Kiranya alat perabot dalam gedung yang begitu
mewahnya itu, hanya sebuah balai2 saja. Dua orang tengah
duduk bersila diatas balai2 itu. Yang seorang kepalanya
lancip rambutnya keriwis2 (jarang). Kalau tiada memakai
sanggul, sepintas pandang orang tentu mengiranya seorang
lelaki. Ia mengenakan jubah warna hijau. Wajahnya juga
sangat aneh, putih ke-hijau2an warnanya, mirip dengan
sebuah mayat hidup. Sedang yang satunya seorang lelaki
bertubuh kurus, ya sedemikian kurusnya hingga tinggal
tulang terbungkus kulit sad ya. Dia han ya memakai celana
panjang saja, tubuhnya bagian atas tak memakal baju.
Tulang rusuknya menonjol-masuk aneh bentuknya.
Dadanya melesek, masuk, warna kulitnya sok2an, sok
merah sok kuning tak berketentuan. .
Ketika memasuki ruangan itu, Yan-chiu merasakan
suatu hawa yang panas. Tapi ketika dia berkisar kesamping
ternyata disitu terasa dingin, hingga hampir membuatnya
menggigil. Buru2 ia salurkan Iwekang untuk melindungi
diri: Chiu-yap yang berdiri diluar pintu, tak henti2nya
menggigil.
Ketika Yan-chiu masuk, bermula kedua orang aneh itu
diam tak menghiraukan. Tapi kemudian tiba2 wajah
siorang lelaki itu mengunjuk keheranan.
"Murid Ang Hun Kiong angkatan keberapakah kau In!?"
tegurnya.
Otak Yan-chiu bekerja keras. Kalau menyebut
angkatannya keliwat tinggi, tentu akan menimbulkan
kecurigaan mereka. Maka dengan chidmatnya ia segera
menyahut: "Angkatan ketiga!"
Orang itu mendengus dan meng-amat2i Yan-chiu dengan
seksama, kemudian memandang kearah Chiu-yap. Tiba2
dia tertawa ter-loroh2, suaranya mirip dengan ayam betina
yang habis bertelur.
Yan-chiu tak tahu apa yang digelikan orang itu. Namun
ia rasakan bulu romanya sama berdiri. Seluruh ruangan
disitu serasa diliputi dengan suasana yang aneh. Diam2
Yan-chiu menduga jangan2 kedua orang inilah yang disebut
Hwat Siau dan Swat Moay itu. Tapi tak tahu ia, yang mana
Hwat Siau, yang mana Swat Moay itu. Selagi dia tengah
menimang2, ruangan itu makin lama makin panas rasanya.
Kiranya sembari ketawa itu, wajah siorang laki2 itu
makin merah warnanya. Hawa yang disemburkan dari
mulutnya itu menyerupai uap panas yang dimuntahkan lava
gunung berapi. Apa boleh buat Yan-chiu terpaksa kerahkan
lwekangnya untuk bertahan. Tapi dalam pada itu tahulah
kini ia, bahwa siorang laki2 itu tentu Hwat Siau adanya.
Pernah suhunya mengatakan, bahwa sepasang suami isteri
itu meyakinkan ilmu lwekang im-yang-cui-hwat-kang, yang
satu Iwekang cui (air) yang lain lwekang hwat (api).
Lihaynya tiada tertara.
Syukurlah tiba2 Hwat Siau hentikan ketawanya, Ialu
menatap kearah Yan-chiu, ujarnya: "Usiamu masih begitu
muda apalagi hanya murid angkatan ketiga dari gereja ini,
tapi kau memiliki lwekang yang begitu bagus. Apakah
sebelum menjadi murid disini kau sudah memiliki
kepandaian lain?"
Kini baru Yan-chiu tersadar bahwa pertahanannya
dengan lwekang tadi telah dapat diketahui orang. Kalau
dirinya sampai ketahuan, ah celaka. Dengan mengucurkan
keringat dingin, buru2 ia menyahut: "Ya, memang benar
begitu!"
Sekalipun Hwat Siau bercuriga, namun mengingat
bahwa penjagaan gereja Ang Hun Kiong sedemikian
kokohnya hingga tak perlu dikuatirkan akan adanya musuh
menyelundup, maka diapun tak mau mengurus lebih
panjang. "Ambilkan dua baskom air!" serunya.
GAMBAR 74
Menyangka Yan Chiu sebagai imam pelayan, Hwat Siau dan
Swal Moay memerlntahkan dia mengambilkan baskom berisi air
guna melatih Lwekang mereka.
Yan-chiu lekas2 berlalu menghampiri Chiu-yap. Tak
berselang berapa lama anak itu datang dengan membawa
dua baskom air, terus disambuti Yan-chiu.
"Yang satu letakkan dihadapanku, yang lain
dihadapannya!" kembali Hwat Siau memerintahnya.
Dalam kesempatan itu, Yan-chiu melirik kepada Swat
Moay, siapa tampak masih meramkan mata tiada ber-kata2.
tapi ketika baskom diletakkan dihadapannya, iapun segera
mengetahui lalu masukkan tangannya kanan kedalam air.
Hwat Siaupun berbuat serupa.
Tak berselang lama, kedengaran Hwat Siau menyuruh:
"Ambil baskom itu kesana dan baskom itu kemari!"
Yan-chiu tak mengerti apa maksudnya perpindahan
tempat itu, tapi ia pun mengerjakan juga. Tapi ketika
tangannya menyentuh air baskom dihadapannya Hwat
Siau, buru2 ia menarik pulang tangannya dan hampir saja
mulutnya menjerit kesakitan.
Kiranya air baskom Hwat Siau panasnya seperti air
mendidih, sedang air dibaskom Swat Moay tadi dinginnya
melebihi es. Sepanjang hidupnya, belum pernah Yan-chiu
menyaksikan ilmu kepandaian yang sedemikian ganasnya
itu. Tapi ia tetap belum jelas, bagaimana ilmu itu
dipergunakan untuk menyerang musuh.
Kedua suami isteri itu memasukkan tangannya masing2.
Air yang mendidih menjadi dingin dan yang dingin menjadi
mendidih. Ber-turut2 lima enam kali mereka saling tukar
secara begitu. ”Latihan” itu berlangsung kira2 hanya
satengah jam saja.
”Bikin repot kau lagi ni. Coba panggilkan ke 18 orang itu
kemari dan setelah itu kau boleh beristirahat!” kembali
Hwat Siau memberi perintah.
Sungguh mati, Yan-chiu tak tahu apa yang dimaksudkan
dengan ”ke 18 orang itu”. Tapi dikarenakan ilmu
kepandaian sepasang suami isteri itu sedemikian saktinya,
iapun tak berani banyak cincong. Ketika menghampiri
Chiu-yap dilihatnya tubuh anak itu basah kuyup bersimpah
peluh (mandi keringat).
”Cici, ayuh kita lekas melarikan diri saja!” bisik anak itu
dengan nada gemetar.
”Mereka suruh kita panggilkan ke 18 orang, apa sih itu
?” sahut Yan-chiu. Tapi serta mulutnya mengucap begitu,
pikirannya terkilas sesuatu. Yang dimaksud dengan ”ke 18
orang” itu, apa bukan ke 18 jagoan yang dibawa oleh kedua
suami isteri itu sendiri ? Dengan memanggil kawanan
jagoan itu, terang kedua kepala jagoan itu hendak
mengadakan rundingan penting, yalah rencana untuk
membasmi para kaum gagah yang tergabung dalam
rombongan Ceng Bo siangjin. Ah...., kalau sedemikian
halnya, sungguh bukan suatu hal yang kecil artinya.
Biarpun nanti andaikata dirinya sampai kepergok mereka
dan menjadi korban, tak apalah. Pokok asal dapat
menyelamatkan bencana yang akan menimpa para pejoang
kemerdekaan itu. Juga dalam hal itu, rasanya lebih penting
daripada rencananya untuk menolong Koan Hong dan
Wan Gwat. Ya betapapun halnya, ia harus dapat ”mencari”
dengar, rencana, mereka itu.
”Usah kau gelisah, bantulah aku untuk memanggilkan ke
18 orang itu. Ah...., urusan itu penting sekali, ayuh lekas
kesana!” Yan-chiu tambahkan lagi keterangannya, lalu ajak
anak itu cepat2 berlalu.
(Oodwkz-kupay-oO)
BAGIAN 41 : RENCANA KEJI
Dengan setengah menyeret Chiu-yap yang masih
dengkelen (gemetar kakinya) itu, Yan-chiu sampai didepan
gedung disebelah tempat ruangan Hwat Siau dan isterinya
tadi. Kiranya rumah itu kosong, maka Yan-chiu segera ajak
anak itu masuk dari jendela. Setelah menutup daun jendela,
ia lalu tempelkan telinganya pada dinding tembok yang
memisahkan ruangan itu dengan ruangan sebelah tempat
Hwat Siau - Swat Moay tadi. Ai, kiranya kedengaran juga
pada saat itu Hwat Siau tengah pasang omong dengan
isterinya.
"Niocu, kali ini kalau kita dapat berhasil dengan usaha
yang luar biasa hebatnya ini, kaum persilatan diseluruh
jagad, tentu akan tunduk pada kita," kata Hwat Siau.
"Koanjin, kata2mu itu benar adanya. Tadi kudengar
laporan bahwa Ang Hwat cinjin sudah bertempur dengan
Hay-te-kau dan Kang Siang Yan. Biarkan mereka berkelahi
mati2an sendiri, kita tinggal enak2an memetik buahnya!"
sahut Swat Moay.
Niocu berarti nyonyah, digunakan oleh seorang lelaki
untuk menyebut isterinya. Dan "koajin" berarti suami,
bahasa sebutan yang diucapkan oleh seorang wanita kepada
suaminya:
"Niocu, belum2 jangan banyak bicara dulu, kita harus
menjaga telinga diruangan sebelah ini!" kata Hwat Siau.
Yan-chiu seperti dipagut ular, tapi pada lain saat ia dapat
berlaku tenang lagi. Diam2 ia menyeringai urung, masa
manusia macam begitu masih berbicara dalam bahasa
halus. Se-konyong2 dari luar terdengar derap kaki orang
mendatangi menuju keruangan Hwat Siau. Dari suara
derap kaki, terang ada beberapa orang jumlahnya.
Hening sejenak.
"Bagaimana keadaaan diluar ?" tiba2 Hwat Siau
memecah kesunyian.
"Masih bertempur!" sahut suatu suara yang mengguntur
laksana genta.
Hwat Siau mendengus, tanyanya pula: "Apakah segala
sesuatu sudah disiapkan diterowongan itu ?"
"Sudah beres semua. Tinggal sekali sulut, sumbunya
akan menjalar tepat kebawah ruangan yang dibuat
bertempur itu!" kembali siorang yang lantang suaranya itu
menyahut.
Lagi Yan-chiu tersentak kaget, malah kali ini jawaban
atas terkaannya itu, disana kedengaran Hwat Siau tertawa
terkekeh2 macam iblis menangis, ujarnya: "Apabila
pekerjaan besar itu berhasil, Sip-ceng-ong tentu akan
memberi hadiah besar. Saudara2 sekalian boleh menikmati
hari tua dengan kesenangan dunia, maka harap sukalah
bekerja dengan hati2. Apakah tak perlu memeriksa sekali
lagi ?"
"Ah, tak usahlah. Apabila cayhe (aku) yang memasang
obat peledak sampai setengah jalan macet, jangan panggil
aku si Hwat-yok-ong (raja dinamit) lagi!'' kata lain orang
yang rupanya penasaran karena Hwat Siau tak memandang
mata pada pekerjaannya.
Hwat Siau mengekeh lagi, ujarnya: "Harap cunke (anda)
jangan meradang dulu. Sebelum dapat menduduki wilayah
Kwiciu, hati Sip-ceng-ong tetap belum puas. Dia taruh
harapan besar pada Li Seng Tong, tapi tiada tahunya orang
itu mendadak sontak berpaling haluan. Sudah tentu
kedudukan Lam Beng kini agak kuat. Manusia penghianat
macam begitu harus dilenyapkan. Ang Hwat cinjin itu pun
jangan sampai tahu rencana kita ini. Nanti apabila saudara
melihat pertempuran keatas lagi, begitu mereka sudah bertele2,
harap saudara2 lekas tinggalkan tempat ini dan
menunggu aku dikaki gunung. Biarlah kami yang menyulut
dinamit itu sendiri, biarkan mereka habis ludas semua tiada
seorangpun yang dapat lolos. Setelah itu, nanti kita lakukan
penyelidikan tempat harta karun kim-jiang-giok-toh itu!"
Keheranan Yan-chiu makin men-jadi2. la baru tahu
betapa ganasnya kaki tangan kaum penjajah Ceng itu.
Sampai pun Ang Hwat cinjin yang sudah jual tenaga untuk
mereka pun akan dibinasakan. Tentang harta karun kim
jiang-giok-toh itu, belum pernah la mendengarnya dari
siapapun juga. Ah, syukurlah ia "mencuri" percakapan
mereka, kalau tidak ai........ yang dimaksudkan dengan
terowongan dibawah tanah itu, tentulah lubang gua yang
berada dibawah perapian perdupaan itu. Ah, kalau ia tak
lekas2 bertindak, tentu hancur binasalah semua orang gagah
dan seluruh cindil abang gereja Ang Hun Kiong itu! Dan
yang penting baginya, sukonyapun akan turut sirna.
Yan-chiu tak mau berayal lagi. Setelah orang2 disebelah
kamar itu sama pergi, ia segera loncat keluar dari jendela.
Tapi sampai sekian lama mencari kesana-sini, tak dapat ia
tiba ditempat perapian tadi. Makin gugup ia, makin tak
dapat menemukan arah yang benar. Yan-chiu sudah mandi
keringat. Akhirnya diputuskan untuk mencari seseorang
guna menanyakan jalan.
Tengah ia men-cari2 orang, tiba2 disebelah muka sana
ada 3 sosok tubuh kecil, aha, kiranya mereka bertiga adalah
Kuan Hong, Wan Gwat dan Chiu-yap. Wajah ketiga anak
itu cemas sekali tampaknya dan baru agak lega ketika
melihat Yan-chiu.
"Cici, kita tak dapat lolos !" seru mereka.
"Sst...., jangan kesusu pergi dulu," sahut Yan-chiu
dengan berbisik, "kita masih mempunyai suatu tugas yang
maha penting. Dimanakah letak mulut jalanan dibawah
tanah itu ? Apakah jalanan itu dapat menembus sampai
dibawah ruangan pertempuran itu ?"
Diluar dugaan ketiga imam anak2 itu sama menggeleng,
sahutnya: "Yang kami ketahui Yalah jalanan dibawah
tanah itu sepanjang 30-an meter, yalah yang kita masuki
tadi. Adakah jalanan itu bisa tembus sampai dibawah
ruangan pertempuran, kami tak mengetahuinya!"
Tiada lain jalan kecuali Yan-chiu ajak ketiga anak itu
untuk masuk kedalam jalanan terowongan dibawah
perapian perdupaan tadi. Kiranya disitu kedua imam tadi
masih mendelik tiada berkutik. Tapi ketika Yan-chiu
hendak masuk kedalam lubang terowongan, tiba2 dari balik
hiolo (tempat perdupaan) itu berkelebat dua sosok
bayangan. Masing2 terus menyerang dengan golok.
"Kura2 yang bernyali besar, berani melepaskan tawanan
penting!" mereka mendamprat.
Karena tak bersiaga hampir saja Yan-chiu termakan
golok. Untung Kuan Hong dan Wan Gwat cepat menarik
kedua kaki Yan-chiu untuk ditariknya keluar. Kiranya
kedua penyerangnya itu adalah dua tosu penjaga. Ketika
tiba gilirannya untuk menjaga, dilihatnya kedua kawannya
sudah tak berkutik lagi dan tempat perapian dupa itu
berkisar terbuka. Mereka menyusup masuk dan dapatkan
kedua tawanan Kuan Hong dan Wan Gwat sudah lenyap.
Buru2 mereka naik keatas dan justeru berpapasan pada
Yan-chiu Yang tengah hendak menyusup turun.
Walaupun kakinya ditarik keatas, tapi kepalanya masih
belum sempat keluar. Ketika golok, kedua tosu Itu
melayang Yan-chiu segera gunakan ilmu gong-chiu-tohpeh-
jim (dengan tangan kosong merampas senjata) ajaran
Tay Siang Siansu. Tempo diadu dengan The Go, ia berhasil
merampas pedang kuan-wi-kiam dari tangan anak, muda
itu, karena mengandal ilmu tersebut. Itu saja si Cian-bin
Long-kun The Go, apalagi hanya kedua tosu saja. Sekali
gerak, dapatlah ia menyambar golok mereka dan begitu
menariknya, golok sudah terpental jatuh. Ketika ia susuli
mendorong, kedua tosu itu lantas menggelepar jatuh
mencium tanah. Kuan Hong dan Wan Gwat buru2
menubruknya dan menutuk jalan darah pelemas mereka
lalu diseretnya keluar.
"Bagus!" Yan-chiu tepuk2 memuji.
"Ah, cici sendiri yang lihay!" seru. kedua an Dinding dan
atap terowongan situ terbuat daripada bahan beton yang
dikapur putih; tiada terdapat sela2 lubang sedikitpun jua.
Saking mendongkolnya, Yan-chiu cabut kopiah imam-nya
dan tanggalkan jubah pertapaan yang dipakainya itu.
"Huh, jubah ini tebal dan berat, dalam hawa sepanas ini,
bagaimana kalian dapat tahan memakainya ?"
Ketiga anak itu tak mengerti mengapa cicinya itu marah2
Tapi mereka tak berani menanyakan. Ketika berempat
hendak menyusur keluar, tiba2 diatas (luar) sana ada orang
berseru: "Keempat binatang kecil itu berada didalam. Salah
seorang dari mereka sangat lihay, jangan2 mata2 musuh
yang menyelundup kemari. Lekas tutup mulut pintunya dan
lapor pada toa-supeh!"
"Ya, jangan kasih mereka lolos!" sahut dua orang
kawannya lagi.
Tahulah Yan-chiu bahwa gerak geriknya telah kepergok
musuh. Biar bagaimana ia harus dapat menobros keluar
dari terowongan itu. Bukan karena sayang akan jiwanya
sendiri, tapi kuatir kalau tak dapat menggagalkan rencana
Hwat Shiu yang ganas itu. Ia segera berjongkok, lalu
dengan gerak han-te-pat-jong ia hendak loncat menobros
keatas. Tapi mendadak lubang terowongan itu tertutup.
Masih untung ia cepat2 berdaya untuk mencapai dasar
bagian bawah perapian itu untuk kemudian loncat turun
lagi kebawah. Coba tidak, tentu kepalanya akan terbentur
besi tempat perapian itu. Paling tidak ia tentu akan pusing
tujuh keliling.
GAMBAR 75
Karena tak menemukan jalan keluar dari terowongan dibawah
tanah itu, Yan Chiu dan ketiga iman kecil itu menjadi kelabakan
kian kemari.
Setelah mengetahui tak dapat keluar dari mulut lubang
itu. Yan-chiu menanyakan pada ketiga anak itu adakah
terowongan dibawah tanah itu dapat dibobol tembus keluar.
Ketiga to-thong itu menggeleng dengan wajah kecemasau
dim mengatakan bahwa tempat api perdupaan itu beratnya
tak kurang 3 ribu kati. Yan-chiu gelisah seperti semut diatas
kuali panas. la berlari menghampiri kamar tutupan sana
untuk mencabut sebatang terali (jeruji) besi. Dengan benda
itu ia me-nusuk2 seluruh dinding terowongan hingga
guguran temboknya sama bertebaran ke-mana2. Melihat
kelakuan Yan-chiu sekalap itu, ketiga to-thong itu menjadi
ketakutan dan sembunyi lekas2 pada ujung dinding.
Setelah puas "mengamuk" itu, rupanya Yan-chiu
menjadi tenang dan duduk ditanah. Kini ia garuk2
kepalanya untuk mengasah otak. Diam2 ia memaki dirinya
sendiri yang sudah begitu gegabah masuk keterowongan
situ. Seharusnya setelah tak dapat menemukan jalanan
dibawah tanah itu, ia pergi saja memberi tahukan pada
suhunya. Mungkin dalam sekian banyak, orang itu, tentu
mempunyai bermacam pendaphat yang bagus. Kini ia
tersikap dalam terowongan itu seorang diri dengan ketiga
anak yang tak mempunyai kepandaian apa2. Saking
geramnya, kembali ia hendak "mengamuk" lagi. Tapi sekonyong2
mulut terowongan tadi terbuka dan disana
terdengar orang berseru: "Selain Kuan Hong Wan Gwat
dan Chiu-yap, masih ada siapa lagikah yang berada dalam
terowongan itu ?"
Mendengar nada suara itu, wajah ketiga to-thong
menjadi pucat lesi.
"Cici, itulah toa-supeh, habis sudah riwayat kita!" seru
mereka bertiga dengan penuh kecemasan.
Yang dimaksudkan dengan toa-supeh itu bukan lain
adalah Ciang Tay-bing, itu toa-mo (iblis pertama) dari
kawanan su-mo (4 iblis) gereja Ang Hun Kiong. Tak yakin
Yan-chiu, adakah ia sanggup menghadapi Tay-bing itu.
Hanya ia berharap agar Tay-bing itu masuk seorang diri.
Dengan tenaga 4 orang, mungkin juga ia dapat mengatasi
toa-mo itu. Maka ia memberi isyarat tangan agar ketiga tothong
itu jangan membuka suara.
"Yang satu itu merupakan wajah baru, yang asing,
umurnya masih muda, mungkin dia orang baru dari gereja
ini !" kedengaran ada orang berkata, disebelah atas sana:
"Ngaco! Sudah lebih dari setahun ini kita tak
mendatangkan orang baru, mana bisa terdapat wajah asing
disini ?" bentak Ciang Tay-bing.
"Jangan2 Hwat siau yang membawanya!" orang itu
masih membantah.
"Dia hanya membawa 18 orang jagoan kelas satu dari
pemerintah Ceng, yaitu pasukan berani-mati-nya Tolkun
sendiri. Mana bisa ada yang berumur muda? Sudah, jangan
banyak bicara lagi, biar aku turun kebawah untuk
memeriksanya!" bentak Ciang Tay-bing untuk yang kedua
kalinya.
Yan-chiu siap sedia. Begitu Tay-bing loncat turun, ia
segera enjot tubuhnya keatas atap dinding terowongan. la
jarinya pada sela2 kecil yang terdapat pada dinding atas dari
terowongan itu. Dengan berbuat begitu dapatlah ia
rapatkan tubuhnya lekat2 pada dinding atas itu.
Cara Itu tak ubah seperti ilmu bik-hou-yu-jiang (cicak
merayap didinding) yang sakti. Sebenarnya Yan-chiu tak
mengerti akan ilmu mengentengi tubuh yang sakti itu, tapi
sejak ia makan biji kuning mustika dalam batu tempo hari,
tubuhnya serasa enteng lincah macam burung waled saja.
Cukup dengan gunakan sedikit tenaga, dapatlah ia
merapat pada dinding atas tanpa kesukaran sedikitpun juga.
Ketika yang didapati hanya Kuan Hong, Wan Gwat dan
Chiu-yap bertiga siapa tengah menggigil ketakutan, Taybing
segera menghardiknya: "Hem...., sungguh berani mati
benar kalian ini, hendak coba2 melarikan diri ya ? Siapa
kawanmu yang seorang lagi tadi, ayuh lekas katakan!"
Chiu-yap adalah sahabat karibnya Kuan Hong dan Wan
Gwat. Cepat2 dia jatuhkan diri berlutut seraya menyahut
dengan menangis: "Kesemuanya ini adalah kesalahan tecu,
tiada sangkut pautnya dengan mereka berdua!"
Kiranya Chiu-yap itu adalah murid Ciang Tay-bing,
maka dia membahasakan dirinya sebagai te-cu (murid).
Mengingat hubungan antara guru dan murid, ia harap
suhunya itu akan menaruh belas kasihan. Tapi kali ini
ternyata Ciang Tay-bing marah benar2. Ini disebabkan dia
menaruh dugaan bahwa "siwajah baru yang asing" itu,
adalah mata2 musuh yang menyelundup kesitu.
"Lekas katakan, siapa dan dimana kawanmu yang
seorang itu!" bentaknya seraya angkat tangan hendak
menempeleng kepala Chiu-yap.
Ketika tampak Ciang Tay-bing seorang diri saja masuk,
Yan-chiu sudah lantas putar otak cara bagaimana ia dapat
sekali pukul bikin knock-out. Tiba2 ia teringat akan
jubahnya yang dibukanya itu tadi. Ya, dapatlah ia gunakan
benda Itu untuk alat senjata. Sepelahan mungkin ia segera
lolos jubah itu, tapi walaupun demikian tak urung terdengar
berkeresekan juga dan itu cukup membuat Ciang Tay-bing
dongakkan kepala untuk memandang keatas. Melihat
saatnya sudah tiba, Yan-chiu segera apungkan diri
melayang turun.
"Yang satu ada disinilah!" seru sigadis.
Cepat dan sebat Yan-chiu bertindak hingga Ciang Taybing
tak keburu bersiap. Tahu2 kepalanya telah kena
terkerudung jubah itu. Dalam kejutnya Tay-bing segera
menghantam kalang kabut dan kasihan Ciu-yap, oleh
karena dia hendak maju menubruk jadi kena hantaman
yang dahsyat itu. Dengan mengeluarkan jeritan ngeri,
rubuhlah, anak itu tak bernyawa lagi........
Pilu hati Yan-chiu, tapi dalam keadaan segenting itu
terpaksa ia kuatkan hatinya, terus menyelinap kebelakang
Tay-bing. Setelah menjemput terali besi, ia segera menyapu
sekuat2nya dengan jurus "menyapu seribu lasykar".
Mendengar sambaran angin, hendak Tay-bing menghindar,
tapi oleh karena kepalanya dikerukup jubah jadi dia
gelagapan sendiri, bluk tulang betisnya remuk dan jatuhlah
dia terjerembab kemuka. Yan-chiu tak mau kepalang
tanggung. Dengan sebat ia menutuk jalan darah ci-tong-hiat
dipunggung orang itu. Huk......, hanya sekali iblis nomor
satu Ang Hun Kiong itu berkuik akan kemudian tak dapat
berkutik lagi.
GAMBAR 76
Cepat sekali Yan Chiu kerudung jubahnya keatas kepalanya
Ciang Tay-bing hingga murid Ang Hwat Cinjin itu kerupukan
berusaha melepaskan diri.
Setelah dapat memberesi, kedengaran Yan-chiu
mengambil napas, kemudian menarik lepas jubah dikepala
Taybing.
"Coba lihat sekarang, siapakah yang satu itu!"
Ciang Tay-bing hanya deliki matanya tapi tak dapat
mengucap apa2.
“Kau sayang jiwamu tidak ?" bentak Yan-chiu sembari
lekatkan ujung jeruji besi kedada orang, kalau sayang jiwa
begitu kubuka jalan darahmu kau harus menjawab setiap
pertanyaanku dengan jujur. Kalau kau sudah bosan hidup,
asal tanganku bergerak, dadamu tentu akan berhias sebuah
lubang!"
Yan-chiu percaya sebagai murid pertama dari Ang Hwat,
orang she Ciang itu tentu tahu akan rahasia jalanan
dibawah itu. Tapi ia salah terka. Ciang Tay-bing itu
ternyata juga bukan bangsa yang takut mati. Tadi dia dapat
dirobohkan itu karena diserang secara begitu mendadak.
Dia mengangguk dan Yan-chiupun segera pakai ujung terali
besi untuk menutuk buka jalan darahnya. Tay-bing segera
salurkan lwekang, kecuali sakit nyeri pada bagian betisnya
dia rasakan tubuhnya tetap segar. Dengan lwekang dan
gwakangnya yang kokoh, lalu tulang patah itu tak
menjadikan soal. Walaupun ujung jeruji besi dilekatkan
didadanya, dia tak ambil pusing. Sekalipun begitu, dia
pura2 mengerang kesakitan, tapi dalam pada itu diam2 dia
salurkan lwekang kearah lengannya kiri, siap sedia
digunakan setiap waktu.
"Jalanan dibawah tanah dari Ang Hun Kiong yang dapat
tembus sampai dibawah gelanggang pertempuran itu
terletak dimana, ayuh lekas bilang!" Yan-chiu mulai ajukan
pertanyaan.
Ciang Tay-bing menggeliat, tapi tetap enggan menyahut.
"Jangan bergerak!" bentak Yan-chiu sembari ajukan
iijung terali besi. Ciang Tay-bing insyaf bahwa lwekang
sinona itu cukup kuat, maka diapun tak mau sembarangan
bertindak. Kalau sekali pukul tak kena, tentu dia akan
mendapat siksaan yang lebih hebat lagi.
"Itu adalah rahasia gereja Ang Hun Kiong, sebenarnya
tak boleh sembarang memberitahukan orang. Tapi oleh
karena aku sudah jatuh dalam kekuasaanmu, bagaimana
lagi ? Tapi siapakah nama nona ini ?" Ciang Tay-bing coba
merigulur waktu.
"Aku bernama Liau Yan-chiu, lekas bilangkan pintu
masuk jalanan itu!"
"Baiklah, kau dengarkan yang jelas. Keluar dari sini,
langsung melewati 3 buah ruangan, biluk kekiri, biluk
kekanan lagi, dari situ memiluk kekanan lagi, lalu mundur
kebelakang, lalu berputar kebarat..........."
Sengaja dia mengatakan dengan cepat, tapi Yan-chiu
mengira kalau karena ketakutan dia sudah mengatakan
dengan sebenarnya, maka didengarkannyalah dengan
penuh perhatian. Mulutnya tak henti2nya mengulang kata2
yang diucapkan Tay-bing itu. Makin lama Tay-bing makin
cepatkan keterangannya dan buyarlah perhatian Yan-chiu
terpikat kesitu. Merasa saatnya sudah tiba, Ciang Tay-bing
segera bertindak. Se-konyong2 tangannya kiri mendorong
terali besi lalu tangannya kanan membarengi dengan
hantaman kedada sinona.
Ciang Tay-bing telah gunakan seluruh sisa kekuatannya,
cepat dan sebat. Ketika Yan-chiu tersadar, ia sudah tak
keburu lagi untuk menghindar. Dalam gugupnya, dia
gerakkan tangannya yang mencekal terali besi tadi untuk
menghalau.
Benar separoh bagian dapat dibuyarkan tapi yang
separoh lagi tetap bersarang kedadanya. Seketika itu
dadanya terasa sesak dan mulutnya memancarkan rasa
manis. Dalam murkanya, ia teruskan terali besinya itu
untuk menghantam rusuk (iga) Tay-bing hingga tulangnya
patah lagi beberapa biji, Tapi pada saat tangannya itu
menurun (karena habis menghantam), Tay-bingpun berhasil
menutuk jalan darahnya dibagian paha. Seketika itu tak
ampun lagi, mendeproklah Yan-chiu rubuh ketanah.
Sewaktu rubuh, mata dan kepala Yan-chiu ber-kunang2
tapi hatinya masih sadar dan memaksa dirinya untuk
berusaha membuka jalan darah yang tertutuk itu.
Pikirannya hanya satu harus lekas2 mendapatkan jalanan
dibawah tanah itu, atau kalau terlambat, habislah seluruh isi
penghuni Ang Hun Kiong.
Ciang Tay-bing adalah murid kepala dari Ang Hwat
cinjin, seorang akhli tutuk besar didunia persilatan.
Tututkannya tadi menggunakan ciong-chiu-hwat (tutukan
berat), yaitu tutukan jalan darah melalui tulang. Lewat
sekian saat, Yan-chiu baru dapat tersadar, namun serongga
dadanya terasa sesak sakit sekall. Ketika menoleh kearah
Tay-bing didapatinya orang itu lebih payah lagi lukanya.
Mukanya pucat seperti kertas, napasnya memburu. Kuan
Hong dan Wan Gwat menelungkupi, mayat Chiu-yap dan
menangis tersedu sedan. Yan-chiu tak dapat berbuat apa2
karena tak berkutik. Marah dan gelisah merangsang
benaknya dan ketika hawa perasaannya itu naik keatas
kepala, matanya serasa gelap dan pingsanlah ia tak
sadarkan diri.
---oodwkz0tahoo---
Sekarang mari kita tengok keadaan diruang pertempuran
itu. Pertempuran makin menghebat dan ganas. Melihat,
dengan ilmupedang han-kang-kiam-hwat tak memberi hasil,
Kang Siang Yan segera berganti dengan ilmu thay-imlianseng.
Begitu menjungkir-putarkan tangkai pedang,
tubuhnya segera merapat kedekat Ang Hwat, dari situ ia
terus lancarkan hantamannya yang tak bersuara itu.
Ang Hwat cukup kenal akan thay-im-ciang tersebut. Dia
insyaf sampai dimana kelihayan pukulan itu, maka cepat2
dia tekan im-yang-pian supaya menjulur panjang kemudian
dengan gerak po-gwat-siu-kwat (memeluk rembulan
menjaga keraton), dia gerak2an im-yang-pian untuk
melindungi tubuhnya. Kalau Kang Siang Yan nekad
teruskan hantamannya, jalan darah pada telapak tangannya
pasti akan tertutuk pian. Maka belum sampai tangannya
menghantam, tiba2 ia urungkan dan berganti dengan
serangan Kok-ho-jo-kiau (melintasi sungai menarik
jembatan). Cepat dan hebatnya serangan itu telah membuat
Ang Hwat tak dapat menduganya lebih dahulu.
Tempo dahulu Lamhay Ho Liong-poh dengan
mengandal ilmu thay-im-lian-seng tersebut telah malang
melintang merajai seluruh wilayah Kwisay dan Kwitang,
sehingga suku bangsa Li yang tinggal dikepulauan Lam-hay
sama mengagungkannya sebagai dewi malaekat.
Keistimewaan dari ilmu lwekang itu, dapat digerakkan
sekehendak hati pada setiap saat dengan sedikitpun tak
mengeluarkan suara apa2. Betapapun tajam alat indera dari
seorang persilatan yang berkepandaian tinggi, namun
terhadap serangan yang tak mengeluarkan suara itu, mati
juga kutunya.
Bahwa Kang Siang Yan dapat dengan tiba2 merobah
gerak serangannya, dari menyerang dada berganti
menyerang kaki, telah membuat datuk persilatan macam
Ang Hwat cinjin kesima juga. Dia segera miringkan kaki
kirinya lalu gunakan tangkai pian untuk membentur
serangan orang.
Melihat serangan kedua tak berhasil, tangan kiri Kang
Siang Yan yang masih mencekali pedang tadi segera dibuat
menusuk dengan gerak kang-sim-poh-lou (salah satu jurus
dari hoan-kang-kiam-hwat) Jurus2 yang berlangsung tadi,
dilakukanya dengan kesebatan yang luar biasa, sehingga
sudah sejak tadi Ceng Bo ketinggalan spoor. Ketika Kang
Siang Yan lancarkan serangan pedang yang terachir Itu
barulah Ceng Bo sempat untuk gerakkan yap-kun-kiam
menusuk punggung Ang Hwat. Hanya sayang dia bergerak
dengan jurus hay-lwe-sip-ciu sedang Kang Siang Yan tadi
dengan kang-sim-poh-lou, pasangan permainan yang tidak
serasi.
Ang Hwat rasa sudah hampir sejam lamanya dia
bertempur tanpa berkesudahan. Kalau sampai tak dapat
menundukkan kedua suami isteri itu, dimata pemerintah
Ceng, namanya tentu akan jatuh harga. Maka andaikata
Ceng Bo tak menyerangnya, diapun tetap akan mencarinya.
Maka kebenaran sekali kini Ceng Bo maju menyerang lagi.
Merasa ada sambaran angin serangan senjata dari arah
belakang, se-konyong2 dia tarik sepasang lengannya
kebelakang, lebih dahulu yang kiri kemudian yang kanan.
Dua buah sikunya dibenturkan kebelakang tubuhnya.
Dalam pada itu lengan jubahnya mengibas kemuka untuk
menghalau pukulan thay-im-ciang dari Kang Siang Yan itu.
Dengan dua buah ciu-jui (benturan siku tangan) Itu
walaupun dia cukup tahu takkan mengenai tubuh Ceng Bo,
tapi tenaga lwekang yang disalurkan disitu tentu akan
memberi hasil. Tepat juga perhitungan itu. Seketika itu
Ceng Bo rasakan dadanya sesak terhimpit tenaga dahsyat.
Dalam keadaan seperti saat itu sudah tentu dia tak berani
adu lwekang dengan Ang Hwat, maka buru2 dia tarik
pulang pedangnya.
Ang Hwat mundur selangkah, sebelum Kang Siang Yan
mengejar dia sudah lancarkan 3 hantaman untuk
menahannya. Membarengi Kang Siang Yan mundur, dia
gerakkan lengannya. Im-yang-pian menjulur sampai 4 kali
panjangnya, tahu2 menutuk kearah Ceng Bo yang berada
disebelah belakang tadi. Kaget Ceng Bo bukan buatan,
hendak dia menghindar terang sudah tak keburu lagi. Jalan
satu2nya dia segera meniarap telentang kebawah dengan
gerak tiat-pian-kio, wut.......hanya beberapa centi saja ujung
pian itu menyambar diatas dadanya. Walaupun berbahaya,
namun Ceng Bo merasa longgar napasnya karena mengira
bahaya sudah lewat.
Tapi Ang Hwat bukan kepala gereja Ang Hun Kiong
yang menduduki salah satu mahkota cabang persilatan
didunia persilatan, kalau hanya begitu saja kepandaiannya.
Hampir 40 tahun lamanya dia benamkan diri dalam
peyakinan im-yang-pian itu, sehingga ruyung itu se-olah2
sudah menjadi salah satu anggauta badannya yang dapat
digerakkan menurut sesuka hatinya. Sekalipun saat itu dia
membelakangi Ceng Bo namun punggungnya bagaikan
mempunyai mata, dapat melihat tegas bagian2 jalan darah
musuh. Baru saja mulut Ceng Bo bernapas longgar, atau
tiba2 im-yang-pian itu sudah menjulur lagi satu buku (kira2
setengah meter) dan cukup dengan sedikit gerakan tangan,
ujung ruyung lemas itu sudah melengkung kebawah dan
menutuk jalan-darah hoa-kay-hiat didada Ceng Bo.
GAMBAR 77
Dengan tangkasnya Ang Hwat Cinjin menyabet kedepan,
menyusul menyikut kebelakang hingga terpaksa Kang Slang Yan
berkelit dan Ceng Bo Siangjin menyingkir mundur.
Hoa-kay-hiat, merupakan alat penutup bagi alat2 jeroan
dalam dada. Jangan lagi terkena tutukan seorang achli besar
macam Ang Hwat, sedang ditutuk oleh seorang persilatan
biasa saja, tentu sudah akan membuat siorang itu kalau
tidak binasa tentu terluka parah. Ceng Bopun cukup
menginsafi hal itu. Tapi apa daya, dia sudah tak kuasa
untuk menghindar lagi. Itulah disebabkan setelah bahaya
ancaman pian sudah lewat diatas dadanya, buru2 dia
hendak terus angkat tubuhnya bangun. Siapa tahu, im-yangpian
telah dapat dimainkan secara begitu luar biasa. Jadi
ketika ujung ruyung itu melengkung hendak memagut,
justeru dada Ceng Bopun terangkat naik, maka tampaknya
seperti menyongsong.
Semua orang yang menyaksikan sama menahan napas
karena mengira Ceng Bo tentu akan tamat riwayatnya. Tapi
se-konyong2 dalam saat2 yang segenting itu terdengarlah
suara orang menggerung keras, lalu menyusul sebuah benda
hitam yang bentuknya panjang dan besar melayang kearah
im-yang-pian, trang .....begitu ujung im-yang-pian itu
terpental, benda hitam itupun jatuh menggedebuk ketanah.
Kala semua mata mengawasi, kiranya benda hitam
panjang itu adalah sebuah pikulan kayu bakar, sedang
siorang yang melontarkannya tadipun serentak juga sudah
tegak berdiri. Hai, kiranya si Ma Cap-jit yang bergelar
Hoasan kiau-cu (pencari kayu dari gunung Hoasan).
Sewaktu ujung ruyung terpental, dengan sebat Ceng Bopun
segera menggeliat loncat kesamping. Namun Ang Hwat
cepat goyangkan tangann ya dan ujung ruyung itu bagaikan
seekor ular, segera menerkam betis Ceng Bo. Sekali tarik,
buk.... menggeleparlah Ceng Bo jatuh ketanah.
Ceng Bo lekas2 hendak gunakan gerak "ikan lele
berjumpalitan" untuk loncat keudara. Tapi baru tubuh
melayang, Ang Hwat sudah mengirim sebuah hantaman.
Jurus serangan ber-tubi2 itu hanya berlangsung dalam
sekejab mata saja, hingga Kang Siang Yan yang menyurut
kebelakang karena diburu oleh hantamannya tadi, belum
sempat balas menyerang. Walaupun hanya 3 bagian tenaga
yang digunakan Ang Hwat dalam hantamannya itu, tapi
karena tubuh Ceng Bo sedang melayang diatas jadi dia tak
berdaya untuk menangkis, bluk .......... sekali ini benar2 dia
jatuh knock-out.
Gempar suara jatuhnya itu, namun tak sampai membuat
Ceng Bo luka dalam, kecuali apabila Ang Hwat segera
susuli lagi dengan sebuah hantaman fatal (mematikan) tentu
celakalah siangjin itu. Tapi mimpipun tidak, kalau begitu
jatuh ditanah, Ceng Bo secepat kilat sudah babatkan yapkun-
kiam bret ............ jubah bagian bawah dari Ang Hwat
telah terpapas robek. Sayang karena terlambat sedikit, ujung
yap-kun-kiam itu tak berhasil mengenai daging kaki lawan.
Sekalipun begitu, hal itu cukup membuat Ang Hwat
gusar sekali. Dia anggap serangan itu sebagai suatu hinaan
besar. Dan pandangannya akan arti pertempuran itu makin
nyata kau atau aku yang binasa!
Sedang difihak Ceng Bo pun tak kurang beringasnya,
Tahu dirinya terancam, setelah membabat tadi terus susuli
lagi dengan serangan kedua. Tepat sesaat itu, Kang Siang
Yan-pun sudah mengirim serangan membalas. Ang Hwat
mengaum keras. Im-yang-pian tiba2 menyurut lagi hingga
tinggal setengah meter panjangnya, untuk menyongsong
pedang Kang Siang Yan itu. Bahwa pedang kuan-wi-kiam
milik wanita gagah itu adalah pedang pusaka yang dapat
memapas segala macam logam, diketahui juga oleh Ang
Hwat. Tapi cara tangkisannya tadi, memang tepat sekali,
tring..... ujung ruyung itu persis menutuk bilah pedang itu.
Dan dalam pada itu, sempat pula dia melancarkan
hantaman kearah Ceng Bo.
Kala itu Ceng Bo tengah merangsang maju menyerang,
jadi sukarlah kiranya untuk Menghindar, krek......, lengan
bahunya sebelah kanan terasa sakit sekali dan otomatis
terkulai kebawah sampaipun jarinya tak kuasa lagi untuk
mencekal yap-kun-kiam, tring....... jatuhlah pedang pusaka
itu ketanah. Melihat itu Kui-ing-cu segera enjot kakinya
melayang kemuka. Sedang difihak sana Su-mo Im Thiankui
dan Sam-mo Long Tek-san juga menobros maju,
menyambut Kui-ing-cu. Dalam sekejab saja, ketiganya
sudah saling berhantam.
The Go yang sedari tadi mengawasi jalannya
pertempuran itu dengan seksama, segera tak mau mensia2kan
kesempatan sebagus itu. Sekali tangan menekan
meja, tubuhnya melayang kemuka dan tangannya segera
hendak menjemput yap-kun-kiam. Tapi berbareng pada saat
itu, Ma Cap-jit pun tampil kegelanggang untuk menjemput
pikulannya. Sekali ayunkan pikulannya, bluk......
terpelantinglah The Go mencium tanah. Memang lihay
sekali ilmu permainan pikulan dari si Pencari Kayu Hoasan
Ma Cap-jit itu. Kalau si The Go meringis berkenalan
dengan lantai, adalah yap-kun-kiam sudah berada ditangan
Ma Cap-jit.
The Go sapukan pandangan matanya keseluruh
gelanggang. Disana Kui-ing-cu masih bertempur rapat
dengan Im Thian-kui dan Long Tek-san, tapi sebelah pipi
dari orang she Long itu sudah begap matang biru. Rupanya
dia sudah terima "hadiah" dari Kui-ing-cu. Kang Siang Yan
dan Ang Hwat tertegun berhenti bertempur. Sedang
rombongan. Ceng Bo sudah sama serempak bangkit,
trang...., tring......, disana sini terdengar suara
gemeroncang-gemerincing dari senjata dilolos. Untuk
melawan Ma Cap-jit, terus terang saja, dia sudah tobat
tujuh turunan kalau disuruh mencium tanah lagi. Jalan
satu2nya ialah lekas2 mengundang supaya Hwat Siau dan
Swat Moay serta ke 18 jagoan itu, keluar membantu.
Baru dia hendak bertindak, atau dari tengah ruangan
besar sana muncul beberapa belas orang. Walaupun
dandanan mereka seperti imam dari Ang Hun Kiong situ,
tapi mata The Go yang celi segera mengetahui bahwa
mereka itu bukan lain adalah rombongan jagoan yang
dibawa Hwat Siau. Begitu muncul disitu, mereka lalu sama
duduk dipinggir gelanggang. Buru2 The Go
menghampirinya.
"Ah....., liatwi sudah datang, tentu hendak membantu
kami liwat dan Swat kedua cianpwe itu dimana?" ujarnya.
Seorang bertubuh kurus jangkung yang rupanya menjadi
kepala rombongan, segera menyahut dengan garang:
"Ai......., takut apa? Satu lawan satu atau secara keroyokan,
sama saja. Langit sudah akan roboh, siapa yang dapat
menyelamatkan diri ? Mengapa ter-buru2 begitu macam ?"
The Go mendapat hidung panjang. Kalau pada hari2
biasa, dia tentu sudah marah. Tapi dikarenakan dia
memerlukan tenaga mereka, jadi terpaksa ditelannya saja
amarahnya itu.
"Ah, memang, memang!" serunya ikut2an tertawa.
Hidung sikurus itu mendengus selaku jawaban, lalu alih
pandangannya kearah gelanggang.
Ya, memang ke 18 jagoan itu sedang melakukan perintah
Hwat Siau untuk melihat jalannya pertempuran. Apabila
sudah tiba saatnya, mereka disuruh lekas2 memberitahukan
kepada Hwat Siau agar dapat menyulut sumbu dinamit.
(Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 42 : PAHIT EMPEDU
Pada saat itu Ceng Bo sudah dipapah Ko Thay untuk
kembali ketempat duduknya. Lengannya kanan telah
dipatahkan oleh hantaman Ang Hwat. Betapapun lihaynya,
tetap dia tak kuat menahan rasa sakitnya. Kepalanya basah
kuyup dengan keringat. Tio Jiang sibuk tak keruan tak tahu
apa yang hendak diperbuat. Rasanya ia rela menggantikan
luka suhunya itu. Ko Thay memijat lengan itu dan
dapatkan bahwa bagian tulang yang remuk itu tak seberapa
besar, jadi masih ada harapan untuk sembuh lagi. Dia suruh
Tio Jiang cabut dua batang terali (jeruji) lankan dan
sepotong kayu papan. Lengan Ceng Bo yang patah itu
segera dipres dengan potongan papan itu, kemudian dibalut
dengan kain.
Ceng Bo tahankan sakitnya, sepatahpun tak mengerang.
matanya memandang kearah 18 orang yang baru datang itu.
Diantara sekian banyak jagoan itu, hanya seorang yang
dikenalnya sebagai orang kelahiran Kwitang yang pernah
belajar silat digunung Ngo-tay-san. Orang itu mahir sekali
dalam ilmu senjata rahasia. Setelah habis pelajarannya, dia
segera menganas didaerah Kwiciu, tapi kena
dikalahkannya. Sejak itu tak pernah dia bersua dengan
orang itu lagi. Ah, tak kira kalau kini dia sudah berhamba
pada pemerintah Ceng.
Orang yang dikenalnya, itu bernama Pui Hoan berjejuluk
Boan-thian-ce (bintang bertaburan dilangit). Saat itupun
tengah memandang Ceng Bo dengan sorot mata menggagah
(menantang). Rupanya dia belum lupa akan peristiwa 10
tahun yang lampau itu. Lain2 yang ke 17 orang itu sama
bertubuh kekar garang. Lebih2 siorang jangkung kurus yang
duduk dimuka sendiri itu. Pelipisnya agak menonjol, air
mukanya aneh entah dari cabang persilatan mana dia itu.
Se-konyong2 terdengarlah suara jeritan mengaduh dan
sesosok tubuh gemuk terbang melayang. Aha, kiranya
itulah tubuh Long Tek-san yang kena disengkelit kemudian
ditendang oleh Kui-ing-cu. Dalam waktu dan tempat seperti
itu, tetap Kui-ing-cu tak lupa akan kenakalannya. Ketika
tubuh Long Tek-san tadi melayang diatas ke 18 orang
jagoan itu, Kui-ing-cu segera gerakkan dua buah serangan
kosong dan entah bagaimana caranya tubuh Long Tek-san
berhenti dengan tiba2, lalu jatuh menimpa kebawah.
GAMBAR 78
Tahu2 Su-mo Long Tek-san telah mencelat kena disengkelit
Kui-ing-cu terus melayang ketempat duduk ke-18 jagoan yang
dibawa datang oleh Hwat Siau dan Swat Moay itu.
"Sahabat Long, berdirilah yang jejak!" serentak
berbangkitlah sikurus jangkung tadi seraya menyanggapi
tubuh Long Tek-san.
Merah padam selebar muka Long Tek-san yang lalu
mengambil tempat duduk. Melihat sukonya tak berani maju
lagi, Im Thian-kuipun lalu putar tubuhnya hendak angkat
kaki seribu. Tapi, Kui-ing-cu rupanyapun tak mau
mengejarnya, Malah hanya ber-teriak2 menyuruhnya lekas
lari.
"Lari kencang, ayuh lekas lari yang kencang!" serunya.
---oodwkz0tahoo---
Im Thian-kui tak peduli setan belang apa lagi. Dia
benar2 lari se-kencang2nya menurut anjuran musuhnya
tadi. Melihat adegan lucu itu, ke 18 jagoan tersebut sama
ter-bahak2. Menandakan bahwa mereka tak memandang
mata, lagi pada orang2 Ang Hun Kiong. Merahlah daun
telinga The Go. Tapi ketika melirik kearah Ang Hwat
didapatinya sang sucou itu masih menjublek diam ditengah
gelanggang, berhadapan pandang dengan Kang Siang Yan.
Walaupun nampaknya kedua tokoh tersebut berdiam
diri, tapi ternyata mereka itu tengah mengadu lwekang
dengan jalan saling lekatkan senjatanya masing2. Ketika
im-yang-pian membentur pedang kuan-wi-kiam tadi, cepat2
Ang Hwat salurkan lwekangnya untuk menyampok jatuh
senjata lawan. Tapi baru saja lwekang Ang Hwat menyalar
kearah im-yang-pian, siang2 Kang Siang Yan mengerti
maksud orang. Maka betapalah kejut Ang Hwat ketika
didapatinya saluran lwekangnya itu telah mendapat reaksi
hebat berupa sebuah dorongan lwekang yang kuat. Buru2
diapun segera "tancap gas penuh", mengerahkan seluruh
lwekangnya.
Sejak berhasil memahamkan ilmu lwekang thay-im-lianseng,
belum pernah Kang Sing Yan berjumpa dengan
musuh setangguh Ang Hwat ini. Memang karena urusan
Yan-chiu, ia telah "bentrok" dengan Tay Siang Siansu. Tapi
karena paderi itu sudah tak memikirkan akan gengsi dan
nama kosong, begitu "kortsluiting" (benturan aliran lestrik)
sebentar, paderi itu segera angkat kaki. Kini berhadapan
dengan Ang Hwat lainlah halnya. Seluruh kebiasannya
telah ditumplak habis, maka walaupun digelanggang situ
terjadi hiruk pikuk tak keruan, kedua seteru itu tetap tulikan
telinga butakan mata, seluruh perhatian dan semangatnya
ditujukan pada pergulatan seru itu.
Gaya Kang Siang Yan gemulai nampaknya, namun
mengandung kekuatan baja yang kokoh. Beberapa kali Ang
Hwat coba undang seluruh tenaganya untuk mendesaknya,
tapi selalu dibuyarkan oleh lawan. Sebaliknya untuk
melukai Ang Hwat pun sukar juga bagi Kang Siang Yan.
Hampir lebih dari setengah jam pergulatan itu berlangsung,
namun tetap sama kuatnya. Saking geramnya se-konyong2
Ang Hwat mengeluarkan suara menggerung laksana singa
mengaum, dahsyatnya bukan buatan. Tapi berbareng pada
saat itu, Kang Siang Yan pun melengking nyaring macam
jangkerik berbunyi. Suasana dalam ruangan itu pekak
dengan aum dan denging. Hanya saja jelas kedengaran
bahwa lengking suara Kang Siang Yan itu dapat menembus
pecah suara aum Ang Hwat.
Se-konyong2 lengan mereka menurun kebawah dan pada
lain saat tampak ada selingkar api merah dan segumpal
asap sama2 meluncur kebelakang. Tempat yang diinjak
mereka itu, tampak ada 4 buah telapak kaki sedalam 3 dim.
Lantai ruangan itu terbuat dari batu marmar hijau yang
kokoh, kalau toh sampai "amblong" sedemikian dalamnya,
mudahlah dibayangkan sampai ditingkat mana kepandaian
kedua tokoh besar itu. Sekalian orang sama leletkan lidah,
sedang ke 18 orang yang sikapnya amat congkak itu, diam2
juga tergetar hatinya.
Kini kedua tokoh itu saling berpandangan. Saking cemas
akan keselamatan isterinya, lupalah Ceng Bo akan sakitnya
tadi. Bek Lianpun sudah berulang kali hendak berdiri tapi
selalu dicegah The Go. Kini tak dapat lagi ia menahan
perasaan hatinya dan menjerit: "Mah !"
Adalah karena teriakan Bek Lian itu maka perhatian
Kang Siang Yan agak terganggu dan adalah karena sedikit
lubang itu, maka Ang Hwat sudah segera loncat
menerjangnya lagi. Tak peduli. bagaimana hebatnya bahaya
yang mengancam dihadapannya itu, namun Kang Siang
Yan masih perlukan "mencuri" kesempatan untuk berpaling
menengok puterinya. Serta dilihatnya Bek Lian tak kurang
suatu apa, barulah ia turunkan tubuhnya kebawah lalu
melejit kesamping untuk menghindar. Memang sedemikian
besarlah kasih seorang ibu terhadap anaknya.
Sekalipun ia dapat menghindar dari terjangan lawan,
namun karena tak dapat balas menyerang, berarti ia kalah
satu set. Tanpa memberi kesempatan lagi, Ang Hwat sudah
ayunkan im-yang-pian-nya untuk menutuk jalan darah sipeh-
hiat. Jalan darah itu terletak dibawah mata. Dalam
gugupnya Kang Siang Yan segera menghantam pian itu.
Separoh bagian atas dari plan itu sebenarnya sangat lemas,
hanya karena kepandaian Ang Hwat maka ujung itu dapat
kencang lurus macam sebuah alat pit. Ujungnya dapat
ditolak kesamping oleh hantaman Kang Siang Yan tadi,
tapi pangkalnya cepat digerakkan Ang Hwat untuk
menusuk dada lawan. Jalan satu2nya bagi Kang Siang Yan
yalah menyelinap kebelakang musuh. la segera bergerak
dengan cepat sekali, tapi Ang Hwatpun tak kalah sebatnya.
Baru Kang Siang Yan lewat disisinya, kepala Ang Hun
Kiong itupun sudah memutar tubuhnya kebelakang.
Disitulah dia ”cegat" lawan. Belum lagi Kang Siang Yan
dapat mengambil posisi kaki, atau dia sudah mencambuk
dengan im-yang-pian.
GAMBAR 79
Dengan gaya yang khas, Kang Siang Yan putar pedangnya
sedemikian dahsyatnya hingga Ang Hwat Cinjin dipaksa bertahan
melulu tak sempat menyerang lagi
Kang Siang Yan bukan jago sembarang jago. Untuk
menyambut hajaran pian musuh, ia gerakkan pedangnya
untuk membabat. Sekali ini Ang Hwat salah terka akan
kelihayan ilmu thay-im-lian-seng. Dalam
kesempurnaannya, ilmu itu dapat dikuasai penuh menurut
sekehendak hatinya. Biar Ang Hwat lihay, tapi tetap dia tak
dapat menyelamatkan im-yang-piannya lagi. Tring.........
kutunglah buku yang teratas dari pian itu terbabat kuan-wikiam.
Begitu ujungnya terpapas, maka berhamburanlah berpuluh2
jarum halus menyambar keluar. Entah berapa
banyakkah batang2 jarum itu, tapi yang nyata saja sesaat itu
terdengarlah bunyi macam nyamuk men-denging2.
Teranglah jarum2 itu keluar dari lubang pangkal imyangpian
tadi. Dan memangnya im-yang-pian itu diperlengkapi
dengan senjata rahasia jarum halus untuk menggempur para
akhli lwekang yang menjadi lawannya. Jarum2 yang halus
itu akan menyusup melalui jalan darah terus masuk
kejantung, Betapa lihaynya seorang akhli Iwekang, namun
menghadapi senjata yang sedemikian ganasnya itu, tak
urung akan binasa juga jiwanya.
Insyaf akan keganasan senjata itu, Kang Siang Yan
sampai kucurkan keringat dingin. Cepat2 la putar
pedangnya dengan gencar sembari berteriak dengan
murkanya: "Hai, imam siluman tua, tebal sekall kulit
mukamu"
Dalam kedudukan sebagai ketua sebuah cabang
persilatan, memang tak selayaknya Ang Hwat gunakan
senjata rahasia macam begitu. Ya, walaupun hal itu terjadi
diluar kemauannya, tapi dengan memiliki senjata macam
begitu saja itu sudah berarti mengunjuk mentalitiet
peribadinya yang ganas. Maka merah padamlah selebar
muka kepala gereja Ang Hun Kiong seketika itu. Dari malu,
dia menjadi marah. Tanpa menyahut sepatah pun, dia
segera-putar pian untuk menghajar. Demikianlah kedua
tokoh itu kembali terlibat dalam pergumulan yang seru.
Mendengar ibunya memaki "imam siluman tua", Bek
Lian mengeluh dalam hati. Kedepannya, hubungannya
dengan The Go pastilah akan menemui kesukaran besar.
Bek Lian yang dibutakan oleh api asmara itu hanya
memikirkan kepentingan diri sendiri.
"Engkoh Go, mamah dan sucou, telah bertempur
sedemikian serunya, rasanya urusan kita tentu kapiran,
maka lebih baik sedangnya mereka tengah bertempur, kita
tinggalkan tempat ini menuju kesalah sebuah pulau di Lamhay.
Disana kita, dapat menuntut penghidupan yang aman
dan tenteram, ah......, betapakah bahagianya!" bisiknya
kepada sang kekasih yang ,manja' itu.
Sewaktu melihat sucounya terlibat dalam pertempuran
yang sangat lama, hati The Go dicengkeram oleh
kegelisahan. Atas pernyataan Bek Lian, tadi, dia hanya
mendengus "hem......" selaku jawaban. Tapi tiba2 terkilas
dalam benaknya suatu rencana yang jahat. Tadi sewaktu
Bek, Lian meneriaki ibunya, Kang Siang Yan segera
terdesak dibawah angin oleh sucounya. Ah, mengapa dia
tak suruh Bek Lian mencobanya lagi? Tapi kali ini jangan
sampai keblinger gagal lagi.
Otaknya bekerja. Dibayangkannya, kalau Kang Siang
Yan kalah, rombongan Ceng Bo tentu dapat diatasi.
Dengan begitu terbukalah kesempatan baginya
menggabungkan diri pada rombongan Hwat Siau, untuk
menghadap Sip-ceng-ong Tolkun. Dengan memiliki
kepandaian bun dan bu (sastera dan ilmu silat), masakan
Tolkun takkan memandang mata kepadanya? Misalnya
saja, kalau dia tuturkan bagaimana dahulu dengan menuruti
usul rencananya (The Go) dapatlah Li Seng Tong
menduduki daerah, Kwiciu, tentu dia akan mendapat
pujian tinggi dari menteri Ceng itu.
Soal berpaling haluan, itu tiada sangkut pautnya dengan
dia. Coba jenderal itu tak berlaku begitu, pastilah saat ini
dia sudah mengenakan pakaian pembesar tinggi dari
kerajaan Ceng! Ah......., kalau mengingat itu, terkutuklah
jenderal she Li Itu!
Terkilas pula dalam lubuk kenangannya, bagaimana
dengan tindakannya secara radikal, ganas dan setempo
melewati garis2 perikemanusiaan dahulu itu, telah dapat
mengangkatnya ketempat kedudukan yang tinggi (dekat
dengan orang besar), maka mengapa sekarang tidak?
Bukantah ujar2 kuno mengatakan "kalau tidak ganas itu
bukan seorang lelaki?" Jika dia tak berlaku begitu,
bagaimana dia dapat melaksanakan pekerjaan besar dan
mencapal kedudukan tinggi ?
Sampai pada puncak pertentangan batinnya, wajahnya
menampilkan hawa pembunuhan dan berserulah dia
menegas: "Apa katamu tadi?"
Mendengar penyahutan sedemikian kerasnya itu, Bek
Lian terkesiap. Tapi api asmara yang telah membakar
seluruh hati sanubarinya itu telah membuatnya buta..., buta
hati..., buta mata...., buta malu...., ya pendek kata lupa segala2nya.
Tanpa malu didengar orang lagi, ia segera
mengulangi kata2nya tadi.
Wajah The Go mengerut kening dan mulutnya
mendengus deham "hem......" Diiringkan dengan seringaitawa
kejam, melengkinglah mulutnya: "Perempuan hina,
siapa yang kesudian ber-senang2 hidup bersama kau?!"
Bek Lian tak percaya akan alat pendengarannya.
Wajahnya berobah seketika.
"Engkoh Go, apa katamu itu?" ia menegas.
Kembali The Go tertawa iblis, serunya: "Belum pernah
ada seorang gadis me-ngejar2 seorang lelaki macam kau
ini!"
Suaranya sengaja diucapkan dengan keras hingga
sekalian orang diruangan situ sama mendengarnya. Kini
semua mata ditujukan kepada kedua orang muda itu.
"Engkoh Go, kau ini bagaimana? ....... Apakah kau tidak
cinta padaku?" seru Bek Lian dengan ter-bata2.
The Go tertawa gelak2, sahutnya: "Apakah kau tetap
bertebal kulit ?"
Saat itu Tio Jiang sudah dapat meraba apa yang telah
dipertengkarkan sang suci dengan kekasihnya itu. Darahnya
serasa berhenti berdenyut ketika hawa kemarahannya
menguap naik.
GAMBAR 80
”Apa katamu, engkoh Go?" Bek Lian menegas karena nista
The Go itu. Mendadak gumpulan darah menyembur keluar dari
mulutnya.
"The Go, kau ini bangsat!" teriaknya memaki. Dia tak
pandai bermain lidah, jadi hanya begitu saja caranya
memaki. Makian pertama meluncur, diapun sudah tak
dapat melanjutkan lagi makian berikutnya.
"Siaoko, apakah kau tahu artinya kata "bangsat" itu?
Bukalah telingamu lebar?. Seorang lelaki yang galang
galung dengan wanita2 yang tak tahu malu itu pasti akan
ternoda namanya. Itulah dia yang pantas disebut 'bangsat'!"
Saking berkobarnya api kemarahan dalam hatinya,
dengan ter-huyung2 bangkitlah Bek Lian dari kursinya.
Dengan jari yang menggigil gemetaran, ia menuding The.
Go, mulutnya komat kamit tapi sampai sekian lama tak
dapat melancarkan kata2. Setelah sekian saat bibirnya
bergemeretukan, akhirnya dapatlah ia mengucap dengan
nada ter-putus2: ,,Kau ..... kau ...... sampaipun anak yang
kukandung ini ...... juga tak mau tahu lagi?"
Bek Lian telah dijelmakan sebagai seorang gadis jelita
yang dapat membuat sirik hati para bidadari. Sejak kecil ia,
dimanjakan dengan kasih sayang sang ayah. Adalah karena
sekali salah pilih menyintai seorang manusia berhati
serigala macam pemuda tampan The Go, achirnya ia harus
mengalami derita siksaan bathin yang sedemikian
mengenaskan itu. Sampai2 "rahasia" yang sebenarnya tak
pantas dikeluarkan itu, terdengar juga oleh sekian banyak
orang. Ia telah memetik buah yang ditanamnya
sendiri..........
Wajah Ceng Bo pucat lesi, sedang tangan Tio Jiang
menggigil gemetar. The Go tak kepalang tanggung.
Kembali 'dia tertawa sinis' serunya: "Nona Bek, kau dan
aku baru saja setengah tahunan berjumpa, tapi perutmu
sudah sedemikian besarnya, anak itu ......ha,..... ha!"
Dari ucapan itu jelaslah kiranya bahwa The Go tak
mengakui kandungan Bek Lian sebagai anaknya. Atau lebih
tegas lagi, dia menganggap Bek Lian itu serupa dengan
wanita lacur. Kalau achli pemikir menelurkan teori bahwa
dunia ini berputar, mungkin orang masih belum 100 persen
mempercayainya karena orang tak merasakan perputaran
bumi itu. Tapi bagi Bek Lian hal itu memang suatu
kenyataan. Bumi yang dipijaknya serasa ber-putari, alam
diaekelilingnya gelap gelita dan huak ........ segumpal darah
menyembur dari mulutnya dan orangnyapun lalu terhuyung
jatuh menelungkupi meja, wur...., wur..... tak henti2nya
mulutnya menyembur darah segar...............
Apa yang dipercakapkan oleh Bek Lian dan The Go tadi,
terdengar juga oleh Kang Slang Yan. Tapi karena dia
tengah bertempur mati2an dengan Ang Hwat, ia tak dapat
berbuat apa2. hanya dalam batinnya ia menetapkan
keputusan, bahwa setelah selesai pertempuran itu ia tentu
akan me-robek2 tulang belulang pemuda itu. Tapi Bek Lian
terus menerus muntah darah, ia tak dapat berdiam diri saja.
Setelah melancarkan sebuah gerak serangan kosong, segera
ia loncat menghampiri Bek Lian. Pikirnya kalau tak lekas2
ditolong, Bek Lian tentu putus jiwanya!
Tapi ternyata Ang Hwat tak mau kasih hati. Begitu Kang
Siang Yan hendak loncat menyingkir, dia segera gerakkan
piannya untuk menyabat punggungnya. Betapapun
keinginan, Kang Siang Yan untuk lekas2 menolong Bek
Lian, namun terpaksa ia harus menghalau serangan maut
itu dulu. Secepat kilat ia berputar tubuh saegera ia
lancarkan 3 buah serangan pedang ber-turut2, sehingga Ang
Hwat terpaksa mundur beberapa tindak. Tapi tatkala ia
hendak berputar, lagi untuk menghampiri Bek Lian, pian
Ang Hwat cinjin sudah merangsangnya lagi. Pada saat itu
hati dan pikiran Kang Slang Yan hanya pada Bek Lian
seorang. Sedikitpun ia tak mempunyai semangat untuk
bertempur lagi. Adalah karena lawan tetap melibatnya,
terpaksa ia melayaninya dengan seru. Sekalipun begitu
kedahsyatan pedang dan pukulannya sudah tak sehebat
tadi.
Melihat siasatnya berhasil, puaslah The Go. Tampak Bek
Lian muntah2 darah sedemikian rupa, dia tetap tertawa
dingin tak menghiraukan sama sekali. Oleh karena sekalian
orang tak mengerti duduk perkaranya, apalagi sedari
permulaan muncul digelangang situ mereka berdua (Bek
Lian dan The Go) tampaknya rukun ber-kasih2an, jadi
mereka hanya keheranan melihati saja. Berbeda dengan
Kui-ing-cu, Ih Liok dan lain2. Wajah mereka menampilkan
kemarahan dan bersikap hendak menghajar pemuda
bangsat itu. Tapi Ceng Bo yang berhati baja itu segera
memberi isyarat tangan mencegahnya disertai dengan
makian terhadap puterinya itu: "Biar ia, merasakan buah
perbuatannya sendiri!"
Hanya Tio Jiang yang tak dapat mengendalikan
kemarahannya lagi. Sembari loncat ketengah gelanggang,
dia meneriaki sumoaynya: "Siao Chiu, jangan lepaskan
bajingan Itu!"
Tadi para kawan2nya Ceng Bo sibuk menolongi siangjin
itu dan nengikuti jalannya pertempuran Kang Siang Yan
dengan Ang Hwat. Mereka tak tahu sama sekall kemana
gerangan lenyapnya sigenit Yan-chiu tadi. Kui-ing-cu dan
Ih Liok menyapukan matanya untuk mencari sigenit
kesekeliling gelanggang situ, tapi tiada ada. Dipanggilnya
ber-ulang2pun, tidak menyahut. Ai, kemana ia? Para
tokoh2 itu mulai gelisah.
Mungkin kegelisahan para cianpwe itu akan lebih besar
lagi kalau mengetahui bahwa pada saat dan detik itu Yanchiu
menggelepar dibawah tanah tak ingat diri lagi!
Kala Tio Jiang memburu kearah The Go tadi, belum lagi
dia sampai kesana tiba2 tubuhnya tampak meregang kaku
lalu rubuh ketanah. Mulutnya ber-buih2 mengeluarkan
busa.
"Arak yang dihidangkan kawanan anjing itu ada
racunnya!" se-konyong2 ada orang berteriak dengan nyaring
cemas.
Oleh karena penulis hanya mempunyai sebuah Mata
pena, pada hal banyaknya kejadian2 yang berlangsung pada
waktu yang bersamaan itu, jadi terpaksa sekaligus tak dapat
memaparkan. Maka baiknya kita tinggalkan dulu suasana
hiruk pikuk yang terjadi digelanggang pertempuran akibat
rubuhnya Tio Jiang itu, Kini mari kami ajak pembaca
mengikuti keadaan Yan-chiu yang pingsan tak sadarkan-diri
itu dulu.
---oodwkz0tahoo---
Pada waktu ia tersadar, didapatinya kaki dan tangannya
sudah dapat digerakkan. Sudah tentu ia heran dibuatnya.
Rupanya Kuan Hong dan Wan Gwat tahu apa yang
diherankan cicinya itu, maka buru2 mereka berebut
memberi keterangan: "Cici, ilmu penutuk jalan darah
dengan melalui tulang, karena kami berkelakuan baik,
sucou telah menurunkan barang dua buah kepada kami.
Ternyata ada gunanya juga ilmu itu!"
Kini baru jelaslah Yan-chiu mengapa kaki dan tangannya
saat itu dapat digerakkan. Buru2 ia menanyakan berapa
lamanya ia pingsan tadi. Kedua anak itu mengatakan hanya
sebentar saja. Yan-chiu duduk mengambil napas, Walaupun
dadanya agak terasa sakit, tapi tiada mengakibatkan suatu
apa. Itulah disebabkan karena ia dulu memakan biji kuning
mustika batu itu.
"Ayuh, kita lekas2 mencari mulut jalanan dibawah tanah
itu!" serunya seraya loncat bangun. Tapi berbareng pada,
saat itu, mulut pintu lubang disebelah atas sana menjadi
gelap pula dan pada lain- saat kedengaran orang berseru
memanggil: "Toa-supeh!"
Yan-chiu cepat menjemput terali besi serta memberi
isyarat mata, pada Kuan Hong dan Wan Gwat. Walaupun
masih kecil rupanya kedua imam anak2 itu cerdas juga.
Mereka menangkap maksud Yan-chiu.
"Toa-supeh berada disinilah!" serunya menyahuti.
Beberapa tosu yang berada diatas itu segerera turun
kebawah. Jelas diketahui Yan-chiu bahwa mereka
berjumlah 6 orang. la taksir dapat mengatasi mereka. Maka
belum lagi mereka menghampiri dekat, ia sudah
menerjangnya. Terowongan situ walaupun diberi lampu
penerangan, tapi tetap gelap remang2. Ketika tosu yang
berjalan dimuka sendiri melihat ada, angin menyambar, dia
kira kalau Ciang Tay-bing atau toa-supehnya, maka
buru2lah dia berseru: "Toa-supeh, ampun ......."
Belum sempat dia melanjutkan kata2nya minta ampun,
atau ujung terali besi Yan-chiu sudah menusuk dadanya.
Sekali dorong tubuhnya terjerembab kebelakang menjatuhi
ketiga kawannya yang berada dibelakangnya. Begitu ketiga
orang itu jatuh tumpang tindih, Kuan Hong dan Wan Gwat
segera menubruk untuk menutuk jalan darah mereka.
Sedang Yan-chiupun secepat kilat sudah menerjang lagi
kemuka dan mencekik leher kedua imam yang berjalan
paling belakang sendiri.
"Awas, kalau berani bercuit, nyawamu kucabut!"
Melihat bahwa toa-supehnya (Ciang Tay-bing)
menggeletak ditanah dalam keadaan tiga perempat mati,
kedua orang itu copot nyalinya. Takut kalau dipergoki
orang lagi, Yanchiu seret kedua imam itu keujung dinding
sana lalu mulai mengorek keterangan: "Kalian ini siapakah
yang mengetahui adanya jalanan dibawah tanah yang
menembus ruangan pertempuran sana? Ayuh, katakan yang
benar, supaya badanmu tetap bernyawa!"
Salah seorang dari kedua imam itu yang janggutnya
sudah mulai putih, segera menyahut dengan ter-bata2:"
Sejak 10 tahun lamanya siao-to (aku) menjadi tosu di Ang
Hun Kiong sini, belum pernah mendengar akan hal itu!"
Sedang kawannya yang seorang menyatakan bahwa
kecuall terowongan disitu itu, tiada lain jalanan dibawah
tanah lagi. Saking gelisahnya, Yan-chiu banting2 kaki lalu
benturkan kepala kedua imam itu kedinding, hingga
pingsanlah mereka.
"Kalau benar jalanan itu tidak ada, dimanakah mereka
memasang dinamit itu ?" Yan-chiu ber-sungut seorang diri
seraya menghela napas.
Tapi baru ia mengucapkan kata2 itu, atau Kuan Hong
dan Wan Gwat segera berebut menanyakan: "Cici, apa
yang kau katakan tadi?"
"Ah, kau anak kecil tahu apa!" seru Yan-chiu dengan
uring2an.
"Memang lain2 hal aku tak tahu, tapi apa itu yang kau
sebut 'dinamit' pernah aku mendengarnya," bantah Kuan
Hong dengan jebikan bibirnya.
Girang Yan-chiu tak terkata. Semangatnya segar lagi. Ia
menduga tentulah kedua to-thong itu menjadi murid
kesayangan Ang Hwat. siapa tahu mungkin mereka
mengetahui rahasia itu. Tapi pada lain saat, ia geleng2kan
kepala. Bukankah, kedua anak itu beberapa hari lamanya di
"gantung" dibawah tanah, bagaimana mereka tahu akan hal
Itu? Maka Yan-chiupun tak mau bertanya lagi.
"Cici, mengapa kau tak menanyakan lagi?" Kuan Hong
menegurnya dengan sibuk. Dengan menghela napas,
terpakaa Yan-chiu ceritakan juga tentang bencana yang
hendak dibawakan rombongan jagoan itu dengan
rencananya memasang dinamit dibawah tanah. Mendengar
itu kedua anak itu saling berpandangan.
"Cici, bukankah orang yang memasang dinamit itu
seorang yang bertubuh gemuk kate?"
"Entahlah!" sahut Yan-chiu. Tapi pada lain saat ia
memperoleh pikiran baru dan menyusuli pertanyaan:
"Apakah kalian mengetahuinya?"
”Kemaren ada dua orang, satu pendek gemuk dan yang
lain bertubuh tinggi besar, lewat dimuka kamar tutupan
kami dengan membawa sebuah bungkusan besar. Entah apa
yang dipercakapkan waktu itu, hanya antara lain mereka
mengatakan sekali meledak pasti akan habis seluruhnya.
Kami berduapun tak menaruh perhatian. Lewat sekian
lama baru kelihatan mereka lalu lagi dikamar situ, tapi
sudah tak membawa bungkusan lagi!"
"Hai, kiranya terowongan itu masih ada tembusannya
lagi? Ayuh kita lekas2 mencarinya!" seru Yan-chiu
kegirangan.
Tapi sampai sekian saat, merabah kesini mengorek
kesana, tetap tak memperoleh apa2. Terowongan dibawah
tanah itu tetap merupakan sebuah lorong sepanjang 8
tombak. Kalau menurut keterangan Kuan Hong, kedua
orang itu kemaren lalu dimuka kamar tahanan, jadi nyata
kalau mulut jalanan rahasia tentu berada diujung lorong
terowongan Itu. Yan-chiu gunakan terali besi untuk menutuk2
dinding terowongan tapi tetap nihil hasilnya. Saking
gemasnya Yan-chiu banting terali besi itu kebawah;
tring.........
”Hai, kiranya mulut jalanan rahasia itu berada dibawah
lantai. Celaka, tadi aku hanya mencarinya diatas dinding
saja!" serunya berjingkrak kegirangan.
Lantai itu tiada tampak ciri2 yang luar biasa. Yan-chiu
gunakan ujung terali untuk mengoreknya dan berhasil
menjungkit dua ubin warna hijau. Begitu ubin terangkat,
disitu terdapat sebuah tutupan besi dan dua buah kunci.
Yanchiu me-mutar2 kunci itu kekanan kiri lalu menarik dan
mendorongnya. Krek....., krek......, tiba2 terbukalah sebuah
lubang berbentuk pesegi, besarnya menyerupai mulut
terowongan dibawah perapian dupa itu.
Yan-chiu menghembuskan napas lega, lalu melambai
pada kedua anak itu diajak masuk. Didalam jalanan rahasia
dibawah tanah itu, gelapnnya bukan main. Lewat beberapa
saat kemudian, barulah mata, Yan-chiu agak biasa dengan
keadaan disitu. Ternyata lorong jalanan rahasia itu panjang
sekali. Mereka bertiga terus menyusur kemuka, namun
belum berhasil menemukan sumbu dinamit pun tak
mengetahui batas manakah yang tembus pada ruangan
pertempuran itu.
(Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 43 : BERGENIT DENGAN
MAUT
Tiba2 didengar diatas dinding jalanan rahasia ada suara
hiruk pikuk. Bermula Yan-chiu tertegun, tapi pada lain saat
berbalik menjadi girang, serunya: „Disinilah. Suara hiruk
pikuk itu tentu menandakan adanya orang2 yang berada
diruang pertempuran. Kita harus lekas2 berpencar untuk
mencari tempat dinamit itu!"
Baru saja ia mengucap begitu, tiba2 disebelah atas
terdengar suara orang tertawa mengekeh.
„Ai, keliru! Yang ketawa mengekeh itu tentulah Hwat
Siau dan isterinya. Kemungkinan besar mereka sudah akan
turun kebawah untuk menyulut dinamit. Kalau masih
belum berhasil menemukan, celaka sudah!" Yan-chiu
mengeluh sendirian.
Ia menyusur kemuka lagi. Belum beberapa jauh, diatas
langit jalanan itu kembali terdengar ada suara „duk...,
duk..... Lagi2pun Yan-chiu tertegun berhenti. Tiba2 terasa
ada getaran keras dan dari atas langit jalanan situ,
dindingnya sama berguguran. Yan-chiu makin sibuk tak
keruan. Sebaliknya dengan penuh keyakinan kedua tothong
itu menyatakan bahwa diatasnya situlah ruangan
pertempuran itu.
„Itu tentulah sucou tengah unjuk kelihayannya,
menginjak hancur marmar lantai. Kalau tidak masakan bisa
kejadian begini!" kata mereka berdua.
Yan-chiu sependapat dengan dugaan kedua to-thong itu.
Baru ia hendak suruh mereka berpencar mencari, tiba2
terdengarlah kumandang orang ber-cakap2. Astaga, itulah
suara Hwat Siau dan Swat Moay yang mendatang.
„Koanjin, terang kalau kedua mulut jalanan dibawah
tanah ini dibuka orang. Bahkan disana tadi terdapat mayat2
bergelimpangan. Jangan2 rencana kita bocor ini!" seru yang
perempuan.
,,Niocu, ayangan kuatir. Siapa yang berani mencabut
kumis harimau, biarlah dia bertamasya keakherat sana!"
kata sileiaki.
Dari kumandang suaranya, nyata mereka masih terpisah
jauh dari tempat Yan-chiu bertiga. Pada lain saat tampak
api dinyalakan. Rupanya kedua suami iateri itu sudah mulai
akan menyulut sumbu. Yan-chiu makin cemas seperti
dikejar setan. la mendongak dan hai, benda apakah yang
menonjol dilangitan dinding itu? Tanpa buang tempo lagi,
la segera loncat keatas dan menarik benda itu kebawah.
Ketika di-amat2inya, itulah salah seutas sumbu yang
menyambung keluar tempat Hwat Siau sana. Cepat ia
memijat sekuat2nya dan putuslah kabel sumbu itu.
„Hwat Siau Swat Moay, silahkan menyulut. Habis
menyulut kau tentu lari ter-birit2. Siapa tahu sampai
ditempat ini sumbunya sudah putus, jadi dinamit itu takkan
meledak, ha, ha!" Yan-chiu berkata seorang diri dengan gea
dan puas.
Entah bagaimana, api yang menerangi tempat Hwat Siau
Itu tiba2 padam.
„Hai, mengapa kau padamkan api itu?" Hwat Siau
menegur isterinya.
„Kalau ada orang mengetahui rencana kita, dan siang2
memutuskan kabel dinamit itu, bukantah sia2 saja jerlh
payah kita ini? Rasanya kalau tak memeriksa tempat
dinamit itu, tak lega, hatiku. Diatas masih bertempur seru,
kalau menjenguk kesana, rasanya takkan terlambat!" sahut
Swat Moay.
Hwat Siau puji ketelitian isterinya, serunya: „Benar,
benar! Kalau sampai terjadi begitu memang sia2 sajalah
segala jerih payah kita ini!"
Pada waktu kata2nya yang terakhir itu diucapkan,
suaranya sudah dekat sekali dengan tempat Yan-chiu yang
kelabakan setengah mati. Untuk melawan kedua iblis itu,
terang ia tak mampu ia ambil putusan nekad. Dijemputnya
dinamit itu, terus dibawanya lari kemuka. Kira2 empat lima
tombak jauhnya mereka bertiga berhenti sejenak. Tapi
pada, saat itu kumandang suitan Hwat Siau melengking
ditelinga mereka. Suitan itu aneh dan seram
kedengarannya, hingga membuat bulu roma berdiri.
Menyusul dengan itu Hwat Siau segera menghamburkan
kata2nya yang mengguruh laksana guntur berbunyi: „Entah
ko-chiu (jago silat) manakah yang mengganggu-usik
pekerjaan kami berdua suami isteri ini?. Seorang jantan tak
nanti berbuat secara menggelap, silahkan keluar!"
Saking gelinya disebut seorang ko-chiu, pecah mulut
Yan-chiu bercekikikan. Memang genit betul dara Lo-hu-san
Itu. Masa dalam keadaan sedemikian genting berbahaya itu
ia masih berani main2! Dan karena ketawa Itu, kini
ketahuanlah sudah tempat persembunyiannya. Tapi diluar
dugaan, kedua suami isteri itu tak berani gegabah
menyerbunya.
Memang adat sepasang suami isteri itu berlainan. Silelaki
berangasan, tapi isterinya lebih cermat dan teliti. Kala
mereka tiba ditempat dinamit situ, Yan-chiu sudah
menyingkir kira2 5 tombak jauhnya dan bersembunyi
ditempat gelap. Demi melihat kabel (sumbu) putus dan
dinamitnya lenyap, Swat Moay mereka dugaan, bahwa
rencana pendinamitan itu dirahasiakan sekali, terbukti dari
kenyataan bahwa sekalipun Ang Hwat cinjin tak
diberitahukan hal itu. Kecuali ke 18 jagoan sebawahannya
itu, tiada setan lagi yang tahu. Kalau toh ternyata ada orang
yang tahu, dia tentunya seorang ko-chiu yang dapat
mencuri dengar rencana persiapannya. Menilik kepandaian
mereka (Hwat Siau - Swat Moay), orang yang dapat
mencuri dengar pembicaraan itu, tentulah seorang jago
yang berkepandaian tinggi.
Dengan purbasangka itulah maka lebih dulu Hwat Siau
telah mengajukan pertanyaannya tadi. Dengari
terdengarnya suara ketawa Yan-chiu tadi, makin
cenderunglah mereka akan dugaannya tadi. Setelah berhasil
menggondol dinamit dia memutuskan kabel, orang itu tetap
berada disitu tak mau melarikan diri, terang kalau bukan
seorang yang memiliki kepandaian ber-lebih2an, tentu tak
Bernyali sebesar itu. Saking gusarnya, Hwat Siau terus
hendak turun tangan tapi cepat dicegah sang isteri.
„Koanjin, janganlah kite sampai berkubur bangkai disini.
Ke 18 orang kita itu sudah turun gunung, kita terpencil
sendirian. Kalau ribut2, Ang Hwat tentu akan mengetahui
peristiwa dinamit ini. Kalau sampai demikian, kita pasti
tergencet hebat. Kasih aku yang memberesinyalah!"
Hwat Siau dapat dibikin mengerti. Dan dengan suara
nyaring melengking Swat Moay sudah kedengaran berseru:
„Kesaktian cunke (anda) itu, kami suami isteri berdua
sangat mengagumi sekali. Diempat penjuru lautan ini,
semuanya adalah saudara. Kalau cunke sudi membantu
urusan kami kali ini, budi ini tentu akan kami ukir sampai
mati !"
Yan-chiupun tahu mengapa mereka tak menyerbunya
itu, sinakal dengan lega hati ia terus mundur lagi kesebelah
dalam. Dari Ceng Bo den Tay Siang Siansu, ia sudah
mewarisi ilmu mengentengi tubuh yang sempurna,
ketambahan setelah minum mustika batu itu, gerakannya
makin enteng dan lincah. Pengundurannya itu tadi,
sedikitpun tak menerbitkan soara apa2. Tapi iapun ternyata
hanya dapat beringsut sejauh 2 tombak saja, karena ketika
berpaling kesebelah dalam hatinya segera mengeluh cemas.
Kiranya sampal ditempat itu, jalanan dibawah tanah situ
sudah buntu. Disekeliling situ tiada jalan tembusan lagi. la,
andaikata ada, pada saat itu terang ia tak sempat
menyelidikinya. Kegelisahan Yan-chiu, sukar dilukiskan,
„Niocu, rupanya sahabat Itu tak mempedulikan kita!"
tiba2 kedengaran Hwat Siau berkata dengan iringan tertawa
sinis.
Tapi rupanya sang isteri masih berputus asa, serunya:
„Kami berdua suami isteri yang bodoh ini, adalah Hwat
Siau dan Swat Moay dari Tiang-peksan. Oleh karena baru
pertama kali berkunjung kedaerah selatan, jadi tak faham
akan golongan orang gagah didaerah ini, sehingga dalam
perjalanan itu kita lalai untuk membuat kunjungan
kehormatan. Apabila bersalah terhadap saudara, mohon
saudara sudi memberi maaf se-besar2nya. Dengan tak
memberi jawaban suatu apa, apakah saudara benar2 tak
suka berkenalan dengan kami?"
Tu lihatlah! Bagaimana merendah Swat Moay dalam
kata2nya itu. Ia tetap jerikan Yan-chiu yang dikiranya
seorang jago sakti itu. Jadi kecemasannya tak lebih kurang
darl Yan-tihiu sendiri.
Memang dalam keputusan asa, Yan-chiu audah
membulatkan tekadnya. Kalau saja kedua orang itu berani
menerjang, ia sudahh siap untuk menyambutnya dengan
melemparkan dinamit itu. Sekalipun tidak meledak, tapi
sekurang2nya dinamit itu pasti akan pecah berantakan.
Biarkan ia seorang diri binasa, asal sekian banyak orang
gagah pejoang kemerdekaan itu tak sampai lebur.
Semangatnya me-nyala2 dan nyalinyapun besar. Mati
untuk perjoangan kemerdekaan negara, adalah mati sahid.
Walaupun jasadnya hancur lebur, tapi namanya tetap
bersemarak diagungkan sepanjang masa!.
Dan kalau dipikir lebih jauh, lambat atau laun, manusia
itu tentu akan mati, pendirian Yan-chiu makin teguh.
Orang menyohorkan suami isteri Hwat Siau-Swat Moay itu
sebagai jagoan silat yang sakti. Tapi apa yang dapat
dibanggakan oleh mereka berdua itu? Andaikata Yan-chiu
nanti binasa, bukantah ia akan lebih disanjung dan
diabadikan sebagai seorang Srikandi, jauh lebih terhormat
daripada Hwat Siau dan Swat Moay itu? Pandangan
terhadap nilai kedua suami isteri jagoan itu menurun
beberapa derajat. Maka atas ulangan pertanyaan Swat
Moay tadi, ia hanya menyambutnya dengan sebuah tertawa
dingin menghina.
Mendengar itu Hwat Siau dan Swat Moay terkesiap.
„Kalau benar2 cunke tak mau keluar, cayhe (aku) hendak
mohon pengajaran barang sejurus!"
Dalam istilah2 yang maksudnya menyelomoti orang
(menipu), ada salah satu yang berbunyi demikian
„mengobati kuda mati se-olah2 binatang itu seperti hidup".
Dan Yan-chiu yang teringat akan peribahasa itu, segera
mempraktekkannya. Dengan melengkingkan nada suaranya
setajam mungkin, berserulah ia „Hem......, siapa kalian
karena takut lalu menakuti orang itu, akupun sudah
mengetahuinya. Ah......., heran, mengapa Tolkun mengutus
sebangsa kantong nasi macam kalian berdua itu untuk
melakukan tugas sebesar ini!"
Keheranan kedua suami isteri makin men-jadi2. Dari
nada suaranya teranglah itu seorang wanita, tapi mengapa
sedemikian beraninya? Sewaktu berkunjung kedaerah
selatan situ, pernah dari salah seorang ke 18 jagoan itu
mereka mencari keterangan tentang tokoh2 dunia persilatan
didaerah selatan. Kesemuanya mengemukakan Kui-ing-cu,
Ang Hwat cinjin, Tay Siang Siansu dan Kang Siang Yan,
adalah empat datuk besar dari daerah situ. Lain2nya seperti
Ceng Bo siangjin, Sin-eng Ko Thay, Nyo Kong-lim dan
lain2, walaupun cukup kosen, tapi tak ber-lebih2an. Tapi
terhadap „tokoh" yang melengking nada suaranya dan yang
begitu bernyali besar untuk memanggil nama Tolkun tanpa
sebutan gelarnya, belum pernah mereka mendengarnya!
Dan ternyata mereka merasa jeri juga, tak berani gegabah
menyerbu.
Sebelum mati berpantang ajal. Yan-chiu gunakan tepat
sekali ajaran pepatah itu. Ini disebabkan ia berada didalam
lorong jalanan rahasia, sehingga musuh dapat dikelabuinya.
Coba ditempat yang lebar, tak nanti ia dapat
mempermainkan Hwat Siau dan Swat Moay yang memiliki
panca indera tajam itu.
Memang tempat itu membantu banyak kepada Yan-chiu.
Kumandang suara Hwat Sisu Swat Moay, telah bergulung
campur dengan kumandang nada suaranya (Yan-chiu),
apalagi sengaja ia buat nadanya itu sedemikian rupa.
„Kang Siang Yan kah?" kedua suami isteri itu bertukar
pandang seraya men-duga2 dalam hati. Tapi mengingat
bahwa tokoh itu masih berada diatas dan sedang terlibat
dalam pertempuran dengan Ang Hwat, tentu bukan dianya.
„Sukakah kiranya cunke memberitahukan nama dan
gelaran cunke yang mulia itu? Walaupun kepandaian kami
berdua memang cetek, tapi kalau benar2 cunke hendak
menghalangi pekerjaan ini, rasanya tak mudah jugalah!"
kembali Swat Moay berseru.
Yan-chiu mengambil keputusan, sedapat mungkin ia
hendak ulur waktu hingga mudah2an nanti terjadi suatu
perobahan yang tak terduga.
„Bangsa 'kantong nasi' macam kalian itu, hendak
melawan aku? Nyalimu sih besar juga berani datang
kedaerah Selatan sini, tapi ternyata hanya begitu macam
kepandaianmu, masakan Lamhay Hu Liong-poh saja kalian
sudah tak mengenalnya!"
Untuk mengaku seorang lelaki terang akan. ketahuan
karena ia bernada perempuan, maka cepat2 ia sembarangan
mengaku sebagai Hu Liong-poh, Itu tokoh wanita yang
menduduki mahkota tertinggi dalam dunia persilatan
daerah selatan. Benar juga, kedua suami isteri itu segera
tersentak kaget mendengarnya. Memang nama tokoh
wanita itu sangat berkumandang dikolong jagad, tapi
menurut kabar sudah lama meninggal. Apakah desas desus
itu bohong belaka? Tanpa terasa kedua suami isteri itu
berjajar bahu membahu, yalah sikap yang dilakukan apabila
mereka berhadapan dengan musuh yang tangguh.
Andaikata Yan-chiu tak ngoceh lagi, se-kurang2nya pastl
dalam sejam lamanya Hwat Siau dan Swat Moay tak berani
berkutik. Tapi entah bagaimana ia merasa kuatir sendiri
jangan2 lawan tak mempercayai keterangannya tadi, maka
pada lain saat ia segera beraeru. lagi: „Huh, sampaipun
anak murid dari beliau siorang tua itu saja kalian tak
mengetahui, masih mau mengagulkan diri begitu macam!"
„Melukis ular tapi diberi kaki", kata2 ini menyatakan
bahwa karena bermaksud hendak menyempurnakan
pekerjaannya, kalau tak dipikir masak2, sebaliknya bisa
malah merusak pekerjaan itu seluruhnya. Memang
pengetahuannya tentang tokoh2 persilatan, Yan-chiu masih
kurang. Sebaliknya walaupun Hwat Siau dan Swat Moay
itu selalu berdiam didaerah utara dan hanya sekali itu
datang kedaerah selatan, tapi mereka cukup faham bahwa
Hu Liong-poh itu tidak mempunyai barang seorang
muridpun juga. Pengakuan Yan-chiu segera terbuka
kedoknya.
„Koanjin, dia bohong, Hu Liong-poh tak pernah
menerima murid!" bisik Swat Moay kepada suaminya.
„Benar, kita harus lekas2 turun tangan, kalau terlambat
tentu akan gagal!" sahut Hwat Siau.
Walaupun jaraknya dengan Yan-chiu hanya terpisah 3
tombak, tapi dengan kepandaian sakti yang dimilikinya itu,
mereka dapat bergerak tanpa dapat diketahui. Tahu2 Hwat
Siau sudah maju kemuka dan jelas kelihatan dimuka sana
tampak ada sesosok tubuh kecil langsing. Kini tahulah
mereka kalau diselomoti orang. Masih Yan-chiu tak merasa
akan perobahan posisi itu, maka masih juga ia enak2an
mengancam: „Mengapa kalian tak lekas2 tinggalkan tempat
ini? Menilik sesama kaum persilatan, janganlah hendaknya
sampai meretakkan perhubungan..........."
Belum sampai ia menyelesaikan kata2nya itu atau Hwat
Siau yang sudah jelas akan sandiwara itu, segera berkisar
maju dan mengirim hantaman.
GAMBAR 81
dan baru Yan Chiu hendak meneruskan sandiwaranya atau
mendadak Hwat Siau sudah menubruk maju terus melontarkan
serangan ganas
Terik panas membara laksana hawa ditengah muaim
kemarau, adalah perasaan Yan-chiu kala dia menerima
hantaman itu. Memang ilmu lwekang yang diyakinkan
Hwat Siau itu adalah lwekang yan-hwat (api positip).
Lwekang itu dapat menyalurkan hawa sepanas api. Ilmu itu
adalah warisan dari seorang persilatan aneh dari jaman
Song, bernama Hwat Bu-hay (api tak mempan) yang tinggal
dipulau Bu-ti-to dilaut Pak-hay. Lwekang yang di yakinkan
itu berlawanan sifatnya dengan yang difahamkan oleh Swat
Moay. Apabila menghadapi musuh tangguh, selalu kedua
suami isteri itu bahu membahu
Saking tak tahannya dibakar lwekang itu, Yan-chiu
loncat mundur. Hwat Siau murka karena dipermainkan
tadi. Kini dengan beringas, dia loncat menerkam tangan
sinona. Karena tak dapat mundur lagi, Yan-chiu
menghindar kesamping. Tapi diaini ia segera rasakan hawa
dingin merangsang tubuhnya, hingga sampai menggigil
gemetar. Dalam sibuknya, segera ia loncat keatas untuk
menggelantung, kemudian loncat kebawah lagi. Dengan
jalan begitu, barulah ia dapat terlolos dari hantaman maut.
Dalam pada itu iapun segera siap untuk melemparkan
dinamit itu. Tapi saat itu Hwat Siau dan Swat Moay sudah
maju berbareng hingga ia, tak mempunyai kesempatan
sama sekali.
Hanya pada lain kejab saja, atau Yan-chiu segera rasakan
lengannya seperti terjepit besi, sakitnya bukan olah2.
„Aii........." mulutnya melengking keluh, dan dinamit yang
dipegang itupun jatuh ketanah, dan cepat2 dipungut oleh
swat Moay.
„Koanjin, putusan sumbunya, masih dapat disambung.
Kau jaga dia, biar aku yang memasangnya lagi!" seru Swat
Moay.
Hwat Siau mengiakan dan lalu menepuk bahu Yan-chiu
siapa terus saja mendeprok ketanah tak dapat berkutik. Tapi
dalam keadaan itu, masih jelas ia, melihat kedua suami
isteri itu sibuk memasang dinamit dan menyambung
kabelnya lalu menyulutnya. Suara sumbu menyala mendesis2
dan mereka lalu mundur, terus lenyap dari situ.
Penderitaan Yan-chiu kala itu sukar dilukiskan. Matanya
melihat bahaya, namun badan tak berdaya. Seingatnya
saejak sebesar itu, baru pertama kali itu ia, mengalami
siksaan yang sedemikian hebatnya. Sis...., sis......, sis.....,
demikianlah sumbu itu terus merayap.
---oodwkz0tahoo---
Baik kita tinggalkan dulu Yan-chiu yang tengah
menantikan maut itu dan mari kita tengok kembali
keruangan pertempuran sana. Seperti diketahui kala Tio
Jiang rubuh dengan mulut berbuih busa, sekalian orang
gagah sama menuduh bahwa arak yang dihidangkan orang
Ang Hun Kiong itu tentu ditaruhi racun. Saat itu suasana
hiruk pikuk bukan buatan.
„Manusia yang tak tahu malu, mengagungkan diri
sebagal datuk cabang persilatan, tapi tak tahunya
sedemikian licik dan keji perbuatannya, menaruh racun
dalam arak. Sungguh biadab!" sekalian orang2 gagah dalam
rombongan Ceng Bo ber-teriak2 dengan marah.
GAMBAR 82
Heran sekali Ceng Bo Siangjin ketika mendadak melihat Tio
Jiang menggeletak dengan mulut mengeluarkan busa dan
kemudian telah sadar sendiri, ia menjadi ragu2 apakah sang
murid itu mempunyai penyakit ayan ?
Ang Hwat marah besar, tapi ketika melirik kearah Tio
Jiang dilihatnya memang pemuda itu dalam keadaan
pingsan tak ingat dan mulutnya mengeluarkan busa.
Diapun terperanjat, dan karena sedikit meleng itu, hampir2
ia kena digenjot Kang Siang Yan, cepat ia pusatkan
perhatiannya kembali menghadapi lawannya itu.
Dalam pada itu, karena sama mengira sudah keracunan,
beberapa orang diantaranya yang aseran terus ikut
mengerubut kearah Ang Hwat Cinjin dan The Go. Melihat
gelagat jelek, lekas2 The Go keluarkan Ceng-ong-sin dan
diabat-abitkan, hingga para pengeroyok itu terpaksa
mundur.
„Berhenti semua!" se-konyong2 Ang Hwat Cinjin
membentak sambil melompat mundur.
Karena suara gertakan keras itu, semua orang menjadi
terpengaruh dan berhenti bertempur. Begitu pula Hang
Siang Yan ikut tertegun. Dan selagi Ang Hwat Cinjin
hendak menyangkal tak menaruh racun didalam arak, tiba2
terdengar seorang berkata dengan dingin:
”Bocah itu tentu terkena racun obat 'Sip-jit-tui-hun-tan'
milik kepala suku Biau, Kiat-bong-to, tiada sangkut-pautnya
dengan siapapun."
Waktu semua orang berpaling, kiranya yang bicara
adalah satu diantara 18 jago dimeja sana, yang
berperawakan liecil, orang kenal dia bernama Can Bik San,
berjuluk „Ngo-tok-lian-cu-piau" atau piau berantai panca
bisa, yaitu karena lima macam racun yang dibuat
merendam senjata rahasianya, saking jahat racun yang
dipakainya itu, asal lecet saja sasarannya, pasti jiwa akan
melayang. Sebab itu, nama Can Bik San dengan cepat
terkenal. Tapi karena kelakuannya yang tidak pandang
kawan atau lawan, maka ia terdesak dikediamannya dan
terpaksa menggabungkan diri pada pemerintah Ceng.
Kini melihat suasana kacau-balau, boleh jadi akan
merusak rencananya, maka cepat ia bersuara untuk
menghilangkan curiga semua orang.
Ketika semua orang memandang Tio Jiang, pemuda itu
ternyata sudah baikan, busanya sudah sedikit, wajahnya
mulai memerah. Dengan menahan sakit dilengannya, Ceng
Bo Siangjin mendekati muridnya itu dan memeriksa
pernapasannya, tapi urat nadi Tio Jiang berjalan biasa,
tampaknya bukan terkena racun. Karuan Ceng Bo sangat
heran, kalau pemuda ini tidak keracunan, lalu kenapa
mendadak roboh dengan mulut berbusa? Jangan2 punya
penyakit ayan!
Selagi Ceng Bo ragu2, terdengar Tio Jiang sudah bisa
bersuara seperti orang baru bangun tidur. Ceng Bo pikir
dalam keadaan demikian, kalau pertarungan dilakukan
secara kerubutan, tentu takkan menguntungkan pihaknya,
apalagi pihak musuh masih ada dua jago yang belum turun
kalangan. Maka serunya: „Harap semua orang kembali
tempat duduknya masing2!"
Tapi baru selesai perkataannya, mendadak-terdengar
suara jeritan ngeri.
(Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 44 : ANJING GILA
Kiranya ketika mendengar bentakan keras dari Ang
Hwat Cinjin tadi, Kang Siang Yan agak tertegun. Tapi
ternyata Ang Hwat tak menyerang, maka Kang Siang Yan
buru2 menghampiri Bek Lian. Tapi pada saat itu keadaan
Bek Lian sudah keliwat payah. Keguncangan yang,
dideritanya adalah sedemikian hebat, hingga kandungannya
turut bergerak keras. Sekali mulut menguap, segumpal
darah segar muntah keluar dan limbunglah ia antara sadar
tak sadar.......... Masih ia dapat mengenali wajah ibunya,
tapi karena tenaganya sudah habis, sepasang bibirnya yang
pucat seperti tak berdarah itu ber-gerak2, namun tak dapat
mengeluarkan sepatah katapun jua!
Melihat puteri biji matanya mengalami penderitaan yang
sedemikian sengsaranya, kemurkaan Kang Siang Yan
meluap. Ia deliki mata kearah The Go, dimana saat itu
justeru sedang memandang kearah Bek Lian dan Kang
Siang Yan. Pancaran mata Kang Siang Yan ternyata
sedemikian ber-api2, hingga jantung The Go serasa
berdebar keras.
"Bangsat, tak nanti kau terlepas dari tanganku!" pikir
Kang Siang Yan. la anggap jiwa Bek. Lian lebih utama
dahulu, maka segera ia salurkan lwekang untuk
menjalankan perdarahan tubuh Bek Lian. Lewat beberapa
jurus kemudian, barulah Bek Lian kedengaran menangis.
"Sudah, nak, jangan menangis. Biar ibumu yang
membalaskan!" hibur Kang Siang Yan dengan rawan.
Mendengar itu The Go takut setengah mati. Kalau Kang
Siang Yan sampai turun tangan, habislah riwayatnya. Dari
segala macam siasat membela diri, angkat kaki adalah yang
paling selamat. Sebat sekali dia lalu hendak ngacir, tapi
ternyata Kang Siang Yan lebih sebat darinya. Hanya
tampak tubuhnya berguncang sedikit, atau tahu2 wanita
gagah itu sudah berada disampingnya dan terus ulurkan
tangannya hendak mencengkeram. Cian-bin Long-kun The
Go coba hendak menangkis dengan ular ceng-ong-sin, tapi
cukup dengan dua buah jari saja Kang Siang Yan telah
dapat menjepit erat2 angsang ular itu, hingga tak dapat
berkutik lagi. Malah berbareng itu, lima buah jari tangan
kirinya mencengkeram bahu The Go, menekan bagian
tulang pi-peh-kun. Maka seketika itu The Go rasakan
kesakitan hebat dan mengeranglah dia dengan jeritan
seram.
"Hem, kukira kau seorang jantan, berani berbuat berani
tanggung resiko, tak tahunya hanya bangsa 'kantong nasi',
belum mati sudah men-jerit2 ketakutan!" Kang Siang Yan
menyeringai.
Wajah The Go berobah pucat lesi, butiran keringat
sebesar kacang hijau ber-ketesa turun dari dahinya.
Mukanya seperti orang dicekik setan tampaknya. Kang
Siang Yan sentuhkan lengannya ketangan The Go dan
kelima jari sianak muda yang mencekali ular itu segera
kendor. Tahu2 ceng-ong-sin sudah pindah ketangan Kang
Siang Yan.
Karena angsangnya dipijat, ular itu tak dapat berkutik,
hanya lidahnya saja yang menjulur surut. Demi dirangsang
oleh kebenciannya terhadap "mantu"nya yang manis itu,
Kang Siang Yan acungkan ular ceng-ong-sin kemuka
The Go. Bau amis segera menyampok hidung The Go
ketika lidah ceng-ong-sin itu terpisah hanya setengah dim
dari kulit mukanya. Hilang semangat The Go dibuatnya
dan serentak merintih dia dengan ter-iba2: "Gakbo, ampun!
Siausay mengaku salah!"
GAMBAR 83
"Ampun, Gakbo (ibu mertua) :" teriak The Go ketika kena
dicengkeram Kang Siang Yan.
Terjentik sanubari Kang Siang Yan mendengar rintihan
sang "menantu" itu. Puterinya sudah terlanjur memilihnya
dan sudah pula mengandung, kalau dia dibunuh, berarti
juga Bek Lian nanti akan menjadi janda sebelum kawin.
Suatu hal yang memalukan sekali. Tanpa terasa tangan
wanita gagah itu disurutkan kebelakang untuk menarik ular
ceng-ong-ain.
"Hong-moay, jangan kena diakali bangsat itu! Dia tak
boleh diberi hidup lagi!" kedengaran Ceng Bo siangjin
berseru demi dilihatnya sang isteri hendak membatalkan
rencana. Juga Thaysan-sim-tho Ih Liok berteriak keras2
untuk menganjuri, hingga membuat Kang Siang Yan
menjadi serba salah.
Dilain fihak, Ang Hwat cinjin gelisah sekali. Dia sangat
sayang anak muda itu melebihi dari semua murid2nya.
Namun hendak dia menolong, berarti akan mempercepat
kematian The Go, karena terang nanti Kang Siang Yan
tentu akan turun tangan lebih lekas. Jadi keadaan cinjin
itupun seperti 'sibisu makan getah' atau menderita tapi tak
dapat menyatakan. Maka sekalipun dia seorang jago lihay,
namun tak dapat berbuat apa2 untuk menolong muridnya.
Tiba2 terkilas dalam pikirannya sebuah siasat.
Digenggamnya dua buah thi-lian-cu (senjata rahasia
berbentuk biji terate) dan wut...., wut....... melayanglah dua
buah thi-lian-cu, satu kearah kepala ular ceng-ong-sin dan
satu kelengan Kang Siang Yan!
Tokoh macam Ang Hwat sebenarnya tak perlu
menggunakan senjata rahasia lagi. Tapi karena keadaan
memaksa, terpaksa dia gunakan thi-lian-cu, suatu senjata
rahasia yang dikuasainya sejak dia masih muda. Dan kuatir
kalau dua buah thi-lian-cu tadi akan gagal, dia merogoh
kedalam saku dan menyusuli lagi dengan ber-puluh2 buah.
Tak kurang dari 30-an buah thi-lian-cu menabur kearah
Kang Siang Yan, laksana hujan tercurah dari langit,
suaranya meng-aum2 memecah angkasa.
Jaraknya dengan Kang Siang Yan hanya terpisah
setombak lebih, jadi persentasinya tentu mengenai. Kang
Siang Yan sedikitpun tak sayang akan ular ceng-ong-sin,
tapi ia tak sudi lengannya sampai terkena senjata rahasia
yang lihay itu. Ia cukup sadar thi-lian-cu merupakan suatu
senjata rahasia yang berbahaya, sekalipun orang memiliki
ilmu thiat-po-san (tak mempan senjata) namun sukarlah
rasanya untuk menahan serangan senjata tersebut yang
dilepas oleh seorang tokoh macam Ang Hwat cinjin.
Namun kalau hendak menghindar berarti memberi
kesempatan The Go lari, suatu hal yang tak dikehendaki
Kang Siang Yan. Tiba2 dalam keadaan yang serba sulit itu,
terdengarlah suara bergemerincing. Ah, kiranya Kui-ing-cu
telah bertindak dengan sebat.
Tokoh aneh itu tahu bahwa Ang Hwat hendak
membinasakan ceng-ong-sin agar The Go terhindar dari
pagutan maut. Tahu juga dia bahwa Kang Siang Yan tak
ambil mumet dengan ular sakti yang diperoleh susah payah
oleh oleh Sik Lo-sam, maka cepat dia ambil sebuah sendok
perak yang sekali dipijat menjadi patah macam sebuah
senjata rahasia, lalu ditimpukkan. Oleh karena dia lebih
dekat dengan Kang Siang Yan, maka sekalipun tak dapat
membikin jatuh tapi se-kurang2nya dapatlah kepingan
sendok itu membuat thi-lian-cu itu miring arah layangnya
dan jatuh kesamping!
Kalau tadi Kiang Siang Yan masih ragu2, kini dengan
adanya tindakan Ang Hwat itu, ia menjadi beringas. Sekali
mendorong, The Go segera terjerembab kedalam taburan
hujan thi-lian-cu. Ber-puluh2 thi-lian-cu menghujani tubuh
pemuda culas itu. Ceng Bo lega, tapi sebaliknya Bek Lian
masih merasa iba melihatnya. Ting..., ting...., ting...., berpuluh2
thi-lian-cu telah menghantam tubuh The Go, tapi
begitu kena semua senjata rahasia itu pada jatuh ketanah.
Sedikitpun anak muda itu tak kena apa2, malah terus
gunakan gerak hong-cu-may-cin, berosot kesamping terus
lari sipat kuping!
Kang Siang Yan terlongong karena kekebalan sang
"mantu" yang manis itu, hingga tak keburu menangkapnya.
Dan ketika ia tersadar hendak mengejar, Ang Hwat telah
menyambutnya dengan hantaman yang dahsyat. Dalam
beberapa kejab saja, keduanya telah saling berhantam
sampai 10 jurus, kemudian baru saling surut kebelakang.
Ang Hwat tertawa ter-kekeh2.
"Kang Siang Yan, kau juga seorang cianpwe, mengapa
memusuhi seorang anak? Kalau pinto tak keburu unjukkan
sedikit permainan, namamu tentu tercemar!"
Saking gusarnya Kang Siang Yan buang ceng-ong-sin,
serunya: "Imam tua Ang Hwat, kau ngoceh apa itu? Kalau
harini belum kucincang tulang belulang anak itu, jangan
harap aku tinggalkan tempat ini!"
Ang Hwat jebirkan bibirnya, menyeringai: "Kau hendak
tinggalkan tempat ini? Hem, rasanya harus memerlukan
idinku dahulu!"
Keduanya siap hendak bertempur lagi, rupanya kedua
fihak makin lebih ngotot dari tadi.
GAMBAR 84
Meski dibanting kelantai oleh Kang Siang Yan, tapi Ceng-ongsin
bukan sembarangan ular, begitu menyentuh tanah, segera
badannya meringkuk sambil menjulurkan kepalanya keatas.
Melihat kesempatan itu, cepat Can Bik San melompat maju
hendak menangkapnya, tapi Kui-ing-cu tak mau ketinggalan,
segera iapun melayang maju terus menghantam.
Dilempar oleh orang macam Kang Siang Yan, apapun
tentu hancur. Tapi ceng-ong-sin bukan ular sembarang ular.
Binatang itu merupakan suatu benda ajaib yang jarang
terdapat didunia. Begitu jatuh ditanah terus melingkar dan
angkat kepalanya sembari menjulur2kan lidahnya, siap
menyerang orang yang hendak mengganggunya. Melihat
kesempatan sebagus itu, Ngo-tok-lian-cu-piau Can Biksan
segera tampil hendak menangkap. Tapi Kui-ing-cu dengan
sebatnya segera apungkan tubuhnya keatas. Belum
orangnya tiba ditanah, pukulannya sudah menderu datang.
Can Bik-san merasa ada suatu tenaga dahsyat
menekannya. Hendak dia menghindar tapi sudah tak
keburu. Tiga batang piauw kecil yang bergemerlapan cepat
dia timpukkan kelawan. Orang she Can itu biasa saja
ilmunya silat. Kepandaian yang diandalkan, hanyalah
ilmunya menyabit piau dengan kedua tangannya maju
berbareng. Piaunya itu berbentuk bulat panjang,
mempunyai tiga buah ujung yang sangat tajam. Tapi karena
puncak ujungnya itu semuanya bundar, jadi sewaktu
melayang tak menerbitkan suara apa2.
Perhatian Kui-ing-cu dicurahkan untuk, mencegah orang
merampas ceng-ong-sin, maka sedikitpun dia tak mengira
kalau orang she Can itu sedemikian ganasnya. Dalam
gugupnya dia segera gunakan tenaga dalam untuk
menghindar kesamping, tapi hasilnya ternyata runyam.
Sebagaimana telah diketahui, karena menolong Sik Lo-sam
yang terkena hantaman Kang Siang Yan tempo hari, dia
telah kekurangan lwekang dan tenaga murni. Maka bukan
kepalang kagetnya demi diketahui bahwa gerakannya kini
tak segesit dahulu. Dua buah piau hanya terpisah beberapa
dim disisi tubuhnya, tapi nomor tiga yang terachir tepat
sekali menyusup kepahanya. Seketika dia rasakan bagian
anggauta tubuhnya mati-rasa. Cepat2 dia cabut piau
beracun itu, begitu tubuh menurun dia sapukan kaki dan
berbareng menangkap ceng-ong-sin. Menurunkan tubuh,
mengaitkan kaki, mencabut piau dan menangkap ular, 4
macam gerakan dia lakukan berbareng sekaligus.
Can Bik-san yang biasa saja ilmunya silat, mana dapat
bertahan diri atas kemarahan Kui-ing-cu itu. Krek......,
krek....... kedua kakinya patah tersapu gerakan Kui-ing-cu.
Syukur kawan2nya lekas maju menolong. Kedelapan belas
orang itu saling memberi isyarat mata. Yang tujuhbelas
segera keluar dari gereja Ang Hun Kiong itu, sementara
yang satu lalu memberitahu pada Hwat Siau dan Swat
Moay supaya lekas2 bertindak.
Pada saat itu perhatian Ang Hwat tengah dicurahkan
untuk menghadapi Kang Siang Yan, jadi dia tak
mempunyai keluangan untuk mengurusi orang2nya itu.
Sedang difihak Ceng Bo dan kawan2 sedikitpun tak
mengetahui akan adanya suatu rencana yang ganas itu.
Mereka mengira, orang2 itu membawa Can Bik-san keluar
untuk diobatinya. Ada beberapa orang yang mengetahui
kedahsyatan piau buatan orang2 suku Thiat-theng-biauw itu
segera menganjurkan supaya Kui-ing-cu potong saja bagian
daging yang terkena piau itu. Tapi piau buatan suku Biauw
itu sangatlah hebatnya.
Tadipun adanya Tio Jiang tak hujan tak angin
sekonyong2 menjadi seperti orang kalap tak sadarkan diri,
adalah terkena pengaruh racun dari pil cap-jit-tui-hun-tan
(merampas jiwa dalam 10 hari) buatan suku Thiatthengbiauw,
ketika Tio Jiang minum teh yang dihidangkan
Kitbong-to digunungnya. Walaupun dengan gunakan
lwekang dia muntahkan lagi teh beracun itu, namun sisa
sedikit yang masuk kedalam perut cukup membuatn ya tak
sadar, begitu waktunya tiba. Tapi karena lwekangnya kini
maju pesat, maka dapatlah pengaruh obat racun yang hanya
sedikit itu, dipunahkan dan diapun segera ingat diri pula.
Sebaliknya racun piau Can Bik-san itu disebut "hongsinsan"
(obat membikin gila). Walaupun dengan sebat
sekali Kui-ing-cu segera mencabutnya, namun racun
tersebut sudah keburu masuk kedalam pembuluh darah dan
naik keatas. Amputasi atau pemotongan sebagian anggauta
badan, hanya berguna terhadap racun biasa. Namun racun
buatan Kit-bong-to itu lain sifatnya. Sekalipun andaikata
paha Kui-ing-cu itu dipotong semua, akan sia2 jua.
Dan begitu racun merangsang, pikiran Kui-ing-cu sudah
limbang, jadi begitu ada orang mengajak bicara, biji
matanya membalik, sikapnya beringas. menakutkan,
sehingga kawan2nya sama terkesiap jeri. Sebaliknya The
Go bergendang paha, serunya: "Ho, orang itu terkena ngotok-
lian-hoan-piau. Dia bakal seperti anjing gila, mana mau
dengar kata2mu ? !"
Ceng Bo terperanjat dan deliki mata, sedang Thaysan
sin-tho Ih Liok segera memaki habis2an. ”Mengapa si
Cianbin long-kun tetap sehat walafiat? Marilah kami
mundur dahulu.”
Kiranya Ang Hwat telah memperhitungkan bahwa Kang
Siang Yan tentu akan membuat The Go sebagai umpan,
maka taburan thi-lian-cu tadi dia gunakan trick
(permainan). Dalam jarak yang sudah diukurnya begitu
mengenai tubuh, puluhan thi-lian-cu itu hilang daya
kekuatannya dan jatuh berhamburan ketanah. Sedemikian
indah permainan kepala gereja Ang Hun Kiong itu, hingga
Kang Slang Yan sampai kena dikelabuhi dan lepaskan The
Go. Bermula The Go sudah paserah nasib, tapi serentak
terasa taburan thi-lian-cu itu sudah punah dayanya, tahulah
dia maksud sucounya itu. Dan sebagai orang yang cerdas,
dapatlah dia menggunakan kesempatan itu, se-bagus2nya.
Demikianlah rahasia kekebalan The Go.
Sekarang mari kita ikuti keadaan Kui-ing-cu lagi. Begitu
terkena penyakit anjing gila, Kui-ing-cu lupa daratan tak
kenal mana lawan maupun kawan. Sampaipun Kang Siang
Yan dan Ang Hwat sama alihkan pandangannya kepada
tokoh itu, siapa tampak matanya menjadi merah membara.
"Kui-heng, kau bagaimana?" seru Ceng Bo, Ko Thay dan
si Bongkok dengan serempak. Namun Kui-ing-cu kembali
menggerung keras.
"Ang Hwat cinjin, mengapa sampai seorang buaya darat
macam Can Bik-san, kau ajak berserekat?" teriak Ceng Bo
Siangjin.
Sekalipun Ang Hwat membantu pemerintah Ceng, tapi
dia seorang ketua dari sebuah aliran cabang persilatan, jadi
se-kurang2nya dia masih memegang kehormatan.
persilatan. Tahu Kui-ing-cu belum apa2 sudah kena piau
beracun, diapun agak kurang enak. Berpaling kebelakang,
didapatinya hanya ada dua orang muridnya saja.
"Tek-san undanglah Ngo-tok-lian-cu-piau Can Bik-san
kemari!" katanya kepada Ji-mo Long Tek-san, siapa
mengiakan dan terus berlalu.
Pada saat Itu, se-konyong2 Kui-ing-cu loncat setombak
lebih tingginya. Diatas udara dia berjumpalitan dan begitu
menginjak tanah, kembali dia perdengarkan teriakan aneh
sampai dua kali. Sepasang matanya makin beringas merah.
Oleh karena tahu bagaimana kelihayan tokoh itu,
kawan2nya tak berani menghampiri, malah sama
menyingkir.
Juga Ceng Bo cemas akan perobahan sahabatnya itu.
Oleh karena Can Bik-san belum muncul maka Ceng Bo
segera perintah kawan2n ya menyingkir saja. Begitulah
ketika dia memberi aba2, kawan2nya sama bubar dan
tinggalkan ruangan itu. Pun seorang tokoh2 macam Ang
Hwat dan Kang Siang Yan tak urung cemas juga. Kang
Siang Yan segera menggendong Bek Lian sedang Ang Hwat
pun lalu menarik tangan The Go untuk diajak berlalu.
Menurut anggapan orang banyak, hanya Tio Jiang
seorang yang paling akrab sekali hubungannya dengan Kuiing-
cu. Tapi keadaan anak itu baru saja sembuh terkena
racun, jadi kasihan kalau sampai kena apa2. Dalam pada
itu, Kui-ing-cu makin men-jadi2 keadaannya. Sepasang
matanya ber-api2 dan se-konyong2 dia pentang kedua
lengannya. Lengan kanan masih tetap mencekali ceng-ongsin,
sedang tangannya kiri menghantam dua kali pada
sebuah tiang sepemeluk lengan besarnya, Tiang besar itu
rompal bertebaran ke-mana2. Kui-ing-cu rupanya masih
penasaran dan digeragotinyalah tiang itu.
"Kui locianpwe, kau ini kena apa?" Tio Jiang yang
merasa kasihan segera bertanya.
Kui-ing-cu angkat kepalanya dan deliki mata pada Tio
Jiang sembari tertawa meringkik, sehingga Tio Jiang berdiri
bulu romanya. Kui-ing-cu undur selangkah. Kembali dia
tertawa meringkik dan tiba2..... bang....., bang....., bang.....,
tahu2 tiang itu didorongnya rubuh sehingga ujung rumah
itu ambruk sebagian. Orang2 yang sama menyingkir
disebelah luar ruangan itu, makin cemas.
"Coba tengok lagi, mengapa sdr. Can itu belum kemari!"
Ang Hwat banting2 kakinya seraya menyuruh Im Thiankui,
siapa lalu pergi dengan lekas.
Sementara itu Ceng Bo yang terus menerus mengikuti
keadaan Kui-ing-cu, dapatkan bahwa tokoh itu kini
melekatkan pandangannya kepada Tio Jiang.
"Jiang-ji, kembalilah lekas, jangan cari bahaya!" serunya
memanggil sang murid. Tapi sudah terlambat. Membarengi
seruan Ceng Bo, Kui-ing-cu yang sudah lupa orang itu
segera menghantam dada sianak muda.
Tio Jiang tak berani menangkis, maka cepat dia
menghindar saja. Tapi walaupun gila, ternyata kepandaian
Kuiing-cu masih utuh. Secepat kilat diaa berputar, terus
mencengkeram dada Tio Jiang. Dalam gugupnya Tio Jiang
surutkan dadanya kebelakang. Benar badannya terhindar,
tapi bajunya kena tersambar robek. Robekan baju itu
digigit2 Kui-ing-cu, dikunyah lalu dimakannya dengan
lahap.
Tio Jiang kucurkan keringat dingin. Kalau tadi dia
sampai kena tercengkeram, mungkin dia akan mengalami
nasib serupa seperti bajunya itu. Saking getar perasaannya,
cepat2 dia loncat dua tiga tombak keluar. Tapi Kui-ing-cu
sudah terlanjur mengawasinya. Melihat orang bergerak,
diapun segera membayangi, sehingga kini mereka saling
kejar2an. Selagi mengejar itu, Kui-ing-cu kerjakan kaki
tangannya. Tiang, meja, kursi, ya pendekn ya 10-an meja
perjamuan berikut semua kursinya, telah sungsang sumbal
habis diamuknya.
Sebenarnya Tio Jiang kalah cepat larinya dengan Kuiing-
cu, tapi karena Kui-ing-cu menghajar meja kursi, jadi
sampai sekian lama dapatlah dia terhindar. Sebuah meja
dari kayu mahoni yang keras dan kokoh, sekali hantam
dapat dipecah menjadi dua belah oleh Kui-ing-cu. Sudah
tentu hati Tio Jiang kebat kebit dibuatnya. Puncak
kecemasannya memuncak, ketika Kui-ing-cu lepaskan
kepala ceng-ong-sin, hingga ular itu kini me-lingkar2. Tapi
rupanya Kui-ing-cu tak menghiraukan. Tio Jiang makin
gelisah, tapi pada saat itu Yan-chiu yang telah ditutuk jalan
darahnya dalam jalanan rahasia dibawah tanah, lebih2
cemas lagi perasaannya.
Kiranya begitu ketujuh belas orang2 pemerintah Ceng itu
mengundurkan diri mereka lalu melapor pada sepasang
suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay. Kedua orang ini
segera turun masuk diterowongan bawah tanah untuk
menyulut sumbu bahan peledak (dinamit). Karena kena
tertutuk jalan darahnya, Yan-chiu tak dapat menghalangi.
Pada saat Ceng Bo perintahkan kawan2nya keluar dari
ruangan itu, sumbu obat peledak tengah disulut Hwat Siau.
Benar tak berdaya, tapi pikiran Yan-chiu masih terang
dan dapat membayangkan bagaimana ngerinya nanti
apabila dinamit itu meledak. Hatinya berdoa agar sumbu itu
pelahan saja nyalanya, namun matanya melihat jelas
bagaimana api sumbu itu menjalar dengan cepat makin
lama makin dekat. Saking diterkam, ketakutan, ia sudah
layap2 antara sadar tak sadar.
Tiba2 ia mendengar suara "bang.............." yang keras
sekali, sehingga ia tersentak kaget. Suara atap dan tiang
gempar menggelegar, malah ada beberapa pecahan genting
yang jatuh menimpa badannya, sehingga buru2 ia menutup
mata menanti ajal. Tapi heran, setelah tebaran debu dan
pecahan atap itu sirap, suasananya masih tetap hening saja.
la rasakan dirinyapun tiada kurang suatu. apa. Lekas2 ia
membuka mata dan hai, kiranya sisa sumbu itu masih
antara 4 meter panjangnya.
Sudah tentu ia tak mengetahui bahwa suara gelegar yang
gempar itu berasal dari tiang yang dihantam rubuh oleh
Kui-ing-cu tadi. Guncangan itu membikin sumbu ikut
terpental, kini kira2 dua meter saja dari tempatnya. Sumbu
itu tetap menyala dengan cepatnya, sesenti demi sesenti
terus menjalar hingga kini hanya tinggal 2 meter. Pada lain
saat, tinggal 1½ meter, satu meter, setengah meter.........
duk, duk, duk, demikian jantung Yan-chiu berdetak keras.
Suatu siksaan urat syaraf hebat yang belum pernah
dialaminya selama ini!
Tiba2 terdengar derap kaki orang mendatangi. Dua sosok
tubuh kecil ber-lari2an masuk, terus menghampiri Yan-chiu.
Yang satu mengangkat kepala dan yang satu menggotong
kaki, kedua anak itu membawa Yan-chiu menyusur
terowongan. Yan-chiu cepat mengenali mereka sebagai
Kwan Hong dan Wan Gwat, itu kedua to-thong (murid
imam) dart Ang Hun Kiong. Sudah tentu girangnya bukan
kepalang. Sewaktu masih sempat mengerlingkan mata,
dilihatnya sumbu itu sudah menyala sampai dipangkal
penghabisan. Asap ber-kepul2 mengiring suara desisan.
Kiranya kedua to-thong itu membawa Yan-chiu kemulut
jalanan keluar dari terowongan itu. Dalam kegirangannya,
Yan-chiu diam2 sesali kebodohan kedua anak itu. Bukantah
tak perlu jerih payah menggotong dan cukup menginjak saja
toh sumbu itu tentu padam. Sayang ia tak dapat berkutik
dan berbicara. Adalah ketika sudah berhasil dibawa keluar
dart terowongan rahasia itu, barulah kedengaran suara
ledakan yang maha dahsyat. Kedahsyatannya melebihi
letusan meriam tentara Ceng tempo hari. Sampaipun Yanchiu
yang berbaring ditanah pada jarak yang cukup jauh,
ikut merasa berguncang keras.
Sirapnya ledakan dahsyat itu diausul dengan gulungan
asap yang memenuhi udara, kemudian gelegaran atap dan
dinding beserta alat2 perabotnya, muncrat hancur
beterbangan keempat penjuru. Saking takutnya, Kuan Hong
dan Wan Gwat sampai pucat lesi serta ter-longong2 sampai
sekian lama.
"Oh, sedikit saja kami terlambat datang, cici ini tentu
takkan ketolongan," akhirnya setelah suasana hening lagi,
Kuan Hong baru kedengaran buka suara.
"Sekarang kita hendak kemana nih ? Rasanya nasib kami
tergantung pada cici!" sahut Wan Gwat.
Disamping berterima kasih pada kedua anak itu, hati
Yan-chiu terasa sunyi rawan sekali. Bukantah satu2nya
orang yang dikasihi (Tio Jiang) ikut binasa bersama seluruh
rombongannya? Ditempat sebesar gereja Ang Hun Kiong
itu, hanya tinggal dirinya bertiga yang masih hidup. Adakah
hidup itu mash berarti baginya lagi? Air mata bercucuran
mengalir pada kedua belah pipinya ...............
Melihat keadaan Yan-chiu yang sedemikian itu, kedua
tothong itu segera menutuki tubuh Yan-chiu, pikirnya
coba2 hendak membuka jalan darahnya yang tertutuk itu.
Sebagai anak murid seorang akhli tutuk, kedua anak itupun
sedikit2 mengerti juga ilmu tutuk. Tapi habis sekujur badan
Yan-chiu ditutukinya, tetap mereka tak mengerti macam
ilmu apa yang digunakan untuk menutuk Yan-chiu itu.
Kiranya sepasang suami isteri Hwat Siau - Swat Moay
itu memiliki suatu ilmu tutukan yang luar biasa. Bukan saja
tutukan itu menggunakan tenaga dalam yang dapat
menembus urat2 dibawah tulang pun selain 36 urat nadi
besar dan 72 urat kecil, masih memahami pula 13 buah
jalan darah yang sukar dan aneh letaknya. Segala macam
ilmu tutukan Iainnya, tak dapat menolong. Sekalipun Ang
Hwat sendiri yang datang, rasanya tak mudah untuk
memberi pertolongan cepat2, apalagi kedua anak itu.
Urat Yan-chiu yang terkena tutukan itu yalah yang
disebut urat goh-si-hiat. Letaknya ditengah sela2 tulang
pundak. Sekali Hwat Siau menyentuh bahu Yan-chiu, maka
mengalirlah lwekangnya untuk menutup jalan darah yang
sukar letaknya itu. Jadi taruh kata orang mengerti adanya
ke 13 buah jalan darah istimewa itu, kalau Iwekangnya
kurang sempurna juga percuma sajalah. Itu saja tadi karena
buru2 hendak menyulut sumbu, Hwat Siau hanya menekan
pe-lahan2, coba tidak siang2 Yan-chiu pasti sudah
melayang jiwanya dengan seketika.
Dan karena kurang keras tekanannya itu, maka secara
kebetulan, saja dapatlah Kwan Hong dan Wan Gwat
menutuk lepas jalan darah pembisu, hingga seketika
berkaoklah Yan-chiu "ah.......", serunya dengan lega, karena
kini ia sudah dapat bicara lagi sekalipun kaki tangannya
masih belum dapat bergerak.
"Cici, bagaimana kami berdua ini?" kedua anak itu buru2
membungkuk kebawah dan bertanya.
Sebenarnya Yan-chiu kepingin menangis untuk
melonggarkan kesesakan hatinya, karena ia sendiri tak tahu
apa yang harus dikerjakan. Tapi demi melihat wajah kedua
anak yang mohon perlindungan itu, seketika timbullah
semangatnya pula.
"Lebih dahulu angkutlah aku keruangan yang hancur
itu!" sahut Yan-chiu. Perintah mana, segera dikerjakan
dengan segera. Tapi baru masuk beberapa tindak
diterowongan itu tadi, ternyata hampir seluruh lorong disitu
terhalang oleh puing atap dan lantai. Syukurlah kedua anak
itu mengerti ilmu silat, jadi walaupun dengan susah payah
achirnya berhasillah mereka menyusuri lorong terowongan
yang berliku2 itu dan kini tiba disebuah jalan lurus datar.
Keadaan tempat itu hancur tak keruan, kutungan kayu
bekas kaki meja dan kursi berserakan disana sini.
"Cici, ini ruangan pertempuran tadi!" kata kedua anak
itu. Yan-chiu mengawasi keseluruh ruang situ, tapi untuk
keheranannya tiada terdapat barang sesosok mayat pun
juga. Yang tampak, kecuali puing dan kutungan kayu, ada
lagi sebuah lubang besar pada lantai. Hati Yan-chiu seperti
disayat melihat pemandangan yang merawankan itu.
Dalam anggapannya, dinamit itu maha dahayatnya,
sehingga mayat2 orang2 yang berada diruangan
pertempuran itu sama hancur sirna menjadi abu semua.
"Adakah kalian tahu akan jalan, singkat turun kegunung.
Kita harus lekas2 turun dan atur rencana membalas dendam
sedalam lautan ini!" tanya Yan-chiu pada lain saat setelah ia
teringat kemungkinan kedua benggol kaki tangan
pemerintah Ceng itu melakukan pengejaran:
"Ya, ada. Baik kita ambil jalan itu saja!" sahut Kuan
Hong dan Wan Gwat. Mereka lalu memanggul Yan-chiu
terus keluar dari pintu belakang gereja itu.
Pagar tembok gereja Ang Hun Kiong itu masih utuh
lierdiri dengan kokohnya. Bentuk pemandangan gereja itu
memang indah sekali. Tapi ah......, hanya beberapa hari saja
gereja itu telah meminta korban puluhan jiwa kaum gagah
persilatan. Malah suhu dan suhengnya sudah binasa.
Memikir sampai disini kembali Yan-t yhiu berduka sekali.
Jalan singkat itu ternyata naik turun tak rata, hingga
dengan susah payah kedua to-thong itu memanggul Yanchiu.
Tiba dikaki gunung mataharipun sudah terbenam.
Kedua anak gereja itu segera lepas pakaian imam dan
berganti dengan pakaian biasa.
Menjelang tengah malam, lagi2 mereka harus memutari
sebuah gunung, hingga saking lelahnya napas kedua anak
itu memburu keras. Rasanya untuk keluar dari gunung Koto-
san dan mencari penginapan dikota, sukarlah. Yang
nyata saja samar2 dari kejauhan sana ada sebidang tanah
pekuburan yang luas.
"Ayuh, kita beristirahat dikuburan sana! Ah, kalau aku
dapat bergerak tentu tak sampai membuat kalian begini
lelahnya!" kata Yan-chiu.
"Ai, janganlah cici mengatakan begitu. Kalau cici tak
menolong kami, siang2 kami tentu sudah mati!" sahut
Kwan Hong dan Wan Gwat sambil mengusap keringatnya.
Tiba dipekuburan luas itu, tampak ada sebuah kuburan
besar yang dikelilingi dengan puhun jati tua yang batangnya
hampir sepemeluk lengan besarnya. Dimuka kuburan itu
ada dua buah orang2an batu dan dua kuda batu. Tulisan
pada batu nisan itu sudah tak jelas karena dihapus hujan
clan angin berpuluh tahun. Hanya menilik bentuknya,
kuburan itu tentu kepunyaan bangsa pembesar tinggi atau
orang hartawan. Lantai dimuka dan dibelakang kuburan itu
sudah sama rusak, penuh ditumbuhi rumput alang2 setinggi
orang. Suasana disitu cukup menyeramkan, lebih2 kalau
puhun jati ber-derak2 ditiup angin malam dan burung hantu
menyanyi lagu kematian.
Karena masih kanak2, walaupun mengerti ilmu silat
namun Kuan Hong dan Wan Gwat tak terlepas dart rasa
takut. Melihat itu Yan-chiu mendampratnya: "Huh, kalian
kan sudah belajar ilmu silat mengapa masih bernyali seperti
tikus begitu? Ketika dahulu aku mulai naik Lo-hu-san,
usiaku masih lebih kecil dari kalian sekarang ini. Ya,
marilah kita berstirahat dahulu disini. Ya, bagaimana kalian
mengetahui kalau aku berada didalam terowongan dibawah
tanah !tu?"'
"Ada seorang engkoh menyuruh kami mencarimu disitu.
Karena tak kenal dia, aku tak mengatakan apa2 padanya
dan hanya mencarinya sendiri. Begitu masuk kedalam
terowongan, kami membaui asap mesiu maka buru2 kami
menyelamatkanmu lebih dadulu!" sahut Kuan Hong yang
rupanya lebih cekat bicara dari Wan Gwat.
"Siapakah orang itu?"
"Alisnya tebal, orangnya baik, dia menyebutmu
sumoay!"
Kalau tubuh Yan-chiu dapat bergerak, mungkin saat itu
ia tentu akan lompat me-nari2, "Itulah suko Tio Jiang!"
serunya kegirangan.
"Kami tak kenal padanya, harap cici jangan sesalkan
kami!"
Melihat sikap ke-kanak2an yang wajar dari kedua anak
itu, Yan-chiu tak tega mendamprat dan hanya menanyakan
dimana mereka menjumpai orang muda itu. Kuan Hong
dan Wan Gwat memberitahukan, bahwa pemuda Itu
berada diruang samping sebelah ruangan pertempuran itu.
"Mengapa dia berada disitu, apa dia tak turut berkelahi?"
Yan-chiu menegas dengan keheranan.
"Dia dan seluruh rombongannya semua tak berkelahi,
digelanggang pertempuran situ hanya terdapat seorang gila
karena terkena racun piau, tengah mengamuk sendirian.
Engkoh itu dan orang2 sama menyingkir disana dan
kebenaran telah berpapasan dengan kami, lalu menyuruh
kami mencarimu!" menerangkan Wan Gwat.
"Siapakah yang terkena piau beracun itu dan bagaimana
kejadiannya?" tanya Yan-chiu.
"Kami sendiri tak begitu jelas. Hanya kami mengetahui
sucou memanggil orang she Can, karena ada seorang jago
lihay terkena senjata piau. Selebihnya karena kami perlu
menolongmu lebih dahulu, maka kami tak mendengar apa2
lagi. Hanya sepatah kata dari sucou yang termakan dalam
hati kami yang peringatannya tentang 'obat peledak', dan
inilah yang mendorong kami lekas2 mencarimu"
(Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 45 : DI CENGKERAMAN IBLIS
Yan-chiu meminta keterangan yang lebih jelas lagi, tapi
ternyata kedua anak itu tak mengetahui apa2 pula. Hanya
satu hal yang mereka tahu pasti, bahwa dalam ruangan
pertempuran itu sudah bersih dengan orang2. Yan-chiu
menghela napas panjang, ujarnya: "Sudahlah, kalau capai
kalian boleh tidur. Aku sendirti tak dapat tidur!"
"Aaauh......... kami tak tidur, hendak menjaga cici!"
kedua anak itu menguap lebih dahulu sebelum berkata.
"Tolol, mengapa tak tidur? Apakah kita tak dapat naik
keatas pohon?" seru Kuan Hong kemudian.
Kedua anak itu segera memanjat sebatang pohon siong
dan mempersiapkan tempat pembaringan pada salah satu
dahannya. Kemudian mereka menaikkan Yan-chiu. Tempat
itu ditutupinya dengan daun2, lalu mereka sendiri juga
berbaring. Oleh karena capai dan kantuk, mereka bertiga
terus hendak tidur. Tapi tiba2 terdengar suara seseorang
memaki: "Keparat, siang2 aku sudah tahu kalau orang she
Can itu bukan barang baik. Lihat gerak geriknya, 'ekor
ayam' (dinamit) itu tentu akan rusak ditangannya! Kalau
para saudara ini tidak dibekali kaki panjang oleh orang tua,
tentu siang2 akan ikut serta dengan kawanan anjing itu
menghadap Giam-ong!"
Nada suaranya berlogat utara, kasar dan memakai
bahasa daerah.
"Lo Lou, jangan kau menggerutu panjang pendek begitu,
ya? Kukira dalam urusan itu tentu terselip sesuatu rahasia,
jadi tidak se-mata2 karena urusan itu saja!" sahut yang
seorang.
Sikasar tadi tertawa dingin, serunya: "Kau adalah
gudang pikiran lautan akal, sedang aku adalah seorang telur
tolol. Segala macam akal ini itu aku tak dapat mengerti!"
Hening beberapa jurus, lalu kedengaran lagi suara orang
berkata: "Lo Lou, kau jangan memotong ucapan orang
dulu. Aku yang tanya kau yang menjawab, mau tidak?"
"Baik, tanyalah!"
"Lo Lou, sebelum menakluk pada pemerintah Ceng, kita
adalah persaudaraan sehidup semati. Kalau ada apa2, sisute
tentu akan membantumu, kau percaya tidak ?"
"Sudah tentu percaya!"
"Sekalipun dunia persilatan memberi julukan pada siaote
sebagai Siau-bin-hou (si Rase bermuka tertawa), tapi hanya
terhadap orang lain. Kau harus mempercayai kata2ku ini,
itulah yang terutama!"
Yan-chiu sepertinya sudah pernah kenal akan suara
sikasar yang dipanggil Lo Lou atau Lou situa itu. Kalau tak
salah dialah orang yang menghadang ketika ia bersama Tio
Jiang pergi jalan2 hendak menyelidiki keadaan dalam Ang
Hun Kiong tempo hari. Ah, sayang kini badannya belum
dapat bergerak, jadi tak dapatlah ia menengok orang itu.
Kalau benar dianya, orang itu tentulah adalah dua dari 18
jago pemerintah Ceng yang dikirim kegereja Ang Hun
Kiong untuk membasmi para orang gagah itu. Tapi
mengapa begini malam mereka berada ditempat situ?
Sebelum Yan-chiu dapat memecahkan pertanyaannya
itu, kedengaran si Siau-bin-hou berkata pula: "Lo Lou,
kedua orang Itu aneh bentuknya, manusia bukan iblispun
tidak. Tentang ilmu kepandaiannya, entahlah. Tapi yang
terang saja sedangnya kita berdua belum pernah bertemu
muka dengannya, dia sudah tak mempercayai kita. Nah,
sudah jelas kau sekarang?"
"Hem, jadi mereka berani berbuat begitu?" sikasar Lo
Lou menegas.
"Huh, bukan saja mereka hendak mengangkangi pahala,
pun berniat hendak mengambil sendiri kim-jong-giok-toh !"
Siau-bin-hou menambahi minyak kedalam api. Dan benar
juga terdengarlah suara hantaman yang dahsyat dan
menyusul ada sebatang pohon tumbang bergemuruh.
"Cici, sikasar itu sungguh bertenaga besar. Sekali hantam
dia dapat merobohkan sebatang pohon sebesar mulut
piring!" bisik Kuan Hong. Tapi cepat2 Yan-chiu
melarangnya mengeluarkan suara.
Pernah Yan-chiu mendengar mulut Hwat Siau
mengatakan 'kim-jong-giok-toh' atau usus emas perut
kumala.
Kini tanpa sengaja mendengar Siau-bin-hou
mengucapkan kata2 itu juga, teranglah dia itu komplotan
yang tergabung dalam 18 jago pemerintah Ceng. Si Lo Lou
itu mungkin adalah yang bernama Swe-pay-lat-au Lou
Ting. Hantamannya tadi adalah ilmu warisan keturunan
keluarga Lou yang disebut toa-swe-pay-chiu. Sedang si
Siau-bin-hou itu tentulah si Kui-ce-to-toan (setan licin kaya
muslihat) Song Hu-liau.
GAMBAR 85
Diam2 Yan-chiu dan kedua imam kecil itu mendengarkan
pembicaraan kedua orang dibawah pohon itu.
"Kedua yau-kuay (siluman) itu bernyali besar sekali.
Terus terang saja, kali ini turun kedaerah selatan kalau tidak
diperingatkan oleh pemerintah, tiada orang yang tunduk
kepada kedua manusia itu! Hem....., ketika nama kita
berdua saudara ini menggetarkan daerah Kwan-gua, kita
tak mendengarkan dulu siapa mereka itu. Untuk
melaksanakan urusan ini, mereka masih hijau!"
"Ah, sudah tentu mereka belum cukup bijak!" si Siau-binhou
tertawa menyeringai, "kalau tiada alasan kuat, diapun
tak berani mencari perkara pada kita. Sedari kita turun
gunung, entah lewat berapa lama baru terdengar ledakan
dahsyat itu ? Dalam pada waktu itu, apa saja yang
dikerjakan oleh kedua orang itu? Mengapa setelah ledakan
meletus, mereka tak kelihatan turun gunung? Malah
sebaliknya Ang Hwat siimam tua itu tampak ber-lari2an
turun dan mengamuk siapa yang dijumpainya?"
Mendengar itu Yan-chiu girang sekali. Kalau Ang Hwat
cinjin belum binasa, suhu dan rombongannya terang juga
tidak.
"Ya...., ya....., benar!" kedengaran Lou Ting buka suara
lagi.
"Mengapa siimam Ang Hwat mengamuk seperti kerbau
gila? Orang kita sudah terluka 7 atau 8 orang, tapi tetap
kedua manusia iblis itu belum muncul, melainkan gunakan
tanda rahasia menyuruh kita orang melarikan diri saja?
Bukantah ini menandakan bahwa mereka hendak
meminjam tangan Ang Hwat untuk membasmi kita orang
ini, lalu mengangkangi sendirl semua pahala itu?" tanya
Siau-bin-hou panjang lebar. Tapi baru keduanya sedang
bertanya jawab itu, tiba2 terdengar seseorang berseru:
"Saudara Lou dan Song, kalian berada dimana?"
"Huh, sijahanam itu datang!" damprat Lou Ting dengan
murkanya. Tapi Siau-bin-hou lekas2 mencegahnya,
kemudian berseru keras2: "Kami disini!"
Dari derap kaki yang mendatangi, teranglah bukan
melainkan dua orang saja. Sedang yang bertanya tadi tak
salah lagi adalah Hwat Siau.
"Selain kami sepasang suami isteri, masih ada 8 saudara
lain yang berada disini Ang Hwat cinjin belum binasa,
entah bagaimana yang lain2nya. Kalau mereka sampai
terhindar dari maut, wah kita tentu turun harga. Bila
kembali kekota raja, kemungkinan besar kekuasaan yang
diberikan pada kita itu tentu akan dicabut kembali.
Kerajaan Lam Beng meskipun tergolong kecil, tapi mereka
menguasai kedua wilayah Kwiciu (Kwiesy, Kwitang).
Bagaimana kedudukan mereka, kita belum jelas. Sekali
keluar kita sudah menderita kerugian besar begini, sungguh
sukar dipertanggung jawabkan. Ngo-tok-lian-cu-piau Canheng
sudah dibunuh Ang Hwat cinjin. Sebelumnya kami
sepasang suami isteri sudah memesannya supaya ber-hati2,
tapi ternyata dia gegabah melukai orang, jadi sudah
selayaknya menerima bagian macam itu!" kata Hwat Siau
dengan nada macam seorang pembesar memberi koreksi.
Ketika ke 18 jago lihay bersama sepasang suami isteri
Hwat Siau - Swat Moay hendak menuju kedaerah selatan,
mereka telah dipanggil oleh menteri besar raja muda Sipceng-
ong Tolkun. Pangeran bangsa Boan yang memegang
kekuasaan besar dalam pemerintahan Ceng itu, sejak
mengetahui bahaya yang ditimbulkan oleh pembalikan diri
dari Li Seng-tong yang. menyebabkan kembalinya
kedaulatan Lam Beng diwilayah Kwiciu, dia buru2 kembali
kekota raja dan memanggil sepasang suami isteri Hwat Siau
Swat Moay untuk diserahi memimpin ke 18 jagoan.
Tugasnya, mengadakan gerakan subversif di Kwiciu dan
kedua kalinya untuk mencari harta karum 'kim-jong-gioktoh'
(usus emas perut permata atau dalam arti kiasannya
sebuah harta karun besar).
Dihadapan Tolkun, ke 18 jagoan itu tak berani bercuit.
Tapi dalam perjalanan demi tampak tokoh Hwat Siau dan
Swat Moay Itu tiada memiliki sesuatu perbawa yang
mengesankan bahkan bentuk wajah tak sedap dipandang,
mereka sama kurang puas. Ke 18 jagoan itu, adalah orang2
liar, dari kalangan hek-to (aliran hitam), jadi gerak geriknya
kasar.
Kedua suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay itu, sejak
mendapat warisan pelajaran ilmu sakti yang-hwat-kang (api
positip) dan im-cui-kang (air negatip) dari dua orang
kuayhiap, (pendekar aneh) kerajaan Song yang bernama
Hwat-bu-hay dan Cui-bu-hoa, mereka berdua lalu
memendam diri digunung Tiang-pek-san untuk
meyakinlsan ilmu Itu. Walaupun dalam tahun2 terachir Itu
nama kedua suami isteri itu makin menjulang, tapi
bagaimana kepandaian mereka yang sesungguhnya, tiada
seorangpun yang pernah mengetahuinya. Apalagi dasarnya
mereka tak tahu akan tata kesopanan, dunia persilatan,
maka dengan memiliki ilmu kepandaian yang sakti itu,
sudah tentu mereka tak memandang mata pada ke 18
jagoan itu. Dan inilah yang manimbulkan reaksi ketidak
puasan dari ke 18 orang itu.
Dalam peristiwa menghancurkan gereja Ang Hun Kiong
Itu, kalau rencana tersebut berhasil, sudah terang tak ada
urusan apa2. Tapi keadaan berjalan tak sebagaimana yang
direncanakan. Begitu ledakan dinamit mengguntur, ke 18
jagoan itu menunggu kabar baik dari Hwat Siau dan Swat
Moay dibawah gunung. Tapi ternyata yang muncul adalah
Ang Hwat cinjin. Ke 18 jagoan itu telah dihamuk porak
poranda oleh ketua dari gereja Ang Hun Kiong itu, hingga
hampir separoh jumlahnya yang terluka dan binasa. Dan
ketika Hwat Siau - Swat Moay tiba, mereka tak ulur tangan
memberi bantuan, sebaliknya menyuruh mundur saja.
Suatu hal yang menimbulkan kemarahan pada jagoan2 itu.
Lou Ting yang paling berangasan adatnya, segera serentak
berbangkit dan tertawa mengejek.
Melihat bakal ada 'pertunjukan' hebat, Yan-chiu segera
suruh Kwan Hong dan Wan Gwat mengangkatkan
kepalanya agar ia dapat mengintip dari sela2 daun. Pada
saat itu tampak Lou Ting melolos sebatang tiok-ciat-kongpian
(ruyung baja yang ber-buku2). Sedang Hwat Siau dan
Swat Moay masih tetap duduk bersila saling membelakangi
punggung.
"Lou-heng mau apa itu?" tanya Hwat siau.
"Manusia Yang tak punya muka, siapa, yang sudi kau
panggil heng (engkoh) atau te (adik)? Segala apa hanya
mendengarkan ocehan setan bantal (perempuan) saja,
sungguh celaka!" damprat Lou Ting.
"Orang she Lou, bersihkanlah mulutmu itu!" seru Hwat
Siau dengan sindiran tajam.
Lou Ting maju selangkah seraya menantang: "Kalau
tidak bersih, kau mau apa? Biar kulabrak kakek moyangmu
18 turunan!"
Ucapan itu ditutup dengan hantaman pian kearah kepala
Hwat Siau. Tegas dilihat Yan-chiu, walaupun Lou Ting itu
seorang kasar berangasan, tapi ilmunya silat tidak lemah.
Hantamannya itu keras dan cepat sekali. Senjatanya itu
terbuat dari bahan baja murni dan hantamannya itu
sekaligus diserangkan pada kedua suami isteri itu.
Hwat Siau dan isterinya rupanya sudah merasa kalau ke
18 jagoan anak buahnya itu tak menyukai mereka. Tapi
kedua suami isteri itu cukup mengetahui bahwa ke 18
jagoan itu hanya pandai dalam ilmu silat saja, tapi buta
ilmu surat jadi tak punya siasat apa2. Beda dengan Hwat
Siau dan Swat Moay, kedua macam ilmu silat dan sastera,
semua dikuasal. Hal ini menambah besar rasa meremehkan
mereka kepada jagoan2 itu. Sip-ceng-ong Tolkun sangat
mengindahkan sekali kepada suami isteri itu, maka selain
ditugaskan memegang pimpinan atas diri ke 18 jagoan itu,
juga diserahi tugas menyiarkan berita tentang adanya harta
karun kim-jong-giok-toh itu.
Sepasang suami isteri itu cukup menyadari bahwa ke 18
jagoan itu sebenarnya tak ber-sungguh2 setia menghamba
pada pemerintah Ceng. Begitu harta karun itu dapat
diketemukan, tipis kemungkinan mereka mau berhamba
lagi. Oleh karena itu, kedua suami isteri Hwat Siau - Swat
Moay yudah ber-siap2 membuat rencana. Begitu dilihatnya
Lou Ting berdiri dengan beringas, diam2 kedua suami isteri
itu sudah kerahkan lwekangnya. Kala ruyung Lou Ting
melayang kearah kepala Hwat Siau - Swat Moay, diam2
Siau-bin-hou bersorak dalam hati, namun mulutnya tetap
ber-pura2 mencegah: "Apa2an itu Lo Lou? Ada apa2 kan
dapat dirunding?"
Demi melihat kedahsyatan ruyung Lou Ting yang
sedemikian mengejutkan, tahulah kedua suami isteri itu
bahwa permainan pian itu adalah warisan ilmu dari
keluarga Lou di Soasay. Buru2 keduanya menekan tanah
untuk beralih kesamping.
Lou Ting sudah terlanjur mengumbar amarah. Sekalipun
hantamannya pian Itu tak menemui sasarannya, namun dia
tak kuasa menahan gerak serangannya tadi. Pian itu terdiri
dari 9 buku (ruas), setiap buku 9 kati beratnya jadi
semuanya ada 81 kati beratnya. Bluk......., begitu ruyung
menghantam tanah, letikan api dari batu yang hancur sama
bertebaran keempat penjuru. Ketujuh orang kawannya,
begitu melihat Lou Ting kalap, ada beberapa kawannya
yang bersikap bendak ikut tampil membantu.
"Bagus, anjing bergigitan dengan anjing, biar mampus
semua!" Yan-chiu bersorak dalam hati. Tapi ketika dia
mengawasi kearah sana, ternyata pertempuran sudah mulai.
Kiranya sebelum para jagoan itu bergerak, sikasar Lou
Ting sudah mengamuk. Tadi serangan pertamanya dapat
dihindari dengan mudah oleh kedua suami iateri itu sambil
masih tetap duduk bersila. Dan kini karena tahu akan
kedahsyatan ilmu pian si Lou Ting yang tak boleh dibuat
main2 itu, sepasang suami Isteri itu segera memutar tubuh
masing. Yang satu dari sebelah kirl, yang lain dari sebelah
kanan, sama berbareng mengulurkan tangan untuk
menerkam tumit Lou Ting. Begitu sebat gerakan Hwat Siau
dan Swat Moay itu, hingga Lou Ting tak keburu berkelit
lagi. Yang dirasakan, seketika itu separoh tubuhnya terasa
dingin tapi yang separoh terasa panas. Dinginnya seperti es,
panasnya macam air mendidih. Benar lwekang Lou Ting
kurang sempurna, tapi gway-kang (tenaga luar) dimilikinya
dengan sempurna. Sekalipun demikian, tak urung dia harus
menjerit keras saking kesakitan. Jeritannya Itu makin lama
makin lemah sampai pada achirnya tiba2 dia berteriak:
"Siau-bin-hou, kedua iblis ini benar2 mempunyai ilmu
siluman!"
Sedikitpun sikasar itu tak mengetahui bahwa Hwat Siau
dan Swat Moay telah melancarkan serangan lwekang
istimewa. Maka dalam sekejab saja, putuslah sudah ke 13
urat iatimewa dalam tubuhnya. Habis mengucap, kepalanya
segera terkulai kesamping dan ketika Hwat Siau Swat Moay
lepaskan tangannya, sikasar Lou Ting sudah tak bernyawa
lagi
GAMBAR 86
Dengan gusar Lou Ting ayun ruyungnya keatas kepala Hwat
Siau, tapi sedikit mengegos Hwat Siau dapat menghindarkan
serangan itu.
Kejadian itu telah menyirapkan darah ketujuh kawan2
jagoan lainnya. Bukan setahun dua, tapi sudah hampir lebih
dari 20 tahun lamanya nama Lou Ting menjagoi daerah
perairan sungai Hongho. Ilmu swe-pay-chiu warisan
keluarga Lou sangat ,dimalui orang. Diantara ke 8 jagoan
yang masih hidup Itu, Lou Ting tergolong salah seorang
yang terlihay, tapi ah, dalam hanya sejurus saja dia sudah
binasa ditangan suami isteri Hwat Siau Swat Moay.
Terpesona akan kejadian yang tak di-duga2 itu, kawanan
jagoan itu sama ter-longong2. Lewat beberapa jurus
kemudian baru terdengar siiblis Wanita Swat Moay tertawa
meringkik, lalu berkata dengan pe-lahan2: "Tujuan kita
datang kedaerah selatan ini, yalah untuk melaksanakan
perintah pemerintah Ceng. Barang siapa yang berhianat,
Lou Ting itu adalah contohnya. Sip-ceng-ong pernah
mengatakan, bila kim-jong-giok-toh sudah diketemukan,
kita semua akan turut merasakan kenikmatan. Walaupun
begitu gempar orang mengagungkan harta karun kim-jonggiok-
toh itu, tapi kami berdua suami iateri tak kepingin atau
mempunyai maksud untuk menemaninya sendiri!"
Para jagoan itu hanya mengiakan saja. Sedang sirase
Song Hu-liu segera mengunjukkan kepandaiannya: "Huh,
itu sih salah Lo Lou sendiri yang mau cari sakit. Dia tak
menghiraukan nasehat kawan2. Harap, jiwi memaafkan!"
Mendengar itu Hwat Siau dan Swat Moay tampak lega,
serunya: "Adakah orang2 itu binasa semua, masih belum
diketahui jelas. Konon kabarnya mereka hendak
membangun Thian Te Hwe lagi. Ini merupakan suatu hal
yang berbahaya, karena mereka sudah cukup mempunyai
pengalanqan dalam peperangan tempo hari. Rasanya
merekapun pasti sudah mendengar tentang kim-jong-gioktoh
itu, jadi untuk membangun tentara yang kuat, mereka
tentu lebih dahulu mengalihkan perhatian untuk mencari
harta karun itu. Sebaliknya apabila tentara Ceng berhasil
masuk kedaerah Kwiciu lagi tentu akan mengalami
kesukaran besar dalam keuangan. Maka kalau sampai tak
dapat menemukan harta karun itu, pasti akan mengalami
kegagalan pula.
"Kita kini hanya berjumlah 9 orang. Tugas kita sekarang
yalah berpencar untuk menyelidiki harta karun itu sampal
dapat. Sip-ceng-ong pernah berkata, harta karun itu tak
ternilai jumlahnya, berupa zamrud pusaka permata, upeti
Yung dibawa oleh menteri Thio Wan pada jaman dahulu
tentu saja diantara kalian yang berhasil menemukannya,
kalian bertujuh akan mendapat seperseribu bagian dari
harta karun itu. Itu saja akan dapat kalian nikmati sampal
tujuh turunan, mengerti?"
Ketujuh jagoan itu kembali mengiakan. Yan-chiu
mengira kalau kim-jong-giok-toh itu tentu sebuah harta
pusaka, tapi mengapa sedangkan pemerintah Ceng
mengetahui tetapi ia sendiri tak pernah mendengarnya?
Juga Ceng Bo Siangjin tak pernah menceritakan hal itu.
Teringat ia akan kata2 Ki Cee-tiong tempo hari, bahwa
kesulitan utama untuk membangun Thian Te Hui yalah
soal keuangan. Kerajaan Lam Beng sudah sedemikian ciut
wilayahnya, rakyatnya miskin jadi sukar untuk diorganisir
suatu pertahanan yang kuat. Kalau benar ada harta karun
itu, ah bereslah persoalan itu. la, hanya berharap,
mudah2an suhu suko dan sekalian orang gagah pada
selamat, agar ia dapat menyampaikan berita yang
menggirangkan itu.
Pada lain saat ke 7 jagoan itu sudah sama minta diri.
Yang disitu hanya Hwat Siau dan Swat Moay. Kedengaran
Hwat Siau memangil "niocu" (isteriku), tapi, tiba2 dia
segera membentak kerasa: "Siapa Itu yang belum mau
angkat kaki? Kepingin meniru Lou Ting, ya?"
Kiranya oleh karena lwekang Yan-chiu lebih dalam, jadi
ia dapat menguasai pernapasannya. Tapi Kuan Hong dan
Wan Gwat tidak demikian. Napasnya berat, hingga dengan
cepatnya dapat ditangkap pendengaran Hwat Siau dan Swat
Moay yang tajam. Tadi karena banyak orang, masih belum
kentara. Tapi begitu keadaan sepi, segera dapat diketahul.
Hwat Siau mengira kalau diantara ke 7 jagoan itu ada yang
masih hendak main gila bersembunyi diatas pohon, sudah
tentu dia membentaknya dengan marah.
Tangan Kuan Hong dan Wan Gwat gemetar dan
terlepaslah tubuh Yan-chiu jatuh kebawah, bluk........
Disana Hwat Siaupun tak kurang herannya dan diapun
segera menghampiri lalu mencengkeram punggung sinona.
Jangan lagi kini Yan-chiu sudah tak dapat bergerak,
andaikata ia masih segar bugar, tetap tak nanti ia dapat
meronta dari cengkeraman besi dari manusia iblis itu. Jari
tengahnya telah menekan jalan darah leng-thay-hiat, cukup
dengan gunakan lwekang sedikit saja, habislah sudah
riwayat nona genit dart Lo-hu-san itu. Begitu cepat dan
cepat gerakan tokoh aneh itu. Suatu ilmu kepandaian yang
jarang dimiliki oleh kaum persilatan umumnya.
"Ah-thau, jadi kau masih hidup?" seru Hwat Siau dengan
keheranan demi dilihatnya siapakah nona itu. Yan-chiu
tahu bahwa kali ini ia tak nanti dapat lolos dari
cengkeraman maut. Namun sebelum ajal, biarlah ia puaskan
dulu hatinya. "Dan kau sendiri mengapa tidak mampus
?!" serunya balas memperolok.
Saking gusarnya Hwat Siau terus hendak turunkan
tangan ganas, tapi buru2 dicegah isterinya: "Koajin, tahan
dulu. Jalan darah goh-ai-hiat budak perempuan ini masih
tertutuk, jadi terang diatas pohon tentu masih ada lain
orang yang menjatuhkannya!"
"Siapa yang diatas pohon ?" seru Hwat Siau sembari
mendongak. Kuan Hong dan Wan Gwat terbeliak kaget
dan berjatuhan kebawah. Tapi rupanya Hwat Sisu masih
belum puas melihat yang turun itu hanya dua orang anak.
Dia kira tentu masih ada orang lagi. "Kalau tak mau turun,
aku tentu gunakan kekerasan!" serunya dengan murka.
"Huh, sudah tiada orang lagi, jangan ketakutan seperti
melihat setan!" Yan-chiu memperolok dengan sebuah
tertawa dingin. Suatu hal yang sudah tentu tak dapat
diterima Hwat Siau dan wut....., wut....., daun pohon siong
yang runcing2 macam pohon cemara sama rontok
berhamburan ketanah. Wut....., wut...., wut...., wut....,
kembali Hwat Siau susuli lagi dengan 4 buah hantaman dan
dahan serta ranting pohon itu gugur semua, hingga pohon
itu berobah menjadi gundul. Kini baru Hwat Siau percaya
akan keterangan Yan-chiu.
"Hem, kau kerja apa disitu tadi ?" kini Hwat Siau alihkan
perhatiannya kepada Kuan Hong dan Wan Gwat,
kemudian bertanya kepada Yan-chiu. Tapi sebaliknya kini
Yan-chiu malah menjadi tenang.
"Bukalah dahulu jalan darahku ini!" kata sigadis.
”Cara bagaimana kau dapat terhindar dari ledakan
dinamit itu?" tanya Swat Moay.
"Ya......!, bukalah dahulu jalan darahku ini, atau biar
matipun aku tak mau mengatakan!" sahut Yan-chiu dengan
tegusnya. Oleh karena ingin lekas2 mengetahui kejadian
yang aneh itu, maka kedua suami isteri itu berbareng sama
Iekatkan jarinya kebahu Yan-chiu. Yan-chiu rasakan sakit
sekali, tapi sekarang ia dapat bergerak. Tapi oleh karena
lama menjadi kaku, maka agak lama baru ia dapat pulih
lagi.
"Nah, katakanlah sekarang!" perintah Swat Moay.
Mata Yan-chiu tertumbuk akan kedua anak yang saling
berdampingan merapat dengan wajah ketakutan. Diam2
timbullaih rasa kasihannya, biarlah ia mati asal kedua anak
kecil itu hidup. "Luluskan dahulu sebuah permintaanku dan
nanti segera kuterangkan se-jelas2-nya!" katanya.
"Soal apa?!" bentak Hwat Siau dengan gusar.
"Lepaskan kedua anak ini!"
"Ya..!, pergi...., hayo pergi dari sini!" Hwat Siau
mengenyahkan Kuan Hong dan Wan Gwat. Bermula kedua
anak itu tak mau, tapi segera Yan-chiu mendesaknya seraya
berbisik: "Tunggulah aku ditempat yang kukatakan itu.
Kalau aku tak mati, aku tentu akan mencarimu disana!"
Dengan mengusap air matanya, kedua anak itu ayunkan
langkahnya yang berat. Berulang kali mereka berpaling
kebelakang untuk melihat kearah Yan-chiu. Setelah mereka
lenyap dari pemandangan, barulah Yan-chiu mulai
membuka suara: "Kalian tanyakan aku mengapa tak binasa
karena ledakan itu bukan? Nah, dengarlah: "tiada
seorangpun yang binasa karena ledakan itu !!!"
Sebenarnya ia sendiri tak mengetahul bagaimana
kejadiannya, tapi ia tahu kalau kedua suami isteri itu senang
mendengar mereka binasa semua. Maka untuk membikin
panas hati orang, sengaja dia tekankan keterangannya itu
dengan tandas.
"Mengapa?" tanya Hwat Siau dengan keheranan.
"Aku yang memberitahukan mereka!" sahut Yan-chiu.
Swat Moay terkekeh. "Kau benar2 seorang budak yang
tangkas bicara. Kalau kau bisa bergerak, mengapa tak
menginjak padam sumbu itu saja?!"
Yan-chiu kalah alasan (logika), tapi ia pantang mundur,
sanggahnya: "Itu supaya kalian bergirang hati dahulu!"
Swat Moay mengkal tapi juga seperti di-kili2 hatinya.
"Habis siapa yang membuka jalan darahmu?"
Tanpa dipikir panjang lagi, ia segera menyahut; "Aku
sendiri yang membukanya", tiba2 ia tersadar akan
kekliruannya. Bukantah tadi ia jatuh dari pohon dalam
keadaan masih tertutuk? Maka buru2 ia susuli kata2: "Tapi
kemudian kututuk lagi!"
Hwat Siau tak mengerti kalau Yan-chiu memang sengaja
omong merambang (ngawur) oleh karena mengerti toh
bakal mati. Dia kira Yan-chiu itu seorang nona yang gila
dan suka ugal2an. Tapi Swat Moay yang ternyata lebih
cermat, dapat mengetahui maksud tujuan Yan-chiu,
katanya: "Ahthau, bagaimana kepandaian kami berdua,
rasanya kau sudah menyaksikan sendiri. Kalau kau tak
omong sejujurnya biar kau rasakan penderitaan, mati tidak
hidup tidak!"
Memang Yan-chiu pernah mendengar orang berkata
'lebih menderita daripada mati', tapi bagaimana rasanya
kesusahan derita itu, belum pernah ia mengalami, maka
dengan sekenanya saja ia menyahut: "Lekas bunuh saja aku
ini! Ah, entah bagaimana nasib suhu dan suko. Kalau
mereka sudah binasa, perlu apa aku hidup sendirian?"
Mendengar itu, barulah Swat Moay mengetahui bahwa
sebenarnya nona itu tak mengetahui tentang kejadian itu.
"Koanjin, budak ini tangkas sekali, ia faham daerah Kwiciu,
rasanya sangat leluasa untuk membawanya sebagai
pengunjuk jalan!"
"Niocu, kalau ia minggat, kan malah runyam!" sahut
Hwat Siau.
Swat Moay meringkik, serunya: "Tutuk saja jalan
darahnya chit-jit-hiat, masa ia bisa lari?"
Hwat Siau juga terkekeh, sembari mengenakan jubah
merah. Hendak Yan-chiu menanyakan apa yang disebut
chit-jit-hiat. (jalan darah 7 hari) itu, tapi secepat kilat tangan
Swat Moay sudah mencengkeram dadanya hingga ia tak
sempat menghindar. Seketika itu ketiaknya terasa
kesemutan, tapi tak lama terus hilang.
"Ah-thau, ingat didalam perjalanan kita tentu bertemu
dengan macam2 keadaan, kalau kau tak dengar kata,
silahkan kau pergi sesuka hatimu. Chit-jit-hiat-mu sudah
kena kututuk, jika bukan aku yang membukanya, dalam 7
hari kemudian, sekujur tubuhmu pasti tegang regang, urat
nadi dan jalan darahmu putus semua, tapi kau tak sampai
binasa. Cukup ditempeli secarik kertas saja, tubuhnya serasa
lebih sakit dari diiris pisau. Kalau kau sanggup menerima
penderitaan itu, silahkan kau lari. Kalau tidak, kau harus
ikut pada kami barang kemanapun jua!" kata Swat Moay
dengan tawar.
Tercekat hati Yan-chiu mendengar siksaan yang ngeri
itu. Ah...., inilah mungkin yang dinamakan "lebih sakit
daripada mati". Tapi masakan aku tak dapat mencari orang
yang sanggup menolong diriku itu? Yan-chiu berpikir keras
untuk menggali lubuk peringatannya.
"Ah-thau, dengarkanlah! Chit-jit-hiat itu tiada terdapat
dalam kitab pelajaran ilmu tutuk yang manapun juga.
Diseluruh kolong dunia ini, hanya kami berdua yang dapat
menutuk dan membukanya. Kalau kau pikir yang tidak2,
itu berarti mencari kematian sendlri.!" kata Swat Moay
yang rupanya tahu apa yang dipikirkan Yan-chiu itu.
Terjadi perbantahan dalam pikiran Yan-chiu sendiri.
KaIau ia merat paling banyak ia bermaksud hendak
menemul suhu dan sukonya untuk mengucapkan selamat
tinggal. Dan bukantah sampai saat itu sukonya Itu tetap
belum mengetahui isi hatinya, jadi suatu pengorbanan yang
sia2 saja namanya. Ah....., lebih baik ia mengikuti saja
barang kemana perginya kedua suami isteri itu, karena
bukantah mereka juga bermaksud akan menyelidiki tempat
harta karun itu?
Setelah menetapkan rencananya, lebih dahulu ia tertawa
keras, baru kemudian mengejek: "Siapa yang bermaksud
akan lari? Bukantah hal itu berarti aku jeri padamu?"
Hwait Siau dan Swat Moay kalah bicara. Tapi oleh
karena perlu memakai tenaganya, apalagi yakin nona itu
tentutuk dapat melarikan diri, maka mereka lalu ajak Yanchiu
berjalan.
"Kemana?" tanya Yan-chiu. Kedua suami isteri itupun
tertegun. Mereka sendiripun tak tahu hendak ayunkan
langkahnya kemana. Harta karun kim-jong-giok-toh itu
hanya didengarnya dari mulut Ngo-tok-lian-cu-piau Can
Bik-san dan dari kabar yang tersiar dikalangan kaum
persilatan hekto daerah Kwitang. Jadi mereka berdua
sendiripun tak tahu jelas.
Kiranya ketika dahulu timbul kekacauan, maka Thio
Hian Tiong segera mamancing diair keruh. Pemimpin ini
segera kerahkan anak buahnya untuk mengganas dan
merampok. Dia sadar, bahwa seorang tokoh macam dia itu
andaikata sampai tergencet, rahayat pasti takkan
mengampuninya. Maka siang2 dia sudah mempersiapkan
rencana. Diangkutinya semua barang2 berharga hasil
rampokannya selama bertahun2 itu ke Kwitang. Harta
karun itu disembunyikan secara rahasia sekali. Kalau
gerakannya itu sampai gagal, dia mundur ke Kwitang dan
dari situ dengan mengangkut seluruh harta kekayaannya,
hendak dia berlayar keluar negeri.
Walaupun betapa cermatnya Thio Hian Tiong
menyembunyikan harta karun itu, namun tak urung bocor
juga hingga menimbulkan desas-desus tentang adanya kimjong-
giok-toh itu dikalangan persilatan.
Pemerintah Ceng belum berapa lama menduduki
Tiongkok, jadi segala tata negara belum dapat berjalan
dengan lancar. Oleh karena achir tahun pemerintah Beng
itu terbit bencana alam dan paceklik, maka negara
menghadapi kesulitan besar dalam hal keuangan. Rakyat
sudah sedemikian miskinnya, jadi sukar untuk diperas
dengan pajak yang lebih berat lagi. Maka bertindaklah Sip
ceng-ong Tolkun, mengutus Hwat Siau dan Swat Moay
beserta ke 18 jagoan untuk menyeiidiki harta karun itu.
Memang, kalau benar desas-desus itu sungguh ada, siapa
saja yang menemukan baik pemerintah Ceng, atau Lam
Beng maupun Thian Te Hui, pasti akan merupakan
sumbangan yang tak kecil artinya. Maka tanpa menunggu
bagaimana hasil ledakan dinamit digereja Ang Hun Kiong
itu, Hwat Siau dan Swat Moay segera ber-gegas2 mulai
melakukan penyelidikan tempat harta itu.
"Budak perempuan, jangan usil. Kau tinggal tunggu
perintah saja, sekalipun mendaki gunung golok, kau harus
mengikuti. Masuk kedalam laut, kaupun harus ikut masuk.
Sudah, sejak ini kau tak boleh lancang bertanya lagi!"
Hwat'Siau membentaknya.
Tiba2 terdengar suara orang bersenanjung menghampiri
datang. Dari nada senanjungnya itu, terang ia itu seorang
perempuan.
(Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 46 : DUKA MERANA
Tersirap darah Yan-chiu mendengar nada itu. Mengapa
orang itu bisa datang kemari ? Kalau ia, tak kena apa2,
terang suhu dan sukonya tentu juga selamat. Hati Yan-chiu
serasa terang gembira. Benar juga ketika dekat, orang yang
bersenandung (nyanyi2 kecil) itu ternyata seorang
perempuan muda. Walaupun mengunjuk rasa kedukaan
sehingga pucat lesi wajahnya, namun tak mengurangkan
kecantikannya yang luar biasa itu.
Nada senanjung itu, sukar ditebak, entah melukiskan
kegirangan atau kesedihan. Begitu melihat ketiga orang
tersebut (Hwat Siau, Swat Moay, Yan-chiu) ia hanya
mengangkat kepala sambil mengerlingkan ekor mata,
sebentar, lalu bersenandung pula:
"Daun kuning tiada angin rontok sendiri, awan dimusim
rontok tiada hujan tapi mendung terus. Kalau dunia ini memang
ada percintaan sampai kaki nini, suka benci kasih hanya tinggal
kenangan, kemanakah hendak kucarinya!"
Hati Yan-chiu serasa tertikam. Ia memangnya seorang
nona yang berhati welas asih. Begitu dihidungnya
berkembang kempis, air matanya mengalir deras dan
mulutnya segera berseru dengan suara terharu: "Lian suci!".
Kiranya wanita muda itu bukan lain adalah Say-honghong
Bek Lian. Sekalipun tak menyetujui akan
keperibadian sucinya itu, namun dalam keadaan begitu, tak
tega ia untuk tak menegurnya. Yan-chiu tak mengetahui
bahwa sucinya itu telah dihianati cintanya oleh The Go.
Tapi yang nyata saja, sucinya itu kini begitu kurus kering
ibarat tulang terbungkus kulit. Sengaja ia, berseru keras2,
namun agaknya Bek Lian se-olah2 tak menghiraukan.
"Suka duka benci kasih hanya tinggal kenangan,
kemanakah hendak kucarinya? Suka duka benci kasih
hanya tinggal kenangan, kemanakah hendak kucarinya?"
demikian mulutnya berulang kali bersenanjung sembari
sang kaki melangkah kemuka.
Mendengar, Yan-chiu memanggil "suci" kepada gadis
itu, Hwat Siau dan Swat Maoy timbul kecurigaannya. Ya,
tak salah lagi kiranya, gadis itu adalah anak perempuan dari
Kang Siang Yan yang dijumpainya didalam gereja Ang
Hun Kiong kemaren dulu. Mengapa ia sekarang pura2
menjadi orang gila ? Adakah hendak menarik perhatian
Kang Siang Yan supaya datang kesitu? Ah, rasanya nona
itu (Bek. Lian) tentu mengetahui apa yang terjadi dalam
gereja Ang Hun Kiong ketika dinamit meledak. Setelah
saling memberi isyarat mata, kedua suami isteri itu segera
lompat majau menghadang dimuka Bek Lian, serunya:
"Hai, berhenti dahulu !"
Bek Lian tertegun, lalu menghindar kesamping tanpa
menghiraukan Swat Moay, yang berdiri tepat
dihadapannya. Swat Moay ulurkan tangannya untuk
menepuk pelahan2 dan itu saja sudah cukup untuk
membuat Bek Lian menggigil kedinginan.
"Aduh, dinginnya! Engkoh Go, nyalakan api untuk
memanasi pakaian. Nanti kita tinjau lagi tempat apakah
disini ini!" Bek Lian mengoceh sendiri.
Swat Moay makin heran. Pada hal saat itu Bek Lian
terkenang akan kejadian kala ia, bersama The Go
terombang-ambing ditengah lautan, kemudian terdampar
dipulau kosong. Disitu The Go segera nyalakan api dan
malam itu adalah untuk pertama kali ia serahkan diri pada
The Go. Sudah tentu kenangan itu tergurat dalam2 pada
lubuk ingatannya.
"Hai, kau pura2 gila ya?" kembali Swat Moay
membentaknya. Karena kerasnya bentakan itu, Bek Lian
terkesiap sampai beberapa saat. Pada lain saat tiba2 ia
menangis tersedu sedan.
"Ma, anakmu ini sungguh bernasib malang! Ayah
hendak membunuh aku!" serunya meratap tangis.
Hwat Siau menghampiri datang. Setelah memperhatikan
keadaan nona itu sesaat, dia berkata kepada isterinya:
"Niocu, nona ini gila karena patah asmara, sudahlah jangan
mempedulikannya!"
Yan-chiu mencekal lengan Bek Lian yang beberapa kall
di-guncang2kan seraya bertanya: "Lian suci, dimana suhu
dan Jiang suko ? Ya, dimana sekarang mereka itu ?"
Namun Bek Lian se-olah2 tak mendengarnya, hanya
terus menangis saja. Akhirnya setelah sekian lama
menangis, se-konyong2 Bek Lian tertawa: "Ah, sudah tentu
aku ini menjadi milikmu sampai diakhir jaman!"
Yan-chiu kewalahan benar2. Tiba2 terdengarlah suatu
suara orang memanggil2. Walaupun agak lemah karena
jaraknya yang jauh, namun apa yang diteriakkannya itu
jelaslah sudah: "Lian-ji, kau berada dimana?"
Suara itu makin mendekati dan berobahlah wajah Swat
Moay seketika.
"Koanjin, ayuh lekas pergi, itulah Kang Siang Yan!"
serunya kepada sang suami.
Tapi rupanya Hwat Siau tak memandang mata pada
Kang Siang Yan, sahutnya: "Takut apa sih?" .
"Bukannya takut, tapi pada saat ini lebih baik kita,
jangan cari perkara dengan orang itu dulu!" menerangkan
Swat Moay. Dan dalam beberapa detik pembicaraan itu
saja, suara Kang Siang Yan sudah makin mendekat. Buru2
Swat Moay tarik Yan-chiu untuk diajak sembunyi ditempat
yang gelap. Yang didengar hanya ucapan Kang Siang Yan
ketika menjumpai Bek Lian yakni "Ah Lian", karena pada
waktu itu Yan-chiu dapatkan dirinya sudah diseret jauh dari
tempat Bek Lian tadi.
Dalam cengkeraman sepasang suami isteri iblis itu, Yanchiu
tak dapat lobs lagi. Setiap 6 hari, urat nadi Yan-chiu
yang tertutuk itu dibuka sekali, tapi hanya untuk beberapa
waktu saja, kemudian ditutuk lagi. Dengan begitu Yan-chiu
tetap berada dalam genggaman kedua iblis itu.
---oodwkz0tahoo---
Demikianlah dengan singkat saja, musim rontok telah
berganti dengan musim semi atau berarti sudah berganti
tahun. Tahun itu merupakan tahun ke 5 dari pemerintahan
kaisar Sun Ti dari kerajaan Ceng, dan tahun ke 2 dari
kerajaan Lam Beng, yang dirajai oleh baginda Ing Lek.
Kala itu sudah menginjak bulan dua, sudah hampir 10
bulan lamanya Yan-chiu berada ber-sama2 kedua suami
isteri Hwat Siau dan Swat Moay. Selama dalam 10 bulan
itu, Yan-chiu sudah makin dewasa, perangai ke-kanak2an
makin berkurang. Ia tak suka banyak bicara lagi, satu2nya
harapan yalah supaya dapat berjumpa dengan suhu atau
orang2 gagah yang dikenalnya.
Baginda Ing Lek bersemayam dikota raja Siau Ging.
Hwat Siau dan isterinya sudah menjelajahi seluruh
pelosok propinsi Kwitang dan sebagian dari Kwisay, tapi
selama itu mereka tak berani datang ke Siau Ging, karena
kuatir kebentrok dengan para wi-su (bayangkari) istana dan
ketahuan kedoknya. Sebab hampir semua pelosok Kwiciu
sudah dikunjungi, akhirnya diputuskan untuk menyusup
kekota Ko-yau-koan yang termasuk dalam lingkungan Siau
Ging.
Sedari Li Seng Tong berbalik haluan menakluk pada
kerajaan Beng, maka perlawanan terhadap pemerintah
Ceng timbul dari daerah timur dan utara. Dan untuk
sementara waktu, kerajaan Lam Beng agak aman. Maka
kota Ko-yau-koanpun ramai sekali. Begitu masuk kekota
itu, disitu terdapat dua buah jalan besar. Mereka bertiga
memilih salah sebuah. Tapi baru berjalan tak berapa lama,
tiba2 terdengar suara teriakan orang: "kereta pesakitan
datang, ayuh minggir...., minggir.....!" Menyusul dengan itu
gerobak2 dari 3 buah kereta beroda tiga yang didorong oleh
beberapa serdadu tampak mendatangi. Kepala dari
pesakitan2 itu menonjol keluar diatas lantai atap kereta.
Bermula Yan-chiu tak menghiraukan, karena mengira
pesakitan itu tentulah bangsa penjahat. Tapi ketika tanpa
disengaja matanya tertumbuk pada kepala salah seorang
pesakitan, seketika pucatlah wajahnya. Hendak ia berteriak,
tapi tenggorokannya serasa tersumbat suatu arang hingga
tak dapat mengeluarkan suara. Ia memburu maju, tapi baru
saja melangkah beberapa tindak, punggungnya sudah
dicengkeram kencang2 oleh Swat Moay (lihat gambar
diatas).
"Hm, ah-thau, kau hendak melarikan diri?"
Dalam pada Yan-chiu me-ronta2 itu, kereta pesakitan
sudah berjalan jauh, hingga saking marahnya Yan-chiu
banting2 kaki berseru: "Kau bilang tidak takut aku
melarikan diri bukan ? Tapi mengapa baru aku bergerak
sedikit saja kau sudah begitu ketakutan?"
Kata2 itu sengaja ia, ucapkan keras2, sehingga banyak
orang yang sama berhenti mengawasi. Hal mana membuat
kedua suami isteri itu gugup dan membentaknya: "Awas,
kui-ah-thau, kalau berani membangkang tentu akan segera
kubunuh!"
Berlainan dengan sikapnya dahulu, kini Yan-chiu tak
mau sungkan lagi, dengan separoh meratap ia, meminta
kelonggaran: "Jiwi cianpwe, idinkanlah aku mengejar
kereta pesakitan itu tadi untuk berbicara beberapa patah
pada sipesakitan. Bukantah jalan darah ki-hiat-ku telah
kalian tutuk ? Kalau dalam 5 hari tak kembali, aku pasti
mengalami siksaan hebat, masakan aku tak sayang akan
jiwaku?"
"Apamu sipesakitan itu ?" tanya Swat Moay.
"Yang dua aku tak kenal, tapi yang satunya itu adalah
sukoku!"
"Hem, kami ber-sama2 kesana!" Swat Moay mengerang.
Yan-chiu yakin bahwa kepala yang menonjol diatas
kereta pesakitan itu, adalah Tio Jiang. Dalam tahun yang
terakhir ini, bayangan Tio Jiang makin melekat dalam
sanubarinya, maka walaupun dalam keadaan rambut kusut
masai muka kotor, namun Yan-chiu masih tetap dapat
mengenalnya. Begitu permintaannya disetujui, ia lupa
segala apa. Ditengah hari bolong, diantara sekian banyak
orang, ia segera gunakan ilmu berjalan cepat. Sekali
berloncatan macam burung walet (seriti), ia sudah
melampaui dua buah jalanan dan tampaklah kini ketiga
kereta pesakitan itu disebelah muka sana.
"Jiang suko, Jiang suko!" serunya sambil memburu
kemuka seraya terus menarik baju kedua serdadu yang
mendorong kereta itu. Seketika kedua serdadu itu
mendeprok ketanah seperti kehilangan tenaga.
"Jiang suko!" seru Yan-chiu seraya mendekap terali
kereta. Dari sepasang matanya, butir2 air menetes
bercucuran.
Tio Jiangpun terkesiap mendengar seruan Yan-chiu itu,
hingga sampai beberapa saat dia ter-longong2. "Siao Chiu
dimanakah sekarang kita ini ?"
"Jiang suko, kenapa kau sampai begini? Bukantah ini
kota. Ko-yau-koan?" kata Yan-chiu dengan terharu dan
girang.
Tio Jiang menghela napas. Baru dia hendak menyahut,
ketiga perwira yang mengiring kereta pesakitan itu sudah
menghampiri datang dengan beringas. Salah seorang cepat
melolos goloknya dan membentak: "Perempuan liar dari
mana ini, yang berani bicara dengan pesakitan ? Kalau
dituduh hendak merampok pesakitan, kau tentu dihukum
tabas kepala!"
Mendengar. kini Tio Jiang disebut pesakitan negeri,
marah Yan-chiu bukan kepalang. Tanpa tunggu siperwira
habis bicara, ia sudah mendampratnya: "Fui, kentut busuk,
ayuh lekas enyah!" .
Siperwira terkesiap kaget. Mimpipun tidak dia kalau
sinona begitu katak (garang). Setelah tersadar, segera dia
julurkan goloknya kemuka dada Yan-chiu, seraya
mengancam: "Kalau kau berkeras kepala, tentu ku ........"
Belum lagi siperwira menyelesaikan kata2nya, Yan-chiu
sudah menyepit ujung golok dengan dua buah jari, lalu
disentakkan kebelakang. Perwira itu hanya seorang militer
yang bertubuh kokoh kekar, dalam hal ilmu silat sudah
tentu dia tak sepersepuluhnya kepandaian Yan-chiu.
Bluk...... bukan saja goloknya terlepas, orangnya pun turut
tertarik dan jatuh kemuka.
"Aku tak mau pergi. Ayuh, beri hormat padaku dengan 3
kali anggukan kepala?" seru Yan-chiu sembari tancapkan
batang golok ketengkuk siperwira. Serasa terbang semangat
siperwira dibuatnya, hingga tak dapat berkata apa2.
Dalam pada itu, kedua kawan perwira yang melihat
kejadian itu, segera ber-teriak2: "Pemberontak mengacau,
pemberontak mengacau!"
Dengan memutar golok, mereka maju menyerang,
tring....., tring....., Yan-chiu menangkis dengan goloknya
dan tangan kedua perwira itu merasa kesemutan. Sekali dua
Yan-chiu menggerakkan goloknya lagi, kedua golok lawan
sudah terlepas dan kedua perwira itupun terhuyung mundur
beberapa tindak.
"Kereta pesakitan dirampok......! Kereta pesakitan
dirampok......!" entah bagaimana serdadu2 pendorong
kereta itu sama2 berlarian seraya berteriak2. Dalam sekejab
saja, terjadilah kekacauan. Orang2 sama2 berserabutan lari,
toko2 sama2 menutup pintu hingga dalam waktu yang
singkat saja, jalanan yang semula hiruk pikuk itu kini
menjadi sunyi senyap. Yang masih tertampak hanya
beberapa gelintir orang yang bernyali besar serta Hwat Siau
dan Swat Moay yang berdiri dikejauhan.
Ko-yau-koan meskipun dekat dengan kediaman raja, tapi
tak lebih tak kurang dari sebuah kota kecil saja. Dalam
sekejab waktu saja, peristiwa Yan-chiu itu sudah tersiar
diseluruh kota.
"Siao, Chiu, jangan bikin onar!" Tio Jiang memberi
peringatan. Sedang kedua pesakitan yang lain itu, tinggal
diam saja.
Yan-chiu tak habis mengerti, mengapa Tio Jiang tak
dapat keluar dari sebuah kereta yang terbuat dari pada
kayu. Maka segera ia tabaskan goloknya untuk
menghancurkan terali kayu itu, tapi hai, goloknya telah
membentur besi logam. Kiranya terali (ruji) kereta itu
terbuat daripada besi baja dan ketika diperiksanya, terali itu
hanya satu dim besarnya.
Tiba2 terkilas dalam pikiran Yan-chiu, bahwa pada 10
bulan yang lalu ketika menolong Kuan Hong dan Wan
Gwat didalam gereja Ang Hun Kiong, ia telah dapat
mendorong terbuka terali besi. Cepat golok dibuangnya,
kemudian dicekalnya dua buah terali terus dingangakannya,
krek, krek, putuslah terali itu. Dengan ber-nyala2 segera ia
mematahkan terali2 besi kereta itu semua. Didapatinya
tangan dan kaki Tio Jiang diikat dengan rantai besi sebesar
jari. Siku dan pergelangan tangannya tampak bekas noda2
lecetan berdarah. Melihat itu hati Yan-chiu makin meluap.
"Jiang suko, siapa yang menyiksamu sedemikian rupa?
Bilanglah, tentu akan kucincang lebur orang itu!" Yan-chiu
menjerit seperti orang kalap.
Bahwa Tio Jiang itu seorang pesakitan penting, seluruh
kota situ sudah lama mengetahuinya. Jadi orang yang
hendak dicincang oleh Yan-chiu itu bukan lain adalah
baginda sendiri. Orang2 yang tadinya masih bernyali untuk
melihat ramai2 disitu, kini sudah sama ngacir bubar. Hwat
Siau dan Swat Moaypun segera mengumpat diujung jalan,
menantikan perkembangan selanjutnya.
Walaupun Yan-chiu sangat bernapsu menghujani
pertanyaan, namun Tio Jiang hanya menghela napas saja
tak menyahut. "Akupun tak tahu!" akhirnya dia memberi
keterangan.
"Tio-heng, jangan takut mengatakan! Terhadap orang2
macam begitu, memang pantas dicincang seperti yang
dikatakan nona ini tadi!" tiba2 kedua pesakitan itu turut
bicara. Yan-chiu segera menghampiri kereta mereka untuk
membuka terali besi, begitu juga borgolan yang mengikat
kaki tangan mereka. Tapi ketika ia, hendak membuka
borgolan rantai Tio Jiang, anak muda itu sudah mendahului
gerakkan tangannya sendiri untuk mematahkan rantai
borgolannya.
Tanpa menghiraukan rasa sungkan apa2 lagi, Yan-chiu
segera rubuhkan kepalanya kedada sang suko untuk
menangis ter-isak2. Biar bagaimana ia adalah seorang gadis
remaja. Tadi memang ia sangat garang sekali melabrak
serdadu dan perwira pengawal kereta pesakitan itu. Tapi
kini ia laksana seekor anak kambing yang jinak. Terkenang
akan penderitaannya selama 10 bulan ini, apalagi chit-jithiatnya
masih tertutuk dan Tio Jiang menjadi pesakitan
negara. Nasib sial yang ber-turut2 menimpah pada diri
mereka itu, telah membuat Yan-chiu menangis tersedu
sedan.
"Sudahlah, Siao Chiu, jangan menangis!" Tio Jiang
menghibur.
"Bagaimana kau dapat lolos dari Ang Hun Kiong?"
Yan-chiu menyapu air matanya dan hendak memberi
penyahutan, tapi tiba2 terdengar derap kaki kuda
mendatangi. Pada lain saat, jalanan itu telah dikepung
dengan pasukan berkuda yang tak terhitung jumlahnya.
Empat orang buciang (panglima) dengan garang menobros
kemuka. Demi melihat ketiga pesakitan itu sudah terlepas,
mereka terbeliak kaget. Salah seorang dari mereka menusuk
Tio Jiang dengan tombak, tapi anak muda itu cepat
menghindar kesamping. Dalam murkanya, Yan-chiu
hendak menangkap tombak orang, tapi ternyata buciang itu
bukan seorang jago lemah. Tombak diputar laksana kitiran,
begitu diturunkan kebawah, lalu ditusukkan kepada sinona.
Yan-chiu tak mau unjuk kelemahan. Ia membungkuk
kebawah sambil merapat. maju. Disambarnya goloknya
yang terletak ditanah tadi, tangkai golok itu disodokkan
keperut kuda sibuciang tadi. Sudah tentu kuda itu
meringkik tersentak keatas dan membarengi dengan itu,
Yan-chiu segera memapas tombak sibuciang hingga kutung
menjadi dua. Kebenaran pula kutungan tombak itu tepat
melayang mengenai punggung sibuciang, aduh ......... ia
mengerang dan jatuh kebawah, lalu diinjak oleh Yan-chiu.
"Ayuh, siapa yang berani maju lagi?"
Ketiga huciang (bawahannya buciang) melihat
pemimpinnya tertangkap, tak berani ambil tindakan keras.
Mereka hanya perintahkan anak buahnya untuk
mengepung rapat2 tempat itu sambil ber-teriak2.
Entah sudah berapa kali Tio Jiang dan Yan-chiu
bertempur melawan kawanan tentara Ceng. Tapi kejadian
itu mengambil tempat dihutan, tidak seperti. saat itu
ditengah jalanan ramai apalagi pasukan Beng itu semua
berkuda. Kalau mereka sama menyerang rapat,
kemungkinan besar bisa keinjak mati. Maka Yan-chiu
segera gunakan akal. Begitu ada seorang serdadu mau
menghampiri dekat, cepat2 ia jiwir telinga panglima tadi,
serunya: "Lekas suruh mereka mundur!"
Tapi ternyata panglima itu juga seorang jantan. Dalam
kota raja orang berani main rampas pesakitan ditengah hari
bolong, berani pula melawan tentara pemerintah, andaikata
pemberontak2 itu bisa melarikan diri, dia (buciang) pun
akan mendapat hukuman mati. Maka dengan kertek gigi,
dia tahan kesakitan tak mau menyahut.
Melihat itu Yan-chiu gelisah sendiri. "Jiang suko, ayuh
kita serbu!" akhirnya ia berseru. Tio Jiang ragu2
tampaknya, tapi Yan-chiu secepat kilat sudah mengambil
keputusan.
"Terimalah panglima ini!" serunya seraya melempar
tubuh sibuciang kearah kawanan tentara Beng, Yan-chiu,
menyambar sebuah rantai besi, tangannya kiri mencekal
sebatang golok, serunya; "Tolol, kalau tak menyerbu, apa
mau tunggu kematian ?"
Tio Jiang tersadar, lalu menjemput sebatang rantai untuk
di-putar2. Tapi begitu mengetahui pemimpinnya tak kurang
apa2, ketiga huciang itu segera maju merapat. Pada jarak
dua tombak, mereka kedengaran berteriak keras2: "Serbu!"
Dari empat jurusan, kuda mendesak maju. Hiruk pikuk
kud2, meringkik, se-olah2 memecah bumi. Yan-chiu sibuk
sekali. Untung pada saat2 yang berbahaya itu, se-konyong',
terdengar dua buah suitan aneh. Menyusul dengan itu, dua
sosok bayangan, satu merah satu hitam, meluncur turun
dari atas wuwungan sebuah rumah. Bayangan merah
menghamperi Tio Jiang, bayangan hitam mendekati Yanchiu.
Mereka ternyata adalah suami isteri Hwat Siau dan
Swat Moay. Tanpa berkata ba atau bu, Swat Moay segera
mengepit Yan-chiu dibawah ketiak, kemudian sekali enjot
kakinya, Swat Moay bawa Yan-chiu melayang keatas
wuwungan. Gerakannya bagai seekor burung waled.
Sebaliknya Hwat Siau yang hendak meniru perbuatan
isterinya, telah mengalami kesukaran terhadap Tio Jiang.
Begitu tangan Hwat Siau mengulur, Tio Jiang turunkan
bahunya lalu mengirim sebuah hantaman kemuka. Hwat
Siau tersentak kaget. Cengkeramannya luput, malah
berbalik didorong oleh tenaga dahsyat. Cepat dia robah
gerakannya, memutar tangan untuk merangsang bahu
sianak muda. Tapi dia tetap tak mau menghindar dari
sodokan Tio Jiang tadi, maka tangan Tio Jiangpun tepat
dapat mengenai sasarannya dan uh tangannya itu serasa
memegang api membara. Dalam pada dia terkejut, tahu2
bahunya sudah tercengkeram tangan Hwat Siau. Hendak
dia meronta, tapi sekali diputar tahu2 tubuhnya sudah
pindah diatas pundak Hwat Siau.
Tepat pada saat itu pasukan berkuda lawan sudah
merapat dekat. Hwat Siau perdengarkan suara ketawa
mengejek, sekali enjot sang kaki, dia melayang keatas
wuwungan rumah. Saking herannya, pasukan berkuda itu
ter-longong2 kesima. Untuk melampiaskan
kemengkalannya, mereka segera menghujani kedua
pesakitan dengan tombak dan golok, hingga tubuh mereka
tercincang hancur.
Sampai kerajaan Beng berhijrah kedaerah selatan dan
berganti dengan nama Lam Beng (Beng Selatan), namun
adat kebiasaan buruk dari para pembesar sipil dan militer
masih melekat dalam2. Hanya membunuh dua orang
pesakitan yang tak berdaya, mereka menghaturkan laporan
keatas kalau pemberontak yang hendak merampas
pesakitan itu dapat dibunuh semua. Hal ini untuk menutupi
kelemahan mereka dan mengidamkan pahala dan hadiah.
(Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 47 : MENGUNDANG HARIMAU
BUAS
Sekarang marilah kita, ikuti perjalanan Hwat Siau dan
Swat Moay. Dengan mengepit kedua anak muda itu mereka
menuju keluar kota. Tiba ditepi sungai, karena sudah tiada
tentara yang, mengejar, mereka lepaskan Tio Jiang dan
Yan-chiu.
Diam2 Yan-chiu merasa berterima kasih atas tindakan
suami isteri itu. Hal ini disebabkan kerinduannya pada sang
suko. Hampir setahun berpisah masa baru bertemu saja
sudah menghadapi bahaya maut. Sebaliknya Tio Jiang yang
jujur, menganggap bahwa kedua orang yang menolonginya
itu tentulah kaum cianpwe persilatan, maka tanpa ragu2 dia
segera haturkan terima kasih.
"Ah, sama2 kaum persilatan, mana tega berpeluk tangan
mengawasi hengtay (saudara) dicelakai kawanan serdadu?
Usah banyak peradatanlah!" sahut kedua suami isteri itu.
Jawaban itu, merupakan jawaban yang lazim diucapkan
oleh para orang gagah budiman. Tanpa menyelidiki dulu
siapakah kedua suami isteri itu, kembali Tio Jiang haturkan
terima kasih, serunya: "Bagaimana tak harus menghaturkan
terima kasih? Dari mana jiwi mengetahui berita
penangkapanku itu? Adakah jiwi ini datang dari Lo-husan
?"
Menduga ada sesuatu, buru2 Swat Moay gunakan ilmu
thoan-im-jip-bi (menyusupkan suara) untuk bertanya
kepada Yan-chiu: "Siau-ah-thau, adalah dia itu kekasihmu?
Kami telah menolongmu tadi, sekarang harap kau jangan
buka suara apa2, nanti tentu kubuka jalan darahmu itu agar
kau dapat pergi dengan bebas, mau tidak?"
Oleh karena hati Yan-chiu hanya tertumpah pada diri
sang suko, iapun mengiakan dengan serta merta. Melihat
isyarat itu, baru Swat Moay memberi penyahutan pada Tio
Jiang: "Benar, kami baru saja datang dari Lo-hu-san. Eh,
mengapa siaoko dapat mengetahuinya?"
Yan-chiu terkesiap. Terang dia bersama kedua suami
isteri itu baru datang dari Lok-jiang keselatan sini (Kauyaukoan),
tapi mengapa Swat Moay memberi keterangan
begitu? Ia taruh kecurigaan, tapi belum mengetahui
sebab2nya.
"Ah, sungguh tak nyana kalian begitu lekas mengetahui
berita itu. Dengan dua orang saudara aku menuju ke Kauyau-
koan, tapi belum sampai menghadap raja, sudah
ditangkap dan dijebloskan dalam tahanan, dianggap sebagai
pesakitan jahat. Turut keterangan sipir penjara, raja telah
mempersalahkan kami berserekat pada sisa anak buah Thio
Hian Tiong. Jadi kami digolongkan dengan kawanan
pemberontak. Ah, mereka tak mengetahui bagaimana
semangat perjoangan dan jiwa patriot dari saudara2 kita
itu!" Tio Jiang menghabisi keterangannya dengan menghela
napas panjang pendek.
Sebagai seorang benggolan dinas intelligence (rahasia)
pemerintah Ceng, walaupun keterangan itu tiada awal
mula, tapi Swat Moay segera dapat menarik kesimpulan
bahwa kini digunung Lo-hu-san sana telah siap berkumpul
para orang gagah yang bersedia untuk membantu pada
kerajaan Lam Beng. Tapi raja Ing Lek yang tidak
mempunyai kebijaksanaan itu, malah menganggap mereka
itu hendak memberontak, maka Tio Jiang yang ditugaskan
oleh kawan2nya menjadi utusan, telah dijebloskan dalam
penjara.
Diam2 Swat Moay bersorak dalam hati. Kawanan orang
gagah yang hendak dibunuh dengan dinamit digereja Ang
Hun Kiong tetapi gagal itu, kini ternyata ditolak mentah2
oleh pemerintah Lam Beng. Ah, ini merupakan kesempatan
yang bagus untuk mengembangkan aksi subversifnya
(gerakan dibawah tanah). Apabila Tio Jiang pulang dan
mereka (Hwat Siau dan Swat Moay) menambahkan api,
sudah tentu para orang gagah itu akan ber-jingkrak2 marah.
Dan inilah suatu landasan yang subur-untuk mengadu
domba dan menghancurkan mereka.
"Ah, sungguh kurang ajar betul, sekarang saudara2 kita
itu tentu putus asa!" akhirnya Swat Moay berkata dengan
menghela napas, pura2 ikut bersedih.
"Ah, tidak! Ketika aku datang suhu pernah mengatakan,
bahwa sekalipun pemerintah Beng mengadakan aksi
perobahan haluan, kita tak boleh gugup dan cemas.
Masakan sebelum diadakan pemilihan untuk jabatan Toaah-
ko (pemimpin pertama) dan ji-ah-ko (pemimpin kedua),
kita terus akan turun gunung begitu saja?" tanya Tio Jiang.
Kaget dan girang Swat Moay mendengarnya. Kaget,
karena dalam 10 bulan saja, kawanan orang gagah itu
sudah berhasil membangun lagi organisasi Thian Te Hui.
Dugaan ini didasarkan atas ucapan Tio Jiang tentang
pemilihan toa-ah-ko dan ji-ah-ko itu. Girang, karena
kebenaran sekali ia (Swat Moay) dapat mengetahui hal itu.
Dengan begitu sebelum organisasi itu berhasil dibentuk,
dapatlah mereka berdua (Hwat Siau dan Swat Moay)
menyusup kedalam untuk memecah belah.
"Oh, begitu. Kami berdua sebenarnya siap hendak
menuju ke Lo-hu-san. Ketika tiba disini dan mendengar
berita tentang pemerintah Beng menangkap 3 pemberontak,
yang kami duga salah seorang tentu -Tio-heng sendiri, maka
kami ber-gegas2 datang kemari untuk memberi
pertolongan," buru2 Swat Moay menyahut dengan
mengikuti perobahan angin.
Sebagai seorang yang jujur, Tio Jiang tak menyangka
sesuatu dalam ucapan Swat Moay itu. Tidak demikian
dengan Yan-chiu yang saking herannya terus hendak
bertanya, tapi selalu dicegah dengan isyarat mata oleh Swat
Moay hingga terpaksa tak jadi. Biasanya otak sinona itu
cerdas, tapi pada saat itu ternyata belum dapat menginsyafi
betapa gawatnya urusan itu. Malah dia hanya buru2
menanyakan pada sukonya: "Suko turut katamu itu suhu,
Thaysan Sintho dan kawan2 semua tak ada yang binasa
bukan ? Ai, aku telah tersiksa pikiran karena mengira kamu
sama binasa!"
"Kami semuapun mengira kalau kau yang sudah binasa!"
jawab Tio Jiang. Dengan ucapan itu, masing2 ternyata
saling perhatikan nasibnya satu sama lain. Tio Jiang minta
Yan-chiu menuturkan pengalamannya ketika berada
digereja Ang Hun Kiong itu. Tapi sebaliknya sinona,
meminta sukonya yang menceritakan pengalamannya lebih
dahulu.
"Ayuh, kita teruskan perjalanan dulu!" sahut Tio Jiang,
siapa lalu memanggil sebuah perahu untuk menuju ke
Kwichiu terus kembali ke Lo-hu-san. Hwat Siau dan Swat
Moaypun tanpa ragu2 lagi ikut naik kedalam perahu itu.
Didalam perjalanan itu, barulah Tio Jiang tuturkan apa
yang telah dialaminya selama itu.
Kiranya dalam pertemuan dalam gereja Ang Hun Kioii
pada 10 bulan yang lampau itu, yalah pada saat Kui-ing-cu
berobah menjadi gila dan sekalian orang gagah rombongan
Ceng Bo sama menyingkir, jarak waktunya hanya terpaut
sedikit dengan ledakan dinamit itu. Itu waktu karena tak
tega melihat keadaan Kui-ing-cu, Tio Jiang segera
menghampiri dan hendak mengucap beberapa patah kata
pada tokoh itu. Tapi karena sudah kalap dan lupa segala2nya.
Kui-ing-cu lalu mengejar anak muda itu, siapa
karena ketakutannya segera lari menuju keruangan
samping. Kui-ing-cu tetap mengudaknya, hingga sekalian
orang gagah yang menguatirkan keselamatan Tio Jiang ikut
memburu kesana. Dalam sekejap saja, berpuluh-puluh
orang gagah dalam rombongan Ceng Bo itu sama
meninggalkan ruangan pertempuran dan menuju
kesamping. Kang Siang Yan dengan memimpin Bek Lian
pun ikut kesana. Tapi dalam pada itu, tak lepas2nya ia
memandang The Go dengan sorot mata beringas, hingga
membuat nyali pemuda culas itu serasa copot dan tak
berani berpisah dengan Ang Hwat cinjin.
Juga Ang Hwat yang melihat Can Bik-san tak kunjung
datang itu, merasa curiga dan ikut tinggalkan ruangan itu.
Tapi baru beberapa langkah dia berjalan, tiba2 terdengarlah
ledakan yang dahsyat dari arah belakangnya. Berbareng
lengan itu, atap wuwungan ruangan situ ambruk, lantainya
muncrat. Ledakan itu sedahsyat gunung meletus.
Syukurlah, mereka sudah terpisah jauh, jadi meskipun
ketimpah pecahan atap dan dinding, namun tak sampai
membahayakan jiwanya.
Ang Hwat terbeliak kesima dan ter-longong2 sampai
beberapa jenak. Tapi Thaysan sin-tho Ih Liok sudah segera
berseru keras: "Ang Hwat cinjin, kau telah ditipu oleh siasat
yang keji dari pemerintah Ceng!"
Ang Hwat seperti disadarkan. Sekilas merenung, segera
dia menggerung keras. Dengan memimpin tangan The Go,
dia menobros keluar. Kang Siang Yan mengikutinya dari
belakang. Tapi oleh karena tak faham akan seluk beluk
jalanan dalam gereja itu, maka begitu tiba diluar, ia sudah
tak menampak lagi bayangan Ang Hwat dan The Go.
Ternyata Ang Hwat lari kebawah gunung Ko-to-san.
Disitu dia berjumpa dengan ke 18 jagoan yang tengah
menunggu kabar dari Hwat Siau dan isterinya. Melihat
mereka, murka Ang Hwat tak dapat ditahan lagi. Sekali
bergerak, dia lancarkan dua buah serangan sekali gus dan
hasilnya, seketika itu juga ada 4 orang jagoan lihay, telah
diterkamnya binasa. Rupanya kepala gereja Ang Hun
Kiong itu telah umbar kemarahannya benar?. Dalam
beberapa kejab saja, dia sudah dapat melukai separoh lebih
dari ke 18 jagoan itu. Tujuh orang dari rombongan jagoan
itu yang ilmu kepandaiannya agak mendingan, walaupun
dengan ter-birit2 tapi dapat juga lari menyelamatkan
jiwanya.
Habis mengamuk, Ang Hwat ter-mangu2 sampai
beberapa lama. Kini dia merasa rencananya itu, malah
mencelakai dirinya, seperti apa yang pepatah katakan
"barang siapa menggali lubang, dia pasti akan terperosok
sendiri". Bukan melainkan kehilangan pamor nama, pun
gereja yang berpuluh tahun dibangun itu, hanya dalam
sehari saja sudah rusak hancur. Kesedihan hatinya, sukar
dilukiskan. Dengan menghela napas dalam, dia ajak The
Go tinggalkan tempat itu.
Tak antara berapa lama ketua gereja Ang Hun Kiong itu
berlalu, dengan berserekat beberapa kawan akhirnya Ceng
Bo berhasil dapat menguasai Kui-ing-cu, siapa setelah dapat
ditutuk jalan darahnya lalu digotong turun gunung.
Untunglah karena tenaganya sudah banyak berkurang,
maka Kui-ing-cu tanpa banyak susah dapat ditundukkan.
Coba dia masih seperti dahulu, siapakah yang sanggup
melayaninya? Tiba dikaki gunung, dilihatnya disitu
berserakan beberapa mayat. Mereka mulai men-cari2, tapi
Can Bik-san tak dapat diketemukannya.
Rombongan orang gagah itu mulai gelisah. Ah, mengapa
tak menyelidiki mayat2 yang bergelimpangan itu? Mayat2
itu sama putus kaki tangannya dan hancur tulang
belulangnya. Terang mereka dibunuh oleh Ang Hwat cinjin.
Begitulah rombongan orang gagah itu mulai menyelidiki
mayat2 itu satu demi satu dan akhirnya berhasillah mereka
mendapat mayat Can Bik-san terserak dalam sebuah semak
belukar. Dari kantong baju orang she Can itu diketemukan
sebuah bungkusan hong-sin-san (obat pemunah sakit gila),
lalu diminumkan kedalam mulut Kui-ing-cu. Setelah
minum obat itu, mata Kui-ing-cu yang dulunya mendelik
dapat merapat kembali dan tidur dengan pulasnya.
Sejak peristiwa digereja Ang Hun Kiong itu, para orang
gagah sama menginsyafi bagaimana ganasnya tindakan
pemerintah Ceng itu untuk membasmi mereka. Akhirnya
diputuskan untuk membangunkan lagi perkumpulan Thian
Te Hui. Mereka berpencar untuk menghubungi sekalian
orang gagah dari pelbagai daerah dan menetapkan suatu
waktu pertemuan dipuncak Giok-li-nia gunung Lo-hu-san.
Sebelum Tio Jiang berangkat ke Siau Ging, digunung
Lo-hu-san sudah berkumpul ribuan orang gagah dari empat
penjuru. Disamping itu sejumlah besar para petani dan
rakyat dari wilayah Hokkian, Kwiciu dan lain2 tempat.
Mereka yang pernah mengalami siksaan dari keganasan
tentara Ceng, mereka yang lolos dari kepungan digunung
Hoasan, sama berduyun2 datang kegunung Lo-hu-san.
Jumlahnya tak kurang dari 7 sampai 8 ribu orang. Juga
Ceng Bo siangjin mengirim orang untuk berhubungan
dengan anak buah Thio Hian serta anak buah Giam-ong.
Dari koordinasi itu, dapatlah diterima lagi seribuan orang
lebih. Dengan mempunyai lasykar rakyat dan petani itu,
selain dapat menjaga perbatasan sebelah timur dari propinsi
Kwitang, dapat digunakan untuk pertahanan didaerah
Kangsay untuk bergabung dengan pasukan Li Seng Tong,
pun dapat digunakan untuk menghalau tentara Ceng yang
menduduki Hokkian. Sungguh suatu angkatan perang yang
cukup mempunyai dayaguna, karena semangat bertempur
mereka ber-nyala2.
