Disusul seratusan gadis yang berada di sebelah kanan serempak
berlutut dan menyembah, suaranya nyaring merdu berpadu: "Para
Tecu menyampaikan sembah sujud kepada Thay-siang."
Thay-siang duduk tegak di kursinya, sorot matanya yang tajam
seolah2 menembus cadar laksana sinar matahari pagi, dingin
laksana kilat menyapu pandang ke seluruh hadirin, akhirnya sedikit
mengangguk sebagai jawaban. Lalu tangan kiri sedikit diangkat
sambil menoleh kepada Hupang-cu yang duduk di sebelah kanan-
Hu-pangcu So-yok segera berdiri, matanya yang jeli berputar,
suaranya merdu: "Thay-siang suruh aku memperkenalkan seorang
tamu agung kepada hadirin . . . . " nada suaranya sengaja
diperpanjang, sementara tangan menunjuk kearah Ling Kun-gi,
suaranya semakin lantang,
"Inilah Ling Kun-gi, Ling-kongcu, murid kesayangan Put-thong
Taysu dari siau-lim."
Lekas Kun-gi berdiri dan menjura ke arah hadirin-Hadirin
menyambut dengan tepuk tangan yang riuh-rendah. Sudah tentu
suara tepuk tangan paling ramai datang dari sebelah kanan,
seakan2 para nona itu ingin berlomba keplok tangan, sementara
para Hou-hoat-su-cia hanya beberapa orang saja yang ikut2an
tepuk tangan-Malah kedua pemimpin Hou-boat yang berdiri di kirikanan,
yaitu kedua laki2 tua jubah biru itu, hanya menatap tajam
setengah mendelik kepada Ling Kun-gi, se-olah2 mereka tidak
percaya.
Put-thong hwesio alias Hoan-jiu-ji-lay, sudah 10 tahun tak
terdengar kabar-beritanya lagi, mungkinkah bocah semuda ini
betul2 murid didik Hoan-jiu-ji-lay?
Setelah suara keplok tangan tak terdengar lagi baru So-yok
melanjutkan kata2nya: "Ling-kongcu masih muda tapi penuh bakat
dan serba mahir, kepandaiannya tinggi pengetahuan luas, atas
undangan Pang kita, kali ini dia telah menyelesaikan suatu tugas
yang teramat besar artinya bagi Pang kita semua. Yaitu berhasil
membuat obat penawar getah beracun itu demi keselamatan Pang
kita. Maka getah beracun milik Hek-liong-hwe itu selanjutnya tidak
perlu kita takuti lagi."
Baru sekarang seluruh hadirin tahu duduk persoalan, tak heran
pemuda she Ling ini bisa memperoleh tempat kedudukan yang
terhormat di hadapan Thay-siang, kembali tepuk tangan diiringi
suara tawa ramai lebih riuh daripada tadi.
So-yok berkata pula setelah tepuk tangan tak terdengar:
"Sekarang akan kami perlihatkan obat penawar dari getah beracun
ini kepada seluruh hadirin." Lalu dia memberi tanda gerakan tangan
kepada congkoan Giok-lan-Giok-lan mengangguk, dia mengulap
tangan kependopo, dua orang gadis segera keluar masing2
membawa sebuah tempayan dan ditaruh di atas undakan batu.
Seorang disebelah kanan segera melolos pedang dan dicelupkan ke
dalam tempayan terus di angkatnya tinggi2
Hanya sebentar dicelup ke dalam getah beracun, semua hadirin
sudah melihat jelas batang pedang yang semula kemilau cerah itu
kini bagian depannya telah berubah warna hitam legam tak
bercahaya, jelas ujung pedang itu sudah berlumur racun yang amat
jahat, keruan hadirin sama terbelalak dan ciut nyalinya.
Maklumlah, biasanya senjata tajam atau senjata rahasia apapun
sukar melumuri racun diatasnya, karena besi bukan benda yang
gampang menyerap sesuatu cairan, maka untuk melumuri senjata
dengan racun harus dilakukan berulang kali dan memakan waktu
yang cukup panjang. Untuk lebih meyakinkan, biasanya senjata
tajam itu dibakar sampai menganga berulang kali serta dicelup
beberapa kali pula ke dalam air yang mengandung racun itu.
Tapi kali ini gadis ini hanya sekali celup tanpa membakar senjata
dan getah beracun itu sudah membuat ujung pedang bewarna
hitam legam, terang kadar racun yang menempel di atas pedang
betul2 amat jahat. Dapatlah dibayangkan betapa ganas dan keras
kadar racun getah hitam ini?
Dengan mengacungkan pedang tinggi2 di atas kepala, gadis itu
mondar-mandir ke kiri-kanan undakan supaya hadirin dapat melihat
lebih jelas. Sementara gadis yang lain sudah mengambil sebuah
papan kayu dan diletakkan di lantai, gadis pemegang pedang segera
tusukkan pedangnya ke papan kayu, hanya ujungnya saja yang
menempel sedikit, tapi ujung pedang yang mengenai papan seketika
menimbulkan suara "ces" dan mengepulkan asap warna kuning.
Seperti terbakar bagian papan yang kena ujung pedang, malah
meninggalkan bekas lubang sebesar mata uang.-Menyaksikan
semua ini, Kun-gi sendiri juga merasa diluar dugaan, batinnya:
"Entah racun jenis apakah getah beracun ini? begitu ganas dan
lihay? "
Melihat ujung pedang yang berlumur getah ternyata begitu ganas
kadar racunnya, semua hadirin sama berubah pucat dan terbelalak
matanya. Gadis pemegang pedang tetap kalem, dia tarik pedangnya
mundur lalu menghampiri tempayan lainnya disebelah kiri, ujung
pedang yang berlumur racun warna hitam itu segera dia celup pula
ke dalam tempayan yang satu ini, hanya sebentar terus diangkat
pula pedangnya.
Hadirin sudah menunggu sambil tahan napas, pandangan semua
orang. tanpa berkedip mengawasi pedang di tangan si gadis. Ujung
pedang yang berlumur racun warna hitam tadi, setelah diangkat
warna hitam hitam tadi kiri telah putih dan lambat laun warna
itupun sirna sama sekali, maka tampaklah cahaya cemerlang yang
menyilaukan mata dari ujung pedang tadi maka gemuruhlah tepuk
tangan dan sorak sorai dari ratusan gadis ayu dan puluhan Hou-hoat-
su-cia itu. Sementara kedua pelayan tadi menjura kearah Thaysiang
lalu menjemput tempayan serta menenteng pedang terus
mengundurkan diri.
Wajah Thay-siang tampak mengunjuk rasa senang, meski
teraling cadar, tapi sorot matanya kelihatan mencorong, katanya
dengan nada tinggi: "Kalian sudah saksikan betapa lihay dan ganas
racun getah ini, kita sudah punya obat penawarnya, Hek-liong-hwe
tidak habis2 menggunakan getah beracun ini, kelak pasti merupakan
petaka bagi insan persilatan khususnya, dan rakyat jelata pada
umumnya...."
Diam2 tergerak Kun-gi, pikirnya: "Betulkah Hek-liong-hwe tidak
akan pernah kehabisan getah beracun untuk selamanya.
Memangnya getah itu sudah tercipta oleh alam dan takkan pernah
kering dan habis dipakai? "
Sorot mata Thay-siang menjelajah ke muka seluruh hadirin,
semua orang berdiri tegak dan hormat, lalu diam meneruskan
kata2nya: "Azas tujuan Losin mendirikan Pek-hoa-pang adalah
untuk menegakkan keadilan, kebenaran dan menunjang yang lemah
melawan kelaliman, maka Losin berkeputusan dalam waktu dekat ini
akan pimpin kalian untuk bergerak menyerbu Hek-liong-hwe,
melenyapkan bibit bencana demi kesejahteraan kaum Bulim ...."
Pidato Thay-siang memperoleh sambutan yang gegap gempita
dari seluruh hadirin.
Lebih lanjut Thay-siang berkata: "Jumlah kita boleh dikatakan
terlalu banyak, tingkat kepandaian kalian juga tinggi rendah sukar
dibedakan, apalagi gerakan besar2an ini adalah meluruk jauh ke
sarang Hek-liong hwe, kita harus beraksi secara mendadak di waktu
mereka tidak siaga, maka kekuatan kita harus bisa diandalkan,
semua harus bergerak cepat, tegas dan perwira, oleh karena ini
Losin putuskan, mulai hari ini diadakan seleksi untuk memilih orang2
yang akan kubawa serta"
Sampai di sini, dia berpaling kepada So-yok dan berkata: "Soyok.
umumkan peraturan seleksi ini."
So-yok membungkuk dan menerima perintah. Lalu dari dalam
lengan bajunya dia keluarkan selembar kertas, ia memandang
hadirin sejenak lalu terdengar suaranya lantang nyaring
berkumandang
"Sejak sekarang Pang kita mengangkat seorang cong-hou-hoatsu-
cia, kedudukannya sejajar dengan Hu-pangcu. Di bawah cong
hou-hoat dibantu dua orang pemimpin Houhoat, Houhoat ada
delapan orang, semetara Hou hoat-su-cia berjumlah dua puluh
empat, semua calon2 Houhoat ini akan dipilih dari para Hou-hoatsu-
cia yang hadir sekarang."
Sudah tentu dihadapan Thay-siang para Hou-hoat-su-cia yang
berada di bawah undakan tak berani bicara atau berbisik, tapi dalam
hati semua orang menimang2 sampai dimana tarap kepandaian
sendiri serta jabatan apa nanti yang akan diraihnya?
Terdengar So-yok bersuara lebih lanjut: "Peraturan seleksi babak
pertama, 32 Hou-hoat-su-cia akan dibagi dua barisan, setiap barisan
16 orang, jadi masing2 orang mendapat satu lawan, main kepalan
atau pakai senjata diperbolehkan, kepandaian siapa lebih tinggi dia
akan maju ke babak selanjut-nya, diwaktu bertanding hanya
dibatasi saling tutul dan tidak boleh melukai lawan, 16 orang
pemenangnya, akan mendapat kesempatan maju ke babak kedua
....."
Sampai di sini dia merandek. menelan ludah lalu meneruskan:
"Babak kedua, 16 pemenang tadi dibagi dua kelompok. masing2
tetap memperoleh satu lawan, siapa lebih Unggul dialah yang
memasuki babak kedelapan besar, kedelapan orang ini akan
diangkat jadi Hou-hoat, para Hou-hoat yang ter-pilih ini boleh
berlomba pula untuk merebut co-yu-hou-hoat, yang berkepandaian
paling tinggi akan diangkat cong-hou-hoat."--Pandangannya tertuju
ke bawah sebelah kanan-
"Di antara para saudara dalam Pang kita, kecuali 12 Tay-cia
(peladen), diserahkan kepada congkoan untuk memilih dua puluh
orang pula untuk ikut, jadi tidak usah diadakan pertandingan-" Gioklan
berdiri dan menerima tugas.
So-yok berkata lebih lanjut: "Baiklah, pertandingan boleh segera
di mulai, Babak pertama ini seluruh Hou-hoat-su-cia terbagi menjadi
dua baris."
Memangnya 32 Hou-hoat-su-cia itu sudah terbagi menjadi dua
barisan, maka cepat sekali mereka beranjak ke tengah arena, tetap
dengan formasi barisan yang sama.
"Sekarang antara barisan A dan barisan B menghadap ke utara
dan selatan saling berhadapan, masing2 satu lawan satu dan siap."
Tanpa bersuara 32 Hou-hoat-su-cia berpencar mencari tempat
kosong, semua berdiri satu2 saling berhadapan-So-yok berkata
pula: "Kalian boleh saling tanya pendapat lawan masing2, mau main
kepalan atau adu senjata, kalau kedua pihak tidak tiada kecocokan,
boleh saling tukar lawan-"
Pengumuman ini, memang menimbulkan sedikit perubahan, bagi
yang ingin main kepalan segera mencari lawan yang sama, demikian
pula yang ingin adu senjata mendapatkan lawan yang setimpal, jadi
satu sama lain bertukar lawan bertanding.
Setelah semua mendapatkan lawan dan kembali keposisi semula,
So-yok bersuara pula: "Ba-bak ini ada 16 pasang akan mulai
bertanding, maka diperlukan enam belas wasit, setiap pasang
seorang wasit untuk menentukan siapa kalah dan menang, supaya
pertandingan ini berjalan secara adil, sekarang persilakan Lingkongcu,
congkoan dan 12 Tay-cia bersama co yu-hou-hoat menjadi
wasit. silakan keluar. "
Terpaksa Kun-gi tampil ke bawah undakan, berdiri berendeng
bersama Giok-lan dan kedua Hou-hoat berjubah biru. sementara
kedua belas Tay-Cia yaitu Bwe-hoa, Lian-hoa, tho-hoa, Klok-hoa,
Giok— ti, Bir kui, Ci-hwi, Hu-yong, Hong-sian, Giok-je, Hay-siang
dan Loh-bi-jin beruntun keluar pula.
Dengan senyuman manis So-yok mengerling kearah Kun-gi lalu
angkat tangan berseru:
"Pertandingan akan dimulai, silakan para wasit turun gelanggang,
setiap pasang satu wasit."
16 wasit segera beranjak turun ke gelanggang.
Terdengar So-yok bersuara pula: "Perlu ditegaskan sekali lagi,
setiap peserta pertandingan dilarang menggunakan senjata rahasia,
cukup saling tutul dan raba saja, ketentuan kalah menang berada
ditangan wasit, keputusannya tidak boleh di gugat, kecuali memang
salah tangan melukai orang, dilarang saling dendam"-Lalu dia
berpaling menghadap Thay-siang, serunya: "Mohon petunjuk Thaysiang,
apakah pertandingan boleh dimulai? "
Thay-siang mengangguk katanya: "Ya, suruh mereka segera
mulai."
So-yok mengiakan, dengan suaranya lantang ia lantas berteriak:
"Pertandingan boleh dimulai, sekarang semua siap. yang pakai
senjata boleh keluarkan senjata masing2 dan dengarkan aba2ku."
Maka terdengar suara "srat-sret dan trang-treng" yang ramai,
ternyata sebagian besar yang bertanding itu menggunakan senjata.
Terdengar So-yok berseru keras: "Satu, dua, tiga. .... ."
Pada hitungan ketiga, 16 pasang Hou-hoat-su-cia yang
bertanding serentak mengembangkan kemahiran masing2 dan
saling gebrak. 32 orang menjadi 16 pasang mulai serang
menyerang. Lapangan di bawah undakan ini memangamat luas,
kiranya, cukup buat berdiri seribu orang, untuk bertanding 16
pasang orang ternyata masih cukup luang, suasana amat ramai dan
menarik sekali. Ling Kun-gi menjadi wasit dari dua orang yang
berusia 27-28 tahun, keduanya kebetulan bersenjata pedang.
Seorang bermuka bersih, berperawakan kurus tinggi,
kelihatannya ramah dan lembut. Lawannya bertubuh agakpendek.
tapi badannya kekar, otot-nya merongkol dan dagingnya kencang,
kelihatan amat garang. Begitu kedua orang saling gebrak. Kun-gi
lantas mendapatkan ilmu pedang kedua orang cukup terlatih baik
dan cukup tinggi kepandaiannya.
Gerak-gerik dan gaya permainan pedang si tinggi, ternyata rada
aneh, semula melancarkan serangan dibarengi dengan tubrukan ke
depan, sekali tubruk terus melabrak dengan gaya seorang yang
hendak menunggang kuda, tapi bukan naik kuda, sementara kedua
matanya mencorong liar dan buas, sedang pedangnya menutul dan
menusuk juga memapas dan menabas tenggorokan lawan,
permaiman pedangnya yang ganas dan keji ini terang bukan dari
aliran yang baik.
Ilmu pedang sipendek kekar ternyata bergaya mantap dan kokoh
seperti perawakannya, tenang dan kuat, yang dimainkan adalah
Llok-hap-kiam, setiap jurus pedangnya merupakan rangsakan
terbuka dan sekaligus membendung serangan lawan, terang
kemahirannya cukup meyakinkan-Dalam sekejap kedua orang sudah
saling gebrak belasan jurus.
Setelah menyaksikan sekian gebrak, didapati oleh Kun-gi, setiap
kali si kurus menubruk dan melompat, salah satu kakinya entah
kanan entah kiri pasti terseret ke belakang, sementara sorot
matanya melirik buas, hatinya berdetak dan ingat sesuatu, diam2 ia
berteriak dalamhati: "Thian-long-kiam? "
Gurunya pernah bercerita, kira2 30 tahun yang lalu, di daerah cepak
beliau pernah bertemu dengan seorang Lo-long-sin yang aneh,
dengan meniru gerakan serigala dia berhasil menciptakan Thianlong-
kiam-hoat, dikiranya Ciptaan ilmu pedangnya ini amat lihay dan
tiada bandingan di kolong langit, wataknyapun angkuh. Tapi sekali
gebrak gurunya berhasil menyengkelitnya jatuh ter-guling2 dengan
gerakan tangan kidalnya.
Gurunya pernah bilang, bahwa Thian-long-kiam-hoat ciptaan Lolong-
sin ini bukan saja gayanya amat ganas, gerak-geriknya juga
mirip serigala yang liar dan buas itu, seperti serigala yang
kelaparan, berputar kian-kemari mencari kesempatan menyergap
lawan-Dirinya diperingatkan supaya hati2 bila kelak berkecimpung di
Kangouw, kalau bertemu dengan orang yang main pedang mata liar
berjelilatan dan gayanya seperti serigala hendak menerkam
mangSanya.
Kini dilihatnya orang ini menggunakan Thian-long-kiam,
mungkinkah dia murid Lo-long-sin? Pada saat itulah matanya yang
jeli berputar, cepat dia angkat tangan kiri serta menjentik sekali
hingga menerbitkan sejalur angin kencang, mulutpun berseru
tertahan-"Harap kalian berhenti." begitu dia membuka suara, maka
terdengarlah suara "creng", pedang panjang si kurus t inggi
menerbitkan suara getaran-.
Mendengar teriakan "berhenti" dari sang wasit, kedua orang yang
bertanding segera melompat mundur sambil tarik pedang, bahwa
pedang panjang si kurus tergetar dan mengeluarkan suara,
hakikatnya orang lain t iada yang mengetahui atau melihat jelas.
Sebaliknya rangsakan si pendek tampak amat bernafsu, ketika
mendadak mendengar wasit menghentikan pertandingan, hatinya
merasa heran maka matanya melirik kearah Ling Kun Kun-gi
tersenyum, katanya:
“Saudara yang kalah"
Melengak heran si pendek. serunya: "Masa aku yang kalah?" Dia
yakin gerak serangan terakhir barusan hampir mengenai sasaran,
sudah tentu ia tak percaya bila dirinya yang kalah malah. . .
Diam2 Kun-gi berkata, dalam hati: "Thian-long-kiam-hoat
memang buas dan keji, kalau pedang orang tidak kujentik pergi
sehingga ujung pedangnya tergetar miring beberapa mili, mungkin
sekarang kau sudah menggeletak di tanah." Tapi lahirnya dia
tersenyumramah, sahutnya: "Betul, saudara yang kalah"
Sipendek naik pitam, serunya: "Dalam jurus mana cayhe kalah? "
Kun-gi menuding pinggang kanan sipendek. katanya: "Silakan
saudara periksa pinggang sebelah kanan."
Cepat sipendek menunduk. memang dilihatnya pakaian di bagian
pinggang sebelah kanan telah tergores robek memanjang beberapa
dim oleh ujung pedang, seketika mukanya merah malu, lekas dia
menjura dan mengundurkan diri.
Sementara si kurus tinggi telah masukkan pedang ke dalam
sarungnya, dengan gaya yang lengang dia menjura kepada Kun-gi,
katanya: "cayhe Keng-sun Siang, selanjutnya harap Ling-kongcu
suka memberi petunjuk,"
Lekas Kun-gi balas menjura, sahutnya: "Mana berani, silakan
saudara." Kongsun Siang segera membalik badan dan
mengundurkan diri. Terdengar So-yok berteriak: "Silakan Lingkongcu
duduk kembali." . Kun-gi menjura kearah sana dan kembali
ke tempat duduknya.
Sementara itu, sepertiga dari 16 pasangan petanding sudah
berhenti, yang masih gebrak sudah mencapai babak yang
menentukan, sinar golok dan cahaya pedang saling samber, gempur
menggempur Silih berganti amat Seru. Maklumlah pertandingan ini
bukan saja untuk menaikkan gengsi, tapi juga Sekaligus merebut
kedudukan dan jabatan yang lebih tinggi di dalam Pek-hoa-pang
Selanjutnya.
Sudah tentu Kun-gi bisa menilai bahwa kepandaian silat orang2
itu tiada yang lemah. So-yok memang tidak bohongi dia, para Houhoat-
su-cia Pek-hoa-pang ini memang murid2 dari berbagai aliran
besar. Dari gaya permainan silat mereka Ling Kun-gi dapat
membedakan mereka ini terdiri dari murid2 siau-lim, Bu-tong, Hingsan,
Hoa-san dan Go-bi, tapi juga ada murid2 dari aliran Kong-tong,
ji-lay, Soat-san, dan aliran lain pula yang dipandang sebagai
golongan luar garis yang aneh2 permainannya. Pendek kata ke 32
Hou-hoat-su-cia itu merupakan kumpulan tunas2 muda dari
berbagai golongan dan aliran baik dan sesat.
Hal ini sungguh membuat Kun-gi tak habis mengerti mereka itu
terang adalah perjaka yang belum lama lulus dari perguruan, cara
bagaimana bisa sekaligus berkumpul dan mendarma-baktikan diri
pada Pek-hoa-pang? Memangnya dengan cara dan akal apa Pekhoa-
pang berhasil menjaring tokoh2 muda yang kosen ini?
Mendadak pikirannya jadi jernih, segalanya jadi jelas dan dimengerti
olehnya. Terang tanpa disadari mereka juga kena dikerjai Bi-sinhiang-
wan yang dicampur di dalam makanan. Hanya orang yang
telah makan Bi-sin-hiang-wan, lahirnya tetap segar bugar, gagah tak
ubahnya seperti orang biasa, kepandaian silat yang dimiliki-pun
tidak berkurang tapi jiwa danpikiran mereka seratus persen dapat
diperbudak oleh Pek-hoa-pang.
Beberapa lama lagi baru orang2 yang bertanding pada babak
pertama sudah ada yang kalah dan menang, para wasitpun
mengundurkan diri.
So-yok bediri di undakan, dia memberi petunjuk pada ke-16 Houhoat-
su-cia yang kalah di medan laga untuk mengundurkan diri ke
tempat semula. Sementara 16 peserta yang menang disuruh
berkumpul dan berdiri di tengah arena menghadap kearah Thaysiang.
Tanpa diperintah sikap mereka tampak patuh dan tunduk.
serempak mereka memberi hormat.
Thay-siang sedikit manggut, katanya "Bagus sekali, kalian boleh
berjuang lebih keras."
So-yok segera mengumumkan: "Sekarang pertandingan babak
kedua dimulai, ke-16 pemenang babak pertama tadi dibagi menjadi
dua baris saling berhadapan dan boleh mencari lawan masing2 dan
tunggu aba2ku lebih lanjut."
cepat sekali ke-16 pemenang babak, pertama lantas berbaris
saling berhadapan ditengah lapangan.
So-yok berpaling kearah kanan, serunya: "sekarang diperlukan
delapan wasit lagi, kita panggil saja Bwe-hoa, Lian-hoa, Tho-hoa,
Giok-li, Bi-kui, Ci-hwi dan Hu-yong berdelapan-" orang2 yaug
disebut namanya beranjak masuk arena.
"Baik, semua siap." teriak So-yok, "mulai kuhitung. satu, dua,
tiga ......"
Delapan orang daripada enam belas petanding ini akhirnya akan
tersisih dan tiada hak maju lagi, mereka akan tetap sebagai Houhoat-
su-cia, sementara delapan orang yang menang diangkat
menjadi Hou-hoat, kedudukan setingkat lebih tinggi. Maka
pertandingan babak kedua ini cukup besar artinya bagi mereka,
karena ini menyangkut masa depan mereka di Pek-hoa-pang, sudah
tentu pertandingan babak kedua ini jauh lebih sengit.
Begitu So-yok mengeluarkan aba2, enam belas orang itu segera
mulai saling labrak. Delapan wasit ikut berlompatan kian kemari, lari
sana putar sini mencari posisi lebih baik untuk mengawasi
pertandingan.
Duduk di atas undakan batu pualam, sudah tentu Kun-gi dapat
menyaksikan dengan jelas di-dapatinya antara kedelapan pasangan
orang yang lagi berbaku bantam itu ada empat orang memiliki
kepandaian yang agak menonjol dari pada yang lain-Pertama adalah
Kongsun siang yang mainkan Thian-long-kiam-hoat di ujung kiri
sana, gerak-geriknya mirip sekali dengan serigala liar, buas dan
serakah. Lawannya adalah murid Bu-tong-pay, kepandaian Liang-gikiam-
hoat yang dimainkan menciptakan lingkaran2 bundar yang
bersusun dan berlapis2, dia hanya bertahan dan jarang balas
menyerang.
Dua lainnya adalah murid Go-Bi yang mainkan Loan-poh-hongkiam-
hoat ( ilmu pedang angin ribut), setiap putaran pedangnya
sekencang angin badai yang ribut, kelihatannya pedangnya
menuding ke timur dan menusuk ke barat, gerakannya seperti
kalang kabut dan tidak teratur, namun sesungguhnya merupakan
permainan ilmu pedang yang rapi dan mengandung banyak
perubahan, sukar ditebak ke mana sasaran pedangnya. Lawannya
adalah murid Pat-kwa-bun yang melancarkan ilmu Pat-kwa-kiamhoat,
dia hanya bertahan dengan rapat, tapi lambat laun menjadi
kewalahan membendung rangsakan pedang lawan dari berbagai
penjuru.
orang ketiga adalah pemuda yang memainkan Hing-san-kiamhoat,
kadang kala dia melejit tinggi menubruk maju, di tengah
udara jumpalitan sembari melancarkan serangan, se-akan2 pedang
dan tubuhnya terbaur menjadi satu, sinar pedang kemilau
memanjang, naga2nya pemuda ini sudah memperoleh ajaran ilmu
pedang Hing-san-pay murni, lawannya tampak kewalahan dan
terdesak dibawah angin-orang keempat adalah laki2 bersenjata
kipas lempit, geraknya lincah melayang kesana berkelebat ke sini,
kipas lempit ditangannya bergerak dengan gaya yang gemulai.
Lawannya bersenjata Kiu-goan-to yang besar dan berat, sinar golok
berkemilau dan mengeluarkan suara nyaring dari sembilan gelang
pada goloknya. Dahsyat putaran golok bergelang embilan ini.
Sudah tentu Kun-gi dapat mengukur sampai di mana tarap
kepandaian orang ini, bukan saja gerak-geriknya lincah dan enteng,
Lwekangnyapun cukup tinggi. Apalagi setiap kali kipas lempitnya
yang berjeruji besi itu saling bentur dengan golok lawan yang
bergelang dan berat itu hanya mengeluarkan suara lirih, malah
sekali sendal, lawan yang bertenaga raksasa lantas sempoyongan
dengan golok tersampuk pergi, maka dapatlah dibayangkan betapa
lihay kepandaian silatnya.
Sudah tentu empat partai yang sedang saling labrak juga
berkepandaian lumayan, kalau t idak masakah Pek-hoa-pang mau
menjaring mereka, cuma kalau kepandaian mereka betul2 diukur
dengan keempat orang ini, rasanya masih setingkat lebih rendah.
oleh karena itu perhatian Kun-gi hanya tertuju pada empat orang
ini. Diam2 dia sudah berkesimpulan, empat orang ini nanti pasti
akan lulus dengan angka terbaik.
Dugaan Kun-gi memang t idak meleset, kejap lain Kongsun Siang
yang melancarkan Thian-long-kiam-hoat tiba2 merangsak maju lalu
menyelinap ke samping kanan murid Bu-tong lawannya, lawan
dipaksa menarik pedangnya, sedangkan pedang Kong-sun Siang
justru sudah menanti, pada saat lawan menarik pedang dan gant i
gerakan, ujung pedangnya menyelinap masuk menusuk iga lawan-
Sang wasit adalah Bwe-hoa, cepat dia berteriak: "Berhent i"
Tapi sudah terlambat, Thian-long-kiam-hoat yang dimainkan
Kongsun Siang memang ganas, sekali serangan dilancarkan, dia
sendiri tak kuasa mengendalikan diri sendiri. Terdengar murid Butong
itu mengeluh tertahan, langkahnya sempoyongan, darah
mengucur membasahi badan.
Terunjuk rasa menyesal pada wajah Kongsun Siang, katanya
sambil menjura: "Ji-heng, harap maaf akan kesalahan tanganku ini."
Lekas Giok-lan memberi tanda pada dua pembantunya yang
berdiri di belakang, lekas mereka maju memayang murid Bu-tong itu
serta membubuhi obat dilukanya.
Sementara itu, keenam pasangan yang lainpun sudah hampir
mencapai saat2 yang menentukan. Mungkin terburu nafsu ingin
menang dia terlalu yakin akan kekuatan sendiri yang sejauh ini tak
berhasil merobohkan lawan, laki2 bersenjata golok gelang sembilan
mendadak menghardik, berbareng gerakan goloknya berubah,
dengan gencar dia melabrak dengan seluruh kekuatannya.
Permainan ilmu goloknya yang berbobot berat benar2 sudah
matang, bukan saja gerakannya tangkas, cepat, tapi juga mantap
dan tenang, sinar golok berkembang laksana tabir kemilau,
membacok. membabat, semuanya mengincar tempat2 berbahaya di
tubuh lawan-
Ilmu golok yang hebat ini memang luar biasa perbawanya, laki2
bersenjata kipas lempit tertawa dingin, berbareng dia imbangi
rangsakan golok lawan dengan kelincahan tubuhnya, kipasnya
berkembang atau melempit tak menentu, pakaian hijau yang
dipakainya melambai2, serangan lawan sederas itu, tapi dia tak
pernah mundur, malah balas menyerang tak kalah gencarnya, sekali
memberosot ke samping, tahu2 dia malah menerobos masuk ke
lingkaran sinar golok lawan-
Badannya berputar cepat sekali, selincah kumbang terbang
mencari madu berlomba dengan kupu2, badannya berkelebat di
antara samberan sinar golok yang terang itu, betapapun kencang
golok berputar, sejauh itu tak mampu menyentuh ujung pakaiannya,
sebaliknya kipas lempit itu kadang2 terkembang dan tahu2
melempit pula tipU gerakannya juga aneh.
"Plak ", sekonyong2 terdengar suara keras, karena tak sempat
menghindar dan menangkia, kipas lempit lawan tahu2 mengetuk
hiat-to dipundak laki2 bergolok, golok terjatuh dan mengeluarkan
suara keras, sementara laki2 itu ter-huyung2 beberapa tindak.
Gerak serangan laki2 bersenjata kipas lempit yang memang
cepat luar biasa sehingga sang wasit, yaitu Bi-kui yang menyaksikan
dengan penuh perhatianpun terlambat dan tak sempat
menghentikan pertarungan ini.
Laki2 bersenjata kipas menyimpan kipas lempitnya serta menjura
dengan tertawa: "Terima kasih, saudara sudi mengalah."-cepat
iapun mengundurkan diri.
Diam2 Kun-gi membatin: "Entah siapa sebenarnya laki2 bersejata
kipas lempit itu? "
Didengarnya wasit ketiga di tengah arena berseru: "Berhenti."
Itulah suara Tho-hoa.
Waktu hadirin memandang ke sana, lawan laki2 yang memainkan
Hing-san-kiam-hoat tampak tergores dipelipianya, secomot
rambutnya tercukur rontok, dengan merah malu laki2 itu segera
mengundurkan diri. Sementara murid Hing-san itu lantas menjura
serta menyarungkan pedang terus mengundurkan diri pula.
Kejap lain Lian-hoa yang jadi wasit pada pasangan kedua juga
menyerukan berhenti. Pasangan yang saling labrak adalah murid
Gobi pay yang memainkan ilmu pedang angin ribut itu melawan
murid Pat-kwa-bun, kekuatan mereka boleh dikatakan sama kuat.
Pat-kwa-kiam-hoat merupakan ilmu silat bertahan yang kokoh dan
meyakinkan, gerakan pedangnya mencakup kedelapan penjuru
angin, setiap jurusan dijaga dan dibendung rapat, sayang sekali dia
berhadapan dengan murid Gobi pay. seperti diketahui ilmu pedang
Go-bi-pay yang bergerak laksana angin ribut ini ternyata biaa
setenang ikan berenang di dalam air, selincah burung melayang di
udara, perubahannya memang membingungkan, gerakannya seperti
tidak menentu arah yang pasti.
Begitu sang wasit menyerukan "berhenti", ternyata pundak dan
lengan baju serta tiga tempat lainnya di tubuhnya sudah tergores
robek oleh ujung pedang lawan-Keduanya lantas menjura saling
hormat dan minta maaf, lalu mengundurkan diri.
Dalam pada itu pasangan ketiga dan kedelapan juga sudah
menentukan kalah dan menang, suara sang wasit lantang
menyerukan pertempuran berhenti. Maka dalam arena kini tinggal
dua pasangan yaitu pasangan kelima dan pasangan ketujuh, kedua
pasangan ini sama tingkat kepandaiannya, maka mereka masih
tetap bertahan untuk sekian lamanya lagi.
Pasangan kelima sama2 menggunakan senjata yang jarang
digunakan kaum persilatan. seorang memakai sepasang gelang
besar kecil, dinamakan cu-bo-siang goan (sepasang gelang ibuberanak),
pada lingkaran luar gelang terpasang gigi runcing
mengkilap. begitu bergerak gelangnya, angin mendesir tajam, gigi
runcing itu memancarkan cahaya kehijauan.
Sementara lawannya menggunakan sepasang ruyung pendek.
pada batang ruyungnya ini terdapat dua cabang pendek yang
melintang tegak. batang ruyung kelihatan mengkilap biru, terang di
lumuri racun, anehnya cara dia pegang senjata berbeda dengan
lazimnya, ruyung dia pegang bagian tengahnya, sementara gagang
ruyungnya dia sembunyikan di belakang sikut, kadang2 dia gunakan
gagang ruyung sebagai tongkat penggebuk. tiba2 dia membalik
tangan dan dua tangan sekaligus mencecar musuh, gerak dan tipu
permainannya agak aneh.
Baru sekarang Ling Kun-gi sempat memperhatikan lebih
seksama, ternyata permainan aneh ruyung pendek orang ini hampir
sama ganas dan keji seperti Thian-long-kiam.
Pasangan ketujuh tidak menggunakan senjata, mereka bersilat
tangan kosong, seorang melancarkan pukulan atau tutukan silih
berganti dengan berbagai gerak ragamnya. Tapi lawannya mahir
memainkan Pat-siang-ciang (pukulan delapan penjuru angin), lunak
dan keras saling berganti sehingga permainannya semakin mantap
dan kekuatannyapun bertambah. Angin kepalan dan bayangan
tangan menimbulkan deru angin, tidak kalah ramainya dari pada
pasangan lain yang adu senjata. Sedikit lena dan keserempet angin
pukulan lawan, jiwa biaa celaka.
Sang wasit Ci-hwipun terpaksa harus berdiri di luar lingkaran,
sikapnya tampak tegang dan penuh perhatian oleh pertempuran
yang sengit ini.
Terdengar laki2 yang bersenjata gelang membentak keras, gigi
gelang kirinya tiba2 berhasil menggantol ruyung lawan, seCepat
kilat gelang di tangan kanan dengan jurus Thay-san ap ting (gunung
Thay menindih kepala) mengepruk batok kepala lawan dengan
membawa suara gemuruh.
Menghadapi rangsakan hebat ini, laki2 bersenjata ruyung tertawa
dingin, cepat badan mendak ke bawah sambil miring
menghindarkan serangan lawan tiba2 dia memberosot ke samping
sehingga ruyungnya yang tergantol lawan terlepas, di mana sinar
biru berkelebat, tahu2 gagang ruyung sudah menyodok ke dada
lawan-Memangnya yang bersenjata elang sudah merasa jeri
terhadap ruyung lawan yang dilumuri racun, cepat dia menyingkir,
sayang dia tidak menduga tatkala kedua ruyung lawan bekerja,
sebelah kaki orang juga ikut menyerampang, begitu dia menyadari
bahaya, untuk berkelit sudah terlambat "Blang", kontan dia tersapu
jatuh jauh, pantatnya beradu dengan lantai.
Untung dia memiliki kepandaian tinggi begitu punggung
menyentuh tanah, dengan tangkas dia melejit berdiri lagi, kedua
gelang terangkat tinggi, dan sudah slap melabrak lawan pula.
"Berhenti" sang wasit Giok-li segera berseru.
Terpaksa orang yang bersenjata gelang menghentikan
gerakannya, tanyanya: "Belum ada yang kalah atau menang,
mengapa nona menghentikan pertandingan? "
"Kau tersapu jatuh, sudah terhitung kalah" ucap Giok-li.
Orang itu berkata: "Putusan nona tidak adil, yang kita tandingkan
adalah kepandaian menggunakan senjata, walau aku terjatuh, tapi
dalam permainan senjata toh belum kalah, kenapa aku di-putus
kalah? "
Laki2 bersenjata ruyung tertawa, selanya: "Kalau Ho-heng tidak
terima, boleh kita lanjutkan pertandingan ini."
"Memangnya, sebelum ada yang menggeletak tak bernyawa di
antara kita belum bisa dikatakan kalah dan menang."
Berdiri alis Gok-li, bentaknya: “Ho Siang, waktu bertanding kau
tersapu jatuh oleh lawanmu, kau tidak mau mengaku kalah? "
Merah mata laki2 bersenjata gelang, jengeknya: "Nona, kau
sebagai Tay-cia dan aku adalah Su-cia, kedudukan dan jabatan kita
sembabat. belum setimpal kau gembar-gembor memanggil namaku,
tadi Hu-pangcu sudah mengumumkan cara dan tata tertib
pertandingan, bagi yang bertanding menggunakan senjata baru
terhitung kalah kalau senjata salah satu pihak menyentuh tubuh
lawan, maka aku ingin minta penjelasan dari nona, kapan ruyung
Yap Kay-sian pernah menyentuh tubuhku? " karena penasaran dia
berani debat dan melawan putusan wasit.
Lekas So-yok berdiri dan membentak: "Ho Siang-sing mundur
kau"
Ho Siang-sing, laki2 bersenjata gelang, sekali-ini tak berani bicara
lagi, dengan menggerutu terpaksa dia mengundurkan diri.
Kini ditengah arena tinggal pasangan yang adu kepalan-Melihat
tujuh pasang yang lain sudah berakhir dan ada yang kalah serta
menang, kini tinggal mereka berdua yang masih terus berhantam
tanpa kesudahan, tanpa terasa terbangkit dan berkobar nafsu
mereka, serempak keduanya kerahkan sekuat tenaga berusaha
merobohkan lawan-
Laki2 yang menyerang dengan kepalan diselingi tutukan itu
mendadak melancarkan jurus yang lihay, badan bagian atas
mendadak doyong menubruk ke depan. Tatkala tubuhnya bergerak
maju kini, kepalan kanan mendadak pura2 menghantam, sementara
tangan kiri dengan jari tengah yang terjulur berwarna merah darah,
diiringi hardikan, sejalur angin tutukan menerjang ke tenggorokan
lawan-
Menyaksikan jari orang yang menjulur dan mendadak berubah
merah darah, tergerak hati Kun-gi, batinnya: "Ilmu yang diyakinkan
orang ini tidak mirip cu-sa-ci dari perguruan Gan, lebih mirip Hiating-
ci dari aliran liar."
Kejadian berlangsung dalam sekejap seperti percikan api. Laki2
yang memainkan Pat-sian-ciang mendadak melihat sorot mata
lawan yang buas mengandung nafsu membunuh, diam2 ia sudah
siaga. Kini melihat jari lawan yang merah darah menyerang tiba dan
hidangnya telah mengendus bau amis yang memuakan, keruan ia
terkejut, batinnya: "sebetulnya aku tidak bermaksud membunuhmu,
ternyata kau malah turun tangan keji lebih dulu padaku." Pikiran ini
berkelebat laksana kilat dalam benaknya, sementara sebat sekali dia
sudah melompat mundur, menyusul tangan kanan terayun, dengan
berani dia balas menyerang.
Pukulannya inipun mengandang maksud jahat, ingin membunuh
lawan pula, apalagi dilancarkan dengan kekuatan yang sudah
disiapkan, maka angin pukulannya teramat dahsyat.
Begitu tutukan jarinya luput, laki2 yang menyerang dengan Hiating
ci (tutukan jari darah bayangan) tahu2 merasa tubuhnya
diterjang angin puyuh yang bersuhu dingin sekali, dia tak berani
menangkis, cepat2 ia menggeser ke samping.
Memang terjangan angin yang telah dapat dia hindarkan. Tapi
dikala mengegos itulah mendadak badannya bergetar keras,
bergidik dan merinding tanpa kuasa langkahnya sempoyongan
mundur ke belakang.
Dipihak lain, laki2 yang menyerang dengan pukulan dingin inipun
telah mengendus bau amis yang memualkan tadi, diam2 iapun
kuatir akan keselamatan sendiri, maka ia tidak meneruskan
serangan, lekas dia kerahkan hawa murni melindungi badan, diam2
ia atur jalan darah dan tenaga murninya.
Sebelum wasit yaitu Ci-hwi menyerukan berhenti, kedua orang ini
sudah sama berdiri tak bergerak. seluruh hadirin adalah ahli silat,
tapi tiada yang melihat jelas apa sebabnya kedua orang ini
mendadak sama berhenti.
Tadi orang melihat tutukan jari yang merah darah itu
dilancarkan, maka orang banyak mengira dia telah terluka oleh
tutukan itu. Ci-hwi sang wasitpun kira demikian, dia ragu2 dan
hendak mengumumkan kemenangan laki2 yang main tutukan tadi.
Untung dia melenggong sebentar, tahu2 laki2 yang menyerang
dengan tutukan itu roboh terjengkang. Keruan Ci-hwi kaget sekali,
ia melongo tak mampu bersuara.
Maklumlah, bukan saja dia, sampaipun So-yok Hu pangCu yang
berdiri di atas undakan batu juga mendelong bingung.
Laki2 berkepandaian tutukan jari berdarah itu seperti jatuh
semaput, sekian lama tak nampak bergerak atau kelejetan. Malah
wajahnya yang semula kuning terang, cepat sekali telah berubah
ungu meng hitam.
Dalam pada itu, setelah mengatur napas, laki2 yang main
pukulan tadi melihat lawan rebah tak bergerak. wajahnya
menampilkan rasa bangga dan puas. "Cin Te-khong" terdengar
Thay-siang yang duduk di atas sana berteriak kereng. Ter-sipu2
orang itu maju beberapa langkah seraya munduk2: "Hamba disini."
Thay-siang berkata: "Losin suruh Hu-pangcu mengumumkan
bahwa dalam pertandingan ini hanya boleh saling jamah dan
dilarang melukai lawan, kenapa kau melancarkan serangan
mematikan, kini dia terluka parah""
Cin Te-khong munduk2, serunya: “Harap Thay-siang maklum,
waktu bergebrak tadi hamba selalu ingat dan patuh akan larangan
pertandingan, tak pernah melancarkan serangan jahat, dia lebih
dulu menyerang dengan Hiat-ing-ci, untuk membela diri terpaksa
hamba balas menyerangnya, Han-si-ciang (pukulan sutera dingin)
yang hamba yakinkan ini sekali dilancarkan, hamba sendiri tak
kuasa mengendalikan lagi,"
Han-si ciang, hakikatnya hadirin tiada yang pernah dangar nama
ilmu pukulan dingin ini. Diam2 Kun gi membatin: "Entah ilmu
macam apa Han-si-ciang itu? Kenapa Suhu tidak pernah bilang
tentang ilmu ini? "
Thay-siang mendengus: "Pertandingan besar kuadakan ini
dilarang membunuh sesamanya, hayo lekas keluarkan obat penawar
dan cekokan padanya? "
Ternyata Han-si-ciang ada obat penawarnya, Cin Te-khong
mengiakan dia melangkah mundur kearah laki2 yang menyerang
dengan Hiat-ing-ci, dia keluarkan sebuah kotak kecil, mengeluarkan
sebutir pil warna merah terus dijejalkan ke mulut orang.
Sesuai namanya, Han-si-ciang memang pukulan dingin luar biasa,
tak heran lawan yang terkena pukulannya seketika beku kedinginan,
sampaipun wajahnyapun berubah biru. Setelah dicekoki obat, kira2
semasakan air mukanya yang biru menghitam mulai pudar, tiba2 dia
menarik napas panjang terus membuka mata.
Dilihatnya Cin Te-khong berdiri di depannya, seketika dia
menggerung murka, ia melejit berdiri, secepat kilat jarinya menutuk
keulu hati Cin Te-khong. Untung Cin Te-khong waspada, hanya
sedikit berkelit, dengan mudah dia luputkan diri.
Lekas Ci-hwi berteriak: "Berhenti, kalah menang sudah
ditentukan, kalian dilarang gebrak lagi."
So-yok juga lantas berteriak: "Auw Kiu-ciu, mundur kau."
Laki2 itu tak berani bertingkah lagi, dari segera mengundurkan
diri.
Sampai di sini pertandingan seleksi babak kedua telah berakhir,
setelah dua kali bertandang secara beruntun, delapan orang telah
tersisa dan delapan yang menang diangkat jadi Hou-hoat.
Berdiri di atas undakan batu, So-yok berseru mengumumkan:
"Pertandingan babak kedua telah berakhir delapan orang yang
menang adalah Kong-sun Siang, memainkan Thian-long-kiam-hoat,
Ting Kiau menggunakan kipas lempit beruji besi, Thio Lam jiang
dengan Hing-san-kiam hoat, Song Tek-seng menggunakan Loanpoh-
hong-kiam-hoat, Lo-Kin-bun menggunakan pedang berkait, Toh
Kan-ling bersenjata Boan koan-pit, Yap Kay-sian pa kai sepasang
ruyung, Cin Te-khong dengan ilmu pukulan Han-si-ciang, sejak kini
mereka diangkat menjadi Hou-hoat dalam Pang kita."
Tepuk tangan nun menyambut pengumuman ini..
Pek-hoa-pangcu Bok-tan dan Ling Kun-gi juga ikut bertepuk
tangan menyampaikan selamat.
Terdengar So-yok berseru pula: "Sekarang silakan kedelapan Hou
hoat yang baru berdiri ke depan terimalah anugerah medali emas
dari Thay siang."
Di bawah pimpinan Kongsun Siang, kedelapan Hou-hoat itu
segera tampil ke muka dan berdiri sejajar menghadap ke atas.
Giok-lan, si congkoan segera memberi tanda dan seorang gadis
beranjak keluar membawa nampan langsung mendekati Giok-lan-
Nampan itu di-lapisi kain sutera, diatas nampan ini tertaruh delapan
medali emas tanda pangkat para Hou-hoat. Menerima nampan itu
Giok-lan lalu melangkah ke tengah. Sementara Thay-siangpun
berdiri dan beranjak turun-Secara beruntun So-yok panggil
kedelapan Hou-hoat menerima medali dari Thay-siang. Hadirin
keplok tangan serta berteriak2 hiruk-pikuk.
Sorot mata Thay siang menyapu kedelapan Hou-hoat, katanya:
"Losin telah langsung melihat pertandingan kalian, masing2 telah
unjuk kemahiran dan kalian bukan menang secara kebetulan, tapi
berkat perjuangan yang gagah, jadi merupakan pilihan tulen di
antara ke 32 peserta. Jabatan Hou-hoat dalam Pang kita merupakan
kedudukan yang tinggi dan mulia, selanjutnya diharap kalian bekerja
dan berjuang demi kepentingan Pang kita, serta dan berbakti tanpa
luntur, Ciptakanlah pahala yang lebih besar dan rebutlah anugrah
yang lebih t inggi."
Sampai di sini dia berpidato hadirin menyambut dengan tepuk
tangan lebih riuh rendah, sampai sekian lamanya keplok ramai ini
tidak berhenti. Terdengar kedelapan Hou-hoat berseru lantang:
"Berkat anugrah Tay-siang yang berbudi luhur, kami bersumpah
setia membela kepentingan Pang kita sampai titik darah terakhir."
Thay-siang manggut2 pertanda telah menerima sumpah setia
para pengikutnya ini, lalu berkata: "Bagus sekali, kalian boleh
memberi hormat kepada Pangcu."
Delapan Hou-hoat yang baru serentak menjura kearah Pek-hoapangcu,
serunya: "Hamba menyampaikan hormat kepada Pangcu."
Pek-hoa-pangcu yang sudah berdiri balas menghormat, katanya
dengan suara merdu. "Kuberi selamat kepada kalian yang telah naik
pangkat jadi Hou-hoat Pang kita, kami ikut gembira dan merasa
beruntung bagi Pang kita."
Ditengah sorak-sorai yang riuh rendah itu, Thay-siang beranjak
balik ketempat duduknya. Lalu Pek-hoa-pangcu juga kembali ke
tempat duduknya.
Pelan2 Thay-siang menggeser duduk miring kearah Ling Kun-gi,
sorot matanya se-olah2 menembus cadar hitam, suaranya kalem:
"Ling-siangkong"
Lekas Kun-gi membungkuk, tanyanya: "Thay-siang ada petunjuk
apa? "
"Kemarin Losin telah bicara dengan kau, akan kuangkat sebagai
Hou-hoat Pang kita, entah Ling-siangkong sudah memikirkan hal ini
belum? "
Diam2 senang hati kedelapan Hou-hoat yang baru saja
menduduki jabatannya, semua berpikir: "Tamu agung yang duduk di
bawah Pangcu betapa sih lihaynya, ternyata juga setaraf Hou-hoat
saja di dalam Pang kita."
Baru saja Thay-siang selesai bicara, Kun-gi lantas dengan suara
lirih seperti berbisik dipinggir telinganya: "Ling-kongcu lekas terima
tawarannya"-
Itulah suara Pek-hoa-pangcu, Kun-gi dapat membedakan
suaranya.
Kun-gi memang sudah berdiri, sikapnya amat tunduk dan patuh,
dia menjura kearah Thay-siang serta berkata: "Berkat junjungan
Thay-siang yang maha pengasih, cayhe tak berani menolak tugas
mulia ini? " Itulah pertanda bahwa Bi-sin-hiang-wan telah bekerja di
dalam tubuhnya.
Terunjuk senyuman yang terkulum diujung bibir Thay-siang,
katanya manggut2: "Bagus sekali, Losin tahu kalau Ling-siangkong
hanya diangkat sebagai Hou-hoat dalam Pang kita, tentunya rada
merendahkan derajatmu ..... " sengaja dia menarik panjang
suaranya serta berhenti.
Kun-gi baru saja akan duduk. mendengar kata2 Thay-siang ini,
seketika terunjuk rasa gugup dan gelisah, tersipu2 dia menjura,
katanya: "Hamba sebagai tunas muda kaum persilatan, bahwa
Thay-siang sudi memupuk hamba, sungguh membuat hamba tidak
tenteram lahir batin, kesetiaanku selama hidup rasanya takkan
setimpal membalas kebaikan Thay-siang ini."
Kalau kemarin jelas dia takkan sudi mengeluarkan kata2nya ini,
tapi sekarang dia sudah makan Bi-sin-hiang-wan, maka selama
hidupnya dia hanya akan setia dan tunduk lahir batin terhadap Pekhoa-
pang, terutama terhadap Thay-siang.
Thay-siang manggut2, katanya lebih lanjut: "Jabatan Hou-hoat
sebetulnya juga tidak terhitung rendah di dalam Pang kita, terutama
cong-hou-hoat dan coh-yu-huhoat, semuanya merupakan pilihan
dari para Hou-hoat, maka setiap Hou-hoat mempunyai hak dan
kesempatan untuk menjadi cong-hou-hoat, apalagi selamanya Losin
mengutamakan kepandaian sejati, bukan saja kepandaian silatnya,
juga kecerdikan dan tindak-tanduknya harus tegas, maka jabatan ini
harus diperebutkan secara adil. Sampai di mana tingkatan yang
dapat kalian jabat? Itu tergantung sampai di mana pula tarap
kepandaian kalian yang sejati."
Secara tidak langsung kata2nya ini memberi kisikan bagi Ling
Kun-gi bahwa sekarang aku hanya bisa mengangkatmu sebagai
Hou-hoat, kalau kau mampu dan punya kepandaian boleh kau
berusaha memperebutkan kedudukan cong-hou-hoat. Secara tidak
langsung pula dia memberi pernyataan kepada kedelapan Hou-hoat
yang lain bahwa merekapun boleh mencalonkan diri merebut
jabatan itu secara adil.
Habis Thay-siang bicara, Giok-lan segera mendekati sambil
membawa nampan. Thay-siang menjemput sebuah medali emas
dan berkata: "Ling-siang-kong, kemarilah terima medali emas
sebagai tanda kebesaran Hou-hoat dari Pang kita."
Lekas Kun-gi berdiri dan maju menghampiri, sambil menjura dia
terima medali emas itu dengan kedua tangan. Lalu putar kembali,
tapi dia cukup tahu diri dan tidak berani duduk dikursinya semula,
karena kedelapan Houhoat yang lain juga hanya berdiri sejajar di
bawah undakan.
Thay-siang sedikit angkat tangan, katanya: "Hari ini kau hadir
dalam pertandingan seleksi ini sebagai tamu kehormatan, meski kau
sudah terima jabatan Pang kita sebagai Hou-hoat, tapi sekarang kau
masih terhitung seorang tamu, boleh silakan duduk saja."
Kun-gi tak berani banyak bicara, lekas dia turut perintah dan
duduk di kursinya. Pek-hoa-pangcu Bok-tan dan Hu pangcu So-yok
dan cong-koau Giok-lan segera memberi ucapan selamat kepada
Ling Kun-gi. Tentu saja ke-8 Hou-hoat yang baru merasa sirik dan
terbakar perasaannya .
So-yok segera berseru lantang kearah kedua laki2 tua ber jubah
biru: "Leng-co houhoat dan coa-yu houhoat, pertandingan hari ini
langsung dipimpin oleh Thay-siang, tujuan yang utama adalah
memilih seorang cong-houhoat, oleh karena itu jabatan cong yuhouhoat
harus sekaligus dipilih ulang kembali, maka sebelum seleksi
dimulai, kalian harus menyerahkan kembali mendali emas tanda
kebesaran itu."
Co houhoat Leng Tia-cong dan Yu-houhoat coa Liang segera
mengeluarkan medali emas dan diserahkan kembali.
Setelah terima medali emas itu So-yok berseru lebih lanjut: "Tadi
sudah kuumumkan, para Hou-hoat boleh mencalonkan diri untuk
merebut cong-hou-hoat dan co-yu-hou-hoat, maka kalian yang ingin
ikut bertanding boleh mendaftarkan diri."
So-yok membetulkan sanggulnya, lalu berseru pula: "Setiap
orang yang didaftatkan atau mendaftar sendiri dianggap Calon
untuk jabalan cong-hou-hoat, maka Calon ini harus menghadapi
beberapa kali tantangan para Hou-hoat, setelah menang beberapa
babak dan nyata kepandaiannya memang nomor satu, maka dia
diangkat menjadi cong-hou-hoat, nomor dua dan ketiga diangkat
sebagai Yu-co-hou-hoat.
"Bila calon dikalahkan oleh penantangnya, maka dia dianggap
gugur dan penantang yang menang, boleh menerima tantangan
para peserta yang lain sampai tiada yang melawannya lagi, cuma
bagi yang gugur tadi masih ada hak memperebutkan kedudukan coyu-
houhoat, Caranya seperti yang telah dilaksanakan dalam memilih
para Houhoat tadi."
Diam2 Kun gi membatin: "cara yang diumumkan ini terasa cukup
berat bagi calon cong-hou-hoat, karena dia harus menghadani 10
kali tantangan malah setiap kali harus menang baru boleh
menduduki jabatan tinggi ini."
Habis memberi pengumuman, sorot mata So-yok tertuju ke
bawah undakan, serunya pula: "Baiklah, aturan pertandingan sudah
kuumumkan, kalau hadirin tiada pendapat, sekarang kumulai terima
pendaftaran, siapa yang ingin ikut serta boleh mendaftar padaku"
Lenyap suaranya, tampak co-houhoat Leng Tio-cong angkat
tangan sambil berseru: "Hamba Leng Tio cong mendaftarkan diri.”
“Baik," seru So-yok mengangguk.
Yuhouhoat coa Liang juga ikut acung tangan dan berseru:
"Hamba coa Liang juga mendaftarkan diri."
So-yok tersenyum sambil mengangguk. "Masih adakah orang lain
yang mendaftarkan diri? " beberapa kali dia bertanya, tapi
kedelapan Houhoat yang berjajar di depan itu t iada yang bersuara.
Mereka cukup cerdik, maklumlah, setiap Hou-hoat walau tak
mendaftarkan diri menjadi calon cong-houhoat, tapi mereka punya
hak untuk menantang calon itu, kalau menang, bukankah berarti
mereka sendiri yang akan menjadi calonnya? Apa-lagi dalam situasi
sekarang mereka anggap lebih baik menonton saja sambil
menunggu perkembangan selanjutnya baru nanti menentukan
pilihan-Sekian lama So-yok menunggu, tetap tiada orang lain yang
daftar lagi, apa boleh buat, akhirnya matanya mengerling tertuju
kearah Ling Kun-gi, katanya dengan nada aleman: "Bagaimana Lingkongcu?
"
Lekas Kun-gi menjura, katanya: "Hamba hanya memiliki
kepandaian beberapa jurus cakar kucing saja, mana berani
menampilkan diri? "
Pek-hoa-pangcu tersenyum, serunya: "Ling-kongcu terlalu
merendah diri, pertandingan diadakan secara adil dan terbuka,
siapapun boleh ikut, bahwa Ling-kongcu tidak mau mendaftarkan
diri, baiklah biar aku yang mencalonkan dia.”
“Hamba tidak berani" lekas Kun-gi berdiri seraya membungkuk
badan.
Mendengar Pangcu mereka mencalonkan Ling Kun-gi, para nona
yang hadir seketika menyambut dengan keplok tangan ramai,
sebaliknya cohouhoat yang bergetar Kin-cay-poan-koan Leng Tiocong
dan Yuhouhoat yang bergetar Sam-gam-sin coa Liang mendelu
hatinya, tanpa terasa mereka saling pandang sekilas, keduanya
sama mengulum senyumdongkol.
So-yok menyapu pandang hadirin, suaranya lantang: "Ada lagi
yang mendaftarkan diri? "
Setelah ditunggu sekian lama tiada reaksi dari hadirin, akhirnya
dia mengumumkan: "Baiklah, pendaftaran ditutup, peserta hanya
tiga orang, yaitu Leng Tio-cong, coa-Liang dan Ling Kun-gi"
Sampai di sini dan berhenti sebentar, mendongak melihat cuaCa,
lalu menyambung:
"sekarang sudah lewat lohor, pertandingan sementara ditunda,
meja perjamuan sudah disiapkan dipendopo, seluruh hadirin boleh
tangsel perut dulu."
Thay-siang berdiri lebih dulu dan beranjak ke dalam diiringi Pekhoa-
pangcu dan Hu-pangcu. empat pelayan berpakaian serba
kuning mengikuti langkah mereka. congkoan Giok-lan menghampiri,
katanya: "Silakan Ling-kongcu."
"Silakan congkoan," ucap Kun-gi, "sekarang cayhe adalah peserta
pertandingan, Layaknya beriring dengan Leng dan coa berdua."
Giok-lan mengangguk. tanpa bicara segera dia mendahului
masuk kedalam.
Tajam dingin sorot mata Leng Tio-cong, dengan sinis katanya:
"Silakan Ling-kongcu." Lalu dia mendahului melangkah ke dalam.
Sudah tentu coa Liang juga tidak mau mengalah, dia mengintil di
belakang Leng Tio-cong, Sudah tentu Kun-gi merasakan sikap
permusuhan kedua orang, tapi dia tidak peduli, dengan tertawa
lebar dia melangkah di belakang mereka.
Meja di tengah pendopo berduduk Thay-siang, Pek-hoa-pangcu
dan Hu-pangcu. Meja di sebelah kiri atas diduduki para calon
peserta, lebih bawah lagi diduduki para Houhoat dan ke-24 Houhoat-
sucia. Meja teratas di sebelah kanan diduduki para gadis2 ayu
anggota Pek-hoa-pang.
Arak tersedia dalam perjamuan ini, tapi jarang yang berani
minum banyak. maklumlah Thay-siang berada di antara mereka,
apalagi sebentar bakal ada pertandingan besar bermutu dari
tingkatan yang lebih tinggi, kalau diri sendiri minum sampai mabuk,
kapan mereka akan mendapat kesempatan menyaksikan
pertandingan ini. Maka hadirin hanya makan ala kadarnya secara
tergesa2.
Habis makan Pek-hoa-pangcu dan Hu-pangcu mengiringi Thay
siang ke kamar sebelah untuk ist irahat. Sementara hadirin yang lain
boleh ist irahat dan bergerak bebas sesukanya.
Karena tidak akrab dengan hadirin yang lain, sendirian Kun-gi
keluar berjalan2 di pelataran luar. Tiba2 didengarnya seorang
menegur di belakangnya: "Ling-kongcu."
Tanpa menoleh Kun-gi kenal suara orang, itulah congkoan Gioklan
yang memanggilnya, dengan tertawa dia menyahut: "congkoan
tentu amat letih."
Congkoan Giok-lan tertawa, ujarnya: "Memang banyak kerja
untuk menyiapkan pertandingan besar ini, tapi tenaga pembantu
cukup banyak, cukup kubuka suara saja." Tiba2 dia melirihkan
suara, katanya: "sebentar pertandingan bakal dimulai, sikap Leng
Tio-cong dan coa Liang amat bermusuhan terhadapmu, kau harus
hati2."
Kun-gi mengangguk, katanya: "Terima kasih akan perhatian
congkoan, akupun sudah maklum."
"Delapan Hou-hoat yang baru diangkat sudah kau selami
kepandaian mereka, tapi terhadap Leng dan coa ini kau belum
pernah menyaksikan permainan mereka. jiwa mereka Culas dan
keji, kalau dia sudah dengki padamu, maka kau harus selalu
waspada ..... ." sampai di sini tiba2 dia gunakan ilmu gelombang
suara: "Leng Tio-cong bergelar Kiu-cay-poan-koan, disamping mahir
menggunakan sepasang potlot baja, kepandaian tutukannya amat
lihay, terutama jurus Kwi-cian-siok-hou (panah setan menyumbat
tenggorokan) sembilan jari menutuk bersama, kabarnya belum ada
tokoh Kangouw yang pernah lolos dari jurus ganas ini. Sementara
coa Liang berasal dari Tiang-pek-san di luar perbatasan,
kemahirannya Bu-ing-sin-kun (pukulan tanpa bayangan), setiap
gerak pukulannya tiada suara sehingga susah dijaga ......." sampai
di sini dia berhenti.
Kiranya Giok-je dan Giok-li tampak mendatangi. Sebagai kawan
seperjalanan sudah tentu Giok-je amat kenal Kun-gi, dengan
tertawa dia lamas menyapa: "Ling-kongcu, kuaturkan selamat
padamu, obat penawar getah beracun berhasil kau buat, kini
sebagai calon cong-houhoat lagi, seluruh persaudaraan kita dalam
Pang sama mendoakan supaya kau berhasil menduduki jabatan
tinggi itu."
Kun-gi tertawa hambar, katanya: "Terima kasih akan pujian
nona, dengan kepandaianku yang tak becus ini, bagaimana biaa
terpilih nanti? "
Giok-je meliriknya, katanya: "Baru sekarang aku mengerti, orang
berkedok yang memukul Dian Tiong-pit dan Hou Thi-jiu di atas
perahu itu ternyata adalah Ling-kongcu, sungguh kagum dan terima
kasih kami terhadapmu."
Kun-gi hanya tersenyum saja tanpa menanggapi, Giok-li berdiri di
samping tanpa bersuara, tapi sepasang matanya menatap wajah
pemuda ini dengan lekat tanpa berkedip.
"Pat moay, cap sah-moay," kata Giok-lan, "temanilah Lingkongcu
ngobrol sebentar, aku masih ada urusan." Lalu dia putar
badan dan berlalu.
Melihat Giok-je dan Giok-li datang omong2 dengan Kun-gi, Bwehoa,
Tho-hoa, Hay-siang dan nona2 lain segera berdatangan,
sebentar saja Kun-gi sudah dirubung nona2 cantik yang bersendaugurau
serta menggodanya.
"Ting, ting, ting," suara kelinting berkumandang dipendopo.
"Nah pertandingan dimulai lagi terdengar seorang berseru.
Bagai penganten yang disambut para pemujanya Kun-gi segera
masuk kesana diiringi nona2.
Sudah tentu bertambah iri dan dengki perasaan Leng Tio-cong
dan coa Liang terhadap Ling Kun-gi, diam2 mereka mengumpat
dalam hati. Para Hou-hoat dan Sucia juga mendelik gemas pula.
Kun-gi tidak kembali ke tempat duduknya, dia langsung berdiri
sejajar di samping coa Liang dan Leng Tio-cong di bawah undakan.
Sementara empat pelayan baju hitam sudah keluar dari pendopo
mengiringi Thay-siang dan Pek-hoa-pangcu, IHu-pangcu. Seluruh
hadirin diam mematung dan sama memberi hormat.
So yok langsung tampil ke depan, serunya lantang: "Sekarang
pertandingan ketiga di mulai, babak pertandingan ketiga ini
memperebutkan jabatan cong-houhoat dan co-yu-houhoat. Atas
perintah Thay-siang, kami sendiri yang akan menjadi wasit
pertandingan ini, waktu pertandingan berlangsung, baik adu jotos
atau main senjata, tetap hanya saling jamah dan sentuh saja,
dilarang keras melukai atau bermaksud membunuh lawan." Hadirin
menyambut pengumuman ini dengan tepuk tangan.
Suara So-yok lebih keras lagi: "Baiklah, sekarang persilakan
ketiga calon peserta satu persatu menerima tantangan"
Kiu-cay-poan-koan Leng Tio-cong segera mendengus: "Lingkongcu
tunas muda yang serba pandai, didikan Put-thong TaysU
yang termashur lagi, bahwa dia rela mengabdi kepada Pang kita,
inilah kesempatan yang sUkar didapat, hamba yang tidak becus ini
ingin mohon petunjuk beberapa jurus pada Ling kongcu."
Kun-gi bersoja, katanya: "cayhe masih muda dan Cetek
pengalaman, masakah berani menandingi co-hou-hoat? "
"Ling-kongcu jangan sungkan," dingin suara Leng Tio-cong,
"jabatanku semula sudah dicopot, sekarang hanya sebagai calon
biasa, apalagi kita kan sama2 calon untuk memperebutkan jabatan
cong-hou-hoat, setelah mencalonkan diri, adalah jamak kalau di
antara kita harus mentukan siapa unggul dan asor."
"Apa boleh buat, terpaksa cayhe turuti saja kemauan Lengheng,"
ujar Kun-gi, sikapnya tetap ramah dan wajar.
Keduanya lantas beranjak ke tengah gelanggang, So-yok sebagai
wasit segera turun dan berdiri disamping. Tanyanya: "Kalian pakai
senjata atau adu kepalan? "
"Selamanya hamba tak pernah pakai senjata," ucap Leng Tiocong,
"kalau Ling-kongcu suka pakai senjata juga boleh."
Kun-gi tertawa tawar, katanya: "Kalau Leng-heng tidak pakai
senjata, sudah tentu cayhe ingin adu jotos saja."
Agak berkerut alis So-yok, katanya menegas: "Thay-siang
berpesan wanti2, pertandingan ini mengutamakan kepandaian
sejati, kedua pihak hanya dibatasi saling sentuh saja, siapapun
dilarang melancarkan serangan mematikan, untuk ini jangan kalian
lupa diri."
Sebagai kawakan Kangouw sudah tentu Leng Tio-cong
merasakan peringatan ini menyudutkan dirinya, supaya tidak
melancarhan Siok-hou-bang kebanggaannya, kalau dalam hati
bertambah rasa dengkinya, tapi lahirnya dia bersikap patuh dan
mengiakan.
"Baiklah, sekarang kalian boleh mulai," kata So-yok. lalu dia
mundur beberapa langkah.
Kiu-cay-boan-koan tetap mengenakan jubah biru, itu berarti dia
menjaga gengsi dan meremehkan Ling Kun-gi. Tapi Kun-gi sendiri
juga mengenakan jubah panjang, dia tidak mencopotnya, jubahnya
yang longgar melambai tertiup angin, sikapnya gagah.
Sementara hadirin merubung maju berkeliling setengah
lingkaran, banyak orang belum pernah tahu betapa tinggi pemuda
sekolahan yang lemah-lembut ini, hanya Giok-je yang yang pernah
menyaksikan kepandaian Ling Kun-gi, maka dia tidak ikut merasa
kuatir seperti teman2nya.
Perawakan Leng Tio-cong kurus kecil, tapi sorot matanya
mencorong dingin dan kejam menatap Ling Kun-gi, kaki kiri maju
setengah langkah, telapak tangan mengatup di depan dada. Jelas
dia sedang mengerahkan tenaga pada kedua tangannya, seumpama
panah yang sudah terpasang dibusur dan siap dibidikkan.
Setelah menunggu sekian saat dan melihat Kun-gi tetap diam
saja, Leng Tio-cong hilang sabar, tanyanya: "Ling-kongcu sudah
siap? "
"Silakan mulai Leng-heng," sahut Kun-gi tertawa. Ternyata tanpa
memakai gaya segala, dia tetap berdiri tanpa bergerak.
Agakya Leng Tio-cong naik pitam melihat sikap Kun-gi yang tidak
pandang sebelah mata padanya, dia tertawa katanya: "Baiklah, aku
berlaku kasar lebih dulu." Suaranya bagai pekik lutung ditengah
hutan melengking menusuk kuping.
Lenyap suaranya tiba2 ia menubruk ke arah Kun-gi, gerakannya
lincah secepat kilat,
Sekali berkelebat tahu2 sudah berada di samping kiri Kun-gi,
tangan kiri melintang kesamping dan telapak tangan tegak seperti
golok membelah ke rusuk bawah. Selanjutnya dia memutar tubuh,
tahu2 sudah berkisar ke belakang Ling Kun-gi, lima jari tangan
kanan terpentang mencengkram tulang punggung. Gerakan
serempak ini boleh dikatakan dilaksanakan secepat angin, malah
satu sama lain sukar di-diraba mana yang serangan betul dan mana
yang gertakan belaka.
Dia meyakinkan Eng-jiau-kang, sejenis kungfu yang keji, setiap
serangan selalu menyembunyikan gerakan licik, tampaknya dia
menyerang dari depan, tahu2 sudah berkisar ke belakang dan
mengincar tempat lawan yang lemah, kalau cengkeraman jari2
tangannya mengenai sasaran dengan telak. punggung Kun-gi pasti
berlubang. Sudah tentu So-yok melihat betapa keji, serangannya ini
diam2 dia mengerut kening.
Betapapun cepat dan tangkas serangan Leng Tio-cong, tapi Kungi
juga tidak lambat, pada kelima jari lawan hampir mengenai
sasaran, tiba2 Kun-gi berputar, tubuhnya kini berhadapan dengan
Leng Tio-cong, berbareng tangan kiri, terangkat dan sedikit
menyanggah, dengan tepat dia tahan ruas tulang pergelangan
tangan lawan, ia pegang tangan orang terus dibetot keluar,
berbareng tangan kanan menutuk ke dada lawan-Tak pernah
terpikir oleh Leng Tio-cong lawan bisa bergerak secepat ini,
terutama tangan kanannya dipegang lawan sehingga dadanya
terbuka, karuan kagetnya tidak kepalang, dalam seribu
kesibukannya lekas dia tarik telapak tangan kiri melindungi dada,
sementara kaki menjejak tanah dan melompat ke belakang.
Waktu dia berdiri tegak dan angkat kepala, dilihat Kun-gi tetap
berdiri di tempatnya sambil tersenyum Simpul. pakaiannya
melambai terttiup angin, Sikapnya acuh tak acuh seperti tak pernah
terjadi apa2.
Betapa gusar Leng Tio-cong, Sekali mundur segera ia rnendesak
maju pula, tangan menepuk kemuka, tepukan tangan yang
kelihatan enteng ini seketika membawa deru angin kencang,
sungguh dahsyat perbawanya.
Wajah Kun-gi tetap mengulum senyum, namun diam2 iapun
kaget, batinnya: "Lwekang orang ini ternyata hebat sekali." Segera
dia himpun tenaga dan melejit ke samping.
Perawakan Leng Tio-cong kurus kecil, gerak-geriknya tangkas
cepat, begitu tangan menepuk orangnyapun menubruk maju dan
mencengkeram miring ke samping. Kecepatan permainannya
ternyata sudah diperhitungkan, dia yakin Kun-gi takkan berani
menyambut pukulannya ini dan pasti akan berkelit ke samping, oleh
karena itu walau tepukan tangannya tadi membawa damparan
angin kencang, tapi yang dia utamakan adalah cengkermannya ini.
Baru saja Kun-gi berkelit, belum lagi kakinya berdiri tegak, lima
jalur angin kencang tahu2 sudah menerjang pundak. cengkeraman
ini t idak kelihatan di mana letak keiatimewaannya, tapi pada saat
kelima jarinya bergerak ini diam2 telah menyembunyikan tiga kali
gerak perubahan susulan, cara bagaimana Kun-gi akan menangkis
atau berkelit tetap takkan luput dari ketiga gerak serangan susulan
itu. Inilah salah satu jurus Kim-na-jiu-hoat yang lihay sekali dari
aliran Eng-jiu-bun.
Penonton memang tiada yang melihat jelas adanya perubahan
susulan dalam cengkeraman ini, cuma terdapat orang dari menepuk
berubah mencengkeram dan tahu2 pundak Kun-gi hampir saja
dipegangnya, keruan semua orang berkuatir bagi Ling Kun-gi.
Kejadian berlangsung cepat bagai percikan api, kelima jari Kiucay-
boan-koan bagai kaitan besi tajam, pada detik2 hampir
menyentuh pundak lawan, dalam hati dia bersorak girang,
wajahnyapun mengulum senyum sinis.
Tak terduga ketika ujung jarinya menyentuh baju dipundak Ling
Kun-gi, tiba2 Kun-gi mendak sambil berkisar dan tahu2 lenyap dari
pandangan. Bukan saja Leng Tio-cong, penontonpun tiada yang
melihat jelas cara bagaimana Kun-gi berhasil menghindarkan diri.
Bukan saja meluputkan diri dari cengkeraman ganas, dia malah
sudah berkisar ke belakang lawanBegitulah
pertandingan itu terus berlangsung dan sudah dapat
diduga lebih dulu, akhirnya Ling Kun-gi keluar sebagai juara dan
diangkat sebagai cong-hou-hoat, Sebagai co-yu-hou-hoat masing2
adalah Leng Tio-cong dan coa Liang.
Semua anggota Pek-hoa-pang bersorak gembira dan suara
ucapan selamat datang diri segenap penjuru. Para Hou-hoat yang
sudah terpilih juga tunduk kepada pengangkatan itu mengingat Ling
Kun-gi memang telah memperlihatkan kepandaiannya yang sejati.
Dalam ucapara pengangkatan jabatan baru itu, Thay-siang
menyerahkan pula sebilah pedang pusaka "Ih-thian-kiam" kepada
Kun-gi dan diputuskan pula malam nanti akan diadakan pesta besar.
Petangnya setelah istirahat, datanglah pelayan memberitahukan
kepada Kun-gi bahwa perjamuan sudah siap dan Pangcu serta Hupangcu
telah menunggu. . .
Kun-gi bergegas menuju kependopo disertai para co-yu-hou-boat
dan Hoa-hoat-su-cia.
Ling Kun-gi mengenakan jubah hijau dengan lh-thian-kiam
tergantung dipinggang, mendahului rombongannya masuk
kependopo, para dara kembang yang sudah hadir lama bertepuk
tangan menyambut kedatangannya.
Pada meja ujung kanan sana berduduk Pek-hoa pangcu dan Hupangcu,
merekapun berdiri menyambut kedatangannya. Dalam
perjamuan besar malam ini, Pangcu dan Hu-pangcu adalah tuan
rumah. begitu berdiri Pek-hoa-pangcu segera buka suara: "Dengan
bersyukur dan senang yang tak terhingga, kita seluruh
persaudaraan Pek-hoa-pang menyambut kehadiran cong-hou-hoat.
coh-yu-hou-hoat dan para Hou-hoat serta yang lain2, hidangan arak
kami suguhkan untuk merayakan hari bahagia yang takkan
terlupakan untuk selamanya ini, silakan-"
Kun-gi rnerangkap tangan, katanya: "Pangcu dan Hu-pangcu
mengadakan perjamuan ini, hamba beramai sungguh sangat
berterima kasih"
Di tengah pendopo berjajar tiga meja besar yang ditata segi tiga.
Tamu hari ini adalah cong-hou-hoat, coh-yu-hou-hoat dan
kedelapan Hou-hoat, maka meja di tengah diduduki Ling Kun-gi.
Leng Tiong-ciong dan coa Liang bertiga. Meja pertama di sebelah
kiri diperuntukan kedelapan Hou-hoat. Sebagai tuan rumah Pangcu
dan Hu-pangcu duduk di meja paling atas sebelah kanan-Lalu berturut2
di sebelah kiri adalah ke 24 Hou-hoat-su-cia, Giok-lan
congkoan dan 12 Taycia duduk di sebelah kanan dikerubung para
dara2 kembang.
Perjamuan ini untuk merayakan pengangkatan cong-hou-hoat-sucia
yang baru, walau Pangcu mereka juga hadir, tapi Pangcu lain
dengan Thay-siang yang menimbulkan rasa segan dan hormat, oleh
karena itu perasaan para hadirin tidak tertekan dan dibatasi, semua
riang gembira. Apalagi pada Saat Pangcu dan Hu-pangcu bergantian
menyuguh arak, lalu disusul congkoan dan 12 Taycia, sudah tentu
dara2 kembang yang lain juga tidak mau ketinggalan, semuanya
mencari kesempatan untuk menonjolkan diri. yang susah adalah
Ling Kun-gi, entah berapa banyak Cangkir arak telah masuk
perutnya yang menjadi kembung. Demikian pula para Houhoat yang
lain semuapun setengah kelengar karena terlalu banyak menenggak
arak. Sebaliknya Pangcu, Hu-pangcu, congkoan dan ke12 Taycia
sendiri yang biasanya jarang minum sebanyak ini kini juga sama
lunglai dan mabuk.
-oo0dw0oo-
Menjelang tengah malam. Kun-gi yang sudah mabuk dibimbing
dua pelayan yang disuruh Giok-lan kembali ke tempat
penginapannya semula. Sinar bulan purnama sedemikian bening
dan lembut, menyorot masuk menyinari jendela kamar.
Daun jendela di sebelah kanan kamar tidur Ling Kun-gi masih
terpentang lebar, sinar lampu sudah dipadamkan sehingga suasana
gelap gulita tak terdapat apa2. Bau arak yang tebal terurar keluar
terbawa angin lalu.
Kun-gi tengah duduk bersimpuh di atas ranjang, dengan
Lwekang yahg tinggi dia desak arak keluar dari badannya sehingga
basah kuyup berbau arak. Sekarang dia sudah sadar. Untung juga
maka dia baru saja sadar dan duduk semadi. dalam keadaan hening
dan tajam indranya, tiba2 didengarnya suara lirih dari pucuk pohon
di luar pekarangan sana. Itulah suara pakaian yang tergores ranting
pohon, sudah tentu suaranya amat lirih. jelas bahwa Ginkang
pendatang ini teramat tinggi. Tergerak hati Kun-gi dia angkat kepala
menoleh keluar.
Tampak di antara celah2 dedaunan yang di atas pohon sana
seperti berkelebat selarik sinar perak. lalu disusul suara jepretan
keras, serumpun bint ik2 perak kemilau secepat kilat menyamber
masuk dari jendela. Untung Kun-gi sudah waspada begitu
mendengar suara mencurigakan itu segera dia sudah siaga, kalau
dia tidak mendengar suara keresekan tadi, mungkin dia terlambat
dan jiwanya akan melayang oleh serangan gelap yang keji ini.
Tatkala bintik2 perak itu menyamber datang, dia sudah kerahkan
tenaga pada kedua lengan bajunya, ia tetap bersimpuh, tapi
badannya mengelak mundur ke dalam ranjang. Begitu hujan senjata
tiba ia terus kebut kedua lengan bajunya, ilmu sakti ajaran Hoan-jiuji-
lay yang dinamakan "Kian-kun-siu" (lengan baju sapu jagat)
segera dikembaskan, bintik2 perak yang tak terhitung banyaknya itu
kini digulung seluruhnya. Bak batu jatuh ke dalam hutan tidak
menimbulkan riak gelombang apapun.
Pembokong di atas pohon seketika sadar adanya gejala ganjil,
sesosok bayangan hitam segera melayang dari pucuk pohon
melompati tembok pagar terus ngacir keluar pekarangan-
Kun-gi mendengus: "Kau mau lari? " Berbareng dia sendal lengan
bajunya, jarum2 yang tak terhitung banyaknya itu dia buang
kepinggir dinding sana, segesit tupai ia melejit keluar jendela terus
mengudak ke arah bayangan hitam yang melarikan diri tadi, hanya
sekejap bayangannyapun lenyap di kejauhan-sana
oooodwoooo
Cahaya bulan yang remang2 kebetulan tertutup oleh awan lalu,
sehingga keadaan dalam kamar semakin gelap lagi. pada waktu itu
dari tembok sebelah t imur sana tiba2 muncul sesosok bayangan
tinggi, tanpa mengeluarkan suara bayangan ini meluncur ke arah
jendela kamar Ling Kun-gi, sekali lompat dengan gesit dia
menyelinap masuk kamar.
Segala kejadian di dunia ini se-akan2 sudah ditakdirkan, baru
saja bayangan hitam tadi menyelinap masuk kamar, dari arah
serambi sana tampak pula bayangan semampai yang gemulai
tengah mendatangi dengan langkah ringan-Inilah seorang nona
berperawakan ramping, montok berisi. Sinar bulan tertutup awan
tebal, dan sekelilingnya gelap gulita, umpama tidak melihat
wajahnya, tapi kebentur badan orang yang putih halus dan lembut
serta lekuk badannya, yang jelas laki2 siapa yang takkan terpikat,
memang dia inilah nona cantik yang genit dan sedang kasmaran.
Langkah yang enteng cepat, tidak mengeluarkan suara. Di
tengah malam gelap. sepasang matanya berkelap-kelip seperti
bintang dilangit, tiba2 biji matanya mengerling ke sana, kiranya dia
melihat jendela kamar yang terpentang lebar itu, tanpa terasa
mulutnya bersuara kuatir dan penuh perihatin, cepat2 dia
menghampiri jendela.
Orang di dalam kamar itu ternyata punya pendengaran yang
amat tajam pula, mendengar suara tadi, seketika jantungnya seperti
hampir copot, dalam suasana yang kejepit ini terang tak mungkin
dia menyingkir lagi, maka cepat2 dia melompat ke ranjang, ia
menyingkap kelambu terus menerobos masuk dan merebahkan diri.
Sementara itu bayangan semampai sudah tiba di depan jendela,
terdengar omelnya: "Sin-ih itu memang budak pantas mampus,
kenapa jendela tidak ditutup,"
Lirih suara orang di luar jendela. tapi orang yang sembunyi di
atas ranjang seketika tahu dan dapat membedakan siapa gerangan
nona yang berada di luar itu, seketika darahnya tersirap.
Bayangan ramping itu membetulkan letak sanggulnya, lalu
dengan suara lirih aleman ia berseru ke dalam: "Ling-toako, kau
sudah sadar belum? " Sudah tentu orang di dalam kamar tidak
berani bersuara.
Cekikikan bayangan semampai di luar itu, sekali menggeliat
pinggang, seperti sengaja menghamburnya bau harum di badannya,
sigap sekali dia melompat masuk ke dekat ranjang. Bau arak masih
memenuhi kamar, sudah tentu iapun merasakan ini, maka alisnya
berkerut, tapi suaranya lebih lembut dan prihatin: "coba lihat,
mabuk sampai begini" Sembari omong tangannya lantas
menyingkap kelambu, jari2 yang runcing halus segera meraba dan
menepuk pundak, teriaknya tertahan: "Ling-toako, Ling-toako,
bangunlah"
Sudah tentu jantung orang di ranjang seperti hendak melompat
keluar dari rongga dadanya, dia pejamkan mata dan tak berani
bersuara atau bergerak2 Tapi rasanya janggal kalau tidak
menyahut, maka dengan samar2 dan bersuara dalam
kerongkongan..
Bayangan semampai itu mengelupas kedok mukanya yang tipis,
pelan2 ia membungkuk badan, mulutnya meniup pelan ke kuping
orang, lalu berkata aleman: "Kenapa kau? "
Betapa besar daya tarik suaranya?
Manusia tetap manusia, apalagi di dalam kamar yang gelap
gulita, satu sama lain toh tak melihat wajah masing2 segera orang
itu memegang tangan si ramping yang lembut halus dan berdesis
dengan suara gemetar: "Kau . . . . "
Si ramping biarkan saja tangannya dipegang, tidak menarik juga
tidak meronta, suaranya semakin riang dan lirih: "Aku kuatir akan
keadaanmu, maka kutengok kemari."
Orang itu menekan suaranya menjadi serak. katanya: "Terima
kasih"
"Memangnya siapa suruh kau menjadi Toako-ku . . . . " omel si
ramping dengan suara genit menawan hati.
"Kau baik sekali," suara orang itu lebih gemetar.
Si ramping cekikikan, katanya lirih: "Kau, .... kenapa kau
gemetar?"
Begitu dekat jarak mereka, bau badannya yang harum semerbak
bikin laki2 manapun akan mabuk kelengar.
Sudah tentu jantung orang yang rebah di atas ranjang itupun
berdebur keras, dia tidak bersuara, tapi kedua tangan mendadak
merangkul. Dengan menjerit kaget mendadak bayangan ramping
itu-pun menjatuhkan diri ke dalam pelukannya. Tanpa diberi
kesempatan orang bicara, bibirnya yang kasar dan hangat segera
melumat bibir si ramping yang merekah bagai delima. Ternyata si
ramping tidak meronta dan biarkan saja dirinya ditindih dan
menurut saja apa kehendak lawan jenisnya, sejenak kemudian
hanya terkadang terdengar suara rintihan tertahan.
Malam sunyi, debar jantung dua insan sama bersahutan, kecuali
dengus napas mereka yang semakin memburu, tak terdengar suara
lain-Tapi jari tangan yang kasar mulai nakal, beraksi turun naik
membuat olah kasar. caranya yang semakin berani ini semakin
mantap dan tenang, sebaliknya si ramping jadi gemetar dan
menggeliat, menggelinjang, dalamseribu kegelian.
Sayang keadaan gelap gulita sehingga ia tak bisa melihat warna
merah delima nan mempesona lesung pipit dipipisi ramping, sorot
matanya memancarkan kenikmatan yang luar biasa, tapi secara
langsung dia merasakan suhu badan si ramping semakin hangat dan
berkobar, menimbulkan daya tarik yang tak tertahankan. Kini yang
gemetar, yang menggelinjang kenikmatan malah si ramping.
Maklumlah kejadian ini memang sebelumnya sudah di dalam
dugaannya, karena kasmaran yang tak tertekan, demi mendapatkan
pujaan hati, sehingga tak kuasa menahan buruan kalbu lagi,
betapapun dia tidak rela orang lain merebut laki2 yang mengukir di
kalbunya ini.
Pola lawan jenisnya memang terlalu keras kalau tidak mau
dikatakan terlampau kasar dan bernafsu, tapi sedikitpun dia tidak
dendam, malu atau kesakitanpun tidak terasakan lagi, karena
semua ini memang sudah dalam bayangannya, sudah direlakan
Yang jelas badannya gemetar, disamping merasa nikmat hatinyapun
kuatir dan cemas. Maklumlah biasanya betapa tinggi harga dirinya?
Betapa dirinya penuh wibawa dan diagungkan? Tapi kini segala
keagungan, kesucianpun tiada bekas lagi, bak umpama burung kecil
yang ketimpa musibah, pasrah nasib belaka.
Rembulan tidak pernah menongol keluar pula dari balik awan,
keadaan tetap gulita di dalam kamar, setelah mengalami gejolak
membara yang membawa tautan hati ke sorga loka, lambat laun
rangsangan yang membara itu mereda dan akhirnya padam
membuat seluruh tubuh lemas lunglai.
Bayangan ramping itu angkat kepala, suaranya lembut dan
aleman: "Toako, kau. ... .
Diciumnya sekali pipi si nona, lalu, berkata orang itu: "Moay-cu
(adik), kau harus lekas pergi"
"Kau takut? " tanya bayangan ramping itu.
"Bukan," sahut laki2 itu dengan hangat dan rawan, "bukan takut,
tapi aku kuatir bila kau dilihat orang, tentu amat merugikan
pribadimu."
Bayangan ramping itu bersuara dalam mulut. Memangnya dia
berwatak angkuh, tinggi hati, sudah tentu perbuatannya ini pantang
kepergok orang, lekas2 dia berdiri serta mengenakan pakaian lagi,
lalu katanya berpesan: "Aku pergi, besok persoalan apapun yang
dibicarakan Thay-siang, jangan kau .... "
"Adikku yang baik," sela orang itu, "jangan kuatir, aku sudah
tahu maksudmu."
"Hm, memangnya kau berani," kata si ramping sambil angkat jari
telunjuk menutul jidat orang, lalu seringan asap bayangannya
melayang keluar jendela dan lenyap ditelan gelap.
Tiba2 timbul rasa penyesalan dalam benak si laki2, tak berani
ayal iapun kenakan pakaiannya, sesaat dia berdiri menjublek di
dalam kamar, akhirnya ia menarik napas panjang, ia menggumam
sendiri: "Ini bukan salahku." Setelah membanting kaki, iapun
mengeluyur pergi melalui jendela .
OodwoO
Beruntun kedua orang ini berlalu, sebetulnya bak umpama awan
berlalu dan hujan sudah mereda, impian dalam sorgapun sudah tak
berbekas lagi, tatkala itu kentongan ketigapun sudah lewat, siapapun
takkan tahu akan kejadian di dalam kamar ini. Tapi segala
sesuatu di dunia ini justeru sering terjadi di luar dugaan, sesuatu
yang dikira tidak di ketahui orang atau iblis justeru bisa bocor di luar
dugaan-
Waktu perbuatan mesum dua insan ini sedang berlangsung,
sekuntum bunga mawar telah menyaksikan di luar jendela. Dia
bukan lain adalah Un Hoan-kun yang menyaru si kembang mawar
alias Bi-kui. Ia berdiri di bawah jendela, mendengar dengus napas
memburu dari sepasang manusia yang dibuai nafsu birahi, merah
jengah selebar mukanya, sungguh hatinya terasa hancur luluh.
Sungguh tak pernah terpikir olehnya laki2 tambatan hatinya
ternyata adalah hidung belang yang begini kotor dan tak kenal
malu. Dia marah, malu, penasaran dan benci, perasaannya hancur
berderai, dengan berlinang air mata diam2 dia tinggal pergi.
00odwo00
Waktu Kun-gi memburu sampai di atas tembok tadi, bayangan
hitam yang menyerang dirinya dengan senjata rahasia itu sedang
meluncur pesat keluar pekarangan-
Diam2 dia mengerut kening, pikirnya: "Ginkang orang ini amat
tinggi, apalagi dia melangkah lebih dahulu, betapa luas markas Pekhoa-
pang ini, asal dia menyelinap ke tempat gelap. kemana pula
aku akan mengubernya? "
Hati berpikir, tapi kaki tetap mengudak dengan kencang.
Gerak-gerik bayangan hitam itu amat tangkas dan cekatan, baru
saja Kun-gi melampaui pagar tembok, didapati bayangan itu sudah
berada 20 tombak lebih, tapi masih berlari kencang seperti dikejar
setan. Mungkin takut membuat berisik sehingga jejaknya ketahuan
orang Pek-hoa-bun, maka dia tidak berani menuju ke bangunan
gedung yang berlapis2 itu, pada hal disana banyak tempat gelap
untuk menyembunyikan diri.
Melihat orang belari2 lurus menuju keluar, sudah tentu kebetulan
bagi Kun-gi, dia mengudak terus sambil mengembangkan
ginkangnya. Bayangan didepan ternyata sangat apal tentang liku2
Hoa-keh-ceng ini, jarak mereka memang cukup jauh, kebetuan
rembulan sembunyi di balik awan lagi sehingga keadaan gelap.
kadang2 dia menghilang lalu muncul lagi di antara bayang2
bangunan gedung. Betapapun cepat Kun-gi mengudak tetap
ketinggalan-
Hoa-keh-ceng merupakan markas pusat Pek-hoa-pang, banyak
terdapat pos penjagaan, bahwa orang ini dapat mengelabui mata
kuping para penjaga dan ronda malam, jelas menandakan bahwa
orang itu tentu bukan orang luar.
Dalam sekejap mata mereka sudah saling kejar keluar dari pagar
tembok Hoa-keh-ceng yang tinggi. Kini mereka berada di lereng
sebuah bukit yang penuh ditumbuhi rumput hijau, batu2 gunung
terserak di sana-sini, semak belukar jarang terinjak manusia.
Melihat Kun-gi terus mengudak dengan kencang, bayangan hitam
di depan itu semakin gugup, maka dia menempuh jalan belukar dan
lari tanpa menentukan arah. Sudah tentu hal ini menimbulkan rasa
curiga Kun-gi, pikirnya: "Untuk apa dia memancingku ke tempat ini,
memangnya disini ada jebakan? "
Tapi dia berkepandaian t inggi dan bernyali besar, umpama betul
musuh ada bala bantuan di depan sana juga dia tidak gentar. Pula
bila orang ini betul adalah anggota Pek-hoa-pang, tentulah salah
seorang yang tadi siang telah dikalahkan dalam pertandingan,
karena merasa dengki dan penasaran, maka malam ini dia hendak
menuntut balas dengan membokong secara keji dengan senjata
rahasia beracun. Walau awak sendiri tidak ingin mencari musuh,
betapapun Kun-gi ingin membongkar kejahatannya. Kalau bisa
dibujuk agar menempuh jalan benar dan menjadi orang baik.
Sekarang mereka saling kejar di lereng bukit yang belukar, tapi
tiada suatu tempat untuk menyembunyikan diri, kepandaian Kun-gi
memang lebih tinggi, maka jarak kedua pihak telah ditarik pendek.
Jelas sebentar lagi dia akan berhasil menyandak musuh, sementara
itu mereka sudah saling udak mendekati tepi danau, air danau
setenang kaca tertimpa sinar rembulan menimbulkan cahaya
kemilau yang mempesona, sementara kabut mengembang datang
menambah suasana menjadi redup,
Bayangan hitam di depan tiba2 berlompat meluncur ke atas batu
gunung yang tinggi, laksana elang yang berhasil menyamber anak
ayam, dengan tangkas dia meluncur turun ke balik batu padas besar
sana.
Jarak kedua pihak kini tinggal sepuluhan tombak. beruntun dua
kali lompatan Kun-gi sudah mengejar tiba. Batu cadas itu setinggi
tiga tombak, di bawah adalah air danau, jelas tiada jalan lain untuk
melarikan diri, tapi selepas mata Kun-gi menjelajah, Sekelilingnya
sunyi senyap tiada kelihatan ada tanda apa2, entah ke mana
gerangan bayangan hitam tadi? Memang tempat ini dikelilingi
belukar, tapi rumput tumbuh hanya setengah pinggang orang, tak
mungkin orang sembunyi di semak2 rumput, kecuali sudah kepepet
maka dia nekat terjun ke air? Inipun t idak mungkin, betapapun
lihaynya seseorang main dalam air, begitu dia terjun pasti
menimbulkan riak gelombang dan tak mungkin selekas ini tenang
kembali. Kenyataan air danau setenang kaca, cipratan airpun tak
kelihatan.
Berdiri sejenak di atas batu cadas, dia menunggu dan menanti
reaksi, tapi tetap tak memperoleh jawaban, mendadak tergerak
hatinya: "Jelas dia tadi lari kemari kenapa jejaknya menghilang,
kalau dia apal seluk-beluk dalam perkampungan ini tentu apal juga
keadaan luar sini, sengaja aku dipancing kemari, lalu tiba2
menghilang, memangnya di bawah batu ini ada jalan lain yang
menembus entah kemana? " Segera dia melongok ke bawah
mengincar suatu tempat untuk tempat berpijak. lalu dengan enteng
dia melompat turun.
Kakinya berpijak pada sebuah batu di antara semak2, betul juga
didapatinya bagian bawah ini longgar dan lapang, seperti serambi
panjang di rumah gedung layaknya, sebuah jalanan kecil berlumut
menjurus masuk ke sela2 batu besar yang tiba cukup untuk berjalan
satu orang. Bagian luarnya tertutup rumput tinggi, umpama siang
hari juga sukar orang menemukan tempat ini, apalagi dipandang
dari atas takkan kelihatan.
Tempo hari Kun-gi mendengar dari Giok-lan yang mengatakan
bahwa perahu orang2 Hek-liong-hwe yang menyelundup kemari
disembunyikan di bawah tebing, "Mungkin di sinilah letak dari tebing
itu?" otak berpikir, sementara kaki melangkah ke depan-Kira-2
puluhan tombak kemudian, tiba2 di-lihatnya seperti ada sesosok
bayangan orang rebah tengkurap di atas pasir di depan sana.
Sekali lompat Kun-gi memburu maju, ia dapat melihat di tempat
gelap. setelah dekat didapatnya orang ini mengenakan pakaian
ketat warna hijau, golok terselip dipinggangnya, dandanannya mirip
centing Pek-hoa-pang. Setelah diteliti didapatinya pula jiwa orang
sudah melayang, sesaat lamanya karena terhantam dadanya oleh
pukulan berat.
Terpancar cahaya gemerdep dari bola mata Ling Kun-gi.
batinnya: "orang ini jelas adalah centing yang ditugaskan berjaga di
sini, golok yang tergantung dipinggangpun belum sempat tercabut,
tahu-jiwa sudah melayang, tentunya orang tadi kuatir centhing ini
membocorkan rahasianya maka dia di bunuh untuk menutup
mulutnya." Waktu dia berdiri tegak. dilihatnya disemak2 rumput di
depan sana ada sesosok mayat pula. orang inipun mengenakan
seragam warna hijau berdandan sebagai centing. Kemungkinan dia
terpukul mencelat sehingga terlempar sejauh itu, jiwanya jelas
sudah amblas.
Berkeriut gigi Kun-gi saking gemas, diam2 dia berjanji akan
mengusut perkara ini dan mencari tahu siapa gerangan bayangan
itu untuk menghukumnya secara setimpal. Kedua centing ini sudah
mati beberapa saat, ini berarti pembokong itu tentu sudah pergi
jauh dan tak mungkin dikejar lagi, ia putar balik dan akan melompat
ke atas tebing.
Pada saat itulah mendadak didengarnya suara isak tangis sedih
memilukan di atas, isak tangis se-orang perempuan, begitu sedihnya
sampai tersendat2 dan banting2 kaki.
Heran Kun-gi, waktu ini sudah kentongan ketiga lewat tengah
malam, memangnya siapa yang datang kepinggir danau dan
bertangisan disini? suara tangis seorang perempuan, tentu dia salah
satu dara kembang dari Pek-hoa-pang. Mungkin dia menemukan
kematian kedua centing, salah seorang centing adalah kekasihnya,
maka dia menangis begini sedih?
Tengah Kun-gi menduga2, tiba2 didengarnya perempuan itu
berkata sambil sesenggukan: "Ling Kun-gi, oh, Ling Kun-gi, akulah
yang buta, sungguh tak nyana kau . . . . . Ai, aku ....... aku juga
tidak ingin hidup lagi ......" Suaranya terputus2 oleh sendat
tangisnya, lemah dan lirih, tapi di malam sunyi ini Kun-gi dapat
mendengarnya jelas sekali, terutama setelah akhir kata2nya,
langkah kakinyapun terdengar menuju ke pinggir danau. Jelas dia
nekat hendak bunuh diri.
Sudah tentu Kun-gi berjingkat kaget, lekas dia berteriak: "Jangan
nona" Sebat sekali dia men-jejak kaki mengapung ke atas.
Bahwa di bawah tebing ada orang sudah tentu tidak terpikir oleh
si nona, tanpa sadar dia menyurut mundur, bentaknya: "Siapa kau?
"
Kini Kun-gi sudah melihat jelas siapa nona di hadapannya yang
menangis ini, ia kaget dan keheranan, katanya sambil mengawasi
tak berkedip: "Apakah yang terjadi? Bilakah aku pernah berbuat
salah padamu ......"
Nona ini bukan lain adalah Un Hoan-kun yang menyamar jadi Bikui,
air mata masih berlinang2 di kelopak matanya, ia terbeliak
mengawasi Kun-gi, iapun kaget dan heran, tanyanya: "Kau ......
bagaimana kau bisa berada disini? "
"coba kau dulu yang bicara, kenapa kau sembunyi di sini dan
menangis? "
Nanar pandangan Un Hun-kun, katanya dingin: "Tidak. kau dulu
yang bicara, bukankah kau mengunt it aku kemari? " Dia
mengenakan kedok sehingga sukar terlihat mimiknya, cuma
biasanya dia bersifat lembut dan halus, bijaksana lagi, kata2nyapun
ramah, kini dia bicara dingin ketus, jelas gelagatnya jelek.
Diam2 Kun-gi ber-tanya2 dalam hati, katanya kemudian "Cayhe
memang menguntit seseorang ......." sampai di sini mendadak dia
seperti ingat sesuatu, lalu tanyanya gugup: "Waktu kau kemari
adakah kau bertemu dengan seseorang? "
Un Hoan-kun dapat merasakan nada ucapan Kun-gi itu memang
menguntit seseorang, maka dia bertanya siapa yang di maksud?
"Entah siapa dia, dia kejamdan licin, aku menguntitnya sampai di
sini, sayang dia berhasil lolos, malah dua centing di bawah sana
juga dibunuhnya ....."
Betapapun Un Hoa-kun adalah nona yang cerdik, dia tahu dalam
soal ini mungkin ada latar belakangnya yang ber-belit2, segera dia
balas bertanya: "Coba katakan, berapa lama kau keluar? "
"Cukup lama, sedikitnya sudah satu jam."
Un Hoa-kun mendesak lagi: "Bahwa kau tak tahu siapa dia,
kenapa kau menguntitnya kemari? "
Terpaksa Kun-gi tuturkan kejadian yang dialami, lalu
menyambung tertawa: "Sudah, kini giliranmu yang bicara, untuk
apa seorang diri kau lari kemari? Tadi seperti kudengar kau tidak
ingin hidup segala, memangnya kenapa? "
Mendengar cerita Kun-gi, Hoan-kun sudah tahu akan duduknya
persoalan, tapi sebagai seorang gadis perawan yang masih suci
bersih, sudah tentu tak mungkin dia menceritakan adegan mesum
yang disaksikannya tadi. Dengan muka merah terpaksa dia
menjawab: "Kau tak usah tanya, hatiku amat risau, perlu jalan2
keluar untuk menenangkan perasaanku, lekas kau kembali, lebih
cepat lebih baik."
Sudah tentu Kun-gi juga bukan pemuda goblok. iapun merasakan
dibalik ucapan Un Hoan kun ini masih ada persoalan tersembunyi,
maka dia bertanya: "Dari omonganmu kurasakan seperti terjadi
sesuatu? "
"Lekas pergi, setelah kembali kau akan tahu sendiri," kata Un
Hoan-kun.
Dirundung berbagai pertanyaan, Kun-gi masih menegas: "Kau
tidak pulang saja bersamaku? "
"Kalau jalan bersamamu, dilihat orang tentu kurang leluasa, kau
boleh berangkat lebih dulu, tunggulah aku dipekarangan yang
gelap."
"Kutinggal kau di sini, hatiku tidak tenteram, ayolah pulang
bersama."
"Bikin jengkel orang saja," omel Un Hoan-kun, "kalau terlambat
sudah tiada gunanya lagi."
Kun-gi tidak bergerak. tanyanya: "Kau pasti ada urusan, kenapa
tidak kau beritahukan padaku? "
"Tiada waktu untuk kujelaskan, hayolah pulang bersama, nanti
berpisah di luar tembok, soal ini amat besar artinya, jangan kau
tunda2, pulanglah dulu ke kamarmu dan kau akan tahu, tapi jangan
kau masuk begitu saja, biar aku memberitahukan Congkoan dulu,
malam ini aku bertugas bersama Hong-sian, katakan saja waktu
kembali kau bersua dengan aku."
Mendengar orang berpesan secara serius, se-olah2 ditempat
tinggalnya telah terjadi sesuatu, maka Kun-gi mengangguk.
katanya: "Baiklah, hayolah pulang."
Mereka tidak bicara lagi, keduanya sama2 mengembangkan
Ginkang dengan cepat tiba di luar pagar tembok tinggi yang
mengelilingi Hoa-keh-ceng. Un Hoan-kun memberi tanda gerakan
tangan terus melambung ke atas tembok dan melesat ke belakang
sana.
Sementara Kun-gi juga mengapung terus melejit lebih jauh ke
depan-mendadak didengarnya seorang membentak tertahan:
"Siapa? "-setitik sinar kemilau tahu2 meluncur kemuka Kun-gi.
Sekali raih dengan mudah Kun-gi tangkap senjata rahasia itu,
kiranya sebutir pelor perak. sementara mulutnya berseru: "Cayhe
Ling Kun-gi"
Dari tempat gelap tampak melompat keluar seorang laki2
berseragam hitam, begitu melihat jelas akan Ling Kun-gi, lekas dia
membungkuk dengan gugup, katanya: “Hamba Kho Ting-seng,
maaf, kesembronoanku patut dihukum mati ......"
Laki2 ini adalah salah satu Hou-hoat-su-cia yang dinas jaga,
maka dengan tertawa Kun-gi lantas berkata: "Kho-heng tak usah
berkecil hati. Cayhe meluncur dari luar tembok. adalah jamak kalau
menimbulkan rasa curiga. Cuma untuk selanjutnya Kho-heng harus
lihat jelas dulu baru boleh turun tangan-"-Sembari bicara dia
angsurkan kembali pelor perak itu.
Orang she Kho mengiakan sambil menerima pelor peraknya, Kungi
bertanya pula: "Apakah malam ini giliran Kho-heng berjaga? "
"Ya," sahut Kho Ting-seng, "ada empat orang yang mendapat
giliran jaga, hamba ditugaskan jaga di sebelah tenggara sini.”
“Apakah Kho-heng tadi melihat ada orang masuk kemari? "
Kho Ting-seng melengak. katanya: "Maksud Cong-hou-hoat ada
musuh yang menyelundup ke-mari? "
"o, tidak." ujar Kun-gi, "aku hanya tanya sambil lalu, kalau t iada
melihat ya sudahlah."
"Sejak giliran hamba berjaga tadi terus mondar-mandir di sekitar
sini, kalau ada orang menyelundup masuk tentu hamba dapat
melihatnya."
Kun-gi manggut2. "Bagus sekali, baiklah aku mohon diri," setelah
balas hormat, sekali jejak kedua kaki ia lantas melejit t inggi
meluncur kepekarangan belakang.
Karena pesan Un Hoan-kun tadi amat wanti2 dan serius, se-olah2
telah terjadi suatu peristiwa di dalam kamarnya, maka sepanjang
jalan ini dia tingkatkan perhatian dan kewaspadaan, sinar pelita
sudah padam di daerah pekarangan tengah, keadaan sunyi tenang
tiada gerakan apa2 yang mencurigakan-
Secara diam2 dia meluncur turun di balik pagar tembok serta
memperhatikan kamar tidurnya, dua jendela disebelah selatan tetap
terpentang lebar, keadaan hening, lelap seperti dirinya keluar tadi,
tiada tanda2 perubahan lainnya puia, keruan ia heran dan bertanya2
kenapa Un Hoan-kun mendesak dirinya lekas kembali ke
kamar tidur? Mengingat nona Un biasanya hati2 dan cermat, setiap
menghadapi persoalan tentu dikerjakan dengan baik dan rapi, tak
mungkin kali ini dia menipu diri nya..
Entah kenapa pula nona itu tidak mau menjelaskan persoalannya,
seakan2 bila dirinya lekas kembali akan segera mendapat jawaban,
tapi kenapa pula dirinya diharuskan menunggu dia menyusul datang
setelah memberi laporan kepada Congkoan-Memangnya ada
kejadian apa? Semarin dipikir semakin mengganjel perasaan.
"Memangnya ada orang hendak mencelakai diri-ku secara
diam2?" demikian batinnya. Inipun tidak mungkin, umpama betul
seorang ada maksud mencelakai jiwanya, tak mungkin dia sembunyi
di dalam kamarnya. Maka sekian lamanya dia berdiri diam di tempat
gelap. tapi setelah ditunggu beberapa kejap tetap tidak terlihat ada
tanda apa2.
Untunglah dikala Kun-gi sudah hampir kehilangan kesabaran,
didengarnya desir angin malam yang lirih dari balik tembok sana,
waku Kun-gi menoleh, dilihatnya dua bayangan orang muncuf di
atas tembok. Seorang mengenakan pakaian serba putih, pedang
tergantung dipinggang, gayanya lembut laksana dewi kahyangan.
Seorang lagi berpakaian kencang, tubuhnya semampai
menggiurkan-Mereka bukan lain adalah Congkoan Giok-lan dan Un
Hoan-kun yang menyaru Bi kui.
Lekas Kun-gi menyongsong ke sana, katanya menjura:
"Mengganggu Congkoan saja."
Lekas Giok-lan balas hormat, matanya yang bening mengawasi
Kun-gi, katanya: "Bi kui Ling-kongcu menunggu, entah apa yang
telah terjadi di sini? "
Apa yang terjadi, Kun-gi sendiri juga tidak tahu, sudah tentu dia
tidak bisa menjawab, terpaksa dia berkata sekenanya: "Congkoan
sudah tiba, marilah bicara di dalamsaja."
Sekilas Giok-lan mengerling, katanya: "Kiu-moay barusan lapor
padaku, katanya waktu dia lewat sini telah mendangar orang bicara
dalam kamar, semula dikira Ling-kongcu sendiri, ternyata waktu dia
ronda sampai pekarangan tengah telah bertemu dengan Ling
kongcu yang sedang mengejar musuh, maka dia sadar adanya
gejala yang tidak sehat, cepat dia memberi laporpadaku, kini Lingkongcu
sudah kembali, entah adakah sesuatu yang mencurigakan di
dalam kamar ini? "
Kun-gi membatin: "o, ada orang sembunyi di dalam kamarku,
hanya soal begini saja kenapa t idak dijelaskan padaku? "
Dengan tersenyum dia lantas berkata: "Sejak Cayhe datang tadi
sudah kuperhatikan, tiada gerakan apa2 di sini, biarlah aku masuk
memeriksanya lebih dulu." Lalu dia hendak menerobos masuk lewat
jendela. “Hati2 Ling-kongcu" seru Un Hoan-kun gugup,
"Betul," sambung Giok-lan, "memang Ling-kongcu harus lebih
hati2."
Kun-gi tertawa tawar, ujarnya: "Ya, tidak jadi soal."-Sekali lompat
dia menerobos masuk ke kamar, matanya menjelajah seluruh
penjuru kamar, tapi tetap tiada kelihatan bayangan prang? Kiranya
sejak di luar dan waktu melompat masuk tadi diam2 dia sudah
pasang kuping danpentang mata, asal ada orang sembunyi di dalam
kamar pasti didengarnya. Kun-gi keluarkan geretan api, setelah
menyulut lampu dia terus angkat palang dan membuka pintu,
katanya: "silakan kalian masuk"
Diam2 Un Hoan-kun membatin: "Agaknya sudah terlambat,
kedua orang itu sudah pergi."
Giok-lan melangkah masuk lebih dulu, mata-nya yang jeli tajam
menjelajah ke segala penjuru, lalu berkata: "Kiu-moay bilang bahwa
Ling-kongcu mengejar musuh yang membokongmu, laporannya
tidak jelas, memangnya siapa yang bernyali besar berani bertingkah
di tempat kita ini? Harap Ling-kongcu sudi menjelaskan? "
Kecut tawa Kun-gi, katanya: "Cukup lama juga aku mengudak
dia, sayang tak berhasil kususul, malah dua Centing kita dibunuh
oleh nya, sungguh harus diaesalkan" Lalu dia ceritakan kejadian
yang dialaminya.
Berkilat mata Giok-lan, katanya setelah merenung sebentar:
"orang ini bisa bergerak bebas menghindari pos2 penjagaan, jelas
ialah orang kita sen-diri, mungkin karena siang tadi dia kau
kalahkan dalam pertandingan, karena dendam maka malam ini
hendak menuntut balas secara menggelap."
"Cayhe juga pikir demikian, pikirku hendak mengejarnya untuk
memberi penjelasan dan membujuknya . "
"Besar nyali orang ini, berani main gila di sini, tapi dia bisa lolos
dari kuntitan Ling-kongcu, jelas Ginkang dan kecerdikannya
memang lebih tinggi daripada orang lain," ujar Giok-lan-"Lalu
senjata rahasia yang Ling-kongcu gulung tadi entah ditaruh di
mana? "
Kun-gi menuding kepojok dinding, katanya: "Karena buru2
hendak mengejar musuh, maka kulempar ke kaki tembok itu."
Sinar lampu memang tidak sampai menyoroti kaki tembok sana,
Giok-lan tidak perhatikan kalau di kaki tembok ada jarum2
berserakan-Kini dengan cermat dia memperhatikan, seketika
berubah rona mukanya. Dingin sorot matanya, katanya: "Mungkinkah
dia orang Hek-liong-hwe?"
"Sam-ci," Un Hoan-kun menyeletuk. "darimana kau tahu dia
orang Hek-liong-hwe? "
Dari kantong bajunya Giok-lan keluarkan sekeping besi sembrani,
lalu menyedot sebatang jarum. Jarum ini lebih kasar dari jarum jahit
umumnya, seluruh batangnya berwarna hitam legam, jelas dilumuri
racun jahat, Lalu sambil mengacungkan besi sembrani, dia bertanya
kepada Kun-gi: "Apakah Ling-kongcu tahu asal-usul jarum baja ini?
"
"Cayhe tidak tahu," sahut Ling Kun-gi. .
Giok-lan tertawa tawar, katanya: "Racun yang dilumurkan di
jarum ini adalah getah beracun."
Sejak mula Kun-gi kira sipembokong adalah orang dalam Pekhoa-
pang, mendangar Giok lan bilang dia orang Hek-liong-hwe,
tanpa terasa ia bersuara heran-Giok-lan berkata lebih lanjut, Jarum
baja ini dilepaskan dari Som-lo-ling, namanya adalah Sha-cap-lokkhong-
wi-hong-ciam (Jarum kumbang kuning 36 lubang)."
"Pengetahun Congkoan memang luas, melihat jarum lantas tahu
nama dan asal-usulnya," demikian puji Kun-gi.
Manusia di kolong langit ini baik pria atau wanita, kalau dirinya
dipuji, tentu tidak kepalang riang hatinya. Terutama Giok-lan yang
sudah kasmaran terhadap perjaka di depannya ini, maka ia pandang
Kun-gi seolah2 sudah setengah miliknya-. Dengan penuh arti
matanya mengerling Kun-gi, katanya tersenyum malu2: "Thay-siang
pernah menerangkan soal jarum ini, katanya jarum2 ini disimpan di
dalam kotak gepeng terbuat dari baja, seluruhnya ada 360 batang
yang tersimpan di dalamnya, maka dinamakan Som-lo ling. yakni
seumpama firman raja akhirat (som-lo), sekali tekan bisa
menyambitkan 36 batang, maka dinamakan pula jarum kumbang
kuning 36 lubang."
"Senjata rahasia macam ini hanya dibikin oleh ahli yang luar
biasa," demikian tutur Giok— lan lebih lanjut, "konon jarum ini
adalah buah karya seorang pandai besi yang lihay, sampai sekarang
jarang ada orang Kangouw yang mampu meniru membuatnya.
belum pernah terjadi lawan yang diserang bisa selamat, kalau
malam ini yang diserang orang lain, tentu jiwanya takkan selamat
dari jarum2 berbisa ini."
"Mungkin nasib Cayhe lagi mujur," ujar Ling Kun-gi, "untung aku
sudah bersiaga sebelumnya."
Mengawasi jarum ditangannya, Giok-lan menepekur sejenak,
katanya kemudian: "Jarum ini sudah dilumuri getah beracun, ini
berarti mereka sudah mampu membuat Som-lo-ling ini," sampai
disini mendadak dia menoleh kepada Un Hoan-kun, katanya: "Kiumoay,
coba kau hitung jumlahnya, apakah 36 batang? " .
Un Hoan-kun segera menghitung, lalu berka-ta: "Betul, di sini
ada 35 batang, ditambah satu menjadi 36 batang"
Bertaut alis Giok-lan, katanya: "Agaknya mereka memang sudah
berhasil memproduksi Som-lo-ling, malah seluk beluk markas
kitapun telah sedemikian apalnya, soal ini tidak boleh dipandang
remeh."
"Bukan mustahil ada mata2 musuh yang berada diantara kita,"
ujar Bi-kui alias Un Hoan-kun.
Giok-lan manggut2, teringat laporan Bi-kui bahwa dua orang
pernah berbicara di dalam kamar ini, maka dia bertanya "Kiu-moay,
dapatlah kau menjelaskan suara pembicaraan di kamar ini pria atau
wanita? "
Seketika panas muka Un Hoan-kun, untung dia mengenakan
kedok sehingga mimik mukanya tidak dilihat orang, ia pura2 berpikir
lalu berkata: "Kalau t idak salah suara lelaki dan perempuan .....
"merandek sebentar lalu menambahkan.
"Waktu itu kukira Ling-kongcu masih dalam keadaan setengah
mabuk dan berbicara dengan Sin-ih."
"Waktu aku bangun dan semadi diatas ranjang untuk mendesak
keluar arak dari badanku, Sin-ih langsung kembali ke kamarnya, tak
pernah masuk kemari lagi," demikian Kun-gi menerangkan sambil
berjalan mendekati tempat tidur serta menyingkap kelambu.
Dilihatnya seprei acak2an, bantal guling tidak terletak pada tempat
semestinya lagi, malah tepat di tengah ranjang kedapatan noktah
darah.
Kun-gi terbeliak kaget, teriaknya: "Darah Darah siapa ini?
Memangnya dia terluka dan sembunyi di tempat tidurku? "
Karena kelambu tersingkap oleh tangannya, maka keadaan
ranjang itupun terlihat oleh Giok-lan dan Un Hoan-kun. Ada kalanya
nona2 atau para gadis jauh lebih tajam perasaan dan firasat-nya
daripada kaum pria. Umpama soal noktah darah ini, bagi Kun-gi
yang masih perjaka dan hijau plonco ini, dia mengira ada seseorang
telah terluka, tapi kedua nona di belakangnya ini cukup cerdik,
melihat keadaan ranjang itu seketika terbayang oleh mereka .. . .
....
Jengah Giok-lan dan Un Hoan-kun, sekujur badan terasa panas
dan gemetar, untuk sesaat mereka sama melenggong tak tahu apa
yang harus di-ucapkan. Tapi Giok-lan memang lebih tabah, katanya
sambil membalik badan: "Kiu-moay, pergilah kau panggil Sin-ih,
suruhlah dia mengganti seprei dan bantal guling yang baru," Hoankun
mengiakan terus beranjak keluar.
Waktu membalik tubuh tadi, mendadak didapatinya sesuatu
benda di bawah bantal, tergerak hati Giok-lan, sebagai Congkoan
Pek-hoa-pang, maka dia tidak perlu main malu lagi, tanyanya: "Lingkongcu
hanya bersemadi di ranjang, seperai dan bantal guling tidak
mungkin menjadi acak2an begini? "
"Ya, malahan Cayhe belum pernah menyentuh bantal guling dan
kemul itu," sahut Kun-gi.
Sengaja Giok-lan ajak mengobrol: "Aneh kalau begitu,
memangnya kenapa orang itu sembunyi di atas ranjang Lingkongcu?
" Sambil bicara dia melangkah maju badan sedikit miring
sehingga pandangan Kun-gi teraling, diam2 dia ulur tangan ke
bawah bantal, gerakannya pura2 memeriksa, kalau2 sebatang tusuk
kundai emas sudah dia simpan ke dalam lengan bajunya.
Kebetulan Un Hoan-kun, sudah kembali mengajak Sin-ih, Gioklan
lantas tanya kepadanya: "Tadi adakah kau mendengar suara
apa2 di kamar ini? "
Terbeliak mata Sin-ih mengawasi Kun-gi sahutnya bingung:
"Tiada suara apa2, hamba tidak mendengar apa2"
Giok-ian mendengus, katanya: "Kalian tidur mendengkur seperti
babi, Ling-kongcu keluar mengejar bangsat, ada orang masuk
kamar ini, tapi tiada orang tahu."
Gemetar tubuh Sin ih, ratapnya menunduk: "Ya, hamba memang
pantas mampus ..."
"Sudah, jangan banyak bicara, lekas bersihkan ranjang Lingkongcu,"
perintah Giok-lan, lalu dengan menggunakan ilma
mengirim gelombang suara dia menambahkan: "Ingat, kejadian
malamini dilarang beritahu kepada siapapun tahu? "
Sin-ih mengangguk. sahutnya: “Hamba tahu"-Bergegas dia
bekerja seperti yang di pesan-Cepat sekali dia sudah menggant i
bantal guling dan kemul serta seprei baru ranjang Kun-gi.
"Waktu sudah larut, besok pagi2 Ling-kongcu harus menghadap
Thay-siang, lebih baik istirahat saja," demikian kata Giok-lan setelah
Sin-ih mengundurkan diri. Lalu dia berpaling, " Kiu-moay, hayolah
kembali."
"Cayhe amat menyesal, penjahat tidak berhasil kutangkap.
Congkoan malah susah payah setengah malaman," Kun-gi berucap.
"Jangan sungkan Ling-kongcu, memang ini tugasku, tadi sudah
kusuruh Hong-sian pergi ke danau memeriksa sebab kematian
kedua Centing serta para ronda lain yang bertugas sepanjang pesisir
danau, adakah perahu yang mencurigakan di sana? Tentunya kini
sudah kembali, biar aku mohon diri," bersama Hoan-kun mereka
lantas beran-jak keluar.
Bertimbun tanda tanya yang menekan perasaan Kun-gi. Menurut
rekaan Giok-lan, orang yang membokong dirinya menggunakan
Som-lo-ling, maka dia diduga adalah mata2 Hek-liong hwe yang
diselundupkan kemari. Hal ini kiranya tidak meleset, di depan
pertemuan besar siang tadi Thay-siang telah mengumumkan bahwa
dirinya berhasil membikin obat penawar getah beracun, akhirnya
diangkat menjadi Cong-hou-hoat dari Pek-hoa-pang, soal ini jelas
merupakan tekanan dan ancaman serius bagi Hek-liong-hwe. Kalau
dirinya bisa terbunuh atau dilenyapkankan merupakan pahala yang
amat besar sekali artinya, Kalau tidak, kapan dirinya pernah
bermusuhan dengan orang, untuk apa pula orang malam2
menyelundup kemari dan menyerangnya? Atau mungkin ada tujuan
lain lagi?
Un Hoan-kun bilang mendengar kasak-kusuk dua orang
perempuan dan laki2, satu di antaranya terluka, mungkin lantaran
melihat nona Un, ter-paksa sembunyi ke atas ranjangku sehingga
meninggalkan noktah darah di sini. Lalu siapa kedua orang ini? Di
mana pula mereka bergebrak dengan musuh sehingga terluka?
Kenapa sembunyi dikamarku? Demikian Kun-gi merasa bingung.
Tapi yang membuatnya paling bingung adalah nona Un sendiri,
memangnya dia merasa sesal atau direndahkan? Apa pula yang
disedihkan sampai malam2 lari kepinggir danau dan bertangisan
seorang diri? Malah dari apa yang dia gumamkan seperti menaruh
salah paham dan penasaran terhadap dirinya, memikirkan persoalan
ini, tanpa merasa Kun-gi tertawa geli sendiri.
Maklumlah kaum remaja, terutama anak gadis yang sedang
kasmaran biasanya memang suka cemburu. Demi dirinya, tanpa jeri
Un Hoan-kun menempuh bahaya ikut menyelundup ke Pek-hoapang,
dengan menyaru Bi-kui, tentu siang tadi dia meltihat sikap Soyok.
sang Hu-pangcu yang begitu mesra dan kasih sayang
terhadapnya sehingga hatinya-merasa iri, padahal semua ini
merupakan salah paham belaka .
Tengah dia berpikir terdengar suara kokok ayam, ternyata hari
sudah menjelang pagi.. Maka dia ti-dak banyak pikir lagi, tanpa
copot pakaian terus duduk kembali semadi di atas ranjang.
Tak lama kemudian haripun sudah terang tanah. Di dengarnya
suara Sin-ih berkumandang di depan pintu: "Ling-kongcu, sudah
bangun? "
Kun-gi mengiakan terus melangkah turun dan membuka pintu.
Sin-ih sudah menunggu depan pintu sambil membawa sebaskom air
untuk cuci muka. Setelah Kun-gi selesai membersihkan badan,
sementara Sin-ih sudah menyiapkan sarapan pagi dan persilakan dia
makan.
Baru saja Kun-gi kembali ke kamarnya habis makan, Congkoan
Giok-lan sudah datang, katanya tertawa: "Selamat pagi Lingkongcu,
perahu sudah siap. marilah kita berangkat.”
“Cayhe sudah menunggu sejak tadi, apakah Congkoan sudah
makan? "
"Selamanya aku tidak pernah makan pagi," ucap Giok-lan,
"hayolah lekas berangkat, pantang terlambat kalau menghadap
Thay-siang," lalu dia mendahului jalan keluar.
Mengiringi orang keluar, Kun-gi bertanya: "Bagaimana hasil
penyelidikan nona Hong-sian semalam? "
“Hasilnya nihil," tutur Giok-lan sambil menggeleng, tiba2 dia
membalik tubuh, katanya lirih. "Kejadian semalam kecuali aku dan
Kiu-moay, Hong-sian sendiri juga tidak tahu, Ling-kongcu harus
ingat, kepada siapapun jangan bicarakan soal ini."
Kun-gi melengak. tanyanya: "Kenapa? "
Giok-lan menghela napas "Liku2 persoalan ini cukup rumit, sulit
juga aku menyelami soal ini dalam waktu singkat dengan hanya
tanda2 yang tidak seberapa ini, tapi Ling-kongcu harap percaya
saja."
Walau merasa heran, tapi melihat sikap dan nada suaranya
begini serius, Kun-gi manggut2, sahutnya: "Pesan nona pasti
kuperhatikan."
Giok-lan tersenyum lebar, suaranya lebih lirih.. "Syukurlah,
apapun yang terjadi, aku takkan membikin susah padamu."
Tak lama kemudian mereka sudah berada di atas tanggul sungai
yang letaknya di belakang ta-man, sepanjang tanggul ditanami
pohon Yang-liu. tertampak sebuah perahu beratap alang2 sudah
menanti di bawah sana.
Tempo hari Kun-gi pernah naik perahu yang sama dengan Soyok,
punya pengalaman satu kali, maka kali ini dia tidak main
sungkan lagi, dengan ringan dia lantas melompat ke atas perahu
dan menyusup ke dalam serta duduk bersimpuh. Giok-lan juga
melompat naik dan duduk bersimpuh pula, tanpa dipesan
perempuan pendayung diburitan segera menjalankan perahunya .
Terdengar Giok-lan berbisik dengan ilmu gelombang suara:
"Kedua orang yang menguasai perahu adalah pengikut Thay-siang
sejak muda, harap Ling-kongcu hati2 kalau bicara." Secara tidak
langsung dia memperingatkan Kun-gi bahwa kedua orang ini adalah
kepercayaan So-yok.
Sudah tentu Kun-gi sukar menangkap maksud kisikannya ini, dia
hanya melongo bingung saja. Melihat sikap orang, maka Giok-lan
menambahkan: "Jangan Ling-kongcu takut atau curiga, aku hanya
memberi peringatan padamu, jangan sembarang bicara di atas
perahu ini. Thay-siang tidak suka kalau orang membicarakan
pribadinya."
Kun-gi mengangguk sambil menjawab dengan cara yang sama:
"Terima kasih atas petunjukmu.
"Masih ada satu hal," demikian Giok-lan menambahkan lagi, "dan
ini yang terpenting, Pangcu minta aku menyampaikan pada Lingkongcu.”
“Pangcu ada pesan apa? "
Ber-kedip2 bola mata Giok-lan, senyumnya tampak penuh
mengandang arti, katanya: "Kemarin kau baru diangkat jadi Conghouhoat,
hari ini Thay-siang sudah mengundangmu ke Pek-hoa-kok
pasti beliau punya maksud2 tertentu, maka Pangcu minta supaya
aku menyampaikan pesannya, apapun yang dikatakan Thay-siang,
kau harus segera mengiakan."
Kembali Kun-gi dibuat melenggong, tanyanya: "Memangnya
Thay-siang hendak suruh aku berbuat apa? " .
Melihat sikap dan air muka serta sorot matanya, diam2 Giok-lan
membatin: "Memang tidak meleset dugaan Toaci, agaknya
pikirannya tidak terpengaruh oleh Bi-sin-hiang."
Tapi dia tetap bicara dengan ilmu suara itu: "Tak peduli kerja
apapun yang diserahkan padamu, tanpa ragu2 kau harus segera
menerima tugas itu.?"
"Ini. ..... " berkerut kening Kun-gi.
Giok-lan tersenyum, katanya: "Toaci bilang, Ling-kongcu mampu
menawarkan getah beracun yang tak bisa ditawarkan oleh manusia
manapun di dunia ini, sudah tentu kaupun bisa memunahkan segala
obat bius yang mempengaruhi pikiran orang, oleh karena itu, setiba
di perahu ini perlu aku memberi peringatan padamu. Selamanya
tiada seorangpun yang berani membangkang dan menolak perintah
Thay-siang, sudah tentu semakin cepat kau terima tugasnya itu
akan lebih baik, celakalah kalau sampai membuatnya kurang senang
atau curiga."
Apa yang dikatakan ini cukup gamblang, walau tak secara
langsung, tapi artinya sudah diketahui bahwa kau ternyata tidak
terpengaruh oleh obat Bi-sin-hiang itu.
Kejadian ini memang ada latar belakangnya. Tatkala So-yok
diperintahkan menyerahkan Bi-sim-hiang ini kepada Bok-tan sang
Pangcu, dari Bok-tan diserahkan pula kepada Giok-lan supaya
menunaikan perintah Thay-siang ini, kebetulan pembicaraan mereka
dicuri dengar oleh Bi-kui alias Un Hoan-kun, jing-sin-tan buatan
keluarga Un adalah obat mujarap yang khusus diperuntukan
menawarkan segala obat bius di kolong langit ini, sudah tentu
dengan membekal obat mujarab ini Ling Kun-gi tidak pernah
terpengaruh pikirannya, tapi soal ini hanya dlketahui oleh Ling Kungi
dari Un Hoan-kun saja.
Bahwa dia pura2 terbius-oleh obat itu dan mau terima jabatan
dalam Pek-hoa-pang lantaran ingin cari tahu dari mana Pek— hoapang
memperoleh t iga jurus ilmu pedang warisan keluarganya,
malah Hwi-liong-sam-kiam merupakan ilmu pelindung Peks hoapang
lagi? Un Hoan-kun pula yang mengajukan akal dan usul ini.
Sekarang dari mulut Giok-lan secara tidak langsung didengarnya
sindiran dirinya tidak terpengaruh oleh obat bius, bahwa hal ini
sudah mereka ketahui, sungguh tidak kepalang kagetnya... maklum
seseorang yang merasa bersalah-dalam hati akan merupakan
tekanan batin, sekali rahasia ini terbongkar, pastilah selebar
mukanya merah padam. Demikianlah keadaan Ling Kun gi sekarang.
Tapi dia tetap berkata dengan gelombang suara: "Pangcu. . ."
Tersenyum Giok-lan mengawasi wajah orang
"Jangan kuatir, Toaci bermaksud baik, cukup asal kau selalu
mengingat kebaikannya."
Lalu dia menyodorkan secangkir teh dan menenggaknya dulu secangkir
yang lain, katanya: "Cong-sucia, enak bukan rasa teh ini? "
Kun-gi segera tahu maksud orang, sahutnya tertawa: "Ya, enak
dan segar, rasanya seperti bunga cempaka." Dua patah terakhir ini
mereka t idak menggunakan ilmu gelombang suara pula.
Laju perahu amat pesat, hanya sekejap mereka sudah berada
diterowongan air yang masuk keperut gunung, setelah mengikut i
arus yang deras dan ber-belok2, akhirnya laju perahu menjadi
lambat dan tak lama kemudian berhenti. Kerai tersingkap. Giok-lan
lantas berdiri, katanya. "Sudah-sampai. Cong-sucia pernah datang
sekali, tapi jalanan mungkin masih belum apal, biarlah aku naik
lebih dulu" Sedikit tutul kaki, badannya segera mengapung tinggi ke
atas dan ditelan kegelapan di sebelah sana, Lalu terdengar suara
bergerit: "Silakan Cong-sucia naik kemari, cuma harus hati2, lumut
di sini amat licin."
"Cayhe tahu," kata Kun-gi, belum lenyap suaranya badannya
sudah hinggap di sisi lok-lan. Tempat ini berada diperut gunung,
gelapnya bukan main, jari sendiripun tidak kelihatan.
Betapapun Lwekang Giok-lan agak rendah, kalau malam biasa di
tempat terbuka dia masih bisa melihat sesuatu dalam jarak dekat,
tapi di dalam terowongan bawah tanah yang gelap begini, sudah
tentu dia tidak bisa melihat apa2. Tapi kupingnya tajam, dari desir
angin dia tahu bahwa Ling Kun-gi sudah berada di sampingnya,
maka dengan suara lirih dia berkata: "Inilah jalan rahasia satu2nya
yang bisa menembus ke Pek-hoa-kok dilarang keras menyalakan
lampu, jalanan disini-pun amat jelek. tempo hari kau pernah kemari,
tentunya sudah tahu, Thay-siang suruh aku membawamu kemari,
biarlah kau jalan mengikuti langkahku dengan bergandengan
tanganku."
Jari2nya yang halus tahu2 sudah pegang tangan Ling Kun-gi
terus ditariknya ke depan-Kun-gi biar-kan saja tangannya dipegang
dan menurut saja kemana dirinya ditarik. Terasa jari jemari yang
memegang tangannya begitu halus dan lemas seperti tidak
bertulang, seketika sekujur badannya gemetar seperti kena aliran
listrik.
Terdengar Giok-lan berkata: "Sebagai anak perempuan yang
telah dewasa, selamanya belum pernah kubersentuh tangan dengan
laki2 manapun, maka hatiku sedikit tegang, harap Ling-kongcu tidak
mentertawakan aku."
Berdebar juga hati Kun-gi, tapi tak mungkin dia melepaskan
tangannya, terpaksa dia bilang: "Di sinilah letak kesucian Congkoan-
"
"Justeru karena aku yang ditugaskan membawa Kongcu kemari,
umpama orang lain, aku tak sudi saling bergandengan tangan
seperti ini."
Kali ini Kun-gi bungkamsaja, tak enak banyak bicara lagi.
Didengarnya Giok-lan bicara lebih lanjut, suaranya syahdu:
"Soalnya Ling-kongcu adalah perjaka yang patut dibuat teladan,
seorang Kuncu sejati, kaulah pemuda yang menjadi pujaan hatiku
......."
Bertaut alis Kun-gi, katanya: "Ah, Congkoan terlalu memuji
diriku."
Jari2 Giok-lan yang menariknya itu tiba2 memegang lebih
kencang, katanya sambil jalan ke depan: "Untuk selanjutnya.
tanganku yang satu ini tidak akan bersentuhan lagi dengan laki2
manapun jua." Mendadak dia berpaling dan bertanya: "Kau percaya
apa yang kukatakan? " Suaranya kedengaran lembut, tapi bola
matanya tampak berkilauan ditengah kegelapan, memancarkan rasa
tekad penuh keyakinan.
Gugup dan gelisah Kun-gi, "Nona. ...... ."
"Tak usah kau gelisah, apa yang pernah ku-katakan selamanya
tak pernah kujilat kembali, tak perlu kutakut ditertawakan Ling
kongcu, dalam kalbuku memang hanya .... . . hanya ada seorang,
maka tidak akan kuizinkan laki2 lain untuk menyentuh badanku,
siapa berani menyentuh tanganku segera kutabas buntung
tanganku ini . "
Keruan Kun-gi gugup setengah mati, katanya: "Nona, jangan sekali2
kau berbuat menurut dorongan hatimu "
"Jangan kau membujukku, yang jelas akupun tidak akan
sembarangan membiarkan orang menyentuhku," ujar Giok-lan
tertawa, jari2nya memegang lebih kencang lagi. "Nah, hampir
sampai, jangan bersuara lagi."
Terpaksa Ling Kun-gi terus menggremet maju menyusuri dinding
gunung dengan badan miring .-Tak lama kemudian Giok-lan lepas
tangannya serta maju ke dinding yang mengadang di depan serta
mengetuk sekali.
Terdangarlah suara Ciok-lolo bertanya dari dalam: "Apakah Gioklan?
"
Lekas Giok-lan berseru: "Ciok-lolo, aku mendapat perintah
membawa Cong-sucia kemari"
"Nenek sudah tahu," ujar Ciok-lolo, pelan2 pintu papan batu di
depan mereka menggeser mundur dan terbuka, bayangan Ciok lolo
yang tinggi besar itu segera muncul di balik pintu. Sorot matanya
dingin tajam, dari kepala sampai kaki Ling Kun-gi diawasinya
dengan teliti, mulutnya terkekeh sekali, lalu berkata: "Bocah inikah,
kalau Thay-siang mau cari mantu kiranya cukup setimpal, kalau
diangkat jadi Cong-sucia, kukira Thay-siang rada berat sebelah,
terus terang aku nenek tua ini mengukurnya terlalu rendah."
Giok-lan unjuk tawa manis, katanya: "Kemarin Lolo tidak hadir,
sudah tentu tidak menyaksikan betapa perkasa Cong-sucia
mengalahkan para lawannya dalam lima babak berturut2, ini
kenyataan, apalagi dalam pertandingan besar dan terbuka itu,
semua peserta boleh ikut bertanding secara adil, mengapa Thaysiang
kau katakan berat sebelah? "
Ciok-lolo ter-kekeh2, katanya: "Bocah sekolahan selemah ini,
satu jari nenek saja sudah cukup membuatnya berjongkok setengah
hari dan tidak mampu berdiri, kalau bicara soal kepandaian sejati,
dia bisa menang lima babak secara beruntun, betapapun nenek
tidak mau percaya."
Bagaimana juga Kun-gi masih muda dan berdarah panas, melihat
sikap orang yang terlalu memandang rendah dirinya, ia naik pitam,
pikirnya: "Jangan kau kira sebagai anak buah Thay-siang, biar
kuajar adat padamu."
Maka dengan tersenyum segera ia menimbrung: "Kalau Ciok-lolo
tidak percaya, kenapa tidak mencobanya, apakah betul Cayhe dapat
dibikin jongkok seperti katamu."
Sudah tentu Giok-lan jadi rikuh. Tapi gelak tawa Ciok-lolo yang
tajam melengking itu sudah berkumandang, katanya: "Anak bagus,
sombong juga kau, nah, mari kita coba." Dimana tangan kanannya
terangkat, betul2 dia cuma acungkan sebuah jari telunjuk. pelan2
terus menekan kepundak Ling Kun-gi.
Giok-lan menjadi kuatir, serunya: "Ciok-lolo, taruhlah belas
kasihan."
Jari telunjuk Clok-lolo sudah menekan pundak Kun-gi, mulutnya
menggeram sekali: "Giok-lan, apa yang kau risaukan? Nenek tentu
punya perhitungan." Diam2 dia kerahkan lima bagian tenaganya.
Tak nyana pundak Kun-gi seperti batu laksana besi kerasnya,
lima bagian tenaganya ternyata tak mampu membuat tubuhnya
bergeming. Baru sekarang si nenek kaget, pikirnya: "Bocah ini
kelihatan lemah lembut, seperti anak sekolahan yang tak mampu
menyembelih ayam, ternyata memiliki bekal kepandian selihay ini,
agaknya nenek tua terlalu memandang enteng padanya." Serta
merta kekuatan jarinya bertambah, akhirnya dia kerahkan setaker
tenaga menekan ke bawah.
Tak terduga meski dia sudah kerahkan sepuluh bagian
tenaganya, daya perlawanan diatas pundak Ling-Kun-gi juga cerlipat
ganda, tetap sekeras baja, sedikitpun t idak bergeming.
Keduanya jadi sama2 adu otot dan mengerahkan segenap daya
kekuatanya, rambut uban dipelipis Ciok-lolo tampak bergetar berdiri,
wajahnya yang sudah keriput juga tampak merah padam. Tapi Ling
Kun-gi tetap adem ayem, sikapnya tak acuh seperti tak pernah
terjadi apa2 atas badannya2, sedikitpun tidak kelihatan bahwa
diapun mengerahkan tenaga untuk melawan tekanan si nenek.
Semula Giok-lan merasa kuatir bagi Kun-gi. Maklumlah Ciok-lolo
dulu adalah pelayan pribadi Thay-siang, kepandaian silat dan
Lwekangnya merupakan tokoh kelas satu yang jarang ada
tandingan dalam Peks hoa-pang, dikuatirkan Kun-gi bu-kan
tandingan Ciok-lolo. Kini melihat keadaan mereka, maka tahulah dia
bahwa Lwekang Ling Kun-gi ternyata jauh lebih unggul dibanding
Ciok-lolo, dari kuatir diam2 ia merasa kaget dan senang malah. Tapi
mulutnya sengaja pura2 bersuara gugup: "Ciok-lolo . . . . "
Muka Ciok-lolo semakin gelap. keringat sudah membasahi
jidatnya, sementara tangannya yang menekan pundak Kun-gi
tampak mulai gemetar, tapi dia tetap ngotot tidak mau menarik
balik tangannya. Maklumlah, dengan cara adu tenaga seperti ini,
kedua pihak sudah sama2 mengerahkan tenaga dalam, bila salah
satu pihak sedikit mengalah saja, maka kekuatan lawan yang
dahsyat akan segera menerjang dan menggetar putus urat nadi
dalam tubuh. oleh karena menyadari bahaya ini, meski sudah
merasa kewalahan, Ciok-lolo toh terpaksa harus bertahan. .
Sudah tentu Kun-gi maklum, apa maksud teriakan Giok-lan tadi,
semula dia hendak bikin kapok nenek ini, tapi sekarang dia
urungkan niatnya. Katanya dengan tersenyum tawar: "Ciok-lo-lo,
boleh berhenti tidak? Kalau hanya dengan sebatang jari tanganmu
mungkin takkan mampu menekan aku sampai berjongkok."
Terasa oleh Ciok-lolo, seiring dengan pembicaraan Kun-gi pundak
anak muda yang sekeras baja itu tiba2 semakin lunak. kiranya dia
sudah mulai mengendurkan tenaganya.
Sudah lanjut usia Ciok-lolo, tapi masih berdarah panas dan masih
suka menang, merasakan lawan menarik tenaganya, hatinya
senang, segera dia kerahkan tenaga lebih besar, jarinya menekan
lagi ke bawah. Di luar tahunya, pundak Kun-gi mendadak berubah
jadi
Jilid 18 Halaman 29/30 Hilang
Melihat Ciok-lolo menaruh Curiga, lekas Giok— lan menyela
bicara: "Memangnya Ciok-lolo tidak tahu bahwa cong-sucia adalah
murid kesayangan Hoan-jiu-ji-lay Put-thong Taysu yang terkenal di
kalangan Kangouw"
Memangnya selama 30-an tahun ini tiada kaum persilatan yang
tidak mengenal kebesaran nama Hoan-jiu-ji-lay, tokoh kosen yang
sudah menjadi dongeng Bu-lim, umpama belum pernah lihat tentu
juga pernah mendengar namanya.
Terpantul mimik aneh pada wajah Ciok-lolo, katanya dengan
suara tinggi: "Pantas kalau begitu, nenek tua dikalahkan oleh
muridnya Hoan-jiu ji-lay, ya, cukup setimpal juga."-Lalu dia dia
mengulap tangan: "Nah, lekas kalian pergi:"
"Terima kasih Ciok-lolo," seru Giok-lan sambil memberi hormat.
Setelah masuk kepintu besar, dari dinding dia mengambil sebuah
lampion serta menyalakan lilin di dalamnya, katanya, "cong-sucia,
marilah lekas."-Mereka menaiki tangga batu yang menanjak ke atas,
beberapa kejap kemudian Giok-lan bertanya sambll menoleh: "Lingkongcu,
kau masih begini muda, tapi bekal Kungfumu sungguh luar
biasa."
Tawar tawa Kun-gi, katanya: "Nona jangan terlalu memuji."
"Apa yang kukatakan benar2 keluar dari lubuk hatiku yang
dalam. Kepandaian Ciok-lolo termasuk nomor satu dua di
lingkungan kita, hari ini dia terjungkal ditanganmu, tapi dia tunduk
lahir-batin."
Mendadak Kun-gi teringat sesuatu, hal ini masih melingkar2
dalam benaknya, Cuma dia merasa serba susah apakah hal ini patut
dia bicarakan dengan Giok-lan? Tengah dia menimang2, mendadak
tergerak hatinya, dia ingat pembicaraannya dengan Giok-lan
diperahu tadi, kenapa sekarang tidak mengorek keterangannya?
Maka dia lantas bertanya: "Mengenai pembicaraan kita di atas
perahu tadi, ada sebuah pertanyaan ingin kuajukan.”
“Ada partanyaan apa? " jawab Giok-lan.
"Nona pernah bilang bahwa Pangcu mengata-takan cayhe dapat
menawarkan getah beracun yang tak bisa dipunahkan oleh
siapapun,, maka tiada obat bius apapun di kolong langit ini yang
bisa membius pikiran cayhe, oleh karena itu kau merasa perlu untuk
memperingatkan kepada cayhe, apapun yang dikatakan Thay-siang
harus kupatuhi, betul tidak? ”
“Betul, Toaci memang suruh aku menyampaikan demikian.”
“Kenapa harus demikian? "
"Apa yang dikatakan Thay-siang selamanya tiada orang berani
membangkang, tiada yang pernah ragu2."
"Itu cayhe tahu, tapi Pangcu suruh nona memperingatkan hal ini
padaku, tentu ada sebabnya."
"Asal kau bekerja dan melaksanakan tugas seperti pesan kami,
tanggung kau t idak mengalami kesulitan.”
“Agaknya nona tidak suka menerangkan."
"Kalau kau tahu, tak perlu aku menjelaskan, kalau belum tah
lebih baik tidak tahu saja."
"Kalau cayhe terkena racun yang tak terobati dan terkena obat
bius yang pengaruhi pikiran cayhe? "
Giok-lan melengak, tanpa pikir ia berkata: "Kalau terjadi
demikian, aku dan Toaci pasti takkan berpeluk tangan."
Terharu Kun-gi: " Kalau demikian cayhe ha-rus berterima kasih
atas kebaikan kalian."
Giok-lan menghentikan langkah, tiba2 dia membalik badan,
katanya dengan nada penuh perhatian: "Apakah kau merasakan
gejala tidak enak pada tubuhmu? "
Kun-gi tersenyum, ujarnya: "Beruntunglah aku ini, tiada sesuatu
obat bius apapun yang tak dapat kutawarkan."
"o, jadi kau sedang menggodaku, "rengek Giok-lan, "sla2 aku
berkuatir bagimu"
"Mana berani cayhe menggoda nona, soal-nya ....."
"Ada, omongan apa silakan Ling-kongcu kata-kan saja, omongan
seorang Kuncu pasti tidak akan kubocorkan, tak usah kuatir."
"Legalah cayhe mendengar ucapan nona ini," kata Kun-gi,
mendadak dia gunakan ilmu gelombang suara "cayhe masih ingat
waktu pertama kali bertemu dengan Pangcu, atas pertanyaan
Pangcu cayhe pernah menyebut ibuku she Thi."
Semula Giok-lan kira ada persoalan penting apa yang hendak
dibicarakan oleh Kun-gi sampai dia merasa perlu menggunakan ilmu
bisikan, tak tahunya hanya membicarakan she ibunya. Tapi terpaksa
dia menjawab dengan ilmu suara pula: "Memangnya ada apa?
"
Tetap menggunakan ilmu suara Kun-gi berkata pula: "Waktu itu
Cayhe hanya bicara sekenanya, pada hal waktu Cayhe keluar
rumah, ibunda pernah berpesan wanti2, Cayhe dilarang menyebut
she beliau dihadapan orang luar."
"Soal ini hanya diketahui aku dan Toaci, kami pasti tidak akan
bicarakan kepada siapapun."
"Kemarin waktu Cayhe menemui Thay-siang, besar sekali
perhatiannya terhadap riwayat hidup-ku .... "
"Lalu kau juga katakan hal itu kepada Thay-siang? "
"Waktu itu aku lupa akan pembicaraanku dengan Pangcu, maka
kukatakan ibuku she ong."
"Jadi kau kuatir Thay-siang tanya soal ini padaku dan Toaci,
padahal jawabanmu satu sama lain tidak cocok? ”
“Begitulah maksudku, maka .....”
“Kau ingin aku bantu kau berbohong? "
"Selama hidup belum pernah Cayhe berbohong, soalnya pesan
ibu, harap nona ....."
"Tak usah sungkan, nanti sekembali akan ku-sampaikan Toaci,
kalau Thay-siang tanya, anggap-lah kami sendiri juga t idak tahu."
"Bukan sengaja Cayhe hendak membohongi Thay-siang, kalau
nona dan Pangcu dapat membantu, sungguh betapa besar terima
kasih Cayhe."
"Baiklah, hayo lekas jalan, jangan bikin Thay-siang menunggu
terlalu lama," langkah mereka segera dipercepat.
Setiba di ujung tangga batu, Giok-lan mendorong sebuah pintu
batu serta meniup padam api lampion dan digantung diatas tembok.
lalu mereka melangkah keluar.
Tahu2 sang surya ternyata sudah tinggi di tengah angkasa, tapi
kabut masih tebal di Pek-hoa-kok. pancaran sinar surya nan kuning
emas menambah semarak panorama lembah yang penuh di-taburi
kembang mekar semerbak. Pek-hoa-teng (gardu seratus bunga) di
tengah lembah sana seperti bercokol di antara taburan bunga yang
menyongsong pancaran sinar mentari.
Duduk menggelendot di kursi malas di dalam gardu yang
dibangun serba antik dan megah itu, gadis rupawan yang
mengenakan pakaian warna merah menyala, wajahnya ber-seri2
seperti mekar-kuntum2 bunga di Sekelilingnya, biji matanya
mengerling lembut, penuh gairah hidup nan bahagia, pelan2 dia
berdiri, bola matanya lekat meratap wajah Ling Kun-gi, katanya
dengan tertawa: "Kenapa Ling-heng Sekarang baru tiba? Sudah
sekian lama orang menunggumu di sini." Dia ubah panggilannya
menjadi Ling-heng (kakak Ling), terasa betapa mesra dan dekat
hatinya? Gadis rupawan ini bukan lain adalah Hu-pangcu So-yok.
Hari ini bukan saja dia bersolek dan berdandan, malah sinar
matanya tampak bercahaya, wajahnya berseri2 penuh gairah.
Sudah tentu kali ini dia tidak memakai kedok.
Tersipu2 Kun-gi menjura, katanya: "Maaf Hu-pangcu menunggu
terlalu lama."
Giok-lan tertegun, selamanya belum pernah dia melihat So-yok
berdandan begini cantik, maklumlah biasanya dia begitu angkuh,
dingin dan ketus.
So-yok mengiringi Kun-gi jalan ke depan, agak-nya Giok-lan
sengaja ketinggalan di belakang. Diam2 ia perhatikan So-yok hari ini
seolah2 telah ganti rupa, sembari jalan mukanya berseri tawa,
tangannya bergerak mengikuti celoteh mulutnya, sikapnya begitu
mesra.
Sikap Kun-gi sebaliknya kelihatan risi dan kikuk, kadang2 dia
sengaja menjauhkan diri, mungkin karena So-yok bersikap
merangsang sehingga perasaannya tidak tenteram, malah saban2
dia menoleh ajak Giok-lan bicara juga. Untunglah langkah mereka
lebar, lekas sekali mereka sudah tiba di depan gedung bertingkat
yang megah dan mentereng seperti dalam lukisan itu.
So-yok ajak mereka masuk ke ruang kecil di sebelah samping,
katanya tersenyum manis: "Silakan duduk Ling-heng." sekali tangan
bertepuk seorang pelayan berpakaian kembang lantas keluar,
katanya sambil membungkuk: "Ada pesan apa Ji-kohnio (nona
kedua)? "
So-yok menarik muka, katanya: "Memangnya kalian tidak tahu
aturan, Cong-sucia dan Cong-koan telah tiba, kenapa tidak lekas
tuang air teh, memangnya perlu kuperintahkan."
Gemetar tubuh pelayan itu, sambil munduk2 dia mengiakan terus
berlari keluar. Cepat dia sudah kembali membawa tiga cangkir teh
yang masih mengepul.
So yok berpesan: "Pergi kau tanya kepada Teh-hoa, bila Thaysiang
selesai dengan acara paginya, selekasnya memberitahu
kemari."
Pelayan itu mengiakan terus mengundurkan diri. Kira2 setanakan
nasi kemudian pelayan tadi kembali dengan langkah tergesa,
serunya membungkuk: "Thay-siang persilakan Conghouhoat dan
Congkoan menghadap."
So-yok manggut2, katanya sambil berdiri: "Ling-heng, Sammoay,
marilah kita masuk."
Mereka terus menyusur ke dalam, setiba di depan sebuah kamar,
So-yok langsung melangkah masuk serunya: "Suhu, Ling-heng dan
Sam-moay telah datang."
Maka terdengar suara Thay-siang dari dalam. "Suruh mereka
masuk."
So-yok membalik berkata kepada Kun-gi dan Giok-lan: "Thaysiang
suruh kalian masuk."
Sikap Kun-gi amatpatuh dan hormat, begitu melangkah masuk
segera dia menjura, serunya: “Hamba Ling Kun-gi memberi sembah
hormat ke-pada Thay-siang." Mulut mengatakan sembah hormat,
hakikatnya dia t idak berlutut sama sekali.
Sebaliknya Giok-lan lantas tekuk lutut menyembah, serunya:
"Tecu mendoakan Suhu sehat walafiat."
Duduk di atas kursi besar, sepasang mata Thay-siang setajam
pisau menatap Ling Kun-gi, sesaat kemudian baru manggut2,
katanya kepada Giok-lan.
"Bangunlah." Giok-lan mengiakan dan berdiri.
Thay-siang bertanya: "Sudah kau pilih dua belas dara kembang
yang kuminta itu? " Giok-lan menjawab sudah.
"Baik sekali," ucap Thay-siang, kembali sorot matanya berputar
ke arah Kun-gi, suaranya kalem: "Ling Kun-gi, tahukah kau untuk
apa Losin memanggilmu kemari? "
Hormat dan patuh suara Kun-gi: "Hamba menunggu perintah
Thay-siang."
Mendengar ucapannya ini, diam2 Thay-siang manggut2, katanya
lebih lanjut: "Kau terpilih menjadi Cong-hou-hoat-su-cia tahukah
apa tugas dari Cong-hou-hoat-su-cia sebenarnya? "
“Harap Thay-siang suka memberi petunjuk." seru Kun-gi.
"Cong-hou-hoat-su-cia memikul tugas mengawal Pangcu,
membela kepentingan Pang kita dan memberantas setiap musuh."
Kun-gi mengiakan sambil membungkuk.
"Walau di bawah Cong-hou-hoat-su-cia masih ada Houhoat
kanan kiri dan delapan Hou hoat serta 24 Su-cia yang berada di
bawah perintahmu, tapi tugas dan tanggung jawabmu adalah yang
terbesar.”
“Ya," kembali Kun-gi mengiakan-"Sebagai murid Put-thong
Taysu, dengan bekal kepandaianmu sekarang, kalau ada musuh
tangguh menyatroni kemari, sudah cukup kuat kau menghadapinya,
cuma dalam waktu dekat ini kita akan meluruk ke Hek-liong-hwe,
selama dua puluh tahun ini, tidak sedikit kaum persilatan dan
pentolan penjahat yang di jaring pihak Hek-liong-hwe, sebagai
Cong-hou-hoat Pang kita dengan tugas dan tanggung jawabmu itu,
kuyakin kau tidak akan membikin malu kita semua."
Jilid 18 Halaman 41/42 Hilangbakal
atau telah menjadi calon suami Hu-pangcu?
Sudah tentu Kun-gi tidak tahu akan liku2 ini, apa yang dia
harapkan hanya mencapai tujuannya sendiri, kenapa ilmu pedang
warisan keluarganya menjadi ilmu sakti pelindung Pek-hoa-pang? .
Dia yakin kedua jurus ilmu pedang yang akan diturunkan kepadanya
oleh Thay-siang tentu dua jurus ilmu sakti pelindung Pang itu..
Umpama kata hanya sejurus saja dirinya memperoleh kesempatan
belajar, maka dirinya pasti akan mendapat peluang untuk
menanyakan asal-usul dari ilmu pedang ini.
Kejadian ini sungguh sukar dicari, juga merupakan harapan yang
di-idam2kan setiap orang, keruan hatinya senang bukan main, lekas
dia menjura, serunya: "Dua jurus ilmu pedang yang diajarkan Thaysiang
tentu adalah ilmu pedang sakti yang tiada taranya, hamba
baru saja menjadi anggota, setitik pahala belum lagi kuperoleh,
mana kuberani ...."
Lekas So-yok menyela bicara: "Kau adalah Cong-hou-hoat-su-cia,
besar tanggung-jawabmu, maka Thay-siang melanggar kebiasaan
mengajar ilmu pedang padamu, lekaslah menyembah, dan
mengaturkan terima kasih? "
Thay-siang mengangguk, katanya "Kalau orang lain mendengar
Losin mau mengajarkan ilmu pedang padanya, entah betapa riang
hatinya, tapi kau bisa tahu diri mengingat baru masuk jadi anggota
dan belum sempat mendirikan pahala, inilah letak titik kebaikannya.
Ilmu silat memang teramat penting artinya bagi setiap insan
persilatan, karakter dan tindak tanduk merupakan pupuk dasar yang
utama pula, agaknya aku tidak salah menilai dirimu"
Sampai di sini dia menoleh kepada So-yok dan Giok-lan, katanya:
"Dalam meluruk ke Hek-liong-hwe kali ini, menurut perhitungan
gurumu kcsempatan menang hanya lima puluh persen saja, maka
setiap orang harus mempunyai bekal yang cukup untuk
mengembangkan kemampuan bartempur secara tersendiri, maka
kalianpun boleh ikut masuk bersamaku, akan kutambah sejurus ilmu
pedang pula kepada kalian, bagi Giok-lan nanti kuizinkan
mengajarkan jurus kedua, kepada Bwe-hwa dan lain2, tapi dalam
jangka tiga hari, semua orang sudah harus sempurna dalam latihan,
kini kita tentukan tiga hari lagi lalu akan mulai bergerak."
Bahwa Thay-siang juga akan mengajarkan lagi sejurus ilmu
pedang, tentu saja So-yok kegirangan, serunya berjingkrak: "Suhu,
kau baik sekali."
Giok-lan menjura hormat: "Tecu terima perintah."
Thay-siang sudah berdiri, sekilas dia pandang Kun-gi, katanya
lembut. "Kalian ikut aku." segera ia melangkah masuk.
Lekas So-yok mendorong pelahan punggung Kun-gi, katanya
lirih. " Lekas jalan"
Memangnya Kun-gi ingin cepat2 masuk dan melihat keadaan
yang sebenarnya, tanpa banyak bersuara segera ia melangkah
masuk. mereka berada di sebuah pekarangan di belakang aula
pemujaan-dipinggir sana berjajarpot2 bunga cempaka, begitu
mereka memasuki pekarangan belakang, bau harum bunga
semerbak merangsang hidung membangkitkan semangat dan
menyegarkan badan-Suasana hening sepi dan terasa khidmat,
dengan langkah pelan dan mantap Thay-siang berjalan di depan, dia
menyingkap kerai terus masuk ke dalam. Kun-gi, So-yok dan Gioklan
beruntun ikut masuk juga .
Kun-gi celingukan kian kemari, kamar ini berbentuk panjang.
tepat di atas dinding tengah terpancang sebuah lukisan seorang
laki2 berwajah merah berjambang mengenakan jubah kelabu, kedua
matanya tajam, kelihatan gagah perkasa.
Di atas gambar orang terdapat sebaris huruf yang berbunyi:
"Gambar ayah almarhum Thi Tiong hong."
Mencelos hati Kun-gi, tempat ini adalah kediaman Thay-siang,
ayah almarhum di dalam gambar itu tentu ayah dari Thay-siang.
Memangnya Thay-siang juga she Thi? Jadi dia satu she dengan
ibunda. Memang tidak sedikit orang she "Thi" di kolong langit ini,
tapi bagaimana dengan Hwi-liong sam-kiam? Hanya beberapa
gelintir orang saja yang pernah mempelajari ilmu pedang sakti mi.
Mungkinkah dia dengan ibu .... Terasa persoalan pelik ini pasti
sangat ada hubungannya, tapi sukar menyelaminya.
Tiba dihadapan lukisan, Thay-siang menyulut tiga batang hio,
pelan2 dia tekuk lutut dan bersembahyang, mulutnya komat-kamit,
sesaat kemudian baru berdiri, katanya dengan membalik badan-
"Ling Kun-gi, majulah kemari, sembah sujud kepada Cosu."
Kun-gi berdiri tidak bergerak. katanya hormat: "Lapor Thaysiang,
memang hamba sudah jadi anggota Pek-hoa-pang, tapi tak
mungkin aku mengangkat guru lagi."
Sudah tentu So-yok dan Giok-lan terperanjat, mereka kenal
betapa buruk watak Thay-siang, setiap orang tunduk dan patuh
pada setiap patah katanya, belum pernah terjadi seorang berani
menolak keinginannya.
Tapi di luar dugaan kali ini Thay-siang ternyata tidak marah,
malah dia unjuk senyum manis, katanya: "Losin tahu kau adalah
murid Put-thong Taysu, mana berani kupaksa kau menjadi murid ku,
apa lagi tiada laki2 yang pernah kuterima menjadi murid, tapi
sekarang Losin harus ajarkan ilmu pedang padamu betapapun kau
harus bersembah sujud dulu kepada Cosu (cakal bakal) ilmu pedang
itu"-Apa yang diuraikan ini memang juga masuk akal.
Maka Ling Kun-gi berkata dengan hormat:
"Baiklah, hamba terima perintah."-Lalu dia berlutut di depan
gambar dan menyembah empat kali.
Di atas meja Thay-siang memungut dua gulung am kertas terus
diangsurkan kepada Kun-gi katanya: "Inilah jurus pertama dan
kedua dari Tin-pang-kiam-hoat kita, Losin kali ini mengajar padamu
dengan melanggar pantangan-. setelah kau berdiri akan kumulai
mengajarkan teorinya."
Kun-gi terima gulungan kertas itu katanya: "Terima kasih akan
kebaikan Thay-siang." Lalu dia berdiri:
Kata Thay-siang: "Walau Losin dengan kau tiada hubungan guru
dan murid, tapi aku punyatangung jawab sebagai orang yang
mengajarkan ilmu pedang ini padamu, maka selanjutnya jangan kau
sia2kan pengharapan Losin-"
"Selama hidup hamba tidak akan melupakan kebaikan ini," seru
Kun-gi khidmat. Thay-siang menuding ke dinding sebelah timur,
katanya: "Gantunglah di sana"
Kun-gi beranjak ke arah yang ditunjuk, di-lihatnya ada dua paku
di atas dinding, maka dia buka gulungan kertas lalu
menggantungnya di dinding. Gambar pertama adalah lukisan jurus
Sin-liong jut-hun (naga sakti muncul dari mega), tepat di atas
gambar bertuliskan-“Hwi-liong-sam-kiam jurus pertama Sin-liong
jut-hun."
Tersirap darah Kun-gi, timbul berbagai tanda tanya dalam
benaknya, mendadak ia bertanya: "Tin-pang-sam-kiam yang Thaysiang
maksud apakah Hwi-liong-sam-kiam ini?"
"Betul, ketiga jurus ilmu pedang ini dulu dinamakan Hwi-liongsam-
kiam. Sejak Losin mendirikan Pek-hoa-pang, namanya kuganti
menjadi Tin-pang-sam-kiam.”
“Apakah ketiga jurus ilmu pedang ini adalah ciptaan Cosu yang
barusan kusembah ini? ”
“Ya, bolehlah dikatakan demikian," ucapnya. ini berarti mungkin
juga bukan ciptaannya.
Agaknya Thay-siang merasa terlalu banyak pertanyaan yang
diajukan Kun gi, maka sikapnya tampak kurang sabar, katanya:
"Ling Kun-gi, mungkin mereka sudah pernah memberitahu padamu,
Losin adalah orang yang tidak senang ditanyai tetek-bengek."
Kun-gi mengiakan, katanya: "Karena mendapat berkah pelajaran
ilmu pedang ini, maka hamba ingin mengetahui sedikit asal-usul
ilmu pedang ini saja."
Thay-siang mendengus, katanya: "Ajaran pedang adalah cara
bagaimana kau memainkan pedang, cukup asal kau belajar dan apal
cara bagaimana menggerakkan pedang ditanganmu." Kali ini Kun-gi
tidak berani bicara lagi, lekas ia mengiakan sambil munduk2.
Tanpa bicara lagi Thay-siang lantas mengajarkan teorinya kepada
Ling Kun-gi, lalu dia tunjuk lingkaran2 di dalam gambar serta
memberi penjelasan secara terperinci, dia terangkan pula gerak
tubuh, langkah kaki serta gerak pedangnya serta variasi
perubahannya. Lalu dia suruh So-yok dengan gerak dan gaya yang
jelas mendemonstrasikan jurus yang dia jelaskan beruntun dua kali.
.
Sebetulnya ketiga jurus ilmu pedang ini sudah terlalu apal kalau
tidak mau dikatakan sudah di luar kepala Kun-gi, tapi sekarang dia
pura2 menaruh perhatian dan mendengarkan dengan seksama.
Setelah So-yok berhenti baru Thay-siang ber-tanya: "Kau sudah
paham? "
“Hanya gaya pedang dan jurus2nya saja yang hamba ingat,
sementara variasi perubahannya dalam waktu dekat masih sulit
kuselami" demikian jawab Kun-gi.
Thay-siang tersenyum senang, katanya: "Perubahan kedua jurus
ilmu pedang ini memang ruwet dan banyak cabangnya pula, bahwa
kau bisa mengingat gerak-tipunya sudah terhitung bolehlah, inti sari
jurus pedang ini harus lebih meresap kau pelajari, memangnya
dalam jangka sesingkat ini kau dapat memahaminya? Terus kan
latihanmu di sini, sebelum matahari tenggelam kau harus, apal dan
sempurna mempelajari kedua jurus ilmu pedang ini, sekarang akan
kuambil kembali lukisan ini." Kun-gi munduk2 sambil mengiakan-
Thay-siang mengambil pula gulungan kertas lain yang lebih kecil
dari meja pemujaan, katanya membalik kearah So-yok dan Giok-lan,
"Kalian masuk ke sana ikut gurumu."-Lalu dia mendahului
melangkah ke kamar sebelah kiri, Giok-lan dan So-yok mengikut i di
belakang tanpa bersuara, tentunya mereka juga akan diajari jurus
ketiga da-ri Tin-pang-sam-kiam itu.
Selama tiga hari ini, seluruh penghuni Pek— hoa-ceng, seluruh
anggota Pek-hoa-pang sibuk dan giat latihan memperdalam ilmusilat
masing2, ada yang sibuk latihan pedang,
Ada yang menggosok golok atau gaman masing2, tak sedikit pula
yang mengeraskan kepalan dan meringankan tendangan kaki,
suasana ramai penuh dihinggapi semangat tempur yang berkobar.
Semua satu hati, ingin unjuk kepandaian sendiri di medan tempur
melawan jago2 Hek-liong-hwe.
ooooodwooooo
Sampai hari keempat, hari masih pagi, bintang masih berkelapkelip
di cakrawala, udara masih dingin diliputi kabut tebal, Tiada
nampak sinar lampu di Hoa-keh-ceng yang terletak diPek-ma-kok.
tapi adalah serombongan orang berbaris sedang keluar dari pintu
gerbang.
Barisan ini dipimpin sendiri oleh Thay-siang yang berpakaian
serba hitam dengan cadar hitam pula, di belakangnya berturut2
adalah Bok-tan, Pek-hoa-pangcu, Hu-pangcu So-yok, Congkoan
Giok-lan serta tujuh Tay-cia, mereka adalah Bi-kui, Ci-hwi, Hu-yong,
Hong-sian, Giok-je, Hay-siang dan Loh-bi-jin, paling belakang adalah
barisan 24 dara2 kembang, semua berpakaian ringkas ketat warna
gelap.
Inilah kekuatan inti Pek-hoa-pang yang langsung di bawah
komando Thay-siang. Sementara Bwe-hoa, Liau-hoa, Tho-hoa, Kickhoa
dan Giok-li berlima mengantar keluar, mereka berlima tidak
turut serta, tapi ditugaskan menjaga Hoa-keh-ceng.
Hari masih gelap. sepanjang pesisir danaupun masih pekat tiada
sinar lampu. Tapi di tengah kegelapan berkabut tebal itu, dipinggir
danau pada dermaga paling utara berlabuh sebuah kapal besar,
bertingkat tiga, dari ujung yang satu ke ujung yang lain kapal ini
bercat hitam legam, maka kelihatannya seperti sebuah bukit kecil
yang bertengger di pinggir danau.
Karena tidak tampak sinar lampu sehingga terasa kapal
bertingkat ini rada misterius. Di daratan tampak bayangan orang
berbaris berjajar memanjang, tegak siap tanpa bersuara. Mereka
dipimpin oleh Ling Kun-gi, disambung Leng Tio-cong, Coa Liang, lalu
Kongsun Siang, Song Tek-seng, Cin Te-khong, Thio Lam-jiang, Toh
Kian-ting, Lo Kun-hun, Yap Kay-sian, Liang lh-jun, paling akhir
adalah ke-12 Houhoat-sucia.
Setelah mereka menyambut kedatangan Thay-siang ke atas
kapal, lalu beruntun merekapun naik ke atas kapal pula. Kejap lain
kapal besar ini telah berlayar kearah utara, suasana tetap hening
tak ada yang bersuara.
Tak lama kemudian kegelapanpun berganti remang2 lalu muncul
sinar emas kemilau di ufuk timur, kabut semakin tipis, sinar surya
terang benderang memancarkan cahaya di permukaan danau nan
tenang, tiada yang tahu bahwa di balik ke tenangan ini laksana bara
di dalam sekam.
Kapal yang ditumpangi Pek-hoa-pang Thay-siang Pangcu untuk
menyerbu Hek-liong-hwe ini sudah tentu dibuat khusus,
kekuatannya berlipat ganda. berlaju lebih cepat daripada kapal
besar seukurannya. Kapal ini terbagi tiga tingkat tapi yang kelihatan
dipermukaan air hanya dua tingkat. Tingkat paling atas tempat
kediaman Thay-siang, Bok-tan, So-yok, Giok-lan dan enam Taycia.
Ting-kit kedua untuk Ling Kun-gi bersama para hou-hoat-sucia,
Tingkat paling bawah diperuntukanpara dara kembang yang
dipimpin Loh-bi-jin.
Kapal terus laju ke utara. Semua hanya tahu tujuan mereka
untuk bertempur mati2an dengan orang2 Hek-liong-hwe, sementara
di mana letak sarang Hek-liong-hwe tiada seorangpun yang tahu,
berapa lama pula mereka harus berlayar baru akan tiba ditempat
tujuan? Ini merupakan rahasia, sampaipun Bok-tan dan So-yok,
pimpinan tertinggi Pek-hoa pang juga tidak tahu. . Sudah tentu
mereka sama heran dan ber-tanya2, Kalau Hek-liong-hwe musuh
Pek-hoa-pang, kenapa Thay-siang harus merahasiakan sarang
musuh?
Pagi hari kedua setelah mereka berlayar, udara masih remang2,
semalam kapal bertingkat ini berlabuh di Tay koh-teng, sejauh ini
belum lagi berangkat. Enam sampan berbentuk lonjong yang bisa
bergerak gesit dan cepat dipermukaan air tampak berdatangan,
kiranya tiba saatnya berganti piket 12 Houhoat-sucia bergiliran
ronda malam dengan kedelapan Houhoat di sekeliling perairan-Pada
tingkat kedua terdapat sebuah ruangan makan yang luas, tempat
untuk istirahat pula, tiga meja segi delapan berjajar dalam bentuk
segi tiga terletak di tengah ruangan-Pada saat mana Cong-houhoatsucia,
Coh-yu-hou-hoat dan delapan Hou-hoat berada di ruang
besar ini. Inilah saatnya sarapan pagi.
Derap kaki yang berat berdantam di atas geladak, dua bayangan
orang cepat sekali sedang turun ke-ruang makan ini. Leng Tlo-cong
yang duduk paling ujung kiri sedang menggerogot sebuah bakpau
sambil menoleh, mendadak matanya terbeliak dan bertanya kereng:
"Apa terjadi sesuatu Toh-houhoat dan Lo-houhoat? "
Toh Kian-ling dan Lo Kun-hun semalam bertugas dengan empat
Houhoat lain meronda perairan, setelah terang tanah baru kembali,
untuk kembali sebetulnya tidak perlu tergesa2, karena mendengar
langkah mereka yang gugup inilah maka Leng Tlo-cong merasa
curiga lalu bertanya.
Yang masuk memang Toh Kian-ling dan Lo Kun-hun, keduanya
menjura. Toh kian-ling men-jawab: "Apa yang dikatakan Cohhouhoat
memang betul, Nyo Keh-cong dan Sim Kian-sin sama2
terluka."
Tergetar Leng Tiong cong, tanyanya: "Terjadi apa, di mana? ”
“Di sebelah utara Toa-hou-san.”
“Dimana mereka? "
"Sudah kembali, cuma dua kelasi diperahu Sim Kian-sin sama
tewas."
Tengah bicara, tampak datang Ban Yu-wi, Coh Hok-coan berdua
memapah Sim Kian-sin dan Nyo Keh cong yang terluka itu.
Kun-gi berdiri menyambut kedatangan mere-ka, tanyanya:
"Bagaimana luka2 kalian?"
Toh Kian-ling menerangkan: "Nyo-sucia terluka dipaha oleh
senjata gelap musuh, untung dia selalu membawa obat, racun
sudah dikupas, cuma senjata rahasia terlalu kecil, masih sukar
dikeluarkan-badan Sim-sucia terluka tiga bacokan pedang, terlalu
banyak keluar darah, tadi sampai pingsan, setelah kubalut dan telan
dua butirobat, keadaannya sudah agak pulih, kesehatan mereka
tidak perlu di-kuatirkan lagi.”
“Bagus, biar mereka duduk. coba akan kuperiksa," kata Kun-gi.
Ban Yu-wi dan Coh Ho-coan mengiakan, mereka bimbing kedua
orang yang terluka itu duduk di kursi.
Ting Kiau tampak beranjak masuk dari dalam baju dia keluarkan
sebuah lempengan besi persegi, katanya: "Cong coh (panggilan
dinas pada Ling Kun-gi), inilah senjata rahasia lembut dipaha Nyoheng,
mungkin sebangsa jarum beracun. bagaimana kalau kuperiksa
dan menyedotnya keluar? "-Dia bersenjata kipas lempit yang
biasame-nyemburkan jarum2 beracun, maka selalu ia bawa besi
sembrani untuk menyerap jarum2 beracun itu.
Kun-gi tahu bahwa anak buahnya ini sama merasa sirik padanya
karena merebut jabatan Cong-houhoat, kinilah kesempatan
untuknya mendemontrasikan kepandaiannya di depan orang
banyak. maka dia berkata: "Tak usalah, biar kuperiksa lebih dulu."
Lalu dia singkap kaki celana Nyo Keh-cong yang telah dirobek.
tampak lima lubang kecil berwarna biru, kulit dagingnya sudah dipolesi
obat penawar getah bercun, kadar racunnya boleh dikatakan
sudah tawar, tapa batang jarum masih berada di dalam daging,
maka dia berpaling sambil menuding lubang kecil itu, katanya:
"Jarum ini memang beracun, meski sudah dipolesi obat penawar,
daging dan darah tetap keracunan, kalau hanya menyedot keluar
jarumnya saja tanpa mengeluarkan darah yang sudah keracunan,
kalau terlalu lama tetap akan membahayakan badan."
Toh Kian-ling berkata: "Hamba sudah memberi minum t iga butir
pil penawar racun buatan Pang kita,"
Kun-gi menggeleng dan berkata: "Kukira tidak berguna, kecuali
Nyo-heng sendiri mampu mengerahkan hawa murni dan mendesak
jarum keluar dari kulit dagingnya."
Sudah tentu keterangannya ini sia2 belaka, duduk saja Nyo Kehcong
sudah payah, mana mampu mengerahkan tenaga segala?
Kun-gi lantas mengusap permukaan kulit paha Nyo Keh-tong
yang bengkak, kejap lain dia membalik tangan, tampak lima batang
jarum baja selembut bulu kerbau berjajar di telapak tangannya.
Leng Tio-cong terbeliak serunya tertahan: “Hebat betul Lwekang
Cong coh."
Kun-gi tertawa, ujarnya: "Bicara kekuatan Lwekang sejati, mana
aku bisa menandangi Leng-heng, apa yang kugunakan barusan
adalah daya sedot dari Kim-liong-jiu saja."
Dipuji dihadapan umum, sudah tentu Leng Tio-cong merasa
bangga dan besar pula artinya bagi pribadinya. Maka mukanya
berseri, berulang dia menjura, katanya: "Cong coh terlalu memuji "
Sementara itu Kun-gi ulur tangan kiri menggenggam telapak
tangan kanan Nyo Koh-cong, diam2 dia kerahkan hawa murni
melalui lengan orang terus mendesak kepaha orang, Maka Kelihatan
darah hitam mulai meleleh keluar dari kelima lubang jarum. Tak
lama kemudian, darah hitam telah berganti darah merah segar.
Kun-gi lantas lepas genggamannya, katanya:. "Sudah, racun sudah
mengalir keluar, lekas kalian bantu memberi obat luar serta dibalut."
Nyo Keh-cong menarik napas panjang, hatinya lega, tapi masih
lemah, katanya: "Terima kasih, Cong coh."
Ban Yu-wi mengeluarkan obat dan membalut luka kawan itu.
Kemudian Kun-gi bertanya. “Hari ini siapa yang piket? "
Coa Liang menjawab: "Yap Kay-sian dan Liang Ih-jun."
Yap Kay-sian dan Liang Ihjun, segera tampil ke muka, katanya
sambil menjura: "Entah Congcoh ada pesan apa?" Empat Houhatsucia
juga ikut berbaris di belakang mereka.
"Waktu berlayar lagi, kalian harus segera berangkat, periksa dulu
daerah sekitar Toa-hou-san. kalau menemukan jejak musuh, berilah
tanda penghubung.".
Yap Kay-sian dan Liang Ih-jun mengiakan, setelah menjura terus
bawa empat Hou-hoat-sucia berangkat.
Baru saja Kun-gi hendak minta keterangan lebih jelas dari Nyo
Keh-cong dan Sim Kian-sin tentang peristiwa yang terjadi. Tiba2
Congkoan Giok-lan melangkah masuk.
Kun-gi mendahului berdiri serta menyapa, Giok-lan balas hormat
dan berkata: "Cong-sucia, kalian boleh duduk. tak berani kuterima
penghormatan ini."
Leng Tio-cong menyingkir ke kanan bersama Coa Liang, tempat
duduknya diperuntukan Giok— lan. Semua orang kembali duduk
berurutan.
Giok-lan memandang Nyo dan Sim berdua, tanyanya: "Cong-sucia,
mereka berdua terluka, apa yang terjadi? "
"Mereka mengalami sergapan di sekitar Toa-hou-san," tutur Kungi.
"Orang Hek-liong-hwe? "
Menuding jarum yang terletak di meja, Kun-gi berkata: " orang
itu menggunakan Bhe-hay-ciam yang direndam getah beracun,
tentunya orang Hek— liong-hwe.”
“Apakah sudah kau kirim orang menyelidiki tempat kejadian? "
tanya Giok-lan"
Yap dan Liang berdua Hou-hoat sudah ku-utus kesana, menurut
dugaanku bangsat itu tentu sudah angkat kaki, apa lagi sekarang
sudah terang tanah, mungkin takkan memperoleh apa2."
Tengah bicara dilihatnya Hu-pangcu So-yok melangkah tiba,
matanya mengerling kearah Kun-gi, katanya lincah: "Ling-heng,
katanya orang kita mengalami sergapan? Apakah bentrok dengan
orang2 Hek-liong hwe"
Kun-gi berdiri, katanya tertawa: "Kebetulan Hu-pangcu kemari,
duduk persoalannya aku sendiri juga belum jelas, Silakan duduk."
Dia berdiri lalu menyilakan So-yok duduk di tempatnya.
"Silakan duduk Ling-heng, aku duduk bersama Sam-moay saja."
Terpaksa Kun-gi duduk kembali di tempatnya. Toh Kian-ling dan
Lo Kun-hun sama2 berdiri dan menyapa: "Hamba memberi hormat
kepada Hu-pangcu.”
“Semalam kalian berdua yang piket? " tanya So-yok. Toh dan Lo
mengiakan-
"Kapan perist iwa itu terjadi? " tanya So-yok pula.
"Kira2 kentongan ke-lima," tutur Toh Kian-ling, lalu dia
menerangkan lebih lanjut: "Semalam waktu kami keluar, bersama
Lo-heng kami terbagi dua kelompok. Lo-heng bersama Ban dan Coh
bertiga meronda ke selatan Toa-hou-san, hamba bersama Nyo dan
Sim tiga orang memeriksa bagian utara, kentongan kelima, cuaca
amat gelap. permukaan danau diliputi kabut tebal, dalam jarak lima
tombak tak terlihat apa2 .....”
“Ceriterakan secara singkat, jangan bertele2," tukas So-yok tak
sabar.
Toh Kian-ling tahu watak Hu-pangcunya ini, maka cepat ia
meneruskan: "Sampan kita bertiga beriring dalam jarak belasan
tombak. karena kabut amat tebal, hamba berdiri di ujung perahu,
mendadak kudengar suara bentakan di depan, cepat kusuruh kayuh
sampan ke arah datangnya suara, tapi Waktu. . .. waktu hamba
tiba, dua tukang perahu disampan Sim-sucia sudah menjadi korban,
Sim-heng terkena tiga bacokan pedang, badan berlumuran darah
dan rebah di atas sampan, melihat hamba datang mulutnya masih
sempat berteriak. "Kejar" lalu jatuh semaput, sedang Nyo-sucia juga
menggeletak di ujung sana terkena senjata rahasia musuh dan tak
sadarkan diri."
"Kau sendiri tidak melihat bayangan musuh? " tanya So-yok
"Waktu itu kabut amat . . . ." sebetulnya dia hendak mengatakan
"amat tebal", tapi dia lantas berhenti lalu menyambung pula: "waktu
hamba menyusul tiba, kapal musuh sudah tidak kelihatan lagi."
Karena terluka tiga bacokan pedang dan terlalu banyak keluar
darah, keadaan Sim Kian-sin paling payah, sambil berpegang pinggir
meja dia berdiri dan berkata: "Lapor Hu-pangcu, duduk kejadiannya
hanya hamba yang paling jelas.”
“Luka Sim-heng tidak ringan, bicaralah sambil duduk saja," ujar
Kun-gi. Mengawasi So-yok. Sim Kian-sin tidak berani bersuara.
Giok-lan lantas menyela: "Cong-sucia suruh duduk, maka
duduklah kau sambil bicara."
Sim Kian-sin berduduk. lalu sambungnya: "Tempat kejadian kira2
di sebelah barat laut Toa-hou-san, sampan hamba waktu itu kira2
hanya lima li dari daratan, kudengar suara percikan air, semula
kukira sampan Nyo heng yang mendekat, maka tidak kuambil
perhatian ....." So-yok mendengus tidak sabar.
Sim Kian-sin merandek dan tergagap. lekas dia meneruskan
kisahnya: "Akhirnya kudengar pula suara benda kecebur, waktu aku
berpaling, terlihat bayangan hitam melesat di buritan, baru saja
hamba menghardik, gerak-gerik bayangan itu amat lincah, tahu2
pedangya sudah menusuk t iba terpaksa hamba melawannya."
"Kau tidak melihat jelas wajahnya? " tanya So-yok,
"Bukan saja dia herpakaian serba hitam, batang pedangnya
itupun hitam legam, hamba hanya melihat perawakannya kurus
tinggi, sayang tidak sempat melihat wajahnya."
"Bagaimana permainan pedangnya? " tanya Giok— lan-
"Ilmu pedangnya keras dan ganas, hamba melawannya dua
puluhan gebrak, paha terkena bacokan sekali "
"Kapan Nyo Keh-cong menyusul tiba?" tanya So-yok,
"Kira2 setelah kami bergebrak sepeminuman teh, sampan Nyoheng
datang dari arah kiri, kudengar Nyo-heng membentak sembari
menubruk datang, maka kulihat orang berbaju hntam itu
mendengus dan mengayun tangan kiri sambil menyeringai:
Turunlah Kabut amat tebal, kuatir Nyo-heng kena dikerjai maka
hamba berteriak: Awas Nyo-heng Tapi Nyo-heng sudah telanjur
melompat datang, kudangar dia mengeluh sekali terus tersungkur di
buritan, karena sedikit terpencar perhatianku kembali aku terkena
serangan lawan, pedangnya dilumuri getah beracun, kaki hamba
seketika menjadi kaku dan roboh terkapar, untung sampan yang lain
sudah berdatangan, bangsat itu tampak gugup terus melarikan diri,
kejap lain Toh-houhoatpun tiba."
So-yok menggeram gusar, katanya: "Musuh hanya datang satu
orang, bayangannya saja kalian tidak jelas, pihak kita sudah jatuh
dua korban, kalau seperti ini gelagatnya, memangnya ada harapan
kita meluruk ke sarang Hek-liong-hwe? "
Gelisah sikap Toh Kian-ling, jawabnya malu: "Ya, hamba memang
tidak becus. . . ."
"Kalian ini memang cuma setimpal makan minum dan ber-foya2
saja di Hoa-keh-ceng." So-yok muring2.
"Kejadian di luar dugaan, kabut tebal lagi, berhadapanpun sukar
melihat wajah orang, cuaca buruk ini memang amat
menguntungkan musuh," demikian timbrung Kun-gi.
So-yok mencibir, katanya: "Kalau peristiwa semalam diketahui
Thay-siang, siapa yang akan ber-tanggung jawab kalau dicaci maki?
"
Kun-gi tertawa, katanya: "Sejak mula Thay-siang sudah bilang,
tanggung jawab kepentingan Pang kita berada dipundakku, sudah
tentu akulah yang harus bertanggung jawab? "
"Bagaimana kau akan bertanggung jawap? " tanya So-yok
dengan kerlingan mata genit.
"Dalam beberapa hari lagi, Cayhe yakin akan berhasil menangkap
bangsat itu, cukup bukan? "
So-yok berdiri, katanya: "Bicaralah setelah bangsat itu betul2 kau
tangkap. jangan takabur lebih dulu, dihadapan Thay-siang jangan
sekali2 kau bicara demikian-"
Melihat Hu-pangcu berdiri, lekas Giok-lan ikut berdiri, kata Kungi:
"Memangnya Hu-pangcu tidak percaya kepadaku? "
Menggiurkan tawa So-yok. katanya: "Aku percaya . . . .
"bergegas dia melangkah pergi dan Giok-lan ikut di belakangnya.
Setelah So-yok pergi, perasaan para Houhoat sama lega dan
enteng, mereka bersenda gurau sebentar, lalu Leng Tiong-cong
berdiri sambil menenteng pipa cangklong. katanya: "Sudahlah, kapal
sudah berlayar cukup jauh, sudah hampir sampai Toa-hou-san, hari
ini yang piket di kapal besar adalah Cin Tek-khong dan Tio Lamjiang
bukan? Marilah kita naik ke atas geladak."
Cin Tek-khong dan Thio Lam-jiang mengiakan bersama, mereka
ikut Leng Tio-cong naik keatas.
Kamar tidur Ling Kun-gi terletak di sebelah kiri ruang makan,
kecuali dipan, dipinggir jendela masih ada sebuah meja kecil dan
dua buah kursi. Pajangan amat sederhana, tapi di atas kapal
keadaan ini sudah cukup bagus untuk tempat tinggal. Waktu Kun-gi
kembali ke kamarnya, sepoci teh kental sudah tersedia di mejanya,
dia tuang secangir teh lalu duduk di kursi yang dekat jendela,
didengarnya seorang mengetuk pintu pelahan.
"Siapa?" tanya Kun-gi.
Orang di luar menjawab: "congcoh, hamba Kongsun Siang."
"Silakan masuk Kongsun-heng," seru Kun-gi.
Kongsum Siang dorong pintu melangkah masuk. katanya
menjura: "Hamba tidak mengganggu congcoh bukan."
Kun-gi taruh cangkir tehnya di atas meja, katanya berdiri:
"Silahkan duduk Kongsun-heng, marilah minum secangkir," dia
ambil cangkir lain hendak menuangkan air teh.
Buru2 Kongsun Siang maju sambil berkata gugup: "Biarlah
hamba ambil sendiri."
"Jangan sungkan Kongsun-heng, berada di kamarku ini, aku jadi
tuan rumah," Kun-gi tuang secangkir air teh terus ditaruh di meja.
"Terima kasih congcoh," Ucap Kongsun Siang.
"Usia kita sebaya, kenapa tidak mebahasakan saudara saja,
dipanggil congcoh rasanya risi," kata Kun-gi berkelakar.
Bersinar biji mata Kongsun Siang, katanya: "Pertama kali hamba
berhadapan dengan congcoh lantas timbul perasaan cocok. dalam
pertandingan tempo hari sungguh membuat hamba kagum dan
tunduk lahir batin. Sayang jabatan membatasi kita, kalau tidak
hamba ingin benar angkat persaudaraan-"
Kun-gi tertawa, katanya: "ini cocok dengan pikiranku, memang
sudah kulihat Kongsun-heng punya pambek luar biasa, selanjutnya
bolehlah kita saling membahasakan saudara saja?"
Haru dan terima kasih Kongsun-siang, katanya: "Maksud baik
congcoh sungguh tak terhingga terima kasih hamba, tapi ada aturan
Pang kita yang membatasi diri kita, betapapun hamba tidak berani
melanggarnya.
"Pangcu, Hu-pangcu dan congkoan serta dua belas TayCia
bukankah juga saling membahasakan saudara, mereka toh tidak
melanggar aturan Pang."
"Betapapun hamba tidak berani gegabah."
"Kalau Kongsun-heng kukuh pendapat, biarlah di kamarku
sekarang kita tidak perlu sungkan dan kikuk. Mari silakan duduk
Kongsun-heng, kita mengobroL"
"Ling-heng sudi merendahkan derajat bersahabat dengan hamba,
baiklah aku menurut perintah saja," demikian ucap Kongsun Siang,
lalu dia duduk di kursi di depan Kun-gi, katanya: "Guruku berwatak
jujur dan setia, walau orang2 Kangouw memberi julukan Sia-long (
serigala sesat ) kepada beliau, yang betul beliau lurus dan
bijaksana, cuma jarang bergaul, selama hidup tak pernah tunduk
kepada siapapan, hanya terhadap guru Ling-heng seorang beliau
tunduk dan kagum setinggi langit, pernah beliau bilang, hanya
gurumu seorang di wilayah Tionggoan yang dipuja dan
dikaguminya."
"Guruku juga pernah menyinggung guru Kong-sun-heng, ilmu
pedangnya menyendiri merupakan aliran yang tiada bandingan,
memang tidak malu beliau sebagai cikal bakal suatu aliran-"
"Sudah tiga tahun aku masuk ke daerah sini, tidak sedikit kaum
persilatan yang kukenal, sampai akhirnya mendarma baktikan diri
pada Pek-hoa—pang, kurasa kaum Bu-lim di Tionggoan hanyalah
bernama kosong belaka, bahwa guruku hanya mengagumi gurumu
saja, maka akupun,hanya kagum dan simpatik terhadap Ling-heng
seorang."
"Mungkin inilah yang dinamakan jodoh," ujar Kun-gi.
Habis minum, mendadak ia bertanya: "Sejak kapan Kongsunheng
bekerja di Pek-hoa-pang?"
"Pada tahun lalu, di Lo-san aku bertemu dengan seorang
pemuda, kami bicara panjang lebar dan terasa cocok satu sama lain,
akhirnya kuketahui bahwa dia adalah salah satu dari ke-12 Taycia,
yaitu Hong-sian, dia yang menarikku ke dalam Pek-hoa-pang."
"O, kiranya nona Hong-sian, memangnya kalian sudah
berhubungan amat int im."
Merah muka Kongsun siang, katanya malu2: "Ling-heng jangan
menggoda, hubungan kami hanya sahabat biasa saja."
"Demi si dia Kongsun-heng rela masuk jadi anggota Pek-hoapang,
mana boleh dikatakan tiada hubungan intim? Soal ini
serahkan saja padaku, pasti kubantu sekuat tenaga .... "
Bertaut alis Kongsun Siang, mendadak dia angkat kepala,
katanya: "Kupandang Ling-heng sebagai kawan dekatku, maka
kubicara terus terang, harap Ling-heng suka merahasiakan hal ini."
"Jangan kuatir Kongsun-heng, dihadapan orang lain pasti tidak
akan kusinggung," lalu dia balas bertanya: "Apakah Kongsun- heng
tahu asal-usul Nyo Keh cong dan Sim Kiam-sin?"
"Nyo Keh- cong adalah murid Hoa-san-pay, Sim Kian-sian punya
seorang engkoh bernama Sim Pek sin, julukannya Hwi-hoa-khiamkhek.
namanya terkenal di daerah Kian-hoay, Kenapa? Ling-heng
merasa . . . . "
"Tidak" tukas Kun-gi, "aku tidak jelas keadaan mereka, kutanya
sambil lalu saja.."
Kongsun Siang berdiri, katanya menjura: "Menggangu Ling-heng
saja, biarlah aku minta diri,"
Kun-gi tertawa, katanya: "Terasa sepi juga di kapal ini, Kongsunheng
boleh sering kemari, ku-sambut dengan gembira."
Setelah Kongsun Siang pergi, tak lama kemudian Kun-gi juga
keluar kamar, langsung pergi ke kamar Nyo Keh-cong dan Sim
Kiam-sin menengok keadaan mereka. Tak lama kemudian dia sudah
berada di haluan kapal, tampak Leng Tio-cong sedang bicara
dengan Cin Te-khong.
Lwekang Leng Tio cong memang tinggi, baru saja Kun-gi muncul
di geladak dia sudah berpaling, melihat Kun-gi segera ia
menyongsong sambil menjura: "congcoh juga cari angin?"
Tertawa Kun-gi, dia berkata: "Terasa gerah di dalam kamar.
Sudah sampai di mana sekarang?"
Leng Tio cong menuding ke depan, katanya: "Baru saja
melampaui Toa-hou-san, sebelah depan adalah Siau-hou-san."
"Tidak terjadi apa2 diperairan?" tanya Kun-gi.
Dengan pipa cangklong ditangannya, Leng Tio cong menuding
permukaan air, katanya: "cuaca cerah, gelombang tenang, dalam
jarak dua puluhan li sekitar kita bisa terlihat jelas, sampan ronda
kita ada di sebelah depan, siang hari pasti tidak akan terjadi apa2."
"Leng-heng memang luas pengetahuan, pengalaman
Kangouwpun amat matang, menurut pandanganmu, di manakah
kiranya letak sarang Hek- Liong-hwe?"
Sambil mengelus jenggot kambingnya Leng Tio-cong menepekur
sebentar, katanya: "Sulit dikata-kan, dari sini masih ada Pek-siansan,
coh-ouw, Sek-ciu, ada pula Ang-tek-hou di lembah Hoay, cuma
tempat2 ini kabarnya tak pernah nampak ada kawanan penjahat
yang bermukim disana, cin-houhoat paling apal akan daerah ini,
hamba tadi merundingkan hal ini sama dia, terasa tak mungkin
sarang Hek- Liong-hwe berada di sekitar daerah itu."
Memang licin orang ini sebagai kawakan Kang-ouw, tadi dia bisik,
dengan Cin Te-khong, entah apa yang dibicarakan, kuatir
menimbulkan rasa curiga Ling Kun-gi, maka dia sengaja
mengalihkan pokok pembicaraan-
"Lalu menurut pandangan Leng-heng bagai-mana?" tanya Kun-gi
pula.
"Kalau sarang Hek- Liong-hwe tidak di daerah itu pasti berada di
hulu Tiangkang," sampai di sini dia melirik ke arah Kun-gi, lalu
menambahkan: "yang benar, congcoh harus minta petunjuk kepada
Thay-siang, sebetulnya ke mana arah tujuan kita, supaya kita
semua lega hati dan selalu slap siaga."
Kun-gi tertawa tawar: "Tentunya Thay-siang sendiri sudah punya
perhitungan, bila hampir sampai tujuan tentu dia akan umumkan
kepada kita semua, tanpa penjelasannya, siapa berani tanya?"
Leng Tio-cong menyengir, katanya: "Betul juga ucapan congcoh."
Menyusuri dek sebelah kiri Kun-gi menuju ke buritan, dilihat
seorang diri This Lam-jiang sedang berdiri bersandar pagar
melamun, serta merta Kun-gi menyadari bahwa diantara delapan
Houhoat se-akan2 terbagi menjadi dua kelompok. Hal ini memang
tidak perlu dibuat heran, waktu masih Hou-hoat-su-cia dulu mereka
juga terbagi dua di bawah pimpinan coh- yu- houhoat.
Melihat Kun-gi datang, lekas Thio Lam-jiang menyongsongnya
serta memberi hormat. Kun-gi tertawa: "Thio-heng jangan sungkan,
aku hanya jalan2 saja." Sembari bicara dia sudah sampai di ujung,
dilihatnya yang pegang kemudi seorang laki2 tua kurus kecil, kuncir
digelung melingkar di atas kepalanya, tapi Kun-gi dapat melihatnya
bahwa ilmu silat orang ini tentu amat tinggi.
Kemarin dia sudah mendengar bahwa Ku-lotoa yang pegang
kemudi ini dulu bekas begal di Ang-tiksouw, sudah 1o tahun
mengabdi di Pek-hoa—pang, semua kendaraan air yang dibutuhkan
Pek-hoa-pang berada di bawah pimpinannya.
Namun tujuan pelayaran kali ini dia sendiri juga tidak tahu,
katanya setiap saat tertentu, Thay-siang langsung memberi perintah
yang disampaikan oleh pelayannya kepada Ku-lotoa kearah mana
pelayaran hari ini, lalu di mana nanti malam harus berlabuh, Kulotoa
hanya bekerja sesuai petunjuk itu.
Sepasang mata Ku-lotoa yang mencorong memandang jauh ke
depan, seluruh perhatiannya tertumplek pada kemudinya, se-olah2
tidak melihat kedatangan Kun-gi, maka iapun tidak enak
mengganggunya. cuma dalam hati diam2 ia membatin: "Hek- Lionghwe,
memangnya dalam hal ini ada rahasia dan latar belakangnya?"
Di samping itu iapun sedang memikirkan soal lain, yaitu kejadian
kemarin malam, orang yang membokong dirinya pakai Som-lo-ling
serta orang yang menyergap Nyo Keh- cong dan Sim Kian-sin
diperairan, dua peristiwa yang berbeda, tapi dapat diusut bersama..
Delapan Houhoat dan 12 Houhoat-sucia, diri-nya masih asing dan
belum mengenal pribadi dan asal usul mereka. Walau dirinya
berkuasa memimpin mereka, tapi tiada seorangpun yang patut
diajak berunding. Setelah berpikir pulang pergi, dia merasa lebih
tepat berunding dengan Un Hoan-kun, tapi semua orang berada di
atas kapal, kalau ajak nona itu bicara rasanya kurang leluasa.
Langit biru cerah,awan terbang mengapung, diam2 Kun-gi
membatin: "Agaknya persoalan ini harus kukerjakan seorang diri"
Apa yang harus dikerjakannya? Tanpa dijelaskan memangnya
siapa yang tahu?. Menjelang magrib, sang surya mulai terbenam,
cahayanya nan kuning, cemerlang menimbulkan kemilau laksana
ekor ular emas yang berenang dipermukaan air, indah permai
menakjubkan sekali.
Menggelendot ditepi jendela Kun-gi melamun mengawasi
panorama ini. Tiba2 didengarnya suara manis kumandang di
belakangnya: "Eh, apa yang sedang kau lamunkan?"
Cepat Kun-gi menoleh, tampak So-yok sudah berdiri di
belakangnya, bau harum semerbak segera menyampuk hidung,
dengan tertawa dia menyambut: "Kukira siapa, rupanya Hu-pangcu,
silakan duduk."
"Kecuali aku, memangnya siapa yang bisa kemari?" kata So-yok
sambil mengerling penuh arti.
Kun-gi melenggong, katanya: "Hu-pangcu mencariku ada urusan
apa?"
"Em" So-yok bersuara sambil melangkah maju dan berduduk.
matanya melerok sekali lalu melengos kejurusan lain, kedua pipinya
tampak merah jengah, katanya lirih: "Malam itu ..... aku kehilangan
..... sebatang tusuk kundai, apakah kau yang menyimpannya? "
"o, tidak, cayhe tidak pernah melihat tusuk kundai, coba ingat
kembali, apakah betul terjatuh dikamarku?"
Semakin merah wajah So-yok, kembali ia melerok sambil
menggerundel: "Kalau tidak jatuh di kamarmu, memangnya jatuh di
mana?"
"Kenapa tidak sejak mula kau katakan? Atau tanya Sin-ih, apakah
dia menemukannya?"
"Memangnya tidak malu tanya pada Sin-ih segala? Tusuk
kundaiku, mengapa ..... mengapa . . . Ah, kena. ........ habis itu
kenapa tidak kau bebenah sendiri?"
Hakikatnya Kun-gi tidak tahu apa arti ucapannya ini, dengan
tertawa ia berkata: "Maaf Hu-pangcu, kalau kulihat barang itu tentu
sudah kuambil."
"Dasar kau ini, Sin-ih si budak busuk itu kalau berani usil mulut,
mustahil kuampuni dia."
"Hanya sebatang tusuk kundai kenapa harus marah2? Besok
kalau pulang boleh tanya padanya."
"Kau tahu apa? Dia orang kepercayaan Sam-moay, tusuk kundai
itu terang jatuh di . . . . . di . . . . . jika sampai diketahui Sam-moay
....." sampai di sini mendadak dia mendengus, "sebetulnya kenapa
aku harus takut pada mereka, umpama diketahui Toaci,
memangnya dia bisa berbuat apa?"
Kun-gi kebingungan, terasa olehnya se-akan2 tusuk kundai itu
amat penting dan besar artinya, baru saja dia hendak tanya, So-yok
sudah berdiri, katanya: "Hari sudah petang, Thay-siang hampir
bangun, aku harus lekas kembali." diam2 ia lantas menyelinap
keluar ke atas dek.
Senja telah tiba. Tabir malam memang datang terlampau cepat.
Tahu2 cuaca sudah gelap gulita. Laju kapal sudah mulai lambat,
akhirnya berlabuh pada sebuah teluk yang letaknya dekat Hianggou.
Kapal sebesar ini bertengger di tempat gelap tanpa terlihat setitik
sinar api. Lampu sebetulnya sudah terpasang di dalam kapal, cuma
setiap jendela tertutup oleh kain tebal warna hitam sehingga sinar
lampu tidak tembus keluar.
Di ruang makan terpasang dua lentera minyak besar, lauk-pauk
tersedia lengkap di atas meja. Kun-gi duduk ditengah, yang lainpun
duduk berurutan sama tangsal perut. Waktu kerai tersingkap. Yap
Kay-sian dan Liang Ih-jun yang bertugas ronda di siang hari berjalan
masuk diiringi empat Houhoat. Yap Kay-sian dan Liang Ih-jun
menjura bersama, katanya: "Hamba menyerahkan kembali tugas
kepada congcoh"
Kun-gi menyapu pandang wajah keenam orang, katanya tertawa:
"Kalian sudah capai, silakan duduk dan makan."
"Terima kasih" sahut Yap dan Liang terus cari tempat duduk.
"Malam ini, giliran siapa yang piket?" tanya Kun-gi.
Dilihatnya Kongsun Siang, Song Teksseng dan empat Houhoat
berdiri, Kata Kongsun Siang: "Malam ini hamba dan Song-heng yang
bertugas."
Kun-gi menoleh ke arah keempat Houhoat, belum lagi bersuara
Song Tek seng sudah mulai tunjuk satu persatu, katanya: "KikTianyu,
Ki yu ceng, KhoTing-seng, Ho Siang-seng."
Kho Ting-seng dan Ho Siang-seng sudah dikenal oleh Kun-gi,
mereka sekamar dengan Nyo Keh- cong dan Sim Kian-sim. Dan Kho
Ting-seng adalah orang yang menyerang dirinya dengan pelor perak
dipekarangan waktu dirinya pulang mengudak musuh malam itu.
Tanpa terasa Kun-gi lebih banyak mengawasi kedua orang ini, ia
bertanya: "cara bagaimana kalian akan membagi tugas?"
Kongsun Siang menerangkan: "Hamba bersama Kik dan Ki
bertiga bertugas diperairan sebelah utara. Song-heng bersama
saudara Kho dan Ho bertugas di sebelah selatan."
Diam2 Kun-gi menggerutu dalam hati: "Hm, kiranya tidak
meleset dari dugaanku."
Katanya, kemudian "Begitupun baik, semalam peristiwa telah
terjadi, untung Thay-siang tidak menghukum kita, malam ini kalian
harus hati2"
Kongsun Siang dan Song Teksseng mengiakan bersama, katanya:
"congcoh tak usah kuatir, kalau malam ini bangsat itu berani
datang, umpama hamba tak mampu membekuknya hidup2, paling
tidak akan kupenggal kepalanya."
Kun-gi tersenyum, katanya: "Perairan amat luas, kalau betul ada
musuh datang menyergap. jangan terburu nafsu mengejar pahala,
yang penting lepaskan dulu tanda kembang api ke udara." Lalu
dengan menggunakan ilmu suara dan berpesan kepada Kongsun
Siang: "Malam ini Kongsun-seng harus lebih hati2, begitu ada
tanda2 bahaya harus segera memberi tanda."
Kongsun Siang agak melengak. segera iapun menjawab dengan
ilmu suara: "Pesan Ling-heng pasti akan kuperhatikan-"
Ling Kun-gi angkat tangan, katanya, "Sekarang kalian boleh
berangkat."
Kongsun Siang dan Song Tek-seng menjura, ia bawa keempat
Houhoat mengundurkan diri.
Setelah selesai makan Kun-gi mendahului berjalan katanya
kepada Sam-gan-sin coa Liang: "Malam ini coa-heng yang jadi
komandan jaga bukan?"
"Betul, apakah congcoh ada pesan?" tanya coa Liang.
"Pesan sih tidak berani, cuma semalam sudah ada peristiwa,
cayhe mendapat firasat bangsat itu akan melakukan aksinya lagi
malamini."
"Untuk ini congcoh tidak usah kuatir, kalau malam ini terjadi
apa2, akulah yang bertanggung jawab," kata coa Liang sambil tepuk
dada.
"Bukankah kita masih sedia dua sampan pesat, maksudku
suruhlah tukang perahu kedua sampan ini Selalu siap menerima
tugas untuk berangkat."
Sam-gan-sin coa Liang manggut, katanya: "Rencana congcoh
memang baik, Toh Kian-ling, pergilah kau suruh mereka siap
menunggu perintah se-waktu2."
Toh Kian-ling meng ia kan terus beranjak keluar, Setelah bubaran
makan, yang tidak bertugas langsung kembali ke kamar masing2.
Sebagai cong- houhoat dari Pek-hoa pang sudah tentu berat
tugas dan tanggung jawab Ling Kun-gi, apalagi dalam menghadapi
situasi buruk seperti ini.
Kongsun Siang adalah ahli pedang kaum muda yang memiliki
kepandaian tinggi, walau dari aliran sesat, tapi dia amat mencocoki
seleranya, bahwa malam ini dia bertugas ronda, sudah tentu hati
Kun-gi ikut kebat-kebit, kuatir akan keselamatannya, bukan lantaran
saling cocok selera, tapi bagi seorang kaum persilatan yang memiliki
kepandaian semakin tinggi, tentu akan selalu menjadi incaran
musuh untuk membokongnya, terutama senjata rahasia seperti
Som-lo-ling yang ganas dan beracun itu. Secara langsung dia ingat
akan persoalan lain, bila betul pihak lawan sudah mengatur
muslihat, maka sasaran utama pasti akan terjadi pada diri Kongsun
Siang.
Keluar dari ruang makan, berjalan di atas dek Kun-gi
memandang lepas ke depan-Bintang berkelap-kelip menghiasi
cakrawala, malam gelap angin sepoi2, suasana terasa lengang dan
sunyi mencekam.
"Kabut tebal juga malam ini," demikian Kun-gi bergumam, sambil
menghela napas panjang.
"congcoh," tiba2 seorang menegur di belakangnya. Kun-gi
menoleh, sahutnya: "coa-heng di sana?"
Sambil membawa buli2 araknya coa Liang maju ke sampingnya
dengan tertawa, katanya: "Agaknya congcoh dirundung suatu
persoalan?"
"Tiada," ajar Kun-gi tawar, "Aku hanya jalan2 mencari angin
malam."
"congcoh bicara tidak sesuai isi hati, berarti memandangku
seperti orang luar, setengah abad aku berkecimpung di Kangouw,
sejak makan malam tadi congcoh selalu mengerut kening, bukankah
itu pertanda di rundung persoalan?"
"Mungkin coa-heng salah terka, terus terang Cayhe merasa kesal
dan geram, maka keluar jalan2."
Orang tidak mau terus terang, terpaksa coa Liang tidak
mendesak. katanya tertawa: "Sayang congcoh tidak suka minum
arak. tinggal di atas kapal, minum arak adalah cara terbaik untuk
menghilangkan rasa kesal, mari silakan minum dua tegak," dia buka
tutup buli2 serta diangsurkan: "Mau mi-num tidak, congcoh?"
Sedikit menggeleng Kun-gi berkata: "Silakan coa heng minum
sendiri, terus terang cayhe tidak berjodoh dengan arak,"
Coa Liang angkat buli2 terus tuang arak kemulutnya, katanya
tertawa sambil menyeka mulut: "Selama hidup tiada hobi lain
kecuali minum arak. nasi boleh tidak makan, asal sehari penuh aku
minum arak dan semangatku tetap menyala." Tanpa menunggu Ling
Kun-gi bersuara dia menyam-bung pula: "saking demen minum arak
sehingga aku memperoleh julukan Sam-gan-sin ini."
"o,jadi julukan coa-heng ada sangkut-paut-nya dengan arak?"
tanya Kun-gi.
"Memangnya, waktu itu aku masih berusia dua puluhan, sejak
mudaaku memang sudah gemar minum, bagi kami orang2 di daerah
perbatasan yang selalu hidup di tanah dingin, semua orang suka
minum arak. karena minum arak bisa menghangatkan badan, tapi
peraturan perguruanku amat ketat dan keras, pada suatu pagi baru
saja bangun tidur, secara diam2 aku mencuri sepoci, tak tahunya
lantaran sepoci arak itulah aku tertimpa malang ......." dia tenggak
lagi beberapa teguk lalu meneruskan: "hari itu kebetulan harus
latihan main golok, waktu aku melakukan gerak tipu menyingkap
rumput mencari ular, badan bagian atas harus terbungkuk ke
depan, tak terduga karena minum sepoci arak tadi, kontan aku
tersungkur ke depan, jidatku tepat tertusuk ujung golokku sendiri
sehingga meningalkan codet di tengah alis ini. Sejak peristiwa itu,
begitu aku minum arak mukaku t idak pernah merah, tapi codet
inilah yang merah dulu, maka kawan2 Kangouw lantas memberi
julukan Sam-gan-sin padaku, sementara orang ada yang bilang,
kalau nafsuku berkobar, codet inipun bisa berubah merah, tapi apa
betul aku sendiri tidak tahu."
"Lantaran peristiwa itu maka coa-heng tidak mengguna kan golok
lagi?"
"Betul, sejak kejadian itu, lenyaplah seleraku untuk meyakinkan
ilmu golok,"
"Kalau aku yang mengalami peristiwa itu akan menjadi
kebalikannya, selanjutnya aku pasti tidak minumarak lagi."
Sam-gin-sin tergelak2, katanya: "Maka itu congcoh selamanya
tidak akan pandai minum."
Waktu Kun-gi kembali ke kamarnya, waktu sudah menjelang
ketongan kedua, malam gelap sunyi senyap. tempat di mana kapal
berlabuh adalah daerah belukar yang jarang diinjak manusia, kecuali
ombak mendampar pantai, tiada suara lainnya yang terdengar.
Baru saja Kun-gi merebahkan diri di atas pembaringan tanpa
mencopot baju luarnya, tiba2 didengarnya beberapa kali suara
bentakan dari sebelah atas, suaranya ringan terbawa angin lalu
sehingga kedengaran amat jauh, tapi sekali dengar dapatlah
dibedakan bahwa itulah suara bentakan seorang perempuan-
Diam2 Kun-gi terkesiap. pikirnya: "Memangnya terjadi apa2 di
tingkat ketiga?"
Serta merta dia berdiri, tanpa banyak pikir dia tarik pintu terus
melesat keluar. Malam sunyi, bentakan lirih itu dapat didengar
semua orang, maka beramai2 bermunculan dari kamar masing2.
Menyapu pandang sekelilingnya, Kun-gi lantas berseru: "Apa
yang terjadi?"
Thio Lam-jiang yang berada tak jauh di sebelah sana segera
menjura, sahutnya: Belum di-ketahui."
Ling Kun-gi cepat berpesan: "Lekas periksa kesegenap pelosok."
Tiba2 dilihatnya kain gordyn tersingkap. Pek-hoa-pangcu Bok-tan
bersama Hu-pangcu So yok diiringi congkoan Giok-lan me-langkah
tiba, di belakang mereka mengikut pula lima gadis bersenjata
pedang, semuanya siap tempur.
Ling Kun-gi tertegun. Tengah malam buta Pangcu sendiri
memerlukan turun, terang ditingkat ketiga memang telah terjadi
sesuatu. Lekas dia maju menyambut, katanya sambil menjura:
"Hamba menyampaikan hormat pada Pangcu."
Coh-yu hou- hoat dan para Hou-hoat juga sama memberi
hormat.
Pek-hoa-pangcu hanya mengangguk sebagai balas hormat, sorot
matanya yang biasa kalem dan bijak kini kelihatan penuh tanda
tanya, heran dan serba Curiga, sekilas dia pandang muka Kun-gi,
suaranya tetap merdu halus: "cong-su-cia tidak usah banyak adat."
So-yok tidak mengenakan kedok muka, tampak alisnya menegak.
katanya menyela: "Apakah Ling-heng tahu apa yang terjadi di
tingkat ketiga?"
"Hamba tidak tahu," sahut Kun-gi.
Masam muka So-yok, katanya marah2: "Ada manusia yang tidak
kenal mampus berani coba membunuh Thay-siang."
Keruan semua hadirin tersirap darahnya. Kun-gi kaget setengah
mati, katanya: "coba membunuh Thay-siang, bagaimana keadaan
Thay-siang sekarang?"
Pek-hoa-pangcu tersenyum kalem, katanya:. "Thay-siang
memiliki ilmu sakti yang tiada bandingan di kolong langit.
memangnya gampang beliau dapat dilukai oleh senjata gelap?"
Senjata gelap. Tergerak hati Kun-gi "Pasti Sam-lo-ling adanya,"
demikian batinnya. Tanyanya segera- "Apakah sipembunuh berhasil
dibekuk?"
"Tidak. berhasil lari. malam ini Giok li dan Hay-siang berjaga dan
melihat bayangan punggung bangsat itu. katanya dia mengenakan
jubah hijau ..... " waktu mengatakan "jubah hijau" suaranya
kedengaran sumbang dan sangsi.
Berdegup hati Kun-gi, seluruh laki2 yang ada di tingkat kedua
hanya dirinya seorang yang mengenakan jubah hijau. Memang
sebelum ini para Hou-hoat juga mengenakan jubah hijau, cuma
dalam meluruk ke Hek Liong-hwe ini mereka diharuskan ganti
seragamhitam.
Kecuali Kun-gi sendiri yang memperoleh kebebasan mengenakan
pakaian yang disukai, sementara coh-houhoat juga tetap
mengenakan jubah biru. "Apakah pembunuh menggunakan Som-loling"
tanya Kun-gi.
Hay-siang berdiri paling belakang, tiba2 dia menjengek: "0,
kiranya cong-su-cia sudah tahu"
Kun-gi menoleh sambil tersenyum, belum dia bersuara, So-yok
sudah membentak: "Hay-siang, di hadapan Toaci memangnya kau
berani menyeletuk?,"
"Hu-pangcu," ujar Kun-gi, "karena malam ini nona Hay-siang
yang bertugas jaga dan melihat bayangan musuh lagi, maka perlu
kita mendengar pendapatnya."
Pek-hoa-pangcu manggut2, katanya: "Ji-moay, usul Cong-su-cia
memang betul, 'cap-si-moat', coba kau tuturkan penyaksianmu
kepada cong-su-cia, jangan main sembunyi,"
Hay-siang mengiakan.
Kun-gi bertanya: "Setelab nona melihat bayangan musuh, kecuali
melihat dia mengenakan jubah hijau, pernahkah kau melihat jelas
macam apa dia sebenarnya?"
"Gerak tubuh bangsat itu teramat cepat, sekali berkelebat lantas
lenyap. jadi sukar terlihat jelas, perawakannya seperti tinggi, waktu
itu dia mengapung di atas, aku lalu menyambitnya dengan panah,
tapi karena kejadian terlalu cepat, entah kena tidak timpukanku itu
kurang jelaslah."
"Waktu nona menyambitkan panah, ke arah mana dia melarikan
diri?"
"Dia melompat turun ke tingkat kedua, waktu aku juga lompat
turun, bayangannya sudah lenyap."
Tergerak pikiran Kun-gi, katanya. "Jadi maksud nona bahwa
pembunuh itu mungkin masih berada di atas kapal ini?"
"Entahlah, aku tak berani berkata demikian," sahut Hay-siang.
Kun-gi manggut2, katanya "Mungkin saja di kapal kita ini ada
musuh yang tersembunyi, ber-ulang2 kali orang ini melakukan
kejahatan dengan Som-lo-ling, patut kita membekuk dan
menggusurnya keluar."
Sam-gan-sin coa Liang menyela, "Maksud congcoh di antara kita
ada mata2 musuh?"
"Betul, kukira cukup lama dia memendamdiri di antara kita."
Kiu-cay-boan-koan Leng Tio-cong ikut bicara: "Memangnya siapa
dia?"
"Sebelum kita menemukan dia, setiap orang di antara kita patut
dicurigai," sampai di sini Kun-gi menjura kepada Pek-hoa-pangcu,
katanya: "Pangcu dan Hu-pangcu kebetulan berada di sini, hamba
pikir kalau dia berani coba membunuh Thay-siang, sungguh besar
dosanya, selama dia tidak dibekuk, semua orang di kapal ini tetap
harus dicurigai, lalu kapan hati kita bisa tenteram, Kejadian baru
setengah jam berlalu, waktunya masih pendek untuk segera
diselidiki. Kecuali enam orang yang bertugas di perairan, seluruh
penghuni t ingkat kedua hadir semua di sini, marilah kita coba
periksa sebentar, mungkin bisa menemukan-"
Leng Tio-cong menanggapi: "Betul ucapan congcoh, semua
sudah hadir di sini, lebih baik di geledah satu persatu."
"Bagaimana cong -su-cia hendak menggeledahnya?" tanya Pekhoa-
pangcu..
Pandangan Kun-gi menyapu hadirin, katanya: "Maksud hamba,
kita geledah satu persatu, lalu menggeledah kamar masing2."
"Mungkinkah bisa ditemukan?" tanya Pek-hoa-pangcu.
"Kalau betul orang itu sudah lama memendam diri diantara kita
dan tak pernah konangan, tentulah dia seorang yang licin dan
cerdik, bergerak menurut gelagat, geledah badan dan geledah
kamar memang kecil manfaatnya, tapi malam ini dia mungkin sedikit
salah perhitungan, karena kita semua berada di atas kapal, menarik
seutas rambut akan menyebabkan gerakan seluruh badan, apa lagi
sejak peristiwa terjadi sampai sekarang temponya masih pendek.
dalam waktu yang tergesa ini tentu tiada tempat untuk sembunyi,
maka cara menggeledah badan ini mungkin akan membawa hasiL"
Pek-hoa-pangcu mengangguk, katanya: "Ana-lisa cong-su-cia
memang benar, baiklah segera laksanakan saja."
Kun-gi mengulap tangan, katanya, "Nah, coba semua berdiri
yang baik."
Para Houhoat segera berdiri berjajar. "Kemarilah Leng-heng,"
panggil Kun-gi.
"cong-su-cia ada pesan apa?" tanya Leng Tlo-cong sambil
mendekati.
"Kau geledah dulu badanku” ucap Kun-gi, melihat Leng Tio-cong
ragu2 segera dia menambahkan:. "sebagai cong-su-cia, sudah tentu
harus dimulai dulu atas diriku."
"congcoh bilang demikian, terpaksa hamba melaksanakan
perintah," ujar Leng Tio-cong, lalu dia geledah badan Ling Kun-gi
dengan hati2, teliti dan pelahan, dari saku orang dia merogoh keluar
sebilah pedang pendek dan sebuah kotak gepeng, katanya: "Hanya
ini saja, tiada yang lain-"
"Terima kasih Leng heng", ucap Kun-gi Lalu dia buka kotak
gepeng itu sembari menjelaskan: "Kotak ini berisi bahan2 riasku,
bukan Som-lo-ling."- Sekilas dilihatnya Hay-siang yang berdiri
dipinggir sana menampilkan mimik aneh dan sorot matanya sedikit
jalang.
Diam2 tergerak hati Ling Kun-gi melihat sedikit perubahan ini,
lekas dia simpan kotak dan pedang serta berkata: "Sekarang silakan
Leng dan coa saling periksa badan masing2, lalu berturut2 periksa
yang lain."
Leng Tio-cong dan coa Liang mengiakan, mereka saling periksa
badan sendiri, lalu berturut2 memeriksa badan para Houhat.
Peristiwa menyangkut jiwa Thay-siang, maka siapapun tiada yang
berani semberono, Cara periksa satu persatu tni sudah tentu Cukup
menghabiskan tenaga dan waktu. kira2 sejam baru pemeriksaan
berakhir, Hasilnya nihil.
Berkata Kun-gi kepada Pek-hoa-pangcu: "Pemeriksaan badan
sudah berakhir tanpa menghasilkan apa2, kini mulai menggeledah
kamar, cuma kamar2 di t ingkat kedua ini agak kotor dan sempit,
harap Pangcu utus seorang saja untuk mengikut i cayhe
menggeledah."
"Toaci, biar aku yang menyaksikan,"sela So-yok
Pek-hoa-pangcu mengangguk, katanya: "Baiklah, bawa juga capsi-
moay, dia melihat jubah hijau itu, mungkin bisa mengenalinya."
Terunjuk rasa riang pada sorot mata Hay-siang, sahutnya
membungkuk: "Hamba terima perintah."
"Harap Leng- heng ikut aku, sementara coa- heng tetap tinggai
di sini, semua saudara juga tetap disini, tidak boleh bergerak.
tunggu hasil pemeriksaan kamar." kata Kun-gi,
Sam-gan-sin mengiakan, Leng Tio- cong mohon petunjuk:
"congcoh, dari mana kita mulai?"
Kun gi tertawa, ujarnya: "Sudah tentu dimulai dari kamarku,"
Lalu dia angkat tangan- "Silakan Hu-pangcu:"
So-yok tertawa lebar, katanya: "Kamar Ling-heng sendiri, sudah
tentu kau jalan dulu."
"Tidak. Hu-pangcu mewakili Pangcu, orang yang berkuasa penuh
dalam penggeledahan ini, terutama untuk menggeledah kamar
cayhe, maka cayhe harus memberi segala kelonggaran, silakan Hupangcu."
So-yok mencibir, katanya sambil cekikik: "Memang kau ini selalu
ada2 saja alasannya." Lalu dia mendahului menuju ke kamar Ling
Kun-gi diikut i Leng Tio-cong.
Leng Tio cong mendahului membukakan pintu So-yok lalu
melangkah masuk dan Kun-gi di belakangnya, begitu dia melangkah
masuk kamar, seketika dia merasakan hal2 yang tidak beres. Waktu
keluar tadi terang jendela tidak terbuka, kini terpentang lebar,
terutama di dekat jendela, lapat2 terasa olehnya adanya bau
semacam pupur wangi,jelas seseorang telah menyelundup masuk
lewat jendela. Diam2 mencelos hatinya, pikirnya: "Memang-nya ada
orang menyelundupkan sesuatu kemari?"
Berdiri ditengah kamar, So-yok berpaling, tanyanya: "Ling-heng,
bagaimana cara menggeledahnya? "
Urusan sudah telanjur, terpaksa Kun-gi mengeraskan kepala dan
menabahkan hati, katanya: "Kamar ini tidak besar, boleh Hu-pangcu
suruh Hay-siang menggeledah saja.
"Betul," ujar So-yok, "Hay-siang, nah, periksalah dengan teliti."
Hay-siang mengiakan- Matanya menyapu keseluruh kamar,
kecuali sebuah dipan, sebuah meja kecil dan dua buah kursi seluruh
benda yang ada di dalam kawar dapat terlihat dari segala sudut,
maka langsung dia melangkah kepembaringan.
Kecuali sebuah bantal, masih ada sebuah kemul tebal yang
dilempit rapi di atas ranjang. Kerja Hay-siang yang pertama adalah
menyingkap bantaL Maka dilihatnya sinar kemilau perak di bawah
bantal, kiranya itulah sebuah kotak perak yang ber-bentuk gepeng
panjang.
Dingin dan tajam sorot mata Ling Kun-gi, diam2 dia mengumpat
di dalam hati: "Bangsat keparat, aku betul2 dijadikan kambing
hitam."
Hay-siang jemput kotak perak itu, tanyanya: "Apakah ini?"
Lekas sekali Kun-gi sudah tenangkan diri, katanya kalem dan
tabah: "Itulah Som-lo-ling."
Hebat perubahan rona muka So-yok, tanpa terasa bergetar
badannya, teriaknya: "Som-lo-ling?Jadi kau..."
"Bolehlah Hu-pangcu suruh Hay-siang menggeledah lagi,
mungkin jubah hijau itupun berada di atas ranjang."
Pucat muka So-yok, tanyanya: "Kau ..... betulkah kau
pembunuhnya?"
Leng Tio-cong melintangkan tangan didepan dada, sembilan
jarinya tertekuk, sorot matanya liar menatap Kun-gi, agaknya dia
siap turun tangan bila perlu.
Tanpa menghiraukan sikap orang Kun-gi tertawa, katanya:
"Apakah Hu-pangcu tidak melihat jendela kamarku terpentang?
Kalau bangsat itu sengaja mau memfitnah aku dengan
menyembunyikan barang bukti ini di dalam kamarku, memang
banyak waktu untuknya bekerja disaat kita semua berada di ruang
makan."
Sementara itu Hay-siang telah angkat kemul itu serta
membentangnya, maka terlihat di tengah lempitan kemul itu
melayang jatuh seperangkat jubah hijau, teriaknya: "Hu-pangcu,
inilah di sini. "-
Dia ambil jubah itu lalu menuding kebagian lengan, katanya: "Ya,
betul ini. di sini ada sebuah lubang kecil, itulah tanda sambitan
panahku."
Gusar wajah So-yok, katanya menggeram: "Ling-heng memang
benar, bangsat itu memang hendak memfitnahmu, soal ini harus
diperiksa dan diselidiki dengan seksama sampai seterang2nya,
hayolah keluar." Segera ia mendahului keluar
Dengan membawa Som-lo-ling dan jubah hijau itu, lekas Haysiang
mengint il di belakang So-yok, Leng Tio-cong mengira begitu
barang bukti tergeledah, Hu-pangcu akan segera memerintahkan
membekuk Ling Kun-gi, tapi perkembangan selanjutnya dan dari
nada bicaranya se-olah2 membela anak muda itu, diam2 ia
menggerutu di dalam hati. Tapi So-yok adalah murid kesayangan
Thay-siang, mana berani dia bertindak gegabah, maka pelan2 dia
turunkan kedua tangan, katanya dengan suara sinis: "congcoh, ini
..... bagaimana baiknya?"
Dengan tertawa tawar Kun-gi berkata: "Barang bukti sudah
diketemukan di kamarku, kamar2 lain tidak perlu, di geledah,
marilah keluar saja."
Waktu Kun-gi tiba di ruang makan, hadirin sudah tahu bahwa
barang bukti tergeledah di kamar cong su Cia, maka gemparlah
semua hadirin, ada yang geleng2, ada yang menghela napas, ada
pula yang memandangnya dengan rasa belas kasihan, tapi ada juga
yang memandangnya dengan gusar penuh dendam. Sambil
mengangkat tinggi kedua barang bukt i Hay-siang tengah
menerangkan hasil kerjanya.
"Betulkah hal ini terjadi?" ujar Pek-hoa-pangcu, nadanya kurang
yakin dan ragu2. Giok-lan segera bersuara: "Kurasa cong-sucsia
bukan orang demikian."
"Pendapat Sam-moay betul," seru So-yok. "pasti ada orang
sengaja memfitnah dia."
"Nah, sekarang kita dengar dulu pendapat cong-su-cia sendiri,"
sela Pek-hoa-pangcu.
Hay-siang menambahkan: "Tadi cong-su-cia bilang jendela
kamarnya terbuka, kemungkinan bangsat itu sengaja sembunyikan
barang bukti ini di dalam kamarnya, tapi bayangan tinggi yang
kulihat tadi memang mirip dia, soalnya belum ada ada bukti, hamba
tidak berani terus terang. Soal jendela terbuka, memang mungkin
bangsat itu menyelundup ke kamarnya serta sembunyikan barang2
bukti ini, tapi dapat juga diterangkan, waktu dia melayang turun
dari tingkat atas dan langsung, masuk jendela serta
menyembunyikan kedua barang ini lalu buka pintu lari keluar,
karena waktu amat mendesak belum sempat dia menutup jendela,
atau sengaja dibiarkan terbuka, umpama perbuatannya kebongkar,
bisa saja dia menggunakan alasannya tadi. Maka menurut pendapat
hamba, soal ini harus segera dilaporkan kepada Thay-siang dan
dengarkan putusan beliau."
So-yok mentang2 tidak terima: "Soal menggeledah kamar adalah
usul Ling heng sendiri, kalau dia menyembunyikan barang bukti di
kamarnya, memangnya dia berani suruh kita menggeledahnya
malah?"
Hay-siang tidak berani debat, katanya: "Betul Hu-pangcu, tapi
kedua barang bukti ini jelas kita temukan dikamarnya, ini
kenyataan."
Pek-hoa-pangcu berkata kepada Kun-gi: "cong-sucia, ingin
kudengar pendapatmu."
Kun-gi tahu perhatian seluruh hadirin tertuju pada dirinya, tapi
sikapnya tenang dan wajar, katanya sambil tertawa lebar: "Salah
atau benar pasti ada keadilannya, kurasa apa yang dikatakan nona
Hay-siang juga tidak salah, kenyataan kedua barang bukti memang
berada di kamarku, sudah tentu cayhe patut dicurigai, lebih baik
laporkan saja kepada Thay-siang, biarlah beliau yang mengambil
kesimpulan dan putusan-"
Diam2 gelisah hati So-yok, katanya tak tahan: "Toaci, kurasa hal
ini memang sengaja ada orang memfitnah dia, kita harus memeriksa
dan menyelidikinya sampai terang baru laporkan kepada Thaysiang."
Pek-hoa-pangcu sendiri juga bingung dan sukar ambil putusan,
menoleh ke arah Giok-lan dia bertanya: "Sam-moay, bagaimana
pendapatmu?"
Giok-lan menepekur sebentar. katanya kemu-dian: "Kurasa
pendapat cong-su-cia memang tepat dan masuk akal, kalau musuh
sengaja mau memfitnah dia, maka laporkan saja soal ini kepada
Thay-siang."
"Baiklah," Pek-hoa-pangcu mengangguk, "Ji-moay, cong-su-cia,
marilah kita menghadap Thay-siang." Lalu dia berdiri lebih dulu.
Walau merasa ogah, tapi So-yok sungkan membela Kun-gi
terang2an, apa lagi dihadapan umum, terpaksa dia mengikuti Pekhoa-
pangcu ke-luar dan disusul Kun-gi.
Giok lan ikut di belakangnya, dengan membawa kedua barang
bukti Hay-siang mengintil di be-lakang Giok lan, beberapa orang
lainnya mengekor pula di belakang Hay-siang dan beramai2 naik ke
tingkat ketiga.
Setelah orang banyak berlalu, Sam-gan-sin coa Liang geleng2
kepala, ujarnya: "Bahwa pemimpin kita adalah mata2 Hek liong-hwe
yang akan membunuh Thay-siang, aku orang pertama yang tidak
percaya."
Leng Tio-cong menyeringai, jengeknya: "Bukti sudah nyata,
memangnya harus diragukan?"
Maklumlah dia sebagai coh-hou-hoat, kalau kedudukan Kun-gi
dicopot, maka jabatan cong-hou-hoat yang kosong akan menjadi
miliknya, maka diam2 ia berdoa semoga Ling Kun-gi memang mata2
musuh adanya.
Sam-gan-sin tertawa dingin, katanya: "Manusia paling goblok di
dunia ini juga tidak akan mengangkat batu menimpuk kaki sendiri,
kalau betul cong-su-cia menyembunyikan barang bukti di kamar
sendiri, masadia mengusulkan geledah kamar malah? Kalau betul
dia pembunuhnya, waktu dia lompat turun dari tingkat atas, Cukup
sekali ayun dia buang kedua barang bukti ke air kan segalanya
beres, kenapa harus disembunyikan di ranjang. Beberapa hal yang
meragukan ini lebih meyakinkan bahwa memang ada orang sengaja
mau memfitnah dia."
Sudah tentu bukan maksudnya ingin membela Ling Kun gi,
soalnya dia juga iri dan tidak terima kalau jabatan cong-su-cia jatuh
ke tangan Leng Tio-cong. Dari pada Leng Tio-cong memungut
keuntungan, biarlah tetap dijabat oleh Ling Kun-gi saja. Maklumlah
kedua orang ini memang sering perang dingin dan tarik urat.
Baru pertama kali ini Kun gi naik ke tingkat ketiga yang jauh lebih
sempit daripada tingkat kedua.
Thay-siang menempati ruang tengah, sebelah depannya ada
sebuah ruang kumpul, di mana terdapat kursi berjajar, ditengahnya
ada sebuah meja dan kursi. Kamar tidur Thay-siang di sebelah
dalam. Di sebelah kiri masih terdapat dua kamar lagi, tertutup oleh
kain gordyn yang tersulam indah, itulah tempat tinggal Pangcu dan
Hu-pangcu.
Dari letak beberapa kamar ini, dapatlah disimpulkan jendela
kamar Thay-siang tentu berada di sebelah kanan, jadi berlawanan
dengan jendela kamar Pangcu dan Hupangcu.
Begitu Kun-gi melangkah masuk ruang pertemuan, Pek-hoapangcu
lantas angkat tangannya, katanya: "Silakan duduk cong-su
Cia."
Kun-gi menjura, sahutnya: "Hamba sebagai tertuduh yang patut
dicurigai, biarlah berdiri di sini saja."
Tengah bicara, dua pelayan menyingkap kerai, tertampak Thay
siang melangkah datang dari kamarnya. Pek-hoa-pangcu, Hupangcu,
Ling Kun-gi dan Giok-lan sama berdiri serta membungkuk
menyambut kedatangannya.
Menyapu pandang wajah para hadirin, Thay-siang mengangguk
serta berkata: "Kalian sudah menemukan pembunuhnya?"
"Lapor Thay siang," seru Pek-hoa-pangcu, "Som-lo-ling dan jubah
hijau sudah ditemukan, cuma . ...."
Thay siang menuju ke kursi besar berlapis bulu binatang dan
duduk. dia lantas menukas: "Baik, sekali kalau sudah ditemukan-"
So-yok menyela dengan gugup: "Thay-siang, walau kedua
barang ini ditemukan di kama cong-su-cia, tapi Tecu berpendapat
pasti musuh sengaja hendak memfitnah dia."
Pek-hoa-pangcu menambahkan: "Tecu juga berpendapat musuh
sengaja hendak mengkambing hitamkan dia, harap Thay-siang suka
periksa."
"Bagaimana duduk persoalannya? tanya Thay-siang.
Maka So-yok lantas Ceritakan usul Ling Kun-gi serta Cara
pemeriksaan seorang demi seorang, lalu menggeledah kamar.
Setelah mendengar laporan So yok, Thay-siang berkata: "Haysiang,
bawa kemari barang2 bukti itu."
Hay-siang mengiakan, tersipu-sipu dia persembahkan kotak
perak dan jubah hijau itu dengan kedua tangannya. Memegang
kotak perak Som-lo-ling itu Thay-siang mengamati sekian lama
dengan teliti, katanya kemudian: "Benda ini amat ganas sekali,
memang barang tiruan,yang mereka buat dari seorang ahli, tak
ubahnya dengan barang aslinya."
Dia letakkan kotak itu, diatas meja lalu bertanya: "Hay-siang, kau
bilang pernah menyambit penyantron dengan panah, apakah
timpukanmu mengenai sasaran?"
Hay -siang membungkuk, sahutnya: "Lapor Thay-siang, lengan
kanan jubah hijau itu ada lubang kecil, itulah bekas kena t impukan
panah Tecu."
"Kau pernah melihat bayangan punggung pembunuh itu, apakah
mirip Ling Kun-gi?"
Hay-Siang ragu2 sebentar, sahutnya: "Gerak tubuh orang itu
teramat cepat Tecu tidak melihat jelas wajahnya, jadi tak berani
sembarang bicara, tapi kalau dilihat bentuk perawakannya memang
rada2 mirip cong-su-cia."
"Nah, itulah," ujar Thay-siang.
Berdegup jantung Pek-hoa-pangcu, Hu-pangcu dan Giok-lan
serentak mereka berteriak: " Thay-siang"
Sedikit menggerak tangan, Thay-siang cegah mereka bicara,
matanya tertuju kearah Kun-gi, katanya: "Ling Kun-gi, apa pula
yang hendak kau katakan?"
Sikap Kun-gi t idak berubah, katanya membungkuk: "Apa yang
ingin hamba sampaikan tadi sudah dijelaskan oleh Hu-pangcu,
Thay-siang maha bijaksana, salah atau benar persoalan ini tentu
dapat diselidiki dengan adli, hamba terima apa saja putusan Thaysiang."
Karena mengenakan cadar, sukar dilihat bagaimana mimik muka
Thay-siang, tapi Bok-tan, So-yok dan Giok-lan sama tertekan
perasaannya, napas-pun terasa sesak.
Menoleh kearah Hay-siang, Thay-siang bertanya: "Begitu kau
melihat pembunuh lalu menyerangnya dengan panah? " Hay-siang
mengiakan.
"Waktu itu, berapa jauh jarakmu dengan dia?" Hay-siang
berpikir, sahutnya: "Kira2 tiga tombak."
"Baik, Ling Kun-gi, putar badanmu dan majulah setombak lebih."
Pek-hoa-pangcu, So-yok dan Giok-lan t1dak tahu apa maksud
Thay-siang, diam2 mereka berkuatir bagi Kun-gi.
Jarak setombak setengah berarti sudah berada di luar kamar.
Maka Kun-gi melangkah keluar.
"Sudah cukup, berhenti, kau berdiri saja di situ," ucap Thaysiang,
"akan kusuruh Hay-siang menimpuk panah ke belakangmu,
kau tak boleh berkelit, hanya boleh menyampuk dengan lengan
bajumu, sudah tahu?"
Bahwa dirinya hanya boleh menyampuk ke belakang dengan
lengan bajunya saja, Kun-gi lantas tahu ke mana maksud Thaysiang,
cepat dia menjawab: "Hamba mengerti."
"Hay-siang, kau sudah siap?" tanya Thay siang.
"Tecu sudah siap." sahut Hay-siang,
"Bagus, timpuk pundak kanannya," seru Thay-siang.
Sejak tadi Hay-siang sudah genggam sebatang panah kecil
ditelapak tangan kanannya, belum lenyap seruan Thay-siang,
tangan kanannyapun sudah terayun, "Ser," sebatang panah kecil
bagai bintang meluncur kepundak kanan Ling Kun-gi.
Agaknya kali ini Kun-gi hendak pamer kepandaian, dia diam saja
tanpa menoleh, setelah panah melesat tiba lebih dekat, tangan
kanan pelahan mengebut ke belakang. Gayanya indah gerakannya
ringan dan gagah, lebih harus dipuji lagi karena dia
memperhitungkan waktu dengan tepat, ujung lengan bajunya
bergerak lamban seperti melambai tertiup angin, kebetulan panah
kecil sambitan Hay-siang kena disampuknya. "creng", panah kecil
terbuat dari batang baja itu berdering nyaring seperti membentur
benda keras, lengan baju Kun-gi lunak tapi panah baja itu kena
disampuknya terpental balik. "Tak", tepat dan persis menancap
dipapan lantai didepan Hay-siang.
Sudah tentu Hay-siang terperanjat dengan sigap dia berjingkrak
mundur. Demontrasi kepandaian yang tiada taranya ini sungguh
membuat kagum dan riang hati Pek-hoa-pangcu. Hu-pangcu dan
lain, siapapun tak pernah membayangkan bila kepandaian silat Ling
Kun-gi bukan saja tinggi, malah sudah begitu matang dan
sempurna.
Thay-siang manggut2 senang dan puas, kata-nya tersenyum
ramah: "Memang tidak malu sebagai murid Put-thong Taysu, balik
sini."
Ling Kun-gi balik ke depan Thay-siang, katanya membungkuk:
"Thay-siang masih ada pesan apa?"
Lembut suara Thay siang: "Perlihatkan kepada mereka, apakah
ujung lengan bajumu tertimpuk berlubang oleh panah kecil itu?"
Panah kecil itu terbuat dari baja, bobotnya cukup lumayan, tapi
lengan baju Ling Kun-gi ternyata tetap utuh tidak kurang suatu apa.
Dalam jarak setombak setengah panah kecil itu tak mampu
melubangi lengan baju Kun-gi, apalagi kalau dalam jarah tiga
tombak. Seketika tersimpul senyuman riang lega pada wajah So
yok.
Pek-hoa-pangcu dan Giok-lan diam2 juga menghela napas lega,
rasa kuatir dan jantung dag-dig-dug tadi seketika sirna.
Hay-siang tunduk. katanya: "Ilmu sakti cong-su-cia tiada taranya,
kiranya Tecu yang salah lihat orang." Nyata nada bicaranyapun
menjadi lunak dan putar haluan-
Thay-siang mendengus, kedua matanya mencorong menatap
Ling Kun-gi, katanya kalem: "Kalau Losin t idak mampu menilai
orang, memangnya kuangkat dia menjadi cong-hou-hoat-su-cia?
Kalau jabatan tinggi ini sudah kuserahkan padanya, maka aku harus
percaya begini saja akan cara keji musuh untuk memfitnah dia?"
Sejak tadi sikap Kun-gi tetap tenang dan wajar meski dirinya
difitnah dengan barang2 bukti yang memberatkannya, tapi setelah
mendengar kata2 Thay-siang ini, tanpa terasa keringat membasahi
badan, serunya hambar: "Selama hidup hamba tidak akan lupa akan
budi dan kebijaksanaan Thay-siang."
Sudah tentu ini bukan kata2 yang terlontar dari lubuk hatinya,
tapi dihadapan Thay-siang terpaksa dia harus ber-muka2.
Nada Thay siang tiba2 berubah kereng: "Ling Kun-gi, walau Losin
memaafkan dan mengampunimu, tapi bangsat yang coba
membunuh Losin itu menjadi tanggung jawabmu untuk
membekuknya, kau mampu tidak?"
Kun-gi membungkuk, serunya: "Sesuai dengan jabatanku hamba
memang wajib membekuknya . "
"Aku berikan batas waktu untukmU membongkar perkara ini,"
desak Thay-siang.
"Entah berapa lama batas waktu yang Thay-siang berikan kepada
hamba."
Thay-Siang gebrak meja, serunya gusar: "Dia berani coba
membunuh Losin, memangnya Losin harus berpeluk tangan
membiarkan dia bebas bergerak sesukanya, kau harus dapat
membekuknya sebelum terang tanah atau kau menyerahkan batok
kepalamu sendiri."
Tatkala itu sudah kentongan ketiga, kira2 masih satu dua jam
lagi sebelumfajar menyingsing . .
Perkara ini masih merupakan teka teki, bayangan untuk
menyelidikipun tiada, cara bagaimana harus membekuk biang keladi
pelakunya. Yang terang perintah harus dilaksanakan, walau waktu
sudah teramat mendesak.
Pek-hoa-pangcu bermaksud mohonkan keringanan, tak terduga
Kun-gi lantas menjura, katanya: "Hamba terima perintah Thaysiang."
Tanpa ragu2 dia terima perintah yang menyudutkan dirinya
ini.
Sudah tentu hal ini lagi2 membuat Pek-hoa-pang-cu, Hu-pangcu
dan Giok -lan melengak heran, tanpa berjanji mereka sama tumplek
perhatian padanya.
Thay-siang manggut2, katanya memuji: "Losin tahu kau punya
bakat dan mampu melaksanakan tugas."
"Thay-siang terlalu memuji, cuma hamba kebentur suatu hal
yang menyulitkan ...."
"Ada kesulitan apa boleh kau katakan, Losin akan memberi
kelonggaran padamu."
"Walau hamba sebagai cong-hou-hoat-su-cia dari Pang kita, tapi
hak kuasa hamba terbatas, gerak lingkungan hamba hanya terbatas
pada tingkat kedua maka, umpama tingkat ketiga ini bukan lagi
menjadi daerah operasiku ....."
Terunjuk senyum lebar pada wajah Thay-siang di balik cadar,
katanya: "Baik", Lalu dia berpaling pada salah seorang pelayannya,
katanya: "Liu-hoa, pergilah ambilkan Hoa-sin-ling kemari, sampaikan
pula perintah ku kepada semua orang, sejak kini sampai terang
tanah nanti, Losin serahkan kekuasaan tertinggi kepada cong-su-cia
sebagai wakil Losin untuk melaksanakan tugas, tak peduli Pek—hoapangcu
atau Hu-pangcu juga harus siap terima tugas dan
perintahnya, siapa berani membangkang akan dijatuhi hukuman
yang berlaku."
Pelayan itu mengiakan- Baru saja dia bergerak hendak putar ke
belakang, tiba2 Kun-gi berseru:
"Nona tunggu sebentar"- Lalu dia menjura kepada Thay-siang,
katanya: "Sudah cukup dengan kata2 Thay-siang tadi, tak perlu
pakai Hoa-sin-ling segala.."
Tiba2 dia berkata kepada Giok-lan dengan ter-tawa: "Thay-siang
sudah serahkan kekuasaan untuk menjalankan tugas, tentunya
congkoan sendiri juga telah dengar."
Pek-hoa-pangcu yang berdiri disamping hampir tidak berani
percaya akan apa yang di dengarnya ini, sungguh dia tidak habis
mengerti kenapa Thay-siang berubah begini mendadak? Dan yang
membuatnya heran adalah Ling Kun-gi, entah akal muslihat apa
pula yang tersembunyi di dalam benaknya.
Demikian pula So-yok mempunyai rasa curiga yang sama, kedua
matanya terbeliak menatap Kun-gi tanpa berkedip.
Mendengar ucapan Kun gi, lekas Giok-lan menjura, sahutnya:
"Hamba sudah dengar."
Lebar tawa Kun-gi, katanya balas menjura: "Kalau begitu tolong
congkoan sampaikan perintahku, suruhlah ketujuh TayCia datang
kemari."
Hay-siang sudah berada disini, berarti Giok-lan harus memanggil
enam Tay-cia yang lain- Setelah mengiakan Giok-lan lantas keluar.
Kun-gi menjura pula kepada So-yok, katanya: "Ada pula sebuah
tugas, mohon Hu-pangcu suka membantu."
So-yok mengerling penuh arti, katanya tertawa: "cong-su-cia
hendak menugaskan apa?"
"cayhe minta Hu-pangcu suka berjaga dipintu keluar, kalau ada
orang berusaha melarikan diri, harap Hu-pangcu membekuknya
hidup2, kalau terpaksa boleh juga membunuhnya . "
"Memangnya perlu dijelaskan, siapa berani melarikan diri lewat
pintu, pasti tidak akan kulepas dia."
"Hu-pangcu perlu hati2, bukan mustahil kalau kepepet orang itu
jadi nekat, diapun bisa menggunakan Som-lo-ling," Kun-gi
memperingatkan-
"Aku tahu," ucap So-yok, "begitu ia merogoh kantong, akan
segera kuserang dulu, umpamanya kutabas lengannya."
"Tapi Hu-pangcu harus bertindak menurut aba-abaku."
So-yok cekikik geli, katanya: "Aku tahu, aku akan menurut
petunjukmu."
"Terima kasih Hu-pangcu, sekarang silakan kau berdiri dipintu."
Sambil memegang gagang pedang dipingggang So-yok keluar
dan berdiri di ambang pintu. Kun-gi menghadapi Pek-hoa-pangcu
lalu katanya: "Silakan duduk Pangcu."
Pek-hoa-pangcu melirik mesra, tanyanya: "cong-su-cia tidak
memberi tugas kepadaku?"
"Tidak. silakan Pangcu duduk saja."
Karena Kun-gi bekerja mewakili Thay-siang, maka Pek-hoapangcu
menurut saja permintaan Kun-gi, dia duduk di sebuah kursi
di bawah Thay siang. Sementara Thay-siang tetap duduk di kursi
kebesarannya tanpa bersuara, dia melihat saja apa yang dilakukan
Ling Kun-gi tanpa memberi komentar karena dirinya tidak
dihiraukan, tak tahan Hay-siang buka suara: "cong-su-cia, apakah
hamba t idak diberi tugas?"
Kun-gi tertawa, ujarnya: "Nona adalah saksi satu2nya yang
melihat bayangan musuh, kunci membongka peristiwa malam ini
berada dipundak nona," lalu tangannya menuding: "Silakan nona
duduk di sebelah Pangcu." Hay-siang mengiakan lalu duduk di
tempat yang di tunjuk.
Kerai tampak tersingkap. Giok-lan melangkah masuk lebih dulu,
di belakangnya mengikuti ber-turut2 adalah Bi-kui, Ci-hwi, Hu-yong,
Hong-sian, Giokju dan Loh-bi-jin.
Giok-lan menjura kepada Kun-gi, serunya: "Lapor cong-su-cia,
enam Taycia yang lain sudah kumpul seluruhnya."
Keenam Taycia ini dipimpih oleh Bi-kui (Un Hoan-kun), melihat
So-yok berjaga di pintu, semuanya tertegun, ter-sipu2 mereka
berlutut dan berseru bersama: "Tecu menghadap Thay-siang."
Thay-siang angkat tangan, katanya: "Bangunlah, kalian harus
tunduk kepada cong-su-cia, malam ini dia bekerja mewakili Losin
untuk menyelesaikan perkara besar. kalian harus dengar
perintahnya, tidak boleh membantah."
Para Taycia sudah tahu akan peristiwa usaha pembunuhan atas
junjungan mereka dan Ling Kun-gi sebagai tertuduh utama,
sungguh tak nyana dari nada bicara Thay-siang sekarang tertuduh
justeru diberi kuasa mewakilinya untuk mengusut perkara ini,
Pangcu mereka sendiripun harus tunduk di bawah perintahnya,
keruan jantung mereka ber-debar2.
Sudah tentu yang paling merasa diluar dugaan adalah Bi-kui
samaran Un Hoan-kun, sehingga ia melirik kearah Kun-gi.
Giok-lan bawa keenam orang ini berbaris di depan Kun-gi. Sambil
mengawasi Bi-kui, Kun-gi berkata: "Nona Bi-kui, harap maju."
Di antara ke-12 Taycia Bi-kui mendapat urutan nomor sembilan,
tapi dalam perjalanan kali ini dia merupakan tertua dari tujuh Taycia
yang ikut, maka Kun-gi menampilkan dia, Un Hoan-kun segera
tampil ke depan Kun-gi.
"Silakan duduk," kata Kun-gi menunjuk sebuah kursi di depannya
sana.
Sedikit merandek, akhirnya Un Hoan-kun duduk di kursi yang
teraling meja bundar di depan Kun-gi.
"Lepaskan kedok nona," kata Kun-gi. Perlu diketahui Un Hoankun
sudah dirias oleh Kun-gi sehingga sekarang bukan dengan
wajah aslinya, maka dia tidak usah kuatir akan konangan
kepalsuannya, tanpa ragu2 dia mengelupas kedok mukanya.
Tajam pandangan Kun-gi, sekian lamanya dia mengamati wajah
orang, akhirnya manggut2, katanya: "Baiklah, nona boleh pakai lagi
kedok itu."
Un Hoan-kun segera tempelkan lagi kedok mukanya yang tipis ke
wajahnya serta mengelusnya dengan telapak tangan, tanyanya:
"Masih ada pesan lain cong-su-cia?"
"Nona boleh kembali ke tempat semula," ujar Kun-gi, lalu dia
angkat kepala dan berkata pula:
"Nona Ci-hwi silakan maju."
Ci-hwi segera duduk juga dihadapannya. "Bukalah kedok nona,"
kata Kun-gi.
Karena Thay-siang sudah keluarkan perintah, terpaksa dia
mencopot kedoknya meski dengan rasa berat. Duduk berhadapan
dengan pemuda gagah cakap ini, setelah kedok mukanya dicopot,
tampak wajahnya yang putih halus bersemu merah jengah. Kun-gi
juga mengamati muka orang sekian lama dengan teliti, akhirnya
menyuruhnya mengenakan kedok dan kembali ketempatnya.
Para Taycia yang lain tidak luput mengalami pemeriksaan yang
sama, semua sama menunduk malu dengan muka merah, enam
Taycia sudah di-periksa wajah aslinya, tinggal Hay-siang seorang
yang belum diperiksa. Kun-gi berdiri lalu katanya kepada para
Taycia dengan tertawa: "Sekarang para nona boleh kembali,
sementara nona Bi-kui harap tinggal di sini, ada tugas lain untuk
nona."
Un Hoan-kun menjura, sahutnya: "Hamba menunggu perintah."
Lima Taycia mengundurkan diri.
Hay-siang bersuara: "cong-su-cia tiada tugas untukku bukan?"
"Tadi sudah kubilang, untuk membongkar peristiwa malam ini,
bantuan nona amat diharapkan, sudah tentu kau harus tetap di
sini." lalu ia berpaling kepada Giok-lan-"cayhe masih menyusahkan
congkoan, suruhlah 20 dara kembang yang ada naik kemari."
"Dara2 kembang itu dipimpin oleh cap-go-moay (Loh-bi-jin),
Cukup hamba memberitahu kepadanya supaya membawanya
kemari." habis berkata dia keluar dan Cepat sekali sudab kembali
pula.
Tidak lama kemudian Loh-bi-jin sudah melangkah masuk.
katanya membungkuk: "20 dara kembang sudah hadir seluruhnya,
apakah cong su-cia hendak suruh mereka masuk kemari?"
"Tempat ini sempit, suruhlah mereka masuk satu persatu," ujar
Kun-gi, Loh-bijin mengiakan lalu menyapa keluar, seorang dara
terdepan segera melangkah masuk. Loh-bi-jin berkata: "Gong-su-cia
ingin berkenalan dengan kalian, majulah."
Melihat Thay-siang, Pangcu dan lain2 sama hadir, dengan
menunduk dan gemetar dia melangkah ke depan Ling Kun-gi,
katanya sambil bertekuk lutut dan merangkap kedua tangan:
"Hamba menyampaikan hormat kepada cong-su-cia."
Para dara kembang ini tiada yang mengenakan kedok, maka Ling
Kun-gi t idak perlu menggunakan banyak waktu, dengan tertawa dia
cuma pandang kiri lihat kanan, lalu tanya Siapa namanya dan di
Suruhnya keluar. Dalam waktu Singkat 20 dara kembang telah
diperiksanya Semua, dia berdiri memberi Salam kepada Loh-bi-jin:
"Bikin Susah nona saja, boleh kau bawa mereka turun."
Diam2 Loh-bi-jin menggerutu dalam hati, suruh mereka naik,
kerjanya cuma menikmati wajah para dara yang jelita dan tanya
namanya saja, memangnya apa maksudnya? Tapi dihadapan Thaysiang
dan Pangcu sudah tentu dia tak berani bertingkah, lekas dia
membungkuk serta menjawab: "Baiklah, hamba mohon diri."
Pek-hoa-pangcu dan So-yok diam2 saja mengawasi tingkah Ling
Kun-gi yang mirip pemuda binal sedang memilih kesukaan, mereka
heran dan tak habis mengerti apa maksud Kun-gi. Thay-siang diam
saja se-olah2 setuju tindakan Ling Kun-gi. .
Semua sudah mengundurkan diri, tinggal Bi-kui seorang yang
ditahan disini, memangnya Bi-kui inikah mata2 musuh? Sejak tadi
So-yok ber-diri di depan pintu, setelah semua orang pergi, tanpa
kuasa dia bertanya: "cong-su-cia, tugasku sudah selesai?"
"Belum, kau belumboleh meninggaikan tugas-mu," ujar Kun-gi.
Hay-siang berkata: "Bayangan yang kulihat terang seorang laki2,
orang2 yang diperiksa cong su-cia justeru para saudara kita yang
nona, kenapa yang laki2 tidak diperiksa?"
Kun-gi tertawa, katanya: "Para Taycia dan dara2 kembang ini
semuanya belum kukenal. Sementara para Hou-hoat su-cia yang
ada boleh di katakan setiap hari berkumpul bersamaku, dan
keadaan mereka sudah Kuketahui jelas, sudah tentu tak perlu
kuperiksa mereka."
"Jadi cong-su-cia sudah memperoleh apa yang diharapkan?"
tanya Hay-siang.
"Belum," ujar Kun-gi menggeleng. "sekarang giliran nona, harap
duduk dan copot kedokmu, biar kuperiksa juga ."
Hay-siang malu2, katanya: "Apakah cong-su-cia mencurigai
hamba?" pelan2 tangannya mengelupas kedok mukanya yang tipis
halus. Hay-siang memiliki seraut wajah bundar, kulitnya putih
mulus, sepasang matanya tampak hidup lincah, bibirnya tipis,
memang sesuai sekali dengan nama yang diberikan kepadanya.
Sorot mata Kun-gi mendadak tajam, katanya tertawa:
"Berhadapan dengan wajah molek begini tidak puas hanya
memandangnya berhadapan, ingin kududuk disampingnya dan
merebahkan diri menikmat i kecantikan yang molek ini." Betul juga
dia lantas duduk di sisinya mengawasi wajah Hay-siang dari
samping kiri lalu ke samping kanan. Sungguh aneh, di hadapan
Thay-siang dia berani bertindak begini kasar.
Sudah tentu Pek-hoa-pangcu merasa heran, sedangkan So-yok
yang berdiri di depan pintu segera melengos, wajahnya merah
bersungut.
Sementara pipi Hay-siang sendiri menjadi merah, katanya
menunduk: "cong- su-cia jangan menggoda."
Kun-gi tidak pedulikan, dia putar ke belakang dan berdiri sejenak
seperti seorang pembeli yang sedang menikmati barang pilihannya
saja, sementara mulut bersenandung membawakan syair pujangga
dinasti Tong.
Sudah tentu Hay-siang tidak tahu apa maksud orang
bersenandung, karena dirinya dipuji, hatinya merasa senang. namun
rasa malunya semakin jadi, akhirnya tak tahan dia berkata: "Sudah
puas cong-su-cia?"
Kun-gi goyang2 tangannya: "Nanti dulu nona" Dari kantong
bajunya dia keluarkan kotak gepeng serta membuka tutupnya,
dijemputnya sebutir obat warna madu terus diangsurkan, katanya
dengan tertawa tawar: "Sayang sekali kalau pupur menutupi warna
yang asli, kukira nona terlalu tebal memakai pupur, bagaimana
kalau nona cuci muka saja?" obat bundar berwarna seperti madu itu
adalah obat khusus untuk mencuci muka yang telah di make-up,
Mendadak berubah hebat sikap Hay-siang, tiba2 dia berjingkrak
berdiri, baru saja pergelangan tangannya terayun. Tapi Kun-gi lebih
cepat lagi, jari tangan kiri dengan enteng menyentik, sejulur angin
segera menerjang Ki-ti-hiat di pergelangan tangan Hay-siang,
mulutpun tertawa: "Lebih baik nona tetap duduk saja, ada
pertanyaan yang ingin kuajukan padamu."
Pada saat Hay-siang berjingkrak berdiri itulah, Bi-kui alias Un
Hoan-kun telah bertindak pula di belakang Hay-siang, kedua tangan
bekerja cepat, beruntun dia tutuk tiga Hiat-to besar dipunggung
orang, lalu menekan pundak orang, bentaknya: "Duduk" Tanpa
kuasa Hay-siang tertekan duduk kembali di kursinya.
Thay-siang manggut2 dan berkata sambil tersenyum senang:
"Ternyata kau memang sudah tahu akan dia."
Serius sikap Ling Kun-gi, katanya: "Thay-siang serba tahu, soal
ini tentunya juga sudah di-ketahui. Waktu hamba memeriksa kamar
tadi kudapati jendela terbuka, kucium pula bau pupur yang
tertinggal di dalam kamar dan pupur itu sama dengan bau pupur
yang dipakainya, cuma waktu itu belum berani kupastikan, kini
setelah melihat make- up dimukanya baru aku lebih yakin dan
ternyata memang terbukti betul adanya."
Thay-siang mengangguk. ujarnya: "Betul, gurumu ahli rias yang
tiada duanya di kolong langit, cara make-up yang dia gunakan ini,
sudah tentu takkan bisa mengelabui dirimu yang cukup ahli pula
dalam bidang ini."
Kaget dan girang hati So-yok, katanya sambil melerok: "Kenapa
tidak kau jelaskan sejak tadi."
"Tentunya Hu-pangcu sudah lihat, baru saja cayhe sendiri
memperoleh buktinya." sahut Kun-gi. Pek-hoa-pangcu menghela
napas, katanya: "Dia ternyata bukan cap-si-moay, tentu cap-si-moay
sudah dia Celakai."
Kun-gi serahkan obat berwarna madu itu kepada Bi kui, katanya:
"Tolong nona, remas saja obat ini di telapak tangan dan poleskan ke
mukanya, bahan make up di mukanya akan tercuci bersih."
Bi-kui lantas bekerja, obat itu dia taruh di tengah telapak tangan
terus di-gosok2 lalu mulai memoles di muka Hay-siang. Memang
aneh sekali, di mana jari2nya bergerak di muka Hay-siang, bahan2
rias di muka Hay-siang seketika mengelotok lenyap. dengan cepat
wajah Hay-siang nan molek itu sudah berganti rupa.
Dia ternyata seorang perempuan berusia sekitar 25, bentuk
wajahnya bundar agak mirip Hay-siang yang asli. Kerena tertutuk
Hiat-tonya oleh Bi-kui, kecuali kedua biji matanya yang masih bisa
bergerak, mulutpun tak mampu bersuara. Kun-gi bertanya kepada
Bi-kui: "Nona, buka-lah Hiat-to yang membisukan dia itu."
Bi-kui memukul pelahan di belakang leher Hay-siang. Hay-siang
menjerit tertahan, gerahamnya tampak bisa bergerak.
Tiba2 Kun-gi membentak pula: "Lekas tutuk lagi Hiat-to
pembisunya."
Untung Bi-kui bekerja cepat dan sigap. sekali gerak dia tutuk pula
Hiat-to bisunya.
Kata Kun-gi: "Sekarang nona buka lagi tutukan Hiat-to barusan,
cuma gunakan tenaga lebih keras sedikit."
Bi-kui menurut petunjuk. telapak tangan terangkat, dia gablok
keras tengkuk Hay-siang. Kembali Hay-siang menjerit, dari mulutnya
mendadak mencelat keluar sebutir obat bungkus lilin sebesar
kacang tanah.
Sigap sekali Kun-gi menyambarnya, katanya tertawa: "Sepatah
kata saja belum nona katakan, mana boleh kubiarkan kau
mampus?"
Mendelik mata Hay-siang, semprotnya: "Kau menggagalkan
tugasku, aku benci padamu."
"Nona harus salahkan dirimu sendiri," ujar Kun-gi, "Kenapa kau
memfitnah diriku?"
"Kau kira aku akan mengaku? Hm, mau bunuh atau hendak
disembelih boleh silakan, jangan kau harap akan mendapatkan
keterangan dari mulutku."
So-yok mengejek: "Keparat kurang ajar, jiwamu sudah berada di
tangan kami masih berani bertingkah? Kalau tidak diberi ajaran kau
tidak tahu kelihayanku." Sembari bicara dia lantas melangkah
masuk.
Hay-siang menyeringai ejek: "orang2 Pek-hoa-pang siapa yang
tidak tahu kalau kau bertangan gapah dan berhati keji, tidak punya
rasa perikemanusiaan, memangnya kau berani berbuat apa
terhadap diriku"
Mengelam wajah So-yok saking murka, teriaknya: "Kau kira aku
tidak berani membunuh mu?"
Pedang So-yok segera menusuk kebelakang kepala Hay-siang..
"Ji-moay ..... "teriak Pek-hoa-pangcu.
Tapi Kun-gi turun tangan lebih cepat lagi, jarinya menjentik
sekali, "creng", sejalur angin kencang membikin pedang So-yok
tergetar sehingga menusuk tempat kosong, katanya: "Jangan
Hupang-cu tertipu olehnya, sengaja dia memancing kemarahanmu,
maksudnya supaya bisa mati seketika."
Thay-Siang yang duduk di atas sana manggut2, katanya
tersenyum: "So,-yok, kau memang terburu nafsu, kalau gurumu
mau membunuh dia, ketika dia menyambit dengan Som-lo-ling
tentu jiwanya sudah amblas, memangnya kau kira gurumu tidak
tahu kalau penyerangnya ialah dia ini? Kalau langkahnya tidak
gurumu ketahui, sia2lah aku berkedudukan sebagai Thay-siang.
Terus terang, gurumu memang sengaja ingin melihat permainan
licin apa yang akan dia lakukan pula, di samping itu akupun ingin
menguji ketrampilan kerja Ling Kun-gi, sampai di mana
kecerdikannya pula, maka peristiwa ini kuserahkan kepada Ling
Kun-gi untuk membongkarnya. Kalau menuruti watakmu yang
sembrono itu, susah payah Ling Kun-gi setengah malam ini
bukankah akan sia2 belaka?"
Merah muka So-yok. katanya menunduk: "Peringatan guru
memang betul."
Kun-gi berdiri tegak lalu menjura ke arah Thay-siang, katanya:
"Terlalu tinggi Thay-siang menilai hamba, untuk ini hamba merasa
gugup sekali."
Ramah tawa Thay-siang, katanya: "Kenyataan sudah demikian,
kini kau sudah bongkar kejahatan ini, soal mengompes keterangan
dari mulutnya tetap kuserahkan padamu, kau harus berhasil
memperoleh keterangannya."
"Hamba terima perintah," seru Kun-gi sambil menjura.
Hay siang mengertak gigi, katanya mendesis: "orang she Ling,
kau membongkar kedokku, semakin besar pula kepercayaan Thaysiang
terhadap-mu, semakin tinggi pula kedudukkanmu, sekali
gebrak berhasil mengangkat dirimu, mungkin kau akan menjadi
calon suami sang Pangcu, ini tentu akan memuaskan cita2mu, tapi
untuk mengorek keterangan dari mulutku, jangan kau harap"
Tawar tawa Kun-gi, katanya sembari menghampiri Hay-siang,
suaranya lembut: "Nona sendiri sudah dengar, Thay-siang memberi
tugas kepadaku untuk mengorek keteranganmu maka kuharap nona
tahu diri."
"Kau hendak menyiksaku?" tanya Hay-siang.
"Syukurlah kalau nona tahu?" kata Kun-gi.
Penuh kebencian nada Hay-siang: "Kau adalah murid paderi Siaulim
yang agung dan kosen, sampai hati kau mengorek keterangan
mulut seorang perempuan dengan cara kekerasan, memangnya
tidak takut merendahkan derajat dan merusak nama baik
perguruanmu?"
Kun-gi bergelak-tawa, katanya: "Salah nona, guruku Hoan jiu
julay sudah keluar dari Siau-lim, maka hakikatnya beliau bukan
murid Siau-lim lagi, kalau ada orang bilang aku ini lurus, aku akan
bertindak lurus, bila dikatakan aku sesat, aku malah akan bertindak
lebih sesat, soal perguruan tidak pernah kupikirkan,jangan kau
menakuti diriku dengan embel2 itu."
Merandek sejenak lalu dia menyambung: "Perlu kuberitahu
kepada nona, jika kau mau bicara terus terang, menjawab apa yang
. . .."
Sebelum Kun-gi habis bicara, tiba2 Hay-siang angkat kepala,
"cuh", se-keras2nya dia meludah ke muka Ling Kun-gi.
Jarak mereka teramat dekat, sudah tentu Kun-gi tidak sempat
menghindar, maka mukanya basah berlepotan ludah.
Bi-kui naik pitam, sekali tempeleng dia gampar muka Hay-siang
sekeras2nya, teriaknya: "Berani kau kurang ajar terhadap cong-sucia."
Hay-siang tertawa dingin, jengeknya: "Bagus sekali pukulanmu,
memangnya kau juga kepincut pada orang she Ling ini. Hm Bok-tan,
So-yok. semua rela mengorbankan kesucian sendiri padanya,
memangnya kau juga mau ........"
Merah jengah wajah Bok-tan, So-yok dan Giok-lan mendengar
ocehan ini.
Malu dan murka pula Bi-kui, hardiknya gusar: "Berani usil
mulutmu." Kembali tangan terayun, dia gampar pula muka orang,
Panas muka Kun-gi mendengar ocehan Hay-siang yang
terang2an itu, dia angkat lengan baju membersihkan kotoran di
mukanya, lalu mencegah gamparan Bi-kui lebih lanjut, katanya
kepada Hay-siang: "Nona juga seorang perempuan kenapa bicara
sekotor ini, kalau nona tetap berkeras kepala, jangan salahkan aku
tidak kenal kasihan lagi."
"Kau boleh bunuh aku saja," teriak Hay-siang.
Kun-gi tersenyum, katanya ramah: "Agaknya nona amat bandel
dan tak mau mendengar nasehat-ku, terpaksa kau akan merasakan
betapa siksa derita bila darah tubuhmu mengalir sungsang terbalik,
sehari kau t idak bicara, sehari jiwamu t idak akan melayang, asal kau
sanggup bertahan, berapa lama terserah pada dirimu"
"Buat apa Ling-heng hanya bicara saja?" desak So-yok tak sabar.
"Tidak, cayhe harus jelaskan lebih dulu, supaya dia ada waktu
untuk mempertimbangkan. "
"Aku tidak akan mengaku, kau boleh mulai dengan
siksaanmu,"jawab Hay-siang ketus.
"Kuberi waktu satu jam, kau boleh katakan siapa namamu, siapa
yang mengutusmu kemari, berapa banyak komplotanmu yang ada
di kapal ini?"
Sorot mata Hay-siang diwarnai dendam membara, teriaknya
keras: "Aku adalah ibu gurumu, Hoan-jiu ji-lay yang menyuruhku
kemari ......."
Mencorong sorot mata Ling Kun-gi, desisnya dingin: "Dengan
baik hati kuberi nasehat, kau malah bermulut kotor, baiklah biar kau
rasakan dulu betapa nikmatnya bila darahmu menyungsang balik,"
Sembari bicara sekaligus ia menutuk delapan Hiat-to di tubuh Haysiang,
gerakannya amat cepat, seperti menutuk tapi juga seperti
mengusap saja.jelas gayanya berbeda dengan ilmu tutuk umumnya.
Tubuh Hay-siang seketika mengejang gemetar, seperti orang
mendadak terserang malaria, terasa darah sekujur badannya
mendadak bergolak. semua menuju ke ulu hati.
"sekarang masih ada waktu kalau kau mau bicara," desak Kun-gi.
Walau sudah kesakitan Hay-siang tetap bandel, dia pejamkan mata
tanpa bUka sUara.
Tapi hadirin jelas menyaksikan dalam waktu sesingkat ini,
wajahnya yang semula putih halus telah berubah merah melepuh
seperti darah, badannya kelejetan, keringat dingin sebesar kacang
membasahi mukanya, tapi dia tetap mengertak gigi, bertahan
mati2an dari siksaan tanpa mau berbicara sepatah katapun.
Kira2 semasakan air terdengar Hay-siang merint ih, teriaknya
serak: "Kau bunuhlah aku saja." Mendadak tubuhnya terguling,
kiranya jatuh pingsan.
"Budak bangsat sungguh bandel sekali," Thay-siang menggeram
dingin.
Sekali mengebas tangan kiri, Kun-gi buka Hiat-to di badan orang,
lalu menutuknya pula pada dua Hiat-to yang lain, katanya kepada
So-yok: "Hu-pangcu, cayhe ingin pinjam kamarmu, apa boleh?"
Merah muka So-yok. katanya. " Untuk apa?"
Kun-gi tersenyum, katanya: "Untuk ini harap Hu-pangcu jangan
tanya."
Kata So-yok: "Itulah kamarku, silakan masuk."
"Terima kasih Hu-pangcu," ucap Kun-gi lalu ia memanggil Bi-kui,
katanya "Marilah nona ikut masuk."
Bi-kui ragu2, katanya: "cong-su-cia ....."
"Bi-kui," seru Thay-siang, "cong-su-cia menyuruhmu, kau boleh
ikut masuk tak usah banyak tanya."
Bi-kui membungkuk sahutnya: "Tecu terima perintah."
"Saat latihan sudah tiba. perkara ini kuserahkan padamu untuk
membongkar seluruhnya, kekuasaan penuh kuberikan padamu,"
ujar Thay-Siang sambil berdiri.
"Terima kasih Thay-siang, musuh dalam selimut yang ada kapal
ini akan hamba jaring seluruhnya," seru Kun-gi sambil menghormat.
Thay-siang mengangguk. ujarnya: "Ya, kau memang anak baik."
Lalu melangkah ke dalam.
Setelah Thay-siang masuk. Kun-gi menjura kepada Pek hoapangcu
dan Hu-pangcu, katanya: "Pang cu dan Hu-pangcu harap
tetap duduk dan tunggu saja di sini." Lalu dia memanggil Bi-kui:
"Marilah, nona ikut cay he."
Karena sudah dipesan oleh Thay-siang, tak berani Bi-kui
membantah, terpaksa dia ikut Kun-gi masuk ke kamar So yok.
Begitu berada di dalam kamar Kuu-gi segera menutup pintu,
"Untuk apa ini" tanya Un Hoan-kun lirih.
"Kuminta nona suka menyamar seseorang."
"Menyamar siapa?"
"Jangan banyak tanya, lekas buka kedokmu."
Un Hoan-kun mengelupas kedok mukanya, sementara cepat
sekali Kun-gi sudah keluarkan bahan2 rias dalam kotak kayunya,
pertama dia cuci bersih wajah Un Hoan-kun. lalu secara teliti dia
merias wajah orang menjadi bentuk lainKira2
satu jam lamanya baru dia membereskan barang2nya ke
dalam kotak serta disimpan dalam baju, katanya: "Sejak kini nona
tidak usah lagi mengenakan kedok, duduk saja di kamar ini,
menunggu panggilan baru boleh keluar."
Lembut suara Un Hoan-kun: "Ya, kuturut segala petunjukmu."
"Terima kasih nona," ucap Kun-gi seraya membuka pintu dan
keluar, daun pintu dia tutup pula dari luar.
Sudah tentu Bok-tan, So-yok dan Giok-lan tidak tahu apa kerja
Kun-gi bersama Bi-kui di-dalam kamar tertutup sekian lamanya?
Melihat dia keluar, sorot mata mereka setajam pisau menatapnya.
Anehnya setelah keluar dia tutup pula pintu dari luar, jadi Bi-kui dia
kurung di dalam kamar.
Dasar suka blingsatan, So-yok tak tahan, tanyanya: "Ling heng,
mana Bi-kui? Apakah dia mata2 musuh?"
"Sebentar lagi Hu-pangcu akan jelas duduk persoalannya," sahut
Kun-gi. Lalu ia berpaling ke arah Giok-lan, katanya: "Kini mohon
bantuan congkoan lagi"
"Tidak apa," sahut Giok-lan- "Ada pesan apa cong-su-cia."
"Harap congkoan panggil Loh-bi-jin kemari dengan membawa
empat dara kembang," lalu ia berbisik beberapa patah kata pula.
Giok-lan berkata: "Hamba mengerti." Lalu berjalan keluar.
So-yok melerok pada Kun-gi, katanya: "Ling-heng, sebetulnya
langkah apa yang sedang kau atur?"
Pek-hoa-pangcu juga tertawa, katanya "Kukira cong-su cia sudah
punya perhitungan matang, buat apa Ji-moay banyak tanya, nonton
saja dengan sabar, nanti kau juga akan mengerti."
"Aku tidak sabar melihat caranya jual mahal, bikin dongkol saja,"
omel So-yok.
Lebar senyum Kun-gi, katanya membungkuk: "Rahasia alam tidak
boleh bocor, hamba harus berikhtiar dan memutuskan langkah2
yang penting, untuk ini harap pangcu, Hu-pangcu maklum."
So-yok melerok pula, katanya sambil cekikiksan: "Sekarang Lingheng
adalah orang kepercayaan Thay-siang, bila Thay-siang sudah
serahkan kuasa padamu untuk membongkar peristiwa ini, memangnya
siapa yang berani menyalahkan kau."
Tengah bicara Giok-lan tampak menyingkap kerai berjalan
masuk, katanya: "cap-go-moay telah datang."
"silakan dia masuk." ujar Kun-gi.
Loh-bi-jin mengiakan di luar pintu, lalu katanya kepada orang2 di
belakangnya: "Cucu, kau ikut aku masuk. kalian bertiga tunggu
giliran di luar sini."- Lalu dia singkap kerai dan berjalan masuk.
Cu-cu ikut di belakang Loh-bi-jin. begitu masuk langsung ia
melihat Hay-siang yang meringkuk lemas di lantai dengan wajah
yang sudah tercuci bersih, seketika dia bergidik ngeri, serta merta
langkahnya agak merandek.
"Nona Cu-cu," kata Kun-gi tertawa, "tolong kau papah dia."
Cu-cu mengiakan sembari menghampiri Hay-siang dengan
takut2, baru saja dia membungkuk badan secepat kilat telunjuk jari
Kun-gi menutuk Hiat-to di belakang badannya. Tanpa ayal Giok—
lan maju mengempitnya terus diseret ke kamar So-yok.
Cepat2 Kun-gi dorong daun pintu sembari berkata kepada Bi-kui:
"Lekas nona tukar pakaian dengan dia."
Giok-lan Cepat menutup pintu. Tak lama kemudian pintu terbuka
lagi, Giok-lan melangkah, keluar bersama Cu-cu
Semua orang tahu Cu-cu yang satu ini adatah samaran Bi-kui.
Tanya Kun-gi lirih kepada Loh-bi-jin: "Apakah nona sudah
mempersiapkan seluruhnya?"
Loh-bi-jin mengangguk. sahutnya: "Sudah kusampaikan pesan
sesuai permintaan cong-su-cia, semuanya sudah siap."
"Baik sekali, sekarang boleh nona menggusurnya keluar," kata
Kun-gi.
Dengan bimbang Loh-bi-jin bertanya: "Apa betul tidak perlu
menugaskan beberapa orang lain untuk menjaganya?"
"cayhe sudah menutuk beberapa Hiat-tonya, sementara dia
kehilangan kepandaian silatnya, nona Cukup bekerja menurut
rencana yang telah kuatur itu."
"Hamba mengerti," sahut Loh-bi-jin, dia membalik kepintu lalu
memanggil "Kalian masuk lagi seorang."
Seorang dara kembang mengiakan dan melangkah masuk. Kata
Loh-bi-jin sambil menuding: "Kalian gusur dia keluar."
Cu-cu tiruan alias Bi-kui dan dara kembang baru ini mengiakan,
mereka angkat tubuh Hay-siang terus dibawa keluar.
Loh-bi-jin tidak berani gegabah, lekas dia membungkuk: "Hamba
mohon diri " cepat2 dia ikut keluar menjaga Hay-siang.
So-yok bertanya: "Ling-heng, Cu-cu masih ada dikamarku, apa
tindakanmu terhadapnya?"
"orang ini lebih penting dari Hay-siang, kita harus mengompes
keterangan dari mulutnya, sebentar kumohon Hu pangcu sendiri
yang mengompes dia."
"Kenapa aku yang mengompesnya?" tanya So-yok.
"Karena Hu pangcu juga menjabat kepala Hukum, biasanya
melaksanakan peraturan sekokoh gunung, seluruh anggota Pang
kita sama segan dan hormat kepadamu, kalau Hu pangcu yang
tanya dia pasti dia takut dan mau bicara terus terang."
So-yok mencibir,jengeknya: "Kenapa tidak katakan saja ini
perempuan galak dan bawel."
"Sebagai pelaksana hukum yang harus memegang teguh
peraturan sudah tentu Hu pangcu harus bermuka kaku dingin tanpa
kenal belas kasihan terhadap yang salah," ujar Kun-gi.
Cerah sorot mata So-yok. katanya tersenyum: "Kau memang
pandai bicara"
Tampak kerai tersingkap. ternyata Bi-kui telah kembali. Kini dia
telah ganti seperangkat pakaian warna hijau kembang, mengenakan
kedok muka Bi-kui yang asli lagi.
"Kiu-moay," seru So-yok heran, "kenapa kau kembali?"
Bi-kui memberi hormat, katanya tertawa: "cong-su-cia suruh
hamba untuk mendengarkan apa2 yang terjadi di sini."
"o." So-yok bersuara singkat, lalu dia bertanya sambil menatap
Kun-gi: "Sekarang boleh mulai?"
"Waktu amat mendesak. lebih Cepat lebih baik," ujar Kun gi.
So-yok membalik, katanya kepada Pek-hoa-pangcu: "Toaci
silakan duduk di atas," Lalu dia berkata kepada Giok-lan dan Bi-kui:
"Sekarang harap Sam-moay dan Kiu-moay gusur Cu-cu keluar."
Ruang sidang ini adalah tempat kediaman Thay-siang, tanpa
dipanggil para pelayan tidak berani masuk, maka sekarang terpaksa
Giok-lan dan Bi-kui harus kerja sendiri, atas perintah So-yok mereka
gusur Cu-cu keluar dari kamar.
Kun-gi serahkan sebutir obat mencuci bahan rias pada Giok-lan
dan Giok-lan langsung mencuci bersih wajah Cu-cu dengan obat
yang diterimanya itu. Cu-cu yang asli baru berusia 17- an, ternyata
gadis yang menyamar jadi Cu-cu ini kelihatan juga baru berusia 17-
an-
So-yok duduk pada kursi disebelah bawah tempat duduk Pekhoa-
pangcu, lalu memberi tanda anggukan Kepada Giok-lan dan Bikui.
Sekali gablok Giok-lan buka tutukan hiat-to Cu-cu. seketika gadis
yang menyaru Cu-cu membuka mata dan mendapati dirinya rebah
di lantai, sesaat dia melenggong, waktu dia angkat kepala, di
lihatnya Pangcu, Hu pangcu, cong-su-cia dan lain2 berada di
Sekelilingnya. diam2 hatinya terkesiap. bergegas dia merangkak dan
menyembah, serunya: "Hamba menyampaikan sembah hormat
kepada Pangcu, Hu pangcu ... ."
Tegak alis So-yok. hardiknya: "Tutup mulutmu, tiada dara
kembang seperti dirimu dalam Pang kita, ketahuilah, Hay-siang
sudah mengaku terus terang, maka bicaralah secara blak2an juga ,
memangnya kau ingin disiksa dulu?”
Gemetar gadis yang menyaru Cu-cu, katanya sesenggukan
sambil mendekam di lantai: "Pangcu, Hu pangcu, hamba sungguh
penasaran-"
"Kiu-moay," kata So-yok angkat tangan, "serahkan sebuah
cermin padanya, biar dia melihat tampangnya sendiri."
Bi-kui memang sudah menyiapkan sebuah cermin bundar terus
diangsurkan. Gadis penyamar Cu-cu masih belum tahu kalau makeup
dimukanya sudah dicuci, begitu melihat wajah sendiri di cermin
seketika merasa terbang sukmanya, mukanya pucat, bibir gemetar
tak mampu bicara lagi.
"Hay-siang berani coba membunuh Thay-siang, kini telah dijatuhi
hukuman mat i,"
Demikian geram So-yok katanya dingin. "Sepatah kata saja kau
berani bohong, jangan harap kau bisa hidup."
Diam2 Kun-gi memberi isyarat kedipan mata kepada Pek-hoapangcu.
Segera Pek-hoa-pangcu buka suara: "Cu-cu, mengingat
usiamu masih muda belia, mungkin lantaran dipaksa dan diancam
orang sehingga kau menyelundup ke tempat kita ini, tapi asal kau
suka bicara terus terang, akan kuberi kelonggaran padamu,jiwamu
akan diampuni, sebaliknya kalau berkukuh dan tidak menyadari
kesalahanmu, kematian Hay-siang akan menjadi contoh bagimu."
Semakin takut dan gemetar gadis yang menyaru Cu-cu,
tangisnya terisak. katanya: "Pangcu dan Hu pangcu harap periksa,
semula aku adalah pelayan yang ditugaskan di bawah cui- tongcu,
lantaran Ci-Gwat-ngo yang ditugaskan di sini bilang wajahku mirip
Cu-cu, demikian juga usia kami sebaya, maka aku disuruh menyaru
jadi Cu-cu dan menyelundup kemari. cui-tongcu menahan ibuku,
katanya kalau aku gagal menunaikan tugas ibuku akan dibunuhnya.
Mohon Pangcu dan Hu pangcu menaruh belas kasihan terhadap
nasib jelekku ini dan ampunilah diriku."
Ci-Gwat-ngo yang di-katakan ini sudah tentu adalah perempuan
yang menyamar jadi Hay slang.
"cara bagaimana kalian menyelundup kemari"" tanya So-yok.
Tutur gadis yang menyamar Cu-cu: "Bagaimana cara Gwat-go
cici masuk kemari aku tidak tahu, kira2 tiga bulan yang lalu aku
diantar ke suatu tempat yang dekat dengan Hoa keh-ceng, lalu
Gwat-go cici memancing Cu-cu keluar serta menutuk Hiat tonya,
sejak itu aku dibawanya masuk Hoa- keh-ceng."
"Kau tahu berapa lama Ci-Gwat-ngo menyelundup kemari setelah
menyaru jadi Hay-siang" tanya So-yok.
"Entah, hamba tidak tahu," sahut gadis itu, "agaknya sudah
cukup lama"
"Setelah kalian berada disini, cara bagaimana pula mengadakan
kontak dengan pihak Hek-liong-hwe?"
"Itu urusan dan tugas Gwat-go cici, aku sendiri t idak jelas, kalau
tidak salah ada seorang lain lagi yang bertugas dalam hal ini." Kungi
manggut2, tapi dia diamsaja tidak memberi komentar.
Tiba2 Bi-kui menyelutuk: "Biasanya kalau bertemu dengan Ci-
Gwat-ngo, bagaimana sebutanmu kepadanya?"
"Di muka umum aku memanggilnya cici dan dia memanggilku Cucu,"
sahut gadis itu.
"Kau pernah melihat orang yang ditugaskan mengadakan kontak
rahasia dengan dia?" tanya So-yok.
"Pernah kulihat sekali," tutor gadia itu, "dia mengenakan kedok.
di malam hari lagi, jadi sukar melihat wajahnya? Tapi Gwat-go cici
juga mengenakan kedok, mungkin orang itu juga tidak tahu siapa
sebetulnya Gwat-ngo cici."
"Mereka sama2 mengenakan kedok. untuk berhadapan dan
saling kenal tentu digunakan tanda2 rahasia yang diperlukan?" sela
Bi-kui lagi.
"Waktu itu Gwat-ngo cici menyuruhku berjaga di sekeliling
tempat itu, waktu kami sampai di tempat tujuan, orang itu sudah
ada di sana, aku hanya melihat orang itu angkat sebelah tangan
kanan serta menekuk jari telunjuk. sementara Gwat-ngo cici
menggerakkan tangan membuat lingkaran ditengah udara lalu
menutul ke-tengah2 lingkaran."
"Sudah cukup?" tanya So-yok berpaling ke arah Kun-gi.
Lekas Kun-gi menjura, katanya: "Memang Hu-pangcu lebih
berhasil. Ya, sudah cukup,"
"Sam-moay," kata So-yok. "tutuk Hiat-tonya, sementara sekap
dia di kamar Hay-siang, tugaskan beberapa orang lagi untuk
menjaganya." Giok-lan menutuk Hiat-to orang terus mengempitnya
keluar.
"congkoan, biar hamba bantu menggusurnya keluar," kata Bi-kui.
"Tidak usah," ujar Giok-lan menoleh," kau masih punya tugas
sendiri.
Bi-kui putar tubuh serta memberi hormat kepada Kun-gi,
katanya: "Entah cong-su-cia masih ada pesan apa?"
"Nona sudah dengar apa yang dikatakan tadi, maka boleh kau
bekerja sesuai rencana semula."
"Hamba terima tugas," sahut Bi-kui. Setelah memberi hormat
kepada Pangcu dan Hu pangcu segera dia mengundurkan diri.
Bertaut alis Pek-hoa-pangcu, matanya yang bundar besar
terbelalak, bibirnya yang tipis bak delima merekah bergerak2,
tanyanya: "cong-su-cia, di atas kapal kita ini adakah mata2 yang
lain lagi?"
Kun-gi menepekur sebentar, katanya kemudian: "Sekarang masih
sukar dikatakan, asal rencana ku berjalan dengan lancar, kukira
perkara ini segera akan terbongkar."
Sampai di sini t iba2 dia menjura: "Hari hampir terang tanah,
Pangcu dan Hu-pangcu sudah lelah setengah malam, sekarang
bolehlah istirahat, hamba t idak punya urusan lagi dan mohon diri."
Fajar menyingsing, sang surya mulai memancarkan cahayanya
yang terang benderang.
Lilin masih menyala di ruang makan tingkat kedua. Di atas meja2
yang berbentuk segitiga itu sudah ditaruh beberapa macam sayur
dan bubur yang masih mengepul serta senampan besar bakpau
yang banyak jumlahnya.
Kini tiba saatnya sarapan pagi, dari setiap pintu kamar di tingkat
kedua beruntun menongol keluar para Busu yang berpakaian
seragam Hijau pupus (Hou hoat) dan hijau kelabu (Hou-hoat-sucia),
mereka berbaris menjadi dua baris, tiada seorangpun yang
bicara. Tak lama kemudian pintu kamar disebelah kanan terbuka,
munculah coh-houhoat Kiu-cay-boan-koan Leng Tio-cong dan Yuhouhoat
coa Liang. Hanya cong-su-cia saja seorang yang
menempati sebuah kamar tersendiri pada tingkat kedua ini, coh- yuhou
hoat berdua menempati satu kamar, sementara yang lain2
empat orang satu kamar.
Setelah coh-yu-hou-hoat muncul, para Hou-hoat dan Hou-hoatsu-
cia segera membungkuk badan lalu menegak pula sembari
berseru: "Hormat kepada coh- yu-hou- boat."
Kulit muka Leng Tio-cong yang tirus itu kelihatan memancarkan
senyum lebar yang licik, sebelah tangannya mengelus jenggot
kambing di bawah dagunya, katanya manggut2 dengan mata
menyapu hadirin: "Kalian cukup pagi, silakan semua duduk."
Barang bukti berupa Sam-lo-ling dan jubah hijau ditemukan di
kamar Ling Kun-gi, sejak malam tadi tak tampak bayangan Kun-gi
setelah digusur naik ke tingkat atas menghadap Thay-siang. Mereka
juga tahu bahwa para dara kembang berbaris naik ke tingkat atas
serta turun pula tak kurang suatu apa. Sejauh ini Thay-siang tidak
pernah memanggil coh-yu-hou-hoat untuk dimintai keterangan, jelas
Thay-siang amat ma rah akan usaha pembunuhan atas dirinya,
mungkin secara diam2 Ling Kun gi sudah dijatuhi hukuman mati,
Cuma berita ini belumdiumumkan saja.
Kalau Ling Kun-gi dihukum mati, maka jabatan cong-su-cia akan
kosong, secara langsung se-bagai coh- houhoat, Leng Tio-cong akan
dinaikkan pangkatnya mengisi jabatan cong su-cia itu. Karena itulah
sikap Leng Tio cong tampak riang dan bersemangat langsung dia
menuju ke meja di sebelah kiri terus duduk, serta merta dia melirik
kursi di tengah itu yang masih kosong, baru saja ia hendak bersuara
menyuruh hadirin mulai makan, sekilas di lihatnya pintu kamar di
ujung kiri sana tiba2 terbuka.
Cong- hou-hoat-su-cia Ling Kun-gi dengan lh-thian-kiam di
pinggang dengan jubah hijau yang longgar melambai tiba2 muncul
dengan langkah tenang. Tiada seorangpun tahu kapan Kun-gi
kembali ke kamarnya, sudah tentu hadirin kaget dan melenggong.
Sikap Ling Kun-gi yang wajar dengan senyum kemenangan dan
gagah lagi se-olah2 tak pernah terjadi apa2, agaknya perkara yang
menimpa dirinya telah berhasil dibereskan dengan baik.
Setelah melengak sebentar, hampir seperti berlomba saja hadirin
berdiri menyambutnya. Dengan tertawa lebar Kun-gi berkata:
"Silakan duduk saja" Dengan langkah tetap dia menuju tempat
duduknya.
Tajam tatapan mata Sam-gan-sin coa-Liang, tanyanya: "cong-coh
tidak apa2 bukan?"
Tawar tawa Kun-gi, ucapnya: "Terima kasih atas perhatian coaheng,
kalau Thay-siang sendiri berpendapat peristiwa itu tidak
menyangkut diriku, sudah tentu tiada apa2 pada diriku."
Kiu-cay-boan-koan Leng Tio-cong berkata: "orang berani coba
membunuh Thay-siang dan memf itnah cong-coh lagi, ini
membuktikan bahwa di kapal kita ini ada mata2 musuh, maka soal
ini harus diselidiki sampai sedalam2nya, entah bagaimana petunjuk
dan perintah Thay-siang selanjutnya."
"Betul juga ucapan Leng-heng," ujar Kun-gi. "Walau Thay-siang
amat murka, soalnya perkara ini tiada sumber yang dapat dijadikan
sumbu penyelidikan, untuk membongkar jejak mereka tentu amat
sukar, Kini hanya ada satu cara .. . . . .."
"cara apa?" tanya Leng Tio-cong.
"Tunggu saja, nanti dia akan memperlihatkan jejaknya sendiri."
"Kalau selanjutnya dia tidak mengadakan aksi apa2, lantas kita
tidak mampu menangkap dia" kata Sam-gan-sin-
Tengah bicara, kerai tersingkap. tampak para peronda yang
bertugas malam hari telah kembali. Mereka adalah Hou hoat
Kongsun Siang dan Song Tek seng, Hou- hoat-su-cia Kik Thian-yu,
Ki Yu-seng, Kho Thing song dan Ho Siang-seng. Keng-sun Siang
pimpin mereka memberi hormat serta memberi laporan: "Lapor
cong coh, semalamsuntuk keadaan aman tenteram, hamba beramai
telah menunaikan tugas dengan baik."
Yang dikuatirkan oleh Kun-gi adalah keselamatan Kongsun Siang,
kini melihat orang kembali dengan segar bugar, maka dia tersenyum
lebar sambil manggut2, katanya: "Kalian sudah letih semalam
suntuk. lekas duduk dan makan." Sorot matanya satu persatu
menyapu wajah keenam orang, entah sengaja atau tidak ia melirik
dua kali kearah Ho Siang-seng.
Kongsun Siang berlima menjura lagi sekali lalu menuju tempat
duduknya masing2.
Kemudian Kun-gi bertanya:, "Apakah luka2 Nyo Keh-sian dan Sim
Kian-sin sudah lebih baik?"
"Mereka sudah bisa turun ranjang dan berjalan beberapa
langkah," sahut Leng Tio-cong, "cuma hamba kira kesehatan
mereka belum pulih seluruhnya, maka kusuruh koki mengantar
makanan ke kamar mereka saja."
"Ya, baik," ujar Kun-gi. Setelah makan Kun-gi langsung kembali
ke kamarnya pula, diam2 Kong-sun Siang ikut di belakangnya. Tapi
Kun-gi tidak ajak orang bicara, agaknya dia menaruh perhatian
kearah jendela, maka begitu masuk kamar langsung dia menuju ke
jendela, dengan teliti dia memeriksa dan meraba. Kejap lain tampak
rona mukanya sedikit berubah, dalam hati dia mengumpat:
"Bedebah, besar sekali nyali orang ini."
Melihat orang hanya memperhatikan jendela tanpa hiraukan
dirinya, Kongsun Siang kira orang tidak tahu akan kedatangannya,
maka dia berteriak: "Ling- heng." Kun gi membalik badan, katanya
tertawa: "Silakan duduk Kongsun heng."
Teko di meja masih mengepulkan bau harum, Kongsun Siang
mengambil dua cangkir lalu mengisinya penuh, katanya sambil
duduk di kursi sebelah: "Kudengar semalam ada perkara
pembunuhan di atas kapal"
"Kongsun-heng sudah tahu?" ucap Kun-gi.
"begitu kembali dan tiba di kapal aku lantas mendengar kabar
ini," ujar Kongsun siang, sembari bicara tangannya mengambil
sebuah cangkir teh yang di isinya tadi, katanya pula: "orang berani
menyembunyikan barang bukti di kamar Ling-heng, bagaimana
Ling-heng akan menghadapi persoalan ini?"
Kun-gi tertawa tawar, sebelum bicara kedua matanya tiba2
menatap tangan Kongsun Siang, serunya dengan suara rendah:
"Tunggu dulu, ku-kira air teh ini tidak boleh diminum."
Kongsun Siang sudah angkat cangkir dan menyentuh bibir, dia
melengak mendengar seruan Kun-gi, katanya sambil menatap
cangkir ditangan-nya: "Ling-heng kira orang menaruh racun dalam
air teh ini?"
"Apakah dia menaruh racun belum bisa dipastikan, tapi setelah
aku keluar barusan, terang ada orang masuk kemari."
"Dari mana Ling-heng tahu?"
"orang itu masuk melalui jendela, jejaknya tak bisa mengelabuhi
mataku? Mungkin karena gagal memfitnah diriku, maka dia gunakan
cara licik lainnya, segala benda yang ada di kamar ini bisa dipandang
mata, untuk melaksanakan t ipu daya terhadapku, kecuali
menggunakan racun, kukira tiada cara lain yang lebih baik lagi."
Kongsun Siang melenggong, katanya: "Agaknya Ling-heng amat
teliti dan hati2, biasanya aku cukup cermat, kalau akal licik kaum
persilatan umum-nya takkan bisa mengelabuhi diriku, tapi dengan
menaruh racun di dalam air teh yang masih mengepul hangat
seperti ini jelas sukar diketahui muslihatnya, nyata aku tak dapat
membedakan tipu daya musuh ini."
"Aku hanya menduga saja, apa betul air teh ini beracun biarlah
kucoba," ujar Kun-gi, dia sobek kain gordyn jendela yang terbuat
dari wool terus direndam ke dalam air teh. Ujung kain sobekan
masuk air dan jadi basah, tapi tidak menimbulkan reaksi apa2, tidak
bersuara juga tidak menimbulkan asap tebal, tapi setelah Kun-gi
mengangkatnya tinggi2, ujung kain wool yang terendam air itu
tampak berubah hitam gelap seperti hangus terbakar.
Berubah air muka Kongsun Siang, serunya: "Lihay betul racun ini,
tak berwarna dan tidak berbau, jadi sukar diketahui." Kelam air
muka Kun-gi, dia menenekur tanpa bersuara.
"Kalau demikian, orang yang menyembunyikan barang bukti di
kamar ini dan orang yang menaruh racun dalam air teh ini pasti
perbuatan satu orang. "
"Yang menyembunyikan barang2 bukt i adalah Hay-siang dan dia
sudah tertangkap," demikian batin Kun-gi. Maka ia lantas berkata.
"Kukira bukan perbuatan satu orang saja."
Kongsun siang berjingkrak. tanyanya: "Maksud Ling-heng mata2
musuh yang terpendam di kapal ini bukan hanya seorang saja?"
"Memang t idak cuma seorang saja," kata Kun-gi, "kalau hanya
seorang, apa yang mampu dia lakukan? Saat ini aku memang belum
punya keyakinan, tapi aku tidak akan memberi kelonggaran kepada
mereka."
Kongsun Siang tepuk dada, katanya: "Bila Ling-heng memerlukan
tenagaku, tugas berat apapun takkan kutolak."
"Memang ada tugas yang perlu bantuan Kong-sun-heng, kalau
tiba waktunya pasti akan kuberitahu padamu."
-oodwoo-
Gudang yang berbau apek dan penuh ditimbuni barang2
makanan dan benda rongsok terletak di tingkat paling bawah dari
kapal besar ini, di-batasi oleh sebuah dinding papan yang tebal,
gudang yang terletak di tengah kapal itu dijadikan dua bagian,
depan dan belakang, sehingga kedua bagian ini satu sama lain tidak
bisa berhubungan- Bagian belakang dibagi pula menjadi dua kamar
gudang besar, kamar disebelah depan peranti menyimpan makanan
dan persediaan air, pokoknya kedua rangsum. Sedang kamar
belakang adalah tempat tidur para kelasi. Kelasi yang berjumlah dua
puluh orang itu hanya menempati sebuah kamar tidur besar, sudah
tentu keadaannya serba kotor dan sumpek, baunya apek dan
lembab. Paling belakang ada lagi sebuah ruangan, letaknya dipantat
kapal, tempatnya sempit dan doyong miring, tak mungkin orang
bertempat tinggal di sini, jadi keadaannya kosong.
Sementara bagian depan hanya terdapat sebuah ruang besar dan
sebuah kamar kecil, ruang besar itu tempat para dara kembang
tidur, mereka adalah dara2 manis yang lembut dan belia, ranjang
yang mereka pakai selalu bersih dan rapi, sudah tentu tidak sekotor
dan sumpek seperti tempar para kelasi itu.
Siapapun asal bukan perempuan, bila masuk ruang besar ini pasti
hidungnya akan terangsang oleh bau parfum yang wangi semerbak.
bau pupur yang harum, semangat akan ikut terbang ke-awang2.
Kamar kecil itu diperuntukkan Loh-bi-jin yang diserahi tugas
mengawasi dan memimpin para dara kembang ini, maka seorang
diri dia memperoleh fasilitas yang lebih baik.
Kecuali ruang besar dan kamar kecil ini ada pula ruang depan
yang kosong, keadaanya seperti pantat kapal, bagian depan kapal
inipun serong, cuma miringnya menjurus ke atas, jadi berlawanan
dengan buritan yang miring ke bawah.
Ci-Gwat-ngo alias perempuan yang menyaru Hay-siang itu
dikurung di ruang depan yang miring ini. Semua dara kembang
hanya tahu bahwa seseorang semalam coba membunuh Thay-siang,
mata2 musuh telah ditangkap. tapi tiada orang tahu kalau
perempuan inilah yang menyamar jadi Hay-siang dan hidup rukun
sekian lamanya dengan mereka.
Memang tata tertib Pek hoa pang amat keras, sesuatu hal yang
tidak diberitahukan. Siapapun di-larang mencari tahu atau bisik,
main kasak kusuk. Terutama semalam Loh-bi jin sudah memberi
peringatan kepada mereka, peristiwa semalam dilarang bocor meski
hanya sepatah kata, oleh karena itulah tiada yang berani sembarang
buka suara.
Ci-Gwat-ngo sudah tertutuk oleh ilmu tutuk khas perguruan Ling
Kun-gi, ilmu silatnya sementara telah dibekukan sehingga tak
mampu berbuat apa2, tapi dia tetap harus dijaga. Menjadi tanggung
jawab Loh-bin-jin untuk menugaskan empat dara kembang
bergiliran menjaganya, sudah tentu keempat dara kembang ini
sudah mendapat pesan Loh-bi-jin bahwa dikala menjaga Ci-Gwatngo
sedapat mungkin ajak orang bicara panjang lebar, seCara halus
diharapkan bisa mengorek keterangannya. seperti diketahui walau
disiksa oleh tutukan Ling Kun-gi, tapi ci Gwat ngo tetap bandel tidak
mau buka suara. Maka Caranya lantas diubah diusahakan dara2
kembang ini akan berhasil mengoreknya dalam obrolan2 yang telah
direncanakan lebih dulu.
Ternyata Ci-Gwat-ngo memang terlampau bandel, meski para
dara kembang itu hampir kering ludahnya mengajaknya bicara, dia
tetap bungkam seribu bahasa, malah pejamkan mata lagi, anggap
tidak melihat dan t idak mendengar.
Maklumlah, kalau dia pantas menyamar Hay-siang sebagai mata2
terpendam di tempat musuh, sudah tentu dia pernah mengalami
gemblengan dan ujian berat, hanya beberapa gelintir dara2
kembang pingitan ini masa bisa mengorek keterangan dari
mulutnya?
Sehari telah lalu tanpa terasa. Sejak pagi sampai malam, dua
dara kembang yang bertugas gagal memperoleh keterangan- Bukan
saja tak berhasil ajak orang bicara, malah makanan yang diantar
sejak pagi hingga malam tidak pernah diusiksnya, semUa dibawa
keluar tanpa disentuh sedikit-pun- Hanya gagal menelan pil
beracun, perempuan ini ingin menghabisi jiwa sendiri dengan
mogok makan.
Kini telah tiba saatnya makan malam, terdengar langkah2
mendekati, seorang dara muncul di ruang depan sambil menenteng
rantang makanan, kiranya tiba saatnya pula ganti piket.
"Siu- kui cici, kau boleh kembali untuk makan," Yang datang
ternyata Cu-cu. .
Pintu terbuka, dengan menenteng rantang makanan yang
dibawanya siang tadi, Siu-kiu mencibir, katanya uring2an: "Buat apa
kau bawa makanan itu? Sungguh menyebalkan, setengah hari ini
hanya menemani orang sekarat belaka," dengan ber-sungut2 ia
lantas berlari keluar.
Cu-cu tersenyum mengawasi perginya, pintu gudang dia tutup
pula serta menggantung lampu di atas paku, lalu pelan2 dia
turunkan rantang makanan, cepat dia putar tubuh menghampiri Ci-
Gwat-ngo seraya memanggil dengan suara lembut: "cici, kau tidak
apa2 bukan?"
Ci-Gwat-ngo yang meringkal itu tiba2 membuka mata, sesaat dia
mengawasi Cu-cu, katanya: "Kau?"
Cu-cu mengangguk. tanyanya penuh perhatian "Kau tidak apa2
bukan?"
Sambil mengawasi orang Ci-Gwat-ngo bangun berduduk. sekali
raih dia tarik tangan kiri Cu-cu sambil menunduk. entah sengaja
atau tidak dia memandang pergelangan tangannya, sorot matanya
tiba2 memancarkan rona yang aneh, lalu dia geleng2, katanya:
"Siau-koay, syukurlah kau kemari, hiat-toku tertutuk oleh bocah she
Ling itu, tenagapun tak mampu kukerahkan-"
"cici," lirih juga suara Cu-cu, "Hiat-to mana yang ditutuk? Biar
kubantu kau membukanya . "
Kecut tawa Ci-Gwat-ngo, katanya: "Tutukan khas perguruannya
apalagi yang ditutuk adalah urat nadi besar, jangankan dengan
kemampuanmu yang Cetek ini, umpama seorang ahli yang punya
kepandaian 10 kali lipat daripadamu juga takkan bisa
membukanya."
Bertaut alis Cu-cu, katanya kuatir: "lalu bagaimana?"
"Apa boleh buat, ingin matipun aku tidak mampu lagi, terpaksa
biarlah begini saja."
Kesal dan masgul Cu-cu, katanya: "Apakah mereka bakal
membebaskan kau?"
Ci-Gwat-ngo mendengus: "Mereka ingin mengompes
keteranganku."
Cu-cu pura2 kaget, katanya: "Sudah kau katakan?"
"Tidak," berhenti sesaat, lalu Ci Gwat Ngo tertawa, katanya: "Kau
kira aku mau bicara? Eh, waktu kau kemari, bagaimana pesan
mereka padamu?" .
Cu-cu menekan suaranya lebih rendah: "Waktu mau kemari Lohbi-
jin memanggilku ke kamarnya, dia suruh aku mengajak kau
mengobrol dan nanti memberi laporan padanya tentang apa saja
yang telah kita bicarakan."
Ci-Gwat-ngo mendengus lagi, katanya. "Mereka ingin mengakali
pengakuanku,jangan mimpi,"
Cu-cu berpaling mengawasi rantang makanan, katanya: "Cici,
seharian kau tidak makan apa2, mana kau kuat bertahan, kau harus
makan."
"Tidak!! aku tidak akan makan, cukup asal kau telah kemari."
Dengan mata terbelalak Cu-cu bertanya: "Cici, masih ada pesan
apa?"
"o, ya," Ci-Gwat-ngo bersuara, "ada sebuah tugas harus kau
lakukan-"
"Apa Cici hendak suruh aku memberitahukan seseorang?"
"Kau tahu siapa orang yang perlu kau beritahu?" Ci-Gwat-ngo
balas bertanya.
"Bukankah orang yang pernah kulihat tempo hari? Tapi aku tidak
tahu siapa dia,"
Berkelebat sinar dingin pada sorot mata Ci-Gwat-ngo, katanya:
"Tak perlu kau tahu siapa dia."
"Lalu cara bagaimana aku harus memberitahu padanya?"
"Asal kau mondar-mandir tiga kali di atas dek tingkat kedua
sebelah kanan, lalu akan datang orang itu mengajak kau bicara."
"Itu gampang, waktu naik ke kapal Loh Bi-jin pernah bilang bila
merasa sumpek berada di tingkat bawah, siapapun boleh naik ke
tingkat dua setelah memperoleh persetujuannya untuk cari angin,
api .... tapi, cara bagaimana orang itu aku ajak aku bicara?"
"Kau tahu tanda2 gerakan tangan kita untuk pertemuan itu?"
"Ya, tahu."
Ci-Gwat-ngo berpikir sebentar, katanya: "Cukup asal kau bilang:
Rembulan yang hampir terbenam tidak benderang lagi, pasang laut
akan semakin tinggi. Dua patah kata ini sudah cukup,"
"Apa maksud dan gunanya kedua patah kata itu?"
"Memberi tahu padanya bahwa aku telah tertangkap. bila ada
berita apa2 dari pihak atas biar dia sendiri yang ambil keputusan."
Cu cu ingat betul2, tiba2 dia cekikik tawa, katanya: "Rembulan
saat ini memang hampir terbenam, umpama ocehanku didengar
orang juga tidak menjadi soal"
"o", Ci Gwat- ngo bersuara dalam mulut.
Seperti ingat sesuatu, mendadak Cu-cu mengerut kening,
katanya: "Tapi aku harus ganti piket setelah larut malam nanti,
bagaimana baiknya?"
"Tidak jadi soal, janji pertemuanku mengadakan kontak dengan
dia setelah kentongan keempat nanti."
Cu-cu mengangguk. katanya: "Baiklah, akan kuingat baik2."
Dia awasi Ci-Gwat-ngo, lalu berkata pula: "Cici, sedikit2 kau
harus makan untuk menjaga kesehatan-"
Dingin kaku muka Ci-Gwat-ngo. "Tidak perlu," sahutnya.
"Tapi kau . . . . "
"Jangan banyak omong, cukup asal kau sampaikan pesanku
tadi."
"Cici jangan kuatir, pasti kusampaikan pesan-mu itu,"
"Berani kau menjual aku, kapan saja seseorang akan merenggut
jiwamu."
Terunjuk rasa jeri dan takut pada wajah Cu-cu, katanya: "Masa
cici tidak percaya lagi padaku"
Melihat orang ketakutan, Ci-Gwat-ngo ganti sikap. katanya
dengan suara lembut: "Sudah tentu aku percaya padamu, kalau
tidak takkan ku-serahkan tugas rahasia ini padamu, tapi kau harus
hati2, bocah she Ling itu lebih cerdik dan tajam penciumannya dari
pada anjing pelacak." .
"Aku akan berlaku hati2, mereka takkan tahu apa yang
kulakukan.".
Ci-Gwat-ngo manggut2, katanya: "Syukurlah, legalah hatiku."
Waktu berlalu dengan cepatnya. Mungkin belum tengah malam,
tapi pintu sudah gudang itu sudah berkeriut terbuka setelah rantai
gembokan berdering nyaring, seseorang memanggil lirih: "Cu-cu Cici
lekas buka pintu, tiba saatnya aku menggantimu."
Kalau dihitung dengan waktu yang tepat, saat mana sebetulnya
baru lewat kentongan kedua. Sudah tentu semua ini sudah diatur
dengan baik2. Cepat2 Cu-cu tarik pintu lalu mengambil rantang
makanan beranjak keluar, seorang dara kembang yang lain
melangkah masuk dan menutup pintu dari sebelah dalam.
Begitu keluar dari ruang kurungan di depan itu, sambil menjinjing
rantang makanan, langsung Cu-cu menuju ke kamar Loh-bi-jin
untuk memberi laporan kerjanya. Tapi tak lama setelah dia masuk.
tampak pintu kamar terbuka, muncul seorang gadis belia tinggi
semampai mengenakan gaun panjang warna putih, dengan langkah
gemulai dia menyusuri tangga naik ke atas kearah tingkat kedua
sebelah kiri. Dia bukan lain ialah salah seorang dari 12 Tay-cia yang
bernomor sembilan yaitu Bi-kui adanya.
Sudah tentu Kun-gi belum tidur, dia masih menunggu kabar baik.
Baru saja kentong kedua ber-bunyi lantas didengarnya langkah kaki
mendekati kamarnya, ketukan pintu pelahanpun terdengar, suara
seorang gadis merdu berkata di luar: "Cong-su-cia."
"Siapa?" tanya Kun-gi.
"Hamba Bak-ni," sahut gadis di luar, "Atas perintah Pangcu,
Cong-su-cia dipersilahkan naik ke atas."
Kun-gi melangkah keluar, katanya mengangguk: "Silakan nona
kembali dulu, segera aku menyusul."
Bak-ni atau si melati terus mengundurkan diri.
Kun-gi merapatkan pintu kamarnya terus naik ke tingkat ketiga.
Tampak Bak-ni dan Swi-hiang bersenjata lengkap berjaga di luar
pintu, melihat Kun-gi tiba, mereka membungkuk ke dalam seraya
berseru: "Lapor Pangcu, Cong-su-cia telah tiba." Suara Pek-hoapangcu
berkumandang dari dalam: "Silakan masuk."
Bak-ni dan Swi-hiang menyingkap kerai kiri-kanan sembari
membungkuk hormat: "Silakan Cong-su-cia masuk."
Tanpa bersuara Kun-gi masuk ke dalam, dilihatnya Pek-hoapangcu,
Hu pangcu dan Giok-lan serta Bi-kui sudah duduk
mengelilingi meja bundar. Melihat Kun-gi masuk, Pek-hoa-pangcu
mendahului berdiri, suaranya nyaring lembut: "Silakan duduk Congsu
-cia."
Sudah tentu So-yok, Giok-lan dan Bi-kui ikut berdiri pula.
Dengan berseri tawa So-yok tak mau ketinggalan, katanya:
"Muslihat Ling-heng ternyata amat manjur, lekas duduk dan
dengarkan kabar gembira."
Kun-gi menjura, katanya: "Pangcu, Hu pangcu, Congkoan dan
Taycia silakan duduk." Lalu dia tarik sebuah kursi dan duduk di
sebelah kiri yang masih kosong, tanyanya sambil menoleh kepada
Bi-kui: "Nona berhasil mengorek keterangan apa?"
So-yok mendahului bicara: "Bukan saja mengorek keterangan,
malah malam ini kita akan dapat membekuk seluruh mata2 musuh
yang mengendon di kapal kita ini."
Dengan tertawa Pek-hoa-pangcu berkata: "Ji-moay memang
berwatak keras dan terburu nafsu, duduk persoalannya biar
dijelaskan dulu oleh Kiu-moay, Cong-su-cia sendiri yang memimpin
operasi ini, dia harus mendengar laporan selengkapnya baru akan
memberikan petunjuk dan perintah selanjutnya."
Sedikit membungkuk Kun-gi berkata: "Berat ucapan Pangcu
untuk diterima." Lalu dia mengamati Bi-kui, katanya: "Bagaimana,
hasil kerja nona? Kurasa Ci-Gwat-ngo adalah perempuan yang licin
dan cerdik, apakah samaran nona tidak diketahui olehnya?"
"Aku yakin akan ilmu tata rias Cong-su-cia teramat lihay,
sedikitpun dia tidak mengunjuk perasaan curiga padaku," lalu Bi-kui
ceritakan pengalaman dan pembicaraannya tadi dengan ringkas dan
jelas.
Setelah mendengar laporan itu, Kun-gi angkat kepala, katanya:
"Sekarang baru kentongan kedua, masih dua jam lagi baru
kentongan keempat . . . ."
"Dengan waktu yang cukup kita dapat mempersiapkan diri lebih
matang, sekarang silakan Ling-heng mengatur tipu daya dan
memberi komando," ujar So-yok.
Tawar tawa Kun-gi, katanya: "Memberi komando, terus terang
Cayhe tidak berani."
Pek-hoa-pangcu lantas berkata: "Thay-siang sudah serahkan
kekuasaan kepada Cong-su cia membongkar perkara ini, termasuk
aku, Ji-moay dan Sam-moay seluruhnya siap tunduk dan patuh akan
petunjuk mu, maka tidak perlu kau sungkan."
"Sebetulnya persoalan ini cukup sederhana," ujar Kun-gi,"kalau
betul bangsat itu muncul di dek sebelah kanan dan ajak bicara
dengan nona Bi-kui, hamba yakin masih punya cukup waktu untuk
membekuknya hidup2."
"Lalu kami bagaimana? Memangnya kau suruh kami menonton
saja?" sela So-yok.
"Hu pangcu dan Congkoan harap sembunyi di atas dek tingkat
ketiga sebelah kanan, begitu melihat orang itu muncul, setelah nona
Bi-kui saling memberi tanda gerakan tangan, kalian boleh segera
terjun ke bawah mencegat jalan mundurnya," merandek sebentar,
Kun-gi menatap Bi-kui: "Cuma ada satu hal, harap nona suka
perhatikan-"
"Hal apa?" tanya Bi-kui
"Nona harus tetap menyaru dan berpura2 lebih lanjut, bila
mendadak dia muncul, kau harus pura2 bersikap gugup dan
ketakutan sembari mundur, jangan sekali2 kau berusaha merintangi
dia,"
"Kenapa demikian?" tanya Bi-Kui.
"Bangsat itu pasti membawa Som-lo sing atau senjata rahasia
lain yang jahat, umpama nona tidak berusaha merintangi dia,
mungkin karena rahasia sudah terbongkar, dia bisa turun tangan
keji untuk menutup mulut nona. Betapa dahsyat kekuatau Som-loling
itu sukar dihindarkan dari jarak dekat, maka kau harus pura2
takut sambil mundur sejauh mungkin untuk menyelamatkan diri dari
segala kemungkinan."
Haru dan terima kasih Bi kui, katanya dengan prihatin: "Dan kau,
kau tidak takut diserang oleh dia?" Setelah mulut bersuara baru dia
sadar, betapa kasih mesra kata2nya dihadapan Pangcu dan Hu
pangcu bertiga.
"Memang," timbrung Pek-hoa-pangcu, "dalam keadaan kepepet
musuh bisa berlaku nekat, maka kaupun harus hati2."
"Terima kasih atas perhatian kalian, Cayhe punya cara untuk
menghadapinya,"jawab Kun-gi.
"o, ya," kata Pek-hoa-pangcu, "apakah Cong-su-cia tidak
memberi tugas padaku?"
"Pangcu sebagai pimpinan tertinggi dalam Pek-hoa-pang, hanya
menghadapi mata2 musuh saja mengapa harus turun tangan
sendiri, cukup asal duduk saja di sini menunggu berita gembira."
Baru saja dia habis bicara, terdengar suara Bak-ni berkata di luar:
"Lapor Pangcu, Taycia Loh-bi-jin ada urusan penting mohon
bertemu dengan Pangcu."
"Lekas suruh dia masuk." So-yok mendahului bersuara. Kerai
tersingkap. dengan gopoh dan tegang loh-bi-jin menerobos masuk.
"Cap go moay," tanya Pek-hoa-pangcu, "apa yang terjadi?"
Dada Loh-bi-jin masih turun naik, napasnya ter-sengal2, ia
membungkuk kepada Pek-hoa-pangcu dan berkata: "Lapor Pangcu,
Ci-Gwat-ngo yang dikurung di bawah gudang ternyata telah bunuh
diri dengan menggigit putus lidahnya sendiri."
"Apa?" mendelik mata So-yok. "keparat itu bunuh diri dengan
menggigit putus lidah sendiri, memangnya kau tidak suruh orang
menjaganya?"
Loh-bi-jin membungkuk, serunya: "Setelah Kiu-ci (Bi-kui) pergi,
Ci-Gwat-ngo dijaga oleh Ting-hiang, dia terus meringkel tak
menghiraukan orang lain, setelah Ting-hiang melihat darah yang
berceceran dikepalanya baru tahu kalau dia sudah mati menggigit
lidah."
"Gentong nasi semua," omel So-yok. "seorang lumpuh saja tidak
mampu menjaganya, kau tahu dia pesakitan penting yang berusaha
membunuh Thay-siang?"
Loh-bi-jin menunduk. sahutnya: "Hamba kemari untuk minta
hukuman pada Pangcu dan Hu pangcu. ....."
"Kesalahan tidak bisa dijatuhkan kepada orang yang
menjaganya, mungkin Ci-Gwat-ngo mengira setelah menyuruh Cucu
menyampaikan kabar jelek tentang dirinya berarti dia sudah
menunaikan tugas terakhir, hidup juga hanya tersiksa belaka, maka
dia nekat bunuh diri. Memangnya dia meringkel tanpa buka suara,
jangan kata orang lain, umpama kita sendiri juga takkan menduga
sebelumnya, sekarang lekas nona Loh turun saja, kematian Ci-Gwatngo
jangan sekali2 sampai bocor."
Haru dan berterima kasih sorot mata Loh-bi-jin kepada Ling Kungi,
katanya: "Waktu hamba kemari tadi sudah memberi pesan
kepada Ting-hiang, kularang dia membocorkan kejadian ini."
"Baiklah, lekas kau turun saja," ujar Pek-hoa- pangcu. Loh-hi-jin
mengiakan dan mengundurkan diri.
"Kalau Cong-su-cia tiada pesan lainnya, hamba juga ingin mohon
diri saja," kata Bi-kui.
"Nona harus ingat perkataanku tadi, waspadalah selalu" pesan
Kun-gi.
"Hamba mengerti," sahut Bi-kui, dia menyingkap kerai terus
keluar.
Akhirnya Kun-gi juga berdiri, katanya: "Waktu masih ada satu
setengah jam, Pangcu dan Hu-pangcu boleh istirahat, hamba juga
mohon diri dulu."
Tersenyum manis Pek-hoa-pangcu, katanya: "Tunggulah
sebentar Coh-su-cia, tadi sudah ku-suruh Sam-moay ke dapur
memberi tahu koki untuk membuat beberapa nyamikan supaya kita
tidak kelaparan tengah malam ini."
Terbeliak So-yok. katanya tertawa riang: "Toaci, kenapa aku
tidak tahu?"
Pek-hoa-pangcu tertawa lebar, katanya: "Memang kupesan Sammoay
supaya tidak memberitahukan padamu, supaya kau kaget dan
kegirangan, malah kusuruh buatkan makanan kegemaranmu. "
So-yok cekikikan, katanya: "Ya, tentunya bolu mawar, Toaci
sunggub baik hati." Lalu dia berpaling kepada Kun-gi, katanya: "Tadi
sudah kupikir lebih baik Ling-heng tetap di sini saja, dari tingkat
ketiga ini bukan saja bisa menyaksikan dengan jelas, umpama harus
menubruk turun mencegat musuh juga lebih leluasa dan cepat."
"Banyak terima kasih atas kebaikan Pangcu, baiklah terpaksa
hamba mengganggu," demikian ucap Kun-gi. .
Kerai tiba2 tersingkap. tampak Toh cian ber-sama Siang-hwi
mengusung sebuah baki besar berjalan masuk dan diletakkan di
meja bundar sana. Lalu dengan hati2 membuka tutup baki dan
mengeluarkan empat tatakan, di atas tatakan masing2 berisi bolu
mawar, manisan kenari, pangsit udang dan goreng kepiting.
Menyusul Swi hiang juga masuk membawa sepanci bubur sarang
burung, di hadapan empat orang masing2 dia isi semangkok penuh
bubur sarang burung itu lalu mengundurkan diri.
Dengan sumpitnya So-yok jepit sepotong bolu mawar dan ditaruh
di lepek Ling Kun-gi, katanya riang: "Ling-heng,aku paling suka
makan bolu mawar, wangi lagi empuk. manis tapi tidak
membosankan, coba kaupun mencicipi."
Merah muka Kun-gi, katanya: "Terima kasih Hu pangcu, biarlah
aku ambil sendiri."
So-yok melerok. katanya: "Ling-heng sekarang adalah cong-sucia
kita, kedudukanmu sejajar dengan Hu pangcu yang kujabat,
kenapa selalu kau masih membahasakan hamba pada diri sendiri?"
Pek-hoa-pangcu juga angkat sumpit yang terbuat gading,
dijepitnya sepotong pangsit udang dan diangsurkan kedepan Kun-gi,
katanya dengan tertawa: "Aku suka pangsit udang karena warnanya
putih seperti batu jade, coba cong su-sia men-cicipi."
Muka Kun-gi yang jengah tampak berkeringat, berulang kali dia
nyatakan terima kasih, katanya: "Silakan Pangcu makan juga."
Giok lan menjadi geli sendiri, katanya sama tengah: "Toaci dan
Ji-ci tidak anggap cong-su-cia sebagai orang luar, kenapa cong-sucia
malah sungkan dan malu2? Kukira cong-su Cia suka makan apa
saja boleh silakan ambil sendiri, kalau main sungkan begini perut
takkan bisa kenyang."
"Sam-moay memang betul," ujar So-yok. "memang itulah Cirinya,
kita tidak anggap dia orang luar, dia justeru anggap dirinya orang
asing."
"Ah. masa," ujar Kun-gi malu2 "cayhe tidak beranggapan
demikian."
Giok lan Cekikian geli, katanya: "Sebelum datang ke Pang kita
mungkin cong-su-cia jarang bergaul dengan anak perempuan, betul
tidak?"
"Ya, memang demikian," sahut Kun-gi manggut.
Biji mata So-yok mengerling, katanya tertawa: "o, pantas, maka
kau selalu pemalu."
Penuh kasih mesra lirikan Pek-hoa-pangcu, katanya tersenyum:
"Sudahlah, jangan ngobrol saja, mari makan mumpung masih
hangat."
Di bawah penerangan lampu yang redup, berhadapan dengan
tiga nona secantik bidadari, dengan tutur kata lemah lembut lagi,
perasaan laki2 mana yang takkan melayang keawang2. Selesai
sarapan, pelayan mengangkuti peralatan serta menyuguhkan sepoci
teh wangi.
Lambat laun sang waktu mendekati kentongan keempat. Bulan
sabit yang sudah doyong ke barat masih bercokol di cakrawala,
bintang kelap-kelip menghiasi angkasa, cuaca remang2.
Tiada sinar pelita di atas kapal besar ini, semua penghuni sudah
terbuai dalam impian- Hanya ditempat yang gelap dekat daratan
sana kelihatan bayangan beberapa orang, mereka berpencar
mondar-mandir sambil berdiri celingukan. Itulah para Hou-hoat-sucia
yang bertugas ronda.
Mendadak sesosok bayangan langsing semampai muncul dari
tangga kayu tingkat terbawah, langkahnya pelan ringan dan hati2
manjat ke atas dek- di tingkat kedua. Dilihat bentuk tubuh dan
dandanannya, jelas dia adalah salah seorang dara kembang.
Langkahnya enteng tidak mengeluarkan suara, pelan2 dia
beranjak ke haluan kapal menyusuri pagar, kepalanya mendongak
memandang bulan sabit yang hampir tenggelam diufuk barat,
pandangannya sayu seperti orang melamun.
Dia bukan lain adalah Un Hoan-kun yang menyamar Bi-kui.
malam ini Bi-kui palsu ini menyaru jadi cu- cu pula menjalankan
rolnya sesuai rencana Ling Kun-gi.
Berdiri sejenak di haluan, dia menunggu dengan sabar, serta
melihat tiada reaksi apa2 di sekitarnya, pelan2 dia putar tubuh
beralih ke dek sebelah kanan. Angin malam meniup sepoi2 sehingga
dia tampak suci dan anggun, setiap langkahnya beralih lamban dan
ringan- Tapi gayanya sedemikian indah gemulai.
Kalau langkah kakinya lamban dan tenang mantap. sebaliknya
jantung tiga orang yang mengintip dari tingkat ketiga justeru
berdebar2 tegang. So-yok sembunyi di haluan depan, Giok— lan
menempatkan dirinya di buritan yang gelap. tugas mereka adalah
mencegat musuh begitu melihat Bi-kui (Cu-cu) memberi tanda. Tapi
kekuatan yang utama berada di tangan Ling Kun-gi, dia harus
mendadak muncul, secara sigap dan tangkas harus berhasil
membekuk lawan sebelum sempat turun tangan atau melarikan diri.
Maka dia sembunyi di tempat yang paling dekat bagian kanan
deretan kamar, badannya mepet dinding tanpa bergerak.
Lamban langkah Bi-kui, secara diam2 iapun sudah kerahkan
hawa murninya, seperti panah yang siap terpasang dibusurnya
tinggal melepaskannya.
Bayangan Cu-cu yang anggun ini dari haluan sudah tiba di
buritan melalui dek kanan, lalu dari buritan putar balik pula ke
haluan, langkahnya tetap pelan dan penuh perhitungan- Dia
memang t idak tahu bahwa saat itu seseorang sedang
memperhatikan dirinya, tapi dia yakin bahwa gerak-gerik dirinya
tentu sudah diincar orang dari tempat Sembunyinya. Karena dia
melakukannya sesuai janji tempat dan tepat pada waktunya, dia
melakukan isyarat pula yang sudah ditentukan sebelumnya.
Kini dia sudah putar balik, menuju ke buritan lagi, supaya orang
yang memperhatikan dirinya di tempat gelap itu melihat lebih jelas,
maka setiap langkah kakinya itu bergerak amat pelan sekali..
Ada kalanya dia menunduk kepala seperti memikirkan sesuatu,
lalu menengadah memandang ke tempat jauh seperti mengenang
masa silam, sementara jari jemarinya mengucek2 sapu tangan
sutera di tangannya.
Bagi orang yang tidak tahu duduk persoalannya tentu mengira
nona ini sedang menunggu sang kekasih ditengah malam buta dan
hendak mengadakan pertemuan rahasia, karena tidak sabar
menunggu maka dia mondar-mandir menghabiskan waktu.
Diam2 Kun-gi manggut2, batinnya: "Walau hanya sandiwara, tapi
dia dapat main dengan baik sekali, seperti kejadian sesungguhnya."
Kini sudah putaran yang ketiga. Dari haluan dia melangkah ke
buritan pula, lalu kembali lagi ke haluan, Kalau orang itu akan
muncul maka dia akan keluar di tengah perjalanan antara buritan ke
haluan ini.
"Nah, tibalah saatnya," demikian batin Kun-gi, dia sudah menarik
napas panjang, matanya menatap tajam ke arah Bi-kui, iapun
pasang kupingnya yang tajam sambil melirik sekitarnya, ke segala
sudut kemungkinan dari mana orang itu akan muncul.
Inilah detik2 yang menegangkan, karena hal ini amat penting,
maka dia merasa perlu tahu dari arah mana orang itu akan muncul.
Karena dari mana dia keluar mungkin pula dari arah itu juga dia
akan mundur dan Kun-gi harus bersiaga mencegat jalan
mundurnya, kalau tidak jangan harap akan bisa menawannya
hidup2.
Tatapan Kun-gi ikut bergerak mengikut i lang-kah Cu-cu, dari
buritan sampai ke haluan kapal-. Kini dia sudah selesai menjalankan
isyarat yang telah dijanjikan sebelumnya, pulang pergi tiga kali, lalu
berdiri tegak di haluan kapal.
Orang yang ditunggu dan harus keluar itu tetap tidak kunyung
tiba. Sudah tentu Cu-cu tidak akan bergerak lagi, terpaksa dia tetap
berdiri tenang di haluan, menyongsong hembusan angin malam,
bersikap pura2 seperti orang kelelahan dan sedang ist irahat.
Sebetulnya pikirannya timbul tenggelam, gelisah dan masgul
pula. "Kenapa dia belum muncul juga?"
Sudah tentu yang gelisah bukan hanya dia seorang. So-yok lebih
risau lagi, tangannya sejak tadi sudah menggenggam gagang
pedang, alisnya bertaut dan sudah habis kesabarannya menunggu.
Giok lan biasanya sabar dan tenang, kini iapun ikut gelisah pikirnya:
"orang itu tak mau muncul, bisa jadi dia sudah tahu akan rencana
kita hendak menyergap dia, tapi rasanya tidak mungkin-"
Walau gelisah Kun-gi tak pernah lena, matanya tetap
memperhatikan Cu-cu yang berdiri disana, dia masih berharap
sesuatu perubahan akan terjadi, dia menunggu penuh kesabaran-
Tak ubahnya seperti seseorang yang memancing ikan, sedikit
bergeming, ikan yang akan terpancing bisa terkejut dan lari..
Cu-cu masih berdiri di haluan tingkat dua. Tiga orang yang
sembunyi di tingkat ketiga juga tetap berjaga2 penuh waspada.
Detik demi detik telah berlalu, orang seharusnya muncul tetap tidak
kunjung datang. Lama2 Ling Kun-gijadi kesal.
"Mungkinkah orang itu tidak akan muncul? Kenapa dia tidak
keluar? dalamsoal ini tentu ada sebab musababnya."
Mengingat sebab musabab ini, seketika dia teringat adanya
beberapa gejala yang mungkin menjadikan orang itu merasa curiga
dan bertindak hati2. Umpamanya: "Apakah betul isyarat yang
dituturkan Ci-Gwat-ngo? Tapi setelah dia berpesan kepada Cu-cu
untuk melaksanakan tugasnya sesuai apa yang dia jelaskan, lalu
bunuh diri, jelas bahwa isyarat yang dia tuturkan takkan salah.
Kalau isyarat ini t idak salah, kenapa orang itu t idak muncul?
Mungkinkah dia curiga dan tahu akan rencananya? Tapi inipun tidak
mungkin"
Mendadak ia teringat kepada Ci-Gwat-ngo suruh Cu-cu mondarmandar
tiga kali di atas kapal, memangnya isyarat untuk
menyampaikan sesuatu berita? Mungkinkah rahasia Cu-cu tiruan ini
sudah diketahui oleh Ci-Gwat-ngo?
Karena yang ditunggu tetap tak kunjung tiba, sudah tentu Cu-cu
alias Un Hoan-kun masih tetap ia berdiri di tempatnya, kini dia
sudah berdiri setanakan nasi lamanya, tapi orang itu tetap tidak
kunjung datang.
Kun-gi menjadi sadar bahwa langkah pionnya kali ini jelas gagal
total, kalah oleh Ci-Gwat-ngo yang telah mati dan sukses
menunaikan tugas. Maka dia tidak perlu ragu lagi, dengan ilmu
suara dia berkata kepada Cu-cu: "Nona tak usah menunggu-nya
lagi, dia tidak akan datang, kembalilah ganti pakaian dan segera
naik kemari."
Mendengar seruan Kun-gi, sekilas Cu-cu melengak. dengan
kepala tunduk pelan2 dia beranjak turun lewat tangga terus ke
bawah. Habis bicara Kun-gi lalu memberi tanda gerakan tangan ke
arah Giok lan dan So-yok terus mendahului masuk ke dalam. So-yok
menyongsong kedatangannya sambil bertanya: "Bagaimana Lingheng?"
"Marilah kita bicara di dalamsaja," ajak Kun-gi.
"Apakah rahasia kita sudah bocor?" tanya So-yok.
Kun-gi menggeleng, katanya: "Mungkin kita tertipu malah."
"Tertipu?" seru So-yok. "Dit ipu siapa?"
"oleh Ci-Gwat-ngo," kata Kun-gi.
Melihat mereka bertiga masuk, Pek-hoa-pangcu lantas bertanya:
"Jadi apa yang dibicarakan Ci-Gwat-ngo itu bohong belaka?"
"Paling tidak separo yang dikatakannya hanya bualan belaka,"
sahut Kun-gi.
Pek-hoa-pangcu melenggong, tanyanya: "Bualan apa
maksudnya?"
"Kita diperalat olehnya untuk memberi kabar kepada temannya."
Pek-hoa-pangcu melengak, tanyanya: "Maksud cong-su-cia
bahwa Ci-Gwat-ngo sudah tahu tipu daya yang kita atur?"
"Mungkin demikian," kata Kun-gi.
Tengah bicara tampak Bi-kui berjalan masuk. tanyanya: "Kenapa
cong-su-cia memanggilku kembali?"
"Umpama nona menunggunya lagi satu jam, dia tetap takkan
keluar," ucap Kun-gi. "cong-su-cia kira apa yang dikatakan Ci-Gwatngo
hanya bualan belaka"
Tanpa menjawab Kun-gi mendekati meja, di-jemputnya secangkir
air teh terus ditenggaknya, lalu berkata: "Silakan duduk nona,
Ceritakan pula sejelasnya pembicaraanmu tadi dengan Ci-Gwatngo."
Bi-kui melenggong, katanya: "Maksud cong-su-cia penyamaranku
telah diketahui oleh Ci-Gwat-ngo?"
"coba nona bayangkan kembali secara cermat, sejak kau masuk
ke sana sampai pembicaraan kalian yang terakhir."
Bi-kui duduk disebuah kursi, katanya: "Hamba menggant ikan Siukin
mengantar makan malam padanya, setelah siu-kin pergi, hamba
lantas menutup pintu, lampu kugantung di dinding, setelah
menurunkan rantang makanan kuhampiri dia, kupanggil dia dan
tanya: cici, kau tidak apa2 bukan? Semula Ci-Gwat-ngo rebah tak
bergerak. mendengar suaraku tiba2 ia membuka mata, suaranya
lirih terCengang: Kaukah? - Hamba manggut2 sambil tanya: Kau
tidak apa2? - Dengan susah payah dia merangkak berduduk, sambil
menarik tanganku, katanya dengan menunduk: Siau-moay, -
syukurlah kau telah datang
Mendadak Kun-gi angkat tangan, "Tunggu sebentar nona, dia
menarik tanganmu yang mana?"
"Tangan kiri."
"Waktu dia berduduk, apakah selalu tunduk kepala" Bi-kui
mengiakan sambil mengangguk.
Kun-gi menoleh ke arah Giok-lan, katanya: "Minta tolong
congkoan, suruhlah orang membawa Cu-cu kemari."
Giok-lan mengiakan terus mengundurkan diri, tak lama kemudian
ia membawa Bak-ni dan Swi-hiang memapah Cu-cu masuk.
Bi-kui tidak tahu dalam hal apa dirinya berbuat salah dan sudah
diduga oleh Ling Kun-gi, maka dengan melongo ia pandang Cu-cu
yang di-gusur masuk.
Kun-gi menghampiri dan pegang tangan kiri orang, betul juga
ditemukan sebuah tahi lalat ke-cil di ujung bawah telapak tangan
kiri Cu-cu, meski keCil tahi lalat itu, hanya sebesar lubang jarum,
tapi warnanya hitam legam, kalau tidak diteliti memang sukar
menemukannya. Maka dia mendengus sekali, katanya: "Hek lionghwe
memang Cermat bekerja, sampai orang utusan mereka juga
sudah diberi tanda khusus di badannya, umpama orang luar bisa
menyamarnya juga sukar mengelabui orang mereka sendiri."
"Jadi tanda ini sudah mereka tato sebelum di utus keluar?" tanya
So-yok. Kun-gi manggut2.
"Tangannya sudah di tato, tak heran Ci-Gwat-ngo menarik
tanganku serta memeriksa dengan telit i, cermat dan cerdik serta
licin betul orang ini."
Kun-gi memberi tanda supaya Cu-cu digotong keluar, katanya:
"Tangannya sudah di tato selembut ini tanpa kita ketahui, inilah
kecerobohan kita. kesalahan yang kecil dan tidak di sengaja, tapi
mengakibatkan gagalnya urusan besar."
"Apakah hamba perlu meneruskan bercerita?" tanya Bi-kui.
Kun-gi menggeleng dan berkata: "Sudahlah."
"Bahwa dia sudah tahu aku Cu-cu palsu, sudah tentu apa yang
dia katakan padaku juga tak-dapat dipercaya," ujar Bi-kui pula.
"Ci-Gwat-ngo memang cerdik dan licin, walau dia tahu bahwa Cucu
dipalsukan orang lain, tujuannya sudah tentu untuk mengorek
keterangan dari mulutnya, maka dia sengaja mengatur tipu untuk
balas menipu kita, dan nonalah yang diperalat untuk menyampaikan
berita buruk tentang dirinya."
"Hah, hamba yang menyampaikan beritanya?" teriak Bi-kui kaget.
"Ya, dia minta padamu supaya mondar-mandir t iga kali di atas
dek tingkat kedua setelah kentongan keempat, mungkin itulah salah
satu cara untuk mengadakan kontak secara rahasia, karena lena
dan kurang hati2, kita malah kena diselomoti mereka."
"Bangsat keparat yang pantas mampus" dengus So-yok gusar.
Pek-hoa-pangcu manggut2, katanya: "Analisa cong-su-cia amat
masuk akal, dia tahu kita pasti melakukannya sesuai pesannya,
maka dia rela gigit putus lidah sendiri mencari jalan pendek. congsu-
cia, lalu bagaimana tindakan kita selanjutnya?"
Bercahaya sorot mata Ling Kun-gi, tiba2 dia tersenyum, katanya:
"Walau Ci-Gwat-ngo licik dan licin, tapi para begundalnya itu sudah
berada dalam genggaman tanganku, kuyakin mereka tidak akan
bisa lolos."
Terbelalak mata So-yok. serunya girang: "Jadi kau sudah tahu
siapa mereka? coba sebutkan nama2 mereka."
"Wah, ini. ....." Kun-gi ragu2.
"Kenapa? Kau tidak mau menerangkan?" desak So-yok.
"Maaf Hu-pangcu, sekarang belum kuperoleh bukti nyata, sudah
tentu Cayhe tak bisa menuduh seseorang yang tidak terbukt i
melakukan kesalahan."
"Kau memang suka jual mahal," So-yok merengut.
”Ji-moay," sela Pek-hoa-pangcu, "apa yang dikatakan cong-su-cia
memang tidak salah, sebelum memperoleh bukti yang nyata, tak
bisa kita memfitnah seseorang sehingga membikin orang penasaran,
untuk membongkar komplotan ini ke-akar2nya kita harus bekerja
penuh kesabaran."
"Baiklah, aku takkan banyak bertanya lagi, lalu apa yang harus
kita kerjakan, tentunya cong-sucia bisa memberi petunjuk?" tanya
So-yok.
Kun-gi tertawa, katanya: "Urusan selanjutnya kuyakin dapat
menyelesaikannya ditingkat kedua, maka Pangcu, Hu-pangcu dan
congkoan selanjutnya boleh tidak usah turut Campur."
"Apakah tenaga hamba masih dibutuhkan cong-su-cia?" tanya Bikui.
"Untuk sementara tiada tugas nona lagi, setelah orang itu dapat
kubekuk, nona boleh tampil sebagai saksi."
"Eh, agaknya kau yakin benar akan rencanamu," ucap Bi-kui
dengan melerok.
"Memangnya jabatan cong-su-cia harus sia2 berada ditanganku."
Pek-hoa-pangcu menatapnya penuh rasa kasih mesra dan
prihatin, katanya: "Thay-siang memang tidak meleset menilai
dirimu."
oooodwoooo
Kapal besar itu laju mengikut i arus sungai Tiang-kang, kini sudah
memasuki wilayah propinsi An-hwi dan hampir sampai perbatasan
Kang-soh.
Sejak terjadi usaha pembunuhan atas diri Thay-siang dan barang
bukti ditemukan di kamar Ling Kun-gi, Thay-siang ternyata tidak
menaruh curiga padanya. Bukan saja Ling Kun-gi t idak di-hukum,
malah dia tetap menjabat cong-su-cia dan diberi kuasa untuk
membongkar peristiwa pembunuhan ini. Dan peristiwa ini akhirnya
tiada kelanjutannya dan terbengkalai demikian saja.
Beruntun dua hari keadaan aman tenteram tak terjadi apa2 lagi,
perasaan semua prang mulai tenang dan lupa akan kejadian yang
lalu. Kapal terus berlayar sesuai haluan yang ditunjuk dan berlabuh
ditempat yang sudah ditentukan pula, selanjutnya tidak ditemukan
rintangan apa2, tiada kapal musuh yang menguntit, seolah2 Hek
liong-hwe tidak tahu bahwa Thay-siang-pangcu Pek-hoa-pang
pimpin sendiri pasukan intinya untuk menyerbu ke sarang mereka.
Secara tidak langsung ini membuktikan bahwa sarang Hek-lionghwe
yang menjadi tujuan utama mereka letaknya tentu masih
teramat jauh sekali.
Hari ketiga setelah Cu-cu palsu menyampaikan berita dengan
cara mondar-mandir tiga kali di atas dek sebelah kanan, Menjelang
senja kapal berhenti pada kaki bukit Liang-san sebelah timur.
Gunung Liang-san dibatasi sebuah aliran sungai sehingga terbagi
timur dan barat, umpama sebuah pintu bagi Tiang-kang yang
panjang dan luas, maju lebih lanjut adalah Gu-cu-san, karena letak
gunung itu menonjol keluar dan menjurus ke tengah sungai, maka
dia juga dinamakan Gu-cu-ki.
Enam sampan yang berisi para peronda yang dinas malam sudah
mulai bergerak diperairan sekitarnya, malam ini para peronda itu
tetap dibagi dua kelompok. Kelompok pertama dipimpin oleh
Houhoat cin Tek khong ditemani Houhoat-su-cia Kho Ting-seng
yang pandai menggunakan pelor perak. seorang lagi adalah Ji Siusang,
murid Bu-tong-pay, tugas mereka adalah 10 li perairan
perbatasan timur dan barat gunung Liang-san- .
Kelompok yang lain dipimpin oleh IHouhoat Liang ih-Hun, dua
Houhoat su-cia yang menemani adalah Ban Yu-wi dan Sun Pinghian.
sepuluh li sebelah selatan perairan kaki gunung Liang-san
menjadi daerah operasi mereka, tegasnya 20 li sekitar kapal yang
ditumpangi Thay-siang itu kapal lain milik siapapun dilarang
mendekat.
Waktu turun kapal Cin Te-khong telah memberi tahu kepada Kha
Ting-song danJi Siu-seng:
"Ji-heng, Khong- heng, daerah operasi kita lain dengan daerah
yang harus dijelajah oleh kelompok Liang Ih-jun, dalam jarak 20-an
li mereka masih biaa saling kontak secara leluasa, sebaliknya bagian
kita ini kalau maju lagi adalah Gu-Cu-ki dibawah lereng gunung
adalah perkampungan kaum nelayan, besar kemungkinan musuh
bersembunyi di sana, maka kita harus hati2, menurut hematku
dalam kelompok kita ini harus membagi tugas,
Kho-heng ke sebelah timur,Ji-heng ronda sebelah barat, aku
akan tetap berada di tengah sebagai poros untuk memberi bantuan
ke segala jurusan, setiap setengah jam kita bertemu sekali di utara
Gu-cu-ki, semoga tidak akan terjadi apa2."
Kho Ting-seng dan Ji Siu-seng berkata bersama: "Rencana kerja
cin-houhoat memang baik, kami menerima pembagian tugas ini."
Begitulah mereka bertiga lantas berpencar ke utara menurut arah
masing2 yang telah dirancang-. Kira2 menjelang kentongan pertama
turun hujan rintik2, permukaan air menjadi pekat diliput i kabut yang
semakin tebal, dalam jarak sedikit jauh sudah tidak kelihatan apa2
lagi.
Setiap sampan kecil yang mereka pakai rata2 menggunakan
tenaga dua orang pendayung, keduanya duduk di haluan dan
buritan, sisa tempatnya di tengah hanya cukup untuk duduk dua
orang, karena bentuknya yang kecil dan pendek, maka sampan ini
bisa laju cepat sekali di permukaan air.
Sampan yang berlaju ditengah itu meluncur lurus ke utara Gu-cusan,
seorang laki2 berpakaian hijau ketat tengah memberi aba2.
orang ini adalah Cin Te-khong, perahunya langsung menuju ke
utara dengan sendirinya lebih cepat dan dekat daripada Kho Tingseng
dan Ji Siu-seng yang harus berputar ke arah t imur dan barat.
Utara Gu-cu-ki ini adalah pesisir belukar yang ditumbuhi semak2
gelaga, air sungai Tiang-kang yang mengalir sampai daerah ini
terbagi dua cabang aliran, menuju ke timur dan barat, melampaui
dan kemudian bergabung kembali.
Oleh karena itu daerah pesisir sungai ini sepanjang tahun
terdampar oleh arus air yang deras sehingga dinding batu padas
menjadi terjal. Kini Cin Te-khong sedang memberi petunjuk kepada
kedua pembantunya untuk menggayuh sampan ke arah utara di
mana tepi sungai lebih rendah dan rata.
Tepi air ditumbuhi daun welingi yang lebat, arus air di sinipun
agak lambat. Sesuai petunjuk Cin Te-khong kedua orang
menggayuh sampan itu melampaui tetumbuhan welingi dan
akhirnya berhenti di tepian. Hujan gerimis ternyata juga sudah
berhenti.
Supaya kedua sampan lain tahu tempat di mana dia berdiam,
maka Cin Te-khong suruh anak buahnya memasang lampu angin,
sementara dia sendiri duduk di sampan- Kira2 setanakan nasi
kemudian, Kho Ting seng dan Ji Siu sengpun menyusul t iba dengan
kedua sampan mereka.
Cin Te-khong menyambut kedatangan mereka, katanya: "Kalian
sudah letih tentunya."
Kho Ting-seng menjura, katanya: "Sudah lama cin-houhoat tiba
di sini?"
Cin Te-khong tertawa, katanya: "Baru saja, kalian harus
berputar, sudah tentu sedikit terlambat."
Cepat sekali kedua perahu itupun merapat di darat. Kata Ji Siuseng:
"Untung cin-houhoat menyulut pelita di sini, kalau tidak sukar
menemukan tempat ini."
"Keadaan sekitar sini aku paling apal, arus air di sinipun tidak
deras, tempat ini paling cocok untuk berteduh dari hujan angin, di
daratan sebelah sana ada tanah lapang berumput, kita bisa duduk
atau merebahkan diri sambil mengawasi situasi perairan, ada
gerakan apapun di air tentu tak lepas dari pandangan kita. Hayolah
kita mendarat, sudah kubawakan arak dan hidangan, mari makan
minum sepuasnya."
"cin-houhoat," kata Ji Siu-seng, "kita bertugas meronda keadaan
perairan sini, janganlah kita lena?"
Cin Te-khong tertawa dengan pongahnya, katanya: "Ji-heng
terlalu jujur, memangnya semalam suntuk kita harus mondar mandir
dipermukaan air melulu, sekali2 patrolikan sudah Cukup, kita juga
perlu istirahat. Apalagi sambil makan minum di sana kita sekaligus
bisa mengawasi situasi perairan, setelah istirahat sejenak. kita harus
periksa juga keadaan hutan sekitar sini."
Lalu dia mendahului melompat ke sana dan menambahkan-
"Hayolah, aku naik lebih dulu." ..
Mendengar bakal makan minum sepuasnya, Kho Ting-seng
segera tertawa, katanya: "Ji-heng, situasi daerah ini cin-houhoat
apal seperti membaca telapak tangannya sendiri, kita turuti saja
kehendaknya."
Lalu dia melompat ke daratan juga. Terpaksa Ji Siu-seng ikut
melompat naik.
Apa yang dikatakan Cin Te-khong memang tidak salah, tidak jauh
dari tepi danau adalah sebuah tanah lapang, lereng di depan adalah
hutan yang cukup lebat, di depan hutan inilah terdapat tanah
berumput yang datar.
Cin Te-khong sudah mendahului duduk di atas rumput, katanya
dengan tertawa: "Kho-heng,ji-heng, lekas duduk, sayang malam ini
tiada rembulan, makan minum di tempat gelap rasanya jadi kurang
nikmat."
Kho Ting-seng dan Ji Siu-seng juga lantas duduk di tanah
berumput, sementara anak buah Cin Te-khong sudah menjinjing
sebuah guci arak dari atas sampan, tiga mangkuk dan sebungkus
makanan di taruh di tengah mereka. Waktu bungkusan di-buka,
ternyata isinya ada babi panggang, ayam goreng, dendeng dan telur
asin segala.
Ji Siu-seng bertanya heran- "cin-houhoat dari mana kau peroleh
makanan sebanyak ini?"
Sambil meraih poci arak Cin Te-khong mengisi penuh mangkuk
kedua orang lalu mengisi mangkuk sendiri, katanya setelah
meneguk araknya: "Asal punya duit, setanpUn bisa kita perintah,
tahu malam ini aku bertugas, diam2 kusogok koki untuk
menyiapkan makanan ini. Hawa sedingin ini, siapa tahan bergadang
semalam suntuk tanpa minum arak?"
Lalu dia Celingukan- "Hayolah, kalian jangan sungkan, sikat dulu
makanan ini" sembari omong dia ambil paha ayam terus dilalap.
Kho Ting-seng angkat mangkuk araknya, katanya: "cin-houhoat,
kuaturkan seCawan arak ini."
Sambil menggerogoti paha ayam Cin Te-khong angkat mangkuk
araknya dan ditenggak habis, ka-tanya menoleh ke arah Ji Siu-seng:
"Kenapa Ji-heng tidak minumarak?"
"Aku tidak biasa minumarak." sahut J i Siu-seng.
"Memangnya Ji-heng kenapa?" ejek Cin Te-khong. "Tidak bisa
minum juga harus mencicipi sedikit, terus terang, arak yang kubawa
malam ini paling cocok dengan makanan yang kubawa, sengaja
kusediakan untuk J i-heng pula."
"Ah, mana berani kuterima kebaikan cin-houhoat," ujar Ji Siuseng.
Mendadak Cin Te-khong menarik muka, katanya: "Ji-heng kira
aku berkelakar denganmu? Terus terang semua hidangan ini
memang khusus kusediakan untukmu. Kau tahu apa maksudku?"
"Hamba tidak tahu, harap cin-houhoat menjelaskan," kata Ji Siuseng.
Cin Te-khong tergelak2, katanya: "Berapa kali manusia mabuk
dalam hidup ini? Kusediakan makan minum malam ini untuk
mempertemukan duplikat seorang kepada Ji-heng."
"o, duplikat siapa itu?" tanya Ji Siu seng.
"Duplikat yang kubawa kemari ini punya nenek moyang yang
sama dengan Ji-heng," lalu beruntun dia tepuk tangan tiga kali,
serunya keras2: "Ji-heng, kau boleh keluar sekarang."
Lenyap suaranya, tampak dari hutan sana beranjak keluar
seorang dan menjura pada Cin Te-khong, katanya: "Hamba sudah
datang." Cin Te-khong menuding Ji Siu-seng, katanya:
"Inilah Ji-houhoat, murid Bu-tong-pay, kalian harus berkenalan
dengan akrab."
Malam pekat,Ji Siu-seng sukar melihat wajah orang, cuma terasa
olehnya perawakan dan dandanan orang ini agak mirip dirinya,
walau merasa heran, lekas ia menjura, katanya: "Mohon tanya siapa
nama Ji-heng yang mulia."
orang itu pelan2 mendekati sambil berkata: "Siaute bernama Ji
Siu-seng, mendapat perintah untuk menggantikan kau."
Ji Siu-seng berjingkat kaget dan mundur selangkah, tangan
memegang gagang pedang dan bertanya mendelik ke arah Cin Tekhong:
"Cin-houhoat, apa maksudmu ini?"
Cin Te-khong menyeringai, katanya: "Kenapa Ji-heng bersikap
sekasar ini? Maksud perjamuan yang kusediakan ini adalah untuk
menyambut kehadiran Ji-heng ini, sekaligus untuk mengantar
keberangkatan Ji-heng pula." Sampai di sini tiba2 dia menarik muka
serta menghardik: "Tunggu apa lagi, lekas turun tangan . . . . "
Belum habis dia bicara, tahu2 terasa pinggang sendiri menjadi
kaku. Didengarnya seorang berbisik dipinggir telinganya: "Maaf Cinhouhoat,
sementara bikin susah dirimu."
Ternyata yang bicara adalah anak buahnya yang pegang gayuh
di sampannya, yaitu Li Hek kau, Hong-gan-hiat dipinggang Cin Tekhong
telah ditutuknya.
Kejadian berlangsung dalam sekejap mata, tahu gelagat tidak
menguntungkan Ji Siu-seng lantas melolos pedang, hardiknya: "Cin
Te-khong, Jadi kau ini mata2 Hek liong-hwe, apa yang hendak kau
lakukan atas diriku?"
Seorang anak-buah Cin Te-khong yang lain bernama Ong Ma-cu,
sambil berdiri di sana dia pegang sebuah kotak perak yang kemilau,
itulah Som-lo-ling adanya, ia minta petunjuk kepada Cin Te-khong:
"Cin-houhoat, menurut perintahmu Ji siu-seng yang mana yang
harus kubidik?"
Cin Te-khong tetap duduk di sana, keringat ber-ketes2
membasahi kepala dan selebar mukanya, tapi mulutnya tetap
terkancing.
Mengawasi Ji Siu-seng palsu, tiba2 kelasi bernama Ong Ma-cu itu
angkat kotak gepeng perak ditangannya sambil tertawa, katanya:
"Memangnya saudara ini belum melihat jelas? Kenapa tidak lekas
menyerah untuk dibelenggu, memangnya perlu ku-turun tangan?"
Baru sekarang orang yang menyamar Ji Siu-seng itu tahu gelagat
jelek. mendadak dia melompat mundur terus hendak melarikan diri.
Ong Ma-cu ter-gelak2, katanya: "Aku tidak menyerangmu dengan
Som lo-ling ini lantaran ingin membekukmu hidup2, memangnya
kau bisa melarikan diri?"
Melihat bangsat yang menyaru dirinya hendak lari Ji Siu-seng
segera menghardik:
"Keparat, ke mana kau lari?"
Baru saja dia hendak menubruk maju, kelasi tadi telah bergelak
tawa, serunya: "Ji heng, tak usah dikejar, dia tidak akan bisa lolos."
Betul juga, belum kata2 Ong Ma-cu itu berakhir, dari arah depan
sana dua bayangan orang tampak berkelebat maju memapak Ji Siuseng
palsu seraya membentak: "Berdiri saja kawan, jangan lari."
Ji Siu-seng melihat jelas, kedua orang yang mencegat Ji Siu-seng
palsu adalah anak buah di sampan Kho Ting-seng, ia merasa heran
dan kaget, dilihatnya anak buah yang pegang kotak gepeng perak
telah menyimpan benda itu. "Sreng", tahu2 dia telah melolos
sebatang pedang panjang, teriak-nya: "Song-heng, Tio-heng,
kitakan sudah berjanji, orang ini serahkan padaku ......" sekali
lompat dia sudah menubruk tiba disamping musuh, kata-nya:
"Saudara, keluarkan senjatamu."
Baru sekarang Ji Siu-seng sadar duduk persoalannya, serunya:
"Aha, kiranya Kongsun-houhoat adanya." Kongsun houhoat ialah
Thian long-kiam Kongsun Siang.
Terdengar seorang anak buah yang berdiri di samping Cin Tekhong
itu tertawa lantang, katanya: "Betul, dia memang kongsunhouhoat,
boleh Ji-heng duduk saja, sekarang marilah minum arak
sepuasnya."
Kembali J i Siu-seng melongo kaget, lekas dia menjura dan
berteriak heran: "He, engkau kiranya Cong-su-cia adanya."
Anak buah bernama "Li Hek kau" sementara itu sudah mencuci
obat rias diwajahnya. katanya tersenyum: "Ya, aku memang Ling
Kun-gi."
Melenggong sejenak. segera Ji Siu-seng. ber-jingkrak girang,
serunya: "Kiranya memang Congcoh, kalau bukan kalian yang
menyamar, pasti jiwa hamba sudah amblas malam ini."
Sementara itu Kongsun Siang yang menyaru jadi Ong Ma-cu
dengan gerakan Long-sing-poh telah menerjang ke samping Ji Siuseng
palsu, ternyata reaksi Ji Siu-seng palsu juga sebat dan cepat
luar biasa, sekali ayun pedang menusuk ke badan Kongsun Siang.
Betapa cepat serangan pedang orang ini, cabut pedang terus
menusuk dilakukan serentak dalam waktu yang amat singkat, jelas
iapun memiliki Ilmu pedang yang luar biasa.
"Serangan bagus" seru kongsun Siang sambil tertawa
"Trang", lelatu api meletik, dua pedang beradu keras dan
menerbitkan gema suara nyaring panjang. Kedua orang sama2
merasakan telapak tangan sakit kesemutan-
Kongsun Siang menerjang ke samping, pedang berkisar,
serangan jurus ke dua sudah dia lancarkan mendahului musuh.
Ternyata gerakan Ji Siu-seng palsu ini juga tidak lambat,
serempak iapun memutar, kembali dengung suara keras beradunya
dua senjata terdengar, tusukan pedang Kongsun Siang ternyata
kena disampuknya pergi.
Kongsun Siang tertawa, serunya: "Kau berani menyaru Ji-heng,
kenapa Ilmu pedang Bu-tong-pay tidak kau yakinkan sekalian?"
Sambil bicara secara beruntun ia mencecar pula t iga kali tusukan-
Lawan tidak berkata sepatahpun, pedang tetap balas menyerang
dengan sengit, beruntun iapun balas menyerang tiga jurus.
Ini merupakan pertandingan pedang tingkat tinggi yang jarang
terlihat, kecuali samberan Sinar pedang bagai kilat berkelebat,
Sering pula terdengar suara dering pedang yang beradu secara
keras.
Thian-long-kiam-hoat yang diyakinkan Kong-sun Siang memang
menjurus kealiran liar yang ganas dan buas. pedangnya sering
menyerang tatkala lawan menyangka dia hendak kabur, tahu2
orang malah dicecar dengan tusukan dan tabasan yang sukar
dijaga, Tapi permainan Ilmu pedang Ji Siu-seng palsu ini ternyata
cepat sekali, pedangnya bergerak laksana kit iran, setiap jurus
serangan juga mematikan,jadi Ilmu pedang mereka memang sama2
keji dan hebat.
Ling Kun-gi ikut menyaksikan dengan seksama dan penuh
perhatian, demikian pula Ji siu-seng dan kedua anak buah lainnya
sama menonton dengan berdebar.
Suatu ketika Ji Siu-seng melirik kearah Cin Te-khong dan Kho
Ting-seng yang duduk dan menggeletak tertutuk Hiat-tonya, diam2
dia membatin: "Syukurlah kedua orang ini sudah terbekuk lebih dulu
oleh Cong-su-cia dan Kongsun-houhoat yang muncul malam ini,
entah bagaimana mereka bisa tahu akan muslihat musuh yang licik
ini?"
Serta merta matanya mengerling ke arah Ling Kun-gi, diam2
hatinya menaruh hormat dan kagum luar biasa kepada Cong su-cia
yang masih muda dan gagah perkasa ini,
Dilihatnya Kun-gi pegang mangkuk sambil meneguk arak pelan2,
wajahnya mengulum senyum cerah, sikapnya tenang2 saja seakan2
dia sudah yakin bila Kongsun Siang akhirnya pasti menang.
Diam2 ji Siu-seng keheranan, lekas dia menoleh pula mengawasi
kedua orang yang tengah berhantam, keduanya masih tetap saling
serang, lingkaran cahaya pedang kini bertambah luas mencakup
lima tombak di sekeliling gelanggang sehingga sukar dia
memastikan siapa bakal menang dan kalah. Padahal kedua orang
sudah bergebrak seratus jurus lebih.
Se-konyong2 terdengar Kongsun siang membentak. pedang
bergerak lebih kencang lagi, beruntun tiga jurus lihay dilancarkan,
maka terbit pula dering nyaring beradunya senjata mereka, pedang
di tangan Ji siu-seng palsu tampak terpukul jatuh di tanah
berumput.
Sekali tuding pedang Kongsun Siang menutuk ke dada lawan,
serunya dengan gelak tertawa: "Kan sudah kepepet, memangnya
tidak terima kalah dan menyerah?"
Lekas Ji siu-seng palsu menarik napas dan mengempiskan dada
sambil mundur dua langkah, teriaknya beringas: "Siapa bakal
mampus masih sukar diramaikan."
Mendadak tangan kiri ter-ayun dan mulut membentak, dia
melenting tinggi melesat miring ke sana. Kiranya dia tahu keadaan
cukup gawat, kecUali Kongsun Siang, masih ada dua orang lain
yang mencegat jalan mundurnya, maka dia pura2 menyerang dan
berusaha melarikan diri.
Melihat tangan orang terayun, tapi tidak menimpukkan senjata
rahasia, Kongsun Siang membade lawan hanya main gertak dan
berusaha melarikan diri, maka dengan tawa lantang dia berkata:
"Kau masih ingin ngacir, kukira tidak gampang."- Tangan kanan
sekali bergerak. pedang ditangannya seketika meluncur dan "crap"
menancap ambles di tanah berumput sana, sementara seringan
burung walet badannya melambung t inggi berusaha mencegat
lawan di tengah udara.
Ji siu-seng palsu semakin murka, teriaknya: "Turun kau" ia
songsong tubrukan Kongsun Siang dengan pukulan telak. Sudah
tentu dikala tubuh terapung Kongsun Siang juga sudah siaga, maka
iapun melancarkan pukulan keras menyambut hantaman lawan-
"Brak", di tengah udara kedua orang adu jotos, kekuatan pukulan
mereka sampai menerbitkan suara yang membisingkan telinga,
kedua orang sama2 tertolak turun ke tanah pula.
Begitu menginjak bumi, mendadak kaki kiri Kongsun Siang
melangkah setapak. tahu2 ia sudah mendesak tiba di samping Ji
Siu-seng palsu, serentak dia tutuk siau-you-hiat di pinggang Ji Siuseng
palsu.
Ternyata Ji siu-seng palsu tidak kalah sebatnya, dengan gaya
liong-bwe-hwi-hong (ekor naga menerbitkan angin) iapun balas
menyerang, Tangkas sekali Kongsun Siang sudah ganti gaya sambil
menyingkir ke samping, secara cepat luar biasa dan memberosot ke
sebelah kanan Ji Siu-seng palsu, secepat kilat tahu2 tangan kirinya
sudah cengkeram pergelangan tangan kanan lawan- Gerak ini
sunguh cepat luar biasa, betapa lihay rangsakannya ini sungguh
sukar dilukiskan-
Untuk punahkan serangan lawan jelas tidak sempat lagi, maka Ji
siu-seng palsu menggeram sekeras2nya, tangan kiri mengepal,
sekuatnya dia genjot muka Kongsun Siang, sementara kelima jari
kanan membalik balas pegang pergelangan tangan Kongsun Siang.
Tapi tiba2 tangan kanan Kongsun Siang juga membalik dan
lancarkan Kim-na-jiu-hoat, tangan kiri lawanpun kena dipegangnya
pula.
Sebelah tangan masing2 sama2 kena dipegang lawan, tinggal
sebuah tangan yang lain saling serang secara cepat dalam jarak
dekat, tiba2 menepuk tahu2 menutuk. mendadak ganti jotosan serta
berbagai tipu lihay, keduanya berebut waktu dan mengadu
kecepatan-
Betapapun situasi memang tidak menguntung-kan Ji Siu-seng
palsu, dia ingin lari secepatnya, mendadak dia menghardik, serentak
kaki kanan menendang ke selangkangan Kongsun Siang, sementara
tangan kanan sedang saling serang dengan lawan, tak mungkin
Kongsun Siang menghindar atau menangkis tendangan ini.
Namun Kongsun Siang bukan lawan empuk. tiba2 dia lepaskan
pegangannya, tangan kiri berbareng membalik dengan
mengerahkan tenaga sehingga tangan sendiri yang dipegang lawan
terlepas, dan jari bagai jepitan besi terus menutuk ke kaki lawan
yang menendang t iba.
Kedua pihak hampir bersamaan melepas pegangan tangan- Baru
saja Ji Siu-seng merasa senang asal pegangan jari lawan terlepas,
maka ada harapan dirinya untuk melarikan diri. Tak terduga tiba2
terasa lm-koh-hiat di kaki kirinya kesemutan, tanpa kuasa tubuhnya
lantas doyong ke depan- Secepat kilat Kongsun siang lantas susuli
pula dan kali tutukan Hiat-to besar diantara tulang rusuknya.
"Blang" kontan dia terbanting roboh tak berkut ik.
Kongsun siang menyeringai bangga, dia jemput pedangnya dan
dimasukkan keserangkanya, sekali raih dia jinjing tubuh Ji Siu-seng
palsu dan menghampiri Ling Kun-gi dengan langkah lebar. "Bluk" dia
banting tubuh Ji Siu-seng palsu ke tanah terus menjura, katanya:
"Syukurlah hamba telah menunaikan tugas."
Kun-gi manggut2, katanya: "Sudah kuduga Kongsun-heng pasti
berhasil membekuk musuh, maka sengaja kusediakan secawan arak
untuk menyuguh dan merayakan kemenangan Kongsun-heng."
"Terima kasih Cong-coh," ucap Kongsun Siang ia terima mangkuk
arak itu terus ditenggaknya habis.
"Marilah Song-heng dan Thio-heng," kata Kun-gi menoleh ke
sana, "marilah kita bersama2 minum beberapa mangkuk."
Heran Kongsun Siang, katanya: "Bukankah Cong-coh biasanya
tidak suka minumarak?"
"Betul, biasanya aku jarang minum arak. semangkuk saja
mungkin sudah mabuk, tapi malam ini Cin-heng ini dengan susah
payah menyiapkan perjamuan ini, hayolah jangan sia2kan maksud
baik-nya." Maka be-ramai2 mereka sama duduk di sekitar Ling Kungi.
Song Tek-seng dan Thio Lamjiang segera menghapus obat rias di
mukanya, sementara Ji Siu-seng mengisi arak ke dalam mangkuk.
Kun-gi duduk di tengah antara Cin Te-khong dan Ko-Ting-seng,
dengan enteng kedua tangannya bergerak, seperti mengulap saja
jari2 tangannya sudah membuka tutukan Hiat-to di tubuh orang.
Sedikit bergetar, Cin Te-khong dan Kho Ting-seng sama2 membuka
mata.
Lekas Cin Te-khong menggerakkan kedua tangan berusaha
bangun berduduk. tapi beberapa kali bergerak selalu gagal, ternyata
didapatinya kaki tangan terasa lunglai, ada Hiat-to yang masih
tertutuk, akhirnya dia menghela napas panjang, tapi sorot matanya
beringas, bentaknya: "orang she Ling, apa kehendakmu?"
"Cin-heng sudah siuman?" tanya Kun-gi tawar. "Bukankah tadi
kau bilang, kapan manusia hidup pernah mabuk. nah silakan minum
beberapa mangkuk ini."
"orang she Ling," desis Cin Te-khong penuh marah, "jangan kau
ber-muka2 di depanku. Mau bunuh atau sembelih boleh silakan,
jangan kira aku akan mengerut kening."
Tegak alis Kongsun Siang, katanya dingin: "cin Te-khong, berani
kau kurang ajar, kau ingin kuiris sebuah kupingmu. "
Cin Te-khong menggerung gusar, serunya: "Rahasiaku sudah
terbongkar, kecuali mati tiada urusan lain yang lebih besar lagi, kau
kira aku ini pengecut yang bernyali kecil? Apalagi umpama orang
she cin betul2 mati pasti juga ada orang akan membalas
dendamku."
Kun-gi angkat mangkuk araknya dan meneguk sekali, katanya
sambil menoleh: "Rahasia cin-heng sendiri sudah terbongkar,
memangnya beberapa anak buahmu itu bisa berbuat apa?"
"Aku tidak punya anak buah," kata Cin Tek-hong ketus.
"Dua orang yang kau suruh menaruh air teh di kamarku,
bukankah mereka anak buahmu?"
Berubah air muka Cin Tek-hong, dingin katanya: "Aku tidak tahu
apa katamu."
"Setelah kita puas makan minum dan pulang, Cin-heng akan tahu
duduk persoalannya."
Kongsun Siang heran, tanyanya: "Cong-coh bilang bahwa di
kapal kita masih ada komplotan mereka?"
Ling Kun-gi tersenyum penuh arti, katanya: "Sudah tentu masih
ada, kalau malam ini kita tidak membekuk Cin-heng, beberapa hari
lagi mungkin komplotan mereka akan bertambah banyak lagi,
jabatan Cong-su-cia yang kududuki ini juga pasti harus kuserahkan
kepada Cin-heng ini."
Song Tek-seng menimbrung: "Benar Cong-coh, umpama malam
ini bila rencana mereka berhasil baik, komplotan mereka akan
bertambah seorang lagi di atas kapal kita."
Kun-gi tersenyum padanya, katanya: "Syukurlah kalau Song-heng
tahu, tapi tiga hari yang lalu waktu Song-heng pulang ronda, kau
pernah membawa pulang orang mereka."
Song Tek-seng berjingkat kaget, tanyanya: "Hamba membawa
pulang orang mereka?" Lalu dia berpaling ke arah Kho Ting-seng:
"Apakah dia yang Cong-coh maksud?"
"Kho-heng ini ikut datang dari Hoa-keh-sanceng," ujar Kun-gi.
"O, Kho Ting-seng, kaukah yang mencelakai jiwa Ho Siangseng?"
teriak Song Tek-seng murka.
"Orang she Ling," dengus Cin Tek-hong, "agaknya kau sudah
tahu seluruhnya, tentu Li Hek-kau yang membeberkan semua ini." Li
Hek-kau dan Ong Ma-cu adalah kedua kelasi disampan Cin Tekhong.
Kun-gi meneguk araknya pula, katanya tertawa: "Apa yang
diketahui Li Hek-kau dan Ong Ma-cu amat terbatas, tanpa tanya
mereka aku sudah tahu lebih banyak lagi."
"Darimana kau bisa tahu?" tanya Cin Tek-hong.
Sekali mengebas tangan Ling Kun-gi bebaskan tutukan hiat-to di
lengan orang, lalu angsurkan semangkuk padanya, katanya:
"Silakan minum Cin-heng."
Cin Tek-hong memang setan arak, tanpa sungkan dia terima
mangkuk itu terus di tenggaknya habis, katanya sambil ber-kecap2:
"Kukira rencanaku hari ini cukup rahasia dan teliti, tak nyana
terbongkar juga oleh Cong-coh, terus terang aku mengaku kalah,
cuma cara bagaimana Cong-coh bisa tahu?"
"Aku orang baru, semua masih serba asing, sudah tentu Cin-heng
sendiri yang memberitahu padaku," ucap Kun-gi tertawa.
Terbeliak mata Cin Tek-hong, katanya keras: "Aku yang
memberitahukan padamu?" Nadanya heran tak percaya dan
penasaran.
"Malam ini aku ingin bicara blak2an dengan Cin-heng, untuk itu
terpaksa aku menyamar jadi Li Hek-kau dan ikut kemari, marilah
sambil habiskan arak kita mengobrol," lalu Kun-gi ambil poci arak,
serta mengisi, mangkuk semua orang.
Cin Tek-hong terkekeh, katanya: "Cong-coh mencekok aku
dengan arak untuk mengorek keteranganku??
"Segalanya sudah kuketahui, untuk apa minta keterangan
padamu. Tapi memang ada beberapa persoalan ingin aku minta
penjelasan Cin-heng, nanti setelah kukatakan, terserah Cin-heng
mau menjelaskan atau tidak, aku takkan memaksa."
Cin Tek-hong raih mangkuk araknya terus ditenggaknya,
katanya: "Baiklah, coba Cong-coh ka-takan, dalam hal apa aku telah
memberitahukan Cong-coh."
Kun-gi angkat mangkuk arak sembari berka-ta: "Silakan semua
minum, tak usah sungkan."
Lalu berkata kepada Cin Tek-hong: "Malam harinya setelah Cinheng
diangkat menjadi Houhoat, kau mengira aku mabuk dan
tertidur pulas, maka kau gunakan Som-lo-ling berusaha
membunuhku secara gelap . . . . '
"Darimana Cong-coh tahu kalau itu perbuatanku?" tukas Cin Tekhong.
"Semula memang sukar kuraba dan bukan Cin-heng yang
kucurigai, soalnya orang itu terlalu apal mengenai keadaan dan
seluk-beluk Hoa-keh-ceng, jadi jelas dia bukan orang luar,
sementara dua orang kita yang bertugas ditepi danau terpukul mat i
oleh getaran tenaga dalam dari aliran Lwekeh yang dahsyat, dari
keadaan kematian kedua orang ini dapat kusimpulkan mereka
terpukul dalam jarak satu sampai dua tombak dengan getaran Bikkhong-
ciang, dan orang yang memiliki pukulan telapak tangan
sedahsyat itu dalam Pang kita hanya Coh-houhoat dan Cin-heng
berdua, sudah tentu Yu-houhoat sendiri juga memiliki kekuatan
yang seimbang, tapi dia ahli ilmu kepalan bukan pukulan telapak
tangan, perawakan Leng-heng kurus tinggi, jelas tidak cocok
dengan perawakan orang itu, oleh karena itu aku lebih cenderung
untuk mencurigai Cin-heng."
Cin Tek-hong tenggak beberapa teguk araknya, katanya
menyeringai: "Analisa Cong-coh sungguh teliti dan cermat, agaknya
aku memang terlampau rendah menilaimu."
Kun-gi melirik ke arah Kho Ting-seng, katanya: "Waktu aku
kembali, kebetulan kesamplok dengan Kho-heng, dia berjaga di
tenggara Hoa-keh-ceng, merupakan jalan satu2nya yang harus dilewati
siapapun kalau pulang dari danau, kalau jejakku bisa
konangan dia, kenapa kedatangan Cin-heng tidak diketahui? Hal ini
sudah menimbulkan kecurigaanku, disamping itu dia berjuluk
Gintancu (si pelor perak), seorang yang kesohor menggunakan
senjata rahasia di kalangan Kangouw tentu memiliki kepandaian
khusus yang betul2 lihay dan tinggi, tapi waktu dia menimpuk
diriku, tenaganya lemah dan sasaran kurang telak, kepandaian
rendah begini tak mungkin bisa kesohor dengan julukan Gintancu,
mau tak mau aku dipaksa untuk sedikit memperhatikan dirinya,
maka kudapati pula wajahnya telah dirias, karena itu aku menarik
kesimpulan kalau dia mungkin sekongkol dan sekomplotan dengan
Cin-heng, orang ini terang adalah samaran yang menyelundup ke
Pek-hoa-pang kita."
Berubah air muka Kho Ting-seng, tanyanya: "Jadi sejak mula
Cong-coh sudah tahu kalau wajahku ini riasan?"
"Wajah yang dirias mungkin bisa mengelabui orang lain, tapi tak
mungkin mengelabui kedua mataku. Tempo hari waktu Nyo Kehcong
dan Sim Kiansin kembali dengan terluka, akupun mendapatkan
wajah mereka juga riasan, hari kedua waktu rombongan Song-heng
pulang ronda, muka Ho Siang-seng juga telah dirias pula, oleh
karena itu dapat kusimpulkan, setiap kalian keluar bertugas dengan
cara bergilir satu persatu kalian menculik orang kita lalu
menukarnya dengan seorang lain yang telah kalian rias mirip wajah
orang aslinya dan diselundupkan kemari, bila kapal kita tiba di Hekliong-
hwe, maka seluruh Houhoat dan Houhoat-su-cia telah kalian
ganti dengan begundal kalian sendiri"
Cin Tek-hong menarik napas panjang, katanya lemas: "Inilah
yang dinamakan sekali salah langkah seluruh rencana porakporanda.
Saudara Ling, memang hebat kau!"
"O, pantas waktu malam itu aku giliran tugas, Cong-coh pesan
wanti2 supaya aku berlaku hati2" kata Kongsun Siang.
"Ya, waktu itu aku kira sasaran berikutnya adalah kau, karena
sampan yang kau gunakan hari itu adalah sampan yang digunakan
Sim Kian sin, tapi akhirnya kuketahui hanya kedua anak perahu
yang telah diganti," merandek sebentar lalu Kun-gi melanjutkan:
"Malam itu dengan menggunakan Som-lo-ling seseorang berusaha
membunuh Thay-siang, malah memfitnahku pula dengan
menyelundupkan barang bukti kekamarku . . . . . . ."
Memang peristiwa itu tiada buntutnya, padahal barang bukti
sudah tergeledah dari kamar Ling Kun-gi dan dia sudah digusur ke
hadapan Thay-siang, kenyataan dia masih membawa Ih Thiankiam,
tanda kebesaran jabatannya sekarang, dia tetap menduduki Congsu-
cia. Bagaimana kelanjutan dan akhir dari peristiwa itu? Sudah
tentu semua orang mengharap untuk mengetahui. .
Kini Ling Kun-gi menyinggung peristiwa malam itu, maka
Kongsun Siang, Song Tek-song, Thio Lam-jiang dan Ji Siu-seng
sama pasang kuping mendengarkan dengan penuh perhatian.
Sampaipun Cin Tek-hong, Kho Ting-seng tiruan juga terbelalak
menunggu cerita lanjutannya.
Kun-gi tersenyum, tuturnya: "Malam itu juga, di antara para
Taycia kutemukan juga orang yang telah dirias."
Kongsun Siang tanya: "Ke12 Taycia semuanya mengenakan
kedok, cara bagaimana Cong-coh bisa tahu?"
"Karena kudapati salah seorang mereka mengunjuk aksi yang
mencurigakan, maka hal ini kulaporkan kepada Thay-siang, atas
persetujuan beliau kusuruh mereka mencopot kedok dan kutemukan
kepalsuannya."
Song Tek-seng tertawa riang, katanya: "Cong-coh telah
membekuknya?"
"Orang ini bernama Ci Gwat-ngo, salah seorang pimpinan orang2
Hek-liong-hwe yang dipendam dalamPek-hoa-pang kita."
Berubah rona muka Cin Tek-khong, tanpa bersuara dia teguk lagi
araknya.
"Malam itu juga berhasil kuringkus seorang dara kembang tiruan,
orang inilah yang biasa menjadi kurir antara Cin-heng dengan Ci
Gwat-ngo, malam itu kusuruh dia mondar-mandir di dek tingkat
kedua sebelah kanan untuk memberi kabar kepada Cin-heng."
"Kalau mereka sudah mengakui segala lakonnya, kenapa aku
tidak ditangkap pada waktu itu juga?" tanya Cin Tek-hong.
Kalem senyum Kun-gi, katanya: "Sepanjang perjalanan kapal kita
ini kalian berusaha mengganti orang2 kita satu persatu, maka
kugunakan pula cara dan akal yang sama untuk balas menipu
kalian, sepanjang perjalanan akan kutangkap setiap orang utusan
kalian yang diselundupkan ke atas kapal."
Cin Tek-hong ambil mangkuk araknya dan ditenggaknya habis
pula, dengusnya: "Saudara memang lihay, bukan saja jaringan
rahasia kami terbongkar seluruhnya, malah orange kita akan kau
jaring pula satu persatu sepanjang jalan ini, orang yang licik dan
licin seperti ini, mana boleh kubiarkan kau hidup." Tiba2 mangkuk
ditangannya mencelat, telapak tangan besinya secepat kilat
menekan ke dada Ling Kun-gi.
Cin Tek-hong duduk di sebelah kiri Kun-gi, pukulan ini sudah
sejak tadi dia siapkan, sebetulnya sudah bisa turun tangan sejak
tadi, tapi dia harus menunggu kesempatan. Dikala Kun-gi tidak
siaga baru akan menyerangnya secara mendadak dengan pukulan
mematikan. Seperti diketahui dia meyakinkan Hansi-ciang, pukulan
aliran sesat yang dingin beracun dan jahat sekali, sedikit hawa
dingin meresap ke badan dan cukup untuk menewaskan jiwa Ling
Kun-gi. Maka dapatlah dibayangkan bila pukulan telak ini dikerahkan
setaker kekuatannya.
Ketika Kun-gi habis bicara, tangan kanan angkat mangkuk
menghirup arak, baru saja arak masuk ke mulut, belum lagi
mangkuk arak diturunkan, sementara tangan kirinya lagi menjemput
telur asin, sudah tentu sedikitpun dia t idak siaga.
Sama sekali Kun-gi seperti tidak merasakan bahwa telapak
tangan Cin Tek-hong telah mengancam ulu hatinya, tiba2 ia
berpaling sambil berkata dengan tertawa kepada Cin Tek-hong:
"Kenapa Cin-heng hanya minum saja tanpa makan? Telur asin ini
enak rasanya." Karena menoleh, dengan sendirinya badan bagian
atas ikut bergerak hingga telapak tangan Cin Tek-hong yang
mengincar ulu hati menjadi nyasar beberapa senti. Gerak tangan
Ling Kun-gi kelihatan kalem dan tak acuh, dengan tepat dia jejalkan
telur asin itu ke telapak tangan Cin Tek-hong.
Telapak tangan Cin Tek-hong penuh kekuatan Hansi-ciang waktu
tangannya hampir mengenai ulu hati lawan, diam2 ia telah bersorak
girang, tak nyana mendadak terasa adanya benda bulat licin
menahan telapak tangannya. Benda itu jelas adalah telur, maka
pukulan telapak tangan yang terjulur keluar itu menjadi mati kutu
dan berhenti begitu saja karena tertahan oleh telur asin.
Kiranya dari telur asin ini terasa olehnya adanya tenaga besar
yang lunak tak kelihatan menyetop tenaga pukulannya sehingga
Hansi-ciang yang telah terpusat ditelapak tangannya menjadi macet.
Baru sekarang Song Tek-seng, Thio Lam-jiang yang duduk di
sekitarnya melihat Cin Tek-hong membokong, karena mereka duduk
di depan dari jarak agak jauh, mereka t idak sempat mencegah,
hanya mulut saja yang berseru kaget.
Tapi Kongsun Siang menggerung gusar, hardiknya dengan alis
berkerut: "Orang she Cin, kau ingin mampus!" Serta merta
tangannya terayun, "plak", pundak kiri orang telah dipukulnya,
badan Cin Tek-hong sampai mencelat beberapa kaki jauhnya.
Ling Kun-gi hanya tertawa tawar padanya, katanya: "Sebetulnya
Kongsun-heng tidak perlu turun tangan, memangnya Hansi-ciang
bisa melukai aku? Kalau tidak tentu takkan kubebaskan hiat-to
dilengannya." Sembari bicara dia berdiri, sambungnya: "Sebetulnya
ingin aku memaksanya tahu diri dan mundur teratur dan jiwanya
dapat diselamatkan, tapi pukulan Kongsun-heng ini telah membikin
hawa murninya nyasar dan buyar!"
Mendengar keterangan Ling Kunggi ini, serta merta pandangan
semua orang tertuju ke arah Cin Tek-khong, memang wajah Cin
Tek-hong tampak pucat, rebah celentang kaku tak bergerak,
ternyata semaput.
Heran Kongsun Siang, katanya: "Melihat dia membokong Congcoh,
tanpa pikir akupun menyerangnya, pukulanku hanya pakai lima
bagian tenaga, kenapa dia terluka separah itu?"
Kun-gi menghampiri Cin Tek-hong dan memeriksa tubuh orang,
dia bebaskan Hiat-to orang yang tertutuk lalu direbahkan mendatar,
katanya:
"Kecuali Hiat-to lengan kanannya yang sudah bebas, yang lain
tetap buntu, untuk melakukan pembokongan, sejak tadi dia sudah
menghimpun kekuatan pada telapak tangan kanan, karena ditahan
oleh telur asinku tadi, kalau mau merenggut jiwanya, cukup
kugunakan tenaga keras dan menggetar putus urat nadinya tentu
dia mati seketika, tapi aku hanya tahan tenaga di telapak tangan
supaya tidak terlontar keluar, tujuanku supaya dia tahu diri dan
mundur teratur."
Belum habis dia bicara, terlihat Cin Tek-hong sudah siuman,
tampak kulit mukanya ber-kerut2 dibasahi butiran keringat dingin
sebesar kacang, matanya mendelik, suaranya gemetar: "Saudara
Ling, keji . . . . keji betul caramu . . . ."
Dengan tersenyum Kun-gi berkata: "'Hawa murninya
menyungsang balik, Hiat-to yang tertutuk sudah kubebaskan,
rebahlah dulu dan jangan bergerak, akan kubantu kau mengerahkan
tenaga mengembalikan hawa murni ke tempat asalnya." Lalu dia
berkata kepada Kongsun Siang: "Ada tiga Hiat-to kaki tangannya
masih tertutuk, hanya tangan kanannya yang mengerahkan tenaga,
pukulannya kena kubendung lagi sehingga tak mampu dilontarkan,
maka pukulanmu itu walau hanya setengah2 saja, tapi lantaran
gempuran tenaga dari luar inilah sehingga hawa murninya menjadi
buyar dan jatuh semaput."
Kongsun Siang kagum sekali, katanya: "Uraian Cong-coh
memang betul, jadi akulah yang gegabah, tapi Cin Tek-hong sudah
terbukti adalah mata2 Hek-liong-hwe, umpama dia mampus juga
setimpal dengan perbuatan jahatnya, kenapa Cong-coh malah akan
membantunya?"
"Dia sudah tertawan hidup2, maka tak boleh kita
menganiayanya, mati atau hidup biarlah Thay-siang yang
menjatuhkan hukuman padanya, oleh karena itu aku harus bantu
dia memulihkan kesehatan."
Kongsun Siang masih ingin bicara, tapi. dilihatnya Kun-gi
memberi kedipan mata padanya, segera dia mengerti, maka katanya
manggut2 "Ucapan Cong-coh memang betul."
Sudah tentu Cin Tek-hong maklum, hawa murni dalam tubuhnya
yang nyungsang dan buyar kalau tidak secepatnya dihimpun
kembali tentu dirinya akan mengalami "Cap-hwejip-mo" atau
mengalami kelumpuhan total, itu berarti masa depan kehidupannya
akan suram dan tiada artinya lagi. Maka cepat dia merangkak
berduduk dan merangkap kedua tangan mulai semadi.
Tangan kiri Kun-gi segera menekan Pek-hwehiat di kepalanya,
katanya: " Bersiaplah saudara Cin." Sejalur hawa murni panas
pelan2 merembas ke Pek-hwehiat melalui telapak tangannya. Terasa
oleh Cin Tek-hong hawa panas ber-gulung2 mulai mengalir ke
sekujur badan.
Kira2 satu jam kemudian, terdengar Kun-gi menghela napas serta
menarik tangan, katanya: "Cukuplah, sekarang Cin-heng bisa
mengerahkan tenaga keseluruh tubuh."
"Cong-coh," tanya Song Tek-seng, "apakah kita tidak segera
pulang?"
Kun-gi mendongak lihat cuaca, katanya: "Sekarang baru
kentongan ketiga, dari sini kita bisa mengawasi putuhan li sekitar
perairan sini, menjelang fajar baru saatnya ganti piket, lebih baik
kita istirahat saja di sini, untuk apa pulang pagi2?" Lalu ia ambil
mangkuk dan menenggak arak pula.
Kongsun Siang, Song Tek-seng, Thio Lam-jiang juga jagoan
minum, mendengar anjuran Kun-gi, tanpa sungkan mereka lantas
minum sepuasnya.
Setelah hawa murni kumpul kembali Cin Tek-hong merasakan
kesehatan telah pulih kembali, segera dia berdiri menghampiri Kungi,
sikapnya hormat dan patuh, katanya menjura: "Berkat
pertolongan Cong-coh jiwa orang she Cin selamat, sungguh tak
terhingga rasa terima kasihku."
Kun-gi menoleh, katanya: "Cin-heng sudah pulih kembali, marilah
duduk minum arak."
"Cong-coh," kata Cin Tek-hong, "kenapa tidak kau tutuk Hiattoku?"
Kun-gi berkata: "Apakah Cin-heng yakin dapat melarikan diri?"
Sungguh2 sikap Cin Tek-hong dan katanya: 'Di depan Cong-coh
memang orang she Cin takkan mampu meloloskan diri."
"Kalau begitu, silakan Cin-heng duduk dan menghabiskan
semangkuk arak ini."
Cin Tek-hong segera duduk kcrnbali ke tempatnya semula.
Setelah menghabiskan semangkuk arak Cin Tek-hong comot sekerat
daging terus dijejalkan ke mulut, katanya sambil angkat kepala:
"Cong coh tadi bilang ada persoalan yang ingin di tanyakan padaku,
entah persoalan apa?"
"Aku hanya ingin tanya sedikit keadaan Hek-liong-hwe, kalau Cinheng
ada kesulitan, tidak usah-lah kau jelaskan."
Melirik sekejap ke arah Kho Ting-seng baru Cin Tek-hong
berkata: "Rahasia perkumpulan kami dilarang bocor sesuai
peratutan, bagi yang membocorkan mendapat hukuman mati, tapi
jiwa orang she Cin tadi ditolong Cong-coh, soal apa yang ingin
Cong-coh tanyakan, asalkan tahu pasti kujelaskan."
"Memangnya Cin-heng sudah tidak ingin kembali?" timbrung Kho
Ting-seng.
Song Tek-seng duduk di sebelahnya, hardiknya: "Tutup
bacotmu!"
Tenggak semangkuk arak pula baru Cin Tek-hong berkata
kepada Kho Ting-seng dengan tertawa: "Kita sudah terjatuh ke
tangan orang2 Pek-hoa-pang, kau masih ingin kembali?"
Kho Ting-seng diam saja.
"Tiada maksudku untuk mengorek rahasia Hek-liong-hwe secara
berlebihan, soalnya ada dua temanku yang terjatuh di tangan
orange Hek-liong-hwe, maka aku hanya ingin tahu keadaan Hekliong-
hwe selayang pandang saja, umpamanya di mana letak
markas Hek liong-hwe? Siapa pemimpinnya? Di mana mereka
menyekap para tawanan? Apakah Cin-heng dapat menjelaskan?"
Rupanya inilah tujuan Kun-gi mencekok arak pada Cin Tek-hong
serta menyembuhkan luka2nya.
Kata Cin Tek-hong: "Hek-liong-hwe dibagi jadi dua seksi, yaitu
seksi luar dan seksi dalam, aku di bawah Ui-liong-tong, tugasku di
luar, maka keadaan dalam Hek-liong-hwe sebenarnya sedikit sekali
yang kuketahui "
"Di mana letak Hek-liong-hwe, tentunya kau tahu?" tanya Kun-gi.
"Aku hanya tahu Ui-liong-tong kami didirikan dibelakang gunung
Kunlun diatas Ui-lionggiam."
"Kunlunsan di Shoatang maksudmu?" Kun-gi menegas. "Lalu
siapa pemimpinmu?"
"Kalau kukatakan mungkin Cong-coh t idak percaya, walau sudah
tiga tahunan aku menjadi anggota Ui-liong-tong, tapi hanya sekali
pernah kulihat Hwecu kami, hakikatnya tiada yang tahu siapa dia
sebenarnya?"
"Dia tidak punya she dan nama?'`
"Semua orang hanya memanggilnya Hwecu, entah siapa
namanya."
"Cong-coh," sela Kongsun Siang dengan nada sinis, "tiga tahun
jadi anggota, tapi siapa nama pemimpinnya tidak tahu, apakah kau
percaya ?"
"Kenyataan memang demikian, buat apa aku membual?" Cin Tekkhong
membela diri, "kau Kongsunhouhoat sudah setahun menjadi
Houhoat-su-cia, tahukah nama dan she Thay-siang?"
"Bukankah Cin-heng pernah melihatnya sekali?" sela Kun-gi.
"Ya, aku hanya melihat seraut wajah hitam dengan jambang
legam, seorang laki2 tua kekar yang berjubah hitam pula, tapi
terasa olehku bahwa mukanya itu bukan wajah aslinya."
"Cin-heng di bawah perintah Ui-liong-tong, tugas bagian luar, lalu
bagaimana bagian dalam?"
"Hwi liong dan Ui-liong termasuk seksi luar, hanya Ceng-liongtong
bertugas bagian dalam."
"Apa bedanya seksi luar dan seksi dalam?"
"Ceng-liong-tong berkuasa atas segala rahasia Hek liong-hwe,
anak buahnya semua perempuan, dinamakan seksi dalam dan
merupakan seksi yang paling berkuasa dari seksi lainnya. Hwi-liong
dan Ui-liong dikhususkan mengerjakan tugas luar, sedang Hwi-liong
juga boleh dinamakan Hou hoat-tong, anggotanya terdiri dari jago2
kelas wahid, hari2 biasa tiada tugas rutin bagi mereka, jarang pula
beraksi, bila orang2 Ui-liong-tong yang menjalankan tugas di luar
menghadapi kesukaran, orang2 Hwi-liong-tong yang akan memberi
bantuan."
"Di mana Hwi-liong-tong didirikan?" tanya Kun-gi.
"Entah aku tidak tahu, tapi bila orang2 Ui-liong-tong menghadapi
bahaya, entah di mana saja, bila mengeluarkan tanda bahaya maka
dari jauh atau dekat orang2 Hwi-liong-tong pasti akan segera
datang memberi bantuan, oleh karena itu tiada orang tahu di mana
sebenarnya Hwi-liong-tong didirikan."
"Sunggub Hek-liong-hwe yang serba rahasia dan misterius." ucap
Kun-gi lalu tanyanya pula: "Lalu Ui-liong-tong?"
"Tugas Ui-liong-tong menghadapi persoalan luar, anggotanya
scluruhnya laki2, terdiri orang2 dari golongan hitam atau putih, bila
dia seorang persilatan dan ada seorang perantara, siapapun boleh di
terima menjadi anggota.."
Mendadak Kun-gi bertanya: 'Jadi Ci Gwat-ngo orangnya Ceng
liong-tong?"
"Ya, dia utusan Cui-tongcu, kami semua di bawah perintahnya.".
"Tak heran setelah Ci Gwat-ngo suruh Bi Kui menyampaikan
berita mana, dia gigit putus lidah dan bunuh diri, ternyata dia takut
membocorkan rahasia Hek-liong-hwe," demikian batin Kun-gi, lalu
katanya sambil menepekur: "Jadi Cin-heng juga tidak tahu di mana
mereka menyekap para tawanan?"
"Tergantung kedua teman Cong-coh itu ditawan oleh seksi mana,
kalau ditangkap orang2 Ui-liong-tong, pasti dikurung di Uilionggiam.
Kalau dibekuk orang2 Hwi-liong- tong atau Ceng-liongtong,
tak bisa aku menerangkan," kemudian ia berkata pula:
"Sebelum aku diselundupkan ke Pek-hoa-pang pernah bertugas
cukup lama di Ui-liong-tong, ada kalanya Cui-tongcu mengutus
orang menyampaikan perintah, dari cara mereka pergi datang
leluasa dan lancar, kukira jaraknya tidak terlalu jauh, pernah aku
diam2 memperhatikan, 10-an li di sekitar Ui-lionggiam memang
tidak kelihatan adanya bayangan, Ceng-liong-tong."
Kembali Kun-gi membatin: "Gadis cilik yang menyaru jadi Cu-cu
katanya semula adalah pelayan pribadi Cui-tongcu, tentunya dia
tahu di mana letak sebenarnya Ceng-liong tong itu" ia angkat
mangkuk dan meneguk arak, lalu tanyanya: "Apa jabatan Cin-heng
di dalam Ui-liong-tong?"
"Dalam Ui-liong-tong kecuali Tongcu yang berkuasa penuh, di
bawahnya terbagi dua tingkat pula, yaitu Sincu dan Kiam-su, aku
menjadi anggota Sincu."
"Lalu di antara orang kalian sendiri, memakai kode rahasia apa?"
Cin Tek-hong sudah terlalu banyak tenggak arak, keadaannya
sudah setengah sinting, ia menaruh mangkuk araknya, dari sanggul
kepalanya ia mengambil sebuah benda, telapak tangannya di buka,
dia berkata: "Biarlah malam ini kubeber segalanya kepada Congcoh,
kode rahasia kami menggunakan benda ini," Di tengah telapak
tangannya menggelinding kian kemari sebutir mutiara sebesar
kacang tanah, mutiara ini berlubang tengahnya dan disunduk seutas
benang kuning.
Betapa tajam mata Kun-gi, sekilas pandang di lihatnya mutiara
yang kemilau itu ada terukir sebuah huruf "Ling" atau firman, tanpa
terasa mulutnya ber-suara kaget : "Cincu ling!"
"Ternyata Cong-coh sudah tahu," ujar Cin Tek-hong.
"Aku juga punya sebutir, silakan Cin-heng melihatnya juga," ucap
Kun-gi, dari kantong bajunya dia merogoh keluar sebutir mutiara
pula.
Cin Tek-hong menyipit mata mengamati penuh perhatian,
katanya tertawa: "Inilah tanda peringatan berasal dari Hek-lionghwe,
jadi Cong-coh memang sejak mula menyelidiki Hek-lionghwe?"
"Sama2 CinCu-ling, entah apa bedanya?" tanya Kun-gi.
"Dalam Hek-liong-hwe kami hanya anggota yang berkedudukan
lebih tinggi dari Sin cu boleh menggunakan CinCu-ling ini, para
Sincu memakai mutiara sebesar kacang tanah, kalau mutiara seperti
yang ada di tangan Cong-coh besarnya seperti buah kelengkeng
seharusnya milik Tongcu, dan lagi benang sunduknya juga
berlainan, Ceng-liong-tong pakai benang hijau, Hwi-liong-tong pakai
benang merah, untuk Ui-liong-tong memakai benang kuning, hanya
Hwecu saja yang memakai benang emas. Benang mutiara milik
Cong coh ini bewarna kuning emas, pertanda yang mewakili Hwe
kami, Cuma mutiara milik Hwe kami adalah mutiara asli, hanya
tanda2 kebesaran, diperuntukan pihak luar digunakan mutiara
tiruan, sekali pandang orang akan bisa membedakan."
"Ternyata masih sebanyak itu perbedaannya," ucap Kun-gi.
"Malah masih ada lagi," Cin Tek-hong ngoceh sendiri, "bagi kami
orang2 yang bertugas di luar, huruf 'Ling' yang terukir di mutiara ini
menggunakan goresan tunggal, sebaliknya ukiran huruf 'Ling' pada
mut iara yang dipakai orang2 seksi dalam menggunakan goresan
dobel."
Tergerak hati Kun-gi, pikirnya: "Leliong-cu warisan keluargaku itu
juga diukir dengan goresan dobel, memangnya Hek-liong-hwe ada
hubungannya dengan diriku?" Terpikir olehnya Hwi-liong-sam-kiam
warisan keluarganya kenyataan menjadi Tinpang-sam-kiam Pekhoa-
pang, kini diketahuinya pula bahwa Leliong-cu warisan
keluarganya juga ada sangkut pautnya dengan Hek-liong-hwe.
Kalau dikatakan kebetulan, masakah kedua persoalan bisa terjadi
secara kebetulan, terang terlalu jauh untuk dapat dipercaya.
Sekejap ini pikirannya jadi gundah dan resah, tanpa mengisi
mangkuknya langsung dia angkat poci terus tuang arak ke dalam
mulut.
Kongsun Siang juga tidak sedikit minum arak, keadaannya sudah
seperempat mabuk, lekas dia ber-kata: "Song-heng, Thio-heng dan
Ji-heng, mari kita iringi semangkuk pula dengan cong-coh."
Sembari berkata diam2 dia memberi tanda kepada tiga temannya
ini. Maksudnya bahwa Ling Kun-gi sudah takkan kuat minum lagi,
sisa arak tidak banyak lagi, marilah kita bagi rata dan minum
bersama sampai habis.
Song Tek-seng, Thio Lam-jiang dan Ji Siu-seng tahu maksud
Kongsun Siang, lekas Ji Siu-song angkat guci arak terus tuang
kemangkuk semua orang, lalu menenggaknya bersama.
"Ji-heng," kata Cin Tek-hong, "sisanya biar kuhabiskan saja." Dia
angkat poci itu serta tuang sisa isinya ke mulut sendiri.
Kun-gi tertawa, katanya tersenyum: "Kalian kuatir aku mabuk?"
Belum lenyap suaranya, mendadak Cin Tek-hong menjerit sekali,
badannya mengejang terus terkapar roboh ke belakang. Kejadian
amat di luar dugaan, keruan orang2 yang duduk berkeliling ini sama
kaget, Gerakan Kun-gi paling sigap, cepat dia melompat bangun
serta memapah Cin Tek-hong, sementara jari kanan menekan Bingbunhiat
orang, teriaknya gugup: "Cin-heng, kenapa kau?"
Kongsun Siang, Song Tek-seng, Thio Lam-jiang dan Ji Siu-seng
berempat melompat berdiri, Kong-sun Siang berbisik apa2 pada tiga
orang lainnya, Song Tek-seng manggut2 terus berpencar siap siaga.
Pada saat itulah mendadak Kun-gi membentak sambil berpaling:
"Siapa itu di dalam hutan?"
"Lohu!" seiring dengan suaranya dari hutan melangkah keluar
seorang kakek kurus yang menggelung kuncir rambutnya di atas
kepala.
Kakek ini mengenakan baju biru, celana kencang terikat bagian
bawahnya, tangan kiri membawa pipa cangklong sepanjang satu
setengah kaki, roman mukanya kaku kelabu, dalam kegelapan, bola
matanyapun tampak berwarna kelabu bersinar kemilau.
Karena memperoleh saluran hawa murni dari Ling Kun-gi,
sementara itu pelan2 Cin Tek-hong sudah membuka mata. seketika
ia terbelalak waktu melihat kakek kurus ini, bibirnya bergetar,
suaranya merinding serak: "Hwi . . . . . liong. . . . . liong . . . . . "
agaknya sebisanya dia sudah kerahkan setakar tenaganya untuk
berucap ketiga patah kata ini, tapi akhirnya suaranya semakin
lemah, pelan2 kelopak matanya tertutup, darah kental hitam
seketika meleleh keluar dari mulutnya, agaknya dia tertimpuk
semacamsenjata rahasia kecil, racun telah merenggut jiwanya.
Kun-gi melepaskan tangannya, seraya berdiri tanyanya menatap
kakek kurus: "Apakah tuan dari Hwi-liong-tong?"
Kata kakeh muka kelabu: "Lohu malah sudah tahu kau ini Cong
su-cia yang baru dalamPek-hoa-pang, betul tidak?"
"Betul, Cayhe Ling Kun-gi, sebutkan nama tuan."
"Lohu Nao Sam-jun," jawab si kakek.
Ling Kun-gi t idak tahu Kim-kau-cian Nao Sam-jun ini adalah Hwiliong-
tong Tongcu, tanyanya: "Apa maksud kedatangan tuan?"
Sambil mengelus jenggot kambing yang sudah ubanan, Nao
Sam-jun terkekeh, katanya: "Ada tiga tugas Lohu kemari, pertama
membunuh anggota yang murtad dan menolong orang yang
tertawan."
"Hanya dua yang kau sebutkan."
"Betul, dan yang ketiga kami mohon Ling-cong-sucia suka
meringankan langkah ikut pergi ber-sama Lohu."
"Ke mana tuan hendak mengajakku?'' tanya Kun-gi.
'Sudah tentu mampir ke markas kami, kalau t idak ingin
mengundang Ling-lote buat apa Lohu meluruk kemari," nadanya
congkak dan sombong.
Kun-gi tatap orang lekat2, katanya: "Sepongah ini tuan bicara,
memangnya kau inikah Hwi-liong- tong Tongcu?"
"Betul, Lohu memang Hwi-liong-tongcu, Ling-lote mau ikut Lohu
bukan?"
"Sungguh sangat beruntung dapat bertemu di sini, maksud
Cayhe malah sebaliknya, bagaimana kalau Nao-tongcu saja yang
mampir ke kapal kami?"
Berkedip bola mata Nao Sam-jun yang kelabu dingin, mendadak
dia ter-bahak2, katanya: "Ling-lote, kesempatanmu sudah tiada
lagi."
"Jago2 kosen2 Hwi-liong tong memang banyak, tentunya tidak
sedikit jago2 yang mengiringimu."
"Ling-lote memang pandai menebak, Lohu memang bawa Cap jising-
siok (dua belas bintang kelahiran), mereka sudah tersebar di
sekeliling sini, umpama satu lawan satu belum tentu kalian bisa
menang, paling2 sama kuat, tapi keadaan sekarang berbeda, kalian
harus satu melawan tiga, belum lagi terhitung Lohu, bagaimanapun
juga kalian tak ada kesempatan untuk menang."
Di sini dia bicara, tahu2 tanah lapang berumput ini sudah
terkepung oleh 12 orang berpakaian serba aneh.
"Tuan siap perintahkan mereka turun tangan?" jengek Kun-gi
dengan tersenyum.
Nao Sam-jun menyeringai, katanya: "Sudah tentu Lohu tidak
ingin bergebrak dengan kalian supaya tidak merusak persahabatan,
sebab sebelum Lohu kemari Hwecu ada pesan . . . . " mendadak dia
tutup mulut. meski kata2nya tidak dilanjutkan, tapi ke mana
juntrungnya sudah bisa ditangkap:
"Apa kata Hwecu kalian?" desak Ling Kun-gi.
"Hwecu sudah dengar, katanya Ling-lote telah berhasil
menawarkan getah beracun itu?"
"Benar," ucap Kun-gi singkat .
Berkelebat cahaya di wajah Nao Sam-jun yang kelabu itu,
suaranya berat: "Oleh karena itu beliau suruh Lohu kemari untuk
mengundangmu, kalau Pek-hoa-pang bisa memberi jabatan Congsu-
cia, Hwe kita juga bisa memberi jabatan Cong-houhoat
kepadamu."
Tawar tawa Kun-gi, katanya: "Wah, Cayhe menjadi tertarik
rasanya."
"Memangnya, asal Ling-tote telah betul2 dapat menawarkan
getah beracun, Hwe kita tidak akan kikir, betapapun besar
pengorbanan yang harus dipertaruhkan, pasti akan
mengundangmu."
Diam2 Kun-gi merasa heran, pikirnya: "Pek-hoa-pang memang
bermusuhan dengan Hek-liong-hwe, setiap macam senjata dan
senjata rahasia orang2 Hek-liong-hwe dilumuri racun getah, adalah
jamak dan dapat dimaklumi kalau Pek-hoa-pang begitu getol
memperoleh obat penawarnya, bahwa Hek-liong-hwe sendiri juga
ingin memiliki obat pena-warnya, entah apa pula gunanya? Ya,
waktu Coat Sinsanceng menculik Tong Thianjong, Un It-hong, Loksan
Taysu dan Cu Bunhoa, bukankah tujuannya juga untuk
menciptakan obat penawar getah beracun itu." Segera ia bertanya:
"Getah beracun kan milik kalian, memangnya kalian tidak punya
obat penawarnya?"
"Untuk ini Ling-lote tidak usah urus," jengek Nao Sam-jun.
"Kalau Nao-tongcu tidak mau jelaskan, bagaimana Cayhe harus
percaya padamu?" ejek Ling Kun-gi.
"Setelah Ling-lote berhadapan dengan Hwecu, segalanya akan
kau ketahui."
"Nao-tongcu bicara seenak sendiri, seakan2 aku harus ikut kau
pergi begitu saja."
"Ya, memang Ling-lote harus pergi bersamaku," tandas
perkataan Nao Sam-jun.
Kun-gi tersenyum, katanya: "Kalau Cayhe tidak mau pergi?"
Mengelus jenggot, tambah kelam rona muka Nao Sam-jun,
katanya dengan menyeringai: "Ka-lian berlima sudah berada
digenggamanku, mau pergi atau tidak kau tidak kuasa menentukan
pilihanmu, cuma perlu Lohu peringatkan, sukalah Ling-lote
pertimbangkan dulu dengan masak."
"Peringatan apa coba katakan, aku ingin dengar."
Nao Sam-jun menyapu pandang ke muka Kongsun Siang
berempat, lalu katanya sinis: "Kalau Ling-lote dan saudara2 ini mau
ikut Lohu. itulah paling baik, kalau menolak dan melawan malah,
tujuan pertama Lohu kemari kecuali harus menawan Ling-lote
hidup2, empat orarg yang lain, hehe . . . . "
Kongsun Siang jadi murka, teriaknya: "Katakan saja terus
terang:"
Nao Sam-jun melirik tak acuh, dengusnya: "Tumpas seluruhnya
dan habis perkara."
Berdiri alis Kongsun Siang, sambil menengadah dia ter-bahak2,
katanya: "Tumpas habis? Suruhlah mereka maju, boleh coba apakah
pedang di tangan Kongsun Siang ini tajamatau tumpul."
Song Tek-seng, Thio Lam-jiang dan Ji Siu-seng juga naik pitam,
mereka melotot kepada Nao Sam-jun, tangan sudah siap memegang
gagang pedang. Sebaliknya Nao Sam-jun seperti jijik meski hanya
melirik kepada mereka, dingin suaranya: "Ling-lote, sudah kau
pertimbangkan?"
Cin Tek-hong tadi sudah bilang bahwa anak buah Hwi-liong-pang
semua tergolong jago2 kosen, melihat situasi sekarang dan sikap
Nao Sam-jun yang begitu yakin pula, mau tak mau Kun-gi merasa
was2, Cap-ji-sing-siok yang dibawa orang tentu hebat dan lihay
sekali. Tapi dia tetap tersenyum simpul, sikapnya tenang dan wajar,
katanya kalem; "Cayhe juga, sudah memikirkan suatu hal . . . . .."
"Hal apa?" tanya Nao Sam-jun.
"Tadi Cayhe membekuk seorang Sincu dari perkumpulan kalian,
jiwanya sudah melayang di tanganmu sendiri, kalau pulang nant i
Cayhe jadi kebingungan cara bagaimana memberikan
pertanggungan jawab kepada Pangcu, tapi tuan adalah Hwi-liongtongcu,
kedudukanmu jauh lebih tinggi daripada Sincu, kebetulan
kalau kuringkus kau hidup2, kini yang membuatku bimbang adalah
apakah Cap-ji-sing-siok yang kau bawa ini harus dibabat habis atau
ditawan semua . . . . . . . "
Kengsun Siang ter-gelak2, katanya: "Cong coh tidak perlu pusing,
membekuk seorang Tongcu sudah jauh lebih cukup, sisa yang lain
sudah tentu babat saja sampai habis."
Song Tek-seng ikut menimbrung: "Betul, Cong-coh tangkap saja
Nao tongcu ini, yang lain serahkan kepada kami untuk
membereskannya." Di tengah kata2nya terdengarlah suara
berdering, Kong-sun Siang, Song Tek-seng, Thio Lam-jiang dan J i
Siu-seng sama melolos pedang.
Mengernyit dahi Nao Sam-jun, katanya: "Bila Cap-ji sing-siok
yang kupimpin ini segampang itu untuk menumpasnya tentu mereka
takkan berguna dalam Hwi-liong-tong, kalau Ling-lote tidak percaya,
boleh kau suruh seorang maju mencobanya."
Sebelum Kun-gi buka mulut, Kongsun Siang telah menyela:
"Cong-coh, biar hamba menghadapi mereka."
Nao Sam-jun tertawa angkuh, tangannya menggapai ke atas.
Mungkin itu tanda gerakan mereka, 12 orang yang semula berdiri
beberapa tombak di kejauhan sana serempak bergerak maju
mengelilingi tanah lapang.
Dari dekat Ling Kun-gi dan lain2 dapat melihat jelas, kiranya
mereka mengenakan kerudung kepala warna hitam, seragamnya
ketat kencang warna hitam mengkilap, bahan bajunya agaknya
teramat tebal, sekujur badan serba legam, hanya kelihatan kedua
biji matanya saja.
Melihat dandanan mereka yang aneh dan lucu, diam2 Kun-gi
membatin: "Cap ji-sing-siok berpa-kaian seaneh ini, terang bukan
gertakan belaka untuk menakuti orang, bisa jadi mereka
meyakinkan semacam ilmu gabungan yang aneh dari aliran sesat"
Cepat Kun-gi berpaling ke arah Kongsun Siang, katanya: "Kau harus
hati2."
"Hamba tahu," sahut Kongsun Siang.
Sambil menenteng pedang Kongsun Siang memapak maju,
hardiknya: "Kalian siapa yang maju, hayolah bertanding denganku."
Nao Sam-jua mendangus: "Sebelum ajal tentu kau takkan
kapok." Segera ia menuding orang di ujung kanan.
Laki2 baju hitam yang dituding segera melesat ke depan
menubruk Kongsun Siang. Gerak-gerik orang ini aneh cekatan,
tanpa bicara, jari2 kedua tangannya yang tertekuk seperti cakar
segera mencengkeram.
Kongsun Siang meyakinkan Thianlong-kiam-hoat dan Long-hingpoh,
begitu badan bagian atas doyong ke depan, tahu2 ia
berkelebat ke samping baju hitam, mulutpun membentak: "Lihat
pedang!" Sinar pedang berkelebat, tahu2 ujung pedang sudah
menusuk ke bawah rusuk si baju hitam.
Tanpa berkelit dan menghindar si baju, hitam malah membalik
badan, kelima jarinya terpentang mencengkeram pergelangan
tangan Kongsun Siang yang memegang pedang.
Sigap dan cepat gerak serangan Kongsun Siang. "Trang",
pedangnya dengan telak menusuk rusuk kanan si baju hitam, tapi
terasa ujung pedangnya seperti menusuk batu yang keras sekali.
Entah terbuat dari bahan apa pakain orang ini? ternyata tidak
mempan senjata, padahal pedang Kongsun Siang terbuat dari baja
pilihan, ternyata tak mampu melubangi badan lawan.
Baru saja mencelos hati Kongsun Siang, tampak sedikit
menggerakkan badan, kelima jari lawan tahu2 sudah mengincar
pergelangan tangannya, sekilas dilihatnya kuku jari lawan berwarna
hitam mengkilap, jelas dilumuri racun jahat.
Kaget dan gusar Kongsun Siang, lekas ia berkisar ke samping dan
sekali berkelebat dia memutar ke belakang lawan. "Sret", kembali
pedangnya menusuk.
Walau mengenakan pakaian yang kebal senjata, tapi gerak gerik
orang berbaju hitam ternyata lincah sekali, mengiringi gerakan
Kongsun siang, iapun sudah putar tubuh dan ganti posisi, tangan
ter-ayun dan segera menabas.
Pukulannya ternyata menerbitkan sambaran angin keras, malah
terasa sambaran angin pukulan ini berbau busuk amis.
Guru Kongsun Siang, yaitu Lo long-sin merupakan gembong
aliran "liar", setiap hari dia mendidik muridnya secara keras, sudah
tentu iapun ceritakan segala persoalan Bu-lim pada muridnya
termasuk segala macam ilmu silat yang aneh2.
Begitu mencium bau bacin dan amis dari angin pukulan lawan,
tergerak hati Kongsun Siang, pikirnya: "Agaknya mereka sama
meyakinkan Ngo-tok-ciang (pukulan lima bisa)." Maka dia tidak
berani menandangi secara keras, badan menubruk kedepan, segesit
belut tahu2 dia terjang ke sebelah kiri, pedang menusuk bagian
belakang musuh malah.
Dua kali menubruk tempat kosong, tiba2 orang baju hitambersiul
rendah, kedua tangan menari naik turun lebih kencang dibarengi
tubruk dari terjang.
Kongsun Siang kembangkan langkah bentuk serigala, kelit ke
timur menghindar ke barat, dengan kelincahannya dia menandingi
lawannya, tapi kenyataan dia sudah lebih banyak bertahan daripada
balas menyerang. Maklumlah, pakaian musuh kebal senjata, sia2lah
serangan dan tusukan pedangnya, hanya peras keringat dan
menguras tenaga belaka.
Mereka bergebrak depgan sengit, pandangan Ling Kun-gi melulu
tertuju ke arah orang berbaju hitam, sudah tentu hanya dia yang
bisa melihat dengan jelas, akhirnya alisnya berkerut, bentaknya
tiba2 "Mundurlah Kongsun-heng."
Mendengar itu Kongsun Siang segera melompat mundur.
Ternyata si baju hitam tidak merangsak lebih lanjut, iapun berdiri
diam.
Kongsun Siang kembali ke samping Kun-gi, katanya dengan
suara tertahan: "Cong-coh, pakaian yang mereka pakai agaknya
kebal senjata."
"Ya, aku sudah lihat,” sahut Kun-gi.
"Mereka tidak pakai senjata, tapi jari2nya berlumuran racun,"
demikian Kongsun Siang menam-bahkan, "angin pukulan juga bacin
dan amis, mirip pukulan Ngo-tok-ciang dan sebangsanya, tak boleh
dilawan secara kekerasan."
"Ya, aku juga tahu, kalau mereka tidak punya bekal kepandaian
yang menjadi andalan orang she Nao itu takkan berani takabur dan
secongkak itu," merandek sejenak, lalu Kun gi berkata kepada
empat temannya: "Kalian berdiri di tempat masing2 dan jangan
sembarangan bertindak, biar kujajalnya sendiri." Sembari bicara
pelan2 dia melangkah maju.
Kepandaian Kun-gi sudah sejak lama bikin para Houhoat dan
Hou-hoat-su-cia sama kagum dan tunduk lahir batin, jika diapun
tidak mampu mengalahkan Cap ji-sing-siok, apa yang bakal terjadi
malam ini dapatlah dibayangkan. Dengan suara rendah mendadak
Kongsun Siang berkata: "Hati2-lah Cong-coh."
Kun-gi mengangguk, pelan2 dia berjalan ke depan Nao Sam-jun,
kira2 setombak jaraknya dia berhenti, katanya: "Anak buah Naotongcu
ternyata memang lihay."
Mata Nao Sam-jun yang kelabu seperti mata mayat
memancarkan sinar dingin. katanya sambil menyeringai: "Jadi Linglote
mau terima ajakanku? Haha, seorang ksatria harus bisa melihat
gelagat, tidak malu Ling-lote sebagai tokoh yang menonjol."
Tidak terlihat secercah senyumpun pada wajah Ling Kun-gi,
katanya dengan nada berat: "Tidak sulit untuk mengajakku pergi,
cuma orang she Ling ingin menjajal dulu sampai di mana tingkat
kepandaianmu, tentunya Nao-tongcu tidak menolak keinginanku?"
Berkelebat pula sinar kelam pada bola mata Nao Sam-jun
katanya: "Sebetulnya Lohu menerima perintah Hwecu untuk
mengundang Ling-lote, lebih baik kalau di antara kita tidak merusak
persahabatan, apalagi ditimbang situasi malam ini Lohu yakin
berada di atas angin, kemenangan jelas tergenggam di tanganku,
kalau harus bertempur lagi dengan mempertaruhkan jiwa, bukankah
aku jadi kehilangan kontrol pada diriku?"
Mendelik mata Kun-gi, katanya sambil ter-bahak2: "Kalau orang
she Ling sudah menantang, mau atau tidak kau harus melayaniku
main beberapa jurus." Dia sudah berkeputusan: "menangkap
rampok harus menawan pentolannya", maka lenyap suaranya
tangan kanannya tiba2 terangkat, "Sreng", pedang dilolos keluar.
Ih-thiankiam memancarkan sinar kemilau dingin, hardiknya sambil
menuding Nao Sam jun: "Nao-tongcu, keluarkan senjatamu." Jarak
ujung pedang yang ditudingkan ke dada Nao Sam-jun hanya
beberapa kaki saja, maka hawa pedang yang dingin tajam langsung
menerjang ke dadanya.
Julukan Nao Sam-jun adalah Kim-kau-cian ( gunting emas ), yang
diyakinkan adalah Kim-kau-ciansinkang, jari tangannya laksana
gunting baja, umpama pedang terbuat dari baja murni juga akan
terjepit putus, dengan mengandalkan kedua jari yang hebat,
selamanya dia t idak pernah menggunakan senjata lain. Tapi serta
melihat pedang Kun-gi, bukan saja bentuknya amat kuno dan aneh,
hawa pedangnya dingin tajam, jelas bukan sembarangan pedang
pusaka. Walau Kim-kau-ciansinkang sudah diyakinkan sempurna,
tapi menghadapi senjata sakti setajam ini, tak berani ia pandang
enteng dan yakin akan kekuatan jari sendiri, mendadak ia ber-siul
sekali, tiba2 badan bagian atas meliuk doyong kebelakang, kaki
menjejak tanah, dia berjumpalitan mundur.
Kun-gi tidak menduga orang akan lari sebelum bertempur, ia terbahak2
sambil mengejek:
"Apakah Nao-tongcu jeri dan tidak berani bertempur
melawanku?" Belum habis bicara, tiba2 terasa angin berkesiur di
belakang mencurigakan. Menyusul dia dengar teriakan peringatan
Kongsun Siang: "Cong-coh, awas belakang!"
Sebetulnya tak usah Kongsun Siang memperingatkan, tangan kiri
Kun-gi sudah terayun, secepat kilat seperti percikan api tahu2
menepuk sekali, serentak badanpun berputar membalik.
Kiranya siulan rendah dari mulut Nao Sam-jun tadi merupakan
tanda aba2 kepada Cap-ji-sing-siok, serempak dua belas orang
bergerak, dua bayangan orang bagai "elang menubruk anak ayam"
dari kirikanan terus menyergap Ling Kun-gi.
Sebagai murid Hoan jiu-ji-lay, kepandaian "mendengar kesiur
angin membedakan senjata" Kun-gi sudah tentu telah mencapai
puncaknya, terutama menyerang dengan tangan kiri ke belakang
meru-pakan ajaran tunggal perguruannya. Tepukan tangankiri dia
lancarkan sebelum badannya memutar, sa-sarannya adalah musuh
yang menubruk dari arah kiri.
Sebetulnya orang berbaju hitam itu sudah menubruk tiba, kelima
jari2nya yang seperti cakar ayam itu hampir saja mencakar pundak
kiri Kun-gi, mendadak terasa segulung angin kuat menerjang
dadanya, tanpa kuasa berkelit sedikitpun, "blang" dengan telak
dadanya kena dihantam dengan keras.
Kun-gi sudah kerahkan enam bagian tenaganya, bukan saja daya
tubrukan si baju hitam yang kuat itu terhenti malah dia terdampar
mundur lagi tiga t indak. Begitu melancarkan tepukan tangan kiri ini
baru Kun-gi berputar, kebetulan berhadapan dengan orang berbaju
hitam yang menyerang dari sebelah kanan, dilihatnya sorot mata
orang ini mencorong buas, kelima jari2nya berwarna hitam legam
seperti kaitan baja, hanya beberapa senti lagi hampir
mencengkeram pundaknya, betapa ganas serangan ini sungguh
sangat mengejutkan. Dalam seribu kerepotan lekas dia tarik pundak
ke bawah, berbareng pedang menusuk ke depan, badanpun lantas
doyong miring dan berkisar ke samping.
Gerakan kedua pihak teramat cepat, keduanya memberosot
lewat hampir bersentuhan badan, tahu2 jarak keduanya sudah
terpisah lagi.
Waktu sinar pedang Kun-gi berkelebat tadi, orang berbaju hitam
mendadak menjerit tajam, ternyata jari2 tangannya yang hampir
mencengkeram pundak Ling Kun-gi itu telah tertabas kutung, darah
muncrat ke mana2.
Nao Sam-jun terkejut, tak pernah terpikir oleh nya Kun-gi dapat
bergerak segesit dan stengkas itu, padahal Cap-ji-sing-siok yang
dipimpinnya sudah malang melintang di Kangouw dan jarang
ketemu tandingan, tak nyana dalam segebrak saja dua di antaranya
sudah terjungkal. Kalau anak muda ini tidak dibunuh, kelak pasti
merupakan bibit bencana yang bakal mengancam orang2 Hek lionghwe.
Tapi sebelum berangkat kemari Hwecu telah pesan wanti2 bahwa
orang ini hanya boleh ditawan hidup2. Sekilas berpikir mulutnya
lantas bersiul dua kali, nada suaranya berbeda dari siulan tadi. Kini
empat bayangan prang bergerak serempak, bagai anak panah
cepatnya mereka terus menubruk ke tengah gelanggang.
Dalam segebrak tadi Kun-gi memukul mundur seorang lawan dan
melukai tangan seorang lagi, seketika bangkit semangatnya,
meskipun pakaian mereka kebal senjata dan dibuat khusus toh
hanya begini saja kekuatannya.
Kejadian hanya berlangsung sekejap saja, dan si baju hitam yang
dipukul mundur Kun-gi sudah menubruk maju lagi, kedua tangan
terpentang sam-bil menerkam. Malah si baju hitam yang terpapas
jari2nya itu tampak menjadi liar dan buas, matanya mendelik, tanpa
hiraukan darah yang bercucuran di tangan kanannya, dia menjerit
seram dengan menyeringai sadis, kelima jari tangan kanan bagai
ganco meraih ke dada Ling Kun-gi.
Kedua orang ini hampir menyerang bersama, sengit dan
membabi buta, Kun-gi tidak berani lengah, lekas jari kanan
menuding, "sret" meluncur sejalur panah air mengincar biji mata
orang di sebelah kiri.
Ih-Thiankiam dia pindah ke tangan kiri, kaki bergerak mengikuti
gerakan pedang, segera dia lancarkan jurus Heng-sau-liok-ham,
sinar pedangnya bagai rentengan rantai perak menyabet ke arah
orang di sebelah kanan.
Nao Sam-jun bersiul pendek dua kali, empat orang baju hitam
lain segera menubruk maju dari empat penjuru. Biasanya mereka
tidak gentar meng-hadapi senjata musuh, tapi Ih-thiankiam di
tangan Ling Kun-gi merupakan anugerah Thay-siang, bukan saja
sakti, berada di tangan Ling Kun-gi getaran pedangnya saja segera
menimbulkan kesiur -angin yang cukup menggetar nyali setiap
lawannya, sinar kemilau tajam menyilaukan mata, perba-wanya
sungguh amat hebat. Keempat orang baju hitam yang menubruk
maju terpaksa menahan gerak-annya.
Celakalah si baju hitam yang kutung tangannya tadi, meski dia
sudah kapok dan melompat sejauh mungkin ke samping, tapi panah
air yang meluncur dari jari tengah Kun-gi itu adalah arak yang tadi
diminumnya, menghadapi musuh2 tangguh ini, jika dengan
kekuatan Lwekangnya dia desak arak, itu keluar untuk menyerang
musuh lewat jarinya. Bagi Kun-gi senjata rahasia ini hanya
merupakan bantuan tidak berarti dikala menghadapi sergapan kalap
para musuhnya, tapi sebaliknya untuk lawannya sasaran yang
diincarnya itu justeru merupakan titik lemahnya.
Maklumlah seluruh tubuh orang itu terbungkus dalam pakaian
khusus yang tak mempan senjata tajam, hanya kedua biji matanya
saja yang tidak terlindung dan merupakan titik sasaran terlemah.
Betapa kuat dan keras daya tubrukannya ini, tak di duganya Kun-gi
menyongsongnya dengan semburan arak yang dilandasi Lwekang
lagi, betapa hebat pula daya luncurnya, jadi keduanya saling
songsong dengan kecepatan seperti kilat menyamber, dikala dia
sadar Ling Kun-gi memapaknya dengan semburan arak, untuk
mengerem dan mundur sudah tak mungkin lagi, malah untuk
memejamkan mata juga tidak sempat pula, tahu2 rasa sakit pedas
merangsang ke dua matanya, sambil menjerit kedua tangan terus
menutup kedua mata, sudah tentu dia tidak sempat pikir untuk
melompat mundur lagi.
Sementara sabetan pedang Ling Kun-gi telah bikin kelima orang
baju hitam menghindar mundur, dilihatnya orang yang tersembur
panah araknya sedang mencak2 kelabakan, tapi agaknya lukanya
tidak fatal, sekali berkelebat dia menyerbu ke depan orang, telapak
tangan pelan2 dia dorong kedepan.
Pukulan ini dinamakan Mo-ni-in, ilmu pukul-an dari aliran Hud
yang sakti, betapa dahsyat kekuatannya terbukti dengan suara
erangan si baju hitam yang mengenakan pakaian kebal senjata
badannya terpental jungkir balik beberapa tombak jaubnya dan
mampus seketika.
Lima orang baju hitam lain yang tersapu mundur oleh pedang
Ling Kun-gi juga tidak mundur jauh, mereka sudah terlatih baik
menghadapi situasi yang terburuk sekalipun, mereka seolah2 sudah
kehilangan kesadaran akan awak sendiri, tapi rasa setia kawan
ternyata masih berkobar dalam sanubari mereka, melihat kawannya
terpukul mampus, sorot mata mereka menjadi buas dan liar,
semuanya menggerung gusar, tangan sama terpentang terus menubruk
maju bersamaan. Terutama si orang yang terkutung jari
tangannya, meski tinggal tangan kiri yang masih bekerja, tapi dia
bersuit melengking tinggi, bagai serigala kelaparan dia menerjang
lebih dulu dengan cakarnya yang berbahaya.
Menyaksikan pukulan Kun-gi merobohkan seorang musuh,
seketika terbangkit semangat tempur Kongsun Siang, melihat
musuh main keroyok, segera dia angkat pedang seraya berseru:
"Song-heng, Thio-heng, mari kita maju!"
Song Tek seng dan Thio Lam-jiang meski tahu pakaian lawan
kebal senjata, tapi serentak mereka pun angkat senjata hendak
terjun ke arena.
Tapi Kun-gi keburu berseru: "Kalian tak usah maju." Lenyap
suaranya, tangan kanannya mengebut sekali, tahu2 cahaya kemilau
hijau berkelebat, entah kapan ternyata tangan kirinya sudah
memegang sebilah pedang pandak (pedang pemberian Tonglohujin).
Tampak kedua pedang pusaka panjang pendek ditangannya itu
berkelebat kian kemari menghamburkan lingkaran sinar terang yang
mengelilingi tubuhnya.
Kelima orang itu tetap menggempur dengan teratur, walau amat
ketat dan kuat gaya gabungan ini, tapi mereka tahu senjata di
tangan Ling Kun-gi ini adalah pusaka yang tajam luar biasa, pakaian
kebal senjata mereka tidak akan tahan menghadapinya, mau tidak
mau mereka menjadi jeri sehingga tak berani mendesak terlalu
dekat, sembari menggerung dan meraung mereka berkelebat kian
kemari mengelilingi Ling Kun-gi.
Melihat lima anak buahnya masih tak mampu merobohkan Ling
Kun-gi, kembali Nao Sam-jun yang berdiri tiga tombak di luar arena
bersuit pula dua kali, orang2 berbaju hitam baru akan bertindak bila
mendengar aba2 siulan ini, maka enam orang baju hitam yang
tersisa serentak bergerak ke arah Kongsun Siang berempat.
Kongsun Siang cukup cerdik, segera dia berseru
memperingatkan: "Kalian awas!" Segera dia mendahului
menggerakkan pedang, sementara tangan kiri mencengkeram Kho
Ting-seng yang menggeletak di tanah, hardiknya beringas dengan
mengancam: "Siapa di antara kalian berani maju!"
Sementara Thio Lam-jiang, Song Tek- seng dan Ji Siu-seng
melompat maju ke kanan kiri orang, semua siap tempur.
Karena tertutuk Hiat-tonya Ji Siu-seng palsu menggeletak tak
dapat bergerak, hanya kedua biji matanya saja masih ber-kedip2
dan tak bisa bersuara. Sementara Kho Ting-seng hanya tertutuk
Hiat-to kedua pundaknya, begitu badannya dijinjing Kongsun Siang
dan dijadikan tameng, seketika pucat mukanya, teriaknya mendelik:
"Kongsun houhoat, lepaskan, mereka sudah kehilangan kesadaran!"
Keenam orang itu merubung maju semakin dekat, mereka
meyakinkan ilmu sesat yang beracun sehingga watak mereka
menjadi ganas dan liar, hahikatnya mereka tiada punya kesadaran
seperti manusia biasa. Kini melihat kawan sendiri yang menyaru Kho
Ting-seng berada di cengkeraman musuh, sesaat mereka merandek
bimbang untuk turun tangan.
Maka didengarnya Nao Sam-jun membentak dingin: "Lekas turun
tangan, bunuh semua dan habis perkara."
Keruan kejut dan takut luar biasa Kho Ting-seng, teriaknya:
"Nao-tongcu. kalian kan datang untuk menolong kami, memangnya
mati hidup kami t idak kau pikirkan lagi. . . ?”
Mendengar desakan Nao Sam-jun tadi, enam orang baju hitam
serentak bersiul bersama, serempak mereka menubruk keempat
musuhnya. Sembari mengangkat tubuh Kho Ting-seng Kongsun
Siang menubruk maju dengan langkah gaya serigala, sementara
pedang panjang ditangan kanan bergetar, sinar kemilau berkelebat
terus menusuk kedua biji mata si baju hitam yang menyerbu tiba.
Serangan pedang ini dinamakan Kim-cianjut-hong (jarum emas
menusuk ular sanca), ujung pedangnya menaburkan bintik2 sinar
kemilau, ternyata lawannya segera mendongak ke belakang
berbareng sikut kanannya menyampuk pedang lawan.
Serangan Kongsun Siang ini hanya gertakan, begitu sinar
pedangnya bertaburan tahu2 badannya meliuk ke sebelah kanan
dan memutar ke belakang si baju hitam.
Berada di belakang lawan sebetulnya dia bisa menyerang, tapi
mengingat pakaian lawan kebal senjata, ditusuk atau dibabat hanya
menghabiakan tenaga sia2, tujuan memutar ke belakang ini hanya
untuk menghindar sementara dari sergapan lawan. Maklumlah enam
musuh sekaligus menubruk tiba, sementara pihak sendiri hanya
empat orang, betapapun dia harus melawan dengan menggunakan
akal dan perhitungan yang tepat.
Baru saja dia berada dibelakang lawan, mendadak terasa sesosok
bayangan hitam lainnya telah menerkamdirinya dari arah kiri.
Belum lagi melihat jelas bayangan orang, cakar hitam bagai baja
tahu2 sudah mencengkeram pundak Kho Ting-seng, sementara
tangannya yang lain membelah ke muka Kongsun Siang. Sementara
si baju hitam lawannya tadi juga telah putar balik, dalam keadaan
kepepet dan terdesak ini Kongsun Siang terpaksa lepas tangan,
segesit belut dia menyelinap keluar dari gencetan kedua lawannya.
Ketika merasa pundaknya kesakitan, Kho Ting-seng menjerit
ketakutan: "Nao-tongcu, ampun . . . ." belum habis dia berteriak,
orangnya sudah jatuh semaput.
Dalam pada itu Song Tek-seng, Thio Lam-jiang dan Ji Siu-seng
juga sedang menghadapi bahaya. Melihat perintah Nao Sam-jun
yang tak segan2 membunuh kawan sendiri, semula Song Tek-seng
hendak meniru Kongsun Siang dengan mencengkeram Ji Siu-seng
palsu sebagai tameng, tapi mengingat orang akan menjadi beban
belaka, terpaksa dia batalkan niatnya, malah sekali tendang dia
bikin orang mencelat jauh ke pinggir sana, dengan mengembangkan
Loanpah-hong-kiam-hoat dari Go-bi-pay segera dia bendung
serbuan musuh.
Ilmu pedang Go-bi-pay memang terkenal acak2an, kelihatan
ngawur dan tidak teratur, tusuk ke timur potong ke barat, kian
kemari tidak menentu, sudah tentu gerak langkahnya harus
menyesuaikan gaya pedangnya, gemulai pergi datang dan berkisar
kian kemari.
Betapapun aneh dan lihay ilmu pedang seseorang juga tidak
berguna menghadapi orang yang mengenakan pakaian kebal
senjata, tapi ilmu pedang yang dikembangkan Song Tek-seng ini
mengutamakan kelincahan, gerak langkahnya berkisar ke sana-sini,
ternyata besar sekali manfaatnya bagi diri sendiri, paling tidak
sementara dapat menghindar dari sergapan orang2 berbaju hitam.
Thio Lam jiang dari Hing-sinpay, Hing-sankiam-hoat
mengutamakan gerak melambung ke udara lalu menyerang sambil
menukik seperti burung elang menyambar anak ayam, tapi manusia
bukan sebangsa burung yang punya sayap dan bisa tetap terapung
di udara, dia mengandalkan kekuatan Lwekang dan Ginkangnya
saja, setiap kali senjatanya membentur lawan, meski hanya
sentuhan yang pelahan saja sudah cukup untuk membuatnya
mencelat tinggi pula ke alas. Memangnya orang2 berbaju hitam itu
kebal senjata, tatkala menubruk turun cukup pedangnya
sembarangan menusuk badan lawan dan kembali ia dapat pinjam
tenaga pantulan itu untuk melam-bung keatas pula.
Tapi kalau seseorang harus selalu tahan untuk mengentengkan
badan agar bisa melambung ke atas, hal ini sudah tentu terlalu
banyak makan tenaga. Tapi berseliweran di antara orang berbaju
hitam yang aneh dan kebal senjbata, cara tempurnya ini justeru
paling berhasil dan menguntungkan.
Di antara keempat hanya Ji Siu-seng saja yang paling rugi. Dia
murid Bu-tong-pay, Lianggi-kiam-hoat Bu-tong-pay punya gaya
tersendiri, setiap gerakan pedangnya selalu melingkar2, ilmu
pedang yang mengutamakan kelembutan mengatasi kekerasan,
gerak tubuh dan langkah kaki mengikuti gaya pedang menurut
perhitungan Pat-kwa.
Kini menghadapi musuh yang main sergap dan tubruk,
bersenjata cakar jari beracun dan berilmu silat tinggi lagi, maka ilmu
pedangnya yang lihay menjadi mati kutu, lebih celaka lagi gerak
langkahnya yang harus dikembangkan menurut i gerak pedangnya
juga susah bekerja. Hanya beberapa gebrak saja dia sudah
kehilangan kontrol dan terdesak di bawah angin.
Sudah tentu tiga kawannya juga kehilangan inisiatif untuk balas
menyerang, semua berada dalam bahaya, cuma keadaan dan situasi
yang dihadapi Ji Siu-seng lebih berat. Tatkala Kho Ting-seng
menjerit, minta ampun kepada Nao Sam-jun itulah Ji Siu-seng juga
menjerit kaget, pergelangan tangan kanan yang pegang pedang
tahu2 sudah terpegang oleh seorang berbaju hitam.
Pedang panjang dan pendek di tangan Ling Kun-gi menari2, dia
asyik menempur lima lawannya. Walau menggunakan sepasang
pedang pusaka, tapi kelima musuhnya juga teramat tangguh,
apalagi mereka sudan tahu senjata Ling Kun-gi tajam luar biasa,
kekebalan baju mereka sudah tak berguna lagi, maka tiada
seorangpun yang berani menghadapinya secara langsung. Kelima
orang ini menduduki posisi tertentu, satu maju, yang lain segera
mundur secara bergantian, satu sama lain saling bantu dan mengisi.
sehingga pertempuran berlang-sung cukup lama, tapi tetap dalam
keadaan bertahan sama kuat.
Lama2 Kun-gi hilang sabar, demi mendengar jeritan Ji Siu-seng,
dia berpaling dan dilihatnya pergelangan orang telah di tangkap
musuh dan sedang meronta, keruan ia menjadi gelisah.
Sudah tentu dia tak tahan lagi, dengan gusar sambil menghardik
tiba2 kedua pedangnya berpencar, sinar kemilau dengan hawa
pedang yang dingin tajam bertaburan bagai badai menerjang ke
empat penjuru. Lebih dahsyat lagi di antara bergulungnya sinar dan
hawa pedang itu diselingi suara gemuruh, itulah salah satu jurus
Hwi-liong-kiam-hoat warisan keluarganya, jurus kedua yang
dinamakan Liong-cancay-ya (naga bertempur di tegalan), kekuatan
dan perbawanya bukan olah2 hebatnya.
Tak sempat lagi berkelit dan mengundurkan diri, kelima musuh
yang mengepung dirinya sama jungkir balik, seorang terbabat putus
kedua kakinya dua tertabas buntung sebuah lengannya, sedang dua
lagi yang berdiri agak jauh sama ter-guling2 keterjang sambaran
angin.
Setelah melancarkan jurus pedang yang tiada taranya ini, Kun-gi
tidak sempat lagi menyaksikan hasil kerjanya, segera ia melejit
terbang ke sana, kembali ia mengembangkan jurus Sinliong-jut-hun,
pedang mendahului orangnya laksana bianglala menerjang orang
berbaju hitamyang memegang Ji Siu-seng itu.
Orang yang pegang pergelangan tangan Ji Siu-seng itu rada
kewalahan karena Ji Siu-seng meronta sekuatnya dengan kalap, dua
jarinya dengan tipu Siang-liong-jiang-cu (dua naga berebut mutiara)
mendadak mencolok kedua mata lawan, berbareng kedua kakinya
bergantian menendang secara berantai, Betapapun dia adalah murid
Bu-tong-pay, kalau tidak tentu Pek-hoa-pang tidak akan
menyaringnya dan mengangkatnya menjadi Hou-hoat su-cia. Bahwa
ilmu pedangnya tadi sukar dikembangkan, tapi kedua serangan
menyolok dan tendangan dilancarkan dalam keadaan kalap,
ternyata perbawanya cukup hebat juga.
Kedua jari yang menyolok mata orang sangat lihay, terpaksa
lawan berusaha punahkan serangan ini, pada hal tangan kirinya
dibuat pegang tangan Ji Siu-seng, dia gunakan sikut tangan kanan
untuk menyampuk jari Ji Siu-seng yang menyolok mata. Maka
terdengarlah suara "blang-blang" dua kali, tendangan Ji Siu-seng
dengan telak mengenai perut orang, Sayang orang itu memakai
baju yang kebal senjata, walau tendangannya mengenai sasaran
dengan telak tapi tidak mampu melukainya.
Sebetulnya Ji Siu-seng juga tahu bahwa mata orang tidak akan
berhasil dicoloknya, maka tendangan kedua kakinya menggunakan
seluruh kekuatannya, meski seluruh badan kebal senjata, tak urung
orang itu tergentak mundur juga sambil meringis kesakitan.
Pada saat itulah, sinar pedang Ling Kun-gi bagai bianglala
menyambar kearahnya. Terasa oleh orang itu sinar kemilau menukik
turun dari udara, hakikatnya dia tak sempat melihat jelas, begitu
sinar pedang tiba seketika dia menjerit ngeri, kelima jarinya
terlepas, orangnyapun terjengkang jatuh ke belakang.
Rasa kaget Ji Siu-seng juga belum lenyap, badannya
sempoyongan dan akhirnya jatuh terduduk.
Dua jurus ilmu pedang yang dilancarkan Ling Kun-gi. boleh
dikatakan dilancarkan sekaligus dan telah membikin orang2 berbaju
hitam itu mati satu tiga terluka, sungguh bukan kepalang hebat
perbawanya sehingga orang2 lainnya sama berdiri melongo dan
jeri..
Menyusul segera terdengar suara siulan melengking menggema
di udara, orang2 berbaju hitam ber-sama2 berlompatan mundur
menyelinap masuk ke dalam hutan dan menghilang dengan cepat.
"Nao Sam-jun!" bentak Kun-gi mendadak sambil membalik
badan.
Ternyata Kim-kau-cian Nao Sam jun dari Hwi-liong-tong sudah
tidak kelihatan lagi mata hidungnya, orang2 berbaju hitampun
sudah tidak kelihatan pula bayangannya.
Menyeka keringat di jidatnya Kongsun Siang menuding ke sana
sambil membentak beringas: "Kejar!" ,
Baru saja dia angkat langkah, Kun-gi telah berteriak: "Berhenti
Kongsun-heng, jangan mengejar!"
Terpaksa Kongsun Siang urung mengejar, katanya dengan
gregetan: "Menguntungkan orang she Nao itu."
Lekas Kun-gi memeriksa keadaan Ji Siu-seng yang matanya
terpejam, untung kecuali pergelangan tangan yang dipegang si baju
hitam itu tiada luka2 lain, pergelangan tangannya meninggalkan
lima jalur bekas jari berwarna hitam, walau tangannya keracunan,
rasanya juga tidak terlalu payah, maka dia tutuk dua Hiat-to di
badan orang supaya racun tidak menjalar.
Sementara itu Song Tek-seng, Thio Lam-jiang telah merubung
datang, melihat keadaan Ji Siu-seng mereka sangka Ji Siu-seng
terluka parah, tanyanya berbareng: "Cong-coh, bagaimana luka Jiheng!"
Luka2 hitam ini jelas karena keracunan dari tangan si baju hitam,
untuk menyembuhkan harus menggunakan Le liong-pi-tok-cu
warisan keluarganya itu, tapi mutiara ini pantang diperlihatkan
kepada orang lain, maka dia pura2 berpikir sebentar, lalu katanya:
"Lukanya memang tidak ringan, terpaksa harus kubantu dengan
saluran hawa murni baru jiwanya bisa tertolong, untuk itu sedikitnya
memerlukan waktu satu jam, pada saat menyembuhkan luka2nya
jangan sampai ada gangguan dari luar." Sampai di sini dia lolos Ihthiankiam
dan diserahkan kepada Kongsun Siang, katanya:
"Kongsun-heng boleh pakai pedang ini, berdirilah tiga tombak ke
sana, jagalah arah utara." Lalu dia serahkan pedang pandak kepada
Thio Lam-jiang, katanya pula: "Thio-heng pakai pedang ini, berdiri
tiga tombak sebelah sana, jagalah arah barat laut."
Kedua orang terima pedang dan beranjak ke tempat yang
dltunjuk. Ling Kun-gi menambahkan: "Song-heng ada membawa
kotak Som-lo-ling, jagalah di pinggir danau."
Song Tek-seng melengak, katanya membant ing kaki. "Wah kalau
tidak Cong-coh katakan, hamba benar2 lupa kalau lagi membawa
kotak Som-lo-ling, Ai, sungguh sayang, mestinya tadi bisa
kugunakan untuk menghadapi mereka."
Kun-gi tertawa, katanya: "Tiada gunanya, betapapun kuat dan
jahatnya Som-lo-ling tetap takkan bisa melukai orang2 yang kebal
senjata itu, kecuali kau mengincar mata mereka, apalagi mereka
belum tentu memberi kesempatan padamu, celaka malah kalau
sampai terebut oleh mereka."
"Cong-coh memang benar," ucap Song Tek-seng. Dia rogoh
keluar Som-lo-ling terus beranjak ke pinggir sungai.
Setelah ketiga orang ini disingkirkan, lekas Kun-gi keluarkan
mut iara penawar racun itu digilindingkan pergi datang di tangan
kanan Ji Siu-seng. Hanya semasakan teh kemudian lima jalur hitam
ditangan kanan Ji Siu-seng telah lenyap. Kun-gi simpan mutiaranya,
lalu kedua tangan memijat dan mengurut beberapa kali di leher Ji
Siu-seng untuk melancarkan jalan darahnya.
Tiba2 Ji Siu-seng membuka mata, dilihatnya Ling Kun-gi duduk
bersimpuh di sampingnya, segera dia berlutut di depan orang,
katanya sambil menyembah beberapa kali: "Dua kali Cong-coh
menolong jiwa hamba, cara bagaimana hamba harus membalas."
Lekas Kun-gi memapahnya bangun, katanya: "Ji-heng, berbuat
apa kau?"
"Ayah-bunda melahirkan, aku, tapi Cong-coh dua kali telah
menolong jiwaku . . . "
''Jangan berkata demikian Ji-heng, sebagai Cong-hou-hoat adalah
tugasku untuk memberantas anasir2 jahat ini, demikian pula
menolong kau adalah kewajibanku. . . . "
Ji Siu-seng ingin bicara, lekas Kun-gi berkata pula: "Jangan
bicara lagi Ji-heng, marilah kita periksa keadaan, mereka
mengundurkan diri tanpa membawa Kho Ting-seng dan orang yang
menyaru dirimu, entah dia sudah mat i atau masih hidup?"
Dari samping tiba Song Tek-seng bersuara tertahan: "Lapor
Cong-coh, muncul lima sampan cepat di sana, kelihatan lajunya
arah kita."
Waktu Kun-gi memandang kesana, memang dilihat lima sampan
laju pesat menerjang ombak menuju ke arah mereka. Cuma
jaraknya masih terlampau jauh, jadi sukar membedakan yang
datang kawan atau lawan?
Sejenak Kun-gi berpikir, katanya kemudian: "Song-heng, coba
nyalakan kembang api sebagai tanda, kalau sampan, itu milik Pang
kita, mereka pasti akan menyalakan kembang api pula."
Song Tek-seng mengiakan, segera dia keluarkan sebatang
kembang api dan dipasang, "Sreng", sejalur kembang api meluncur
ke udara dan akhirnya ""Tar-tar-tar" meletus tiga kali di angkasa,
tampak bola api berwarna hijau menyala menerangi langit sampai
lama sekali baru padam.
Baru saja kembang api yang diluncurkan di sini hampir padam,
dari salah satu sampan yang mendatangi itu juga meluncur sejalur
api yang sama meletus di angkasa.
Song Tek-seng bertepuk girang, serunya: "Kiranya orang sendiri,
aneh sekali, Liang-heng dan kawan2nya hanya memiliki t iga
sampan, dari mana di peroleh, dua sampan lagi?"
"Waktu kita melawan Cap-ji-sing-siok tadi, sinar pedang
berkelebatan, tentunya orang2 di kapal juga melihatnya, kelima
sampan cepat ini mungkin sengaja menyusul. kemari hendak
memberi bantuan," demikian ucap Kun-gi.
"Kalau Cong-coh tidak unjuk kesakt ian, bila kita harus menunggu
datangnya bala bantuan, mungkin sejak tadi kita semua sudah mat i
konyol," demikian kelakar Kongsun Siang.
Kun-gi terima kembali kedua pedangnya, katanya: "Ilmu silat
Cap-ji-sing-siok memang tidak lemah, tapi mereka mengutamakan
kekebalan baju terhadap segala macam senjata, beruntung aku
memiliki kedua macam senjata pusaka ini yang kebetulan dapat
memecahkan kekebalan mereka."
Mereka lantas memeriksa kedaan setempat, ternyata orang yang
menyaru jadi Kho Ting-seng yang tadi direbut oleh orang2 berbaju
hitam telah menggeletak di atas rumput dan tak bernyawa lagi,
kepalanya pecah terpukul, keadaannya amat mengerikan.
Jelas orang2 baju hitam juga berlaku kejam terhadap orang
sendiri. Malah Ji Siu seng palsu yang menggeletak tertutuk Hiattonya
di semak rum-put sana ternyata masih hidup, tadi Song Tekseng
melemparnya, agak jauh dari arena pertempuran, sehingga
tidak menjadi perhatian orang berbaju hitam. Disamping itu masih
ada pula tiga sosok mayat.
Seorang mati terpukul oleh Mo-ni-in Ling Kun-gi.
Seorang lagi adalah orang yang melawan Ji Siu-seng, kena
terbabat putus pinggangnya menjadi dua oleh pedang Ling Kun-gi.
Orang ketiga adalah yang buntung kedua kakinya karena terbabat
oleh jurus Liong-cancay-ya yang dilancarkan Ling Kun-gi, menginsafi
kedua kakinya buntung dan tak mungkin melarikan diri, dari pada
tertawan musuh, dia pukul remuk kepalanya sendiri, mati bunuh diri
atau mungkin juga dipukul mati temannya sebelum mengundurkan
diri.
Pendek kata dalam pertempuran singkat ini Cap ji-sing-siok telah
kecundang, pantas kalau Nao Sam-jun cepat2 melarikan diri dengan
anak buahnya.
Sementara itu kelima sampan tadi sudah menepi. Orang pertama
yang lompat ke daratan adalah Hupangcu So-yok, disusul Hwehoa,
Lianhoa, Giok-li dan Bikui. Di belakangnya lagi baru Coh-houhoat
Leng Tio-cong, Houhoat Liang Ih- jun dan kedua pembantunya Ban
Yu-wi dan Sun Ping-hian.
Lekas Kun-gi pimpin Kongsun Siang, Song Tek-seng, Thio Lamjiang
dan Ji Siu-seng menyambut di tepi sungai, dia menjura dan
katanya: "Kenapa Hupangcu juga ikut kemari?" .
Lekat tatapan So-yok, katanya, dengan heran: "Apa yang terjadi
di sini?"
Kun-gi tersenyum, jawabnya: "Hwi-liong- tongcu dari Hek-lionghwe
membawa anak buahnya mengadakan sergapan di sini, tapi
kejadian sudah usai."
"Hwi-liong-tongcu?" seru So-yok heran sambil celingukan. "Mana
mereka? Tiada yang tertawan?"
"Sudah dipukul mundur, mereka meninggalkan tiga mayat," ucap
Kun-gi.
So-yok banting kaki, katanya gegetun: "Kalau datang lebih dini,
tentu mereka dapat kita jaring seluruhnya."
"Cap ji sing- siok yang datang malam ini semuanya kebal senjata,
kalau Cong-coh t idak berada di sini, hanya kita beberapa orang ini,
pasti sudah ditumpas habis, memangnya mampu kami membekuk
mereka?"
"Apa katamu?" teriak So-yok kurang senang.
Merah muka Kongsun Siang, sahutnya menunduk: "Hamba
berkata sesuai kenyataan."
So-yok mendengus geram. Kuatir Kongsun Siang banyak mulut
dan membuat So-yok gusar, lekas Kun-gi menyela: "Bagaimana
Hupangcu bisa menyusul kemari?"
Sikap kaku So-yok seketika sirna, katanya aleman setelah,
melerok sekali: "Masih tanya lagi, kau suruh aku menangkap orang,
tapi urusannya kau rahasiakan kepadaku, tengah malam tadi baru
Sam-moay naik ke atas membawa suratmu dan suruh aku bertindak
menurut petunjuk . . . . . . "
Kongsun Siang berdiri di sebelah samping, jaraknya cukup dekat,
melihat sikap dan mimik So-yok waktu bicara dengan Ling Kun-gi
begitu mesra dan aleman, tanpa terasa kepalanya menunduk
semakin rendah.
Kun-gi tersenyum, katanya: "Memang Cayhe suruh Congkoan
memberikan surat itu kepada Hu pangcu setelah lewat kentongan
kedua, harap Hu-pangcu maaf."
"Memangnya siapa yang salahkan kau?" omel So-yok, tiba2 dia
cekikikan. "Kau diberi kekuasaan oleh Thay-siang untul
membongkar urusan ini, jangankan aku, Toacipun harus tunduk
pada perintah mu, memangnya aku berani membangkang."
"Thay-siang memberi kuasa, Pangcupun harus tunduk padamu",
hal ini sama sekali tidak diketahui oleh orang2 yang ada ditingkat
kedua, yaitu para Houhoat dan Hou-hoat-su-cia.
Diam2 mencelos hati Coh-houhoat Leng Tio-cong, telapak
tangannya berkeringat dingin, pikirnya: "Bocah ini selangkah lagi
manjat ke atas, untung aku tidak berbuat salah terhadapnya."
"Berat ucapan Hupangcu, tentunya 'Nyo Keh-cong' bertiga telah
diringkus bukan?" (Nyo Keh-cong, Sim Kiansin dan Ho Siang-seng
asli sudah gugur dan digantikan mata2 Hek-liong-hwe, hal ini telah
dibeberkan dalam tanya jawab Ling Kun-gi dan Cin Tek-hong tadi ).
So-yok tertawa, katanya.: "Sudah tentu teringkus semua, malah
mereka sudah mengaku terus terang," lalu dia menyambung: "tadi
Kiu-moay melaporkan, katanya dari sini kelihatan cahaya pedang
melambung tinggi, kemungkinan Ling-heng ketemu musuh tangguh,
maka buru2 aku menyusul kemari."
Baru sekarang Coh-houhoat Leng Tio-cong sempat tampil ke
depan dan berkata sambil menjura: "Cong-coh memang ahli
meramal dan tepat perhitungan, tajam pandangan dan tegas
tindakan, sekali jaring seluruh mata2 musuh yang terpendam telah
digaruk seluruhnya, sungguh aku merasa amat malu dan menyesal,
selanjutnya aku tunduk lahir-batin kepada Cong-coh."
"Leng-heng terlalu merendah," ucap Kun-gi tertawa, "akupun
secara kebetulan saja memergoki muslihat mereka."
"Eh mana Cin Tek-hong?" tanya So-yok, "apakah dia melarikan
diri? Menurut pengakuan Nyo Keh-cong, dialah pemimpin mata2
musuh."
"Cin Tek-hong sudah mati," Kun-gi menerangkan, "mati diserang
oleh orang mereka sendiri, soal tidak penting, yang paling penting
adalah para Cap-ji-sing-siok yang kita hadapi malam ini, pakaian
yang mereka kenakan semuanya kebal senjata, untuk penyerbuan
kita ke Hek-liong-hwe kali ini, hal ini merupakan masalah yang harus
segera dipecahkan untuk mengatasinya, kalau tidak pihak kita pasti
akan rugi besar."
"Bukankah ada tiga musuh yang mati, di mana mereka. Hayo kita
periksa bersama", kata So-yok.
"Nah, itulah di sana," Kun-gi menuding. Lalu dia iringi So-yok
menghampiri mayat2 itu.
So-yok melolos pedang dan membacok tubuh salah satu mayat
itu, bacokannya menggunakan enam bagian tenaganya, tapi
pedangnya terpental balik tak dapat tembus badan orang. Keruan
So-yok melenggong, katanya heran: "Kulit apakah ini?"
"Cayhe tidak tahu, kita angkut saja mayat2 ini pulang dan
diperiksa lebih lanjut."
"Cara ini paling baik, eh, mereka dinamakan Cap-ji-sing-siok, jadi
seluruhnya ada 12 orang."
Kun-gi lalu tuturkan kejadian tadi. Sebelumnya dia suruh orang
banyak menggali liang besar, pakaian kulit hitam yang dipakai
ketiga orang mati itu ia suruh belejeti, mayat mereka dikubur
bersama Cin Tek-hong, Kho Ting-seng, Jiu Siu-seng sendiri
menjinjing tawanan musuh yang menyaru dirinya naik ke sampan
lebih dulu, kejap lain semua orang sudah berada di sampan dan lalu
balik ke kapal besar.
Laksana panglima yang kembali dari medan perang dengan
kemenangan gilang gemilang. Sementara itu di atas kapal, Pek-boapangcu
Bok-tan, Congkoan Giok-lan sudah duduk menunggu sekian
lamanya di tingkat kedua. Yu-houhoat Coa Liang pimpin seluruh
Houhoat dan Hou-hoat-su-cia terpencar disekeliling kapal
menyambut kedatangan mereka.
Kun-gi bertanya, So-yok langsung masuk ke ruang besar, dua
orang Hou-hoat-su-cia menyambut diambang pintu.
Dua pasang lilin raksasa menyala terang benderang di ruang
besar. tampak Pek-hoa-pangcu du-duk di kursi ujung atas
menyandang meja panjang, Tho-hoa dan Kiok-hoa berdiri di kanankirinya,
di sebelah belakang adalah para Tay-cia, pakaian mereka
ringas bersenjata siap tempur.
Melihat Kun-gi, Pek-boa-pangcu Bok-tan berdiri, katanya sambil
tertawa lebar: "Apakah Ling-heng kepergok musuh?" Sorot matanya
menyala terang penuh perhatian. tapi juga penuh rasa kasih sayang
yang amat mendalam.
Kun-gi menjura, katanya: "Terima kasih atas perhatian Pangcu,
di Gu-cu-ki setelah Cayhe ber-hasil menangkap Cin Tek-hong, pada
saat kami mengorek keterangannya, Nao Sam-jun Hwi-liong-tongcu
dari Hek-liong-hwe tiba2 muncul dengan Cap-ji-sing-siok yang kebal
senjata . . . . . . "
Terbeliak mata Pek-hoa-pangcu Bok-tan, katanya kaget: "Banyak
jumlah bala bantuan musuh? Akhirnya bagaimana?"
"Syukurlah, berkat wibawa Pangcu yang sakti, musuh
meninggalkan tiga sosok mayat dan melarikan diri.'
Cerah senyuman Pek-hoa-pangcu Bok-tan katanya: "Itu berkat
kesaktian Ling-heng sebagai Cong-su-cia yang perkasa."
"Toaci," sela So-yok, "Cap-ji-sing-siok dari Hek-liong-hwe
semuanya berpakaian kulit yang kebal senjata, kita sudah belejeti
pakaian ketiga korban itu."
Sementara itu Leng Tio-cong, Kongsun Siang dan lain2 juga ikut
masuk ke ruangan besar, baru sekarang mereka sempat maju
memberi hormat kepada sang Pangcu. Sedangkan Song Tek-seng
dan Thio Lam-jiang tampil ke depan menghaturkan ke tiga pakaian
kulit itu. Sementara Ji Siu-seng juga maju memberi hormat sambil
tetap mengempit tawanannya. '
Sebentar Pek-hoa-pangcu pandang Ji Siu-seng palsu, lalu
bertanya: "Mana Cin Tek-hong dan Kho Ting-seng?"
"Kedua orang ini sudah terbunuh musuh, kami sudah
menguburnya," tutur Kun-gi..
Sambil melirik Ji Siu-seng palsu Pek-hoa-pangcu berkata pula:
"Inikah utusan mereka yang memalsukan Ji Siu-seng. Untung Lingheng
membongkar kedok dan muslihat jahat mereka, kalau tidak
sebelum kita tiba di sarang Hek-liong-hwe, seluruh Hou-hoat-su-cia
sudah ditukar dengan orang2 mereka." Lalu dia mengulap tangan
dan menambahkan: "Gusur dia dan sementara sekap saja di gudang
bawah."'
Ji Siu-seng mengiakan terus gusur Ji Siu-seng palsu keluar.
Pek-hoa-pangcu berkata lebih lanjut: "Silakan duduk Ling-heng,
tadi Kiu-moay telah memberi laporan padaku, dari arah Gu-cu-ki ada
cahaya pedang yang berkelebatan, dikuatirkan Ling-heng menghadapi
bahaya serbuan musuh, maka kusuruh Ji-moay menyusul ke
sana memberi bantuan, kukira pertempuran kalian pasti sangat
sengit dan ber-bahaya, sukalah Ling-heng kisahkan kejadian tadi?"
Kun-gi menarik kursi dan berduduk.
So- yok ikut duduk di sebelahnya, sekilas dia melirik Song Teksong
dan Kongsun Siang, katanya: "Seorang diri tadi Ling-heng
menghadapi Cap-ji-sing-siok, musuh yang tangguh dan kebal
senjata, tentu badan amat lelah, kukira kalian boleh bergantian
mengisahkan kejadian itu."
Kongsun Siang mengangguk, katanya: "Baiklah, biar hamba yang
memberi laporan kepada Pangcu."
Pek-hoa-pangcu manggut2 setuju.
Kongsun Siang lalu bercerita cara bagaimana mereka berhasil
menjebak Cin Tek-hong , serta mengorek keterangannya, sampai
tahu2 Nao Sam-jun muncul bersama Cap ji-sing-siok, lalu mereka
bentrok dengan sengit, seorang diri Ling Kun-gi berhasil membunuh
dan melukai Cap-ji-sing-siok, seluruh peristiwa diceritakannya
dengan lengkap dan teliti. Kongsun Siang berwajah cakap dan
pandai bicara, maka peristiwa menegangkan yang mereka alami itu
dapatlah dia kisahkan dengan baik dan menarik sehingga hadirin
yang mendengarkan seolah2 ikut menyaksikan sendiri ditempat itu.
Waktu dia bercerita cara bagaimana pedang pusaka sekaligus
membabat kutung tangan orang serta memukul mati lawan, hadirin
sama bertepuk tangan memuji.
Dengan seksama Pek-hoa-pangcu periksa baju kulit rampasan
yang berada di atas meja, tanyanya sambil angkat kepala: "Tahukah
kalian terbuat dari kulit apakah pakaian ini?"
Tahu bahwa pakaian kulit ini tak mempan senjata tajam, meski
senjata rahasia dan pukulan saktipun takkan dapat melukai
pemakainya, maka para hadirin jadi lebih ketarik, beramai2 mereka
merubung maju, tapi tiada seorangpun yang mampu memberi
keterangan.
Akhirnya Sam-gansia Coa Liang buka suara: "Hamba pernah
dengar orang mengatakan di laut utara ada tumbuh sejenis
binatang anjing laut, kulit bersisik lembut dan halus sekali, dapat
dibuat pakaian yang kebal senjata dan tahan pukulan, sarang Hekliong-
hwe mungkin terletak tak jauh dari Pak-hay, maka tidak heran
kalau mereka bisa memproduksi pakaian anjing laut ini secara
besar2an."
Pek-hoa-pangcu manggut2, katanya: "Ya, mungkin saja, akhir2
ini Hek-liong-hwe memang telah merangkul banyak sekali orang2
kosen dari berbagai kalangan, kalau mereka sama mengenakan
pakaian seperti ini dan kita tidak lekas mempersiapkan diri, mungkin
bisa mengalami kegagalan."
"Buat apa Toaci kesal?" ujar So-yok, "Bukankah Cap ji-sing-siok
telah dibikin porak poranda dengan tiga mati dan tiga luka oleh
Ling-heng, akhirnya melarikan diri dalam keadaan serba runyam?"
Kata Pek hoa-pangcu: "Itu baru seorang yang memiliki Lwekang
dan kepandaian setinggi ini, diantara kita sebanyak ini, kalau
berhadapan dengan musuh yang kebal senjata, bukankah kita
sendiri bisa runyam jadinya?" ia melongok keluar jendela melihat
cuaca, katanya pula: "Sudah terang tanah, sebentar lagi Thay-siang
akan bangun, soal ini betapapun harus cepat kulaporkan kepada
beliau." Ia berpaling dan berpesan kepada seorang pelayan: "Bakni,
ambillah perangkat pakaian itu dan ikut aku ke atas, dua
perangkat yang lain serahkan kepada Ling-houhoat untuk
menyimpan sementara." Lalu ia berdiri dan menambahkan pula:
"Ling-heng, Ji moay, mari kita menghadap Thay-siang."
Ling Kun-gi, So-yok dan Giok-lan berdiri bersama. "Silakan Lingheng,"
Pek-hoa-pangcu angkat sebelah tangannya.
"Pangcu silakan dulu," Kun-gi, merendah, "mana berani hamba
mendahului.?"
Pek-hoa-pangcu tersenyum, katanya: "Mengapa Ling-heng lupa,
Thay-siang sudah memberi mandat padamu, kau berkuasa penuh
untuk membongkar perkara ini, aku dan Ji-moay termasuk
pembantu saja, maka silakan Ling-heng jalan di depan."
Kata2 ini terucap dari mulut sang Pangcu sendiri, sudah tentu
bobotnya jauh berbeda. Baru sekarang semua orang tahu bahwa,
Ling Kun-gi adalah orang kepercayaan Thay-siang, kedudukannya
seolah2 lebih tinggi dari Pangcu dan hupangcu malah.
Memangnya hal ini sebetulnya tidak perlu dibuat heran, dinilai
taraf ilmu silat dan martabat Kun-gi, dalam kalangan Bu-lim masa
kini sukar dicari orang kedua yang mirip dengan Kun-gi. Maka
semua orang sudah menduga dan kini semakin yakin bahwa Ling
Kun-gi akan semakin menanjak ke atas menjadi calon menantu,
cuma bakal mempersunting Bok-tan, sang Pangcu yang cantik
rupawan merajai semua perempuan yang ada di sini, atau menikah
dengan So-yok, Hupangcu yang cerdik pandai dan berkuasa serta
garang dan angkuh ini
Betapapun Kun-gi t idak mau jalan di depan, terpaksa Bok-tan
membuka jalan, disusul So-yok terus Giok-lan dan ke 10 Taycia
beriring naik ke tingkat ketiga.
Tiba di depan kabin tengah di mana Thay-siang berada, kecuali
Bwehoa yang dinas malam ini, Bikui pernah menyaru jadi Cu-cu,
tapi iapun tidak berani sembarangan masuk ke kabin, maka para
Taycia lantas menyebar ke sekitarnya. Sementara Pek-hoa-pangcu
dan Ling Kun-gi berempat lantas masuk.
"Urusan apa, Kun-gi?" tanya Thay-siang segera.
Lekas Kun-gi menjura, sahutnya: "Hamba akan memberi laporan
kepada Thay-siang."
"Baiklah, tunggu sebentar," seru Thay-siang.
Kun-gi memberi hormat, hanya dia saja yang tidak tekuk lutut
menyembah, sementara Bok-tan, So-yok dan Giok-lan sama tekuk
lutut menyembah tiga kali dan berseru bersama: "Tecu
menyampaikan sembah sujud kepada Suhu."
Walau wajahnya tertutup cadar, tapi suara Thay-siang terdengar
lembut ramah: "Bangunlah kalian." Lalu dia duduk di kursi
kebesarannya, tanyanya kepada Kun-gi: "Ling Kun-gi, baru sekarang
kau menghadap, memangnya perkara. Ci Gwat-ngo dan
komplotannya sudah kau bongkar seluruhnya?"
"Lapor Thay-siang," seru Kun-gi, "syukurlah hamba tidak sia2
menunaikan tugas berat ini."
''Em, baik sekali," tampak sinar terang kedua mata Thay-siang
dibalik cadarnya, katanya lembut dengan tertawa: "Memang, kau
anak bagus, Losin tahu kau cukup mampu menjaring mereka
semua, maka Losin beri kuasa penuh padamu, kiranya kau tidak
mengecewakan Losin. Oya, kalian lekas duduk, bicaralah pelan2."
Betapa halus dan kasih sayang panggilan "anak bagus" itu, bagi
Kun-gi sendiri t idak merasakan apa2 tapi Pek-hoa-pangcu seketika
merah jengah dan bukan kepalang rasa riang dan syur hatinya,
Sejak Thay-siang menyerahkan lh-thiankiam kepada Kun-gi, sejak
itu pula perasaan Bok-tan sudah mantap seolah2 soal jodohnya
sudah terangkap.
"Terima kasih," sahut Kun-gi, lalu dia duduk di kursi sebelah
bawah. Maka Pek-hoa-pangcu, Hu pangcu dan Congkoan juga ikut
duduk.
Kun-gi mulai bercerita sejak dia diangkat menjadi Cong-su-cia,
malam itu seseorang coba membunuh dirinya menggunakan Somlo-
ling, cara bagaimana dia menguntit musuh dan setelah dianalisa
dengan teliti, dia yakin bahwa orang itu pasti Cin Tek-hong adanya.
Waktu kembali didapatinya Kho Ting-seng yang berjuluk Gintancu
ternyata hanya begitu saja kepandaiannya, padahal dia tersohor
dengan pelor peraknya itu, setetah dekat dan diawasi kiranya wajah
orang sudah terias, kedua hal inilah mulai menimbulkan rasa
curiganya.
Kemudian di atas kapal, Nyo Keh-Cong dan Sim Kiansin kembali
dengan luka2, didapatinya pula wajah kedua orang ini riasan juga,
hari ketiga demikian pula yang terjadi pada Ho Siang-seng dan Kho
Ting-seng yang kembali dari ronda. Urusan berkembang sedemikian
pesat, ini sudah jelas menandakan bahwa musuh memang bekerja
sejak lama dan direncanakan dengan matang, setiap orang kita
yang keluar ronda, pulangnya ditukar seorang dengan kaki tangan
musuh.
Thay-siang manggut2, ujarnya: "Kau memang cerdik, ai, ada
kejadian begitu, kenapa tidak kau katakan sejak mula?"
Sedikit membungkuk Kun-gi berkata: "Harap Thay-siang maklum,
urusan semacam ini, kalau tiada bukti, mana boleh sembarangan
menuduh orang?"
"Betul," ucap Thay-siang.," manggut2. "Coba teruskan." Kun-gi
melanjutkan uraiannya bahwa mungkin karena waktu itu dirinya
berhasil membuat obat penawar getah beracun, maka pihak Hekliong-
hwe berusaha melenyapkan dirinya, maka terjadilah Ci Gwatngo
memfitnah dirinya dengan menyembunyikan barang bukt i di
kamarnya, lalu dia ceritakan sampai pada giliran Cin Tek-hong
mendapat tugas untuk ronda malam. Secara diam2 ia lantas
perintahkan Kongsun Siang, Song Tek-seng dan Thio Lam-jiang agar
membekuk para kelasi perahu Cin Tek-hong dan Kho Ting-sing,
betul juga pada badan para kelasi ini diperoleh sebuah kotak Somlo-
ling, maka dia lantas meninggalkan sepucuk surat rahasia kepada
Congkoan, surat harus dibuka setelah kentongan kedua dan supaya
disampaikan kepada Hupangcu untuk membekuk Nyo Keh-cong dan
Sim Kiansin berdua, sementara dirinya bersama Kongsun Siang
berempat menyamar kelasi dan cara bagaimana Cin Tek-hong
memasang lampu merah di ujung perahu lalu mendarat di Gu-cu-ki,
di sana orang telah mengatur muslihat hendak menawan J i Siuseng,
tapi malah berbalik kena di-ringkus olehnya.
Pelan2 Thay-siang menepuk kursi, katanya mengangguk: "Bagus
sekali, memang tidak malu kau sebagai Cong-su-cia Pek-hoa-pang
kita, bagaimana selanjutnya?"
Kun-gi t idak berani main sembunyi, cara bagaimana dia,
mengorek keterangan dari Cin Tek-hong dia tuturkan pula
seterang2nya, Thay-siang hanya manggut saja, tidak tanya seluk
beluk Hek-liong-hwe lebih lanjut.
Diam2 Kun-gi merasa heran, pikirnya: "Kenapa dia tidak tanya
lebih lanjut? Memangnya dia sudah jauh lebih tahu akan seluk-beluk
Hek-liong hwe?'
Selanjutnya dia tuturkan Cin Tek-hong mendadak mati terbunuh
oleh orang2 pihak mereka sendiri dan menurut Nao Sam-jun, atas
perintah Hwecu mereka, dia diperintah menawan Kun-gi hidup2 . . .
Tampak mimik Thay-siang menaruh perhatian akan hal ini,
matanya membulat ke arah muka Ling Kun-gi, tanyanya: "Apa yang
dia katakan padamu? Katakan terus terang, jangan disembunyikan."
Tutur Kun-gi: "Dia bilang asal hamba betul2 bisa membuat obat
penawar getah beracun, Hek-liong-hwe t idak akan kikir memberi
imbalan upah besar dan kedudukan lebih t inggi . . . . "
"Bluk", Thay-siang menggebrak meja, seruhya gusar: "Mereka
memancing dan hendak menyogok kau."
Pek-hoa-pangcu, Hupangcu dan Giok-lan sama berjingkat kaget.
Kun-gi juga gelisah dan jeri, katanya: "Hamba..."
Thay-siang angkat kepala, katanya ramah: "Lo-sin tidak salahkan
kau, lanjutkan keterangan ini."
Lalu Kun-gi tuturkan cara bagaimana seorang diri dia melabrak
Cap-ji-sing-siok, meski lawan memakai seragam kebal senjata,
beruntung dia membekal Ih-thiankiam anugerah Thay-siang yang
tajam luar biasa, beruntun dia melukai enam orang musuh, melihat
gelagat tidak menguntungkan cepat2 Nao Sam-jun mencawat ekor
melarikan diri.
Pada akhir ceritanya Ling Kun-gi berpaling dan berkata kepada
Giok-lan: "Tolong Congkoan suruh mereka membawa pakaian kebal
senjata itu kemari dan diperlihatkan kepada Thay-siang."
Giok-lan mengiakan, dia beranjak ke pintu serta menggapai,
maka Bak-ni melangkah masuk sambil membawa pakaian kulit itu
terus diaturkan ke hadapan Thay-siang.
Hanya sekilas Thay-sung pandang baju kulit itu lalu berkata sinis:
"Kukira Cap-ji-sing-siok apa, kiranya orang2 yang berpakaian kulit
binatang, memang kulit anjing laut ini kebal senjata."
Mendengar nada perkataan orang Kun-gi berkesimpulan bahwa
agaknya Thay-siang sudah tahu akan pakaian kulit anjing laut ini,
diam2 dia merasa heran.
Terdengar Thay-siang berkata lebih lanjut dengan suara lembut:
"Ling Kun-gi, kali ini kau berhasil membongkar komplotan musuh
yang menyelundup ke dalam Pang kita, inilah merupakan pahala
besar sekali . . . . ." bicara sampai di sini entah sengaja atau tidak
matanya melirik kearah Pek-hoa-pangcu Bok tan. "Kerjalah yaug
baik, lebih giat dan rajin, Losin tidak akan menyia2kan bakat dan
kebaikanmu." Kata2nya sudah gamblang, sejak mula kiranya dia
sudah ada maksud menjodohkan Bok-tan kepada Ling Kun-gi. Pekhoa-
pangcu tampak malu dan menunduk semakin rendah.
Sudah tentu Kun-gi juga merasa ke arah mana ucapan Thaysiang
ini, tapi karena Thay-siang tidak bicara blak2an, tidak enak dia
bicara lebih banyak, maka sekenanya dia membungkuk serta
berkata: "Terima kasih Thay-siang."
Sebaliknya terasa hampir meledak dada So-yok dengan penuh
kebencian dia melerok ke arah Ling Kun-gi.
Kebetulan Thay-siang berpaling dan tanya: "So-yok, semua
mata2 Hek-liong-hwe yang tertawan sudahkah kau tanyai
keterangannya?"
"Sudah kukompes seluruhnya," jawab So-yok.
"Bagus, penggal saja kepala mereka," Thay-siang memberi
perintah.
"Tecu terima perintah," sabut So-yok membungkuk.
"Hamba ada sebuah permohonan," sela Kun-gi.
Lembut suara Thay-siang: "Kau ada pendapat apa, boleh kau
utarakan."
"Mata2 Hek-liong-hwe yang diselundupkan ke Pang kita semua di
bawah pengawasan Ci Gwat-ngo dan Cin Tek-hong, kedua
pemimpinnya ini sudah mati, sisa yang lain hanyalah anak buah
Hek-liong-hwe yang berkedudukan rendah, kukira dipunahkan saja
ilmu silat mereka dan berilah kesempatan hidup kepada mereka,
semutpun ingin hidup apa lagi manusia, kukira tidaklah jelek kita
memberikan kebijaksanaan ini dan menaruh belas kasihan terhadap
mereka. . . "
So-yok menjengek dingin: "Hek-liong-hwe sudah jelas
bermusuhan dengan kita, terhadap musuh buat apa menaruh belas
kasihan segala? Mereka menyelundup kemari bukankan orang2 kita
juga sudah menjadi korban? Hutang jiwa harus bayar jiwa, inilah
hukum kodrat yang cukup adil."
Thay-siang tersenyum, katanya lembut: "Waktu gurumu masih
muda dulu juga tidak pernah mengampuni setiap musuh, beberapa
tahun belakangan ini sudah tekun mempelajari ajaran agama, nafsu
dan emosi sudah jauh tertekan. Begini saja, bahwa Ling Kun-gi
sudah telanjur mintakan ampun bagi mereka, maka baiklah ampuni
saja jiwa mereka."
"Thay-siang memang bajik dan welas asih, hamba
menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga," seru Kun-gi.
Sejenak merandek lalu ia berkata ppla: "Hupangcu, masih ada
sebuah persoalan yang ingin hamba sampaikan.".
"Ada urusan apa?" suara So-yok dingin ketus.
"Nona kecil yang menyamar Cu-cu itu adalah orang dari Cengliong-
tong, Ceng-liong-tong merupakan seksi dalam di Hek-lionghwe,
sekarang baru kita ketahui bahwa Ui-liong-tong yang termasuk
seksi luar bermarkas di Ui-lionggiam di utara Kunlunsan, sejauh ini
belum diketahui dimana letak markas seksi dalam mereka, maka
orang ini teramat penting bagi kita, hendaklah jangan kau punahkan
dulu ilmu silatnya."
So-yok memandangnya dengan dingin, tanpa memberi
tanggapan terus putar badan tinggal keluar.
Melihat sikap orang yang kaku dan dingin, diam2 Kun-gi
menggerutu dalam hati, entah soal apa yang menyebabkan dia
begitu, dihadapan sekian banyak orang juga mengumbar adat, Kungi
hanya menyengir saja, katanya setelah membungkuk kepada
Thay-siang: "Kalau Thay-siang tiada pesan apa2, hamba mohon diri
saja."
"Ya, boleh kau pergi," rujar Thay-siang. Kun-gi menjura lalu
mengundurkan diri.
Waktu itu hari sudah terang benderang, sementara kapal juga
telah berlayar. Cahaya mentari terasa hangat dan cemerlang.
Kun-gi menengadah menghirup napas panjang, sambil
berpegang langkan kapal pelan2 dia beranjak turun dari anak
tangga kembali ke tingkat kedua, ternyata sernua orang masih
tunggu di kamar makan kecuali yang bertugas diluar. Sekilas dia
menyapu pandang lalu berkata dengan kalem: "Semalam suntuk
kalian tidak tidur, kenapa tidak bubar dan istirahat saja?"
Coh-houhoat Leng Tio-cong segera memapak maju, katanya
tertawa:."Karena semalam Cong-coh berhasil membongkar seluruh
jaringan mata2 musuh yang menyelundup di Pang kita mendirikan
pahala besar lagi, maka kita semua ingin menyampaikan selamat
pada mu."
"Menjaring mata2 dan melawan serbuan musuh dari luar, adalah
tugas dan tanggung jawabku, apalagi kejadian semalam juga berkat
bantuan para saudara, toh bukan pahalaku seorang, kita semua
orang sendiri, soal memberi hormat segala sungguh tak berani
kuterima."
Tengah bicara tampak dari luar berbaris masuk sembilan dara
kembang yang menyoreng pedang, setiap dara kembang membawa
sebuah nampan warna merah tertutup kain warna hitam, entah
barang apa yang berada di nampan kayu itu? Begitu masuk ke
ruang makan kesembilan dara kembang lantas berdiri berjajar,
serempak memberi hormat, lalu seorang yang berdiri paling ujung
buka suara: "Seksi hukum telah menunaikan tugas memenggal
kepala sembilan mata2 musuh, harap Cong-su-cia periksa adanya."
Seiring dengan kata2nya, berbareng kesembilan dara kembang itu
menyingkap kain taplak yang menutup nampan merah itu. Ternyata
nampan kayu itu semua berisi batok kepala manusia yang masih
berlepotan darah segar..
Mata2 musuh yang dijatuhi hukuman mati penggal kepala ini
jelas adalah orang2 yang menyamar Nyo Keh-cong, Sim Kiansin dan
Ho Siang-seng, demikian pula empat kelasi sampan yang masing2
bernama Li Hek-kau, Ong-ma-cu, Lim Telok dan Kim-lo-sam. Batok
kepala terakhir berambut panjang awut2an, beralis lentik bermuka
halus, jelas adalah batok kepala gadis cilik yang menyaru Cu-cu.
Sembilan dara kembang yang membawa nampan berisi batok
kepala manusia ini semua masih muda belia, berparas cantik
bertubuh montok menggiurkan, pakaian mereka ringkas ketat,
dengan garis tubuh yaug mempesona, tapi sembilan batok kepala
manusia yang berlepotan darah itu jauh menarik perhatian orang
dan terasa menjijikan, siapapun takkan percaya bahwa dara2
kernbang ayu jelita seperti mereka ini tega memenggal kepala
kesembilan korbannya ini.
Semula hadirin sama bersorak tawa gembira, kini semuanya
melongo seram dan berdiri bulu kuduknya. Ling Kun-gi sendiri juga
tertegun diam sekian lamanya.
Maklumlah, atas persetujuan Thay-siang para mata2 ini hanya
diputus hukuman punahkan ilmu silatnya tapi diampuni jiwanya,
terutama gadis cilik yang menyaru Cu-cu dipandang lebih penting,
maka dia merasa perlu berpesan kepada So-yok untuk menjaga dan
menyelamatkan jiwanya, karena hanya dara cilik inilah yang tahu
letak markas Ceng-liong-tong, musuh yang amat terahasia itu.
Diam2 ia mendongkol, serunya naik pitam: "Siapa yang perintahkan
kalian memenggal kepala mereka?"
Terdengar seorang menanggapi di luar pintu: "Sudah tentu atas
perintahku!" Seiring suaranya tampak So-yok melangkah masuk.
Tak tertahan, seperti dibakar hati Ling Kun-gi, katanya dongkol:
"Sudah kumohon ampunkan jiwa mereka kepada Thay-siang. ."
"Yang berkuasa dalam seksi hukum aku atau kau?" tukas So-yok
sengit. "Setiap tugas urusan dalam Pang kita masing2 diurus oleh
jabatan masing2, apakah Cong-su-cia tidak merasa mencampuri
urusan orang lain?"
"Hupangcu memang menjabat rangkap seksi hukum, tapi
tahukah kau telah menggagalkan urusanku?" semprot Kun-gi.
"Menggagalkan urusan apa?"
"Umpama kata dara cilik yang menyaru Cu-cu ini, dia adalah
pelayan Cui-tongcu yang berkuasa di Ceng-liong-tong, hanya dia
saja yang tahu di mana letak markas Ceng-liong-tong, maka tadi
kupesan kepada Hupangcu supaya tidak memunahkan ilmu silatnya,
kini kau malah membunuh dia. . . ."
Membesi hijau muka So-yok, jengeknya: "Aku mengagalkan
urusanmu, memangnya kau sudah kepincut pada dara molek ini,
maka kau melarang aku menyentuh dia. . . .."
Merah muka Ling Kun-gi, semprotnya marah: "Kau memang usil
dan sengaja cari perkara."
"Ling Kun-gi!" teriak So-yok, "berani kau .... memakiku?" Setelah
membanting kaki dia terus putar badan berlari keluar. Dia pikir
setelah marah dan berlari keluar, Kun-gi pasti akan mengejarnya
keluar, tak terduga beberapa langkah kemudian, waktu dia
berpaling, Kun-gi masih berdiri mematung di tempatnya. Saking
marah tak tertahan dia berteriak: "Ling Kun-gi, keluarlah kau!"
Kun-gi tetap berdiri tidak bergerak. Diam2 Kongsun Siang
mendekati dan berbisik: "Watak Hu pangcu selamanya angkuh,
dalam segala persoalan Ling-heng harus bersabar dan mengalah,
dia memanggilmu keluar, mungkin dia merasa menyesal, di sini
banyak orang dan malu menyatakan kesalahannya, lekaslah Lingheng
keluar saja."
Mengingat orang adalah Hupangcu, tak pantas dihadapan orang
banyak dirinya marah2 padanya, Kun-gi mengangguk lalu beranjak
keluar. Sementara sembilan dara kembang masih berdiri menjublek,
karena pertengkaran Hupangcu dan Cong-su-cia menyangkut
perintah yang mereka lakukan, mereka menjadi pucat ketakutan.
Coh-houhoat Leng Tio-cong mengacung jempol kepada Kongsun
Siang, katanya tertawa: "Kongsun lote memang pandai bicara,
syukurlah kau berhasil membujuk Cong-su-cia."
"Ah, hamba hanya membujuk Cong-su-cia supaya tidak bekerja
menurut i adat saja."
Leng Tio-cong tetap tersenyurn, katanya sambil menoleh ke arah
para dara kembang: "Nona2, kalian boleh mengundurkan diri."
Serempak kesembilan dara menjura terus mengundurkan diri.
Menyapu pandang seluruh hadirin, Leng Tio-cong buka suara
sambil mengelus jenggot kambing di dagunya: "Semalam kalian
tidak tidur, sekarang boleh kembali ke kamar masing2 untuk
istirahat."
Hanya Kongsun Siang seorang yang bertaut ke dua alisnya,
seperti dirundung persoalan rumit yang mengganjel hatinya, dia
tetap mondar-mandir di ruang makan sambil menggendong tangan.
Keadaan sepi lengang, dalam ruang makan yang luas ini kini
tinggal Kongsun Siang dan Sam-gansin Coa Liang yang duduk
dibangku panjang sambil mengangkat sebelah kakinya di atas
bangku.. Hari ini. dia menjadi komandan para petugas siang.
Dengan memicingkan mata dan miring kepala dia memandang
Kongsun Siang, tanyanya: "Kongsunlote, kau ada ganjelan hati
apa?"
Kongsun Siang menggeleng: "Mana ada ganjelan hati segala."
Coa Liang meraih secangkir teh terus diteguknya, katanya
terkekeh: "Kongsunlote, jangan mulutmu bicara tidak sesuai dengan
isi hatimu, aku berani bertaruh kau pasti sedang kasmaran entah
terhadap nona yang mana sampai kehilangan semangat seperti
orang linglung. Kemarilah, hayo ceritakan padaku, nanti kubantu
mencarikan akal."
Merah muka Kongsun Siang, katanya tergagap: "O, sungguh
tiada persoalan apa2." Lalu dia menjura dan mernambahkan:
"Silakan duduk lagi, hamba akan kembali ke kamar saja." Bergegas
dia lantas ke kamar.
Mengawasi punggung orang, Coa Liang ter-kekeh2, katanya:,
"Anak bagus kau masih pura2 dan mungkir, kalau betul kau sudah
kasmaran, kau bisa sakit rindu."
Sementara itu So-yok berdiri di ujung dek tingkat kedua. Angin
sungai menghembus santer. . wajah yang selama ini berseri cerah
kini kelihatan meradang kemarahan dan kesal.
Kun-gi sudah berada di sampingnya, jelas dia telah mendengar
langkah orang mendatangi, tapi dia sengaja memandang ke tempat
nan jauh di depan tanpa menoleh atau melirik.
Kun-gi berhenti, serunya: "Hupangcu.. ... ."
Tetap tidak menoleh, suara So-yok kedengaran kaku dingin:
"Jangan panggil aku Hupangcu, untuk apa kau masih hiraukan
diriku?"
"Bukankah Hupangcu yang suruh aku kemari?”
"Siapa suruh kau kemari? Aku tidak memanggilmu, pergilah kau."
.
"Hupangcu memanggilku dan aku sudah keluar, kalau kau
memang tidak memanggilku, yah anggaplah aku yang salah
dengar," pelan2 dia putar badan hendak tinggal pergi.
Mendadak So-yok putar badan, bentaknya: "Berdiri ditempatmu!"
Kun-gi masih muda dan berdarah panas juga, katanya tertawa
tawar: "Cayhe sebetulnya . . . .” dia mau berkata: "Cayhe
menghargaimu sebagai Hupangcu, tapi Cayhe bukan orang yang
boleh di panggil dan diusir begini saja." Tapi baru saja berucap
'Cayhe' itulah, sorot rnatanya kebentrok dengan wajah orang yang
kelihatan sayu rawan, seperti dirundung kesedihan dan penyesalan,
suaranya garang, tapi sorot matanya ber-kaca2 dan akhirnya
meneteskan air mata.
Hati lelaki umumnya memang lemah bila melihat air mata
perempuan. Dan perempuan juga tahu cara mengambil keuntungan
ini, maka dalam setiap pertengkaran air matalah yang dijadikan alat
untuk menundukkan lelaki. Sejak jaman dahulu kala air mata
perempuan entah sudah menundukkan berapa banyak kaum laki2.
Demikian pula hati Ling Kun-gi seketika luluh, kata2 yang sudah
siap tercetus dari mulutnya seketika dia telan kembali, setelah
menghela napas, dia berkata: "Kau memang suka membawa
adatmu sendiri"
"Aku membawa adat apa?" jengek So-yok.
"Entah karena apa Hupangcu marah2, sekaligus membunuh
sembilan orang, memangnya ini bukan membawa adatnya sendiri."
"Ya, aku marah2 dan membunuh orang, memangnya kenapa?"
Serius rona muka Kun-gi, katanya: "Kau ada-lah Hupangcu Pekhoa-
pang, memangnya siapa berani berbuat apa2 terhadapmu? Tapi
perlu Cayhe memberitahukan nona bahwa kuinginkan keutuhan ilmu
silat nona cilik penyaru Cu-cu itu adalah untuk kepentingan Pang
kita, dengan tingkat kepandaiannya, utuh atau dipunahkan ilmu
silatnya tidak menjadi persoalan bagi kita, cuma menurut rencanaku
setelah nanti kita mendarat akan kuberi kesempatan dia melarikan
diri, dengan menguntit jejaknya kita pasti akan dapat meluruk ke
Ceng-liong-tong dengan mudah, dengan Hek-liong-hwe Cayhe tiada
permusuhan apa2, tapi jelek2 Cayhe adalah Cong-su-cia Pek-hoapang,
aku punya tanggung jawab untuk berbakti dan bekerja demi
kepentingan Pek-hoa-pang, dan kau membawa adatmu sehingga
segala rencanaku kau gagalkan."
"Gagal ya gagal, memangnya kenapa?" ejek So-yok.
"Bagi Cayhe sendiri tiada persoalan, kalau di sini aku tidak bisa
bekerja dan tidak betah lagi, seandainya seluruh isi kapal bakal
tertumpas habis, Cayhe yakin masih cukup mampu
mempertahankan diri, aku masih tetap bisa berkelana di Kangouw,
aku tetap Ling Kun-gi, tapi kau adalah lain. . . . ."
"Dalam hal apa aku berbeda?"
"Kau kan Hupaagcu Pek-hoa-pang, kalian mengerahkan seluruh
kekuatan meluruk ketempat jauh ini, hanya boleh menang pantang
kalah dan gagal, sekali menang akan tambah semangat juang yang
lebih berkobar dan menyapu segala aral rintangan, tapi bila gagal
kalian akan berbalik tertumpas habis seluruhnya, nama Pek-hoapang
selanjutnya akan lenyap dari percaturan Kangouw, oleh karena
itu menghadapi setiap persoalan tidak boleh kita membawa adatnya
sendiri."
"Kau sedang mengajar dan memperingatkan aku?"
"Mengajar atau memperingatkan aku tidak berani, aku hanya
memberi ingat saja."
"Tidak perlu kau membujukku, memang demikianlah aku ini,
watak pembawaan sejak dilahirkan, segala tindak-tanduk selalu
menurut i keinginan hati .... "
"Obat mujarab biasanya memang pahit getir, bujuk kata
umumnya memang menusuk telinga, kalau Hupangcu t idak suka
dengar nasihatku, ya sudahlah," Kun-gi putar badan hendak tinggal
pergi.
Melihat orang mau pergi, semakin marah So-yok, bentaknya:
"Berdirilah ditempatmu."
"Apa pula yang ingin kau katakan?"
"Terangkan sejelasnya, ya sudahlah apa maksudmu?" kiranya si
nona salah paham.
"Sudahlah, anggap saja aku tidak pernah bicara apa2"
Membesi kaku muka So-yok, serunya menuding Kun-gi dengan
menggereget: "Ling Kun-gi, jangan kau kira secara langsung Thaysiang
sudah memberi muka padamu, maka kau lantas ingin berbuat
tidak semena2, mendapat yang baru lupa yang lama, ketahuilah,
kalau kau berani . . . . membuang akhir untuk permulaan yang
kalut, aku tidak akan membiarkan dirimu," lenyap suaranya
mendadak dia putar tubuh terus berlari ke tingkat ketiga.
"Membuang yang akhir untuk permulaan yang kalut" kata2 ini
umpama geledek menggelegar di pinggir telinga Ling Kun-gi, apa
lagi kata2 ini terucap oleh seorang perempuan macam So-yok yang
Hupangcu ini, dia terlongong sekian lamanya. Betapa berat dan
serius kata "mendapat yang baru lupa yang lama" dari mulut
seorang perempuan? Mendapat yang baru lupa yang lama,
memangnya siapa yang baru dan siapa pula yang lama itu? Kapan
dirinya pernah mendapatkan yang baru? Kapan pula yang lama? . . .
.
Lama sekah Kun-gi menjublek di atas dek, mulutnya berulang
menggumam kata2 yang tak berujung pangkal itu, hatinya
dirundung rasa kesal dan masgul yang tak terlampias. Sungguh dia
tidak habis mengerti darimana juntrungan kedua patah kata dan
persoalan apa yang dimaksud?
Kun-gi adalah perjaka yang punya perasaan tajam dan otak yang
encer pula, selama beberapa hari ini, bagaimana sikap dan tindaktanduk
So-yok terhadapnya, memangnya dia tidak tahu? Tapi dia
yakin sebagai murid didik Hoanjiu-ji-lay yang kesohor itu dirinya
selalu bertindak jujur dan sopan, tak pernah melakukan perbuatan
kotor apalagi melanggar susila.
Waktu Thay-siang memanggilnya dan So-yok mengantar, di
lamping gunung yang melekuk gelap itu, karena tak kuat menahan
gejolak perasaan lantaran dirayu pernah dia memeluk ia satu kali,
kan ia sendiri juga rela dan mandah dipeluk dan dicium, kalau bukan
dia sendiri yang rela menyerahkan dirinya, memangnya dirinya
berani berbuat kurangajar? Bagaimana kejadian itu dapat dikatakan
sebagai permulaan yang kalut?
Dia tahu perempuan yang satu ini memang angkuh dan tinggi
hati, tidak dapat disangkal bahwa sikap orang memang teramat baik
pada dirinya, dan di sinilah mungkin letaknya kenapa dia sampai
berkata demikian pedas dan ketus. Beginipun baik, paling tidak
selanjutnya nona itu tidak akan merecoki dirinya lagi.
Semalam suntuk Kun-gi tidak memejamkan mata, angin sungai
terasa silir nyaman, tanpa terasa ia merasa letih, setelah menguap
dia kembali ke kabin. Setiba di kamar baru saja dia duduk di kursi
dekat jendela, didengarnya seseorang mengetuk pintu pelahan, lalu
daun pintu didorong orang, bayangan seorang berkelebat masuk.
Itulah Kongsun Siang, mimik mukanya tampak aneh, seperti
dirundung persoalan rumit saja, mulutnya berseru lirih: "Cong-coh"
Heran Kun-gi, tanyanya: "Ada urusan apa Kongsun-heng?'
"Ti . . . .tidak apa2," gagap jawaban Kongsun Siang, "kulihat
Ling-heng baru kembali, maka sengaja kutengok kemari." Jelas
jawabannya sangat meng-ada2.
"Silakan duduk Kongsun-heng."
Kongsun siang duduk tanpa banyak kata, kedua tangan
tergenggam dan jari2 nya mengerat kencang di depan dada,
matanya mendelong mengawasi Kun-gi, bibirnya bergerak beberapa
kali, seperti hendak mengutarakan apa2. Tapi begitu melihat sorot
mata Kun-gi yang tajam, seketika dia menunduk, wajahnya
menampilkan rasa penyesalan yang tak terhingga, ingin bicara tapi
tak berani mengutarakan isi hatinya.
Kun-gi anggap t idak tahu, dia angkat poci teh dan menuang dua
cangkir, katanya: "Minumlah Kongsun-heng."
Ter-sipu2 Kongsun siang menerima cangkir teh yang disodorkan
padanya, sahutnya: "Terima kasih Ling-heng."
Diam2 Kun-gi merasa heran melihat sikap ganjil orang. "Kong
sun-heng" katanya sambil angkat cangkir tehnya, "semalam suntuk
kaupun tidak tidur, kenapa tidak istirahat saja?"
Mendadak Kongsun Siang berdiri, katanya: "Silakan Ling-heng
istirahat, aku tidak menggangu lagi."
Kun-gi tertawa tawar, ujarnya: "Silakan duduk Kongsun-heng,
bukan maksudku mau mengusirmu, terus terang aku tidak merasa
kantuk, maksudku kau sendiri yang perlu istirahat?'..
"Seperti juga Ling-heng, akupun tidak merasa kantuk," sahut
Kongsun Siang.
"Kalau begitu silakan duduk lagi."
Kongsun Siang duduk pula, sekilas dia pandang Kun-gi lalu
berkata: "Ada sepatah kata yang ingin kukatakan, tapi aku jadi
ragu2 apakah pantas kuucapkan?'
"Sesama saudara, ada omongan apa, boleh katakan saja."
"Baiklah kubicara terus terang, kurasa Ling-heng dengan
Hupangcu adalah pasangan yang setimpal . . . . . . "
Mendadak Kun gi tertawa, katanya: "Apa arti kata2 Kongsunheng?"
Kongsu Siang melenggong, katanya: "Apakah ucapanku salah?
Kulihat sikapnya terhadap Ling-heng begitu mesra dan manja, jelas
dia penujui kau ........."
Kun-gi menggeleng, katanya: "Kongsun heng salah paham,
watak Hupangcu dingin di luar panas di dalam, dia pandang aku
sebagai saudara, akupun memandangnya sebagai adik hakikatnya
tiada persoalan jodoh di antara kami."
Berkelebat sinar terang pada sorot mata Kongsun Siang,
tanyanya: "Ha, betul demikian?"
"Terus terang Kongsun heng, aku sudah punya . .. . . . " teringat
akan Tong Bunkhing dan Pui Ji-ping yang terjatuh di tangan orang2
Hek-liong-hwe, terbayang pula akan Un Hoankun yang kini
menyamar jadi Bikui di Pek-hoa-pang ini, sesaat dia jadi sukar
bicara lebih lanjut.
Terpancar rasa senang pada wajah Kongsun Siang, katanya
tertawa: "O, kiranya Ling-heng sudah punya pacar."
Terpaksa Kun-gi manggut2, ujarnya: "Ya, boleh dikatakan
demikian "
Tiba2 serius sikap Kongsun Siang, katanya sambil menekan
suara: "Tapi dia begitu kasmaran terhadap Ling-heng, sifatnya yang
ketus dan kaku juga sudah kau ketahui, kukira urusan ini bisa jadi
runyam."
"Hubungan laki perempuan harus cinta sama cinta, soal asmara
sedikitpun tidak boleh dipaksakan, aku hanya anggap dia sebagai
adik, tak pernah terpikir dalam benakku untuk mempersunting dia
sebagai seorang yang cerdik, lewat beberapa waktu lagi pasti dia,
akan mengerti juga," sejenak dia berhenti lalu berkata menatap
Kongsun Siang: "Dan lagi aku tidak akan tinggal terlalu lama di sini."
Kongsun Siang mengangguk, ujarnya: "Aku tahu dua saudara
Ling-heng menjadi tawanan Hek-liong-hwe, mungkin Ling-heng
harus selekasnya menolong teman dan harus meninggalkan kita
semua."
"Sekali bertemu Kongsun-heng kita lantas seperti sahabat lama,
memang demikianlah maksudku, hanya kau saja yang dapat
menyelami perasaanku."
"Bila Ling-heng memerlukan tenagaku, kapan saja dan di mana
saja pasti aku rela dan senang hati membantumu biarpun sampai
titik darah terakhir."
Mendengar orang menyinggung titik darah terakhir (gugur),
sekilas Kun-gi melengak, katanya mengerut kening: "Soal menolong
orang, memang aku sedang merasa kebingungan, bahwa Kongsunheng
suka membantu, kuaturkan terima kasih."
"Kalau Ling-heng merasa kekurangan tenaga, hubunganku
dengan Thio Lam-jiang amat int im, kalau t iba waktunya cukup
kuminta tenaganya pasti dia suka membantu juga."
Kun-gi menghela napas pelan2, ujarnya: "Ai, dara cilik yang
tertangkap itu sebetulnya adalah pelayan pribadi Cui-tongcu dari
Ceng-liong-tong, keterangannya amat berguna bagi kita, tapi Hupangcu
tadi telah membunuhnya, sumber penyelidikan yang
kuharapkan menjadi gagal, bukankah amat sayang?"
Kongsun Siang bertanya: "Dari ucapan Ling-heng ini seolah2
Thay-siang telah setuju pengampunan jiwa mereka?" .
"Ya, aku telah mohon pengampunan mereka kepada Thay-siang."
"Lalu kenapa dia membunuhnya?"
"Siapa tahu apa sebabnya, tidak hujan tiada angin tiba2 dia
marah2 padaku?"
"Waktu Ling-heng keluar tadi, apa yang dia katakan?"
''Dia sudah biasa membawa adat dan terlalu binal, memangnya
dia mau mengaku salah?"
"Marah2 dan main bunuh tentu ada alasannya," ujar Kongsun
Siang. "Apakah dia tidak menjelaskan kepada Ling-heng?"
"Tidak," sahut Ling Kun gi, "bicara baru beberapa patah kata lalu
dia lari ke kamarnya."
Sudah tentu Kun-gi merasa rikuh dan malu menceritakan tentang
tuduhan So-yok mengenai dirinya, apalagi dia sendiri bingung apa
maksud kata2 "mendapat yang baru lupa yang lama, membuang
yang akhir untuk permulaan yang kalut".
"Kurasa kalau Ling-heng ada maksud mau pergi, tidak perlu kau
melayaninya secara serius, segala urusan harus sabar dan berpikir
panjang."
"Memang, sebetulnya wataknya yang sejati tidak jahat, cuma
terlalu binal dan suka main bunuh, tangannya yang gapah itu
membikin aku kurang cocok."
Sampai di sini tiba2 Kongsun Siang berdiri, katanya: "Ling-heng
harus istirahat, aku mohon diri saja." Terus dia melangkah keluar.
Setelah Kongsun Siang pergi sudah tentu Kun-gi tidak bisa tidur.
Seorang diri dia pegangi cangkir tehnya sambil melamun.
Sekonyong2 dia seperti ingat sesuatu, mendadak dia berdiri dari
tempat duduknya, seketika pucat wajahnya dan badanpun gemetar,
keringat dingin gemerobyos, mulutnya bergumam: "Mungkinkah dia
. . . . "
-o-00d0w00-o-
Malam itu kapal besar itu berlabuh di Ko-toh-than yang terletak
di Kwanciu, Go-san. Malam sudah larut, kabut tebal. Kira2 setengah
li dari tempat kapal besar itu berlabuh terdapat sebuah bukit kecil
yang tandus, hanya ada puluhan batang pohon saja yang tumbuh di
bukit itu, Angin malam menghembus men-desir2 seolah2 suara
berkeluh-kesah.
Pada saat itu, tampak dua sosok bayangan orang sedang berlari2
ke arah bukit saling kejar. Orang yang di depan mengenakan
baju hijau, seorang laki2, yang di belakang berperawakan ramping
semampai, itulah seorang gadis remaja.
Malam berkabut cukup gelap sehingga sukar terlihat jelas wajah2
mereka, tapi dari perawakan mereka jalas bahwa mereka adalah
muda-mudi yang mungkin sedang mengadakan pertemuan cinta
rahasia di sini. Memang tempat yang sunyi dengan hawa yang sejuk
dan pemandangan malam nan menyegarkan ini cocok benar untuk
memadu cinta.
Jilid 22 Halaman 63/64 dan Jilid 23 Halaman 4 s/d 6
Hilang
....... lagi di antara mereka sudah tidak kuperhatikan."
Si pemuda banting kaki, katanya geram: "Bajingan laknat, selagi
aku tidak di kamar dia menyamar diriku melakukan perbuatan kotor
dan mesum itu."
Si gadis meliriknya sekali, tanyanya heran: "Kenapa iapun
memanggilmu Toako?" pertanyaan yang bernada cemburu.
"Hoanmoay, jangan kau salah paham, pertama kali waktu aku
harus menghadap Thay-siang, di tengah jalan dia memaksa aku
menjadi Toakonya.”
"Tak heran, selama ini begitu besar perhatiannya terhadapmu."
Si pemuda menghela napas, ujarnya: "Ai, malam itu juga kau
menjelaskan persoalannya padaku kemungkinan aku masih sempat
menangkap keparat itu." '
"Memangnya kenapa kalau kau menangkapnya? Merekakan suka
sama suka, apa sangkut pautnya dengan kau?"
"Aduh, kenapa kau masih belum mengerti. Kalau malam itu
kutangkap keparat itu, paling tidak urusan akan menjadi jelas tiada
sangkut pautnya dengan aku dan bukan aku yang dijadikan
kambing hitam:"
Ber-kedip2 bola mata si gadis, tanyanya: "Malam itu kuseret
Giok-lan ke tempat itu, kalau sampai terjadi sesuatu, dia kan bisa
jadi saksi."
Berkerut alis si pemuda, katanya: "Urusan ini memang serba
susah, bagaimana aku harus memberi penjelasan kepadanya?".
Bergetar tubuh si gadis, tanyanya sambil memandangnya lekat2:
"Kenapa? Memangnya dia cari perkara padamu?"
Si pemuda manggut2, katanya serba runyam: "Tadi pagi, dia
memakiku, katanya aku mendapat yang baru lupa yang lama
segala."
"Mendapat yang baru lupa yang lama," tanya si gadis, "Lalu
bagaimana jawabmu?"
Sipemuda menyengir kecut, katanya: "Sehabis mengataku, dia
lantas lari pergi."
Si gadis berpikir sebentar, katanya: "Kukira sudah saatnya kau
harus meninggalkan tempat ini."
"Tidak, sekarang aku masih belum boleh pergi."
"Kenapa?"
"Pertama, perkara ini belum kuselidiki, selama belum terang
persoalan ini aku tetap akan menjadi kambing hitam, kalau
kutinggal pergi begini saja, bukankah aku betul2 membuang yang
akhir dari permulaan yang kalut? Selain itu kedua temanku berada
di tangan orang2 Hek-liong-hwe, aku harus menolong mereka."
Berpikir sejenak si gadis mengangguk, katanya: "Alasanmu juga
betul, lalu bagaimana selanjutnya?"
"Aku harus membekuk keparat yang memalsu diriku itu . . . . . "
sampai di sini, mendadak ia genggam lengan si gadis, katanya lirih:
"Ada orang datang, lekas kita sembunyi."
Pohon cemara di atas bukit memang tinggi besar, tapi dahannya
runcing dan daunnya jarang2, tidak cocok untuk menyembunyikan
diri.
Si pemuda celingukan, cepat ia tarik si gadis terus melompat jauh
ke semak2 sana dan merunduk maju, baru saja mereka sembunyi di
belakang pohon cemara besar, Tampak sesosok bayangan orang
melesat tiba, langkahnya begitu enteng dan cepat meski harus
berlari menanjak naik ke atas bukit, begitu tiba dia berdiri tegak
menghadap ke utara sambil menggendang kedua tangan. Bukit ini
kecil tapi luasnya ada belasan tombak.
Tempat orang itu berdiri sedikitnya berjarak empat-lima tombak
dari tempat sembunyi kedua muda-mudi, di tengah malam yang
gelap oleh kabut ini, yang kelihatan hanya bayangan hitam belaka.
sukar melihat bentuk dan roman mukanya.
Kedua muda mudi itu mendekam di-semak2 di belakang pohon,
mereka mengawasi bayangan orang itu tanpa berani bergerak.
Bayangan itu tetap berdiri menghadap ke utara, juga tiga
bergerak sedikitpun. Begitulah keadaan demikian bertahan cukup
lamanya, tak kuat menahan rasa heran, si gadis berbisik di pinggir
telinga si pemuda: "Untuk apa dia kemari?"
Si pemuda menjawab dengan suara lirih: "Kelihatannya dia
sedang menunggu sesuatu."
Arah utara sebelah bukit kecil ini adalah hutan pohon cemara,
pohonnya pendek2 dan tidak begitu lebat, tapi di malam nan gelap
ini kelihatannya begitu lebat dan pekat. .
Tak lama kemudian dari arah hutan cemara itu berkumandang
sebuah suara rendah berat: "Kau sudah datang?"
Orang yang berdiri tegak di atas bukit segera membungkuk
hormat, sahutnya: "Cayhe sudah tiba."
Orang di dalam hutan cemara ternyata tidak unjuk diri, suaranya
tetap berkumandang: "Baik sekali!" sesaat kemudian dia bertanya:
"Bagaimana di atas kapal?"
Orang di bukit menjawab: "Memang Cayhe hendak
menyampaikan laporan kepada Cujin (majikan), sejak datang
seorang she Ling dalam Pang itu, dia diangkat menjadi Cong-su cia,
usianya masih muda, tapi berilmu silat tinggi, kabarnya adalah
murid kesayangan Hoanjiu-ji-lay. . . . . . . ."
Orang di dalamhutan bersuara kaget dan heran.
Orang di atas bukit melanjutkan: "Akhir2 ini dia berhasil
membongkar komplotan mata2 Hek-liong-pang yang diaelundupkan
ke sana, maka dia mendapat kepercayaan Thay-siang . . . . . . . '"
"O," orang di dalam hutan bersuara pula.
"Kalau bocah she Ling ini tidak disingkirkan, mungkin akan
merugikan juga bagi Cujin," ucap orang di atas bukit.
Mendadak orang di dalam hutan tertawa, katanya: "Majikan
malah suruh aku memberitahu padamu, sedapat mungkin kau harus
ber-muka2 kepada bocah she Ling itu, dan ikatlah hubungan intim
dan kerja sama baik dengan dia."
Orang diatas bukit mengiakan, sahutnya: ''Cayhe mengerti"
"Majikan ada sepucuk surat," kata orang di dalam hutan cemara,
'Kau harus menyerahkan kepada Thay-siang, cuma jangan sampai
jejakmu di ketahui."
"Cayhe akan laksanakan perintah dengan hati2."
"Nah terimalah surat ini!" "Ser" selarik sinar putih tiba2
menyambar keluar dari hutan melayang ke atas bukit.
Orang di atas bukit cepat menangkapnya, langsung dimasukkan
ke dalam saku.
Terdengar orang dalam hutan cemara berkata pula: "Bagus,
sekarang boleh kau kembali! "
Orang di atas bukit mengiakan, sekali menutul kaki terus
meluncur turun ke bawah bukit, sekejap saja bayangannya lenyap
ditelan kegelapan. Keadaan hutan cemara juga seketika menjadi
sunyi, agaknya orang di dalamhutan itu juga telah pergi.
Selang agak lama lagi baru kedua muda-mudi yang sembunyi di
semak belukar itu berani angkat kepala. Kata si gadis dengan
pelahan: "Entah orang di dalam hutan itu sudah pergi belum?"
Pemuda itu mendahului berdiri, sahutnya: "Sudah pergi jauh."
Kaget dan heran si gadis, tanyanya: "Agaknya mereka bukan
orang Hek-liong-hwe?"
"Sudah tentu bukan."
"Memangnya siapa mereka?"
"Sekarang belum jelas, sungguh tak nyana di dalam Pek-hoapang
kecuali ada mata2 Hek-liong-hwe, masih ada juga komplotan
agen rahasia lain."
'Tadi sudah kau lihat jelas siapa dia?"
"Kukira dia mengenakan kedok."
"Lalu suaranya? Kau tidak kenal?"
"Tentunya mereka juga sudah waapada kalau konangan orang,
maka suara pembicaraan mereka tadipun menggunakan suara
palsu, biarlah hal ini pelan2 kita selidiki."
"Bukankah kau dengar majikan mereka menginginkan dia kerja
sama dengan kau?"
"Betapapun kita harus menyelidiki asal-usul dan seluk-beluk
mereka, supaya kita tidak di peralat di luar sadar kita," berhenti
sebentar, lalu ia menambahkan: "Hoanmoay, hayolah pulang!"
Dua bayangan orang segera meninggalkan bukit kecil itu dan
meluncur ke bawah.
-oo0dw0oo-
Kapal besar berloteng susun tiga itu terus berlayar mengikuti
arus sejak dari Kwa-ciu menuju ke muara sungai Tiangkang.
Sekarang mereka sudah berlayar di lautan teduh.
Tiga layar besar berkembang. Langit nan biru dihiasi gumpalan
mega putih, gelombang laut mendampar udara cerah.
Kalau kapal berloteng ini dapat laju dengan tenang di sungai
Tiangkang, tapi tidak demikian di lautan teduh. Gelombang di lautan
lepas ini jauh lebih besar dan kuat, kalau di Tiangkang kapal ini
terhitung ukuran besar, tapi di lautan teduh seperti daun kering
kecil terombang ambing dipermainkan gelombang yang naik turun,
maka terasa sekali guncangan yang amat kuat.
Kehidupan orang2 di atas kapal sudah tentu tidak setenang dan
senyaman waktu masih berlayar di sungai. Terutama para dara
kembang yang tidak biasa hidup di atas air, mereka sama pening
kepala dan muntah2, kaki enteng langkah limbung.
Setelah berada di lautan teduh ini, kapal bersusun ini putar
haluan menuju ke utara, Siang malam tak berhenti dan berlayar
terus tanpa berlabuh lagi. Sejak Cong-su-cia Ling Kun-gi
membongkar mata2 Hek-liong-hwe, sepanjang jalan ini tak pernah
lagi terjadi apa2. Lantaran tak terjadi apa2 ini maka terasa sekali
kehidupan di tengah lautan ini menjadi hambar. Dan karena
kehidupan yang hambar ini, maka dua persoalan yang selama ini
masih mengganjel dalam benak Ling Kun-gi sukar diselidiki.
Kedua persoalan yang mengganjel hati Kun-gi ini adalah pertama
dia harus mencari tahu siapa laki2 yang menyamar dirinya
melakukan perbuatan mesum di kamarnya itu? Orang lain yang
makan nangkanya, dia sendiri yang kena getahnya, maka dia harus
menyelidikinya sampai persoalan ini menjadi jelas.
Kedua, siapakah orang yang mengadakan kontak dengan
temannya di atas bukit itu?
Dia harus mengetahui rencana aksi mereka supaya dirinya tidak
sampai diperalat diluar tahunya pula, sebagai Cong-su-cia Pek-hoapang,
adalah tanggung jawab dan kewajibannya untuk menyelidiki
hal ini. Tapi kalau lawan tidak mengadakan aksi tentu takkan timbul
reaksi, padahal menyelidiki sesuatu memerlukan adanya aksi, kalau
kehidupan di atas kapal ini terus tawar dan hambar begini, kecuali
sehari makan tiga kali, semua orang menganggur dan cuma ngobrol
di kamar makan atau bermain catur belaka.
Begitulah hari ke hari telah lewat, kedua persoalan ini tetap
belumada penyelesaian.
Beberapa hari kemudian kapal sudah keluar dari teluk Lo-sin,
sepanjang pelayaran ini beberapa kali, mereka melihat banyak
kepulauan besar dan kecil.
Pada hari itu, pagi2 betul sampai tengah hari seorang diri Thaysiang
naik ke atap tingkat ketiga memandang jauh ke depan sana.
Semua orang menduga mereka sudah hampir tiba ke tempat tujuan,
tapi tiada seorangpun yang tahu di mana mereka bakal mendarat.
Menjelang senja, di bawah pancaran sinar surya yang kuning
cemerlang, di kejauhan sana daratan sudah kelihatan samar2.
Thay-siang suruh Teh-hoa menyampaikan perintahnya kepada
Ko-lotoa, mumpung malam ini gelombang pasang, sebelum tengah
malam kapal harus sudah memasuki teluk kepulauan Ngo-hui-to.
Berita ini segera tersiar ke seluruh kapal.
Tahu bahwa malam ini kapal bakal menepi dan mereka akan
mendarat, suasana menjadi hiruk pikuk, berkobar semangat
mereka.
Hari sudah petang, Kehidupan di atas kapal sesudah makan
malam dan istirahat satu jam semua orang harus tidur ke kamarnya
masing2. Tapi lain dengan malam ini. Lampu terang benderang di
kamar makan tingkat kedua, cuma pada setiap lubang dari jendela
berkaca telah dipasang kain hitam yang tebal sehingga cahaya
lampu tidak menyorot keluar.
Meja besar yang berjajar segi tiga di kamar makan kini tinggal
satu saja, maka ruang makan ini terasa lebih luas. Orang2 sudah
berdiri berjajar di kanan-kiri, sebelah kiri dipimpin oleh Cong-su-cia
Ling Kun-gi, di belakangnya terbagi dua baris, Coh-houhoat Leng
Tio-cong dan Sam-gansin Coa Liang, di belakang mereka lagi adalah
ke tujuh Hou-huat, Kongsun Siang, Song Tek-seng, Thi Lam-jiang,
Toh Kanling, Lo Kunhun, Yap Kay-sian dan Liang Ih jun, ( Cin
Tekiong sudah gugur ). Delapan Hou-hoat-su-cia adalah Ting Kiau,
Ban Yu-wi, (empat diantara dua belas Hou-hoat-su-cia sudah
terbunuh oleh orang2 Hek liong-hwe ).
Barisan sebelah kanan dipimpin oleh Congkoan Giok-lan, disusul
enam Tay-cia, yakni Bikui Ci-hwi, Hu-yong, Hong-siang, Giok-je dan
Loh-bi-jin (Hay-siang sudah mati), merekapun berdiri menjadi dua
baris, Disusul oleh barisan para dara kembang yang berjumlah
sembilan belas, Cu-cu sudah meninggal. Mereka berdiri tegak
khidmad, suasana hening dan sunyi..
Tak lama kemudian tampak kerai tersingkap, yang mendahului
melangkah masuk adalah Thay-siang, dia tetap menggunakan
pakaian serba hitam, cadar hitam, sebutir mutiara sebesar buah
anggur bertengger di atas gelung rambutnya. Perempuan tua ini
memang serba misterius. Di belakang Thay-siang adalah Pek-hoapangcu
Bok-tan, Hupangpcu So-yok. Lalu dua pelayan Teh-hoa Liuhoa,
satu membawa Ji-gi ( mistar batu jade ) seorang lagi
memegang kebutan bergagang batu jade pula.
Thay-siang langsung menuju ke meja di tengah ruangan, Pangcu
dan Hupangcu berdiri di kirikanan kedua pelayan berdiri paling
belakang. Orang2 di barisan kanan-kiri serentak bersorak
menyanjung puji dengan suara lantang.
Agaknya Thay-siang merasa puas, dia manggut2 kepada hadirin.
Memang suasana seperti inilah yang disukai Thay-siang, dia
adalah jantan di antara kaum perempuan, suka menonjolkan diri
sebagai orang yang berkuasa dan berwibawa. Begitu senyap
suasana di ruang makan ini, sorot mata Thay-siang yang mencorong
tajam menyapu para hadirin, katanya kemudian: "Losin sudah
perintahkan Ko-lotoa untuk berlayar memasuki teluk kepulauan
Ngo-hui-to malam ini selagi air laut pasang. Kita akan mendarat di
suatu tempat yang dinamakan Cu-thau .. . ..." sampai di sini dia
bicara, hadirin sudah menyambut dengan tampik sorak yang riang
gembira.
Setelah suara keplok tangan sirap baru Thay-siang melanjutkan:
"Cu-thau tempat kita mendarat itu kira2 puluhan li dari Kunlunsan,
kira2 seratus li lebih dari Ui-lionggiam, markas besar Hek-liong-hwe,
oleh karena itu setelah kita mendarat harus segera mendapatkan
tempat berteduh untuk istirahat di samping membagi tugas."
merandek sebentar lalu ia melanjutkan: "Dari Cu-thau menuju barat,
kira2 lima li jauhnya kita akan menuju ke sebuah gunung yang
bernama Ciok santhu, di atas gunung ada sebuah Ciok-sinbio, di
biara inilah kita akan istirahat." Sampai di sini dia angkat kepala
serta berteriak; "'Ling Kun-gi!"
Lekas Kun-gi menyahut: "Hamba ada di sini."
Kata Thay-siang "Kau pimpin Coh-yu-hou-hoat dan seluruh
Houhoat-su-cia, setelah kapal mendarat bersama Congkoan Giok-lan
kalian naik ke darat lebih dulu dan berkumpul di Ciok-sinbio itu. Di
sebelah timur Ciok-santhau adalah sungai, sebelah barat adalah
hutan, boleh kau berunding dengan Coh-yu-houhoat cara
bagaimana harus menyesuaikan diri dengan keadaan di sana dan
aturlah segala yang kita perlukan."
Kun gi mengiakan dan terima perintah.
Thay-siang berkata pula: "Giok-lan pimpin Bikui, Ci-hwi, Hu-yong,
Hong sian, Giok-je ber-lima seperjalanan dengan Ling Kun-gi
berangkat dulu ke Ciok-sinbio dan atur lebih dulu segala keperluan
kita." Giok-lan dan para Tay-cia yang disebut namanya
membungkuk hormat sambil mengiakan.
"Loh-bi-jin bersama para dara kembang akan mengiringi
perjalanan Losin," demikian pesan Thay-siang. Setelah membagi
tugas berkata Thay-siang lebih lanjut: "Sekarang waktu masih
cukup, kalian boleh bubar dan membenahi semua yang diperlukan,
setelah tengah malam nanti bekerjalah menurut pesanku tadi, awas
jangan gagal."
Hadirin mengiakan, Thay-slang terus meninggalkan tempat itu di
bawah bimbingan Bok-tan dan So-yok. Setelah Thay-siang pergi,
Giok-lan bersama para Tay-cia dan dara2 kembang itu juga
mengundurkan diri ke tingkat ketiga. Maka terjadilah sedikit
kesibukan di atas kapal, semua orang sibuk mem-benahi barang
miliknya masing2.
Manusia adalah makhluk yang biasa hidup di daratan. Setelah
puluhan hari hidup di atas kapal, siapapun sudah merasa gerah,
kesal dan tak betah, semua orang ingin lekas2 naik ke darat.
Setelah larut malam dan rembulan sudah mulai doyong ke barat,
tiba saatnya air laut naik pasang. Ko-lotoa adalah seorang kelasi
yang ahli, dia tahu cara bagaimana memanfaatkan tenaga angin
dan kekuatan air. Tiga layar berkembang, mumpung air laut pasang,
kapal laju pesat mengikuti arah angin.
Sebelum kentongan ketiga, di bawah dorongan gelombang
pasang serta hembusan angin kencang kapal sudah mulai memasuki
teluk. Maka, terdengarlah dua kali suara tiupan kulit kerang, ketiga
layar yang berkembang itu segera diturunkan.
Dalam teluk sekitar kepulauan Ngo hui-to ini banyak sekali
pulau2 kecil, kini pulau2 kecil ini tenggelam di bawah air pasang,
hanya batu2 karang saja yang kelihatan menonjol dipermukaan air.
Agaknya Ko-lotoa sudah apal akan keadaan sekitar sini, maka kapal
laju seperti kembali ke rumahnya sendiri.
Setelah layar diturunkan laju kapal menjadi lambat, kalau air
pasang sudah dengan sendirinya kapal mengapung ke atas, Kolotoa
sendiri yang pegang kemudi, kapal belok ke kanan dan ke kiri
melalui batu2 karang laksana seekor ikan raksasa yang berenang di
dalam air.
Kira2 semasakan nasi kemudian kapal mulai memasuki teluk
rendah, terdengar suara keresekan di dasar kapal, kiranya perairan
di sini sudah dangkal dan kapalpun berhenti. Tanpa diperintah para
kelasi segera sibuk bekerja menurunkan jangkar maka kapalpun tak
bergoyang lagi.
Bahwa kapal sudah berhenti di sini, itu berarti mereka sudah tiba
di tempat tujuan. Tapi orang2 yang berdiri di atas kapal menjadi
keheranan, selepas mata memandang hanya kegelapan melulu,
kiranya kapal besar ini masih dikelilingi air, jaraknya dengan daratan
paling tidak masih setengah li jauhnya.
Dengan cekatan para kelasi segera menurunkan 6 sampan,
sementara Ko-lotoa menghampiri Ling Kun-gi, katanya sambil
menjura: "Cong-su-sia, Cong-koan, sekarang boleh silakan turun ke
sampan"
Kun-gi memperhitungkan sampan itu paling2 hanya muat tiga
orang, jadi sekali jalan hanya bisa membawa 18 orang, rombongan
sendiri bersama rombongan Giok-lan terang tidak bisa sekaligus
mendarat bersama. Maka dia lantas berkata: "Terpaksa kita harus
membagi dua rombongan, oleh karena itu harap Congkoan bersama
para Tay-cia, Leng-heng dan para Houhoat dan aku sendiri akan
turun lebih dulu sebagai rombongan pertama. Coa-heng bersama
delapan Hou-hoat-su-cia berangkat pada rombongan kedua.
Sekarang rombongan pertama boleh turun ke sampan."
Sambil angkat tangan ke arah Giok-lan dia menambahkan:
"Silakan." Lalu dia mendahului lompat turun ke salah sebuah
sampan.
Leng Tio cong, tujuh Houhoat dan Giok-lan serta Bikui dan lain2
juga melompat turun. Cepat sekali keenam sampan ini sudah
meluncur ke arah daratan. Setelah kedua rombongan ini mendarat
semua, sementara itu mereka sudah menghabiskan waktu setengah
jam.
Setelah semua orang lengkap berkumpul, Kun-gi menjadi
kebingungan, baru saja dia hendak ajak Giok-lan berunding, tampak
bayangan orang berkelebat, tahu2 Ko-lotoa yang kini mengenakan
topi beludru, sambil menenteng pipa cangklong mendatang terus
menjura, katanya tertawa: "Atas perintah Thay-siang, hamba
disuruh menyusul untuk menunjukkan jalan. "
Kun-gi melenggong, katanya mengangguk: "Bagus sekali,
memang aku hendak berunding cara bagaimana menuju ke Cioksanthan.
Syukurlah Thay-siang mengutus Ko-lotoa kemari, silakan."
Ko-lotoa tertawa, katanya: "Cong-su-cia terlalu sungkan, aku
orang tua memang kelahiran Mo-ping, di kampungnya sendiri sudah
tentu apal keadaan sini." Lalu dia menjura serta menambahkan:
"Ma-rilah kutunjukkan jalannya."
Kun-gi dan Giok-lan beramai lantas mengikuti langkahnya.
Sembari jalan Kun-gi berpaling dan berkata dengan menggunakan
ilmu gelombang suara kepada Giok-lan: "Congkoan, kau tahu asal
usul Ko-lotoa?"
Giok-lan menjawab dengan gelombang suara pula: "Aku hanya
tahu dia pandai berenang, dia-lah yang memimpin armada laut Pekhoa
pang kita di sekitar perairan Phoa-yang-ouw, tentang asal
usulnya aku tidak tahu. Sejak aku tahu urusan, agaknya dia sudah
menjadi anak buah Thay-siang dan menjadi pemimpin para kelasi
itu."
"Jadi sudah lama sekali dia ikut Thay-siang?"
Giok-lan manggut, tanyanya: "Adakah Cong-su-cia melihat
gejala2 yang mencurigakan atas dirinya?"
Kun-gi tertawa tawar, katanya: "'Tidak, aku hanya bertanya
sambil lalu saja."
Selama percakapan ini, mereka berjalan terus dengan langkah
cepat. Mendadak disadari oleh Kun-gi bahwa Ko-lotoa yang
menunjuk jalan di depan berjalan dengan langkah enteng dan
cekatan. Maklumlah rombongan di bawah pimpinan Ling Kun-gi ini
semua memiliki kepandaian silat yang lumayan kalau tidak mau
dikatakan kelas satu, Ko-lotoa hanya kelasi, dia berjalan paling
depan lagi, padahal orang2 yang di belakangnya sudah berjalan
sambil ber-lari2 kecil, dari ini dapatlah disimpulkan bahwa Ko-lotoa
juga memiliki Ginkang yang tinggi, paling tidak sejajar dengan
semua orang.
Kira2 semasakan air mereka sudah tiba di Ciok-santhau. Di
tengah malam di pegunungan yang tidak seberapa besar dan tinggi
ini bertengger seperti raksasa mendekam terletak Ciok-sanbio di
samping gunung, jalan menuju ke biara ini merupakan undakan
batu yang rata dan terawat bersih.
Di tengah perjalanan Kun-gi mengamati situasi sekelilingnya, lalu
dia perintahkan Coh-houhoat Leng Tio-cong bersama Toh Kanling,
Liang Ih-jun dan empat Houhoat-su-cia bertugas jaga di sebelah
timur yang menghadap ke sungai. Coa Liang ber-sama Lo Kun hun,
Yap Kay-sian bersama empat Houhoat-su-cia berjaga di hutan
sebelah barat. Sementara dia pimpin Kongsun Siang, Song Tekseng.
Thio Lam- jiang bersama Giok-lan langsung naik ke atas
gunung.
Setiba di depan Ciok-sinbio baru Ko-lotoa menghentikan langkah,
katanya menjura: "Biarlah aku mengetuk pintu." Lalu dia
mendahului maju ke pintu serta mengetuk tiga kali.
Maka kumandanglah suara seorang perempuan bertanya:
"Siapakah di luar?"
"Kita kemari bukan untuk sembahyang," sahut Ko-lotoa. Jawaban
yang tak sesuai dengan pertanyaan,
Diam2 Kun-gi heran, tapi dia tidak bersuara.
Terdengar suara perempuan di dalam berkata pula: "Kalian tidak
akan sembahyang, lalu mau apa kemari?"
"Lamhay Koan sim datang menemui Ciok-sin," sahut Ko-lotoa.
Tergerak hati Kun-gi, batinnya: "Kiranya mereka bicara dengan
bahasa rahasia."
Waktu dia berpaling ke arah Giok-lan, wajah orang juga
menunjuk mimik heran seperti tidak tahu menahu, kebetulan
orangpun menoleh ke arahnya dengan pandangan penuh tanda
tanya. Kiranya pembicaraan rahasia Ko-lotoa ini juga tidak diketahui
maksudnya oleh Giok-lan.
"O," terdengar perempuan tua di dalam ber-suara, pintu tetap
tidak dibuka, tanyanya pula: "Apakah ucapanmu ini dapat
dipercaya?"
"Kiap toaciangku dari istana bawah laut yang bilang begitu,
memangnya omongannya bisa salah?"
"Lalu di mana dia!"
"Dia adalah aku inilah yang tidak becus," ujar Ko-lotoa tertawa.
"Hah," lirih suara kaget perempuan tua di dalam, "jadi kau inilah
Kiap-toaciangkun, lekas silakan!" Daun pintu segera terpentang
lebar, keluarlah seorang nenek beruban dengan muka kuning kurus,
melihat di luar pintu berdiri sekian banyak orang seketika dia
berjublek, segera pula dia unjuk tawa sambil menjura: "Di tempat
ini serba kekurangan, mari silakan kalian masuk minum teh."
Bahwa Ko-lotoa mendadak menjadi "Kiap-toa ciangkun", sungguh
aneh bin ajaib.
Ko-lotoa tertawa, katanya: "Tidak jadi soal, Lam-hay Koanseim
toh sudah kemari, apa pula yang ditakuti?"
"Kalau begitu terpaksa aku harus memberi lapor kepada yang
berkuasa."
"Betul, lekaslah kau laporan kepada yang berkuasa."
Bergegas si nenek lari masuk ke belakang.
Sekilas pandang Kun-gi lantas tahu bahwa si nenek mengenakan
kedok, di waktu membalik badan, gerak pinggangnya gemulai dan
langkahnya enteng, tidak mirip seorang nenek yang sudah tua,
bertambah besar perhatian dan rasa curiganya. Tak tahan dia
berpaling kepada Ko-lotoa, tanyanya: "Kau kenal baik penghuni
biara ini?"
Ko-lotoa tertawa lebar, sahutnya: "Orang sekampung halaman
sendiri, sudah-tentu kami kenal baik. Mari silakan Cong-su-ciat dan
Congkoan."
Beriring orang banyak lantas masuk ke biara menyusuri serambi
mereka masuk ke sebuah pekarangan, tampak bangunan biara ini
terdiri dari tiga lapis gedung, setiap lapis bangunannya amat lebar
dan luas.
Tatkala semua orang lagi mengagumi bangunan megah
dipegunungan sepi ini, tampak dari dalam beranjak keluar seorang
Nikoh tua berkopiah kain kelabu, jubah agamanyapun kelabu,
dengan merangkup tangan dia berkata kepada Ko-lotoa: "Omitohud!
Pinni dengar katanya Ko-toasicu berkunjung, terlambat
menyambut, harap dimaafkan."
Ko lotoa balas hormat ber-ulang2, katanya tertawa: "Sekian
tahun tak bertemu. Lo-tang-keh masih baik2 saja, marilah
kuperkenalkan dua orang penting dalam Pang kita." Segera dia
menunjuk Kun-gi: "Inilah Cong-su-cia!" Lalu menunjuk Giok-lan:
"Inilah Congkoan. Atas perintah Thay-siang ia di suruh kemari
mengadakan persiapan."
Nikoh tua mengamati mereka berdua, lalu berkata: "Kiranya
Cong-su-cia dan Congkoan, maaf pinni kurang hormat."
Tajam tatapan Kun-gi, didapatinya muka Nikoh tua inipun
mengenakan kedok, bertambah tebal rasa curiganya, tapi sedikitpun
dia tidak unjuk tanda apa2, bersama Giok-lan dia balas hormat dan
menyapa ala kadarnya.
Lalu Nikoh tua bertanya kepada Ko lotoa: "Go-po tadi
melaporkan, katanya Koanseim akan datang sendiri kemari, apa
betul?"
"Tidak salah," ucap Ko-lotoa berseri tawa. "Posat sudah tiba di
Cu-than, sebentar juga akan tiba, maka Congkoan disuruh kemari
mengadakan persiapan."
Baru sekarang Kun-gi dan Giok-lan jelas duduk perkaranya,
Koanseim-po-sat yang dimaksud dalam pembicaraan kedua orang
ini kiranya adalah Thay-siang.
Tampak sikap Nikoh tua menjadi tegang, mulutpun berseru
kaget, katanya ter-sipu2 kepada Giok-lan: "Congkoan sekalian
silakan ikut Pinni, periksalah perumahan di belakang, supaya
dibersihkan dan dipajang semestinya untuk menyambut kehadiran
sang agung."
"Silakan Losuhu," ucap Giok-lan tertawa. Lalu ia berkata kepada
Kun-gi: "Harap Cong-su-cia duduk saja di sini, biar kuperiksa ke
dalam." Ia menggapai Bikui berlima: "Kalian ikut aku."
Sebetulnya Kun-gi hendak memberitahu Giok-lan bahwa Nikoh
tua dan nenek reyot tadi sama mengenakan kedok, supaya dia
berlaku hati2, tapi ucapan yang sudah di ujung mulut itu akhirnya
batal diucapkan.
Bahwa secara diam2 Thay-siang menyuruh Ko-lotoa menunjuk
jalan serta bicara dengan para biarawati ini secara rahasia, nenek
tua itupun memanggil Ko-lotoa sebagai. Kiap-ciangkun segala, dari
tanda2 ini tidak sukar dianalisa bahwa dalam biara ini termasuk
seluruh penghuninya pasti mempunyai hubungan erat dengan Thaysiang.
Setelah Giok-lan berlalu dalam ruang itu tinggal Ling Kun-gi, Kolotoa
dan Kongsun Siang, bertiga duduk di kursi yang ada di ruang
sembahyang itu, Kira2 kentongan ketiga baru tampak Thay-siang
datang diiringi Bok-tan, So-yok dan sekalian Taycia dan dara
kembang.
Ling Kun-gi, Giok-lan dan Nikoh tua beramai menyambut
kedatangannya serta menyongsongnya ke dalam ruang. Mendadak
Nikoh tua berlutut terus menyembah di depan Thay-siang dengan
air mata bercucuran, serunya sambil menyembah ber-ulang2:
"Syukurlah akhirnya hamba bisa bertemu pula dengan Tuan
Puteri."
Bahwa Nikoh tua berubah menjadi "hamba" (pelayan) sedang
Thay-siang menjadi Tuan Puteri, sudah tentu kata2 ini membuat
semua hadirin melongo kaget. Terutama Ling Kun-gi, pikirnya dalam
hati: "Kiranya Nikoh tua ini adalah pelayan Thay-siang waktu
mudanya dulu, entah tuan puteri apa dan darimana Thay-siang
asalnya?"
Thay-siang tampak tertawa ramah: "Lekas bangun, hampir dua
puluh tahun kita tidak bertemu, masih banyak persoalan yang ingin
kutanya padamu." Sembari bicara sedikit dia mengangkat
tangannya, Teh-hoa dan Liu-hoa segera maju membimbing Nikoh
tua itu berdiri.
Nikoh tua berdiri sambil menyeka air mata, katanya: "Ada pesan
apa tuan puteri?"
"Coba lihat, rambutpun sudah ubanan, jangan kau selalu usil
mulut memanggil Tuan Puteri segala," kata Thay-siang.
Dari samping Ko-lotoa ikut menimbrung dengan tertawa:
"Sekarang kita memanggilnya Thay-siang, kaupun harus ubah
panggilanmu. "
Nikoh tua menghormat sambil mengiakan.
Thay-siang duduk dikursi yang telah disediakan, tanyanya:
"Selama dua puluh tahun ini tentu kau cukup kepayahan, apakah
mereka pernah mencari setori ke sini?"
"Letak tempat ini hanya seratusan li dari Ui-lionggiam, beberapa
tahun permulaan mereka memang menaruh curiga, beberapa kali
mengobrak-abrik tempat ini, malah secara diam2 kita diawasi dan
gerak-gerik dibatasi, syukur tiada yang mengenali hamba, beberapa
tahun belakangan ini ada kalanya juga mereka meronda di perairan
sekitar sini, sesuai pesanmu dulu tak pernah hamba memperlihatkan
jejak, maka keadaan tetap aman tenteram."
Diam2 Kun-gi mulai paham, pikirnya: "Tak heran dia
mengenakan kedok."
"Gak-koh-tiamapa ada kabar?" tanya Thay-siang.
"Beberapa hari yang lalu masih ada kabar, mereka sudah tahu
bahwa engkau sudah berangkat kemari lewat jalan air, maka Hwiliong-
tongcu Nao Sam-Jun diperintahkan mencegat kalian di tengah
jalan, di samping itu merekapun mendatangkan jago2 dari berbagai
daerah umruk menghadapi pertempuran besar2an."'
Thay-siang tertawa dingin, katanya: "Beberapa hari yang lalu
Nao Sam-jun dengan Cap-ji-sing-siok sudah dipukul mundur, kecuali
beberapa gelintir cakar alap2 memangnya jago2 macam apa yang
bisa mereka kumpulkan?"
Kembali Kun-gi melenggong mendengar percakapan ini, pikirnya:
"Kiranya Hek liong-hwe juga bersekongkol dengan alat negara."
Cakar alap2 yang dimaksud adalah petugas negara.
"Agaknya Thay siang terlalu pandang rendah mereka, kabarnya .
. . . " mendadak nikoh tua berhenti tak berani meneruskan
ucapannya, lalu menyambung dengan ilmu gelombang suara. Jelas
percakapan selanjutnya amat penting dan rahasia, tiada seorangpun
yang tahu persoalan apa yang dipercakapkan?
Akhimya terdengar Thay-siang mendengus gusar: "Keparat, biar
kuhadapi jago2 Bit-cong andalan mereka, betapa sih lihaynya?" lalu
ia menyambung: "Kali ini kita menempuh perjalanan lewat air,
mereka kurang biasa, menurut rencanaku semula akan istirahat dua
hari di smi, bahwa merekapun sudah mempersiapkan diri, biarlab
kita sergap saja sebelum mereka bersiaga." Sampai di sini
pandangannya menyapu hadirin lalu berkata pula: "Begitu fajar
menyingsing kita harus segera berangkat, waktu masih kira2 dua
jam, dalam waktu yang singkat ini semua harus istirahat
secukupnya."
Habis berkata dia berdiri, Nikoh tua membuka jalan, mereka
mengundurkan diri ke belakang bersama Bok-tan dan So yok. Gioklan
juga bawa para Tay-cia dan dara kembang istirahat ke belakang.
Kecuali mereka yang malam ini tugas jaga, sisanya sama duduk
bersimpuh di ruang depan ini. .
Dengan cepat haripun mulai terang, semua orang berbaris tegak
di pekarangan depan siap menunggu perintah Thay-siang
selanjutnya.
Tak lama kemudian, dibawah iringan Bok-tan dan So-yok
beranjak keluarlah Thay-siang berdiri di undak2an, sorot matanya
yang berkilat tajam tampak mencorong dibalik cadar hitam, sekilas
dia menyapu pandang seluruh hadirin, lalu berkata dengan suara
lantang: "Sekarang kita akan berangkat, musuh kita adalah Hekliong
hwe, dengan banyak jago kosen merekapun sudah siap
menyambut kedatangan kita, oleh karena itu kita harus sergap
mereka untuk merebut kemenangan dengan jumlah kita yang
sedikit ini, melumpuhkan mereka yang berjumlah berlipat ganda.
Sepatah kata pesanku ini harus kalian camkan dengan baik, setiap
kali berhadapan dengan orang2 Hek-liong-hwe kalian harus turun
tangan lebih dulu bunuh seluruhnya dan habis perkara, sekali lena
dan kalah cepat memperoleh kesempatan, jiwa kalian sendiri yang
akan melayang dan tiada liang kubur untuk kalian."
Semua hadirin mendengarkan dengan khidmad dan patuh, tiada
yang buka suara. Sudah ribuan li mereka tempuh perjalanan inti,
tujuannya menyerbu Hek liong-hwe, medan laga sudah di depan
mata, maka berkobarlah semangat tempur scmua orang. Apalagi
kata2 Thay siang cukup tajam dan membakar semangat, semakin
besar gairah tempur mereka.
Habis bicara dari lengan bajunya yang lebar itu Thay-siang
mengeluarkan sepucuk sampul tertutup, teriaknya: "Bok tan!"
Pek-hoa-pangcu Bok-tan mengiakan sambil tampil ke depan,
serunya: "Guru ada, pesan apa?"
"Kau pimpin Giok-lan, Bikui, Ci-hwi dan Coh-houhoat Leng Tiocong,
Houhoat Liang Ih-jun, Yap Kay-sian dan Bing-gwat sebagai
petuntuk jalan, bekerjalah menurut catatan dalam surat rahasiaku
ini," Lalu ia serahkan sampul surat itu.
Setelah terima sampul surat itu, Bok-tan menjura, katanya :
"Tecu terima perintah."
Thay-siang mengulap tangan: "Kalianpun boleh pergi. "
Giok-lan, Bing-gwat ( Nikoh tua ), Leng Tio-cong dan lain2
mengiakan bersama, lalu mereka mengintil cepat di belakang Pekhoa-
pangcu Bok-tan keluar biara.
Kembali Thay-siang keluarkan sampul surat kedua serta berseru:
"So-yok!"
"Tecu ada," sahut So-yok tampil ke depan.
"Kau bawa Hu-gong, Hong-sian, Giok-je, Yu-houhoat Coa Liang,
Houhoat Toh Kanling, Lo Kunhun dan Bing-cu akan menunjukkan
jalan, bekerjalah menurut petunjuk dalam suratku ini," lalu diapun
serahkan sampul surat itu.
Setelah menerima sampul So-yok terus mengundurkan diri
beserta orang2 yang ditunjuk Thay-siang barusan.
Untuk ketiga kalinya Thay-siang mengeluarkan pula sampul
ketiga, teriaknya: "Ling Kun-gi!"
"Hamba ada," sahut Kun-gi.
Thay-siang serahkan sampul surat itu, sorot matanya menatap
tajam ke muka Ling Kun-gi, katanya dengan suara tandas: "Ling
Kun-gi, dalam tiga rombongan ini, rombonganmu merupakan pusat
kekuatan penyerbuan kita kali ini, apakah Pek-hoa-pang dapat
mengalahkan Hek-liong-hwe, tugas berat ini terletak di atas
pundakmu, oleh karena itu kau harus mematuhi pesanku di dalam
sampul ini, jangan lena dan jangan ragu, tahu tidak?"
"Hamba akan bekerja sekuat tenaga," sahut Kun-gi.
"Baiklah" ujar Thay-siang. "Sisa orang2 yang ada di sini boleh
kau pimpin seluruhnya, Ko-lotoa akan menjadi petunjuk jalan,
laksanakan perintahmu di dalam sampul, hanya boleh berhasil
pantang gagal" habis berkata baru dia serahkan sampul surat itu.
Waktu Kun-gi terima sampul itu, tampak di bagian depan sampul
tertulis sebaris huruf yang berbunyi: "Sebelum jam 8 harus tiba di
Lim-cu-say dan surat ini baru boleh di buka."
Entah dimana letak Lim-cu-say? Tapi Ko-lotoa akan menunjukkan
jalannya, maka dia tidak perlu banyak tanya. Segera dia simpan
sampul itu ke dalam saku, terus menjura dan serunya: "Hamba
terima perintah dan segera melaksanakannya"
"Loh-bi-jin," ucap Thay-siang lebih lanjut, "20 dara kembang
yang kau pimpin tinggal 19, biarlah Teh-hoa menggenapi jumlah ini,
kau tetap pimpin 20 orang." Teh-hua adalah salah satu pelayan
pribadi Thay- siang.
"Tecu terima perintab," seru Loh-bi-jin.
Kata Thay-siang: "Suruhlah mereka menggotong tandu yang ada
di belakang itu keluar, kalian boleh segera berangkat."
Kembali Loh bi-jin mengiakan terus ke belakang membawa
empat dara kembang, tak lama kemudian dia sudah keluar,
keempat dara kembang itu memikul sebuah tandu, warna tandu ini
juga serba hitam.
Diam2 Kun-gi membatin: "Tandu ini tentu buat Thay-siang."
Thay-siang mengulap tangan, katanya: "Untuk memburu waktu,
sekarang juga kalian boleh berangkat!?` lalu dia berpaling kepada
Liu-hoa di belakangnya: "Bawalah ji-gi itu dan jalanlah selalu
mengiring di samping tandu." Liu-hoa mengiakan.
Heran Kun-gi, semula dia kira Thay-siang akan naik tandu ini, tak
kira dia membagi seluruh kekuatan Pek-hoa-pang menjadi tiga
rombongan, ketiga rombongan dilepasnya pergi berarti seluruh
kekuatan dikerahkan. Lalu dia sendiri bagaimana? Memangnya
seorang diri dia akan tinggal di biara ini? Atau sengaja dia membagi
tugas kepada orang banyak, sementara dia sendiri menuju ke suatu
tempatb tertentu? Tapid Thay-siang sudaah memerintahkabn
berangkat, kecuali berangkat menunaikan tugas, tak mungkin dia
mengajukan pertanyaan lagi.
Maka lekas dia menjura kepada Thay-siang, ia membawa Kolotoa,
Kongsun Siang, Song Tek seng, Thio Lam-jiang dan
kedelapan Hou-hoat-su-cia mendahului keluar. Sementara Loh-bi-jin
mengintil dengan barisan 20 dara kembang yang mem-bawa tandu
kosong, sementara Liu-hoa mengiring di samping tandu hitam.
Setelah rombongan mereka itu meninggalkan Ciok-santhan
barulah Kun-gi bertanya kepada Ko-lotoa: "Ko-lotoa, Thay-siang
suruh kita tiba di Lim-cu-say sebelum jam 8 pagi, apakah keburu
waktunya?"
"Lim-cu-say terletak di kaki gunung Kunlun sebelah depan, dari
sini kira2 ada 50 li, kini baru jam 6, kalau jalan cepat, kukira masih
sempat memburu waktu."
"Baiklah, silakan Ko-lotoa tunjukkan jalan, kita jalan cepat2,"
demikian ucap Kun-gi.
Di bawah petunjuk Ko lotoa, mereka berjalan cepat menuju ke
arah utara. Daerah yang mereka lalui adalah pegunungan rendah,
jalan2 gunung yang berliku sukar dilalui, untung mereka sama
memiliki kepandaian tinggi, dengan menyusuri kaki gunung mereka
maju terus, ada kalanya mereka harus melintas jurang atau
menyeberang sungai. Selama sejam lebih mereka menempuh
perjalanan dengan sangat payah, tapi tapi tiada yang mengeluh,
untungnya sepanjang perjalanan yang serba sukar ini mereka tidak
mengalami aral rintang berarti, tepat pada jam yang ditentukan
mereka t iba di Lim-cu-say.
Itulah sebuah tanah datar yang cukup luas di bawah gunung,
hutan bambu memagari tanah lapang, berumput di depan sana,
kiranya ada beberapa petak bangunan gubuk bambu yang dihuni
beberapa keluarga.
Tiba2 tergetar pikiran Kun-gi, pikirrrya: "Agaknya beberapa
gubuk bambu itu ada sembunyi para mata2 Hek-liong-hwe." Serta
merta dia merogoh keluar sampul surat itu dan dibukanya, tampak
di atas secarik kertas tertulis:
"Pertama, kalian belum sarapan pagi, maka boleh istirahat di sini
sambil mengisi perut yang tersedia di dalam tandu.
Kedua, dari Lim-cu-say menuju ke utara, sepanjang jalan
hendaklah kibarkan panji Pang kita, para dara kembang sebagai
pelopor jalan.. Liu-hoa tetap beriring di samping tandu, kalian
menyebar mengelilingi tandu, gerak langkah kalian harus hati2 dan
selalu waspada, tapi juga tidak perlu cepat2, hal hal ini harus
diperhatikan, berbuatlah supaya pihak lawan mengira kalian akan
menyerbu setelah tabir malam mendatang, tentang situasi
perjalanan boleh berunding dengan Ko-lotoa.
Ketiga, sebelum magrib harus tiba di Ui-lionggiam, di depan Uiliong
giam ada sebuah tanah lapang, kalian harus sembunyi dan
aturlah jebakan di sini, sementara perintahkan Loh-bi-jin menaruh
tandu di tengah lapangan dan berjaga mengelilinginya.
Keempat, kalau berhadapan dengan Cap-ji-sing-siok dari Ui liongtong,
suruhlah para dara kembang menghadapinya.
Kelima, di antara musuh yang muncul, bila kedapatan Lama
berkasa merah, jangan dihadapi dengan kekuatan, biarkan dia
berusaha menerjang ke dekat tandu, kalau tidak kesamplok Lama
kasa merah, tandu harus dijaga seketat mungkin, setelah tiba di Uilionggiam,
baru lemparkan tandu ini ke gua Ui-liong-tong, sarang
para penjahat itu.
Enam, sampul tertutup yang kedua ini baru boleh dibuka setelah
kalian berhasil, menduduki Ui-Liong-tong."
Setelah habis membaca tulisan dalam sampul, Ling Kun-gi
berpaling kepada Ko-lotoa, tanyanya: "Berapa jauh dari sini menuju
ke Ui-lionggiam?"
"Lima sampai enampuluh li," sahut Ko-lotoa.
Perjalanan sejauh lima puluh li harus ditempuh dari pagi sampai
maghib, pantas Thay-siang menekankan supaya kita tidak usah
bergerak terlalu cepat. Kini baru Kun-gi paham bahwa
rombongannya ini meski merupakan kekuatan utama untuk
menyerbu Ui-lionggiam, tapi kenyataan juga hanya merupakan
barisan yang main gertak belaka. Apalagi mereka tidak perlu
bergerak cepat, para dara kembang sebagai pelopor barisan jelas
tujuannya untuk menarik perhatian pihak lawan saja.
Yang pasti rombongan Bok-tan dan So-yok baru boleh dikatakan
sebagai barisan penyerbu, terang tugas mereka jauh lebih berat,
karena kemungkinan tugas mereka adalah menyerbu Ui-liong-tong
dan Hwi-liong-tong. Dari sini dapatlah diambil kesimpulan bahwa
Thay-siang pasti masih mempunyai rahasia lainnya yang sengaja
disembunyikan. Dan yang membuatnya paling heran adalah Cap-jising
siok dari Hwi-liong tong itu kebal segala macam senjata, tapi
kenapa para dara kembang itu yang diharuskan mengadapi mereka?
Dari mana pula Thay siang bisa tahu kalau Lama ber-kasa merah
akan muncul di antara para musuh? Kenapa pula kalau berhadapan
dengan para Lama kasa merah boleh membiarkan mereka
menubruk ke tandu? Kalau t idak bersua Lama kasa merah, tandu
harus dipertahankan malah?
Bolak-balik Kun-gi berusaha memecahkan berbagai persoalan ini,
tapi tetap tidak memperoleh jawaban yang memuaskan, terpaksa
dia simpan sampul surat itu, lalu berkata kepada seluruh
rombongan, "Thay-siang suruh kita istirahat di hutan bambu ini,
setelah menempuh perjalanan sejauh 50 an li, belum makan pagi
lagi, di dalam tandu ada disediakan rangsum, marilah kita istirahat
di sini saja."
"Cong-coh" kata Ko-lotoa, "apakah perlu kita mencari suatu
tempat yang tersembunyi untuk istirahat?"
"Begitupun boleh," sahut Kun-gi.
Ko-lotoa berseri senang, katanya. "Kalau demikian marilah ikut
aku." Agaknya dia amat apal akan daerah ini, dia bawa orang
banyak memutar ke kaki gunung, di mana kebetulan ada tanah
lekukan di balik hutan yang cukup tersembunyi, maju lagi beberapa
jauh mereka tiba di sungai besar di sebelah belakang adalah hutan
yang subur dan rimbun. tanah lekukan itu ditumbuhi rumput
menghijau, di sinilah tempat yang cocok untuk istirahat banyak
orang.
Tandu diletakan di tengah tanah lapang, laki perempuan duduk
menjadi dua kelompok di kanan kiri melingkari tandu. Loh-bi-jin
segera suruh dua dara kembang mengeluarkan rangsum di dalam
tandu dan dibagikan kepada orang banyak.
-odw0o-
Untung Ui-lionggiam sejauh 50-an li. Thay-siang berpesan supaya
mereka t idak perlu buru2, cukup asal mereka tiba di tempat tujuan
sebelum senja, jadi waktunya masih cukup luang untuk istirahat.
Setelah semua kenyang, Kun-gi suruh Loh-bi-jin maju dan suruh
dia membaca pesan Thay-siang secara lantang dihadapan orang
banyak. habis membaca Loh-bi-jin terus menyingkap tutup tandu,
betul juga di tempat duduk tandu memang ada panji yang dilipat
rapi. Maka dia suruh dua dara kembang memotong bambu dan
dibuat tiang panji. Bukan saja panji2 itu berwarna warni menyolok,
sulamannya juga indah Ada yang berbentuk segi panjang, panji ini
bertuliskan Pek-hoa-pang dengan huruf besar. Ada pula yang
berbentuk segi tiga, di tengahnya bersulam huruf "Hoa" yang besar.
Ada pula panji panjang sempit berwarna dasar putih bertulisan
hitam, hurufnya berbunyi-"Tumpas habis Hek-liong-hwe" dan
sebuah lagi bersemboyan "Lenyapkan sampah persilatan".
Setelah panji2 ini dipasang di ujung bambu panjang hingga mirip
barisan panji diwaktu pawai, menarik dan mengesankan.
Setelah segala persiapan selesai dilakukan, Kun-gi mendekati
Loh-bi-jin, tanyanya: "Apakah nona tahu apa yang harus dilakukan
sepanjang perjalanan ini?"
"Wah, agaknya Cong-su-cia hendak menguji aku," ucap Loh-bi-jin
"dalam pesan Thay-siang suruh para dara kembang menjadi pelopor
barisan dengan panji2 serba aneka ragam ini, tapi gerak-gerik kita
sedapat mungkin harus tetap dirahasiakan, ku-kira maksud Thaysiang
supaya kita menggulung panji2 itu, barisan maju ke depan
dengan diam2, entah betul t idak gambaranku ini?"
"Nona memang cerdik," ujar Kun-gi mengangguk, "kukira
memang demikianlah maksud Thay-siang."
"Aku sangat bangga dapat seperjalanan dengan Cong-su-cia dan
berada di bawah perintahmu lagi, segalanya terserah kepada Congsu-
cia saja."
"Jangan nona sungkan, baiklah kita bekerja sesuai pesan beliau
saja," kata Kun-gi pula. Setelah cukup lama mereka istirahat, Kolotoa
tetap berjalan paling depan sebagai penunjuk jalan. Kali ini
barisan dibagi menjadi beberapa kelompok, maka jalannya jauh
lebih teratur.
Ko-lotoa sebagai penunjuk jalan berada paling depan, lalu Congsu-
cia Ling Kun-gi, Kongsun Siang, Song Tek-sing, Thio Lam-jiang
dan disusul para dara kembang yang membawa panji2.
Cuma panji yang mereka bawa sama digulung, ada yang masih
melambai dan sebagian gambar kelihatan, siapapun yang
melihatnya pasti akan tahu bahwa mereka adalah barisan orang Pek
hoa-pang.
Yang berada dibelakang barisan dara2 kembang adalah Loh-bi-jin
sang pimpinan, lalu Liu-hoa yang memegang mistar kebesaran, di
belakangnya lagi baru tandu, dibelakang tandu adalah delapan Houhoat-
su-cia yang mengenakan seragamhijau pupus.
Barisan tampak megah dan merupakan kekuatan utama Pek-hoapang,
siapapun bila melihat tandu serba hitam itu pasti akan
mengira orang yang duduk didalamnya Thay-siang adanya. Memang
siapa yang tahu bahwa tandu ini sesungguhnya kosong? Barisan ini
memang dimaksud untuk menggertak musuh belaka.
Ternyata Ko-lotoa juga cukup cerdik dan pintar, dia
meninggalkan jalan raya, sengaja dia pilih jalan pegunungan yang
jauh lebih sulit dilewati. Malah ada kalanya sengaja main sembunyi
dan menggeremet maju seperti takut jejaknya konangan musuh.
Yang benar, waktu berada di Lim-cu-say, jejak mereka sudah
selalu diawasi oleh mata2 Hek-liong-hwe, dengan burung dara pos
mata2 itu sudah kirim berita ke markas pusat, malah sepanjang
perjalanan ini ada juga orang menguntit, setiap saat gerak-gerik
mereka selalu dilaporkan lewat burung pos. Oleh karena itu pihak
Hek-liong-hwe amat jelas akan jejak dan gerak-gerik mereka. Tapi
maksud tujuan Thay-siang akan rombongan yang dipimpin Ling
Kun-gi ini memang hanya untuk menggertak musuh, supaya pihak
Hek-liong hwe merasa yakin sudah menguasai situasi.
Menjelang senja sesuai pesan Thay-siang mereka sudah berada
di belakang gunung, tapi mereka bergerak sembunyi2, mereka
harus menunggu hari menjadi gelap baru akan beraksi, secara
mendadak menyergap Ui-lionggiam.
Hari mulai remang2, rombongan yang dipimpin Ling Kun-gi
dibawah petunjuk jalan Ko lotoa akhirnya tiba di tanah lapang
berumput di luar Ui-lionggiam. Inilah tempat yang sudah di tentukan
oleh Thay-siang, setiba di tempat ini mereka tidak perlu main
sembunyi lagi.
Dara2 kembang dengan mengacungkan panji2 mereka berderap
memasuki tanah lapang serta menduduki tanah berumput datar ini,
tandupun diturunkan tepat di tengah lapangan.
Sungguh aneh, dari depan sampai belakang gunung tak pernah
mereka kesamplok dengan seorang musuhpun sehingga barisan
pelopor Pek-hoa-pang yang merupakan kekuatan inti ini seolah2
memasuki daerah yang tidak dihuni lagi, Tapi Kun-gi cukup
mengerti, bila pihak lawan diam saja dan tidak memberikan sesuatu
reaksi, ini berarti bahwa mereka memang sudah sejak lama
mempersiapkan diri dan mengekang anak buahnya secara keras dan
membiarkan pihak Pek-hoa-pang masuk jebakan yang telah diatur.
Maka Kun-gi berpesan kepada seluruh anak buahnya agar selalu
siaga dan waspada. Delapan Hou-hoat-su-cia, 20 dara kembang
semua sudah melolos senjata siap membentuk ancang2 barisan di
tengah tanah rumput itu. Tandu tetap berada di tengah, tirai
menjuntai menutup rapat sehingga tak kelihatan siapa yang ada di
dalam, Liu-hoa berdiri tegak di samping tandu sambil memeluk
mistar kebesaran.
Jumlah mereka tidak sedikit, tapi gerak-gerik mereka cukup
lincah dan tangkas, langkah tidak berbunyi dan tidak menimbulkan
kepulan debu.
Sementara panji2 Pek-hoa-pang sudah dipancang di sekeliling
tanah lapang, panji berkibar tertiup angin. Empat dara kembang
yang ditugaskan mengurus komsumsi segera mengeluarkan
rangsum dan dibagikan. Setelah malam semakin berlarut nanti
mereka akan menghadapi suatu pertempuran besar yang akan
menentukan mati dan hidup, maka mereka harus mengisi perut
untuk menunjang semangat dan kekuatan fisik.
Pada saat mereka istirahat itulah tiba2 terdengar dari arah barat
di mana tadi mereka datang berkumandang suara ledakan
menggelegar. Terlihatlah serombongan bayangan orang muncul dari
balik batu2 besar dan mencegat jalan mundur mereka.
Yang terdepan adalah seorang kakek tua bertubuh kurus kering,
bermata satu sebelah kanan. Di belakangnya berbaris sembilan
orang, dari kaki sampai kepala di bungkus pakaian seragam. ketat
warna hitam, hanya kedua biji mata mereka yang kelihatan, itulah
sisa dari Cap ji-sing-siok yang berpakaian kebal senjata.
Kun-gi tertawa dingin, jengeknya. "Kukira siapa, rupanya kalian
yang pernah kecundang di bawah pedangku, mana Kim kao cian
Nao Sam-jun, kenapa tidak kelihatan batang hidangnya?
Memangnya sudah pecah nyalinya?"
Bola mata si kakek yang bermata tunggal ini mendelik besar
seperti kelereng berapi, sesaat lamanya dia menatap Kun-gi,
katanya kemudian: "Usia muda bermulut besar, kau inikah Cong-sucia
Pek-hoa-pang yang bernama Ling Kun-gi itu?"
Kun-gi bertolak pinggang dengan angkuh, katanya: "Sebutkan
juga namamu?"
Si mata tunggal mencibir, dengusnya: "Cari urusan tidak tahu
diri, memangnya siapa Lohu ini tidak pernah kau dengar orang
bilang?"
Kun-gi tertawa lantang, katanya: "Terlalu banyak sampah
persilatan, mana mungkin orang she Ling tahu akan orang2 tersisa
ini."
Seketika si mata tunggal menarik muka, teriaknya gusar: "Anak
keparat yang tidak tahu diri, nanti akan Lohu bikin kau tahu betapa
lihaynya orang tersisa ini."
Ko-lotoa berdiri di belakang Ling Kun-gi, tiba2 dia berkata lirih:
"Dia inilah yang dipanggil Hoanthianeng Siu Ing, salah satu dari ke
36 panglima Hek-liong-hwe dulu ........."
Mata tunggal Hoanthianhwe Siu Ing memancarkan cahaya dingin
tajam, sesaat dia tatap Ko-lotoa, akhirnya ter-gelak2, katanya: "Kau
ini Ko-ciangkun, haha, tak heran kau segera tahu asal usul
saudaramu ini."
Ko-lotoa segera menjura, katanya: "Ya, memang inilah orang she
Ko, silakan Siu-ciangkun."
Diam2 Kun-gi mengangguk, pikirnya: "Ternyata Ko-lotoa juga
salah satu dari ke36 panglima Hek-liong hwe dulu."
Tatkala dia ber-pikir2 inilah, dari arah jalan pegunungan sebelah
sana juga berdentum suara ledakan keras. Muncul bayangan dua
pasang orang berbaju hitam dari jalanan hutan sana. Empat orang
bergerak laksana setan gentayangan, pelan2 mereka beranjak
keluar dari hutan, lalu berdiri terpencar ke kirikanan, tegak laksana
patung, kedua tangan lurus ke bawah, muka kalihatan putih kaku
seperti mayat.
Lalu disusul munculnya dua buah lampion warna merah, dua
gadis baju hijau menentengnya keluar dengan langkah lembut dari
hutan.
Menyusul muncul sebuah tandu yang di pikul dua laki2 kekar.
hanya sebentar saja sudah berada di luar hutan dan berhenti di
ujung jalan. Kedua gadis pembawa Lampion berdiri di kirikanan
tandu, keempat laki2 serba hitam berwajah seperti mayat tadi juga
merapat ke dekat tandu.
Diam2 Kun-gi menerawang: "Ramalan Thay-siang memang tepat,
Hek-liong-hwe main pancing musuh ke daerah terlarang ini untuk
turun tangan tapi pihak musuh tidak tahu semua ini sudah dalam
perhitungan beliau."
Maka dapatlah diduga kalau Hek-liong-hwe mengerahkan
kekuatan dan membuat perangkap di sini, jelas rombongan Pekhoa-
pangcu Bok-tan dan Hupangcu So-yok yang bertugas menyerbu
dari sayap kirikanan atas perintah Thay siang itu belum diketahui
pihak musuh.
Apa yang dikatakan Thay-siang memang tidak salah, rombongan
yang dipimpinnya ini merupakan pusat kekuatan dari barisan
penyerbu Pek-hoa-pang yang paling tangguh, agaknya Hek-lionghwe
mengira Thay-siang berada di dalam tandu yang mereka pikul
dan dijaga ketat ini, maka merekapun mengerahkan kekuatan untuk
mencegat dan menumpasnya di sini.
Sambil menimang2 itulah secara diam2 dia memberi kedipan
mata kepada Loh bi-jin, maksudnya supaya si nona bekerja sesuai
petunjuk Thay-siang yang tertera di surat rahasianya itu, dia harus
pimpin para dara kembang menghadapi Cap-ji-sing-siok dari Hwiliong-
tong.
Loh-bi jin mengerti, dia mengangguk, lalu memberi tanda dengan
lambaian tangan ke arah dara2 kembang. Melihat aba2 serentak
dua puluh dara kembang menggerakkan tangan, sekali tangan
membalik, dari pinggang masing2 mereka mengeluarkan sepasang
golok melengkung, mereka menghadap ke barat dan berbaris rapi.
Walau tidak tahu cara bagimana para dara kembang ini akan
menghadapi Cap ji-sing-siok, tapi Kun-gi tahu bahwa Thay-siang
sudah memperhitungkan pihak Hek-liong-hwe pasti memasang
perangkap di sini, dengan menunjuk dara2 kembang ini menghadapi
Cap-ji-sing-siok, tentu hal ini tidak perlu dikuatirkan.
Musuh dibagian barat sudah dia serahkan pada Loh -bi-jin, ini
menurut pesan Thay-siang di dalam surat rahasianya, maka urusan
selanjutnya dia boleh tidak usah mengurusnya.
Mengenai rombongan musuh yang berada di arah timur,
jumlahnya memang tidak banyak, tapi tandu hitam yang mungil itu
tidak asing lagi bagi Kun-gi, dia tahu itulah tandu yang biasa dinaiki
Hianih-lo-sat. Perempuan yang satu ini pandai menggunakan obat
bius, sampai Lam-kiang-it-ki Thong-pi-thianong Tong Ji-hay yang
memiliki kepandaian tinggi itupun kecundang olehnya, tapi dia tidak
usah gentar menghadapinya karena memiliki Jing-sintan buatan
keluarga Un dari Ling-lam pemberian Un Hoankun.
Maka pelan2 dia memutar ke arah timur sembari tangan meraba
gagang pedang, serunya tertawa lantang: "Apakah yang datang
Hianih-lo-sat Coh-siancu? Sungguh tak nyana kita berjumpa lagi di
sini."
Maka berkumandanglah suara seorang nyonya dari dalam tandu
hitam itu: "Aku bukan Hianih-lo-sat Coh-siancu."
Mendengar logat suara orang Kun-gi tahu memang bukan suara
Coh-siancu, sekilas dia melengak, tanyanya: "Kalau kau bukan
Hianih-siancu, memangnya kenapa kau gunakan panji2 miliknya?"
Orang dalam tandu mendengus, katanya: "Buat apa Losin harus
memakai panji miliknya?" Sampai di sini suaranya tiba2 meninggi:
"Junhoa, Jiu-gwat, buka tirai."
Dua pelayan baju hijau yang berdiri di kanan-kiri tandu
mengiakan terus menyingkap t irai yang menutup tandu.
Kini Kun-gi bisa melihat jelas. Di dalam tandu duduk seorang
nyonya baju hijau bergaun putih, wajahnya putih, rambutnya sudah
beruban, sorot matanya berkilat, memang dia bukan Hianih-lo-sat.
"Anak muda," ucap nyonya baju hijau, "kau kenal Coh-siancu?"
Gagah perkasa sikap Ling Kun-gi dengan jubah yang melambai2,
katanya sambil mengangguk: "Cayhe pernah bertemu dengan Cohsiancu."
"Bagus sekali" ucap nyonya baju hijau sambil mengawasinya
lekat2, tanyanya: "Siapa namamu?"
"Cayhe Ling Kun-gi."
Agaknya nyonya baju hijau rada melengak, beberapa saat dia
mengawasi pula, katanya kemudian: "Jadi kau inilah Cong-su-cia
dari Pek-hoa-pang itu.."
"Ya, betul, memang akulah yang rendah ini."
"Baiklah musuh utama yang kita hadapi malam ini adalah Thaysiang
dari Pek-hoa-pang, untuk itu Losin boleh memberi keringanan
padamu, asal kau tidak menerjang ke arahku sini, Losin t idak akan
mempersulit padamu."
Tegak alis Kun-gi, katanya lantang: "Banyak terima kasih akan
kebaikanmu, Cayhe juga ada sepatah dua kata untuk disampaikan.
Pertempuran malam ini pihak mana bakal gugur sulit diramalkan,
tapi asal engkau suka mengundurkan diri dari asalmu datang tadi,
Cayhe juga boleh memberi keringanan padamu, pasti tidak akan
menyentuh seujung rambutmu."
Junhoa dan Jiu-gwat yang berdiri di kanan-kiri tandu seketika
menarik muka, sambil menuding Kun-gi mereka memaki: "Berani,
kau kurangajar terhadap Liu siancu, biar kuringkus kau lebih dulu."
Liu-siancu, kiranya nyonya berbaju hijau yang duduk di dalam
tandu adalah Jianjiu-koanim Liu-siancu yang terkenal itu. '
Mencorong terang bola mata Ko-lotoa mendengar nama orang,
dilihatnya tangan kedua budak perempuan yang menuding itu
mengeluarkan selarik sinar emas berkelebat, segera ia berteriak:
"Cong-coh, hati2 serangan mereka." Sayang peringatannya ini
sudah terlambat.
Di tengah hardikan suara Junhoa dan Jiu gwat, dua batang jarum
emas tanpa bersuara menyamber ke kirikanan pundak Ling Kun-gi.
Tapi Kun-gi tetap menggendong tangan dengan sikapnya yang
gagah perkasa tanpa bergerak, kedua jarum emas lawan dibiarkan
saja mengenai pundaknya, malah dia unjuk senyum manis dan
berkata: "Kalau jarum nona berdua bisa melukai Cayhe, jabatan
Cong-su-cia di Pek-hoa-pang memangnya bisa kududuki." Belum
habis dia bicara, kedua jarum emas lawan yang mengenai
pundaknya, pelan2 jatuh ke tanah.
Terbeliak Junhoa dan J iu-gwat, muka merekapun pucat pasi. Tapi
Jiu-hoa masih bandel, dengusnya: "Jangan takabur? Hm, coba
rasakan yang ini . . . . "
Lekas Liu-siancu bersuara: "Jiu-gwat, jangan turun tangan, dia
meyakinkan ilmu sakti pelindung badan, kalian tidak akan mampu
melukai dia." Pandangannya beralih dan berkata pada Ling Kun-gi:
"Usiamu masih begini muda, tapi sudah berhasil meyakinkan ilmu
sakti pelindung badan, sungguh kagum dan harus dipuji, tak heran
kau berani bersikap angkuh dan bermulut besar, ketahuilah ilmu
silat tiada batasnya, kepandaian seorang bisa lebih tinggi daripada
yang lain, tentunya kau pernah dengar penuturan gurumu tentang
nama Kinsianyang Jianjiu-koanim bukan? Ilmu sakti pelindung
badanmu itu hanya mampu menolak senjata rahasia biasa, tapi
menghadapi Thay yangsinciam (jarum sakti matahari) milikku ini,
ilmu saktimu itu tidak akan berguna lagi.".
Diam2 tergetar hati Ling Kun-gi, memang gurunya pernah bilang
bahwa Jianjiu-koan im Liu-siancu yang bertempat tinggal di Kiusianyang
memiliki ilmu senjata rahasia yang menjagoi Bu-lim,
selama berpuluh tahun malang melintang tak pernah menemukan
tandingan, terutama "jarum sakti matahari" yang dia yakinkan itu
khusus untuk memecahkan Khikang atau ilmu sakt i kekebalan
pelindung badan yang tangguh bagi tokoh2 persilatan umumnya.
Sungguh tak pernah terpikir oleh Kun-gi bahwa Jianjiu-koanim Liusiancu
yang tersohor juga mau menjadi kaki tangan musuh dan
bersekongkol dengan Hek-liong-hwe.
Dengan tertawa Kun-gi berkata: "Memang Cay-he pernah dengar
dari Suhu tentang nama besar Liu-siancu, tapi kalau Liu-siancu yakin
bahwa jarum sakti mataharimu itu mampu membobol pertahanan
ilmu pelindung badanku, nah boleh silakan coba."
"Suhu," teriak Junhoa gusar," usil mulut orang ini, kalau tidak
diberi tahu rasa, dia kira jarum sakti matahari Suhu tidak mampu
mengalahkan dia."
Liu-siancu tersenyum, katanya: "Anak muda, sekali hawa murni
pertahanan badanmu pecah, maka tamatlah jiwamu, jangan kau
mempertaruhkan jiwamu sendiri, perlu kuperingatkan padamu, asal
nanti kau tidak menerjang ke arahku, aku tetap tidak mengganggu
dirimu."
Pada saat itulah, suara ledakan ketiga menggelegar lagi. Maka
muncullah delapan lampu yang besar terang dari ngarai batu tempat
ketinggian sana, sehingga seluruh Ui-lionggiam ini menjadi terang
benderang seperti siang hari.
Dari sebuah mulut gua besar yang menganga di bawah Uilionggiam
sana muncul sebarisan orang dengan langkah lamban.
Orang yang berjalan paling depan adalah laki2 tua berjubah hitam,
wajahnya merah beralis tebal, jenggot dibawah dagunya sudah
memut ih, pedangnya panjang beronce kuning tampak tersandang
dipundaknya, sorot matanya berkilat menghijau dingin.
Orang ini pernah dilihat Kun-gi di Pek-hoa-pang dulu, dia adalah
Ci Hwi-bing Tongcu dari Ui-liong-tong. Di belakangnya ada dua
orang tua lagi, seorang berpakaian kain kaci kasar, berperawakan
agak pendek, tapi raut mukanya memanjang, mirip tampang kuda
sehingga kelihatannya amat lucu. Seorang lagi bermuka tirus, tulang
pipinya menonjol, rona mukanya pucat seperti kertas, kedua
matanya memicing seperti meram tapi juga melek sekilas pandang
orang akan segera tahu bahwa kedua orang tua ini berasal dari
aliran jahat. Di belakang kedua orang tua ini diikuti pula empat laki2
kekar berpakaian hitam ketat dengan pedang panjang di punggung
mereka, paling t idak keempat orang ini adalah para Sincu dari Uiliong-
tong yang ber-pangkat tingkat dua.
Diam2 Kun gi menerawang situasi yang dihadapinya, pihak lawan
sekaligus muncul tiga rombongan jago2 kosen, musuh di timur dan
barat terang akan mencegat jalan mundur pihaknya, sementara
rombongan yang dipimpin Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing sendiri
berhadapan langsung dengan dirinya.
Hoanthianeng Siu Ling yang memimpin sisa Cap ji-sing-siok akan
dihadapi Loh-bi-jin dengan dara2 kembang sesuai yang dipesan oleh
Thay-siang, sementara untuk menghadapi rombongan musuh di
sebelah barat dan di depan ini, dia sendiri harus berdaya upaya.
Maka dia berbisik kepada Kongsun Siang supaya memimpin empat
Hou-hoat-su-cia menghadapi rombongan musuh di sebelah timur
yang dipimpin Liu-siancu. Sementara empat Hou-hoat-su-cia yang
lain di bawah pimpinan Ting Kiau di serahi tugas untuk melindungi
tandu.
Sementara Kun-gi, Ko-lotoa, Song Tek sing Thio Lam-jiang
berhadapan langsung dengan kekuatan utama musuh yang dipimpin
Ci Hwi-bing. cara pembagian ini kalau dinilai kekuatannya jelas
pihak sendiri terlampau lemah, Tapi dalam keadaan kepepet pada
saat genting ini, cara yang ditempuhnya ini sudah merupakan
pilihan yang terbaik.
Bersinar tajam mata Ui-liong-tongcu, dengan kalem satu persatu
dia awasi, setiap insan Pek-hoa-pang yang ada di tengah lapangan,
kemudian terkulum secercah senyuman riang, congkak dan rasa
kemenangan, dalam jarak dua tombak dia berdiri, suaranya
bergetar keras: "Siapakah yang bernama Ling Kun-gi, Cong-su-cia
dari Pek-hoa-pang?'
Dengan kalem Kun-gi melangkah maju, katanya: "Cayhe inilah
Ling Kun-gi, Ci-tongcu ada petunjuk apa?" Pedang tersoreng
dipinggang, jubah hijau yang dipakainya melambai tertiup angin,
sikapnya tenang dan wajar, sungguh tak ubahnya seorang panglima
perang yang sudah berpengalaman dan tabah menghadapi segala
lawan. Ko-lotoa, Song Tek-seng dan Thio Lam-jiang tetap beriring di
belakangnya.
Seperti mata harimau yang buas dan liar so-rot mata Ci Hwi-bing,
katanya, menyeringai: "Kau inikah Cong-su-cia itu?". Di taman
belakang Pek-hoa-pang dulu dia pernah melihat Kun-gi duduk
berjajar dengan Pek-hoa-pangcu, maka dia kenal Kun-gi. "Mana
Thay-siang kalian?" tanyanya pula.
"Ya, beliaupun datang."
"Kenapa menyembunyikan diri dalam tandu, persilakan dia
keluar!'
"Apakah Hwecu kalian juga akan keluar?" balas tanya Kun-gi.
"Dengan kekuatan kami yang tangguh ini, memangnya perlu
Hwecu sendiri yang keluar?" ejek Ci Hwi-bing.
Tawar tawa Kun-gi, ucapnya: "Kalau Hwecu kalian tidak mau
keluar, Thay-siang kami juga tidak sudi menemuimu."
Ci Hwi-bing terbahak sambil mendongak, serunya: "Kalian sudah
terjatuh ke dalam genggaman tanganku, ingin Lohu lihat sampai
kapan dia bisa sembunyi di dalam tandu."
"Jadi Ci-tongcu sudah yakin kalau pihakmu pasti akan menang?"
jengek Ling Kun-gi.
"Memangnya kalian mampu keluar dari sini dengan masih
bernyawa?"
"Kukira belum tentu," demikian ucap Kun-gi dengan sombong,
"orang kuno ada bilang, orang bajik tidak akan datang, yang datang
tidak mungkin bajik, kalau Pek-hoa-pang cuma macamnya orang2
segampang tahu dicacah memangnya bisa meluruk sejauh ini
sampai di Kunlunsan ini?"
Berubah rona muka Ci hwi-bing, sebelah tangan mengelus
jenggot dia tatap Ling Kun-gi sesaat lamanya, katanya: "Tapi
keadaan di depan mata sudah merupakan bukti, kalian masuk
perangkap dan terkepung dari tiga jurusan, jelas berada dalam
situasi yang kepepet, inilah kenyataan yang tak bisa diperdebatkan
lagi, kau bukan orang bodoh, memangnya tidak bisa menilainya
sendiri."
"Tidak, Cayhe tetap berpendapat pihak mana yang bakal gugur
masih sukar diramalkan," Kun-gi tetap memberi tanggapan tegas.
Terkekeh mulut Ci Hwi-bing, senyum sinisnya semakin tebal
disertai rasa gusar, suaranya berubah kereng berat: "Lohu dengar,
katanya kau adalah murid Hoanjiu-ji-lay Put-thong Taysu?"
"Memangnya perlu kuterangkan lagi?" jengek Kun-gi.
"Mengingat gurumu Put-thong Taysu, Hwecu tidak ingin
bermusuhan dengan kau, maka Lohu di perintahkan untuk
menasihati kau bahwa permusuhan Hek-liong-hwe dengan Pek-hoapang
tiada sangkut pautnya dengan kau, tak perlu kau ikut basah
dalam air keruh ini, terutama mengingat ilmu silat yang kau pelajari
begitu tinggi, masa depanmu gilang gemilang, jika kau sudi mampir
ke Hek-liong-hwe kami, Hwecu juga bisa memberi kedudukan Conghou-
hoat yang lebih agung padamu."
Kun-gi tertawa, katanya: "Kebaikan Hwecu kalian, Cayhe terima
di dalam hati saja.”
"Jadi kau tidak mau terima undangan kami?"
"Sekarang Cayhe adalah Cong-hou-hoat-su-cia dari Pek-hoapang,
sebagai seorang ksatria memang bisa aku harus bermuka
dua, pagi berpihak sini dan malam berpihak sana, sekarang, kata2
Ci-tongcu tadi kuputar balik dan kupersembahkan kembali padamu,
kalau sekarang aku membujuk Ci-tongcu menyerah dan berpihak
pada Pek-hoa-pang bagaimana?"
Ci Hwi-bing manggut2, katanya: "Maksud Hwecu, jika Ling-lote
tidak mau menyerah, beliau pun mengharap kau mengundurkan diri
saja dari keterlibatanmu ini, jangan sampai diperalat oleh Pek-hoapang,
asal kau mengangguk segera kusuruh orang mengantarmu
turun gunung, bagaimana pendapat mu.
Kun-gi tertawa, katanya: "Jika Thay-siang kita juga membujuk
umpama Ci-tongcu tidak mau takluk kepada Pek-hoa-pang, silakan
selekasnya kau mengundurkan diri saja, bagaimana pendapat Citongcu?"
Wajah Ci Hwi-Ling berubah kelam: "Jadi kau tetap membandel."
"Seperti kau Ci-tongcu, masing2 orang mempunyai tekadnya
sendiri2"
"Ling Kun-gi, kebodohanmu ini akan menghancurkan masa
depanmu sendiri."
"Cayhe tidak habis pikir, dalam hal apa aku akan menghancurkan
masa depanku sendiri?"
"Baiklah Lohu terangkan padamu, Pek-hoa-pang main pikat
terhadap insan persilatan dengan paras elok anggotanya, paling2
mereka hanya perkumpulan orang2 durhaka dan khianat, sekarang
kau sudah mengerti bukan?"
Bahwa Pek-hoa-pang dituduh sebagai khianat mau tak mau
bergetar hati Ling Kun-gi, semakin tebal rasa curiganya. Dia masih
ingat Thay-siang pernah berkata demikian: "Mereka (maksudnya
Hek-liong-hwe) kecuali mengerahkan beberapa anggota cakar
alap2, memangnya bisa mengerahkan jago2 silat dari mana?"
Semula Kun-gi mengira permusuhan antar Pek-hoa-pang dan Hekliong-
hwe hanya pertikaian biasa antara sesama perkumpulan yang
berkecimpung dalam percaturan Kangouw, tapi dari ucapan Ci Hwibing
tadi dia menarik kesimpulan bahwa permusuhan kedua
perkumpulan ini juga ada hubungannya dengan pihak penguasa.
Ko-lotoa tetap berdiri di belakang Ling Kun-gi, dia hanya berdiri
diam mendengarkan percakapan kedua pihak. Maklumlah, dia hanya
sebagai penunjuk jalan, tiada hak untuk ikut bicara dihadapan Congsu-
cia. Apalagi Ling Kun-gi tidak termakan oleh bujuk rayu Ci Hwibing
yang akan menariknya ke pihaknya, maka dia anggap tak perlu
ikut berbicara.
Tapi kini persoalan sudah lain, kaum persilatan umumnya
memang mengalami kehidupan pahit di ujung senjata, tapi sekali
urusan menyangkut pihak yang berkuasa, siapapun tak berani
memikul akibatnya dituduh sebagai pengkhianat negara.
Melihat Kun-gi mendadak terdiam, Ko lotoa mengira dia keder
karena dituduh sebagai "pengkhianat". Sejauh ini urusan telah
berkembang, maka dia tidak hiraukan kedudukannya sekarang
sebagai penunjuk jalan lagi, segera ia menghardik: "Ci Hwi-bing,
kau bangsat keparat, pengkhianat bangsa kau anggap sebagai
bapak, paling2 kau hanya diangkat sebagai Tongcu, memangnya
kau punya masa depan pula"
Melotot mata Ci Hwi-bing, bentaknya dingin: "Kau Ko Wi-gi.
Haha, memangnya Hwecu sedang mencari kalian kawanan
pengkianat ini, ternyata kau berani antar jiwamu ke sini, ini
namanya sorga ada pintu kau tak mau masuk, neraka buntu justeru
kau terjang."
Ko-lotoa menarik muka, katanya sinis: "Kalau aku berani datang,
memangnya gentar berhadapan dengan kalian cakar alap2 antek
kerajaan ini? Lihatlah panji yang berkibar? Tujuan kami adalah
menyapu bersih Hek-liong-hwe dan menumpas sampah persilatan . .
. . . . . ."
Muka Ci Hwi-bing yang merah seketika diliputi amarah yang
meluap2, bentaknya mengguntur: "Pengkhianat, kematian sudah di
depan mata masih berani bertingkah."
"Ci-tongcu," laki2 tua bermuka tirus di sebelah kanannya buka
suara, "Lohu ingin bertanya beberapa patah kata kepada bocah she
Ling ini."
Ci Hwi-bing segera berubah sikap, katanya berseri tawa: "Tokkoheng
silakan bicara." Lalu dia mundur selangkah.
Mendelik kedua mata kakek muka tirus, tatapannya yang
beringas se-olah2 hendak menelan Ling Kun-gi bulat2, katanya:
"Anak muda, Lohu ingin bertanya padamu, kau harus menjawab
dengan baik."
Melihat Ci Hwi-bing terhadap kakek kurus ini begitu hormat, Kungi
tahu kalau kedudukan si kakek mungkin di atas Ci Hwi-bing, tapi
sikapnya tetap tak berubah, jawabnya dengan tertawa: "Bergantung
soal apa yang kau tanyakan."
"Lohu Tokko Siu, tentunya sudah pernah kau dengar dari
gurumu?" ucap si kakek kurus.
"Kiranya bangkotan tua yang sukar dilayani," demikian batin Kungi,
Tapi dia tetap tertawa, katanya: "Ada pertanyaan apa, boleh
Loheng katakan."
Terunjuk rasa kurang senang pada wajah Tokko Siu, katanya:
"Pernah Lohu bertemu beberapa kali dengan gurumu, usiamu masih
semuda ini, tua bangka seperti aku berani kau pandang sebagai
Loheng (saudara tua)?"
Kun-gi tertawa lantang, katanya: "Suhu pernah memberitahu
padaku, beliau selama hidup tidak pernah punya sahabat, maka
Wanpwe juga tidak pernah pandang siapapun sebagai angkatan tua,
selama berkelana di Kangouw tak pernah kupandang diriku sebagai
angkatan muda, bahwa kupanggil kau Loheng, ini cocok dengan
ajaran Nabi bahwa di empat penjuru lautan semuanya adalah
saudara, memangnya ucapanku salah?"
"Ada guru pasti ada murid," dengus Tokko Siu, "anak muda,
orang yang bermulut besar dan kurangajar harus betul2 memiliki
kepandaian sejati."
"O, jadi Loheng ingin menjajal betapa besar bobotku?"
"Masih ada persoalan yang ingin Lohu tanyakan lebih dulu."
"Katakan saja."
"Lohu punya dua murid, semua mati di tangan Pek-hoa-pang,
kau sebagai Cong-su-cia Pek-hoa-pang, tentunya tabu siapa yang
membunuh mereka?"
"Siapa muridmu itu?"
"Kedua murid Lohu itu masing2 bernama Pek Ki-han dan Cin Tekhong."
Ling Kun gi melengggong mendengar kedua nama ini, kiranya
kedua orang ini adalah saudara seperguruan, dari sini dapatlah
dimengerti bahwa Tokko Siu tentu mahir menggunakan ilmu yang
serba dingin. Sekilas berpikir dia mengangguk, katanya: "Sudah
tentu Cayhe tahu jelas akan kematian kedua muridmu itu."
"Lekas katakan," beringas muka Tokko Siu, "siapa yang
membunuh mereka?"
Diam2 Kun-gi membatin: "Ci Hwi-bing sendiri yang membawa
Pek Ki-han dan Lan Hau meluruk ke Pek-hoa-pang, akhirnya hanya
dia seorang yang berhasil lolos, agaknya dia tidak menceritakan
duduk persoalan yang sebenarnya'" Segera katanya: "Waktu
muridmu Pek Ki-han meluruk ke Pek-hoa-pang, karena tidak sudi
ditawan, dia rela bunuh diri, Ci-tongcu berada di sini, boleh kau
tanya padanya."
Tokko Siu berpaling, tanyanya: "Ci-tongcu, apa betul demikian?"
"Betul, tapi kematian Pek-heng betapapun harus diperhitungkan
pada pihak Pek-hoa- pang."
"Memang masuk akal. Lalu, Cin Tek-hong?"
"Cin Tek-hong berhasil menyelundup ke Pek-hoa-pang, malah
diangkat jadi Houhoat, di Gu-cu-ki rahasianya terbongkar oleh
Cayhe, kebetulan Hwi-liong-tongcu Nao Sam-jun memburu datang
bersama Cap-ji sing-siok dan mengepung kami, Nao Sam-jun
beranggapan muridmu telah membocorkan rahasia Hek-liong-hwe,
maka Cin Tek-hong dibunuhnya dengan senjata rahasia beracun . . .
. "
"Jadi maksudmu, bukan kalian yang membunuh Cin Tek-hong?"
teriak Tokko Siu marah2.
Tegak alis Kun-gi, katanya lantang: "Tadi Cing-tongcu sudah
bilang, sudah tentu perhitung-an ini harus dibereskan dengan Pekhoa-
pang."
Muka tirus Tokko-Siu yang semula pucat seputih kertas pelan2
bersemu hitam, hardiknya bengia: "Katakan, kepada siapa Lohu
harus membuat perhitungan?" Kedua tangannya sudah terangkat di
depan dada, sorot matanya yang mencorong dingin menatap Ling
Kun-gi, setiap saat dia sudah siap turun tangan.
"Awas Cong-coh," Ko lotoa memperingatkan. Song Tek-song dan
Thio Lam-jiang yang berdiri di kanan-kirinya serentak memegang
gagang pedang dan siap tempur.
Sebaliknya Kun-gi bersikap kalem, wajar seperti tanpa persiapan,
katanya tawar: "Bahwa kita sudah berhadapan dimedan laga, kalau
kau mau membuat perhitungan dengan aku boleh saja."
"Bagus sekali" dangus Tokko Siu.
Tiba2 kakek bermuka kuda di sebelah kiri berteriak: "Tunggu
sebentar Tokko heng, akupun ingin tanya siapa pula yang telah
membunuh muridku? Nah, orang she Ling, muridku Lan Hau siapa
yang membunuhnya?"
"Cayhe sudah bilang, kalau toh kita sudah berhadapan di sini,
urusan apapun dan berapa banyak yang akan kalian bereskan,
semua tujukan saja pada orang she Ling ini."
"Anak muda, besar amat mulutmu, kau mampu
membereskannya?" jengek kakek muka kuda.
"Kalau Cayhe tidak dapat membereskannya, memangnya aku
bisa diangkat sebagai Cong-su-cia Pek-hoa-pang?"
"Usiamu begini muda, kau memang pemberani, tapi kalau Thaysiang
kalian sudah datang, sudah tentu kami akan mencari
perhitungan padanya."
"Tidak sulit untuk kalian menemui Thay-siang, lalui dulu diriku
ini."
Kakek muka kuda menarik muka, serunya gu-sar: "Keparat, kau
ingin mampus."
"Menang kalah belum ada ketentuan, memangnya pasti Cayhe
yang akan mampus?"
Dengan angkuh kata si muka kuda: "Aku Dian Yu-hok, pernah
dengar tidak?" Mulut bicara kakipun melangkah maju.
Dian Yu-hok dijuluki orang Lam-sat-sin (malaikat maut), sudah
tentu Kun-gi pernah mendengar namanya, kebesaran namanya
tidak lebih rendah daripada Ping-sin (malaikat es) Tokko Siu.
Kedua tokoh Kosen dari aliran jahat yang termasuk kelas top ini,
memang merupakan golongan tersendiri dalam percaturan dunia
persilatan, kehebatan mereka pernah menggetarkan delapan
penjuru, kebanyakan perguruan silat dari aliran besar kecil segan
mencari setori pada mereka.
Melihat Dian Yu-hok sudah mengambil ancang2 hendak
menyerang Kun-gi, lekas Tokko Siu berteriak: "Dianheng, tunggu
sebentar, bocah ini serahkan padaku,"
Lam sat-sin Dian Yu-hok menarik mukanya yang panjang seperti
tampang kuda, katanya dingin: "Bukan soal serahkan atau berikan
pada siapa? Yang terang dia membunuh muridku dan sudah berani
memikul tanggung jawab, memangnya aku tidak pantas menuntut
balas padanya?"
Kurang senang Tokko Siu, katanya: "Paling tidak aku kan sudah
bicara lebih dulu padanya."
Kun-gi tertawa, katanya: "Tak usah kalian berdebat, Cayhe hanya
seorang diri dan tidak mampu membelah tubuh untuk sekaligus
menghadapi kalian. Nah, kailan maju bersama saja, akan kuhadapi
sekaligus."
Sementara Kun-gi bicara, Dian Yu-hok dan Tokko Siu sudah
berebut maju, sama2 tak mau mengalah sehingga jarak mereka
sudah dekat di kirikanan Kun-gi. Tokko Siu membentak: "Anak
muda, keluarkan senjatamu."
"Sret", Kun-gi melolos keluar Ih-thiankiam dan melintang di
depan dada, ia pandang bergantian kedua musuh, katanya: "Silakan
kalianpun keluarkan senjata."
"Peduli senjata macam apapun selalu kuhadapi pula dengan
kedua telapak tanganku ini," demikian ujar Tokko Siu.
Kun-gi tertawa angkuh, pelan2 dia masukkan kembali Ihthiankiam
ke serangkanya, katanya: "Kalau kalian tidak mau pakai
senjata, biarlah ku layani dengan kedua telapak tanganku pula."
Dian Yu hok melenggong, katanya: "Anak muda dengan
bertangan kosong, kau mampu menghadapi kami berdua?"
"Kalian tidak perlu urus," ejek Kun-gi, "kalau tetap ingin
membuat perhitungan dengan Pek-hoa-pang, Cayhelah yang akan
menghadapi, kalau Cayhe beruntung menang, maka perhitungan
kalian harap dianggap impas, kalau Cayhe kalah, anggaplah aku
tidak becus, matipan aku t idak menyesal, setelah kalian berhasil
menagih utang, maka bolehlah pulang saja.”
Sekilas Tokko Siu melirik ke arah Dian Yu-hok, katanya
mengangguk: "Bagaimana pendapat Dianheng?"
Lansat-sin Dian Yu-hok mengangguk, katanya: "Baiklah, kita
turuti saja kehendaknya."
Kun-gi maklum pertempuran hari ini baik menang atau kalah
akhirnya pasti membawa akibat yang luas artinya, sudah tentu dia
tidak berani gegabah, diam2 ia kerahkan seluruh kekuatan
Lwekangnya, cuma lahirnya tetap tenang, wajahnya tersenyum
lebar malah.
Diam2 Ko-lotoa mengerut kening, tanyanya lirih: "Cong-su-cia
betul2 hendak melayani kedua bangkotan ini?"
Sebagai seorang kelasi dari Pek-hoa-pang yang bertugas
penunjuk jalan, kedudukannya amat rendah, tapi dari percakapan
Hoanthianeng Siu Eng dan Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing tadi, Kun gi
tahu bahwa Ko-lotoa adalah salah satu dari tiga puluh enam
panglima Hek-liong-hwe dulu, maka ia menduga bahwa Thay-siang
mengutus dia sebagai penunjuk jalan mungkin, mempunyai maksud
yang besar artinya, selama ini dia tidak anggap orang sebagai
penunjuk jalan belaka, maka demi mendengar pertanyaan orang,
segera ia menjawab dengan suara lirih pula: "Betul, situasi rada
genting, terpaksa aku harus layani mereka, Ko-heng bertiga harap
mundur beberapa langkah, perhatikan Ci Hwi-bing dengan keempat
anak buahnya, jangan biarkan mereka menerjang kemari sehingga
kedudukan kita menjadi kacau."
Ko-lotoa mengangguk, katanya: "Cong-su-cia tak usah kuatir,
tugas ini cukup dimaklumi olehku, cuma Tokko Siu dan Dian Yu-hok
meyakinkan ilmu silat yang beracun jahat, dengan satu lawan dua
Cong-coh harus hati2."
Tengah mereka bicara, Ping-sin Tokko Siu sudah tak sabar lagi,
selanya dingin: "Sudah selesai kalian berunding?"
Lekas Kun-gi berpaling, katanya tersenyum "Baiklah, silakan
kalian memberi petunjuk."
"Kau berani menghadapi kami berdua, mungkin tiada
kesempatan balas menyerang," kata Tokku Siu, kontan tangan
terayun terus menepuk ke depan. Gaya tepukan tangannya seperti
tidak menggunakan tenaga. tapi segulung angin keras segera
mendampar.
Dalam seleksi adu kepandaian di Pek-hoa-pang tempo hari Ling
Kun-gi pernah saksikan pukulan telapak tangan Cin Tek-hong yang
kuat, Tokko Siu adalah gurunya, sudah tentu juga mahir dalam ilmu
pukulan, maka sejak tadi dia sudah siaga, melihat lawan memukul
segera dia melejit ke samping menghindarkan diri.
Melihat lawan menyingkir, Lansat-sin Dian Yu-hok segera
membentak: "Awas." Tangan kanan lantas memukul dari samping,
segulung angin keras kontan menerjang tubuh Ling Kun-gi.
Tanpa menoleh lekas Kun-gi ayun tangan kiri ke samping.
Setelah memukul sebetulnya Dian Yu-hok hendak mendesak
maju lebih dekat dan menambahi pukulan lain, tapi mendadak
terasa segulung kekuatan yang tidak kentara langsung menahan
tubuhnya, keruan kagetnya bukan main, batinnya: "Ilmu silat bocah
ini, ternyata tidak boleh dipandang enteng."
Terpaksa pukulan telapak tangannya segera dia tarik kembali
serta didorong pula keluar, dengan demikian barulah tenaga
dorongan lawan yang tidak kentara itu dapat dibendungnya.
Kejadian berlangsung dalam sekejap mata, setelah pukulan
Tokko Siu berhasil dihindarkan Ling Kun-gi, sambil terkekeh dia
gentak lengan bajunya, jari2 tangan yang kurus panjang mirip cakar
burung lantas menongol keluar serta mencakar2 ke udara dua kali.
Mendadak dia menubruk maju, tutukan dan pukulan dilancarkan
sekaligus menyerang Kun-gi. Kali ini Kun-gi tidak berkelit lagi, dia
kembangkan Cap-ji-kim-liong-jiu, tutukan jari dan pukulan telapak
tanganpun dilancarkan tak kalah lihaynya, malah variasinya lebih
banyak, sekarang kanan, lain kejap tahu2 kiri, jadi kanan kiri saling
berlawanan, secara sengit serta cepat dia hadapi rangsakan Tokko
Siu, Hiat-to besar dan urat nadi orang menjadi sasaran
serangannya.
Ca-ji-kim-liong-jiu diciptakan dari Ih-kin king yang diselami
secara mendalam, sebetulnya merupakan ilmu pusaka Siau-lim-pay
yang tak diajarkan kepada orang luar, kini dikembangkan tangan kiri
Ling Kun-gi, perbawanya sungguh hebat, umpama setan iblispun tak
mampu menghadapinya.
Waktu Kun-gi berkelit tadi, Lansat sin Dian Yu -hok pernah
menyerangnya sekali, tapi setelah itu dia berpeluk tangan dan
berdiri menonton saja.
Maklumlah, dia sudah menjajaki bahwa kepandaian Kun-gi
ternyata tidak lebih rendah daripada kepandaian sendiri, Dian Yuhok
berasal dari suku Miau yang punya watak suka curiga, di
samping selama puluhan tahun berkelana di Kangouw, pengalaman
memberitahu padanya sebelum tahu jelas seluk beluk kepandaian
Ling Kun-gi, dia takkan sembarangan turun tangan.
Kini dia berdiri di pinggir gelanggang dan mengawasi dengan
penuh perhatian kedua orang yang lagi berhantam.
0odwo0
Di sini Ling Kun-gi tengah menghadapi rangsakan Tokko Siu,
sementara Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing telah menggerakan pedang,
dengan keempat anak buahnya segera dia menerjang ke arah Kolotoa
bertiga, bentaknya: "Ko Wi gi, dua puluh tahun lebih kita tak
bertemu, biarlah hari ini aku mohon pnngajaranmu."
Setelah Kun gi turun gelanggang, maka Ko-lotoa merupakan
pentolan di antara mereka bertiga, maka Ci Hwi-bing lantas
mengincarnya lebih dulu. Ko-lotoa tertawa, mendadak dari samping
badan dia mengeluarkan sebatang besi, mendadak kedua batang
besi dia sambung terus diputar ke kanan-kiri menjadi sebatang
tumbak besi, hardiknya, "Memang aku juga ingin mohon
pengajaranmu."
"Lihat pedang, Ko Wi-gi!" bentak Ci Hwi-bing terus mendahului
ayun pedang menusuk lambung Ko-lotoa.
Ujung tumbak Ko-lotoa ternyata bergantol, bentaknya dengan
suara keras: "Serangan bagus!" Berbareng tumbak menyampuk dan
menarik. Kedua orang segera saling serang dengan cepat,
pertempuran mereka cukup sengit dan menegangkan.
Melihat Tongcu mereka melabrak Ko lotoa, empat anak buahnya
berpakaian hitam di belakang Ci Hwi-bing segera ikut menyerbu
maju. "Sret", Song Tek seng segera cabut pedang, katanya dengan
tertawa: "Thio heng, kebetulan kita masing2 kebagian dua orang.
Hayo kita berlomba, coba siapa merobohkan mereka lebih dulu."
Mulut bicara, pedangpun bekerja, sekali tutul pedangnya
mamancarkan bintik sinar kemilau bagai rantai perak tahu2
meluncur ke tenggorokan kedua lawan yang menyerbu tiba.
Sekali bergerak, Loanbi-hong-kiam hoat dari Go-bi-pay segera dia
kembangkan dengan sengit.
Thio Lam-jiang ter-bahak2, serunya: "Baiklah, marilah kita
berlomba mengalahkan musuh." Tangan kanan meraih, badanpun
bergerak, sebelum lawan menerjang tiba dia sudah melambung ke
atas, sinar pedang menyamber ke batok kepala kedua lawan.
Serangan pedang yang dilancarkan dengan badan menukik ini
ternyata bukan olah2 lihaynya, Kiranya Thio Lam-jiang juga telah
keluarkan ilmu pedang Hing-sanpay yang ganas.
Tapi keempat orang berbaju hitam yang menjadi lawan mereka
adalah empat diantara ke12 Sin Ciu dari Ui-liong-tong yang memiliki
kepandaian kelas satu. Apalagi pedang merekapun berwarna hitam
gelap dan tak memancarkan sinar, jangankan di tengah malam
gelap, umpama di tengah siang hari juga sukar untuk mengikut i
permainan pedang mereka, jelas kondisi mereka lebih
menguntungkan.
Untung ilmu pedang angin badai ajaran Go-bi-pay yang
dilancarkan Song Tek-seng segencar hujan lebat, lawan merasa
seperti disampuk ribuan jarumtajamyang sukar dijajaki.
Sedangkan Hing-san kiam-hoat yang dikembangkan Thio Lamjiang
mendenging nyaring, badan berlompatan naik turun, ada
kalanya dia melambung ke udara dan menerkam laksana elang
menerkam anak ayam.
Dengan kerja sama mereka berdua yang ketat ini, ternyata
rangsakan lawan berhasil dibendung, untuk beberapa kejap lamanya
mereka sama kuat dan tiada yang lebih unggul atau asor.
Bayangan orang lari kian kemari, sementara sinar pedang saling
berseliweran, di sana-sini mulai terjadi pertempuran yang gaduh
dan sengit.
Begitu pertempuran kalut berlangsung di depan Ui-lionggiam,
maka Hoanthianeng Siu Eng yang memimpin sisa Cap-ji-sing siok
segera berhadapan dengan 20 dara kembang di bawah pimpinan
Loh-bi-jin, mata tunggalnya kelihatan beringas, tiba2 ia angkat
tangan seraya membentak: "Serbu!" Belum lenyap suaranya,
sembilan orang yang seluruh tubuh terbalut dalam kulit anjing laut
segera berlompatan maju, sisa Cap ji-sing-siok ini segera menyerbu
dengan nekat.
Ke 20 dara kembang sejak tadi sudah siaga, jarak kedua pihak
sebetulnya ada empat tombak, begitu melihat kesembilan Sing-siok
menubruk maju, 18 orang di antara para dara kembang t iba2
berpencar menjadi dua kelompok, gerakan mereka begitu rapi dan
terlatih, orang berada di ujung kanan mendadak mengayun tangan
dan menimpukkan setit ik sinar biru, sementara yang berada di
ujung kiri juga mengayun tangan, entah darimana tahu2 tangan
kedua orang sudah memegang seutas rantai sebesar ibu jari, begitu
pinggang mereka meliuk, badanpun tiba2 mendekam ke tanah.
Gerakan ini boleh dikatakan dilakukan serempak oleh delapan belas
dara kembang, jelas bahwa mereka sudah lama terlatih dan
digembleng.
Tatkala sembilan Sing-siok itu menubruk tiba, Loh-bi-jin sedikit
mendak, segesit burung ia melayang kedepan. Sementara sembilan
musuh sudah menerjang tiba, tapi mereka dipapak timpukan titik
biru dari para dara kembang, mereka mengapung di udara, untuk
berkelit jelas tidak mungkin, soalnya mereka terlalu yakin akan
pakaian yang kebal senjata, maka merekapun tidak berusaha
menghindar. Betapa cepat luncuran kedua pihak yang saling tubruk
dan timpuk ini. Tahu2 sembilan t itik sinar biru dengan telak
mengenai tubuh sembilan Sing-siok dan meledak, seketika asap biru
mengepul dan apipun berkobar dengan ganasnya.
Pakaian yang dikenakan para Sing-siok itu menutupi seluruh
anggota badan dari kaki sampai kepala, yang kentara hanya kedua
mata mereka, maka kobaran api yang panas disertai asap tebal biru
ini seketika berkobar di depan dada mereka, kecuali kobaran api,
pandangan mata merekapun tertutup oleh asap sehingga tidak bisa
melihat keadaan sekitarnya lagi.
Kepandaian silat kesembilan Sing siok ini jelas tidak lemah, tapi
berada di udara, tahu2 dia terbakar, keruan kaget mereka bukan
main, dalam gugupnya mereka berusaha memadamkan api sambil
menepuk2 dada sendiri. Sembilan orang melakukan gerakan yang
sama.
Maklumlah, siapapun kalau dada terjilat api, secara otomatis
pasti berusaha memadamkannya dengan tepukan kedua tangan.
Tapi di luar dugaan mereka bahwa ledakan api ini buatan khusus
dari Pek-hoa-pang untuk menghadapi mereka, begitu besar daya
bakarnya, menyentuh barang apapun api pasti berkobar, sebelum
menjadi abu daya bakarnya tidak akan padam, siapapun takkan
mampu memadamkannya.
Karena berusaha memadamkan api, maka lengan baju mereka
yang lebar menimbulkan kesiur angin yang malah menambah besar
kobaran api sehingga lengan baju merekapun ikut terbakar.
Sembilan Sing-siok jadi mencak2 sambil ber-teriak2 panik seperti
manusia api, siapapun yang dekat mereka, sekali terpegang dan
dipeluk, tentu jiwa akan ikut melayang dan terbakar mampus
bersama mereka.
Tapi delapan belas dara kembang sudah siaga, dua orang satu
kelompok, masing2 memegang ujung rantai yang cukup panjang
dan siap mendekam di tanah. Karena sekujur badan terjilat api,
pandanganpun terganggu asap tebal, hakikatnya para Sing-siok
yang panik terbakar itu tak melihat keadaan sekitarnya lagi, baru
saja kedua kaki mereka hinggap ditanah, dua dara kembang segera
mengayun tangan, dengan rantai panjang mereka menjirat kedua
kaki orang
Sudah tentu para Sing-siok tak pernah pikir bakal kecundang
begini rupa, satu persatu mereka terjungkal roboh, belum lagi para
Sing-siok itu berbuat banyak, segesit kera para dara kembang sudah
melejit bangun dan berlompatan menyilang sehingga kaki orang
betul2 terbelenggu oleh rantai dan ditarik ke kirikanan dengan
kencang.
Begitu roboh dengan kaki terbelenggu oleh rantai, kesembilan
Sing-siok meronta2 dan bergulingan di tanah. Sementara api
berkobar semakin besar. Hanya beberapa kejap saja sembilan orang
aneh yang berpakaian kebal senjata itu hanya meronta beberapa
kali, akhirnya tak bergerak lagi, dengan cepat api membiru itu
mengeluarkan bau hangus terbakarnya badan manusia yang tak
sedap,
Cap-ji-sing-siok yang selama ini dibanggakan oleh Hwi-liongtong,
bukan saja kebal senjata, malah sudah malang melintang di
Kangouw tak pernah kecundang, tak nyana hari ini tertumpas habis
begitu saja oleh para dara2 cantik yang cekatan ini, belum gebrak
semuanya sudah roboh dan mati terbakar menjadi abu.
Dalam pada itu waktu kesembilan Sing-siok menubruk maju tadi,
Loh-bi-jin juga meluncur ke depan memapak Hoanthianeng Siu Ing,
bentaknya menuding: "Orang she Siu, hari ini adalah hari ajalmu,
lihat pedang!" Dari depan segera pedangnya menusuk.
Mimpipun Hoanthianeng Siu Ing tak pernah menduga bahwa
kesembilan Sing-siok baru saja ke luar, tahu2 Loh-bi jin juga
menubruk ke arahnya. Keruan dia kaget, sedapatnya dia miringkan
tubuh sambil melompat meluputkan diri dari tusukan orang
berbareng tangan kirinya tahu2 mencakar dan menangkap
pergelangan tangan Loh-bi jin yang pegang pedang.
Gerakan mundur sambil menyerang ini dibarengi tangan lain
melolos sebatang pedang warna hitam legam, dengan senjata di
tangan dia kelihatan beringas, teriaknya bengis: "Budak . . . . !"
belum lagi lanjut, pada saat itulah didengarnya suara ledakan ramai
disertai percikan api yang segera ber-kobar.
Waktu dia berpaling, dilihatnya kesembilan Sing-siok yang
dipimpinnya telah terjilat api, badan masih mengapung di udara,
kaki tangan mencak2 gugup dan takut. Tentu saja kagetnya tidak
kepalang.
Menyurut mundur sedikit, Loh-bi-jin unjuk rasa puas
kemenangan, pedang tetap menuding musuh, katanya dingin:
"Orang she Siu, kau sudah lihat bukan? Cap ji-sing siok yang kalian
banggakan dalam sekejap akan menjadi setumpukan abu, dan kau
juga takkan lolos dari kematian."
Gusar Hoanthianeng bukan main, hardiknya murka: "Budak, akan
kubelah badanmu hidup2." Pedangnya bergetar turun naik, segera
dia hendak menubruk maju.
Tapi Loh-bi-jin telah membentak sambil mengancam dengan
pedang, serunya: "Berdiri, dengarkan dulu bicaraku sampai habis."
Mata tunggal Hoanthianeng seperti memancarkan bara,
bentaknya gusar sekah: "Budak keparat, omong apa, lekas katakan.'
"'Baiklah kuberitahu padamu, bukankah dibelakangmu berdiri dua
orang dara kembang? Cukup aku memberi tanda kepada mereka.
kaupun segera akan terjilat api dan mampus menjadi abu, tapi nona
ingin kau mampus tanpa menyesal, marilah kita bertanding sampai
titik terakhir dengan pedang."
Ternyata dua puluh dara kembang masih ada dua orang yang
menganggur, delapan belas orang menghadapi sembilan Sing-siok,
dua orang lain secara diam2 telah mencegat jalan mundur
Hoanthianeng.
Mendengar jerit ngeri sembilan Sing-siok yang terbakar mati itu,
perasaan Hoanthianeng sudah tidak keruan, baru sekarang dia
sadar bahwa Pek-hoa-pang meluruk kemari dengan persiapan
matang. Mendengar Loh-bi-jin menantang dirinya bertandang
pedang, diam2 dia bergirang, batinnya. "Budak keparat, kau sendiri
yang cari mampus."
Mata tunggalnya menatap Loh bi-jin, katanya dengan
menyeringai beringas: "Baik, ingin Lohu saksikan betapa tinggi ilmu
pedangmu?" Sembari bicara segera tangan kanannya bergerak,
pedang seketika bergetar menimbulkan bayangan berlapis,
bentaknya: "Awas!" Belum lenyap suaranya, pedang sudah bergerak
secepat angin, sekaligus dia menusuk tiga kali.
Memang tidak malu kalau orang ini dulu merupakan salah satu
dari 36 panglima Hek-liong-hwe, serangan pedangnya cepat dan
keji, yang terlihat hanya bayangan hitamyang berputar menusuk.
Melihat dara2 kembang sudah sukses, besar hati Loh-bi jin lebih
mantap, tanpa menyingkir ia menghardik: "Serangan bagus!"
Pedang terayun, badan bergerak mengikuti gaya pedang, serangan
Hoanthianeng yang ketat itu diterjangnya.
Sudah tentu Hoanthianeng melengak heran dan ber-tanya2:
"Memangnya budak ini ingin mampus?" Tapi pada detik yang gawat
itulah, seketika dia menyadari gelagat kurang wajar. Di tengah
gerakan Loh-bi-jin yang memutar itu, pedangnya memancarkan
kemilau yang berpencar seperti puluhan banyaknya dan sekaligus
merangsak kearahnya dari berbagai arah, cahaya yang terang itu
menyilaukan matanya, sayup2 kupingnya juga mendengar suara
gemuruh, setombak sekelilingnya seperti sudah terkurung oleh
hawa pedang lawan yang dingin tajam.
Kaget dan berubah hebat air muka Hoanthianeng, puluhan tahun
dia berkecimpung di Kangouw, belum pernah dia menyaksikan ilmu
pedang sedahsyat ini.
Sudah tentu dia tidak berani ayal, untuk menyelamatkan jiwa
terpaksa dia jatuhkan diri, dengan memeluk pedang dia terus berguling2
setombak lebih. Cara yang ditempuhnya ini ternyata
membawa hasil.
Maklum jurus yang digunakan Loh-bi-jin ini adalah "Naga
bertempur di tegalan", serangan ganas yang mematikan untuk
menghadapi musuh tangguh, Hoanthianengpun tak mampu
mematahkan serangan ini, cuma cara dia meniru keledai
bergelinding di tanah ternyata berhasil menolong jiwanya, sinar
pedang ternyata tidak melukainya.
Walau jiwanya lolos dari serangan maut, tak urung keringat
dingin sudah membasahi badannya, setelah berada di luar
jangkauan cahaya pedang lawan baru dia melejit bangun terus
melayang jauh ke jalan pegunungan sana.
"Kemana kau mau lari?" damprat Loh-bi-jin. Segera iapun
menubruk ke sana sepesat anak panah, selarik sinar perak meluncur
bagai naga sakti mengamuk di udara, di tengah udara dia
menyerang musuh.
Sementara Hoanthianeng sendiri masih terapung di atas,
mendadak terasa hawa dingin mengancam dari belakang, kagetnya
bukan main, batinnya: "Budak ini pandai mengendalikan pedang
terbang" Hati berpikir tanganpun terayun ke belakang dengan
pedang membacok.
"Trang", bentrokan dua pedang mengeluarkan gema suara,
bayangan merekapun seketika melorot turun. Tapi gerakan Sinliong
jut-hun (naga sakt i keluar mega) yang dilancarkan Loh bi-jin dari
tengah udara ini baru setengah gerakan saja, begitu tubuh
meluncur turun, cahaya pedangpun segera menyamber pula.
Sudah tentu hal ini di luar dugaan Hoanthianeng, baru saja kaki
hinggap di tanah, seluruh badan seketika terbungkus pula oleh
cahaya pedang lawan, di mana mata pedang berkelebat, seketika
dia menjerit ngeri seperti bambu yang terbelah menjadi dua, tahu2
badan Hoanthianeng roboh ke dua arah, badannya terbelah menjadi
dua potong dan terkapar di tanah.
Dengan gampang para dara kembang telah membereskan
kesembilan Sing-siok, kini dengan dua jurus permainanr Tinpangkiam-
thoat Loh-bi-jinq juga telah menamatkan perlawanan
Hoanthianeng. Maka kawanan Hek-liong-pang di sebelah barat telah
tertumpas habis seluruhnya.
Sementara di sebelah timur, Jianjiu-koanim Liu-siancu masih
tetap bercokol di dalam tandunya, hanya menonton tanpa bergerak.
Sementara Kongsun Siang bersama Hou-hoat-cu-cia bersenjata
lengkap siaga dalam jarak lima tombak. Sudah tentu kalau Liusiancu
benar2 mau turun tangan, Kongsun Siang berlima takkan
mampu menahannya? Tapi kenyataan sejauh ini di sebelah timur
tetap tenang dan damai.
Dalampada itu Ko-lotoa sudah berhantamratusan jurus melawan
Ci Hwi-bing. Sebagai Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing memang memiliki
kepandaian yang boleh dibanggakan, meski berhadapan dengan
teman lama, namun dia tidak kenal kasihan lagi, begitu sengit
pertempuran kedua orang ini, sinar pedang tampak melibat badan
masing2, kesiur angin tajam mendampar kencang, dalam jarak dua
tombak sekeliling terasa arus dingin me-nyamber2.
Tombak gantol Ko-lotoa ternyata bermain dengan hidup sekali,
aneh memang gaya tumbaknya, lain daripada yang lain, disamping
menusuk tumbaknya juga digunakan membelah, menutul,
menggaruk dan memapas, Hiat-to lawannya selalu terancam oleh
tumbaknya. Malah dua gantolan di ujung tumbaknya disamping
dapat menggantel dan menggaruk juga dapat mengunci senjata
lawan, begitu tangkas dan gesit dia memainkan tumbaknya
schingga tubuhnya seakan2 terbalut di dalam samberan angin
kencang.
Dua orang teman lama dari ke 36 panglima Hek-liong-hwe
sekarang harus adu jiwa di medan laga sebagai musuh, kepandaian
merekapun sembabat, sejauh mana sukar dibedakan siapa bakal
menang dan kalah. Biarpun ratusan jurus lagi juga sukar diakhiri.
Song Tek-seng dan Thio Lam-jiang masih tetap satu lawan dua,
mereka masih bergerak lincah dan cekatan, keadaan masih sama
kuat alias setanding. Tapi jarak empat orang lawan sangat berdekatan,
sama2 mengenakan pakaian hitam ketat, bersenjata
pedang panjang warna hitam beracun lagi, malah muka merekapun
sama2 kuning kaku. Lama kelamaan setelah ganti berganti saling
serang, akhirnya empat orang bersatu merangsak kedua lawannya.
Sudah tentu perkembangan ini jauh berbeda dengan keadaan
semula.
Mereka berkelit kian kemari dan berputar ke sana-sini, yang satu
maju yang lain mundur silih berganti, sehingga kedua lawannya
selalu terkepung di tengah. Secara langsung dua berhadapan
dengan empat, kirikanan dan muka-belakang Song Tek seng berdua
selalu terancam senjata lawan, lebih celaka lagi karena keempat
musuhnya dapat kerja sama dengan baik sekali.
Kalau orang lain menghadapi lawan yang main keroyokan,
biasanya mereka akan adu punggung untuk membendung
rangsakan musuh, jadi mereka tetap bisa satu lawan dua,
Sayang Thio Lam-jiang adalah murid Hing-sanpay, Hing-sankiamhoat
harus dikembangkan secara berlompatan, melambung ke atas
dan menyerang lawan dari atas kepala, kalau dia harus adu
punggung dengan Song Tek-seng, itu berarti dia tidak sempat
mengembangkan ilmu pedang perguruannya.
Karena itu Thio Lam-jiang tetap mainkan Hing-sankiam-hoat
sambil melompat naik turun, tapi berat bagi Song Tek-seng yang
harus menghadapi lawan dari depan. Loanbi bong-kiam-hoat Go bipay
meski juga ilmu pedang lihay dan sukar diraba arah sasarannya,
tapi di bawah kepungan keempat lawannya, lama2 dia terdesak di
bawah angin. Walau Thio Lam jiang selalu memberi bantuan dengan
sergapannya, paling hanya sekedar mengacaukan gerakan musuh,
keadaan tetap tidak menguntungkan seperti waktu satu lawan dua
tadi. Apalagi main lompat dan menukik dari atas paling menguras
tenaga, lama2 dia kehabisan tenaga juga. Padahal pertempuran
berlangsung semakin sengit, tapi permainan pedang Song Tek-seng
dan Thio Lam-jiang justeru semakin lemah dan kendur.
Sementara itu Ling Kun-gi sudah berhantam ratusan jurus
melawan Tokko Siu. Selama itu Lam-sat-sin berpeluk tangan di luar
arena, agaknya dia menjaga gengsi, tidak mau main keroyok.. Muka
kudanya tampak merengut, dengan tajam mengawasi pertempuran.
Cakar tangan Tokko Siu merangsak dengan buas dan liar, tapi
Kim-liong-jiu yang dilancarkan dengan kedua tangan Kun-gi
gerakannya saling berlawanan, terutama tangan kidalnya
menyerang lebih bagus lagi, selalu Hiat-to yang diincar, gerakannya
indah dan menakjubkan, betapapun lihay serangan Tokko Siu selalu
dipaksanya menarik kembali di tengah jalan.
Selama ratusan jurus saling serang ini, belum pernah keduanya
mengadu pukulan secara keras namun demikian mereka toh sama2
merasa bahwa tipu serangan lawan amat berbahaya dan cukup
mengejutkan siapapun yang menyaksikan.
Di tengah pertempuran seru itulah, mendadak dari arah jauh di
sana beruntun berkumandang dua kali sempritan melengking
panjang.
Mendadak Tokko Siu melancarkan dua serangan cepat secara
beruntun terus menarik diri melompat ke belakang, teriaknya
dengan suara sumbang: "Berhenti!"
"Tokko-heng, apakah kau ingin aku maju sekarang?" tanya Dian
Yu-hok.
"Tidak," sahut Tokko Siu.
Kun-gi juga sudah berhenti, katanya: "Loheng, masih ada
petunjuk apa?"
"Anak muda, kau memang sudah mendapat warisan kepandaian
Hoanjiu-ji-lay, orang yang mampu melawan ratusan jurus dengan
Lohu tidak banyak lagi di Kangouw, tapi Lohu yakin dalam 10 jurus
lagi pasti dapat merenggut nyawamu . . . . ."
"O, jadi selama ratusan jurus tadi aku masih hidup berkat
kemurahan hatimu?" ejek Kun-gi.
"Waktu Lohu bersama Dian heng kemari, Hwecu telah pesan
wanti2 bahwa orang2 Pek-hoa-pang boleh dibabat habis kecuali kau
anak muda yang bernama Ling Kun-gi ini yang harus ditawan
hidup2. "
Kun-gi membatin: "Agaknya Hek-liong-hwe amat memperhatikan
diriku, mungkin lantaran aku dapat memunahkan getah beracun
itu."
Maka dengan tersenyum dia berkata: "Loheng berdua ingin
menawanku hidup2?"
"Lohu sudah bergebrak ratusan jurus dengan kau, kudapati Capji-
kim-liong-jiu dapat kau mainkan secara berlawanan dengan
tangan kirikanan sehingga banyak tipu2 seranganku terbendung di
tengah jalan, baru sekarang kutahu untuk menawanmu hidup2
memang tidak mudah."
"Loheng terlalu memuji," ucap Kun-gi.
Serius sikap Tokko Siu, katanya: "Lohu bicara sebenarnya, tapi
dalam 10 jurus Lohu dapat merenggut nyawamu, oleh karena itu
Lohu teringat akan satu hal."
"Loheng punya pendapat apa?"
"Kau bukan tandinganku, hal ini tak perlu di bicarakan lagi, maka
lebih baik tak usah bergebrak lagi, ikutlah Lohu menemui Hwecu
saja."
"Cayhe memang sangat ingin bertemu dengan Hwecu kalian,
apakah sekarang juga kita berangkat?"
Tokko Siu tertawa sambil mengelus jenggot, katanya: "Untuk
menemui Hwecu tidak semudah itu, paling tidak Lohu harus
menutuk beberapa Hiat-tomu dulu baru boleh kubawa kau menemui
beliau, tapi Lohu berjanji, kau tidak akan terganggu seujung
rambutpun."
"Jadi maksudmu supaya Cayhe menyerah dan rela dibelenggu?"
ucap Kun-gi.
"Begitulah maksudku, cara ini bukan saja dapat melindungi
nyawamu, kami berduapun dapat menunaikan tugas pada Hwecu."
Dian Yu-hok mengangguk, tukasnya: "Omongan Tokko Siu
memang betul. Anak muda, kalau kau mau ikut, soal kematian
murid2 kami boleh tidak usah diperhitungkan lagi."
Kun-gi menengadah sambil ter-bahak2, katanya: "Sayang Cayhe
belum kalah, maksud baik kalian biarlah kuterima dalam hati saja."
Tatkala mereka berbicara, sementara pertempuran di arena lain
sudah terjadi banyak perubahan, Loh-bi jin dengan ilmu pedangnya
yang sakti telah membelah mati tubuh Hoanthianeng Siu Eng yang
dipercayakan memimpin kesembilan Sing-siok. Sedang sembiian
Sing-siok yang kebal senjata itupun sudah terbakar menjadi abu,
malah apipun telah padam. Sementara Jianjiu-koanim Liut-siancu
yang membendung arah timur, begitu terdengar suara sempritan
melengking tinggi tadi segera dia mengundurkan diri secara diam2.
Kini tinggal Ko-lotoa yang masih berhantam sengit melawan Ci
Hwi-bing, demikian juga, empat orang berbaju hitam masih
mengepung Song Tek-seng dan Thio Lam-jiang dan baku hantam
tak kalah serunya.
Di tengah tanah lapang berumput itu, tandu hitam yang biasa
dinaiki Thay-siang tetap berada di sana terjaga ketat oleh Ting Kiau
dan empat rekannya.
Kongsun Siang mendahului melompat maju ikut terjun ke medan
laga, sekali tubruk, "sret", pedangnya menyerang miring dari
samping ke arah Ci Hwi-bing.
Selama menghadapi Ko-lotoa masih setanding, sejak mendengar
suara sempritan tadi, perasaan Ci Hwi-bing sudah mulai kalut dan
sudah timbul niatnya untuk mundur saja. Kini melihat Kongsun
Siang menubruk tiba seraya menyerang, tanpa ayal beruntun
tangannya bergerak melancarkan serangan berantai sehingga kedua
lawan dipukul mundur, mendadak kedua kaki menutul, bagai panah
meluncur tubuhnya melayang ke arah Ui liong-tong.
Dalam pada itu Loh-bi-jin juga telah menarik dara2 kembang
ketanah berumput, dara2 kembang dia suruh berpencar melindungi
tandu, sambil menenteng pedang, beruntun dua kali lompatan dia
memburu ke arena Song Tek-seng dan Thio Lam-jiang, tanpa
bersuara pedangnya lantas menyerang,
Untuk mengakhiri pertempuran secepatnya, sekali serang dia
gunakan tipu "naga sakti keluar mega", selarik sinar bagai rantai
perak terbang melintang, orangnya tiba pedangpun bekerja.
Sinliong-jut-hun (naga sakti keluar mega) adalah salah satu jurus
Hwi-liong-kiam-hoat yang ampuh, kekuatannya dahsyat tiada
taranya. empat laki baju hitam hanyalah tingkat Sincu yang lebih
rendah dari Ui-liong-tongcu, mana mampu mereka bertahan atau
menangkisnya. Maka terdengarlah jeritan menyayatkan hati, dua
orang seketika tersapu roboh dengan badan terpapas kutung
menjadi dua tepat sebatas pinggang mereka.
Saat mana Song Tek-seng dan Thio Lam-jiang sudah terdesak di
bawah angin dan terancam bahaya, kini memperoleh pertolongan
yang sekaligus terbunuhnya dua musuh, keruan berkobar pula
semangat tempur mereka. Thio Lam-jiang menghardik seraya
melejit ke atas, pedang menabas ke salah seorang baju hitam di
depannya. Sementara Song Tek-seng berbareng juga membalik
pedang, bagai hujan badai beruntun ia menusuk tiga kali.
Melihat Tongcu mereka melarikan diri, sementara dua teman
mereka roboh binasa, kedua orang baju hitam yang tersisa ini
menjadi gugup, berbareng mereka menggertak tapi terus melompat
mundur dan lari sipat kuping.
Lembah gunung yang seluas itu, kini menjadi sepi lengang, di
tanah lapang berumput di depan gua hanya tampak orang2 Pekhoa-
pang berdiri berjajar teratur. Entah kapan empat lampu lampion
yang tergantung di atas ngarai tadipun padam.
Kongsun Siang, Song Tek-seng, Loh-bi-jin dan lain2, karena Kungi
masih berhadapan dengan kedua kakek, tanpa perintah sang
Cong-su-cia betapapun mereka tidak berani sembarang bergerak,
terpaksa mereka menonton saja dari samping.
Terlalu panjang beberapa kejadian ini dituturkan deugan kata2,
padahal kejadian hanya berlangsung dalam sekejap saja. Tokko Siu
yang membujuk Ling Kun-gi tidak berhasil dan malah diejek menjadi
naik pitam. biji matanya mernancarkan cahaya dingin, dengusnya:
"Anak muda. baik-lah coba kau hadapi dulu satu dua jurus
pukulanku, nanti kau akan tahu bahwa omonganku bukan bualan
belaka." Tangan bergerak langsung kepalannya menggenjot lurus
kedepan.
Pukulan ini jauh berbeda dengan serangan ber-tubi2 tadi,
damparan angin yang dingin membeku tulang segera menerjang ke
depan.
"Hianping-ciang,'' diam2 Kun-gi berteriak dalam hati. Cepat dia
mainkan jurus Hwi-po-liu-cwan (sumber mengalir muncrat
beterbangan), dia sambut pukulan lawan dengan kekerasan. Begitu
kedua tangan mereka berada, terdengarlah suara "plak", keduanya
lantas berdiri dan tidak bergeming lagi.
Muka Tokko Siu yang pucat memut ih itu tampak berubah semu
hitam gelap, katanya: "Di bawah pukulan, Hianping-ciangku tiada
lawan yang sanggup bertahan 10 jurus, sambutlah dua jurus lagi."
Kembali ia memukul dari depan, tanpa menarik telapak tangan
kanan, tahu2 telapak tangan kiri sudah membelah tiba.
Kun-gi kerahkan Lwekang pelindung badan, dia tertawa lantang
dan berkata: "Silakan Loheng keluarkan ilmu pukulanmu sesukamu,
coba saja Cayhe mampu melawan atau tidak?" Berbareng ia sambut
pula pukulan lawan.
Dua pukulan susulan Tokko Siu ternyata lebih dahsyat, bukan
saja tenaga pukulannya bertambah lipat, hawa dingin yang teruar
dari pukulannya juga bertambah, makin lama makin dingin, waktu
pukulan ketiga dilancarkan, darahpun bisa beku rasanya.
Maka terdengar suara keras "Blang, blang", dengan tenang Kungi
sambut pukulan lawan. Mata Tokko Siu yang memicing seakan2
memancarkan bara, serunya menyeringai : "Bagus sekali!"
Kedua tangan terangkat ke atas, badannya yang kurus tinggi
mendadak mendesak maju, dengan jurus Lui-tiankiau-ki (kilat dan
guntur menyerang ber-sama), ia menyerang pula.
Untuk jurus serangan ini, boleh dikatakan dia hampir
mengerahkan 10 bagian tenaganya. Baru saja tangannya bergerak
dan pukulan mulai dilancarkan, gelombang dingin seketika
membanjir seiring gerak pukulannya, betapa hebat serangannya
sungguh amat mengejutkan. Begitu hebat hawa dingin ini laksana
arus dingin yang mengalir dari gunung es atau lembah salju, pohon
bisa mati membeku, demikian air seketika bisa beku menjadi batu,
kalau manusia bukan saja badan seketika menjadi kaku, darahpun
membeku dan napas sesak dan buntu dengan sendirinya jiwapun
melayang seketika.
Di sinilah kehebatan Hian ping-ciang sehingga ilmu pukulan ini
dipandang pukulan dingin dari aliran sesat yang paling hebat.
Melihat kehebatan Hianping-ciang ternyata jauh di luar
dugaannya, wajah Kun-gi yang semula mengulum senyum kini
tampak kaget dan prihatin, pikirnya: "Lwekang orang ini begini
tangguh, jika kena keserempet angin pukulannya saja jiwa pasti
seketila melayang dengan badan membeku.”
Cepat ia menghirup napas, dia mulai mengerahkan kaesaktian Bu
siang sin kang untuk melindungi seluruh badan. Ia berdiri tegak,
lengan kanan tegak ke atas, kelima jari bergaya menyanggah langit,
sedang tangan kiri menjurus lurus ke bawah, kelima jari seperti
menyanggah bumi. Inilah Mo-ni-in, ilmu sakti aliran Hud yang paling
hebat untuk menundukkan setan iblis.
Karena Hianping-ciang lawan memang hebat, otak Kun gi bekerja
kilat, dia yakin dalam perbendaharaan ilmu silat yang pernah dia
pelajari hanya Mo-ni-in saja kira2 cukup kuat menghadapi Hianpingciang.
Kun-gi berdiri tegak sekukuh gunung tidak bergeming, hawa
pukulan Hianping ciang mener-jang dirinya, tapi arus yang kencang
itu seketika tersiak minggir seperti arus sungai yang menerjang batu
karang di tengah sungai. Sementara Tokko Siu yang mendesak maju
kini sudah berada di depan Kun-gi.
Tatkala menyadari kekuatan pukulannya yang sedahsyat itu
tersiah oleh kekuatan ilmu pelindung badan lawan, Hianping-ciang
yang dipandang sebagai ilmu kebanggaannya ternyata tidak mampu
melukai pemuda ini, sudah tentu dia tersengat kaget. Tapi sejauh ini
dia sudah bergerak, untuk mundur sudah kepalang tanggung dan
tak sempat lagi, terpaksa dia nekat, ia kerahkan sepenuh
kekuatannya pada kedua tangan terus menepuk ke dada Kun-gi.
Kejadian laksana percikan api cepatnya, melihat Tokko Sin
sekaligus melancarkan serangan dengan kedua tangannya yang
hebat itu, arus dingin laksana curahan air terjun yang tumpah ke
bawah.
Hakikatnya Lansat-sin yang sejak tadi menonton di luar arena
tidak perhatikan bahwa Tokko Siu yang mendesak maju di depan
Ling Kun-gi ini sudah menghadapi jalan buntu, tapi dia kira
memperoleh kesempatan yang baik. Segera dia kembangkan Tayna-
ih-sinhoat, gerak langkah yang mengaburkan pandangan mata
orang, sekali berkelebat tahu2 dia sudah melejit ke belakang Kun-gi,
sejak tadi tenaga sudah dia simpan dan terhimpun di lengan, kini
dia angkat tangan kanan, kelima jari dan telapak tangannya
berubah biru kelam dan secepat kilat mengecap ke punggung Ling
Kun-gi.
Kongsun Siang berdiri agak jauh, bukan main kagetnya melihat
kelicikan musuh yang main membokong ini, teriaknya cepat: "Awas
Cong-coh."
Sekujur badan Kun-gi diliputi hawa pelindung badan, tapi dia toh
masih merasa kedinginan seperti kecebur di gudang es. Melihat
tekanan berat yang aneh dan luar biasa pukulan Tokko siu sudah
menepuk tiba di depan dada, mendadak ia menggembor
sekeras2nya, tangan kanan yang terangkat lurus ke atas tahu2
membalik turun dan balas menepuk ke depan. Kebetulan pada saat
yang sama Lansat-sin Dian Yu-hok telah berada di belakangnya dan
memukul dengan seluruh kekuatan Lansat-ciang.
Begitu tangan kanan menepuk, seketika Kun-gi sadar bahwa Dian
Yu-hok membokongnya dari belakang, tanpa pikir tangan lagi lantas
mengebas kebelakang. Gebrakan ini dilakukan tiga orang sekaligus
dengan seluruh kekuatan dan secepat kilat.
Mo-ni-in adalah ilmu sakti penakluk setan iblis aliran Hud ( Budha
), ilmu yang tiada taranya ini merupakan lawan mematikan yang
paling telak bagi Hianping-cian dan Lansat-ciang.
Waktu melancarkan serangan dengan penuh tenaga, tak terpikir
oleh Tokko Siu bahwa Ling Kun-gi bakal balas menyerang dengan
bekal ilmu saktinya pula, maka terasa segulung kekuatan terpendam
yang tak kelihatan sekeras gugur gunung menindih tiba. Bukan saja
seluruh kekuatan Hianping-ciang yang dia lancarkan terbendung
sehingga tidak mampu dilancarkan lagi, berbareng iapun merasa
napas sesak dan hawa murni terbenti, keruan ia terkesiap, saking
gugupnya sekuatnya dia meronta terus melompat mundur. Bukan
lagi mundur, bahkan badannya terdorong mencelat setombak lebih,
mulut terbuka darahpun menyembur keluar, badan limbung hampir
terjungkal roboh.
Agaknya dia berusaha kendalikan badan untuk berdiri supaya
tidak jatuh, maka setelah mundur sejauh satu tombak, langkah
kakinya masih bergerak dengan harapan dapat memberatkan tubuh,
tapi usahanya tetap sia2, setelah beberapa langkah lagi, akhirnya
dia roboh terkapar. Sesaat dia masih berusaha merangkak bangun,
kedua matanya mendelik menatap Ling Kun-gi, suaranya serak,
tanyanya: "Kau . . . . . . ilmu apa ini?"
Selama ini Kun-gi mematuhi pesan gurunya, jika tidak terpaksa
dan terancam bahaya dilarang sembarang menggunakan Mo-ni-in,
kali ini lantaran serangan Hianping-ciang Tokko Siu sedemikian
hebat, maka iapun kerahkan kekuatan Mo-ni-in untuk
menghadapinya. Sungguh tak pernah terbayang dalam ingatannya
bahwa perbawanya begitu dahsyat, Tokko Siu dibuatnya mencelat
setombak lebih. Dalam keadaan sekarat setelah terluka parah,
Tokko Siu masih mendongak bertanya ilmu apa yang dia gunakan
untuk melawan Hianping-clang, maka ia pun menjawab: "Cayhe
menggunakan Mo-ni-in."
"Mo-ni-in. . . . . " terbeliak mata Tokko Siu, beberapa kali
mulutnya berkomat-komit, mendadak napasnya memburu dan
kepalanya tergentak ke belakang, tubuhpun ambruk telentang dan
tak bergerak lagi.
Dalam pada itu Lan sat-sin Dian Yu- hok yang melancarkan
Lansat-ciang membokong Ling Kun-gi dari belakang, waktu telapak
tangannya hampir saja mengenai punggung orang, mendadak
dilihatnya Kun-gi mengipatkan tangan kiri ke belakang. Dalam hati
ia tertawa dingin: "Seorang diri betapa tinggi kekuatanmu? Masakah
mampu melawan gabungan serangan kami berdua dari depan dan
belakang?"
Lan sat-ciang adalah ajaran sesat yang diciptakan oleh tokoh
bernama Umong, siapapun yang terkena pukulan ini akan mat i
seketika dengan badan hangus, tapi Mo-ni-in yang dikerahkan Kungi
kali ini ibarat air di dalam belanga yang sudah mendidih dan
hampir beludak, kekuatannya sudah mencapai puncaknya, apalagi
dia gunakan kipatan tangan kidal, itulah ajaran tunggal yang
diciptakan Hoanjiu-ji-lay sendiri.
Ketika Lansat-sin Dian Yu-hok merasa kegirangan itulah,
mendadak terasa bahwa kipatan tangan kiri Ling Kun-gi
menimbulkan kekuatan yang tiada taranya, sekokoh tembok baja
yang tak tembus, lebih celaka lagi kekuatan lunak membaja ini
seketika juga menerjang dirinya seperti gelombang badai
dahsyatnya. Pertahanan lawan yang mampu menyerang balik ini
sungguh di luar dugaannya.
Tapi karena Lam-sat-sin terlalu yakin bila Lansat-ciang mengenai
tubuh lawan jiwa orang pasti melayang keracunan, sudah tentu
iapun tidak mau mundur meski menghadapi perlawanan yang hebat
ini, tenaga malah dipusatkan sementara telapak tangan kanan tetap
menepuk, serangan yang semula dia arahkan punggung Ling Kun-gi
sekarang malah dia ubah arahnya memapak telapak tangan Ling
Kun-gi yang mengipat ke belakang itu. Jelas tujuannya amat keji
dan jahat.
Sayang dia tidak tahu bahwa Mo-ni-in adalah ilmu mukjijat aliran
Hud yang sakti, waktu dilancarkan kekuatannya tidak kelihatan
besar, bila sudah mengadu pukulan secara telak baru kekuatannya
timbul berlipat ganda.
Setelah Lansat-sin menyadari adanya gejala tidak enak, namun
sudah terlambat, kekuatan lunak sekokoh baja itupun sudah
memukul dadanya. Lansat-ciang yang dilatihnya selama berpuluh
tahun kali ini sama sekali tak mampu dilancarkan, tahu2 terasa
sekujur badan mengejang dan bergetar, seperti orang yang
didorong mendadak tanpa kuasa dia terhuyung mundur beberapa
langkah.
Melihat dia membokong Ling Kun-gi, sudah tentu Kongsun Siang
tidak berpeluk tangan, meski pertolongannya terlambat, tapi dia
tetap menubruk maju, memang hatinya lagi gusar kebetulan dilihat
lawan tergetar mundur, segera dia menubruk miring berbareng
pedang menusuk, Kalau dalam keadaan biasa, dengan tingkat
kepandaian Dian Yu-hok pasti dengan mudah dia dapat berkelit, apa
daya sekarang dia sudah terkena getaran pukulan Mo-ni-in yang
hebat itu, badan sendiri sudah tak kuasa dikendalikan, mana dia
sanggup berkelit lagi.
"Bles", ujung pedang yang runcing gemilapan tahu2 menembus
dada dari belakang. Lansat-sin hanya merasakan badan tertembus
oleh sesuatu yang dingin, matanya terbeliak, waktu menunduk,
dilihatnya ujung pedang tembus keluar dari dadanya, tampang
kudanya seketika pucat pias, teriaknya tertahan: "Siapakah yang
menusuk Lohu?" Pelan2 badan menjadi lemas dan jatuh terkulai.
Dengan bebrseri tawa Loh-bi-jin menghampiri, katanya: "Hebat
benar ilmu Cong-su cia."
Kun-gi malah mengerut kening, katanya: "'Mungkin Cayhe terlalu
keras memukulnya." Belum habis bicara, tiba2 ia sendiri terhuyung
mundur.
Loh-bi jin kaget, tanpa hiraukan adat laki-perempuan lagi lekas
dia memapah, tanyanya penuh perhatian: "Cong-su-cia, kenapa
kau?"
Dilihatnya muka Kun-gi pucat dan agak gemetar pula, serunya
gugup: "Hai, lekas kalian kemari, mungkin Cong-su-cia terbokong
oleh musuh?"
Ko lotoa, Song Tek seng, Kongsun Siang, Thio Lam-jiang segera
merubung datang.
Kata Kongsun Siang: "Cong-su cia, cobalah kerahkan hawa
murni, di mana letak salahnya."
Mata Ling Kun-gi terpejam, dia berdiri diam, sesaat lamanya baru
air mukanya tampak bersemu merah, pe-lahan2 dia mengirup napas
panjang dan membuka mata. Melihat Loh-bi-jin memapahnya, sorot
matanya menunjuk rasa kaget dan keheranan, iapun merasa rikuh,
katanya: "Terima kasih nona, aku tidak apa2."
Jengah Loh-bi- jin, katanya dengan mengerling: "Sebetulnya apa
yang terjadi Cong su-cia?".
"Hianping-ciang Tokko Siu memang lihay sekali," demikian ucap
Kun-gi," sedikit lena, badanku terembes hawa dingin, seluruh badan
seketika terasa membeku . . . . "
"Sekarang sudah baik bukan?" tanya Loh bi-jin penuh perhatian.
"Untung segera aku menyadari kelalaianku, sekarang sudah
baik."
Ko-lotoa menyelutuk: "Tokko Siu berjuluk Ping-sin (malaikat es),
entah betapa banyak tokoh2 Kangouw yang kecundang oleh
Hianping-ciang, malam ini ia kebentur Cong coh, tamatlah riwayat
kejahatannya yang kelewat takaran"
Kun-gi menoleh ke sekitarnya, tanyanya: "Musuh sudah mundur
seluruhnya?"
"Mendengar suara sempritan, Liu-siancu di arah timur tiba2
mengundurkan diri, sementara kesembilan Sing-siok di sebelah
barat telah dibereskan oleh dara kembang dan terbakar menjadi abu
oleh peluru Bik-yam-tan."
Kun-gi menghelar napas lega, katanya: "Thay-siang memang
serba tahu, ramalannya tidak pernah meleset, segala gerak-gerik
musuh sudah tergenggam di telapak tangannya, sungguh amat
mengagumkan.”
Ko-lotoa berkata: "Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing juga segera
mengundurkan diri setelah mendengar suara sempritan tadi, karena
Cong-coh tidak memberi perintah, kami t idak berani bergerak.
Sukalah Cong coh segera ambil tindakan."
Kun-gi memandang ke arah Ui-liong-tong di kejauhan sana,
tampak gua itu bermulut besar dan tinggi, pintu gua terbuka lebar,
seperti tiada penjagaan, keadaan gelap pekat tak kelihatan keadaan
di dalam, diam2 timbul rasa curiganya, katanya setelah tepekur
sebentar: "Ui-liong-tong adalah pusat pimpinan Hek-liong-hwe,
kalau pintunya terbuka lebar tentu ada perangkapnya, lebih baik
kita bekerja menurut pesan Thay-siang saja."
Loh-bi jin mengiakan, segera dia memberi tanda, empat dara
kembang segera pikul tandu kecil itu menghampiri. Inilah bunyi
tulisan Thay-sian dalam surat rahasianya: "Terjang ke bawah Uilionggiam,
lemparkan tandu ini ke Ui-liong- tong."
Kun-gi suruh orang banyak berpencaran mencari tempat masing2
dan mengepung Ui-liong-tong dengan ketat, sementara, empat
Hou-hoat-su-cia yang angkat tandu itu segera diayunnya bolak-balik
terus dilemparkan ku Ui liong- tong. Karena lemparan yang kuat,
tandu itu meluncur kencang ke mulut Ui-liong-tong yang menganga
lebar, tertampaklah api tepercik terus terdengar ledakan keras yang
menggelegar menggetarkan bumi.
Bumi laksana gempa keras, sementara ledakan masih terus
berbunyi saling susul schingga tebing di puncak atas sana retak dan
batu2 besar sama menggelindang berjatuhan tercampur dengan
padas2 yang terlempar keluar dari dalam gua, terdengar suara jerit
tangis dan pekik orang di sana-sini. puluhan tombak disekitar
lembah diliputi asap dan debu yang tercampur dengan batu yang
beterbangan, jari tangan sendiri sampai tidak terlihat jelas apa lagi
mengawasi teman2 yang lain.
Kiranya tandu itu berisi bahan peledak yang beratnya hampir
sekwintal, maka dapatlah dibayangkan betapa hebat daya
ledakannya, ternyata Ui-liong tong telah diledakkan hingga rata
dengan tanah.
Ngarai lembah naga kuning di atas sanapun telah gugur rata
memenuhi lembah.
Waktu membaca surat rahasia Thay-siang tadi sebetulnya Kun-gi
sudah mendapat firasat bahwa yang tersimpan di dalam tandu pasti
obat bakar yang amat lihay kekuatannya, baru tandu dilempar ke
dalam gua pasti menimbulkan kobaran api besar, karena tak bisa
menyembunyikan diri pasti kawanan bangsat Hek-liong-hwe akan
terjang keluar. Oleh karena itu dia suruh 8 Hou-hoat-su-cia dan 20
dara kembang berpencar mengepung Ui-liong-tong, musuh yang lari
keluar akan ditumpas atau ditawan hidup2.
Dia sudah perintahkan semua orang bersembunyi agak jauh dari
mulut gua, supaya senjata api sendiri tidak melukai mereka, tapi tak
pernah terduga olehnya bahwa tandu itu membawa sekwintal bahan
peledak, betapa dahsyat kekuatannya, gua sebesar itu serta ngarai
diataspun dibikin gugur dan lebur.
Begitu mendengar suara ledakan Kun-gi lantas merasakan
getaran hebat mirip gempa bumi, lembah dan ngarai seperti
berguncang, keadaan amat ga-wat sekali, lekas dia kerahkan
Lwekang serta membentak sekeras guntur: "Semua mundur!"
Walau dia berseru dengan kekuatan Lwekang yang tinggi, kalau
dalam keadaan biasa suaranya mungkin bisa terdengar cukup jauh,
tapi kini gunung gugur bumi berguncang hebat, suara ledakan
masih terus berkumandang saling susul sehingga seruannya tak
terdengar sama sekali.
Melihat gelagat jelek, sekali raih Kun-gi pegang tangan Ko-lotoa
yang berdiri disampingnya sembari meloncat mundur sejauh
mungkin Kong-sun Siang berdiri di sebelah kiri, mulutnyapun
berteriak: "Song-heng, Thio heng, lekas mundur!" Begitu bergerak,
dengan gaya serigala menubruk sekaligus dia melompat mundur
sejauhnya. Waktu dia berdiri tegak dan menoleh, batu2 sebesar
gajah sedang bergelundungan dari atas ngarai, debu beter-bangan
dan batu berlompatan menguruk lembah.
Tadi masih terdengar beberapa kali jeritan kaget dan kesakitan di
sana sini, kini kecuali batu gunung yang masih bergelindingan
dengan suara gemuruh, suara orang tak terdengar lagi. Agaknya
semua orang sudah teruruk di bawah reruntuhan.
Kaget Kongsun Siang, ia coba berteriak: "Cong-coh, Cong-su-cia .
. . . . . . . "
Didengarnya suara Kun-gi juga sedang berteriak: "Kongsun-heng,
kau tidak apa2?"
"Ling-heng," teriak Kongsun Siang berjingkrak girang, secepat
terbang dia melompat ke arah datangnya suara.
Di tanah lapang berumput agak jauh sana keadaan masih gelap
berkabut debu, tampak Ling Kun-gi tengah berjongkok, sebelah
tangannya menekan punggung Ko-lotoa, kiranya tengah
menyalurkan hawa murni ke badan orang.
Tiba di samping orang Kongsun Siang lantas bertanya: "Congcoh,
kenapa, Ko lotoa?"
Sebelah tangan Kun-gi tetap tak bergerak, katanya gegetun:
"Waktu kutarik dia lompat ke belakang dada Ko-lotoa keterjang batu
terbang, mungkin . . ."
Belum habis dia bicara, dilihatnya Ko-lotoa telah membuka
matanya, sinar matanya pudar, bibir bergerak mengeluarkan suara
lemah, kata2nya ter-putus2.
"Terima kasih, . . . . Cong. . . . . coh, aku tak. . . , tak tahan. . . .
. lagi, Ui-liong . .. . . tong. . . . . . . di belakangnya ada . . . . . ada
sebuah. . . . . .. jalan rahasia . . . . . . menembus. . . . . . '.' darah
segar tahu2 menyembur keluar dari mulutnya, sehingga dia tak
mampu meneruskan kata2nya.
Lekas Kongsun Siang berkata: "Ko-lotoa, tenangkan hatimu,
apakah maksudmu bahwa di belakang Ui-liong-tong ada jalan
rahasia yang tembus ke mana?"
Kun-gi lepaskan telapak tangan yang menekan punggung orang,
katanya rawan: "Dia sudah mangkat." Pelan2 dia berdiri, matanya
menjelajah sekitarnya, tanpa terasa dia berkata dengan nada, sedih:
"Kongsun-heng, agaknya tinggal kita berdua saja yang masih
ketinggalan hidup dalam rombongan besar kita tadi."
"Mungkin masih ada yang smpat lolos, debu masih mengepul
setebal ini dan sukar melihat keadaan," ujar Kongsun Siang.
Kun-gi menggeleng dan berkata setelah menghela napas:
"Peristiwa ini terjadi amat mendadak, kita berdiri lima tombak di luar
Ui-liong-tong, begitu melihat gelagat jelek aku segera menarik Kolotoa
melompat ke belakang, tapi Ko-lotoa tetap keterjang batu,
padahal dara2 kembang dan Houhoat-su-cia tersebar disekeliling Uiliong-
tong dalam jarak t iga tombak, mana mungkin mereka sempat
meloloskan diri? Kesembronoanku yang harus disalahkan, sejak
mula harus kuduga bila dalam tandu pasti tersimpan bahan peledak
yang amat lihay, seharusnya kusuruh semua orang berdiri lebih jauh
lagi."'
Kongsun Siang berkata: "Hal ini tak bisa menyalahkan Cong-coh,
kalau Thay-siang membawa dinamit di dalam tandu seharusnya dia
jelaskan dalam surat petunjuknya, menurut dugaanku, dinamit yang
dapat menggugurkan separo gunung ini kalau tidak sekwintal pasti
ada delapan atau sembilan puluh kati beratnya, kalau memang tidak
tahu menahu, umpama berdiri jauh dan berilmu silat tinggi juga
takkan sempat menghindarkan diri, apalagi menurut petunjuk kita
harus menerjang masuk ke Ui-liong-tong, bahwa Cong-coh sudah
suruh mereka menyebar sejauh tiga tombak, ini sudah cukup
cermat juga." Secara langsung dia salahkan Thay-siang yang tidak
menjelaskan persoalannya sehingga jatuh korban sebanyak ini.
Kun-gi diam sejenak tanpa bersuara, pelan2 kepalanya terangkat
dan berkata: "Kongsun heng, marilah kita berpencar memeriksa
keadaan, mungkin masih ada yang cuma terluka parah dan belum
ajal, perlu segera kita menolongnya.
Kongsun Siang mengangguk, katanya: "Benar Cong-coh."
Mereka lantas berpencar ke kanan kiri dan memeriksa sekitar Uiliong
tong, debu yang beterbangan sudah mulai reda, keadaan
sudah mulai terang. Maka puluhan tombak sekeliling Ui-liong-tong
bisa terlihat jelas, ternyata batu2 padas melulu yang berserakan
membukit di tempat itu, keadaan sudah berubah bentuk dan tak
dikenal lagi.
Pertama Kun-gi menemukan jenazah Song Tek-seng, dia sudah
berada tujuh tombak jauhnya dari Ui-liong-tong, punggungnya
tertindih batu besar dan mati tengkurap. Bergidik seram Kun-gi,
diam2 ia berkata: "Song-heng, tenangkanlah dirimu dalam
istirahatmu, nanti akan kukebumikan bersama dengan kawan2 yang
lain."
Lalu dia maju lebih lanjut, ditemukan pula Loh-bi-jin, tadi dia
berdiri tepat di mulut Ui-liong-tong, badannya gepeng tertindih batu
besar yang jatuh ke bawah, hanya sebelah tangannya saja yang
kelihatan menjulur keluar, kematiannya amat mengenaskan.
Dari lengan bajunya Kun-gi mengenali Loh-bi-jin yang tertindih di
bawah batu2 ini, mengingat kebaikan orang yang telah memapah
dirinya tanpa hiraukan perbedaan laki perempuan waktu dirinya
sempoyongan setelah mengadu kekuatan dengan Hianping-ciang
Tokko Siu, sungguh ia berterima kasih dan terharu, kini bertambah
lagi sedih dan pilu, kejadian baru berselang beberapa kejap, tapi
jiwa orang sudah mangkat mendahului nya.
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 2 komentar... read them below or add one }
artikelnya bagus sekali sob,,menambah pengetahuan dan wawasan.. terima kasih banyak atas sharenya..semoga selalu menciptakan karya" terbaiknya,,,dan ditunggu UPDATEan terbarunya sob,,,pokoknya mantap deh! keren buat blog ente ! dan saya mohon dukungannya sob buat lomba kontes SEO berikut:
Ekiosku.com Jual Beli Online Aman Menyenangkan
Commonwealth Life Perusahaan Asuransi Jiwa Terbaik Indonesia
terima kasih atas dukungannya sob,, saya doakan semoga ente selalu mendapatkan kebaikan,, dan terus sukses!! amin hehe sekali lagi terima kasih banyak ya sob...thaks you verry much...
keren bung
Posting Komentar