"Jelas, siap! "si Gajah memberi hormat kepada Huru
Hara dan Ah Liong lalu terus pergi."
"Ah Liong, aku memang hendak menugaskan engkau
mengawasi sepak terjang Bun Lim aku curiga mengapa dia
memecah pasukan menjadi empat. Yang tiga malah
ditempatkan diluar kota. Sedang penjagaan dalam kota
hanya seperempat bagian."
"Tetapi kalau dia memang mempunyai rencana untuk
menghadang musuh agar jangan sampai masuk kota?"
Tanya Ah Liong.
"Kalau begitu sih tak apa, "jawab Huru ra, "tetapi kalau
dia mempunyai rencana dengan Hong Liang dan sengaja
melemahkan kekuatan kita, itu kan berbahaya?"
"Melemahkan bagaimana?"
"Membagi pasukan menjadi empat kelompok lalu
ditempatkan secara terpisah, apakah itu tidak lemah?"
Ah Liong mengangguk, "Baiklah, engkoh Hok. Aku dan
kawan2 tentu akan mengawasi gerak gerik mereka. Kalau
mereka sampai berani menjual kota itu kepada, musuh aku
dan kawan2 tentu akan mengantuk."
"Hus. Ah Liong, ingat, ini peperangan, bukan main2.
Engkau harus hati2 bertindak. Kalau memang dalam
keadaan yang sudah terpaksa sekali engkau dan kawan2mu
boleh meninggalkan kota ini……”
"Tidak, engkoh, "teriak Ah Liong, "Kami tak kan
meninggalkan kota ini ..... "
"Hus, jangan kepala batu, "bentak Huru Hara, “ini
perang, bukan main2. Yang penting. walau pun kalah,
tetapi harus dapat menyelamatkan jiwa rakyat. Ingat
pesanku ini!"
Ah Liong mengangguk.
Huru Hata kembali kemarkas. Su Hong Liang pun sudah
datang. Mentri Su Go Hwat lalu menyerahkan sebuah
amplop kepada Su Hong Liang.
"Inilah surat balasanku kepada panglima Ceng. Jagalah
jangan sampai hilang. "kata Su Go Hwat.
Su Hong Liang dan Huru Hara naik kuda menuju ke
utara. Menurut keterangan Su Hong Liang panglima
Torgun berada di Kangpak.
"Bukankah daerah Kangpak sudah diduduki musuh?"
tanya Huru Hara.
Su Hong Liang membenarkan.
"Para jenderal di wilayah Kangpak sudah berturut-turut
menyerah pada pasukan Ceng. Dimana-mana rakyat sudah
gelisah karena dilanda peperangan. Kalau siokhu berkeras
hendak melanjutkan peperangan, akhirnya tentu akan
hancur," kata Su Hong Liang.
"Perang ini bagi kita adalah membela bumi tanah air
kita. Tetapi bagi orang Ceng, adalah untuk menjajah.
Seharusnya, kita harus bersungguh hati. Dan mati karena
membela tanah air adalah kematian yang perwira," kata
Huru Hara.
"Ah, tak perlu kita harus mengejar nama kosong pujian
hampa. Kita mati ya mati sudah. Pun celakanya, walaupun
kita sudah mengorbankan jiwa tetapi negara kita tetap
kalah. Bukankah kematian itu sia2 belaka?" bantahnya.
"Tiada pengorbanan yang sia2," kata Huru Hara
serempak, "kita mati tetapi semangat pengorbanan kita
tentu akan membangkitkan semangat anak2 dan kawan2
kita setanah. Tetapi kalau kita menyerahkan negara kepada
musuh, berarti kita memadamkan api semangat kawan2
dan anak cucu kita besok.
"Hm, rasanya sudah terlambat. Tubuh pemerintah
kerajaan Beng sudab lapuk digerogoti kawanan mentri
durna. Apa yang dapat kita harapkan dari seorang raja yang
tiap hari kerjanya hanya bersenang-senang dengan wanita
cantik dan bermabuk-mabukan saja?"
"Su-heng," seru Huru Hara, "negara Tionggoan itu
adalah milik rakyat Han, bukan raja Hok Ong saja.
Buktinya, kalau sampai negara kita dicaplok orang Ceng,
yang menderita kan rakyat, bukan hanya raja?"
"Ya. tetapi kerajaan Ceng tidak memusuhi rakyat Beng
melainkan hendak mengganti raja Hok Ong dan
membersihkan kawanan mentri durna itu," kata Su Hong
Liang.
"Ah, itu kata mereka. Tetapi kenyataannya mereka
hendak memperbudak bangsa Han."
"Ya, itu suara hati kita namun kenyataan berbicara lain.
Buktinya daerah Kang-pak sudah diduduki dan kudengar
mereka juga sudah mulai bergerak menyerang daerah
selatan. Dapat dipastikan dalam waktu yang tak lama
kotaraja Lam kia tentu jatuh."
"Eh, Su-heng, mengapa engkau tahu banyak tentang
rencana mereka?"
"Aku keliling kemana-mana dan menangkap berita2 itu."
"Dan engkau memastikan kalau mereka tentu menang?"
"Apalagi yang dapat kita harapkan dari kerajaan Beng
yang mempunyai jenderal2 tak becus itu ?" balas Su Hong
Liang.
"Peperangan hanya membawa dua macam akibat. Kalah
atau menang. Tetapi yang penting walaupun kalah kita
harus tetap memiliki pendirian sebagai purera bangsa Han.
Aku lebih suka mati daripada menjadi budak orang Ceng.
"Konyol !" scru Su Hong Liang, "kalau semua orang
mempunyai pendirian seperti engkau, celakalah rakyat kita,
Coba bayangkan, kalau pembesar dalam kerajaan Ceng
nanti terdiri dari bangsa Ceng semua, bukankah mereka
akan bertindak sewenang-wenang ? Lain halnya kalau kita
bangsa Han yang diangkat sebagai pembesar, sejelekjeleknya,
dia tentu masih dapat membela bangsanya dari
penindasan,"
"Apakah engkau juga memiliki pendirian begitu ?" tiba2
Huru Hara mengajukan pertanyaan yang menyergap.
"Sekarang belum kupikirkan. Aku akan melihat
perkembangan keadaan nanti. Andaikata terpaksa aku akan
mengambil keputusan, lebih baik aku sendiri menderita
hinaan menjadi pembesar kerajaan Ceng tetapi dapat
menolong rakyat kita, daripada aku harus mati tetapi tak
dapat meringankan penderitaan rakyat."
Memang pintar sekali Su Hong Liang mengadu lidah.
Dengan menonjolkan alasan demi kepentingan menolong
rakyat, apa salahnya kalau dia nanti mau bekerja-sama
dengan kerajaan Ceng.
Hari itu tak terjadi suatu apa. Pada hari kedua setelah
melintasi sebuah hutan mereka tiba sebuah kota kecil, di
kaki gunung Bu-ih-san.
Su Hong Liang mengajak beristirahat ke sebuah kedai.
Keduanya memesan hidangan teh dan bakpau.
Tengah menikmati hidangan, tiba2 masuklah tiga orang
lelaki.
"Hai, Yap-heng, engkau.............. ," seru Su Hong Liang
ketika melihat salah seorang tetamu baru itu.
"0, Su kongcu, kebetulan sekali," kata orang itu. Tetapi
dia sekarang berobah airmukanya ketika melihat Huru Hara
duduk di dekat Su Hong Liang.
Huru Hara melihat yang dipanggil Yap-he itu adalah
Yap Hou yang pernah diajak Su Hong Liang datang ke
Yang-ciu beberapa waktu yang lalu.
Dengan Yap Hou, Huru Hara memang masih
mempunyai urusan yang belum dibereskan. Yalah ketika
keduanya melamar pekerjaan mengantar barang dari
jenderal Ko Kiat. Huru Hara yang diterima, Yap Hou juga
diterima tetapi untuk lain tugas.
"Yap-heng, silakan duduk bersama kita," seru Su Hong
Liang.
Huru Hara memperhatikan bahwa kedua kawan Yap
Hou itu, yang satu berumur lebih 40 tahun dan yang satu
lebih muda. Dari sikap dan penampilan, jelas kedua orang
itu orang persilatan juga.
Yap Hou memperkenalkan kedua kawannya itu kepada
Su Hong Liang, "Inilah saudara Gui Sin jago dari
perguruan Hoa-san-pay. Dan yang ini” ia menunjuk pada
lelaki yang agak muda, "adalah saudara Po Bun bergelar
Tok-seng-pah-ong (raja begal tunggal). Keduanya bekerja
pada Jenderai Kho Ting Kok."
"0, maafkan, aku sudah ayal memberi hormat," buru2 Su
Hong Liang memberi salam.
Setelah memperkenal kawannya kepada Su Hong Liang,
seharusnya Yap Hou memperkenalkan juga kepada Huru
Hara. Tetapi ternyata dia tidak mau. Begitu pula Su Hong
Liang juga tidak memperkenalkan Huru Hara kepada kedua
kawan Yap Hou itu.
"Yap-heng, hendak kemana ini ?" tanya Su Hong Liang.
"Aku diajak kedua kawan ini untuk menghadap
panglima Torgun."
"Lho, ada urusan apa ?" Su Hong Liang tampak terkejut.
"Kedua saudara ini disuruh jenderal Kho Ting Kok
untuk mengantar surat kepada panglima Torgun. Karena
belum faham letak markas panglima Torgun maka minta
tolong aku supaya mengantarkan. Su kongcu. Su kongcu
sendiri hendak kemana ?"
"Aku juga handak menghadap panglima Torgun."
"0, apakah ada keperluan penting ?"
"Disuruh siokhu mengantar surat."
"Lho, apakah Peng-poh-siang-si Su tayjin juga akan
menghubungi panglima Torgun ? Wah, kalau begitu,
panglima Torgun tentu akan gembira sekali."
"Siokhu menerima surat dari panglima Torgun lalu
sekarang mengirim balasan."
"Apa isi balasan dari Su tayjin ?"
Su Hong Liang gelengkan kepala, "Entah aku tak tahu."
"Bukankah panglima mengundang Su tayjin supaya mau
bekerja pada kerajaan Ceng ?" tanya Yap Hou.
"Bagaimana Yap-heng tahu ?"
"Kudengar panglima memang mengagumi dan ingin
sekali mendapat tenaga yang berharga seperti Su tayjin.
Salahkah dugaanku ?"
"Ya, mcmang panglima hendak mengajak siokhu," jawab
Su Hong Liang.
"Su tayjin manerima atau tidak ?"
Su Hong Liang gelengkan kepala, "Entah. Aku tak
diberitahu tentang keputusan siokhu."
"Kalau Su tayjin sampai menolak itu sungguh bodoh
sekali. Sedangkan jenderal Kho yang sudah lama ingin
bekerja pada kerajaan Ceng, baru sekarang diterima setelah
membuat jasa."
"Apa jasa jenderal Kho?" tanya Su Hong Liang.
"Membunuh jenderal Ko Kiat . . . . "
"Jahanam orang she Yap, Mari kita keluar," tiba2 Huru
Hara menyelutuk dan terus berbangkit dari tempat duduk,
melangkah keluar.
Yap Hou tersenyum dan mengangguk kepada Su Hong
Liang. Su Hong Liang menjawab dengan anggukan kepala
juga.
Yap Hou mengajak Gu Seng dan Po Bun keluar. Mereka
melihat Huru Hara sedang berjaIan ke utara.
"Hai, suruh keluar aku sudah keluar, mengapa engkau
malah ngacir?" teriak Yap Hou.
Huru Hara tetap lanjutkan langkah. Yap Hou dan kedua
kawannya segera memburu. Lebih kurang setengah li
setelah tiba disebuah hutan barulah Huru Hara berhenti.
"Aku mencari tempat sepi seperti ini," kata-kepada Yap
Hou yang sudah tiba.
"Mau apa engkau?"
"Sudah lama aku hendak mencarimu. Pertama,
mengenai urusan dari jenderal Ko Kiat tempo hari. Kedua,
waktu engkau mengacau di Yang-ciu. Dan ketiga, untuk
dosamu menjadi penghianait.
"Hm, sombong benar," dengus Yap Hou, "seolah engkau
ini seorang hakim yang hendak mengadili aku."
"Setiap orang berhak mengadili penghianat,” seru Huru
Hara.
"Tiap orang kan bebas menganut pendiriannya sendiri?"
"Aku memang tak peduli engkau mau jadi anjing atau
jadi monyet. Tetapi negara dan rakyat Beng tidak
mengidinkan seorang penghianat menginiakkan kakinya di
bumi ini !"
"Huh, hak apa engkau mengaku sebagai wakil rakyat
Beng?"
"Hakku sebagai seorang rakyat Beng. Sudahlah jangan
banyak bicara. Hari ini manusia-manusia semacam engkau
ini harus lenyap dari bumi!”
"Wah, wah, sombongnya," ejek Yap Hou.
"Aku tak mau membunuhmu sccara sewenang-wenang.
Silakan engkau mengadakan perlawanan seperti layaknya
seorang jago. Kalau mati, biarlah engkau mati secara
terhormat!"
"Gu-heng, Po-heng, bagaimana pendapat kalian tentang
pendekar kesiangan ini?" seru Yap Hou.
"Bekuk dan lemparkan saja ke hutan untuk makanan
burung gagak!" seru Gu Seng.
"Tuh, engkau dengar tidak?" kata Yap Hou kepada Huru
Hara, "daripada menderita sakit kalau kami sampai turun
tangan, lebih baik engkau potong kepalamu sendiri saja!"
"Bangsat, lekas bersiap terima kematianmu!" bentak
Huru Hara seraya bersiap melakukan penyerangan.
"Kalau mau menyerang, silakan saja. Tak perlu jual
gertak kosong!"
Huru- Hara memang muak dengan Yap Hou. Sekali
loncat dia menerkam dada orang itu. Tetapi sebelum
sampai pada sasarannya, dari kedua samping kanan dan
kiri, dia sudah dihantam Gu Sang dan Po Bun.
Terpaksa Huru Hara hentikan gerak serangan dan
menyiakkan kedua tangannya untuk menangkis pukulan
kedua orang itu.
Plakkk . .. . terdengar benturan yang keras. Po Bun dan
Ga Seng terkejut ketika mereka rasakan seperti dilanda oleh
tenaganya yang membalik. Mau tak mau mereka harus
terdorong mundur selangkah.
Hek-hou thou-sim atau Harimau-hitam mencuri-hati,
demikian gerak yang dilancarkan Yap Hou pada saat Huru
Hara sedang merentang tangan menangkis ke kanan kiri
tadi. Serangan itu dilakukan dengan dahsyat dan cepat oleh
Yap Hou.
Huru Hara terkejut. Untuk menangkis, dia tak keburu
mengatupkan kedua tangannya yang sudah terlanjur
direntang itu.
Namun dalam keadaan terdesak itu dia tidak gugup.
Setelah menyurut mundur dia mengelak ke kanan, dukkkk .
. . . bahunya kini terlanggar tangan Yap Hou.
Huru Hara terhuyung tetapi anehnya Ya Hou sendiri
juga meringis kesakitan. Tubuhnya sampai gemetar. Dia
merasa tangannya yang melanggar bahu Huru Hara tadi
seperti ditolak oleh arus tenaga dari tubuh Huru Hara.
"Serbu,” serempak Gu Seng dan Pa Bun menerjang,
demikian juga Yap Hou. Sekaligus Huru Hara dikerubut
tiga.
Huru Hara hanya berlincahan kian kemari untuk
menghindar. Dia tak mampu balas menyerang tetapi
musuhpun tak mampu menghantamnya.
"Memang karena tak pandai jurus ilmusilat Huru Hara
hanya bergerak menurut gerak tangan lawan. Hal itu lama
kelamaan diketahui juga oleh Gu Seng dan Po Bun. Mereka
lalu menggunakan tipu serangan. Hasilnya beberapa kali
punggung dan bahu Huru Hara termakan pukulan tetapi
anehnya malah yang memukul yang meringis kesakitan dan
terpental mundur.
Lama kelamaan Huru Hara jengkel juga. Dia segera
percepat gerakannya. Tiba2 dia enjot tubuh melayang ke
udara. berjumpalitan melayang turun di belakang Gu Seng.
Gu Seng terkejut dan cepat berputar tubuh tatapi saat itu
juga Huru Harapun sudah loncat ke udara lagi, melalui atas
kepala Gu Seng. Pada saat berada diatas kekala Gu Seng
dia menyempatkan diri untuk menyambar daun kepala
orang.
Uh ..... Gu Seng mendesuh kaget. Saat itu Huru Hara
melayang turun di tengah2 ketiga lawannya. Mereka bertiga
cepat berputar tubuh, tetapi Huru Hara sudah loncat lagi ke
udara, melayang keluar dari lingkar kepungan musuh.
Kali ini dia melayang melampui kepala Po Bun. Dan
sempat pula Huru Hara untuk menyambar daun telinga Po
Bun.
"Aduhhhhhh ..... " Po Bun menjerit sekeras-kerasnya
ketika daun telinganya ditarik keatas. Tiba2 ia rasakan
lehernya seperti di guyur air. Ketika dirabah, ah …. ,
ternyata darah merah telah mengguyur lehernya, lalu
membasahi bahunya.
Sakit Po Bun bukan alang kepalang. Ia rabah daun
telinganya dan ahhhhh, ternyata hanya tinggal separoh saja.
Daun telinga itu berlumuran darah .......
Huru Hara benci dengan manusia yang menjadi kaki
tangan musuh. Kali ini dia benar2 hendak memberi hajaran
yang hebat agar mereka kapok.
Terutama Yap Hou, dia hendak memberinya sebuah
tanda mata yang tak dapat dilupakan seumur hidup.
"Yap Hou, namamu Hou macan tetapi kau akan
kujadikan macan ompong," seru Hu Hara lalu mulai maju
menyerang. Tiba2 dia teringat akan beberapa gerakan untuk
menyerang.
Memang karena sudah berpuluh kali berhadapan dengan
musuh yang terdiri dari berbagai jago, mau tak mau Huru
Hara mendapat pengalaman juga. Dan secara tak sadar, dia
pun teringat akan gerakan bagaimana kalau orang
menyerang menghindar dan menangkis.
Justeru jurus yang sedang ditiru dan dilakukan Huru
Hara itu adalah jurus Hong-hong-can-ki atau Burung-Hongmerentang-
sayap lalu dilanjutkan dengan Hong-hong-tiamthou
atau Burung hong-mengangguk-kepala.
Memang jurus itu sudah diketahui Yap Hong. Tetapi
dimainkan oleh Huru Hara, jurus itu jadi lain. Kecuali gaya
dan gerakannya yang aneh tak menurut yang umum, pun
kecepatannya bukan kepalang. Belum Yap Hou sempat
menarik kembali kedua tangannpa yang dibuat menangkis
kedua tangan Huru Hara, atau tiba2 kepala Huru Hara
sudah mengangguk dan membentur .hidung orang,
duk.............. plak .....
"Aduh aduhhhh ..... ," Yap How menjerit sekeraskerasnya
dan menyurut mundur, terus melarikan diri.
Ternyata benturan jidat Huru Hara itu ditujukan pada
hidung Yap Hou. Ketika Yap Hou menjerit kesakitan
karena tulang hidungnya pecah dan berdarah, tiba2
mulutnya ditampar sekeras-kerasnya sehingga empat buah
gigi depannya putus seketika. Dengan hidung dan mulut
berlumuran darah. Yap Hou berkunang-kunang matanya
dan kepalanya seperti pusing tujuh keliling. Kalau dia
melanjutkan pertempuran, jelas dia akan menderita siksaan
yang lebih hebat lagi.
"Besok masih ada waktu untuk membalas hinaan ini.
Sekarang yang penting aku harus menyelamatkan diri lebih
dulu," pikirnya. Maka dia terus berputar tubuh dan lari
sekencang-kencangtya.
Gu Seng dan Po Bun terkejut karena Yap Hou menderita
kekalahan. Sebenarnya mereka harus sudah menyadari
kalau sedang menghapi seorang pemuda yang aneh. Tidak
bisa ilmusilat tetapi main konto alias silat cakar kucing.
Hanya saja walaupun bermain silat cakar kucing alias asalgerak
saja, Huru Hara dapat bergerak luar biasa cepatnya.
Justeru itulah yang menyebabkan lawan jadi kacau balau
tak keruan. Kalau permainan Huru Hara itu menurut tatasilat
yang umum, memang mudah diduga dan lawan dapat
bersiap untuk menangkis atau menghindari. Tetapi tidak
begitu. Permainan silat Huru Hara itu menurut sesuka
hatinya sendiri. Dia kepingin menghantam terus
menghantam, kepingin menampar terus menampar,
kepingin menendang terus menendang, pun kalau kepingin
menghindar, dia terus loncat. Segala, sesuatu, disesuaikan
dengan kondisi dan situasi pada saat itu.
Itulah sebabnya Yap Hou harus menderita kekalahan
sampai dua kali. Pertama ketika dia di depan jenderal Ko
Kiat. Dan kedua kali, pada saat tadi. Bahkan kali ini dia
harus menderita kekalahan yang hebat. Hidung penyok, gigi
rompal.
Po Bun dan Gu Seng hanya melihat dari sudut bahwa
permainan silat Huru Hara itu tidak karuan jurusnya.
Keduanya melihat banyak sekali lubang kelemahan pada
Huru Hara. Mereka yakin tentu dapat mengalahkan
pendekar nyentrik itu.
"Bagus," teriak Huru Hara ketika kedua jago itu mulai
menyerangnya.
Huru Hara memang hendak memberi hajaran kepada
kedua manusia yang menjadi kaki tangan jenderal Kho
Ting Kok, seorang jenderal yang telah membunuh rekannya
hanya karena ingin mencari jasa kepada kerajaan Ceng.
Sampai sekian lama ia tetap, berlincahan menghindari
terkaman kedua lawannya. Ia memang hendak
mempermainkan mereka agar mereka kehabisan napas.
Kedua jago itu memang heran sekali. Jelas mereka
makin yakin kalau lawan tak dapat bermain silat tetapi
mengapa setiap serangan yang dilakukan dengan jurus
berbahaya dan gerak yang cepat selalu saja dapat dihindari.
Seolah-olah lawan sudah tahu kemana dia hendak diserang.
"Aneh, aneh," kata kedua jago itu dalam hati, "seumur
hidup baru kali ini aku berhadapan dengan seorang
manusia aneh. Tidak mengerti ilmu silat tetapi dapat
menghadapi serangan jurus yang hebat."
Bahkan Gu Seng yang kain kepalanya disambar tadi,
diam2 mulai tergetar nyalinya.
Tiba2 saja dia loncat mundur dan mencabut pedangnya
seraya berseru, "Po-heng, kalau tak dapat dihantam, mari
kita cincang saja !"
Po Bun segera loncat mundur dan mencabut senjatanya,
sebuah gada besi yang berbentuk seperti orang-orangan.
Senjata itu disebut Tok kak-thong-jin atau Orang-tembagaberkaki-
satu.
Dengan senjata itulah dia memperoleh nama sebagai
seorang begal tunggal yang malang melintang di dunia
persilatan. Bertahun-tahun dia belum pernah bertemu
dengan musuh yang sanggup melawan senjatanya itu.
Karena kelihatannya itu maka kaum piau-su atau pengantar
barang (perusahaan ekspedisi barang), setiap kali lewat
daerahnya tentu berkunjung ke rumahnya dan
menghaturkan pungli. Setiap rombongan piau-su yang tak
menghiraukan peraturan itu, di tengah jalan tentu akan
mengalami kesulitan. Tidak jarang barang-barangnya
dirampas dan tidak jarang pula orangnyapun dibunuh.
Kini Huru Hara harus berhadapan dengan seorang jago
dari perguruan Hoa-san-pay dan orang kepala begal yang
termasyhur. Keduanya menggunakan senjata.
Hong-biau-lok-yap atau Angin-meniup-daun-berguguran
adalah jurus yang dimainkan oleh Gu Seng, jago Hoa-sanpay.
Perguruan Hoa-san pay memang termasyhur dengan
ilmupedangnya. Serentak terdengar suara menderu-deru
dan berhamburanlah titik2 sinar pedang mencurah kearah
kepala Huru Hara.
Serempak dengan itu Po Bunpun mengayunkan senjata
Tok-kak-thong-jinnya.
"Ihhhh . . . , " Huru Hara mendesis kaget ketika Tok-kakthong-
jin yang beratnya puluban kati itu melayang -kearah
kepalanya. Untung dia keburu miringkan kepala sehingga
luput dari kematian. Tetapi tak urung kedua kuncirnya
tersambar. Ah, rasanya kepalanya seperti dijiwit.
"Kurang ajar manusia ini, hm, engkau kira aku tak dapat
merampas senjatamu itu?" pikirnya. Dia segera mengempos
semangatnya dan mulailah ia berlincahan mengitari kedua
lawan itu.
Tenaga-sakti Ji-ih-sin kang memang luar biasa. Begitu
menyalur maka Huru Hara seperti seorang jago silat yang
memiliki tenaga-dalam hebat. Setiap gerakannya, baik
menghantam, menampar ataupun menendang, tentu
mengandung tenagadalam yang dahsyat. Pun gin-kang atau
ilmu meringankan-tubuh, juga luar biasa. Dia dapat loncat
sampai beberapa tombak, dapat melayang ke udara sampai
beberapa meter tingginya dan dapat melesat seperti burung
camar cepatnya.
Tok-kak-thong-jin Po Bun benar2 terkejut. Ia hampir tak
percaya kalau yang dihadapinya seorang manusia biasa
bahkan seorang pendekar nyentrik. Ber-ulang2 senjata Tokkak-
thong menghantam angin.
Kalau memukul apalagi menggerakkan senjata berat
Tok-kak-thong-jin, dapat mengenai sasaran, memang
puasnya bukan main. Tetapi kalau luput, wah, wah,
sakitnya juga bukan kepalang. Bukan sakit tangannya tetapi
sakit dalam perasaan.
Demikian yang diderita Po Bun. Karena berulang kali
menghantam luput, dia makin sakit dan makin panas
hatinya. Dan karena dia mulai kalap, maka lama kelamaan
tenaga dan napasnyapun mulai kembang kempis.
Huru Hara tidak dapat dalam waktu yang singkat untuk
merebut senjata Tok-kak-thong-jin karena diapun masih
harus memperhatikan pedang Gu Seng. Jago dari Hoa-sanpay
ini memang hebat sekali permainan pedangnya. Tetapi
ternyata beberapa kali hampir saja pedangnya berbentur
dengan Tok-kak-tong-jin Gu Seng menjadi hati2 dan tak
berani menumpahkan seluruh ilmupedangnya. Apalagi
setelah melihat Po Bun mengamuk dengan senjata Tok-kakthong-
jinnya, dia agak lambatkan gerakan pedangnya.
"Hm, akan kupancing agar mereka mengadu
senjatanya," Huru Hara mempertimbangkan satu siasat.
Dia melesat di tengah-tengah kedua lawan dan lepaskan
pukulan ke kanan kiri.
"Bangsat, jangan berlagak !" Po Bun marah dan
menghantam sekuat-kuatnya. Pun saat itu Gu Seng juga
sedang melancarkan jurus Pah-ong-can-liong atau Raja-
Pah- ong-memenggal-naga. Pedang melayang secepat kilat
kearah leher Huru Hara,
Tringngng ……..
Terdengar benturan keras antara pedang dengan Tokkak-
thong-jin ketika Huru Hara tiba-tiba enjot tubuh
mencelat ke udara dan kemudian melayang turun di
belakang Gu Seng.
Gu Seng dan Po Bun sama2, tergetar tangannya dan
sama2 menahan sakit. Benturan itu dahsyat sekali.
Keduanya menyurut mundur untuk memeriksa senjata
masing2.
Tetapi baru Gu Seng menunduk untuk memeriksa mata
pedangnya, sebat luar biasa Huru Hara sudah melesat
dibelakangnya dan terus mencengkeram bahu orang,
diremasnya keras2.
"Aduh ," Gu Seng merjerit kaget. Dia tak menyangka
sama sekali kalau Huru Hara dapat bergetak begitu cepat.
Tulang bahu disebut pi peh-kut. Din tulang pi-peh- kut ini
apabila han t, punahlah tenaga kepandaian orang.
Gu Seng menyadari hal itu. Dia menangis dalam hati.
Namun apa daya karena tulang pi-peh-kutnya sudah
terlanjur hancur diremas Huru Hara. Maka ketika ia
rasakan tubuhnya terangkat keatas, diapun tak dapat
berdaya apa2 kecuali paserah seperti anak kecil.
Po Bun terkejut ketika melihat Gu Seng di angkat keatas
kepala Huru Hara. Tetapi belum sempat dia berbuat
sesuatu, Huru Hara sudah langkah maju dan temparkan
tubuh Gu Seng ke arahnya.
Prakkk.............. .. .
Terdengar kepala Gu Seng pecah dan benaknya
berhamburan ketika Po Bun mengangkat To kak-thong-jin
untuk melindungi dirinya dari timpukan tubuh Gu Seng.
"Bagus, begitulah macamnya manusia jahanam. Kawan
sendiri kalau perlu juga dibunuh,” teriak Huru Hara.
Po Bun pucat. Sesaat ia tertegun dan sesaat itu pula tiba2
ia melihat sesosok bayangan menutup pandang matanya.
Sedemikian cepat bayangan itu sudah tiba dihadapannya
sehingga ia tak sempat menghindar ataupun
menghantamkan To- kak-thong-jinnya.
"Aduhhhh . . . . , " Po Bun, begal ternama yang malang
melintang dan ditakuti di daerah utara senjata Tok-kakthong-
jinnya yang ganas itu, menjerit ngeri. Mukanya
berlumuran darah dan kedua biji matanya telah pecah
ditusuk Huru Hara.
"Nah, itulah upah manusia penghianat. Jangan sedih,
engkau masih kubiarkan hidup,” seru Huru Hara.
"Hai, …. engkau, kelak pada suatu hari aku pasti akan
mencari balas kepadamu," seru Po Bun sambil mendekap
kedua matanya yang sudah buta itu...........
Tetapi tiada penyahutan karena saat itu Huru Hara
sudah melesat pergi. Dia memang tak mau membunuh
orang itu. Cukup dengan menghancurkan kedua matanya,
tentulah orang itu sudah sadar dan akan mengundurkan diri
dari dunia persilatan.
Huru Hara kembali ke kedai minum. Disitu Su Hong
Liang masih duduk menikmati teh.
"Bagaimana Loan-heng?" tanya Su Hong Liang dengan
santai.
"Beres!"
"Beres bagaimana? Apakah Loan-heng bertempur
dengan mereka?"
"Hm."
"Lalu kemana mereka sekarang?"
"Pergi," sahut Huru Hara dengan singkat. Dia merasa
enggan berbicara dengan pemuda itu.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Singkatnya,
mereka telah tiba di markas besar panglima kerajaan Ceng.
Huru Hara terkesiap ketika menghadap panglima
Torgun. Seorang yang tinggi, besar dan gagah. Dada
bidang, wajah berwibawa. Seorang panglima yang pandai
dalam siasat perang dan bijaksana.
Torgun juga terkejut ketika menerima Su Hong Liang
bersama seorang pemuda yang aneh dandanannya.
"0, engkau Su Hong Liang," seru Torgun," apa engkau
sudah membawa surat balasan dari Su tayjin ?"
"Sudah ciangkun," kata Su Hong Liang dengan penuh
hormat.
Torgun meminta surat itu dan suruh Su Hong Liang,
"Coba engkau bacakan surat dari pamanmu
Su Hong Liang membuka sampul dan membaca dengan
lantang. Seketika berobahlah wajahnya. Ternyata Su Go
Hwat menolak tawaran Torgun supaya bekerja pada
kerajaan Ceng.
"Ha, ha," Torgun tertawa, "pamanmu menolak. Apakah
engkau tidak berusaha membujuknya.”
"Sudah tayjin," Su Hong Liang gopoh memberi
keterangan, "sudah hamba gambarkan tentang keadaan
peperangan ini, kebobrokan kerajaan Beng dan
kebijaksanaan ciangkun yang tentu akan menghargai siokhu
apabila suka bekerja pada kerajaan Ceng."
"Tetapi gagal ?"
"Baru saat ini hamba tahu kalau siokhu menolak."
"0, apakah sebelumnya Su tayjin tidak memberitahu
kepadamu ?"
"Tidak ciangkun," jawab Su Hong Liang, “siok-hu hanya
menitahkan hamba supaya menghaturkan surat balasan ini
kepada ciangkun."
"Mengapa engkau yang disuruh menyerahkan surat ini ?"
"Siokhu mengatakan karena hamba yang membawa
surat ciangkun maka hambapun harus yang menyerahkan
surat balasan ini."
"Apakah tidak engkau katakan bagaimana berbahaya
kalau surat penolakan ini engkau yang membawa ?"
Su Hong Liang menghela napas, "Sudah ciangkun.
Hamba katakan kalau surat ini menyatakan siokhu
menerima tawaran ciangkun, hamba tentu selamat. Tetapi
kalau berisi penolakan, hamba tentu celaka. Kemungkinan
ciangkun tentu akan membunuh hamba."
"Tetapi Su tayjin tetap mengirim engkau supaya
menyerahkan surat ini ?" Torgun menegas. Su Hong Liang
mengiakan.
Torgun tertawa. "Tahukah apa maksud Su tayjin?"
Su Hong Liang agak bingung,
"Tak lain agar engkau kujatuhi hukuman mati,” kata
Torgun,
Su Hong Liang pucat seketika.
"Bagaimana pendapatmu tentang pamanmu Su tayjin itu
?" tanya Torgun.
"Siokhu seorang paman yang tega hati hendak
mencelakai keponakannya sendiri, ciangkun.”
"Lalu engkau anggap dia seorang yang bagaimana ?"
"Seorang yang jahat, ciangkun , . , . ."
"Tutup mulutmu !" tiba2 terdengar sebuah suara yang
amat lantang sehingga nadanya berkumandang
menggetarkan ruangan.
Su Hong Liang terkejut, demikianpun Torgun. Serentak
panglima itu berpaling kearah orang yang bersuara.
"Engkau yang bicara ?" tegurnya.
"Benar." sahut orang itu yang tak lain adalah Huru Hara.
Tampak pemuda itu busung dada mengangkat kepala
dengan wajah yang tak gentar.
"Siapa namamu ?"
"Loan Thian Te."
"Loan Thian Te ? Apa artinya?
"Mengacau dunia atau Dunia kacau."
"Aneh........ oh, ya. aku ingat sekarang. Bukankah yang
pernah menolong Totay, dulu ?"
“Benar.”
“Totay itu masih keluargaku. Dia pernah mohon idin
untuk membalas engkau. Dia memberi perintah kepada
semua panglima kalau anak pasukan Ceng, agar apabila
menawan atau bertempur dengan seorang pemuda yang
bernama Loan Thian Te, jangan diganggu."
"0, seharusnya dia tak perlu berbuat begitu," kata Huru
Hara..
"Mengapa ?" tanya Torgun.
"Karena itu urusan peribadi, bukan urusan negara.
Mengapa tentara Ceng harus dilibatkan dengan urusan itu
?"
Torgun terkesiap. Dia terkejut mendengar ucapan Huru
Hara. Seperti Totay, panglima Torgun itu juga menghargai
seorang yang berjiwa ksatrya, walaupun orang itu seorang
musuh.
"Apakah engkau juga disuruh Su tayjin untuk bersama
Su Hong Liang menyerahkan surat balasan kepadaku ?"
"Ya, karena atas permintaan Su Hong Liang." Torgun
mengangguk-angguk.
"Mengapa engkau marah tadi ?" tanyanya.
"Karena dia," Huru Hara menuding Su Hong Liang
berani menghina Su tayjin."
"Hm, dia kan keponakannya dan engkau bukan.
Mengapa malah engkau yang marah dan dia yang
menghina ?"
"Karena dia seorang keponakan jahanam !"
Torgun terbeliak. Dia tak sangka bahwa dihadapannya,
seorang pemuda nyentrik, begitu berani bicara ceplas ceplog
bahkan memaki seorang keponakan dari mentri kerajaan
Beng.
"Loan-heng, harap bicara yang sopan. Kita kan
dihadapan ciangkun, mengapa Loan-heng bicara begitu
kasar ?" seru Su Hong Liang. Dengan cerdik dia
menggunakan nama Torgun untuk memukul Huru Hara.
Mudah-mudahan panglim Torgun terbakar hatinya dan
mau segera menindak Huru Hara.
"Mengapa engkau mengata-ngatai Su tayjin,” balas Huru
Hara "aku sudah tahu diri untuk menghormati panglima
kerajaan Ceng. Andaikata tidak ditempat ini, mungkin
sudah kuhajar engkau !"
"Mengapa ? Bukankah jelas kalau siokhu hendak
mencelakai aku ? Siokhu sudah tahu kalau surat itu
menolak ajakan Torgun ciangkun dan telah kukatakan
kalau siokhu menolak, aku pasti celaka. Tetapi ternyata
siokhu masih tetap menyuruh aku yang mengantar surat.
Bukankah siokhu memang sengaja hendak membunuh aku
?"
Hung Hara mendengus.
"Kalau siokhu hendak membunuh aku dengan
meminjam tangan ciangkun disini, apa aku tidak berhak
mengatakan dia seorang yang jahat ?"
"Su tayjin bertindak tepat sekali,” Huru Hara.
"Apa? Sengaja hendak membunuh keponakannya itu
engkau anggap tindakan yang tepat?" teriak Su Hong Liang.
"Kalau seorang paman membunuh seorang keponakan,
itu memang jahat. Tetapi apakah engkau tak menyadari
akan perbuatannya sendiri?"
"Apa perbuatanku?" tanya Su Hong Liang.
"Engkau memang goblok !"
"Jangan terus menghina saja. Kalau engkau ini dapat
menjelaskan, akupun takkan sungkan kepadamu."
"Sebenarnya Su tayjin sudah menaroh curiga atas
dirimu. Mengapa engkau membawa surat dari panglima
Ceng kepadanya . . . . "
"Aku sudah menjelaskan hal itu kepada siok-hu!"
"Engkau anggap Su tayjin begitu tolol percaya saja?" seru
Huru Hara, "menurut kesanku, jelas Su tayjin curiga
kepadamu. Kebetulan waktu engkau disuruh mengantar
surat balasan itu, engkau minta supaya aku yang
menemani. Sudah tentu Su tayjin meluluskan. Karena apa?
Su tayjin tahu bahwa aku tentu dapat mengawasi gerak
gerikmu selama disini."
"Apa engkau kira engkau mampu lolos dari daerah yang
sudah dikuasai pasukan Ceng?" ejek Hong Liang.
"Su tayjin sudah menduga hal itu. Kalau aku sampai
celaka disini, Su tayjin tentu makin yakin akan
kecurigaannya bahwa engkau ini memang seorang
penghianat.”
"Setan!" damprat Su Hong Liang, "tak mungkin siokhu
akan menduga begitu. Itu engkau sendiri."
"Aku memang juga menduga begitu. Apakah salah?
Bukankah engkau sudah bekerja pada kerajaan Ceng?" seru
Huru Hara tak gentar. Torgun terkejut. Juga beberapa
pengawal yang berada disitu atas keberanian Huru Hara.
"Jika engkau seorang penghianat, jangan engkau
mempersalahkan Su tayjin. Jangan engkau hubunghubungkan
dengan ikatan antara paman dengan
keponakan. Dalam kepentiugan negara, tidak ada lagi
kepentingan bapak dengan anak, saudara, apalagi paman
dengan keponakan!" Huru Hara melanjutkan.
"Bagus!" tiba2 Torgun berseru memuji.
Sudah tentu sekalian pengawal terutama Hong Liang
terkejut sekali. Mereka mengira panglima tentu marah dan
akan menindak Huru Hara. Siapa tahu ternyata panglima
Ceng itu malah memuji Huru Hara.
"Su Hong Liang, begitulah seharusnya pendirian seorang
lelaki. Maka janganlah engkau menyalahkan pamanmu Su
tayjin. Dia memang pantas bertindak begitu dan engkau
harus puas menerimanya," seru panglima Torgun pula.
Seketika pucat lesi wajah Su Hong Liang. Dengan
ucapan itu, jelas panglima Torgun hendak membenarkan
tuduhan Huru Hara, bahwa dia (Hong Liang ) memang
bekerja pada kerajaan Ceng.
"Hm; rupanya Torgun hendak mendesak aku rupaya
jelas2 bekerja pada kerajaan Ceng. Kalau begitu, apa boleh
buat. Nasi sudah menjadi bubur," pikirnya.
Tetapi rupanya dia masih mempunyai rencana.
Walaupun Torgun sudah membuka kartunya, tetapi hanya
Huru Hara yang tahu. Kalau Huru Hara lenyap, tentulah
pamannya, Su Go Hwat, belum tahu tentang rahasia
dirinya.
"0, kemungkinan panglima Torgun memang ada rencana
begitu. Dia membuka kartuku tetapi akan membunuh Huru
Hara," berpikir sampai disitu, hatinya gembira.
"Loan Thian Heng, aku suka kepada peribadi dan
sifatmu," kata panglima Torgun pula, apalagi Totay pernah
berhutang budi kepadamu …….”
"Harap soal itu jangan ciangkun sebut2," kata Huru
Hara, "kalau Totay merasa berhutang budi, itu hanya
urusanku peribadi dengan dia. Tetapi aku tak mau meminta
hubungan itu untuk mencari keringanan. Dan salah apabila
ciangkun, meluluskan permintaan Totay itu."
Torgun terkejut. Dia benar2 tak menyangka Huru Hara
berani bicara selantang itu.
"Hai, pendekar liar, jangan kurang ajar terhadap tayciangkun,"
seorang pengawal dari panglima Torgun yang
berada dalam ruang itu cepat membentak.
"Jangan bicara," diluar dugaan Torgun mencegah
pengawalnya, kemudian kepada Huru Hara dia berkata,
"engkau betul. Totay tidak seharusnya meminta demikian.
Tetapi dia mengatakan bahwa dirinya saat itu, yalah waktu
engkau tolong adalah sedang menjalankan tugasnya sebagai
pimpinan pasukan. Jika dia sampai terbunuh maka
pasukannyapun akan hancur. Jadi dalam kedudukannya
saat itu, bukan sebagai peribadi Totay tetapi sebagai
panglima pasukan Ceng. Dengan begitu engkau telah
membantu pasukan Ceng."
"Ah," Huru Hara terkejut, "terserah apabila dianggap
begitu. Tetapi dalam hatiku, yang kubantu itu adalah
seorang manusia Totay yang memperlakukan aku dengan
baik."
"Hebat, Loan Thian Te, ternyata engka menjunjung perikemanusiaan
dan budi. Baiklah sekarang maksudmu
bagaimana?"
"Apakah ciangkun sudah selesai dengan surat balasan
dari Su tayjin tadi?" tanya Huru Hara.
"Ya" kata Torgun, "dan akupun akan memenuhi
keinginan Su tayjin."
"Apa yang ciangkun maksudkan?"
"Menurut Su Hong Liang. Su tayjin jelas menghendaki
supaya aku menangkap atau membunuh Su Hong Liang
dan engkau. Dan karena aku setuju dengan fahammu
tentang peri-kemanusiaan tadi, akupun takkan menindak
kepada kalian. Tetapi dengan syarat, kalian supaya bekerja
kepadaku. Engkau Loan Thian Te, akan kuangkat sebagai
orang kepercayaanku yang akan kuberi tugas penting.
Pangkatmu kusamakan dengan seorang panglima. Engkau
berbak menghukum setiap angauta pasukan yang bersalah
dari prajurit biasa sampai jenderalnya."
Su Hong Liang terkejut sekali. Ia tak nyana kalau Torgun
begitu menghargai sekali kepada Huru Hara. Padahal dia
sendiri yang jelas bersedia bekerja pada kerajaan Ceng,
hanya diberi kedudukan yang rendah.
Tetapi dia segera kaget ketika mendengar jawaban Huru
Hara atas tawaran yang begitu menarik dari Torgun.
"Terima kasih, ciangkun. Hamba menghargai sekali
kepercayaan ciangkun terhadap diri hamba," kata Huru
Hara, "tetapi sayang sekali hamba tak dapat menerima.”
"Kenapa ?"
"Karena hamba sudah terikat janji kepada tayjin untuk
membantunya."
"Ha, ha. ha," Torgun tertawa gelak, "Su tay-jin sudah
ibarat seekor harimau yang berada dalam jaring. Sekali
kuperintahkan menyerang mana dia mampu bertahan. Aku
menghargai pendirianmu untuk membantunya. Tetapi aku
sayang kepadamu. Engkau masih muda, hari depanmu
masih penuh dengan harapan. Mengapa engkau harus
membunuh hari depan sendiri dengan ikut kepada Su
tayjin? Bukankah dalam pertempuran nanti, engkau juga
pasti akan ikut hancur?"
"Seorang pejuang harus membuka bekal tekad untuk
mati. Kalau tiada bekal itu, jangan dia berjuang!"
"Bagus!" seru Torgun, "kami bangsa Boan, juga
berpendirian begitu maka kamipun dapat menghargai
engkau dan orang yang mempunyai pendirian begitu.
Tetapi Loan Thian Te, mengapa engkau harus menyianyiakan
dirimu sendiri? Engkau mati-matian berjuang tetapi
engkau berjuang untuk siapa? Bukankah engkau berjuang
untuk raja Hok Ong yang tak berguna itu dan kawanan
mentri dorna yang menggerogoti kekayaan kerajaan. Perlu
apa, Loan Thian Te. Mengapa engkau harus begitu?"
"Ciargkun," sahut Loan Thian Te dengan tegas, "hamba
berjuang untuk mempertahan bumi negara hamba. Negara
itu bukan milik raja atau mentri2 dorna itu tetapi milik
semua rakyat. Mengapa tayjin hendak menduduki negara
kami?”
"Engkau salah Loan Thian Te," sahut Torgun, "kerajaan
Ceng hendak menolong rakyatmu, membebaskan mereka
dari penderitaan dan tindasan raja dan kawanan durna.
Kami berjanji akan meningkatkan pemerintahan agar rakyat
dapat hidup aman dan sejahtera. Lihatlah, bukankah
jenderal2 dan pembesar kerajaan Beng yang mau sertia
pada kami, kami perlakukan dengan baik. Kami beri
kedudukan seperti semula, kami persamakan hak mereka
dengan pembesar2 Ceng. Kami tak mau mengadakan
perbedaan dan bertindak secara adil. Apakah sikap itu,
masih dianggap sebagai penjajah?"
"Benar, ciangkun," kata Huru Hara, "tetapi kami telah
kehilangan hak kami sebagai pemilik bumi tumpah darah
kami."
"Jangan mengatakan soal hak. Sebelum nenek
moyangmu berdiam di bumi ini bukankah bumi ini tidak
bertuan. Hanya karena bangsa Han pandai dan cakap
memerintah maka dapatlah bumi kalian kuasai. Dengan
begitu bumi itu bukan milik siapa2, kecuali mereka yang
mampu menduduki dan cakap mengurus negara itu."
"Tidak, ciangkun, hamba tetap bangsa Han hamba tetap
menginginkan menjadi pemilik dari negara kami."
"Jadi engkau tak mau bekerja pada kami. Cobalah
engkau ajukan syarat apa, jangan buru2 menolak."
"Baiklah, kalau ciangkun menitahkan begitu hamba akan
mengajukan syarat," kata Huru Hara, "hamba mau bekerja
pada ciaugkun apabila ciangkun sudah memerintahkan
untuk menarik mundur pasukan Ceng dari seluruh wilayah
negara Beng ini."
Torgun kerutkan dahi.
"Aku tak mempunyai kekuasaan sedemikian besar. Yang
berhak adalah baginda kami. Loan Thian Te, engkau boleh
menolak tawaranku supaya bekerja kepada kerajaan Ceng,
asal engkau dapat memenuhi syaratku ini."
"0, syarat apa, ciangkun ?"
"Engkau sanggup atau tidak ?"
Tanpa banyak ragu2 lagi, segera Huru Hara menjawab,
"Hamba sanggup ..... "
-oo0dw0oo-
Jilid 39.
Tebusan.
Torgun. panglima kerajaan Ceng yang berkuasa penuh
atas seluruh pasukan, mempunyai silat yang ksatrya.
Dia keras memegang disiplin, pandai mengatur pasukan,
bijaksana mengambil langkah. Terha dap mentri atau
pembesar kerajaan Beng yang pandai dan setya, dia
menghargai dan senang untuk memakainya.
Mentri pertahanan Su Go Hwat, memang merupakan
lawan yang tangguh bagi pasukan Ceng yang senang
melancarkan serangan untuk merebut daerah yang masih
dikuasai kerajaan Beng. Pada saat itu, Su Go Hwatlah yang
merupakan motor untuk menghidupkan semangat
perjuangan pasukan Beng.
Kehidupannya bersih, tidak korup, tidak mewah. Dia
hidup sederhana. Tindakannya selalu berdasar pada
kepentingan negara. Keputusannya senantiasa berpijak
pada keadilan. Pendiriannya selalu beralaskan kebenaran.
Dia disegani oleh lawan dan kawan. Para pembesar dan
jenderal, menaruh perindahan dan taat. Tetapi para mentri
durna menaruh dendam dan ketakutan. Mereka
menganggap Su Go Hwat sebagai duri dalam daging. Dan
tayhaksu Ma Su Ing yang menjadi boss kawanan mentri
durna itu segera bertindak. Menyingkirkan Su Go Hwat
dengan alasan Su Go Hwat diangkat sebagai mentri
pertahanan yang mengkoordineer (menghubungkan)
kekuatan dan persatuan dari para jenderal2 yang menjadi
panglima di daerah2.
Su Go Hwat merupakan poros atau tulang punggung
dari kekuatan kerajaan Beng. Bagi fihak musuh, tentulah
menganggap Su Go Hwat itu musuh besar yang harus
dibasmi. Tetapi tidak begitu dalam pandangan Torgun.
Torgun malah mengagumi atas kepandai Su Go Hwat.
Terutama dia menaruh penghargaa tinggi atas kesetyaan Su
Go Hwat terhadap kerajaan Beng. "Mentri yang begitu
harus kuambil. Karena sekali dia mau bekerja untuk
kerajaan Ceng dia pasti akan setya sampai mati," pikir
Torgun.
Itulah sebabnya maka Torgun berusaha untuk
mendapatkan Su Go Hwat. Walaupun Su Go Hwat
menolak tetapi Torgun tak marah. Ia dapat menghargai
sikap Su Go Hwat.
Terhadap Huru Hara, Torgunpun mempunyai penilaian
juga. Ia menerima laporan dari Totay tentang seorang
pemuda nyentrik bernama Loan Thian Te yang telah
menyelamatkan jiwanya. Dan selama ini dari beberapa
pimpinan pasukan Ceng yang melakukan operasi di
daerah2, pun masuk laporan tentang diri Loan Thian Te.
Ia belum dapat mengambil keputusan walau pun sudah
mendengar. Kini setelah berhadapan dan tahu Loan Thian
Te, bermula dia terkejut dan kecewa. Mengapa seorang
pemuda dengan dandanan dan rambut yang begitu
nyentrik, layak untuk mendapat perhatiannya.
Namun mengingat pemuda itu utusan peribadi dari
mentri Su Go Hwat, mulailah Torgun menaruh perhatian.
Tak mudah untuk menjadi orang kepercayaan seorang
mentri seperti Su Go Hwat.
Dan ketika mendengar pembicaraan Huru Hara serta
sikapnya yang berani, Torgun baru mantap memutuskan
untuk mengambil pemuda itu.
Ternyata dengan tawaran yang menggiurkan, Huru Hara
tak goyah. Namun Torgun tak kecewa, 'Kuda yang baik
tentu sukar dijinakkan. Sekali dapat dijinakkan, kuda itu
tentu akan setya. Demikian pertimbangan Torgun, baik
terha dap mentri Su Go Hwat maupun Huru Hara.
Dia hendak menundukkan Huru Hara dengan cara
pendirian Huru Hara. Ia handak mengambil Huru Hara,
menurut jalan pikiran Huru Hara. Maka diapun
mengajukan syarat. Dan ketika mendengar kesediaan Huru
Hara untuk memenuhi syarat, Torgunpun gembira.
"Markas ini penuh dengan jago2 yang sakti. Engkau
tentu seorang ksatrya. Kalau engkau mampu mengalahkan
jago2 itu, engkau boleh bebas keluar dari sini. Tetapi kalau
engkau tak mampu, engkau harus tinggal dan bekerja
padaku, setuju? tanya Torgun.
"Baik." kata Huru Hara.
"Su Hong Liang," tiba2 Torgun berseru, "akan kuberimu
kesempatan yang bagus. Hadapi Loan Thian Te, kalau
engkau dapat mengalahkannya, engkau bebas mengajukan
apa saja kepadaku.
Mendengar syarat yang diajukan Torgun diam2 Su Hong
Liang gembira. Tetapi alangkah terkejutnya ketika Torgun
menyuruh dia menghadapi Loan Thian Te.
Melihat Su Hong Liang meragu, berseru pula Torgun.
"Ingat Su Hong Liang, aku hanya dapat menerima orang
yang berani menghadapi segala apa!" seru Torgun.
"Tidak ciangkun !" seketika Huru Hara berseru, "aku
tidak mau menghadapinya."
Torgun terkejut. Diam2 dia memang mempunyai
rencana untuk memberi sedikit "kejutan" kepada Su Go
Hwat. Dengan mengadu dua pemuda itu, siapa yang
menang dan siapa yarg kalah, bagi Su Go Hwat tentu akan
menderita. Su Hong Liang kalah, Su Go Hwat kehilangan
keponakan. Huru Hara kalah, Su Go Hwat kehilangan
seorang kepercayaan.
"Kenapa ?" tanya Torgun.
"Aku tak mau mengotorkan tangan bertempur dengan
seorang penghianat !" sahut Huru Hara.
"Salah." seru Torgun, "justeru seorang penghianat wajib
dibunuh."
"Tetapi itu hak dari Su tayjin, aku belum diberi
wewenang."
"Lalu bagaimana maksudmu ?"
"Silakan ciangkun suruh jago2 yang lain menghadapi
aku."
"Hong Tiau, hadapilah dia !" seru Torgun.
Dalam deretan pengawal yang berjajar di samping kanan
dan kini Torgun, segera tampil seorang lelaki bertubuh
kekar, penuh dengan bulu. Dari muka sampai dada, tangan
dan kaki, tumbuh bulu yang lebat.
Thiat-pi-sin-wan atau Kera-sakti-lengan besi Hong Tiau,
merupakan jago yang terkenal di dunia persilatan wilayah
Hopak.
Panglima Torgun memang senang mengumpulkan jago2
silat yang sakti. Dia tak pandang apakah jago silat itu dari
aliran Putih atau Hitam pokok yang mau bekerja kepada
kerajaan Ceng tentu dikasih pangkat yang tinggi.
Memang Torgun tahu bahwa jago silat aliran Putih,
terutama dari kalangan kaum hiap (pendekar ksatrya),
jarang sekali yang mau. Misalnya, Han Bun Liong ayah
dari Han Bi Giok, jago yang sangat disegani dikota Thaygoan,
tak mungkin Torgun dapat mengambilnya. Apa boleh
buat, terpaksa Han Bun Liong harus dipenjarakan.
"Mari kita bermain-main dengan tangan kosong," seru
Hong Tiau setelah berhadapan dengan Huru Hara.
"Boleh," jawab Huru Hara.
"Engkau atau aku yang menyerang dulu ?' tanya Hong
Tiau dengan nada agak memandang rendah. Memang
dalam pikirannya, berhadapan dengan seorang pemuda
nyentrik seperti Huru Hara, masakan dia kalah.
"Engkau tuan rumah, engkau saja yang menentukan,"
jawab Huru Hara.
"Engkau boleh menyerang dulu!"
"Tidak bisa!"
"Lho, kenapa?"
"Aku tidak mengajak bertempur. Pertempuran ini atas
kehendak ciangkun. Maka engkau yang harus menyerang
dulu."
"Orang gila,” pikir Hong Tiau setelah mendapat kesan
terhadap tingkah dan ucapan Huru Hara.
"Baiklah," kata Hong Tiau lalu membuka serangan
dengan sebuah tamparan.
"Hm, monyet ini memandang rendah kepadaku," pikir
Huru Hara, "biar dia rasain sedikit kopi pahit."
Huru Harapun dengan santai menangkis. Tetapi tiba2
Hong Tiau gerakkan tangan kiri untuk menampar kepala
Huru Hara.
Huru Hara juga menangkis dengan sebelah tangan.
Sekonyong-konyong Hong Tiau menekuk targan kanannya
lalu menampar dada orang. Tangan kirinyapun digeliatkan
untuk menampar perut. Gerakannya cepat sekali.
Huru Hara terkejut. Terpaksa ia menghindar ke samping
kiri. Tetapi tangan kanan Hong Tiau dihentikan setengah
jalan dan ditamparkan pada bahu Huru Hara.
Huru Hara memang tak mengerti bahwa jurus yang
dilancarkan Hong Tiau itu disebut Hun soh-ngo-gak atau
Awan-menutup-lima-gunung, Suatu jurus gerak tamparan
yang sekaligus dilancarkan dalam lima kali.
Plak .. . . bahu Huru Hara tertampar. Dia terhuyung
tetapi Hong Tiau tertegun.
Torgun dan para pengawal, heran mengapa Hong Tiau
tak mau menyusuli menghantam Huru Hara. Bukankah dia
berhasil menampar bahu Huru Hara dan bukankah Huru
Hara sudah terhuyung. Apabila dilanjutkan dengan
pukulan, tentulah Huru Hara akan rubuh. Demikian rasa
heran yang timbul dalam hati Torgun dan pengawal
pengawalnya.
Tetapi hanya Hong Tiau sendiri yang tahu apa sebabnya.
Ternyata waktu tamparannya mengenai bahu Huru Hara,
seketika ia rasakan tenaga-dalam yang dipancarkan pada
tamparannya itu tertolak balik dan menyerang jantungnya
sendiri. Untung ia cepat mengerahkan tenaga-dalamnya
untuk menahan. Kalau tidak, dia tentu akan terjungkal
akibat senjata makan tuan.
Hal itulah yang membuatnya tertegun heran. Aneh,
pikirnya. Mengapa tubuhnya dapat memancarkan tenaga
pcnolak begitu hebat?
Namun karena saat itu sedang berada dihadapan
panglima dan rekan2, diapun harus maju lagi. Dia memang
ingin mencoba lagi untuk membuktikan keanehan yang
dirasakannya itu.
Suatu gerak serangan yang lincah dan sebat segera
dilancarkan untuk menerkam Huru Hara. Ok-hou-jiau-tho
atau Harimau-lapar-menerkam kelinci, demikian jurus yang
digunakan Hong Tiau. Jari tangan kanan dan kiri
diregangkan, mirip dengan kuku macan.
Huru Hara terkejut. Ia berusaha untuk menghindari saja.
Dalam beberapa gebrak Hong Tiau memang tak berhasil
menerkam lawan. Tetapi karena dia memiliki berbagai jurus
serangan, Huru Hara agak kewalalan.
"Bagus!" tiba2 para pengawal Torgun berseru memuji
ketika Hong Tiau berhasil menerkam bahu Huru Hara dan
terus mengangkat tubuh pemuda itu keatas kepala lalu
dilontarkau, bluk…..
"Hai!" para pengawal bahkan Torgun sendiri juga berseru
kaget sekali ketika menyaksikan apa yang telah terjadi
dalam ruang pertempuran itu.
Huru Hara memang terlempar tetapi dengan bergeliatan
pemuda itu dapat berdiri jejak tak kurang suatu apa.
Sebaliknya habis melontar, Hong Tiau malah rubuh sendiri.
Aneh, aneh. Tak habis herannya orang bergumam.
Bukankah Hong Tiau yang menang, mengapa dia malah
rubuh sendiri?
Kembali Hong Tiau harus merasakan suatu keganjilan
yang belum pernah dialaminya selama ini. Ketika dia
berhasil mencengkeram tubuh Huru Hara dan mengangkat
keatas, pada saat di mengerahkan seluruh tenaga untuk
melontarkannya, tiba2 tenaganya itu berhamburan kembali
menerjang tubuhnya. Kali ini dia benar2 tak siap untuk
menahan. Akibatnya dia seperti dihantam oleh gelombang
tenaga-dalam yang dahsyat, yaitu tenaga-dalamnya sendiri.
"Huakkkk," segumpal darah muntah dari mulutnya.
Wajah jago itu pucat seperti mayat. Di menderita sukadalam
yang cukup berat.
"Lo Hong, mengapa engkau," seorang lelaki bertubuh
kurus melesat ke tengah dan bertanya.
Namun Hong Tiau hanya geleng-geleng kepala dan tak
menyahut. Melihat itu lelaki kurus itupun segera menyadari
kalau Hong Tiau tengah menderita luka-dalam. Dia segera
menggotongnya ke samping dan memberi pertolongan
seperlunya.
"Ciangkun, idinkanlah hamba yang maju, seorang lelaki
pendek menghadap Torgun.
"0, engkau Bin Lok," Torgun memberi anggukan kepala.
Bin Lok adalah bekas anggauta si-wi atau bhayangkara
istana raja Beng ketika masih di kotaraja Pak- khia. Waktu
baginda hijrah ke kota Lam-khia, Bin Lok tak mau ikut
bahkan terus belot dan menyeberang pada pasukan Ceng.
Dialah yang berjasa untuk menunjukkan tokoh2 kota Pak
hia yang menjadi kaki tangan raja Beng dan mengumpulkan
tokoh2 serta jago2 silat dari kotaraja Pak-khia yang mau
bekerja pada kerajaan Ceng.
Bin Lok bergelar Tok-jiu jin-kiong atau Manusiaberuang-
bertangan-racun. Digelari beruang karena
potongan tubuh yang pendek dan wajahnya mirip dengan
seekor beruang. Sedang karena dia mempunyai keahlian
menggunakan tangan yang dilumuri racun dan pukulan
yang beracun maka disebut Tok-jiu atau si Tangan beracun.
"Kutu buruk, engkau berani melukai salah orang
pengawal tay-ciangkun ?" serunya dengan suara garang.
"Hm, matamu tentu melek, bukan aku yang menyerang
tetapi dia sendiri yang melemparkan aku. Mengapa engkau
menuduh aku ?" sahut Hu Hara.
"Engkau utusan dari Su Go Hwat, tentu engkau memiliki
ilmu kepandaian yang sakti. Bukankah engkau sanggup
untuk menghadapi barisan-pengawal dari markas besar tayciangkun
di sini?"
"Jelas, karena itulah syarat yang diberikan ciangkun
apabila aku ingin pulang," jawab Huru Hara.
"Ya, memang benar, engkau akan pulang ke Akhirat,"
ejek Bin Lok.
"Hm, coba lihat saja siapa yang akan ke akhirat," balas
Huru Hara.
"Mulutmu memang besar, bangsat!" teriak Bin Lok
seraya loncat menerjang dengan jurus Hiong-eng-sian-ke
atau Elang-ganas-menyambar-ayam.
Huru Hara melesat melalui bawah tangan lawan.
Gerakan itu biasa saja tetapi cepatnya bukan kepalang. Dan
selanjutnya diapun berlari-lari mengitari lawan.
Bin Lok terkejut. Seraya ia melihat Huru Hara pecah
menjadi lima enam orang yang mengelilinginya.
"Hm," dengus Bin Lok. Dihadapan panglima besar
kerajaan Ceng, dia hendak unjuk kepandaian. Dengan
menggerung keras, tubuhnya melambung ke udara sampai
dua tombak tingginya. Sambil meluncur turun dia lepaskan
sebuah pukulan beracun Hu-kut-ciang atau pukulan
Penghancur-tulang.
Hum Hara tak tahu kalau lawan menggunakan pukulan
beracun. Dia menangkis dan ketika jadi benturan, ia
rasakan tulang lengannya dan cepat sekali menjadi kaku
sehingga tak dapat digerakkan lagi.
Ia terkejut sekali. Cepat ia mengempos napas untuk
mengerabkan tenaga. Tetapi Bin Lok tak mau memberi
ampun lagi. Dia sendiri memang mengalami kekagetan
karena tenaga-dalam yang dipancarkan dalam pukulannya
itu tertolak balik. Tetapi karena sebelumnya dia sudah
minum obat pemunah racun, maka dia tak sampai cidera
seperti Huru Hara.
Melihat lawan tertegun, serentak Bin Lokpun
menerjangnya lagi. Huru Hara marah. Dia sadar kalau
musuh menggunakan pukulan beracun.
Begitu pukulan Bin Lok tiba, Huru Hara telah
menyambut dengan sebuah tendangan. Tetapi Bin Lok
cepat dapat menghindar sedang pukulannya masih dapat
diteruskan untuk menghantam dada.
"Uh . . . . , " belum pukulan mengenai sasaran, Bin Lok
sudah menjerit kaget. Ia merasa ujung kaki pada kuku jari
Huru Hara seperti memuncratkan cairan air yang tepat
mengenai muka, terutama mulutnya. Seketika ia rasakan
muka dan bibirnya menjadi kaku dan begap.
"Celaka, aku terkena cairan beracun," serunya dalam
hati. Ia terus loncat mundur dan merogoh obat kedalam
baju lalu minum dan duduk bersila di samping kawankawannya.
Sudah tentu peristrwa itu menimbulkan kegemparan.
Orang melihat Bin Lok berhasil mengbantam Huru Hara
dan waktu Huru Hara balas mengirim tendangan, tidak
mengenai Bin Lok. Tetapi mengapa tahu2 Bin Lok malah
mundur dan terus duduk bersila pejamkan mata ?
"Hamba mohon idin untuk maju, ciangkun,” kembali
seorang jago maju kehadapan Torgun.
Panglima Ceng kitu menganggu.
Jago yang maju kali ini adalah Seba, seorang tokoh dari
Mongolia. Dia mempunyai ilmusilat yang istimewa, Lain
dari silat di daerah Tionggoan. Ilmusilat tokoh Mongolia itu
mengutamakan membanting dan menjegal.
"Ho, manusia ganjil, rupanya engkau lihai sekali,"
serunya ketika berhadapan dengan Huru Hara.
"Engkau sendiri yang mengatakan, bukan aku."
"Engkau mampu menghalau racun dari pukulan Bin Lok
dan engkau salurkan ke kuku kaki lalu engkau tendangkan
ke mukanya. Sudah tentu Bin Lok kelabakan."
"Itu dia sendiri yang berbuat," sahut Huru Hara.
"Terus terang," kata Seba, "aku tak suka pakai segala
racun. Tetapi kalau dapat kubanting tulang2mu tentu
berantakan."
"Bagaimana acara pertempuran, kalian yang menetapkan
sendiri. Mau bermain curang kek, mau terang-terangan kek,
silakan. Aku hanya sebagai tetamu tentu menerima saja apa
yang tuanrumah akan hidangkan," kata Huru Hara.
"Baik, engkau jujur," seru Seba. Ia terus menghamp:ri
Huru Hara dan tiba2 ia ulurkan tangan mencekal lengan
Huru Hara. "nah, rasakanlah. ,.............. bluk ..... !"
Entah dengan cara bagaimana, Huru Hara sendiri belum
sempat berjaga-jaga atau tahu-tahu dia sudah dibanting ke
lantai oleh jago Mongolia itu.
"Aduh," desuh Huru Hara karena dahinya benjol.
"Hayo. bangun," teriak Seba.
Baru Huru Hara tengel2 bangun, kembali dengan suatu
gaya gerak yang mengagumkan, Seba sudah
membantingnya lagi.
Sampai empat lima kali Huru Hara menjadi bulan2
bantingan oleh Seba. Dahi, hidung dan pipinya benjut
semua.
"Aneh," pikir Huru Hara. "setiap aku hendak
mengerahkan tenaga bertahan, tahu2 tubuhnya sudah
terangkat dan terbanting."
Dia sempat memperhatikan bahwa gerak bantingan itu
tentu didahului dangan memalangkan kaki dan ayunan
tangan. Setelah merenungkan sejenak Huru Hara mendapat
akal.
Memang dalam permainan mencengkam dan
membanting, jago Mongolia itu tiada yang dapat
menandingi. Beberapa tokoh silat dari Tiong-goan
kewalahan menghadapi gaya silat Mongolia itu.
Kalau Huru Hara heran, Seba sendiri juga merasa aneh.
Biasanya setiap lawan yang dibanting, sekali saja tentu
sudah remuk dan tak dapat bangun lagi. Tetapi mengapa
Huru Hara ini sampai empat lima kali dibanting, tetap tak
apa2.
"Nih, rasakan lagi," Seba yang sudah mencekal lengan
Huru Hara terus beraksi. Sekali bergerak, tubuh Huru
Harapun sudah terjungkir akan jatuh ke lantai.
Tetapi kali ini terjadi suatu kejutan. Waktu Seba
melepaskan tangan kerena mengira tubuh lawan yang
sudah terpelanting itu tentu akan terbanting ke lantai, tiba2
bukan jatuh kebawah melainkan malah mencelat ke udara.
"Uh ," Seba mendesis kaget. Tetapi sebelum ia sempat
berputar tubuh untuk mencari arah perginya lawan, tahu2
tengkuknya dicekik orang. Dia berontak tetapi auh
............... makin berontak, tulang lehernya makin seperti
mau putus.
"Ah . . . . , " ia terkejut ketika lubang pantatnya seperti
ditusuk jari dan tahu2 tubuhjuga terangkat keatas.
"Uh, uh, uh ," Seba berulang-ulang mendesuh dan
mengeluh. Hatinya ingin meronta tetapi entah bagaimana
semakin meronta tulang-tulangnya seperti, mau putus.
"Uhhhhhh," kembali ia mendesuh kaget sekali tetapi
setelah itu dia tak dapat berkata apa2 karena tubuhnya
seperti berputar-putar deras dan makin deras sehingga
menyerupai baling2.
Beberapa saat kemudian ia rasakan darahnya bergolak
keras, pandang matanya kabur dan kepalanya berbinarbinar.
Torgun dan para pengawalnya terkejut sekali
menyaksikan peristiwa itu. Huru Hara yang bertubuh kurus
mampu memutar-mutar Sheba yang bertubuh kokoh. Sheba
seperti seorang anak kecil yang mendengar kata. Dia tak
dapat berbuat suatu apa kecuali hanya mandah diputarputar
seperti orang-orangan kayu.
"Nih, istirahatlah," beberapa saat kemudian, Huru Hara
meletakkan tubuh Seba. Dia melepaskan tangannya dan
bluk orang Mongol itu terjatuh ke lantai.
Beberaba pengawal menghampiri untuk memberi
pertolongan kepada Seba yang tak ingat diri itu. Seba
digotong ke samping.
"Ciangkun, hamba.............. "
"Ya," cepat Torgun menukas ketika melihat
pengawalnya yang bertubuh tinggi besar maju minta idin.
Orang itu bernama Barda, seorang suku Bo-an yang
banyak berjasa dalam peperangan melawan kerajaan Beng.
Barda tinggal di daerah Ki lin dan mendapat pelajaran
ilmusilat dari seorang pertapa sakti.
Sebenarnya Barda dapat diangkat sebagai jenderal atau
panglima tetapi karena otaknya kurang cerdik dan hanya
gagah berani saja, maka Torgun mengangkatnya sebagai
pengawal peribadi saja.
Memang Torgun pandai memakai dan menempatkan
orang. Jabatan panglima hanya diberikan kepada jenderal
yang benar2 memenuhi syarat pandai menyatur barisan,
berwibawa dan dapat bertindak tegas tepat. Jenderal yang
hanya gagah berani dan sakti, belum tentu diangkat sebaga
panglima kalau dia tidak pandai memimpin dan menguasai
pasukannya. Pun jenderal yang pandai kalau tidak berani
dan tidak tegas, tidak diangkat sebagai panglima. Panglima
adalah pimpinan. Dan pemimpin itu harus menguasai dan
ditaatti oleh yang dipimpin.
Sambil melangkah maju, Barda berseru dengan suara
menggeledek, "Hai. kunyuk, jangan engkau anggap dirimu
paling sakti. Markas besar panglima Torgun penuh dengan
jago2 yang tangguh dan sakti."
"Itu kan engkau sendiri yang mengatakan," sahut Huru
Hara, "kapan aku mengatakan, kalau aku yang paling sakti
? Huh, kucing, lu jangan meong-meong saja !"
"Hus, aku kucing ?" Barda mendelik.
"Ya, rupamu memang seperti kucing."
"Gila, masa kucing begini besar ?"
"Itu kucing keranjingan namanya !"
Mau tak mau sekalian pengawal geli mendengar dialoog
yang tak karuan dari kedua orang itu. Memang dikalangan
para pengawal panglima Torgun, Barda terkenal sebagai
orang yang polos.
"Kunyuk, jangan banyak bicara," seru Barda, "hayo
lawanlah aku."
"Silakan saja."
"Kita main jotosan saja," tantang Barda, "tak perlu main
silat-silatan, Engkau pukul aku satu kali, aku pukul engkau
satu kali. Kita saling bergilir pukul memukul.”
"Boleh," jawab Huru Hara,
Tetapi waktu dipukul tak boleh menghindar atau
menangkis," kata Barda.
"Boleh juga."
"Bark," kata Barda yang diam2 merasa senang. Ia
melihat tubuh Huru Hara itu lebih kecil. Dia yakin kalau
mnerima pukulannya tentu tak kontal. Apalagi dia memang
mempunyai pukulan keras dan tubuh yang kebal dipukul
atau yang disebut Thiat-poh-san (ilmu lindung). Masakan
Huru Hara mampu menang, pikirnya.
"Siapa yang memukul dulu ?" tanyanya pula
"Terserah saja," jawab Huru Hara.
"Engkau !"
"Lebih baik engkau saja karena aku ini seorang tetamu,"
jawab Huru Hara.
"Edan orang ini. Dia memang cari mampus,” pikir
Barda.
"Ya. Baiklah. Itu engkau sendiri yang mintai,” katanya
terus maju selangkah dan ayunkan tinjunya.
Dukkkkk .....Huru Hara mencelat dua tiga langkah tetapi
Barda juga rasakan tangannya kesakitan.
"Kurang ajar, dia punya tenaga-tolak," gumamnya dalam
hati. Kemudian dia mempersilahkan Huru Hara yang
memukul.
Dukkkk …….. Barda tersurut dua langkah tetapi tak
menderita apa2. Ilmu Thiat-poh dapat melindungi dirinya.
Demikian pukul memukul itu berlangsung sampai
beberapa gebrak. Makin lama Barda makin merasakan
tangannya sakit.
Huru Hara diam2 juga merasa kaget mengapa lawan tak
menderita apa2, kecuali hanya tersurut mundar saja.
"Hm, orang ini juga tolol tetapi jujur, pikir Huru Hara.
Dia curiga kalau2 orang itu mempunyai ilmu yang aneh.
Kemudian dia memutuskan untuk mencari tahu dibagian
dari tubuh orang mana yang lemah.
Waktu tiba giliran Huru Hara, dia tak memukul
melainkan merabah-rabah sekujur tubuh Barda. Dia hendak
mencari tahu dimana bagian kelemahannya,
Waktu jari Huru Hara mencomot ketiak, Barda tertawa
geli sekali.
"Ah, rupanya aku mendapat siasat. Kalau ia tertawa geli,
tenaganyapun lemas. Dan saat itu baru kupukulnya," pikir
Huru Hara.
Setelah tiba gilirannya maka Huru Hara menggunakan
tangan kini untuk mencomot ketiak Barda. Barda tertawa
gelak2 dan pada saat itulah Huru Hara menampar
mulutnya, plakkkkkk.
"Aduh," Barda menjerit karena dua buah gigi depannya
telah rontok. Mulutnya berkumur darah dan sakitnya bukan
kepalang.
'Hayo, pukulah aku." seru Huru Hara.
"Mana bisa, gigiku putus, sakitnya seperti kepalaku mau
copot. Engkau saja yang memukul," suru Barda.
Kembali Huru Hara melakukan siasatnya seperti tadi.
Begitu Barda tertawa geli, Huru Hara menampar telinga
orang, plakkkk .....
"Aduh," Barda menjerit karena anak telinganya serasa
pecah dan kepalanya sampai pusing tujuh keliling.
"Aduh," Barda menjerit lagi karena anak telinganya
pecah. Anak telinga pecah memang suatu derira yang
menyiksa sekali. Bayangkan, kalau telinga kemasukan
semut saja rasanya sudah setengah mati, apalagi sampai
pecah. Seketika Barda menjerit seperti orang gila dan terus
lari keluar.
"Tayjin, hamba.............. ."
"Ya," cepat Torgun memberi idin kepada seorang
pengawal yang hendak maju.
Pengawal itu sudah setengah tua. Tidak ada yang luar
biasa pada orang itu kecuali sepasang pelipisnya yang
cekung kedalam yang menandakan bahwa dia seorang ahli
ilmu lwekang.
Dia adalah Ih Giam bergelar Hui-kim-coa atau Ularemas-
terbang. Jauh sebelum tentara Ceng bangkit untuk
menyerang kota Pak-kia, di kotaraja itu terdapat seorang
tokoh ternama yang mahir sekali dalam menggunakan
senjata hui-ki coa atau Ular-emas-terbang. Senjata rahasia
(piau). Hanya bentuknya kecil sepanjang jari tangan,
berkepala ekor dan bersisik warna emas.
Keistimewaan dari senjata Hui-kim-coa ialah begitu
menyambar dan ditangkis, ular emas itu akan
menyemburkan cairan beracun. Dan kalau ular itu
mengenai tubuh dapat melekat karena menggigit daging.
Setelah berhadapan dengan Huru Hara berserulah Ih
Giam kepada Huru Hara, "Hai, kunyuk„ agar engkau
jangan penasaran kalau nanti kalah atau mati, biarlah
kuperkenalkan dulu siapa diriku."
"Terserah," sahut Huru Hara, "bagiku bukan nama yang
penting tetapi setiap lawan yang menghadapi aku tentu
akan kuganyang."
"Uah, uah, sombongnya," seru Ih Giam, dengarkanlah.
Aku bernama Ih Giam bergelar Hui- kim-coa karena
senjataku adalah senjata piau yang berbentuk seperti ular
emas. Nah, dalam pertempuran nanti, akupun akan
menggunakan piau itu. Supaya engkau tahu dan bersiapsiap."
“Hm, ular emas, atau ular tanah, bagiku sama. Tentu
akan hancur semua.”
"Bersiaplah, kunyuk," teriak Ih Giam panas hatinya
karena dipandang rendah.
"Silakan!"
Ih Giam mulai berdiri tegak. Tiba2 dia lontarkan
tangannya ke udara. Serentak tampaknya leekor ular emas
kecil, melayang naik ke udara dan lalu menukik turun
menyambar Huru Hara.
Huru Hara cepat loncat menyingkir. Tetapi aneh sekali.
Ular-emas itu seperti ular hidup. Dia dapat berputar arah
menuju kepada Huru Hara.
Huru Hara terkejut. Ular-emas itu hendak menyambar
pahanya, untung dia cepat2 loncat ke udara dan piau Ularemas
itupun jatuh.
Ih Giam melepas lagi piau Ular-emas sampai dua kali
tetapi tetap tak dapat mengenai lawan. Dan Huru Harapun
sempat memperhatikan bahwa piau Ular-emas itu
mempunyai daya kekuatan menyerang sampai dua kali.
Yaitu, apabila menyambar luput, benda itu masih dapat
menyambar lagi untuk yang kedua kalinya. Apabila luput
lagi, baru piau itu jatuh.
Sekalian orang terpesona menyaksikan keistimewaan
piau Ular-emas dari Ih Giam. Tetapi merekapun, termasuk
Ih Giam sendiri, juga mengagumi akan kelihayan Huru
Hara dapat menghindar.
Semula setiap melontar hanya sebuah piau Ular-emas,
setelah tiga kali gagal, baru Ih Gam melontarkan dua buah.
Kemudian tiga buah. Setiap kali tentu diulangi sampai tiga
kali.
"Kunyuk, bagaimanapun juga, engkau tentu harus
rubuh," seru Ih Giam. Kali ini sekaligus dia melontar
sampai sepuluh yang dilakukan dengan sepuluh jarinya,
kanan dan kiri.
"Matikkk," Huru Hara mengeluh. Waktu menerima
lontaran dua, tiga buah piau Ular-emas Huru Hara harus
mandi keringat untuk menghindari. Tetapi kalau sekarang
ia harus menghadapi sepuluh batang piau Ular-emas,
terpaksa ia harus mengakui bahwa tak mungkin ia mampu
menghindar lagi.
Serentak dia keringat pedang Thiat-cek-kiam atau
pedang- magnit yang terselip di pinggangnya. Segera ia
mencabut pedang itu dari kerangkanya dan diputar sederas
angin kencang.
Tring, tring, tring . . . . kesepuluh batang piau Ular-emas
itu segera melekat pada batang pedang semua.
Ih Giam mendelik seperti melihat setan di siang hari. Ia
hampir tak percaya apa yang disaksikannya. Masakan piau
Ular-emas yang sudah membuktikan keampuhannya sejak
berpuluh tahun, kini harus melekat pada sebatang pedang.
"Pedang luar biasa," puji Ih Giam.
"Hayo teruskan saja," seru Huru Hara.
"Masih ada lagi, kunyuk," teriak Ih Giam teraya
mencabut pedang dari pinggangnya. Ah, ternyata pedang
itu juga berbentuk seperti ular.
"Pedangku ini disebut Kim-coa-kiam (pedang ular emas).
Kalau engkau mampu menghadapi seranganku sampai 100
jurus, engkau boleh menganggap bahwa engkaulah yang
menang!"
Sebenarnya Huru Hara hendak menyimpan pedang
magnitnya tetapi karena ia kuatir pedang Ular emas musuh
itu juga mengandung keanehan maka dia tetap hendak
memakai pedangnya.
Serentak Ih Giam memutar pedangnya sederas hujan
mencurah. Setelah beberapa kali menghindar Huru Hata
lalu memutar pedangnya.
Tring, tring . . . . benturan antara kedua pedang itu tak
dapat terhindar lagi. Tetapi anehnya setelah itu, tidak
terdengar suara apa2 lagi.
Dan saat itu terjadilah suatu adegan yang menarik.
Kedua pedang saling melekat dan kedua jago itupun saling
tarik menarik untuk melepaska pedangnya.
Setelah beberapa waktu tak berhasil, keduan lalu saling
dorong mendorongkan pedangnya untuk menindih pedang
lawan.
Beberapa waktu kemudian tampak wajah Ih Giam
tegang sekali. Urat2 pada dahinya tampak membenjol dan
matanyapun merah berapi-api, buas sekali. Jelas jago itu
sedang menumpahkan seluruh ilmu tenaga-dalamnya untuk
mendesak Huru Hara namun tak berhasil.
Sebaliknya Huru Hara bersikap mempertahankan diri
saja. Oleh karena itu diapun tak begitu tegang.
"Celaka, "keluh Ih Giam dalam hati, "apabila aku
sampai kalah, malulah aku."
Karena malu terhadap Torgun dan rekan2 pengawal, Ih
Giam mencari akal untuk mengatasi kesulitan yang
dihadapinya saat itu.
Diam2 tangan kirinya merogoh kedalam saku celana.
Serempak dengan - mulut menggerung keras. 1h Giam
tamparkan tangan kirinya kedada Huru Hara.
Jarak begitu dekat dan serangan yang curang dari Ih
Giam dilakukan secara mendadak sekali. Sudah tentu Huru
Hara tak dapat menghindar lagi. Dalam gugup dia berusaha
untuk menampar dengan tangan.............. blek . .. . .
Tamparan Huru Hara itu seperti mengenai karung pasir
sehingga tak menimbulkan suara benda logam. Tetapi
berbareng itu, berhamburan segulung asap kearah muka
Huru Hara.
"Wah, wangi sekali baunya," kata Huru Hara dalam hati
ketika asap dari benda yang di lemparkan Ih Giam
berhamburan. Dan beberapa saat itu tampak tenaga Huru
Hara mulai berkurang dan makin berkurang,
Agar semangatnya segar, asap yang berbau wangi itupun
disedot mulut Huru Hara. memang semangatnya menjadi
segar tetapi kesadaran pikirannya mulai turun. Makin lama
makin berkurang dan hampir tak dapat mempertahankan
senjatanya dari senjata Ih Giam.
Kesempatan itu tak disia-siakan Ih Giam
"Lepaskan !” setelah menghimpun tenaga-dalam dia
menggembor sekeras-kerasnya dan menyentakkan
pedangnya dengan sekuat tenaga, diserempaki tendangau ke
lambung lawan.
Plakk. . . . uh, bluk ...... Terdengar tiga macam bunyi.
Pertama. bunyi tendangan kaki yang mengenai lambung
Huru Hara, kedua bunyi mulut Ih Kiam yang mendesuh
kaget, dan ketiga adalah bunyi tubuh Ih Kiam yang
terlempar kebelakang dan terbanting dilantai.
Aneh ! Yang menendang Ih Kiam tetapi mengapa yang
rubuh malah dia ?
Disitulah letak kesaktian dari tenaga-sakti Ji ih-sin-kang
yang dimiliki Huru Hara. Tenaga sakti itu akan memancar
apabila menderita pukuIan maupun tendangan atau apa
saja yang jatuh, pada tubuhnya.
Tendangan yang disertai dengan tenaga sepenuhnya dari
Ih Giam hanya merupakan mata bumerang yang membalik
dan mengenai dirinya sendiri. Tenaga tendangan itu seperti
ditolak oleh daya-mental dari tenaga-sakti Ji-ih-sin-kang
hingga Ih Giam kontal terlempar sampai dua meter dan
terbanting dilantai.
Yang lebih celaka dan memalukan adalah pedang Kimcoa-
kiam milik Ih-Giam juga masih terlekat pada pedang
magnit Huru Hara.
Tetapi karena telah menghisap asap dari taburan bubuk
beracun tadi maka Huru Hara pun lunglai tenaganya.
"Ciangkun, idinkan hamba yang menghadapi pemuda
brandat ini," tiba2 Su Hong Liang maju kehadapan
Torgun..
Torgtin sedang memperhatikan keadaan Ih Kiam
sehingga ia kurang menaruh perhatian pada keadaan Huru
Hara. Dan tanpa banyak pertimbangan.............. Torgun
meluluskan.
"Loan Thian Te," seru Su Hong Liang setelah
berhadapan dengan Huru Hara, "karena engkau tak
sungkan dan tak mengingat persahabatan kita, maka
akupun juga tak mau mengingat hubunganku dengan
engkau. Aku dan engkau sama2 terlibat dalam kepentingan
masing-masing. Kalau engkau tak mampu mengalahkan
pengawal2 ciang kun disini, engkau tak dapat pulang.
Begitu juga aku. Kalau aku tak mampu mengalahkan
engkau, akupun tak dapat pulang. Maka tak perlu kita harus
saling mengingat hubungan kita tetapi harus mementingkan
kepentingan kita sendiri2."
Dalam pandangan yang masih belum terang dan pikiran
yang masih belum normal, terpaksa Huru Hara menyahut,
"Jika :engkau berpendirian begitu, terserah saja."
"Mari kita adu kesaktian. Andaikata aku mati, aku
takkan penasaran. Tetapi kalau engkau yang harus mati,
kuharap engkaupun jangan penasaran."
Huru Hara tertawa hambar, "Mati hidup ditangan Thian.
Jangan bicara soal mati apabila engkau belum tahu apa arti
hidup. Mati soal mudah. tetapi hidup soal nilai. Nilai hidup
seseorang menentukan kematian orang itu."
"Hm," dengus Su Hong Liang. Merah mukanya karena
mendengar kata2 yang tajam Huru Hara.
"Kalau nilai hidupku sebagai manusia yang tak berharga
hidup mengapa aku harus penasaran kalau mati ?" seru
Huru Hara pula.
"Sudah jangan banyak bicara," tukas Su Hong Liang,
"nilai hidup itu bukan manusia yang memberi, tetapi
kebenaran yang menentukan. Lekas siapkan senjatamu dan
sambutlah seranganku."
"Hm, silakan saja," kata Huru Hara,
Su Hong Liang mencabut pedangnya dan segera mulai
menyerang dengan jurus Hun-hoa-hu liu atau Menyiakbunga-
meniup-pohon-liu. Suatu jurus ilmupedang yang
bergaya tabasan dalam gerak yang cepat.
Huru Hara yang masih grogy pikirannya, hanya
mengangkat pedang untuk menangkis, Tetapi secepat itu Su
Hong Liang sudah mengganti gerak tabasan dengan gerak
tusukan. Ujung pedang menikam ke uluhati Huru Hara.
"Ih," Huru Hara;mendesis seraya menyurut mundur
selangkah. Gerakan pedang Su Hong Liang itu memang
ganas sekali. Apabila kena, dada Huru Hara pasti akan
tembus.
Dalam keadaan yang sangat terdesak, Huru Hara
membuang tubuh menekuk kebelakang. Suatu gerakan yang
mirip dengan Thiat- pian-kio atau jembatan-besi-gantung.
Namun karena jarak terlalu dekat; sebuah buah baju Huru
Hara telah tertusuk sampai lepas.
Su Hong Liang terkejut. Dia penasaran sekali. Pedang
yang masih berada diatas tubuh Huru Hara terus ditabaskan
kebawah. Apabila kena, muka Huru Hara pasti terbelah jadi
dua.
Melihat ancaman itu, terpaksa Huru Hara rebahkan diri
ke lantai dan serempak dengan itu, ia mengangkat sebelah
kakinya untuk mengait kaki Su Hong Liang.
"Uhhhbh," Su Hong Liang mendesuh kaget karena tiba2
kakinya terangkat dan tubuh terpelanting. Dan celakanya,
pedangnyapun menusuk pada pahanya sendiri. Ia menjerit
dan terus rubuh pingsan.
Beberapa pengawal segera mengangkutnya keluar.
Melihat beberapa kawannya kalah. beberapa pengawal
yang lain sarempak maju untuk menyerbu Huru Hara. Ada
lima orang pengawal yang mengeroyok. Mereka
menggunakan senjata semua.
Sudah tentu Huru Hara merasa terancam, cepat dia
mencabut pedang dan melayani mereka. tetapi dia merasa
tenaganya makin lama makin lemas dan pada suatu ketika,
kakinya terkait dari belakang. Memang yang mengait juga
mengaduh kesakitan dan terlempar sampai dua langkah.
Tetapi Huru Hara juga terpelanting jatuh ke lantai.
"Ringkus!" empat orang pengawal yang berkepandaian
tinggi segera berhamburan meringkus Huru Hara yang
kebetulan jatuhnya tertelungkup.
Karena gemas, salah seorang pengawal hendak
membelah tubuh Huru Hara tetapi pada saat itu juga
terdengarlah suara teriakan yang melengking nyaring,
"Curang engkau!"
Sekalian orang terkejut ketika seorang gadis cantik
muncul di ruangan itu.
"Ayah, mengapa ayah mengidinkan perbuatan curang
berlangsung dihadapan ayah?" seru gadis itu.
Ternyata gadis itu adalah puteri panglima Torgun yang
bernama Amila. Dia mewarisi watak ayahnya yang jujur,
tegas, berani. Dan diapun gemar akan ilmusilat,
ilmuperang. Sering dia ikut dalam pasukan yang menyerang
musuh.
Sebenarnya Torgun tak setuju kalau puterinya ikut
perang tetapi karena anak itu memang pandai dan sakti,
terpaksa Torgun memperbolehkan.
"Kenapa Mila?" tanya Torgun.
"Dia sudah jatuh, berarti sudah kalah, mengapa hendak
dibunuh? Dan tidak adil sekali pertempuran itu. Masa satu
orang dikeroyok empat lima orang!" seru Amila.
"Aku tidak suruh, Mila," kata Torgun. Memang kelima
pengawal itu bertindak sendiri tanpa minta idin lebih dulu
kepada panglima. Kelima pengawal itu memang gemas
terhadap Huru Hara tetapi merekapun kuatir kalau harus
menghadapi satu lawan satu, akan kalah.
"Lepaskan," seru Torgun.
Keempat pengawal itupun mengundurkan diri dan Huru
Hara segera bangun.
"Engkau hebat, engkau boleh pulang," kata Torgun.
"Tidak!" jawab Huru Hara.
Mendengar itu Torgun terbeliak.
"Apa katamu?" ia menegas.
"Hamba tidak kembali," kata Huru Hara. "Mengapa?"
"Karena hamba sudah berjanji kepada ciangkun, akan
memenuhi syarat yang ciangkun ajukan
"Tetapi engkau sudah dapat mengalahkan berapa
pengawalku."
"Ya, belum semua."
"Lalu bagaimana maksudmu?"
"Hamba menyerah pada keputusan ciangkun.”
"0, maksudmu engkau bersedia kerja padaku?”
"Tidak."
"Tidak ? Lalu apa maksudmu ?"
"Hamba rela menjadi tawanan ciangkun."
"Hm," dengus Torgun, "Loan Thian Te, tetapi apakah
engkau tak merasa kalau , dalam pertempuran tadi engkau
mendapat perlakuan yang tidak wajar ?"
"Ya," sahut Huru Hara, "waktu bertempur dengan jago
yang menggunakan pisau Ular emas tadi dia telah
menaburkan bubuk berasap dan waktu hamba sedot asap
wangi itu ternyata tenaga dan pikiran hamba agak kabur."
"Dan juga karena dikeroyok lima orang itu?
"Tidak ciangkun," kata Huru Hara, "andaikata tenaga
dan pikiran hamba masih segar, tentulah hamba masih
dapat bertahan diri."
"Nab, karena engkau dicurangi maka engkau kuanggap
memenangkan pertandingan ini dan ...."
"Tidak bisa, ciangkun," seru Huru Hara, "bagaimanapun
halnya. yang jelas hamba telah rubuh."
"Mereka bermain curang !" seru Torgun.
"Itu sudah lumrah kalau orang berbuat curang, Bukan
salah dia tetapi salah hamba mengapa tak tahu kalau
dicurangi hingga hamba menyedot asap wangi itu."
Torgun menghela napas dalam hati. Dia benar2 heran
dan tak mengerti berhadapan dengan seorang pemuda yang
seaneh itu, Betapa tidak ?
Biasanya orang tentu gembira kalau dibebaskan dari
tawanan, tetapi Huru Hara tidak mau dan lebih suka
ditawan. Biasanya orang gembira kalau dianggap menang
tetapi Huru Hara menolak karena ia merasa telah rubuh,
Biasanya orang tentu memaki orang yang berlaku curang
terhadap dirinya tetapi Huru Hara tidak. Dia malah
menyalahkan dirinya sendiri mengapa begitu bodoh sampai
dapat dicurangi orang. Apakah di dunia ini terdapat orang
kedua yang seperti pemuda nyentrik itu ? Pikir Torgun,
"Yah, karena dia minta ditawan, baiklah kita luluskan
saya," tiba2 Amila berseru.
"Hm, apa boleh buat," kata Torgun, "itu dia yang minta
sendiri."
Ia perintahkan pengawal untuk membawa Huru Hara
kedalam ruang tawanan.. Namun diam2 Torgun pesan agar
pemuda itu diperlakukan dengan baik.
"Yah. pemuda itu aneh sekali,” guman Amila setelah
Huru Hara pergi, "masakan orang kok suka ditawan?"
"Ya, dia memang aneh."
"Tetapi apakah dia tak mempunyai maksud tertentu ?"
"Maksud tertentu bagaimana ?"
"Misalnya dia hendak menggunakan kesempatan untuk
memata-matai gerakan pasukan kita dan rencana2 ayah."
"Kulihat dia seorang pemuda yang jujur."
"Tetapi tiada jeleknya kalau kita memata-matai gerak
geriknya, ayah. idinkanlah aku saja yang melakukan
penyelidikan itu."
Torgun setuju.
Sementara itu setelah berada di kamar tahanan, Huru
Harapun melamun. beberapa saat kemudian ia tersadar.
"Ah, mengapa aku harus menuruti suara hatiku dan rela
ditawan disini? Bukankah saat ini aku harus lekas2 kembali
ke Yang-ciu untuk membantu Su tayjin?" ia menyesal atas
tindakan yang terlalu gegabah.
Memang kalau menurut hati nuraninya, ia tak mau
mendapat kemurahan dari panglima Tor-gun. Dia akan
membuktikan bahwa ia dapat keluar dart markas panglima
Boan itu dengan suatu cara yang gemilang
Dia merasa kalah janji dengan Torgun maka diapun
menolak dibebaskan. Sesaat dia tak berpikir lebih panjang
tentang akibat yang lebih penting terhadap tugasnya
membantu Su Go Hwat. "Ah, tetapi apa boleh buat. Sudah
terlanjur berkata, tak mungkin aku menarik kembali,"
katanya.
Hari itu dia beristirahat. Dan menjelang malam,
muncullah seorang pelayan gadis yang membawa makanan
dan minuman.
"Hohan, inilah makanan dan minuman untuk hohan,"
kata gadis pelayan itu.
Ternyata penampan dan mangkuk serta cawannya lux
sekali. Begitu pula hidangan dan araknya, hebat dan nikmat
sekali.
"Eh, mengapa aku diberi makanan dan minuman begini
istimewa? Bukankah aku hanya seorang tawanan?" tanya
Huru Hara.
"Entah, hohan."
"Siapa- yang suruh? Apakah panglima yang
menitahkan?"
"Bukan."
"Lalu siapa?"
"Siocia . . .
"Siocia? Puteri dari panglima itu?"
"Betul, hohan. Siocialah yang menitahkan aku supaya
mengantarkan minuman dan hidangan begini. Biasanya
inilah hidangan arak yang disantap oleh ciangkun sendiri."
"Hm, apakah ciangkun tidak marah?"
"Marah? Siapa yang berani melarang kehenak siocia?"
"Apakah panglima tidak berani menegur putrinya?"
"Bukan tidak berani, hohan. Tetapi panglima memang
amat kasih sekali kepada siocia."
"Sehingga dia manja?" tukas Huru Hara.
"Habis kalau tidak manja kepada ayahnya lalu manja
kepada siapa?" balas gadis pelayan itu dengan tersenyum.
Huru Hara sempat memperhatikan bahwa pelayan itu
seorang gadis yang amat cantik. Dia heran.
"Apakah engkau pelayan siocia ?"
"Benar. hohan. Mengapa ?"
Huru Hara tersipu-sipu. "Ah. Tidak hanya sekedar
bertanya saja."
"Apakah hohan menganggap aku bersikap kurang ajar
kepada hohan ?"
"0, tidak. tidak," buru2 huru Hara berkata, "engkau tidak
apa2."
"Apakah hohan tak ingin bertanya tentang diri siocia ?"
Huru Hara terkejut. Mengapa bujang itu bertanya begitu.
"Apakah siocia yang suruh engkau bertanya begitu
kepadaku ?" ia bertanya.
"Ti.. , . dak. Tetapi aku memang ingin tahu apakah
hohan tidak kepingin tahu tentang diri siocia."
"Mengapa engkau memiliki pikiran -begitu ?”
"Karena siocia juga memperhatikan hohan.
"Memperhatikan aku ?"
"Benar. Itulah sebabnya maka siocia sengaja menyuruh
hamba mengantarkan makanan dan arak istimewa ini.
Apakah hohan tidak merasa ?"
Huru Hata tertegun. Aneh benar. Dia seorang tawanan
mengapa puteri panglima Ceng menaruh perhatian
kepadanya?
"Ah," ia hanya menghela napas. "Mengapa begitu?
Apakah siociamu mengatakan sesuatu tentang diriku?"
"Ya, siocia bilang hohan benar2 sakti. Siocia ingin
belajar silat kepada hohan."
"Apa?" Huru Hara melongo, "aku tak mengerti
ilmusilat.”
Pelayan itu kerutkan dahi, "Ah, harap hohan jangan
naerendah diri. Jago2 yang kalah dari hohan tadi termasuk
pengawal kepercayaan ciangkun. Jelas hohan tentu berilmu
sakti.”
Memang Huru Hara menyadari bahwa sukar bagi orang
untuk menerima penjelasannya. Kalau ia mengatakan tak
mengerti ilmusilat, orang tentu tak percaya.
"Untuk apa siocia hendak belajar silat?"
"Ah, hohan, siocia memang gemar belajar silat dan
mahir dalam ilmu perang."
"Kalau sudah begitu, perlu apa siocia mau belajar silat
lagi?" tanya Huru Hara.
"Ah, hohan tak tahu. Siocia memang gemar sekali.
Setiap mclihat orang memainkan ilmusilat yang sakti, dia
tentu minta pelajaran. Oleh karena itu banyaklah aneka
ragam ilmusilat yang dimiliki siocia."
"Bagus," seru Huru Hara, "hanya sayang aku memang
tak dapat ilmusilat. Apa yang harus kuajarkan kepada
siocia?"
"Apa saja, pokok ilmusilat yang siocia belum memiliki."
Huru Hara menghela napas.
"0, apakah hohan tak bersedia memberi pelajaran kepada
siocia?" tanya gadis pelayan itu.
"Bukan tak mau tetapi memang aku tak mengerti ilmu
silat. Apa yang harus kuajarkan kepadanya ?"
"Soal itu, hohan tak perlu bingung. Siocia dapat
menentukan sendiri mana2 yang berguna. Hohan cukup
bermain silat saja. Yang penting hohan kan bersedia
memberi pelajaran ?"
Huru Hara hanya menghela napas,
"Hohan," kata gadis pelayan itu pula, “mengapa hohan
ikut berjuang ? Apakah hohan tak punya keluarga ?"
Huru Hara gelengkan kepala.
"Apakah hohan belum menikah ?"
"Huh, apa-apaan bujang ini tanya orang menikah
segala?” guniam Huru Hara dalam hati.
"Mengapa engkau bertanya begitu ?" tegurnya.
"Karena siocia juga pesan begitu."
"Lho, koq aneh. Apa kepentingan siocia bertanya begitu
?"
"Aku tak tahu, hohan. Apa saja yang siocia perintahkan
tentu akan kulaksanakan."
"Aku belum menikah."
"Punya tunangan ?"
Huru Hara gelengkan kepala.
"Sudahlah, silakan tinggalkan tempat ini,” akhirnya
Huru Hara menghalau gadis pelayan itu.
"Baik, hohan. Tetapi kapankah hohan akan mulai
memberi pelajaran silat kepada siocia ?" tanya gadis pelayan
itu pula.
"Terserah. saja," karena kewalahan, terpaksa Huru Hara
menyahut sekenanya.
"Hm, gila," gumam Huru Hara setelah bujang itu pergi.
Lebih kurang sejam kemudian, kembali gadis pelayan itu
muncul.
"Hohan, maaf, siocia tak enak badan. Tapi siocia suruh
aku meminta pelajaran ilmusilat kepada hohan," katanya.
"Apa ?" Huru Hara terkejut.
"Begini hohan," kata gadis pelayan itu, "pikir2 memang
kurang pantas kalau siocia datang kemari untuk meminta
pelajaran ilmusilat kepada hohan. Siocia kuatir akan
menimbulkan desas desus yang kurang enak."
Huru Hara mengangguk. memang apabila terdengar
orang, tentu akan gempartah kalau puteri panglima hesar
kerajaan Ceng datang ke kamar tahanan seorang tawanan
karena hendak minta pelajaran ilmusilat.
"Tetapi siocia benar2 kagum akan kepandaian hohan,"
kata gadis pelayan itu. "maka siocia lalu menyuruh aku
untuk mewakilinya. Dengan begitu aku nanti yang akan
menyampaikan pelajaran itu kepada siocia."
Huru Hara terkesiap.
"Dengan begitu hohan dapat membantu banyak pada
siocia. Siocia berjanji, kelak tentu takkan melupakan budi
kebaikan hohan,” kata gadis pelayan itu pula.
Sebelum Huru Hara sempat membuka mulut gadis
pelayan itu sudah berkata lagi, "Hohan mari kita berlatih ke
kebun saja. Disini kurang le luasa."
"Tetapi apakah para penjaga nanti tidak marah kalau
tahu aku keluar dari ruang tahanan ini?"
"Tidak," kata gadis pelayan, "siapa beran menentang
perintah siocia
Karena terus menerus didesak, apa boleh buat, Huru
Hara terpaksa menurut saja. Keduanya menuju ke sebuah
taman yang cukup luas.
"Nah, sekarang silakan hohan mulai memberi pelajaran,"
kata gadis pelayan itu.
Sebenarnya Huru Hara benar2 tak tahu bagaimana harus
mengajar ilmusilat. Dia sendiri tak mengerti silat.
"Hm, asal gerak sajalah. Misakan bujang tahu, katanya
dalam hati.”
Huru Harapun bersiap, "Lihatlah baik2” katanya dan
mulaikan ia menggerakkan sepasang tangannya. Makin
lama makin cepat sehingga dia seperti memiliki belasan
buah tangan yang berserabutan mengelilingi tubuhnya.
"Bagus. bagus," seru gadis pelayan itu. Ia minta agar
Huru Hara bergerak secara pelahan saja.
Huru Harapun menurut.
"Ah, mudah sekali, hanya menggeiakkan sepasang
tangan kian kemari, saling bersilang,” kata gadis pelayan itu
setelah menirukan gerakan Huru Hara.
"Cobalah hohan mainkan cepat lagi," gadis itu
memintanya.
"Oah, hebat sekali," teriak gadis pelayan itu ketika Huru
Hara bermain dengan cepat lagi, "apakah nama ilmu silat
ini ?"
"Cian-jiu-hud atau Dewa-seribu-tangan," kata Huru Hara
sekenanya saja.
"0, memang tepat sekali nama itu. Karena waktu hohan
yang melakukan, hohan seperti memiliki berpuluh-puluh
tangan." gadis pelayan itu berseru memuji.
Tetapi sampai berulang kali dia menirukan, tetap dia tak
mampu bermain seperti Huru Hara.
"Mengapa kalau aku yang memainkan malah seperti
orang menari-nari saja ?" tanyanya heran.
"Ya, segalanya harus sabar."
"Berapa lama harus belajar supaya dapat menyamai
seperti hohan ?"
"Tergantung dari kegiatanmu," kata Huru Hara, "kalau
giat, engkau tentu dapat mencapainya dalam waktu lima
tahun. 'Tetapi kalau malas tentu makan waktu sampai
sepuluh tahun."
"Baiklah, hohan," kata gadis pelayan, "akan
kusampaikan pelajaran ini kepada siocia. Siocia tentu
senang sekali. Itu mengenai pelajaran menyerang. Sekarang
cobalah hohan ajarkan suatu ilmusilat untuk bertahan.
Misalnya, supaya kita dapat terhindar kalau sampai
dikeroyok oleh beberapa lawan.
"Wah, pelayan ini memang mengada-ada saja," pikir
Huru Hara. Tetapi diapun segera melakukan suatu gerak
berloncat-loncat. Makin lama makin cepat dan makin tinggi
sehingga mencapai beberapa meter.
"Wah, hebat," seru gadis pelayan itu pula. Dia mulai
menirukan lagi. Tetapi sampai beberapa kali tetap dia tak
mampu mencapai kecepatan dan ketinggian seperti gerakan
Huru Hara.
"Apa namanya jurus itu, hohan?" tanyanya.
"Tong-lang-poh atau Belalang-loncat," kata Huru Hara
sekenanya saja. Diapun mengataka bahwa ilmu itu harus
dipelajari dengan sungguh sampai beberapa tahun.
Pada akhirnya, gadis pelayan itu meminta lagi, "Hohan,
cobalah ajarkan cara untuk menangkap orang supaya
jangan mampu melepaskan diri.”
"Baik," kata Huru Hara, "tetapi siapa yang akan
kujadikan lawan ?"
"Aku." serempak gadis pelayan itu menyambut dan
terus- maju dihadapan Huru Hara. "silakan hohan
meriugkus aku."
Tanpa sadar Huru Hara terus menyekap gadispelayan
itu. Gadis pelayan berusaha untuk meronta tetapi tidak
mampu.
"Hai, Narci, mengapa engkau ..... " tiba2 terdengar
seorang berseru dan pada lain saat seorang perwira muda
terus menerjang Huru Hara, "bangsat, engkau berani
kurang ajar terhadap gadisku !"
"Huh ...... " karena tak menyangka akan dicengkeram
dan disentakkan ke belakang, Huru Harapun terpental ke
belakang sampai beberapa langkah.
Perwira muda itu terus menyerang lagi tetapi gadis
pelayan .berseru, "Jangan !"
"Hai, kenapa engkau melarang, Narci? Apakah engkau
suka kepadanya ?" perwira muda itu berpaling dan . . . . ,
"Hai. siapa engkau !" teriaknya keras ketika melihat wajah
gadis pelayan itu.
Gadis pelayan itu juga terkejut. Cepat ia maju
menghampiri dan, plakkkk ..... ia menampar mulut perwira
muda itu dan terus lari pergi.
Perwira itu begap mukanya. Dia tertegun seraya
mengusap-usap pipinya.
"Siapa engkau.?" Huru Hara maju menghampiri.
Perwira muda itu terkejut. sahutnya, "Aku Mogin,
perwira pasukan pengawal panglima besar kerajaan Ceng.
Siapa engkau ?"
"Aku tawanan kalian."
"Mengapa engkau berani kurang ajar terhadap gadis itu
?" seru Mogin dengan marah.
"Lho, dia sedang minta pelajaran ilmusilat kepadaku."
"Setan !" bentak perwira muda itu," tak mungkin !
Engkaulah yang hendak merayunya !"
Merah muka Huru Hara. "Eh, perwira, jangan omong
seenakmu sendiri saja. Dia disuruh sio-cianya. Aku tak tahu
kalau dia itu pacarmu!'
"Bangsat !" maki perwira Mogin, "siapa bilang dia
pacarku ?"
"Bukankah engkau memanggil namanya dan engkau lalu
marah kepadaku ini ?"
"Engkau tak tahu siapa gadis tadi ?" Huru Hara
gelengkan kepala.
"Dia adalah Amila siocia, puteri dari panglima besar
kerajaan Ceng !"
"Apa ?" Huru Hara melonjak kaget, "ah, jangan gilagilaan
engkau, perwira. Dia jelas pelayan mengapa engkau
katakan siocia puteri dari panglimamu ?"
"Engkau gila !" teriak Mogin," dia memang puteri dari
panglima kami."
"Mengapa dia bilang disuruh siocianya dan bukankah
dia mengenakan seperti pelayan ?"
"Entah, aku tak tahu," jawab Mogin, "kukira tadi dia
memang Narci, pelayan siocia yang menjadi kenalanku.
Tetapi ternyata bukan. Dia adalah siocia sendiri."
Huru Hara terkejut juga. Ia heran mengapa puteri dari
panglima besar Torgun berulang kali menghubunginya.
Adalah puteri itu yang menolongnya ketika dia hendak
dibunuh pengawal2 panglima. Dan sekarang gadis itu
menyaru jadi pelayan untuk meminta pelajaran ilmusilat.
"Ah," Huru Hara tersipu-sipu malu ketika teringat bahwa
yang diajarkan itu tak lain hanyaah ilmusilat awuran alias
acak-acakan.
Perwira itu meminta maaf kepada Huru Hata karena
kesalah faham tadi.
Selama beberapa hari, Huru Hara tetap mendapat
hidangan yang enak. Dan selama itu tak pernah dia
diperiksa ataupun disiksa. Lama kelamaan, jenuh juga
perasaannya. Habis dia disuruh apa berada disitu. Tidak
kerja apa2, kecuali hanya disuruh makan tidur saja. Selama
itu Amila tak muncul lagi. Dan bagaimana kabarnya Su
Hong Liang, dia juga tak tahu.
Pada suatu hari dia dipanggil panglima.
"Loan Titian Te, aku hendak memberimu buah tugas,"
kata Torgun.
"Baik, ciangkun."
"Aku hendak mengirim surat kepada Su Go Hwat tayjin.
Untuk yang terakhir kalinya akan kuberinya kesempatan.
Supaya dia mau mempertimbangkan. Jika dia tetap
berkeras keputusan yah apa boleh buat. Kota Yang-ciu akan
kuserang,” kata panglima Torgun.
"Adakah hamba harus kembali kemari untuk
menyerahkan surat balasan Su tayjin?" tanya Huru Hara.
"Disitu tak kuminta surat balasan. Karena memakan
waktu," kata panglima Torgun, "hanya kuberi waktu.
Berapa lama engkau dapat mencapai Yang- ciu."
"Dua hari."
"Kuberi waktu kepada Su tayjin selama tiga hari,
dihitung dengan perjalananmu, jadi sampai sekarang kira2
lima hari. Kalau selama lima hari ini, Su tayjin tidak
memberi pernyataan apa2, berarti dia menolak kesempatan
yang kuberikan ini. Dan mintalah dia supaya bersiap-siap
menghadapi serangan pasukan Ceng.”
"Huru Hara heran mengapa panglima Ceng itu begitu
memberi kelonggaran sekali kepada Su tayjin.
"Engkau tentu heran mengapa aku masih memberi
kesempatan dan kelonggaran kepada tayjin," kata Torgun,
"itulah karena aku menghargakan sekali kepadanya dan
tetap ingin memakainya."
Huru Hara segera berangkat. Begitu tiba di luar markas
pada sebuah tempat yang sepi, muncullah seorang gadis
dengan pelayannya, juga masih gadis.
Huru Hara berdebar ketika melihat gadis itu tak lain
adalah pelayan yang pada malam pertama datang
kepadanya untuk meminta pelajaran ilmusilat.
"Maaf, hohan, aku telah mengelabuhimu beberapa hari
yang lalu," kata gadis cantik itu.
Huru Hara makin yakin bahwa gadis itu adalah puteri
dari panglima Torgun tempo hari.
"Ah, harap siocia jangan berkata begitu," kata Huru
Hara, "aku seorang tawanan. Dan aku juga pernah
mendapat pertolongan siocia. Seharusnya akulah yang
menghaturkan terima kasih kepada siocia."
"Hohan, apakah hohan akan kembali lagi kemari?" tanya
Amila.
Huru Hama menghela napas, "Ciangkun tidak
menitahkan aku kembali lagi."
"Tetapi .. .. tetapi mengapa hohan harus meninggalkan
daerah ini? Bukanlah disini lebih aman? Apabila hohan
mau menetap disini, ayah tentu akan gembira sekali."
"Ah;" kembali Haru Hara menghela napas.
"Mengapa?" tegur Amila.
"Aku sudah terikat dengan kewajiban untuk membantu
perjuangan Su tayjin."
"Tidak apa," kata Amela, "asal engkau mau menetap
disini, andaikata engkau tak mau bekerja kepada ayah, pun
tak apa. Akan kuminta kepada ayah untuk kebebasanmu."
"Terima kasih, siocia," kata Huru Hara, "saat ini aku
sedang melaksanakan tugas untuk mengantarkan surat dari
ciangkun. Harus kuselesaikan tugas itu."
"Akan kuminta kepada ayah untuk menyuruh lain orang
saja."
"Terima kasih," kata Huru Hara pula, "biarlah kali ini
aku menyelesaikan semua tugas kewajibanku. Terhadap
ciangkun dan terhadap Su tayjin."
"Apakah engkau bersedia kembali kemari?"
"Ah, sukar untuk kukatakan. Marilah kita serahkan
segalanya kepada Yang Kuasa. Aku sendiri tak tahu
bagaimana nasibku nanti."
"Hohan, mengapa hohan begitu keras hati?
"Bukan keras hati, siocia. Tetapi aku memang sudah
terlanjurkan menyerahkan jiwa ragaku untuk mengabdi
kepada negara "
"Hohan, apakah . . . apakah engkau tak kasihan
kepadaku . . .. "
"Nona adalah puteri dari seorang panglima kerajaan
Ceng yang berkuasa. Harap siocia jangan kecewa. Hari
depan siocia masih panjang dan gemilang . . . .”
"Hohan, engkau sungguh kejam . .. , " tiba2 Amila terus
lari meninggalkan Huru Hara. Huru Hara berdiri
terlongong-longong. Ia tak tahu mengapa puteri panglima
Ceng itu begitu rupa sikapnya terhadap dia.
Setelah menguatkan perasaan dia terus melanjutkan
perjalanan lagi. Baru beberapa li ketika harus melintasi
sebuah bukit, tiba2 dia dihadang oleh segerombolan lelaki
bersenjata yang ternyata adalah rombongan prajurit Ceng.
"Hm, inilah yang kurunggu-tunggu," kata perwira yang
menjadi kepala pasukan.
Huru Hara berhenti.
"Serahkan jiwamu!" teriak perwira, seorang suku Ceng.
"Apa salahku?"
"Jangan banyak mulut! Engkau melawan atau
menyerah?"
"Aku adalah utusan Torgun ciangkun untuk
mengantarkan surat kepada Su Go Hwat tayjin."
"Aku tak peduli. Itu urusan ciangkun. Teapi disini adalah
aku yang berkuasa. Lekas, jangan banyak mulut!"
"Katakanlah, apa kesalahanku. Kalau aku memang
bersalah, aku bersedia menyerahkan diri," seru Huru Hara.
"Kudengar engkau telah mengalahkan beberapa
pengawal Torgun ciangkun, benarkah itu ?" tanya perwira
Boan itu.
"Ya, hanya secara kebetulan saja."
"Hm, pantas. pantas."
"Mengapa ?"
"Engkau pandai merendah diri, pantas Amila jatuh hati
kepadamu," seru perwira Boan.
Huru Hara terkejut.
"Mengapa engkau menyebut-nyebut puteri panglima
Torgun ?" serunya.
"Apakah aku tak berhak ?" balas perwira itu. Huru Hara
makin tak mengerti kata2 dan sikap orang yang
bermusuhan.
"Aku tak mengerti apa yang engkau katakan. Aku tak
kenal kepadamu, engkau hendak menangkap aku. Katakan
apa kesalahanku, engkau bicara yang lain2. Apakah
maksudmu ?"
"Pengawal2 dari Torgun ciangkun itu adalah jago2
berilmu tinggi. Engkau dapat mengalahkan mereka maka
Amila jatuh hati kepadamu. Tak mungkin engkau menang
secara kebetulan saja tetapi karena engkau memang benat2
lihay.”
"Ah. buat apa hal itu dipersoalkan lagi ? Bukankah
sekarang aku sudah pergi dari daerah ini?”
"Ketahuilah," kata perwira itu," engkau telah menghina
aku maka engkau harus mati."
Huru Hara terkejut.
"Ngaco !" bentak Huru Hara, "aku tak kenal engkau.
Mengapa engkau mengatakan aku menghinamu ?"
Perwira Boan itu tertawa
"Banyak sekali engkau telah menghina aku. Pertama,
engkau mengalahkan beberapa pengawal Torgun ciangkun.
Itu berarti menampar muka ciangkun dan para keluarga
raja..... "
"Apakah engkau keluarga raja Ceng ?" tukas Huru Hara.
"Aku memang putera dari sanak raja yang agak jauh Bibi
misan dari baginda sekarang adalah ibuku."
“Oh, kalau begitu engkau seorang pangeran ? Siapa
namamu ?"
"Aku bernama Haka. Memang aku seorang pwelek
(pangeran). Maka akupun merasa terhina atas perbuatanmu
mengalahkan para pengawal Torgun ciangkun itu."
"0, kalau begitu, akupun tak dapat berbuat apa2 lagi.
Apakah aku harus menyerahkan jiwa kepada mereka, pada
hal panglima menitahkan supaya aku mengalahkan mereka.
Salahkah itu ?"
"Salah," seru Haka pwelek, "dan kedua, engkau berani
memikat Amila. Ini suatu kesalahan besar yang kuanggap
sebagai hinaan besar kepaku !"
"Aneh, mengapa begitu ?”
"Aku diangkat sebagai orang kepercayaan ciangkun
untuk menghubungi para jenderal pasukan Ceng didaerahdaerah
pendudukan. Waktu. engkau mengalahkan
pengawal2 ciangkun, aku kebetulan sedang bertugas ke
Holam untuk menyampaikan perintah ciangkun," kata
Haka pwelek.
"Lalu?"
"Ciangkun menaruh kepercayaan besar sekali kepadaku
dan telah berjanji kepadaku, bahwa kelak apabila kerajaan
Ceng sudah dapat mengalahkan kerajaan Beng, aku akan
dimkahkan dengan Amila . . . . "
"0, engkau calon menantu panglima Tor-gun," tukas
Huru Hara.
"Hm," dengus Haka pwelek, "setelah tahu hal itu kiranya
engkau tentu dapat mengerti apa sebab kuanggap engkau
menghina aku!"
"Soal diri Amila siocia itu?"
"Ya," sahut Haka, "sejak engkau datang, Amila telah
berobah dingin kepadaku. Dan menurut keterangan
pelayan2, Amila tertarik sekali kepadamu. Memberimu
makanan yang lezat dan minta ajaran silat kepadamu."
"Ya, memang," jawab Huru Hara, "walau pun Amila
siocia dapat menerima penjelasanku bahwa antara kita
berdua tak ada ikatan apa2, kecuali hanya dalam batas
persahabatan, tetapi akulah yang akan bertanggung jawab
atas pristrwa itu. Amila siocia tidak bersalah."
"Hm, gagah benar engkau," seru Haka pwelek, "engkau
berani mencuri hati puteri yang akan menjadi isteriku. Itu
berarti engkau menghilangkan dadaku. Nai, bersiaplah
untuk mati!"
"Baik," sahut Huru Hara, "tetapi sebelumnya aku hendak
menyatakan bahwa aku tak mempunyai perasaan apa2
terhadap Amila. Jangan engkau menuduh yang bukanbukan
!"
"Hm, mana ada maling yang mau mengaku?" seru Haka.
Dia terus menyerang Huru Hara.
Huru Hara terkejut ketika menyaksikan gerak serangan
pangeran itu, Luar biasa, pikirnya. Cepatnya bukan main
dan tenaga pangeran Boan itu juga amat kuat. Untuk
beberapa saat, Huru Hara memang agak kebingungan.
Terpaksa dia harus berloncatan menghindari.
Haka sendiri juga tak kalah kejutnya. Dia telah
mendapat pelajaran ilmusilat dari seorang paderi lhama di
Tibet. Pun dia juga mendapat ilmusilat dari tokoh2 sakti
dari Tiong-goan. Dan dengan kecerdasan otaknya, dia
dapat menggabung aliran kedua ilmu silat itu untuk
menciptakan suatu aliran ilmusilat yang hebat.
Ada sebuah ilmusilat ciptaannya yang (beri nama Sippat-
hui-eng-ciang atau Delapan-belas-garuda-menyambar.
Gerakannya mirip dengan garuda yang menyambar
korbannya. Ganas dan dahsyat.
Huru Hara memang agak kebingungan. Berulang kali
hampir saja kepala dan tubuhnya kena tersambar tangan
Haka, Untunglah dia masih dapat menghindar.
Sebenarnya Huru Hara masih mempunyai pertimbangan
lain. Dia segan untuk mengadu jiwa dengan Haka. Hal itu
bukan lain karena ia tahu bahwa pangeran itu hanya salah
faham. Dan disamping itu. Huru Harapun ingin membalas
budi kebaikan Amila. Bukankah Amila akan hancur
hatiuya apabila Haka sampai cacad atau mati ?
Memang baik panglima Torgun, Amila maupun Haka,
adalah orang Boan yang menjadi musuh rakyat Beng.
Tetapi Huru Hara akan memisahkan antara permusuhan
dengan hubungan antara manusia dengan manusia.
Di medan perang, apabila berhadapan dengan Torgun
ataupun Haka, dia tentu akan hancurkannya. Karena
perang adalah perang. Kalau tak mau memhunuh tentu
dibunuh, Dan perang itu adalah demi membela negara.
Tetapi apabila dalam hubungan sebagai manusia
peribadi, dia tak mempunyai dendam apa2 terhadap
Torgun. Bahkan ada beberapa dari panglima Ceng itu yang
ia hargakan. antara lain pandangan dan cara panglima itu
menghargai mentri besar seperti Su tayjin dan cara dia
memimpin anak pasukannya.
Juga terhadap puteri Amila, Huru Hara menaruh
simpati. Bukan karena dia ada hati melainkan karena dia
kasihan. Bukankah puteri itu sudah mempunyai calon
suami si Haka ? Mengapa hendak main cinta kepadanya ?
"Ah, kemungkinan ada sesuatu yang terjadi diantara
kedua muda mudi itu," pikirnya. Lepas dari siapa
keduanya. namun Huru Hara mempunyai pendirian bahwa
persoalan muda-mudi itu pada umumnya adalah sama, baik
dia muda-muda Han, Beng maupun Ceng.
Untuk membalas kebaikan puteri itu, Huru Hara
mempunyai rencana agar hubungan Amila dengan Haka
dapat berjalan baik lagi. Karena betapapun halnya, Huru
Hara tak mungkin dapat menerima cinta puteri Amila.
Jangan lagi karena dia memang tak ada hati puteri
panglima Ceng itu. Pun andaikata dia menaruh hati, diapun
akan sanggup untuk mengorbankan perasaan cinta itu demi
kepentingan perjuangan.
Saat itu serangan Haka makin buas dan ganas sehingga
Huru Hara makin kelabakan. Akhirnya ia mengambil
keputusan.
Selekas menghindari terjangan Haka, dia terus loncat ke
belakang dan lari.
"Hai, hendak lari kemana engkau!" Haka berteriak dan
terus mengejarnya.
"Hm, lu kira gua kalah ? Andaikata tak mengingat
kepentingan Amila, tentu akan kuhadapimu,” sambil berlari
Huru Hara mendesuh dalam hati.
Rupanya Haka memang sedang terbakar betu12 hatinya.
Dia marah kepada Huru Hata yang dituduhnya berani
mengganggu Amila. Dia heran mengapa dengan
mengerahkan seluruh tenaga gin-kangnya, dia tetapi tak
mampu menyusul lari Huru Hara,
Entah sudah berapa puluh li keduanya kejar mengejar
itu. Pada saat itu sudah menjelang petang dan mereka
tengah memasuki sebuah pegunungan yang sepi.
Waktu berpaling ke belakang, Huru Hara terkejut. Dia
tak melihat Haka lagi.
"Ah, mungkin pangeran Boan itu lelah dan kehabisan
napas." pikirnya. Diapun berhenti dan masuk kedalam
sebuah hutan kecil yang berada di tepi jalan.
Ternyata Haka memang kehabisan napas, Terpaksa dia
berhenti. Dia memang penasaran sekali karena tak dapat
menangkap Huru Hara. Tetapi apa daya ?
Cuaca makin gelap. Anak pasukan masih tertinggal di
belakang. Mungkin mereka kehilangan jejak Haka. Dan
kuda Hakapun masih ketinggalan. Kemanakah malam itu la
harus menuduh ?
Beranjak dari sebuah batu, diapun ayunkan langkah
mencari suatu tempat yang dapat dibuat bermalam. Belum
berapa lama ia berjalan, ia melihat sebuah gendung
bangunan rumah batu diatas sebuah tanjakan tanah bukit.
Ah, mungkin rumah penduduk.
Ternyata rumah itu adalah sebuah bio atau kuil gunung
yang sudah jarang didatangi orang. Tetapi Haka agak heran
mengapa ruang depan tempat sembahyang terawat dengan
bersih. Bahkan diatas meja sembahyang terdapat dua buah
cektay tempat lilin dan sepiring buah segar.
Haka menyulut lilin dan seketika ia melihat bahwa yang
dipuja di kuil itu adalah sebuah arca dari Dewi Koan 1m.
"Aneh," pikirnya, "kuil ini terletak di bukit yang begini
sepi mengapa masih terdapat sesaji hidangannya.
Lantainya juga cukup bersih maka Hakapun lalu duduk
bersila pejamkan mata untuk melakukan semedhi.
Beberapa saat kemudian setelah letih hilang, mulailah ia
merasa lapar. Ah, tetapi kemanakah ia harus mencari
makanan ?
Tiba2 ia teringat akan hidangan buah segar diatas meja
sembahyang. Buah tho, delima, dan biji teratai. Serentak
dia berbangkit lalu hendak mengambil buah tho. Tetapi
pada saat itu juga lilinpun padam dan gelaplah ruangan itu.
"Uhh, . , . . ," Haka mendesis ketika merasa bahwa piring
buah yang sudah hampir dapat dijamahnya itu seperti
lenyap. Mungkin karena gelap dan mungkin karena masih
harus ke muka lagi, pikirnya. Maka tangannyapun
menyorong maju.
"Uh . . . ," kembali mulutnya mendesus kaget. Tak
mungkin tangannya masih kurang panjang. Jelas piring
buah itu hanya terpaut sekilan tangan.
Daripada menebak-nebak maka iapun menyulut api lagi.
Tub, benarlah. Piring buah itu masih terletak di meja.
Ia menyimpan korek dan ulurkan tangannya lagi. Tetapi
pada saaat itu juga lilin padam pula dan tangannya juga
menyambar tempat kosong.
Hingga dua tiga kali dia menyulut korek dan setiap
hendak mengulurkan tangan lilin tentu padam, seketika
timbullah rasa seram dalam hatinya.
"Setan .... ? " suatu dugaan segera mencengkam
pikirannya. Kalau tidak, mengapa lilin itu selalu padam.
Pada hal jelas tiada angin berhembus.
Untuk terakhir kali dia menya!ut lilin.
Tetapi ternyata tidak padam. Setelah ditunggu beberapa
saat lilin itu masih menyala maka mulailah ia mengulurkan
tangan kearah piring buah, wut ........ lilin segera padam.
"Wah, benar2 setan," akhirnya ia merangkai kesimpulaa.
Sesaat membayangkan bahwa setan itu tentulah suatu
mahluk yang menyeramkan, bergidiklah Haka diapun terus
hendak melangkah keluar.
Kritttt . . . . pintu seketika tertutup dan serempak lilinpun
padam.
"Celaka!" Haka mengucurkan keringat dingin dan
serentak terus mencabut pedang.
Tik . . . sebuah benda kecil macam biji kacang hijau
seperti menyambar telinganya. Ia mengira tentulah nyamuk
atau lalat. Tik, lagi sebuah benda kecil membentur dadanya.
Tik, mulut, hidung dan . .. . , "Slap !" akhirnya Haka
menyadari kalau benda2 yang mengganggu itu bukan
bangsa serangga melainkan kacang hijau yang melayang
kepadanya.
Ia cepat memainkan pedangnya untuk menyerang kalang
kabut, ke kanan kiri, kian kemari. Pokok apabila ada setan
atau mahluk yang berada dalam ruang itu tentulah tertabas.
Dia tak tahu jelas karena ruang gelap gelita.
Namun sampai beberapa saat, pedangnya tak pernah
terasa membentur sesuatu. Akhirnya ia hentikan permainan
pedangnya.
Kemudian ia berdiri tegak, mengheningkan pikiran dan
menyalurkan tenaga-murni untuk mempertajam indera
pendengarannya.
“Kikkk, kikkkk , ... hi ... hi ... hiii….”
Tiba2 telinganya menangkap suara orang tertawa
mengikik. Nadanya seperti suara wanita. Serentak ia sadar
bahwa memang dalam ruang kuil tua itu terdapat mahluk.
Entah munusia entah bangsa setan.
"Siapa !" teriaknya dengan keras dan mencabut pedang,
"kalau setan, keluarlah. Aku tak takut. Kalau manusia,
jangan main sembunyi, hayo, unjukkan mukamu .... !"
"Hi, hi, hi, hi……”
-oo0dw0oo-
Jilid 40
Hong-li-hoa.
Rasa seram makin mencengkam hati Haka, pangeran
Boan yang tersesat dalam sebuah kuil diatas bukit. Namun
sesaat kemudian dia menyadari bahwa kemungkinan besar
suara tertawa mengikik itu bukanlah dari bangsa setan
melainkan dari bangsa manusia jenis wanita.
Tetapi baru pikirannya menduga begitu, terdengarlah
suara bernada membatu roboh, "Ho, ho, hoooo . . . . "
"Hai, siapa kalian! Kalau berani hayo tunjukkan
mukamu!" seru Haka yang sudah membulatkan tekad.
Setan maupun manusia, toh dia harus menghadapi.
Daripada mati ketakutan lebih baik dia melawan. Kalau
memang harus mati, biarlah dia mati secara ksatrya.
Sebagai jawaban setiup angin halus berhembus
menampar hidurgnya. Ah, harum, harum sekali .....
Haka cepat menyadari bahwa bangsa setan memang ada
yang menebarkan bebauan harum. Tetapi segera dia
merasa, bahwa bau harum itu telah mengikat pikirannya
dan membawanya melayarg-layang ke suatu alam yang
indah, penuh bunga2 mekar, gadis2 cantik dan kolam yang
eok.
Sesaat terbawalah pikirannya melayang pada keadaan
istana baginda dimana sekali dia pernah diajak masuk oleh
ayahnya ketika ia masih agak muda.
Saat itu dia tak dapat merasakan keindahan yang
tersimpul dalam taman istana yang penuh dengan dayang
sahaya yang cantik2.
Namun sekarang ia merasa suatu daya pesona yang
cepat menggelorakan darah mudanya Nafsu birahinyapun
berkobar .....
"Celaka," cepat ia menyadari bahwa bebauan harum itu
mengandung suatu daya yang tak wajar. Maka diapun
segera menutup pernapasannya.
Tiba2 ia mendengar suara harpa mengalun lembut dan
sejuk, dan sayup2 berkumandang suara yang merdu. Sesaat
terlenalah ia dalam pesona yang memukau seluruh hati
pikirannya.
“Celaka," sesaat kemudian ia tersadar bahwa suara tawa,
harpa dan nyanyian itu semuanya mengandung daya
pesona yang menghanyutkan kesadaran pikirannya. Buru2
dia kerahkan tenaga dalam untuk menghalau tetapi ia
terkejut. Sebahagian dari tenaga dalamnya telah hilang.
Menyadari bahwa dia telah terkena suatu serangan
tenaga-dalam yang dipancarkan melalui tawa, harpa dan
nyanyian, Haka mengerahkan seluruh sisa tenaga-dalam
dan terus mengamuk.
Brakkk.............. brakkkk.............. ,
Meja sembahyangan diterjang, sekali babat terbelah
menjadi dua kemudian dia menendang patung Dewi Koan
Im yang setinggi orang. Patung mencelat dan seketika itu
terang benderanglah ruangan.
Ternyata ruang kuil tua itu pada keempat sudutnya
dipasangi lampu lilin. Saat itu menyala semua.
"Hai, siapa kalian...........!" seketika berteriaklah Haka
setelah tahu bahwa dalam ruang kuil itu telah berjajar enam
gadis cantik.
Salah seorang yang paling tua, berusia sekitar dua puluh
tahun, menyahut, "Yang berhak bertanya adalah kami,
bukan engkau. Siapa engkau mengapa engkau berani
menginjak-injak kuil kami ?"
"Aku tak menginjak-injak, aku hendak meneduh untuk
semalam ini."
"Siapa engkau ?"
"Aku adalah Haka pwelek…..”
"Seorang Boan ?"
"Ya."
"Hm, bagus," seru gadis itu, "susah payah kita mencari
kemana-mana tak ketemu, ternyata sekarang malah datang
sendiri."
"Apa ? Siapa yang engkau maksudkan itu ?" seru Haka.
"Engkau." sahut gadis itu, "engkau seperti ikan yang
mencaplok pancing."
Haka makin tak mengerti, "Katakan yang jelas !"
"Ketahuilah wahai pangeran Boan, kami adalah
anggauta Hong-li-hoa . , . ."
"Apa itu Hong-li-hoa ?"
"Hong-li-hoa yalah perkumpulan dari gadis2 dan wanita2
yang telah menjadi korban keganasan prajurit Boan.
Mereka telah mencemarkan kesucian kami, membunuh
orangtua, saudara dan merampas harta benda kami."
Haka terkejut. Memang selama ini ia pernah mendengar
tentang sepak terjang prajurit2 Ceng apabila berhasil
merebut sebuah kota.
"Lalu bagaimana maksudmu ?" tanyanya.
"Sudah terang seperti burung bangau terbang di siang
hari," sahut gadis itu. "bahwa setiap budi tentu berbalas.
setiap dendam harus dihimpaskan."
Haka terkejut namun karena hanya berhadapan dengan
kawanan gadis, diapun tenang kembali.
"O, maksud kalian hendak membalas dendam kepadaku
?"- tanyanya.
"Kepada siapa lagiIah dendam itu harus kita tagih ?" seru
gadis itu dengan fasih, "bukankah engkau seorang pangeran
Boan ? Bukankah keluargamu sekarang telah menduduki
istana kerajaan Beng ? Bukankah engkau telah menikmati
kehiduan diatas penderitaan rakyat kami ?"
"Ya." kata Haka, "itu hukum kodrat, siapa kuat menang,
siapa lemah kalah."
"Ya, benar," sahut si gadis, "oleh karena itu mari kita adu
kekuatan. Kalau engkau yang kuat, bunuhlah kami. Tetapi
kalau engkau yang lemah, engkau harus menyerah."
"0, engkau hendak menangkap aku ?"
"Engkau seorang pangeran Boan, nilainya tinggi sekali
bagi kami."
"Nilai apa ?"
"Kepada sekalian anggauta anak murid Hong-li-hoa telah
dliberi pesan. Kalau dapat membunuh prajurit Boan, akan
diberi hadiah uang. Kalau dapat membunuh perwira, dapat
pelajaran ilmusilat. Membunuh jenderal dan mentri dapat
pelajaran ilmupedang. Dan kalau membunuh pangeran atau
raja Boan, dapat pusaka dan pelajaran ilmupedang yang
sakti. Nah, kalau engkau memang mau menyerah, kami
berjanji tak kan mengganggumu dan hanya membawamu
menghadap ke tempat suhu. Kelonggaran ini kami berikan
untuk membalas kesediaan dan bantuanmu sehingga kami
berenam akan mendapat senjata pusaka dan ilmupedang."
Haka tertawa mengejek, "Ya, memang enak sekali bagi
kalian. Tetapi sayang, kawanku tak mengidinkan kalau aku
menyerahkan diri."
"Mana kawanmu?" seru gadis itu.
"Ini," Haka acungkan pedangnya, "dialah yang melarang
aku. Kalau aku melanggar dia tentu marah."
"Hm, kematian sudah didepan mata, mengapa engkau
masih berani jual aksi begitu macam. Di istana engkau
seorang pangeran, tetapi disini engkau seekor babi yang
akan dijadikan sesaji sembahyangan."
"Kejam! Buas benar kalian!" teriak Haka, "kalian kan
kaum wanita mengapa hendak menjadikan diriku sebagai
sesaji? Apakah kalian doyan daging manusia?"
"Gila!" bentak gadis itu, "siapa sudi menyentuh
badanmu? Engkau akan dijadikan sesaji pada Makam
Dendam dari perkumpulan kami."
"0, apakah Makam Dendam itu, makam dari mcreka2
yang menjadi korban perang ?" seru Haka.
"Ya, makam itu tempat kami memuja. Sesajinya adalah
darah orang Boan !"
"Baiklah," akhirnya Haka berseru, "kalau kalian memang
hendak menangkap aku, silakan saja kalau mampu !"
"Jadi engkau hendak melawan ?"
"Aku kan seorang lelaki, masakan mandah kalian
tangkap seperti ayam saja," kata Haka.
"Baik, sekarang engkau boleh bersiap."
“Tunggu,” seru Haka, "sebelum bertempur agar kalau
aku sampai kalah dan dibunuh aku jangan mati penasaran,
aku ingin bertanya sesuatu kepada kalian."
"Hm, katakanlah."
"Mengapa lilin diatas meja itu dapat padam dan piring2
buah itu dapat bergerak ?" tanya Haka.
"Menurut engkau bagaimana ?"
"Kalau aku tahu aku tak perlu bertanya. Kukira setan
karena kalau manusia sukar lepas dari perhatianku."
"Baiklah, karena engkau toh akan mati, maka tak apa
kalau kuberitahu tentang rahasia itu," kata gadis tersebut,
“sebenarnya aku berada dalam patung Dewi Koan Im itu.
patung itu berlubang dan dari lubang itu maka
kuhembuskan napas untuk memadamkan lilin.”
"Dan bagaimana dengan piring buah itu?” tanya Haka.
“Piring itu mempunyai tali pengikat dari kawat yang
halus sekali sehingga tak kelihatan mata. Dapat ditarik kian
kemari."
"0," seru Haka."
"Sudah jelaskah ?"
"Ya"
"Nah, sekarang bersiaplah," seru gadis itu. Dan serentak
dia memberi aba-aba maka kelima gadis itupun segera
melolos sabuk pinggang masing2. Dan pada lain saat,
merekapun menarikan ikat pinggangnya, menyerang Haka.
Seketika itu juga Haka rasakan hawa yang luar biasa
harumnya bertebaran dari taburan kain pinggang mereka.
Serentak ia menyadari kalau bau harum itu tentu
mengandung obat pelelap pikiran tetapi sudah terlambat.
Pangeran Boan itu rasakan kepalanya pening dan tenaga
lunglai. Plak.. sehelai ujung kain ikat pinggang dari kelima
gadis itu menampar punggung dan seketika rubuhlah
pangeran itu.
Tamparan selendang itu mengandung tenaga dalam yang
kuat.
"Hm, pangeran Boan, engkau cari penyakit sendiri,"
dengus gadis yang tertua. kemudian dia memberi perintah
kepada kelima kawannya untuk menggotong pangeran itu.
Cepat sekali kelima gadis itu bekerja. Kaki, tangan dan
tubuh pangeran itu diikat dengan ikat pinggang lalu
diangkat bersama-sama, semisal orang menggotong
harimau.
Mereka keluar dari kuil dan menuju ke arah bukit. Haka
masih sadar tetapi tak bertenaga. Dia tak berkutik sama
sekali. Dia tahu bahwa kawanan gadis aneh itu tentu
menggunakan bebauan harum yang mengundang obat
untuk menghilangkan tenaganya.
Dia menyesal mengapa tak lekas2 manyadari hal itu.
Dan diapun menyesal mengapa sampai meninggalkan anak
pasukannya. Kalau dia sampai mati, dia benar2 penasaran
sekali. Bukan karena takut mati tetapi mati ditangan
kawanan gadis, benar2 suatu kematian yang memalukan.
Apalagi dia seorang pangeran.
"Hm, andaikata aku tak menurutkan emosi untuk
mengejar Huru Hara, tentulah aku tak sampai mengalami
nasib begini," keluhnya dalam hati.
Tetapi hal itu sudah menjadi suatu kenyataan. Dia tak
dapa! berbuat apa2 lagi kecuali hanya mengharap akan
timbul suatu keajaiban yalah anak-pasukannya akan
menyusul dan menolongnya dari cengkeraman kawanan
gadis misterius itu.
Saat itu sudah lewat tengah malam dan angin malampun
makin dingin. Rombongan gadis dari perkumpulan Hong-lihoa
itu perjalanan beriring dengan menggotong tubuh
pangeran Haka.
Sebagaimana diketahui Hong-li-hoa artinya adalah
Bunga Penghibur. Suatu perkumpulan dari dan wanita yang
telah menderita akibat keganasan pasukan Ceng. Mereka
bersumpah akan membalas dendam. Mereka rela untuk
mengorbankan kehormatannya, menjadi wanita penghibur
pemuas nafsu prajurit Ceng. Tetapi mereka sebenarnya
menjadi mata-mata untuk mencari tahu tentang rahasia
militer dari pasukan Ceng. Bahkan kalau perlu mereka tak
segan untuk meracuni tokoh2 pembesar Ceng.
Dengan pengorbanan itu mereka telah banyak berjasa
untuk menyelamatkan rakyat dan terutama kaum wanita
yang masih suci dari keganasan prajurit2 Ceng.
Hong-li-hoa, Bunga Penghibur. memang suatu nama
yang cukup terkenal di kalangan pasukan Ceng.
Dan secara kebetulan pangeran Haka telah terjatuh ke
tangan anakbuah Hong-Ii-hoa.
Tiba2 mereka dikejutkan oleh suara orang berbatukbatuk.
Serempak mereka berhenti.
"Cici, siapakah yang batuk2 itu ?" tanya salah seorang
gadis yang berada di muka.
"Ya, terdengar suara orang batuk2 tetapi mengapa tak
kelihatan orangnya ?" sahut kawannya.
"Jangan2 ada setan .........”
"Jangan ngaco, Ah Ing," seru gadis yang tertua tadi,
"dunia ini tak ada setan. Namun kalau memang ada,
tentulah tak berani dekat dengan kita. Kita ini kan sudah
menjadi setan juga, bukan ?"
"Ya, benar, cici, setan dunia !"
"Tetapi walaupun setan, pun bukan setan sembarangan
setan. Kita menjadi setan bagi orang Boan, tidak bagi rakyat
Beng."
"Diam !" tiba2 gadis yang tertua itu membentak, "coba
dengarkan suara apa itu !"
Ternyata memang ada suatu suara yang aneh, macam
tubuh bergesek dengan pohon. Suara itu amat halus sekali,
hampir tak terdengar. Tetapi dengan mencurahkan
perhatikan kawanan gadis itu dapat menangkapnya. Jelas
mereka tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Memang anggauta dari perkumpulan Hong-li-hoa itu,
bermula hanya terdiri dari sepuluh gadis yang dipimpin
oleh seorang wanita setengah baya. Wanita itu berilmu
kepandaian tinggi. Kepada anakmuridnya dia juga
menurunkan kepandaian ilmusilat.
Kemudian perkumpulan itu makin lama makin
bertambah luas. Hong-li-hoa menampung berbagai
kalangan wanita yang menjadi korban keganasan pasukan
Ceng. Ada gadis, ada janda muda. Mereka sudah terlanjur
kaku dan tak diberi pelajaran. Mereka hanya diberi tugas
khusus untuk menjadi wanita penghibur.
Ada pula yang bertugas sebagai pedagang, tani dan
buruh bahkan budak. Organisasinya diatur begitu rapih dan
tertib sehingga hubungan mereka dengan pimpinan selalu
ada.
Sedangkan kesepuluh gadis2 yang menjadi murid inti
dari wanita pimpinan Hong-li-hoa itu memiliki kepandaian
silat yang tinggi. Keenam gadis yang menangkap pangeran
Haka adalah murid inti dari Hong-li-hoa. Itulah sebabnya
dengan mengerahkan perhatian mereka dapat menangkap
suara berkeresekan yang lembut.
"Ho, kiranya ada manusia yang tidur diatas batang
pohon," seru salah seorang dari mereka seraya memandang
keatas dahan pohon yang besar.
Seorang gadis menjemput sebutir batu dan terus
ditimpukkan pada tubuh orang itu.
"Aduh.............. ," terdengar orang itu menjerit kesakitan
namun terus tidur lagi.
'Setan," gumam gadis yang lain. Diapun menjemput batu
yang agak besar, terus di lontarkan.
"Aduhhhh," kembali orang itu menjerit, beringsut tubuh
dan terus tidur lagi,
"Gila barangkali orang itu," kata salah seorang gadis,
"masakan dilempari batu, juga tak bangun."
"Kalau begitu mari kita beramai-ramai melontarinya,"
kata gadis yang pertama menimpuk batu tadi.
"Ya, benar." sambut gadis kawannya. "aku yang
mengarah kepala, engkau tengkuk, engkau punggung,
engkau pantat, dan engkau kakinya. Lihat saja apa dia
masih tak mau bangun !"
"Aduh, aduh, duhhhh," terdengar orang itu berteriak
beberapa kali karena tubuhnya diserang lima butir batu.
Namun setelah itu ia tetap tidur lagi.
Kelima gads itu heran ! Salah seorang berseru, "Katau
begitu kita lepaskan hui-to (pisau ter-bang) saja, biar dia
mampus
"Jangan," tiba2 gadis yang tertua tadi mencegah. "lihat,
bagaimana akan kupaksanya supaya turun."
Dia mencabut pedang dan terus menabas batang pohon
tempat orang itu melintang. Tajam sekali pedang nona itu
sehingga dalam beberapa kejab, pohon berderak-derak
rubuh, bum ...
Debu bertebaran tercampak dahan dan ranting. Setelah
segalanya tenang dan terang kembali, rombongan gadis itu
segera mencari orang yang tidur tadi.
"Hai. mana orang tadi, ngo-ci ?" seru seorang gadis
bertubuh langsing. Ngo-ci artinya taci nomor lima.
Keenam gadis itu saudara seperguruan. Gadis yang
tertua tadi masih jatuh urutan nomor lima. Sedang kelima
gadis yang lain adalah sumoainya.
Gadis yang dipanggil Ngo-ci itu menengadah kepala,
"Sialan," serunya terkejut.
Kelima sumoaynyapun memandang keatas. Mereka
terkejut, mendongkol dan penasaran, "Setan alas ! Dia
sudah pindah ke lain pohon !"
Memang orang itu masih tidur melintang di atas dahan,
tetapi lain pohon lagi. Beramai-ramai kelima gadis itu
segera menebang pohon itu. Tetapi setelah pohon tumbang,
orang itu pun sudah pindah ke lain pohon. Hingga sampai
lima enam batang pohon telah ditebang, masih orang itu
tidak mau turun.
Gadis yang tertua terkejut. Diam2 ia membatin bahwa
orang yang tidur diatas dahan itu jelas seorang sakti. Kalau
tidak, masakan mampu berpindah ke lain pohon tanpa
diketahui orang.
"Jangan tebang pohon ini," kata gadis tertua, "tetapi
tebanglah pohon2 yang berada di sekeliling. Kalau tak ada
lain pohon lagi, mau lari kemana dia !"
Kelima gadis segera bekerja. Tak selang berapa lama,
beberapa batang pohon di sekeliling pohon tempat orang itu
tidur, sudah ditebang semua. Kini hanya tinggal pohon itu
saja.
"Nah, sekarang babatlah pohon itu," seru gadis tertua itu.
Krek, krek, bum ..... beberapa saat kemudian karena
ditebang secara beramai-ramai pohon itupun tumbang.
Gadis2 itupun bingung mencari orang aneh tadi di dalam
gerumbul ranting dan daun yang melintang di tanah. Tetapi
tak melihatnya.
"Aneh benar," seru gadis itu, "apakah orang itu manusia
atau setan ?"
Tiba2 salah seorang gadis menjerit kaget "Hai dia .... ..
Ketika kawan-kawannya berpaling, mereka pun ikut
terkejut. Ternyata di tempat mereka meletakkan pangeran
Haka, saat itu terdapat seorang lelaki tua yang kumis serta
jenggotnya memutih dan menjulai pandang. Kakek itu
tengah mengangkat Haka.
"Hai, lepaskan !" teriak kelima gadis seraya berhamburan
loncat ketempat kakek itu.
Kakek tua itu sudah memanggul tubuh Haka dan
memandang kawanan gadis, "Hai, kawanan budak liar,
mengapa kalian berani menculik puteraku ini?"
Rombongan gadis anakmurid Hong-li-h tertegun, "Siapa
anakmu?"
"Siapa engkau!" teriak yang lain.
"Anak ini adalah puteraku, si Put Hau."
"Put Hau?" gadis2 itu terkejut. Put Hau artinya Tidakberbakti.
Mengapa digunakan sebagai nama orang?
"Engkau salah," seru gadis yang tertua, "dia bukan Put
Hau tetapi seorang pangeran Boan?"
"Ha, ha, ha," kakek itu tertawa gelak2, "dia seorang
pangeran Boan? Dunia ini memang sudah tua. Anak boleh
lupa bapak, tetapi mana bapak bisa lupa anak? Anak
perempuan, pergilah. Mengingat anakku sudah ketemu dan
tidak kurang suatu apa, maka kedosaanmu kepadaku tadi,
kuhapus. Kalian boleh pergi melanjutkan perjalanan."
Keenam gadis itu saling berpandangan sendiri, "Kakek,
bukankah engkau ini bangsa manusia?" seru salah seorang.
"Mungkin," sahut si kakek, "tetapi aku sendiri tak
menghiraukan soal itu. Manusia atau binatang sama saja.
Sama2 mempunyai nyawa dan sama2 memenuhi jagad ini."
"Kakek, jangan engkau ganggu pangeran itu!' seru salah
seorang gadis.
"Ganggu? Engkau gila, anak perempuan,” seru kakek
aneh itu, "ini kan anakku, mengapa aku harus
mengganggunya?"
"Siapa engkau, kakek?"
"Aku sendiri sudah lupa siapa diriku. Hanya orang2 dulu
memberiku nama Bo-lang-bwe," kata kakek itu.
"Bo-lang-bwe? Aneh," gumam gadis itu, “bukankah bolang-
bwe itu artinya tidak ada orang yang mau membeli?"
"Benar, memang tak ada manusia di dunia ini yang mau
dekat dengan aku. Oleh karena itu mereka menggelari aku
sebagai Bo-lang-bwe alias tidak laku. Memang susah juga
hidup ini. Sudah dilahirkan menjadi manusia masih tidak
laku. Karena tidak laku, akupun lalu hidup di hutan
belantara."
"Mengapa engkau mengatakan kalau orang itu anakmu?"
tanya si gadis pula.
"Dulu aku pernah mempunyai isteri dan anak. Eh, tahu2
isteriku kabur bersama lain lelaki dan anakkupun lenyap."
"Mengapa engkau mengaku dia anakmu?"
"Jelas dong," sahut kakek Bo-lang-bwe, "masa sebagai
bapak tak tahu anaknya sendiri."
"Apa buktinya kalau dia itu anakmu?"
"Punggungnya ada tembong merah," kata kakek itu dan
bratttt . ... tahu2 dia terus menarik punggung baju Haka
sehingga robek.
"Lihatlah, eh...... mengapa hilang ?" kakek itu berteriak,
"Put Hau, mengapa tembong merah pada punggungmu
engkau hapus ?"
"Aku aku .... tidak punya tembong merah," sahut Haka
tergegap-gegap. Sebenarnya dia sudah berusaha untuk
meronta tetapi tenaganya masih lumpuh.
"Apa? Engkau menyangkal kalau punya tembong merah
? Kurang ajar, engkau benar2 put-hau (tidak berbakti)
kepada orangtua. Orantua memberimu ciri tembong,
engkau hapus seenakmu sendiri, plak, plak . . ," kakek itu
terus menampar pantat Haka sampai beberapa kali.
Haka meringis dan menjerit jerit kesakita tetapi tak dapat
berkutik.
"Kakek gila, bunuhlah aku! Aku bukan anakmu !" teriak
pangeran Boan itu.
"Kurang ajar! Engkau berani tidak mengakui aku sebagai
ayabmu, plak, plak . . . ," kali ini si kakek menampar muka
Haka.
Selama hidup belum pernah Haka menderita siksaan
yang begitu hebat. Tenaganya hilang masih dihajar oleh
seorang kakek tak dikenal. Saking marahnya, Haka pingsan.
"Berhenti !" gadis yang tertua tadi berseru. Setelah
mendengar Haka tak kenal dengan kakek itu, makin
besarlah dugaan nona itu kalau kakek itu ngawur sakali.
Kalau sampai pangeran Boan itu mati sebelum dibawa
menghadap suhunya, pastilah mereka akan kehilangan
hadiah.
"Kakek, sekali lagi kuperingatkan, lekaslah engkau pergi
dan jangan mengganggu pemuda itu," seru gadis tertua.
"Anak perempuan." sahut kakek aneh itu, "karena kalian
tetap mencampuri urusan ini maka aku hendak
memperkitungkan perbuatan kalian tadi, Bukankah tadi
kalian telah mengganggu tidurku ?"
"Ngo ci," seru salah seorang nona, "perlu apa harus tarik
urat dengan kakek sinting itu ?"
"Benar, ngo-ci, kita hajar saja dia !" sambut gadis yang
lainnya.
"Bagus, bagus," seru kakek itu dengan gembira, "kalau
kalian mau berkelahi dengan aku sungguh senang sekali.
Dengan begitu terang kalau di dunia ini masih ada yang
sudi mendekati diriku ...."
Gadis tertua mengangguk dan kelima gadis itupun
serentak meloloskan ikat pinggangnya. Mereka lalu
berhamburan menyerang si kakek.
"Wah, harum sekali. bagus, bagus. anak perempuan, aku
senang dengan bau yang harum," seru kakek itu.
Anakmurid Hong-li-hoa terkejut ketika melihat kakek itu
tak kurang suatu apa, Pada hal mereka telah menaburkan
bebauan wangi yang mengandung daya untuk melenyapkan
tenaga orang.
"Bagus, bagus hayo, terus, hayo terus, biar aku
berkeringat," seru kakek itu sambil berlonjak-lonjak kian
kemari seperti anak kecil yang menari-nari kegirangan.
Beberapa saat kemudian tiba2 salah seorang dari
anakmurid Hong-li-hoa itu muntah-muntah. Kemudian
disusul oleh satu, dua, tiga dan semua kawan kawannya.
Mereka terus menerus muntah tak henti-hentinya karena
hidungnya diserang oleh suatu bau keringat yang luar biasa
busuknya.
Karena terus menerus muntah2 saja, akhirnya keenam
gadis itupun lemas dan rubuh.
"Ho, budak2 perempuan, rasain lu bagaimana lihaynya
bau keringatku. Adalah karena bau keringatku ini maka
orang tak mau mendekati aku," kata kakek itu seorang diri.
"Jangankan kalian. sedangkan isteriku sendiripun
minggat karena tak tahan dengan bau keringatku," kata
kakek itu pula dengan penuh kebanggaan.
Kakek Bo-lang-bwe lalu mengangkat tubuh Haka dan
dibawanya pergi.
Ketika menuruni bukit dan melintai sebuah hutan, tiba2
kakek itu berpaling, "Lho, kurang ajar, siapa berani tidur di
tempatku itu ?"
Dia terus menghampiri ke sebatang pohon dan berteiiak'
"Hai, orang diatas dahan, turun .... !"
Sesosok tubuh melayang turun dan tegak di hadapan
kakek itu. Dia terkejut ketika melihat kakek itu memanggul
pangeran Haka. Namun sebelum ia sempat membuka
mulut, kakek Bolang-bwe sudah membentak, "Kunyuk,
mengapa engkau berani tidur diatas dahan pohon ?"
"Lho, memangnya kenapa ?" orang itu terkejut.
"Dahan pohon itu adalah tempatku !"
"Aneh," gumam orang itu, "siapa engkau ?"
"Bo- lang- pwe"
"Bo-lang-bwe ?"
"Siapa engkau ?" balas si kakek,
"Loan Thian Te," sahut orang itu yang bukan lain
memang Huru Hara. Dia sedang tidur di atas dahan pohon
karena takut kalau tidur dibawah, akan diganggu binatang
buas atau ular.
"Loan Thian Te ?" ulang kakek itu seraya kerutkan dahi,
"apa artinya nama itu ?"
"Dunia kacau atau mengacau dunia," jawab Huru Hara.
"Lho, memangnya engkau hendak mengacau dunia atau
engkau ini dunia yang kacau ?" seru kakek Bo-lang-pwe.
"Akan kujawab," sahut Huru Hara, "tetapi engkau juga
harus menjawab pertanyaanku, mau?"
"0, bagus, bagus. Aku mau."
"Dunia kacau atau mengacau dunia, sama saja."
"Mengapa pakai nama saja koq begitu aneh?"
"Mengepa aneh ? Dunia ini tak ada barang yang aneh.
Bukankah sekarang ini negara kita sedang kacau ? Musuh
menyerang, rakyat menderita, raja dan mentri malah
bersenang-senang. Apakah tidak kacau namanya ?"
"Musuh ? Musuh yang mana ?" seru kakek
"Lho, engkau ini manusia atau bukan ?"
"Jelas, manusia."
"Manusia hidup atau mati ?"
"Hidup."
"Kalau hidup mengapa engkau tak tahu kalau negara kita
sedang diserang oleh orang Boan ?"'
"0, jadi sekarang ini ada perang ? Mengapa aku tak tahu ?
0, benar, benar, karena aku tidak laku. Bo-lang-bwe . . . ."
"Mengapa engkau menggunakan nama begitu aneh ?"
balas Huru Hara.
"Apa engkau merasa heran ?"
"Tidak," Huru Hara gelengkan kepala, "aku hanya
sekedar ingin tahu saja."
"Bo-lang bwe itu orang yang kasih nama. Karena kata
mereka. aku tak layak campur dengan manusia. Maka
akupun hidup seorang diri dihutan. 0, ya, aku ingat,
mengapa engkau berani tidur didahan pohon ini ?
"Aku bebas untuk tidur dimana saja. Apa aku menyalahi
engkau ?" balas Huru Hara.
"Ya, engkau berani meniru cara aku tidur. Karena kukira
di dunia ini hanya aku seorang yang tidur diatas dahan
pohon. Ternyata mash ada lain manusia seperti engkau
yang juga tidur diatas dahan."
"0, kalau tidur engkau selalu diatas dahan pohon ?"
Bo-lang-bwe mengiakan. "Ya, memang begitu. Nah,
sekarang engkau boleh bertanya kepadaku."
"Celaka," seru Huru Hara, "aku sudah mengajukan
pertanyaan ini."
"Yang mana ? Mengapa aku tak terasa ?"
"Aku hendak menanyakan mengapa engkau bernama
Bo-lang-bwe. Apakah engkau ini memang seorang budak
belian yang diperjual-belikan ?"
Gila...... dengus kakek itu," aku bukan barang atau
manusia yang diperdagangkan. Tetapi merekalah, manusia2
itu, yang tak mau dekat dengan aku."
"Lho, kenapa? Apakah engkau suka makan manusia?"
"Tidak," kakek Bo-lang-pwe gelengkan kepala, "kata
mereka keringatku bau sekali. Begitu aku berkeringat,
mereka tentu muntah2 sampai pingsan. Pernah pada suatu
hari, di kampungku ada orang punya kerja menikahkan
anaknya..Aku juga diundang. Yang datang banyak sekali.
Apalagi hidangannya arak keras. Wah, aku terus
bercucuran keringat. Dan saat itu juga seluruh tetamu yang
hadir muntah2 sampai pingsan. Bahkan mempelai berdua
juga ikut pingsan . . . .”
Huru Hara tertawa geli, "Lalu apakah engkau sendiri
juga tidak ikut-ikutan pingsan?"
“Gila,” dengus Bo-lang-pwe, "mana aku mau ikut
pingsan. Kan lebih enak, makan dan minum sampai puas."
Huru Hara tertawa.
"Sejak itu, aku diberi nama Bo-lang-pwe dan diusir dari
desaku. Kemana saja aku pergi, orang tentu menolak.
Bahkan isteriku . .. "
"0, engkau pernah beristeri? Mengapa dia mau menjadi
isteriku?"
"Itu ada ceritanya juga," kata kakek Bolang-pwe,
"isteriku juga berkeringat busuk. Sudah cari jodoh sehingga
jadi perawan kasip. Pada hal dia cantik dan anak orang
kaya. Akhirnya diberikan kepadaku. Tetapi akhirnya dia
minggat juga.”
"Kenapa?" tanya Huru Hara.
"Karena dia tak tahan dengan bau keringatku. Orang
mengatakan kalau keringat istetiku itu baunya membikin
pening kepala. Tetapi masih kalah dengan bau keringatku.
Tiap hari begitu aku berkeringat, dia tentu muntah2.
Karena tak tahan lama2 dia melarikan diri."
Huru Hara tertawa. Tiba2 dia berterlak kaget, "Hai,
kakek, hendak kemana engkau?"
Kakek itu memang ayunkan langkah hendak
melanjutkan perjalanan lagi. Dia tak menghiraukan Huru
Hara.
Huru Hara mengejarnya, "berhenti dulu."
"Kenapa?" tanya kakek Bo-lang-bwe, "apakah engkau
hendak mencoba keringatku?"
"Bukan," Huru Hara gelengkan kepala, "hanya pemuda
yang engkau panggul itu. Hendak engkau bawa kemana
dia?"
"Pulang."
"Siapakah dia, engkau tahu?"
"Anakku."
Huru Hara terbelalak, "Anakmu? Kalau begitu, engkau
ini seorang bangsawan Boan?"
"Gila," seru kakek itu, "aku bukan orang Boan."
"Tetapi mengapa engkau mengatakan pemuda itu
anakmu? Engkau tahu siapa dia?"
"Dia anakku?" teriak kakek itu.
"Kalau begitu engkau ini jelas orang Boan.
"Bukan, aku bukan orang Boan,"
"Aneh, padahal pemuda itu adalah pangeran Haka,
seorang Boan."
"Hus, engkau gila. Dia anakku, bukan pangeran Boan."
"Mengapa engkau mengatakan begitu?"
"Karena kutahu anakku itu mempunyai ciri tembong
merah pada punggungnya."
"Apakah dia mempunyai ciri begitu?"
"Dia memang anak edan. Ciri itu telah dihapusnya. Pada
hal itu ciri pemberian orangtua.
"Siapa nama anakmu dan mengapa baru sekarang
engkau ketemukan?"
"Waktu isteriku minggat, dia meninggalkan anaknya di
rumah. Aku penasaran dan mencarinya kemana-mana
tetapi tak ketemu dan terpaksa pulang. Uh, ternyata anakku
juga lenyap. Untung sekarang setelah berselang duapuluh
tahun, aku dapat menemukannya lagi."
Kini Huru Hara mulai mendapat kesan bahwa yang
dihadapinya itu seorang kakek yang ling-lung. Mungkin
benar kalau kakek itu mempunyai anak dan anak itu hilang.
Tetapi jelas bukan pemuda yang dipanggulnya itu karena
pemuda itu jelas pangeran Haka.
"Mungkin wajah pangeran Haka itu mirip dengan
anaknya," pikir Huru Hara pula. Tetapi pada lain saat dia
teringat bahwa anak dari kakek itu lenyap ketika masih
kecil. Jelas tentu berbeda dengan wajah pangeran Haka
yang sudah dewasa itu, "o, dia mengatakan tentang ciri
tembong pada punggung."
"Apakah pemuda itu punya tembong pada punggungnya
?" tanya Huru Hara.
"Engkau ini memang linglung." Kata kakek Bo-lang-bwe,
"aku kan sudah bilang kalau ciri itu telah dihapusnya.
Kalau sudah dihapus, mana ada tembongnya lagi ?"
Kini Huru Hara menyadari bahwa kakek itu ngawur
saja.
"Kakek Bo-lang-bwe," kata Huru Hara, "pemuda itu
bukan anakmu. dia adalah seorang pangeran Boan yang
bernama ,.............. ."
"Apa ? Engkau juga berani mengganggu aku seperti
kawanan budak2 perempuan tadi ?" seru kakek Bo-langbwe.
Huru Hara terkejut, "Siapa yang engkau maksudkan
kawanan budak2 perempuan itu ?"
"Tadi anak ini telah digotong oleh beberapa budak
perempuan. Kurang ajar memang budak2 perempuan itu.
Mereka mau menculik anakku. Hm, memang jaman
sekarang, bukan anak laki yang menculik anak perempuan
tetapi sebaliknya anak perempuan yang berburu anak laki,
sialan ......”
Samar2 Huru Hara mulai mengerti apa yang terjadi pada
pangeran Haka, namun ia masih belum jelas sekali.
"Lalu bagaimana ?" tanyanya.
"Budak perempuan itu memang jahil. Aku sedang tidur
diatas dahan pohon, mereka melontari batu dan menebang
pohon itu hingga aku jatuh. Dan kebetulan kulihat budak
lelaki yang mereka digotong itu adalah anakku maka
kuambil. Budak2 perempuan itu hendak melawan tetapi
waktu aku mengucurkan keringat, mereka muntah2 sampai
pingsan semua. Sekarang aku hendak pulang, lagi2 engkau
yang mengganggu, Apa engkau minta muntah2 seperti
budak perempuan itu ?"
"Sudahlah, kakek," seru Huru Hara, "jangan gila-gilaan.
Pokok, pemuda yang engkau panggul itu adalah pangeran
Haka, bukan anakmu. Kecuali engkau memang seorang
bangsawan Boan."
"Setan, aku bukan orang Boan !"
"Kalau begitu, lepaskanlah dia dan biar dia kembali ke
rumahnya."
"Kuraug ajar, engkau berani mengganggu aku ?" teriak
kakek itu, "hayo, kalau berani, seranglah aku."
"Tetapi aku tak bisa berkelahi, engkau saja yang
menyerang." seru Huru Hara.
"Baik," kakek Bo-tang-bwe terus menerjang Tetapi
sampai beberapa saat, dia tetap belum mampu menyentuh
Huru Hara.
"Wah, cialat nih," serunya.
"Kenapa ?" tanya Huru Hara.
"Kalau aku yang menyerang, aku tak dapat berkeringat.
Dan selama tak berkeringat aku tentu kalah. Hayo engkau
saja yang menyerang . , . ."
"Baik," akhirnya Huru Hara berseru. Dia terus
berloncatan menyambar-nyambar untuk menampar dan
menabok gundul kakek Bo-lang-bwe.
Kakek itu marah dan terus berloncatan menghindar kian
kemari. Lama kelamaan, dia mulai berkeringat.
"Huak. hauakkkk ..... ," seketika itu juga Huru Hara
muntah2.
"Ha, ha, ha, rasain lu seka. . . . ," baru kakek Bo-langpwe
berseru kegirangan, tiba2 huakkkk . . .. Huru Hara
muntah dan menyemburkan isi perutnya ke muka Bo-langpwe.
"Aduh ..... ," kakek itu menjerit kesakitan karena
mukanya seperti disemprot bubur panas,
Huak . . . . aduh .. , .. kembali Huru Hara muntah dan
menyemprot kemuka si kakek. Kali ini kedua mata si kakek
kena. Dia menjerit kesakitan, melemparkan pangeran Haka
ke tanah dan terus kabur.
Huru Hara masih muntah2 tak keruan dan karena lemas
diapun jatuh terduduk. Dia pejamkan mata untuk
menenangkan diri. Selang beberapa saat kemudian,
perutnya sudah tenang kembali.
Dia berbangkit dan menghampiri pangeran Haka yang
mash menggeletak pingsan. Ditolongnya pangeran itu.
"Hai, engkau !" Haka menjerit ketika membuka mata ia
melihat Huru Hara sedang mengurut-urut tubuhnya.
"Ya, memang aku. jangan takut, aku takkan mencelakai
engkau," kata Huru Hara.
Demikian setelah diberi pertolongan beberapa waktu
akhirnya Hakapun sudah sembuh. Dia teringat akan
peristiwa yang dialaminya.
"Mengapa engkau menolong aku ?" tanya Haka.
"Aku tiada mempunyai permusuhan suatu apa dengan
engkau. Mengapa aku harus membunuhmu?” balas Huru
Hara.
"Tetapi.............. ."
"Lupakanlah," sahut Huru Hara," aku bersumpah bahwa
aku tak pernah mempunyai hati untuk mengganggu hati
puteri Amila. Jangan engkau mencurigainya. Dia seorang
putri yang baik."
Haka terlongong-longong.
"Aku seorang pangeran Boan dan engkau orang
kepercayaan mentri Su Go Hwat. Bukankah kita sedang
berperang ? Mengapa engkau tak mau membunuhku?”
"Sudah pernah kukatakan, bahwa antara perang dan
kemanusiaan, ada dua garis. Sekarang kita sedang
berhadapan sebagai manusia dengan manusia. Engkau
seorang manusia yang salah faham dan menuduh aku
merebut hati gadis yang engkau cintai. Oleh karena itu
engkau mengejar aku dan hendak membunuhku. Tetapi aku
sebagai manusia yang tertuduh, ingin hendak
membersihkan tuduhan itu. Dan sebagai rasa ketulusan
hatiku bahwa aku tak mempunyai perasaan apa2 terhadap
kekasihmu itu. maka engkau kubebaskan. Silakan
pulang.............. . "
"Pangeran Haka tertegun.
"0, apakah engkau tetap hendak melampiaskan dendam
kemarahanmu? Baiklah, agar engkau puas, aku bersedia
untuk melayanimu," seru Huru Hara pula.
"Bukan begitu," kata pangeran Haka, "aku hanya merasa
bahwa jarang sekali kudapati seorang manusia seperti
engkau. Andaikata aku menjadi engkau dan engkau
menjadi aku, belum tentu aku akan bertindak seperti yang
engkau laku-kan sekarang."
"Sebenarnya manusia, baik dari suku atau bangsa
apapun juga, adalah sama. Yang tidak sama, adalah
martabat kemanusiawiannya. Ada manusia yang lupa pada
peri-kemanusiaannya karena mabuk akan kekuasaan,
pangkat dan harta. Manusia2 semacam, adalah manusia2
yang khilaf, yang buta. Mungkin engkau tergolong sebagai
manusia itu , . .”
Merah muka pangeran Haka, "Huru Hara engkau benar.
Memang selama ini aku selalu dimanja oleh nafsu
memburu pangkat, harta dan kekuasaan. Bahkan dalam
soal cinta, akupun mempunyai pendirian, angkuh dan ingin
menang. Gadis2 yang kuinginkan, harus jatuh ke tanganku.
Barangsiapa berani mendekati dan mengganggu tentu akan
kubunuh......... ."
Huru Hara mengangguk-angguk.
"Tetapi kini setelah menerima pelajaran dari peristiwa
yang engkau lakukan sekarang, aku menjadi sadar. Bukan
salahmu apabila engkau mendekati Amila karena Amilalah
yang menghendaki. Kini akupun sadar, bahwa mungkin
aku masih mempunyai kekurangan2 sehingga Amila tidak
mau membalas cintaku dengan sepenuh hati. Baiklah aku
takkan memaksa Amila harus mencintaiku. Akan
kupersilakan dia menentukan pilihan menurut sekehendak
hatinya. Dengan begitu, engkau bebas untuk bergaul
dengan Amila . . ."
Huru Hara tertawa, "Engkau salah paham, pangeran
Haka. Cinta itu suatu perasan hati. Tak dapat dipaksa.
Dalam hal ini bukan karena puteri Amila itu kurang cantik,
atau karena dia puteri seorang panglima, dari kerajaan yang
menjadi musuh negeriku, atau karena aku takut kepadamu.
Tidak, bukan 'itu sebabnya. Tetapi karena aku memang tak
mempunyai perasaan apa2 terhadap Amila siocia."
"Pangeran Haka, saat ini kita bukan berhadapan sebagai
musuh melainkan sebagai seorang pemuda dengan seorang
pemuda. Aku ingin menyampaikan pandanganku
kepadamu. Bahwa puteri Amila itu seorang gadis yang baik
budi, cantik dan pandai. Tidak sia2 apabila engkau
mencurahkan harapanmu kepadanya. Dalam mencintai
seseorang, janganlah engkau mendua hati. Cintailah dia
dengan setulus hatimu Engkau benar, mungkin ada sesuatu
kekurangan pada dirimu mengapa puteri Amila tidak dapat
menerimamu. Tetapi janganlah engkau kuatir akan hal itu.
Koreksilah dirimu dan perbaikilah apa yang masih kurang.
Percayalah, puteri Amila tentu akan menerimamu."
Pangeran Haka tertegun. Sebelum ia mengucap terima
kasih. Huru Hara sudah mendahului berkata," jika engkau
sudah tiada persoalau lagi, akupun hendak melanjutkan
perjalanan."
Habis berkata Huru Hara terus ayunkan langkah.
Beberapa saat kemudian paageran Haka tersadar dan cepat2
mengejarnya.
"Hohan, berhentilab dulu," serunya.
,4pakah, engkau masih belum puas?" tegur Huru Hara.
"Tidak, bukan begitu," kata pangeran Haka, "aku hendak
menghaturkan terima kasih kepadamu.”
"Ah, tak perlu," kata Huru Hara, "lekaslah engkau
kembali agar anak pasukanmu jangan kebingungan."
Kali ini Huru Hara terus loncat dan lari. Dalam sekejab
saja dia sudah jauh.
Pangeran Haka terlongong-longong dalam bermacam
kesan dan renungan. Ia merasa hari itu telah mengalami
sesuatu yang amat berharga dalam hidupnya.
Ia merasa selama ini hanya penuh dengan, nafsu
kegagahan, nafsu memburu kemenangan, nafsu mendirikan
jasa, nafsu untuk mencita-citakan pangkat yang tinggi.
Karena apabila dia dapat melaksanakan semua itu,
bukankah panglima Torgun akan mengambilnya sebagai
menantu?
Tetapi ah, ternyata Amila lain pandangannya. Bukan
seorang pemuda yang berpangkat tinggi, bukan yang berjasa
memenangkan peperangan, melainkan seorang pemuda
yang mengerti dan memperhatikan perasaan hati seorang
gadis.
"Ya, memang hampir aku tak mempunyai waktu untuk
memperhatikan perasaan hati Amila," diam2 dia mulai
mengoreksi tindakannya selama ini terhadap Amila.
Tiba2 pasukannya datang untuk menjemputnya.
==oo00oo==
Ketika tiba diluar perbatasan kota Yang-ciu, Huru Hara
terkejut ketika dihadang oleh pasukan Ceng.
"Tangkap mata-mata !" seru kawanan prajurit itu. Dan
mereka terus hendak menyerang. Huru Hara mendongkol
sekali.
"Aku diutus panglima Torgun untuk menyampaikan
surat kepada mentri Su Go Hwat," katanya.
"Engkau ?" ejek seorang prajurit. "ha, ha, ha. . . . masa
manusia semacam engkau akan dipakai panglima."
"Dia tentu orang gila," seru prajurit yang lain.
"Ya, kalau tidak, masa kepalanya pakai tanduk rambut
begitu macam," seru yang lain.
"Hm, kawanan prajurit cacing, kesabaranku ada
batasnya." dengus Huru Hara.
"Wah, wah, engkau mau mengamuk ?" seru prajurit itu.
"Kalau kalian tak mau memberi jalan, terpaksa aku akan
menerjang," kata Huru Hara pula
Huru Hara terus ayunkan langkah menerjang kawanan
prajurit yang menghadang di muka. Dia hanya berjalan dan
tidak memperlihatkan suatu gerakan memukul, seolah-olah
seperti hendak menabrak saja.
Ada beberapa prajurit yang bertubuh kekar, karena
melihat Huru Hara seorang pemuda yang nyentrik, kurus
dia dianggap serengah sinting, maka mereka sengaja diam.
Ingin mereka mencoba apakah Huru Hara mampu
mendobrak mereka.
Huru Hara tak peduli. Karena beberapa prajurit yang
ditengah itu tetap tak mau menyisih, diapun terus maju
saja.
Melihat itu, waktu tiba pada jarak hanya tinggal dua
langkah. seorang prajurit kuatir juga melihat kenekadan
Huru Hara. Tanpa disadari, prajurit itu terus dorougkan
kedua tangannya untuk menghalau. Tetapi begitu
membentur tubuh Huru Hara, prajurit itu menjerit kaget
dan terpentai dua langkah ke belakang.
Melihat itu seorang kawannya juga langsung mendorong
Huru Hara, tetapi diapun mengalami nasib yang sama
bahkan lebih parah karena terpental lebih jauh ke belakang.
"Dua orang prajurit kaget. Serempak mereka memukul
Huru Hara, "Aduhh . . . " merekapun menjerit kesakitan
dan terlempar ke belakang.
Seketika gemparlah kawanan prajurit itu. Mereka tak
menyangka bahwa pemuda nyentrik yang dianggap sinting
itu ternyata seorang luar biasa. Betapa tidak. Ketika
mendorong maupun memukul, mereka rasakan tubuh
pemuda itu sekokoh gunung karang. Kemudian mereka
menambah tenaganya dan mendorong atau memukul
sekeras-kerasnya. Siapa tahu, dari tubuh pemuda itu telah
memancar suatu tenaga tolak yang hebat sehingga tenaga
dorong dan pukulan prajurit itu balik kepada mereka
sendiri.
"Huh, huh . .. . " beberapa prajurit loncat menyekap
tubuh Huru Hara. Maksud mereka setelah dapat diringkus,
biarlah kawan-kawannya menghajar pemuda itu.
Huru Hara diam saja dan membiarkan dirinya disekap.
Benar juga. Beberapa prajurit yang terpental ke belakang
tadi, segera menumpahkan kemarahan. Mereka
berhamburan maju dan menghantam Huru Hara.
Duk .. . duk .. aduh, aduh ... terdengar pukulan
menghunjani tubuh dan suara jeritan kesakitan disusul
dengan tubuh2 yang rubuh.
Ternyata waktu prajurit2 itu memukul Huru Hara
meronta dan prajurit2 yang menyekap tubuhnya itu
terpental, tetapi disambut dengan tibanya pukulan kawan
mereka sendiri.
Seorang prajurit bertubuh tinggi besar yang rasanya
menjadi kepala kelompok. segera menggembor dan
menusuk Huru Hara dengan tombak.
Huru Hara marah melihat keganasan prajurit itu. Loncat
menghindar kesamping, dengan sebuah gerakan yang amat
cepat, dia berputar tubuh dan menampar pipi prajurit tinggi
besar itu, plak .....
Aduhhh . . . , . prajurit tinggi besar itu menjerit karena
dua buah gigi depannya tanggal. Pada saat dia tengah
mendekap mulutnya yang berlumuran darah, Huru Hara
sudah mencengkeram tengkuk dan pantat prajurit itu terus
diangkat dan diputar-putar untuk menghantam kawanan
prajurit yang menghadang.
Gemparlab sekalian prajurit. Kepala kelompok mereka
seorang bertubuh tinggi besar, gagah perkasa. Terkenal
sebagai seorang sersan yang gagah berani. Dalam medan
perang, dia laksana seekor singa yang ditakuti musuh.
Tetapi pada saat itu, dia diangkat tubuhnya tanpa
mampu berontak. Ditangan seorang pemuda nyentrik,
prajurit tinggi besar itu tak beda seperti seorang anak kecil
saja.
"Serang! Serang" teriak kawanan prajurit itu. Tetapi
mereka hanya berkaok-kaok dengan mulut karena tiada
seorangpun yang berani maju menyerang. Mereka kuatir
akan melukai sersan mereka.
Pasukan Ceng yang berada ditempat berjumlah rihuan.
Berita tentang seorang pemuda nyentrik yang mengamuk,
cepat tersiar. Mereka lalu siap mengepung dengan senjata
terhunus. Tetapi sampai sekian saat, tak ada yang berani
turun tangan. Bahkan setiap tempat yang digasak Huru
Hara, tentulah akan terbuka sebuah jalan. Kawanan prajurit
itu jeri dan terpaksa menyingkir.
"Berhenti !" sekonyong-konyong terdengar seruan yang
keras dan tegas. Kawanan prajurit pun berhenti, memberi
jalan kepada seorang perwira yang tegap.
Perwira itu adalah kepala pasukan disitu. "Hai, berhenti
engkau !" serunya kepada Huru Hara.
Huru Hara menurut.
"Kenapa engkau mengamuk dan menyiksa sersan kami
?" tegur perwira itu.
"Aku hendak ke Yarig-ciu tetapi mereka hendak
menangkap aku," sahut Huru Hara.
"Ciangkun, dia seorang mata2." seorang pra jurit
memberi laporan.
"Dia pura2 mengatakan kalau membawa surat dari
Torgun tay-ciangkun untuk diberikan kepada mentri Su Go
Hwat," seru prajurit yang lain.
"Siapakah engkau ?" tegur perwira itu pula.
"Aku sedang membawa surat dari panglima Torgun
kepada mentri Su tayjin di Yang-ciu," sahut Huru Hara.
Sejenak komandan itu memandang Huru Hara tajam2.
Memang dia agak heran mengapa seorang pemuda yang
dandanannya begitu nyentrik, dapat berkenalan dengan
panglima Torgun bahkan disuruh mengantar surat kepada
mentri Su Go Hwat. Tetapi setelah menyaksikan sendiri
betapa kegagahan Huru Hara waktu mengamuk tadi,
komandan itupun hilang kesangsiannya.
"Apa buktinya kalau engkau diperintah Torgun tayciangkun
( panglima besar )?" tanyanya.
"Aku membawa surat panglima."
"Coba tunjukkan!"
Huru Hara bersangsi. Beberapa jenak kemudian dia
menjawab, "Tempat ini bukan tempat yan sesuai."
"Baik, mari ke markas," komandan itu mengajak Huru
Hara.
Setelah diajak masuk kesebuah kubu besar maka
mulailah komandan itu mengu!ang pennintaannya tadi.
"Sebelumnya, aku hendak minta keterangan,” kata Huru
Hara, "mengapa pasukan disini?"
"Kita mendapat perintah untuk kota Yang ciu. Jangan
sampai ada yang lolos," kata komandan itu.
Huru Hara terkejut. Bukankah Torgun mengatakan
kalau masih memberi waktu lima hari?
"Apakah hanya diperintahkan untuk mengepung atau
menyerang?" tanya Huru Hara pula.
"Hanya suruh mengepung. Tetapi setiap saat perintah
akan berobah. Siapa tahu kalau malam ini akan datang
perintah untuk menyerang."
"Panglima Torgun mengatakan kepadaku, bahwa
panglima masih memberi waktu lima hari kepada Su tayjin.
Kalau dalam lima hari itu Su tayjin tidak mengadakan
pernyataan apa2, barulah panglima akan bertindak."
"0, apakah engkau dengar sendiri dari tayciangkun?"
Huru Hara mengiakan.
"Siapakah engkau? Mengapa engkau begitu dekat sekali
dengan tay-ciangkun?"
"Aku utusan dari Su tayjin untuk menghadap panglima
Torgun. Sekarang panglima suruh aku menyampaikan
balasan kepada Su tayjin."
"Mana surat itu?"
"Untuk apa engkau memintanya?"
"Aku hendak melihat," kata komandan Ceng itu, "agar
membuktikan bahwa engkau benar2 utusan tay-ciangkun."
"Baik, akan kutunjukkan. Tetapi. jangan sekali-kali
engkau membukanya," Huru Hara berkata seraya
mengambil sampul dari dalam bajunya.
Komandan itu menyambutinya dan memeriksa dengan
teliti.
Tiba2 seorang prajurit masuk menghadap, "Komandan,
Ko tayjin datang dan minta bertemu dengan komandan."
"Siapa ? Ko tayjin ?"
"Benar, sahut prajurit itu," beliau perlu bertemu dengan
komandan."
Komandan itu bergegas keluar. Huru Hara terkejut
karena surat dari Torgun masih dibawa komandan itu. Dia
hendak mengejar tetapi dihadang penjaga.
"Mengapa ? Aku hendak meminta kembali surat itu
kepada komandan," kata Huru Hara.
"Tunggu saja disini. Nanti komandan tentu datang lagi
kemari.". kata penjaga itu.
Huru Hara menganggap bahwa mungkin orang luar tak
diperbolehkan berkeliaran dalam daerah markas mereka.
Takut kalau mata?, Pikir2, toh nanti komandan itu akan
kembali lagi, akhirnya Huru Hara menurut dan menunggu
di kubu itu.
Tetapi sampai setengah jam kemudian belum juga
komandan itu muncul. Dia heran. Kemana saja komandan
itu.
Baru dia hendak berbangkit, muncul seorang prajurit
dengan membawa minuman.
"Komandan minta supaya tuan menunggu dulu disini.
Karena komandan sedang menerima. seorang tetamu
penting. Dan silakan minum," kata prajurit itu.
Huru Hara kembali menahan kesabaran. Namun sampai
beberapa saat kembali dia belum melihat komandan itu
muncul. Dan sebagai gantinya, ia merasa ngantuk. Aneh,
pikirnya. Tiba2 dia teringat bahwa kemungkinan minuman
teh yang diminumnya itu memang sengaja diberi obat tidur,
"Akan kucicipi teh ini lagi," Huru Hara meneguk dan
membaunya. Memang ada sesuatu bau yang berlainan
tetapi hampir tak terasa.
Namun rasa kantuk itu makin lama makin keras. Dan
makin keras pula kecurigaannya bahwa teh itu telah diberi
obat tidur.
"Hm, orang Boan itu hendak main curang." pikirnya.
Kemudian dia menemukan akal.
Beberapa saat kemudian kubu itu tampak sunyi senyap.
Dan penjagapun masuk menghampiri Huru Hara.
"Hm, dia sudah pulas," kata penjaga itu seraya bergegas
keluar. Tak berapa lama dia kembali bersama komandan
tadi.
"Bawa dia keluar dan ikat pada pohon didekat hutan,"
kata komandan.
Penjaga itu seorang prajurit yang kuat tenaga.
Dipanggulnya Huru Hara dan dibawanya ke sebuah hutan
tak jauh dari kubu pasukan Ceng.
Baru dia hendak meletakkan tubuh Huru Hara tiba2 dia
rasakan tengkuk mengencang keras sekali seperti dicekik
setan, sehingga napasnya sesak. Dan sebelum dia sempat
bergerak, tahu2 kepalanya ditabok, plak ..... seketika
rubuhlah dia.
"Hm, lu mau main2, sekarang rasain saja," dengus Huru
Hara. Ternyata Huru Hara memang menggunakan siasat.
Dia pura2 tertidur pulas pada hal sebelumnya dia sudah
makan buah som (Cian-lian-hay-te-som) yang khasiatnya
dapat menolak segala racun, termasuk obat tidur.
Setelah dapat merubuhkan penjaga, Huru Hara bekerja
cepat. Dilucutinya pakaian prajurit penjaga itu, lalu
dipakainya. Setelah mengikat penjaga itu pada sebatang
pohon dan menyumbat mu lutnya supaya jangan dapat
berteriak barulah Huru Hara kembali ke kubu. Dia tak
langsung masuk melainkan menjaga diluar pintu kubu.
Tetnyata didalam kubu, terdengar orang sedang
berbicara. Salah seorang dikenalnya sebagai komandan tadi.
"Ko tayjin, bagaimana rencana tayjin ?" tanya komandan
itu.
"Surat itu memang benar dari Torgun tayciangkun.
Tetapi kita harus mencegahnya supaya jangan sampai tiba
ditangan Su Go Hwat" orang yang dipanggil Ko tayjin. Dia
bukan lain adalah Ko Cay Seng, sasterawan jago menutuk
jalandarah yang menjadi tangan kanan panglima Torgun
itu.
Seperti telah dituturkan dibagian jilid2 terdepan, Ko Cay
Seng dan pertapa Suto Kiat, ditugaskan panglima Torgun
untuk menyusup kedaerah kerajaan Beng guna melakukan
pengacauan, memata-matai gerak gerik pasukan Beng dan
mengadakan perpecahan dikalangan pembesar sipil dan
militer dari kerajaan Beng.
Dia baru saja menghadap Torgun untuk melaporkan
hasil kerjanya selama ini. Dikatakan bahwa kekuatan Beng
di daerah yang masih dikuasai sekarang, sudah lapuk.
Banyak jenderal2 mereka yang sudah dibujuk untuk bekerja
pada kerajaan Ceng.
Waktu mendengar keterangan Torgun bahwa panglima
itu memberi waktu lima hari kepada Su Go Hwat, diam2
Ko Cay Seng terkejut.
"Mengapa tay-ciangkun masih begitu bermurah hati ?
Keadaan pasukan Beng saat ini ibarat kayu dimakan bubuk.
Diluar tampak garang tetapi didalamnya sudah lapuk.
Sekali kita bergerak, mereka sudah musna," kata Ko Cay
Seng.
Namun panglima Torgun tetap menolak, "Su Go Hwat
seorang mentri yang setya. Aku sangat menginginkan dia
bekerja padaku."
Ko Cay Seng tak berani membantah tetapi diam2 dia
kuatir juga.
Torgun begitu tertarik dan menghargai sekaIi kepada Su
Go Hwat. Kalau Su Go Hwat sampai bekerja pada Torgun,
tentulah dia (Ko Cay Seng) akan kalah. Torgun tentu lebih
memperhatikan Su Go. Hwat.
Manusia yang mau bekerja kepada musuh seperti Ko
Cay Seng, tentu manusia yang memiliki nafsu mengejar
pangkat dan kekayaan. Dan orang yang bermental begitu,
tentu buruk pikirannya.
Ko Cay Seng mengukur Su Go Hwat seperti dia sendiri.
Oleh karena itu diam2 dia merancang sebuah siasat.
Dia segera mengejar perjalanan Huru Hara dan
kabetulan sekali dapat tiba diluar kota Yang-ciu tepat ada
saat Huru Hara sedang berhadapan dengan komandan
pasukan.
Demikian asal mula mengapa Ko Cay Sing dapat
muncul dalam kubu komandan pasukan Ceng itu.
"Ko tayjin, bagaimana rencana tayjin ?" tanya komandan
itu.
"Bunuh saya orang itu agar surat panglima kita jangan
sampai jatuh ke tangan Su Go Hwat" kata Ko Cay Seng.
"Mengapa ?"
"Su Go Hwat itu seorang yang setya kepada kerajaan
Bang. Kalau demi siasat dia pura2 mau bekerja kepada
panglima Torgun, tidakkah itu membahayakan jiwa dan
kedudukan kita? Coba bayangkan, Su Go Hwat itu seorang
mentri yang pandai. Dengan kelihayannya, dia tentu dapat
mempengaruhi panglima kita dan akibatnya kita pasti akan
dicelakainya."
Komandan orang Boan itu, diam2 mengakui bahwa
ucapan Ko Cay Seng memang beralasan.
"Tetapi tayjin, bagaimana kalau tay-ciangkun sampai
mengetahui hal itu?" tanyanya camas.
"Kita hilangkan jejak pemuda itu dan terus menyerang
Yang-ciu. Bagaimana ciangkun dapat mengetahui hal itu?"
balas Ko Cay Seng.
Komandan itu berdiam diri.
"Perlu apa harus memberi kelonggaran kepada musuh.
Saat ini keadaan mereka sudah lapuk. Sekali kita serang,
mereka tentu ambruk. Tak usah ragu2, komandan. Apabila
ciangkun sampai mengetahui hal ini, akulah yang
bertanggung jawab . . . . "
"Hai, ada apa penjaga!" tiba2 komandan menukas
pembicaraan Ko Cay Seng dan membentak penjaga yang
menerobos masuk.
"Tidak apa2, hanya ingin ikut dalam pembicaraan yang
panting ini," sahut penjaga palsu atau Huru Hara.
"Apa? Engkau mengatakan apa?" teriak komandan
terkejut.
"Aku ingin mendengar dari dekat pembicaraan kalian,'
seru Huru Hara.
"Kurang ajar!" bentak komandan, "apa pangkatmu?"
"Penjaga."
"Mengapa engkau berani lancang hendak turut
mendengarkan pembicaraan kami? Tahukah engkau siapa
yang hadir dalam ruang ini?"
"Tahu, Ko tayjin."
"Hm, kalau sudah tahu mengapa engkau masih berani
membacot?"
"Pembicaraan komandan bersama tayjin tentu tak lepas
dari soal pasukan. Aku juga seorang prajurit, mengapa
dilarang untuk turut mendengarkan soal2 yang menyangkut
gerakan pasukan?" bantah Huru Hara.
"Kurang ajar . .. komandan marah dan hendak
menghajar tetapi cepat dicegah Ko Cay Sang, "Tunggu,
komandan ........... "
"Eh, rasanya aku pernah mengenali mukamu, tetapi
entah lupa dimana. Apakah engkau pernah bertemu dengan
aku?" seru Ko Cay Seng.
"Selama ini aku selalu menjaga komandan, bagaimana
dapat bertemu dengan tayjin?" sahut Huru Hara.
"Tetapi menilik pembicaraanmu, jelas engkau tentu
bukan prajurit biasa," kata Ko Cay Seng kemudian berkata
kepada komandan, "Komandan, coba tulung komandan
amat-amati, apakah dia betul penjaga disini?"
Komandan juga merasakan sesuatu yang ganjil pada
penjaga itu. Dengan matanya yang tajam, ia sempat melirik
ke wajah penjaga itu dan diam2 terkejut. Namun komandan
itu seorang cerdik. Dia tak lekas terkejut atau menyatakan
apa2.
"Ah, tidak apa2, tayjin. Dia memang prajurit yang
menjaga kubu kami," kata komandan itu dengan
tersenyum.
"Mengapa dia begitu lancang sekali? Apakah memang
begitu sikapnya?"
"Perang memang kadang dapat merobah perangai
seseorang. Mungkin karena sering menghadapi
pertempuran, syarafnya menjadi tegang sehingga dia
kadang berani bertindak lancang," kata komandan.
Mengira kalau komandan itu benar2 tak mengenalnya,
diam2 Huru Hara gembira.
"Penjaga, bagaimana perintah yang kuberikan kepadamu
tadi?" tanya komandan.
"Beres, komandan," sahut Huru Hara, "pemuda itu
sudah kuikat pada pohon dalam rimba."
"Bagus," seru komandan, "aku telah berunding dengan
Ko tayjin, bahwa besok pemuda itu harus dihabisi
nyawanya."
Diam2 Haru Htra terkejut, namun ia tetap bersikap
tenang2 saja, "Baik, komandan."
Setelah berbatuk-batuk sejenak, tiba2 komandan itu
berkata, "Tulisanmu bagus, dapatkah engkau meniru tulisan
dalam surat ini?"-
Huru Hara terkejut. Dia merasa tak pandai menulis
huruf kan-ji, mengapa komandan mengatakan tulisannya
bagus?
"0, kemungkinan penjaga yang kuringkus dalam hutan
itu memang pandai menulis," akhirnya ia menyadari.
"Maksud komandan aku disuruh menirukan tulisan
dalam surat tay-ciangkun Torgun itu?" ia bertanya.
Komandan mengiakan.
"Wah, tetapi tulisanku buruk sekali. Bagaimana aku
dapat meniru tulisan tay ciangkun?"
"Kutahu engkau pandai sastera dan tulisanmupun bagus,
jangan sungkan," kata komandan. Ia mempersiapkan alat
tulis dan mengeluarkan surat dari Torgun tadi.
"Lekas kemari," perintahnya. Dan Huru Hara gopoh
maju menghampiri. Pada saat menerima surat, dia sudah
merencanakan hendak kabur.
Tetaoi pada saat komandan mengangsurkan surat tiba2
surat itu terlepas jatuh ke lantai, .. ... , " komandan
mendesuh kaget.
Huru Hara cepat membungkukkan tubuh hendak
memunggut surat itu. Tetapi pada saat itu punggungnya
seperti ditusuk jari baja dan tengkuknya dihantam oleh
sebuah tangan kuat.
"Ah . . ," Huru Hara mendesah tetapi sudah terlambat.
Dia tak dapat berkutik dan tegak seperti patung.
Ternyata mata Ko Cay Seng memang tajam sekali.
Walaupun komandan mengatakan penjaga itu memang
penjaga yang asli, namun Ko Cay Seng dapat menangkap
kedip mata yang diberikan komandan.
Memang komandan itu juga lihay. Dia tahu kalau
penjaga itu bukan penjaga yang biasanya. Namun dia tak
mau cepat2 memberi reaksi. Dia hendak membuat Huru
Hara jangan curiga, Maka dengan siasat menyuruhnya
menulis, waktu menyerahkan surat dari Torgun, sengaja ia
menjatuhkan surat itu ke lantai. Dia memperhitungkan
Huru Hata tentu segera membungkukkan badan
menjemput. Pada saat itulah baru dia turun tangan untuk
merobohkannya.
Semua perhitungan komandan orang Boan itu memang
tepat. Hanya sedikit yang mengejutkan yalah ketika dia
ayunkan tangan menghantam, sebelum mengenai tubuh
Huru Hara. Huru Hara sudah rubuh.
"Ah, Ko tayjin memang tangkas," setelah sadar kalau
kalah dulu, ia tertawa memberi pujian kepada Ko Cay
Seng.
“Maaf, komandan Yemu, atas kelancanganku," kata Ko
Cay Seng
Memang Ko Cay Seng cerdik. Walaupun pangkatnya
lebih tinggi dari komandan yang bernama Yemu itu, namun
ia tahu diri. Bahwa dia seorang Han dan Yemu itu orang
Boan. Betapapun tinggi kedudukannya. terhadap perwira
orang Boan, dia tetap menghormati orang Boan, sekalipun
lebih rendah pangkat. Dengan penampilan itu maka dia
mendapat simpati dan disenangi oleh kalangan perwira
Boan.
"Ah. tak apa tayjin, tak sama saja. Yang penting kita
dapat membekuk mata2 ini," kata Yemu.
Ia menghampiri Huru Hara yang telah kena tertutuk
jalandarahnya oleh Ko Cay Seng itu dan membuka peci
prajurit yang dipakai Huru Hara.
"Ho, ternyata engkau !" dengus Yemu.
"Siapa ?" tegur Ko Cay Seng.
"Dialah orang yang membawa surat dari panglima besar
Torgun. Sebenarnya dia sudah kuberi minuman obat tidur
lalu kusuruh mengikat dalam rimba. Entah bagaimana
mengapa dia bisa muncul lagi disini."
"0, ya, aku ingat sekarang," seru Ko Cay Seng, "dia
adalah pemuda yang pernah bertempur dengan aku. Dia
orangnya Su Go Hwat. Mengapa dia bisa muncul lagi
kemari ?"
Yemu lalu menuturkan keterangan Huru Hara apa sehab
dia mendapat kepercayaan dari Torgun.
"Wah, orang ini memang lihay. Ibarat anakmacan kalau
dibiarkan tumbuh besar tentu berbahaya."
"Bagaimana maksud tayjin ?"
"Bunuh !"
"Ya, akupun juga sudah memerintahkan begitu. Hanya
ternyata penjaga yang kusurun membawanya ke hutan itu
malah dapat dirubuh. Tuh, dia pakai seragam dari prajurit
penjaga yang membawanya ke hutan," kata Yemu. Dia
terus mencabut pedang dan menghampiri kemuka Huru
Hara terus menabas.
"Tunggu, komandan," tiba2 Ko Cay Seng berseru.
Komandan terkejut," Bagaimana maksud tay jin ?"
"Aku menemukan suatu akal bagus," kata Ko Cay Seng
seraya memberi isyatat kepada Ye-mu supaya mendekat.
Kemudian dia membisiki ke telinga komandan itu.
Yemu mengangguk-angguk. Kemudian dia memanggil
prajurit dan suruh memborgol kaki dan tangan Huru Hara
dengan rantai yang kokoh. Setelah itu suruh membawa ke
asrama.
"Jaga dan awasi dia baik2, jangan sampai dapat Iolos,"
kata komandan.
Setelah Huru Hara dibawa keluar, barulah komandan
bertanya kepada Ko Cay Seng, "Ko tayjin, apakah tayjin
merasa bahwa siasat itu akan berhasil ?"
"Kuharap demikian," jawab Ko Cay Seng, karena Su Go
Hwat itu seorang yang setya pada anakbuahnya. Dia adalah
orang kepercayaannya, tentulah Su Go Hwat akan berusaha
keras untuk menyelamatkan jiwanya."
"Lalu bagaimana cara kita menyampaikan surat
peringatan itu kepada Su Go Hwat ?" tanya Yemu.
"Su Go Hwat seorang mentri yang jujur dan
menghormati peraturan. Kirim saja seorang prajurit untuk
menyampaikan surat kita. Tentulah Su Go Hwat takkan
menganggu keselamatan prajurit itu."
Demikian setelah menulis surat, Yemu lalu mengutus
seorang prajurit kepercayaannya untuk mengnadap Su Go
Hwat dikota Yang-ciu.
Singkatuya, prajurit itu telah diterima Su Go Hwat dan
menyerahkan surat dari komandan.
Agak tegang wajah mentri Su Go Hwat ketika membaca
surat itu. Ternyata surat itu mengatakan bahwa Huru Hara
yang diutus Su Go Hwat menghadap Torgun itu, sekarang
sudah tertangkap. Huru Hara akan dibebaskan apabila Su
Go Hwat bersedia untuk meninggalkan Yang- ciu.
Beberapa saat timbul pertentargan dalam batin Su Go
Hwat. Ia tahu bahwa Huru Hara itu seorang pemuda
pejuang yang setia. Seorang putera dari pendekar besar Kim
Thian Cong yang pernah memberi pertolongan kepadanya.
Haruskah ia mengorbankan jiwa pemuda itu? Demikian
pertanyaan yang timbul tenggelam dalam benak Su Go
Hwat.
Waktu mendapat laporan dari mata2 yang berhasil
menyusup kedalam daerah pendudukn bahwa Su Hong
Liang telah dihukum panglima Torgun, bukannya terkejut
kebalikannya mentri Su Go Hwat malah tertawa.
"Hm, memang manusia lain dengan Harimau tentu
beranak harimau, tetapi manusia belum tentu putera sama
dengan bapaknya. Aku setya kepada kerajaan Beng, tetapi
putra keponakanku, bekerja kepada orang Boan. Aku malu,
bahwa keluarga Su ada yang menjadi penghianat bangsa.
Oleh karena itu, biarlah dia mati dibunuh panglima musuh
agar kelak aku dapat mempertanggung jawabkan noda
keluarga kita itu kepada para leluhur yang sudah berada di
alam baka,” pikirnya.
Jika Su Go Hwat sedang merenung, pun di kubu
pasukan Ceng, Ko Cay Seng dan komandan Yemu juga
sedang berbincang-bincang.
Mereka membicarakan tentang kemungkinan berhasilnya
surat mereka kepada Su Go Hwat. Mereka tahu bahwa Su
Go Hwat dan Huru Hara itu seorang pejuang muda yang
setya dan jujur. Tentu mentri Su Go Hwat sayang
mengorbankan dia."
"Belum tente tayjin," seru Yemu, "mentri Su Go Hwat
seorang yang keras hati. Dia mengutamakan kepentingan
negara lebih dari segala. Bahkan dari pemuda tadi,
kudengar mentri Su sengaja suruh anak keponakannya yang
bernama Su Hong Liang mengantarkan surat balasan
kepada panglima Torgun. Pada hal surat balasan itu jelas
berisi penolakan mentri Su terhadap tawaran panglima
Torgun supaya bekerja pada kerajaan Ceng. Dengan begitu
jelas mentri Su hendak menjerumuskan anak keponakannya
sendiri supaya dibunuh panglima Torgun."
"0, Su Hong Liang kongcu itu ? Ya, benar, Su kongcu
memang diam2 telah bekerja kepada kita. Kemungkinan
mentri Su Go Hwat dapat mencium bau dan sengaja
hendak meminjam tangan Torgun tay-ciangkun supaya
memberi hukuman mati kepada Su koncu."
"Nah, dengan pendirian seperti itu, dapatkah kita
harapkan mentri Su Go Hwat akan menurut tuntutan kita ?"
tanya Yemu.
Ko Cay Seng menghela napas.
"Memang tipis kemungkinannya. Tetapi tak salah kalau
kita mencobanya. Karena kulihat ada perbedaan antara Su
kongcu dengan si Huru Hara dalam pandangan mentri Su
itu."
"0, perbedaan yang bagaimana?" tanya Yemu.
"Mentri Su adalah seorang pejuang dan patriot sejati.
Telah kekatakan, dia mengutamakan kepentingan negara
lebih dari segalanya. Jelas dia tentu sudah curiga kalau anak
keponakannya, Hong Liang kongcu itu tidak beres. Dan
diapun tentu sudah percaya penuh akan diri pendekar Huru
Hara sebagai seorang pejuang yang setya. Oleh karena itu
dia tentu lebih mementingkan keselamatan jiwa si Huru
Hara daripada anak keponakannya sendiri. Maka diharap
saja dia akan menurut tuntutan kita."
"Baiklah," kata Yemu.
Kembali pada mentri Su Go Hwat yang sedang
mengalami pertentangan dalam batin itu, bermula dia
cenderung untuk menyelamatkan jiwa Huru Hara.
"Peperangan ini masih lama, apabila aku nekad matimatian
mempertahankan' kota ini dan mengorbankan jiwa
Huru Hara, tidakkah aku mengorbankan seorang pejuang
muda yang sangat berharga tenaganya ? Ah, justeru saat ini
negara sangat membutuhkan pejuang2 patriot seperti dia.
Semua jenderal2 di daerah2 sudah berturut-turut menyerah
pada musuh. Sedang di kotaraja kaum durna makin
merajalela menguasai baginda. Tidakkah akhirnya, kaum
durna itu juga akan menjual negara kepada musuh ?"
Tertegun akan pemikiran itu, hampir saja mentri Su Go
Hwat hendak memanggil komandan pasukan yang menjadi
kota Yang-ciu, untuk diperintahkan bersiap-siap
meninggalkan kota itu dan mundur ke daerah selatan.
Tiba2 masukiah seorang bujang perempuan kedalam
ruang. Bujang itu masih gadis. Dia membawa penampan
minuman teh.
"Tayjin, daharan sudah tersedia sejak tadi. Apakah tayjin
tak berkenan untuk mendaharnya?" tanya gadis pelayan itu
dengan hormat.
"0, engkau Hui-hoa," seru Su tayjin, "letakkan di meja.
Aku belum lapar."
"Tetapi tayjin," kata gadis pelayan yang bernama Huihoa
itu pula. "hari sudah malam tayjin dan setiap malam
tayjin selalu tidur sampai jauh malam sekali. Pagi2 tayjin
sudah bangun. Apakah hal itu takkan mengganggu
kesehatan tayjin?"
Su Go Hwat tertegun. Memang hubungan bujang Huihoa
dengan keluarga Su, erat sekali. Mentri Su tidak
memperlakukan Hui-hoa sebagai seorang bujang melainkan
sebagai seorang pembantu.
"Ah Hui," kata Su Go Hwat, "apa engkau kira sekarang
ini sudah waktunya kita harus bersenang-senang menikmati
hidangan enak dan tidur pules?"
"Tidak, tayjin," kata Hui-hoa, Su tayjin biasa
memanggilnya Ah Hoa saja, "sekarang kita sedang
berperang. Apalagi saat ini musuh berada diambang pintu.
Setiap saat mereka akan menyerbu kota kita ini."
Su Go Hwat tidak terkejut mendengar Hui hoa berbicara
mengenai situasi perang. Karena sudah sering, gadis itu
mengutarakan keadaan yang berlangsung pada dewasa itu.
Dan setiap kali membicarakan tentang perang, tentulah
Hui-hoa akan berapi-api semangatnya untuk
menghancurkan musuh.
"Hui . . . eh, ya, mengapa engkau memakai nama Hui
Hoa. Hoa artinya jelas kembang, tetapi apa arti kata Hui
itu?" tiba2 mentri beralih pembicaraan.
"Ah, hamba pernah mengatakan kepada tay-jin," sahut
Hui-hoa.
"0, apa benar? Tetapi mengapa sekarang aku lupa? Coba
katakan lagi."
"Hui artinya terbuang. Hui-hoa artinya Bunga yang
terbuang, tayjinl" seru Hui-hoa dengan mata berlinanglinang.
"Bunga yang terbuang?" ulang Su tayjin, "mengapa
engkau memakai nama begitu?"
"Ah," Hui-hoa menghela napas, "kembali tayjin lupa
siapa diri hamba ini. Bukankah hamba sudah sebatang kata
ketika tayjin menemukan hamba telah menggeletak pingsan
di tepi jalan karena keIaparan.............. ?"
"Ah, benar, benar," seru Su tayjin, "ya, kuingat waktu itu
engkau memang menggeletak di tengah jalan. Kusuruh
orangku untuk mengambil dan membawa pulang. 0, adakah
karena nasib itu maka engkau menamakan dirimu Hui-hoa
?"
"Benar, tayjin," kata Hui-hoa, "dan nama itu juga
mengandung arti, bahwa kekecewaan hidup hamba yang
sekarang ini akan hamba tebus dengan melampiaskan
dendam kesumat keluarga hamba kepada orang Boan.
Merekalah yang telah membuat orangtua hamba binasa
sehingga rumah tangga hamba hancur berantakan. Mereka
harus bertanggung jawab atas penderitaan yang telah
diterima oleh seluruh rakyat Beng."
Su Go Hwat terkesiap. Namun cepat ia tersentuh
batinnya, "Baiklah, Ah Hui, sejak saat ini engkau tidak
kuanggap sebagai pelayan tetapi anggauta keluargaku
sendiri. Engkau akan kujadikan saudara angkat dengan
Tiau Ing ...... "
"Tayjin," serentak Hui Hoa berteriak, "manakah Su
siocia ? Mengapa sampai sekarang tiada beritanya ?"
Su Go Hwat menyadari kalau kelepasan bicara. Dan
diapun teringat akan keadaan puterinya.
"Ya, mengapa Tiau Ing sampai hari ini belum muncul?
Kemanakah anak itu?" gumamnya seorang diri.
Ia teringat akan sikap dan keterangan Su Hong Liang.
Seketika timbullah rasa kecurigaan terhadap pemuda itu,
kemudian timbul rasa cemas akan nasib Tiau Ing.
"Ah, jangan2 anak itu mengalami sesuatu yang tak
diinginkan," kata Su Go Hwat, "Ah Hui, apakah engkau
bersedia untuk mencari Tiau Ing?"
"Jiwa dan raga hamba ini adalah pemberian tayjin.
Karena tayjinlah yang telah memberi hidup hamba.
Jangankan hanya tayjin perintah untuk mencari Su siocia,
bahkan tayjin suruh terjun ke lautan api, hambapun tentu
akan melaksanakan "
"Hui Hoa, ternyata engkau berjiwa besar. Engkau tidak
sebatang kara, karena masih banyak gadis2 yang menderita
nasib seperti engkau. Engkau tidak sendirian karena banyak
sekali kawan2 yang akan berjuang seperti engkau," kata Su
tayjin lalu menulis beberapa kata pada sehelai surat dan
setelah dimasukkan kepada sampul tertutup, diberikan
kepada Hui-hoa, "apabila bertemu Tiau Ing, serahkan surat
ini kepadanya."
Hui Hoa hati2 sekali menyimpan surat itu dalam
bajunya. Setelah memberi hormat, ia lalu tinggalkan
ruangan itu.
Su Go Hwat terlongong-longong. Kini pikiran untuk
meninggalkan kota Yang-ciu sesuai dengap tuntutan lenyap
bagai awan dihembus angin.
Ribuan bahkan jutaan rakyat telah menderita
kesengsaraan akibat serangan pasukan Ceng. Apabila ia
menarik pasukannya untuk meninggalkan Yang-ciu, rakyat
Yang-ciu tentu akan menderita kesengsaraan dan siksaan
dari pasukan Ceng yang akan masuk.
"Tidak !" serunya seraya mengepalkan tinju, "aku akan
mempertahankan kota ini sampai titik darah yang
pengabisan. Aku tak dapat berbuat apa2 untuk
menyelamatkan jiwa Huru Hara. Dan kupercaya, dia tentu
mengerti dan setuju akan pendirianku ini."
Su Go Hwat membulatkan tekad.
-oo0dw0oo-
JILID 41
Konyol.
Prajurit yang membawa surat dari Ko Cay Seng dan
komandan Yemu untuk Su Go Hwat, telah keluar dari
gedung markas tempat Su Go Hwat. Wajahnya merah.
Su Go Hwat menolak untuk meninggalkan kota Yangciu.
Melalui pembicaraan yang cukup panas, akhirnya
prajurit Boan itu diusir untuk segera pergi dari kota Yangciu.
Ketika melalui sebuah lapangan yang terletak di dekat
pintu kota utara, prajurit itu tertarik melibat sekawan anak2
sedang mengadakan latihan berbaris dan serangan.
Prajurit itu menghampiri.
Dia melihat seorang anak berambut kuncung dengan
lagak seperti seorang jenderal tengah melakukan inspeksi
pada barisan anak2 dan menerima penghormatan mereka.
"Lapor, jenderal!” seru seorang anak yang tegak
dihadapannya dalam sikap seorang militer.
"Ya."
"Ada seorang prajurit dari musuh yang datang
menghadap mentri Su Go Hwat yang mulia!"
"0, lalu ?" seru si jenderal kuncung.
"Kami dengar, dia menyerahkan surat dari komandan
pasukan musuh, menuntut agar Su tay-jin menarik mundur
pasukannya dari kota ini."
"Gila !" seru jenderal Kuncung itu, “apakah Su tayjin
meluluskan ?"
"Tidak," sahut prajurit itu, "prajurit itu diusir seperti
anjing oleh Su tayjin."
"Bagus !" seru jenderal Kuncung, "kita akan
mempertahankan kota ini sampai titik darah yang
penghabisan. Bukankah kalian bersedia ?"
Serempak kawanan barisan anak itu menyahut dengan
lantang, "Siap, jenderal !"
Prajurit Boan terkejut. Tak diduga samasekali bahwa
semangat membela tanah-air telah meresap juga kedalam
jiwa anak2. Tetapi pada lain saat dia tertawa.
"Hm, jenderal Kuncung itu berlagak sekali. Dia mengira
peperangan itu seperti anak main2 saja," dengusnya.
"Hai, siapa engkau !" tiba2 jenderal Kuncung itu
menghardiknya dengan galak.
Ternyata barisan anak itu melihat bahwa di tepi
lapangan tampak seorang prajurit sedang tegak memandang
mereka. Mereka tahu bahwa jelas prajurit itu tidak
mengenakan seragam prajurit Beng. Segera mereka
memberitahukan hal itu kepada jenderal Kuncung.
"Aku sedang berjalan melalui tempat ini dan tertarik
melihat kalian berlatih," sahut prajurit Boan.
"Kurang ajar ! Engkau seorang mata-mata, bukan ?" seru
jenderal Kuncung.
"Lho, apakah orang dilarang berada di tempat ini ?"
prajurit Boan itu terkejut.
"Kalau rakyat atau prajurit kami, tidak dilarang. Tetapi
engkau bukan prajurit Beng, mengapa engkau berdiri disini.
Bukankah engkau hendak memata-matai gerak gerik kami
?"
"Uh, siapa yang sudi melakukan hal itu ?"
"Siapa lagi kalau bukan manusia semacam engkau !"
"Eh mengapa engkau begitu garang ? Engkau anggap aku
ini siapa ?"
"Siapa kenal dengan engkau !"
"Aku adalah utusan komandan Yemu yang sedang
mengepung kota ini. Aku hendak menyerahkan surat
kepada mentri Su Go Hwat."
"Kurang ajar, engkau hendak membujuk supaya yang
mulla Su tayjin menyerah ?"
"Bukan membujuk dengan maksud buruk tetapi dengan
maksud baik agar seorang pemuda yang mengaku bernama
Huru Hara dibebaskan dari hukuman mati oleh
komandanku."
"Apa ? Pendekar Huru Hara ?"
"Hm.”
"Dimana dia sekarang ?"
"Kami tawan."
"Bangsat, engkau berani menawan saudaraku yang
tercinta itu ?"
"0, apakah dia saudaramu ?"
"Ya, mau apa !"
"Bagus, kalau begitu, ikut saja aku, nanti kuantarkan
engkau kepadanya."
"Kentut !" teriak jenderal Kuncung yang tak lain adalah
Ah Liong.
"Eh, bocah kuncung, engkau benar2 kurang ajar.
Mentang2 engkau menjadi seorang jenderal gadungan saja,
engkau sudah berlagak seperti tuan besar ..... "
"Tangkap !" teriak jenderal Kuncung.
Beberapa anak itu segera menyerbu. Tetapi prajurit Boan
itu menyambut mereka dengan hantaman dan tendangan.
"Minggir," seru jenderal Kuncung dan serampak
kawanan anak2 itu menyisih kesamping.
"Engkau mau menyerah atau tidak ?" seru jenderal
Kuncung.
"Kalau engkau dapat bertahan untuk menyedot lima kali
kentutku, aku bersedia menyerahkan diri," seru prajurit
Boan.
"Baik," Ah Liong terus menyerang.
Prajurit Boan itu terkejut melihat gerak-gerik Ah Liong.
Bocah kuncung itu berputar-putar mengelilinginya, makin
lama makin cepat, sehingga ia merasa seperti dikepung oleh
lima enam bocah kuncung.
"Rasakan bogemku ini," prajurit Boan menerjang dengan
menghantamkan tinjunya yang berat, tetapi uhhh ia
mendengus kaget ketika tinjunya mengenai tempat kosong
dan bahkan kakinya serasa terkait oleh kaki orang sehingga
dia kehilangan keseimbangan tubuh dan menjorong ke
muka.
Huh .... kembali dia mendengus kaget ketika
punggungnya dicemplak oleh dua orang anak. Tak ampun
lagi dia segera jatuh mencium tanah. Punggungnya diinjakinjak
oleh beberapa orang anak.
Duk plak ..... kepala dan punggungnya dihujani dengan
pukulan dan tendangan. Dan yang paling mengerikan
sendiri adalah ketika ia merasa tali celananya putus dan
celananya ditarik kebawah.
"Matiiiikkk......... ," prajurit Boan yang menjadi utusan
komandan pasukan Ceng, menjerit dan meronta sekuatnya
untuk mendekap ,......... anunya.
Celana prajurit itu telah copot. Bajunya juga terasa
bergerak-gerak hendak melepaskan diri dari badan. Dia
nekad hendak mempertahankan.
"Bangsat," bentak jenderal Kuncung dan tahu2 celana
dalam prajurit itu dengan cepat ditarik kebawah, aduh .....
"Kalau berani melawan, burungmu akan kupotong,"
teriak Ah Liong si jenderal Kuncung.
Prajurit Boan itu adalah seorang prajurit pilihan. Baik
dalam keberanian dan ilmu perang, dia selalu menonjol.
Itulah sebabnya dia diangkat sebagai wakil komandan,
orang yang paling dipercayai komandannya.
Berpuluh pertempuran sudah ia alami di medan perang
dengan pasukan Beng. Tetapi selama itu, dialah yang selalu
tertawa melihat prajurit Beng rubuh bermandi darah dan
mengerang-erang meregang jiwa. Belum pernah ia
mengalami peristiwa semacam yang dirasakan seperti hari
itu.
Dia rebah tengkurap, punggung, tengkuk dan kepalanya
diinjak-injak dan digebuki sampai tele-tele. Celana luar dan
dalam dicopot dengan paksa dan kini baju prajurituya juga
akan dilucuti. Sebenarnya ia marah. Lebih baik ia mati saja
daripada menanggung malu yang begitu besar. Tetapi sial
dangkal. Jenderal Kuncung yang menjadi kepala pasukan
anak itu tak mau membunuhnya melainkan hanya hendak
melucuti pakaian seragamnya. Dan apabila dia berontak,
jenderal Kuncung itu akan memotong anunya.
"Celaka, kalau tanpa anu aku kan jadi orang kasim (
kebiri ) nanti. Ah, isteriku tentu lari," pikirnya dan
terkenanglah ia akan isterinya yang cantik.
”Daripada kehilangan barang yang amat berharga, lebih
baik aku menyerah saja. Toh nanti lain waktu masih ada
kesempatan untuk membalas semua hinaan ini. Awas,
besok kalau jatuh ke tanganku, kawanan anak2 bajingan ini
akan kupotong anunya," pikir prajurit itu.
Setelah pakaian seragam dilucuti, jenderal Kuncung
memerintahkan supaya mengikat prajurit itu dan ditaruh di
hutan.
Ketika kawanan anak2 itu habis melakukan perintah dan
kembali, mereka tidak mendapatkan Ah Liong berada
disitu.
"Kemana jenderal kita?"
"Jenderal mengenakan pakaian seragam prajurit Ceng
dan menitahkan supaya kita berjaga disini untuk membantu
mempertahankan kota ini," sahut salah seorang kawan
mereka.
Memang benar. Setelah memakai pakaian seragam
prajurit Ceng, Ah Liong terus berangkat menuju ke markas
pasukan Ceng.
Karena saat itu sudah petang dan memakai pakaian
seragam prajurit Ceng, dapatlah Ah Liong lolos dari
pemeriksaan. Singkatnya dia tiba di markas komandan.
"Baik, kubunuh saja komandan mereka," pikirnya tetapi
pada lain kilas ia urungkan niatnya dan memutuskan untuk
mencari tempat Huru Hara.
Ketika menyusup dari satu ke lain kubu untuk mencari
tempat Huru Hara ditahan, dia terkejut ketika melihat suara
orang tertawa mengikik. Suara itu berasal dari dalam
sebuah tenda yang terletak di ujung sebelah kanan kubu
komandan.
Tertarik oleh suara itu, dia berhenti dan menghampiri ke
dekat tenda lalu menyiak tenda kubu.
Ah, hampir saja dia berteriak keras ketika menyaksikan
apa yang terjadi dalam kubu itu.
Seorang prajurit tengah memaksa seorang pelayan untuk
melayani nafsunya. Gadis itu sudah menggeletak di tanah
dan tak dapat berbuat apa2 karena mulutnya di dekap
tangan prajurit, sedang tubuhnyapun sedang ditindihi tubuh
prajurit itu.
Melihat itu marahlah Ah Liong. Dia merangkak masuk
dan .....
"Uhhh . , ...." prajurit itu mendesuh kaget ketika
celananya ditarik kebawah. Buru2 dia mendekapnya.
Memang saat itu tangan kiri mendekap mulut si gadis
pelayan, tangan kanan tengah membuka kancing celana.
Tetapi dia merasa belum menarik celananya ke bawah,
mengapa celana itu dapat longsor turun sendiri.
Memang nanti diapun akan menyiak celananya ke
bawah tetapi maksudnya bukan seluruhnya lepas. Dia
masih takut kalau sampai kepergok orang, tentulah dia akan
mendapat hukuman dari komandan. Gadis itu adalah
pelayan yang berkerja pada dapur umum pasukan.
Sudah lama dia memang menaruh hati pada gadis itu,
Apalagi sudah berbulan-bulan dia tak bertemu dengan
wanita. Dia sudah ngebet sekali.
Malam itu dia pura2 sakit kepala ketika si gadis
membawakan minuman. Dia pura2 suruh gadis itu
mengeriki lehernya. Sebagai seorang pelayan. sudah tentu
gadis itu takut dan menurut saja. Dia seorang gadis bangsa
Han yang kehilangan keluarganya dan dipaksa menjadi
pelayan.
Kehadiran seorang perempuan muda dalam anak
pasukan, tentu menimbulkan kehebohan. Berulang kali dia
hampir diperkosa oleh anakbuah pasukan tetapi untung
selalu kepergok orang.
Komandan marah dan suruh pelayan itu menjadi
pelayan di kubunya. hendak menyelamatkan pelayan itu
dari gangguan prajurit. Dia memang tahu bahwa prajurit
yang bertempur di medan perang itu tentu selalu berkobar
nafsunya. Sebenarnya biar saja gadis itu dicemarkan
prajuritnya. Tetapi ternyata kehadiran pelayan itu banyak
kali menimbulkan perkelahian dan bahwa sampai terjadi
pembunuhan. Mereka saling berebut untuk mendapatkan
gadis itu. Itulah sebabnya komandan segera bertindak untuk
mengamankan gadis itu.
Eh, siapa tahu, pada malam itu ketika habis meneguk
arak sampai mabuk, komandanpun bangkit nafsunya. Dan
kebetulan gadis itu sedang datang membawakan minuman.
Tak ampun lagi dia terus mencemarkannya.
Sejak itu, gadis yang malang nasibnya itu menjadi
gundik komandan. Tetapi mengapa malam itu dia berada
dalam kubu seorang prajurit? Tak lain karena tipu muslihat
dari prajurit itu yang pura2 sakit dan minta obat kepada
pelayan.
Pada saat gadis pelayan itu mengeriki lehernya, dengan
gaya harimau lapar menerkam korban, prajurit terus
memeluk tubuh si gadis mendekap mulut dan
menindihinya. Setelah itu dia mulai membuka kancing
celananya.
"Uhhhh . . . ," kembali mulut prajurit yang telah
kerasukan setan itu mendesis kaget ketika celananya terasa
bergerak melorot ke bawah.
Cepat dia mendekap. Tetapi setelah di lepas, kembali
bergerak melorot kebawah lagi. Dia makin bingung. Kalau
terus menerus digoda begitu, kan dia tak dapat
menyampaikan hasratnya.
Kembali terasa celananya itu bergerak merosot kebawah.
Dia menyambar lagi. Karena dia dalam posisi rebah
tengkurap menindih pelayan gadis itu, maka gerakan
tangannya untuk menahan luncur celananya itupun
melingkar ke belakang.
Uh, ia terkejut ketika tiba2 tangannya didekap oleh
sebuah tangan orang. Sebelum ia sempat meronta, tahu jari
kelingkingnya dibekuk keatas. klikkkk ..... aduh. ia menjerit
kesakitan sekali. Tulang jari kelingkingnya patah, sakitnya
sampai dia mengucurkan keringat. Dan seketika nafsunya
yang sudah berkobar-kobar itupun padam.
Dukkkkk . . ... sebelum dia sempat berbalik tubuh untuk
melihat siapa yang telah menekuk melihat siapa yang telah
menekuk jari kelingkingnya sampai patah itu, punggungnya
sudah dihunjam oleh sebuah tinju yang kecil tetapi kerasnya
seperti palu besi.
Tak ampun lagi, prajurit itupun terkapar dan meregangregang
seperti itik yang disembelih lehernya.
"Jangan takut, cici," gadis yang meronta ke samping dan
terlepas dari tindihan prajurit itu terkejut ketika melihat
seorang anak laki2 berambut kuncung, nongol
dihadapannya.
"SIapa engkau?" tegur gadis pelayan itu.
"Aku hendak menolong cici, lekas keluar dari sini," kata
si kuncung Ah Liong yang masih memakai pakaian prajurit.
Setelah berada diluar tenda, gadis pelayan itu berkata,
"Engkau seorang prajurit, tetapi mengapa engkau masih
seperti anak kecil?"
"Sudahlah, cici, itu tidak penting," kata Ah Liong,
"bukankah cici sudah terlepas dari ancaman prajurit itu?"
"Ya."
"Sekarang cici hendak kemana?"
"Kemana kalau tidak kembali pada kubu komandan
disini."
"Lho, mengapa cici tidak melarikan diri saja? Apakah
cici tidak punya tempat tinggal?"
Gadis itu tertegun kemudian menghela napas, "Sudah
lama aku kehilangan rumah dan orangtua. Dan terpaksa
aku dipaksa ikut pada pasukan ini. Aku disuruh menjadi
pelayan komandan pasukan."
"0, kalau begitu laporkan saja perbuatan prajurit itu
kepada komandan."
"Hm, sama sajalah," kata gadis pelayan itu.
"Mengapa sama?"
"Prajurit dan komandan sama2 serigala dan harimau.
Terlepas dari kawanan serigala; aku jatuh ketangan
harimau. Tidakkah sama artinya?"
"Apakah komandan juga berbuat tak senonoh
kepadamu?"
Gadis pelayan itu menunduk, tersipu-sipu malu.
"Hm, prajurit2 Boan memang bangsat semua. Tidak ada
seorang prajurit Boan yang baik. Maka kita harus
membasmi mereka, tak perlu diberi ampun lagi."
"Tetapi aku hanya seorang anak perempuan lemah, apa
dayaku?"
"Ada," seru Ah Liong, "coba engkau kasih tahu, dimana
pamuda yang telah ditawan kemarin Itu?"
"Pemuda yang mana?"
"Bukankah ada seorang pemuda yang telah ditawan oleh
komandanmu?"
Gadis itu merenung beberapa jenak, "0, itu, ya, memang
ada. Itu atas permufakatan komandan deagan Ko tayjin.”
"Dimana dia sekarang?"
"Ditaruh dalam sebuah gua didalam hutan."
"Apakah cici dapat mengantarkan aku?"
Gadis itu kembali berdiam. Beberapa saat kemudian, dia
berkata, "Baik, mari kuantarkan."
Gadis itu memang telah bertekad hendak melepaskan
diri dari cengkereman pasukan Boan. Jika perlu dia akan
mengorbankan jiwa. Hal itu timbul ketika ia melihat
bagaimana seorang bocah yang masih kuncung, berani
menyaru menjadi prajurit dan telah menolongnya dari
perkosaan prajurit Boan tadi.
Diam2 gadis itu malu dalam hati. Mengapa selama ini ia
hanya paserah saja akan nasib, mau saja melakukan apa
yang dikehendaki komandan pasukan Boan. Dia makin
merasa malu karena merasa bahwa sikap dan langkahnya
yang paserah itu bersumber hanya karena takut mati. Jika ia
berani mati, tentulah takkan ia mengalamit nasib
sedemikian.
Itulah sebabnya dalam beberapa jenak saja, terjadi suatu
perobahan besar dalam jiwanya. Dia hendak membantu Ah
Liong.
"Cici, siapakah namamu ?" tanya, Ah Liong dalam
perjalanan.
"Lian Hoa."
"0, Lian-hoa artinya bunga teratai. Ya, nama itu memang
tepat sekali. Engkau ibarat bunga teratai yang hidup dalam
lumpur tetapi hatimu tetap mulia, cici."
Sejak bertahun-tahun, baru pertama kali itu Lian Hoa
mendengar orang memuji dan menghibur derita hidupnya.
Beberapa titik airmata mengalir ke pipi.
"Cici, mengapa engkau menangis ?" tegur Ah Liong
kaget.
"Ah, tak apa. Airmata gembira, adik," kata Lian Hoa,"
dan engkau sendiri, siapa namamu ?"
"Ah Liong."
"Apakah engkau berasal dari kota Yangiu ?"
"Tidak, aku hanya ikut pada engkoh Hok."
"Siapa engkoh Hok itu ?"
"Pemuda yang ditawan pasukan ini."
Tiba2 muncul dua orang prajurit Ceng yang sedang
meronda, "Hai, berhenti, mau kemana kalian" tegur salah
seorang,
Ah Liong terkejut. Untung saat itu hari sudah mulai
malam. Dan Lian Hoapun dengan tabah segera menjawab,
"kami disuruh komandan untuk memberi minuman pada
tawanan itu."
Kedua prajurit itupun tertegun lalu menyisih, "Kalau
begitu silakan."
Memang mereka kenal siapa Lian Hoa, pelayan khusus
dari komandan mereka.
"Silakan nyonya komandan ..... ," salah seorang prajurit
menyengir dan mengejek.
"Apa katamu ?" Lian Hoa marah. Ia tahu walau prajurit
itu dulu pernah mau mengganggunya tetapi ketahuan
komandan dan dihukum. Tentulah dia masih mendendam.
"Tidak apa2," kata prajurit itu seraya ngeloyor.
"Hm, penghianat!" maki Lian Hoa.
Prajurit itu berhenti serentak, "Apa katamu?”
"Huh . . . , " Lian hoa terus ayunkan langkah balas tak
mengubrisnya.
"Apa katamu?" prajurit itu lari dan menghadang didepan
Lian Hoa, "engkau memaki aku penghianat?"
"Tanya pada dirimu sendiri, siapa engkau ini!" sahut
Lian Hoa.
"Perempuan lacur!" prajurit itu balas memaki.
Plakkkkk . . . . tiba2 Lian Hoa marah dan menampar
muka prajurit itu sekeras-kerasnya. Seumur hidup baru
pertama kali itu dia menampar mulut orang. Oleh karena
dia seorang gadis lemah dan gemetar menahan kemarahan,
maka tamparannyapun tak terasa apa2.
"Engkau lancang!" tiba2 prajurit itu menerkam tangan
Lian Hoa, ditarik dan terus dipeluknya.
"Lepaskan!" Lian Hoa berteriak meronta. Tetapi prajurit
itu nekad mencium pipi Lia Hoa dengan amat bernafsu
sekali.
"Uhhhh ..... " tiba2 prajurit itu berteriak kaget, lepas
pelukannya dan gopoh mendekap pinggang celananya.
Wajahnya merah padam.
"Hajarlah lagi, cici," seru Ah Liong kepada Lian Hoa.
Lian Hoa menurut, plak, plak, plak . . . bertubi-tubi tangan
nona itu menampar muka dan mulut si prajurit. Anehnya,
prajurit itu hanya mengisar mukanya kian kemari tak berani
membalas karena kedua tangannya masih mendekap
celananya erat2.
Melihat itu kawannya kasihan juga. Ia segera
membentak, "Sudah, jangan terlalu. Mentang-mentang jadi
kekasih komandan saja!"
Makin malu Lian Hoa mendengar kata2 itu, dia
berpaling dan plak .. . . ia menampar mulut prajurit yang
itu. Tetapi prajurit itu sudah bersiap. Tangan Lian Hoa
disambar dan terus dipelintir ke belakang.
"Uhhhh . . . , " sebelum prajurit itu sempat membuka
mulut, tiba2 ia sudah mendesuh kaget dan cepat2 lepaskan
tangannya, mendekap perutnya.
"Hajar!" seru Ah Liong.
Kini Lian Hoa memuaskan diri untuk menghajar muka
prajurit yang kedua itu dengan tamparan dan cakaran.
Karena tak tahan kedua prajurit itupun lari.
"Bagus, bagus, cici, begitulah kalau berhadapan dengan
prajurit Ceng. Jangan dikasih hati, hajar terussss," seru Ah
Liong tertawa.
"Tetapi aneh," gumam Lian Hoa, "mengapa mereka tak
berani membalas? Mereka mendekap perutnya saja ?"
Ah Liong geli dalam hati tapi ia sungkan untuk
memberitahukan rahasianya. Ia hanya mengatakan,
"Mereka tentu sakit perut."
"Tetapi tidak," kata Lian Hoa, "setiap kali engkau
bergerak ke belakangnya, prajurit itu tentu terus mendekap
perutnya kencang2. Apa ya sebabnya ?"
"Kutonjok pantatnya supaya perutnya mulas," kata Ah
Liong sekenannya saja.
Keduanya la!u melanjutkan perjalanan. Tiba disebuah
hutan, mereka masuk dan menuruni sebuah lembah.
"Celaka, guha itu juga dijaga prajurit," Lian Hoa
mengeluh seraya menunjuk pada sebuah tempat dimana
tampak dua orang prajurit sedang berdiri dengan
menyanggul tombak.
"Wah, bagaimana nanti alasan cici kepada mereka ?"
tanya Ah Liong kuatir.
"Tak usah kuatir," kata Lian Hoa seraya maju
menghampiri ke muka kedua prajurit itu.
"0, engkau," seru salah seorang prajurit yang kenal pada
Lian Hoa.
"Ya."
"Mau apa ?"
"Komandan suruh kalian membawa tawanan itu ke
markas," kata Lian hoa.
Lian Hoa memang cerdik. Kalau dia mengatakan
disuruh komandan untuk mengambil tawanan tentu kedua
penjaga itu tak percaya. Tetapi ia mengatakan kalau kedua
penjaga itu yang suruh membawa tawanan ke markas.
Dengan kata2 itu, hilanglah keraguan kedua penjaga.
Keduanya segera membuka terali pintu gua dan
melangkah masuk. Tetapi baru dua langkah, tiba2
punggung mereka dibantam oleh sebuah tangan kecil yang
amat kuat, duk, duk .... kedua penjaga itupun jatuh
tengkurap, terus diinjak Ah Liong.
Sementara Lian Hoa terus masuk dan berseru, "Hohan,
silakan keluar !"
Memang yang berada didalam itu adalah Huru Hara.
Dia masih lemas dan tak dapat berbuat apa2. Terpaksa Lian
Hoa menuntunnya keluar,
"Ah, engkau engkoh Hok," seru Ah Liong. “mengapa
engkau tak berusaha untuk berontak?”
Huru Hara yang masih lemah hanya geleng2 kepala dan
menghela napas. "Aku dikasih obat bius pelemas tenaga."
"Siapa yang memberi ?" Ah Liong terkejut,
"Ko Cay Seng dan komandan disini."
"Engkoh Hok mari kita keluar," kat Ah Liong seraya
menyerahkan pakaian seragam prajurit Ceng, "pakailah
pakaian supaya mereka tak curiga."
Huru Hara dan Lian Hoa heran, dari mana anak itu
mendapatkan pakaian seragam prajurit. Tetapi Huru Hara
memakainya juga.
Ternyata Ah Liong telah melucuti pakaian kedua
penjaga tadi dan mengikat mereka, menyumbat mulut
mereka dengan robekan baju.
Setelah pintu dikunci, anak kuncinya dibuang kedasar
jurang oleh Ah Liong. Ketiganya lalu lolos.
Mereka terpaksa menuju ke barat dan dari situ mereka
mengitari menuju ke selatan lagi untuk masuk ke kota
Yang-ciu,
Tetapi pada waktu hampir keluar dan daerah
pendudukan pasukan Ceng, tiba2 mereka dikejutkan oleh
dua ekor kuda yang mencongklang kencang. Jelas kedua
penunggang kuda itu tengah menuju kepada mereka.
Cepat sekali kedua penunggang kuda itu tiba dan
menghadang, "Ho, bagus, Lian Hoa. engkau berani
meloloskan diri!" seru salah seorang dari kedua pendatang
itu yang tak lain adalah komandan pasukan. Sedang yang
seorang, yang mengenakan dandanan sebagai seorang
sasterawan tak lain adalah Ko Cay Seng.
Kedua pembesar itu tengah enak2 minum arak tiba2
penjaga datang melapor bahwa ada dua orang prajurit yang
melihat Lian Hoa bersama seorang prajurit tengah menuju
ke hutan.
Kedua prajurit itu adalah yang habis ditampar dan
dicakar Lian Hoa tadi. Mereka mendendam dan
melaporkan peristiwa itu kepada komandan dengan maksud
agar komandan menghukum prajurit yang berani mengajak
Lian Hoa keluar pada malam itu. Mereka duga, prajurit itu
tentu akan mengajak in-de-hoy pada Lian Hoa.
Sudah tentu komandan terkejut. Dia lalu mencari
pelayan yang disayanginya itu. Tiba di gua tahanan, dia
mendapatkan dua sosok tubuh rebah dalam ruang gua dan
pintu terali dikunci. Sudah tentu komandan kelabakan. Dia
memanggil anakbuah untuk mendobrak pintu.
Setelah berhasil masuk, kedua penjaga itu memberi
keterangan dari peristiwa yang telah dialaminya.
"Perempuan busuk," seru komandan marah," dia berani
mengajak lari tawanan kita ?"
Bersama Ko Cay Seng, komandan lalu mengadakan
pengejaran pada malam itu juga. Dan akhirnya mereka
berhasil menyusul. Hal itu disebabkan karena tenaga Huru
Hara masih belum pulih.
“Komandan, apakah Huru Hara belum diberi minum
obat bius lagi ?" kata Ko Cay Seng dalam perjalanan.
"Sebenarnya sejam lagi, dia harus diberi minum. Tetapi
sekarang dia sudah lolos," jawab komandan.
Memang setiap enam jam, Huru Hara dipaksa minum
obat yang membuat tenaganya hilang. Dan sejam nanti
memang sudah tiba waktunya harus diberi minum obat.
"Hai, komandan, lekas beri hormat !" teriak Ah Liong
sambil melangkah ke muka.
Komandan itu terbelalak ketika melihat prajurit yang
berpakaian seragam prajurit Ceng, memerintahkannya
memberi hormat. Setelah dipandang dengan seksama, dia
makin terkejut. Ternyata prajurit itu masih anak.
"Kurang ajar, siapa engkau !" teriak komandan.
"Aku jenderal Kuncung dari pasukan Yangciu ! Engkau
kan hanya berpangkat mayor, mengapa engkau tak
memberi hormat kepadaku !"
"Gila !" teriak Komandan seraya ayunkan cambuk
menghajar Ah Liong. Tetapi dengan gesit Ah Liong lompat
kesamping lalu loncat maju dan menarik kaki komandan
itu, "Turun babi !"
Gerakan Ah Liong memang luar biasa gesitnya. Sebelum
tahu apa yang terjadi, komandan itu rasakan kakinya
dibetot sekuat-kuatnya sehingga ia jatuh ke bawah.
Tarrr .....
Ko Cay Seng yang tertegun menyaksikan adegan itu
segera tersadar dan ayunkan cambuknya menghayar Ah
Liong.
Ah Liong menghindar tetapi topinya tersambar jatuh. Ko
Cay Seng terbeliak ketika melihat anak itu masih
memelihara kuncung.
"Hai. bangsat, engkau berani menghina aku,” teriak Ah
Liong seraya bercekak pinggang.
"Kuncung, jangan kurang ajar, nih, rasakanlah
cambukku," seru Ko Cay Seng seraya mengayunkan
cambuknya lagi.
Permainan cambuk dari Ko Cay Seng memang berbeda
dengan komandan Yemu. Jika komandan pasukan Ceng itu
hanya berdasarkan pada tenaga luar, tidak demikian dengan
gerakan Ko Cay Seng yang dilambari tenaga-dalam. Maka
walaupun hanya cambuk, di tangan Ko Cay Seng dapat
berobah menjadi senjata yang sakti. Kadang dapat tegak
lurus seperti cempuling yang menusuk. Kadang seperti
gerak naga yang sedang hermain diatas air. Kadang
menyambar-nyambar seperti petir yang membelah angkasa.
Hebatnya bukan main.
Menghadapi itu, Ah Liong kewalahan sekali. Memang
dengan mengandalkan ilmu meringankan-tubuh, anak itu
dapat menyelamatkan diri tetapi karena terus menerus
dihujani serangan, mau tak mau Ah Liong menjadi
kewalahan juga.
Tarrr . . . . suatu gerakan menusuk yang dihindari Ah
Liong, tiba2 dirobah Ko Cau menjadi suatu cambukan yang
cepat. Tak ampun lagi, punggung Ah Liong terhajar. Anak
itu kesakitan tetapi dia tak mau mengerang. Dia hanya
terhuyung- huyung.
Dukkkk .... tiba2 komandan tadi yang sudah berdiri
tegak, terus loncat menghantam sehingga Ah Liong rubuh.
Hal 26-27 kosong
Habis berkata komandan itu terus hendak mulai
menyerang tetapi distop Ah Liong lagi, "Tunggu dulu. Kita
bicarakan dulu apa taruhannya?"
"Taruhan?"
"Ya, kalau aku kalah, aku bersedia menyerahkan diri,
terserah hendak engkau apakan."
"Kupenggal kepalamu!"
"Boleh, boleh, itu mudah diatur," kata Ah Liong
tersenyum, "tetapi bagaimana kalau engkau yang kalah?"
"Engkau boleh bebas!"
"Belum cukup kalau hanya begitu saja!"
"Lalu apa yang engkau kehendaki?"
"Kebebasan untuk kami bertiga. Aku, cici Lian Hoa dan
engkohku itu. Apa engkau berani meluluskan? Ah, tetapi
kalau tak berani. jangan engkau paksa dirimu, nanti engkau
menyesal sendiri."
"Mengapa tidak berani?" teriak Yemu yang menjadi
panas hatinya mendengar ejekan Ah Liong.
"Bagus, ternyata engkau juga seorang komandan yang
jantan. Tidak banyak jumlahnya orang Boan yang bersifat
jantan seperti engkau. Kebanyakan mereka peng . . . "
"Tutup mulutmu dan lekas siap menyambut
seranganku," seru komandan Yemu terus maju menerjang.
Ah Liong memang sengaja hendak menguras tenaga
komandan itu, disamping ia mempunyai harapan, mudahmudahan
dengan mengulur waktu sehingga pertempuran
berjalan lama itu, tenaga engkoh Hok-nya (Huru Hara)
dapat pulih.
Komandan Yemu memang gagah perkasa dalam medan
perang. Terutama kepandaiannya naik kuda dengan
permainan tombaknya, telah dapat membunuh entah
berapa ribu prajurit Beng. Tetapi dalam ilmusilat, dia
memang tidak begitu tinggi. Apalagi berhadapan dengan
Ah Liong yang memiliki dasar ilmu gin-kang (meringankan
tubuh) yang hebat. Benar dia kewalahan karena diajak
berputar-putar seperti gangsingan.
Yemu mendongkol sekali karena terus menerus harus
mengejarkan pukulan dan tendangan ke arah bayangan Ah
Liong yang memutarinya. Namun ia terpaksa harus
meladeni begitu karena kalau ia berhenti maka kepala atau
punggungnya tentu ditabok dari belakang oleh Ah Liong.
"Bajingan," teriak Yemu marah. Dia terus mencabut
tombak. Dengan tombak dapatlah lari setan cilik itu
dihalangi, pikirnya.
Rencananya itu memang benar tetapi tidak seluruhnya
mengenai sasaran yang dtinginkan. Karena terhalang oleh
gerakan tombak yang merintang jalan, Ah Liong juga
merobah cara permainannya. Dan tiba-tiba dia telah
mendapat akal. Begitu ditusuk dia loncat mundur. Ditusuk
lagi dia mundur clan terus main mundur saja setiap tusuk
tombak. Lama kelamaan, keduanya makin jauh dari tempat
semula dan beberapa saat kemudian lenyap dibalik
gerumbul pohon.
Kini yang tinggal di tempat itu hanya Lian Hoa, Huru
Hara dan Ko Cay Seng. Lian Hoa tak mempedulikan Ko
Cay Seng, ia menghampiri Huru Hara.
"Hohan, bagaimana keadaanmu ?" tanyanya. "Sudah
lumayan, tidak begitu lemas seperti tadi," kata Huru Hara.
"Hohan," kata Lian Hoa dengan berbisik "bukankah
setiap kali hohan diminumi obat oleh komandan ?"
Huru Hara mengangguk.
"Itulah obat bius yang menghilangkan tenaga."
"Ya, apakah engkau tahu obat penawarnya?
Lian Hoa gelengkan kepala menghela napas "Apabila
tahu, aku tentu akan berusaha untuk mengambilnya."
Tiba2 Huru Hara teringat bahwa ia mempunyai beberapa
butir buah som Cian-lian-hay-te-som. Buah Som yang
tumbuh di dasar laut dan berumur seribu tahun itu,
khasiatnya dapat menolak segala jenis racun.
Selama ditawan dalam gua, tenaga Huru Hara benar2
lemas sekali sehingga untuk menggerakkan tangan saja
rasanya tak mampu.
Cepat Huru Hara mendapat akal, "Nona, maukah
engkau membantu aku ?"
"Tentu hohan, katakanlah apa yang harus kulakukan,"
Lian Hoa gopoh menjawab.
"Dalam saku baju-dalamku, ada sebuah bungkusan dari
sutera ..... "
"0, apakah hohan suruh aku mengambilkan?"
"Ya, tetapi begini," kata Huru Hara, "jangan diambil
keluar nanti ketahuan orang she Ko itu. Cukup nona buka
bungkusan sutera itu didalam saku saja dan ambilkan dua
butir benda !yang se-besar jagung. Kemudian nona bungkus
lagi. Kedua butir jagung itu masukkan kedalam mulutku
..... "
Sejenak berdiam, Lian Hoa mengiakan. Ia merogohkan
kedua tangannya kedalam baju-dalam Huru Hara.
"Hai, mau apa itu !" tegur Ko Cay Seng ketika melihat
perbuatan Lian Hoa.
"Dia merasa iganya sakit, minta supaya kuurut," untung
Lian Hoa tidak gugup dan dapat memberi alasan.
Ko Cay Seng mendapat keterangan dari komandan
Yemu bahwa Lian Hoa itu seorang pelayan yang lemah,
tidak mengerti ilmu silat. Dengan dasar keterangan itu, Ko
Cay Sengpun tak curiga.
"Huh, engkau seorang gadis, apa tidak malu kalau
mengurut iga seorang lelaki?" Ko Cay Seng hanya memberi
sentilan.
"Aku kan hanya seorang pelayan yang sudah tak punya
harga lagi," balas Lian Hoa, “apalagi kongcu ini memang
sakit. Apakah aku sampai hati melihat orang kesakitan
tanpa memberi pertolongan?"
"Kata komandan Yemu, engkau seorang gadis yang
penurut, mengapa engkau pandai membantah?" kata Ko
Cay Seng seraya maju menghampiri.
"Aku tidak membantah tayjin," jawab Lian Hoa yang
tangannya sudah mulai menyentuh bungkusan sutera dalam
baju-dalam Huru Hara, kemudian ia mulai membukanya.
"aku hanya memberi pertolongan kepada orang yang
meminta tolong.'
"Menurut kata komandan, engkau seorang gadis yang
lemah dan tak panya pengetahuan apa- apa. Mengapa
engkau hendak mengurut? Apa kah engkau pandai
mengurut? 0, mungkin tadi malam komandan suruh engkau
mengurutnya, ya?” ejek Ko Cay Seng.
Merah muka Lan Hoa mendengar ucapan itu. Ia diam
saja dan mulai menjemput dua butir benda sebesar jagung
lalu membungkusnya lagi
"Baiklah," katanya seraya menarik keluar kedua
tangannya. Namun Ko Cay Seng yang tajam matanya dan
mengawasi akan gerak gerik Lian Hoa.
Dan Hoa segera tahu kalau tangan gadis itu
menggenggam. Tentu berisi sesuatu.
"Buka tanganmu !" cepat ia melesat kehadapan Lian Hoa
dan membentak.
Lian Hoa terkejut. Kalau ia menurut perintah, tentulah
akan ketahuan. Maka ia nekad, "Buka mulut, hohan ..... ,"
habis berkata dengan cepat Lian Hoa hendak memasukkan
som ke mulut Huru Hara.
"Ihhhhh," tetapi tiba2 ia menjerit kaget ketika bahunya
tertampar tangan orang dan otomatis tangannya tersentak
keatas, genggamnya terbuka dan berhamburanlah kedua
butir som itu ke tanah.
Ternyata Ko Cay Seng yang celi, tahu apa yang terjadi.
Lian Hoa bergerak cepat tetapi Ko Cay Seng lebih cepat
lagi. Sebelum Lian Hoa sempat memasukkan som kemulut
Huru Hara, Ko Cay Seng sudah mendahului menampar
bahu gadis itu..
Lian Hoa terkejut dan menyadari apa yang terjadi.
Merasa kalau perbuatannya sudah ketahuan, ia malah
nekad. Tadi waktu lolos dari gua tahanan, untuk menjaga
keselamatan, Lian Hoa mengambil pedang dari penjaga
gua. Sekarang ia mencabut pedang itu terus membacok Ko
Cay Seng dengan kalap.
"Ho, budak hina, engkau berani kurang ajar kepadaku,
"Ko Cay Seng mendamprat. Dengan hanya miringkan
tubuh, pedang Lian Boa meluncur ke belakang. Kalau Ko
Cay Seng mau, dia dapat menutuk jalan darah gadis itu,
Tetapi dia memang sengaja tak mau melukainya karena. ia
kuatir akan timbul salah faham dengan komandan Yemu.
Ia mencekal lengan Lian Hoa untuk merebut pedang.
Tetapi Lian Hoa nekad, digigitnya tangan Ko Cay Sang
sekeras-kerasnya . .
"Aduh . , ..." Ko Cay Sang kesakitan dan terpaksa
lepaskan cekalannya, "budak liar, kalau tak mengingat
Yemu, engkau tentu sudah kuhajar !"
Namun Lian Hoa tak peduli segala apa. Berbalik tubuh
dia terus menyerang lagi. Tetapi karena berhadapan dengan
seorang tokoh seperti Ko Cay Seng, sudah tentu Lian hoa
tak dapat berbuat apa2. Masih untung Ko Cay Seng tak
mau bertindak. Kalau mau, tentu gadis itu sudah menderita.
"Hai, berhenti !" tiba2 terdengar orang berteriak. Ko Cay
Seng berpaling. Yang muncul ada lah komandan Yemu.
Tetapi belum sempat Ko Cay Seng membuka mulut, ' tiba2
ia merasakan suatu sambaran angin tajam membelah
punggungnya. Cepat ia condongkan tubuh kesamping
untuk menghindar tapi tak urung bahunya terpapas sedikit.
Dan sebelum ia sempat berdiri tegak pedang Lian Hoa
sudah menabas lehernya lagi.
Jarak begitu dekat, hampir merapat. Dan Ko Cay Seng
dalam posisi, tubuhnya condong ke samping. Sukar baginya
untuk menghindar lagi. Dalan keadaan yang gawat itu,
terpaksa ia gunakan jurus yang berbahaya. Sekonyongkonyong
ia geIiatkan tangan kanan menghantam ke
belakang. Ihhhhh seketika tubuh Lian Hoa terhuyunghuyung
ke belakang sampai beberapa langkah dan terus
rubuh muntah darah dan menggeletak tak berkutik. Dada
gadis itu telah terkena pukulan jurus Tay-bong-hoam-sim
atau Ular-naga-membalik-badan dari Ko Cay Seng,
Pukulan yang dilancarkan dengan tenaga-dalam itu tepat
mangenai dada Lian Hoa. Tak ampun lagi gadis itu
terjungkal roboh.
"Ko tayjin, mengapa engkau membunuh dia!" tanpa
disadari karena melihat kekejaman Ko Cay Seng,
komandan Yemupun memberingas.
"Jangan salah faham, komandan," kata Ko Cay Seng,
"aku tak sengaja membunuhnya. Lihat punggungku ini. Dia
menabas dengan kalap dan tadipun kalau aku tak
menghantamnya, leherku pasti terbabat."
"Mengapa dia ngamuk ?"
"Bermula kulihat dia mengurut perut pemuda itu tetapi
ternyata dia mengambil sesuatu. kusuruh memperlihatkan
dia terus hendak memasukkan ke mulut si pemuda.
Terpaksa kutampar hingga benda itu jatuh. Tetapi pelayan
itu malah nekad menyerang aku dengan pedang. Aku tak
mau melukainya dan hanya menghindar saja. Waktu
komandan datang dan aku berpaling dia terus menabas aku
.
"Hm. apakah benda itu," kata Yemu.
Ko Cay Seng menghampiri ke tempat Huru Hara yang
masuk duduk bersila pejamkan mata.
Dia mencari kian kemari, tak melihat apa2.
"Mana benda itu ?" ulang Yemu.
"Tadi jatuh beraamburan disini mengapa sekarang hilang
?"
"Tidak mungkin !"
Ko Cay Seng terkesiap.
"Mengapa tayjin tega membunuh seorang pelayan yang
tak bersalah ?" tegur Yemu denga mata merah. Keras
dugaannya bahwa Ko Cay Sen memang hendak
mempunyai maksud tak baik terhadap Lian Hoa.
"Apa engkau tak percaya kepadaku ?" seru Ko Cay Seng.
"Aku mau percaya tetapi tak ada sesuatu yang dapat
kupercaya," sahut Yemu, "aku lebih percaya apa yang
kusaksikan tadi, bagaimana tayjin telah menghantam dada
seorang anak perempuan yang lemah.
"Komandan, apa maksudmu ?" Ko Cay Seng makin
kaget.
"Ko tayjin," seru Yemu dengan nada masih mengandung
kemarahan, "memang Lian Hoa itu bernasib malang.
Kemana saja ia berada tentu diganggu oleh orang lelaki.
Karena sering timbul perkelahian dan pembunuhan
diantara anakpasukan maka Lian Hoa pun kusuruh tinggal
di markas menjadi pelayanku. Eh, baru saja dia keluar
malam ini, dia sudah mendapat gangguan lagi...."
"Komandan harus meminta pertanggungan jawab
kepada pemuda itu," kata Ko Cay Seng.
"Bukan dia yang membunuh Lian Hoa "
"Hah. lalu siapa yang engkau maksudkan ?"
"Orang yang telah membunuh gadis itu !"
"Komandan Yemu, apa katamu ?" Ko Cay Seng terkejut.
"Orang yang membunuh jiwa Lian Hoa itu harus
membayar dengan jiwanya juga !"
"Engkau gila, komandan. apakah engkau maksudkan
aku ?"
"Tayjin mengakui atau tidak kalau tayjin yang
membunuh Lian Hoa."
"Ya, benar. Tetapi aku terpaksa untuk menyelamatkan
jiwaku."
"Seharusnya tayjin jangan hanya berpikir untuk
menyelamatkan jiwa tayjin sendiri, tetapi juga jiwa pelayan
yang tak berdosa. Begitu baru tepat."
"Ah, komandan, kan hanya jiwa seorang pelayan saja.
Nanti komandan tentu akan mendapat ganti yang lebih
muda dan lebih cantik lagi."
"Aku telah berjanji kepada Lian Hoa bahwa aku sanggup
melindungi jiwanya. Ternyata dia telah meninggal, apakah
aku harus ingkar janji?"
"Ya, tetapi itu terjadi karena tak kusengaja."
"Tidak! Sengaja atau tidak sengaja, tetapi aku harus
menetapi janjiku kepada Lian Hoa."
Ko Cay Seng makin kaget, "Komandan, mengapa
engkau tiba2 bersikap begitu kepadaku? Apakah engkau
lebih berat jiwa seorang pelayan daripada jiwaku?"
"Bangsa Boan selalu menepati janji. Walau pun dia
hanya seorang budak tetapi karena aku sudah berjanji maka
haruslah kutepati."
"Maksudmu?"
"Hutang jiwa bayar jiwa!" teriak Yemu.
Tiba2 Ko Cay Seng tertawa, '0, kutahu, sekarang aku
tahu mengapa sebabnya engkau begitu marah dan matimatian
hendak meminta pertanggungan jiwa kepadaku."
"Apa yang engkau ketahui?"
"Pelayan itu bukan pelayan biasa tetapi tentu pelayan
khusus bagimu. Buktinya engkau mau berjanji untuk
melindungi jiwanya. Tidakkah itu menunjukkan bahwa
antara engkau dan dia telah terjalin hubungan yang mesra
sekali?"
"Tutup mulutmu, anjing Han!" bentak Yemu seraya
mencabut tombak dan terus menyerang Ko Cay Seng
dengan kalap.
Memang Yemu pernah beristeri tetapi isterinya sudah
meninggal. Dalam diri Lian Hoa ia telah mendapatkan
seorang pengganti yang menyocoki hatinya. Walaupun
hanya sebagai gundik, tetapi dia benar2 jatuh hati kepada
Lian Hoa. Dan memang Lian Hoa berparas cantik dan
berbudi lemah lembut.
Ko Cay Seng kewalahan. Dengan penjelasan apapun
ternyata Yemu tak mau menerima. Terpaksa dia melayani.
Ia tahu Yemu itu hanya pandai berperang di medan perang.
Tentang ilmusilat, jelas perwira Boan itu tidak berapa
tinggi.
Sambil melayani dengan menghindar, diam2 Ko Cay
Seng mempertimbangkan. Kalau mau nembunuh Yemu,
baginya adalah ibarat hanya membalikkan telapak
tangannya. Tetapi dengan pembunuhan itu, akibatnya tentu
besar. Kemungkinan dia akan mendapat teguran dari
Torgun dan sikap permusuhan dari kalangan perwira serta
prajurit Boan.
Namun apabila teringat bagaimana sikap Yemu yang
telah memakinya sebagai anjing Han panaslah hati Ko Cay
Seng. Ingin rasanya ia menghancurkan batok kepala
komandan itu.
“Hm, baiklah kuberi sedikit hajaran saja orang Boan itu
supaya kelak jangan berani menghina aku lagi," setelah
mempertimbangkan masak2 akhirnya Ko Cay Seng
mengambil keputusan.
Saat itu tampak Yemu meluncur mengarah lambung, Ko
Cay Seng miringkan tubuh dan dalam sebuah gerak yang
luar biasa cepatnya, ia berputar tubuh dan crek ia menutuk
jalandarah pada punggung orang. Seketika itu Yemu tegak
seperti patung.
"Bang . ," dia hendak berteriak tetapi cepat pula Ko Cay
Seng menutuk lehernya dan seketika Yemupun tak dapat
bersuara lagi.
"Hm, Yemu, engkau berani memaki aku sebagai anjing.
Baik, akan kulaporkan hal ini kepada tay-ciangkun Torgun.
Lihat saja bagaimana hukumanmu nanti," katanya kepada
Yemu yang tak dapat berkutik dan bicara.
"Engkau mengatakan bahwa seorang ksatria Boan itu
harus pegang janji. Tetapi engkau lupa bahwa seorang
ksatrya Boan itu tentu tak ada yang mau membela setengah
mati pada seorang pelayan walaupun engkau mencintainya
setengah mati. Kalau panglima Torgun mendengar hal ini,
hm, dimana engkau hendak menaruh mukamu .... ?"
Ko Cay Seng hendak menghampiri Huru Hara. Tetapi
tiba2 ia mendapat akal. "Hm, dengan siasat itu, tentu orang
akan percaya ..... "
Ia kembali menghampiri Yemu yang saat itu karena
tertutuk jalandarahnya, tak dapat berkutik seperti patung.
"Yemu. engkau berani memaki aku sebagai anjing Han.
Baiklah," kata Ko Cay Seng, "aku memang akan menjadi
anjing, bahkan anjing serigala yang akan membunuh
manusia Boan yang berani merampok tanah-airku . . . ." Ko
Cay Seng mencabut pedang Yemu dan terus menusuk dada
komandan pasukan Ceng itu.
Karena jalandarahnya tertutuk tak dapat bicara. Yemu
tak dapat menjerit kecuali sepasang matanya melotot keluar
seolah-olah hendak menelan Ko Cay Seng.
Setelah Yemu mati. Ko Cay Seng lalu menghampiri
Huru Hara, "Nah. sekarang giliranmu. Dengan begitu orang
tentu menyangka bahwa engkau dan Yemu bertempur matimatian
sampai kalian berdua sama2 mati, Ha. ha, ha, siapa
yang takkan percaya ?"
Ko Cay Seng tidak mau menggunakan pedang yang
habis dibuat membunuh Yemu tetapi berganti memakai
tombak Yemu. Dengan demikian biarlah memberi kesan
kalau Huru Hara mati kena tombak komandan itu.
"Nah, mengingat engkau seorang pemuda Han, aku tak
mau berlaku kejam. Kuberimu waktu lima menit untuk
mengucap doa agar arwahmu diterima di sisi Tuhan," kata
Ko Cay Seng.
Ko Cay Seng mengira segala rencananya tentu akan
berjalan lancar. Bukankah di hutan tiada orang lain kecuali
mereka bertiga? Yemu sudah mati, Lian Hoa sudah tewas
dan kini tinggal Huru Hara yang sudah tak dapat berkutik.
"Tetapi dimana anak kuncung itu?" tiba2 teringat akan
Ah Liong yang dikejar Yemu tadi. "ah, tak perlu
dihiraukan. Kalau dia masih hidup dan berani balik kemari,
tentu akan kubunuh sekali . . . . "
Setelah beristirahat beberapa jenak dan diperhitungkan
sudah antara lima menit lamanya, Ko Cay Seng berbangkit
dan menghampiri Huru Hara, "Nah, sudah lima menit,
sekarang bersiaplah untuk menempuh perjalanan ke akhirat
.
Ia menutup kata-katanya dengan ayunkan tombak yang
langsung ditujukan ke dada Huru Hara.
Tring .....
Tiba2 terdengar suara benturan yang melengking tajam
dan batang tombak Ko Cay Seng pun tergetar karena
terhantam sebuah batu.
"Kurang ajar!" serentak ia berpaling untuk melihat siapa
yang berani melontar batu ke arah batang tombaknya.
"Engkau .. . ! " serunya kejut2 geram. Yang muncul dan
melemparkan batu untuk menolak batang tombak Ko Cay
Seng, bukan lain adalah Ah Liong si jenderal kuncung.
Sebenarnya dia sudah gembira sekali karena dapat
memancing Yemu untuk mengejarnya kedalam hutan.
Rencananya, dia memang hendak mengulur waktu
sehingga Huru Hara dapat pulih tenaganya.
Tetapi ditengah jalan tiba2 ia heran karena tak melihat
Yemu. Kemanakah komandan itu. Dia terpaksa kembali
untuk mencarinya. Tetapi karena malam hari dan hutan
gelap, dia tersesat. Sampai lama sekali baru berhasil keluar
dari hutan terus menuju ke tempat Huru Hara.
Apa yang disaksikan di tempat itu, benar2 membuatnya
terkejut sekali. Ko Cay Seng tengah ayunkan tombak ke
dada Huru Hara. Celaka kalau tak diccgah, Huru Hara pasti
binasa. Namun untuk mencapai tempat Ko Cay Seng, jelas
tak keburu waktunya.
Satu-satunya jalan ialah memungut batu dan
dilemparkan sekuat-kuatnya ke arah senjata Ko Cay Seng.
Beruntung lontarannya itu dapat tepat mengenai ujung
tombak Ko Cay Seng sehingga tersiak ke samping. Dengan
begitu selamatlah jiwa Huru Hara.
"Hi, hi, hi . . . memang aku," sahut Ah Liong "mengapa
engkau hendak membunuh engkohku ? "Apa salahnya ?"
"Lihat, dia telah membunuh komandan Yemu, maka dia
harus kubunuh. Bahkan engkau juga harus mati, setan cilik
!"
Walaupun Ah Liong diam2 mengeluh namun ia tak mau
mengunjuk ketakutan. Ia mengeluh karena ternyata Huru
Hara masih belum pulih tenaganya. Iapun tahu siapa Ko
Cay Seng itu. Kalau bertempur dengan Ko Cay Seng, terus
terang, AhLiong mengaku kalah. Diam2 anak itu memutar
otak mencari akal bagaimana menghadapi orang she Ko itu.
"Ya, kalau memang harus mati ditanganmu, akupun tak
dapat berbuat apa2," kata Ah Liong "hanya aku heran
melihat engkau ini."
"Apa yang engkau herankan ?"
"Engkau seorang Han, mengapa engkau membantu
orang Boan untuk merebut kerajaan Beng.”
"Engkau anak kecil, mana tahu urusan negara."
"Tetapi aku pernah mendengar orang barkata bahwa
orang yang membantu musuh untuk musuhi bangsanya itu
disebut penghianat. Besok kalau mati akan dilempar
kedalam neraka, dimasukan dalam kuali minyak yang
mendidih. Apa engkau tidak takut ?"
"Hus, jangan ngoceh tak keruan,” bentak Ko Cay Seng,
"aku tidak memusuhi bangsaku sebaliknya malah
menyelamatkan mereka."
"Menyelamatkan ?" teriak Ah Liong, "ah, rasanya tak
seorangpun bangsa Han, termasuk aku sendiri, yang merasa
engkau selamatkan. Malah aku merasa engkau celakakan."
"Aku mencelakakan engkau apa ?"
"Bukankah engkau hendak membunuh aku?"
"Tentu," seru Ko Cay Seng, "lekas engkau bcrsiap untuk
menyertai engkohmu menghadap raja Akhirat."
"Baik, kalau ditanya raja Akhirat, aku harus bilang apa ?"
seru Ah Liong.
"Bilang kalau di dunia orang2 seperti kalian itu tiada
gunanya, hanya mengotori dunia saja."
"Baik," kata An Liong, "nanti aku juga akan bilang
supaya di dunia ini diisi saja dengan manusia2 penghianat
seperti engkau!"
"Jahanam !" teriak Ko Cay Seng lalu maju menutuk dada
Ah Liong. Ia gemas juga kepada anak yang bengal itu.
Ah Liong tahu bahwa Ko Cay Seng itu lihay sekali ilmu
tutuknya. Dia teringat pada anak buahnya. Anak2 itu
mempunyai senjata ampuh yaitu tawon dan semut. Sayang
anak pasukannya tak ikut. Kalau mereka ada, tentulah Ko
Cay Seng kelabakan.
Pada waktu melancarkan serangan yang gencar, Ah
Liong kelabakan. ,,Betapa tidak. Ko Cay Seng memiliki
ilmu tutuk yang sekaligus dapat menutuk enam buah
jalandarah lawan. Memang Ah Liong hanya mampu loncat
ke samping atau ke belakang untuk menghindar. Ia
mengandalkan ilmu meringankan tubuh atau ginkang.
Tetapi berhadapan dengan Ko Cay Seng. benar2 anaK itu
tak dapat banyak bertingkah. Sebagai seorang ahli tutuk
jalandarah, tentu memiliki tenaga- dalam yang tinggi. Dan
orang yang memiliki tenaga-dalam dengan sendirinya juga
hebat gin-kangnya. Ah Liong memang mati kutu.
Dalam suatu serangan gencar yang dilancarkan Ko Cay
Seng, Ah Liong terpojok. Dia nekat untuk mengadu jiwa.
Sambil menghantam, Ah Liong hendak benturkan
kepalanya ke dada Ko Cay Seng, dek . . . . .
Memang benturan itu tepat mengenai perut Ko Cey
Seng. Tetapi bukan Ko Cay Seng yang rubuh melainkan Ah
Liong yang terlekat. Kepala An Liong menempel lekat2
pada perut Ko Cay Seng. Jelas Ko Cay Seng telah
menggunakan tenaga-dalam sedot untuk menyedot kepala
Ah Liong. Dan setelah menyedot, sekali ayunkan tangan,
dengan mudah Ko Cay Seng akan dapat menghantam
remuk kepala anak itu.
Ko Cay Seng memang gemas kepada Ah-Liong. Segera
ia mengangkat tangannya dan dihantamkan ke kepala Ah
Liong, uhhhh .....
Belum sempat tinju diayun turun, tiba2 rasakan bahunya
disentak ke belakang oleh sebuah tangan yang keras hingga
dia terpental beberapa langkah.
Memang. pada saat ia mengangkat tinju, tenaga-dalam
disalurkan ke lengan hingga sedotan pada kepala Ah Liong
berkurang. Dan ketika ia merasa bahunya dicengkeram
orang, cepat2 ia kembalikan tenaga-dalam untuk menolak.
Tetapi alangkah kagetnya ketika tenaga untuk menolak itu
dipancarkan kembali oleh tangan orang yang mengusai
bahunya. Dengan begitu ia rasakan tenaganya lunglai dan
mudah disentak ke belakang.
"Engkau .... !" Ko Cay Seng berteriak kaget ketika
melihat yang menyentaknya itu tak lain adalah Huru Hara.
"Ya memang aku," sahut Huru Hara, "kalau mau
menghancurkan tulang pi-peh-kutmu, engkau tentu jadi
orang cacat. Tetapi aku sengaja tak mau berlaku curang dan
memberi kesempatan kepadamu untuk, bertempur membela
diri. Hayo, lekaslah engkau bersiap menghadapi aku!"
Ko Cay Seng masih terlongong heran.
"Heran ?" seru Huru Hara, baik, akan kuberi tahu
kepadamu. Pil yang berhamburan jatuh tadi berhasil kujilat
dari tanah dan kutelan maka engkau dan Yemu tak dapat
menemukan pil itu.”
"0." desuh Ko Cay Seng.
"Dan engkau yang membanggakan diri sebagai kaki
tangan nomor satu dari Torgun, ternyata dapat dikelabuhi
oleh seorang anak kecil yang menjadi adikku itu."
"Mana mungkin !" seru Ko Cay Seng.
"Anak itu telah mempedayakan komandan Yemu lalu
dengan engkau dia mengajak bicara sampai begitu lama,
apa maksudnya ?"
"Mengulur waktu ?" seru Ko Cay Seng.
”Ya”
"Supaya engkau pulih tenagamu ?"
"Benar."
"Ya, kutahu ... .”
"Sekarang sudah terlambat," seru Huru Hara
"rencanamu untuk menghapus jejak setelah membunuh
komandan Boan itu, tak dapat engkau laksanakan. Yang
mati hanya komandan Boan itu.
Ko Cay Seng seorang ko-jiu (jago sakti) kelas satu.
Bagaimanapun juga ia harus pegang gengsi. Dia tak mau
mengunjuk ketakutan berhadapan dengan Huru Hara.
"Siapa bilang tidak bisa ? Sebentar lagi engkau tentu akan
mampus juga !"
"Jangan hanyak bicara, pakailah senjatamu” seru Huru
Hara.
Ko Cay Seng menyadari bahwa berhadapan dengan
Huru Hara, dia memang harus memakai sepasang thiat-pit
(pit besi) baru dapat menundukan. Tanpa sungkan lagi. dia
segera mencabut sepasang thiat-pitnya.
Huru Hara menjemput pedang yang dipakai Lian Hoa
tadi.
"Aku hendak menggunakan pedang nona itu untuk
menuntut balas atas keganasanmu membunuhnya!" 'seru.
Huru Hara.
"Boleh, boleh, memang kelas dari semacam engkau
hanya sampai pada tingkatan gadis pelayan saja," ejek Ko
Cay Seng.
"Pelayan adalah suatu pekerjaan," sahut Huru Hara,
"tetapi jelas dia bukan berasal dari keluarga pelayan
melainkan dari orang baik2. Karena keganasan pasukan
Boan, dia sampai kehilangan orangtua dan rumah.
Terpaksa mau menjadi pelayan."
"Tetapi walaupun seorang pelayan, aku lebih
menghormatinya daripada engkau, manusia penghianat
yang menghianati rakyatmu sendiri!" Huru Hara
melanjutkan dampratannya.
"Bangsat, engkau berani menghina aku!" Ko Cay Seng
taburkan sepasang pit dalam suatu lingkaran sinar yang
kemudian berobah menjadi semacam kembang api yang
mencurah ke arah Huru Hara.
Huru Hara juga memainkan pedangnya yang diputarputar
deras sekali sehingga timbullah sebuah lingkaran sinar
putih yang membungkus diriya, tring, tring, tring .....
Terdengar dering melengking ketika ujung thiat-pit
disambut oleh pedang. Diam2 Ko Cay Seng terkejut.
Boan-thian-hong-cu atau Hujan-prahara-mencurah dari
langit, adalah nama jurus permainan thiat-pit yang
dilancarkan Ko Cay Seng. Huru Hara dilanda curah ujung
pit yang segencar hujan deras.
Huru Hara menyadari bahwa apabila dia ngadu
kekerasan, jelas pedangnya akan menderita. Thiat-pit lawan
itu terbuat dari baja murni yang luar biasa kerasnya. Tadi
selintas ia melihat bahwa mata pedangnya telah gempil
beberapa bagian.
Huru Hara menggunakan siasat untuk berloncatan kian
kemari, kadang lari mengitari lawan. Dia menggunakan
tata-langkah Jit-seng-pok atau Tujuh-bintang-berpindahtempat.
"Mati lu!" tiba2 Ko Cay Seng membentak keras ketika
ujung pit menusuk leher Huru Hara.
Huru Hara masih dapat miringkan kepala sehingga
hanya kain kepalanya yang berlubang. Tetapi dengan
serempak dia dapat menabas bahu Ko Cay Seng, cret . . . .
Darah segera mengalir membasahi lengan bahu
sasterawan itu. Ko Cay Seng terhuyung-huyu mundur.
Huru Hara terus hendak menerjang lagi. Dia hendak
menghabisi jiwa manusia yang berhianat itu.
Tetapi pada saat dia hendak ayunkan tubuh tiba2
terdengarlah derap kaki orang berlari gemuruh menuju ke
tempat itu. Pada lain saat, muncullah berpuluh-puluh
prajurit Ceng.
"Bunuh bangsat itu," serentak Ko Cay Seng berteriak
seraya menuding Huru Hara.
Berpuluh-puluh pasukan Ceng itu segera menyerang
Huru Hara. Huru Hara marah. Dia meagamuk hebat
sehingga prajurit2 Ceng itu ngeri dan mundur.
Ternyata mereka adalah pasukan komandan Yemu yang
hendak mencari komandannya. Seluruh markas gempar
mendengar berita tentang pembunuhan penjaga gua dan
lolosnya tawanan. Mereka segera memencar diri untuk
mencari komandannya. Dan prajurit2 yang muncul itu,
kebetulan yang pertama-tama menemukan jejak komandan
Yemu.
Huru Hara hendak mengamuk untuk memblasmi
prajurit2 Ceng itu tetapi lapat2 dia mendengar dari beberapa
penjuru seperti terdengar derap orang menghampiri. Ia duga
tentulah anak pasukan musuh yang datang.
Sebenarnya Huru Hara tak memikirkan keselamatan diri
tetapi dia teringat akan Ah Liong yang masih terluka itu.
Kalau mereka juga menyerang Ah Liong, anak itu tentu
celaka.
Akhirnya ia memutuskan untuk membawa Ah Liong lari
tinggalkan tempat itu. Iapun teringat akan keadaan kota
Yang- ciu.
Selekas memanggul Ah Liong, dia terus loncat dan
menghilang dalam hutan. Ko Cay Seng suruh anak pasukan
melakukan pengejaran. Sementara dia memerintahkan agar
mayat Yemu dibawa ke markas.
Tak seorangpun prajurit maupun perwira dalam pasukan
Ceng yang tak percaya akan keterangan Ko Cay Seng
bahwa Yemu mati karena dibunuh Huru Hara. Tak ada
yang memiliki kecurigaan terhadap Ko Cay Seng. Masa Ko
Cay Seng akan membunuh Yemu sendiri, pikir mereka.
Diam2 Ko Cay Seng memang gemas sekali mengalami
peristiwa itu. Serentak ia hendak menggunakan peristiwa
kematian Yemu itu untuk membakar kemarahan pasukan
Ceng yang berada di luar kota Yang- ciu, untuk menyerang
Yang- ciu.
Dengan kekuasaan dan kepandaiannya bicara, Ko Cay
Seng berhasil menimbulkan kemarahan seluruh anak
pasukan Ceng. Besok pagi akan dilakukan serangan besarbesaran
untuk menghancurkan kota Yang-ciu.
Sementara Huru Hara yang memanggul Ah Liong
akhirnya berhasil masuk kedalam Yang-ciu dan menghadap
Su Go Hwat.
"Ah, Su tayjin belum pulang, masih berada di Kim-long,"
kata seorang perwira.
"Lalu siapakah yang diserahi tugas untuk
mempertahankan kota ini?" tanya Huru Hata. "Bok Lim
ciangkun."
Huru Hara teringat. Memang dia pernah mengusulkan
kepada Su Go Hwat agar Bok Lim. Wakil dari jenderal Ko
Kiat, diberi tugas untuk memimpin pasukan pertahanan
kota Yang-ciu. karena ia melihat, sejak Su Go Hwat
menaruh kepercayaan penuh kepadanya, sikap Bok Lim
lalu berobah. Dia kuatir Bok Lim akan berbalik berpaling
pada musuh.
Setelah mendapat keterangan, Huru Hara membawa Ah
Liong ke asrama tempat tinggalnya. Ia memberi anak itu
sebutir som. Setelah itu ia lalu mencari Bok Lim.
“O. Loan-heng sudah datang," sambut Bok Lim
bagaimana kabarnya ?"
Dengan panjang lebar Huru Hara menuturkan semua
pengalaman yang dideritanya selama mengikuti Su Hong
Liang berada di markas besar pimpinan balatentara Ceng.
"Ah, masakan Su Hong. Liang kongcu bakerja pada
musuh ?" Bok Lim terkejut.
"Memang hal itu sukar dipercaya, tetapi apa yang kulihat
sendiri adalah suatu kenyataan," jawab Huru Hara,
"bagaimana menurut pendapat ciangkun Perlukah hal itu
kulaporkan kepada Su tayjin ?"
"Lebih baik jangan dulu," kata Bok Lim pertama,
kemungkinan besar Su tayjin takkan percaya. Dan bahkan
malah akan menambah rasa kejut Su tayjin. Beliau tentu
merasa malu dan sedih…..”
Huru Hara menganggap alasan itu memang tepat.
Kemudian ia bertanya tentang tindakan Bok Lim, sampai
berapa jauhkah persiapan untuk mempertahankan kota
Yatig-ciu dari serbuan musuh.
"Soal itu," kata Bok Liam yang mendadak berganti nada
angkuh. "sudah kuatur beres."
"Syukurlah," kata Huru Hara tak mengacuhkan sikap
orang, "karena kurasa, dengan melihat persiapan2 musuh,
apabila melakukan serangan tentu dengan cara besarbesaran.
Apalagi panglima Torgun tentu menganggap kalau
Su tayjin menolak tawarannya.
Kemudia, Huru Hara menyatakan bahwa apabila sampai
besok pagi, Su tayjin belum kembali dia hendak menyusul
ke Kim-leng untuk menyampaikan berita dari panglima
Torgun itu.
Setelah menghadap Bok Lim di markas, Huru Hara lalu
kembali ke asramanya untuk menjenguk keadaan Ah
Liong. Ternyata disitu sudah hadir beberapa anak2. Mereka
adalah anakbuah Ah Liong. Mereka mengatakan karena
mendengar jenderal Kuncung pulang, mereka segera
berbondong-bondong menjenguk.
Ah Liong sendiri sudah sembuh. Tetapi tampak
wajahnya mengerut tegang. Begitu melihat kedatangan
Huru Hara, Ah Liong terus berkata: “Engkoh Hok . eh,
jenderal besar . .. ce ka .ka . .!"
"Mengapa ?" Huru Hara heran.
"Bok Lim ciangkun, komandan pasukan pertahanan kota
ini telah melarang barisan Bon-bin!"
Huru Hara tertegun. Ia lupa apa yang dimaksudkan
barisan Bon-bin itu, "Apa itu barisan Bon bin ?"
"Ai, mengapa engkoh Hok lupa. Barisan Bon-bin kan
barisan anak2 yang menjadi anakbuahku itu."
"Mengapa dinamakan Bon-bin ?"
"Bon-bin artinya Kebun Binatang. Karena mereka semua
memakai senjata rahasia dari berbagai binatang."
"Mengapa Bok Lim melarang barisan itu ?" tanya Huru
Hara.
"Itulah yang aneh," kata Ah Liong, "juga peronda
dikurangi jumlahnya .. . ."
"Hai, gila !" teriak Huru Hara, "kota ini dikepung musuh.
Setiap saat musuh akan menyerang. Mengapa tidak
diadakan ronda ?"
"Ya," dengus Ah Liong, "menurut keterangan anakbuah
kita, memang sikap dan tindakan komandan Bok Lim itu
mencurigakan dan aneh sekali.”
"Bagaimana ?"
"Bukannya bertindak keras untuk memerintahkan
prajurit2 berjaga-jaga tetapi sebaliknya. Sejak Su tayjin
pergi, dia malah sering bikin pesta Katanya untuk
menyegarkan semangat anak prajurit agar jangan menjadi
loyo karena terus menerus tegang saja."
"Hm, memang aneh dan mencurigakan sekali," kata
Huru Hara dan serentak dia teringat akan sikap dan nada
bicara Bok Lim ketika ia menanyaka,n tentang persiapan
penjagaan kota Yang- ciu tadi.
"Lalu bagaimana tindakan kita, engkoh, eh jenderal ?"
tanya Ah Liong. Tiap kali teringat kalau sedang berhadapan
dengan anakbuah barisan Bon-bin, Ah Liong terus berganti
sebutan memanggil jenderal kepada Huru Hara.
"Kita harus waspada pada malam ini. Kemungkinan
dengan kematian Yemu itu, mereka menuduh tentu aku
yang membunuh. Olen karena itu "mereka tentu akan
marah dan kemungkinan besar malam ini akan melakukan
serangan besar-besaran,"
"Jenderal," seru Ah Liong, "apakah engkau mengidinkan
anak pasukan kami untuk bergerak melakukan penjagaan
pada malam nanti ?"
"Baik," sahut Huru Hara, "tetapi lakukanlah secara
diam2 saja agar jangan menimbulkan salah faham dengan
Bok Lim."
"Demi kepentingan rakyat, mengapa kita harus takut
kepada Bok Lim?"
"Bukan takut kepadanya, Ah Liong," kata Huru Hara,
"tetapi setiap perselisihan dalamkota, hanya akan
melemahkan kekuatan kita saja."
"Tetapi kalau dia bertindak nyeleweng ?" tanya Ah
Liong.
"Basmi sampai tuntas !" kata Huru Hara dengan nada
tegas.
Ah Liong mengiakan. Dia lalu berunding dengan
anakbuah pasukannya. Sementara hari itu Huru Hara
sengaja berkeliling kota untuk melihat persiapan yang
dilakukan Bok Lim untuk menjaga kota Yang-ciu.
Ditihatnya para prajurit yang bertugas menjaga pintu
kota, tampak bersemangat dan sehat. Mereka mengatakan
bahwa tiap hari mereka mendapat makanan nasi dan
minum arak.
Huru Hara terkejut. Dari mana Bok Lim memperoleh
rangsum ? Pada hal ransum sudah menipis dan tiap
penduduk harus dijatah. Jatahnya hanya tiba cukup untuk
dibubur. Tetapi mengapa para prajurit mendapat makanan
nasi dan arak ?
Huru Hara menyelidiki ke pengurus bagian ransum.
Ternyata mendapat keterangan bahwa mereka tidak
menerima penambahan ransum lagi.
"Lalu bagaimana keadaan ransum sampai hari ini ?"
tanya Huru Hara,
"Makin menipis," sahut orang itu, "anehnya Bok
ciangkun tidak pernah memberi perintah untuk mengurangi
jatah ransum yang diberikan kepada penduduk dan prajurit.
Huru Hara menemui petugas yang membagikan ransum.
Berkata petugas itu, "Memang neh." katanya, "Bok
ciangkun memerintahkan supaya jatah beras untuk
penduduk dikurangi separoh dan diberikan kepada
prajurit."
"0," Huru Hara terkejut, "apakah rakyat tidak marah?"
"Siapa yang berani marah?" kata petugas "bermula
memang ada beberapa penduduk yang ngamuk dan
memprotes ke kantor Bok ciang tetapi mereka malah
ditangkap dan dihukum, tiga orang mendapat 50 kali
cambukan."
Huru Hara makin gelisah mendengar keterangan2 yang
dikumpulkan itu. Apa maksud Bok Lim berbuat begitu? Dia
hanya memperhatikan kepentingan prajurit tetapi menindas
rakyat.
"Hm, dalam peperangan ini, tidak hanya prajurit saja
tetapi seluruh rakyat Yang-ciu ikut serta mempertahankan
kota. Tidak adil kalau rakyat dibedakan begitu," pikirnya.
Malam itu memang tiada kejadian suatu apa dan Huru
Harapun sudah siap akan menyusul Su tayjin ke Kim-leng.
Tetapi pada waktu ia hendak berangkat, tiba-tiba ia
mendengar suara gemuruh dari empat penjuru. Serentak ia
lari keluar. Dilihatnya prajurit-prajurit berserabutan lari
menuju ke tembok Ternyata pasukan Ceng melakukan
serangan.
Huru Hara heran mengapa prajurit2 Ceng sempat naik
keatas tembok kota. -Pada hal dulu, jangankan memanjat
tembok kota, sedang untuk mendekati kota saja sudah sukar
karena prajurit dan rakyat Yang-ciu selalu siap menjaga
diatas tembok kota. Setiap kali prajurit musuh maju, tentu
disambut dengan hujan anakpanah.
Huru Hara lari menuju ke pintu utara. Karena disitu
merupakan pos penting. Kalau pintu utara jebol, tentulah
musuh dapat menyerbu masuk kota.
Apa yang diduganya memang benar. Disitu telah
berlangsung pertempuran yang dahsyat. Ia heran mengapa
pintu sampai terbuka.
Tiba2 pandangannya tertumbuk pada seorang perwira
Beng yang tengah naik kuda merah. itulah Bok Lim,
komandan pertahanan kota Yang-ciu. Huru Hara cepat lari
menghampiri.
"Bok ciangkun, siapa yang suruh membuka pintu kota?"
seru Huru Hara.
"Aku!"
"Mengapa?"
"Aku memang hendak memancing mereka masuk kota,
baru nanti kita hancurkan," kata Lim.
Huru Hara terkejut tetapi ia anggap siasat itu baik juga.
Namun ia heran mengapa dalam kota tak terdapat
persiapan2 untuk menyergap musuh yang dipancing masuk
itu.
"Buka pintu dan mundur tanpa menghiraukan Huru
Hara, Bok Lim terus berseru memberi perintah.
Prajurit yang menahan musuh di pintu kota segera
menurut perintah. Mereka berbondong-bondong mundur.
Bagaikan gelombang mendampar ke pantai,
berhamburan'pasukan musuh menerjang kedalam kota.
Huru Hara menyelinap diantara kekacau itu. Dia
berusaha untuk mendekati pintu kota.
Ternyata Bok Lim memang mengatur rencana seperti
apa yang dikatakan kepada Huru Hara. Setelah sejumlah
besar musuh masuk ke dalam kota, dari empat penjuru
muncullah pasukan Beng untuk menyerang mereka.
Tetapi ada suatu hal aneh yang dilihat dirasakan Huru
Hara. Pertama, jumlah pasukan Beng yang menyerang itu
tidak banyak. hanya terdiri dari dua tiga puluh prajurit.
Kedua, ketiga puluh prajurit itu kebanyakan prajurit2 yang
setengah tua. Sudah tentu mereka cepat dapat dibasmi
pasukan musuh yang menyerang dengan beringas.
Sudah tentu pasukan Beng itu terdesak mundur. Melihat
itu timbullah kecurigaan Huru Hara. aneh sekali Bok Lim
ini, pikirnya.
Saat itu rakyatpun beramai-ramai keluar melambur
pasukan Ceng. Tetapi mereka hanya berdiam dalam
beberapa waktu saja. memang semangat rakyat hebat sekali
namun banyaklah korban yang berjatuhan menjadi korban
keganasan prajuit2 Ceng itu.
"Terlalu aku tak dapat membiarkan mereka menderita
lebih banyak," akhirnya Huru Huru mengambil keputusan.
Dia tak mau memberi ampun kepada musuh. Dia pun
tak mau memperpanjang pertempuran menjadi berkelarutan
lama. Serentak ia mencabut pedang Thiat-cek-kiam (pedang
magnit), terus lari menerjang musuh.
Seketika gemparlah pasukan Ceng itu. Mereka terdiri
dari seratusan prajurit. Mereka berusaha untuk melawan
amukan Huru Hara. Tetapi mereka heran mengapa senjata
mereka selalu terbetot oleh pedang pemuda itu. Dan setiap
ada prajurit Ceng yang menjorok kemuka, tentu segera
disambut dengan teadangan atau pun tinju Huru Hara.
Pasukan Ceng itu kacau. Tiba2 mereka menjerit
kesakitan dan berjingkrak-jingkrak seperti orang gila. Dan
serempak muncullah anak2 yang menghujani mereka
dengan pentung dan pecut.
Huru Hara gembira. Dilihatnya yang mimpin kawanan
anak2 itu adalah Ah Liong. Pasukan anak2 yang disebut
pasukan Bon-bin itu telah menabur prajurit2 Ceng dengan
semut dan tawon. Itulah sebabnya prajurit2 Ceng
berjingkrak-jingkrak seperti orang kerangsukan setan. Dan
dengan mudah anak2 itupun mengerjai mereka dengan
pentungan, gebukan dan pecutan.
Melihat itu rakyatpun bersemangat untuk membantu.
Tak lama seratus prajurit Ceng itu dapat diringkus. Ada
yang menggeletak berlumur darah, ada yang kelabakan
karena tak kuat menahan gigitan semut yang merayap
masuk kedalam baju, ada yang minta ampun karena dihajar
dengan pecut o!eh anak2
"Ah Liong, ringkus mereka, aku hendak menutup pintu,"
seru Huru Hara seraya hendak lesat pergi.
"Tak perlu engkoh repot2, pintu sudah ku tutup," seru
Ah Liong.
"Engkau?"
"Ya, aku dan anak pasukan menyambut musuh yang
hendak menerobos masuk. Setelah dapat menghalau
mereka, pintu lalu kututup. Tetapi aneh, engkoh Hok .. . "
"Aneh bagaimana?"
"Prajurit2 yang jaga pintu kota itu menghalangi kami
untuk menutup pintu. Kata mereka Bok ciangkun yang
suruh membuka pintu Itu. Tanpa perintah Bok ciangkun,
mereka tak berani menutup pintu lagi."
"Gila!. Dan engkau menurut?"
"Tidak sudi, engkoh Hok," seru Ah Liong, kan celaka
kalau membiarkan musuh terus masuk kedalam-kota. Kita
tutup pintu kota, lalu kita hancurkan musuh yang sudah
masuk kedalam kota ini."
"Bagus, Ah Liong, engkau memang anak pintar," Huru
Hara metnuji, "lalu bagaimana musuh yang berada diluar
tembok kota itu?"
"Kuajak encik2, empeh2 membantu pekerjaan prajurit
kita yang menjaga diatas tembok untuk menghalau setiap
prajurit musuh yang hendak memanjat tembok kota."
"Lho, apakah prajurit2 musuh itu tidak menggunakan
panah?"
"Ya, dong, mereka menghujani panah kepada pasukan
kita yang menjaga tembok kota. Tepi mereka tetap tak
mampu memanjat naik."
"Hebat," seru Huru Hara, "dengan senjata apa rakyat dan
prajurit kita dapat menghalau musuh?"
"Mudah, sederhana dan berhasil," kata Ah Liong sambil
busungkan dada.
"Apa saja?"
"Air panas dan ..”
"Dan apa ?" tanya Huru Hata.
"Karena memasak air sampai mendidih itu memerlukan
waktu dan kayu bakar, padahal kita harus berhemat
menggunakan kayu bakar maka terpaksa .. . terpaksa . . .
ah, tetapi apakah engkau tidak marah atas perbuatanku ini,
engkoh Hok.
"Katakan saja, kalau memang untuk menyelamatkan
rakyat, aku tentu tak marah," kata Huru Hara.
”Beberapa hari ini, aku telah mengadakan rundingan
dengan anakbuah pasukan Bon-bin, bagaimana mencari
senjata yang murah, gampang dan dapat mengapokkan
musuh. Akhirnya ada. Anak2 itu setiap hari rajin
mengumpulkan kotoran . . orang. Mereka menganjurkan,
setiap penduduk kalau buang kotoran supaya ditempatkan
dalam kaleng. Nah, dengan kaleng2 berisi kotor itu, kami
lontarkan kepada musuh yang hendak memanjat tembok
kota. Hasilnya, mereka lari terbirit- birit ......”
Huru Hara melongo.
-oo0dw0ooJILID
42
Kutu busuk
Memang apa yang dilakukan Ah Liong dan kawankawannya
itu kurang senonoh. Masakan kotoran orang, air
panas, semut, tawon, digunakan dalam peperangan.
Tetapi peperangan itu sendiri memang sudah merupakan
gelanggang pertarungan nyawa. Orang tak menghiraukan
nyawa dan membunuh lawan
Perang itu kejam !
Tetapi perang itu ada dua. perang untuk menjajah lain
negara dan perang untuk membela negara. Sifat perang
tergantung dari tujuannya. Kejam atau tidak, pun
tergantung dari sifat perang itu.
Akhirnya Huru Hara dapat menerima apa yang
dilakukan Ah Liong. Yang penting Ah Liong dan pasukan
anak2 itu telah dapat menyelamatkan rakyat Yang-ciu,
dapat memukul mundur musuh yang hendak menyerbu
masuk kedalam kota. Cara apapun, tidak menjadi soal.
Maklum mereka adalah anak2 yang bengal, Mereka
menggunakan cara manurut alam pikiran mereka.
"Baik, Ah Liong, ajak kawan-kawanmu untuk
memperkuat penjagaan. Siapa tahu mereka akan menyerbu
lagi," kata Huru Hara.
Kemudian dia sendiri lalu mencari Bok Lim. Ia hendak
meminta pertanggungan jawab kepada pimpinan pasukan
pertahanan kota Yan-ciu itu.
Dia menemukan Bok Lim berada dalam markas.
Langsung Huru Hara bertanya, "Bok ciangkun, kemana
saja engkau tadi waktu pasukan musuh menyerbu kedalam
kota ?"
"Aku bergegas ke markas untuk memberi perintah
kepada kelompok2 pasukan kita supaya keluar
menghancurkan musuh," sahut Bok Lim.
"Memberi perintah ?" ulang Huru Hara.
"Ya, kenapa ?"
"Baru ciangkun memberi perintah setelah musuh sudah
menyerbu masuk ?"
"Apakah harus dibiarkan saja musuh itu ?” balas Bok
Lim dengan nada mengejek.
"Pertanyaan itu ciangkun sendiri yang harus menjawab
dan memang justeru aku hendak meminta jawaban
ciangkun tentang pertanyaan itu," kata Huru Hara dengan
tajam.
"Apa maksudmu ?"
"Mengapa ciangkun membiarkan saja musuh masuk
kedalam kota dan menimbulkan kerugian kepada prajurit
dan rakyat kita ?"
"Apa katamu ?" teriak Bok Lim.
"Ciangkun mengatakan kalau sudah mempersiapkan
segala sesuatu untuk melaksanakan siasat ciangkun
‘memancing musuh masuk kedalam sarang.’ Tetapi waktu
musuh sudah masuk, ciangkun berada di markas dan baru
hendak memanggil pasukan untuk menyergap mereka. Jelas
dengan begitu ciangkun belum punya persiapan apa2 atau
memang tidak siap !"
Merah muka Bok Lim mendengar kata2 itu.
"Aku adalah pimpinan pasukan Yang-ciu. Akulah yang
berkuasa untuk melakukan segala tindakan yang kuanggap
baik untuk keselamatan rakyat."
"Tetapi kenyataan berbicara lain . . . ."
"Huru Hara," sahut Bok Lim dengan keras, “saat ini
sedang dalam peperangan dimana hukum perang tetap
berlaku. Barangsiapa berani menentang pimpinan, akan
kujatuhi hukuman mati."
"Baiklah," kata Huru Hara terus melangkah keluar. Dia
terpaksa harus menekan kemarahannya. Ia tahu apabila ia
sampai tak dapat menahan emosinya, tentulah Bok Lim
sudah ia pelintir lehernya. Tetapi ia tak mau menimbulkan
kekacauan karena hanya menguntungkan lawan saja.
"Aku harus lekas menemui Su tayjin agar keadaan disini
lekas2 dapat diatasi. Kalau terlambat, kemungkinan akan
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan." pikirnya.
Tetapi diapun menimang. Kalau dia pergi, siapakah yang
akan mengawasi gerak gerik Bok Lim ? Tiba2 ia teringat
akan Ah Liong. Ya, hanya anak bengal itu rasanya yang
dapat ia serahi tugas untuk mengawasi Bok Lim.
Ketika ia menuju ke tembok kota, ia melihat berpuluh
orang sedang berkerumun di sebuah tanah kosong. Huru
Hara cepat menghampiri, ternyata orang2 itu sedang
melihat orang berkelahi. Dan yang berkelahi tak lain adalah
Ah Liong lawan beberapa prajurit Beng.
Huru Hara tak mau lekas2 campur tangan. Ia mendekati
seorang penduduk dan bertanya mengapa sampai terjadi
perkelahian itu.'
"Prajurit2 itu hendak menangkap engkoh kecil dan
kawan-kawannya. Engkoh kecil itu tak merasa bersalah dan
melawan. Ya, memang kami tahu engkoh kecil dan kawankawannya
itu tidak berbuat apa2. Malah merekalah yang
dapat mengusir musuh dari kota ini.”
Huru Hara langsung menghentikan mereka. "Mengapa
kalian hendak menangkap anak2 ini ?" tegurnya kepada
kawanan prajurit itu.
"Kami mendapat perintah dari Bok ciangkun supaya
menangkap anak2 ini."
"Gila !" bentak Huru Hara, "apa salah mereka ?"
"Menurut Bok ciangkun, pasukan anak2 itu telah
dilarang, mengapa sekarang berani muncul ?"
"Hm, Bok Lim semakin mencurigakan," dengus Huru
Hara, "baik, silakan menangkap kalau kalian mampu."
Prajurit2 itu melongo. Tetapi tiba2 mereka terkejut dan
cepat2 mendekap celananya.
Huru Hara melihat Ah Liong bergerak seperti setan,
melesat kian kemari di belakang kawanan prajurit itu dan
akhirnya berdiri di hadapan naeka, bercekak pinggang,
"Hayo, kalau kalian mampu, tangkaplah aku !"
Aneh, apabila tadi kawanan prajurit itu begitu garang,
sekarang mereka seperti orang dicekik setan. Wajah tegang.
tangan mendekap pinggang celana. Ada seorang prajurit
yang tak menghiraukan apa2. dia terus maju tetapi malah
mendapat hadiah tamparan oleh Ah Liong.
"Huh," kali ini prajurit itu tak berani melepaskan
celananya lagi. Kalau tadi hanya tali celana-dalamnya yang
putus, sekarang celana seragamnya yang putus talinya.
Prajurit itu tak dapat bertingkah lagi, karena takut akan
ditempeleng Ah Liong, dia terus lari. Kawan-kawannya pun
mengikuti. Mereka tak peduli akan tertawa orang2 yang
menyaksikan bagaimana sambil berlari mereka masih
memegang pinggang celana yang putus talinya.
"Bagus, Ah Liong," seru Huru Hara, "bukankah karena
mereka itu prajurit kita sendiri maka engkau tak mau
melukai mereka ?"
"Ya," Ah Liong mengangguk.
"Ah Liong," kata Huru Hara, "Bok Lim kain jelas
mencurigakan. Aku harus lekas2 menemui Su tayjin ke
Kimleng. Selama aku pergi, kau kutugaskan untuk
mengamat amati sepak terjang Bok Lim. Bertindaklah yang
bijaksana. Jangan sampai engkau dan kawan2mu ditangkap
mereka. Tetapi apabila mereka sampai melakukan tindakan
yang berhianat, jangan sungkan lagi, tumpaslah mereka !
Segala resiko akulah yang tanggung !"
"Baik, engkoh Hok," sahut Ah Liong.
Huru Hara terus berangkat menuju ke Kimleng untuk
menghadap Su tayjin.
Tiba di luar kota Kim-leng keadaan sudah gawat sekali.
Kota itu sedah diserang besar-besar oleh pasukan Ceng.
Huru Hara nekad masuk menerobos kadalam kota. Dia
langsung mencari Su tayjin. Ketika masuk kedalam markas,
dia terkejut melihat pemandangan yang berlangsung
diruang besar.
Su tayjin sedang dihadap beberapa perwira. Rupanya
sedang membicarakan soal penting. Sedang di pintu kota
pertempuran sudah berkobar besar-besaran.
Huru Hara menyelinap secara diam2 sehingga tak
menarik perhatian para hadirin.
"Go ciangkun, keadaan sudah gawat sekali, kita harus
mengeluarkan perintah untuk menyelamatkan rakyat dan
pasukan kita," kedengaran Su tayjin berkata.
Yang disebut Go ciangkun atau jenderal Go bernama Go
Kui, pimpinan pertahanan kota Im-leng.
"Su tayjin, idzinkanlah hamba mengajukan pendapat,"
kata pimpinan militer di Kim-leng itu.
"Silakan."
"Rupanya Kim-leng sudah tak dapat dipertahankan lagi,"
kata Go ciangkun, "musuh terlalu kuat dan kita serba
kekurangan. Kurang makan dan kurang senjata."
"Ya, memang," kata Su tayjin, "sudah kulaporkan ke
kotaraja untuk meminta bantuan, tatapi seri baginda
menolak."
"Jika demikian," kata Go ciangkun, "rupanya baginda
sudah tak menghiraukan lagi nasib rakyat Kim-leng. Maka
kita pun harus berusaha untuk menolong mereka, tayjin."
"Ya, memang begitu."
"Cara menolong tak lain ..... yah, apa yang dapat
kuhaturkan kecuali kenyataan yang didepan mata. Musuh
sudah menyerang. Besok atau lusa, kota ini tentu sudah
jatuh."
Su tayjin menghela napas.
"Hamba mohon petunjuk Su tayjin." kata pimpinan
pertahanan kota Kim-leng itu.
"Kurasa," kata Su tayjin, "tiada lain jalan kecuali kita
harus menarik mundur pasukan untuk menggabung dengan
pasukan di Yang-ciu."
"Tetapi tayjin," sanggah Go ciangkun, ”bagaimana
dengan rakyat Kim-leng ? Mereka telah membantu kita
dengan harta benda dan tenaga. Kalau sekarang kita
tinggalkan mereka begitu saja, tidakkah kita ini akan
dianggap boceng oleh rakyat ?"
Kembali mentri Su Go Hwat menghela napas.
"Tayjin, mohon tayjin memperkenankan hamba Leng
Bu, menghaturkan pendapat." tiba2 seorang perwira
membuka suara.
Dia seorang perwira yang menjadi wakil pimpinan,
pasukan Kim-leng. Mentri Su Go Hwat mempersilakan dia
bicara.
"Kalau kita mengajak rakyat untuk mengungsi King-ciu,
jelas tentu akan tidak menguntungkan. Kalau musuh
mengejar, tentulah rakyat akan menjadi korban."
“Ya, lalu ?" tanya Su tayjin.
“Satu-satunya jalan demi kepentingan rakyat, biarlah
mereka tinggal di Kim- leng saja."
"Tidakkah mereka akan menjadi korban keganasan
musuh ?"
"Tidak," sahut Leng Bu, asal kita menyambut musuh
dengan baik."
"Apa maksudmu ? Menyerah ?" mentri Su kejut.
'Demi keselamatan rakyat, kita terpaksa harus
mengorbankan perasaan. Dan lagi mengapa kita harus
mengorbankan banyak jiwa kalau toh seri baginda sudah
tak menghiraukan nasib kita ?"
Suara Leng Bu yang lantang itu mendapat suara
dukungan dari beberapa perwira.
"Go ciangkun, bagaimana pendapatmu ?" tanya mentri
Su kepada Go Kui.
"Jika harus memilih antara perasaan dengan kenyataan,
aku akan memilih kenyataan. Jika disuruh memilih antara
setya kepada raja dengan kepentingan jiwa rakyat, aku akan
memilih yang belakangan, tayjin," jawab Go ciangkun.
"Benar tayjin, kami sekalian memang terpaksa harus
melihat kenyataan. Kami terpaksa menyerah demi
menyelamatkan rakyat Kim-leng yang sudah terlalu lama
menderita," seru deretan perwira.
Huru Hera terkejut. Ia heran, sedang di pintu kota
sedang berlangsung bertempuran sengit mengapa
komandan Go Kui dan para perwira malah menghadap Su
tayjin. Apakah memang mereka membiarkan pasukan
musuh supaya masuk dan sekarang menekan kepada Su
tayjin supaya suka menyerah saja ? Pikir Huru Hara.
"Ketahuilah," seru mentri Su dengan nada yang penuh
wibawa, "jika mengandung maksud menyerah kepada
musuh, perlu apa aku harus susah payah datang ke Kimleng
untuk mengatur penjagaan ? Terus terang, panglima
Torgun telah mengirim surat kepadaku, minta supaya aku
bekerja kepadanya, Kalau aku menerima, aku akan diberi
kedudukan tinggi. Tetapi aku tak mau. Aku rela
mengorbankan diri dan segala apa demi membela tanah- air
yang kita cintai ini. Rakyat menderita? Memang
peperangan menuntut segala penderitaan dan pengorbanan.
Dalam peperangan ini tak ada orang yang tak menderita !"
"Ada !" teriak Lang Bu dengan nyaring.
"Siapa ?"
"Raja dan para mentri terutama Ma Su Ing !"
"Negara ini bukan milik mereka tetapi milik kita, rakyat
semua," sahut mentri Su.
"Benar, mengapa kita harus tunduk pada mereka?"
sambut Leng Bu dengan nada yang berani, mereka tak mau
tahu keadaan kita, bahkan tay-jin minta bantuanpun tidak
digubris. Perlu apa kita harus menghiraukan mereka. Kita
perlu menyelamatkan diri dan rakyat Kim-leng."
"Tidak ! Peperangan ini harus tetap langsung sampai
musuh kita usir dari tanah kita. Apabila Kim-Leng jatuh,
masih ada Yang-ciu, Yang-ciu jatuh masih ada Han-kow
dan Lamkia. Kalau kotaraja Lamkia jatuh, kita masih dapat
menyingkir ke daerah selatan untuk melanjutkan
peperangan.”
"Tetapi rakyat akan menderita sekali !"
"Semua orang akan menderita. Dan ini memang tiba
saatnya kita harus memberikan pengorbanan kepada
negara."
"Tetapi ….."
"Apakah engkau hendak menyerah ?"
"Ya," sekonyong-konyong Leng Bu memberi pernyataan
dengan mantap.
"Tangkap penghianat itu !" teriak mentri Su dengan
marah.
Tetapi tak seorangpun perwira dan prajurit bergerak
untuk melakukan perintahnya.
"Go ciangkun, tangkaplah perwira itu!" mentri Su
mengulangi perintahnya kepada Go Kui.
Go Kui gelengkan kepala, "Aku tak dapat berbuat apa2,
tayjin. Mereka sudah kompak mengambil keputusan."
"0, engkau juga menyetujui ?"
"Aku harus menurut pada kehendak anakbuahku, Tanpa
mereka akupun tak dapat berbuat apa2 !"
Mentri Su Go Hwat merah padam menahan
kemarahannya. Ia tak menduga bahwa di Kim-leng telah
terjadi komplotan untuk menyerahkan kota itu kepada
musuh.
Tiba2 pula Leng Bu berbangkit dari tempat duduk dan
mengeluarkan secarik kertas lalu kehadapan mentri Su, "Su
tayjin, keadaan sudah mendesak. Tiada lain pilihan lagi
bagi kami kecuali akan minta tayjin untuk menanda tangani
genjatan perang dan berunding dengan musuh.”
Su Go Hwat tak mau menerima, "Aku tidak mau
menyerah mengapa harus menanda-tangani surat itu ?
Kalian sendiri sajalah kalau mau menanda tangani."
"Tayjin adalah mentri pertahanan. Tanda tangan tayjin
akan mendapat kepercayaan penuh dari panglima pasukan
Ceng. Hamba mohon tayjin suka menanda-tangani"
"Tidak !" teriak mentri Su.
"Ah, hamba mohon jangan sampai keadaan menjadi
kurang enak dimana seorang mentri akan didaulat oleh para
perwira," kata Leng Bu.
"Apa ? Engkau hendak memaksa aku ?"
"Hamba tidak berani berlaku kurang adat terhadap tayjin
peribadi. Tetapi keadaan memaksa hamba harus melakukan
kewajiban demi menyelamatkan rakyat Kim-leng."
"Jahanam, engkau berani memaksa aku !" mentri Su
menuding perwira Leng Bu.
"Kewajiban tayjin yang memaksa hamba harus berbuat
begitu," kata Leng Bu sembari maju mendekat. Dia
memang hendak menekan Su Go Hwat membubuhi tanda
tangan.
Tetapi pada saat dia hendak ulurkan tangan untuk
menyambar tangan mentri Su, sekonyong-konyong
terdengartah suara teriakan yang menggeledek, "Hai,
jangan kurang ajar, engkau perwira hianat!"
Pada saat sekalian perwira terbeliak, sesosok tubuh
melayang ke tengah ruangan dan dengan cepat
menghantam Leng Bu. Tetapi Leng Bu juga cukup siaga.
Dengan gesit dia menyelinap ke belakang mentri Su dan
mencengkeram bahu mentri itu.
"Kalau engkau berani bergerak. Su tayjin pasti akan
kubunuh !" seru Leng Bu.
Yang muncul diruangan itu adalah Huru Hara.
Dia terkejut menyaksikan tindakan Leng Bu yang tak
diduganya itu. Dilihatnya Leng Bu memang tidak
menggertak kosong tetapi dia sudah melekatkan ujung
belati ke punggung mentri Su Go Hwat.
Melihat kehadiran Huru Hara, mentri Su terkejut. Cepat
la berseru, "Loan Thian Te, terus hajarlah mereka, jangan
hiraukan aku !"
Huru Hara tertegun. Kalau dia nekad mengamuk
tentulah Su tayjin terancam jiwanya.
"Hai, perwira, kalau engkau berani mengganggu
selembar rambut saja dari Su tajin, engkau tentu akan
kucincang !" ia memberi peringatan tajam kepada Leng Bu.
Lang Bu tertawa mengejek.
"Go ciangkun, kalau kalian hendak menyerah, silakan
saja. Tetapi lepaskan Su tayjin," seru Huru Hara.
Go Kui gelengkan kepala, "Musuh menghendaki agar Su
tayjin juga ikut membububi tanda tangan !"
"Go ciangkun, Su tayjin adalah seorang mentri yang
setya dan jujur. Telah banyak peugorbanan dan pengabdian
beliau kepada rakyat dan negara. Mengapa kalian sampai
hati hendak melukai perasaannya ? Begitukah balas kalian
terhadap mentri yang kita hormati itu ?"
Sekalian perwira terkesiap.
Akhirnya. ada seorang perwira yang buka suara, "Bukan
kami tak tahu membalas budi Su tayjin, tetapi kenyataan
memang memaksa kami harus begini. Pasukan Ceng dalam
jumlah besar sudah berada diambang pintu kota, kalau kita
nekad hertempur, jelas akan kalah. Dan akibatnya apabila
kota ini diduduki musuh, rakyat pasti akan menderita.
Tetapi kalau kita menyerah, rakyat tentu takkan menderita
terlalu besar."
"Hm," desuh Huru Hara.
"Benar," seru seorang perwira lain, "perang akan
berlangsung lama sekali. Bukankah kita masih ada waktu
untuk mengadakan persiapan apabila kita hendak merebut
kembali tanah yang telah direbut musuh ? Mengapa kalau
sudah tahu kalah kita masih nekad melawan ? Bukankab itu
hanya sia2 saja dan hanya akan menuju ke keancuran ?"
Huru Hara menyahut tenang, "Kalau kalian memang
mempunyai pendirian begitu, silakan. Tetapi mentri Su,
tidak setuju. Kita harus menghormati pendiriannya dan tak
boleh main paksa."
"Hm. kalau tanpa tanda tangan Su tayjin musuh mau
menerima, kamipun akan melepaskan Su tayjin, "dengus
Leng Bu," tetapi fihak Ceng tetap menghendaki Su tayjin
ikut membubuhi tanda tangan."
"Jadi kalau begitu kalian tetap hendak maksa Su tayjin ?"
Huru Hara meminta penegasan.
"Apa boleh buat."
"Kalau Su tayjin tak mau ?"
"Kami terpaksa akan memaksa."
"Go ciangkun," kata Huru Hara. "dengan tebusan
apakah maka mau membebaskan Su tayjin.”
"Hanya dengan tanda tangannya."
"Selain itu ? Dengan uang ? Berapa kau hendak minta ?"
Terdengar gemuruh suara tanggapan para perwira itu.
Namun tak ada yang membuka suara.
"Atau dengan adu kepandaian ?"
"Apa maksudmu ?"
"Aku akan maju untuk menghadapi kalian siapapun
juga. Kalau aku kalah, silakan memaksa Su tayjin, aku
takkan menghalangi. Tetapi kalau aku menang, kalian
harus membebaskan Su tayjin.”
Terdengar gemuruh suara para perwira menyambut
pernyataan Huru Hara.
Belum tantangan Huru Hara itu dibicarakan oleh Go
ciangkun dengan para perwira anakbuahnya, tiba2
masuklah seorang prajurit menghadap. Dia terkejut ketika
melihat pemandangan yang terjadi dalam ruang itu.
"Mau apa !" bentak Go ciangkun. "Pasukan Ceng sudah
membobolkan pertahanan pintu kota dan prajurit2 kita
mundur dengan meninggalkan banyak korban. Rakyat
bingung dan kacau tak keruan, ciangkun," kata prajurit itu.
"Lekas, Leng hiante," seru Go ciangkun ke arah Leng
Bu. Maksudnya suruh Leng Bu lekas memaksa 'mentri Su
Go Hwat menanda-tangani.
Leng Bu pun bertindak. Tetapi dimeja itu ternyata tak
ada alat tulis. Dia segera suruh seorang prajurit untuk
mengambil ke dalam.
Tak berapa lama, yang muncul bukan prajurit tadi
melainkan seorang pelayan lelaki tua. Dia adalah bujang
yang melayani mentri Su selama berada di Kim-leng.
Bujang tua itu terkejut ketika melihat Su tayjin dikuasai
Leng Bu. Tetapi dia tetap tenang. Sesudah meletakkan
prabot tulis, dia mengambil bak (tinta) dan mulai
menggosok pada batu.
Memang kala itu, apa yang disebut alas tulis terdiri dari
tiga benda. Batu tempat penggosok bak dan tempat cairan
bak atau tinta. Dua, bak dan ketiga adalah pit (pena). Setiap
kali hendak nulis, lebih dulu harus membuat tinta dengan
jalan menuangkan sedikit air pada batu lalu bak digosokan
pada permukaan batu itu dan terjadilah suatu cairan hitam
dari bak.
"Huh ..... ," tiba2 bujang itu bcrseru kaget karena bak
yang dipegang ditangannya mencelat jatuh ketanah. Diapun
lalu membungkuk untuk menjemput.
"Aduhhhh……” tiba2 Leng Bu menjerit kaget dan
berjingkrak seraya lepaskan cengkeramannya pada bahu Su
tayjin.
"Engkau gila ! Mengapa menggigit kakiku!” teriak Leng
Bu seraya menghantam pelayan yang masih mendekap kaki
Leng Bu dan menggigitnya tak mau lepas,
Saat itu tak disia-siakan Huru Hara, meloncat dia sudah
tiba di dekat Su tayjin lalu cepat menarik mentri itu
kebelakangnya.
"Bangsat, engkau hendak mencelakai aku!” teriak Leng
Bu seraya ayunkan belatinya menghunjam ke punggung
pelayan tua. Tetapi sebelum belati meluncur turun, dia
sudah menjerit sekeras-kerasnya. Huru Hara sudah
mendahului menghantam kepalanya, Seketika itu Leng Bu
mencelat.
"Lopeh, lekas bangun," seru Huru Hara seraya
mengangkat tubuh pelayan tua.
Dia mencabut pedang Thiat-cek-kiam (pedang magnit)
dan berseru garang, "Hayo, kalau kau berani mengganggu
Su tayjin, tentu akan ku cincang !"
Sambil memimpin tangan Su tayjin dan diikuti oleh
pelayan tua tadi, Huru Hara menuju ke dalam ruang.
"Lopeh, mana pintu belakang ?" tanyanya kepada
pelayan tua. Dia minta agar pelayan tua menunjukkan
pintu belakang. Dari situ mereka harus menuju ke istal
kuda.
"Tayjin. apakah tayjin dapat naik kuda ?" tanyanya
kepada mentri Su.
"Ya," sahut Su tayjin.
"Dan engkau bagaimana lopeh ?"
"Aku .. .. aku tak pernah naik kuda."
"Jika begitu, biarlah Su tayjin naik seekor sendirian dan
engkau lopeh. membonceng dibelakangku."
"Jangan," cegah Su tayjin, "biarlah Kwik-Hong ini
berboncengan dengan aku. Jika engkau seorang diri tentu
engkau dapat bergerak leluasa untuk menghalau apabila
prajurit2 hendak menghadang dan menyerang kita."
"Baik, tayjin," sahut Huru Hara. Singkatnya tayjin dan
bujang yang bernama Kwik Hong naik seekor kuda dan
Huru Hara naik kuda sendiri.
Segera keduanya mengeprak kuda menuju pintu kota
selatan. Pintu kota terbentang lehar dan saat itu beratusratus
penduduk sedang berbondong-bondong membawa
keluarnya untuk meninggalkan kota Kim leng.
"Loan Thian Te, biarkan rakyat itu keluar dulu, baru
kita," kata Su tayjin.
Huru Hara terkesiap, Ia kuatir akan keselamatan Su
tayjin tetapi ia tahu bahwa Su tayjin itu memang berwatak
aneh dan keras. Dan dia selalu memikirkan kepentingan
rakyat lebih dulu.
Sebenarnya kalau rakyat disuruh minggir dulu untuk
memberi jalan kepada Su tayjin, tentu takkan terjadi suatu
peristiwa apa2. Tetapi kalau tayjin yang menanti sampai
rakyat sudah keluar semua, tentu akan memakan waktu
lama. Kemungkinan prajurit musuh atau bahkan perwira
berhianat itu akan melakukan pengejaran untuk menangkap
Su tayjin.
"Tayjin, tetapi tidakkah berbahaya bagi tayjin apabila
kita harus menunggu terlalu lama sini ?" katanya.
"Engkau maksudkan para perwira itu akan menangkap
aku?" balas Su tayjin, "kalau memang begitu, silakan saja.
Tetapi yang penting biarlah rakyat dapat menyelamatkan
diri lebih dulu."
Huru Hara tak dapat membantah. Ia tahu akan adat Su
tayjin. Saat itu masih tak henti-hentinya rakyat mengungsi
keluar dari kota Kim-leng. Mereka sudah merasa dan
membayangkan bagaimana penderitaannya nanti apabila
kota sampai diduduki tentara Ceng.
Sekonyong-konyong dari tengah kota muncul sebuah
barisan yang dipimpin oleh Leng Bu yang diduga Huru
Hara memang benar. Leng Bu hendak mengejar dan
menangkap Su tayjin.
"Itu dia Leng Bu hendak menangkap aku," kata Su tayjin
dengan tenang.
“Hm,” desuh Huru Hara seraya maju menyongsong.
"Mau apa kalian ?" tegurnya dengan geram.
"Tinggalkan Su tayjin," kata Leng Bu.
"Penghianat, jangan banyak mulut !" Huru Hara terus
terjangkan kudanya kepada Leng Bu. Seketika terjadilah
kepanikan dalam barisan prajurit Beng itu.
Huru Hara mengamuk untuk menangkap Leng Bu yang
berusana untuk melawan sembari menghindar kian kemari.
Huru Hara menyambar tombak dari seorang prajurit lalu
ditusukkan kepada Leng Bu.
Leng Bu lari menghindar, "Tangkap dia, lepaskan anak
panah !" perintahnya.
Huru Hara terkejut. Sebenarnya dia hanya mau
menangkap Leng Bu saja. Tetapi karena prajurit Beng itu
sudah mempersiapkan busur, terpaksa dia harus
mendahului. Huru Hara menyerang seraya memutar
tombak untuk menyapu kawanan prajurit itu. Disana sini
terdengar jerit teriakan dari prajurit2 yang roboh.
Kawanan prajurit itu benat2 terkejut menyaksikan
kegagahan Huru Hara. Mereka tak sempat mengambil
anakpanah karena sudah diterjang dan diamuk Huru Hara.
Leng Bu gentar juga menyaksikan keperkasaan Huru
Hara. Dia berusaha untuk menghindar dengan cara
menyelinap diantara anakbuahnya.
Tiba2 kuda Huru Hara berjingkrak dan lonjakkan kedua
kaki depannya seraya meringkik sekeras-kerasnya. Kuda itu
seperti menderita kesakitan. Ketika berpaling untuk
memeriksa, Huru Hara melihat pantat kudanya tertancap
sebatang anak panah. Dan secepat itu pula ia dapat
menangkap bahwa yang mencelakai kudanya itu
adalah.Leng Bu.
Setelah berhasil mengamankan diri diantara
anakbuahnya, Leng Bu meminta busur dan sebatang
anakpanah dari seorang prajurit lalu dibidikkan kearah
Huru Hara. Maksudnya hendak ditujukan pada Huru Hara.
Tetapi pada saat arah kudanya ke samping. Dia terhindar
dari anakpanah tetapi kudanya kena.
Huru Hara marah sekali. Dia loncat melayang turun dan
membiarkan kuda itu lari untuk menyelamatkan diri.
Kawanan prajurit yang melindungi Leng Bu terkejut
ketika melihat Huru Hara melayang seperti seekor burung
rajawali. Sebelum tiba di tanah, ia sudah lontarkan
tombaknya.
Ternyata ketika melihat Huru Hara melayang kearah
tempatnya, Leng Bu berusaha untuk meloloskan diri. Tetapi
Huru Hara tahu dan mendahului melemparkan tombak.
Terpaksa Leng Bu menangkis dengan pcdang.
"Uh ..... " Leng Bu menjerit. Ia merasakan tombak itu
luar biasa cepat dan kuatnya sehingga ia tak kuat
menangkis. Ujung tombak langsung menyusup ke dada dan
tembus sampai punggung. Seketika tamatlah riwayat Leng
Bu.
Melihat pimpinannya mati, kawanan prajurit itu panik
dan bubar, Huru Hara tak mau mengejar melainkan lari
menghampiri ke tempat Su Go Hwat.
Ia tahu saat itu masih ada penduduk yang akan lewat di
pintu kota untuk mengungsi. Kalau bilang, tentu Su tayjin
tak mau. Maka dia menyelimpat ke belakang kuda Su tayjin
dan terus menampar pantat kuda itu sekeras-keras. Kuda
terkejut lalu mencongklang keras membawa Su tayjin dan
bujang Kwik Hong. Su tayjin juga terkejut dan tak mampu
mengendalikan kudanya lagi.
Melihat seekor kuda lari menerobos keluar pintu kota,
terpaksa beberapa puluh penduduk itu menyisih kesamping
membuka jalan. Kudapun melesat bagai anakpanah terlepas
dari busur. Huru Hara juga lari menyusul.
Mentri Su tahu apa yang dilakukan Huru Hara. Dalam
keadaan panik seperti saat itu memang tak perlu harus salah
menialahkan. Masing2 mempunyai pendirian yang
dianggap benar. Huru Hara memang merasa mempunyai
kewajiban untuk menyelamatkan Su tayjin.
Lebih kurang sepuluhan li jauhnya, baru kuda yang
dinaiki mentri Su dan bujang Kwik Hong itu mengendorkan
langkah. Su tayjin menghentikannya.
"Tayjin, mengapa berhenti?" tanya Kwik Hong.
"Kita tunggu Loan Thian Te."
Keduanya turun dari kuda dan beristirahat ditepi jalan.
Tak berapa lama tampak berbondong-bondong penduduk
yang mengungsi dari kota Kim-leng tiba ditempat Su tayjin
beristirahat. Begitu melihat mentri Su, mereka segera
menghampiri memberi hormat.
Mentri Su terharu melihat kesetyaan penduduk itu. Ia
meminta maaf karena tak dapat melindungi mereka.
"Ah, kami tahu tayjin bahwa Gak ciangkun telah
berkomplot dengan musuh. Kamilah yang menyesal
mengapa tak dapat menyelamatkan tayjin," kata beberapa
penduduk.
Atas pertanyaan mantri Su, para penduduk mengatakan
bahwa mereka hendak mengungsi ke daerah pedalaman di
gunung yang jauh dari peperangan, "Entah dimana kami
belum tahu kami hendak mencari gunung yang sepi."
Mentri Su tahu bahwa bagi rakyat pada umumnya
memang hanya mengutamakan keselamatan dan
ketenangan. Dalam hal membela tanah air mereka memang
belum memiliki kesadaran yang tinggi. Su tayjin tak dapat
menyesali mereka. Bahkan dia merasa iba melihat
penderiraan yang dialami para penduduk itu.
Tak berapa lama muncullah Huru Hara. Dia gembira
melihat Su tayjin dan Kwik Hong tak kurang suatu apa.
"Tayjin, mengapa tayji tak melanjutkan perjalanan ?"
tanya Huru Hara.
"Aku menunggumu, Loan Thian Te," kata Su tayjin,
"bagaimana keadaan - dalam kota Kim-leng pada saat
engkau meninggalkannya ?"
"Tayjin, perlawanan pasukan Beng mulai lemah.
Kemungkinan besar Kim-leng tentu jatuh ke tangan musuh.
Go ciangkun dan para perwira diam2 memang sudah
berkomplot untuk menyerah.”
"Ya, ini memang menyedihkan sekali," Su tayjin
menghela napas, "bukan karena pasukan kita tak dapat
menghadapi musuh tetapi dalam tubun kita memang sudah
dihinggapi penyakit. Kepercayaan diri dan kesetyaan pada
negara dari para jenderal dan perwira pasukan Beng, makin
merosot. Ah, nasib kerajaan Bang memang suram
sekali………..”
"Ya, memang," Huru Hara juga menghela napas,
"memang kerajaan Beng sudah ibarat orang yang sakit
parah. Diluar tampak kokoh tetapi didalam sudah lapuk.
Tay-haksu Ma Su Ing adalah kutu besar yang menggerogoti
kerajaan. Para panglima daerahpun lalu meniru dan
berlomba-lomba merebut kekuasaan didaerahnya. Dan ada
yang mencari selamat, menyerah pada musuh. Tay-jin
bagaimana daya kita ?"
"Loan Thian Te," kata mentri Su dengan nada tegas,"
pengabdian itu memang suatu pengorbanan. Kita tahu
bahwa dalam peperangan ini tipis sekali harapan kita untuk
menang. Tetapi jangan menghiraukan soal menang atau
kalah. Yang penting kita harus menunaikan kewajiban kita
untuk membela negara. Aku hendak ke Yang-ciu untuk
memperkuat kota itu. Kalau Yang-ciu pecah, kotaraja tentu
tak dapat diselamatkan lagi.”
Tergerak hati Huru Hara mendengar kata-kata yang
bersemangat dari mentri Su. Pendirian mentri itu memang
sesuai dengan jiwa Huru Hara.
"Lalu bagaimana dengan penduduk mengungsi ini, tayjin
?" tanya Huru Hara.
"Jika mengajak mereka ke Yang-ciu tentu akan
menimbulkan beban penderitaan mereka rakyat Yang-ciu.
Kurasa,” mentri itu berpaling kepada Kwik Hong, "Kwik
Hong, mengapa engkau menggigit kaki Leng Bu ?"
'Agar dia membebaskan tayjin," sahut bujang tua itu.
"Mengapa engkau hendak menolong aku ?" tanya mentri
Su pula.
"Tayjin," kata bujang tua Kwik Hong, "sayang aku hanya
seorang bujang dan sudah tua pula. Namun dengan
kemampuan yang ada, aku rela mengorbankan jiwaku demi
mengabdi kepada tayjin. Oleh karena itu waktu melihat
Leng Bu menguasai tayjin, aku segera mencari akal untuk
menyelamatkan tayjin."
Mentri Su Go Hwat mengangguk, "Terima kasih Kwik
Hong. Kelak apabila aku masih hidup dan jaman sudah
aman, budi pertolonganmu tentu akan kubalas."
"Ah, janganlah tayjin mengucap begitu," kata Kwik
Hong, "karena apa yang hamba lakukan itu masih jauh dari
keinginan hati hamba dalam mengabdi kepada tayjin."
"Baiklah," kata mentri pertahanan Su Go Hwa., "aku
mengabdi kepada negara dan apabila engkau hendak
mengabdi kepadaku, sama artinya pengabdianmu itu adalah
untuk negara. Bukankah demikian Kwik Hong ?"
Kwik Hong mengiakan.
"Sekarang aku hendak menugaskan engkau untuk
melakukan suatu pengabdian lagi. Apakah engkau bersedia
?"
"Hamba sanggup, tayjin."
"Aku dan Loan Thian Te hendak mempertahankan kota
Yang-ciu. Penduduk Kim-leng harus kita selamatkan. Kalau
kubawa mereka ke Yang-ciu, jelas tentu akan menimbulkan
penderitaan bagi penduduk Yang-ciu dan penduduk Ki leng
itu sendiri. Yang-ciu kekurangan bahan makan dan sedang
menghadapi serangan dari musuh. Maka lebih baik
penduduk Kim-leng yang mengungsi itu kita bawa ketempat
yang aman. Tugas ini akan kuserahkan kepadamu. Bawalah
mereka ke daerah gunung di pedalaman yang aman."
"Tetapi hamba tak dapat ikut tayjin?"
"Kwik Hong, dalam mengabdi kepada negara dan
rakyat, janganlah engkau memilih. Menyelamatkan
penduduk Kim-leng itu juga rupakan suatu tugas yang
penting dan mulia."
Kwik Hong menurut. Dia segera berangkat memimpin
rombongan pengungsi dari Kim Leng itu menuju ke suatu
daerah pegunungan di sebelah barat.
Mentri Su Go Hwat segera naik kuda bersama Huru
Hara menuju ke Yang-ciu. Karena Yang-ciu sudah
dikepung musuh, terpaksa Su Go Hwat dan Huru Hara
mengambil jalan memutar untuk masuk dari pintu kota
sebelah selatan.
Pintu kota bagian selatan tertutup rapat. Berulang kali
Huru Hara berteriak minta pintu tetapi tak dihiraukan.
Memang saat itu hari sudah petang dan sengaja Huru Hara
memilih saat itu supaya tidak diketahui musuh.
Seorang penjaga tampak muncul diatas pos yang
dibangun diatas pintu kota, "Hai, siapa itu?"
"Peng-pog-siang-si Su Go Hwat tayjin tiba, lekas buka
pintu!" teriak Huru Hara.
"Tidak mungkin!" sahut penjaga.
"Gila," guman Huru Hara, "tayjin, harap tayjin suka
memberi perintah kepada penjaga itu."
Mentri pertahanan Su Go Hwat lalu berseru, "Hai,
penjaga, lekas buka pintu, aku Su Go Hwat, Peng-pohsiang-
si, akan masuk."
Dengan cara itu Huru Hara percaya tentu penjaga akan
ketakutan dan lekas2 membuka pintu kota. Tetapi diluar
dugaan ternyata penjaga Itu malah mengejek.
"Peng-poh-siang-si?" teriaknya, "ah, mana ada seorang
mentri pertahanan keluyuran seorang diri tanpa pengiring?"
Merah muka Su tayjin sehingga ia tak dapat berkatakata.
"Penjaga, jangan kurang ajar," teriak Huru Hara, "beliau
ini memang Su tayjin, peng-poh-piang-si tayjin yang baru
tiba dari kota Kim-leng. Apa engkau belum pernah
mengenal tayjin ?"
"Tidak perlu banyak bicara !" teriak penjaga. "Bok
ciangkun memberi perintah setelah pintu kita ditutup,
walaupun setan atau raja tak boleh masuk lagi !"
"Gila engkau," teriak Huru Hara sengit, "Dia kan benar2
Su tayjin !"
"Aku tak mau menerima seorang mentri yang keluyuran
seorang diri tanpa pengiring. Lekas pergi atau kupanah !"
penjaga itu terus siapkan busur dan anakpanah.
"Bajingan !" teriak Huru Hara dengan marah sekali. Dia
hendak mengamuk tetapi dicegah mentri Su.
"Tak perlu marah2, Loan Thian Te," kata mentri itu,
"kemungkinan penjaga itu hanya lakukan perintah dari Bok
ciangkun."
"Tetapi tayjin," sanggah Huru Hara, "masa penjaga itu
tak kenal pada tayjin atau aku ?”
"Ya, ini memang aneh. Kemungkinan ada sesuatu."
"Hai, lekas enyah," teriak penjaga itu, lebih kurang ajar
lagi dia terus melepaskan sebatang anakpanah kearah Huru
Hara.
Huru Hara menghindar dan panah itu menancap di
tanah. Huru Hara mencabutnya "Loan Thian Te, mari kita
menyingkir ke sebelah sana," kata mentri Su yang terus
menuju ke tepi jalan yang jauh dari pintu. Mereka
brristirahat dibawah sebatang pohon.
Dalam kesempatan itu Huru Hara menceritakan tentang
gerak gerik Bok Lim yang mencurigakan. Karena itulah
maka ia bergegas menghadap Su Tayjin di Kim-leng.
Su tayjin kerutkan dahi.
"Ya, memang aneh sekali," kata mentri itu, memang
dewasa ini banyak sekali terjadi perobahan sikap dan hati
dari para jenderal dan perwira kita."
"Benar, tayjin. Akupun mencemaskan diri Bok Lim.
Maka baiklah kita lekas2 masuk kedalam kota untuk
menguasai keadaan agar Bok Lim jangan sampai
mendahului berbuat yang tidak kita inginkan."
"Tetapi bagaimana kita dapat masuk kedalam ?" tanya
Su tayjin.
Huru Hara berdiam diri untuk mengasah otak, Beberapa
saat kemudian dia mendengar suara gemuruh. Ia duga
musuh tentu melakukan serangan dari pintu kota sebelah
utara.
"Tayjin, apakah tayjin dapat tinggal seorang diri disini ?"
tanyanya.
"Engkau hendak kemana ?" hanya mentri Su.
"Hendak membantu pasukan kita menghadapi musuh
yang menyerang dari utara itu, tayjin
Su tayjin mengatakan. bahwa ia akan tinggal ditempat
itu seorang diri. Setelah meminta agar mentri itu berhatihati
menjaga diri, Huru Hara terus menuju ke pintu kota
bagian utara.
Tiba ditempat itu ia memang melihat pertempuran
sedang berlangsung. Pasukan Ceng sedang menekan untuk
menerobas pintu kota. Tetapi dari atas tembok pintu,
disambut dengan hujan anakpanah dan lemparan batu yang
gencar.
Ketika hampir mendekat ke tempat prajurit Ceng, ia
melihat seorang prajurit Ceng lari menyelamatkan diri.
Ternyata prajurit itu menderita luka. Tanpa banyak omong,
Huru Hara meringkusnya. Lalu dia lucuti pakaian
seragamnya dipakainya.
Dengan menyaru sebagai seorang prajurit Ceng dia terus
menggabungkan diri dengan pasukan musuh. Dalam saat
malam yang gelap, sudah tentu kawanan prajurit Ceng itu
tak dapat mengenalinya. Apalagi mereka sedang
mencurahkan perhatian untuk menyerang musuh.
Huru Hara menyelinap ke belakang dan menuju ke tenda
mereka. Saat itu kubu2 musuh kosong karena prajuritprajurit
Ceng sedang perang. Kesempatan itu tak disiasiakan
Huru Hara. Dia membakar semua tenda dan kubukubu
musuh.
Sudah tentu nyala api yang berkobar di kegelapan
malam, cepat menarik perhatian prajurit Ceng. Mereka
terkejut sekali dan bubar seketika. mereka lari menuju ke
tenda perkemahannya.
Suasana menjadi kacau. Pimpinan pasukan tak dapat
mengendalikan lagi anakbuahnya yang lari itu. Dalam
kekacauan itu tampak seorang prajurit Ceng mengamuk.
Dia membabat kawan-kawannya sendiri. Setiap prajurit
Ceng yang datang kearah perkemahan tentu dibabatnya.
"Pengecut, mengapa lari, hayo, tetapi serang musuh!"
teriaknya seraya mengamuk.
Seorang perwira Ceng terkesiap menyaksikan akan
prajurit Ccng itu. Dia tak kenal siapa prajurit itu tetapi dia
mengakui bahwa tindakan prajurit itu memang tepat sekali.
Prajurit yang mengamuk itu seorang kerucuk. atau
seorang prajurit kerucuk mempunyai pendirian semacam
itu, mengapa dia sebagai seorang perwira pimpinan
pasukan tidak bertindak begitu. Karena malu, perwira itu
ikut mengamuk.
"Hayo, barang siapa tidak melanjutkan serangan kepada
musuh tentu kubunub," seru perwira itu dengan memainkan
tombak. Setiap prajurit Ceng yang datang tentu
ditombaknya.
Tetapi ada sekawanan prajurit Ceng yang tidak
menghiraukan perintah perwiranya. Mereka anggap,
perkemahan harus diselamatkan dari musnahan dimakan
api. Kalau perkemahan ludas kemanakah mereka akan
meneduh nanti ?
Segera terjadi bentrokan antara kawan prajurit Ceng
yang lari hendak memadamkan bakaran dengan perwira
yang memerintahkan mereka melanjutkan pertempuran.
Bentrokan itu segera menjadi suatu pertempuran sendiri.
"Bagus," Huru Hara bersorak dalam hati. terus
menyelinap diantara pasukan yang bertahan sendiri itu
untuk menghampiri pintu kota.
Tepat pada saat itu pintu sedang didorong dari dalam
oleh prajurit2 Beng. Cepat2 Huru Hara menerobos masuk.
"Hai, bunuh, bunuh !" setelah pintu kota tutup, prajurit2
Beng itu segere mengejar Huru Hara yang masih
mengenakan pakaian prajurit Ceng.
Huru Hara terkejut. Ia lupa kalau dirinya masih
mengenakan seragam prajurit Ceng. Dia teriak, "Hai, gila,
mengapa kalian hendak menyerang aku ?"
"Bunuh saja prajurit Ceng itu !" teriak kawanan prajurit
Beng seraya menyerang Huru Hara.
Saat itu Huru Hara baru tersadar. Sambil lari
menghindar dia melepaskan pakaian seragamnya.
"Engkoh Hok," terdengar suara teriakan dan kawanan
prajurit Beng itupun menjerit tak keruan. Ada yang
berjingkrak-jingkrak dan mengusap mukanya. Ada yang
memegang celananya. Yang jelas, mereka berhenti
menyerang Huru Hara.
"Ah Liong," seru Huru Hara setelah melihat kelompok
anak2 muncul dihadapannya. Yang di depan adalah Ah
Liong,
"Engkoh Hok mengapa engkau masuk menjadi prajurit
Ceng ?" seru Ah Liong.
"Hus, aku memang menyaru untuk mengacau mereka,"
"Apakah engkau yang membakar markas mereka?”
"Ya," Huru Hara cepat lari.
"Hai, kemana engkau engkoh Hok ?" Ah Liong kaget
dan terus menyusul. Kawan-kawannya mengikuti.
Huru Hara menuju ke pintu kota selatan dan tanpa
banyak bicara terus membuka pintu. Sudah tentu para
penjaga kelabakan. Mereka hendak mencegah, tetapi Huru
Hara cepat menempeleng mereka.
"Ah Liong, jaga pintu ini aku hendak menjemput Su
tayjin," seru Huru Hara terus melesat keluar.
Mentri Su Go Hwat terkejut ketika melihat pintu kota
terbuka dan Huru Hara berlari-lari menghampiri, "Su tayjin,
mari kita masuk kedalam kota,” kata Huru Hara.
Su tai jin naik kuda dan Huru Hara mengawal
dimukanya. Mereka masuk kedalam kota Yang-ciu dan
langsung menuju ke markas besar. Rakyat berbondongbondong
menyambut kedatangan mentri yang mereka cintai
itu. Tak berapa lama Bok Lim juga muncul dan mengantar
Su tayjin ke markas.
"Tayjin, hamba mohon maaf karena tidak mengadakan
sambutan kepada tayjin. Hamba tak tahu sama sekali akan
kedatangan tayjin,” kata Bok Lim.
"Tak apa. ciangkun." kata Su tayjin, "yang
mengherankan mengapa penjaga pintu tak mau membuka
pintu untuk kami berdua."
Bok Lim tampak terkejut, "Benarkah itu Loan-heng ?"
serunya kepada Huru Hara. "Jika tidak, perlu apa aku harus
menerabas melalui pintu utara ?" balas Hutu Hara.
Bok Lim segera memerintahkan seorang prajurit untuk
memanggil penjaga pintu selatan. berapa lama penjaga
pintu itupun menghadap. "Hai, engkau, mengapa engkau
begitu kurang ajar sekali !" bentak Bok Lim.
"Apa kesalahan hamba, ciangkun ?"
"Lihat, siapa yang berada di ruang ini ?" kata Bok Lim
seraya menunjuk kepada Su Go Hwat dan Huru Hara.
Penjaga pintu itu gemetar.
Su tayjin adalah pengpoh-siangsi kerajaan Beng dan
Loan Thian Te ini orang kepercayaan Su tayjin, mengapa
engkau berani tak membuka pintu ?"
"Tetapi ciangkun," kata penjaga pintu tergagap.
"ciangkun telah memberi perintah, siapa saja tidak boleh
masuk kota,"
"Ya, tetapi ini kan Peng-poh-slang-si tayjin, masakan
engkau buta !"
"Ciangkun memberi perintah bahwa sekalipun raja, juga
tak boleh masuk ..... "
"Bangsat engkau !" tiba2 Bok Lim mencabut pedang dan
terus menabas kepala prajurit itu.
Huru Hara terkejut. Tetapi sudah kasip. Kepala penjaga
pintu itu sudah menggelinding dan tubuhnyapun tumbang
dalam genangan darah. Bok Lim segera perintah beberapa
prajurit itu mengangkut mayat itu dan membersihkan
lantai.
"Bok ciangkun, engkau amat tegas sekali," Huru Hara.
"Peraturan militer harus dipegang keras, supaya anak
pasukan tidak berani melanggar !"
"Benar," sambut Huru Hara, "tetapi penjaga pintu itu
tidak bersalah."
"Lho, mengapa ?"
“Penjaga itu hanya melaksanakan perintah ciangkun.
Bukankah ciangkun memerintah, sekali pun raja, juga tak
boleh masuk kota ini ?"
Merah muka Bok Lim namun ia masih dapat menjawab,
"Ya, itu hanya suatu penegasan dia tak berani melanggar.
Tetapi masakan dia tak kenal Su tayjin. Seharusnya dia
melapor kepadaku.”
"Bok ciangkun," kata Su tayjin, "kesalahannya hanya
lalai untuk melapor, Tetapi dalam menjalankan tugas, dia
memang patuh sekali. Kesalahannya belum setimpal untuk
mendapat hukuman mati.”
Bok Lim terkesiap. Dia tergopoh minta maaf kepada Su
tayjin atas peristiwa itu.
Su tayjin tak menarik panjang urusan. Dia minta laporan
tentang keadaan kota Yang- ciu selama ini.
"Musuh berkali-kali berusaha mengadakan serangan
tetapi dapat kami pukul mundur," Bok Lim.
Su tayjin juga menanyakan tentang keadaan semangat
para prajurit, keadaan penduduk, persediaan bahan
makanan dan segala sesuatu menyangkut pertahanan kota.
Kesemuanya itu dijawab Bok Lim dengan laporan yang
serba baik. Su tayjin yang sudah mendapat keterangan dari
Huru Hara, hanya angguk tetapi dalam hati dia sudah tahu.
"Bagaimana keadaan medan? Berapa besar kekuatan
musuh yang mengepung kita?" taya mentri Su.
“Beberapa waktu yang lalu, mereka telah dapat kami
jebak masuk kedalam kota. Pintu kami tutup dan yang
masuk itu kami hancurkan.
"Bagus, Bok ciangkun," puji mentri Su.
"Sejak itu mereka memang belum mengadakan serangan
yang berarti lagi. Penjagaan kita terus diperkeras. Setiap
matahari terbenam semua prajurit harus berada di pos
penjagaan masing2 dan pintu kota harus ditutup rapat2.
Itulah sebabnya maka hamba sampai mengeluarkan
perintah, sekalipun raja jangan diberi pintu. Itu tak lain agar
para prajurit benar2 dapat menjaga peraturan."
Kembali mentri memuji langkah yang diambil Bok Lim.
"Tetapi dari laporan mata2, hamba mendapat keterangan
bahwa saat ini musuh sedang menghimpun kekuatan. Dari
markas besar panglima Torgun, telah mengirim sejumlah
pasukan pilihan dan beberapa panglima yang pandai.
Rupanya mereka bertekad hendak merebut Yang-ciu."
Su Go Hwat mengangguk, "Benar, memang kota Yangciu
ini merupakan kunci ke kotaraja. Kalau Yang-ciu bobol,
kotaraja tentu terancam.”
Bok Lim juga meminta keterangan tentang jatuhnya kota
Kim-leng. Mentri Su menghela napas.
"Jatuhnya Kim-leng karena penghianatan dari jenderal
Go dan beberapa perwira. Mereka telah bersekongkel
dengan musuh. Memang bukan hanya Kim-leng, pun
beberapa kota dan daerah acapkali terjadi hal yang
sedemikian."
Wajah Bok Lim agak bersemu merah.
"Jelas sudah bahwa peperangan itu merupakan suatu
tujuan. Orang yang tak mengerti tujuan berperang,
mengapa berperang dan untuk apa berperang, tentu akan
cepat2 silau dan goyah pendiriannya."
"Keadaan kerajaan Beng memang sudah lapuk, tayjin,"
kata Bok Lim, "pemerintahan kotaraja sudah dikuasai oleh
mentri besar Ma Su Ing, sehingga para panglima di daerah2
kecewa dan putus asa."
"Itu pendirian yang salah," kata mentri Su, "bumi Tionggoan
itu bukan milik raja semata tetapi milik seluruh rakyat.
Karena kita dilahirkan disini, hidup dan mati di bumi ini,
maka wajiblah kita membela tanah air kita. Oh, ya, apakah
selama aku berada di Kim-leng, panglima Torgun tak
mengirim surat lagi?"
"Tidak, tayjin."
"Bok ciangkun, keadaan sudah gawat sekali. Setelah
Kim-leng jatuh, pasukan musuh tentu akan datang
membantu kawan mereka untuk rebut kota ini. Kita harus
bersiap untuk menghadapi perang yang menentukan."
Bok Lim mengiakan dan minta petunjuk dari mentri Su.
Tiba2 Huru Hara berkata, "Tayjin, apakah tidak lebih kita
ungsikan dulu kaum orang tua dan anak2 dari kota ini?
Dengan demikin kita nanti dapat bertempur sampai titik
darah yang penghabisan."
"Ya," sahut mentri Su, "Bok ciangkun," siapkan
penduduk yang akan kita ungsikan itu dan ciangkunlah
yang kuminta untuk mengatur dan mengepalai regu
penyelamat itu ke suatu daerah yang aman."
Sebenarnya Bok Lim terkesiap mendengar perintah itu.
Ia tersinggung karena sebagai pimpinan pasukan
pertahanan kota, sekarang dia dialihkan pada urusan
pengungsian penduduk. Tetapi pada lain kilas, ia cepat
dapat mengetahui sesuatu. Serentak saja ia menerima tugas
itu dengan gembira. Dan iapun segera mohon diri.
"Mengapa tayjin memindahkan tugasnya?" tanya Huru
Hara setelah Bok Lim pergi.
"Lebih baik kita menjaga daripada mengobati,” kata
mentri Su, "Bok Lim memang mencurigakan. Tetapi demi
keutuhan dan kesatuan pasukan, aku tak menindaknya
melainkan menggesernya pada lain tugas."
"0, benar, tayjin."
Keduanya merundingkan persiapan2 untuk menghadapi
serangan musuh yang diduga tentu akan lebih besar
kekuatanuya.
Demikian kedua insan yang sama watak
keperibadiannya, sama2 mencurahkan segenap tenaga dan
pikiran untuk membela kota Yang-ciu. Bagi keduanya,
perang mempertahankan kota Yang-ciu itu merupakan
perjuangan besar karena hasil dari pertempuran itu akan
menentukan nasib kotaraja Lam-khia.
Memang pasukan Ceng telah mendapat bantuan yang
besar. Tetapi mereka tetap gagal untuk merebut kota Yangciu.
Mentri Su Go Hwat sebagai perancang siasat dan Huru
Hara sebagai pelaksana, telah membuktikan bahwa setiap
pengabdian yang benar2 berdasarkan pada perjuangan suci
membela tanah air, tentu akan merupakan kuatan yang
kokoh bagaikan tembok baja.
Tepat lima hari telah berlalu. Pada hari Huru Hara
sedang melakukan pemerksaan anakpasukan dan meninjau
keadaan penduduk. segera mendapat kesan bahwa prajurit
dan pemduduk memang mulai kepayahan keadaannya.
Terutama bahan ransum makin hari makin menipis.
Dia banyak mendengar keluhan dari prajurit yang
merasa kekurangan makan. Juga diantara pendudukpun
mulai berkeluh kesah. Huru Hara mulai menyadari.
"Perang bukan hanya soal bertempur dan keberanian
tetapi juga harus ada kelengkapannya. Terutama makan.
Karena kekurangan makan, semangat prajurit dan rakyat
sudah mulai menurun. Itu berbahaya. Pikiran mereka
sewaktu-waktu dapat berobah," pikirnya,
Pada waktu itu muncullah Ah Liong.
"Engkoh Hok, wah, celaka," kata anak itu.
“Kenapa ?"
"Sekarang musuh telah mengurung kota ini. Pintu kota
selatan juga dikepung."
Hutu Hara terkejut.
"Bagaimana mungkin ?" serunya.
"Tadi malam mereka melakukan gerakan secara besarbesaran
dan berhasil menguasai seluruh penjagaan kita.
Sekarang kita terputus dari hubungan dengan luar.”
"Wah, berbahaya," Huru Hara terkejut. Dia mengajak
Ah Liong menghadap mentri Su.
Juga mentri pertahanan Su Go Hwat terkejut menerima
laporan itu.
"J!ka begini, keadaan kita sudah gawat sekali. Musuh
memutuskan hubungan kita dengan luar dan mereka
memperketatkan kepungannya. Pada hal persediaan ransum
kita makin menipis. Dalam lina hari lagi sudah habis.
"Su tayjin," kata Huru, :"bagaimana kalau menerjang
keluar pintu selatan untuk mencari ransum ?”
Su tayjin gelengkan kepala, "Terlambat, Loan Thian Te.
Kalau engkau menerjang keluar, untuk mencari ransum
tentu makan waktu lama. Mungkin waktu engkau kembali,
kota ini sudah menjadi tumpukan puing."
Huru Hara terkesiap. Ia menyadari apa yang dikatakan
mentri itu memang benar. Mentri Su seorang pembesar
setia yang menjabat sebagai mentri pertahanan. Dalam hal
ilmu mengatur barisa memang hebat tetapi kalau bertempur
di medan perang tidak dapat.
Pada hal dalam tubuh pasukan yang mempertahankan
kota Yang-ciu itu sudah mengunjuk gejala-gejala yang
mencurigakan, Beberapa perwira tampak tak semangat lagi.
Kebanyakan mereka adalah anakbuah Bok Lim. Waktu
Bok Lim memegang pimpinan, prajurit2 itu mendapat
jaminan yang penuh. Tetapi sekarang mentri Su Go Hwat
mempersamakan jaminan tentara dengan yang berikan
kepada rakyat. Di kalangan prajurit dan perwira sudah
mulai timbul rasa tidak puas.
Memang berulang kali mentri Su memberi penerangan
tentang arti daripada peperangan yang mereka lakukan itu.
Tetapi mereka menerimanya hanya denga rasa enggan
karena perutnya tidak kenyang.
Apabila Huru Hara keluar mencari rangsum dan sampai
tak dapat masuk kembali ke kota ke alaan tentu makin lebih
berbahaya.
"Baiklah tayjin, hamba takkan pergi," akhirnya ia
menurut, "tetapi kitapun harus cepat2 bertindak."
Su tayjin mengangguk namun sampai beberapa saat
belum juga ia membuka mulut. Rupanya dia sedang
memeras otak untuk mencari jalan keluar.
"Tayjin," kata Huru Hara, "kekuatan pasukan kita kini
hanya tinggal delapan ratus prajurit. Keadaan mereka sudah
tak bersemangat. Mereka mengeluh karena kurang makan
.."
"Ya, apa boleh buat," kata mentri, "sudah kutulis
beberapa pucuk surat meminta bala bantuan kepada
baginda tetapi tiada jawaban kecuali yang pernah kuterima
yang menyatakan kalau kerajaan tak dapat mengirim bala
bantuan."
"Hamba tahu, tayjin," kata Huru Hara, "daripada
bertahan tetapi lama kelamaan akan mati kelaparan, lebih
baik kita serbu saja mereka."
Su Go Hwat mengangguk, "Ya, tetapi kekuatan mereka
amat besar dan lagi mereka, telah mengepung dari segala
jurusan. Apakah serbuan kita nanti dapat berhasil ?"
"Berusaha mati, tidak berusahapun mati. Jika disuruh
memilih, hamba memilih untuk berusaha,” seru Huru Hara,
"mati hidup di tangan Thian."
Tergerak hati mentri Su yang sudah dirundung
kekecewaan itu. Dia membenarkan pendapat Huru Hara.
Kemudian dia bertanya apa Huru Hara sudah mempunyai
rencana.
"Apabila tayjin mengidinkan, hambalah yang akan
menyerbu mereka."
"Tetapi . . ,"
"Hamba tak menyerbu juga akhirnya akan diserbu.
Mempung semangat dan tenaga prajurit dan rakyat masih
belum merosot sekali, hamba akan ajak mereka untuk
melakukan serbuan yang terakhir."
"Apakah semua akan ikut dalam serbuan”
"Tidak tayjin, akan hamba pecah menjadi empat
kelompok. Kelompok pertama akan hamba pimpin untuk
menyerbu ke pintu utara. Kelompok kedua harus menjaga
tayjin. Kelompok ketiga memimpin rakyat untuk memberi
bantuan mana2 yang terdesak musuh. Dan kelompok
keempat mengadakan serbuan ke pintu selatan."
Su Go Hwat kerutkan dahi.
"Mengapa harus menyerbu pintu utara? mengapa tidak
menyerbu ke pintu selatan saja saya kita terus menuju ke
Khay-hong ?"
"Memang seharusnya demikian, tayjin," Huru Hara,
"tetapi hamba berpendapat, kemungkinan musuh juga
mengandung pikiran begitu. Oleh karena itu maka akan
hamba lakukan serangan yang diluar perhitungan musuh.
Kalau berhasil menghancurkan pasukan musuh yang
berada di utara, sekaligus kita dapat memotong jalan
pasukan musuh yang berada di selatan. Pada saat itu,
kelompok keempat boleh menyerbu keluar untuk bersamasama
menghancurkan musuh di pirtu selatan itu."
"Baik," Su tayjin setuju," kapan engkau akan berindak ?"
"Serangan itu baiklah kita lakukan pada malam hari.
Malam ini bulan tak bersinar, kita dapat bergerak dengan
leluasa."
Setelah mendapat persetujuan dari mentri Su, Huru Hara
segera mengatur dan mempersiapkan barisan2 yang
dibaginya menjadi empat kelompok.
"Lalu apa tugasku, engkoh Hok ?" tanya Ah Liong yang
tidak mendapat bagian tugas.
"Apakah anak buahmu siap ikut menyerbu ?"
"Tentu, engkoh Hok," seru Ah Liong serentak, "barisan
Bon-bin setiap saat selalu siap tempur.”
"Bagus," seru Huru Hara, "barisan Bon-bin oleh ikut aku
menyerbu keluar dari pintu utara. Setelah diluar pintu,
anakbuahmu harus berpencar mengitari mereka, menyusup
kebelakang dan hancurkanlah perkemahan mereka.
Sanggup ?"
"Sanggup, tay-ciangkun !" seru Ah Liong seraya memberi
hormat seperti seorang prajurlt kepada atasannya.
"Bagaimana engkau dapat mengatakan sanggup ?" tegur
Huru Hara.
"Beres, jenderal," seru Ah Liong," anakbuah pasukan
Bon-bin tentu takkan mengecewakan."
Huru Hata melanjutkan perjalanan. Ah Liong disuruh
mempersiapkan barisannya. Sehabis mandi Huru Hara
terus melaporkan kepada mentri Su tentang persiapan yang
dilakukannya.
Su tayjin menitahkan bujang mengambil minuman.
Malam itu dia hendak mengajak minum arak dengan Huru
Hara.
"Tayjin, maaf, mengapa kali ini tayjin minum arak.
Bukankan selama ini tayjin jarang minum arak ?" Huru
Hara agak heran ketika Su tayjin minum arak.
"Loan Thian Te," kata mentri Su, "pertempuran nanti
malam adalah pertempuran mati hidup. Kita tak tahu
apakah kita masih hidup besok pagi. Arak akan menjadi
saksi untuk mengenangkan pertemuan kita malam ini. Ha,
ha. Loan Thian Te, hayo kita minum ..."
Huru Hara terpaksa menyambuti cawan dan terus
meneguk sampai habis.
"Penyair dan pujangga kita jaman yang lalu memang
lebih bahagia, Mereka dapat menikmati arti hidup dengan
tepat. Cobalah engkau dengarkan secuplik syair dari penyair
Su Tong poh…..”
Kin thien yu ciu, kin thien cui. Hari ini ada arik, hari ini
kita minum sampai mabuk ...."
“Ah, itu kan pendirian seorang pemabuk" saggah Huru
Hara,
"Tidak, Loan Thian Te," jawab mentri Su. Itu
sesungguhuya suatu falsafah hidup yang tinggi. Tong-poh
menganggap hidup ini hanya seperti orang singgah. Apa
yang terjadi hari ini, harus kita hadapi hari ini juga. Esok.
kelak, itu soal nanti. Mengapa perlu diresahkan ?"
"Dia memang manusia yang tahu menikmati hidup. Tiap
hari minum arak dan membuat syair,” kata mentri Su,
"coba bayangkan kita hampir lebih dari separoh hidupku
kuabdikan untuk kepentingan negara. Aku makan
sederhana, pernah minum arak dan lain2 kesenangan.
Sekarang tahu2 aku sudah menghadapi detik2 yang
berbahaya. Kecil kemungkinannya aku dapat hidup lebih
lama."
"Ah, tayjin. hidup dan mati kita itu tergantung dari
kekuasaan Thian."
"Hidup menyiksa diri seperti yang kulakukan, kiranya
juga akan mati, Hidup bebas seperti Su Tong-pohpun
akhirnya juga mati. Bukankah hal ini sama saja ?"
"Serupa tetapi tak sama," bantah Huru Hara.
"Apa maksudmu ?" tanya mentri Su.
"Manusia tentu mati, memang serupa kodratnya. Tetapi
mati dan mati adalah dua. Mati seperti penyair Su Tongpoh
adalah mati tenggelam dalam khayalan. Tetapi mati
seperti panglima Gak Hui, adalah mati yang berarti.”
"Su Tong-poh memang berkhayal tetapi dalam syairsyairnya
dia telah dapat menggambarkan arti kehidupan
dengan tepat sekali."
"Mudah-mudahan hanya Su Tong-poh seorang saja yang
berkhayal dalam syairnya. Jangan ada dua tiga atau
perpuluh Su Tong-poh, Jika tiap rakyat seperti Su Tongpoh,
mungkin negara kita ini sudah lama dijajah oleh
bangsa asing.. Su Tong-poh hanya pandai mengkhayal.
Pada hal hidup itu suatu kenyataan dari berbagai masalah
yang menantang kita untuk diatasi. Dapatkah khayal dan
syair mengatasi kesemuanya itu ?"
"Su Tong-poh seorang sasterawan dan penyair.
Barangsiapa dapat memahami keindahan daripada
rangkaian syairnya, dia akan tahu keindahan arti hidup ini,"
seru mentri Su Go Hwat.
"Su Tong-poh adalah ibarat langit. Kita melihat tetapi
tak dapat merasakan dan merabahnya. Beda dengan bumi
yang terdiri tanah dan air. Disitulah kita dilahirkan. Hidup
dan mati. Barangsiapa dapat menjaga, memelihara dan
mencintai tanah dan air itu, dia telah dapat menunaikan
tugas hidupnya. Hamba rasa, menunaikan tugas hidup lebih
nyata dan bermanfaat daripada mengerti- tentang arti
hidup."
Su Go Hwat tertegun.
“Sebenarnya tidak banyak manusia yang bernasib seperti
kita, tayjin."
"Ya, memang nasib kita ini celaka."
"Bukan tayjin, bukan celaka," bantah Huru Hara, "tetapi
bahagia. Mengapa ? Karena kita ditakdirkan untuk ikut
serta menulis sejarah perjuangan bangsa kita. Kita
ditakdirkan untuk menunaikan beban yang luhur dimana
kita bertanggung jawab akan keselamatan negara dan
bangsa. Tidak banyak manusia yang menerima beban
seperti kita tayjin."
Mentri Su mengangguk.
"Su Tong- poh memang seorang penyair yang hebat.
Tetapi apa faedah yang dirasakan oleh rakyat pada syairsyairnya
itu "
"Dia telah memajukan sastra dan kebudayaan, Loan
Thian Te,"
"Tetapi dia telah mencabut jiwa orang dengan
kebiasaannya minum anak. Diapun telah mencuri semangat
orang supaya beermalas-malasan tidak ikut berkecimpung
dalam menunaikan tugas membela kepentingan nagara.
Berbanggakah kita karena mempunyai Su Tong-poh si
tukang syair, pemabuk dan penghayal besar itu ?"
“Bum ..... bum . . . . , bum…….”
Sekonyong-konyong keduanya dikejutkan oleh suara
dahsyat yang menggelegar dan menggetarkan bumi. Pada
lain kejab, terdengar pula jeritan dan teriakan ngeri.
Huru Hara cepat melesat keluar. Dia melihat beberapa
rumah penduduk hancur dan api berkobar.
Terdengar pula suara berdentum dan gelegar yang
dahsyat dan di beberapa tempat tampak rumah roboh dan
bangunan2 hancur.
"Hai, apakah itu ?" Huru Hara serempak lari
menghampiri ke suatu tempat yang menderita kerusakan.
Dia membantu rakyat yang rumahnya tertimpah bencana.
Ada juga korban yang menderita luka.
Kemudian Huru Hara lari menghadap mentri Su untuk
melaporkan peristiwa aneh itu.
"Itulah yang disebut meriam. Suatu senjata yang
dahsyat," kata mentri Su.
"Dari mana senjata meriam itu ?"
'Senjata itu berasal dari orang kulit putih di luar negeri.
Dalam bentuk kecil disebut senapan dan kalau besar disebut
meriam. 'Dapat memuntahkan peluru yang menghancurkan
segala benda, manusia dan apa saja."
"Wah, kalau begitu kita harus merampas senjata itu,
tayjin," kata Huru Hara, “jika tidak rakyat tentu akan
hancur semua dan kota Yang-ciu tentu akan menjadi lautan
api."
"Baik, Loan Thian Te," mentri Su tiba2 menjabat tangan
Huru Hara, "mari kita saling menunaikan tugas kita.
Engkau yang menghancurkan persenjataan musuh, aku
yang akan mengepalai pasukan dan rakyat untuk
mempertahankan kota ,"
Huru Hara terharu. Ia memberi hormat kepada mentri
Su Go Hwat, 'Su tayjin, maaf, hamba tak dapat
mendampingi tayjin. Harap tayjin suka menjaga diri baik?
..... "
Huru Hara terus menuju ke pintu selatan. Di situ sudah
berkumpul pasukan yang dibentuk menjudi kelompok
kesatu. Ah Liong dan pasukan Bon- bin juga sudah slap.
"Saudara2, keadaan kita saat ini sudah gawat sekali.
Musuh memiliki senjata yang ampuh dan ganas. Kita harus
merebut dan kalau perlu menumpas senjata penyebar maut
itu !"
Setelah memberi emposan semangat, Huru Hara lalu
suruh pintu kota snpaya dibuka. Dan selekas pintu dibuka
maka menyerbulah mereka kearah barisan musuh.
Huru Hara mencabut pedang Thiat-cek- kiam (pedang
magnit). Pasukan Ceng pun dengan bersorak sorai segera
menerjang.
Pertempuran segera berlangsung. Seru dan dahsyat.
Tetapi pasukan Ceng lebih segar semangatnya dan lebih
besar tenaganya. Cepat sekali situasi pertempuran yang
sudah tampak bahwa pasukan Ceng lebih unggul.
Pasukan Beng banyak yang roboh, terluka dan mati.
Namun mereka masih belum dapat melalui seorang
manusia yang bersenjata pedang. manusia baja itu tak lain
adalah Huru Hara.
Dengan memutar pedang Thiat-ci-kiam, Huru Hara
mengamuk. Adalah karena dia, maka pasukan Ceng dapat
tertahan.
Melihat pasukannya tertahan, seorang perajurit Ceng
yang baru saja didatangkan untuk membantu pasukan Ceng
yang mengepung Yang-ciu marah.
"Pecah menjadi dua sayap dan terus mengurung orang
itu. Yang sebagian terus masuk menerjang kedalam kota.
Akulah yang akan menghadapi pemuda itu !" serunya.
Dia bernama Gotay, seorang perwira yang baru
menonjol bintangnya. Dalam beberapa medan pertempuran
dia telah banyak jasanya. Keberaniannya menonjol,
keperkasaannya mengagumkan.
Dengan menghunus senjata tombak yang beratnya tak
kurang dari 50-an kati, perwira itu segera maju menyerbu
Huru Hara.
Huru. Hara terkejut menyaksikan keperkasaan perwira
Ceng itu. Tetapi diapun tak mau menunjuk kelemahan.
Apalagi dihadapan seorang perwira Ceng, meluaplah
kemarahannya.
Tring….. tanpa banyak gaya dan ulah, serempak Huru
Hara terus menghantam tombak lawan dengan pedangnya.
Gotay terkenal dengan tenaganya yang amat kuat.
Pernah dicoba, lima prajurit disuruh adu senjata dengan
tombaknya. Akibatnya lima pedang kelima prajurit itu
mencelat ke udara dan orangnyapun terlempar beberapa
langkah ke belakang.
Dan tombak Gotay itu terbuat dari baja hitam yang
kerasnya bitkan kepalang. Pada saat terjadi benturan,
tombak Gotay melekat saling dorong mendorong untuk
merobohkan lawan.
Tetapi setiap kali Gotay mendorong, ia malah segera
terdorong kebelakang. Ia merasa tenaga dorongannya itu
memantulkan tenaga-membal dan membalik lagi kepada
dirinya. Iapun berusaha untuk menarik tombaknya dari
lekatan pedang tapi tak berhasil.
Huru Hara tak mau membuang banyak waktu.
Secepat mengisar tubuh kemuka mendekati lawan
sekonyong-konyong Huru Hara mengirim sebuah
tendangan, plak ..... auh .....
Kaki Huru Hara tepat mengenai perut Gotay dan
perwira Ceng itu tak ampun lagi terpental sampai beberapa
meter. Celakanya lagi, karena dia mati-matian memegang
tombaknya yang melengket pada pedang Huru Hara,
karena tubuhnya terlempar belakang, otomatis iapun seperti
membetot dengan paksa tombaknya itu dari lekatan pedang.
Dan karena dia menggunakan tenaga besar untuk membetot
tombak, akibatnya tenaga sakti Ji-ih-sin-kang yang
memancar dari tubuh Huru Hara, telah ngalir deras
kelengan Gotay. Akibatnya, begitu jatuh ke tanah, Gotay
meraung-raung seperti babi hendak disembelih. Lengannya
terasa seperti putus ......
Huru Hara tak menghiraukan suatu apa. terus
mengamuk bagaikan banteng terluka. Pasukan Ceng kalang
kabut.
"Minggir!" tiba2 seorang perwira lain bertubuh tinggi
besar dan memelihara kumis berteriak menyuruh sekalian
prajuritnya menyingkir. Dia terus menerjang Huru Hara.
Selagi keduanya bertempur, seorang prajurit Ceng
menyusup pada kawan-kawannya yang sedang mengepung
Huru Hara, supaya menyingkir jauh dan terus menyerang
masuk kedalam kota.
"Lekas menyingkir jauh, komandan akan menembak
orang itu dengan meriam." kata prajurit kepada kawankawannya
.
Sudah tentu kawanan prajurit yang tengah mengepung
Huru Hara menjadi ketakutan dan cepat2 menyingkir.
Mereka ikut menyerbu kedalam kota.
Perwira Ceng yang tinggi besar itu terkejut jika beradu
senjata dengan Huru Hara. Dia merasakan bahwa dari
pedang Huru Hara ternyata memancarkan daya-sedot yang
amat kuat. Dia hendak menarik senjatanya dari lekatan
pedang tetapi Huru Hara malah menurut saja pedangnya
ditarik, bahkan didorong juga. Sudah tentu perwira Ceng
itu menjadi kaget setengah mati karena mukanya terbelah
oleh pedangnya sendiri. Dalam keadaan yang terdesak, dia
mundur terus melarikan diri.
Huru Hara mengamuk tetapi dia merasa sekelilingnya
kosong. Dia hentikan permainan pedangnya dan ..... , "Hai,
kemana mereka!" teriaknya ketika melihat di medan
pertempuran itu hanya dia seorang diri saja.
Bum ..... bum .....
Terdengar dentum suara yang menggetarkan bumi dan
muncrat tanah campur tiang ke udara. Kemudian disusul
dengan jeritan ngeri dan tubuh manusia yang bertebaran
keempat penjuru. Huru Hara terkejut. Dia melihat bahwa
dentuman dahsyat itu telah terjadi di perkemahan musuh.
Cepat ia lari menghampiri.
"Engkoh Liong," tiba2 terdengar teriak seorang anak.
Dan ketika Huru Hara berpaling dilihatnya Ah Liong
bersama beberapa anak laki sedang mengerumuni sebuah
benda aneh. Benda itu berbentuk bulat dan berlubang,
diletakkan diatas dua buah roda. Ah Liong dan kawankawannya
sedang mengacungkan pedang kearah dua orang
prajurit Ceng. Dan kedua prajurit Ceng itu sedang
memasakkan sesuatu kedalam mulut benda berlubang itu
dan yang seorang lagi lalu menyulut dengan api.
Bum .. , .. bum .....
Kembali terdengar ledakan yang dahsyat disana, lebih
kurung dua tiga li jauhnya tampak kebakaran.
"Ah Liong, apa ikut ?" tegur Huru Hara. yang cepat
menghampiri.
"Kita sedang menembaki pasukan Ceng,” sahut Ah
Liong.
"Apakah benda itu yang disebut meriam”
"Benar, enkoh Hok," kata Ah Liong, benda yang disebut
meriam. Milik pasukan Ceng. Sekang kusuruh kedua
prajurit Ceng itu untuk menembakkan kearah perkemahan
mereka sendiri."
Kini Huru Hara baru mengerti bahwa Ah Liong dan
pasukannya berhasil menguasai prajurit pasukan meriam
musuh. Dan prajurit musuh itu dipaksa harus menurut
perintah anak2 itu.
"Apakah hanya sebuah itu ?"
"Menurut keterangan mereka, pasukan Ceng mempunyai
tiga pucuk meriam. Yang dua buah di pasukan Ceng yang
mengepung dari barat, dan yang satu digunakan pasukan
Ceng yang meyerang dari timur."
"Celaka," teriak Huru Hara, "kalau begitu kota Yang-ciu
ditembaki meriam dari tiga jurusan.”
"Ya tentulah kota Yang-ciu hancur dan rakyat banyak
yang menjadi korban."
Huru Hara mencabut pedang dan sekali ayun
membunuh kedua prajurit Ceng itu.
"Engkoh Hok, mengapa engkau membunuh mereka ?
Bukankah kita dapat menyuruh mereka untuk menembaki
pasukan Ceng sendiri ?" Ah Liong kejut.
"Tidak, Ah Liong, aku tak setuju. Mariam senjata
penyebar maut yang keji. Kita hancurkan saja !" kata Huru
Hara.
"Bagaimana caranya ?"
Huru Hara menghampiri meriam. Sekali tabas
keretanyapun hancur dan meriam jatuh ketanah.
Kemudian Huru Hara membuat lubang di tanah.
Meriam itu ditanam, ujungnya dimasuk kedalam tanah
sampai separoh bagian.
"Mana obat peledaknya?" tanya Huru Hara.
Ah Liong menyerahkan bahan peledak yang disuruh
masukkan kedalam lubang meriam sampai penuh. Setelah
itu Huru Hara lalu menyulut api.
"Lekas kalian menyingkir jauh. Apabila meledak meriam
baja itu tentu akan hancur berkeping-keping dan muncrat
kemana-mana," Huru Hara.
Setelah anak2 itu menyingkiri jauh dan bunyi dibalik
pohon, barulah Huru Hara menyulut bahan peledak dan dia
terus loncat meniarap di tanah.
Bum .....
Sebuah ledakan yang dahsyat segera terdengar. Tanah
dan keping2 baja dari mariam yang hancur itupun
bertebaran ke empat penjuru. Beberapa pohon yang
terlanggar kepingan baja itu seperti ditabas. Dan karang
yang terhantam pecahan meriam itupun hancur lebur.
Beberapa saat kemudian setelah suasana menjadi sepi,
Ah Liong keluar dari tempat persembunyiannya.
"Engkoh Hok !" bocah laki itu menjerit kaget dan terus
lari menghampiri Huru Hara yang rebah ditanah, tertimbun
tanah. Cepat dia menolong Huru Hara.
"Bagaimana engkau, engkoh Hok ?" tanya Ah Liong
camas.
"Tidak apa2," kata Huru Hara, "hanya kakiku terciprat
kepingan besi."
Ia menunjukkan betis kaki kirinya yang berdarah karena
terlanggar kepingan besi meriam. Melihat itu Ah Liong
terus berlari menghampiri seorang prajurit Ceng yang mati,
dia merobek baju prajurit itu lalu kembali ke tempat Huru
Hara dan membalut betisnya yang terluka itu," Apa engkau
dapat jalan, engkoh Hok ?"
"Ya, tetapi belum dapat lari," kata Huru Hara "Ah
Liong, rupanya musuh sudah menyerbu kedalam kota. Toh,
ada kebakaran dan suara orang yang bergemuruh . .
Huru Hara berbangkit dan paksakan diri berjalan. Ah
Liong dan pasukannya mengiring di belakangnya.
Memang kota Yang-ciu sudah pecah. Prajujurit Ceng
yang berhasil melanda kedalam kota seraya melakukan
serangan yang ganas. Karena kekurangan makan, pasukan
Beng yang mempertahankan kota itupun tak dapat bertahan
lagi. Banyak yang menyerah tetapi tak sedikit yang mati.
Keadaan dalam kata kacau balau. Penduduk yang belum
sempat mengungsi, banyak yang menjadi korban. Mereka
nekad melakukan perlawanan. Tetapi sia-sia.
Melihat itu mentri Su Go Hwat tak sampai hati. Dia
hendak menyerahkan diri dengan syarat agar musuh jangan
menganiaya rakyat yang tak berdosa.
Waktu berkemas hendak keluar dari markas untuk
menemui komandan pasukan Ceng, tiba-tiba muncul
seorang pemuda.
"Su tayjin, mari ke pintu selatan," seru muda itu seraya
memimpin tangan mentri Su, Dengan gagah berani dia
membabat musuh untuk membuka jalan.
Tetapi musuh mengepungnya dan tanpa minta idin lagi,
pemuda itu terus memanggul mentri Su lalu menerjang
kepungan musuh .. . .
-oo0dw0oo-
JILID 43
Gugur bunga ....
Tekad adalah motor penggerak diri manusia yang paling
hebat. Seperti yang terjadi pada diri pemuda itu, Dia datang
untuk menyelamatkan mentri pertahanan Su Go Hwat.
Tekadnya bulat, nyawa sebagai taruhannya.
Maka walaupun harus menghadapi kepungan prajurit
Ceng yang rapat, namun pemuda itu deagan gagah berani
dapat memaksa mereka mundur. Dia mengamuk bagaikan
banteng terluka.
Dengan susah payah, bahkan bahu kirinya kena tertusuk
senjata musuh, akhirnya pemuda gagah itu berhasil
membuka sebuah jalan darah dan dapat menerobos keluar
dari pmtu kota selatan.
Tetapi belum jauh meninggalkan kota Yang-ciu tiba2
muncullah seorang perwira Beng dengar beberapa
anakbuahnya.
"Hai berhenti!" tiba2 perwira itu menghadang ditengah
jalan dengan melintangkan pedangnya "lepaskan Su tayjin!"
Tetapi pemuda itu tak menghiraukan lagi. Dia menjawab
dengan menerjang perwira itu. Sudah tentu si perwira tak
mau menyerah. Keduanya lalu bertempur.
"Berhenti, Bok ciangkun!" tiba2 Su Go Hwat berteriak
menghentikan pertempuran "Bok Kiat dia kawan sendiri,"
seru mentri Su kepada yang menggendongnya.
Ternyata pemuda gagah itu adalah Bok Kiat putera
keponakan dari mentri Su Go Hwat. Ketika mendengar
bahwa Yang-ciu sedang diserang secara besar-besaran oleh
pasukan Ceng, Bok Kian bergegas menuju ke kota itu.
Diapun mendengar bahwa kota Kim-leng sudah jatuh ke
tangan musuh dan pamannya mentri Su, sedang menyingkir
ke Yang-ciu. Maka gegaslah dia menuju ke Yang- ciu untuk
membantu pamannya mempertahankan kota itu. Tetapi
ketika tiba di Yang-ciu, keadaan kota itu sudah kacau balau.
Pertahanan pasukan Beng sudah bobol dan pasukan musuh
sudah menyerang dalam kota.
Bok Kian saat itu datang dengan naik kuda. Pintu kota
selatan terbuka dan sedang berlangsung pertempuran. Bok
Kian nekad. Dia larikan kudanya menerjang masuk. Dia
tak peduli siapa yang menghadang dimuka, entah prajurit
Beng entah musuh, tentu dibabatnya. Dengan tindakan
yang nekad itu dia berhasil menerobos masuk.
Tetapi di tengah jalan, dicegat lagi oleh kelompok
prajurit Ceng. Dengan geram, Bok Kian membasmi
mereka. Tetapi kudanya kena ditombak rubuh. Bok Kian
makin marah, Dia mengamuk dan kelompok prajurit Ceng
yang terdiri dari selusin orang itu dapat dibabatnya.
Kemudian terus ia menuju ke markas tempat kediaman
mentri Su.
Kedatangannya tepat ketika mentri Su hendak keluar
berunding dengan musuh. Terus saja pamannya itu
dipimpin keluar. Karena masih diganggu dengan kawanan
musuh, akhirnya Bok Kian memanggul mentri Su untuk
melarikannya keluar pintu kota.
Sedangkan yang menghadang jalan itu memang Bok
Lim, komandan pasukan pertahanan kota Yang-ciu yang
ditugaskan mentri Su untuk membawa rakyat mengungsi ke
lain daerah. Rupanya dia sudah menyelesaikan tugasnya
dan bergegas kembali ke Yang- ciu.
Serta mendengar perintah Su tayjin, baik Bok Kian
maupun Bok Lim ssgera berhenti. "Su tayjin, siapakah dia
?" seru Bok Lim.
"Bok Kian, keponakanku sendiri," kata mentri Su.
“0, maafkan, Su kongcu," Bok Lim gopoh menghaturkan
hormat.
"Bok ciangkun, dia bukan she Su melain she Bok seperti
engkau," seru mentri.
"0, maaf, Bok kongcu."
Bok Kian mengucapkan beberapa kata merendah," Ah,
tak apa, ciangkun telah melaksanakan kewajiban ciangkun
untuk menyelamatkan tayjin."
"Bok ciangkun," kata mentri Su kepada Bok Lim,
"apakah penduduk yang mengungsi itu sudah engkau
tempatkan didaerah yang aman."
"Sudah, tayjin," jawab Bok Lim, "mengapa tayjin dibawa
menyingkir Bok kongcu ? Apa musuh sudah masuk
kedalam kota ?"
"Musuh mempunyai senjata meriam yang ampuh. Tak
mungkin kita dapat melawan," kata tayjin.
"Ah, biar bagaimana kita tetap harus melawan sampai
titik darah yang penghabisan," Bok Lim dengan nada
mengandung ejek.
"Tidak, ciangkun," sebelum mentri Su jawab, Bok Lian
sudah mendahului, "apabila Yang-ciu sudah tak dapat
ditolong, kita harus meninggalkan kota itu untuk mengatur
perlawan di lain daerah."
"Bok kongcu," seru Bok Lim, "Su tayjin seorang mentri
yang setya. Tak mungkin beliau meluluskan cara seperti itu.
Seorang mentri seperti Su tayjin, lebih baik pecah sebagai
ratna daripada harus melarikan diri.
"Ciangkun," seru Bok Kian, "soal perang bukan soal
yang kaku. Menang atau kalah sudah lumrah. Maka kalau
sekarang ini kita kalah, kita kan masih ada waktu untuk
mencari kemenangan pada lain waktu ?"
"Tetapi Bok kongcu," masih Bok Kian membantah," kota
Yang-ciu mempuryai arti penting sekali. Kalau kota itu
sampai jatuh, tentulah kotaraja Lam-khia akan terancam.
0leh karena itu Su tayjin hendak mempertahankannya
dengan segenap tenaga."
"Su tayjin, apakah Su tayjin membenarkan anggapan
ciangkun ?" tanya Bok Kian kepada pamannya.
"Sebenarnya apa yang dikata Bok ciangkun itu memang
tepat," kata Su tayjin, "tetapi kenyataan memang lain. Saat
ini Yang-ciu sudah dibenam pasukan musuh. Jika kita
mempertahankannya tentulah kota itu semakin hancur dan
rakyat semakin menderita. Bok ciangkun, musuh
mempunyai senjata meriam yang ampuh."
Bok Lim tampat terkejut, "Meriam ? Ah, senjata itu
dahsyat sekali."
Mentri Su mengiakan, katanya, "Itulah yang
mengerikan. Kalau pertempuran itu tak lekas dihentikan,
entah berapa ribu rakyat yang akan mati."
"Lalu bagaimana maksud tayjin ?" tanya Bok Lim.
"Tadi aku memang bermaksud hendak manemui
pimpinan pasukan Ceng untuk berunding ..."
"Berunding soal apa ? Apakah tayjin bermaksud hendak
menyerah ?" Bok Lim menjadi tegang.
"Aku bersedia menyerahkan kota Yang-ciu asal mereka
jangan mengganggu rakyat," kata Su Go Hwat.
"Tetapi tayjin sendiri ?"
"Aku akan pergi dari Yang-ciu."
"Ah, apakah mungkin mereka mau menerima syarat itu ?
Lain halnya kalau ...."
"Kalau bagaimana ?" tegur mentri Su.
"Kalau tayjin menyerah juga."
"Tidak !" bentak Bok Kiat dengan marah. "Su tayjin tak
boleh menyerah. Kalau menyerah kerajaan Beng pasti akan
ambruk, karena hanya Su tayjin seorang yang menjadi api
semangat yang membangkitkan gairah para pejuang untuk
meneruskan peperangan melawan orang2 Ceng !"
Bok Lim terbeliak. Dipandangnya anakmuda itu dengan
tajam. "Su tayjin sudah mengatakan bahwa kota Yang- ciu
tak dapat dipertahankan lagi. Demi kepentingan rakyat. Su
tayjin rela akan menyerah. Walaupun putera keponakan
tetapi engkau tak berhak memaksa Su tayjin untuk menuruti
kehendakmu, kongcu."
"Tidak," teriak Bok Kian," aku takkan memaksa Su
tayjin. Tetapi kutahu peribadi Su tayjin. Kalau ciangkun tak
percaya silakan saja berunding dengan beliau."
Tetapi pada saat itu dari daerah kota Yang-ciu muncul
pasukan Ceng yang menuju ke tempat mereka. Rupanya
larinya mentri pertahanan Su Go Hwat telah dilaporkan
pada pimpinan pasukannya untuk melakukan pengejaran.
Bok Kian terkejut. Demikian pula mentri Su. Bok Lim
segera berkata, "Celaka, kongcu, tayjin, rupanya mereka
hendak mengejar kita."
"Biarlah kuhadapi mereka," kata Su Go Hwat melangkah
maju tetapi dicegah Bok Kian.
"Jangan tayjin, berbahaya," seru pemuda itu.
"Bok kongcu, lekas engkau tahan mereka, biarlah
kulindungi Su tayjin untuk menyingkir dari sini," tiba2 Bok
Lim berseru dengan nada yang keras. Sesaat Bok Kian yang
polos, tergerak hatinya. Dia mencabut pedang terus maju
menyongsong musuh,
Mentri Su Go Hwatpun segera diiring Bok Lim dan
anakbuahnya untuk mencari tempat yang aman.
"Kemana kita akan menuju, tayjin ?" tanya Bok Lim.
"Kita ke Khay-hong untuk memperkuat tahanan disana,"
kata mentri Su.
"Baik," kata Bok Lim lalu menitahkan anak buahnya
supaya menyediakan tandu untuk mentri.
"Ah, tidak, aku dapat berjalan sendiri, ciang kun," kata
mentri Su.
"Hamba minta supaya ciangkun jangan menolak. Yang
penting kita harus cepat2 lari agar jangan terkejar musuh.
Karena tak ada kuda, terpaksa kami mohon tayjin suka naik
tandu. Kedua kalinya, dengan naik tandu jejak tayjinpun
tak mudah diketahui musuh."
Karena alasan itu tepat, terpaksa mentri Go Hwat
menurut. Dia segera naik sebuah tandu yang telah
disiapkan, entah dari mana. Tetapi dia tak sempat bertanya
hal itu.
Lebih kurang sejam lamanya, mentri menyingkap kain
pintu tandu. Ia terkejut. Ia melihat disekeliling tempat itu
terdapat beberapa perkemahan prajurit. Pada hal ia tahu
jelas bahwa pasukan Beng tak pernah membuat
perkemahan. Yang mendirikan perkemahan disetiap
tempat, tentulah pasukan Ceng. Sudah tentu dia kaget
sekali.
"Bok ciangkun, kemanakah kita ini ?” teriaknya seraya
menyingkap kain penutup.
"Tak usah gelisah, tayjin. Kita pergi ketempat yang
aman," sahut Bok Lim dengan tersenyum.
"Tetapi mengapa banyak perkemahan disekeliling daerah
ini ?"
"Ya, memang."
"Perkemahan apa ?"
"Tentara."
"Tentara ? tentara mana ? Tentara kita atau musuh ?"
"Tentara Ceng."
"Hai !" teriak mentri,"Tentara Ceng ? Mengapa kita
kesini ?"
"Bukankah tayjin hendak berunding ?"
"Tidak," teriak Su tayjin," sekarang aku tak mau
berunding lagi. Toh kota Yang-cia sudah terlanjur diduduki
musuh. Perlu apa harus berunding ?"
"Ah, harap tayjin bersabar. Berunding lebih
menguntungkan," kata Bok Lim.
"Bok siangkun, apa maksudmu ?"
"Tayjin adalah orang penting yang sangat diharapkan
kehadirannya oleh pimpinan pasukan Ceng. Tayjin akan
disambut dengan penuh kehormatan.
"Bok Lim !" teriak mentri dengan marah, ”engkau
hendak main gila ?"
"Tidak, tayjin," sahut Bok Lim dengan senyum santai,
"hamba tidak main gila. Hamba benar2 memikirkan
kepentingan tayjin."
"Tidak. Bok Lim, aku tak mau berunding dengan
mereka," kata mentri Su, "lekas suruh prajurit2 itu kembali
ke selatan lagi !"
"Hamba tak dapat menyuruh mereka, tayjin."
"Gila," teriak Su tayjin, "bukankah mereka itu
anakbuahmu, mengapa engkau tak dapat memerintahkan
mereka ?"
"Maaf. tayjin, mereka bukan anakbuah hamba."
"Apa katamu ?" teriak Su tayjin, "mereka bukan prajurit
kita ?"
"Prajurit mana ?"
"Prajurit pasukan Ceng."
"Jahanam ! Engkau berhianat Bok Lim !" teriak Su tayjin
menuding Bok Lim dengan marah sekali.
"Bagaimanapun hamba tetap memikirkan kepentingan
tayjin. Agar tayjin mendapat kedudukan yang tinggi.
Mengapa tayjin berkeras membela raja Beng yang sudah
dikuasai durna Ma Su Ing itu ?"
"Tidak !”
"Mengapa tayjin tak mau menggunakan siasat begini,"
kata Bok Lim, "tayjin pura2 bekerjasama kepada kerajaan
Ceng, Setelah tayjin mendapat kepercayaan dan kedudukan
tinggi, dapatlah tayjin menyapu bersih kawanan durna Ma
Su Ing itu. Bukankah penderitaan tayjin ini karena tingkah
ulah durna itu ? Mengapa tayjin tak mau membalas
dendam. kepadanya ?"
"Tidak," sahut mentri Su dengan tegas, "aku rela
dicelakai oleh Ma Su Ing tetapi aku tak rela kalau bumi kita
diduduki bangsa Boan."
"Tayjin keliru," sahut Bok Lim," kerajaan itu mempunyai
masa kejayaan. Kerajaan Beng sudah terlalu lama
memerintah, harus diganti dengan raja baru."
"Ya, memang benar dan aku setuju," jawab mentri, "asal
jangan dengan raja dari suku Boan"
"Hm, tayjin terlalu keras hati !" dengus Bok Lim.
"Bok Lim, apakah angkau benar2 tak mau
memerintahkan prajurit2 itu untuk membawa tandu ini
kembali ke selatan ?"
"Hamba tak kuasa memberi perintah mereka. Kalau
tayjin ingin memberi perintah sendiri, lakukan saja.
Mungkin mereka takut dan akan patuh kepada perintah
tayjin."
"Prajurit2 yang memikul tandu," seru Su Hwat. "berhenti
dan kembali ke selatan lagi ..... !"
Tetapi tandu tetap berjalan ke utara. Jelas prajurit2 itu
tak menghiraukan.
"Hai, prajurit, apakah engkau tak mendengar perintahku
!" teriak mentri seraya melongok kebawah,
Tetapi prajurit yang memanggul tandu tak
menghiraukan. Mereka tetap berjalan seperti biasa.
"Hai, prajurit, apa engkau tuli ?"
Tetap prajurit itu tak menghiraukan. Bahkan karena
mentri Su menuding kearah salah seorang prajurit yang
memikul disebelah kanan, prajurit itu mengangkat muka
dan balas memandang menganggukkan kepala.
"Hai, berhenti !" teriak mentri kepada prajurit itu.
Prajurit itu mengangguk dan tersenyum. Tetapi dia tetap
berjalan ke utara. Sudah tentu mentri mendongkol dan
marah sekali.
"Prajurit. apa engkau prajurit Ceng ?" Prajurit itu
mengangguk-angguk dan senyum kepada mentri.
"Siapa suruh engkau membawa tandu ini!”
Kembali prajurit itu mengangguk dan tersenyumsenyum.
"Apakah Bok Lim yang menyuruh kalian?”
Kembali prajurit itu mengangguk-angguk.
"Apakah Bok Lim sudah menyerah kepada pimpinan
pasukan Ceng ?"
Prajurit itu mengangguk-angguk.
Mentri merah wajahnya. Jelaslah sudah baginya apa
yang telah terjadi. Bok Lim berhianat dan takluk pada
musuh kemudian menjebak dirinya untuk dibawa kepada
pimpinan pasukan Ceng.
"Jahanam !" berkobarlah amarahnya. Ingin rasanya ia
membunuh perwira hianat itu. Tetapi ah ………..
bagaimana mungkin. Saat itu dia sedang berada diatas
tandu yang dipikul oleh empat prajurit Ceng. Bagaimana ia
dapat turun untuk menghajar Bok Lim !
Setelah menenangkan diri, timbullah suatu pikiran.
Kamudian ia melongok kebawah lagi dan berseru kepada
prajurit tadi.
"Hai prajurit, tahukah engkau apa ini ?" serunya seraya
mencabut cincin dari jarinya dan ditunjukkan ke arah
prajurit itu.
Prajurit itu mengangguk-angguk dan tersenyum simpul.
"Maukah engkau memiliki benda ini ?" kata mentri pula.
Dan untuk kesekian kalinya prajurit itu menganggukangguk
dan tersenyum.
"Akan kuberikan cincin pusaka ini kepadamu apabila
engkau mau menurut perintahku." Prajurit menganggukangguk.
Mentri melongok dan memandang kian kemari.
Ia tak melihat Bok Lim berada disekeliling situ.
Kesempatan itu segera digunakan mentri untuk membujuk
prajurit.
"Prajurit, selain cincin ini, nanti engkau berempat akan
kuberi hadiah uang yang banyak apabila engkau mau
membawa tandu ini balik ke selatan. Cobalah engkau
rundingkan dengan kawan-kawanmu," kata mentri dengan
suara pelahan.
Prajurit itupun kembali mengangguk.
"Bagus, prajurit, jasamu tidak kecil Kelak akan kuberi
pangkat tinggi," kata mentri lalu menghempaskan diri
menunggu.
Namun ia merasa tandu nu masih tetap jalan dan prajurit
itu tak memberi kabar. Karena tak sabar, mentripun
melongok kebawah lagi. "Bagaimana, apa engkau sudah
berunding?” tanyanya.
Prajurit itu mengangguk-angguk, tersenyum "Bagaimana
hasilnya, apa kalian setuju ?” desak mentri.
Prajurit itu mengangguk-angguk.
"Bagus, lekas laksanakan sekarang !" perintah mentri.
Lalu dia duduk lagi dan menunggu dengan gembira. “Tuh,
lihat engkau Bok Lim, apakah engkau mampu mencegah
mereka,” pikirnya dengan gembira.
Iapun merencanakan. Setelab nanti tiba di tempat yang
aman, dia akan memerintahkan prajurit itu berhenti dan
menurunkannya. Di situ dia akan suruh keempat prajurit itu
menangkap Bok Lim.
Beberapa slat kemudian, ia masih merasa tandu itu tetap
berjalan kearah utara. Ia agak tak enak hati. Namun
ditenangkannya supaya ia tak gelisah. Dia hendak
menunggu lagi. Bukankah tadi prajurit itu sudah
mengangguk tanda setuju.
"Eh, mengapa prajurit itu tak mau bicara melainkan
hanya mengangguk kepala saja ?" tiba2 timbul rasa heran
dalam hatinya. Tetapi pada lain kilas ia menjawab sendiri,
"Ah, mungkin prajurit itu tak mengerti bahasa yang
kugunakan. Atau kemungkinan dia memang takut bicara
karena menjaga supaya tidak didengar Bok Lim. Ya, tentu,
dia tentu bersikap hati2."
Setelah mendapat anggapan itu, tenang lagi pikirannya.
Namun beberapa saat kemudian ia tetap merasa kalau
tandu itu masih berjalan ke utara. Mau tak mau ia mulai
gelisah lagi. Akhirnya ia tak kuat menahan kesabarannya
dan melongok ke bawah.
"Prajurit, bagaimana ?" tanyanya.
Tampak prajurit itu balas memandang dan menganggukangguk,
tersenyum simpul.
Sudah tentu Su tayiin mengkal sekali, "Hai prajurit, apa
engkau hendak mempermainkan aku?”
Prajurit itu mengangguk-angguk dan tersenyum.
"Bangsat !" Su tayjin memaki.
Prajurit itupun mengangguk-angguk.
Su Go Hwat gelisah dan marah. Beberapa jenak
kemudian ia tenangkan diri untuk mencari akal bagaimana
dapat terlepas dari tangan Lim.
"Su tayjin, perlu apa tayjin marah2 ?" tiba2 terdengar
suara Bok Lim. Dan ketika Su Go Hwat menyingkap tenda
tandu, ia melihat Bok Lim muncul dibawah.
"Bok Lim, tak kira kalau engkau akan berbuat senista
ini," seru Su tayjin, "jika engkau membenci Ma Su Ing, itu
memang layak karena tiada seorangpun kecuali kaki
tangannya, yang suka pada tay-haksu itu. Tetapi mengapa
engkau sampai hati juga untuk menjual aku ?"
"Su tayjin, justeru karena hamba sayang pada tayjin
maka hamba hendak mencarikan jalan yang selamat untuk
tayjin. Bukankah kerajaan sudah tak dapat ditolong lagi ?
Mengapa tayjin harus kemati-matian setya kepada raja
Beng ?"
"Bok Lim, seorang lelaki harus menjunjung kesetyaan
kepada negara dan raja. Raja Beng yang sekarang ini
memang bu-to ( sesat ), tetapi bagaimana pun dia adalah
raja dari kerajaan bangsa kita sendiri. Yang penting
sekarang kita usir dulu orang2 Boan itu, baru kita nanti
menuntut supaya baginda yang sekarang ini diganti dan
mentri2 durna dibersihkan."
Bok Lim tertawa, "Tayjin, ibarat orang sakit, sekarang
ini kerajaan Beng sudah parah. Tak mungkin diobati lagi.
Kita harus menguburnya dan mengganti dengan yang baru.
0leh karena itu kuminta tayjin suka menyadari suasana
perobahan keadaan ini dan suka bekerja pada kerajaan
Ceng...."
"Bangsat, jangan engkau bicara begitu lagi padaku !"
teriak Su Go Hwat marah," kalau kau ingin berhamba
kepada orang Boan, silahkan saja. Tetapi jangan harap
engkau dapat membujuk aku !"
Bok Lim tertawa, "Tayjin memang keras kepala. Tetapi
kekerasan kepala tayjin itu tidak menguntungkan pada diri
tayjin sendiri dan kepada rakyat. Kita tahu bahwa tayjin
seorang mentri yang setya. Rakyat memandang kepada
tayjin. Kalau tayjin mau bekerja sama dengan kerajaan
Ceng, merekapun tentu akan memperlakukan rakyat kita
dengan baik. Tetapi kalau tayjin bersikap keras, merekapun
akan menyiksa rakyat kita. Apakah tayjin tidak menaruh
kasihan kepada rakyat dan hanya mengutamakan
keangkuhan tayjin sebagai seorang mentri setya ? Apakah
yang disebut setya itu ? Apakah mengukur rasa setya
kepada raja tetapi kebalikannya mencelakai rakyat itu satu
tindakan yang mulia ?"
"Kesetyaan adalah suatu kehormatan," seru Su Go
Hwat, "lebih baik kita hancur sebagai bangsa yang merdeka
daripada hidup sebagai budak lain bangsa !"
"Omong kosong !" teriak Bok Lim, "jika semua rakyat
berpendirian sebagai tayjin tentu bangsa Han akan
musnah."
"Tidak mungkin setiap orang akan sama pendiriannya
dengan aku. Salah seorahg yang tidak mempunyai
pendirian begitu adalah engkau manusianya. Oleh karena
itu orang Boan tentu akan dapat menjajah kerajaan Beng
itu,”
"Tayjin, jangan tayjin keliwat menghina aku,” teriak Bok
Lim, "waktu di Yang-ciu memang aku ini dibawah perintah
tayjin. Tetapi sekarang sudah bebas. Aku bukan orang
bawahan tayjin lagi."
"Benar, sekarang engkau adalah anjing pengikut orang
Boan !" damprat Su Go Hwat.
"Su Go Hwat, jika aku tak mendapat perintah untuk
membawa engkau menghadap panglima pasukan Ceng,
tentu saat ini juga engkau kubunuh !"
"Ho coba saja kalau engkau mampu, bangsat !" tiba2
terdengar suara seorang,
Bok Lim terkejut dan cepat berpaling kearah suara itu.
Ah .....
"Engkau !" serunya terkejut.
"Ya, kenapa ?" seru orang itu, "kaget ya ?"
"Mau apa kalian kemari ?" tanya Bok Lim.
"Mau apa engkau juga berada disini ?" balas yang
ditanya.
"Sudah jangan banyak bicara !" bentak Bok Limo
"engkau tak punya kekuasaan apa2 di sini !"
"Mengapa ? Karena engkau sudah menyeberang kepada
orang Boan ?"
Merah muka Bok Lim, "Kukatakan, jangan banyak
mulut lagi !"
"Su tayjin, apakah tayjin tak kurang suatu ," tiba2 orang
itu beralih kepada mentri Su.
Pertama mendengar suara pendatang itu, Su tayjin sudah
gembira. Maka diapun segera membuka kain tenda dan
berseru, “Loan hiantit, aku tak apa2, tangkaplah pengbianat
itu !"
"Baik, harap tayjin tenang, tentu akan kuberikan leher
penghianat itu!" seru orang itu.
Memang benar, yang dipanggil Loan biantit adalah Loan
Thian Te alias pendekar Huru Hara. Dia bersama Ah Liong
dan rombongan anak2, karena berjalan mengitari Yang-ciu,
secara tak terduga-duga telah melihat rombongan tandu
yang membawa Su tayjin. Segera mereka melakukan
pengejaran.
Waktu dapat menyusul, Huru Hara tak lekas2 unjuk diri.
Dia bersembunyi di gerumbul pohon dan mendengar semua
pembicaraan Bok Lim dengan Su tayjin. Pada waktu Bok
Lim hendak bertindak barulah Huru Hara muncul.
"Bok Lim, mengapa engkau menawan Su tayjin ?"
tegurnya.
"Engkau tak berhak bertanya, ini urusan dengan Su
tayjin," sahut Bok Lim.
"Su tayjin, telah menyerahkan urusan ini padaku !"
"Engkau hendak menangkap aku ?" seru Bok Lim
dengan nada mengejek.
"Apa engkau sangka manusia seperti dirimu ini pantas
dibiarkan hidup saja ?"
"Hm, lihatlah," sahut Bok Lim, "daerah ini sudah masuk
dalam kekuasaan pasukan Ceng bila engkau berani
bertindak. dengan cepat pasukan Ceng akan
mengepungmu."
"Aku bukan budak orang Ceng, mengapa aku takut
kepada mereka ?" balas Huru Hara, “suruh mereka keluar,
biar kubasmi semua !"
Bok Lim terkesiap. Sebenarnya ia menggertak tetapi
Huru Hara tak gentar. Memang daerah situ sudah termasuk
daerah yang dikuasai pasukan Ceng tetapi dia tak tahu pasti
apakah pasukan Ceng akan segera datang untuk
membantunya.
Tiba2 dia mendapat akal. Serentak ia berseru memberi
perintah kepada keempat tukang tandu, -"Lekas bawa lari
tandu itu !"
Dalam berkata-kata itu dia menggerak-gerak kaki dan
tangan seperti orang melakukan gerak berlari. Keempat
tukang tandu itupun segera lari.
Tetapi belum berapa jauh, sudah dihadang oleh
serombongan anak lelaki yang di kepalai Ah Liong,
"Berhenti," teriak Ah Liong. Tetapi keempat tukang
tandu itu tak pedulikan kepungan anak2 itu. Mereka terus
menerjang kepungan anak2 itu.
"Huh . .. huh . . . . auh ..... " terdengar keempat tukang
tandu itu menjerit dan berjingkrak-jingkrak seperti orang
kesetanan. Bermulanya tubuh dan muka mereka seperti
tertabur benda kecil. Dan pada lain saat benda kecil2 itu
terus merayap masuk kedalam baju dan mulai menggigiti.
Karena tak tahan menderita siksaan yang luar biasa itu,
keempat tukang tandu terus lepaskan tandunya dan lari
seperti orang dikejar setan.
Brukkkk ..... tandu seperti dibanting. Ah Liong tak
menghiraukan kawanan tukang tandu itu. Dia cepat
menghampiri tandu.
"Astaga, Su tayjin ," Ah Liong berteriak kaget karena
melihat mentri menggeletak dalam tandu. Bersama-sama
dengan kawannya, dia segera memberi pertolongan,
mengeluarkan mentri dari tandu. Ternyata karena terkejut
dan menderita sedikit luka, mentri telah pingsan.
Sekonyong-konyong muncul Huru Hara, Dia berlari
mendatangi, "Hai, kenapa itu Ah Liong ?"
"Su tayjin pingsan karena tandunya dilepas dengan
tiba2." sahut Ah Liong.
"Masukkan mentri kedalam tandu lagi dan pikullah,"
perintah Huru Hara kepada rombongan anak2 itu.
Setelah mentri dimasukkan lagi kedalam, tandu mereka
segera berangkat, "Kita harus cepat keluar dari daerah ini.
Mereka tentu akan mengejar." kata Huru Hara.
"Bagaimana Bok Kian ?" Tanya Ah Liong.
"Dia kutabas sebelah tangannya dan melarikan diri."
"Mengapa tidak engkoh bunuh saja ?"
"Aku lebih mengutamakan keselamatan tayjin. Biar dia
hidup, kalau lain kali bertemu lagi tentu kuhabisi nyawanya
!"
Mereka kembali menuju ke selatan untuk mencapai kota
Khay-bong-hu. Tetapi belum berapa lama berjalan, tiba2
mereka dikepung oleh pasukan Ceng.
"Hai, pendekar gila, menyerah atau tidak !" seorang
perwira muda tampil kemuka dan berseru lantang.
Menilik dandanannya dia seorang perwira bangsa Boan.
Masih muda dan tampak gagah sekali. Dibelakangnya telah
siap sebuah pasukan yang siap dengan memegang busur.
"Siapa engkau !" teriak Huru Hara.
"Aku Borga, pimpinan barisan pemanah !"
"Ho, engkau hendak menantang aku ?"
"Jangan banyak mulut !" bentak perwira
Borga,"menyerah atau tidak ?"
Tiba2 dari belakang barisan muncul seorang perwira
yang lengannya hilang dan dibalut dengan kain putih.
Darah merah masih merembes pada kain pembalut.
"Komandan, itulah dia orangnya yang merampas mentri
Su Go Hwat. Tangkap dan bunuh saja" kata orang itu.
"Huh, bagus Bok Lim, engkau sendiri tak berani
menangkap sekarang engkau menjilat-jilat pantat
majikanmu, hm," dengus Huru Hara.
"Bangsat engkau ..... "
"Sudahlah, harap Bok-heng mundur. Dia tentu akan
kutangkap," kata perwira Borga.
"Tuh, lihatlah, Borga, anjingmu memang suka menyalak
!" seru Huru Hara.
"Jangan banyak mulut ! Lekas menyerah atau ditawan ?”
bentak Borga.
"Menyerah bagaimana ? Minta supaya menyerahkan
tangan agar dapat engkau borgol?” ejek Huru Hara," Hm,
nista sekali."
"Engkau mau melawan ?"
"Aku mau menyerah apabila aku memang kalah
bertanding dengan engkau !" sahut Huru Hara," tetapi kalau
engkau takut dan hendak menggunakan barisan pemanah,
silakan. Akupun tak kan mundur !"
Merah muka Borga.
"Komandan, jangan hiraukan dia. Dia memang hendak
menggunakan siasat agar dapat loloskan diri. Tangkap saja,
kalau melawan bunuh sajalah," kembali Bok Lim berkata
seraya mendekati Borga.
"Ya, benar, turut saja omongan anjing peliharaanmu itu.
Aku memang hendak melihat. Apakah perwira Boan itu
seorang ksatrya yang perwira ataukah seorang pengecut
seperti kawanan anjing peliharaannya,” ejek Huru Hara.
"Komandan, jangan hiraukan bangsat itu.”
"Mundur," bentak Borga kepada Bok Lim “dia
menganggap orang Han sendiri yang paling ksatria hm . . .
."
Borga melangkah maju dan berseru dengan nyaring,
"Hai, engkau buronan. Aku siap menghadapi engkau."
"Jika engkau hendak membikin panas hatiku, segera
akan kuperintahkan barisan pemanah untuk mengancurkan
tubuhmu. Hayo, lekas maju dan bertempur dengan aku!"
"Apakah engkau benar2 berani ?"
"Jahanam ! Jangan banyak bicara !"
Huru Hara hendak melangkah tetapi tiba2 Ah Liong
sudah lari mendahului kemuka perwira Boan itu.
"Jangan kurang ajar terhadap engkohku !" teria bocah
kuncung Ah Liong seraya bercekak pinggang." engkau kira
engkohku takut kepadamu? Huh, salah. Yang benar,
engkohku segan mengotori tangannya untuk menjamah
engkau. Engkau tak layak menjadi lawan engkohku."
"Bajingan cilik, engkau siapa !" teriak Borga.
"Aku adalah jenderal Kuncung dari pasukan Bon-bin
yang mempertahankan kota Yang–ciu. Sudah jangan
banyak-bicara. Kalau engkau mampu mengalahkan aku
baru engkau berharga menjadi lawan engkohku !"
Dada Borga seperti hendak pecah karena dihina habishabisan
oleh bocah kuncung itu. Dengan meraung seperti
singa kelaparan dia terus menerkam Ah Liong. Tetapi
dengan gesit sekali Ah Liong sudah menghindar kesamping.
"Hai, aku disini, mengapa engkau menubruk kesitu ?"
Sudah tentu makin marah Borga dibuatnya. Dengan
cepat dia berputar tubuh dan terus loncat menerkam. Tetapi
untuk yang kedua kalinya dia tetap menubruk angin.
"Ho, kayak begitu mau jadi komandan pasukan. Masa
melihat orang saja tidak becus aku kan disini mengapa
engkau menerjang ke situ !"
"Bajingan cilik. Kalau tak dapat memutuskan lehermu,
aku bersumpah tak mau jadi orang lagi. Saking marahnya
Borga sampai melantangkan sumpah.
"Bagus, bagus. memangnya engkau ini manusia ? Kalau
manusia kan tidak begitu cara berkelahinya. Menerkam itu,
cara binatang nyerang korbannya, tahu !"
Sebenarnya Huru Hara terkejut ketika melihat Ah Liong
maju menghadapi Borga. Tetapi setelah melihat Ah Liong
dapat menghindari terkaman lawan dengan gesit, diapun
tenang kembali.
Beberapa jurus telah berlangsung dan selama itu Borga
tetap tak mampu menyerang Ah Liong. Ah Liong memang
sengaja main kucing-kucingan untuk membikin panas hati
perwira Boan itu. Memang Ah Liong mempunyai
keistimewaan dalam ilmu gin-kang. Dan diapun mendapat
latihan ilmusilat dari neneknya.
Beberapa jurus telah berlalu. Tiba2 Huru Hara teringat
akan mentri Su yang masih berada dalam tandu. Mengapa
dia tak menggunakan kesempatan itu untuk membawa lari
mentri ?
Diam2 Huru Hara menyelinap. Karena menumpahkan
perhatian kepada komandannya yang sedang menyerang
Ah Liong maka barisan pemanah Ceng tak sempat
memperhatikan gerak-gerak Huru Hara yang meninggalkan
gelanggang pertempuran itu.
"Hayo lekas kita masuk kedalam hutan," kata Huru Hara
kepada anak2 yang memikul tandu.
"Tetapi bagaimana dengan jenderal Kuncung?" kata
salah seorang anak.
"Kita selamatkan dulu Su tayjin ketempat yang aman,
nanti aku akan kembali kesini untuk membantu jenderal
Kuncung itu," kata Huru Hara. Mereka lalu menyusup
kedalam hutan.
"Hayo, apa napasmu sudah habis ?" teriak Ah Liong
ketika melihat Borga sudah mulai mengendor serangannya.
Ah Liong memang tak membalas karena ia tahu kalau ia
merubuhkan perwira itu, teatulah barisan pemanah akan
menghujani anakpanah kepadanya. Dan lagi, ia sempat
melihat gerak gerik Huru Hara yang diam2 telah
menyelamatkan mentri. Su. Ia makin bersemangat untuk
mempermainkan lawan perhatian barisan anakpanah
itupun tetap terpukau.
"Komandan, celaka, kita tertipu !" tiba2 Bok Lim
berteriak kepada perwira Ceng itu, "Lihat tandu yang berisi
Su tayjin telah dilarikan orang tadi !"
Borga gelagapan kaget. Karena sedang mencurahkan
kemarahannya kepada Ah Liong, maka ia, tak sempat
memperhatikan apa yang terjadi sekelilingnya. Peringatan
Bok Lim itu benar2 mengejutkan hatinya hingga ia
terbelalak dan berpaling.
"Appp……. uh," baru Borga hendak bertanya, tiba2 ia
terkejut dan cepat2 mendekap perut karena merasa celanadalamnya
melorot, "apa…?”
"Tandu itu telah dilarikan orang tadi !" ulang Bok Lim.
"Celaka ..... ," baru Borga berkata begi sesosok tubuh
kecil berkelebat dihadapannya plak, plak ..... tahu2 Borga
menjerit kesakitan karena kedua pipinya ditampar.
"Bajingan. engkau berani menampar aku,” teriaknya
seraya menerkam Ah Liong. Tetapi karena celanadalamnya
melorot turun, gerkannya pun terhambat.
Ah Liong makin bergaya. Dengan lincah menghindar
kian kemari dan apabila mendapat kesempatan, ia lalu
mempermainkan si perwira. Menjiwir telinga, menarik
hidung dan membetot bibir, bahkan menutul kelopak mata.
Memang dalam tutul menutul, Ah Liong mempunyai
kepandaian istimewa. Dengan sepasang sumpit dia dapat
menyumpit lalat yang terbang, ikan yang berenang di air,
Sudah tentu Borga makin meraung-raung seperti singa
udunen (sakit bengkak). Tetapi betapa-pun dia ingin
menerkam Ah Liong untuk disempa1-sempal tulangnya,
tetapi dia selalu menubruk angin kosong doang.
Melihat itu Bok Lim marah, "Panah bangsat itu !" ia
memberi perintah kepada barisan panah.
"Jangan !" serentak Borga berteriak mencegah, "kejar saja
bangsat yang melarikan tandu itu!"
Karena yang memerintah komandannya, barisan
pemanah itupun menurut. Mereka tak jadi lepaskan
anakpanah dan terus hendak bergerak mengejar jejak Huru
Hara.
Tetapi belum berapa jauh mereka pergi, tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh teriakan Ah Liong, “Hai tikus2, berhenti
dulu, lihatlah ini !"
Barisan pemanah itu terkejut, hentikan langkah dan
berpaling. Apa yang mereka lihat, benar-benar hampir tak
dapat mereka percayai. Ternyata saat itu Borga sudah
diringkus Ah Liong, bahkan anak itu sedang melekatkan
pedang ke leher Borga.
"Hayo, kalau kalian berani melanjutkan langkah, batang
leher komandanmu ini tentu akan potong !" teriak Ah
Liong.
Kawanan prajurit pemanah itu saling berpandangan satu
sama lain. Mereka heran dan tak mengerti apa yang terjadi.
Mengapa komandan mereka yang terkenal gagah perkasa
itu dapat diringkus oleh seorang bocah kuncung saja.
Memang Ah Liong telah bertindak cepat. Kuatir kalau
barisan pemanah itu akan mengganggu perjalanan Huru
Hara, diapun terus melancarkan serangan. Bahkan untuk
mempercepat, ia mengeluarlan sepasang sumpitnya. Setelah
menutuk berapa bagian tubuh lawan, akhirnya tusukan
sumpit mengenai bagian jalandarah pada dada Borga yang
membuat perwira itu lunglai seketika. Secepat kilat Ah
Liong terus membekuk perwira itu. Ia melolos pedang
Borga dan dilekatkan pada lehernya.
"Lepaskan panah !" Bok Lim memberi perintah tetapi
barisan pemanah itu menolak,
"Tidak, komandan tentu akan dibunuh anak itu."
Untuk beberapa saat barisan pemanah tak tahu apa yang
harus mereka lakukan.
Timbul pikiran Ah Liong untuk memberi pelajaran
kepada Bok Lim. Ia berseru, "Kalian ingin jiwa komandan
kalian ini selamat atau tidak !"
"Ya, asal jangan engkau ganggu Jiwa komandan kami."
"Baik, tetapi kalian harus mau menurut permintaanku.
Kalau tidak, tahu sendiri akibat yang akan terjadi pada
komandanmu ini."
"Engkau mau minta apa ? Uang ?"
"Buat apa uang ? Kau di tengah hutan,' begini tidak ada
orang yang menjual makanan."
"Kembang gula ?"
"Hus gigiku sakit karena aku gemar makan kembang
gula. Apa engkau menginginkan aku sakit gigi lagi ?"
"Lalu apa permintaanmu ?"
"Ringkus orang yang tangannya buntung satu itu dan
gebukilah sampai dia minta ampun."
Terdengar suara gemuruh dari kawanan prajurit
pemanah itu. Yang dimaksudkan Ah Liong tak lain
tentulah Bok Lim.
"Eh kalian tak mau, ya ? Baik, kalau begitu lebih sayang
pada orang itu daripada komandanmu !" Ah Liong terus
menekankan pedangnya kesamping. Darahpun mengucur,
dari leher Borga.
"Berhenti !" teriak salah seorang prajurit pemanah yang
melihat komandan mereka hendak disembelih. "ya, kami
akan menurut permintaanmu."
"Hai, mengapa kalian ini !" Bok Lim terkejut ketika
beberapa prajurit pemanah hendak menangkapnya.
"Apa boleh buat, kami terpaksa akan menyiksamu sedikit
dari pada komandan kami mati,” kata prajurit2 itu.
"Gila .....”
"Kalau melawan, terpaksa kami akan melepaskan panah
kepadamu," seru kawanan prajurit seraya memasang panah
ke busur.
Sudah tentu Bok Lim mati kutu. Walaupun dia dapat
melawan beberapa prajurit yang hendak menangkapnya itu
tetapi ia menyadari kalau tak mungkin dapat
menyelamatkan diri dari hujan anakpanah. Apa boleh buat,
terpaksa ia menyerah.
Setelah Bok Lim diringkus lalu di tengkurapkan ke tanah
dan melayanglah busur menghajar punggungnya.
"Jangan pakai busur, kasihan," teriak Ah Liong.
"Lalu pakai apa ?" teriak prajurit2 itu.
"Tinju saja."
Terpaksa beberapa prajurit itu menurut. Hujan tinju
segera mencurah ke kepala, tubuh dan sekujur badan Bok
Lim. Sudah tentu Bok Lim menjerit-jerit seperti babi
hendak disembelih. Seumur hidup baru ia merasakan
siksaan yang begitu hebat. Betapa tidak ? Waktu bekerja di
bawah perintah jenderal Ko Kiat, dia diangkat sebagai
wakilnya. Dan kemudian waktu berada di Yang-ciu, dia
diserahi sebagai pimpinan pasukan pertahanan kota oleh
mentri Su Go Hwat. Tetapi sekarang ? Aduh, minta ampun.
Sekarang ia diperlakukan seperti seorang tawanan yang
dirangket dan dipukuli. Perasaan marah, malu, jauh lebih
menyakiti hatinya dari tinju prajurit2 yang menghujanitubuhnya.
"Cukup !" teriak Ah Liong setelah melihat Pok Lim teletele,
"kasihan kalau dia sampai mampus, Nanti aku
kehabisan permainan yang enak ditonton."
Berdengung-dengung suara kawanan prajurit itu
melepaskan kemengkalannya tetapi tak berani menyatakan
dengan jelas. Mereka hanya berdengung2 seperti tawon
yang dionggok dari sarangnya.
"Sekarang cukur rambutnya semua !"
"Hah ?" seru prajurit2 itu dengan terkejut. Namun
mereka melakukan perintah juga. Seorang prajurit lalu
menggunduli Bok Lim dengan mengunakan pedangnya.
Sudah tentu tak dapat bersih.
"Alisnya sekali !" teriak Ah Liong.
Walaupun tele-tele karena dipukuli, tetapi masih sadar.
Ketika rambutnya dicukur pun tahu tetapi tak dapat berbuat
apa2 karena tangan dan kakinya diikat dan tubuh
ditelungkupkan ketanah.
"Huai ..... ," serentak ia muntah darah karena mendengar
perintah Ah Liong yang terakhir. Dia tak dapat menahan
gelombang kemarahan lagi. Darah bergolak dan meluap
keatas lalu muntah keluar dari mulutnya. Ia tak tahu apa
yang terjadi lagi karena seketika itu dia pingsan.
"Apakah engkau masih ada permintaan lagi?” seru
kawanan prajurit itu.
"Yang terakhir dan setelah itu segera kubebaskan
komandan, kalian !"
"Katakanlah !"
"Pertama, kalian harus mengikat kaki masing2 sendiri.
Kedua, kalian harus menutup mata kalian. Aku akan
tinggalkan tempat ini. Sebelum aku bersuit memberi tanda,
kalian tak boleh gerak. Barangsiapa berani melanggar,
terpaksa komandan ini akan kubunuh !"
Walaupun mendongkol dalam hati tetapi kawanan
prajurit itu tak dapat berbuat lain kecuali menerima.
Setelah melihat mereka melakukan perintah Ah Liong
lalu memanggul tubuh Borga yang tak dapat berkutik
karena jalandarahnya tertutuk lalu cepat2 meninggalkan
tempat itu.
Lebih kurang sepeminum teh lamanya, karena masih
belum mendengar suitan, kawanan prajurit itu tak dapat
bersabar lagi.
"Hai, mengapa anak itu tak memberi tanda,” kata salah
seorang prajurit.
"Kita ditipu," seru yang lain. Mereka lalu berusaha
membuka penutup mata dan pengikat kaki. Kemudian
mereka serempak mengejar Ah Liong.
Tak berapa lama mereka melihat debu mengepul- dan
batang pohon bergetar, daun2 berguguran didera angin
yang menderu-deru. Buru2 barisan pemanah itu
menghampiri. Mereka duga tentu terjadi pertempuran
hebat.
Dugaan mereka memang benar. Dan diluar dugaan
ternyata yang tengah bertempur itu adalah Ah Liong yang
dikepung oleh lima orang lelaki. Seorang sasterawan
setengah tua, seorang imam, seorang paderi, seorang lelaki
bertubuh kurus kering dan seorang lelaki gemuk berwajah
segar.
Ah Liong sedang melawan si lelaki gemuk bertubuh
segar seperti anak kecil. Karena masih mengepit Borga,
gerakan Ah Liong agak tak leluasa. Tambahan pula si
gemuk berwajah anak itu juga bertingkah seperti anak kecil.
Dia berlincahan seperti orang menari yang mengitari
sekeliling Ah Liong.
"Aduhhhh," tiba2 Ah Liong menjerit kesakitan karena
kuncungnya ditarik lawan kemuka. Ah Liong berusaha
untuk menghantam tangan lawan tetapi tak mampu. Si
gemuk berwajah kanak2 itu cerdik sekali. Setelah dapat
mencengkeram kuncung Ah Liong dia terus menekan
kebawah sehingga kepala Ah Liong menunduk. Tak heran
kalau pukulan Ah Liong tak sampai pada sasaran.
Ah Liong marah. Belum pernah ia mendapat perlakuan
begitu rupa dari orang. Ia anggap itu suatu hinaan besar.
Dilepaskannya tubuh Barga, lalu secepat kilat kedua
tangannya menerkam tangan lawan.
"Uh ," ia dapat menangkap tangan lawan terus hendak
diremasnya. Tetapi alangkah kejutnya ketika ia rasakan
lawan itu licin sekali hingga remasannya merucut atau
terlepas.
"Ho, kuncung balung, engkau mau main2 dengan aku ?"
lelaki berwajah kanak2 itu tertawa.
Dicobanya lagi untuk menangkap tangan orang itu tetapi
ketika Ah Liong hendak memelintirnya ternyata terlepas
lagi. Tangan orang itu benar2 licin seperti belut.
"Kuncung, kalau kutarik kuncungmu, kau tentu akan
jadi setan kepala gundul," itu tertawa mengikik seperti anak
kecil.
Diam2 Ah Liong mengakui. Memang kalau orang itu
mau, sekali tarik rambut kuncungnya tentu jebol.
"Siapa engkau ?" seru Ah Liong.
"Hong- hay- ji."
"Hong-hay-ji ? Bocah berwajah kuning?” Ah Liong
menegas.
"Ya, memang begitu"
"Apakah mukamu kuning ?"
"Benar."
"Ah, tak mungkin. Masa manusia kok berwajah kuning."
"Tidak percaya ?"
"Sebelum melihat sendiri, siapa sudi percaya saja ?" seru
Ah Liong yang tiba2 saja mendapat akal.
"Baik, lihatlah sendiri," lelaki berwajah seperti anak itu
terus menyentakkan rambut Ah Liong keatas agar dapat
melihat dirinya.
Sekonyong-konyong Ah Liong mencuri kesempatan. Dia
menyelonong, mengulurkan tangannya untuk memijat
celana orang, lalu ditariknya.
"Uhh…….," Hong-hay-ji menjerit kaget dan cepat2
lepaskan cekalan tangannya pada rambut Ah Liong untuk
mendekap pinggang celananya. Ternyata tali celanadalamnya
telah putus dan melorot ke bawah.
"Kurang ajar .... plok," baru Hong-lay-ji bertenak
memaki, pipinya sudah ditampar Ah Liong sehingga dia
menjerit-jerit kesakitan dan lari kebelakang.
Ah Liong hendak mengejar tetapi tiba2 ia teringat pada
Borga. Dia harus tetap menguasai perwira Boan itu untuk
sandera. Tetapi ketika berpalig kebelakang, ah . . . . ternyata
perwira Borga itu sudah berada ditangan si sasterawan
setengah tua.
"Kuncung, mengapa engkau menyandera perwira ini ?"
seru sasterawan setengah tua itu. Agaknya Ah Liong pernah
bertemu dengan orang itu. Tetapi dia lupa2 ingat.
"Mengapa engkau merebutnya ?" tanyanya Ah Liong.
"Ini kan perwira Borga yang memimpin pasukan untuk
merebut kota Yang-ciu. Mengapa bisa jatuh ketanganmu ?"
orang itu heran.
"Siapun juga bisa jatuh ketanganku," sahut Ah Liong
dengan bangga," lekas serahkan dia kepadaku."
"Boleh, boleh, asal engkau mampu merebut dari
tanganku ...."
"Lihat saja sendiri ?" Ah Liong terus hendak menerjang
tetapi pada saat itu lelaki tubuh kurus kering sudah
merintang di jalan serta silangkan kedua tangannya.
Krakkkk....
Hantaman Ah Liong telah membentur tangan orang itu.
Seketika Ah Liong meringis kesakitan dan cepat menarik
pulang tangannya seperti menghantam dua kerat tulang
baja amat keras sekali.
"Jangan kurang ajar, kuncung !" seru orang itu dengan
nada yang parau menyeramkan.
"Engkau setan atau orang ?" sejenak Ah Liong
mengawasi orang itu.
"Jangan lancang mulut ! Sudah tentu aku seorang
manusia seperti engkau."
"Aneh, aneh," dengus Ah Liong seperti seorang yang
mencium bau kotoran, "kalau manusia mengapa seperti
mayat, kalau mayat mengapa bisa bicara ?"
"Hus, aku ini manusia- hidup."
"Kalau menusia hidup tentu punya nama."
"Mengapa tidak ?"
Sebenarnya Ah Liong memang sengaja hendak mengulur
waktu untuk meredakan tangannya yang sakit, maka
sengaja ia mengajak orang bicara tetek bengek.
"Punya nama ? 0, kalau begitu, engkau ini benar2
manusia. Lalu siapa namamu ?"
"Toat-beng-ko-loh Ang Kim."
"Toat-beng-ko-loh ? Apa artinya ?"
"Edan, engkau makan sekolahan atau tidak?"
"Hus, yang edan engkau. Masa sekolahan disuruh makan
? Tidak mau, tidak mau !"
"Hus, engkau bocah edan. Makan sekolahan itu berarti
makan seperti makan nasi tetapi masuk sekolah."
"Buat apa ?"
"Kalau sekolah engkau tentu tahu huruf dan
pengalamanmu tentu lebih luas."
"Tahu huruf apa guna ? Tidak tahu huruf ruginya ?"
"Kuncung, aku suka melihat kebandelanmu. Apakah
engkau mau jadi muridku?”
"Jadi muridmu ? Engkau mau jadi guruku? Ha, ha, ha,
ha ..... "
"Hus mengapa engkau tertawa ? Apa aku tak pantas jadi
gurumu ?"
"Tanya saja kepada dirimu engkau pantas tidak menjadi
guruku."
"Jelas lebih dari pantas."
"Ho, tidak mudah jadi guruku, bung," seru Ah Liong,
"satu-satunya orang yang kukagumi ialah engkoh Hok-ku
itu ?"
"Siapa engkoh Hok-mu itu ?"
"Dia adalah pendekar rumor satu di dunia.”
"Siapa namanya ?"
"Loan Thiau Te atau pendekar Huru Hara, seram tidak
?"
"Tidak," seru Ang Kim, "namaku lebih seram."
"Toat-beng-ko-loh itu ? Bukankah itu artinya Tengkorakpencabut-
nyawa ?"
"Ya, lengkapnya, pendekar Tenkorak-pencabut-nyawa.
Apa engkau tidak gemetar mendengar nama itu ?
"Ya, tetapi yang gemetar adalah perutku.”
"Mengapa ?"
"Dengar, tuuuuuut .....
"Kurang ajar, setan kuncung ! Engkau ni berkentut
dihadapanku ?" seru orang itu marah.
"Salah siapa ? Mengapa engkau menyebut namamu dan
mengatakan aku gemetar atau tidak. Memang aku gemetar
tetapi yang gemetar bukan badan melainkan perut.
Akhirnya keluar anginnya, wah, legah, legah sekali. Terima
kasih, terima kasih………”
Berhadapan dengan si kuncung Ah Liong, Ang Kim
benar2 bohwat (tobat). Dia mengkal tetapi tak dapat
berbuat apa2. Bahkan setelah rasa mengkalnya hilang,
timbullah rasa suka kepada anak itu. Dia sendiri selama ini
tak punya murid. Alangkah baiknya kalau dia bisa
mendapat seorang murid seperti Ah Liong. Anak yang
nakal biasanya tentu pintar.
"Sudahlah, kuampuni semua kekurang-ajaranm asal
engkau mau jadi muridku."
"Lho, aneh, aku kan tidak minta ampun, mengapa
engkau hendak memberi ampun ?" seru Ah Liong, "sudah
kukatakan, apa engkau layak menjadi guruku."
"Engkau anggap aku ini orang bagaimana ?" seru Ang
Kim," kalau engkau tanya pada rakyat daerah Kanglam-
Kangse, siapa pendekar Tengkorak-pencabut-nyawa,
mereka tentu takut semua. Anak2 kecil yang nangis, apabila
ibunya menyebut namaku, seketika anak itu tentu diam."
"Wah, wah, kalau begitu, engkau ini hanya ditakuti anak
kecil saja."
"Hus, bukan begitu. Ibu2 itu sendiri yang
mengkomersilkan namaku. Aku sendiri tidak tahu dan tidak
suruh."
"Itu kebalikan dari aku," seru Ah Liong serentak,
"namaku juga menggetarkan orang, lho. ”
"Siapa ?"
"Jenderal Kuncung komandan pasukan Bon-bin. Cola
saja tanya kepada rakyat Yang-ciu, siapa yang tak kenal
Jenderal Kuncung dengan pasukannya yang gagah berani
itu."
"Edan, mana ada pasukan Bon-bin. Apa itu?”
"Bon-bin artinya Kebun Binatang. Pasukanku senjatanya
memang bukan pedang, tombak dan panah tetapi bangsa
binatang seperti tawon semut dan ular , . . ."
"0," Aug Kim melongo, "aneh juga . . “
"Ang-heng, mengapa bertele-tele meladeni anak kuncung
itu ?" tiba2 terdengar suara berseru. Ang Kim terkejut dan
berpaling. Ternyata yang berseru itu adalah sasterawan
yang merebut perwira Borga dari tangan Ah Liong tadi.
"Baik, Ko-heng, akan segera kubereskan bocah ini," kata
pendekar Tengkorak Anug Kim "nah, lu dengar tidak. Ko
tayjin tak punya waktu untuk mendengar ocehanmu lebih
lama lagi. Engkau mau jadi muridku atau tidak ?"
"Kalau mau, bagaimana. Kalau tidak bagaimana ?"
"Kalau mau, sekarang juga engkau harus berlutut
menjalankan peradatan pengangkatan sebagai guru dan
murid. Kalau engkau tak mau, engkau akan kurangket
sampai keluar kencing . ..."
"Wah jangan, jangan," seru Ah Liong, "aku masih mau
saja jadi muridmu. Tetapi ada syarat uya, lho.."
"Apa. ?"
"Engkau mengatakan engkau seorang pendekar sakti,
bukan ? Nah, kalau engkau mampu menerima tiga buah
tinjuku baru aku mau."
Pendekar Tengkorak- penjabut-nyawa tertawa gelak2,
"Ho, ho, ho, jangankan hanya tiga biarpun tigapuluh kali,
aku tetap sanggup."
"Benar ?"
"Pendekar Tengkorak-pencahut-nyawa bukan manusia
yang tak pegang kata. Hayo pukullah aku sampai tigapuluh
kali. Tetapi awas, kalau sudah selesai, jangan engkau
banyak tingkah lagi dan harus menurut jadi muridku."
"Hm, engkau sendiri yang minta, bukan salahku," kata
Ah Liong seraya maju kebadapan orqng itu, nah,
bersiaplah."
"Aku sudah siap."
"Apa aku boleh memukul bagian tubuhmu yang mana
saja ?"
"Ya, boleh."
"Apa engkau berani pejamkan mata ?"
"Mengapa tidak ?" seru pendekar Tengkorak pengabutnyawa
terus pejamkan mata lalu diam-diam salurkan
tenaga-dalam untuk melindungi tubuhnya.
Dukkkk . . . . uh . . . . terdengar dua buyi suara. Yang
satu suara tinju Ah Liong mendarat di perut orang. Yang
satu suara pendekar Tengkorak-pencabut-nyawa yang
mendengus kaget dan cepat mendekap perutnya. Wajahnya
tegang.
"Ho, hanya begitu sajalah kepandaian Sekali kupukul
sudah mulas perutmu," seru Liong lalu lari menghampiri
sasterawan setengah tua. Saat itu perwira Borga sudah
berdiri. Jalan darahnya yang tertutuk sudah ditolong oleh
sastrawan itu.
"Hai, kalian dengar atau tidak? Lihat tidak? Jagomu yang
sumbar2 tadi, sekali kupukul dia sudah mendekap perutnya.
Nah, apakah perwira itu tak engkau serahkan kepadaku?"
Sebelum sasterawan itu menjawab, kawannya ialah si
imam berjubah biru terus melesat dan menempeleng Ah
Liong. Ah Liong menghindar tetapi tangan imam itu seolah
membayangi.
"Enyah!" teriak Ah Liong seraya menghantam. Tetapi
seketika itu dia menjerit karena tangannya tertampar tangan
si imam. Sakitnya bukan alang-kepalang. Dia terhuyunghuyung
mundur beberapa langkah.
Melihat itu si imam terus mengejar, ulurkan tangan
hendak mencengkeram lagi. Ah Liong sudah merasa,
sekalipun akan menghindar tetap sia-sia. Tiba2 ia teringat
sesuatu. Dan cepat sekali ia terus mempunyai rencana.
Begitu tangan si imam yang ditebarkan itu hendak
mencengkeram kepalanya, dengan menahan kesakitan, Ah
Liong cepat mencabut sumpitnya dan terus ditusukkan ke
tengah-tengah telapak tangan imam itu.
"Hayaaaa .. .. ," si Imam menjerit kaget setengah mati
dan menyurut mundur. Wajahnya pucat lesi. Dia pejamkan
mata, menyalurkan tenaga- dalam.
Apa yang terjadi?
Ternyata ujung sumpit Ah Liong itu tepat mengenai
jalandarah Lo-kiong hiat di tengan telapak tangan orang.
Jalandarah itu dapat menyebabkan tenaga- dalam merana.
Karena tak meayangka-nyangka, imam itu terkena. Dia
terkejut dan cepat kerahkan tenaga-dalam untuk menolak
tetapi terlambat. Tenaga-dalamnya menderita luka.
"Omitohud, engkau memang seorang budak liar,” si
paderi berjubah kuning melesat kehadapan Ah Liong.
Ah Liong cepat menyambutnya dengan tusukan sumpit
tetapi hanya dengan kebutkan tangan paderi itu sudah dapat
menyiak sumpit Ah Liong. Bahkan tenaga kebutan tangan
paderi itu masih dapat membuat Ah Liong terpental
selangkah.
Ah Liong terkejut menyaksikan kesaktian paderi itu. Ia
tahu bahwa terhadap paderi jubah ia tak dapat berbuat
banyak. Namun daripada mati sia-sia, lebih baik ia nekad
melawan.
"Hai, paderi, engkau seorang suci, mengapa engkau
keluyuran ditempat ini ?" serunya. Kembali dia hendak
mengulur waktu untuk meredakan tangannya yang sakit,
disamping dia hendak buat orang lengah perhatian. Bahkan
kalau dapat dia hendak memancing kemarahan paderi itu
dijadikan seperti pendekar Tengkorak-pencabut nyawa
kedua.
"Hm, jangan banyak omong, budak liar seru paderi itu
terus menyerang. Ah Liong tak dapat jual silat lidah lagi. Ia
berusaha untuk menghindar. Memang satu dua kali, ia
masih mampu, tetapi yang ketiga kalinya dia sudah
kehabisan daya tak dapat lolos.
Pada saat Ah Liong sudah tak berdaya ketika bahunya
hendak dicengkeram tangan si paderi, Ah Liong nekad.
Dengan kerahkan tenaga, tiba-tiba cuh ......
"Hah. . ," paderi itu berseru kaget karena mukanya
disemprot ludah Ah Liong. Karena itu dia sampai menyurut
mundur selangkah.
Tetapi pada lain saat paderi itu maju lagi untuk
melanjutkan tindakannya. Tetapi tepat pada saat jari2aya
hampir menyentuh bahu Ah Liong, sekonyong-konyong
terdengar suara orang tertawa nyaring.
"Ha, ha, ha, paderi gombal, mengapa beraninya hanya
menghina seorang anak saja?" seru suara itu.
Paderi itu dan sekalian orang terkejut. Si paderi hentikan
cengkeramannya dan cepat berbalik atah. Dia tahu bahwa
suara orang itu memancarkan tenaga-dalam yang hebat
sekali. Tentulah seorang berilmu.
Tetapi ia hampir kecele. Apa, yang dilihat hampir tak
dapat dipercayainya. Yang muncul hanya seorang pemuda
nyentrik, kepalanya memelihara dua buah kuncir dan
pakaiannya seperti seorang pendekar kesiangan. Di
belakangnya tampak beberapa belas bocah 1aki.
"Siapa engkau!" bentak paderi itu. Tetapi waktu dia
hendak melangkah maju, tiba2 ia rasakan pinggang
belakangnya dicengkeram tangan ke belakang.
"Uh . . . uh . . . , " terdengar dua buah suara. Yang
pertama adalah Ah Liong karena dia terpental sampai dua
langkah ke belakang. Yang kedua adalah paderi itu sendiri
yang terus mendekap pinggangnya.
Ternyata yang menyerang paderi itu dari belakang itu
adalah Ah Liong. Tetapi dia hanya memutuskan tali celana
dalam paderi itu. Sudah tentu paderi itu kaget setengah mati
karena celana dalamnya melorot turun. Dia menjadi salah
tingkah. Kalau maju terus, celana-dalamnya akan meluncur
turun. Apabila dilihat orang tentu akan jadi buah tertawaan.
Namun kalau dia mempertahankan celana-dalamnya,
terpaksa mendekapnya terus. Kan aneh?
Yang muncul tak lain adalah Loan Thian Te alias
pendekar Huru Hara bersama barisan anak2. Mengapa dia
tiba2 bisa muncul di situ?
Adalah setelah membawa Su tayjn ke sebuah tempat
yang dirasa aman, karena Ah Liong belum juga datang,
anak2 itu mendesak, “Loan heng, mengapa jenderal
Kuncung belum datang?”
Sebenarnya anak2 itu hendak memanggil Loan Thian Te
dengan sebutan jenderal besar atau tay-ciangkuan seperti
yang diajarkan Ah Liong. Tetapi Huru Hara tak mau. Ia
minta supaya dipanggil engkoh saja atau Loan-heng.
Huru Hara menurut. Dia mengajak anak2 itu untuk
mencari Ah Liong. Di tempat semula Ah Liong sudah tak
ada. Mereka mencari lagi akhirnya dapat bertemu tepat
disaat Ah Liong sedang terancam bahaya.
Perwira Borga yang menyaksikan perbuatan Ah Liong,
marah. Seketika dia terus menyerang anak itu.
Sementara sasterawan setengah tua itu menghampiri
ketempat Huru Hara.
"0, kiranya engkau Loan Thian Te," serunya.
Sebelum Huru Hara menjawab, Borga menyempatkan
diri untuk berseru kepada sasterawan itu. "Ko tayjin, jangan
lepaskan dia. Dialah yang melarikan mentri Su Go Hwat!"
"Apa?" teriak sasterawan yang dipanggil Ko layjin itu
terkejut, "dia membawa lari peng-poh-sung-si Su Go Hwat
dari kerajaan Beng?"
"Benar," sahut Borga, "memang dia yang membawa
tandu berisi mentri Su."
Sasterawan setengah baya itu tak lain adalah Ko Cay
Seng, jago ilmu menutuk dengan pit yang menjadi tangan
kanan panglima Torgun. Setelah mendengar kota Yang-ciu
sedang diserang pasukan Ceng, dia bergegas datang. Dia
tahu bahwa yang mempertahankan kota itu adalah pengpoh-
siang-su atau mentri pertahanan Su Go Hwat dari
kerajaan Beng.
Ko Cay Seng tahu bahwa panglima Torgun menghargai
Su Go Hwat. Kalau Su Go Wht tertangkap hidup, tentu
akan diambil panglima Torgun. Ah, berbahaya.
Pertama, ia takut kalau kedudukannya akan didesak oleh
Su Go Hwat. Kedua, diapun takut Su Go Hwat mempunyai
rencana, pura2 mau bersama dengan panglima Torgun
tetapi diam-diam akan membasmi tokoh-tokoh bangsa Han
yang menjadi kaki tangan kerajaan Ceng, termasuk dirinya.
Maka dia mempunyai rencana. Dia ke Yan-ciu untuk
menangkap Su Go Hwat, kemudian akan dilenyapkan
dengan cara yang tak diketahui orang.
Maka waktu mendengar keterangan Borgan bahwa Huru
Hara telah melarikan Su Go Hwat, Ko Cay Seng gembira
sekali.
"Loan Thian Te, hari ini jangan harap engkau mampu
lolos dari tanganku," serunya, "tetapi aku dapat memberi
ampun kepadamu asal engkau mau menyerahkan Su
tayjin."
Loan Thian Te tertawa mengejek, "Jika engkau
menghendaki Su tayjin, langkahilah dulu mayatku. Selama
aku masih hidup, jangan harap engkau dapat mengganggu
beliau."
"Bagus, Loan Thian Te, engkau boleh sesumbar tetapi
seperti yang kukatakan tadi, kali ini engkau akan menggigit
jari. Tidak percaya ?"
"Hm, bagaimana aku harus percaya omongan seorang
budak bangsa Boan ?"
"Yang datang bersama aku," Ko Cay Seng tak
menghiraukan hinaan orang, "adalah Ho hay-ji Ang Kim.
Engkau kenal pada Ang-hay si bocah merah yang
termasyhur itu ?" (baca: jilid 2).
"Tentu, karena akulah yang mengirimnya ke akhirat kata
Huru Hara.
"Hai engkaulah yang membunuh kakakku?" tiba2
si'pendek berwajah kanak2 atau Hongisy-ji (bocah kuning)
memekik dan terus melesat muka Huru Hara.
"Ho, engkau adik dari Ang-hay-ji ?" seru Huru Hara.
"Ya, aku keluar dari pertapaan karena hendak mencari
manusia yang telah membunuh kakakku!"
"Tak perlu mencari kemana-mana, akulah yang
membunuhnya ! Apakah engkau juga akan nyusul
kakakmu?"
"Bangsat !" Hong-hay ji terus hendak menerjang tetapi
dicegah Ko Cay Seng, “Ang-heng tung. Aku masih ada
kepentingan dengan dia. Setelah itu baru Ang-heng kalau
mau menuntut balas kepadanya.”
Kemudian Ko Cay Seng memperkenalkan kawan2-nya.
Lelaki bertubuh kurus kering si pendekar Tengkorakpencabut-
nyawa. Imam jubah biru yang bernama Amita,
seorang Imam dari Mongolia, Paderi To Thian dari vihara
Siau-lim-si yang telah murtad. Dahulu dia bergelar Thian
To atau Ketuhanan. Tetapi setelah murtad dia sengaja
membalik nama gelarnya menjadi To Thian Membalikkanlangit
atau menentang kebenaran. Keempat jago yang
dibawa Ko Cay Seng itu semuanya berkepandaian tinggi.
Ilmu lwekang mereka masuk kelas satu.
Memang Ko Cay Seng sengaja menghimpun jago2 kelas
satu untuk menjaring mentri Su Go Hwat.
"Sayang. sayang," gumam Huru Hara.
"Kenapa ?" Ko Cay Seng heran.
"Kasihan mereka."
"Mengapa kasihan ?"
"Karena mereka harus meninggalkan dunia yang penuh
kesenangan ini. Bukankali kawan2 mu tergolong manusia2
yang temaha hidup pemburu kenikmatan dunia ? Kalau
tidak, tentu mereka tak mau bersahabat dengan manusia
seperti engkau."
"Ko tayjin, mengapa tayjin mandah saja dihina manusia
busuk itu ?" seru paderi To Thian.
"Ya, memang seharusnya sejak tadi dia harus dicincang,"
kata Ko Cay Sang, "tetapi aku memang masih memberi
kelonggaran kepadanya asal dia mau menyerahkan mentri
Su tayjin. Harap taysu suka lbersabar sedikit."
"Loan Thian Te, apakah engkau tetap keras kepala ?"
tanya Ko Cay Seng kepada Huru Hara.
"Apa yang kuludahkan takkan kujilat kembali. Engkau
hendak meminta Su tayjin sama dengan engkau hendak
meminta nyawaku !"
Sementara jago2 itu sedang adu kata2 tajam, barisan
anak2 itu sudah siap mengepung mereka. Dan sebelum Ko
Cay Sang melanjutkan kata-katanya tiba2 dia dikejutkan
oleh teriakan Borga.
"Aduh aduh mati aku , ," perwira Boan itu menjerit dan
berjingkrak sambil meng-usap2 seluruh tubuhnya.
Bahkan karena tak tahan, perwira Boan itu menjerit- jerit
histeris dan terus melarikan diri. Sudah tentu Ko Cay Seng
dan kawan2 melongo dan tak mengerti apa yang telah
terjadi pada perwira itu.
Jelas Ah Liong masih tegak berdiri sambil bertepuk
tangan dan tertawa terpingkal-pingkal mengapa tidak hujan
tidak angin, Borga kelabakan sendiri ?
Memang hanya Ah Liong dan anak2 itu yang tahu apa
yang telah terjadi. Mereka telah menaburkan semut2 kecil
kearah Borga. Memang Borga tak tahu apa2, tahu2 dia
merasa muka dan sekujur badannya seperti dikerubuti oleh
ratusan semut kecil yang terus mengamuk menggigiti
seluruh badannya. Mana tahaaaaan ?
Huru Hara yang mengetahui hal itu mau tak mau
tersenyum juga.
"Mengapa perwira Borga tadi, tayjin ?" tanya Imam
Amita hwatsu.
"Entahlah," kata Ko Cay Seng, "aneh, tidak menderita
luka dan tak kena apa2, mengapa dia jingkrak2 dan
kelabakan seperti kerangsokan setan.”
"0, mungkin saja dia memang kemasukan setan" seru
Amita hwatsu.
"Benar, benar, imam goblok," seru Ah Lion "memang
kawanmu itu kemasukan setan, ah, tidak, tidak mungkin.
Kata engkohku, dunia ini tak ada setan. Ya, tentulah
perwira itu punya penyakit ayan !"
Kembali terdengar anak2 itu tertawa mengikik.
"Loan Thian Te, lekas jangan buang waktu,” rupanya
Ko Cay Seng tak menghiraukan lagi pada perwira Boan itu,
"engkau mau mengatakan dimana engkau sembunyikan Su
tayjin atau tidak !”
"Tydak !" sahut Huru Hara tegas.
"Baiklah," kata Ko Cay Seng," jika begitu engkau
memilih jalan yang menyakitkan !"
Ko Cay Seng tahu kalau Huru Hara itu seorang pendekar
yang aneh dan memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa
anehnya, Ia tak mau dapat malu menderita kekalahan di
hadapan kawan-kawannya itu. Oleh karena itu dia tak mau
gunakan cara2 orang persilatan yang perwira. Yang penting
Huru Hara hasus lekas ditundukkan dan Su tayjin harus
lekas ditangkapnya.
"Cuwi, terhadap manusia semacam dia tak perlu kita
harus mengindahkan tata cara kaum persilatan lagi!. Hayo,
kita ramai2 meringkusnya !” seru Ko Cay Seng. Kelima
jago itu segera mengepung Huru Hara.
"Hai engkau anak tua berwajah kuning dan mayat hidup
bertubuh kurus. Apakah tali celanamu itu sudah engkau
sambung ?" Ah Liong menyelutuk.
Sudah tentu marah sekali Hong-hay-ji dan Pendekar
Tengkorak-pencabut-nyawa Ang Kim mendengar ejekan
itu. Mereka tahu kalau tadi telah dipermainkan oleh bocah
kuncung itu. Mengira kalau ketiga kawannya tentu sudah
lebih dari cukup untuk mengatasi Huru Hara, Hong-hay-ji
pendekar Tengkorak-pencabut-nyawa lalu beralih hendak
menghajar Ah Liong.
"Bagus, bagus, hayo, kalian boleh maju. Kalau aku
kalah, aku akan meletakkan jabatanku sebagai jenderal
Kuncung dari pasukan Bon-bin,"
Ah Liong yang sengaja hendak memancing agar orang
itu supaya marah.
Memang kedua tokoh itu marah. Dengan meraung
seperti harimau mencium darah, keduanya tebarkan kedua
tangannya dan loncat kemuka menuju kepada Ah Liong.
Tetapi pada waktu keduanya menukik kebawah hendak
mencengkeram Ah Liong, mereka menjerit kaget, "Lho, apa
ini, aduh…..aduh .....”
Begitu melayang turun ke tanah mereka lansung kukur2
dan merogoh-rogoh kedalam baju dan kasanya seraya tak
henti-hentinya menjerit dan mengaduh.
Mulut mereka tak henti-hentinya mendesah dan
mendesuh, tangannyapun menggaruk dan mencakari
sekujur tubuhnya.
Kembali beberapa anak taburkan tangannya, dan
seketika terdengarlah bunyi mendengung yang bergemuruh
keras macam pesawat terbang melayang diudara. Wah,
wah. kedua jago silat yang ternama itu menjadi makin
kelabakan tak keruan. Tangan kiri menampar-nampar
untuk menghalau ratusan tawon, tangan kanan tak hentihentinya
menggaruk dan menggosok tubuh yang
digerayangi ratusan semut merah. Pada hal semut merah
walaupun kecil2 tetapi ganas sekali. Gigitannya seperti api
rasanya.
Sementara itu, Huru Hara dan ketiga lawamnyapun
sudah terlibat dalam pertempuran seru. Ko Cay Seng
menggunakan sepasang pit, paderi To Thian menggunakan
kalung tasbih, imam Amita hwatsu menggunakan sabuk
ruyung.
Mengenai Amita hwatsu, senjata yang digunakan itu
sebenarnya biasa dipakai sebagai tali pinggang. Tetapi kalau
dilolos dan dimainkan sabuk dari kulit binatang trenggiling
itu berobah menjadi sebuah ruyung yang keras dan kaku,
Apabila Ko Cay Sang terkenal dengan menutuk
jalandarah yang termasyhur karena sekali gus dia dapat
menutuk enam buah jalan-darah pada tubuh lawan maka
kedua paderi dan imam itu juga memiliki kepandaian yang
luar biasa.
Sebenarnya Ko Cay Seng sendiri sudah cukup untuk
menghapi Huru Hara. Di dunia persilatan pada masa itu,
orang yang mampu menutuk sekali gus pada enam
jalandarah di tubuh lawan, sudah hampir tak ada kecuali
Ko Cay Seng. Tetapi kerena dia tak mengerti tentang ilmu
kepandaian Huru Hara yang begitu aneh sekali, dia menjadi
bingung. Itulah sebabnya dalam pertempuran dulu, ia
pernah kalah.
Anita hwatsu, kecuali memiliki ilmu tenaga dalam yang
berlainan aliran dengan kaum persilatan dari Tiong- goan,
pun dia seorang ahli dalam melepaskan senjata-rahasia.
Tetapi karena keinginan untuk kelak diangkat sebagai
pemimpin Lama di daerah Mongolia oleh kerajaan Ceng,
maka diapun mau membantu kerajaan Ceng untuk
memerangi kerajaan Beng,
Sedangkan To Thian hwesio, paderi murid Siau-lim-si
yang murtad itu, sebenarnya dulu seorang paderi yang
tinggi tingkatannya di kalangan biara Siau-lim.
Pada suatu hari dia diperintahkan oleh suhu untuk
mengembara mencari pengalaman dan mengamalkan
ilmunya. Tetapi dalam perjalanan, telah terpikat oleh
wanita cantik. Sebenarnya dialah yang menolong seorang
gadis cantik dari seorang li-boa-cat atau penjahat tukang
merusak wanita. Gadis itu dibawa si penjahat pemetiknya
kedalam sebuah gua. Akhirnya dapat diketahui oleh Thian
To. Penjahat dapat dikalahkan. Tetapi ketika paderi itu
masuk ke dalam gua hendak membawa gadis itu,
tersiraplah darahnya ketika melihat suatu pemandangan
yang belum pernah dilihatnya sepanjang hidup.
Gadis itu tidur terlentang dalam keadaan bugil. Thian To
masih muda dan selama itu belum pernah bergaul dengan
kaum wanita. Melihat pemandangan yang begitu rupa, dia
tak dapat menguasai diri lagi, seketika meluaplah nafsu
kejantanannya.
Tempat itu sebuah gua di gunung yang sunyi dan jarang
dikunjungi orang. Siapa yang tahu kalau aku mencemarkan
gadis itu. Aku nanti dapat mengatakan bahwa yang
menodai gadis itu adalah penjahat tadi. Demikian suara
hatinya mengatakan dan mendorong sang nafsu. Dan
akhirnya, runtuhlah sang imam, lupalah sang hati. Gadis
itu diperkosa Thian To.
Memang tak ada manusia yang mengetahui
perbuatannya dan Thian To pun dapat mencurahkan nafsu
kebinatangannya sampai sepuas-puasnya.
Memang nikmat tetapi kenikmatan itu mempunyai
sangsi atau hukuman, Hukumannya adalah rasa ketagihan.
Dan sejak itu Thian To di seorang paderi yang sek-maniak
atau gila sex. Karena sudah terlanjur basah, akhirnya dia
pun mandi sekali. Sudah terlanjur menjadi manusia gilasek,
dia merasa berdosa dan tak mau kembali lagi ke vihara
Siaulim. Bahkan diapun mengganti gelarnya dengan To
Thian atau memutarbalik dunia.
Karena menghadapi tiga orang lawan yang diduga tentu
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi maka Huru Hara pun
tak mau sungkan lagi. Dia segera mencabut pedang thiat-cikiam
atau pedang magnitnya.
Dulu waktu masih menjadi pendekar Bloon, sudah
kenyang menghadapi pertempuran. Terutama terakhir
waktu dia harus menundukkan engkohnya sendiri yang itu
waktu mengangkat diri sebagai Kim Thian Cong di gunung
Hong-san, dia harus mengeluarkan seluruh ilmu
kepandaiannya.
Sebenarnya yang disebut ilmu kepandaian yang
dimiliknya, dia sendiri tak tahu bagaimana wujudnya dan
apa namanya. Karena seumur hidup tak pernah mau belajar
silat.
Ayahnya, mendiang Kim Thian Cong, memang seorang
pendekar besar yang diagungkan oleh kaum persilatan
sebagai Bu-lim-beng-cu atau pemimpin dunia persilatan.
Pengangkatan sebagai bu-lim beng cu memang bukanlah
suatu hal yang mudah. Dalam dunia persilatan banyak
sekali tokoh yang berkepandaian tinggi dan sakti. Seorang
bu-lim-beng-cu harus memenuhi beberapa syarat yang
sukar. Kecuali harus mempunyai kepandaian yang
cemerlang juga harus mempunyai keperibadian yang kuat,
tindakan yang adil bijaksana, perjalanan hidup yang bersih
dan luhur.
Dan untuk diagungkan sebagai bu-lim-beng cu, memang
harus melalui ujian2 yang berat mereka2 yang
menginginkan kedudukan itu.
Kim Thian Cong sendiri sebenarnya tak ingin menerima
pengangkatan itu tetapi karena kaum persilatan terutama
para ketua dari tujuh partai besar saat itu, mendesaknya,
terpaksa ia menerima.
Adalah suatu hal yang ironis sekali bahwa kalau Kim
Thian Cong itu seorang bu lim-beng cu, kebalikannya
puteranya Kim Yu Yong yang kemudian terkenal sebagai
Kim Blo’on, ternyata seorang pemuda yang blo`on, yang
tak mau belajar silat, bahkan menentang kalau mau diberi
ajaran silat oleh ayahnya. Dan akhirnya dia mengembara
tanpa seidin orangtuanya.
Tetapi perjalanan hidup manusia memang aneh. Sering
orang tak percaya dan mengatakan bahwa kisah hidup
Blo`on itu hanya suatu hayalan. Bahkan orang menganggap
bahwa hidup Blo’on itu hanya kisah seorang edan.
Tetapi dunia ini memang aneh. Segala dianggap tak
mungkin, dapat mungkin. Demikian yang terjadi pada diri
Kim Bloon.
Dalam pengembaraan itu dia telah mengalami beberapa
peristiwa yang luar biasa dan mendapat rejeki-besar yang
tak mungkin didapat oleh lain orang. Dia berhasil
mendapatkan tenaga-sakti yang disebut Ji-ih-sin-kang,
tenaga-sakti yang dapat digerakkan menurut sesuka hatinya.
Tenaga dalam semacam itu hanya dapat diperoleh oleh
tokoh yang telah berlatih lwekang selama berpuluh-puluh
tahun. Tenaga-dalam itu termasuk tenaga-dalam yang
sudah mencapai tingkat hampir sempurna.
Dengan mempunyai tenaga-sakti Ji-ih-sin-kang itu, dia
dapat bergerak seperti seorang tokoh kelas satu. Memang
agak janggal juga karena dia tak dapat bergerak menurut
ilmusilat. Tetapi kejanggalan itu ditutup dengan kehebatan
tenaga sakti Ji- ih sin-kang, dimana dalam waktu yang
singkat sekali, dia dapat menirukan segala gerak-gerik
lawan. Pokoknya, asal dia melihat dan hati menginginkan,
maka dapatlah secara otomatis dia bergerak menurut
kehendak hatinya.
Dan ada suatu keistimewaan lagi. Ialah karena dia tak
tahu bagaimana cara menghimpun dan memancarkan
tenaga-sakti Ji-ih-sin-kang itu, maka diapun kadang agak
ketolol-tololan.
Tetapi celakanya, apabila musuh memukulnya, secara
spontan tenaga-sakti Ji-ih-sin-kang akan memancar keluar
dan dapat menolak bahkan mengembalikan tenaga-pukulan
orang lagi.
Aneh tetapi nyata.
Dalam menghadapi tiga orang jago sakti yang
menggunakan senjata andalannya itu, Huru Hara dapat
memberi perlawanan yang mengherankan.
Pedang magnitpun suatu senjata yang aneh. Senjata
lawan seolah tersedot oleh daya-sedot pedang itu hingga
gerakan lawan menjadi agak berat.
Huru Hara marah kepada ketiga lawan Dan diapun lalu
memutar pedangnya bagaikan angin prahara yang
menderu-deru .....
-oo0dw0oo-
JILID 44
Ko Cay Seng memang pernah bertempur melawan Huru
Hara maka diapun tak terkejut. Tidak demikian dengan
paderi To Thian dan imam Amita. Paderi dan imam itu
benar2 terkejut bukan kepalang.
Menurut tingkatan dalam vihara Siau-lim, paderi yang
memakai gelar Thian itu termasuk golongan murid
angkatan (generasi) kelima. Dan paderi Thian To memang
termasuk murid angkatan kelima dari vihara Siau-lim.
Dia seorang murid yang cerdas dan amat disayang oleh
kakek-gurunya, Goan Hui taysu. Sebenarnya, guru dari
Thian To itu adalah Peh ong taysu, ketua vihara Siau-lim
yang sekarang.
Tetapi berkat bakatnya yang menonjol dan otak yang
cerdas maka Thian To langsung dibawah pimpinan kakekgurunya.
Paderi muda itu akan dibina menjadi seorang
tokoh Siau-lim yang kelak akan dapat mengangkat nama
dan derajat vihara Siau-lim.
Maka walaupun namanya saja murid dengan guru tetapi
sebenarnya ilmu kepandaian Thian dengan gurunya (Peh
Hong taysu) itu setingkat.
Waktu ditugaskan mengembara keluar, sebenarnya ilmu
kepandaian Thian To itu sudah hampir selesai. Memang
demikianlah peraturan dari vihara Siau-lim. Setiap murid
harus melaksana darma mengembara. Setelah kembali dan
lulus dari segala coba dan derita, barulah kepandaian
ditingkatkan lagi dengan diberi ilmu kepandaian vihara
Siau-lim.
Tetapi ternyata Thian To lancung dalam cobaan. Dia
gagal dan bahkan murtad karena ikut pada kerajaan Ceng.
Dia takut akan ancaman vihara Siau-lim yang tentu akan
mencarinya untuk dihukum. Oleh karena itu, jalan satusatunya
lebih baik nyeberang ikut pada kerajaan Ceng.
Yang memang kelak kemudian hari, dalam pembasmian
pada vihara Siau-lim yang dilakukan kerajaan Ceng, Thian
To banyak memberi bantuan ke kerajaan Ceng.
Sementara Anita, adalah seorang lhama dari daerah
Mandal Gobi. Di daerah Mongol, terdapat dua vihara yang
besar. Vihara Teratai Putih di Manda1 Gobi dan vihara
Pagoda Suci di daerah Sandala.
Umum bahwa adanya dua buah aliran agama yang tidak
searah, tentu akan menimbulkan pertentangan, betapapun
halus cara2 yang dilakukan.
Demikian pula antara fihak vihara Teratai Putih dengan
Pagoda Suci, diam2 telah timbul persaingan untuk berebut
pengaruh pada rakyat.
Vihara Pagoda Suci dibawah lindungan Dalai Lhama
atau kepala dari agama lhama yang besar pengikutnya di
Tibet sampai ke Mongol.
Vihara Mandal Gobi menganut aliran dari Panchen
Lhama, Dan antara kedua vihara, Mandal Gobi dan Sain
Sandala, telah timbul persaingan yang walaupun secara
diam2 tetapi cukup sengit.
Amita tahu bahwa hanya dengan kekerasan, barulah
dapat merebut kekuasaan dari pengaruh vihara Sain
Sandala. Maka dia segera mengadakan hubungan dengan
partai persilatan Go-bi-pay di Go-bi-san. Dan bahkan
diapun meminta pelajaran ilmusilat dari perguruan itu.
Demikian dengan bantuan fihak Go-bi-pay, akhirnya
dapatlah Amita melenyapkan pengaruh vihara Pagoda Suci.
Namun semua di dunia ini tidak langgeng. Malam
berganti siang dan siangpun kembali malam. Vihara Pagoda
Suci telah lumpuh dan vihara Teratai Putih yang jaya.
Tetapi beberapa tahun kemudian, muncullah sepasang
muda mudi yang datang ke vihara Teratai Putih di Mandal
Gobi untuk mengajukan tantangan adu kepandaian. Sudah
tentu para lhama vihara itu terkejut. Mereka tak kenal dan
tak bermusuhan dengan sepasang muda mudi itu. Tapi
tanpa hujan tanpa angin, mereka ditantang.
Akhirnya terjadilah pertempuran. Tak seorang lhama
dari vihara itu yang mampu menandingi kegagahan
sepasang muda mudi itu. Amita turun tangan sendiri tetapi
diapun dikalahkan juga, terpaksa harus melarikan diri.
Amita mengembara. Sebenarnya dia hendak meminta
bantuan kepada partai Go-bi-pay. Tetapi ia merasa telah
mengingkari janji ke partai itu sehingga ia takut kalau partai
itu tak mau membantunya.
Kemudian ia mendengar tentang pergolakan yang terjadi
di Tiong-goan. Bahwa bangsa Ceng telah membantu
jenderal Go Sam Kui untuk mengeyahkan pemberontak Li
Cu Seng yang menduduki kotaraja Pak-kia dan mengangkat
diri sebagai raja.
Ke Tiong-goanlah dia ayunkan langkah ingin
mengetahui apa yang telah terjadi sebenarnya.
Di tengah perjalanan ia mendengar berita tentang
pasukan Ceng yang berhasil mengusir Li Cu Seng dari.
kotaraja. Tetapi kemudian ia mendengar bahwa orang Boan
tak mau menyerahkan kotaraja Pak-kia bahkan pemimpin
mereka telah mengangkat diri sebagai raja. Itulah yang
disebut 'mengusir serigala dengan memasukkan harimau ke
dalam rumah.
Bahkan selanjutkan kerajaan Ceng makin bernafsu
hendak menguasai seluruh kerajaan Beng. Diam2 timbul
pikiran Amita. Alangkah baiknya kalau ia bekerja kepada
kerajaan yang baru itu untuk menghancurkan pengaruh
vihara Sain Sandala.
Demikian secara kebetulan pula dia bertemu dengan Ko
Cay Seng yang menerima keinginan Amita dengan gembira
sekali. Ko Cay Seng mengajak paderi To Thian dan Amita
lhama menuju ke Yang-ciu, "Kita harus menunjukkan
pahala agar beginda memberi pangkat kita," kata Ko Cay
Seng kepada kedua orang itu.
Begitulah asal usul kedua paderi dan lhama yang datang
bersama Ko Cay Seng di Yang-ciu dan kini sedang
berhantam melawan pendekar Huru Hara.
Huru Hara paling benci kepada bangsa Han yang mau
menjadi antek musuh, maka terhadap lawannya itu, dia
benar2 menumpahkan seluruh perhatian dan tenaganya.
Ada suatu keanehan pada tenaga-sakti Ji-ih-sin-kang
yang dimiliki pendekar Huru Hara, Bahwa tenaga-sakti itu
dapat digerakkan menurut keinginan hati Huru Hara.
Karena menumpahkan perhatian maka Huru Hara dapat
memperhatikan segala gerak gerik serangan ketiga
lawannya dan otomatis diapun lantas menirukannya.
Bukan main kejut Ko Cay Seng dan kedua kawannya
ketika sekaligus Huru Hara dapat menirukan gaya
permainan dan jurus2 serangan mereka,
“Gila,” dengus To Thian yang terkejut ketika waktu
melancarkan tusukan pedang ke lâmbung lawan, tahu2
lawan juga menusuk lambungn. Gerak dan jurus tusukan
To Thian itu sama benar dengan yang dilakukan Huru
Hara.
Tetapi untunglah Amita lhama menyabat dari belakang.
Tasbih lhama itu terbuat dari bahan besi hitam yang
kerasnya bukan main. Dan tenaga dalam yang dimiliki
lhama itu memang tinggi. Apabila terkena, punggung Huru
Hara pasti hancur berantakan.
Tetapi punggung Huru Hara seperti tumbuh mata.
Walaupun sedang menghadapi To Thian namun tenagasakti
Ji-ih-sin-kang yang sedang memancar itu, dapat
merasakan sambaran angin dari tasbih Amita lhama.
Dia cepat berkisar dan tring …… terjadilah benturan
antara pedang padri To Thian dengan tasbih Amita lhama.
"Haya……. . " keduanya berteriak kaget dan menyurut
mundur. Keduanya adalah jago2 yang memiliki tenagadalam
tinggi dan kepandaian sakti. Mereka tak mengira
sama sekali bahwa gerak tubuh Huru Hara itu sedemikian
cepatnya. Dan benturan senjata mereka menyebabkan
tangan mereka sama bergetar kesemutan.
"Hm, mau lari kemana engkau," bentak Ko Cay Seng
yang taburkan pit untuk menutuk enam buah jalandarah di
tubuh Huru Hara.
"Siapa yang lari !" bentak Huru Hara seraya mainkan
pedangnya sederas angin puyuh. Tring…., tring........
berulang kali ujung pit dari Ko Cay Seng harus membentur
pedang magnit dari Huru Hara.
Ko Cay Seng terkejut sekali. Ia merasa pit tidak dapat
bergerak dengan cepat seperti biasanya. Ada suatu tenaga
aneh yang menyedot pit sehingga dia harus kerahkan
tenaga-dalamn untuk menggerakkannya dengan keras.
Sekalipun begitu tak urung terdapat hambatan juga dalam
gerakan pitnya itu sehingga mudah dicegat oleh pedang
lawan.
Memang benar. Ko Cay Seng belum tahu kalau pedang
Huru Hara itu sebuah pedang yang terbuat dari besi magnit
yang mampu memancarkan daya sedot keras.
Ko Cay Seng memang bingung. Ia tahu jelas bahwa
Huru Hara itu tidak menggunakan jurus ilmu pedang yang
genah tetapi asal menggerakkan saja. Namun setiap
gerakan, pedang Hura Hara cepatnya bukan alangkepalang.
Dan lagi serasa pedang Huru Hara itu dapat
menyedot senjatanya.
Dalam pada itu, paderi To Thian dan Amita pun sudah
bergerak menerjang Huru lagi. Dan Huru Hara harus
melayani tiga tokoh yang sakti.
Sesungguhnya kepandaian dari paderi To Thian itu
memang hebat. Tetapi karena sejak murtad dari vihara
Siau-lim, dia malas untuk berlatih ketambahan pula selama
itu dia hanya mengumbar nafsu kepada wanita maka tenaga
dan staminanyapun menurun. Dalam berapa puluh jurus
kemudian, napasnya sudah terengah-engah dan keringatpun
mengucur deras.
Huru Hara sempat memperhatikan keadaan paderi itu.
Dia tak kenal siapa To Thian dan tak mau peduli dari
vihara mana paderi itu. Pokoknya yang dilihatnya ialah,
paderi itu telah membela kerajaan Ceng, harus dibasmi.
Tiba2 Huru Hara merobah gerakan pedangnya. Ia
teringat bahwa dulu ketika berhadapan dengan beberapa
tokoh sakti, dia telah diserang habis-habisan dengan sebuah
ilmu pedang yang hebat sekali, sehingga dia hampir celaka.
Sekarang dia teringat akan gerakan ilmu pedang itu. Dan
memang pernah juga ia coba2 untuk menirukannya.
Sekarang dia hendak menggunakannya untuk menghadapi
Ko Cay Seng bertiga.
Ko Cay Seng, paderi To Thian dan Amita lhama terkejut
sekali waktu Huru Hara secara tiba2 telah mengganti
permainan pedangnya.
"Ngo-heng-pat-kwa-kiam-hwat!" serentak Ko Cay Seng
dan paderi To Thian berseru kaget, setelah mengetahui ilmu
pedang yang dimainkan Huru Hara.
Ngo-heng artinya lima unsur bumi yani Kim, Bok, Cui,
Hyea dan Tho atau Logam. Kayu, Air, Api dan Tanah.
Dalam ilmu pedang, kelima unsur itu diwujudkan dengan
gerak yani Kim sebagai gerak ketahanan, Bok sebagai gerak
pengayoman atau perlindungan, Cui sebagai gerak
menggenangi atau kelemasan, Hwe sebagai gerak yang
ganas dan Tho sebagai gerak menyerap atau ketenangan.
Sedang Pat-kwa artinya Segi-delapan, lambang dari roda
kehidupan alam. Dalam ilmu pedang digunakan sebagai
delapan gerak kearah delapan arah.
Karena Ngo-heng digabung dengan Pat-kwa, maka
lengkaplah unsur bumi dan alam. Maka lengkaplah gerakan
pedang itu.
Ngo-heng-pat-kwa-kiam memang suatu ilmu pedang
yang sukar dipelajari. Limapuluh tahun yang lalu di dunia
persilatan muncul seorang jago yang memiliki ilmu pedang
itu. Kemunculannya dalam gelanggang persilatan, cepat
sekali mengundang kekaguman dan penghormatan orang2
persilatan. Banyak jago2 silat ternama yang jatuh dan
dikalahkan oleh jago baru itu. Tetapi sayang, jago muda itu
tak lama. Dia sakti dalam ilmu pedang tetapi tidak punya
pengalaman dalam dunia persilatan. Akhirnya karena
terlalu percaya pada mulut orang, dia dapat diracun. Sejak
itu dia terus menghilang dari dunia persilatan.
Memang pada waktu itu tak tersangka-sangka ketika
Huru Hara masih bernama pendekar Blo`on, dia telah
bertemu dengan seorang kakek tua yang tinggal di sebuah
hutan. Kakek itu seorang kakek biasa tetapi diluar dugaan,
dia dapat memberikan petunjuk tentang gerakan suatu ilmu
pedang, Kata kakek itu, "Anakmuda, aku sudah cacat,
tenagaku sudah hilang karena diracuni orang Tetapi aku tak
rela kalau ilmu pedang ini sampai hilang dalam dunia
persilatan. Kuajarkan ilmu pedang itu kepadamu dengan
harapan kelak engkau dapat menggunakannya untuk tujuan
yang mulia."
Sebenarnya waktu itu Blo’on menolak. Dia mengatakan
tak ingin dan tak suka belajar ilmu silat apalagi ilmu
pedang. Alasannya. ilmu silat dan ilmu pedang itu hanya
untuk mencelakai orang saja.
"Engkau salah anakmuda," kata orang aneh itu. "ilmu itu
tergantung pada pemiliknya. Jika hendak digunakan untuk
maksud jahat memang berbahaya tetapi kalau digunakan
untuk tujuan mulia amatlah bermanfaat sekali. Dan apakah
engkau tahu apa yang akan terjadi dalam negeri kita ini
kelak ?"
Blo’on terkesiap dan gelengkan kepala.
"Menurut berbagai keanehan alam yang akhir-akhir itu
sering muncul, kemungkinan di negeri kita akan timbul
perobahan yang besar," kata orang itu pula.
"Keanehan apa ?" tanya Blo`on.
“Orang ramai membicarakan keanehan yang sering
terjadi di beberapa daerah. Misalnya ada bayi yang
memakai ekor, ada kucing yang ekornya tidak tumbuh
dipantat tetapi dikepala, ada anjing yang keluar tanduk dan
lain2. Juga di langit sering timbul bintang2 yang aneh,
Timbulnya bintang kemukus (komet), bintang yang
mengeluarkan sinar merah dan lain2 tanda alam itu,
merupakan suatu perlambang dari perobahan besar yang
akan terjadi."
"Perobahan apa saja yang kakek maksudkan?"
"Yang disebut perobahan besar hanialah laku pada
perobahan pemerintahan atau kerajaan”
"Maksud kakek akan terjadi pergantian raja ?"
“Ya.”
"Kan sudah biasa kalau raja yang tua mati lalu diganti
dengan anaknya."
"Bukan begitu yang kumaksudkan," kata kakek itu,
"melainkan suatu pergantian dari raja lain bangsa.”
"Jadi bukan baginda dari kerajaan Beng yang sekarang
ini ?"
"Bukan, tetapi akan timbul kerajaan baru yang akan
menggantikan kerajaan Beng sekarang.”
"Ah............. ," Bloon mendesuh.
"Oleh karena itu, anakmuda, engkau harus bersiap-siap
untuk menghadapi jaman itu. Waktu itu tentu akan timbul
peperangan besar. Jika kau ingin membuktikan dirimu
untuk membela negara engkau harus memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Nah, ilmu pedang yang akan kuberikan
padamu ini, termasuk ilmu pedang yang sudah ada lagi
dalam dunia persilatan. Apabila engkau gunakan untuk
menghantam musuh di medan perang, tentulah musuh akan
kocar kacir."
Bloon terkesiap, "Benarkah itu ?"
"Yang penting engkau harus mencobanya dulu. Kalau
memang tak suka, boleh tak usah berlatih lagi," kata kakek
itu.
"Jika untuk menghadapi musuh yang hendak
mengganggu negara kita, aku bersedia untuk belajar ilmu
pedang itu. Tetapi ada satu syarat," kita Blo'on.
"Apa syaratmu ?"
"Begitu peperangan selesai, ilmu itu terus ku buang."
Kakek itu heran. Tetapi dia segera dapat menilai peribadi
pemuda itu. Dia setuju dan lalu mengajarkan ilmu pedang
itu kepada Blo’on.
Sebenarnya Blo’on tak pernah berlatih lagi hingga dia
muncul ke dunia persilatan dengan nama Loan Thian Te
atau pendekar Huru Hara, dia sudah hampir tak pernah
memainkan ilmu pedang itu.
Sekarang dalam menghadapi tiga tokoh silat yang hebat,
karena sampai sekian lama. Entah sudah berapa ratus jurus,
belum juga selesai, teringatlah dia akan ilmu pedang yang
pernah diterimaya dari kakek tak dikenal itu.
Dan selekas dimainkannya maka Ko Cay Seng bertiga
terkejut sekali. Serasa empat arah delapan penjuru
berkelebat pedang Huru Hara. Tubuh Huru Hara seperti tak
tampak lagi. Yang ada hanialah segulung sinar pedang yang
melingkupi tubuhnya. Pit, pedang dan tasbih tak dapat
menembus lingkaran sinar itu.
Selain Ko Cay Seng, juga paderi To Thian dan Amita
lhama merasakan bahwa gerak senjatanya terasa berat,
seperti disedot oleh lingkar sinar pedang lawan. Maka
dalam beberapa waktu kemudian, napas paderi To Thian
mulai tersengal-sengal dan keringat membasahi kapalanya.
"Hm, paderi ini harus kuberi hajaran dulu,” pikir Huru
Hara.
Tring ….. plok…… auh ..... terdengar benturan senjata
dan tendangan kaki yang mengenai tubuh lalu disusul
dengan melayangnya sesosok tubuh sampai beberapa meter
ke belakang.
Itulah tubuh paderi To Thian yang termakan kaki Huru
Hara. Dan setelah dapat menyelesaikan paderi itu. Huru
Hara lalu menggencarkan serangan kepada Ko Cay Seng.
Hilangnya To Thian, terasa sekali bagi Ko Cay Seng
berdua. Tekanan Huru Hara makin berat. Tetapi Ko Cay
Seng seorang manusia yang licin. Tak mudah untuk
menangkapnya.
Bum .....
Sekonyong-konyong Ko Cay Seng membanting sebutir
pi-lik- tan (pelor halilintar) ke seketika berhamburanlah asap
tebal menyelimuti tempat itu.
Huru Hara terkejut dan cepat loncat mundur. Ia kuatir
asap itu mengandung racun. Dia pun berusaha untuk
menembuskan pandang matanya kedalam asap. Tetapi Ko
Cay Seng dan Amita lhama tak tampak lagi.
Memang Ko Cay Seng mempunyai senjata istimewa
ialah yang disebut Pi-lik-tan atau pelor-geledek. Begitu
ditaburkan, pelor itu segera meletus dan menghamburkan
asap yang tebal. Dan pic-lik-tan itu diramu dengan ramuan
obat bius. Barang siapa yang menyedot asap tentu akan
pening kepalanya dan rubuh.
Untung Ko Cay Seng memang hanya ingin melarikan
diri saja. Andaikata dia menunggu karena percaya Huru
Hara tentu akan rubuh pingsan, dia sendirilah yang akan
celaka. Berkat minum darah kilin dan makan buah Hay-tesom
ketika dahulu dia pernah kecemplung dalam laut dan
menemukan sebuah kerajaan dalam laut (baca : Pendekar
Blo'on).
Huru Hara kebal akan asap beracun yang ditaburkan Ko
Cay Seng itu. Selekas asap itu menipis dia terus menerjang
untuk mencari kedua lawannya. Tetapi Ko Cay Seng dan
Amita lhama, bahkan paderi To Thian sudah tak kelihatan
batang hidungnya.
Tiba2 dia teringat akan Ah Liong dan kawanan anak2
yang tengah bertempur dengan Hong-hay-ji dan si Pendekar
Tengkorak-pencabut-nyawa. Serentak dia berpaling, ah .....
merekapun lenyap.
“Kemanakah mereka ?" tanya Huru Hara seorang diri.
Tetapi ia memutuskan untuk kembali ke tempat Su tayjin
saja. Biarlah Ah Liong anakbuahnya menyelesaikan kedua
lawannya. percaya anak2 itu tentu mampu mengatasi
musuh2-nya.
Su Go Hwat disembunyi dalam sebuah gua yang pelik,
pintu gua teraling oleh batu cadas dan gerumbul pohon.
Gua itupun jarang didatangi orang. Itulah sebabnya Huru
Hara tak kuatir untuk meninggalkannya dulu karena
hendak menolong Ah Liong.
Tetapi begitu tiba di gua tersebut, bukan kepalang kejut
Huru Hara ketika tak melihat mentri pertahanan itu berada
disitu.
"Su tayjin, dimanakah tayjin !" teriak Huru Hara.
Namun tiada penyahutan sama sekali. Walaupun diulang
sampai beberapa kali juga tak ada penyahutan.
"Celaka !" diam2 Huru Hara mengeluh, "hanya ada dua
kemungkinan. Kalau tak dibawa musuh, tentulah tayjin
digondol binatang buas."
Huru Hara tegang sekali. Ia merasa bertanggung jawab
atas keselamatan mentri pertahanan itu.
"Hm, gara2 bocah kuncung itu, aku sampai
meninggalkan tayjin seorang diri," ia marah pada Ah Liong
yang dianggapnya sebagai gara2 sehingga Su tayjin sampai
hilang.
"Kemana aku harus mencarinya ?" akhirnya tibalah dia
pada suatu pertanyaan yang terakhir.
Dia telah melakukan pemeriksaan dengan seksama.
Kalau digondol binatang buas tentu akan meninggalkan
bekas2 noda darah. Ternyata lantai gua itu tetap bersih dan
tak ada tanda2 telah terjadi pergumulan yang berdarah.
Sebagai anak yang pernah tinggal di gunung dan sering
berkeliaran ke daerah pedalaman, Huru Hara dapat
mengenal bau beberapa binatang, misalnya bau harimau,
serigala, ular dan bahkan bangsa burung. Ia tak mencium
suatu bau binatang dalam gua itu.
Dengan begitu kemungkinan kedua, bahwa Su tayjin
telah disergap musuh, lebih besar.
"Adakah Ko Cay Seng dan kawan-kawannya yang
melakukan perbuatan ini? Tetapi apakah mereka
mengetahui tempat persembunyian Su tayjin ?" Huru Hara
membantah sendiri.
"Ya, kemungkinan besar memang manusia durjana itu,"
pada lain saat ia menyangkal sendiri, "dia seorang manusia
yang julid dan licin. Bukan mustahil kalau dia sebelumnya
telah menyebar anakbuahnya. Waktu dia dan kawan2
bertempur dengan aku, anakbuahnya disuruh mencari Su
tayjin. Ya, ini memang lebih besar kemungkinannya.”
Akhirnya ia memutuskan untuk mencari rombongan Ko
Cay Seng. Jika perlu dia hendak menerjang ke daerah
pendudukan musuh dan menghadap panglima besar
Torgun untuk menuntut keselamatan jiwa Su tayjin.
Dia teringat akan keinginan panglima Torgun yang
meminta kepadanya supaya bekerja pada pasukan Ceng.
Tetapi dia menolak.
"Sekarang demi kepentingan jiwa Su tayjin, kalau perlu
aku bersedia menyerahkan diri pada musuh asal Su tayjin
dibebaskan," ia menimang-nimang keputusan dalam hati.
Begitulah dia segera ayunkan langkah untuk mencari Su
tayjin. Dia hendak memburu jejak Ko Cay Seng yang
diduga telah menculik mentri pertahanan Su.
Kemanakah perginya Su Go Hwat ?
Ternyata yang diduga Huru Hara itu memang benar,
Ketika Hong-hay-ji sedang bertempur dengan Ah Liong,
diam2 Ko Cay Seng telah memberi bisikan kepada seorang
pengawalnya untuk membawa anakbuahnya menyelidiki
daerah disekeliling tempat itu dan menangkap Su Go Hwat.
Pengawal Ko Cay Seng melaksanakan tugasnya dengan
cermat dan di gua itu dia dan buahnya berhasil menemukan
tempat persembunyian Su Go Hwat.
"Hm, kiranya tayjin berada disini." seru pengawal yang
bernama Kong-go, seorang jago dari wilayah Hek-liongkiang.
"Jangan maju mendekat, selangkah berani maju, aku
akan bunuh diri," seru Su Go Hwat seraya lekatkan
sebatang belati ke dadanya.
Kong-go terkesiap, "Ah, mengapa tayjin akan berbuat
senekad itu ? Kami tidak bermaksud mencelakai tayjin.
Kami bahkan hendak menolong tayjin dari kesulitan."
"Persetan ! Bukankah engkau budak orang Boan ?”
"Ya," sahut Kong-go, "mengapa kita harus merasa hina
menjadi ponggawa kerajaan Ceng ? Bukankah raja Ceng
lebih pintar, lebih bijaksana dan kuat dari raja Beng ?
Menjadi ponggawa kerajaan yang menang, bukan suatu
hinaan."
"Jahanam ! Hanya orang Han yang berwatak anjing,
mau berhamba pada orang Boan!"
"Jangan salah fiham, tayjin. Aku bukan suku Han, aku
dari propinsi Kilin yang berdekatan dengan saku Boan."
"0, pantas engkau mau jadi hamba mereka."
"Tayjin, seorang yang bijaksana dan pandai seperti tayjin
mengapa tidak berpandangan luas ? Bukankah kerajaan
Ceng itu yang akan menjadi yang dipertuan dari bumi
Tiong- goan ? Lihatlah, kotaraja Pak-khia sudah jatuh ..... “
"Itu karena gara2 jenderal Go Sam Kui !"
"Itulah contohnya," seru Kong-go, "menghadapi
pemberontak saja raja Beng sudah tak mampu mengatasi
dan harus meminta bantuan pasukan Ceng. Kalau sekarang
orang Boan merasa herb untuk menduduki kotaraja, itu kan
sudah pantas
"Itu kesalahan Go Sam Kui !"
"Tidak," bantah Kong-go. "jenderal Go Sam Kui tidak
salah. Karena melihat raja Beng lemah dan dikuasai oleh
kaum durna, jenderal Go putus asa dan meminta bantuan
pasukan Ceng. Dia memang hertindak tepat."
"Lebih baik Li Cu Seng yang menjadi raja daripada harus
orang Boan !"
"Tayjin salah," Kong-go manyangkal pula, "yang disebut
Tionggoan (Tiongkok) itu terdiri dari beberapa suku, antara
lain suku Boan. Maka orang Boan pun berhak untuk
memegang pemerintahan Tioang-goan dan bukan hanya
orang Han saja yang berhak !"
"Hm," dengus Su Go Hwat geram,"sekarang engkau mau
apa ?"
"Kami minta agar tayjin suka keluar dan akan kami
iringkan ketempat yang aman. Masa tayjin seorang mentri
pertahanan, koq harus sembunyi dalam gua begini ?"
"Tidak !" teriak Su Go Hwat, "lebih baik ku mati
daripada harus menyerah kepadamu.”
Kong-go terkesiap. Ia mendapat kesan bahwa Su Go
Hwat itu seorang yang keras kepala.
Ia mendapat akal. Ia memberi hormat kepada mentri,
"Baiklah, tayjin, kalau tayjin tak mau, aku pun tak berani
memaksa. Harap tayjin baik2 menjaga diri."
Habis berkata Kong-go terus pergi. Dia mencari tempat
yang agak jauh dari gua itu lalu memberi perintah kepada
anakbuahnya. "Kita harus mengatur siasat untuk
menangkap mentri yang keras kepala itu. Siapa diantara
kalian yang dapat menangkap ular ?"
Seorang anakbuah menampilkan diri. Dia segera
diperintah untuk mencari ular. Tak berapa lama dia sudah
berhasil menangkap dua ekor ular. Ternyata Kong-go
seorang ahli menaklukkan ular. Dia menghilangkan bisa
(racun) ular itu lalu suruh anakbuah itu melepaskan ke
pintu gua, Sedang dia penjaga di samping pintu gua. Kalau
Su Go Hwat ketakutan lari keluar, terus akan disergapnya.
Demikian rencananya.
"Jahanam !" terdengar Su Go Hwat marah2 didalam gua.
Tetapi tak berapa lama kemudian tak ada suaranya lagi.
Tetapi sampai sekian lama menunggu, belum juga Su Go
Hwat keluar. Sudah tentu Kong-go tentram sekali. Ia
teringat kalau Su Go Hwat masih membekal piau belati,
“Ah, kemungkinan dia dapat membunuh ular itu," pikirnya.
Kong-go kembali kepada anakbuahnya untuk
bcrmusyawarah.
"Loya," seru seorang anakbuah, "aku mempunyai akal
untuk menangkap mentri itu."
"Bagaimana caranya ?"
"Aku mempunyai setanggi harum yang asapnya dapat
membuat orang pingsan. Apabila kubakar dan kutiupkan
kedalam gua, asap itu tentu akan tersedot dan mentri Su
pasti rubuh," kata anakbuah itu.
"Bagus," seru Kong-go. Dia memerintahkan agar
anakbuah itu segera melaksanakannya.
Memang waktu melihat dua tiga ekor ular masuk, mentri
Su nekad membabat dengan belatinya sehingga ular itu
mati. Dia memang sudah bulat tekadnya, lebih baik mati
daripada jatuh ke tangan musuh.
Beberapa saat ke:nudian dia mencium bau yang harum.
Ia heran tetapi cepat menyadari bahwa asap itu tentu bukan
sewajarnya. Ia tahu bahwa di kalangan kaum persilatan
golongan hitam terutama kaum Cay-hoa (pemetik bunga
atau perusak wanita), memang sering menggunakan asap
harum untuk membius korbannya supaya pingsan.
"Hm, mereka hendak menggunakan dupa Bi-hun-hiang
untuk merubuhkan aku," pikir Go Hwat. Diapun segera
mendapat akal untuk menghadapi mereka. Dia cepat2
menutup hidung dengan saputangannya.
Setelah beberapa saat, Kong- go berseru, “apakah tayjin
benar2 tak mau menyerah ?" Kong-go sengaja berseru
begitu untuk menyelidiki apakah mentri sudah pingsan atau
masih sadar. Ternyata mentri Su diam saja.
“Su tayjin !" Kong-go mengulang seruannya namun tetap
tiada penyahutan.
"Mungkin sudah rubuh, loya," kata anakbuah yang
memiliki obat Bi-hun- hiang tadi, "obatku ini memang
istimewa sekali."
"Ah, tetapi kita harus hati2," kata Kong-go.
Rupanya anakbuah itu terlalu membanggakan
setangginya, "Boleh aku yang masuk untuk melihat
mentri?"
"Apa tidak berbahaya ?"
"Harap loya jangan kuatir, mentri Su pasti sudah rubuh."
Karena melihat orang begitu yakin, terpaksa Kong-go
menyetujui. Dan melangkahlah anakbuah kedalam gua.
Dilihatnya mentri Su memang sudah menggeletak di tanah
tak berkutik. Sebenarnya dia hendak memberitahu kepada
Kong-go tapi entah bagaimana timbullah keinginannya
untuk membanggakan diri. Dia terus menghampiri lalu
berjongkok hendak mengangkat tubuh mentri maksudnya
hendak membawanya keluar.
"Aduh............. " tiba dia menjerit ngeri ketika sebatang
benda berkilat memancar dan tahu2 dadanya tertusuk ujung
belati.
Suara jeritan anakbuah itu terdengar di luar. Kong-go
terkejut. Ia duga anakbuahnya tentu menderita kecelakaan.
Jelas tentulah mentri Su belum rubuh.
"Celaka," ia mengeluh, "kalau aku memaksa masuk
menangkapnya, dia tentu akan bunuh diri. Namun kalau
tidak masuk, juga tak mungkin mau keluar.
Dia hendak membakar setanggi harum tetapi benda itu
ikut dibawa oleh pemiliknya yaitu anakbuah tadi.
"Cari kayu atau daun kering. Aku hendak membakar gua
ini," katanya.
Tak berapa lama siaplah sudah seonggok ranting dan
daung2 kering dimuka pintu gua. Kong go terus
membakarnya. Asap segera berbondong-bondong masuk
kedalam gua.
Mentri Su benar2 kelabakan. Berulang kali napasnya
sesak dan hendak batuk tetapi ditahan.
Asap makin bergulung-galung masuk ke dalam gua,
Kong-go dan anakbuahnya mengepung gua itu.
"Tayjin, kalau engkau suka damai, kuhentikan asap ini,"
seru Kong-go.
"Jangan mimpi !” sahut mentri Su yang mendekap
hidungnya. Dia berusaha hendak menghindari kesesakan
napas akibat asap itu tetap gagal. Dia memang tak kuat
bertahan lagi kalau disuruh terus menerus mendekap
hidung. Akhirnya ia coba melepaskan tangannya. Seketika
dia berbatuk- batuk.
Pada saat Su Go Hwat sudah hampir tak tahan lagi dan
hendak menerobos keluar, sekonyong2 terdengar suara
seorang gadis melengking, "Hai apa-apaan itu ?"
Kong-go terkejut dan berpaling. Ah, ternyata yang
datang kesitu adalah seorang gadis cantik bersama seorang
kakek pendek.
Setelah menenangkan diri dengan menganggap bahwa
gadis itu hanya seorang gadis lemah, apalagi kakeknya
bertubuh pendek seperti orang linglung, legahlah perasaan
Kong-go.
"Hai, siapa nama kalian ?" tanyanya.
"Tidak perlu," kata gadis itu, "sebelum engkau menjawab
pertanyaanku ini."
"Engkau hendak tanya apa ?"
"Mengapa engkau membuat api unggun didepan sebuah
gua itu?”
"Ada seekor ular dalam gua itu. Caranya menangkap
ialah dengan disembur asap tebal, binatang itu tentu akan
jinak kembali.
"Tetapi siapa orang yang engkau cari itu ?" seru Kong-go.
Agak tersipu-sipu pipi gadis itu ketika menerima
pertanyaan seperti itu.
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar