.
Siauw Ling adalah seorang bocah yang belum berpengalaman ia sama sekali tidak tahu
bila perkataannya barusan ini sudah menghilangkan gengsi kakek tua itu.
Orang-orang yang hadir dikalangan pada saat ini tak seorangpun yang tak dibuat
terperanjat oleh kejadian ini tangan pemuda tersebut hanya menyentil dengan perlahan

berhasil mementalkan senjata dicekal erat-erat oleh pihak lawannya, kecuali ilmu jari It Cie
Sian Kang dari aliran Siauw lim pay, dikolong langit pada saat ini jarang sekali kedengaran
ilmu jari yang demikian dahsyat ini.
Lelaki kasar tersebut setelah pedangnya terpukul pental oleh sentilan jari Siauw Ling,
dalam hatinya merasa terperanjat, kaget, malu dan kecewa sehingga untuk beberapa saat
lamanya berdiri termangu-mangu di tempat semula tanpa bisa mengucapkan sepatah
katapun.
Lama sekali ia baru menghela napas panjang dan mengundurkan diri kesisi kakek tua
itu.
Mendadak tampaklah si orang tua berambut putih itu mengetukkan tongkat besinya
keatas tanah.
“Tahan!” bentaknya keras.
Suara bentakannya ini sangat dahsyat sekali laksana halilintar membelah bumi
membuat semua orang merasakan telinganya berdengung.
Cahaya pedang bayangan golok lantas berpisah dan munculah dua sosok bayangan
manusia.
Seorang pemuda tampan berusia du puluh tahunan dengan memakai pakaian singsat
dan mencekal sebilah pedang segera mengundurkan dirinya ke belakang.
Lawannya adalah seorang lelaki kasar yang memakai pakaian tingkas dengan sebilah
golok berkepala setan yang tebal dan tajam disilangkan di depan dada.
“Suhu? kau ada petunjuk apa?” tanya pemuda itu sambil menjura.
“Heeei perkampungan Pek Hoa Sanceng merupakan sarang naga gua macan aku rasa
selama hidup kita kali ini sulit untuk berhasil membalaskan dendam sakit hati ayahmu,”
ujar sikakek tua sambil menghela napas panjang.
Dari kelopak mata pemuda itu tak kuasa lagi mengucurkan dua titik air mata, serunya,
“Sebagai seorang putra bila tak berhasil membalaskan sakit hati orang tuanya dengan
tangan sendiri, aku tidak punya muka lagi untuk tancapkan kaki di atas permukaan bumi.”
air muka si orang tua tersebut segera berubah hebat tangannya buru-buru diayunkan
ke depan. Segulung hawa pukulan yang amat tajam segera menerjang ke depan
menghantam jalan darah Cie Tie Hiat pada iga sebelah kanan pemuda tersebut.
Pemuda itu hanya merasakan ketiaknya jadi kaku pedangnya tak bisa dicegah lagi
terlepas dari tangannya.
“Heee… heee… bagus sekali!” teriak kakek tua itu sambil tertawa dingin tiada hentinya.
“Kau ingin suhumu melihat kau mati haaa?”
“Tecu… tecu… tecu sekalipun bernyali pula tak akan berani punya maksud demikian!”
seru pemuda tampan itu sambil menjatuhkan diri berlutut di atas tanah.

Di atas paras muka sikakek tua itu segera terlintaslah suatu perasaan yang amat sedih
sekali, ia menghela napas tiada hentinya.
Jilid 19
“Heeeeiii…! Bocah, pungut senjatamu, kita pergi dari sini…!” serunya.
Pemuda itu tidak berani membangkang lagi, setelah memungut pedangnya lantas
mengundurkan diri kesisi kakek tua itu.
Siauw Ling yang melihat kejadian ini jadi kebingungan setengah mati, ia benar-benar
tidak mengerti peristiwa apakah yang sudah terjadi disekitar tempat itu.
Perlahan-lahan sikakek tua itu menoleh dan merangkap tangannya menjura ke arah
Siauw Ling.
“Tolong tanya siapakah nama Heng thay.” tanyanya.
“Cayhe Siauw Ling!”
Semula sikakek tua itu rada tertegun, akhirnya ia berseru, “Ooouuw… kiranya Siauw
Thay hiap Loo lap mengucapkan banyak terima kasih atas nasehat yang diberikan saudara
ini hari, gunung nan hijau tak akan berubah, sungai nan jernih tetap mengalir kita
berjumpa lain kesempatan…”
Ia menoleh dan memandang sekejap ke arah kedua orang anak muridnya kemudian
sambungnya kembali, “Bocah mari kita pergi!”
Sambil mengetukkan tongkat besinya keatas tanah ia lantas berlalu dari tempat itu
tanpa menoleh lagi.
Si lelaki kasar serta pemuda itu jadi kebingungan setengah mati di atas wajah mereka
terlintaslah perasaan keberatan, tetapi melihat suhu mereka berlalu dalam keadaan gusar,
terpaksa merekapun mengikuti dari belakang tubuhnya.
Ciu Cau Liong buru-buru menyingkir kesamping memberi jalan.
“Kalian bertiga silahkan berlalu siauwte tidak menghantar lebih jauh lagi,” katanya
sambil merangkap tangannya menjura.
“Hmm, bilamana Loohu tidak mati, di dalam tiga tahun mendatang tentu akan kembali
lagi!” seru si orang tua dengan dingin.
“Haaaa… haaaa siang maupun malam perkampungan Pek Hoa Sanceng selalu terbuka
untuk kalian, siauwte setiap waktu akan menantikan kedatangan kalian.”
Air muka si orang tua itu penuh diliputi oleh kesedihan, sinar matanya kembali dialihkan
keatas wajah Siauw Ling.

“Loolap sudah hampir sepuluh tahun lamanya belum pernah berkelana di dalam dunia
kangouw, kali ini sewaktu turun gunung loolap sudah ,mendengar nama besarmu, tak
disangka ini hari kita bisa berjumpa di dalam perkampungan Pek Hoa Sanceng.”
“Ooouw tolong tanya siapakah nama besar dari Loo heng thay?” ujar Siauw Ling sambil
menjura.
Sinar mata si orang tua itu berkilat.
“Si orang prajurit tak bernama di dalam dunia kangouw sekali diberitahu juga percuma
karena Siauw Thayhiap tentu tidak kenal dengan nama loolap ini,” katanya.
“Cayhepun baru saja munculkan dirinya di dalam dunia kangouw, pengetahuanku masih
sangat cetek.”
“Haaa, haa seorang yang berpengetahuan cetek” teriak si orang tua itu sambil tertawa
terbahak-bahak dengan seramnya.
Ia lantas putar badan dan berlalu dari ruangan loteng itu.
Gerakan dari tiga orang itu benar-benar sangat cepat sekali, hanya di dalam sekejap
mata mereka sudah lenyap tak berbekas.
“Ciu heng siapa sebenarnya ketiga orang ini?” tanya Siauw Ling dengan alis yang
dikerutkan.
“Di dalam dunia kangouw terlalu banyak terdapat manusia-manusia sombong, buat apa
Siauw heng mengurusi manusia-manusia semacam itu?” kata Ciu Cau Liong coba
menghindar.
Si orang tua itu agaknya mirip dengan si Poo Hiat atau pendekar pincang Ciang Toa
Hay… tiba-tina Tang Sam Kauw menimbrung dari samping.
Dengan pandangan yang sangat dingin Ciu Cau Liong segera melototi diri gadis
tersebut.
“Mengapa siauwte belum pernah mendengar nama orang ini?” serunya berlagak pilon.
Tang Sam Kauw segera tersadar kembali buru-buru ia menutup mulutnya rapat-rapat.
“Sipendekar pincang Ciang Toa Hay adalah seorang pendekar yang gagah perkasa
sudah tentu dia bukan seorang manusia bajingan,” kata Siauw Ling dengan cepat.
Tang Sam Kauw yang teringat akan perjanjiannya dengan Ciu Cau Liong lantas
tersenyum.
“Akupun cuma mendengar ibuku pernah membicarakan orang ini, tetapi benarkah dia
orang atau bukan, aku rada kurang jelas” katanya.
“Nama besar Siauw heng sudah menggetarkan seluruh dunia persilatan,” sela Ciu Cau
Liong. “Mereka bertiga bisa mengetahui keadaan dan cepat-cepat mengundurkan diri
hitung-hitung mereka masih bernasib baik.”

“Aaakh mana, mana Ciu heng terlalu memuji.”
“Disebabkan pengacauan ketiga orang itu maka istirahat kalian berdua sudah
terganggu kini waktu sudah tidak pagi lagi seharusnya Siauw heng serta nona Sam pergi
beristirahat.”
Selesai berkata ia lantas mengantarkan Siauw Ling kebangunan Lan Hoa Cing Si
kemudian baru berpamit untuk mengundurkan diri.
Sejak semula Kiem Lan serta Giok Lan sudah menanti kedatangannya di dalam kamar,
melihat Siauw Ling sudah kembali buru-buru mereka berlutut melepaskan sepatu kaus kaki
dari pemuda tersebut.
“Siauw ya malam-malam begini kau ingin makan apa?” tanyanya sambil tertawa.
“Tidak usah tidak usah. Kalian pergilah tidur.”
Kiem Lan tersenyum tanpa banyak bicara ia lantas mengundurkan diri dari ruangan
tersebut sedangkan Giok Lan lantas duduk di atas sebuah kursi.
Siauw Ling yang melihat gadis itu tidak berlalu dalam hati merasa heran belum sempat
ia menanyakan sesuatu Giok Lan sudah berebut berkata, “Siauw ya silahkan beristirahat,
budakmu akan berjaga disini untuk menantikan perintah-perintah selanjutnya.”
“Aaah jangan, jangan lelaki dan perempuan ada batasnya apa lagi malam nan panjang
ini, bagaimana mungkin kita erdua boleh berada di dalam satu kamar yang sama?” seru
Siauw Ling sambil menggoyangkan tangannya berulang kali. “Tak bisa jadi, cepatlah kau
orang mengundurkan diri dari sini, jika kau masih duduk disana akupun tidak akan tidur.”
Perlahan-lahan Giok Lan bangun berdiri wajahnya kelihatan amat sedih sekali, sepasang
matanya memancarkan perasaan murungnya yang amat sangat, bibirnya yang bergerak
hendak mengucapkan sesuatu mendadak dibatalkan, kemudian dengan bungkam seribu
bahasa lantas mengundurkan diri dari ruangan tersebut.
Siauw Lingpun tidak ingin banyak berbicara dengan dirinya lagi, walaupun ia dapat
menangkap air mukanya sangat aneh tetapi pemuda ini tidak ingin banyak bicara.
Setelah menutup pintu dan merebahkan diri keatas pembaringan, pikirnya di dalam
hati, “Kedua orang budak ini agaknya bersikap rada tidak beres, besok pagi biar aku
beritahukan hal ini kepada Ciu heng untuk minta ganti dua orang budak lain.”
Berpikiran akan hal itu ia lantas pejamkan matanya untuk tidur, sebentar kemudian ia
sudah tidur pulas tak sadarkan diri.
Tidurnya kali ini hari sudah terang tanah.
Dengan cepat ia bangun dan membuka pintu kamar tampaklah Kiem Lan dan Giok Lan
dengan membawa sarapan pagi sudah menanti diruangan depan.
Kedua orang dayang tersebut pada saat ini memakai pakaian berwarna merah keperakperakan
yang sangat menyolok sikapnya ramah dan penuh senyuman.

Melihat pemuda tersebut munculkan diri mereka berdua buru-buru membungkuk
memberi hormat.
“Siauw ya selamat pagi,” ujarnya manja.
“Tidak usah banyak adat lagi, peraturan di dalam perkampungan Pek Hoa Sanceng
kalian benar-benar amat banyak sekali,” ujar Siauw Ling tertawa.
“Bilamana pelayanan kami kurang baik maka Jie Cungcu tentu akan memakai dan
menghukum kami,” kata Giok Lan. “Asalkan Siauw ya bisa merasa senang hati, sekalipun
mati kami sudah merasa puas.”
Siauw Ling tidak ingin banyak berbicara dengan kedua orang dayang itu lagi, katanya,
“Aku mau jalan-jalan sebentar diluar kamar, kalian tidak usah ikuti aku lagi.”
Selesai berkata ia lantas berjalan keluar dari dalam kamar.
Tampaklah bunga-bunga beraneka warna menyiarkan bau harum semerbak yang
menusuk hidung, perasaannya jadi semakin leluasa dan lapang dengan amat lambat sekali
disekitar tempat itu sambil menikmati keindahan bunga-bunga tersebut.
Awan hitam yang menyelubungi angkasa kemarin malam kini sudah buyar tak berbekas
cahaya sang surya laksana emas memancarkan sinarnya keempat penjuru dan menyinari
butiran-butiran embun di atas bunga sehingga memancarkan panca warna yang amat
indah di atas permukaan tanah.
Pemandangan yang demikian indahnya ini segera membuat pemuda tersebut jadi
kesemsem.
Karena pikirnya menjadi segar kembali, maka berbagai persoalan yang mencurigakan
hatinyapun mulai mengalir dan memenuhi benaknya kembali.
Ia merasa bahwa dibalik keindahan yang meliputi perkampungan Pek Hoa Sanceng
agaknya tersembunyi pula suatu rahasia yang amat besar, suasana disana terasa begitu
aneh begitu misterius Jan Bok Hong, itu Toa Cungcu dari perkampungan Pek Hoa Sanceng
walaupun diluaran menyebut Ciu Cau Liong sebagai kakak beradik tetapi mengapa sikap
Jie Cungcu ini begitu menghormat sehingga jauh melebihi hubungan antara guru dan
murid??
“Kiem Lan serta Giok Lan kedua orang budak itu kelihatannya amat cantik jelita dan
menarik hati mengapa sikap serta gerak-gerik amat cabul dan merangsang.”
Selagi ia berpikir keras itulah mendadak terdengar suara tertawa yang amat nyaring
berkumandang datang.
“Siauw heng kenapa kau tidak tidur lebih lama lagi? Apakah pelayanan dari kedua
orang budak kurang memuaskan hati?” sapanya.
Siauw Ling segera menoleh tampaklah Ciu Cau Liong dengan memakai jubah berwarna
hijau sedang berjalan menghampiri dirinya dengan perlahan.

Terpaksa ia maju menyongsong sambil menjura memberi hormat.
“Kedua orang itu terlalu banyak adat” katanya sambil tertawa.
Tetapi mendadak sinar matanya menangkap kedua orang budak itu sedang berdiri
sejajar kurang lebih beberapa kaki dari dirinya. Alis mereka dikerutkan kencang-kencang
wajahnya amat murung sedang dari sinar matanya memancarkan perasaan kaget dan
takut setengah mati.
Melihat akan hal itu, perkataan yang sebenarnya hendak mengatakan bila kedua orang
budak itu terlalu banyak adat sehingga dirinya merasa tidak terbiasa dan minta Ciu Cau
Liong ganti dengan dua orang budak yang lain mentah-mentah ditelan kembali.
“Siauwte bisa mendapatkan pelayanan yang demikian baiknya, dalam hati malahan
merasa kurang tentram” katanya buru-buru.
“Haaa… haaa… siauwte merasa sangat cocok sekali dengan Siauw heng dalam hatiku
malah takut pelayanannya kurang sesuai.”
“Bilamana Siauw heng berkata demikian bukankah sudah terlalu memandang asing
diriku,” ujar Ciu Cau Liong sambil tertawa terbahak-bahak.
Ia rada merandek sejenis, kemudian sambungnya lagi, “Toa Cungcu kami merasa
sangat berterima kasih sekali atas tindakan Siauw heng kemarin malam dimana kau sudah
mewakili dirinya untuk mengundurkan musuh yang datang menyerang, karena sekarang
sengaja ia memerintahkan siauwte untuk mengundang Siauw heng agar suka berbicara di
atas loteng Wang Hoa Loo karena siauwte merasa takut sudah mengganggu impian baik
dari Siauw heng maka sengaja aku orang tidak berani datang terlalu pagi.”
“Bilamana ia benar-benar merasa sangat berterima kasih kepadamu, mengapa tidak
datang sendiri kemari sebaliknya malah suruh aku naik keloteng untuk berbicara sungguh
aneh sekali,” pikir Siauw Ling di dalam hati.
Kendati ia berpikir demikian diluar ia menjawab dengan sangat ramah sekali.
“Oooouw kalau begitu harap Ciu heng suka menunggu sebentar, siauwte akan cuci
muka dan berdandan sebentar.”
Dengan langkah lebar ia lantas berlari masuk ke dalam ruangan.
Waktu itu kedua orang budak tersebut sudah menyiapkan air terburu-buru Siauw Ling
cuci muka dan berdandan kemudian mengikuti Ciu Cau Liong berangkat menuju keloteng
Wang Hoa Loo.
Ciu Cau Liong yang berpikiran cermat sekali pandang air muka Siauw Ling ia sudah
berhasil menduga apa yang sedang dipikirkan oleh pemuda tersebut karena itu ia tidak
menanti dia mengucapkan sesuatu buru-buru sudah katanya, oo0oo oo0oo
“Kesehatan Toa Cungcu kami lagi terganggu, dan belum benar-benar segar kembali
karena tidak dapat datang sendiri untuk menjenguk diri Siauw heng, oleh itu ia sudah
perintahkan siauwte untuk memanggil dirimu, harap kau suka memaafkan kecerobohan
ini.”

Dengan demikian Siauw Ling malah merasa sangat tidak enak dihati.
“Ciu heng! kau terlalu merendah” katanya.
Ciu Cau Liong tersenyum.
“Sejak Toa Cungcu kami beristirahat untuk menyembuhkan penyakitnya di atas loteng
Wang Hoa Loo selamanya belum pernah menerima tamu tidak disangka kini ia bisa
menaruh sikap yang demikian menghormat terhadap diri Siauw heng. Hal ini benar-benar
merupakan suatu peristiwa yang tak pernah terjadi selama ini,” katanya.
“Ciu heng, tahukah kau ada urusan apa Toa Cungcu mengundang cayhe?”
“Soal ini setelah Siauw heng bertemu muka dengan Toa Cungcu, kau bisa paham
dengan sendirinya.”
Sewaktu mereka sedang bercakap-cakap itulah loteng Wang Hoa Loo sudah berada
dihadapannya.
Bekas-bekas pertempuran yang ditinggalkan kemarin malam pada saat ini sudah
dibersihkan sama sekali, beberapa orang penjaga pintu yang terlukapun kini sudah diganti
dengan pengawal-pengawal yang baru.
Dengan memimpin diri Siauw Ling, Ciu Cau Liong itu Cungcu kedua dari perkampungan
Pek Hoa Sanceng langsung berjalan naik hingga keloteng tingkat ketiga belas.
Sejak semula Jan Bok Hong dengan penuh senyuman telah menanti kedatangan
mereka di depan pintu loteng.
Melihat Toa Cungcu tersebut sudah menantikan kedatangannya buru-buru Siauw Ling
merangkap tangannya menjura.
Entah Toa Cungcu mempunyai maksud tujuan apa mengundang siauwte datang
kemari, katanya, “Tindakanmu kemarin malam dengan mewakili diriku mengundurkan
serangan musuh tangguh, cayhe merasa sangat berterima kasih sekali.”
“Hanya satu peristiwa kecil, buat apa dipikirkan terus menerus.”
Sinar matanya lantas berputar, ia merasa keadaan dari loteng ini jauh berbeda pada
kemarin hari.
Kiranya pada dinding sebelah timur pada saat ini sudah tertutup dengan sebuah horden
warna kuning yang selembar delapan depa.
Setelah mempersilahkan para tamunya mengambil duduk, barulah Jan Bok Hong
berkata, “Kemarin malam Ciu Jie telah membicarakan soal Siauw heng, ia merasa sangat
kagum baik terhadap sifatmu maupun kepandaian silat yang Siauw heng miliki. Arti dari
perkataannya ini ada maksud hendak mengangkat diri Siauw heng tinggi-tinggi.”
“Urusan apa?” tanya Siauw Ling kebingungan.

“Toa Cungcu kami merasa bakat Siauw Heng-sangat bagus sekali dan merupakan
seorang manusia aneh yang sukar ditemui selama ratusan tahun ini,” sambung Ciu Cau
Liong lebih lanjut. “Karena itu ia ada maksud untuk mengangkat saudara dengan dirimu
entah bagaimana maksud dari Siauw heng sendiri?”
Siauw Ling yang mendengar perkataan itu jadi melengak dibuatnya.
“Soal ini bagaimana mungkin siauwte berani menerimanya, kedudukanku tidak bisa
dibandingkan dengan kalian berdua aku tidak lebih cuma seorang pemuda yang baru saja
tamatkan pelajaran,” katanya.
“Tempo dulu Kwan Thio Kauw angkat saudara dan bersama-sama merasakan
penderitaan, mencicipi kebahagiaan sehingga menjadi pujian dan buah tutur banyak orang
Siauwte tidak becus sudah tentu tidak ingin menandingi seperti mereka itu,” sambung Jie
Cungcu dengan cepat.
“Secara mendadak mereka berdua pergi memandang tinggi diriku entah apakah
maksud tujuannya?” pikir Siauw Ling diam-diam dalam hatinya. “Apakah sungguh
dikarenakan kepandaian silatku yang amat tinggi??”
Walaupun memperoleh pendidikan yang amat keras dari tiga orang manusia aneh,
tetapi sampai kini ia masih belum mengerti sampai tingkat manakah ilmu silat yang
dimilikinya ini dan dirinya dianggap jagoan kelas berapa bilamana berkenalan di dalam
dunia kangouw??
Ciu Cau Liong mendadak mengulapkan dan menarik lepas horden kuning yang berada
disebelah timur itu.
Maka tampaklah lukisan pemandangan sewaktu Lauw Kauw serta Thio angkat saudara
dikebun Tauw Yen tertempel di atas dinding di depan lukisan tersebut tersedialah sebuah
meja sembahyang yang diatasnya sudah disiapkan empat macam buah-buahan serta
semangkokan besar arak, dua buah lilin berwarna merah berdiri dikedua belah sisi lukisan.
Kelihatannya asalkan Siauw Ling sudah menyetujui mereka segera akan dilakukan
sembahyang untuk mengangkat saudara.
Sepasang mata Ciu Cau Liong tanpa berkedip, ujarnya kembali perlahan-lahan, “Apakah
Siauw heng suka memandang wajah kami bersaudara? harap kau orang suka memberi
jawaban yang jelas.”
“Tentang soal ini biarlah siauwte berpikir sebentar kemudian baru bisa memberikan
jawaban,” ujar Siauw Ling setelah termenung sebentar.
Air muka Jan Pek Hong segera berubah hebat.
“Peristiwa mengangkat saudara semacam ini bagaimana boleh terlalu dipaksakan?”
serunya keras. “Bilamana Siauw heng tidak suka angkat saudara dengan kita sudahlah.”
Situasi diruangan tersebut pada saat ini benar-benar serba susah, empat buah sinar
mata yang amat tajam dari Jan Bok Hong serta Ciu Cau Liong bersama-sama dialihkan
keatas tubuh Siauw Ling.

Dari sinar mata Ciu Cau Liong secara samar-samar kelihatan mengandung maksud
memohon yang amat sangat, sebaliknya air muka Jan Bok Hong sangat tawar sehingga
sulit buat orang lain untuk mengetahui bagaimanakah maksud hatinya.
Siauw Ling mendehem perlahan, akhirnya ia bangun berdiri.
“Kalian berdua bisa memandang begitu tinggi terhadap siauwte bilamana aku tolak hal
ini tentu kurang pantas,” ujarnya.
“Jadi Siauw heng sudah menyetujui?” seru Ciu Cau Liong kegirangan.
“siauwte tidak mengerti banyak urusan dikemudian hari masih menghadapkan saudara
berdua suka banyak memberi petunjuk” sahut pemuda itu samnil mengangguk.
Usianya yang masih muda ditambah pula pengalamannya yang amat cetek, sekalipun
dalam hati ia merasa munculnya urusan ini terlalu mendadak sehingga sulit bagi dirinya
untuk menghadapi di dalam keadaan serba salah akhirnya ia menerima juga.
Di atas air muka Jan Bok Hong yang amat tawar mulai terlintaslah satu senyuman.
“Siauw heng harap suka berlega hati,” katanya cepat. “Setelah kita mengangkat
saudara mulai saat ini juga diantara kita akan saling bantu membantu atau bersama
bilamana saudara membutuhkan akan adanya tenaga kami berdua, hendak pergi keair
kami segera berangkat keair mau keapi kita lantas menerjang api.”
Perlahan-lahan berjalan ketepi meja sembahyang tersebut dan menepuk tangannya dua
kali.
Tampaklah pintu rahasia di atas dinding segera terbuka dan muncullah dua orang gadis
berbaju halus yang langsung menyulut lilin itu kemudian mengundurkan dirinya kembali.
Pertama-tama Jan Bok Hong lah yang maju membakar hio tersebut disebuah tempat
abu yang terbuat dari emas kemudian menjatuhkan diri berlutut di atas tanah.
“Jan Bok Hong tahun ini empat puluh delapan tahun ini hari bersama-sama dengan Ciu
Cau Liong serta Siauw Ling mengatakan saudara mulai saat ini kita akan saling bantu
membantu di dalam kesusahan mati hidup bersama-sama bilamana ada yang berhati
nyeleweng maka ia akan memperoleh akhir yang sekarat” katanya.
Setelah itu ia baru bangun berdiri mengambil pisau belati sudah tersedia di atas meja
dan merobek jari tangannya sendiri.
Darah segar segera menetes keluar jatuh di dalam cawan yang berisikan arak.
Ciu Cau Liong serta Siauw Ling pun lantas menggunakan cara yang sama masingmasing
mengangkat sumpah di depan lukisan Lauw Kwan serta Thio itu kemudian
meneteskan darah di dalam cawan arak.
Menanti semuanya sudah selesai Jan Bok Hong baru mengangkat cawan arak tersebut
masing-masing menegur satu tegukan.

Dua orang gadis yang berwajah cantik buru-buru berjalan keluar lagi membereskan
meja sembahyangan tersebut menurun lukisan serta hordeng kuning kemudian
mengundurkan dirinya kembali dari sana.
Agaknya Jan Bok Hong itu Cungcu dari perkampungan Pek Hoa Sanceng merasa sangat
gembira sekali.
“Siauwte,” ujarnya kemudian sambil tersenyum. “Mulai sekarang kita adalah saudarasaudara
angkat yang mati hidup bersama-sama bilamana kau mempunyai urusan yang
terasa amat menyulitkan dirimu katakan saja secara terus terang…”
Mendadak Siauw Ling teringat kembali akan diri Gak Siauw-cha, enci Gak nya.
“Saat ini Siauwte memang mempunyai suatu urusan yang menyulitkan entah dapatkah
Toako memberi bantuan?”
“Urusan apa? Asalkan Toako mu melakukan sudah tentu akan kubantu dengan sepenuh
tenaga.”
“Sebenarnya bukan suatu urusan yang amat penting. Aku cuma ingin mencari tahu
jejak dua orang” kata Siauw Ling tertawa.
“Siapa?” tanya Ciu Liong sambil tersenyum pula, “Coba kau sebutkan namanya, biar
Toako uruskan pekerjaanmu ini.”
Orang ini pandai berbicara dan pintar sekali mencari hati hal ini membuat setiap orang
yang dimadu olehnya tentu merasa kegirangan.
“Aku ingin mencari Tiong Cho Siang-ku!”
Menurut ingatannya di dalam kolong langit pada saat ini hanya Tiong Cho Siang-ku dua
orang saja yang mengetahui jejak dari Gak Siauw-cha maka ia harus menemukan terlebih
dahulu diri Tiong Cho Siang-ku.
Lama sekali Jan Bok Hong termenung akhirnya jawabannya pula dengan perlahan,
“Lima tahun berselang secara mendadak Tiong Cho Siang-ku lenyap dari dunia persilatan
dan sejak itu jejaknya lenyap tak berbekas kebanyakan orang-orang kangouw
menganggap dirinya sudah mati atau disebabkan harta kekayaan mereka sudah banyak
lantas mengundurkan diri dari keramaian dunia tetapi mereka tal bakal berhasil lolos dari
penglihatan Siauw heng yang tajam bukan saja mereka berdua belum mati bahkan bukan
sedang mengasingkan dirinya dari keramaian dunia.”
“Mereka tetap bergerak dan berkelana di dalam dunia kangouw cuma saja wajah
mereka sudah dirubah sedemikian rupa sehingga tak seorang manusiapun yang mengenali
mereka kembali.”
“Tiong Cho Siang-ku adalah manusia-manusia jagoan yang telah mempunyai nama
besar sejak puluhan tahun yang lalu,” sambung Ciu Cau Liong dari samping. “Mengapa
mereka tidak suka berkelana di dalam dunia kangouw dengan wajah dan kedudukan
mereka yang sebenarnya, sebaliknya menutupi asal usulnya sendiri dan berusaha
melenyapkan jejaknya di dalam dunia kangouw?”

“Haaa… haaa… kedua orang ini terlalu rakus dengan harta kekayaan, dan biasanya
paling suka menggunakan cara menipu yang paling halus untuk membohongi barang
berharga milik orang lain. Harta kekayaan mereka yang berhasil dikumpulkan saking
banyaknya sehingga tak habis dipakai untuk tujuh turunannya, ada pepatah mengatakan
sungai dan gunung mudah diubah, sifat pribadi mudah diubah asalkan mereka berdua
sehari hidup dikolong langit sudah tentu pekerjaan itupun tidak pernah dihentikan kini
sengaja mereka menyembunyikan asal usul dan bergerak di dalam dunia kangouw. Hal ini
tentunya sedang mencari sesuatu benda? Atau mungkin karena sudah menderita kerugian
yang amat besar sehingga merusak nama baik mereka merasa malu untuk tancapkan
kembali dirinya di dalam Bulim maka kedua orang itu terpaksa menggunakan cara
menyaru untuk menutupi wajah aslinya, lalu secara diam-diam melakukan perjalanan di
dalam dunia kangouw untuk menyelidiki jejak musuhnya.”
“Tiong Cho Siang-ku dengan pihak perkampungan Pek Hoa Sanceng kita apakah
mempunyai hubungan?” tanya Cung Cau Liong.
“Tempo dulu kita sih pernah berjumpa satu kali tetapi disebabkan jalan yang diambil
antara kita adalah berbeda maka selama ini air sumur tidak mengganggu air kali.”
“Toako, lalu tahukah kau orang pada saat ini Tiong Cho Siang-ku berada dimana?”
sambung Siauw Ling dari samping.
Perlahan-lahan Jan Bok Hong menghela napas panjang.
“Selama dua tahun ini aku selalu berada di atas loteng Wang Hoa Loo untuk
menyembuhkan sakitku, sehingga belum pernah meninggalkan perkampungan Pek Hoa
Sanceng barang selangkahpun. Hal ini sudah tentu membuat aku merasa sulit untuk
mengetahui jejak dari Tiong Cho Siang-ku pada saat ini, tetapi Siauw heng akan berusaha
keras untuk mencari jejak mereka sehingga tidak sampai membuat aku orang kecewa.”
Dalam hati Siauw Ling benar-benar dibuat terharu oleh kata-kata tersebut.
“Terima kasih Toako.”
Jan Bok Hong segera goyangkan tangannya mencegah Siauw Ling melanjutkan katakatanya.
“Siauwte?” sambungnya kembali, “Sebentar ada urusan apakah sehingga kau merasa
begitu tergesa-gesa untuk mendapatkan Tiong Cho Siang-ku?”
“Urusan ini menyangkut keselamatan dari enci Gak beserta anak kunci Cing Kong Ci
Yau tersebut” pikir Siauw Ling dihati. “Lebih baik aku jangan beritahukan urusan ini secara
terang.”
Tetapi ia tidak bisa berbohong oleh karenanya walaupun sudah termenung sangat lama
tak sepatah katapun yang bisa diucapkan keluar.
Terdengar Jan Bok Hong tertawa ringan.
“Bilamana siauwte merasa tidak leluasa untuk memberitahukan urusan ini, tidak
usahlah kau ucapkan?” katanya, “Siauw heng berusaha keras untuk bantu menyelidiki
jejak dari Tiong Cho Siang-ku tersebut di dalam lima hari aku pasti akan memberi kabar.”

“Kalian turunlah dari loteng akupun harus bersemedi kembali…”
Ciu Cau Liong dan Siauw Ling buru-buru bangun berdiri untuk mohon pamit setelah
meninggalkan loteng Wang Hoa Loo Jie Cungcu ini langsung menghantarkan Siauw Ling
kembali kebangunan Lan Hoa Ling si terlebih dulu kemudian baru mohon diei.
Sekembalinya ke dalam kamar Siauw Ling lantas jatuhkan diri berbaring di atas
pembaringan, semakin dipikir ia merasa keadaan di sekeliling tempat ini semakin tidak
benar diam-diam ia mulai memaki dirinya sendiri.
“Perkampungan Pek Hoa Lan cung yang seram bagaikan sarang naga gu8a macan ini
agaknya terkandung suatu keadaan yang sangat misterius sekali sebelum dirimu
mengetahui jelas sifat dari Jan Bok Hong serta Ciu Cau Liong bagaimana mungkin boleh
angkat saudara seenaknya dengan mereka? kini urusan sudah nyata bilamana dikemudian
hari kau menemukan kedua orang saudara angkatmu adalah manusia-manusia jahat
bukankah dirimu akan melanggar kata-kata sumpah yang pernah kau ucapkan.”
Tetapi teringat pula sikap mereka berdua yang amat baik sekali terhadap dirinya di
dalam keadaan semacam itu bilamana ia menolak hal ini benar membuat kedua orang itu
akan merasa malu turun dari panggung.
Kedua buah persoalan yang saling terbentur satu sama lainnya ini dengan tiada
hentinya berkelebat di dalam benak. Sebenarnya ia tidak ingin memikirkan urusan
tersebut, tetapi semakin berusaha dibuang dari pikirannya persoalan itu semakin
berkelebat dengan amat nyata di dalam benaknya.
Giok Lan dan Kiem Lan berdiri dipojokan ruangan dengan bungkamkan diri melihat
pemuda itu sedang termenung berpikir keras seperti ada sesuatu yang sedang
membingungkan hatinya, mereka tidak berani mengganggu secara diam-diam kedua
dayang itu lantas mengundurkan dirinya dari dalam ruangan.
Peristiwa di atas loteng rumah makan dikota Koe Cho dimana sifat So Sin Liong Toan
Bok Ceng melakukan pembokongan terhadap diri Ciu Cau Liong kembali terbayang di
dalam benaknya sikap yang amat dingin dari gadis tersebut, sebelum pergi sinar matanya
yang mengandung kebencian serta wajahnya yang amat gusar benar-benar tertera
dengan nyata di dalam hatinya.
“Masih ada lagi sipendekar pincang Ciang Toa Hay beberapa orang agaknya merekapun
bukan manusia-manusia jahat, tetapi mengapa sudah mengikat dendam sedalam lautan
dengan perkampungan Pek Hoa Sanceng?”
Beberapa buah persoalan yang sangat membingungkan ini segera berubah jadi rasa
curiga yang semakin menebal.
Selagi dia berpikir keras itulah mendadak pintu kamar terbuka disusul munculnya Tang
Sam Kauw dari luar.
Buru-buru Siauw Ling meloncat bangun dari atas pembaringan.
“Kamar tidur ini tidak bisa ditinggali bagaimana kalau kita bicara diruangan depan
saja?” katanya.

Tang Sam Kauw lantas menggeleng dan tersenyum.
“Buat apa kau orang menggunakan banyak adat yang tidak sedap didengar maupun
dipandang itu!” serunya. “Diruangan dalam atau ruangan muka bukankah sama saja.”
Walaupun pada luaran ia berkata demikian tetapi tubuhnya menurut saja
mengundurkan diri dari kamar tidur tadi.
Siauw Lingpun segera ikut berjalan dari kamar menuju keruangan depan.
“Eeei… tadi kau pergi keloteng Wang Hoa Loo?” tanya Tang Sam Kauw kemudian
memecahkan kesunyian.
“Benar! bagaimana kau bisa tahu? Apakah Giok Lan serta Kiem Lan yang
memberitahukan hal ini kepadamu?”
Tang Sam Kauw segera menggeleng.
“Mereka tidak akan berbicara, tadi dengan mata kepalaku sendiri aku melihat kau naik
keloteng Wang Hoa Loo entah apakah maksud Jan Toa Cungcu mengundang kau kesana?”
katanya.
“Di atas loteng Wang Hoa Loo itu mereka sudah menyediakan meja sembahyang dan
minta aku suka mengangkat saudara dengan mereka,” sahut Siauw ling setelah
termenung sebentar.
Di atas paras muka Tang Sam Kauw segera terlintaslah suatu perubahan yang sulit
untuk dilukiskan, entah hatinya sedang merasa girang ataukah sedang murung.
Lama sekali akhirnya ia baru menghela napas.
“Sudah kau setujui belum?”
“Mereka terus menerus mendesak aku untuk menerima, terpaksa aku tak dapat
menampik ajakan yang datangnya bertubi-tubi itu.”
“Jadi kau sudah menyetujuinya?”
“Benar!”
“Tahukah kau bahwa di dalam dunia kangouw paling memandang tinggi soal tingkatan?
hubungan antara guru dan murid sama-sama hubungan antara ayah dan anak, kau sudah
angkat saudara dengan mereka hal ini berarti pula selama hidup kau harus menghormati
dan mendengar setiap perkataan dari toako-toakomu! kini kau sudah angkat saudara
dengan Jan Toa Cungcu serta Ciu Jie Cungcu maka hal ini berarti pula bahwa sejak hari ini
setiap perkataan serta perintahnya harus kau lakukan dengan sepenuh tenaga.”
Siauw Ling yang di dalam hatinya sedang diliputi oleh perasaan curiga yang semakin
menebal akhirnya tak bisa menahan diri lagi, ia menghela napas panjang.

“Bilamana pekerjaan yang mereka perintahkan aku untuk berbuat bukan suatu
pekerjaan yang baik aku bisa menolak dan menyuruh mereka tarik kembali perintah
tersebut” katanya.
Sinar mata Tang Sam Kauw berkilat, setelah memandang sekejap keempat penjuru
ujarnya mendadak, “Jikalau kau disuruh pergi membinasakan seseorang apakah kau akan
menurut perintah?”
“Soal itu tergantung orang yang hendak dibunuh itu orang baik ataukah orang jahat
bilamana orang itu adalah seorang manusia jahanam yang banyak melakukan kejahatan
dan membunuh dirinya berarti pula melenyapkan bencana buat semua orang, mengapa
tidak kau lakukan?”
“Lalu bila dia seorang baik” bisik Tang Sam Kauw kembali dengan lirih.
Siauw Ling jadi melengak untuk sesaat lamanya pemuda ini merasa tak sanggup untuk
menjawab pertanyaan ini sebelum ini di dalam hatinya belum pernah sekalipun untuk
memikirkan urusan ini, oleh sebab itu setelah mendengar pertanyaan tadi ia jadi
gelagapan.
“Bilamana kau tidak tahu bahwa dia adalah seorang baik atau seorang jahat? lalu apa
yang hendak kau lakukan?” sambung Tang Sam Kauw lebih lanjut.
Siauw Ling merasakan hatinya berdebar-debar semakin keras ia tetap sanggup untuk
memberi jawaban.
Tang Sam Kauw tersenyum.
“Kita adalah orang sudah saling mengenal dan saling berkawan. Coba kau lihat aku
adalah orang baik ataukah orang jahat” katanya lagi.
“Cayhe belum lama berkawan dengan nona karena itu tak berani berbicara
sembarangan.”
“Jika semisalnya saat ini kedua orang saudara angkatmu memerintahkan kepadamu
bahwa di dalam satu jam mendatang kau harus berhasil mendapatkan batok kepalaku,
apa yang hendak kau lakukan?” sekali lagi gadis tersebut mendesak dengan
pertanyaannya.
“Soal ini belum pernah cayhe pikirkan selama ini……” mendadak Tang Sam Kauw
bangun berdiri dan berjalan bolak balik di dalam ruangan sinar matanya tiada hentinya
berputar menyapu kesekeliling tempat itu agaknya ia hendak meminjam kesempatan
sewaktu berjalan bolak balik mengawasi keadaan di sekelilingnya apakah ada orang yang
sedang mencuri dengar atau tidak.
************http://ecersildejavu.wordpress.com/***************
Sejak semula di dalam hati Siauw Ling memang sudah tersembunyi perasaan curiga
yang semakin menebal saat ini hatinya benar-benar terpukul. Ia tak dapat menahan sabar
lagi dan secara mendadak bangun berdiri.
“Biar aku tanyakan urusan ini hingga jelas” serunya.

“Eeeei… tak bisa jadi? Apa yang hendak kau tanyakan kepada mereka?” seru Tang Sam
Kauw cemas.
Mendadak menempelkan jari tangannya keatas bibir lalu bisiknya lirih, “Sttt…! Ada
orang datang, cepat duduk.”
Iapun cepat-cepat mengambil tempat duduknya semula.
Ketika Siauw Ling mendongakkan kepalanya, maka tampaklah segerombolan lelaki
kasar yang berpakaian singsat lima warna dengan langkah tegap berjalan ke arah
bangunan Lan Hoa Cing Si tersebut.
Beberapa orang itu pada menggembol senjata tajam semua agaknya mereka hendak
melakukan suatu perjalanan yang sangat jauh.
Melihat kejadian itu Siauw Ling merasakan hatinya kebingungan, tak tertebak olehnya
apakah maksud tujuan orang-orang itu mendatangi bangunan Lan Hoa Cing Si nya ini.
Tampaklah lelaki-lelaki kasar berpakaian singsat yang terbagi menjadi lima warna itu
menghentikan langkahnya di depan bangunan Lan Hoa Cing Si tersebut. Setelah berbaris
menjadi lima bagian dengan masing-masing bagian terdiri dari lima orang, jadi lima kali
lima dua puluh lima orang dengan dipimpin oelh rombongan yang pertama melanjutkan
perjalanannya kembali ke arah ruangan yang ditinggalkan Siauw Ling.
Ketika itu Siauw Ling sedang merasakan hatinya sangat murung ia lantas menoleh dan
memandang sekejap ke arah Tang Sam Kauw.
“Eeeei coba kau lihat apakah maksud tujuan orang-orang itu datang kemari??”
“Kau tidak usah merasa begitu tegang, yang pasti mereka bukan datang kemari untuk
menangkap kau, buat apa kau merasa cemas? duduklah dulu dan dengarkan apa yang
hendak mereka katakan kepadamu?”
“Eeehm…! perkataan ini sedikitpun tidak salah” pikir Siauw Ling kemudian. “Dengarkan
dulu apa yang hendak mereka katakan kemudian baru memikirkan satu cara untuk
menghadapi mereka!”
Karenanya iapun lantas duduk keatas kursi untuk menanti.
Kelima rombongan lelaki kasar dengan lima warna yang berbeda itu setelah tiba di
depan pintu ruangan Lan Hoa Cing Si lantas berdiri berjajar dengan sikap yang sangat
menghormat.
Si lelaki berbaju merah yang berada dipaling depan perlahan-lahan melangkah masuk
ke dalam ruangan dari tempat kejauhan ia sudah menjura memberi hormat.
“Hamba sekalian mendapat perintah datang kemari untuk melaporkan diri dari pada
Sam ya!” katanya.
“Ada urusan apa?” seru Siauw Ling melengak.

“Kami sekalian menerima peritah untuk sejak ini mengikuti diri Sam ya terus dan
menerima serta melaksanakan setiap perintah yang diucapkan Sam ya.”
“Seumur hidup mengikuti aku terus? Apa sebabnya?” pikir pemuda itu jadi keheranan.
Buru-buru tanyanya kembali.
“Kalian menerima perintah siapa untuk datang kemari?”
“Jie Cungcu menyampaikan perintah dari Toa Cungcu agar hamba sekalian suka datang
menghadap Sam Cungcu.”
Siauw Ling benar-benar merasa rada kebingungan dibuatnya oleh kejadian ini, ia
melirik sekejap ke arah Tang Sam kauw kemudian baru ulapkan tangannya.
“Kalian mundurlah dulu setelah bertemu dengan Jie Cungcu aku baru mengambil
keputusan kembali,” katanya.
Si lelaki berbaju merah itu segera mengia dan mengundurkan diri setelah menutup
pintu luar, mereka mengundurkan diri dari bangunan Lan Hoa Cing Si tersebut.
Menanti orang-orang yang memakai baju aneh warna itu telah pergi jauh Siauw Ling
baru menoleh ke arah Tang sam Kauw sambil bisiknya, “Nona Sam apakah maksud tujuan
orang itu??”
“Urusan sangat jelas sekali,” jawab gadis tersebut sembari tersenyum. “Kau sudah
menjadi Cungcu dari perkampungan Pek Hoa Sanceng ini sudah tentu kaupun harus
memiliki pengawal pribadi yang akan bekerja untukmu. Tadi aku sudah wakili dirimu untuk
memeriksakan beberapa orang itu orang-orang yang memakai pakaian aneh warna diluar
ruangan semuanya tidak jelek.”
“Apa yang tidak jelek?”
“Ilmu silat mereka berlima adalah jago-jago lihay yang memiliki tenaga kweekang
sangat dahsyat!”
Sambil bungkamkan diri Siauw Ling menundukkan kepalanya rendah-rendah, dalam
hari ia merasa sangat kebingungan sehingga untuk sesaat tidak tahu apa yang harus
dilakukan.
Tang Sam Kauw segera bangun berdiri dan berjalan kesisi tubuh Siauw Ling.
“Apakah kau merasa rada…”
Mendadak terdengar suara mendehem yang perlahan memutuskan perkataan Tang
Sam Kauw yang belum selesai itu.
Ketika ia mendongakkan kepalanya, tampaklah Kiem Lan tengah membawa cawan air
teh sudah berdiri di depan pintu, sepasang matanya sedang memandang diri Tang Sam
Kauw tajam, dari air mukanya jelas menunjukkan sikap permusuhannya terhadap gadis
tersebut.

Tang Sam Kauw pura-pura berlagak pilon ia tertawa tawar dan menyambung kembali
kata-katanya, “Bilamana kau merasa rada menyesal karena terlalu cepat menyanggupi
diriku, maka lebih baik kau tidak usah ikut aku lagi.”
Dengan menggunakan ilmu untuk menyampaikan suara ia manambahkan, “Eeei, budak
itu sudah menaruh perasaan curiga terhadap diriku, mari kita pura-pura berikut sebentar
agar dia tak berhasil untuk mendengarkan sesuatu dari mulut kita.”
Diam-diam dalam hati Siauw Ling merasa sangat keheranan, sewaktu untuk pertama
kalinya ia bertemu muka dengan Tang Sam Kauw terlihatlah olehnya sikap yang amat
congkak dari gadis tersebut bahkan terhadap Ciu Cau Liong pun tidak memandang sebelah
matapun.
Tetapi sejak pertempurannya dengan sibayangan berdarah Jan Bok Hong sikapnya
mendadak berkurang beberapa bagian, agaknya secara mendadak ia menaruh rasa jeri
terhadap orang-orang perkampungan Pek Hoa Sanceng ini.
Terlihatlah dengan langkah yang lemah gemulai Kiem Lan berjalan masuk ke dalam
ruangan.
“Samya mau minum teh?” tanyanya perlahan.
“Aaaakh haa bagus sekali?” seru pemuda itu di dalam hatinya “Ternyata seluruh
anggota perkumpulan Pek Hoa Sanceng ini dari atas sampai ke bawah sudah mengetahui
peristiwa dimana aku telah mengangkat saudara dengan Cungcu mereka.”
“Eeeei mengapa kaupun memanggil aku dengan sebutan Samya?” tegurnya kemudian
sambil menerima cawan air teh itu.
“Semua orang yang berada di dalam perkampungan Pek Hoa Sanceng sudah pada
mengetahui peristiwa dimana Siauw ya sudah angkat saudara dengan Cungcu dari
perkampungan Pek Hoa Sanceng kami,” kata Kie Lan sambil tertawa.
Siauw Ling segera mengerutkan alisnya rapat-rapat, belum sempat ia membuka mulut
Kiem Lan sidayang cantik itu sudah menyambung kembali, “Jie ya sudah mengirim Kiem
Hoa Leng atau perintah bunga emas untuk menyiarkan peristiwa ini kepada semua orang
perkampungan Pek Hoa Sanceng, kami akan mengadakan suatu pesta besar-besaran
dengan mengundang seluruh jagoan berkepandaian tinggi dari Bulim untuk memberi
selamat kepada Siauw ya atas pengangkatannya menjadi Sam Cungcu kami.”
“Tapi peristiwa ini buat apa harus dirayakan?” tanya Siauw Ling keheranan.
“Haa… haa… haaa peristiwa yang demikian besarnya ini mengapa tak harus dirayakan,”
mendadak dari tempat luaran berkumandang datang suara tertawa gelak yang amat
nyaring.
Dengan langkah lebar Ciu Cau Liong sudah berjalan masuk ke dalam ruangan.
Buru-buru Siauw Ling bangun berdiri untuk menyambut kedatangannya.
“Oouw Jie ko! Silahkan duduk, silahkan duduk!” serunya.

“Samte. Toako kami betul-betul menghargai dirimu!” seru Ciu Cau Liong sambil
tertawa. “Bukan saja perkampungan Pek Hoa Sanceng kita akan dihias untuk merayakan
peristiwa yang maha besar ini bahkan akan mengundang pula beberapa tokoh Bulim yang
sangat terkenal dikolong langit pada saat ini di dalam perkampungan Pek Hoa Sanceng
kita akan mengadakan suatu pertempuran para enghiong secara besar-besaran dengan
demikian nama Samte pun di dalam sekejap mata akan terkenal dan diketahui oleh setiap
Enghiong Hoohan yang ada di dalam Bulim.”
“Tapi apakah kesanggupan Siauwte sehingga Toako hendak mengadakan kesemuanya
ini?”
“Perintah dari Toako tak terbantahkan, kita yang menjadi adiknya terpaksa hanya
mengekor saja!” seru Ciu Cau Liong sambil tersenyum.
Sinar matanya perlahan-lahan dialihkan ke arah Tang Sam Kauw kemudian ujarnya,
“Nenek nona Sam pun ikut terdaftar sebagai tamu undangan kami!”
“Jan Toa Cungcu bisa menghargai keluarga Tang kami. Hal ini boleh dikata merupakan
kebanggaan keluarga kami.”
“Sampai waktunya masih mengharapkan nona Sam suka datang bersama-sama dengan
nenekmu untuk menghadiri perayaan tersebut” tambah Ji Cungcu kembali sambil tertawa
hambar.
“Jadi Ciu heng sedang mengusir cayhe dari sini!” seru Tang Sam Kauw sambil tertawa
sinis.
“Aaah mana, mana nona Sam terlalu banyak pikir.”
“Kalian kakak beradik kemungkinan ada urusan yang hendak dirundingkan aku mohon
diri dulu!”
“Kalau begitu cayhe menghantar lagi,” sambung Ciu Cau Liong dengan cepat sambil
menjura.
“Hmm, mana berani merepotkan dirimu.”
Dengan langkah cepat dan perasaan gemas gadis tersebut lantas berlalu dari ruangan
Lan Hoa Cing Si.
Menanti bayangan dari Tang Sam Kauw sudah lenyap dari pandangan Ciu Cau Liong
baru mengambil tempat duduk kembali.
“Samte,” ujarnya sambil tertawa, “Tempo dulu dikarenakan Toako harus mempelajari
semacam ilmu silat yang amat dahsyat secara tidak beruntung ia sudah mengalami jalan
api menuju neraka sehingga terpaksa harus mengundurkan diri dari keramaian dunia
kangouw, hingga kini sudah ada tujuh tahun lamanya pada waktu ini agaknya penyakit
tersebut sudah sembuh sedang kepandaian silat yang dilatihnyapun telah mencapai
kesempurnaan, kini memperoleh pula bantuan dari Samte. Hal ini boleh dikata merupakan
suatu peristiwa besar yang patut dirayakan oleh semua orang terutama kita sebagai
anggota perkampungan Pek Hoa Sanceng.”

“Kepandaian silat Toako berhasil mencapai kesempurnaan hal ini boleh dianggap
sebagai suatu peristiwa yang menggembirakan tetapi ikut sertanya siauwte ke dalam
keanggotaan perkampungan Pek Hoa Sanceng boleh dianggap sebagai peristiwa macam
apa?”
“Samte jangan terlalu memandang rendah kepandaian silatmu sendiri!” seru Jie Cungcu
cepat. “Dikolong langit pada saat ini boleh dikata amat sulit untuk memperoleh beberapa
orang musuh yang datang menandingi.”
Mendadak terdengar suara langkah manusia yang amat gaduh berkumandang datang
disusul munculnya seorang lelaki kasar berbaju merah dengan membimbing seornag lelaki
berbaju hitam berlari masuk ke dalam bangunan Lan Hoa Cing Si.
Si orang berbaju merah itu tidak berani langsung menerjang masuk ke dalam ruangan
sebaliknya sambil mencekal tubuh lelaki berbaju hitam itu berdiri menanti di depan pintu.
“Jie Cungcu serta Sam Cungcu ada di dalam ruangan semua kau masuklah sendiri,”
ujar orang itu kepada lelaki berbaju hitam tersebut.
Lelaki berbaju hitam itu bagaikan seornag yang dimabok oleh air kata-kata dengan
sempoyongan menerjang masuk ke dalam ruangan.
Siauw Ling segera bangun berdiri sedikit pundaknya bergerak tahu-tahu tubuhnya
sudah tiba di depan pintu sambil membimbing tubuh lelaki berbaju hitam itu.
Ketika matanya memandang lebih tajam ke arahnya maka tampaklah lambang orang
itu sudah terbacok sangat lebar dengan darah yang sudah membeku. Agaknya luka
tersebut sudah agak lama dan melalui sesuatu perjalanan yang sangat jauh sehingga
kesadarannya pada saat ini rada berkurang.
Selama ini Ciu Cau Liong tetap duduk tak bergerak dari tempatnya semula.
“Samte! lepaskan dirinya agar ia bisa beristirahat sebentar” sahutnya dengan nada
berat.
“Tapi luka orang ini amat parah sekali agaknya sulit untuk pulih sedia kala,” ujar Siauw
Ling dengan cemas.
Telapak tangan kanannya segera ditempelkan keatas punggung orang itu, segulung
tenaga panas yang amat kuat dengan cepat mengalir masuk melalui jalan darah “Ming
Bun Hiat” nya.
Setelah memperoleh bantuan tenaga kweekang yang amat kuat dari Siauw Ling
sehingga membantu melancarkan peredaran di dalam tubuhnya, wajah yang semula pucat
perlahan-lahan berubah memerah kembali sedang kesadarannya pun sudah mulai pulih.
Dengan membelalakan matanya lebar-lebar orang itu memandang Ciu Cau Liong tajamtajam,
bibirnya bergerak beberapa saat lamanya, terakhir ia baru bisa berseru, “Jie
Cungcu!”
“Ehmm! kau sudah terluka?” seru Ciu Cau Liong dengan nada dingin, seram, air
mukanya sangat serius.

Agaknya orang berbaju hitam itu sudah merasa rada sulit untuk berbicara, bibirnya
bergerak beberapa saat lamanya tetapi tak sepatah katapun yang diucapkan.
Akhirnya dengan susah payah keluar juga beberapa patah kata, “See sewaktu aaaa
daaa ada ditepi… sungai hamba kena ditusuk orang sehingga terluka parah.”
“Aku sudah tahu kalau lukamu sangat parah sehingga sulit untuk diselamatkan
nyawanya, cepat ceritakan apa yang sudah menimpa dirimu,” potong Ciu Cau Liong
dengan cepat.
“Orang itu bertanya kepadaku aaaa apakah aku adalah ornag perkampungan Pek Hoa
Sanceng lalu ia bertanya pula Toa Cungcu kita apakah benar sibayangan berdarah Jan Bok
Hong.”
“Hmm, apakah kau sudah beritahukan hal ini kepadanya.”
“Hamba masih ingat dnegan berapa peraturan perkampungan Pek Hoa Sanceng itu
sekalipun menemui siksaan yang bagaimana beratnyapun tiii tidak akan men menceritakan
keadaan dari perr perkampungan kiii kita.”
“Ehmm bagus sekali lanjutkan kisahmu,” ujar Ciu Cau Liong mengangguk.
“Daaa dalam hati hamba mee merasa gusar karena perkataannya yang tidak tahu
sopan maka hamba lantas memakai beberapa paaa patah kata kepadanya siapa tahu
orang itu lantas mencabut keluar pedangnya dan menuduk lambungku.”
“Hmm memangnya kau orang mati?? kenapa kau biarkan badanmu ditusuk olehnya?”
“Gerakan pedangnya terrr terlalu cepat seee sehingga membuat orang sulit
mengadakan persiapan. Aku cuma merasakan cahaya peee pedang berkelebat lewat tahutahu
lambungku suu sudah tertusuk.”
Mendengar perkataan tersebut sampai disana air muka Ciu Cau Liong segera berubah
hebat.
“Dia cuma melancarkan satu serangan saja kau lantas kena dilukai?” tanyanya.
“Tidak saam sampai satu jurus, hamba cuu cuma melihat tangan kanannya mencekal
gagang pedang diii diikuti berkelebatnya cahaya tajam, hamba lantas terluka sebelum
berhasil melihat secara bagaimana ia menyambut pedangnya itu.”
“Lalu apakah kau masih ingat dengan raut mukanya?”
“Raut mukanya yang benar ham hamba sudah tidak ingat lagi haa hanya usianya
sangat muda gerakan pedangnya sangat cee cepat.”
Ketika berbicara sampai disitu ucapannya sudah tidak jelas lagi. Yang kedengaran saat
ini cuma suara huuhuu haahaa yang tidak diketahui maksudnya.

Mendadak Ciu Cau Liong meloncat bangun dan menyambar cangkir teh yang ada
disisinya, dimana tangannya mengayun air teh tersebut segera disiramkan keatas wajah si
orang berbaju hitam itu.
“Siapakah nama orang itu? Apakah kau tahu?” bentaknya keras.
Setelah terguyur oleh air teh tadi, kesadaran si orang berbaju hitam itupun jadi sedikit
tersadar.
“Hamba kuu kurang jelas aaa agaknya bernama Siauw Siauw Ling.”
“Ia bernama Siauw Ling?” teriak Siauw Ling dengan perasaan tertegun.
Tampak tubuh si orang berbaju hitam itu gemetar sangat keras, matanya dipejamkan
dan menghembuskan napas yang terakhir.
Air muka Ciu Cau Liong amat serius sedikit menunjukkan perasaan terharu.
“Samte, lepaskan dirinya ia sudah mati,” katanya.
Perlahan-lahan Siauw Ling meletakkan mayat si orang berbaju hitam itu keatas tanah
setelah mengusap butiran keringat yang membasahi kening ujarnya, “Bilamana Jie ko
bukannya bertanya terlalu cepat sehingga tidak memberi kesempatan baginya untuk
mengatur pernapasan dengan bantuan hawa murni yang siauwte salurkan ke dalam
badannya tadi ada kemungkinan orang ini masih tertolong atau paling sedikit tidak mati
dengan sedemikian cepatnya, dengan begitu kitapun bisa mengetahui urusan yang lebih
banyak lagi.”
“Haaa… haaa… haaa…. setelah ia menderita luka parah dan melakukan perjalanan
jauh, darah di dalam badannya sudah banyak berkurang kesempatan untuk hidupnya
sangat tipis sekali bilamana semisalnya kita tak berhasil menolong nyawanya bukankah
beberapa perkataan tadi tidak berhasil kita ketahui??” ujar Ciu Cau Liong tertawa tergelak.
Mendengar perkataan terebut Siauw Ling terpaksa membungkam, sedang dalam hati
pikirnya, “Saudara angkatku ini kelihatan halus berbudi dan terpelajar, mengapa hatinya
sedemikian kejam dan telengasnya?? cuma ingin mengetahui beberapa patah perkataan
saja sudah tidak sayang-sayangnya mengorbankan nyawa orang itu.”
“Haaa… haaa… haaa bagaimana,” mendadak terdengar suara tertawa yang amat keras
dari Ciu Cau Liong berkumandang masuk ke dalam telinganya. “Apakah Samte merasa
tindakanku terlalu kejam dan telengas…”
Ia merandek sebentar kemudian sambungnya kembali, “Heee…! Samte orang-orang di
dalam dunia kangouw yang bertujuan mencari nama serta pahala kebanyakan tentu
memiliki sifat kejam dan telengas.”
“Ada pepatah mengatakan bernyali kecil bukan orang budiman tidak bersifat kejam
bukan lelaki sejati kata-kata nyali dan kejam masing-masing mempunyai arti yang sangat
mendalam. Hal ini tergantung cara penggunaan dari setiap kepandaiannya masingmasing.”

“Heee, Jieko siauwte ada beberapa patah kata yang terasa menganjal di dalam
tenggorokan bila tak diucapkan keluar rasanya kurang enak” kata Siauw Ling sambil
menghela napas panjang.
“Oouw, silahkan Samte untuk mengucapkannya keluar, Siauw heng tentu akan pentang
telinga mendengarkan setiap perkataanmu itu.”
“Tadi Siauw Ling yang disebut orang berbaju hitam itu kemungkinan sekali adalah
Siauw Ling yang mempunyai nama sangat terkenal diseluruh Bulim.”
“Kalau begitu nama Siauw Lingmu itu adalah nama samaran yang sengaja kau pinjam
dari kepopulerannya?”
“Soal ini sih bukan, nama siauwte memang Siauw Ling, orang itupun bernama Siauw
Ling, entah apakah maksud hatinya?”
“Dikolong langit memang banyak orang yang mempunyai she serta nama yang sama
hal ini tidak terhitung suatu hal yang aneh Samte tak usah memikirkannya dihati.”
“Bukan begitu, aku ingin pergi mencari dirinya untuk menanyakan mengapa ia
menggunakan nama Siauw Ling ku ini!”
Ciu Cau Liong cuma tersenyum saja tidak menjawab.
“Siauwte ingin menengok ketepi sungai aku mau lihat apakah orang itu masih ada
disana atau tidak?” sambung Siauw Ling kembali.
“Kau tidak usah pergi kesana lagi, dia pasti ada disana.”
“Apakah kita biarkan ia berlalu dengan selamat setelah melukai orang kita?” seru Siauw
Ling kembali sambil melirik sekejap ke arah mayat si orang berbaju hitam itu.”
“Lalu maksud Samte?”
“Pergi cari orang itu dan minta pertanggungan jawabnya.”
“Ehmmm baiklah akan kuturuti pendapat dari Samte ini,” sahut Ciu Cau Liong kemudian
sesudah termenung beberapa saat lamanya.
Ia lantas bertepuk tangan nyaring si orang berbaju merah yang berdiri dengan
angkernya di depan pintu terburu-buru lari masuk ke dalam ruangan setelah memberi
hormat ia berdiri dengan sikap sangat menghormat.
“Mayat ini cepat seret keluar dari sini untuk dikuburkan setelah itu siapkan kuda buat
aku serta Samya?” ujar Ciu Cau Liong sambil menuding mayat si orang berbaju hitam itu.
Si orang berbaju merah itu menyahut, sambil membopong mayat orang itu ia lantas
mengundurkan diri dari sana.
“Jika, apakah kaupun hendak ikut?” tanya Siauw Ling kemudian.

“Kepandaian silat yang dimiliki Samte sudah amat dahsyat dan tiada tandingannya
dikolong langit cuma saja pengalamanmu di dalam dunia kangouw sangat cetek sehingga
masih sulit mengahdapi orang-orang licik, siauw heng memang ada maksud pergi
bersama-sama sehingga bilamana terjadi sesuatu bisa cepat kasih pertolongan.”
Ketika mereka berbicara sampai disitu, si orang berbaju merah tadi sudah balik lagi ke
dalam ruangan.
“Silahkan Cungcu berdua melakukan perjalanan,” katanya sambil menjura.
Gerak-gerik dari orang-orang perkampungan Pek Hoa Sanceng ini benar-benar amat
cepat sekali, diam-diam pikir Siauw Ling di dalam hati.
“Ia mana tahu kalau setiap urusan yang ada di dalam perkampungan ini khusus ada
orang yang mengurusinya, karena itu sekali beri perintah maka sebentar saja semua
urusan sudah beres.”
Ciu Cau Liong pertama-tama yang berjalan meninggalkan ruangan itu.
“Samte kau hendak menggunakan senjata apa?” tanyanya sambil tertawa. “di dalam
perkampungan kami sudah tersedia berbagai macam senjata, asalkan memberi perintah
mereka segera akan mempersiapkannya.”
“Siauwte menggunakan pedang.”
Ciu Cau Liong lantas mengulapkan tangannya kepada orang berbaju merah tadi.
“Siapkan sebilah pedang pusaka untuk Sam Cungcu!” perintahnya.
Orang berbaju merah tadi segera menyahut dan mengikuti jalan kecil di tengah kebun
ia berlari cepat ke depan.
Demikianlah dengan dipimpin Ciu Cau Liong Siauw Ling lantas berjalan melewati
tanaman bunga dan menuju keluar perkampungan Pek Hoa Sanceng tersebut.
Diluar pintu perkampungan ketika itu sudah berbaris puluhan orang lelaki berpakaian
singset yang pada menggembol senjata, melihat munculnya orang itu mereka lantas
memberi hormat dengan sangat hormatnya.
Perlahan-lahan Ciu Cau Liong mengulapkan tangannya, lima orang lelaki yang masingmasing
memakai pakaian berwarna merah, kuning, biru, putih serta hitam lantas maju
menyongsong memberi hormat, sikapnya sangat hormat.
“Samte,” ujar Ciu Cau Liong kemudian kepada Siauw Ling sambil tertawa. “Perduli
kepandaian silat, seseorang sangat lihaypun masih harus membutuhkan tenaga bantuan
orang lain. Kelima orang ini dengan memakai lima buah pakaian yang beraneka warna
menandakan kedudukan Ngo Heng, setiap rombongan lima orang jadi jumlah seluruhnya
lima puluh lima orang mereka semua merupakan pengawal-pengawal gagah perkasa
pilihan Toako yang sudah dipilih dengan susah payah, cuma saja selama ini belum pernah
munculkan dirinya di dalam dunia kangouw. Setelah Samte menggabungkan diri dengan
kami. Toako merasa sangat girang sekali, terus terang saja aku katakan selama ini belum
pernah siauwte melihat Toako merasa begitu gembiranya karena itu sengaja ia

menyerahkan kedua puluh lima orang itu untuk Samte pimpin dan sejak kini menjadi
pengawal pribadi bilamana kau bisa mengangkat nama dalam Bulim dengan mendapatkan
bantuan kedua puluh lima orang itu maka untuk menjagoi seluruh kolong langit rasanya
mudah sekali seperti membalik tangan sendiri.”
Belum sempat Siauw Ling mengucapkan sesuatu Ciu Cau Liong sudah menyambung
kembali kata-katanya, “Masih ada satu urusan yang belum Siauw heng sampaikan kepada
Samte perkampungan Pek Hoa Sanceng kami ini perduli lelaki maupun perempuan
semuanya bisa bermain silat walaupun Siauw lin sie disebut orang sebagai sumber segala
ilmu silat dan semua orang hweesionya yang pandai bermain silat, tetapi perkampungan
Pek Hoa Sanceng kita tak mau kalah dengan mereka.”
“Kiem Lan serta Giok Lan adalah manusia berpikiran cerdik dan berwajah cantik
diantara dayang-dayang lainnya kepandaian silat mereka paling baik, Toako sudah
menurunkan perintah untuk menyerahkan mereka berdua.”
“Sebagai dayang pribadi dari Samte, mungkin sekali Samtepun bisa melihat bagaimana
lumayannya kepandaian silat mereka, di samping itu merekapun banyak akal cerdik dan
pintar, dikemudian hari mereka bisa mengiringi Samte untuk bantu pecahkan persoalan,
menghilangkan kemurungan.”
Mendadak terdengar suara derap kaki kuda yang ramai berkumandang datang disusul
munculnya seekor kuda jempolan yang tinggi besar berlari mendekat.
Di atas punggung kuda itu tertelungkuplah seorang lelaki berbaju hitam yang langsung
menerjang datang ke arah orang itu.
Ciu Cau Liong segera mengulapkan tangannya.
“Coba kalian periksa, apakah orang itu sudah putus nyawa atau belum.”
Jilid 20
Lelaki berbaju merah itu lantas putar badan menyongsong datangnya kuda itu.
Dimana tangan kirinya menyambar tahu-tahu tali les kuda tersebut sudah tercekal
olehnya kemudian dengan kencang-kencang ditahannya.
Kuda yang sedang berlari mendatang dengan sangat cepatnya itu segera berhenti
sambil meringik panjang lelaki berbaju merah itu kembali menyambar rambut si lelaki
berbaju hitam yang ada di atas panggung untuk diperiksa dengan teliti.
“Lapor Cungcu orang ini sudah putus nyawa,” ujarnya kemudian.
“Dimanakah letak lukanya?”
“Di atas kening terbabat mati oleh sekali babatan pedang.”
“Eemmm! Lepaskan dia pulang keperkampungn kita segera melakukan perjalanan.”

Si lelaki berbaju merah itu kembali mengia. Dia segera melepaskan tali les kudanya dan
menepuk pantat kuda tersebut.
Dengan membawa mayat lelaki berbaju hitam itu kuda tersebut segera berlari kencang
menuju ke dalam perkampungan.
Ketika itu sinar mata Siauw Ling sudah memutar memandang sekeliling tempat tersebut
setelah dilihatnya kedua puluh lima orang itu telah naik keatas kudanya masing-masing
tak tertahan lagi, ujarnya, “Jie ko kita pergi ketepi sungai bukan lain cuma ingin mencari
orang dapat menemukan orang itu masih susah untuk diduga bilamana kita membawa
orang yang demikian banyaknya seperti hendak menghadapi penyerbuan musuh yang
tangguh saja bukankah hal ini bakal dibuat lelucon oleh pihak lawan yang mentertawakan
kita bernyali kecil dan beraninya mengandalkan jumlah yang besar untuk mencari
kemenangan?”
“Kalau begitu kita kurangi saja jumlahnya,” kata Ciu Cau Liong kemudian.
Ia lantas menoleh ke arah lima orang lelaki berpakaian warna warni yang berada
disisinya katanya kemudian, “Kalian adalah pemimpin dari kelima kelompok itu baiklah biar
aku bawa kalian berlima saja.”
Kelima orang itu segera mengiakan masing-masing lantas mengangkat tangannya
mengundurkan kembali anak buahnya.
“Samte, ayo kita segera berangkat” seru Jie Cungcu cepat. “Orang itu kembali melukai
anggota perkampungan kita tentunya ia berada disekitar tempat ini.”
Dua orang berpakaian hijau muncul dari balik tumbuhan bunga dengan masing-masing
menuntun seekor kuda jempolan.
“Jie ko silahkan,” kata Siauw Ling sambil meloncat naik keatas punggung kudanya.
“Kita berangkat bersama saja.”
Kedua ekor kuda itu lantas disentakan dan dilarikan bagaikan terbang ke arah depan
hanya di dalam sekejap saja tujuh delapan li sudah dilalui.
“Samte tunggu sebentar” mendadak Ciu Cau Liong menghentikan kudanya.
Mendengar perkataan tersebut Siauw Ling buru-buru menahan tali lesnya dan
menghentikan lari kudanya. “Jieko ada urusan apa?”
“Disana ada mata-mata yang dikirm perkampungan kita untuk mencari berita mungkin
dia adalah urusan penting yang hendak dilaporkan kepada kita.”
Ketika Siauw Ling mengangkat kepalanya maka tampaklah seorang nelayan yang
memakai caping lebar dengan pakaian yang sederhana dengan langkah lebar berjalan
mendekat.
Nelayan tersebut langsung berjalan kesisi tubuh mereka berdua, lalu bisiknya perlahan,
“Orang itu ada diteluk Sam Liuw Wan.”

Kemudian orang itu buru-buru berlalu kembali, agaknya ia takut jejaknya berhasil
diketahui oleh orang lain.
Caping yang menutupi orang itu dikenakan sangat rendah sekali, Siauw Ling cuma
melihat jenggot kambingnya saja, bagaimanakah dengan raut wajahnya ia sama sekali
tidak dapat melihat jelas.
“Mari kita berangkat keteluk Sam Liuw Wan,” bisik Ciu Cau Liong cepat sambil
menyentakkan tali les kudanya.
Tujuh ekor kuda berlari cepat di atas jalanan dihadapan sudah terputus dan kini tinggal
tanah berbatu cadas serta samar-samar terdengar suara deburan ombak disungai yang
amat santer.
Ringkikkan kuda memanjang, derapan kaki kuda menimbulkan berisik yang
membisingkan telinga. Dengan berlari di atas lumpur yang becek beberapa ekor kuda itu
tetap melanjutkan perjalanannya ke arah depan.
“Samte! Itulah teluk Sam Liuw Wan,” kata Ciu Cau Liong kemudian sambil menuding ke
arah bayangan pohon yang berada di tempat kejauhan. “Tempat tersebut adalah sebuah
tepi sungai yang amat sunyi sekali. Entah mengapa orang itu bisa tiba di tempat
tersebut?”
Ketika Siauw Ling mengalihkan pandangannya ke arah yang ditunjuk, sedikitpun tidak
salah! Tempat tersebut adalah sebuah tempat yang liar dan amat sunyi, batuan kerikil
serta lumpur yang amat becek beberapa lie tak terlihat sesosok bayangan manusiapun.
Tiga batang pohon Siuw itu terletak sebuah meja kayu di depan meja tersedia sebuah
tungku dan dari tungku tadi asap tebal mengebul memenuhi angkasa kemudian menyebar
keempat penjuru tertiup angin kencang.
Bau harum secara samar-samar menerjang masuk ke dalam hidung membuat badan
terasa nyaman.
Sayur serta arak yang dihidangkan di atas meja masih panas hal itu membuktikan bila
sayur itu tidak lama baru saja dihidangkan.
“Entah sidia orang sedang sembahyang terhadap siapa”, gumam Siauw Ling.
Ketika ia memandang lebih tajam lagi maka tampaklah di atas salah satu sebatang
pohon Liuw tua dari ketiga batang pohon lainnya tergantunglah sebuah papan nama yang
terukir kata-kata dengan sangat indah sekali.
Di atas papan nama itu terukir beberapa huruf kira-kira berbunyi demikian, “Tempat
abu adik almarhum Siauw Ling.”
Dibawanya tertulis kata-kata ” Toan Hun Jien memberi hormat.”
Siauw Ling segera merasakan hatinya tergetar sangat keras, pikirnya, “Dikolong langit
sebenarnya ada berapa banyak orang yang bernama Siauw Ling? Ada seorang yang sudah
punya nama besar di dalam Bulim aku baik-baik berdiri disini, dan kini muncul pula

seorang yang sedang bersembahyang terhadap arwah Siauw Ling yang berada di bawah
pihon Liuw tua itu. Sebenarnya urusan apa yang telah terjadi?”
“Samte apa yang sudah terjadi?” Ciu Cau Liong berseru memandang sekejap ke arah
adik angkatnya Siauw Ling.
Kiranya walaupun Siauw Ling sudah diangkat saudara dengan Jan Bok Hong serta Ciu
Cau Liong tetapi belum pernah orang menceritakan asal usulnya kepada mereka berdua.
Sekalipun Ciu Cau Liong adalah seorang yang berpikir cerdik dan banyak akal tidak
kurang untuk beberapa saat terasa tidak paham juga terhadap peristiwa yang sudah
terjadi dihadapannya sekarang ini.
Karena itu terasa perkataan tersebut sudah meluncur keluar dari mulutnya menanti ia
tersadar kembali kata-kata tadi sudah diucapkan keluar.
“Aku sendiripun tidak paham apa yang telah terjadi coba jelaskan papan nama itu biar
aku periksa,” ujar Siauw Ling dengan kebingungan.
“Samte, kau jangan berlaku gegabah kita harus waspada terhadap kelicikan serta
kekejaman dari dunia kangouw?” cegah Ciu Cau Liong sambil menahan gerakan tubuh dari
Siauw Ling.
“Mengapa? Apakah dibalik papan nama tersebut sudah tersembunyi senjata rahasia?”
“Soal ini Siauw heng sendiripun sulit untuk memberi keputusan tetapi berhati-hati
bukanlah suatu pekerjaan yang salah.”
Ia lantas meloncat turun dari kudanya dan dengan langkah yang amat lambat berjalan
menuju ke bawah pohon Liuw tua itu.
“Siauwte? orang itu menggantung papan nama tadi dengan benang putih agaknya
benda tersebut akan diambil kembali,” bisiknya kepada pemuda tersebut dengan suara
lirih.
“Ehmm, kemungkinan juga kedatangan rombongan kita yang amat besar ini sudah
mengejutkan mereka sehingga buru-buru melarikan diri.”
Ciu Cau Liong berdiam diri beberapa saat lamanya untuk termenung berpikir keras
mendadak tubuhnya meloncat ke depan menyambar papan nama yang tergantung di atas
pohon Liuw tua tadi.
“Jangan bergerak” baru saja Ciu Cau Liong menggerakkan badannya mendadak dari
samping berkumandang datang suara bentakan yang amat nyaring disusul meluncurnya
serentetan cahaya yang gemerlapan menyambar datang.
Sewaktu hendak menyambar papan nama tadi secara diam-diam Ciu Cau Liong sudah
mengadakan persiapan, mendengar suara bentakan yangn amat nyaring tersebut hawa
murninya lantas dikerahkan mengelilingi sekujur tubuhnya yang meluncur turun ke bawah
permukaan tanah kemudian tangan kanannya disambar ke arah depan.

Serentetan cahaya hijau yang menyilaukan mata dengan kecepatan laksana sambaran
kilat lantas meluncur ke arah datangnya sambaran sinar tajam tadi.
Kiranya orang itu bukan lain adalah seorang bocah berbaju hijau yang berusia lima
enam belas tahunan, dengan wajah yang tampan sinar mata yang dingin, tajam
menyeramkan. Pedangnya sudah dicabut keluar dari sarungnya dan saat ini sedang
memandang ke arah beberapa orang itu dengan sikap yang sombong. Sedikitpun tidak
merasa jeri terhadap mereka.
Kelima orang lelaki kasar yang memakai pakaian beraneka warna itu dengan gesitnya
lantas menyebarkan diri membentuk sebuah kepungan sangat rapat di sekeliling tempat
itu senjata tajam sudah diloloskan dari sarung dan siap-siap melancarkan serangan ke
arah musuhnya.
Asalkan Ciu Cau Liong memberikan perintah mereka segera akan menyerang secara
bersama-sama. Siauw Ling yang melihat papan nama itu, mendengar pula deburan ombak
yang terjadi beberapa tahun yang lalu secara mendadak terbayang kembali di dalam
benaknya.
Dia ingat kembali kejadian dimana tubuhnya kena disapu oleh angin pukulan Sang Pat
sehingga tercebur ke dalam sungai. “Jie ko jangan bergerak” mendadak bentaknya keras.
Di tengah suara bentakan yang amat keras itu tubuhnya sudah meloncat ke depan
menyambar papan nama yang tergantung di atas pohon liuw tua tersebut.
“Jangan mengganggu papan itu!” terdengar sibocah berbaju hijau itu membentak
keras.
Tangan kanannya segera diayunkan ke depan, tiga rentetan cahaya yang amat tajam
dan menyilaukan mata secara berbareng menyambar datang mengancam tubuhnya yang
sedang menubruk keatas pohon liuw itu. Sedang pedangnya dengan menimbulkan
berkuntum-kuntum bunga pedang meluncur diantara sorotan sinar sang surya.
Dalam hati Siauw Ling sudah mengadakan persiapan, telapak kirinya segera dibalik
mengirim sebuah babatan yang amat tajam ke arah depan sedang tangan kanannya
setelah berhasil menyambar papan nama tadi lantas meloncat sejauh satu kaki dari tempat
semula.
Padahal tak perlu ia turun tangan sendiri Ciu Cau Liong sudah mewakili dirinya untuk
menahan datangnya serangan dari sang bocah berbaju hijau itu.
Senjata Coei Giok Cie di tangan kanannya diputar sedemikian rupa menangkis
datangnya senjata rahasia yang disambit oleh bocah tadi dengan menimbulkan suara yang
amat nyaring ketiga batang pisau terbang tadi kena tertangkis hingga mencelat
kesamping.
Siapa sangka bocah berbaju hijau itu setelah melancarkan senjata rahasia iapun ikut
menubruk mendatang sambil mengirim sebuah tusukan kilat.
Untuk meloncat kesamping sudah tak sempat, untung saja pada saat yang bertepatan
angin pukulan yang dikirim Siauw Ling sudah menyambar datang.

Bocah cilik berbaju hijau itu setelah terkena pukulan yang dilancarkan oleh Siauw Ling
tadi tubuhnya mundur sempoyongan.
Setelah Siauw Ling berhasil menurunkan papan nama tadi, maka terlihatlah di belakang
papan nama di atas pohon liuw itu terukir pula beberapa patah kata, “Tahun Jan Hoa
kesebelas, bulan dua tanggal dua Siauw Ling terjatuh ke dalam sungai di tempat ini.”
Tertanda Tiong Cho Siang-ku.
Beberapa patah kata tulisan tersebut terukir dengan amat nyata sekali di atas pohon itu
setiap patah kata tertera dua cun dalamnya sehingga barang siapapun yang melihat
tulisan tadi tentu merasakan bila orang yang menulis kata tadi memiliki tenaga dalam yang
luar biasa sekali.
Diam-diam Siauw Ling mulai menghitung waktunya sesaat terjatuh ke dalam sungai
tempo dulu, ia merasa waktu yang tertera di atas pohon tersebut sangat cocok dan
bertepatan dengan waktu dirinya terjatuh di dalam sungai masa yang lalu.
Walaupun peristiwa terjatuhnya ia ke dalam sungai masih teringat sangat jelas, tetapi
dibagian sungai yang sebelah manakah dia jatuh sudah tak teringat olehnya.
Kini setelah melihat tulisan yang ditinggalkan Tiong Cho Siang-ku dalam hatinya merasa
tidak ragu-ragu lagi bila orang itu tentu sedang datang kemari bersembahyang buat
arwahnya. Tetapi siapakah si orang Toan Hun Jien atau manusia putus nyawa itu?
Mengapa ia datang bersembahyang terhadap arwahnya, ketika sibocah berbaju hijau
tadi dengan mencekal pedangnya kembali menerjang ke depan tetapi segera kena
terhadang oleh permainan senjata Ciu Giok Ce dari Ciu Cau Liong yang sangat dahsyat.
Melihat dirinya kena dicegat bocah berbaju hijau itu segera membentak gusar
pedangnya dengan sangat ganas berturut melancarkan sepuluh buah serangan gencar ke
arahnya mengancam tempat-tempat berbahaya diseluruh tubuh Ciu Cau Liong.
Dengan cepatnya antara mereka berdua sudah terjadi suatu pertempuran yang amat
sengit hanya di dalam sekejap mata ratusan serangan berbahaya sudah dikerahkan keluar.
“Jie ko untuk sementara jangan bergebrak dulu Siauwte ada pertanyaan yang hendak
ditanya kepadanya?”
Bentak Siauw Ling dengan suara yang keras seperti samberan geledek dalam hati Ciu
Cau Liong pada saat ini sedang merasa terperanjat dan kaget oleh keganasan serta
ketelengesan dari jurus pedang yang digunakan bocah cilik berbaju hijau itu.
Mendengar suara benatakan Siauw Ling yang sangat keras tadi ia lantas berkelit dan
menyingkir kesamping.
Sambil melintangkan pedangnya di depan dada bocah berbaju hijau tersebut dengan
amat gusarnya sudah meloncat kehadapan Siauw Ling cepat kembalikan papan nama itu
kepadaku teriaknya keras.
Siauw Ling yang melihat sikapnya mengandung hawa gusar yang sukar ditahan dalam
hati lantas mengerti bila papan nama itu sangat berharga bagi dirinya.

Ia lantas tersenyum.
“Untuk mengembalikan papan nama ini kepadamu sulit asalkan kau suka menjawab
beberapa pertanyaanku.”
“Hmm soal itu harus dilihat pertanyaan apa yang kau ajukan kepadaku.”
“Siauw Ling yang tertera di atas papan ini apakah kaupun kenal dengan dirinya?”
“Tidak kenal” jawab bocah berbaju hijau.
“Kalau memangnya kau tidak kenal dengan dirinya buat apa kau bersembahyang buat
arwahnya?”
“Kau bukan aku yang bersembahyang.”
“Bukan kau? lalu siapa?”
“Siangkong kami!”
“Sekarang dia berada dimana?”
Sang bocah berbaju hijau itu jadi sangat gusar sekali. “Kau orang sungguh cerewet
sekali, bertanya terus tiada hentinya, cepat kembalikan papan nama itu.”
Tangan kirinya laksana sambaran kilat menyambar ke depan mengancam papan nama
yang ada di tangan Siauw Ling.
Sedikit pundaknya bergerak tahu-tahu pemuda tersebut telah mundur tiga langkah ke
arah belakang.
Sibocah berbaju hijau itu sewaktu melihat sambarannya terhadap papan nama itu
mengalami kegagalan pedang di tangan kanannya mendadak dibabat ke depan
gerakannya sangat cepat laksana sambaran kilat, hanya di dalam sekejap saja sudah
meluncur datang.
Siauw Ling sama sekali tidak menduga bila bocah yang masih amat muda itu bisa
melancarkan serangan sedemikian cepatnya, hampir-hampir tubuhnya kena tertusuk oleh
pedang.
Buru-buru hawa murninya ditarik panjang-panjang tubuhnya menyingkir tiga depa
kesamping, dengan amat tepat ia berhasil menghindarkan diri dari datangnya serangan
pedang itu.
“Samte hati-hati, serangan pedang orang ini sangat aneh dan ganas susah dihadapi,”
kata Ciu Cau Liong.
Sewaktu Jie Cungcu dari perkampungan Pek Hoa Sanceng mengucapkan kata-katanya
itu, bocah berbaju hijau itu berturut-turut sudah melancarkan empat buah tusukan
dahsyat.

Setelah berhasil menghindarkan diri dari datangnya empat buah serangan itu
mendadak Siauw Ling meloncat ke belakang.
“Sudah, sudahlah. Kita tak usah bergebrak lebih lanjut. Nih, aku kembalikan papan
namamu!” serunya sambil tertawa.
Si bocah cilik berbaju hijau yang baru saja melancarkan empat buah serangan kilat
terhadap musuhnya tetapi bisa dihindari. Dalam hati merasa amat terkejut bercampur
ngeri, pikirnya, “Jumlah mereka amat banyak setiap orangpun memiliki kepandaian silat
yang sangat tinggi, aku tidak mungkin berhasil menangkan mereka.”
Kini mendengar Siauw Ling hendak mengembalikan papan nama tersebut kepadanya
dengan cepat iapun menghentikan serangan pedangnya.
“Hm! cepat lemparkan kemari!” teriaknya keras. “Bilamana kalian tidak suka
mengembalikan benada tersebut kepadaku urusan tak akan selesai dengan demikian
gampang, sekalipun aku bakal kena dimaki akan kubunuh dulu diri kalian.”
“Haaa, haaa, haaa, papan nama inipun bukan sebuah benda yang berharga buat apa
aku harus merebut benda tersebut?” seru Siauw Ling sambil tertawa terbahak-bahak dan
menyodorkan papan nama itu ke depan.
Sebaliknya Ciu Cau Liong mendengar perkataan tersebut segera tertawa dingin tiada
hentinya.
“Hmm, sungguh besar sekali omonganmu!” serunya.
Setelah berhasil menerima kembali papan nama tadi agaknya rasa gusar di dalam hati
bocah berbaju hijau itu agak rada reda.
“Kalian suka mengembalikan papan nama itu kepadaku sudah tentu akupun tak ada
perkataan yang bisa dibicarakan lagi,” ujarnya sambil tersenyum. “Nanti sewaktu
siengkiong kami kembali tak akan kuceritakan hal ini kepadanya.”
Jika ditinjau dari nada ucapannya jelas dia menaruh rasa yang amat menghormat dan
percaya terhadap kepandaian majikannya itu.
“Jie ko,” ujar Siauw Ling tiba-tiba. “Di dalam peristiwa ini masih banyak mendapat halhal
yang mencurigakan. Siauwte ingin menanyakan beberapa persoalan kepadanya.”
Ciu Cau Liong pun sudah menaruh rasa ingin tahu dan curiganya terhadap bocah
berbaju hijau tersebut setelah melihat serangan pedangnya yang amat ganas dan telengas
itu ia ingin menyelidiki asal usul serta nama pihak lawannya. Karena itu setelah
mendengar perkataan dari adik angkatnya dia lantas mengangguk.
“Samte boleh tanya sesukanya kepada bocah ini,” katanya.
Ketika Siauw Ling menoleh lagi ke arah bocah tersebut maka tampaklah bocah berbaju
hijau itu sambil mencekal papan nama tadi sedang putar badan meninggalkan tempat itu.
Hatinya jadi cemas, bentaknya keras, “Eei, saudara cilik, berhenti. Aku ada pertanyaan
yang hendak kutanyakan kepadamu.”

Bilamana ia tidak berteriak masih mendingan mendengar teriakannya itu mendadak
sibocah berbaju hijau itu berlari semakin cepat, hanya di dalam sekejap ia sudah berada
empat lima kaki jauhnya dari tempat semula.
“Kau bisa meloloskan diri?” bentak Siauw ling gusar dengan cepat iapun melakukan
pengejaran. Ciu Cau Liong dengan kencang ikut mengejar dari belakang Siauw Ling.
Sedang kelima orang lelaki pengiring itupun ikut mengejar.
Ternyata ilmu meringankan tubuh dari sibocah berbaju hijau sangat sempurna sekali,
laksana seekor burung walet dengan gesit dan lincahnya ia melayang ke depan.
Setelah melakukan pengejaran sejauh seratus kaki jarak Siauw Ling dengan sibocah
tinggal dua tiga depa saja. Ciu Cau Liong yang berada dibelakangnya masih bisa mngikuti
dengan paksakan diri. Sebaliknya kelima orang lelaki pengiring tersebut sudah ketinggalan
dua kaki jauhnya.
Terlihatlah bocah berbaju hijau itu dengan mengikuti aliran sungai kembali melakukan
perjalanan sejauh empat lima li.
Mendadak tubuhnya meloncat naik keatas sebuah sampan yang berhenti ditepi sungai
tangannya dengan cepat mengangkat jangkar dan mulai mendayung sampannya tersebut
ke tengah sungai.
Di dalam ruangan perahu kembali berkelebat sesosok bayangan manusia tahu-tahu
muncul seorang bocah berbaju hijau lainnya yang secara langsung menggerakkan galanya
menjalankan perahu kecil itu melarikan diri ke arah sungai.
Saat ini jarak antara Siauw Ling dengan bocah berbaju hijau itu ada dua kaki jauhnya
walaupun gerakan menaikkan jangkar dilakukan sangat cepat tidak urung membuang
sedikit waktu juga.
Ketika perahu kecil itu mulai bergerak ke tengah sungai Siauw Ling telah tiba ditepi
pantai, tubuhnya segera dienjotkan melayang keatas sampan tersebut.
Melihat itu sibocah berbaju hijau yang memegang gala itu segera menggerakkan
bambunya itu melancarkan serangan ke depan dengan menggunakan jurus Heng Sauw
Cian Kien atau membabat habis ribuan tentara.
Tubuh Siauw Ling mendadak merendah ke bawah ketika bambu itu menyambar lewat
dari atas kepalanya tangan kiri laksana sambaran kilat segera menyambar ke arah atas
mencengkeram bambu tersebut.
Merendah ke bawah melancarkan serangan mencekal bambu musuh semuanya ini
dilakukan dalam waktu yang amat singkat kecepatannya membuat orang lain sulit untuk
melihat jelas.
Mendadak bocah tersebut menggerakkan pergelangan tangannya ke arah depan
ternyata bambu yang ada ditangannya sudah dilemparkan ke arah tengah sungai.

“Samte! cepat kembali, mereka tak akan lolos dari sini,” saat itulah terdngar Ciu Cau
Liong yang berada ditepi sungai sudah berteriak keras.
Siauw Ling yang mencekal bambu tersebut untuk berganti napas pada mulanya ada
maksud meminjam tenaga pantulan dari bambu itu melayang masuk ke dalam perahu
kecil.
Siapapun duga bocah cilik berbaju hijau itu ternyata melemparkan bambu tersebut ke
tengah sungai sedang perahu itu menerjang ombak mendadak miring kesamping.
Dengan kejadian ini maka jarak antara diri Siauw Ling dengan perahu tersebut dengan
terpaut lebih jauh lagi.
Walaupun Siauw Ling memiliki ilmu kepandaian silat hasil didikan tiga orang aneh tetapi
dia orang sama sekali tidak memiliki pengalaman di dalam menghadapi musuh, perubahan
yang dilakukan kurang gesit.
Menanti bambu tersebut hampir jauh ke dalam air ia baru menggerakkan tangan
kanannya menghisap tenaga daya luncur dari gala bambu itu.
Kemudian meminjam kekuatan dari bambu tadi kakinya menutul keatas permukaan air
dan dengan gesitnya melayang ke arah tepi sungai.
Ketika itu jaraknya dengan tepi sungai ada enam kaki jauhnya dengan ditambah pula
tenaga pantulan dari bambu tersebut ada batasnya, ketika tubuhnya dekat tepi mendadak
daya luncurnya habis dan tubuhnya pun lantas melayang turun kembali keatas permukaan
air.
“Samte terimalah ini”, mendadak terdengar Ciu Cau Liong membentak keras.
Seutas angkin putih dengan cepat dilempar ke arahnya Siauw Ling cepat menyamber
angkin putih tersebut sedang kakinya waktu itu sudah jatuh keatas permukaan air.
Dengan sekuat tenaga, menyentak angkin tersebut ke arah belakang meminjam
kekuatan itulah Siauw Ling dengan cepatnya berhasil melayang turun keatas tepi sungai.
Ketika ia menoleh lagi ke arah perahu sampai tadi maka tampaklah perahu itu pada
saat ini sudah jauh berada puluhan kali dari tepi sungai tak terasa lagi ia menghela napas
panjang.
“Heeeei, tidak kusangka usianya yang masih muda ternyata memiliki kelicikan yang luar
biasa,” katanya.
“Di dalam dunia kangouw memang banyak terdapat peristiwa-peristiwa yang berbahaya
dan licik lain kali kau harus jauh lebih berhati-hati lagi.”
Kembali Siauw Ling mengalihkan pandangannya ke arah perahu sampan yang telah
pergi menjauh itu agaknya di dalam hati ia merasa kurang terima.
“Jie ko apakah kau punya cara untuk melakukan pengejaran???” tanyanya kemudian
sambil menghela napas.

Ciu Cau Liong termenung kemudian baru jawabnya, “Kepandaian mendayung dari
bocah-bocah cilik itu sangat bagus sekali bahkan sampan mereka bisa bergerak cepat aku
rasa tiada waktu lagi untuk menyandak mereka. Lebih baik kita kembali dulu ke dalam
perkampungan. Asalkan mereka belum meninggalkan daerah Koei Cho sejauh seratus li
maka paling banyak di dalam waktu satu hari satu maam kita dapat berhasil memperoleh
berita tentang jejaknya.”
Dengan termangu-mangu Siauw Ling memperhatikan bayangan perahu yang lenyap di
tengah gulungan ombak di tengah sungai dalam hatinya kembali bertambah dengan
beberapa persoalan yang mencurigakan, siapakah sebenarnya orang yang melakukan
sembahyang terhadap arwahnya itu masih ada lagi. Kedua orang bocah berbaju hijau itu
mempunyai ilmu meringankan tubuh yang amat sempurna ditambah pula tenaga
pergelangannya sewaktu melemparkan bambu itu kesamping tali amat kuat, jelas sejak
kecil mereka sudah dididik oleh seorang jagoan lihay yang memiliki ilmu kweekang sangat
dahsyat, tetapi orang itu mengapa datang ketepi sungai yang amat sunyi ini untuk
bersembahyang terhadap arwahnya sendiri?
Ketika secara diam-diam dia menghitung waktu terjatuhnya ke dalam sungai dan
cocokkan pula dengan waktu yang ditinggalkan Tiong Cho Siang-ku di atas pohon Liuw itu
maka ia merasa ini harilah waktu yang tepat sewaktu ia terjatuh ke dalam sungai.
Dikolong langit kemungkinan sekali terdapat beberapa orang Siauw ling, namun belum
tentu ada orang yang sama-sama tercebur di dalam sungai ini.
Orang itu datang bersembahyang kemari hal ini menunjukkan bila dia ada maksud
tujuan, namun yang membuat Siauw Ling tidak paham adalah dikolong langit pada saat ini
sedikit sekali yang dikenal olehnya, lalu siapa yang sudah datang ketepi sungai yang amat
sunyi ini untuk bersembahyang untuk arwahnya?
Ketika ia menoleh, maka tampaklah Ciu Cau Liong pun sedang menundukkan kepalanya
berpikir, jelas diapun dibuat terperanjat oleh kedahsyatannya serta kesempurnaan dari
kepandaian silat kedua orang bocah berbaju hijau itu.
Lama sekali ia baru mendonggakkan kepalanya kembali memandang ke arah Siauw
Ling.
“Siauwte! Siauw Ling tertera di atas papan nama itu apakah dirimu?” tanyanya
perlahan.
“Benar tulisan yang ditinggalkan Tiong Cho Siang-ku membuktikan kalau nama itu
memang nama siauwte!”
Mendadak sinar mata Ciu Cau Liong berkilat.
“Siauwte, coba pikirkan dengan teliti di dalam Bulim pada saat ini kemungkinan sekali
ada jagoan mana yang datang bersembahyang terhadap arwahmu?” tanyanya.
Siauw Ling termenung dan menundukkan kepalanya lama sekali ia bungkam diri.
“Siauwte sebenarnya soal ini mudah sekali untuk dipikir,” ujar Ciu Cau Liong kembali
sambil tersenyum. “Kemungkinan sekali kau banyak kenal dengan jago-jago Bulim tetapi
orang yang memiliki kepandaian silat sedemikian tingginya tentu sedikit sekali jumlahnya

bukan? Terutama sekali dari usia kedua orang bocah berbaju hijau itu masih kecil tetapi
jurus pedangnya sangat ganas sekali. Hal ini benar-benar merupakan suatu peristiwa yang
jarang sekali terjadi di dalam dunia kangouw bilamana semisalnya tempo dulu kau pernah
bertemu dengan mereka tentu masih teringat jelas-jelas.”
Siauw Ling lantas menggeleng dan tertawa pahit. “Aku belum pernah bertemu muka
dengan mereka, dan tak teringat olehku siapakah orang-orang yang sudah datang
bersembahyang buat arwahku itu.”
Mendadak di dalam benaknya teringat akan sesuatu buru-buru sambungnya, “Jieko
kedua orang bocah berbaju hijau itu apakah mungkin anak murid dari perguruan Bu-tongpay??”
Ilmu pedang dari Bu-tong-pay walaupun sudah terkenal diseluruh kolong langit tetapi
tidak bisa menandingi keganasan serta ketelengasan dari ilmu pedang bocah berbaju hijau
itu.
Mendadak ia tertawa terbahak-bahak.
“Haaaa… haaa haaa… siauwte tidak usah kita pikirkan lagi mari kita cepat-cepat
kembali ke dalam perkampungan!”
Sambil menggandeng tangan Siauw Ling mereka lantas lari kembali ke dalam
perkampungan Pek Hoa Sanceng.
Jalan raya menghubungkan tempat liar dengan perkampungan Pek Hoa Sanceng yang
biasanya amat sunyi mendadak diramaikan dengan mondar mandirnya kuda yang lewat
suasananya terasa amat menegangkan sekali.
Melihat kejadian itu Siauw Ling segera merasakan hatinya keheranan.
“Jan ko apakah di dalam perkampungan Pek Hoa Sanceng kita sudah terjadi sesuatu
peristiwa?” tanyanya lirih.
Ciu Can Liong segera tertawa dan menggeleng.
“Sakit yang diderita Toako selama banyak tahun kini sudah sembuh kembali ditambah
pula Samte sudah ikut menerjunkan diri ke dalam perkampungan Pek Hoa Sanceng kita
maka Toako yang ada maksud mempopulerkan nama Siauwte di dalam Bulim sengaja
sudah mengirim seluruh anak buah yang ada untuk menyebarkan surat undangannya
kepada jago-jago kenamaan di dalam Bulim agar mereka sama-sama bisa menghadiri
perayaan yang diadakan di dalam perkampungan Pek Hoa Sanceng kita pertama untuk
merayakan masuknya Samte sebagai anggota dan kedua merayakan kesehatan Toako
yang sudah pulih serta kepandaian silatnya yang telah sempurna dan yang terakhir hendak
mengumumkan seluruh Bulim bahwa sibayangan berdarah Jan Bok Hong akan munculkan
dirinya kembali ke dalam dunia kangouw.”
“Ouw, kiranya begitu!” seru pemuda itu.
Ia rada merandek sejenak kemudian sambungnya “Jikalau demikian adanya tentu pada
tempo dulu Toako mempunyai nama besar yang sangat terkenal di dalam dunia rimba
persilatan.

“Kini kita sudah menjadi saudara angkat yang sehidup semati,” kata Ciu Cau Liong
sambil tertawa. “Rahasia yang menyelimuti perkampungan Pek Hoa Sancengpun agaknya
tak perlu dirahasiakan lagi terhadap dirimu.”
Sepasang matanya yang amat dingin perlahan-lahan menyapu sekejap ke arah wajah
Siauw Ling kemudian sambungnya, “Siauwte, nama besar Toako kami jauh terkenal
sepuluh kali lipat dari nama jagoan manapun pada sepuluh tahun yang lalu, asalkan Toako
munculkan dirinya, tentu akan terjadi suatu gelombang yang akan menggemparkan
seluruh Bulim sekalipun jago-jago Bulim yang sangat terkenalpun pada waktu itu rata-rata
mengalahkan tiga bagian terhadap dirinya.”
“Lalu selama beberapa tahun ini Toako mengundurkan diri dari keramaian dunia
kangouw dan tidak mencampuri urusan Bulim lagi. Ini apakah dikarenakan ia sedang
menyembuhkan penyakitnya.”
“Tenaga dalam Toako amat sempurna, bagaimana mungkin ia sungguh-sungguh bisa
sakit,” ujar Ciu Cau Liong lirih.
“Aaah benar tentunya Toako sedang menghindari pertemuannya dengan semua orang
karena hendak berlatih suatu ilmu kepandaian yang maha dahsyat.”
Agaknya terhadap diri Siauw Ling, Jie Cungcu Ciu Cau Liong merasa sangat percaya
terdengar ia tertawa tawar.
“Samte kau cuma berhasil menebak btul separuh bagian saja. Toako mengasingkan diri
dari keramaian dunia kangouw selain hendak berlatih suatu ilmu kepandaian yang maha
dahsyat sehingga takut diganggu orang hal yang sebenarnya menggunakan kesempatan
itu ia sedang menyembuhkan luka dalam yang amat parah.”
“Mengobati luka dalamnya yang parah? Toako kena dilukai siapa?”
“Urusan ini terjadi pada puluhan tahun yang lalu, biar Toako kena dilukai orang tapi
Toako kalah dnegan bangga.”
“Apakah Toako terkena serangan bokongan orang lain?”
“Kepandaian silat Toako sangat sempurna, ia sudah memiliki tenaga khiekang yang
melindungi seluruh tubuhnya bagaimana mungkin orang bisa melukai dirinya dengan
sangat gampang.”
“Lalu bagaimana ia bisa kalah?”
“Di dalam pertempuran itu jago-jago lihay yang ikut serta mengeroyok sangat banyak
sekali. Diantara sembilan partai besar, ada empat orang ciangbunjin yang ikut serta
mengeroyok, di samping itu masih ada lagi berpuluh-puluh orang Cay cu Pangcu serta
Kiuw cu sekalian dari perkumpulan di dalam Bulim berturut-turut Toako berhasil
menangkan tiga belas kali pertempuran dan mengalahkan Loo Han Sam Cung atau tiga
orang loohan dari Siauw Lim pay Im Yang Cung dari Bu-tong-pay.”
“Tiong Lam jie Hiap serta Cangbunjien dari Go bie pay. Hal ini benar-benar merupakan
suatu kejadian yang sangat menggemparkan sekali.”

“Akhirnya Toako berhasil dikalahkan oleh Si Phoa Thaysu itu Hongtiang dari ruangan
Tat Mo Yen dikuil Siauw Lim Sie Si Phoa Thaysu tersebut boleh dikata merupakan hweesio
yang paling terkuat dari seluruh partai Siauw Lim. Coba kau pikir bukankah walaupun
Toako kalah tetapi kalah dengan bangga?”
“Sering aku dengar orang berkata partai Siauw Lim adalah partai lurus dari Bulim” pikir
Siauw Ling diam-diam “Jan Toako ternyata bermusuhan dengan partai Siauw Lim,
mungkin dia orang baik-baik.”
Terasa olehnya berbagai persoalan yang membingungkan hatinya ikut berkelebat di
dalam benaknya. Ia tidak ingin berpikir lebih lanjut dengan cepat ia berlari ke depan
meninggalkan kelima orang lelaki pengiringnya jauh ke belakang.
Keadaan di dalam perkampungan Pek Hoa Sanceng repot dan tegang, disetiap sudut
diseluruh barisan bunga itu tersebar penjagaan-penjagaan ketat dari lelaki-lelaki yang
berbaju hitam yang menggembol senjata tajam keadaannya sangat serius sekali seperti
sedang menghadapi serangan musuh tangguh.
Ciu Cau Liong setelah menghantarkan Siauw Ling kembali ke dalam bangunan Lam Hoa
Cing Si ia lantas mohon pamit dan mengundurkan diri.
Kiem Lan serta Giok Lan sejak semula sudah menanti kedatangannya diluar kamar
melihat Siauw Ling sudah kembali sambil tersenyum mereka lantas datang menyambut
membawa teh menyediakan air pokoknya mereka kelihatan sangat sibuk sekali.
Giok Lan dengan membawa sepasang sendal lantas berlutut dihadapan pemuda
tersebut membantu dirinya melepaskan sepatu yang dikenakan.
“Sam ya,” ujarya merdu. “Budak serta Kiem Lan cici menerima perintah dari Toa
Cungcu untuk sejak ini menjadi budak pribadi dari Sam ya.”
“Ehmm, soal ini aku orang berani menerimanya. Aku serta enci Kiem Lan merasa
sangat girang sekali setelah mendengar berita tersebut” sambung Giok Lan lebih lanjut
sambil tersenyum.
“Mulai saat ini kami bisa selalu ikut serta disisi Sam ya untuk membereskan
pembaringan, mengiringi kemana saja Sam Ya hendak pergi, kami tidak usah melayani
para tamu lagi diruangan Lan Hoa Cing Si ini, bilamana Sam ya suka menerima kami. Hal
ini benar-benar merupakan rejeki dari kami kakak beradik.”
Wajahnya penuh dengan perasaan mohon yang patut dikasihani hal ini membuktikan
bila perkataan tersebut benar-benar diucapkan dari dasar hatinya.
Perlahan-lahan Siauw Ling menghela napas panjang.
“Heeei! kalian berdua suka memperhatikan diriku sedemikian rupa, cayhe benar-benar
merasa sangat berterima kasih sekali,” katanya.
Dengan gugup kedua orang budak itu bersama-sama menjatuhkan diri berlutut, air
mata mulai jatuh berlinang membasahi pipinya.

“Sam ya sudah setuju?” tanyanya.
Perlahan-lahan Siauw Ling mengangguk sambil tertawa. Dengan cepat dia membimbing
bangun kedua orang dayang tersebut.
“Kalian cepatlah bangun,” katanya.
“Terima kasih atas kebaikan Sam ya!” seru kedua budak itu sambil meloncat bangun.
Dalam hati Siauw Ling pada saat ini sedang memikirkan peristiwa papan nama yang
baru saja terjadi siang tadi, ia sama sekali tak ada niat untuk banyak berbicara.
“Aku hendak kembali ke kamar untk beristirahat, bilamana tak ada urusan penting
janganlah mengganggu diriku,” pesannya kemudian.
Malam itu kentongan kedua baru saja lewat, Siauw Ling dengan memakai pakaian
ringkas berwarna hitam setelah mengenakan sarung tangan terbuat dari kulit naga Cian
Nian Ciauw Pih So Tauw hadiah pemberian Liuw Sian Ci dengan tangan kosong lantas
meloncat keluar dari kamarnya dengan gerakan sangat hati-hati.
Siapa nyana kedua dayang tersebut sangat memperhatikan gerak-gerik Siauw Ling baru
saja berjalan keluar dari pintu kamar kedua orang dayang itu sudah menanti diluar dengan
menggembol pedang.
“Sam ya perlukah budakmu mengiringi dirimu?” tanya Kiem Lan lirih.
Aaaah… Siauw Ling tertegun “Tidak perlu keadaan di dalam perkampungan Pek Hoa
Sanceng penuh diliputi bahaya ada baiknya Sam Ya mengambil senjata tajam,” ujar Giok
Lan pula memberi peringatan seraya melepaskan pedang yang menggembol pada
punggungnya.
“Tidak perlu, tidak perlu! Aku cuma jalan-jalan sebentar saja!” dengan langkah lebar ia
berjalan meninggalkan bangunan Lam Hoa Cing Si melewati kebun bunga dan menuju
keluar perkampungan.
Walaupun di dalam kebun bunga ada para peronda malam, kebanyakan mereka sudah
mengenali Siauw Ling adalah Sam Cungcu dari perkampungan Pek Hoa Sanceng, siapapun
tak ada yang berani menghalang-halanginya.
Siauw Ling dongakkan kepala menentukan arah sejenak, tiba-tiba hawa murninya
disalurkan mengelilingi seluruh tubuh dan berkelebat menuju keteluk Sam Liuw Wan.
Malam ini adalah suatu malam yang tidak berbulan, cahaya bintang dilangit berkelipkelip
membuat suasana terasa hampa teluk Sam Liuw Wan sunyi senyap membuat hati
orang terasa pilu.
Dengan setengah membongkok Siauw Ling meloncat dan mendekati ketika batang
pohon liuw itu lalu enjotkan badan meminjam tenaga jumpalitan ia bersembunyi dibalik
dedaunan yang lebat. Waktu ia melongok ke bawah meja itu masih berada di tempat
semula. Hioloo emaspun masih terpancang di depan, hanya saja dari Hioloo tadi tak
kelihatan asap dupa yang mengepul memenuhi angkasa. Hal ini membuktikan bila dalam
waktu ini tak seorangpun yang pernah datang kesana.

Ombak sungai menderu-deru angin bertiup kencang. Di tengah malam yang buta
sungai yang berliku-liku kelihatan mirip seutas ikat pinggang berwarna putih keperakperakan.
Siauw Ling yang bersembunyi dibalik dedaunan pohon liuw tidak juga melihat sesuatu
walaupun sudah ada satu kentongan ia menanti. Akhirnya pemuda she Siauw ini menghela
napas panjang.
“Heei, agaknya malam ini tak bakal ada orang yang datang kemari.”
Belum saja ia meloncat turun tiba-tiba terdengar suara dayung menyampok air
berkumandang datang semakin lama semakin mendekat tanpa terasa hatinya rada
tergerak.
Buru-buru ia berpaling, di bawah sorotan cahaya bintang tampak sesosok perahu
sampan dengan cepat meluncur mendekat dan di dalam waktu singkat telah mendekati
tepian sungai.
Tiga sosok bayangan manusia meloncat ketepian dari dalam perahu dan gerakan
mereka rata-rata gesit dah hebat.
Siauw Ling memperhatikan lebih teliti lagi, jantungnya terasa berdebar-debar keras dan
diam-diam pikirnya, “Hei, jika tadi aku jadi meninggalkan tempat ini, maka sulitlah bagiku
untuk berjumpa dengan mereka lagi.”
Kiranya orang pertama yang berjalan dipaling depan adalah sibocah berbaju hijau yang
pernah ditemui siang tadi.
Di atas punggungnya bocah itu menyoren pedang panjang dan sepasang tangannya
mencekal sebuah medali Leng pay.
Ornag yang mengikuti kencang di belakang tubuhnyapun merupakan seorang bocah
cilik berbaju hijau dengan ditangannya membawa sebuah Khiem yang kelihatannya
sangatlah antik.
Orang terakhir yang mengikuti di belakang kedua orang bocah cilik itu adalah si orang
pemuda berjubah biru kaus putih dan ditangannya membawa sebuah kipas.
“Siapakah kedua orang itu? Asing benar wajah mereka,” diam-diam pemuda she Siauw
yang bersembunyi di atas pohon Liuw berpikir keras.
Sibocah berbaju hijau itu dengan hebat meloncat keatas menggantungkan Leng Pay
berisikan nama Siauw Ling keatas pohon, lali mengeluarkan tiga batang hio dan disulutnya
kemudian ditancapkan keatas hioloo emas.
Mengikuti berkelebatnya cahaya api dapat dilihat orang berbaju biru itu baru berusia
dua puluh tahunan, wajahnya ganteng dengan alis yang melenting tidak malu disebut
seorang lelaki tampan.
Si orang berbaju biru itu meletakkan kipasnya keatas meja, lalu menjinjing jubahnya
dan menjura dengan hormat di depan meja sembahyang.

“Pada tahun yang lalu sewaktu siauwte lewat disini dan melihat nama Siauw heng
terukir di atas pohon timbullah rasa ingin tahu dihatiku sekarang siauwte telah minjam
nama Siauw heng untuk berkelana dalam dunia Bulim harap sukma Siauw heng dialam
baka suka memaafkan dosa ini,” katanya lirih.
Oouw kiranya begitu diam-diam Siauw Ling menghembuskan napas panjang, “Aku
masih mengira dalam kolong langit sungguh ada dua orang yang bernama Siauw Ling.”
Terdengar si orang berbaju biru itu melanjutkan kembali kata-katanya, “Walaupun
siauwte telah meminjam nama besar Siauw heng untuk berkelana dalam Bulim tapi
siauwte percaya tidak bakal merusak ataupun memalukan nama besar Siauw heng.”
“Oouw tidak mengapa,” kembali Siauw Ling membatin di dalam hatinya. “Asalkan kau
tidak melakukan perbuatan jahat gunakan saja namaku sepuas mungkin.”
Kembali si orang berbaju biru itu menyambung kata-katanya, “Siauwte menerima pesan
seseorang untuk membawa Leng Pay ini menyambangi Siauw heng dengan membawa
Leng Pay ini akan berlalu dari sini untuk diserahkan kembali kepada sipenitip pesan
tersebut semoga saja malam ini Siauw heng bisa tunjukkan sedikit keajaiban agar
sekembalinya siauwte bisa menceritakan kepada orang itu apa yang kau ingini. Heee
Siauw heng, walaupun kau sudah mati tapi dikolong langit masih ada seorang gadis cantik
yang menangisi nasibmu siang dan malam selalu bersembahyang selalu melelehkan air
mata dihadapan Leng Paymu jika dibandingkan siauwte keadaan Siauw heng jauh lebih
kuat berpuluh kali lipat. Sukma Siauw heng dialam baka tentunya tahu segala sesuatu
harap kau bisa tenang disana.”
Siauw Ling yang mendengar perkataan itu hatinya merasa amat kesal kembali pikirnya,
“Waaah, payah orang ini mengoceh terus tidak karuan, mana mungkin aku punya gadis
yang menangisi diriku terus menerus.”
Orang berbaju biru itu dengan lantang kembali berkata memutuskan jalan pikiran
pemuda she Siauw itu.
“Gadis kecintaanmu itu telah membuat serangkaian irama lagu untuk mengenangkan
dirimu. Malam ini siauwte akan mainkan lagu tersebut di samping menghibur sukma Siauw
heng dialam baka.”
Tampak sibocah berbaju biru itu meletakkan Khiem antik tadi di atas meja dan si orang
berjubah biru itu masukkan kembali kipasnya ke dalam saku lalu tangan kanannya mulai
disentil mainkan senar khiem tersebut memecahkan kesunyian di tengah malam buta.
Diikuti serangkaian lagu yang memilukan hati berkumandang memenuhi angkasa.
Nadanya amat sedih membuat setiap orang yang ikut mendengar merasakan hatinya risau
dan pedih.
Hati kecil Siauw Ling kena tersinggung, ia tak dapat menahan kepedihan dari irama
musik tersebut sehingga tanpa terasa ikut melelehkan air mata.
Mendadak terdengar suara gemerincing yang keras diikuti berhentinya irama musik
tersebut.

Dua orang bocah berbaju hijau dengan hebat mencabut keluar pedangnya dan
meloncat kedua belah sisi, sambil memperhatikan suasana disekitar sana dengan tajam.
Kiranya sewaktu si orang berbaju biru itu mainkan irama lagunya mencapai puncak
kesedihan, tiba-tiba senar khiem tersebut putus jadi dua bagian.
Terdengar orang itu menghela napas panjang. “Mungkinkah sukma Siauw heng dialam
baka bisa ikut mendengarkan lagu ini.”
Perlahan-lahan ia mengusap air mata yang mengucur keluar, sambungnya lebih lanjut,
“Dalam keadaan sedih dan berduka hati gadis pujaanmu itu telah menciptakan sebuah
irama lagu Liuw Swie Tuan Hun ini, setiap suara setiap kata semuanya diiringi isak
tangisnya yang memilukan hati. Oouw Siauw heng, jikalau sukmamu dialam baka mengerti
tegakah kau orang membiarkan dia merasa sedih sepanjang hidup?”
Siauw Ling yang mendengar perkataan itu hanya ikut merasa terharu.
“Ehmm orang ini tidak jelek juga! ia cuma mendapat titipan orang lain, tapi
kesetiaannya benar-benar terpuji.”
Tiba-tiba terdengar si orang berbaju biru itu berubah nada pembicaraannya,
sambungnya lebih lanjut, “Ia merasa sedih dan berduka untukmu, sudah seharusnya
Siauw heng pun ikut memikirkan buat dirinya. Jikalau sukma Siauw heng bisa mendengar
perkataanku ini tunjukkan bantuanmu agar siauwte berhasil merebut kepercayaannya.
Siauwte tidak becus tadi rela selama hidup tunduk di bawah kakinya, dan menghibur
kesedihan hatinya sepanjang hari.”
Ketika itulah Siauw Ling tertegun untuk beberapa saat.
“Aaakh bagus sekali! kiranya kau mohon kepadaku agar aku suka menunjukkan
bantuanku membantu kau sukses dalam merayu kekasihmu.”
Mendadak si orang berbaju biru itu berlutut keatas tanah tanpa perduli diaas tanah
penuh dengan lumpur yang kotor.
“Siauwte telah meminjam nama besar Siauw heng, aku berjanji dengan seluruh
kekuatan yang kupunyai akan menggemparkan nama besar Siauw heng dalam seluruh
Bulim agar semua orang menghormati dirimu dan nama besarmu terkenal sampai ratusan
tahun selama hidup siauwte akan selalu menjadi bayangan dari Siauw heng.”
“Hmm, aku tahu kau berbuat demikianpun bukan sungguh-sungguh dan ikhlas karena
aku,” pikir pemuda she Siauw ini.
“Jikalau Siuaw heng suka menyetujui permintaan dari siauwte ini harap kau suka
menunjukkan kesetiaanmu,” tambah orang itu.
Ketika itu kedua baju hijau itu selesai melakukan pemeriksaan di tempat itu, satu dikiri
dan satu dikanan berdiri disisi orang berbaju biru tadi.
“Hmm, apa perlunya kalian cabut pedang seperti menghadapi musuh besar saja?” tegur
si orang berbaju biru sambil menyapu sekejap kekiri kanannya. “Bukankah tindakan kalian
ini akan mengejutkan sukma dari Siauw heng? Ayo cepat simpan pedang kalian.”

Kedua bocah berbaju hijau itu menurut dan memasukkan pedangnya ke dalam sarung,
melihat majikannya berlutut merekapun disisinya.
Tapi sungai yang sunyi senyap telah pulih kembali pada keheningan yang terdengar
hanyalah deburan ombak menumbuk tepian yang berbunyi tiada hentinya.
Siauw Ling yang berada di tempat ketinggian dapat melihat seluruh kejadian itu dengan
sangat jelas tampak olehnya si orang berjubah biru itu pejamkan sepasang matanya,
muka menghadap Leng pay dan mulutnya kemak kemik seperti sedang berdoa. Untuk
beberapa waktu ia ragu-ragu ada baiknya munculkan diri atau tidak, sebenarnya dia ada
maksud untuk menanyakan siapakah gadis tersebut? Sebelum keputusan sampai diambil,
mendadak dari tempat kejauhan tampak datangnya sesosok bayangan manusia yang
bergerak tanpa menimbulkan sedikit suarapun.
Gerak-gerik orang itu ringan bagaikan daun, walaupun berjalan di atas tanah berlumpur
tapi tak kedengaran sedikit suarapun.
Agaknya si orang berbjau biru serta kedua orang bocah berbaju hijau itu sedang
menenti munculnya sukma Siauw Ling dengan penuh kepercayaan. Seluruh perhatian
mereka terpusatkan menjadi satu dan sama sekali tak merasa munculnya mara bahaya
yang mengancam.
Di bawah sorotan cahaya bintang dapat dilihat bayangan manusia itu tinggi kurus
bagaikan lidi ia sudah tiba kurang lebih beberapa tombak di belakang tubuh orang berbaju
biru itu.
Tiba-tiba gerakan orang itu semakin perlahan agaknya ia menaruh rasa jeri terhadap
orang berbaju biru itu. Tindak tanduknya makin berhati-hati dan sepertinya takut
menimbulkan suara sehingga mengejutkannya.
Siauw Ling mulai merasa tegang dibuatnya ia tidak tahu seharusnya turun tangan
menolong si orang berbaju biru itu atau tidak.
Di tengah kesunyian yang mencekam secara samar-samar membawa hawa nafsu
membunuh yang amat tebal, setiap kali bayangan hitam tinggi kurus itu melangkah satu
tindak kemuka hawa membunuh yang mencekampun semakin menebal satu lapis.
Mendadak dari tengah sungai berkumandang datang suara dayung yang menyampok
air sesosok sampan dengan cepat meluncur datang.
Bayangan tinggi kurus yang sedang bergerak maju itupun dibuat terkejut oleh
datangnya suara dayung tadi dengan cepat ia menghentikan gerakannya.
Perubahan yang terjadi secara mendadak ini membuat Siauw Ling semakin tegang
dengan cepat ia menoleh.
Dilihatnya dari atas sebuah sampan kecil melayang turun sesosok bayangan manusia
yang kecil ramping dan dengan hebat meluncur mendekat. Bayangan itu adalah bayangan
seorang gadis yang memakai baju ringkas dengan sebilah pedang tersoren di atas
punggungnya. Begitu sepasang kaki menempel tanah ia langsung melayang ke arah si
orang berbaju biru.

Dalam sekejap mata itulah bayangan manusia tinggi kurus yang semula telah berada
beberapa tombak dari si orang berbaju biru itu kini sudah lenyap tak berbekas.
Menanti Siauw Ling memeriksa dengan teliti ia baru menemukan bila orang itu telah
menjatuhkan diri berbaring di balik semak. Tentunya karena kemunculan gadis berbaju
ringkas itu terlalu cepat membuat bayangan hitam tadi tak sempat menghindarkan diri lagi
sehingga ia cuma jatuhkan diri tertelungkup di atas tanah.
Sigadis berbaju ringkas tadi setelah melayang turun kesisi meja sembahyang ia
langsung mengeprak meja keras-keras.
“Aku pergi mencari kau kemana-mana kiranya kau ada disini!” teriaknya keras. “Eei,
apa kerjamu bersembunyi disini?”
Orang berbaju biru itu perlahan-lahan bangun berdiri, nada suaranya hambar dan ketus
sedikitpun tak menunjukkan sifat persahabatan.
“Karena gangguanmu sukma Siauw Ling jadi terkejut lari ketakutan aku sudah
bersembahyang setengah harian lamanya, belum sampai maksudku terpenuhi kau sudah
mengganggu lagi kau membuat usahaku jadi gagal dan sia-sia belaka.”
“Hmm! darimana bisa muncul sukma gentayangan, aku lihat kau sudah dipengaruhi
daya hayalmu sendiri!” teriak gadis berbaju ringkas itu dengan gusar.
“Sekalipun aku sudah dipengaruhi daya hayalku apa pentingnya kau ikut mengurusi?”
Gadis berbaju ringkas itu berdiri tertegun akhirnya menangis tersedu-sedu kakinya
langsung melancarkan tendangan ke arah meja serta hioloo emas terpental sejauh dua
tiga tombak jauhnya.
Melihat cara gadis itu melancarkan tendangan Siauw Ling merasa hatinya bergerak
pikirnya, “Ilmu kepandaian silat perempuan ini tidak lemah cuma sayang wataknya sangat
kasar.”
Sejak permulaan kedua orang bocah berbaju hijau itu sudah dibuat ketakutan setengah
mati, apalagi melihat khiem antik kesayangan majikannya terpental jatuh. Mereka semakin
kebingungan dibuatnya.
Lama sekali bocah yang membawa khiem antik tadi baru berseru gelagapan, “Kongcu
khiem antik itu…”
“Cepat ambil kembali kita segera pergi.”
Bocah berbaju hijau itu menyahut buru-buru ia lari ke depan pungut kembali khiem
antik tersebut.
“Kongcu?” seru pula bocah berbaju hijau itu. “Perlukah Leng pay dari Siauw Ling
dibawa serta?”
“Hmm. Jika Leng pay itu sampai hilang. Kaupun jangan harap bisa hidup lebih lanjut”
teriak orang berjubah biru itu teramat gusar.

Diam-diam bocah berbaju hijau itu amat terperanjat.
“Tidak kusangka Leng pay dari Siauw Ling ini jauh lebih penting daripada khiem antik
kesayangan kongcu,” pikirnya.
Dengan cepat ia meloncat naik keatas pohon liuw tua yang ada di tengah dan
melepaskan Leng pay tersebut.
“Leng pay apa itu coba bawa kemari biar aku periksa,” tiba-tiba gadis berbaju ringkas
itu membentak keras.
Agaknya gadis inipun mempunyai kedudukan yang sangat tinggi. Hal ini membuat
sibocah berbaju hijau jadi serba salah dan berdiri di tempat semula dengan termangumangu.
“Bagus, bagus sekali kiranya kalianpun berani menganiaya diriku?” teriak gadis itu
semakin kalang kabut.
“Nona jangan salah paham. Soal ini mana hamba berani. Hanya sebelum memperoleh
ijin dari kongcu hambapun tidak berani ambil keputusan sendiri.”
Dimulut bocah itu berbicara sedang matanya dengan cahaya mohon dikasihani
dialihkan ke arah si orang berbaju biru itu.
Pemuda berbaju biru itu termenung sejenak akhirnya ia menyahut dengan nada dingin.
“Serahkah kepadanya.”
Bocah itu menyahut dan kemudian serahkan Leng pay tadi ketangan gadis tersebut.
“Siapa yang bernama Siauw Ling?” tanya gadis berbaju ringkas itu setelah melirik
sekejap ke arah Leng pay tadi.
“Soal ini hamba kurang jelas harap nona tanyakan sendiri kepada kongcu ya.”
Sreet, tiba-tiba gadis berbaju ringkas itu mencabut keluar pedangnya seraya tertawa
dingin tiada hentinya.
“Hmm perduli Siauw Ling atau Toa Ling akan kubuat ini jadi berkeping-keping.”
“Aakh! nona jangan kau hancurkan!” teriak bocah berbaju hijau itu gelagapan.
“Hmm, cepat beritahu kepadaku, Siauw Ling adalah seorang lelaki atau perempuan?”
“Nona, jika kau hancurkan Leng pay itu maka kongcu tak bakal melepaskan hamba.
Perkataan dari kongcu tadi bukankah nona sudah mendengar sendiri?”
“Aku bertanya Siauw Ling seorang lelaki atau perempuan? Siapa yang suka mendengar
segala urusan tetek bengek?”
“Siauw Ling adalah seorang lelaki.”

Dengan gemas gadis berbaju ringkas itu membanting Leng pay tadi keatas tanah.
“Hmm, lelaki busuk. Apa gunanya dianggap sebagai barang pusaka?” bocah berbaju
hijau itu buru-buru memungut kembali Leng pay tadi dibersihkan dari lumpur dengan
ujung bajunya kemudian perlahan-lahan mengundurkan diri kesisi orang berjubah biru itu.
“Kiam Tong!” tegur sipemuda berbaju biru itu seraya mengambil kembali Leng pay
tersebut. “Kau tidak becus melindungi Leng pay tahukah kau apa hukumannya!”
Pada mulanya Kiam Tong tertegun tapi dengan cepat ia bongkokan badannya menjura.
“Hamba rela menerima hukuman.”
“Bagus sekali! tabok sendiri mulutmu.”
Kiam Tong ayunkan tangannya memerseni beberapa tabokan keras-keras mulut sendiri.
Walaupun ia sedang menabok mulutnya sendiri tapi tabokan tadi dilakukan dengan
sangat berat, dalam beberapa saat lamanya sepasang pipinya sudah membengkak besar.
Gadis berbaju ringkas itu makin melihat semakin merasa tidak enak, akhirnya ia
membentak, “Tahan?” Kiam Tong berhenti dan melirik sekejap ke arah gadis tersebut tapi
sebentar kemudian ia melanjutkan kembali tabokannya keatas mulut sendiri. Dari mata
gadis itu jadi gusar, sembari menudingkan pedangnya ia berteriak seraya menangis
tersedu-sedu.
“Bagus sekali! bukan saja kau menganiaya diriku bahkan suruh Khiem Kiam Jie Tong
menganiaya pula diriku?”
“Sudah, sudah, tidak usah ditabok lagi,” akhirnya si orang berjubah biru itu ulapkan
tangannya. Kiam Tong berhenti menabok, tapi sepasang pipinya sudah bengkak sangat
besar, darah segar mengucur keluar dari ujung bibirnya.
Gadis berbaju ringkas itu menangis seperminum teh lamanya, tapi orang berjubah biru
itu tetap tidak ambil gubris, tidak menghibur juga tidak membentak suruh ia berhenti.
Siauw Ling yang melihat peristiwa itu dari atas pohon Liuw tua, diam-diam merasa
sangat kegelian, pikirnya, “Kelihatannya antara sepasang laki perempuan ini mempunyai
hubungan yang sangat erat, entah mengapa sikap orang berjubah biru itu ternyata sangat
dingin. Heee walaupun watak gadis ini rada kasar dan berangasan, tapi sikap lelaki inipun
terlalu dingin dan ketus.”
Gadis berbaju ringkas yang menangis beberapa saat tidak kelihatan juga orang berbaju
biru itu melerai atau menghibur. Agaknya ia merasa malu untuk turun dari panggung.
Tangisnya makin lama makin keras semakin melengking. Sembari menangis makinya
penuh kegusaran?
“Apa yang kalian lihat disini? Ayo cepat enyah jauh dari sini!” sipemuda berjubah biru
itu tidak bergerak maupun bertanya, justru yang ditunggu-tunggu adalah ucapan tersebut
ia segera tertawa dingin tiada hentinya.

“Heee heee heee, bagus kau sendiri yang suruh aku enyah dari sini!”
Sembari membawa Leng pay dari Siauw Ling ia berlalu dari sana dengan langkah lebar.
Khiem Kiam kedua orang bocah itupun dengan kencang mengikuti dari belakangnya
melindungi pemuda berbaju biru itu naik keatas sampan sebentar kemudian terdengar
suara dayung menyampok air perahu sampan tersebut dengan cepat meluncur
meninggalkan tepian dan sebentar kemudian lenyap dari pandangan.
Jilid 21
Ketika sang gadis berbaju ringkas itu mendengar suara perahu sampan telah pergi jauh
agaknya ia benar-benar merasa kesedihan suara tangisnya semakin meraung-raung.
Suara tangis yang diperdengarkan tadi adalah sengaja dikeluarkan maka suaranya
tinggi melengking menusuk telinga tetapi suara tangisnya saat ini sungguh-sungguh
ditumpahkan keluar dari lubuk hatinya suara sesenggukkannya begitu memilukan hati
membuat orang merasa ikut terharu.
Tiba-tiba didasar hati Siauw Ling muncul perasaan iba diam-diam pikirnya dihati, “Gadis
ini sungguh patut dikasihani boarlah aku turun dan menghibur dirinya dengan beberapa
patah kata.”
Belum sempat ia melakukan sesuatu mendadak bayangan tinggi kurus yang semula
berbaring di atas tanah tadi tiba-tiba bangun berdiri dan berjalan mendekati gadis
tersebut.
Pada waktu itu gadis berbaju ringkas itu sedang menangis meraung-raung, ketajaman
maupun mendengarnya sudah kehilangan reaksinya. ketika bayangan tinggi kurus itu
sudah tiba empat lima langkah dari badannya ia masih belum merasa.
Siauw Ling yang melihat kejadian itu hatinya terasa amat tegang, pikirnya, “Perduli
gadis ini orang baik atau jahat tidak seharusnya seorang lelaki melakukan serangan
bokongan terhadap seorang gadis dalam waktu itu ia tak bersiap sedia, orang ini tentu
seorang pengecut aku Siauw Ling tidak boleh duduk sambil berpeluk tangan.”
Dipatahkannya sebatang ranting pohon Liuw lalu dipatah-patahkan kembali jadi tiga
bagian dan dicekal di tangan dengan disalur hawa kweekang! Asalkan bayangan tinggi
kurus tadi melancarkan serangan bokongan maka ia akan melancarkan serangan pula
dengan potongan ranting pohon Liuw itu dalam gerakan Sam Yen Lian Tie.
Siapa nyana ternyata urusan bayangan luar dugaan Siauw Ling ketika bayangan hitam
itu tiba kurang lebih lima depa dari gadis itu mendadak berhenti.
“Nona, kau jangan menangis lagi,” hiburnya lirih.
Walaupun ia berusaha keras untuk mendatarkan suara tapi kedengaran di dalam telinga
membawakan nada dingin kaku yang tak sedap didengar.

“Aakh suara orang ini radanya seperti ku kenal!” tiba-tiba Siauw Ling merasa hatinya
rada bergerak dengan cepat ia pertajam pandangannya.
Bagai dipagut ular bisa seketika itu gadis berbaju ringkas menghentikan suara
tangisnya meloncat bangun.
Mengikuti perputaran badan pedangpun sudah dicabut keluar melindungi depan dada.
“Siapa kau?” bentaknya dingin sembari melototi bayangan tinggi kurus itu tajam-tajam.
“Cayhe tidak bermaksud jelek.”
Sembari berkata kembali orang itu maju dua langkah ke belakang.
Gadis berbaju ringkas itu dengan cepat gerak pedangnya membentuk selapis cahaya
tajam yang menyilaukan mata.
“Cepat enyah dari sini jika kau berani maju selangkah lagi. Hmm, jangan kau salahkan
pedang nonamu tak bermata.”
Mendengar ancaman tersebut bukannya jeri sebaliknya orang itu mendadak tertawa
tergelak.
“Haaa… haaa… apa yang dialami nona malam ini berhasil cayhe lihat dengan mata
kepala sendiri didengar dengan telingaku sendiri.”
“Kendati kau sudah melihat sudah kau dengat lalu apa gunanya?” kembali bayangan
tinggi kururs itu tertawa tergelak.
“Sikap orang itu terhadap nona memang keterlaluan.”
“itu soal kami sendiri, tidak perlu orang lain ikut campur!”
“Tapi orang itu sudah tidak pandang nona sebagai orang sendiri. Haaa… haaa… jikalau
cayhe ceritakan apa yang aku lihat malam ini keseluruh dunia kangouw maka dikemudian
hari nona tak akan punya muka untuk berkelana di dalam dunia persilatan lagi.”
“Kau berani?” bentak gadis itu amat gusar.
“Kenapa tidak berani? Seorang nona perawan merengek-rengek di depan seorang pria
dan ternyata orang lain tidak menggubris rengekanmu itu bahkan ditinggal pergi, peristiwa
ini sungguh-sungguh menggelikan sekali haaa… haaa…”
“Tutup bacotmu!” teriak gadis itu sangat murka, “Kau berani mengejek aku dengan
kata-kata yang kotor, jangan salahkan aku orang akan turun tangan membinasakan
dirimu.”
Siauw Ling yang melihat peristiwa itu diam-diam membuat perbandingan di dalam
hatinya.
“Pria itu berwatak dingin, licik kecil dan banyak akal berusaha menggunakan berbagai
macam cara untuk mendesak dan memjirat gadis tersebut. Tindakan ini memang sangat

terkutuk jikalau gadis itu sampai muncul niatnya untuk membinasakan dirinya tindakan
inipun tidak terlalu telengas.”
Pada waktu itu si orang berbaju hitam itu sedang tertawa dingin.
“Aku takut nona masih bukan tandingan cayhe.”
“Omong kosong” teriak gadis itu gusar.
Pedangnya dengan sepenuh tenaga langsung ditusukan ke depan.
Dengan sebat si orang berbaju hitam itu berkelit kesamping menghindarkan diri dari
datangnya serangan balasan, sambungnya lebih lanjut, “Jikalau nona suka mendengarkan
perkataan cayhe dan bekerja sama dengan diriku, bukan saja kau bisa menggaet kembali
kekasihmu jauh telah berubah hati bahkan dapat pula menyalurkan kemangkelanmu di
dalam dunia persilatan, membuat semua orang merasa gusar dan cemas.”
Diketahui rahasia hatinya gadis berbaju ringkas itupun menarik kembali pedangnya
yang sedang melancarkan tusukan.
“Kita harus bekerja sama dengan cara yang bagaimana??” tanyanya dengan nada jauh
lebih ramah.
“Asalkan nona suka mendengarkan perkataan cayhe dan menyaru nama seorang yang
sudah mati dan melakukan beberapa pekerjaan yang mengejutkan hati maka sukseslah
sudah kerja sama kita.”
Agaknya gadis berbaju ringkas ini telah tertanam rasa cinta yang sangat mendalam
terhadap sipemuda berbaju biru itu, buru-buru tanyanya, “Kau suruh aku menyaru sebagai
apa? Siauw Ling?”
Siauw Ling yang sedang bersembunyi di atas pohon Liuw tua itu kembali merasakan
hatinya bergetar keras.
“Bagus sekali tidak kusangka namaku Siauw Ling benar-benar laku keras seperti kacang
goreng” pikirnya dihati. “Bukan saja si orang berbaju biru itu sudah menggunakan
namaku, bahkan orang lain pula memaksa gadis ini menggunakan namaku.”
“Siauw Ling?” terdengar gadis itu berbisik lirih.
“Siauw Ling yang namanya tercantum di atas Leng pay tadi.”
“Tidak salah orang itu menyaru nama Siauw Ling justru hendak.”
“Siapa yang kau maksud orang itu?”
“Pemuda berjubah biru tadi?”
“Oooow dia bernama Lan Giok Tong!”

“Benar Lan Giok Tong menyaru sebagai Siauw Ling justru bertujuan hendak memancing
munculnya seorang gadis cantik inilah sebabnya ia jatuh cinta pada gadis itu dan
melupakan yang lama tidak cinta dirimu lagi.”
“Cantikkah gadis itu?” tanya gadis tersebut cemas.
Dengan pandangan tajam si orang berbaju hitam itu meneliti tubuh gadis tersebut dari
atas hingga ke bawah, lalu jawabnya, “Menurut penglihatan cayhe, jikalau kalian berdua
dibandingkan maka seharusnya keindahannya mirip Coen Lan Ciu Kiok masing-masing
mempunyai keistimewaannya sendiri cuma di dalam pandangan Lan Giok Tong, orang itu
jauh lebih cantik beberapa bagian dari pada nona.”
“Kau bukan dirinya, bagaimana bisa tahu pandangannya?”
“Sebetulnya urusan sudah tertera sangat jelas. Jikalau Lan Giok Tong merasa nona jauh
lebih menarik dari pada gadis tersebut iapun tak bakal melepaskan nona untuk mencintai
orang lain.”
Saking khekinya gadis itu sampai melototkan sepasang matanya bulat-bulat dan
mendengus dingin.
“Hmm! Aku pasti mencari gadis itu dan akan kulihat apakah kecantikannya melebihi
diriku?”
“Kepandaian silat yang dimiliki nona itu sangat tinggi sekalipun kau berhasil menemui
dirinya belum tentu bisa menandingi dirinya apalagi kaupun tak bakalan bisa temukan dia
orang.”
“Soal ini bagaimana kau bisa tahu?”
“Nona belum menjawab pertanyaan cayhe?”
“Dengan cara begini aku pergi mencari dirinya sama saja mengapa harus menyaru
nama Siauw Ling yang sudah mati, aku tidak mau.”
“Baiklah jikalau nona tidak suka cayhepun tidak akan memaksa lebih lanjut kita
berpisah dulu sampai disini.”
Ia putar tubuh dan melangkah pergi dengan tindakan lebar.
Melihat orang itu betul-betul berlalu gadis berbaju ringkas itu jadi gelisah.
“Berhenti!” teriaknya keras.
Si orang berbaju hitam itu berhenti.
“Kau belum selesai berbicara siapakah namanya? dan aku harus pergi kemana untuk
menemui dirinya?”
“Heee hee ia berada jauh diujung langit diluar dunia dilingkungan dewa selama hidup
jangan harap kau bisa temui dirinya!” teriak si orang berbaju hitam itu sambil tertawa

dingin. Kemungkinan juga ia berada beberapa depa disisimu, setiap saat bisa muncul di
sampingmu.”
Gadis berbaju ringkas itu menunduk akhirnya ia bungkam dalam seribu bahasa.
“Nona jika kau suka mendengar perkataan cayhe dan bekerja sama dengan diriku,
maka kita masing-masing akan mengambil keuntungan sendiri-sendiri,” sambung orang itu
lebih lanjut.
“Apa maksudmu mengambil keuntungan sendiri-sendiri?” tanya gadis itu rada
tercengang.
Ia merandek sejenak kemudian menyambung, “Ooow benar karena gadis itu berwajah
sangat cantik maka kau ada maksud mengincar dirinya.”
“Kesukaan cayhe sangat banyak tapi justru paling benci main perempuan dugaan nona
salah besar” potong orang itu cepat.
“Lalu apa yang kau inginkan?”
“Cayhe hanya menginginkan semacam barang dari sakunya. Sisanya boleh aku
serahkan semua untuk nona urusi sendiri.”
“Barang apa yang kau inginkan?”
“Heee hee hee… nona, apakah pertanyaan kau tidak terlalu banyak??” potong orang
berbaju hitam itu sambil tertawa dingin. “Hm! mau atau tidak cepat katakan cayhe masih
harus pergi mencari orang lain tak ada waktu untuk menemui dirimu lebih lama lagi.”
Tiba-tiba gadis berbaju ringkas itu menghela napas panjang.
“Baiklah aku setuju tapi kau tidak boleh mengingkari janji, kau harus serahkan orang itu
kepadaku mau bunuh siksa itu hakku semua!”
“Hal ini sudah tentu selama hidup cayhe selalu bekerja menggunakan otak dan apa
yang pernah dijanjikan selamanya tak akan diingkari kau boleh berlega hati.”
“Kau tunggu sebentar aku pergi mencari barang-barang keperluan.”
“Tunggu ada suatu urusan cayhe harus menjelaskan terlebih dahulu dan nona boleh
pikir masak-masak yaitu sebelum menemukan gadis tersebut maka harus mendengarkan
segala perintah cayhe.”
“Baik… baiklah… aku menurut saja.”
Gadis itu segera putar badan meloncat naik keatas sampannya dan buru-buru
mendayung pergi.
“Nona kau harus cepat pergi dan cepat balik cayhe tak dapat menunggu terlalu lama.”

“Aku mau pergi keatas perahu besar yang kutumpangi,” gadis itu menggeleng berulang
kali. “Terutama hendak mengambil barang keperluan dan kedua hendak perintahkan
mereka berangkat terlebih dahulu dan tak usah menunggu aku lagi.”
Perkataan terakhir baru saja meluncurkan keluar, sampan kecil itu sudah lenyap dari
pandangan.
Perlahan-lahan si orang berbaju hitam itu berjalan ketepi sungai dan memandang ke
tempat kejauhan dengan termangu-mangu.
Diam-diam Siauw Ling tarik napas panjang-panjang tanpa menimbulkan sedikit
suarapun ia meloncat turun dari atas pohon dan tepat berdiri di belakang si orang berbaju
hitam itu.
Pada saat ini jikalau ia ada maksud membokong si orang berbaju hitam itu cukup sekali
tabok mau tangkap mau bunuh bukan suatu pekerjaan yang terlalu susah.
Haruslah diketahui deruan angin serta ombak yang sangat keras sangat memekikkan
telinganya apalagi si orang berbaju hitam itu punya urusan di dalam hatinya walaupun ia
memiliki kepandaian silat yang amat bagus ketajaman pandangan mata serta
pendengarannya melebihi orang lain tapi dalam keadaan seperti ini susah juga baginya
untuk bekerja normal.
Apalagi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Siauw Ling memperoleh warisan dari Liuw
Sian Ci, melayang berkelebat tanpa menimbulkan sedikit suarapun sudah tentu orang itu
tak bakal merasa.
Agaknya orang berbaju hitam itu merasa amat gelisah sikapnya tidak tenang dan
pikirannya ruwet mendadak ia putar badan hendak berlalu.
Tapi sewaktu melihat Siauw Ling telah berdiri dihadapannya dengan sikap angker ia jadi
sangat terperanjat bukan main, tapi pengalamannya dalam menghadapi musuh tangguh
membuat ia memiliki daya reaksi yang luar biasa.
Telapak tangan disilangkan di depan dada badanpun berturut-turut mundur tiga depa
ke belakang.
“Siapa kau?” tegurnya dingin.
“Siauw Ling…”
“Apa…?” orang berbaju hitam itu merasakan hatinya tergetar sangat keras.
“Siauw Ling yang benar-benar merupakan barang tulen harga asli, jikalau aku ingin cari
aku lebih baik tak usah suruh orang lain menyaru sebagai aku lagi.”
“Hal ini tidak mungkin terjadi!” seru si orang berbaju hitam itu sembari berusaha
menenangkan hatinya. “sejak dulu Siauw Ling sudah mati, dikolong langit tidak mungkin
masih ada Siauw Ling yang asli apalagi peristiwa itu cayhe lihat dengan mata kepala
sendiri, kau tak bakal membohongi diriku lagi?”

“Hmm! Aku kira siapa, kiranya kau!” seru Siauw Ling sambil tertawa dingin. “Bagus,
bagus sekali! inilah yang dinamakan mencari sampai sepatu hancur tidak ditemukan,
akhirnya diperoleh tanpa buang tenaga.”
Makin lama si orang berbaju hitam itu merasa semakin terkejut bercampur tercengang.
“Kau tahu siapakah aku??”
“Leng Bian Thiat Pit atau si Pit besi berwajah dingin Tu Kiu, Loo jie dari Tiong Cho
Siang-ku! Hmmm! kau boleh menyaru ataupun berubah wajah tapi selamanya tak bakal
bisa mengubah suaramu!”
“Benarkah kau adalah Siauw Ling yang terjatuh ke dalam sungai lima tahun berselang?”
tanya si orang berbaju hitam itu tertegun.
“Berkat lindungan Thian yang maha pengasih, cayhe beruntung tidak sampai mati!”
“Kalau begitu sangat bagus sekali!” teriak si orang berbaju hitam itu sambil melepaskan
kain hitam pengikat kepalanya. “Cayhe memang Tu Kiu adanya, jikalau kau belum mati
maka cayhepun tidak perlu menyaru lagi dan menyembunyikan wajah yang asli.”
“Hmmm! Selamanya Tiong Cho Siang-ku tidak pernah berpisah bagaikan tubuh dan
bayangan, sekarang kau berada disini, tentunya Sang Pat pun ada disekitar sini bukan?”
tegur Siauw Ling dingin.
“Sedikitpun tidak salah.”
“Bawa aku pergi temui dirinya.”
“Untuk temui dia orang tidak susah, tapi selamanya Tiong Cho Siang-ku tidak pernah
menerima perintah orang-orang lain apalagi benarkah kau adalah Siauw ling belum
berhasil cayhe buktikan dengan jelas?”
“Harus diketahui sewaktu Siauw Ling terjatuh ke dalam sungai waktu itu ia baru berusia
dua, tiga belas tahunan badannya menderita penyakit aneh dan perawakannya kurus
lemah sebaliknya Siauw Ling yang sekarang tinggi besar kekar dan tampan perubahan
selama lima tahun bagaikan perbedaan dua orang saja.”
Tidak aneh kalau Tu Kiu yang berpengalamanpun susah utnuk mengenali kembali.
“Secara bagaimana kau baru suka mempercayai diriku?”
“Ceritakan kisahmu sewaktu terjatuh ke dalam sungai tempo hari?”
oo0oo oo0oo
“Apa susahnya untuk menceritakan kisahnya tempo dulu?” seru Siauw Ling sambil
tertawa. Iapun segera menceritakan kisahnya sewaktu tempo hari terjatuh ke dalam
sungai dengan teliti dan cermat!
Akhirnya setelah mendengar kisah tersebut dengan teliti kembali Tu Kiu memeriksa
seluruh tubuh Siauw Ling dari atas hingga ke bawah.

“Aaah ternyata kau benar-benar orang! karena kau kami dua bersaudara sudah
menyaru dan menyembunyikan nama kami selama hampir lima thun lamanya. Haaa…
haaa… tapi mulai hari ini kau tidak perlu menyembunyikan diri lagi terhadap orang-orang
kangouw.”
“Cepat bawa aku menemui Sang Pat!” kembali Siauw Ling berseru.
“Heee…heee… buat apa kau merasa gelisah??” ujar Tu Kiu sambil tertawa dingin.
“Cepat atau lambat bukankah sama saja?”
Siauw Ling jadi gusar, tiba-tiba bentaknya, “Hatiku gelisah bagaikan anak panah yang
berada di atas busur, tidak bisa ditunggu lagi kau mau berangkat tidak?”
“Hmm, selama lima tahun ini tentu kau sudah memperoleh penemuan-penemuan aneh
bukan?” sindir Tu Kiu dengan nadanya yang dingain kaku.
“Kau ingin mencoba?” tantang sang pemuda dengan alis melentik.
“Sudah seharusnya dicoba!”
“Kalau begitu cobalah sebuah bogem mentahku ini,” kata Siauw Ling sambil angkat
telapak kanannya lalu perlahan-lahan didorong ke depan.
Ia tak tahu bagaimanakah hasil latihannya selama lima tahun ini, tapi dalam benaknya
ia masih ingat bahwa kepandaian silat yang dimiliki Tiong Cho Siang-ku sangat lihay.
Oleh karena itu dalam serangannya kali ini walaupun telapak tangan didorong sangat
lambat tapi tenaga pukulan sudah disalurkan mencapai seluruh bagian.
Dengan cepat Tu Kiu angkat telapak kanannya dan didorong pula kemuka. Sepasang
telapak berbetur jadi satu. Siauw Ling segera salurkan hawa kweekangnya melalui telapak
tangan.
Di dalam benturan tadi Tu Kiu sudah merasakan keadaan sedikit tidak beres tapi belum
sempat ia menghindarkan diri pukulan sudah tiba terpaksa diterimanya serangan tersebut
dengan keras lawan keras.
Terasa segulung angin pukulan yang sangat kuat dan maha dahsyat menubruk datang
membuat hatinya tergetar dan tanpa terasa lagi tubuhnya mundur tiga langkah ke
belakang.
“Bagaimana? Sekarang boleh pergi mencari Sang Pat?” tanya Siauw Ling seraua
menarik kembali serangannya.
Tu Kiu tarik napas panjang-panjang ia tarik hawa murninya dari pusar menekan
golakan darah dalam rongga dada.
“Thian yang maha kasih ternyata tak menyusahkan orang budiman, kau sungguh telah
menjadi murid Pak Thian Coen cu.”

Ia putar badan dan segera berlalu dari sana.
Siauw Ling yang ingin cepat-cepat berjumpa dengan Sang Patpun malas banyak bicara
lagi mengikuti dari belakang Tu Kiu ia berlalu dari sana.
Tu Kiu makin lama semakin mempercepat langkahnya tidak selang sepertanak nasi
kemudian mereka sudah tiba di depan sebuah rumah gubuk yang berdiri sendiri.
Pintu gubuk tertutup rapat-rapat dalam ruangan tidak kelihatan cahaya lampu.
“Toako apakah kau ada didalam?” seru Tu Kiu sambil mendehem setibanya di depan
pintu.
Pintu kayu terbuka dan muncul seorang kakek tua berjenggot putih yang memakai
caping bambu baju model nelayan.
“Toako,” seru Tu Kiu sambil menyulut api dan memasang lampu. “Sejak ini hari kita tak
perlu menyembunyikan wajah kita lagi. Siauw Ling dia, dia belum mati.”
Mendadak si lelaki kurus kering ini muntah darah segar dan roboh keatas tanah.
“Kau benar, benarkah Siauw ling yang jatuh ke dalam sungai lima tahun berselang”
tegur sinelayan berambut putih itu sambil melototi seluruh tubuh Siauw Ling dengan
sepasang mata yang tajam.
Pemuda she Siauw ayunkan jari tangannya menotok jalan darah Tu Kiu sedang dimulut
ia menyahut, “Sedikit tidak salah cayhe adalah Siauw Ling.”
Mendadak sinelayan berambut putih itu mengusap wajah sendiri sehingga samarannya
lepas semua dan muncullah selembar wajahnya yang bulat.
“Kau yang pukul luka dia orang?” tegurnya.
Lembaran wajah yang bulat ini meninggalkan ingatan yang mendalam bagi Siauw ling
karena dia bukan lain adalah Kiem Siepoa Sang Pat.
“Sewaktu berada ditepi sungai tadi cayhe saling bertukar satu pukulan dengan dirinya.”
“Hanya sekali pukulan kau berhasil melukai dirinya?” tanya Sang Pat dengan wajah
menunjukkan sikap kurang percaya.
“Sebetulnya luka yang ia derita tak terlalu besar dan tidak suka atur pernapasan pada
waktu itu juga apalagi harus melakukan sesuatu yang dikata perjalanan pula, golakan
dada di dalam dada sukar merata maka akhirnya ia muntah darah!”
Sang Pat berjongkok membimbing Tu Kiu.
“Menolong orang jauh lebih penting kita berbicara nanti saja?”
“Setelah berjumpa dengan kalian, akupun tidak takut kau melarikan diri,”
Dengan teliti Sang Pat memeriksa seluruh tubuh Tu Kiu dari atas hingga ke bawah.

“Kau bisa melancarkan totokan diudara kosong.”
“Apa yang perlu diherankan dengan kepandaian?”
Sang Pat tidak banyak bicara lagi, ia urut beberapa urat nadi disekitar badan Tu Kiu lalu
menjejalkan sebutir pil ke dalam mulutnya, setelah itu ia baru ujarnya lirih, “Jiete, kau
aturkan pernapasanmu sebentar aku ingin bicara sebentar dengan Siauw heng ini!”
“Cara berpikir yang berbeda tak mungkin bisa bersekongkol aku lihat kitapun tidak usah
banyak berbicara lagi,” sambung Siauw Ling dingin. “Teringat lima tahun berselang aku
pernah berkata bahwa aku tak akan membinasakan kalian berdua sekarang cepat beritahu
kepadaku dimana enci Gak sekarang berada?”
Sang Pat tersenyum.
“Kepandaian silat yang Siauw heng miliki walaupun tidak jelek tapi untuk
membinasakan diriku rasanya belum tentu bisa.”
Sepasang alis Siauw Ling melentik, sepasang matanya memancarkan cahaya tajam dan
melirik sekejap ke arah Sang Pat dengan pandangan dingin. “Persoalan ini sih tidak perlu
diperebutkan, aku cuma ingin bertanya kepadamu dimanakah enci Gakku sekarang
berada?”
“Entahlah aku sendiripun kurang tahu,” Sang Pat menggeleng. “Sejak kau terjatuh ke
dalam sungai dan kami kakak beradik mengingkari janji dengan diri Gak Siauw-cha lantas
tidak punya muka lagi untuk menemui dirinya jika dihitung dengan jari sudah ada lima
tahun kami tidak pernah berjumpa dengan gadis itu.”
Selintas perasaan sedih dan kesal berkelebat di atas wajah Siauw Ling lama sekali ia
termenung dan akhirnya berkata kembali dengan nada dingin.
“Jikalau enci Gak ku terdapat sesuatu hal yang tidak beres, sekalipun aku berhasil
mencegah badan kalian berdua jadi hancurpun sukar menghilangkan rasa dendam yang
terpendam dihatiku.”
Ia merandek sejenak, kemudian sambungnya, “Enci Gak ku pernah kalian kurung
disuatu tempat, tuduhanku ini bukannya tiada beralasan?”
“Tidak salah, nona Gak memang sudah kami bawa untuk disembunyikan disuatu tempat
yang aman tapi kami kakak beradik telah menyanggupi untuk membawa Siauw heng
menemui dirinya untuk ditukar dengan kunci istana terlarang tidak beruntung kau lenyap
terjatuh ke dalam sungai dan kami kakak beradik yang melakukan pencarian disekitar
sepuluh li dari permukaan sungai tidak menemukan bayangan Siauw heng, karena
peristiwa ini Tiong Cho Siang-ku tak dapat menancapkan kaki dalam dunia kangouw lagi
dan memperoleh kepercayaan dari kawan-kawan Bulim apalagi untuk pergi menemui Gak
Siauw-cha.”
“Ia berada dimana, cepat bawa aku pergi temui dirinya!” potong Siauw Ling cemas.
Perlahan-lahan Sang Pat menggeleng.

“Ruang rahasia yang kami gunakan untuk sekejap nona Gak sudah tersedia bahan
makanan untuk setengah tahun lamanya. Kami kakak beradik tidak berhasil menemukan
Siauw Siangkong dan walaupun tidak punya muka untuk menemui dirinya lagi tapi kami
tak membiarkan dia mati. Karena lima bulan setelah Siauw heng terjatuh ke dalam sungai
kami kakak beradik dengan menyaru secara diam-diam telah pergi kesana untuk mengirim
bahan makanan.”
“Hmm! ternyata kalian berdua masih berperikemanusiaan juga,” Si Siepoa emas Sang
Pat mendehem ringan, sambungnya, “Tapi sewaktu kami kakak beradik tiba diruangan
rahasia tersebut, ternyata nona Gak sudah memutuskan terali besi dan meloloskan diri dari
sana jejaknya tidak ketahuan kami kakak beradik sudah banyak tahun berkelana diseluruh
penjuru dunia tapi tidak berhasil juga menemukan kabar beritanya.”
“Heee… heeee… sebelum berhasil menemukan kabar berita mengenai enci Gak,
tanggung jawab kalian berdua belum selesai!” seru Siauw Ling tertawa dingin. “Lebih baik
kalian berdua iktui diriku saja.”
“Kemana?”
“Perkampungan Pek Hoa Sanceng, kita berjanji dengan batas waktu tiga tahun jikalau
dalam tiga tahun ini aku berhasil menemukan enci Gak sudah tentu kalian berdua akan
kami lepaskan.”
“Apa? perkampungan Pek Hoa Sanceng?” mendadak Tu Kiu berteriak kaget. Sepasang
matanya terbelalak lebar-lebar.
“Tidak salah dan inipun tidak berharga untuk dibuat kaget” ia merandek, lalu
tambahnya, “Jikalau dalam batas waktu tiga tahun kabar berita enci Gak belum juga
didapatkan maka kalina berdua akan kubunuh.”
Tenaga kweekang yang dimiliki Tu Kiu amat sempurna apalagi memperoleh bantuan
obat mujarab setelah beristirahat sebentar kekuatannya sudah pulih kembali seperti sedia
kala.
Sembari meloncat bangun serunya, “Tadi salah cayhe sendiri terlalu pandang rendah
pihak lawan sehingga kena kau pukul luka tapi aku masih belum puas dan takluk benarbenar.”
“Jadi kau pingin coba-coba lagi? Sudah tentu.”
Sinar mata Siauw Ling berputar mengamati sebentar ruangan di dalam rumah itu
kemudian menggeleng.
“Ruangan ini terlalu sempit dan kecil mau bertanding ada baiknya kita coba di tempat
luaran saja.”
Tunggu sebentar tiba-tiba Sang Pat menyambar lengan kirinya dan mencegah Tu Kiu
meloncat keluar dari ruangan, “Sekalipun mau gebrak ada baiknya kita bicarakan dulu ini
hingga jelas. Ada perkataan apa cepat diutarakan.”
“Kau kenal dengan sibayangan berdarah Jen Bok Hong.”

“Dia adalah Toako ku,” sahut Siauw Ling setelah termenung sebentar, “Mengapa ia
tidak menerima kau sebagai muridnya?”
“Soal ini kau tidak usah ikut campur” teriak sang pemuda gusar.
“Kau belajar ilmu silat dari bayangan berdarah Jen Bok Hong sudah tentu kepandaian
silatnya luar biasa waktu lima tahun tidak terhitung panjang jikalau memperoleh didikan
yang cermat rasanya dengan kecerdikan yang kau miliki bisa peroleh seluruh ahli
warisnya, tapi di dalam hal tenaga kweekang belum tentu bisa hebat melebihi kami kakak
beradik, jikalau satu lawan satu ada kemungkinan kau bisa mencuri andaikan kelincahan.
Apalagi jurus-jurus serangan dari sibayangan berdarah banyak yang aneh dan lihay,
mungkin juga kita bertarung seimbang dan keadaan setali tiga uang alias sama saja, tapi
jikalau kami kakak beradik bekerja sama maka kau pasti akan menderita kalah. Sekalipun
sibayangan berdarah Jen Bok Hong datang sendiripun belum tentu bisa menangkan kami
Tiong Cho Siang-ku dalam jurus” sambung pula si pit berwajah dingin Tu Kiu.
Mendengar ucapan tersebut diam-diam Siauw Ling merasakan hatinya rada bergerak,
pikirnya, “Jika didengar dari nada ucapan kedua orang itu agaknya terhadap Toako
angkatku Jen Bok Hong menaruh rasa jeri. Kelihatannya nama besar Toako benar-benar
sudah menggetarkan seluruh dunia persilatan sungguh luar biasa…”
Tidak menanti Siauw ling berbicara, si Kiem Siepoa Sang Pat kembali berebut bicara,
katanya, “Coba kau tinjau dulu situasi pada saat ini apa yang cayhe ucapkan setiap patah
kata sejujurnya.”
“Dari siapa aku belajar ilmu silat rasanya kalian berdua tidak perlu mencari tahu jikalau
aku punya maksud mencelakai kalian berdua, tadi sewaktu berada ditepi sungai Tiang
Kang, Tu Kiu sudah menggeletak mati dengan darah berceceran.”
Walaupun diluaran Tu Kiu tidak buka suara tapi diam-diam pikirnya:
“Perkataan ini sedikitpun tidak salah, jikalau tadi ia melancarkan beberapa jurus
serangan dalam keadaan terluka parah aku pasti tak akan tahan dan kemungkinan besar
akan menggeletak ditepi sungai.”
“Ada orang datang” tiba-tiba Sang Pat berseru.
Tangannya langsung diayun memadamkan lampu lentera membuat suasana di dalam
ruang gubuk itu jadi gelap gulita susah melihat lima jari tangan sendiri.
Diam-diam Siauw Lingpun salurkan hawa murninya mengelilingi seluruh tubuh siap
menghadapi serangan bokongan dari Tiong Cho Siang-ku, sepasang matanya yang tajam
menyapu tiada hentinya di sekeliling ruangan.
Tampak Sang Pat mengunci kembali pintu besar dan melalui celah kayu ia mengintip
keluar.
Tu Kiu dengan punggung menempel ditembok besar badannya mendempet terus di
atas satu-satunya lembaran jendela.

Terdengar suara langkah kaki berkumandang datang dari kejauhan semakin lama
berjalan semakin mendekat lalu menjauh dan akhirnya lenyap dari pandangan.
Menanti orang itu sudah berlalu sambil putar badan Sang Pat menghembuskan napas
panjang.
“Siapa yang datang?” tak tertahan lagi Siauw Ling bertanya.
“Pay cu dari Sin Hong Pay secara mendadak muncul disini, entah apa sebabnya?” jawab
Tu Kiu.
“Mungkin sedang mengejar Siauw Ling” sambung Sang Pat.
“Mengejar aku.”
“Dalam persoalan ini sih bukan kau yang dimaksudkan yang ia kejar adalah Siauw Ling
palsu itu,” sambung Tu Kiu cepat.
Sang Pat mendehem berat.
“Siauw Ling palsu itu bisa menipu kami dua bersaudara, rasanya orang yang tak bisa ia
tipupun hanya beberapa selintir saja.”
“Orang-orang itu pada mengejar Siauw Ling palsu, apakah tujuan merekapun
disebabkan kunci istana rahasia???”
“Sehari istana rahasia tidak terbuka maka sehari pula Siauw Ling tak bisa hidup
tenteram. Sejak Gak Siauw-cha lenyap dari pendegaran maka seharusnya Siauw ling
adalah satu-satunya jalan untuk mengejar kunci istana rahasia tersebut.”
Pemuda she Siauw itu tertawa dingin tiada hentinya mendengar perkataan tersebut.
“Tetapi justru cayhe sekarang yang sedang memaksa kalian dua bersaudara untuk
menunjukkan tempat persembunyian enci Gak ku.”
“Sungguh sayang kami berdua tidak tahu,” kata Tu Kiu dingin.
“Bagaimanapun pokoknya cayhe minta pertanggung jawab kalian berdua dalam soal ini
jikalau kalian tidak suka memberitahukan jejak enci Gak ku maka terpaksa kamu semua
harus ikut aku pergi keperkampungan Pek Hoa Sanceng.”
“Jika kami berdua tidak mau ikut?” tantang Sang Pat tiba-tiba.
“Kalian berdua tidak berhak untuk menentukan persoalan ini.”
“Ooow sungguh besar lagakmu!” Sang Pat tertawa geli. “Kami Tiong Cho Siang-ku
sudah ada puluhan tahun berdagang dan tidak mudah untuk menciptakan merek nama
emas sekali hancur membuat kami harus bergelandangan selama lima tahun di dalam
Bulim dengan keadaan menyaru jual beli ini benar-benar sangat merugikan sekali dan kini
kau masih ingin menagih uang muka.”

“Baik uang pokok maupun uang bunga aku tetap ingin menagihnya kembali pokoknya
tidak berhasil menemukan enci Gak berarti dua lembar nyawa kalian harus kurenggut
untuk mengganti selembar nyawanya.”
“Orang berdagang kebanyakan tergantung modal bocah cilik apa yang kau andalkan?”
“Aku andalkan sepasang telapak tanganku itu.”
“Bagus sekali kalau begitu siauwte berduapun harus melayani permintaanmu itu.”
“Ruangan ini terlalu sempit dan kecil, rasanya tidak leluasa jika harus bergebrak disini.”
“Tiga empat li disebelah utara ada sebuah kuil bobrok yang terpencil bagaimana kalau
kita disana saja. Urusan tak boleh diundur-undur lagi, sekarang juga kita pergi.”
“Baik, biar siauwte tunjuk jalan,” Sang Pat segera melompat keluar dari ruangan gubuk
tersebut.
Tiga sosok bayangan manusia dengan amat cepat berkelebat menuju ke arah utara dari
gubuk tadi.
Sedikitpun tidak salah setelah berjalan kurang lebih empat li tibalah mereka disebuah
kuil besar yang susah bobrok dan tidak terpakai lagi.
Di bawah pimpinan Sang Pat mereka meloncat masuk ke dalam kuil melewati ruang
besar dan tiba disebuah pekarangan yang besar tapi menyeramkan.
Luas halaman belakang kuil itu ada dua hektar lebih. Alang-alang tumbuh setinggi lutut,
empat penjuru penuh ditumbuhi pepohonan waru yang tinggi besar, hanya di tengah
pekarangan seluas tiga empat kaki saja merupakan sebidang tanah yang bersih dari
gangguan alang-alang. sembari menuding ke arah deretan barak sebelah timur tiba-tiba
Sang Pat berkata, “Di dalam deretan barak itu terdapat dua buah peti mati kosong jika tak
beruntung kami dua bersaudara terluka dan mati ditanganmu, harap kau suka sedikit
repot memasukkan mayat kami berdua ke dalam peti mati itu kemudian dikubur di tengah
lapangan ini.”
Siauw Ling tertegun, tetapi sebentar kemudian ia berkata “Jikalau siaiwte yang tidak
beruntung mati, berharap kalian berdua suka sedikit repot menyelesaikan layonku.”
“Asalkan kami bisa lakukan tentu akan dilaksanakan tanpa membantah.”
“Dikemudian hari jika kalian beruda berjumpa kembali dengan enci Gak maka tolong
jangan kalian katakan kalau aku mati karena pertarungan disini.”
“Tidak bisa jadi!” potong Tu Kiu tiba-tiba. “Tiong Cho Siang-ku tidak pernah bicara
bohong.”
Di dalam hati Siauw Ling mengerti bila kepandaian silat yang dimiliki Tiong Cho Siangku
amat lihay.
Jikalau mereka berdua turun tangan bersama-sama maka baginya memang kurang
punya pegangan untuk merebut kemenangan ia tertawa hambar.

“Setelah aku titipkan pesan terakhirku sudah tentu ucapan kalian bukan omongan
bohong.”
“Baiklah” kata Sang Pat kemudian manggut. “Kita tetapkan saja demikian.”
“Kalian hendak turun tangan bersama-sama? Ataukah seorang demi seorang?”
“Biar cayhe menghadapi dirimu seorang diri terlebih dulu,” sahut Sang Pat setelah
memandang sekejap ke arah Tu Kiu. “Jikalau kau benar-benar bisa mengalahkan diriku
nanti kami berdua baru turun tangan berbareng bagaimana?”
“Jika aku Siauw Ling takut kalian Tiong Cho Siang-ku turun tangan berbareng, saat
inipun tidak akan berani datang kemari untuk melayani tantangan kalian.”
“Kalau begitu silahkan kau turun tangan jumlah kami lebih banyak maka ada baiknya
mengalah tiga jurus dulu buatmu.”
“Tunggu sebentar ada satu persoalan, aku barus membicarakan agar jelas.”
“Cayhe tentu pentang telinga lebar-lebar untuk mendengarkan perkataanmu itu.”
“Karena kalian berdua ingin mempertahankan nama baik kalian dalam dunia kangouw
maka sekarang telah bulatkan tekad hendak melakukan suatu pertempuran adu jiwa, tapi
siauwte benar-benar tiada maksud untuk membinasakan kalian berdua jikalau aku
beruntung berhasil menangkan kalian berdua aku harap kalian bantu aku pergi mencari
jejak enci Gak.”
“Ha haa… kelihatannya keinginan Siauw heng untuk menangkan kami berdua begitu
kukuh dan kuat” Sang Pat tertawa terbahak-bahak habis mendengar ucapan pemuda
tersebut ia merandek sejenak lalu sambungnya serius, “Jika kami dua saudara sama-sama
menderita kalah ditanganmu maka selama hidup akan mendengarkan perintahmu tapi
jikalau beruntung kami dua bersaudara yang menang? kaupun harus menyetujui satu
permintaanku urusan apa?”
“Setelah bertemu dengan enci Gak mu kau harus bantu kami mintakan kunci istana
terlarang untuk kami.”
“Baiklah, sekarang kalian harus berhati-hati.”
“Sreeet” telapak tangannya mendadak dibabat keluar keras-keras.
Sang Pat menyingkir kesamping dengan gerakan Huan Bauw Lan Wie atau berganti
jubah menyingkir tempat loloskan dari datangnya serangan tersebut.
Terasa angin pukulan yang tajam dan kuat melayang lewat dari sisi tubuhnya membuat
jubah yang dikenakan berkibar keras tak terasa lagi ia merasa sangat terperanjat.
“Bangsat cilik! Sungguh dahsyat sekali ilmu pukulannya,” diam-diam ia berpikir di dalam
hati. Siauw Ling yang melihat serangannya tak mencapai sasaran, sang badanpun
mendesak maju ke depan, sepasang telapak dirapatkan jadi satu lalu dihantam kemuka.

Serangan ini datangnya meninggalkan sedikit suarapun, kekuatanpun tidak memancar
keluar dari ujung telapak.
Sang Pat dengan gerakan tubuh Ih Si Huan Wie atau bergoyang badan berpindah
tempat badannya berputar satu lingkaran besar meloloskan diri dari datangnya serangan
tersebut.
Terasa bayangan manusia berkelebat lewat, telapak Siauw Ling bagaikan bayangan
mengajar terus dari belakang, kali ini pemuda she Siauw tersebut telah menggunakan ilmu
menangkap yang jitu kelima jari tangannya mengancam pergelangan kanan Sang Pat.
Diam-diam Sang Pat merasa terperanjat pikirnya, “Amat cepat gerakan tangannya
hampir saja aku terhajar oleh serangannya.”
Buru-buru dengan menggunakan jurus Hong Hwie Yi Liuw atau angin menyambar
pohon Liuw ujung kakinya sedikit ditekan badanpun melayang lewat meloloskan diri dari
datangnya serangan tersebut.
Walaupun ia berhasil menghindarkan diri dari ketiga buah serangan lawan, tapi
tubuhnya sudah kena terdesak satu tombak dari tempat semula.
“Kali ini seharusnya kau balas melancarkan serangan kepadaku!” seru pemuda she
siauw itu sambil berhenti menyerang.
“Soal ini kau tidak kuatir.”
Tubuhnya menerjang maju ke depan, telapak kanan dihantam meyongsong dadanya
dan sewaktu serangannya hampir mendekati tubuh lawan mendadak kelima jarinya
dipentangkan mencengkeram pundak pemuda itu dengan jurus Sin Liong Tan Cau atau
naga sakti pentangkan cakar.
Siauw Ling buang pundak kesamping, dan tetap berdiri di tempat semula sedangkan
telapak kanan tiba-tiba membalik jari tengah jari telunjuk digurat ke tengah udara
membabat urat nadi pihak lawan.
************http://ecersildejavu.wordpress.com/***************
Dengan ketakutan Sang Pat mengundurkan diri ke belakang.
“Aaaakh…! ilmu menotok jalan darah Lan Hoa Hu Hiat So!” teriaknya tertahan.
“Sedikitpun tidak salah! Tidak kusangka pengetahuanmu betul-betul sangat luas.”
Telapak kiri mencowok ke depan lima jari setengah ditekuk setengah ditonjolkan
membabat pundak lawan.
Sang Pat sudah tentu tidak berani berlalu gegabah tangan kanannya dengan jurus Cing
To Lie An atau ombak besar menghajar pantai melancarkan satu babatan gencar ke arah
luar.
Saat ini Siauw Ling sudah kerajingan untuk bergebrak tangan kanannya menyambut
datangnya serangan lawan dengan keras lawan keras sedang tangan kiri dengan jari

tengah serta jari telunjuk menyentil perlahan ke tengah udara mengancam jalan darah Cit
Ing Im Bun serta Tiong Hu tiga buah jalan darah penting.
Jurus Lan Siang Su Sih atau harum bunga memancar empat penjuru ini merupakan
sebuah jurus yang sangat lihay diantara kedua belas jurus ilmu menotok Lan Hoa Hu Hiat
So.
Walaupun Sang Pat sudah mempunyai pengalaman yang sangat luas dalam
menghadapi musuh tangguh tak urung dibuat kelabakan juga menghadapi perubahanperubahan
jurus pihak lawan apalagi telapak tangannya sedang beradu tenaga dengan
telapak Siauw Ling baginya untuk meloloskan diri tidak mungkin lagi.
Dalam keadaan terburu-buru ia tarik napas panjang-panjang pundak kiri ditekan ke
bawah secara mendadak menekuk lima coen lebih ke bawah.
Walaupun perubahan yang dilakukan cukup cepat, tapi tak urung terlambat juga satu
tindak jalan darah Tiong Hu nya kena tersentil oleh jari tangan Siauw Ling.
Tu Kiu yang melihat saudaranya Sang Pat menderita kerugian dan di dalam dua tiga
jurus saja sudah menderita kalah ia tidak sempat turun tangan menolong lagi.
“Terimalah satu seranganku!” mendadak bentaknya dingin.
Padahal bentakan tersebut sudah terlambat diucapkan, belum sampai kata-kata itu
meluncur keluar serangannya sudah menyambar datang.
Siauw Ling membentak keras semangat berkobar-kobar sepasang telapaknya berturutturut
dilancarkan ke depan dengan serangan berantai, dalam sekejap mata ia sudah
melangsungkan suatu pertandingan sengit melawan sepasang Tiong Cho Siang-ku.
Tiong Cho Siang-ku yang harus bergabung dalam menghadapi Siauw Ling makin
bertempur hati mereka semakin terkejut tampak jurus serangan yang dilancarkan Siauw
Ling mempunyai perubahan yang sangat cepat dan kebanyakan merupakan gerakangerakan
yang belum selesai ditemui selama ini.
Satu jurus belum selesai digunakan jurus kedua sudah menyambung datang, kejadian
ini membuat pandangan setiap orang terasa berkunang-kunang dan susah melayani.
Kiranya rangkaian ilmu pukulan yang digunakan Siauw Ling ini adalah ilmu Lian Huan
Sun Tien Cieng Hoat atau ilmu pukulan berantai kilat menyambar andalan ayah angkatnya
Lam Ih Kong sewaktu angkat nama di dalam Bulim dalam jurus serangan terdapat jurus,
dalam pukulan terdapat pukulan perubahan lama belum selesai timbul perubahan baru,
bahkan saja membuat orang susah melayani bahkan perhatian yang terpusatpun kadangkadang
dibikin kacau sehingga membuat gerakan sendiri jadi kacau balau.
Setelah bergebrak sebanyak tiga puluh jurus, Tiong Cho Siang-ku mulai terdesak di
bawah angin oleh desakan angin pukulan yang dilancarkan pemuda itu mereka hanya bisa
menangkis dan memperhatikan diri belaka tanpa berhasil mendapatkan kesempatan untuk
balas menyerang serangan.

Sebaliknya Siauw Ling makin bertempur semakin gembira, ternyata ia mencampur
adukan ilmu menotok Cap Jie Hoa Hu Hiat So nya ke dalam gerakan-gerakan ilmu pukulan
kilat menyambar.
Keadaan Tiong Cho Siang-ku kebalikan dari diri Siauw Ling, makin bergebrak mereka
semakin terkejut pertama-tama Tu Kiu yang terpengaruh terlebih dulu oleh kecepatan
gerak ilmu telapak Siauw Ling tiba-tiba tangan kanannya didorong ke depan mengunci
datangnya serangan lawan dengan jurus Pit Bun Tui Gwat atau tutup pintu mendorong
rembulan.
Siapa nyana tangan kiri pemuda she Siauw ini mendadak meyelonong masuk dari sisi
tangannya langsung menghantam dada.
Pintu pertahanan Tu Kiu kena terbohol satu lubang. Kelihatan telapak lawan bakal
mampir di depan dada, terburu-buru ia mengundurkan diri ke arah belakang.
Siapa nyana telapak tangan Siauw Ling yang ditabok ke arah dada itu mendadak ditarik
kembali, telapak dibalik dengan ilmu menotok Lan Hoa Hu Hiat So, ia menyambar lengan
kanan lawannya. Tu Kiu segera merasakan jalan darah Pit Nau Siau Lok, dua buah jalan
darah penting jadi kaku sebuah lengan kanannya kontan kaku dan mati tak bisa digunakan
lagi.
Dalam keadaan terperanjat tiba-tiba Sang Pat maju ke depan melancarkan serangan
dengan jurus Pek Nio Cau Hong atau ratusan burung menyembah burung Hong, telapak
tangannya berubah jadi berpuluh-puluh bayangan serangan bersama-sama mengurung
seluruh kepala pemuda tersebut.
Siauw Ling sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam menghadapi musuh, melihat
telapak tangan lawan mengurung seluruh badannya ia jadi gugup, tubuh diputar siap
untuk menghindar, sedang tangan kanannya dengan menggunakan jurus Man Thian Seng
To atau seluruh jagat penuh bintang menangkis datangnya serangan tersebut.
Sedikit ragu-ragu itulah gerakannya rada terlambat angin pukulan Sang Pat sudah
bersarang di atas pundak kanannya.
Dari Cung San Pek pemuda she Siauw ini pernah memperoleh pelajaran ilmu kweekang
Kan Cing Khie kang yang khusus berguna untuk melindungi badan, dan sekarangpun
sudah ada hasilnya.
Serangan Sang Pat yang tepat menghajar di atas pundaknya segera terpental balik
keatas hal ini membuat sigemuk she Seng ini menjadi terkejut bercampur ngeri.
“Aaah! ilmu khie kang pelindung badan!” jeritnya tak tertahan lagi. Dalam keadaan
terhajar oleh serangan pihak lawan kembali Siauw Ling sentil tangan kirinya ke depan
dengan ilmu jari Siauw Lo Sin Cie angin tajam mendesir keluar jalan darah paling penting
Thian Tie pada Hu buin Sang Pat sudah kena terhajar.
Kontan seluruh tubuh Sang Pat bergoyang dan mundur dengan sempoyongan
kemudian roboh terjengkang keatas tanah.
Melihat saudaranya roboh, Tu Kiu merasa sangat terkejut.

“Toako,” teriaknya cemas sang tubuh dengan cepat menubruk ke depan.
Tangan kanannya sudah terluka susah digerakkan terpaksa dengan tangan kiri ia
sambar badan Sang Pat.
“Pundak kanan Siauw Ling yang terhajar oleh pukulan Sang Pat tadipun telah
menimbulkan rasa sakit seperti diiris-iris walaupun ia memiliki ilmu khie kang berlindung
badan tapi kekuatan tiga bagian hawa khie kangnya mana mungkin bisa menahan hajaran
Sang Pat yang kuat dan menggunakan tenaga besar itu.
Dalam pertarungan ini mereka bertiga sama-sama menderita luka. Hanya saja soal
Siauw Ling pun ikut terluka Tiong Cho Siang-ku sama sekali tidak tahu.
Haruslah diketahui ilmu Sian Bun Khie kang merupakan ilmu sakti yang tertinggi dalam
hal ilmu silat di dalam pandangan Tiong Cho Siang-ku setelah Siauw Ling berbhasil
memiliki ilmu khie kang pelindung badan sudah tentu ia tak bakal terluka oleh pukulan
apapun.
Diam-diam Siauw ling gertak gigi menahan rasa sakit ditulang bentaknya berat, “Jangan
goyangkan dirinya ia sudah terhajar oleh ilmu jari Siuw Loo Sin Ci. Jika tidak tahu cara
menolongnya bukan saja membantu bahkan akan mencelakai selembar jiwanya.”
“Apa? ilmu jari Siauw Loo Sin Ci?” seru Tu Kiu dengan air muka berubah hebat.
Buru-buru ia letakkan badan Sang Pat keatas tanah kemudian mengundurkan diri
kesamping.
Siauw Lingpun segera salurkan hawa murninya menahan rasa sakit dibadan, di samping
itu iapun menggunakan ilmu membebaskan jalan darah menunggal yang dipelajari dari
Sang Pat dari totokan jalan darah.
Walaupun akhirnya ia berhasil membebaskan diri Sang Pat dari pengaruh totokan tapi
ia sendiripun saking sakitnya keringat mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya.
Tu Kiu yang menonton dari samping dalam hati masih mengira pemuda itu kelelahan
sehingga mengucurkan keringat karena harus menyembuhkan Sang Pat dari pengaruh
totokan, diam-diam dalam hatinya merasa sangat berterima kasih sekali.
Setelah Sang Pat merasakan jalan darahnya bebas, ia segera loncat bangun dan
memandang Siauw Ling dengan mata terbelalak lama sekali ia baru menghela napas
panjang.
“Heee…! kepandaian silat yang dimiliki Siauw heng benar-benar luar biasa hebatnya.
Selama hidup aku Sang Pat baru kali ini benar-benar terbuka sepasang matanya.”
Ia merandek, setelah menghela napas panjang lagi sambungnya, Selama hidup bukan
satu kali saja menderita kalah dalam adu kepandaian kali ini benar-benar sangat
mengenaskan. Ia lantas menoleh dan memandang sekejap ke arah Tu Kiu.
“Bagaimana dengan dirimu?” tanyanya lirih.

“Urusan apa?” untuk beberapa waktu Tu Kiu masih belum mengerti apa yang
dimaksudkan saudaranya.
Sang Pat mendehem perlahan. “Aku sudah menyanggupi jikalau sampai menderita
kalah di tangan Siauw Ling maka selama hidup harus mendengarkan seluruh perintahnya
tapi urusan ini jauh lebih berat dari kematian seseorang walaupun sudah aku sanggupi
tapi aku tidak ingin memaksa kaupun mengikuti tindakanku ini.”
Tu Kiu termenung tidak bicara tapi dari perubahan matanya menunjukkan bila dihatinya
sedang bergolak sangat keras, lama sekali ia baru menyahut, “Bagaimana menurut
pendapat Toako, apakah kau sungguh-sungguh hendak mengikuti dirinya dan selama
hidup mendengarkan perintahnya??”
“Perkataan yang sudah kuucapkan kapankah pernah diingkari kembali? tapi kau tidak
pernah menyetujui dengan mulut sendiri karena itu kau tak terhitung dalam perjanjian ini,
rasanya saat inilah merupakan satu-satunya jalan bagimu untuk melepaskan diri dari
belenggu.”
Di dalam hati Siauw Ling mengerti tindakan yang diambil kedua orang ini merupakan
keputusan terakhir yang mempengaruhi penghidupan seumur hidupnya, maka dari itu ia
tidak ikut menimbrung dalam perundingan tersebut.
Tu Kiu kelihatan sangat bersedih hati setelah berjalan bolak balik mengelilingi dua
lingkaran, akhirnya ia bertanya, “Apakah caramu itu?”
“Jikalau pada saat ini juga kau putuskan hubungan dengan diriku, mengurat tanah
memisahkan dunia dan sejak kini tidak saling mengurusi satu sama lain maka kau tidak
usah terikat lagi dengan perjanjian ini.”
Tampak Tu Kiu menegakkan kepala menghembuskan napas panjang, akhirnya ia
salurkan hawa murni mengelilingi seluruh tubuh dan berkelebat pergi dari tempat itu.
Gerakannya cepat laksana sambaran petir di dalam sekejap mata sudah lenyap dari
pendangan.
Perlahan-lahan Siauw Ling menghembuskan napas panjang.
“Perjanjian sepatah kata saja bisa mempengaruhi penghidupan seumur hidup, tidak
aneh kalau ia jauh-jauh meninggalkan dirimu,” katanya perlahan.
“Adik angkatku tak bakal jadi seorang manusia segoblok itu,” Sang Pat menggeleng
berulang kali. “Jikalau ia mau pergi maka ia bisa pergi dengan blak-blakan, dan tak
mungkin berlalu dengan menyeret lumpur membawa air. Tapi urusan ini meyangkut suatu
kejadian yang besar, untuk beberapa waktu, ia merasa susah untuk ambil keputusan.”
Ia merandek sejenak, kemudian tambahnya, “Cayhe ada satu urusan ingin mohon
bantuan dari Siauw heng!”
“Asalkan aku bisa laksanakan sudah tentu tak bakal kutolak.”

“Jikalau adikku ambil keputusan untuk putuskan hubungan dan memisahkan diriu
dengan diriku aku berharap Siauw heng dengan memandang di atas wajahku suka
melepaskan dirinya pergi tanpa diganggu.”
Tampak sesosok bayangan manusia laksana sambaran kilat meluncur datang, setelah
mengitari kedua orang itu dua kali kemudian berkelebat lagi dari tempat itu.
Siauw Ling dapat melihat jelas kalau orang itu bukan lain adalah Tu Kiu, sambil
busungkan dada segera menyahut, “Sang heng tidak usah terlalu bersedih hati , orangorang
Bulim memandang janji lebih berat daripada mati, tapi jika Sang heng ada sedikit
menyesal terhadap janji kita ini, sekarang juga kau berlalu dari sini.”
dari sepasang matanya tiba-tiba Sang Pat memancarkan cahaya yang bukan alang
kepalang tapi sebentar kemudian sudah lenyap tak berbekas ia menghela napas panjang
lagi.
“Selama hidup aku Sang Pat belum pernah mengingkari janji yang telah aku ucapkan
kawan-kawan Bulim bisa pandang tinggi Tiong Cho Siang-ku justru dikarenakan persoalan
ini dan aku orang she Sang pun mengandalkan hal ini merantau dalam dunia persilatan.
Semboyanku seumur hidup adalah kepala boleh putus darah boleh mengalir tapi
kepercayaan tak boleh dinodai.”
Tiba-tiba terdengar suara langkah manusia berkumandang datang. Tu Kiu muncul
kembali disana dan langsung berhenti dihadapan orang itu.
“Toako,” katanya lambat. “Siauwte telah lama berpikir dan akhirnya berhasil mengambil
keputusan.”
“Haaa haaa… aku sudah membicarakan persoalan ini dengan diri Siauw heng” potong
Sang Pat tertawa tergelak. “Ia berjanji tak akan menghalangi kepergianmu. Harta karun
yang kita berdua kumpulkan hampir separoh hiduppun mulai sekarang boleh dihitung
milikmu seorang.”
“Setelah siauwte pikir pulang balik akhirnya aku merasa jauh lebih baik mengikuti diri
Toako saja,” sambung Tu Kiu lebih lanjut. “Perduli pergi keujung langit atau sudut
samudra naik gunung golok hutan pedang selama hidup tak akan berpisah dengan
dirimu.”
“Kau tak pernah menyanggupi persoalan ini dengan mulutmu sendiri, dan kau masih
berhak untuk tinggalkan tempat ini, buat apa kau mencari susah dengan mendengarkan
perintah orang selama hidup? kau…” teriak Sang Pat dengan alis berkerut.
“Aku tahu tentang soal ini, tetapi setelah Toako menyanggupi bukankah sama halnya
pula dengan siauwte yang menyanggupi sendiri?”
Ucapan yang begitu bersahabat walaupun membawa hawa hangat bagi yang
mendengar, tapi kedengarannya tetap dingin pula yang meluncur keluar dari mulutnya.
Akhirnya Sang Pat menghela napas panjang.
“Kalau begitu akulah yang telah mencelakai dirimu?”

“Kalian berdua suka membantu aku mencari enci Gak, hatiku sudah merasa sangat
berterima kasih” tiba-tiba Siauw ling merangkap tangannya seraya menjura. “sejak ini ada
baiknya kita sebut masing-masing pihak sebagai saudara tak ada urutan kedudukan dan
tak perlu bicarakan soal turut perintah sepanjang hidup yang tak sedap didengar.”
Sang Pat mendongak dan tertawa terbahak-bahak.
“Haa haaa… usia Siauw heng tidak besar tapi kelapangan dadamu melebihi orang lain,
jikalau demikian adanya kami berduapun tidak akan menampik lagi, sejak detik ini Siauw
heng adalah Liong Tauw Toako kami.”
“Usia Siauwte masih sangat muda, mana boleh menjadi Liong Tauw Toako kalian.”
“Dalam kalangan Bulim siapa yang kuat dialah di atas tidak pernah urutan ditentukan
menurut usia. Toako terimalah satu penghormatan kami?” seru simanusia gemuk she Sang
inicepat.
Diikuti Tu Kiu mereka berdua jatuhkan diri berlutut dan menjalankan penghormatan
besar.
Buru-buru Siauw Ling balas memberi hormat dengan berlutut pula, dengan demikian
mereka berada saling berhadap-hadapan.
“Siauw Toako!” tiba-tiba Tu Kiu berseru. “Kami sebagai saudaramu ada beberapa patah
kata yang rasanya tidak sesuai diutarakan, entah bolehkah kuucapkan keluar?”
“Dalam soal pengalaman dunia kangouw diriku tak dapat menandingi kalian berdua,
dalam persoalan ini justru aku ingin mendapat banyak petunjuk dari kalian.”
“Toako terlalu memuji.”
Perlahan-lahan Tu Kiu mendongak memperhatikan bintang yang bertaburan diangkasa,
mendehem beberapa kali sambungnya, “Janji kita malam ini akan berlaku selama hidup
oleh sebab itu ada baiknya Siauwte bicara blak-blakan dulu sejak kini kami akan dengar
perintah Toako. Mengenai orang lain perduli ia mempunyai hubungan atau kedudukan
apapun dengan diri Siauw Toako kami tak suka jual muka buat mereka.”
“Ehmm, soal ini sih terserah kemauan kalian berdua,” kata Siauw Ling sesudh
termenung sejenak.
“Siauwtepun ada beberapa patah kata rasanya tidak enak bila tidak kuutarakan keluar”
sela Sang Pat pula dari samping. “Kepandaian silat yang Toako miliki saat ini apakah hasil
pelajaran dari sibayangan berdarah Jen Bok Hong?”
“Bukan! ketiga orang cianpwee yang memberi pelajaran silat kepadaku sudah lama
mengundurkan diri dari dunia persilatan kendati kuberitahukan belum tentu kalian berdua
tahu.”
Usia masih muda bila dibandingkan dua orang lelaki dihadapannya boleh dikata terpaut
berpuluh-puluh tahun lamanya. Ia merasa canggung untuk menyebut mereka dengan
sebutan adik.

“Haaa… haaa jika Toako punya kesulitan untuk memberitahukan soal ini kepada kami
biarlah kita sudahi saja omongan kita sampai disini, dan apabila tiada halangan bagaimana
kalau diberitahukan kepada Siauwte berdua?” Sang Pat tertawa terbahak-bahak.
Terhadap keberhasilan Sian Siauw memiliki ilmu silat yang maha dahsyat dalam lima
tahun saja hati mereka benar-benar tidak paham. Otak penuh dengan hal yang
mencurigakan hatinya.
“Setelah menjadi saudara berarti kita telah menjadi orang sendiri memberitahukan
selain kepada kalian berdua sudah tentu tiada halangan cuma kamu berduapun harus
berjanji tidak akan menceritakan persoalan ini kepada siapapun juga.”
“Toako boleh berlega hati!” seru Tu Kiu dengan cepat. “Siauwte berdua tak akan
sembarangan menceritakan asal usul Toako kepada siapapun juga.”
Nada suara orang ini selalu membawa rasa dingin dan ketus yang tidak sedap didengar
kendati ia sudah berusaha menghaluskan dan melemahkan suaranya tetap saja ucapannya
memberikan perasaan bergidik bagi siapapun juga.
“Seluruh kepandaian ilmu silatku ini kudapatkan dari tiga orang jagoan maha sakti
mereka adalah Giehu ku Lam Ih Kong, suhuku Cung San Pek serta nona Liuw Sian Ci.”
“Apa? mereka bertiga masih hidup dikolong langit?” teriak Sang Pat dengan mata
terbelalak.
“Benar mereka tinggal dilembah Sam Sin Kok” Teringat sewaktu perpisahannya dengan
ketiga orang tua itu Siauw Ling merasa hatinya kecut air mata hampir saja jatuh berlinang.
“Pengalaman aneh yang Toako temui benar-benar luar biasa berhasil mendapat
bimbingan serta didikan dari ketiga orang Locianpwee ini tidak aneh kalau dibandingkan
yang Toako miliki jauh melampaui aturan Bulim yang berlaku hingga sekarang.”
“Kejahatan-kejahatan yang dilakukan sibayangan berdarah Jen Bok Hong sudah
menggemparkan seluruh dunia kangouw pada sepuluh tahun berselang,” sambung Tu Kiu
pula. “Setelah Toako berhubungan dengan dirinya harap kau suka banyak berhati-hati.”
Jilid 22
“Benar Siauw Toako Jan Bok Hong Ciu Cau Liong merupakan manusia-manusia cilik
yang berhati keji telengas dan banyak akal mereka paling suka melakukan serangan
bokongan terhadap jago-jago golongan Pekto dan melakukan perbuatan-perbuatan
pengecut mereka suka bersahabat dan mengikat tali persaudaraan dengan Toako aku rasa
dibalik kesemuanya ini masih tersembunyi maksud-maksud lain. Aaai sebenarnya Toako
tak boleh siauwte ikut campur tapi persoalan ini menyangkutnya keselamatan Toako harap
Toako banyak berhati-hati.”
“Lebih baik Toako jangan ceritakan peristiwa yang terjadi malam ini kepada mereka
berdua, sehingga tidak sampai menimbulkan rasa curiga mereka terhadap dirimu,”
sambung Tu Kiu.

Belum sempat Siauw Ling membuka suara, Sang Pat sudah berebut bicara lagi.
“Agaknya pada beberapa hari ini dalam dunia kangouw sedang terjadi gelombang besar
hanya saja disebabkan perhatian Siauwte tercurahkan semua untuk menguntit dan
menyelidiki Lan Giok Tong dengan harapan bisa mendapatkan jejak nona Gak maka
terhadap persoalan lain tidak begitu kami perhatikan! Sekarang juga kami akan pergi
melakukan penyelidikan setelah ada kabar baru datang kembali untuk kasih kabar kepada
Toako.”
“Bagaimana?? Apakah antara Lan Giok Tong dengan enci Gak ku tersangkut suatu
hubungan tertentu?” sela Siauw Ling dengan hati cemas.
“Hingga detik ini belum berhasil kami dapatkan tanda-tanda, maka siauwte berdua tidak
berani berbicara sembarangan,” jawab Tu Kiu dengan serius. “Harap Toako suka bersabar
beberapa hari. Sesudah ada kabar tentu kami laporkan kepada Toako.”
Ia merandek sejenak untuk tukar napas setelah itu sambungnya lebih lanjut, “Lan Giok
Tong menyaru dengan menggunakan nama besar Toako baru berjalan satu tahunan
lamanya, tapi sudah cukup menggemparkan seluruh dunia persilatan. Asal usul ornag ini
masih penuh diliputi kemisteriusan, masih merupakan tanda tanya besar buat kita. Dalam
soal jurus pedangnya betul-betul keji, telengas dan dahsyat. Selama beberapa waktu ini
Siauwte belum pernah melihat dia orang bergebrak melawan musuhnya melampaui dua
jurus, begitu cabut pedang menyerang pihak lawan apabila bukan mati tentu terluka
parah. Toako dilain waktu apabila berjumpa dengan nona ditepi sungai sebelah sana, maaf
tak cepat lama menemani Toako serta Jie ko juga.”
Tubuhnya berputar lalu meloncat satu tombak kemuka kemudian dalam dua tiga kali
loncatan saja telah lenyap dibalik kegelapan.
“Sebelum berjumpa dengan Toako siauwte sekalian hanya pusatkan semua perhatian
untuk menyelidiki dan mencari tahu jejak nona Gak” kata Sang Pat sambil tertawa. “Tapi
mulai saat ini, siauwtepun harus ikut memperhatikan juga semua gerak-gerik serta situasi
dalam dunia persilatan kini Toako bergaul dengan manusia-manusia ganas, harap dalam
setiap gerakan suka berhati-hati, siauwtepun mohon diri terlebih dulu.”
“Eeei… tunggu sebentar dikemudian hari secara bagaimana kita saling berjumpa lagi?”
“Bila kami ada urusan penting sudah tentu bisa datang mencari Toako sendiri untuk
sampaikan berita sedangkan bila Toako yang ada urusan kau boleh tinggalkan kode
rahasia untuk memberi petunjuk kepada kami.”
Si Siepoa emas inipun lantas memberitahukan kode rahasia mereka kepada diri Siauw
Ling.
Orang ini benar-benar sangat teliti habis memberitahukan kode rahasia ia masih belum
juga merasa berlega hati sembari berpaling menuding ruangan sebelah timur
sambungnya, “Setelah dalam dunia persilatan terjadi suatu perubahan besar kemungkinan
besar kita bersaudara susah untuk mengadakan hubungan atau mungkin karena sulitnya
persoalan siauwte tak ada kesempatan untuk menemui Toako maka Toako boleh mencari
laporan siauwte sekalian dari dalam sebuah peti mati yang ada di dalam ruanga ersebut
menghadap ke arah selatan tapi Toakopun harus tahu cara hubungan macam begini

merupakan suatu tindakan yang sangat berbahaya pada hari-hari biasa jangan sekali-kali
digunakan Toako baik-baiklah kau berjaga diri.”
Sesudah menjura ia putar badan dan berlalu. Sembari memandang lenyapnya
bayangan Sang Pat dalam hatinya Siauw Ling merasa yang dilontarkan kedua orang itu
berulang kali kepada Siauw Ling mulai merasakan hatinya bimbang dan ragu.
Teringat situasi waktu tempo dulu Ciu Cau Liong sekalian memaksa ia angkat
bersaudara dirasakan situasinya kurang beres apalagi setelah terjebak dalam lingkaran
setan mereka.
“Tapi kini nasi sudah menjadi bubur menyesalpun telah terlambat asalkan mulai saat ini
bertindak lebih hati-hati mungkin keadaannya akan jauh lebih baikan.”
Setelah pikiran itu berkelebat lewat ia mulai merasa pengetahuannya agak mendadak
kemajuan ia mendongak dan menghembuskan napas panjang lalu berjalan meninggalkan
kuil bobrok itu kembali keperkampungan Pek Hoa Sanceng.
Malam semakin kelam angin dingin berhembus sepoi-sepoi selama perjalanan Siauw
Ling berlari cepat, menanti hampir tiba diperkampungan Pek Hoa Sanceng ia baru
perlambat langkah kakinya.
Mendadak tampak sesosok bayangan hitam laksana sambaran kilat berkelebat lenyap
dibalik kegelapan.
Melihat munculnya sesosok bayangan manusia disekitar tempat tersebut, Siauw Ling
merasakan hatinya rada bergerak.
“Siapakah orang itu?” pikirnya. “Di tengah malam buta melakukan perjalanan dengan
gugup bahkan tidak memilih jalan besar. Arah tujuanpun agaknya perkampungan Pek Hoa
Sanceng. Aku harus cegah dan awasi perbuatannya.”
Bayangan hitam yang muncul secara mendadak tadi kini telah berada kurang lebih lima
kaki di depan Siauw Ling bahkan gerakan tubuhnya sebat dan lincah, dalam sekali
kelebatan telah lenyap di tempat kegelapan.
Hatinya jadi ragu-ragu. Mendadak dari belakang tubuhnya kembali berkumandang
suara derapan kuda yang memecahkan kesunyian di tengah malam buta.
Ia menoleh sesosok bayangan kuda bagaikan sambaran kilat menerjang datang!
“Ooouw… sungguh cepat larinya kuda ini,” diam-diam pemuda she Siauw memuji.
Pikiran tadi baru saja berkelebat lewat kuda jempolan tadi sudah berada di depan mata.
Seorang lelaki berpakaian singsat warna hitam duduk di atas pelana dengan tegap dan
angkernya.
Belum sempat Siauw Ling melihat jelas siapakah orang itu, orang yang ada di atas kuda
telah keburu membentak terlebih dahulu.
“Siapa?”

Sreet! Sebuah serangan cambuk yang keras meluncur datang dengan dahsyatnya.
Melihat dirinya diserang Siauw Ling jadi naik pitam, pikirnya, “Kurang ajar! orang ini
benar-benar sangat gegabah sebelum tahu pihak lawan musuh atau kawan langsung
melancarkan serangan cambuk sedahsyatnya… aku harus kasih sedikit ajaran kepadanya.”
Tangan kiri diayun kesamping balas mencengkeram datangnya serangan cambuk dari
orang itu.
Kepandaian silat yang dimiliki simanusia berbaju hitam ternyata lumayan juga,
pergelangan tangan kanannya disendat cambuk tadi secara tiba-tiba ditarik kembali.
Larinya kuda jempolan tersebut sungguh mengejutkan sekali ketika orang tadi menarik
kembali serangan cambuknya kuda tunggangannya itu sudah lari dua tombak
menggagalkan Siauw Ling dibelakang.
Pemuda she Siauw yang tidak ada angin tiada hujan kena diserang orang hawa gusar
segera memuncak, hawa murni disalurkan mengelilingi seluruh tubuh siap menggunakan
ilmu meringankan tubuhnya melakkan pengejaran. Siapa nyana mendadak kuda tersebut
berputar kalangan kemudian meluncur datang lagi dengan tidak kalah cepatnya, cambuk
panjang sekali lagi menyambar datang.
Kali ini Siauw Ling sudah bikin persiapan, tidak memberi kesempatan orang itu menarik
kembali cambuknya tangan kanan dibalik keluar, dengan jurus Poh Im Ci Seng atau
memecah awan memetik bintang kelima jarinya merapat dan tahu-tahu cambuk tersebut
sudah kena dicekal olehnya.
Gerakan Siauw King yang cepat dan tepat pada sasarannya ini membuat si orang
berbaju hitam yang ada di atas pelana kuda merasa terperanjat ia mendengus dingin.
“Lepas tangan!”
Cahaya hitam berkilat dengan membawa desiran tajam membabat pergelangan kanan
Siauw Ling.
“Serangan yang dilancarkan orang ini amat cepat babatan pedangnya!” teriak Siauw
Ling dalam hati dengan perasaan terperanjat.
Tangan kanan menyentak ke bawah menarik cambuk tersebut makin mengencang,
tangan kiri dengan jurus Lan Siang An Song atau harum semerbak sebar meluas, kelima
jarinya separuh menekuk separuh menyentil membabat urat nadi orang itu.
Agaknya si orang berbaju hitam yang ada di atas kuda tahu dia lihay, walaupun tidak
sampai menjerit tertahan “Ilmu golok jalan darah Lan Hoa Hu Hiat” tangannya sudah
melepaskan sang cambuk diikuti badannya meloncat turun dari pelana.
Kaki kanan Siauw Ling diangkat merebut posisi Tiong Kong menerjang terus kemuka,
tangan kiri laksana sambaran petir membabatkan empat buah serangan ke arah seluruh
tubuh pihak lawan.

Ilmu pukulan kita “Lian Huan San Tien Ciang Hoat” dari Lam Ih Kong merupakan ilmu
silat terdahsyat dalam Bulim, kecepatan menyerang, keruwetan perubahan susah diikuti
dengan pandangan mata.
Keempat buah serangan itu memaksa si orang berbaju hitam kena terdesak dan
beruntun mundur empat depa ke belakang.
Sewaktu orang berbaju hitam itu meloncat turun dari punggung kudanya pedang
panjang sudah disilangkan di depan dada siap melancarkan serangan.
Siapa nyana gerakan Siauw Ling jauh lebih cepat sekali meloncat empat buah serangan
sudah meluncur keluar merebut posisi di atas angin si orang berbaju hitam itu kontan saja
kena terdesak bukan saja tiada bertenaga untuk melancarkan serangan balasan bahkan
untuk menangkispun tidak sanggup. Tapi bagaimanapun ilmu silat yang dimiliki tidak
lemah. Menanti keempat buah serangan Siauw Ling sudah lewat dan situasi ia mengendor
ia segera melancarkan serangan balasan.
Pedang panjang bergerak gencar cahaya tajam menyebar keempat penjuru teteran
pedang menciptakan bunga-bunga pedang mengurung seluruh tubuh pemuda itu
memaksa Siauw Ling terdesak mundur dua langkah ke belakang. Hawa gusar dalam dada
Siauw Ling makin memuncak.
“Kurang ajar!” pikirnya dihati. “Aku tidak saling mengenal dengan orang itu, tiada pula
dendam sakit hati tapi serangannya sangat keji dan ganas aku harus kasih sedikit ajaran
kepadanya.”
Ketika ia siap melancarkan serangan gencar, mendadak suara bentakan yang sangat
dikenal berkumandang datang, “Heei, kalian cepat berhenti! kalian berhenti, orang sendiri?
kita semua orang sendiri!”
Sesosok bayangan manusia dengan cepatnya berlari mendekat.
Pertama-tama si orang berbaju hitam itu meloncat mundur dulu ke belakang seraya
tarik kembali pedangnya dan berdiri serius.
“Tidak mengetahui kehadiran paman kedua, siauwtit mohon maas sebesar-besarnya.”
Sembari menjura penuh rasa hormat.
Siauw Lingpun berpaling, dilihatnya orang itu memakai baju perlente, sikapnya jumawa
sekali.
Orang itu bukan lain adalah Jie Cungcu dari perkampungan Pek Hoa SancengCiu Cau
Liong adanya.
Kelihatan Ciu Cau Liong sembari ulapkan tangannya ia tersenyum.
“Saudara ini adalah Siauw Sam siok mu, cepat beri hormat kepadanya.”
Dengan termangu-mangu si orang berbaju hitam itu memandang Siauw Ling lama
sekali ia baru menjura.

“Siauw tit Tan Siong Cang menghunjuk untuk paman Siauw sam siok.”
Dengan tajam diperhatikannya orang itu Siauw Ling temukan Tang siong Cang berusia
dua puluh empat lima tahunan, wajahnya hitam pekat bagaikan pantat kuali tapi
memancarkan sinar cemerlang. Matanya bulat besar dengan mulut yang lebar, sepasang
alisnya hitam lagi tebal, tampangnya benar keren.
Usia orang ini lebih besar beberapa tahun dari usia Siauw Ling kini ia memberi hormat
kepadanya dengan begitu hormat bahkan memanggil dirinya dengan sebutan paman
Siauw sam siok dalam hati Siauw Ling merasa sangat tidak enak.
Buru-buru ia memberi hormat. “Tidak… tidak berani Tan heng.”
“Tua muda ada urutannya tingkatan kedudukan ini tidak boleh dikacau balaukan samte
kau tidak usah sungkan-sungkan lagi!” teriak Ciu Cau Liong cepat.
Tan Siong Cang dengan membelalakkan sepasang matanya yang bulat besar
memperhatikan Siauw Ling terus menerus tidak berkedip.
Akhirnya Siauw Ling mendehem pelan.
“Tan Hian tit tidak perlu banyak hormat lagi!” serunya.
Ciu Cau Liongpun tersenyum.
“Tan Hian tit adalah murid kesayangan Toako yang dikirim keluar perbatasan pada dua
tahun berselang malam ini baru untuk pertama kali balik keperkampungan tidak aneh
kalau ia tahu akan diri Samte yang sudah angkat saudara dengan kita semua kesalahankesalahan
ini mohon Samte jangan pikirkan dalam hati.”
“Tindak tanduk Siauwte sendiri yang kasar dan berangasan hal ini tak dapat
menyalahkan Tan Hian tit.”
“Siauw tit tidak mengenal paman Sam siok semua dosa siauw tit rela menerima
hukaman kembali,” Tan Siong Cang menjura.
Merah padam selelmbar pipi Siauw Ling.
“Sudah, sudahlah, kesalahan terletak dikedua belah pihak, tidak usah kita ungkap lagi
persoalan ini.”
“Pepatah ada mengatakan siapa yang tidak tahu ia tidak salah, Hian titpun tidak perlu
menyesal lagi,” sambung Ciu Cau Liong dengan cepat seraya tertawa. “Kepandaian silat
paman Siauw Sam siok mu luar biasa sekali. Dikemudian hari kau harus banyak minta
petunjuk darinya.”
“Jie ko! kau tidak usah meninggi-ninggikan siauwte lagi, kepandaian silat yang dimiliki
Tan Hian tit tidak berada di bawah kepandaian siauwte.”
“Semuanya adalah orang sendiri, Samte tak usah terlalu merendahkan diri lagi.”
Sinar matanya perlahan-lahan dialihkan kepada Tan Siong Cang kemudian tambahnya.

“Setelah Hian tit memperoleh penghargaan dari suhumu perjalananmu keluar
perbatasan tentu berhasil peroleh hasil yang gilang gemilang bukan?”
“Soal ini sih bisa dikatakan, beruntung tidak kehilangan nyawa.”
Ia merandek sejenak, lalu ujarnya lagi, “Bagaimana dengan keadaan luka suhuku?”
“Hian tit tak usah kuatir keadaan gurumu lagi,” kata Ciu Cau Liong sambil tertawa.
“Bukan saja luka suhumu telah sembuh bahkan ilmu sakti Hiat Im Sin kang yang belum
juga berhasil dilatih setelah berjuang mati-matian selama puluhan tahun. Mengambil
kesempatan ini telah berhasil mencapai puncak kesempurnaan bahkan beberapa macam
ilmu silat yang maha lihaypun berhasil disempurnakan semua ditambah lagi adanya paman
Siauw Sam siokmu yang menggabungkan ciri serta keberhasilan Tan Hian tit dengan
tugasmu diluar perbatasan tanda perintah Kiem Hoa Ling dari perkampungan Pek Hoa
Sanceng kita segera akan merajai seluruh Bulim.”
“Sejak suhu menutup diri untuk menyembuhkan lukanya, maka dari itu semua urusan
dalam perkampungan dipikul paman Jie siok seorang, selama beberapa tahun ini paman
tentu amat menderita sekali bukan?”
“Aaah boleh dihitung semuanya aman tentram tak pernah terjadi suatu peristiwa
apapun.”
Tan Siong Cang mendongak dan perhatikan sejenak keadaan cuaca lalu ujarnya,
“Siauwte harus kembali keperkampungan terlebih dulu untuk melaporkan hasil tugasku
selama perjalanannya keluar perbatasan. Paman berdua silahkan berangkat ke belakang.
Maaf Siauw tit harus berlalu dulu.”
“Gurumu sedang menjamu tamu terhormat di atas loteng Wang Hoa Loo, karena tidak
berhasil menemukan Samte dimana-mana. Dari kampung telah dikirim delapan belas
orang jagoan dengan memencarkan diri untuk mencari jejaknya, tidak disangka ternyata
kalian paman dan keponakan sedang bergerak sendiri disini.”
Ia merandek sejenak lalu tertawa tergelak dan sambungnya, “Samte! karena Toako
tidak berhasil temukan dirimu dan tidak ingin pula menyalahi dirimu dan tidak pula
menyalahi tamu terhormat. Sekarang perjamuan sudah dimulai mari kita cepat-cepat
pulang.”
Dengan membawa Siauw Ling mereka lari balik ke dalam perkampungan.
“Jago-jago darimana yang telah datang?” bisik pemuda she Siauw lirih. “Tidak disangka
mereka dapat perlakuan baik dari Toako dan dijamu di atas loteng Wang Hoa Loo.”
“Sampai waktunya Toako akan perkenalkan tamu-tamunya kepada diri Samte apa
gunanya kau gelisah tidak karuan ayo! kita percepat dikit larinya.”
Tiga sosok bayangan manusia bagaikan kilat menyambar meluncur di tengah jalan raya
yang lurus dan lebar.

Walaupun Tan Siong Cang telah bergebrak beberapa jurus dengan Siauw Ling dan
merasakan kepandaiannya tidak lemah, tapi melihat usianya yang amat muda dalam hati
merasa rada tidak puas.
Diam-diam pikirnya dihati, “Suhu memang rada keterlaluan bila ingin mengundang
orang untuk menggabungkan diri seharusnya mencari seseorang yang berusia rada lanjut,
orang ini berusia sangat muda bila suruh aku menghormati dirinya sebagai seorang
angkatan tua dan melayani dirinya, sebagai paman benar-benar hatiku tidak puas.”
Karena mangkelnya menumpuk dalam dada dan susah disalurkan keluar ia ada maksud
mengalahkan Siauw Ling dalam hal ilmu meringankan tubuh sehingga rada mangkel tadi
bisa agak berkurang.
Ia lantas meninggalkan kudanya berlari kencang dalam sekejap mata ia sudah
melampaui Ciu Cau Liong serta Siauw Ling.
Ciu Cau Liong adalah seorang manusia sudah tentu iapun tahu maksud hati Tan Siong
Cang segera dilepasnya cekalan tangan Siauw Ling seraya berseru lirih, “Samte mari kita
berjalan lebih cepat”, dengan sekuat ia meluncur ke depan cepat bagaikan tiupan angin
taupan.
Ilmu meringankan tubuh Siauw Ling memperoleh didikan langsung dari Liuw Sian Ci
dan si Liuw Sia Ci ini merupakan jago Bulim nomor wahid tiada duanya dalam soal ilmu
meringankan tubuh. Kendati begitu Siauw Ling tidak ingin terlalu menonjolkan diri ia selalu
mengejar dari belakang Ciu Cau Liong.
Demikianlah masing-masing pihak dengan tetap menjaga posisi satu depa di belakang
pihak lain laksana sambaran kilat meluncur ke arah perkampungan Pek Hoa Sanceng.
Perjalanan ini tidak lebih dari lima lie melakukan dengan kecepatan tinggi tidak selang
beberapa waktu mereka bertiga telah tiba diperkampungan tersebut.
Mendadak Tan Siong Cang menarik kembali hawa murninya dan berhenti diam-diam ia
atur pernapasan lalu berpaling ke belakang.
Dilihatnya Ciu Cau Liong dan Siauw Ling berdiri sejajar dengan jarak tidak lebih dari
dua depa dibelakangnya.
Air muka Ciu Cau Liong merah padam bagaikan kebanyakan minum air kata-kata
bahkan secara lapat-lapat kedengaran napasnya memburu.
Sebaliknya Siauw Ling tetap tenang seperti belum pernah terjadi sesuatu peristiwa
apapun, hatinya merasa sangat terperanjat.
“Kelihatannya aku dengan paman Ciu Jie siok walaupun sudah berlari dengan sepenuh
tenaga paman Siauw Sam siok cuma mengejar seenaknya saja,” pikirnya dihati. “Untung
sekali perjalanan ini amat pendek dan susah ditentukan siapa menang siapa kalah bila
perjalanan yang harus dilalui sangat jauh bukankah melukis harimau jadinya anjing dan
mencari malu sendiri??”

Tidak terasa lagi rasa kagumnya terhadap Siauw Ling bertambahmenebal Ciu Cau Liong
yang sudah bagaimana dahsyatnya kepandaian silat yang dimiliki Siauw Ling sudah
pikirkan hal ini dalam hati, ia tersenyum.
“Perjalanan hian tit selama dua tahun keluar perbatasan membuat iolmu meringankan
tubuhmu memperoleh kemajuan yang pesat selamat.”
“Karena Siauw tit ada maksud buru-buru menghadap suhu guna menceritakan kisahku
selama bertugas diluar perbatasan maka siauwte harus berlari duluan harapan paman
berdua jangan menyalahkan diriku.”
“Haaa… haaa… melihat kepandaian silat hian tit memperoleh kemajuan pesat kami
sebagai pamannya untuk bergirang hatipun tidak sempat mana mungkin menyalahkan
dirimu lagi.”
Pertama-tama si Cungcu keluar dari perkampungan pek Hoa Sanceng melangkah dulu
keatas loteng Wang Hoa Loo.
Puncak teratas dari loteng Wang Hoa loo terang benderang oleh cahaya lampu secara
lapat-lapat kedengaran juga suaragelak tertawa yang riang gembira.
Ciu Cau Liong memasuki pintu loteng dipaling depan disusul Siauw Ling sedang Tan
Hong Cang mengalah dengan berjalan paling akhir.
Suasana dalam pintu loteng amat angker para penjaga keamanan dengan senjata
terhunus berdiri dan berjaga-jaga di sekeliling tempat itu, penjagaan sangat ketat sekali.
Melihat hal ini diam-diam Siauw Ling berpikir “Kelihatannya tamu yang berkunjung
datang mempunyai asal usul yang tidak rendah.”
Mereka bertiga langsung naik keloteng tingkat ketiga belas, waktu itu perjamuan sudah
dimulai empat orang dayang cantik berdiri dua dikanan dan dua dikir di tengah meja
perjamuan duduk seorang perempuan cantik berbaju putih bersih dengan ukiran bunga
emas di depan dadanya.
Orang kedua berusia empat puluh tahunan dengan jubah biru langit serta jenggot
hitam terurai sepanjang perut wajahnya merah padam bagaikan bocah.
Siauw Ling merasa wajah orang ini sangat dikenal olehnya seperti disuatu tempat ia
pernah berjumpa dengan dirinya.
Sinar mata berputar tiba-tiba ia temukan sebuah peti emas yang luasnya ada dua depa
tinggi tiga depa terletak disisi kakinya suatu ingatan dengan cepat berkelebat lewat.
“Aaaaakh! benar, bukankah orang ini adalah Ih Bun Han To simajikan rumah
pesanggrahan Siang Yang Peng yang berkedudukan dikeresidenan Ci Pak?”
Orang yang duduk dikursi paling tengah adalah Jan Bok Hong.
Buru-buru Ciu Cau Liong maju dua langkah kemuka, seraya menjura serunya, “Toako
siauwte telah berhasil menemukan Samte?”

Perlahan-lahan Jan Bok Hong berpaling memandang sekejap ke arah Siauw Ling
kemudian sembari menepuk kursi disisinya ia manggut.
“Mari, kau kemarilah duduk disini.”
Nada maupun peri kelakuannya menunjukkan kesriusan serta penuh kewaibawaan tidak
terasa lagi Siauw Ling maju mendekat dan duduk disisinya.
Ciu Cau Liong sendiri kebagian duduk dikursi yang terbawah.
“Tecu menghunjuk hormat buat suhu!” ketika itulah Tan Hong Cang berlutut memberi
hormat.
“Ooouw kau sudah pulang, bagaimana hasil perjalananmu keluar perbatasan itu?”
“Beruntung tidak sampai memalukan nama besar suhu dan kacaukan urusan.”
“Hmmm! Aku sudah tahu, sekarang kau boleh turun dari loteng dan beristirahat.”
Dengan penuh rasa hormat Tan Hong Cang mengundurkan diri hingga mencapai mulut
loteng kemudian menjura.
“Tecu mohon diri!”
Putar badan, lantas turun loteng.
Setelah lelaki tadi berlalu, Jan Bok Hong baru menuding siperempuan cantik berbaju
putih dan bersulamkan sekuntum bunga emas didadanya itu.
“Dialah Kiem Hoa Hujien yang datang jauh dari daerah Siauw Ciang, Samte cepat
hormati secawan arak kepadanya.”
Siauw Ling segera angkat cawan araknya.
“Siauwte Siauw Ling, mohon banyak petunjuk dari hujien!” sekali teguk ia habiskan isi
cawan.
Wajah Kiem Hoa Hujien penuh dihiasi dnegan senyuman manis.
“Telah lama kudengar didaratan Tiong goan banyak terdapat pemuda-pemuda ganteng
setelah perjumpaanku dengan kau malam ini aku berani percaya bila berita tersebut
ternyata benar-benar terbukti.”
Pergelangannya berputar menerima cawan arak yang ada dihadapannya lalu sekali
teguk menghabiskan isinya.
“Saudara cayhe yang paling kecil walaupun dalam hal ilmu silat berhasil memperoleh
kemajuan yang sangat pesat, tetapi pengalamannya masih cetek dikemudian hari masih
mengharapkan Hujien suka banyak memberi petunjuk tentang kepandaian daerah Biauw
Ciang kepadanya!” seru Jan Bok Hong menimbrung.

Sepasang bija mata Kiem Hoa Hujien berkedip-kedip dengan gerak-gerik penuh
kegenitan dan tertawa.
“Bila adikmu ini punya minat sudah tentu aku suka menurunkan ilmu silatku
kepadanya.”
Walaupun ucapan tersebut ditujukan kepada Jan Bok Hong tapi sepasang matanya
memperhatikan terus seluruh tubuh Siauw Ling.
“Ooouw sungguh besar benar lagaknya,” diam-diam pikir pemuda she Siauw dalam
hatinya, “Ucapan tadipun tidak lebih hanya kata-kata sopan belaka, apa kau kira aku
Siauw Ling benar-benar suka belajar ilmu silat darimu?”
“Aaakh kalau begitu cayhe harus mewakili Samte untuk mengucapkan terima kasih
kepada Hujien!” seru Jan Bok Hong kembali, sinar matanya perlahan-lahan dialihkan ke
arah Ih Bun Han To lanjutnya “Saudara ini adalah majikan rumah pesanggrahan Ih Bun
Han To sianseng.”
Sekali lagi Siauw Ling berdiri sembari menjura.
“Telah lama kukagumi nama besar sianseng ini hari kita bisa berjumpa sungguh
merupakan rejeki buat diriku.”
Ih Bun Han To angkat cawannya lantas tertawa.
“Siauw Ling terjunkan diri dalam Bulim tidak sampai setahun lamanya tapi nama
besarmu sudah menggeserkan seluruh dunia persilatan. setelah perjumpaan kita malam ini
akupun benar-benar merasa kagum.”
Walaupun sewaktu berada digunung Butong tempo dulu ia pernah berjumpa dengan
Siauw Ling, tapi Siauw Ling yang dulu hanya merupakan seorang bocah cilik penuh
penyakitan, lain dan jauh berbeda dengan Siauw Ling sekarang tidak aneh hanya
bayangan maupun dalam benaknya.
“Aaah! Ih Bun heng,” untuk membantah ucapannya.
Sedang pemuda she Siauw sendiripun tahu persoalan yang sudah dijelaskan ini kendati
dibantahpun percuma saja, oleh sebab itu setelah mendengar Jan Bok Hong mewakili dia
untuk menjawab ia sendiripun membungkam dalam seribu bahasa.
Perlahan-lahan Ih Bun Hant To meletakkan kembali cawan araknya di atas meja.
“Kepandaian silat Jen heng telah mencapai kesempurnaan,” katanya lambat-lambat.
“Kiem Hoa Hujien pun jauh-jauh dari daerah Biauw Ciang telah datang kemari, ini berarti
waktu yang dinantikan telah matang. Entah apa rencana selanjutnya dari Jen heng?”
“Walaupun siauwte telah memperoleh beberapa macam cara, tapi hingga kini belum
berani kulaksanakan, kedatangan kalian berdua sangat kebetulan sekali, siauwte justru
kepingin mendengarkan pendapat kalian yang tinggi.”

“Aku tinggal jauh di daerah Siauw Cang” kata Kiem Hoa Hujien perlahan. “Terhadap
situasi dalam Bulim terutama daratan Tionggoan tidak begitu paham, biarlah kudengarkan
saja pendapat kalian berdua.”
“Beberapa waktu ini Ih Bun heng telah menjelajahi pegunungan maupun daerah utara
serta selatan. Secara diam-diam beberapa kali menyelidiki situasi Bulim aku rasa tentunya
dihatimu sudah punya perhitungan yang masak bukan?”
“Ehmmm! dari semua partai maupun perguruan besar yang ada diBulim saat ini kecuali
Bu Wie Tootiang dari Butong pay, lainnya masih berada dalam dunia impian.”
“Beberapa kali Ih Bun sianseng mengunjugi Bu-tong-pay san, apakah kau belum
berhasil menaklukkan Bu Wie Tootiang agar suka berpaling kepada kita?” timbrung Kiem
Hoa Hujien.
“Kendati sihidung kerbau tua itu ada beberapa kali bicara dengan diriku, tapi selama ini
masih belum ada minat untuk berpaling dan bekerja sama dnegan kita. Setiap kali aku
bicarakan soal sesungguhnya ia pura-pura yang lain, siauwte tidak ingin maksud
pembicaraanku terlalu banyak yang diketahui olehnya maka dari itu walaupun beberapa
kali kita jumpa urusan belum juga berhasil.”
“Si Bu Wie hidung kerbau itu menganggap dirinya sebagai jago nomor wahid dari
perguruan golongan lurus, sudah tentu ia tak bakal suka bekerja sama dengan kita.” seru
Jan Bok Hong menyela.
Ih Bun Han To tersenyum.
“Tentang soal ini Jen hong harap berlega hati di dalam satu bulan mendatang aku duga
ia pasti akan datang keperkampungan Pek Hoa Sanceng kita untuk mohon bantuan.”
“Mohon bantuan?” teriak Jan Bok Hong tercengang.
“Sedikitpun tidak salah mohon bantuan sewaktu beberapa hari berselang ketika siauwte
berjumpa kembali dnegan Bow Wie Tootiang, secara diam-diam aku telah melepaskan
hadiah dari Kien Hoa Hujien. Racun ganas itu walaupun bekerja sangat lambat tapi
lihaynya luar biasa kecuali obat pemusnah menunggal dari Hujien sendiri tak bakal ada
obat lain yang bisa memusnahkan. Oleh sebab itu berani juga di dalam satu bulan
mendatang ia pasti datang untuk minta bantuan,” Jan Bok Hong tertawa hambar.
“Selama hidup Bu Wie terlalu memandang tinggi diri sendiri aku rasa ia jauh lebih suka
mati keracunan daripada datang minta bantuan dari kita orang perkampungan Pek Hoa
Sanceng”, tiba-tiba Kiem Hoa hujien menimbrung dari samping.
“Kecuali seluruh tubuh Bu Wie Tootiang terbuat dari besi baja yang tidak takut
menderita siksaan serta sakit yang luar biasa bila ia masih terdiri dari darah dan daging
maka ia pasti tak akan kuat nahan siksaan dari gigitan ular emas.”
Wajahnya masih penuh dihiasi senyuman hanya saja sikapnya jauh lebih dingin dan
menyeramkan sepasang matanya yang genit penuh daya rangsang melototi Ih Bun Han
To tak berkedip.

“Ih Bun heng apakah Bu Wie Tootiang sudah tahu bila ingin minta bantuan cukup
datang keperkampungan Pek Hoa Sanceng?”
“Soal ini hujien boleh berlega hati sebelum cayhe meninggalkan gunung Butong san,
secara diam-diam sudah kuberi bisikan kepada Bu Wie Tootiang.”
“Apakah kau kasih disikat bahwa secara diam-diam kau telah melepaskan ular
emasKu?” potong Kiem Hoa hujien tiba-tiba Ih Bun Han To tersenyum.
“Sekalipun cayhe bodoh juga tak berani ambil tindakan sebodoh ini aku hanya berkata
cuaca serta hawa udara beberapa hari ini kurang bagus kemungkinan besar badan bisa
terserang penyakit aneh, sekarnag untuk sementara cayhe berdiam diperkampungan Pek
Hoa Sanceng bila Too heng merasa kurang enak tiada halangan boleh kirim orang untuk
mendatangi perkampungan Pek Hoa Sanceng.”
“Mungkin waktu itu sihidung kerbau sudah merasakan atau mungkin ia benar-benar
masih belum tahu sewaktu aku berpamit mohon diri ia masih menghantar aku keluar dari
kamarnya tapi tidak mengucapkan sesuatu.”
Kiem Hoa Hujien termenung dan berpikir sejenak kemudian iapun ikut bertanya, “sejak
kau lepaskan ular emas untuk membokong Bu Wie Tootiang hingga ini hari sudah ada
berapa lama?”
“Bila ini haripun ikut dihitung maka sudah ada tujuh hari lamanya entah ular emasmu
itu kapan baru mulai bekerja? Bila dihitung seharusnya sudah mulai bekerja,” jawab Kiem
Hoa Hujien setelah berpikir sejenak.
“Sekalipun tenaga kweekang yang ia miliki sangat lihay dan dua hari sebelumnya masih
bisa bertahan tapi kemaren dulu seharusnya ia sudah roboh dan bila urusan ini cepat
diketahui ini hari sudah ada orang yang datang kemari.”
Ia merandek dan tiba-tiba tertawa tambahnya “Jika tiga hari kemudian belum ada juga
orang yang datang kemari, maka terpaksa kita harus urungkan niat untuk bekerja sama
dengan pihak Butong pay.”
“Maksud Hujien?” seru Jan Bok Hong, “Waktu itu partai Butong pay sedang sibuk
membereskan jenasah dari ciangbunjien mereka sudah tentu tiada niat sama sekali untuk
mencampuri urusan Bulim.”
Diam-diam Jan Bok Hong merasa sangat terperanjat, pikirnya “Sebelum persoalan ini
dilaksanakan jikalau harus mengorbankan dulu nyawa Bu Wie Tootiang kemungkinan
besar akan membangkitkan rasa gusar dari anak murid Butong pay dan merusak semua
rencana yang telah disusun…”
Dalam hati ia berpikir demikian, mulutnya tetap tersenyum ramah.
“Walaupun sudah lama cayhe mendengar akan kelihayan ilmu kepandaian daerah
Biauw Ciang, tapi belum jelas kuketahui sampai dimanakah kelihayan tersebut.”
Kiem Hoan Hujien sama sekali tidak kelihatan marah atau mengambek. Sinar matanya
berputar lalu tertawa terbahak-bahak.

Setelah seseorang memiliki kepandaian silat yang tinggi, kadang kala sifat ingin
menang susah dilepaskan dalam hati nalurinyja padahal jika harus mencari kemenangan
dengan andalkan ilmu silat yang sungguh-sungguh sering harus membuang banyak
tenaga dan waktu. Bukankah hal ini terlalu tidak berharga?
“Ia ngomong kekanan ngomong kekiri, yang dibicarakan cuma kata-kata kosong entah
apa maksudnya?” diam-diam pikir Siauw Ling dalam hati.
Ia mulai menaruh curiga terhadap mereka, karena secara lapat-lapat didengarnya
beberapa orang itu sedang membicarakan dan merundingkan sesuatu persoalan besar dan
Bu Wie Tootiang sebagai tokoh pembicaraan menanti didengarnya orang-orang itu hendak
mencelakai sitoosu tua ini ia baru terperanjat.
Mendadak terdengar suara bentakan keras segera lapat-lapat berkumandang datang
agaknya di atas loteng tingkat ketiga telah terjadi suatu peristiwa besar.
Mendadak Jan Bok Hong angkat cawan dan tertawa.
“Pendapat yang tinggi dari Hujien benar-benar sangat mengagumkan Samte tidak lama
berkelana dalam Bulim pengetahuannya masih sangat cetek, harap Hujien suka banyak
memberi petunjuk kepadanya, karena ini sangat menguntungkan baginya.”
Kiem Hoa Hujien tersenyum, ia menggerakkan pergelangan mengangkat cawan arak
lalu diangsurkan kehadapan Siauw Ling.
Mendapat penghormatan terpaksa Siauw Ling angkat cawan juga demikianlah mereka
bertiga saling mengeringkan secawan arak.
Beberapa orang ini pada bergurau dan minum arak dengan sikap yang tenang,
terhadap bentakan-bentakan keras yang bergema datang secara lapat-lapat sama sekali
tidak ambil perduli.
Kembali beberapa waktu lewat sudah mendadak Ih Bun Han To berkata, “Jan heng!
orang itu sudah berhasil menerobos keatas loteng tingkat ketujuh! ini berarti dia bukan
manusia sembarangan.”
Jan Bok Hong manggut lantas berpaling.
“Jie te? coba kau turun menengok bila yang datang utusan dari Butong pay ajaklah ia
kemari!”
Ciu Cau Liong segera letakkan cawan kemeja dan berlalu turun dari loteng, tidak selang
beberapa sat kemudian ia sudah balik kembali keruangan teratas dengan memimpin
seorang toosu gagah dan keren.
Jan Bok Hong berpaling ia segera mengenali kembali siapakah orang itu kendati orang
tadi sudah banyak berubah dan jenggot hitam panjang terurai mencapai dada.
Kiranya ia bukan lain adalah Im Yang Cu anak murid Butong pay yang sudah terkenal
diseluruh dunia persilatan.

Im Yang Cu adalah seorang jago Bulim yang amat terkenal sekali. Jan Bok Hong tidak
ingin kehilangan pamannya buru-buru ia bangun meninggalkan tempat duduknya.
“Aaakh aku kira siapa yang datang kiranya Im Yang Tooheng, maaf karena tidak tahu
akan kedatanganmu sehingga cayhe tidak jauh-jauh menyambut.”
Jan Bok Hong bangun menyahut Siauw Ling sebagai majikanpun ikut bangun berdiri
dan mengikuti dari belakang.
Sedang Ih Bun Han To yang memang sudah kenal lama dengan Im Yang Cu tidak ingin
memperlihatkan sikapnya, karena itu ia bangun menyambut. Kini hanya Kiem Hoa Hujien
seorang yang tetap tinggal dikursinya. Ia pura-pura tidak melihat.
Tampak Im Yang Cu maju dua langkah kemuka lalu menjura kepada Jan Bok Hong,
“Sejenak perpisahan sepuluh tahun sudah lewat dengan cepatnya kegagahan Jan Cungcu
masih tetap utuh seperti sedia kala kiong hie… kiong hie…”
Melihat wajahnya keren wajah tenang sedikitpun tidak menunjukkan perubahan apapun
kendati baru saja mengalami pertarungan sengit, di dalam hati Jan Bok Hong merasa
sangat kagum.
Mendengar perkataan itu ia tertawa tergelak.
“Saudara ini adalah Im Yang Tooheng dari Butong pay yang nama besarnya telah
terkenal diseluruh jagat Samte cepat maju menghunjuk hormat” buru-buru Siauw Ling
maju ke depan memberi hormat.
“Cayhe Siauw Ling menghunjuk hormat buat Tootiang, harap tootiang suka banyak
memberi petunjuk.”
Pada mulanya Im Yang Cu agak tertegun kemudian dengan cepat balas menjura.
“Oooow, kiranya Siauw Kongcu pun ada disini. Hampir-hampir pinto tidak mengenali
kembali.”
Mendadak ia berpaling dan ulurkan tangannya kemuka, serunya sambil tersenyum, “Ih
Bun sicu benar-benar ada disini, kalau begitu ciangbun suheng pinto ada ketolongan.”
Sembari berbicara ia keluarkan tangannya kemuka, menurut dunia kangouw maka ini
berarti ia ada maksud mengadu tenaga kweekang.
Ih Bun Han To merasa sedikit ada diluar dugaan melihat sikap toosu tersebut pikirnya,
“Apakah sihidung kerbau tua ini sedikit sinting sehingga mau cari gara-gara.”
Sudah tentu ia tak bakal jeri untuk menyambut tantangan tersebut, tangannya kontan
diulur menyambut angsuran tangan lawan.
“Sewaktu tempo dulu aku mengunjungi gunung Bu tong kalian. Kebetulan Tootiang
sedang pesiar keluar” katanya seraya tertawa tergelak. “Di tengah pembicaraan itu telapak
tangan kedua belah pihak sudah saling mencekal dengan eratnya, telapak tangan Im Yang
Cu panas bagaikan bara, tenaga kweekangnya benar-benar sangat luar biasa.

Meskipun begitu Ih Bun Han To masih bisa mempertahankan diri.
Agaknya Im Yang Cu merasa sudah cukup sampai disini ia tarik kembali tenaga
kweekang dan tepuk-tepuk pundak orang she Ih Boe tadi.
“Ciangbun suheng pinto merasa amat kagum terhadap sicu ia berpesan kepada pinto
agar secara baik-baik minta petunjuk dari sicu,” Jan Bok Hong mempersilahkan tamunya
sambil duduk sedang pikirannya diam-diam berputar.
Sungguh aneh sekali, baik nada ucapan maupun tindak tanduk sitoosu tua ini sangat
bertentangan dengan keadaan biasanya apakah ia sedang menggunakan akal licik?
Setelah semua orang ambil tempat duduk sikongcu dari perkampungan Pek Hoa
Sanceng baru menuding ke arah Kiem Hoa Hujien. “Saudara ini adalah seorang jago aneh
dari daerah Biauw Ciang. Kiem Hoa Hujien entah kenalkan tootiang dengan dirinya.”
Im Yang Cu silahkan tangannya di depan dada untuk memberi hormat seraya
jawabnya, “Tempo dulu pinti tiada berjodoh untuk berjumpa, tapi nama besar Hujien
sudah lama pinto dengar.”
Kiem Hoa Hujien tertawa hambar. “Bila didengar ucapan tootiang semula, apakah
kesehatan ciangbunjien kalian rada terganggu?”
“Dugaan Hujien sedikitpun tidak salah secara mendadak ciangbunjienkami telah
terserang oleh semacam penyakit aneh, berbagai macam obat susah menyembuhkan.
Karena teringat Ih Bun sian seng pernah berkata bila ada urusan suruh datang
keperkampungan Pek Hoa Sanceng untuk mohon bantuan dan kesehatan ciangbunjien
pinto sangat kritis, maka dengan memberanikan diri pinto datang mengganggu.”
“Haaa haaa haaa walaupun cayhe pandai melihat hawa udara dan mengetahui sedikit
banyak tentang nasib manusia, sungguh sayang tak kupunyai kepandaian untuk
menyembuhkan penyakit apalagi soal tusuk jarum ataupun obat-obatan!” seru Ih Bun Han
To seraya tertawa tergelak. “Cuma Tootiang boleh berlega hati, dalam perkampungan Pek
Hoa Sanceng dari Jen Cungcu ini sering kali dikunjungi jago lihay kesehatan Bu Wie
Tootiang tanggungkan saja di tangan aku Ih Bun Han To.”
Mendengar perkataan tersebut Im Yang Cu segera menjura.
“Ih Bun sicu suka turun tangan membantu pinto merasa sangat berterima kasih sekali.”
“Tootiang!” tiba-tiba Kiem Hoa Hujien menyela diiringi suara tertawa dinginnya yang
menusuk telinga. “Kedatanganmu kemari kecuali mohon bantuan obat, apakah tidak ada
urusan lainnya lagi?”
“Sebelum kedatangan pinto kemari memang pernah pinto tanyakan soal ini kepada
ciangbun suheng kami.”
“Dan apa pesan suhengmu itu?” tanya Ih Bun Han Ti cepat.
Im Yang Cu termenung sejenak, lalu menggeleng.

“Tidak ada! Suheng hanya berkata bila obat yang dimana diberi, sudah tentu amat
bagus sekali, bila tidak berhasil mendapatkan obat tersebut…”
Semua orang melihat ia ragu-ragu untuk berbicara, kontan dibuat melengak semua.
“Hmmm! bila obat tersebut tidak berhasil didapatkan!” jengek Kiem Hoa Hujien
mendengus.
“Bila obat tersebut tidak berhasil kuperoleh dengan cuma-cuma, maka terpaksa kita
harus gunakan sistem saling tukar menukar.”
“Oouw… dari partai Butong pay kalian masih punya barang pusaka apa sehingga bisa
digunakan untuk menukar nyawa seseorang” air muka Im Yang Cu berubah sangat serius.
Ia melirik dulu Jan Bok Hong lantas Ih Bun Han To dan akhirnya Kiem Hoa Hujien. “Sudah
tentu benda itu merupakan benda yang nilainya melebihi satu kota, tapi pinto harus
mendapat keterangan secara bagaimana menolong ciangbunjien kami lolos dari
kematian.”
Kiem Hoa Hujien tertawa dingin tiada hentinya.
“Asalkan pusaka tersebut bernilai melebihi sebuah kota, dan benar-benar cukup untuk
ditukar dengan demikian Bu Wie Tootiang sudah tentu kami bisa kasih obat untuk
menyembuhkan luka ciangbunjienmu, tapi bila barang pusaka itu tak bernilai, terpaksa
hanya dua jalan untuk kau pilih sendiri.”
“Apa saja caramu itu!”
“Pertama, perguruanmu harus digabungkan dengan perkampungan Pek Hoa Sanceng
kami lalu semua orang harus tunduk di bawah komando Jen Cungcu, dan cara kedua, kau
segera kembali ke gunung Butong san untuk mempersiapkan urusan terakhir dari
ciangbunjien kalian.”
Air muka Im Yang Cu berubah hebat, agaknya ia siap mengumbar hawa amarahnya.
Tapi dengan cepat golakan tersebut berhasil ditindak.
“Apakah tidak ada jalan yang ketiga!” tanyanya hambar.
“Tooheng kau tidak usah gelisah dulu berundinglah secara perlahan-lahan akhirnya kau
bakal peroleh jalan keluar yang paling bagus!” hibur Ih Bun Han To perlahan.
Kiem Hoa Hujien tertawa dingin tiada hentinya.
“Heee hee heee, heee kau tanyakan jalan ketiga? Ada akan kutengok dulu berapakah
nilainya barang berharga yang tootiang bawa itu.”
Mendadak ia menyingkap pakaiannya, merogoh ke dalam saku dan mengambil keluar
sebuah kotak berwarna kuning tawar lalu tangan diayun melemparkan kotak tadi ke depan
pintu sehingga hancur berantakan.
Tindakannya ini berada diluar dugaan semua orang bukan saja Im Yang Cu jadi
kebingungan dibuatnya bahkan Jen Bok Hong serta Ih Bun Han To pun pada dibuat
kebingungan setengah mati. Mereka cuma bisa duduk saling bertukar pandangan.

Ketika sinar mata semua orang dialihkan ke arah mana jatuhnya kotak tadi tiba-tiba air
mukanya pada berubah hatinya merasa amat bergetar.
Kiranya dari pecahan kotak warna kuning tadi muncul delapan ekor laba-laba warna
hitam pekat dan berlari menyebar keempat penjuru, dalam sekejap mata seluruh pintu
masuk yang ada hanya satu-satunya itu sudah dipenuhi dengan sarang laba-laba yang
tebal dan besar.
Di bawah sorotan cahaya lampu, tampak oleh semua orang dari atas jaring laba-laba
tersebut memancarkan cahaya kehijau-hijauan yang sangat menyeramkan.
Delapan ekor laba-laba dengan berdiri disekitar sarang tersebut siap berjaga-jaga diri.
Kiem Hoa Hujien angkat tangannya yang putih halus bagaikan salju untuk
membereskan rambutnya yang terurai ke bawah.
Setelah mengenali laba-laba hitam ini adalah binatang beracun yang sangat
menakutkan seharusnya tahu juga bukan cahaya hijau yang dipancarkan dari jaring labalaba
tersebut bukan barang sembarangan jangan dikata tergigit oleh binatang tersebut.
Cukup tertempel oleh jaringan laba-laba itupun sudah bisa menyebabkan kematian yang
sangat mengerikan.
Dengan penuh kebanggaan ia tertawa cekikikan setelah merandek beberapa waktu
sambungnya, “Jago-jago Bulim dideretan Tionggoan kebanyakan mengetahui perempuanperempuan
dari daerah Biauw Ciang paling pandai melepaskan racun keji tapi mereka
tidak tahu kecuali melepaskan racun keji kami masih bisa pula menggunakan beratus-ratus
macam racun lainnya.”
“Sekalipun jaringan laba-laba itu sangat beracun, aku rasa belum tentu bisa melukai
orang!” tiba-tiba Siauw ling menyela dari samping.
Bila ucapan tersebut diutarakan orang lain Kiem Hoa Hujien pasti naik pitam dan
mencak. Tapi lain halnya bila perkataan itu diucapkan ileh Siauw Ling.
Bukan saja Kiem Hoa Hujien tidak menjadi gusar bahkan ia perlihatkan satu senyuman
penuh kegenitan, “Siauw hengte berbicara begitu tentu ada pendapat lain entah apakah
pendapatmu yang tinggi itu.”
Sebetulnya Jan Bok Hong ada maksud menegur Siauw Ling jangan banyak bicara tapi
setelah melihat Kiem Hoa Hujien sama sekali tidak menunjukkan maksud untuk marah
iapun tidak mencegah lagi.
“Sekalipun laba-laba itu sangat beracun tapi gerak-gerik mereka amat lamban mana
mungkin bisa pergi mengejar manusia?” kata Siauw Ling penuh keseriusan, “Sedangkan
mengenai sarang laba-laba itu semakin tidak berbahaya lagi beberapa helai surat lendir
yang menciptakan sebuah jaring lemas cukup terkena angin atau hujanpun sudah hancur,
mana mungkin bisa menahan sebuah serangan kweekang seorang jagoan?”
Kiem Hoa Hujien tak dapat menahan rasa geli dihatinya lagi ia tertawa cekikikan.

“Sungguh bagus pertanyaanmu ini. Tidak malu kau bisa berpikir sedemikian cermatnya,
cuma sayang laba-laba beracun yang dihasilkan di daerah Biauw Ciang ini bukan saja amat
beracun bahkan daya hidupnya sangat luar biasa, sekalipun gerak-geriknya lamban sedikit
tapi setelah mereka berhasil membentuk sarang laba-labanya, maka keadaannya lain lagi,
jikalau saudara cilik tidak percaya bagaimana kalau kau coba mengirim satu pukulan
menghajar jaringan tersebut??”
“Tempo dulu Im Yang Cu pernah melepaskan budi menolong jiwaku, dan bila kutinjau
situasi ini hari, agaknya ia sudah terjerumus ke dalam keadaan yang sangat berbahaya
dan kepepet,” pikir Siauw Ling di dalam hati. “Jika aku tidak berusaha untuk menolong
dirinya lolos dari kepungan ini mungkin sulit baginya untuk meninggalkan loteng Wang
Hoa Loo dalam keadaan selamat.”
Terdengar waktu itu Jan Bok Hong sedang berseru minta maaf ujarnya, “Samteku
masih muda tak tahu urusan. Bila terlalu banyak menyinggung perasaan Hujien masih
mengharapkan kau suka memaafkan, sedang mengenai persoalan tersebut, lebih baik
hujien lakukan sendiri saja.”
Kiranya watak Jan Bok Hong amat licik dan banyak akal, walaupun ia berhasil
mengetahui sarang laba-laba itu sangat berlainan dengan sarang laba-laba biasa, tapi
teringat kesempurnaan tenaga kweekang yang dimiliki Siauw Ling dan karena takut
hantaman pemuda itu hancurkan sarang laba-laba tersebut atau melukai laba-laba hitam
sehingga Kiem Hoa Hujien kehilangan muka dan dari malu menjadi gusar, maka ia coba
alihkan tugas tersebut kepada orang lain.
Ia tahu kendati Kiem Hoa Hujien berusaha untuk menyesuaikan diri dengan cara hidup
bangsa Han tapi ia tetap merupakan seorang kelahiran bangsa Biauw yang terkenal
kelewat keji sudah tentu bagaimanapun ia mungkin dapat menyamai semua sifat bangsa
Han.
Terutama sekali laba-laba hitam itu merupakan binatang aneh jika kena dilukai oleh
Siauw Ling bukankah urusan jadi serba tidak enak, siapa nyana Kiem Hoa Hujien cuma
tertawa hambar.
“Kalau begitu silahkan Jan Toa kungcu turun tangan untuk mencoba sendiri
bagaimana?”
Jan Bok Hong tertegun mendengar kata itu, tapi reaksinyapun sangat cepat ia segera
berpaling ke arah Im Yang Cu.
“Kita semua adalah kawan searah setujuan bila dalam sekali hantam sarang laba-laba
itu tidak hancur kemungkinan besar Im Yang Tootiang merasa tidak puas,” katanya
sembari tertawa. “Menurut pendapat cayhe lebih baik percobaan ini diserahkan kepada Im
Yang Tootiang saja sekalipun bagaimana akhirnya semua orang rasanya bisa dibikin puas.”
Orang ini benar-benar berbahaya dan keji ia tidak ingin turun tangan mencoba sendiri
sebaliknya ingin mencelakai Im Yang Cu, sepasang biji mata Kiem Hoa Hujien mengerling
tajam, iapun ikut tertawa.
“Sedikitpun tidak salah biar sitoosu tua hidung kerbau ini yang mencoba agar iapun bisa
melek matanya.”

Teringat kesehatan ciangbun suhengnya mau tak mau Im Yang Tootiang harus
menahan rasa dongkol dalam hatinya ia mendongak dan melirik sekejap ke arah sarang
laba-laba itu kemudian perlahan-lahan mengangkat telapak tangannya keatas.
“Jikalau memang demikian adanya, terpaksa pinto ikuti saja permintaan kalian tanpa
membantah.”
Dengan kerahkan tenaga kweekang mencapai empat bagian telapak tangannya
perlahan-lahan diayunkan kemuka segulung hawa serangan yang maha dahsyat segera
meluncur keluar menghajar sarang laba-laba tadi.
Jangan dikata Im Yang Tootiang sekalipun semua orang yang ada dala ruanganpun
mempunyai pendapat yang sama yaitu sarang tersebut mana mungkin bisa pertahankan
kehancurannya terhadap hantaman angin pukulan sedemikian dahsyat? Siapa nyana
peristiwa terjadi diluar dugaan semua orang, sewaktu angin pukulan yang dilancarkan Im
Yang Tootiang menghajar di atas sarang laba-laba hitam yang menyear di sekeliling
sarangnya mendadak memencar keempat penjuru diikuti dari mulutnya menyemburkan
serat beracun yang langsung melayang ke tengah udara dan mengikuti arah datangnya
angin pukulan tadi menubruk ke arah Im Yang Tootiang.
Sedangkan sarang laba-laba itu sendiri di bawah hantaman angin pukulan yang sangat
keras hanya naik turun tiada hentinya sama sekali tidak mengalami kerusakan barang
sedikitpun.
Perubahan yang terjadi diluar dugaan ini bukan saja membuat Im Yang Tootiang
merasa amat terperanjat, bahkan air muka Jen Bok Hong pun berubah sangat hebat.
Kiem Hoa Hujien tertawa terkekeh.
“Tootiang kau harus hati-hati jangan sampai tertempel oleh serat beracun atau tergigit
oleh laba-laba itu. Kalau tidak maka keadaan lukamu itu akan jauh lebih parah daripada
luka suhengmu?”
Sewaktu ia mengucapkan kata-kata itu kedelapan laba-laba hitam tersebut sudah makin
memperbesar sarang laba-labanya sehingga memenuhi keempat dinding dan mencapai
atap ruangan.
Gerak-gerik laba-laba hitam tersebut kelihatannya amat lamban, tapi bergerak di atas
serat laba-laba tersebut benar-benar luar biasa cepatnya hingga susah diikuti dengan
pandangan mata.
Tampak serat beracun itu makin lama semakin memanjang dan akhirnya semakin
mendekati tubuh Im Yang Cu.
Dengan hati kebat kebit Im Yang Tootiang segera membalik pergelangan tangan
kanannya mencabut keluar pedang yang tersoren pada punggungnya.
“Jika Hujien tidak berusaha menguasai barang-barang beracun ini lagi, maka pinto
takut harus turun tangan melukai mereka.”
“Heee… heee… bila Tootiang percaya punya kesanggupan untuk melukai mereka.
Silahkan turun tangan sepuas hati,” sahut Kiem Hoa Hujien tertawa hambar.

“Kalau begitu terpaksa pinto harus mencoba!”
Melihat seekor laba-laba meluncur datang pergelangan kanannya kontan digetarkan,
pedang panjang meluncur keluar membabat tubuh binatang berbisa tersebut.
Mendadak Jan Bok Hong mengangkat tangan kanannya keatas segulung hawa pukulan
yang maha dahsyat meluncur keluar menotok ujung pedang dari toosu Butong pay ini.
Ujung pedang Im Yang Tootiang yang hampir mengenai sasarannya mendadak kena
diserang hatinya jadi bergetar keras tak kuasa lagi senjata yang ada di tangan kena
terhajar turun ke bawah bahkan hampir-hampir terlepas dari genggaman.
Terdengar suara Jan Bok Hong yang amat dingin berkumandang datang.
“Kedatangan Tootiang keperkampungan kami adalah bertujuan menolong jiwa
suhengmu ataukah ingin memamerkan kepandaian silatmu?”
Kena ditegur oleh sang Cungcu dari perkampungan Pek Hoa Sanceng ini Im Yang
Tootiang mulai berpikir, “Sudah lama dalam dunia persilatan tersiar kabar yang
mengatakan kepandaian silat sibayangan berdarah Jan Bok Hong sangat mengejutkan
sekali, kelihatannya dugaan itu sedikitpun tidak salah cukup ditinjau dari hawa sentilan tak
bersuara tak berwujud yang baru saja ia perlihatkan sudah luar biasa sekali.”
Sekalipun dalam hati ia berpikir demikian diluaran ia menyahut dengan nada dingin.
“Sentilan Jan Toa Cungcu yang baru saja dipertontonkan benar-benar luar biasa.”
Jan Bok Hong tidak menggubris omongan itu, sinar matanya dialihkan ke arah sarang
laba-laba yang makin lama semakin melebar dan meluas sehingga mencapai atap ruangan
perjamuan tersebut, lama kelamaan ia tidak tahan juga.
“Hujien! cepat kau berusaha untuk menguasai binatang-binatang beracun ini. Jangan
sampai membiarkan mereka menodai seluruh ruangan ini dengan jaringan beracun.”
Mendengar sang Cungcu dari perkampungan Pek hoa Sanceng meminta bantuannya
Kiem Hoa Hujien tersenyum penuh kemenangan.
“Walaupun laba-laba ini merupakan binatang yang sangat beracun tapi mereka tetap
bukan manusia,” katanya perlahan. “Asalkan Tootiang itu mundur dua langkah ke
belakang dan laba-laba tadi tidak berhasil temukan sasarannya ia bakal berhenti sendiri
dan tidak akan memperluas serangannya lagi.”
Ih Bun Han To pun pada waktu itu tertawa terbahak-bahak.
“Tootiang! bagaimana kalau kaupun menurut mundur dua langkah ke belakang! urusan
mati hidup seseorang jauh lebih besar. Apa gunanya mencari satroni dengan beberapa
gelintir laba-laba?”
Teringat masih suhengnya dalam keadaan kritis, dan kedatangannya kesana hendak
minta obat. Im Yang Tootiang tidak ingin karena urusan kecil berakibat besar dengan
menahan diri terhadap sindiran Ih Bun Han To ia mundur juga dua langkah ke belakang.

Waktu itu semua perhatian orang-orang yang hadir dalam ruangan rata-rata dipusatkan
keatas laba-laba hitam itu, sedikitpun tidak salah. Setelah Im Yang Tootiang mundur dan
laba-laba hitam tadi tak berhasil menemukan sasarannya mereka mulai berhenti
mengembangkan serat-seratnya guna pembentukan sarang mereka semakin besar.
“Hujien!” seru Jan Bok Hong setelah suasana menjadi tenang kembali. “Laba-laba
beracunmu ini betul-betul membuat kami terbuka matanya, dan membuat kami tahu bila
beracun merupakan senjata yang paling dahsyat cuma dalam perjamuan harus dikotori
dengan hadirnya beberapa ekor laba-laba beracun rasanya kurang sedap dipandang
bagaimana kalau hujien menariknya kembali.”
“Hii hii… penglihatan Toa Cungcu ternyata jauh lebih tinggi setingkat dari semua orang”
puji Kiem Hoa Hujien tertawa.
“Beberapa ekor laba-laba ini bukan saja racunnya ganas bahkan mereka amat pandai
jikalau ingin menghancurkan mereka bukanlah terlalu sayang.”
Mendengar perkataan itu seluruh tubuh Jan Bok Hong tergetar sangat keras, pikirnya
diam-diam, “Waahh celaka jaring beracun sudah merembet hampir menutupi seluruh
ruangan serta pintu loteng bila tidak dapat ditarik kembali bukankah ini berarti semua
bakal terkurung di atas loteng, hati perempuan paling keji kemungkinan besar
menggunakan kesempatan ini ia hendak membokong diriku.”
Sebagai seorang yang cerdik licik dan banyak akal kendati dalam hatinya sudah timbul
rasa curiga tapi air mukanya sama sekali tidak menunjukkan sikap tersebut ia tersenyum.
“Bagaimana? Apakah laba-laba beracunmu susah ditarik kembali? caranya sih ada dua
macam cuma aku bingung enaknya menggunakan cara apa yang paling tepat?”
“Silahkan hujien mengutarakan kedua cara tersebut agar akupun bisa ikut mengetahui
dan menambah pengetahuanku.”
“Cara pertama adalah menyuruh Pek Sian jienku menyikat mereka sampai habis tapi
bila berbuat demikian ini berarti sudah menyia-nyiakan jeri payahku selama hampir
sepuluh tahun untuk memusnahkan laba-laba beracun yang demikian bagus dan lihaynya
bukankah amat sayang sekali?”
“Apa yang kau maksud sebagai Pek sian jie?” seru Siauw Ling dengan penuh
keheranan, Kiem Hoa Hujien tertawa cekikikan.
“Apakah Siauw hengte ingin menambah pengetahuanmu!” serunya, dari dalam saku ia
mengambil sebuah kotak pualam yang panjanganya ada satu depa dengan lebar setengah
depa lantas sambungnya, “Nih benda tersebut ada disini!” Siauw Ling ulur tangannya
menerima kotak itu tapi dengan cepat Kiem Hoa Hujien sudah menarik kembali tangannya
dan menyimpan kembali kotak pualan tersebut.
“Bukannya aku tidak ingin kasih lihat kepadamu justru karena watak Pek Sian jie terlalu
berangasan jikalau sampai kau menderita luka bukankah berabe?”
“Apakah caramu yang kedua?” potong Jan Bok Hong cepat. “Untuk melepaskan genta
masih membutuhkan orang bekerja setelah tootiang ini menggusarkan mereka maka lebih

baik tootiang ini suka menghadiahkan beberapa macam benda untuk memberi makan
kepada mereka, barang apa itu?”
Kiem Hoa Hujien tersenyum.
“Lebih baik sebuah lengan atau bila tootiang ini tidak rela sedikit-dikitnya harus potong
ketiga jari tangannya, hmm bila pinto tidak mengabulkan permintaanmu itu?” dengus Im
Yang Tootiang dingin.
“Terpaksa aku harus menggunakan jantung atau isi perutmu untuk memberi makan
kepada mereka?”
Nada ucapan perempuan yang bernama Kiem Hoa Hujien ini tajam keji, buas dan
sangat mengerikan walaupun bagitu kata-kata tadi diutarakan dengan wajah yang masih
dihiasi penuh senyuman bagaikan belum terjadi sesuatu apapun.
Jan Bok Hong melirik sekejap ke arah Im Yang Tootiang. “Jauh kemari sebagai tamu.
Aku Jan Bok Hong sebagai tuan rumah tidak seharusnya bersikap begitu terhadap
tetamunya, biarlah tentang soal ini cayhe selesaikan sendiri!”
Habis berkata ia lantas bertepuk tangan beberapa kali.
Jilid 23
Seorang dayang cantik berbaju hijau mengiakan dan berjalan datang menghampiri
Cungcunya.
“Siapakah namamu?” tanya Jan Bok Hong.
“Budak bernama Hoo Hoa!”
“Aku orang ingin pinjam semacam barang entah sukakah kau mengabulkan?”
“Perintah Cungcu, budak tak berani menolak.”
“Bagus, bagus sekali sekarang kutungi lengan kirimu.”
Mendengar perintah tersebut Hoo Hoa rada melengak dan berdiri mematung.
“Sejak budak menerima perintah untuk datang keloteng Wang Hoa Loo rasanya belum
pernah melakukan sedikit kesalahanpun.”
“Soal ini sih aku tahu” sinar matanya perlahan dialihkan kearah Ciu Cau Liong. “Jie te!
kau membawa pisau belati?”
Buru-buru Ciu Cau Liong bangun berdiri lantas menjura dari dalam saku ambil keluar
sebilah pisau belati dan diangsurkan ketangan Toakonya dengan penuh rasa hormat.
Setelah menerima pisau belati itu Jan Bok Hong letakkan senjata tadi keatas meja.

“Sekarang turun tanganlah sendiri.”
Melihat seluruh kejadian yang berlangsung didepan mata lama kelamaan Siauw Ling
tidak tahan juga. Darah panas bergolak dalam dadanya dengan penuh rasa terharu
serunya, “Toako tanpa sebab mengapa kau suruh gadis ini mencacati badan sendiri?”
Jan Bok Hong keluarkan tangan kirinya untuk tepuk beberapa kali pundak pemuda she
Siauw ini kemudian jawabnya, “Soal ini Samte tidak usah ikut campur apakah kau benarbenar
ingin melihat Im Yang Tootiang mengutungi lengan sendiri?”
Agaknya Hoo Hoa mengerti bencana tak bakal terhindar dari dirinya, sembari
menggertak gigi ia terima pisau belati itu dari atas meja.
“Perintah cungcu budak tak berani membangkang” ujarnya penuh kesedihan.
“Nona tunggu sebentar, pinto ada beberapa patah kata hendak diucapkan!” tiba-tiba Im
Yang Cu menggetarkan pedangnya menghadang maksud dayang itu untuk memungut
pisau belati tadi dari atas meja.
“Tootiang perkataan apalagi yang hendak kau utarakan! sekarang silahkan
disampaikan” kata Jan Bok Hong.
“Setelah pinto yang ditimbulkan peristiwa ini, mana boleh dosa tersebut dipukul oleh
seorang gadis yang tidak tahu akan separuh jalannya peristiwa ini. Untuk mengurangi
sebuah lengan pinto sebetulnya bukan suatu pekerjaan yang terlalu susah dilaksanakan
asal Cungcu suka memberi obat pemusnah buat suheng kami.”
Kiem Hoa Hujien yang mendengar perkataan itu segera tertawa.
“Sekalipun obat pemusnah itu ada, cuma sayang tidak berada ditangan Cungcu!”
“Kalau begitu berada di Hujien?”
“Ehhmm! kecuali aku, rasanya dikolong langit tak ada manusia yang kedua lagi?”
“Bila ditinjau situasinya penyakit yang diderita ciangbun suheng tentu terkena oleh
racun yang kau lepaskan!”
“Oooouw, bila kau ingin tahu, akupun tiada halangan beritahukan semua kejadian ini
kepadamu.”
“Pinto akan pentang lebar-lebar telinga untuk mendengarkan!”
“Racun itu sih kepunyaan aku, cuma yang melepaskan benda itu adalah Ih Boen heng
sewaktu berkunjung kegunung Bu-tong san.”
Air muka Im Yang Tootiang dalam sekejap itu pula beruntun terjadi beberapa kali
perubahan, akhirnya dengan berusaha keras mempertahankan ketenangan hatinya ia
berkata, “Hujien! Bila kau suka menghadiahkan obat pemusnah buat ciangbun suhengku,
pinto rela menguntungi sebuah lenganku!”

“Urusan ini tiada sangkut pautnya dengan urusan lain, kau tak boleh mencampur
baurkan kedua urusan ini menjadi satu.”
“Craaaat” tiba-tiba darah panas muncrat membasahi empat penjuru, butiran darah
memancar menodai pakaian semua orang dan bersamaan itu pula sebuah lengan kiri Hoo
Hoa sudah terkutung dan jatuh keatas lantai.
Kiranya menggunakan kesempatan sewaktu Im Yang Tootiang bercakap-cakap dengan
Kiem Hoa Hujien sidayang cantik Hoo Hoa mendadak merebut pisau belati itu dari atas
meja lalu mengutungi lengan kirinya sendiri.
Sepasang mata Siauw ling dengan memancarkan cahaya tajam yang penuh hawa
bergidik memperhatikan wajah Kiem Hoa Hujien tajam-tajam lalu sindirnya, “Hmmm
selama hidup belum pernah kutenui ada laba-laba yang mendahar lengan manusia aku
takut hanya ada manusia yang sedang main gila…”
Tangan kanannya laksana kilat menyambar lewat menotokkan jalan darah disebelah kiri
Hoo Hoa untuk bantu ia menghentikan aliran darah yang mengucur keluar sangat deras.
Sedang Jan Bok Hong pungut kutungan lengan tadi lalu diserahkan ketangan Kiem Hoa
Hujien.
“Lengan ini entah dapatkah digunakan?”
“Ooouw sudah tentu bisa digunakan” sahut Kiem Hoa Hujien seraya menerima
angsuran kutungan lengan tersebut kemudian sinar matanya dialihkan kearah Siauw Ling.
“Saudara cilik bukankah kau ingin menambah pengetahuanmu? nah sekarang
perhatikanlah baik-baik.”
Tangan kanan diayun ia melemparkan kutungan lengan tadi kesarang laba-laba
beracun itu.
Kutungan lengan tersebut setelah membentur sarang laba-laba dengan berakibatkan
getaran keras segera berhenti dan tertempel erat-erat.
Delapan ekor laba-laba hitam laksana kilat berpaling kemudian sama-sama meluncur
kearah kutungan lengan tadi gerakan mereka cepatnya luar biasa didalam sekejap mata
kedelapan ekor laba-laba tadi sudah menempel diatas kutungan lengan itu.
Tampaknya lengan yang putih bersih bagaikan salju tadi perlahan-lahan ditarik
kebawah sedang darah yang tersisa diatas kutungan lengan tersebut hanya dala sedetik
saja telah dihisap kering oleh kedelapan ekor laba-laba hitam tersebut.
Air muka Siauw Ling berubah hebat sehabis melihat pertunjukkan tersebut, ia menghela
napas.
“Aakh! kiranya laba-laba penghisap darah!”
Kiem Hoa Hujien tertawa terkekeh-kekeh.

“Heee, heee, heee, tidak salah, memang laba-laba penghisap darah! inilah laba-laba
aneh yang susah ditemukan dalam kolong langit, saudara cilik! ini hari boleh dikata
otakmu betul-betul terbuka oleh suatu pertunjukkan yang sangat menarik hati.”
Walaupun didalam hati Siauw Ling merasa terperanjat bercampur ngeri tapi dihati
kecilpun timbul perasaan membenci terhadap Kiem Hoa Hujien ini diam-diam pikirnya,
“Watak perempuan ini benar-benar keji dan beracun bagaikan kantupan lebah atau
pagutan kalajengking”. Jan Bok Hong sebagai seorang jago yang susah diketahui
perubahan wajahnya baik gembira, gusar, murung maupun sedih sehabis melihat
pertunjukkan ini berubah juga air mukanya ia menghela napas panjang.
“sudah lama Siauwte mendengar kehebatan Kiem Hoa Hujien sebagai seirang jagoan
dalam menghadapi ratusan macam binatang beracun dari daerah Biauw Ciang ini hari
boleh dikata benar-benar terburu sepasang mataku.”
“Aakh, mana-mana Jen Toa Cungcu terlalu memuji” seru Kiem Hoa Hujien sembari
membereskan rambutnya yang terurai dan tertawa manis, “Walaupun aku jauh
mengasingkan diri diluar daratan tapi sering sekali berhubungan dengan jago-jago dari
daratan Tionggoan sudah lama dengar akan kelihayan ilmu silat yang dimiliki Jen Toa
Cungcu entah maukah? kaupun pertunjukkan beberapa macam kepandaian agar akupun
sedikit terbuka pengetahuanku yang picik!”
Walaupun dia suka Biauw tapi nada maupun bahasanya tidak kalah dari keluwesan
gadis Tionggoan.
o0o
Diam-diam Jan Bok Hong mulai berpikir “Ia paksa aku untuk pertunjukkan ilmu silat,
entah apa maksud sebenarnya? perempuan ini berwajah cabul sangat mempesonakan hati
semua orang apalagi seluruh badannya menggembol berbagai macam binatang beracun
yang aneh-aneh, sekalipun aku masih belum tahu seberapa hebatnya ilmu silat yang ia
miliki tapi ketajaman pikiran serta kecerdikan mencari akal jelas melebihi semua orang aku
harus berjaga-jaga maksudnya berbuat demikian.”
Setelah timbul perasaan dalam hatinya tetapi diluaran masih tetap tersenyum.
“Sedikit kepandaian siauwte yang becus kemungkinan besar hanya akan mengotori
pandangan mata Hujien. Dikemudian hari waktu masih banyak aku rasa pada suatu ketika
Hujien tentu akan melihat sendiri bagaimanakah kejelekan ilmu silatku, sekarang kita
sedang kedatangan tamu terhormat, mana boleh siauwte pamerkan kepandaian
dihadapan orang banyak.”
“Perkataan Jen Toa Cungcu sedikitpun tidak salah. Mari kita bicarakan persoalan yang
penting” Kiem Hoa Hujien tertawa hambar.
Ketika itu sekalipun Siauw Ling telah menotok jalan darah Hoo Hoa dan menghentikan
aliran darahnya tetapi rasa sakit sewaktu lengannya terbabat putus tadi susah dilupakan
dari lubuk hatinya air muka berubah pucat pasi bagaikan mayat, sedang keringat dingin
mengucur tak henti-hentinya.

Ia tahu bagaimana ketatnya peraturan dari perkampungan Pek Hoa Sanceng, sekalipun
kesakitan terpaksa ia harus gertak gigi sambil berdiri tenang tidak bergerak maupun
memperdengarkan sedikit suarapun.
Akhirnya Jan Bok Hong berpaling.
“Hoo Hoa kau boleh mengundurkan diri untuk beristirahat.”
Pada saat itu Hoo Hoa baru berani berbongkok menjura.
“Terima kasih atas kebaikan Cungcu.”
Setelah putar badan ia berlalu dari sana lambat-lambat.
Walaupun ia berusaha keras untuk mempertahankan ketenangannya dan berjalan
dengan langkah normal. Tak urung saking sakit hatinya seluruh tubuh gemetar keras
badan gontai tak menentu.
Melihat langkahnya yang gontai Im Yang Tootiang merasakan darah panas dalam
rongga dadanya bergolak keras, rasa duka menyelimuti hatinya.
Kedelapan ekor laba-laba beracun setelah menghisap habis darah dari kutungan lengan
itupun tak menunjukkan reaksi lagi mereka berdiam dan tak berkutik.
Perlahan-lahan Jan Bok Hong berpaling dan memandang sekejap kearah Im Yang Cu.
“Kedudukan partai Bu-tong dalam dunia kangouw sangat tinggi sekali dan kedudukan
Tootiang didalam perguruan Bu-tong-pay pun sedikit dibawah Boe Wie Tooheng tidak
datang sendiri kaupun bisa ambil keputusan bukan?” serunya sembari tertawa.
“Pinto memperoleh perintah dari Ciangbunjien untuk datang kemari membicarakan soal
tukar menukar obat pemusnah urusan lain pinto tak berani ambil keputusan sendiri.”
“Ehmm semisalnya tidak beruntung suhengmu menemui ajalnya bukankah dengan
sendirinya kedudukan ciangbunjien dari Bu-tong-pay akan terjatuh ditangan Tootiang?”
“Setiap perguruan mempunyai peraturan perguruan sendiri kedudukan ciangbunjien
hendak diwariskan kepada siapa pinto rasa soal ini tiada sangkut pautnya dengan orang
lain.”
Jan Bok Hong tertawa hambar.
“Semisalnya cayhe bantu Tooheng untuk mendapatkan kedudukan ciangbunjien dari
Bu-tong-pay itu entah bagaimana maksud Tooheng?”
Agaknya Sang Cungcu dari perkampungan Pek Hoa Sanceng ini mulai memasang
jebakannya.
“Dalam perguruan kami banyak terdapat manusia-manusia berbakat” kata Im Yang Cu
dengan wajah serius, “Sekaliun ciangbun suheng menemui ajalnya akibat keracunan
belum tentu kedudukan ciangbunjien tersebut terjatuh ke tangan pinto soal ini tak perlu
kalian repot-repot ikut memikirkannya.”

Melihat berbagai pancingan serta jebakan sudah menarik Im Yang Tootiang memihak
perkampungan Pek Hoa Sanceng air muka Jan Bok Hong segera berubah hebat.
“Baiklah!” akhirnya ia berseru. “Sekarang kita bicarakan dulu soal mati hidup
suhengmu.”
“Nah inilah tujuan yang terutama dari kedatangan pinto kemari dan hanya persoalan ini
saja yang berhak pinto bicarakan.”
Jan Bok Hong melirik sekejap kearah Kiem Hoa Hujien tiba-tiba dia berseru, “Tooheng
ini berwatak sombong, angkuh suka memandang tinggi diri sendiri ia tidak sesuai untuk
diajak berunding. Hujien? lebih baik kau sendiri yang menudingkan soal obat pemusnah ini
dengan dirinya.”
Kiem Hoa Hujien tertawa.
“Segala sesuatu biarlah Jan Toa Cungcu yang putuskan sendiri. Aku akan menurut
saja.”
“Hujien terlalu memuji” sinar matanya perlahan dialihkan kembali keatas tubuh Im
Yang Cu.
“Entah Tootiang hendak menggunakan benda apa ditukarkan dengan nyawa
suhengmu?”
“Pinto rasa bila benda itu hanya barang biasa saja, Cungcu tentu tak akan menyetujui!”
“Haaa… haaa… haaa…” tak kuasa Jan Bok Hong tertawa terbahak-bahak.
“Boe Wie Tootiang adalah ciangbunjien partai Bu-tong sudah tentu tak bakalan bisa
ditukar dengan barang-barang biasa.”
“Bagaimana kalau kita hargai dengan sejilid kitab pusaka Sam Khie Cin Boh?”
“Apa? kitab pusaka Sam Khie Cin Boh berada ditangan Bu-tong-pay?” seru Jan Bok
Hong rada tertegun.
“Walaupun benda tersebut berada ditangan pihak Bu-tong pay kami tapi menurut
suheng kami ilmu silat yang termuat dalam kitab tersebut tiada berkecocokan dengan ilmu
silat perguruan kami, keanehannya terlalu luar biasa oleh sebab itu tak seorangpun dari
anggota perguruan kami yang mempelajari isi kitab tersebut” kata Im Yang Cu penuh
keseriusan.
“Watak Boe Wie Tooheng keras kepala dan terlalu percaya dengan ilmu silat perguruan
sendiri, peraturan guru-gurunya tidak ingin mencampurkan ilmu silat lain kedalam ilmu
silat perguruan aku rasa tindakannya ini memang tidak salah.”
“Pinto hanya bertanya bagaimana nilai benda tersebut” desak Im Yang Cu kembali.
“Kitab pusaka Sam Khie Cin Boh sekalipun termasuk pusaka Bulim tapi bila digunakan
untuk menukar jiwa ciangbunjien kalian rasanya masih kurang cukup.”

Im Yang Cu termenung lama sekali akhirnya ia berkata lagi. “Jikalau ditambah dengan
sebuah lukisan Giok Sian Cu? Apa kau kata?” tiba-tiba Jan Bok Hong membelalakkan
sepasang matanya.
Dengan ketajaman pendengarannya ditambah pula suara Im Yang Cu cukup keras
orang lain bisa mendengar sangat jelas tidak mungkin kalau Jan Bok Hong tidak
mendengar.
Kendati begitu tak tertahan ia menjerit tertahan juga. “Lukisan Giok Sian Cu.”
Perlahan-lahan Jan Bok Hong menggeserkan sedikit badannya. “Entah aslikah barang
itu?” tanyanya lirih.
“Lukisan Giok Sian Cu hanya ada sebuah diseluruh kolong langit sudah tentu tak bakal
salah lagi.”
“Macam apakah Giok Sian cu itu?” tiba-tiba Kiem Hoa Hujien menimbrung dari samping.
“Mengapa hanya sebuah lukisan begitu berharga?”
“Hujien kau tidak tahu, lukisan Gio Sian cu ini merupakan salah satu benda pusaka
yang paling berharga dalam dunia Bulim menurut kabar yang pernah tersiar katanya
lukisan ini dibuat oleh dewa lukisan Thian To pada seratus tahun berselang lukisan orang
ini bukan saja luar biasa bahkan hidup sebagai kenyataan, hanya saja watak Thian To
amat kukoay. Ia tidak ingin tinggalkan seluruh lukisan yang berharganya dikolong langit.
Pada saat menjelang kematiannya ia telah membakar seluruh lukisan-lukisan berharganya
dan kini hanya tertinggal cuma separuh dikolong langit.”
Siauw Ling yang mendengar dengan terpesona mendadak menyela dari samping.
“Mengapa lukisan itu tinggal separuh??”
Jan Bok Hong tertawa.
“Karena sewaktu Thian To membakar lukisan-lukisannya hanya tertinggal separuh
lukisan Giok Sian Cu yang belum sempat terbakar musnah, inilah satu-satunya lukisan
yang masih ada dikolong langit. Sedang mengenai mengapa lukisan itu bisa selamat
beritanya adalah begitu.”
“Ketika lukisan tadi terbakar hingga tinggal separuh para jago Bulim yang bersembunyi
disekitar kediamannya segera turun tangan melancarkan satu pukulan dahsyat kearah
kobaran api itu sehingga lukisan tadi mencelat keluar rumah.”
“Tapi Thian To yang terkenal akan keindahan lukisannya merupakan seorang jago
berkepandaian tinggi pula dalam kalangan Bulim waktu itu sulit sekali baginya untuk temui
tandingan. Ketika Thian To melihat lukisannya yang belum habis terbakar mencelat keluar
rumah ia jadi gusar sekali dengan kumpulkan seluruh tenaga kweekang yang dimiliki ia
binasakan seluruh kawan Bulim yang tersembunyi disekeliling tempat itu.”
“Oooouw… sungguh aneh sekali watak orang ini” kembali Siauw Ling memotong
sembari menghela napas panjang… “Kenapa ia tidak suka tinggalkan hasil karyanya untuk
keturunan selanjutnya?”

Tak tahan lagi Jan Bok Hong mendongak tertawa terbahak-bahak.
“Haaa… haaa… haaa bila dikolong langit pada saat ini banyak lukisan hasil karya Thian
To lukisannya tak mungkin bisa dianggap sebagai benda yang sangat berharga.”
“Perkataan itu sedikitpun tidak salah” sambung Ih Boen Han To dari samping. “Tapi
menurut apa yang siauwte ketahui Thian To selama hidup menderita penyakit yang parah,
lukisan yang berhasil dibuatpun tidak lebih hanya sepuluh buah lukisan sekalipun
ditinggalkan dalam kolong langit semuapun tidak bisa terhitung banyak.”
“Haaa… haaaa…” kembali Jan Bok Hong tertawa tergelak. “Ih Boen heng tinggal di
pesanggerahan Sian Kie Su Lu membaca berjuta-juta jilid kitab dan mengarungi berlaksalaksa
lie perjalanannya, pengetahuannya sudah tentu jauh lebih dari Siauwte entah
lukisann apa yang ditinggalkan Thian To dalam keadaan tidak utuh ini?”
“Menurut apa yang siauwte ketahui, lukisan itu adalah sebuah lukisan yang melukiskan
sebuah rembulan dikerumuni bintang-bintang disekitarnya cuma sayang lukisan rembulan
yang paling membutuhkan banyak keringat dan tenaga dari Thian To telah terbakar
musnah kini hanya tersisa dua belas bintang!”
“Oooow pengetahuan Ih Boen heng betul-betul luar biasa, lukisan yang masih
tertinggal dikolong langit memang benar-benar lukisan rembulan dan bintang hanya yang
tidak cocok adalah bintang tersisa bukan dua belas tapi hanya sebelas butir setengah.”
“Waktu itu sesudah Thian To turun tangan membinasakan orang yang melancarkan
serangan dari tempat persembunyian kenapa tidak mau memungut juga separuh lukisan
tadi dari luar rumah?” tanya Siauw Ling kembali.
“Waktu itu Thian To sedang menderita penyakit yang amat parah. Napasnya sudah
sendat tunggu putusnya. Apalagi dalam keadaan gusar harus bergebrak pula melawan
orang-orang itu, penyakitnya menjadi kambuh kembali, sedang lukisan rembulan dan
bintang itu sudah terpental keluar ruangan tertiup oleh angin kencang. Sekalipun dia ada
maksud mengejar tapi kekuatan tak memadai menurut berita yang tersiar sewaktu
badannya baru melangkah keluar ajalnya sudah tiba. Sewaktu mati sepasang kakinya
masih tertinggal didalam pintu.”
“Semisalnya ia benar-benar ada maksud untuk memusnahkan seluruh hasil karyanya,
kenapa hanya tertinggal sebuah lukisan Giok Sian Cu saja yang tidak mau dibakar?”
“Lukisan Giok Sian Cu merupakan satu-satunya hasil karya yang paling indah diantara
lukisan lain. Sekalipun ia tidak rela lukisan tadi tertinggal dikolong langit iapun tidak tega
untuk memusnahkannya.”
“Menurut apa yang siauwte ketahui” tiba-tiba Ih Boen Han To menyambung. “Lukisan
Giok Sian Cu tersebut agaknya mengandung percintaan perempuan yang dilukis dalam
lukisannya benar-benar ada orangnya.”
Im Yang Cu yang kuatir akan keselamatan ciangbun suhengnya lama kelamaan tidak
dapat menahan sabar lagi akhirnya ia berseru, “Pendapat kalian berdua walaupun pinto
perhatikan sungguh-sungguh tapi nyawa suheng pinto berada dalam keadaan kritis
banyak mendengarkanpun tak ada gunanya bagaimana kalau kedua benda berharga itu

pinto tukar dengan obat pemusnah racun tersebut? harap Jen Toa Cungcu suka cepat
mengambil keputusan dengan demikian agar pinto bisa berlega hati.”
Jan Bok Hong mendongak dan memandang sekejap Kiem Hoa Hujien.
“Menurut pendapat cayhe, kitab pusaka Sam Khie Cin Hok serta lukisan Giok Sian Cu
sudah cukup untuk ditukar dengan keselamatan Boe Wie Tootiang entah bagaimana
pendapat Hujien?”
Kiem Hoa Hujien termenung berpikir sejenak kemudian sahutnya. “Aku punya suatu
permintaan yang tak pantas entah maukah Cungcu mengabulkan?”
“Hujien silahkan mengutarakan persoalan tersebut asal cayhe bisa melakukan tentu tak
kutolak.”
Kiem Hoa Hujien tersenyum. “Sebetulnya aku tidak membutuhkan apapun untuk
memberikan obat pemusnah tersebut kepada mereka. Asalkan kalian setuju tentu
kuserahkan obat tersebut hanya saja sehabis mendengar pembicaraan kalian berdua
tentang lukisan Giok Sian Cu yang dikatakan tak ada duanya dikolong langit, dari dasar
hatiku timbul rasa ingin tahu.”
Jan Bok Hong sebagai seorang cilik yang sudah diketahui gembira sedih marah
senangnya tak urung berubah juga air mukanya setelah mendengar perkataan itu.
“Apakah Hujien ada maksud menginginkan lukisan Giok Sian ku itu?”
“Sedikitpun tidak salah entah sukakah Cungcu mengabulkan permintaanku ini.”
Suasana dalam ruangan mendadak menjadi sunyi senyap tak terdengar sedikit
suarapun saking sunyinya sehingga detakan jantung setiap orang dapat terdengar jelas.
Melihat suasana berubah jadi sunyi tiba-tiba Kiem Hoa Hujien tertawa terkekeh-kekeh.
Sembari memandang Siauw Ling serunya, “Saudara cilik pernahkah kau menonton
kedahsyatan dari Pak Sian jie ku ini?”
Walau dihati Siauw Ling merasa muak dan benci terhadap perempuan ini tak urung
rasa ingin tahu yang muncul didasar hatinya susah ditahan.
“Apa yang dimaksudkan dengan Pak Sian jie?” tanyanya. Dari dalam sakunya Kiem Hoa
Hujien mengeluarkan sebuah kotak kumala sepanjang beberapa depa dengan lebar
setengah coen.
“Saudara cilik kau sudah melihat jelas?” serunya sembari tertawa. Tangannya
digetarkan cepat serentetan cahaya putih meluncur keluar dari balik kotak kumala tersebut
kemudian sesudah berputar kencang ditengah udara jatuh diatas meja perjamuan.
Setelah Siauw Ling memperhatikan lebih cermat ia temukan benda itu berwarna putih
badan bagian bawah melingkar membentuk sebuah lingkaran kecil sedang kepalanya
mendongak keatas lidah berwarna merah menjulur tiada hentinya sepasang mata melotot
keempat penjuru.

Dibawah sorotan yang menggidikkan hati para jago merasakan bulu roma bangun
berdiri tapi untuk menjadi kehormatan sendiri mereka berusaha menenangkan hatinya.
Dari sakunya kembali Kiem Hoa Hujien mengeluarkan sebuah kotak berwarna hijau
muda setelah dibuka penutupnya segera dilemparkan ke sisi sarang laba-laba tersebut dan
mulutnya memperdengarkan suara aneh yang rendah lagi berat.
Delapan ekor laba-laba hitam yang baru saja mengisap kering kutungan lengan itu
setelah mendengar suitan aneh tersebut mendadak menerobos masuk kedalam kotak satu
persatu.
Kini tinggal seekor laba-laba yang belum masuk kedalam kotak, tiba-tiba suitan Kiem
Hoa Hujien berubah nada.
Si laba-laba hitam yang belum sempat masuki kotak tersebut mendadak berhenti
bergerak dan tak berkutik ditempat semula.
Tampak cahaya putih berkelebat lewat, ular Pek Sian jie yang berada diatas meja
perjamuan mendadak laksana sambaran kilat menubruk kearah sarang laba-laba tersebut.
Laba-laba hitam yang belum sempat masuk kedalam kotak sebenarnya sedang
pentangkan kakinya yang panjang sehingga kelihatan sikap ganas dan gagah perkasa.
Tapi begitu berjumpa dengan ular putih itu. Mendadak dengan tanpa sadar telah
menarik kembali kakinya dan sembunyikan kepala ke belakang, sebentar saja badannya
sudah menyusut kecil sekali.
Lidah merah ular itu segera meluncur keluar menjilat badan laba-laba hitam itu dan
menggulungnya masuk kedalam mulut sekali telah musnahlah binatang beracun itu.
Melihat peristiwa pembunuhan yang dilakukan antara ular putih dengan laba-laba
hitam, air muka para jago sama-sama berubah menghebat.
Sekonyong-konyong Kiem Hoa Hujien meninggalkan tempat duduknya melangkah
kedepan, setelah menutup kotak besi berwarna hijau itu ia simpan ketujuh ekor laba-laba
hitam itu kedalam saku.
Sejak ular putih tadi menelan seekor laba-laba hitam mendadak kegagahannya makin
memuncak, dengan diiringi suara kokokan yang nyaring sisik putih diseluruh badannya
bermunculan memenuhi badan.
Kembali Kiem Hoa Hujien ulapkan tangannya keatas ular kecil warna putih itu
menyahut dan meloncat balik keatas meja perjamuan, sinar matanya berkeliaran keempat
penjuru. Lidah menjulur keluar masuk tiada hentinya siap menerjang mangsa selanjutnya.
Melihat semua peristiwa itu Siauw Ling merasa terperanjat, diam-diam pikirnya dihati,
“Kecepatan gerak dari ular kecil berwarna putih ini benar-benar luar biasa sekali sungguh
membuat orang susah menjaga diri.”
Sinar mata Jan Bok Hong menyapu sekejap wajah Kiem Hoa Hujien akhirnya ia
mengangguk.

“Cayhe menyetujui permintaan Hujien.”
“Hiii hiii Toa Cungcu sungguh amat sosial lain kesempatan nanti aku pasti akan
membalas budi kebaikan ini” Kiem Hoa Hujien tertawa terkekeh-kekeh.
Kotak pualamnya kembali diangkat seraya memperdengarkan suitan yang maha aneh,
ular kecil yang berwarna putih itu meluncur balik kedalam kotak.
Diatas selembar wajah Jan Bok Hong yang sesungging kembali satu senyuman.
“Im Yang Tooheng, kita tentukan saja pertukaran ini entah dimanakah kitab pusaka
Sam Kie Cien Boh serta lukisan Giok Sian Cu tersebut?”
“Pada saat ini benda-benda tersebut tidak berada di saku pinto” Jan Bok Hong tertawa
hambar.
“soal ini sih aku orang she Jan sudah menduga sebelumnya. Silahkan Tootiang ajukan
syarat pertukaran dan kita lakukan suatu jual beli yang adil.”
“Bilamana dalam dua belas kemudian suhengmu tidak diberi minum obat pemusnah”
sambungnya Kiem Hoa Hujien dengan cepat. “Maka racun keji ular emas itu akan
bersarang diseluruh perutnya sekalipun mendapat obat pemusnah juga percuma saja,
karena hal ini tak akan berguna untuk menolong jiwanya.”
“Jam berapakah saat ini?” tanya Im Yang Cu kemudian sambil alihkan sinar matanya
menyapu sekejap seluruh jago yang ada dalam ruangan itu.
“Kentongan keempat lewat sedikit, kentongan kelima belum sampai.
“Siang ini pinto akan menunggang sebuah sampan kecil menanti kedatangan saudara
sekalian didepan teluk Sam Liuw Wan ditengah sungai, masing-masing pihak tak boleh
terlalu banyak membawa orang dan masing-masing pihak dengan menunggang sebuah
sampan kecil saling bertukar syarat ditengah sungai.”
“Bagus, bagus sekali, entah berapa banyak orang yang boleh dibawa masing-masing
pihak?” kata Jan Bok Hong sembari tertawa.
“Paling banyak empat orang, lebih tak jadi.”
“Baiklah kita menurut saja dengan maksud hati Tootiang.”
Im Yang Tootiang angkat telapak tangannya keatas, lalu memandang sekejap diri Ih
Boen Han To dengan pandangan yang sangat dingin.
“Sikap suheng kami terhadap Ih Boen sianseng sangat ramah dan penuh kesopanan
tidak sangka ternyata Ih Boen sianseng begitu tidak tega untuk membokong dirinya.”
Ih Boen Han To tertawa serak. “Bertanding kecerdasan bertanding kekuatan sudah
lama terjadi dalam dunia kangouw masing-masing pihak harus mengandalkan kepintaran
dan kemampuan sendiri-sendiri. Walaupun suheng kalian bersikap amat baik kepadaku
itupun tidak bermaksud yang lebih mendalam jadi sikap suhengmu tak bisa dikatakan
bersahabat.”

“Hee, hee jika suheng kami terjadi sesuatu hal yang tidak beres maka Ih Boen
siansenglah pertama-tama yang harus menanggung seluruh dosa ini!” seru Im Yang
Tootiang sembari tertawa dingin.
“Aakh Tooheng terlalu memuji.”
Sinar mata Im Yang Tootiang perlahan-lahan dialihkan ke wajah Jan Bok Hong. “Pinto
berpamit dulu dan kita berjumpa nanti siang.”
Jan Bok Hong tidak menjawab sinar matanya dialihkan kearah Ciu Cau Liong.
“Harap Jie te suka mewakili aku mengantar Im Yang Tootiang keluar dari sini.”
Ciu Cau Liong mengiakan tangannya lantas merangkap memberi hormat. “Tootiang
silahkan.”
Im Yang Cu tidak banyak bicara lagi ia putar badan dan berlalu mengikuti dibelakang
Jie Cungcu.
“Tunggu sebentar” tiba-tiba Kiem Hoa Hujien membentak keras seraya bangkit berdiri.
“Racun yang berada diatas jaring laba-laba itu sangat ganas bila kalian berdua sampai
terbentur dengan racun itu kemungkinan besar sebelum Boe Wie Tootiang kalian sudah
mati terlebih dahulu.”
“Jikalau demikian harap Hujien suka menghantar mereka turun loteng” seru Jan Bok
Hong cepat.
Kiranya didepan pintu loteng masih banyak melingkar laba-laba yang menutup jalan
keluar mereka.
Kiem Hoa Hujien tertawa katanya, “Toa Cungcu kedudukanmu sangat terhormat bila
ada sarang laba-laba yang menutup pintu masuk bukankah memberi tambahan sebuah
jebakan bahaya untuk dirimu? mengapa harus dimusnahkan? bukankah terlalu sayang?”
Jan Bok Hong kerutkan alisnya lama sekali akhirnya ia tertawa.
“Perkampungan Pek Hoa Sanceng walaupun tidak terhitung sebuah benteng terdiri dari
tembok tembaga dinding baja tapi persiapan untuk menahan serangan musuh masih
cukup kuat maksud baik hujien biarlah cayhe terima dihati.”
“Jikalau demikian adanya akupun lebih baik terima perintah dan mewakili Toa Cungcu
untuk melenyapkan jaring laba-laba ini.”
Dengan langkah menggiurkan Kiem Hoa Hujien berjalan mendekati jaring laba-laba
tersebut.
Seluruh perhatian para jago yang hadir dalam ruangan tanpa disadari lagi bersamasama
dialihkan kesatu arah yang sama yaitu melihat dengan cara apa perempuan itu
hendak melenyapkan jaring laba-labanya.

Jan Bok Hong sebagai seorang manusia cilik berakal banyak tujuannya yang paling
terutama adalah melihat secara bagaimana perempuan itu melenyapkan jaring laba-laba
beracun itu sehingga dikemudian hari mendapat cara untuk memecahkannya.
Tampak Kiem Hoa Hujien memasukkan tangannya kedalam saku dan mengambil keluar
sebilah pedang pendek warna emas yang panjangnya tidak sampai satu depa dimana
tangannya menyambar serentetan cahaya biru berkelebat lewat menghajar sarang labalaba
tersebut.
Sreeet diiringi desiran tajam sarang tadi lenyap tak berbekas. Agaknya ia tidak ingin
para jago yang ada dalam ruangan melihat jelas senjata apa yang ia pergunakan dengan
kecepatan yang susah diikuti dengan pandangan mata pedang emas tadi dimakan kembali
kedalam sakunya lalu menoleh dan tertawa.
“Sekarang kalian berdua boleh berlalu.”
“Cayhe bawakan jalan buat Tootiang” Ciu Cau Liong berebut jalan selangkah terlebih
dahulu.
Dengan kencang Im Yang Cu mengikuti dari belakang Ciu Cau Liong berlalu dari loteng
dengan langkah lebar.
Sepeninggalan toosu tua dari Bu-tong pay perlahan-lahan Kiem Hoe Hujien balik
kembali kekursinya lalu tertawa.
“Kali ini apakah Toa Cungcu bersungguh-sungguh hendak tukar obat pemusnah
tersebut dengan benda pusaka yang mereka ajukan?” tanyanya perlahan.
“Sedikitpun tidak salah walaupun dalam dunia kangouw penuh diliputi kelicikan serta
akal busuk tapi janji yang telah kita setujui tak boleh dilanggar bila Im Yang Tootiang
benar-benar hendak gunakan kitab pusaka Sam Khie Cin Boh serta lukisan Giok Sian Cu
untuk ditukar dengan obat pemusnah kitab, sudah seharusnya kita tak boleh mengingkari
janji.”
“Jika aku gunakan obat lain untuk ditukar dengan benda itu?” Jan Bok Hong segera
tersenyum.
“Bu-tong pay bisa tancap kaki selama ratusan tahun. Dalam dunia kangouw sudah jelas
kekuatan mereka tidak lemah, apa kau kira mudah sekali buat kita untuk menghadapinya?
Hujien setelah mendengar segala sesuatu yang diatur Im Yang Tootiang dengan minta
sebuah sampan kecil dan pertukaran itu dilakukan ditengah telaga apakah masih belum
mengerti apa maksudnya yang benar?”
“Jikalau secara sembarangan aku mengambil keluar semacam obat dan kukatakan
inilah obat pemusnah dari ular emas itu. aku rasa Toa Cungcu sendiripun belum tentu bisa
membedakan!”
Pada mulanya Jan Bok Hong tertegun, akhirnya ia tertawa hambar.
“Hujien, kau terlalu pandang enteng jago-jago Bulim didaratan Tionggoan dan terlalu
pandang enteng bakat-bakat bagus dari Bu-tong-pay” tegurnya dingin.

Karena takut antara mereka berdua timbul cekcok, buru-buru Ih Boen Han To
menimbrung.
“Jan heng sudah memimpin kalangan Liok Lim didaratan Tionggoan sejak sepuluh
tahun berselang sedang Hujien merupakan pimpinan tertinggi sekitar daerah Biauw Ciang
masing-masing pihak mempunyai kekuasaan tersendiri.”
Ia merandek sejenak, kemudian sambil tertawa sambungnya, “Tapi keadaan pada saat
ini sangat berlainan kita butuh kerja sama yang erat dan sebenarnya masing-masing pihak
coba saling mengalah apalagi keadaan kita saat ini bagaikan menunggang diatas
punggung harimau, mau turunpun susah…”
Ia merandek sejenak dan menghela napas panjang, setelah memandang wajah Kiem
Hoa Hujien sekejap sambungnya lagi, “Dihadapan Im Yang Tootiang tadi Hujien sudah
mengaku kitalah yang membokong Boe Wie Tootiang tidak bisa diragukan lagi keadan kita
sudah berdiri pada posisi berlawan dengan pihak Bu-tong pay kau harus tahu Hujien,
pengaruh Bu-tong pay amat luas dan lebar bahkan dengan pihk Siauw Lim Go bie serta
Cing shia pun mengadakan saling tukar kabar berita dan mari kita saling membantu pihak
yang lain.”
“Bila peristiwa ini berekor makin membesar dan mulai tersebar dalam Bulim maka dari
pihak Siauw Lim pay, Go bie pay serta Cing Shia pay akan datang memberi bantuan
kepada mereka, jika Hujien dan Toa Cungcu tak dapat mulai bersatu sejak kini maka
kesempatan baik ini akan digunakan oleh pihak lawan untuk menggempur kita!”
“Pendapat Ih Boen heng sedikitpun tidak salah” Jan Bok Hong tertawa dan
mengangguk. “Siauwte betul-betul kagum.”
Sedangkan Kiem Hoa Hujien termenung berpikir sebentar setelah itu baru tertawa.
“Perkataanmu belum selesai diucapkan mengapa secara tiba-tiba membungkam
kembali?”
“Hujien benar-benar manusia yang sangat berbakat” seru Ih Boen Han To diiringi
deheman perlahan. “Maksud Siauwte dari antara Hujien dan Jen heng harus cari seorang
yang pegang tampuk pimpinan tertinggi dalam melaksanakan rencana sebesar ini
sehingga semua urusan bisa terpimpin.”
“Hujien datang dari ribuan lie jauhnya kau lebih patut untuk duduk sebagai pimpinan
kita” usul Jan Bok Hong cepat.
Lama sekali Kiem Hoa Hujien memperhatikan wajah Toa Cungcu dari perkampungan
Pek Hoa Sanceng ini, kemudian ia menyahut, “Toa Cungcu tidak usah sungkan lagi, tamu
tidak boleh bersikap menyolok dihadapan tuan rumah lebih baik Toa Cungcu saja yang
duduk sebagai pucuk pimpinan!”
Ketika itulah Ih Boen Han To tertawa dan mengemukakan pendapatnya, “Bila
dibicarakan dari kecerdasan, bakat serta kepandaiannya silat masing-masing pihak kalian
berdua sama-sama pantas duduk sebagai puncak pimpinan. Cuma menurut pendapat
siauwte lebih baik Jen heng saja yang duduk sebagai pimpinan! Walaupun kepandaian silat
hujien luar biasa kecerdasannya melebihi orang tapi berhubung sudah lama berdiam
didaerah Biauw Ciang rasanya bagimu kurang paham terhadap situasi didataran Tinggoan

jika dibandingkan dengan kemampuan Jen heng, Ehmm! benar akupun punya pandangan
demikian Jan Toa Cungcu kau tidak usah menampik lagi.”
“Jikalau kau berdua sama-sama berkata demikian siauwtepun menurut perintah saja
tapi ada satu persoalan harus siauwte utarakan terlebih dahulu, asalkan kalian berdua
suka mengabulkan siauwte baru berani menerimanya.”
Kiem Hoa Hujien berpaling dan memandang sekejap kearah Ih Boen Han To sedang
mulutnya tetap membungkam. “Jen heng punya pendapat tinggi apakah? Silahkan
diutarakan keluar.”
“Menguasai keadaan lapangan pertarungan melebihi menang seribu kali, didalam
melakukan komando tertinggi bakat siauwte terbatas dan susah mengambil keputusan
sendiri oleh sebab itu menghadapi setiap persoalan yang maha besar masih
mengharapkan kalian berdua suka bersama-sama melakukan perundingan.”
“Sudah seharusnya demikian” sahut Kiem Hoa Hujien cepat. Jan Bok Hong tertawa
hambar.
“Jikalau urusan sudah kita tentukan ini berarti tiada bantahan dari masing-masing pihak
lagi untuk suksesnya tujuan kita aku usulkan kita membentuk satu persekutuan dan
membuat sebuah panji persekutuan dimana panji tadi tiba setiap orang tak boleh
membantah.”
“Tapi rasanya soal lukisan Giok San Cu tidak termasuk dalam persekutuan ini bukan”
sindir Kiem Hoa Hujien sambil tertawa.
“Hujien suka bergurau setelah cayhe menyetujui untuk hadiahkan lukisan Giok San Cu
buat Hujien sudah tentu benda itu akan menjadi milikmu. Apakah kau bisa merasa
menyesal kembali?”
“Ucapan Jen heng sedikitpun tidak salah” seru Ih Boen Han To memberikan
tanggapannya. “Soal pembuatan panji persekutuan serahkan saja kepada siauwte untuk
membuatnya.”
“Baik siauwte segera kirim orang untuk mengundang beberapa orang sahabat lama
serta beberapa orang jagoan yang memiliki nama terkenal dalam dunia persilatan untuk
melangsungkan suatu pertemuan para enghiong hohan dan meminjam kesempatan ini
ajak pula mereka untuk bersama-sama menjadi anggota persekutuan.”
“Munculnya kembali Jan heng dalam dunia kangouw sudah cukup menggemparkan
seluruh dunia persilatan pertemuan enghiong hohan ini pasti akan memancing perhatian
partai-partai besar lainnya” seru Ih Boen Han To seraya tertawa.
“Ih Boen heng terlalu memuji. Pertemuan para enghiong hohan masih agak lama
jaraknya dari ini hari dan kita masih punya banyak waktu sama-sama merundingkannya”
sambung Kiem Hoa Hujien. “Dan kini didepan mata kita masih ada satu persoalan yang
belum mendapatkan keputusan dari Jan Toa Cungcu.”
“Apakah soal pertemuan nanti sore dengan Im Yang Cu?”

“Benar hidung kerbau itu hanya membatasi dengan sebuah sampan kecil dan empat
orang apakah Cungcu sudah pergi berpikir siapakah keempat orang yang hendak kita
kirim?”
“Bagaimana kalau Hujien ikut pergi didampingi oleh Ih Boen heng?”
Agaknya Ih Boen Han To diluar dugaan dengan perkataan dari Toa Cungcu
perkampungan Pek Hoa Sanceng ini.
“Apakah Jan heng sendiri tidak ikut pergi?”
“Siauwte tidak ikut pergi biarlah Jie te serta Sam te pergi mewakili diriku.”
“Rahasia perkampungan Pek Hoa Sanceng sudah bocor, setiap saat kemungkinan besar
perkampungan bisa kedatangan musuh tangguh. Toa Cungcu tetap berada dalam
perkampungan memang merupakan suatu keputusan yang amat tepat” puji Kiem Hoa
Hujien sambil tertawa.
“Kecerdikan serta bakat Hujien melebihi orang perjalanan kita kali ini pasti akan peroleh
hasil yang diharapkan cayhe akan hormati dulu Hujien dengan secawan arak.”
Seraya mengangkat cawan sendiri, sekali teguk ia habiskan isi araknya.
Kiem Hoa Hujien pun mengangkat cawan didepannya dan meneguk habis isi cawannya
lalu sembari tertawa ujarnya, “Moga-moga saja tidak mengecewakan harapan Cungcu!”
Sinar mata Jan Bok Hong berputar menyapu sekejap wajah Ciu Cau Liong serta Siauw
Ling lalu ujarnya, “Jie te, Sam te kalian boleh turun loteng untuk beristirahat nanti sore
kalian dengan mengikuti Hujien pergi kesungai untuk hadir dalam pertemuan.”
Siauw Ling bangun bendiri menjura lalu pertama-tama turun dulu dari atas loteng.
Berada dalam loteng Wang Hoa Loo setengah harian membuat pandangannya mulai
terbuka dan mebuat ia mulai merasa dirinya telah terjerumus kedalam satu jebakan yang
sangat keji.
Dengan membawa perasaan murung, kesal sedih ia balik kebangunan mungil Lan Hoa
Cing Si.
Kiem Lan serta Giok Lan dengan wajah penuh senyuman telah menanti kedatangannya
diluar bangunan Lan Hoa Cing Si tapi melihat kemurungan wajah pemuda tersebut
senyuman merekapun punah dengan mengintil dibelakang Siauw Ling bersama-sama
masuk kedalam.
Giok Lan ambilkan secawan teh perlahan-lahan mendekati diri Siauw Ling.
“Sam ya, apakah kau sedang marah dengan budak-budakmu?” tegurnya lirih.
Siauw Ling menggeleng dan hela napas panjang.
“Persoalan ini tiada hubungannya dengan kalian. Kamu berdua boleh undurkan diri, aku
mau duduk semedi sebentar.”

Kedua orang itu tahu bagaimanakah watak Sam ya nya mereka tak berani berdiam
disana lagi diam-diam merapatkan pintu dan mengundurkan diri.
Sepeninggalnya kedua orang dayang itu Siauw Ling padamkan lampu, lepas pakaian
dan berbaring tapi pikirannya amat kacau walaupun sudah bolak balik belum juga bisa
pejamkan mata.
Tiba-tiba serentetan suara teguran yang serak-serak basah bergema datang.
“Samte kau sudah tidur?”
Nada suara orang ini sangat dikenal sekali olehnya, mendengar teguran ini Siauw Ling
segera mengenali dia bukan lain adalah Jan Bok Hong.
“Ooouw Toako!” serunya sambil meloncat bangun.
Terdengar pintu didosong cahaya lampu menyorot masuk. Kiem Lan dengan membawa
lentera berjalan masuk kedalam membuka jalan. Jan Bok Hong sambil menggendong
tangan mengikuti dari belakang perlahan-lahan masuk kedalam ruangan.
“Sore ini Kiem Hoa Hujien akan bertindak sebagai pemimpin. Samte, kau harus
mendengarkan semua perintahnya!” ujarnya seraya tertawa.
“Soal ini siauwte tahu” Siauw Ling segera menjura.
“Lukisan Giok Sian Cu merupakan hasil kerja terkenal dari seorang ahli lukis Thian To
pada beratus-ratus tahun berselang, benda itu sangat berharga sekali dan apabila
dihitung-hitung harganya ada diatas kitab pusaka Sam Khie Cin Boh bila terjatuh ketangan
Kiem Hoa Hujien bukankah terlalu sayang?”
“Toako bukankah kau sudah menyetujui untuk berikan lukisan Giok Sian Cu buat Kiem
Hoa Hujien??” tanya Siauw Ling kebingungan sepasang matanya memandang Jan Bok
Hong tajam-tajam.
Perlahan-lahan Jen Toa Cungcu dari perkampungan Pek Hoa Sanceng ini mengangguk.
“Tidak salah walaupun aku sudah setuju untuk berikan kepadanya, tapi kau belum
menyetujuinya.” “Apakah Toako berharap Siauwte suka rebut kembali lukisan tersebut??”
“Dalam keadaan seperti ini kita sedang membutuhkan orang kepandaian silat Kiem Hoa
Hujien amat lihay terutama sekali binatang-binatang beracunnya dalam kolong langit
rasanya susah untuk temukan orang kedua macam dirinya. Ia benar-benar merupakan
seorang pembantu yang bagus untuk kita…!”
Mendengar perkataan itu Siauw Ling lantas kerutkan alisnya.
“Toako bilamana kau ada maksud mendapatkan lukisan Giok Sian Cu itu, kenapa tidak
biarkan Siauwte merebutnya dari tangan Kiem Hoa Hujien Toako! kau benar-benar
membuat Siauwte jadi kebingungan sendiri.”
Jan Bok Hong tersenyum.

“Kita tak boleh kehilangan lukisan Giok sian Cu itu tidak dapat pula merebutnya dari
tangan mendapatkan benda Kiem Hoa Hujien, apakah kau tak dapat mendapatkan benda
tersebut dengan menipu diri Kiem Hoa Hujien.”
“Menipu…” Siauw Ling agak tertegun.
“Setiap benda yang ada dalam kolong langit tentu ada lawannya. Kiem Hoa Hujien
terkenal sebagai seorang jagoan yang ahli dalam penggunaan berbagai macam racun,
memelihara binatang berbisa kecuali Samte seorang rasanya dikolong langit tak ada orang
kedua yang bisa menaklukan dirinya.”
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil : Rahasia Kunci Wasiat 2 , Serial Kunci Wasiat Yang Pertama dan anda bisa menemukan artikel Cersil : Rahasia Kunci Wasiat 2 , Serial Kunci Wasiat Yang Pertama ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/10/cersil-rahasia-kunci-wasiat-2-serial.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil : Rahasia Kunci Wasiat 2 , Serial Kunci Wasiat Yang Pertama ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil : Rahasia Kunci Wasiat 2 , Serial Kunci Wasiat Yang Pertama sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil : Rahasia Kunci Wasiat 2 , Serial Kunci Wasiat Yang Pertama with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/10/cersil-rahasia-kunci-wasiat-2-serial.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar