Oleh: Gan KL
1.1. Pelajar Muda Berlengan Buntung
Sebuah paviliun tunggal berdiri di tengah sebuah taman dengan
pepohonan yang rimbun. Paviliun itu dipajang mewah dengan
macam-macam perabot yang serba antik. Seorang laki-laki setengah
baya bermuka merah duduk menyanding sebuah meja perjamuan.
Ia duduk seorang diri, mulutnya menyungging senyuman sinis yang
membayangkan kejudasan wataknya. Matanya selalu memandang
keluar ke arah jalanan kecil di tengah taman, agaknya dia sedang
menunggu kedatangan seseorang.
Langkah kaki yang ringan cepat sekali mendatang dari kejauhan,
tampak seorang laki-laki setengah umur berpakaian pelajar muncul
dijalanan berliku di tengah taman sana, dengan langkah dan gerak
gerik yang sangat hormat dia memasuki paviliun terus memberi
hormat kepada laki-laki muka merah, sapanya: "Entah ada keperluan
atau petunjuk apa Pocu (pemilik) memanggil hamba?"
Senyuman sinis yang terbayang di ujung mulut laki-laki muka
merah sudah sirna, pelan-pelan dia gerakkan tangan kanan serta
berkata dengan kalem:
"Suya, silakan duduk."
"Hamba tidak berani."
"Duduklah, hari ini ada beberapa patah kata yang ingin
kusampaikan kepadamu, sebelum kita bicara, marilah kau temani
aku makan minum sepuasnya."
Laki-laki setengah umur yang dipanggil Suya (guru) itu
mengambil tempat duduk di sebelah samping, wajahnya
menampilkan perasaan was-was, kuatir dan jeri, sorot matanya
guram dan menunduk tak berani adu pandang dengan sang Pocu.
"Hayolah, habiskan secangkir ini, jangan sungkan dan rikuh,
sengaja kusuruh koki masak beberapa hidangan istimewa ini,
tanggung lezat dan nikmat, cobalah, boleh kau buktikan sendiri."
Laki-laki setengah umur berdiri sambil angkat cangkir araknya
terus ditenggak habis, sekilas sorot matanya bentrok dengan orang,
terus menunduk lagi dengan tersipu-sipu, rasa tidak tenteram
batinnya lebih kentara pada air mukanya. Sebaliknya laki-laki muka
merah bersenyum dengan riang gembira, setelah menghabiskan
beberapa cangkir sambil menik¬mati hidangan, tak tertahan laki-laki
setengah umur buka suara.
"Pocu ada pesan apa, silakan katakan saja."
"Suya, sudah lima tahun kau berbakti dalam perkampungan ini,
bukan?" tanya sang Pocu.
Laki-laki setengah umur mengiakan.
"Kau bukan orang she Sim?" Pocu menegasi.
Laki-laki setengah umur itu tersentak kaget sambil angkat
kepalanya, sorot matanya membayangkan rasa takut dan ngeri,
badannya gemetar, ternyata mukanya yang pucat itu kelihatan ada
codet hitam bekas luka sebesar telapak tangan, kalau tanpa codet
yang menyolok ini, wajah laki-laki pelajar setengah umur ini boleh
terhitung laki-laki cakap.
Laki-laki muka merah tetap tersenyum lebar katanya lebih lanjut.
"Siangkoan Hong, terus terang aku amat kagum akan tekad dan
keteguhan semangatmu, kau sengaja merusak muka, ganti she dan
mengubah nama, selama lima tahun menyelundup ke dalam
perkampungan kita ini, baru kemarin malam waktu kau mengadakan
pertemuan rahasia dengan Samhujin di belakang taman itu baru aku
tahu seluk be!uk persoalannya, ai .........”
Dari rasa jeri dan takut kini terunjuk rasa gusar dan dendam pada
air muka dan sorot mata laki-laki setengah umur, mulutnya sudah
terbuka hendak bicara, tapi urung.
Sikap sang Pocu rada berubah, katanya dengan nada menyesal.
"Siangkoan Hong, aku amat menyesal dan merasa bersalah
terhadapmu, namun semua itu sudah menjadi kenyataan, tak
mungkin diperbaiki lagi ..........”
Menyalang sorot mata laki-laki setengah umur itu, katanya
dengan dendam,
"Apakah Pocu tidak tahu bahwa Cu Yan-hoa sudah menikah dan
sedang hamil .......?”
"Kutahu setelah peristiwa itu terjadi, menyesalpun sudah
terlambat, kalian suami-istri cinta mencintai, kini dengan ikhlas
kusatukan kembali kalian supaya tak berpisah untuk selamanya,
anggaplah sebagai penebus kesalahanku, kelak kalau kau mau
menuntut balas, aku akan menunggu kedatanganmu. Sekarang kau
boleh pergi saja."
Berubah berulang kali air muka laki-laki setengah umur, katanya
sambil menahan gejolak hatinya.
"Siangkoan Hong berterima kasih akan budi kebaikan Pocu,
numpang tanya, dia ..........”
"Dia sudah menunggu kau di luar kampung, silakan."
Laki-laki setengah umur angkat tangan memberi hormat terus
mengundurkan diri. Lekas sekali dia sudah berada di luar
perkampungan, katanya menghela napas sambil mendongak.
"Lima tahun hidup tertekan, syukurlah aku bisa bebas dan
merdeka hari ini, Cuma .........”
"Pat-te (adik kedelapan)," seru seorang tiba-tiba.
Dengan kaget laki-laki setengah umur berpaling, dilihatnya
seorang laki-laki berpakaian Busu bertubuh tegap kereng berdiri
dibelakangnya, air mukanya menampilkan rasa kasihan, simpatik dan
seperti menahan sesuatu rahasia.
"Toako, kau .........”
"Marilah kita bicara sambil berjalan."
Mereka lantas jalan berendeng menuju ke jalan besar.
"Toako, Siaute tidak sempat berpamit, harap di maafkan."
"Pat-te, selanjutnya pergilah ketempat jauh dan carilah satu
tempat yang aman untuk menyembunyikan diri."
"Toako, bahwa aku masih hidup bersama isteri tercinta sampai
sekarang adalah demi keturunan darah daging .......”
"Kelak boleh kau berdaya, sekarang yang penting kau harus lekas
lari dan menyelamatkan diri.''
”Melarikan diri?”
”Ketahuilah, aku mendapat tugas rahasia dari Pocu untuk antar
kau, tentunya kau sudah tahu apa tugas yang harus kulaksanakan?"
Laki-laki setengah umur menghentikan langkahnya, suaranya
gemetar,
“Jadi Toako diperintahkan untuk membunuh Siaute? Kenapa
Toako tidak turun tangan?"
"Pat-te, kalau aku mau turun tangan, buat apa aku bicara dengan
kau.”
"Lalu cara bagaimana Toako harus bertanggung jawab kepada
Pocu?"
Laki-laki tegap kereng berkata dengan suara lantang dan tegas,
"Sudah tentu aku juga akan minggat ketempat jauh, aku ingin
bebas dari belenggu kejahatan ini, jangan kau menguatirkan diriku,
aku punya perhitungan sendiri ........”
Seperti teringat sesuatu, laki-laki setengah umur bertanya
dengan suara bergetar,
"Toako, lalu dia ..... ... istriku."
Berkerut-kerut kulit muka laki-laki tegap berpakaian Busu (kaum
persilatan) itu, agak lama baru tercetus jawabannya,
"Pat-te, biarlah aku terus terang kepadamu, kau harus tahan dan
sabar, dia sudah meninggal, hidangan yang kau makan tadi adalah
daging tubuhnya .........”
Laki-laki setengah umur menjerit histeris, darah menyemprot dari
mulutnya disusul muntah-muntah dengan kedua tangan menjambak
rambut dan memukul kepala, rambut kepalanya sampai terbeset,
darah membasahi muka dan tubuhnya, badannya limbung, mata
mendelik, mulut menyeringai, siapapun akan merinding dan seram
melihat mukanya. Akhirnya dia berteriak dengan suara serak,
"Bagus, Bagus. Aku betul-betul bersatu kembali dengan dia, aku
....aku makan daging tubuhnya. Hahaha ........”
Ditengah gelak tawanya yang menggila, bayangannya berkelebat
pergi, akhirnya menjadi setitik hitam dan lenyap dari pandangan
mata ..........
o0o
Lima ekor kuda tengah mencongklang di jalan raya yang menuju
ke kota Kayhong, yang terdepan adalah seorang pemuda berusia
likuran berpakaian pelajar, wajahnya cakap bersih, sayang di tengah
alisnya seolah-olah menampilkan hawa hitam yang menyebalkan,
lebih menyolok lagi karena pelajar muda ini berlengan buntung.
Orang kedua adalah laki-laki tua berpakaian hitam dengan muka
hijau, alis tebal mata besar, sikapnya gagah bersemangat. Tiga
penunggang yang lain tampaknya adalah kaum hamba.
Terdengar laki-laki berjubah hitam itu berkata,
"Ji-kongcu, sebelum magrib kita sudah akan tiba di Kayhong,
terpaksa lamaran baru bisa diajukan besok pagi .........”
Pelajar buntung tak menampilkan perasaan apa-apa, katanya
dingin,
"Perintah orang tua tak bisa dibangkang, yang benar aku tiada
hasrat mengajukan lamaran ini."
Berubah air muka laki-laki baju hitam, katanya serius,
“Ji-kongcu, keluarga Ciang di Kayhong kekayaannya merajai
dunia, apalagi Ciang Wi-bin hanya punya puteri tunggal .........”
"Pui-congkoan." tukas pelajar buntung, "persetan dengan
kekayaan keluarga Ciang, apa sangkut pautnya dengan aku, lihatlah
kedaanku yang serba runyam ini, apa tidak memalukan kalau aku
mengajukan lamaran?"
"Kukira tidak menjadi soal.......”
"Dari segi apa kau berani berkata demikian?"
"Ciang Wi-bin adalah saudara angkat ayahmu, sepuluh tahun
yang lalu pernah Ciang Wi-bin berkunjung, beliau memuji bakat dan
kecakapan Kongcu, maka soal jodoh ini sudah terikat sejak waktu
itu, hari ini kita hanya mengajukan lamaran secara resmi menurut
adat."
"Tapi keadaan sepuluh tahun yang lalu tidak begini bukan?"
"Ah, tidak jadi soal, cuma .........”
Pada saat itu, tiga ekor kuda merah mencongklang datang dari
belakang, yang di depan adalah seorang gadis belia berusia 17-18
berbaju serba merah, dua orang dibelakangnya jelas adalah
pelayannya.
Serta merta pelajar buntung tertarik melihat kedatangan ketiga
orang ini, segera dia hentikan tunggangannya, sorot matanya
menatap ke muka gadis baju merah, tertampak gadis ini beralis
lentik matanya jernih mulut mungil hidung mancung, kulitnya putih
halus, kecantikannya sungguh mempesonakan.
Cepat sekali ketiga penunggang kuda ini sudah mendekat, muka
gadis baju merah tampak bersungut marah, sekilas dia melirik ke
arah pelajar buntung, alisnya berkerut dan terus melarikan kudanya
lewat samping orang, salah seorang pelayan di belakangnya
berludah sambil mencemooh,
"Lihat orang kok melotot seperti maling mengincar barang, biji
matanya kudu dikorek keluar."
Cepat sekali kuda mereka sudah membedal kesana.
Pelajar buntung melenggong di atas kudanya, akhirnya laki-laki
baju hitam buka suara.
"Ji-kongcu marilah kita lanjutkan perjalanan."
"Sudahlah, soal jodohku ini batalkan saja."
"Apa? Ji-kongcu, kau ...... kau tidak mau melamar lagi?"
Pelajar buntung itu mendengus sebagai jawaban.
Bergegas laki-laki baju hitam melompat turun, katanya dengan
gugup,
"Soal ini jangan dianggap remeh."
Dingin kaku suara pelajar buntung,
"Pui-congkoan, pulanglah kau membawa ketiga orang ini."
"Ji-kongcu, bagaimana aku harus memberi laporan kepada
Cukong (majikan) nanti?"
"Katakan saja atas kehendakku."
"Wah ........." jidat laki-laki baju hitam berkeringat, mulut terbuka
mata membelalak, saking gugupnya dia tidak bisa berbicara lagi.
Bahwasanya pelajar buntung ini memang tidak setuju akan
perjodohannya dengan puteri keluarga Ciang dari Kayhong, soalnya
perintah orang tua tak berani ditolak, terpaksa dia menurut saja. Tak
nyana di tengah jalan tiba-tiba dia bersua dengan gadis baju merah
tadi, semakin tebal keyakinannya untuk membatalkan perjodohan
ini. Timbul suatu keinginan dalam benaknya, dia hanya ingin
menikah dengan perempuan yang dicintainya.
Sejak kecil dia memang sudah berwatak aneh, nyentrik. Calon
isterinya belum pernah dilihatnya, cantik atau jelek belum diketahui,
yang terang dia kesemsem pada gadis baju merah yang lewat
barusan. Dia takkan membuang kesempatan baik ini untuk
berkenalan, cepat dia berkata sambil mengangkat tangan.
"Pui-congkoan, beritahu kepada ayah, sekarang aku mau
pergi.....”
Tersipu-sipu laki-laki baju hitam itu memburu maju menarik
kendali kuda, serunya gelisah,
"Ji-kongcu, jangan kau berbuat demikian."
Melotot mata pelajar buntung, bentaknya,
"Pui-congkoan, tentunya kau sudah tahu watakku?"
Sorot matanya yang tajam membuat laki-laki baju hitam
menyurut jeri sambil lepaskan tangannya, pelajar buntung lantas
keprak kudanya. Laki-laki baju hitam membanting kaki, cepat dia
cemplak kudanya dan berkata pada ketiga pengiringnya,
"Mari kita ikuti dia."
Sementara itu, gadis baju merah tadi sudah melarikan kudanya
cukup jauh, namun si pelajar buntung membedalkan kudanya
secepat terbang, maka tidak lama dia dapat menyusulnya, saat lain
pelajar buntung sudah mendahului beberapa tombak di sebelah
depan terus putar kudanya mencegat di tengah jalan.
Terpaksa ketiga kuda merah berhenti, dua pelayan baju hijau
lantas keprak kudanya ke depan, salah seorang membentak gusar,
"Apa maksud tuan menghadang jalan?"
Tanpa gubris teguran pelayan ini, pelajar buntung memberi
hormat di atas kudanya kepada gadis baju merah, katanya,
"Nona ini bernama siapa?"
Kaku dingin muka si gadis merah, mulutnya terkancing, agaknya
dia segan menjawab.
Pelayan yang bicara tadi menjadi naik pitam, bentaknya bertolak
pinggang,
"Bedebah dari mana kau, berani kurangajar terhadap Siocia
kami!"
Sekilas pelajar buntung melirik dingin, jengeknya,
"Jangan sembarang memaki orang."
"Memangnya kenapa kalau kumaki kau," balas si pelayan.
"Kau tidak ingin mampus bukan"
"Kaulah yang cari mampus," sambil melolos pedang kedua
pelayan ini segera hendak turun tangan.
Namun si gadis baju merah telah menghentikan mereka, katanya
dengan mengerling kepada pelajar buntung,
"Apa maksud kelakuan tuan ini?"
"Cayhe......." jawab si pelajar buntung tergagap.
"Kenapa?"
"Cayhe hanya ingin berkenalan, ingin tahu nama harum nona."
Jawab gadis baju merah dingin,
"Tentunya ada sebab musababnya?"
Merah muka pelajar buntung, lekas ia sudah tenang pula,
ujarnya,
"Cayhe hanya ingin berkenalan."
"Berkenalan? Hm, agaknya tuan salah melihat orang.“
"Salah melihat apa maksudmu?"
"Nonamu ini bukan bunga jalanan."
"Tidak, nona salah paham, terus terang Cayhe..."
"Minggir," di tengah bentakan nyaring, seutas cambuk lemas
sepanjang delapan kaki tahu-tahu melingkar-lingkar di udara terus
menyambar ke bawah, angin menderu keras membawa tenaga
dahsyat.
Berubah air muka si pelajar buntung, tangan diulur menangkap
ke arah bayangan cambuk. Cambuk adalah senjata lemas, kalau
tidak punya latihan matang, kaum persilatan jaraag yang mau
menggunakan, dengan bertangan kosong berani menangkap
cambuk, agaknya pelajar buntung ini juga mempunyai kepandaian
silat yang cukup tangguh.
Tapi bayangan cambuk berkelebat laksana kilat, tahu-tahu
berhenti dan meluncur ke samping memecut ke pantat kuda. Tangan
pelajar ini buntung sebelah, lebih celaka lagi adalah pecutan cambuk
ini amat keras.
"Tar" karena kesakitan kuda itu meringkik dan berjingkrak terus
membedal kencang laksana kuda liar, karena usahanya tak berhasil
menjinakkan tunggangannya, terpaksa si pelajar buntung
membiarkan saja kudanya lari sepuasnya.
Entah berapa jauh kudanya berlari setelah rasa sakit dan
kagetnya hilang kuda itu berhenti sendiri, lekas pelajar buntung
lompat turun dan periksa luka pantatnya yang cukup parah, darah
masih mengalir keluar dari luka sepanjang satu kaki.
Dia tertawa getir sambil geleng-geleng kepala, ia keluarkan obat
dan dibubuhkan pada luka kudanya itu, tanpa istirahat kuda ini
terang tak dapat melanjutkan perjalanan.
Berpikir sejenak, lalu dia simpan barang-barang penting yang ada
dipunggung kuda ke dalam kantong bajunya, dia tepuk pantat kuda
dan membiarkannya pergi.
Kejadian ini memang salahnya sendiri, namun hatinya amat
penasaran. Sekitarnya merupakan tanah belukar, sukar menentukan
ke mana harus dituju, ingin mengejar gadis baju merah tadi, namun
tak tahu ke jurusan mana dia harus menyusulnya, sesaat dia berdiri
bingung. Tanpa tujuan akhirnya dia berlari-lari kecil, tak lama
kemudian, jalan raya tampak di kejauhan sana, hatinya girang
langkahpun dipercepat.
Tiba-tiba ada suara jeritan orang berkumandang di kejauhan
sana, pelajar buntung itu kaget, segera ia menghentikan
langkahnya, lenyap jeritan seram tadi, suasana kembali sunyi
senyap, setelah menentukan arahnya, segera dia melesat ke hutan
sebelah kiri.
Begitu dia masuk ke dalam hutan, sebuah pemandangan seram
seketika membuatnya melenggong. Ternyata kedua pelayan si gadis
baju merah yang lewat belum lama ini bersama kuda
tunggangannya menggeletak binasa dalam hutan, dari luka-luka
parah yang menyebabkan kematiannya kelihatan seperti dipukul oleh
tenaga yang dahsyat.
Di mana gadis baju merah? Pertanyaan ini menyentak
sanubarinya, selamanya dia belum kenal dan baru pertama kali ini
bertemu. malah tadi dia kena di pecut oleh cambuk orang, namun
kini dia menguatirkan keselamatannya, sungguh aneh dan ganjil
sekali perasaannya ini.
Gelak tawa panjang yang melengking tiba-tiba bergema di dalam
hutan sana.
Tanpa pikir secepat kilat ia memburu kesana. Tampak empat
orang berpakaian sutera putih dengan wajah yang bengis tengah
mengepung gadis baju merah itu.
Pucat pias muka si gadis baju merah, rambutpun awut-awutan
darah kelihatan meleleh dari ujung mulutnya, agaknya dia sudah
mengalami pertempuran sengit.
Terdengar salah seorang baju putih berkata menyeringai,
"Budak hina, lekaslah mengaku saja!"
"Apa yang harus kukatakan?" bentak si gadis baju merah itu
beringas.
"Ha, jangan pura-pura pikun, apalagi kalau bukan soal Sek-hud
(batu Budha) itulah."
"Aku tak tahu."
"Sudah jangan banyak omong lagi," tukas seorang baju putih
jang lain, "giring saja ke istana."
Orang pertama tadi mengiakan, katanya,
"Budak, marilah kau ikut kami pulang."
Gadis baju merah mengertak gigi, jengeknya,
"Jangan harap."
"Memangnya kau berani bertingkah di sini, di tengah
perkataannya, tahu-tahu tangannya mencengkeram ke arah si gadis
baju merah. Gerakan tangan ini benar-benar hebat dan
mengejutkan.
Namun sigap sekali si gadis baju merah menyendal cambuknya,
bagai ular sakti cambuk lemasnya itu berhasil membelit pergelangan
tangan orang, tahu-tahu ujung cambuknya melejit ditengah jalan
mematuk ke Jit-kiam-hiat, sebuah jalan darah yang mematikan.
Orang baju putih menegakkan telapak tangan kiri menabas
miring ujung cambuk, sementara gerakan mencengkeram tangan
kanannya tetap tidak berubah. Ketika si gadis baju merah
menggetarkan tangannya, cambuk lemasnya mulur lalu mengkeret
pula, dengan lurus menjojoh pula ke Khi-hay-hiat lawan, berbareng
tubuhnya menyurut mundur, dengan gemulai ia berhasil meluputkan
diri dari cengkeraman tangan maut lawan.
Begitu cengkeramannya luput, sementara ujung cambuk lawan
sudah mengancam Khi-hay-hiatnya. Namun dengan gerakan yang
sangat cepat tahu-tahu orang itu berhasil berkisar ke samping, di
saat badannya berputar itu, sebelah tangannya memukul balik.
Gelombang pukulan bagai gugur gunung dahsyatnya seketika
mendampar tiba, gadis baju merah tergentak mundur sempoyongan,
mukanya tambah pucat lagi.
Seorang baju putih yang lain menggunakan kesempatan ini
memapak gadis baju merah yang tergentak mundur itu dan kedua
tangannya segera mencengkeram.
"Berhenti!" tiba-tiba seseorang menggertak.
Keempat orang baju putih tertegun, tertampak seorang pelajar
buntung sebelah tangannya berwajah cakap tahu-tahu melayang
tiba.
Gadis baju merah berpaling, pandangan mereka bentrok. Ia
mengertak gigi dengan gemas, sebaliknya pelajar buntung
mengangguk sambil tersenyum.
Mendelik buas mata keempat orang baju putih, mereka menatap
tajam kepada pelajar buntung ini, seorang diantaranya melompat
maju, katanya dengan menyeringai,
"Anak muda, kau hendak mengantar jiwamu?"
Semakin tebal hawa gelap ditengah kedua alis pelajar buntung,
katanya dingin,
"Kalian ini apakah empat Sucia (rasul) dari Ngo-lui-kiong?"
"Betul, agaknya kau punya pengalaman juga, sekali kau
melibatkan diri dalam pertikaian ini, jangan harap kau bisa pergi
dengan selamat."
"Apa betul" si pelajar buntung menegas.
"Kau kira aku membadut... ." belum selesai berkata, secepat kilat
tahu-tahu sebelah tangannya bergerak mencengkeram.
Pelajar buntung tertawa dingin, tidak berkelit tidak menyingkir,
tidak melawan, tidak menangkis pula, orang berbaju putih segera
tambah tenaga cengkeramannya, dengan telak dia mencengkeram
ketiak kiri lawan.
"Huuuaaa'" jerit orang baju putih mendadak sambil tarhuyung
mundur beberapa langkah dan roboh terjengkang dan binasa.
Tiada orang tahu cara bagaimana orang berbaju putih itu
meninggal, sedangkan pelajar buntung itu tidak pernah bergerak
atau menyerang.
Terunjuk perasaan kaget dan ngeri pada air muka si gadis baju
merah. Tiga orang berbaju putih yang lain serempak merubung
maju, tampang mereka yang bengis kelihatan amat buas seperti
serigala kelaparan.
Tenang dan wajar pelajar buntung berkata,
"Jika kalian bertiga tidak ingin mampus, lekaslah menggelinding
pergi dari sini."
Seorang yang berusia paling tua diantara ketiga orang baju putih
membentak dengan beringas,
"Bocah keparat, cara keji apa yang kau gunakan barusan?"
"Kau punya mata dan bisa saksikan sendiri."
"Murid siapa kau?"
"Kalian belum setimpal untuk menanyakan asal usulku."
Seorang berbaju putih menggeram, tangan terayun terus
memukul, si pelajar buntung sedikit miringkan tubuh, pukulan
dahsyat itu dengan telak mengenai sebelah lengannya yang
buntung.
"Blang", pelajar buntung menggeliat saja.
"Huuuaaaaaa" jeritan maut kembali berkumandang, tahu-tahu si
baju putih yang menyerang itu terpental jatuh telentang dan tak
bernyawa lagi.
Sungguh luar biasa, tanpa turun tangan namun jiwa orang
dengan mudah direnggutnya. Si baju putih yang berusia lebih tua
tiba-tiba, menjerit dengan ketakutan,
"Kau .... kau ini Te-gak Suseng (si pelajar dari neraka)?"
"Betul," jawab si pelajar buntung.
Tanpa sadar orang berbaju putih yang lain menyurut mundur,
sejenak mereka saling pandang, tanpa bicara lagi segera ia angkat
mayat temannya terus berlari pergi bagai terbang.
1.2. Perempuan Genit dari Thian-Thay
Pucat dan membesi wajah si gadis baju merah, katanya tak acuh,
"Ternyata tuan ini adalah Te-gak Suseng yang terkenal itu ......"
"Tidak berani", sahut pelajar buntung.
"Apa kehendak tuan sekarang?" tanya si gadis.
"Terus terang, dengan setulus hati kuingin berkenalan."
"Laki-perempuan dibatasi dengan adat, berkenalan apa, kau tidak
keliru omong?"
"Kaum persilatan macam kita kenapa harus pikirkan adat dan
aturan segala?"
"Te-gak Suseng, tak perlu cerewet lagi, tujuanmu adalah Sek-hud
(batu Budha) bukan?”
"Sek-hud? Baru sekarang kudengar nama ini, apa persoalannya
akupun tidak tahu."
Si gadis baju merah tertawa dingin, katanya,
"Apa yang terkandung dalam pikiranmu, kau sendiri yang tahu,
tapi biar kukatakan kepadamu dengan cara apapun akan kau
gunakan, jangan harap kau bisa memperolehnya.”
Te-gak Suseng jadi bingung, katanya,
"Nona, kuulangi sekali lagi, sekali-kali tiada pikiranku seperti
dugaanmu."
"Kalau begitu boleh kau pergi."
"Siapa nama nona?"
"Kau tidak perlu tahu."
"Kenapa nona begini kukuh?"
"Aku tidak suka berteman dengan orang sebangsa serigala."
Berubah roman muka Te-gak Suseng, terunjuk sinar kejam pada
sorot matanya, namun hanya sekilas saja.
"Nona pandang aku serendah serigala?"
"Dari caramu membunuhi orang, manusia serigala belum cukup
untuk melukiskan dirimu."
Te-gak Suseng naik pitam, katanya dingin,
"Kalau Cayhe tidak bunuh mereka, nona sudah menjadi tawanan
orang-orang Ngo-lui-kiong tadi."
Tertegun sebentar, lalu gadis baju merah berkata,
"O, jadi tuan telah menolong aku?”
"Secara kebetulan saja kupergoki kejadian ini, tiada maksudku
untuk pamer di sini."
"Bagaimana kalau kuterima kebaikan pertolonganmu ini?"
"Kukira tidak perlu."
"Lalu apa tujuan dan maksud tuan yang sebenarnya?"
"Cayhe hanya ingin berkenalan saja.”
"Apa tujuan ingin berkenalan dengan aku?"
Walau sejak kecil Te-gak Suseng sudah terlalu sesumbar dan
suka membawa adatnya sendiri, namun untuk menyatakan rasa
sukanya dalam sekali bertemu ini, ia merasa malu dan tak kuasa
diucapkan, dia tergagap tak bisa menjawab.
Kata gadis baju merah dengan angkuh,
"Tuan tak mau menjelaskan, aku ingin pamit, kebaikkanmu akan
selalu kuingat," lalu dia putar badan tinggal pergi.
Sebetulnya dia ingin menghadang dan menahannya, namun
pikirannya berubah, dengan mendelong dia pandang bayangan
orang lenyap di kejauhan sana. Dia merasa geli sendiri, bukankah
tujuan perjalanannya kali ini hendak meminang putri keluarga Ciang
di Kayhong, perintah orang tua tidak diindahkan, malah cari penyakit
disini.
Watak manusia terkadang memang aneh, yang mudah diperoleh
tak diacuhkan, yang sukar didapat justeru diburu.
Dengan terlonggong tercetus gumam dari mulut Te-gak Suseng,
"Pada suatu hari aku pasti bisa memilikimu."
Tiba-tiba sebuah suara nyaring centil kumandang,
"Tak nyana Te-gak Suseng sedang kasmaran disini."
"Siapa?" bentak Te-gak Suseng.
"Thian-thay-mo-ki menyampaikan salam hormat."
Di tengah kumandang suara yang merdu,tampak seorang gadis
jelita berusia dua puluhan yang bersolek muncul disebelah sana.
Wajahnya berseri tawa dan mekar, gayanya genit mempesona,
setiap jengkal tubuhnya mengandung daya pikat yang menggetarkan
sukma laki-laki.
Bergetar hati Te-gak Suseng, katanya,
"Kau ini Thian-thay-mo-ki? (Perempuan genit dari Thian-thay)."
Thian-thay-mo-ki menghampiri dengan gaya lenggang lenggok,
buah dadanya yang membukit bergetar turun naik, setombak
jauhnya dia berhenti, suaranya nan merdu bagai kicau burung
berkata,
"Masakah diriku ini bisa dipalsukan?"
Berdetak jantung Te-gak Suseng, namun sikapnya tetap dingin,
"Ada petunjuk apa?"
Thian-thay-mo-ki terkial-kial dengan genit, ujarnya,
"Cinta sepihak membawa penjesalan, kukira urungkan saja
niatmu itu."
"Apa maksud ocehanmu ini?"
"Saudara ...........”
"Siapa saudaramu?"
"Aduh galaknya, usiaku lebih tua, apa tidak setimpal memanggil
saudara kepadamu?"
"Hanya untuk itu saja .............”
"Sudah tentu ada urusan lain......"
"Urusan apa?"
"Coba jawab dulu. Kau jatuh hati pada nona cantik itu atau
karena Sek-hud?".
Tergerak hati Te-gak Suseng, hakikatnya dia tidak tahu menahu
soal Sek-hud. Apakah Sek-hud benda pusaka dunia persilatan
sehingga di perebutkan? Baru hari ini dia berhadapan dengan Thian-
thay-mo-ki, namun nama orang sudah lama di dengarnya.
Entah betapa banyak pemuda yang tergila-gila kepada
perempuan centil ini, kepandaian silatnya yang menjadikan dirinya
bak sekuntum bunga mawar yang berduri, orang tidak berani
sembarangan menyentuhnya. Pelajar buntung sudah kepincut pada
gadis baju merah tadi, maka sikapnya terlalu dingin dan kaku,
katanya tawar,
"Coba terangkan, bagaimana kalau aku jatuh hati kepadanya?
Bagaimana pula kalau karena Sek-hud?"
"Soal ini amat penting, kau harus nyatakan dulu sikapmu."
"Kalau aku tidak sudi menyatakan sikapku?"
"Kau akan menyesal."
"Menyesal? Kenapa?"
"Kalau kau tak mau jawab pertanyaanku, cukup sampai disini
saja pembicaraan kami."
Setelah berpikir pulang pergi, akhirnya Te-gak Suheng berkata,
"Aku harus tahu apa sebenarnya Sek-hud itu?"
"Apa kau tidak tahu tentang Sek-hud itu? Kalau begitu jadi kau
benar-benar mencintainya?"
"Anggaplah demikian."
Terbayang senyum aneh pada wajah Thian-thay-mo-ki, biji
matanya sebening air berputar mengawasi seluruh badan Te-gak
Suseng, akhirnya dia cekikikan, katanya,
"Dia tidak akan suka kepadamu."
Te-gak Suseng melengak,
"Kenapa?" tanyanya,
“Pertama, julukanmu terlalu seram. Kedua, walau kau terhitung
laki-laki ganteng, sayang kau ........."
"Lenganku buntung, begitu? Peduli amat, lekas jelaskan tentang
Sek-hud itu?"
"Panjang ceritanya, hayolah pindah ke tempat lain dan duduk
sambil bicara."
Mereka masuk ke hutan yang lebih dalam, lalu duduk di sebuah
batu besar, angin lalu sepoi-sepoi membawa bau harum yang
memabukkan, bergetar jantung Te-gak Suseng, serta merta
matanya melirik ke tubuh orang yang padat montok, darahnya
terasa hendak meluap.
Kata Thian-thay-mo-ki dengan tersenyum lebar,
"Setelah kuceritakan, apakah kau mau merubah sikapmu?"
"Kukira tidak."
"Baiklah. Apakah kau pernah dengar nama Pek-ciok-am?"
"Pek-ciok-am ...... biara nomor satu yang dipandang tempat suci
kaum persilatan?"
"Betul, Pek-ciok-am dipandang tempat suci karena pemiliknya
Pek-ciok Sinni memiliki kepandaian silat dan Lwekang yang sudah
mencapai puncak sempurna, siapa yang berani mengganggu di sana,
konon kabarnya, kepandaian silatnya yang tinggi itu diperoleh dari
sebuah patung Budha dari batu yang dia miliki ........”
"Begitu mujijat Sek-hud itu?"
"Entahlah, tapi itu kenyataan. Tahun yang lalu tanpa sengaja ada
orang tahu bahwa Pek-ciok Sinni sudah meninggal dunia, begitu
kabar ini tersiar, beramai-ramai kaum persilatan mengincar Sek-hud
itu ..........."
"Apa hubungannya dengan gadis baju merah?"
"Karena dia adalah murid Pek-ciok Sinni."
"Ah, tidak mungkin, kalau benar gadis itu murid Pek-ciok Sinni,
masakah dia tidak kuasa melawan keroyokan empat rasul dari Ngo-
lui-kiong itu."
"Sulit dikatakan, mungkin bakatnya terbatas ........."
"Kalau dia tidak berbakat, memangnya Pek-ciok Sinni mau
memungutnya sebagai murid?"
"Ya, kemungkinan belum lama dia belajar, belum mendapat
seluruh warisan, namun dia kuat menghadapi keroyokan mereka,
cukup tangguh juga kepandaiannya."
Sejenak Te-gak Suseng terpekur, katanya kemudian,
"Kaupun mengincar Sek-hud itu."
Thian-thay-mo-ki mengiakan.
"Kepandaianmu cukup berlebihan untuk menghadapi gadis baju
merah itu, kau dapat turun tangan sesuka hati, kenapa ........?”
"Ada dua sebab yang membuat aku bimbang untuk turun
tangan."
"Dua sebab apa?"
"Pertama, Bu-cing-so (kakek tak kenal budi), tokoh aneh yang
sudah lama lenyap dari Kangouw itu kabarnya mengikuti perjalanan
gadis merah ini, kepandaian orang kosen ini sudah mencapai
puncaknya, dia terkenal terlalu bertangan keji."
"Kau tak berani melawannya?"
“Aku yakin hanya beberapa orang yang berani melawannya,
namun itu soal lain."
"Lalu sebab kedua?"
"Inilah yang paling penting, lantaran kau.''
"Aku? Diriku yang rendah ini?"
“Betul, saudara, aku tidak mau bentrok dengan kau, maka ......”
"Maka kau ajak aku berunding?"
"Ya, aku dijuluki Mo-ki (wanita molek iblis) dan saudara bergelar
Te-gak Suseng (pelajar dari neraka) kita segolongan, meski
lenganmu buntung tidak jadi soal bagiku," lalu dia tertawa cekikik
genit.
Kata-katanya cukup gamblang, dia menyatakan isi hatinya,
namun Te-gak Suseng pura-pura tidak mengerti, katanya,
"Kau belum jelaskan tujuanmu mencari aku."
"Kerja sama dengan kau."
"Apa maksudnya kerja sama itu?"
"Kita dapat mencapai keinginan sesuai apa yang kita harapkan."
"Apa tidak terlalu bodoh dan lucu jalan pikiranmu ini?"
"Sedikitpun tidak, kepandaianmu cukup kuat untuk menghadapi
Bu-cing-so, aku hanya ingin memperoleh Sek-hud, gadis baju merah
akan menjadi milikmu."
Te-gak Suseng tergelak-gelak, katanya,
"Perhitungan bagus, aku susah payah kau ambil untungnya, haha
......."
"Tiada yang patut ditertawakan, kalau gadis baju merah jatuh ke
tangan Bu-cing-so, Sek-hud hilang, jiwapun mungkin melayang, lalu
apa yang bisa kau peroleh?"
"Memangnya aku tak bisa membantu dia menghadapi Bu-cing-
so?"
"Tidak bisa."
"Aneh sekali! Mengapa tidak?"
"Kalau kau tak kuat menghadapi ilmu saktinya Thian-cin-ci-sut,
segalanya akan sia-sia belaka."
"Kalau kau kuat menghadapi ilmu Thian-cin-ci-sut, kenapa tidak
turun tangan sendiri?"
"Sayang sekali Lwekangku bukan tandingannya, bagaimana jika
pemecahannya kuberitahu kepadamu, dengan ilmu kepandaian
aliranmu yang ganas itu, pasti kau dapat menghadapi dia."
Diam-diam berkuatir hati Te-gak Suseng bagi keselamatan si
gadis baju merah yang menjadi incaran berbagai pihak itu, maka
dengan dingin dia berkata,
"Apa kau tidak takut setelah kau ajarkan cara menghancurkan
Thian-cin-ci-sut itu, bisa jadi aku malah bantu dia menghadapi kau?"
"Lucu sekali. Kau kira aku bodoh, ketahuilah dia sudah jatuh
dalam cengkeramanku."
"Apa?" teriak Te-gak Suseng sambil berjingkrak, "dia jatuh ke
tanganmu?"
"Jangan tegang, aku tidak akan menyusahkan, tujuanmu adalah
si 'dia' bukan?"
Beringas muka Te-gak Suseng, desisnya: "Kubunuh kau!"
"Kalau aku mati, dia juga tidak akan hidup, toh belum tentu kau
mampu membunuhku, yang terang sekarang ini kau tiada sangkut
paut dengan dia, kau baru naksir dia, belum tentu dia suka
kepadamu."
"Aku tidak suka dipermainkan."
"Tiada yang mempermainkan kau, masing-masing pihak
mendapatkan apa yang diinginkan, begitulah."
"Sekarang dimana dia? Apa yang hendak kau lakukan?"
"Tidak apa-apa. Asal dia terangkan dimana Sek-hud berada,
setelah tujuanku tercapai, dia akan bebas. Bu-cing-so akan segera
tiba, demi keselamatannya, kau harus mempelajari cara
memecahkan Than-cin-ci-sut."
"Aku tidak mau. Sekarang bebaskan dia juga!"
”Urusan tidak semudah itu," ujar Thian-thay-mo-ki sambil berdiri.
”Ku ganyang kau," ancam Te-gak Suseng murka.
"Aku mati, diapun takkan hidup, lalu apa faedahnya bagimu?”
"Hm, jangan kau tekan dan memeras aku."
Sekonyong-konyong dua bayangan meluncur datang, "Bluk-bluk",
kedua-duanya tersungkur roboh.
Thian thay-mo-ki menjerit kaget,
"Celaka!" Sekali kaki menutul, badannya terus melenting tinggi
meluncur keluar hutan.
Te-gak Suseng melenggong sejenak, kedua orang yang roboh
binasa adalah kedua gadis yang berpakaian ketat, darah meleleh
dari mulut, hidung dan telinganya. Tanpa banyak pikir segera dia
mengejar kearah perginya Thian-thay-mo-ki.
Beberapa lie ditempuhnya, namun tiada sesuatu yang ditemukan,
tengah dia celingukan, tiba-tiba sebuah suara lirih berkata,
"Berhenti!"
Te-gak Suseng segera hentikan langkahnya, dilihatnya yang
bersuara adalah Thian-thay-mo-ki, dia sembunyi dibalik sebuah
pohon besar seraya menggapai padanya.
"Ada apa?" tanya Te-gak Suseng.
"Jangan keras-keras, kemari saksikan sendiri.”
Te-gak Suseng menghampir, Thian-thay-mo-ki ulur tangan
hendak menariknya.
"Jangan sentuh aku," bentak Te-gak Suseng sambil mengipat
tangan.
"Jangan takabur, lihatlah sendiri, apa yang ada di luar hutan itu."
Setelah dekat pohon besar di mana Thian-thay-mo-ki sembunyi,
Te-gak Suseng mengintip kesana dari celah-celah daun, tertampak di
luar hutan adalah tanah lapang berumput. Puluhan orang berpakaian
hitam berjajar setengah bundar menghadapi tiga laki-laki baju putih
jang mengempit gadis baju merah. Di dada seragam puluhan orang-
orang baju hitam itu tersulam seekor burung elang yang pentang
sayap. Seorang laki-laki tua baju hitam tengah berhadapan dan
bicara dengan laki-laki beruban baju putih.
Dengan suara tertahan Thian-thay mo-ki berbisik: "Kawanan baju
hitam itu adalah anak buah Sin-eng-pang (kelik elang sakti), laki-laki
baju putih adalah komandan barisan tempur Ngo-lui-kiong, Pek-sat-
sin The Gun, tokoh yang disegani di Bulim."
"Aku tahu, apa maksudmu menahanku disini?" tanya Te-gak
Suseng.
"Lihat keadaan baru turun tangan menurut situasi."
"Aku tidak sabar lagi ..........”
"Entah berapa banyak pula tokoh-tokoh kosen yang
menyembunyikan diri, semua orang bertujuan merebut Sek-hud,
kalau kau ingin bunuh mereka boleh silakan, namun untuk menolong
si dia kukira bukan pekerjaan gampang."
Te-gak Suseng tenangkan diri, sekilas dia menerawang situasi
yang dihadapinya ini, terdengar suara Pek-sat-sin The Gun yang
keras berkumandang,
"Ang-tongcu, janganlah kau merusak hubungan baik kita selama
ini?"
Laki-laki baju hitam yang dipanggil Ang-tongcu itu terkekeh tawa,
katanya,
"The-Congling, ini daerah kekuasaan kami ......”
"Tapi akulah yang menemukan dia."
"Dalam daerah kekuasaan pihak kami, orang luar dilarang
melanggar aturan, bukan?"
"Jadi maksud Ang-tongcu ........”
"Tinggalkan gadis itu, kuantar kalian pulang dengan selamat."
"Ang-tongcu kira urusan semudah itu?"
"Memangnya kau ingin main kekerasan?"
"Bukan aku pandang rendah dirimu, kau takkan kuat menahan
sekali pukulan.”
"Orang she The, kau terlalu takabur dan memandang rendah
orang. Lihat pukulan!" di tengah bentakannya, Ang-tongcu
melancarkan pukulan mengarah dada Pek-sat-sin The Gun.
"Blang”, Pek-sat-sin hanya tergetar mundur selangkah. Mentah-
mentah dia terima pukulan orang tanpa balas menyerang,
jengekannya dingin,
"Ang-tongcu, kau memaksa aku membunuhmu?"
"Jangan takabur," teriak Ang-tongcu, seraya memukul lagi.
Sekali ini Pek-sat-sin angkat kedua tangannya.
"Dar", laksana geledek menyamber diselingi jeritan ngeri, orang
she Ang itu terhuyung beberapa langkah terus roboh celentang,
darah menyembur dari mulutnya.
Ngo-lui-ciang ternyata memang ganas, gumam Teng-gak Suseng
di tempat sembunyinya.
Anak buah Sin-eng-pang serentak berteriak gemuruh, tiga
bayangan orang melompat maju berbareng, tiga larik sinar pedang
dengan perbawa yang mengejutkan mengurung ke arah Pek-sat-sin.
Namun belum lagi gerakan pedang ketiga orang itu mengenai
sasaran, kembali terdengar jeritan seram, ketiga orang itu terpental
balik ke belakang, jiwa merekapun melayang.
Ditengah gemuruhnya teriakan gusar anak buah Sin-eng-pang,
puluhan orang sekaligus menubruk maju menyerang Pek-sat-sin dan
laki-laki baju putih yang mengempit si Gadis berbaju merah.
Te-gak Suseng beranjak maju, katanya,
"Inilah kesempatan baik”
"Berhenti," sebuah bentakan nyaring menggetar seluruh hadirin.
Cepat sekali anak buah Sin-eng-pang menyurut mundur dan berjajar
rapi. Tertampak muncul seorang laki-laki kekar gagah dan dengan
baju di bagian dada tersulam burung elang dengan, benang emas.
Lekas Pek-sat-sin angkat tangan memberi hormat, katanya,
"Pangcu datang sendiri, entah ada petunjuk apa?"
Yang datang ternyata Ko Giok-wa, Pangcu atau ketua Sin-eng-
pang.
"The-cong-ling, hebat dan ganas sekali pukulanmu," kata sang
Pangcu.
”Tidak berani, Cayhe dipaksa turun tangan, harap Pangcu
maklum," jawab The Gun.
"Salah mereka sendiri karena tidak becus belajar silat, tapi The-
congling bertingkah di daerah kekuasaan kami, agaknya kau terlalu
pandang rendah orang-orang Pang kami?"
"Pangcu sendiri yang berkata demikian, tidak perlu Cayhe banyak
bicara lagi."
"Biasanya tak pernah ada bentrokan pihak kami dengan pihak
kalian, kalau The-congling tinggalkan dia dan segera mengundurkan
diri, urusan ini dapat kuanggap tak pernah terjadi."
"lni ........ maaf, kami tak bisa menurut."
"Baiklah, biar kubelajar kenal dengan Ngo lui-ciang."
Pek-sat-sin mengertak gigi, katanya,
"Cayhe hanya menjalankan perintah, untuk menunaikan tugas,
terpaksa menuruti kehendak Pangcu."
"Hm, hayolah turun tangan," dengus Pangcu itu.
"Harap Pangcu memberi pengajaran," lenyap perkataan The Gun
ini, dengan membawa damparan dahsyat, pukulan Ngo-lui-ciang
menggempur sehebat gugur gunung.
Sin-eng-pangcu mendorong kedua tangannya memapak kedepan.
Suara bagai guntur menggelegar menyebabkan tanah rumput
beterbangan, dua orang sama-sama tergetar mundur selangkah.
Ternyata sama kuat alias setanding, sungguh hebat sekaIi adu
pukulan ini.
Kecut hati Pek-sat-sin, namun dia nekat dan lancarkan pula
pukulannya.
"Hahahaha" sebuah gelak tawa melengking tiba-tiba
berkumandang, suaranya begitu keras bagai halilintar memecah
angkasa.
Gemetar suara Thian-thay-mo-ki berkata ditempat sembunyinya,
"Itulah Thian-cin-ci-sut! Bu-cing-so sudah datang."
Terasa oleh Te-gak Suseng anak telinga seakan-akan pecah,
jantung berdetak darah bergolak, secara reflek segera dia gunakan
ilmu penawar Thian-cin-ci-sut yaag dia pelajari dari Thian-thay-mo
ki. Begitu Hiat-to tertutup dan dada terlindung, rasa tertekan itu
segera lenyap.
Di tanah lapang sana, anak buah Sin-eng-pang satu persatu jatuh
tersungkur, muka mereka menampilkan rasa tersiksa yang luar
biasa. Air muka Ko Giok-wa dan Pek-sat-sin berubah, kedua orang
berdiri sempoyongan, laki-laki yang mengempit gadis baju merahpun
melepaskan tangan dan jatuh tersimpuh.
Gelombang tawa tadi tidak berhenti malah lebih keras bagai
gelombang samudera mendampar-dampar.
Murid-murid Sin-eng-pang yang rendah Lwekangnya sudah roboh
binasa, yang agak kuat darahpun meleleh dari mulut dan hidung.
Sementatra jidat Ko Giok-wa dan The Gun juga sudah dibasahi
keringat yang gemerobyos, agaknya mereka tak kuat bertahan lebih
lama. Kalau gelombang tawa ini masih terus berkumandang,
mungkin seluruh hadirin takkan bisa selamat.
Ngeri dan berdetak keras jantung Te-gak Suseng. Baru sekarang
dia percaya apa yang dikuatirkan Thian-thay-mo-ki memang
baralasan, yang paling diperhatikan adalah si gadis merah, aneh,
kelihatannya sedikitpun tidak terpengaruh apa-apa, dengan melongo
dan mematung dia tetap berdiri di tempatnya.
“Celaka," ujar Thian-thay-mo-ki tiba-tiba. "Hiat-to gadis baju
merah tertutuk tak bisa bergerak, namun Thian-cin-ci-sut tetap akan
mencelakakan jiwanya ........."
Tergerak hati Te-gak Suseng, baru saja dia hendak menubruk
keluar, gelak tawa itu tiba-tiba berhenti. Tertampaklah seorang tua
dengan rambut dan alis beruban, muka merah kepala gundul
pelontos melayang bagai awan mengembang.
"Bu-cing-so!" bisik Thian-thay-mo-ki.
Bu-cing-so berhenti di tengah gelanggang, katanya dingin,
"Kalian tak lekas enyah, minta mampus?"
Sin-eng pangcu Ko Giok-wa bergerak lebih dulu, anak buahnya
beramai-ramai mengintil di belakangnya dengan langkah
sempoyongan sambil angkat teman-temannya yang mati dan
terluka.
Pek-sat-sin segera memberi tanda kepada anak buahnya, cepat
mereka mengundurkan diri ke dalam hutan sebelah sana. Pelan-
pelan Bu-cing-so kemudian menghampiri si gadis merah.
Melihat gelagatnya, Te-gak Suseng menyadari bahwa dirinya
harus cepat keluar, peduli apakah dirinya mampu berhadapan
dengan Bu-cing-so. Demi keselamatan gadis baju merah, dia harus
berani nyerempet bahaya. Namun baru saja dia hendak bergerak,
Thian-thay-mo-ki menahannya dengan suara, tertahan,
"Tunggu dulu, lihat siapa itu yang datang!"
Satu makhluk aneh bagai gumpalan daging dengan atas putih
bawah hitam tahu-tahu "menggelinding" tiba di tengah lapangan.
Waktu Te-gak Suseng mengamati lebih jelas, kiranya seorang aneh
bertubuh pendek buntek, rambutnya yang beruban jarang-jarang,
jenggot putih memanjang sebatas dengkul, jubahnya hitam sehingga
dilihat dari kejauhan jadinya setengah putih separo hitam, siapapun
takkan menyangka di dunia ini ada manusia begini aneh.
Terdengar orang aneh itu bersuara, perkataannya seperti orang
biasa,
"Lote, jangan tergesa-gesa marilah kau berkenalan dulu dengan
aku."
Cepat sekali Bu-cing-so membalik badan, seketika air mukanya
berubah, serunya gemetar,
"Siang-thian-ong, kau ..... kau belum mati?"
"Aha, kita berdua sama-sama!"
1.3. Tuduhan Yang Sulit Dibantah
Nama Siang-thian-ong membuat jantung Te-gak Suseng dan
Thian-thay-moki tergetar. Mereka saling pandang, sungguh tak
dinyana bahwa tokoh aneh ini masih hidup dan kini muncul juga
untuk berebut Sek-hud. Konon pada enam puluh tahun yang lalu
makhluk aneh ini sudah menjuluki diri sebagai 'Ang' (aki). Anak kecil
dan kaum perempuanpun kenal namanya, golongan hitam paling jeri
bila mendengar namanya, kini usianya tentu sudah lewat se-abad.
Siapa tahu setelah mengasingkan diri puluhan tahun, kini muncul
lagi di sini.
Sesaat lamanya Bu-cing-so kememek, akhirnya dia membentak
bengis,
"Ada petunjuk apa?"
Siang-thian-ong terloroh-loroh, ujarnya,
"Lote, usia kita sama-sama tua, kuharap kau jangan berlaku
tamak lagi, binalah dirimu ke jalan yang benar demi hari tuamu.”
"Apa maksudmu?”
"Kuharap kau tidak ikut campur berebut Sek-hud segala."
"Kalau tidak?"
"Terpaksa kita harus berkelahi."
"Hahaha, Siang-thian-ong, kabarnya kau berjiwa pendekar,
nyatanya hatimupun tamak, bukankah kaupun mengincar Sek-hud
itu?"
"Lote, jangan kau terlalu tinggi menilai dirimu, jangan harap kita
akan memilikinya."
"Eh, memangnya kenapa?"
"Lwekang budak ini memang rendah, namun tulang punggung di
belakangnya cukup tangguh, aku sendiripun tak berani
mengusiknya."
“Hebat benar, siapa sih tulang punggungnya? Masakah Siang-
thiang-ong yang biasa ditakuti orang hari ini patah semangat?"
"Siapa dia tidak perlu kukatakan, yang terang aku memberi
peringatan padamu dengan, maksud baik."
"Kalau kau tidak berani melawannya, boleh silakan pergi saja,
buat apa kau bertingkah dihadapanku?"
"Haha, justeru terbalik, sekali soal ini sudah kebentur di
tanganku, apapun yang terjadi pasti kubereskan."
"Cekak saja jawabku," ujar Bu-cing-so, "orang lain tak kubiarkan
menyentuh Sek-hud itu."
"Agaknya tulang kita ini harus dilemaskan dengan adu otot."
Di dalam hutan Thian-thay-mo-ki berpaling kepada Te-gak
Suseng, bisiknya,
"Besar manfaatnya bagi kita kalau kedua bangkotan silat ini
berkelahi"
"Jangan kau gunakan istilah kita. Cayhe tak setuju bekerja sama
dengan kau," sahut Te-gak Suseng.
Berubah kecut muka Thian-thay-mo-ki, kata¬nya dengan
cemberut,
"Jangan terlalu yakin, belum tentu 'dia' mau terima kebaikanmu
.......”
Dari malu menjadi gusar, segera Te-gak Suseng menghardik,
"Tutup mulutmu. Urusanku tak perlu kau turut campur."
Getaran keras dan ledakan dahsyat amat mengejutkan sekali,
ternyata kedua bangkotan silat telah bergebrak dengan sengit,
masing-masing melancarkan pukulan maut. Kalau tidak menyaksikan
sendiri, si apapun tak mau percaya, puluhan tombak sekeliling
gelanggang tanah berumput beterbangan.
Pada saat itulah dari kejauhan sebelah sana terdengar sebuah
suara berkata,
"Te-gak Suseng, kemarilah kau."
Te-gak Suseng terkejut sambil berpaling, serunya,
"Siapa itu?"
"Yang mau bikin perhitungan. kemarilah untuk menyelesaikan,"
sahut orang itu.
Tanpa gentar Te-gak Suseng melesat ke dalam hutan, puluhan
bayangan putih tampak berjajar menunggunya. Kiranya Pek-sat-sin
The Gun dan kawan-kawannya, cuma jumlahnya bertambah
delapan. Begitu dia meluncur tiba, orang-orang baju putih itu segera
merubung mengelilinginya.
Pek-sat-sin menyeringai, katanya,
"Te-gak Suseng, kedua utusan pihak kami itu kaukah yang
membunuhnya."
"Betul."
"Bagus, utang jiwa harus bayar jiwa."
Membesi muka Te-gak Suseng, desisnya dengan bengis,
"Mungkin utang jiwaku malah akan bertambah."
Orang-orang baju putih sama menggerung murka.
Pek-sat-sin mengertak gusar,
"Jangan latah, serahkan jiwamu!” Begitu kedua teJapak
tangannya bergerak, sayup-sayup terdengar suara gemuruh guntur
menggelegar damparan tenaga menyambar ke depan. Te-gak
Suseng angkat sebelah tangannya mendorong, ke depan, secara
keras dia lawan serangan musuh.
"Pyaaaaar!" Te-gak Suseng sempoyongan, Pek-sat-sin sendiri
tergetar mundur selangkah
Dua orang berbaju putih melejit maju seraya menggempur pada
waktu Te-gak Suseng masih sempoyongan.
Sekali berkelebat Te-gak Suseng menubruk ke arah kanan, tiga
orang di sebelah kiri, melontarkan serangan bersama. Damparan
pukulan dari samping dan belakang membuatnya terpental ke arah
Pek-sat-sin.
Pek-sat-sin sudah mengatur napas dan menghimpun tenaga, ia
memapak dengan ayunan sebelah tangannya, dua orang berbaju
putih dari arah depan menyusul juga menggempur. Gelombang
tenaga menggencet Te-gak Suseng dari berbagai penjuru sehingga
darahnya terasa mendidih, kepala pusing tujuh keliling, badan
bergoyang gontai, kedelapan orang serentak turun tangan
melancarkan Ngo-lui-ciang yang terkenal keras dan ganas. Namun
sedikitpun Te-gak Suseng tidak kelihatan terluka, hal ini cukup
membuat semua, pengeroyoknya terkesiap.
Semakin berkobar napsu membunuh Te-gak Suseng, sebat sekali
dia menubruk ke arah Pek-sat sin, ketika Pek-sat-sin gerakkan kedua
telapak tangannya, secepat kilat tahu-tahu Te-gak Suseng membelok
ke kiri menerjang tiga orang berbaju putih, namun empat orang lain
dari kanan dan belakang serentak menggempurnya pula.
"Plak-plak," dua orang berbaju putih terjungkal, namun Te-gak
Suseng sendiri juga terpental balik ke tengah kepungan oleh
damparan angin pukulan musuh.
"Kurung dia," Pek-sat-sin memberi aba-aba, "jangan biarkan dia
menclekat."
Suara benturan laksana bunyi guntur menimbulkan pusaran angin
yang kencang. Te-gak Suseng terjepit dan bergoyang seperti perahu
dipermainkan ombak, darah semakin bergolak, napaspun memburu.
Jelas kalau pertempuran jarak dekat akan menguntungkan dirinya,
siapapun yang kena disentuhnya tiada satu yang selamat. Tapi cara
bertempur yang dilaksanakan musuh sekarang membuat dirinya mati
kutu. Terutama pukulan Pek-sat-sin ganas sekali, demikian juga
gabungan pukulan anak buahnya dari berbagai arah teramat rapat
dan sukar di jebol, begitu ketat dan gencar serangan musuh sampai
dia tidak kuasa balas menyerang.
Sesosok bayangan tiba-tiba meluncur ke tengah gelanggang.
"Aduh!" terdengar Pek-sat- sin The Gun mengerang kesakitan,
pusaran angin yang kencang seketika tercerai-berai, begitu tekanan
lenyap, sigap sekali Te-gak Suseng menerjang keluar kepungan.
"Huaaaaah," jeritan susul menyusul, beberapa orang baju putih
sama jatuh terguling, kecuali Pek-sat-sin, tujuh orang yang lain tiada
satupun yang selamat.
Waktu Te-gak Suseng berpaling, dilihatnya dengan muka
beringas dan mata menyala Pek-sat-sin tengah menghampiri Thian-
thay-mo-ki. Sebaliknya. Thian-thay-mo-ki memandang Te-gak
Suseng dengan senyuman manis seperti tak terjadi apa-apa.
Pek-sat-sin melihatnya sorot mata berkilat Te-gak Suseng tengah
menatap dirinya, tanpa bersuara lagi segera dia melesat lenyap ke
dalam hutan.
"Lari kemana," bentak Te-gak Suseng hendak mengejar.
"Jangan kejar, urusan di sini lebih penting," Thian-thay-mo-ki
berseru mencegah.
"Terima kasih atas bantuanmu, kelak akan kubalas," ujar Te-gak
Suseng tawar.
"Urusan kecil tak perlu diperhatikan, hanya telah kupersen
mereka segenggam jarum sulamku," kata Thian-thay-mo-ki sambil
mengerling mayat-mayat yang bergelimpangan, lalu menambahkan:
"Adik, semua korban tidak terluka, ilmu apakah yang kau gunakan?"
“Tak bisa kuterangkan," sahut Te-gak Suseng tetap kaku dingin.
Tiba-tiba sesosok bayangan melayang pelahan tak jauh dari
samping mereka. Gemetar suara Te-gak Suseng,
"Itulah Bu-cing-so, agaknya Siang-thian-ong yang menang.”
Belum habis dia bicara, bayangan yang aneh itu mendadak
menggelundung tiba, tahu-tahu Siang thian-ong sudah berdiri di
hadapan mereka, namun si Gadis berbaju merah tak kelihatan
bayangannya,
"Aneh, apa yang terjadi?" seru Thian-thay-mo-ki.
Tanpa pikir Te-gak Suseng segera melompat maju mengadang di
depan Siang-thiang-ong, katanya sambil merangkap tangan,
“Selamat bertemu Locianpwe."
Siang-thiang-ong merandek, katanya dengan melotot,
"Bukankah kalian sembunyi di dalam hutan dan melihat tontonan,
kenapa lari ke sini dan membunuh orang?"
Bergetar hati Te-gak Suseng dan Thian-thay mo-ki, kiranya jejak
mereka sudah diketahui orang.
Berkata Siang-thian-ong lebih lanjut,
"Siapa yang membunuh mereka?"
"Wanpwe," Te-gak Suseng segera ntenjawab.
"Siapa namamu?"
"Te-gak Suseng (pelajar dari neraka)!”
"Hm, jadi kau ini Te-gak Suseng? Kabarnya kau membunuh orang
tanpa meninggaikan bekas, selamanya tiada satupun yang bisa lolos
dengan hidup ......" tiba-tiba terpancar sinar aneh pada biji matanya.
Dia amati Te-gak Suseng dari atas sampai kebawah, lalu
memandang mayat-mayat yang bergelimpangan itu, akhirnya dia
mengerut kening,
Agaknya tokoh aneh dari angkatan tua inipun tak berhasil
menelacak rahasia Te-gak Suseng, namun mengingat kedudukan
dan tingkat dirinya tak leluasa dia, mengajukan pertanyaan, lalu dia
berpaling kepada Thian-thay-mo-ki, tanyanya,
"Kau isterinya?"
Thian-thay-mo-ki. perempuan genit dari Thian-thay ini tertawa
cekikik, tidak mengaku juga tidak menyangkal.
"Tiada sangkut pautnya'" ujar Te-gak Suseng dingin "Dia berjuluk
Thian-thay-mo-ki ...........”
"Thian-thay-mo-ki?” Sekonyong-konyong Siang-thian-ong ulur
tangan mencengkeram kearah Thian-thay-mo-ki. Sungguh luar biasa
cepat gerakannya, kelihatannya dia berhasil menangkap pergelangan
tangan lawan, tahu-tahu lantas berkisar mencengkeram pundak.
Te-gak Suseng berdiri bingung, entah kenapa manusia aneh ini
turun tangan dan menyerang Thian-thay-mo-ki. Sekali meliuk
pinggang dan bergerak semampai, dan gaya aneh tahu-tahu Thian-
thay-mo-ki berkisar mundur jauh.
"Budak hina," ujar Siang-thian-ong mendelik, "ternyata kau murid
nenek galak itu, apa dia masih hidup?”
Thian-thay-mo-ki tertawa genit sambil mengerling, sahutnya,
"Dalam waktu dekat ini beliau tidak akan meninggal, apakah
Locianpwe ......"
"Di mana nenek galak itu menyembunyikan diri?" tanya Siang-
thian-ong.
"Maaf wanpwe tak bisa menerangkan."
"Hm, baiklah," tiba-tiba orang tua itu berputar ke arah Te-gak
Suseng: "Kenapa kau bocah ini mencegat jalanku?"
"Numpang tanya, gadis berbaju merah itu ......"
“Untuk apa kau tanya dia?"
"Ini .........”
"Hahaha kalau ingin hidup. jangan mencampuri urusan orang
lain, aku tak punya waktu untuk mengobrol dengan kau."
"Locianpwe ............"
Hanya sekali berkelebat, badan Siang thian-ong tahu-tahu lenyap
dari hadapan mereka. Te-gak Suseng berdiri melongo. Sejenak
kemudian. tiba-tiba dia melesat keluar hutan menuju ke tanah
lapang berumput itu, namun bayangan gadis baju merah sudah tak
kelihatan. Apakah yang telah terjadi? Ke mana si gadis baju merah?
Te-gak Suseng melenggang dengan perasaan menyesal dan sedih.
Iapun merasa geli akan sepak terjang yang tiada juntrungnya ini,
apa sih alasannya dia mengundit gadis berbaju merah?
"Adik, kecewa bukan?" ujar Thian-thay-mo-ki
Te-gak Suseng membalik badan, mukanya membeku dingin,
"Jangan kau anggap lucu kejadian ini. Siapa adikmu? Kau boleh
silakan pergi.”
"Jangan terlalu angkuh, kau kira aku orang apa?"
Te-gak Suseng segan perang mulut, segera dia melangkah,
tertawa dingin Thian-thay-mo-ki di belakangnya anggap tidak
didengarnya. Dengan kencang dia berlari-lari sesaat lamanya, ia
tahu ke mana dirinya hendak menuju? Niat semula memang ke kota
Kayhong sudah dibatalkan, kalau pulang cara bagaimana dia harus
memberi pertanggungan jawab terhadap sang ayah.
Tabir malam mulai menyelimuti jagat, pe!ita di rumah-rumah
penduduk mulai menyalakan. Tanpa tujuan dia menyusuri jalan kecil
di tengah ladang belalang. Teringat pengalaman setengah hari ini,
dia merasa sepak terjangnya terlalu brutal. Akan tetapi bayangan si
gadis baju merah selalu terbayang di depan kelopak matanya.
Kira-kira satu jam kemudian, tiba-tiba di depannya muncul
sebuah kelenteng besar yang dibangun dengan megah, sinar api
lapat-lapat menyorot keluar dari dalam kelenteng. Serta merta dia
menghentikan langkah di depan kelenteng besar itu lapat-lapat
masih dapat dibacanya di atas pigura yang tergantung di atas pintu
yang terbuka itu bertuliskan "Lo-kian-ceng-goen-si", tulisan yang
lebih kecil tak terbaca lagi olehnya. Berhenti sejenak baru dia putar
badan hendak meninggalkan tempat itu, mendadak sekilas dilihatnya
empat sosok mayat tergeletak di dalam pintu. Rasa aneh dan ingin
tahu mengetuk hatinya, segera dia melangkah masuk ke dalam
kelenteng.
Melewati pekarangan dan serambi panjang, beruntun ditemukan
beberapa mayat pula, semua korban mengenakan seragam hitam.
Sinar api terang benderang disebelah dalam, namun tak terdengar
suara orang, suasana terasa seram dan menakutkan. Sebentar dia
ragu-ragu, segera dia melesat masuk ke ruang tengah, seketika dia
merinding, berdiri bulu kuduknya, keringat dingin membasahi
sekujur badannya.
Tertampak puluhan meja perjamuan berjajar rapi di tanah
berumput di tengah pekarangan. Hidangan dan arak belum digasak
habis, terang perjamuan itu baru saja dimulai. Namun mayat
bergelimpangan disekitar meja kursi, tiada satupun yang hidup.
Te-gak Suseng bergidik seram, tentunya kelenteng besar ini
adalah pusat kekuasaan dari sesuatu organisasi persilatan, kenapa
semua orang di sini terbunuh seluruhnya? Lalu siapakah orang yang
bertindak keji? Dia berjongkok dan memeriksa mayat seorang yang
paling dekat, dilihatnya sang korban tidak menunjukan sesuatu luka,
entah bagaimana dia bisa mati? Kembali dia memeriksa lebih
cermat. Tiba-tiba mukanya berubah dan berjingkat berdiri sampai
sempoyongan mundur, mulutnya bersuara tertahan.
"Apa mungkin ....... tadi kenapa?"
Dia berdiri kesima dengan bingung, badannya gemetar,
pandangannya menyapu mayat-mayat yang bergelimpangan di
dalam pekarangan ini, alisnya berkerut dalam.
"Mungkin orang-orang ini mempunyai cara sendiri untuk
menghabisi jiwa," ia menghibur dirinya sendiri dengan pikiran yang
tidak masuk akal ini, lalu dia putar badan hendak meninggalkan
kelenteng ini.
Tapi baru saja dia membalik badan, laksana kena aliran listrik
tegangan tinggi, dia menyurut kembali dangan kaget, pikirannya
menjadi kacau balau. Beberapa tombak di sebelah sana di jalanan
yang ma¬suk ke ruang tengah ini, tertampak sesosok bayangan
merah nan jelita, dia bukan lain adalah si gadis baju merah
pujaannya, tambatan hatinya yang diuber-ubernya selama ini.
Bagaimana dia dapat muncul disaat ini? Lalu apa sangkut
pautnya semua korban ini dengan dia? Muka gadis berbaju merah
kelihatan mengunjuk amarah yang tak tertahankan, matanya seperti
hampir tarbakar. Apakah yang telah terjadi? Dengan langkah berat
Te-gak Suseng maju beberapa tindak, lalu sapanya,
“Tak nyana di tempat ini bertemu lagi dengan nona?"
"Te-gak Suseng." bentak si gadis baju merah dengan bengis,
"kejam benar perbuatanmu ............"
Terkesiap hati Te-gak Suseng, serunya: "Nona bilang apa?"
"Kau tidak berperikemanusiaan."
"Cayhe baru saja tiba, mayat-mayat ini .........”
“Tutup mulutmu. Dengan mataku sendiri pernah kusaksikan kau
membunuh orang tanpa neninggalkan bekas, kini kenyataan
terpampang di depan mata, tiada alasan bagimu untuk mungkir lagi.
Hayo katakan, dengan cara keji apa kau membunuh mereka?"
Te-gak Suseng tertawa getir, katanya: "Bukan Cayhe yang
melakukannya."
"Memangnya siapa?”
"Ini .......... entahlah."
"Berani membunuh orang kenapa kau tidak berani
mengakuinya?”
"Terus terang, tidak sedikit orang yang telah kubunuh, namun
kejadian di sini memang betul-betul bukan perbuatanku."
"Cara bagaimana kau bisa berada di tempat ini?"
"Tanpa sengaja aku masuk kemari.”
"Hm," dengus si nona.
Watak Te-gak Suseng angkuh dan latah, biasanya dia tidak sudi
banyak bicara, namun keadaan hari ini berbeda dengan biasanya,
orang yang dihadapinya adalah gadis pujaannya, walau cintanya
bertepuk sebelah tangan, namun hal ini cukup menjadikan alasan
untuk mengekang perasaan dan kendalikan wataknya, kalau orang
lain tentu sikapnya sudah jauh berubah.
Namun sekarang meski dia ingin melimpahkan isi hatinya juga
tidak mungkin lagi, betapa risau hatinya, dapatlah dibayangkan, dan
yang lebih penting adalah bahwa si nona yang turun tangan jahat
membunuh orang sebanyak ini, dan berbalik menuduhnya malah,
semua ini secara langsung telah memunahkan cita-cita dan
keinginannya. Setelah membisu sekian lamanya, lalu dia bertanya,
"Nona bernama siapa?"
"Kau tidak perlu tahu," semprot si gadis baju merah, "aku tidak
sudi beritahu kepadamu."
Berkerutuk gigi Te-gak Suseng, sedapat mungkin dia menahan
perasaan dan gejolak hatinya, katanya,
"Lalu apa sangkut paut nona dengan semua korban ini?"
Meadelik mata gadis berbaju merah, serunya beringas,
"Aku ini adalah penuntut batas sakit hati mereka."
Te-gak Suseng menyurut mundur.
"Sekali lagi kunyatakan, bukan aku yang membunuh mereka."
"Jiwa ratusan orang, apakah cukup dengan jawaban sepatah kata
ini?"
"Lalu apa yang harus Cayhe katakan dan buktikan?"
Semua korban tiada satupun yang terluka atau keracunan, cara
membunuh orang yang tiada keduanya ini, kecuali kau memangnya
siapa lagi orangnya?"
"Nona terlalu yakin akan pendirian sendiri. Cayhe tak tahu apa
pula yang harus kukatakan."
Tiba-tiba derap kaki orang banyak datang dari luar. Sebuah tandu
berhias dipikul empat laki-laki kekar mendatangi, langsung menuju
pekarangan tengah. Di belakang tandu beriring puluhan orang
seragam hitam. Tandu diturunkan, keempat pemikulnya berdiri
tegak di tempatnya sambil meluruskan tangan.
Lekas si gadis baju merah menghampiri ke depan tandu, lalu
berbisik-bisik dari balik kerai, entah apa yang dia laporkan, lalu
diapun berdiri ke samping.”
Te-gak Suseng menjadi sebal, siapakah orang yang berada dalam
tandu? Semua orang berbaju hitam sama memandangnya dengan
sorot mata gusar penuh kebencian, seakan-akan ingin membeset
kulit dan mengiris dagingnya.
Suasana hening mencekam perasaan, lama sekali baru terdengar
sebuah suara perempuan yang kereng berkata,
"Kau ini berjuluk Te-gak Suseng?"
"Betul!"
"Terangkan asal usulmu."
"Maaf, tak bisa kupenuhi permintaan ini."
"Hm, dengan keji kau menghabisi ratusan jiwa orang, apa
alasanmu?"
"Sudah berapa kali Cayhe menyatakan, bukan Cayhe yang
melakukannya."
"Dengan apa kau membuktikan bukan perbuatanmu?"
"Dengan kehormatan pribadiku."
"Hahaha, kau, Te-gak Suseng, juga berani bicara soal
kehormatan pribadi."
Berubah roman muka Te-gak Suseng, dia tidak terima dihina dan
dicemooh, hawa hitam di tengah kedua alisnya semakin tebal,
siapapun akan merinding melihat nafsunya yang mulai berkobar.
Katanya sambil melangkah dua tindak ke arah tandu,
"Siapa sebutan yang mulia?"
"Kau belum setimpal untuk tanya diriku."
Tak tertahan lagi Te-gak Suseng segera ayun tangannya
menggempur ke arah tandu, serangan yang dilandasi hawa amarah
ini, kekuatannya bagai kilat menyambar dan seperti badai
mengamuk.
Semua orang berbaju hitam yang hadir sama menggerung gusar,
namun tiada satupun yang berani turun tangan. Gadis berbaju
merah sebaliknya mengunjuk rasa jijik mencemoohkan.
Kerai tandu tampak sedikit bergoyang, dari dalam tandu timbul
serangkum angin lembut, seketika damparan badai pukulan Te-gak
Suseng yang dahsyat itu sirna tanpa bekas.
Gemetar dan merinding Te-gak Suseng, Lwekang orang dalam
tandu sungguh teramat tinggi. Tiba-tiba teringat olehnya, Siang-
thian-ong pernah memberi peringatan kepada Bu-cing-so bahwa
gadis baju merah ini mempunyai tulang punggung yang amat
tangguh, siapapun tak berani mengusiknya, agaknya kata-kata itu
bukan gertakan belaka.
Sesaat lamanya dia menjadi bingung, bagaimana baiknya.
kenyataan membuktikan bahwa dirinya bukan tandingan orang,
namun dasar wataknya kaku dan suka menang, tak pernah terpikir
olehnya untuk menyingkir saja, apalagi di hadapan si gadis baju
merah yang dipujanya, tak sudi dia unjuk kelemahan.
Terdengar orang di dalam tandu buka suara pula:"Te-gak
Suseng, berkatalah terus terang sajal"
"Tiada yang harus kukatakan," jawab Te-gak Suseng.
"Kau ingin mampus?"
"Belum tentu kau mampu!"
"Agaknya sebelum melihat peti mati, kau tidak akan menangis,"
kembali kerai tandu bergoyang, segulung angin kencarg mendampar
keluar, secara refleks Te-gak Suseng ayun tangan memapak dengan
pukulan.
"Plok" seperti ledakan halilintar di tengah angkasa, Te-gak
Suseng terhuyung-huyung puluhan langkah, mukanya pucat pasi,
dua jalur darah meleleh dari ujung mulutnya. Sejak dia
mengembara, baru pertama kali ini bertemu dengan musuh
tang¬guh yang menakutkan ini, sampai balas menyerang atau
membela diripun ia tak mampu.
Gadis berbaju merah berkata dingin,
"Te-gak Suseng, baiknya berterus teranglah."
Sorot mata Te-gak-Suseng menatap wajah si¬gadis, walau
mukanya diliputi rasa dendam dan kebencian, namun tetap
menggiurkan, sikapnya agung berwibawa.
Seketika kuncup amarah Te-gak Suseng yang meluap-luap
berhadapan dengan si gadis yang telah menambat hatinya itu.
Sungguh dia tidak habis mengerti akan perasaannya ini, katanya
getir sambil membersihkan noda darah dimulutnya,
“Nona, bukan aku pembunuhnya."
Terdengar suara kereng dari dalam tandu.
"Periksa dengan teliti jenazah para saudara yang menjadi
korban."
Beberapa orang mengiakan, puluhan orang berbaju hitam segera
bekerja memariksa mayat-mayat yang bergelimpangan, tempat-
tempat yang terlarangpun tidak ketinggalan mereka periksa,
akhirnya semua memberi laporan yang sama,
"Tiada tanda-tanda luka sedikit pun."
Te-gak Suseng menengadah mukanya berkerut, dia tahu
sebabnya, namun tidak mau mengatakan.
"Majukan tandu ini!" bergegas empat pemikul tandu angkat tandu
berhias itu dan maju langsung mendekati Te-gak Suseng.
Suara orang dalam tandu semakin dingin,
"Te-gak Suseng," serunya, "pada dirimulah kubongkar teka teki
ini,"
"Yakin yang mulia pasti akan kecewa."
"Tunggu saja hasilnya nanti."
Beberapa jalur kencang mendesir keluar dari balik kerai tandu.
Secepat kilat Te-gak Suseng melejit ke samping, gerak geriknya
boleh dikata teramat cepat. Namun kepandaian orang dalam tandu
sungguh luar biasa, seolah-olah dia sudah memperhitungkan dengan
tepat ke mana Te-gak Suseng akan bergerak, maka dalam waktu
yang sama beruntun beberapa jalur angin kencang menyambar pula,
sehingga Te-gak Suseng seperti memapak sendiri ke arah terjangan
angin kencang ini. Kontan sekujur badan tergetar, darah terasa
bergolak seperti beribu ular menggigit badannya, betapa besar siksa
derita ini sukar dilukiskan.
Keringat berketes-ketes, saking kesakitan raut mukanya sampai
berubah bentuk, badannya mengejang. Tapi dia mengertak gigi
tanpa mengeluh sedikit pun, kedua biji matanya merah membara
dan melotot.
Lama kelamaan pandangan matanya semakin kabur dan
berkunang-kunang.
"Buuk", akhirnya dia roboh terguling dan berkelejotan beberapa
kali, lalu merangkak bangun dan meronta kesakitan, ingin memaki
namun tak mampu mengeluarkan suara.
"Kau mau bicara tidak?"
"Ti....tidak .........''
"Bluk", kembali dia terguling jatuh, badannya meliuk-liuk dan
meringkal, napasnya mulai memburu, dari mulut, kuping dan hidung
merembes darah.
2.4. Jangan Sentuh Dia ....... !!!
Kata orang di dalam tandu itu penuh kebencian: "Te-gak Suseng,
tak nyana terhadap badanmu sendiri kaupun berlaku begini kejam."
Menghimpun seluruh tenaganya, Te-gak Suseng menjerit dengan
beringas: "Kalau ...... kalau aku ..... tidak .... mati, ..... aku ......
bersumpah akan mem ....... membunuhmu."
“Geledah badannya," orang dalam tandu itu memberi perintah,
"keluarkan sesuatu yang bisa menunjukkan tanda dirinya."
Seorang laki-laki tua baju hitam segera melangkah maju sambil
mengiakan, dia membungkuk badan serta ulur tangan. Tiba-tiba laki-
laki baju hitam memekik seram terus terbanting jatuh, sebentar kaki
tangan meronta-ronta cepat sekali jiwanya lantas melayang.
Terdengar gerungan gusar, kembali sejalur angin lesus
menyampuk keluar dari dalam kerai. Kontan badan Te-gak Suseng
terlempar beberapa tombak dan terbanting diam.
"Bunuh dia," orang di dalam tandu memberi perintah, dua orang
berbaju hitam mengiakan sambil menghunus pedang,
"Berhenti!" di kala kedua orang berbaju hitam itu merandek
karena seruan itu, sesosok bayangan orang bagai kilat tahu-tahu
melayang turun, kiranya seorang gadis jelita.
“Siapa kau?" bentak orang di dalam tandu.
"Thian-thay-mo-ki."
"Apa maksud kedatanganmu?"
"Kau bertindak keterlaluan."
"Apa maksudmu?"
"Te-gak Suseng memang dugal dan nyentrik, namun dia bukan
laki-laki rendah yang tidak punya rasa tanggung jawab, kalau
membunuh orang tidak nanti dia mungkir."
"Kau sekomplotan dengan dia?"
“Asal usulnya aku tidak tahu, namun belum ada setengah jam dia
baru berpisah dengan aku, kusaksikan sendiri dia masuk ke
kelenteng ini, lalu kalianpun berdatangan, apakah kau yakin dalam
waktu setengah jam ini dia mampu membunuh ratusan orang yang
berkepandaian tinggi?"
“Soalnya tidak terletak pada waktu, namun terletak pada cara dia
membunuh."
"Aku berani menjadi saksi bahwa bukan dia pembunuhnya."
"Kemungkinan kau bekerja sama dengan dia."
Membesi wajah Thian-thay-mo-ki, katanya murka,
"Kau berkepandaian silat tinggi lalu kau boleh sembarangan
menuduh orang?"
"Hm, kalau kau memang sekomplotan, kaupun takkan luput dari
tanggung jawab, seluk beluk urusan ini pasti akan terbongkar."
Badan Te-gak Suseng tampak bergerak-gerak, dengan rasa iba
Thian-thay-mo-ki mengawasinya lalu berkata kepada si gadis baju
merah: "Nona, tentunya kau tidak lupa bahwa dia pernah menolong
kau dari tangan orang-orang Ngo-lui-kiong bukan?"
Berubah air muka si gadis baju merah: "Betul, hal itu takkan
kulupakan, namun jiwa ratusan orang .........”
"Kenyataan belum membuktikan bahwa dialah pembunuhnya
bukan?"
"Hanya dia yang ada di sini, orang yang baru saja mati ini,
keadaannya mirip dengan yang lain-lain, apakah ini tidak bisa
dijadikan bukti, coba bagaimana kau akan menjelaskan?"
"Aku tidak perlu menjelaskan, namun aku yakin bukan dia yang
turun tangan, kutanggung ........."
"Kau tidak setimpal untuk menanggung dia ........" sela orang di
dalam tandu.
Thian-thay-mo-ki angkat tangannya, serunya,
"Kalau dengan ini bagaimana?”
Di antara jari telunjuk dan jari tengahnya terselip sebentuk batu
giok yang berbentuk menyerupai hati sebesar telapak tangan bayi,
batu giok itu berlobang tiga di tengahnya.
"Sam-ci-ciat!" orang di dalam tandu berseru kaget.
"Betul kau kenal benda ini?" jengek Thian-thay-mo-ki dingin.
"Kau ....... kau murid beliau?”
"Betul!"
Berdiam sesaat lamanya, lalu terdengar orang di dalam tandu
bersuara berat,
"Baik, mengingat benda ini, persoalan sementara sampai di sini
dulu, namun urusan belum selesai .........”
"Kalau kelak dapat dibuktikan bahwa Te-gak Suseng ada sangkut
pautnya dengan pembunuhan ini, kutanggung menggusur dia
kehadapanmu, terserah kau menghukumnya."
"Baik, boleh kau membawanya pergi."
"Hiat-tonya yang tertutuk ........”
“Sudah dibebaskan, kalau tidak tentu jiwanya sudah melayang
sejak tadi.''
Terunjuk perasaan serba salah pada wajah Thian-thay-mo-ki,
sesaat dia bungkam, tiba-tiba dia banting kaki terus membungkuk
dan hendak memanggulnya ...........
Tak terduga pada saat itu pula tiba-tiba Te-gak Suseng membuka
mata,
"Jangan kau sentuh aku," katanya dengan suara gemetar,
dengan tangan menyanggah tanah, dia merangkak bangun dengan
sempoyongan.
Thian-thay-mo-ki melenggong, kembali wajahnya mengunjuk
perasaan benci tapi juga kasihan, mulut sudah bergerak namun
urung bicara.
Dengan tatapan dingin Te-gak Suseng menyapu pandang semua
orang yang hadir, lalu dia tatap pula muka si gadis baju merah
sebentar, habis itu baru berputar kepada Thian-thay-mo- ki dan
berkata,
"Kebaikanmu ini akan terukir dalam hatiku.”
Lalu dengan langkah sempoyongan dia beranjak ke pintu
kelenteng.
Bulan sabit menghiasi angkasa, bintang-bintang bertaburan,
cakrawala remang-remang kebiruan, angin malam terasa dingin
mengiris kulit.
Thian-thay-mo-ki mengintil di belakang Te-gak Suseng, entah
berapa jauh mereka berjalan, akhirnya dia berkata,
"Dik, lukamu tidak ringan, berobat dulu lebih penting."
Betapapun dingin dan kaku sikap Te-gak Suseng, akhirnya
terharu juga akan kebaikan orang, katanya sambil menghentikan
langkah,
"Terima kasih atas perhatianmu, rasanya Cayhe tahu cara
bagaimana harus mengurus diri. Sekarang boleh silakan pergi saja,
Cayhe tak ingin bikin repot kau."
Dengan mendongkol Thian-thay-mo-ki melerok ke arah Te-gak
Suseng, katanya dingin,
"Kau tidak sudi bergaul bersamaku?"
"Bukan begitu, Cayhe tidak suka terlalu banyak utang budi."
"Te-gak Suseng," seru Thian-thay-mo-ki marah-marah, "kau kira
aku ini betul-betul perempuan rendah? Hm!"
Dengan murka dia terus putar badan dan berlari pergi, cepat
sekali bayangannya menghilang ditelan kegelapan malam.
Te-gak Suseng ingin memanggil dan memberi penjelasan, namun
urung, ia tahu isi hati orang, namun dia merasa sebal berhadapan
dengan tingkah laku orang yang genit.
Dia geleng-geleng kepala, lalu beranjak masuk ke hutan, luka
dalam yang parah, ditambah siksa tutukan jalan darah yang terbalik,
sungguh tak tertahankan lagi, untunglah wataknya yang keras tetap
bertahan, kalau tidak, mungkin dia tak kuat bergerak lagi. Sekarang
yang penting mengobati luka-luka, urusan lain harus
dikesampingkan dulu.
Dengan mengerahkan seluruh tenaganya baru dia dapat tiba di
dalam hutan, lalu duduk di bawah sebuah pohon, tenaga seolah-olah
sudah habis sama sekali, tulang sekujur badan serasa retak dan
terlepas dari ruasnya. Dia tenangkan diri mengatur napas lalu
keluarkan dua butir obat dan ditelannya, pelan-pelan ia pejamkan
mata, pusatkan pikiran untuk bersamadhi.
Tiba-tiba sesosok bayangan orang yang besar bagai setan
menyelinap ke luar dari dalam hutan, matanya menyapu keadaan
sekelilingnya, lalu melompat dekat ke arah Te-gak Suseng. Saat-saat
genting tengah dicapai dalam latihan Te-gak Suseng yang sedang
samadhi ini, maka apa yang terjadi di sekelilingnya tidak dilketahui
sama sekali. Bayangan orang itu tiba-tiba angkat tangan memukul
batok kepala Te-gak Suseng.
Dalam keadaan seperti Te-gak Suseng ini, cukup sedikit sentuh
dengan tutukan jari saja akan membuatnya celaka, kalau tidak Cau-
hwe-jip-mo dengan badan cacat, malah mungkin nyawa bisa
melayang.
Pada detik-detik genting itu, sebelum jiwa Te-gak Suseng
direnggut pukulan telapak tangan bayangan besar itu, di luar
dugaan, tahu-tahu orang itu menghentikan tangan di tengah udara,
seakan-akan sedang memikirkan sesuatu, lama sekali baru kembali
dia ayun tangannya.
"Heh!" tiba-tiba terdengar suara orang mendengus, reaksi
bayangan orang itu teramat cepat dan sukar dilukiskan, secepat kilat
dia menubruk ke arah datangnya suara.
"Siapa?" hardiknya.
Dari balik pohon sana„ melompat ke luar sesosok bayangan
langsing.
“Hm, Thian-thay-mo-ki " jengek bayangan orang tadi.
"Betul, tuan ini orang kosen dari mana?"
Ternyata setelah tinggal pergi dengan rasa dongkol. Thian-thay-
mo-ki tidak tega meninggalkan Te-gak Suseng dalam keadaan
sepayah itu, maka diam-diam dia putar balik, kebetulan bayangan
aneh yang hendak membunuh Te-gak Suseng ini kepergok olehnya.
Kuatir mengganggu Te-gak Susen.g, maka dia hanya tertawa dingin
dan berusaha memancing bayangan misterius itu.
Di bawah sinar bulan sabit yang remang-remang menembus dari
sela-sela dedaunan, kelihatan bayangan mis¬terius ini adalah
seorang berjubah sutera dan berkedok. Bahwa namanya sendiri
diketahui orang, sebaliknya siapa orang itu Thian-thay-mo-ki tidak
tahu, mau tidak mau ia merasa ngeri namun tetap waspada.
Orang berkedok itu berkata dengan menyeringai: "Budak, siapa
diriku kau tidak perlu tahu, yang terang kau takkan bisa pergi
dengan hidup."
Thian-thay-mo-ki terkikik,
"Lho, memangnya kenapa? " tanyanya.
"Tidak apa-apa"
"Manusia durjana sekalipun, kalau membunuh orang tentu punya
alasan."
"Omong kosong, untuk membunuhmu tidak perlu pakai alasan
segala, cukup asal kuanggap perlu membunuhmu."
Tegak alis lentik Thian-thay-mo-ki. Katanya,
"Lantaran aku mengganggu tuan membunuh Te-gak Suseng?"
"Anggaplah betul ucapanmu."
"Te-gak Suseng bertangan gapah, semua korbannya tidak
meninggalkan bekas-bekas luka, membunuh dia berarti
memberantas kejahatan di Kangouw, namun tuan kan tidak perlu
membunuh dan menutup mulutku ...........”
"Ha ha ha, perempuan jalang, kau kira orang macam apa diriku
ini, kau naksir dia, tapi dia tidak suka padamu, barusan kau pergi
dengan marah-marah, kenapa sekarang putar balik lagi?"
Berubah air muka Thian-thay-mo-ki, agaknya bayangan misterius
ini mengetahui apa yang telah terjadi, lalu apa tujuannya hendak
membunuh Te-gak Suseng? Meski tahu takkan memperoleh
jawabnya, namun bisa mengulur waktu, juga baik, dia berharap Te-
gak Suseng lekas bangun dari samadhinya. Maka dengan tertawa
menggiurkan dia berkata,
"Agaknya tuan malah yang berminat?"
"Sudah tentu."
"Dari perawakan tuan tentunya bukan sebangsa manusia rendah,
dalam Bu-lim tentu punya kedudukan penting, apakah tidak malu
melakukan perbuatan rendah .......”
"Kau keliru, aku tidak pedulikan segala peraturan."
"Oh, kau takut kalau sebentar dia siuman, kau bukan
tandingannya?"
"Terserah apa yang kau duga, yang terang kalian harus sama-
sama mampus. Kau hendak mengulur waktu, bukan? He he he ......"
di tengah tawa dinginnya, tahu-tahu tangannya mencengkeram
kearah Thian-thay-mo-ki, gerakannya secepat kilat, aneh lagi.
Namun Thian-thay-mo-ki waspada dan siaga, baru pundak orang
bergerak, dia ayun tangan, segenggam jarum segera dia taburkan,
jarum rahasianya ini selembut bulu kerbau, beberapa tombak
sekelilingnya bisa dicapainya, apa lagi jarak kedua orang begini
dekat, mustahil kalau lawan tidak terluka.
Tapi orang berkedok acuh tak acuh seperti tidak terserang apa-
apa, gerak tangannya tetap mencengkeram, hujan jarum itu
sebagian besar mengenai badan orang, namun pergelangan tangan
Thian-thay-mo-ki juga terpegang oleh lawan.
Serasa terbang sukma Thian-thay-mo-ki saking kaget, bahwa
jarum-jarumnya itu adalah senjata rahasia yang terkenal ganas dan
ditakuti persilatan, yaitu Siok-li-sin-ciam (jarum gadis suci) yang bisa
nyusup ke badan manusia mengikuti aliran darah, kalau terlambat
diobati, jarum akan merusak jantung orangnya binasa.
Selama dia berkelana baru pertama kali ini dia kebentur seorang
yang tidak takut, terluka oleh jarum-jarum saktinya, dan lebih
menakutkan lagi bahwa jarum-jarum yang mengenai badan orang
itu tahu-tahu sama rontok berjatuhan, sungguh luar biasa dan sukar
dibayangkan.
Sedikit orang berkedok itu kerahkan tenaga seketika Thian-thay-
mo-ki merasa sekujur badannya lemas lunglai, tenaga murninya tak
mampu dikerahkan lagi.
Orang berkedok itu terloroh-loroh, matanya memancarkan sinar
jalang serta merta terasa oleh Thian-thay-mo-ki akan maksud jahat
orang, seketika kecut perasaannya.
Dengan sebelah tangannya orang berkedok mengusap wajah
Thian-thay-mo-ki, sorot matanya yang bernafsu menjelajah seluruh
badan orang yang padat berisi, lalu gumamnya dengan suara berat,
"Sayang sekali kalau kubunuh begini saja, makhluk seayu ini,
kenapa tidak kunikmati dulu.......”
Pucat pias muka Thian-thay-mo-ki, badanpun gemetar.
Kata orang berkedok dengan tawa lebar,
"Rase genit, walau aku sudah setengah baya, namun Soal
hubungan laki perempuan tanggung nomor satu di dunia ini. Kau
tidak percaya? Sebentar boleh kau buktikan, ha ha ha ha...........!"
Gelak tawa yang penuh nafsu birahi itu menyentak sanubari
Thian-thay-mo-ki. Tapi dia berjuluk Mo-ki (iblis genit), tentunya
julukannya ini bukan diperolehnya secara gampang, cepat dia ubah
sikap dan unjuk tawa genit dengan aleman,
"Apa benar?" tanyanya.
"Sudah tentu, kenyataan akan membuktikan." ujar orang
berkedok itu lalu cekakak seperti orang gila.
"Kalau begitu ....... lepaskan tanganku."
"Tidak bisa, diriku tidak gampang dipermainkan, memangnya aku
tidak tahu apa yang terkandung dalam hatimu? Hahaha ......" lalu ia
seret Thian-thay-mo-ki ke arah Te-gak Suseng, katanya pula,
“Ilmu silatmu akan kupunahkan dulu, sekarang kubereskan anak
keparat ini, kemudian bersenang-senang dengan kau." Tiba-tiba jari
telunjuknya bergerak, Thian-thay-mo-ki terhuyung-huyung jatuh
terduduk tak mampu bergerak lagi. Orang berkedok itu lalu
menghampiri Te-gak Suseng yang masih samadhi itu.
Hakikatnya Te-gak Suseng tidak menyadari bahwa elmaut tengah
mengancam dirinya. Seakan-akan menyala kedua biji mata Thian-
thay-mo-ki, jari tengahnya tiba-tiba menutuk beberapa Hiat-to di
badan sendiri, tahu-tahu dia melompat berdiri dengan gerakan
gemulai terus menubruk ke arah orang berkedok.
Hampir dalam waktu yang sama, terdengar jeritan seram yang
menggetarkan sukma, dengan muntah darah Te-gak Suseng
terpukul mencelat beberapa tombak jauhnya. Sigap sekali orang
berkedok itu membalik badan, kebetulan dia menampak kedatangan
Thian-thay-mo-ki, dengan bersuara heran, kontan dia ayun
tangannya menyapu,
"Blang,” Thian-thay-mo-ki juga terpental balik.
Badan Te-gak Suseng terbanting keras dan tidak bergerak
mungkin jiwanya sudah melayang.
"Hebat juga rase genit ini,” dengus orang berkedok, "ternyata
kau tidak mempan tutukan."
Thian-thay-mo-ki ayun tangan, sebuah benda. berkilauan tiba-
tiba menyambar orang berkedok itu.
"Cit-sian-hwi-yim!”, teriak orang berkedok kaget. Sebat sekali dia
berkelebat menyingkir, namun benda berkilau itu seperti benda
hidup layaknya, tahu-tahu melingkar balik terus berputar-putar satu
lingkaran, dua lingkaran dan seterusnya, belum lingkaran pertama
lenyap, lingkaran selanjutnya sudah saling susul menjadikan taburan
sinar bundar laksana jala yang ketat dengan mengeluarkan desis
angin kencang, siapa takkan kaget dan takut.
Gerakan orang berkedok ternyata bagai setan berkelebat di
tengah-tengah kepungan jala bersinar tajam itu. Tiba-tiba terdengar
mulutnya menggerang cahaya terangpun seketika kuncup,
tertampak kain kedok kepala orang berkedok tadi basah oleh darah,
jelas sekali batok kepalanya tergores luka selebar tiga senti.
"Rasakan sekali lagi," teriak Thian-thay-mo-ki geram, kembali dia
ayun tangannya. Tapi orang berkedok bergerak lebih cepat, belum
sempat Cit-sian-hwi-yim (pisau terbang) di lepaskan, bagai kilat
menyamber tahu-tahu orang berkedok itu sudah melejit ke atas
seraya memukul dengan kedua tangannya, pada saat senjata
rahasia Thian-thay-mo-ki ditimpukkan, pukulan dahsyat lawanpun
sudah mendampar tiba "Blang", kontan dia terguling roboh. Pisau
terbangnya yang melengkung itu sempat berputar di tengah udara,
namun bayangan orang berkedok sudah berkelebat di luar
jangkauan lingkaran cahaya terang itu. Setetah melingkar tujuh kali,
pisau melengkung itu akhirnya jatuh di atas tanah.
Orang berkedok mendekati Thian-thay-mo-ki. Dilihatnya darah
meleleh dari mulut dan hidungnya, jelas napasnya sudah terhenti,
sejenak dia termenung berkata dingin,
"Perempuan sundel, boleh kau menjadi pasangan di alam baka
dengan anak keparat itu."
Habis berkata, berkelebat bayangannya lantas lenyap.
Suasana dalam hutan hening lelap, hanya suara keresekan daun
pohon yang tertiup angin sehingga kesunyian mencekam perasaan.
Setengah jam telah berlalu, dua orang laki-laki berbaju hitam
memasuki hutan untuk meronda, tiba-tiba satu diantaranya menjerit
kaget,
"Lihat, apa itu?"
Bergegas mereka melompat maju, seorang yang lain juga
berteriak,
"Hah, bocah itu!”
"Siapa?" tanya temannya.
"Te-gak Suseng."
Serta merta keduanya menyurut dua langkah, sesaat mereka
mematung, setelah ditunggu tiada gerak apa-apa, salah seorang
coba melangkah maju pula. Setelah longok sana longok sini, dia ulur
tangan menyentuh badan orang, kemudian teriaknya dengan
mendelik,
"Sudah mati!"
"He, di sana juga ada ...... itulah Thian-thay-mo-ki, dia juga
mati.”
"Aneh, kenapa mereka sama-sama mampus dalam hutan ini,
siapakah pembunuhnya?"
"Mungkin dia orang tua .........”
"Tutup mulutmu, kau ingin mampus, berani cerewet!"
"Hihi, coba lihat, nona yang begini menggiurkan, meski sudah
tidak bernyawa .........”
"Kenapa?"
"Hehe ......sungguh ....... sungguh membuatku tak tahan lagi."
"Li Ji, keparat kau ini, jangan terpikat paras cantik, dia kan sudah
mati."
"Lo-ong, terus terang, di kala dia masih hidup, untuk mencium
pantatnya saja jangan kau harap ......."
"Memangnya kau hendak memperkosa mayatnya?"
"Ah, tidak, tapi merabanya saja kan boleh?" orang berbaju hitam
yang dipanggil Li Ji lantas mendekati Thian-thay-mo-ki terus
berjongkok dan mengulur tangan.
"Waaaah!" jeritan panjang yang seram dan mengerikan memecah
kesunyian. Li Ji terbanting roboh celentang, kepalanya pecah
mukanya hancur, jiwanya melayang seketika.
Laki-laki berbaju hitam yang lain serasa copot nyalinya.
Memangnya orang mati mampu membunuh orang? Tahu-tahu
Thian-thay-mo-ki melompat bangun dengan gaya yang
menggiurkan.
Seperti dikejar setan laki-laki berbaju hitam itu segera lari lintang
pukang, beberapa langkah lagi dia sudah tiba di pinggir hutan, tahu-
tahu seorang membentak dingin di hadapannya,
"Berhenti!"
Bergidik dan gemetar sekujur badan laki-laki berbaju hitam itu,
bulu kuduknya berdiri semua, yang mencegat di tengah jalan kiranya
Thian-thay-mo-ki. Noda darah masih meleleh dari hidung dan
mulutnya. Kaki terasa lemas, kontan dia jatuh terkulai, mulut
terpentang dan megap-megap tak mampu bersuara. sekian lamanya
baru dia berteriak serak,
"Kau.... kau setan atau manusia?"
"Berapa jauh terpautnya antara setan dan manusia?" ujar Thian-
thay-mo-ki dingin.
"Apakah kau ti ...... tidak mati? Tapi, jelas tadi kau sudah tak
bernapas?"
"He he, kalau Thian-thay-mo-ki gampang mati, biar kuhapus saja
nama julukanku." Habis kata-katanya itu, sekali dia tepuk telapak
tangannya, laki-laki berbaju hitam menjerit terus roboh binasa.
Bergegas Thian-thay-mo-ki berlari masuk hutan menghampiri Te-
gak Suseng, air mata tak tertahan lagi bercucuran, mulutnya
menggumam sambil sesenggukkan,
“Beginikah kau mengakhiri hidupmu?"
Sambil bicara dia duduk bersimpuh tangannya terulur ......
"Jangan sentuh dia!"
Tiba-tiba sebuah suara dingin berkumandang di belakangnya.
Dengan kaget lekas Thian-thay-mo-ki tarik tangannya seraya
meloncat berdiri.
Dilihatnya seorang perempuan setengah umur berwajah welas
asih berdiri di sampingnya. Bagaimana perempuan ini berada di
dekatnya sedikitpun tidak disadarinya, dari sini dapatlah
dibayangkan bahwa kepandaian silat orang ini cukup tinggi.
Kini teringat olehnya bahwa Te-gak Suseng pernah mencegah
dirinya menyentuh tubuhnya. Perempuan yang muncul mendadak ini
juga melarang dirinya menyentuh jenazahnya, kenapa? Siapakah
petempuan ini? Dengan hambar dia lantas bertanya,
“Siapakah Cianpwe ini?"
"Namaku tidak perlu disebut lagi.”
Thian-thay-mo-ki melengak, tanyanya,
"Kenapa Cianpwe melarang aku menyentuhnya?"
Tidak menjawab pertanyaannya, perempuan itu malah maju
mendekat, dengan jari-jari tangannya yang halus putih meraba
sekujur badan Te-gak Suseng.
Tak tahan Thian-thay-mo-ki berkata,
"Seorang berkedok telah memukulnya mati di saat dia
bersamadhi."
Perempuan setengah umur itu menghela napas penuh rasa iba,
dua butir air mata menetes, katanya pilu,
"Kasihan!"
Dengan terbelalak Thian-thay-mo-ki mengawasi, tanyanya,
"Cianpwe kenal dia?"
"Bukan saja kenal, dia .......”
"Cianpwe pernah apa dengan dia?"
"Ah, tak perlu dibicarakan lagi.”
Jawaban yang tak karuan, ini membuat Thian-thay-mo-ki tidak
sabar, bukan saja Te-gak Suseng tidak menyintai dirinya, malah
bersikap kasar, namun dia benar-benar menaruh hati kepadanya.
Perasaan manusia, memang sulit diraba, dia sendiri tidak habis
mengerti kenapa dirinya kasmaran terhadap laki-laki berlengan
buntung yang baru dikenalnya ini.
Mungkin karena watak mereka ada titik persamaannya, atau
mungkin Te-gak Suseng memang laki-laki yang patut dicintai setiap
perempuan, pendek kata Te-gak Suseng sudah menambat hatinya.
Kini dia sudah meninggal, semua ini seperti sebuah impian belaka
yang berakhir dengan tragis. Tak tertahan tercetus sumpahnya,
"Aku akan menuntut balas."
Perempuan setengah umur mengawasi Thian-thay-mo-ki dengan
tertegun, tanyanya kemudian,
"Kau ....... kau ingin menuntut balas? Kukira sulit sekali."
"Cianpwe tahu siapa laki-laki berkedök itu?"
"Ai, inilah karma, apa pula yang harus kukatakan. Kalian ........”
"Tiada hubungan apa-apa," ujar Thian-thay-mo-ki getir. "Kami
hanya bersua secara kebetulan saja."
"O, barusan kelihatannya kaupun sudah mati .....”
"Tapi aku hidup kembali."
"Siapakah gurumu?"
"Aku dilarang menyebut nama beliau."
Kembali perempuan setengah umur meraba-raba sekujur badan
Te-gak Suseng, lalu katanya sedih,
"Memang sudah nasibnya, hanya mati yang mengakhiri semua
dendam. Ai, mestinya belum saatnya dia mati ......"
"Belum saatnya mati, kenapa?" tanya Thian-thay-mo-ki.
"Daya hidupnya belum pudar, sayang sekali ......”
"Perempuan itu menjawab ragu-ragu.
2.5. Balasan Pengorbanan Darah
Tergerak hati Thian-thay-mo-ki, tanyanya,
"Jadi dia masih punya harapan hidup?"
"Ya, tapi aku ..... hanya berpeluk tangan saja."
"Kenapa?"
"Hanya sesuatu saja dalam langit ini yang mampu menghidupkan
nyawanya."
Bersinar biji mata Thian-thay-mo-ki, serunya gugup,
"Apakah sesuatu itu?"
"Ah, tak usah kukatakan. Benda pusaka tak bisa diperoleh secara
paksa, apalagi daya hidupnya hanya bertahan sebentar lagi.”
"Cobalah Cianpwe katakan benda apakah itu?” pinta Thian-thay-
mo-ki.
"Sek-liong-hiat-ciang (darah naga batu), obat mujarab yang ada
di dalam dongeng.”
"Sek-liong-hiat-ciang ..... Sek-liong-hiat-ciang!” gumam Thian-
thay-mo-ki dengan haru dan kegirangan.
Bercucuran pula air mata perempuan setengah umur, katanya
tersedu-sedu. "Nona, sikapmu memberitahu kepadaku akan
hubungan kalian, aku tak bisa lama di sini, kupikir kau sudi
menguburnya dengan selayaknya. Tapi ingat, jangan kau sentuh
badan bagian kiri, sekarang aku hendak pergi.”
Pelan-pelan dia berdiri lalu berdoa,
"Nak, maafkan aku.... aku .....," kata-kata selanjutnya tertelan
oleh sedu sedannya. Sekali berkelebat, tahu-tahu bayangannya
sudah menghilang.
"Cianpwe, tunggu dulu!" teriak Thian-thay-mo-ki. Tapi dia tidak
memperoleh jawaban, perempuan setengah umur pergi dan datang
secara mendadak. Terpaksa Thian-thay-mo-ki duduk di samping
mayat Te-gak Suseng, lama dia terlonggong, akhirnya dia berkertak
gigi dan ambil keputusan.
"Baik akan kucoba." gumamnya.
Dia singkap lengan bajunya, dengan kuku jarinya yang panjang
runcing dia gores lengannya yang putih halus, darah segar segera
mengucur keluar. Cepat tangannya yang lain menyanggah dagu Te-
gak Suseng sehingga mulutnya terpentang, cucuran darahnya
segera di teteskan ke mulutnya. Setengah jam kemudian, Te-gak
Suseng sudah menelan puluhan teguk darahnya. Thian-thay-mo-ki
menarik napas panjang, ia menghentikan tetesan darahnya terus
bersimpuh istirahat.
Setelah istirahat sekian lama, dilihatnya tubuh Te-gak Suseng
tetap kejang dingin tidak menunjuk sesuatu perubahan. Apa boleh
buat dia menghela napas putus asa, gumamnya: "Agaknya memang
sudah takdir.”
Tapi pada saat itulah, tiba-tiba dilihatnya badan Te-gak Suseng
mulai bergerak. Dia sangka pandangnya kabur, setelah kucek mata
dia pandang lagi lebih jelas terlihat dada orang bernapas turun naik
dengan teratur. Sungguh bukan kepalang girangnya. Segera ia
hendak meraba dada orang, namun teringat akan peringatan
perempuan tadi, lekas-lekas dia tarik tangannya pula, lalu meraba
hidungnya, betul-betul terasa hembusan hangat dari lubang hidung.
"Dia hidup kembali Sek-liong-hiat-ciang betul-betul bisa
menghidupkan orang yang sudah mati. Kenapa sebelum ini tidak
teringat olehku. Untung perempuan itu menyinggungnya, kalau
tidak, kematiannya tentu amat 'penasaran," begitulah dia
menggumam sendiri dengan suara gemetar. Wajahnya nan ayu bak
bunga mekar menampilkan perasaan yang aneh, sudah tentu Te-gak
Suseng yang belum siuman itu tidak tahu.
Sebetulnya Thian-thay-mo-ki bisa salurkan hawa murninya
membantu orang siuman lebih cepat, tapi teringat pada peringatan
perempuan itu, terpaksa dia menahan sabar menunggu reaksi
selanjutnya.
Kenapa dia dilarang menyentuh badan bagian kiri, dan di mana
letak rahasia Te-gak Suseng yang membunuh orang tanpa
meninggalkan bekas luka-luka, tetap akan menjadi teka-teki bagi
dirinya. Sang waktu berjalan lambat di dalam penantian yang
menggelisahkan.
Bintang-bintang sudah buram, hawa dingin semakin menusuk
tulang, hari sudah mendekat fajar. Tiba-tiba Te-gak Suseng
membuka kedua mata, remang-remang dilihatnya seseorang
bersimpuh di sampingnya. Alam pikirannya masih kabur, lama sekali
dia masih dalam keadaan setengah sadar. Akhirnya menjadi jelas
juga penglihatannya, dengan sendirinya ingatannya lambat launpun
menjadi jernih.
"Oh, dia." ia mengeluh dalam batin, sebelah tangannya
menyanggah tanah, ia bangun berduduk.
Sungguh bukan kepalang senang hati Thian-thay-mo-ki, katanya,
"Dik, kau kau akhirnya hidup kembali.”
Terkesiap darah Te-gak Suseng, dia hanya ingat dirinya masuk
hutan dan bersamadhi menyembuhkan luka-luka dalamnya. namun
tahu-tahu diserang orang dan apa yang terjadi selanjutnya tidak
diketahui. Ucapan ‘hidup kembali’ betul-betul membuatnya kaget
dan heran.
"Apa katamu, aku hidup kembali?" ia menegas.
"Benar, tadi kau sudah mati sekali."
"Apa yang terjadi?"
"Waktu kau bersamadhi, tiba-tiba muncul seorang laki-laki kekar
berkedok dan berjubah sutera ......”
"Berjubah sutera dan mengenakan kedok? Lalu bagaimana?"
“Kebetulan aku datang waktu dia hendak memukulmu, lantas
kupancing dia pergi, tapi aku bukan tandingannya, jarum-jarum
saktiku yang keji tak kuasa melukai dia."
"Oh, orang macam apakah dia?"
"Dia tak mau memperkenalkan diri, entah apa alasannya dia
menyerang kau."
"Hm, dan selanjutnya?"
"Dia meringkus aku, menutuk hiat-toku. Untung aku bisa
membebaskan diri dengan menjebol jalan darah yang tertutuk
hingga terluka. Waktu dia menyerangmu lagi, aku tak sempat
membebaskan tutukannya namun aku sempat melukai dengan
senjataku yang lain, meninggalkan tanda mata di atas kepalanya.
Akhirnya aku menipunya dengan pura-pura mati setelah menutup
Hiat-to menghentikan denyut nadi .......”
"Kau tidak terluka?"
"Terluka parah, tapi dalam waktu singkat aku bisa
menyembuhkan lukaku."
Te-gak Suseng berdiri, katanya dingin,
"Ceritamu sudah tamat?"
Berubah air muka Thian-thay-mo-ki mendengar nada pertanyaan
orang yang ganjil, serunya,
"Cerita? Apa maksudmu?"
Jawab Te-gak Suseng tak acuh,
"Karanganmu amat menarik, sungguh menyentuh sanubari.
Semalam kau memang pernah membantuku, kelak pasti akan
kubalas kebaikanmu, tapi tidak sepantasnya kau membuntuti
diriku..... Aku tak berminat terhadap dirimu.”
"Aku ...... aku membuntuti kau?" desis Thian-thay-mo-ki dengan
gusar, badan gemetar wajahpun merah padam.
"Laki-laki kekar berkedok dengan jubah sutera yang kau katakan
itu aku kenal, malah erat hubungannya dengan aku. Dia
mengenakan Thian-hian-ih (baju sutera langit) yang tidak takut api
air dan segala macam senjata tajam, maka jarum-jarummu tak
dapat melukai dia .......”
"Oh, kau ........”
"Ketahuilah, dia adalah ayahku, mungkinkah dia membunuhku?
Siapa mau percaya cerita bohongmu?"
"Dia ....... dia ayahmu?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Tapi dia betul-betul hendak membunuh kau." kata Thian-thay-
mo-ki dengan suara tertekan. "Te-gak Suseng, apa yang aku
katakan adalah kejadian nyata, terserah kau mau percaya, mungkin
dandanannya yang mirip ayahmu.”
"Tidak mungkin.”
"Di atas kepalanya telah kuberikan tanda mata."
"Itu akan kuselidiki.”
"Dan masih ada ..........”
''Cukup sekian saja, banyak urusan yang harus kuselesaikan,
tiada tempo buat ngobrol disini."
Sebetulnya Thian-thay-mo-ki hendak mengisahkan munculnya
perempuan setengah umur itu, serta mendengar ucapan orang yang
tak kenal budi amarahnya jadi memuncak, matanya merah,
teriaknya beringas,
"Te-gak Suseng, kau binatang berdarah dingin, tidak punya
perikemanusiaan .......”
"Anggaplah begitu, selamat berpisah," jengek Te-gak Suseng,
lenyap kata-katanya bayangannya sudah berkelebat beberapa
tombak jauhnya.
Bergontai badan Thian-thay-mo-ki yang padat semampai,
matanya mendelik memancarkan kebuasan, dengan darah sendiri
dia menolong jiwa orang, tak nyana begini kasar dan tak kenal budi
perlakuan yang diterimanya. Betapa benci dan dendam hatinya
sungguh tak terlukiskan dengan kata-kata. Setelah terlongong sekian
lamanya, tiba-tiba dia membanting kaki, katanya,
"Kalau tidak kubunuh kau, aku bukan manusia.”
o0o
Sementara itu Te-gak Suseng tengah berlari, ia mengakui bahwa
sikapnya rada keterlaluan terhadap Thian-thay-mo-ki, dasar
wataknya memang nyentrik dan kaku, dia tak suka bermuka-muka
kepada orang lain.
Betapapun cerita Thian-thay-mo-ki tentang orang berkedok yang
hendak membunuh dirinya sudah menggores dalam lubuk hatinya.
Ia anggap demi mencapai cita-citanya sengaja Thian-thay-mo-ki
mengarang cerita bohong ini, karena semua itu tidak mungkin
terjadi. Namun orang berani bersumpah dan katanya meninggalkan
tanda mata di atas kepala orang itu, hal inilah yang perlu dia selidiki
kebenarannya. Kalau betul, maka orang berkedok itu pasti
penyamaran seseorang jahat yang punya tujuan buruk, memangnya
pernah terjadi dalam dunia ini seorang ayah membunuh anak
kandungnya sendiri? Siapapun tiada yang mau percaya.
Malam berakhir dan fajarpun menyingsing, Te-gak Suseng
mencuci muka di sebuah sungai kecil, membersihkan noda-noda
darah di bajunya, lalu melanjutkan perjalanan. Setiba di jalan raya
kebetulan dilihatnya beberapa orang penunggang kuda mendatangi,
lekas dia menyingkir ke pinggir, tiba-tiba seekor kuda meringkik
berjingkrak dan berhenti di sampingnya, seseorang berseru,
"Bukankah kau ini Ji Bun.”
Kejutnya bukan kepalang, selama dia mengembara, belum
pernah dia menyebut nama sendiri. Tiada seorangpun kaum
persilatan yang tahu nama aslinya. Serta merta dia angkat kepala,
hatinya seketika berdetak, ternyata yang menegur adalah Ciang Wi-
bin, si hartawan terkaya di Kayhong, seorang tokoh yang di segani
pula di daerah Tionggoan. Walau beberapa tahun tak pernah
bertemu, namun wajah orang yang kereng dan berwibawa masih
diingatnya dengan baik, terutama jenggot orang yang menjuntai
panjang di depan dada.
Ribuan li ditempuhnya hendak melamar puteri orang she Ciang
ini, lantaran si gadis berbaju merah itulah sehingga dirinya berubah
niat semula, entah orang sudah tahu belum akan hal ini? Bagaimana
kalau ditanyakan, tentu serba runyam dan memalukan. Maka
dengan tersipu-sipu dia memberi hormat,
"Keponakan bodoh Ji Bun memberi salam hormat kepada paman
Ciang."
Ciang Wi-bin tergelak-gelak sambil melompat turun. Delapan
Centing di belakangnya beramai-ramai ikut turun pula.
"Hiantit (keponakan baik), apakah ayahmu baik-baik saja
belakangan ini?" tanya orang tua itu.
"Berkat doa paman, beliau sehat-sehat saja."
"Dalam sekejap enam tahun sudah berselang, Hiantitpun sudah
dewasa, eh, kau ..........”
Tanpa sadar Te-gak Suseng Ji Bun menyurut mundur, sahutnya
dengan kebat-kebit,
"Paman ada petunjuk apa?"
"Lengan kirimu ........”
"Salah latihan, terpaksa dibuntungi."
"Dibuntung, mana boleh jadi?"
Ji Bun tidak menjawab, jantungnya berdebar-debar, ia kuatir
orang tanya berbelit-belit.
Berubah roman Ciang Wi-bin mengawasi lengan kiri Ji Bun yang
kosong melambai, gumamnya,
"Bagaimana mungkin, bagaimana mungkin ......" berkelebat sorot
matanya mengawasi Ji Bun, katanya dangan nada rendah, "Kenapa
Hiantit datang ke Kayhong seorang diri?"
Ji Bun menjawab dengan suara tergagap,
"Di samping melancong untuk menambah pengalaman, sambil
menyelesaikan ...... menyelesaikan suatu urusan."
"Jadi kau juga belajar silat?"
Ji Bun mengiakan sambil mengangguk.
"Ayahmu dulu menamakan kau `Bun` (sastra), maksudnya
supaya kau memperdalam Ilmu sastra tanpa belajar silat, tak nyana
dia telah berubah haluan ........"
"Maksud ayah supaya keponakan belajar silat untuk jaga diri,
sebetulnya......"
Tiba-tiba seorang menjerit kaget diantara para Centing itu dan
berseru: "He, pasti dia inilah.”
"Kurangajar," bentak Ciang Wi-bin sambil menoleh, "ada apa
berteriak-teriak."
Lekas centing itu menunduk, sahutnya takut-takut, "Hamba ......
tiba-tiba teringat seorang tokoh Kangouw yang belakangan ini amat
menggemparkan. Wajah dan dandanan yang dilukiskan itu mirip
benar dengan Ji-kongcu."
"Tokoh macam apa dia?" tanya Ciang Wi-bin.
"Gelarnya adalah Te-gak Suseng!”
"Apa? Te-gak Suseng?”
"Ya, mohon ampun akan kesemberonoan hamba."
Bertaut alis Ciang Wi-bin, beberapa kali dia menyapu pandang ke
arah Ji Bun, tanyanya gemetar,
"Jadi hiantit inikah Te-gak Suseng yang dimaksud itu?"
Ji Bun tergagap, akhirnya ia berterus terang,
"Betul!"
Bergetar jenggot panjang Ciang Wi-bin, sesaat lamanya dia tak
bersuara. Te-gak Suseng, julukan ini sama buruk dan jahatnya
seperti setan iblis.
Tokoh yang biasanya bertindak jujur dan terus terang ini betul-
betul sangat kaget dan keheranan. Sungguh tak pernah terpikir
o!ehnya bahwa calon menantunya ternyata adalah Te-gak Suseng
yang terkenal jahat dan kejam, membunuh orang tanpa
meninggalkan bekas.
Berhadapan dengan calon mertuanya, perasaan Ji Bun seperti
duduk di atas jarum, dengan senyuman kecut, katanya,
"Kalau paman tiada petunjuk, keponakan mohon pamit saja...."
"Kau tidak mampir dulu ke rumahku?"
"Lain hari sajalah."
Ciang Wi-bin menatap sesaat lagi, mulutnya sudah terbuka
hendak bicara, namun urung, akhirnya dia mengulap tangan,
ujarnya,
"Kalau begitu pergilah."
Lekas Ji Bun memberi hormat terus melangkah pergi dengan
perasaan enteng. Enam tahun yang lalu, dirinya adalah seorang
pemuda cakap, namun sekarang adalah laki-laki yang buntung
lengannya, tidak heran Ciang Wi-bin kelihatan bimbang dan tidak
menyinggung soal pernikahan dirinya dengan puteri tunggalnya. Hal
ini terasa sangat menguntungkan dan melegakan hatinya malah.
Bayangan si gadis baju merah nan molek selalu terbayang di
depan kelopak matanya, tanpa terasa dia tertawa geli sendiri,
bagaimana perasaannya sekarang, dia sendiri tidak tahu.
Begitulah sambil berjalan tanpa tujuan pikirannya melayang jauh
ke berbagai soal yang melibatkan dirinya akhir-akhir ini, tahu-tahu ia
menyadari dirinya berada di tengah ladang belukar yang jarang
diinjak manusia, ia berdiri melenggong sejenak. Sang surya sudah
tinggi di tengah cakrawala. Setelah me- nerawang keadaan
sekelilingnya, kemudian ia menuju ke arah barat.
Tiba-tiba sebuah tandu kecil yang dipikul dua orang berlalu tak
jauh di depannya sana, langkah kedua pemikul tandu kecil itu ringan
dan cepat, jelas mereka adalah ahli silat yang berkepandaian tinggi.
Tergerak hati Ji Bun, tiba-tiba teringat olehnya tandu berhias yang
dilihatnya di Ceng-goan-si, apakah tandu ini sama dengan tandu
yang diiringi gadis berbaju merah itu?
Kepandaian tokoh kosen dalam tandu itu betul-betul membuat
hatinya jeri dan kagum, namun rasa penasaran dan dendamnya
tetap berkecamuk dalam sanubarinya. Dia tahu belum saatnya
sekarang dia menuntut balas, namun siapa dan bagaimana asal usul
orang dalam tandu itu patut dia selidiki.
Dan yang lebih penting adalah dia tidak bisa melupakan si gadis
berbaju merah itu.
Bergegas dia berlompatan ke sana memburu ke arah lenyapnya
tandu berhias itu, setelah melewati semak belukar, di depan sana
mengadang sebidang hutan pohon cemara, tandu berhias itu
menyusup masuk ke dalam hutan dan lenyap.
Setelah berpikir sejenak, Ji Bun segera mengejar masuk ke dalam
hutan cemara. Semak-semak berduri menyulitkan perjalanannya,
beberapa jauh dia harus melewati belukar berduri ini, akhirnya lapat-
lapat dilihatnya di depan sana ada bayangan sebuah bangunan
megah.
Tempat apakah ini? Demikian dia bertanya-tanya. Apakah markas
komplotan rahasia yang sering beroperasi di Kangouw? Kalau main
terjang secara gegabah, jiwanya bisa terancam bahaya, namun
untuk putar balik rasanya teramat berat. Apalagi di siang hari bolong
begini, kalau di dalam hutan ada pos-pos penjagaan rahasia, pasti
jejaknya sudah konangan dan akibat yang bakal menimpa dirinya
harus dia perhatikan juga.
Namun dasar wataknya angkuh dan suka menang, jarang dia
menyerah pada keadaan. Setelah berpikir sejenak, segera dia angkat
langkah maju pula ke depan.
Semakin jauh semakin gelap dan dingin, akhirnya tiba di depan
sebuah kelenteng.
Aneh, tiada kelihatan jejak manusia, namun tandu kecil tadi jelas
lenyap ke dalam hutan ini, memangnya ke mana tujuannya?
Agaknya ada apa-apa di dalam kelenteng bobrok ini.
Sebentar dia ragu-ragu, akhirnya dia melesat masuk ke dalam
kelenteng, tertampak patung-patung pemujaan sudah tiada yang
utuh, meja roboh debu menumpuk. Dengan langkah tetap dia
beranjak ke arah dalam, setelah melewati balairung, tiba-tiba
pandangannya menjadi terang, di antara semak-semak rumput yang
tumbuh tinggi di pojok sana, tandu kecil berhias tadi tampak ada
disana. Namun jelas baginya bahwa tandu yang ini bukan tandu hias
yang dilihatnya di Ceng-goan-si kemarin, rasa was-was seketika
hilang setengah, namun rasa heran dan curiga lantas mengetuk
hatinya.
Bahwa tandu ini ada di sini pasti ada penghuni dalam kelenteng
bobrok ini, soalnya di mana mereka menyembunyikan diri? Kenapa
tidak dijaga dan membiarkan orang luar seperti dirinya terobosan
kemari sesukanya? Didorong oleh rasa ingin tahu, timbul
keinginannya untuk menyelidiki supaya jelas duduk persoalannya.
Segera dia mendekati tandu itu dan menyingkap kerai, ternyata
kosong tiada apa-apa. Namun dari dalam tandu terendus bau
wanita, tentu adalah seorang perempuan yang naik tandu ini.
Tiba-tiba terdengar sebuah suara lirih di belakangnya, tergerak
hati Ji Bun, namun dia sengaja pura-pura tidak tahu, maka
terdengar pula suara yang menusuk menegurnya,
"Sahabat ini sungguh lucu, kenapa terobosan ke kelenteng
bobrok dan kotor ini?"
Pelahan Ji Bun memutar badan, di depannya berdiri seorang laki-
laki tua berjubah hitam bertubuh kurus, wajahnya dingin culas,
begitu dirinya putar badan, laki-laki tua ini seketika berubah
romannya, serunya gemetar,
"Apakah saudara ini .........”
"Aku yang rendah Te-gak Suseng .......”
"Oh," tanpa sadar laki-laki jubah hitam menyurut mundur, "untuk
apa kau kemari?" tanyanya.
Tidak menjawab Ji Bun malah balas bertanya,
“Siapakah tuan ini?"
"Ah, aku Si It-ho."
"Tempat apakah ini."
"Sebuah ..... kelenteng bobrok ........”
"Dimanakah orang yang naik tandu tadi?"
Laki-laki berjubah hitam tertawa kering, sahutnya,
"Orang naik tandu siapa?”
Tegak alis Ji Bun, katanya,
"Jangan kau memancing kemarahanku untuk membunuhmu,
bicaralah terus terang?"
Berubah air muka laki-laki berjubah hitam alias Si It-ho itu,
katanya tergagap,
“Pernah apa saudara dengan orang yang naik tandu ini?"
"Kau tidak perlu tahu katakan saja di mana dia sekarang?''
"Maksud saudara .......”
"Jangan banyak omong," potong Ji Bun.
Laki-laki kurus berjubah hitam angkat pundak seraya mengusap
kepalanya yang agak pelontos, hanya sedikit menggerakan tangan,
seketika terendus bau harum merangsang hidung. Ji Bun
mendengus sekali, tangan sudah terayun hendak memukul, namun
pikirannya bekerja secepat kilat, lekas dia turunkan tangannya
dengan pura-pura sempoyongan, mukanya mengunjuk rasa bingung
seperti orang linglung.
Laki-laki kurus berjubah hitam mundur dua langkah dengan tajam
dia tatap muka Ji Bun, tiba-tiba dia cekakak kegirangan, katanya,
“Te-gak Suseng, tahukah kau tempat apa ini?"
Sikap Ji Bun linglung seperti orang lupa ingatan, sahutnya,
"Ini ........ tempat apakah ini?"
"Ki-po-hwe."
"Ki. ...po....Hwe.. .. Oh, kenapa kepalaku menjadi pusing?"
"Saudara, ikutilah aku," kata laki-laki kurus berjubah hitam, lalu
dia mendahului jalan ke arah serambi, ke ruang pemujaan. Ji Bun
mengikuti dengan langkah sempoyongan seakan-akan amat payah
menggerakkan langkahnya. mulutnya menggumam,
"Tuan hendak membawaku ke mana? Aneh, apakah aku ini sakit
......?”
Tiba-tiba terdengar suara berisik, tahu-tahu meja besar pemujaan
di depan deretan patung-patung pemujaan bergeser pelahan-lahan,
muncullah sebuah !ubang yang menjurus ke bawah dengan undakan
batu. Seperti orang kehilangan ingatan Ji Bun mengikuti langkah
orang memasuki pintu bawah tanah ini. Kira-kira tiga tombak
kemudian, undakan batu berakhir, pandangan matanya menjadi
terang, ternyata lorong panjang ini diterangi cahaya mutiara yang
tertatah di dinding batu. Setiap tombak dijaga dua orang laki-laki
berseragam hitam, tangan masing-masing menghunus senjata
tajam, penjagaan keras dan ketat. Para penjaga itu semua memberi
hormat kepada laki-laki berbaju hitam ini.
Cepat sekali mereka tiba di depan sebuah pintu besar yang gelap,
dipandang dari luar, tertampak pilar-pilar batu berderet panjang
serta pintu yang berlapis-lapis. Siapa akan menyangka di bawah
kelenteng bobrok ini ternyata ada bangunan di bawah tanah yang
begini besar dan megah.
Tepat di tengah-tengah pintu besar terukir deretan huruf yang
berbunyi "Ki-po-hwe". Di depan pintu berbaris 12 orang yang
bersenjata pedang. Semua beralis tebal dan mata melotot, tak
ubahnya seperti patung-patung batu.
Seorang pemuda berusia 20an muncul di ambang pintu,
wajahnya halus pakaiannya perlente. Lekas laki-laki berbaju hitam
memberi hormat, sapanya,
"Siau-hwe-cu (majikan muda) baik-baik saja?"
Pemuda baju putih mengawasi Ji Bun, tanyanya,
"Siapa dia?"
"Te-gak Suseng,” sahut laki-laki kurus berbaju hitam.
"Apa?" seru pemuda baju putih kaget, "Te-gak Suseng?"
suaranya gemetar dan jeri.
"Katanya dia mengikuti tandu, terpaksa hamba mengundangnya
kemari."
"Bagus, Si-tongcu, bawa dia ke kamar nomer 2 dan korek
keterangannya."
"Terima perintah!" Si It-ho mengiakan. Setelah menyapu
pandang pula kepada Ji Bun. baru pemuda baju putih itu berlalu.
Laki-laki she Si lantas berkata,
"Saudara, mari ikut aku!"
Seperti orang linglung, dengan kaku Ji Bun pandang orang serta
mengikutinya masuk ke dalam. Setelah melewati berlapis-lapis pintu
dan ruangan, akhirnya mereka tiba di depan sebuah kamar batu
yang tertutup rapat. laki-laki baju hitam mengetuk pintu tiga kali.
Pintu besi yang besar dan berat itu lantas terbuka pelahan.
Suasana dalam ruang besar ini amat seram dan khidmat, begitu
masuk mereka dihadang sebuah meja besar, meja yang biasanya
digunakan para hakim, di belakang duduk seorang perempuan
setengah baya dengan pakaian mewah gemerlapan, sanggulnyapun
dihiasi batu manikam, di sebelah kiri berdiri pemuda baju putih yang
dipanggil "Siau-hwe-cu" tadi, tak jauh di depan meja berderet empat
buah kursi, kursi ketiga di duduki seorang gadis yang bermuka kaku
dengan pandangan pudar, usianya tujuh belasan, wajahnya cantik
jelita.
Dibelakang gadis berdiri dua laki-laki berbaju hitam sambil
memeluk tangan, suasana menyerupai hakim sedang bersidang dan
gadis ayu itu menjadi terdakwa.
Laki-laki kurus membungkuk badan terus melangkah masuk,
katanya penuh hormat kepada perempuan bersolek itu,
"Lwetong Si It-ho menghadap Hwe-cu."
"Hm," sahut perempuan itu, matanya yang tajam segera
memandang ke arah Ji Bun, katanya,
"Tinggalkan dia di sini, biar aku sendiri yang membereskan dia,
kau boleh pergi."
Laki-laki kurus alias Si It-ho mengiakan.
"Perkeras penjagaan, jangan sampai ada orang luar menyelundup
kemari."
Si It-ho segera mengundurkan diri, pintu besi yang tebal itu
segera menutup pula.
Dengan terlongong Ji Bun berdiri mematung di balik pintu.
Jari-jari tangan Ki-po-hwe-cu yang. bertaburan mutiara
terangkat, katanya,
"Kau inikah Te-gak Suseng?"
Ji Bun hanya sedikit mengangguk dengan linglung.
"Kau boleh duduk."
2.6. Pertemuan Tak Terduga.
Seperti robot saja Ji Bun melangkah maju dan duduk di kursi
sebelah gadis yang berdandan seperti puteri raja ini.
"Kau kemari untuk dia?" tanya Ki-po-hwe-cu.
"Dia?" Ji Bun menegas dengan tak mengerti.
"Pernah apa kau dengan dia?"
"Dia? Cayhe ...... tidak kenal.”
"Kenapa kau menguntitnya?"
"Cayhe ...... hanya tertarik, lalu mengikutinya,"
"Oh," Ki-po-hwe-cu berpaling kepada pemuda baju putih sambil
manggut, katanya,
"Kita lanjutkan persoalan genduk ayu ini."
Sejak Ji Bun memasuki ruang sidang ini, gadis rupawan itu tak
pernah angkat kepala atau melirik kepadanya.
Dengan suara halus dan ramah Ki-po-hwe-cu berkata kepada
gadis rupawan itu,
"Nona, kau bernama Ciang Bing-cu? Puteri tunggal Ciang Wi-
bin?"
"Ya," sahut gadis itu, suaranya merdu. Bergetar badan Ji Bun,
namun tiada orang yang memperhatikan dirinya.
Pemuda baju putih menyela bicara.
"Nona Ciang, terpaksa, kau harus tinggal beberapa hari di sini,
kutanggung kami takkan mengganggu seujung rambutmu, sebagai
puteri mestika seorang hartawan Kayhong, kalau hanya
mengeluarkan lima renteng mutiara dan lima ribu tahil emas,
tentunya ayahmu tidak akan keberatan, bila barang-barang yang
kami minta diantar kemari, kaupun boleh pulang, dengan selamat "
Kembali bergetar badan Ji Bun, namun roman mukanya tidak
mangunjuk reaksi apa-apa.
Berkata Ciang Bing-cu dengan suara lembut,
“Kalian menculikku dan hendak memeras ayahku?”
Ki-po-hwe-cu terkekeh-kekeh, katanya,
"Nona, selama hidupku ini, hobiku adalah mengumpulkan segala
macam benda-benda mestika, itulah azas tujuan berdirinya
organisasi ini, soal memeras, mencuri dan segala cara bisa saja kami
halalkan."
Berputar biji mata Ciang Bing-cu yang pudar, bibirnya bergerak-
gerak, namun dia tidak menanggapi.
Ki-po-hwe-cu berkata kepada puteranya: "Bawa dia ke belakang.
Ingat, jangan kau sentuh dia, inilah undang-undang, jangan sudah
tahu kau sengaja melanggarnya''
"Anak tahu," sahut pemuda baju putih. Lalu dia berkata pada
kedua laki-laki baju hitam,
"Kalian tetap di sini, aku sendiri yang akan menggusurnya."
Lalu dia mendekati Ciang Bing-cu, katanya,
"Nona, marilah ikut aku, di sini tiada urusanmu lagi."
Tiba-tiba Ji Bun menanggapi dengan suara dingin,
"Nanti dulu!" Nadanya rendah berat, namun bertenaga, dan
berwibawa, tiada tanda-tanda seperti seorang yang hilang ingatan,
kecuali Ciang Bing-cu yang tetap kehilangan kesadaran, empat orang
yang hadir sama berjingkat kaget.
Melotot biji mata pemuda baju putih, katanya sambil menatap Ji
Bun,
"Kau ....... apa katamu?”
Lenyap rona muka Ji Bun yang pura-pura linglung tadi, suaranya
tetap dingin kaku,
"Kataku nanti dulu, jelaskan dulu persoalannya."
"Persoalan? Persoalan apa yang dijelaskan?"
“Memangnya kedatanganku ini harus sia-sia?”
“Kau ......" gemetar suara Ki-po-hwe-cu tiba-tiba, "Te-gak
Suseng, pintar sekali kau berpura-pura."
Mendadak Ji Bun berdiri, matanya menyapu pandang ke seluruh
ruang sidang, katanya,
“Obat biusmu memangnya bisa berbuat apa terhadapku..”
Ternyata waktu mendengar nama Te-gak Suseng tadi, Si It-ho,
laki-laki kurus berbaju hitam tadi tak berani melawannya secara
kekerasan, ia tahu dirinya bukan tandingan orang, maka dia
menggunakan obat bubuk dengan harapan dapat membius ingatan
orang. Tak nyana, Ji Bun sekaligus gunakan muslihat ini untuk
menipu musuh supaya dirinya leluasa menyusup ke sarang musuh.
Namun mimpipun tak pernah terpikir olehnya, bahwa di sini dia akan
bertemu dengan Ciang Bing-cu puteri tunggal Ciang Wi-bin atau
calon isterinya pula.
Dalam waktu singkat ini dia sudah sempat memperhatikan lawan
jenisnya ini, memang rupawan dan menawan hati. Sayang lubuk
hatinya sudah terisi bayangan si gadis berbaju merah. Maka batalnya
pernikahannya dengan gadis yang satu ini tidak menjadikan
penyesalan baginya. Apalagi waktu bersua Ciang Wi-bin di tengah
jalan tadi, ketika melihat lengannya buntung sebelah, sikap Ciang
Wi-bin menjadi dingin dan kurang simpatik. Hal ini lebih meyakinkan
pendiriannya untuk menggagalkan perjodohan ini.
Betapapun hubungan kekeluargaan sudah mendalam, soal jodoh
meski batal, namun sebagai seorang laki-laki tak mungkin ia
berpeluk tangan. Apalagi Ciang Wi-bin bukan tokoh sembarangan,
namun Ki-po-hwe berani menculik puterinya dan hendak minta
tebusan, sungguh kejadian yang cukup mengejutkan.
Kedua laki-laki seragam hitam secara diam-diam menggeremet ke
belakang Ji Bun, tanpa bersuara serentak mereka mencengkeram
bersama.
"Jangan turun tangan!" Ki-po-hwe-cu membentak gusar akan
kelancangan anak buahnya.
Namun sudah terlambat jeritan yang mengerikan menelan suara
bentakkannya, sigap sekali mendadak Ji Bun membalik badan,
kontan kedua laki-laki seragam hitam terkapar jatuh binasa. tak
tertampak sesuatu luka, Ji Bun juga tak menunjukkan sesuatu
gerakan.
Pemuda baju putih berteriak kaget.
“Brak!" Ki-po-hwe cu menggebrak meja, bentaknya,
“Te-gak Suseng, berani kau membunuh orangku di sini?"
Ji Bun mendengus, jengeknya,
"Kenapa tidak berani. Kau sendiri perlu kuperingatkan, jangan
kau main peras terhadap Ciang Wi-bin.”
"Kematianmu sudah depan mata, masih berani kau membual,“
seru Ki-po-hwe-cu dengan suara parau. "Ketahuilah, tempat ini tak
ubahnya seperti neraka ......”
"Hah!"secepat kilat tahu-tahu Ji Bun menubruk ke sana,
pergelangan tangan pemuda baju putih ternyata sudah
dicengkeramnya.
"Lepaskan!" hardik Ki-po-hwe-cu.
"Masakah begini gampang," Ji Bun menyeringai sinis.
"Kau ...... apa yang hendak kaulakukan terhadapnya?"
"Tiada apa-apa? Biar dia mengantarku bersama nona Ciang ini
keluar meninggalkan tempat ini, kalau tidak, nyawanya akan lenyap
seketika."
Sekilas mata pemuda baju putih melirik ke arah kedua anak
buahnya yang terkapar binasa di lantai, seketika sukmanya seperti
melayang, mukanya menjadi pucat.
Namun Ki-po-hwe-cu tidak kalah akal, tiba-tiba iapun berkelebat,
sekali raih, tahu-tahu Ciang Bing-cu sudah dijinjingnya, katanya,
"Te-gak Suseng, kalau kau tak ingin dia mampus, lekas lepaskan
puteraku."
Ji Bun tak menduga orang begitu licik dan licin, sesaat dia
melenggong, namun cepat sekali pikirannya bekerja, dengan sikap
tenang dan tak acuh dia berkata,
"Kalau Hwe-cu merasa setimpal, marilah kita barter saja."
"Barter!" Ki-po-hwe-cu menegas.
"Puteramu cukup setimpal dengan puteri tunggal keluarga Ciang,
bukan?"
“Lalu bagaimana?"
"Kita adakan tukar menukar tawanan."
"Te-gak Suseng, jiwamu sendiri, bagaimana?”
"Cayhe tidak pikirkan mati hidup lagi,” jawab Ji Bun.
"Kalau jiwamu harus dikorbankan, apakah pihakmu tidak rugi?"
"Soal rugi tidak kupikirkan, yang penting puteramu ini takkan
bernyawa juga."
Cukup lama Ki-po-hwe-cu termangu, akhirnya berkata dengan
menggertak gigi,
"Anggaplah kau yang menang, selama gunung tetap menghijau
dan air terus mengalir, akan datang suatu ketika akan kutuntut
perhitungan ini."
Ji Bun terkekeh dingin, sahutnya,
"Akan selalu kunantikan!"
"Lepaskan dia, kau boleh pergi membawa dia."
"Pertanggungan jawab apa yang kuperoleh dari kau?"
"Hm, Te-gak Suseng, memangnya kau kira aku bakal ingkar
janji?"
"Baiklah!" segera Ji Bun lepaskan pemuda baju putih, sebat sekali
pemuda berbaju putih melompat jauh ke depan lalu mundur ke
belakang meja, teriaknya beringas,
"Te-gak Suseng, mampuslah kau di sini.”
"Jangan gegabah," bentak Ki-po-hwe-cu, "biarkan mereka
keluar."
Dengan penasaran pemuda baju putih mendelik kepada Ji Bun
tanpa bicara lagi. Maka Ki-po-hwe-cu juga segera membebaskan
Ciang Bing-cu, serta mendorongnya kearah Ji Bun, katanya,
"Te-gak Suseng, jangan lupa, dalam perhitungan ini kau utang
dua jiwa kepadaku.”
"Kalau aku lupa, kelak Hwe-cu boleh memberi ingat kepadaku."
"Antar mereka keluar!" Ki-po-hwe-cu memberi perintah kepada
pemuda berbaju putih. Dengan sikap penasaran pemuda berbaju
putih menekan sebuah tombol untuk membuka pintu besi. Ji Bun
segera menggandeng tangan Ciang Bing-cu, namun cepat sekali dia
tarik kembali tangannya katanya: "Nona Ciang, marilah kita keluar."
Memangnya Ciang Bing-cu tidak kuasa pada dirinya sendiri, tanpa
ragu-ragu segera dia mengintil di belakang Ji Bun. Setiba di luar
lorong, Si It-ho, laki-laki kurus berbaju bitam itu sudah menunggu di
luar pintu, segera dia angkat tangan sambil berkata,
"Marilah ikut aku!"
Mereka berputar kian kemari beberapa kejap lamanya, tak lama
kemudian terdengarlah suara gemericik air mengalir, tahu-tahu
sebuah sungai di bawah tanah menghadang di pengkolan sana, arus
air sangat deras, sebuah sampan tertambat di piriggir sana.
Menunjuk sampan itu Si It-ho berkata,
"Silakan naik sampan ini."
Mengawasi sungai yang berarus deras ini, berkerut alis Ji Bun,
katanya,
"Ke mana sungai ini mengalir?”
"Menuju ke dunia bebas," jawab Si It-ho.
Menebal hawa hitam di tengah alis Ji Bun. Matanya
memancarkan cahaya terang, katanya sekata demi sekata,
"Orang she Si, untuk membunuhmu semudah membalik telapak
tanganku."
Si lt-ho menyurut mundur, katanya memberanikan diri,
"Te-gak Suseng, kalau Hwe-cu kita tak niat membebaskan kau
meski kepandaianmu setinggi langit juga jangan harap bisa keluar
dari dalam bumi yang serba rahasia ini."
Sudah tentu Ji Bun tahu banyak perangkap dan alat-alat rahasia
terpendam di bawah istana ini. Demi keselamatan Ciang Bing-cu,
terpaksa dia harus bersabar. Ka!au menurut wataknya, sejak tadi dia
sudah renggut jiwa orang. Keadaan memaksa dia bertindak cepat
dan tidak bersangsi lagi, sekali tarik dia peluk pinggang Ciang Bing-
cu terus melompat ke atas sampan.
Si lt-ho melepaskan tambatan tali, maka meluncurlah sampan itu
mengikuti arus.
Sungai di bawah tanah ini agaknya memang dibangun demi
kebutuhan setempat yang liku-liku dan memusingkan kepala,
kadang-kadang sempit tahu-tahu lebar, kecuali suara percikan air,
suasana hening dan gelap gulita, lima jari sendiripun tidak kelihatan,
untungnya sampan ini dituntun seutas tali yang terikat pada kawat
panjang di sebelah atas mengikuti liku-liku sungai, sehingga lajunya
tenang dan tidak sampai terbalik.
Ji Bun duduk berhadapan dekat sekali dengan si nona sampai
bersentuh lutut, bau harum anak perawan yang memabukkan
merangsang hidungnya membuat perasaan tergoncang dan hati dak-
dik-duk. Kalau dua hari yang lalu dia tidak mengubah haluan,
kemungkinan perempuan cantik di depannya ini sudah menjadi
isterinya. Sekarang mereka bersua dan mengalami kesulitan
bersama, demi keadilan dan kebenaran, maka dia menolongnya.
Jikalau Ciang Bing-cu dalam keadaan sadar dan segar bugar,
mungkin keadaan sekarang akan berubah, sayang ia terpengaruh
obat bius, yang menghilangkan daya pikirnya, tak ubahnya seperti
orang linglung. Sudah tentu hal ini juga menguntungkan dan
mengurangi banyak kesulitan bagi Ji Bun.
Entah berapa panjang sungai dibawah tanah ini, entah
menembus ke mana pula, kira-kira dua jam mereka dibuai arus
sungai dalam keadaan gelap gulita, lambat laun di depan sana
tampak secercah cahaya.
"Byarr," tahu-tahu sampan ini menerobos keluar dari lubang
sempit dan tibalah mereka di alam bebas. Sinar matahari membuat
Ji Bun silau tak kuasa membuka mata, sebentar dia pejamkan mata,
lalu pelan-pelan membukanya lagi, ternyata sampan mereka sudah
berada di pinggir sebuah sungai besar, lorong sungai kecil di bawah
tanah berada tak jauh di belakang sana, kalau tidak mengalami
sendiri, siapa akan tahu dan mau percaya kalau lorong sungai itu
merupakan jalan rahasia dari sebuah sindikat gelap.
Ji Bun gandeng tangan Ciang Bing-cu dan melompat ke daratan.
Sampan itu tahu-tahu meluncur balik dan laju melawan arus masuk
kembali ke dalam lorong itu.
Dengan hambar Bing-cu mengawasi Ji Bun, selama ini dia tetap
bungkam. Ji Bun menariknya ke bawah sebuah pohon, lalu
mengeluarkan sebutir pil, katanya,
"Silakan nona menelannya."
Dengan kaku Ciang Bing-cu menerima obat itu serta bertanya,
"Apakah ini?"
"Obat penawar.”
"Obat penawar?"
"Ya, nona dibius oleh orang-orang Ki-po-hwe. Pil ini adalah
penawarnya, silakan telan saja."
Seperti menyadari sesuatu Ciang Bing-cu manggut-manggut terus
masukkan pil itu ke dalam mulut dan menelannya, dengan tenang Ji
Bun menunggu reaksinya dari samping. Tak lama kemudian, tampak
perubahan mulai terunjuk pada muka Ciang Bing-cu, matanya pudar
dan hambar mulai hilang. sinar matanya bening cemerlang laksana
kilauan kaca mengawasi Ji Bun. Semula marasa takut-takut dan
curiga, akhirnya dia menunduk, tenggelam dalam renungan.
Tahu kasiat obat penawarnya sudah bekerja, segera Ji Bun
membuka suara lebih dulu,
"Nona Ciang, kau masih ingat kejadian yang kau alami?"
Sejenak Ciang Bing-cu mengerut alis dan mengenang kembali,
katanya kemudian,
"Lapat-lapat masih kuingat, apakah Kongcu yang menolongku?"
"Secara kabetulan saja kupergoki kejadian ini.”
"Terima kasih atas budi pertolongan Kongcu," ujar Ciang Bing-cu
sambil memberi hormat.
Tersipu-sipu Ji Bun balas memberi hormat, katanya,
"Nona tak perlu banyak peradatan, urusan sekecil ini tak usah
dipikir dalam hati, kan hanya secara kebetulan saja."
"Kongcu terlalu merendah hati, boleh tanya siapakah nama besar
Kongcu?"
"Aku dijuluki Te-gak Suseng, gelar yang tak enak didengar."
“0h, ya ya. Kuingat mereka memanggil Kongcu demikian."
"Apakah nona masih merasa kurang sehat?”
“Tidak, sekarang sudah baik."
"Bagaimana nona bisa terjatuh di tangan orang-orang Ki-po-
hwe?"
Timbul rasa gemas pada rona muka Ciang Bing-cu, katanya,
"Hari Ceng-bing waktu aku berada di pusara ibunda, tiba-tiba
muncul dua laki-laki berbaju hitam, belum sempat kumenegor
mereka, tahu-tahu hidungku dirangsang bau harum, aku terus tak
sadarkan diri."
"Perbuatan orang-orang Ki-po-hwe memang terlalu kotor, tujuan
mereka hendak memeras ayahmu untuk menebus nona.
Kemungkinan surat ancaman dan tebusan mereka sudah
disampaikan kepada ayahmu, lebih baik nona lekas pulang saja."
"Betapa jauhnya tempat ini dari Kayhong, mohon Kongcu suka
mampir ke rumah, agar ayah .....”
"Aku ada urusan penting," tukas Ji Bun, "lain kali saja aku
berkunjung."
"Apakah Kongcu tidak sudi mampir?"
"Ah tidak, aku betul-betul punya urusan penting.”
Sekilas tatapan Ciang Bing-cu menyapu ke lengan kirinya yang
buntung, katanya,
"Lengan Kongcu .......”
"Cacat karena latihan ilmu silat," sahut Si Bun. "Silakan, nona
boleh berangkat."
"Kongcu sendiri hendak ke mana?"
"Menyeberang Huang-ho terus ke utara."
“Baiklah, aku ada sebuah tanda mata sebagai kenang-kenangan
untuk menyatakan terima kasih pula. Harap Kongcu tidak menolak,"
sembari berkata dia tanggalkan sebuah anting-anting batu kemala
serta berkata pula,
"Diseluruh wilayah utara dan selatan sungai besar, pada
perusahaan dagang dan pegadaian apapun kau boleh unjukkan
anting-anting ini untuk ambil uang."
Ji Bun mundur selangkah, katanya sambil goyang tangan,
"Sangu yang kubawa cukup berlebihan, kebaikan nona cukup
kuterima saja di dalam hati."
"Bagaimana kalau dianggap saja sebagai kenang-kenangan?"
Ji Bun sudah memperhitungkan untung ruginya, betapapun dia
tak kan mau menerima hadiah, namun didesak begini rupa, kalau
tidak diterima terasa rikuh pula, ia jadi kehilangan akal.
Ciang Bing-cu sudah angsurkan anting-anting itu, ia jadi serba
susah. Sebagai seorang gadis, memberi milik pribadinya kepada laki
yang masih asing baginya, betapapun bisa menimbulkan prasangka
yang tidak di inginkan.
Pada saat itulah, meluncur sesosok bayangan orang, kiranya
Thian-thay-mo-ki yang muncul.
Ji Bun mengerut alis, belum sempat buka suara, Thian-thay-mo-ki
sudah cekikikan, katanya,
"Dik, siapakah nona ini?”
Matanya mengerling kepada Ciang Bing-cu dengan tatapan
cemburu.
Anak perempuan umumnya tajam perasaan, dari sorot mata
orang Ciang Bing-cu segera merasakan hal ini, lekas dia berkata,
"Kongcu nona ini ........”
Tiba-tiba tergerak hati Ji Bun, timbul suatu akal dalam benaknya,
maka dengan tersenyum dia berkata,
“Thian-thay-mo-ki yang terkenal di Kangouw.“
Lalu dia berpaling memperkenalkan,
"Nona ini adalah puteri tunggal hartawan besar keluarga Ciang
dari Kayhong."
"Oh," Thian-thay-mo-ki bersuara sambil manggut-manggut.
“Cici,” ujar Ji Bun, "aku memang hendak mencarimu."
Panggilan "cici" membuat Thian-thay-mo-ki senang setengah
mati, sikap kasar dan kaku Ji Bun sebelumnya tak terpikir lagi
olehnya, katanya dengan senyum lebar,
"Kau mencari aku? Ada perlu apa?”
"Nanti kita bicarakan," jawab Ji Bun.
Dengan nanar Ciang Bing-cu pandang Thian-thay-mo-ki sekejap,
lalu mengangsurkan anting-anting itu kepada Ji Bun, katanya,
"Silahkan terima!"
Ji Bun mundur selangkah seraya berkata,
"Cayhe tidak berani menerima."
Thian-thay-mo-ki yang tidak tahu persoalannya berubah air
mukanya.
Ciang Bing-cu kukuh akan pendiriannya, katanya,
"Kongcu, sekali mengulur tangan, sulit menariknya kembali."
Otak Ji Bun bekerja cepat, begitu Ciang Bing-cu tiba di rumah
serta menceritakan pengalamannya, Ciang Wi-bin pasti akan segera
tahu akan dirinya. Anting-anting ini merupakan tanda kepercayaan
yang berlaku untuk mengambil uang di mana saja dalam wilayah
utara dan selatan sungai besar, nilainya tentu amat berarti. Ia tidak
naksir orangnya, mana boleh menerima tanda mata ini. Namun
ucapan Ciang Bing-cu betul-betul menyulitkan dirinya seolah-olah
terbelenggu oleh keadaan.
Tapi terpikir pula agar orang tidak mendapat malu, terpaksa
diterima ala kadarnya saja, nanti kalau pulang akan suruhan orang
untuk mengembalikan saja, maka ia lantas ulur tangan menerima,
katanya,
"Begini besar hasrat nona, baiklah sementara ini kuterima saja."
Ciang Bing-cu tersenyum senang dan lega, lekas dia ucapkan,
"selamat berjumpa pula " terus melompat jauh dan berlari dengan
mengembangkan Ginkang, dari gerak-gerik dan gayanya, terang
kepandaiannya tidak lemah.
Kecut dan getir perasaan Thian-thay-mo-ki, tanyanya,
"Dik, kau terima tanda matanya?"
"Tanda mata? Bukankah kukatakan hanya ku terima untuk
sementara, kelak akan kuusahakan untuk mengembalikannya."
"Huh, berita aneh dan lucu, laki perempuan memberi tanda mata,
mana ada yang pernah dikembalikan .......”
"Ini persoalan pribadiku."
Thian-thay-mo-ki mengertak gigi, katanya gemas,
"Tadi kau bilang mencariku, ada perlu apa?"
"Tidak apa-apa, maksud tujuanku hendak mengurungkan
kehendaknya saja."
"Apa, mengurungkan kehendaknya? Bukankah kau sudah terima
tanda mata ......”
"Maaf, aku pamit lebih dulu!"
Seketika tegak alis Thian-thay-mo-ki, katanya geram,
"Apa sih maksudmu ini?”
"Tiada maksud apa-apa."
"Te-gak Suseng, tidak terlalukah kau menghinaku ....." matanya
menjadi merah, tenggorokannya seperti tersumbat sehingga kata-
katanya tersendat.
Ji Bun rada menyesal juga, ia tahu perbuatannya tadi memang
ketertaluan, namun sikapnya tetap dingin, katanya angkuh,
"Apa kehendakmu?"
Gemetar badan Thian-thay-mo-ki saking murka, katanya sambil
kertak gigi,
"Kubunuh kau!"
Telapak tangannya berbateng terus memukul ke dada Ji Bun.
"Blang," Ji Bun tergetar mundur selangkah, dia terima pukulan itu
mentah-mentah tanpa balas menyerang. Kepandaian Thian-thay-mo-
ki memang tidak rendah, pukulan ini cukup membuat mata Ji Bun
berkunang-kunang, dada sakit, napas sesak, darah bergolak,
seketika mengobarkan nafsu membunuhnya, dengan geram ia
mendesis,
"Jangan kau tidak tahu diri?"
Pilu, sedih, geram dan berbagai perasaan berkecamuk dalam hati
Thian-thay-mo-ki. Sikapnya yang biasa genit tersapu bersih, baru
sekarang Ji Bun pertama kali melihat kecantikannya yang asli.
Memang amat menggiurkan dan mempesona, kalau gadis berbaju
merah itu bak kembang teratai yang suci dan agung, maka dia
laksana bunga mawar yang mekar semerbak, namun berduri.
Sayang kesannya ini hanya sekilas saja.
Dilihatnya Thian-thay-mo-ki melejit mundur dua tombak, kedua
tangannya menggenggam dua macam senjata rahasia yang khas,
teriaknya bengis,
"Te-gak Suseng, dalam jarak sejauh ini, kau takkan mampu
membunuhku bukan?"
Tersirap darah Ji Bun, jengeknya,
"Kutahu maksudmu. Silakan coba saja!"
Membesi muka Thian-thay-mo-ki, katanya sambil menggerakkan
kedua tangan,
"Kau takkan punya kesempatan. Ketahuilah, kau takkan lolos dari
timpukan Soh-li-sin-ciam dan kejaran Jit-soan-hwi-yim, kedua
senjata rahasia tunggalku ini.”
Bergetar jantung Ji Bun, memang dalam jarak sejauh ini dia
takkan mampu menyerang lawan, sebaliknya jarak sejauh ini paling
menguntungkan untuk menyerang dengan senjata rahasia. Soh-li-
sin-ciam sudah pernah menggempur mundur Pek-sat-sin The Gum,
komandan ronda dari Ngo-lui-kiong. Ini disaksikannya sendiri, Jit-
soan-hwi-yim mungkin adalah senjata ampuh yang melukai orang
berkedok seperti yang diceritakan itu kalau betul orang berkedok itu
adalah ayahnya, sekarang dirinya terang juga takkan mampu
menghadapinya.
Turun tangan lebih dulu akan lebih menguntungkan. Pikiran ini
segera berkecamuk dalam benaknya.
3.7. Jit-sing-po Tersapu Bersih
Tapi Thian-thay-mo-ki sudah berkata pula. "Te-gak Suseng,
bukan sengaja aku hendak pamer kepadamu, tanpa aku kau sudah
mampus ditangan orang berkedok, kau ..... kau memang laki-laki
tidak punya perasaan."
Ji Bun melengak, tutur kata dan sikapnya ini, seakan-akan
ceritanya itu tidak bohong, peduli siapakah orang berkedok itu,
betapapun dia pernah menolong dirinya, rasa gusarnya lambat laun
mulai pudar, katanya menegas: "Apa betul kejadian itu?”
"Terserah kau percaya atau tidak. tak perlu aku membual
kepadamu. Kalau kau ingin bukti, boleh kau cari orang berkedok itu,
tapi ..... kau takkan punya kesempatan lagi"
"Kenapa?"
"Aku bertekad untuk membunuhmu," teriak Thian-thay-mo-ki
beringas.
Berkobar pula amarah Ji Bun, tahu-tahu dia melejit, secepat kilat
dia menubruk maju.
Thian-thay-mo-ki ayunkan tangannya, segenggam jarum lembut
selebat hujan memapak tubrukan Ji Bun, rasa sakit seperti disengat
kumbang merangsang tubuh Ji Bun. Seketika hawa murni dalam
tubuhnya kandas, badanpun anjlok ke bawah. "Seeer", selarik sinar
kemilau mendesis terbang berputar-putar di tengah udara, ternyata
Thian-thay-mo-ki menimpukkan pula Jit-soan-hwi-yim.
"Sret" pisau terbang melengkung itu berputar membabat leher.
Lekas Ji Bun menunduk kepala, senjata rahasia itu menyamber lewat
di atas kepalanya, belum lagi pikirannya bekerja, tahu-tahu pisau
melengkung itu sudah terbang balik, gaya putarannya semakin
kencang laksana angin lesus menderu.
Serasa terbang sukma Ji Bun, ia terkena beberapa batang jarum,
hawa murni buntu, tenaganya tak mampu dikerahkan. Dengan
mendelong dia hanya bisa mengawasi lingkaran sinar kemilau itu
menyambar tiba tanpa mampu berkelit, apa lagi hendak
menangkisnya.
Pada detik-detik yang menentukan mati hidupnya itulah, di luar
tahunya, tiba-tiba pisau terbang melengkung itu melesat balik ke
tangan Thian-thay-mo-ki.
"Te-gak Suseng, kau sudah mati lagi sekali!"
Gemerobyos keringat dingin Ji Bun namun sikapnya tetap
angkuh, katanya: "Kenapa kau tidak tega turun tangan?"
"Hm, kau ingin mati dengan mudah? Soh-li-sin-ciam yang
mengenaimu itu sudah cukup untuk merenggut jiwamu.”
"Kalau aku tidak mati, akan kubunuh kau,” habis berkata ia terus
merangkak bangun dan tinggal pergi dengan langkah sempoyongan.
Karena banyak bergerak, jarum lembut itu bekerja lebih cepat
mengikuti darahnya yang mengalir, kalau sampai menusuk jantung,
jiwanya pasti tak tertolong lagi.
"Berhenti!“ tiba-tiba Thian-thay-mo-ki menghadang di depannya.
Ji Bun berhenti sambil menegakkan badannya, suaranya gemetar
menahan sakit: "Mau apa kau?"
"Plakl" tiba-tiba Thian-thay-mo-ki ayun tangan menamparnya,
kontan Ji Bun terpental jatuh semaput.
Thian-thay-mo-ki mengerahkan Lwekang lalu ulur tangan, telapak
tangannya sudah berubah warna merah. Dari jarak beberapa senti,
beruntun telapak tangannya bergerak-gerak keseluruh badannya,
sebatang demi sebatang jarum-jarum lembut yang mengeram dalam
badan Ji Bun disedotnya keluar, semuanya lengket di telapak
tangannya. Hal ini terjadi hanya dalam waktu sekejap saja.
Setelah dia berhasil menyerap jarum-jarum dari badan Ji Bun
dengan kepandaian Lwekang perguruannya, kebetulan Ji Bun pun
siuman dari pingsannya, melihat Thian-thay-mo-ki berada di
sampingnya, segera dia membentak: "Kau ingin mampus," tiba-tiba
badannya melejit segesit kera melenting. "Plak'', terdengar jeritan
nyaring Thian-thay-mo-ki, kontan dia jatuh terguling.
Terasakan oleh Ji Bun dadanya menjadi longgar, badan segar,
napas teratur, hawa murni mengalir lancar, rasa sakit seperti
disengat kumbang tadi sudah lenyap, waktu dia berpaling, dilihatnya
jarum-jarum lembut lengket di telapak tangan Thian-thay-mo-ki,
seketika bergetar sekujur badannya. "Celaka!” keluhnya, lekas dia
menutuk beberapa Hiat-to ditubuh Thian-thay-mo-ki, waktu jarinya
menyentuh kulit badannya yang halus padat kenyal, pandangannya
terpesona, tutukan jarinya berhenti di tengah jalan. Rona mukanya
berubah berganti, jantungnya serasa hendak meloncat keluar.
Untungnya dia masih sadar, lekas jarinya menutuk 36 Hiat-to di
sekujur badan Thian-thay-mo-ki, dikeluarkan pula tiga butir pil terus
dijejalkan kemulutnya.
Hanya sekejap saja, keringat gemrobyos mem¬basahi sekujur
badannya, dengan kerja keras sela¬ma setengah peminuman teh,
Thian-thay-mo-ki baru menarik napas panjang, pelahan ia mulai
membuka matanya.
"Kaupun sudah mati sekali." kata Ji Bun dingin.
Cepat Thian-thay-mo-ki melompat bangun, wa¬jahnya hambar
dan bingung, sungguh dia tidak ha¬bis mengerti kenapa tahu-tahu
dirinya roboh, terkapar tak sadarkan diri, seingatnya, dia hanya
merasa badannya seperti sedikit disentuh, tahu-tahu dia
kehi¬langan perasaan.
Ji Bun berkata lebih lanjut: "Kaulah orang pertama yang sudah
mati dan hidup kembali ditangan¬ku, selanjutnya kita tiada utang-
piutang, selamat ber¬temu lagi.” Sekali lompat, badannya melesat
ja¬uh terus berlari pergi secepat terbang.
Thian-thay-mo-ki menghela napas dan masgul, iapun lekas-lekas
meninggalkan tempat itu.
Marilah kita ikuti perjalanan Te-gak Suseng. Ji Bun yang berlari
agak lama baru sampai di jalan raya, ia terlambat larinya, hatinya
ragu apa perlu lekas pulang atau tetap mengembara di Kangouw?
Dari dandanan dan perawakannya seorang di¬ri berjalan di jalan
raya sudah tentu menarik per¬hatian banyak orang, namun dia tidak
ambil pu¬sing ia sibuk memikirkan persoalan yang berkeca¬muk
dalam benaknya.
Sekonyong-konyong sebuah rintihan orang mengejut¬kan
lamunannya, waktu ia berpaling ke sana, dili¬hatnya di bawah
sebuah pohon terebah seorang ber¬baju hitam, caping lebar yang
terbuat dari bambu menutupi kepala dan mukanya, orang inilah
yang merintih dan memilukan.
Ji Bun kira orang ini terserang penyakit di waktu menempuh
perjalanan. Sekilas dia pandang, orang berbaju hitam itu, lalu
melanjutkan perjalanan, tak nyana suara rintihan, itu semakin keras
dan mengharukan, agaknya amat menderita, pulu¬han tumbak
sudah di tempuhnya, namun rasa tertarik dan ingin tahu tak
tertahan, segera ia balik, mendekati dan berdiri disamping orang itu.
Agaknya orang itu sadar kalau ada orang mendekati dirinya,
suara, rintihannya segera berhenti. Namun badannya gemetar dan
mengejang, agakny dia betul-betul sedang menahan rasa sakit.
Segera Ji Bun menegurnya: "Sahabat kenapa¬kah kau?"
Suara orang berbaju hitam itu menjawab gemetar: "Apakah kau
kawan sehaluan,"
Ya, betul," sahut Ji Bun.
Orang baju hitam sedikit menyingkap caping rumputnya yang
menutup mukanya, sorot matanya yang pudar mengawasi Ji Bun
beberapa kali, lalu dia turunkan pula capingnya. Cukup sekejap saja
Ji Bun sudah melihat jelas orang ini berusia kira-kira setengah abad,
pipi kanan ada codet bekas telapak tangan yang menyolok, baru saja
hendak pergi, orang berbaju hitam itu buka suara.
"Siapa saudara cilik ini?"
"Aku ini, Te-gak suseng."
"Kau Te-gak Suseng? Kalau begitu boleh silakan pergi saja."
Ji Bun melengak heran. jawaban orang jadi membuatnya ingin
tahu duduk persoalannya malah. "Apa maksud tuan?” tanyanya.
"Cita-cita tidak sama, lebih baik tak bergaul."
"Oh, tuan anggap diri sendiri sebagai laki-laki sejati?"
Orang baju hitam tutup mulut, namun suara rintihan terdengar
pula dari mulutnya, agaknya dia tidak kuat menahan sakit.
Ji Bun alihkan pembicaraannya. "Tuan jatuh sakit atau terluka?"
Berkerutuk gigi orang baju hitam, katanya dingin: "Kau boleh
silakan saja."
"Kalau aku mau pergi, kau takkan mampu menahanku, kalau aku
tidak mau pergi, percuma kau banyak mulut."
"Kau ....... apa keinginanmu?"
"Bereskan dulu persoalannya, kau punya nama bukan?"
"Tidak punya!"
Bangkit amarah Ji Bun, sekali tangannya menyapu caping lebar
yang menutupi muka orang berbaju hitam terpental beberapa
tombak jauhnya, katanya geram: “Apa tuan malu dilihat orang?"
Melotot biji mata orang berbaju hitam itu seperti amat murka, dia
berusaha merangkak bangun, namun baru bergerak roboh lagi.
Sorot mata Ji Bun dengan tajam mengawasi muka orang, tiba-tiba
dia berseru kaget: "He, kau terkena racun yang menyerang
jantung!"
Orang berbaju hitam tertegun melongo, sekian lamanya baru
kuasa mengeluarkan suara: "Saudara cilik ........ darimana kau bisa
tahu?"
"Tuan terkena racun maha jahat, namun tidak seketika mati,
Lweekangmu tentunya amat hebat ......”
"Kau ............"
"Tak usah heran dan kaget, aku yang rendah ini punya sedikit
pengetahuan bermain racun."
Oh, saudara cilik .............."
"Walau tuan berhasil menahan menjalarnya kadar racun dengan
tenaga murni sehingga belum menyerang jantung, namun kau
takkan bertahan lama, dalam setengah jam lagi, jiwamu pasti
melayang. Sudah berapa lama sejak tuan terkena racun?"
"Lima hari,"
“Hah lima hari?" teriak Ji Bun kaget, sudah lima hari terkena
racun namun masih bertahan hidup sungguh di luar dugaannya.
"Aku ...... kutahu jiwaku takkan lama lagi," demikian gumam
orang berbaju hitam. "Hai matipun mataku tidak akan meram!"
"Siapa yang melukai tuan?"
''Musuh besarku."
"Siapa dia?"
"Maaf, tak bisa kujelaskan."
Ji Bun membungkuk dan meraba urat nadi orang, balik kelopak
matanya, tiba-tiba bergetar badannya sambil menyurut mundur,
timbul berbagai pikiran dalam benaknya. Dari kadar dan cara orang
menggunakan racun, dia yakin bahwa si penyerang ayahnya sendiri.
Jadi musuh yang dimaksud adalah ayahnya, memangnya ada
permusuhan apakah di antara masing-masing pihak ini? Haruskah
kubunuh dia, untuk mengurangi musuh ayahnya? Atau membiarkan
saja racun bekerja dan mampus sendiri? Atau menolongnya?
Ji Bun sendiri menjadi geli dan kebodohan pikirannya untuk
menolong orang yang mungkin adalah musuh ayahnya, entah
kenapa timbul pikiran demikian ini? Soalnya ia sendiri mengetahui
perilaku ayahnya biasanya memang amat kejam dan kurang
terhormat, mungkin korban yang dihadapinya ini tidak bersalah atau
tidak berdosa. Sebagai orang persilatan, adalah jamak kalau sering
terlibat dalam pertikaian bunuh membunuh.
Wataknya dingin, angkuh, semua itu menjadikan jiwanya
nyentrik. Untunglah di dalam lubuk hatinya yang paling dalam masih
terbetik juga sifat pembawaan yang baik, jiwa luhur dan cinta kasih
terhadap sesama manusia. Sayang keluhuran jiwanya ini sering
tertekan oleh keangkuhannya sehingga menjadi kontras antara luar
dan dalam. Sudah tentu orang tidak tahu akan kekontrasan ini, kalau
tidak tak mungkin ia dijuluki Te-gak Suseng (pelajar dari neraka),
maka dalam pandangan sesama kaum persilatan dia dipandang
tokoh jahat yang menakutkan.
Dirangsang oleh keluhuran budinya itu, tak tertahan Ji Bun
bertanya: "Apakah musuh tuan adalah tokoh jahat yang
menakutkan."
Orang berbaju hitam meggertak gigi, sahutnya geram: "Iblis
laknat, hina dina, setiap orang wajib membunuhnya, dia tidak
setimpal disebut manusia.”
Seperti dipukul godam hati Ji Bun, tanyanya: "Tuan bilang mati
takkan meram, ada permusuhan dan dendam apakah kau dengan
dia?"
"Tak perlu kuberitahukan padamu?“
"Mungkin ada manfaatnya kalau kau jelaskan."
"Aku tak ingin mendapat manfaat apa-apa dari kau.”
"Kalau aku bisa menawarkan racun yang mengeram dalam
tubuhmu?"
Seketika terbelalak mata orang berbaju hitam, suaranya gemetar,
"Kau ..... kau bisa menawarkan racun?”
"Betul, segampang membunuhmu."
Orang berbaju hitam melengak, sorot matanya memancarkan
harapan hidup yang menyala, mulutnya menggumam: "Aku harus
hidup, aku harus bertahan hidup ...........”
Putusan Ji Bun sudah tetap, katanya: "Tuan jelaskan dulu duduk
persoalannya, aku akan menawarkan racun dalam badanmu?"
"Apakah itu syaratnya? Baiklah, kuberitahu kepadamu, musuh
besarku adalah Jit-sing-po Pocu."
Merinding dan berdiri bulu kuduk Ji Bun, katanya berat: "Jit-sing-
pangcu Ji Ing-hong?"
"Betul, tua bangka keparat itu."
"Permusuhan apa?"
"Merebut isteri dan merusak keturunanku."
Tanpa sadar Ji Bun menyurut mundur, merebut isteri membunuh
keturunan orang merupakan dendam kesumat setinggi langit dan
sedalam lautan, apakah betul ayah pernah melakukan kejahatan
yang kelewat takaran ini? Timbul pertentangan pikiran di dalam
benaknya. Kalau kutolong orang ini, tak ubahnya seorang musuh
yang bakal mendatangkan bencana bagi Jit-sing-po, kalau kubunuh
dia, berarti menjilat ludahnya sendiri. Dua alasan yang berlawanan
ini, membuat hatinya bimbang.
Dia tak habis mengerti kenapa mendadak timbul rasa welas asih
dalam lubuk hatinya, kenapa ia tak tega membunuh orang yang
sudah sekarat ini?
"Siapakah nama tuan?" tanyanya kemudian.
"Siangkoan Hong."
"Siangkoan Hong, Siangkoan Hong ..............”
"Saudara cilik, kalau kau bisa menawarkan racun dan
menyembuhkan aku, kelak kau pasti akan memperoleh balasan yang
setimpal."
Mendelik mata Ji Bun, desisnya: "Aku harus membunuhmu!"
Bergetar tubuh orang berbaju hitam, dengan nanar dia tatap Ji
Bun, sungguh dia tak bisa menangkap alam pikiran anak muda yang
lekas berubah tidak menentu ini.
Kata Ji Bun lebih lanjut: "Tapi tadi sudah kujanjikan untuk
memberi obat penawar, hal ini tetap akan kutepati, nah, inilah
obatnya, kau terima!"
Lalu dikeluarkan sebutir pil warna putih dan dilempar ke arah
orang.
Orang berbaju hitam menangkap obat itu lalu diamat-amati
sejenak, katanya: "Saudara cilik, akan selalu terukir kebaikanmu ini
dalam hatiku."
"Tidak usahlah," jengek Ji Bun dingin, "mungkin pertemuan yang
akan datang, aku akan merenggut jiwamu."
Orang berbaju hitam melengak, namun tanpa ragu-ragu ia
jejalkan pil itu ke mulut. Ji Bun menengadah mengawasi angkasa. Ia
tengah tenggelam dalam lamunan tentang apa yang telah
dilakukannya ini? Kenapa dia berlaku sebaik ini? Bahwa Te-gak
Suseng menolong jiwa seseorang, malah musuh ayahnya,
mungkinkah orang-orang kangouw mau percaya akan kenyataan ini.
Sementara itu orang berbaju hitam tengah duduk semadhi, dia
kerahkan hawa murni untuk menyembuhkan diri. Perlahan Ji Bun
alihkan pandangannya, pikirnya, belum terlambat sekarang kubunuh
dia. Lalu ia maju beberapa tindak, jarak mereka tinggal seuluran
tangan saja. Pelahan telapak tangannya terayun ......
Tiba-tiba terdengar suara berrisik daun pohon di atas kepalanya.
Sebat sekali Ji Bun melompat mundur tiga tombak, dilihatnya
segulungan bayangan menggelinding turun dari atas pohon, dan
mengeluarkan suara jatuh gedebukan, sesudah melihat jelas,
seketika iapun terkesiap.
Seorang kakek pendek buntak seperti bola pelahan merangkak
bangun, tangan yang pendek kecil itu menepuk-nepuk badan
membersihkan debu, matanya yang sipit mengawasi Ji Bun dengan
tertawa lucu, katanya: “Anak muda, kau telah menolongnya, kenapa
mau membunuhnya pula?"
Makhluk aneh ini bukan lain adalah Siang-thian-ong (Kakek Duka
Cita) yang sudah menggetarkan Kangouw pada enam puluhan tahun
yang lalu, bahwa makhluk yang aneh ini sembunyi di atas pohon,
sedikitpun tidak diketahui oleb Ji Bun, sekilas ia tertegun jawabnya:
"Tiada sangkut putnya dengan kau,"
Siang-thian-ong terkekeh dingin, ujarnya: "Bocah bagus. berarti
kau kurang ajar terhadapku, kalau tidak kupandang pertolonganmu
kepadanya, kepalamu sudah kutempeleng pecah, sekarang lekas kau
enyah dari sini."
Ji Bun memangnya pemberang, seketika ia naik pitam, katanya
angkuh: "Kalau aku tidak mau pergi?"
"Kusuruh kau enyah, kau harus lekas enyah," berbareng tangan
si kakek yang pendek itu terayun. Segulung angin keras seketika
menyambar ke arah Ji Bun sehingga tergetar mundur beberapa
langkah.
Semakin berkobar amarah Ji Bun, sekilas melejit dia malah
menubruk maju dan melabrak Siang-thian-ong tertampak Siang-
thian-ong tetap berdiri di tempatnya tanpa bergeming sedikitpun.
Namun disaat tubuh Ji Bun hampir menerjang tiba, entah gerakan
apa, seperti setan berkelebat, tahu-tahu ia sudah berpindah tempat,
belum sempat Ji Bun melancarkan serangan, tahu-tahu bayangan
orang yang diincarnya sudah lenyap, belum lagi pikirannya
menyadari apa yang terjadi, segulung angin kencang menyampuk
dari belakang.
"Blang," Ji Bun terpental terbang tiga tombak lagi, namun tidak
terlaka apa-apa, sigap sekali dia melejit bangun, sorot matanya
berkobar.
Pada saat itulah, orang berbaju hitam melompat bangun, melihat
Siang-thian-ong, tersipu-sipu dia memberi hormat, sapanya:
"Locianpwe, Wanpwe beruntung hidup kembali."
“Bagaimana hasilnya?" tanya Siang-thian-ong.
"Dua hari dua malam Wanpwe menguntitnya, akhirnya kucandak
dan kulabrak dia, tak nyana setelah berpisah sepuluh tahun,
ternyata dia pandai main racun karena tak terduga Wanpwe
terbokong dan iapun dapat melarikan diri.”
"Hm, memang nasibnya yang mujur, biarkan saja, suatu ketika
pasti kita bisa menumpasnya.”
"Eh, dia ........" tiba-tiba pandangan orang berbaju hitam beralih
ke arah Ji Bun yang berdiri di sana, serunya "Te-gak Suseng, terima
kasih akan kebaikanmu, kelak pasti akan kubalas."
Siang-thian-ong mendengus, jengeknya: "Bocah ini tidak genah
tindak tanduknya, tadi dia hendak membunuhmu ......”
Tanpa bersuara Ji Bun segera angkat langkah berlari pergi. Dari
percakapan kedua orang yang didengarnya tadi, lapat-lapat dia
merasakan firasat jelek akan rumahnya yang kemungkinan
mengalami sesuatu bencana. Jelas ayah bukan tandingannya laki-
laki berbaju hitam ini. kenyataan dirinya sudah menyembuhkan
seorang musuh tangguh bagi keluarganya. Akan tetapi dasar
wataknya nyentrik, sedikitpun ia tidak menyesal, ia tahu kalau tadi
betul-betul menyerang orang berbaju hitam itu. Siang-thian-ong
pasti tidak tinggal diam.
Kalau orang berbaju hitam tidak mendapatkan obat penawarnya,
jiwanya pasti melayang, kesalahan sudah terjadi. Apalagi kalau pihak
musuh tahu akan asal usul dirinya, betapa akibatnya sukar dia
bayangkan. Sedangkan Siang-thian-ong dan orang berbaju hitam
jelas sehaluan, kepandaian mereka teramat tangguh lagi. Kalau
benar apa yang dikatakan mereka bahwa ayahnya merebut isteri
dan membunuh keturunannya, maka perbuatan ayahnya memang
terampuni, sebagai puteranya, bagaimana dia harus bersikap dan
bertindak?
Tiba-tiba timbul rasa rindu terhadap kampung halaman, maka ia
berkeputusan untuk pulang menjenguk ibunya, segera ia menuju ke
arah Jit-siang-po. Begitulah ia menempuh perjalanan siang malam,
akhirnya tibalah dikampung halamannya. Sebelum memasuki
perkampungan, hatinya sudah merasa takut dan was-was, tujuan
perjalanan ke Kayhong kali ini adalah untuk melamar puteri keluarga
Ciang, di tengah jalan dirinya berubah pikiran dan batal. Bagaimana
nanti dia harus memberi laporan kepada orang tuanya?
Jit-sing-po dengan pintu gerbangnya yang dibangun angker dan
megah sudah kelihatan dari jauh dengan perasaan tidak tenteram, ia
berlari menuju ke arah pintu. Dari jauh ia sudah merasa heran
kenapa penjaga pintu yang biasanya mondar-mandir kali ini tidak
kelihatan, paling tidak puluhan li sekitar Jit-sing-po biasanya sudah
ada orang yang menyambut kedatangannya. Pintu gerbang
perkampungan yang dilapisi papan besi tampak mengkilap
terbentang lebar, suasana sepi tak kelihatan bayangan seorangpun
....... Pirasat jelek tiba-tiba merangsang hatinya.
Jantungnya segera berdetak keras, seperti mendadak terserang
penyakit gila layaknya dia menerjang masuk dengan kalap.
Serangkum bau busuk merangsang hidung, serasa pecah jantung Ji
Bun hatipun hancur luluh, dengan langkah lebar dia berlari ke dalam
gedung. Mayat-mayat bergelimpangan sepanjang jalan, semua
berwarna hitam, darah sudah membeku kering, pemandangan
seram dan mengejutkan sekali. Agaknya seluruh penghuni Jit-sing-
po telah tersapu bersih tanpa satupun yang ketinggalan hidup.
Biji mata Ji Bun melotot merah, dengan langkah sempoyongan
dia langsung lari ke ruang pendopo, pemandangan yang mengerikan
membuat kepalanya pusing, serasa sukma terbang dari raganya. Dia
berdiri terpaku diundakan, badannya bergoyang gontai.
Pilar-pilar batu sebesar pelukan tangan orang dewasa yang
berjumlah enam di kanan kiri ruang pendopo masing-masing terikat
enam mayat dengan wajah yang amat dikenalnya. Mereka adalah
enam jago kelas wahid di antara delapan anak buah ayahnya, mata
mereka mendelik, seperti orang mati penasaran. Di pelataran,
pekarangan serambi panjang dan di mana-mana mayat
bergelimpangan.
Inilah peristiwa mengerikan, pembunuhan yang sudah di
rencanakan terlebih dulu.
"lbu!,” mendadak Ji Bun melolong seperti orang kesurupan terus
berlari ke belakang. Tak terduga keadaan di belakang jauh berbeda,
suasana tetap tenteram dan bersih tidak kelihatan noda darah,
mayatpun tak nampak di sini. Apakah ibu terhindar dari petaka ini?
Lalu di mana para pelayan?
Dengan kepala berat dan pandangan berkunang-kunang ia lari
kian kemari mencari, dari taman ke dapur, setiap kamar sampai ke
gudang, namun tiada sesuatu yang ditemukan. Air mata tak tertahan
dan bercucuran, baru sekarang dia betul-betul merasakan luluh dan
lemas.
Hari sudah gelap. Dari gelap kembali menjadi terang, fajar telah
menyingsing. Ji Bun tersadar dari duka citanya yang keliwat batas,
namun rasa benci dan dendam seketika merangsang sanubarinya.
Aku harus menuntut balas, ...... menuntut balas!
Pembunuh durjana adalah Siangkoan Hong yang pernah
ditolongnya, tentunya tidak sedikit pula pembantunya, mungkin
Siang-thian-ong juga ikut serta. Belum genap sebulan ia
meninggalkan kampung ini, namun peristiwa telah mengubah
keadaan menjadi begini seram dan mengerikan, sungguh mimpipun
tak terduga.
Seperti yang didengarnya dari percakapan Siang-thian-ong dan
Siangkoan Hong, agaknya ayah masih hidup, lalu di manakah ibu?
Mati hidup mereka tak karuan paran, betapa sedih dan pilu hatinya,
sungguh tak terlukis dengan kata-kata.
Dia heran, tidak sedikit anak buah Jit-sing-po, yang terbunuh
hanya sebagian kecil saja. Kenapa sisa lain yang masih hidup tidak
membereskan mayat-mayat mereka? Seorang diri ia kerja keras
sambil bercucuran air mata mengebumikan semua mayat-mayat itu.
Kemudian meninggalkan kampung kelahirannya, dendam kesumat
menjadi bekal perjalanan yang kedua kalinya ini.
Langkah pertama, dia harus segera mencari dan menemukan
ayah, lalu berusaha menuntut balas. Sepanjang jalan ia berpikir
dengan cermat, namanya saja Jit-sing-pang sebagai sindikat namun
selama beberapa tahun belakangan ini jarang ikut aktif di dalam
pergerakan kaum persilatan. Dan dirinya, kalau mendapat perintah
ayahnya baru keluar meninggalkan rumah, di luar iapun tak pernah
memperkenalkan asal usul sendiri, maka dunia Kangouw hanya
mengenal julukan Te-gak Suseng, namun dari mana asal dirinya
tiada seorangpun yang tahu, maka timbullah sesuatu akal cara
bagaimana ia harus menuntut balas.
Sete!ah berkeputusan kini dia tidak tergesa-gesa untuk
menemukan ayah bundanya, menuntut balas harus diutamakan,
merahasiakan asal usul dan menekan watak biasanya yang angkuh,
ia harus bermuka-muka untuk mendekati dan mengikat hubungan
dengan para musuhnya, kelak baru cari kesempatan untuk turun
tangan.
3.8. Pembunuh Berkedok Berjubah Sutera
Malam larut, di dalam sebuah hotel sinar lampu masih kelihatan
menyorot keluar dari salah sebuah kamar. Seorang pemuda
berlengan satu duduk bertopang dagu di depan jendela, kadang-
kadang ia mengertak gigi dengan mata mendelik, sering pula
menghela napas panjang, wajahnya kuyu dan lesu. Pemuda ini
adalah Te-gak Suseng Ji Bun.
Selama beberapa hari lupa makan lalai tidur, setiap detik setiap
saat pikirannya tenggelam pada masa lalu, duka lara telah menyiksa
dirinya hingga patah semangat dan kurus. Memang kekuatan
manusia ada batasnya, pukulan batin jauh lebih parah dari pada
siksaan badaniah.
Saking lelah tanpa terasa Ji Bun akhirnya jatuh pulas mendekap
di atas meja, tidurnya begitu lelap sampai ketajaman indranya
seakan-akan berhenti bekerja sama sekali.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan orang tinggi besar seperti
setan muncul di belakangnya, di bawah pancaran sinar lampu jelas
kelihatan orang ini mengenakan jubah sutera, kain kembang
menutupi selebar mukanya, rambut tertampak sudah ubanan. Napas
Ji Bun berat dan teratur, tidurnya amat lelap, sedikitpun dia tidak
menyadari seseorang telah berada di belakangnya.
Tangan orang berjubah sutera pelahan terangkat, sasarannya
tepat di punggung Ji Bun, agaknya seperti meragukan sesuatu,
sekian lamanya tangannya berhenti di tengah udara. Cukup lama
juga tangan orang berkedok ini sudah naik turun sepuluh kali,
namun Ji Bun sedikitpun tidak mengetahui. Akhirnya orang berkedok
seperti berkeputusan tegas, dengan menggeram lirih tangannya
menggablok dengan keras.
Tanpa mengeluarkan suara Ji Bun tersungkur jatuh bersama
kursi, darah kontan menyembur ke luar dari mulutnya. Namun ia
tidak mati seketika. Waktu ia membuka mata, sekujur badannya
tiba-tiba mengejang keras. Biji matanya hampir melotot keluar, ia
mengerahkan sisa tenaganya dan berteriak dengan suara serak:
"Ayah engkau kenapa .......... kenapa hendak membunuhku?"
Orang berkedok tidak menjawab, namun badannya tampak
bergetar, tangannya terayun pula. Teringat oleh Ji Bun akan cerita
Thian-thay-mo-ki, baru sekarang ia menyadari bahwa orang
berkedok inilah yang pernah memukul mati dirinya, mungkinkah
orang ini ayahnya walau perawakan dan dandanannya mirip sekali.
Kembali ia membentak seram: "Siapa kau?"
Orang berkedok tetap tidak bersuara. Sekuat tenaga Ji Bun
berguling ke samping, asal maju beberapa kaki dan dapat
menyentuh badan orang, ia yakin mampu, menewaskan pembunuh
gelap ini. Namun perhitungannya sia-sia, baru dia bergerak, telapak
tangan orang sudah menjotos pula. "Waaah!" jeritan panjang yang
seram ini memecahkan kesunyian pagi, darah meleleh dari
mulutnya, setelah berkelojotan beberapa kali, Ji Bun rebah tidak
bergerak lagi.
Orang berkedok melangkah maju meraba pernapasannya,
memegang urat nadinya, setelah jelas sudah mati, seperti datangnya
tadi tiba-tiba bayangannya lenyap dalam sekejap.
Jeritan Ji Bun tadi mengejutkan para tetamu di kamar lain,
beramai-ramai mereka berlari keluar, malah seorang di kamar
sebelah berteriak ketakutan: "Pembunuhan, ada pembunuhan!"
Suasana menjadi kacau. Pemilik hotel segera datang dan memeriksa
keadaan, tapi segera ia menutup kamar itu dan lapor kepada yang
berwajib.
Entah berapa lama, akhirnya Ji Bun siuman dan mendapatkan
dirinya diserang roboh oleh seorang berkedok. Lekas ia bangun
berduduk, badannya tidak merasa sakit. Sungguh aneh dan luar
biasa, jelas masih teringat olehnya, pukulan pertama pembunuh
gelap itu membuatnya muntah darah dan tak mampu bangun lagi.
Pukulan kedua membuatnya lupa ingatan, ia tahu pukulan kedua
orang cukup berlebihan untuk menamatkan riwayatnya. Orang
berkedok sengaja hendak membunuh dirinya, tak mungkin ia
menaruh belas kasihan, dirinyapun tak pernah minum sesuatu dan
tidak diobati, namun kini badannya tetap segar bugar, sungguh
kejadian yang tak habis dimengerti.
Mungkinkah si dia? Tiba-tiba teringat pada Thian-thay-mo-ki.
Cerita Thian-thay-mo-ki tentang peristiwa yang dialami tempo hari
sukar dipercaya, namun kini dialaminya sendiri. Ini terbukti bahwa
cerita yang didengar itu bukan bohong belaka.
Mungkinkah dia mampu menghidupkan jiwanya pula? Tapi di
mana dia sekarang? Tiba-tiba disadarinya sikapnya selama ini
terhadap nona yang satu ini memang terlalu dingin dan kasar.
Banyak persoalan yang sulit dipecahkan, sambil geleng-geleng
segera dia berdiri. Aneh, badan terasa nyaman segar dan enteng. Air
sudah tersedia di dalam kamar, segera ia cuci muka dan
membersihkan badan. Pada saat itulah didengarnya suara ribut-ribut
di luar, agaknya ada opas datang karena laporan adanya
pembunuhan di hotel ini.
Ji Bun melengak sebentar, ia tahu dirinyalah yang dijadikan
sasaran keributan di luar itu. Supaya tidak terlibat urusan yang
bertele-tele, segera ia buka jendela terus melompat keluar secara
diam-diam. Di luar tahunya bahwa gerak-gerik dan kejadian di dalam
hotel ini telah disaksikan dan diikuti oleh seseorang.
Sekaligus Ji Bun berlari keluar kota baru kemudian melambatkan
larinya, bayangan orang berkedok yang membunuh dirinya barusan
masih terbayang pada benaknya. Siapakah orang yang menyamar
mirip ayahnya dan turun tangan sekeji ini kepada dirinya? Sampai
detik ini ia yakin ayah kandung sendiri tak mungkin tega membunuh
puteranya.
Tengah mengayun langkah dengan pikiran butek, tiba-tiba di
belakang terdengar seorang berteriak memanggil: "Te-gak Suseng,
tunggu sebentar!"
Ji Bun berhenti dan berpaling, seketika ia berdiri melongo dan
dingin perasaannya. Yang datang adalah Thian-thay-mo-ki. Ia jadi
merasa sebal, namun mengingat sakit hati dan dendam keluarganya,
selanjutnya ia harus ubah sikap dan tindak-tanduk. Pengetahuan dan
pengalaman Thian-thay-mo-ki rasanya dapat dimanfaatkan untuk
mengejar dan mencari jejak para musuh itu.
"Ada perlu apa?" tanya Ji Bun tawar.
Semula Thian-thay-mo-ki sudah siap menghadapi sikap kasarnya,
diluar dugaan ia disambut tawar saja, maka katanya dengan
tersenyum lebar: "Hari ini kau jauh berbeda dari biasanya."
"Memang kurasakan sikapku selama ini terlalu kasar terhadap
nona,” sahut Ji Bun.
"Kenapa?"
"Mungkin karena salah paham ..........”
"Salah paham soal apa?"
"Tentang orang berkedok itu."
"Oh, jadi sekarang kau sudah percaya?"
"Percaya, malah aku bersumpah bendak mencari tahu siapa dia
sebetulnya dan apa tujuannya hendak membunuh aku?"
"Tempo hari kau bilang dia adalah ayahmu?"
"Menurut cerita nona, pagi tadi .............”
"Sudah terbukti bahwa dia bukan ayahmu?"
"Eh, kau sudah tahu ......"
"Aku menyaksikan seluruh kejadian tadi."
"Oh, tak heran ...... tadinya kukira jiwaku sudah melayang
.........”
"Tapi kau hidup kembali bukan?"
Timbul rasa terima kasih dalam lubuk hati Ji Bun, sikapnya ini
bukan pura-pura, segera ia memberi hormat, katanya: "Terima kasih
akan budi pertolongan nona."
Thian-thay-mo-ki tertawa penuh arti, ujarnya: "Aku hanya
menonton saja, tidak pernah turun tangan, yang benar aku sendiri
bukan tandingan orang berkedok itu."
"Kenapa sudah mati aku bisa hidup kembali?"
"Mungkin untuk selanjutnya kau tetap akan mengerti kejadian
ini."
"Aku tidak habis mengerti."
"Ini ....... tak bisa kujelaskan, kelak kau akan mengerti sendiri."
Kalut pikiran Ji Bun dirangsang berbagai persoalan, namun dia
harus menahan gejolak hati, menekan perasaan dan berubah sikap,
terutama terhadap Thian-thay-mo-ki, walau semestinya dia merasa
jijik, sebal dan benci akan tingkah lakunya yang genit.
"Adikku! Kau suka menerima panggilan ini bukan?"
Dalam hati Ji Bun menggerutu, namun sikapnya lain. "Boleh
saja," sahutnya tertawa.
"Jadi kaupun suka memanggilku Cici?"
"Usiamu lebih tua, adalah pantas kalau kupanggil Cici padamu."
Riang hati Thian-thay-mo-ki, wajahnya bersemu merah, alisnya
lentik, kerlingan matanya memang mempesona dan menggiurkan,
namun sedikitpun Ji Bun tidak tertarik.
”Dik, agaknya kau dirundung persoalan gawat?"
Ji Bun was-was, sengaja ia angkat alis, tanyanya: "Darimana kau
tahu?”
"Di dalam hotel semalam kau kelihatan mengertak gigi dan
mengepal tinju serta membanting kaki, sering menghela napas
panjang, betul tidak?"
Tersentuh luka-luka di lubuk hati Ji Bun dan hampir menetes air
matanya, namun ia bertahan agar tidak sampai menangis, dengan
acuh ia tertawa, katanya: "Terkadang aku memang memikirkan
berbagai kejadian yang kurang menyenangkan, maklumlah sebagai
kaum persilatan, kita harus siap menerima segala gemblengan dan
ujian, meski ada kalanya kita sendiri juga berbuat kesalahan."
Thian-thay-mo-ki cukup cerdik, ia tidak puas akan penjelasan ini,
namun iapun tidak banyak debat lagi, tanyanya ke lain persoalan:
"Agaknya kau berubah begini mendadak?"
"Apa betul? Mungkin inilah hasil dari tempaan dari yang kualami
itu."
"Orang berkedok berjubah sutera itu, apakah kau sudah berhasil
menemukan jejaknya?"
"Belum, tapi pasti akan ketemukan dia dan menuntut balas."
"Kukira sulit."
"Sulit?"
"Dua kali kusaksikan sendiri, dengan gabungan kita berdua
mungkin masih bukan tandingannya. Sudah lama hal ini kupikirkan,
namun tak berhasil menemukan alirannya, betapa banyak tokoh-
tokoh kosen berkepandaian tinggi .........”
"Memang orang pandai ada yang lebih pandai, setinggi-tinggi
gunung masih ada yang lebih tinggi lagi. Jika dia seorang tokoh yang
jarang berkelana di Kangouw, dengan apa kau akan menerka asal
usulnya?" demikian diam-diam timbul pula pertempuran dalam hati Ji
Bun.
Semula ia mengira orang berkedok sengaja menyamar ayahnya
untuk mempermudah turun tangan terhadap dirinya. Namun
kepandaian silat orang jauh berlebihan untuk membunuh dirinya,
buat apa harus menyamar segala, dan yang lebih membingungkan,
orang itu tidak mau buka suara dan tidak menjelaskan maksudnya,
peristiwa seperti ini jarang terjadi di Bu-lim.
Apakah ia memang ayahku sendiri? Namun kesan ini segera dia
sangkal pula, tidak mungkin, jelas tidak mungkin.
"Dik,” tanya Thian-thay-mo-ki, "sudikah kau beritahu asal
usulmu?"
Ji Bun kaget, katanya: “Cici, maafkan, hal ini terlarang oleh
perguruan, sekarang belum dapat kuberitahu."
"Ya, sudah," ujar Thian-thay-mo-ki tak acuh, "aku sendiri ada
kesulitan." Nyata, secara tidak langsung iapun memberitahukan Ji
Bun, bahwa kau pun tak usah tanya asal usulku.
"Cici, kita bertemu lagi secara kebetulan?"
"Boleh dikatakan demikian, aku sedang menempuh perjalanan
untuk menghadiri suatu undangan berdirinya, suatu perkumpulan
besar, kita sama-sama menginap di hotel itu, bukankah ini
kebetulan?"
"Menghadiri pembukaan perkumpulan apa?"
"Apa pernah dengar nama Wi-to-hwe?”
"Tiga hari lagi perkumpulan ini akan meresmikan berdirinya dan
membuka markas. Semua Pang dan Pay serta tokoh-tokoh bulim
yang kenamaan sama diundang untuk menghadirinya."
"Oh, Cici juga diundang?" tanya Ji Bun, sementara hatinya
membatin, kalau aku bisa ikut mungkin bisa bertemu dengan musuh,
sedikitnya ada kesempatan untuk mencari sumber penyelidikan,
maka ia menyambung: "Wi-to-hwe, sesuai dengan namanya
tentunya menempatkan diri di pihak yang baik dan menumpas
kejahatan dan menindas kaum iblis bukan?”
“Tentunya demikian."
"Siapakah ketuanya?"
"Coba kau lihat sendiri." kata Thian-thay mo-ki, lalu
mengeluarkan secarik kartu undangan besar warna merah."
Ji Bun menerima undangan itu serta membacanya:
"Dengan hormat, seratus tahun belakangan ini, makna dan
tujuan persilatan semakin pudar, keadilan dan kebenaran semakin
guram, azas orang belajar silat semakin kabur, dunia persilatan
semakin kacau dan kejahatan bersimaharaja, bahwa kaum iblis
semakin tumbuh dan kaum pendekar malah kelelap, semua ini
menjadi kenyataan. Bagi kaum yang berdarah panas, yang
mempunyai cita-cita luhur dan sehaluan dalam satu tujuan, kita
bersepakat untuk mendirikan perkumpulan penegak dan pembela
keadilan dan kebenaran ini dengan harapan bisa mengembalikan
wibawa dan membangkitkan azas dan cita-cita semula sehingga
segala kejahatan dan kelaliman dapat kita tumpas. Pada tanggal
sekian bertempat di Tong-pek-san, kita resmikan berdirinya
perkumpulan dan markas besar kami. Mohon kehadiran para
pendekar dan semua simpatisan.
Salam hormat, Wi-to-hwe Hwecu."
Jadi dalam undangan ini tidak disebut siapakah Hwecu atau ketua
perkumpulan yang bakal berdiri ini, undangan semacam ini boleh
dikatakan jarang ada dan bertentangan dengan kebiasaan.
Ji Bun kembalikan undangan itu, katanya tak mengerti: "Siapakah
sebetulnya ketua perkumpulan ini?"
"Entahlah," sahut Thian-thay-mo-ki sambil geleng-geleng."
"Masih tiga hari dari hari pembukaan, apakah bisa mencapai
Tong-pek-san?"
"Kalau siang malam menempuh perjalanan, kukira tidak akan
terlambat."
"Kalau begitu silakan Cici lekas berangkat.”
"Apa kau tidak ingin ke sana?"
Sudah tentu Ji Bun ingin pergi, namun lahirnya berpura-pura,
katanya : "Aku tidak diundang.”
"Mungkin yang disuruh menyebar undangan tidak menemukan
kau," ujar Thian-thay-mo-ki tertawa, "masakah ketenaran Te-gak
Suseng yang sudah menjulang tidak diundang, hayolah berangkat
bersamaku, kutanggung tiada orang yang menolak kedatanganmu."
"Perkumpulan, ini menamakan dirinya penegak dan pembela
kebenaran, bertujuan menumpas kejahatan, terus terang, dengan
julukan dan gelaran. kita berdua, apakah kita tidak bakal ditumpas
oleh mereka malah?"
Thian-thay-mo-ki terkial-kial sekian lamanya, katanya: „Dik,
memangnya perbuatan jahat apa yang pernah kita lakukan? Soal
gelar atau julukan kan mereka yang memberikan. Tekadku sudah
bulat ingin kulihat manusia macam apakah sebetulnya orang-orang
yang berani menonjolkan dirinya dipihak penegak dan pembela
kebenaran itu.
"Baiklah mari berangkat," kata Ji Bun akhirnya.
^^^^
Pegunungan Tong-pek-san di perbatasan Holam dan Ouwpak,
puncaknya terletak di bilangan utara. Selama beberapa hari ini,
tokoh-tokoh berbagai aliran persilatan berbondong-bondong menuju
ke atas gunung, di antara arus manusia yang beramai-ramai itu
terdapat seorang pemuda berpakaian pelajar dan buntung sebelah
tangannya diiringi seorang gadis cantik dan bertingkah genit, mereka
adalah Ji Bun dan Thian-thay-mo-ki yang datang untuk menghadiri
berdirinya Wi-to-hwe.
Banyak orang yang kenal mereka sama melotot gusar dan
menyingkir jauh, seperti berhadapan dengan setan iblis atau merasa
jijik.
Di mulut gunung sebelum naik ke puncak didirikan sebuah barak
besar khusus untuk menyambut kedatangan para tamu. Semua
tamu dipersilakan istirahat dan makan minum lebih dulu di barak ini
baru kemudian diantar naik ke atas gunung. Jalan berliku yang
menjurus ke atas kebetulan terletak diujung belakang barak besar
itu, di mana berdiri seorang tua berpakaian hitam dengan delapan
orang pengiring, tugasnya khusus menyambut para tamu naik ke
atas gunung.
Setelah istirahat dan menghilangkan lapar dan dahaga, Ji Bun
dan Thian-thay-mo-ki sama berjalan menuju ke arah mulut gunung.
Laki-laki baju hitam setengah umur itu segera memberi salam
hormat, katanya memperkenalkan diri, “Aku yang rendah Go it-hong
menjabat Hek-ki-tongcu dalam Wi-to-hwe, kini bertugas menyambut
kedatangan para tamu. harap kalian tunjukkan tanda undangan."
Thian-thay-mo-ki tertawa lebar,katanya: "Kalau tidak punya
undangan bagaimana?"
“Maaf, kami tidak melayani."
"Kepada siapa saja undangan disebar?"
"Kepada Pang, Pay atau perguruan silat dan para tokoh Bu-lim
kenamaan."
"Apa pula maksudnya dengan tokoh kenamaan?”
"Soal ini ..... maaf, tugasku hanya menyambut tamu dan tidak
melayani segala pertanyaan."
"Apakah Te-gak Suseng yang tenar ini tidak setimpal hadir?"
Berubah air muka Go It-hong, si Hek-ki-tongcu, sorot matanya
tertuju kepada Ji Bun, sesaat dia melongo, jelas dia tahu asal usul
kedua orang ini, namun terbatas oleh peraturan, tak enak dia
berkeputusan sendiri.
Untunglah pada saat itu muncul seorang berbaju hitam pula
berlari-lari turun dari atas gunung, langsung dia memberi hormat
kepada Go It-hong dan berkata: "Lapor Tongcu, Tocu disuruh
menyampaikan perintah."
“Oh, perintah apa?" tanya Go It-hong, lalu dia menyingkir ke
samping sana, orang yang baru datang itu lantas bisik-bisik dipinggir
kupingnya terus berlari kembali ke atas Go It-hong lantas maju ke
depan Ji Bun serta memberi hormat, katanya : "Pembagi undangan
memang ceroboh dan ketinggalan, Hwecu kami merasa menyesal.
harap Siauhiap maafkan. Silakan!"
Ji Bun melengak dan merasa heran, matanya melirik Thian-thay-
mo-ki yang sedang mengangsurkan undangannya kepada Go It-
hong, nona itu berkata: "Mari dik, kita naik ke atas."
Ji Bun mengangguk, bersama Thian-thay-mo-ki mereka jalan
berendeng, namun rasa herannya masih belum lenyap, bahwa Wi-
to-hwecu suruh orang mengirim perintah mengundang dirinya hadir
dan minta maaf lagi, sungguh membingungkan dan luar biasa,
siapakah Hwecu sebenarnya?
Nama Te-gak Suseng dipandang sebagai setan iblis, perkumpulan
ini berdiri untuk menumpas kejahatan, satu sama lain bertentangan,
kenapa dirinya malah disambut dengan hormat, mungkin ada
sesuatu yang mencurigakan di balik semua ini?
"Bagaimana?" ujar Thian-thay-mo-ki tertawa senang. "kan sudah
kutanggung kau boleh hadir, soalnya nama julukanmu memang,
teramat tenar.”
Jalan gunung yang menanjak semakin tinggi dan berputar
mengelilingi sebuah puncak yang tidak terlalu tinggi. Setelah tiba di
puncak gunung, maka muncullah pemandangan aneh dari lekuk-
lekuk gunung yang berlapis-lapis menjulang ke atas diantara jepitan
dua puncak di sebelah sana.
Membelakangi tebing gunung yang menjulang ke langit berdiri
sebuah "panggung" besar. Dari kejauhan tampak batu bata merah
dan genteng dari bangunan gedung yang megah itu.
Rombongan demi rombongan tamu-tamu yang berbondong
datang itu terus mengayun langkah dengan cepat menuju ke lekuk
gunung sana. Ji Bun berjalan dengan lenggang kangkung seenaknya
saja seperti pelancongan.
Yang benar hati Ji Bun samakin tertekan, ia pikir kalau nanti
melihat Siangkoan Hong, Siang-thian-ong dan musuh juga hadir,
terutama orang berkedok itu, lalu tindakan apa yang harus dirinya
lakukan? Kalau bertindak secara kekerasan, jelas kepandaian sendiri
bukan tandingan mereka.
Sebelum berhasil menuntut balas, jiwa sendiri mungkin sudah
berkorban, dengan menggunakan kecerdikan dan akal adalah satu-
satunya jalan untuk menumpas dan melenyapkan musuh-musuh itu
satu persatu, namun hal inipun terlalu banyak makan tenaga dan
pikiran. Dan yang paling ia kuatirkan adalah, jikalau dirinya tak
kuasa menahan gejolak perasaan dendamnya sehingga rencana
yang sudah teratur rapi menjadi gagal total.
Setelah melewati lingkaran gunung, jarak dari bangunan gedung
di tanah datar seperti panggung besar itu sudah tidak jauh lagi, arus
manusia kelihatan bergerak menjurus ke sana. Didepan terbentang
hutan bambu yang lebat dan terawat baik, pemandangan di sini
terasa nyaman dan mempesona.
Mendadak langkah Ji Bun terhenti, sorot matanya menyala
memandang hutan bambu sebelah kanan. Sesosok bayangan merah
tampak berdiri semampai di atas sebuah batu besar yang menonjol
keluar, angin gunung sepoi-sepoi menghembus sehingga pakaiannya
melambai-lambai mempesona. Ji Bun sampai lupa diri, jantungnya
berdetak, seolah-olah dirinya sudah berdiri berdampingan dengan
orang berbaju merah itu.
"Dik, kenapa kau?" tegur Thian-thay-mo-ki.
Seperti mengigau Ji Bun berkata: "Itu dia, gadis baju merah, hari
ini pasti kutanya asal usulnya."
Berubah air muka Thian-thay-mo-ki, benci dan dendam seketika
merangsang sanubarinya, namun Ji Bun tidak perhatikan, langsung
ia menghampiri ke sana. Orang dalam tandu yang berkepandaian
tinggi, si gadis berbaju merah yang dingin itu, sudah tak terpikir lagi
dalam benaknya. Sebaliknya hancur luluh perasaan Thian-thay-mo-
ki, disadarinya betul-betul bahwa Ji Bun hakikatnya tidak suka dan
menaruh hati terhadap dirinya, hatinya sudah tercuri oleh gadis
berbaju merah itu, maka dengan gegetun ia banting kaki, terus
menyingkir pergi.
Ji Bun sudah melupakan kehadiran Thian-thay-mo-ki, seorang diri
ia terus menghampiri ke sana. Tapi setelah dekat berada di belakang
gadis berbaju merah, di mana pandangannya tertuju, seketika dia
berdiri tertegun. Di belakang batu gunung yang menonjol di sebelah
kanan ternyata masih ada seorang pemuda berbaju putih yang
berdiri di sana.
Pemuda itu bagi Ji Bun tidak asing lagi, karena dia bukan lain
adalah putera Cip-po-hwecu. Rasa cemburu seketika membakar
hatinya. Cip-po-hwe merupakan perkumpulan kelas tiga di Kangouw,
dengan segala cara kotor dan jahat mereka merebut, merampas dan
mencuri barang berharga milik orang lain. Penculikan Ciang Bing-cu
puteri hartawan Kayhong yang berhasil dia gagalkan merupakan
salah satu bukti.
Gadis berbaju merah itu bak sebutir mutiara yang agung dan suci
bersih, kalau dia bergaul dan berkumpul dengan pemuda macam ini,
boleh dikatakan terlalu menurunkan derajat diri dan memalukan.
Kebetulan pemuda berbaju putih berpaling ke sini, begitu melihat
Ji Bun seketika berubah hebat air mukanya, serunya kaget: "Te-gak
Suseng!"
Gadis berbaju merah ikut berpaling, dengan kaget, kebetulan
sorot matanya kebentrok dengan pandangan Ji Bun.
Sesuatu yang sukar diperoleh adalah yang paling berharga, hal ini
memang tidak salah. Begitu pandangan saling bentrok, badan Ji Bun
seperti terkena aliran listrik, seolah-olah dalam jagat raya ini hanya
si dia inilah yang tercantik.
Gadis berbaju merah menarik muka, katanya: "Selamat
bertemu!"
Karena berlengan buntung maka Ji Bun hanya membungkuk
badan memberi hormat, katanva "Memang beruntung dapat bertemu
lagi di sini."
Dengan langkah cepat, pemuda berbaju putih mendekati gadis
berbaju merah, katanya keheranan: "Adik Hwi, kau sudah kenal?"
Panggilan "adik Hwi"menandakan hubungan mereka sudah tidak
biasa, terasa kecut dan mendelu hati Ji Bun.
Dengan lembut gadis berbaju merah berkata kepada pemuda
berbaju merah dengan tertawa: "Siaumoay pernah mendapatkan
sedikit pertolongannya."
"Tuan penolong adik Hwi?" tanya pemuda berbaju putih," namun
dia ........”
"Kenapa?"
"Dia adalah musuh besarku."
"Musuh besar? Ada permusuhan apa di antara kalian."
"Menerobos ke markas kami, membunuh dan menculik orang."
"Oh," gadis baju merah hanya bersuara dalam mulut dengan
melongo.
Tak tertahan lagi kobaran amarah Ji Bun, hawa hitam yang tebal
sudah terpusat di antara kedua alisnya, dengan tajam dia tatap
pemuda berbaju putih, dengusnya; "Kau ini terhitung barang apa?"
Agaknya pemuda baju putih betul-betul sudah jeri terhadap Ji
Bun, dia menyurut mundur dan tak berani menanggapi.
"Te-gak Suseng," seru gadis berbaju merah sedikit marah,
"jangan memaki orang!"
3.9. Peresmian Perkumpulan Wi-to-hwe
Menyala biji mata Ji Bun, namun ia tahan perasaannya, katanya:"
Cayhe mohon diberitahukan siapa nama harum nona?”
"Aku bernanaa Pui Ci-hwi.”
“Kenapa nona Pui sudi bergaul dengan manusia macam dia ini?"
“Manusia macam dia apa maksudmu?"
“Kaum keroco di Kangouw, perbuatannya kotor dan wataknya
bejat."
Karena dimaki dan dijelekkan dihadapan pujaan, meski jeri
pemuda baju putih menjadi marah dan berani, teriaknya: "Te-gak
Suseng, sepak terjang dan nama gelaranmu itu memangnya harum
bagi kaum persilatan?"
Mata Ji Bun mengerling sedikit, jengeknya sinis: "Kau tidak
setimpal menyinggung nama gelaran dan perbuatanku."
"Aku pernah mendapat pertolongan tuan," kata gadis berbaju
merah, "kelak pasti kubalas .......”
"Selamanya Cayhe tak pernah mengharap balas budi siapapun,"
ujar Ji Bun.
"Itu urusan lain, tuan kemari atas undangan?" tanya si gadis
berbaju merah, "kenapa tidak langsung masuk saja?"
Hampa hati Ji Bun karena sikap dingin dan diusir secara halus ini,
ia merasa terpukul gengsinya, dengan menarik muka ia berkata
dengan mengertak gigi: "Nona Pui, Cayhe memberi peringatan
setulus hati, hati-hatilah terhadap manusia tamak berhati serigala,
cabul lagi, supaya kelak tidak menyesal setelah kasip." Habis berkata
ia terus putar badan hendak tinggal pergi.
Pemuda berbaju putih berkata dingin:"Orang seperti ini hadir
dalam pembukaan Wi-to-hwe, kehadirannya mengotori suasana
saja."
Manusia mana yang suka mendengar makian atau ejekan yang
menghina, apa lagi Ji Bun yang memang berwatak nyentrik, walau
dia sudah berjanji hendak ubah watak dan perilaku demi suksesnya
menuntut balas, namun sabar ada batasnya, apalagi dihina di depan
gadis pujaan hatinya, segera ia membalik pula dengan mendesis
mendelik: "Kau ingin mampus?"
Tanpa sadar pemuda berbaju putih menyurut mundur dengan
bergidik. Gadis berbaju merah maju selangkah, serunya: "Tuan
kemari sebagai tamu, harap tahu diri. Di sini bukan tempat untuk
membunuh orang." Kata-kata ini layaknya diucapkan oieh seorang
tuan rumah.
Tergerak hati Ji Bun, mungkinkah dia salah seorang dari anggota
Wi-to-hwe? Atau ada hubungan kental dengan ketuanya? Kalau
begitu orang dalam tandu yang melukai dirinya di Jing-goan-si
tempo juga salah seorang dari Wi-to-hwe ini, naga-naganya
memang tidak kecil perbawa dan kekuatan Wi-to-hwe.
Tanpa hiraukan ucapan tajam orang, Ji Bun balas bertanya: "Jadi
nona adalah tuan rumah di sini?"
"Ah, hanya boleh dikatakan setengah tuan rumah."
“Setengah?"
"Adik Hwi," sela pemuda berbaju putih, "pemandangan di sana
begitu permai, bagaimana kalau kita pindah tempat saja?"
Gadis baju merah sedikit mengangguk, dengan pandangan mesra
ia mengerling kepada pemuda baju putih, lalu berkata kepada Ji Bun
yang dirangsang kemarahan: "Tuan boleh silakan."
Lalu dia ajak pemuda baju putih pergi dengan bergandengan
tangan.
Kalau menuruti watak Ji Bun dulu, pemuda baju putih terang
sudah mampus, akan tetapi ia kini betul-betul sudah banyak
berubah, ia tahu memang tidak leluasa main bunuh orang ditempat
ini. Hal itu secara langsung akan mempengaruhi rencananya untuk
membalas dendam. Dengan mendelong dia mengawasi bayangan
merah putih semakin jauh, timbul rasa kecut dan getir dalam
hatinya.
"Dik?" itulah suara panggilan Thian-thay-mo-ki, entah kapan
tahu-tahu ia sudah berada di sampingnya.
Ji Bun berpaling sambil tertawa, tertawa ewa, tawa untuk
menghilangkan rasa pedihnya, namun Thian-thay-mo-ki tidak
hiraukan mimik tawanya, katanya dengan lembut dan prihatin:
"Upacara pembukaan sudah hampir tiba."
lnilah hubungan timbal balik yang serba bertentangan dan ruwet,
Ji Bun naksir kepada Pui Ci-hwi, tapi bukan saja Pui Ci-hwi tidak
simpatik terhadapnya, boleh dikatakan malah merasa sebal dan
benci, namun dia rela menerima kenyataan ini.
Sebaliknya Thian-thay-mo-ki kesemsem kepadanya, namun
sedikitpun dia tidak ambil perhatian, malah ada kalanya berlaku
kasar dan menyinggung perasaannya. Tapi Thian-thay-mo-ki pun
tidak patah semangat, ia tetap mengikutinya ke mana pergi. Apakah
akibat yang bakal terjadi dari cinta segi tiga yang aneh ini?
Pelahan perasaan Ji Bun, tenang kembali, ia sadar akan
kelancangan dirinya, beban dan tanggung jawab sakit hati belum
terbalas, keselamatan ayah bunda belum lagi diketahui, yang
dipikirkan malah soal cinta melulu, inilah tindakan yang tidak
bijaksana.
Setelah sadar akan kesalahannya, pikirannya jernih, hatipun
lapang, katanya tenang kepada Thian-thay-mo-ki: “Cici, kau kira
perbuatanku teramat bodoh bukan?”
"Tidak," ujar Thian-thay-mo-ki tertawa, "laki perempuan jatuh
cinta adalah karunia Tuhan dan menjadi sifat pembawaan manusia.
Namun, soal cinta tidak boleh dipaksakan.”
Sudah tentu Ji Bun paham arti kata-kata orang, ia tidak mau
membicarakan soal ini lagi. Supaya tidak menimbulkan hal-hal yang
merikuhkan, segera ia alihkan pembicaraan: "Cici, kuingat waktu
berada di Jing-goan-si kau pernah menunjukkan Sam-ci-ciat kepada
orang dalam tandu, benda apakah sebetulnya Sam-ci-ciat itu. boleh
aku mengetahui?"
"Itulah tanda pengenal perguruanku."
"Tentunya gurumu seorang tokoh luar biasa.”
"Kau terlalu memuji beliau,” agaknya ia segan bicara soal ini. Ji
Bun juga tidak bertanya lebih lanjut. Mereka melanjutkan ke depan
menuju kederetan bangunan gedung tadi.
Di depan gedung yang megah itu adalah sebidang tanah lapang
yang luas, di sebelah utara dibangun sebuah panggung seluas lima
tombak persegi dan tinggi enam tombak lebih. Asap dupa mengepul
tinggi, api lilin terpasang menyala di mana-mana, barang-barang
sesajian bertumpuk tinggi beraneka macam. Dua laki-laki setengah
umur berpakaian rapi berdiri di kedua samping meja sembahyang,
mungkin dia itulah pengantar upacara.
Kedua samping meja sembahyang rada ke belakang sana
berderet delapan kursi kebesaran, tujuh orang tua masing-masing
menempati tujuh kursi. Kursi kedelapan yang paling kiri masih
kosong. Enam belas orang lagi yang berseragam ketat sebagai
pembantu upacara masing-masing berdiri tersebar di bawah
panggung. Entah berapa manusia yang berjubel-jubel di bawah
panggung, namun suasana hening dan tenang.
Ji Bun dan Thian-thay-mo-ki sementara berpisah mencari tempat
duduk yang terpisah antara laki dan perempuan. Sorot mata Ji Bun
langsung tertuju kepada tujuh orang tua yang duduk di atas
panggung.
Bu-cing-so, Siang-thian-ong ternyata duduk diantara tujuh orang
tua. Diam-diam jantungnya berdetak, pandangannya menjelajah
keseluruh pelosok, ia ingin menemukan jejak Siangkoan Hong yang
pernah ditolongnya itu namun orang tak dilihatnya. Mungkinkah
tragedi Jit-sing-po ada sangkut pautnya dengan Wi-to-hwe? Tiba-
tiba berkelebat dugaan ini di dalam benaknya, tanpa terasa ia
bergidik. Kalau kenyataan ini betul, betapa tambah sulit tugas dirinya
untuk menuntut balas.
Ketujuh orang tua yang duduk di kursi kebesaran di atas
panggung mungkin sukar dicari tandingnya. Sebagai orang-orang
yang duduk sejajar bersaing Siang-thian-ong dan Bu-cing-so, kelima
orang tua yang lain pasti tokoh kosen yang luar biasa pula.
Memangnya untuk siapa pula kursi yang kosong di sebelah kiri itu?
Tiba-tiba dilihatnya sebuah tandu berhias mendatangi langsung
menuju ke panggung. Ke tujuh orang tua di atas panggung
serempak berdiri menyambut. Suara berisik mulai timbul di bawah
panggung.
Mengencang perasaan Ji Bun, pikirnya, mungkin hari ini kudapat
melihat wajah sebenarnya dari orang di dalam tandu itu. Tak
tahunya harapannya tidak terkabul, tandu berhias itu ternyata
berhenti di kursi pertama pada deretan sebelah kiri, orang di dalam
tandu tetap tidak keluar.
Agaknya hadirin juga tidak tahu akan asal usul orang di dalam
tandu yang misterius ini, maka suara berisik semakin keras menjadi
percakapan ramai di antara hadirin di bawah panggung. Suasana
yang semula khidmat dan tenang kini menjadi agak kacau dan ramai
karena munculnya orang bertandu itu.
"Tang-tang-tang" tiga kali gentang bertalu, suasana ramai
kembali sirap menjadi hening. Irama musik segera mengalun dari
belakang panggung, tampak seorang laki setengah baya dengan
pakaian kebesaran di dahului empat anak laki-laki pembawa Hiolo
beranjak pelan menuju ke atas panggung. Muka yang kereng tidak
menunjuk perasaan apa-apa, namun sorot matanya berkilat tajam,
dari tempat jauh dapat merasakan ketajaman sinar matanya. Dia
inikah Hwecu?
Ji Bun ingin mencari tahu kepada orang yang duduk di
sebelahnya, waktu dia berpaling, dilihatnya mimik orang yang duduk
di sekitarnya juga menunjuk rasa bingung dan sangsi, agaknya
merekapun tidak tahu siapa dan bagaimana asal usul Wi-to-hwe.
Ji Bun membatin, nanti pasti dia akan memperkenalkan diri, tak
kira kenyataan meleset pula dari dugaannya, tertampak protokol
mengumandangkan pengumuman dan upacara mulai berlangsung.
Di tengah suasana yang khidmat itu, entah mengapa perasaan Ji
Bun menjadi risi dan kurang tentram, terasakan ada sepasang mata
tajam yang tengah mengawasi dirinya. Waktu ia berpaling ke sana,
dilihatnya seorang nyonya berpakaian hijau yang duduk di antara
tamu-tamu perempuan di seberang sana kebetulan melengos ketika
dia berpaling, dari dandanan dan rambutnya terang usia perempuan
ini sudah setengah abad.
Siapakah perempuan ini? Seingat dia belum pernah kenal
perempuan baju hijau berkedok kain sari tadi.
Tengah dia terlongong, dilihatnya sorot mata orang kembali
tertuju ke arahnya, walau tertutup kain sari, namun sinar matanya
masih kelihatan cemerlang, sungguh luar biasa Lweekang
perempuan tua ini.
Tiba-tiba dilihatnya perempuan berkerudung itu berangkat
meninggalkan tempat duduknya, pelahan berjalan keluar
meninggalkan panggung, sebelum pergi tangannya sedikit terangkat
dan menunjuk keluar.
Ji Bun semakin heran dan tidak mengerti, setelah berpikir bolak-
balik, akhirnya ia ikut berdiri terus beranjak keluar pula. Suasana
tetap sunyi dan khidmat, hadirin sedang tumplek perhatiannya ke
arah panggung, di mana upacara sedang beriangsung, maka tiada
orang yang memperhatikan gerak geriknya, dengan leluasa ia
meninggalkan tempat itu. Sebetulnya tingkahnya ini kurang
terhormat dan bisa dicela orang, untunglah dia tidak mendapatkan
halangan.
Di ujung lapangan sebelah timur adalah hutan lebat, tanpa
berpaling perempuan berkerudung itu langsung masuk ke dalam
hutan, seolah-olah dia yakin Ji Bun pasti mengikuti dirinya. Biasanya
tempat-tempat ini ada pos penjagaan, namun belakangan ini untuk
menghormati para tamu, semua pos-pos penjagaan ditarik
seluruhnya, maka setelah meninggalkan gelanggang, tidak tampak
lagi bayangan seorangpun.
Dengan penuh tanda tanya Ji Bun ikut masuk ke dalam hutan.
puluhan tombak kemudian, dilihatnya perempuan berkerudung itu
sudah menunggunya di sana.
"Kau bergelar Te-gak Suseng?” tanya perempuan itu dengan
suara dingin tajam.
"Betul, mohon tanya ........”
"Tidak usah kau tanya siapa aku, sebutkan siapa gurumu dan dari
aliran mana?"
“Sikapmu ini terlalu kasar dan tidak pandang sebelah mata ........”
"Pertanyaanku ini sudah terhitung cukup sopan.”
"Bagaimana yang tidak sopan?"
"Kau harus berlutut menjawab pertanyaanku. Tahu!"
Bergolak perasaan Ji Bun, namun dia tekan sekuat mungkin,
pikirnya, inilah ujian dan gemblengn bagi diriku, kalau gagal
segalanya bakal berantakan. Demi berhasil menuntut balas, dia
harus menempa diri, berlaku bajik dengan penuh kesabaran. Maka
tenanglah pikirannya, katanya tawar: "Ada petunjuk apa?"
Perempuan berkerudung diam sebentar, lalu berkata: "Kabarnya
cara kau membunuh orang sangat aneh, si korban tidak menunjuk
sesuatu luka, sekarang coba kau pertunjukkan kemampuanmu
terhadapku.”
Sikap kasar dan takabur ini membuat Ji Bun geli dan dongkol
pula, namun diam-diam ia waspada, orang mengajaknya kemari
tentu bukan secara kebetulan, ia kuatir orang sudah kenal siapa
dirinya, maka ia berkata. Sungguh-sungguh: "Apa alasanku harus
menyerangmu?"
"Kehendakku sendiri."
"Bolehkah aku tahu sebabnya?"
"Memangnya harus banyak omong?" tiba tangannya
mencengkeram ke arah Ji Bun, gerakan tangan yang lucu namun
lihay, jarang ada serangan seaneh ini. Ji Bun merasa tak sempat
berkelit atau menyingkir, belum lagi pikirannya bekerja, tahu-tahu
pergelangan tangannya sudah terpegang oleh orang. Waktu itu
sebenarnya dia bisa, memperoleh kesempatan menyerang, namun
dia tetap diam saja, tangannya dibiarkan terpegang, apa lagi
serangannya belum tentu dapat merobohkan orang, dan itu berarti
memenuhi keinginan orang pula.
Begitu kerahkan tenaga, jari-jari perempuan berkerudung itu
tanggem menjepit, rasa sakit menusuk jantung, keringat bertetes
membasahi jidat Ji Bun, namun ia mengertak gigi tanpa. mengeluh
atau merintih sedikitpun.
"Kau tak ingin mampus bukan?" tanya perempuan berkerudung
dengan dingin.
"Mati atau hidup tidak menjadi soal lagi bagiku," sahut Ji Bun
meringis.
"Hm, kau gila dan congkak sekali," jengek perempuan
berkerudung sambil melepaskan pegangannya. Ji Bun terhuyung
mundur dua langkah, dengan melongo dia pandang orang.
"Anak muda," ujar perempuan berkerudung, "kau kenal Thian-
thay-mo-ki?"
Ji Bun melengak, entah mengapa persoalan sampai melibatkan
Thian-thay-mo-ki, ia mengangguk dan mengiakan.
"Apa kau mencintainya? Jangan pakai macam-macam alasan,
cekak saja, kau mencintainya tidak?"
Ji Bun jadi bingung cara bagaimana ia harus menjawab,
hakikatnya ia tidak pernah timbul rasa cinta terhadap perempuan
genit itu, kalau mengatakan tidak, entah apa pula maksud tujuan
pertanyaan orang ini?
Baru pertama kali ini ia betul-betul menyadari untung ruginya
bagi seorang menghadapi persoalan pelik. Sekian lama ia melongo,
lalu balas bertanya: "Pernah apa kau dengan Thian-thay-mo-ki?
Tentunya kau punya alasan menanyakan hubungan kami ini?”
"Aku hanya ingin satu jawaban yang tegas, tak perlu kau banyak
omong lagi."
"Kami hanya bersahabat, belum menjurus ke soal cinta."
"Tahukan kau, kalau tiada dia jiwamu sudah melayang?"
"Budi dan dendam selamanya kubedakan dengan jelas, kelak
pasti kubalas kebaikannya."
"Dengan cara apa kau hendak membalas budi?”
"Itu bergantung keadaan dan kebutuhan."
"Kau tahu kalau dia amat mencintaimu?"
"Cinta tidak boleh dipaksakan."
“Jadi kau tidak naksir kepadanya?"
"Cayhe tidak mengatakan demikian."
"Pungkir," bentak perempuan berkerudung tajam. "Anak muda,
dalam hal apa dia tidak setimpal menjadi jodohmu? Bahwa dia tidak
mencela kau bertangan buntung, itupun sudah untung bagi kau?"
Merinding Ji Bun dibuatnya, kini baru jelas duduk persoalannya,
memangnya perempuan berkerudung ini adalah guru Thian-thay-
mo-ki? Tapi jarang terjadi seorang guru memaksa orang lain untuk
mencintai muridnya.
"Maaf, Cayhe tidak dapat menjawab."
"Kau harus memberi putusan, cinta atau tidak, satu kata saja."
"Kalau Cayhe berkata tidak?"
"Kubunuh kau! Dia menolongmu dan akulah yang membunuhmu,
hutang piutang menjadi lunas."
Tiba-tiba timbul pikiran Ji Bun, mungkinkah semua ini adalah
muslihat Thian-thay-mo-ki yang hendak mempermainkan dirinya
demi mencapai tujuannya? Kalau betul, sungguh terlalu rendah dan
hina.
Untunglah sebelum keadaan menjadi runyam, tiba-tiba
berkumandang gelak tawa yang mengalun dari belakang sana.
"Siapa?" bentak perempuan berkerudung tanpa berpaling.
Sebuah suara serak tua berkata: "Pasti ada pohon ribuan tahun
di atas gunung, namun sukar ditemukan manusia umur seabad di
dunia ini. Aku sudah bosan hidup, tak kira ada juga manusia yang
tamak hidup malah, ha ha ha ha ......."
Di tengah gelak tawa yang menusuk telinga itu tampak bayangan
hitam putih menggelundung tiba, ternyata dialah Siang-thian-ong.
Bergetar hati Ji Bun, dari ucapan Siang-thian-ong tidak sulit
diduga bahwa usia perempuan berkerudung ini sudah melampaui
seabad, walau mukanya berkerudung kain sari, tapi tingkah lakunya
tidak sedikitpun menunjukkan ketuaannya, sungguh aneh dan sulit
dipercayai.
Perempuan berkerudung diam saja, sinar matanya yang tajam
menembus kain sari menatap Siang-thian-ong.
Siang-thian-ong ngakak sekali lagi, katanya: "Sahabat lama dari
Thian-thay, syukurlah watakmu tetap abadi dan mencampuri urusan
gendut genit itu, kalau, tidak pasti aku tidak mengenali dirimu, sang
waktu berlalu tanpa mengenal kasihan, puluhan tahun bagai hari
kemarin, namun wajahnya tetap rupawan, sungguh karunia ......."
"Lokoay (bangkotan aneh), sudah habis belum obrolanmu?" tukas
perempuan berkerudung.
Siang-thian-ong garuk-garuk kepala lalu mengelus jenggotnya
yang panjang, katanya: "Nenek galak, ternyata watakmupun tidak
berubah."
Kini yakinlah Ji Bun bahwa perempuan berkerudung adalah guru
Thian-thay-mo-ki, atau pemilik dari Sam-ci-ciat itu. Masih segar
dalam ingatannya, tempo hari waktu Siang-thian-ong dan Bu-cing-so
berkelahi memperebutkan gadis berbaju merah, pernah mereka
menjajal kepandaian silat Thian-thay-mo-ki dan sebelum pergi
mengatakan: "Kiranya kau ini murid nenek galak itu ....”
Selagi Ji Bun terlongong, pandangan Siang-thian-ong tertuju ke
arahnya. Teringat dendam keluarganya, seketika darah bergolak,
amarah berkobar namun dia tetap waspada dan tekan perasaan,
tahan dan sabar, kalau tidak jangan harap bisa menuntut balas,
demikian ia membatin.
Siang-thian-ong sehaluan dengan Siangkoan Hong yang pernah
ditolongnya, bukan mustahil iapun ikut menjagal orang-orang Jit-
sing-po, hal ini harus diselidiki secara seksama dan mendalam, tidak
boleh terburu nafsu, dan lagi sepak terjang dan perilaku dirinya
harus hati-hati dan ramah, sedikitnya tak boleh menunjukkan tanda-
tanda yang mencurigakan, maka tersipu-sipu ia memberi hormat:
"Locianpwe selamat bertemu.”
"Anak muda," ujar Siang-thian-ong sambil bertolak pinggang.
"Syukurlah kaupun datang menghadiri upacara kebesaran ini.
Hayolah, mari kita minum sepuasnya,"
"Mohon tanya Locianpwe," tukas Ji Bun, "Orang kosen macam
apakah Wi-to-hwe Hwecu"
"Hal ini sekarang belum boleh diumumkan.”
"Apakah saudara Siangkoan tempo hari itu juga akan kemari?"
Kemungkinan ada. Anak muda, marilah hari ini kau merupakan
tamu teragung bagi Hwecu."
Kembali Ji Bun melongo, tanyanya heran: "Wanpwee ..... ...
menjadi tamu agung Hwecu? Apakah mungkin .........”
"Banyak sekali kejadian yang tidak mungkin anak muda, marilah
ikut aku."
"Nanti dulu" sela perempuan berkerudung.
"Ada apa?“ tanya Siang-thian-ong dengan meninggikan suaranya.
"Urusanku belum selesai"
"Urusan apa?”
"Tiada sangkut pautnya denganmu, kau enyah saja."
"Nenek galak, jangan menimbulkan huru hara lagi. Urusan anak-
anak biar mereka bereskan sendiri, hematlah tenagamu."
"Omong kosong, dengan kedudukanku, masakah dia tidak mau
menyebutkan asal usulnya ......."
"Nenek galak, jika kau sendiri tak mampu melihat asal usulnya,
maka kau harus mawas diri ......."
"Bisa saja. Coba lihat!" tiba-tiba telapak tangan nenek itu ke arah
Ji Bun.
Siang-thiang-ong mengadang sambil membentang kedua
tangannya, katanya : "Nenek galak, kau tidak takut kehilangan
pamor, apalagi bocah ini memang berwatak kepala batu dengan
caramu ini jangan harap kau bisa mengorek keterangannya."
"Tua bangka," hardik perempuan berkeruduug. "Memangnya kau
mau berkelahi?"
Siang-thian-ong tergelak-gelak keras, katanya: "Enam puluh
tahun yang lalu sudah pernah kujajal kau, sekarang terus terang aku
tiada minat lagi."
"Kalau begitu lekas kau enyah saja!"
"Tapi Lohu(aku yang tua) menjalankan tugas, tak bisa kan
berpeluk tangan."
"Menjalankan tugas apa?"
"Tugas menyambut tamu."
"Menyambut siapa?"
"Kau, dia, pokoknya kalian semua."
Semakin besar rasa curiga Ji Bun, betapapun dirinya tidak
setimpal menjadi tamu agung segala apalagi tokoh macam Siang-
thian-ong mendapat tugas untuk menyambut tamu, malah dirinya
dijajarkan bersama perempuan berkerudung ini. Padahal siapa
sebetulnya Hwecu atau ketua Wi-to-hwe yang baru berdiri ini,
sedikitpun dirinya tidak tahu.
Mungkinkah disebabkan dirinya pernah memberi sedikit
pertolongan kepada gadis berbaju merah yang mengaku bernama
Pui Ci-hwi? Dari Pui Ci-hwi seketika dia teringat majikan muda atau
pemuda Baju putih dari Cip-po-hwe itu rasa cemburu seketika
membakar hatinya. Memangnya pemuda yang kotor dan bejat itu
setimpal menjadi jodoh Pui Ci-hwi yang suci dan agung serta
rupawan itu.
Sementara itu, perempuan berkerudung tengah berkata dengan
angkuh, "Aku tidak ingin jadi tamu agung segala, tua bangka,
jangan kau bercapek lelah."
Siang-thian-ong berbatuk-batuk kering, katanya : "Nenek tua,
kau sudah patut masuk liang kubur, karena watakmu masih begini
aseran .......”
"Tutup mulutmu, selama hayat masih dikandung badan, tiada
orang yang berani mencampuri sepak terjangku.”
"Jadi terang kan ingin cari gara-gara terhadap bocah ini?"
"Memangnya dia setimpal membuat perkara terhadapku?
Sudahlah, tua bangka, jangan cerewet, jangan nanti kau katakan
aku tak ingat hubungan baik masa lalu?"
"Agaknya kau memang ingin memberi petunjuk kepadaku."
4.10. Tamu Agung Wi-to-Hwe
"Boleh saja bila kau suka. Sebaiknya kau tahu diri."
"Ha ha ha, nenek galak, selama hidup memang Lohu adalah
orang yang tidak tahu diri,” lalu Siang-thian-ong berpaling kepada Ji
Bun dan menambahkan: "Anak muda, tiada urusanmu lagi disini,
silakan pergi!"
Ji Bun tidak peduli pertengkaran mereka, mumpung ada
kesempatan segera ia meninggalkan tempat ini.
"Jangan pergi," seru perempuan berkerudung, namun bersamaan
waktunya Siang-thian-ong juga bergerak, sebat sekali Ji Bun berkisar
dan berbalik badan, badanpun melejit tinggi meluncur ke sana,
terdengar suara menggelegar di belakangnya, agaknya kedua
bangkotan tua itu sudah saling hantam.
Hadirin yang berjejal di bawah panggung sudah bubar, keadaan
panggung kini sudah kosong melompong dan sunyi ditingkah sinar
surya dan terang benderang. Segera Ji Bun beranjak menuju ke arah
bangunan gedung besar dan megah itu.
Seorang laki-laki baju hitam segera menyambut kedatangannya,
sapanya sambil merangkap tangan: "Apakah tuan ini Te-gak
Suseng?"
Ji Bun mengangguk.
"Silakan ikut Cayhe,” kata orang itu.
Di bawah peturjuk laki-laki ini Ji Bun lantas memasuki gedung
besar itu. Setelah melewati lorong pintu yang panjang, mereka tiba
di sebuah pekarangan luas, tampak meja perjamuan sudah tersebar
ratusan banyaknya, suara gelak-tawa bercampur percakapan yang
ramai. Tidak kelihatan tamu perempuan hadir dalam perjamuan ini,
agaknya mereka dijamu di tempat lain.
Dengan tajam Ji Bun sapukan pandangnya ke seluruh
gelanggang, ia ingin menemukan bayangan Siangkoan Hong di
antara hadirin. Namun ia kecewa, walau sudah menjelajah segala
pelosok pekarangan luas tempat perjamuan, ia tetap tak
menemukan jejak Siangkoan Hong.
Akhirnya Ji Bun menyusur ke serambi panjang dipinggir ruang
pendopo, diam-diam Ji Bun merasa heran, ke mana dirinya hendak
dibawa? Pada serambi luar ini berderet lima meja perjamuan, jelas
sekali kelima meja perjamuan adalah diperuntukkan para tokoh-
tokoh tingkat tinggi. Tengah ia kebingungan, dilihatnya laki-laki baju
hitam yang menunjuk jalan tadi membungkuk badan ke arah meja
tengah, serunya:
"Tamu sudah tiba!" lalu dia mundur dan berdiri di samping.
Bayangan seorang duduk, di tengah-tengah meja perjamuan itu
kelihatan bangkit dan mengulur tangan, serunya: "Sahabat muda,
silakan duduk!"
Orang yang berbangkit dari tempat duduk dan ymnyilakan dirinya
duduk ini terang adalah Wi-to-hwe Hwecu. Ji Bun menjadi kaget dan
kebingungan, mimpipun ia tidak habis mengerti bagaimana mungkin
dirinya dipandang sebagai tamu kehormatan? Namun kenyataan
tidak memberi kesempatan untuk ragu-ragu, cepat ia membungkuk
dan menyahut: "Aku yang rendah tak berani menerima kehormatan
setinggi ini."
"Ah, rendah hati, silakan, silakan duduk!"
Seluruh hadirin yang sudah duduk mengelilingi meja perjamuan
serempak berbangkit juga, sorot mata mereka tertuju ke arah Ji
Bun. Sorot mata mereka sama-sama mengunjuk tanda tanya,
kenapa Te-gak Suseng bisa mendapat kehormatan setinggi ini?
Apa sebetulnya hubungan kedua pihak? Sudah tentu Ji Bun
sendiripun tidak mengerti. Setelah basa basi ala kadarnya, terpaksa
dia menduduki kursi kosong di sebelah kiri.
Di antara orang yang duduk semeja dia hanya kenal Bu-cing-so
seorang, yang lain masih asing dan tidak dikenalnya. Air muka Wi-
to-hwecu kelihatan kereng berwibawa, namun kaku dan dingin,
sepintas pandang membuat perasaan orang terasa risi.
Bubur sarang burung yang panas mengepul dan bau sedap
segera disuguhkan. Cukup sekali tarik napas saja sudah terasakan
sesuatu oleh Ji Bun. Seketika ia mengerut kening, hampir saja ia
berteriak kaget, hidungnya yang sudah terlatih baik merasakan
adanya sesuatu yang tidak beres pada hidangan bubur sarang
burung ini. Hidangan ini tercampur racun, malah racun jahat yang
tidak berbau tidak berwarna, namun bekerja lambat, siapapun sulit
mengetahuinya.
Semua hadirin adalah tokoh-tokoh persilatan yang terpandang,
kebanyakan adalah para pimpinan sesuatu golongan atau aliran,
atau pemimpin yang berkuasa di suatu daerah. Mereka termasuk
kaum pendekar yang meliputi enam puluh tiga wilayah di selatan
dan utara. Jikalau mereka semua keracunan dan binasa, betapa
hebat akibatnya.
Dia ingin membongkar muslihat ini, namun segera pikirannya
bergerak. Karena ia tahu cara penggunaan racun ini adalah ajaran
tunggal dari perguruannya, kecuali ayahnya, ia kira tiada orang
kedua dalam Kangouw yang mampu meracik dan membuat racun
ini. Apa tujuan ayah menggunakan racun di sini? Untuk menuntut
balas? Padahal belum tentu semua hadirin adalah musuh.
Terbayang tragedi di Jing-goan-si, mereka pun mati keracunan
dalam perjamuan, kenapa hal itu bisa terjadi? Perlukah dia sekarang
menggagalkan tragedi itu terulang lagi?
Tengah bimbang, di antara orang-orang yang hadir dalam
perjamuan itu seorang laki-laki kurus berwajah tirus tiba-tiba
berteriak dengan gemetar: "Dalam bubur ada racun!”
Teriakannya seketika membuat seluruh hadirin menjadi ribut,
semuanya berubah air mukanya, malah tidak sedikit yang berseru
kaget: "Ha, racun?”
Hanya Wi-to-hwecu saja yang berlaku tenang-tenang tanpa
menunjukkan perubahan apa-apa, ia berpaling dan berpesan kepada
seorang pengawal pribadinya: "Perjamuan segera dihentikan, suruh
Cengkoan kemari."
Perjamuan sebanyak ratusan meja itu tidak mungkin bisa
dihentikan begitu saja, namun perintah yang dikeluarkan adalah
menghentikan penyuguhan hidangan, agaknya pihak Wi-to-hwe
memang sudah berhati-hati dan berjaga jaga akan segala
kemungkinan.
Tanpa terasa Ji Bun melirik ke arah orang tua kurus itu, betapa
kejut hatinya, karena racun yang digunakan dan tercampur di dalam
bubur sarang burung ini boleh dikatakan tidak berwarna dan tidak
berbau, kecuali orang yang tahu cara meracik dan membuatnya, dari
penciuman khusus baru bisa membedakannya. Siapakah orang tua
ini dan bagaimana asal usulnya, apa iapun kenal akan racun ini?
Wi-to-hwecu berpaling ke arah orans tua kurus, katanya "Tidak
meleset dari dugaanmu, kalau tidak sungguh sulit bagiku
memberikan pertanggungan jawab pada seluruh hadirin."
Bergetar kulit muka orang tua kurus, katanya: "Permainan kotor
dan rendah ini, sungguh amat memalukan sekali."
Wi-to-hwecu segera berseru lantang:" Tuan-tuan boleh silakan
makan minum sepuasnya, tiada apa-apa!"
Suara ribut-ribut lambat laun mereda dan berubah gelak tawa
dan percakapan pula.
Kembali Ji Bun mengarahkan pandangan pada orang tua kurus
itu, kebetulan orang itu juga memandang Ji Bun, katanya pelahan:
"Kabarnya sahabat muda ini juga paham dan ahli di bidang racun?"
Tersirap darah Ji Bun, pikirnya, aku hanya sekali menolong
Siangkoan Hong dan sekali menawarkan racun permainan orang-
orang Cip-po-hwe dan semua itu tidak diketahui orang lain,
berdasarkan apa orang tua ini bertanya demikian? "Kabarnya", kata-
kata ini mengandung arti yang luas, mungkinkah .........
Segera ia berbangkit dan menjawab: "Hanya tahu sedikit kulitnya
saja, belum terhitung ahli, dari mana tuan mengetahui?"
"Ha ha, sahabat muda, tiada sesuatu yang ada di Kangouw ini
yang serba rahasia."
Serasa menciut jantung Ji Bun.
"Sahabat muda," ujar Wi-to-hwecu sambil menunjuk si orang tua
kurus, "marilah kuperkenalkan, di dalam kalangan racun dia berjuluk
.........”
Tiba-tiba Ji Bun ingat seseorang, tanpa terasa ia berteriak
menukas: "Apakah Cui Bu-tok Cianpwee?”
"Betul," seru Wi-to-hwecu manggut-manggut, "sekali sahabat
muda tebak lantas kena."
KembaJi Ji Bun berdiri memberi hormat, katanya: "Maaf,
Wanpwee berlaku kurang hormat."
Cui Bu-tok tergelak-gelak, katanya: Ah, tidak apa!"
Dari ayahnya Ji Bun pernah meadengar cerita mengenai tokoh
racun yang aneh ini. Di jaman ini hanya dia seorang yang terhitung
betul-betul ahli dalam permainan racun. Nama aslinya adalah Cu
Ngo tok. Sifatnya pendiam dan suka menyendiri, aneh lagi, jarang
bergaul dengan siapapun, maka dia menggunakan nama Ngo-tok
(hanya aku sendiri).
Soal racun memang dipelajarinya secara mendalam, tiada racun
yang tidak mampu dipunahkan olehnya. Namun selama hidup belum
pernah dia melukai orang dengan keahlian racunnya itu. Nama Ngo-
tok dan Bu-tok (tak beracun) hampir sama, maka kaum persilatan
memanggilnya Cui Bu-tok, nama aslinya malah dilupakan orang.
Sepuluh tahun yang lalu, kabarnya orang tua ini sudah
mengasingkan diri, tidak mau mencampuri urusan duniawi lagi,
bahwa Wi-to-hwe dapat mengundangnya, sungguh kejadian yang
luar biasa.
Wi-to-hwecu angkat cangkir, katanya: "Kali ini Cui-loheng sudi
turun gunung kembali, sudi menerima jabatan Cong-tam-ciang-ling
dari perkumpulan kita, sungguh kita semua merasa beruntung.
Marilah saudara-saudara, kita habiskan secangkir ini demi kejayaan
dan ketenteraman kaum persilatan."
Ji Bun ikut minum bersama orang banyak.
Cui Bu-tok menuding bubut sarang burung sambil berkata
kepadanya: "Sahabat muda tentunya tahu racun apakah ini?"
Ji Bun pura-pura kikuk, sahutnya tertawa: "Racun ini tak bernama
dan tidak berbau, akupun sulit membedakannya.”
Pada saat itulah seorang laki-laki berpakaian biru mendatangi
dengan langkah tergesa-gesa terus memberi hormat dan melapor:
"Congkoan Ko Cin-jin menghadap Hwecu."
"Ko-congkoan, apakah diketahui ada orang mencampur racun
dalam hidangan?”
"Ya, hamba sedang mengusut dan mohon ampun akan
keteledoran ini," sahut orang she Ko itu.
"Siapakah menurut pendapat Congkoan yang mencampur racun
ini?"
"Soal ini ...... sebelum diperoleh bukti-bukti yang nyata, hamba
tidak berani memberi kepastian dan bertindak."
"Kalau demikian, Congkoan sudah menaruh curiga terhadap
seseorang?"
"Ya, benar."
"Perintahkan pada Heng-tong Bun-tongcu untuk menghadap dan
membawa anak buahnya, tangkaplah orang-orang yang
mencurigakan."
Congkoan Ko Cin-jin segera memberi hormat dan mengundurkan
diri.
Berdebar-debar jantung Ji Bun, bahkan pejabat Heng-tong (seksi
hukum) dipanggil, jelas hendak membuka sidang dan memberi
hukuman terbadap orang-orang yang bersalah di hadapan umum.
Racun yang digunakan ini jelas adalah hasil racikan khas ayahnya,
memangnya siapa lagi yang menggunakan racun di sini?
Segera seorang tua beralis tebal dan bermata besar, bercambang
lebat datang diiringi empat laki-laki berbadan kekar berotot kencang.
Begitu tiba orang yang terdepan segera mamberi hormat, serunya:
“Heng-tong Bun Kiat-san menunggu perintah."
"Segera persiapkan," kata Wi-to-hwe-cu dengan merendahkan
suara, "setelah perjamuan bubar segera membuka sidang."
"Terima perintah!" Bun Kiat-san lantas membawa anak buahnya
mengundurkan diri.
Perjamuan besar ini bubar kira-kira menjelang tengah malam,
tamu-tamu yang menginap segera dipersilakan memasuki kamar-
kamar yang sudah disediakan. Namun tak sedikit pula yang malam
itu juga turun gunung, dalam waktu sekejap keadaan menjadi sepi.
Ji Bun punya maksud tujuan sendiri, tengah ia bimbang apakah
tetap tinggal atau pergi, Wi-to-hwecu sudah berpaling ke arahnya,
katanya: "Sahabat muda, silakan menghadiri sidang kita yang
pertama."
Ji Bun tertegun, umumnya persidangan untuk menghukum atau
memutuskan sesuatu dalam setiap Pang atau Pay, perguruan silat
atau perkumpulan selalu diadakan secara tertutup dan rahasia, tak
pernah orang luar dipersilakan hadir. Karena si¬dang ini dilakukan
untuk urusan dalam perkumpulan itu sendiri, maka Ji Bun menjadi
rikuh dan bingung.
Sukar baginya meraba maksud orang menahan dirinya.
Mungkinkah asal usul dirinya sudah dike¬tahui mereka dan dirinya
dicurigai sebagai orang yang menaruh racun dalam hidangan?
Namun tadi orang sudah memerintahkan untuk membekuk orang
yang dicurigai menaruh racun.
"Saudara mungkin merasa kejadian ini di luar kebiasaan bukan?
Perkumpulan kita baru berdiri dengan resmi, lantas terjadi peristiwa
yang memalukan ini, kalau tidak konangan dan segera dicegah dan
bertindak, betapa banyak orang yang akan menjadi korban,
perkumpulan kita akan berdosa terhadap ribuan kaum persilatan
sepanjang masa. Oleh karena itu, malam ini kita bersidang dengan
mengundang para Ciang-bun-jin dari segala aliran dan golongan
yang hadir."
"Oh," lega hati Ji Bun, namun dia berkata heran: "Aku yang
rendah ini dari golongan keroco, mana bisa mendapat kehormatan
ini ........”
"Jangan merendah diri, silakan ikut kami saja.”
Walau hatinya tidak tenteram, namun Ji Bun ingin juga tahu
siapakah orang yang menaruh racun, maka ia tidak banyak bicara
lagi.
^^^^
Lilin sebesar kepalan sedang menyala terang di dalam ruangan
besar yang cukup muat ratusan orang, tiga meja besar berjajar di
ujung tengah kiri dalam bentuk segi tiga. Asap dupa mengepul tinggi
di meja tengah yang di belakangnya tertaruh sebuah papan cendana
yang diukir huruf indah berbunyi,
"Thian Te" (langit dan bumi).
Memang luar biasa dan berbeda dari meja pemujaan dari
berbagai perguruan silat lain yang menaruh abu pemujaan cakal
bakal perguruannya, yang dipuja Wi-to-hwe adalah Thian Te,
maksudnya mereka berazas tujuan demi langit dan bumi untuk
memberantas kelaliman, memang sesuai benar dengan nama
perkumpulannya.
Dua meja yang lain, yang di sebelah kiri diduduki Wi-to-hwecu,
yang kanan ternyata ditaruh tandu berhias yang misterius itu. Di
belakang Wi-to-hwecu berderet berdiri tujuh orang tua, termasuk
Bu-cing-so, Siang-thian-ong dan Cu Bu-tok. Ji Bun teringat pada
perempuan berkerudung kain sari itu, entah bagaimana kesudahan
perkelahian kedua orang tua itu setelah dirinya pergi?
Deretan meja kursi yang berjajar di sebelah kanan di mana Ji Bun
berduduk bercampur dengan para ketua dan pimpinan berbagai
cabang persilatan, berhadapan dengan meja perjamuan sana. Heng-
tong Tongcu Bun Kiat-san berdiri dengan membusungkan dada
bersama delapan anak buahnya.
Kesunyian mencekam perasaan dalam ruang yang besar dengan
hadirin yang begini banyak, hanya api lilin saja yang kadang-kadang
meletik berbunyi.
Tiba-tiba sebuah suara lantang kumandang di depan pintu
ruangan: "Oh-hiangcu, datang menghadap untuk, terima perintah!"
"Masuklah!" seru Wi-to-hwecu dengan suara berat.
Seorang tua bermuka pucat kehijauan melangkah masuk dengan
menunduk, di belakangnya diiringi dua laki-laki kekar berpakaian
serba merah, jelas laki-laki tua bermuka kehijauan ini digusur masuk
sebagai terdakwa dalam perkara peracunan ini.
Langkah laki-laki muka hijau rada sempoyongan dan ragu,
kepalanya tetap menunduk terus menuju ke tengah dan berdiri di
belakang Bun Kiat-san.
"Buka sidang!" Heng-tong Tongcu Bun Kiat-san segera memberi
aba-aba.
"Buka ...... sidang ......." sepuluh anak buahnya serempak meniru
berseru lantang dan panjang. Tegang seluruh hadirin, semua
menaruh perhatian benar. Wajah Wi-to-hwecu tetap tenang hanya
kulit mukanya bergerak-gerak, lalu berkata dengan suara berat: "Go-
hiangcu, kau sudah tahu apa dosamu?”
Laki-laki itu angkat kepalanya, suaranya gemetar: "Hamba tidak
tahu dosa apa yang telah kulakukan?"
"Sewaktu masuk menjadi anggota perkumpulan kita kau telah
bersumpah terhadap Bumi dan Langit, betapapun kau sudah menjadi
anak murid perkumpulan kita, kau mau mengakui hal ini tidak?"
"Ya, itu kuakui," jawab laki-laki itu.
"Kalau begitu, berlututlah terhadap pemujaan Bumi dan Langit."
Laki-laki baju hitam berlutut dan menyembah ke arah pemujaan,
entah sengaja atau tidak, dikala membungkuk badan, kepalanya
sedikit miring dan matanya melirik ke arah Ji Bun.
Lirikan sekejap itu cukup membuat Ji Bun merinding dan tersirap
seperti kesetrom listrik. Dari lirikan orang sekaligus ia sudah dapat
mengenali siapa sebetulnya Hiangcu she Go itu, lahirnya ia tetap
berlaku tenang, namun detak jantungnya berdebur laksana ombak
mengamuk, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Setelah laki-laki baju hitam berlutut, berkata pula Wi-to-hwecu:
"Menaruh racun di dalam makanan, dengan tujuan membunuh para
undangan perkumpulan kita, siapa yang menyuruhmu melakukan
ini?"
"Hamba betul-betul tidak tahu menahu akan hal ini."
"Go Gun, jangan lupa, kau pernah bersumpah dihadapan Bumi
dan Langit, sebaiknya berterus terang saja."
"Harap kebijaksanaan Hwecu."
“Hm, Go Gun, ratusan murid perkumpulan yang mengadakan
perjamuan di Jing goan-si, semuanya mati keracunan, bukankah
itupun hasil karyamu?"
"Bukan, hamba sungguh penasaran.”
Tiba-tiba kumandang dari dalam tandu hias: "Berikan bukti-bukti
kepadanya."
Seperti dipukul godam jantung Ji Bun demi mendengar bukti
yang hendak diajukan oleh pihak Wi-to-hwe. Seperti diketahui, tanpa
juntrungan tempo hari ia main terjang ke dalam Jing-goan-si serta
memergoki pembunuhan itu, orang dalam tandu itu menuduh dirinya
pembunuhnya. Untung Thian-thay-mo-ki muncul dan menunjukkan
tanda perguruannya dan menolong jiwanya, kiranya para korban, itu
adalah murid-murid Wi-to-hwe .....
Wi-to-hwecu tertawa dingin, katanya: "Go Gun, nama aslimu
bukan Go Gun, bukan?"
Bergetar badan laki-laki berbaju hitam, dia tidak bersuara, sorot
matanya kembali melirik Ji Bun. Semakin tidak tenang perasaan Ji
Bun, kalau laki-laki ini mengakui asal usulnya dan menuding siapa
pula dirinya, betapa akibatnya sungguh sukar dibayangkan.
Kepandaian orang dalam tandu, Bu-cing-so, Siang-thian-ong,
semua sudah pernah dia saksikan sendiri. Tentunya kepandaian
Hwecu ini juga bukan main hebatnya, dirinya terang bukan
tandingan mereka.
"Bun-tongcu!" seru Hwecu tiba-tiba.
"Hamba di sini."
"Copot kedok mukanya!"
"Terima perintah!” Bun Kiat-san segera melangkah maju.
Tiba-tiba laki-laki baju hitam melompat bangun, tangannya terus
menjotos ke arah Wi-to-hwecu.
Terdengar gerungan rendah dari dalam tandu, segulung angin
berkisar secara aneh menyambar dari dalam tandu, jotosan kencang
laki-laki berbaju hitam seketika sirna tanpa bekas.
Sementara Bun Kiat-san sudah menubruk maju seperti harimau
menerkam mangsanya. Sekali telikung dan tekan, dia terus tutuk
Hiat-to laki-laki berbaju hitam, hanya sekali mendengus laki itu
roboh terkulai tak bergerak lagi.
Bun Kiat-san lantas meraih ke mukanya, kedok yang tipis halus
segera tercomot ditangannya. Tertampaklah seraut wajah yang
merah seperti buah kurma berkulit kasar.
Wi-to-hwecu menyeringai dingin, katanya: "Inilah dia, aslinya
Coangkoan Ji-sing-po, bernama Pui Ping-jio."
Seluruh hadirin berjingkat kaget, kepala Lo-han-tong dari Siau-
lim-si, It-sim Taysu segera bersabda Buddha, suaranya lantang bagai
lonceng bergema, katanya: "Ji-sing-pocu, Ji Ing-hong melakukan
perbuatan kotor yang memalukan ini, apakah tujuannya?"
Bu-cing-so segera menanggapi: "Maksud tujuannya amat besar,
kemungkinan ingin merajai dan berkuasa di seluruh Kangouw."
Pejabat ketua Bu-tong-Pay Cin-ji Totiang ikut menimbrung
dengan suara kereng: ''Kabarnya markas Ji-sing-po diserbu dan
seluruh anggotanya mati terbunuh, apakah hal ini memang sengaja
dilakukan sendiri oleh Ji Ing-hong untuk mengelabui mata umum?"
Seperti ditusuk sembilu hati Ji Bun, terbayang olehnya
pemandangan seram dan mengerikan di Ji-sing-po, namun ia harus
tekan perasaan dan tak boleh membeberkan rahasia ini, namun
tekadnya untuk menuntut balas semakin besar.
Orang dalam tandu bersuara pula: "Silakan Hwecu memberi
keputusan hukum sesuai peraturan perkumpulan kita!"
Secara tidak langsung ucapannya ini hendak menyatakan bahwa
sidang dan keputusan yang terjadi di dalam Wi-to-hwe orang luar
tiada hak turut campur.
Ketua Bu-tong dan pimpinan Siau-lim-si tahu mereka telah
kelepasan omong, maka selanjutnya mereka hanya tutup mulut saja.
"Pui Ping-jio," bentak Wi-to-hwecu bengis, "Aku tetap
memanggilmu Go-hiangcu, sekarang tahukah apa dosamu?"
"Mau bunuh atau mau sembelih silahkan," teriak Pui Ping-jio
beringas, "utang jiwa ini kelak pasti ada orang yang menagih ......”
"Tutup mulutmu, kau pernah bersumpah masuk anggota, peduli
bagaimana asalmu dan apa tujuannya, kau tetap harus menerima
putusan hukum perkumpulan kita, Bun-tongcu .....”
"Hamba sudah siap!"
"Apa hukumannya bagi anak murid kita yang melanggar undang-
undang dan memberontak?"
"Menurut undang-undang nomor satu, bagi yang khianat harus
dihukum mati."
"Gusur dia keluar!”
"Baik!" sahut Bun Kiat-san sambil mengusap tangan, dua orang
segera maju memapah Pui Ping-jio keluar.
Ji Bun tidak tahu apa tujuan ayahnya menyelundupkan Congkoan
Pui Ping-jio ke dalam Wi-to-hwe dan dua kali menaruh racun dalam
makanan, namun dari situasi dan keadaan ini, tujuannya untuk
menuntut balas. Menuntut balas sakit hati soal apa belumlah jelas,
kemungkinan Wi-to-hwecu ini adalah salah seorang yang
menimbulkan banjir darah di Ji-sing-po. Tak kuasa mengendalikan
perasaannya lagi, tiba-tiba ia berdiri ......”
"Saudara muda, apakah kau punya usul dan ingin bicara?" tanya
Wi-to-hwecu.
Ji Bun tahan mentah-mentah air mata yang hendak menetes dan
darah yang hendak menyembur keluar, dia kendalikan pula rasa
benci dan dendamnya. Dengan sikap rikuh dan kikuk ia berkata:
"Cayhe punya urusan penting yang harus segera diselesaikan, harap
Hwecu suka memberi izin supaya Cayhe boleh mengundurkan diri
lebih dulu."
Sudah tentu ini hanya alasan yang dibuat-buat, alasan yang
sekenanya diucapkan karena terdesak oleh keadaan. Ia harus
menolong Pui-congkoan, namun keadaan tidak mengidzinkan dan ia
memang tidak mampu, maka dengan mendelong ia harus
menyaksikan orang sendiri dihukum mati. Oleh karena itu hanya
menyingkir saja jalan satu-satunya buat meringankan tekanan
batinnya.
Wi-to-hwecu tertawa lebar, katanya: "Saudara muda boleh
silakan, kusuruh orang untuk mengantarkan, kalau ada waktu harap
suka mampir lagi."
Orang dalam tandu menimbrung: "Tempo hari aku salah paham
dan turun tangan, apakah Siauhiap suka memaafkan kesalahan itu?"
Dalam hati amat dendam, namun mulut Ji Bun menjawab:
"Terlalu berat kata-katamu ini, urusan sekecil itu kenapa dipikirkan?"
Sementara itu Pui Ping-jio sudah digusur keluar nasibnya tidak
perlu ditanyakan lagi. Hati Ji Bun seperti dibakar, sedetikpun tak
tahan lagi tinggal di sini. Setelah memberi hormat, bergegas dia
berjalan keluar.
Setiba dilapangan luas, seorang berbaju hitam lantas
mendekatinya, sapanya sedikit membungkuk: "Harap Siauhiap
tunggu sebentar, hamba akan siapkan seekor kuda."
Ji Bun angkat tangan, katanya: "Tidak perlulah."
Sekali kaki menutul badannya terus melesat ke arah luar gunung.
Dendam bertumpuk dalam hatinya, membuat napas serasa sesak,
rasanya ingin dia membunuh sepuasnya untuk melampiaskan
dendamnya. Namun kenyataan tidak memungkinkan, dia harus
bekerja sesuai rencana.
Dari kejadian hari ini, ia percaya bahwa secara diam-diam
ayahnya sudah mulai bergerak. Lebih tersiksa perasaannya karena
sedemikian jauh ia belum mengetahui siapakah sebetulnya musuh
besarnya.
Setelah tiba di luar gunung, ia berdiri sejenak menghirup napas
panjang untuk melapangkan perasaannya. Tiba-tiba tak jauh dari
tempatnya berdiri dari arah kiri sana berkelebat sesosok bayangan
orang menyelinap lenyap ke dalam hutan. Memangnya Ji Bun
sedang merasa dongkol tak terlampiaskan, segera ia menubruk ke
hutan sana.
4.11. Kehilangan Anting Kenangan
Bayangan seorang bertubuh tinggi kekar tampak berdiri di dalam
hutan. Dari sinar matahari yang menembus dari celah-cela dedaunan
pohon, dilihatnya jelas orang ini berjubah sutera mengenakan
kerudung kepala.
Tanpa pikir ia menubruk maju terus menyerang dengan pukulan
ganas.
"Bun-ji, gila kau!" bentak bayangan kekar itu.
Mendengar suara bentakan ini, segera Ji Bun menahan terjangan
dan menghentikan pukulannya, teriaknya: "Apakah ayah?”
"Ya, inilah aku, kenapa kau?"
"Ayah!" seperti seorang anak yang tersiksa tahu-tahu berjumpa
ayah bundanya, tak tertahan lagi air matanya lantas bercucuran.
"Nak, kau .............”
"Yah, benteng kita ..............”
"Kau sudah tahu?"
"Ya, siapakah pembunuhnya
"Orang-orang Wi-to-hwe itulah."
"Oh ....., mereka?" terpancar cahaya penuh nafsu membunuh
dari mata Ji Bun, darah terasa mendidih dalam rongga dadanya.
“Nak, kenapa begitu melihat aku lantas kau menyerang seganas
itu?"
"Tahukah ayah ada seorang menyaru dirimu, dua kali dia
menyerangku ........."
"Apa, ada orang menyamar diriku?"
"Ya, persis sekali, tulen atau palsu sukar kubedakan."
"Mungkin perbuatan orang-orang Wi-to-hwe.... ."
"Tidak mungkin."
"Kenapa?"
"Baru saja aku menjadi tamu kehormatan mereka, dan mereka
belum tahu asal usulku."
"Kau keliru nak, betapa keji culas muslihat orang-orang Kangouw,
kemungkinan mereka memang sudah mengatur secara rapi."
Memang tidak salah, demikian pikir Ji Bun, tanpa sebab kenapa
dirinya diundang sebagai tamu kehormatan, malah diminta hadir
dalam sidang mereka, dalam hal ini pasti ada latar belakang dan
tujuan tertentu. Seketika ia bergidik sendiri, namun bara dendamnya
semakin menyala.
"Yah, siapakah Wi-to-hwecu sebenarnya?” tanyanya kemudian.
"Sekarang belum diketahui secara pasti, kemungkinan salah
seorang musuhku dulu."
"Dari mana ayah mendapat tahu."
“Nak, muka yang kau lihat itu bukan wajah aslinya, dia
mengenakan kedok."
"Oh, pantas tak enak dipandang, tentunya ayah bisa menebak
siapa dia, berapa gelintir saja orang-orang yang berkepandaian
setinggi itu.”
“Dunia terlalu luas, serba serbi dunia sukar diraba pula, musuh
tangguh yang sekarang kemungkinan adalah kaum keroco masa lalu,
darimana kita bisa merabanya dengan tepat?"
"Apakah Siang-thian-ong dan lain-lain itupun ikut dalam peristiwa
ini? Ada orang bernama Siangkoan Hong, apakah dia pembunuh
utamanya?"
Tiba-tiba orang berkedok menyurut mundur, suaranya gemetar:
"Kau kenal Siangkoan Hong?"
"Ya, beberapa waktu yang lalu, ia tergeletak luka-luka di pinggir
jalan, napas sudah kempas-kempis karena keracunan, anak memang
terlalu banyak ulah dan telah menolongnya."
"Dia tahu asal usulmu?"
"Tidak tahu"
"Betul, memang dia pembunuh utamanya."
“Siapakah Siangkoan Hong itu?"
"Terakhir dari Jit-sing-pat-siang (delapan panglima dari Jit-sing),
belakangan dia lari menjadi pengkhianat."
Mendelik biji mata Ji Bun, hal ini benar-benar di luar dugaannya,
bahwa Siangkoan Hong adalah nomor kedelapan dari Jit-sing-pat-
ciang, sejak meningkat besar dan tahu urusan, seingatnya anak
buah ayahnya yang diandalkan hanya Jit-sing-lak-ciang (enam
panglima) saja.
"Yah, lalu di mana salah seorang yang lain"
“Dialah tertua dari Jit-sing-pat-siang, sepuluh tahun yang lalu lari
bersama Siangkoan Hong."
"Siangkoan Hong menyapu bersih benteng kita, Lak-ciang
dibantainya pula, apakah tujuannya?”
"Ayah sendiri sampai sekarang belum jelas kemana maksud
tujuan mereka itu, untuk ini kita harus langsung tanya kepadanya."
"Bukankah ayah pernah bentrok dengan dia?”
"Ya, namun dia tidak pernah mengatakan alasannya. Lwekang
dan Kepandaian silatnya sekarang teramat tangguh di luar
dugaanku, lika-liku persoalan itu kukira tidak mudah untuk diselami
.....”
"Kalau demikian Siangkoan Hong pasti salah seorang dari Wi-to-
hwe?"
"Kemungkinan besar."
"Oh, ya, ayah, tentang Pui-congkoan, dia. . . ."
"Kenapa?"
"Muslihatnya konangan musuh waktu menaruh racun dalam
hidangan, kini dia sudah berkorban."
Bergetar tubuh orang berkedok, teriaknya dengan beringas: "Apa
yang pernah dia katakan?"
"Sepatah katapun dia tidak mengaku."
"Bagus, bagus! Aku bersumpah akan menuntutkan balas baginya
...... sebetulnya ah, hanya menambah jumlah tagihan saja."
"Ayah, maafkan anak bicara terus terang, seluruh ketua cabang
persilatan pada jaman ini boleh dikatakan hadir semua dalam
perjamuan mereka, jikalau melihat Pui-congkoan berhasil ..........”
"Nak, ayahmu ini tidak suka bila banyak orang dalam dunia ini
tak tunduk kepadaku."
Ucapan seorang durjana, Ji Bun merasa tertusuk kupingnya
mendengar kata-kata ini, namun ia berhadapan dengan ayah sendiri,
apa yang bisa ia katakan?
Setelah dengan rasa serba salah, akhirnya Ji Bun bertanya
dengan haru: "Yah, dimanakah ibu sekarang?"
"Akupun sedang mencarinya."
"Ibu tidak sampai tertimpa bencana, bukan?"
"Sudah tentu tidak. Entah kelak."
Berkerutuk gigi Ji Bun saking gemas, katanya dengan murka:
"Bagaimana rencana ayah selanjutnya? "
"Membalas dendam tentunya. Ayah sudah mengatur rencana,
lebih baik kau tetap bekerja seorang diri mencari kesempatan untuk
memberantas musuh satu persatu untuk mengurangi kekuatan
mereka, namun harus hati-hati dan jangan sampai meninggalkan
bekas-bekas yang mencurigakan."
"Anak mengerti dan akan bekerja, seperti petunjuk ayah."
"Baiklah, kita ayah beranak tidak, bisa kumpul bersama, sekaligus
juga untuk tetap merahasiakan asal usulmu, kalau ada urusan akan
kusuruh orang mengadakan kontak .......”
"Yah, masih ada suatu hal, soal lamaran puteri keluarga Ciang di
Kayhong ........”
"Keluarga hancur jiwa terancam, hal itu tidak usah disinggung
lagi. Nak, jaga dirimu baik-baik, ayah berangkat dulu!"
Habis kata-katanya, sekali berkelebat lenyaplah bayangannya,
meluncur ke dalam kegelapan sana.
Baru sekarang Ji Bun ingat perkataan Thian-thay-mo-ki, bahwa
dia pernah meninggalkan tanda mata di atas kepala orang berkedok,
kenapa tadi dia lupa memeriksa dan membuktikan, sudah tentu
curiga terhadap ayah sendiri adalah sesuatu yang janggal dan
menggelikan. Namun hal ini harus diberitahu kepada beliau, dengan
tanda-tanda ini beliau bisa ikut mencari orang yang menyarunya itu.
Keluarga berantakan, rumahpun sudah hancur, inilah tragedi
yang paling mengenaskan dalam dunia. Dengan terlongong ia berdiri
mematung di bayang-bayang kegelapan hutan, sedapat mungkin ia
memusatkan pikirannya yang kalut.
Apa rencana ayahnya? Bagaimana dirinya harus bergerak? Ke
mana pula ia harus menemukan ibunya? Di mana Siangkoan Hong
bersembunyi? Bahwa keparat itu adalah musuh ayahnya, namun
telah ditolongnya malah, sungguh perbuatan brutal yang lucu.
Jikalau sejak mula dirinya sudah punya pendirian seperti sekarang,
kesalahan tentu tidak perlu terjadi?
Mengingat musuh-musuhnya, perasan Ji Bun menjadi berat,
mereka sudah diketahui adalah bangkotan-bangkotan silat yang
sukar ditandingi. Bicara soal menuntut balas, sungguh sukarnya
buka main, dan ayahnya seperti menyembunyikan sesuatu, tidak
mau menjelas asal mula dari permusuhan ini.
Pikirannya teringat kepada Gadis baju merah Pui Ci-hwi pula,
semula ia merasa cemburu akan pergaulan pujaan hatinya ini
dengan pemuda baju putih dari Cip-po-hwe yang bejat itu. Kini rasa
cemburu ini sudah lenyap, karena Pui Ci-hwi mengakui sebagai salah
seorang Wi-to-hwe. Mereka adalah pembunuh-pembunuh yang
membantai seluruh penghuni Jit-sing-po, maka Pui Ci-hwi menjadi
salah seorang musuhnya pula, dendam dan cinta selamanya takkan
berdiri berdampingan.
Tanpa terasa ia terbayang pula pada Ciang Bing-cu serta merta ia
merogoh saku, mengeluarkan anting-anting batu pualam pemberian
nona itu. Anting-anting yang punya arti terlalu besar di mana saja ia
berada dengan sesuka hati boleh ambil dan menggunakan uang.
Anting-anting ini terhitung pusaka yang tak ternilai harganya.
Baru sekarang ia sempat memperhatikan anting-anting ini,
sebetulnya tiada sesuatu yang istimewa, tak ubahnya dengan anting
umumnya. Dengan teliti ia bolak-balik memeriksanya, namun tidak
diperoleh sesuatu yang mencurigakan, apakah keluarga Ciang tidak
takut orang memalsu anting-anting ini untuk menggerogoti harta
kekayaannya?
Sekonyong-konyong sebuah bayangan berkelebat laksana kilat
menyambar, begitu cepat dan luar biasa sekali, bagai setan dan
seperti iblis. Ji Bun bukan kaum kroco, secara refleks ia melancarkan
serangan mematikan, namun bayangan itu tidak berhenti, sekali
berkelebat tahu-tahu sudah lenyap pula.
Keruan bukan kepalang kaget Ji Bun. Tiba-tiba merasakan anting-
anting yang dipegangnya telah lenyap, bertambah besar kejutnya.
Jika anting-anting itu terjatuh orang-orang yang tidak bertanggung
jawab di Kangouw, betapa besar akibat yang bakal timbul
karenanya? Mungkinkah orang sudah tahu manfaat atau kegunaan
dari anting-anting itu serta mengintai dan mengincarnya selama ini.
"Kurcaci kurang ajar!" hardik Ji Bun, badan¬nya melenting
secepat kilat mengejar ke arah lenyapnya bayangan. Waktu itu
malam gelap gulita, hutan lebat sehingga pandangan remang-
remang, untuk mengejar seorang yang punya gerak gerik begitu
cepat dan gesit, jelas tiada harapan sama sekali. Setiba di luar
hutan, mana ada bayangan manusia.
Gemetar badan Ji Bun saking murka, dengan lesu ia
menghentikan pengejarannya, hatinya lebih merasa jeri dan ngeri
daripada penasaran. Untuk pertama kali ini serangan dirinya yang
ampuh kehilangan gunanya. Hal ini tidak pernah terjadi, betapapun
tinggi kepandaian silat seorang, kecuali tidak kena dengan telak,
kalau terpukul pasti jiwanya melayang. Namun bayangan yang satu
ini tetap dapat kabur dan menghilang setelah terkena serangannya.
Kecuali ayahnya, tak terpikir olehnya jago silat mana yang
mampu bertahan hidup setelah kena serangannya, sungguh hebat
dan mengerikan. Siapakah orang yang kuat bertahan dari pukulan
yang mematikan ini? Mungkinkah perbuatan orang-orang Wi-to-
hwe?
Sayang gerakan bayangan itu teramat cepat, hakikatnya ia tidak
jelas membedakan bentuk bayangan itu. Bagaimana ia harus
memberi pertanggungan jawab kepada Ciang Bing-cu? Inilah
persoalan penting dan terbesar.
Orang yang tahu bahwa dirinya membawa anting-anting itu
hanya Thian-thay-mo-ki seorang, namun Thian-thay-mo-ki takkan
kuat menghadapi pukulan yang mematikan. Pula gerak-geriknya
tidak segesit itu. Ji Bun jadi menyesal kenapa semula ia tidak
menolak saja pemberian anting-anting ini, namun menyesalpun
sudah kasip.
Sedang terlongong dan kehabisan akal, kupingnya mendengar
desiran seperti lambaian pakaian yang tertiup angin. Tampak
sesosok bayangan berlari mendatangi dari arah hutan sana. Kontan
Ji Bun menyambutnya dengan bentakan: "Berhenti!"
Bayangan segera berhenti, Ji Bun segera menubruk maju, setelah
dekat dan melihat jelas, diam-diam ia merasa sebal, ternyata
pendatang ini adalah Thian-thay-mo-ki."
"Dik," kata Thian-thay-mo-ki, untunglah kau bersuara, kalau tidak
kita takkan bertemu di sini."
Memangnya hati sedang gundah, maka Ji Bun menyambut
dengan tak acuh: "Kau mengejar aku? Ada keperluan apa?"
"Agaknya kau kurang senang?"
Tiba-tiba tergetar hati Ji Bun, mungkinkah perempuan
berkerudung kain sari itulah yang merebut anting-antingnya,
kepandaian orang begitu tinggi, kemungkinan sekali dialah orang
yang melakukannya, dan lagi yang tahu akan hal ini hanya Thian-
thay-mo-ki, bukan mustahil ia memberitahu rahasia ini kepada
gurunya, betapapun arti dari anting-anting itu teramat besar, maka
dengan sikap dingin ia bertanya: "Mana gurumu?"
"Guruku?"
"Ya, perempuan berkerudung kain sari hijau itu.”
"Dik, watak guruku terlalu nyentrik, kejadian yang kau alami
anggaplah tidak ada."
"Memangnya aku tidak ambil peduli."
"Syukurlah kalau begitu."
"Siapakah nama julukan gurumu yang mulia?"
"Maafkan untuk hal ini, guruku tak senang namanya diketahui
orang luar, sudah puluhan tahun beliau tidak muncul di Kangouw."
"Kali ini gurumu turun gunung, tentunya mempunyai maksud-
maksud tertentu?"
"Memang benar, namun itu urusan pribadi beliau."
"Gurumu masih ada di atas gunung ini?"
"Tidak, setelah berkelahi dengan Siang-thian-ong, ia lantas
meninggalkan tempat ini. Dik agaknya ada sesuatu yang mengganjal
hatimu?"
"Ya, ada sedikit."
"Boleh beritahukan padaku?"
"Anting-anting pemberian Ciang Bing-cu tempo hari itu baru saja
direbut seseorang."
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar