"Tempo hari engkau telah melukai sekarang engkau
harus membayarnya!"
"0, perempuan tua itu?"
"Hm, kiranya engkau masih ingat juga," dengus Ma Giok
Cu. Dia segera bertepuk tangan tiga kali dan muncullah
Lau-ma, wanita pengasuh Ma Giok Cu yang memiliki ilmu
jari sakti Sin ci-kang. Wanita tua itu berjalan dengan
memakai tongkat.
"Ada apa siocia?" tegurnya.
"Hari ini akan kuhadiahi engkau sebuah bingkisan yang
amat berharga."
"0, terima kasih siocia," sahut Lau-ma, "bingkisan apa
saja?"
"Patung itulah!" Ma Giok Cu menuding pada Huru Hara.
"0, dia?" Lau-ma berseru kaget, "siapa yang suruh dia
masuk kemari?"
"Dia kan setan, dapat masuk keluar tanpa diketahui
orang. Hajarlah dia Lau-ma," perintah Ma Giok Cu.
Lau-ma mendengus dan maju kehadapan Huru Hara,
"Hm, engkau sungguh bernyali besar sekali berani masuk
kedalam gedung ini."
"Lho masuk ke gedung ini mengapa dianggap berani?"
"Karena orang mungkin dapat masuk tetapi jangan harap
bisa keluar lagi."
"Wah, kalau begitu, aku gembira sekali, tetapi apakah
engkau sudah sembuh betul2?"
Merah muka Lau-ma karena diejek begitu. Ia
menggeram. "Hm, tempo hari engkau dapat berkokok,
tetapi jangan harap engkau mampu ke luar dari gedung ini
dengan masih bernyawa."
"Uh, nyawamu hanya selembar, apakah hendak engkau
minta?"
"Siapa sudi mengambil nyawamu, kunyuk. Aku akan
membasminya!"
"Perempuan katak," seru Huru Hara, "aku seorang
tetamu mengapa engkau perlakukan aku sebagai seorang
penjahat?"
"Cis, siapa sudi menerima tetamu seperti engkau ?"
geram Lau-ma.
"Perempuan tua," seru Huru Hara, "jangan menghina
aku begitu rupa. Tunggu setelah aku menghadap tay-haksu
nanti kita selesaikan perhitungan kita lagi. Engkau mau
mengajak apa saja, tentu akan kulayani."
"Di sini adalah rumah tay-haksu. Ma sio cialah yang
berkuasa penuh. Ma siocia mana mau menerima tetamu
seperti engkau! Enyah bangsat!
Huru Hara tak sempat membantah lagi karena saat itu
Lau-mapun sudah menyerangnya Sip-ci-sin-kang atau
Sepuluh-jari-sakti ya dimiliki Lau-ma memang pernah
menjagoi seluruh dunia persilatan pada tiga empatpuluh
tahun yang lalu. Ilmu itu hampir lenyap. Kini tiba2
dimainkan oleh inang pengasuh dari puteri menteri tayhaksu.
Terdapat beberapa macam ilmu jari sakti antara lain Tanci-
sin-kang atau Selentikan-jarisakti, yang bukan saja dapat
memancarkan tenaga-dalam melalui gerak selentikan jari,
pun apalagi telah mencapai tataran tinggi dapat ditudingkan
ke arah musuh yang berada pada jarak beberapa meter,
tudingan jari itu memancarkan tenaga-dalam yang
menghancurkan. Juga menutuk jalan-darah dari jarak jauh
termasuk tenaga-dalam yang dipancarkan melalui jari.
Biasanya pemancaran jari itu dilakukan dengan sebuah
atau dua buah jari. Tetapi yang dimiliki Lau-ma adalah
sepuluh jari atau yang disebut Sip-ci-sin-kang. Kesepuluh
jari Lau-ma setempak dapat memancarkan tenaga-dalam
untuk mencengkeram lawan. Lau-ma telah mencapai
tataran, pada waktu melancarkan ilmu itu, ia dapat
meluncurkan kuku jarinya ke luar sampai dua tiga inci.
Huru Hara terkejut ketika merasa dirinya terutama
bagian muka dan dada, dicengkam oleh tekanan tenaga
yang kuat. Dan pandang matanyapun agak silau melihat
berpuluh-puluh kuku jari yang tajam mencurah ke arah
mukanya.
Terpaksa dia loncat mundur untuk membenahi diri.
Tetapi secepat itu pula Lau-mapun sudah memburu lagi.
Huru Hara tidak gentar, diapun berloncatan kian kemari
untuk menghindar. Kalau tak sempat menghindar baru dia
menampar untuk menghalau taburan kuku2 maut itu.
Diam2 Lau-ma yang memperhatikan gerakan Huru Hara
menjadi heran. Jelas gerak hindaran maupun pukulan
pemuda itu tidak menurut jurus tata silat yang wajar tetapi
anehnya pemud itu dapat bergerak sedemikian gesit dan lagi
setiap tamparannya tentu memancarkan tenaga-sakti yang
kuasa untuk menghalau serangan kuku jarinya.
"Gila . .. , " pikir Lau-ma. Walaupun dia dulu pernah
bertempur dengan Huru Hara dan tahu bagaimana
keganjilan anakmuda itu, namun sekarangpun dia tetap tak
habis mengerti. Apa sesungguhnya yang dimiliki pemuda
nyentrik itu?
Tengah pertempuran berjalan seru, tiba2 terdengar
sebuah lengking teriak seorang dara, "Lau ma, berhenti .... !
"
Lau-ma terkejut. Dia kenal suara itu adalah suara ji-siocia
Ma Giok Hoa. Cepat dia menarik pulang serangannya.
"E, adik Hoa, mengapa engkau suruh Lau-ma berhenti?"
tegur Ma Giok Cu yang terkejut.
"Mengapa Lau-ma menyerang pemuda itu,” balas Giok
Hoa.
"Siapa dia? Dia adalah kunyuk yang dulu pernah melukai
Lau-ma."
"0, apa urusannya?" tanya Giok Hoa pula
"Dia bertengkar dengan engkoh Hong Liang dan
membela seorang gadis anak dari Su Go Hwat. Lau-ma tak
puas atas sikapnya terhadapku. Lau-ma lalu menghajarnya
tetapi dia berani melawan bahkan melukai Lau-ma."
"An, urusan yang lalu anggap saja sudah selesai. Dia
datang kemari karena hendak menghadap ayah."
"Un, apa engkau tidak salah bicara adik Hoa?" tegur Ma
Giok Cu.
"Salah bicara bagaimana, cici?"
"Dia hendak menghadap ayah? Apa kedudukannya kok
dia berani begirtu? Dia kan seorang pemuda gelandangan
yang suka mengganggu orang."
"Dia mengatakan begitu kepadaku."
"Dan engkau percaya saja?"
“Aku mempercayai setiap orang."
"Ah, jangan berpikiran menurut ukuran pikiranmu, adik
Hoa. Engkau tahu saat ini banyak sekali mata-mata musuh
yang berkeliaran dimana-mana. Mereka selalu mencari
kesempatan untuk mengacau dan bahkan mengadakan
pembunuhan. Apakah engkau tak pernah membayangkan
bagaimana akibatnya kalau dia seorang mata-mata musuh
yang hendak membunuh ayah?”
"Aku percaya atas kata2nya. Kalau dia memang hendak
membohongi aku, itu terserah saja. Karena yang
menanggung akibat dari karma perbuatannya itu adalah dia
sendiri."
"0, jangan muluk2 dengan segala macam falsafah agama
yang engkau anut, adik Hoa," seru Ma Giok Cu. "ini urusan
negara. Jiwa ayah adalah penting sekali bagi kepentingan
kerajaan, masakan hanya engkau pertimbangkan dengan
segala falsafah karma saja. Bagaimana kalau ayah sampai
terbunuh? Apakah kerajaan takk kehilangan tulang
punggung yang berharga? Apakah kita takkan kehilangan
tiang sandaran yang berharga? Soal karma atau tidak, itu
kan urusan peribadi, bukan urusan negara."
"Ai, mengapa cici mengamuk begitu rupa. Bukankah dia
belum sampai membunnh ayah? Dan apakah sudah pasti
kalau dia tentu akan membunuh ayah?"
"Bagaimana engkau tahu kalau dia bermaksud baik atau
jahat?"
"Aku percaya, kalau perlu cici boleh minta janjinya," kata
Giok Hoa lalu berpaling kearah Huru Hara dan berseru,
"aku minta janjimu. Apakah kedatanganmu ini hendak
berniat membunuh ayahku?"
"Jangan kuatir nona." sahut Huru H "aku hanya akan
menyampaikan surat dari menteri Su Go Hwat tayjin. Sama
sekali aku tidak bermaksud hendak membunuh tay -haksu.
Aku orang bangsa Han, bagaimana aku hendak
menghianati bangsaku sendiri?"
"Tidak mungkin!" teriak Ma Giok Cu, "masakan paman
Su Go Hwat akan menyuruh orang seperti engkau. Apakah
paman Su sudah kehabisan orang yang dapat dipercaya
selain engkau?"
"Apakah engkau dapat memberi bukti bahwa engkau
disuruh paman Su Go Hwat," tanya Hoa dengan ramah.
"Ada," kata Huru Hara lalu mengeluarkan surat buatan
Raja copet yang meniru surat yang dibawa utusan Su Go
Hwat.
"Ah, mungkin surat palsu," seru Ma Giok Cu.
"Cici ... "
"Baiklah," seru Huru Hara, "apakah nona hendak
membuka surat ini?"
"Boleh, biar kuperiksanya apabila surat itu benar dari
paman Su Go Hwat atau bukan.”
"Tetapi ada syaratnya nona," kata Huru Hara, "surat ini
menurut pesan Su tayjin, hanya boleh diserahkan kepada
tay- haksu Ma tayjin. Lain orang tidak boleh. Namun kalau
nona hendak memeriksa, akupun tak dapat melarang asal
nona memenuhi permintaanku?"
"Apt permintaanmu?"
' Mudah sekali,” sahut Hara Hara, "kalau surat itu palsu,
akan kuserahkan kedua tanganku supaya ditabas kutung . . .
. "
"Wah......apakah engkau bersung;uh-sungguh?"
"Ya"
"Baik, itu permintaanmu sendiri."
"Jangan tergesa-gesa," seru Huru Hara, "namun kalau
surat itu benar2 surat aseli dari Su tay jin, akupun hendak
minta tanda mata dari nona sebagai bukti akan
kejujuranku."
"Engkau minta hadiah uang?"
"Hm, uang," seru Huru Hara, "dalam peran seperti saat
ini, yang penting adalah keselamatan jiwa. Karena orang
tak tahu besok atau lusa apakah masih hidup. Perlu apa
masih temaha akan uang? Uang itu memang perlu untuk
alat hidup. Tetapi ada katanya uang itu menjadi racun yang
menjijikkan."
"Menjijikkan?"
"Ya, karena orang yang mempunyai uang berlimpah
ruah, tentu akan berobah sikap dan perangai. Dia akan
menjadi manusia yang congkak yang memandang rendah
pada semua manusia dan seluruh isi dunia. menganggap
segala apa dunia ini dapat dibeli dengan uangnya.
Bukaukah uang itu menjadi racun yang menjijikkan karena
telah membentuk manusia yang sombong?"
"Lalu apa yang engkau minta?"
"Akupun mInta persyaratan seperti yang kan kukanakan
pada diriku."
"Engkau minta akan mengutungi kedua tanganku?"
"Ah, tak perlu. Itu terlalu sadis," kata Huru Hara, "cukup
hanya sebuah anggauta wajah nona yang rangkap. Nona
mempunyai sepasang telinga, nah, biarlah kuminta satu
saja."
"Kunyuk, jangan engkau kurang ajar terhaflap siociaku!"
tiba2 Lau-ma terus loncat menerkam. Uhhh ........ secepa itu
ia menerkam secepat itu pula ia terpental ke belakang
sampai beberapa langkah.
Apa yang terjadi.
Ternyata Huru Hara marah sekali atas keliaran wanita
yang dianggapnya sombong dan mengira tiada lawannya
lagi. Begitu merasa dirinya tertiup angin, cepat Huru Hara
berkisar tubuh dan menghantam. ji-ih-sin-kang atau tenagasakti
yang dnniliki Huru Hara bagaikan gelombang air
pasang yang melanda dan menghanyutkan Lau-ma.
"Nona Ma, engkau setuju atau tidak!" serunya kepada
Ma Giok Cu.
Ma Giok Cu tak menjawab melainkan lari menghampiri
Lau-ma yang saat itu tegak berdiri pejamkan mata.
"Mari kita menghadap ayah," kata Giok Hoa seraya
melangkah pergi. Huru Harapun mengikutinya.
Huru Hata memasuki sebuah ruang yang terbuat dan
batu pualam hijau. Hawanya sejuk dan memancarkan
suasana yang tenang. Seorang lelaki yang mengenakan
pakaian tersulam benang-emas, memelihara kumis dan
jenggot, duduk disebuah kursi besar yang bertahta batu2
pualam merah hijau. Dia sedang menghadapi cawan arak
dan tengah menghisap huncwe atau pipa panjang terbuat
dari gading. Menilik wajahnya yang kelimis dan putih,
tubuhnya yang gemuk segar, layak sebagai seorang cukong.
Sebenarnya dalam pandang pertama, Huru Hara
mempunyai kesan yang tak senang terhadap orang itu. Ia
memperhatikan mata orang itu berbentuk segi-tiga,
pertanda dari manusia yang berhati julig. Namun karena
Giok Hoa menyebutnya sebagai ayah, tentulah orang itu
adalah tay-haksu Ma Su Ing, mentri yang paling berkuasa
dalam karajaan Beng dewasa itu. Terpaksa Huru Hara
memberi hormat.
"Hamba Loan Thian Te menghaturkan hormat kepada
tay-haksu tayjin," kata Huru Hara dengan menekan
perasaan.
"Ho, Loan Thian Te, apa artinya nama itu seru orang itu.
"Artinya adalah Huru Hara."
"Huru Hara ? Mengapa nama saja kok milih huru hara,
apa tidak ada lain nama yang lebih baik dari itu ? '
"Hal itu hamba hanya menerima dari orang tua hamba."
"Siapa orangtuanau ?"
"Kim Thian Cong."
"Hm," dengus lelaki itu yang tak lain memang tay-haksu
Ma Su Ing," mengapa engkau berani menghadap aku ?"
"Hamba membawa surat dari mentri Su Go Hwat tayjin
supaya dihaturkan kepada tayjin."
Ma Su Ing kerutkan dahi tetapi cepat menghapusnya dan
berkata dengan tenang, "Apa kah engkau benar2 utusan
dari Su tayjin ?"
"Benar. tayjin. Hamba membawa surat dari Su tayjin."
"Engkau tahu apa hukumannya orang yang berani
memalsu nama seorang mentri ?"
Huru Hara terkejut mendengar pertanyaai Itu. Adakah
kedua wi-su yang telah menerima surat asli dari utusan
mentri Su Go Hwat, tclah menyerahkan surat itu kepada
Ma Su Ing.
"Hamba hanya menyerahkan diri atas keputusan tayjin."
katanya sesaat kemudian. Ia tak takut apapun yang akan
dihadapinya.
"Baik, serahkanlah surat itu. Tetapi ingat apabila engkau
berani memalsu nama engkau akan kuhukum potong
kepala !" kata Ma Su Ing seraya menyambuti surat dari
Huru Hara.
Begitu membaca isi surat itu seketika berobahlah muka
Ma Su Ing. Dia bcrtepuk tangan dan serempak empat wi-su
masuk.
"Tangkap manusia gila itu !" teriak Ma Su Ing memberi
perintah.
Keempat pengawal itupun segera berhamburan hendak
meringkus Huru Hara. Huru Hara terkejut dan tahu2 dia
sudah diringkus.
"Hai, apa salahku?" teiaknya.
"Engkau jelas berani memalsu surat dari mentri Su Go
Hwat, bawa keluar dan potong kepalanya!" teriak Ma Su
Ing marah.
Huru Hara terus diseret keluar. Tiba2 muncul Ma Giok
Hoa. Dara itu terkejut melihat Huru Hara diseret oleh
empat orang pengawal.
"Hai, ada apa itu?" tegurnya,
"Ma tayjin memerintahkan supaya memenggal kepala
orang ini!" sahut seorang pengawal. "Apa kesalahannya?"
"Entah kami tak tahu," kata keempat wi-su pengawal
sembari melangkah keluar.
Ma Giok Hoa gugup dan terus lari masuk menghadap
Ma Su Ing, "Ayah, mengapa ayah menghukum pemuda
itu?"
"Dia jelas berani memalsu surat dari Su Go Hwat."
"0, tetapi mana surat itu?" tanya Giok Hoa
Ma Su Ing tahu kalau puteri yang satu ini memang
pandai dalam ilmu sastra. Dia menunjukkan surat dari
Huru Hara tadi.
Ma Giok Ing membaca dan kerutkan alis. "Tetapi surat
ini tiada tanda2 palsu, ayah. Mengapa ayah mengatakan
palsu?"
16............ Blo'on -
Ma Su Ing merogoh kantong bajunya dan mengeluarkan
sebuah sampul, "Nih, inilah yang asli."
Ma Giok Ing menerimanya dan meneliti. Kembali dia
kerutkan alis, "Ya, tampaknya surat ini memang lebih baik .
. . . "
"Bukan lebih baik tetapi lebih aseli," seru Ma Su Ing.
"Tetapi dari mana ayah mendapat surat ini?"
"Giok Hoa, engkau anak perempuan mana tahu urusan
orangtua," kata Ma Su Ing, "surat Itu kuterima dari kedua
wi-su."
"Kedua wi-su kita?”
"Ya."
"Dari mana kedua wi-su itu mendapatkan surat ini.
Apakah mereka menerima dari paman Su Go Hwat?"
"Tidak," Ma Su Ing gelengkan kepala, "mereka menerima
dari orang yang diutus Su Go Hwat.”
"Aneh, mengapa orang itu tak menyampaikan sendiri
kepada ayah tetapi menerimakan kepada kedua wit-su."
"Memang kusuruh kedua wi-su itu untuk menerimanya.”
“0 " Ma Giok Hoa menundukkan dan meneliti lagi surat
itu. Lalu matanya membetalak lebar , "Yah, inilah surat
yang palsu!”
"Apa?” Ma Su Ing juga terkejut.
"Surat dari ayah ini yang palsu," ulang Ma Giok Hoa
sembari menyerahkan surat itu kepada ayahnya lagi.
Ma Su Ing meneliti sejenak, "Mana yang engkau katakan
palsu itu ?"
"Silakan ayah melihat tanda tangan namanya."
"Su Go Hwat, ini kan benar. Apanya yang salah ?"
"Huruf Go itu berarti “boleh”. Tetapi mengapa atasnya
diberi kepala sehingga berarti Ho ata “bunga teratai ?"
"Hai ..... !" Ma Su Ing menjerit setelah memperhatikan
apa yang dikatakan puterinya itu "panggil Li dan Pik wi-su
kemari !" - ia membei perintah kepada seorang penjaga.
Penjaga itu bergegas keluar.
"Yah, hukuman itu harus lekas dicegah kalau tidak tentu
akan timbul salah faham deag paman Su."
"Baik," Ma Su Ing terus beranjak dan dengan diiring Ma
Giok Ing, mereka menuju keluar. Tetapi tiba di ambang
pintu, dua orang wisu yang diperintah untuk memenggal
kepala Huru Hara tadi terhuyung-huyung menghampiri,
"Maaf tay-jin, orang itu telah mengamuk dan melarikan diri
..... "
"Apa ? Kalian berempat tak mampu menjaga seorang
manusia semacam itu ?" Ma Su Ing terkejut.
Wi-su itu menghaturkan maaf, "Dia ternyata luar biasa
sekali. Kami berempat sudah berusaha untuk
menyerangnya tetapi dapat menghindari semua serangan
dan terus meloloskan diri ...."
"Hm, cari orang itu dan tangkap !" perintah Ma Su Ing,
lalu masuk kedalam ruang lagi. Disitu kedua wi-su yang
menerima surat dari utusan mentri Su Go Hwat sudah
menunggu.
"Li dan Pik wisu," seru Ma Su Ing, "dari mana kalian
mendapatkan surat mi ?"
"Benar ?"
"Masakan kami berani berbohong kepada tsy-haksu,"
kata Li wisu.
"Bacalah surat itu !" seru Ma Su Ing seraya memberikan
surat.
Li wi-su membaca kemudian diserahkan kepada Pik
wisu. Muka kedua orang itu bcrobah pucat.
"Bagaimana ?" tegur Ma Su Ing.
"Tanda nama dari Peng-poh-siang-si Su tay jin mengapa
ditulis lain ?" seru kedua wi-su.
"Itulah yang kumaksud. Apakah kalian benar2 menerima
surat itu dari utusan mentri Su Go Hwat ?"
Li dan Pik wisu tak berani cepat2 menyahut melainkan
berdiam. Rupanya kedua wi-su itu tengah mengingat-ingat
orang yang menjadi utusan pembawa surat Su Go Hwat itu.
"Jelas dialah orangnya tetapi masakan dia juga telah
dipalsu," kata Li wi-su seorang diri.
Ma Su Ing seorang yang teliti dan penuh kecurigaan.
Semua pegawainya, dari pelayan sampai pada wi-su (
pengawal ) sudah di-test denga teliti, baik mengenai ilmu
kepandaiannya maupun kesetyaan dan kejujurannya. Li
dan Pik kedua wi-su itu pun termasuk wi-su yang menjadi
kepercayaannya. Ia percaya keduanya tentu tak berbohong.
"Mungkinkah itu?" tanya Ma Su Ing. Sesaat kemudian ia
bertanya dimanakah utusan itu sekarang.
"Dia mengatakan akan pulang menghadap Su tayjin lagi
dan melaporkan kalau suratnya telah dirampas orang."
"Baik," kata Ma Su Ing, "tetapi selama dalam perjalanan
apakah kalian tak berjumpa dengan peristiwa yang
mencurigakan?"
"Tidak tayjin," kata Li wi-su, "kami terus langsung
pulang kemari.
"Li-heng, apa mungkin orang itu ...,” tiba2 Pik wi-su
berseru.
"Siapa?"
"Bukankah waktu di tencah jalan ketika lalui sebuah
jembatan, ada seorang pengemis terjatuh terkapar di tengah
jalan lain karena kasihan kita lantas menolongnya?" kata
Pik wi-su.
"Ya," kata Li wi-su, "tetapi dia kau hanya pengemis tua
renta yang pingsan? Masakan dia mampu mencuri surat
itu?"
"Engkau tentu masih ingat pula tentang seorang anak
kecil yang berlari-lari menyusul kita itu.”
"0, ya; ya, benar. Bukankah anak yang memberikan surat
ini?" kata Li wi-su.
"Benar, dia mengatakan surat itu jatuh dan diketemukan
oleh seorang tua. Dan orang tua itu lalu mengupah si anak
untuk menyusul dan mengembalikan kepada kita."
"Itulah," kata Pik wi-su.
"Maksudmu apakah anak itu yang mencuri surat kita?"
"Bukan," sahut Pik wi-su, "tetapi aku curiga pada si
pengemis. Kemungkinan orangtua yang dikatakan anak itu
adalah si pengemis tua itu sendiri."
"Ah, mana . . . "
"Aku sempat memperhatikan mata pengemis itu berkilatkilat
tajam sekali seperti mata pedang yang menusuk
uluhati. Tentulah dia seorang ahli silat yang memiliki
tenaga-dalam yang tinggi."
Li wi-su tertegun diam,
"Hm, bagaimana pertanggungan jawab kalian? Tentulah
surat itu jatuh ke tangan si pengemis ditukar dengan yang
palsu ini," kata Ma Su Ing.
"Maaf tayjin, hamba berdua memang bersalah karena
kurang hati2 sehingga dapat dikelabuhi oleh seorang
pengemis............ ."
"Mungkin si pengemis itu yang melakukan, mungkin
utusan Su Go Hwat itu. Tetapi kalau tentang utusan Su Go
Hwat, setelah menghadap Su Go Hwat, Su Go Hwat tentu
akan menghukumnya. Tetapi tentang pengemis itu,
kuserahkan sa kepada kalian berdua," kata Ma Su Ing.
Li dan Pik wi-su menyatakan hendak mencari pengemis
itu untuk meminta kembali surat aseli dari mentri Su Go
Hwat.
"Yah, orang itu tentu akan menghadap paman Su dan
mengadukan tindakan ayah,", kata Ma Giok Hoa yang
menyesali sikap ayahnya terhadap Huru Hara.
"Habis kalau sudah terlanjur lalu bagaimana. Kemanakah
aku harus mencari orang itu ?" kata Ma Su Ing, "tetapi tak
usah kuatir. Aku dapat menyelesaikan urusan dengan Su
Go Hwat."
Ma Su Ing lalu masuk kedalam kamar tulisnya. Dia
duduk di meja tulis dan merenungkan rencana.
"Hem, Su Go Hwat tak mau menurut perintahku untuk
menggempur jenderal Co Liang Gie tetapi dia membawa
kemauannya sendiri tetap menjaga Yang-ciu. Sekarang dia
hendak minta bantuan, hm, enaknya ....
"Co Liang esok harus lekas2 ditumpas, agar jangan
sampai meraja lela masuk ke kotaraja sini. Kerajaan Beng
sudah tak dapat diharap. Aku harus lekas2 menyingkirkan
harta karun itu ke gunung Kiu-kiong-san ..... "
Dalam berkata-kata seorang diri itu dia menekan
kebawah meja dan tak lama muncullah seorang penjaga.
"Undang Ang Bin tojin kemari," serunya, Dan penjaga
itupun segera bergegas pergi.
Tak berapa lama muncullah seorang imam tua berwajah
merah. Rambut imam itu sudah putih. Dia mengenakan
jubah warna merah darah dengan lukisan pat-kwa warna
hitam dan putih .
"0. Ang tojin, silakan duduk," Ma Su Ing mempersilakan
imam bermuka merah itu.
"Terima kasih tayjin," kata imam berwajah merah atau
Ang Bin tojin, "Apakah tayjin hendak memberi pesan
kepada pinceng ?"
"Ah, sesungguhnya sudah banyak sekali tojin membantu
kerepotanku. Jasa tojin pasti akan kuukir dalam hati untuk
selama-lamanya."
"Ah, harap tayjin jangan mengucap begitu," Imam
berwajah merah itu tertawa, "apa yang kulakukan hanyalah
merupakan bantuan kecil yang masih tak sepadan dengan
apa yang tayjin telah berikan kepadaku. Harap tayjin jangan
sungkan. Kalau hendak memberi pesan, silakan.”
"Begini tojin," kata Ma Su Ing, "pekerjaan ini amat
rahasia sekali sifatnya. Satu-satunya yang kuanggap mampu
dan kupercaya penuh untuk melaksanakan pekerjaan itu
hanyalah tojin. Maka dengan berat hati aku terpaksa
hendak merepotkan tojin lagi."
"Baik, tayjin. Aku banyak menerima budi tayjin,
sekalipun harus menerjang lautan api dan hutan golok, aku
tentu akan melaksanakan titah tayjin."
"Terima kasih tayjin. Sudah tentu aku tak meminta tojin
melakukan pekerjaan yang begitu berbahaya. Namun
sekalipnn demikian, kemungkinan bahaya itu akan
mengancam, tetap ada. Maka kuharap tojin suka berhatihati."
Ang Bin tojin menghaturkan terima kasih dan meminta
agar Ma Su Ing segera memberitahu apa yang harus
dilakukan.
Dengan suara pelahan Ma Su Ing berka "Ada sepuluh
peti harta pusaka, yang kuminta tojin suka mengantar ke
gunung Kiu-kiong-san dan menyimpan dalam guha Kiukiong-
tong.”
"0, baiklah. Tetapi dimanakah letak guha Kiu-kiong- tong
itu?"
"Tojin dapat menemui Seng Uwat totiang kepala biara
An-ceng-kwan di gunung itu. Dia tentu akan menunjukkan
letak guha itu kepada tojin."
"Baiklah," kata Ang Bin tojin, "dimana dan kapan pinceng
berangkat?"
"Besok malam. Tojin boleh menunggu di sebuah bukit
diluar pintu utara. Disitu sudah siap duapuluh prajurit
berkuda yang akan membawa sepuluh peti permata. Kelak
apabila pekerjaan itu sudah selesai, harap tojin membuka
surat ini dan segera melaksanakannya saja," kata Ma Su
Ing. Dia menyerahkan sebuah kim-long atau surat dalam
kantong kepada imam berwajah merah itu.
Setelah imam yang merupakan salah seorang dari Samceng
yang dibentuk Ma Su Ing, meninggalkan tempat itu,
Ma Su Ing segera memberi perintah kepada penjaga lagi,
"Undang Gak su-cia!"
Penjaga itu segera melakukan perintah. Berbeda dengan
waktu memanggil Ang Bin tojin tadi yang dilakukan
dengan cepat, kedatangan Gak sucia itu agak lama.
Su-cia artinya duta atau utusan. Ma Su Ing membentuk
tiga buah kelompok pembantu khusus pang melaksanakan
perintahnya. Kelompok pertama disebut Sam-ceng atau
Tiga-imam terdiri dari Sakya hwatsu, Ang Bin tojin dan
Gong Goan taysu. semua memiliki kepandaian yang sakti.
Kelompok kedua disebut Sam-cia atau Tiga duta,
beranggautakan tiga jago silat yang berilmu tinggi yani
Giam Ting jago pukulan Hoa-hoat-ciang (pukulan
berdarah), Gak Se Bun Tui-hong-pian (ruyung pemburu
angin) dan Sung In jago senjata rahasia yang bergelar Huisin-
pi si Piau-terbang-sakti.
Lalu kelompok ketiga disebut Sam-wi-su atau Tiga
Pengawal yang terdiri dari Tiam Wi, Beng San dan Liong Si
Bun. Mereka adalah jago yang ternama dari aliran hitam.
Gak su-cia yang dipanggil menghadap Su Ing itu adalah
Gak Se Bun si Ruyung-pemburu-angin.
Tak lama kemudian muncullah orang itu.
"Gak su-cia, aku hendak memberi tugas penting kepada
su-cia," Ma Su Ing berkata dengan nada sarat. "apakah sucia
sanggup melakukan?”
"Ah, mengapa tay-haksu berkata demikian. Aku sudah
mau bekerja kepada tay-haksu tentu akan melaksanakan
tugas dari tay-haksu dengan segenap jiwa dan raga," kata
Gak Se Bun.
"Eh, mengapa suara su-cia berobah ?" Ma Su Ing terkejut.
"Ai, apanya yang berobah." Gak su-cia terkejut.
"Jelas nada suara su-cia itu tidak seperti sekarang ...."
Gak Se Bun terkejut, "0, benar, tay-haksu memang sejak
semalam aku agak masuk angin perginya suaraku agak
sumbang begini,"
"Ah, sucia jangan berjaga sampai larut malam dan jangan
terlalu banyak minum arak, Tak baik bagi kesehatan," kata
Ma Su Ing.
"Sebenarnya tugas yang hendak kuberikan kcpada su-cia
itu ringan tetapi juga berat."
"Silakan tay-haksu memberi titah."
"Tak lain hanya untuk mengantar surat kepada Torgun
...."
"Torgun, panglima besar angkatan perang kerajaan Ceng
itu ?" Gak Se Bun terkejut.
"Ya, memang dia. Dan surat itu sangat rahasia sekali.
Jangan sekali jatuh ke tangan orang."
"Baik, tay-haksu," kata Gak Se Bun.
Ma Su Ing memasukkan sepucuk surat yang baru saja
selesai ditulisnya kedalam sampul lalu ditutup dan
dilekatkan rapat2 dengan ci-keng atau lak warns merah.
Diatas ci-keng itu dicap lagi dengan cap namanya.
"Inilah ..... ," baru Ma Su Ing hendak menyerahkan surat
tiba2 terdengar suara orang berlari-lari memasuki kamar
tulis itu.
"Yah, celaka .... !" teriak seorang pemuda yang datang
itu.
"Sun-ji, kenapa engkau ?" Ma Su Ing terkejut. Sun-ji
artinya anak Sun. Pemuda itu memang puteranya yang
bernama Ma Sun.
"Ayah, Gak su-cia lenyap .... !" teriak Ma Su Ing.
"Hus, siapa yang berdiri di belakangmu itu?" seru Ma Sun
Ing tertawa.
Ma Sun berpaling dan kerutkan dahi, "Engkau disini Gak
su-kia?"
Gak Se Bun tidak menyahut melainkan mengangguk.
Dalam pada itu Ma Sun Ing menghampiri dan
mengeluarkan sebuah benda dari kantong, katanya, "Gak
su-cia, aku mendapatkan benda apakah engkau tahu
namanya?"
Gak Se Bun terkejut tetapi cepat iapun menyambuti.
Tetapi baru ia ulurkan tangan, sekonyong-konyong Ma Sun
mencengkeram pergelangan tangannya dan terus dipelintir
sekeras-kerasnya.
"Auuuufff . . . . , " Gak Se Bun menjerit kaget dan
kesakitan dan tahu2 tangannya sudah ditelikung ke
belakang punggungnya."
"Sun-ji, mengap........ mengapa engkau meringkus Gak
su-cia?" teriak Ma Su Ing terkejut.
"Dia bukan Gak su-cia, yah. Dia Gak su cia palsu!" teriak
Ma Sun. Dia terus mencabut kopiah kain yang dipakai
orang itu dan seketika tampaklah seuntai rambut putih. Dan
secepat pula Ma Sun mencabut kumis dan jenggot orang
itu.
"Hai, bukan Gak su-cia," teriak Ma Sun I seketika.
"Benar, yah. Dia memang bukan Gak su cia!"
Ma Su Ing marah sekali. Dia membentak, "Bangsat, siapa
engkau!"
Orang itu ternyata seorang lelaki tua yang bcrwajah
damai. Dia tak menyangka kalau penyamarannya dapat
diketahui oleh Ma Sun dan Ma Sun terus akan
menindaknya begutu eepat.
Karena sudah terlanjur tertangkap, orang tua itu tenang2
saja. Dia tak lain adalah Raja-copet bambu Kuning.
"Aku sudah tertangkap, silakan bunuh saja kalau mau
membunuh," serunya dengan tersenyum.
Ma Su Ing terkesiap melihat ketenangan orang. Dia ingin
mengetahui siapakah orang tua yang begitu berani mati
menyaru menjadi Gak Se Bun.
"Sun-ji, dimana Gak su-cia ?" tanyanya kepada Ma Sun.
"Waktu aku mencari ke kamarnya dia tak ada. Lalu
kucarinya kemana-mana tetapi tetap tak berjumpa," kata
Ma Sun lalu memperkeras cengkeramannya pada. tangan
raja copet itu sehingga si raja copet karena menahan
kesakitan hebat, mengucurkan keringat dingin "Hayo,
dimana engkau sembunyikan Gak su-cia Lekas bilang atau
kupatahkan kedua tcnganmu !"
"Dia sedang tidur." sahutnya dengan menahan kesakitan.
“Ngaco !” bentak Ma Sun, "dia tak berada dalam
kamarnya.
"Memang tidak tidur di kamarnya . . . “
"Dimana?"
"Di WC . . . . "
"Penjaga," teriak Ma Sun kepada seorang penjaga, "Lekas
periksa WC. Kalau Gak su-cia disana lekas engkau bawa
kemari!"
Setelah penjaga pergi maka Ma Sun melanjutkan
siksaannya lagi, "Hayo, mau bilang atau tidak? Siapa
engkau ini?"
"Aku Ma Ling .....
"Bangsat! Siapa namamu?"
"Ma Ling!"
"Gila!" bentak Ma Sun, "aku tanya namamu bukan
pekerjaanmu."
"Ya, namaku memang Ma Ling."
"Apakah engkau orang she Ma?"
"Benar, aku memang she Ma dan nama Ling."
"Mengapa engkau berani menyamar sebagai Gak su-cia?"
"Karena aku kepingin menghadap tay-haksu.”
"Apa?" teriak Ma Su Ing, "engkau hendan menghadap
aku? Apa perlumu?"
"Aku hendak mencari keponakanku yang masuk kedalam
gedung ini . . . . "
"Siapa keponakanmu?"
"Loan Thian Te yang diutus oleh Su Go Hwat tayjin
untuk menyerahkan surat kepada tai haksu," kata Raja
copet Bambu Kuning.
"0, pemuda gombal yang datang menghadapku itu? Dia
hendak dihukum penggal kepala tetapi berani mengamuk
dan meloloskan diri," kata Ma Su Ing, "sekarang engkaulah
yang mengganiikannya."
"Lho, apa kesalahanku?"
"Engkau berani menyamar sebagai Gak su-cia. Ini sudah
suatu kesalahan besar yang masih ringan kalau hanya
dipotong lehermu saja."
"Hm, kudengar Ma Su Ing tay-haksu itu seorang mentri
yang bijaksana, pandai dan luhur. Ternyata yang kulihat
sekarang lain dari kenyataannya. Dia tak lebih dari seorang
mentri yang dicengkam oleh ketakutan saja. Pada hal orang
yang selalu takut tentu melakukan sesuatu yang salah.... " .
Ma Su Ing terkesiap.
Ma Sun marah karena ayahnya di-maki2 oleh orang itu,
"Keparat, engkau berani menghina ayah ku?" dia terus
mencabut pedang seorang penjaga dan terus hendak
ditabaskan ke leher Raja Copet.
"Bun-ji, tahan dulu," Ma Su Ing mencegah.
"Mengapa ayah? Bukankah dia berani menghina ayah?"
"Dia tentu masih membawa rahasia lain yang penting.
Tak mungkin dia hanya mencari keponakannya si pendekar
gombal itu. Masukkan dia ke dalam tahanan dulu dan
paksalah dia supaya mengaku. Apabila dia tetap
membandel, barulah engkau boleh suruh algojo memenggal
kepalanya.
Pada saat itu muncullah seorang lelaki setengah tua
diiring oleh penjaga tadi.
"Hai, Gak sucia, kemana engkau tadi ?" seru Ma Sun.
Orang itu memang Gak Se Bun jago Ruyung-pemburuangin.
Dia merah mukanya mendengar pertanyaan putera
tay-haksu.
"Orang telah membius aku sehingga tertidur pulas.
Ketika bangun kudapatkan diriku berada dalam kakus ...."
"Lihat, siapakah ini ?"#
"Hai, diakah yang menyaru jadi aku ?" teriak Gak Se Bun
deliki mata. Dia maju menghampiri Raja-copet dan terus
menjambak rambutnya, plak, plak.....
"Aduhhhhh," raja copet mengaduh kesakitan karena
sebuah gigi muka rompal dan mulutnya berdarah.
Buffff ..... aduhhhh............
Tiba2 Ra!a-copet menyemburkan gigi yang putus itu ke
muka Gak Se Bun. Gak Se Bun menjerit kesakitan karena
akar gigi yang runcing tepat menamcap pada pipinya.
''Bangsat, engkau berani melukai Gak su-cia. Ma Sun
memperkeras telikungannya sehingga Raja copet
menyeringai menahan kesakitan.
'Pengecut, jangan menyakiti aku. Kalau kau memang
jantan, hayo, bunuh sajalah,” seru Raja copet dengan
melantang tantangan.
Ma Sun terus mencabut pedang dan hendak menabasnya
tetapi dicegah ayahnya, "Sun-ji, jangan terburu nafsu. Suruh
dia mengaku dulu ...."
Ma Su Ing memerintahkan puteranya supaya menggusur
Raja-copet ke penjara dibawah tanah. Setelah Ma Sun pergi
barulah tay-haksu itu melanjutkan pembicaraan dengan
Gak Se Bun.
"Gak sucia," katanya, "ada sebuah tugas penting yang
akan kuminta supaya sucia yang melakukan…..”
"Baik, tay-haksu."
"Surat ini sucia berikan kepada panglima besar Torgun .
..."
Gak Se Bun terbeliak.
"Tetapi rahasia ini harus engkau jaga benar2. Kalau
sampai bocor, besar sekali bahayanya."
"Balk, tay-haksu."
"Su-cia boleh mengajak seorang kawan yang sucia
percaya tetapi tak perlu memberitahu kepadanya tentang
surat ini, "tay-haksu Ma Su Ing manambahkan.
Sesudah Gak Se Bun pergi, Ma Su Ingpun keluar dari
kamar tulisnya menuju kesebuah gedung di belakang
taman. Disitu terdapat beberapa bangunan yang indah
macam bentuk sebuah bungalow. Setiap bungalow dicat
dengan warna yang berbeda satu sama lain. Dan ada
keistimewaan lain, di halaman muka dari bungalow itu
ditanami dengan pohon bunga yang hanya sejenis.
Misalnya bungalow bercat merah halamannya ditanam
bunga mawar, yang bercat kuning ditanami pohon botan,
bercat putih,. pohon seruni dan sebagainya.
Tay-haksu Ma Su Ing masuk kedalam bungalow kuning.
Seorang gadis cantik segera nyambutnya dengan senyum
manis, "Ai, baru saja aku putus asa karena menunggu tayjin
dengan sia-sia. Mungkin tay-jin sudah bosan ke
daku............ ..."
"Ah, manis, jangan gitu dong. Masakan aku sudah bosan.
Hanya karena tugas pekerjaan malam ini aku agak
terlambat ..... "
"Benarkah, loya, ah aku si gadis piatu sungguh beruntung
sekali," dengan aleman si gadis cantik itu merebahkan
kepalanya ke dada Ma Su Ing, cupppp, Ma Su Ing
mengecup. "Manisku, kalau semalam tak bersamamu, aku
tak dapat tidur . . . .”
"Ai, tayjin terlalu memanjakan diriku. Bukah tayjin
masih mempunyai beberapa gadis cantik yang siap
melayani tayjin setiap malam ?"
"Ya, memang," sahut Ma Su Ing," tetapi engkau benar2
luar biasa manis. Engkau dapat membuat aku terbuai
sampai ke sorga ketujuh…”
Ma Su Ing melepaskan diri diatas kursi.
Si cantik yang diberi nama Botan, segera menuangkan
arak dan menghaturkan kehadapan tay-haksu..
"Dengan secawan arak harum Botan
menghaturkan selamat dan doa tayjin yang mulia.
Wahai, arak, engkaulah harapanku.
Bangkitkanlah gairah dan semangat junjunganku.
Agar cintanya selalu mengalir kepadaku, mesra dan syandu
.....
"Bagus, bagus, Botan, ternyata engkau pandai juga
merangkai syair," Ma Su Ing terus meneguk arak harum itu.
Ia pejamkan mata untuk menikmati turunnya air yang
mengalir ke kerongkangau dan menebar ke dada lalu
berlabuh di perut.
Sesaat kemudian ia membuka mata dan seketika pandang
matanya pun tertumbuk akan sesuatu yang segera
menggelorakan darahnya.
Saat itu Botan hanya mengenakan pakaian tipis yang
tembus pandang. Dan lebih gila lagi, kimono tipis itu
berwarna hitam sedang kutang dan celana dalam sama
sekali gadis itu tidak memakainya. Sudah tentu mata tayhaksu
jelalatan seperti harimau yang melihat kambing.
Dibawah sinar remang2 warna biru, seluruh tubuh Botan
yang putih seperti salju itu tampak sangat jelas sekali,
Ma Su Ing sudah berumur enampuluh tahun lebih. Tetapi
waktu menyaksikan sepasang daging yang mengeunduk
padat bagai pepaya yang masih ranum, seketika darahnya
mendesir seperti lepas dari sumbatan. Jantungnya berdebar
keras seperti mau copot. Ditambah pengaruh arak istimewa
yang memang diramu untuk pembangkit nafsu, tay-haksu
yang sudah tua itu segera menarik tangan Botan ke
pembaringan.
"Botan, engkau nakal............ layangkan aku ke nirwana
seribu impian .....”
"Sabar tay-jin," kata Botan yang dengan tenang membuka
kimononya lalu dalam keadaan telanjang dia membuka
pakaian tay-haksu itu.
"Lekas Botan, jangan menyiksa aku lama2,” kata Ma Su
Ing yang sudah memeluk si cantik.
"Sabar, tay-jin, kan lebih nikmat kalau tanpa pakaian .. .
."
Tetapi Botan memang sengaja memperlambat caranya
membuka kancing baju dan pakaian Su Ing. Padahal dia
duduk rapat dihadapan mentri itu dalam keadaan telanjang.
Buah dada yang padat dan ranum itu menempel pada mulut
tay-haksu.
"Lekas. Botan, lekas, aku sudah tak sabar lagi .. . ." Ma
Su Ing menjerit-jerit seperti orang sekarat.
Mentri yang sudah berusia lebih dari setengah abad dan
mempunyai gundik berpuluh-puluh gadis2 cantik, tetap tak
dapat menahan rangsang nafsunya yang berkobar-kobar.
Belum sempat celananya dilepas, dia terus memeluk Botan
dan ditebahkan diatas ranjang, uhhhhh ............
Tiba2 dia merintih penasaran dan terkapar tertelentang
dalam keadaan telanjang bulat.
"Ai, mengapa loya begitu terburu nafsu, sehingga, aduh .
aku... aku . akupun menderita begini ..... ," Botan juga
merintih-rintih.
Ternyata Ma Su Ing saking ngebetnya, dia tak dapat
menguasai nafsunya. Baru melekat sudah terus keluar .....
"Ah, aku memang salah, manis. Tunggulah beberapa saat
lagi apabila aku sudah kuat. Jangan kecewa manis. Engkau
tentu akan puas. Aku sendiri juga tak puas nih ..... ," Ma Su
Ing mengeluh,
"Baik, tayjin, biar kuambilkan arak itu. Arak itu dapat
melekaskan nafsu bangkit," kata Botan seraya menyambar
kimono lalu turun dari ranjang dan melangkah keluar
kamar untuk mengambil arak Cong-yang-ciu.
Pada saat sedang menuang arak, tiba2 Botan seperti
merasa kalau dibelakangnya ada orang berdiri. Dia
berpaling dan menjerit. Tetapi orang itu cepat
membungkam mulutnya.
Jangan berteriak nona." kata orang itu, "aku. takkan
mencelakaimu asal engkau mau menurut permintaanku."
"Siapa engkau ..... " Botan gemetar. Ia melihat orang itu
masih muda tetapi mengapa dandanannya aneh. Kepalanya
terbungkus kain tetapi pada kedua samping atas dahi, diberi
lubang. Dan dari kedua lubang itu mencuat seikal rambut
jigrak. Sepintas mirip dengan sepasang. tanduk.
Dari dandanan itu jelas sudah kalau dia adalah pendekar
Huru Hara. Setelah berontak dan ngamuk melepaskan diri
dari keempat penjaga yang hendak memenggal kepalanya,
Huru Hara terus lari. Tetapi malam itu dia masih
penasaran. Dia hendak menemui Ma Su Ing dan akan
memaksanya supaya memberi surat balasan yang akan ia
berikan kepada mentri Su Go Hwat.
Dia keluar dari tembok belakang dan tepat pada saat itu
ia melihat tay-haksu Ma Su Ing menuju ke belakang taman.
Sebenarnya Huru Hara terus hendak meringkus tay-haksu
itu tetapi tiba2 ia mendapat pikiran untuk mengetahui apa
gerangan tujuan tay-haksu ke belakang taman.
Huru Harapun mengikuti dan mendengarkan dari luar
pembicaraan Ma Su Ing yang cabul dengan Botan dan
mendengar pula rintihan penasaran dari tay-haksu waktu
melakukan adegan rajang dengan Botan.
"Sialan," gumam Huru Hara, "tua bangka itu masih suka
daun muda, hm . ."
Serentak timbul pikiran Huru Hara untuk mengacau,
"Biar tua bangka itu mendapat malu," pikirnya.........”
"Arak apa yang hendak engkau berikan kepadanya itu ?"
tanya Huru Hara kepada Botan.
"Cong-yang-ciu, arak penguat tenaga laki-laki," untuk
Boran.
"Hm, tidak malu," dengus Huru Hara, "apa engkau
seorang nona yang masih muda dan cantik, cinta setengah
mati kepada si tua bangka itu?"
Botan terlipu-sipu merah mukanya.
"Jawab bentak Huru Hara.
"Sebenarnya siapa yang suka padanya. Hanya karena
nasibku yang malang maka aku sampai jatuh ke
tangannya," dengan ringkas Botan inenceritakan kisah
hidupnya yang malang. Kedua orangtuanya telah
meninggal dan dia jatuh di tangan seorang germo lalu dijual
pada Ma Su Ing.
"Engkau masih muda dan cantik. Kelak engkau masih
dapat mencari jodoh yang setimpal. Mengapa engkau rela
menghancurkan dirimu untuk kesenangan tua bangka itu ?
Umurnya tinggal berapa lama, apalagi dalam keadaan
perang begini, nasibnya belum pasti. Kalau dia mati, lalu
bagaimana nasibmu nanti ?"
Airmata Botan bercucuran.
"Lalu apa dayaku seorang anak perempuan yang sudah
sebatang kara ini ?"
"Gedung ini akan kubakar. Engkau kumpulkan harta
bendamu. Dalam kekacauan nanti engkau harus melarikan
diri ke utara. Diluar kota beberapa li jauhnya terdapat
sebuah kuil tua. Tunggu disitu sampai aku datang. Nanti
kubawamu suatu tempat yang aman dan jauh."
"Terima kasih hohan," kata Botan.
"Apa engkau punya obat tidur ?" tanya Huru Hara.
"Ada, hohan."
"Baik, campurlah arak Cong-yang-ciu dengan obat tidur.
Biar si tua itu tidur nyenyak jangan menganggu engkau
lagi."
"Botan, mengapa begitu lama engkau menuang arak,"
tiba2 dan dalam terdengar suara tay-haksu Ma Su Ing
berseru.
"Ini sudah, tayin." Botan bergegas masuk dan
memberikan arak kepada Ma Su Ing. Bahkan dianjurkan
kepada Ma Su Ing minum sampai beberapa sloki agar lekas
dapat `bertempur`.
Tak berapa lama dalam kamar itu tiada suara apa. Botan
keluar dan memberi isyarat tangan kepada Huru Hara.
Hm, sebenarnya mentri macam begitu harus kubunuh,"
kata Huru Hara didalam kamar, "tetapi saat ini kerajaan
Beng masih membutuhkan tenaganya. Biar kuberi sedikit
pelajaran pahit saja."
Huru Hara suruh Botan membenahi barang2 nya yang
berharga, "Gantilah pakaianmu seperti pelayan saja agar
jangan menarik perhatian orang."
Botanpun menurut. Saat itu tay-haksu Ma Su Ing sudah
tidur mendengkur. Setelah keluar maka Huru Hara suruh
Botan lari ke pintu belakang dan dia sendiri terus menyulut
api, membakar bungalow2 itu.
Sekita gegerlah gedung kediaman tay-hak su itu. Nona2
cantik penghuni bungalow sama menerit-jerit lari keluar.
Keadaan kacau balau.
Seorang penjaga yang tengah berlari-lari hendak
memadamkan api ditahan oleh Huru Hara, 'Bung, tayhaksu
berada dalam gedung kuning, lekas tolong dia !"
Habis berkata Huru Hara terus lari menyenap dalam
kekacauan.
"Tolong ! Tolong ! Tay-haksu berada dalam bungalow
kuning ini !" teriak penjaga tadi. Beberapa pengawal segera
menerobos kedalam kamar dan terus memanggul tay-haksu
keluar.
Berkat kesigapan para penjaga dan pengawal maka
apipun dapat dipadamkan tak sampai memakan habis
bangunan2 tempat harem itu.
Sekalian penjaga dan pengawal terlongong-longong
ketika melihat tubuh tay-haksu yang dibaringkan diatas
ranjang ternyata telanjang bulat. Tay-haksu itu masih tidur
nyenyak tetapi anehnya badannya berkelejotan tak hentibentinya.
Dan alat rahasianya juga tegak.
Memang celaka sekali. Sungguh amat memalukan bahwa
seorang mentri besar seperti taysu, harus telanjang bulat dan
alat yitalnya berdiri, dilihat oleh berpuluh-puluh penjaga
dan pegawainya, tanpa tay-hak-su itu menyadari karena
sedang tidur pulas seperti orang mati.
Itulah gara2 Huru Hara yang suruh mencampurkan obat
tidur pada arak Gong-yang-ciu. Tay haksu Ma Su Ing tidur
pulas tetapi siap ‘tempur'.
Seorang penjaga segera menyelimuti tubuh tay- haksu
lalu dibawa masuk kedalam ruang tidurnya.
Keesokan harinya bukan main marah Ma Su Ing
menerima laporan tentang apa yang terjadi semalam.
"Jadi waktu kalian tolong keluar dari tempat Botan, aku
sedang telanjang bulat ?" serunya dengan mata mendelik.
'Benar, loya," kata pengawal.
"Wah, celaka............ ,".merah padam muka Ma Su Ing
teringat hal itu.
"Mana Botan ?" serunya sesat kemudian. Ia hendak
menanyai gundik kesayangannya itu.
"Hilang, loya, mungkin terbakar karena kami
menemukan beberapa sosok tubuh yang sudah hangus
terbakar," beberapa penjaga memberi laporan.
Ma Su Ing makin marah. Gedung terbakar masih tak apa.
Dia mempunyai uang dan kakuasaan. Dalam waktu tak
lama dapat dibangun lagi. Tetapi karena Botan juga ikut
lenyap, benar2 kelabakan setengah mati. Botan adalah
gundik yang paling disayanginya. Kemanakah dia harus
mencari gantiuya?
"Siapakah yang membakar?" serunya. Namun tiada
seorangpun yang dapat memberi keterangan.
"Babi! Tolol! Kalian memang kantong nasi semua!".
teriaknya kalap, "masakan gedung tay-haksu dikacau orang,
kalian tak dapat mengetahui? Perlu apa kalian jaga di
gedung ini!"
"Panggil An wisu," serunya memberi perintah.
Tak lama seorang wi-su datang menghadap.
"An wi-su, kuminta penjagaan gedung ini supaya
diperketat. Jika penjahat berani membakar, dia tentu
mampu membunuh aku juga!" serunya.
An Peng Sam si jago pukulan Pi-lik-ciang (pukulan
geledek) mengiakan. Dia mengerahkan seratus prajurit
bersenjata lengkap untuk menjaga gedung tay-haksu.
Dua malam berturut-turut tak terjadi suatu peristiwa
apa2. Hari ketiga pada keesokan harinya datanglah seorang
siu-cay sasterawan setengah tua ke gedung tay-haksu.
Kepada penjaga, sastarawan itu mengatakan bahwa ia
membawa urusan penting kepada tay-haksu.
"Siu-cay? Siapakah namanya?" tanya Ma Su Ing.
"Entah, dia tak memberitahu, tayjin," sahut penjaga.
"Ah, apa-apaan segala siu-cay. Palinga hendak minta
bantuan uang. Tolak saja!" kata Ma Su Ing.
Beberapa saat kemudian penjaga itu kembali menghadap
dan melapor, "Tayjin, siucay itu mengatakan dia membawa
berita yang sangat penting sekali kepada tayjin. Bahkan dia
berjanji, kalau berita itu tidak penting, dia rela dipotong
kepala nya."
Tertarik juga Ma Su Ing akan keterangan itu. Akhirnya
dia mengidinkan. Tak berapa lama penjaga mengiring
seorang siucay setengah tua berpakaian serba putih.
"Engkaulah siucay yang hendak menghadap aku?" tegur
Ma Su Ing.
"Benar, tayjin," siucay itu memberi hormat.
"Engkau mengatakan kalau membawa berita penting
untukku, benarkah itu?"
"Benar, tayjin," sahut siucay dengan sikap menghormat,
"tetapi berita ini amat penting sekali dan tak boleh didengar
lain orang kecuali tayjin sendiri."
"Hm, jangan main2, siucay," kata Ma Su Ing, "engkau
tahu dengan siapa engkau berhadapan?"
"Hamba tahu tayjin bahwa hamba sedang berhadapan
dengan tay-haksu tayjin."
"Dari engkau tahu apa hukuman orang yang berani
mempermainkan seorang tay-haksu?"
"Potong kepala, tayjin."
"Engkau sanggup?"
"Hamba sanggup, tayjin."
"Hm, baiklah," kata Ma Su Ing lalu suruh penjaga
menyingkir keluar. Para penjaga yang tahu kalau tetamu itu
hanya seorang sasterawan, merekapun agak legah dan
keluar dari ruangan itu.
"Nah, sekarang engkau boleh mengatakan berita itu.
Tetapi sebelumnya, beritahu dulu siapa namamu."
"Hamba orang she Bu nama Beng, orang2 memanggil
hamba Bu Beng siucay."
"Hm, apa berita itu?"
"Hamba telah mempelajari ilmu meramal berpuluh
tahun. Entah bagaimana semalam ketika memandang
langit, hamba melihat sebuah bintang yang bercahaya tibatiba
pudar sinarnya. Dan menurut ramalan hamba, bintang
itu adalah bintang seorang mentri besar dalam kerajaan
Beng. Bintang besar itu tiba2 pudar cahayanya menandakan
bahwa mentri itu sedang terancam bahaya besar ..... "
"Dan engkau terus menghadap aku ?" tukas Ma Su Ing.
"Begitulab, tayjin."
"Karena engkau anggap bintang besar itu adalah
lambangku ?"
"Hamba tak dapat mengatakan lain, tayjin.”
"Ngaco !" bentak Ma Su lng.
"Maaf, tayjin ...."
"Enak saja engkau mengatakan begitu. Tetapi apa
buktinya ? Bagaimana engkau yakin, kalau bintang itu
adalah bintang-lambangku ?"
"Karena hanya raja dan orang2 besar yang mempunyai
lambang bintang itu, tayjin. Tay-jin, adalah mentri utama
yang berpangkat Tay-haksu sudah tentu mempunyai
bintang lambang."
"Hm, baik," kata Ma Su Ing, "tetapi jangan engkau main
gila. Sekarang coba katakan rahasia apakah yang
mengancam aku ?"
"Tay-jin," kata sasterawan itu, "hamba seorang rakyat
kerajaan Beng. Hamba amat menghormat dan mengagumi
tayjin karena tayjin-lah saat ini yang merupakan tiang
sandaran dari kerajaan Beng ..... "
"Hm," desuh Ma Su Ing tetapi dalam hati merasa bangga
mendengar sanjung pujian itu.
"Kedatangan hamba kehadapan tayjin itu sama sekali
bukan dengan maksud buruk melainkan hendak memberi
tahukan suatu bahaya yang sedang mengancam tayjin agar
tayjin secepatnya dapat menolak dan menghindar dari
bahaya itu. Namun apabila tayjin tak berkenan menerima
kedatangan hamba ini, hambapun tak keberatan apabila
harus meninggalkan tempat ini . ..."
Rupanya Ma Su Ing yang cerdik kalah pintar dengan
sasterawan itu. Kata2 yang menyanjungnya setinggi langit,
yang menggunakan alasan sebagai seorang rakyat yang
menyayangi mentrinya, sasterawan itu telah berhasil
mengecoh tayhaksu Ma Su Ing.
"Dia tak salah," pikir Ma Su Ing, perlu apa dia harus
datang kemari dan memberitahu bahaya yang mengancam
aku, apabila dia benar2 tak setya kepada kerajaan Beng.
Dan dalam suasana genting seperti saat ini, bahaya itu
memang bukan hal yang mustahil."
"Ya, baiklah," akhirnya tay-haksu itu menyerah, "engkau
katakan saja bahaya apa yang mengancam diriku ini."
"Menurut ramalan hamba maka keadaan tay haksu saat
ini seperti seorang yang sedang menghadapi gelombang
besar. Diibaratkan tayjin sedang berada dilaut yang dahsyat
gelombangnya. Tayjin sudah naik sebuah perahu tetapi
karena melihat perahu itu oleng dan karena takut perahu itu
akan tenggelam maka tayjin lalu menginjakkan kaki pada
sebuah perahu lagi. Maksud tayjin, agar tayjin memperoleh
tempat. Apabila perahu yang satu tenggelam maka tayjin
dapat berpindah ke perahu yang lain."
Ma Su Ing tampak berobah wajah, Dia kaget setengah
mati ketika sasterawan itu seperti mengetahui apa yang
telah ia lakukan dengan panglima besar pasukan kerajaan
Ceng.
"Apakah dia tahu rahasia itu ?” pikirnya. tapi sesaat
kemudian ia membantah sendiri," masakan dia tahu hal itu.
Paling2 dia hanya berdasarkan pada ramalan nujumnya."
"Hm. lalu bagaimana kesudahannya ?" tannyanya.
"Menginjak dua perahu memang suatu tindakan yang
cerdik walaupun kurang bijaksana……”
"Eh, apa katamu ? Kurang bijaksana ?"
"Ya, tayjin," sahut sasterawa itu dengan tenang,"
menginjak dua perahu berarti harus membagi pikiran dan
tenaga untuk dua hal. Padahal dalam menghadapi ancaman
gelombang buas pula yang sedang diserang badai, orang
harus mencurahkan segenap perhatian untuk
mempertahankan diri dalam sebuah perahu agar perahu itu
jangan tenggelam. Tetapi kalau kedua kaki terpentang dan
menginjak pada dua perahu. tidakkah hal itu hanya akan
menimbulkan bahaya ?
"Hm, kata2-mu memang benar tetapi tidak selalu tepat.
Menginjak dua perahu tak berarti terlalu lama. Harus segera
melepaskan yang satu dan pindah ke yang lain yang lebih
kokoh dan aman."
"Itu rencana tayjin tetapi apakah tayjin sudah sempat
memikirkan bahwa andaikata perahu itu dapat bicara
seperti manusia, tentulah dia akan tak senang menerima
seorang yang tidak setya hati dan hanya cari enak saja ?
Bukankah perahu itu juga tahu bagaimana isi hati tayjin ?"
'Hus, jangan engkau terlalu melonjak kurang ajar !
Engkau hendak memaki aku secara harus, bukan ?"
"Tidak sama sekali, tayjin," sahut sasterawan itu pula,
"hamba hanya mengatakan apa yang sebenarnya. Misalnya,
datang peperangan antara kerajaan Beng dengan Ceng,
kalau orang hendak menggunakan cara menginjak dua
perahu, tentulah akan menderita akibat yang tak
menyenangkan. Karena baik kerajaan Beng maupun
kerajaan bukanlah sebagai perahu yang tak dapat bicara dan
mau tak mau terpaksa harus menerima perang. Mereka
adalah negara yang menghendaki kesetiaan penuh dan utuh
dari mentrit dan rakatnya !'
Ma Su Ing tertegun. Makin lama dia merasakan bahwa
ucapan sasterawan itu seolah-olah bukan kepadanya dan
sepertinya sasterawan sudah tahu akan tindakannya
menghubungi panglima Torgun.
"Engkau berbicara seolah-olah engkau hendak
mengatakan bahwa aku ini tidak setya kepada kerajaan
Beng, benarkah begitu?" tegurnya dengan tajam.
"Maaf, tayjin, hamba belum mengatakan begitu............ "
"Kurang ajar !" bentak Ma Su Ing marah, “dengan begitu
jelas engkau memang hendak menuduh aku. Belum, beda
artinya dengan ‘tidak’. Lekas, katakan siapa dirimu,
sebelum kusuruh penjaga menangkapmu !"
"Tayjin, aku hendak mohon keterangan tentang sebuah
hal, maukah tayjin meluluskan?” sasterawan itu tenang2
menanggapi kemarahan Ma Su Ing.
"Jangan banyak mulut !" bentak Ma Su Ing "kalau mau
bilang lekas bilang !"
"Tak lain yang hendak hamba tanyakan adalah mengenai
sebuah surat yang kebetulan terdapat cap tay-haksu
kerajaan Bang............ ."
"Apa ?" teriak Ma Su Ing seperti dipagut ular kagetnya,
"surat apa ?"
Dengan tenang dan mengulum senyum, sasterawan itu
mengeluarkan sebuah sampul dari dalam baju-dalamnya,
"Inilah surat it tayjin ..."
Bukan kepalang kejut Ma Su Ing demi melihat sampul
sampul itu. Seketika pucatlah wajahnya. "Berikan surat itu
kepadaku !" serunya kepada si sasterawan.
Tetapi sasterawan itu hanya tersenyum simpul dan tetap
tak mau menyerahkan surat itu.
"Eh, engkau tak mau menyerahkan surat itu?” seru Ma
Su Ing.
"Tolong, tanya, apakah surat ini benar dari tayjin !"
"Lekas berikan kepadaku, jangan banyak mulut," teriak
Ma Su Ing.
"Akan hamba berikan dengan serta merta apabila tayjin
sudah memberi keterangan apakah surat ini memang benar
dari tayjin."
"Setan, engkau berani memaksa aku ? Hai, penjaga ! '
seru Ma Sa Ing.
Dua orang penjaga bergegas masuk. Tetapi segera
disambut oleh sasterawan itu. Entah dengan serakan
bagaimana, yang jelas sasterawan itu hanya menamparkan
tangannya dan tahu2 kedua penjaga itu sudah berdiri tegak
seperti patung.
"Lihatlah, tayjin, penjaga itupun membenarkan tindakan
hamba untuk meminta keterangan dart tayjin," kata
sasterawan.
Ma Su Ing terkejut. Dia juga mempunyai kepandaian
silat. Walaupun tidak tinggi tetapi paling tidak dapat
digolongkan sebagai jago kelas dua. Ia tahu bahwa kedua
penjaga itu telah ditutuk jalandarahnya oleh si sasterawan.
Cara menutuk yang dilakukan oleh sasterawan itu disebut,
Kek-gong-tiam- hwat atau menutuk jalan darah dari jarak
jauh. Yang dapat melakukan itu hanyalah jago silat yang
sudah memiliki tenaga-dalam yang tinggi. Ma Su Ing
terkejut.
"Siapa engkau ?" serunya pula.
"Maaf apakah tayjin tetap tak mau memberi keterangan
atas pertanyaan hamba tadi ?" bukannya menjawab,
sasterawan itu malah mengulang pertanyaannya lagi.
"Hm, engkau berani menekan aku ?"
"Baik, tayjin," kata sasterawan dengan tenang "karena
tayjin tak mau memberi keterangan terpaksa hamba akan
mencari keterangan itu sendiri dengan membuka Surat ini
..... "
"Tunggu !" Ma Su Ing terkejut ketika melihat sasterawan
itu hendak membuka sampul surat "apa yang engkau
kehendaki ?"
"Ah ," sasterawan itu tersenyum, "kiranya tayjin memang
cerdas dan bijaksana sehingga cepat dapat mengetahui isi
hatiku. Baiklah, memang begitulah yang hamba kehendaki.
Surat itu akan hamba serahkan kepada tayjin tetapi tay-jin
juga supaya memberi sesuatu kepada hamba.
"Apa yang engkau minta ?"
"Tidak banyak, tayjin," kata sasterawan it "hanya separoh
bagian dan harta karun yang hendak tayjin sembunyikan di
gunung Kiu-kiong-sa itu ...."
"Apa ?" teriak Ma Su Ing terkejut.
"Separoh bagian dari harta karun yang hendak
mengungsikan kc gunung Kin kiong-san itu."
"Engkau tahu tentang hal itu?”
"Ang Bin tojin telah tay-jin parintahkan supaya nanti
malain berangkat memimpin rombongan prajurit yang akan
membawa sepuluh peti harta karun ke gunung Kiu-kiongsan.
Nah, harta karun itulah yang hamba kehendaki.
Apakah tayjin kurang setuju untuk membagi separoh saja
kepada hamba ?"
Saat itu Ma Su Ing mendengar suara langkah kaki orang
mendebur lantai. Tentu ada seseorang yang datang.
"Hm, aku harus mengulur waktu sampai orang yang
datang itu muncul kemari," Ma Su Ing menimang-nimang.
Ia berharap dalam waktu itu penjaga atau pengawalnya
akan muncul.
"Uh ," desus seorang imam yang baru saja melangkah
kedalam ruang. Dia adalah Sakya watsu.
Ketika masuk. Ang Bin terus diserang oleh Huru Hara.
Tetapi karena Ang Bin tojin juga seorang jago sakti, maka
diapun tak sampai rubuh, ia lepaskan pukulan sembari
loncat menghindar ke samping.
"Hwatsu !" seru Ma Su Ing dengan nada gembira ketika
tahu siapa yang datang. Tetapi pada saat itu juga,
sasterawan ayun tubuhnya ke muka, dan sebelum tahu apa
yang akan terjadi, tahu2 dengan gerak yang luar biasa
cepatnya, sudah menerkam lengan Ma Su Ing dan terus
ditelikung belakang. Sambil melekatkan telapak tangan
kanannya ke jalandarah Sim-cong-hiat di punggung tayhaksu,
sasterawan itu berseru," Lekas suruh imam itu
berhenti, atau kuhancurkan urat jantungmu!"
Tay-haksu Ma Su Ing merasa punggung seperti
dilekatkan tangan yang hangat dan hangat itu terasa
membakar jantungnya sehin berdebar keras. Dia tahu
bahwa sasterawan itu seorang jago yang sakti dan tentu
akan membuktikan ancamannya.
"Hwatsu, harap jangan bergerak," akhirnya Ma Su Ing
terpaksa menurut perintah si sasterawan.
Ang Bin tojin tertegun. Ia menyadari bahwa melihat cara
sasterawan itu menyerangnya dan meringkus Ma Su Ing.
jelas bahwa orang itu berilmu tinggi. Terpasa ia harus
menurut, demi menyelamatkan jiwa Ma Su Ing yang
dikuasai orang
"Hai, berhenti , . !" tiba2 pula sastera itu berseru seraya
ayunkan tangannya. Dan serempak penjaga itu rubuh di
luar pintu.
Ternyata penjaga itu diam2 hendak melarikan diri untuk
memanggil bala bantuan. Tetapi sasterawan yang bermata
tajam sudah cepat ayunkan tangan menaburkan jarum
beracun. Seketika peajaga itupun rubuh dan mati .....
Ang Bin terkejut atas kepandaian orang menabur penjata
rahasia. Tampaknya sasterawan itu hanya membuat
gerakan seperti orang menampar nyamuk tetapi ternyata
dari jarak beberapa meter, dia mampu menaburkan jarum
beracun yang tepat menembus sampai ke jantung orang,
"Hm, jangan coba2 untuk mengganggu ketenangan kalau
tidak mau seperti penjaga itu," dengus sasterawan itu
dengan nada geram.
Ma Su Ing makin tergetar.
"Apa yang engkau kehendaki ?" tanyanya.
"Seperti yang kukatakan tadi. Separoh dari harta karun
yang tayjin hendak sembunyikan ke gunung Kiu-kiong-san
itu supaya diberi kan kepadaku. Eh, mengapa tayjin
keberatan ? Bukankah tayjin sudah cukup bahkan berlebihlebihan
sekali harta benda tayjin ? Mengapa separoh dari
sebagian kecil harta tayjin, tayjin masih tak rela
memberikan kepadaku ?"
"Baiklah, tetapi engkau menyerahkan surat itu
kepadaku."
"Ya," kata sasterawan, setelah harta itu sudah tayjin
berikan kepadaku, barulah surat itu akan kuhaturkan
kepada tayjin."
"Apa ? Engkau tak percaya kepadaku ?" teriak Ma Su Ing.
"Bukan soal tak percaya, tayjin," kata sasterawan itu,
"tetapi hamba adalah seorang rakyat kecil sedang tayjin
adalah mentri yang paling berkuasa di kerajaan Beng.
Bagaimana andaikata surat itu sudah hamba serahkan lalu
tayjin tidak mau menyerahkan bagian untuk hamba itu ?
Apakah hamba mampu menggugat tayjin ?"
"Tetapi bagaimana kalau harta itu sudah kuberikan
kepadamu tetapi engkau tak mau menyerahkan surat itu
kepadaku ?" balas Ma Su In
"Baiklah. tayjin," kata sasterawan itu, "begini saja. Tayjin
boleh mengutus orang untuk nyerahkan harta itu kepada
hamba dan hamba akan menyerahkan surat itu kepada
utusan tayjin. Bagaimana, apakah tayjin dapat menyetujui
?"
Pikir2 Ma Su Ing dapat menerima perjanjian itu. Ia sudah
merencanakan akan mengirim beberapa jago sakti untuk
menyelesaikan hal itu.
"Baik, tetapi jangan engkau ingkar janji. Aku dapat
mengerahkan ratusan ribu tentara untuk membunuh
engkau."
"Ah, masakan sekian banyak tentara harus tayjin
gunakan untuk menangkap diri hamba seorang ? Bukankah
lebih tepat kalau tayjin kerahkan menghadapi pasukan
Ceng yang sedang mengancam kerajaan Beng? Dan ini toh
hanya urusan harta benda yang tak berarti bagi tayjin ?"
kata sasterawan setengah mengejek.
"Tayjin. maafkan, harap tayjin jangan bergerak untuk
beberapa saat dulu," tiba2 sasterawan itu menekankan
ujung jarinya ke punggung tay-haksu pun terdiam seperti
patung. Ternyata jalandarah Ma Su Ing telah ditutuk,
Habis itu sasterawan terus hendak membawanya keluar.
Tetapi pada saat itu dari luar muncul seorang gadis bersama
seorang pemuda nyentrik.
"Ayah, inilah pemuda yang tak bersalah itu ............ ih ....
!"
Dara itu bukan lain adalah Ma Giok Hoa dan pemuda
yang menyertainya itu adalah si Huru Hara. Dara itu
tertegun dan terlongong-longong kaget ketika melihat Ma
Su Ing diringus lelaki yang berdandan seperti seorang
terawan.
"Jangan bergerak kalau tak ingin tay-haksu kuhancurkan
!" ancam sasterawan itu kepada Ma Giok Hoa. Tetapi
ketika melihat Huru Hara, maka, sasterawan itu terkesiap
kaget.
Huru Hara menyadari apa yang telah terjadi pada Ma Su
Ing, "Mengapa engkau bawa tay-haksu ?" tegurnya sambll
menghadang di ambang pintu.
"Siapa engkau !" bentak sasterawan.
"Aku juga seorang tetamu seperti engkau."
"Mau apa engkau ?"
"Aku mau perlu dengan tay-haksu.”
"Persetan !" bentak sasterawan," tay-hak hendak
menemani aku keluar dari rumah mi. setelah itu silakan saja
kalau engkau hendak perlu dengan beliau."
"Tidak,” sahut Haru Hara, "aku hen perlu dengan tayhaksu
dulu. Jangan engkau ganggu beliau."
"Apa engkau menghendaki tay-haksu kubunuh ?"
“Hm, apakah engkau tuli" balas Huru Hara "aku hendak
bicara untuk menyelesaikan suatu urusan penting dengan
tay-haksu. Mengapa aku menghendaki- tay-haksu engkau
bunuh ?"
"Kalau engkau berkeras merintangi aku, terpaksa tayhaksu
akan kubunuh.”
"Kalau engkau berani membunuh tay-haksu aku pasti
akan mengadu jiwa dengan engkau!”
"Uh, apa engkau berani membunuh tay-haksu ?"
"Bukan, aku seorang utusan yang diutus untuk
menghadap tay-haksu."
"Siapa yang mengutus engkau ?"
"Mentri Su Go Hwat tayjin !"
"Soal apa ?"
"Itu rahasia negara, tak seorangpun boleh tahu!”
''Hm, jadi engkau tetap hendak merintangi aku ?"
"Aku tak butuh ergkau! Mau pergi, pergi-lah tetapi
jangan membawa tay-haksu !"
"Hm, engkau tetap menghendaki tay-haksu menderita ?
Lihatlah............ ,"
"Auhhhh............ " tiba2 Ma Su Ing menjerit kasakitan
karena jantungnya seperti ditarik,
"Ayaaahhhh. ...." sekonyong-konyong Ma Giok Hoa lari
menubruk ayahnya. Ia tak sampai hati melihat Ma Su Ing
menderita kesakitan. Dan tanpa peduli suatu apa, dara
itupun terus lari ke muka hendak menolong ayahnya.
"Enyah !" karena kaget sasterawan itu terus ayunkan
tangannya menampar, plakkkk
"Uh............ ihh ...."
Terdengar dua buah desuh terkejut, Yang satu berasal
dari mulut sasterawan karena tubuhnya tergetar, Dan yang
satu dari mulut Ma Giok Hoa karena terhuyung-huyung.
Ternyata sejak tadi Hutu Hara sudah melekatkan
perhatiannya pada gerak gerik sasterawan itu. Dia terkejut
ketika Giok Hoa nekad hendak memenolong Ma Su Ing.
Tetapi dia lebih terkejut melihat sasterawan ayunkan tangan
hendak menampar dara itu. Seketika diapun ayunkan
tangan untuk menggempur tenaga tamparan sasterawan.
Akibatnya sasterawan itu terkejut. Dia merasa tenaga
tamparannya tadi serasa tertolak dan membalik melanda
dirinya sendiri, sehingga dia sampai tergetar tubuhnya.
Sayang saat itu Huru Hara tak lekas2 menyusuli dengan
pukulan. Jika dia berbuat begitu, tentulah sasterawan yang
terkejut itu akan lebih grogy dan tay-haksu tentu dapat
direbutnya.
Tetapi Huru Hara memang mempunyai alasan untuk
tidak melanjutkan serangannya karena saat itu dia harus
menyanggapi tubuh Ma Gi Hoa yang hampir jatuh karena
terlanggar angin tamparan si sasterawan.
Pada saat Ma Giok Hoa dapat berdiri tegak lagi, tetnyata
sasterawan itu sudah dapat menguasai Ma Su Ing pula.
"Bedebah, engkau berani mengganggu aku, teriak
sasterawan itu," apakah engkau benar2 menghendaki tayhaksu
ini mati ?"
"Lepaskan tay-haksu atau engkau pasti kuhancurkan !"
Huru Hara balas menbentak.
"Aku akan membawa tay-haksu keluar dari gedung ini.
Kalian tak boleh mengikuti. Setelah sampai diluar gedung
baru kulepaskan. Dan kalian tak boleh mengganggu aku !"
"Ti ..... "
"Hohan, setujuilah permintaannya," tiba2 Giok Hoa
berseru."
"Tetapi nona .. . ."
"Biarlah hohan. asal ayah selamat," kata Giok Hoa
dengan sungguh2.
Melihat permintaan dan sikap Giok Hoa yang begitu
menguatirkan keselamatan ayahnya terpaksa menurut
permintaan dara itu.
"Hm, kerena Ma siocia menyetujui, akupun takkan
menghalangi. Tetapi awas, kalau engkau berani
mengganggu seujung rambutpun diri tayhaksu, engkau
tentu akan kucincang !"
"Soal siapa yang mencingcang dan dicincang belumlah
pasti, aku atau engkau," sahut sasterawan mengejek, "tetapi
yang penting aku akan melakukan syarat yang kuminta tadi.
Nah, lekaslah kalian menyingkir !"
Huru Hara, Ma Giok Hoa, Ang Bin hwatsu dan beberapa
penjaga segera memberi jalan kepada sasterawan yang
membawa tay-haksu keluar. Selekas tiba diluar gedung,
sasterawan mengait kaki tay-haksu sehingga jatuh ke tanah
lalu cepat ia lompat. Dalam dua tiga kali loncatan. diapun
menghilang dalam kegelapan malam.
Ma Giok Hoa bergegas lari menolong ayahnya. Melihat
Huru Hara hendak mengejar, Ma Giok Hoa mencegah,
"Jangan, kita harus pegang janji . . . . "
Begitulah Ma Su Ing segera ramai2 digotong masuk. Dan
tak berapa lama diapun dapat bargerak lagi.
"Loan Thian Te, terima kasih atas bantuanmu. Apabila
engkau tak bertindak, tentulah penjahat itu akan menyiksa
akan lebih hebat," kata Ma Su Ing.
"Ah, harap tayjin jangan berkata begitu, kata Huru Hara,
"Ma siocialah yang sebenarnya dapat memberi kesempatan
kepadaku untuk mengadu tenaga dengan penjahat itu."
Namun walaupun tadi jalandarahnya tertutuk sehingga
tak dapat bergerak tetapi telinga Ma Ing tetap dapat
mendengar semua pembicaraan yang berlangsung antara
Huru Hara dengan sastrawan itu. Diam2 tay-haksu itu
tergerak hatinya atas kenekatan Huru Hara untuk
membebaskan dirinya dari cengkeraman sasterawan
"Loan Thian Te, bagaimana kalau kuangkat engkau
sebagai pengawalku ?"
"Terima kasih, tayjin," sahut Huru Hara, wajiban hamba
terhadap Su tayjin masih belum selesai. Hamba harus
membawa surat balasan tayjin kepada Su tayjin."
"Baik, nanti akan kuberikan surat balasan itu," kali ini
Ma Su Ing bersikap makin lunak, "tetapi bagaimana nanti
setelah tugasmu selesai, apakah engkau mau bekerja
kepadaku ?"
Belum Huru Hara menjawab, masuklah Sun dan Ma
Giok Cu. Begitu melihat Huru Hara- langsung Ma Sun
terus berteriak, "Tangkap penjahat itu !"
Tetapi tiada seorangpun, baik Ang Hwat tojin maupun
penjaga, yang bergerak melaku perintah.
"Hai. apa kalian tuli ?" teriak Ma Sun pula karena masih
melihat penjaga dan Aug Hwat tojin diam. Dia berpaling
kepada tay-haksu. "Ayah dialah penjahat yang melakukan
pembakaran bagian belakang !"
Ma. Sun mengira saat itu tentulah ayahnya akan marah
dan menyuruh penjaga menangkap Huru Hara. Tetapi
diluar dugaan tay-haksu tenang-tenang balas bertanya,
"Sun-ji, apakah engkau melihat sendiri ?"
"Tidak ayah," kata Ma Sun," tetapi aku mendapat
laporan dari beberapa penjaga bahwa yang membakar itu
seorang yang bergerak cepat seperti setan. Siapa lagi kalau
bukan dia !"
"Jika tak melihat sendiri, janganlah engkau menuduh
begitu yakin," kata tay-haksu, "tahukah engkau bahwa tadi
juga datang seorang sasterawan yang berilmu tinggi
sehingga aku dapat terkecoh dan dikuasainya ?"
"Apa ? Seorang sasterawan berani menguasai ayah ?" Ma
Sun terkejut.
"Ya, dia berilmu tinggi sehingga aku dapat diringkus.
Apakah engkau tak tahu ? Engkau berada di mana waktu
terjadi peristiwa itu ?"
Ma Sun gelagapan. Terus terang, waktu tayhaksu sedang
diringkus sasterawan. Ma Sun sedang mengunjungi seorang
nona cantik di komplek bungalow. Sebenarnya gadis2 itu
adalah piaraan tay-haksu, tetapi karena jumlahnya banyak,
tak mungkin tay-haksu dapat mengunjungi mereka dengan
rata. Apalagi tay-haksu sedang tergila-gila pada Botan. Oleh
karena itu, secara tersembunyi Ma Sunlah yang mewakili
ayahnya untuk menikmati kembang2 itu . . . .
"Tadi aku tertidur yah, karena siang tadi aku berkeliling
kota untuk menyelidiki keadaan,” jawab Ma Sun.
"Ketahuilah, Sun-ji, Loan Thian Te inilah yang banyak
membantuku sehingga penjahat tak berani menyiksa
diriku."
"Oh ..... ," desuh Ma Sun.
"Tetapi yah," tiba2 Ma Giok Cu melengking "dia pernah
melukai Lau-ma."
"Mengapa dia sampai bentrok dengan Lau ma ?"
"Karena dia menghina aku dan Lau-ma tak puas lalu
hendak menghajarnya."
Tay- haksu Ma Su Ing terkejut.
-oo0dw0oo-
Jilid 33
Perangkap.
Huru Hara terkejut mendengar pertanyaan tay-haksu Ma
Su Ing. Tetapi sebelum ia sempat menjawab, Ma Giok Hoa
sudah mendahului.
"Benar, yah, memang kudengar hohan ini pernah bentrok
dengan Lau-ma tetapi dia yang diserang dulu sehingga dia
terpaksa membela diri …., ."
"Adik Hoa ! Mengapa engkau membelanya?" teriak Ma
Giok Cu.
"Maaf, cici, bukan aku membela orangnya tetapi
membela persoalannya. Mana yang benar aku harus
mengatakan benar, yang salah harus kukatakan salah, Yah,
apakah aku salah kalau mengatakan begitu ?"
Ma Su Ing gelagapan. Memang ia tahu bahwa diantara
kedua puterinya berlainan wataknya.
Ma Giok Cu berhati tinggi dan manja. Ma Giok Cu
berhati lemah lembut dan penuh rasa kasihan terhadap
orang. Walaupun sebagai seorang tay-haksu tetapi ternyata
Ma Su Ing juga tetap seorang ayah yang berhati penuh
sayang kepada kedua puterinya. Apalagi karena dia gemar
mengumpulkan gundik2 gadis cantik, ia sungkan kepada
kedua puterinya. Maka diapun bersikap lunak dan
memanjakan mereka.
Rupanya Ma Giok Hoa yang cerdas tahu akan kesulitan
ayahnya untuk memberi keadilan siapa yang benar antara
dia dan Giok Cu. Maka eepat2 Giok Hoa mengalihkan
pembicaraan dengan sebuah pertanyaan.
"Hohan ini telah menyelamatkan ayah dari cengkereman
penjahat berkedok sasterawan tadi. Mengapa cici hendak
mencelakai orang yang sudah menolong ayah ?"
Pertanyaan Giok Hoa itu memang tajam. disamping
membungkam Giok Cu dan Giok Sun, juga memberi
isyarat kepada ayahnya agar menggunakan alasan itu untuk
menenangkan hati Giok Cu.
"Ya, memang begitu," rupanya Ma Su Ing tahu akan
isyarat Giok Hoa, "dia telah berbuat baik kepadaku. Soal
yang lampau biarlah jangan angkat lagi. Lau-ma hanya
menderita luka kecil tak sampai membahayakan jiwanya.
Dan lagi ayah memang hendak mengundang dia supaya
bekerja menjadi pengawal ayah. Sudahlah Sun ji dan Cu-ji
cobalah kalian perintahkan pada para penjaga agar
mengadakan penjagaan yang lebih keras lagi malam ini dan
selanjutnya."
Kedua anakmuda itu mengiakan lalu melangkah pergi.
Ternyata Ma Su Ing dapat memperhatikan perobahan
wajah kedua anaknya. Dia tahu kalau kedua anaknya itu
malu maka buru2 ia memerintah agar mereka dapat
meninggalkan ruang situ.
“Loan Thian Te, bagaimana surat yang engkau
kehendaki ?" tanya Ma Su Ing.
"Terserah kepada tayjin saja. Hamba hanya seorang
utusan yang akan menghaturkan surat dari tayjin kepada Su
tayjin," sahut Huru Hara.
Ma Su Ing masuk kedalam untuk menyiapkan surat.
Dalam pada itu Ma Giok Hoapun bertanya kepada Huru
Hara, "Hohan, apakah engkau tak bersedia bekerja disini ?"
"Ah, harap siocia jangan menyebut hohan, panggil saja
Loan Thian Te,"
"Hm, baiklah Loan-heng," kata dara itu.
"Terima kasih atas kebaikan siocia," kata Huru Hara,
'namun aku masih ada tugas yang belum terselesaikan."
"Tetapi kalau tugas itu sudah selesai ?"
"Nanti akan kupikirnya," sahut Huru Hara, "karena
negara dalam suasana perang sepertinya semua tugas
adalah sama yalah demi membantu negara.”
"Aku bekerja pada Su tayjin atau ikut pada tay-haksu,
adalah sama arti tujuannya."
Ma G ok Hoa mengangguk.
"Dan lagi tay-haksu kulihat sudah cukup banyak
mempunyai pengawal yang berilmu tinggi tentulah tak
perlu kuatir akan keamanannya."
"Bukan begitu Loan-heng," kata Giok "maksud ayah
meminta Loan-heng bekerja disini bukanlah karena ayah
kuatir tentang keselamatannya tetapi rasanya ayah
memandang Loan-he ini seorang yang cakap dan dapat
dipercaya."
"Terima kasih, siocia. Aku masih belum dapat
memikirkan hal itu. Nanti apabila tugas sudah selesai,
barulah aku dapat mengambil keputusan."
Ma Su Ing keluar dengan membawa sebuah sampul yang
di-lak dengan stempel (ci-keng) merah, "Nah. inilah surat
balasan untuk Su tay-jin.”
Baru Huru Hara hendak mohon diri, tiba2 masuklah
seorang penjaga, "Lapor kehadapan tay-jin, bahwa tawanan
tua yang membawa tongkat bambu kuning itu tak mau
makan."
"0, lalu apa maksudnya ?"
"Dia mengatakan hendak bunuh diri. Lebih balk mati
daripada disiksa begitu," kata penjaga.
"Hm, bawalah dia kemari," kata Ma Ing.
Ketika tawanan itu dibawa menghadap Ma Su Ing, Huru
Harapun terkejut sekali hingga hampir saja dia berteriak.
Tetapi Rajacopet Bambu kuning segera deliki mata
kepadanya. Huru Hara tahu apa yang dimaksud, dia pun
diam.
"Hai, engkau, apakah engkau masih tak mau mengaku
siapa yang suruh engkau memalsu sebagai Gak sucia
meminta surat kepadaku ?"
"Aku sendiri," sahut Raja-copet Bambu-kuning dengan
garang.
Diam2 Haru Hara terkejut. Ternyata Raja-copet itu
sudah menyusul ke gedung tay-haksu, dan bahkan
mendahului bertindak untuk meminta surat dari tay-haksu.
Surat itu jelas surat balasan Ma Su Ing kepada Su Go Hwat.
"Hm, Raja-copet itu memang lihay. Sayang dia
tertangkap. Aku harus berusaha untuk membebaskannya,"
pikir Huru Hara.
Dia tak mau beranjak keluar melainkan menunggu
bagaimana kesudahan pemeriksaan yang dilakukan Ma Sa
Ing terhadap si Raja- copet.
"Apakah engkau benar2 berkeras kepala ?" seru Ma Su
Ing.
"Sama sekali tidak," sahut si Raja Copet.
"Aku sudah mengatakan apa yang sebenarnya. Lalu apa
lagi yang harus kukatakan ?"
Ma Su Ing marah, "Bawa keluar dan hajar bangsat itu !"
serunya kepada beberapa penjaga.
"Tayjin, hamba hendak bicara," tiba2 Huru Hara tak
dapat menahan kesabarannya dan berkata.
"0, engkau mau bilang apa ?"
"Dimanakah orang itu ditahan ?"
"Dalam tahanan rahasia."
"Bagaimana kalau tayjin menjebluskannya dulu ?"
"Lalu ?"
"Nanti setelah dia pergi, barulah hamba bicara lagi
dengan tayjin."
Karena Huru Hara jelas pernah menyelamatkan dirinya
dari cengkeraman penjahat yang menyaru sebagai -
asterawan maka Ma Su Ing mulai menaruh kepercayaan.
Dia menyetujui permintaan dan suruh penjaga membawa si
Raja-copet ke kamar tahanan lagi.
"Nah, sekarang bicaralah," kata Ma Su Ing.
"Begini maksud hamba," Huru Hara mulai bicara,
"tidakkah tayjin mengetahui bahwa orang itu mempunyai
kepandaian yang luar biasa ?"
"Dalam hal apa ?"
"Dalam soal menyaru. Dia menyaru sebagai Gak sucia
begitu persis sekali sehingga tayjin sendiri sampai dapat
dikelabuhi."
"Hm, lalu ?"
"Tidakkah tayjin membutuhkan orang2 yang
berkepandaian hebat. Bukan saja kepandaian silat, pun juga
lain2 macam kepandaian. Menyaru merupakan ilmu seni
yang hebat dan banyak sekali gunanya. Tayjin tentu
maklum akan hal itu.”
Ma Su Ing cepat dapat menangkap maksud Huru Hara.
Diam2 dia memang kagum atas kepandaian si Raja-copet
dalam hal menyaru. Pikirannyapun cepat melayang jauh ke
suatu angan2 yang cerdik.
"Hm, andaikata terjadi sesuatu di kota raja ini kalau
sampai istana diserbu tentara Ceng, bukankah aku harus
melarikan diri ? Dalam keadaan yang sangat berbahaya, dia
akan kusuruh menyaru sebagai diriku dan aku menyaru
sebagai rakyat biasa untuk meloloskan diri dari bahaya," la
mului menimang-nimang.
"Ya, segala dapat terjadi dalam suasana perang seperti
ini. Benar apa kata Loan Thian Te, orang itu memang
berguna juga untukku," pikirnya pula.
"Engkau benar," Ma Su Ing mengangguk, "aku dapat
memakai orang itu tetapi apakah dia mau ?"
"Bagaimana kalau tayjin serahkan saja kepada hamba
untuk membujuknya ?"
"Apakah engkau mau melakukan hal itu?”
“Biarlah kusempatkan sedikit waktu membujuknya."
Ma Su Ing segera suruh penjaga mengantar Huru Hara ke
penjara.
Apa yang disebut rumah tahanan dalam gedung tayhaksu
itu, merupakan sebuah bangunar tersendiri yang
terletak disebelah belakang. Disitu terdapat beberapa ruang
yang diperkuat dengan terali besi dan dijaga.
Setelah penjaga membuka pintu terali, Huru Hara
berkata, " Berikan kuncinya kepadaku nanti aku yang
mengunci, engkau tunggu saja di pos penjagaan."
Penjaga itu tahu bahwa Ma Su Ing memperlakukan Huru
Hata sebagai seorang tetamu yang dipercaya. Dan lagi ia
mendengar bahwa Huru Hara itu adalah utusan dari mentri
pertaharan Su Go Hwat. Maka penjaga itupun tak berani
membantah, ia menyerahkan seuntai anak kunci, lalu
keluar.
"Paman, mergapa engkau berada di sini ?” tanya Huru
Hara.
Raja- copet tertawa, "Kalau aku tak menyusul, engkau
tentu celaka."
'Mengapa ?" Huru Hara heran.
"Bukankah surat yang engkau berikan kepada tay-haksu
itu surat tulisanku sendiri ?"
"Andaikata wi-su yang diutus Ma Su In itu menyerahkan
surat asli yang diterima utusan Su tayjin, bukankah Ma Su
Ing akan mengetahui. perbuatanmu ?"
"Celaka !" teriak Huru Hara sedang disadarkan," kalau
begitu apakah paman yang telah menukari surat yang
dibawa wi-su itu.”
"Engkau pintar menebak," kata Raja copet
"Lalu di mana surat yang aselinya?”
"Beres," kata Raja-copet seraya menepuk-nepuk dadanya,
Artinya, berada dalam baju.
"Mengapa paman dapat tertangkap ?"
"Sialan," gumam Raja- copet, "karena menyaru jadi Gak
Se Bun yang kusergap dan kujebluskan dalam WC, pikirku
aku hendak menghadap Ma Su Ing. Engkau tahu si Ma Su
Ing itu hendak apa ?"
"Bagaimana ?" tanya Huru Hara.
'Dia hendak suruh aku menyampaikan surat kepada
panglima Torgun ?"
"0," seru Huru Hara terkejut, "apa maksudnya ?"
"Sayang karena anaknya si Ma Sun datang, dia dapat
memergoki aku dan akhirnya aku dapat di ringkus. Coba
tidak, tentu aku dapat mengetahui apa surat Mas Su Ing
itu."
“Jika demikian, hm," dengan berbisik-bisik Huru Hara
mendekati telinga Raja-copet. "kita ingat saja Giam Se Bun
itu ..... "
Raja copet mengangguk, "Serahkan kapadaku, tentu
beres ......"
Raja copet bertanya pula bagaimana rencana Huru Hara.
Jawab Huru Hara, "Akan kututup pintu terali lagi tetapi
tidak kukunci. Nanti paman dapat meloloskan diri."
"Dan setelah ini akupun akan pergi. Kutunggu paman
disebuah kuil tua, utara kota ini," kata Huru Hara pula.
Setelah itu Huru Hata lagi keluar dan meyerahkan kunci
kepada penjaga. Dia menghadap tay-haksu lagi, "Tay-jin,
dia minta tempo untuk berpikir sampai besok pagi. Apabila
dia tetap nolak, terserah saja tayjin hendak memutuskan
bagaimana terhadap orang itu. Dan karena sudah tiada
pesan apa2 lagi dari tayjin, hamba mohon diri ...... ."
Sehabis pamitan, Huru Hara menuju ke utara dan
beristirahat disebuah kuil tua yang sudah tak pernah
dikunjungi orang. Kuil tua itu terletak sepuluhan li dari
kotaraja.
Belum berapa lama, Raja-copetpun muncul "Eh,
mengapa paman secepat ini sudah menyusul kemari ?" tegur
Huru Hara.
"Karena aku kuatir penjaga akan masuk mengantar
makanan dan tahu kalau kunci itu tidak engkau kunci,"
jawab Raja-copet.
"0, benar," kata Huru Hara, "lalu bagai mana rencana
paman untuk menyergap Gak Se Bun.
"Menurut pesan Ma Su Ing kepadaku sebelum dia
mengetahui kalau aku ini Gak Se Bun palsu, dia
mengatakan akan menyuruh Gak Se Bun mengantar surat
kepada panglima Ceng si Torgun. Kita cegat saja dia
disini.”
Tetapi sampai menjelang sore, belum juga tampak Gak
Se Bun lalu di jalan itu.
"Ah, mungkin dia akan mengadakan malam nanti," kata
Raja-copet.
"Apa tidak mungkin dia sudah berangkat lebih dulu dari
kita,” kata Huru Hara, "dan lagi karena dia tahu kalau
paman sudah mendengar tentang perintah Ma Su Ing, siapa
tahu dia tidak mengambil jalan ini tetapi mengambil jalan
lain. Misalnya, dia menuju ke timur tidak ke utara sini."
"Hm, ya, benar," kata Raja-copet, “lalu bagaimana ?"
"Begini saja, paman," kata Huru Hara, "aku yang menuju
ke utara sekali terus menemui Su tayjin dan paman yang ke
timur mengejar jejak Gak Se Bun, Kalau Gak Se Bun tidak
mengambil jalan ke timur, segera saja paman cari aku di
Yang-ciu tempat markas Su tayjin. Gak Se Bun tentu
menempuh jalan utara dan tentu sudah ku bekuk,"
Raja-copet menyetujui. Keduanya segera berpisah. Huru
Hara melanjutkan perjalanan ke Yangciu yang terletak di
utara.
Belum berapa lama berjalan, dia melihat suatu
gerombolan tentara kerajaan Beng sedang beristirahat
disebuah hutan. Dia curiga,
Diam2 dia menghampiri ketempat mereka dan
bersembunyi disebuah gerumbul yang teraling dari
pandangan mereka.
Rupanya gerombolan prajurit yang membawa kuda itu
sedang menunggu seseorang. Mereka terdiri dari prajurit2
yang bertubuh tinggi besar dan gagah perkasa. Salah
seorang yang rupanya menjadi pemimpin mereka,
memelihara kumis yang lebat sehingga makin
menyeramkan. Juga mereka sama membekal senjata.
"Tui-tiang (kepala regu), berapa lama kita harus
menunggu disini," tanya seorang prajurit pada pimpinannya
yang berkumis
"Mungkin setelah matahari terbenam baru Ang Bin tojin
datang," sahut orang itu.
Karena pembicaraan mereka keras maka Huru Hara
dapat mendengarkan dengan jelas. "Ang Bin tojin ?
Siapakah Ang Bin tojin itu ? 0, apakah imam yang berada
dalam gedung tay-haksu itu.
Huru Hara makin tertarik. Diapun terpaksa menekan
kesabarannya untuk menunggu apa yang terjadi disitu
nanti.
Cepat sekali waktu berjalan. Matahari terbenam dan hari
menjadi gelap. Memang benar apa yang dikata pemimpin
rombongan tadi. Tak berapa lama muncullah seorang imam
berwajah merah.
"Ah, kiranya totiang datang," sambut pemimpin
rombongan prajurit itu.
"Apakah semua sudah siap ?" tanya Imam muka merah.
Pemimpin rombongan mengiakan.
"Jika begitu mari kita berangkat," kata Ang Bin tojin.
Begitnlah rombongan prjurit yang terdiri dari duapuluh
orang segera mengiringkan Ang Bin tojin.
Huru Hara sempat memperhatikan bahwa setiap prajurit
berkuda itu tentu membawa sebuah peti.
"Hendak kemanakah mereka ?" tanya Huru Ilara dalam
hati. Ia tahu bahwa rombongan Ang Bin tojin itu tentulah
melakukan perintah tay-haksu Ma Su Ing, Tetapi dia belum
tahu jelas kemanakah mereka akan pergi.
“0o," tiba2 ia teringat akan pembicaraannya dengan
penjahat yang menyaru sebagai sasterawan dan membekuk
tay-haksu Ma Su Ing "bukankah ini yang dimaksud tayhaksu
untuk memenuhi tuntutan penjahat sasterawan itu ?
Hm, siapakah sasterawan itu ?"
Sebenarnya Huru Hara ingin sekali cepat2 menghadap Su
Go Hwat di Yang-ciu untuk menyerahkan surat balasan
dari Ma Su Ing. Tetapi dia tertarik juga akan kesudahan
dari perjanjian Ma Su Ing dengan sasterawan penjahat itu.
Akhirnya ia memutuskan bahwa malam itu dia akan
mengikuti perjalanan rombongan Ang Bin tojin. Apabila
sampai besok pagi belum terjadi suatu terpaksa dia akan
meninggalkan mereka dan langsung menuju ke Yang-ciu
saja.
Saat itu cuaca terang, bulanpun bersinar walaupun tidak
menampakkan seluruh wajahnya, Huru Hara memang agak
mengalami kesulitan untuk mengikuti mereka. Dia harus
berlari supaya dapat mengimbangi rombongan prajurit yang
naik kuda itu. Tetapi karena dia harus hati2 supaya
jejaknya, tak diketabui mereka, akhirnya makin lama makin
ketinggalan.
Saat itu setelah melintasi sebuah jalan bukit yang cukup
panjang. mereka harus melalui sebuah tanjakan yang
dikanan kirinya merupakan sebuah gerumbul pohon,
sepintas menyerupai hutan kecil.
"Berhenti !" tiba2 Ang Bin tojin berseru dan memberi
isyarat supaya rombongannya berhenti.
"Li tui-tiang, silakan periksa apa yang melintang di
tengah jalan sebelah muka itu," katanya memberi perintah
kepada pemimpin rombongan prajurit yang bernama Li
Beng,
Li Beng segera mengeprak kuda maju kemuka. Ternyata
di sebelah muka lebih kurang puluh tombak jauhnya,
tampak sebuah benda tegak memancang di tanah, mirip
sebatang tombak yang ditancapkan.
"Ah, sebatang pena pit," seru Li Beng ketika tiba di
tempat benda itu. Benda itu terbuat daripada bambu,
ujungnya runcing dan diberi cat warna hitam seperti ujung
pena pit.
"Totiang, aneh, benda itu sebuah pit dari bambu yang
menancap tegak di tanah," Li Bang memberi laporan.
"Hm, dia sudah datang," desuh Ang Bin tojin.
"Siapa totiang ?"
"Apakah engkau belum mendengar peristiwa yang terjadi
dalam gedung tay-haksu semalam ?"
"Belum, totiang."
Ang Bin tojin terkesiap. Ia menyadari bahwa hal itu tak
perlu ia beritahu kepada para prajurit karena apabila hal itu
sampai tersiar tentulah tay-haksu Ma Su Ing malu. Tetapi
karena sudah terlanjur omoag maka Ang Bin tojin pun
terpaksa memberi keterangan walaupun tidak seluruhnya
sama dengan peristiwa itu.
"Ada seorang penjahat yang berani mati mengancam tayhaksu
hendak merampas peti2 ini."
"0. siapakah dia ?"
"Pcnjahat itu menyaru sebagai seorang sasterawan maka
kuduga pena bambu itu adalah sebagai lambang dari
kehadirannya ditempat ini. Kau pun harus bersiap-siap."
Li Beng segera memerintahkan anakbuahnya berhenti
dan bersiap.
Ang Bin tojin juga bersiap. Ia mempertajam pendengaran
dan penglihatannya untuk mengawasi setiap desir angin,
gerak pohon yang akan mengantar kemunculan penjahat
itu.
Namun sampai lebih kurang setengah jam lamanya,
belum juga tampak tanda2 kemunculan seseorang.
Akhirnya Ang Bin tojin bersangsi.
"Hm, aneh, apakah aku keliru menafsirkan pertandaan
pena bambu itu ?" pikirnya.
Akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan perljalanan
lagi. Memang sampai beberapa li tak ada perobahan. Tetapi
ketika akan melalui sebuah hutan lagi, kembali Ang Bin
tojin dikejutkan oleh sebuah benda mirip tonggak yang
tegak di tengah jalan.
"Li tui-c:ang, periksalah itu,” serunya. Li Beng
melakukan perintah. Kembali ia mendapatkan bahwa
toaggak yang tertancap di tengah jalan itu juga sebatang
bambu yang berbentuk seperti pena (pit). Hanya sekarang
pada pangkal batang bambu itu terdapat sehelai kain
segitiga dengan lukisan sebuah tengkorak diatas dua kerat
tulang yang bersilang.
"Pena dengan panji tengkorak, toiang," Li Beng memberi
laporan.
“Pena dengan panji Tengkorak ?" ulang An Bin tojin,
"hm, apa maksud sasterawan itu ?"
Dia memerintalikan supaya rombongannya berhenti lagi
dan siap2 menghadapi setiap kemungkinan, Tetapi sampai
sejam lamanya, belum juga tampak orang itu muncul.
Akhirnya Ang Bin tojin memerintahkan melanjutkan
perjalanan lagi.
Eh, baru duapuluh li jauhnya, kembali terdapat benda
pertandaan semacam itu lagi. Hanya kali ini pena bambu
yang panjangnya seperti tombak itu mempunyai panji
tengkorak berwarna putih, kainnya hitam. Panji tengkorak
yang pertama di dasar warna kainnya putih, gambarnya
hitam.
Sejam lamanya Ang Bin tojin berhenti untuk menunggu
tetapi orang itu tetap tak muncul.
"Hm, dia rupanya hendak menggoda saja untuk
menimbulkan ketegangan urat syaraf,” pikirnya “atau
mungkinkah dia sudah mencium bau tentang rencanaku
dalam melakukan penyerahan peti itu ? Ah, tak mungkin.
Karena rundingan kita itu di tempat yang rahasia sekali . ."
Ang Bin tojin melanjutkan perjalanan lagi, saat itu sudah
lewat tengah malam. Suasana malam sepi. Angin malam
yang dingin terasa menggigit tulang.
Duapuluh li kemudian, tanda pena bambu tampak pula
menancap di tengah jalan. Panji melukis tengkorakpun
berwarna lain. Kainnya merah dan lukisan tengkoraknya
berwarna hitam.
"Hai, jangan main gertak, bung," pikir An Bin tojin. Kali
ini dia tak mau berhenti melainkan memerintahkan
rombongannya terus berjalan
Tetapi pada saat mereka baru berjalan beberapa langkah,
tiba2 sebatang pohon yang berada di tepi jalan telah
tumbang melintang di jalan. Untung rombongan itu cepat2
mundur sehingga terhindar dari kejatuhan pohon.
Debu mengepul, bercampur asap putih yang tebal.
Memang, pada saat barang pohon roboh terdengar letusan
kecil.
Setelah debu campur asap menipis maka muncullah
sesosok tubuh manusia yaLng berpakaia putih. Dan
seketika Ang Bit tojin dapat melihat bahwa orang yang
muncul itu adalah seorang sasterawan.
"Apakah engkau sasterawan yang hendak mengambil peti
dari tay haksu ini ?" tegur Ang Bin tajin.
"Siapa lagi orang yang mau malam2 buta seperti ini
muncul di tengah hutan ?" sahut sastrawan itu.
"Hm, apakah engkau benar2 menghendaki peti harta itu
?"
"Totiang adalah seorang utusan tay-haksu. Tentulah
totiang sudah mendapat kekuasaan penuh untuk
melaksanakan perjanjian tay-haksu, kepadaku. Sekarang
manakah bagian yang akan diserahkan kepadaku itu ?"
tanya sasterawan itu.
"0, maaf," sahut Ang Bin tojin, "aku hanya diperintahkan
untuk mengawal peti ini tetapi tak diperintahkan untuk
menyerahkan sebagian kepadamu !"
"Hai, engkau berani menolak !" teriak sasterawan.
"Aku tidak menolak melainkan hanya menurut perintah
tay-haksu saja," sahut Ang Bin tojin, "sahabat, janganlah
engkau membikin susah aku. Kalau engkau tak percaya
silahkan engkau menghadap tay-haksu."
"Keparat, apa tay-haksu berani ingkar janji?"
"Entah, aku hanya orang bawahan saja,"
"Baik," kata sasterawan itu, "karena jelas tay-haksu
berani mempermainkan aku maka aku pun terpaksa tak
sungkan lagi."
"Apa maksudmu ?"
"Serahkan semua peti itu kepadaku kalau engkau ingin
masih punya nyawa !"
Ang Bin tojin mendecak-decakkan mulut, “Cek, setua ini
aku hidup dalam dunia, baru pertama kali ini aku bertemu
dengan seorang manusia yang bermulut besar ! Engkau
anggap aku ini cacing yang mudah engkau injak ?"
"0, apakah engkau anggap dirimu ini seekor harimau ?"
balas sasterawan.
"Manusia kecut, apakah engkau kira hari ini engkau
mampu lolos dari tempat ini ?" ejek Ang Bin tojin.
Tampak lima prajurit bergerak maju untuk mengepung
sasterawan itu.
"0. bagus, bagus," seru sasterawan tertawa congkak,
"kalian hendak mengepung aku ? Hay tak perlu maju satu
persatu, majulah serempak saja agar menghemat tenagaku
!"
"Sasterawan, apakah engkau benar2 tak mau menyerah;"
seru Ang Bin tojin.
"Menyerah ? Gila engkau imam muka merah," sahut
sasterawan, "seharusnya kalianlah yang menyerah, bukan
aku."
"Baik, jika begitu terpaksa harus kugunakan kekerasan,"
Ang Bin menutup kata-katanya dengan lepaskan hantaman.
Dan serempak pada saat itu kelima prajurit itupun juga
menghantam.
Darrrr .....
Terdengar letusan keras macam halilintar meletus
dahsyat. Debu mengepul tebal, batang pohon bergetar dan
daun pun berguguran jatuh.
Dan sesaat kemudian dari udarapun meluncur sesosok
tubuh yang dengan berjumpalitan melayang turun, berdiri
tegak di atas tanah.
Hantaman yang dilepas oleh Ang Bin tojin dan kelima
prajurit itu paling berbentur sehingga menimbulkan suara
ledakan yang dahsyat. Sedangkan sasterawan itu dengan
cerdik loncat sampai dua tombak tingginya
"Eh, prajurit2, hebat sekali pukulan itu," seru sasterawan,
"kalian tentu bukan prajurit biasa. Hayo, sebutkanlah nama
kalian secara jantan. Ketahuilah. aku tak mau membunuh
manusia yang tak ternama !"
"Hm, matamu tajam sekali," seru Ang Bin tojin,
"memang mereka bukan prajurit biasa, Agar engkau mati
dengan meram, akan kuberitahukan nama2 mereka.
Mereka adalah Tiam Wi loheng bergelar Tok- jiu- kimkong
atau Malaekat – tangan beracun. Ang Peng San
loheng bergelar Kim-tiokan-kun (si Seruling-emas) Liong Su
Be loheng bergelar Thia si kim- wan (Monyet-emasbertangan
besi) Giam Ting loheng bergelar Hoa-hiat-ciarg
(pukulan darah) dan terakhir adalah Suma In sang-jin
(pertapa) bergelar Hui-sin-piau (si Piau terbang sakti). Nah,
sudah jelas?"
"Wah, wah," mulut sasterawan itu berdecak-decak,
"hebat sekali nama dan gelar mereka. Mungkin orang yang
bernyali kecil, mendengar gelarnya saja sudah tak punya
jantung lagi. Hm, menilik munculnya beberapa jago sakti
ini, jelas tay-haksu Ma Su Ing memang sudah berniat
siapkan rencana untuk menangkap aku. Engkau kira aku
takut menghadapi kalian berenam ini ?"
"Lihat saja nanti," dengus Ang Bin tojin.
"Kalian mau bertempur satu lawan satu atau secara
serempak ?” sasterawan itu menantang.
"Akulah yang akan menghadapi engkau dulu," seru Tiam
Wi seraya melangkah maju.
Tiam Wi, Ang Peng San dan Long Si Bu termasuk
kelompok Sam-wi atau Tiga Penjaga dari tay-haksu Ma Su
Ing.
Tiam Wi bertubuh kurus tinggi. Sepasang jidatnya yang
menoniol sehingga kedua matanya menyusup kedalam
menandakan kalau dia memiliki ilmu lwekang yang tinggi.
Yang istimewa adalah kuku jarinya, runcing dan
panjang. Dia segera membuka serangan dengan
menggerakkan tangan ke dada lawan dalam jurus Pek- kauhian-
kuo atau Kera-putih-mempersembahkan-buah.
Tetapi sasterawan itu menampar dengan jurus Gwat-lisan-
hoa atau Bidadari-menyebar bunga.
Tiam Wi terkejut ketika merasakan tamparan lawan
mengandung tenaga-dalam yang kuat sehingga tangannya
tertahan. Ia menyerang lawan tetapi tetap tersdesak oleh
tamparan tangan. Pertempuran berjalan seru dan Tiam Wi
tetap tak mampu menjamah tubuh lawan.
Ternyata diam2 sasterawan itu mencatat nama dan gelar
dari kelima ko-jiu (Jago sakti ) yang menyaru sebagai
prajurit itu.
Tiam Wi bergetar Tok-jiu-kim-kong si Malaekatbertangan-
racun. Jelas orang itu tentu memiliki jari2 yang
beracun. Dan sasterawanpun memperhatikan bahwa kuku2
jari Tiam Wi makin lama makin tampak merah warnanya.
Jelas jari itu mengandung racun yang berbahaya. Untuk
menghindari hal2 yang tak diinginkan maka sasterawanpun
cepat menampar setiap kali lawan hendak menyerang.
Dengan siasat itu berhasillah la memagari tangan Tiam Wi
agar jangan sampai menjamah tubuhnya.
Cepat sekali pertempuran sudah mencapai setatus jurus
tanpa ada kesudahannya.
"Tiam-heng, silakan beristirahat. Biar aku yang
mengganti," seru seorang prajurit yang segera loncat ke
muka.
"Baik," sahut Tiam Wi setelah tahu bahwa yang maju itu
adalah Au Peng San.
"Ho, bagus, engkau pakai serulingmu?" seru sasterawan
ketika melihat orang mengeluarkan seruling emas.
"Jangan banyak mulut" bentak Ang Peng San yang terus
menyerang dengan seruling emasnya. Seruling memagutmagut
cepat dan deras sekali. Setiap pagutannya
merupakan tutukan pada jalandarah yang berbahaya dari
tubuh lawan. Sepintas menyerupai seekor ular emas yang
tengah memagut.
Tetapi sasterawan itu memang lihay sekali. Dengan
gerakan yang indah, cepat dan lemas, dia bergeliatan
menghindari semua tutukan seruling.
Seratus jurus telah berlangsung namun Ang Peng San
tetap tak mampu menutuk tubuh lawan.
"An-heng, silakan beristirahat. Biarlah aku yang
mengganti," seru prajuri yang lain.
Ang Peng San tahu yang berseru itu adalah Liong Si Bu
gelar Thiat-pi-si-wan atau Monyet emas-lengan-besi.
Diapun loncat mundur.
Ternyata ilmusilat yang dimainkan oleh Liong Si Bu itu
bersumber pada ilmusilat Kaukun (kera). Sepasang
tangannya berhamburan untuk mencomot tubuh lawan.
Cepat dan gesitnya melebihi gerak monyet yang aseli.
Tetapi sasterawan tetap dapat mengimbangi permainan
orang, "Hm, ilmusilat gaya Kau-kun begini, tak malu untuk
dipertunjukkan kepadaku, dengus sasterawan itu mengejek.
Sudah tentu Liong Si Bu marah sekali. Tetapi apa daya.
Semua jurus serangannya yang dilancarkan dapat dibaca
oleh lawan. Rupanya lawan mahir juga akan ilmusilat Kaukun
itu.
Seratus juruspun berlalu lagi. Sam-wi atau Tiga-penjaga
tay-haisu Ma Su Ing tak mampu meringkus sasterawan itu.
"Liong-heng, silakan beristirahat," seru seorang prajurit
lain. Dia adalah Giam Ting jago pukulan Hoa-hiat-ciang.
Dan ketika Giam Ting melepaskan pukulan Hoa-hiat ciang,
dia terkejut sekali karena sasterawan itu menyambut dengan
pukulan Siuto-im-sat-kang.
Hoa-hiat-ciang merupakan pukulan tenagadalam yang
hebat. Orang yang terkena pukulan itu tubuhnya akan
melonyoh seperti orang terbakar dan lalu menjadi cairan
darah merah. Ilmu pukulan itu tergolong aliran Hitam.
Tetapi pukulan Siu-lo-im-sat-kang yang juga merupakan
pukulan tenaga-dalam, merupakan penunduk dari pukulan
Hoa-kiat-ciang itu. Apalagi Siu-lo-im-sat-kang yang dimiliki
sasterawan itu setingkat lebih tinggi dari pukulan Hoa-hiatciang
yang diyakinkan Giam Ting. Sudah tentu Giam Ting
menjadi kelabakan.
Tring, tring . . . . tiba2 terdengar bunyi mendering halus
yang terpukul.
"Bagus, jago licik, engkau berani menyerang aku secara
menggelap!" seru sasterawan itu seraya tamparkan lengan
bajunya.
"Ih . . . , " terdengar prajurit yang setengah tua dan
berjenggot kambing mendesis seraya menghindar.
'Ternyata dia adalah pertapa Suma In, ahli melontar
senjata rahasia. Melihat Giam Ting terdesak, dia segera
taburkan dua batang jarum mengarah mata tenggorokan
sasterawan. Tetapi alangkah kejutnya ketika dalam saat
masih menghadapi serangan Gim Ting, sasterawan itu
dapat menampar jatuh jarum yang melayang tanpa bersuara
itu. Bahkan dengan cepat pula, sastera wan itu dapat balas
menaburkan dua batang jarum kepadanya.
"Hebat sekali kepandaiannya," mau tak mau Suma In
terkejut dan memuji dalam hati. "Giam-heng, silakan
mundur," seru Ang Bin tojin yang sejak tadi belum maju
dan hanya memperhatikan tingkah si sasterawan.
"Ho, rupanya engkau juga ingin mencici tanganku, imam
muka merah," ejek sasterawan. Berulang kali disebut muka
merah,. marahlah Ang Bin. Serentak dia menyerang
sasterawan itu dengan gencar.
"Wah, bahaya," seru sasterawan itu seraya menghindar
dan menampar, "pukulanmu Thia sat-ciang ( pasir besi )
panas sekali. Harus didinginkan."
Sasterawan itupun berulang kali menampar dan
mengebutkan lengan bajunya seperti orang yang
memadamkan api.
Diam2 Ang Bin terkejut juga. Ternyata memang tengah
melancarkan pukulan Thiat-sat ciang. Sebuah pukulan yang
memancar hawa panas yang membakar. Tetapi sastrawan
itu mengeluarkan Im- han-sat-kang, pukulan hawa dingin
yang hebat.
Ang Bin tojin heran mengapa sasterawan itu faham akan
berbagai ilmu pukulan sakti dan ilmusilat dari berbagai
perguruan yang ternama.
Pelahan tetapi tertentu, muka Ang Bin tojin yang merah
berobah menjadi pucat. Jelas dia sudah kehabisan tenagadalam.
Pada saat Ang Bin sudah terdesak dan terancam bahaya
tiba2 sasterawan itu kembali loncat sampai dua tombak ke
udara. Dia berjungkir balik dan gerakkan kedua tangannya.
Terdengar letupan keras disusul dengan teriask kaget dari
kelima jago yang mengeroyoknya. Mereka berhamburan
loncat mundur.
Kembali peristiwa seperti tadi terulang, Pada saat melihat
Ang Bin terdesak, kelima jago dari gedung tay-haksu itu
serempak lepaskan kearah si sasterawan. Tetapi sasterawan
itu dengan cerdik sudah loncat diudara dan sambil
berjumpalitan melayang turun dengan taburkan jarum2
rahasia kearah pengeroyoknya.
“Hai, berhenti, kalian curang !" tiba2 terdengar suara
orang berteriak nyaring dan sesosok tubuh segera melayang
ke tengah gelanggang.
Sekalian ko-jiu terkejut ketika mereka melihat seorang
pemuda dalam dandanan yang nyentrik, memelihara dua
ikat rambut pada dua sisi kepalanya seperti sepasang
tanduk, tegak berdiri bercekak pinggang seraya menuding
pada jago2 dari gedung tay-haksu itu.
Ang Bin tojin cepat mengenali pemuda itu sebagai
pendekar yang pernah menolong tay-hatsu dari
cengkeraman si sasterawan.
Memang pemuda nyentrik itu tak lain adalah si Huru
Hara. Dia mengikuti semua perkembangan yang terjadi
dalam gelanggang pertempuran itu. Jelas dilihatnya bahwa
sasterawan itu memang berilmu sakti sekali. Jago2 ko-jiu
dari gedung tay-haksu tak ada yang menang. Memang
kalau mereka maju berenam, kemungkinan si sasterawan
tentu akan kelabakan, mungkin kalah, tapi mungkin juga
sasterawan itu belum mengeluarkan seluruh ilmu
kepandaiannya. Bisa juga keenam ko-jiu gedung tay haksu
itu akan kalah.
"Hm, ini suatu kesempatan untuk mengetahui siapakah
sebenarnya dia," diam2 Huru Hara menimang dalam hati
dan diapun terus berlari ketengah gelanggang.
Kecuali Ang Bin tojin, memang beberapa ko-jiu gedung
tay-haksu itu belum tahu siapa Huru Hara. Melihat seorang
pemuda nyentrik melangkerik (bercekak pinggang) di
tengah gelanggang terus memaki-maki mereka, mereka pun
marah.
"Hai, babi, siapa engkau ?" teriak Tiam Wi yang beradat
berangasan.
"Hai, orangutan, engkau siapa ?" balas Huru Hara.
Tiam Wi memang banyak bulunya. Selalu brewok juga
tangan dan dadanya penuh ditumbuhi bulu. Sepintas
memang menyerupai seekor orang utan.
"Hus, babi, engkau berani memaki aku ?"
"Eh, orangutan, tak malu engkau." sahut Huru Hara,
"masakan dengan seorang sasterawan yang sakit cacingan
saja engkau tak mampu menang ? Begitu engkau masih
sombong."
"Tiam-heng, harap jangan salah faham dengan hohan itu.
Dialah yang menolong tay-haksu waktu hendak dicelakai
sasterawan itu," cepat2 Ang Bin lojin berseru kepada Tiam
Wi.
"Apa ? Babi itu yang menolong tay-haksu ?" teriak Tiam
WI." apa totiang tidak salah lihat ?"
"Orangutan, engkau memang masih liar. Kalau engkau
tak terima kumaki orangutan liar, hayo, majulah kemari."
"Lho, engkau berani menantang aku ?" teriak Tiam Wi
yang terus loncat ke hadapan Huru Hara.
"Tiam-heng ..... ," Ang Bin tojin hendak Mencegah tetapi
sudah terlanjur. Tiam Wi sudah memukul Hura Hura.
Plak ............. . .
Aduh . .. terdengar Tiam Wi menjerit seraya mendekap
pipinya. Mulutnya berlumuran darah karena sebuah giginya
telah copot. Ternyata sebelum pukulannya jatuh, dengan
kecepatan yang sukar ditukiskan, Huru Hara sudah
menampar pipinya.
"Tiam-heng, harap jangan marah. Aku tak bohong,
hohan itu memang yang telah menolong tay-haksu," Ang
Bin tojin buru2 menghampiri dan membawa Tiam Wi ke
pinggir gelanggang. Ia kuatir akan terjadi salah faham
antara Tiam Wi dengan Huru Hara.
"Hayo, siapa lagi yang tak puas kalau kumaki sebagai
jago licik karena suka main kerubut silakan maju," seru
Huru Hara.
Beberapa ko-jiu dari gedung tay-haksu terkejut
menyaksikan kepandaian pemuda nyentrik yang dapat satu
gebrak saja sudah dapat menampar pipi Tiam Wi. Pada hal
Tiam Wi adalah sa lah seorang ko-jiu yang tergabung dalam
Tiga Penjaga dari tay-haksu Ma Su Ing. Dan karena melihat
Ang Bin tojin begitu mengindahkan kepada pemuda
nyentrik itu maka beberapa ko-jiu itupun tak mau berbuat
seperti Tiam Wi.
"Bagus, bagus, engkau telah memberi pelajaran yang
setimpal pada kawanan kantong nasi yang tak berguna itu,"
seru si sastrawan.
"Jangan tertawa dulu, bung," sahut Huru Hara "sekarang
giliranmu yang akan kubereskan."
"Hm," dengus sasterawan itu, "disini bukan di gedung
tay-haksu. Jangan harap engkau mampu jual tingkah.
Hayo, suruhlah kawan-kamu maju sekali gus saja!"
"Mereka bukan kawankul"
"Mengapa angkau berpihak kepada mereka?"
"Aku tidak berpihak tetapi melindungi kepentingan tayhaksu."
"Uh, kepentingan tay-haksu? Kepentingan a-pa?" ejek
sasterawan itu.
"Peti2 itu adalah milik tay-haksu . . . “
"Milik tay-haksu? Ha, ha, ha .............," sas!erawan
tertawa keras penuh nada ejek, "apakah engkau tahu peti itu
berisi barang apa? Emas, intan, zamrud, permata yang tak
ternilai harganya. Sepuluh peti berisi harta sebesar itu,
apakah engkau percaya kalau tay-haksu maampu
membelinya?”
Huru Hara tertegun.
“Darimana tay-haksu memperoleh harta karun yang
begitu besar?" kembali sasterawan bertanya.
"Itu urusan tay haksu sendiri!” akhirnya Huru Hara
menyahut.
"Tidak! itu urusan kita semua, rakyat kerajaan Beng.
Engkau tahu, bung, dari mana harta itu diperolehnya?"
"Tidak," Huru Hara gelengkan kepala.
"Harta kerun itu berasal dari milik raja Beng. Tay-haksu
dengan cerdik telah menguras gudang istana kerajaan!'
"Fitnah !" bentak Huru Hara.
"Tolol !” balas sasterawan, "engkau memang tolol dan
limbung. Jelas harta itu adalah milik baginda raja Beng.
Kalau tak percaya engkau boleh menghaturkan isi dari peti
itu ke hadapan baginda.”
"Hm," dengus Huru Hara.
"Apakah engkau masih tak percaya ?"
"Aku hanya tahu kalau peti itu adalah milik tay-haksu.
Entah apa isinya."
"Begini saja," kata sasterawan, 'kita buka salah satu peti.
Kalau memang isinya hanya harta biasa aku akan pergi.
Tetapi kalau isinya harta pusaka milik raja, peti itu harus
kurampas."
"Baik tetapi jangan ingkar janji !"
"Tidak," sahut Ang Bin tojin, "peti ini telah dipercayakan
kepada saya untuk dibawa ke suatu tempat. Aku
bertanggung jawab penuh atas keselamatan pengantaran
peti2 ini.”
Cukup asal dibuka salah satu peti. Kita hanya akan
melihat apa isinya saja,"
"Tetapi bukankah sasterawan itu mengatakan kalau
isinya harta milik baginda, peti itu akan di rampasnya ?"
seru Ang Bin tojin.
"Benar," sahut Huru Hara," kalau memang punya
baginda raja, peti itu harus dikembalikan ke istana."
"Tidak bisa !" seru Ang Bin
"Mengapa tidak bisa ?" kata Huru Hara.
"Aku bertanggung jawab atas peti2 itu."
"Tapi kalau peti itu memang milik baginda?"
"Tak peduli !"
"Tidak bisa tidak peduli, bung. Engkau harus peduli atau
aku yang memperdulikan."
"Apa ?” Ang Bin tojin terkejut, "engkau hendak berfihak
kepada sasterawan itu dan turut hendak merampas peti ini
?"
"Tidak," seru Huru Hara, "aku dan sasterawan ini beda
tujuannya. Mungkin dia hendak mengambil peti itu untuk
kepentingannya sendiri. Tetapi kalau aku kan hanya akan
mengembalikan kepada baginda."
"Kedua-duanya aku tak setuju."
"Eh, imam, apakah engkau benar2 tak mengidinkan
kalau peti itu dibuka dan diperlihatkan kepada kami?"
"Tidak bisa !"
"Baik, kalau begitu mari kita selesaikan dengan jotosan
saja."
“Pendekar gila, jangan banyak tingkah,” tiba2 Tiam Wi
yang ditampar oleh Huru Hara tadi segera maju dan
memukul Huru Hara.
Krakkkkk ..... Huru Hara menangkis dan serempak
dengen terdengar suara dua kerat tulang saling beradu,
Tiam Wipun terdorong mundur dua langkah.
Tiam Wi terkejut.
Tiam Wi memang belum kenal siapa Huru Hara. Dia
mengira Huru Hara itu hanya seorang pemuda nyentrik
yang sok-pendekar. Sebenarnya Ang Bin tojin sudah
memberitahukan kalau Huru Hara pernah menolong tayhaksu
dari cengkeraman sasterawan itu. Tetapi Tiam Wi
tak percaya.
Kini setelah beradu pukulan dengan Huru Hara baru dia
kaget setengah mati. Walaupun dia hanya rrenggunakan
sepertiga bagian dari tenaga dalam Tok-jiu-sin-kang tetapi
pukulan itu jarang sekali jago silat yang mampu menahan
apalagi menangkis.
Apa yang ia rasakan ketika beradu dengan tangan Huru
Hara yalah bahwa tangan Huru Ha ra itu seolah sekeping
busa karet yang memiliki tenaga-mental sehingga tenaga
pukulannya mental kembali kepadanya sendiri.
"0rangutan, mengapa diam?" tegur Huru Hara.
Melihat itu beberapa ko jiu gedung tay- haksu yang
belum kenal Huru Hara berhambur menerjang. .Ang Bin
tak dapat mencegah lagi. Ia pun kuatir Huru Hara akan
menggunakan kekerasan untuk memaksa membuka peti itu.
Maka dia hanya menghampiri, Tiam Wi dan mcngajaknya
ke samping gelanggang.
Huru Hara d keroyok empat orang ko jiu dari gedung tayhaksu.
Pertempuran itu berlangsung seru sekali. Setiap ko
jiu dari gedung tay-haksu.itu tentu merasa haran. Mereka
merasakan tenaga-pukulannya yang dilancarkan tentu akan
memantul balik kepadanya lagi.
Namun ibarat orang naik di punggung harimau, Tiam Wi
malu untuk mundur. Dia adalah anggauta kelompok Samwi
gedung tay-haksu. Terpaksa dia maju untuk menyerang
lagi. Namun dia dapat menahan diri untuk tidak
melancarkan pukulan keras melainkan gunakan jurus2 yang
tinggi.
Melihat rekannya tak dapat lekas2 merubuhkan Huru
Hara, Kim-tiok-sin-kun atau Seruling-emas An Peng San
dan Thiat-pi-sin-wan si Kera-sakti-lengan-besi Liong Se Bu
serempak maju mcmbantu. Bahkan An Peng San terus
langsung menggunakan seruling emasnya.
Suma In pertapa yang mahir dalam menabur senjata
rahasia, tak mau ketinggalan. Dia juga ikut menyerang
Huru Hara.
Cret .....
Sebatang jarum tiba2 menyusup ke bahu kiri Huru Hara
yang saat itu tengah menghalau serangan dari muka. Ia
rasakan bahunya gatal dan makin lama makin kaku.
Huru Hara marah sekali. Melirik ke kiri dia melihat
Suma In sedang mempersiapkan jarum lagi.
"Hm, pertapa ini jahat sekali," katanya Ia berputar tubuh
dan menghantam sekuat-kuatnya, bummmmm
Suma In terkejut ketika Huru Hara lcpaskan hantaman.
Dia cepat menyambut dengan taburan jarum lagi. Tetapi
tiba2 jarum itu mental dan menabur mukanya sendiri.
Untung dia masih dapat miringkan kepala. Namun tak
urung daun telinganya tertusuk. Dan celakanya saat itu
tenaga-pukulan tenaga sakti Ji-ih-sin-kang yang dilepas
Huru Hara telah melandanya. Tak ampun lagi dia mencelat
sampai beberapa meter dan jatuh terguling disana .
Beberapa prajurit segera menolongnya.
"Berhenti !” tiba2 Aug Bin tojin berteriak. Jago2 ko-jiu
yang mengerubut Huru Hara itupun loncat mundur.
"Lihatlah, peti itu terbuka !" ecru Ang Bin tojin seraya
menunjuk pada sebuah peti yang masih menggelandot pada
punggung kuda, Sedang praj urit yang membawa kuda itu
sudah rubuh menggeletak di tanah.
Beberapa ko-jiu segera lari menghampiri. "Astaga, batu
kerikil ! teriak salah seorang dari mereka ketika memeriksa
isi peti itu.
Mereka lalu membuka peti itu dan ternyata isinya cuma
batu kerikil saja.
"Hai, kemana sasterawan tadi !" tiba2 Giam Ting berseru.
Jago2 ko jiupun terbeliak kaget dan imemandang kian
kemari. Tetapi sasterawan itu sudah lenyap dari tempat situ.
"Ho, apa itu ?" Ang Bin tojin yang bermata jeli segera
menghampiri ke sebatang pohon. Disitu tertancap sebatang
panji kecil berlukis gambar tengkorak. Dan pada panji itu
terdapat beberapa tulisan kecil yang bebunyi :
Selamat berebut tulang, kawanan anjing ......
"Bangsat !" teriak Giam Ting yang berwatak berangasan,
"kita dianggap kawanan anjing !"
"Ah, kita harus minta maaf kepada sicu tadi, "rupanya
Ang Bin menyadari akan salah faham dengan Huru Hara.
Beramai-ramai mereka menghampiri Huru Hara yang
saat itu tengahduduk bersila, pejamkan mata.
"Maaf, sicu, kami telah mencelakai sicu," seru Ang Bin
tojin seraya memberi hormat. Namun Huru Hara tetap
diam seperti patung.
Beberapa kojiu itu juga menyatakan penyesalan mereka
atas terjadinya salah faham itu. Tetapi Huru Hara tetap
diam tak mau mengacuhkan mereka.
"Ah, rupanya sicu ini sedang menyalurkan pernapasan
untuk menyembuhkan lukanya," kata Ang Bin tojin,
"baiklah kita jangan mengganggunya."
“Lalu bagaimana tindakan totiang ?" tanya mereka,
"Totiang, mengapa lay haksu menitahkan totiang
membawa peti2 yang berisi batu kerikil tanya Gian Ting.
Ang Bin mengangguk-angguk. "Kurasa tay- haksu
memang hendak menyiasati sasterawan itu. Tay-haksu
menitahkan aku membawa sepuluh peti harta dan
mengerahkan anda sekalian untuk ikut mengawal dengan
ketat. Tay-haksu bermaksud hendak menangkap sasterawan
penjahat itu. Apabila kita sampai tak dapat melawannya,
pun sasterawan itu hanya akan mendapat peti2 yang beri
batu kerikil............ .."
"0, benar. benar," seru beberapa ko-jiu itu "tay-haksu
memang cerdik sekali dalam menyiasati musuh."
"Ah, tetapi mengapa tay-haksu tak memberitahukan hal
itu kepada totiang ?" masih Giam Ting bertanya pula.
"Ya, tidakkah tay-haksu hendak mempermainkan totiang
?" kata Tiam Wi pula.
"Kurasa tidak, Tiam-heng," kata An Peng San, "karena
dengan tidak memberitahukan isi peti itu kepada totiang,
tentulah totiang akan berjuang mati - matian untuk
menangkap sasterawan itu karena totiang merasa
mempunyai tanggung jawab atas keselamatan peti itu.
Apabila totiang sudah tahu isinya, kemungkinan tentu akan
menyetujui permintaan pendekar Huru Hara tadi untuk
membuka peti itu."
"Engkau benar, An sicu," kata Ang Bin tojin.
Sekalian ko-jiupun sependapat dengan peniIaian An Peng
San. Kemudian mereka mengulang lagi pertanyaan mereka
kepaka Ang Bin tojin, bagaikan tindakan tojin itu
selanjutnya.
"Aku harus melanjutkan perjalanan mengantar
rombongan pcti ini sampai ke tempat tujuan . . . . "
"Lho, mengapa harus begitu totiang? Bukan-kah jelas peti
itu tidak terisi barang berharga?" tanya Gaim Ting.
"Apa boleh buat Giam sicu," jawab Ang Bin tojin,
"kurasa tay-haksu tentu mempunyai maksud tertentu
mengapa menitahkan aku mengawal peti2 ini. Dan selama
tay- haksu belum menarik perintah, aku wajib
melaksanakan perintah semula sampai tuntas.
"Lalu bagaimana kami sekalian? Apakah tetap harus
mengikuti perjalanan totiang?" tanya beberapa ko jiu itu.
"Kurasa baiklah sicu sekalian kembali ke gedung tayhaksu.
Setelah tahu apa peti itu, kurasa tak perlu sicu
sekalian ikut mengawal lagi," jawab Ang Bin tojin.
Jago2 ko jiu dari gedung tay-haksu itu dapat mcnyctujui
pendapat Ang Mereka segera pamit.
"Tolong sampaikan peristiwa ini kepada tay haksu dan
katakan bahwa aku tetap akan mengantar peti2 ini ke
tempat tujuan," Ang Bin tetap pesan kepada mereka.
Setelah rombongan ko-jiu itu pergi, Ang Bi pun
menghampiri pula ke tempat Huru Hara.
"Hohan, apakah keadaan hohan sudah ba ik?" tanyanya.
Huru Hara membuka mata dan mengangguk "Kawanan
pengawal dari gedung tay-haksu itu memang buta. Dan
orang yang menabur jarum itu memang ganas sekali . . . .
"Ah, maafkan mereka hohan. Merekapun mendapat
perintah dari tay-haksu untuk melindungi peti2 itu dari
sergapan sasterawan tadi. Dalam hal ini terpaksa mereka
hanya melakukan tugas. Ya, tetapi Suma to-hang itu
memang terlalu ganas masakan dia melepaskan jarum
beracun kepada hohan. Akhirnya diapun harus menderita
sendiri.
"Kemana totiang hendak pergi?" tanya Huru Hara.
Ang Bin tojin terkejut. Walaupun peti2 itu hanya berisi
batu tetapi dia mendapat perintah dari tay-haksu untuk
merahasiakan tempat yang dituju.
Ia meminta maaf kepada Huru Hara karena tak dapat
mengatakan hal itu. Atas pertanyaan Huru Hara, Ang Bin
tojinpun mengatakan tentang rencananya untuk
melanjutkan mengawal peti itu.
"Silakan saja," kata Huru Hara, "tetapi dapatkah totiang
memberi keterangan, benarkah tay-haksu begitu kaya raya
sehingga dapat memiliki sepuluh peti berisi harta karun
yang begitu besar?"
Ang Bin tojin tak lekas menjawab. Dia merenung sejenak
lalu berkata, "Mungkin benar tetapi mungkin tidak.
Mungkin saja tay-haksu waktu menjabat sebagai mentri
sampai menjadi tay-haksu tayjin mengumpulkan harta.
Tetapipun mungkin tay-haksu hanya melakukan siasat
untuk mengebuhi orang."
"Aku tak mengerti apa maksud totiang yang terakhir itu,"
seru Huru Hara.
"Begini," kata Ang Bin tojin "tay-haksu tentu mengerti
bahwa dia mempunyai banyak musuh yang tak menyukai
dirinya. Oleh karena itu dia tentu sudah mengatur siasat
untuk menyelamatkan harta kekayaannya. Dia tentu
sengaja membocorkan rencananya untuk mengirim sepuluh
peti harta karun ke suatu tempat. Dengan begitu tentulah
banyak musuh-musuhnya dan jago2 silat yang berusaha
untuk menggadang dan merampas harta karun itu.
Buktinya sasterawan itu telah mengetahui dan terus
langsung hendak memaksa tay-haksu supaya menyerahkan
separuh harta itu kepadanya."
Huru Hara mengangguk.
"Ka!au begitu sasterawan itu telah terjebak dalam
perangkap tay-haksu?"
Ang Bin mengiakan.
"Tetapi totiang sendiri juga dikelabuhi tay-haksu."
"Aku sih orang bawahannya. Aku menurut saja apa yang
diperintah tay-haksu.
"Tetapi benarkah tay- haksu memiliki simpanan harta
yang besar sekali jumlahnya?"
"Aku kurang tahu," jawab Ang Bin, "andai kata benar,
memang bukan aneh."
"Baiklah," kata Huru Hara pula, "taruh kata tay-haksu
benar mempunyai simpanan harta karun, dia tentu
berusaha untuk menyelamatkan keluar dari kotaraja,
bukan?"
"Kukira begitu."
"Lalu," kata Huru Hara, "karena totiang hendak
mengawal peti harta karun, tentulah harta karun tay-haksu
itu dipercayakan kepada lain orang untuk disingkirkan ke
lain tempat."
"Ya, itu juga mungkin."
"Eh, mengapa totiang selalu mengataka mungkin saja?
Apakah totiang tak tahu jelas keadaan tay- haksu?"
"Tay-haksu memang cerdik dan hati2 sekali,” kata Ang
Bin, "aku hanya menurut apa yang diperintahkan saja."
"Hm, baiklah," kata Huru Hara, "aku juga akan
melanjutkan perjalanan."
Setelah berpisah dari Ang Bin tojin, Huru Hara teringat
akan Raja-copet Bambu Kuning yang berpencar dengannya
untuk mencegat Gak Bun..
"Wah, kalau harus mencari dia, tentu akan tertunda
perjalananku menemui Su tayjin," pikir Huru Hara.
Akhirnya ia memutuskan. Tugas negara penting dari
segala. Biarlah si Raja-copet memburu Gak Se Bun sedang
dia tetap akan segera menghadap Su Go Hwat.
Dalam perjalanan ke Yang-ciu, Huru Hara memang
berusaha untuk membatasi diri tak mau ikut campur dengan
segala hal yang dilthatnya dalam perjalanan. Maka pada
hari kedua diapun dapat tiba di Yang-ciu-lam langsung
menghadap mentri pertahanan Su Go Hwat.
Mentri itu terkejut sekali ketika mendapat laporan dari
penjaga bahwa ada seorang yang dan dandanannya
nyentrik hendak bertemu dengan dia.
"Siapa dia?" tegur mentri Su.
"Ampun, tayjin, hamba tak tahu. Dia hanya iengatakan
bahwa dia membawa surat penting ntuk tayjin."
Beda dengan tay-haksu Ma Su Ing yang ngeluarkan
peraturan keras agar setiap orang yang hendak menghadap,
harus diperiksa dengan teliti dan kalau mencurigakan harus
ditangkap, adalah mentri Su Go Hwat tidak demikian. Dia
segera suruh penjaga membawa orang itu masuk.
"Ah, kiranya engkau Loan Thian Te," seru mentri Su
ketika melihat yang datang itu tak lain adalah pendekar
Huru Hara.
"Benar, tojin," Huru Hara memberi hormat
"Apakah engkau sudah bersedia bekerja padaku ?"
"Begini tayjin," kata Huru Hara, "sebenarnya kedatangan
hamba kemari ini juga merupakan tugas tayjin."
Su Go Hwat terkejut, "Lho, kuingat aku tidak memberi
tugas kepadamu."
"Benar, tayjin," sahut Huru Hara," tetapi hamba sendiri
yang melakukan tugas itu diluar pengetahuan tayjin."
Atas permintaan Su Go Hwat, Huru Hara lalu
menuturkan tentang surat Su Go Hwat ke da Ma Su Ing
yang telah diambilnya dan diganti itu.
"Tetapi tayjin, ternyata surat yang hamba ambil dan ganti
itu bukan surat tayjin yang aseli
"Eh, mengapa engkau mengambil surat itu,” tegur Su Go
Hwat.
Huru Hara mengatakan bahwa ia merasa curiga dengan
gerak gerik utusan Su Go Hwat. Dan ternyata apa yang
dirasa itu memang benar.
"Jelas utusan tayjin itu telah memberikan surat tayjin
kepada dua orang wisu dari Ma Su Ing."
Su Go Hwat terkejut, "Ya, benar, memang dia kembali
dan mengatakan bahwa surat itu telah dirampas orang di
tengah jalan."
"Bukan dirampas, tayjin, tetapi di berikan."
"Apakah engkau membawa bukti ?"
Huru Hara segera mengeluarkan surat dari Su Go Hwat
yang aseli. Surat itu sebenarnya telah diberikan kepada
kedua wisu suruhan Ma Su Ing tetapi si Raja-copet telah
menukarnya lagi sehingga surat yang diserahkan kedua
wisu kepada Ma Su Ing itu juga bukan aseli.
"Hm," seketika Su Go Hwat berobah cahaya mukanya. Ia
segera menitahkan prajurit untuk memanggil Kho Ping
Liang yang menjabat sebagai wi-su atau penjaga dari mentri
pertahanan Su Go Hwat.
"Kho wisu, engkau kenal dengan surat ini, bukan ?" seru
Su Go Hwat,
Kho Ping Liang pucat seketika, "Itulah surat tayjin yang
perintah hamba supaya dihaturkan kepada Ma tayjin."
"Ya, menurut keteranganmu, surat itu telah dirampas
orang, benarkah itu?"
"Benar, tayjin."
"Siapa yang merampasnya?"
"Dua orang yang berilmu kepandaian tinggi."
"Sekarang surat itu sudah ketemu, apakah engkau
sanggup untuk menghaturkan kepada Ma tay-haksu?"
"Sanggup, tayjin," kata Kho Ping Liang, tapi siapakah
yang telah mendapatkan surat itu tayjin?"
"Hohan ini."
"0," Kho Ping Liang beralih memandan Huru Hara,
"hohan, bagaimana engkau dapat nemukan surat ini?"
"Sederhana sekali," kata Huru Hara, "kedua orang itu
adalah sahabatku. Dia memberikan s rat itu kepadaku."
"Apa?" Kho Ping Liang berteriak kaget.
"Engkau heran?" tegur Huru Hara, "apakah engkau kenal
dengan kedua orang yang telah merampas suratmu itu?"
"Aku . . . aku . . . . tak kenal," Kho Pin Liang tergagap
menjawab.
"Begini," kata Huru Hara yang mengatur cerita kosong,
"kedua kawanku itu tergolong bangsa pendekar
gelandangan. Dia mendengar dua orang wisu dari Ma Su
Ing hendak mencari utusan Su tayjin yang membawa surat.
Lalu kedua pendekar gelandangan itu mendahului untuk
merampas surat itu."
Kho Ping Liang pucat wajahnya.
"Untung kedua pendekar gelandangan itu kenal dengan
aku dan memberikan surat Su tayjin itu kepadaku ini,"
Huru Hara menambah keterangannya.
Cerita yang dirangkai Huru Hara memang masuk akal.
Dan karena merasa bersalah. Kho Ping Nang tak berani
membantah. Dia kuatir rahasianya bersekongkol dengan
kedua wi-su itu akan ketahuan. Terpaksa dia diam saja.
"Nah, sekarang kuminta engkau mengantarkan surat ini
lagi kepada Ma tay-haksu," kata mentri Su, "tetapi kali ini
jangan sampai surat itu jatuh ke tangan orang lain."
Kho Ping Liang menerima surat dan terus mohon diri.
"Tayjin," kata Huru Hara, mengapa tayjin tak
menghukum orang itu. Bukankah dia jelas bersekongkol
dengan kedua wi-su dari tay-haksu ?"
Mentri Su Go Hwat tersenyum, "Ya, kutahu. Aku
memang sengaja menyuruhuya menerimakan surat itu
kepada Ma tay-haksu, biar dia menerima hukuman dari tayhaksu."
“Hukuman bagaimana, tayjin ?"
"Jelas Ma tay-haksu sudah menerima surat dari aku dan
telah memberi balasan kepadanya supaya disampaikan
kepadaku, Masakan masih ada orang datang lagi ruembawa
surat yang sudah basi waktunya itu ? Engkau tahu Ma tayhaksu
itu orang yang banyak curiga. Tak mungkin dia akan
percaya begitu saja kepada orang itu."
Huru Hara mengangguk. Diam2 ia memuji cara mentri
Su mengambil tindakan. Sementara itu mentri Su Go
Hwatpun mulai membuka surat balasan Ma Su Ing.
"Ah ..... " tiba2 ia mendesah. "Mengapa tayjin ?"
"Dia mengatakan bahwa aku tak perlu mempertahankan
daerah utara tetapi supaya segera menindak jenderal Co
Liang Giok yang hendak memberontak . .."
"0," desuh Huru Hara.
"Dan lagi diapun minta supaya aku meluluskan engkau
bekerja kepada tay-haksu."
"Ah, Huru Hara terkejut." mengapa tay haksu mengurus
soal diriku ?"
"Apakah tay-haksu pernah meminta supaya engkau
bekerja kepadanya ?"
"Benar, tayjin."
"Dan bagaimana keputusanmu ?"
"Aku harus pegang janji kepada tayjin. Tayjinlah yang
lebih dulu minta aku membantu tayjin.”
"Tetapi tay-haksu minta supaya aku memberikan engkau
kepadanya. Bukankah dia akan marah apabila engkau tak
mau ?"
"Tayjin," kata Huru Hara dengan suara man tap, "hamba
adalah rakyat Beng. Hamba akan bekerja untuk negara ini
menurut cara hamba sendiri. Hamba tak mau berhamba
dan terikat oleh seseorang mentri atau jenderal."
"Tetapi bukankah engkau bersedia bekerja kepadaku ?"
"Tayjin adalah lain," kata Huru Hara. "hanya terhadap
tayjin seorang aku memang bersedia membantu.
Tetapi............ . ,"
"Mengapa .?" tegur mentri Su Go Hwat.
"Terus terang tayjin. Ada sesuatu yang hamba masih
merahasiakan kepada tayjin. Sebelum hamba memperoleh
bukti, hamba takkan mengatakan hal itu kepada tayjin,"
"0, soal apa ?"
"Soal diri Ma tay-haksu. Terus terang hamba menaruh
kecurigaan atas kesetyaan tay-haksu terhadap kerajaan
Beng. Hamba sedang melakukan penyeledikan. Apabila
terdapat bukti, hamba tentu akan melaporkan kepada
tayjin."
Su Go Hwat terkejut tetapi cepat ia tenangkan diri, "Loan
Thian Te, engkau boleh menaruh kecurigaan kepada
siapapun termasuk kepada diriku. Tetapi ingatlah, bahwa
saat ini negara kita sedang menghadapi musuh yang kuat
maka sedapat mungkin enghau harus bertindak hati2 dan
menjaga keutuhan dan persatuan kita. Bagaimana pun Ma
tay-haksu adalah mentri besar yang selama ini bekerja pada
kerajaan Beng. Jangan bertindak secara gegabah."
"Baik, tayjin," kata Huru Hara, "akan hamba perhatikan
pesan tayjin. Sudah tentu sebelum terdapat bukti yang
menyakinkan, hamba takkan bertindak sembarangan."
"Lalu bagaimaua keputusanmu terhadap permintaan tayhaksu
?"
"Untuk sementara ini hamba belum dapat memberi
jawaban. Tunggu saja setelah hamba selesai melakukan
penyelidikan, barulah nanti hamba memberi keputusan."
"Tetapi tidakkah tay-haksu akan marah apabila tahu
kalau engkau membantu aku ?"
"Harap tayjin jangan kuatir," sahut Huru Hara, "hamba
akan membantu tayjin secara diam-diam dan tak usah resmi
menjadi pembantu ta' jin, Hamba rasa cara itu lebih dapat
membuat gerak hamba bebas."
"Hm, baiklah."
Kemudian Huru Hara memberanikan diri untuk bertanya
bagaimana tindakan Su Go Hwa. atas keputusan Ma Su Ing
yang tak mau mengirim bala bantuan itu.
"Memang menyulitkan sekali krputuann tay-haksu itu.
Tetapi soal pertahanan negara adalah tanggung jawabku.
Maka akupun harus dapat mengatasi persoalan ini," kata
mentri Su Go Hwat.
"0, jadi tayjin masih tetap akan mempertahankan daerah.
Shoa tang ini?"
Mentri pertahanan Su Go Hwat mengangguk. Aku
kasihan kepada rakyat Yang-ciu. Apabila kutinggalkan,
kemungkinan wilayah ini tentu akan segera diduduki
musuh.
"Tetapi bagaimana dengan jenderal Co Liang Giok?"
tanya Huru Hara.
"Loan Thian Te," tiba2 mentri Su Go Hwat beralih
dengan nada yang serius, "aku hendak memberi tugas
kepadamu. Apakah engkau sanggup?"
'Sanggup, tayjin."
"Pergilah engkau ke markas jenderal Co Liang Giok di
Hankow. Selidikilah apa maksud jenderal itu hendak
bergerak ke kotaraja. Kalau dia memang bermaksud hendak
merebut kekuasaan, usahakanlah supaya maksudnya itu
gagal. Tetapi kalau dia mempunyai lain tujuan, lekaslekaslah
engkau melapor kepadaku lagi."
Mendengar itu tanpa ragu2 lagi, Huru Hara terus
menyanggupi. Su Go Hwat memberinya sebuah leng -pay
atau tanda tugas dari mentri tahanan Su Go Hwat.
Disepanjang jalan Huru Hara tak mau menunda
perjalanan. Ia tahu bahwa suasana negara saat itu amat
genting. Pasukan Ceng sudah mulai bergerak melakukan
serangan besar-besaran dari arah timur dan utara.
"Memang kalau jenderal Co Liang Giok berontak karena
bersekutu dengan pasukan musuh harus lekas2
dihancurkan. Berbahaya sekali. Tetapi kalau dia
mempunyai alasan lain, harus dipertimbangkan lagi,"
pikirnya.
Dimana-mana tempat yang ia lalui tampak kesibukan2
dad rakyat yang mulai gelisah atas ancaman pasukan Ceng.
Ada sebagian yang sudah mengungsi ke daerah barat yang
aman.
"Hm, memang rupanya nasib kerajaan Beng sudah
suram," pikirnya. "dalam menghadapi ancaman musuh,
mengapa para jenderal itu tidak bersatu bahkan saling
cakar-cakaran sendiri? Lebih celaka lagi kalau gerakan Co
Liang Giok membawa pasukannya ke kotaraja itu bertujuan
hendak memberontak. Dan ah, mengapa tay- haksu Ma Su
Ing tidak mau mengirim bala bantuan pada Su tayjin?
Hari itu sudah menjelang malam ketika tiba disebuah
kota kecil. Apabila malam nanti ia akan melanjutkan
perjalanan lagi, esok pagi tentu sudah tiba di Hankow.
"Wah, perutku lapar nih. Nanti malam tentu sukar
mencari makanan. Lebih baik aku berhenti mengisi perut di
rumahmakan dulu," pikirnya.
Ketika ia sedang makan, terdengarlah ribut2 dari
beberapa tetamu dengan pemilik rumahmakan. Tetamu itu
selesai makan dan hendak membayar.
"Ah, jangan gila-gilaan, bung. Masa harga makanan tiga
kali lipat dari biasanya," seru tetamu itu, seorang yang
mengenakan pakaian seperti orang persilatan.
"Benar, tuan," kata pemilik rumahmakan, "sekarang
harga bahan mentah membubung tinggi. Itu saja masih
sukar mencarinya."
"Mengapa?"
"Eh, apa tuan tak tahu peristiwa yang terjadi di Ki- ciu?"
"Peristiwa apa?"
"Jenderal Ko Kiat telah dibunuh oleh jenderal Kho Ting
Kok."
"Hai, bagaimana hal itu dapat terjadi?"
"Menurut berita, jenderal Ko Kiat hendak menuju ke Ikciu.
Ketika singgah di Ki-ciu dia telah dijamu oleh jenderal
Kho. Tetapi dalam per jamuan itu jenderal Ko Kiat telah
mati diracuni . . . .
"0, lalu?" lelaki itu terkejut.
"Pasukan jenderal Ko Kiat kacau balau. Mereka lari dan
mengamuk rakyat di desa2 dalam wilayah Ki-ciu. Oleh
karena itu rakyat desa tak ada yang membawa dagangan
hasil bumi ke kota ini."
"Hm, tetapi jangan engkau naikkan harga makanan
sampai tiga kali lipat. Naik boleh tetapi jangan begitu
tinggi."
"Bahwa hari ini kami masih dapat menyediakan
makanan itu masih untung. Entah bagaimana besok pagi.
Mungkin kami akan terpaksa tutup."
Mendengar percakapan itu diam2 Huru Hara terkejut. Ko
Kiat memang jenderal yang korup dan tak becus. Tetapi
dalam keadaan yang genting seperti saat itu, tidak tepat
kalau para jenderal-jenderal kerajaan Beng itu saling bunuh
membunuh untuk melampiaskan dendam masing2. Itu
akan melemahkan kekuatan negara.
"Wah, pasukan yang kehilangan pimpinan itu tentu akan
membahayakan rakyat. Dan lebih celaka lagi kalau mereka
sampai takluk pada musuh," pikir Huru Hara.
Setelah membayar harga makanan, Huru Hara bergegas
menuju ke daerah Ki-ciu. Ia akan bcrusaha untuk
mengumpulkan sisa2 pasukan Jenderal Ko Kiat dan akan
dibawanya kepada mental Su Go Hwat yang masih
bertahan di Yang-ciu.
Ketika hendak melintas sebuah bukit yang terletak dalam
wilayah Ki-ciu ia terkejut karena menyaksikan suara hiruk
pikuk dari suatu pertempuran. Cepat ia lari menghampiri.
Ternyata disitu memang terjadi pertempuran. Tetapi
pertempuran itu bukan pertempuran antara sebuah pasukan
dengan lain pasukan, melainkan pertempuran dari sebuah
pasukan kecil melawan seotang lelaki tua.
"Bunuh saja si tua yang berani menggangu. kita !"
"Ya. bunuh! Bunuh !" teriak prajurit2 yang berjumlah tak
kurang dari seratus orang itu.
Melihat seragamnya, Huru Hara segera mengetahui
prajurit2 itu adalah prajurit2 kerajaan Beng. Pimpinannya
seorang perwira yang bertubuh tinggi besar, bersenjata
tombak.
Lelaki tua itu menggunakan pedang untuk melawan.
Walaupun hanya seorang diri namun dia cukup gagah
untuk menghadapi pengeroyokan itu.
Huru Hara panas hatinya setiap kali melihat perbuatan
yang tidak adil. Serentak dia lari menyerbu dan berieriak,
"Hai prajurit2, berhentilah dahulu ..... "
Rupanya kedatangan Huru Hara itu mengejutkan
prajurit2 itu. Serempak mereka berhenti.
'Hai, orang gila, mau apa engkau ?" bentak perwira tinggi
besar itu.
"Bukankah kalian ini prajurit kerajaan Bang? seru Huru
Hara.
"Ya."
"Kalian tergabung dalam pasukan jenderal siapa ?"
"Huh, siapa engkau ?"
"Loan Thian Te !"
"Loan Thian Te ?" ulang perwira itu lalu tertawa
terbahak-bagak," ha, ha, jaman perang memang
menimbulkan banyak hal. Orang2 yang lemah syaraf lalu
menjadi gila. Eh, bung, pergilah dan bersembunyi saja
didalam hutan agar penyakit syarafmu sembuh !"
"Bukankah kalian ini anakbuah pasukan jenderal Ko Kiat
yang terbunuh itu ?"
Perwira itu terkejut tetapi kemudian tertawa lagi, "Hus,
jangan banyak mulut. Lekas pergilah saja !"
"Jawab dulu pertanyaanku !" bentak Huru Hara.
"Ya, benar, Engkau mau apa ?"
"Setelah jenderal Ko mati terbunuh. siapa yang
menggantikan sebagai pimpinan ?"
"Tidak ada ! Kita masing2 membentuk kelompok dan
mencari jalan sendiri?."
"Celaka! Mengapa kalian tak mau menggabung ke Yangciu
kepada mentri Su Go Hwat jin yang sedang
mempertahankan daerah itu ?"
"Perlu apa ?. Sudah bertahun-tahun kami menjadi
prajurit, apa hasilnya ? Hanya jenderal kami yang besar
perutnya tetapi kami para prajurit tetap begini2 saja."
"Lalu ?"
"Lebih baik aku membentuk kelompok sendiri untuk
mencari harta benda."
"Merampok ?" Huru Hara terkejut,
"Daripada harta rakyat nanti dirampas pradtait Ceng, kan
lebih baik kami yang mengambil."
"Celaka !" teriak Huru Hara, "rakyat sudah cukup
menderita dibawah tindasan mentri dorna kerajaan Bang.
Sudah kacau balau karena diserang pasukan musuh,
sekarang kalian juga ikut nimbrung. Pada hal prajurit itu
adalah pembela tanah air dan pelindung rakyat. Mengapa
kalian malah merampok rakyat !"
"Eh, orang gila, jangan ngoceh tak keruan," seru perwira
itu," lekas enyah atau akan kupelintir lihermu ?"
"Prajurit," sahut Huru Hara, "kuperingatkan kepadamu.
Bukan aku, bukan paman ini dan bukan rakyat musuh
kalian tetapi orang2 Ceng yang hendak menjajah kita itulah
musuh kalian yang harus kalian tumpas !"
"Huh, persetan dengan semua itu." seru perwira, "negara
ini kan bukan milikku seorang. tetapi milik semua rakyat.
Biarkan saja jenderal2 dan menteri2 yang kaya itu yang
mempertahankan."
"Prajurit," seru Huru Hara: "untuk yang akhir kalinya
kuperingatkan. Lebih baik kalian menggabung diri kepada
pasukan lain. Yang paling tepat menggabung ke mentri Su
tayjin di Yan ciu."
"Setan alas, engkau berani membacot,” terus perwira itu
maju dan terus mengemplang kepala Huru Hara.
"Uh ..... ," perwira itu menjerit kaget ketika tombaknya
disambar Huru Hara yang terus mendorongnya sehingga
perwira itu terhuyung-huyung.
Seratusan prajurit anakbuahnya terus hendak menyerbu
tetapi dengan tangkas Huru Hara sudah loncat dan
mencengkeram tengkuk si perwira, " Hayo, kalau kalian
berani maju, perwira ini tentu akan kubunuh !"
"Berhenti," teriak si perwira yang ketakutan "jangan maju
lagi !"
Kawanan prajurit itupun mentaati perintahnya.
"Prajurit2," seru Huru Hara, "sekarang kalian mau
kemana ?"
"Kami mengikuti Li tui-ciang."
"Kalian masih ingin jadi prajurit atau tidak,” seru Huru
Hara pula.
"Terserah kepada Li tui-ciang, kami hanya menurut saja."
"Hm, orang she Li, engkau masih ingin tetap jadi perwira
prajurit apa tidak, serunya pada perwira yang sudah tak
dapat berkutik lagi itu.
"Tidak, aku tak mau jadi perjurit lagi !" sahut prajurit itu.
"Baik," Huru Hara terus menarik baju prajurit itu, braaat
……. seketika badan prajurit pun telanjang. Tiba2 pula
Huru Hara ingat akan Ah Long yang suka memutus tali
celana orang.
Diapun menirukan. Tctapi karena tak mengerti caranya,
celana prajurit itu jadi robek. Untung prajurit itu masih
pakai celana dalam, kalau tidak, uhhhhh .....
"Hayo, kalian juga buka celana dan baju seragam. Dan
setelah itu kalian boleh pergi semua," serunya kepada
kawanan prajurit.
Tetapi kawanan prajurit itu tak mau. Malu kalau harus
telanjang dan hanya mengenakan celana dalam seperti
perwira Li itu.
"Tidak, kami bukan budakmu !" teriak seorang prajurit
yang rupanya beradat keras. Dia bahkan terus berteriak,
"Kawan2. mari kita serbu setan itu !"
"Hui, kalian memang sudah bosan hidup," tiba-tiba Huru
Hara mengangkat tubuh Li tuiciang, lalu diputar-putar
dijadikan senjata untuk menyapu kawanan prajurit itu.
Gemparlah seketika suasananya. Prajurit2 terkejut
sampai terlongong-longong menyaksikan pimpinan mereka
diayun dan diputar-putar seperti sebuah boneka. Pada hal
dalam kalanganan pasukan jenderal Ko Kiat. Li tuiciang itu
terkenal memiliki tenaga yang amat kuat sekali.
"Hayo, kalian menyerah atau tidak ? Yang tak mau jadi
prajurit harus buka pakaian seragamnya. Yang masih mau
jadi prajurit boleh berkumpul di sebelah kanan !" seru Huru
Hara.
Huru Hara memang tak sampai hati untuk mengobrakabrik
kawanan prajurit itu. Bagaima pun mereka adalah
prajurit, Beng. Bahwa mereka telah salah langkah adalah
karena mendapat pimpinan yang tidak becus. Maka dengan
cukup menggunakan tubuh Li tui-ciang sebagai senjata,
kawanan prajurit itu mati kutu. Mereka tak berani
menyerang lagi karena kuatir akan mencelakai pimpinan
mereka sendiri.
"Paman, silahkan melucuti pakaian seragam mereka,"
tiba2 Huru Hara berpaling dan berseru kepada lelaki tua
yang masih tegak berdiri disamping.
Lelaki tua itu tertawa dan terus maju menghampiri
kawanan prajurit. Dia ayunkan pedangnya dan tahu2
celana seragam dari prajurit2 itupun meluncur kebawah.
Ada kira2 separoh dari jumlah prajurit itu yang menyisih
ke sebelah kanan, pertanda kalau mereka masih ingin tetap
menjadi prajurit. Mereka tak dilucuti.
"Nah, engkau boleh pergi dan ajaklah kawan-kawanmu
itu mengungsi ke daerah pedalaman. Bawalah keluarga
kalian dan tuntutlah pengidupan sebagai petani. Jangan jadi
perampok, ingat kalau kelak bertemu lagi dan kalian
ternyata menjadi gerombolan perampok, tentulah takkan
kuampuni lagi."
Begitu dilepas perwira itu terus lari pergi. Prajurit2 yang
dilucuti pakaian seragamnyapun mengikuti.
"Anakmuda, engkau sungguh hebat," lelaki tua yang
masih berperawakan gagah itu memuji.
"Ah, janganlah paman memuji begitu. Ilmu pedang
paman sungguh jempol," Haru Hara balas memuji, "dengan
gerakan yang cepat, tadi paman dapat memutus tali celana
mereka dengan ujung pedang."
"Anakmuda, siapakah namamu?"
"Loan Thian Te."
"Loan Thian Te?" lelaki tua itu kerutkan alis, "bukankah
itu berarti Mengacau-dunia?" Huru Hara mengiakan.
"Aneh, baru pertama kali ini aku mendengar nama yang
begitu aneh."
"Ah, paman, apa artinya sebuah nama itu? Bukankah
nama itu hanya sebagai tanda -pengenal saja ?"
"Ah, betul anakmuda. Yang jadi adalah orangnya, bukan
namanya."
"Paman, siapakah paman ini ?" Huru Hara balas
bertanya. Dia mendapat kesan terhadap lelaki tua itu.
"Tong Kui Tik."
"Ah. paman Tong, paman tentu seorang tokoh persilatan
yang ternama. Terimalah hormat dariku, seorang wanpwe
yang bodoh."
Tong Kui Tik terkejut.
-oo0dw0oo-
Jilid 34
Pontang panting:
Tong Kui Tik adalah engkong dari dara In Hong, Dalam
jilid 10 yang lalu, telah diceritakan bahwa ketika berada di
puncak Giok-li-nia di gunung Lou-hu-san tempat kediaman
almarhum pendekar Kim Thian Cong telah terjadi
pertempuran dahsyat.
Sebagaimana telah dituturkan dalam jilid itu, kedatangan
Tong Kui Tik ke Giok-li-nia adalah mengantar cucu
perempuan si dara In Hong yang menemani seorang
pemuda cakap bernama Wan-ong Kui
Rombongan an-Wong Kui terdiri empat orang yaitu
Wan-ong Kui, Han Bi Ing. In Hong dan engkongnya, Tong
Kui Tik.
Wan-ong Kui hendak mencari si Bloon putera Kim
Thian Cong guna membalas dendam, Tetapi ditengah jalan
dia bertemu dengan nona Han Bi Ing yang juga hendak
mencari putera Kim Thian Cong,
Tetapi tujuan Han Bi Ing adalah berbeda bahkan
berlawanan dengan Wan-ong Kui. Nona can tik itu disuruh
ayahnya, Han Bun Liong, menuju ke Giok-li-nia,
menyerahkan surat kepada putera Kim ThianCong yang
isinya mengatakan bahwa menurut perjanjian antara Han
Bun Liong dengan Kim Thian Cong dahulu, maka putera
dan putri mereka akan dijodohkan. Maka karena kata
Thaygoan terancam bahaya diserang pasukan Ceng, Han
Bun Liong menyingkirkan puterinya ketempat calon
suaminya yaitu putera Kim Thian Cong.
Waktu-rombongan Wan-ong Kui tiba Giok-li-nia, tiba2
mereka disergap oleh kaki tangan kerajaan Ceng yang
terdiri dari tiga jago sakti yakni sasterawan Ko Cay Seng
yang memiliki ilmu tutuk yang sakti. Hian Hian tojin. sute
dari ketua perguruan Gobi-pay dan pertapa Suto Kiat ahli
ilmusilat Engi-jiau-kang, Dan Barbak, pangeran Boan yang
masih saudara dengan panglima besar Torgun.
Kedatangan rombongan kaki tangan Ceng itu sebenarnya
hendak mencari Bloon. Mereka mendengar bahwa Bloon
itu seorang pendekar aneh yang memiliki kepandaian gaib.
Mereka hendak membujuk Blo‘on agar mau bekerja pada
kerajaan Ceng agar dapat mempengaruhi jago2 silat supaya
mau benggabung bekerja pada kerajaan Ceng.
Tetapi bukan Blo’on yang mereka jumpai melainkan
rombongan Wan-ong Kui. Secara kebetulan Hian Hian
tojin memang hendak mencari Tong Kui Tik, karena Tong
Kui Tik dianggap bersalah dan dikeluarkan dari perguruan
Go-bi-pay. Sudah tentu Tong Kui Tik tak mau menyerah
maka terjadilah pertempuran dahsyat.
Dalam menghadapi Hian Hian tojin, sebenarnya Tong
Kui Tik masih sungkan karena ia mengingat budi kebaikan
dari susioknya (paman guru) Biau Ceng tojin. Hian Hian
tojin adalah murid dari Biau Ceng tojin.
Untung saat itu terjadi pertukaran lawan. Wan-ong kui
yang semula berhadapan dengan Su to Kiat, kini berganti
lawan than Hian tojin. Sedang Tong Kui Tik yang bermula
melawan Hian Hian, berganti lawan Suto Kiat.
Agar Tong Kui Tik tidak sempat membantu Wan-ong
Kui maka Hian Hian memancing pemuda itu supaya
bertempur diluar rumah. Juga Suto Kiat dan Tong Kui Tik
ikut bertempur diluar rumah.
Dalam pertempuran yang dahsyat dengan pertapa Suto
Kiat, Tong Kui Tik berhasil menghantam lawan sehingga
terlempar kebawah jurang tetapi dia sendiri juga menderita
luka-dalam yang parah.
Waktu Suto Kiat dapat mendesaknya dan hampir dapat
mencengkeram tenggorokannya, dalam keadaan yang
gawat antara mati atau hidup, Tong Kui Tik
menyemburkan ludahnya dan tepat mengenai mata lawan.
Seketika gelaplah pandang mata Suto Kiat. Dia menjerit
dan terjengkal ke-dalam jurang. Tetapi dia masih sempat
menyambar lengan Tong Kui Tik untuk ditariknya juga.
sehingga keduanya jatuh kedalam jurang.
Karena biji matanya sakit sekali dan tak dapat dibuka,
Suto Kiat hancur kepalanya ketika terbentur batu yang
berada dalam dasar jurang. Tong Kui Tik masih untung.
Dia dapat bergeliatan berusaha untuk menyelamatkan diri.
Tetapi tak urung punggung terbentur batu dan pingsanlah
dia.
Hampir tiga bulan dia harus merawat lukanya. Setelah
merasa kesehatannya putih, barula dia naik keatas dan
mencari In Hong.
Hari itu ia tiba di wilayah Ik-ciu. Ketika sedang berjalan
menuju ke sebuah desa, ia melihat kawanan prajurit sedang
mengganas penduduk.. Yang membuat kemarahannya
berkobar adalah ketika kawanan prajurit itu, kecuali
merampas harta benda, juga mengganggu gadis dan
wanita2. Dia segera menyerang mereka sehingga terjadi
pertempuran yang dahsyat.
Tong Kul Tik masih belum sembuh betul maka dalam
pertempuran melawan keroyokan prajurit itu dia harus
bersusah payah untuk bertahan. Untung Huru Hara segera
datang.
Demikianlah asal usul mengapa Tong Kui Tik tiba2
muncul di desa itu dan kebetulan bertemu dengan Huru
Hara. Namun Tong Kui Tik belum kenal siapa Huru Hara
itu. Yang dicari oleh rombongannya waktu ke puncak Giokli-
nia dahulu adalah Blo’on, putera Kim Thian Cong.
Mengapa Tong Kui Tik terkejut waktu ber tukar
pembicaraan dengan Huru Hara, adalah karena merasa
bahwa pemuda yang dandanannya nyentrik itu bicara
secara ceplas ceplos, sederhana dan polos.
Waktu Huru Hara memberi hormat kepadanya, dia
terkejut dan buru2 mengangkat tubuh pemuda itu, "Ah.
Loan hian tit, jangan banyak peradatan ...."
Diam2 dia terkejut mengapa begitu ringan dan kosong
tubuh Huru Hara ketika diangkatnya. Aneh, pikirnya.
Tetapi pada lain saat dia merasa malu sendiri, "Ah,
mengapa ia hendak menguji seorang pemuda yang jujur dan
berbudi , ..."
"Hian-tit tadi hendak menganjurkan supaya prajurit2 itu
mau kembali dan membantu pada mentri Su Go Hwat yang
kini sedang mempertahankan daerah Yang- ciu, Apakah
hiantit bekerja pada Su tayjin ?" tanya Tong Kui Tik. Kini
dia membahasakan Huru Hara dengan sebutan hian-tit' atau
keponakan.
"Su tayjin adalah mentri kerajaan yang jujur dan setya
maka aku harus membantunya paman," jawab Huru Hara,
"paman, walaupun dalam hati kecilku aku percaya seratus
persen kepada paman, tetapi tugas negara menuntut aku
supaya jangan mudah percaya kepada orang yang baru
dikenal. Agar aku dapat mempertanggung jawabkan
kesetyaanku kepada tugas yang sedang kulaksanakan,
maukah paman menceritakan sedikit tentang diri paman ?"
Tong Kui Tik mengangguk tertawa, "Bagus, hiantit,
memang seharusnya begitulah engkau bertindak apabila
sedang melakukan tugas negara yang penting. Baiklah,
hiantit, akan kuceritakan serba singkat tentang diriku."
Tong Kui Tik lalu menuturkan perjalanannya selama ini
bersama In Hong dan mengikuti rombongan Wan-ong Kui,
Han Bi Ing mencari putera Kim Thian Cong di puncak
Giok-li-nia, hingga dia sampai jatuh bersama Suto Kiat ke
dasar jurang,
Walaupun dalam hati terkejut mendengar rombongan
Wan ong Kui itu hendak mencari Blo’on, tetapi Huru Hara
masih dapat tenangkan diri.
“Paman, tahukah paman mengara nona Han Bi Ing
hendak mencari putera Kim Thian Cong itu?" dia. bertanya
dengan suara setenang mungkin.
"Menurut keterangan In Hong, Han Bun Liong ayah dari
nono Han Bi Ing itu telah bersepakat dengan Kim tayhiap
untuk menjodohkan putera puteri mereka . .. . "
"Oh . . .. , " mau tak mau terpaksa Huru Hara menghela
napas.
"Waktu kota Thay-goan terancam serangan pasukan
Ceng, Han Bun Liong kuatir dan suruh puterinya menuju
ke tempat kediaman calon suaminya di Giok- li- nia itu."
"Maatiiiik!"
"Lho, kenapa hiantit?"
"Ah, tak apa2, paman," Huru Hara tersipu-sipu
menjawab. Namun dalam hati dia mengeluh, “ah, kalau
saja aku masih berada di gunung, tentulah akan
kesampokan dengan nona itu."
Kemudian dia cepat2 mengalihkan pertanyaan, "Lalu
apakah bertemu dengan putera Kim Thian Cong?"
"Ya," kata Tong Kui Tak, "tetapi dia menolak keras dan
tak mau menerima nona Bi Ing sebagai isterinya. Aneh
sekali anak itu . . . . "
"Sudah tentu saja dia menolak karena dia merasa tak
pernah ditunangkan oleh orangtuanya dengan orang," Huru
Hara membenarkan tindakan Sian Li, sumoaynya yang
menyaru jadi dirinya (Blo`on).
"Paman mengatakan dia aneh, apanya sih yang aneh?"
tanyanya pula.
"Masa seorang pemuda memakai bedak muka yang tebal
dan waktu bertempur dia menggunakan ilmupedang Giokli-
kiam-hwat. Bukankah ilmupedang itu hanya layak
dimainkan oleh seorang anak perampuan?"
Dam2 Hutu Kira geli tetapi dia tak mau mengatakan
apa2.
"Setelah paman dapat naik dari dasar jurang, apakah
paman tidak datang ke Wisma di Giok li-nia lagi?"
"Ya, tetapi wisma itu sudah kosong. Baik Wan-ong Kui
dan cucuku In Hong serta nona Han Bi Ing, sudah tak ada.
Demikian pula dengan putera Kim tayhiap yang bernama si
Blo`on itu."
"Lho, bukankah Wan-ong Kui juga bertempur di luar
melawan Than Hian tojin?"
"Ya, tetapi bagaimana nasibnya, aku juga tak tahu."
"Lalu paman sekarang hendak kemana?"
"Mencari cucuku In Hong."
"Paman," kata Huru Hara dengan nada serius,"maukah
paman memberi sedikit bantuan kepadaku?"
"Tentu saja mau, hiantit."
"Sebenarnya tak perlu harus merepotkan Paman, tetapi
karena aku sedang melakukan tugas penting maka terpaksa
aku akan memint bantuan paman . … "
"Ah, tak usah sungkan, hiantit. Katakanlah, apa yang
harus kukerjakan."
"Begini paman," kata Huru Hara, "tolong paman bawa
prajurit2 yang masih ingin mengabdi kepada negara itu ke
Yang-ciu. Serahkan kepada mentri pertahanan Su tayjin.
Katakan bahwa kita telah mcngumpuikan anakbuah
pasukan jenderal Ko Kiat yang tercerai berai."
"0, baik, baik, hiantit. Kukira hiantit akan minta
pertolongan apa. Kalau hanya itu sudah tentu aku senang
sekali melakukannya. Karena akupun merasa mempunyai
kewajiban untuk membantu negara.
Sisa anak pasukan jenderal Ko Kiat yang dibawa oleh Li
tui-tiang itu masih berjumlah empat puluh orang. Tang Kui
Tik segera membawa mereka menuju ke Yang- ciu.
"Tentu masih banyak lagi anakbuah pasukan jenderai Ko
Kiat yang meninggalkan pasukan dan membentuk
kelompok sendiri2," pikir Huru Hara.
Dia memutuskan untuk mencart lagi. Karena peristiwa
pembunuban jendera! Ko Kiat itu ternyata di Ik ciu maka
diapun menuju ke kota itu.
Memang benar juga. Ketika tiba di luar daerah Ik-ciu, ia
melihat suatu pemandangan yang ganjil. Sekelompok
prajurit Beng sedang dihadang oleh tiga orang. Yang satu
seperti seorang sasterawan, yang satu seorang Boan
berpakaian indah dan yang satu memakai seragam perwira.
"Hai, siapakah pimpinan kalian?" seru sasterawan itu.
"Aku," seorang sersan yang membawa kelompok prajunt
Beng, maju.
"Mau kemana kalian?"
"Akan menggabung diri dengan pasukan kerajaan Beng
yang lain," sahut sersan itu.
"Bukankah kalian ini anak pasukan jenderal Ko Kiat?"
"Benar."
"Jenderal kalian telah dibunuh oleh jenderal Kho Ting
Kok, bukan?"
"Ya."
"Mengapa kalian tak berontak melawan jenderal Kho
yang telah membunuh jenderal kalian?"
"Mereka telah mengadakan persiapan yang ketat untuk
menyergap kami, untung kami dapat meloloskan diri. Dan
memang sebelumnya jenderal kami telah memberi pesan.
Apabila sewaktu-waktu terjadi sesuatu yang menimpa pada
dirinya, kami disuruh lekas2 menggabung pada mentri
pertahanan Su tayjin."
Sasterawan itu tertawa, "Ho, kalian tahu bagaimana
keadaan mentri Su itu ?"
"Dia berada di Yang-ciu."
"Benar," sahut sasterawan itu, "tetapi ketahuilah bahwa
wilayah Hopak sudah diserang pasukan kerajaan Ceng dan
Yang-ciupun sudah dikepung. Jangankan manusia, bahkan
lalatpun tak mungkin keluar dari kota itu."
Sersan itu tertegun.
"Apabila kalian kesana, berarti kalian mengantar jiwa
saja." kata sasterawan lebih lanjut," eh, mengapa kalian
masih mimpi hendak membela kerajaan Beng ?"
"Siapa engkau ?" seru sersan itu.
"Aku adalah penolong kalian," kata sasterawan itu," ada
dua buah jalan yang kalian boleh pilih. Kesatu, jalan maut
yaitu apabila kalian masih tetap hendak menggabungkan
diri dengan salah sebuah pasukan kerajaan Beng. Kedua,
jalan hidup yaitu apabila kalian mau bekerja pada kerajaan
Ceng, Kalian akan diperlakukan sama dengan prajurit2
Beng karena pimpinan pasukan kerajaan Ceng itu dapat
menghargai orang yang membantu kerajaan Ceng yang
hendak menyelamatkan rakyat Beng dari tindasan mentri2,
jenderal2 pemerintahan Beng."
"Hm, engkau hendak membujuk kami?" seru sersan itu.
“Jangan terburu-buru memberi keputusan," seru
sasterawan, "tetapi rundingkanlah dengan anakbuahmu.
Kalau kalian setuju, sekarang juga kalian akan diterima
dengan tangan terbuka oleh pimpinan pasukan kerajaan
Ceng. Tahukah kalian, siapa yang berada disampingku ini
?"
Sersan dan prajurit2 Beng mencurah pandang kearah
orang Boan yang berpakaian indah.
"Inilah pangeran Barbak, saudara dari panglima besar
Torgun yang mengepalai bala tentara kerajaan Ceng.
Pangeran Barbak telah berkenan, kepada setiap prajurit
Beng yang mau bekerja pada pasukan kerajaan Ceng akan
diberi hadiah uang sebanyak seratus tail perak: Tetapi
kepada mereka yang tak mau bekerja pada kerajaan Ceng,
akan dihancurkan saat ini juga."
"Jika begitu, akulah orang yang pertama-tama
menyatakan tak sudi bekerja pada kerajaan Ceng ..... "
"Jika begitu, engkaulah yang pertama harus mati", tiba2
sasterawan itu ayunkan tangannya dan tahu2 sersan itu
menjerit rubuh,
Anakbuah prajurit2 Beng terkejut bukan kepalang.
Mereka tak tahu apa yang dilakukan sasastrawan itu.
Mereka hanya tahu si sastrawan itu angkat tangannya dan
sersanpun rubuh.
"Nah, apakah kalian hendak mengikuti jejak sersan itu ?"
tanya sasterawan itu pula.
Namun prajurit2 itu tak menyahut. Mereka diam saja.
"Hm, apakah kalian masih bersangsi ?" tanya sasterawan
itu," baiklah, sekarang kalian boleh menikmati permainan
yang akan kupertunjukkan ini …”
Dia menjemput enam butir batu sebesar genggaman
tangan lalu dilontarkan ke udara. Ketika keenam batu itu
berhamburan jatuh. sasterawan itu mengeluarkan sebatang
pit baja lalu dia loncat menyambut keenam butir batu itu
dan tring, tring, tring ..... terdengar batu2 tadi berhamburan
pecah tertutuk oleh ujung pena baja si sasterawan.
"Nah, apakah sudah cukup ?" serunya kepada kawanan
prajurit itu, "kalian boleh bertanya pada diri masing2,
apakah tubuh kalian lebih keras dari batu2 itu. Kalau
memang merasa lebih keras, silakan kalian membangkang
seruanku. Tetapi kalau merasa kalian miliki tubuh dari
dating, kuharap kalian menurut saja anjuranku tadi !"
Kawanan perajurit itu memang terlongong-longong
menyaksikan pertunjukan yang dimainkan si sastrawan.
Tetapi mereka masih belum memberi pernyataan apa2.
"Aku juga ingin mempertunjukkan permainan," tiba2
perwira yang berada disamping pangeran Barbak berseru.
Dia terus menghampiri ke sebuah gunduk batu karang yang
terletak di tepi hutan.
"Celaka ," Huru Hara menjerit dalam hati. Ternyata
perwira itu menghampiri batu karang tempat Huru Hara
bersembunyi. Kalau perwira itu menghantam batu, tentulah
dia akan ketahuan atau bahkan mungkin menderita cipratan
batu.
"Lihat, prajurit2, batu sebesar kerbau ini akan
kuhancurkan," begitu berseru perwira itu terus bersiap
didepan batu, menyingsingkan lengan baju lalu ayunkan
tinjunya
"Uhhhh ..... " tiba2 perwira itu menjerit kaget karena
pukulannya mengenai tempat kosong. Batu karang itu dapat
berkisar ke samping, seolah menghindari pukulan si
perwira.
Perwira itu masih belum sadar. Dia ayunkan pukulannya
lagi, uhhhh kembali ia menjerit kaget karena lagi2 batu itu
dapat berkisar kesamping menghindari pukulannya.
"Saudara Pa, berhenti, periksalah dibelakang batu itu,"
seru sasterawan yang menyaksikan peristiwa aneh itu.
Rupanya perwira yang dipanggil dengan saudara Pa itu
tersadar. Ya, dia memang bernama Pa Kim, perwira yang
pernah datang ke Lou hu san untuk mencari si Blo`on dulu.
Pa Kim terus lari kebelakang batu. Tetapi anehnya, dia
tak muncul lagi. Sudah tentu pangeran Barbak heran dan
terus hendak menghampiri.
"Jangan pwelek ( pangeran ), biarlah aku yang
memeriksanya .. . ," sasterawan mencegah seraya terus
melesat ke belakang batu.
Uhhhh . . . tiba2 sasterawan itu terkejut karena Pa Kim
menyerangnya. Karena jarak amat dekat dan terjangan itu
berlangsung secara mendadak dan cepat sekali, sasterawan
tak keburu menghindar. Terpaksa dia mendorong
kawannya itu, bluk .. . Pa Kim mencelat dan jatuh
terjerembab ke belakang, tak berkutik lagi.
"Hola, bagus sasterawan," tiba2 terdengar Huru Hara
berteriak, "masa kawan sendiri engkau dorong sampai
ambruk!"
Sasterawan itu terkejut. Seketika dia menyadari bahwa
dia telah dipermainkan orang. Ternyaia di batik batu itu
memang terdapat seseorang yang bersembunyi. Ketika Pa
Kan memeriksa ke belakang batu, dia tentu dikerjai orang
itu. Dain ketika sasterawan menyusul ke belakang batu,
orang itu mendorong tubuh Pa Kim kepadanya.
Akibatnya, ia balas mendorong sehingga Pa Kim
menggeletak.
"Bangsat, siapa engkau?" seru sasterawan setelah melihat
orang yang berada dihadapannya itu seorang pemuda yang
dandanannya nyentrik.
"Aku bangsat," sahut Huru Hara.
"Hm, engkau berani mengejek?"
"Bukankah mulutmu sendiri yang sudah menyebut aku
bangsat? Perlu apa harus tanya nama. Sudah jangan banyak
mulut! Seorang bangsat masih lebih utama daripada
seorang penghianat!"
"Mau apa engkau?" seru sastera an.
"Bekerja."
"Apa pekerjaanmu?"
"Seorang bangsat pekerjaannya adalah mem-bangsat.
Tetapi aku memang seorang bangsat aneh.Yang kubangsat
adalah bangsat penghianat dan anjing2 kerajaan Boan!"
"Hm, jelas engkau hendak merintangi aku, ya?"
"Jangan lupa. Itu pekerjaanku. Kalau tak ada orang
semacam engkau, aku tentu nganggur…..”
"Jahanam, engkau mau membangkang apa?"
"Engkau hendak membujuk prajurit2 kerajaan Beng,
bahkan telah membunuh pimpinan mereka yang tak mau
bekerja kepadamu. itulah yang akan kubangsat."
"Maksudmu?" sasterawan menegas.
"Tinggalkan prajurit2 itu berikut nyawamu.
“Bangsat!" engkau memang sudah bosan hidup!” tiba2
sasterawan itu terus menyerang Huru Hara. Dia
menganggap Huru Hara itu tentu seorang pemuda sinting
maka tak perlulah dia menggunakan senjata pit-nya.
Tetapi alangkah kejutnya ketika pukulannya menemukan
tempat kosong. Diserangnya lagi dengan kecepatan yang
lebih hebat. juga sama saja. Pemuda sinting itu bergerak
seperti setan.
Sasterawan itu benar2 heran. Ia tahu cara pemuda
sinting itu bergerak tidak menurutkan jurus ilmusilat dari
perguruan manapun juga. Hanya gerakan biasa. Tetapi
yang membuatnya kagum adalah kecepatan pemuda itu
bergerak.
Setelah beberapa gebrak, tahulah sasterawan bahwa
pemuda itu memang tidak bisa dan tidak mengerti ilmusilat.
Timbullah rencananya untuk menggunakan jurus tipuan.
Lu-seng- kan-goat atau B:ntang-sapu-mengejar-rembulan
demikian jurus yang dilancarkan si sasterawan kali ini.
Jurus itu mengunakan kecepatan gerak kedua tangan. Jurus
itu memang sukar diduga lawan. Sekonyong-konyong
tangan kanannya menju!ur untuk mencekik tenggorokan.
Jurus itu termasuk jurus maut yang ganas. Apabila
tenggorokan terkena cengkeram, lawan tentu akan mati
seketika.
Huru Hara terkejut dan menghindar ke samping tetapi
tiba2 sasterawan telah menghentikan gerak tangannya di
tengah jalan, diganti dengan gerak tangan kiri yang
mencengkeram ke bawah ketiak lawan.
Huru Hara terkejut. Ia merasa terjebak. Untuk
menghindar, sudah tak keburu lagi. Terpaksa dia
menyambar tangan orang. Terjadi saling mencengkeram
diantara tangan kedua orang itu.
Diam2 sasterawan girang. Karena ia yakin dengan
kerahkan tenaga-dalam, sekali pijat tentu hancurlah telapak
tangan orang. Segera dia meremas sekuat-kuatnya.
"Uhhhh," tiba2 ia terbelalak kaget karena telapak
tangannya seperti memegang aliran stroom yang keras.
Rasa sakit dan Iunglai mengalir cepat sehingga lengannya
melentuk seperti lumpuh.
Untung dalam saat-saat yang berbahaya itu, pikirannya
masih terang. Untuk menarik pulang tangannya dia sudah
tak bertenaga lagi maka dia pun segera mengirim tendabgan
ke perut Huru Hara. Huru Hara terkejut. Dia cepat berkisar
ke samping tetapi pahanya masih tetap termakan ujung kaki
lawan. Huru Hara terlempar selangkah belakang dan
terpaksa lepaskan sengkeraman tangannya.
Sasterawan itu menyadari bahwa ia sedang berhadapan
dengan seorang manusia gaib. Tidak mengerti ilmusilat
tetapi memiliki tenaga- dalam yang aneh. Tangan Huru
Hara itu dapat memancarkan tenaga-sakti membalik,
mengembalikan arus tenaga-dalam yang dipancarkannya
tadi.
"Hm, jangan kira aku tak mampu menundukkan,
bangsat," pikirnya seraya mencabut pit-bajanya.
Lian- hoan-toh- beng-pit atau Pit- maut- berantai,
dilancarkan sasterawan untuk menutuk jalandarah maut
tubuh Hum Hara. Seketika Huru Hara seperti melihat
puluhan sinar ujung pit yang tajam berserabutan mencurah
kepadanya,
Cres….. Huru Hara loncat mundur dan memeriksa
pakaiannya. Ternyata leher bajunya telah berlubang terkena
sebuah tutukan ujung pit. Untung tak tembus sampai ke
lehernya.
"Hm, orang ini hebat sekali ilmu permainan pit-nya.
Berbahaya kalau ujung pit menutuk tubuhku," pikir Huru
Hara. Dia memutuskan untuk menggunakan senjata juga.
Sebenarnya dia hendak mencabut pedang Cek-thiat-kiam
atau pedang besi sembrani. Tetapi pada lain saat; dia
urungkan rencananya itu. Dia tak mau merebut
kemenangan karena mengandalkan keampuhan senjatánya.
Tiba2 ia teringat pada perwira yang menggeletak tadi.
Sekali loncat ia tiba di tempat perwira itu lalu mencabut
pedang orang itu.
Ketika sasterawan maju menyerangnya lagi, dia segera
memutar pedangnya sederas angin meniup. Seluruh
tubuhnya seolah tertutup oleh sinar pedang. Terdengar
berulang kali dering berbunyi ketika ujung pit beradu
dengan pedang. Dan setiap kali terjadi benturan tentulah pit
itu yang tersiak.
"Wah, selama berkecimpung dalam dunia persilatan baru
pertama ini aku berhadapan dengan seorang manusia aneh.
Jelas tidak mengerti ilmusilat tetapi dapat bergerak lebih
cepat dari seorang jago silat kelas satu. Tenaga-dalam yang
dimilikinyapun lebih unggul dan jago kelas satu," diam2
sasterawan itu menimang dalam hati.
Dia bingung menghadapi pemuda aneh itu, Selintas
teringatlah dia akan keselamatan pangeran Barbak.
Walaupun dia belum merasa kalah dengan pemuda aneh itu
tetapi dia merasa tak mampu mengalahkannya. Kalau
terlibat dalam pertempuran yang lama, dia tentu akan
kehabisan tenaga.
"Ko heng, jangan kuatir, aku akan membantumu
menangkap kunyuk ini," tiba2 terdengar Pangeran Barbak
berseru.
Sasterawan yang dipanggil Ko-heng itu memng tak lain
adalah Ko Cay Seng, orang kepercayaan dari panglima
Torgun yang ditugaskan menyelundup kedalam wilayah
kekuasaan pasukan Beng untuk mengadakan pengacauan
dan mata-mata. Waktu mendengar keadaan jenderal2
kerajaan Beng sudah bingung dan saling -bermusuhan,
apalagi setelah berhasil menyelundupkan orangnya untuk
mendekati jenderal Kho Ting Kok agar membunuh jenderal
Ko Kiat maka dia bersama pangeran Barbak dan perwira Pa
Kim bergerak untuk menjaring sisa anak pasukan jenderal
Ko Kiat agar mau bekerja pada kerajaan Ceng.
Memang usahanya itu juga berhasil. Tetapi ketika dia
sedang menyergap sebuah kelompok sisa anakpasukan
jenderal Ko Kiat. ternyata sersan yang menjadi pimpinan
kelompok itu tak mau menerima anjurannya. Terpaksa dia
membunuh sersan itu dengan taburan jarum beracun.
Tetapi celakanya dia berjumpa dengan seorang pemuda
aneh macam Huru Hara. Sebenarnya dia memutuskan
untuk meloloskan diri saja demi menyelamatkan pangeran
Barbak. Tetapi tak diduganya pangeran itu malah maju
membantunya menyerang Huru Hara. Ia hendak berteriak
mencegah tetapi sudah terlambat.
"Jahanam, jangan banyak tingkah," seru Barbak terus
membabatkan pedang pendek yang ujungnya bengkok,
mirip dengan arit. Pangeran Boan itu menggunakan
sepasang pedang bengkok untuk mengacip leher Huru
Hara.
“Tring…..”
Huru Hara menangkis Barbak terdorong mundur tetapi
pedang Huru Harapun putus karena di gunting oleh
sepasang pedang bengkok dari pangeran Boan itu.
Apabila tadi cemas. kini setelah melihat Barbak memiliki
senjata pusaka yang ampuh, timbul-lah semangat Ko Cay
Seng. Serentak dia terus mainkan pit bajanya dalam ilmu
tutuk yang hebat.
Huru Hara terkejut. Ia tak sangka bahwa sepasang
pedang orang Boan itu sedemikian tajam. Dan pada saat itu
pit baja Ko Cay Seng sudah niencurah laksana hujan
menabur keseluruh jalandarah ditububnya.
Dalam, keadaan yang terdesak, tak mungkin ia
mempertahankan gengsi lagi. Kalau tetap menggunakan
pedang yang tinggal separoh itu, jelas dia tentu menderita,
entah terkena ujung pit-baja entah pedang pandak.
Huru Hara hendak mencabut pedang Cek-khiat-kiam
dari kerangkanya yang terbuat daripada tanduk kerbau
putih, binatang peliharaan si Ah Liong. Tetapi sebelum
sempat dia melaksanaan niatnya, tiba2 muncul seorang
pemuda yang berlari-lari dan berseru, "Hai, anjing Boan,
jaingan mengganas sekehendak hatimu!”
Barbak terkejut. Begitu berpaling dia sudah diserang oleh
pemuda tak dikenal itu. Ko Cay Seng tertegun juga dan
tahu2 siku lengannya kena tendangan Huru Hara. Selain
tendangan itu memang keras sekali, juga Ko Cay Seng
terkejut sehingga pit bajanya terlempar ke udara. Tetapi dia
memang lihay. Secepat itu dia menghantam Huru Hara dan
dengan meminjak tenaga pukulan itu dia enjot tubuhnya
loncat ke udara untuk menyambar pit-baja yang sedang
melayang turun. Rupanya dia amat sayang sekali kepada
senjatanya itu.
Dan sambil bergeliatan meluncur turun, dia taburkan
sebuah Pik-li-tan atau pelor geledek ke arah Huru Hara.
Huru Hara terkejut dan menangkis dengan pedang
kutungnya.
Bummmm .....
Terdengar letusan keras dan seketika sekelilirg tempat
itupun penuh dengan asap tebal warna hitam gelap,
sehingga keempat orang itu tak tampak lagi.
Beberapa waktu kemudian, setelah asap hitam itu hilang
tampaklah suatu pemandangan yang ganjil. Pemuda yang
tak dikenal itu berbangkit dari tanah. Rupanya dia tak
duduk bersila menutup pernapasan. Ko Cay Seng dan
Barbak sudah lenyap dari pemandangan. Tetapi pemuda itu
terkejut sekali ketika melihat Huru Hara menggeletak di
tanah. Buru2 ia lari menghampiri.
Ternyata Huru Hara pingsan. Dia belum pernah
berhadapan dengan musuh yang menggunakan bahan
peledak semacam Pi-lik-tan sehingga dia tak menutup
pernapasannya. Akibatnya dia menyedot asap hitam yang
mengandung racun dan terus rubuh.
"Ah, dia tentu terkena asap beracun," kata pemuda itu.
Dia lalu mengeluarkan botol kecil, menuang sebutir pil lalu
disusupkan ke mutut Huru Hara. Kemudian dia lari
mencari air.
Setelah mendapat air maka muka Huru Hara
dibasuhnya. Tak berapa lama Huru Hara menghela napas
dan membuka mata. Begitu melihat pemuda yang tadi
masih duduk di hadapannya, Huru Hara cepat2 menggeliat
bangun.
"Ah, apa yang terjadi?" seraya seperti orang yang terjaga
dari mimpi.
Pemuda itu berwajah cakap sekali hanya sayang pucat
seperti tak dapat menampilkan kerut2 perasaan. Dia
tersenyum.
"Engkau masih berada di gelanggang pertempuran tadi,
sahabat," sahutnya.
"Dimana sasterawan dan orang Boan tadi?" tanya Huru
Hara pula.
"Mereka sudah meloloskan diri."
"Bukankah sasterawan itu yang menaburkan benda yang
meletus tadi?"
"Benar, sahabat," sahut pemuda itu, "itulah yang disebut
pelor Pi-lik-tan yang dapat meletus dan menghamburkan
asap. Pelor dari sasterawan itu mengeluarkan asap hitam
yang beracun ….”
"0, kalau begitu aku tadi rubuh karena menghisip asap
beracun itu?"
Pemuda cakap itu mengangguk.
"Dan apakah engkau juga rubuh?"
Pemuda itu gelengkan kepala, "Tidak, karena aku sudah
mengenal pelor itu dan terus menutup pernapasan."
"Eh, mengapa mukaku basah begini?" tanya Huru Hara.
"Maaf, sahabat, akulah yang membasuhmu dengan air
dan memberimu pil penawar racun.”
"Ah, terima kasih," kata Huru Hara, "tetapi mengapa
engkau menolong aku? Siapakah engkau?"
"Aku Sim Cui . ...”
"Sim Cui? Itu nama aseli atau nama kiasan? Karena
kalau nama kiasan itu berarti patah hati. Apakah engkau
patah hati? Dengan siapa engkau patah hati? Ah, tak perlu
harus patah hati, dunia toh bukan sedaun kelor. Banyak
gadis-gadis cantik yang akan mencintaimu, sahabat," seru
Huru Hara dengan tersenyum.
Tetapi pemuda cakap itu terus melengos untuk menahan
butir airmatanya yang hendak meluap.
"Terima kasih, sahabat," akhirnya pemuda itu berpaling
dan menghadap ke arah Huru Hara lagi, "Itulah namaku.
Terserah orang hendak mengartikan sebagai patah hati atau
nama. Karena bagiku nama itu sudah tak kupentingkan
1agi.”
"Bagus, saudara Sim," seru Huru Hara memuji, "tetapi
dari mana engkau dan mengapa engkau menolong aku?"
"Aku sih seorang manusia yang hidup bagaikan awam di
udara. Angin berhembus ke utara aku terdampar ke utara,
angin berhembus ke selatan akupun melayang ke selatan . ..
. "
"Aha, kata-katamu bagaikan rangkaian nada dari
seorang penyair, saudara Sim," kata Huru Hara kembali,
"eh, mana kawanan prajurit tadi?"
Dad balik gerumbul pohon muncullah berpuluh prajurit
Beng. Kiranya mereka bersembunyi ketika Ko Cay Seng
menaburkan pelor berasap hitam tadi.
Serentak Huru Hara menghampiri, "Bukankah kalian ini
prajurit2 pasukan Beng ?" tegurnya.
Berpuluh-puluh prajurit itu mengiakan.
"Anak pasukan jenderal Ko Kiat ?"
"Benar," seru mereka pula.
"Apa tujuan kalian ini ?"
"Setelah jenderal kami terbunuh, kami berantakan tak
keruan dan mencari jalan hidup sendiri2."
"Apakah kalian mau bekerja pada musuh ?"
"Tidak."
"Apakah kalian tetap setya dan mau bekerja pada
pasukan Beng ?"
Kawanan prajurit itu berseru gegap gempita menyatakan
kesediaan mereka. Tetapi ada bebera pa yang menolak.
"Tidak," seru mereka, "kami tak mau."
"Mengapa ?" seru Huru Hara.
"Jenderal2 kami itu tidak becus memimpin pasukan dan
hanya giat mengumpul kekayaan, berebut kekuasaan.
Jenderal Ko Kiat juga demikian sehingga dibunuh jenderal
Kho Ting Kok."
"Apakah engkau hendak bekerja kepada jenderal Kho
Ting Kok ?"
"Sama saja," kata mereka," kami tak mau."
"Lalu apakah kalian sudah tak mau jadi prajurit lagi ?"
"Perlu apa kalau punya pimpinan jenderal2 yang begitu
?"
"Kalau ada seorang pimpinan yang setya, cakap dan
bijaksana, apakah kalian mau ?"
"Tentu," kata salah seorang yang rupanya menjadi
jurubicara dari kelompok kecil itu, "Sudah bertahan-tahun
kami menjadi prajurit, kalau harus bekerja lain kami merasa
kikuk dan tak mampu. Tctapi siapakah pimpinan itu ?"
"Mentri pertahanan Su Go Hwat tayjin."
"0. apakah Su tayjin langsung memimpin. pasukan ?"
"Ya, kini beliau berada di Yang- ciu untuk
mempertahankan daerah itu dari serbuan pasukan Ceng!"
Prajurit itu serempak menyatakan kesediaan mereka.
"Saudara Sim," kata Huru Hara kepada pemuda cakap
itu," engkau dan aku senasib, hidup tak menentu. Tetapi
kita sebagai pemuda, dituntut oleh kewajiban untuk
membela negara kita yang sedang teraucam musuh. 0leh
karena itu, apabila saudara tak keberatan, kuminta lupakan
segala derita hidup yang lampau, marilah kita
persembahkan hidup kita ini untuk membela negara dan
menyelamatkan rakyat !"
Pemuda itu tertegun dan memandang Huru Hara dengan
tajam. Ada sepercik sinar mengkilat dari matanya, penuh
mengandung arti. Pelahan-lahan dia mengangguk
menanggapi pernyataan Huru Hara.
"Bagus. saudara Sim," seru Huru Hara gembira,
"sekarang aku hendak minta bantuanmu. maukah engkau ?"
Pemuda itu kembali mengangguk.
"Bawalah regu prajurit kita itu kepada Su tayjin di Yangciu.
Aku masih melakukan suatu tugas yang penting.
Setelah selesai, aku juga akan menggabungkan diri dengan
Su tayjin . ..... "
Sim Cui mengangguk.
"Saudara2, kuminta kalian ikut pada Sim kongcu ini
yang akan membawa kalian ke Yang-ciu menghadap Su
tayjin," seru Huru Hara kepada kawanan prajurit.
Kawanan prajurit itu menyambut dengan gembira.
Mereka segera dibawa Sim Cui. Dikala berpisah Sim Cui
berkata dengan nada sendu kepada Huru Hara, "Kuharap
engkau baik-baik menjaga diri ..... "
Ketika Sim Cui dan kelompok prajurit itu sudah pergi.
Huru Hata masih tertegun merenung kata2 Sim Cui. Suara
itu begitu merdu seperti suara seorang gadis. Begitu mesra
seperti pesan seorang dara kepada kekasihnya yang hendak
pergi ke medan tugas.
"Tetapi dia jelas seorang pemuda," pikirnya, aneh ,
……”
Beberapa saat kemudian ia cepat menghapus renungan
itu. Kini pikirannya tertuju lagi untuk melanjutkan
perjalanan mencari anak pasukan jenderal Ko Kiat yang
tercerai berai.
"Kawanan kaki tangan Ceng mulai tersebar menyusup
kedalam wilayah kekuasaan pasukan Beng. Mereka tentu
akan mengacau dan menghasut, kemudian membujuk dan
memaksa pasukan2 Beng yang kalah supaya ikut mereka.
Ini berbahaya. Anak pasukan jenderal Ko Kiat itu cukup
banyak. Kalau sampai dapat diambil musuh, tentu lebih
parah lagi."
Huru Hara lalu melanjutkan perjalanan. Tetapi diam2
diapun gelisah karena memikirkan tugasnya untuk
mengamat-amati gerakan jenderal Co Liang Giok yang
hendak bergerak ke kotaraja itu.
"Ah, sekali lagi setelah bertemu dengan kelompok
prajurit anakbuah jenderal Ko Kiat, aku segera menuju ke
Hankow." akhirnya ia menetapkan rencana.
Karena hari sudah malam dia menginap sebuah kuil tua
di atas bukit. Dan keesokan nya melanjutkan perjalanan
Di sepanjang jalan dia melihat keadaan rakyat seperti
beras ditampi. Mereka berhondong-bondong, berkawan
atau dengan membawa keluarga, sama mengungsi
kepedalaman.
Huru Hara sempat bertanya dan mendapat keterangan,
"Wah, daerah2 dalam wilayah Ikciu sudah tak aman lagi.
Rakyat di daerah2 diganggu oleh kawanan prajurit yang
memeras dan merampok harta benda kita," kata salah
seorang dari penduduk yang tengah mengungsi itu.
"Prajurit Beng atau Ceng ?" Huru Hara menegas.
"Campur baur tak keruan tetapi kebanyakan malah
prajurit Beng. Mereka lebih buas dan ganas terhadap
rakyat."
Huru Hara tertcgun.
"Apakah jenderal Kho Ting Kok tak dapat melindungi
kalian ?" tanyanya pula.
"Ah, jenderal itu malah membunuh kawannya sendiriri
jenderal Ko Kiat dan kini dia bersahabat dengan orang2
Ceng .. . .."
"Hai !" Huru Hara melonjak kaget, "benarkah
omonganmu itu ?"
"Karena apabila di daerah muncul pasukan jenderal Kho
Ting Kok yang hendak mencari ransum dengan merampas
persediaan padi rakyat maka sering terdapat beberapa
prajurit _Ceng yang menyertainya."
Setelah rakyat itu melanjutkan perjalanan Huru Hara
masih termenung-menung, "Jika benar demikian, jelas
jenderal Kho Ting Kok itu sudah dapat dirangkul orang
Ceng. Mungkin pembunuhan jenderal Ko Kiat itu juga atas
rencana orang2 Ceng yang jelas banyak yang menyusup
kedalam wilayah kekuasaan pasukan Beng," pikirnya.
"Hm, apabila tugasku menyelidiki jenderal Co Liang
Giok sudah selesai, aku akan menyelidiki jenderal Kho
Ting Kok juga," akhirnya ia memutuskan.
Belum berapa jauh ia melanjutkan perjalanan, kembali ia
melihat disebelah depan tampak orang berkerumun. Dan
ternyata mereka adalah prajurit2. Buru2 ia menghampiri.
Ia terkejut ketika melihat seorang pemuda tengah
berhadapan dengan dua orang lelaki muda yang naik kuda.
Juga terdapat dua orang gadis. Di belakang mereka terdapat
sejumlah besar prajurit.
Agar dapat mengetahui apa yang tengah terjadi, Huru
Hara menyelinap kedalam sebuah hutan kecil yang tak jauh
dari tempat itu. Dengan cepat dia dia dapat menangkap
pembicaraan mereka.
"Ing-moay, jangan percaya kepadanya," seru seorang
pemuda yang naik kuda putih.
Huru Hara terkejut. Ia seperti pernah mendengar nada
suara itu.
Beberapa saat kemudian, kedengaran suara seorang gadis
yang mukanya bertutup kain kerudung warna hitam,
berkata, "Bok-heng, apa alasanmu engkau tak setuju
menyerahkan pasukan Beng itu kepada engkoh Hong
Liang?"
Huru Hara terkesiap. Tak salah lagi, suara gadis itu
adalah suara nona Su Tiau Ing, puteri dari mentri
pertahanan Su Go Hwat.
"Aku hendak membawa sisa pasukan jenderal Ko Kiat
ini kepada paman di Yang-ciu," sahut pemuda yang ditanya
itu.
Kini Huru Hara tak ragu2 lagi, pemuda itu adalah Bok
Kian, putera keponakan dari mentri Su Go Hwat. Dan
serentak diapun segera teringat bahwa yang dipanggil
engkoh Hong Liang pleb nona Su Tiau Ing itu adalah Sa
Hong Liang, juga putera keponakan dari mentri Su Go
Hwat.
"Tetapi engkoh Hong Liang kan juga akan membawa
mereka kepada ayah?" tegur Su Tiau Ing, "mengapa tak
engkau berikan? Apakah engkau tak percaya kepada engkoh
Hong Liang?"
"Bu . .. bukan bukan tak percaya adik Ing," kata Bok
Kian tergagap-gagap, "tetapi aku mendapat perintah dari
paman Su supaya mengumpulkan pasukan jenderal Ko Kiat
yang berantakan dan membawa mereka ke Yang-ciu."
Su Tian Ing merenung sejenak lalu berpaling kearah Su
Hong Liang, "Engkoh Liang, Bok-heng mendapat tugas
dari ayah,"
"0, tetapi biasanya siok-hu (paman) apabila memberi
tugas penting, tentu memberi leng-pay atau Surat
kepercayaan. Adakah Bok Kian mempunyai salah sebuah
bukti perintah dari siok-hu?" jawab Su Hong Liang yang
pintar bicara.
Su Tiau Ing berpaling tetapi sebelum gadis cantik itu
membuka mulut, Bok Kian ,sudah mendahului. "Paman
sedang sibuk sekali mengatur persiapan untuk
mempertahankan Yang- ciu. Beliau hanya memberi
perintah secara lisan."
"Uh…….," desus Su Hong Liang.
"Tetapi sekahpun begitu perwira yang mengepalai
rombongan prajurit pasukan jenderal Ko Kiat sudah
mengenal diriku dan setuju atas permintaanku supaya
mereka menggabungkan diri pada paman di Yang- ciu,"
kata Bok Kian menyusuli keterangannya.
Su Tiau Ing berpaling dan memandang Hong Liang.
Rupanya dia dapat menerima keterangan Bok Kian.
"Bagus, Bok-te," tiba2 Su Hong Liang berganti nada.
"jika begitu harap engkau usahakan lagi untuk
mengumpulkan mereka. Bukankah masih banyak lain2
kelolompok kan masih banyak kelompok anakbuah jenderal
Ko yang tercerai berai ?"
Su Tiau Ing membenarkan, "Ya, benar Bok- heng ," tiba2
ia berpaling lagi kepada Su Hong Liang, "tetapi dari mana
dan hendak kemanakah engkoh Liang ini ?"
"Ai, Ing-moay, dalam keadaan negara sedang
menghadapi bahaya perang seperti saat ini, aku selalu lari
kesana kemari untuk melihat keadaan. Ada kalanya aku
menjadi penghubung antar jenderal2 kita, ada kalanya aku
bahkan diminta untuk membantu menyusun persiapan
pasukan dalam menghadapi serangan musuh. Aku habis
dari daerah Kangpak dan sekarang hendak memberi
laporan kepada siok-hu tentang situasi musuh."
"0, jika begitu engkoh Liang sekalian dapat membawa
anak pasukan ini kepada ayah, bukan?" seru Su Tiau Ing.
"Ya, begitulah Ing-moay," kata Su Hong Liang
tersenyum gembira.
"Jika begitu Bok-heng," kembali Su Tiau Ing mengulang
kata2nya kepada Bok Kian," kurasa memang tepat kalau
engkau serahkan anakpasukan dari jenderal Ko Kiat itu
kepada engkoh Hong Liang dan engkau mencari lagi anak
pasukan jenderal Ko yang masih tercecer di lain tempat."
Bok Kian kerutkan alis, katanya sesaat kemudian,
“Dalam hal lain, memang aku dapat meluluskan tetapi soal
ini adalah soal keselamatan negara. Paman sedang berjuang
mati-matian untuk mempertahankan Yang-ciu. Kabarnya
paman telah minta bala bantuan ke kotatasja tetapi ditolak
oleh tay-haksu Ma Su Ing. Maka setiap bala bantuan,
walaupun hanya beberapa orang prajurit tetapi sangat
berharga sekali kepada paman. Dan paman menitahkan
supaya aku dapat membawa anak buah jenderal Ko itu ke
Yang-ciu, jangan sampai mereka tersesat menjadi
gerombolan pengacau, apalagi kalau sampai menyerah
kepada orang Ceng."
"Kalau begitu engkau ...... " baru Su Tiau Ing berkata
sampai disitu, Su Hong Liang sudah cepat menanggapi,
"Benar, Ing-moay, jelas dia tak percaya kepadaku ! Gila
tidak itu ? Masakan aku akan menyerahkan mereka kepada
musuh ?"
Su Tiau Ing berpaling kearah Su Hong Liang dan
kesempatan itu dimanfaatkan Su Hong Liang untuk
membakar hati si nona, "Ing-moay, engkau adalah puteri
kesayangan siokhu. Bok-te seperti aku, adalah putera
keponakan siok-hu. Aku merasa telah mendapat budi
kebaikan yang besar dari siok-hu. Budi kebaikan itu saja
aku belum mampu membalas, masakan aku menghianati
siok-hu. Bagai mana Ing-moay, apakah tidak layak kalau
aku mendamprat Bok-te ?"
Su Tian Ing tidak lekas menyahut melainkan berpikir: Ia
tahu bahwa Bok Kian itu memang agak bodoh tetapi jujur
dan setya kepada tugas yang dikerjakan. Jika ayahnya
sudah memberi perintah begini, Bok Kian tentu akan matimatian
melaksanakan perintah itu. Dia keras kepala sekali
dalam mempertahankan apa yang telah menjadi tugasnya.
Namun permintaan Su Hong Liang itu juga beralasan.
Pemuda itu hendak menghadap ayahnya (Su Go Hwa). jika
sekalian membawa anak pasukan itu ke Yang-ciu, bukankah
membantu pekerjaan Bok Kian karena Bok Kian akan
dapat mencari sisa anak pasukan jenderal Ko Kiat yang
sudah tercerai berai itu ?
Pikir2 akhirnya ia merasa bahwa sikap Bok Klan itu
memang keterlaluan. Masa dia tak percaya kepada Su Hong
Liang.
"Bok- hang, apakah engkau tak percaya kepa da engkoh
Hong Liang?" akhirnya ia menegur.
"Jangan salah faham, adik Ing," kata Bok Kian. "dalam
hal ini bukan soal percaya atau tidak percaya, tetapi paman
Su telah memberi pesan wanti2 kepadaku, bahwa apabila
aku dapat mengumpulkan sisa anakpasukan jenderal Ko,
aku harus membawa sendiri ke Yang-ciu, jangan sampai
diserahkan kepada orang lain.
"Ah, masakan ayah pesan begitu ?"
"Demi Allah aku bersumpah bahwa paman Su memang
memberi perintah begitu."
"Ya, yang dimasudkan ayah itu kalau orang lain,
masakan kepada engkoh Hong Liang juga begitu ? Aku tak
percaya kalau ayah akan marah kepadamu apabila engkau
serahkan rombongan prajurit itu kepada engkoh Hong
Liang."
"Adik Ing, aku benar2 takut untuk melanggar pesan
paman."
"Wah, wah," desuh Su Hong Liang," Bokte memang
keras kepala sekali. Jangankan aku, sekalipun Ing-moay
yang meminta dia tentu tak- kan percaya ... „ sengaj a Hong
Liang memberi tekanan suara waktu mengatakan kata2
yang terakhir, untuk membakar hati Tiau Ing.
Kemudian dia melanjutkan, "Sudahlah, Ing moay,
mungkin menurut anggapan Bok-te, yang paling dipercaya
oleh siok-hu itu adalah dia sendiri. Ing-moay sebagai
puterinya dan aku sebagai keponakan, hanya dianggap sepi
saja.
Mendengar kata2 itu merahlah muka Su Tiau Ing. Dia
merasa kata2 Su Hong Liang itu memang benar juga.
Seketika meluaplah penasaran, tiba2 Ah Liu dara pelayan
dari Su Tiau Ing sudah melengking, "Bok kong-cu,
berikanlah kepada Su siocia."
Bok Kian terkesiap tetapi pada lain saat dia melihat dara
itu memberi kicupan mata kepadanya. Entah bagaimana
biasanya otak Bok Kian yang beku, saat itu menjadi encer.
Ia tahu apa maksud dara bujang. Jelas dara itu hendak
mengisyaratkan agar Su Tiau Ing yang bertanggung jawab
atas pasukan itu. Kalau sampai Su Hong Liang mempunyai
maksud lain, tentulah Su Tian Ing yang bertanggung jawab,
bukan Bok Kian.
Bok Kian sebenarnya tak mau mengalihkan tanggung
jawab itu kepada Su Tiau Ing. Tetapi ia merasa bahwa
seperti biasanya dalam setiap persoalan, Su Tiau Lag tentu
lebih berfihak kepada Su Hong Liang. Ia tahu diri dan
selalu mengalah.
"Baiklah, Ing-moay, kalau engkau yang menerima
tanggung jawab itu. silakan," kata Bok Kian.
Tanpa mengucap terima kasih seolah-olah itu sudah
wajar, Su Tiau Ing berpalinh kearah Su Hong Liang dan
berseru. "Engkoh Hong Liang, mari kita menuju ke Yangciu."
Su Hong Liang terkejut tetapi cepat ia tenang kembali,
"0, apakah Ing-moay juga akan menemui siok-- hu ?"
"Sudah beberapa waktu aku tak bertemu ayah," kata Su
Tiau Ing, "sekarang dengan membawa prajurit2 itu dapatlah
aku membantu kerepotan ayah. Ah, dia sudah tua dan tentu
lelah sekali ..... "
"Ya, benar, Ing-moay," sambut Su Hong Liang, "siok-hu
memang terlalu cape. Dia bekerja tanpa mengenal waktu."
Demikian Su Tiau Ing dan Su Hong Liang bersama
kawannya, pria muda yang gagah, segera membawa
sejumlah anakbuah jendral Ko, menuju Yang-ciu.
Ditempat persembunyiannya, Huru Hara terkejut sekali
ketika mehhat siapa kawan dari. Su Hong Liang. Kalau tak
salah itulah jago orang she Yap yang pernah melamar pada
pekerjaan dari jenderal Ko Kiat ketika jenderal Ko Kiat
mencari orang yang sanggup mengawal barang antaran
kepada jenderal Ui Tek Kong dulu.
Seperti telah diketahui, Huru Hara diterima lebih dulu
oleh jenderal Ko Kiat. Dan pemuda she Yap itu datang
belakangan. Kemudian keduanya diadu dan ternyata Huru
Hara yang menang,
Barang dari jenderal Ko Kiat yang diantar Huru Hara itu
di tengah jalan dihadang orang dan ternyata isinya hanya
tanah pasir. Kemudian jenderal Ko Kiat diam2 menyuruh
pemuda she Yap atau Yap Hou untuk mengejar orang yang
telah merampas Giok-say atau Singa-kumala. Dalam
mustika Singa-kumala itu tersimpan sebuah peta mini yang
simpanan harta karun milik baginda Cu Goan Ciang,
pendiri kerajaan Beng.
"Ya, benar, dia bernama Yap Hou. Akan kutanya
dimana dia menyembunyikan mustika Giok-say itu," pikir
Huru Hara. Tetap, pada saat dia hendak muncul
menghadang, tiba2. dia teringat bahwa kalau dia bertindak
begitu tentulah akan mengganggu bala bantuan yang
dibawa Su Tiau Ing ke Yang-ciu. Pada hal Su Go Hwat
benar2 memerlukan tenaga bantuan.
"Ah, lebih baik kupertangguhkan saja. Lain kali toh
masih ada kesempatan lagi," akhirnya ia urungkan tuatnya.
Setelah rombongan Su Tiau Ing berjalan jauh barulah
Huru Hara menghampiri Bok Kian yang ternyata masih
duduk termenung-menung di atas segunduk batu.
"Bok-heng, apa kabar?" tegurnya.
Bok Klan melonjak kaget. Demi melihat siapa yang
muncul, dia tertawa gembira, "Ah, engkau Loan-heng."
"Aku sedang menjalankan perintah dari paman ..... "
"Ya, kutahu," tukas Huru Hara, "kerena aku
mendengarkan semua pembicaraanmu tadi."
"Loan-heng, bagaimana pendapatmu, salah-kah kalau
aku menyerahkan anakbuah jenderal Ko tadi kepada adik
Ing ?" tanya Bok Kian.
Ada suatu sifat baik dari Bok Kian. Karena dia merasa
otaknya tak cerdas, setiap kali berbuat dia tentu meminta
pendapat orang yang dianggapnya lebih mengerti. Ini
memang baik. Karena ada juga bahkan banyak orang bodoh
yang merasa pintar dan benar. Dengan begitu dia tetap akan
bodoh dan tak pernah benar.
"Kulihat nona Su itu lebih menaruh perhatian kepada Su
Hong Liang .."
"Sayang," kata Huru Hara pula. Bok Kian menghela
napas.
"Mengapa sayang ?" Bok Kian heran.
"Mata itu tak dapat dipercaya. Tidak semua yang kuning
itu tentu emas."
"Sudah tentu "tidak, Loan-heng. Bungapun ada yang
kuning, juga burung ada yang kuning bulunya. Tetapi
mengapa Loan-heng berkata begitu ?" tanya Bok Kian yang
tak mengerti apa yang dimaksud Huru Hara.
Huru Hara terkesiap tetapi kemudian tertawa, "Mata itu
sering merlyesatkan. Tetapi apa boleh buat, engkau harus
berlapang dada menerima segala sesuatu."
"Eh, apa maksudmu, Loan-heng," Bok Kian makin
bingung, "mengapa aku harus berlapang dada ? Apa yang
akan kuterima ?"
Huru Hara sendiri juga blocon tetapi ada kalanya kalau
berhadapan dengan orang pekok, dia terus menjadi pintar.
Misalnya dengan Ak Liong, Huru Hara merasa tiba2 saja
menjadi terang pikirannya. Demikian pula waktu
berhadapan dengan Bok Kian. Dia merasa lebih pintar:
"Aku seorang anak laki dan engkaupun juga." kata Huru
Hara, "engkau harus jujur dan jangan merahasiakan apa2
kepadaku. Kulihat diantara kalian bertiga, engkau, Susiocia
dan Su Hong Liang seperti terjalin suatu cinta segitiga."
Bok Kian merah mukanya dan melongo.
"Engkau dan Su Hong Liang sama2 menaruh perhatian
kepada Su siocia. Engkau seorang jujur tetapi pemalu dan
tak dapat bicara. Lain halnya dengan Su Hong Liang yang
cakap, pandai merayu. Sayang Su siocia lebih tertarik
kepada Su Hong Liang daripada kepadamu. Pada hal
kulihat Su Hong Liang itu cerdik dan licik. Terus terang,
aku mencurigai gerak geriknya ...."
"Loan-hang, mengapa engkau berkata begitu ?"
"Engkau tahu siapa orangmuda gagah yang bersama Su
Hong Liang itu ?"
Bok Kian gelengkan kepala dan mengatakan tak kenal.
"Kalau tak salah dia seorang jago yang berilmu tinggi
dan pernah bekerja pada jenderal Ko Kiat. Jenderal Ko Kiat
itu seorang jenderal korup dan punya simpanan harta
karun. Orang tadi bernama Yap Hou dan disuruh jenderal
untuk mengejar Giok-say yang dirampas orang."
"Apa Giok-say itu ?"
"Giok-say itu sebuah barang antik yang berbentuk seperti
singa dan terbuat daripada batu kumala. Didalam Giok-say
itu tersimpan peta tempat persembunyian harta karun milik
Cu Goan Ciang, pendiri kerajaan Beng yang sekarang ini.”
"0," desus Bok Kian.
"Sekarang jenderal Ko sudah mati, aku curiga kalau
Giok-say itu dilalap Yap Hou. Dan kalau dia berkawan
dengan Su Hong Liang, akupun kuatir kalau kedua orang
itu bekerja sama untuk membunuh jenderal Ko Kiat ..... "
"Ah, aku bingung, Loan-heng." seru Bok Kian
mendengar uraian Huru Hara yang dianggapnya terlalu
pelik itu.
"Ya, baiklah, asal engkau jangan mengatakan hal ini
kepada siapapun juga. Kelak aku dapat membereskan si
Yap Hou itu."
Lalu Huru Hara bertanya kepada Bok Kian "Bagaimana
tindakanmu sekarang ini?"
"Eh, Loan-heng belum menjawab pertanyaanku tadi..
Apakah tindakanku menyerahkan anak buah jenderal Ko
kepada adik Ing itu salah?"
"Tidak, engkau tak salah. Aku tahu bagaimana
kedudukan dirimu dan bagaimana perasaan hatimu kepada
Su siocia. Sayang Su siocia belum menyadari siapa dirimu
yang sesungguhnya. Dia menganggap Su Hong Liang lebih
baik tetapi dia nanti tentu akan kecele dan kecewa dengan
pilihannya."
"Ah, tidak Loan-heng," kata Bok Kian, "aku akan ikut
gambira apabila adik Ing bahagia."
"Bagus, Bok-heng." seru Huru Hara, "lalu engkau sendiri
bagaimana nanti ?"
"Apanya ?"
"Bukankah engkau akan menderita apabila harapan
hatimu tak tercapai ?"
"Saat ini negara sedang terancam bahaya. Perlu apa
harus memikirkan soal begitu ? Serahkan saja soal begitu
kepada Tuhan Yang penting saat ini aku harus berjuang
untuk membaktikan diri kepada negara."
"Engkau benar2 seorang pemuda hebat, Bok heng," Huru
Hara memuji, "aku juga satu pendirian dengan engkau.
Nah, sekarang engkau hendak kemana saja ?"
"Akan melanjutkan mengumpulkan sisal anak buah
jenderal Ko kiat."
"Baiklah," kata Huru Hara, "akupun hendak melanjutkan
perjalanan ke Hankow, kelak kita berjumpa di Yang-ciu."
Keduanya segera berpisah. Huru Hara ke selatan lagi. Ia
mendapat kesan bahwa suasana makin hangat. Rupanya
setelah setahun menduduki kotaraja Pak- khia, sekarang
pasukan Ceng hendak melanjutkan serangannya ke Lamkia.
Sebenarnya dia ingin menyelidiki jenderal Kho Ting Kok
yang telah membunuh jenderal Ko Kiat itu. Dia ingin
mengetahui apakah benar jenderal Kho Ting Kok itu sudah
dipengaruhi musuh. Tetapi terpaksa dia urungkan niatnya
karena di ingin lekas mendapat keterangan tentang pasukan
jenderal Co Liang Giok, kemudian buru2 dia akan kembali
ke Yang- ciu untuk membantu mental pertahanan Su Go
Hwat.
Singkatnya, dia telah tiba di wilayah kekuasaan jenderal
Co Liang Giok dan mulai melakukan penyelidikian.
Sebenarnya jenderal Co Liang Giok itu seorang jenderal
yang gagah perkasa dan banyak berjasa kepada negara,
Tetapi karena melihat tingkah laku tay haksu Ma Su Ing
dan Wan Tay Thiat melakukan praktek2 jahat antara lain
menguasai pemerintahan, membius Hok Ong dengan
wanita dan arak, memperdagangkan kenaikan pangkat,
melakukan korupsi besar- besaran, jenderal Co tak dapat
menahan kemarahannya lagi. Dia segera menghimpun
pasukan dan bergerak menuju ke kotaraja untuk
mengadakan pembersihan pada mentri2 yang korup itu.
Ketika malam itu Huru Hara sedang berusaha untuk
menyelidiki ke markas jenderal Co, ia terkejut ketika
melihat dua sosok bayangan hitam berlari-lari menuju ke
gedung markas sang jenderal. Menilik gerak gerik kedua
orang itu, tahulah Huru Hara kalau kedua orang itu
memiliki kepandaian silat yang tinggi.
"Mengapa pada malam begini ada dua orang yang
hendak masuk ke markas jenderal Co?" pikirnya. Seketika
ia mendapat firasat bahwa kedua orang itu tentu tak
bermaksud baik.
"Ah, tetapi mungkin juga orang kepercayaan jenderal Co
yang hendak memberi laporan," pada lain saat Huru Hara
membantah sendiri.
Tiba2 timbul pikirannya untuk menyelundup kedalam
markas. Ia ingin mendengar laporan yang dibawa kedua
orang itu sehingga dapat mengetahui apa rencana jenderal
Co.
Dan apabila kedua orang itu orang jahat, dapat-lah
membantu jenderal Co.
Tetapi untuk masuk kedalam markas jenderal Co,
bukanlah suatu hal yang mudah. Apalagi jenderal itu sudah
mempersiapkan diri untuk 'menghukum` dan melakukan
pembersihan dalam tubuh pemerintahan di kotaraja, jelas
dia tentu mengadakan penjagaan keamanan yang kuat dan
ketat.
"Ah, ternyata kedua orang itu tentu orang dalam," kata
Huru Hara dalam hati ketika melihat kedua orang itu
langsung masuk melalui pintu gerbang markas.
Huru Hara terpaksa mengitari tembok dan ketika ada
sebatang pohon go-tong yang tumbuh di luar tembok, dia
memanjat dan dari atas pohon itu dia loncat ke atas tembok
lalu melayang turun kedalam halaman gedung.
Dengan hati2 ia menghampiri kedalam gedung. Saat itu
belum malam betul, lebih kurang antara pukul 10 malam.
Walaupun markas sudah sepi tetapi disana sini masih
terdapat patroli dan prajurit2 yang berjaga.
Huru Hara berhasil menyelinap kedalam tanpa diketahui
penjaga. Dia tak tahu dimana letak kantor jenderal Co.
Tiba2 ia mendengar langkah kaki orang. Ternyata seorang
prajurit. Cepat la ber sembunyi di sudut yang gelap.
Ternyata prajurit itu membawa penampan berisi
minuman. Ah, dia. tentu menuju ke ruang jenderal Co,
pikir Huru Hara.
Dugaannya memang tepat. Ketika ia secara diam2
mengikuti prajurit itu, prajurit itu menuju ke sebuah ruang
yang terletak di tengah markas.
Huru Hara bersembunyi diluar ruang itu. Tak berapa
lama prajurit tadipun keluar. Saat itu Huru Hara baru
berani mendekati ruang itu dan mendengarkan apa yang
terjadi dalam ruangan.
"Nah, sekarang kalian boleh melaporkan hasil pekerjaan
kalian," seru sebuah suara yang berwibawa. Huru Hara
menduga itulah suara jenderal Co Liang Giok. Ternyata
kedua orang tadi adalah orang kepercayaan jenderal itu.
"Co ciangkun," kata sebuah suara lain yang dtduga Huru
Hara adalah salah satu dari kedua orang tadi, "hamba telah
melakukan penyelidikan yang cukup luas, dari lapisan atas
yaitu para mentri sampai para perwira dan lapisan bawah
dari pegawai rendah sampai rakyat biasa, semua
mengatakan bahwa tindakan tay-haksu Ma Su Ing dan
mentri Wan Tay Thiat selama ini, tidak merugikan rakyat .
. . . "
"Apa?" teriak yang disebut Co ciangkun yang bukan lain
memang jenderal Co Liang Giok sendiri, "mengapa
laporanmu itu tidak sesuai dengan kenyataan?"
"Ciangkun," kata salah seorang lain dari kedua orang
tadi, "apa yang dikatakan rekan hamba Mo kausu memang
benar."
"Hai, Go kausu," seru jenderal Co Liang Giok, "engkau
juga mengatakan begitu?"
"Habis kalau memang hasil penyelidikan hamba berdua
begitu, apakah yang hamba laporkan kehadapan ciangkun?"
sahut orang yang dipanggil Go kausu itu.
Kausu artinya guru silat. Go kausu dan Mo kausu adalah
guru silat yang berilmu tinggi yang dipekerjakan jenderal
Co Liang Giok untuk melatih anak prajurit.
Go kausu lengkapnya bernama Go Hiong, seorang jago
perguruan Tiam-jong-pay yang membuka rumah perguruan
di kota Hankow. Muridnya banyak dan namanya
termasyhur. Dia bargelar Giam-lo-sat-to atau Golokpembunuh
dari raja Giam lo ( raja Akhirat ).
Sedang Mo kausu lengkapnya bernama Mo Thian Ing,
seorang pemimpin perusahaan pengantar barang Pingtitian-
piau-kook yang termasyhur di Ou-lam. Mo Thian Ing
itu bergelar Kiu-ciat. sin- pian atau Ruyung-sakti-sembilanruas.
Disegani oleh orang persilatan golongan putih
maupun hitam.
Jenderal Cu Liang-Giok memberi tugas kepada kedua
kausu itu untuk menyelidiki keadaan kotaraja, terutama
tentang ulah tingkah tay-haksu Ma Su Ing. Jenderal itu
sudah mendengar berita2 tentang praktek2 kotor dari tayhaksu
Ma Su Ing dengan .orangnya yakni Wan Tay Thiat.
Tetapi alangkah kejut jenderal Co mendengar laporan
kedua kausu kepercayaannya itu.
"Mo dan Co kausu," kata jenderal Co Liang Giok,
"dapatkah engkau membuktikan tentang hasil
penyelidikanmu itu ?"
"Telah hamba haturkan," kata Mo kausu, "bahwa hamba
berdua telah menyelidiki dari kalangan atas sampai lapisan
bawah, semua tiada yang mencelah peribadi tay-haksu."
"Hm, tentulah kalian masih ingat akan peristiwa baru2
ini, kan ?" seru jenderal Co Liang Ciok.
"Peristiwa apa, ciangkun."
"Peristiwa tuduhan tay-haksu kepadaku bahwa aku
mempunyai rencana hendak memberontak itu."
"0, benar, ciangkun. Ciangkun telah memberitahukan hal
itu kepada kami."
"Tidakkah tuduhan itu hanya fitnah semata-mata ? Aku
mengadakan pendafraran untuk menerima prajurit2 baru
adalah demi untuk memperkuat tugasku untuk
mempertahankan wilayah kita," seru jenderal Co.
"Tetapi fthak tay-haksu mendengar bahwa ciangkun tak
puas dengan beliau dan marah kepada tay-haksu karena
menganggap tay-haksu korup dan sewenang-wenang,"
sahut Mo kausu.
"Bukan aku saja tetapi setiap rakyat dan para jenderal
tahu bagaimana praktek2 yang kotor dari tay-haksu."
"Oleh karena itu maka tay-haksu menuduh bahwa
gerakan mengumpulkan prajurit2 baru yang ciangkun
adakan itu adalah karena ciangkun hendak memberontak."
"Tidak sama sekali," sahut jenderal Co. "aku akan setya
sampai mati kepada kerajaan Beng. Tetapi aku memang
penasaran terhadap tingkah laku tay-haksu dan beberapa
mentri yang mengacau dan melemahkan kerajaan itu. Coba
engkau bayangkan," kata jenderal Co," mentri pertahanan
Su Go Hwat tayjin adalah seorang mentri yang setya dan
pandai. Tetapi mengapa dia malah di `buang` keluar oleh
tay-haksu dengan alasan supaya dapat menyusun kekuatan
para jenderal2 di daerah-daerah ? Tidakkah hal itu hanya
suatu alasan dari tay-haksu supaya Su tayjin jangan sampaI
dekat dengan raja sehingga gerak gerik tay-haksu lebih
leluasa ?"
Huru Hara terkejut. Apa yang dikemukakan jenderal Co
itu memang benar. Seorang mentri pertahanan mengapa
dikirim ke daerah2, pada hal induk pasukan kerajaan
berada di kota raja ? Dia mendengarkan lebih lanjut
bagaimana kelanjutan dari pembicaraan jenderal Co dengan
kedua orang kepercayaannya itu.
"Memang apa yang ciangkun kemukakan adakah benar
tetapi sayang kenyataannya tidak seperti yang ciangkun
bayangkan. Artinya, mentri tay-haksu tidak sejahat seperti
yang ciangkun duga," kata Mo kausu.
"Mo kausu," seru jenderal Co dengan marah, engkau
adalah orang kepercayaanku. Hampir semua rahasia militer
tak ada yang kurahasiakan kpadamu. Engkau tentu maklum
sendiri bagaimana rencanaku dan bagaimana tindakan tayhaksu
selama ini terhadap para jenderal. Tetapi mengapa
sekarang engkau malah berbalik seratus derajat membela
tay-haksu ?"
"Ciangkun," sahut Mo kausu dengan berani, sama sekali
hamba tak bermaksud membela tayhaksu tetapi hamba
hanya melaporkan apa yang hamba telah selidiki sesuai
dengan perintah ciang kun."
"Tetapi," jenderal Co kerutkan alis, "bagaimana mungkin
engkau membawa laporan begitu ? Tentu engkau salah
melakukan penyelidikan. Yang memberi keterangan
kepadamu itu tentu orang2 tay-haksu."
"Ah, tayjin sudah menaruh kepercayaan kepada kami
berdua, masakan kami akan mensia-siakan kepercayaan
tayjin itu ?"
"Lalu bagaimana tiadakanku ?" akhirnya jenderal Co
bertanya.
"Menurut pendapat hamba, semua tenaga dan kekuatan
harus kita pusatkan untuk menghadapi serangan musuh.
Apabila ciangkun hendak melakukan pembersihan ke
kotaraja, tidakkah hal itu akan menimbulkan kekacauan.
Mentri tay-haksu tentu mengira ciangkun hendak
memberontak dan tentu akan mengerahkan pasukan untuk
menghancurkan ciangkun. Dengan demikian tentu akan
terjadi perang sendiri. Tidakkah hal itu akan melelahkan
kekuatan kita sendiri ?"
"Ya, ciangkun," Go kausu ikut menambah, "apa yang
dihaturkan Mo kausu itu memang benar. Daripada kita
kerahkan pasukan menyerang kotaraja dan mengadakan
pembersihan, bukankah lebih baik kita memperkuat
penjagaan kita disini saja ?"
"Mo dan Go kausu," jawab jenderal Co, "memang
tampaknya pendapat kalian itu benar. Tetapi ketahuilah.
Untuk menyembuhkan suatu penyakit kita harus mencari
tahu sumber dan sebabnya, Cobalah kalian bayangkan.
Selama menghadapi serangan pasukan Ceng, kita selalu
menderita kekacauan saja. Pada hal kekuatan pasukan
kerajaan Beng itu amat besar. Tetapi nyatanya menghadapi
pasukan Ceng, kita sudah kalang kabut dan kalah.
Tidakkah hal itu karena pimpinan atas tidak becus?"
"Tetapi bukankah kerajaan kita memiliki jenderal2 yang
terkenal, ciangkun?" tanya Mo kausu.
"Jenderal memang banyak tetapi mereka membawa
kemauan sendiri," kata Co Liang Giok, "yang dapat
mengambil hati tay-haksu akan mendapat fasilitas dan
ditempatkan di daerah yang makmur. Tetapi yang tidak
mau memberi sogok tentu akan digencet dan ditempatkan
di daerah yang minus, bahkan di depan garis yang
berhadapan dengan musuh."
Mo dan Go kausu mendengus.
"Coba seperti mentri pertahanan Su tayjin," kata jenderal
Co pula, "masakan seorang mentri pertahanan dibuang
keluar, bagaimana dia dapat memberi perintah kepada
jenderal. Bagaimana pula dia dapat menerima laporan dari
jenderal2 di daerah. Dan celakanya segala keputusan
tentang gerakan pasukan berada di tangan tay-haksu Ma Su
Ing. Keputusan untuk mempertahankan atau menarik
mundur suatu pasukan juga tergantung pada tay-haksu itu.
Mana bisa kita biarkan saja peraturan begitu merajalela
terus? Tay-haksu adalah seorang kasim ( kebiri) dia seorang
menteri sipil. Bagaimana dia hendak menguasai
ketentaraan?"
Mo dan Co kausu berobah-obah cahaya mukanya.
Sebentar merah sebentar pucat. Rupanya dalam hati kedua
kausu itu timbul pertentangan dalam batin. Namun sesaat
kemudian wajah mereka kembali membesi.
"Urusan itu termasuk urusan dalam," kata Mo kausu,
"boleh kita selesaikan pelahan-lahan. Jika sekarang
ciangkun berkeras hendak melakukan pembersihan tentu
timbul perpecahan dan akibatnya tentu akan melemahkan
kekuatan kita sendiri."
"Benar, ciangkun," seru Co kausu, "sekarang kita sedang
menghadapi musuh yang kuat. Mengapa kita tidak
mencurahkan segenap tenaga dan kekuatan untuk
menghancurkan mereka?"
Sebelum jenderal Co menjawab, tiba2 prajurit penjaga
masuk dan melaporkan bahwa ada seorang utusan dari
kotaraja yang hendak mohon menghadap.
"Antarkan dia masuk," seru jenderal Co.
Tak lama kemudian prajurit itu muncul dengan
mengiring seorang lelaki setengah tua namun masih tampak
segar. Orang itu memperkenalkan diri sebagai Bun Peng,
utusan dari Co Kui kepala polisi kotaraja.
"Kedatangan hamba adalah diutus Co tayjin untuk
menyerahkan Surat kepada ciangkun," kata Bun Peng.
Jenderal Co terkejut. Co Kui, kepala polisi kotaraja
adalah pamannya. Dia segera menerima surat itu dan
sehabis membacanya, wajahnyaputa berobah pucat.
"Mo dan Co kausu," serunya dengan suara
gemetar,."sudah berapa lamakah aku mengundang kalian
berdua bekerja disini?"
"Sudah dua tahun, ciangkun," sahut Mo kausu yang tak
mengerti mengapa jenderal Co tampak begitu tegang.
"Bagaimana perlakuanku terhadap kalian selama ini?"
"Hamba berdua merasa berterima kasih tak terhingga
karena ciangkun memperlakukan kami dengan baik sekali."
"0, kiranya kausu merasakan hal itu. Dan apa yang
terkandung dalam hati kausu atas perlakuanku itu?"
"Hamba berdua berjanji dalatn hati untuk membalas budi
dengan mengunjukkan rasa kesetyaan hamba kepada
ciangkun."
"Bagus, Mo kausu," seru Co ciangkun, "bukankah
engkau juga begitu Co kausu?"
Co kausu mengiakan.
"Baik," kata jenderal Co, "bagaimana kalau sekarang aku
hendak memberi perintah kepada kalian? Apakah kalian
sanggup?"
Kedua kausu itu mengiakan.
"Kalian akan setya melakukan perintahku?” ulang
jenderal Co.
"Silakan ciangkun memberi perintah, hamba berdua pasti
akan melakukannya."
"Baik," seru jenderal Co pula, "Mo kausu dan Go kausu,
kalian supaya saling berhadapan." Kedua kausu itupun
melakukan perintah.
"Sekarang cabutlah pedang kalian," seru jendecal Co
pula. Dan kedua kausu itupun walau pun tak mengerti apa
yang dikehendaki pimpinannya namun mereka melakukan
perintah juga.
"Nah, sekarang kalian harus saling tabas menabas
sendiri!"
Kedua kausu itu seperti mendengar halilintar berbunyi
ditengah hari ketika menerima perintah jenderal Co.
Mereka harus saling tabas menabas? Tidakkah itu akan
berarti keduanya akan mati? Serentak kedua kausu itu
menyadari apa maksud jenderal Co.
"Tidak!" serempak Mo dan Go kausu berpaling kearah
jenderal Co, "kami tak mau menurut perintah ciangkun.”
"Apa, ? Bukankah engkau sudah berjanji akan membalas
kebailkanku dengan melakukan setiap perintahku? seru
jenderal Co.
"Ya, tetapi perintah semacam ini, jelas perntah yang
sewenang- wenang. Mengapa ciangkun suruh kami saling
bunuh sendiri ?"
"Mengingat kalian selama ini telah bekerja baik
membantu aku maka akupun dapat memberi keringanan
hukuman bagi kalian."
"Apa ? Ciangkun hendak memberi hukuman kepada
kami ?" seru Mo kausu.
"Apakah kalian masih merasa tidak layak kalau
mendapat hukuman ? Apakah kalian menganggap
perbuatan kalian ini harus mendapat bintang jasa ?"
"Ciangkun." seru Go kausu. "kami tak mengerti apa
persoalannya. Mengapa ciangkun tahu2 marah kepada
kami ? Harap ciangkun mengatakan apakah kesalahan kami
?"
Jenderal Co mendegus, "Hm, apakah kalian masih tak
merasa ?"
"Tidak, ciangkun," seru Go kausu, "kami merasa tak
melakukan suatu kesalaban apa2."
"Apa yang kalian lakukan selama di kotaraja ?" tiba2
jenderal Co berganti nada membengis.
"Kami telah melakukan perintah ciangkun untuk
melakukan penyelidikan terhadap tayhaksu."
"Dan kalian sudah menunaikan tugas itu dengan
sejujurnya ?"
"Benar?" sahut Go kausu.
Jenderal Co mendengus, "Hm, berapa banyak emas dan
perak yang masuk kedalam kantong kalian ?"
Mo dan Co kausu pucat seketika, serempak mereka
berseru, "Apa maksud, ciangkun ?"
"Jangan banyak malut, lekas kerjakan perintahku !"
bentak Co Liang Giok.
"Tidak !" seru Mo kausu, "kami merasa tak bersalah
mengapa ciangkun memberi perintah yang tak adil begitu !"
"Hm, apakah kalian memaksa aku harus turun tangan
sendiri ?" tanya Co Liang Giok,
"Terserah," jawab Mo kausu," tetapi kami menghendaki
penjelasan, apakah kesalahan kami ?"
"Siapakah yang pada malam itu menghadap mentri Wan
Tay Thiat dan dijamu dengan hidangan mewah ?" kata
jenderal Co.
Mo kausu pucat.
"Jawab, mengapa kalian membisu ?" bentak jenderal Co.
"Entah, kami tak tahu menahu soal itu, akhirnya Mo
kausu menjawab.
"Baik, akan kuberikan jawabannya. Yang pada malam
tanggal 13 menghadap mentri Wan Tay Thiat dan disambut
dengan perjamuan mewah adalah dua manusia yang
bernama Mo Thian In; dan Co Hiong, pemimpin Pengthian-
piau-kiok yang terkenal itu ...."
"Tidak !" teriak Mo dan Co kausu serempak.
"Hm, lihatlah ini,"tiba2 jenderal Co mengunjukkan
sebuah benda kecil warna putih, “milik siapakah buah baju
ini ?"
Seketika Mo dan Co kausu pucat.
"Buah baju ini adalah tercomot dari baju seorang lelaki
yang bernama Mo Thian Ing dan cincin ini adalah milik
orang yang bernama Co Hiong yang diberikan kepada
seorang wanita cantik dari gedung tay-haksu !"
Rupanya kedua kausu itu tak dapat menghindar lagi.
Serentak mereka berpaling kearah jenderal Co dan berseru,
"Jenderal Co, memang kami tak setuju atas perbuatan
jenderal untuk mengadakan pembersihan ke kota raja.
Kalau engkau masih tetap hendak melakukan hal itu,
terpaksa akan kami tangkap !"
"Apa ?" teriak jenderal Co marah sekali, "kalian berani
menangkap aku ?"
"Demi persatuan dan kesatuan, demi kepentingan negara
dan demi perintah tay-haksu Ma tayjin !" seru kedua kausu
itu dengan suara lantang.
"Ho, bagus, bagus," jenderal Co tertawa sinis. "sekarang
kalian sudah mengakui kalau kalian sudah dibeli tay-haksu
dengan uang dan wanita. Baik, binatang, engkau kira aku
takut kepada kalian !"
Jenderal Co serenta menyambar sebatang pedang
bertangkai panjang dan terus menerjang kedua kausu itu.
Jenderal itu terkenal sebagai jenderal yang keras dan
gagah berani. Namun di medan perang lain dengan di
dalam ruang. Melawan prajurit musuh, lain pula melawan
dengan jago silat.
Mo Thian Ing dengan senjata ruyung sembilan-ruas dan
Co Hiong dengan ilmupedang dari perguruan Tiam-jongpay,
walaupun hanya dua orang tetapi lebih berbahaya dari
seribu prajurit di medan perang. jenderal Co kewalahan
juga.
"Jenderal pemberontak, serahkan jiwamu !" tiba2 Mo
Thian Ing membentak seraya menabur senjata ruyungsembilan-
ruas kearah kepala jenderai itu.
-oo0dw0oo-
Jilid 35
Darah, tangis.
Saat itu jenderal Co sedang menyapu pedang Go Hiong
atau tiba2 Mo Thian Ing gentakkan ruyungnya. Ruyung itu
terdiri dari sembilan ruas, dapat bergerak dan bergeliatan
seperti ular, dapat pula menjulur surut.
Jenderal Co terkejut ketika tak sempat menangkis. Ia
meramkan mata dan mengeluh, "Ah, mengapa aku harus
mati di tangan seorang penghianat ..... "
Tring .....
Terdengar dering togam beradu dan karena jenderal Ca
merasa kepalanya tak menderita apa2, diapun membuka
mata.
"Perighianat, jangan main bunuh!" tiba2 terdengar suara
orang berseru dan pada lain saat sesosok tubuh melayang
tiba.
Mo Thian Ing terkejut sekali ketika ruyung terbentur
sebuah batu kecil dan tersiak ke samping sehingga tak
menemui sasarannya.
Ia makin terkejut ketika mendengar suara orang memaki
dan sebelum sempat berpaling, dihadapannya telah muncul
seorang pemuda yang dandanannya nyentrik. Seperti
pendekar kesiangan, pakai dua buah tanduk rambut.
"Siapa engkau!" bentaknya.
"Utusan Giam-lo (raja akhirat) untuk mencabut
nyawamu!" sahut orang yang tak lain adalah Huru Hara.
Rupanya dia tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ketika
jenderal Co terancam bahaya, dengan sebat Huru Hara
menjemput batu dan dilontarkan menghantam ruyung Mo
Thian Ing.
Sementara Go Hiong juga berhenti karena kaget. Dia
belum merasakan betapa kuat batu yang dilontarkan Huru
Hara tadi. Melihat Huru Hara hendak mencabut nyawa Mo
Thian Ing, tanpa berkata ba atau bu, Go Hiong terus
menyerang Huru Hara.
Huru Hara loncat menghindar ke sisi jenderal Co dan
merebut pedang jenderal itu, "Silakan jenderal beristirahat.
Biarlah aku yang membereskan mereka."
Entah bagaimana jenderal Co percaya saja dan
membiarkan pedangnya diambil Huru Hara, kemudian dia
menyingkir ke samping.
"Uhhhhh ...... " tiba2 terdengar suara orang menjerit
tertahan dan rubuh ke Iantai. Ternyata dia adalah Mo
Thian Ing.
Mo Thian Ing tak mau melepaskan jenderal Co. Melihat
jenderal itu sudah tak memakal senjata dan menyingkir ke
samping, Mo Thian Ing terus loncat memburu dan
menghantamkan ruyungnya. Tetapi saat itu punggung
tertusuk ujung pedang. Dia menjerit dan rubuh.
Memang Huru Hara tak pernah lengah. Walaupun
sedang menghadapi serangan Go Hiong namun ia tahu
kalau Mo Thian Ing hendak mencelakai jenderal Co.
Sebelum ruyung sempat mengayun kebawah, Huru Hara
sudah menusukkan ujung pedangnya ke punggung orang
itu. Tusukan yang cepatnya bukan alang kepalang itu tak
memberi kesempatan pada Mo Thian Ing untuk
menghindar lagi.
Melihat rekannya rubuh, Go Hiong marah. Dia loncat
menerjang Huru Hara, tring ..... . kembali Huru Hara
membabatkan pedang panjangnya. Ketika saling berbentur,
Go Hiong mencelat dua langkah ke belakang,
pedangnyapun rompal.
Bukan main kejut Go Hiong menyaksikan kesaktian
pendekar nyentrik itu. Dia segera mengeluarkan
ilmupedang perguruan Tiam-jong-pay tetapi dia tak mampu
maju mendekat karena terpalang oleh batang pedang Huru
Hara yang panjang. Malah beberapa saat kemudian ia
menjerit karena tangannya terpapas sehingga pedangnya
jatuh.
Dukkkk sekali memutar balik pedang Huru Hara
menggempur kepala Go Hiong yang terus terjungkal ka
tanah. Kedua kausu itu pingsan.
"Ciangkun, inilah pedang ciangkun," kata Huru Hara
mengembalikan pedang jenderal Co.
Rupanya jenderal itu terkesan sekali atas kelihayan Huru
Hara. Dia mempersilakan Huru Hara duduk.
"Siapakah namamu, anakmuda ?”tanyanya. Huru Hara
memperkenalkan diri dan tugas yang dilakukan.
"O, engkau diutus Su tayjin ?"
"Su tayjin tak memberi titah apa2 kecuali suruh hamba
menyelidiki ciangkun."
"O, apa saja yang akan diselidiki ?"
"Tentang tindakan ciangkun hendak membawa pasukan
ke kotaraja itu. Apakah sebesarnya maksud ciangkun ?"
langsung Huru Hara menerangkan tugasnya.
"Ya," jawab jenderal Co, "aku memang mempunyai
rencana hendak membawa pasukan kekota raja guna
melakukan pembersihan kepada mentri2 dorna terutama
tay-haksu Ma Su Ing,"
"Aku telah mendengar semua pembicaraan ciangkun
dengan kedua orang itu tadi."
"Lalu bagaimana kesanmu ?"
"Apakah ciangkun tetap hendak melanjutkan keputusan
ciangkun itu ?"
"Ya."
"Mengapa ? Tidakkah hal itu akan melemahkan
kekuatan kita sendiri ?"
"Kalau engkau sakit," kata jenderal Co, "apakah engkau
tidak minum obat ?"
"Ya, minum."
"Nah, kalau minum obat, tentu pahit rasanya. Bahkan
kadang ada obat yang membuat kita merasa sakit sekali,
Karena terjadi pertempuran antara obat dengan penyakit
dalam tubuh kita. Tetapi setelah penyakit itu dibasmi oleh
obat, barulah tubuh kita sehat."
"Begitulah seperti yang kita hadapi sekarang ini.
Kerajaan Beng kalah dan selalu mengalami kekalahan
dalam setiap pertempuran dengan pasukan Ceng. Lalu apa
sebabnya ? Apa kita kalah kuat ?"
"Kerajaan Beng sudah berdiri beratus tahun, tentulah
pasukannya sudah cukup teratur dan kuat. Rasanya tentu
takkan kalah melawan pasukan Ceng."
"Benar," sahut jenderal Co, "pada hal suku Boan itu
merupakan suku kecil dan terbelakang, dari suku Han.
Tetapi nyatanya mereka dapat mengalahkan dan mengusir
raja Bang kita dari kotaraja, Tidakkah hal ini disebabkan
karena sesuatu yang tidak sehat dalam tubuh pemerintahan
kita ? Nah, aku mau mengobati penyakit itu. Aku tahu
sumber penyakitnya adalah terletak pada mentri2 durna,
terutama tay-haksu Ma Su Ing yang menguasai kerajaan.
Baginda hanya dijadikan seperti boneka saja. Mentri2 yang
setya dan jujur seperti Su tayjm, sengaja dilempar dari
kotaraja."
Huru Hara mengangguk-angguk.
"Tetapi ciangkun," katanya pula, "dalam menghadapi
musuh yang sudah mengancam diambang pintu kita.
apakah ciangkun merasa bahwa tindakan ciangkun itu tidak
akan melemahkan ke kuatan kita ?"
"Daerah kita masih luas. Lebih baik sekarang daripada
berlarut-larut sampai besok. Andaikata dengan tindakanku
itu kita harus mengalami kekalahan lagi, apa boleh buat,
kotaraja dapat pindah ke selatan, Tetapi disana kita sudah
bersih dari segala durna dan penghianat. Kita susun lagi
pertahanan yang kuat dengan menghimpun segenap mentri
dan jenderal2 yang cakap dan setya."
Huru Hara mengangguk.
"Baik, ciangkun," katanya, "tetapi dapatkah janji
ciangkun itu kupercaya ?"
"Janji apa ?''
"Janji bahwa tujuan ciangkun menggerakkan pasukan ke
kotaraja itu hanya bertujuan untuk membersihkan kaum
durna dan penghianat?”
"Ya."
"Ciangkun berjanji tetap akan setya kepada kerajaan
Beng?"
"Ya."
"Ciangkun tidak mempunyai keinginan peribadi yang
lain kecuali demi kepentingan negara kita?"
”Ya
"Terima kasih, ciangkun," kata Huru Hara, "akan
kusampaikan pernyataan ciangkun ini kepada Su tayjin.
Karena Su tayjin memang merasa agak bimbang. Su tayjin
menerima perintah dari tay-haksu Ma Su Ing untuk
menumpas gerakan ciangkun tetapi Su tayjin pun
mendengar bahwa tujuan ciangkun itu tak lain hanya
melakukan pembersihan kepada mentri2 yang hianat. Maka
sebelum menentukan keputusan, Su tayjin mengutus aku
untuk meminta penegasan ciangkun."
"Sampaikan kepada Su tayjin bahwa aku, Co Liang Gok,
adalah jenderal yang sudah banyak menerima kebaikan dari
kerajaan Beng. Dan bahwa aku juga seorang rakyat Beng.
Maka aku tetap akan setya sampai akhir hayatku kepada
negara dan bangsa.
Dalam pembicaraan selanjutnya, Huru Hara
mengemukakan kekuatirannya bahwa apabila jenderal Co
membawa anak pasukannya ke kotaraja tentulah
pertahanan di wilayah Hankow akan kosong.
"Apakah ciangkun menganggap hal itu tak-kan
membahayakan keselamatan wilayah ini. Karena apabila
Hankow dapat diduduki musuh, maka kotaraja Lamkia
tentu lebih terancam," kata Huru Hara pula.
Co Liang Giok menjawab, "Hal itu memang sudah
kupertimbangkan. Menurut orang yang kusuruh melakukan
penyelidikan, rasanya musuh memusatkan gerakannya di
daerah Kangpak. Dari sebelah utara mereka akan
menyerempaki gerakan pasukan dari sebelah timur untuk
kemudian bersama menjepit kedudukan Lam-kia. Saat ini
musuh belum berhasil menerobos Kangpak, kalau aku
segera berangkat ke kotaraja tentu masa belum terlambat
untuk segera kembali ke wilayah ini lagi.
"Tetapi rencana ciangkun kan sudah bocor, fihak tayhaksu
Ma Su Ing tentu sudah berjaga-jaga. Belum tentu
ciangkun dengan mudah akan dapat tiba di kotaraja. Nah,
kalau dalam keadaan begitu, bukankah Hankow akan
kosong dari penjagaan?"
"Baiklah," kata jenderal Co, "akan kupertimbangkan lagi
rencana itu. Aku akan bertiudak menurut keadaan nanti.
Tetapi andaikata aku membawa pasukan ke kotaraja, pun di
Han-kow sini tetap akan kutinggalkan pasukan untuk
menjaganya."
Huru Hara menyetujui.
"Loan Thian Te," tiba2 Co Liang Giok berkata, "apakah
sudah lama engkau bekerja pada Su tayjin."
"Sebenarnya aku tidak bekerja kepada Su tayjin
melainkan membantu beliau. Memang Su tayjin pernah
meminta aku supaya bekerja kepada beliau tetapi belum
dapat kulaksanakan."
"Ah, apabila Su tayjin memperkenankan dan engkau
setuju, akan kuminta engkau supaya membantu aku disini."
"Terima kasih ciangkun," kata Huru Hara, "tetapi saat ini
diseluruh negara sedang terancam bahaya serangan musuh.
Selain dengan serangan pasukan yang besar, pun musuh
mengirim sejumlah besar mata2 untuk menyusup ke daerah
kita, mengadakan pengacauan dan aksi2 memecah belah.
Misalnya tentang pembunuhan jenderal Ko Kiat oleh
jenderal Kho Ting Kok, kemungkinan besar didalangi oleh
kaki tangan musuh."
"Maksudmu jenderal Kho Ting Kok telah dipeluk oleh
kaki tangan musuh?"
"Ya," sahut Huru Hara tandas, "walaupun belum dapat
kuselesaikan tetapi rasanya ada baberapa bukti yang
menjurus ke arah itu."
"O," desuh jenderal Co.
"Oleh karena itu ciangkun, walaupun tidak terikat dalam
tugas kepada Su tayjin ataupun kepada pemerintah
kerajaan, namun aku mewajibka diri untuk menunaikan
tugas sebagai seorang rakyat. Banyak nian tugas2 yang
dapat kulakukan untuk negara dan rakyat"
Jenderal Co tertegun. Sejenak ia dapat membayangkan
apa yang dikatakan Huru Hara, kemudian berkata, "Jika
demikian, apakah engkau yang akan melakukan
pembasmian kepada mata2 dan kaki tangan musuh yang
hendak mengacau kedalam daerah kita itu?"
"Demikianlah, ciangkun. Jika Su tayjin dan para
ciangkun sekalian yang menghadapi pasukan musuh.
Adalah hamba dan kawan yang akan memberantas
kawanan kutu busuk itu."
"Baik, Loan Thian Te," akhirnya jenderal Co memberi
salam, "ternyata tugasmu juga tak kalah berat dan mulia
dari aku. Silakan engkau berjuang. Dan marilah kita
selesaikan tugas pengabdian kita menurut cara dan
kedudukan kita sendiri-sendiri."
Setelah mengucapkan terima kasih, Huru Hara lalu
minta diri. Sebagai tanda peringatan akan pertemuan yang
mengesankan itu, jenderal Co telah menghadiahi sebatang
po-kiam (pedang pusaka) kepada Huru Hara.
"Pedang ini adalah pedang pusaka keluargaku.
Mendiang ayahku pesan agar pedang ini diserahkan kepada
seorang hohan (ksatrya) yang luhur budi dan penuh
pengabdian kepada negara dan rakyat. Kuanggap
engkaulah Loan Thian Te, yang sesuai memiliki pedang
itu," kata jenderal Co.
Huru Hara terkejut, "Ah, jangan ciangkun. Bukankah
ciangkun membutuhkan senjata pusaka untuk melindungi
diri?"
Jenderal Co gelengkan kepala, "Tidak, Loan Thian Te.
Aku seorang jenderal perang, bukan seorang tokoh
persilatan. Aku biasa bertempur di medan perang.
Senjataku adalah pedang panjang. Aku tak dapat bermain
pedang biasa."
Karena didesak akhirnya Huru Hara terpaksa menerima
juga. Dia segera kembali menuju ke Yang-ciu untuk
memberi laporan kepada mentri pertahanan Su Go Hwat.
Banyak nian pengalaman dan pengetahuan selama dia
menjalankan tugas dari Su Go Hwat itu. Ia makin tahu
tentang seluk beluk keadaan di. pemerintahan pusat yang
jelas telah dikuasai dan dikemudikan oleh tay-haksu Ma Su
Ing.
Dia tak dapat menyalahkan tindakan jenderal Co Liang
Giok yang hendak mengadakan pembersihan ke kotaraja.
Di sepanjang jalan ia mendengar berita yang
mengejutkan. Bahwa daerah Kangpak telah diduduki
pasukan Ceng.
Lebih celaka lagi, ia mendengar beberapa pembesar di
daerah2 sudah mulai berpaling haluan, beifihak kepada
musuh. Jelas mereka tentu kena disogok oleh kaki tangan
musuh, pikir Huru Hara.
Lepas senja dia tiba di kota Tong-kwan, sebuah kota
kecil di wilayah Kangpak. Terpaksa menginap disebuah
rumah penginapan. Ketika malam itu ia sedang makan di
ruang tamu, ia mendengar pembicaraan diantara tamu2.
"Aneh," kata salah seorang tetamu, "mengapa tikoan
(pembesar kota kecil) mengeluarkan peraturan yang aneh.
Masakan kita, orang lelaki tak boleh memangkas rambut."
"Ya, memang peraturan itu ganjil sekali, Perlu apa tikoan
mengurusi soal rambut segala," gumam kawannya.
Salah seorang yang bertubuh gemuk, berkata, "Mana
kalian tahu ? Bukankah pada waktu akhir2 ini tikoan selalu
sibuk menerima tetamu ?"
"Kan biasa kalau tikoan menerima tetamu itu ?" selutuk
yang lain.
"Ya, memang," sahut orang gemuk itu, "tetapi tetamu itu
bukan sembarang tetamu lho."
"Hai, Lo Kong, jangan sok-tahu sendiri, seru kawannya,"
coba katakan tetamu apa saja yang datang kepada tikoan itu
?"
"Huh, Lo Seng," seru si gemuk yang dipangil Lo Kong.
Dia memang bernama Kong Lik, 'kalau tak tahu bilang saja
tak tahu, perlu apa harus mengejek orang ?"
"Ho, si gendut keluar tanduknya nih," Lo Seng malah
tertawa menggoda. "ya dah, coba engkau katakan tetamu
siapa yang datang kepada tikoan itu."
"Jomblang."
"Ha, ha, ha," pecahlah gelak tawa beberapa orang yang
sedang berkumpul dalam ruang makan itu, "kukira siapa,
kalau hanya jomblang itu sih biasa. Bukankah tikoan
mempunyai seorang puteri yang cantik ?"
"Ya, benar," kata Kong Lik, "Siau siocia puteri Siau
tikoan itu memang cantik sekali. Pandai menyulam dan
merangkai syair, memetik harpa. Wah, pendeknya, Siau
siocia itu benar2 sebuah mustika wanita."
"Lalu siapa yang melamarnya ?
"Wah, itu rahasia sekali. Maaf, aku tak dapat
mengatakan," kata Kong Lik.
"Rahasia apa ?"
“Udahlah, kalau kukatakan rahasia ya rahasia, tak perlu
tanya lagi. Pokok, tak lama lagi Su tikoan akan punya kerja
mantu."
"Apa dengan calon yang dilamarkan jomblang itu ?"
"Bukan," kata Kong Lik.
"Lalu dengan siapa ?"
"Itu rahasia, bung."
"Kurang ajar," dengus Lo Seng, "engkau berani main
rahasia kepadaku ?"
"Goblok, masakan engkau tak kenal apa kegemaranku ?"
sahut Lo Kong.
"O, kunyuk engkau. Pelayan bawakan dua kati arak yang
paling baik," seru orang yang dipanggil Lo Seng itu.
Tak berapa lama pelayan datang dengan membawa dua
kati arak.
“Ini baru benar," seru Kong Lik sambil berkomat-kamit
mulut. Dia terus menuang arak wangi itu dan meneguknya.
Beberapa saat kemudian baru berkata, "Sia siocia
mungkin akan menikah dengan engkau."
"Kunyuk ! Jangan berolok-olok !" bentak Lo Seng.
"Tidak, bung, aku tidak berolok-olok. Memang
sungguh."
"Babi, jangan main2, lekas terangkan apa maksudmu ?"
"Begini," kata Kong Lik. Ternyata dia seorang
pengangguran. Kerjanya tak lain hanya cari dan jual berita
kepada orang yang membutuhkan. Harganya sih tak
seberapa, asal ditraktir minum arak ,"Siau siocia hanya mau
menikah kepada orang yang dapat mengalahkannya."
"Hai, gila engkau kunyuk!" bentak Lo Seng, "Bukankah
tadi engkau mengatakan kalau Siau siocia itu pandai
menyulam, membuat syair dan memetik harpa. Mengapa
sekarang engkau mengatakan dia mempunyai syarat begitu?
Bukankah itu berarti dia 'pandai ilmusilat?"
"Engkau memang tolol," seru Lo Kong, "siapa bilang
kalau dia pandai ilmusilat? Yang kumaksudkan
mengalahkan dia adalah dalam soal merangkai syair. Siapa
yang dapat mengalahkan dia, baru mau menjadi isterinya."
"O, engkau maksudkan dia hendak mengadakan bun-pit
atau adu ilmu bun (sastera)? "
"Apalagi kalau tidak begitu?" dengus Lo Kong, "maka
kukatakan, mungkin kalau engkau mampu, engkaulah yang
akan beruntung mempersunting Siau siocia. Karena bun-pit
itu tidak diperuntukkan khusus golongan tertentu tetapi
semua orang boleh ikut."
"Apakah jomblang itu menerimanya?"
"Tikoan terpaksa menuruti permintaan purerinya. Maka
mulai besok pagi di rumah kediaman tikoan mulai dibuka
pertandingan bun-pit itu."
"Slompret lu," maki Lo Song, "kiranya hanya rahasia
macam begitu saja."
"Hm, engkau harus tahu bung, aku seorang
pengangguran. Dari mana aku dapat makan minum arak
kalau tidak punya ilmu berdagang rahasia dan berita ?"
Demikian setelah makan dan minum, bicara dan tertawa
akhirnya beberapa tetamu itupun sama ngeloyor pergi,
Tetapi Lo Kong masih tinggal seorang duri disitu. Rupanya
dia hendak mencari mangsa, orang yang hendak mencari
berita.
Memang banyak sekali ragam orang mencari
penghidupan itu. Seperti Lo Kong, dia talc punya pekerjaan
tetap dan coba2 melakukan pekerjaan semacam itu. Eh,
ternyata enak juga. Hanya jual beli keterangan dan rahasia,
tiap hari dia bisa nongkrong di rumah makan, makan
minum gratis dan kadang pulang masih membawa uang.
Lirik sana lirik sini, Lo Kong sempat melihat Huru Hara
yang masih menikmati minuman. Lo Kong segera
berbangkit dan menghampiri.
"Ah, tuan seorang diri saja ?" tegurnya dengan tertawa
cerah.
Huru Hara sudah tahu siapa Lo Kong. Tetapi tiba2 dia
juga punya pikiran untuk mencari keterangan.
"Ya," sahutnya.
"Apa aku boleh duduk ?"
Huru Hara mengangguk.
"Ah, tuan tentu, bukan orang Kang-pak," Lo Kong mulai
membuka pembicaraan."mungkin tuan berasal dari lain
daerah.”
"Hm, ya."
"O, kalau begitu 'tuan harus hati2 berada dikota ini.
Kalau tidak waspada, tuan tentu akan menderita kerugian.
Benar, tuan,” Lo Kong memberi tekanan nada kata2nya
supaya orang percaya.
"Apakah disini banyak penjahat ?"
"Ya, berbagai cara orang melakukan kejahatan.
Misalnya, tuan bisa saja dipanggilkan polisi atau tentara
supaya ditangkap kalau orang menuduh tuan sebagai mata2
musuh."
"O," desuh Huru Hara, "lalu apakah tikoan percaya dan
terus menjatuhkan hukuman saja ?"
"Stttt ," tiba2 Lo Kong mengatupkan dua jarinya ke
mulut, memberi isyarat agar Huru Hara jangan bicara
keras2 "ada sebuah rahasia tuan tetapi rahasia itu berat
sekali tanggung jawabnya. Kalau sampai bacor, aku bisa
kehilangan kepala nanti."
"Ah, mengapa harus begitu ? Apakah rahasia itu ?"
"Apakah tuan ingin tahu ?"
"Ya," Huru Hara mendengus.
"Tetapi orang yang tahu rahasia itu memang aneh. Yah,
sebenarnya memang menjengkelkan orang itu tetapi apa
boleh buat. Dia arang tak mampu, jadi terpaksa berbuat
begitu untuk hidup.”
"Apa maksudmu?" tegur Huru Hara yang pura2 tak tahu.
"Begini tuan," bisik Lo Kong, "waktu memberitahu
rahasia itu kepadaku, dia bilang kalau ada orang yang ingin
tahu supaya diminta memberi bantuan uang. Rahasia itu
penting sekali, salah2 kalau ketahuan siapa yang
membocorkan, pembesar kota ini tentu akan
membunuhnya."
Huru Hara tertawa, "Tetapi mana dia tahu engkau
menjualnya atau tidak?"
"Eh, tuan ini bagaimana sih," kata Lo Kong, "sebelum
memberikan rahasia itu, dia telah menyumpah aku. Kalau
aku berani berbohong memperjual-belikan rahasia itu dan
uangnya masuk kantongku sendiri, aku tentu akan disambar
geledek atau dicekik Giam-lo-ong."
"O, jadi engkau tak berani membohonginya?"
"Siapa sudi disambar geledek atau dicekik Giam-lo-ong!"
gerutu Lo Kong.
"Berapa bantuan yang dimintanya?"
"Aku mempunyai dagangan berupa beberapa rahasia.
Harganya menurut nilai rahasia itu. Kalau yang
menyangkut rahasia pemerirttah, tentu saja tinggi. Juga
rahasia dari pembesar2 pemerintah, berharga tinggi. Kalau
rahasia yang menyangkut urusan atau orang biasa,
harganya juga murah.
"Hm," dengus Huru Hara, "tapi mana aku tahu jenis
rahasia apa yang paling penting ?"
"Tuan boleh mengatakan menghendaki rahasia negara,
pembesar negeri atau rahasia tentang peristiwa2 dalam kota
ini ?" kata Lo Kong.
Huru Hara kerutkan kening, "Bagaimana kalau rahasia
pemerintahan ?"
"Wah, itu mahal sekali. Sepuluh tail perak, tuan."
"Uh, mengapa semahal itu ?"
"Begini tuan," kata Lo Kong, "berbicara soal rahasia
pemerintah tentu akan melibatkan rahasia diri pembesar
negeri, Dengan begitu rahasia itu mengandung dua
macam."
"Hm. baiklah, aku beli rahasia yang itu, "kata Huru
Hara.
"Tetapi maaf, tuan," kata Lo Kong, "sudah menjadi
peraturanku, setiap pembeli harus memberi persekot dulu.
Karena pernah terjadi, aku telah ditipu orang. Sehabis
memberi tahu rahasia yang diminta, orang itu marah dan
bukan saja tak mau membayar bahkan malah memukuli
aku. Maka sekarang terpaksa setiap pembeli harus
membayar uang muka sebanyak separoh untuk persekot."
Huru Hara mengeluarkan lima tail perak. "Apa tuan
tidak mengundang aku ikut menikmati arak tuan ?" tanya
Lo Kong.
"Boleh," sahut Huru Hara, "silakan minum. asal tahu
sendiri."
"Tahu bagaimana ?"
"Potong dong nanti."
Lo Kong mendelik. Namun arak yang sudah dituang itu
menyiar bau yang harum menyengat hidung, terpaksa dia
menegukuya juga walaupun dengan muka cemberut.
"Nah, sekarang katakanlah rahasia itu. Kalau aku
menganggap rahasia itu memang benar2 penting dan
memenuhi selera. akan kutambak persenanmu
"Benar itu ?" teriak Lo Kong.
"Sudah, jangan banyak omong, lekas katakan bentak
Huru Hara.
Dengan berbisik-bisik Lo Kong menerangkan sebuah
rahasia, "Sebenarnya tikoan itu mempunyai hubungan
dengan kaki tangan kerajaan Ceng...."
"Apa !" karena kagetnya Huru Hara sampai
mencengkeram leher Kong Lik sehingga orang itu mendelik
karena tak dapat bernapas.
Ak ... auk ... , Kong Lik keroncalan melepaskan diri
tetapi tak dapat. Akhirnya Huru Hara tersadar dan lepaskan
cengkeramannya.
"Ah, apa engkau hendak membunuh aku ?" tegur Kong
Lik.
"Tidak. Aku cuma kaget."
"Enak saja bilang kaget. Engkau kaget, tapi leherku yang
tercekik, uh ..... "
"Sudahlah, lekas lanjutkan `'saja. Bagaimana buktinya
kalau tikoan itu mempunyai hubungan dengan orang Boan
?"
"Tikoan memerintahkau bahwa setiap penduduk lelaki
tak boleh cukur rambut," kata Lo Kong.
"Disuruh piara kuncir, maksudnya ?"
"Tepat," sambut Lo Kong, "memang rasanya tikoan
mempunyai persiapan begitu," barang siapa yang melanggar
akan dihukum, diusir dari kota ini, Tetapi yang menurut
diberi hadiah. Dan ada sebuah berita lagi yang menarik,"
"Apa ?"
"Hm, itu rahasia."
"Engkau mau minta tambah bayaran lagi ?"
"Tidak," Lo Kong gelengkan kepala, "asal arak yang
kuminum tadi engkau gratiskan, jangan dipotong dengan
kekurangan pembayaranmu nanti."
Huru Hara terpaksa mengalah.
"Tikoan telah membebaskan pajak bahkan setiap
penduduk mendapat hadiah. Yang kaya diundang pesta.
Yang miskin, diberi uang, Petani diberi seekor kerbau."
“Wah, wah, apakah tikoan itu kaya sekali?" tanya Huru
Hara.
"Justeru itu yang mengherankan," kata Lo Kong. "dia
tidak kaya tetapi entah bagaimana mendadak saja dia
mempunyai uang yang banyak sekali."
"Hai Lo Kong, sialan, engkau disini ?" tiba2 seorang
tetamu masuk dan berseru kepada Lo Kong.
"O, engkau burung kakaktua," Lo Kong terkejut dan
berpaling," memangnya kenapa ?"
"Kemarilah."
Lo Kong berbangkit dan menghampiri. Keduanya duduk
di sudut ruangan dan berbisik-bisik. Berulang kali Lo Kong
mengangguk-angguk. Wajahnya berseri-seri, "Beres ?"
katanya.
Orang itupun keluar dan Lo Kong menghampiri ke
tempat Huru Hara lagi, "Ada sebuah berita yang hebat lagi
!"
"Hm, akan dijual lagi ?"
Lo Kong mengangguk, "Ini baru berita ! Harganya juga
tak sembarangan."
"Berapa ?"
"Duapuluh lima tail perak,"
"Baik," kata Huru Hara, "tetapi awas, kalau berita itu
tidak penting, kepalamu akan kucopot !"
"Boleh." sahut Lo Kong lalu mulai berbisik-bisik. "tikoan
membatalkan sayembara bun-pit itu."
"Kenapa ?" Huru Hara terkejut.
"Karena Siau siocia dilamar oleh seorang pangeran Boan
..... auhhhhh ," kembali Lo Kong menjerit tertahan karena
lehernya dicekik Huru Hara.
"Jangan seenakmu saja jual kebohongan !” bentak Huru
Hara seraya lepaskan cekikannya.
"Ah uh kenapa engkau mencekik aku lagi ? Apakah
engkau tukang cekik leher?" Lo Kong deliki mata sambil
mengusap-ucap lehernya yang sakit, "kalau engkau tak mau
percaya, akupun tak dapat memaksa tetapi jangan main
cekik."
"Bagaimana engkau dapat membuktikan kalau tikoan
berbuat begitu ?"
"Sudah tentu ada buktinya," bantah Lo Kong tak kalah
sengit, "yang datang tadi adalah bujang dari rumah tikoan."
"O," desuh Huru Hara terkejut, "kalau begitu dia tak
bohong. Tetapi juga belum dapat kupercaca sepenuhnya.
Coba katakan, pangeran Boan siapa yang akan
memperisteri Siau siocia iiu ?"
"Tambah lima tail perak kalau mau tahu namanya !"
Huru Hara mengangguk.
"Barbak ..... ," dengan bisik2 Lo Kong mengatakan nama
pangeran Boan itu.
"Gila!" tiba2 Huru Hara menggebrak meja. Karena dia
marah. tenaga-sakti Ji-ih-sin- kangnyapun memancar
sehingga meja itu hancur seketika.
Lo-Kong gemetar. Ia baru melek kalau yang dihadapinya
itu seorang- pemuda yang sakti. Karena hanya sekali gebrak
meja makan yang terbuat dari papan kayu jati yang tebal
telah hancur berantakan.
"Hohan, jangan marah kepadaku , meratap
ketakutan.
"Apa keteranganmu itu dapat dipercaya ?"
"Sungguh mati, hohan, kalau aku sampai bohong,
biarlah pohon2 tumbang disambar geledek!
"Hm," dengus Huru Hara, "eh, kurang ajar engkau,
sumpah macam apa itu. Yang disambar geledek kan pohon
dan engkau tak kena apa2 !
"Ya, karena pohon2 itu tumbuh di luar dan kalau hujan
besar, aku tentu bersembunyi dalam rumah. Kan sukar bagi
geledek untuk mencari aku. Biarin saja pohon yang
disambar."
"Mana rumah tikoan itu ?" tiba2 Huru Hara
membentaknya. Dia segera suruh Lo Kong menunjukkan.
Tikoan atau kepala kota Tong-kwan, mendiami sebuah
gedung yang besar. Begitu masuk seorang penjaga segera
menegurnya.
"Aku mau menghadap tikoan," kata Huru Hara.
"Tikoan loya sedang beristirahat. Malam begini beliau
tidak terima tamu lagi,"
"Persetan !" Huru Hara menarik bahu perjaga itu
disentakkan ke samping. Penjaga itu terpelanting pontang
panting sampai beberapa meter.
Huru Hara terus masuk. Lo Kong hendak belot karena
takut tetapi sebelum dia lolos, bahunya sudab disambar
Huru Hara terus di seret di ajak masuk. Seperti anak ayam
dicengkeram elang, Lo Kong tak dapat berkutik.
Tiba di ruangan dalam, Huru Hara berseru, "Hai, mana
tikoan!”
Ternyata ruangan itu merupakan kantor tempat tikoan
bekerja. Pada malam hari, sepi sekali.
Tiba2 Huru Hara melihat sebuah tambur yang berada di
sudut ruang. Tambur itu dipergunakan apabila tikoan
bersidang memutuskan suatu perkara,
Bung. bung, bung .....
Huru Hara memukul genderang itu dengan kedua
tangannya. Seketika bergemalah suara yang mendengungdengung
seperti bunyi meriam, Tak berapa lama muncul
empat orang opas. Mereka terkejut ketika melihat seorang
pemuda berpakaian nyentrik berada dalam kantor tikoan.
"Hai, siapa yang membunyikan tambur !" teriak mereka.
"Aku!"
"Setan alas ! Apa engkau tak tahu kalau saat ini sudah
malam ?"
"Tahu," sahut Huru Hara, 'tetapi aku ada urusan hendak
bertemu dengan tikoan,"
"Tidak bisa !" bentak opas, "kalau ada urusan, besok pagi
saja datang menghadap. Hayo, enyah !"
Opas itu terus hendak mendorong Huru Hara tetapi dia
terkejut karena dia sendiri yang tertolak ke belakang.
Melihat itu ketiga kawannya terus membantu. Mereka
hendak menyeret keluar Huru Hara, uh, uh ... mulut
mereka mendesuh-desuh karena tak dapat mendorong
tubuh Huru Hara.
Plak, plak, plak tiga kali Huru Hara ayunkan tangan dan
ketiga opas itu mengaduh kesakitan dan mendekap mulut
masing2 karena giginya terlepas. Mereka menjerit-jerit.
“Pemberontak ! Pemberontak !" teriak mereka seraya lari
keluar.
Duabelas prajurit muncul. Sebelum mereka bertindak,
muncul pula seorang letaki setengah tua yang mengenakan
dandanan seperti pembesar negeri. Kedua belas prajurit itu
serempak memberi hormat, "Tikoan loya, hamba sekalian
menghatur kan hormat ..."
"Kenapa ramai2 ini ?" tegur pembesar yang tak lain
adalah Siau tikoan atau tikoan orang she Siau,
"Aku hendak menghadap tikoan tetapi beberapa opas
hendak meringkus aku. Terpaksa aku membela diri," kata
Huru Hara, "apakah engkau yang jadi tikoan?"
Sudah tentu Siau tikoan terkejut sekali mendengar nada
kata2 Huru Hara yang kasar itu. Masa dirinya dianggap
sebagai orang kecil saja.
"Hai, engkau manusia atau binatang?" seru tikoan
marah.
"Kalau engkau tak dapat mengetahui aku ini manusia
atau binatang, berarti engkau bukan manusia!" sahut Huru
Hara.
"Tangkap bangsat itu!" tikoan memberi perintah.
Kedua betas prajurit itu segera berhamburan menerjang
Huru Hara. Tetapi dengan suatu geriak yang luar biasa
hebatnya, Huru Hara sudah loncat ke belakang meja tikoan
dan terus membekuk tengkuk tikoan itu, "Hayo, kalau
kalian berani maju, tikoan telur busuk ini akan kuputuskan
lehernya!"
Kawanan prajurit itu tertegun melongo Mereka hampir
tak percaya akan gerakan yang dilakukan Huru Hara tadi.
"Aduh . . . . , " tikoan mengerang kasakitan, “Hai,
prajurit, jangan maju!"
"Suruh prajuritmu itu saling mengikat tangan masing2,"
perintah Huru Hara.
"Lakukan, lekas," teriak tikoan yang tak tahan tulang
lehernya dicengkeram tangan Huru Hara.
"Suruh mereka menunggu diluar dan jangan coba2 lari,"
perintah Huru Hara pula.
Setelah kedua belas prajurit itu berkumpul di halaman
luar, barulah Huru Hara lepaskan cengkeramannya. .
"Bukankah engkau ini tikoan kota ini?"
"Ya."
"Mengapa engkau bersekongkol dengan orang Boan?"
"Ti . . . . aduh . . . . ya, ya, aku memang bersekongkol,"
akhirnya karena tak kuat menahan cengkeraman Huru Hara
lagi, terpaksa tikoan itu mengaku.
"Tetapi aku dipaksa mereka. Kalau aku menolak mereka
akan membunuh aku dan keluargaku . . . "
"Jangan takut, akulah yang akan menghadapi mereka.
Tetapi aku mau tanya kepadamu. Engkau memang suka
bekerja kepada kerajaan Boan atau setya kepada kerajaan
Beng?"
"Kepada kerajaan Beng."
"Kalau begitu mengapa ia mandah dirimu dikuasai
mereka. Bukankah sebagai tikoan engkau dapat
mengerahkan tenaga rakyat untuk menangkap kaki tangan
musuh itu?"
"Tetapi aku . . . aku . . . " tikoan itu tak dapat
melanjutkan keterangannya.
"Bilang yang jelas!"
Tikoan itu menceritakan bahwa dirinya telah masuk
perangkap, terlibat dalam hutang yang besar.
''Siapa yang menjeratmu?" tanya Huru Hara.
"Menurut keterangannya dia bernama Kwik Ong,
seorang saudagar besar yang mondar mandir dari selatan ke
utara. Bermula dia sering singgah kemari. Pada suatu hari
dia memberi aku obat hitam. Katanya kalau obat itu diramu
dengan tembakau dan dihisap, dapat menambah tenaga."
"Memang benar," tikoan melanjutkan ceritanya, "aku
senang sekali menghisap barang cairan warna kitam yang
dicampur dengan tembakau itu. Waktu menghisap aku
merasa seperti melayang-layang ke suatu dunia yang indah.
Dan keesokan harinya tenaga dan semangatku bertambah
segar. Tetapi lama kelamaan kalau tak isap, aku merasa
lemas."
"Tiap kali datang saudara Kwik Ong selalu
meninggalkan satu botoL Tetapi akhirnya dia mengatakan
kalau persediaannya habis. Kalau aku menginginkan, dia
bisa mencarikan tetapi harganya mahal. Karena sudah
terlanjur menghisap obat itu, daripada badanku lemas dan
semangatku loyo, terpaksa aku membelinya. Bermula masih
kuat saja tetapi lama-lama hartaku habis. Uang pajak rakyat
juga kuludaskan. Mulai aku meminjam kepadanya."
"Lalu.?" tanya Huru Hara,
"Dia mulai menunjukkan warna. Dia mengancam akan
membongkar rahasia hutangku apabila aku tak mau tunduk
pada perintahnya.
"Apa yang diperintahkannya ?"
"Aku disuruh memerintahkan semua pegawai kantor
tikoan cairan mengisap hitam itu."
"Apakah cairan itu ?"
"Candu, sejenis tanaman yang dapat melemahkan
semangat dan tubuh orang."
"Dan engkau jalankan perintahnya ?"
"Apa boleh buat. Kini semua pegawai kantor tikoan
sama mengisap candu. Tiap hari mereka mendapat jatah,
dipotong gajih tiap bulannya. Kumudian orang itu
memerintahkan supaya aku mengeluarkan larangan, tiap
penduduk laki2 tak boleh cukur rambut."
"Apa lagi ?" tanya Hutu Hara, "bagaimana dengan
pernikahan Siau siocia ?"
"Memang ada orang yang hendak melamar, tetapi Giok
Lan mengajukan syarat. Dia hanya mau menikah kepada
pemuda yang dapat mengalahkannya dalam ilmu sastera."
"O."
"Sebenarnya sayembara itu akan dilangsungkan besok
pergi tetapi tiba2 saudagar Kwik Ing datang dan
mengatakan supaya sayembara itu dihapus karena Giok
Lan akan diperisteri oleh seorang pangeran Boan."
"Siapa nama pangeran itu ?"
"Pangeran Barbak, saudara dari panglima besar Torgun."
"Hm," dengus Huru Hara, "dan engkau berikan ?"
"Apa dayaku lagi ? Kalau aku menolak, bukan saja aku
dan anakbuahku tak mendapat jatah candu, juga rahasia
hutangku akan dilaporkan pada tihu (residen)."
Tiba2 seorang pelayan perempuan berlari-lari
mendaiangi dan menjerit-jerit, "Haya, loya, eel . .celak .....
celaka .. . ."
Tikoan terkejut, "Kenapa ?"
"Siocia ..... ," dia menunjuk ke arah dalam "siocia .. ,
gantung . . . diri .. . ."
"Hai !" tikoan menjerit sekuat-kuatnya terus loncat dan
lari masuk.
Huru Hara mengikuti. Masuk kedalam sebuah ruang
yang indah mereka melihat sesosok tubuh seorang gadis
menggelantung pada tiang.
Huru Hara loncat dan menabas tali yang dipergunakan
nona itu untuk menjirat leheruya.
"Giok Lan .. . Lan . . . mengapa engkau .. .. ," tikoan
menjerit dan menubruk puterinya. Pada saat itu isteri tikoan
juga masuk dan terus menjerit memeluk puterinya.
Huru Hara memeriksa pergelangan tangan nona itu,
"Jangan menangis, Anakmu masih hidup……”
Dia menyiak tikoan dan isterinya kesamping lalu
mengambil sebutir pil Cian lian-hay-to-som' (buah som
berumur seribu tahun yang tumbuh di dasar laut. — Baca :
Pendekar Boon) dan dimasukkan kedalam mulut Giok Lan.
Tetapi tubuh nona itu sudah dingin dan kaku. Bibirnya
mengatup keras. Terpaksa Huru Hara menekan mulut nona
itu supaya terbuka. Setelah memasukkan pil, dia
meniupnya.
Ah, memang lupa sudah Huru Hara aka segala malu dan
sopan santun. Demi menolong jiwa seorang nona, dia
terpaksa melekatkan mulut ke bibir nona untuk meniup pil
itu supaya masuk kedalam kerongkongan. Dia minta
segelas air dan agar pil dapat mengalir masuk, juga terpaksa
ia semburkan dengan mulut.
Tikoan suami isteri dan bujang2 melihat dan mengikuti
cara Huru Hara ini mengobati Siau siocia. Mereka
berdebar-debar menunggu hasilnya.
Lebih kurang sepuluh menit kemudian, tiba2 muka Giok
Lan yang sudah pucat lesi seperti mayat dan tubuhnya yang
sudah kaku itu, perlahan-lahan tampak tergerak-gerak dan
keluh terdengar mengerang pelahan.
"Lan, anakku . . . . ," isteri tikoan terus loncat seraya
memeluk puterinya.
"Ma, apakah aku masih hidup ?" kata Siau Giok Lan
dengan suara lemah,
"Engkau masih hidup, Lan. Ah, mengapa engkau sampai
hati hendak meninggal mama ?"
Beberapa tetes air mata menitik keluar dari pelupuk mata
gadis itu, "Ma. maafkan aku . . . ."
"Engkau tak salah Lan. Ayahmulah yang menjadi gara2.
O, Thian, sukar engkau tertolong," kemudian nyonya itu
menghaturkan terima kasih kepada Huru Hara.
"Hujin, silakan bangun." kata Huru Hara melihat nyonya
tikoan itu berjongkok memberi hormat dihadapannya," aku
hanya melakukan kewajibanku saja untuk menolong
sesamanya. Tentulah belum takdirnya siocia harus
meninggal. Tetapi mengapa siocia sampai mengambil
keputusan sependek itu ?"
"Ayahnya memaksa dia hendak dikawinkan dengan
seorang pangeran Boan dan Lan tidak mau. Dia
mengatakan lebih baik mati daripada disentuh orang Boan,"
kata isteri tikoan.
"Jangan salah faham, hujin," kata tikoan, "aku terpaksa
berbuat begitu demi menyelamatkan keluarga kita semua.
Lan. maafkan ayahmu. Aku merasa bersalah telah
mencelakai keluarga kita."
"Tidak, yah. ayah tidak bersalah. Akulah yang tersalah
karena tidak berbakti kepada ayah dan mama , .. "
"Sudahlah, Siau tikoan dan nona," kata Huru Hata,
"yang penting setelah tahu kesalahan, sekarang kita harus
berdaya untuk menghadapi bahaya yang mengancam."
"Hohan." kata Sian tikoan, “aku sudah tak berdaya lagi.
Kuminta bantuan hohan untuk menolong kami."
"Kapan pernikahan itu akan dilangsungkan ?" tanya Baru
Hara.
"Mereka minta lebih cepat lebih baik. Dan aku minta
tempo untuk mencari hari yang baik."
"O, kalau begitu mereka akan datang lagi kemari ?"
"Ya."
"Kapan ?"
"Besok pagi mereka akan datang kemari meminta
tanggal yang kuputuskan."
"Baik," kata Hutu Hara, "tikoan boleh memberi alasan
begini. Kesatu, mengingat suasana negeri yang senang
menghadapi peperangan, Setiap waktu keadaan bisa
berobah dan tak menentu. Kedua, agar jangan
menimbulkan kecurigaan rakyat bahwa tikoan
bermenantukan pangeran Boan, maka baiklah tikoan
memutuskan saja. besok pagi akan menyerahkan mempelai
perempuan supaya dibawa- serta oleh utusan mereka dan
supaya upacara pernikahan dilangsungkan di tempat
pangeran Boan itu."
"Ah, tetapi hohan," seru tikoan, "dengan begitu apakah
tidak kasihan kepada Giok Lan? Bukankah dia akan
seorang diri saja disana?"
"Siau tikoan," kata Huru Hara, "Siau siocia tetap berada
disini tak perlu ikut mereka."
"Eh, tetapi bukankah engkau mengatakan kalau
mempelai perempuan itu akan disertakan utusan mereka?"
"Benar," kata Huru Hara, "tetapi mempelai perempuan
itu bukan Siau siocia tetapi lain orang saja."
"O," tikoan terkejut, "tetapi siapakah yang mau jadi
pengganti Giok Lan?"
"Nanti malam akan kupikirkan," kata Huru Hara, "tetapi
Sian tikoan kuatir. Segala apa aku yang bertanggung
iawab."
"Tidakkah mereka akan marah dan melakukan
pembalasan kepadaku?"
"Kapankah saudara yang menamakan diri sebagai Kwik
Ong itu datang kemari?"
"Kalau tak salah, besok pagi juga."
"Bagus," seru Huru Hara, "serahkan orang itu
kepadaku."
Tikoan minta malam itu supaya Huru Hara bermalam di
rumahnya dan Huru Harapun menerimanya,
Dalam kesempatan omong2 pada malam itu Huru Hara
menganjurkan agar tikoan menghentikan kebiasaannya
menghisap candu.
"Wah, susah," keluh tikoan, "aku sudah terlanjur
menghisap benda itu. Kalau sehari tidak menghisap, badan
rasanya sakit semua, tulang belulang seperti mau copot,
kepala pusing dan tenaga lemas."
Huru Hara mengusulkan supaya tikoan makan obat kuat
saja, "Memang dalam sehari dua hari tentu akan merasa
lemas. Tetapi beberapa hari kemudian tentu sudah akan
pulih, seperti biasa lagi. Memang, tentu akan menderita
kesakitan tetapi sakit sehari dua hari rasanya tak apa asal
sembuh."
"Candu itu," Huru Hara melanjutkan pula, "jelas akan
merusak tubuh dan melemahkan jiwa. Musuh
menggunakan alat itu untuk menghancurkan semangat dan
tubuh kita."
Demikian pada keesokan harinya, saudagar Kwik Ong
itu datang juga. Tikoan mengajak Huru Hara untuk
mnenyambut.
"Siau tikoan, bagaimana? Apakah permintaan
bertambah?" tanya Kwik Ong.
"Ya, selain pegawai kantor tikoan sekarang beberapa
penduduk sudah mulai mengikuti.
Mereka suka sekali,” kata tikoar.
"Bagus, kasih saja," seru Kwik Ong, "untuk yang baru
mulai, boleh awal dengan harga murah. Dan untuk yang
belum ikut tetapi berminat, boleh kasih secara gratis. Biar
seluruh penduduk kota ini sama ikut."
"Bagaimana kalau aku ikut menikmati?" tiba2 Huru Hara
menyelutuk.
"O, anda juga ingin?"
Huru Hara mengiakan.
"Baik, akan kuberi anda dengan cuma2," Kwik Oag terus
mengeluarkan sebuah botol kecil berisi benda lunak warna
hitam, "kalau sudah merasakan benda ini, anda tentu akan
merasa senang sekali."
Huru Hara hanya mendengus.
"Berapa tail benda itu yang anda bawa?" tanya Huru
Hara."
"Cukup banyak."
"Apakah aku boleh melihatnya?"
Kwik Ong mengangguk. Dan mengeluarkan sebuah
botol besar dari dalam tas, "Walaupun hanya sekian tetapi
harganya bukan main. Cukupkah unug saudara untuk
membelinya?"
"Bolehkah aku melihatnya?"
Kwik Ong mengiakan lalu menyerahkan botol itu kepada
Huru Hara.,
"Apakah benda ini?"
"Candu,, berasal dari negeri Thian-tia ( India )," kata.
Kwik Ong seraya mengulurkan tangan meminta kembali.
Tetapi Huru Hara tak mau mengembalikan.
"Berapa harganya?"
"Dua ribu tail perak."
"Baik, akan kubeli semua." kata Huru Hara, "tetapi
sayang aku tak bawa uang. Bagaimana kalau kupinjam
dulu."
Kwik Ong gelengkan kepala, "Ah, maaf, aku tak biasa
meminjamkan."
Karena Huru Hara tetap tak mau memberikan, Kwik
Ong berseru, "Eh, apa maumu tak mau mengembalikan
barang itu?"
"Akan kubeli semua, tapi aku tak punya uang. Orang she
Kwik, sudah cukup banyak engkau meracuni penduduk
dengan benda semacam ini. Mengapa engkau begitu pelit
tak mau memberi pinjam kepadaku?"
",jangan niain2," bentak Kwik Ong, "berikan botol itu
kepadaku atau . . . . "
"Tidak!" sahut Huru Hara.
Kwik Ong terus menyambar bahu Huru Hara dan terus
dicengkeramnya tetapi tiba2 pemuda itu ayunkan kakinya
yang tepat mengenai perut Kwik Ong.
Auhhhh . • Kwik Ong menjerit ketika tubuhnya mencelat
sampai ke pintu, brak ...... kepalanya membentur daun
pintu sehingga berdarah.
"Bangun," Huru Hara mencengkeram bahu Kwik Ong,
diangkat bangun. Tetapi pada saat pula Kwik Ong
melepaskan sebuah tonjokan ke dada Huru Hara, duk .....
Huru Hara meringis menahan sakit tetapi pada saat itu
juga. Kwik Ongpun menjerit ngeri dan bergelimpangan di
lantai, menjerit-jerit histeris. "Engkau kejam, bunuhlah aku,
kayo, bunuhlah aku!"
Apa yang terjadi ?
Ternyata waktu Kwik Ong memukul dada Huru Hara,
karena terkejut kesakitan, tenaga-sakti Ji-ih-sin-kang
memancar dari tubuh Huru Hara, mengalir ke lengan dan
berhamburan menumpah pada kedua tangannya yang
sedang mencengkeram balu Kwik Ong. Tak ampun lagi,
tulang pi-pehkut bahu Kwik Ong soperti diremas hancur.
Tulang pi-peh-kut, merupakan sumber kekuatan
manusia. Tulang itu remuk, lenyaplah tenaga kepandaian
Kwik Ong. Kini dia bukan Kwik Ong seperti beberapa detik
yang lalu, seorang jago silat yang menyamar sebagai
saudagar candu. Melainkan seorang Kwik Ong yang sudah
hilang tenaga kepandaiannya, baik tenaga-dalam maupun.
tenaga-luarnya. Itulah sebabnya mengapa dia meraungraung
seperti singa kejeblus dalam perangkap
"Mengapa engkau seperti orang gila begitu," bentak Huru
Hara.
"Bunuhlah aku! Bunuhlah aku ! teriak Kwik Ong.
"Mengapa harus begitu ?"
"Jangan berlagak pilon," teriak Kwik Ong "engkau telah
menghancurkan seluruh tenaga kepandaianku, perlu apa
aku hidup lagi ?"
"O, engkau kehilangan tenaga kepandaianmu ? Mengapa
?" tanya Huru Hara,
"Jangan sombong !" teriak Kwik Ong dengan ketus,
"engkau telah menghancurkan tulang pipehutku, masih
berlagak pilon. Bunuhlah aku, lekas!"
Kini Huru Hara baru menyadari apa yang telah terjadi.
Ternyata karena kaget dan kesakitan menderita pukulan
Kwik Ong tadi, dia telah memancarkan tenaga sakti dan
menccngkeram keras bahu Kwik Ong sehingga tulangnya
remuk.
"Hm, itu masih ringan bagi hukuman seorang manusia
yang telah merusak rakyat," kata Huru Hara, "apakah
engkau masih belum bertobat !"
"Sudahlah jangan banyak mulut ! Hayo, bunuh aku.
Kwik Ong juga seorang lelaki yang tak takut mati. Daripada
hidup menjadi manusia tak berguna lebih baik aku mati saja
!"
Huru Hara mendengus.
"Hm, memang berani mati itu suatu sikap yang hebat.
Tetapi berani mati ada dua," kata Huru Hara, "seperti
engkau, berani mati untuk menebus dosa dari suatu
perbuatan terkutuk sama dengan berani mati untuk
melakukan kejahatan. Berani yang begitu, bukanlah berani
mati yang ksatrya tetapi berani mati yang pengccut!"
"Sedang berani mati untuk membela negara dan bangsa,
membela keadilan dan kebenaran, adalah berani mati yang
luhur. Berani mati yang tepat dan benar ! Maka janganlah
mentang2 bisa buka bacot mengatakan berani mati. Karena
sikap mu berani mati itu bukanlah berani mati yang luhur
tetapi berani mati yang pengecut !"
Kwik Ong tertegun tak dapat menjawab.
"Ah, biar. Aku sudah terlanjur jahat. Terserah orang mau
mengatakan apa saja, toh akhirnya aku harus dibunuh
lekas!, jangan banyak mulut !" teriaknya.
Huru Hara tertawa, "Orang bisa salah dan tak selalu
benar. Tetapi yang penting, setelah tahu salah lalu menebus
dosa untuk memperbaiki, itulah yang terpuji. Tetapi kalau
dengan sikapmu, salah biar salah, itu bukan pandangan
manusia tetapi pikiran bangsa binatang !"
Merah muka Kwik Ong mendengar dampratan yang
tajam itu,'
"Sekarang engkau sudah cacat, Engkau merasa malu
untuk hidup. Tetapi cobalah jawab, mengapa malu ?
Adalah seorang cacat itu harus malu dan merasa tak layak
hidup lagi ? Bukankah di dunia ini terdapat banyak sekali
orang cacat bahkan yang jauh lebih menderita dari engkau
dan toh mereka tetap bergairah untuk hidup ?"
Kwik Ong terpaku bisu.
"Yang dikata ma1u adalah apabila kita berbuat jahat.
berhianat dan mencelakai rakyat, merugikan bangsa dan
negara. Tetapi kalau hanya cacat, bukanlah suatu hal yang
harus dan layak dibuat malu. Cacat tubuh asal jangan cacat
batinnya. Lebih baik engkau sekarang cacat tetapi men jadi
rakyat baik-baik daripada engkau sakti tetapi menjadi
pengrusak bangsa !" kata Huru Hara pula.
Kwik Oag menghela napas, "Tetapi aku sudah terlanjur
berlumuran dosa . .."
"Tidak ada kata terlanjur, bagi perjalanan hidup seorang
manusia. Yang lampau, biarlah lain dan kuburkan saja.
Sekarang engkau baru memulai lembaran kehidupanmu
yang baru dengan baik. Eh, apakah kesalahan yang telah
engkau lakukan ? Siapakah yang suruh engkau
memperdagangkan candu kepaka rakyat itu ?"
Kwik Ong menunjuk dan beberapa saat kemudian dia
baru membuka mulut dengan perlahan, "Aku memang
disuruh orang untuk mengedarkan candu itu kepada rakyat
di daerah2 kerajaan Beng . .. "
"Siapa yang suruh?"
"Seorang yang katanya bekerja pada kerajaan Ceng."
"Namanya?"
"Dia hanya menyebut she-nya yalah orang she Ko. Dia
mengatakan cukup panggil dia dengan sebutan Ko siucay."
"Orang she Ko? Seorang sasterawan?" Huru Hara
menegas terkejut.
"Ya."
"Ah, lagi2 bajingan itu," seru Huru Hara geram, kalau
bertemu lagi, dia pasti takkan kuberi ampun."
"Siapakah dia?"
"Dia adalah Ko Cay Seng, tangan kanan dari panglima
besar kerajaan Ceng yang bernama Torgun. Dialah yang
ditugaskan untuk menyelundup kedalam wilayah kita dan
mengacau, menyebarkan racun dan menghasut."
Kwik Oag mengangguk.
"Bagaimana engkau dapat mengenalnya?"
"Aku dulu seorang benggolan penjahat yang termasyhur
di Su-jwan. Entah bagaImana dia tertarik kepadaku dan
menghubungi aku. Dia mengatakan kepadaku, kalau aku
mau bekerja kepadanya, kelak aku akan mendapat pangkat
tinggi. Dan tak lain aku hanya disuruh menyaru sebagai
saudagar untuk mengedarkan candu ke segenap wilayah
yang masih dikuasai kerajaan Beng.
"Apakah hal itu sudah berjalan lama dan sudah meluas
kemana-mana ?"
"Untung masih belum masuk kedaerah barat dan selatan.
Yang kuhubungi kebanyakan adalah para pembesar sipil
maupun militer. Karena apabila pembesar itu sudah jatuh
dalam jiratan candu mudahlah menguasai supaya menurut
perintahku."
"Apakah sekarang engkau sudah sadar bahwa
perbuatanmu itu tidak menguntungkan rakyat dan akhirnya
menimpah pada dirimu Lendiri ?"
"Ya. aku memang merasa salah. Setelah kurenungkan,
banyak sekali korban2 yang berjatuhan dalam cengkereman
candu itu."
"Bagus, karena sudah menyadari kesalahan, engkau
sudah kembali ke jalan yang benar. Aku percaya kepadamu.
Jangan kuatir sahabat," kata Huru Hara, "walaupun engkau
sudah tak memiliki kepandaian silat lagi tetapi engkau
masih dapat berguna dan dapat menyumbangkan tenagamu
untuk negara."
"Ah, engkau tak tahu perasaanku," Kwik Ong menghela
napas, "bagi seorang persilatan, ilmu kepandaian itu adalah
darah dagingnya. Kalau ilmusilatnya hilang, dia sudah
seperti karung nasi, manusia yang hidup hanya untuk
makn.”
"Engkau salah," sahut Huru Hara. Seperti telah
kukatakan, tiada barang yang tiada berguna dalam dunia.
Begitu juga manusia. Setiap manusia tentu berguna. Hanya
soalnya, tergantung dari manusia itu sendiri. Apakah dia
mau berguna atau tidak."
"Ah, tetapi jelas manusia seperti diriku sekarang ini
sudah tak mungkin bisa berguna lagi."
"Baiklah," kata Huru Hara, "kalau engkau memang
masih dirundung kecewa dan putus asa, silakan engkau
hidup menurut kehendakmu. Akan kuberimu pil yang
mudah-mudahan dapat mengembalikan daya kekuatanmu."
"Pil apakah itu ?" tanya Kwik Ong waktu Huru Hata
memberi tiga butit pil warna merah.
"Inilah bauh som yang tumbuh di dasar laut dan
berumur seribu tahun. Khasiatnya dapat mengembalikan
tenaga yang hilang. Adakah engkau kelak dapat sembuh
kembali, tergantung dari usahamu mengobati lukamu itu.
Hanya pesanku, apabila engkau beruntung dapat sembuh,
janganlah engkau ulangi lagi perbuatanmu yang lalu."
Demikian Kwik Ong setelah menerima tiga butir som
Cian-lian-hay-to-som lalu pamit, tetapi Huru Hara
mencegahnya, "Ada satu hal yang hendak kutanyakan
kepadamu. Apabila engkau tahu bahwa candu itu
merupakan obat yang merusak tubuh dan jiwa orang,
tentulah engkau tahu bagaimana cara menyembuhkannya."
"Sebenarnya tak ada obat yang dapat menyembuhkan
ketagihan candu itu. Tetapi aku mempunyai resep ramuan
obat yang dapat mengurangi rasa ketagihan itu. Yang
penting harus timbul dari kemauan dan kekerasan hati
orang tersangkut untuk menghentikan kebiasaan menghisap
candu."
Huru Hara minta kertas dan alat tulis kepada-tikoan dan
diberikan kepada Kwik Ong. Resep itu di berikan kepada
tikoan. Setelah Kwik Ong pergi, Huru Hara minta kepada
tikoan untuk membuat pil ramuan menurut resep itu secara
besar-besaran dan diberikan kepada mereka yang telah
menderita sebagai korban penghisap candu.
Setelah itu tikoan menanyakan pendapat Huru Hara
tentang cara menghadapi utusan dari pangeran Barbak yang
hendak meminang puterinya,
"Biarlah aku yang menyaru sebagai Siau socia . . . . "
"Apa ?" tikoan terkejut, "engkau hendak menyaru
sebagai mempelai perempuan ? Ah, tidak !"
"Mengapa ?" tanya Huru Hara.
"Itu berbahaya sekali," seru tikoan. "Pangeran Boan itu
tentu tinggal di markas yang dijaga ribuan prajurit.
Bagaimana engkau dapal meloloskan diri apabila pangeran
Boan itu tahu kalau mempelai wanitanya palsu !"
"Sian tikoan," kata Huru Hara, "memang segala hal itu
tentu mengandung bahaya. Tetapi pernah kudengar orang
berkata: “kalau tak berani masuk ke sarang harimau
bagaimana akan mendapat anak harimau? Sekarang
kurasakan kata2 itu memang benar. Kalau aku tak berani
menempuh bahaya masuk ke dalam markas mereka,
bagaimana aku dapat menculik pangeran itu ?"
"Hah ? Menculik ?" tikoan makin tercengang.
"Aku mempunyai rencana yang bagus," menerangkan
Huru Hara, "kalau aku dapat menculik pangeran Boan
untuk kujadikan sandera, akan kubawa dia kepada Su Ga
Hwat tayjin untuk memaksa pasukan Ceng mundur."
"O," seru tikoan, "rencana itu memang hebat tetapi .....
tetapi ah, tidak mungkin, "tikoan gelengkan kepala," engkau
hanya seorang diri bagaimana engkau mampu lolos dari
markas mereka dengan membawa pangeran itu ?"
Huru Hara mengangguk, "Terima kasih atas perhatian
tikoan. Tetapi aku dapat melihat gelagat. Kalau sekiranya
gagal, aku segera akan meloloskan diri.”
Siau tikoan termenung.
"Tetapi bagaimanapun juga, aku harus berhasil. Kalau
tak dapat menculiknya, pangeran Boan itu lebih baik
kubunuh saja," kata Huru Hara, "dalam hal ini harap tikoan
segera bersiap2."
"Maksudmu ?"
"Kerahkan seluruh penduduk, bentuklah barisan
pertahanan kota. Karena kemungkinan musuh tentu
mendendam apabila Barbak bisa terculik atau terbunuh.
Mereka tentu akan menumpahkan kemarahannya kepada
tikoan."
Siau tikoan menghela napas, "Aku sudah tua, kalau
harus mati dalam peperangan itu tak mengapa. Hanya Giok
Lan…."
"Ayah, jangan pikirankan diriku. Saat ini negara sedang
diserang musuh, Kita harus mementingkan keselamatan
negara dan rakyat dulu. Soal diri Giok Lan, serahkan saja
kepada Thian. Bukan hanya keluarga kita yang menderita
nasib begitu tetapi ratusan bahkan ratusan ribu keluarga
bangsa kita yang menderita nasab mengenaskan."
"Bagus, siocia, "kata Huru Hara, “memang dalam
perjuangan membela negara itu kita dituntut untuk
memberikan pengorbanan apa saja."
Huru Hara lalu mendesak kepada tikoan agar dirinya
segera dipersiapkan sebagai mempelai wanita.
Tikoanpun terpaksa meluluskan. 'Tak berapa lama orang
melaporkan kepada tikoan bahwa utusan dari pangeran
Barbak telah natang.
Ternyata utusan itu terdiri dari lima orang yang menyaru
sebagai pedagang. Memang kota Tong-kwan masih
termasuk wilayah yang berada dalam kekuasaan kerajaan
Beng. Mereka masih takut kalau ketahuan dan ditangkap.
Mereka membawa kuda yang mengangkut duabelas peti
barang2 bingkisan untuk calon mempelai. Dan tikoan
dengan sukacita menerima kedatangan mereka.
Seperti yang telah direncanakan dengan Huru Hara
maka tikoan mengutarakan bahwa hari itu juga mempelai
perempuan supaya dibawa ke-tempat pangeran Barbak.
"Apabila pernikahan dilangsungkan disini,” kata tikoan
memberi alasan," tentu akan menimbulkan kegemparan
orang dan tentu aku akan di tangkap oleh pemerintah
Beng."
"Benar," kata orang yang mengepalai utusan pangeran
Barbak.
"Kedua kalinya," kata tikoan pula, "suasana dewasa ini
mencemaskan sekali. Keadaan setiap waktu berubah dan
nasib orang tak menentu. Maka agar pernikahan itu jangan
sampai gagal, lebih baik segera saja dilangsungkan ditempat
pangeran Barbak."
Alasan itu memang tepat dan utusan itupun menyetujui,
"Kapan akan berangkat ?" tanyanya.
"Nanti malam saja, agar tidak manarik perhatian orang,"
jawab tikoan.
Begitulah singkatnya, pada malam itu rombongan utusan
pangeran Barbak membawa mempelai wanita atau nona
Giok Lan, berangkat meninggalkan kota Tong-kwan
menuju ke markas kediaman pangeran Barbak.
Kepala utusan heran mengapa hanya mempelai wanita
saja tanpa pengantar dan pelayan. Tikoan mengatakan,
"Anakku memang aneh. Kemauannya tak dapat dibantah.
Dia tak mau membawa pelayan karena dia sudah bertekad
hendak menjadi isteri seorang pangeran Boan sungguh2.
Disana dia nanti akan mengambil pelayan bangsa Boan biar
lekas mengerti adat kebiasaan orang Boan."
"Wah, siocia sungguh bijaksana sekali," puji utusan itu.
Waktu naik tandu, karena wajah mempelai itu ditutup
dengan kain cadar maka orang2 tak dapat melihatnya.
Tetapi rombongan utusan itu percaya, tak mungkin tikoan
berani main gila. Mereka tak pernah membayangkan kalau
mempelai itu seorang nona palsu.
Waktu mau berangkat, tikoan memberi pesan kepada
kepala utusan, "Giok Lan pesan, selama dalam perjalanan.
kalian tak boleh mengganggunya, mengajak bicara. Bahkan
tak perlu mengantar bidangan dan minuman, karena sudah
membawa sendiri. Perhatikanlah !"
Kepala utusan mengiakan, Mereka horrnat sekali kepada
tikoan karena bukankah tikoan itu akan menjadi mertua
pangcran Barbak yang berkuasa besar ?
Malam mengadakan perjalanan memang suatu taktik
bagus untuk menyimpan rahasia. Apalagi kepala utusan
pangeran Barbak itu memang pandai sekali untuk
menyembunyikan diri. Mereka mengenakan pakaian
sebagai rombongan pedagang,
Selama itu tak terjadi suatu apa. Mereka sudah
meninggalkan kota Tong-kwan dan mulai melintasi sebuah
gunung, Diperhitungkan menjelang pagi mereka sudah tiba
di jalan besar yang terus menuju ke daerah yang sudah
dikuasai pasukan Ceng. Selamat …… pikir kepala
rombongan utusan itu.
Saat itu sudah tengah malam dan setelah menuruni
gunung mereka akan menyusur sebuah jalanan yang penuh
dengan pepohonan.
Sekonyong-konyong mereka melihat beberapa gunduk
benda hitam menghadang di tengah jalan. Rombongan
utusan itupun terkejut. Pemimpinnya memberi isyarat
supaya berhenti. Tetapi anehnya menunggu sampai
beberapa waktu bayang hitam itu tetap tak bergerak.
"Tunggu," kata pimpinan yang terus mengeprak kudanya
menghampiri ke muka, Tetapi dia terkejut sekali karena
gunduk bayang2 hitam itu lenyap.
"Ah, mungkin mataku salah lihat," gerutu pimpinan itu
seraya kembali ke rombongannya. Dia memberi perintah
supaya perjalanan dilanjutkan,
Lebih kurang baru sepuluh menit berjalan, kembali
sosok2 hitam itu muncul pula. Pemimpin rombongan
itupun terkejut lagi.
"Bukankah kalian lihat di depan itu telah berbaris
beberapa sosok hitam ?" tanyanya kepada anakbuahnya.
Mereka mengiakan.
"Coba kalian dua orang ke sana," perintah pemimpin itu.
Dua orang anakbuahnya segera maju kearah bayang2
hitam itu. Tetapi merekapun terkejut seperti pimpinannya.
Sosok2 hitam itu lenyap.
"Bayang2 hitam itu hilang," mereka melapor kepada
pimpinannya.
"Baik, kita lanjutkan lagi," kata pimpinan rombangan.
Setengah jam kemudian kembali bayang2 hitam itu
muncul. Kali ini pimpinan rombongan tak menghiraukan
lagi dan tetap memerintahkan supaya berjalan terus.
"Ah ..... ," bukan kepalang kejut pimpinan rombongan
dan anakbuahnya ketika melihat bahwa bayang2 itu masih
tetap tegak di tengah jalan.
"Wanita ..... ," desis pimpinan rombongan itu ketika
makin dekat.#
"Hai ……. !" beberapa anakbuah rombongan menjerit
ketika melihat bahwa sosok2 tubuh dari wanita2 itu
ternyata bukan perempuan biasa melainkan berwajah
menyeramkan.
Ada yang giginya menonjol keluar. Ada yang hidungnya
hilang. Ada yang kedua matanya besar dan melotot keluar.
Ada pula yang lidahnya menjulur keluar, merah dan
panjang. Lebih seram lagi, mereka itu bergerak-gerak dan
mulutnya bercuit-cuit seperti bangsa siluman atau setan
atau kuntilanak.
Mau tak mau bergidiklah buluroma rombongan urusan
pangeran Barbak itu.
Pimpinan rombongan itu bernama Hok Sin, seorang jago
silat yang terpandang di daerah timur. Dan sebenarnya
anggauta anakbuahnya itu juga jago2 silat dari golongan
hitam yang telah bekerja pada kerajaan Ceng.
Mereka menyamar sebagai saudagar dan pura2 seperti
orang biasa. Namun ketika menghadapi pemandangan yang
begitu menyeramkan, mereka pun gemetar juga.
"Ah, jangan takut. di dunia ini tak ada bangsa setan
kuntilanak," seru Hok Sin yang bernyali besar. Dia segera
menghunus pedang dan maju menghampiri.
"Hai, setan2 kuntilanak !" teriaknya, "mau apa engkau
menghadang jalan ?"
Tiba2 kawanan setan perempuan itu tertawa meringkik,
keras dan panjang sehingga menimbulkan suasana yang
seram.
"Hai, berhenti !" teriak Hok Sin dengan marah, "lekas
pergi sebelum aku turun tangan membasmi kalian !"
Namun kawanan kuntilanak itu tetap tertawa dan
bahkan mereka lalu membentuk sebuah lingkaran lalu
menari-nari .....
Entah darimana tiba2 terdengar bunyi harpa mengalun
lagu, mengiringi tarian para kuntilanak itu.
Harpa mengalun lagu rendah, melengking-lengking bagai
ratapan isteri yang menunggu sang suami atau kekasih
pulang dari medan perang. Kemudian mengalun rendah
bagaikan helaan napas dari dara yang bergadang dibawah
sinar rembulan, menanti sang kekasih yang tak kunjung
datang.
Pun kawanan kuntilanak yang sedang menari itu mulai
mempertunjukkan tarian yang gila. Bagaikan lapisan kabur
yang lapis demi lapis berorak dari gumpalan, maka
mulailah kawanan kuntilanak itu membuangi pakaiannya
sehingga pada saat irama harpa mendendang lagu yang
penuh sentuhan rasa dari seorang dara yang mendambakan,
curahan sang kekasih. merekapun menanggalkan
pakaiannya yang terakhir. Saat itu mereka hanya
tnengenakan kain cawat yang amat tipis ...
Hok Sin yang begitu garang, saat itu tegak seperti patung.
Begitu juga keempat anakbuahnya. Mereka terlongonglongong
melongo seperti orang bengong.
Tungngng .....Tiba2 harpa dipetik keras sekali sehingga
menimbulkan ledakan suara mirip gunung meletus. Dan
seketika itu rubuhlah kelima orang tersebut.
Tiba2 pula harpa berbunyi riuh macam derap berihu ekor
kuda yang mencongklang di medan perang, Riuh rendah
macam pertempuran di medan perang.
Hok Sm dan keempat anakbuahnya segera
bergelimpangan kian kemari seperti orang yang sedang
angot penyakit ayannya atau seperti itik yang disembelih
lehernya, menggelepar kesana, menggelepar kesini ... .
Jalanan itu terbuat dari batu sehingga muka, tubuh dan
pakaian mereka compang camping dan babak belur tak
keruan. Darah mengucur dan berobahlah wajah mereka
seperti setan bermuka me-rah.
Tringngng .....
Terdengar dering melengking yang tajam sekali seperti
memecah telinga dan seketika melentinglah tubuh kelima
orang itu ke udara lalu jatuh terbanting di tanah lagi dan tak
berkutik selama-lamanya ......
Kawanan kuntilanak itu segera menghampiri ke kereta
tempat mempelai perempuan namum mereka tak berani
membuka kain tenda kereta. Mereka hanya tegak di
sekeliling kereta itu, seperti menunggu komando.
Memang benar. Tak berapa lama dari balik gerumbul
semak, muncultah seorang wanita berpakaian hitam.
Mukanya tertutup kain cadar hitam. Pada pinggangnya
terselip sebatang seruling warna kuning, mirip emas.
"Bagaimana ?" tegurnya dengan nada yang kalm.
"Murid sekalian menunggu perintah suhu. Mempelainya
masih berada dalam kereta," kata salah seorang kuntilanak.
"Baik, bukalah pintu kereta dan suruh mempelainya
turun," kata wanita bercadar hitam.
Pintu dibuka dan kuntilanak itu mempersilakan
mempelai turun. Mempelai itupun menurut perintah,
"Siapa engkau ?" tegur wanita bercadar. Dia tak meilhat
bagaimana wajah mempelai itu karena tertutup dengan kain
cadar juga sebagaimana adat kebiasaan bagi seorang
mempelai perempuan.
"Aku Siau Giok Lan, puteri tikoan dari kata Tongkwan,"
kata mempelai wanita dengan suara kecil yang,
dibuat- buat.
"Hendak kemana engkau
"Dibawa mereka ke tempat mempelai lelaki" 'sahut Giok
Lan palsu atau Huru Hara.
"Siapa mempelai lelaki ?
"Pengeran Boan yang bernama Barbak."
Wanita bercadar itu mendesis kejut, "Seorang pangeran
Boan ?"
"Ya."
"Mengapa engkau mau menjadi isteri pangeran Boan ?"
"Hanya menuruti perintah ayah."
"Mengapa ayahmu menerima lamaran seorang Boan ?"
"Terpaksa," kata Huru Hata, karena diancam.
"Hm" dengus wanita bercadar itu pula, "tetapi apakah
engkau sendiri suka menjadi isteri orang Boan ?"
"Siapa sudi !"
'"Mengapa engkau mau dibawa mereka ?"
"Akan kubunuh pangeran Boan itu."
"Apa? Engkau hendak membunuh pangeran Boan itu ?"
"Ya."
"Apakah engkau tak takut dibunuh mereka?"
"Aku sudah bersiap mengorbankan jiwa. Kalau perlu aku
akan bunuh diri."
Wanita bercadar itu terkejut. Bagaimana kerut wajahnya
memang tak kelihatan tetapi rupanya dia kagum. Hal itu
terbukti dia mengangguk-angguk kepala.
"Baik, jika begitu, silakan engkau pulang sa ja. Aku
takkan mengganggumu." katanya.
"Tidak," sahut Huru Hara, "jika aku pulang ayah tentu
celaka. Pangeran Boan itu tentu akan mengetahui
pembunuhan ini dan tentu akan mengirim orang untuk
membunuh ayah."
"Lalu bagaimana maksudmu ?"
"Aku tetap akan ketempat pangeran Boan itu."
"Perlu apa ?"
"Membunuhnya. Dia adalah sumber dari bencana yang
menimpa negara kita. Kalau dia masih hidup, rakyat kita
tentu menderita."
Wanita bercadar itu geleng2 kepala, "Tidak, engkau
salah. Memang dia termasuk sumber dari bancana yang kita
rasakan ini. Tetapi bukan dia sendiri. Dia hanya salah
seorang dari ribuan orang Boan yang hendak menjajah
negara kita. Mati seorang Barbak, masih ada beribu-ribu
Barbak yang tetap hendak menindas kita."
"Kita menang jumlah," bantah Huru Hara, "kalau setiap
wanita tukar dengan jiwa seorang Boan, kita tentu dapat
meludaskan mereka."
Wanita bercadar itu tertawa lirih, "Itu kemauaumu.
Tetapi apakah mereda begitu bodoh akan menurut
kemauanmu ? Sudahlah, jangan ngelantur. Engkau mau ke
tempat pangeran Boan itu, tetapi mana pengantarmu ?
Bukankah kelima orang itu sudah mampus semua ?"
Huru Hata kerutkan kening. Memang tempo pengawal
tentu saja akan menimbulkan hal amat lucu. Apakah di
dunia ini ada seorang mempelai wanita yang datang
seorang diri ke rumah mempelai pria ?
"Lalu bagaimana baiknya aku harus bertindak ?" Huru
Hara seperti seorang gadis yang kebingungan.
"Apakah engkau mau ikut aku ?" tanya wanita bercadar
itu.
"Siapa engkau ? Sebelum aku tahu siapa dirimu, aku tak
dapat memberi keputusan," kata Huru Hara.
"Aku adalah wanita ganas yang di juluki dengan nama
Kim-tiok Lo-sat atau Dewi-laknat Seruling emas."
"O," Huru Hara terkejut walaupun ia belum pernah
mendengar nama itu, "lalu siapakah perempuan2 yang
berwajah seram ini ?"
"Mereka adalah barisan Kuntilanak, anakbuahku yang
setya."
"Kuntilanak ? Apa itu kuntilanak ?"
"Kuntilanak adalah sejenis setan perempuan yang suka
mengganggu kaum lelaki .."
"O. apakah kalian suka mengganggu lelaki?" Huru Hara
terkejut pula.
"Memang begitulah tujuan dari gerombolan Kuntilanak
yang kupimpin ini."
"Aneh," gumam Huru Hara," mengapa engkau
membenci kaum lelaki ?"
“Karena lelaki itu manusia yang gemar menipu dan
merusak wanita. Kita sebagai wanita harus jangan mau
diperlakukan begitu. Oleh karena itu kudirikan suatu
himpunan dari para wanita yang mempunyai dendam sakit
hati kepada orang lelaki."
"Tetapi kan tidak semua lelaki itu tentu jahat, "bantah
Huru Hara," ada juga lelaki yang baik malah
perempuannya yang jahat"
"Sudah tentu dalam bertindak kami harus hati2.
Sebelumnya kami tentu akan menyelidiki lebih dulu lelaki
itu jahat atau baik. Kalau jahat, tentu kita ganyang tetapi
kalau baik takkan kita ganggu. Pun terhadap wanita yang
jahat yang suka mempermainkan lelaki, yang berhianat
terhadap suaminya, juga akan kami lenyapkan.
Huru Hara kerutkan dahi. Diam2 ia terkejut. Aneh
memang dunia ini. Penuh dengan segala macam manusia
dan peristiwa.
"Aku mau ikut kedalam gerombolanmu tetapi ada satu
syaratnya," kata Huru Hara.
"Soal memusuhi kaum lelaki, memang tidak apa. Tetapi
ingat, saat ini negara sedang dalam peperangan. Kalau
engkau mengganyang setiap lelaki, bukankah nanti negara
kita akan kehabisan orang lelaki untuk mengangkat senjata
melawan musuh. Syaratku adalah, hentikan dulu perbuatan
balas dendam terhadap kaum lelaki bangsa kita. Tujukah
tindakanmu itu terhadap setiap lelaki bangsa Boan.
Tumpaslah setiap prajurit Boan dan kaki tangannya !"
Wanita bercadar itu mengangguk, katanya„ "Usulmu itu
memang pantas. Baiklah, kuterima syaratmu itu. Lalu
bagaimana dengan beberapa budak2 Boan yang mati itu."
"Ya, memang harus dipikirkan," kata Huru Hara, "aku
ada permintaan lagi. Maukah engkau meluluskan ?"
"Apa ?"
"Aku hendak kembali ke ayah untuk melaporkan
kejadian disini. Agar ayah dapat bersiap-siap untuk
menghadapi kemungkinan orang2 Boan akan marah
kepadanya. Yang paling baik, supaya ada akal untuk
mengalihkan kemarahan pangeran Boan itu."
"Maksudtnu ?"
"Bagaimana caranya supaya apabila orang2 Boan datang
kemari dan melihat mayat2 orang mereka, mereka tahu
kalau aku telah dirampas orang. O, ya. bagaimana kalau
kukatakan bahwa mempelai perempuan telah dirampas
kawanan penyamun dan pengiring-pengiringnya dibunuh ?"
"Bagus," seru wanita bercadar itu," tetapi bagaimana cara
mengatakan hal itu kepada mereka ?"#
"Ya, benar," seru wanita bercadar atau Dewi Seruling
Emas pula, "akan kutinggalkan surat pada mayat mereka
agar apabila kawan mereka datang akan tahu duduk
perkaranya."
Huru Hara setuju,
"Lalu apakah engkau idinkan aku pulang dulu untuk
memberi kabar kepada ayah ?" tanyanya.
"Sebaiknya memang engkau kembali lagi kepada
ayahmu. Namun kalau engkau ingin bergabung kepada
gerombolanku, akupun akan menerimamu," kata Dewi
Seruling Emas.
"Bagaimana aku dapat mencari tempatmu,” tanya Huru
Hata.
"Seluas berpuluh Ii dari hutan ini adalah daerah
kekuasaanku, Setiap saat engkau datang, anakbuahku tentu
akan menyambutmu."
"Baik," kata Huru Hara lalu mengucapkan terima kasih
dan pamitan.
"Tunggu!” tiba2' Dewi Seruling Emas berseru ketika
Huru Hara hendak naik ke kereta.
"Kenapa ?"
"Ada sesuatu yang aneh pada dirimu ..”.
-oo0dw0oo-
Jilid 36
Gawat.
Huru Hara terkejut. Ia hentikan langkah dan berpaling,
"Apa katamu ? Ada sesuatu yang aneh pada diriku ?"
Dewi Seruling Emas tak lekas menjawab melainkan
tertegun. Kemudian menjawab, "Ya."
"Soal apa ?"
"Apakah engkau benar puteri dari Siau tikoan ?" tanya
Dewi Seruling Emas,
Huru Ham terkesiap namun dijawabnya juga, "Ya,
mengapa ?"
"Aneh," gumam wanita bercadar itu.
"Apanya yang aneh ?"
"Tikoan itu adalah pembesar tertinggi di kota. Puterinya
tentu seorang gadis yang cantik. Tetapi , ..."
"Tetapi bagaimana ?"
"Mengapa engkau begitu tinggi seperti seorang lelaki ?"
"Ha h ?"
"Dan lihatlah itu, kakimu juga besar seperti petani ..."
"Hus !" karena lupa Huru Hara sampai mendampratnya.
"Tanganmupun besar2 seperti tukang.............. !"
"Engkau gila !"
"Dan suaramu, ya, suaramu itu bukan suara anak
perempuan , ..."
"Sinting engkau !"
"Maka bukalah kain cadar penutup mukamu itu agar
hilanglah kesangsianku. Engkau apakah benar-benar puteri
Siau tikoan."
"Dewi Seruling , ."
"Serulling Emas !" tukas wanita bercadar itu.
"Mengapa harus pakai emas ?"
"Karena serulingku memang terbuat dari emas murni."
"O," seru Huru Hara pula, "aku akan membuka kain
penutup mukaku tetapi engkaupun harus membuka cadar
penutup wajahmu. Itu baru adil!" seru Huru Hara.
Selama dalam pembicaraan itu karena dirangsang
ketegangan, Huru Hara lupa untuk memperkecil nada
suaranya. Dia bicara ceplas ceplos seperti biasanya sehingga
kentara kalau lelaki,
"Hm," desuh Dewi Seruling-emas, "engkau melanggar
pantanganku. Barangsiaaa menghendaki melihat wajahku,
harus mati ! Apakah engkau masih menginginkannya ?"
"O, sama dengan aku," seru Huru Hara pula,
"barangsiapa yang ingin melihat wajahku, tentu akan cacat"
"Hm, makin lama engkau makin berobah. Bukan lagi
seperti layaknya seorang gadis puteri tikoan. Siapa engkau
?" bentak Dewi Seruling-emas."
"Aku adalah mempelai wanita dari pangeran Boan.
Kalau tak percaya, terserah . . . ."
"Lekas buka kerudung mukamu!" bentak Dewi Serulingemas.
"O. apakah engkau kepingin cacat ?" seru Huru Hara.
"Pik Lian, lucuti kain penutup mukanya," seru wanita
itu.
Dari kelompok kuntilanak, muncul seorang kuntilanak
yang terus menyambar kain penutup wajah Huru Hara.
“Ih..... ," kuntilanak yang disebut Pek Lian itu mendesis
kaget karena sambarannya luput. Dia ulangi lagi tetapi tetap
tak berhasil.
Melihat itu seorang kuntilanak Ioncat maju dan
membantu. Tetapi kedua kuntilanak itupun juga tak
berhasil. Gerakan si mempelai wanita itu terlalu cepat bagi
mereka.
Seorang kuntilanak maju lagi tetapi tetap tak mampu
merobohkan. Seorang demi seorang sehingga dua belas
kuntilanak maju mengepung Huru Hara.
Sebenarnya Huru Hara dapat merobohkan mereka tetapi
dia malu kalau harus memukul anak perempuan maka
diapun hanya berlompatan kian kemari menghindari
serangan mereka.
Tiba2 terdengar suara seruling berbunyi. Dan tampaklah
Dewi Seruling-emas itu sedang meniup serulingnya.
Rupanya karena melihat selusin anakbuahnya tak mampu
berbuat apa2 terhadap si mem pelai wanita, Dewi Seruling
itu menyadari kalau mempelai itu seorang yang berilmu
tinggi. Maka mulailah dia meniup seruling pusakanya.
Eh, tahu2 kawanan kuntilanak itupun tidak menyerang
lagi. Kini mereka mulai menari-nari dengan gerak yang
lemah gemulai mengikuti irama seruling itu.
Saat itu haripun makin malam dan gelap. Hanya suara
seruling yang mengalun tinggi rendah merobek-robek
kesunyian malam. Kawanan kuntilanak itu seperti kena
sihir. Mereka bagai patung3 hidup yang dimainkan oleh
suara seruling.
Huru Hara tertegun. Tiba2 ia merasa jantungnya
mendebur keras dan darahnya mengalir deras ketika
menyaksikan ulah tingkah kawanan kuntilanak itu.
Serempak dengan alunan irama seruling yang makin
melengking-lengking tinggi, kawanan kuntilanak itupun
makin menjadi histeris.
"Celaka," diam2 Huru Hara membatin, "rupanya suara
seruling itu mengandung tenaga-dalam yang hebat."
Dia lebih camas pula ketika merasa nafsunya makin
lama makin meluap ketika melihat kawanan kuntilanak itu
mulai melepaskan pakaiannya.
"Wah, runyam," pikirnya pula, "kalau aku tak segera
berundak, tentu celakalah aku."
Dia kerahkan hati dan kerahkan tenaga. Tenaga-sakti Jiih-
sin-kang memang lihay. Karena sudah beberapa kali
merasakan, setiap kali kerahkan tenaga, dia dapat memiliki
tenaga yang hebat, maka Huru Harapun percaya bahwa
dirinya memang mengandung tenaga yang sakti.
Selekas kerahkan tenaga, dia terus enjot tubuhnya
melayang sampai dua tombak, melampaui kepala kawanan
kuntilanak dan terus tiba di hadapan Dewi Seruling.
Dewi Seruling terkejut sekali. Ia tak nyana bahwa
mempelai perempuan bukan saja kebal dengan serangan
tenaga-sakti dari serulingnya, pun saat itu malah dapat
menerobos keluar dan berdiri dikadapannya.
"lh, engkau ini bukan manusia !" teriak Dewi Seruling
yang hentikan tiupannya lalu menyerang.
Huru Hara terkejut melihat gaya serangan wanita
bercadar itu. Dia merasa seperti ditabur oleh puluhan
batang seruling emas sehingga matanya silau.
"Ihhhhh," teriak Dewi Seruling ketika ujung seruling
berhasil menyingkap kain penutup muka mempelai
perempuan dan menyaksikan wajah Huru Hara.
"Siapa engkau !" bentaknya sesaat kemudian.
Hum Hara terkejut. Namun karena sudah ketahuan
diapun menyahut tenang. "Aku Huru Hara. Aku memang
sengaja menyaru menjadi puteri tikoan untuk menolong
puteri itu supaya jangan sampai jatuh ke tangan pangeran
Boan !"
Dewi Seruling terkesiap. Rupanya dia tengah
mempertimbangkan langkah terhadap Huru Hara.
"Hm, tujuanmu memang baik," akhirnya wanita
bercadar itu berkata, "tetapi engkau membohongi aku."
"Apa engkau merasa rugi ?"
"Paling tidak, aku harus melaksanakan tujuan dari
perhimpunan yang kudirikan ini."
"Engkau memusuhi aku ?"
"Karena jelas engkau seorang lelaki !"
"Apa salahnya aku jadi seorang lelaki ? Habis, kalau
memangnya lelaki apakah harus jadi perempuan ?" balas
Huru Hara seenaknya.
"Engkau memang tak salah tetapi menyalahi aku.
Karena aku telah bersumpah untuk mengganyang setiap
lelaki."
"Engkau limbung," seru Huru Hara, "yang salah lelaki
yang menyakiti hatimu tetapi mengapa aku yang tak tahu
menahu persoalanmu, harus engkau balas ?"
"Sudah ..jangan banyak mulut !" seru Dewi Seruling,
“kedua engkau mampu bertahan mendengar aku memetik
harpa, engkau boleh bebas !"
"Lho, mengapa harpa ? Bukankah engkau mahir meniup
seruling ? Bukankah engkau memakai gelar Dewi Serulingemas
?"
Dewi Seruling mendengus, "Sebenarnya aku mempunyai
dua macam senjata, seruling dan harpa. Tetapi entah
bagaimana orang hanya senang memberi julukan Dewi
Seruling-emas kepadaku. Tetapi itu tak penting, lekas
engkau bersiap din!"
"Sembarang waktu aku sudah siap !"
Maka Dewi Seruling lalu melolos harpa yang
menggamblok pada punggungnya. Sama dengan
serulinguya, harpa itu juga terbuat dari emas. Sejenak
bersiap maka terdengarlah suara harpa mengalunkan lagu.
Bermula pelahan lalu makin keras dan lincah
menggambarkan suatu suasana yang riang.
Karena sudah tahu bahwa harpa itu mengandung tenagapesona,
maka diam2 Huru Harapun sudah menghimpun
napas dan mengerahkan tenaga agar jangan sampai terbius.
Alunan harpa kemudian berobah, mengalun nada yang
sedih, merintih dan meratap-ratap bagai sepasang kekasih
yang sedang berpisah.............. .
Huru Hara tegak seperti patung. Wajahnya berobah
pucat dan hatinya seperti disayat-sayat. Tetapi dia masih
kuat bertahan.
Beberapa saat kemudian, harpa berganti irama. Kini
kembali beralun deras dan gencar penuh dentum-dentum
yang dahsyat dan gemercik yang bergemuruh. Sepintas
menyerupai suasana medang pertempuran.
Sedemikian hebat harpa itu meletup-letup sehingga Huru
Hara tak tahan lagi. Tiba2 saja dia ayunkan tangan
menghantam, "Mampus engkau, kurcaci Boan.............. . ."
Kiranya saat itu Huru Hara memang terhanyut dalam
gelombang harpa yang mengalun irama peperangan, Saking
tak kuat, pikiran Huru Hara seperti tengah membayangkan
kalau dia sedang diserang oleh kawanan prajurit Boan.
Maka tak tahan lagi, dia terus menghantam penuh
kemarahan.
Tenaga-sakti Ji-ih-sin-kang memang sebuah tenagadalam
yang luar biasa hebatnya. Andaikata tenaga-sakti itu
dimiliki oleh seorang tokoh yang berilmu tinggi, tentu akan
mengembang dahsyat, Jika tokoh itu seorang tokoh hitam,
dia akan merupakan momok yang membahayakan umat
manusia,
Pembangkitan tenaga-sakti Ji-ih-sin-kang yang dilakukan
karena terkejut dan marah, akan mencapai titik yang
tertinggi dari daya kesaktian tenaga aneh itu. Dan adalah
karena membayangkan sedang dikepung prajurit2 Boan,
maka Huru Harapun marah. Tenaga-sakti Ji-ih-sin-kang
seketika memancar dahsyat .... ,
"Ihhhhh ..... ," Dewi Seruling mendesis kaget ketika
tubuhnya terdampar mundur beberapa langkah. Lebih
terkejut lagi ketika ia mengetahui beberapa senar dari
harpanya telah putus .....
Huru Hara tersadar dan terkejut menyaksikan keadaan
wanita-wanita itu tegak berdiri seperti patung. Wajahnya
pucat lesi dan tengah pcjamkan mata.
"Maaf, Dewi Seruling, aku tak sengaja melukaimu,"
Huru Hara menghampiri dan minta maaf, "tetapi mengapa
engkau mengalunkan lagu yang menggambarkan
peperangan dahsyat sehingga aku merasa seperti diserang
oleh beratus-ratus pra jurit Boan, lalu kuhantam mereka ...."
Namun tiada jawaban. Dewi Seruling tetap membisu.
"Baik, Dewi Seruling," kata Huru Hara pula, "aku masih
mempunyai urusan penting untuk membantu perjuangan
mentri Su Go Hwat yang sedang menghadapi serangan
pasukan Ceng di Yangciu. Aku bersalah dan akupun sudah
minta maaf. Terserah saja kepadamu. Kalau engkau dapat
menerima permintaan maafku, anggap saja urusan ini
sudah selesai. Tetapi andai kata engkau tetap tak dapat
memaafkan aku, kapan saja engkau boleh mencari aku.
Nah, selamat tinggal ..... "
"Tunggu ..... ," baru beberapa langkah Huru Hara
berjalan, tiba2 terdengar Dewi Seruling berseru, "engkau
kumaafkan karena engkaulah satu-satunya orang yang
sanggup menerima suara harpaku dan bahkan dapat
menghancurkan senar harpa itu."
"Terima kasih," kata Huru Hara, "apakah masih ada .....
"
Huakkkkk, tiba2 Dewi Seruling muntahkan segumpal
darah merah dan tubuhnyapun bergemetaran keras lain
jatuh terduduk, Ternyata dia menderita luka- dalam yang
cukup parah.
"Dewi Seruling, kuharap engkau suka minum pil buah
som ini," kata Huru Hara seraya memberikan dua butir pi1
Cian - tian - hay - te-som (buah som dari dasar laut yang
berumur seribu tahun, "percayalah, lukamu tentu akan
sembuh."
Dewi Seruling meminum pil itu.
"Dewi Seruling," kata Huru Hara pula, "aku gembira
karena engkau mau memaafkan salah faham yang terjadi
diantara kita tadi. Engkau tentu maklum. bahwa tujuanku
menyaru jadi mempelai wanita sebagai pengganti puteri
dari tikoan, tak lain adalah untuk menolong puteri tikoan,
disamping aku memang bertujuan hendak menculik
pangeran Barbak "
Terdengar Dewi Seruling mendesis pelahan.
"Dengan menculik Barbak yang menjadi saudara dan
panglima besar angkatan perang kerajaan Ceng yaitu
Torgun, aku akan menemui mentri pertaaan Su tayjin dan
dengan menggunakan sandera itu dapatlah Su tayjin
menekan agar pasukan Ccng yang mengepung kota Yangciu
ditarik mun dur. . . ."
Tiba2 Huru Hara hentikan kata2nya karena melihat
Dewi Seruling gelengkan kepala.
"Kenapa engkau gelengkan kepala ?" tegur Huru Hara.
"Engkau tak kenal sifat panglima Boan itu. Dia seorang
yang keras kepala dan memegang disiplin. Dia lebih
mengutamakan kepentingan negaranya dari keluarga. Tak
mungkin dia mau menarik mundur kepungannya hanya
karena saudaranya akan dibunuh Su tayjin."
"O," dengus Huru Hara, "maksudmu. sia-sia sajakah aku
berusaha untuk menculik Barbak itu?"
Dewi Seruling mengangguk.
"Dewi Seruling," tiba2 Huru Hara teringat sesuatu,
"apakah engkau pernah mendengar tentang sebuah
perkumpulan yang bernama Hongli-hoa atau Bunga
Persembahan ?"
"Pernah," sahut D Seruling, "tetapi hanya sepintas saja
dan tak bagitu jelas. Apa maksudmu mengatakan
perhimpunan itu ?"
"Hong-li-hoa juga suatu himpunan wanita tetapi baik
anggautanya maupun tujuannya beda dengan
perkumpulanmu," kata Huru Hara, "Hongli-hoa terdiri dari
wanita atau gadis yang telah tercemar dan terjerumus dalam
lembah hitam. Namun dalam menghadapi negara diserang
orang Boan, merekapun serentak bangkit dan bersatu.
Dengan penuh kesadaran berkorban, mereka rela
menyediakan diri sebagai pemuas napsu para pembesar
Boan. Namun mereka melaksanakan tugas dari
pimpinannya yaitu, berusaha mempengaruhi para pembesar
Boan agar jangan terlalu kejam menindas rakyat di daerah
yang telah mereka duduki. Kedua. mencari berita penting
dari rahasia rencana gerakan pasukan Boan. Dan ketiga,
berusaha untuk menolong dan menyelamatkan jiwa kaum
pejuang bangsa kita."
Dewi Seruling mendengarlan dengan tertegun.
"Mereka merasa menjadi wanita2 yang telah tercemar
bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai sampah. Tetapi
ternyata mereka memiliki kesadaran dan dharma-bakti yang
begitu mulia terhadap negara dan rakyat. Kita patut
menghargai mereka ..... "
"Hm, apa maksudmu hanya begitu ?" tanya Dewi
Seruling.
"Ada lagi," jawab Huru Hara, "ternyata kaum wanita
bangsa kita juga tak mau ketinggalan dalam menunaikan
dharma- baktinya kepada negara. Antara lain, engkau
sendiripun telah membentuk perhimpunan kaum wanita.
Alangkah luhurnya apabila engkau mau mengarahkan
himpunanmu kepada tujuan yang mulia yani membela
negara kita yang sedang terancam bahaya kehancuran ini ?"
Dewi Seruling terdiam.
"Kurasa dewasa ini diseluruh negeri kita, banyak sekali
kaum wanita yang menderita seperti anakbuahmu dan
mereka yang tergabung dalam Hong-li-hoa. Engkau, Dewi
Seruling, tentu dapat menolong mereka, menghimpun
mereka dalam satu wadah dan membentuk suatu barisan
wanita guna melawan serangan musuh. Percayalah, Dewi
Seruling, gerakanmu itu tentu akan mendapat sambutan
yang hangat dari para wanita yang senasib.
Kurasa, perjuanganmu itu akan lebih berarti bagi negara
dan rakyat, Bagaimana ?"
Dewi Seruling mengangguk pelahan, "Akan
kupertimbangkan usulmu itu."
"Dan engkau sendiri bagaimana ?"
"Aku sih sudah tiada harapan apa-apa dalam hidupku
yang sekarang ini. Tentu saja aku akan menerima usulmu
itu."
Huru Hara gelengkan kepala, "Pangkal tolak
pemikiranmu itu salah. Kalau engkau berjuang karena
sudah putus asa, itu bukan suatu perjuangan yang baik,
Putus asa atau tidak, perjuangan membela negara dan
rakyat adalah suatu kewajiban dan dharma-bakti yang
luhur. Apabila berjuang karena putus asa, itu masih
mengandung rasa terpaksa."
Dewi Seruling terdiam.
"Dewi Seruling," kata Huru Hara pula, "ma’af, aku
mencampuri urusan peribadimu. Tetapi bolehkah aku
bertanya, siapakah pria yang telah mengecewakan hatimu
itu ? Lalu bagaimana tindakanmu terhadap pria itu ?"
Dewi Seruling terkejut. Ia memandang Huru Hara.
Beberapa saat ia menatap pemuda itu.
"Loan Thian Te," katanya setelah menghela napas
panjang, "memang benar kata orang 'yang kuning belum
tentu emas'. Lahiriyah bukan menjadi ukuran dari peribadi
orang. Engkau seorang pemuda nyentrik tetapi ternyata
hatimu, perjuanganmu sungguh luhur. Kebalikannya
mereka, lelaki2 yang berwajah tampan, manis budi dan
mulut, ternyata manusia2 yang tak bermoral. Suka
mempermainkan wanita, pengecut dan berhianat ...............
."
"Ah, jangan terlalu memuji diriku. Dewi Seruling," kata
Huru Hara, "apa yang kulakukan kepada negara ini
hanyalah suatu kewajiban, Bukan sesuatu yang berlebihlebihan.
Dan apa yang kuminta kepadamu itu, juga suatu
kewajiban yang wajar, bukan sesuatu yang berlebih-lebih.
Kuharap engkau dapat melakukan."
"Baiklah, Loan Thian Te," kata Dewi Seru-ling akhirnya,
"akan kubentuk sebuah Barisan Wanita untuk membantu
mentri Su tayjin dalam perjuangannya melawan pasukan
Ceng."
"Terima kasih, Dewi Seruling," tiba2 Huru Hara
membungkukkan tubuh menjuruh selaku suatu
penghormatan yang tinggi.
Dewi Seruling terkejut` "Eh, mengapa engkau memberi
hormat begitu tinggi kepadaku ?"
"Dewi Seruling," kata Huru Hara. "kalau engkau
memberi aku hadiah emas berpuluh kati atau barang pusaka
yang tak ternilai harganya atau pangkat yang tinggi, terus
terang, aku hanya akan berterima kasih dengan mulut saja.
Tetapi karena engkau memberikan janji kepadaku untuk
ikut membela negara, membantu perjuangan Su tayjtn,
maka aku wajib memberikan terima kasih dengan hatiku."
Dewi Seruling terkesiap. Makin meningkat rasa
kagumnya terhadap pemuda nyentrik itu.
"Lean Thian Te, silakan kalau engkau mau melanjutkan
perjalanan," katanya, "dalam waktu singkat aku tentu akan
membawa anakbuahku ke Yang-ciu."
Huru Hara segera pergi. Belum berapa lama berjalan
kembali dia menghadapi sebuah peristiwa lagi. Saat itu
sudah menjelang pagi. Tiba2 dia mendengar suara jeritan
wanita dan arah muka, tepatnya di belakang sebuah bukit.
Cepat dia berlari menghampiri.
Apa yang disaksikan benar2 membuat darahnya meluap.
Seorang gadis tengah dikerumuni oleh beberapa prajurit dan
dibuat permainan. Ada yang mencomot pipinya, ada yang
mentowel bibirnya, ada pula yang hendak memeluknya.
Gadis itu menjerit-jerit.
"Bangsat. jangan mempermainkan gadis yang tak
berdosa," serentak Huru Hara lari dan menerjang mereka.
Kawanan prajurit itu tak sempat bicara. Karena diserbu,
merekapun lalu menghantam. Tetapi akibatnya mereka
menjerit dan terpental ke belakang. Beberapa orang, tulang
tangannya patah .....
Melihat itu mereka hendak lari tetapi dibentak Huru
Hara, "Berhenti ! Siapa yang berani lari, kubunuh !"
Prajurit2 itu adalah prajurit2 pasukan kerajaan Beng.
Mereka serempak berhenti.
"Loan-heng," tiba2 gadis itu berseru seraya
menghampiri.
"O, Siau siocia," kata Huru Hara ketika melihat gadis
cantik itu ternyata puteri tikoan "mengapa engkau disini ?"
"Aku hendak mencari engkau."
"Mencari aku ?" Huru Hara terkejut. Siau Giok Lan
mengiakan.
"Ada keperluan apa nona hendak mencari aku ?"
"Kupikir, biarlah aku saja yang menjadi mempelai itu ?"
"Mengapa ?"
"Aku kasihan kepadamu kalau engkau nanti tertangkap
dan dibunuh mereka."
"Dan kalau nona ?"
Siau Giok Lan menghela napas, "Ah, apa arti seorang
Siau Giok Lan ? Dengan pengorbananku itu, sekali gus aku
dapat menunaikan dua buah bhakti. Bhakti kepada orang
tua dan bhakti kapada negara."
"Bhakti ? Apa maksud nona ? Apakah tikoan memaksa
nona ?"
Giok Lan gelengkan kepala, "Tidak. Ayah tidak
memaksa aku. Bahkan sebenarnya ayah hendak menolak,
tetapi akulah yang mencegahnya." "Lho apakah nona setuju
diperisteri orang Boan itu ?"
"Tidak, Loan-heng," kata Siau Giok Lan, "aku tak sudi
menjadi isteri orang Boan itu. Tetapi dalam menghadapi
keadaan seperti sekarang ini, setiap orang dituntut untuk
memberikan dharma bhaktinya. Karena aku bukan anak
laki maka akupun tak dapat memanggul senjata berperang.
Tetapi aku hendak membaktikan diri. Dengan menikah
pada pangeran Boan itu, aku dapat menolong keluargaku,
rakyat di kotaku dan rakyat di daerah lain."
"Maksud nona ?"
"Pangeran Boan itu akan dikendalikan supaya
melakukan tindakan2 yang tak membikin susah rakyat."
"Apakah dia mau ?"
"Jika dia menolak, akan kubunuh !"
"Tetapi bagaimana caranya nona hendak membunuhnya.
Bukankah nona seorang gadis lemah."
"Akan kuracuni setelah dia mati akupun akan bunuh
diri."
"Siocia !" teriak Huru Hara terkejut, "engkau benar2
seorang gadis yang berjiwa besar.
"Jangan memuji, Loan-heng. Apa yang kulakukan hanya
sepercik dharma-baktiku kepada negara dan rakyat."
"Apakah tikoan tak tahu kalau nona- menyusul kemari ?"
Giok Lan gelengkan kepala, "Aku pergi secara diam2
karena kalau tahu ayah pasti akan mencegah.".............. ' •
"Siocia tak .perlu mencemaskan diriku," kata Huru Hara,
"sekarang peristiwa itu sudah selesai."
Dengan singkat ia menceritakan peristiwa yang
dialaminya ketika di tengah jalan dicegat gerombolan
Kuntilanak yang dipimpin Dewi Seruling.
"O," desuh Giok Lan, "ternyata di dunia ini banyak
sekali kaum wanita yang menderita nasibnya. Benar,
tindakanmu memang tepat sekali untuk menyadarkan
mereka ..... " ia menghela napas.
"Bagaimana nona diganggu oleh kawanan prajurit nu ?"
tanya Huru Hara pula.
"Ketika sedang berjalan tiba2 muncul sekelompok
prajurit. Begitu melihat aku berjalan seorang diri mereka
terus mengganggu aku. Apakah mereka bukan prajurit
kerajaan Beng sendiri ?"
"Benar," jawab Huru Hara, "memang mereka adalah
prajurit2 kita sendiri. Mereka tentu anakbuah dan jenderal
Ko Kiat yang terbunuh. Mereka menjadi prajurit yang liar
dan berbuat sekehendak hati yang merugikan rakyat."
Kemudian dia berpaling kearah prajurit2 itu dan
bertanya, "Hai, kalian prajurit darimana ? Mengapa kalian
berani mengganggu gardis baik2 ?"
Seperti yang diduga Huru Hara, memang kawanan
prajurit itu adalah prajurit pasukan jenderal Ko Kiat yang
sudah terpencar kemana-mana. Sebagaimana setiap
menghadapi kelompok prajurit begitu, Huru Hara suruh
mereka pilih. Kalau tidak ingin jadi prajurit, suruh mereka
pulang kampung dan menjadi petani yang baik. Tak boleh
menjadi brandal dan perampok. Kalau masih ingin jadi
prajurit, suruh menggabung pada pasukan yang berada di
Yang-ciu.
Ternyata hasilnya, mereka semua masih ingin menjadi
prajurit. Merekapun segera pamit.
"Tunggu," seru Giok Lan seraya melolos-kalungnya,
"nah, juallah kalungku ini dan pergunakanlah untuk ongkos
kalian."
"Siocia !" seru Huru Hara terkejut, "mengapa siocia
memberikan kalung mustika itu ?"
"Loan-heng," kata Giok Lan, "apa artinya sebuah kalung
? Memang benar, kalung ini adalah kalung mustika
pemberian mama. Tetapi dalam suasana seperti sekarang
dimana negara sedang diserang musuh, kita harus mau
berkorban. Harta benda dan jiwa raga ..... "
"Siocia !" seru Huru Hara dengan tertegun. Giok Lanpun
memandang pemuda nyentrik itu.
"Mengapa Loan-heng," serunya seiaya memandang
pemuda itu.
Huru Hara terkejut ketika merasa dipandang lekat2 oleh
Giok Lan. Dia tersipu-sipu tundukkan kepala.
"Aku tak apa2," kata Huru Hara, "sebenarnya siocia tak
perlu harus berkorban begitu. Prajurit2 itu akan dapat
mengusahakan makan untuk mereka sendiri."
"Tetapi Loan-heng," kata Giok Lan, "setelah tahu
engkau, kini aku sadar bahwa kehidupanku selama ini,
tidak akan menjurus kearah yang gemilang ..... "
"Mengapa ? Bukankah sebagai puteri tikoan siocia hidup
serba kecukupan ?"
"Memang," sahut Giok Lan; "tetapi hanya dalam soal
kebendaan saja, Tetapi dalam soal alam pikiran, ternyata
aku seperti hidup dalam sangkar emas. Segalanya serba
indah bagai impian, tetapi aku buta akan kenyataan di
sekelilingku. Aku buta akan kewajiban sebagai seorang
puteri bangsa."
Huru Hara kembali tertegun.
"Baiklah, kalau siocia memang bermaksud hendak
memberi mereka bekal, silakan," kemudian dia berseru
kepada kawanan, prajurit itu, "hayo, kalian lekas
menghaturkan terimakasih kepada sio-cia dan lekas
berangkatlah ke Yang-ciu !"
Setelab kawanan prajurit itu pergi, Huru Harapun
bertanya kepada Giok- Lan, kemanakah nona itu hendak
pergi.
"Loan-heng, aku benar2 tertarik akan perjuanganmu,"
kata Giok Lan, "dapatkah engkau menunjukkan kepadaku
bagaimana cara aku dapat menyumbangkan dharmabaktiku
kepada perjuangan membela negara ?"
Huru Hara tertegun. Dia terkejut juga akan ucapan nona
itu. Giok Lan seorang puteri tikoan yang lemah. Bagaimana
mungkin dapat berjuang dalam medan perang?
"Kutahu," kata Giok Lan sesaat kemudian, "bahwa
engkau tentu menganggap aku seorang lemah. Hal itu
memang benar. Karena dalam keluarga pembesar negeri
maka aku hanya dididik dalam bidang kewanitaan dan
dipersiapkan menjadi ibu rumahtangga yang baik. Tetapi
engkau tentu tak mengira bahwa aku sebenarnya mengerti
tentang ilmusilat."
Kembali Huru Hara terkesiap, "Apakah siocia bisa main
silat ?"
Giok Laa gelengkan kepala, "Tidak bisa. Yang kusebut
mengerti ilmusilat yalah pengetahuan tentang ilmusilat.
Tetapi karena takut dimarahi ayah dan mama, aku tak
pernah berlatih silat."
"Jadi maksud nona ?"
"Aku mengerti ilmusilat tetapi tak bisa main silat, jelas ?"
sahut Giok Lan.
"O," desuh Huru Hara. Dia teringat pada dirinya sendiri.
Dia juga tak bisa main silat tetapi memiliki tenaga sakti Jiih-
sin-kang yang luar biasa. Aneh sekali manusia di dunia
ini, pikirnya.
"Ya," sahut Huru Ham, "lalu maksud nona?"
"Aku hendak ikut berjuang tetapi aku tak tahu
bagaimana caranya dan dimanakah aku dapat
menyumhangkan tenagaku untuk perjuangan itu," kata
Giok Lan.
Huru Hara merenung. Beberapa saat kemudian baru
herkata, "Sesungguhnya, setiap orang dapat berhakti kepada
negara dan berjuang menurut kemampuan dan bidangnya
masing2. Yang penting harus memiliki landasaran pikiran
tak mau dijajah bangsa lain. Aku mempunyai seorang
sumoay yang tinggal di gunung Lou-hu-san. Dia dapat
memberi pelajaran silat kepada nona. Tetapi sayang saat ini
aku masih mempunyai tugas penting untuk membantu Su
tayjin di Yang-ciu sehingga tak sempat mengantar nona ke
sana. Tetapi akupun belum tahu apakah ayah nona setuju."
"Setelah mengalami peristiwa pahit dari kaki tangan
orang Boan itu, kini ayah sadar bahwa orang yang lemah
itu tentu akan mengalami tindasan dari orang yang kuat."
"Begini nona .....
"Jangan panggil nona atau siocia kepadaku;" tukas Giok
Lan, "panggil saja namaku."
"Ah," Huru Hara menghela napas, "baiklah. Sekarang
kuharap engkau pulang dulu, Tikoan tentu bingung
mencarimu. Aku hendak ke Yang-. ciu . . . ,"
"Tidak," seru Giok Lan, "aku ikut engkau."
"Ikut aku ?" Huru Hara kaget.
"Ya." kata Giok Lan, "aku dapat membantumu
menghadapi musuh."
"Tetapi ............... . tetapi . . . .”
"Tetapi bagaimana ?"
"Tetapi Yang-ciu sedang dikepung pasukan Boan. Kita
sedang menghadapi peperangan. Berbahaya sekali bagimu."
Giok Lan tertawa, "Kalau bagi aku berbahaya, apakah
bagimu, bagi Su tayjin dan bagi saudara2 yang sedang
berada di Yang-ciu, juga tidak berbahaya ?"
"Ah . . ..."
"Mengapa ? Jangan takut, aku takkan menyusahkan
dirimu. Aku dapat menjaga diriku sendiri."
"Tetapi bagaimana ayah dani ibumu nanti ?"
"Aku sudah meninggalkan surat. Mengatakan bahwa aku
hendak ikut berjuang dengan para pejuang. Jika terjadi
sesuatu pada kota Tong-kwan, ayah dan mama kuminta
pulang ke kampung saja. Kelak aku tentu akan pulang juga.
Tak usah kuatir, ayah sudah menyadari apa yang akan
terjadi pada negara kita. Dan lagi ayah masih ada adikku
lelaki yang masih kecil."
"Wah, berabe juga," Huru Hara garuk2 kepala. "apa
engkau sudah mantap pada pendirianmu ?" .
"Percayalah kepadaku," kata Giok Lan, "aku tentu dapat
membantu kepada Su tayjin."
"Tetapi kurasa lebih baik . . . ."
"Kalau engkau tak mau mengajak aku, aku-pun dapat
berangkat sendiri," kata Giok Lan seraya ayunkan langkah.
"Non , .. eh. Giok Lan, tunggu," terpaksa Huru Hara
mengikutinya. Mereka menuju ke Yang-ciu.
Makin dekat makin terasa suasana di daerah sudah mulai
tegang. Sering Huru Hara bertemu dengan rombongan
rakyat yang sedang mengungsi.
Selama berjalan dengan nona itu, Huru Hara mengetahui
bahwa nona itu memang seorang gadis yang halus budi,
ramah, cerdas dan luas pengetahuan.
"Kalau menurut keadaan, rasanya kerajaan Beng harus
pindah lagi ke daerah barat," katanya.
"Mengapa ? Bukankah kerajaan masih mempunyai
kekuatan yang besar untuk menahan serangan.............. ?"
kata Huru Hara.
"Dimana persatuan sudah menjadi barang yang langka,
hanya malapetaka yang akan tiba," kata Giok Lan, "dan
dimana kerajaan sudah penuh dorna, kehancuranpun akan
menimpah. Tidakkah engkau banyak melihat kenyataan2
seperti itu ?"
Huru Hang mengiakan, "Ya, tetapi kita tidak harus
berputus asa karena hal2 itu. Kita harus berusaha untuk
menegakkan lagi kesetyaan dan menghimpun persatuan."
"Jika kerajaan Beng mempunyai lima orang putera
seperti engkau, aku yakin tentu akan dapat mengalahkan
musuh."
"Ah, jangan memuji," kata Huru Hara, "sebenarnya di
negara kita ini terdapat beratus-ratus ribu pemuda yang
setya kepada negara. Soalnya hanyalah cara bagaimana
untuk membangkitkan semangat mereka, menghimpun dan
menyatukan mereka dalam suatu kesatuan."
"Oleh karena itulah maka aku mengatakan bahwa lebih
baik pemerintahan kerajaan kita, pindah lagi ke barat untuk
menyusun kekuatan lagi ..."
"Dan menegakkan pembersihan pada tubuh
pemerintahan," tukas Huru Hara.
"Itu yang penting," sambut Giok Lan.
"Kita sependapat dengan jenderal Co Liang Giok," seru
Huru Hara, "jenderal yang. menjadi panglima daerah
Kangsoh itu hendak mengdakan pembersihan ke kotaraja.
Karena sebelum tubuh pemerintahan pusat di Lam-kia
dibersihkan dari mentri Ma Su Ing dan mentri2 durna
lainnya, tentulah kerajaan Beng akan jatuh."
"O,. apakah engkau pernah bertemu dengan jenderal Co
?" tanya Giok Lan.
"Ya, karena diutus mentri Su tayin untuk menyelidiki
apa maksud tujuan jenderal itu hendak meuggerakkan
anakbuahnya ke kotaraja."
Singkatnya saja, mereka telah tiba di luar kota Yang-ciu.
Keadaan kota itu memang tegang dan gawat sekali.
Pasukan Ceng mengepung dari arah utara dan rimur kota.
Kota Yang-ciu mempunyai dua buah pintu kota, di
sebelah utara dan selatan. Yang disebelah utara dijaga ketat
sekali karena pasukan Ceng memusatkan pasukannya
disitu. Sedang pintu sebelah selatan juga ditutup walaupun
tak ada pasukan musuh. Setiap orang yang hendak masuk
harus diperiksa oleh penjaga.
"Aneh." gumam Giok Lan.
"Kenapa ?"
"Mengapa pintu kota ditutup begitu rapat ? Pada hal
pasukan musuh mengancam dari utara," kata Giok Lan,
"Mungkin mereka takut kemungkinan musuh akan
menyerbu dari pintu selatan juga." jawab Huru Hara.
Karena pintu kota bagian selatan tertutup rapat dan
berkali-kali mengetok pintu tidak terbuka, maka Huru Hara
menggedor pintu itu dengan kuatnya, "Hai. penjaga, buka
pintu !"
Memang seperti bukit roboh suara daun pintu ketika
dihantam Huru Hara. Daun pintu itu terbuat daripada kayu
yang tebal, dilapis baja.
Beberapa saat kemudian terdengar Giok Lan berteriak
keras2, "Loan-heng, lekas mundur , .."
Huru Hara terkejut. Tepat pada saat itu sebatang
anakpanah telah melayang kearahnya. Karena terkejut dia
loncat ke samping, sret, leher bajunya telah tercium ujung
anakpanah hingga robek sedikit. Untung tak mengenai
kulitnya.
Ternyata diatas pintu kota, muncul berpuluh prajurit
yang bersenjata panah. Salah seorang telah melepaskan
panah kearah Huru Hara.
"Hai, engkau gila !" teriak Huru Hara, "aku hendak
menghadap Su tayjin !"
"Siapa engkau ?" teriak prajurit yang berjajar diatas
tembok pintu.
"Aku Loan Thian Te, laporkan saja kepada Su tayjin !"
"Loan Thian Te si Huru Hara ?"
"Ya."
Mendengar jawaban Huru Hara, serempak kawanan
prajurit itu terus mengangkat busur dan sret, sret, sret .
berhamburanlah anakpanah melayang kearah Huru Hara.
Bukan main kejut Huru Hara. Ia dapat menghindar
tetapi bagaimana dengan Giok Lan ?
Karena gugup, dia terus mencabut pedang Cek-thiatkiam
(pedang magnit) terus diputar untuk melindungi diri.
Aneh, berpuluh batang anakpanah itu segera melekat pada
pedang itu. Yang jaraknya terpisah satu meter pun seperti
tersedot pedang itu.
"Hai, prajurit, mengapa kalian memanah aku ?" teriak
Huru Hara.
"Bukankah engkau bernama Huru Hara ?" teriak
kawanan prajuri t.
"Ya ..... "
Sret, sret, sret ..... berhamburan pula anak panah
melayang kearah Huru Hara. Huru Hara gemas sekali. Dia
memutar pedangnya bagai angin puyuh. Bahkan kali ini,
dia maju menghampiri ke bawah kaki tembok kota.
Melihat kawanan prajurit itu tercengang karena
anakpanahnya semua melekat pada pedang Huru Hara,
Huru Hara terus berjongkok menyambar segenggam tanah
pasir bercampur kerikil kecil2, dilontarkan keatas.
“Aduh aduh .....” terdengar kawanan prajurit itu
menjerit dan mengaduh. Ternyata mata mereka terkena
lontaran tanah pasir dan terus mundur.
Beberapa saat kemudian diatas gardu penjagaan tampak
sunyi. Huru Hara cari akal bagaimana dapat memanjat
keatas.
"Loan-heng, engkau hendak naik keatas pintu kota ?"
tiba2 Giok Lan bertanya.
“Ya.”
"Apakah engkau tak mampu loncat keatas ?"
"Mungkin tidak bisa. Terlalu tinggi," sahut Huru Haru.
"Potonglah pohon dan terus loncat keatas tembok," kata
Giok Lan.
Huru Hara terkesiap. Memang benar kata nona itu. Dia
terus lari mencari sebatang pohon. Ada sebatang pohon
yang batangnya sebesar paha dan tingginya lima meter.
Pohon itu ditebangnya lalu disandarkan pada tembok kota.
"Tunggu, biar kubuka pintunya," seru Huru Hara kepada
Giok Lan seraya mendaki batang po bon itu. Batang pohon
itu karena bersandar maka masih kurang dua meter dari
puncak tembok. Tetapi itu tiada halangan bagi Huru Hara.
Sekali menginjak batang pohon, dia terus melayang ke atas
dan tepat tiba di puncak tembok.
Pada masa itu. setiap kota tentu dilingkungi oleh tembok
yang tebal. Memang sengaja tembok dibuat tebal, bukan
saja supaya merupakan seperti benteng, pun dibagian
puncaknya supaya dapat di jadikan lorong kecil untuk
berjalan. Dilorong itulah penjaga dapat melakuken patroli
ataupun tempat prajurit2 menjaga kota dari seranganmusuh.
Kota yang sekelilingnya dilingkari tembok disebut shia
yang berarti benteng. Juga di negeri barat, terdapat apa
yang disebut kasteel atau tempat kediaman seorang
bangsawan atau kota. yang sekelilingnya juga dilingkungi
tembok tinggi.
Setiap kota mempunyai dua buah pintu gerbang. Dan
diatas pintu itu, juga didirikan suatu pos penjagaan.
Demikianlah sedikit keterangan agar pembaca maklum.
Tepat pada saat Huru Hara menginjakkan kaki pada
lorong tembok, dari jauh tampak berpuluh prajurit berlarilari
menghampiri. Mereka menghunus senjata.
"Bunuh! Bunuh mata- mata! Bunuh matamata!" teriak
mereka seraya menyerbu.
Huru Hara hampir meluap emosinya. Tetapi untung dia
ingat bahwa yang dihadapinya itu adalah prajurit Beng
yang sedang menjaga kota Yang-ciu dari serangan musuh.
Kalau dia mengamuk, dia kuatir tentu akan jatuh korban.
Pikir-pikir, apa boleh buat. Begitu mereka tiba, Huru
Hara terus melayang turun ke bawah. Disitu terdapat
beberapa penjaga. Tanpa memberi kesempatan lagi. Huru
Hara terus melesat dan meinukul rubuh mereka. Setelah itu
dia segera membuka palang pintu kota.
"Adik Lan, cepat," serunya kepada Giok Lan.
Selekas Giok Lan tiba, Huru Hara terus membopong
nona itu dan dibawa lari masuk kedalam kota.
Peristiwa Huru Hara melayang dari ketinggian tembok
kota setinggi belasan meter, membuat kawanan prajurit
yang hendak menyerangnya itu tertegun dan melongo.
Waktu melihat Huru Hara membopong seorang nona dan
lari kedalam kota, barulah kawanan prajurit itu tersadar dan
bergegas turun kebawah untuk mengejarnya.
"Tangkap mata-mata! Tangkap mata-mata!" mereka
mengejar seraya berteriak-teriak.
Huru Hara jengkel tetapi bagaimana lagi. Tiba2 ia
terkejut karena di sebelah muka muncul sekelompok
prajurit yang dipimpin oleh seorang bertubuh tegap. Jelas
mereka hendak menghadang Huru Hara.
Huru Hara berhenti dan turunkan Giok Lan. Dia maju
menyongsong kawanan prajurit itu. Seorang prajurit yang
berada paling depan segera menusuk Huru Hara dengan
tombak. Huru Hara loncat ke atas lalu menginjak batang
tombak. Sudah tentu prajurit itu tak kuat dan karena
hendak mempertahankan tombaknya dia ikut menjorok ke
bawah, plak . . . . sekali menampar muka si prajurit, Huru
Hara terus mencengkeram tubuhnya dan diangkat ke atas
lalu menyerang kawanan pra jurit itu dengan memutar
tubuh prajurit tawanannya.
Sudah tentu terkejut sekali kawanan -prajurit
menyaksikan keperkasaan Huru Hara. Merekapun takut
kalau sampai melukai kawannya sendiri.
"Hiantit, berhentilah!" tiba2 terdengar suara orang
berseru' kepada Huru Hara. Huru Hara kenal dengan suaraorang
itu. Dia hentikan amukan nya.
"O, Tong cianpwe," serunya ketika melihat Tong Kui Tik
hadir disitu. Dia tak tahu entah ka pan jago tua itu
datangnya.
"Hiantit, mengapa engkau mengamuk?" tegur Tong Kui
Tik.
"Mereka menyerang aku," Huru Hara lalu menceritakan
apa yang dialaminya ketika meminta pintu kepada prajurit
penjaga.
Sementara itu kawanan prajurit yang mengejar Huru
Hara tadipun tiba. Tong Kui Tik bertanya kepada mereka
mengapa mereka menyerang Huru Hara.
"Kami mendapat perintah dan Su kongcu," kata kepala
kelompok.
"Su kongcu? Su Hong Liang kongcu?" Tong Kui Tik
menegas.
”Ya.,,
"Apakah Su Hong Liang berada disini?" Huru Hara
terkejut.
"Ya, dia datang bersama seorang kawan." "Apa?
Kawannya itu juga datang?" Huru Ilara makin kaget.
Tong Kul Tik mengiakan,. "Tiga hari yang lalu dia
datang bersama seorang kawannya."
"Dan nona Tiau Ing?"
"Nona Tiau Ing?" Tong Kui Tik terkesiap, "mengapa
nona Tiau Ing?"
"Apakah tidak ikut datang?"
"Tidak."
"Apakah Su Hong Liang hanya datang berdua saja?"
"ya."
"Tidak membawa prajurit."
"Hiantit, aku tak mengerti apa yang menjadi maksudmu.
Su Hong Liang hanya datang berdua bersama kawannya
saja. Tidak ada nona Tiau Ing, juga tidak ada prajurit."
"Aneh," kata Huru Hara. Ia menuturkan apa yang telah
terjadi waktu dia bertemu nona Tiau Ing dan Su Hong
Liang.
"Tong cianpwe," kata Huru Hara, "dimana Su Hong
Liang sekarang?"
"Dia berada dalam markas bersama Su tayjin."
"Aku akan menghadap Su tayjiri," kata Huru Hara,
Kemudian ia memperkenalkan Giok Lan kepada Tong Kui
Tik.
Tong Kui Tik terkejut tetapi diam2 dia juga kagum atas
tekad puteri tikoan itu. Mereka menuju ke markas.
"O, Loan Thian Te, engkau sudah datang," sambut
mentri pertahanan Su Go Hwa ketika melihat Huru Hara
dan Giok Lan.
"Benar, tayjin," kata Hutu Hara, "tetapi hampir saja
hamba tak dapat masuk kedalam kota."
"Mengapa,” ujar Su tayjin.
Huru Hara lalu menceritakan apa yang dialaminya tadi.
"Apa yang dikatakan Loan hiantit itu memang sungguh,
tayjin," kata Tong Kui Tik, "memang mengherankan sekali
mengapa Su kongcu memberi perintah begitu kepada para
penjaga."
Su Go Hwat terkejut, "Aneh, nanti akan ku tanya
kepadanya."
"O, apakah Su kongcu tak berada di markas" tanya Huai
Hara.
"Dia sedang mengadakan inspeksi pada pintu utara
bersama kawannya,"
"Wah, jika begitu hamba akan menyusul ke sana" Huru
Hara terus bendak pergi.
"Tunggu dulu," cegah Su Go Hwat, "kenapa engkau
begitu bernafsu sekali hendak menemui nya,"
"Tidak apa2, tayjin," Huru Hara menyadari bahwa
kemungkinan mentri pertahanan itu kuatir kalau dia hendak
menuntut balas kepada Su Hong Liang, "sebaiknya hamba
menemuinya untuk menjelaskan persoalan sekalian untuk
ikut memeriksa keadaan penjagaan kota."
"Kurasa tak perlu," kata-Su Go Hwat, "akan kusuruh
prajurit untuk memanggilnya. Engkau di sini dulu."
Karena yang menitahkan mentri pertahanan, Huru Hara
sungkan dan terpaksa menurut. Padahal sebenarnya ia ingin
mengetahui apa gerak gerak Su Hong Liang dan kawannya
itu. Memang ia curiga terhadap Su Hong Liang.
"Bagaimana hasil penyelidikanmu ke Kang soh," ujar
mentri Su Go Hwat.
Huru Hara mentuturkan semua yang dialaminya ketika
bertemu dengan jenderal Co Lang Giok, "Co ciangkun
sudah berjanji kepadaku bahwa dia tak berniat sama sekali
untuk memberontak melainkan hanya ingin mengadakan
pembersihan di tubuh pemerintahan kerajaan. Terutama
tay-haksu Ma Su Ing."
"Tetapi tidakkah hal itu akan merusak kesatuan dan
memperlemah kekuatan kita ?" kata Su Go Hwat.
"Hambapun sudah mengatakan begitu tetapi Co
ciangkun mengatakan bahwa dia dapat mengatur
tindakannya agar jangan sampai menimbulkan hal yang tak
diinginkan. Dia sangat yakin bahwa tindakannya itu akan
bermanfaat demi kepentingan negara."
"Ah, seharusnya dia menahan diri dulu. Karena
bagaimanapun juga, tindakannya itu pasti akan
menimbulkan gejolak yang memperlemah kekuatan kita."
Huru Hara mengatakan bahwa kesan yang ia peroleh
selama berhadapan dengan jenderal Co Liang Giok, yalah
jenderal itu memang seorang meliter yang keras tetapi
bertanggung jawab. Maka ia percaya penuh akan janji
jenderal itu bahwa tindakkannya melakukan pembersihan
ke kotaraja itu takkan menggoncangkan negara.
Kemudian Huru Harapun menceritakan tentang
pengalamannya selama kembali ke Yang- ciu, dimana dia
banyak bertemu dengan prajurit2 anak pasukan jenderal Ko
kiat, dianjurkannya supaya prajurit2 itu menggabungkan
diri kepada mentri pertahanan Su tayjin.
"Tayjin, apakah selama ini tak ada pasukan anakbuah
jenderal Ko Kiat yang datang kemari?" tanya Huru Hara.
"Hanya sekali yalah yang dibawa Tong sian seng ini,"
kata Su Go Hwat seraya menunjuk Tong Kui Tik.
"Hanya sekali ? Aneh. pada hal jelas masih ada dua
rombongan lagi. Pertama, yang dtbawa oleh seorang
pemuda bernama Sim Cui. Kedua oleh nona Tiau Ing dan
Su Hong Liang," kata Huru Hara, "itulah sebabnya maka
tadi hamba ingin menemui Su kongcu untuk menanyakan
perihal nona Tiau Ing."
"Sudah kupanggilnya, sebentar dia tentu datang," kata Su
Go Hwat.
"Tayjin, mengapa jenderal Ko Kiat dibunuh jenderal
Kho Tang Kok ?"
"Ah. tanah Tiong-goan memang bernasib
malang...........," mentri Su Go Hw-it menghela napas,
"memang Ko Kiat itu seorang jenderal yang benar nafsu
angkaranya. Tetapi setelah berulang kali kuberi nasehat dan
kubimbing, dia sudah sadar............"
"Itu waktu dia kutugaskan menjaga wilayah Ih-ciu agar
dapat selalu kuawasi dan berhubungan dengan aku. Seperti
Co Liang Giok. Ko Kiat itu juga keras kepala. Tiba2 saja
dia mengajukan permohonan kepada raja agar diidinkan
untuk menyerang ke utara, merebut kembali daerah yang
telah diduduki musuh."
"Tay-jin," tukas Huru Hara," mengapa dia langsung
mengajukan permohonan ke kotaraja dan tidak kepada
tayjin saja ?"
"Itulah kwalitet dari para jenderal2 kita," kata Su tayjin,
"mereka kurang disiplin dan lebih suka langsung kepada
raja daripada melalui atasannya sendiri. Seolah mereka
hendak menunjukkan bahwa dirinya juga dapat
berhubungan langsung dengan raja dan mendapat idin dari
pusat."
"Apakah hal itu tidak mengurangi kewibawaan tayjin
sebagai mentri pertahanan ?"
"Loan Thian Te," kata Su Go Hwat dengan nada serius."
mungkin mereka menganggap aku seorang bun-koan
(pembesar sipil) yang kebetulan saja diangkat sebagai
mentri pertahan. Mungkin mereka mengira aku tentu kalah
pandai dalam ilmuperang dengan mereka. Atau mungkin
juga mereka hanya ingin mengambil muka pada raja.
Banyak sekali kemungkinan yang dapat ditafsirkan pada
tindakakan mereka terutama jenderal Ko Kiat itu.
"Engkau tentu bertanya mengapa aku tak mau
mengambil tindakan disiplin untuk menghukum Ko Kiat,"
kata mentri pertahanan Su Go Hwat pula, "ya, memang aku
merasa seharusnya kutindak jenderal yang melanggar
disiplin itu. Tetapi ada dua buah pertimbangan yang
menyebabkan aku tak mau tergesa menindak mereka.
"Pertama, mengingat negara sedang dalam keadaan
parah menghadapi serangan musuh. Kita butuh persatuan.
Kalau mereka berontak tentu akan melemahkan kekuatan
kita. Dan kedua kaliuya, biarlah mereka mengerti siapa
pemerintahan kerajaan yang sekarang Biar mereka tahu,
siapa sesungguhnya yang menguasai kerajaan saat ini ?"
"Tetapi tayjin, kalau mereka sampai jatuh kedalam
pengaruh Ma Su Ing, bukankah keadaan akan makin
bertambah runyam lagi ?" sanggah Huru Hara.
"Bukanlah sekarang memang sudah begitu keadaannya
?" balas Su Go Hwat," coba engkau lihat jawaban dari
kotaraja atas permintaanku supaya mengirim bala bantuan
itu ?"
Mentri pertahanan Su Go Hwat mengambil sebuah
amplop dinas yang memakai stempel kerajaan dan
diserahkan kepada Huru Hara.
Huru Hara membuka dan membacanya.
"O, jadi tay-haksu Ma Su Ing menolak untuk mengirim
bala bantuan kepada tayjin dan bahkan memerintahkan
tayjin supaya menggempur jenderal Co Liang Giok ?" seru
Huru Hara.
Su Go Hwat mengiakan, "Begitulah maksud surat itu,
Aku harus meninggalkan Yang ciu dan kembali ke selatan
untuk menggempur Co Lian Giok."
"Lalu siapa yang akan mempertahankan Yang ciu dan
daerah utara.............. ?"
"Dia tak mengatakan," kata Su Go Hwat, "bahkan apa
yang diterima Ko Kiat atas permintaannya ke kotaraja itu ?
Baginda mengatakan bahwa Ko Kiat tidak boleh merebut
kembali daerah utara yang diduduki pasukan musuh dan
harus mempertahankan daerah yang dikuasainya saja.
Bahkan kalau memang sudah berbahaya. Ko Kiat boleh
menarik mundur pasukannya."
"Ah, terlalu sekali," sera Huru Hara, "tetapi benarkah itu
amanat dari baginda sendiri ?"
Su Go Hwat gelengkan kepala, "Bukan. Yang menulis
adalah tay-haksu Ma Su Ing, baginda hanya membubuhi.
tandatangan. Bahkan kemungkinan tayhaksu sendiri yang
membubuhi tanda tangan itu."
"Celaka ! Celaka !" teriak Huru Hara, "jika raja sudah tak
berkuasa maka mentri durna tentu merajalela dan negara
pasti celaka ! Jika demikian, memang tepat sekali tindakan
jenderal Co LiangGiok untuk mengadakan pembersihan di
kotaraja itu."
"Tayjin, bagaimana tindakan tayjin sekarang. Apapun
yang tayjin perintahkan, aku tentu akan melaksanakannya."
katanya lebih lanjut.
"Kutahu Loan Thian Te," Su Go Hwat menghela napas,
"bagaimana jiwamu dan pendirianmu seperti kutahu
tentang diriku sendiri. Tiada lain jalan lagi, kecuali aku
harus tetap mempertahankan Yang-ciu agar jangan sampai
jatuh ke tangan musuh.
"Bagaimana situasi kota ini ?"
"Musuh telah menghimpun pasukan besar di scbelah
utata dan disebelah timur. Mereka berusaha untuk
mengepung pintu kota bagian selatan agar kita terputus
hubungan dari luar, Rupanya mereka hendak membuat kita
supaya menyerah atau mati kelaparan."
"Apakah mereka belum pernah melakukan pcnyerangan
?"
"Sudah beberapa kali tetapi dapat kita pukul mundur.
Kini mereka berganti siasat. Tidak mau menyerang tetapi
hanya mengepung."
"Jika demikian harap tayjin menggunakan siasat untuk
melelahkan perhatian mereka," tiba2 terdengar Giok Lan
menyelutuk.
Su Go Hwat terkejut, "Loan Thian Te, siapakah nona ini
?"
"Nona ini adalah Siau Giok Lan siocia, puteri Siau
tikoan dari kota Tong-kwan," kata Huru Hara
memperkenalkan Giok Lan.
"Mengapa nona Siau ikut kemari ?"
Huru Hara lalu menceritakan apa yang terjadi pada
keluarga Siau sehingga Siau siocia bertekad ikut dia untuk
membantu Su Go Hwat.
"Ah nona Siau, engkau benar2 seorang Hoa Bok Lan
yang menitis," puji Su tayjin.
Hoa Bok Lan adalah seorang tokoh pahlawan wanita
yang ikut berjuang mempertahankan negaranya. Dan
selanjutnya kegagahan serta perjuangan Hoa Bok Lan itu
menjadi lambang bagi wanita yang berjuang membela
negaranya.
"Terima kasih, tayjin, Hamba hanya seorang gadis
lemah. Mungkin hamba tak dapat berbuat banyak untuk
menyumbangkan tenaga hamba kepada tayjin," kata Siau
Giok Lan.
"Ah, jangan nona mengecilkan arti diri nona. Tak ada
manusia yang tak berguna. Tekad nona untuk berjuang itu
saja sudah merupakan suatu semangat pengabdian nona
yang luhur. Dan bukankah tadi nona menyatakan cara
untuk menghadapi kepungan musuh ? Silakan nona
mengatakannya."
"Mereka hendak memutuskan hubungan kita dengan
dunia luar agar kita kehabisan ransum dan kelaparan,
kitapun harus balas mereka dengan mematahkan semangat
mereka, tayjin."
"O, benar, benar," seru Su tayjin. "tetapi cobalah nona
terangkan bagaimana cara untuk mematahkan semangat
mereka itu."
"Bentuklah kelompok2 pasukan kecil untuk melakukan
serangan setiap malam. Tak perlu menyerang di waktu
siang hari. Kita cukup bertahan saja. Jika tiap malam
mereka kita ganggu dengan serangan2, tentulah tiap malam
mereka tak dapat tidur. Nanti apabila sudah tiba waktunya
baru kita buka serangan secara besar-besaran pada siang
hari. Karena tiap malam tak dapat tidur, tenulah semangat
mereka meujadi lesu."
"Bagus, nona Siau," seru Su tayjin, "ya, cara itu memang
baik sekali untuk mematahkan semangat musuh .."
Baru mentri bertahan Su Go Hwat berkata sampai disitu,
tiba2 mencullah Sun Hong Liang. Diluar dugaan pemuda
itu tidak kaget melihat kehadiran Huru Hara. Bahkan dia
malah tertawa.
"Hola, Loan-heng, engkau sudah datang? Mengapa tak
mengabarkan kepadaku agar aku dapat menyambut ?" seru
Hong Liang dengan nada bersahabat penuh keramahan.
Huru Hara terkesiap. Dia tak menduga bahwa pemuda
itu sedemikian ramah dan ramah sekali seolah seorang yang
tak bersalah.
"Bagaimana harus memberitahu kalau sedang minta
pintu saja aku sudah diserang dengan hujan anak panah
oleh para penjaga ?" sahut Huru Hara.
"Apa ? Para penjaga pintu kota berani menghujani
anakpanah kepadamu ?" teriak Su Hong Liang dengan gaya
terkejut sekali.
"Ya."
"Apakah engkau tak memberitahu siapa diri mu ?"
Huru Hara gelengkan kepala, "Percuma. Sampai
kerongkonganku parau, mereka tak mau menghiraukan dan
begitu mendengar aku menyebut namaku mereka malah
makin deras menghujani anak panah."
"Celaka memang prajurit2 itu ?" Hong Dan
menyumpahi,
"Ah, mengapa engkau memaki mereka ? Mereka kan
hanya melakukan perintah saja."
"Loan-heng, aku tak mengerti apa maksudmu. Mereka
hanya melakukan perintah apa?”
"Bahwa apabila ada orang bernama Huru Hara yang
datang, supaya diserang dengan anakpanah dan jangan
sampai dapat masuk kedalam kota."
"Siapa yang memberi perintah segila itu ?"
"Seorang yang bernama Su kongcu."
"Gila !" teriak Su Hong Liang, "Su kongcu siapa ?
Apakah aku ?"
"Adakah disini terdapat dua orang Su kong cu?"
"Ah, mereka memang prajurit2 goblok." kata Su Hong
Liang, "ya. aku ingat sekarang. Aku memang pernah
memberi perintah begini, Setiap orang yang hendak
membuat huru hara, harus diserang dengan anakpanah.
Celaka benar ! Karena mendengar nama Loan-heng itu
Huru Hara, mereka mungkin salah dengar atau salah tafsir
kalau engkau hendak membuat huru hara."
"Tetapi aku sudah mcngatakan kalau aku ini utusan Su
tayjin. Mereka tetap tak mengacuhkan," kata Huru Hara.
"Prajurit, lekas engkau tanya siapakah yang telah
melakukan kesalahan kepada Loan sauhiap tadi. Panggil
mereka. biar kuberi hukuman !" seru Su Hong Liang kepada
prajurit penjaga di markas situ.
Karena nada dan sikap Su Hong Liang begitu
meyakinkan maka mentri Sa Go Hwatpun tak curiga.
"Ya, Loan Thian Te, kemungkinan mereka memang
salah dengar. Tetapi jangan marah. Pasti prajurit2 penjaga
yang bersalah itu pasti akan kutindak," kata mentri Su.
Huru Hara terpaksa mengiakan. Dia sungkan kepada
mentri.
"Hong Liang. dimana temanmu-?" mentri Su alihkan
pembicaraan.
"Dia masih melakukan pengintaian terhada gerak gerik
musuh, siok-hu." jawab Hong Liang.
"Hm, bukankah kawan Su kongcu itu yan bernama Yap
Hou ?" tanya Hurtu Hara.
"Ya, kenapa ?"
"Tidak apa2, asal aku tahu saja," kata Huru Hata.
"Hong Liang." kata mentri Su pula, "Loa Thian Te
melaporkan bahwa Tiau Ing bersama engkau datang kemari
dengan membawa sekelompok prajurit anakbuah jenderal
Ko Kiat. Benarkah itu?”
"Ya."
"Lalu mengapa hanya engkau yang datang. Mana Tiau
Ing dan prajurit2 itu ?"
"Begini siokhu," menerangkan Hong Lian "memang
bermula aku bersama Ing-moay hendak menuju ke Yangciu.
Tetapi ditengah jalan rombongan kita diserang oleh
sekawan penjahat. Dalam pertempuran, kita tercerai berai.
Aku terpisah dengan Ing-moay. Mereka sengaja memikat
aku supaya mengejar. Dan karena tak sadar akupun
mengejar mereka. Setelah mereka menghilang baru aku
sadar. Buru2 aku kembali tetapi Ing-moay dan prajurit2
sudah tak kelihatan disitu. Bergegas aku segera ke Yang-ciu,
kukira kalau Ing- moay sudah datang disini . . . . "
"Mengapa tak kau katakan hal itu kepadaku?" tegur
mentri Su tayjin,
"Harap siokhu jangan salah mengerti," kata Hong Liang,
"aku tak mau siokhu tergang, pikiran.. Tugas
mempertahankan kota Yang-ciu dari serangan musuh, amat
penting sekali. Menyangkut ribuan jiwa rakyat. Kalau
sampai siokhu resah memikirkan Ing-moay, tidakkah hal itu
akan melemahkan perjuangan kita? Memang setelah
kutunggu sampai dua tiga hari Ing-moay belum daang, hari
ini sebenarnya aku hendak minta idin kepada siokhu untuk
mencari Ing-moay. Aku tak-an kembali sebelum membawa
Ing-moay . . . . "
Karena pandainya Hong Liang merangkai kata disertai
dengan penampilan yang memberi kesan dia amat sayang
kepada Tiau Ing, menteri Su Go Hwat yang jujur,
terpengaruh juga.
"Baik, disini sudah cukup aku dan beberapa orang yang
mempersiapkan pertahanan. Kalau engkau hendak mencari
adikmu, pergilah," kata mentri Su.
Su Hong Liang diam2 gembira sekali. Dia memberi
hormat dan terus hendak pergi,
"Su Hong Liang," tiba2 Huru Hara menghampiri, "kalau
terjadi sesuatu pada diri nona Thu Ing, engkau harus
bertanggung jawab!"
Su Hong Liang bercekat dalam hati. Pernyataan Huru
Hara itu merupakan suatu ancaman halus. Namun pemuda
itu tersenyum ewah.
"Perlu apa engkau harus ikut2 berpesan. Dia kan adikku
sendiri, sudah tentu aku lebih bertanggung jawab dari
siapapun juga," katanya tajam lalu tertawa sinis.
"Hm," desuh Huru Hara namun dia tak mau berkata
suatu apa.
Beberapa saat setelah Hong Liang pergi, tiba2 ada
prajurit masuk melapor bahwa dimuka pintu sebelah utara,
ada orang ngamuk.
"Siapa ?" tegur mentri Su.
"Seorang anak lelaki dan seorang kakek pendek."
"Di pintu utara ?"
"Benar, tayjin."
"Aneh, bukankah pintu utara sudah dikepung pasukan
Ceng ?"
"Tetapi memang di pintu utara, tayjin."
"Tayjin, idinkan hamba bersama Tong cian pwe
memeriksa ke sana," kata Huru Hara. D minta nona Giok
Lan melanjutkan perundingan dengan Su tayjin untuk
merancang siasat.
Dari atas pos penjagaan diatas pintu kota Huru Hara
terkejut karena melihat anak laki dan kakek pendek yang
berada di luar pintu kota dan berteriak-teriak minta pintu itu
tak lain adalah Ah Liong dan Cian-li-ji. Melihatnya kedua
orang sedang diserang sekelompok prajurit Ceng. Samar2
pula, Huru Hara seperti melihat diantara penyerangnya itu
terdapat Yap Hou, kawan dari Su Hong Liang.
Bukan main marah Huru Hara. Serentak dia turun dan
suruh membuka pintu.
"Lekas !" bentak Huru Hara ketika melihat prajurit
penjara pintu bersangsi.
Begitu pintu dibuka, Huru Hara terus menerjang keluar,
"Ah Liong, paman Cian, jangan kasih ampun kawanan
anjing itu !"
Ah Liong dan Cian-li-ji terkejut lalu berpaling. Keduanya
lupa kalau saat itu sedang bertempur. Dan Huru Hara
terbelalak lebar2 ketika melihat dua orang prajurit Ceng
ayunkan tombak dan pedang menusuk Ah Liong dan Clanli-
ji.
"A .. ," baru Huru Hara hendak berteriak memberi
peringatan kepada kedua orang itu, tiba2 kedua prajurit
Ceng itu menjerit dan roboh.
Ternyata kedua prajurit itu tertancap anakpanah pada
dada mereka. Dan ketika Huru Hara berpaling keatas
tembok, dilihatnya Tong Kui Tik memberi lambaian tangan
kepadanya, Jelas bahwa yang memanah kedua prajurit itu
adalah Tong Kul Tik.
"Engkoh Hok, engkau sudah disini ?" seru Ah Liong
gembira.
"Ho, kemana saja engkau selama ini?" juga Cian-li-ji
berseru.
"Nanti saja, sekarang mari kita basmi kawanan anjing
itu," Huru Hara terus maju menghajar kawanan prajurit
yang masih berada disitu. Ah Liong dan Cian-li-ji juga ikut.
Dalam beberapa saat saja, duapuluh prajurit Ceng yang
hendak mengejar Ah Liong dan Clang-li-ji telah terbabat
habis.
"Hai, kemana jahanam tadi?" seru Huru Hara.
"Jahanam yang mana?" tanya Cian-li-ji,
"Yap Hou."
"Engkau limbung," seru Cian-li-ji, "mana ada macan liar
disini?"
"Apa? Macan liar?" teriak Ah Liong.
"Ya, dia hendak mencari yap hou," kata kakek Cian-li-ji.
Yap hou memang dapat berarti macan liar. Kata2 Tionghoa
memang begitu, suara-sama tetapi hurufnya lain.
"Engkoh Hok, engkau hendak mencari macan liar?" seru
Ah Liong.
"Jangan banyak mulut!" bentak Huru Hara mengkal,
"Yap Hou itu bukan macan liar tetapi nama orang. Kulihat
diantara kawanan prajurit yang menyerang kalian tadi, ada
seorang yang berpakaian orang biasa ... . "
"O, benar, benar," seru Ah Liong, "memang dialah yang
menjadi gara-gara. Ketika aku dan paman Cian hendak
mencari pintu kota, tiba2 muncul seorang pemuda.
Kukatakan kalau aku hendak mencari engkoh Hok, dia
terus marah dan enyerang aku. Sudah tentu aku dan paman
Cian melawan. Dia lari tetapi tak lama kemudian
membawa kawanan prajurit untuk menangkap kami
berdua."
"O, yang itu toh? Ya, kemana dia? Mengapa tak
kelihatan batang hidungnya?" seru Cian-li ji.
"Engkoh Hok, bagaimana kalau kita cari dia?" tanya Ah
Liong.
Huru Hara gelengkan kepala, "Jangan sekarang. Nanti
malam kita serbu mereka. Hayo, kita masuk kedalam kota."
Pintu kota ditutup lagi.
"Ah Liong, engkau haturkan terima kasih kepada Tong
lo-cianpwe ini. Kalau Tong cianpwe tak waspada, lehermu
tentu sudah terpisah dari badanmu."
"Mengapa begitu?"
"Engkau lupa kalau sedang bertempur dan engkau terus
berpaling kearahku. Saat itu musuh sedang ayunkan pedang
untuk memenggal lehermu. Untung Tong cianpwe dapat
memanah prajurit itu," menerangkan Huru Hara.
"Aku juga?" tanya Cian li-ji.
"Ya," sahut Huru Hara.
Ah Liong dan Cian-li-ji menurut. Keduanya
menghaturkan terima kasih.
"Ah, jangan banyak peradatan," seru Tong Kui
mencegah, "kita toh orang sendiri. Mengapa sedikit2 harus
mengucap terima kasih. Siapa tahu besok engkaulah yang
akan menolong aku."
"Itu baru betul !" seru Ah Liong.
Huru Hara segera mengajak mereka kembali menemui
Su tayjin di markas. Su tayjin terkejut ketika diperkenalkan
dengan kedua orang aneh itu. Huru Hara sendiri sudah
nyentrik, sekarang muncul lagi seorang bocah kuncung
yang pakai baju monyetan dan seorang kakek kate.
"Tayjin, memang kami adalah manusia aneh dalam
dunia. Harap tayjin jangan kaget," kata Huru Hara.
"O, tak apa." kata Su tayjin, "mengapa kalian mengamuk
?"
Huru Hara mencari keterangan tentang peristiwa yang
telah terjadi, "Kalau tak salah lihat, pemuda yang mecegat
Ah Liong dan paman itu adalah Yap Hou."
"Siapa Yap Hou ?"
"Kawan dari Su kongcu."
"Ah," Su tayjin mendesah kaget. Namun sesaat
kemudian berkata," bukankah Hong Liang sudah mengajak
kawannya pergi mencari Tiau Ing ? Mungkin saja bukan
kawan Hong Liang tetapi lain orang yang wajahnya
menyerupai."
Huru Hara diam. Dia memang sungkan kepada mentri
itu. Dan memang belum ada bukti yang nyata akan
kepalsuan Su Hong Liang sehingga Su Go Hwat masih
belum dapat disadarkan.
"Biarlah, nanti apa bila sudah ada bukti yang jelas, baru
akan kulaporkan kepada Su tayjin," pikir Huru Hara.
Hari itu mereka disuruh tinggal di markas untuk
melakukan apa yang telah direncanakan Giok Lan bersama
mentri Su.
"Kalian tinggal saja disini. Malam nanti baru kalian
melakukan apa yang diperintah nona Siau," kata mentri Su.
Huru Hara terkejut. Tak nyana bahwa Giok Lan dalam
waktu yang singkat telah mendaulat kepercayaan yang
begitu besar dan mentri Su Go Hwat. Dia teringat akan
kata2 Giok Lan bahwa. nona itu tidak tahu ilmusilat tetapi
mengerti ilmu silat.
"Tapi ini perang, bukan bertempur dengan ilmusilat
melainkan dengan ilmu barisan perang. Apakah nona itu
juga mahir dalam ilmu perang?" pikir Huru Hara.
Dalam kesempatan beromong-omong sendiri, Huru Hara
bertanya kepada Cian-li-ji dan Ah Liong tentang
pengalaman mereka sejak terpisah.
"Wah. aku telah ditawan oleh gerombolan manusia yang
menyebut dirinya Barisan Suka Rela. Untung Sian Li
datang dan kita dapat meloloskan diri," kata Cian-li-ji.
"Apa ? Sian Li sumoayku itu ?"
"Ya, tetapi celaka .... !" tiba2 ,kakek itu berseru.
"Kenapa ?" tegur Huru Hara.
"Entah bagaimana dia mengaku bukan Sia Li tetapi nona
Su Tiau Ing .."
"Hah ? Nona Su Tiau Ing ? Itulah puteri dari mentri
pertahanan Su tayjin disini, Lalu ?"
"Aneh," guman Cian-li-ji, "jelas Sian-li tapi mengapa
tiba2 saja berobah menjadi Su Tiau Ing, ya ? Eh, ketika
dalam perjalanan mencari engkau, kita kemalaman dan
terpaksa menginap disebuah kuil tua. Waktu aku bangun,
eh, Sia Li, oh, nona Su Tiau Ing itu sudah hilang. Aku
bingung mencarinya. Dan kebetulan sekali aku bertemu
dengan si Ah Liong ini. Lalu kita berdua mencarimu."
"Dan engkau Ah Liong ?" tanya Huru Hara
"Celaka, engkoh Hok," kata si kuncung “waktu engkoh
suruh aku tunggu diluar gedung kediaman mentri
Kuda........."
"Hus, ngaco ! Masakan ada mentri kok Kuda !" bentak
Clan-li-ji.
"Lho, yang jadi mentri besar di kotaraja siapa ?"
"Tay-haksu Ma Su Ing," kata Huru Hara.
"Lha itu dia. Apa artinya Ma itu ?"
"Kuda !" teriak Cian-li-ji, "o, ya, benar, benar, kalau
begitu di kerajaan ada mentri Kuda."
Tong Kui Tik yang juga hadir dalam omong2 itu
terpaksa harus geli melihat si kuncung Ah Liong dan kakek
pendek Cian-li-ji. Ia mendapat kesan bahwa kedua manusia
tua dan kecil itu memang kurang waras ingatannya.
"Lalu ?" tukas Huru Hara.
"Aku diusir oleh prajurit penjaga. Mereka hendak
menggebuk aku........."
"Lho apa engkau takut ?" tanya Huru Hara.
"Sebenarnya aku sih tak takut. Beberapa penjaga dapat
disengkelit jatuh Tetapi akhirnya mereka datang dengan
membawa anakpanah. Apa boleh buat. terpaksa aku
melarikan diri. Aku menunggu di jalan tetapi engkoh Hok
tak lalu disitu. Terpaksa aku pergi. Dan akhirnya bertemu
dengan paman Cian."
"Ah Liong, mengapa engkau tidak mengamuk kedalam
kediaman mentri Kuda itu ?" tanya Cian-li-ji.
"Ah, bagaimana mungkin. Gedungnya dijaga ketat oleh
berpuluh prajurit bersenjata lengkap. Kalau aku nekad tentu
mati. Aku belum kepingin mati, lho. Kata engkoh Hok
…..”
"Eh, kuncung, siapa sih yang engkau sebut engkoh Hok
itu ?" tegur Cian-li-ji.
"Siapa lagi kalau bukan engkohku ini ?" kata Ah Liong
menunjuk Huru Hara.
"Eh, Loan Thian Te, kapan sih engkau berganti nama itu
?" kini Cian-li-ji menegur Huru Hara," mengapa tak
memberitahu kepadaku ?"
"Aku tak pernah ganti nama ?" jawab Huru Hara.
"Lho. mengapa si kuncung memanggil engkau engkoh
Hok ?"
"Itu sih kemauannya sendiri, bukan aku yang suruh.
Sudah kuberitahu tetapi dia tetap nekat saja,"
"Hai, kuncung, mengapa engkau nekad ?" tegur Cian-liji.
"Karena dia mirip dengan engkoh Hok, maka lebih baik
kunamakan dia engkoh Hok saja. Toh dia juga menerima
nona itu. Apa, salahnya sih ?" bantah Ah Liong.
"Kalau bukan namanya kan berabe jadinya. Lebih baik
mulai sekarang engkau berganti sebutan dengan engkoh….
engkoh .... eh, apa ya yang enak disebut ?" Cian- li-ji
bingung sendiri. Kalau panggil engkoh Loan Thian Te
terlalu panjang. Kalau engkoh Huru Hara juga janggal nanti
ditertawai orang.
"Ah, lebih enak pakai engkoh Hok saja lah. Paman
sekalian jadi saksi Engkoh Hok sendiri juga senang
dipanggil begitu,”
"Ya, sudahlah, terserah bagaimana saja," akhirnya Hara
Hara bosan mendengar perdebatan tedua orang yang
limbung itu, "sekarang mari kita beristirahat dulu."
"Huru Hara," kata Cian-li-ji, "aku sih tidak lelah.
Bagaimana kalau aku keluar berjalan-jalan melihat kota
ini?"
"Benar, paman Cian," seru Ah Liong, "aku juga ingin
ikut. Bolehkah engkoh Hok?"
"Boleh sih boleh, tetapi setiap kalian keluar tentu timbul
keonaran. Pada hal saat ini seluruh parhatian dan tenaga
kita, kita pusatkan untuk melawan musuh."
"Tidak engkoh Hok, aku berjanji takkan menimbulkan
keonaran," seru Ah Liong.
"Ya, aku juga," kata Cian-li-ji.
Huru Hara melihat waktu itu masih sore. Pikirnya,
dalam kota tak ada penduduk yang nganggur dan berjualan.
Semua dikerahkan untuk menghadapi serangan musuh.
"Baiklah, tetapi sebelum matahari terbenam kalian harus
sudah balik," katanya.
Kedua kakek dan anak itu segera keluar. Mereka hendak
melihat-lihat keindahan kota Yang ciu yang tersohor
sebagai kota cantik.
"Eh, mengapa jalan2 begini sepi? Mengapa tak ada orang
jualan?" di tengah jalan Cian-li-ji mengomel panjang
pendek.
Belum berapa lama berjalan di sepanjang jalan. tiba2
mereka dikejutkan oleh suara anak bersorak-sorak. Ketika
berpaling mereka melihat sekelompok anak kecil sedang
bertepuk tangan dan bersorak-sorak.
"Celaka," seru Cian-li-ji, "rupanya mereka menyoraki
kita, Ah Liong ?"
"Memang bandel sekali anak2 itu ? Kita dianggap apa sih
?"
"Hore, ada kakek cebol dan anak kuncung? teriak
kawanan anak kecil itu.
"Apakah mereka manusia ?" seru salah seorang anak.
"Barang kali bukan manusia."
"Lalu apa ?"
"Setan. Ya, kata kakek memang di dinia ini terdapat
setan cebol dan setan kuncung."
"Lho, kata kakekku." sahut kawannya yang lain, "setan
itu keluarnya pada malam hari. Mengapa hari masih begini
sore sudah ada bangsa setan yang keluar ?"
"Apa barangkali orang dari bulan ?" seru seorang anak
lain.
"Jangan macam2, engkau," kata kawannya
"Benar, lho," jawab anak itu," kakekku pernah bercerita
bahwa di rembulan itu terdapat penghuni."
"Ya, nenekku juga pernah bercerita begitu,” sahut yang
lain, "tetapi yang tinggal di rembulan itu kan seorang dewi
yang cantik. Masakan jelek kaya begitu !"
"Huh, bisa saja," bantah anak yang tadi, mungkin kedua
setan jelek itu pelayan dari Dewi Rembulan."
"O, benar, benar," seru beberapa anak," kalau bukan
bangsa setan tentulah pelayan dari Dewi Rembulan."
"Hayo,. siapa yang berani menanyai mereka?" kata
seorang anak, "bagaimana kalau engkau Ah Siong ?"
"Aku ? Ih, takut," kata Ah Siong. "engkau saja sendiri."
"Aku juga takut. Kalau dia bangsa setan, jangan2 aku
nanti dibawa pergi. Kalau benar pelayan Dewi Rembulan,
jangan2 aku bisa dibawa terbang ke rembulan nanti."
"Itu kan enak. Engkau nanti bisa melongok ke bawah
dan lihat kami bermain-main."'
"Tetapi kalau Dewi Rembulan tak mau mengembalikan
aku ke sini lagi, kan celaka aku nanti. Ayah dan mama
tentu nangis ...."
"Begini saja deh," kata seorang anak yang bertubuh
paling gemuk diantara kawan-kawannya. "hayo kita cari
pentung dan beramai-ramai menanyai mereka."
"Perlu apa bawa pentung segala ?"
"Kalau mereka bangsa setan dan hendak menangkap kita
kan bisa menghajar mereka,” sahut anak gemuk.
Anah2 itu setuju. Mereka bubar dan tak lama mereka
muncul lagi. Masing2 membawa potongan kayu, pentung
dan ada juga yang membawa pedang dan kapak. Kemudian
mereka beramai-ramai mengejar Cian-li-ji dan Ah Liong.
"Apa-apaan sih kacung2 cilik itu," Cian li-ji terkejut
ketika kawanan anak2 itu tiba di belakangnya.
"Mungkin mereka heran melihat paman," kata Ah Liong.
Dia menganggap anak2 itu tentu heran melihat potongan
tubuh kakek Cian-li-ji yang kuntet. Tetapi dia lupa kalau
dirinya juga menjadi bahan keheranan anak2 itu.
"Hai, kalian, berhenti!" teriak kawanan yang berjumlah
tak kurang dari duapuluh orang itu.
Cian-li-ji dan Ah Liong terpaksa berhenti.
"Siapa kalian ini?" tegur mereka.
"Aku manusia . . . .”
"Hai, mereka dapat ngomong seperti orang,” seru selah
seorang anak.
"Ya, dong, bangsa setan juga bisa ngomong. Pelayan
Dewi Rembulan tentu juga bisa ngomong,” kata kawannya
yang lain.
"Kalian ini manusia atau bangsa setan?" seru anak yang
agak besar.
"Gila engkau! Masakan begini engkau anggap setan,"
teriak Cian-li-ji "apa engkau pernah melihat setan?"
"Belum." sahut anak itu, "tetapi kakek pernah bercerita
kalau bangsa setan itu tubuhnya cebol dan ada juga setan
yang kuncung. Bukan kalian ini persis seperti yang
dikatakan engkongku ?"
"Kunyuk kecil," teriak Cian-li-ji, "engkau berani
menghina aku cebol ?"
"Lha abis engkau ini cebol atau tinggi ?" balas anak itu.
"Cebol atau tidak, itu bukan salahku. Itu memang sudah
sejak aku dilahirkan."
"Siapa nama bapamu ?" seru seorang anak yang bertubuh
kurus.
"Bapaku ? O, ya. ya, mestinya aku punya bapa. Tetapi
celaka," Cian-li-ji garuk2 gundulnya, "mengapa aku lupa
namanya. Eh, kunyuk kecil, apakah setiap orang itu harus
punya bapa ?"
"Ha, ha, ha, hi, hi, hi ............... ," anak2 itu tertawa geli
mendapat pertanyaan begitu.
"Hai kawanan kunyuk, mengapa kalian tertawa," teriak
Cian-li- ji.
"Lucu, lucu sekali. Masakan orang tak punya bapa,"
anak2 itu be!sorak, "lalu siapa mama-mu ?"
"Celaka !".............. banting2 kaki ke tanah, "aku juga
lupa bertanya siapa nama mamaku .."
"Wah, kalau begitu jelas engkau ini bukan bangsa
manusia. Kalau manusia tentu punya bapa dan ibu. Engkau
tak punya bapa dan mama, engkau tentu bangsa
setan.........."
"Kunyuk !" teriak Cian li ji mulai kalap, "kalian gila, ....
kalian gila ! Aku bukan setan, aku juga mausia."
"Siapa sudi percaya ?" teriak anak2 itu, "buktinya engkau
tak tahu siapa bapa dan mamamu.'
"Tetapi aku bukan setan," teriak Cian-li-ji makin ngotot.
"Kalau begitu, jelas engkau ini mahluk dari rembulan."
teriak anak yang gemuk tadi.
"Dari rembulan ?" Cian li-ji melongo.
"Ya, engkau tentu budak dari Dewi Rembulan ..... "
"Hah ..... ?" Cian-li-ji mendelik.
-oo0dw0oo-
Ji1id 37
Salah tingkah
Sudah tentu kakek mendelik karena dianggap sebagai
budak dari Dewi Rambulan oleh seorang bocah gemuk,
salah seorang diri kawanan anak2 kecil yang
mengerumuninya.
"Apa katamu ?" teriak kakek pendek itu sesaat kemudian.
"Dewi Rembulan itu mempunyai pelayan. Karena
engkau tentu mahluk dari rembulan maka engkau tentu
pelayan dari Dewi Rembulan, "kata si gemuk."
"Eh, babi cilik, jangan sembarangan mengatakan anak
orang, seenak udelmu sendiri. JeIek2 begini aku ini kan
anak orang !"
"Siapa bilang engkau anak orang ? Buktinya apa ?
Engkau tak tahu nama bapamu, tidak tahu nama ibumu ?
Huh, masakan anak orang tak tahu nama bapa ibunya !"
"Siapa bilang aku tak tahu nama bapa ibuku ?" bantah
Cian-li ji," tetapi aku sudah lupa karena sudah seratusan
tahun lamanya."
"Apa ? Seratusan tahun ?"
"Babi cilik, ketahuilah, aku ini sudah berumur lebih dari
seratus tahun."
"Ha, ha, ha .... hi . hi,, hi ...." terdengar, kawanan anak2
itu tertawa makin geli.
"Benar, benar." teriak salah seorang anak yang
telinganya besar, hidung dan matanya juga besar. "kata
engkongku, binatang kura2 itu bisa hidup sampai ratusan
tahun. Kalau begitu engkau ini tentu anak kura-kura ..."
Sorak sorai menghambur dari mulut anak itu. Silih
berganti mereka berteriak, "Ya, benar memang dia bangsa
kura-kura."
"Betul, betul ! Kalau manusia masakan begitu pendek ?"
"Wah, mengapa kura-kura bisa ngomong.?”
"Aku ingat, kawan," seru anak yang paling besar, "ayah
pernah bercerita bahwa di dunia terdapat bangsa siluman."
"Apa sih itu siluman ?" tanya si anak gemuk.
"Binatang, misalnya ular, barimau dan lain kalau bertapa
sampai ratusan tahun, lama2 bisa jadi siluman. Dia bisa
menjadi manusia, ngomong seperti manusia tetapi asalnya
dari binatang. Itulah yang disebut siluman."
"O, kalau begitu, jelas dia siluman kura-kura,” teriak
kawanan anak2 itu.
"Babi, kunyuk, kurcaci kamu ini semua !" tiba2 Ah Liong
membentak, "jangan menghina engkongku ini. Hayo,
barangsiapa berani, nanti ku tempeleng !"
"Lho, siluman apa ini ?" seorang anak.
"Anak kura- kura !"
"Bukan. bukan ! Lebih mirip kalau siluman cacing . ..."
"Betul ! Betul ! Siluman kura-kura dan siluman cacing
memang sama2 hidup di air !”
Kembali kawanan anak2 nakal itu bersorak gemuruh.
Ah Liong panas. Sekali loncat dia berada di belakang
anak yang gemuk dan sebelum si gemuk itu sempat
bergerak, tahu2 tengkuk dan kakinya dicengkeram dan
diangkat oleh Ah Liong.
"Hayo, kalau kalian berani menghina lagi, babi kecil ini
akan kubanting !" teriak Ah Liong.
Kawanan anak2 itu terkejut. Ah Liong seorang bocah
kuncung yang kurus, mengapa dia dapat mengangkat
boneka saja.
"Eh. bung, jangan mengganggu kawan kami," bocah
yang paling besar tampil ke hadapan Ah Liong, "bukan
hanya dia tetapi kami semua yang mengata-ngatai engkau.
Kalau mau membanting, bantinglah kami semua !”
"Eh, lu. mau bela ? Apa lu kira gua tak mampu
meringkusmu ?" kata Ah Liong. Dan sebelum anak yang
besar itu mampu bergerak, dia sudah diringkus dan
diangkat dengan tangan oleh Ah Liong.
Melihat si kuncung Ah Liong dapat mengangkat dua
orang anak dengan tangan kanan dan kini, kawanan anak2
nakal itu makin tercengang. Tetapi dasar anak bandel,
bukan mereka jerih sebaliknya salah seorang, yaitu anak
yang kepalanya, telinga, hidung dan matanya serba besar
tadi, dengan bercekak pinggang berdiri dihadapan Ah
Liong.
"Ah, bung kuncung, jangan mentang2 engkau dapat
mengangkat tubuh kedua kawan kami. "katanya," kaLau
engkau memang hendak menantang berkelahi, hayo kita
berkelahi."
"Ho, engkau gajah, mau nantang berkelahi ?" seru Ah
Liong, "boleh, hayo kalian boleh maju semua !"
"Jangan sombong, bung kuncung," kata anak yang
kepalanya besar itu, "kalau mau berkelahi harus pakai
aturan. Jangan disini tempatnya. ha-yo, kalau engkau
berani, kita cari tempat yang sesuai, supaya tidak dilerai
orang. Kita nanti dapat berkelahi sampai puas."
"Dimana ?" tanya Ah Liong..
"Lepaskan dulu, kedua kawanku itu," seru si anak, "habis
itu kita nanti beramai-ramai menuju ke hutan di sebelah
sana."
Ah Liong turunkan kedua anak itu, "Hayo kita kesana !"
katanya. Dan kawanan anak2 nakal itupun segera beramairamai
menuju ke sebuah hutan.
"Ah Liong mengapa engkau ladeni anak2 nakal itu," kata
Cian-li-ji dengan berbisik.
"Biarlah, engkong," kata Ah Liong, "supaya mereka
mendapat pelajaran jangan suka lagi menggoda orangtua."
"Apakah engkau benar hendak menghajar mereka ?"
"Hanya sekedar memberi pelajaran saja."
Waktu tiba di sebuah hutan, Ah Liong dan Cian-li-ji
sempat memperhatikan banwa anak2 yang hadir disitu
hanya lima orang. Yang lima belas anak, entah kapan,
sudah tak ada lagi.
"Eh, mana kawan-kawanmu,” tegur Ah Liong.
"Tunggu saja, "kata anak yang kepala dan telinganya
besar.
"Tunggu apa lagi ?" tanya Ah Liong.
"Kalau satu lawan satu," kata anak telinga besar itu.
“sudah tentu kami kalah. Walaupun engkau kurus seperti
cacing pita tetapi tenagamu besar sekali."
"Lalu ?"
"Kalau engkau berani, kami akan mempersiapkan sebuah
barisan. Engkau berdua dengan kakek siluman itu, boleh
menerjang. Kalau kalian mampu membobolkan barisan
kami, kami menyerah dan akan mengangkat engkau sebagai
jenderal kecil. Berani tidak ?"
"Nanti dulu," seru Ah Liong, "aku jadi jenderal, tetapi
mana pasukanku ? Apakah hanya jenderal saja tanpa
pasukan. kan lucu ?"
"Kalian kunyuk2 kecil ini yang jadi anak pasukannya !"
seru kakek Cian-li-ji.
Serempak kelima anak itu menyetujui.
"Tetapi kalau dia jadi jenderal kecil, lalu aku jadi apa ?"
tanya Cian-li-ji kebingungan kalau tidak mendapat pangkat.
"Kunsu !" teriak anak telinga besar.
Ah Liong terkejut. "Kunsu ? Apa itu kunsu?"
"Eh, engkau seorang calon jenderal masa tak tahu kunsu
itu apa2. Kunsu itu adalah engkongnya pasukan," tukas
Cian-li-ji.
"Engkongnya pasukan ? Apakah pasukan punya engkong
segala ?" tanya Ah Liong.
"Kalau pasukan punya anak-pasukan mengapa tidak
punya engkong ? Habis dari mana datangnya anak itu ?"
balas Ciang-li-ji.
Si telinga besar tertawa, "Kalian meman goblok. Mana
ada engkong pasukan. Kunsu it adalah orang yang memberi
nasehat dan rencana pada pasukan."
Ah Liong terkejut, "Eh, gajah cilik, mengapa engkau
tahu asal kunsu segala ? Dari mana engkau memperoleh
pengetahuan itu ?"
"Aku sering mendengar ayah dan paman2 tetangga
sekampung bercerita tentang keadaan kota kita ini. Mereka
memuji Su tayjin sebagai seorang kunsu yang pandai.
Waktu kutanyakan kepada ayah, dia menerangkan kunsu
itu adalah seorang penasehat atau ahli ilmu perang yang
memberi petunjuk pada pasukannya dalam menghadapi
musuh," kata, anak bertelinga besar itu.
"Wah, engkau pintar sekali. Pantasan kepalamu besar,"
Cian-1i- ji memuji.
"Lho, apa hubungan pintar dengan kepala besar?" tanya
anak itu dengan polos.
"Kalau kepalanya besar, otaknya tentu besar. Dapat
berpikir luas dan menampung semua pengetahuan dengan
luas pula."
"Ya, tetapi tidak enak punya batok kepala besar itu,"
gumam si anak.
"Kenapa?"
"Yang jelas saja, berat," kata anak itu, "Kalau jalan aku
merasa seperti mengangkat buah kelapa. Dan lagi, kalau
cekcok sama kawan, dia mengejek aku sebagai si 'kepala
besar'. Kan malu?"
"Salah!" seru Cian-li-ji yang tiba2 berobah seperti anak
kecil, "kepala besar itu menandakan kalau pandai. Telinga
besar, menandakan kalau tajam pendengaran, mata besar
bisa melihat jauh, hidung besar . . . . eh, apa ya?"
"Yang jelas saja menjadi tempat pembuangan sampah,"
seru Ah Liong.
"Engkoh Kuncung, jangan menghina," seru yang punya
hidung besar, hidung besar itu satu keuntungan juga.
Buktinya kalau hujan, mulutku tidak sampai tertimpah airhujan
karena sudah di tampung oleh batang hidungku . , .."
"Ya, itu benar," sahut Ah Liong, "tetapi apa yang
kukatatakan tadi juga benar. Bahwa hidung besar itu
memang menjadi tempat pembuangan sampah."
"Gila !" teriak si hidung besar, "siapa sudi hidungnya
dibuat buangan sampah ? Siapa yang berani membuang
sampah kedalam hidungku tentu akan kutoyor mukanya !"
"Lho, kalau begitu toyorlah mukamu sendiri !" seru Ah
Liong.
"Kenapa ?" anak itu terkejut.
"Karena engkaulah yang membuang sampah itu kedalam
hidungmu sendiri."
"Apa maksudmu ?"
"Begini," kata Ah Liong. "tubuh kita itu ngeluarkan
sampah atau kotoran. Kencing, berak, berkentut, meludah,
berbangkis, itu semua sampah tubuh. Dan juga upil kotoran
hidung, curak kotoran telinga, blobok kotoran mata, itu
juga sampah. Nah, karena hidungmu besar maka upil
kotoran hidungmu itu tentu menumpuk. Apakah itu bukan
tempat pembuangan sampah namanya ?"
"Uh," waktu mendengar tentang kotoran hidung, tanpa
disadari anak yang memiliki hidung besar itu menggunakan
jarinya untuk mengorek hidungnya dan waktu ditarik
keluar, dia terkejut. Memang benar, ujung jarinya penuh
dengan upil atau kotoran hidung .....
"Tuh, tuh," seru Ah Liong waktu melihatnya," percaya
nggak ?"
Anak itu tak dapat berkata apa2 kecuali meringis dan
membantah. "Habis kalau sudah terlanjur punya hidung
besar, apa harus dipotong ?"
Ah Liong danCian-li-ji geli melihat sikap dan kata2 anak
itu.
Tiba2 saat itu bermuncullah kawanan anak2 tadi. Kini
mereka berjumlah lengkap dua puluh anak.
Mereka segera membentuk sebuah lingkaran untuk
mengepung Ah Liong dan Cian-li-ji yang berada di tengahtengah
lingkaran.
Mereka berbisik-bisik dan mengangguk-angguk. Lalu
anak yang kepala, telinga dan hidungnya serba besar tadi
berseru. "Aku disuruh menjadi juru bicara. Kamu berdua,
engkoh Kuncung dan kakek Pendek, boleh menerjang
barisan kami. Kalau kalian mampu, kalian akan kami
angkat sebagai jenderal dan…..”
"Eh, gajah cilik," seru Ah Liong, "apakah nama
barisanmu itu?"
"Barisan Bon-bin?" sahut anak itu.
"Barisan Bon-bin? Apa itu?"
"Barisan Kebon Binatang. Bon, singkatan dari kebon.
Dan bin, singkatan dari binatang."
"Uh, masakan barisan begini disebut barisan Kebon
Binatang? Mana binatangnya?"
"Sudahlah," seru anak itu, "tak perlu ribut2. Pokok,
segera saja kalian menyerang."
Ah Liong berbisik-bisik kepada Cian-li-ji. Tampak kakek
pendek itu mengangguk. Kemudian keduanya memecah
diri. Ah Liong menerjang ke utara dan kakek Cian- li-ji ke
selatan.
Aduhhhh . . . . lho, auhhhh . . .
Tiba2 Ah Liong dan Cian-li-ji menjerit kalang kabut dan
mendekap mukanya, berjingkrak jingkrak seraya
menampar- nampar tubuh.
Apa yang terjadi?
Kiranya begitu Ah Liong maju, salah seorang anak
menaburkan sebuah bumbung bambu. Dan dalam buluh
bambu itu berhamburan keluar boratus-ratus bahkan beribu
tawon ( lebah ). Bagaikan bunyi ratusan pesawat terbang di
angkasa, kawanan tawon itu segera menyerang Ah Lion
sehingga Ah Liong kelabakan setengah mati. Mukanya
habis disengat tawon-tawon itu sehingga membegap.
Cian-li-ji juga mengalami nasib serupa. Hanya bedanya
kalau Ah Liong diserang kawanan tawon, adalah kakek itu
digerogoti oleh ribuan semut merah. Ketika dia maju, tiba2
salah seorang anak menaburkan buluh bambu dan dari
dalam buluh itu mengbambur benda2 kecil yang terus
inelekat pada tubuh Cian li-ji dan melakukan serangan
besar besaran. Ada yang masuk kedalam baju, menggigit
perut, dada, pusar. Ada yang nomplok ke leher terus
mengganyang leher. Celakanya, ada yang hinggap pada
muka dan kepalanya terus melakukan operasi secara aktief.
Bibir, pipi, mata. telinga dan gundul, dijadikan medan
pengamukan semut itu.
Kalau Cian-li-ji menghapus semut yang menggigit muka
dan bibir, semut diatas kepala ngotot menggigiti batok
kepalanya. Kalau dia mengusap semut di kepala, semut di
perut seperti berpesta-pora mengganyang daging perut.
Kalau dia harus merogoh ke dalam baju untuk
mengenyahkan mereka maka semut merah yang lain
menggigit ketiaknya............... geli-geli sakit .....
Seumur hidup belum pernah Cian-li-ji merasakan siksaan
yang begini macam. Apalagi semut itu jenis semut merah
yang kalau menggigit tak mau melepaskan lagi. Sakitnya
seperti diselomot api.
Puncak penderitaan yang dirasakan Cian-liji adalah
ketika beberapa ekor semut yang bandel, berhasil
menerobos kebawah dan terus mengganyang ..... anunya.
"Aduh, maaaakkk, ampuuuunnnn .... !" saking tak
tahannya, Cian-li-ji berjingkrak-jingkrak dan berteriak-teriak
seperti orang gila. Dia la menerjang anak2 itu dan terus saja
lari.
Tak berapa lama untung dia bertemu denga sebuah
sungai. Tanpa banyak perhitungan lagi, di terus loncat
kedalam sungai, byurrrr ..... Dia ingin merendam diri dalam
air sungai. Semut2 itu kalau berada dalam air tentu akan
mati semua pikirnya.
Tetapi celaka ! Dia ternyata tak pandai berenang dan
arus sungai itu cukup deras. Tak ampun lagi diapun
terhanyut dibawa aliran air. Biar mati asal terlepas dari
siksaan digigiti semut, pikirnya. Dan tak berapa lama dia
tak dapat berpiki lagi karena pingsan .....
Sementara itu Ah Liong juga cukup menderita. Mukanya
bengap seperti bengkak. Tangan dan kakinya juga habis
disengat tawon. Tetapi anak itu memang cerdik dan bandel.
Walaupun menderita, dia tetap pantang menyerah. Dia
berusaha untuk menghalau dengan memukul, menampar,
menghantam tetapi tak berhasil membendung serangan
musuh. Memang ratusan ekor tawon yang kena tangannya,
tentu mati. Tetapi masih ada ratusan yang lobos dan
berhasil menyengatnya. Dan karena banyak menggunakan
tenaga untuk mengamuk, dia mulai merasa payah juga.
"Celaka, kalau terus menerus begini aku bisa matilemas,"
pikirnya. Tiba2 ia teringat sesuatu. Mungkin dengan benda
itu aku dapat menghalau tawon2 itu, pikirnya.
Cepat dia meraup tanah pasir dan terus ditaburkan pada
kawanan tawon yang hendak menyerangnya. Berulang kali
dilakukannya taburan itu. Lama kelamaan kawanan tawon
itu tampak menipis jumlahnya. Ada yang berguguran jatuh,
ada yang gentayangan di udara terus melarikan diri.
Dengan hasil itu semangat Ah Liong makin besar. Dia
terus menerus menggunakan tanah pasir untuk menabur
dau akhirnya lenyaplah kawanan tawon itu. Setelah itu dia
mulai hendak menghajar kawanan anak2 yang telah
menyiksanya.
"Sudah, kami menyerah dan mengangkat engkau sebagai
jenderal," tiba2 anak yang kepala dan telinganya besar tadi,
melangkah maju dan berseru.
Sebelum Ah Liong sempat membuka mulut, anak itu
memberi komando kepada kawan-kawannya. "Hayo,
kawan2, berilah hormat kepada jenderal kita !"
Serempak keduapuluh anak itu maju dan memberi
hormat kepada Ah Liong.
"Siaaaap! Hormat kepada jenderal!" teriak anak yang
paling besar yang rupanya menjadi pimpinan mereka.
"Laporan!" seru anak itu pula, "pasukan prajurit kecil
sebanyak satu peleton siap menerima perintah jenderal!"
Dihadapi dengan keadaan semacam itu, A Liong pun
terpikat. Dasar dia juga masih anak, pikirannyapun masih
kekanak-kanakan. Diam2 dia gembira karena diangkat
sebagai jenderal kecil oleh sebuah pasukan anak2. Hampir
ia tak teringat bahwa baru beberapa menit yang lalu, dia
telah menderita siksa yang hebat karena muka dan sekujur
badannya begap2 disengat tawon.
"Apakah, kalian benar2 tunduk kepada perintahku?"
serunya.
"Siaaaap, pak jenderal!"
"Bagus!" seru Ah Liong, "apa kalian berani berperang?"
"Siaaaap, pak jenderal!"
"Bagus," kata Ah Liong gembira, "kalian tahu siapa,
musuh kita?"
"Orang Boan!"
"Mengapa kalian bertekad untuk melawan orang Boan?"
"Mereka hendak merampas kota kita!"
"Apakah orangtua kalian mengidinkan?"
"Mentri Su tayjin telah memberi perintah bahwa seluruh
penduduk kota Yang-ciu, tua, muda, besar kecil, laki
perempuan, harus bersatu padu melawan penjajah Boan."
"Apakah rakyat Yang-ciu setuju ?" tanya Ah Liong.
"Dalam sebuah rapat dimana seluruh penduduk kota
dipanggil maka Su tayjin dengan serta merta menawarkan.
Su tayjin tidak memaksa melainkan hanya mempersilakan
para penduduk menentukan pilihannya. Mau melawan
pasukan Ceng dengan resiko mungkin mati dalam
pertempuran. Atau menyerah kepada musuh dengan akibat
tetap masih hidup tetapi menjadi rakyat terjajah ..... "
"Bagaimana keputusan para penduduk ?"
"Mereka memilih jalan yang kesatu, melawan musuh
walaupun harus mati. Mereka menyatakan tunduk kepada
apapun yang menjadi keputusan Su tayjin."
"Betul !" seru Ah Liong, „memang seharusnya begitu.
Mati sebagai tuan dari tanah negerinya lebih mulia daripada
hidup sebagai budak yang tak punya negara."
"Oleh karena itu maka para orangtua kami-pun tak
melarang kami untuk ikut serta membantu perjuangan Su
tayjin mempertahankan kota ini," kata anak itu pula.
"Bagus, jika begitu kunamakan barisan ini barisan Bonbin
!" seru Ah Liong dengan garang.
"Hidup barisan Bon-bin l"
"Hidup jenderal Kuncung !"
Serempak keduapuluh anak2 itu bersorak dengan
lantang. Mereka senang akan nama barisan Bon-bin yang
artinya Kebon Binatang. Biarla mereka menjadi penghuni
Bon-bin. Bukankah Bon bin itu berpenghuni segala macam
binatang? Nah apabila kawanan binatang dalam Bou-bin itu
bersatu padu, tentulah musuh akan lari. Dan mereka
menamakan Ah Liong sebagai jenderal Kuncung karena Ah
Liong memang memelihara kuncung.
"Sekarang, kunsu kita ..... eh, mana engkong Cian ?"
tiba2 Ah Liong tersadar bahwa Cian li-ji tak berada
ditempat itu.
"Celaka." teriak kawanan anak2 itu pula, "kunsu tadi
telah lari terbirit-birit. Entah kemari saja dia tadi ?"
"Apa saja yang kalian taburkan pada kunsu.” tanya Ah
Liong.
"Semut merah, jenderal !"
"Semut ?"
"Ya, semut merah yang ganas kalau menyerang orang !"
"Celaka," teriak Ah Liong." kunsu tentu menderita
kesakitan sekali. Dari mana kalian peroleh semut merah itu
?"
Anak yang kepala dan telinganya besar, menjawab,
"Jenderal, memang sejak Su tayjin memerintahkan agar
seluruh penduduk bersiap-siap menghadapi serangan
.musuh, kamipun lantas berunding. Akhirnya kami
mendapat akal untuk menggunakan senjata yang ganjil."
"Tawon ?" tanya Ah Liong.
"Benar;" sahut anak itu, "kami beramai-ramai sama
memehhara tawon dan semut yang kami masukkan
kedalam beberapa bumbung bambu. Apabila nanti musuh
berani menyerbu masuk, akan kami tabur dengan tawon
dan semut itu."
"Bagus," seru Ah Liong gembira, "berapa banyak
tabung2 bambu itu ?"
"Berpuluh-puluh, jenderal."
"Baik." kata Ah Liong. "kalian boleh pulang dulu. Aku
hendak kembali ke markas untuk mencari kunsu.
Kemungkinan dia tentu sudah pulang."
Anak2 itu memberi hormat terus hendak angkat kaki
tetapi tiba2 Ah Liong berseru, "Tunggu !"
Anak2 itupun berhenti.
"Apakah nanti malam kalian berani keluar ?"
"Berani," seru anak2 itu.
"Baik," kata Ah.............. "nanti jam sepuluh malam,
kalian berkumpul disini."
"Baik !"
Ah Liong terkejut melihat sikap mereka yang begitu
militan atau patuh dan siap menjalankan perintah.
"Hm, dengan pasukan.............. ini, akan kutunjukkan
kepada musuh bahwa anak2 bangsa Han juga berani
berjuang," pikirnya. Dengan gemangat menyala, Ah Liong
terus kembali ke markas.
"Ah Liong, dari mana engkau ?" tegur Huru Hara yang
menunggu di depan pintu. Dia memang cemas karena Ah
Liong dan Cian-li-ji lama belum kembali.
"Jalan jalan," kata Ah Liong, "apakah engkong Cian
sudah pulang ?"
"Lho, bukankah dia bersama engkau ?"
"Ya, tetapi dia lari lebih dulu."
"Lari ? Lari kemana ?"
"Tentulah lari pulang."
"Engkau gila !" bentak Huru Hara, "dia belum pulang !"
Ah Liong terkejut, "Belum pulang ? Lalu kemana saja dia
itu ?"
"Ah Liong, bicaralah yang genah," kata Huru Hara, "dari
mana saja engkau, eh, mengapa mukamu begap ?"
"Dikeroyok tawon."
"Gila," bentak Huru Hara, "engkau tentu cari gara-gara
tadi."
Ah Liong terpaksa menceritakan apa yang dialaminya
bersama Cian-li-ji.
"Wah, paman Cian tentu ngawur, entah kemana," Huru
Hara mulai cemas. Tetapi dia segera teringat bahwa kota
dikelilingi tembok d kedua pintu kota ditutup rapat. Tak
mungkin Cian-li-ji akan lari keluar dari kota.
“Hm, entah kemana kakek linglung itu," gumam Huru
Hara, "tadi aku kan sudah bilang, jangan keluar kemanamana
tetapi kalian tetap mau keluar. Sekarang ? Apa yang
kukuatirkan ternyata betul. Engkau sendiri yang pulang,
paman Cian entah kemana. Lu memang anak bandel, Ah
Liong. Kan sekarang kita sedang menghadapi urusan
penting yang menyangkut keselamatan jiwa beribu-ribu
rakyat Yang-ciu. Kalau engkau tetap tak mendengar kata,
akupun tak mau mengajakmu lagi."
"Maaf, engkoh Hok," buru2 Ah Liong meminta maaf,
"sebenarnya aku dan engkong Cian tidak cari onar tetapi
kawanan anak2 nakal itu yang mengolok kami dan
akhirnya cari onar. Baik lah, engkoh Hok, aku akan patuh
padamu, jangan marah."
Huru Hara mengangguk. Diam2 dia memang
membenarkan pembelaan Ah- Liong. Tentulah karena
melihat perwujutan Cian-Ii-ji dan Ah Liong yang ganjil,
kawanan anak2 nakal itu lalu menggodanya.
"Sekarang sudah malam, mari kita menghadap Su tayjin
untuk minta perintah," kata Huru Hara.
Ketika memasuki ruangan memang mentri pertahanan
Su Go Hwat sedang mempersiapkan perwira2 yang akan
disuruh membawa pasukan untuk melakukan serangan
pada musuh.
"Loan Thian Te," seru mentri Su ketika lihat Huru Hara
muncul, "bawalah duapuluh prajurit. Engkau menyusup ke
sayap kanan musuh dan mengadakan pengacauan pada
kubu2 pertahanan mereka. Jika perlu, bakarlah kubu2
musuh."
Loan Thian Te atau Huru Hara mengiaka dan terus
berangkat bersama duapuluh orang prajurit.
Mentri pertahanan hanya menugaskan tiga kelompok
pasukan kecil yang malam itu akan mengadakan serangan
untuk mengganggu pasukan musuh. Kelompok kesatu,
dipimpin Huru Hara, menyerang dari kanan, kelompok
kedua dipimpin perwira Lu Hong, menyerang dari tengah.
Dan kelompok ketiga dipimpin perwira Po Hian,
menyerang sayap kiri.
"Jangan terlalu bernafsu, cukup asal mereka terganggu
tak dapat beristirahat semalam suntuk. Setelah semangat
mereka lesu, barulah kita nanti lakukan serangan besarbesaran
pada pagi hari pesan mentri Su.
Setelah kelompok2 itu pergi, kini hanya ting gal beberapa
orang, termasuk Ah Liong. Ah Liong tahu mengapa Huru
Hara tak mau mengajaknya. Huru Hara tentu kuatir dia
akan menimbulkan keonaran. Tetapi Ah Liong tak
menyesal. Diam2 timbullah keinginannya untuk melakukan
sesuatu yang mengejutkan.
"Tayjin," ia nekad maju mcnghadap menteri Su, "hamba
mohon diberi tugas untuk ikut menggempur musuh malam
ini."
Su tayjin terkejut melihat Ah Liong, "Bukankah engkau
ini adik dari Loan Thian Te?" Ah Liong mengiakan.
"Jangan ikut keluar, engkau ikut bantu menjaga dalam
kota saja," kata Su tayjin.
"Mengapa tayjin?"
Su tayjin terbeliak menerima pertanyaan itu. "Engkau . .
. masih kecil. Berbahaya kalau ikut menyerbu musuh."
"Terima kasih, tayjin," kata Ah Liong, "tetapi hamba
hendak mohon supaya diperkenankan keluar menyerbu
musuh . . .. "
"Ah, tak perlu."
"Begini tayjin, hamba mempunyai akal untuk mengacau
musuh. Hamba hanya minta idin saja. Kalau terjadi apa2,
biarlah hamba sendiri yang menanggung resikonya,"
"Tetapi itu berbahaya . . .. "
"Hamba tahu, tayjin," cepat Ah Liong menukas, "tetapi
biarlah kali ini saja hamba mohon idin. Kalau sampai gagal,
lain kali tayjin tak perlu mengidinkan lagi."
"Ah . . . . "
"Tayjin, hamba sanggup untuk mengambil ransum
makanan musuh. Kalau tak mampu, hamba bersedia
menerima hukuman," cepat pula Ah Liong mendahului
berkata.
Su Go Hwat terkejut. Dipandangnya Ah Liong dengan
tajam. Seorang anak yang mengenakan baju monyetan dan
kepalanya memelihara rambu seperti telapak kuda. Apanya
yang dapat diandal kan anak itu, pikirnya!
Tetapi ketika pandang matanya terbentur dengan mata
Ah Liong, Su Go Hwat terkejut. Sesarang mata bocah
kuncung itu berkilat-kilat tajam sekali. Dan wajahnya
menampilkan suatu kemauan sekeras baja.
"Hm, ini suatu percobaan yang bagus," pikir mentri
pertahanan itu, "jika anak ini berhasil, akan dapat menjadi
cambuk bagi semangat para prajurit dan rakyat Yang-ciu.
Hm, biarlah kululuskan.
"Dengan siapa engkau akan bekerja ?" tanya mentri Su.
"Hamba mempunyai sebuah pasukan yang terdiri dari
anak2. Mereka juga bersemangat tinggi untuk
mengenyahkan musuh."
"Pasukan anak-anak ? Kapan di kota ini terdapat
pasukan anak-anak ?" mentri Su heran.
"Secara kebetulan saja hamba bertemu dengan
sekelompok anak2 dan mereka bersedia untuk membentuk
sebuah pasukan kecil."
"Tetapi apakah tidak berbahaya ? Ingat. bukan main2
tetapi bertempur. Meleng sedikit sa ja, jiwa tentu
melayang," kata mentri Su.
"Hamba sanggup mempertanggung jawabkan
keselamatan jiwa mereka, tayjin," kata Ah Liong. Melihat
kesungguhan sikap Ah Liong, terpaksa mentri Su Go Hwat
meluluskan.
Ah Liong bergegas menuju ke tempat yang dijanjikan.
Ternyata disitu anak2 sudah siap berkumpul. Ah Liong
gembira sekali melihat mereka mempunyai disiplin yang
tinggi.
"Aku tak kenal siapa nama kalian," kata Ah Liong, "dan
andaikata kalian memberitahukan nama kalian masing2,
mungkin aku juga lupa. Sekarang baiklah kita memakai
nama rahasia saja."
"Nama rahasia bagaimana ?" seru mereka.
"Akan kubagi barisan menjadi dua kelompok. Tiap
kelompok dikepalai oleh seorang kepala. Kelompok kesatu
kuberi nama kelompok Harimau. Kepala kelompok
memakai nama harimau Gembong. Anggauta kelompok
juga memakai nama jenis harimau, Harimau loreng, tutul,
hitam, kumbang, putih, belang, kuning. burik dan gundul."
"Lho, mana ada harimau burik ?" seru mereka.
"Adik yang itu, karena mukanya bopeng, terpaksa kuberi
nama harimau bunk. Dan yang itu karena kepalanya
gundul, harus disebut harimau gundul. Ini hanya nama
untuk membedakan saja." jawab Ah Liong.
"Kelompok kedua pakai nama burung. Pemimpinnya
bernama Rajawali, anggautanya pakai nama garuda, elang,
camar, kukukbeluk, kakaktua, bangau, alap- alap. gagak
dan kuntul. Dan aku sendiri tetap pakai nama jenderal
Kuncung."
"Jenderal, mana kunsu ?" tanya mereka.
"O, ya, celaka" seru Ah Liong, "kunsu hilang. Dia tak
berada di markas."
"Aneh, kemana saja larinya ?"
"Itulah kalian yang menjadi gara2 . . .."
"Maaf, jenderal, kami akan berusaha untuk mencarinya,"
seru anak? itu.
"Baik," kata Ah Liong, "sekarang kita mulai bekerja.
Siapa diantara kalian yang punya bedak dan angus di
rumah ?"
"Aku ............... aku . . ." teriak beberapa anak. "Dan
siapa yang punya gincu merah ?"
"Aku," seru seorang anak.
"Nah, kalian boleh pulang dan ambil. Bawalah kemari
bedak, angus dan gincu."
Beberapa anak segera lari. Tak berapa lama mereka
kembali dengan memhawa yang diperintahkan Ah Liong.
"Kita akan membentuk barisan setan," kat Ah Liong,
"setiap orang harus berbedak dan beri contreng angus dan
gincu. Nab, lihatlah aku," A Liong terus memberi contoh.
Ia melumuri mukanya dengan pupur lalu mencontrengcontreng
dengan angus hitam dan gincu merah.
"Nah, kalian lakukan seperti aku," perintahnya.
Tak berapa lama barisan anak2 itu telah berubah menjadi
barisan setan. Muka mereka berbedak putih dan
bercontrengan hitam merah.
Setelah itu Ah Liong suruh mereka siap membawa
tabung berisi tawon dan semut merah, "Kita terang tempat
persediaan ransum mereka dan angkut semua ransum
kedalam kota."
"Kelorrpok Harimau yang menyerang dan kelompok
Rajawali yang menyerbu dan mengangkuti ransum," .seru
Ah Liong.
Begitulah setelah semua persiapan beres, berangkatlah
pasukan setan2 kecil itu menyusup ke-dalam kubu musuh.
Mereka terkejut ketika mendengar suara gemuruh dari
pertempuran.
"Hm, ransum tentu ditaruh dibagian belakang dari kubu.
Lebih baik aku mengitari pertempuran dan menuju ke
belakang." pikir Ah Liong.
Ah Liong membawa pasukannya mengitari ke kiri.
Beberapa waktu kemudian ia melihat sekelompok prajurit
yang berlarian mendatangi.
"Hai, kawanan setan !" teriak mereka ketika melihat
barisan anak2 itu.
Malam itu gelap, kedua belah fihak tak dapat
membedakan satu sama lain. Kelompok prajurit itu terkejut
sekali karena melihat pemandangan yang mengerikan!
Berpuluh setan2 kecil berlompatan kian kemari
menyongsong mereka. Dan tahu2 kawanan setan itu terus
menaburkan bum-bung bambu kearah mereka.
"Hai .. . . aduhhhh.............. apa ini? aduhhh . , ."
serentak terdengarlah kelompok prajurit itu menjerit-jerit
dan berjingkrak-jingkrak. Kemudian mereka lari tunggang
langgang dan menjerit-jerit histeris .. .. .
"Bagus," seru Ah Liong, "hayo kita maju terus."
Entah berapa jauh mereka menyusup ke dalam kubu
pertahanan musuh. Tiba2 mereka melihat sebuah iringiringan
kereta yang berhenti disebuah hutan. Beberapa belas
prajurit menjaga iring-iringan kereta itu.
"Kelompok Harimau, pancing mereka," seru Ah Liong.
Sepuluh anak2 yang tergabung pada kelompok Harimau
segera berhamburan maju dan menari-nari seraya
berlompatan. Ada juga yang berjumpalitan.
"Bah, apa itu?" seru prajurit2 yang menjaga iring-iringan
kereta itu.
"Mahluk an . . . eh . . . setan . . . " teriak beberapa
prajurit.
Hampir kawanan prajurit itu menyingkir tetapi kepala
prajurit yang berkumis lebat membentak, "Jangan takut.
Kita serang mereka!" Dia sendiri terus menyambar tombak
dan maju menyerang.
Kawanan setan kecil itu lari dan dikejar. Tak berapa
lama mereka kembali lagi menghampiri tempat kawanan
prajurit penjaga tadi.
"Nah, mana sersan kita tadi?" seru mereka.
Yang mengejar kawanan setan kecil tadi adalah seorang
sersan prajurit Ceng yang bertugas menjaga perbekalan.
Iring-iringaa kereta itu adalah ransum yang baru saja tiba.
Kereta2 itu ditempatkan disebuah hutan dan dijaga oleh
duapuluh prajurit bersenjata.
"Takut apa. kita serang kawanan setan itu," kata seorang
prajurit yang bertubuh kekar. Dia serentak maju
menyerang. Kawanan setan itu lari huyar dan dikejar.
Tak lama kemudian kembali kawanan setan itu muncul
pula. Sedang prajurit bertubuh kekar tadi, seperti halnya
dengan sersan mereka juga tak kelihatan batang hidungnya.
Kawanan serdadu Ceng yang sudah berkurang dua orang
itu serempak berkumpul dan siap menghadapi kawanan
setan.
Tiba2 dari belakang, bermunculan pula kawanan setan
yang langsung menyerang mereka. "Uh . . . apa ini . .. ? "
"Aduhhhh . . . hai, aduhhhh .. .. mati aku . . . semut .. .
aduhhh . .. semut . . . " serempak terdengarlah jerit teriakan
dari kawanan prajurit Ceng itu. Dan mereka tak sempat
mengurus kawanan setan itu lagi karena harus sibuk
niengusap dan mencabuti semut2 yang hinggap pada muka,
leher dan baju mereka. Bahkan ada yang kelabakan karena
perutnya kemasukan semut.
Masih ada yang celaka lagi ketika mereka mendengar
bunyi dengung yang bergemuruh dan tahu2 muka mereka
disengat tawon. Wah, wah, rasanya siksa yang paling hebat
di dunIa adalah seperti yang mereka alami saat itu. Tak
ampun lagi, kawanan prajurit Ceng itu terus lari tungganglanggang.
Mereka tak menghiraukan suatu apa lagi .....
"Bagus, hayo bawa kereta2 ini kedalam kota," perintah
Ah Liong.
Ada sepuluh kereta jumlahnya, penuh dengan muatan
beras dan gandum. Ah Liong suruh barisan kelompok
Rajawali mengendarai kereta menuju ke pintu kota. Sedang
dia bersama kelompok harimau lalu membakar hutan itu.
Memang kacau balau keadaan kubu pertahanan pasukan
Ceng saat itu. Mereka diserang dari muka, samping kanan
kiri dan belakang. Mereka tak tahu berapa besarkah jumlah
pasuka Beng yang menyerang. Karena penyerangan itu
dilakukan pada malam hari sehingga sukar untuk
menghadapi. Memang merekapun melepas anakpanah
tetapi hanya untung-untungan saja karena pasukan Beng
yang menyerang itu sama mengenaka pakaian hitam.
Dan lebih terkejut ketika mereka melihat di bagian
belakang kubu telah timbul kebakaran. Perwira yang
memimpin pasukan Ceng segera memerintahkan untuk
menarik pasukannya mundur sampai sepuluh li jauhnya.
Disana mereka menyumin kekuatan, siap hendak
menghadapi serangan. T'ctapi ternyata musuh tak kunjung
datang.
Hasil kemenangan pasukan gerilya yang mengacau kubu
pertahanan musuh, telah disambut dengan gembira oleh
rakyat Yang-ciu. Tetapi yang paling mendapat sambutan
hangat sendiri adalah ketika sepuluh buah kereta penuh
berisi ransum menerobos masuk ke dalam kota.
"Hai, pengendaranya setan cilik!" teriak rakyat ketika
pada fajar hari itu mereka melihat iring-iringan kereta
menuju ke markas besar mentri Su Go Hwat.
Penjaga markas menghadang ketika Ah Liong hendak
masuk, "Siapa kalian?"
"Aku hendak menghadap Su tayjin."
"Engkau manusia atau setan?"
"Hus, aku ini manusia seperti engkau."
Tetapi karena penjaga belum kenal siapa Ah liong,
mereka tetap menntangi. Ah Liong jengkel juga, "Ringkus .
. . ! " ia memberi perintah kepada anakbuahnya.
Tetapi ketika anak2 itu hendak maju, penjaga dengan
bengis menyongsongkan senjatanya.
"Bikin mereka supaya kapok," perintah Ah Liong pula.
Seorang anak segera menaburkan bumbung bambu dan
seketika menjeritlah keempat penjaga itu karena muka dan
badannya digigiti semut. Mereka menjerit-jerit dan
berjingkrak-jingkrak.
"Ah Liong, mengapa engkau?" tiba2 dari dalam markas
muncul Su tayjin yang diiring oleh Huru Hara. Melihat
muka Ah Liong bercontrengan seperti setan, Huru Hara
terkejut. Lebih kaget lagi ketika ia melihat prajurit2 penjaga
itu menjerit-jerit dan berjingkrak-jingkrak seperti orang
kerangsukan setan.
"Engkoh Hok, aku hendak menghadap Su tayjin, tetapi
penjaga ini melarang. Apa boleh buat mereka dikerjai
anakbuahku," kata Ah Liong.
"Lho, mengapa muka mereka merah2 dan bingung tak
keruan begitu?" tegur Huru Hara.
"Mereka diserang oleh semut merah."
"Ah Liong, jangan ngacau!" bentak Huru Hara.
"Tak perlu marah, Loan Thian Te," cegah Su tayjin, "aku
hendak bertanya kepada adikmu Ah Liong, mengapa pagi2
begini engkau databg kemari dengan muka bercontrengan
seperti setan.
"Hamba hendak menetapi janji kepada tayjin," sahut Ah
Luang.
"Apa maksudmu?" Su tayjin terkejut..
"Hamba hendak menyerahkan ransum musuh yang telah
hamba rampas."
"Mana?"
Sambil menunjukkan pada sepuluh kereta di halaman,
Ah Liong menerangkan, "Itulah tayjin.’
“Sepuluh buah kereta itu?" Su tayjin makin Terkejut.
"Benar tayjin."
"Loan Thian Te, coba periksalah apa isi kerta itu,"
perintah Su tayjin.
Huru Hara cepat menghampiri kereta dan membuka
isinya satu per satu. Mau tak mau matanya melotot heran
juga.
"Tayjin, memang benar sepuluh kereta itu berisi beras
dan gandum," ia melapor.
"Ah Liong, bagaimana engkau mampu merebut ransum
sekian banyak?" mentri Su benar2 heran.
Ah Liong menceritakan bahwa dengan membawa
duapuluh pasukan anak2 kecil ia berhasil nyusup ke bagian
belakang kubu pertahanan musuh dan secara kebetulan
dapat melihat sepuh buah kereta ditaruh dalam hutan dan
dijaga oleh berpuluh prajurit.
"Hamba serang mereka sehingga mereka lari tunggang
langgang semua," Ah Liong mengakhiri ceritanya.
"Apakah prajurit musuh tidak punya senjata?"
"Mereka bersenjata lengkap."
"Mengapa mereka kalah?"
"Tayjin, pasukan hamba mempunyai senjata ganjil.
Dengan senjata itu tak pernah kami gagal memukul musuh.
Bahkan waktu hendak menyusup bagian belakang daerah
pertahanan mereka, bermula pasukan hamba bertemu
dengan kelompok prajurit. Hamba perintahkan menyerang
sehingga mereka lari terbirit-birit .. . . "
"Ah Liong, engkau!" tiba2 Huru Hara ber teriak dan
menuding Ah Liong.
Ah Liong terkejut, "Kenapa engkoh Hok?"
"Jadi engkau yang menyerang sekelompok prajurit Itu?"
"Benar, karena mereka hendak menghalang pasukanku."
"Engkau gila!" kembali Huru Hara berteriak "itulah
prajurit kita sendiri yang mengadakan serangan ke sayap
kiri pertahanan musuh. Maka mereka pulang dengan lari
terpontang panting tak keruan."
"Celaka teriak Ah Liong, "jadi yang kita serang pertama
kali itu adalah kelompok prajritu kita sendiri?"
"Hm."
"Lalu bagaimana mereka sekarang?"
"Mereka seperti anjing gila. Muka dan tubuhnya babak
belur dan pakaiannya compang camping."
"Kenapa?"
"Karena mereka tak tahan menderita siksa digigiti semut
lalu mereka berguling-guling di tanah. Ada yang terjun
kedalam lumpur. Ada y telanjang bulat terus terjun kedalam
sungai."
"Ah, adikmu tak tahu kalau mereka adalah prajurit kita
sendiri," akhirnya mentri Su berkata,
"Tetapi anak itu memang kurangajar, harap tayjin suka
memberi hukuman," kata Huru Hara.
"Baiklah," kata mentri Su, "kesalahannya telah ditebus
dengan jasanya dapat membawa sepuluh buah kereta berisi
ransum. Seluruh rakyat Yang-ciu harus berterima kasih
kepada anak2 itu. Kalau tidak, persediaan ransum sudah
semakin menipis. Mungkin besok atau lusa. kita terpaksa
hanya mendapat jatah makan sepiring bubur."
"Tayjin, apakah nanti malam hamba boleh ke luar
mengacau mereka lagi?" tanya Ah Liong.
"Yang jelas hari ini mereka tentu akan melakukan
serangan besar," kata mentri Su, "Loan Thian Te, aturlah
penjagaan yang kuat untuk menghadapi serangan mereka
hari ini."
Loan Thian Te mengiakan dan terus mohon diri.
"Ah Liong, kalian boleh tidur dulu. Nanti malam kalian
boleh mengadakan pengacauan lagi,” kata mentri Su.
Ah Liong gembira sekali. Dia mengajak pasukannya
pulang beristirahat.
Apa yang diperhitungkan mentri pertahanan Su Go
Hwat memang tepat. Hari itu pasukan Ceng mengadakan
serangan besar. Tetapi berkat perlawanan rakyat Yang- ciu
yang dipimpin Loan Thian Te, dapatlah mereka dipukul
mundur.
Loan Thian Te melarang pintu kota dibuka. Dia siapkan
prajurit diatas sepanjang tembok kota dan menghujani
musuh dengan anakpanah. Rakyat disuruh membuat
anakpanah.
Berkat disiplin yang keras dari prajurit yang dipimpin
Huru Hara, dapatlah serangan pasukan Ceng itu
dipatahkan.
Dan pada malam harinya, kembali Ah Liong dengan
pasukan barisan Bon-bin mengadakan pengacauan lagi.
Lagi2 prajurit Ceng tobat karena mendapat serangan senjata
ganjil yani semut merah dan tawon dari barisan setan kecil
itu.
Peristiwa setiap malam muncul barisan setan ecil dengan
senjata semut merah dan tawon itu cepat tersiar luas di
kalangan prajurit Ceng.
"Wah, rupanya mentri Su Go Hwat pandai ilmu gaib
dapat mendatangkan barisan setan," kawanan prajurit Ceng
sama menduga-duga.
"Ya, memang bukan mustahil. Ada ilmu yang dapat
mendatangkan hujan, angin dan setan. Kemungkinan besar
mentri Su Go Hwat ahli dalam ilmu itu."
Demikian di kalangan prajurit Ceng makin keras
menduga kalau Su Go Hwat menggunaka ilmu setan.
"Kabarnya segala ilmu setan begitu tentu punah kalau
disiram dengan darah anjing?" kata seorang prajurit Ceng.
"Ya, benar, tetapi harus anjing hitam mulus atau putih
mulus."
"Kabarnya panglima telah mengirim seorang Imam sakti
untuk menghancurkan setan jejadian "kata lain prajurit.
"Ya, betul, "kata yang lain, "mengapa panglima begitu
bersabar sekali? Kalau kita serang secara besar-besaran
masakan tak mampu merebut kota Yang-ciu? Bukankah
kota itu sudah kita pencilkan dengan hubungan luar?"
"Engkau tak tahu, kawan, "seru seorang prajurit yang
lain lagi, "panglima memang sengaja tak mau
menggunakan kekuatan karena panglima ingin
mendapatkan mentri Su Go Hwat yang memimpin
pertahanan kota Yang-ciu."
"Engkau tak tahu, "sahut prajurit itu," panglima memang
menghargai orang yang jujur dan setya. Mentri Su Go Hwat
itu seorang mentri yang cakap, jujur dan setya. Sayang raja
Beng itu sudah gelap pikirannya karena dipengaruhi oleh
mentri2 durna sehingga seorang mentri setya seperti Su Go
llwat tak dihargai.
"O,” seru prajurit yang mendengar keterangan Itu,
"tetapi sampai kapan kita harus mengepung kota itu?"
"Sebenarnya maksud panglima, kalau rakyat Yang-ciu
kehabisan rangsum tentulah akan menyerah. Tetapi tak
tahu mentri Su Go Hwat telah menggunakan ilmu gaib
untuk menciptakan barisan setan sehingga berhasil
merampas kereta ransum kita. Pada hal kereta itu baru saja
datang."
"Kabarnya panglima marah kepada pimpinan kita dan
tak mau memberi ransum lagi sebagai hukuman," kata
prajurit lain.
"Benar," sambut kawannya, "tadi pagi juru masak
mengatakan bahwa mulai besok pagi, kita hanya mendapat
bubur."
"Lho, mengapa kita yang menderita?"
"Karena kita dianggap tak mampu menjaga rangsum
maka panglima menjatuhkan hukuma begitu."
"Wah, kalau begitu, kita harus merebut kembali kereta
itu."
"Omong sih gampang tetapi kali ini kita benar-henar
ketemu batu. Selama dalam peperanga ini, sudah berapa
banyak kota yang dapat kita rebut dengan mudah. Tetapi
kali ini kita benar2 seperti menghadapi kota baja "
Demikian pembicaraan yang terjadi di kalangan prajurit
Ceng. Torgun memang seorang panglima yang bengis dan
keras menjalankan peraturan. Tetapi kali ini dengan
memberi hukuman tak mau mengasih ransum lagi, telah
menyebabkan pasukan Ceng yang sedang mengepung
Yang-ciu menjadi turun semangatnya.
Lima hari kemudian, mentri Su memerintahkan Loan
Thian Te untuk menyerang. Dengan semangat yang
menyala-nyala, pasukan Beng berhasil mengalahkan
musuh.
Kemenangan itu telah disambut dertgan girangbira oleh
penduduk Yang-ciu. Kota yang bebe'rapa hari yang lalu
seperti kota mati, kini tampak hidup kembali: jalan2 penuh
dengan penduduk yang menghadiri upacara King-thiankong
atau memanjatkan doa syukur kepada Tuhan Allah.
Memang mentri Su yang melihat penduduk meluap-luap
kegembiraan segera bertindak untuk menyalurkan.
Kebetulan pada hari itu adalah hari yang ke tujuh setelah
Tahun Baru. Hari itu disebut hari King-thian-kong atau
Mempersembahkan sujud kepada Allah.
Menurut adat kebiasaan, pada hari itu orang akan
mengadakan sembahyangan di luar rumah untuk
mempersembahkan sembah sujud dan syukur kepada
Tuhan.
Bertempat di lapangan, malam itu rakyat Yang-ciu
mengadakan sembahyang bersama kapada Yang Maha
Kuasa agar diberi rahmat dan kekuatan dalam
mempertahankan kota Yang-ciu.
"Saudara2 sekalian," demikian mentri pertahanan Su Go
Hwat memberi amanat, "marilah kita pada malam ini
bersama-sama memanjatkan doa syukur kepada Thian
bahwa kita telah diberkahi dengan keselamatan dan
kemenangan."
Sunyi senyap menyelimuti suasana lapangan ketika
mentri Su memimpin upacara berdoa. Tampak suasananya
amat khidmat sekali. Suatu pertanda bahwa seluruh rakyat
Yaug-ciu benar2 telah menyerahkan diri untuk berbakti
kepada negara.
"Saudara2, "sesaat setelah upacara berdoa selesai maka
mentri Su berkata pula, "kemenangan yang kita dapat itu,
bukanlah suatu kemenanga yang terakhir melainkan hanya
murupakan sebagian kecil dari kemenangan untuk menebus
kekalahan kita yang jauh lebih besar. Kita telah kehilangan
sepertiga bumi kita. Kita masih harus berjuang keras untuk
merebut kembali tanah kita yang dirampas musuh itu. Oleh
karena itu janganlah kita cepat bergembira atas
kemenangan kita yang sekecil ini ...... "
"Thian hanya memberkati kepada manusia yang mau
berusaha keras. Kepada rakyat yang berjuang keras
membela negara, Thian pasti memberi ramatNYA. Tetapi
kalau kita lemah dan tidak bersatu sehingga dapat
dihancurkan musuh, Thianpu takkan menolong kita.
Karena itu semua adalah kesalahan kita sendiri. Thian serba
murah dan adil. Kita ingin menang, Thian pasti akan
merestui asal kita mau berjuang keras, Thian membenci
orang yang tak mau berusaha. Maka bersiap-siaplah untuk
menghadapi perjuangan yang lebih dahsyat lagi.”
Keesokan harinya, mentri Su menerima kedatangan
mata2 yang dikirim ke daerah2 pertempuran bahwa
pasukan Ceng telah berhasil menduduki wilayah Shoatang,
Holam dan Hopak. "Jika begitu aku harus lekas memindah
pasukan ke Su -ciu untuk menjaga kota Coling," pikirnya.
Tetapi sebelum ia mengeluarkan perintah, tiba2 datang
utusan dari kotaraja membawa surat dari tay-haksu Ma Su
Ing.
Betapa kecewa hati Su Go Hwat ketika membaca isi
surat itu. Tak lain hanya suatu ulangan perintah dari tayhaksu
Ma Su Ing yang mengatasnamakan baginda, supaya
Su Go Hwat lekas berangkat menggabungkan diri dengan
jendral Ui Tek Kong, menumpas jenderal Co Liang Giok
yang memberontak.
Mentri Su Go Hwat segera mengirim surat balasan yang
menyatakan bahwa gerakan Co Liang Giok membawa
pasukan ke kotaraja itu tidak bermaksud memberontak
melainkan hendak mengadakan pembersihan kepada
mentri2 yang tak setya.
Kemudian dalam penutupnya, mentri Su mohon agar
baginda berkenan mengirim bala bantuan pasukan untuk
menjaga Su-ciu. Apabila Su-ciu sampai jatuh, kotaraja tentu
berbahaya.
Disamping itu mentri Su Go Hwat juga mengirim surat
kepada tay-haksu Ma Su Ing agar memperhatikan keadaan
daerah Kangpak yang makin berbahaya.
Su Go Hwat terpaksa menunda rencananya. Ia hendak
menunggu kabar dari kotaraja. Malam itu dia masih
bergadang duduk di kantor, menghadapi sebuah peta.
Tiba2 ia terkejut mendengar suara langkah kaki orang di
luar pintu, "Siapa?." tegurnya.
"Hamba tayjin, "terdengar sebuah penyahutan dibarengi
dengan tersembulnya seseorang, "Engkau Loan Thian Te?"
"Benar. tayjin,"
"Mengapa begini malam engkau belum tidur?”
"Habis meronda, tayjin."
"O, silakan duduk,” kata Su Go Hwat, "apa
keperluanmu datang kepadaku?"
"Ada sesuatu yang hendak hamba bicarakan dengan
tayjin."
"O, soal apa?"
"Siapakah yang mengepalai pasukan pertahanan di
Yang-ciu ini?"
"Bok Lim ciangkum yang dulunya menjadi pembantu
jenderal Ko Kiat. Mengapa?"
"Begini tayjin, "kata Huru Hara, "akhir2 hamba lihat dia
makin tak bersemangat. Kadang dia tak mau bertindak
apabila tak mendapat perintah."
"Hm," Su Go Hwat mengerut dahi, "lalu bagaimana
kesanmu mengapa dia begitu ?"
"Tayjin, manusia itu tak lepas dari nafsu. Terutama kalau
mengenai harta dan kedudukan, mereka tentu akan
berjuang mati-matian," kata Huru Hara, "demikian pula
dengan Bun Lim. Adalah karena tayjin terlalu memanjakan
hamba dengan kekuasaan sehingga dia tampak kecewa.
Dalam hal ini sebenarnya kedudukan hamba hanya-lah
sebagai pembantu tayjin tetapi yang mengepalai pasukan
adalah Bun Lim. Maka scbaiknya tay-jin dapat memberi
tugas kepadanya …"
"Ah, itu soal nama saja. Tetapi dalam kaadaan darurat,
siapapun dapat memegang pucuk pimpinan demi
kebaikan," tukas mentri So Go Hwat.
Tetapi Huru Hara tetap minta agar mentri Su Go Hwat
memberi tugas yang penting kepada Bun Lim. Su Go
Hwatpun meluluskan.
"Tayjin," kata Huru Hara pula, "hamba perihatin sekali
terhadap diri tayjin. Tayjin tiap malam berjaga sampai larut
malam dan pagi2 sudah bangun. Apakah hal itu takkan
mengganggu kesehatan tayjin ?"
Su Go Hwat terkesiap. Dipandangnya Huru Hara
sejenak.
"Baru pertama ini ada orang yang memperhatikan
diriku," pikirnya. Tak nyana seorang pemuda yang nyentrik
ternyata memiliki hati budi yang mulia dan kesetyaan yang
luhur, "Dia tak mau menusuk perasaan Bun Lim dan
diapun menaruh perhatian kepada kesehatanku . . , , "pikir
mentri Su.
"Terima kasih Loan Thian Te, "kata mentri Su,
"memang disinilah letak tanggung-jawabku sebagai, seorang
manusia. Masa ini kita sedang tuntut oleh rakyat dan
negara untuk menunaikan kewajiban kita. Dimana negara
sedang menghadapi serangan musuh, dimana rakyat kita
sedang menangis dalam kesengsaraan lapar dan kesakitan,
apakah aku dapat enak2 mendengkur di tempat tidur?
Tidak, Loan Thian Te, aku sudah terlanjur menjadi seorang
mentri. Dan jabatan mentri itu bukan suatu kebanggaan
melainkan suatu kepercayaan yang menuntut tanggung
jawab. Sebagai mentri aku memenuhi tanggung jawabku
kepada rakyat. Apa arti kesehatanku dibanding dengan
keselamatan jiwa beratus ribu rakyat?"
Huru Hara mengangguk-angguk. Dalam hati dia benar2
kagum dan tunduk kepada Su Go Hwat.
"Loan Thian Te," kata mentri Su Go Hwat pula.
"janganlah kita kecewa dan menyesal karena ditakdirkan
hidup pada masa ini. Bahkan kebalikannya kita harus
berbangga hati karena kita menjadi manusia pada masa ini.
Manusia yang beruntung memikul beban untuk ikut serta
menentukan nasib negara dan bangsa, ikut menuliskan
sejarah. Tidakkah kita berbangga karena mendapat
kesempatan itu? Namun kebanggaan itu mempunyai dua
resiko. Kita nanti akan menjadi tokoh sejarah yang dicacimaki
oleh anak cucu kita, atau akan menjadi tokoh pujaan
yang dihormati mereka? Hal itu tergantung dari sikap dan
tindakan kita sekarang!"
Huru Hara mengangguk-angguk, "Terima kasih atas
petunjuk tayjin. Akan hamba catat kata2 emas tayjin itu
dalam hati sanubari hamba."
"Loan Thian Te," tiba2 Su Go Hwat berkata pula,
"siapakah sesungguhnya engkau ini?"
Huru Hara terkejut mendengar pertanyaan yang tak
tersangka-sangka itu. Ia tahu mentri Su Go Hwat itu
seorang yang jujur dan setya maka dtapun harus bersikap
jujur juga.
"Hamba sebenarnya orang she Kim, tayjin."
"Nama?"
"Yu Yong?"
"Siapa ayahmu?"
"Kim Thian Cong . .
"O. Kim tayhiap itu ayahmu?" tiba2 mentri Su Go Hwat
berseru kaget.
"Apakah tuan kenal dengan ayah hamba?"
"Pernah bertemu muka sekali, ketika dia menolong aku
dari serangan kawanan penyamun, sejak itu aku tak pernah
bertemu lagi."
"Itu waktu aku sedang dalam perjalanan untuk
melakukan inspeksi di daerah. Tiba2 aku diserang oleh
sekawanan brandal berkuda. Untung Kim tayhiap muncul
dan dapat menghajar kawanan penjahat itu. Ah, tak kira
kini setelah hampi empatpuluh tahun. aku dapat bet temu
dengan puteranya."
Huru Hara menghaturkan terima kasih atas perhatian
mentri Su kepada ayahnya. "Bagaimana keadaan ayahmu?"
tanya menteri Su.
"Ayah sudah meninggal."
"O, "desuh mentri Su Go Hwat, "ah, sayang aku tak
mendengar hal itu sehingga tak dapat datang untuk
menghadiri upacara pemakamannya..
Kembali Huru Hara menghaturkan terimasih atas
perhatian mentri itu,
"Kim hiante. berapakah umurmu sekarang,” kata mentri
Su Go Hwat yang berganti sebutan dengan memanggil Kim
hiante kepada Huru Hara.
"Duapuluh tahun, tayjin."
"Wah, tetapi engkau tampaknya lebih tua dari umurmu,
hiante. Eh, tetapi mengapa engkau mengenakan dandanan
yang begitu nyentrik?"
"Sudah terlanjur, tayjin,” kata Huru Hara "dulu orang
menamakan diri hamba itu blo‘on dan memberi gelar
Pendekar Blo’on. Karena itu hamba pun mengenakan
dandanan seperti orang bloon begini."
"Tetapi kulihat engkau tidak blo`on, Bahkan pikiranmu
cerdas sekali, hiante. Mengapa engkau ini mau
menggunakan namamu yang aseli saja?"
"Ah. apakah artinya nama itu, tayjin? Biarlah hamba
menggunakan nama itu karena orang sudah terlanjur
memberikannya."
"Apakah hiante sudah menikah?"
"Belum."
"Bertunangan?"
"Juga belum,” kata Huru Hara lalu menghela napas,
"soal itu masih jauh dari pikiran hamba. Dan bukankah
sekarang negara sedang menghadapi bahaya?"
"Benar. hiante,” kata mentri Su. "tetapi perjodohan itu
tiada sangkut pautnya dengan perang. Artinya, kalau
memang sudah terikat janji, harus-lah dilaksanakannya,"
"Hamba merasa beryukur karena belum mengikat suatu
janji, Dan hambapun berjanji takkan memikirkan soal itu
sebelum negara aman."
Su Go Hwat menganguk, "Ya, benar anakku Su Tiau Ing
juga keras kepala. Sudah beberapa kali hendak kujodohkan
tetapi dia tetap menolak sehingga sampai sekarang dia
belum mempunyai tempat .............. "
Huru Hara agak heran mengapa mentri mengemukakan
puterinya dihadapannya. Namun dia tak berani melangkah
jauh untuk menilai ucapan mentri itu.
"Hiante. "mentri Su menghela napas, "dalam jeman
perang seperti ini, nasib orang sukar ditentukan, Yang jelas
keadaan kita memang sangat terancam, Terutama diriku.
Aku harus menghadapi serangan musuh dari luar yang
kuat, juga menerima tekanan dari dalam. Tindakan tayhaksu
Ma Su Ing sering berlawanan dengan keinginanku."
"Tayjin,” sambut Huru Hara, "apakah toyjin tak dapat
menghadap baginda dan menghaturkan laporan tentang
keadaan negara kita yang sesungguhnya?"
Su Go Hwat geleng2 kepala, "Sudah kasip hiante.
Pengaruh tay-haksu sudah sangat dalam pada baginda Hok
Ong. Baginda sudah terlampau percaya kepada tay-haksu.
Bukankah hiante tahu apa sebab sebagai mentri pertahanan
aku tidak berada di kotaraja?"
"Tentulah tay-haksu yang sengaja merencanakan agar
tayjin berada diluaran, "kata Huru Hara.
"Benar," kata mentri Su, "dengan demikian tay-haksu
tidak ada yang merintangi lagi untuk mengusai
pemerintahan kerajaan. Ah, kerajaan Beng benar2 suram
..... "
"Tayjin. "kata Huru Hara, "apapun yang akan terjadi,
biarlah terjadi. Tetapi kita tetap harus menunaikan wajib
kita untuk membela negara. Akan kupersembahkan jiwa
ragaku untuk membantu perjuangan tayjin."
"Terima kasih, hiante," kata mentri Su, "diriku sendiri
memang sudah kuberikan kepada rakyat dan negara. Tetapi
aku tetap seorang manusia. Kadang aku menyadari akan
kelalaianku terhadap keluarga, terutama terhadap Tiau Ing.
Anak itu sejak kecil sudah ditinggal mati mamanya dan aku
terlampau sibuk dengan urusan pemerintahan sehingga
hampir tak sempat untuk memberikan perhatian kepada
anak itu. Kini dalam keadaan yang gawat, entah
bagaimana, tiba2 saja aku teringat dan kasihan kepada anak
itu ..... "
"Telah kukatakan bahwa dalam jaman perang, nasib kita
sukar dipastikan. Tetapi menurut perasaanku, rasanya
keadaan kita ini amat berbagaya. Aku telah berusaha keras
untuk menolong dan menyelamatkan negara kita dari
kehancuran, tetapi sampai saat ini belum berhasil bahkan
malah lebih buruk keadaannya. Aku sendiri sudah tak
menghiraukan bagaimana nasib diriku karena dalam
perjuangan ini aku sudah membekal tekad yang bulat untuk
menyerahkan jiwa ragaku. Dan aku seperti mendapat firasat
bahwa rasanya aku tak dapat menemani anak itu..............
."
"Tayjin," kata Huru Hara, "Su siocia seorang siocia yang
cerdik dan bijaksana. Siocia tentu mampu menjaga diri.”
Mentri Su Go Hwat menghela napas kemudian berkata
lagi dengan nada yang tandas, "Loa hiante, aku hendak
mengajukan sebuah permintaan kepadamu, apakah engkau
meluluskan ?"
Huru Hara terkejut dan gopoh menyambut "Tentu saja
hamba akan melakukan apa yang tay-jin perintahkan."
"Begini hiante," kata mentri Su, "andaikata terjadi
sesuatu pada diriku, maukah engkau menjadi pelindung
Tiau Ing ?"
Huru Hara terkejut. Samar2 ia dapat menangkap apa
yang dimaksud mentri itu. Apa arti seorang pelindung dari
seorang gadis kalau tidak sebagai suaminya ? Ah .....
Namun Huru Hara amat mengagumi peribadi Su Go
Hwat. Ia tahu bagaimana mentri itu telah mencurahkan
seluruh hidupnya untuk negara. Apabila dia menolak,
tentulah mentri itu akan kecewa dalam hati. Dan keresahan
pikiran, akan mempengaruhi pikiran mentri itu dalam
menunaikan bhaktinya terhadap negara.
"Apa salahnya kuterima permintaan itu? Menjadi
pelindung, belum tentu harus menjadi suaminya. Yang
penting aku akan melindungi nona Su dari segala bahaya.
Soal lain2nya tak perlu kupikirkan, akhirnya Huru Hara
memutuskan.
"Baik, tayjin," katanya, "apabila masih hidup, hamba
pasti akan melindungi Su siocia."
"Terima kasih, hiante," kata Su Go Hwat.
=oo00oo=
Bujuk rayu
Keesokan harinya, terjadilah suatu kejutan. Hari itu Su
Hong Liang muncul dan menghadap mentri Su Go Hwat.
"Siok-hu, siautit hendak menyerahkan diri untuk
menerima hukuman," kata pemuda itu kepada siok-hu
(pamannya). Dia membahasakan dirinya dengan siautit
(keponakan).
Mentri Su terkejut, "Apa yang engkau lakukan ?"
"Siautit yang tak berguna ini dalam melawan sergapan
pasukan Ceng telah dapat ditangkap dan hampir saja akan
dibunuh," kata Su Hong Liang, "karena disiksa akhirnya
siautit terpaksa mengaku siapa diri siautit. Mendengar itu
seorang perwira segera mengirim laporan kepada panglima
Torgun. Tak berapa lama siautit dibawa menghadap ke
markas panglima itu. Panglima Ceng memperlakukan
siautit dengan baik sekali ..... "
"Hm," dengus Su Go Hwat.
"Panglima itu membebaskan siautit dan minta tolong
kepada siautit supaya menghaturkan surat kepada Siokhu,"
kata Su Hong Liang lebih lanjut.
"Surat ?"
"Ya," kata Su Hong Liang, "surat peribadi panglima
untuk siokhu, katanya."
"Mana surat itu ?"
Su Hong Liang mengeluarkan sebuah sampul dari
kantong baju dan diberikan kepada Su Go Hwat.
Sebelum membuka, Su Go Hwat menitahkan prajurit
supaya memanggil Huru Hara. Tak lain kemudian pemuda
itu datang. Dia terkejut melihat kehadiran Su Hong Liang.
"Loan Thian Te," kata mentri Su, "panglima Ceng telah
mengirim surat kepadaku."
"O," Huru Hara tertegun, "apakah panglima itu
mengirim utusan kemari ?"
"Hong Liang yang membawanya."
Sudah tentu Huru Hara terkejut. Tetapi belum ia sempat
bertanya, mentri Su sudah mengulang apa yang dilaporkan
Su Hong Liang tadi. Diam2 Huru Hara merasa ganjil
namun ia belum berani mengatakan suatu apa.
"Tayjin, bagaimanakah bunyi surat dari panglima Ceng
itu ?" tanyanya.
Mentri Su mengatakan belum membacanya. Ia
memanggil Huru Hara agar ikut mendengarkan apa isi surat
dari panglima Ceng itu.
Kepada Su Go Hwat tayjin
Mentri yang setya.
Lama nian aku mengagumi kepandaian dan
kemasyhuran namamu, entah kapan kita dapat bertemu.
Kami dengar sekarang di daerah Kim-leng ada orang
yang hendak berdikari tak mau tunduk pada kerajaan. Ini
salah.
Kawanan penjahat yang pemberontak membunuh raja
dan rakyat, bukan sekali dua kali terjadi dalam sejarah
Tiong-goan.
Kami tergerak atas ratap tangis Go Sam Kui yang
hendak menyelamatkan kerajaan maka kami pun segera
bergerak untuk membasmi kawanan pemberontak.
Kamipun telah mengubur jenasah baginda Cong Ceng
dengan upacara kebesaran dan memperlakukan para
keluarga raja serta jenderal2 dengan baik.
Kotaraja Pak-khia bukan kami rebut dari kekuasaan
kerajaan Beng tetapi dari tangan kaum pemberontak. Kami
bermaksud hendak menyelamatkan negara dan rakyat Han
dari penindasan kaum pemberontak.
Tetapi bukannya kami menerima terima kasih sebaliknya
setelah kaum pemberontak dapat kami basmi, kalian terus
menduduki daerah Kang lam dan menyerang kami.
Adilkah ini?
Sebenarnya kawanan pemberontak itu hanya memusuhi
kerajaan Beng, bukan kepada pemerintah kami. Namun
demi menegakkan kebenaran dan kesejahteraan, kami
terpaksa menindak mereka.
Tetapi kini di daerah selatan muncul seorang raja baru.
Ini berarti di dunia terdapat dua matahari, dan jelas hendak
memusuhi kami. Jika mau menggunakan kekerasan,
dengan mudah dapat menghancurkan mereka.
Maka dengan ini kami menghimbau kepadamu agar
bersedia membantu pemcrintah kami. Kuharap engkau
dapat mempertimbangkan dan cepat memberi keputusan.
Nasib kerajaan di selatan it tergantung ditangan tuan .....
Dengan panjang lcbar panglima Torgun menguraikan
alasan kerajaan Ceng menduduki kotaraja Pakkhia, Tak
lain hanyalah untuk menolong rakyat Han dari pengacauan
kaum pemberontak. Dan terakhir panglima itu minta agar
Su Go Hwat mau bekerja pada mereka.
Memang apa yang dikatakan panglima Ceng itu benar.
Kalau mau menggerakkan pasukannya secara besarbcsaran,
tentulah mereka dapat merebut kotaraja Lam-kia.
Su Go Hwat tahu jelas akan hal itu. Dan tahu pula ia
untuk memperhitungkan untung ruginya kalau. dia tetap
tak mau tunduk kepada kerajaan Ceng.
„Hm,” dengus mentri Su setelah membaca habis surat
dari panglima Torgun, "Torgun terlalu memandang rendah
diriku."
"Apa maksud tayjin? "tanya Haru Hara."
"Dia mengira aku tentu akan ketakutan dan tunduk pada
kerajaan Ceng. Dia menilai diriku sebagai seorang manusia
yang takut mati dan temaha hidup."
Huru Hara terkesiap.
"Tayjin, bagaimana keputusan tayjin?" tanyanya.
"Tanyalah kepada dirimu. Apa yang hatimu berkata,
itulah suara hatiku,” balas mentri Su,
"Jika panglima musuh dapat menghargai tayjin masakan
kami rakyat Han tidak dapat memuliakan tayjin? Tidak
tayjin," seru Huru Hara dengan tandas, "salah seorang
rakyat Han yang sangat menghargai tayjin adalah hamba.
Hamba akan menyerahkan jiwa raga hamba untuk
membantu tayjin!"
Terdengar Su Hong Liang berbatuk-batuk.
Mentri Su berpaling dan menegur, "Bagaimana
pendapatmu Hong Liang ?"
"Siautit setuju sepenuhnya atas pendirian siokhu." kata
Hong Liang, "tetapi idinkanlah siautit menghaturkan
pandangan siautit yang dangkal.”
“Ya.”
"Aku pernah membaca sejarah bahwa dulu pada waktu
jaman Sam Kok (Tiga negeri) Kwan Kong, panglima yang
paling gagah dan setya terpaksa mau menyerah pada musuh
pada waktu telah terkepung, Dia mau menyerah tetapi
dengan syarat apabila bertemu dengan kedua saudara
angkatnya, dia akan segera menggabungkan diri pada
mereka lagi. Musuh yang amat mengagumi dia, terpaksa
menurut. Akhirnya Kwan Kong dapat juga melaksanakan
keinginannya itu.”
"Apa yang dapat kita tarik dari pelajaran sejarah itu
yalah bahwa keberanian dan kegagahan itu, tidak boleh
hanya secara membabi buta, melainkan harus memakai
pertimbangan yang bijaksana. Gagah secara ngawur,
bukanlah kegagahan tetapi kekonyolan ..... "
Berhenti sejenak, Su Hong Liang melanjutkan lagi.
"Keadaan siokhu saat ini kuibarat seperti pahlawan Kwan
Kong saat itu. Musuh sangat menghargai siokhu, mengapa
siokhu tidak mengajukan syarat apabila siokhu
mempertimbangkan untuk menghentikan perlawanan."
"Hong Liang, engkau berani berkata begitu!” serentak
mentri Su Go Hwat berteriak marah.
Su Hong Liang terkejut namun cepat ia tenangkan diri,
"Maaf, siokhu, sekira kata2 siautit tak berkenan di hati
siokhu. Siautit hanya mengatakan apabila siokhu
mempunyai pertimbangan untuk melakukan rencana lain
daripada dengan kekerasan."
"Musuh menyerang, harus kita hajar. Apakah perlu ada
lain cara lagi ?"
"Siokhu," kata Su Hong Liang tenang, "waktu berbicara
dengan siautit, panglima Torgun mengatakan bahwa dalam
menghadapi musuh itu tak perlu harus selalu dengan
kekerasan. Ada katanya tanpa mengadakan pertumpahan
darah, kita dapat mengalahkan lawan. Tergantung dari
kecerdikan dan kebijaksanaan kita. Berdasarkan itu maka
siautit tadi telah mengemukakan pendapat. Namun apabila
siokhu tak berkenan, siautitpun takkan memaksa."
"Hm," gumam mentri Su. Kemudian ia bertanya kepada
Huru Hara, "Loan Thian Te, apakah engkau mempunyai
pandangan lain ?"
"Tidak ada tayjin," kata Huru Hara, “kecuali hanya satu.
Panglima Ceng boleh menyelimuti tindakannya menduduki
tanah negara kita dengan alasan untuk mengusir kawanan
paroberontak dan menyelamatkan rakyar. Kalau memang
begitu, mereka tetap masih menduduki kotaraja Pak-khia ?
Mengapa tak mau menyerahkan kembali kepada kerajaan
Beng ?"
Mentri Su Go Hwat mengangguk kemudian melirik Su
Hong Liang, "Nah, engkau dengar tidak ?"
"Siautit mendengar jelas," sahut Hong Liang, “tetapi
kalau tak salah. panglima Torgun sudah mengatakan dalam
suratnya tentang wilayah kita yang didudukinya itu. Bahwa
mereka tidak merebut tanah itu dari kerajaan Beng
melainkan dari kawanan pemberontak Li Cu Seng.
"Kan sama saja ?" seru mentri Su.
"Ya, memang bagi kita sama," kata Hong Liang, "tetapi
bagi mereka lain."
"Apanya yang lain ?"
"Mereka mengatakan tidak merebut tanah kerajaan Beng
dari tangan pemerintah Beng tetapi merebut tanah yang
diduduki kaum pemberontak.”
"Bukankah sama halnya ?"
"Agak berbeda sedikit," sahut Hong Liang, "dari segi
moral, mereka merasa tidak mempunyai kesalahan dengan
kerajaan Beng bahkan mereka merasa telah memberi
bantuan untuk mengusir kaum pemberontak. Dari segi
hukum, kalau kerajaan Beng hendak merebut kembali
buminya, sebaiknya merebut dari tangan kaum
pemberontak, bukan kepada kerajaan Ceng."
"Tetapi kaum pemberontak Li Ca Seng sudah mati," seru
mentri Su.
"Bagi mereka, itu persoalan kerajaan Beng dengan kaum
pemberontak, bukan persoalan mereka dengan .kerajaan
Beng," jawab Su Hong Liang dengan tatas.
"Eh,, Hong Liang, mengapa engkau dapat memberi
jawaban yang begitu lancar ?" tegur mentri Su.
"Karena siautit pernah berdebat dengan panglima
Torgun mengenai soal ini. Siautit bertanya seperti
pertanyaan siokhu dan panglima Ceng itu menjawab seperti
yang siautit jawab sekarang ini.”
"Mengapa engkau tak mengajukan pertanyaan lagi,"
tiba2 Huru Hara menyelutuk, "apa sebab kerajaan Ceng
masih hendak menyerang kerajaan Beng yang sudah pindah
ke Lam- kia ?"
Su Hong Liang tertawa sinis, "Mengapa tidak ?
Pikiranmu itu sudah termasuk dalam pertanyaan yang
kuajukan kepadanya."
"Lalu apa jawabnya ?" tanya Huru Hara.
"Dia mengatakan bahwa kerajaan Beng masih diserang
musuh. Kawanan pemberontak masih menguasai kerajaan
Beng."
"Dimana ?" Huru Hara terkejut.
"Dipusat pemeriatahan masih terdapat banyak musuh
yang menggerogoti kerajaan."
"Mentri2 dorna ?"
"Terserah bagaimana engkau hendak menafsirkan,
karena engkau kan pintar ?" balas Su Hon Liang dengan
nada mengejek.
"Hong Liang," seru mentri Su, "bagaiman tanggapanmu
waktu mendengar panglima Ceng berkata begitu ?"
Hong Liang agak kebingungan namun ia menjawab iuga,
"Siautit diam saja.............. "
"Hm," dengus mentri Su lalu bertanya kepada Huru
Hara," bagaimana pendapatmu hiante.?”
"Memang yang dikatakan panglima Ceng itu benar,"
jawab Huru Hara, "kerajaan Beng memang masih
dicengkeram oleh musuh yang berupa kawanan mentri
dorna."
"O. engkau membenarkan tindakan orabg Ceng yang
hendak menyerang kita ?" seru mentri Su terkejut.
"Hamba hanya mengatakan bahwa yang dinyatakan
panglima Ceng itu memang suatu kenyataan. Tetapi hamba
tidak membenarkan tindak mereka terhadap kita. tayjin."
"Jelaskan pendirianmu."
"Walaupun tubuh pemerintahan kerajaan ini digeragoti
kawanan dorna, tetapi orang Ceng tidak berhak ikut
campur. Itu urusan kita sendiri. Kita dapat membereskan
sendiri,"
"Tepat hiatit," kata mentri Su, "pendirianku juga begitu.
Nah, bagaimana engkau Hong Liang.
"Mereka masih tetap mempunyai alasan lagi
"Apa? "tanya mentri Su.
"Dalam surat, panglima Ceng mengatakan bahwa dia
mengerahkan pasukan untuk menyerang kotaraja Pak-khia
adalah atas permintaan dari Go Sam Kui. Menurut
katanya, Go Sam Kui meminta agar kerajaan Ceng
menyelamatkan rakyat dan kerajaan Beng dari musuh yang
menghianati, mereka tetap akan melanjutkan tindakannya
sesuai dengan permintaan jenderal Go Sam Kui.”
"Itu alasan yang dicari-cari, Hong Liang! seru mentri Su,
"kerajaan Beng bukan milik Go Sam Kui, dia tak berhak
meminta bantuan orang Ceng,"
"Tetapi kenyataannya orang Ceng sudah bertindak
mengusir kawanan pemberontak dari kotaja Pak-khia,"
bantah Hong Liang.
"Oleh karena itu kita akan menuntut supaya mereka
menyerahkan kembali daerah kita yang di dudukinya itu,"
balas mentri Su.
"Mereka mengatakan kalau tidak merebut dari kerajaan
Beng tetapi dari tangan kaum pemberontak,” masih Su
Hong Liang tak mau kalah.
"Baik, jika mereka beranggapan begitu. akan kita rebut
dengan kekerasan. "seru mentri Su, "tepi mengapa mereka
masih ingin merebut Lam-khia lagi.
"Mereka anggap kawanan pemberontak itu masih
banyak yang bercokol di Lam-kia."
"Siapa suruh mereka mengurusi hal itu ? Kalau yang
minta bantuan Go Sam Kui, suruh mereka berurusan
dengan Go Sam Kui," mentri Su makin sengit.
"Tayjin, dimanakah jenderal Go Sam Kui sekarang ini ?"
tanya Huru Hara.
"Dia sudah mendapat pangkat dan diangkat sebagai
jenderal oleh kerajaan Ceng."
"Jika begitu," Huru Hara berpaling kearah Su Hong
Liang. "Go Sam Kui itu penjual bangsa. Kita berhak
mengambil kembali bumi kita yang diduduki orang Ceng."
"Bukankah hal itu sudah berlangsung sampai sekarang.
Kalau kita mampu mengambil. orang Ceng tentu sudah
pergi." seru Su Hong Liang dengan nada sinis.
"Hm, sebenarnya orang2 Ceng itu tidak berbahaya dan
tentu dapat kita kalahkan," kata Huru Hara, "tetapi ada
musuh lain yang berbahaya dan sukar kita basmi."
“Siap?" seru Su Hong Liang.
"Mereka yang berdarah suku Han tetapi yang berjiwa
orang Boan. Yang mempunyai raja Beng tetapi berhamba
kepada raja Ceng. Yang menjadi rakyat Beng tetapi suka
menjadi anjing orang Boan. Manusia2 itulah yang
merupakan musuh paling berbahaya karena tak kelihatan
bahkan berada dengan kita. Ibarat orang yang `tidur
seranjang tetapi berlainan mimpinya'."
Merah muka Su Hong Liang tetapi cepat2 berseru,
"Sudah terlambat. Penyakit itu sudah dalam sekali.
Jenderal2 yang menjaga di daerah sudah mulai goyah
pendiriannya. Sekali menyerang, mereka tentu akan
menyambut kedatangan pasukan Ceng. Jenderal Kho Ting
Kok yang membunuh jenderal Ko Kiat, juga sudah
menyeberang ikut kerajaan Ceng. Beberapa jenderal lainpun
akan mengikuti jejaknya. Barangsiapa yang berkaras kepala
tak mau bekerja-sama dengan pasukan Ceng, akhirnya akan
hancur sendiri."
"Ya, benar," sambut Huru Hara, "bukankah engkau
menginginkan agar Su tayjin juga mau menerima undangan
panglima Torgun ?"
"Itu hak siokhu untuk memutuskan, jangan
menimpahkan kepada diriku," seru Su Hong Liang
"Andaikata engkau menempati kedudukan Su tayjin,
bukankah engkau akan mengambil langkah menerima
tawaran Torgun ?" Huru Hara masih mendesak.
"Jangan ngaco !" tesiak Su Hong Liang makin gemas,
"tidak ada andaikata. Kita bicara yang nyata saja !"
Su Go Hwat cepat menghentikan perdebatan mereka. Ia
suruh kedua pemuda itu kembali ke tempat masing2. "Nanti
malam akan kupersiapkan surat balasannya. Dan besok
engkaulah Hong Liang yang mengantar kepada panglima
Torgun."
"Mengapa siautit yang mengantarkan?" Su Hong Liang
terkejut.
"Bukankah engkau yang membawa kemari?"
"Ya, tetapi karena siautit telah tertawan mereka."
"Apa salahnya kalau surat balasanku, juga engkau yang
mengantarkan?"
"Siautit tentu akan ditawan lagi."
"Mengapa begitu?"
"Kalau siokhu menolak, panglima Torgun tentu marah
dan akan menangkap siautit lagi."
Mentri ,Su tersenyum, "Kalau aku menerima?
"Ah, tentu siautit selamat, "wajah Hong Liang berseri.
Huru Hara terkejut.
-oo0dw0oo-
Jilid 38.
Kutu2 busuk
Mendengar kata2 yang terakhir dari mentri Su, hampir
saja Huru Hara membuka mulut. Tetapi melihat
ketenangan wajah mentri itu, dia pun bcrsangsi.
"Baik, tentu akan kupertimbangkan semasak-masaknya
sebelum aku mengambil keputusan," kata mentri Su.
Kedua pemuda itupun segera mengundurkan diri. Huru
Hara hendak mencari Ah Liong. Pikirnya, ia hendak suruh
anak itu memata-matai gerak gerik Su Hong Liang. Sebab
kalau dia sendiri yang bertindak. tentu ketahuan.
Tetapi entah kemana anak itu. Di markas tak ada.
Terpaksa dia keluar markas mencarinya.
Tiba2 ia tertarik melihat orang berkerumun di tepi jalan.
Iapun menghampiri. Ternyata orang itu sedang tertarik
melihat sebuah pertunjukan sulap. Rombongan sulap itu
terdiri dari empat orang. Dua orang tua dan dua anakmuda.
Salah seorang anakmuda memukul tambur dan yang satu
menjadi pembantu dari tukang sulap. Yang menjadi tukang
sulap, adalah salah seorang dari lelaki tua.
Kedua lelaki tua itu hampir sama wajahnya seperti
pinang dibelah dua. Bedanya, yang main sulap, berkumis
panjang tetapi tidak berjenggot. Sedang lelaki tua yang
duduk di samping, berkumis dan berjenggot.
"Saudara2 sekalian." seru si tukang sulap itu "kalau air
dalam gelas itu berobah menjadi ular. Masih ada yang lebih
hebat lagi. Silakan lihat...
Dia memberi isyarat kepada pembantu dan pembantu
itupun mengambil sebuah kantong.
"Saudara2, apa isi kantong ini ?" tukang sulap membuka
kantong dan mengambil segenggam lalu di lepaskan di
tanah.
"Gandum !" teriak penonton,
"Benar, memang kantong ini berisi gandu Siapa yang
mau, akan kuberi segenggam," teriak tukang sulap seraya
menghampiri kepada penonton, "Mau ? Nah, bukalah
kantongmu .."
Demikian setiap penonton membuka kantong baju dan
celananya, diisi segenggam gandum oleh si tukang sulap.
"Nah, sekarang ada lagi, "tukang sulap itu memberi
isyarat kepada pembantu dan si pembantu segera
mengambilkan sebuah karung.
"Karung ini berisi beras, lihatlah, "tukang sulap merogoh
kedalam karung dan mengambil segenggam beras, "beras ini
akan kutebarkan keatas saudara. Barang siapa yang berhasil
merangkap sebutir, akan kutukar dengan sebutir emas
murni .
"Ah, mana emasnya? "teriak salah seorang penonton.
Tukang sulap mengambil kantong, merogoh dan
mengeluarkan segenggam lalu menebarkan, "Nih lihatlah
..... "
Penonton gemuruh. Mereka melihat yang ditebarkan
dari genggam tangan tukang sulap itu memang butir2 emas
sebesar beras.
'Nah, siaplah saudara2. Setiap sebutir yang dapat
saudara sambuti dalam tangan akan kutukar dengan emas
sebesar beras," seru tukang sulap.
Demikian dengan gegap gempita para penonton segera
menengadahkan kedua tangan untuk menerima beras yang
ditebarkan si tukang sulap.
"Ha, ha, ha, ha .... hore.............. . hore ..." teriak mereka
yang berhasil menyambuti beras. Ada yang mendapat
sebutir, dua, tiga dan bahkan sepuluh butir beras.
Selesai menaburkan beras sampai habis, tukang sulap
lalu mengambil kantong berisi butir emas tadi, "Nah,
sekarang satu demi setu saudara boleh maju kemari untuk
menukarkan dengan mas. Mulai dari yang ujung saja."
Cepat sekali penukaran itu dilakukan. Gelak tertawa
terdengar memenuhi tempat itu. Mereka merasa puas
sekali. Nonton gratis masih mendapat butir2 emas.
"Sekarang begini," kata tukang sulap pula, "dalam jaman
perang, sukar orang menjual emas. Sekarang akan kubeli
emas saudara itu dengan uang."
"Tukang sulap mengeluarkan kantong, membukanya dan
mcngeluarkan tumpukan uang. Dia minta penonton satu
per satu maju.
"Nah berapa banyak emas saudara ?" tanya tukang sulap.
"Aku mempunyai tiga butir," kata seorang penonton
yang dengan tertawa-tawa mengeluarkan butir2 emas yang
disimpan dalam kantong bajunya.
"Aduh ..... ," tiba2 ia menjerit ketika tagannya digigit
serangga. Cepat ia mengluarkan tangan dan ternyata jarinya
tengah digigit tiga ekor semut besar.
"Beras emas jadi semut .... !" dia menjerit. Orang2 yang
mengantongi butir emas pun segera merogoh kantong
masing2. Dan mereka juga menjerit kesakitan.
"Hai .... hah.............. " juga terdengar jeritan disana sini.
Ternyata penonton yang mengantongi gandum tadi juga
menjerit karena.............. celananya basah.
Penonton menjadi gempar. Ada yang mengeluh celaka
tetapi ada yang tertawa terbahak-bahak karena melihat
peristiwa lucu itu.
Tukang sulap tak peduli. Dia meminta sebuah lisong
atau cerutu yang besar kepada pembantunya. Setelah
disulut maka diapun mulai menghisap dan menghembuskan
asapnya, Maka bergulung-gulung bertebaran diatas
kerumun penonton.
Sekonyong-konyong gulungan asap itu berobah menjadi
hujan yang tepat mencurah kepada penonton yang tengah
tertawa gelak2 tadi.
"Celaka sialan , ," merekapun menjerit dan henda k
menyingkir. Tetapi baru bergerak, curah hujanpun berhenti.
Namun kepala dan baju mereka basah kuyup.
"Ha, ha, ha .. ," kini penonton yang emasnya berobah
semut dan gandumnya menjadi air tadi, berbalik terbahakbahak
menertawakan penonton yang basah kuyap itu.
"Hai, tukang sulap, engkau berani mencelakai
penonton?" teriak penonton yang basah kuyup.
"Jangan kuatir, saudara2," kata tukang sulap seraya
meminta guci arak dan sebuah cawan. Dia menghampiri
penonton, "minumlah arak wangi ini.”
Seorang penonton yang basah kuyup menyambuti
cawan. Setelah arak dituang, dia terus meneguknya habis.
Kemudian penonton yang ke dua dan seterusnya.
Sekalian penonton heran. Guci arak itu kecil, paling
hanya muat setengah kati arak tetapi mengapa dapat
mencukupi belasan orang. Dari mana arak itu? Mengapa
tak habis- habis?
"Ah .. . , " tiba2 terdengar penonton mendesuh kaget,
"pakaianku sudah kering ... "
Dan serempak hampir penonton yang pakaiannya basah
kuyup tadi juga berteriak heran karena pakaiannya kering
lagi.
Mereka bertepuk tangan riuh memuji kehebatan
ilmusulap orang itu.
Huru Hara terkejut. Dari mana tukang sulap itu?
Mengapa mereka dapat masuk kedalam kota?
"Hm; penjaga pintu tentu kena disihir mereka sehingga
mereka dapat masuk kemari," pikir Huru Hara.
Sebenarnya dia hendak bertindak untuk mengusir
mereka tetapi pada lain saat ia batalkan maksudnya. Dia
hendak melihat lebih jauh bagaimana kelanjutannya.
"Sekarang pertunjukan sulap sudah selesai," kata tukang
sulap, "ada sebuah pertunjukan yang tak kalah menarik.
Siapa yang ingin meramalkan nasibnya, boleh bertanya.
Saudara tak perlu takut, takkan dipungut bayaran
sepeserpun juga."
Tukang sulap mundur dan diganti tempatnya oleh lelaki
tua yang wajahnya serupa. Bedanya yang ini memelihara
kumis dan jenggot panjang.
"Siapa yang ingin mengetahui nasibnya, silakan maju,"
seru lelaki itu.
Seorang penonton serentak maju. Tukang ramaI melihat
telapak tangan orang itu, "Sejak muda engkau sengsara.
Ayahmu sudah mati, benar tidak?"
"0, tepat sekali," seru orang itu.
"Sebenarnya engkau dapat berumur panjang dan hidup
enak. Tetapi tahun ini engkau akan mendapat malapetaka.
Apabila engkau dapat melalui malapetaka ini, engkau pasti
hidup beruntung," kata tukang ramal itu.
"Akan muncul seorang kui-jin (penolong) yang akan
menolongmu. Tetapi tergantung dari dirimu sendiri. Kalau
engkau mau menerima ajakan kui-jin itu, engkau selamat.
Tetapi kalau engkau keliru memilih, engkau pasti
binasa…..”
Kemudian ganti penonton yang kedua, ketiga, keempat
dan berturut-turut para penonton itu pun antri untuk
meramalkan nasibnya.
Setiap penonton yang diramal selalu mambenarkan dan
mengakui apa yang dikatakan tukan ramaI itu cocok sekali.
Dan setiap kali peramal itu tentu memperingatkan bahwa
tahun ini mereka akan menghadapi percobaan berat. Kalau
dapat melalui percobaan itu akan selamat tetapi kalau tidak
tentu mati.
Karena hampir sama nasibnya maka para penonton
menarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan
percobaan besar adalah peperang itu.
"Apakah suhu maksudkan dengan peperangan saat ini?"
tanya salah seorang penonton.
"Ya," sahut tukang ramal itu, "kalau kalian salah pilih,
tentu binasa. Akan muncul kui-jin yang dapat
menyelamatkan kalian tetapi itu tergantung dari sikap
kalian."
"Apakah tay-haksu Su tayjin itu yang d maksud dengan
kui-jin?"
Tukang ramal gelengkan kepala, "Tidak. Kulihat kota
Yang-ciu ini terkurung dengan hawa gelap. Asap yang
menutup kota ini berwarna merah dan berbau darah. Ah . .
. . "
"Suhu, bagaimana dengan nasib kota ini,” tiba2 ada
seorang penonton yang menyelutuk.
"Hawa kota ini diliputi hawa Im," tukang ramal itu
gelengkan kepala, "susah ketolongan. Bumi akan tergenang
dengan darah, bangkai sama bertampuk menganak bukit
...."
Hiruk pikuk pecah dikalangan penonton. Mereka
percaya penuh kepada ramalan tukang kwamin (peramal)
itu.
"Jika begitu percuma kita mempertahankan kota ini.”
"Ya, lebih baik kita mengungsi, pindah ke lain tempat
saja."
"Sedia payung sebelum hujan. Kita harus cepat2
bertindak."
Demikian di sana sini para penonton mulai
memperdengarkan suara-suaranya.
"Tukang ramal, aku juga ingin melihat nasibku," tiba2
terdengar suara yang lantang. Ketika sekalian penonton
berpaling, ternyata yang berseru itu adalah Huru Hara.
Tukang ramal minta Huru Hara mengulurkan tangan
kirinya yang dipegangnya erat2. Sejenak memandang gurat
pada tangan Huru Hara, tiba2 tukang ramal itu memijat
tengah telapak, tangan Huru Hara, "Engkau mempunyai
perjalanan hidup yang . ,”-- tiba2 wajah tukang ramal itu
tampak tegang dan hentikan katanya.
"Yang bagaimana?" desak Huru Hara.
"Yang luar biasa," beberapa jenak kemudian baru tukang
ramal itu melanjutkan kata2 -nya. Semua penonton tak
dapat memperhatikan bahwa sebenarnya telah terjadi suatu
adegan yang mendebarkan diantara tukang ramal dengan
Huru Hara.
Ketika tukang ramal itu memijat tengah2 telapak tangan
Huru Hara yaitu pada jalandarah lo-tong-kiat, Huru Hara
terkejut. Rasa kejut itu diserempaki pula dengan keinginan
untuk menolak maka memancarkan tenaga-sakti Ji-ih-sinkang
dalam tubuhnya. Seketika tukang sulap tersentak kaget
karena tenaga yang dipancarkan untuk menghancurkan
jalandarah Huru Hara itu, tiba2 membalik melancar
kepadanya sendiri.
Buru2 tukang ramal mengendorkan pijitannya. Itulah
sebabnya maka dia menjadi lega dan beberapa jenak baru
dapat berkata lagi.
"Hidup saudara seperti gelombang laut yang tak pernah
tenang. Saudara selalu menghadapi bahaya maut akan
tetapi selalu terhindar. Namun pada suatu kali, saudara
akan tergelincir juga . . . . “
"Lalu bagaimana baiknya?" tanya Huru Hara.
"Jika ingin selamat dan umur panjang, baiknya saudara
undurkan diri, menuntut kehidupan yang tenang di puncak
gunung. Saudara mempunyai bakat menjadi pertapa yang
sakti," kata tukang ramal.
"Bagaimana kalau aku membantu mentri untuk
mempertahankan kota ini?"
"Yang- ciu tak dapat ditolong lagi. Tentu jatuh ke tangan
musuh. Kalau bijaksana, memang kota ini dapat
diselamatkan dari malapetaka yang ngeri. Tetapi kalau
kurang bijaksana, kota ini akan dilanda banjir darah."
"Siapa yang akan menang dalam peperangan nanti ?"
"Gin-beng (wahyu) pindah ke timur. Barang siapa
menguasai daerah timur, dialah yang akan menguasai
seluruh negeri Tiong-goan."
"Pak-khia itu masuk daerah timur atau selatan ?"
"Timur."
"Kalau begitu engkau maksudkan kerajaan Ceng yang
akan menang ?"
"Kecuali kalau kerajaan Beng mampu merebut kerajaan
Beng yang akan menang."
"Peramal, engkau orang Beng atau orang Ceng ?"
"Aku rakyat Beng."
"Berapa harga dirimu waktu dibeli kerajaan Ceng ?"
Peramal itu menyurut mundur dan mengerut dahi,
"Jangan ngomong seenakmu sendiri saja !"
"Jelas engkau adalah mata-mata kerajaan Ceng yang
diselundupkan kemari. Dengan menyaru sebagai tukang
sulap dan tukang ramal engkau hendak menghancurkan
semangat penduduk Yang-ciu!"
"Yang-ciu tinggal tunggu nasib, dengan maksud baik aku
memperingatkan mereka supaya mereka dapat berjaga-jaga,
jangan sampai terlanda dalam kehancuran !"
"Maksudmu supaya rakyat menyerahkan kota ini kepada
orang Boan?" desak Huru Hara.
"Terserah mereka," balas tukang ramal, "aku hanya
mengatakan apa yang kulibat dalam ramalan."
"Jika Yang-ciu hancur, maka engkaulah yang lebih dulu
akan menjadi sesajinyal" tiba2 Huru Hara menerjang.
Tukang ramal terkejut. Cepat ia menyambut dengan
sebuah hantaman, bum . . . terdengar dua buah pukulan
yang beradu keras diiringi oleh sosok tubuh tukang peramal
yang mencelat belakang.
"Jahanam, engkau berani mencelakai engkohku!" teriak
tukang sulap seraya maju menyerang Huru Hara. Kedua
anakmuda yang menjadi pembantu mereka pun ikut
menyerang. Sedangkan tukang ramal tadi tampak duduk
bersila, pejamkan mata.
Tiba2 tukang sulap loncat mundur. Dia merogoh ke
dalam saku bajunya lalu menebarkan segenggam biji kacang
hijau. Kemudian merogoh lagi dan menebarkan. Tiga kali
dia merogoh kantong dan menebarkan biji kacang hijau ke
arah Huru Hara.
Seketika terdengar pekik jeritan dari kawanan penonton
ketika di tengah gelanggang muncul seekor harimau, seekor
serigala dan beberapa ekor ular. mengepung Huru Hara.
Serempak penonton bubar lari pontong panting
menyelamatkaa diri.
Huru Hara juga terkejut. Namun ia tenangkan diri. Ia
tahu bahwa binatang2 itu hanyalah bangsa jejadian yang
dicipta dengan ilmu sihir. Dia tak mengerti bagaimana
untuk membasmi mereka namun tiba2 ia teringat bahwa ia
membekal pedang Thiat-ci-kiam (pedang magnit). Mungkin
pedang itu dapat memberantas mahluk kejadian itu,
pikirnya.
Serentak Huru Hara mencabut pedang Thiat ci-kiam lalu
menyerang harimau. Harimau mengaum dahsyat dan
loncat menerkam, cret . tiba2 harimau itu lenyap.
Huru Hara berputar menerjang serigala dan ketika
serigala menerjangnya, juga terjadi suatu keanehan,
Serigala itupun lenyap. Huru Hara berganti sasaran kcpada
ular. Ular2 itupun lenyap.
Ketika hentikan serangannya, batang pedang Huru Hara
penuh berlekatan biji2 kacang hijau.
Tukang sulap terkejut sekali. Cepat dia menghantam
tanah, bum ... segulung asap berhamburan dan pada lain
saat muncullah suatu mahluk yang menyeramkan.
Menyerupai seorang raksasa, rambut terurai, mata sebesar
buah appel gigi runcing dengan dua buah taring yang
panjang tajam. Kuku jarinya runcing seperti cakar garuda.
Dengan rentangkan kedua tangan, mahluk itu hendak
menerkam Huru Hara.
Huru Hara loncat mundur. Sesaat dia memang terkejut
menyaksikan perwujudan mahluk seram itu. Tetapi setelah
tenangkan hati, dia maju lagi. Dengan sepenuh tenaga, dia
loncat menusuk ulunati mahluk itu, uh .... ia menjerit kaget
ketika tusukannya mengenai angin kosong. Karena terlalu
bernafsu, diapun ikut menjorok ke muka.
Duk…… kedua pembantu tukang sulap sudah
menyambut dengan pentung. Yang satu mengenai kepala
dan yang satu mengenai tubuh Huru Hara, Tak ampun lagi,
Huru Harapun rubuh.
"Ringkus, bangsat itu !" teriak tukang sulap. Serempak
kedua pemuda itupun loncat menubruk punggung Huru
Hara yang jatuh di tanah
Tepat pada saat itu sesosok tubuh kecil melesat ke dalam
gelanggang dan… duk duk…… ia menjotos kedua pemuda
itu. Kedua pemuda itu mengaduh. Sebelum sempat melihat
siapa yang memukul, sebuah tendangan telah mengantar
mereka melayang sampai beberapa meter jauhnya bum
…….
"Tangkap dia !" teriak anak itu seraya menunjuk pada
tukang sulap.
Anak itu tak lain adalah Ah Liong yang sedang
membawa pasukannya keliling kota untuk meninjau
keadaan rakyat.
Memang sejak berhasil merebut sepuluh kereta ransum,
pasukan anak dibawah pimpinan Ah Liong itu menjadi
terkenal dan menjadi buah hati penduduk Yan-ciu. Bahkan
mentri Su Go Hwat juga merestui dan meresmikan berdiri
pasukan anak itu.
Tiap hari mereka berbaris keliling kota. Apabila melihat
hal yang memerlukan bantuan, mereka tak segan2 turun
tangan membantu. Semangat anak2 itu mempengaruhi dan
dapat membangkitkan semangat penduduk.
Ketika melihat di jalan terjadi ribut2, Ah Liong dan
pasukannya segera menghampiri. Alangkah kejut Ah Liong
ketika melihat Huru Hara dikemplang kepalanya hingga
rubuh. Ah Liong marah. Selekas loncat ke dalam
gelanggang, dia terus menggenjot kedua pembantu
rombongan tukang sulap dan menendang mereka.
Pasukan anak segera menyerbu tukang sulap. Tukang
sulap marah. Dia taburkan segenggam kacang hijau dan
seketika turunlah hujan api meryambar anak2 itu.
Anak2 kaget dan menjerit ketakutan. Ah Liong marah.
Dia nekad menerjang tukang sulap itu.
"Ho, kuncung, engkau minta mampus, ya ?” tiba-tiba
tukang sulap menudingkan jari telunjuknya.
Seketika Ah Liong menjerit kaget dan cepat-cepat
berjongkok. Apa yang terjadi?
Ternyata baju monyetan yang dipakainya konyongkonyong
telah melorot turun sehingga dia telanjang. Sudah
tentu kejut anak itu bukan main. Maka dia buru2
bcrjongkok dan mendekap anunya . . . .
"Ha, ha, ha . . . . ," tukang sulap tertawa geak2, "nah,
sekarang engkau akan kutangkap, Tukang sulap mengambil
jaring dan melayangkannya kearah Ah Liong.
Ah Liong gemas tetapi dia tak dapat berdiri. Malu ah
kalau anunya dilihat orang. Tetapi diapun tak mau mandah
dijaring. Maka dia nekat bergelundungan di tanah untuk
menghindari jaring,
"Setan cilik, engkau memang bandel," tukang sulap
seraya mengejar. Dia menebarkan jaringnya lagi. Tempi Ah
Liong pantang menyerah. Dia juga tetap berguling-guling di
tanah. Lebih baik badan babak belur daripada anunya
dalihat orang, pikir anak itu.
Tetapi karena terus menerus dikejar, akhirnya Ah Liong
terdesak juga. Tetapi untung pada saat Ah Liong tak dapat
menghindar dari tebaran jaring, sekonyong-konyong
muncullah kawanan anak2 dari pasukannya.
"Serang !" teriak Ah Liong.
Beberapa anak segera menaburkan tabung kearah tukang
sulap itu.-Tukang sulap terkejut. Dia tak menyangka kalau
anak2 itu akan menyerangnya dengan senjata mereka yang
ganjil. Dia hanya merasa muka, leher, tangan dan kakinya
dihinggapi benda kecil. Dan sebelum sempat ia
menghapusnya, dia sudah menjerit kaget dan kesakitan.
"Aduh aduh . ," mulailah dia kebingungan diserang oleh
ratusan semut yang menyusup kedalam tubuhnya.
Celakanya lagi, saat itu terdengar gemuruh binatang kecil
menyerbunya. Kepala, muka, leher dan sekujur badannya
disengat tawon.
"Aduhhhh ," karena kebingungan, tukang sulap itu tak
mampu menggunakan ilmu sihir. Dia terus lari dan
menjerit-jerit seperti orang kalap. Dia takpeduli
rombongannya lagi. Pokoknya hendak menyelamatkan diri
dan siksaan yang begitu mengerikan.
Sementara itu anak2 pun melepaskan Ah Hong dari
dalam jaring.
"Ambilkan pakaianku itu," teriak jenderal Kuncung.
Setelah pakaiannya diantarkan, dia memberi perintah lagi,
"hayo kalian menghadap ke belakang semua."
Dengan setiap kali melirik kepada kawana anak2 itu apa
ada yang berani menoleh kebelakang, Ah Liong segera
mengenakan pakaiannya lagi.
"Sekarang kalian boleh menghadap kemari,” serunya,
"kalian bereskan rombongan tukaug sulap ini."
Ah Liong sendiri lalu menolong Huru Hara yang masih
belum sadar. Setelah ditolong beberapa saat, barulah Huru
Hara siuman. Huru Hara memang sakti tetapi kalau kepala
dan tengkuk dibantam pentung yang berat, tentu saja dia
harus pingsan.
"Mana, jahanam itu," seru Huru Hara, "Sudah lari !"
"Lari ? Wah, mengapa tak dapat ditangkap,” kata Huru
Hara, "dia tentu mata2 musuh. Kita dapat mengorek
keterangan dari mereka. "
Tukang ramal tadi ternyata juga sudah melarikan diri.
Dia membawa kedua pembantunya. Kawanan anak2 yang
sibuk menolong Ah Liong tak sempat memperhatikan
sehingga mereka dapat lolos.
Saat ini beberapa penonton yang bubar dari tadi,
mendatangi lagi. Kepada mereka Huru Hara memberi
keterangan.
"Jangan percaya kepada nujum peramal tadi. Dia adalah
mata2 yang sengaja diselundupkan ke kota ini. Mereka
hendak mengacau dan meruntuhkan semangat kita. Maka
awaslah, saudara2, apa yang mereka ramalkan itu, tidak
benar semua, jangan percaya !"
Demikian walaupun harus menderita kesakitan karena
kepala dikemplang, tetapi Huru Hara dapat menggagalkan
percobaan musuh untuk mengacau rakyat.
"Wah, tukang sulap itu memang bangsat. Masakan dia
menyulap supaya celanaku melorot, idih, malu aku...... ,"
Ah Liong menggeram.
Setelah penonton bubar, Huru Hara mengajak Ah Liong,
"Suruh pasukanmu pulang dulu, Ah Liong," katanya.
"Beri hormat kepada jenderal besar !" perintah Ah Liong.
Dan pasukan bocah itu pun segera memberi hormat kepada
Huru Hara. Setelah itu mereka lalu pergi.
"Huh, mengapa aku engkau sebut jenderal besar?”
"Habis kalau aku menjadi jenderal kecil, kan sudah
pantas kalau engkoh Hok menjadi jenderal besarnya. Dan
engkoh Cian, …….. uh, mengapa sampai sekarang dia
belum muncul lagi ?" tiba2 Ah Liong teringat akan Cian-liji.
Huru Hara hanya geleng2 kepala, "Entahlah. dia
memang manusia aneh."
Huru HAra niengajak Ah Liong beristirahat di tepi jalan,
dibawah sebatang pohon.
"Ah Liong, "kata Huru Hara, "engkau tahu bahwa
pemuda bernama Su Hong Liang itu datanng lagi."
"0, Su Hong Liang keponakan Su tayjin itu?'
"Ya, "jawab Huru Hara, "bagaimana kesanmu terhadap
pemuda itu?"
"Aku tak suka,” kata Ah Liong, "dia sombong dan licin."
"Lho, bagaimana engkau tahu?"
"Dia mengatakan kalau datang ke kota ini bersama Su
siocia tetapi mana Su siocia? Dia tak dapat menjawab.
Katanya Su siocia pisah di tengah jalan. Tetapi aku tak
percaya!"
"Lalu kemana Su siocia?"
"Entah," jawab Ah Liong tetapi menurut perasaanku,
tentu terjadi sesuatu pada siocia itu."
Liong, engkau kuberi tugas. Apa engka mampu."
"Tugas apa yang tak mampu kulakukan? Katakan
engkoh Hok, suruh masuk lautan apipun aku juga mampu."
"Hus, jangan sombong lu," seru Huru Hara, "kalau
kusuruh sungguh, engkau tentu tak berani.”
"Engkau hendak suruh aku apa saja?"
"Su Hong Liang belum faham dengan engkau, maka
kusuruh engkau memata- matai gerak-geriknya selama di
Yang-ciu sini."
Huru Hara lalu menceritakan tentang Su Hong Liang
yang telah membawa surat dari panglima Torgun untuk Su
tayjin.
"Coba engkau pikir. Dia mengatakan kalau dia ditangkap
pasukan Ceng tetapi kemudian dibawa ke markas panglima
mereka. Panglima Torgun memperlakukannya baik dan
menyuruhnya membawa surat kepada Su tayjin."
"0, bohong, "seru Ah Liong.
"Bagaimana engkau dapat mengatakan begitu?"
"Kalau dia memang ditangkap tentulah panglima Ceng
tak mau melepaskannya."
"Mengapa tak mau. melepaskan."
"Bisa dijadikan tawanan untuk menekan agar Su tayjin
menyerah."
Huru Hara gelengkan kepala, "Tidak, Ah Liong. Musuh
tahu bagaimana watak Su tayjin. Sekalipun diancam kalau
Su Hong Liang akan dibunuh, Su tayjin tentu tetap tak mau
tunduk."
"Hm, benar engkoh Hok. Su tayjin memang seorang
mentri yang setya. Seluruh rakyat Yang-ciu hurmat dan taat
kepadanya."
"Ah Liong, aturlah kawan-kawanmu itu supaya
membayangi Su Hong Liang. Kalau dia sampai berbuat
sesuatu yang mencurigakan, lekaslah lapor kepadaku."
Ah Liong mengiakan dan terus menemui anak
pasukannya. Sementara Huru Harapun segera lanjutkan
perjalanan. Dia hendak meninjau keadaan rakyat, terutama
anak pasukan. Walaupun musuh sudah dipukul mundur,
tetapi mereka tentu akan kembali lagi. Oleh karena itu
penjagaan dan kesiap-siagaan tak boleh lengah.
Ketika menuju ke pintu utara, ia terkejut karena pintu
kota terbuka lebar dan tampak sekelompok pasukan sedang
berjalan keluar.
Cepat ia menghampiri kepala kelompok yang berpangkat
sersan, "Sersan, mau kemanakah pasukan ini ?"
"Kami diperintah supaya mengadakan penjagaan di luar
kota," sahut sersan itu.
"Siapa yang memberi perintah ?"
"Bun ciangkun."
Hun, Hara kerutkan dahi. Memang atas anjurannya,
mentri Su Go Hwat telah menyerahkan kekuasaan pasukan
kepada Bun Lim, tangan kann jenderal Ko Kiat yang
sebelumnya memang ditugaskan menjaga kota Yang- ciu.
"Tetapi mengapa mengadakan penjagaan luar kora ?"
pikirnya.
"Sersan," katanya pula kepada kepala kelompok itu,
"berapa banyak pasukan yang diperintah untuk
mengadakan penjagaan di luar kota itu?”.
"Banyak," jawab sersan, "kalau tak salah, pasukan kita
dibagi menjadi empat bagian. Kelompok kesatu, kedua dan
ketiga, dipasang di luar kota. Kelompok keempat tetap
tinggal dalam kota."
Huru Hara kerutkan dahi, kemudian bertanya
pula,'"Apakah ketiga kelompok yang disiapkan di luar kota
itu jadi satu atau di pencar2 ?"
"Dipencar-pencar. Kami ditugaskan di sebelah timur, ada
yang di tengah dan ada yang disebelah barat."
"Baiklah, silakan melanjutkan perjalanan." kata Huru
Hara.
Huru Hara kembali ke markas menghadap Su tayjin.
Ternyata Su tayjin sedang menerima Su Hong Liang.
"0, kebetulan Loan Thian Te, engkau datang," kata
mentri Su, "aku hendak menyerahkan surat balasan kepada
Hong Liang."
Huru Hara hendak bertanya bagaimana isi balasan itu
tetapi ia batalkan maksudnya. Kurang layak kalau
menanyakan hal itu. Biarlah mentri itu yang
memberitahukan sendiri. Apabila tidak, ia tetap percaya
bahwa mentri Su Go Hwat pasti akan menolak tawaran
panglima Torgun.
"Lalu siapakah yang tayjin titahkan mengantar surat
balasan tayjin ?" Huru Hara berganti pertanyaan.
"Bagaimana kalau engkau ?" seru Go Hwaf.
Huru Hara terkejut tetapi sesaat kemudia dia serentak
menerima, "Baik, tayjin."
"Tetapi yang membawa surat bukan engkau,” tiba2 pula
Su Go Hwat menyusuli kata2," bagai mana kalau engkau
saja Hong Liang ?"
Hong Liang terbeliak, "Tetapi....... tetapi apakah siokhu
meluluskan ?"
Mentri Su Go Hwat tertawa, "Itu rahasia. Tetapi engkau
dapat menebak sendiri. Apakah ada hubungannya kalau
engkau yang membawa surat balasanku ini ?"
"Ada, siokhu," jawab Su Hong Liang, "kalau siokhu
meluluskan tawaran panglima Torgun, siautit tentu selamat.
Tetapi kalau siokhu menolak siautit tentu tak dapat
kembali."
"Dibunuh ?"
"Ya," sahut Hong Lang, "paling tidak ditawan."
"Apakah engkau takut dibunuh ?"
Su Hong Liang makin gugup, "Bukan begitu siokhu.
Tetapi peperangan ini masih panjang. Daripada
mengorbankan jiwa dengan sia2, kita lebih baik
mengumpulkan orang yang dapat membantu perjuangan
siokhu."
"Hong Liang, apakah engkau takut ?" kata mentri Su
dengan nada serius.
"Tidak takut, siokhu," buru2 Hong Liang menyatakan
tetapi perkenankan siautit mengajukan permohonan."
"Engkau hendak minta apa?”
"Sebaiknya siautit diberi seorang kawan. Agar apabila
siautit, ditangkap atau dibunuh dapat orang itu segera
melapor kepada siokhu.
"Hm," mentri Su mengerut dahi, “lalu siapa yang engkau
pilih sebagai kawan?”
"Bagaimana saudara Loan Thian Te?” seru Hong Liang.
"Loan Thian Te ? Mengapa engkau memilih dia ?”
"Karena Loan-heng berkepandaian sakti. Tentu dapat
meloloskan diri apabila sampai jadi sesuatu yang tak
diinginkan."
"Tetapi Loan Thian Te akan kusuruh menjaga kota ini.
Aku sendiri akan ke Kimleng untuk mengatur penjagaan
disana."
"Bukankah Bun siangkun sudah diserahi tugas
mempertahankan kota ini ? balas Su Hong Liang."
"Hm ..... " dengus mentri Sa, "bagaimana pendapatmu,
Loan Thian Te ?”
"Tak apa tayjin, biarlah hamba menemani saudara Hong
Liang."
Su Go Hwatpun tak keberatan. Dia suruh pemuda itu
berkemas, sejam lagi sapaya menghadap untuk mengambil
surat balasannya.
Huru Hara menggunakan kesempatan itu untuk mencari
Ah Liong,
"Ah Liong, aku harus menemani Su Hong Liang
mengantarkan Surat Su tayjin kepada panglima Torgun."
"0, mengapa harus engkoh yang pergi ?"
"Itu permintaan Su Hong Liang, Tetapi biarlah. Aku
dapat menjaga diri dan menjaganya.”
"Ih, perlu apa engkau harus menjaganya.”
"Maksudku, aku dapat mengawasinya apabila dia main
mata dengan orang Ceng."
"0, baiklah. Lalu engkoh hendak pesan apa kepadaku ?"
"Begini Ah Liong." kata Huru Hara, "kulihat antara Su
Hong Liang dengan Bun Lim itu seperti ada hubungan . , . .
."
Baru berkata sampai disitu tiba2 muncul bocah yang
kepala dan telinganya lebar. Oleh kawan2 dia digelari si
Gajah.
"Lapor pada jenderal Kuncung," kata bocah itu sambil
berdiri tegak di hadapan Ah Liong.
"Ada apa ?" seru Ah Liong.
"Aku melihat putera keponakan Su tayjin menemui Bun
Lim ciangkun di kantornya."
“O, apa yang mereka bicarakan ?"
Bocah itu gelengkan kepala, "Soal itu sulit kudengar
karena kantor Bun ciangkun dijaga ketat.
“Baik„" kata Ah Liong, "engkau jaga lagi di depan
markas dan awasi terus pemuda itu."
"Ah Liong," tiba2 Huru Hara berkata, "pemuda itu
adalah Su Hong Liang. Sejak lagi dia dan aku akan
berangkat menuju ke daerah musuh. Lebih baik suruh adik
ini mengawasi gerak gerik Bun Lim."'
"Gajah, "seru Ah Liong, "dengarkan perintah jederal
besar. Su Hong Liang tak perlu engkau awasi. Sekarang
ganti Bun Lim kepala pasukan di Yang-ciu itu yang harus
engkau mata-matai. Jelas?"
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 2 komentar... read them below or add one }
ceritanya menarik gan
Obat Ambeien Herbal
Obat Ambeien Berdarah
Obat Keputihan
Obat Ambeien Dalam
Obat Ambeien Luar
Obat Ambeien Tradisional
Obat Ambeien Ampuh
Obat Ambeien Untuk Ibu Menyusui
Obat Ambeien Alami Tanpa Operasi
Obat Ambeien Dalam
Obat Ambeien Dokter
Posting Komentar