Tapi satu hal yang menjadi kesulitan besar, yakni soal
ransum makanan bagi sekian banyak orang. Ada beberapa
saudara, misalnya Sin-eng Ko Thay dan beberapa orang
yang kaya, telah menjadi habis seluruh harta kekayaannya
untuk beli kuda dan alat2 pelengkapan perang, jadi soal
ransum itu tetap merupakan problim beban yang maha
berat. Oleh karena mereka hendak berjoang guna
kepentingan rakyat, jadi tak maulah mereka menjalankan
cara yang lazim digunakan oleh kaum perampok dan begal
dikalangan lioklim (kaum begal). Soal sulit itu telah
diperundingkan dan akhirnya diputuskan, mengirimkan
seorang utusan untuk menghadap pada kaisar Ing Lek
dikota raja Siau Ging. Mohon supaya pemerentah Beng
memberi bantuan ransum seperlunya, dan menyerahkan
tampuk pimpinan gerakan para patriot itu pada kerajaan
Beng. Asal dipergunakan untuk menghalau penjajah Ceng,
relalah sudah setiap orang gagah itu mengorbankan jiwa
raganya.
Tio Jiang telah dipilih untuk melakukan tugas perutusan
itu. Selama setengah tahun ini bukan saja ilmu kepandaian
anak muda itu bertambah maju dengan pesatnya, tapi
semua orang sama mengindahkan akan watak perangainya
yang jujur luhur itu. Maka pilihan untuk menjalankan tugas
yang berat itu, jatuh kepadanya.
Namun mimpipun tidak, kalau pemerintah Beng telah
mencap "pemberontak" pada gerakan kaum patriot di Lohusan
itu. Jumlahnya hampir 10 ribu orang, ah......,
bukantah gerakan macam Thio Hian Tiong akan timbul lagi
ini? Bukan ransum yang diterima tapi sebaliknya Tio Jiang
telah dijebluskan dalam penjara. Tio Jiang yang keliwat
jujur itu, pun tak mengerti apa sebabnya pemerintah Beng
menangkapnya itu. Coba tiada Yan-chiu yang
menolonginya, dia pasti akan mati dengan penasaran!
Begitulah setelah habis mendengari kisah yang
dibawakan Tio Jiang itu, Yan-chiu dan kedua suami isteri
itu mempunyai kesan lain. Yan-chiu tak puas2nya
memandang gerak gerik sukonya kala menceritakan
kisahnya itu. Dahaga kerinduannya selama hampir setahun
itu, rasanya masih belum terlepas puas. Sehingga lupalah ia
akan diri kedua suami isteri itu. Bukantah mereka berdua
itu merupakan benggolan kaki tangan pemerintah Ceng?
Urusan mendirikan lagi Thian Te Hui digunung Lo-hu-san
itu, seharusnya tak boleh dikatakan kepada orang lain
lebih2 pada kaki tangan musuh. Itu suatu rahasia besar
yang pantang diketahui oleh sembarang orang.
Hwat Siau dan Swat Moay telah menetapkan suatu
rencana untuk menghadapi kawanan orang gagah di Lo-husan
itu. Apabila hal itu berhasil, pahala besar terbayang
dimatanya.
Tio Jiang tak mengetahui siapakah sebenarnya kedua
suami isteri itu. Karena melepaskan kangennya kepada
Yan-chiu, tak putus2lah dia bercerita ini itu. Malam itu
Hwat Siau berunding dengan isterinya cara bagaimana
mereka dapat menyusup kedalam Lo-hu-san.
"Kecuali budak perempuan itu, lain orang tak kenal kita,
jadi tak sukarlah rasanya untuk menyusup kesana!" kata
Swat Moay.
"Kalau begitu, lebih baik kita habisi jiwa budak itu saja."
"Lebih baik dua2nya sama sekali, karena kalau yang satu
masih hidup, mungkin membahayakan. Tapi jangan malam
ini, nanti setelah melalui Kwiciu, kita turun tangan, masa
mereka dapat lari kemana," ujar Swat Moay. Hwat Siau
menyetujui pikiran isterinya itu.
Keesokan harinya, perahu tiba disekitar perairan Samcui.
Tukang perahu berlabuh untuk membeli ikan dan beras.
Melihat keindahan alam diperairan situ, Tio Jiang dan Yanchiu
kepingin ber-jalan2. Tio Jiang loncat kedaratan dan
Yan-chiupun hendak mengikutinya tapi Swat Moay segera
berseru bengis: "Siao-ah-thau, jangan pergi ke-mana2!"
Yan-chiu tertegun dan tak berani membangkang. la
cukup menginsyafi, bahwa dengan jalan darahnya chit-jithiat
masih ditutuk, apabila ia sampai membangkang, pasti
celaka akibatnya. la hanya berdiri pada buritan perahu
seraya memberi isyarat tangan supaya Tio Jiang kembali.
"Siao Chiu, mengapa kau tak naik kedaratan melihatlihat
pemandangan sebentar?" seru Tio Jiang dengan
keheranan.
"Aku tak kepingin pesiar Suko, kaupun jangan pergi,
temanilah aku disini saja!" sahut Yan-chiu dengan hati yang
getir.
Tio Jiang cukup kenal bahwa sumoaynya itu seorang
nona yang doyan pesiar, tapi mengapa harini ia tak mau
naik kedaratan? Ah, jangan2 karena sudah makin dewasa,
kini perangainya agak berobah. Walaupun menaruh
kecurigaan, tapi mau juga dia kembali naik kedalam perahu
dan duduk disamping Yan-chiu. Banyak nian isi kalbu Yanchiu
yang hendak dicurahkan, tapi entah bagaimana,
mulutnya serasa berat mengatakannya. Tio Jiangpun tak
dapat mencari bahan2 untuk pembicaraan, jadi keduanya
se-olah2 diam membisu saja.
Se-konyong2 terdengar ribut2 didaratan sana.
"Kau, kau mengapa begitu kurang ajar?" seru seorang tua
dengan suara ter-bata2. Pada lain saat, terdengar suara
orang ketawa lepas dan nyaring.
"Apanya yang kurang ajar? Pak tua, jangan ribut2 ya?"
Menyusul dengan itu, terdengar suara tubuh jatuh
ketanah. Rupanya itulah siorang tua tadi. Sementara itu,
dari semak pohon muncul keluar seorang pemuda sembari
tangannya menjinjing dua ekor ikan yang masih hidup.
Orang itu mengenakan pakaian warna biru dan ikat kepala
dari seorang mahasiswa. Melihat dia, hati Tio Jiang dan
Yan-chiu berdebur keras. Selama berjalan itu, orang muda
tersebut tak henti2-nya berpaling kebelakang. Benar juga,
ada seorang tua ter-huyung2 lari mengejarnya.
GAMBAR 87
Selagi Yan-chiu dan Tiu Jiang duduk termenung diburitan
perahu, tiba2 dari balik pohon sana muncul satu pemuda
sastrawan dengan menjinjing dua ekor ikan disebelah tangannya.
Ternyata pemuda itu bukan lain adalah The Go.
"Apakah tiada undang2 lagi, maka siang hari bolong
berani merampas milik orang?!" teriak orang tua itu.
Namun pemuda itu hanya ganda tertawa saja sembari
angkat sebelah kakinya siap untuk menendang pak tua itu.
Pada saat itu Tio Jiang sudah tak dapat mengendalikan
dirinya lagi. "The Go, kau berbuat apa disitu?!" bentaknya
dengan lantang.
Saking kagetnya, dua ekor ikan yang dipegangi orang
muda yang ternyata si The Go itu, terlepas jatuh. la buru2
berpaling kebelakang dan dapatkan Tio Jiang beserta
Yanchiu tengah berdiri diburitan perahu seraya
memandangnya dengan sorot mata yang gusar. Celaka, satu
saja dia tak sanggup menghadapi apalagi kini dua orang
sekaligus hendak melabraknya. Secepat kilat dia mendapat
akal. Dirakupnya kedua ekor ikan tadi, lalu ditimpukkan
kearah Yan-chiu dan Tio Jiang, dan berbareng itu dia loncat
kebelakang hendak angkat kaki seribu.
Sudah tentu kalini Tio Jiang tak mau melepaskan
musuhnya itu. Setelah menangkis ikan yang melayang
kearahnya itu, dia segera enjot kakinya melayang kedaratan
seraya berseru: "Jangan lari!"
The Go berpaling kebelakang dan mengeluh. Mengapa
gerakan anak muda musuhnya (Tio Jiang) itu sedemikian
pesatnya? Teranglah itulah gerakan ilmu mengentengi
tubuh "i-seng-hoan-wi" yang lihay. Mana dia dapat
menandinginya? Hari itu sucounya (Ang Hwat cinjin) pergi,
mungkin dua tiga hari lagi baru kembali, jadi terang dia
harus menghadapi sendiri.
Kiranya sejak meninggalkan Ko-to-san, Ang Hwat
menyembunyikan diri ditempat situ. Benar ilmu kepandaian
The Go juga makin bertambah maju, tapi biar bagaimana
tetap masih kalah dengan Tio Jiang yang giat belajar itu.
Kemaren begitu Ang Hwat pergi, penyakit The Go segera
angot kembali, dia berkeliaran keluar dan terbitkan onar.
Celakanya, kali ini dia ketemu Tio Jiang, saingan lamanya.
Jalan satu2nya, yalah melarikan diri se-kuat2nya. Tapi
ketika dia menoleh kebelakang dan dapatkan Yan-chiu tak
turut mengejar masih tetap berdiri diburitan perahu, dia
menjadi keheranan dan tertegun berhenti. Dalam pada itu,
Tio Jiang sudah hampir mendatangi. The Go gelagapan dan
teruskan larinya lagi. Namun Tio Jiang ternyata jauh lebih
cepat dari dia, malah kini sudah ulurkan tangan untuk
menerkam. Tanpa menoleh lagi The Go kibaskan
tangannya kebelakang. Dengan jurus pia-yu-tong-thian
(masih ada dunia lain), dia tutuk jalan darah lo-kiong-hiat
ditelapak tangan Tio Jiang. Yang digunakan untuk
menutuk, yalah sebuah benda yang hitam warnanya.
GAMBAR 88
Ketika merasa Tio Jiang hendak mencengkeram dari belakang,
tanpa menoleh cepat The Go keluarkan ruyung nya terus
menyabet kebelakang.
Tio Jiang cepat mengenali benda hitam itu sebagai imyang-
pian (pian-im-yang) kepunyaan Ang Hwat cinjin.
Sewaktu digereja Ang Hun Kiong pernah Tio Jiang melihat
pian istimewa Itu dapat didulur-surutkan sekehendak
sipemakai. Buru2 dia tarik pulang cengkeramannya tadi.
Benar juga, berbareng pada saat itu, plan itu se-konyong2
menjulur sampai setengah meter panjang keudara. Kalau
saja Tio Jiang tadi tak keburu menarik tangannya,
betapapun lihaynya tetap dia pasti akan menderita
kerugian.
The Go cukup yakin bahwa jurusnya pia-yu-tong-thian
tadi, kaya dengan gerak perobahan. Sekalipun tak dapat
melukai Tio Jiang, tapi se-kurang2nya dapat juga untuk,
menghadang lawan. Dan setelah melancarkan serangan itu,
The Go segera lanjutkan berlari kemuka masuk kedalam
sebuah hutan. Ketika Tio Jiang mengejar, disitu ternyata
terdapat beberapa petak rumah yang sekelilingnya dipagari
dengan pohon bambu.
"Cian-bin Long-kun, main sembunyi macam tikus begitu,
bukan laku seorang jantan! Ayuh, keluar dan ikut aku ke
Lo-hu-san. Seorang laki2, berani berbuat tentu berani
menanggung resikonya, mengapa bersembunyi'?"
Tapi terhadap seorang macam The Go, sia2 sajalah
segala macam ucapan ksatrya yang kosong itu. Tahu kalau
Tio Jiang tentu mengejar, dia tak mau masuk kedalam
rumah sebaliknya lalu menyusup kesamping dan terus
loncat bersembunyi diatas sebatang pohon. Oleh karena
mengira dia bersembunyi dalam rumah, Tio Jiang
meneriakinya sampai berulang kali, namun tetap tiada
berjawab. Akhirnya Tio Jiang bermaksud hendak menobros
masuk kedalam rumah itu. Tapi tiba2 dari arah belakang
terdengar seseorang berseru dengan nada dingin: "Tio-heng,
perahu sudah akan berangkat, mengapa tak lekas2
kembali?"
Tio Jiang terperanjat, Itulah suatu ilmu mengentengi
tubuh yang sakti hingga sama sekali dia tak mengetahui
kalau orang, itu sudah berada dibelakangnya. Ketika
berpaling kebelakang, ternyata Hwat Siau sudah berada
disitu.
"Harap tunggu dahulu setelah kutangkap orang itu, baru
nanti naik keperahu!" kata Tio Jiang. Tapi ternyata Hwat
Siau bercuriga, jangan2 anak muda itu sudah mengetahui
rahasia mereka berdua, sehingga hendak meloloskan diri.
Maka dia segera mencari ke-mana'2 dan akhirnya sampai
ditempat situ.
Diatas pohon, The Go dapat melihat jelas kedatangan
Hwat Siau itu. Rasanya dia pernah melihat tokoh itu
bersama isterinya. Tapi waktu mendengar Hwat Siau
memanggil "Tio-heng" pada Tio Jiang, herannya tak habis2.
Namun sebagai seorang durjana yang cerdas otaknya,
dalam waktu singkat saja dia dapat merabah persoalan itu.
"Tentu ada sebabnya, sampai tokoh pemerintah Ceng itu
berbuat begitu. Kemungkinan besar mereka telah dapat
mengetahui dari mulut Tio Jiang dan Yan-chiu bahwa
rombongan orang gagah dibawah pimpinan Ceng Bo
siangjin telah membentuk organisasi besar di Lo-hu-san.
Sucou (Ang Hwat) karena merasa dihianati itu, tak sudi lagi
berhubungan dengan pemerintah Ceng, tapi aku masih
bebas! Kedua suami isteri itu tentu memerlukan bantuan,
kalau aku dapat mengulurkan tanganku ......" berpikir
sampai disini dia menjadi kegirangan.
Dua kali sudah The Go menghambakan tenaganya
kepada pemerintah Ceng, tapi dua kali itu pula dia gagal
melaksanakan rencananya. Semestinya dia harus sudah
insyaf. Tapi sebaliknya begitu membaui jejak Hwat Siau
dan Swat Moay untuk menggempur rombongan orang
gagah, kembali dia meluap lagi nafsunya. Dari sini dapat
ditilik sampai dimana martabat orang muda yang gila
pangkat dan harta itu, hingga tak segan menjadi
penghianat, rela pula mengorbankan seorang isteri.
Setelah menetapkan rencananya, dia segera melorot
turun seraya berseru: "Orang she Tio, jangan bermulut
besar! The toaya ada disini!"
Melihat The Go muncul, Tio Jiang menduga keras kalau
pemuda saingannya itu bermaksud hendak mengikutinya
naik ke Lo-hu-san. Maka dengan gemas dia menyahut:
"Cianbin-long-kun, itu barulah laku seorang jantan!"
The Go memandangnya dengan menghina, kemudian
memberi hormat kepada Hwat Siau, ujarnya: "Cianpwe,
sudah lama kita tak berjumpa!"
Melihat munculnya sianak muda itu secara mendadak,
wajah Hwat Siau berobah seketika. Tapi The Go yang licin
segera dapat menebak pikiran orang, maka buru2 dia
berkata: "Sucouku sedang bepergian, disini hanya tinggal
aku seorang diri!"
Ucapan itu dimaksudkan untuk menenangkan
kegelisahan Hwat Siau yang merasa telah kesalahan
terhadap fihak Ang Hun Kiong. Tapi Hwat Siau belum
dapat pulih ketenangannya. Syukurlah pada saat itu Swat
Moay dengan memimpin Yan-chiu tampak mendatangi.
Wanita itupun terbeliak, namun setelah mendengar kata2
The Go tadi, ia menjadi tenang kembali.
Baik Cian-bin Long-kun maupun kedua suami isteri
Hwat Siau Swat Moay itu adalah orang julik yang cerdas,
jadi cukup dengan bertukar sepatah dua patah perkataan
saja, masing2 sudah dapat menyelami maksudnya. Swat
Moay cukup mengetahui bahwa The Go benci tujuh
turunan pada rombongan Ceng Bo, maka kalau mereka
(Hwat Siau dan Swat Moay) bisa dapatkan bantuan dari
pemuda itu pastilah akan besar faedahnya. Cepat Swat
Moay memberi isyarat mata pada The Go, kemudian
mulutnya pura2 mendamprat: "Orang she The, kali ini kau
takkan lolos. Ayuh, ikut pada kita tidak?!"
The Go mengerti apa yang disandiwarakan oleh Swat
Moay, diapun tahu bahwa kedua suami fateri itu adalah
orang kepercayaan Sip-ceng-ong Tolkun yang memegang
kekuasaan besar dalam pemerintahan Ceng. Maka tanpa
banyak pikir lagi, dia segera tundukkan kepala pura2
menyesal dan patuh. Yan-chiu heran mengapa Swat Moay
membantu sukonya untuk menangkapkan The Go, namun
kenyataan memang begitu. Malah ketika sudah dibawa
kedalam perahu, The Go segera ulurkan kedua tangannya,
bertanya: "Tio-heng, apakah tanganku ini tak diikat?"
"Kita sekalian adalah orang2 persilatan, jadi tak
usahlah!" sahut Tio Jiang, pemuda yang jujur itu.
Yan-chiu pernah mengalami pil pahit dari The Go, ya
walaupun tak sebanyak dan sehebat seperti Tio Jiang,
namun ditinjau dari kelakuan anak muda itu (The Go) yang
begitu kejam membuang cinta kasih Bek Lian, ia percaya
penyerahan dirinya kali ini tentu tak sewajarnya. Disitu
tentu terselip sesuatu, tapi apa dan bagaimana Yan-chiu
belum dapat menyingkap. Maka iapun tinggal diam saja
dan hanya mengerahkan seluruh perhatiannya pada
perkembangan yang akan terjadi nanti.
(Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 48 : PEMILIHAN UMUM
Mereka berlayar kearah barat dan menjelang tengah hari,
tibalah di Kwiciu. Kala itu, didalam kota Kwiciu sudah
sangat ramainya. Kuatir terbitkan hal2 yang tak diinginkan,
Swat Moay usul supaya mengambil jalan mengitari saja dan
tak usah masuk kota. Oleh karena kepingin buru2 tiba di
Lo-hu-san, Tio Jiangpun menyetujui. Begitu malamnya
setelah melintasi kota Keng-seng, mereka segera lanjutkan
perjalanan ke Lo-hu-san.
Malam itu rembulan remang, hawanya dingin dan angin
malam tak henti2nya mengantar bunyi burung kukukbeluk.
suatu suasana yang memberikan alamat kurang balk. Tio
Jiang dan Yan-chiu berjalan dimuka sedang kedua suami
isteri Hwat Siau dan Swat Moay mengikutinya dari
belakang. Diam2 Yan-chiu mencatat dalam hati bahwa The
Go sebenarnya mempunyai banyak sekali kesempatan
untuk melarikan diri, tapi nyatanya tidak mau, bahkan
senantiasa berada dekat Hwat Siau dan Swat Moay kasak
kusuk entah apa yang dirundingkannya,
Kini Yan-chiu sudah memastikan bahwa kepergian
ketiga orang ke Lo-hu-san itu, tentu tak bermaksud baik.
Tapi sayangnya, selama ini ia tak mempunyai kesempatan
untuk memberitahukan hal itu kepada sukonya. Dalam
kesempatan yang sebaik seperti pada saat Itu, ia harus
bertindak. Namun ia agak meragu, mengingat Swat Moay
tempo hari telah menolong jiwanya dari kepungan tentara
Lam Beng. Lama setelah merenung akhirnya ia ambil
ketetapan untuk mengatakan juga.
"Suko, kalau misalnya kau hanya hidup untuk 3 hari
saja, apa yang kau lakukan?" tanyanya.
Tio Jiang menghela napas. Setelah beberapa saat
berpikir, menyahutlah dia: "Apa yang hendak dikerjakan
itu, banyaklah kiranya! Ai......, Siao Chiu, perlu apa kau
tanyakan hal itu ? "
Kini giliran Yan-chiu yang menghela napas, lalu berkata:
"Suko, andai kata ada seseorang yang menolong jiwamu,
bagaimana tindakanmu?"
"Tentu saja, kubalas budinya!"
"Tapi kalau penolongmu itu ternyata seorang
jahat............ taruh kata saja semisal Cin-bin Long-kun, lalu
kau bagaimana ?"
"Kalau itu, lain halnya. Sudah beberapa kali dia
berhamba pada penjajah Ceng, merugikan kepentingan
rahayat. Soal budi perseorangan, itulah nomor dua. Jadi tak
dapat kita lepaskan orang Itu!"
Mendengar jawaban itu, Yan-chiu terperanjat. la
mengagumi sukonya itu. Diam2 ia membatin, jangan2
tindakannya terhadap kedua suami isteri selama ini, kurang
benar. Segera ia membuat suaranya serendah mungkin,
membisikinya: "Suko, jadi kalau menurut anggapanmu,
Hwat Siau dan Swat Moay kedua orang itu, walaupun telah
menolong jiwa kita namun juga tak boleh dibantu?"
"Siao Chiu, kau bicara apa itu?" menegas Tio Jiang
seraya tertawa karena rupanya dia tak mendengar jelas,
"lebih baik kita mati daripada mengatakan kalau kedua
orang itu menolong kita!"
Yan-chiu dongakkan kepala memandang lekat2 kearah
sukonya. Tio Jiang dapatkan dalam sorot mata sumoaynya
itu tiada lagi dari seorang anak perempuan kecil, tapi
pandangan mata seorang gadis dewasa. Tio Jiang kemalu2an
dibuatnya.
"Suko, kau ini bagaimana? Kalau tempo terkepung
tentara. Beng di Siau Ging, kita tak dapat lolos, apa kau
lebih suka binasa daripada suruh kedua suami isteri itu
menolongmu?" tanya Yan-chiu pula.
"Binasa ditangan bangsa sendiri adalah jauh lebih utama
dari pada ditolongi oleh kaki tangan pemerintah Ceng!"
sahut Tio Jiang dengan tegas ringkas.
Tubuh Yan-chiu menggigil bergemetaran.
"Suko, ah, repotlah ini! Yang menolongi kita, memang
Hwat Siau dan Swat Moay!"
Hampir Tio Jiang tak mempercayai pendengarannya.
Serentak dia berdiri bertanya keras: "Siao Chiu, apa katamu
tadi ?"
"Benar, yang menolongmu itu adalah Hwat Siau dan
Swat Moay!" tiba2 Hwat Siau mendahului menyahut. Dan
berbareng pada saat itu, Tio Jiang rasakan ada angin panas
menyambar disisinya dan tahu2 orang lelaki kurus yang
bermula dikiranya seorang cianpwe itu, kini sudah
menghadang disebelah muka. Dengan bercekak pinggang,
sikurus Itu menatap mereka (Tio Jiang dan Yan-chiu)
dengan tajam sekali.
Dalam gugupnya Tio Jiang berpaling kebelakang dan
disana siwanita kuruspun menyeringai iblis
memandangnya. Jadi kini Tio Jiang dipegat dari muka
belakang oleh kedua suami isteri itu. Ah, jadi mereka itulah
Hwat Siau dan Swat Moay, itu sepasang suami isteri yang
menjadi orang kepercayaan pemerintah Ceng! Celaka, tadi
dia telah memberitahukan semua apa yang terjadi di Lo-husan.
Keringat dingin membasahi tubuh Tio Jiang. Sedang
pada saat itu, terdengar The Go tertawa panjang. Darah Tio
Jiang serasa mendidih.
"Siao Chiu, tak nyana kau ... kau juga ikut pada
mereka!" dia damprat sang sumoay.
Yan-chiu tak dapat menyatakan kesukaran yang
dideritanya, maka dengan ter-isak2 ia menyahut: "Suko,
aku hanya belum mengatakan saja........... mereka melarang
aku berkata apa2. Setelah berjumpa denganmu, kegirangan
telah membuat aku lupa segala apa. Suko, dalam
pandanganmu hanya terdapat Lian suci seorang. Kau tak
memikirkan bagaimana aku......... memikirkan dirimu.
Ah........, toh aku hanya mempunyai waktu 3 hari untuk
hidup. Mati ber-sama2 kau, adalah suatu kebahagian!"
Walaupun tak mengerti persoalannya, namun kini
barulah Tio Jiang terbuka hatinya bahwa sumoaynya itu
telah menaruh hati padanya. Bukan sehari dua, melainkan
sudah lama sekali. Tapi oleh karena keadaan pada saat itu
sangat genting, burul dia berkata: "Siao Chiu, yang kita
hadapi ini bukan terbatas persoalan kita berdua. Kalau
ketiga orang Itu sampai ikut naik ke Giok-li-nia, entah akan
mendatangkan bahaya apa saja. Jerih susah setengah tahun,
tak boleh rusak dalam sehari saja. Ayuh, lekas kita
berjalan!"
Dengan menarik lengan Yan-chiu, dia menobros
kesebelah kiri. Tapi disitu Hwat Siau sudah menghadang.
Tio Jiang sudah menduga akan hal itu, maka dia surutkan
tubuhnya mendongak, lalu melayang datar keluar. Gerak
itu mengunjukkan suatu penguasaan ilmu lwekang yang
sempurna. Tapi Hwat Siau dan Swat Moay menyerang
berbareng. Swat Moay sudah siang2 menunggu dibelakang,
belum kaki Tio Jiang menginjak tanah, wanita jahat itu
sudah lepaskan hantaman.
Tio Jiang rasakan punggungnya terasa dingin,
sebenarnya dapat dia menghindar kesamping, tapi sesaat
terkilas pada pikirannya untuk lolos dua orang terang tak
mungkin, maka lebih baik dia bertahan sendiri, tapi dapat
lemparkan sumoaynya keluar. Menilik kepandalan
mengentengi tubuh dari sumoay itu, tentu akan dapat
melompat lima enam tombak jauhnya dan bisa melarikan
diri.
Begitu mengambil keputusan, begitu dia hanya
miringkan tubuhnya sedikit untuk menyambut serangan
Swat Moay. Dan berbareng pada saat itu, dengan tangan
kanan dia samber tubuh Yan-chiu terus dilemparkan keatas
sampai setombak tingginya. Dan untuk menghadang
kemungkinan Swat Moay mengejar sang sumoay, dia
segera gunakan jurus tong-cu-pay-hud (anak memuja
Buddha), menghantam kedada siwanita seraya berseru
nyaring: "Siao Chiu, lekas naik keatas gunung
memberitahukan suhu, jangan bikin kapiran urusan besar!"
Sewaktu melayang diatas, Yan-chiu masih belum
mengerti maksud sukonya. Tapi serta Tio Jiang
meneriakinya begitu, baru jelaslah ia. Tapi bagaimana ia
tega biarkan sukonya bertempur seorang diri melawan
Hwat Siau dan Swat Moay ? Bukankah itu berarti
membiarkan dia mati? Dalam detik2 yang genting,
pilihannya jatuh pada diri Tio Jiang daripada rombongan
orang gagah yang berada di Lo-hu-san itu. Ah, memang
begitulah kalau hati sedang dicengkeram asmara. Ia melirik
kebawah dan dapatkan sukonya sedang menyerang Swat
Moay.
"Tidak, kalau binasa biarlah ber-sama!" serunya.
Mulut mengucap, tubuh sudah berjumpalitan diudara.
Dengan gerak gan-lok-ping-sat (burung meliwis mendatar
turun dipasir, ia meluncur ketanah terus lancarkan
permainan ugo-hok-kun (ilmu silat 5 kelelawar). Dua buah
jurus yang istimewa dart permainan ilmu silat itu, yani jurus
song-hok-seng-hang (sepasang kelelawar berbaris sejajar)
dan ngo-hok-lim-bun (5 kelelawar tiba dipintu), ia
serangkan sekali gus.
Ngo-hok kun itu, kecuali harus disertai ilmu lwekang
pun yang penting harus dimainkan dengan ilmu kepandaian
mengentengi tubuh yang tinggi. Sedari makan mustika batu,
tubuh Yan-chiu selincah burung walet, jadi serangannya
tadipun laksana angin pesatnya.
Merasa hantaman Tio Jiang itu cukup kuat untuk
menghancurkan batu, Swat Moay menyurut kebelakang,
tapi tak disangkanya sama sekali kalau Yan-chiu meluncur
balik dan melancarkan dua buah serangan. Serangan
pertama song-hok-seng-hang dapat dihindari, tapi untuk
serangan yang kedua yani ngo-hok-lin-bun, tak dapat
wanita itu menyingkir lagi. Blak...., blak...., blak...., blak....,
blak...., 5 buah hantaman tepat jatuh diperut Swat Moay.
Benar lwekang Yan-chiu tak sehebat Swat Moay, namun
karena nona itu kalap hendak mengadu jiwa, jadi
pukulannya tadipun keras juga hingga membuat Swat Moay
meringis. Namun ia tak dapat memutar diri karena tengah
tumpahkan perhatiannya kepada Tio Jiang. Kini ia
rangkapkan sepasang tangan lalu mendorong kemuka
sianak muda. Jurus ini disebut thian-it-seng-cui (Alam
pertama kali mengadakan air), salah sebuah jurus yang
paling lihay dari ilmu im-cui-kang.
Mengetahui sumoaynya tak mau mendengarkan
perintahnya dan berkeras untuk ber-sama2 mengadu jiwa,
bukannya terima kasih tapi sebaliknya Tio Jiang marah
sekali.
"Siao Chiu, kalau kau tak lekas pergi, aku tak mau
mengaku sumoay lagi padamu!"
Tapi baru saja dia berteriak begitu, serangan thian-itseng-
cui sudah tiba. Karena tak tahu akan kelihayan
serangan itu, dia buru2 surutkan kembali tangannya untuk
dibuat menangkis. Tapi begitu berbentur, segera tubuhnya
merasa kedinginan, celaka....... demikian dia mengeluh
terus dengan ter-sipu2 miringkan tubuhnya untuk gunakan
jurus hong-cu-may-ciu meloloskan diri. Tapi secepat kilat
Swat Moay susuli lagi dengan sebuah dorongan, hingga Tio
Jiang yang belum sempat menginjak bumi itu, merasti
punggungnya sangat dingin sekali. Masih dia berusaha
untuk menghuyung kemuka, tapi kepalanya serasa pening
mata ber-kunang2.
"Tio-heng, berdirilah yang jejak!" seru Hwat Siau
sembari tertawa keras.
Masih telinga Tio Jiang mendengar seruan itu, tapi
tubuh2nya ter-putar2 dan matanya berpudaran dan
bluk........ jatuhlah dia tak kabarkan diri lagi.
Yan-chiu terperanjat melihat sukonya dirubuhkan oleh
kedua suami isteri itu.
"Siao-ah-thau, berdamping dengan kekasih, kau puas
tidak?" Swat Moay tertawa menyeringai. Tapi Yan-chiu tak
menghiraukan hanya terus menubruk tubuh sukonya. la
menangis keras, tapi air matanya tak keluar, karena sudah
habis.
Hwat Siau tak mau buang banyak waktu. Begitu tangan
diangkat, segera dia hendak menghantam kepala sinona.
Tapi tiba2 dia tersentak kaget, karena mendengar suara
tangisan bayi. Dan pada lain saat terdengar seorang wanita
membujuknya: "Jangan menangis, buyung! Biar nenek
mencarinya siapa yang mengganggu tidurmu ini, nanti
nenek usir mereka, sudah jangan menangis!"
Bujuk rayuan itu bernada kesayangan seorang nenek
terhadap cucu yang dikasihinya. Tapi Hwat Siau dan Swat
Moay sudah ketakutan setengah mati, "Ayuh, lekas pergi!"
Swat Moay bisiki suaminya. Sekali gerak, Hwat Siau sudah
meluncur setombak jauhnya. Tapi disitu ia berhenti sejenak
untuk kibaskan tangannya kearah Yan-chiu. Yan-chiu tak
bersiaga sama sekali, sesaat dia merasa seperti disamber
hawa panas hingga seketika ia tak dapat bernapas!
Swat Moay, Hwat Siau dan The Go bertiga secepat kilat
sudah lari menuju sebuah jalanan kecil. Dengan kepandaian
mengentengi tubuh yang sempurna, menjelang terang
tanah, mereka sudah masuk ke Lo-hu-san. Oleh karena
pernah mengunjungi Giok-li-nia, jadi The Go faham akan
jalanan disitu. Dia terkenang akan kunjungannya pertama
digunung situ bersama 4 orang kawannya serta
pertemuannya yang pertama kali dengan Bek Lian.
Ketika matahari menjulang diufuk timur, mereka sudah
tak seberapa jalih dari Giok-li-nia. Dari kejauhan tampak
dipuncak itu terdapat barisan kemah ber-jajar2, dan hixuk
pikuk suara orang. The Go berhenti, katanya: "Kita harus
bekerja menurut rencana kita itu"
"Cian-bin Long-kun, kalau kali ini berhasil, nanti
dihadapan Sip-ceng-ong kami berdua tentu akan
mengusulkan dirimu!" kata Swat Moay.
The Go pura2 merendah. Makin mendekati ketempat itu,
tampak the-Go makin beraksi seperti orang yang bersedih,
hingga membuat Hwat Siau geli.
"Niocu, kalau ada salah seorang dari mereka yang
mengenali kita, bukankah urusan akan menjadi runiam ?"
tanya Hwat Siau pada sang isteri.
"Hem, hal itu siang2 sudah kupikirkan," ujar Swat Moay
sembari mengeluarkan dua stel pakaian dari buntelannya.
ternyata pakaian itu pakaian biasa (orang preman). "Sejak
kita datang keselatan sini, belum pernah menampakkan
muka. Dengan berganti pakaian tak nanti ada orang yang
mengenali kita lagi!"
Benar juga setelah bersalin pakaian, keduanya menjadi
orang baru. Sekalipun orang yang pernah berjumpa, namun
dalam sesingkat waktu, sukarlah untuk mengenalinya.
Apalagi selama itu mereka telah bekerja dengan cermat
sekali. Ketika digereja Ang Hun Kiong, selain Ang Hwat
cinjin, keempat muridnya dan The Go serta Kang Siang
Yan dan Bek Lian, tiada seorang lain lagi yang pernah
melihatnya. Orang hanya mendengar namanya tapi belum
pernah melihat wajahnya.
Mereka segera membawa The Go lanjutkan perjalanan.
Terdengar suara petasan dipasang dengan gempar, pertanda
bahwa hari itu Thian Te Hui akan mengadakan pemilihan
pemimpin. Memang sebagian besar dari orang2 itu berasal
dari daerah Kwiciu. Turut naluri kebiasaan rakyat daerah
itu, setiap ada peristiwa besar, tentu membakar mercon
untuk meramaikan. Begitu tiba, dilihatnya banyak sekali
jumlahnya orang2 yang berkumpul disitu. Barisan kemah
walaupun kasar pembuatannya, namun ber-jajar2 secara
teratur sekali.
Sepasang suami isteri itu sudah menjelajahi kedua
propinsi Kwitang dan Kwisay. Tak sedikit jumlahnya
kemah tentara Beng yang dilihatnya. Kecuali orang
sebawahan Li Seng Tong yang agak lumayan, lain2nya itu
tak ubahnya seperti macam sarang burung saja. Tapi apa
yang dilihatnya dipuncak Giok-li-nia situ, sungguh
membuatnya kagum. Kalau mereka dibiarkan saja, kelak
pasti akan menjadi suatu bahaya besar bagi kedudukan
pemerintah Ceng. Sembari berjalan mereka bertiga tak
henti2nya memeriksa keadaan disekelilingnya. Tiba dikaki
gunung, segera mereka dihadang oleh para penjaga yang
menanyai maksud kedatangannya.
"Harap saudara melapor ke Giok-li-nia sana bahwa
persaudaraan Song dari Liau-tang, Song Hou dan Song Pa
datang mengunjuk hormat kemari beserta orang tawanan
Cian-bin Long-kun The Go!" seru Swat Moay dengan
sengaja membesarkan nada suaranya.
Nama Song Hou dan Song Pa, cukup termasyhur.
Walaupun mereka tinggal didaerah Liau-tang, namun
setiap kaum persilatan kenal akan namanya. Penjaga itu
juga bukan sembarang orang persilatan, jadi merekapun
menjadi girang atas kedatangan kedua tokoh lihay itu.
Buru2 disuruh seorang bawahannya untuk melapor keatas
gunung.
Kala itu para tokoh2 terkemuka sedang bermusyawarah.
Antaranya terdapat Ceng Bo siangjin, Ki Ce-tiong, Kiau
To, Kui-ing-cu, Thaysan sin-tho Ih Liok, Sin-eng Ko Thay
dan lain2nya. Mendengar laporan tentang kedatangan
kedua saudara she Song itu, mereka sama bergirang.
Kegirangan mereka makin besar demi mendapat laporan
bahwa Cian-bin Long-kun The Go telah ditangkap oleh
kedua saudara Song Itu serta dibawanya kesitu juga.
Hanya sibongkok Ih Liok yang berpendapat lain, katanya
: "Kedua saudara Song itu tinggal diwilayah Liau-tang yang
jauh sekali. Daerah itu masih merupakan kantong kaki
tangan pemerintah Ceng. Untuk apa mereka datang
kemari?"
"Mungkin karena mendengar induk gerakan kami ini
makin besar, mereka datang untuk membantu. Biar
bagaimana karena toh mereka jauh2 sudah perlukan
datang, sungkanlah kita untuk menolaknya!" kata Ceng Bo
siangjin.
Dipikir sanggahan siangjin itu beralasan, Ih Liokpun ikut
turun gunung menyambutnya. Apa yang mereka jumpai
adalah dua orang lelaki kurus (Swat Moay juga menyamar
jadi orang lelaki), semangatnya ber-api2, pelipisnya agak
menonjol, pertanda lwekangnya mendalam. Dengan
mereka ikut seorang pemuda yang lemah berantai tak
bersemangat, bukan lain yalah Cian-bin Long-kun The Go !
Maju menghampiri kemuka, Ceng Bo ulurkan tangan
menjabat seraya memberi salam: "Cayhe adalah Ceng Bo,
apakah tuan2 berdua ini persaudaraan Song? Ah, sudah
lama cayhe sangat mengagumi nama jiwi!"
Hwat Siau menjabat tangan Ceng Bo dengan hangat
mesra, sahutnya: "Cayhe adalah Song Hou dan ini adikku
Song Pah. Mendengar siangjin dan lain2 saudara
membangunkan organisasi melawan Ceng membantu Beng,
kamti berdua sengaja jauh2 dari Liau-tang datang kemari
untuk menggabungkan diri. Disamping itu kami hendak
menyampaikan berita duka pada, siangjin serta
menyerahkan orang ini untuk sesaji upacara penaikan
bendera!"
Lebih dahulu Ceng Bo perkenalkan kedua saudara Song
itu kepada saudara2 lainnya. Tiba giliran Kui-ing-cu, sejak
tenaganya sudah pulih kembali dia pun kumat lagi
penyakitnya suka ugal2an, dia segera mengetahui bahwa
lwekang dari kedua persaudaraan Song itu luar biasa
coraknya serta teramat sempurnanya. Mungkin tidak
dibawah Ih Liok, Ko Thay dan Ceng Bo siangjin. Menilik
dalam pembicaraan kedua saudara Song itu selalu
membawa diri merendah, Kui-ing-cu tak menyangka jelek.
Namun sekalipun begitu, tetap ia ingin mencoba sampai
dimana tinggi rendahnya lwekang mereka itu.
Begitu berjabat tangan, dia segera meng-guncang2kannya
sampai 3 kali. Dalam pengguncangannya itu diam2 dia
salurkan lwekang, apabila lwekang lawan kurang dalam,
pasti akan tak tahan. Menjaga agar sang tetamu jangan
sampai mendapat malu, Kui-ing-cu hanya gunakan 3 bagian
dari tenaganya..
Hwat Siau bukan anak kemaren sore. Tahu sudah dia
akan maksud orang hendak mengujinya itu. Diam2 diapun
kerahkan lwekang, dengan tertawa tawar dia halau lwekang
Kui-ing-cu via guncangan tangan tadi. Kemudian seolah2
tak terjadi suatu apa, berkatalah dia dengan tertawa: "Hengtay
(saudara) terlalu sungkan sekalilah!"
Sekalian orangpun tahu kalau Kui-ing-cu tengah menguji
kepandaian orang, maka mereka buru2 alihkan
pembicaraan untuk melerainya. Perangai Hwat Siau bengis,
tapi dalam menghadapi urusan sepenting itu, dia terpaksa
mengendalikan diri. Ah, memang urusan didunia ini
seringkali terjadi karena kebetulan saja. Coba tadi Kui-ingcu
salurkan lwekang ketelapak tangan untuk memijat,
sudah tentu Hwat Siau akan salurkan lwekang untuk
melawannya juga, dan ilmunya yang-hwat (api positip)
tentu akan ketahuan. Telapak tangannya pasti akan berobah
merah membara, dan walaupun Kui-ing-cu tak dapat
"menelanjangi" penyaruannya dengan seketika, namun sekurang2nya
dapatlah dia menaruh curiga.
Kini bukan saja Kui-ing-cu tak dapat mengetahui
peribadi aseli dari Hwat Siau, pun sebaliknya dia malah
merasa dirinya agak "keterlaluan" memperlakukan tetamu.
Diam2 dia menyesal dan terkikislah kecurigaannya. Bagi
kaum persilatan, tidaklah banyak berlaku sungkan. Hanya
dengan beberapa patah kata perkenalan, mereka sudah
seperti sahabat lama. Ceng Bopun segera menanyakan
berita yang hepdak dibawakan Hwat Siau tadi. Kedua
suami isteri itu main aksi, katanya: "Urusan ini sungguh
lain dari yang lain, setelah bertemu dengan para thaubak
(kepala regu anak buah), baru dapat kami haturkan."
Ceng Bo tak mau mendesak, lalu ajak mereka berdua.
naik gunung. Tak antara berapa lama, kembali ada 3 atau 4
puluh orang be-ramai2 datang kegunung situ. Mereka terdiri
dari para orang gagah yang baik nama maupun
kepandaiannya sudah terkenal didunia persilatan. Mereka
datang kesitu untuk menggabungkan diri. Diantara sekian
banyak orang baru, ada dua orang yang membuat Hwat
Siau dan Swat Moay terbeliak kaget. Juga kedua oorang
itupun tak. kurang kejutnya. Namun dalam beberapa detik
saja, mereka segera dapat menguasai diri dan berlaku seolah2
tidak terjadi suatu apa.
Ceng Bo perkenalkan mereka sama lain. Kiranya salah
satu dari kedua orang tadi yang bertubuh kate bernama Ciu
Sim-ih, bergelar sam-chun-ting (si Paku 3 dim). Sedang
yang satunya, pada mukanya terdapat sebuah tanda hitam
(tembong), bernama Hek-bin-sin Ho Gak atau si Malaekat
berwajah hitam. Hwat Siau dan Swat Moay tahu jelas
bahwa kedua orang itu adalah benggolan dinas rahasia dari
pemerintah Ceng. Mungkin karena mereka (Hwat Siau dan
Swat Moay) lama belum berhasil, maka Tolkun telah
mengirim kedua jagoan itu, dan dengan licinnya mereka
dapat menyelundup masuk ke Giok-li-nia. Dihadapan
sekian banyak orang, Hwat Siau dan isterinya hanya
mengucapkan tegur salam seperlunya saja.
Memang dalam phase pembentukan sebuah organisasi
yang beranggautakan sekian banyak orang itu, sukarlah
untuk menjaga kemungkinan perembesan pijat2 dalam
selimut (musuh dalam selimut). Maka yang perlu
diselesaikan lebih dahulu, ialah mengangkat seorang
pemimpin. Pada pemimpin itulah ditaruh seluruh
kekuasaan untuk memegang tampuk pimpinan, demi
kelancaran gerakan besar itu.
Pada lain saat, barulah Hwat Siau menjelaskan apa
berita yang dibawanya itu: "Ada seorang saudara, bernama
Tio Jiang, adakah dia itu anggauta perserekatan kita ini?"
"Itulah muridku. Bagaimana dia?" buru2 Ceng Bo
menyahut.
"Ai, sayang, sayang!" seru Hwat Siau sembari geleng2
kepala.
"Dia menuju ke Siau Ging, apakah ditengah jalan
mendapat bahaya?" tanya sibongkok Ih Liok. Lagi2 Hwat
Siau menggeleng kepala sebelum mend yawab.
"Dia tak mendapat bahaya suatu apa ditengah jalan.
Hanya setibanya dikota Siau Ging, terus ditangkap oleh
kaisar Ing Lek sebagai pemberontak, kemudian dihukum
penggal kepala! !
"Adakah hal itu benar?!" seru Ceng Bo dengan terbeliak.
"Mengapa kami berdua saudara harus berbohong
:"Kaisar Ing Lek menuduh kita ini tak ubahnya seperti
macam Thio Hian Tiong dan Li Seng Tong.
Mengumpulkan anak buah dan kuda karena hendak
memberontak. Inilah 'keistimewaan' dari pemerintahan Siau
Ging, semua orang sudah maklum, jadi tak perlu
disangsikan lagi!"
Ucapan Hwat Siau itu termakan betul2 dalam hati
sekalian orang gagah. Memang dengan mengutus Tio Jiang
menghadap kaisar Ing Lek, mereka sudah menduga belum
tentu pemerintah Siau Ging menyetujuinya. Namun tidak
menduga, kalau sedemikian hebat kesudahannya. Suasana
menjadi panas dengan luapan kemarahan.
"Jahanam, ayuh kita serbu Siau Ging dan usir kaisar gila
itu. Apa sih kaisar itu, toa-ah-ko dari Thian Te Hui, itulah
yang pantas menjadi kaisar!" seru salah seorang.
"Keparat, kita ini dianggap sebagai Thio Hian Tiong?
Basmi saja raja begitu!" seru lagi yang lain. Juga Hekbin-sin
Ho Gak turut memaki dengan suara lantang: "Setan lanat,
apakah dunia ini sudah tiada ada kebenaran lagi?!"
Hati Ceng Bopun dirangsang kemurkaan hebat. Namun
dia cukup sadar, bahwa kalau dia umbar kemarahan
menurut kemauan mereka, paling banyak hanya dapat
memuaskan hati orang2 itu sad ya. Diantara sekian ban yak
orang, hanya Kui-ing-cu-lah yang dianggapnya paling lihay
sendiri kepandaiannya. Maka buru2 dia melirik kearah
tokoh itu, siapa ternyata tahu juga akan maksud imam
gagah itu. Segera tokoh yang aneh itu bersuit keras
bagaikan ringkikan naga. Seketika itu siraplah hiruk pikuk
suara dalam ruangan situ. Kini semua mata ditujukan
kearah Ceng Bo siangjin untuk menantikan apa yang
hendak diutarakannya itu.
Wajah Ceng Bo menampilkan kedudukan dan
kemarahan, jadi untuk beberapa saat tak dapat dia
mengucap apa2. Tak tahu dia bagaimana hendak
memulaikan kata2-nya. Dia seorang yang berperibadi lurus
perwira. Tio Jiang adalah muridnya yang paling dikasihi.
Hubungan antara guru dan murid itu bagaikan ayah dengan
puteranya. Dibawah asuhannya. Tio Jiang telah menjadi
seorang patriot yang menyerahkan segenap jiwa raganya
untuk kepentingan negara dan rakyat bangsanya. Jadi
dalam perjoangan, boleh dianggap Tio Jiang itu sebagai
seorang kawan seperjoangan yang setia.
Berita kematian dari murid kesayangannya itu, telah
membuat hati Ceng Bo seperti disayat sembilu pedihnya.
Kalau menuruti kemauan sekalian kawan itu untuk
menyerbu Siau Ging, tentulah kaisar Ing Lek akan
memanggil Li Seng Tong untuk menghadapinya. Dengan
begitu, perbatasan daerah akan menjadi kosong. ini berarti
mengundang penjajah Ceng untuk menyerbunya. Setelah
merenung beberapa jurus, akhirnya imam itu berpendapat
bahwa sakit hati adalah urusan kecil, yang utama penting
adalah urusan negara.
"Harap saudara2 sekalian tenang. Dengan tindakan itu
terhadap kita, paling2 fihak kerajaan hanya bersalah karena
kurang bijaksana. Tapi demi untuk kepentingan negara, sekali2
tak boleh kita tinggalkan gi (kebenaran),
Kesampingkan saja soal itu dan jangan diungkat lagi!" kata
Ceng Bo dengan tegas, walaupun hatinya hancur
mengenang nasib muridnya.
Pernyataan perwira itu mendapat sambutan baik dari
Thaysan sin-tho Ih Liok, Sin-eng Ko Thay dan lain" orang
gagah yang menjunjung keluhuran semangat cinta negeri.
Tapi reaksi lain timbul dari kawanan pijat's dalam selimut
itu yakni Hek-bin-sin Ho Gak dan Sam-chun-ting Ciu Sim-i.
Mereka salah terka siapakah Ceng Bo siangjin, imam
perwira yang berbudi luhur itu, yang mendahulukan
kepentingan nekara dari kepentingan peribadi. Menyelami
bahwa ada sementara orang gagah lainnya yang dapat diombang-
ambingkan pendiriannya, majulah Hok Gok
kemuka dengan berseru keras: "Keliru! Kita kaum gagah
persilatan, selamanya tak mau mandah diperbuat sewenang2
oleh fihak pemerintah. Seorang pemuda ksatrya
macam saudara Tio Jiang itu telah dibinasakan secara
penasaran sekali oleh fihak kerajaan. Kalau suhu dari
saudara Tio Jiang itu tak mau membalaskan sakit hatinya,
kita kaum persilatan yang menjunjung semangat
setiakawan, tak mau berpeluk tangan mengawasi saja!"
GAMBAR 89
Dengan licin Hek-bin-tui Ho Gak terus berseru menghasut:
"Tidak, kita sebagai orang persilatan tidak bisa antapkan seorang
pemuda perwira seperti saudara Tio Jiang dibinasakan begitu saja
oleh raja yang tak kenal gelagat itu, kita segera harus bertindak !"
Siapakah tokoh Hek-bin-sin Ho Gak dan Sam-chun-ting
Ciu Sam-i itu, sebenarnya sekalian orang2 gagah itu tak
mengetahui jelas. Tapi seruannya tadi, telah membangkit
rasa symphati dari sementara orang. Sikate Ciu sim-i
ternyata seorang yang lincah sekali. Diantara sekian ribu
orang, dia menyusup kesana sini untuk melakukan
provokasi. Suasana kembali menjadi gaduh. Berulang kali
Ceng Bo berseru menenangkan, tapi tak dapat menguasai
suasana riuh itu.
Memang perwatakan dari para orang gagah yang hampir
semuanya terdiri dari kaum persilatan itu. paling
menguta:nakan budi dan dendam. Setiap budi tentu dibalas,
dendam harus dihimpas. Segala apa didasarkan atas suara
hati, tak mau berfikir panjang tentang akibat dikemudian
harinya. Pemuda Tio Jiang memiliki kepandaian tinggi, tapi
rendah hati jadi dapat menawan simphati orang. Berita
kematiannya, telah membangkitkan kemarahan umum dan
ketekadan untuk menuntutkan balas. Pernyataan Ceng Bo
tadi terlalu kabur pada anggapan mereka. Ditambah minyak
oleh Ho Gak dan Ciu Sim-i, maka menyalalah semangat
dendam mereka.
Untuk mengatasi keadaan, terpaksa Ceng Bo siangjin
bersuit keras. Tapi belum lagi dia sempat membuka suara,
Hwat Siau telah mendahului berseru nyaring: "Sukakah
sekalian saudara mendengar sedikit omonganku?"
Lwekang Hwat Siu sangat tinggi, jadi seruannya tadi
menggema laksana guntur. Dengan suitan Kui-ing-cu tadi,
walaupun berbeda nadanya, tapi setingkat hebatnya. Tapi
kalau dibanding dengan suitan Ceng Bo, terang lebih tinggi.
Sekalian orang sama terkesiap.
"Cayhe berdua saudara baru saja datang, seharusnya tak
boleh banyak bicara. Tapi mengingat ujar2 orang kuno
'kalau dua hati bersatu, emaspun dapat dibelah', kupikir
kedatangan kita semua kemari ini yalah untuk satu tujuan.
Tak boleh membawa mau sendiri. Kudengar hari ini
perserekatan kita Thian Te Hui hendak memilih pimpinan.
Turut pendapatku yang cupat, biarlah kita jangan
bertengkar dulu. Setelah terpilih ketua, segala sesuatu harus
menurut perintah pimpinan. Barang siapa yang
membangkang, akan berlaku undang2 militer. Kalau kita
belum2 sudah berselisih pendapat, itu berarti mem-buang2
waktu saja. Nah, bagaimana pendapat saudara2 sekalian?"
Lihatlah betapa lihaynya Hwat Siau. Tak kecewalah dia
itu menjadi orang pilihan pemerintah Ceng, karena dia itu
memang seorang bun-bu-song-jwan (achli silat dan sastera).
Ucapannya itu kena benar, tiada seorangpun yang
membantah. Malah Kui-ing-cu dan Thaysan sin-tho Ih Liok
serempak berseru: "Benar, tepat sekali! Apabila Thian Te
Hui yang beranggauta puluhan ribu itu tiada pimpinan yang
tegas, bukankah akan menjadi semacam sarang tawon saja?
Oleh karena baru, orang gagah dari empat penjuru sudah
berkumpul semua digunung ini, sebaiknya Ki-heng dan
Kiau-heng lekas memulaikan upacara untuk memilih
ketua!"
Dari tengah2 orang banyak, tampillah Ki Ce-tiong dan
Kiau To, itu toa-ah-ko dan ji-ah-ko dari Thian Te Hui
dahulu. Kepergian Kiau To dari gereja Ang Hun Kiong
untuk mencari suhunya (Tay Siang Siansu) ternyata tak
berhasil. Ketika mendengar kabar gereja itu dimusnakan
dinamit, dia ber-gegas2 menuju kesana. Tapi ditengah jalan
telah berpapasan dengan Ko Thay yang memberitahukan
tentang persiapan yang diadakan digunung Lo-hu-san. Dia
segera mengikut Ko Thay pergi kegunung tersebut.
Ki Ce-tiong dan Kiau To adalah pimpinan lama dari
Thian Te Hui, maka Kui-ing-cu menereaki mereka supaya
keluar. Dan ini tidak mendapat tentangan dari orang
banyak. Keduanya sama berbaju hitam, bercelana putih,
mengenakan ikat kepala sebagai seorang militer. Juga
sepatu mereka separoh hitam separoh putih. Itulah pakaian
seragam (uniform) dari Thian Te Hui.
Dari saku bajunya Ki Ce-tiong mengeluarkan 4 buah
thong-pay (piagam atau plaket dari tembaga) panjang 1
dim, lebar 2 dim. Tangan kanan kiri masing2 memegang 2
thong-pay, dan orangnya tegak berdiri dengan chidmat.
Kiau To menghamperi kearah seonggok tumpukan kayu
bakar yang sudah disiapkan disitu lebih dahulu. Setelah
nyalakan api, terus dilempar ketengah onggok kayu itu.
Terkena tiupan angin, kayu bakar itu segera berkobar.
Habis membakar, Kiau To lalu mundur kebelakang berdiri
disamping Ki Ce-tiong.
Suasana pada saat itu tampak khidmat sekali. Semua
orang sama menahan napas, tiada yang bicara sendiri.
(Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 49 : LELATU YANG
BERBAHAYA
Setengah jam kemudian api yang marong itu, menjadi
reda, dan kini tinggal setumpuk lelatu setinggi satu meter,
tapi masih mengeluarkan bunyi letikan. KI Ce-tiong maju
selangkah, berseru lantang: "Dengan gagalnya Thian Te
Hui yang lama, tampuk pimpinan ketua yang dijabat
olehku, orang she Ki ini, turut berakhir. Bahwasanya kini
atas dukungan para enghiong hohan dari seluruh penjuru
Thian Te Hui akan dibangun lagi, aku aiorang she Ki tak
mau terus mengangkangi kurai ketua Itu. Ho-pay (tanda
kekuasaan) dari keempat tampuk pimpinan pada saat ini
berada disini. Enghiong siapa sajapun yang nanti dipilih
menjadi ketua, silahkan mengambil ho-pay ini dari unggun
lelatu. Sejak itu, saudara2 anggauta Thian Te Hui, harus
taat dan tunduk pada perintah pimpinan, seperti kebaktian
seorang putera terhadap orang tuanya!"
Habis berkata itu, keempat thong-pay tadi terus
dilemparkan kedalam unggun lelatu. Walaupun api unggun
sudah reda, namun cukup panas untuk membakar thongpay
tersebut. Ini bukan dimaksud untuk menyukarkan ketua
baru nanti, tapi sekedar upacara simbolis yang berfatwa
(bermakna): hendaknya tampuk pimpinan jangan jeri
menghadapi kesukaran. Tradisi lni dimulaikan sejak
pendirian Thian Te Hui pada masa kerajaan Beng sebelum
hijrah keselatan.
Dan menurut tradisi itu pula, begitu thong-pay dilempar
kedalam unggun lelatu, pemilihan ketua akan dapat
berjalan dengan cepat dan lancar. Oleh karena sebelumnya,
orang sudah mempunyai calon yang pantas diangkat. Tapi
dengan menyelundupnya Hwat Siau Swat Moay kedua
kepala jagoan pemerintah Ceng disitu, pemilihan berjalan
dengan seret kalau tak mau dikatakan agak kacau.
"Hay-te-kau Bek Ing seorang tokoh yang berkepandaian
tinggi dan berbudi luhur, selayaknya dia diangkat menjadi
toa-ah-ko Thian Te Hui!" tiba2 kedengaran Kisu To berseru
nyaring.
Gemuruh riuh orang menyambut usul itu dengan
gembira. Melihat gelagat jelek, Swat Moay segera memberi
isyarat mata kepada Hek-bin-sin Ho Gak, siapa rupanya
mengerti. Tampil kemuka, Ho Gak segera berseru dengan
nyaring juga: "Rasanya ucapan Kiau-heng itu kurang tepat!
Bangunnya Thian Te Hui lagi kali ini, menghadapi tugas
yang maha berat. Sekalipun Ceng Bo siangjin namanya
cukup termasyhur dan budinya sangat luhur, tapi ada
beberapa hal yang masih kurang. Pertama, kepandaiannya
silat tidak cukup untuk menundukkan orang banyak.
Kedua, tidak berhasrat menuntut balas atas kematian sdr.
Tio Jiang. Adalah kita semua yang menganggap diri sebagai
orang gagah persilatan ini rela diperbuat se-mau2nya oleh
fihak pemerintah ? Ketiga, dia masih termasuk seorang
pertapaan yang menurut keagamaan. Dengan dia menjadi
ketua, bukan kita sekalian ini akan menjadi imam nantinya?
Kukatakan, hal ini tidak tepat!"
Merah padam muka Kiau To karena gusarnya ada orang
menentang usulnya.
"Turut katamu, siapakah yang pantas menjadi toa-ahko?"
tanyanya dengan marah.
Menuding kearah Hwat Siau, Ho Gak serentak berseru:
"Kedua persaudaraan Song, namanya menggetarkan daerah
selatan sampai utara. Ilmunya silat menjagoi seluruh
gelanggang. Meskipun aku belum kenal, tapi telah lama
kudengar Song lotoa (Song Hou) itu seorang bun-busongcwan.
Orang tawanan yang dibawanya itu. Cian-bin
Longkun The Go sibebodoran dunia persilatan, kalau
dibuat sesaji bendera, tentu akan lebih membangkitkan
semangat para saudara sekalian. Terhadap orang itu, Ceng
Bo siangjin sudah lama memaukannya, tapi sampai sekian
waktu masih belum dapat membekuknya. Pertanda bahwa
kepandaian kedua saudara Song itu jauh melebihi dari dia.
Jabatan toa-ah-ko, sudah pada tempatnya kalau diserahkan
pada Song lotoa!"
Diam2 Hwat Siau bergirang didalam hati, namun
terpaksa dia harus menyalakan kesungkanannya. "Cayhe
orang baru, mana boleh merebut kedudukan setinggi itu?
Kuharap sahabat itu suka menimbang lagi yang lebih
panjang!"
Bluk......., serentak bangunlah Sam-chun-ting Ciu Sim-i,
terus berseru keras2: "Demi kepentingan negara dan
rahayat, mengapa main merendah diri? Dengan Song lotoa
menjadi toa-ah-ko, pasti akan memimpin kita sekalian
untuk menuntut balas pada raja Lam Beng, kemudian
melawan tentara Ceng, melaksanakan tugas bersama yang
mulia ini!"
Seketika itu, tidak sedikit jumlahnya orang yang
memberi persetujuan. Fihak Ko Thay, Ih Liok, Kui-ing-cu
dan kawan2 sedikitpun tak menyangka kalau bakal
menghadapi kejadian seperti hal itu. Untuk lain2 jabatan,
aih..... tak mengapa. Tapi kedudukan toa-ah-ko itu,
merupakan motor yang utama dan teramat gawat penting.
Karena ketika dipertengahan pemerintahan kaisar Ceng Tik
dari ahala Tay Beng, Thian Te Hui pernah mengalami
penghianatan dari dalam. Syukurlah waktu itu sam-ah-ko
dapat bertindak dengan tegas, membunuh biangkeladi
penghianatan itu serta menghukum berat gerombolannya.
Kedudukan toa-ah-ko, mempunyai kekuasaan yang mutlak.
Jadi apabila sampai jatuh ketangan orang yang-tak
bertanggung jawab, tentu akan rusak binasa akibatnya.
Sampaipun seorang tokoh macam Kui-ing-cu yang tinggi
ilmu kepandaiannya, tak berani memegang jabatan itu.
Hanya seorang tokoh macam Ceng Bo siangjin yang
mempunyai peribadi kuat. Dengan dia sebagai toa-ah-ko,
barulah Thian Te Hui mempunyai dayaguna (potensi)
untuk melawan penjajah Ceng. Penentangan dari fihak Ho
Gak dan Ciu Sim-i itu, harus ditindas.
Maka melantanglah suara sibongkok Ih Liok di-tengah2
permusyawaratan: "Berbicara tentang kepandaian silat,
sekalipun saudara Bek Ing tak sangat melebihi orang, tapi
kebesaran nama Hay-te-kau, cukup mengesankan. Tentang
dirinya itu seorang imam, apanya yang perlu dikuatirkan.
Andaikata yang jadi toa-ah-ko itu seorang piau-thau (kepala
perusahaan mengantar barang), adakah kita semua ini
lantas menjadi pegawai kantor piauhang? Pencalonan
Hayte-kau sebagai toa-ah-ko, rasanya tak perlu
diperdebatkan lagi!"
"Dan barang siapa yang menentang, silahkan
berhadapan dengan aku orang she Kiau ini!" Kiau To turut
menambahkan.
"Hm, permainan anak2!" Hek-bin-sin Ho Gak menyahut
dengan sinis, "kalau toh tak boleh lain orang lagi selain
Hay-te-kau, perlu apa diadakan pemilihan? Kalau siang2
tahu begini, apa gunanya kita ribut2 naik kemari. Ayuh,
kita sama bubaran sendiri untuk ngeluruk ke Siau Ging
membereskan raja buta itu!"
Sesaat itu tidak sedikit jumlahnya orang yang serentak
mengiakan.
Ceng Bo merasa tak enak, karena tersebab dirinya lalu
timbul pertengkaran. Memang sama sekali dia tak
mengetahui kalau Thian Te Hui sudah kemasukan pijat2
dalam selimut. Dia hanya mengira, kejadian itu timbul
karena perselisihan pendapat mengenai tokoh yang
dicalonkan. Memang kejadian itu sering terdapat
dikalangan persilatan. Baginya yang penting adalah usaha
melawan penjajah Ceng. Soal dirinya duduk atau tidak
menjadi pemimpin, itu tak dipusingkan. Ini memang tegas
menjadi pendiriannya.
"Harap saudara2 jangan pergi dahulu! Nah, siapa lagi
yang hendak mengemukakan calonnya?" katanya dengan
ter-sipu2.
Seketika itu juga lantas terdengar ada orang berseru:
"Kui-ing-cu! Kui-ingcu!"
Ceng Bo ulangi penawarannya kepada orang banyak
kalau masih ada lain calon lagi. Tapi setelah sampai dua
kali, tiada orang menyahut, barulah dia berkata: "Persoalan
ini mudah diputuskan. Baik diadakan pertandingan silat
untuk menentukannya, jadi perlu apa mesti ramai2?"
Kejut Kui-ing-cu bukan terhingga mendengar pernyataan
Ceng Bo itu.
"Bek-heng, kau..........."
"Ing-cu-heng, kita harus bertindak menurut jalan yang
benar, atau kedudukan tanpa kewibawaan diindahkan
orang, apa gunanya!" tukas Ceng Bo akan pernyataan heran
Kui-ing-cu itu.
Kui-ing-cu terdiam diri. Pikirnya, kalau persoalan itu
terjadi antara dia dengan siangjin itu, ah mudahlah. Asal
dia pura2 mengalah sedikit, tentu beres. Tapi kini soalnya
menjadi gawat dengan munculnya "Song lotoa" itu. Dilihat
naga2nya, orang itu mempunyai lwekang yang lebih tinggi
dari Ceng Bo. Kalau benar Ceng Bo tak dapat
menandinginya, urusan pasti akan ber-larut2. Taruh kata
dia keluarkan seluruh kepandaiannya untuk memenangkan
kedua orang itu Ceng Bo dan Hwat Siau, bagaimana kalau
dia nanti dipilih menjadi toa-ah-ko? Pertama, dia tak
inginkan jabatan itu dan kedua kali karena memang dia
merasa kurang cakap untuk kedudukan itu.
Sebaliknya dilain fihak, Hwat Siau menyambut dengan
girang atas usul Ceng Bo itu. Diam2 dia telah siapkan
rencana. Se-kurang2nya, dalam pertandingan itu Ceng Bo
pasti takkan keluar sebagai pemenang. Tapi biar
bagaimana, diam2 dia taruh perindahan atas kejujuran
imam itu. "Cayhe tiada mempunyai pendapat apa2, tersilah
kepada saudara2 sekalian!" buru2 dia berkata.
Pikir punya pikir, orang2 itu tiada mendapat jalan lain
kecuali menyetujui usul Ceng Bo tadi. Mereka menyatakan
persetujuannya. Dalam pada itu, setelah memeras otak,
Kui-ing-cupun telah dapatkan suatu siasat. Ya, hanya
dengan begitulah nantinya Ceng Bo akan dapat diangkat
menjadi toa-ah-ko. Sekalipun rencana itu mengandung
resiko, tapi apa boleh buat. Rencananya itu adalah begin!
lebih dahulu dialah yang akan bertanding melawan Song
lotoa. Dia nanti pura2 kalah, tapi dalam pada itu hendak
dia "peras" tenaga orang she Song itu sampai habis, agar
apabila berhadapan dengan Ceng Bo, mudahlah imam itu
mengatasinya.
Rencana itu memang cukup baik, tapi dia tak
memperhitungkan akan "pion kecil" yang dimainkan oleh
fihak lawan. Dan justeru pion atau hal kecil yang tak berart:
itulah yang akan merusakkan rencananya tadi. Memang
segala apa itu sering2 mengalami kegagalan dikarenakan
satu dua faktor kecil yang tak berarti. Dan kesalahan Kuiing-
cupun terletak pada hal itu.
Setelah tetap dengan rencananya, berserulah Kui-ing-cu:
"Sahabat Song, ayuh kita main2 dulu barang beberapa
jurus, bertanding secara bun atau secara bu!"
Pertandingan "bun" yakni masing2 mengunjuk
demonstrasi kepandaian sendiri, mana, yang lebih hebat,
dialah yang menang. Sementara secara "bu" yalah secara
bertempur satu sama lain. Thaysan sin-tho Ih Liok bermula
heran mengapa Kui-ing-cu hendak turun kegelanggang
dahulu, tapi setelah direnungkan sejenak, tahulah dia apa
maksud tujuan tokoh itu. Juga dia anggap siasat Kui-ing-cu
itu cukup sempurna."
"Kita kan orang sendiri. Pertandingan bu, tentu
merenggangkan persahabatan jadi lebih baik secara bun
saja!" Ih Liok buru2 menyusuli.
Diam2 Kui-ing-cu girang mendengar usul Ih Liok itu.
Karena dalam pertandingan adu lwekang secara bun, paling
menghabiskan tenaga lwekang. Dan ini akan memberi
kesempatan baik untuk Ceng Bo mengambil kemenangan
nanti. Maka buru2 dia mengiakan.
Hwat Siau tak tahu kemana arah tujuan usul itu, tapi
isterinya yang ternyata lebih cerdik segera dapat mencium
bau. Buru2 ia berkata, kepada sang suami: "Koanjin,
Kuiing-cu itu tentu akan mengalah terhadapmu.
Pertandingan bu itu lazimnya terdiri dari 3 babak: ilmu
mengentengi tubuh, ilmu main senjata dan ilmu lwekang.
Yang dua dimuka dia tentu mengalah, tapi untuk yang
penghabisan yalah mengadu lwekang, dia tentu akan
berjoang mati2an untuk mengalahkan kau. Sebaiknya
dalam bagian itu, kau mengalah saja. Dua kali menang,
sekali kalah, masih menang artinya. Kepandaian dari Ceng
Bo siangjin itu hanya biasa saja, jadi jangan sampai dia
mendapat kemenangan secara begitu murahnya!"
Kini baru terbukalah mata, Hwat Siau. Maju kemuka dia
memberi hormat kepada Kui-ing-cu, serunya: "Lama sudah
kudengar kebesaran nama cunke sebagai pendekar
terkemuka dari kedua propinsi Kwi. Sebenarnya aku tak
berani lancang mengunjukkan permainan jelek, tapi karena
sekalian saudara menghendakinya, apa boleh buat terpaksa
aku memberanikan diri. Dalam hal ini harap cunke suka
memberi pengunjukan!"
Begitu merendah ucapan itu dirangkai Hwat Siau,
namun Kui-ing-cu telah mengambil putusan untuk
memenangkan babak pertama Itu.
"Bagaimana kalau kita adu kepandaian mengentengi
tubuh dahulu?" tanyanya. Hwat Siau setuju.
Ditepi tanah datar Giok-li-nia situ terdapat sebuah bukit
setinggi 5 tombak. Bentuknya mirip dengan bung (bibit
bambu), dari bawah sampai atas merupakan karang yang
hanya ditumbuhi rotan, jadi tiada dapat dipijak kaki.
"Kita berlomba naik keatas puncak sana, coba saja siapa
yang akan mencapainya lebih dahulu!" kata Kui-ingcu.
Hwat Siau melirik keatas puncak dan mengiakan.
Diapun hendak memenangkan pertandingan babak pertama
itu.
Mereka berdua sama mundur dan sekalian orang
banyakpun menyingkir kesamping. Sedang Kiau To segera
melolos jwan-pian, katanya: "Apabila kukebutkan jwanpian
ini, jiwi boleh segera mulai!"
Setelah masing2 siap, Kiau To segera kebutkan
jwanpian, dan meluncurlah dua sosok tubuh keatas. Kuiing-
cu jejakkan kaki dan tubuhnya lurus melambung keatas.
Pada lain saat dia julurkan tangan untuk menekan karang
dan dengan meminjam tenaga tekanan itu, lagi2 dia
melayang setombak tingginya.
GAMBAR 90
Sekali Kiau To memberi tanda maka meloncatlah Kui-ing-cu
melambung tinggi keatas. Hwat Siau pun tidak mau ketinggalan,
cepat iapun merayapi bukit karang itu dengan ilmu "bik-hou-yujiang"
atau cecak merayap dinding, segera ia menyusul lawannya
dalam perlombaan itu.
Sebaliknya Hwat Siau menggunakan cara lain.
Menghamperi karang, dia gunakan kaki dan tangan untuk
merayap, dengan jurus bik-hou-yu-jiang (cicak merayap
dinding). Namun jangan dikira merayap asal merayap,
karena rayapan itu menggunakan ilmu yang sakti, hingga
dapatlah dia menyamai loncatan Kui-ing-cu tadi. Keduanya
berada setinggi dua tombak, dan nyata2 mereka sama
lihaynya.
Kui-ing-cu empos semangat, kedua tangannya
ditebaskan kekarang, hingga menimbulkan tenaga-balik
yang kuat. Dibarengi dengan gerak peh-ho-jong-thian
(burung ho menobros langit), dia melayang lagi sampai
hampir dua tombak. Dengan menancap gas itu, dapatlah
dia melampaui lawan sampai setengah meter jauhnya. Dan
gemuruh riuhlah sorak sorai orang2 yang menontonnya.
Tapi Hwat Siau tak mau kehilangan muka. Selagi
Kuiing-cu menebaskan tangan tadi, dia sudah merayap
dengan pesatnya, hingga hampir menyamai lawan. Puncak
sudah tinggal berapa meter saja. Dan Kui-ing-cupun segera
melakukan "pukulan" yang penghabisan. Dengan gerak
yancu-bwan-sim (burung waled membalik diri), dia
menjejakkan kaki dan tubuhnya seperti rocket meluncur
keatas.
Ketika kakinya menginjak puncak yang runcing itu,
Hwat Siaupun sudah tengel2 naik, tapi sudah tak dapat
menempatkan lagi kakinya karena sudah diduduki oleh
lawan. Kui-ing-cu gerakkan kakinya untuk meluncur
kebawah, sembari tertawa: "Maaf"
Hwat Siau meringis tak dapat berbuat apa2 kecuali pura2
berlaku ksatrya, sahutnya: "Ah, ilmu mengentengi tubuh
cunke, benar2 sakti. Kalau terus melambung, tentu akan
mencapai angkasa. Aku merasa tunduk!"
Dalam pada mengucap kata2 itu, mata Hwat Siau
melirik kearali isterinya, seraya menggerutu dalam hati:
"Ah, niocu, niocu, kau suka memintari. hingga salah
menaksir orang!"
Babak pertama telah memberi kesudahan yang
menguntungkan pada Kui-ing-cu. Ber-gegas2 si Bongkok
menyambut kedatangan Kui-ing-cu, seraya ber-bisik2: "Ingheng,
ilmu kepandaian orang itu aneh benar, dikuatirkan
Bek-heng sukar untuk memenangkannya. Apakah tidak
lebih baik kau menangkan saja pertandingan ini, kemudian
nanti kau mengalah pada Bek-heng?"
"Akupun berpendapat begitu," Kui-ing-cu menghela
napas, "tapi peribadi Bek-heng rasanya kau sudah cukup
mengenal. Sekali dia sudah mengatakan mengadakan
pilihan dengan bertanding, tak nanti dia mau menerima
maksud orang untuk mengalah! Dan lagi orang2pun tentu
mengetahui, nantinya tetap mereka tak mau tunduk pada
Bek-heng. Ketaatan inilah yang justeru dibutuhkan untuk
mengendalikan sebuah perserekatan besar macam Thian Te
Hui lni!"
Ih Liok dapat memahami. Babak kedua, yalah adu
kelihayan memainkan senjata. Setelah berunding dengan
isterinya, Hwat Siau dianjurkan harus memenangkannya.
Oleh karena kalau sampai kalah, Ceng Bo sianjin pasti
terpilih menjadi toa-ah-ko.
Hwat Siau segera pasang kuda2. Tangannya kiri sedikit
diangkat keatas. Sekalian mengira, orang itu tentu hendak
memainkan ilmu silat tangan kosong. Tapi diluar dugaan,
setelah beberapi kali membolak-balikkan tangan, tahu2
tangannya sudah mencekal sebuah gulungan benda merah.
Dan sekali lengannya digoyangkan, gulungan merah itu
segera bertebar menjadi selembar angkin (selendang)
panjang, lebarnya antara setengah dim.
Bermula orang2 sama mengira, angkin sutera merah itu
tentulah senjata istimewa dari tokoh itu. Tapi setelah
diawasinya dengan perdata, ternyata salah. Angkin itu
adalah angkin biasa yang mudah didapat dipasar atau toko.
Panjangnya ada 4 tombak. Tertiup angin, angkin itupun
berkibaran. Melihat keheranan orang, berkatalah Hwat
Siau: "Benda biasa, kepandaian biasa. Angkin ini tiada
sesuatu yang luar biasa, tapi biarlah kumainkan untuk
penambah kegembiraan saudara2 sekalian!"
Habis mengucap, lengannya bergoyang. Setelah
bergoyang gantai laksana ombak mendampar, angkin itu
lalu lurus terkulai ketanah. Kemudian sekali berputar tubuh,
angkin itu menebar keatas dengan mengeluarkan auara
men-deru2. Itulah gerak ilmu pedang dan semua orangpun
sudah sama mengetahuinya. Tapi yang membuat orang
sama terperanjat, yalah dengan benda yang lemas sepanjang
4 tombak itu, dapatlah Hwat Siau menggunakannya
menjadi semacam senjata yang keras. Riuh rendah orang2
bertampik sorak.
Masih Hwat Siau hendak unjuk demonstrasi yang
mengherankan. Dia putar angin itu seru sekali hingga
merupakan sebuah lingkaran api, kemudian membungkus
dirinya didalam lingkaran itu. Saking serunya, tubuhnya seakan2
lenyap dibungkus lingkaran merah. Setelah beberapa
kali orang gempar memuji, barulah dia bersuit pelahan dan
tiba2 hilanglah lingkaran itu, sebagai gantinya tampak dia
berdiri tegak ditempat. Lingkaran angkin merah itu telah
ditarik dan disimpannya lagi dengan cepat sekali.
Sampaipun dalam mata seorang tokoh macam Kuiingcu,
tetap tak dapat membayangkan cara bagaimana tadi
orang itu menyimpan angkinnya. Kini giliran Kui-ing-cu.
Dia mempertunjukkan ilmu pedang. Walaupun cukup
mempesonakan, namun tak sehebat dan seluar biasa
permainan Hwat Siau tadi. Secara sportif, dia mengaku
kalah. Menang satu, kalah satu, jadi serie. Babak ketiga
atau yang penghabisan yalah adu lwekang.
Teringat akan pasan sibongkok Ih Liok tadi, Kui-ing-cu
agak meragu. Kalau dia harus memenangkan, terang dia
bakal menjadi toa-ah-ko, suatu kedudukan yang tak diingini
apalagi memang tak cakap untuk menjabatnya. Namun
kalau mengalah, jangan2 lawan mengetahui dan tak mau
keluarkan tenaganya sungguhan. Ah....., baik dia gunakan
taktik begini, pada permulaan dia akan mengunjuk
kepandaian betul2 hingga lawan terpancing mengeluarkan
seluruh kebisaannya. Setelah itu pada detik2 terakhir,
barulah dia nanti mengalah.
Siasat ini lebih sempurna dan lebih maju dari rencananya
semula tadi. Tapi biar bagaimana, tetap dia tak mengira
kalau nanti masih terdapat kekurangan yang mutlak. Dia
usulkan suatu cara dan Hwat Siaupun menyetujui. Segera
dia suruh orang untuk menebang sebatang puhun setinggi
dua orang dan besarnya sepemeluk lengan orang. Cara
bertanding, setiap orang harus memelintir batang puhun itu
sampai patah. Barang siapa yang lebih dulu dapat
'memelintir sampai patah, dialah yang menang.
Ternyata puhun yang disiapkan itu lebih dari sepeluk
orang besarnya. Sekalipun digergaji, juga makan waktu
yang lama. Tadi belasan orang dengan gunakan kapak dan
beliung menabas puhun itu, namun tetap menggunakan
waktu lebih sejam lamanya baru dapat memenggalnya
putus. Sekalipun kedua tokoh itu nanti dapat memelintir
putus, namun tenaga lwekang mereka pasti habis
dibuatnya. Dan ini memang yang dikehendaki Kui-ing-cu
untuk memeras tenaga lawan.
Begitulah keduanya segera mulai bertanding. Yang satu
memelintir ujung sini, yang lain mengerjakan ujung sana.
Dalam pelintiran pertama, Kui-ing-cu telah dapat
merontokkan kulitnya. Dalam tiga kali memelintir, batang
puhun sudah memperlihatkan bekas telapak tangannya,
kira2 setengah dim dalamnya.
Sebaliknya Hwat Siau yang percaya akan omongan
isterinya bahwa lawan tentu mengalah, tetap enak2an saja
merabah2 batang itu. Tapi ketika melihat Kui-ing-cu sudah
sedemikian cepatnya, dia segera deliki mata kearah sang
isteri. Pesan isterinya dibuang dan dikerahkannya tenaga
yang-hwat-kang. Sepasang tangannya me-melintir2 dengan
cepatnya hingga dalam waktu singkat kemudian, barulah
dia dapat menyamai lawan.
Tampak gerakan lawan itu, Kui-ing-cu teramat
girangnya. Kini sengaja dia perlambat pelintirannya,
sekalipun begitu bubuk kayu atau rontokan kepingan kecil2
(tatal) tak hentitnya berguguran ketanah. Hwat Siau
sebaliknya ngotot benar. Sampaipun tubuhnya ikut
berputar-putar mengelilingi batang kayu itu.
GAMBAR 91
Dengan lwekang yang sama-sama hebatnya, Kui-ing-cu
berusaha menghabiskan tenaga Hwat Siau dalam perlombaan
memelintir batang pohon, sebelum cecunguk itu bertanding
melawan Ceng Bo Siangjin
Demikian kedua saingan itu, masing2 unjukkan
kepandaiannya yang mengagumkan. Tahu2 dua jam telah
berlalu. Karena keliwat gunakan tenaga, Hwat Siau sudah
keletihan. Gerakannya kinipun makin lambat, dahinya berketes2
mengucurkan peluh. Kui-ing-cu dapat mengetahui
hal itu. Tapi gerakannya malah lebih cepat. Jadi gambaran
itu telah mengunjuk tegas, bahwa lwekang Kui-ing-cu lebih
unggul.
Memang Hwat Siau mempunyai kesulitan sendiri. Dia
tak berani keluarkan ilmunya lwekang yang terlihay yakni
sam-cay-liat-hwat-ciang. Dengan ilmu lwekang sakti itu,
begitu tangan bersentuhan dengan batang kayu, kayu itu
pasti akan terbakar menjadi arang, jadi mudah untuk
dipatahkan. Tapi kalau dia sampai mengeluarkan ilmu itu,
terang peribadinya akan diketahui lawan. Jadi hatinya
mulai resah. Demi tampak Kui-ing-cu makin cepat, dia
segera empos seluruh semangat, lalu mati2an mengitari
batang kayu itu seraya kerjakan tangannya dengan kuat2.
Lewat beberapa jurus kemudian terdengarlah suara "bluk",
putuslah ujung dari batang puhun itu. Sampai disini barulah
Hwat Siau berhenti untuk melihati lawannya. Kiranya
lewat beberapa detik kemudian barulah Kui-ing-cu dapat
mematahkan ujung yang satunya.
Hwat Siau seperti mendapat lotre girangnya. Tapi
mendadak tubuhnya serasa kosong lunglai, matanya
berkunang kabur. Buru2 dia salurkan semangatnya untuk
menenangkan diri. Betul perasaannya agak nyaman, tapi
kaki tangannya serasa lemah lunglai tak bertenaga.
Keadaan itu tak luput dari pandangan mata Kui-ing-cu yang
tajam.
"Sahabat Song sungguh memiliki lwekang yang luar
biasa. Silahkan kini bertanding dengan Bek-heng untuk
memperebutkan kedudukan toa-ah-ko!" serunya dengan
gembira.
Kini semua orang alihkan perhatiannya untuk
menyaksikan pertandingan Ceng Bo siangjin lawan Hwat
Siau. Bahkan Ceng Bo sudah tampil kemuka seraya
menawarkan bertanding secara bun atau bu. Tapi secepat
kilat, Swat Moay segera menyela ditengah seraya berseru:
"Tahan dulu!"
"Mengapa?" tanya Ceng Bo.
"Kita harus berpegang pada keadilan bukan ? Toa-ah-ko
atau siao-ah-ko itu bukan mutlak. Tapi kalau kalah
bertanding, nama persaudaraan Song pasti akan tercemar.
Tadi kakakku habis bertanding dengan Kui-ing-cu dalam
suatu cara, yang menghabiskan tenaga. Siapapun tentu
mengetahui akan hal itu. Kalau Ceng Bo Siangjin hendak
bertanding dengan orang yang sudah lelah, adakah itu
pantas? Kuusulkan supaya pertandingan ini
dipertangguhkan sampai besok pagi saja!"
Mendengar itu Kui-ing-cu dan Ih Liok mengeluh dalam
hati "percuma, percuma". Mereka mulai menginsyafi faktor
kekurangan-sempurna rencana mereka. Kalau orang lain
tentu menolaknya, tapi tokoh macam Ceng Bo tentu lain
halnya. Dan dugaan kedua orang itu memang beralasan.
"Ucapan Song-heng itu memang beralasan. Tadi aku
agak chilaf, harap dimaafkan!" sahut Ceng Bo dengan
serentak. Dia terus mundur dari gelanggang dan minta agar
Kiau To simpan lagi thong-pay kekuasaan dari Thian Te
Hui itu.
Malamnya Kui-ing-cu berunding dengan kawan2.
Dengan sudah beristirahat satu malam, tenaga Hwat Siau
tentu akan pulih segar dan Ceng Bo sudah tentu bukan
tandingannya. Rupanya siangjin itu tak menghiraukan
harapan orang banyak, karena berduka memikirkan
kebinasaan Tio Jiang.
Juga Hwat Siau mengadakan pembicaraan dengan
isterinya, Hek-bin-sin Ho Gak, Sam-chun-ting Ciu Sim-i
dan lainnya. Mereka bersuka ria menyambut hasll
rencananya. Berkata Swat Moay: "Besok begitu menerima
thong-pay kekuasaan toa-ah-ko, pertama yang harus
dikerjakan yalah menutuk jalan darah pembisu dari The Go
dan menyajykan anak muda itu untuk sesaji sembahyangan
bendera. Setelah itu, kalian harus menuntut supaya toa-ahko
menggerakkan anak buah Thian Te Hui menyerang Siau
Ging guna membalaskan sakit hati Tio Jiang. Ha...., ha...,
serbuan besar itu tentu akan merepotkan fihak Siau Ging.
Dua2nya akan mengalami keruntuhan, sungguh sedap
menikmati pemandangan itu!"
Keesokan harinya, kembali api unggun dinyalakan dan
Ki The-tiong lemparkan thong-pay kedalam unggun lelatu.
Ceng Bo dan Hwat Siau tampil kemuka. Si bongkok ih Liok
cukup yakin bahwa ilmu pedang to-hay-kiam-hwat Ceng
Bo, tiada lawannya didunia. Apalagi siangjin itu memakai
pedang Pusaka yap-kun-kiam yang lihay. Maka dia
memberi kisikan agar Ceng Bo mengusulkan 3 macam
pertandingan. Pertama, adu ilmu mengentengi tubuh.
Kedua, bertempur dengan pedang dan Ketiga, adu ilmu
lwekang. Si Bongkok memperhitungkan, babak pertama
siangjin itu tentu kalah. Tapi dalam babak kedua yang
bertempur dengan senjata, siangjin itu tentu dapat merebut
kemenangan malah sedapat mungkin harus dapat melukai
lawan. Dan untuk babak terakhir, kemenangan tentu
difihak Ceng Bo.
Rupanya usul itu disetujui Ceng Bo dan mendapat
persetujuan juga dari Hwat Siau. Begitulah babak pertama
segera dimulai, adu ilmu mengentengi tubuh mendaki
puncak bukit yang runcing tadi. Tapi ketika Ceng Bo baru
mendaki separoh lebih, Hwat Siau sudah berada diatas
puncak sembari tertawa keras. Jadi babak pertama itu,
Hwat Siau menang.
Hal itu memang sudah diperhitungkan. Maka ketika
Ceng Bo meluncur turun, si Bongkok segera mendekatinya
dan berkata: "Bek-heng, sepuluh tahun yang lalu karena tak
percaya kabar2 yang disiarkan orang bahwa karena jeri
akan ancaman kau telah serahkan pedangmu pada musuh,
aku telah menjadi orang gagu dan merobah diriku menjadi
imam Hwat Kong dibiara Cin Wan Kuan. Maksudku tak
lain bukan yalah hendak membuktikan kebenaran berita itu.
Sebenarnya tak ada rencanaku untuk menetap di Giok-li-nia
sampai 6 tahun, tapi oleh karena tertarik akan peribadimu
maka aku tak mau meninggalkan tempat itu. Apabila Sik
Lo-sam tak memecahkan rahasia diriku, akupun tentu tetap
tak mau pergi."
"Bek-heng, dalam pandanganku aibongkok ini, kau
adalah orang gagah nomor satu dikolong langit. Kedudukan
toa-ah-ko, kupercaya bagimu bukan soal yang mutlak. Tapi
terhadap kepentingan sekian 'puluh ribu saudara2' yang
bernaung dibawah panji Thian Te Hui, dirimu itu
merupakan faktor yang teramat penting. Dalaih
pertandingan babak kedua nanti, apabila ada kesempatan
menang, janganlah men-sia2kannya. Menangkanlah, ingat
bahwa kau sedang bertempur guna kepentingan belasan
ribu saudara!"
Pesan itu diucapkan dengan sungguh dan termakan betul
dalam hati Ceng Bo hingga untuk beberapa saat aiangjin Itu
termenung.
"Baiklah, akan kuturut pesan Ih-heng itu!" sahutnya
kemudian, lalu melolos yap-kun-kiam. Ditimpa oleh cahaya
matahari, pedang itu ber-kilau?an cahayanya. Setelah
pasang kuda2, segera dia mempersilahkan Hwat Siau.
Sebaliknya ketika memandang kearah Hwat Siau,
sekalian orang sama terkesiap heran. Ditangan "Song lotoa"
itu tiada lain senjata kecuali gulungan angkin merah
kemaren itu lagi. Ceng Bo siangjin sendiripun heran. Untuk
dibuat demonstrasi, angkin Itu sih boleh juga. Tapi kalau
untuk bertempur melawan musuh, masa dapat digunakan?
Ditilik tingkat lwekangnya, orang itu belum mencapai
tingkat kesempurnaan seperti yang dilukiskan sebsgai
"mematah daun dapat melukal orang, menghambur bunga
dapat mematikan lawan". Tapi mengapa dia berbuat begitu
naif?
Tapi selagi Ceng Bo me-nimang2 pikirannya, Hwat Siau
sudah rangkapkan kedua tangan memberi hormat seraya
berseru: "Siangjin, maafkanlah!"
GAMBAR 92
Dengan ilmu pedang Hoan-kang-kiam-hoat Ceng Bo Siangjin
terlibat dalam pertandingan memperebutkan Toa-ah-ko dengan
Hwat Siau yang menyamar sebagai Song Hou
Sekali tangan melambai, bertebaranlah angkin sepanjang
4 tombak itu bergerak melayang kearah Ceng Bo. Melihat
gerakan yang aneh dari angkin yang lemah gemulai itu.
Ceng Bo memperhitungkan andaikata muka sampai kena
kesabet angkinpun tak nanti merasa kesakitan. Maka begitu
dia bergerak dengan jurus Tio-ik-cut-hay memapas keatas,
kutunglah ujung angkin itu sepanjang 1 meter.
Dengan dibawa tiupan angin, kutungan angkin itu berkibar2
melayang keudara.
Kecuali Swat Moay seorang, Ceng Bo siangdiin maupun
sekalian orang sama heran memikirkan kediadian itu.
Terang dalam beberapa tabasan angkin itu akan habis, dan
bagaimana nanti Hwat Siau hendak menghadapi pedang
pusaka macam yap-kun-kiam itu ? Dengan tangan
kosongkah ?
Adalah dalam saat orang2 sedang men-duga2 itu, Ceng
Bo siangjin sudah melancarkan jurus kedua yakni boathian-
kok-hay. Pagutan ujung pedang laksana hujan
mencurah. Tujuh macam serangan isi dan serangan kosong
dari ilmu pedang itu telah dimainkan secara mengagumkan
sekali. Hwat Siau tampak kerepotan menghindar kekanan
kiri. Ketujuh serangan itu sama, menghasilkan 7 buah
kuntungan angkin masing2 sepanjang setengah meter.
Andaikata angkin itu merupakan tubuh orang, itu berarti 7
buah luka. Dari gambaran ini, nyatalah sudah bahwa ilmu
pedang to-hay-kiam-hwat Ceng Bo siangdiln Itu,
merupakan ilmu pedang yang menjagoi seluruh gelanggang
perpedangan.
Melihat "Song lotoa" tak mau membalas serangan,
timbul kicurigaan Ceng Bo. Adakah dia, sengaja hendak
mengalah? Kalau benar demikian, tak selayaknya dia
melukai orang itu. Tapi pada lain kilas, teringatlah dia akan
pesan Ih Liok tadi. Tanpa berayal lagi, dia segera lancarkan
jurus cing-wi-thian-hay untuk menusuk tenggorokan Hwat
Siau.
Tapi kali ini, Hwat Siau mengambil lain haluan, begitu
pedang berkelebat, dia sudah mendahului menyelinap
kebelakang Ceng Bo. Ceng Bo tak memandang mata,
karena mengira angkin itu hanya sutera merah biasa. Maka
secepat membalik diri, dia segera menusuk lagi. Sekonyong2
Hwat Siau lemparkan gulungan angkin itu sama
sekali keudara sembari me-mutar2kannya. Anehnya walau
tadi sudah terpapas beberapa meter, angkin merah itu masih
tetap panjang, tak kurang dari 3 tombak panjangnya. Kini
angkin itu menjadi 7 atau 8 buah lingkaran diudara.
Ketika tusukan Ceng Bo tiba, Hwat Siau menghindar
kesamping sembari tarik turun lingkaran angkin tadi
kebawah. Karena merupakan benda yang ringan, ketika
bertebaran turun, angkin itu sedikitpun tak mengeluar suara
apa2. Hanya tahu2 tubuh Ceng Bo telah tergubat. Hendak
Ceng Bo mencongkel dengan pedang, tapi sudah tak
keburu. Melihat jaringannya sudah mengenai, secepat kilat
Hwat Siau loncat mundur dan mengikatlah angkin itu erat2
kepada tubuh Ceng Bo.
Bermula Ceng Bo mengira, bahwa asal dia kerahkan
lwekangn,ya, tentu putuslah angkin sutera itu. Tapi hai....!,
ketika dia hendak gerakkan lengannya kiri, ternyata tak
mampu bergerak. Sedang dalam saat itu, Hwat Siau
kedengaran tertawa lebar sembari berseru: "Siangjin,
maafkanlah!
Menilik hasil pertandingan itu dimana Ceng Bo kena
kejirat basah tanpa dapat berkutik, rasanya sudah cukup
berbicara jelas. Jadi pertandingan ketiga tak usah
dilanjutkan lagi, karena dua kali sudah kalah.
Sehabis Hwat Siau mengucap tadi, barulah Ceng Bo
dapat keluar dari jaring angkin itu. Ketika di-amat2i dengan
perdata, kiranya angkin itu berlainan dengan angkin yang
kemaren. Pada kedua tepiannya, ternyata terbuat dari
anyaman kawat logam yang halus. Ah, makanya tadi dia
tak mampu meronta! Sebagai seorang ksatrya, serentak
berka-talah Ceng Bo: "Kedudukan toa-ah-ko 'Thian Te Hui,
harap song-heng suka menerimanya!"
Tanpa banyak bicara lagi, Hwat Siau segera
menghampiri unggun lelatu dan manjemput salah satu
thong-pay yung terbesar. Thong-pay itu sudah membara
panas, tapi oIeh karena dia jago ilmu lwekang yang-hwatkang
(api positip), jadi sedikitpun tak jeri. Thong-pasy itu
dipegangnya, lalu berserulah dia kepada sekalian orang:
"Aku yang rendah kini menjadt toa-ah-ko, harap sekalian
saudara suka membantu!"
Thaysan sin-tho Ih Iiok lemas tak bersemangat, tapl
sebaliknya Ceng Bo diam saja sikapnya. Saat itu lalu
dilakukan lain2 pilihan dengan kesudahan Ceng Bo siangjin
menjadi ji-ah-ko, Ki Ce-tiong menjadi sam-ah-ko dan Ko
Thay menjadi su-ah-ko.
Setelah susunan pimpinan Thian Te Hui terpilih lengkap,
berserulah Hwat Siau dengan lantang: "Kini bawalah
bebodoran dunia persilatan d Cian-bin Long-kun The Go
keluar, terserah bagaimana saudara2 hendak
menghukumnya!"
Sehabis mengucapkan perintah pertama itu, dia memberi
isyarat ekor mata kepada sang isteri.
Dalam hati kecil Hui-ing-cu dan lain orang yang
menunjang pencalonan Ceng Bo sebegai toa-ah-ko tadi,
tetap tidak puas akan hasil pemilihan itu. Bahwa seorang
baru terus saja berhasil merebut kedudukan toa-ah-ko,
mereka tetap tidak dapat menerima. Maka dengan
waspada, diikutilah tindakan yang dilakukan oleh toa-ah-ko
itu. Asal nyeleweng, mereka segera akan bertindak. Maka
demi nampak tindakan pertama untuk membunuh The Go
sebagai sesaji sembahyang bendera itu, telah disambut
dengan lega oleh kelompok Kui-ing-cu dan kawan-kawan.
Diam2 mereka menganggap kedua besaudara Song itu juga
bangsa orang gagah kesatrya sejati. Rasa antipahti (tidak
senang) pun menurun beberapa derajat.
Tak berapa lama, The Go dibawa keluar. Sejak datang ke
Giok-li-nia situ, dia disekap dalam tahanan, jadi tak tahu
sama sekali apa yang terjadi diluaran selama itu. Pada
pikirnya, begitu Hwat Siau sumi isteri sudah menyelesaikan
pekerjaan besar itu. Dia tentu akan dibawa kekota raja
menghadap Sip-ceng-ong Tolkun untuk menerima pangkat
sebagai budak bangsa Ceng.
Demi dengan tangan terikat dia keluar, segera dilihatnya
berpuluh orang gagah deliki mata kepadanya dengan sorot
gusar. Malah jelas kelihatan ada beberapa yang
memancarkan sorot mata ber-api2. Hatinya berdebar keras.
Ketika mengalihkan pandangan kesebelah muka, disana
terdapat Hwat Siau tengah memegang thong-pay toa-ah-ko
berdiri dibawah sebuah bendera putih hitam. Bendera itu
terpancang ditengah lapangan, ber-kibar2 ditiup angin.
Sebagai seorang durjana yang cerdas, dia tersirap kaget
menghadapi kenyataaan itu. Terang Hwat Siau telah
menggunakan siasat "habis melintasi jembatan, lalu
mengangkat jembatan itu", atau artinya setelah berhasil
Hwat Siau hendak membasmi mulutnya (membunuhnya).
Tak peduli bagaimana, dia hendak nekad memanggil Hwat
Siau. Biar kalau toh mati, sama2 dalam satu liang. Baru dia
ngangakan mulut hendak berseru, atau Swat Moay tampak
mengangkat tangan dan sebuah batu kecil melayang.........
hek!, lambungnya terasa kesemutan dan mulutnya tak dapat
bersuara lagi. Jalan darah pembisu, telah kena tertutuk.
Sedemikian cepat gerakan Swat Moay tadi, apalagi
gerakan itu tanpa bersuara sama sekali. Maka kecuali The
Go yang merasa, tiada seorang lainpun yang mengetahui
kejadian itu. Sekalian orang itu tahunya hanya puas dan
geram melihat The Go. Seluruh perhatian ditumpahkan
kearah anak muda yang pintar keblinger itu.
The Go coba kerahkan semangatnya untuk melepaskan
jalan darahnya itu, tapi sia2 saja. Membayangkan bahwa
dalam beberapa detik nanti, dia bakal menerima kematian
secara ngeri sekali, tanpa terasa ber-butir keringat sebesar
biji kedele menetes turun dari selebar mukanya.
(Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 50 : HALILINTAR DI SIANG
HARI
Hwat Siau sedikitpun tak merasa sayang akan nasib
orang muda itu. Itulah upahnya orang yang suka berhamba
pada kaum penjajah, pikirnya.
"Benar dengan penghianat ini aku belum pernah
bercidera, tapi karena dia telah melakukan perbuatan
merugikan rakyat, memimpin tentara Ceng masuk
kewilayah Swiciu, mencelakai tiga laksa saudara2 Thian Te
Hui digunung Gwat-siu-san, melakukan penggeropyokan
pada ke 72 markas Hoasan dan lain2 kejahatan, maka kalau
manusia macam begitu tak disirnakan, kita bangsa Han
tentu tiada punya muka lagi. Nah, silahkan siapa saja
saudara yang hendak mulai turun tangan!" seru Hwat Siau
dengan tertawa dingin.
Gegap gempita sekalian orang menyambut pernyataan
Hwat Siau yang "ksatrya" itu. Dan sekali melesat, tampillah
Thaysan sin-tho Ih Liok, Dia menyiakkan orang2 itu kesisi
untuk memberi jalan. Sebagaimana telah kita ketahui,
ketika di Hoasan dia diselomoti mentah2 oleh The Go, dia
telah memapas kuntung jari kirinya selaku sumpah: "Kalau
tak dapat mencincang lebur tubuh The Go, biarlah luka
jarinya itu busuk rusak!"
Bahwa kini kesempatan untuk melaksanakan sumpahnya
itu terbentang di depan mata, telah membuatnya beringas
seperti harimau lapar melihat kambing. Dengan meringis
berikeriyutan macam srigala mengunjukkan taring,
setindak, demi setindak dia maju menghampiri kearah The
Go. Sepasang matanya ber-api2.
Dalam keadaan begitu, segala kecerdaaan dan akal siasat
yang dimiliki Cian-bin Long-kun, sia2 semua. Kedua
tangannya diikat, jalan darah pembisu ditutuk. Masih dia
kerahkan seluruh lwekangnya untuk berseru keras
menelanjangi keadaan diri Hwat Siau yang aseli, namun tak
berdaya. Suaranya tak mau keluar. Dan yang nyata,
disebelah muka sana tampak si Bongkok, dengan sorotan
mata buas, jari tangan kiri yang kuntung, ber-indap2
mendatangi seperti hendak menelannya hidup2.
Sesal kemudian tak berguna. Rupanya pepatah ini diakui
kebenarannya oleh The Go. Pada detik2 kematian meregut
itu ter-bayang2 perbuatannya dimasa lampau yang penuh
berlumuran dosa itu. Taruh kata saat itu dia kuasa berseru
unttk membuka kedok Hwat Siau, rasanya tiada
seorangpun yung mau mempercayainya. Memang setiap
kejahatan itu tentu menimbulkan penyesalan dikemudian
hari, tapi sesal kemudian tak berguna, demikian bunyi
pepatah diatas.
Yang lebih mengesan dalam lubuk kenangannya pada
detik2 terakhir itu, yalah diri Bek Lian. Bagaimana bahagia
hari2 berdampingan dengan sijelita itu, dan bagaimana
tulua ichlas nona itu mempersembahkan kasihnya, tapi ah,
bagaimana pula kejamnya dia menghancurkan hati nona itu
hingga kandungann ya sampai hampir gugur. Dan ai....,
Ciok Siao-lan, sihitam manis yang ter-gila2 padanya itu,
telah dia persakiti tubuh dan hatinya, "Chuh"........... tahu2
segumpal ludah menampar kemukanya. Itulah semburan Ih
Liok yang walaupun hanya dengan air ludah tapi cukup
membuat The Go nyeri kesakitan hebat, seperti dikebut
dengan sapu kawat. Seketika mukanya ber-gurat2
mengeluarkan darah. Dia cukup sadar bahwa dengan jatuh
ditangan musuh macam si Bongkok, dia tentu mengalami
siksaan yang maha hebat. Tapi dalam keadaan seperti saat
itu, apa daya? Dia meramkan kedua mata paserah nasib.
Si bongkok deliki mata memandang sejenak padanya dan
timbullah keheranannya. Biasanya The Go itu seorang
seorang pemuda yang tangkas bicara, mengapa saat itu
membisu saja? Adakah dia sudah bertobat? Tapi apa peduli.
Berpaling kebelakang,dia berseru: "Saudara yang manakah
suka meminjami aku sebilah pisau untuk membelek hati
bangsat ini. Coba kita lihat bagaimana warnanya!"
GAMBAR 93
"Chuh" tiba2 The Go dipersen ludah oleh si Bongkok Ih Liok,
berbareng baju si pemuda dirobek dan belati siap mencingcang
tubuh The Go yang culas itu.
Serentak Ceng Bo mencabut yap-kun-kiam untuk
diserahkan, tapi Ih Liok menolaknya: "Pedang ini
terlampau tajam, sekali dodet sudah selesai. Itu terlalu enak
baginya. Aku maukan sebilah yang tumpul, supaya dapat
men-dobet2nya sampai lama!"
Ceng Bo sebenarnya kasihan juga, tapi karena sekalian
orang mengunjuk kemurkaan, jadi diapun tak berani
melarangnya. Pada lain saat ada seorang yang mengantari
Ih Liok sebatang pedang pendek, terbuat daripada besi
biasa.
"Bagus, inilah yang cocok!" seru si Bongkok. Berputar
kearah The Go dia berkata: "Orang she The, tahukah kau
entah berapa banyak jiwa yang melayang ditanganmu?
Kalau hanya mengganti selembar jiwa, apakah kau masih
tidak terima?"
Dari kerut wajahnya yang gelisah ketakutan, dapat
diketahui bagaimana perasaan hati The Go saat itu. Namun
tetap dia tak dapat berkata apa2. Tadi semprotan ludah si
Bongkok, telah membuat mukanya berlumuran darah,
hingga dari seorang pemuda tampan kini dia berobah
menjadi simuka merah. Namun mencari jalan hidup adalah
pembawaan setiap insan. Dalam kebingungannya itu, dia
telah memperoleh selarik sinar harapan. Atas pertanyaan si
Bongkok "apa kau masih tidak terima" tadi, dia
mengangguk dua kali, sembari mengawasi kebawah.
Ih Liok heran, lalu melihat kebawah kearah yang diawasi
The Go. Ternyata kaki kanan The Go tengah ber-gerak2
seperti menulis sesuatu. Tapi karena tanah disitu
merupakan batu padas, jadi apa yang dituliskan itu tak
dapatlah si Bongkok mengetahuinya. Memang bermula si
Bongkok agak tertegun memikirkan, tapi demi teringat
sudah berapa kali dia makan getah dari siasat orang muda
yang selicin belut Itu, tak mau dia menghiraukannya lagi.
Cret............, ujung pedang pendek itu menikam bahu
The Go. Begitu dicabut, darah menyembur keluar. Saking
sakitnya, hampir pingsan The Go dibuatnya.
“Tikaman kesatu!" seru si Bongkok.
Karena si Bongkok tak menghiraukan tulisan kakinya
tadi, habislah sudah harapan The Go. Dengan mata melotot
dia deliki suami isteri Hwat Siau Swat Moay, tapi kedua
orang itu tetap tenang2 saja se-olah2 seperti tak kejadian
suatu apa. Ea Liok angkat tangann ya hendak melancarkan
tikaman yang kedua, saking tak tega berserulah Ceng Bo:
"Ih-heng, lekaslah habisi saja nyawanya!"
Belum si Bongkok menyahut atau dari lamping gunung
sana terdengar hiruk pikuk suara orang ber-teriak2. Lama2
dengan cepatnya suara gaduh itu menjalar kepuncak dan
berbareng itu laksana kilat sesosok bayangan hitam
meluncur datang. Belum sempat sekalian orang melihat
siapakah orang itu, siorang sudah mendahului berteriak
dengan nyaring: "Tahan!", kemudian terus memburu kearah
si Bongkok untuk merebut pedangnya tadi.
Si Bongkok melawan dan barulah mengetahui kalau
lawannya itu bukan lain adalah Kang Siang Yan. Dia
turunkan pedang kebawah terus dibabatkan. Tapi tanpa
berkisar kaki, Kang Siang Yan miringkan tubuhnya sedikit,
lalu julurkan tangan untuk menerkam siku si Bongkok.
Keduanya bertempur rapat.
Disana, Ceng Bopun cepat dapat mengenal bahwa yang
datang itu adalah isterinya. Dia terperanjat disamping
mengeluh atas seruan isterinya tadi, yang terang hendak
memenolongi The Go lagi. Beberapa kali dia gagal
membunuh pemuda penghianat itu karena pada. detika
terakhir, isterinya selalu datang mencegah. Ah......, biar
bagaimana kali ini harus diselesaikan, jangan sempat gagal
lagi. Dikala sang isteri masih sibuk melayani si Bongkok,
cepat dia memburu kearah The Go dan menabas
......................
Walaupun kepandaian Kang Siang Yan lebih unggul dari
si bongkok, namun dalam tiga empat gebrak sukarlah
untuknya mengalahkan. Waktu melihat suaminya lari
menghampiri The Go, ia sudah was-was. Begitu tangan
Ceng Bo diangkat, ia pun segera lontarkan gumpalan benda
yang semula sudah dikepitnya tadi.
Bermula Ceng Bo tak menghiraukannya benda apa yang
diIontarkan isterinya itu, pokok asal yap-kun-kiam
melayang tiba, kepala The Go tentu menggelinding. Maka
diapun tak mau kurangi gerak tabasannya tadi. Tapi demi
benda, itu hampir tiba dihadapannya, bukan kepalang
kejutnya! Itulah seorang orok bayi yang bagus wajahnya.
Buru2 dia hendak tarik pulang tabasannya, agar jangan
sampai mengenai orok itu. Tapi sukarnya bukan kepalang.
Tadi karena kuatir membikin kapiran urusan, dia sudah
menabas se-kuat2-nya, jadi untuk menariknya secara
mendadak, tak seemudah kemauan sang hati. Namun bila
diteruskan tabasanya itu, The Go dan orok itu pasti akan
terbelah kutung. Dalam gugupnya, dia kerahkan tenaganya
untuk menurunkan tangannya, cret ........ popok (pakaian)
orok itu terpapas rowuk dan kedua belah kaki The Go pun
terpisah dari pahanya. Darah segar memuncrat laksana air
pancuran dan rubuhlah The Go tak ingat diri..........
GAMBAR 94
Disamping Kang-siang-yan merintangi niat si Bongkok yang
hendak menghabiskan jiwa The Go, disebelah sana Ceng Bo
Siangjin cepat bertindak, sekali pedangnya menyabet,
terkuntunglah kedua kaki The Go.
Ceng Bo tak mau hiraukan adakah The Go itu mati atau
belum. Yang dipikirkan hanya siorok tadi. Begitu menabas,
dia segera membungkuk kebawah untuk menyanggapi orok
itu. Diam2 dia kucurkan keringat dingin, karena ngeri
memikir nasib siorok yang hampir saja menjadi korban
pedangnya. Mengawasi kearah Kang Siang Yan, dilihatnya
sang isteri Itu sudah berhasil merebut senjata si Bongkok
dan dengan 3 buah hantaman berhasillah ia mengundurkan
lawan.
Ceng Bo geram sekali terhadap isterinya itu. Betapapun
kecintaannya terhadap sang isteri namun urusan negara
adalah diatas segala. Dia anggap sang isteri itu membawa
kemauan sendiri, datang2 membikin ribut.
"Hong-moay, hari ini adalah upacara persembahyangan
bendera Thian Te Hui, mengapa kau mengadu biru bikin
onar?" serunya dengan gusar. Sepanjang ingatnya, belum
pernah dia sedemikian marahnya terhadap isteri yang
dikasihinya itu.
Kang Siang Yan buru2 menghampiri The Go, lalu
menutuk ke 12 jalan darah besar pemuda itu, untuk
memberhentikan pendarahan. Setelah itu baru dia
mendongak menatap Ceng Bo siangjin, sahutnya: "Aku
mengadu biru? Kalau terlambat sedikit aku datang kemari,
orang2 Thian Te Hui akan menjadi tumpukan bangkai
semua!"
"Hong-moay, apa maksudmu?" menegas Ceng Bo
dengan terperanjat.
Tidak menyahut pertanyaan sang suami, sebaliknya
Kang Siang Yan memandang kearah orang banyak. Satu
demi satu, diawasinya dengan perdata, kemudian berseru
nyaring : "Swat Moay dan Hwat Siau, dimana kedua orang
Itu? Ayuh, mengapa tak berani unjuk diri bertempur secara
ksatrya?"
Mendengar wanita gagah itu menantang tokoh Swat
Moay dan Hwat Siau, bukan olah2 terkejutnya orang2
sekalian.
"Apa katamu?" serempak Kui-ing-cu, Ceng Bo siangjin,
Ko Thay dan si Bongkok berseru.
Namun Kang Siang Yan tak mau menjawab. Ia mondar
mandir menyusup keluar masuk dalam kelompok orang
yang ber-jubal2 itu. Dengan gunakan ilmu mengentengi
tubuh sakti thay-yang-lian-seng, ia menyusup keluar masuk.
Yang dirasakan oleh ribuan orang disitu, hanyalah
semacam deru angin menyambar saja. Hal mana membuat
orang2 sama kagum dibuatnya. Setelah tak berhasil
menemukan yang dicari, barulah kedengaran ia berkata
keheranan: "Ai......, kemana lenyapnya kedua bangsat itu?"
"Hong-moay, apakah sesungguhnya yang kau ucapkan
itu?" tanya Ceng Bo.
"Apa......? Apa kalian tak mengetahui bahwa Swat Moay
dan Hwat Siau menyelundup kemari ?" Kang Siang Yan
balas bertanya.
Kini baru semua orang sama termadar, mereka saling
celingukan kesana sini. Semua anggauta masih lengkap,
kecuali kedua saudara Song, Hek-bin-sin Ho Gak dan Samchun-
ting Ciu Sim-i yang tak kelihatan batang hidungnya.
Saat itu barulah semua orang mengetahui duduk
perkaranya.
Kang Siang Yan, gerak gerikmu selama ini menimbulkan
anti pathi orang. Tapi kali ini kami semua berhutang budi
seru Kui-ing-cu seraya tunjukkan jempol jarinya selaku
memuji.
”Fui ....., siapa sudi mendengar ocehanmu itu. Kalau
bukan Thio Jiang yang memberitahukan padaku, aku juga
tak tahu!" sahut Kang Slang Yan.
"Apa .... ? Tio Jiang belum binasa" seru Ceng Bo dengan
terperanjat.
"Mati sih belum, tapi tengah meregang jiwa (sekarat).
Yan-chiu berada disampingnya!"
"Hai......., ternyata Yan-chiu juga masih hidup!" seru
sekalian orang dengan girangnya.
Ceng Bo yang sedari tadi masih mengempo siorok,
segera bertanya :
"Hong-moay, dari manakah orok ini?"
"Itulah cucu-luar-mu sendiri! Masa kau tak
mengenalnya, bukankah wajahnya mirip dengan kau!"
Ceng Bo meng-amat2i dengan tajam dan benar dapatkan
wajah orok itu agak mirip dengan dirinya. Tapi demi
teringat bahwa orok itu adalah anak Bek Lian dan The Go,
meluapIah kemarahannya.
"Mari ambillah, aku lebih suka tak mengakuinya sebagai
cucu!" serunya seraya angsurkan orok itu kepada sang isteri.
"Orang tuanya yang salah, mengapa anaknya diikut2kan?"
Kang Siang Yan menghela napas sambil
menyambuti orok itu, lalu di-tepuk2nya pe-lahan2:
"Nenekmu ini tetap menyayangimu nak, jangan takut!"
Melihat tingkah laku seorang wanita gagah macam Hang
Siang Yan tetap tak meninggalkan sifat2 kasih sayang
seorang nenek terhadap cucunya, Kui-ing-cu dan semua
orang sama tertawa geli.
Kang Siang Yan tampak menciumi orok itu, lalu
ujarnya: "Orok ini tak boleh dilahirkan tanpa melihat
ayahnya!"
Habis berkata begitu, Hang Siang Yan melirik kearah
The Go. Kini kedua kaki The Go sudah kutung dan setelah
ke 12 urat besarnya ditutuk Kang Siang Yan, timbullah
perobahan dalam dirinya. Jalan darah pembisu yang
tertutuk tadi, sudah terbuka sendiri. Keadaannya seperti
orang limbung, sadar2 tidak. Tapi serta merasa dapat berkata2,
segera dia paksakan bicara dengan ter-putus2:
"Kedua saudara Song sebenarnya......Hwat Siau .......... dan
Swat Moay"
Habis ber-kata2, kembali dia pingsan.
"Kakinya sudah buntung, orangnya pun telah kalian
siksa sedemikian rupa. Pandanglah mukaku dan
lepaskanlah dia!" se-konyong2 meluncur kata2
perikemanusiaan dari bibir Kang Siang Yan.
Bahwasanya seorang wanita keras macam Kang Siang
Yan, dapat mengucap kata2 yang sedemikian halus
merawankan, telah membuat orang2 ter-heran2, Memang
kedatangan Kang Siang Yan kepuncak Giok-li-nia situ,
pertama untuk memberitahukan suaminya bahwa Hwat
Siau dan Swat Moay menyelundup kesitu dan kedua
kalinya juga untuk urusan The Go.
Kiranya setelah peristiwa digereja Ang Hun Kiong
selesai dan masing2 orang sama berpencar, keadaan Bek
Lian sangat mereras sekali. Bek Lian telah kehilangan
peribadinya. Ia berkeliaran ke-mana2 seperti orang gila.
Setelah dua hari mencarinya, barulah Kang Siang Yan
mendapatkan puterinya yang bernasib malang itu.
Bahwa anaknya sampai menemui nasib yang sedemikian
mengenaskan, kemarahan Kang Siang Yan sudah
memuncak. Tapi dikarenakan keadaan Bek Lian
sedemikian rupa, terpaksa ia, tak dapat meninggalkannya.
Maka, dicarinya sebuah tempat per-istirahatan yang sunyi
disekitar sungai situ untuk tempat menetap sementara, perlu
merawat penyakit Bek Lian.
Tiga bulan kemudian, barulah kesehatan Bek Lian berangsur2
pulih. Tapi pada saat itu, ia melahirkan seorang
orok. Melihat orok itu sangat mungil, Kang Siang Yan
merasa gembira. Tapi sebaliknya, Bek Lian sendiri tetap
berduka. Ia tak senang kepada anak kandungnya itu,
sehingga menyusuipun tak mau. Apa boleh buat, Kang
Siang Yan terpaksa menggendong orok itu keatas gunung,
untuk mencari binatang alas. Baik serigala, harimau, rusa,
dan lain2 binatang berkaki empat, diburunya kemudian
diperas air susunya untuk orok itu. Pada kebalikannya,
pertumbuhan badan orok itu luar biasa sehatnya. Belum
lagi setengah tahun umurnya, orok itu sudah hampir
menyamai seperti seorang berusia satu tahun.
Pada hari itu, rupanya Kang Siang Yan membawa
cucunya ketempat yung agak jauh, hingga dua hari baru
pulang. Tapi tiba dirumah, ternyata Bek Lian sudah
menghilang. Ia hanya meninggalkan secarik tulisan yang
menyatakan sebagai berikut:
Bunda,
Anak telah merasa sesat jalan dan terjerumus dalam lumpur
duka nestapa. Berdasarkan ajaran2 luhur dari ayah, seharusnya
anak tak layak hidup didunia lagi. Tapi mengingat anak belum
dapat membalas budi ayah bunda selama ini, kalau harus bunuh
diri tentu akan lebith put-hau (tak berbakti) lagi. Oleh karena itu,
hendak anak tinggalkan nyawa dalam hayat untuk mengabdikan
diri menjadi nikoh (paderi perempuan) selaku penebus dosa.
Selama hayat masih dikandung badan, tentu akan dapat
berjumpa pula. Harap jangan mencari lagi, karena niat anak
sudah tetap.
Bek Lian
Kang Siang Yan termangu. Betapapun halnya, tetap ia
hendak mencari puterinya itu. Tapi rupanya niat Bek Lian
itu tetap. Dua hari yang lalu, ketika Kang Siang Yan keluar
pintu, iapun segera terus berkemas tinggalkan pondok itu.
Dua hari Kang Siang Yan baru pulang dan selama itu entah
sampai kemana Bek Lian mengayun langkahnya. Lebih dari
sebulan Kang Siang Yan mencari jejak puterinya itu, tapi
tetap hilang tak ketahuan rimbanya. Akhirnya terpaksa ia
lepaskan penyelidikannya, kembali pulang kepondoknya
tadi. Syukurlah, ada sang cucu sebagai kawan.
Pada waktu Tio Jiang dan Yan-chiu bertempur melawan
suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay, hiruk
kegaduhannya telah membuat orok itu terbangun kaget dan
menangis. Telinga Kang Siang Yan yang tajam, segera
dapat mengetahui bahwa suara ribut2 itu terjadi karena ada
perkelahian kaum persilatan. Orang persilatan saling
membalas dendam itu sudah jamak, iapun tak ambil pusing.
Tapi yang menjengkelkan hatinya, ribut2 itu sudah
membikin kaget cucunya. Maka sembari menghibur bujuk,
dibawanya orok itu keluar untuk melihat ribut2 itu. Tapi
begitu ia muncul, Hwat Siau dan isterinya sudah buru2
ngacir, tertinggal Tio Jiang dan Yan-chiu menggeletak
ditanah luka parah.
Bermula Kang Siang Yan kira mereka sudah binasa, tapi
serta diperiksa ternyata jantungnya masih berdetak. Dan
untuk kekagetannya, kedua orang itu ternyata Tio Jiang dan
Yan-chiu adanya. Sejak pertemuannya dengan Ceng Bo di
Hoasan tempo hari, sebenarnya ia sudah berbaik lagi
dengan sang suami itu. la berjanji setelah mendapatkan
pedang kuan-wi-kiam, ia akan memulai penghidupan baru
ber-sama2 suaminya. Tapi adalah belakangan karena
urusan Bek Lian dan The Go, kembali ia bentrok dengan
Ceng Bo.
Perangai Kang Siang Yan memang aneh. Ia selalu
membawa kemauannya sendiri. Tempo digereja Ang Hun
Kiong, ia berdiri difihak Ang Hwat cinjin dan Hwat Siau
dan Swat Moay. Kemudian baru setelah mengetahui
kebinatangan hati The Go, ia tersadar dan menggabungkan
diri pada Pihak suaminya. Dan waktu gereja tersebut
dihancurkan dengan dinamit, makin tegas keiakinannya
terhadap Ceng Bo. Kedua anak muda itu adalah murid
suaminya, jadi tak beda dengan muridnya juga. Benar
pernah, Yan-chiu menipu mengeruk kepandaiannya tapi itu
karena gara2 Kui-ing-cu apalagi hal itu tak menjadi soal
baginya.
Kedua anak muda itu segera diangkut kedalam pondok
dan diupayakan supaia tersadar. Hampir setengah harian
Tio Diiang tak ingat diri. Begitu membuka mata, tanpa
menghiraukan siapa, yang berada dibadapannya, dia segera
berseru: "Lekas..., lekas...! Hwat Siau dan Thian-bin Longkun
semua pergi ke Gwat-li-nia!"
Setelah berulang kali mendengar seruan itu, barulah
Kang Siang Yan menangkap maksudnia. Tay-hiat atau urat
nadi besar kedua anak itu dltutuknya, supaya mereka dapat
mengaso tenang. Yan-chiu tak menghiraukan suatu apa. Ia
merasa dalam beberapa hari ajalnya sudah akan tiba.
Biarkan Kang Siang Yan berbuat apa saja ia tak peduli. Ia
hanya baringkan diri disamping sukonya dan ber-bisik2 apa
saja yang sang mulut Ingin mengatakan.
Luka Tio Jiang tidak ringan, dengan sadar tak sadar dia
hanya mendangari saja dan mengiakan. Kang Siang Yan
menggendong cucunya, tarus berangkat menuju ke Giok-linia.
Kedatangannya itu tepat sekali, dimana si bongkok
tengah menggorok The Go.
Kemudian Kang Siang Yan mengakhiri penuturaannya,
lalu memintakan keringanan untuk The Go. Sekalian orang
berpendapat bahwa dengan kedua kakinya buntung, The
Go sudah menjadi orang tanpadaksa (invalid), rasanya
cukup untuk menghukumnya.
"Kang Siang Yan, aku pernah bersumpah kalau tak
mencingcangnya sampai hancur lebur, lukaku ini akan
busuk !" Thatsan sin-tho Ih Liok menyanggah.
"Ih Liok", sahut Kang Siang Yan, "Segala apa jangan
main mutlak2an. Tadi sewaktu tersadar, dia tak
mengucapkan apa2 tapi lantas mengatakan soal Hwat Siau
dan Swat Moay. Apakah itu tak kau anggap dia masih
mempunyai liang-sim (hati baik) ?"
Si Bongkok tertawa: "Kang Slang Yan, bilakah kau
belajar falsafat macam Tay Siang Siansu itu ?"
Kang Siang Yan deliki mata kepadanya.
"Ya, sudahlah," Ih Liok mengalah, "dengan memandang
muka kalian Kang Siang Yan dan Hay-te-kau berdua, aku
sibongkok suka mengampuninya, Tapi awas, kalau kelak
dia berbuat jahat lagi, aku tentu akan meminta
pertanggungan jawabmu berdua!"
"Hai, Ih-heng, mengapa aku di-bawa2?" Ceng Bo tertawa
getir.
Si Bongkok tertawa: "Huh, siapa yang tak mengetahui
hubungan suami-isteri kalian kini saling berebut mengempo
cucu! Bagaimana hendak meniadakan dirimu?"
Ceng Bo dan Kang Siang Yan saling berpandangan
sembari ketawa. Mengingat bahwa betapa jahat si Cian-bin
Long-kun itu dahulunya, tapi dengan kedua kakinya sudah
buntung dia sudah tak berdaya lagi, maka sekalian
orangpun menyetujui keputusan untuk memberi
keringanan. Ceng Bo segera suruh gotong orang muda itu
kedalam biara, kemudian dia segera mengajukan
pertanyaan kepada sekalian orang: "Toa-ah-ko sudah
melarikan diri, habis bagaimana urusan ini?"
"Sudah tentu Hay-te-kaulah yang menjadi toa-ah-ko!"
serempak sekalian orang berseru. Disamping itu, mereka
menyerukan supaya Kiau To menjadi siao-ah-ko.
Ceng Bo tak mau banyak bicara lagi. Segera dia pegang
pucuk pimpinan. Tindakan pertama yalah mengatur
susunan organisasi. Thian Te Hui yang beranggautakan
lebih dari 10 ribu orang Itu, dibagi menjadi 10 tay-tong
(batalyon). Setiap taytong dipimpin oleh tongcu dan wakil
tongcu. Dibawah taytongcu (pemimpin taytong) diangkat
lagi 20 orang siao-tongcu yang masing2 menguasai 100
anak buah. Dengan penyusunan itu, terdapatlah suatu
organisasi yang rapi. Melihat itu diam2 Kang Siang Yan
mengagumi kecakapan suaminya.
Selesai menetapkan susunan Thian Te Hui, berkatalah
Ceng Bo kepada sang isteri: "Hong-moay, mari kita turun
untuk menjenguk bagaimana keadaan Siao Ciu dan Jiang-ji
itu!"
"Astaga!" tiba2 Kang Siang Yan seperti orang
dlsadarkan, mereka luka parah tiada orang yang merawati,
aku seharusnya lekas2 kembali. ”Kau mempunyai tugas
berat, tak perlu pergi. Kalau dapat menemukan Tay Siang
Siansu untuk meminta beberapa butir pil sam-kong-tan,
lebih baik lagi. Tapi kalau tidak, biarlah aku sendiri saja
yang merawat.”
Girang hati Ceng Bo mendengar kesanggupan sang isteri
itu. Dan tanpa berayal lagi, Kang Siang Yan terus minta
diri. Setelah itu Ceng Bo segera mengadakan rundingan
dengan para tay-tongcu dan hu-tongcu (wakil tongcu) untuk
rencana penyerangan selanjutnya. Tapi dalam rundingan
itu, mereka terbentur pada kenyataan pahit tiada ransum,
tiada uang!
Tanpa ransum, tentara tak dapat bergerak. Jadi sekalipun
lasykar sudah terkumpul sampai ribuan jumlahnya, tapi
tiada gunanya bahkan menimbulkan kesulitan besar
mengenai jaminan makanan mereka. Perang tanpa makan
bagaimana jadinya?
Tadi menurut penuturan Kang Siang Yan, sekalipun Tio
Jiang tak sampai terbunuh, tapi dia sudah dianggap sebagai
pemberontak. Jadi hubungan dengan fihak kerajaan Lam
Beng, sudah putus. Hal ini diinsyafi benar oleh para
perunding, hingga sampai sekian saat mereka tak dapat
menyatakan apa2.
"Apakah sekalian saudara pernah mendengar tentang
cerita kim-jong-giok-toh yang tersiar dikalangan persilatan?"
tiba2 ada seorang tongcu memecah kesunyian.
Sudah sejak beberapa tahun ini, Ceng Bo selalu mondar
mandir sibuk dengan usaha pergerakan Thian Te Hui
Tambahan pula dia orangnya jujur bersih, jadi walaupun
pernah juga dia mendengar desas desus harta karun itu,
namun tak dihiraukannya.
"Belum pernah mendengar!" sahutnya.
"Benar, sejak dari Ang Hun Kiong mencari suhu, akupun
pernah, mendengar hal itu. Katanya harta karun Itu
simpanan dari Thio hian Tiong. Tapi tiada seorangpun
yang tahu akan hal itu dengan jelas. Ada sementara orang
persilatan yang melakukan penyelidikan, ada juga orang2
yang tak ketahuan asal usulnya turut memancing diair
keruh," ujar Kiau To.
Ceng Bo merenung sejenak, lalu berkata: "Ya, biarpun
harta karun itu ada, tapi apa gunanya? Apakah orang dapat
memakan emas berlian?"
"Ah, bukan begitu!" sahut lh Liok, "dengan harta dapat
kita memperolch ransum. Kwisay berbatasan dengan Siam
dan Annam (Vietnam), kedua negeri itu merupakan gudang
beras. Jangan lagi hanya belasan ribu sedang ratusan ribu
orang pun tiada menjadi soal!"
Semangat sekalian hadirin tergugah. Tapi kim-jong-gioktoh
itu se-olah2 merupakan mythos (dongeng) saja, ada
desas desusnya tapi tiada kenyataannya. Menilik namanya,
harta karun itu mempunyai hubungan dengan susunan
tubuh orang, tapi masakan perut (toh) terdapat hartanya?
Tapi ah....., kemungkinan besar hal itu terdapat pada
bangsa patung.
Karena belum mendapat pegangan yang pasti, terpaksa
untuk sementara itu Ceng Bo belum mau menggerakkan
tentaranya. Satu2nya usaha yalah mengadakan hubungan
dengan Li Seng Tong. Dan ini baik kita tinggalkan dulu
untuk mengikuti perjalanan Kang Slang Yan turun dari Lohu-
san tadi.
---oodwkz0tahoo---
Dengan ber-gegas2 wanita gagah itu kembali
kepondoknya, tapi tiba disitu ternyata Tio Jiang dan Yanchiu,
sudab tak kelihatan batang hidungnya, keadaan
tempat itu kalang kabut seperti bekas digarong orang.
Hanya dua hari ia berlalu dan keadaan mereka begitu
payah, andai kata naik ke Giok-li-nia tentu juga berpapasan,
tapi nyatanya kedua anak itu sudah lenyap. Kemanakah
gerangan mereka itu ? demikian Kang Siang Yan bertanya
sendiri. Tiba2 terkilas pada pikirannya, bahwa ketika dia
tiba di Giok-li-nia tadi, Hwat Siau dan isterinya sudah
cepat2 menghilang. Ah....., apa tak mungkin mereka lolos
dan mencari kedua anak muda itu. Kalau demikian halnya,
ia sangat malu. Bukantah tadi ia sudah menyatakan hendak
menjaga Tio Jiang dan Yan-chiu? Jika mereka jatuh
ketangan suami isteri ganas itu, terang akan celaka. Ah.....,
ia bertanggung jawab atas kejadian itu!
Cepat2 ia kemasi pakaian sang cucu, lalu titipkan orok
itu kepada keluarga petani yang tinggal didekat situ.
Kemudian seorang diri ia berangkat mencari jejak kedua
anak muda itu. Tapi dunia begini luas, kemanakah ia
hendak mencarinya.
Memang dugaan Kang Siang Yan itu salah. Pada waktu
ia tiba dan merampas senjata si Bongkok, Hwat Siau dan
Swat Moay yang melihat gelagat jelek, terus memberi
isyarat mata kepada Ho Gak dan Ciu Sim-i. Membarengi
kesempatan keadaan kacau balau, mereka berempat segera
menyelinap angkat kaki langkah seribu. Oleh karena
keadaan hiruk pikuk, jadi tiada seorangpun yang
mengetahui akan tindakan mereka itu. Baru ketika Kang
Siang Yan mencari gerombolan Hwat Siau Itu, orang2
sama mengetahul kalau mereka sudah lari ngacir.
Demi melihat usahanya gagal, Hwat Siau dan Swat
Moay marah.
"Aneh, mengapa Kang Siang Yan tahu kalau kita berada
di Giok-li-nia?" tanya Hwat Siau.
"Huh....., masih bertanya! Siapa lagi kalau bukan anak
haram yang kau hajar tapi belum mampus itu. Begitu Kang
Siang Yan datang, dia tentu menceritakan semuanya!"
Hwat Siau banting2 kaki, serunya: "Jahanam! Budak Iaki
dan perempuan itu tentu masih berada dihutan sana. Ayuh,
kita hajar mereka se-puas2nya!"
Begitulah setelah berunding, keempat orang itu segera
menyerbu ketempat Tio Jlang dan Yan-chiu di sana.
(Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 51 : DITOLONG LINTAH
Kini kita tengok keadaan Tio Jiang den Yan-chiu ketika
masih berada dipondok. Setelah beristirahat sekian lama.
Tio Jiang coba mengambil napas salurkan jalan darahnya.
Peredaran darahnya dapat berjalan baik, tapi tenaganya
tetap masih letih sekali. Bagian yang tertutuk oleh Hwat
Siau tadi, rasanya sakit membara. Dalam rambangannya
(ocehan) itu, sebentar Yan-chiu menangis, sebentar tertawa,
Sebalik dari dihibur, Tio Jiang malah terpaksa menghibur.
Menjelang tengah malam, tetap keduanya masih belum
dapat tidur. Dalam kebatinan, Yan-chiu merasa puas kalau
mati didamping sukonya. Dan ah...., mengapa tak ia
tuturkan sejujurnya tentang peristiwa "pertunangan"
sukonya dengan sucinya itu. Tapi ai....., bagaimana ia
hendak memulainya? Kedengaran ia menghela napas.
"Ah, Lian-suci ternyata juga seorang yang setia akan
kekasihnya!" coba2 ia mencari jalan dalam pembicaraan.
Tapi ternyata Tio Jiang hanya mendengus saja, tanpa.
menyahut apa2.
"Suko, dalam hatimu, kau tentu mempersalahkan suci
yang kau anggap melanggar janji pertunangan, bukan?"
Tetap Tio Jiang tak menyahut.
"Ai....., sungguh cepat nian jalannya waktu. Kini sudah
hampir 2 tahun lamanya. Malam itu bukankah kau tengah
terluka berat terkena hantaman thiat-sat-ciang sikepala
gundul dari Ci Hun Si?"
Terkenang akan periatiwa yang getir itu, hati Tio Jiang
merasa pilu. "Siao Chiu, jangan ungkat perkara itu lagi!"
Yan-chiu tertawa menyeringai. Se-konyong2 ia
kencangkan tenggorokannya lalu menirukan nada suara
"Bek Lian" ketika berjanji pada malam pertunangan itu:
"Aku berjanji suka menjadi isterimu, tenang2lah beristirahat
supaya lekas sembuh! Kata Kiau-susiok, kau telah makan 4
butir pil sam-kong-tan......." Tapi baru ia menirukan sampai
disitu, serentak bergeliatlah Tio Jiang untuk duduk dan
membentaknya: "Siao Chiu !"
"Mengapa?" bantah Yan-chiu. Kata2 yang diucapkan
tadi memang persis seperti yang dikatakan "Bek Lian" pada
malam itu, suatu detik yang berkesan lekat dalam lubuk
kenangan Tio Jiang. Sudah tentu dia tak mau mengingat
hal2 yang menyakiti hati itu. Dan saking marahnya karena
perbuatan sumoaynya itu, dia tak dapat menyahut
pertanyaan Yan-chiu itu.
"Ah...., suko...., suko....!" Yan-chiu menghela napas,
"kau tentu masih menganggap bahwa yang berjanji sanggup
menjadi isterimu itu Lian suci, bukan? Malam itu, ia tak
berada disitu tapi mengikut suhu ke Kwiciu untuk mencari
berita. Yang merawat lukamu, yang kau tanyai apakah suka
menjadi isterimu tidak itu, bukan lain yalah aku!"
Tio Jiang seperti dipagut ular kejutnya. "Siao Chiu,
apakah kau bicara benar? Atau karena kuatir hatiku terluka,
kau lantas mengatakan begitu?" tanyanya.
"Aku seorang yang dalam sebentar lagi akan meninggal,
perlu apa harus membohongimu?" kata Yan-chiu terus
mengeluarkan sepotong ko-giok (batu kumala) dari bajunya.
Seperti diketahui, kumala itu waktu ia kalah judi dirumah
perjudian si Oey Bi-long dikota Bo-bing-hian pernah
diambil oleh pemilik rumah perjudian itu. Tapi ketika
terjadi ribut2 ia berhasil mengambilnya kembali.
"Coba lihatlah, benda apa ini?". tanyanya sembari
serahkan kumala itu pada sukonya.
Kini barulah Tio Jiang sadar mengapa Bek Lian dan
Kang Siang Yan menyangkal terjadinya pertunangan itu.
Serasa hatinya menjadi rawan: "Ah, kiranya Lian suci tak
pernah menyukai aku! Aku sendirilah yang gila basah!"
"Dari awal sampai akhir, ia hanya mencintai The Go
seorang," Yan-chiu menambahi, "sejak The Go digebah
pergi oleh Kiau-susiok, suci seperti kehilangan semangat.
Kau sendirilah yang tolol!"
Kini Tio Jiang berbalik dapat tertawa, ujarnya: "Siao
chiu, bicara terus terang, sudah sejak tahun yang lalu demi
mengetahui sepak terjang Lian-suci yang sedemikian itu,
hatikupun sudah tawar kepadanya!"
Masih Yan-chiu tak mengetahui perasaan Tio Jiang yang
sebenarnya. Ia tetap mengira, sukonya itu tak tahu akan
perasaannya (Yan-chiu) dan tetap menyintai sucinya.
Memang ia lupa akan sifat2 Tio Jiang yang serba jujur itu,
tak seperti Cian-bin Long-kun yang achli mencumbu rayu.
Beberapa kali Yan-chiu secara halus menyatakan perasaan
hatinya, tapi selama itu tampaknya Tio Jiang tetap tak
mengerti. Dan inilah yang membuat Yan-chiu kepada
kesimpulan bahwa sukonya itu masih tetap terkenang akan
Bek Lian.
Maka demi mendengar pernyataan Tio Jiang tadi, ia
setengah kurang percaya. "Benarkah itu? Mengapa?" ia
menegas.
Tio Jiang berpikir sejurus, menyahut: "Kuanggap .....
kuanggap sejak turun dari gunung, sepak terjang Lian suci
itu, tak memenuhi angan2ku. Ia bertindak bertentangan
dengan ajaran2 petuah orang hidup yang diwejangkan."
Dengan susahnya barulah Tio Jiang dapat menguraikan
apa yang terkandung dalam hatinya. Hati Yan-chiu serasa
girang mendengarnya. Tapi demi teringat bahwa hidupnya
hanya tinggal beberapa hari 1agi, ia merasa resah juga.
Ingin benar ia, mencurahkan isi hatinya seketika itu, karena
pikirnya, itulah kesempatan terakhir yang se-bagus2nya.
Tapi mengingat sukonya itu buta cinta, ia kuatir jangan2
malah menerbitkan salah faham nanti. Maka dengan
mengigit gigi, ia tahankan lidahnya.
Sebaliknya karena melihat ia diam saja, Tio Jiang
tampak merenung. Diam2 dia meneliti bahwa dalam
ucapan sumoaynya itu terselip sesuatu yang aneh. "Astaga,
kiranya ia diam2 mencintai aku?" katanya dalam hati.
Tapi sekalipun kini dapat dia merabah hati sang sumoay,
namun tetap mulutnya tak mau menanyakannya. Dia
hanya berdiam diri saja. Kala itu malam sudah jauh larut.
Suasana disekeliling situ ditelan oleh kesunyian lelap.
Kedua anak muda itu masih berkelap kelip matanya,
memandangi sumbu lampu yang memancarkan cahaya.
Yan-chiu menghela napas, tapi tiba2 terdengar ada orang
berkata2 diluar rumah: "Mengapa tengah malam buta
begini, rumah ini masih ada penerangannya2 Ayuh, kita
periksa!"
Menyusul ada beberapa suara orang mengiakan. Tio
Jiang dan Yan-chiu kaget dibuatnya. Malah serentak Yanchiu
sudah loncat bangun, melihat kesana sini. Demi
dilihatnya dibagian belakang pondok itu terdapat sebuah
jendela, buru2 ia berseru: "Suko, ayuh kita merayap keluar
jendela itu!"
Tio Jiang juga menginsyafi bahaya yang bakal
dihadapinya itu. Dengan sekuat usaha dia merayap jendela
itu. Baru saja dia jatuh keluear jendela, atau disebelah luar
mana sudah terdengar orang mengetuk pintu.
Mengapa kedua suko sumoay begitu ketakutan? Kiranya
suara orang yang didengarnya itu adalah suara Hwat Siau.
Cukup mereka sadari, sekalipun tidak dalam keadaan
terluka, masih mereka tak mampu melawan momok itu.
Maka jalan satu2nya, yalah melarikan diri. Untunglah
disebelah luar jendela itu merupakan semak rumput, jadi
waktu Tio Jiang jatuh tadi tak sampai mengeluarkan suara
apa2. Mereka lalu merayap disepanjang halaman rumput.
Bang....., bang...., terdengar pintu dihantam orang.
Oleh karena lukanya ringan, jadi Yan-chiu dapat
merayap lebih cepat. Sedang baru merayap 3 tombak
jauhnya, napas Tlo Jiang sudah ter-sengal2. Yan-chiu
makin gelisah dan kembali didengarnya Hwat Siau berseru
keras: "Tempat pembaringan ini masih terasa hangat, terang
orangnya masih belum jauh. Entah siapa mereka itu, tapi
yang paling perlu kita ringkus dulu!"
Mendengar itu Tio Jyiang segera suruh sumoaynya lari
lebih dahulu: "Siao Chiu, lekas lari dahulu. Aku terluka
parah......tak dapat bergerak lagi!"
"Suko, mengapa kau selalu berpikir demikian. Selalu tak
mengerti bagaimana orang orang ikhlas untuk mati
disampingmu!"
Sampai sekian besarnya, belum pernah Tio Jiang
mendengar ada seorang wanita begitu mesra terhadap
dirinya. Lelaki manakah yang takkan besar hatinya, kalau
mendengar ada seorang gadis mengucap kata2 begitu
terhadapnya? Sesaat hati Tio Jiang serasa bahagla dan
kekuatannyapun bertambah. "Tidak, Siao Chiu! Kita akan
hidup ber-sama2. Belum lagi jatuh ketangan musuh,
mengapa kau ucapkan kata2 mati?" serunya kemudian.
Tukar menukar pernyataan itu, melebihi seribu kata yang
manis. Memang kebahagiaan yang murni itu terletak pada
kesederhanaan. Segala yang berkilau itu belum tentu emas
adanya. Memang kena betullah ujar yang mengatakan
begitu itu. Gaya lahiriyah yang ber-lebih2an itu,
kebanyakan kosong melompong.
Yang satu mengatakan 'mati ber-sama2' dan yang lain
menyatakan 'hidup ber-sama2'. Adakah lain kata2 lagi
dalam kamus-asmara yang lebih sederhana tapi lebih murni
daripada bahasa yang diucapkan oleh Tio Jiang - Yan-chiu
itu tadi ?
Tanpa disadari, Yan-chiu tarik tangan sukonya untuk
diajak merayap pe-lahan2. Kira2 setombak jauhnya, tiba2
disebelah muka tampak ada cahaya kilauan air. Berpaling
kearah rumah, Yan-chiu dapatkan keempat musuh itu
sudah pencarkan diri untuk mencarinya. Sedang disebelah
muka situ ternyata ada sebuah payau (kolam) besar.
Satu2nya jalan bersembunyi didalam payau situ. la
memberitahukan maksudnya itu kepada sang suko.
Begitulah keduanya segera benamkan diri kedasar payau.
Tapi sebelumnya, mereka mencari 2 batang pelepah alang2.
Pelepah alang2 yang tengahnya merupakan pipa berlubang
itu, dimasukkan kedalam mulut sedang ujung lainnya
dijulangkan keatas permukaan air. Ini untuk menyalurkan
napas dikala mereka terbenam dalam dasar air. Tak berapa
lama berada dalam air, Tio Jiang rasakan pundaknya gatal2
enak. Dan itu tepat pada bagian lukanya. Tapi dia tak
berani bergerak merabahnya karena kuatir menerbitkan
goncangan air.
Kira2 setengah jam lamanya, barulah Yan-chiu berani
munculkan kepala dipermukaan air. Dilihatnya keadaan
disekeliling situ sudah sunyi senyap. la duga Hwat Siau
berempat sudah pergi. Tapi baru saja ia hendak berbangkit
keatas, tiba2 didengarnya dalam rumah itu ada semacam
suara lagi. Terpaksa ia batalkan niatnya.
Sebenarnya kalau itu waktu Yan-chiu terus lanjutkan
niatnya tadi, ia akan selamat tak kurang suatu apa, karena
yang berada dalam rumah itu bukan lain adalah Kang Siang
Yan. Tapi bagaimana Yan-chiu dapat mengetahui hal Itu?
Jadi ia tak dapat dipersalahkan. Baru sejam kemudian, ia
berani muncul lagi. Kini Tio Jiangpun ikut merayap keatas
daratan. Tapi demi melihat bahu Tio Jiang, berdirilah bulu
roma Yan-chiu. "Suko, lihatlah pundakmu itu!" serunya
menjerit.
Pada waktu naik kedarat, tenaga Tio Jiang sudah
bertambah, luka yang mengontar-ngontar dibahunya itupun
sudah tak terasa sakit lagi. Maka heran dia dibuatnya
mendengar jeritan sumoaynya tadi. Ketika memeriksa
bahunya, diapun bergidik. Kiranya pada bagian luka
dibahunya itu penuh dikerumuni lintah. Bukan seekor dua
ekor, tapi berpuluh2 ekor jumlahnya! Dirangkumnya
beberapa ekor, dan nyatalah binatang2 Itu gemuk2 semua
berisi darah. Tio Jiang teringat, bahwa lintah itu dapat
mengisap darah, baik yang beracun maupun tidak. Adakah
peracunan darah dari luka yang diberikan Hwat Siau itu,
sudah dihisap habis oleh binatang2 itu? Dengan kedua
tangan, dia mencabuti habis lintah2 itu Benar lukanya
masih bernoda, tapi kini sudah tak sakit lagi rasanya. Hal
itu sangat menggirangkan Tio Jiang, karena tanpa sengaja
dia telah sembuh dari lukanya. Kini dia nyatakan hendak
pergi ke Lo-hu-san.
"Suko, jangan ter-buru2 kesana dulu. Temanilah aku
pesiar ke-mana2 barang sebari dua hari saja" buru2 Yanchiu
mencegahnya.
"Kenapa?" tanya sang suko.
Tetap Yan-chiu tak mau mengatakan yang sebenarnya,
sahutnya: "Aku ingin jalan2 bersamamu. Kalau sudah
berada di Lo-hu-san, banyak pekerjaan dan banyak orang
jadi kurang menggembirakan!"
"Siao Chiu, suhu dan lain2 saudara pasti me-nunggu2
kita, mengapa kita seenaknya pesiar sendiri ?"
Yan-chiu tak dapat mengatakan penderitaannya, yani
mengenai jalan darah chit-jit-hiat yang tertutuk itu.
Menurut perhitungannya, kini sudah berjalan 5 hari, jadi
jiwanya tinggal 2 hari lagi. Biarlah dalam hari2 yang
terakhir Itu, ia puaskan hatinya berada didamping sang
suko. Maka demi mendengar Tio Jiang menolak itu, ia
marah2 sembari banting2 kaki: "Aku belum pernah minta
apa2 padamu. Sekarang aku hanya minta kau mengawani
aku barang dua hari saja dan kau sudah menolak!" Sampai
disitu hatinya pilu sekall, katanya pula dengan suara tak
lampias: "Mungkin hanya hidup dua hari saja, apa kau
tetap tak mau mengawani aku?" '
Tio Jiang terkesiap, tegasnya: "Siao Chiu, kau
mengatakan apa itu?"
Tahu kelepasan omong, buru2 Yan-chiu menutupi,
dengan tertawa: "Nasib orang tak dapat ditentukan. Apa
yang terjadi besok hari, kita tak tahu. Ayuh, temanilah aku
barang dua hari saja!"
"Ya, baiklah. Tapi kemana kita hendak pesiar?" akhirnya
Tio Jiang mengalah.
Yan-chiu berpikir sejenak lalu menyahut: "Ke Kwiciu
dulu!"
Hanya ketika Thian Te Hui mengadakan tantangan
luitay dengan sam-tianglo gereja Ci Hun Si tempo hari, Tio
Jiang pernah tinggal beberapa hari di Kwiciu. Tapi dalam
waktu itu, dia tak mempunyai kesempatan untuk
menikmati tempat2 pemandangan yang indah dari daerah
itu. Subonya (ibu guru) Kang Siang Yan sudah menuju ke
Lo-hu-san, jadi rasanya disana tentu takkan terjadi apa2.
Kini Yan chiu berkeras mengajaknya pesiar, apalagi kini dia
tahu sudah bagaimana perasaan hati sumoaynya itu
terhadap dirinya, jadi tak enaklah rasanya untuk menolak.
Memang dalam hati kecilnya, diapun mempunyal suatu
'perasaan' ter-hadap sumoaynya itu. Hanya saja perasaan
itu secara sadar, tak segelap ketika tempo hari dia membabi
buta terhadap Bek Lian.
Kala dia mencintai sucinya, dia hanya dirangsang oleh
impian yang muluk2, impian yang menjadikan dia seperti
orang kalap, buta kenyataan, Tapi kini terhadap Yan-chiu,
dia merasakan suatu kebahagiaan hidup yang indah murni.
Memang dicinta dan menyinta, adalah suatu berkah
kebahagiaan hidup insani.
Begitulah keduanya segera ayunkan langkahnya menuju
ke Kwiciu. Belum lama berjalan, tibalah mereka digereja
Kong Hau Si. Yan-chiu lebih luas pengetahuannya ilmu
surat daripada sukonya. Demi melihat gereja itu, ia segera
hentikan langkahnya.
"Suko, gereja Kong Hau Si ini merupakan sumber
leluhur dari para siansu dan cousu yang menjadi soko guru
dari dunia persilatan. Ketika Tat Mo Cuncia menginjak
daerah Tiongkok, beliau telah menetap disini. Ilmu
pelajaran yang dipancarkan gereja itu, berkembang sampai
6 jaman, puncak kejayaannya terjadi ketika pada jaman
ahala Tong. Disitu terdapat pula masoleum jenazah Liokcou
(soko guru ke 6) Hui Leng. Berulang kali' Tay Siang
Siansu mengatakan padaku, bahwa sumber ilmu lwekang
sakti dari partai gereja itu, berpokok pada ajaran Liok-cou
tersebut. Ayuh, kita masuk me-lihat2!"
Tio Jiang menurut saja. Gereja Kong Hau Si merupakan
salah sebuah yang terbesar dari 4 gereja di Kwiciu. Sudah
tentu segala apa, baik alat? dan upacara persembahyangan
maupun perhiasan2nya, serba meriah agung. Asap
pendupaan selalu ber-kepul2 dari para pengunjungnya yang
tak berkeputusan jumlahnya itu.
Setelah me-lihat2 arca2 dan patung2 dewa yang terdapat
diruangan besar, mereka berdua lalu menuju keruangan
sembahyangan yang berada disebelah barat. Tapi baru
berjalan beberapa tindak, tampak para paderi disitu sama
ber-lari2 keluar. Berbareng dengan saat itu terdengarlah
seruan berisik dari luar pintu. Para pengunjung yang tengah
bersembahyang, sama menyingkir semua..
"Sicu, harap menyingkir dahulu!" tiba2 ada seorang
paderi meminta pada Tio Jiang dan Yan-chiu.
Yan-chiu kurang senang tampaknya. Ia pura2 tak
mendengar dan malah deliki mata kepada hweshio itu:
"Mengapa harus menyingkir?"
"Nona, harap jangan marah. Keluarga Hui-kok-kong
hendak bersembahyang kemari!" sahut hweahio itu dengan
mengisak napas.
Mendengar nama "Hui-kok-kong" (gelar bangsawan) itu,
kedua anak muda itu sama terkesiap heran. "Suko,
bukankah Hui-kok-kong itu gelar dari Li Seng Tong?" tanya
sigadis.
Tio Jiang mengiakan.
Ketika Li Seng Tong menakluk pada Lam Beng,
kerajaan Lam Beng telah menganugerahkan pangkat Tongan-
peh (panglima wilayah timur), tapi Li Seng Tong
menolak. Lain Beng menaikkan lagi dengan pangkat raja
muda, tapi tetap dia tak mau. Kerajaan Lam Beng bohwat
(tobat) benar terhadap jenderal itu. Ini disebabkan karena
sewaktu menakluk, kekuatan tentara yang dibawa Li Seng
Tong itu jauh lebih kuat dari kerajaan Lam Beng sendiri.
Akhirnya terpaksalah Lam Beng memberi gelar Hui-kokkong
(kakek raja yang berjasa besar). Dengan seluruh anak
buahnya dia menjaga wilayah Kwiclu sebelah utara,
sehingga dengan demikian untuk sementara waktu aman
tenteramlah kedudukari baginda Eag Lek dikota raja Siau
Ging. Oleh karena mati hidupnya kerajaan Lam Beng boleh
dibilang tergantung padanya, maka seluruh menteri
kerajaan, rakyat jelata sampaipun kaum gereja sama
mengindahkan sekali kepadanya.
Bahwa seorang pemuda dan pemudi macam Tio Jiang
dan Yan-chiu berani memanggil nama Li Seng Tong, telah
membuat hweshio itu ketakutan setengah mati lalu buru2
ngacir.
Pada saat itu tampak ada sebuah tandu besar berhenti
dimuka pintu gereja. Dibelakang masih ada rerotan tandu2
kecil. Lima orang hamba perempuan ter-sipu2
membukakan pintu tandu dan memimpin keluar seorang
wanita. Melihat siapa adanya wanita agung itu, tak dapat
Yan-chiu mengendalikan tertawanya.
"Kukira siapa, tak tahunya dia! Apakah sekarang dia
sudah menjadi nyonya Li Seng Tong?" tanya Yan-chiu
kepada sukonya.
"Siapa tahu!" juga Tio Jiang merasa heran.
Siapakah gerangan nyonya bangsawan itu? Ia tak-lain
tak-bukan adalah si Lamhay-hi-li Ciok Siao-lan. Walaupun
pada saat itu ia ditabur dengan pakaian kebangsawanan
yang bertaburkan ratna mutu manikam, tapi dari kerut
dahinya, tampak tegas sinar kedukaan. Setelah masuk
kedalam ruangan besar, ia menerima dupa dari seorang
hweshio, lalu komat-kamit entah apa yang didoakan itu,
"Suko, coba terka, ia mendoa apa itu?" tanya Yan-chiu.
"Ah, apa lagi kalau bukan mohon pada Po-sat (dewa)
aupaya memberkahi Li Seng Tong dengan kemenangan!"
Yan-chiu menggeleng, ujarnya: "Kukira tidak begitulah.
la mendoa pada Po-sat supaya membantunya mencarikan
Cian-bln Long-kun!"
Ketika mengucapkan kata2 "Cian-bin Long-kun" itu,
nada
Yan-chiu agak tinggi. Oleh karena pada saat itu orang2
sama bersembahyang jadi suasana hening sekali, maka Ciok
Siao-lanpun dapat mendengarnya dan terus berpaling
kebelakang. Demi melihat siapa yang berada dibelakangnya
sana, tanpa terasa berserulah ia dengan terkejut girang: "Hai
........" Mulut berteriak, tangan menekan meja dan tubuhnya
terus loncat melayang kearah Tio Jiang dan Yan-chiu.
Sewaktu para dayang sahaya sama terbeliak kaget, ia
sudah menghampiri kedua anak muda tadi seraya
mengucapkan tegur salam yang hangat: "Ah, Po-sat
sungguh maha pengasih. Selama setahun ini, aku jarang
bersua dengan kaum persilatan. Tak kusangka hari ini dapat
berjumpa dengan kalian disini. Adakah kalian mengetahui
dimana Cian-bin Long-kun sekarang ini?"
Yan-chiu memandang sukonya, se-olah2 hendak dia
katakan "tu lihat, benar tidak dugaanku tadi."
"Dia berada di Giok-li-nia gunung Lo-hu-san!" sahut Tio
Jiang.
Girang Siao-lan bukan kepalang, ujarnya: "Tuhan maha
kuasa, tak men-sia2kan harapan orang!"
"Ciok Siao-lan, The Go itu seorang manusia, yang
berhati binatang, bukan orang"
"Ah, kalian benci padanya!" buru2 Siao-lan menukas
kata2 Tio Jiang itu "tapi apa yang kulakukan selama ini
rasanya masih ada kelebihannya untuk menebus
kedosaannya!"
"Apa yang kau lakukan.?" tanya Yan-chiu.
"Apa kau tak tahu bahwa karena akulah maka Li Seng
Tong membalik diri terhadap kerajaan Ceng? Dia cinta
padaku, ini cukup kuketahui. Tapi hatiku hanya pada
engkoh Go seorang. Oleh karena kini sudah kuketahui
dimana tempat beradanya, aku tentu akan mencarinya!"
kata Siao-lan dengan bersemangat. Tio JIang dan Yan-ciiiu
terkesiap. Tempo mereka berjumpa dengan Siao-lan
digedung Li Seng Tong tahun yang lalu, itu waktu tentara
Ceng tengah dikerahkan untuk mengepung Hoasan. Setelah
Hoasan selesai, Li Seng Tong ditugaskan untuk membasmi
kawanan bajak Lamhay (laut selatan) yang menentang
pemerintah Ceng. Ah, disitulah dia berjumpa dengan
asigadis hitam manis itu. Tentu Lamhay hi-li atau gadis
nelayan dari Lamhay Ciok Siao-lan Itulah yang
menganjurkan agar jenderal itu dengan seluruh anak
tentaranya di Kwiciu, menakluk pada kerajaan Lam Beng.
Apabila Li Seng Tong mau menuruti usulnya itu, Siao-lan
rela menyerahkan diri pada jenderal itu. Sebagaimana telah
diketahui, Li Seng Tong yang. sudah tergila-gila akan
sigadis hitam manis itu, telah berpaling haluan terhadap
kerajaan Ceng dan dengan seluruh anak buahnya menakluk
pada Lam Beng. Dan kini menjadilah Ciok Siao-lan
nyonya, bangsawan agung Hui-kok-kong Li Seng Tong.
Mimpipun tidak kedua anak muda itu bahwa Siao-lan
telah memainkan peranan besar dalam menentukan nasib
kerajaan Lam Beng yang pada hakekatnya sudah senin
kamis menunggu keruntuhannya. Sebagai seorang pejoang
kemerdekaan, tergerak hati Tio Jiang. Dia tahu bahwa nona
itu masih tetap mencintai The Go. Bahwa dengan
keberangkatan Kang Siang Yan ke Giok-li-nia, The Go
pasti akan mengalami malapetaka hebat telah membuat Tio
Jiang buru2 menganjurkannya: "Kalau pergi lekaslah pergi,
terlambat sedikit saja dia pasti sudah binasa!"
Siao-lan tak mau banyak bertanya lagi. Ia melangkah
kemuka tandu untuk mengambil senjata sam-ko-hi-jat (garu
penusuk ikan), kemudian serunya kepada pengawalnya:
"Pulang beritahukan kepada ciangkun (jenderal), bahwa aku
pergi!"
Serentak ada dua pengawal menghadangnya. "Nyonya,
janganlah!" serunya mencegah.
Sekali tarik, ia lepaskan baju kebesarannya itu. Kini ia
kembali mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan kulit
ikan, yalah macam dandanan yang dikenakan seperti tempo
ia masih berada dilautan. Kiranya niat untuk mencari The
Go itu sudah lama direncanakan. Se-waktu2 diketahui
tempat tinggal pemuda tambatan hatinya itu, ia segera akan
bertolak kesana.
Sring...., sring...., sring, ia bolang balingkan hi-jatnya.
Begitu kedua pengawalnya tadi menyingkir, ia segera
melesat keluar pintu gereja: Gegap gempita keadaan saat
itu. Barisan pengawal segera coba menghadangnya, tapi
karena nona hitam manis itu bukan seorang yang lemah
ilmu silatnya, jadi merekapun tak kuasa mencegahnya.
Sekejab saja, siao-Ian sudah lari jauh2.
Melihat kejadian itu, Tio Jiang dan Yan-chiu tak henti2-
nya menggeleng kepala.
"Ah......, diluaran sini terlalu berisik, mari kita masuk
saja!" ajak Yan-chiu.
Baru membiluk pada sebuah ruangan, ternyata keadaan
disitu jauh bedanya dengan diluar tadi. Suasana disitu
hening tenteram sekali. Demikian kedua muda mudi itu
melihat2 keadaan tempat itu untuk beberapa lama. Kalau
hati Yan-chiu resah tak keruan, adalah Tio Jiang tak
putusnya menghela napas mengagumi keindahan gereja
agung itu.
Bukan saja pagodanya yang disebut Cian-hud-tha
(pagoda seribu arca) serta Lo-han-tong (ruangan yang
penuh dengan arca lukisan para orang gagah), sampaipun
barisan pohon bodi raksasa yang menjulang tinggi
mengatapi halaman gereja itu dari sinar mataharl yang
terik, telah membuatnya kagum tak terhingga. Dihala
menikmati pemandangan segala seuatu yang terdapat
dalam gereja besar itu, timbullah suatu perasaan lain dalam
lubuk hati Tio Jiang. Serasa dia berada dalam dunia lain
yang dilingkupi oleh ketenangan dan ketenteraman abadi.
Jalan punya jalan, tibalah mereka pada eebuah pagoda 7
tingkat yang tinggin ya hampir 2 tombak. Dimuka pagoda
itu terdapat plakat yang bertullskan "Liok-cou gi hwat thak"
(menara tempat rambut Liok-cou). Dari situ membiluk,
sampailah pada sebuah dinding tembok. Pemandangan
yang terdapat disitu hanyalah semak belukar rumput yang
menjalar liar, merupakan sebuah tempat yang tak terurus
Iagi. Tanpa sengaja Tio Jiang melihat kearah dinding itu
dan se-konyong2 dia tertegun kesima.
"Siao Chiu!" dia meneriaki sumoaynya:
"Ah, disini tak ada apa2nya, ayuh kita pergi saja!" sahut
Yan-t yhiu.
"Tunggu sebentar!" seru Tio Jiang sembari melangkah
maju kearah dinding. Tiba2 dia menghantam tepian dinding
sebelah atas yang segera gugur sebagian besar.
"Siao Chiu, lihatlah kemari!" seru Tio Jiang sembari
menunjuk pada sebuah bagian dinding. -
Ketika. Yan-chiu menghampiri, dilihatnya pada batu
merah dinding itu terdapat ukiran beberapa huruf kecil dan
disebelahnya terdapat lukisan sebatang golok bulan sabit.
"Apa2an ini, ayuh pergi saja!" seru Yan-chiu.
Melihat lukisan golok bulan sabit itu, teringatlah Tio
Jiang akan ilmu golok yang dilihatnya dibatu besar tempat
kediaman suku Thi-thing biau digunung Sip-ban-tay-san
tempo hari. Tapi oleh karena tangannya sudah keburu
ditarik Yan-chiu, jadi dia tak dapat menegasi lagi dengan
seksama.
Begitu setelah tinggalkan pagoda Gi-hwat-thak situ,
kembali mereka, menuju keruangan Liok-cou-tian. Tiba2
dari arah muka tampak ada lima enam orang berjalan
mendatangi, Hendak Yan-chiu menyingkir, tapi telah
keburu dipergoki mereka salah seorang dari mereka itu
segera ayunkan tubuhnya menghadang didepan kedua anak
muda itu.
Melihat penghadangannya itu, Tio Jiang menyurut
setindak kebelakang sembari turunkan tubuhnya kebawah.
Wut........., dia kirim sebuah hantaman. Tapi orang itupun
gerakan tangannya untuk menangkis. Tio Jiang tak mau
adu kekerasan, cepat2 dia tarik pulang tangannya. Tapi
justeru sebelumnya orang itu maju setindak untuk
memburunya. Terpaksa Tio Jiang tarik tangan sumoaynya
untuk diajak loncat beberapa tindak kesamping. Namun
lagi2 kawanan orang itu maju mengepung.
"Hwat Siau dan Swat Moay, mengapa kalian selalu
hendak mencelakai kami berdua?" seru Tio Jiang dengan
murka.
Memang tak salah kiranya. Orang2 itu adalah Hwat Siau
dan Swat Moay, Hek-bin-sin Ho Gak, Sam-chun-ting Ciu
Sim-i dan rombongannya.
"Apa kerja kalian disini?" Swat Moay tertawa sinis.
Oleh karena tak tahu isi yang sebenarnya dari teguran
orang itu, menyahutlah Tio Jiang secara jujur, bahwa dia
hanya pesiar me-lihat2 keadaan gereja agung Itu.
"Hem, dikolong langit yang. sedemikian luas kalian tak
melulu pesiar, tapi sebaiknya perlu mengunjungi tempat ini
ya?" kembali Swat Moay menyeringai,
"Ada apanya yang dibuat heran?" tanya Tio Jiang.
Swat Moay perdengarkan suara dingin. Ekor matanya
melirik kearah Yan-chiu, lalu mengancam halus: "siao-ahthau,
kalau benar2 kau tak takut mati, jangan bicara
sejujurnya. Apakah benar2 kalian hanya datang pesiar
saja?"
Heran Yan-chiu dibuatnya mengapa orang bertanya dan
me-negas2 begitu. la pun menggagah (memandang dengan
menantang) pada wanita iblis itu dan balas bertanya:
"Kalau ya bagaimana, jika tidakpun bagaimana?"
Belum isterlnya menyahut, Hwat Siau sudah naik darah.
Maju selangkah dia lancarkan sebuah tamparan. Tio Jiang
buru2 menghindar kesamping. Dengan tubuh miring
menurut gerak gaya hong-cu-may-ciu (sigila menjual arak),
dia tusuk lambung orang pada jalan darah te-ing-hiat,
"Ha, mau mengajak berkelahi?" seru Hwat Siau sembari
menghindar.
Tio Jiang seorang jujur polos. Terang bahwa dia bukan
lawan orang itu, namun tak dapat dia berbohong main
siasat,
"Terserah, berkelahipun boleh!" seru Tlo Jiang sembari
tegakkan tubuh. Begitu tangan kanan dipalangkan kemuka
dada, tangan kiri maju mendorong.
Dia jujur, tapi orang menjadi curiga. Memang Swat
Moay tak percaya kalau kedua anak muda itu hanya pesiar
saja digereja situ. Maka begitu melihat sikap Tio Jiang
keras, sudah tentu ia makin curiga. Ini memang sudah
lazim terhadap orang yang berniat busuk, Karena takut
dicurigai, dia tentu banyak curiga terhadap lain orang.
Justeru dia berjumpa dengan seorang jujur macam Tio
Jiang.
Atas dorongan tenaga Tio Jiang yang maha dahsyat itu,
Hwat Siau segera menangkis lalu hendak balas menyerang.
Tapi tiba2 dicegah oleh isterinya. Setelah mengetahui
disekeliling tempat situ tiada lain orang lagi, berkatalah
Swat Moay kepada Yan-chiu: "Apakah kalian sudah
menemukan dan apakah rombonganmu segera menyusul
datang?"
Bermula tak tahu Yan-chiu apa yang dikatakan oleh
Swat Moay itu. Tapi setelah direnungkan sejenak, ia
mendapat juga sedikit penerangan. Bukan sebulan dua
bulan tapi hampir satu tahun lamanya kedua suami isteri itu
membawanya (Yan-chiu) mengidari seluruh tempat
diwilayah Kwiciu. Maksud mereka yalah untuk menyelidiki
adanya harta karun kim-jiang-giok-toh itu. Jadi teranglah
sudah kini, kalau mereka tentu hendak mencari harta karun
itu. Dilihat naga2nya, apakah mereka sudah mengetahui
tempat beradanya harta besar itu? Apakah digereja Kong
Hau Si sini tempatnya? Ah, biarlah ia 'bergerak turut tiupan
angin' saja.
"Benar, rombonganku sudah datang secara besar2an!"
sahutnya.
"Siao Chiu ........!" seru Tio Jiang dengan heran, tapi
cepat diberi isyarat mata, oleh sumoaynya.
Makin keras dugaan Swat Moay. Teriakan Tio Jiang itu
diartikan supaya sumoaynya jangan memberitahukan. Pada
hal tidak demikian, karena Tio Jiang sendiripun merasa
heran: "Oo, mereka belum datang bukan?" tanya Swat
Moay.
Yan-chiu mendongak tertawa keras, ujarnya: "Benar,
tapi kalianpun bakal takkan mendapatnya!"
"Siao-ah-thau, kalau kubuka jalan darahmu chit-jit-hiat
itu, lalu kau bagaimana?" tanya Swat Moay, Tio Jiang
terbeliak kaget.
"Chit-jit-hiat apa? Siao-chiu, apa jalan darahmu
ditutuknya ?"
"Engkoh kecil, benar begitu. Orang yang kau kasihi itu,
hanya tinggal 2 hari hidupnya! Ha....., ha......, kau gelisah
tidak ?!"
Teringat Tio Jiang bahwa sejak pertemuannya Yan-chiu
paling belakang ini, memang sang sumoay itu berlaku aneh
sikapnya. Ah, jadi demikian halnya. Tak terasa, tubuhnya
mengeluarkan keringat dingin.
"Siao Chiu, ayuh kita lekas menobros keluar minta
pertolongan pada suhu!"
Swat, Moay tertawa iblis : "ilmu tutuk pada jalan darah
istimewa itu, dikolong jagad ini hanya kami berdua saja
yang kuasa membukanya!"
"Kalau begitu, ayuh bukakanlah!" seru Tio Jiahg dengan
serentak.
(Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 52 : PERANG TANDING
Hwat Siau dan Swat Moay tertawa ter-kekeh2, ujarnya:
"Wahai, apakah didunia ini terdapat hal yang begitu
murahnya?"
"Habis, apa maksud kalian?" bentak Tio Jiang dengan
gusar.
"Selekas kau katakan dimana letak 'kim-jiang-giok-toh'
itu, selekas itu pula akan kubuka jalan darah siao-ah-thau
itu!" Swat Moay menyahut dengan berbisik.
Usus emas perut permata atau kim-jiang-giok-toh yang
dimaksudkan itu, serambut dibelah tujuhpun Tio Jiang tak
tahu sama sekali. Maka terbeliaklah dia. Kala dia belum
dapat menyahut, Yan-chiu sudah menyanggapinya:
"Jangan mimpi kejatuhan rembulan! Jangan lagi tidak tahu,
sekalipun tahu, tak nanti kami memberitahukan kepada
kalian bangsa budak Ceng !"
Merah darah muka Swat Moay seperti kepiting direbus.
"Kau tidak takut mati, ha?!" bentaknya.
Yan-chiu tertawa sinis, sahutnya: "Kaulah yang takut
mati!!! Kalau tak menemukan 'kim-jiang-giok-toh' tuanmu
pasti takkan memberi ampun padamu !"
Kata2 yang terakhir itu, tepat sekali mengenai
kandungan hati Swat Moay. Karena lama sekali Hwat Siau
dan Swat Moay bersama ke 18 jagoan didaerah selatan
tiada kabar beritanya, maka Sip-ceng-ong Tolkun segera
mengutus Hek-bin-sin Ho Gak dan kawan2 menyusul
dengan pesan: lain2 persoalan misalnya gerakan Thian Te
Hui dan sebagainya tidaklah begitu penting. Tapi yang
mutlak adalah soal harta karun peninggalan Thio Hian
Tiong itu, harus didapatkan.
Maka dapat dibayangkan betapa gelisah hati kedua
suami isteri itu karena Yan-chiu menolak keras untuk
memberitahukan letak harta karun itu. Tapi sebagal kepala
jagoan yang kenyang pengalaman, mereka tetap menguasai
perasaannya.
"Ratakan Kong Hau Si, pasti akan ketemu. Apanya yang
susah sih?" Swat Moay tertawa dingin.
Tapi mulut Yan-chiu yang tajam itu segera menusukkan
lagi kata2 yang pahit: "Disini adalah daerah kekuasaan
kerajaan Tay Beng, mana dapat kalian ber-suka2 sendiri !
Ayuh, kalau benar2 mempunyai kepandaian, mari
unjukkanlah !"
Walaupun mulutnya menggarang, namun hatinya tak
lepas dari kegoncangan. Tanpa disangka-sangkanya,
perpesiarannya ke gereja Kong Hau Si itu telah mempunyai
arti yang penting. Kiranya gereja agung itu menjadi
simpanan dari harta karun yang menjadi buah bibir setiap
orang. Mengingat betapa pentingnya hal itu terhadap
kelangsungan gerakan Thian Te Hui menentang penjajah,
Yan-chiu membuladkan tekadnya dan memperkecil harga
jiwanya sendiri.
Swat Moay adalah kepala jagoan yang mempunyai
kepandaian tinggi. Tapi dalam menghadapi keadaan yang
sepenting itu, mereka tak berani sembarangan turun tangan.
Jadi kedua fihak sama2 gelisah, yang satu kuatirkan
kepandaian fihak lawan, yang lainpun takut2 kalau rahasia
harta karun itu tetap tak diketahuinya.
Pada saat2 kedua fihak berdiam diri, tiba2 dari ujung
ruangan sana tampak muncul seseorang. Mata Yan-chiu
yang tajam segera dapat menangkapnya. "Kiau-jisiok!"
serunya dengan girang.
Orang itu mengenakan ikat kepala warna putih hitam,
sikapnya gagah dan memang tak lain adalah Kiau To.
"Siao Chiu, kaupun disini!" iapun segera menyahut
dengan gembira. Tapi begitu tampak Hwat Siau dan Swat
Moay berada disini, segera dia kerutkan alisnya.
"Hai, kiranya kedua saudara Song yang 'mulia' juga
berada disini!" serunya sembari mencabut jwan-pian. Tanpa
banyak ini-itu lagi, dengan jurus ceng-coa-jut-cui (ular hijau
keluar keair) dan kuay-bong-jan-mo (ular melibat batu), dia
segera menghantam kearah salah seorang dari rombongan
Hwat Siau yang berada disamping situ. Orang itu tak
keburu berkelit hingga kakinya kiri kena tergubat. Sekali
Kiau To menyentakkan tangannya, orang itu segera
terlempar keatas atap rumah, geluduk....., geluduk......
Berdasarkan dengan suara keras itu, muncullah sekawan
hweshio. Demi menampak Kiau To, mereka segera
menegur dengan serempak: "Kiau sicu, ada urusan apa?"
Kiau To dahulu adalah seorang murid hweshio dari
gereja Liok Yong Si, jadi banyaklah para hweshio Kong
Hau Si situ yang mengenalnya. Sebaliknya Kiau To pun
cukup tahu bahwa walaupun gereja Kong Hau Si situ
menjadi tempat pangkalan menetap Tat Mo Cuncia, tapi
para hweshio gereja situ tiada seorangpun yang mengerti
ilmu silat.
"Harap kalian menyingkir saja. Orang2 itu adalah
kawanan budak bangsa Ceng, satupun tak boleh diberi
ampun !" sahut Kiau To.
Orang yang dilontarkan keatas atap rumah tadi, memang
salah satu dari sisa ke 18 jagoan yang dipimpin oleh Hwat
Siau. Dengan munculnya Kiau To, Hwat Siau dan
rombongannya segera menduga bahwa rombongan Thian
Te Hui dengan tokoh2nya seperti Kui-ing-cu, Ceng Bo
siangjin, Kang Siang Yan dan lain-lain sudah tiba disitu.
Cepat Hwat Siau bersuit keras selaku tanda, kemudian
dengan dipeloporinya dia segera menerjang kemuka.
Sesaat tangan Hwat Siau menghantam kemuka, Kiau To
segera rasakan dadanya sesak untuk bernapas. Tapi dengan
empos semangatnya, Kiau To segera gunakan pangkal
jwanpian (ruyung lemas) untuk menutuk jalan darah kibun-
hiat didada lawan. Hwat Siau kisarkan tangannya
kesamping untuk merebut ruyung.
Duapuluh tahun lamanya Kiau To melatih diri dalam
permainan ilmu ruyung. Jadi ruyung itu se-olah2 menjadi
bagian dari tubuhnya yang dapat digerak-goyangkan
menurut sang kemauan. Disempurnakan lagi dengan ilmu
ruyung Liok-kin-pian-hwat yang kaya dengan gerak
perobahan sukar diduga itu, Kiau To laksana seekor
harimau yang mempunyai sayap.
Gerakan Hwat Siau tadi memang sebat sekali, tapi mana
dapat semudah itu dia hendak merebut ruyung Kiau To?
Sekali tangan Kiau To menurun, tiba2 ruyung yang tegak
lurus itu berobah mendatar untuk menyapunya. Maka
betapapun lihaynya kepala jagoan pemerintah Ceng itu,
namun dalam sesingkat waktu tak dapatlah dia lolos darl
libatan -Kiau To.
"Berpencar lolos!" kedengaran dia menyerukan
kawannya.
Mendengar seruan itu swat Moay segera mendahului
tampil kemuka, tapi Tio Jiang tak mau membiarkan begitu
saja, lalu menghadangnya. Tahu bahwa dirinya bukan
lawan wanita iblis itu, namun Tio Jiang tetap memburunya
dengan mati2-an. Yan-chiupun tak mau berpeluk tangan.
Begitu dia, merampas sebatang pentung dari salah seorang
hweshio, ia segera main menyapu,
Ruangan disitu amat sempit. Tatkala Yan-chiu "menari"
dengan pentungnya, rombongan Hwat Siau tak dapat
pencarkan diri dan terpaksa terdesak diujung sudut. Dari
kawanan kaki tangan pemerintah Ceng itu, rupanya samchun-
ting Ciu Sim-i yang paling lincah, ketambahan pula
tubuhnya kate kecil. Seperti kelinci menyusup, dia segera
menobros di-sela2 kawannya dan serta sudah tiba dimuka
terus menempur Yan-chiu dengan tan-to (golok).
Melihat ada lubang kesempatan, Hek-bin-sin Ho Gak
enjot tubuhnya keatas. Pada saat2 dia merasa akan dapat
mencapai wuwungan atap, se-konyong2 ada deru senjata
mengaum diudara dibarengi dengan kilauan cahaya
berkilat. Saking kagetnya buru2 dia surutkan kepalanya
kebelakang, tapi tak urung segumpal rambut kepalanya
telah terpapas. Mendongak keatas dilihatnya ada seorang
wanita mencekal sepasang gelang kim-kong-lun. Gelang itu
besar dan kecil, pada kedua lingkarannya, dalam dan luar
terdapat gigi2 yang tajam.
"Siao-ko-ji (engkoh kecil), kemana perginya adikku?"
serunya meneriaki Tio Jiang.
Ya, memang wanita itu bukan lain adalah Kim-kong-lun
Ciok ji-soh, itu kakak ipar dari Lamhay hi-li Ciok siao-lan.
Melihat itu, Swat Moay makin sibuk. Hantamannya
dilancarkan ber-tubi2, hingga tubuh Tio Jiang menggigil
dan saking tak tahannya segera menyingkir kesamping.
Kesempatan itu tak di-sia2-kan Swat Moay. Sesosok
bayangan hitam, berkilap loncat keluar.
Melihat isterinya sudah lolos, Hwat Siaupun segera
bernapsu. Tiga-buah serangan dia lancarkan ber-turut2,
Begitu Kiau To terdesak kesamping dia lalu menobros
keluar.
Sam-chun-ting Ciu Sim-i mau tiru2. Kuatir dia kalau
terpencil sendirian. Tapi saat itu Yan-chiu sudah
kedengaran menyahut pertanyaan Ciok ji-soh tadi, serunya:
"Ciok ji-soh, lebih dahulu bantuilah kami menghajar
kawanan bangsat ini, nanti kukasih tahu padamu!"
Perangai Ciok ji-soh juga keras. Semua 'bajak dari lautan
Lamhay sama memakluminya. Kalau tidak demikian,
masakan seorang wanita macam ia, dapat mengepalai
keluarga Ciok untuk merajai lautan situ? Dengan berseru
keras, ia loncat turun....... wut.......... ia, hantam perut dan
dada Ho Gak dengan gerak giok-tho-se-seng (kelinci kumala
loncat kebarat).
Orang she Ho yang bermuka tembong itu, pun juga
bukan orang lemah. Menyingkir kesamping, dia sudah
siapkan sepasang poan-koan-pit (senjata macam alat pena
pit). Tring......, dideringkannya sepasang pit itu satu sama
lain, yang satu keatas yang lain menurun, masing2 menutuk
jalan darah ing-hiang-hiat dan cui-hun-hiat si nyonya.
"Bagus!" seru Ciok ji-soh sembari tangkiskan kimkonglunnya.
Tring......, kedua senjata itu saling berbentur.
Seperti diketahui, lingkaran dalam dan luar dari gelang Itu
mempunyai gigi tajam, gunanya untuk mengait senjata
lawan. Begitu saling berbentur, ia segera putar tangannya
lalu menarik se-kuat2nya seraya membentak keras2 :
"Lepas!"
Tangan Ho Gak serasa kesemutan dan hampir dia
lepaskan cekalannya. Tapi sebagai jago kawakan, dia tak
mau menyerah begitu mudah. Dibiarkan saja pitnya itu
ditarik, tapi disamping itu dia gerakkan pit satunya untuk
menutuk jalan darah cui-hun-hiat lawan.
Menghadapi gerakan orang yang begitu. lihay, terpaksa
Ciok ji-soh tak jadi mengait pit. Begitu empos semangat, ia
mengisar kakinya dalam gerak chit-che-poh (langkah 7
bintang) menghindar. Kemudian ia kembangkan sepasang
kim-kong-lunnya untuk berserabutan menghantam sepasang
pit dari Hek-bin-sin Ho Gak yang hendak mengarah jalan
darahnya itu. Begitulah kedua seteru itu terlibat dalam
pertempuran seru.
Difihak sana, Kiau To masih heran memikirkan
mengapa suami isteri Hwat Siau Swat Moay itu lari
tunggang langgang untuk lolos. Diukur kepandaiannya,
terang dia bukan lawan dari sepasang suami isteri itu.
Sesaat dia ter-longong2 dan ketika tersadar dia segera
tumpahkan kemarahannya kepada dua orang dari
rombongan Hwat Siau yang masih berada disitu. Salah
seorang dari mereka yang juga bersenjata jwan-pian, coba
berusaha untuk menobros lolos. Tapi sekali membentak
Kiau To telah membikin terkesiap orang itu. Membarengi
itu, tahu2 jwan-pian Kiau To menyambar. Orang itu
menjadi gelagapan, lalu gerakkan jwan-piannya untuk
menangkis.
Kiau To tertawa dingin. Sekali membalik tangan, dia
libatkan jwan-pan ke jwan-pian musuh. Begitu saling
menggubat, Kiau To lalu menariknya kuat2. Orang itu
terhuyung2 terjerumus kemuka. Sekali Kiau To
menghantam kebatok kepala, tanpa bersuara lagi orang itu
sudah tamat riwayatnya. Tapi walaupun mati, orang itu
tetap mencekal jwan-piannya. Dan karena tadi sengaja Kiau
To lepaskan jwan-pian untuk menghantam dengan pukulan
tangan, maka jwan-piannya pun masih terlibat pada jwanpian
korban itu.
Kiau To mengawasi keaekeliling gelanggang. Dilihatnya
disana Yan-chiu masih bertempur seru dengan Ciu Sim-i,
sedang Tio Jiang tengah "bergumul" rapat dengan salah
seorang yang bergegaman ho-chin-kao (gaetan tangan).
Kiau To keisengan. Tubuh mayat orang yang bersenjata
jwan-pian tadi diangkatnya, terus di-putar2 macam senjata
untuk menyerang Ciu Sim-i.
Oleh karena menghadapi Yan-chiu yang hanya
bersenjatakan pentung kayu, Ciu Sim-i berada diatas angin.
Tapi baru saja dia hendak laksanakan niatnya untuk
menobros keluar, tiba2 ada angin menyambar dari
belakang. Dalam gugupnya dia berpaling kebelakang, hai,
kiranya ada segumpal benda hitam besar melayang kearah
dirinya. Dalam kegugupannya, tak dapat dia meneliti benda
apakah itu, karena dia buru2 terus loncat kesamping. Tapi
tepat pada saat itu, pentung Yan-chiu menyapu,
auk......lambungnya kena, sakitnya bukan kepalang, tapi
terpaksa dia tahankan dan terus hendak lari. Tapi pada
detik itu, Kiau To menyongsongnya dengan sebuah
hantaman.
Ciu Sim-i gregetan (marah). Dia babat tangan Kiau To
dengan goloknya, sehingga Kiau To terpaksa tarik pulang
tangannya. Membarengi itu Ciu Sim-i loncat menobros
keluar. Tapi belum lagi kakinya menginjak tegak diatas
lantai, Yan-chiu sudah memburu tiba. Sekali sodok, ujung
pentungnya tepat mengenai jalan darah tay-meh-hiat
dilambung orang, gedebuk ........ jatuhlah Ciu Sim-i
mencium tanah.
"Wah, begini lho!" berseru Kiau To memuji seraya
tunjukkan jempol tangannya.
Yan-chiu hanya tersenyum pahit, terus menghampiri
kearah Tio Jiang untuk mengepung orang yang bersenjata
ho-chiu-kau tadi. Sedang Kiau Topun segera mendekati
Ciok-ji-soh dan serunya: "Cok-ji-soh, kau mundurlah!"
"Ngaco!" bentak Ciok-ji-soh seraya deliki mata kepada
Kiau To. Bukannya terima kasih, ia masih merasa terhina
oleh Kiau To. Sepasang gelang kim-kong-lun diputar makin
seru. Setiap gerakannya merupakan gerak serangan yang
hebat. Oleh karena Ho Gak tiada hati untuk melawan
sungguh2 hingga terlibat lama disitu, maka sibuk juga dia
kini dibuatnya.
"Ai....., terhadap bangsa budak macam begini, tak usah
pakai rasa sungkan memegang teguh kesopanan persilatan
lagi. Dapat satu kita bunuh satu!" seru Kiao To melihat
kesempatan sebagus itu. Dan tanpa menghiraukan perasaan
Ciok ji-soh lagi, dia segera julurkan jwan-piannya macam
seperti pit untuk menutuk jalan darah jip-tong-hiat
dipunggung Ho Gak.
Jip-tong-hiat, merupakan jalan darah berbahaya dari
tubuh orang. Ho Gakpun cukup mengetahuinya. Tapi
celakanya, dia sedang diburu oleh Ciok ji-soh. Dengan
sepasang gelang roda yang bergigi tajam, nyonya itu seperti
orang kerangsokan setan, hingga dia tak dapat menghindar
dari tutukan Kiau To tadi. Huk....., jantungnya serasa
berhenti berdetak ketika ujung ruyung Kiau To tepat
mengenai jalan darah berbahaya itu. Tanpa kuasa lagi,
tubuhnya terjerembab jatuh kemuka. Justeru pada saat itu
Ciok ji-soh tengah lancarkan serangan thui-jong-ong-gwat
(mentiorong jendela melihat rembulan). Separoh bagian
lebih dari kum-kong-lun telah bersarang didada Hek-bin-sin
Ho Gak. Darah menyembur keluar dan jiwanyapun
melayang keakherat.............
Waktu membantu sukonya tadi, Yan-chiu sudah lantas
gunakan ilmu gong-chiu toh-peh-jim (dengan tangan
kosong merampas senjata musuh). Ilmu itu ajaran dari Tay
Siang Siansu, terdiri dari 6 jurus. Orang itu kesima heran
melihat Yan-chiu "menari", tapi pada lain saat dia segera
menjadi gelagapan ketika tahu2 senjatanya ho-chiu-kau
pindah ketangan sinona.
Sebenarnya tak tahu Yan-chiu akan ilmu permainan
senjata ho-chiu-kau itu. Tapi demi melihat bentuk senjata
gaetan itu, kecuali ujung melengkung dan berbentuk seperti
bulan sabit, hampir menyerupai dengan pedang biasa, maka
begitu merampas segera pindahkan ho-chiu-kau itu
ketangan kiri (ilmu pedang boan-kang-to-hwat ajaran Kang
Siang Yan dimainkan dengan tangan kiri). Sekali ia
lancarkan gerak kut-cu-tho-kang, ujung ho-chiu-kau itu
sudah menowel betis orang itu. Berbareng pada waktu itu,
Tio Jiang telah merangsang dengan salah satu jurus hongcu-
may-ciu yang disebut "keringkan lagi 3 cawan". Jalan
darah tay-kay-hiat orang itu terkena tutukan Tio Jiang.
Sedang membarengi dengan itu Yan-chiu susuli dengan
sebuah hantaman. Tak ampun lagi dada orang itu menjadi
"amblong"
Jadi hanya dalam waktu setengah jam, 4 orang jagoan
rombongan Hwat Siau telah ber-turut2 dikirim keakhirat.
Teringat bahwa dirinya telah menjadi korban dari siksaan
Hwat Siau dan Swat Moay, Yan-chiu tumpahkan
kebenciannya kepada Ciu Sim-i. Dengan mencekal ho-chiukau
ia berlari2an menghampiri Sam-chun-ting Ciu Sim-i,
lalu hendak mengeraplang batok kepalanya. Tapi buru2
dicegah Kiau To: "Siao Chiu, jangan!"
"Kenapa?!" tanya Yan-chiu......
”Tinggalkan sebuah mulut yang dapat kita tanyai
keterangan!" sahut Kiau To.
Yan-chiu mengiakan. Setelah mengambil napas sejenak,
baru dia bertanya pula: "Kiau-jisiok, bagaimana kau bisa
tiba kemari?"
"Ah, panjang nian ceritanya!" sahut Kiau To. Dia pesan
para hweshio disitu supaya mengurusi korban2 tadi,
kemudian dengan sebelah tangan dijinjingnya tubuh Ciu
Sim-i kekamar hweshio. Disitu barulah dia menuturkan apa
yang terjadi di Giok-li-nia.
Mendengar bahwa kedua kaki The Go sudah dikutungi,
Tio Jiang dan Yan-chiu menghela napas. Bukan karena
kasihan pada si Cian-bin Long-kun tapi karena turut
memikirkan perasaan Ciok Siao-lan apabila tiba di Giok-linia
dan menampak keadaan sang kekasih. Ah, betapa pilu
hati nona hitam manis itu !
"Ah, biarlah budak itu hatinya terguyur air dingin!" ujar
Ciok-ji-soh.
Kiau To buru2 menanyakan halnya dan diapun turut
menghela napas setelah tahu peraoalan Ciok Siao-lan itu.
Yan-chiu dan Tio Jiang masing2pun menceritakan
pengalamannya selama itu. Teringat akan kejadian yang
menimpa diri Yan-chiu, dengan air mata ber-linang2
berkatalah Tio Jiang: "Siao Chiu, apakah kau benar2 hanya
tinggal 3 hari saja hidup? Ah, kukira kau hanya bergurau
saja !"
Yan-chiu tertawa getir. "Tiga hari terus menerus selalu
didampingmu, cukuplah sudah rasanya. Apa yang patut
disedihkan?" Mulutnya mengucap begitu, tapi hati Yan-chiu
hancur di-remas2.
”Kalau demikian halnya, 'kim-jiang-giok-toh' itu tentu
berada dalam Kong Hau Si sini! Belasan ribu saudara di
Lohu-san telah minta tolong pada kerajaan Lam Beng, tapi
raja rupanya tak menghiraukan. Sebenarnya kita masih ada
setitik harapan untuk minta bantuan Li Seng Tong. Namun
disebabkan soal Ciok Siao-lan, dia tentu timpahkan
kemarahannya kepada kita. Kini masih pentinglah artinya
harta karun itu bagi gerakan kita!" Kiau To alihkan
pembicaraan. "Walaupun lolos, tapi dipercaya Hwat Siau
dan Swat Moay itu tentu kembali kesini lagi. Entah apakah
mereka juga sudah mencium bau tentang tempat harta
karun itu?" ujar Tio Jiang.
"Ah, mudahlah!" sahut Kiau To terus memijat lambung
Ciu Sim-i hingga yang tersebut belakang itu mengerang
kesakitan. Tapi setelah Kiau To menampar mulutnya,
orang itu tak berani berteriak lagi.
"Sebenarnya dimanakah letak kim-jiang-giok-toh itu,
ayuh lekas bilang!" bentak Kiau To.
"Di Kong Hau Si sini, tapi entah terletak dibagian
mana!" sahut Ciu Sim-i. "
"Huh, masih berani membangkang!" kembali Kiau To
membentaknya dengan bengis.
"Kau tentu menyiksa aku, kalau benar tahu sungguh2
mengapa aku tak mau mengatakan?" sahut orang she Ciu
itu dengan wajah minta dikasihani.
Melihat itu, Tio Jiang segera menyela: "Tadi Hwat Siau
dan Swat Moay mau membayar jiwa Yan-chiu asal
ditunjuki tempat harta itu. Jadi terang mereka belum tahu
juga. Ah......., alangkah baiknya kalau kita mengetahui
tempat tempat itu! Sungguh kurela menukarkan rahasia
tempat itu dengan jiwa Yan-chiu, asal ia bisa hidup terus!"
Kiau To juga merasa sayang tak tahu tempat itu. Sebaliknya
Yan-chiu tak setuju.
"Kiau-jisiok, suko, kalian ini bagaimana? Dengan
mendapatkan harta karun itu, belasan saudara Thian Te
Hui akan mendapat ransum cukup dan dapat menahan
serbuan tentara Ceng ke Kwiciu. Bukantah jutaan rahayat
akan tertolong? Pantaskah selembar jiwaku ini berharga
lebih dari sekian banyak orang?"
Kiau To dan Tio Jiang pilu mendengarnya. Memandang
kewajah sinona itu, sifat ke-kanak2-annya masih jelas
kelihatan. Tapi bahwasanya ia dapat mengucap kata2
sedemikian luhurnya itu, tentulah buah gemblengan Ceng
Bo siangjin.
Su Go-hwat, Bun Thian-siang dan lain-lain pahlawan,
dijunjung dan diagungkan karena memiliki sifat2 ksatryaan
yang luhur. Namun kalau teringat akan diri sinona yang
masih begitu muda-belia, kedua orang itu tak tega melihati
ia sampai binasa.
Tanpa terasa butiran air mata ber-ketes2 turun dari
pelapuk mata Tio Jiang. Lama kelamaan, Yan-chiupun tak
kuasa lagi menahan kesedihannya. Ia segera jatuhkan
kepalanya kedada sang suko dan pecahlah sedu sedannya
mengiring hamburan air matanya ..........
”Hai, sudahlah jangan menangis. Aku tak percaya kalau
dikolong dunia ini tiada orang yang dapat membuka jalan
darahmu itu. Lebih perlu berusaha menolong jiwanya
daripada mati2an mencari harta itu!" seru Ciok ji-soh. Ia
seorang wanita keras, tapi menghadapi suasana yang
sedemikian merawankan, iapun tak tega.
"Andaikata kita berhasil menemukan harta itu, kita rela
membagi separoh bagian asal Hwat Siau mau menolongi
jiwa Yan-chiu. Rasanya kalau Bek-heng berada disini,
diapun tentu akan memutuskan begitu!" kata Kiau To. Dia
hanya turuti perasasn hatinya terhadap Yan-chiu. Seorang
macam Hwat Siau dan Swat Moay, mana mau diberi
separoh bagian saja? Bukantah dengan begitu Thian Te Hui
akan tetap berdiri?.
Akhirnya karena tak dapat memikir lain daya, Tio Jiang
menanyakan tokoh2 achli tutuk yang termasyhur didunia
persilatan.
"Sudah tentu Ang Hwat cinjin dari Ang Hun Kiong.
Tapi tempat itu sedemikian jauhnya, kira2 perjalanan 3 hari
baru sampai kesana!" sahut Cio ji-soh.
Kiau To menghela napas, ujarnya: "Ang Hun Kiong
sudah diledakkan oleh kaki tangan pemerintah Ceng. Ang
Hwat cinjin entah menghilang kemana. Sedang suhuku juga
tak ketahuan beradanya. Kedatanganku ke Kong Hau Si ini,
juga mencarinya. Ah....., hanya 3 hari waktunya!"
"Habis, bagaimana nih!" dalam kecemaean Tio Jiang
sampai tak lampias suaranya.
"Ai, sudahlah, usah ribut2! Mati hidupku ini tak penting,
yang terutama kita harus berusaha mencari tempat harta
itu!" ujar Yan-chiu dengan tenang. Ketenangan itu
diperoleh selama hampir satu tahun ia dicengkeram oleh
Hwat Siau dan Swat Moay itu.
Rupanya peringatan itu menyadarkan Kiau To dan Tio
Jiang. Memang adakah nantinya harta itu diangkut semua
ke Lo-hu-san atau untuk barter dengan nyawa Yan-chiu,
tapi yang perlu harta itu harus diketemukan dulu! Lebih
dulu Kiau To menutuk jalan darah si Ciu Sim-i, kemudian
dia menanyai keterangan pada hweshio yang sudah
puluhan tahun tinggal di Kong Hau Si situ. Tapi mereka
semuanya sama menggeleng tak tahu. Hanya Ti-khek-ceng
(hweshio penyambut tetamu) mengatakan bahwa ada
belasan orang datang menginap digereja situ sampai hampir
3 bulan lamanya. Bertalian dengan harta karun itu, kini
hweshio itu baru timbul kecurigaannya terhadap orang2 itu.
Tapi pada hakekatnya, Kiau To tak dapat pengunjukan
apa2 dari keterangan itu. Dia pesan pada hweshio bagian
pengurus gereja, bahwa kalau terjadi apa2 yang
mencurigakan, supaya lekas2 memberitahukan padanya.
Setelah itu Kiau To lalu ajak kedua anak muda itu kembali
kedalam kamar. Begitupun Ciok ji-soh.
"Rombongan orang yang disebut oleh Ti-khek-ceng itu,
tentulah membawa barang2 berharga. Karena simpanan
harta itu disebut kim-jiang-giok-toh, maka tentu berada
didalam patung. Setiap patung arca besar kecil harus kita
periksa. Ayuh, kita berpencar mencarinya, masakan tak
dapat?" Yan-chiu mengobarkan semangat yang disambut,
dengan baik oleh ketiga kawannya.
Tapi baru mereka hendak bergerak, tiba2 terdengar orang
hiruk pikuk berteriak2: "Ada pencuri! Ada pencuri!"
Ketika keempat orang itu keluar menanyakan, ternyata
diloteng tempat penyimpan kitab2 (perpustakaan) telah
terjadi pencurian sejumlah besar kitab2 gereja. Dugaan
bahwa Hwat Siau dan kawan2 tentu tak mau sudah dan
kini coba2 men-cari2 diruang perpustakaan itu, diakui
kebenarannya oleh keempat orang itu.
Sedemikian besarnya gereja Kong Hau Si itu tapi
sedemikian kecil jumlah mereka berempat. Walaupun Hwat
Siau dan Swat Moay, hanya dua orang, tapi mereka
berempat terang bukan tandingannya. Namun kalau
melapor ke Lo-hu-san, berarti akan kurang seorang tenaga
lagi. Karena keadaan sangat mendesak, akhirnya
diputuskan mereka akan berjoang mati2an untuk berebut
dengan lawan. Sudah tentu dalam perebutan itu tak terbatas
pada ilmu silat saja, tapi pun harus mengandalkan
kecerdasan otak. Artinya siapa yang lebih dahulu
menemukan tempat harta itu, dialah yang menang.
Begitulah tanpa terasa tahu2 hari sudah malam. Setelah
mengisi perut, mereka lalu mulai berpencar mencari. Nanti
tengah malam akan balik berkumpul lagi diruangan situ.
Kiau To lebih faham akan keadaan gereja situ, maka dia
segera membentangkan peta letak seluruh tempat gereja itu
kepada Tio Jiang bertiga. Dia sendiri lalu berniat hendak
menyelidiki ruang Tay-hiong-po-tian, Ciok ji-soh ke ruang
Ka-lan-tian yang terletak disebelah jendela timur dari Tayhiong-
po-tian, Yan-chiu keruang Lo-han-tong sedang Tio
Jiang menyelidiki Swi-hud-kek, Hong-boan-tong. dan lainlain.
Apabila berpapasan dengan musuh dan perlu bantuan
supaya bersuit. Habis mengatur pembagian tugas, mereka
berempat mulai bekerja.
---oodwkz0tahoo---
Pertama, marilah kita ikuti Kiau To.
Tiba diruang Tayhiong-po-tian, didapatinya penerangan
disitu masih terang benderang, asap dupa ber-kepul2. Para
hweshio tengah melakukan latihan sembahyang dan
membaca kitab. Dikedua sisi arca Hud (Buddha) yang
besar, ber-jajar2 para hweshio. Suara bok hi (dua potong
kayu alat sembahyang), kedengaran berbunyi terus
menerus.
Dengan ber-indap2 Kiau To segera enjot tubuhnya
keatas altar (persada) kayu yang berada dikedua samping
dari 5 paturig malaekat. Patung malaekat itu menurut cerita
Hong Sin, adalah keempat saudara yakni Mo Le-hong, Mo
Le-ceng, Mo Le-hay dan Mo Le-siu. Setelah meninggal,
mereka dijadikan malaekat oleh Kiang Cu Ge, masing2 ada
yang membawa pedang, pipeh (harp), payung dan ular yang
melambangkan kegarangan senjata, kehalusan musik,
kebesaran alam (hujan) dan ketaatan. Pada setiap gereja
besar, tentu terdapat keempat malaekat penjaga itu.
Sebelum gereja Kong Hau Si menderita kerusakan akibat
pendudukan serdadu2 yang berperang, keempat patung
malaekat kim-kong Itu tak kurang dari 2 tombak tingginya.
GAMBAR 95
Dengan ber-indap2 segera Kiau To melompat kepanggung arca
itu buat memeriksa patung2 yang disangka tempat penyimpanan
harta karun itu.
Ketika tangan Kiau To agak keras menekan, maka
terasalah patung itu berguguran. Dia mengira kalau patung2
itu terbuat dari tanah, tapi ketika diketuknya dengan jari
ternyata suaranya seperti kayu. Terang kalau disitu tiada
terdapat sesuatu apa. Begitulah dalam sekejab saja, keempat
patung telah diperiksanya dengan teliti. Perbuatan itu
dilihat juga oleh beberapa hweshio, tapi mereka tak berani
mencegahnya karena diperingatkan oleh Kiau To.
Patung besar kecil seisi ruangan situ itu habis diperiksa,
seluruhnya, tapi tiada terdapat sesuatu apa. Ketika dia
hendak berlalu, tiba2 terlihat ada salah seorang hweshio
tundukkan kepala hingga sampai mengenai dada. Oleh
karena yang lain2 tak begitu, maka timbullah kecurigaan
Kiau To. Tapi dalam suasana seperti itu, tak dapatlah dia
bertindak secara gegabah, memeriksa muka orang selagi
para hweshio tengah bersembahyang. Maka lebih baik dia
dekati saja. Tapi baru saja berjalan beberapa tindak,
hweshio tadi sudah melenyapkan diri. Kejut Kiau To tak
terhingga. Hwat Siau dan Swat Moay masih belum
tinggalkan tempat itu, kalau saja hweshio itu tadi penyaruan
salah satu dari mereka, wah tentu repot juga.
Cepat Kiau To melangkah keluar untuk menuju keruang
Ka-lan-tian. Disitu tampak Ciok ji-soh tengah berdiri
dibahu sebuah arca Buddha. Kiau To memberi peringatan
dengan bisik2 bahwa Hwat Siau dan Swat Moay menyaru
jadi hweshio. Setelah itu dia ber-gegas2 menuju keruang Lohantong
untuk memberitahukan juga pada Yan-chiu.
Ruang Lo-han-tong itu terletak di-tengah2 gereja situ.
Begitu masuk, Kiau To dapatkan suasana disitu agak luar
biasa. Penerangannya suram, sedang patung Kim-lo-han
yang terdapat disitupun aneh tampaknya. Tapi Yan-chiu
tak kelihatan bayangannya. "Siao Chiu, Siao Chiu!"
bisiknya memanggil nona genit itu sembari mengelilingi
ruangan tersebut. Tapi tiada penyahutan sama sekali.
"Huh, kemana perginya budak perempuan itu?" Kiau To
ber-sungut2. Baru dia hendak tinggalkan ruang itu, tiba2
serasa ada angin dingin menyambar. Dan berbareng itu,
terdengar suara "bluk......" dan padamlah ruangan Lo-hantong
itu menjadi gelap gelita.
Sudah tentu Kiau To gelagapan. Terang kalau perbuatan
itu bukan Yan-chiu yang melakukan tapi kemungkinan
besar tentu Swat Moay atau Hwat Siau. Lekas2 dia
menyelinap kesamping, bersembunyi dibelakang patung Lohan.
Sekejab saja matanya sudah menguasai keadaan disitu
dan samar2 tampak ada sesosok bayangan hitam loncat
kian kemari ber-putar2. Gerakannya sebat sekali. Entah apa
yang dilakukan-nya itu.
Kiau To biarkan saja kejadian itu berlangsung sampa3
sekian saat. Se-konyong2 diluar ruangan sana terdengar
derap kaki. Tiba diambang pintu, terdengarlah suara seruan
"......hi" Dari nada suaranya, itulah Yan-chiu. Mendengar
itu bayangan tadi buru2 melesat bersembunyi dibalik salah
sebuah patung lainnya. Tersirap darah Kiau To
menyaksikan hal itu. Kalau saja Yan-chiu masuk, terang ia
bakal celaka. Baru dia (Kiau To) mengambil keputusan
hendak nyalakan api lampu tiba2 terdengar orang berseru:
"Jangan lari!"
Yan-chiu tak jadi masuk, tapi dalam pada itu diatas
genteng terdengar suara injakan kaki orang. Kiau To kuatir
kalau2 terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan. Sesaat dia
sudah terus hendak menyusul keluar tapi pada lain saat terkilaslah
dalam pikirannya jangan2 didalam ruangan situ
benar2 terdapat sesuatu rahasia, maka dia urungkan niatnya
dan menantikan perkembangan selanjutnya. Tapi hampir
setengah jam lamanya, tetap keadaan masih sunyi2 saja.
Kalau tak mengingat betapa gawatnya urusan itu, turut
perangainya, tadi2 dia tentu sudah memberosot keluar.
---oodakz0tahoo---
Kita, tinggalkan dulu Kiau To dan marilah kita ikuti
Ciok ji-soh. Setelah mendapat kisikan dari Kiau To, Ciok jisoh
lalu tinggalkan ruangan situ menuju keruang Liok-coutian.
Begitu masuk, ia terpesona melihat patung Liok-cou
yang terdapat diruangan situ.
Arca Hui Leng, Liok-cou (soko guru angkatan ke-6) dari
agama Buddha yang terbuat daripada bahan tanah liat,
sudah banyak kali Ciok ji-soh melihatnya diberbagai gereja.
Tapi yang mirip seperti "hidup", baru sekali ini ia
menyaksikannya. Tulang belulang dari tubuhnya yang
sedemikian kurus, sebuah demi sebuah tampak dengan
nyatanya. Sedang matanyapun tampak ber-kilau2an
memandang kearahnya: Walaupun sudah banyak
pengalamannya sebagai kelana dunia persilatan, namun
Ciok ji-soh tetap seorang wanita yang percaya akan agama.
Melihat keangkeran Liok-cou tersebut, iapun merasakan
kerendahan hati. Maka serta merta ia membungkuk
memberi hormat dengan chidmat, serunya: "Siao-li-cu Ciok
ji-soh, apabila terdapat kesalahan2 terhadap Posat, sudilah
memberi ampun !" "
Habis berdoa, baru ia berani mendekati untuk menusuk
dengan jari. Astaga, benar2 ia terkejut bukan kepalang.
Tusukan jarinya tadi mengeluarkan bunyi seperti menusuk
kayu lapuk. Ai, tentulah Liok-cou murka ni, demikian
pikirnya lalu buru2 keluar. Tiba diambang pintu, hatinya
kepingin sekali lagi melihat patung itu dan menoleh ia, hai
....... tring, ....... tring, sebat sekali ia siapkan sepasang
gelang kim-kong-lunnya !
Kiranya patung Liok-cou Hui Leng itu sudah berobah
keadaannya. Jelas tadi dilihatnya bahwa patung itu
mengenakan pakaian warna kelabu (dari tanah), tapi
mengapa kini berobah menjadi jubah warna putih. Benar
tulang2 dadanya masih nampak dengan jelas, tapi pancaran
sinar matanya sudah lain.
"Siapa yang main gila itu ?!" seru Ciok ji-soh dengan
setengah berbisik. Oleh karena sampai sekian saat tiada
penyahutan, iapun segera masuk kembali untuk menutuk
patung itu lagi. Dan ternyata bunyinyapun tak sama lagi.
Sayang ia terlalu dipengaruhi oleh rasa kesujutan. Diam2
ia mengira perbuatannya tadi telah membuat amarah
Liokcou, sehingga menimbulkan kejadian luar biasa seperti
itu. Maka buru2 ia tinggalkan tempat itu untuk
mendapatkan Kiau To. Tapi baru melalui dua buah
ruangan samping, didengarnya suara orang bertempur
diatas genteng. Ketika mengawasi keatas, dilihatnya Yanchiu
tengah bertempur dengan seseorang yang bertangan
kosong.
Tanpa berayal lagi, Ciok ji-soh terus loncat keatas
genteng. Dan tanpa menanyakan apa2 lagi, ia terus
menyerang dari belakang. Orang itu terjepit, antara pedang
dan kim-kong-lun. Tapi ternyata dia bukan makanan
empuk. Dengan tangkasnya dia menurunkan tubuh dan
menyelinap kesamping. Kalau Ciok ji-soh tak lekas2
menahan kimkong-lunnya, pasti akan berbenturan sendiri
dengan pedang Yan-chiu. Kala menginjak tepian payon,
tampak payon itu cekung kebawah tapi tak sampai roboh.
Dan membarengi dengan tenaga injakannya itu, orang tadi
laksana burung waled sudah loncat turun dan menghilang
dalam kegelapan.
GAMBAR 96
Baru saja Ciok ji-soh keluar, segera dilihatnya Yan-chiu sedang
bertempur dengan seorang diatas genteng, cepat iapun melompat
Keatas untuk membantunya.
"Nona Yan, siapakah orang itu?" tanya Ciok ji-soh.
"Aku sendiripun tak melihatnya jelas, tapi dia memakai
dandanan seperti seorang hweshio dan mukanya memakai
kerudung. Apakah kau mendapat hasil?" sahut Yan-chiu
balas bertanya.
"Ai, sial benar. Tidak berhasil menemukan suatu apa
bahkan telah membuat Liok-cou gusar!" kata Ciok ji-soh
lalu menuturkan kejadian yang dialamin ya tadi.
"Akupun nihil. Baru hendak masuk keruang Lo-hantong,
lampunya sama padam. Diluar pintu seperti ada
orang mengejar, lalu aku menyongsongnya, tapi tiada
tampak seorangpun jua. Ketika aku hendak balik masuk
kedalam ruangan itu lagi, tahu2 ada angin pukulan
menyambar dari belakang. Aku dipikatnya keatas genteng.
Rupanya kepandaiannya lebih unggul dari aku. Sewaktu
kau datang, dia segera ngacir tadi itu!"
Keduanya sama heran, tapi tak dapat memecahkan
rahasia kejadian tadi. Kala itu sudah tengah malam dan
Ciok ji-soh segera ajak Yan-chiu pulang lagi kekamarnya
saja.
"Dengan menyelidiki cara begini, susahlah kita
mendapat hasil. Tadi Kiau loji mengatakan Hwat Siau dan
Swat Moay menyamar jadi hweshio, disamping itu ada lain
orang lagi yang mengacau dibelakang layar. Baik kita
rundingkan lagi siasat untuk menghadapi mereka!" kata
Ciok ji-soh.
Tak lama setelah mereka berdua tiba dikamar, Kiau To
pun datang.
"Aneh....., aneh......! Terang dalam ruang Lo-han-tong
terdapat seorang yang bersembunyi, tapi berulang kali
kuhardiknya dan 3 buah batu kulemparkan ternyata tiada
barang seorang manusia pun disitu!" Kiao To menerangkan
dengan menggerutu.
"Ah, kalau bukan si Hwat Siau dan Swat Moay siapa
lagi. Baik kita tunggu kedatangan suko saja!"
Tapi hampir lewat tengah malam, tetap Tio Jiang belum
muncul.
(Oo-dwkz-tah=oO)
BAGIAN 53 : PATUNG HIDUP
"Bukan melainkan mempunyai kepandaian yang tinggi,
pun dia seorang yang cermat, seharusnya tak nanti dia
sampai lalai. Kalau menilik kejadian2 aneh yang kita, alami
tadi, jangan2 dia mendapat kesulitan!" kata Kiau To.
Juga Yan-chiu cemas, katanya: "Kedua suami isteri itu,
terutama yang perempuan (Swat Moay) kecerdasannya
tidak dibawah Cian-bin Long-kun. Bukan mustahil kalau
suko mengalami kesukaran dari mereka!"
Ciok ji-soh pun sibuk. Pada lain saat ia berbangkit. "Biar
kususulnya!" serunya.
"Aku ikut. Siao Chiu, kau tunggu dulu disini jangan
pergi ke-mana2!" serentak Kiau To menunjangnya.
Sebenarnya Yan-chiu tak suka ditinggal, tapi mengingat
kalau2 nanti Tio Jiang kembali kesitu dan tiada
mendapatkan seorangpun, tentu akan bingung, maka
terpaksa ia mengiakan. Tak lama sepeninggal Kiau To dan
Ciok ji-soh, Yan-chiu segera merasa kesepian. Dan kesepian
itu menimbulkan kerawanan hati yang bukan2. Setiap insan
tentu takkan terluput dari kematian. Mereka tiada gelisah
karena tak mengetahui apabila saat kematiannya itu tiba.
Bahwa mengetahui hari kematian itu adalah suatu siksaan
batin yang maha hebat, dirasakan sendiri oleh Yan-chiu.
Terkenang. akan nasibnya yang menyedihkan itu, tanpa
terasa air matanya bercucuran. Ketika ia hendak
mengusapnya, se-konyong2 matanya tertumbuk akan
seorang hweshio yang entah bilamana tahu2 sudah berada
dikamar situ.
Mukanya memakai kain kerudung, tak lain yalah
hweshio yang memikatnya dari ruang Lo-han-tong tadi.
Siang tadi Yan-chiu titip pada salah seorang hweshio
supaya membelikan sebatang pedang. Pedang itu secepat
kilat dilolos dan diserangkannya dengan jurus it-wi-tokkang.
Walaupun pedang itu benda "pasaran", tapi jurus
yang digunakan itu bukan olah2 hebatnya hingga seketika
itu ratusan sinar pagutan pedang memburu ketenggorokan
hweshio gadungan itu.
Tapi orang itu hanya ganda tertawa saja. Secepat dia
menyambar sebuah ciok-tay (tempat lilin) tring,
ditangkisnya pedang Yan-chiu. Sebenarnya jurus it-wi-tokkang
itu dapat diperkembangkan lagi dalam 7 perobahan.
Tapi. tekanan ciok-tay itu rasanya ber-puluh2 kati beratnya.
Hendak Yan-chiu menggerakkan pedangnya, tapi tak dapat.
"Kau siapa?" bentaknya dengan kaget.
Tangan kiri orang itu pe-lahan2 menyingkap kerudung
mukanya dan dengan tertawa menyahutlah dia: "Hampir
setahun suntuk berkumpul, masa cepat lupa?"
Ai....., kiranya si Swat Moay. Setan benar wanita itu,
untuk mencapai tujuannya, ia rela menggunduli rambut.
"Mengapa kau masih berada disini? Apa mau menunggu
mati?!" seru Yan-chiu dengan murka.
Swat Moay tertawa mengejek. "Entahlah, siapa yang
menunggu kematiannya disini nanti!" sahutnya.
Terpegang kandungan hatinya, Yan-chiu bungkam.
"Siao-ah-thau, sebaiknya kau omong terus terang saja,
bukankah rombonganmu belum mengetahui tempatnya
juga?"
Mendengar bahwa fihak Hwat Siau dan Swat Moay
belum berhasil menemukan tempat simpanan harta karun
itu, diam2 Yan-chiu girang. Benar ia tinggal dua hari satu
malam nyawanya, tapi seketika itu ia tak merasa cemas
lagi.
"Bagus, coba saja siapa nanti yang lebih dahulu
menemukannya!" sahutnya.
Tiba2 Swat Moay gontaikan tangannya. Entah senjata
rahasia macam apa yang dilepaskan itu, tapi tahu2 Ciu Simi
yang tengah menggeletak dilantai situ sudah terbuka jalan
darahnya dan terus bangkit berdiri. Yan-chiu tak
membiarkan Swat Moay menolongi orang itu. Secepat kilat
berputar kebelakang, tangkai pedangnya disodokkan kejalan
darah orang she Ciu Itu. Cepat dan tepat gerakannya kali
ini, hingga Ciu Sim-i yang tak mengira sama sekali akan
serangan kilat itu, segera mendeprok lagi kelantai.
Yan-chiu sudah memperhitungkan, begitu ia menutuk
jalan darah Ciu Sim-i, Swat Moay pasti akan
menolonginya. Maka secepat habis memberesi Ciu Sim-i,
secepat itu pula ia sudah berputar kebelakang lagi untuk
songsongkan ujung pedangnya kearah Swat Moay.
Melihat gerakan yang lihay dari sinona itu, bukannya
turun tangan tapi sebaliknya Swat Moay malah
menghamburkan pujian: "Ilmu pedang yang lihay, gerakan
yang bagus ! Hanya sayang sekali, walaupun sebelah
kakinya melangkah ketingkat kepandaian yang sempurna,
sebelah kakinya yang satu lagi sudah masuk kepintu akhirat
!"
Lagi2 hati Yan-chiu tersayat dengan ucapan Swat Moay
ftu. Tubuhnya serasa lemas tak bertenaga. Swat Moay
bersorak dalam hati. "Siao-ah-thau, kau tak ingin mati
bukan?" bujuknya dengan nada merayu.
Sedemikian halus merawan rayuan itu hingga timbullah
pertentarigan dalam batin Yan-chiu. Mati melawan
penjajah mati sahib namanya. Kematian yang berharga
sekali. Ini ia tiada menyesalkan sedikitpun juga. Tapi dalam
hati kecilnya, sesungguhnya ia tak ingin mati. Ya, dara
yang menginjak masa sweet seventeen (17 tahun) adalah
ibarat sekuntum bunga yang tengah memperkembang
biakkan keharumannya, jadi siapakah yang suka disuruh
mati? Dalam dua hari ini, Yan-chiu pun mempunyal
perasaan begitu: "Tak rela mati tak suka mati."
Bahwa bujuk rayuan yang sedemikian merawankan Itu
telah mencengkeram kalbunya itulah sudah jamak. Maka
tanpa diinsyafinya Iagi, menyahutlah ia dengan serta merta
: ”Ah, sudah barang tentu tak suka mati !"
Itu hanya menurutkan suara hatinya. Maka dikala sang
pikiran sadar, buru2 ia menyusuli dengan kata2 bengis:
"Apa pedulimu?"
Tapi Swat Moay menertawakan, ujarnya: "Kalau tak
suka mati, itulah mudah. Tetap kau ikut mereka untuk
mencari tempat harta itu, begitu berhasil kau harus
membakar tumpukan kayu bakar yang kusediakan ditempat
pagoda itu. Dan kala itu, jalan darahmu tentu akan kubuka.
Ingat, waktunya hanya tinggal 2 hari satu malam saja, kalau
tak berhasil menemukan, kau boleh terima nasib saja. Kalau
kau menurut perintahku ini, tentu bakal selamat. Untuk
kepercayaan itu, Hwat Siau dan Swat Moay masih suka
memberikan !"
Selama mendengari kata2 Swat Moay itu, Yan-chiu
termangu2 saja. Habis memberi "tekanan" itu, tanpa
menunggu jawaban orang Swat Moay segera sudah melesat
keluar. Lewat beberapa saat kemudian, barulah Yan-chiu
tersadar:
"Jangan kau ........ ngaco belo!" serunya. Dua perkataan
yang terdahulu, diucapkan dengan keras, karena mengira
Swat Moay masih berada disitu. Tapi dua patah yang
dibelakang nadanya sudah lemah, karena sudah diketahui
kalau Swat Moay ternyata sudah menghilang. Saking
tergetar perasaannya, sampaipun telapak tangan Yan-chiu
basah dengan keringat dingin.
Kembali Yan-chiu merasa kesepian. Karena sukonya
tetap belum datang, ia segera berjalan keluar dan berhenti
dibawah lonceng besar dari gereja itu. Hatinya makin sunyi
rawan. Tanpa terasa kakinya mengayun langkah. Tiba2
dilihatnya disebelah muka ada sebuah bayangan hitam.
Ketika mendongak mengawasi, kiranya itulah bayangan
dari pagoda Hwat-tha (tempat menyimpan rambut Liokcou).
Yakni pagoda yang dijanjikan oleh Swat Moay tadi.
"Ai....., mengapa aku datang kemari?" keluhnya dengan
suara tak lampias. Tapi pada lain saat hatinya serasa
berbicara sendiri: "Bukantah kau sendiri yang datang
kemari?"
Kesedihan dan kecemasan berkecamuk menjadi satu
dalam rongga hati Yan-chiu. Begitu hebat rasa itu
mencengkeramnya, hingga sesaat kepalanya terasa pening
dan matanya ber-kunang2. Karena gemetar tak dapat
berdiri dengan jejak, iapun duduklah ditanah. Dalam
kesesakan napas, matanya tertumbuk akan seonggok kayu
bakar yang tertumpuk dimuka pagoda itu. Melihat itu,
telinganya serasa me-ngiang2 lagi dengan nada ucapan
Swat Moay tadi ....... "begitu berhasil, kau harus lekas2
membakar tumpukan kayu yang kusediakan ditempat
pagoda itu ....... untuk kepercayaan itu, Hwat Siau dan
Swat Moay masih tetap suka memberikan" ................
Yan-chiu dekap telinganya, supaya menghilangkan suara
itu. Tapi rasanya suara itu tetap mengiang-ngiang dianak
telinganya. Saking gusarnya, serentak ia berbangkit dan lari
membabi buta menuju kearah timur. Karena tak
menghiraukan suatu apa, se-konyong2 kakinya tersandung
pada suatu benda dan terpelantinglah ia sampai tiga empat
meter jauhnya. Kalau saja ilmunya mengentengi tubuh tak
lihay dan tempo hari tak minum mustika batu, tentu
jatuhnya itu akan tele2 dan babak belur.
Cepat2 ia bangun dan ketika mengawasi kepada benda
yang membentur kakinya tadi, kiranya itulah sebuah benda
bulat yang menonjol keatas kira2 seperempat meter
tingginya. Ia meringis, tapi dalam kesialannya itu ia
mendapatkan kesadarannya lagi. Itulah disebabkan karena
rasa kaget, sehingga pikirannya terang kembali. Serta sadar,
didapatinya dirinya berada diluar gereja, hal mana
membuatnya terperanjat sekali. Bukantah kalau nanti
sukonya kembali dan tak mendapatkan dirinya (Yan-chiu),
dia pasti akan mencarinya? Dengan begitu, tentu akan
saling cari mencari nanti.
Tapi dimanakah kini ia berada itu? Tadi karena lari
membabi buta, hingga sampai tersesat. Kini setelah mencari
arah dengan seksama, ia mengambil putusan menuju
keruang Tay-hiong-tian lebh dahulu. Begitulah segera ia
ayunkan langkah kesana. Tapi ketika melalui benda hitam
yang membentur kakinya tadi, se-konyong2 is dapatkan
benda itu seperti memancarkan sinar cahaya berkilau.
Buru2 ia berhenti untuk memeriksa. Astaga, kiranya itulah
sebuah mulut perigi (sumur)!
Perigi itu memang aneh, tingginya dipermukaan tanah
hanya kurang lebih seperempat meter saja. Tapi ketika ia
menjenguk kedalamnya, ternyata lubangnya sangat dalam
sekali, airnya berkilauan memantulkan hawa dingin. Yanchiu
lalu tinggalkan tempat itu tapi baru saja sang kaki
melangkah, tiba2 ia merasa dalam pantulan cahaya perigi
itu amatlah anehnya. Permukaan air yang ditimpah oleh
cahaya bintang telah menimbulkan pancaran-balik (refleksi)
mengkilap bagaikan perak, tercampur biru gelap dan sedikit
ke-hijau2an. Yan-chiu coba mengisar kesamping sedikit dan
cahaya itupun tak kelihatan lagi. Mengawasi ke cakrawala,
tampak rembulan masih dalam bentuknya sisir (tanggal
muda).
"Mungkinkah harta karun itu berada disini?" tiba2 terkilas
suatu pikiran olehnya. Tapi pada lain saat ia
menertawai pikirannya itu sendiri. Desas desus tentang kimjianggiok-
toh yang sudah ber-tahun2 tersiar itu, tentunya
berada didalam patung sehingga sukar diketemukan. Kalau
berada, didalam sumur, cukup dengan menguras
(mengambil) airnya, sumur itu pasti kering dan harta
karunpun mudah diketemukan.
Memikirkan soal harta karun teringatlah ia akan
ancaman Swat Moay tadi. Seketika timbullah khayalannya:
apabila benar2 ia nanti dapat menemukan harta itu, adakah
ia hendak menyulut kayu bakar Itu? Ah, pening kepalanya
memikirkan hal itu. Tadi karena ia bingung memecahkan
persoalan Itu, ia sampai lari tak karuan dan tersesat disitu.
Memang soal "kebenaran" itu tak semudah seperti yang
diucapkan oleh mulut anak kecil. Kalau nanti dirinya
dihadapkan dengan kenyataan, belum tentu dia akan dapat
mengambil keputusan yang tepat!
Sampai sekian saat Yan-chiu ter-mangu2 disisi perigi itu.
Setelah itu ia menuju keruangan besar. Ditengah jalan
dilihatnya diatas atap ada orang ber-lari2an. Mata Yan-chiu
yang tajam segera dapat mengenalinya itu sebagai Hwat
Siau dan iapun tak menghiraukan lagi terus kembali
kekamarnya. Disitu Kiau To dan Ciok ji-soh sudah
menunggu, tapi Tio Jiang tetap belum kelihatan.
”Kemana Tio Jiang? Kau tadi kemana saja? Jangan2 dia
tadi sudah datang dan pergi lagi! Dan Ciu Sim-i ini
mengapa sudah mampus ?" ber-tubi2 Kiau To
menyambutnya dengan pertanyaan.
Yan-chiu menelan ludahnya dan menyahut dengan terbata2
"Aku ...... akupun bingung juga, baru aku hendak
keluar dia (Ciu Sim-i) telah berhasil membuka jalan
darahnya dan hendak melarikan diri, maka terus
kubunuhnya!"
Entah apa sebabnya ia sendiri tak tahu, mengapa ia tak
mau menceritakan kedatangan Swat Moay tadi. Turut adat
perangainya, mulut amat tangkas bicara, lebih2 terhadap
orang sendiri tak pernah ia menyimpan rahasia. Heran,
mengapa kali ini ia sampai ter-putus2 bicaranya apalagi
mau berbohong.
Kiau To tak memperhatikan ciri2 itu dan hanya
menuturkan rencananya: "Siao Chiu, untuk mencari Ang
Hwat cin jin, sukarlah rasanya. Tapi menurut pendapatku,
apabila bisa mendapatkan suhuku, itu sudah cukup,
Kuingat dahulu Thian Te Hui memelihara berpuluh ekor
merpati pos untuk mengirim berita. Burung itu luar biasa
pintarnya. Kupikir untuk melepaskan mereka lagi keempat
penjuru. Siapa tahu, suhu tentu akan dapat menerima
berita, itu!"
Girang Yan-chiu mendengar itu, tapi pada lain saat
tawar pula hatinya karena walaupun harapan itu ada
namun tipis sekali kemungkinannya.
"Kalau memangnya sudah suratan nasibku, biarlah aku
binasa. Usah membuat sibuk Tay Siang Siansu dan lain2
orang," ujarnya dengan tersenyum pahit.
Brak......, tiba2 Kiau To meninju meja hingga hancur,
"Kau tak nanti kami biarkan mati, apakah kau tak mengerti
akan perasaan orang?"
Yan-chiu terbeliak kaget dan menatap Kiau To.
"Ai....., Siao Chiu," Kiau To menghela napas,
"bagaimana sampai hati kami membiarkan kau meninggal ?
Ai..... , memang perangaiku ini berangasan harap kau
jangan marah!"
"Bagus, itulah sifat ksatrya namanya! Barang siapa yang
marah, aku tentu menentangnya!" seru Ciok ji-soh sambil
tunjukkan jempolnya.
Berhadapan dengan dua tokoh yang berwatak lurus terus
terang, hati Yan-chiu terhibur juga. Kiau To segera menuju
kedusun Cek-wi-hong untuk mengambil merpati2 pos itu.
Setelah diikat dengan surat untuk Tay Siang siansu, maka
ber-puluh2 burung itu dilepaskannya. Ketika burung2 itu
meluncur keangkasa, mendoalah Kiau To: "Merpati,
merpati! Jiwa Yan-chiu, tergantung padamu!"
Pada masa Thian Te Hui masih jaya, merpati2 itu dilatih
untuk mengirim surat keberbagai penjuru. Jadi apabila Tay
Siang siansu masih berada diwilayah Kwicu, tentulah akan
diketemukan.
Sepeninggal Kiau To, tiba2 pintu kamar digereja itu
didebur keras dan masuklah Tio Jiang dengan wajah pucat.
Serta masuk, mulutnya segera berhamburan dengan kata2
aneh: "Huh, aneh, aneh sekali! Masakan didunia ini
terdapat peristiwa segaib itu, kalau tak menyaksikan dengan
mata kepala sendiri, biar dibunuh mati tak nanti aku mau
mempercayai !"
"Keanehan apa, lekas katakan!" seru Ciok ji-soh. Tapi
sebaliknya melihat sukonya ter-sengal2, Yan-chiu
menyuruhnya beristirahat dulu sebentar. Setelah
memulangkan napas, barulah Tio Jiang mulai menutur:
"Posat dari Kong Hau Si ini dapat mengeluarkan kesaktian.
Percaya atau tidak itu terserah padamu !" .
Ciok ji-soh tertawa geli, ujarnya: "Siao-ko-ji (engkoh
kecil), seperti aku, kau tentu berpapasan dengan Hwat
Siau!"
Ciok ji-soh lalu tuturkan pengalamannya sendiri diruang
Liok-cou-tian. Tapi untuk keherannya, Tio Jiang
menggeleng, sahutnya: "Bukan, bukan begitu. Hwat Siau
seorang yang bertubuh kurus kering. Tapi yang kulihat
diruang Sui-hud-kek itu, adalah sebuah patung Bi-lek-hud
yang perutnya gendut dan tubuhnya pendek. Masakan aku
tak dapat membedakannya?"
Ciok ji-soh cepat2 mendesaknya supaya menceritakan
kejadian itu.
"Sekeluarnya dari sini, asal ketemu patung atau arca,
baik kecil maupun besar, tentu kuamat-amati dengan
perdata. Tapi kesemuanya itu tak mengunjukkan tanda
apa2," Tio Jiang mulai menutur, "tiba diruang Sui-hud-kek,
disitu penerangannya terang benderang. Kukira hal Itu
adalah perintah dari pengurus gereja, tapi anehnya disitu
tiada terdapat barang seorang hweshiopun yang tengah
membaca kitab. Dengan loncat dari jendela kumasuk dari
belakang ruangan itu. Disitu aku sudah dikejutkan oleh
sebuah patung setinggi orang, yang tampaknya tengah
deliki mata kepadaku. Kemudian setelah masuk kedalam
ruangan, kembali semangatku terbang demi melihat patung
Bi-lek-hud yang berada disitu, nampaknya sedang
menyeringai tertawa kepadaku !"
"Ai, mungkin pandanganmu kabur!" tukas Ciok-ji-soh.
"Memang orang tentu menganggap mataku kabur. Tapi
demi kumendekati untuk memeriksanya, tiba2 dari arah
belakang terdengar suatu suara dan cepat2 kuberputar si,
celaka.......... kiranya hanya seekor kucing loncat dari
jendela. Baru kuhendak berpaling kemuka lagi, punggungku
terasa ditiup oleh hawa panas! Saat itu aku sudah berdiri
didekat. patung Bi-lek-hud dan disitu tiada barang
seorangpun kecuali patung itu. Saking kaget ketakutan, aku
segera loncat keluar dari jendela lagi dan sekali enjot kaki
aku melayang keatas wuwungan. Dari situ dengan
mengaitkan kaki pada tepian wuwungan, kuayunkan
tubuhku untuk melongok kebawah. Ah, benar juga
diruangan situ tiada barang seorang manusiapun kecuali
patung Bi-lek-hud yang masih tetap tertawa berseri itu !
GAMBAR 97
"...... saking kagetnya cepat aku melompat keluar dan
mengaitkan kakiku keatas emperan dan tubuhku menggantung
kebawah untuk melongok kedalam .......... " demikian Tio Jiang
bercerita.
”Kuberanikan diri lagi untuk masuk dan menghampiri
patung hud itu.
”Kumengangguk kepada Bi-lek-hud itu dan astaga, Bilek-
hud yang hanya sebuah patung ternyata dapat
mengeluarkan suara seperti kayu berkereyotan !"
"Hai, sudahlah! Teranglah patung itu penyaruan dari
manusia!" tukas Ciok ji-soh dengan serentak.
"Benar, memang lwekang Hwat Siau itu bukan olah2
saktinya. Kalau dia mengempos dada, tubuhnya dapat
berobah menjadi gemuk. Ya, aku sudah pernah
menyaksikannya sendiri!" Yan-chiu turut menimbrung.
Tio Jiang lanjutkan pula ceritanya dengan kurang
bernapsu: "Ah, dia telah menghambat pekerjaan kita.
Memang kala itu siapa yang tak ketakutan menampak ada
patung dapat tertawa, dapat meniup hawa? Begitulah aku
segera tinggalkan ruangan itu dan menuju keruang Lo-hantong.
Tapi begitu masuk, disitu gelap sekali hi, aneh, kalau
benar Hwat Siau adanya, mengapa dia tak mencelakai
aku?"
"Perlu apa mereka hendak mencelakaimu sekarang?
Bukantah lebih banyak orang yang mencari harta itu, lebih
baik baginya. Nanti apabila sudah diketemukan rasanya
belum terlambat untuk membunuhmu!" kata Yan-chiu.
"Ah, masa ada orang sekejam itu hatinya! Siao Chiu, kau
tentu mengalami penderitaan selama setahun ikut mereka."
Yan-chiu berpaling ketempat yang agak gelap untuk
menghapus air matanya. Sedang Ciok ji-soh lalu
memberitahukan Tio Jiang tentang kepergian Kiau To tadi.
Oleh karena mereka bertiga tak mempunyai lain rencana
yang bagus, terpaksa mereka hanya duduk diam disitu
menunggu kedatangan Kiau To, siapa syukurlah tak lama
sudah muncul.
"Usaha kita pada malam ini, rasanya sudah cukup
sampai disini dulu. Mengingat hubungan antara suhu
dengan Yan-chiu, rasanya beliau tentu takkan membiarkan
begitu saja!" kata Kiau To.
Begitulah mereka lalu beristirahat dan malam itupun
tiada kejadian apa2 yang penting.
---oo-dwkz0tah-oo---
BAGIAN 54 : ASMARA MURNI
Sekarang mari kita ikuti perjalanan Ciok Siao-lan sigadis
hitam manis yang hendak menyusul The Go ke Lo-hu-san.
Ditengah jalan ia menghajar dua orang kongcu (anak
orang hartawan atau pembesar). Tanpa hiraukan mereka
ber-kaok2, nona itu segera cemplak kuda mereka terus
dicongklangkan se-kencang2nya. Antara Kwiciu ke Lo-husan
hanya seperjalanan seratusan li jauhnya. Dua ekor kuda
kedua kongcu tadi, dengan bergiliran dinaikinya. Oleh
karena kedua ekor kuda itu termasuk kuda2 pilihan maka
belum setengah malam saja, dapatlah ia tiba digunung itu.
Tapi begitu ia kendorkan kendali, kedua ekor kuda Itu
segera mendeprok ketanah. Kiranya kedua bintang itu
sudah putus jiwanya saking kelelahan.
"Siapa?!" tegur seorang peronda malam demi Siao-lan
menginjak puncak Giok-li-nia.
"Aku, perlu apa banyak bertanya ini itu? Aku hendak
mencari Cian-bin Long-kun The Go!"
Kala itu The Go sudah diseret kelapangan untuk sesaji
sembahyangan bendera. Sudah tentu para penjaga malam
menduga kalau nona itu hendak menolongi The Go.
Seketika itu tampillah lima orang penjaga dan memakinya:
"Budak hina, serahkan tanganmu untuk diringkus!"
Trang...., trang...... dalam gusarnya Siao-lan sudah
menyengkelit rubuh salah seorang dari penjaga malam itu,
lalu menobros masuk.
"Jangan lepaskan budak hina itu!" riuh rendahlah
kawanan penjaga itu ber-teriak2 untuk memberi peringatan
kepada kawan2nya.
Siao-lan gugup dan mainkan garu penusuk ikan dengan
gencar. Walaupun la berhasil merubuhkan beberapa orang,
tapi kawanan penjaga itu makin lama makin banyak
jumlahnya. Suara hiruk pikuk mereka telah membikin kaget
Ki Ce-tiong siapa terus loncat menyongsongnya dengan
tongkatnya.
Siao-lan makin kalap. Tanpa menghiraukan setan belang
lagi, begitu ada sesosok tubuh melayang datang, ia segera
menusuknya. Tapi melihat pengacau itu hanya seorang
wanita, Ki Ce-tiong buang senjatanya lalu julurkan jarinya
untuk menyambar senjata lawan.
"Lepas!" serunya sembari menyentak se-kuat2nya.
Siao-lan rasakan tangannya kesemutan dan tahu2
senjatanya berpindah ketangan lawan (Kiau To) yang
segera menimpukkannya kearah sebatang puhun yang
berada didekat situ. Baru penusuk ikan itu menyusup
masuk sampai beberapa centi dalamnya, tangkainya bergoyang2.
Gegap gempita, para anak buah Thian Te Hui
menyaksikan kelihayan pemimpinnya.
"Hai, kiranya kaukah?" tegur Ki Ce-tiong demi
mengetahui siapa lawannya tadi.
"Jangan banyak bicarakan yang tidak2, mana Cian-bin
Long-kun!" sahut Siao-lan dengan dada berombak.
Ki Ce-tiong pernah melihat sekembalinya dari kepulauan
Lam-hay, Li Seng Tong membawa nona itu ber-sama2 ke
Kwiciu. Maka diapun lalu menanyakan mengapa nona itu
tidak berada pada Li Seng Tong tapi datang ke Lo-hu-san.
"Mencari The Go!" sahut Siao-lan dengan tegas.
Sebagai seorang gadis, sebenarnya tak pantas ia berkata
begitu. Tapi tersurung oleh panggilan hati, ia buang rasa
malu dan menyatakannya dengan terus terang.
"Mengapa mencarinya?" tanya Ki Ce-tiong terkesiap.
Tengah mereka bertanya jawab, muncullah Ceng Bo
siangjin kesitu dan bertanya: "Baiklah Ki-heng bawa ia naik
keatas gunung dulu, nanti ditanyai lagi!"
Ditengah perjalanan Siao-lan menuturkan maksud
kedatangannya. Baik Ki Ce-tiong maupun Ceng Bo adalah
orang2 yang mempunyai hati welas asih. Mereka kasihan
pada Siao-lan, tapi teringat bahwa The Go sudah buntung
kakinya, mereka saling berpandangan. Setiba di Giok-li-nia,
berkatalah Ceng Bo: "Nona Ciok, boleh dikata setiap orang
persilatan tentu menghendaki jiwa Cian-bin Longkun.
Adakah kau mengetahui hal itu ?"
"Sudah tentu aku tahu, kalau tidak masakan aku
korbankan diri untuk menebus dosanya?" sahut Siao-lan.
Ceng Bo terdiam sejenak, lalu berkata pula: "Kali ini
dalam pembentukannya yang kedua kali, Thian Te Hui
telah memutuskan untuk membuatnya sesaji sembahyangan
bendera........."
"Jadi engkoh Go sudah meninggal?!" tukas Siao-lan
dengan serempak.
Ceng Bo menghela napas, ujarnya: "Mati sih
belum........"
Baru mendengar sampai disini, kedengaran Siao-lan~
menghembuskan napas longgar. Dapat dibayangkan betapa
kasih sayang nona hitam manis itu kepada The Go.
"Nona Ciok, baiklah kuberitahukan padamu tapi harap
kau jangan berduka. Kedua kaki The Go kini sudah
buntung!"
Siao-lan terbeliak kaget, tapi pada lain saat wajahnya
mengunjuk pendirian yang teguh, serunya: "Asal dia itu
tetap engkoh Go, sekalipun hanya mempunyai sebuah jari,
tetap tiada bedanya!"
Ceng Bo dan Ki Ce-tiong tak dapat berbuat apa2. Dalam
kebatinan mereka hanya mengharap, setelah mendapat
pelajaran yang pahit itu, mudah2an anak muda itu kembali
kejalan yang benar, sehingga dapat ber-sama2 Siao-lan
melewati sisa penghidupannya dengan bahagia.
Tapi dalam pada itu, Ceng Bopun teringat akan nasib
puterinya sendiri Bek Lian, bidadari yang menjelma didunia
ini rela mencukur rambut menjadi rahib (nikoh)
dikarenakan perbuatan yang tak bertanggung jawab dari
The Go.
Siangjin itu memanjatkan doa mudah2an puterinya
diberi keteguhan imam dalam usahanya menebus dosa itu.
Diam2 dia mengakui, bahwa hanya dalam waktu dua
tahun, saja, didalam penghidupannya telah terjadi
perobahan yang besar.
Sembari ber-cakap2 itu, tibalah mereka dimuka sebuah
pondok. "Nona Ciok, silahkan kau masuk sendiri!" ujar
Ceng bo.
Membayangkan bahwa dalam beberapa kejab lagi la
bakal berjumpa dengan pemuda tambatan jiwanya, tanpa
terasa hatinya berdeburan keras. Mendorong pintu
didapatinya dalam pondok itu remang2 penerangannya,
karena disitu hanya terdapat sebuah pelita dengan
sumbunya sebesar biji kedele. Sesosok tubuh membujur
diatas pembaringan. Air mata kegirangan dan kesedihan,
ber-ketes2 membasahi kedua belah pipinya.
Dengan ber-indap2 ia mendekati pembaringan itri. Disitu
dihapusnya air matanya, kemudian setelah tertegun
beberapa jurus, barulah mulutnya kedengaran memanggll
dengan berbisik: "Engkoh Go...., engkoh Go.....!"
Tapi baru dua kali ia memanggil, pecahlah tangisnya
tersedu sedan ............
---oodwkz-0tah-oo---
Telah diterangkan dimuka bahwa sepasang kaki The Go
telah dipapas kutung oleh Ceng Bo siangjin. Syukur Kang
Siang Yan keburu datang menolongi dan memberi obat
penghenti darah. Ceng Bo pun berpendapat bahwa dengan
sudah menjadi invalid begitu, The Go tentu akan sudah
insyaf, maka diapun malah memberikan obat juga.
The Go dibawa kesebuah pondok. Ketika tersadar, dia
tak berkata apa2. Hanya dalam hatinya ter-bayang2 akan
tingkah laku Ceng Bo siangjin dan orang2 Thian Te Hui
terhadap dirinya. Betapapun jahatnya seseorang, tapi dalam
nuraninya dia tentu masih mempunyai setitik hati yang
baik. Demikianlah The Go yang pada saat itu mendapat
penerangan bathin, menyesal atas perbuatan2nya yang lalu.
Dalam keadaan limbung antara sadar tak sadar karena
lukanya itu, hatinya selalu mengacai (bercermin muka)
kehidupan yang dituntutnya selama ini. Matanya meram
tapi hatinya melek. Ketika ada suara berisik orang bercakap2
diluar, dia kira kalau orang2 Thian Te Hui. Sebagai
orang yang masih mempunyai rasa malu, dia lalu pura2
tidur tak mau menemui mereka. Bahkan ketika ada orang
berseru "engkoh Go", dia tetap tak percaya
pendengarannya. Dia serasa mengalami "impian ditengah
hari" (sesuatu yang mustahil).
Namun dia paksakan diri untuk menggeliat, demi
tampak Ciok Siao-lan berdiri dihadapannya, dia tetap
belum percaya. Dia meramkan pelapuk matanya dan
mengenangkan kejadian pada 2 tahun berselang. Ditempat
itu (Lo-hu-san) jugalah Ciok Siao-lan telah mengusapkan
keringat dimukanya (The Go), tapi dia malah menjadi gusar
dan melukainya. Dia merasa, dalam kehidupannya itu,
banyak nian menyakiti hati dan mencelakai orang. Tapi
yang paling hebat sendiri, yalah menyakiti hati dua orang
gadis. Yang satu Bek Lian dan yang lain Ciok Siao-lan.
Melihat wajah Cian-bin Long-kun pucat lesi bagai kertas,
hati Siao-lan serasa disayat dengan sembilu. Seketika
pecahlah tangisnya mengiring air mata. Lari menubruk
kemuka, berserulah ia: "Engkoh Go, kau bagaimana? Aku
ini Siao-lan, Siao-lan yang selalu setia menyintai kau!"
Kini barulah The Go tahu bahwa dirinya masih sadar
dan bahwa yang dilihatnya itu benar Siao-lan. Dirangsang
oleh rasa kemenyesalan, air matanya berhamburan keluar.
"Engkoh Go, bagaimanapun juga Po-sat masih
melindungi. Kalau aku tak mengunjungi gereja Kong Hau
Si dan berjumpa dengan Tio Jiang dan Liau Yan-chiu, tentu
aku tak tahu kau berada disini. Kini syukurlah aku telah
dapat menjumpaimu, aku .............. takkan meninggalkan
kau lagi. Engkoh Go, ayuh kita cari tempat yang sunyi
untuk beristirahat dengan tenang," sebentar menangis
sebentar tertawa Siao-lan membawakan kata2-nya.
The Go mencekal erat2 tangan nona itu tanpa mengucap
sepatah katapun. Tak berapa lama haripun sudah terang
tanah. Dengan selimut Siao-lan menggendong The Go
keluar dari pondok itu. Ketika berpapasan dengan Ceng Bo,
The Go tundukkan kepala tak berani memandangnya. Ceng
Bo nasehati Siao-lan jangan buru2 membawa pergi The Go,
karena lukanya masih belum sembuh betul. Tapi Siao-lan
tak kena dicegah.
GAMBAR 98
Siao-lan membungkus The Go dengan sehelai selimut, lalu
memondongnya meninggalkan Ceng Bo Siangjin dan kawan2 nya
di Lo-hu-san...........
Begitulah singkatnya saja, besok tengah malam, mereka
sudah tiba digereja Kong Hau Si.
"Kita menghaturkan terima kasih dahulu kepada Po-sat,
setelah itu kita tinggalkan dunia ramai ini untuk mencari
ketenangan hidup!" kata Siao-lan. Dia berteriak minta
pintu, tapi belum ia melangkah keruang Tay-hiong-po-tian,
tiba2 muncullah sesosok tubuh yang bukan lain adalah Tio
Jiang.
"Hai, kiranya kau, Ciok Ji-soh telah lama
menunggumu!" ujar Tio Jiang.
Dengan girang sekali Siao-lan minta Tio Jiang
membawanya kepada kakak iparnya itu. Tiba dikamar
mereka, disana sudah kelihatan Kiau To, Ciok Ji-soh dan
Yan-chiu tengah berpikir keras. Kiranya tempat penyimpan
harta karun itu masih belum dapat diketemukan. Dalam
pada itu, nyawa Yan-chiu hanya tinggal sehari dua malam
saja.
Sebagai seorang wanita yang beradat lurus, Ciok Ji-soh
tuturkan semua kejadian pada Siao-lan, termasuk diri
Yanchiu. Tiba2 berkatalah The Go: "Aku yang rendah
hendak menghaturkan suatu pendapat, entah saudara2
disini suka mendengarkan tidak."
Walaupun tahu kalau tadi Siao-lan membawa masuk
The Go, tapi selama itu Kiau To dan Tio Jiang tak
menghiraukannya. Mendengar orang yang dicap sebagai
penghianat itu hendak menyatakan sesuatu, diam2 Kiau To
dan Tio Jiang memakinya. Tapi kata2 makian itu
ditelannya kembali karena teringat bahwa si Cian-bin Longkun
itu seorang pemuda yang cerdik cendekia. Dalam hal
kecerdasan, jarang terdapat ta.ndingannya didunia
persilatan. Bahwa hanya karena salah asuhan sajalah, maka
orang muda itu telah tersesat menjadi seorang penghianat.
Rasanya tiada ada jeleknya untuk mendengarkan buah
pikiran orang muda itu. Begitulah tanpa berjanji
sebelumnya, Kiau To dan Tio Jiang saling menukar isyarat
mata, masing2 setuju untuk mendengarkan apa yang
hendak dikatakan orang itu. Kiau To yang perangainya
kaku, tak mau bicara apa2. Tapi Tio Jiang yang jujur,
segera membuka mulut: "Entah Cian-bin Long-kun
mempunyai buah pikiran apa?"
"Huh, apa2an dia!" Yan-chiu ber-sungut2.
The Go tak mau menghiraukan, setelah mengatur napas,
berkatalah dia: "Kurasa tempat harta karun itu, sangat pelik
sekali. Yang disuruh menyembunyikan harta itu oleh Thio
Hian-tiong, tentulah orang2 kepercayaannya. Bahwa orang
persilatan sampai dapat mendengar soal harta karun itu,
tentulah siasat anak buah Thio Hian-tiong itu sendiri untuk
membuang bekas. Entah bagaimana pendapat saudara2
tentang penilaianku itu!"
Kiau To berempat seperti disadarkan.
"Wahai, mengapa kita tak dapat memikir sampai disitu?
Hal itu sesungguhnya amat sederhana sekali!" seru mereka.
Didalam hati mereka mengagumi kecerdasan The Go.
Setelah mengambil napas, The Go melanjutkan pula
kata2nya: "tapi Thio Hian-tiong bukannya tak mengetahui
bahwa betapapun rahasianya tempat harta itu, namun pasti
bakal diketahui orang. Tapi dia sudah memperhitugkan,
dikala orang2 sama mencari kim-jiang-giok-toh ........ Hai,
bukantah, saudara2 mengatakan bahwa Hwat Siau dan
Swat Moay berada didalam gereja ini? Kata2ku tadi tentu
dapat dicuri dengarnya!"
Oleh karena pada saat itu Kiau To dan Tio Jiang sudah
menaruh kepercayaan pada The Go, maka mereka berdua
segera memburu keluar untuk memeriksanya. Benar juga,
tampak ada dua sosok bayangan hitam lari kearah utara.
Ditilik dari arah berangkatnya, mereka tentu habis berada
disitu,
"Mereka benar mendengari diluar. Tapi kini mereka
sudah lari jauh, The-heng tak usah kuatir apa2 lagi!" kata
Kiau To dengan geramnya.
Bahwa mulut seorang berangasan macam Kiau To
meluncurkan kata2 "The-heng" (saudara The), telah
membuat semangat The Go timbul lagi. Setelah merenung
sejenak, tangannya menuding kearah luar jendela dan
mulutnya segera berkata : "Tapi akupun hanya men-duga2
saja. Kata orang 'yang kosong itu berisi, yang isi itu kosong'.
Harta karun disembunyikan didalam perut arca. Hanya
karena sangat dirahasiakan sekali, jadi orang tak dapat
menemukannya dan lalu mengambil kesimpulan harta
karun itu sebenarnya tak ada. Dan anggapan itu, dapat
menyelamatkan harta karun itu!"
Diantara keempat orang itu, Ciok Ji-sohlah yang paling
lamban ( tumpul ) otaknya. Diam2 ia memaki pada anak
muda itu yang dikatakan jual petai kosong (membual atau
omong kosong) saja.
Sebaliknya Yan-chiu cukup cerdas untuk menangkap
maksud si Cian-bin Long-kun. Melongok keluar jendela
didapatinya suami isteri Hwat Siau - Swat Moay itu baru
saja loncat kearah wuwungan rumah disebelah muka untuk
lari pergi. Berputar kedalam ruangan, memujilah Yan-chiu:
"Cian-bin Long-kun, aku tunduk padamu!"
"Kali ini mereka benar2 pergi. Dengan Ilmunya
mengentengi tubuh, bukan mustahil kalau mereka dapat
pergi datang secepat kilat!" kata The Go.
Kini barulah Ciok Ji-soh tahu mengapa The Go berkata2
begitu tadi. Kiranya memang sengaja diperdengarkan
kepada Hwat Siau - Swat Moay yang mendekam diluar
jendela.
Juga Kiau To dan Tio Jiang merasa kagum atas
kecerdikan The Go. Dalam soal kecerdasan, mereka berdua
mengaku kalah jauh dengan Cian-bin Long-kun. Kini
mereka mencurahkan perhatian untuk mendengarkan apa
yang hendak dikatakan The Go lebih lanjut.
Dengan membawa lukanya Itu, sebenarnya semangat
The Go lemah sekali. Digendong Siao-lan menempuh
perjalanan yang sedemikian jauhnya itu, luka2 dipahanya
kambuh lagi dan mengucurkan darah pula. Tapi demi
dilihatnya orang2 yang dahulu membencinya tujuh turunan
kini mengunjuk sikap mengindahkan kepadanya, hatinya
menjadi besar.
Bukan karena gila hormat, tapi karena insyaf bagaimana
bedanya semangat perjoangan ber-api2 yang diunjuk oleh
Tio Jiang dan kawan2 dalam membela negara dan bangsa,
dengan kelakuannya (The Go) yang selama itu hanya
memikirkan kepentingan diri sendiri serta mencelakai
saudara2 sebangsa.
"Tegasnya, kalau hanya men-cari2 pada semua arca
digereja itu, tentu akan sia2. Walaupun bangunan gereja
Kong Hau Si ini sedemikian besarnya, tapi rasanya dapat
juga diselidiki sampai habis!" habis berkata itu napas The
Go tampak ter-sengal2 kepayahan. Buru2 Siao-lan
menasehatinya supaya jangan berbanyak bicara dulu.
Tapi The Go tak menghiraukan, ujarnya: "Sudah
beberapa hari kalian berada digereja ini, masakan
dikompleks (lingkungan) gereja ini tiada terdapat tempat
yang agak mencurigakan?"
Mendengar itu Yan-chiu seperti disadarkan. Teringat ia
sumur kecil yang membentur kakinya itu, seperti
memancarkan cahaya yang aneh. Tapi di-pikir2 rasanya
mustahil harta karun itu berada didalam sumur yang
sedemikian ke-cilnya. la menarik lengan Tio Jiang untuk
diajak keluar. Ciok ji-soh dan Kiau Topun ber-turut2
meninggalkan kamar itu. Jadi yang berada disitu hanyalah
Ciok Siaolan dan The Go berduaan.
Dapat menyumbangkan pikiran untuk membantu, The
Go serasa terhibur hatinya.
"Siao-lan, apa kau tak mau bantu mereka mencarinya?"
tanyanya kepada Siao-lan.
"Tidak, aku tak mempedulikan segala apa kecuali
hendak mendampingimu!" sahut sinona hitam manis,
The Go menghela napas, ujarnya ter-iba2: "Siao-lan, aku
selalu menyakiti hatimu..”
Buru2 Siao-lan dekap mulut The Go, serunya dengan
mesra: "Engkoh Go, aku tak pernah sesalkan kau.
Bagaimanapun kau memperlakukan diriku, aku tetap setia
cinta padamu!"
Habis berkata, Siao-lan menangis. Sesal The Go tak
kunjung habis. Dahulu ketika dia masih utuh cakap, dia tak
menghiraukan nona itu. Sebaliknya biarpun kini dia sudah
menjadi aeorang invalid, nona itu tetap setia.
"Siao-lan, dalam kehidupan sekarang ini, aku telah mensia2-
kan kau. Mudah2an dalam penitisan besok, kita dapat
bersatu se-lama2nya," katanya sembari menghela napas.
"Mengapa? Apakah karena nona Bek?" tanya Siao-lan.
"Ah, nona Bek konon kabarnya sudah mencukur rambut
menjadi rahib (nikoh) sudah tentu ia tak mau campur
dengan keduniawian lagi. Pun aku juga yang
mencelakainya. Kini kedua kakiku sudah buntung, menjadi
seorang Invalid”
"Sudahlah! Sekalipun kau meninggal, aku tetap
menyintaimu!"
Terharu The Go mendengar pra-setya dari nona itu.
Digenggamnya tangan nona itu erat2 tanpa mengucap
sepatah katapun, hanya dua pasang mata saling
berpandangan, merangkai seribu kata bahasa asmara.
Adalah pada saat mereka diayun dalam buaian
kebahagiaan, tiba2 dari mulut jendela terdengar suara
ketawa. Menyusul dengan bunyi "brak" dari daun jendela
terpentang, muncullah seorang hweshio.
"Cian-bin Long-kun seharusnya mengganti nama dengan
Hong-liu Long-kun (pemuda akhli merayu) barulah tepat.
Ho....., suatu adegan yang romantis benar2 ini!" seru
hweshio itu.
The Go terperanjat mendengar nada suara itu. Ketika
mendongak kemuka, benarlah apa yang diduganya itu.
Hweshio gadungan itu ternyata Swat Moay adanya. Diam2
The Go mengeluh dalam hati. Swat Moay seorang yang
ganas, dalam keadaan seperti sekarang dia bukan
tandingannya. Siao-lanpun Idem, tak nanti dapat
menandingi wanita lihay itu. Namun sebagai seorang yang
cerdik, dia berusaha untuk mengekang kegelisahannya.
Dengan memain senyum, berkatalah dia: "Ah....., cianpwe
menggoda saja!"
Sebaliknya Siao-lan yang belum kenal siapa hweshio itu
segera menanyakan kepada The Go. Mencuri suatu
kesempatan, The Go memberi isyarat dengan kerlingan
mata agar Siao-lan lekas keluar memanggil Kiau To dan
Tio Jiang.
Tapi sayang Siao-lan tak mengerti dan malah bertanya
lagi: "Dia hendak apa kemari ini?"
Swat Moay sebal mendengar itu, lalu loncat masuk.
Dalam kegugupannya The Go paksakan tertawa dan
menyahut kepada Siao-lan: "Cianpwe ini adalah seorang
pendekar dari Tiang-pek-san yang menjadi orang
kepercayaan Sip-ceng-ong dari kerajaan Ceng. Orang
menggelarinya sebagai Swat Moay!"
Dengan keterangan itu, The Go percaya, sekalipun Siaolan
itu sangatlah bodohnya namun dengan mengetahui
adanya seorang jagoan Ceng yang menjadi musuh Thian Te
Hui, ia tentu sadar dan tentu akan lekas2 lari keluar untuk
memanggil bantuan. Tapi kode The Go itu tetap macet lagi.
Walaupun tahu bahwa kehadirannya seorang kepala jagoan
Ceng itu tentu merugikan The Go dan dirinya sendiri,
namun Siao Lan tak memikir untuk memanggil Kiau To
dan kawan2. Bahkan ia malah mencekal senjatanya hi-jat
untuk di-goyang2-kan hingga thiat-hoan (gelang besi) yang
tersalut pada ujung hi-jat itu berkerontangan bunyinya. Dan
begitu tampak Swat Moay menghampiri dekat, ia segera
membentaknya: "Karena kau orangnya pemerintah Ceng,
sanalah jangan dekat2 pada engkoh Go!"
The Go mengeluh gelisah. Sebaliknya Swat Moay
perdengarkan suara ketawa iblis.
”Harap cianpwe jangan mencelakai dia, silahkan tanya
padaku saja. Siao-lan, lekas cari Kisu To dan engsomu
sana!" kata The Go. Oleh karena otak Siao-lan begitu
buntu, maka dia terpaksa menyatakan maksudnya itu
dengan terang2an.
Sebenarn ya bukan tak tahu Siao-lan bahwa keadaan saat
Itu amat berbahaya sekali. Tapi dipengaruhi oleh rasa
kasihnya kepada The Go, ia tak tegah biarkan pemuda itu
seorang diri menghadapi musuri. Jadi sebaliknya dari pergi,
ia malah berseru: "Jangan takut, engkoh Go! Biar kugebah
hweshio ini!"
Siao-lan tak mengetahui kalau hweshio itu sebenarnya
seorang wanita. la tetap mengira kalau hweshio itu seorang
hweshio tulen. Begitu gerakkan hijat, dengan jurus hun-cuihwat-
boh (pecah air menda yung ombak), ia tusuk perut
orang. Hi-jat atau senjata garu ikan itu, panjangnya hampir
2 meter. Sedang ruangan situ amatlah sempitnya. Tapi
dengan dapat memainkan senjata itu sedemikian rupa,
dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Siao-lan telah
mempunyai latihan yang mahir dalam permainan senjata
itu. Tapi sayang lawannya adalah Swat Moay, yang jauh
berlipat ganda dari ia. Belum hi-jat menusuk kemuka,
tangan Swat Moay sudah dijulurkan menerkam. Ciok Siaolan
mengisar kesamping lalu menusuk ulu hati. Tapi lagi2
hal Itu sudah diperhitungkan Swat Moay. Ini bukan
dikarenakan ia mahir akan permainan hi-jat Lam-hay-cakjat,
tapi oleh sebab gerak permainan ilmu sllat itu pokoknya
hampir serupa. Setelah gagal menyerang perut, hi-jat tentu
akan ditusukkan kedada. Ini adalah dalil. Dan
menunggulah tangan kanan Swat Moay didadanya. Begitu
hi-jat menusuk, cukup dengan dua buah jarinya, ia sudah
dapat menyepitnya erat2.
Bahwa hi-jatnya serasa menusuk kaget, kemudian seperti
ditarik keras, telah membuat Siao-lan terperanjat sekali.
Ketika diawasinya, ternyata ujung senjatanya telah dijepit
jari lawan. Hendak ia menariknya kuat2, tapi sedikitpun
ternyata tak dapat bergerak.
"Capung membentur tiang batu!" tertawa Swat Moay
dengan sinis. Begitu ketiga jarinya dikatupkan melingkar,
ujung hi-jat yang besarnya sama dengan jempol tangan itu,
segera melengkung bengkok. Kini baru Siao-lan tahu lihay
hingga mulutnya menganga. Maka cukup dengan
menyentak sedikit saja, hi-jat Itu sudah pindah ketangan
Swat Moay, siapa lalu sodokkan tangkai hi-jat kemuka.
Seketika terkulailah Siao-lan rubuh ketanah karena jalan
darahnya kian-ceng-hiat tertusuk.
The Go tersentak kaget. Dengan tahankan sakit, dia
paksakan diri untuk mengangkat tubuhnya. Dilihatnya
Siao-lan sudah tak berkutik lagi ditanah. Dengan menghela
napas panjang, dia terlentang lagi dipembaringan.
Swat Moay masih sengaja hendak unjuk kegarangan.
Sekali ia banting hijat itu kelantai, maka menyusuplah
ujung senjata itu sampai setengah meter dalamnya. "Cianbin
Long-kun, apakah selama ini kau baik2 saja?" tanyanya.
Satu2nya jalan bagi The Go yalah mengulur waktu,
mudah2an Kiau To dan kawan2 segera kembali. Oleh
karena tak dapat mencari lain alasan, maka
disingkapnyalah selimut yang menutup kakinya itu. Melihat
kedua kaki pemuda itu sudah buntung, berserulah Swat
Moay: "Ah, siasat orang Thian Te Hui itu, keliwat ganas!"
"Siasat cianpwe, juga tak kurang ganas dari itu. Sucouku
menyatakan: 'rekening itu harua dibayar oleh cianpwe
berdua'!" sahut The Go tak kalah sinisnya,
"Apakah Ang Hwat cinjin juga datang kemari?" tanya
Swat Moay dengan kejutnya.
The Go ganda tertawa tak mau menyahut. Tapi Swat
Moay seorang cerdas. Dalam lain kejab saja, ia sudah dapat
menduga bahwa kata The Go itu hanya gertakan saja.
"Cian-bin Long-kun, kalau kali ini kau mau bekerja sama
dengan kami, tanggung takkan mengalami kerugian lagi!
Jika berhasil mendapatkan harta karun itu, cukup dengan
1% saja bagianmu, kau pasti akan dapat menikmati
penghidupan yang senang sampai akhir hidupmu!"
Swat Moay salah rabah siapakah Cian-bin Long-kun
yang baru itu. Dengan ucapan itu, terbangkitlah penyesalan
The Go. Dia menyorot perjalanan hidupnya yang lalu,
Adalah karena "temaha akan keuntungan" itu, sehingga kini
namanya ternoda dan badannya cacad. Telah menjadi
tekadnya, dengan sisa hidupnya sebagai orang cacad itu
hendak dia menebus kedosaannya. Dan tadi diapun sudah
memulaikannya dengan membantu pikiran pada Kiau To
dan Tio Jiang.
Seketika merah padamlah selebar muka Cian-bin
Longkun. Tiba2 dia menghantam papan pembaringan dan
berseru: "Kata2-mu itu salah. The Go yang sekarang ini,
bukanlah The Go yang dahulu. Sekalipun seluruh harta
karun itu diberikan padaku, tak nanti aku sudi galang
gulung dengan kamu lagi!"
Swat Moay tersentak kaget, tapi ia segera tertawa
mengejek, serunya: "Bagus, seorang Cian-bin Long-kun
yang patriot dan luhur. Siapakah yang membawa tentara
Ceng masuk ke Kwiciu? Siapakah yang menjadi perencana
hancur leburnya ke 72 markas Hoa-san itu ? Apakah kau
kira mereka mau mengampuni kau sungguh? Apakah
mereka tidak menggunakan kau sebagai alat sementara, lalu
kelak menghukummu lagi!!"
Kening The Go mengucurkan keringat sebesar butir
kedele. Diam2 terbit pertentangan dalam batinnya.
Memang kedosaannya itu sukar mendapat keampunan.
Kalau dia bekerja sama dengan pemerintah Ceng lagi,
mungkin din akan mendapat kenikmatan hidup. Tapi
terkilas pula dalam pikirannya, bahwa orang2 macam Ceng
Bo siangjin dan kawan2 itu, adalah orang2 gagah yang jujur
perwira. Bagi mereka merah tetap merah, putih tetap putih.
Dalam beberapa jam saja berkumpul dengan mereka, dia
mendapat kesan akan kejujuran dan keluhuran budi
mereka. Terang mereka takkan seperti yang dituduhkan
Swat Moay tadi, yakni kelak akan menghukumnya lagi.
Malah bukti menyatakan kalau bercampur gaul dengan
orang2 macam Hwat Siau dan Swat Moay itu, besar
bahayanya.
Diam2 dia mengutuk wanita ganas yang berlidah racun
itu, sehingga hampir saja menggoyahkan pikirannya
menjurus kejalan yang celaka,
"Kalau mengharapkan The Go masuk dalam
perserekatan kawanan tikus lagi, mungkin seperti
menantikan halilintar berbunyi ditengah hari!" ujarnya
dengan tegas.
Wajah Swat Moay berobah, sembari menyambar hijat.
dia mengancam: "Baik, kau boleh puaskan hatimu memain
lidah. Tapi akupun tak mau membiarkan kau menjadi
penasehat dari Thian Te Hui. Biar kucabut nyawamu
dululah!"
"Kalau mau bunuh lekaslah bunuh, jangan buang tempo
mengomong yang tak berguna!" sahut The Go dengan tak
gentar.
Sebaliknya Swat Moay menjadi terkesiap. Seorang
pemuda yang kemaruk pangkat dan harta, kini dalam
beberapa hari saja sudah berobah menjadi seorang jantan
yang perwira. Tapi tiba2 ia mendapat siasat bagus.
"Kau jatuh giliran yang kedua, lebih dahulu anak
perempuan inilah!" aerunya. Berputar kebelakang ia aegera
angkat hi-jat menusuk dada Siao-lan.
"Tahan!" se-konyong2 The Go berseru kaget,
"Bagaimana, apa sudah berobah haluan?" tanya Swat
Way.
Dalam beberapa kejab itu, pikiran The Go, sudah
berobah. Dahulu dia men-sia2kan nona itu sedemikian
rupa, sebaliknya kini ternyata nona Itu tetap setia. Untuk
kesetiaan itu, dia berjanji pada diri sendiri hendak
membalas budi. Sudah tentu dia tak tegah biarkan nona itu
binasa. Namun untuk menolong sinona, berarti dia harus
meluluskan permintaan Swat Moay, suatu hal yang
bertentangan dengan prinsip hidupnya yang baru. Berketes2
butir keringat mengucur dari dahinya, karena, sang
pikiran pepat memecahkan kesukaran itu.
Tampak Swat Moay mengangkat hijat, kini ujung senjata
itu terpisah satu meter dari dada Siao-lan.
"Cian-bin Long-kun, pikirlah masak2. Akan kuhitung
satu sampai 10, dan ujung hi-jat ini akan menurun sampai
setengah meter!" serunya.
Menurut perhitungan waktu, menghitung 1 sampai 10 itu
hanya memakan waktu, 10-an detik saja. Belum lagi The
Go mendengar jelas apa yang dikatakan Swat Moay itu,
atau wanita ganas itu sudah mulal menghitung dan tahu2
sudah sampai hitungan yang ke 10. Tanpa pedulikan suatu
apa lagi, ujung hi-jat itu meluncur turun dengan pesatnya.
Dalam kejutnya The Go menjerit, tapi ternyata lwekang
Swat Moay sudah mencapai tingkat kesempurnaan, dapat
menguasai gerak tenaga menurut sekehendak hatinya.
Walaupun turunnya hi-jat itu sedemikian pesat, tapi tepat
pada setengah meter kebawah, senjata itu dapat berhenti.
Melirik kepada The Go, kembali mulut wanita itu mulai
menghitung dari 1 lagi.
Saking menahan kesesakan napas, dada The Go serasa
panas. Napasnya memburu keras dan matanya berkunang2.
Dia paksakan untuk mengangkat kepalanya yang
berat itu.
GAMBAR 99
Waktu The Go menoleh, tahu2 dilihatnya senjata garu itu
sudah dekat di dada Ciok Siok-lan
Mengawasi kemuka. Samar2 tampak olehnya, ujung
hijat itu sudah menurun setengah meter. Dan sebelum dia
sadar, didengarnya Swat Moay sudah menghitung sampai
bilangan ke 6. Dan pada saat itu, The Go sudah pingsan tak
Ingat orang lagi.
Tapi karena Swat Moay membelakangi The Go, jadi ia
tak tahu akan keadaan anak muda itu. Malah ia sudah
mereka (merencanakan) rencana, kalau nona itu tak
dibunuhnya, The Go pasti akan mengira kalau ia (Swat
Moay) hanya main gertak saja. Jadi untuk menundukkan
kekerasan hati anak muda itu, jiwa nona itu harus
dikorbankan. Dan seperti bunyi mitraliyur, mulutnya
berhamburan menghitung 7, 8, 9. Begitu mengucap 10,
ujung hi-jatpun meluncur turun
"Omitohut, siancay....., siancay.......!" se-konyong2 pada
saat2 yang genting meruncing itu, terdengar suara seorang
hweshio mengucapkan tegur keagamaan.
Nada seruan itu luar biasa sekali kedengarannya. Seluruh
ruangan situ se-olah2 dicangkum oleh gema suara atau
kalau dalam kiasan bahasa daerah (Jawa) orang
mengatakan ”turut ngusuk" (menyalur diantara tiang
bandar dan penglari atap). Begitu ulem (kumandang)
namun begitu ramah wajar bagai melukiskan suatu suasana
kehampaan yang agung. Sampaipun seorang tokoh macam
Swat Moay mau tak mau menjadi tersentak kaget juga. Dan
ujung hi-jat yang hanya terpisah satu dim dari dada Siao-lan
itu tertahan oleh getaran suara tadi, hingga tak dapat
langsung mengenai badan.
Dalam tersadarnya, secepat kilat Swat Moay berpaling
kearah pintu. Hai, kiranya diambang pintu tampak ada
seorang hweshio tinggi besar, berwajah merah berseri
seperti bayi. Hweshio tua itu mengenakan jubah warna
putih dan mencekal sebatang sik-sian-ciang (tongkat
pertapaan terbuat dari timah), sedang mengawasi
kearahnya.
Berdebar hati Swat Moay menampak hweshio yang
berwajah sedemikian ramahnya itu. Cahaya wajah yang
bebas dari segala dendam permusuhan terhadap siapapun
juga. Api kemarahan yang bagaimana hebatnyapun rasanya
seperti sirna daya ditatap oleh cahaya muka yang seagung
itu. Sekalipun begitu jelas tampak oleh Swat Moay
bagaimana sikap hweshio itu sedemikian tenang laksana
laut, kokoh laksana gunung. Sebagai seorang tokoh
persilatan tahulah sudah Swat Moay bahwa kini ia
berhadapan dengan seorang achli lwekang dan gwakang
(tenaga luar) yang istimewa.
Adalah pada saat ia terpesona itu, si hweshio sudah
ayunkan langkahnya pe-lahan2 menuju ketempat
pembaringan The Go. Sewaktu lewat disisi Siao-lan, dia
pun mengerlingkan pandangannya sebentar, menengok
nona itu.
"Siancay...., siancay.....! Mengapa sicu (anda) menahan
kesakitan begitu rupa?" bisiknya dengan halus. Dan cukup
dengan menyentuhkan ujung tongkatnya kebahu Siao-lan
dengan pelahan, terbukalah sudah jalan darah sinona yang
tertutuk tadi. Tapi tetap sinona tak berani bergerak, karena
ujung hi-jat ditangan Swat Moay itu masih tetap berada
satu dim diatas dadanya. Rupanya hal itu diketahui juga
oleh sihweshio.
"Harap sicu hematkan tangan, agar nona ini dapat
berbangkit," katanya kepada Swat Moay.
Kata2 itu bukan merupakan suatu perintah, karena
nadanya begitu ramah halus. Tapi seperti terkena daya
penarik kuat, tanpa merasa Swat Moay mengangkat pula hijat
keatas. Barulah ketika didapatinya Siao-lan loncat
bangun, Swat Moay menjadi tersadar dari kehilangan
peribadinya tadi. Ya, mengapa ia begitu serta merta
mendengar kata2 si hweshio? Bukantah tadi ia sudah
menetapkan rencana bagus? Mengapa hanya dengan
sepatah dua kata2 hweshio itu saja, ia sudah kehilangan
faham?
Begitu kesadarannya pulih, la segera berseru keras terus
menyerang hweshio pengacau itu. Swat Moay cukup insyaf
bahwa hweshio itu tak boleh dibuat main2. Maka sebelum
orang berjaga, ia sudah mendahului dengan sebuah
serangan mendadak yang dilancarkan dengan sepenuh
tenaga, bahkan sekaligus ia salurkan juga lwekang im-cui.
Sedemikian dingin hawa lwekang Itu menabur, hingga
Siao-lan menggigil bergemetaran. Saat itu The Gopun
sudah tersadar. Begitu didapatinya Siao-lan berada
disisinya, dia lekas menggenggam tangan sinona.
GAMBAR 100
Begitu tersadar dari kesimanya, dengan sengit Swat Moay terus
ayunkan garu ikannya untuk menyerang Tay Yang Siansu.
Sebaliknya hweshio itu enak2 saja tampaknya. Dia
masih diam saja ketika ud yung hi-jat yang mengeluarkan
hawa sedingin es itu hampir mengenal tubuhnya. Hanya
tampak tangannya bergerak sedikit untuk melintangkan
tongkat pertapaannya. Trang...... bergerontanganlah bunyi
hijat dan tongkat timah berbenturan. Untuk kekagetan Swat
Moay, didapatinya lwekang im-cui itu menjadi sirna daya,
lenyap bagai sebentuk jarum jatuh didalam samudera.
Hendak la menarik pulang senjatanya, tapi tak mampu.
(Oo-dwkz-0-tah-oO)
BAGIAN 55 BERPANTANG AJAL
Baru kini Swat Moay terperanjat bukan buatan. Takut
kalau lawan keburu menyalurkan lwekang balasan yang
terang tak dapat ia tahan, buru2 ia lepaskan cekalannya ....
trang........ , jatuhlah hi-jat Itu berkerontangan ketanah.
Sedang iapun sudah loncat mundur beberapa tindak.
"Sicu, lepaskan golok pembantai (jagal), kembalilah
kejalan yang terang. Dengan mengenakan jubah pertapaan
itu, masakan kau tak mengerti akan ajaran gereja!"
kedengaran hweshio itu berkata.
Belum lagi Swat Moay menyahut, The Go sudah terbuka
hatinya. Serentak dia seperti mendapat penerangan batin,
serunya bertanya: "Yang tak mengenakan pakaian
pertapaan, apakah dapat menerima penerangan dari
mahkota gereja ?"
"Pintu kerajaan gereja itu selalu terbuka lebar!" sahut si
hweshio dengan tersenyum.
The Go yang berotak cerdas segera dapat menangkap
kata2 si hweshio itu. Dia ter-mangu2 diam merenung.
Sebaliknya Swat Moay yang loncat mundur tadi, tetap
penasaran, serunya: "Hweshio, adakah kau ini Tay Siang
siansu dari Liok-yong-si ?"
"Benar2 itulah gelaran lo-ceng!" sahut si hweshio tua.
Swat Moay seperti terpagut ular, serempak ia loncat
keluar dari jendela. Nama Tay Siang siansu sejajar dengan
nama Ang Hwat cinjin dan Kang Siang Yan. Tapi ilmu
kepandaiannya ternyata sukar dijajaki lwekang im-cui yang
dimiliki itu, sekalipun air panas yang tengah mendidih
begitu terbentur tentu akan segera berobah menjadi air es.
Namun dengan mudahnya, lwekang im-cui tadi telah
dihapus sirna daya oleh si hweshio. Ilmu lwekang yang
dipunyai si hweshio itu, benar2 telah mencapai tingkat
kesempurnaan total. Demikianlah sembari lari melintasi
beberapa ruangan, ia masih merenungkan kejadian tadi.
Tiba2 tampak sesosok bayangan hitam menghadang
sembari berseru: "Niocu, hasilkah?"
"Sudahlah, jangan tanya hal itu. Tay Siang siansu tiba
kemari!" sahut Swat Moay kepada orang itu yang bukan
lain adalah suaminya, si Hwat Siau adanya.
Juga Hwat Siau tak kurang terperanjatnya.
"Habis bagaimana baiknya?!" tanyanya.
Swat Moay merenung sampai sekian jenak, baru
kedengaran ia berkata: "Tak perlu kuatir, kita masih
mempunyai sehelai kartu terakhir. Budak perempuan she
Liau itu, masakan mau mandah mati begitu saja!" Begitulah
sepasang suami isteri itu lalu merundingkan siasat lebih
lanjut.
---oo0dwkz^tah0oo---
Dan kita, kembali tengok keadaan ruangan tadi.
Setetelah Swat Moay ngacir pergi, Tay Siang siansu
menghampiri pembaringan dan meng-elus2 kepala The Go.
Seketika The Go rasakan dirinya nyaman sekali.
"Mohon taysu mencukur rambutku!" tiba2 The Go
berseru.
"Jodohmu belum sampai, mengapa hendak menjadi
orang pertapaan ?" sahut Tay Siang Siansu dengan tertawa,
"ingatlah hati nurani itu adalah Hud, dan Hud tentu akan
bersemayam didalam hati sanubari. Itu sudah cukup."
The Go mengangguk. Tiba2 pintu terpentang dan
masuklah seseorang seraya berseru: "Suhu!". Kemudian
terus berlutut memberi hormat. Dia adalah Kiau To.
Dibelakang mengikuti dua orang wanita, Ciok ji-soh dan
Yan-chiu, Melihat Kiau To, tertawalah Tay Siang siansu,
ujarnya: "Ilmu silat bertambah maju, kecerdasan sebaliknya
mundur!"
"Mohon suhu sudi menerangkan kesesatan murid itu,"
kata Kiau To sembari menundukkan kepala.
"Apa yang dirasa baik, lakukanlah. Tiada kesesatan
mengapa harus dibenarkan ?" sahut Tay Siang sembari
kebutkan lengan bajunya. Tanpa dikehendaki, Kiau To
tersentak bangun.
Sedang Yan-chiu ketika menampak Tay Siang siansu,
begitu kegirangan sekali hingga sampai mengucurkan air
mata. "Lo-hweshio!" serunya dengan ter-iba2.
Tenang2 saja Tay Siang siansu mengangkat kepala
mengawasi Yan-chiu sembari menyungging senyuman.
Tapi begitu menatap dirl Yan-chiu, seri wajahnya segera
berobah menjadi keren (ber-sungguh2), sehingga sekalian
orang yang berada disitu sama tersentak kaget.
"Lo-hweshio, bagaimana?" tanya Yan-chiu.
Tay Siang tak menyahut hanya ulurkan tangannya.
Dengan 3 buah jari dia memeriksa polo (pergelangan)
tangan Yan-chiu. "Siancay.......! Nona kecil ini akan
menuju kealam baka!" katanya kemudian.
"Suhu, bukantah karena menerima surat dari merpati pos
itu, suhu lalu datang kemari?" buru2 Kiau To berseru
dengan kaget, "adalah karena jiwanya terancam maut,
maka aku mohon suhu menaburkan kemurahan hati untuk
menolongnya !"
Tay Siang siansu hanya mendehem didalam
tenggorokan, lalu menatap Yan-chiu dan berseru: "Aneh....,
aneh...., sungguh aneh !"
Adalah Ciok ji-soh yang berwatak berangasan, karena
tak mengerti apa yang diucapkan siansu itu, segera berseru:
”Lo-hweshio, apakah kau mempunyai daya untuk
menolongnya? Lekaslah memberi pertolongan !"
Tay Siang menggeleng, sahutnya: "Jalan darah ki-hiat
(istimewa) diluar pembuluhnya telah ditutuk lwekang oleh
orang. Kepandaian lo-ceng terbatas, hanya tahu sampai
disitu saja. Untuk menolongnya, dikuatirkan akan
membikin kapiran !"
Ucapan itu membuat sekalian orang serasa diguyur air
dingin. Tadi Kiau To tengah melanjutkan usaha mencari
tempat harta. karun itu disekeliling gereja Kong Hau Si situ.
Sedang Yan-chiu dan Tio Jiang tengah memeriksa mulut
sumur yang memancarkan sinar aneh itu. Mendengar para
hweshio mengatakan bahwa Tay Siang siansu datang,
mereka ber-gegas2 menemuinya. Mereka menyongsong
dengan penuh harapan. Dikiranya begitu Tay Siang siansu
datang, Yan-chiu tentu akan tertolong. Tapi nyatanya, apa
yang disumbarkan oleh Swat Moay itu benar adanya. Tay
Siang siansu pun tak berdaya menolongnya !
Tay Siang siansu adalah paderi agung yang tinggi
martabatnya, sudah tentu dia tak mau berbohong.
Mendengar keterangannya tadi, serentak Yan-chiu terus lari
keluar. Tio Jiang buru2 memburunya, tapi nona itu sudah
lenyap tak ketahuan kemana. Dengan gelisah Tio Jiang
kembali kedalam ruangan dan segera jatuhkan diri berlutut
dihadapan Tay Siang.
"Biar bagaimana kumohon siansu sudi menolong jiwa
Siao Chiu itu!" serunya ter-iba2 dengan suara tak lampias.
Tay Siang menggeleng, ujarnya: "Harap siaoko bangun.
Banyak nian urusan didunia ini yang tak dapat dicegah
usaha manusia, mengapa harus disedihkan?"
Kembali hati Tio Jiang seperti diguyur es.
"Siansu, apakah benar2 tiada daya lagi ?" tanyanya.
Belum Tay Siang menyahut, Kiau To tiba2 sudah
membuka mulut: "Suhu, tadi berulang kali suhu
menyatakan aneh, apakah artinya itu?"
"Bukantah nona itu pernah memakan mustika yang
bermanfaat sekali terhadap badannya?" tanya Tay Siang.
Mendengar itu timbul lagi harapan Tio Jiang, serunya :
"Ia memang pernah memakan mustika batu peninggalan
dari Tat Mo Cuncia."
"Ai......., makanya wajah nona itu memancarkan sinar
kehijau2-an, jauh berbeda dengan kebanyakan orang."
"Adakah hal itu akan menolongnya?" tanya Tio Jiang
pula.
Sampai sekian jurus Tay Siang tak menyahut. Suasana
diruangan situ menjadi sedemikian heningnya, sehingga
seumpama ada sebatang jarum jatuh kelantai, tentu akan
kedengaran juga. Hati sekalian orang ber-debar2. Akhirnya
berkatalah Tay Siang: "Sukar...., sukar....! Harus dilihat
apakah ia sanggup menderita siksaan itu tidak ? Kini belum
waktunya mengatakan, nanti saja apabila sudah saatnya
baru kuterangkan !"
Oleh karena masih ada setitik sinar harapan, Tio Jiang
serta merta haturkan terima kasih kepada Tay Siang.
"Siaoko, sedemikian murah kasih Hud, harus kau
menjaga dirimu baik2 jangan gelisah!" ujar Tay Siang.
Tio Jiang tak mengerti apa yang dimaksudkan ucapan
siansu itu. Yang dipikirkan yalah keselamatan Yan-chiu.
Kegelisahan apapun juga, dia tak takut asal sumoaynya
selamat. Sehabis mengucap kata2 yang sukar ditebak itu,
Tay Siang lalu menuju kesudut ruangan untuk duduk
bersemadhi. Ciok Siao-lan menceritakan apa yang telah
terjadi diruangan tadi, dan kini makin teballah kepercayaan
sekalian orang kepada The Go.
Ketika Tio Jiang mengemukakan mulut perigi kecil itu,
The Go yang penuh dengan pengalaman segera berkata :
"Mulut perigi itu disebut Tat Mo Keng (perigi Tat Mo).
Ketika Tat Mo cuncia dari India datang kemari, gereja
Kong Hau Si ini masih bernama Hwat Seng Si. Maka
menunjuklah Tat Mo ketanah seraya berkata: 'Didalam
tanah ini terdapat emas.' Ber-duyun2lah rakyat menggali
tanah itu. Sampai sekira 10-an tombak dalamnya,
penggalian sampai dibatu padas dan airpun keluar, tapi
emas tetap tak terdapat. Rakyat menuduh Tat Mo
membual, namun berkatalah guru besar itu: 'Tak dapat
diketemukan dengan penggalian biasa!'. Sejak itu perigi
disebut perigi Tat Mo. Mulutnya meskipun kecil, tapi
dasarnya makin dalam dan lebar, dapat dibuat menyimpan
harta karun !"
"Hai, kalau begitu ayuh kita pergi kesana!" seru Kiau To
kegirangan.
"Baiklah cari dulu Yan-chiu untuk diajak pergi
bersama2," kata Tio Jiang yang disetujui juga oleh Kiau To.
Begitulah keduanya segera tinggalkan ruangan itu.
Kemana gerangan perginya Yan-chiu? Kiranya dengan
hati patah sigenit itu lari keluar melalui dua buah tikungan,
lalu berhenti diujung tembok, menangis tersedu sedan. Ia
kuras air matanya, menangis dan menangis saja. Tiba2
terasa bahunya ditepuk orang. la kira kalau itu tentulah
sukonya yang hendak menghibur.
"Suko, Tay Siang siansupun tak berdaya lagi. Adakah
dengan begini saja kita akan berpisah se-lama2nya?"
Orang yang menepuk itu tertawa, serunya: "Nona kecil,
kalau tak mau berpisah, itulah mudah! Apakah kau sudah
mengetahui tempat simpanan harta karun Itu?"
Yan-chiu seperti tersengat kala. Ketika secepatnya ia
berpaling kebelakang ternyata yang menepuk bahunya itu
adalah Swat Moay. Sedang disebelah belakangnya lagi,
terdapat Hwat Siau. Buru2 Yan-chiu geliatkan bahu untuk
tnenghindari Langan wanita !tu,
"Jangan pedulikan aku!" serunya.
“Siao Chiu, orang macam Tay Siang siansupun tak
berdaya! Kau tak menghendaki tenagaku? Apakah kau
benar2 hendak tinggalkan dunia yang indah ini, rela
menjadi setan gentayangan?" Swat Moay tertawa iblis.
Yan-chiu teramat gusarnya. Dengan se-kuat2nya ia
menghantam, tapi Swat Moay menyongsongnya
menangkap tangan Yan-chiu, serunya: "Siao Chiu, ini
adalah kesempatan yang terakhir. Coba kau hitung, berapa
lama lagikah kau dapat bernapas?"
Yan-chiu tak berdaya. Memang dalam hati kecilnya ia
tak kepingin mati. Tapi biar bagaimana tak sudi ia
menyerah pada Swat Moay.
"Usah kau pedulikan tentang jiwaku lagi, akan
kutanggung sendiri!" sahutnya dengan tawar.
Swat Moay tak marah, ujarnya: "Baiklah! Kalau kau
ingat pesanku, asal kau sulut tumpukan kayu bakar itu, aku
tentu segera datang!"
Tanpa tunggu jawaban orang, wanita itu segera
melenyapkan diri. Seketika timbullah sesal Yan-chiu.
Benar2 ia ingin mengejar wanita itu untuk memberitahukan
tentang sumur kecil itu. Tapi baru saja kakinya melangkah
setindak, terkilas pada pikirannya: "Tidak, tidak! Mati
biarlah mati, apa peduli!"
Sang mulut berkeras, namun hatinya mengeluh. "Ah,
lebih baik suruh Swat Moay membuka jalan darah, biar
bagaimana, asal aku dapat hidup bahagia didamping suko."
Kembali sang kaki melangkah, tapi lagi2 berhenti.
Sampai sekian saat ia tertegun, tak dapat mengambil
keputusan. Akhirnya keperwiraan hati telah menang. "Ah,
biarlah! Suhu mengatakan kalau aku sudah tak berayahbunda.
Kalau tiada ditolong suhu, tentu aku sudah
dibinasakan orang jahat. Kalau memang sudah suratan
takdir tahun ini aku harus mati, mengapa aku harus mohon
belas kasihan? Daripada mati sia2, lebih baik kuturun
kedalam sumur untuk menyelidikinya. Sekalipun aku tak
dapat berenang, tapi aku dapat menutup jalan hawa!"
Setelah membulatkan tekad, ia lalu menuju kesumur Tat
Mo. Setiba disitu tanpa banyak pikir lagi, ia terus terjun
kebawah, blung.......... Bagi orang yang tak dapat berenang,
begitu terjun ke air, tentu akan gelagapan. Juga Yanchiupun
demikian. la terus silam sampai satu tombak lebih
dalam, baru teringat untuk menutup lubang hawa. Sekali
mengerahkan semangat, tubuhnya segera melayang naik.
Kecuali gelap remang2 dari cahaya air, ia tak melihat
sesuatu apa lagi. Ia mulai hembuskan napas dan
tubuhnyapun tenggelam lagi kebawah. Tak berselang
berapa jurus, kakinya telah menginjak dasar perigi. la
pentang matanya sembari meng-geliat2kan kaki tangan.
Tapi selain air, tiada tampak apa2 lagi. Dalam keputusan
asa, tubuhnya serasa hendak mengapung keatas lagi. Buru2
ia gunakan ilmu cian-kin-tui, untuk menjaga keseimbangan
tubuh, lalu berjaIan kemuka.
Ilmu cian-kin-tui (tindihan seribu kati) yang digunakan
itu, se-kurang2nya mempunyai kekuatan beberapa ratus kati
beratnya. Tadi pertama kali menginjak dasar perigi, rasanya
dasar itu lunak karena terdiri dari lempung dan lumpur.
Tapi waktu dia gunakan ilmu membikin berat badan itu,
kakinya melesak masuk lagi dan menginjak dasaran yang
keras datar. Buru2 ia membungkuk untuk merabahnya.
Ai....., kiranya dasar itu terbuat daripada papan batu.
Girangnya Yan-chiu bukan kepalang. Dengan kedua
tangan, ia menyingkap lumpur yang membenam dasar itu.
Air menjadi keruh dengan hamburan lumpur, tapi ia tak
ambil peduli.
Tangannya merabah-rabah terus dan untuk
kegirangannya akhirnya ia telah dapat merabah dua buah
rantai besi!
"Kalau dibawah papan besi ini terdapat simpanan harta
karun, sekalipun nyawa menjadi korban, rasanya masih
berharga juga. Demikian ia merenung dan dengan
mengundang seluruh kekuatannya, ia menarik rantai besi
itu, dan .......... terangkatlah papan batu itu keatas. Tapi
berbareng dengan itu, Yan-chiupun hampir terhuyung
jatuh. Lumpur makin mengeruhkan air disekitarnya.
Setelah papan batu terangkat, tampaklah suatu cahaya
mengilau memancar dari dasar air. Saking girangnya,
lupalah Yan-chiu kalau ia berada didalam air. Menjeritlah
ia karena dimabuk kegirangan itu dan masuklah seteguk air
lumpur kedalam mulutnya. Buru2 ia menutup mulut, tapi
berbareng itu, tangannya serasa ditarik keatas oleh riak air.
Sekalipun ia coba kerahkan cian-kin-tui, namun tetap
sempoyongan. Dan berbareng itu hidung seperti tertampar
keras, kepala pening mata berkunang. Hendak ia menutup
hidung, tapi sudah tak keburu, kelutuk, kelutuk, kembali
mulutnya terminum beberapa teguk air lumpur. Sedang
riak-putaran airpun terasa makin kuat. Perut Yan-chiu
sudah kembung minum air lumpur, dan keadaannyapun
sudah limbung, kakinya tak dapat berdiri kokoh lagi.
Bluk........, ia membentur dinding perigi dan rubuhlah ia tak
sadarkan diri
Diceritakan, sewaktu Tio Jiang memburu mencari Yanchiu
tadi, sigenit itu sudah loncat masuk kedalam perigi,
jadi sudah tentu Tio Jiang tak dapat menemukannya.
Kembali kedalam kamar, dia berkata kepada Kiau To:
"Ayuh, kita pergi saja, tak usah tunggu ia lagi!"
Begitulah Kiau To beserta Ciok ji-soh dan Tio Jiang
menuju kesumur Tat-mo-keng. Belum lagi mendekati
tempat itu, dari kejauhan sudah tampak ada dua sosok
bayangan sedang membungkukkan badan memandang
kedalam perigi itu. Mereka bukan lain adalah Hwat Sisu
dan Swat Way.
Kiranya setelah pergi tadi, Swat Moay bersembunyi
disuatu tempat untuk menunggu apa yang hendak
dilakukan Yan-chiu. Dilihatnya nona itu lari menuju ke
sumur dan loncat masuk kedalamnya. Timbullah
kecurigaan Swat Moay, jangan2 nona itu telah mengambil
putusan pendek untuk bunuh diri. Celaka, serunya seorang
diri. Kartu atau pion satu2nya yang diharapkan telah gagal
lag!. Terang tempat harta karun itu makin jauh dari
harapannya.
Dengan berputus asa, mereka berdua sudah mengambil
putusan untuk kembali keutara saja melapor pada Sip-cengong.
Tapi baru kakinya hendak diayun, tiba2 Yan-chiu
berhasil membuka papan batu, hingga permukaan sumur itu
memancarkan cahaya yang gilang kemilau. Kegirangan
kedua suami isteri itu sukar dilukiskan.
”Niocu, benda itu berada disini!" seru Hwat Siau.
"Benar, kiranya budak perempuan mengetahui tapi ia
berkeras kepala lebih suka mati daripada menyerah pada
kita. Ho, tak mudahlah!" sahut isterinya.
Seketika Hwat Siau lantas hendak turun kedalam perigi,
tapi dicegah isterinya yang mengatakan lebih baik tunggu
kalau Yan-chiu sudah naik keatas lagi. Adalah karena
keayalan itu, datanglah Tio Jiang dan Kiau To. Kalau
musuh lama saling berjumpa, bagaikan banteng yang merah
matanya.
Kiau To lari mendahului dan belum orangnya tiba, jwanpiannya
yang terbuat dari otot kerbau itu sudah melayang
menyapu. Bahwa Tay Siang siansu tak ikut serta, telah
membuat Hwat Siau berbesar hati. Dia cukup yakin tentu
dapat membereskan ketiga lawannya itu. Sekali merabah
pinggang, pek-kim-tiu-tay atau sabuk sutera emas putih,
sudah berada ditangannya. Ketika tangannya menyongsong
kemuka, selendang yang panjangnya hampir 10 meter itu
tanpa bersuara apa2 sudah menjulur kemuka.
Kiau To bernapsu sekali untuk mengalahkan lawan.
Apalagi karena hari sudah menjelang gelap, jadi dia tak
dapat melihat jelas akan adanya selendang emas putih itu
lagi. Dia menerjang maju, kira2 5 meter jauhnya dari Hwat
Siau, barulah kepala jagoan Ceng itu menyentakkan
selendangnya keatas.
Selendang itu penuh disaluri dengan lwekang, sehingga
merupakan seekor ular hidup. Tempo bertanding dengan
Ceng Bo di Lo-hu-san beberapa hari yang lalu, dia telah
berhasil melibat imam gagah itu hingga tak berdaya.
Tertampar oleh kibasan selendang itu, seketika itu rubuhlah
Kiau To. Hanya karena dia cukup kuat kepandaiannya,
begitu rubuh buru2 dia sodokkan pian ketanah untuk
menahan tubuh. Mengandal ruyungnya itu sebagai tongkat,
dia berjumpalitan. Ketika berdiri jejak, dia menundukkan
kepala untuk mengawasi, hai....kiranya selembar selendang.
Bluk....., saking gusarnya dia menghantam ketanah hingga
tanah itu sampai berlubang. Tapi Hwat Siau siang2 sudah
menyentakkan selendangnya keatas lagi. Hanya deru
anginnya yang gemuruh mendesing-desing, namun dari
arah mana benda itu me-nyambar2 sukar diduganya.
Kejut Kiau To bukan kepalang. Dia buru2 mundur. Tapi
Hwat Siau meluncur maju memburunya. Tangannya
bergerak dan me-legut2lah selendang itu bagaikan ratusan
ekor ular berbisa hendak memagut Kiau To. Sebenarnya
Kiau To cukup tahu akan kelihayan musuh dan diapun
sudah berlaku sangat hati2 sekali. Namun menghadapi
senjata musuh yang sedemikian luar biasanya itu, bingung
juga dia dibuatnya. Satu2-nya jalan, terpaksa dia putar
jwan-pian begitu rupa, sehingga merupakan lingkaran sinar
yang tak dapat ditembus oleh hujan, guna melindungi diri.
Dan ternyata siasat itu berhasil. Untuk beberapa saat,
memang Hwat Siau tak berdaya untuk menggempurnya.
Sedang disebelah sana. Ciok ji-soh dan Tio Jiang sudah
bertempur melawan Swat Moay. Boan-thian-kok-hay,
mengarungi langit melintasi laut, salah satu jurus dari tohay-
kiam-hwat telah dilancarkan Tio Jiang, namun Swat
Moay tetap tegak tak mau menyingkir. Tahu-'2 dia
gerakkan lengannya melintang, dan tangan itu sudah
mencekal senjata. Trang......, ketika kedua senjata itu
berbenturan, Tio Jiang segera rasakan ada suatu tenaga
dingin menyalur kearahnya. Buru2 dia gunakan jurus cengwi-
tian-hay untuk diteruskan menusuk tenggorokan orang.
GAMBAR 101
Disebelah sini Kiau To terus tempur dengan Hwat Siau dengan
serunya, disisi sana Tio Jiang dan Ciok ji-soh pun ikut
mengeroyok Swat Moay.
Adalah tepat pada saat itu, Ciok ji-sohpun sudah tiba dan
serangkan kim-kong-lun pada Swat Moay, menuju bawah
dan atas.
Tapi gerakan Swat Moay itu luar biasa gesitnya. Dengan
menggeliat kesamping ia sudah dapat menghindari
serangan Ciok ji-soh dan Tio Jiang. Bahkan berbareng
dengan itu, ia sudah dapat mengirim sebuah serangan
balasan kepada Ciok ji-soh.
Ciok ji-soh terkesiap kaget. Bukan saja karena
menampak kegesitan lawan pun juga dengan senjatanya
yang luar biasa anehnya itu. Bentuknya macam sebuah
lingkaran besar berwarna hitam. Tapi anehnya senjata itu
ada kalanya tampak berbentuk pesegi, tapi ada kalanya
berbentuk bulat. Entah senjata apa itu namanya, hanya
yang jelas, senjata itu tak mengeluarkan sedikit suara
apapun. Tahu2 kalau melayang dekat, lantas menerbitkan
putaran tenaga yang hebat. Baru Ciok ji-soh hendak
mengangkat kim-kong-lnn menangkisnya, atau ia sudah
tersentak kemuka dan gentayangan rubuh. Dalam
gugupnya, bttrtt2..... ia kerahkan tenaga untuk menarik
kim-kong-lun kebelakang sembari ayunkan tuhuhnya untuk
menahan tenaga sedotan Swat Way. Tapi Swat Moay
hanya mengekeh tertawa, tahu2 ia berkisar menyerang Tio
Jiang.
Kini barulah Ciok ji-soh dapat melihat jelas bahwa
senjata yang dimainkan oleh Swat Moay itu tak lain tak
bukan hanyalah sebuah mantel angin. Mantel dipakai untuk
menahan serangan angin, tapi ditangan Swat Moay, benda
itu telah berobah menjadi suatu senjata yang hebat, hingga
hampir2 Ciok ji-soh celaka dibuatnya. Diam2 Ciok ji-soh
mengagumi kepandaian lawan yang memiliki ilwekang
sedemikian tingginya. Tapi dalam pada itu, ia terkejut sekali
demi mendapatkan bahwa tenaga sedotan Swat Moay yang
sedemikian kuatnya tadi, dalam sekejab mata saja sudah
hilang musna.
"Gila!" diam2 Ciok ji-soh mengeluh.
Tadi sewaktu disedot, Ciok ji-soh menarik kebelakang
kim-kong-lun untuk melindungi jalan2 darah berbahaya
pada tubuhnya. Dan dalam pada waktu itu, ia kerahkan
tenaganya untuk menyentakkan tubuhnya menahan
sedotan lawan. Bahwasanya tenaga sedotan Itu dapat
lenyap dengan seketika, menandakan sampai dimana
penguasaan Swat Moay akan ilmu lwekangnya. Jelas
diketahui, betapa jauh terpaut kepandaiannya (Ciok ji-soh)
dibanding dengan lawan. Bukan saja Swat Moay dapat
menyerang dengan lwekang yang maha dahsyat, pun dapat
menariknya pulang sembarang waktu.
Karena dilepaskan, Ciok ji-soh yang tak keburu
menguasai tenaganya itu telah terjerembab jatuh
kebelakang, bum....., bagian belakang batok kepalanya
terbentur pagar persegi. Dengan menjerit keras, ia loncat
bangun lagi. Ketika tangan merabah kebelakang batok
kepalanya, ternyata bagian kepala itu beloboran darah.
Perangai Ciok ji-soh sangatlah kerasnya. Bahkan
melebihi kerasnya dari orang lelaki kebanyakan. Tapi
bahwa kali itu ia jatuh knock-out sampai beloboran darah
kepalanya, telah membuat matanya ber-kunang2 kepalanya
pusing tujuh keliling. Buru2 ia loncat kesamping, lalu
ngelumpruk duduk ditanah, tak dapat berdiri lagi. Tapi
sebagai seorang jago betina yang tak mau kalah dengan
orang lelaki, ia tetap keraskan hati.
"Siao-ko-ji, aku knock-out. Kau seorang diri saja layani
wanita iblis itu!" serunya kepada Tio Jiang. Rupanya is
paksakan diri untuk berseru, ini ternyata dari napasnya
tampak memburu ter-sengal2 habis mengeluarkan kata2 itu.
Terpaksa Tio Jiang bermain single dengan Swat Moay.
Memang pada waktu akhir2-ini kepandaian Tio Jiang
makin bertambah maju dengan pesatnya. Tapi berhadapan
dengan Swat Moay, tetap dia tak berdaya. Apalagi
menghadapi senjata luar biasa dari lawan itu, Tio Jiang
hanya dapat bertahan saja. Satu2-nya keuntungan Tio Jiang
yalah dia menggunakan pedang pusaka yang dapat
menabas kutung segala macam logam.
Memang Tio Jiang hendak menarik keuntungan dari
senjatanya itu. Begitu senjata musuh melayang layang, dia
barengi untuk menabasnya, tapi selincah burung, mantel
Swat Moay itu terbang keatas. Begitulah dalam 3 jurus,
pedang Tio Jiang telah kena dirangkum dalam libatan
lingkaran angin mantel. Tio Jiang sempat memperhatikan
juga akan Ciok ji-soh yang ternyata masih mendeprok
ditanah belum dapat bangun itu. Sudah tentu hal itu
membuatnya bingung. Dan kebingungan inilah yang
menyebabkan gerakannya agak lambat. Sedikit lubang itu
saja telah dapat diketahui oleh Swat Moay. Mengalihkan
kakinya kesamping, wanita itu kebutkan mantelnya keatas
dan ujung baju mantel itu tepat hendak menampar jalan
darah Tio Jiang.,
Syukur Tio Jiang cukup tangguh dengan serangan itu.
Dengan gunakan permainan pedang to-hay-kiam-hwat
sembari dicampur dengan gerak tubuh hong-cu-may-ciu
(sigila menjual arak), tubuhnya ber-geliat2 menghindar.
Benar dia berada dibawah angin, namun dalam 10 jurus
saja rasanya tak nanti Swat Moay dapat merebut
kemenangan.
---oo0dwkz^tah0oo---
BAGIAN 56 : HABIS GELAP TERBITLAH
TERANG
Kembali pada partai Kiau To lawan Hwat Siau, rupanya
jalannya pertandingan makin berat sebelah. Kiau To hanya
dapat membungkus dirinya dengan lingkaran sinar jwanpian
sembari loncat kesana menghindar kemari. Benar2 dia
hanya dapat bertahan tak mampu balas menyerang lagi.
Selendang sutera Hwat Siau makin bergelora hidup, dan
makin gencar serangannya. Selendang itu se-olah2
membungkus lingkaran sinar jwan-pian.
Kedua seteru itu sama mainkan senjata yang bersifat
lemas. Jwan-pian atau ruyung lemas Kiau To itu ada kira2
tiga meter panjangnya. Sewaktu diputar, dapat menjadi
sebuah lingkaran yang membungkus dirinya. Tapi oleh
karena selendang si Hwat Siau lebih panjang lagi, jadi
dapatlah dibuat melingkungi lingkaran jwan-pian itu.
Pemandangan yang disuguhkan dari kedua permainan itu,
memang sangat menarik sekali.
Tenaga himpitan yang dibawa oleh gelombang selendang
Hwat Siau itu makin lama makin terasa hebat. Malah tidak
cukup disitu saja kehebatan itu. Sambaran selendang yang
mengeluarkan bunyi men-deru2 itu, disertai pula dengan
hawa panas yang merangsang tubuh Kiau To. Diserang
secara begitu luar biasa, betul2 telah membuat Kiau To mati
kutu didalam terperanjatnya. Melirik kesebelah sana
didapatinya Tio Jiangpun pontang-panting tak keruan
keadaannya. Sedang Ciok ji-soh mendumprah ditanah tak
dapat berdaya suatu apa.
"Ciok ji-soh, apakah kau terluka berat?" tiba2 dia
tergerak pikirannya untuk menegur wanita keras hati itu.
Dalam sepeminum teh lamanya itu, setelah beristirahat
dan menyalurkan hawa dalam, Ciok ji-soh merasa agak
baikan. Maka serunya menyahut: "Tak jadi halangan apa2!"
"Mengapa tak memanggil bantuan?" seru Kiau To.
Seruan itu telah menyadarkan Ciok ji-soh. Bukantah
tokoh silat gereja yang sukar dicari tandingannya, Tay
Siang siansu, itu berada disini? Ai, mengapa ia setolol Itu
tak mau mengundangnya kemari, tapi berkeras mau
melawan sendiri musuh yang terang bukan lawannya itu?
Plak, ia menampar mukanya sendiri selaku menghukum
diri atas ketololannya itu. Serentak loncat bangun, ia terus
hendak lari, tapi bluk....., tahu2 ia terjatuh lagi. Mengapa?
Kiranya Hwat Siau dan Swat Moay cukup tahu apa artinya
kalau Ciok ji-soh berhasil mengundang Tay Siang siansu
kesitu. Sudah tentu mereka tak mau membiarkan nyonya
gagah itu untuk masuk kedalam gereja. Begitu nyonya itu
mengayun tubuh, Hwat Siau segera sentakkan selendang
yang dengan cepatnya segera melegat-legut menyerang.
Karena Ciok ji-soh tak bersiaga, maka ia dipaksa mencium
tanah lagi.
Tapi wanita yang keras kepala itu, dengan cepatnya
merangkak bangun lagi, lalu memberosot lari kemuka.
Hwat Siau menggerung. Selendangnya berobah menjadi
sebuah lingkaran yang meluncur keatas kepala Ciok ji-soh.
Kiau To mengeluh kaget. Ketika Ceng Bo bertanding
dengan kepala, jagoan Ceng itu, diapun menyaksikan
dengan mata kepala sendiri bagaimana kehebatannya
selendang itu. Dia insyaf, sekali Ciok ji-soh sampai kena
terlibat selendang itu, jiwa nyonya itu tentu terancam dan
dia sendiripun pasti tak mampu menolonginya.
Bagi seorang ksatrya macam Kiau To, menolong kawan
adalah suatu kewajiban mulia sekalipun andai kata jiwanya
sendiri sampai berkorban untuk itu. Loncat keatas, dia
balingkan jwan-pian untuk menghantam selendang.
Hantamannya itu dilancarkan dengan seluruh tenaganya.
Oleh karena Hwat Siau tak mengira kalau Kiau To berani
berbuat senekad itu, maka selendangnyapun kena kehantam
dengan tepatnya. Ujung selendang yang selingkar tadi, telah
terpental keatas dan Ciok ji-sohpun dapat menggunakan
kesempatan itu untuk menyelinap 3 tombak jauhnya.
Diganggu secara begitu, Hwat Siau timpahkan
kemarahannya kepada Kiau To. Lingkaran ujung
selendangnya tadi kini berbalik melibat jwan-pian Wau To.
Dan sekali menyentak, berserulah Hwat Siau dengan
bengianya: "Lepas!"
Watak Kiau Topun keras seperti baja. Dia bertekad tak
mau lepaskan jwan-piannya. Bahkan senjata itu dicekalnya
erat2. Tapi sesaat itu dia rasakan tangannya sakit bukan
alang kepalang. Kulit telapak tangannya sampai terbeset,
namun dia berkeras hendak mempertahankan. Tapi
bagaimanapun juga, tokh akhirnya jwan-pian itu kena
terkait oleh tarikan selendang Hwat Siau.
Kesemuanya itu hanya berlangsung dalam waktu
beberapa kejab saja. Dengan tertawa menghina, Hwat Siau
alihkan selendangnya mengejar Ciok ji-soh lagi. Ciok jisoh
berputar kebelakang untuk menangkis dengan sepasang
kim-kong-lunnya. Tapi tangkisannya itu bukan saja
menghantam angin, bahkan sebaliknya malah kena terlibat
lingkaran selendang. Hendak ia mencoba melepaskan diri,
namun sia2 jua. Adalah pada saat yang genting meruncing
itu, se-konyong2 dari atas tembok sana terdengar orang
berseru dengan menggeledek: "Keparat, macam berkelahi
apa itu? Hai, mana si kui-ah-thau (budak perempuan nakal)
?"
Dalam suasana sehening malam itu, auara seruan itu seolah2
memecah bumi kedengarannya. Memang diluar
dugaan Hwat Siau dan Swat Moay bahwa pertempuran itu
akan berjalan sampai sekian lama. Perhitungannya, dalam
dua tiga gebrak saja mereka tentu dapat membereskan Kiau
To bertiga. Dan ini memang harus begitu, karena mereka
harus lekas2 masuk kedalam perigi agar jangan sampai
kedahuluan orang. Dua puluh jurus lebih telah berlangsung,
tapi berkat perlawanan yang nekad dari ketiga orang itu,
Hwat Sisu dan Swat Moay terpaksa menggigit jari.
Seruan yang mengguntur tadi, telah membuat Hwat Siau
terperanjat. Namun sebagal jago kawakan, dia tak menjadi
gugup dengan gangguan itu. Selanjutnya tetap dilingkarkan
kearah kim-kong-lun. Dengan gunakan tenaga lemas dia
menarik dan itu saja sudah cukup menyeret Ciok ji-soh
sampai setombak jauhnya. Setelah itu barulah dia
mendongak keatas. Sesosok tubuh macam sebuah menara
tampak berdiri diatas wuwungan rumah. Tinggi orang itu
tak kurang dari 2 meter lebih dan perawakannya begitu
gagah perkasanya. Pada lain saat, tampak ada dua sosok
bayangan lagi, tiba disamping orang tinggi besar tadi.
Hanya cara kedua orang itu naik keatas wuwungan, adalah
aneh juga. Kedua sosok bayangan hitam itu naik dengan
menggunakan tangan, kemudian baru tegak berdiri.
Astagafirullah! .......... Begitu berdiri kedua sosok tubuh
itu kira2 hampir 3 meter tingginya. Orang pertama yang
boleh dikatakan sudah jangkung tadi, begitu berjajar dengan
kedua bayangan hitam itu telah berobah menjadi semacam
anak kecil saja. Betapa kejutnya Hwat Siau dapat
dibayangkan.
"Niocu, dari 36 jalan!" tiba2 dia menyerukan isterinya.
Seruan itu rupanya sebuah tanda rahasia yang lengkapnya
adalah begini: 'dari 36 jalan, lari adalah yang paling
selamat'. Jadi maksudnya dia hendak mengajak sang isteri
kabur saja.
Tapi baru saja ucapannya itu diserukan, atau dari
kejauhan sudah tampak mendatangi ber-puluh2 batang
obor. Kiranya sewaktu mendengar seruan mengguntur dari
sijangkung tadi, para hweshio gereja situ sama terperanjat.
Dengan membawa obor, mereka ber-bondong2
menghampiri keluar. Dalam sekejab saja suasana disitu
menjadi terang benderang laksana siang hari.
Dari cahaya obor, dapat Swat Moay melihat jelas siapa2
yang berdiri diatas wuwungan itu. Si jangkung pertama
tadi, adalah seorang laki2 yang gagah perawakannya.
Sedangkan kedua sosok tubuh yang hampir 3 meter
tingginya itu, kiranya bukan manusia melainkan dua ekor
orang-utan!
Juga Kiau To, Tio Jiang dan Ciok ji-soh sudah dapat
mengetahui siapa2 yang datang itu.
"Nyo cecu, kiranya kaulah!" serempak Kiau To dan Tio
Jiang berseru dengan berbareng.
Benar, memang sijangkung itu bukan lain adalah Nyo
Kong-lim itu toa-cecu (pemimpin pertama) dari ke 72
markas Hoasan.
"Memang akulah!" Nyo Kong-lim menyeringai tertawa.
Dan bluk....., loncatlah dia turun. Kedua orang-utan itupun
ikut turun. Taringnya yang menonjol dimulut,
menampilkan kebuasan yang mengerikan orang.
Sebagai orang persilatan yang banyak makan asam
garam, Hwat Siau dan isterinya cukup menginsyafi sampai
dimana kelihayan bangsa binatang begitu itu. Setelah saling
bertukar isyarat mata, mereka berdua loncat keatas rumah.
"Keparat, belum apa2 sudah mau ngacir!" seru Nyo
Kong-lim nikasar au.
Memang sekalipun memiliki kepandaian yang hebat,
kedua suami Isteri itu adalah bangsa manusia licik.
Bukannya berhenti menyambuti tantangan Nyo Kong-lim
sebaliknya mereka malah enjot pula kakinya untuk loncat
keatas wuwungan rumah yang kedua. Tapi adalah pada
saat itu, dari sebelah luar tembok gereja, loncat masuk
beberapa orang. Dua dari mereka tampak menghunus dua
batang pedang yang bergemerlapan cahayanya. Melihat
jalanan dipegat, Hwat Siau dan Swat Moay loncat balik lalu
tegak saling membelakangi bahu.
Wut, Nyo Kong-lim mencabut sam-cat-kun (toya yang
mempunyai 3 buku), terus loncat keatas. Kiau To, Tio Jiang
dan Ciok ji-soh pun mengikuti dari belakang. Kedua
binatang itupun tak mau ketinggalan, turut melompat
keatas. Sewaktu melihat Tio Jiang agaknya kedua orang
utan itu seperti bertemu dengan sahabat lama. Mereka
menyeringai tertawa, tapi sebaliknya Tio Jiang malah berjingkrak
kaget dibuatnya.
Saat Itu ada ratusan hweshio dengan mencekal obor,
menyuluhi wuwungan. Tampak diantara rombongan
orang2 yang datang itu tadi, yang berada disebelah depan
dandanannya seperti seorang pertapaan (imam), berwajah
agung dan mencekal sebatang pedang pusaka. Memang dia
bukan lain Ceng Bo siangjin adanya. Yang berada disisinya
adalah Kang Siang Yan In Hong. Sebelah kanan dan kiri diapit2
Kui-ing-cu dan Thaysan sin-tho Ih Liok.
Dibelakangnya terdapat Ki Ce-tiong yang menghunus
sepasang song-kian, serta Sin-eng Ko Thay. Kini belasan
orang itu sama mengepung Hwat Siau dan Swat Moay.
Setelah yakin bahwa kedua kepala benggolan kaki
tangan pemerintah Ceng itu tak dapat lolos, bertanyalah
Ceng Bo kepada Kiau To: "Kiau-heng, bagaimana Yanchiu?
Dan lain2 saudara?"
Kiau To sebenarnya masih belum hilang keheranannya
mengapa sekalian tokoh2 kawan seperjoangannya itu dapat
tiba digereja Kong Hau Si pada saat yang begitu tepat.
Setelah merenung sejenak barulah dia sadar, bahwa
kedatangan kawan2 itu adalah hasil dari undangan yang
disebarkan dengan merpati posnya. .
"Ah, terlalu panjang untuk diceritakan. Lebih baik
bereskan dahulu kedua manusia busuk itu!" sahutnya
dengan girang.
Kulit tangannya yang terbeset karena ditarik Hwat Siau
tadi masih berlumuran darah. Sewaktu dia menuding
kepada Hwat Siau dan Swat Moay, tangannya yang merah
berdarah itu tampak memberi pemandangan yang
mengerikan sekali sewaktu ditimpa cahaya penerangan
obor.
Hwat Siau dan isterinya tampak gelisah sekali.
Rombongan Ceng Bo adalah jago2 keras semua. Apalagi
masih ada Tay Siang siansu. Jadi dapatkah mereka
menyelamatkan jiwa kali ini, adalah suatu pertanyaan
besar. Maka betapapun lihaynya kepandaian kedua suami
isteri itu, tak urung tercekat juga hatinya.
"Apakah saudara baik2 saja?" tanya Ceng Bo kepada
sepasang suami isteri itu. Demikian toleransi (kesabaran)
siangjin itu, sampaipun kepada musuh besar, dia tetap
memberi tegur salam pergerejaan yang ramah.
"Bek-heng mengapa suka membuang waktu saja, labrak
sajalah........." seru si kasar Nyo Kong-lim sembari
kibar2kan sam-ciat-kunnya. Tertumbuk akan hadirnya
Kang Siang Yan, berserulah dia sembari menuding: "Hai,
kiranya kaupun berada disini."
Kang Siang Yan tak mau hiraukan si kasar itu.
Melangkah maju bersama suaminya, mereka berhadapan
dengan Hwat Siau Swat Moay. Melihat itu tertawalah Swat
Moay dengan sinisnya: "Mengapa kamu sekalian perlu
turun tangan lagi? Kami berdua suami isteri akan serahkan
tangan ditangkap!"
Tahu kalau kedua kepala jagoan itu bukan bangsa yang
tak berguna, berserulah sibongkok Ih Liok: "Mengapa?!"
"Hehehe ! ..: " Swat Moay mengekeh, "Kami berdua
suami isteri tak memiliki 3 kepala 6 tangan, bagaimana
dapat melayani kamu sekalian?"
Kini tahulah sekalian orang kemana jatuhnya kata2 Swat
Moay itu. Jadi suami isteri durjana itu kuatir kalau
dikeroyok. Sudah tentu bangkitlah kemarahan orang
binyak. Lebih2 Kang Siang Yan yang terus menyatakan
kepada suaminya: "Ing-ko, cukup kami berdua yang
majulah!"
"Ing-ko" (kanda Ing), tanpa terasa mulut si Bongkok
mengulangi kata2 yang merdu dari Kang Siang Yan ketika
membahasakan Bek Ing atau Ceng Bo siangjin.
"Heh, Kang Siang Yan, betapa merdu ucapan Ing-ko itu.
Rasanya sudah 10 tahun lebih saudara Bek Ing rindu
dengan ucapan itu!" si Bongkok menggoda.
"Huh......., lagi2 mulutmu yang lancip itu cengar-cengir
ya!" Kang Siang Yan menyeringai.
Bahwa setelah 10 tahun berpisah karena salah faham kini
kedua suami iateri gagah itu sudah berbaik kembali, telah
disambut dengan perasaan girang oleh sekalian orang
gagah. Tapi diantara sekian banyak yang merasa gembira
itu, hanya Tio Jiang yang tampak gelisah. Dia tetap kuatir
akan keselamatan Yan-chiu yang tetap tak muncul hingga
saat itu: Dia seperti mendapat firasat kalau sumoaynya itu
dalam keadaan berbahaya.
"Suhu, Siao Chiu entah pergi kemana!" katanya melapor
kepada sang suhu dengan nada merengek. Kemudian
dengan ter-bata2 dia menuturkan apa yang telah terjadi
dengan sumoaynya Itu.
"Ayuh, lekas cari dianya!" seru sekalian orang sebelum
Ceng Bo menyatakan apa2.
Hwat Siau dan isterinya yang mengetahui beradanya
sigenit itu, dengan tertawa getir segera mengejek: "Ya,
carilah! Toh nantinya kamu hanya mendapat sesosok
bangkai saja!"
Saking gusarnya Tio Jiang segera menyerang kedua
suami isteri jahat itu dengan sebuah jurus hay-lwe-sip-ciu.
Tapi siang2 kedua suami isteri itu sudah angkat tangannya
masing2 dan tahu2 pedang Tio Jiang telah terdorong oleh
suatu tenaga yang kuat. Bahkan orangnyapun terhuyung
mundur sampai beberapa tindak.
"Setengah jam yang lalu, budak perempuan itu
menceburkan diri kedalam sumur. Jadi kalau nanti
diketemukan, bukantah bakal merupakan mayat belaka?"
kembali kedua suami isteri itu mengejek.
Sudah tentu sekalian orang gusar sekali, tapi dalam pada
itu tak tahu, mereka sebabnya mengapa Yan-chiu sampat
mengambil keputusan yang pendek itu. Berisik sekalian
orang sama memperbincangkan soal itu.
Sebenarnya dengan mengemukakan persoalan Yan-chiu
itu, hendak kedua suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay
itu mengalihkan perhatian orang. Dan ketika siasatnya itu
berhasil dimana semua orang sama asyik membicarakan
sigenit, mereka bersorak didalam hati. Mencuri kesempatan
itu Hwat Siau dan isterinya segera kisarkan kakinya
mundur, lalu se-konyong2 memburu kebelakang.
Yang berada dibelakang mereka adalah Tio Jiang dan
Kiau To. Dasarnya Tio Jiang sudah kacau balau pikirannya
memikirkan keadaan sang sumoay, maka dia tak bersiaga
sama sekali. Apalagi kedua suami isteri itu telah gunakan
seluruh tenaganya untuk menerjang, maka Tio Jiangpun
serasa sesak napasnya karena di-himpit oleh dua buah
tenaga dahsyat. Buru2 Tio Jiang angkat pedangnya untuk
menangkis, tapi dalam pada itu, Swat Moay dan Hwat Siau
sudah dapat membuka sebuah lubang lolos.
Kini tersadarlah semua orang bahwa mereka telah kena
dipedayai. Serempak mereka maju mengejar. Tapi dalam
sekejab itu saja, Hwat Siau dan Swat Moay sudah berada
beberapa meter disebelah muka, suatu jarak yang membuat
kedua suami isteri kegirangan sekali karena yakin tentu
dapat lolos. Tapi se-konyong2 dari arah belakang terasa ada
sambaran angin yang berbau amis. Dalam kesibukannya,
kedua suami isteri itu tak sempat untuk menoleh
kebelakang lagi dan hanya gerakkan tangannya
menghantam kebelakang. Blak....., blak...., kiranya tepat
sekali hantaman itu mengenai sasarannya, tapi bukan suara
menjerit kesakitan yang terdengar melainkan gerungan yang
dahsyat. Dan berbareng dengan itu, sebuah tangan raksasa
berkilat dihadapannya. Ketika mereka mendongak
mengawasi, hai kiranya kedua orang utan itu tengah
merangsangnya!
Kiranya walaupun sekalian orang itu dapat diselomoti,
tapi kedua binatang itu tetap waspada. Ini disebabkan
karena tak mengerti apa yang tengah dikatakan oleh orang2
itu dengan Hwat Siau dan Swat Moay. Yang diketahui oleh
kedua binatang itu, yalah Hwat Siau dan Swat Moay
dikepung oleh orang banyak. Maka begitu kedua suami
isteri itu hendak lolos, dengan sigapnya kedua binatang itu
maju menghadang.
Seperti diketahui, bangsa orang utan yang tinggal di
pegunungan Sip-ban-tay-san itu gemar berloncatan dan
berlari2an. Jadi dalam soal kegesitan, mereka tak dibawah
jago silat kelas utama. Dengan memiliki kulit yang tebal
keras, benar2 mereka merupakan makhluk yang lihay. Dua
buah hantaman kedua suami isteri tadi, cukup mereka kuat
menahannya.
Adalah karena kelambatan beberapa detik itu saja,
cukuplah sudah bagi Kang Siang Yan, Kui-ing-cu dan
rombongannya untuk mengejar tiba. Mereka menyusul
turun darl atas wuwungan. Kembali mereka mengepung
kedua suami isteri jagoan Itu.
Nyo Kong-lim menghalau kedua orang utan itu,
kemudian menerangkan asal usul mereka: "Ketika dua hari
aku tersesat dalam bi-kiong (istana sesat) gunung Sip-bantay-
san (sebagaimana halnya dengan Tio Jiang tempo hari),
bersua dengan kedua binatang itu yang berada disitu. Pada
lain tempat, kujumpai simpanan ransum makanan, entah
siapa yang telah menaruhkan disitu. Setelah men-cari2
selama setengah tahun, barulah aku dapat keluar dari
tempat itu. Kalau tadi tak ada kedua orang utan itu yang
menghadang, tentulah kedua bangsat itu dapat lolos!"
Seenaknya saja sikasar itu bercerita, se-olah2 bukan
sedang menghadapi pertempuran, sehingga membuat
sekalian orang geli dibuatnya. Adalah tak jauh dari situ,
tampak sumur Tat-mo-keng.
"Biarlah aku yang turun memeriksanya!" seru Tio Jiang.
Tanpa menunggu idin sang suhu lagi, dia terus loncat turun
kedalam sumur.
Air sumur itu sudah hening kembali. Lapisan lumpur
yang ber-golak2 tadi pun sudah tenang menutup dasar
sumur lagi. Ilmu berenang Tio Jiang sangat bagus. Begitu
tiba didalam air, dia segera membuka mata untuk
mengawasi kesekeliling situ. Dalam kepekatan air sumur
yang kehitam2an itu, samar2 tampak ada 3 larik cahaya
berkilau. Tio Jiang meluncur kebawah dasar dan
tangannyapun menyentuh tubuh Yan-chiu. Dilihatnya
badan nona itu sudah seperti "terbungkus" lumpur. Dengan
terharu duka, dibawanya sang sumoay timbul kepermukaan
air. Dari mulut sumur yang hanya tiba dimasuki tubuh
seseorang, disorongkannya tubuh Yan-chiu keatas. Syukur
disebelah atas sudah ada orang yang cepat2 menyambuti
untuk menarik Yan-chiu kedaratan. Mulut, telinga dan
hidung nona itu terbungkus lumpur semua, entah masih
hidupkah dia itu ? Buru2 diambil air untuk mengguyur
mukanya sampai bersih. Hai, kiranya cahaya muka sigenit
itu masih tetap seperti orang hidup.
Tio Jiang menelungkupi tubuh sang sumoay, menangis
tersedu sedan. Kemarahan sekalian orang ditimpahkan
kepada Hwat Siau dan Swat Moay. Benar Yan-chiu itu
seorang nona genit yang nakal, tapi ia sangat tangkas lincah
dan mempunyai bakat bagus. Sifatnya yang ramah riang
terhadap orang, telah meninggalkan kesan yang mendalam
kepada sekalian orang. Jadi kalau mereka penasaran atas
meninggalnya nona itu, itulah sudah pada tempatnya.
---o-dwkz-0-tah-o---
"Hong-moay, ayuh kita lebih dahulu membalaskan sakit
hati Siao Chiu!" seru Ceng Bo kepada Kang Siang Yan
sembari aiapltan pedang.
"Baiklah!" sahut sang isteri sembari kontan menyerang
tenggorokan Swat Moay dengan jurus pah-ong-oh-kang.
Melihat isterinya sudah mendahului, Ceng Bopun segera
menyusuli dengan sebuah jurus Tio-ik-cut-hay.
Suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay itu insyaf, bahwa
kali ini mereka bakal menghadapi suatu pertempuran hebat.
Jadi mereka sangat ber-hati2 sekali. Mereka berdiri saling
merapat punggung, supaya dapat bahu membahu bertempur
Begitu tusukan pedang memburu, Hwat Siau mundur
selangkah sembari gontaikan selendang sutera untuk
melibat kedua pedang lawan. Sedang Swat Moaypun
dorongkan sepasang tangannya kemuka untuk menghantam
kaki Kang Siang Yan dan Ceng Bo.
Selendang sutera anyaman benang emas putih itu, melingkar2
bagaikan seekor naga menari. Tapi pedang Kang
Siang Yan dan Ceng Bo itu adalah pedang pusaka
songhong-kiam (sepasang burung cenderawasih) yang dapat
dibuat membelah segala macam logam. Karena gugupnya
lupalah sejenak Hwat Siau akan hal itu. Maksudnya dia
hendak melibat kedua pedang itu, tapi tak tahunya ujung
selendang telah kutung menjadi 3 potong. Kini selendang
itu hanya tinggal 2 tombak panjangnya.
Sedang untuk serangan Swat Moay tadi, Kang Siang Yan
dan Ceng Bo ber-sama2 loncat keudara untuk
menghindarinya. Selagi masih diatas, pedang berganti gaya
dalam jurus Kut-ji-thou-kang dan Boan-thian-kok-hay. Dua
batang pedang yang memancarkan sinar ke-hijau2an
memburu dari 4 jurusan, laksana sebuah jaring pedang yang
hendak memperangkap Hwat Siau dan Swat Moay.
Jangankan Hwat Siau dan Swat Moay yang merasakan
sendiri, sedang sekalian orang yang melihat saja, sudah
sama kabur pandangannya dan ter-longong2 mengawasi
pemandangan yang menakjubkan itu.
GAMBAR 102
Sambil merapatkan punggung mereka, Hwat Siau dan Swat
Moay keluarkan lwekang mereka yang hebat untuk menempur
Ceng Bo dan Kang Siang Yan.
Dengan ditabasnya kutung selendangnya itu, Hwat Siau
terdesak dibawah angin. Dan serta menampak rangsangan
jaring pedang yang begitu rapat, dengan gugupnya Hwat
Siau segera gentakkan selendangnya menjadi lurus kaku,
lalu menyodok kaki Ceng Bo. Berbareng dengan itu,
tangannya kiri menyusuli sebuah hantaman. Dua buah
serangan itu, dia tujukan kearah Ceng Bo siangjin semua.
Ini disebabkan karena dia cukup tahu bahwa siangjin Itu
lebih lemah dari isterinya (Kang Siang Yan).
Se-lemah2nya, Ceng Bo juga bukan jago sembarangan.
Sudah tentu dia tak begitu mudah dirubuhkan dengan
serangan itu. Setelah loncat keatas sedikit, mulutnya bersuit
keras dan pedangnyapun berganti jurus dengan ceng-witian-
hay. Seperti berulang kali kami lukiskan, ilmu pedang
to-hay-kiam-hwat itu, jurus berikutnya lebih hebat dari jurus
yang terdahulu. Ceng-wi-tian-hay merupakan jurus kedua,
baik gaya dan perbawanya jauh lebih hebat dari jurus
pertama tadi.
Tapi hantaman yang dilancarkan Hwat Siau tadi
mengandung tenaga kuat yang panas sekali rasanya,
sehingga Ceng Bo serasa terhimpit napasnya. Buru2 dia
kerahkan hawa dalam untuk bertahan.
Telah diterangkan diatas tadi bahwa suami isteri Hwat
Siau dan Swat Moay itu bertempur dengan saling
tempelkan punggung masing2. Kala itu se-konyong2 kaki
mereka berkisar dan berobahlah kini posisi mereka. Hwat
Siau menghadapi Kang Siang Yan sedang Swat Moay
melayani Ceng Bo. Kiranya kedua suami isteri jagoan itu,
sudah mempunyai latihan bersama yang sempurna sekali.
Begitu berkisar, Swat Moay sudah lantas lancarkan dua
buah hantaman. Belum lagi hawa panas tadi dirasakan
hilang oleh Ceng Bo, atau kini ada lagi rangsangan hawa
dingin datang. Begitu cepat dan sebat perobahan itu
berlangsung, hingga Ceng Bo yang tak keburu bersiap,
seketika menggigil kedinginan. Begitu pula Hwat Siau yang
menghadapi Kang Siang Yan, sudah segera melancarkan
serangan lwekang panas, jadi keadaan Kang Siang Yanpun
serupa dengan Ceng Bo. Tapi disebabkan lwekang nyonya
gagah itu jauh melebihi sang suami, jadi serangan lwekang
panas dingin yang ber-tubi2 dilancarkan itu, dapat juga
ditahannya. Pedangnya tetap memain dengan lincahnya.
Walaupun gerakan Ceng Bo agak lambat karena
menghadapi tekanan lwekang yang aneh itu, namun dengan
paksakan diri dapat juga dia langsungkan jurus ke 4, 5 dan
6. Maju merapat dengan Kang Siang Yan, dia selalu
membura kearah bagian jalan darah yang berbahaya dari
musuh. Hwat Siau dan isterinya tetap gunakan siasat berputar2.
Dan perputaran itu makin lama makin pesat.
Walaupun hanya dengan sepasang tangan kosong, namun
pukulau Iwekang yang sebentar memancarkan hawa panas
dan sebentar hawa dingin lama kelamaan telah membuat
Ceng Bo kepayahan juga. Karena terlalu lama menahan
napas untuk menolak serangan lwekang musuh, hawa
dalamnya merangsang naik sehingga mukanya
menampilkan cahaya merah membara. Melihat keadaan
sang suami, Kang Siang Yan kaget sekali. Mengisar kaki
mendekati, bertanyalah ia: "Kau bagaimana?"
Ceng Bo seperti si gagu yang makan getah. Menderita
siksaan tapi sukar mengatakan. Jadi dia tak menyahut
pertanyaan isterinya itu. Sebaliknya Kang Siang Yan segera
mengetahui bahwa Iwekang suaminya itu kurang kuat, tak
boleh lama2 menghadapi lwekang istimewa dari lawan.
"Mundurlah, biar aku sendiri yang melayani!" buru2 ia
menyuruh Ceng Bo tinggalkan gelanggang. Tepat pada saat
itu Swat Moay melancarkan sebuah hantaman, Kang Siang
Yan simpan pedangnya, lalu menyambut serangan lawan
itu dengan tangan kosong juga. Blak......, kini tangannya
kanan berbentur dengan tangan Swat Moay. Kalau tadi
Hwat Siau dan Swat Moay ber-putar2 tak henti2nya, kini
serta Kang Siang Yan melekatkan tangan mengadu
lwekang, berhentilah gerakan putar mereka. Kini mereka
tegak berdiri laksana dua buah patung. Ceng Bo menghela
napas untuk memulangkan tenaganya. Diam2 dia cemas
akan diri sang isteri, Benar Kang Siang Yan telah
meyakinkan ilmu lwekang thay-im-kang selama 10-an
tahun.
Tapi entahlah apa Iwekang itu dapat mengatasl lwekang
musuh yang aneh itu.
Benar Hang Siang Yan hanya adu lwekang dengan Swat
Moay seorang. Tapi oleh karena kedua suami isteri jahat itu
berapatan punggung, jadi dapatlah Hwat Siau menyalurkan
lwekangnya membantu sang isteri. Tegasnya, Kang Siang
Yan dikerubut dua. Pada saat itu, kalau saja Ceng Bo mau
menusuk kedua lawannya itu, adalah semudah orang
membalikkan telapak tangan. Tapi sebagai seorang jago
yang menjunjung azas2 keksatryaan, tak mau dia lakukan
perbuatan serendah itu.
Adu lwekang adalah pertandingan yang paling
berbahaya sendiri, karena barang siapa yang kalah, tentu
akan menderita kehancuran urat2 nadi. Kalau tak cacad
punah seluruh kepandaiannya, tentu akan binasa jiwanya.
Juga untuk melerai (memisah) pertandingan macam itu,
sukarnya bukan alang kepalang. Kalau yang melerai itu
lwekangnya tak diatas yang bertempur, dia sendiri bakal
celaka.
Telah dikatakan tadi, bahwa Ceng Bo tak mau
mengambil keuntungan secara rendah. Diapun masukkan
pedangnya kedalam sarungnya, lalu maju kemuka
kehadapan dan menghantamnya. Plak ........, Hwat Siau
menyambutnya dan kini kedua tangan mereka saling
berlekatan.
Pertama kali bersentuhan dengan tangan Swat Moay,
Kang Siang Yan rasakan lwekang dingin lawan tak dibawah
thay-im-lian-seng. Buru2 ia (Kang Siang Yan) kerahkan
seluruh lwekang untuk menggempur, tapi karena kedua
suami isteri jagoan itu berapatan punggung, jadi dapatlah
mereka ganti berganti menyalurkan lwekang. Kalau
lwekang dingin Swat Moay berhenti, maka lwekang panas
Hwat Siau memancar. Begitulah ketika lwekang dingin
Swat Moay terdesak, tiba2 Kang Siang Yan terkejut ketika
ada hawa panas merangsang. Buru2 ia kerahkan thayimkang
untuk menahan.
Bagaikan sungai yang tak pernah kering airnya, lwekang
thay-im-lian-seng dari Kang Siang Yan selalu mengalir
kerae. Sekalipun begitu karena Hwat Siau dan Swat Moay
gunakan siasat secara bergilir untuk mengasoh, maka lama
kelamaan Kang Siang Yan berada dibawah angin juga.
Syukurlah Ceng Bo tadi keburu datang menggempur Hwat
Siau, sehingga kini ia mendapat kesempatan. Dengan
kerahkan tenaga ia desak Swat Moay sampai kepayahan.
Untuk melayani Ceng Bo, Hwat Siau masih mempunyai
kelebihan lwekang. Dia cemas melihat isterinya terdesak,
maka dengan aecara istimewa sekali dia pindahkan
lwekangnya kepada Kang Siang Yang, Rupanya Swat
Moay tahu akan maksud suaminya itu, karena iapun cepat
tarik pulang lwekangnya untuk dialihkan kearah Ceng Bo.
Dengan adanya pergeseran itu, kini kekuatan mereka
menjadi berimbang.
Sepeminum teh lamanya, keempat tokoh itu maeih tegak
berdiri laksana patung2 yang berhadapan satu sama lain.
Kalau saja mau, Kui-ing-cu dan kawan2nya dapat
mengakhirl pertempuran itu dengan menghajar Hwat Siau
dan Swat Moay. Tapi mereka juga jantan2 yang
menjunjung, keperwiraan, jadi menonton saja dipinggir
dengan hati yang gundah gelisah.
Lewat setengah jam kemudian, se-konyong2 dari arah
keempat orang yang bertempur itu terdengar suara
berkeretekan. Sekalipun amat pelahan, namun kedengaran
jelas sekali. Kini tahulah sekalian orang bahwa keempat
tokoh itu telah mencapai tingkat yang menentukan. Ini
terbukti dahi keempat orang itu mengucurkan butir2
keringat. Muka Ceng Bo merah membara, roman Kang
Siang Yan muram keren, Hwat Siau merah padam dan
Swat Moay lesi kehijau2-an.
Keadaan pada saat itu genting meruncing sekali. Kecuali
letikan lidah api obor yang mengeluarkan bunyi letak-letik,
suasana disitu sangatlah heningnya. Se-konyong2
keheningan itu dipecah oleh suara ujung tongkat mengetukngetuk
lantai, tok..., tok.... Suara itu makin lama makin
dekat, menyusup diantara sekian banyak hweshio2 yang
memegang obor, lalu muncul ditengah gelanggang. Astaga,
kiranya Tay Siang siansu yang datang itu dengan memukul2kan
tongkat timahnya kelantai. Begitu tenangnya
siansu itu menuju kegelanggang pertempuran, se-olah2
pertempuran mati hidup yang berlangsung disitu, tak
dihiraukan sama-sekali.
Munculnya siansou itu telah disambut dengan perasaan
girang oleh sekalian orang gagah. Tapi merekapun hanya
melihatnya sebentar, lalu memandang lagi kepada 4 tokoh
yang tengah bertempur itu. Kini Tay Siang siansu hanya
empat lima tindak jaraknya dari keempat orang itu. Tiba2
tampak dia rangkapkan kedua tangannya lalu melafalkan
petuah ajaran agama: "Lam-bu-o-mi-to-hud, siancay.....!
Penasaran mudah didendam tak mudah dihimpas. Biarlah
untuk sicu berempat, kuwakilkan menghimpasnya!"
Habis memantra doa, guru agung itu lalu mengangkat
tongkatnya per-lahan2 Kang Siang Yan dan Ceng Bo
siangjin adalah bangsa kun-cu (ksatrya). Tahulah mereka
berdua bahwa siansu itu kini telah mencapai tingkat
kesempurnaan bathin, dimana hatinya sun yi akan rasa budi
dan dendam. Maksud siansu Itu yalah hendak melerai agar
mereka berempat tak sampai mengalami kecelakaan apa2.
Dengan ilmu kepandaian yang sukar dijajaki itu, Tay Slang
hendak menjadi pendamai. Benar dalam hati Kang Siang
Yang dan Ceng Bo tak menginginkan hal itu, namun
merekapun tak marah karenanya.
Beda dengan jalan pikiran Hwat Siau dan Swat Moay.
Tindakan Tay Siang siansu itu lepas dari rasa ewang2an
(berfihak), tapi seperti pepatah mengatakan "pikiran siaojin
(orang rendah) tak dapat mengukur hati kun-cu",
demikianlah terjadi dengan Hwat Siau dan Isterinya.
Mereka salah duga kalau Tay Siang siansu itu tentu hendak
membantu pada Kang Siang Yang berdua. Sampai dimana
kelihayan siansu itu, Swat Moay pernah merasakan sendiri.
Kalau sampai siansu tersebut memberi bantuan dengan
tongkatnya, wah tentu celakalah mereka dibuatnya. Urat
hancur nadi luluh, bukanlah suatu hal yang tak mungkin.
Dalam kegugupannya Hwat $iau dan Swat Moay segera
kerahkan tenaganya untuk mendorong se-kuat2nya pada
Kang Siang Yang dan Ceng Bo. Habis itu hendak mereka
menarik pulang lwekangn ya untuk loncat lolos. Mereka tak
mau menerima goodwill Tay Siang. Kang Siang Yan dan
Ceng Bo tahu akan maksud lawan, dan sudah tentu mereka
tak mau melepaskan mereka, Ketika Hwat Siau dan
isterinya menarik pulang lwekangnya, Kang Siang Yan dan
Ceng Bo cepat lancarkan lwekangnya untuk mendesak dan
hasilnya baru saja kaki kedua suami isteri durjana itu dapat
mengisar kesamping setengah tindak atau mereka sudah
ngelumpruk jatuh ditanah tanpa bersuara lagi
Dengan kesudahan itu tahulah Kang Siang Yan dan
Ceng Bo bahwa kedua lawannya itu kalau tidak binasa
tentu lumpuh punah ilmu kepandaiannya. Mereka tak mau
mendesak lagi melainkan terus loncat menyingkir dibawah
hujan tampik sorak sekalian orang gagah.
"Siancay.....! Sekalipun aku tak menumpas kebajikan,
tapi karena akulah maka kebajikan telah tertumpas. Sicu
berdua, walaupun telah punah kepandaian, tapi jiwa tetap
terpelihara. Pulanglah untuk beristirahat!" kedengaran Tay
Siang sianau menghela napas dan berbangkitlah Hwat Siau
serta isterinya. Hanya saja kini gaya perbawanya sebagai
seorang tokoh silat yang sudah sirna kepandaiannya.
Oleh karena kedua benggolan itu sudah menjadi orang
"biasa", sekalian orang gagahpun tak tegah untuk
menganiaya lebih jauh dan biarkan mereka berlalu.
Sebelum mengangkat kaki, Hwat Siau dan Swat Moay yang
menderita 'kekalahan secara begitu penasaran,
menumpahkan isi hati secara ironis: "Kami telah menjadi
orang lumpuh tanpa guna dan jalan darah budak
perempuan itupun tak dapat kami buka lagi Jadi sekurang2n
ya kami masih mempunyai seorang kawan
sekubur!"
Habias mengucap, kedua suami isteri itu perdengarkan
suara ketawa yang sinis sekali. Tanpa menoleh lagi, Hwat
Siau segera gandeng tangan isterinya untuk diajak berlalu.
Sebaliknya sekalian orang ketika mendengar ejekan itu,
malah seperti orang disadarkan. Apakah Yan-chiu masih
hidup? Demikian timbul keraguan mereka. Dan berpuluh
matapun segera memandang kearah tubuh sigenit yang
masih menggeletak ditanah. Hai, mengapa wajah nona itu
kini memancarkan cahaya segar?
"Ajaib sekali!" tiba2 kedengaran Tay Siang siansu
membuka mulut, "siapakah yang mengajarkannya supaya
mengerahkan daya guna dari mustika batu itu?"
Sudah tentu semua orang tak mengerti apa yang
dikatakan oleh guru besar itu dan buru2 menanyakannya.
Maka berkatalah guru besar itu: "Endapan lumpur didasar
sumur itu telah mengalami proses menggerakkan daya-guna
mustika batu. Nona kecil itu tidak saja meminum lumpur,
tapi seluruh pancainderanya pun telah kemasukan air
lumpur itu. Suatu siksaan yang sukar diderita. Bahwa tanpa
disengaja ia telah mengalami penderitaan itu, adalah suatu
hal yang sukar dipercaya! Oleh karena daya guna mustika
batu itu sudah mulai berkembang, maka kesaktiannya dapat
menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal. Kini
budak perempuan Itu sudah tak kena apa2, lo-ceng hendak
pergilah!"
Hanya beberapa saat terdengar tok...., tok...., ujung
tongkat mengetuk tanah, karena pada lain saat guru besar
itu sudah lenyap dari pemandangan. Benar juga sepeminum
teh lamanya, tiba2 mulut Yan-chiu menguak. Saking
girangnya Tio Jiang sampai menangis!
Setelah membuka mata dan dapatkan, dirinya
dikerumuni oleh sekian banyak orang, Yan-chiu terbeliak
kaget, serunya: "Suko, harta karun Thio Hian-tiong itu
berada didasar sumur. Tapi dibawah papan batu, ada
pekakasnya, hati2lah!"
Begitulah besarnya tanggung jawab nona itu terhadap
kepentingan perjoangan.
Memang walaupun ia seorang nona yang genit, namun
hatinya berjiwa patriot.
Cepat2 Tio Jiang tuturkan secara singkat apa yang
dikatakan Tay Siang siansu tadi. Saat itu Yan-chiu rasakan
semangatnya berlipat ganda segar, lalu menggeliat duduk.
"Lekas ambil harta karun itu, basmi kawanan penjajah!"
serunya serentak.
Terpaksa geli juga sekalian orang dibuatnya melihat
kelakuan sigenit itu. Diantara sekian banyak orang, tiada
seorangpun yang sanggup menandingi Kang Siang Yan
dalam hal ilmu kepandaian didalam air. Sewaktu
meyakinkan ilmu lwekang thay-im-kang, nyonya gagah itu
dapat membenam diri didasar laut selama 7 hari 7 malam.
"Pekakas apa yang terdapat didasar sumur Itu?" tanya
Kang Siang Yang serempak.
"Entahlah, tak jelas. Hanya yang terasa dapat
memancarkan tenaga putaran yang kuat sekali," jawab Yanchiu.
"Ah, mudahlah!" seru Kang Siang Yang sembari terus
loncat masuk kedalam sumur. Begitu indah gerakan nyonya
itu dan yang istimewa sedikitpun tak mengeluarkan suara
apa2.
Tak berselang berapa lama, kedengaran air beriak dan
muncullah nyonya gagah itu dari dalam sumur. "Hai.....,
apakah gerangan yang dibawanya itu ? Sepasang tangannya
merakup segenggam benda yang ber-kilau2an cahayanya,
intan berlian, ratna mutu manikam se-besar2 mata kucing,
Kesemuanya merupakan benda pusaka yang jarang terdapat
didunia. Dengan dua genggam ratna mustika itu saja,
cukuplah sudah untuk pembeli rangsum selama satu bulan
untuk belasan ribu anak buah Thian Te Hui. Sudah tentu
kegirangan sekalian orang sukar dilukskan.
Tanpa diminta lagi menuturlah Kang Siang Yan:
"Pekakas itu kiranya sebuah roda besar dan telah kupapas
putus. Siapa saja yang pandai berenang, supaya turun
mengambil harta Itul"
Mulut sumur itu walaupun atasnya tidak cukup untuk
dimasuki satu orang, tapi bagian bawahnya lebar. Begitulah
dalam waktu yang singkat saja, turunlah 5 orang untuk
secara berholopis kuntul baris (ber-gotong royong),
mengambili harta karun itu. Menjelang terang tanah,
seluruh harta karun itu. telah diangkut keluar, semua
berjumlah dua peti besar. Ketika sekalian orang masuk
kembali kedalam ruangan, ternyata The Go dan Ciok Siaolan
sudah tak berada disitu. Ketika ditanyakan kepada
hweshio disitu, ternyata setelah mendengar bahwa harta
karun itu sudah dapat diketemukan, The Go lalu ajak Siaolan
tinggalkan gereja itu entah pergi kemana. Kelak
dikemudian hari kedua orang itu telah mendapat penemuan
yang luar biasa dan berhasil meyakinkan suatu ilmu
kepandaian yang sakti. Cian-bin Longkun The Go yang
berlumuran dosa itu, akhirnya telah insyaf kembali kejalan
yang terang.
Oleh karena dalam buku ini tak dituturkan bagaimana
lelakon The Go dan Ciok Siao-lan lebih jauh, maka baiklah
kita tinggalkan dulu dan mengikuti saja keadaan sekalian
orang gagah rombongan Ceng Bo siangjin itu.
---o-dwkz-0-tah-o---
Setelah mendapatkan harta karun, hasil dari
permusyawarahan diputuskan menunjuk Kang Siang Yan,
Kui-ing-cu, Thaysan sin-tho Ih Liok dan Sin-eng Ko Thay
untuk menuju ke Siam (Muang Thai) dan Burma
(Vietnam), menukarkan harta itu dengan beras. Perjalanan
itu harus melalui daerah Kwisay dan Hunlam yang kurang
aman, tapi rasanya dengan keempat pengawal yang
sedemikian lihaynya itu, pasti akan dapat mencapai tempat
tujuan dengan selamat.
Setelah itu Ceng Bo lalu ajak rombongannya berikut Tay
Wi dan Siau Wi kedua orang utan itu, kembali ke Giok-linia.
Berita tentang berhasil diketemukannya harta karun
Thio Hian-tiong yang selama ini hanya merupakan mythos
(dongeng) dalam dunia persilatan, telah disambut dengan
gegap gempita oleh anak buah Thian Te Hui,
Tapi disamping itu ada juga kejadian yang menyedihkan.
Utusan yang dikirim Thian Te Hui untuk bersarekat dengan
jenderal Li Seng Tong yang bermarkas di Kwiciu utara,
sebenarnya telah mencapai penyelesaian yang memuaskan.
Tapi tiba2 jenderal itu mendapat laporan tentang apa yang
telah terjadi di Kwiciu, yalah bahwasanya nona
kesayangannya, Ciok Siao-lan, telah lolos ke Lo-hu-san.
Saking murkanya, jenderal itu segera perintahkan
membunuh utusan Lo-hu-san. Kalau saja tak menguatirkan
adanya serangan fihak Ceng yang setiap saat dapat terjadi,
siang2 Li Seng Tong pasti sudah memimpin tentaranya
untuk menggempur Lo-hu-san.
Sejak itu perangi Li Seng Tong tampak berobah. Dari
seorang jenderal brilliant (cemerlang), dia berobah menjadi
seorang yang limbung, gemar membunuh anak buahnya
dengan se-wenang2 dan beberapa kali menderita kekalahan.
Kecuali beberapa orang kepercayaannya, boleh dikata
seluruh anak buahnya telah hilang kesetiaannya kepada
jenderal itu.
Tahun kedua bulan dua, tiba2 ditengah malam keadaan
markasnya meajadi panik. Hiruk pikuk orang datang
melapor tentang pemberontakan yang timbul dikalangan
anak buah atau tentang tentara Ceng menyerang. Kebetulan
pada saat itu, Li Seng Tong tengah mabuk. Tanpa sadar lagi
dia segera cemplak seekor kuda terus dilarikan sekencang2nya
tanpa arah tujuan yang tertentu. Oleh karena
para anak buahnya sudah jemu dengan jenderal itu, maka
tiada seorangpun yang mengikutinya. Kuda itu
mencongklang seperti layang2 putus menuju ketengah
sebuah sungai, dan binasalah jenderal itu ditelan arus.
Demikian akhir kisah seorang jenderal perang yang pandai
dan cemerlang tapi tak mempunyal pendirian yang teguh.
Tepat pada waktu ransum markas di Lo-hu-san habis,
maka datanglah rombongan Kang Siang Yan berempat
dengan membawa ransum dalam jumlah yang besar sekali.
Ransum makanan itu diangkut dengan perahu dan berlabuh
dilaut selatan. Setelah selesaikan tugasnya, Kang Siang Yan
lalu kembali kegunung untuk menjemput cucunya (putera
Bek Lian) yang dititipkan pada, seorang keluarga petani
disitu. Tapi untuk kekagetannya, ternyata keluarga Itu
sudah pindah entah kemana.
Sejak memperoleh peraediaan ransum itu, kekuatan
Thian Te Hui makin kuat. Perserekatan itu mempunyai
pengaruh besar sekali didaerah Kwiciu timur. Pada waktu
itu, gerakan pembebasan yang dipimpin oleh The Seng
Kong (Coxinga) tetap melakukan operasinya didaerah
Amoy. Pemimpin Itu tak mau mengindahkan perintah
kerajaan Ceng untuk menaluk. Dengan The Seng Kong
didaerah Amoy dan Thian Te Hui di Lo-hu-san, kekuatan
tentara Ceng didaerah selatan menjadi terjepit. Terpaksa
fihak tentara Ceng menarik diri untuk ambil jalan memutar
dari Kangse, melintasi Bwe-ling lalu masuk ke Kwitang.
Tapi terhadap benteng pertahanan patriot2 Lo-hu-san,
mereka tak dapat berbuat apa2. Pemerintah Ceng berganti
gunakan siasat menunggu waktu. Benar juga 3 tahun
kemudian, habislah sudah persediaan ransum para pejoang
kemerdekaan itu dan sejak Itu morat maritlah organisasi
perlawanan mereka. Pemimpina mereka yang gagah
perkasa terpaksa cerai berai.
Sewaktu Tio Jiang dan Yan-chiu masih bertugas menjaga
Kwiciu timur, karena hari itu agak senggang, mereka lalu
ber-sama2 mencuri kesempatan untuk menjenguk
kekampung halaman Giok-li-nia. Setelah pamit kepada
Ceng Bo, mereka lalu berangkat.
Cuaca pada bulan 11 amatlah cerahnya. Biara Cin Wan
Kuan tempat keduanya digembleng dahulu masih tetap
tegak berdiri dengan megahnya, hanya saja keadaan biasa
itu sudah tak terurus lagi. Disana-sini penuh ditumbuhi
rumput dan alang2.
Tegak ter-longong2 kedua muda-mudi itu memijakkan
kakinya diatas puncak Giok-li-nia atau Kepundan Bidadari
sampai sekian saat. Lautan awan putih bertebaran
berlapis2, menutupi suatu rahasia hidup dari jaman ke
jaman.
Se-konyong2 tampak ada dua buah titik putih menyusup
diantara lapisan awan itu, me-layang2 bagaikan carik kertas
ditlup angin. Ketika melayang dekat, kiranya benda2 itu
adalah dua ekor kupu2 rama (kupu2 besar, berwarna dasar
coklat muda sampai tua).
"Suko, apakah kau masih ingat ketika menangkap kupu2
sian-tiap untuk mengambil hati Lian suci dahulu?" tiba2
Yan-chiu berseru sembari menunjuk kearah kupu2 itu.
Teringat akan suci mereka yang kini kabarnya telah ment
rambut menjadi nikoh (rahib) tak ketahuan rlmbanya
(tempat tinggalnya), hati mereka terasa rawan pilu.
Diganggu dengan kenangan yang memilukan ttu, mereka
buru2 tinggalkan puncak gunung itu.
T A M A T
(Lanjutan nya adalah Heng Thian Siau To)
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar