Jilid1
Ki-lian-san, gunung ini membentang di wilayah propinsi
Kamsiok di barat-laut Tiongkok. Puncak utamanya terletak
di barat-daya propinsi itu. Gunungnya tinggi hawanya
dingin, maka sepanjang tahun pegunungan ini tertimbun
salju yang tak pernah cair, sebab itulah Ki-lian-san juga
disebut orang dengan nama Soat-san atau Gunung Salju.
Waktu itu pertengahan bulan kesepuluh, salju turun
bertebaran, tapi dijalan raya yang menuju Lanciu (ibukota
propinsi Kamsiok) tampak sepasang muda-mudi sedang
membedal kuda mereka secepat terbang.
Waktu bermalam dihotel Lanciu mereka sudah
berunding dengan baik, meski bungan salju masih turun
dengan lebatnya, jalanan penuh tertimbun gumpalan salju,
orang berlalu lalang sama sekali tidak kelihatan, namun
hasrat mereka untuk mendaki puncak Soat-san tidak pernah
berkurang.
Setiba dikaki gunung, diluar dugaan hujan salju
mendadak berhenti, malahan sinar sang surya mengintip
dari balik awan dan memancarkan cahayanya yang gilang
gemilang menambah indah pemandangan alam bersalju itu.
Kedua muda-mudi itu melompat turun dan berdiri
disamping kuda masing-masing. Perawakan mereka hampir
sama tinggi besarnya. Kedua mata sipemuda yang besar
dibawah naungan alis yang tebal itu memancarkan cahaya
penuh semangat, katanya, "Ih-nio, coba lihat, salju yang
turun sejak pagi sekarang berhenti mendadak."
Pemudi itu bernama Soat Ih-nio, lumayan parasnya, tapi
mempunyai daya tarik yang khas. Ia melirik sekejap
pemuda itu dan menjawab dengan tertawa, "Ya, memang
beginilah Siau Tio (Tio cilik), coba renungkan sejak kita
berkawan mengembara selama ini, pernahkah kita
menemui cuaca yang membikin kecewa?"
Pemuda itu bernama Tio Tai-peng, usianya antara 25-26
tahun, lebih muda dua tahun daripada Soat Ih-nio.
Dia termenung sejenak, lalu menjawab sambil
mengangguk, "Ehm, memang seperti tidak pernah,"
Dengan genit Soat Ih-nio mencolek kening Tio Tai-peng,
katanya, "Kau ini, kalau bicara selamanya tidak pernah
tegas. Pakai seperti segala, kalau pernah ya bilang pernah
bila tidak pernah katakan tidak pernah. Ingat tidak ketika
kita mendaki Bu-ih-san (gunung Bu-ih, terletak di utara
propinsi Hok-kian) tahun lalu?"
Tio Tai-peng lantas terkenang kejadian dahulu, lalu
berkata dengan tertawa, "Ya, waktu itu, pagi-pagi sudah
hujan lebat. Aku tidak mau mendaki gunung ditengah
hujan begitu, tapi kau justeru penuh minat. Lantaran tak
dapat menolak kehendakmu, terpaksa kuiring kau dengan
rasa mendongkol. Sepanjang jalan kupikir kau ini memang
aneh, mendaki gunng waktu hujan, apanya yang bisa
dilihat? Siapa tahu. . . . ."
"Dan seperti juga hari ini," potong Soat Ih-nio, "Kau pun
tidak mau mendaki gunung dibawah hujan salju. Tapi
buktinya ketika sampai dikaki gunung Bu-ih hujan lantas
terang, sekarang setiba kita disini, salju juga berhenti turun.
Rasanya Lo-thian-ya (Thian yang maha kuasa) sengaja
mengatur agar kita tidak kecewa bilamana hendak mendaki
gunung dan pesiar. Nah, kan Lo-thian-ya saja suka
membantu kita, masakah kau bicara pakai 'seperti' apa
segala?"
"Baiklah, Niocu (istriku), anggaplah aku salah omong,
kata seperti memang tidak tepat, harus diganti menjadi
hakikatnya tidak pernah menemui cuaca buruk. Nah,
setuju?" Pada ucapan terakhir, dia menyengir kepada si
nona.
"Cis, siapa Niocumu?!" semprot Soat Ih-nio.
"Bukan Niocu, habis siapa yang tidur bersamaku selama
lebih dua tahunan ini?"
"Siapa lagi? Tentu saja gen. . .gend. . . ." mestinya si
nona akan bilang "gendakmu", tapi belum terucapkan dua
titik air matanya lantas meleleh.
Melihat si nona menangis, Tio Tai-peng lantas
memegang kedua tangannya dan membujuk, "Ai, tanpa
sebab mengapa engkau menjadi berduka? Bukankah engkau
suka mendaki gunung, sekarang tempat tujuan sudah
didepan mata, hayolah kita mulai mendaki!"
Soat Ih-nio memang bercita-cita menjelajahi segenap
gunung besar dan sungai ternama seantero negeri ini. Cepat
ia mengusap air matanya dan berkata, "Dimana akan kita
tambatkan kuda kita."
Ki-lian-san ini sangat tinggi, sehabis hujan salju pula,
jalan sangat licin, kuda jelas tidak mungkin ikut mendaki
keatas.
Setelah memandang sekelilingnya dan ternyata tiada
sesuatu tempat yang ada aling-alingnya, terpaksa Tai-peng
menjawab, "Lepaskan saja disini, biarkan mereka cari
rumput dengan bebas."
Mereka lantas menanggalkan rangsal masing-masing dari
pelana kuda dan digendong sendiri, kuda dihalau pergi,
tanpa berpaling lagi mereka lantas manjat keatas gunung.
Gerak-gerik mereka memang cekatan, semula mereka
berjalan mengukuti jalan pegunungan, setiba diketinggian,
orang biasa jelas tidak mungkin mendaki dengan bertangan
kosong, tapi mereka tidak menggunakan sesuatu alat
pembantu, hanya mengandalkan Ginkang masing-masing,
seperti dua biji peluru saja, mereka melejit dan melayang,
kira-kira sejam kemudian mereka sudah mencapai puncak
gunung.
Setelah menghela napas laga, muka Soat Ih-nio yang
putih tampak rada kemerah-merahan, karena kedinginan, ia
berkata, "Sukar benar pendakian ini, beberapa kali aku
terpeleset dan hampir tergelincir kebawah."
Tio Tai-peng melongok kebawah puncak, samar-samar
keliahatn kuda mereka, tapi wijidnya sudah berubah
menjadi dua titik kecil saja. Ia pun menghela napas dan
berkata, "Ya, untung tidak sampai tergelincir, kalau tidak,
pasti hancur lebur."
Ih-nio memandang keatas, ternyata didepan
menghadang pula sebuah puncak yang menegak tinggi
seperti tiang es.
"Wah, cara bagaimana manjat keatas?" serunya.
Tai-peng ikut memandang kesana, ucapnya dengan
tertawa, "Kau takut? Hah, nyali perempuan memang kecil,
kukira sampai disini saja, bagaimana kalau kita putar
balik?"
Namun Soat Ih-nio berwatak keras dan tinggi hati, baru
saja habis Tai-peng berucap, segera ia berlari kesana. Ia
hendak membuktikan kesanggupannya dengan tindakan,
bahwa biar pun perempuan dia tidak sudi menyerah
menghadapi puncak yang tegak lurus itu.
Tio Tai-peng sudah berkumpul lebih dua tahun bersama
Soat Ih-nio, sudah tentu ia kenal watak si nona. Ia
tersenyum dan segera menyusul kesana. Dalam waktu
sesingkat itu Ih-nio sudah mulai manjat keatas hingga
beberapa tombak tingginya.
Mendaki puncak es yang tegak itu memang tidak mudah,
ketika puncak itu dapat mereka taklukkan, terus saja
mereka merebahkan diri saking lelahnya.
Tapi mereka tidak berani lama-lama tidur ditanah
bersalju yang beku itu, hanya sebentar saja mereka lantas
bangun berduduk, keduanya sama-sama bersemedi dan
mengatur pernapasan dengan Lwekang masing-masing.
Kira-kira setanakan nasi, Tio Tai-peng mendahului
melompat bangun. Soat Ih-nio tidak mau kalah, iapun ikut
berdiri. Keduanya saling pandang dengan tersenyum lalu
mengawasi puncak es yang tidak pernah cair sepanjang
tahun ini.
Mereka merasa seolah-olah berdiri diatas mega, dibawah
kaki mereka adalah lautan awan, Ih-nio berkeplok gembira
seperti anak kecil, soraknya, "Ai, sungguh menarik,
bukankah sekarang kita serupa dewa diatas langit?"
"Bagaimana kalau kita berlakon naik mega atau
mengapung diatas awan?" ujar Tai-peng dengan tertawa.
"Bagus, coba kita berlomba Ginkang siapa yang lebih
tinggi?" seru Ih-nio.
"Ginkangku selamanya tak dapat menandingi kau." kata
Tai-peng denga tertawa.
Soat Ih-nio mencibir, katanya, "Ah, mulut bilang kalah,
dalam hati kau ingin menang." Habis berkata ia terus
mendahului melayang kedepan sana.
"He, belum lagi diberi aba-aba, kenapa lantas lari lebih
dulu?!" seru Tai-peng. Dia benar-benar cuma mengaku
kalah dimulut, tapi dalam hati tidak mau kalah. Segera ia
mengejar dengan kencang.
Puncak gunung ini sangat luas tanpa bertepi, namun
naik-turun tidak rata, sebentar tinggi sebentar rendah, maka
kedua orang juga sebentar se-akan2 ditelan lautan awan,
lain saat timbul lagi diatas mega, keduanya saling kejar
tanpa berhenti.
Sambil berlari dan mengejar Soat Ih-nio didepannya, Tio
Tai-peng tidak pernah lupa meng-amat2i sekitar dan
sepanjang jalan yang dilaluinya seakan-akan sedang
mencari sesuatu benda yang aneh dan berharga.
Sekonyong-konyong Ih-nio berseru terkejut. Hati Taipeng
tergetar, cepat ia memburu maju dan berdiri
disamping si nona sambil bertanya, "Apa yang kau lihat?"
Tapi Ih-nio lantas berlari pula kejurusan barat-daya dan
tidak memberi penjelasan. Namun Tai-peng sendiri lantas
melihat juga sasaran yang membuat Soat Ih-nio berseru
kaget tadi. Cepat ia mengerahkan Ginkangnya, hanya
sekejap saja ia sudah menyusul si nona dan mendahului
berhenti didepan sasaran itu.
Itulah seorang Tosu (pendeta agama To atau Tau)
bermuka hitam, memegang pedang yang lagi ditusukan
kedepan. Batang pedang terbenam didalam gundukan salju
setinggi manusia, kelihatan bagian gagang pedang saja yang
terpegang ditangan Tosu yang hitam itu.
Tosu ini bukan orang-orangan salju, tapi orang, manusia
hidup. Dikatakan manusia hidup juga tidak betul, manusia
sih memang betul manusia tulen, tapi kedua matanya
tampak mendelik dan tidak dapat bergerak lagi, jelas sudah
mati beku.
Dilihat dari sikapnya yang mendelik dan beringas itu,
sepintas pandang orang pasti tidak menyangka Tosu ini
sudah mati.
Dapat dipastikan Tosu ini sudah mati cukup lama, tapi
bilakah matinya sukar ditentukan. Jika ditinjau dari sekujur
badannya yang tiada terdapat sedikitpun timbunan, maka
masuk diakal bila dikatakan dia mati belum lama ini. Akan
tetapi kalau melihat jubahnya yang sudah compang
camping tertiup angin, ini membuktikan pula dia sudah
mati lama, sedikitnya sudah beberapa tahun.
Setiba disitu, Soat It-nio jadi melenggong oleh apa yang
dilihatnya sehingga lupa memikirkan Ginkang Tio Tai-peng
tadi mengapa bisa mendadak lebih tinggi daripada
biasanya.
Terlihat Tio Tai-peng lagi menggerayangi baju Tosu itu,
sejenak kemudian berhasil dikeluarkannya satu biji mutiara,
"O, kiranya gara-gara mutiara ini!" ucapnya.
"Mutiara apa?" tanya Soat Ih-nio.
Tio Tai-peng melemparkan mutiara itu dan ditangkap
Soat Ih-nio, setelah dipandang sekejap, ia berseru, "He, Pitun-
cu (mutiara anti debu)?"
Pi-tun-cu ini berwarna merah tua, jika digenggam, meski
tengah tanah bersalju yang dingin, rasanya tetap hangat.
Bila selalu dibawa dalam baju, maka debu takkan
menempel dan kotoran akan lenyap, khasiatnya anti dingin
dan menimbulkan hawa hangat.
Lantaran membawa Pi-tun-cu inilah maka bunga salju
yang menaburi tubuh Tosu tadi tidak dapat menempel,
meski dia sudah mati beberapa tahun tetap tidak terbenam
oleh timbunan salju.
Selagi Soat Ih-nio mengamat-amati mutiara mestika itu
tiba-tiba dilihatnya Tio Tai-peng lagi mengebut gundukan
salju didepan Tosu itu dengan lengan baju.
Setelah salju terkebut rontok, tertampaklah disitu juga
berdiri sesosok mayat. Karena tidak membekal Pi-tun-cu,
salju yang menimbuni tubuhnya lantas membeku menjadi
tiang es.
Tapi lantaran pedang si Tosu sempat menusuk pada
dadanya dari jarak dekat, maka setelah sekian tahun tiang
es itu tidak menjadi bertambah besar melainkan cuma
membungkus sekujur badannya saja.
Kini setelah bunga salju yang bertimbun di tiang es itu
dikebut rontok, si "dia" yang beku didalam tiang es lantas
terlihat jelas.
Seketika Soat Ih-nio berteriak kaget demi melihat jelas
wajah si "dia".
"Kau kenal Dia?" tanya Tai-peng.
Ih-nio mengangguk, katanya, "Ya, dia. . . .dia seperti
tokoh Hek-to (golongan hitam, bandit) yang terkenal
didunia Kangoue, nama. . . .namanya. . . .!"
"Siapa namanya?" desak Tai-peng karena ucapan si nona
kelihatan tergegap.
"CU. . . Cu Hway-tong. . . ."
"Hm, kiranya ahli racun yang kotor dan rendah itu!"
jengek Tai-peng.
Muka Soat Ih-nio tampak agak merah, iapun bertanya,
"Siau Tio, apakah kau kenal Tosu itu?"
Tai-peng menggeleng, jawabnya, "Belum lama kuterjun
didunia Kangouw, tokoh Kangouw ternama yang kukenal
sangat terbatas."
"Pernah kudengar bahwa ada seorang tokoh Bu-tong-pay
yang selalu membekal Pi-tun-cu, entah siapa gelarnya?"
kata Ih-nio.
"Oo?. . ." Tai-peng bersuara tak acuh dan diam-diam
melirik sekitarnya.
Sudah tentu Soat Ih-nio dapat melihat kelakuan pemuda
itu, namun dia tidak menegurnya, ucapnya dengan tertawa,
"Mutiara ini sungguh sangat menyenangkan."
Tai-peng tahu si nona ingin memilikinya, maka lantas
berkata, "Ambil saja."
"He, tapi kaulah yang menemukannya?!" seru Ih-nio
dengan kejut-kejut girang.
"Masa diantara kita masih perlu dibeda-bedakan lagi
milikmu atau milikku?" ujar Tai-peng.
Ih-nio merasa bahagia oleh ucapan pemuda itu, dengan
gembira ia simpan Pi-tun-cu itu, Pikirnya, "Tio cilik benarbenar
sangat baik hati, benda mestika begini saja diberikan
padaku."
Mendadak Tai-peng berkata pula, "Ih-nio, kematian
kedua orang ini tampaknya tidak beres."
Soat Ih-nio pura-pura tidak tahu, ia tanya, "Apanya yang
tidak beres?"
Tai-peng juga berlagak bodoh dan menjawab.
"Tampaknya lebih dulu Cu Hway-tong menggunakan
racun, pada waktu racun sudah bekerja pedang tokoh Butong-
pay inipun sempat menusuk dada Cu Hway-tong,
begitu lawan tertusuk mampus, iapun mati keracunan pada
saat yang sama. . . ."
Membayangkan betapa cepatnya racun itu bekerja, diamdiam
Tai-peng menjulur lidah, ucapnya pula, "Begitulah
kedua orang lantas gugur bersama. Tapi sepantasnya
mereka tidak mungkin tanpa sebab mengadu jiwa diatas
puncak yang jarang diinjak manusia ini, tentu ada sesuatu
yang menarik kedatangan mereka kesini."
"Betul, tentu ada sesuatu, marilah kita menyelidikinya
dari dua jurusan, kau periksa sebelah sana, kuteliti sebelah
sini," kata Ih-nio.
Diam-diam Tai-peng mendengus, "Huh, apakah kau
hendak menyingkirkan diriku? Hm, memangnya aku pun
hendak meninggalkan kau, boleh coba kita adu untung."
Maka ia lantas menjawab, "Baik, coba kuperiksa sebelah
sana."
Tanpa bicara lagi mereka terus berlari kejurusan masingmasing.
Soat Ih-nio menuju arah tenggara, Tio Tai-peng
kejurusan barat-laut.
Sambil berjalan Tio Tai-peng terus mencari dengan teliti,
sampai sekian jauhnya ternyata tiada sesuatu apapun yang
dilihat. Diam-diam ia mulai gelisah dan merasa tidak enak,
pikirnya, "Jurusanku ini tiada sesuatu yang kutemukan,
jangan-jangan nasibku kurang mujur dan salah pilih arah."
Ia coba melanjutkan lagi, tapi makin lama makin tidak
tentram, gerutunya sendiri, "Goblok, kenapa aku tidak lekas
kembali kesana, bila terlambat lagi mungkin akan dibawa
kabur Ih-nio."
Seketika ia merasa seperti melihat Soat Ih-nio sedang
kabur kebawah puncak, maka cepat ia berputar balik kearah
tadi.
Ia mengikuti jejak Soat Ih-nio terus menguntit kedepan.
Setiba didepan sebuah puncak es, jejak itu lantas hilang.
Diam-diam ia mengeluh, "Wah, Ih-nio pasti menemukan
sesuatu!"
Cepat ia menerobos kedalam goa yang gelap dikaki
puncak yang bergelantungan dengan jalur-jalur es itu. Dia
menggeser masuk dengan pelahan agar tidak menimbulkan
suara, dilihatnya goa itu sangat besar, sukar dijajaki
dalamnya.
Untung didalam goa masih ada cahaya remang-remang
sehingga terlihat jejak kaki Soat Ih-nio itu. Setiba disuatu
belokan, tiba-tiba terdengar suara kresek-kresek, suara orang
membalik-balik halaman buku.
Meski suara kresek itu sangat lirih, tapi cukup
menggetarkan hati Tio Tai-peng, pikirnya, "Nyata memang
nasibnya lebih mujur, dia yang menemukan, Untung dia
ter-buru2 membacanya disini dan lupa membawanya
kabur."
Pelahan Tio Tai-peng menurunkan rangsalnya yang agak
panjang itu, dilolosnya pedang yang mengkilap, dengan
pedang terhunus ditangan kanan ia menggremet maju
dengan hati-hati.
Yang pertama dilihat Tai-peng adalah bayangan
punggung Soat Ih-nio yang berduduk disitu, didepan si
nona adalah mulut goa, si nona sedang membalik-balik
halaman sejilid buku tipis dan membacanya dengan cahaya
yang menyorot masuk dari mulut goa sana. Disamping si
nona tertaruh sebuah kotak kemala tempat kitab tipis itu.
Tutup kotak kemala itu cukup membuat melotot mata Tio
Tai-peng.
Dilihatnya tutup kotak kemala itu terukir dua batang
pedang yang bersilang kekanan dan kekiri, tanda-tanda ini
persis seperti berita yang tersiar mengenai kotak tempat
kitab pusaka ilmu pedang sakti itu.
Diluar goa sana tampak pula bergelimpangan belasan
mayat yang belum membusuk, seperti juga mayat si Tosu
dan Cu Hway-tong yang dilihatnya sebelum ini, belasan
mayat inipun mati saling membunuh.
Setelah melirik sekejap belasan mayat itu, dengan pedang
terhunus Tai-peng lantas mendekati Soat Ih-nio dengan
pelahan-pelahan.
Rupanya Soat Ih-nio lagi asyik membaca, sehingga tidak
merasa akan kedatangan Tio Tai-peng.
Ketika sudah dekat dalam jangkauan pedangnya, Tio
Tai-peng lantas mengertak gigi dan sorot matanya menjadi
buas.
Mendengar kertakan gigi, Soat Ih-nio terkejut dan cepat
menoleh, melihat Tio Tai-peng, ia lantas bertanya, "He,
kau. . . hendak apa kau?. . . ."
Tanpa bicara pedang Tio Tai-peng terus menusuk.
Namun Ih-nio sempat mengengos berbareng tangan kirinya
lantas terangkat kebelakang hendak meloloskan pedang
yang tersimpan didalam rangsalnya itu.
Tai-peng menyadari ilmu pedang tangan kiri si nona
tidak kalah lihainya daripada dirinya, ia tidak memberi
kesempatan baginya untuk melolos pedang, segera
pedangnya menabas tangan kiri si nona.
Pada detik yang gawat ini, Ih-nio tidak sempat bicara
juga tidak dapat melolos pedangnya, jalan satu-satunya
untuk menyelamatkan jiwanya hanya berkelit dan
menghindar dengan Ginkangnya.
Ia yakin Ginkang sendiri tidak lebih asor daripada Tio
Tai-peng, maka sedapatnya ia berloncatan kian-kemari.
Diluar dugaannya Ginkang Tio Tai-peng sebenarnya
terlebih tinggi daripada dia, ujung pedang tetap mengincar
lengan kirinya, hanya beberapa kali loncat dan uber, sekali
tabas terkutunglah lengan kiri Soat Ih-nio sebatas pundak.
Hampir kelengar Ih-nio saking sakitnya, tapi sedapatnya
ia bertahan, tangan kanan tetap menggenggam erat-erat
kitab tipis itu, ia jatuh terduduk ditanah, luka lengan kirinya
yang sudah buntung itu tidak terlalu banyak mengucurkan
darah, maklum, suhu teramat dingin sehingga darah cepat
membeku.
Tai-peng tidak tega untuk menguber dan membunuh si
nona, ia cuma berkata, "Lengan kirimu sudah buntung, kau
bukan lagi tandinganku, lekas serahkan kitab itu kepadaku."
Darah yang membeku itupun membuat mati rasa luka
Soat Ih-nio, dengan menahan dendam ia menjawab, Siau
Tio, ke. . .keji amat kau. . . . ."
Melihat rasa duka dan benci si nona, Tai-peng merasa
bersalah, dengan suara pelahan ia berkata pula, "Serahkan
kitab itu dan segera kupergi, akan. . . akan kuampuni
jiwamu. . . ."
Mendadak Soat Ih-nio menengadah dan tertawa latah,
serunya, "Hahaha, mengampuni jiwamu. . .hahaha, terima
kasih. . . .alangkah merdunya ucapanmu, mengampuni
jiwamu. . . ."
Mendadak ia berhenti tertawa dan menatap tajam Tio
Tai-peng, katanya pula sambil tersenyum genit, "apakah. . .
apakah kau tahu bahwa tiada niatku hendak mengangkangi
kitab ini? Memang sudah lama kutahu kau ingin mencari
kitab ini. Seperti halnya diriku, maksud tujuanmu mendaki
gunung dan menyusur sungai tiada lain adalah karena ingin
mencari kitab pusaka ilmu pedang yang jarang diketahui
orang Bu-lim ini."
"Perempuan jalang," jengek Tio Tai-peng, "tidak perlu
lagi omong-omong, lekas serahkan kitab itu."
"Perempuan jalang?" Ih-nio menegas dengan pedih,
"Kau. . . kau tahu asal-usulku?. . . ."
"Sudah tentu tahu, kalau tidak masakah kuturun tangan
lebih dulu. Siapa didunia Kangouw yang tidak tahu Hiaunio-
cu (perempuan atau nyonya cabul) Soat Ciau-hoa yang
terkenal genit, keji dan jahat tiada taranya."
"Akan. . . akan tetapi, terhadapmu. . . . ."
"Tidak perlu lagi kau bujuk-rayu padaku, anggaplah aku
yang ceroboh, kurang pengalaman karena baru mulai
mengembara. Semula kusangka kau seorang perempuan
baik-baik, siapa tahu kau adalah Hiau-nio-cu Soat Ciau-hoa
yang termashur."
"Jika kau tahu aku ini perempuan tidak genah, mengapa
tidak sejak mula memutuskan hubungan denganku dan
sekarang kau malah mencelakai diriku?"
"Soalnya lantaran kutahu diam-diam kaupun sedang
mencari tempat hilangnya belasan tokoh persilatan yang
terjadi tujuh tahun yang lalu, kalau tempat itu dapat
ditemukan, maka dapat pula menemukan kitab pusaka ilmu
pedang yang diperebutkan mereka dengan mati-matian itu."
"Kau cari, aku pun cari, kita serahkan kepada kemujuran
masing-masing. Ketahuilah betapa cabul dan jahatnya
Hiau-nio-cu seperti diriku ini kan juga ada kalanya ingin
kembali kejalan yang baik. Sejak bertemu dengan kau. . . ."
sampai disini air matanya lantas bercucuran, ia tidak
sanggup melanjutkan, diam-diam ia menyesal salah pilih
orang.
Namun Tio Tai-peng tidak doyan rayuan, dengan ketus
ia berkata pula, "Sejak meninggalkan pintu perguruan dan
berkelana didunia Kangouw, semula akupun mempunyai
cita-cita yang tinggi. Siapa tahu kutemui orang macam kau,
hatiku menjadi penasaran. Kemudian dapat kuketahui pula
kau mempunyai hubungan erat dengan salah seorang tokoh
yang hilang itu, yaitu tokoh ahli racun yang bernama Cu
Hway-tong. Kukira orang she Cu itu mungkin akan
memberitahukan padamu dimana tempat mengakibatkan
perebutan dan pertarungan maut belasan tokoh terkemuka
itu. Sebaliknya aku sama sekali tidak tahu, makanya
kutetap berkumpul dengan kau."
Soat Ih-nio atau Soat Ciau-hoa menjilat air mata pahit
yang meleleh kebibirnya itu, mendadak ia tertawa terkekeh2,
"Hehe, bercita-cita tinggi. . . .Hehe, memang betul,
kutahu cita-citamu itu. Kutahu cita2 setiap anak murid
perguruan ternama yang baru keluar dari pintu perguruan,
mereka ingin mencari pasangan yang setimpal, saling cinta
dan hidup bahagia, lalu berkelana didunia Kangouw
melaksanakan tugas mulia. . . Aku, sudah tentu tidak
setimpal bagimu, Akan tetapi, pada waktu mulai terjun
kedunia Kangouw, aku Soat Ciau-hoa memangnya tidak
mempunyai cita-cita yang tinggi? Namun apa yang terjadi?
Aku tertipu, tertipu oleh orang yang pertama yang kucintai,
kehormatanku tercemar, aku ditinggalkan, jelas dia sengaja
mempermainkan diriku, akibatnya aku terjerumus semakin
dalam, sehingga terjadilah aku Soat Ciau-hoa si Hiau-nio-cu
yang terkenal. Aku ingin menuntut balas, aku ingin
mempermainkan mereka sebagai balas dendamku karena
telah dipermainkan oleh dia. . . . ."
Tio Tai-peng merasa sebal mendengar ocehannya, ia
meraung gusar, "Tidak perlu omong kosong, lekas serahkan
kitab itu kepadaku. Anggaplah aku pun salah seorang
korban balas dendammu itu!"
"Tidak." jawab Soat Ciau-hoa sambil menggeleng, "Kau
bukan sasaran balas dendamku, Mukamu, perawakanmu,
sangat mirip dia, malahan engkau terlebih polos dan jujur
daripada dia, Kuanggap dia sudah meninggalkan diriku,
maka kuanggap kau sebagai duplikatnya dan pasti takkan
meninggalkan aku, makanya aku bertekad akan hidup baikbaik
denganmu, bahkan. . . ."
"Persetan kau!" Tai-peng meraung gusar pula, "Masa aku
kau anggap sebagai duplikatnya segala? Aku Tio Tai-peng
bukan barang serep, bukan barang cadangan yang boleh kau
pakai sesukamu?! Nah, lekas serahkan kitab itu, selanjutnya
kita putus hubungan dan habis perkara."
"Lengan kiriku sudah buntung, tidak dapat memainkan
pedang lagi, dengan sendirinya kau tambah menghina
diriku. Hm, putus hubungan dan habis perkara? Bagus,
bagus sekali! Cuma kasihan pada anak kita yang akan lahir
ini. . . ."
Sembari bicara dengan tangan kanannya yang gemetar ia
menyodorkan kitab pusaka itu, katanya pula dengan
tersenyum getir, "Nah, ambillah, semoga kau hidup senang
didunia ini dan jangan sampai anak ini tidak pernah
bertemu selamanya denganmu. . . . ."
Tai-peng jadi melengong, sama sekali tak terpikir
olehnya Soat Ciau-hoa telah mengandung anaknya. "Ap. .
.apa betul!?" tanyanya dengan tergegap sambil menjulurkan
tangannya untuk menerima kitab itu.
Soat Ciau-hoa memegang tangan kanan Tio Tai-peng
yang terjulur itu terus diremasnya kuat-kuat, katanya,
"Percayalah padaku, aku tidak berdusta. Jangan kau
tinggalkan diriku, tinggal saja dan saksikan anak yang akan
kulahirkan."
Mendadak Tio Tai-peng menjerit, "Hah, dengan apa kau
menusuk tanganku?!"
Waktu Soat Ciau-hoa memegang tangannya dan
menusuknya dengan sesuatu, semula cuma sakit sedikit
seperti digigit semut, tapi setelah Soat Ciau-hoa selesai
bicara, tangannya menjadi kaku dan gatal tak terperikan,
tentu saja Tai-peng kaget.
"Hm, masa kau lupa pernah aku berhubungan erat
dengan Cu Hway-tong yang ahli racun itu? Mustahil dia
tidak mengajarkan beberapa cara menggunakan racun
padaku?" jengek Soat Ciau-hoa.
Karuan Tio Tai-peng terperanjat dan pucat. Cepat ia
masukkan kitab pusaka tadi kedalam bajunya, waktu ia
periksa tangannya, telapak tangan sudah berwarna hitam
hangus, cepat ia merobek lengan baju kanan, terlihat warna
hitam itupun mulai menjalar dan hampir mencapai pangkal
lengan.
Teringat pada kematian si Tosu yang hitam hangus itu,
Tio Tai-peng tidak ragu-ragu lagi, dengan tangan kiri ia
angkat pedangnya dan terus menabas lengan kanan sendiri
sebatas pundak.
Darah hanya muncrat sedikit, lalu membeku dengan
cepat. Kejadian ini boleh dikatakan serupa dengan cara
buntungnya lengan kiri Soat Ciau-hoa tadi, cuma
pengganas yang menabas lengan kedua-duanya adalah Tio
Tai-peng sebdiri.
Soal Ciau-hoa kelihatan puas, ucapnya dengan tertawa,
"Nah, Siau Tio, sekarang kau sudah sama denganku, kau
biasa memainkan pedang dengan tangan kanan dan
sekarang tangan kananmu sudah buntung, begitu pula aku.
Selanjutnya kita tidak perlu bicara tentang ilmu pedang lagi,
marlah kita hidup mengasingkan diri dan menanti lahirnya
anak kita,Mau?!"
Dengan gemas Tio Tai-peng memaki, "Orang bilang kau
Soat Ciau-hoa cabul lagi keji, kenyataannya memang
benar."
Saking murkanya, mendadak ia melompat maju terus
mendepak kepala Soat Ciau-hoa.
Si nona memejamkan mata dan berkata, "Tendanglah,
baik juga bisa mati di kakimu."
Tapi baru terayun kakinya, segera Tio Tai-peng berpikir,
"Dia pantas mampus, tapi bayi dalam kandungan kan tidak
berdosa?" Maka cepat ia menarik kembali kakinya.
Soat Ciau-hoa tahu orang tidak tega menendangnya, dia
tetap memejamkan mata dan berkata, "Siau Tio, jangan kau
salahkan kekejianku, kukerjai dengan racun adalah demi
harapan kau akan berada disampingku untuk bersama-sama
menyaksikan kelahiran jabang bayi kita."
Mendadak Tio Tai-peng berludah terus membalik tubuh
dan berlari pergi.
"He, kemana kau?" teriak Soat Ciau-hoa. Segera ia pun
mengejar keluar goa.
Agaknya Tio Tai-peng bertekad tak mau bertemu lagi
dengan Soat Ciau-hoa yang keji itu, dia berlari-lari
sekuatnya. Soat Ciau-hoa mengejar dengan kencang.
Sementara itu salju turun lagi dengan lebatnya memenuhi
tubuh mereka.
"Siau Tio. . . ." sambil memburu Soat Ciau-hoa
memanggil. Jarak kedua orang makin lama makin jauh,
tempat yang dilalui mereka meninggalkan dua baris jejak
kaki diatas salju, sehingga mirip dua orang jalan berjajar.
Akhirnya Soat Ciau-hoa tidak tahan, ia jatuh tersungkur
diatas salju, dari dalam bajunya terlempar keluar satu jilid
kitab pusaka lain yang sama tipisnya.
Pada saat itulah seekor merpati gunung bercuit terbang
lewat diatas kepala Soat Ciau-hoa ditengah hujan salju lebat
itu.
Ciau-hoa menengadah memandangi merpati yang
terbang menjauh itu, salju turun terlebih lebat, teriaknya
dengan parau, "Soat-koh. . . .Soat-koh. . . ."
Akan tetapi burung merpati gunung yang biasa disebut
dengan nama Soat-koh itu tak dapat dipanggil kembali lagi,
sama halnya Tio Tai-peng yang takkan dipanggilnya
kembali untuk selamanya.
Lambat-laun jejak Tio Tai-peng pun hilang tertutup oleh
bunga salju. Dengan putus asa, Soat Ciau-hoa merangkak
bangun. Diraihnya sekalian kitab pusaka yang terjatuh tadi.
Kitab ini adalah kitab pusaka ilmu pedang lain yang
disimpan dalam bajunya diluar tahu Tio Tai-peng. Kitab
pusaka ini adalah sati diantara dua kitab pusaka "Siang-liukiam-
hoat" atau ilmu pedang dua aliran.
Kitab pusaka tercerai, manusianya juga terpisah. . . .Soat
Ciau-hoa merangkak bangun dan berjalan kedepan dengan
terhuyung-huyung.
Bagian-02
Pak-khia atau peking sekarang hampir selalu menjadi
ibukota kerajaan setiap dinasti. Dengan sendirinya banyak
bermukim tokoh-tokoh ternama dan jago-jago terkenal.
Jika seorang menyebut Beng Eng-kiat dari Pak-khia,
maka boleh dikatakan tiada orang yang tidak tahu dan tiada
orang yang tidak kenal. Ini tidak berlaku bagi penduduk
kota Pak-khia saja, sekalipun orang-orang dari kalangan
Hek-to atau Pek-to (golongan hitam dan golongan putih,
artinya jahat dan baik didunia persilatan) juga tahu nama
kebesaran Beng Eng-kiat.
"Hebat!" demikian setiap orang pasti akan
mengacungkan ibu-jari apabila orang menyebut Siau-yauciang
(ilmu pukulan serba bebas) dan Gway-hoat-kiam
(ilmu pedang gembira) yang menjadi kungfu kebanggaan
keluarga Beng itu.
Saking termashurnya, hampir setiap anak muda yang
ingin belajar silat pasti merasa bangga bilamana bisa
diterima menjadi murid keluarga Beng.
Akan tetapi syarat penerimaan murid keluarga Beng juga
sangat ketat, usia Beng Eng-kiat sudah 60 lebih, tapi
muridnya cuma tiga orang. Cara menerima murid ketiga
anak didik Beng Eng-kiat itu jauh lebih longgar daripada
sang guru, akan tetapi satu dan lain juga bergantung kepada
calon murid itu bagaimana bakatnya dan kecerdasannya,
kalau tidak biar pun putera hartawan atau bangsawan yang
minta diterima menjadi murid juga pasti akan ditolak
Sebab itulah anak didik keluarga Beng selama
berkecimpung didunia Kangouw tidak pernah kecungdang
dan pasti takkan membikin mali Beng Eng-kiat, dalam hal
ini tentunya karena syarat penerimaan murid yang ketat itu,
tapi yang lebih penting ialah ilmu silat keluarga Beng
memang lain dari pada yang lain.
Dimulai sejak nama Beng Eng-kiat termashur didunia
persilatan, selama hampir empat puluh tahun ini, belum
pernah terdengar ada orang yang mampu melawan tiga
puluh jurus Siau-yau-ciang dan juga tidak pernah ada yang
dapat lolos dibawah 49 jurus Gway-hoat-kiam-hoat
keluarga Beng.
Hari ini, menjelang magrib, diruangan latihan keluarga
Beng hadir seorang lelaki setengah umur. Dandanan orang
ini rada nyentrik. Rambutnya panjang terurai menutup
pundak, berjubah hitam, ikat pinggang hitam, sepatu juga
hitam. Bahkan kedua untai benang hiasan gagang kedua
batang pedangnya juga terbuat dari benang hitam.
Dia duduk ditengah ruangan berlandaskan sehelai kasur
tipis, pedang bersarung warna hitam dan selalu dipegang
dengan tangan kiri tertaruh disamping, pedang lain yang
bentuk dan warnanya serupa pedang pertama tadi tetap
tersandang dipunggungnya, gagang pedang yang dililit
dengan benang hitam tampak menongol diatas pundak kiri,
begitu dia duduk disitu lalu tidak bergerak lagi seperti
patung, air mukanya juga tidak memperlihatkan sesuatu
perasaan apapun, sampai lama sekali duduk disitu dan
ruangan latihan itupun tetap tenang.
Dalam pada itu budak keluarga Beng sudah mulai
memasang lampu disekeliling dinding ruangan, sejenak
kemudian ruangan itu lantas terang benderang.
Pada saat itulah tiba-tiba dari luar berkumandang suara
orang tertawa dan bercakap, seorang pemuda lagi berkata,
"Ketiga Suhu apakah boleh kumasuk untuk ikut menonton
ilmu sakti?"
Seorang yang bersuara lantang menjawab, "Memang
sering ada orang datang minta petunjuk, bila kau ingin
menonton, silakan masuk saja."
Sekejap kemudian ber-turut2 masuklah lima orang, Tiga
orang didepan berusia 30-40 tahun, dibelakang mereka
mengikut dua pemuda, yang seorang adalah pemuda yang
bicara tadi, berusia 17-18 tahun, berjubah sulam dan ikat
pinggang berhias batu permata, jelas berasal dari keluarga
bangsawan. Pemuda yang lain berdandan sebagai kacung
dan berusia lima belasan, dia ikut dibelakang pemuda
perlente itu, jelas memang kacung pribadi pemuda itu.
Mendengar suara orang, orang berbaju hitam tadi
memutar tubuhnya, semula dia duduk menghadap
kedalam, setelah putar arah, dengan sinar matanya yang
mencorong ia pandang orang-orang yang baru masuk itu.
Ketiga orang yang berjalan didepan itu adalah murid2
Beng Eng-kiat, yang tertua bernama Kay Hiau-thian, yang
kedua bernama Kau Giok-ki dan ketiga bernama Nge Yupeng.
Meski tinggi ilmu silat ketiga orang itu, namun tiada
nampak sikap angkuh pada diri mereka. Sambil menjura
Kay Hiau-thian lantas menyapa, "Maaf jika anda telah
menunggu terlalu lama."
Kau Giok-ki lantas menyambung, "Kami bertiga
bersaudara mendapat kehormatan diundang ke istana Kiubun-
te-tok (gubernur militer ibukota), makanya anda
menunggu lama disini."
Orang berbaju hitam itu bersikap tawar, katanya, "Orang
she Tio adalah orang pegunungan, sudah lama mendengar
kehebatan Gway-hoat-kiam-hoat keluarga Beng, maka ingin
minta petunjuk."
Kay Hiau-thian memandang kedua pedang bawaan
sibaju hitam, lalu katanya kepada Nge Yu-beng, "Sute,
boleh kau layani dia."
Orang berbaju hitam itu tiada sesuatu yang luar biasa,
dia cuma menyebut dirinya she Tio, jelas bukan tokoh
terkenal atau ahli silat yang sengaja datang minta petunjuk,
Arti "minta petunjuk" ialah ingin coba-coba, jajal-jalal atau
cikoa begitulah.
Biasanya bila orang ternama, tentu dia akan menyebut
namanya lengkap agar pihak lawan tahu bahwa dia bukan
kaum keroco tak terkenal.
Sebaliknya kalau orang yang terkenal atau jago silat yang
baru terjun ke Kangouw, andaikan menyebutkan namanya
juga orang tidak tahu macam apakah dia, sebeb itulah orang
jenis ini kebanyakan tidak ingin menyebut namanya sendiri
bila datang minta "coba".
Nge Yu-beng sendiri kurang bersemangat disuruh
melayani jago yang tak bernama, dengan malas ia
menerima pedang kayu yang disodorkan seorang
pembantunya, sekali pedang kayu ia menegak, segera ia
berseru, "Mari!".
Tapi sibaju hitam tidak menerima pedang kayu lain yang
juga telah disodorkan kepadanya, iapun tidak berdiri, tapi
tangan kiri meraba kesamping, pedang yang ditaruh
disebelahnya itu lantas dilolos, iapun mengacungkan
pedang itu kedepan dan berkata, "Silakan!"
Rada berubah air muka Nge Yu-beng, bukan gugup
lantaran pihak lawan mau menggunakan pedang tajam
sungguhan, pada hakkatnya dia meremehkan tantangan
seorang jago pedang yang tak bernama, ia yakin biarpun
orang melolos kedua pedangnya sekaligus juga dia mampu
menaklukkannya.
Yang membuatnya kheki adalah karena pihak lawan
tidak mau berdiri, jelas akan berkelahi dengan berduduk.
Bukankah ini berarti memandang enteng kepadanya?
"Apakah kaki anda kurang leluasa?" demikian Nge Yubeng
coba bertanya. Si baju hitam hanya menggeleng saja
dan kembali berkata, "Silakan!"
Saking mendongkolnya hampir saja Nge Yu-beng
mendamperat, tapi mengingat dirinya adalah murid jago
ternama dan harus jaga harga diri, maka dengan menahan
perasaan ia berkata, "Jika kaki anda tiada sesuatu halangan,
akan lebih baik silakan berdiri saja."
"Jika kau adalah Beng Eng-kiat sendiri, tentu aku akan
berdiri," mendadak sibaju hitam menjawab dengan
congkak.
Cukup gamblang arti ucapannya, maksudnya, sayang
kau cuma murid Beng Eng-kiat dan belum setimpal
menyuruh kuberdiri untuk bertempur dengan kau.
Keruan hampir meledak perut Nge Yu-beng yang belum
pernah mengalami kekalahan dalam sejarah hidupnya,
segera ia berteriak, "Bagus!"
Dengan mendongkol Kay Hiau-thian lantas berseru juga,
"Sute, untuk apa kau banyak bicara dengan manusia
sombong begitu, perlihatkan saja beberapa jurus ilmu
pedangmu!"
Diam-diam Nge Yu-beng memang sangat gemas, ia pikir
dengan pedang kayu juga dapat kurobohkan kau, andaikan
tidak mati juga pasti terluka parah.
Karena timbul pikiran kejinya, ia tidak sungkan-sungkan
lagi, begitu pedang terangkat sedikit mengerahkan tenaga,
segera ia menusuk kedepan, serangannya cepat dan lihai.
Tapi sibaju hitam tetap diam saja seperti sama sekali
tidak menghiraukan serangan itu dan juga tiada tanda-tanda
hendak menangkis atau balas menyerang.
Pemuda perlente yang berdiri disamping sampai menjerit
kuatir, meski ia tidak mahir ilmu silat, tapi dapat dilihatnya
sibaju hitam pasti akan celaka, pedang kayu Nge Yu-beng
tentu akan melukainya.
Menyusul jeritan pemuda perlente itu, segera bergema
pula jeritan ngeri, ternyata tidak seperti dugaan pemuda itu,
yang celaka bukan sibaju hitam, sebaliknya Nge Yu-beng
mendadak jatuh terguling sambil mengerang dengan
memeluk pangkal lengan kanan.
Tentu saja pemuda perlente itu terheran-heran, ia
membatin, "He, kenapa bisa terjadi begini?"
Dalam pada itu, Kau Giok-ki telah memburu maju dan
mengangkat bangun Sutenya yang hampir kelengar karena
kesakitan itu.
Muka Kay Hiau-thian tampak kelam, tapi mau-tak-mau
iapun harus memuji kelihaian ilmu pedang sibaju hitam,
katanya sambil menarik muka, "Hebat benar Kiam-hoat
anda!"
Air muka sibaju hitam tidak sedikitpun memperlihatkan
rasa gembira, ia putar balik pedangnya masuk kesarungnya.
Sarung pedang itu terletak disamping belakangnya, dia
tidak menoleh dan pedang itu dapat masuk sarungnya
dengan tepat. Betapa gesit dan jitu rasanya terlebih cepat
daripada jago pedang lain yang memasukkan pedang
kesarungnya dengan dua tangan.
Gerakan memasukkan pedang kesaraungnya yang hebat
ini juga membuat Kay Hiau-thian kagun tak terkatakan, ia
coba tanya sang sute, "Bagaimana luka Yu-beng?"
Kau Giok-ki sudah memeriksa keadaan Nge Yu-beng,
dengan sedih ia menjawab, "Tulang pangkal lengannya
hancur, selama hidup ini mungkin tidak sanggup main
pedang lagi."
Seketika alis Kay Hiau-thian berjengkit, ucapnya dengan
geram, "Orang she Tio, keji benar kau!"
"Yang keji adalah Sutemu." jengek sibaju hitam, "Coba
kalau orang she Tio tidak mampu menahan serangannya,
yang menggeletak sekarang pasti bukan dia melainkan aku."
Karena berduka atas keadaan Sutenya, Kau Giok-ki
menjadi murka, ia sambar pedang kayu yang terlempar
dilantai tadi, sekali membentak segera iapun menabas
pangkal lengan kanan sibaju hitam.
Akan tetapi orang berbaju hitam itu tetap diam saja dan
membiarkan pangkal lengan kanan tertabas.
Diam-diam Kau Giok-ki bergirang dan merasa bersyukur
dapat membalas dendam Sutenya. Tapi ia menjadi
tercengang ketika melihat sibaju hitam sama sekali tidak
bergeming meski terkena tabasannya, malahan pedang kayu
sediri yang terpental.
Hampir pada saat yang sama tangan kiri sibaju hitam
meraih kesamping pula, pedang dilolos dan pedang masuk
lagi kesarungnya semua itu hanya berlangsung dalam
sekejap saja, sedangkan Kau Giok-ki juga lantas menjerit
ngeri dan roboh terguling sambil memeluk pangakal lengan
kanan.
Sekali ini sipemuda perlente tadi dapat melihat sibaju
hitam telah turun tangan, tapi bagaimana caranya melukai
Kau Giok-ki dan cara bagaimana pedangnya masuk lagi
kesarungnya tetap sukar diikuti olehnya.
Yang paling mengherankan dan membuatnya bingung
adalah sibaju hitam yang tidak terluka sama sekali, meski
kena ditabas pedang kayu Kau Giok-ki, pikirnya, "Apakah
mungkin lengan kanannya terbuat dari baja?"
Cuma sayang lengan bajunya yang longgar itu menutupi
seluruh lengan kanan sibaju hitam, kalau tidak tentu dia
dapat mengetahui duduknya perkara.
Air muka Kay Hiau-thian menjadi pucat, setelah kedua
Sutenya mengalami nasib malang. Ia melotot gusar kepada
sibaju hitam, ia coba berjongkok dan memeriksa keadaan
Kau Giok-ki, ia tahu lengan kanan Ji-sute itupun tamat
riwayatnya, andaiakan kelak dapat disembuhkan juga tidak
dapat menggunakan pedang lagi.
"Keji amat!" tanpa terasa tercetus kata-kata geram ini
dari mulutnya.
Setelah melukai dua orang sama sekali tiada tampak rasa
menyesal dan kasihan pada wajah sibaju hitam, dengan
pongah ia berkata pula, "Hm, bilamana aku mau keji tentu
tidak kugunakan punggung pedang!"
Meski sombong nadanya, tapi kenyataan memang
begitu. Apabila serangan sibaju hitam tidak kenal ampun,
yang digunakan bukan punggung pedang melainkan mata
pedang yang tajam, saat ini darah pasti sudah berceceran.
Lengan kanan Kau Giok-ki dan Nge Yu-beng pasti sudah
berpisah dengan tuannya, itu berarti cacat selama hidup.
Tapi sekarang, sedikitnya masih ada harapan untuk
disembuhkan.
Kay Hiau-thian lantas menepuk tangan, segera dua anak
muda berlari masuk dan memberi hormat.
"Bawa para Susiok kalian keruangan belakang." kata Kay
Hiau-thian.
Setelah Kau Giok-ki dan Nge Yu-beng yang sudah tak
sadar itu dibawa pergi, Kay Hiau-thian lantas membuka
jubah luarnya, lalu berseru, "Ambilkan pedangku!"
Dari luar ruangan segera seorang muridnya berlari
masuk sambil menghaturkan sebilah pedang mengkilap.
Kay Hiau-thian mengangkat pedang itu dan diputar dua
kali hingga menimbulkan suara keras, lalu ia meraung
gusar,
"Orang she Tio, marilah kitapun coba-coba."
Dengan dingin sibaju hitam menjawab, "Apakah kau
pun ingin mengalami nasib seperti kedua Sutemu! Tapi,
hm, harus kau pikirkan lebih dulu, yang kau pakai sekarang
adalah pedang sungguhan, jika kau berniat membunuhku
maka kalau kau kalah juga jangan harap akan dapat hidup!"
Tergetar hati Kay Hiau-thian, ia menyadari bukan
tandingan sibaju hitam, seketika timbul rasa takut matinya,
ia menyurut mundur setindak.
"Hm, lebih baik panggil keluar Suhumu saja!" jengek si
baju hitam.
"Ayahku sedang keluar, sebulan lagi baru pulang!" tibatiba
seorang menanggapi dari luar sana.
Waktu sibaju hitam berpaling, dilihatnya orang yang
masuk ini berusia tiga puluhan, halus dan sopan, jelas
seorang Suseng (pelajar) yang setiap hari berkecimpung
dengan kitab dab syair.
Di belakang Suseng ini mengikut seorang nona cilik yan
lincah, usianya antara sebelas atau dua belas, memakai baju
dan celana pendek warna kuning gading, wajahnya bulat
telur menyenangkan.
"Kakek tidak dirumah lantas datang orang merecoki
kita." demikian nona cilik itupun menggerutu.
"Siau-gi, jangan ikut bicara!" ucap si Suseng sambil
melirik sinona cilik.
Agaknya anak dara itu sudah biasa dimanja, mestinya
dia hendak menangkis ucapan sang ayah, tapi tiba-tiba
dilihatnya disitu berdiri seorang anak muda yang berumur
lebih tua sedikit daripada dirinya dan sedang
memandangnya dengan kesima. Dasar kanak-kanak, si dara
cilik lantas mencibir padanya.
Pembawaan anak muda (si kacung) itu memang polos,
digoda si nona cilik, ia malah berjingkat kaget.
Dalam pada itu sibaju hitam tampaknya sangat kecewa
setelah mendengar bahwa Beng Eng-kiat tidak dirumah,
sambil menggeleng ia bergumam, "Wah, agaknya
kedatanganku ini sia-sia belaka."
Habis itu ia lantas memegang pedang yang tertaruh
disampingnya itu dan berbangkit. Meski Kay Hiau-thian
berdiri didepannya, tapi sama sekali tak dipandangnya, ia
terus melangkah kesana.
Kay Hiau-thian sudah jeri, sama sekali ia tidak berani
merintangi meski orang lalu didepannya, sebaliknya ia
malah mengelak kesamping untuk memberi jalan.
Tapi si Suseng yang baru masuk tadi seperti sengaja
menghadang didepan sibaju hitam waktu orang hendak
keluar, ucapnya sambil menjura, "Apakah anda akan pergi
dengan begini saja?"
Dengan dingin sibaju hitam menjawab, "Sebulan lagi bila
Beng Eng-kiat sudah pulang tentu kudatang pula untuk
minta petunjuk."
"Anda sudah melukai dua orang Suhengku, lalu cara
bagaimana memberi pertanggung jawaban?" tanya si
Suseng.
Si baju hitam lantas berhenti, ia mengerling sekejap
kearah si Suseng, lalu bertanya, "Pertanggungan jawab?
Apakah perlu aku diajukan kesidang pengadilan?"
"Pak-khia adalah kota raja, anda telah melukai dua
orang, ini pelanggaran undang-undang, mana boleh pergi
begitu saja?" ujar si Suseng.
"Hahahaha!" sibaju hitam bergelak tertawa, "Jika begitu,
biarlah kutunggu disini dan kalian boleh mengundang
petugas untuk menangkap diriku."
Si Suseng memandang kearah Kay Hiau-thian.
Kay Hiau-thian menjadi serba susah, ia menyangka si
Suseng memberi tanda agar dirinya memanggil alat negara.
Padahal pertengkaran didunia persilatan mana ada yang
main lapor kepada pihak yang berwajib segala.Maka cepatcepat
ia mendekati dan berkata, "Adik Si-hian, ini tidak
boleh dilakukan."
Suseng itu adalah putera tunggal Beng Eng-kiat nama
lengkapnya Beng Si-hian. Lantaran terhadap pihak luar
Beng Eng-kiat mengumumkan bahwa anaknya sendiri
belajar Bun (sastra sipil) dan tidak belajar Bu (silat, militer),
maka biarpun Beng Eng-kiat mempunyai seorang putera
namun jarang diketahui orang Kangouw, malahan ketiga
murid Beng Eng-kiat yang sangat terkenal didunia
Kangouw baik kalangan hitam maupun golongan putih.
Begitulah terdengar Beng Si-hian bertanya, "Urusan apa
tidak boleh dilakukan?"
"Menurut peraturan Bu-lim," tutur Kay Hiau-thian "jika
terjadi pertarungan dan ada yang terluka atau mati maka
perkaranya tidak boleh dilapor kepada pihak yang berwajib,
sebab tindakan ini akan menimbulkan cemoohan orang."
Dia menyangka putera kesayangan Suhu ini sepanjang
hari hanya sekolah dan membaca melulu sama sekali tidak
kenal peraturan yang menyangkut ilmu silat, maka dia
lantas menjelaskan pereturan dasar yang harus diketahui
setiap oran yang belajar silat ini.
"Kutahu peraturan ini." demikian Beng Si-hian
menjawab sambil menggeleng, "Siaute tidak bermaksud
meminta Suheng melapor kepada yang berwajib, tapi ingin
meminjam pedang Suheng."
Kay Hiau-thian jadi melengak, ia angkat pedangnya dan
menegas dengan tergagap-gagap, "Kau. . .kau ingin pinjam
pedangku? Untuk apa?. . . . ."
Dengan hambar Beng Si-hian menjawab, "Akan
kugunakan membayar kepadanya dengan cara yang sama
seperti dia melukai Nge-suheng dan Kau-suheng."
-ooo0dw0ooo-
Jilid 2
Habis berkata tanpa menunggu persetujuan Kay Hiauthian
ia lantas menjulurkan tangannya,Mestinya Kay Hiauthian
tidak mau memberikan pedangnya, sebab ia tahu
putera tunggal sang guru ini sama sekali tidak mengerti
ilmu silat. Diluar dugaan gerakan tangan Beng Si-hian
ternyata cepat luar biasa, baru saja ia terkejut tahu-tahu
pedangnya sudah berpindah ketangan Beng Si-hian.
Melihat cara Beng Si-hian merebut pedang itu
terbelalaklah sinar mata sibaju hitam serunya sambil
tertawa, "Hahaha, hebat sekali! Beng Eng-kiat tidak
dirumah bertemu dengan anaknya juga boleh."
Beng Si-hian memegang pedang dengan ujung menjurus
miring kebawah, ia pandang sibaju hitam dengan lekat-lekat
katanya, "Asalkan anda dapat mengalahkan diriku, maka
tidak perlu lagi bertemu dengan ayahku."
"Hm, konon Gway-hoat-kiam-hoat keluarga Beng kalian
disebut ilmu pedang yang tak terkalahkan." jengek sibaju
hitam.
"Dapatkah mempertahankan nama baik itu kukira
bergantung pada pertarungan ini!" jawab Beng Si-hian.
"Kau benar-benar berani mewakili ayahmu?" tanya
sibaju hitam dengan kereng.
"Cayhe sudah belajar pedang selama lebih dua puluh
tahun dengan ayah, kuyakin sudah memperoleh seluruh inti
ilmu pedang ayahku, dengan sendirinya kuberani mewakili
beliau." jawabnya Beng Si-hian tegas.
"Bagus!" seru sibaju hitam, "Jika begitu boleh kita
bertanding dengan baik."
Habis berkata ia kempit pedang ditangan kiri itu dibawah
ketiaknya, lalu mengeluarkan satu utas benang hitam,
rambutnya yang panjang terurai itu diikatnya dengan baik
agar tidak tersebar bilamana mulai bertempur, sebab hal ini
akan mengganggu pandangannya.
Beng Si-hian juga tidak berani gegabah, ia menanggalkan
jubah luar sehingga kelihatan baju dalam yang putih.
Putrinya yang kecil Beng Siau-gi, lantas menyodorkan
sepotong kain sutera untuk mengikat baju dalam sang ayah
yang panjang itu.
Kay Hiau-thian tercengang menyaksikan keprihatinan
kedua orang yang siap tempur itu. Sama sekali tak terduga
olehnya bahwa Beng Si-hian telah belajar ilmu pedang
selama dua puluh tahun lebih dengan ayahnya. Sedangkan
dirinya yang menjadi murid tertua belum lagi ada dua
puluh tahun belajar kepada sang guru.
Ia tidak paham mengapa gurunya merahasiakan urusan
ini, jelas Beng Si-hian belajar Bun pada siang hari dan
malam hari diam-diam belajar ilmu pedang dengan
ayahnya. Sebab itulah orang luar tiada satupun yang tahu,
sejauh itu Beng Si-hian dianggap sebagai Suseng yang
sepanjang hari membaca melulu didalam kamar.
Setelah kedua orang meringkasi tubuh masing-masing,
lalu kedua orang berdiri muka berhadapan muka, suatu
pertarungan sengit segera akan mulai.
Agar kelihatan adil, dengan tegas sibaju hitam
memberitahu, "Beng-kongcu, lengan kananku ini adalah
lengan palsu terbuat dari tembaga, Hal ini perlu
kuberitahukan lebih dulu."
"Terima kasih atas penjelasan anda," jawab Si-hian
sambil mengangguk.
Padahal pertandingan diantara ahli silat tidak boleh
selisih atau lengah sedikitpun, jika sebelumnya Beng Si-hian
tidak tahu lengan kanan sibaju hitam adalah lengan palsu
buatan tembaga, kalau pedangnya menabas kesitu dan dia
mengira akan kena sasarannya dan menang, maka mungkin
dia akan lena dan kesempatan itu dapat digunakan oleh
sibaju hitam untuk balas menyerangnya.
Tapi sekarang setelah ciri sibaju hitam dikatakan terus
terang, tentu Beng Si-hian takkan berbuat kesalahan begitu,
dia tidak perlu lagi menghiraukan lengan kanan lawan.
Baru sekarang juga pemuda perlente tadi baru mengerti
apa sebabnya sibaju hitam tidak terluka ketika kena tabasan
pedang kayu Kau Giok-ki tadi, Pikirnya, "Ternyata benar
lengan buatan logam besi sebagaimana kuduga. Aneh juga,
kalau begitu sibaju hitam ini hanya memiliki sebuah tangan,
mengapa memakai dua pedang?"
Kalau si pemuda perlente ini heran, tentu saja orangorang
lain juga mempunyai pikiran serupa. Tanpa terasa
mereka sama memandang pedang yang tersandang
dipunggung sibaju hitam dan sama bertanya dalam hati,
"Entah cara bagaimana dia menggunakan pedang
cadangannya itu?"
Hanya Beng Si-hian saja yang tidak memusingkan
pedang lain yang masih tersandang dipunggung sibaju
hitam, pertarungan bisa terjadi setiap saat, sedetikpun ia tak
berani lengah.
Begitulah kedua orang berdiri berhadapan, sampai sekian
lamanya tiba-tiba, lengan kanan Beng Si-hian sedikit
bergerak.
Saat itu pedang yang selalu dipegang tangan kiri sibaju
hitam masih tersimpan disarungnya, begitu Beng Si-hian
bergerak secepat kilat pedang itupun dilolosnya. Tapi
lantaran tangan kanannya tangan palsu sehingga tidak
dapat membantu ketika pedang itu terlolos seketika, sarung
pedang lantas terlempar kesamping.
Belum lagi sarung pedang itu jatuh kelantai, dalam
sekejap itu sibaju hitam sudah melancarkan tiga kali
serangan dengan cepat luar biasa. Orang yang kurang tinggi
ilmu silatnya, jangankan menangkis, membedakan arah
gerakannya saja sukar.
Si pemuda perlente tadi menjerit kaget, disangkanya
BengSi-hian pasti akan mengalami nasib serupa Kau Giokki
dan Nge Yu-heng. Diluar dugaannya Beng Si-hian dapat
menyelinap lewat dibawah taburan bayangan pedang sibaju
hitam.
Sampai Kay Hiau-thian sendiripun mengira riwayat
Beng Si-hian pasti akan tamat, siapa tahu Beng Si-hian tetap
tenang saja seperti tidak terjadi apa-apa. Malahan segera
melancarkan serangan balasan, cepatnya juga tak
terperikan.
Ditengah kalangan hanya tertampak bayangan putih dan
bayangan hitam saling bergumul, tak terlihat siapa yang
sedang menyerang dan jurus ilmu pedang apa yang
digunakan.
Keruan Kay Hiau-thian melongo. Samar-samar dia
memang dapat membedakan ilmu pedang yang dimainkan
Beng Si-hian juga Gway-hoat-kiam-hoat, tapi kalau
dibandingkan dirinya, bahkan saja beberapa kali lebih
cepat, bahkan juga jauh lebih lihai.
Inilah benar-benar Gway-hoat-kiam-hoat keluarga Beng
yang tak terkalahkan!
Diam-diam Kay Hiau-thian menghela napas gegetun dan
mengakui dirinya masih kalah jauh dibandingkan sang
Sute. Padahal ia sendiri sudah hampir dua puluh tahun
belajar ilmu pedang dan mengira tiada tandingannya lagi,
siapa tahu bedanya seperti langit dan bumi bila
dibandingkan Beng Si-hian.
Hanya dalam waktu singkat saja entah berapa puluh
jurus sudah berlangsung, mendadak terdengar suara
keluhan tertahan, ini menandakan salah seorang sudah
terluka dan kalah.
Siapakah yang terluka dan siapa yang kalah?
Ternyata sibaju hitam sedang berdiri tegak dengan
gagahnya, butiran keringat tampak menghiasi dahinya,
sorot matanya yang tajam menatap Beng Si-hian, tangan
kirinya tidak lagi memegang satu pedang, tapi dua. Yang
satu tetap tergenggam tapi yang lain bergelantung karena
diberi tali mengikat antara gagang pedang dan pergelangan
tangan.
Rupanya pedang cadangan yang tersandang
dipunggungnya itu juga telah digunakan. Bilakah pedang
itu dilolos tak diketahui, cuma satu hal dapat dibayangkan
yaitu waktu pedang pertama dilepaskan, secepat kilat ia
melolos pedang kedua maka terjadilah serangan dua pedang
sekaligus.
Agaknya dengan serangan dua pedang sekaligus itulah
Beng Si-hian telah dikalahkan. Pada saat sibaju hitam
menarik tali pengikat pedang untuk menarik kembali
pedang pertama itulah, "bluk", Beng Si-hian jatuh terkapar.
Pada saat Beng Si-hian roboh itulah setiap orang dapat
melihat baju dada Beng Si-hian yang putih itu ada luka
goresan panjang, darahpun menguncur dari luka itu.
Beng Siau-gi menjerit, menyusul robohnya sang ayah,
segera pula ia menubruk keatas tubuh Beng Si-hian,
mengangkat tubuh sang ayah, darah masih terus mengalir
sehingga membasahi sekujur badan Siau-gi.
Bersandar pada pangkuan putrinya yang kecil itu,
sedapatnya Beng Si-hian membuka matanya dan berkata
dengan lemah, "Be. . . beritahukan kepada Yaya (kakek),
Siang. . . Siang-liu-kiam. . . ." habis ucapan ini iapun
menghembuskan napasnya yang terakhir.
Sesaat sebelum meninggal, dia menyesal karena tidak
taat kepada pesan sang ayah Beng Eng-kiat. Lantaran
gusarnya karena terlukanya kedua Suhengnya, maka ilmu
pedang yang dipelajarinya secara rahasia selama lebih dua
puluh tahun ditonjolkan, akibatnya dia haris menebus
kesalahan ini dengan nyawanya dibawah Siang-liu-kiamhoat
(ilmu pedang dua aliran) yang dikuatirkan Beng Engkiat
itu.
Beng Siau-gi ini kecil-kecil cabai rawit, ia tahu ayahnya
sudah meninggal, sang ibu memang sudah wafat, sekarang
tertinggal dia sebatang-kara.
Namun dia tidak menangis, ia rebahkan jenazah sang
ayah, pedang yang masih tergenggam ditangan ayahnya itu
diambilnya, begitu berbangkit segera ia menubruk kearah
sibaju hitam yang tampak merasa menyesal itu.
Pada waktu sibaju hitam sedang memasukkan pedang
kedua kesarungnya dipunggung, berbareng itu ia pun
melompat mundur untuk menghindari terjangan Beng Siaugi.
Karena menubruk tempat kosong, segera Siau-gi
memutar pedangnya, cepat ia menabas pula dengan jurus
serangan Gway-hoat-kiam-hoat yang lihai.
Sungguh hal inipun sama sekali tak terduga oleh Kay
Hiau-thian bahwa cucu perempuan sang guru ternyata juga
mahir ilmu pedang, bahkan cukup lihai tampaknya.
Sambil mengelakkan serangan Siau-gi tadi, sibaju hitam
lantas berjongkok untuk menjemput sarung pedangnya yang
terlempar tadi. Akan tetapi dalam sekejap itu pula Beng
Siau-gi telah melancarkan sembilan kali serangan, ketika
sibaju hitam selesai memasukkan pedang kesarungnya,
tanpa terasa iapun sudah mundur sembilan langkah.
Padahal usia Beng Siau-gi baru dua belasan, tapi
kelihaian ilmu pedangnya ternyata tidak kalah lihainya
daripada Kay Hiau-thian yang telah belajar hampir dua
puluh tahun.
Diam-diam Kay Hiau-thian merasa malu diri, tapi juga
dendam kepada sang guru yang tidak mengajarkan intisari
ilmu pedang padanya.
Nyata orang she Kay ini berjiwa sempit, dia tidak sedih
atas kematian putra tunggal sang guru, juga tidak turun
tangan membantu cucu sang guru satu2nya ini, tapi
memikirkan kepentingannya sendiri.
Setelah mengelak belasan kali, lama-lama sibaju hitam
mendongkol juga, mendadak ia lolos pedang pertama,
sekali sampuk mencelatlah pedang Beng Siau-gi.
Sudah kehilangan pedang, tapi Beng Siau-gi tetap tidak
gentar, dengan bertangan kosong dikeluarkannya ilmu
kedua andalan keluarga Beng, yaitu Siau-yau-ciang-hoat,
dengan cepat ia melancarkan pukulan.
Betapapun sibaju hitam sungkan melayani seorang dara
cilik bertangan kosong dengan menghunus pedang, maka ia
tidak balas menyerang, ber-turut2 iapun menyurut mundur
belasan langkah.
Akhirnya sibaju hitam terdesak mundur sampai pojok
dinding, mau-tak-mau ia naik pitam juga, mendadak
pedangnya terayun.
Pada saat itulah, si kacung yang berdiri dibelakang
pemuda perlente tadi berteriak, "Huh, tidak tahu malu!"
Berbareng ia terus memburu maju. Akan tetapi lantas
dilihatnya gerakan pedang sibaju hitam hanya digunakan
untuk menggertak Beng Siau-gi saja dan bukannya
menyerang benar-benar, rupanya ia sendiri yang salah
sangka.
Tapi dara cilik itu masih tetap tidak peduli, masih terus
menyerang. Si kacung menjadi kuatir kalau sibaju hitam
menjadi kalap karena didesak oleh Beng Siau-gi dan bukan
mustahil akhirnya bisa turun tangan keji. Maka ia coba
melerainya, "Nona cilik, harap berhenti saja."
Tapi Beng Siau-gi terlalu berduka atas meninggalnya
sang ayah yang selama ini menjadi sandarannya dan tidak
pernah berpisah, ia sudah kalap dan nekat, maka ia
menoleh dan mendamperat kacung itu, "Setan cilik busuk,
tidak perlu kau ikut campur!" Sambil bicara pukulannya
masih terus dilancarkan.
Terpaksa sibaju hitam berkelit kesana dan menghindar
kemari, ia mendongkol dan repot juga, serunya kepada si
kacung, "Setan cilik, seret pergi budak cilik ini, kalau tidak,
bisa sekali tendang kurobohkan dia."
Si kacung tahu ucapan sibaju hitam bukan cuma gertak
sambal belaka, kalau sudah didesak hingga kepepet, untuk
melepaskan diri memang bisa jadi dia menendang sianak
dara. Karena kuatir, segera sikacung menubruk maju, kedua
tangannya terus menikap ditengah pukulan Beng Siau-gi
yang gencar itu, dia berhasil mendekap dara cantik itu
dengan erat.
Dipeluk oleh seorang anak muda yang cuma beberapa
tahun lebih tua daripada dirinya, tentu saja Siau-gi malu
dan juga gusar, teriaknya, "Lep. . . .lepaskan aku!"
"Engkau harus sayang pada jiwamu sendiri," jawab
sikacung, "Takkan kulepaskan kau jika engkau tidak
menurut pada perkataanku."
Bahwa dirinya disuruh jangan menyerang musuh yang
membunuh ayahnya, tentu saja Siau-gi tidak mau menurut.
Ia kerahkan tenaga dan meronta sekuatnya. Ia mengira
sekali meronta pasti dapat melepaskan diri, tak terduga
sama sekali tidak bergeser dan sikacung masih tetap
mendekapnya dengan kencang.
Kejadian ini dapat diikuti sibaju hitam dengan jelas,
diam-diam ia terkejut. Dari angin pukulan Beng Siau-gi
dapat dinilainya tenaga sidara cilik itu tidaklah lemah,
sedikitnya sudah berlatih selama tujuh atau delapan tahun,
tapi sikacung terlebih kuat, padahal usianya beru lima belas,
kalau tidak berlatih Lwekang sejak lahir rasanya tidak
mungkin dapat menahan daya rontakan Beng Siau-gi yang
kuat itu.
Malahan sikacung lantas membujuk pula, "Nona cilik,
ayahmu gugur dimedan tempur, hal ini tak dapat
menyalahkan paman hitam itu. Harus diketahui, bilamana
ayahmu menang, paman hitam itupun mungkin akan mati
dibawah pedang ayahmu."
Diam-diam sibaju hitam menggurutu, "Kurang ajar!
Sudah jelas setan cilik inipun mendengar keparat itu she
Tio, mengapa dia sebut paman hitam, malahan kulit
badannya cukup putih. Mungkin karena bajunya serba
hitam."
Beng Siau-gi tidak menurut bujukan sikacung, ia meronta
lagi dua-tiga kali dan tetap tidak dapat terlepas.
Kembali sikacung membujuk lagi, "Asalkan gunung
tetap menghijau janganlah kuatir tiada kayu bakar. Nona
cilik hendaklah engkau dapat berpikir dengan panjang dan
cermat."
"Bagus kau setan cilik itu, berani menghasut putri Beng
Si-hian itu bersabar dulu dan menuntut balas padaku
dikemudian hari." demikian sibaju hitam menggerutu pula
didalam hati.
Namun dasar wataknya juga angkuh, dia hanya memaki
didalam hati saja, pikirnya, "Aku Tio Tai-peng adalah
seorang lelaki yang tidak pernah main sembunyi2, setelah
kau sibudak cilik ini dewasa boleh saja datang mencari aku
lagi, andaikan aku kau bunuh juga aku tidak akan menyesal
dan merasa penasaran, asal saja kau mampu."
Lelaki berbaju hitam ini memang betul Tio Tai-peng
yang telah meninggalkan Soat Ciau-hoa dipegunungan
Soat-san lima belas tahun yang lalu itu.
Tio Tai-peng adalah anak murid perguruan ternama,
kecuali cara kejinya terhadap Soat Ciau-hoa, biasanya dia
memang seorang kesatria yang berbudi luhur. Misalnya
sekarang menghadapi keluarga Beng, bilamana orang lain
mungkin sekali tabas sudah dibinasakan Beng Siau-gi agar
tidak meninggalkan bibit bencana dikemudian hari.
Dalam pada itu Beng Siau-gi lagi serba susah, ia memang
tidak sanggup melepaskan diri dari dekapan sikacung, hal
ini membuatnya putus asa, selain itu ia menyadari apa yang
dikatakan sikacung tadi, pikirnya, "Betul juga, bilamana
kuadu jiwa dengan musuh sekarang, tentu sia-sia belaka,
salah-salah malahan jiwaku bisa ikut melayang, Asalkan
aku masih hidup, biarpun sepuluh atau dua puluh tahun
lagi juga aku masih dapat menuntut balas padanya."
Setelah tekad menuntut balas tertanam dilubuk hatinya,
ia lantas berkata, "Baiklah, kuturut perkataanmu. . . . ."
Mendengar sidara cilik mau terima bujukannya, segera
sikacung melepaskan tangan dan mundur kebelakang.
Maka tidak tahan lagi rasa duka Beng Siau-gi atas
kematian ayahnya yang tercinta itu, ia terus memburu
ketempat jenazah sang ayah dan mendekapnya dan
menangis ter-gerung2, begitu sedih tangisnya sehingga
suaranya sangat memilukan.
Tidak lama kemudian, suara tangis Siau-gi semakin lirih,
tapi suara sedu-sedannya itu tambah membuat orang
terharu, Kay Hiau-thian mendekati dara cilik itu, seperti
mau membujuknya tapi juga seperti enggan.
Rupanya orang she Kay ini diam-diam dendam kepada
gurunya yang pilih kasih, tapi menghadapi keadaan
sekarang, sebagai murid tertua, tentunya dia tak dapat
tinggal diam, maka dia sengaja mendekati Siau-gi dengan
lagak serba susah, padahal dalam hati menggerutu,
"Menangislah, budak busuk, menangislah lebih keras!
Kalau kau mati menangis tentu si setan tua tak punya
keturunan dan intisari ilmu pedangnya tentu akan diajarkan
padaku."
Melihat Beng Siau-gi menangis sedemikian sedihnya,
diam-diam Tio Tai-peng sangat menyesal, ia menyesali
pedang kedua sendiri itu hanya dapat digunakan dan tak
dapat dikendalikan, asalkan pedang itu menyerang pasti
akan membunuh orang. Padahal ia sendiri bukan orang
yang gemar membunuh, tentu dia akan memberi jalan
hidup bagi Beng Si-hian kalau bisa.
Diam-diam ia menggeleng kepala, ia berdiri ter-mangu2
sejenak, ia masukkan pedang pada sarungnya, lalu
melangkah pergi.
Tapi sebelum dia keluar pintu ruangan itu, mendadak si
pemuda perlente tadi menyusulnya sambil berseru,
"Berhenti dulu, Suhu!"
"Siapa Suhumu?!" jawab Tio Tai-peng sambil menoleh
dan melotot gusar.
Pemuda itu lantas menonjolkan nama ayahnya yang
berkuasa itu, katanya. "Aku putera Kiu-bun-te-tok di Pakkhia
sini."
"Biarpun kau anak raja juga aku tidak peduli!" jengek Tio
Tai-peng.
Tapi pemuda perlente itu tidak menghiraukan ucapan
yang bernada mengejek ini, ia memberi hormat dan berkata
pula, "Ayahku paling menghormati ahli silat, sewaktu aku
masih kanak-kanak ayah sudah berniat mencarikan seorang
guru ternama untuk mengajari diriku, cuma sayang. . . . ."
"Ilmu silatmu sekarang sudah lumayan, kurang apa
lagi?" dengus Tio Tai-peng pula.
Dia pikir kalau kacungnya saja memiliki Kungfu yang
tidak lemah, dengan sendirinya ilmu silat sang majikan
pasti lebih hebat. Ini berdasarkan kekuatan sikacung waktu
menyikap Beng Siau-gi tadi.
Pemuda perlente itu jadi melengak malah, ia menggeleng
dan menjawab dengan tertawa, "Aku belum pernah
berguru."
Tentu saja Tio Tai-peng tidak percaya, ia tidak tahu
bahwa kacungnya bisa ilmu silat sebaliknya pemuda
perlente ini memang sama sekali tidak paham ilmu silat,
Maka ia mendengus pula, "Barangkali karena belum
ketemukan guru pandai maka belum mengangkat guru?"
Cepat pemuda itu mengangguk, jawabnya, "Betul,betul,
memang begitulah. Sayang didunia Kangouw ini banyak
orang yang bernama kosong belaka, sebab itulah sejauh ini
ayah belum menemukan seorang guru yang baik bagiku,
akhirnya didengarnya Beng Eng-kiat dikota ini adalah
seorang ahli silat."
"Makanya hari ini ayahmu mengundang ketiga murid
Beng Eng-kiat dan menjamunya dengan harapan agar
mereka suka bicara didepan sang guru supaya kau diterima
menjadi murid, begitu bukan?" jengek Tai-peng pula.
"Ya, terkaan Suhu sangat jitu dan tepat." sahut pemuda
itu dengan mengangguk.
Pemuda ini tidak malu sebagai putera seorang pembesar,
belum lagi menduduki sesuatu jabatan sudah mahir katakata
menjilat dan suka mengumpak.
Namun Tio Tai-peng tidak doyan umpakan, ia tidak
suka dipuji, dengan suara keras ia mendamperat, "Jika kau
panggil lagi Suhu padaku, bisa kurobek mulutmu."
Pemuda itu terkejut, cepat ia berkata pula, "Ya, ya,
ayahku Kiu-bun-te-tok. . . ."
Tio Tai-peng menjadi gusar, bentaknya, "Jangan kau
tonjolkan lagi pangkat ayahmu untuk menggertak padaku!
Coba kutanya padamu, kau benar-benar ingin mengangkat
guru padaku?"
"Be. . .betul, entah. . . entah Suhu. . .eh salah. Entah. .
.entah Cianpwe sudi menerima diriku atau tidak?" ucap
pemuda itu dengan gelagapan dan mem-bungkuk2 badan.
"Melihat perawakan dan tulangmu, kau memang pilihan
untuk belajar ilmu silat kelas tinggi." jengek Tio Tai-peng.
Pemuda perlente itu mengira ada harapan, dengan girang
ia berkata pula, "Ya, Kay, Nge dan Kau bertiga Suhu juga
bilang begitu, mereka telah berjanji pada ayah bahwa guru
mereka pasti akan menerimaku."
"Aha, jika begitu kan sudah beres, tunggu saja pulangnya
Beng Eng-kiat nanti, boleh kau angkat padanya," kata Taipeng.
Si pemuda mengira Tio Tai-peng salah artikan
ucapannya tadi, cepat-cepat ia menambahkan, "Tapi Kay
bertiga Suhu bilang guru mereka sudah menyatakan tidak
menerima murid lagi, namun mereka yakin apabila Beng
Eng-kiat melihat diriku, tentu guru mereka akan menarik
kembali keputusannya dan menerimaku sebagai murid,
inipun membuktikan bahwa diriku memang berbakat bagus
untuk belajar ilmu silat."
Dengan sorot mata dingin Tio Tai-peng memandang
sekejap pemuda perlente ini lalu mengangguk dan berkata,
"Untuk hal ini kau memang boleh omong besar, kalau Beng
Eng-kiat mau menerima kau, maka bolehlah kau belajar
padanya dengan senang, tentunya kau tahu Gway-hoatkiam-
hoat keluarga Beng. . . ."
"Tidak, tidak!" mendadak pemuda itu menyela.
Tio Tai-peng sangat mendongkol karena orang
memotong ucapannya dengan cara tidak sopan, tanyanya
dengan kurang senang, "Tidak bagaimana?"
"Beng Eng-kiat juga orang yang bernama kosong belaka."
ujar pemuda itu.
"Hm, darimana kau tahu?" jengek Tio Tai-peng.
"Coba pikir, jika Beng Eng-kiat bukan orang yang
bernama kosong, tentu Gway-hoat-kiam-hoat
kebanggaannya takkan dikalahkan oleh ilmu pedang
Cianpwe," kata pemuda itu.
"Salah kau," ucap Tai-peng, "Ketidak becusan ketiga
murid Beng Eng-kiat memang benar, tapi ilmu pedang Beng
Si-hian boleh dikatakan jarang ada bandingannya didunia
persilatan, kemenanganku tadi hanya secara kebetulan
saja."
Segera sipemuda perlente itu mengeluarkan pula Kungfu
keturunan keluarganya, yaitu menjilat dan mengumpak,
dengan tertawa dia berkata, "Ah, Cianpwe suka rendah hati
saja, padahal setiap orang yang melek dapat melihat dengan
jelas bahwa ilmu pedangCianpwe jauh lebih hebat daripada
Gway-hoat-kiam-hoat, hanya ilmu pedang Cianpwe saja
yang jarang ada bandingannya, bukankah kemenangan
Cianpwe boleh dikatakan tiada artinya sama sekali."
Tio Tai-peng justru seorang yang tidak suka diumpak,
dia lantas menjengek, "Hm, jika menurut jalan pikiranmu,
bilamana kelak akupun dikalahkan orang lain, tentu kau
akan bilang ilm pedangku juga tiada artinya sama sekali."
"O, tidak, tidak mungkin," seru sipemuda sambil
menggeleng-geleng kepala, "Ilmu pedang Cianpwe boleh
dikatakan seperti sang surya tinggi ditengah cakrawala,
didunia ini tiada Kiam-hoat lain yang dapat mengalahkan
ilmu pedang Cianpwe."
"Jika demikian, jadi kau anggap didunia ini guru yang
terbaik hanya aku seorang saja?" tanya Tai-peng.
Pemuda perlente itu mengira jilatannya telah membawa
hasil, dengan girang ia menjawab, "Betul, betul, didunia ini
hanya engkau saja yang dapat menerima orang berbakat
bagus untuk belajar silat seperti diriku ini."
"Ya, murid yang berbakat bagus pasti diharapkan setiap
orang, akupun tidak terkecuali," kata Tai-peng.
Mengira Tio Tai-peng tidak menolak lagi, segera pemuda
itu hendak menyembah dan mengangkat guru.
Tapi baru saja sebelah kakinya tertekuk, mendadak Taipeng
berseru, "Nanti dulu!"
Pelahan pemuda itu berbangkit dan bertanya, "Apakah
Cianpwe ingin bicara tentang syarat mengangkat guru?"
Tai-peng tambah gemas mendengar pemuda itu bicara
tentang mengangkat guru dengan syarat, seperti orang jualbeli
saja, tapi ia menahan perasaannya dan berkata:
"Tentang syarat, tidak perlu. Dengan pengaruh ayahmu,
bilamana kuterima kau sebagai murid, tentu harta dan
pangkat akan mudah kuperoleh."
"Ya, ya, sudah tentu," tukas sipemuda dengan girang.
"Memang ayahku. . . . ."
Tapi Tai-peng lantas memberi tanda agar pemuda itu
tidak melanjutkan ucapannya yang cuma membikin keki
saja, Katanya: "Syarat memang tidak ada, tapi ada satu
peraturan yang kutetapkan."
"Peraturan? Peraturan apa?" tanya pemuda itu.
"Peraturanku tidak sama dengan peraturan perguruan
lain yang melarang membunuh, melarang main perempuan
dan sebagainya. Asalkan kau jadi belajar padaku, setelah
tamat belajar dan keluar dari perguruan, apapun yang akan
kau lakukan takkan kupersoalkan."
"Kebetulan," demikian pikir pemuda itu, "Tanpa
larangan dan ikatan apa-apa, tentu aku dapat berbuat
sekehendak hatiku. Dengan Kungfuku yang tinggi nanti,
siapa yang dapat merintangi aku?"
"Tentang peraturanku," Tai-peng melanjutkan pula,
"Yaitu murid harus serupa dengan sang guru."
"Urusan apa yang harus serupa dengan sang guru?" tanya
pemuda itu.
"Bukan urusan, tapi pengalaman," jawab Tai-peng,
"Pengalamanku membuatku kehilangan sebelah lenganku,
maka muridku biarpun tidak menjalani pengalamanku
diharuskan menerima akibat seperti pengalamanku itu."
Keruan pemuda itu terkesiap, tanyanya, "Jadi maksud
Cianpwe hanya orang yang terkutung sebelah lengannya
yang boleh mengangkat guru kepada Cianpwe?"
"Betul," jawab Tai-peng dengan ketus, "Jika kau ingin
mengangkat guru padaku, lebih dulu mengutungi lengan
kanan sendiri."
Pemuda itu berjingkat kaget dan menyurut mundur.
Tay-peng ter-bahak2 geli, ucapnya, "Hahaha, takut
bukan? Jika takut sakit, maka batalkan saja niatmu hendak
mengangkat guru padaku."
Tiba-tiba pemuda itu berpikir peraturan yang dikatakan
Tio Tai-peng itu bisa jadi hanya untuk menguji tekadnya
saja, untuk menguji kesungguhan hatinya. Mendadak ia
tabahkan diri terus bertekuk lutut.
Hal ini diluar dugaan Tio Tai-peng malah, tanyanya,
"Eh, kau benar-benar mau mengangkat guru padaku?!"
Dengan mengertak gigi pemuda itu mengangguk,
tampaknya sangat mantap dan teguh pendiriannya.
"Baik, jika begitu boleh kau kutungi dulu lengan kanan
sendiri!" jengek Tio Tai-peng sambil melolos pedangnya
dan dilemparkan kedepan pemuda perlente itu.
Pemuda itu tetap mengira orang hanya ingin menguji
tekadnya saja, ia pikir aku harus memperlihatkan tekadku
yang sejati, maka tanpa pikir diraihnya pedang itu, diangkat
terus menabas kelengan kanan sendiri.
Tindakan ini membuat sikacung tadi kaget setengah
mati, cepat ia memburu maju dan memegang tangan kiri
sipemuda yang memegang pedang itu sambil berseru, "He,
jangan, Siauya (tuan muda)!"
"Minggir sana!" bentak pemuda perlente itu dengan lagak
sungguh2, sekuatnya ia hendak melepaskan pegangan
sikacung.
Betapapun kacung itu masih terlalu muda, masih hijau
dan polos, ia tidak tahu sang majikan cuma pura-pura saja,
sebaliknya ia memegangnya dengan erat dan tidak mau
melepaskannya.
Bagi Tio Tai-peng yang sudah berpengalaman,
permainan pemuda perlente itu tentu saja tak dapat
mengelabui dia, malahan dia mengira sikacung sengaja
membantu main sandiwara dengan sang majikan, maka
sekali depak ia bikin kacung itu terjungkal.
Kacung itu berdiri membelakangi Tio Tai-peng dan tidak
menduga akan didepak, keruan ia terus terpental dan terguling2.
Tapi segara kacung itu melompat bangun tanpa
mengeluh, cuma dari bajunya mendadak mendadak terjatuh
sesuatu benda kecil.
"Setan cilik, memangnya kau perlu ikut main
sandiwara!" damperat Tai-peng. Tapi demi mendadak
melihat benda yang terjatuh dari baju kacung itu, benda itu
sedang menggelinding, ia bersuara heran, segera ia
melangkah maju dan dijemputnya benda kecil yang
berwarna merah tua itu.
Setelah memegang benda itu, tiba-tiba teringat sesuatu
olehnya, segera ia pandang sikacung dengan melenggong.
Karena benda kesayangannya diambil Tio Tai-peng,
sikacung menjadi gelisah, serunya, "Kembalikan
mutiaraku!"
"Mutiara ini sangat menarik, jual saja padaku!" kata Taipeng
sengaja.
"Tidak, tidak dijual!" jawab sikacung tegas.
"Seratus tahil perak, kubeli," kata Tai-peng pula.
Kay Hiau-thian ter-heran2 menyaksikan kejadian itu, ia
pikir cuma satu biji mutiaran saja masakah berharga seratus
tahil perak.
Tapi sikacung sama sekali tidak terpikat oleh tawaran
seratus tahil perak itu, ia berteriak: "Sekali kukatakan tidak
dijual, tetap tidak kujual, seribu tahil. . . . ."
"Baik, jadi seribu tahil, Nah, inilah uang kertas seribu
tahil, barang kuterima dan harga kubayar lunas!" sela Taipeng
sambil mengeluarkan secomot uang kertas dan
dilemparkan kepada sikacung.
Kejadian ini juga membikin sipemuda perlente tadi
melongo heran, ia pikir biarpun Ya-beng-cu (mutiara
bercahaya diwaktu malam) juga tidak laku seribu tahil
perak, tapi orang buntung ini berani membayar mutiara
anak kecil semahal ini, apakah dia sudah sinting?
Kacung tadi telah memungut uang kertas yang
dilemparkan kepadanya itu dan disodorkan kembali kepada
Tio Tai-peng, katanya: "Maksudku biarpun seribu tahil atau
selaksa tahil juga tidak kujual!"
Bahwa Tio Tai-peng berani membeli sebiji mutiara
begitu dengan harga seribu tahil perak, hal ini cukup
membuat orang ter-heran2. Sebaliknya anak yang bekerja
sebagai kacung ternyata tidak sudi menjual barangnya
dengan harga sebagus itu, hal ini membuat orang terlebih
heran.
Tio Tai-peng ternyata bukan orang yang tidak kenal
aturan, orang tetap tidak mau menjual, maka iapun tidak
mau memaksa, ia terima kembali uang kertasnya dan
mengembalikan pula mutiara itu, lalu dengan suara halus ia
bertanya: "Adik cilik, mengapa mutiara ini tidak kau jual?"
Mendadak mata sikacung menjadi merah dan berkilau,
jawabnya: "Inilah satu2nya barang yang dapat membuatku
terkenang kepada ibuku." Dengan hati-hati lalu ia
menyimpan kembali mutiara itu kedalam bajunya.
Tergerak hati Tio Tai-peng tanyanya pula: "Apakah
ibumu sudah meninggal?"
Kacung itu mengangguk.
Tay-peng menghela napas, sikapnya bertambah ramah,
tanyanya pula: "Adik cilik, kau she apa?"
Melihat sikap Tio Tai-peng mendadak berubah ramah
padanya, sikacung tidak dendam lagi karena dirinya
ditendang tadi, ia menjawab: "Aku she Soat."
Meski sebelumnya Tai-peng sudah dapat menerkanya,
tapi demi mendengar kacung itu menjawab she "soat",
tanpa terasa ia tetap tergetar seperti mendengar bunyi
guntur yang menggelegar.
Kacung itu tidak memperhatikan perubahan air muka
Tio Tai-peng, ia terus membalik kesana dan berseru kepada
pemuda perlente tadi: "Bangunlah, Siauya!"
"Bukan urusanmu, Soat Peng Say, berdiri dipinggir
sana!" kata sipemuda perlente.
Si kacung, Soat Peng Say lantas membujuk; "Siauya,
orang she Tio ini bukan orang baik. Dia sendiri buntung,
maka dia ingin membalas dendam kepada setiap orang
didunia ini. Tidakkah Siauya menyaksikan dia membikin
remuk tulang pangkal lengan kanan Kau dan Nge Suhu
tadi? Didunia ini tidak mungkin ada orang yang mau
menerima murid bertangan buntung, hanya dia saja yang
berwatak aneh begini, tampaknya jika dia mempunyai anak
lelaki mungkin juga lengan kanan anaknya akan dibikin
buntung."
"Ngaco-belo!" bentak Tai-peng.
Mendadak Soat Peng-say berpaling, dengan tabah ia
bertanya; "Seumpama betul aku ngaco-belo, tapi mengapa
kau menghendaki muridmu harus serupa dengan kau?"
Tio Tai-peng memandangi kedua mata Soat Peng-say
yang besar itu dengan terkesima, makin dipandang makin
dirasakan mata anak muda itu mirip benar dengan matanya
sendiri. Demi menghindarkan salah paham Soat Peng-say
yang mengira dia mempunyai kelainan jiwa akan menuntut
balas kepada setiap manusia didunia ini, maka ia coba
memberi penjelasan;
"Kau tahu ilmu pedangku adalah Coh-pi-kiam-hoat
(ilmu pedang dengan tangan kiri), jika ingin belajar ilmu
pedangku, orang yang bertangan dua malahan sukar belajar
dengan perhatian penuh. Makanya orang yang ingin
menjadi muridku diharuskan buntung juga. Jadi aku
bukanlah orang berwatak aneh dan juga tiada maksud
tujuan hendak menuntut balas sakit hatiku kepada setiap
orang didunia ini."
Bicara sampai disini, mendadak ia berpaling kearah
sipemuda perlente dan berkata pula; "Nah, lekas turun
tangan!"
Sekarang pemuda itu percaya orang tidak bermaksud
menguji kesungguhan hatinya, tapi benar-benar
menyuruhnya membuntungi lengan kanan sendiri baru mau
menerimanya sebagai murid, karuan ia menjadi ketakutan,
pedang lantas dibuang dan cepat merangkak bangun,
katanya; "Sudahlah, aku. . . aku tidak. . . tidak jadi berguru
padamu. . . ."
"Tidak, tidak bisa," kata Tio Tai-peng dengan tertawa,
"Sudah pasti kuterima kau menjadi muridku dan tidak
dapat ditawar lagi."
Pemuda perlente itu tambah ketakutan, mukanya
menjadi pucat, ia menyurut mundur beberapa tindak dan
berseru dengan tergagap; "Meng. . .mengapa. . . ."
"Habis kemana lagi mencari orang berbakat bagus seperti
kau?" ucap Tio Tai-peng dengan menarik muka dan
berlagak serius, "Calon murid bagus seperti kau ini setiap
orang ingin menerimanya, kesempatan baik mana boleh
tersia-sia. Nah, lekas maju kemari, jika kau tidak berani
mengutungi lenganmu, biar aku saja yang melakukannya."
Melihat orang menjemput pedangnya dan benar-benar
hendak membuntungi lengannya, pemuda itu menjadi
ketakutan dan cepat lari pergi dengan ter-birit2. Seumpama
sekarang ada ilmu pedang nomor satu didunia juga dia
tidak berminat lagi.
Karena sang majkan sudah kabur, segera sikacung
hendak menyusul kesana. Tapi dengan suara halus Tio Taipeng
lantas berseru padanya; "Tio Peng-say, kemari dulu,
ingin kubicara dengan kau!"
Soat Peng-say menoleh dan bertanya; "Kau bicara
padaku?"
Dengan senyum ramah Tai-peng mengangguk.
"Jika begitu kau telah membuat kesalahan." kata Soat
Peng-say. "Aku tidak she Tio, tapi she Soat."
Tai-peng menggeleng, katanya, "Ibumu she Soat bukan?"
"He, darimana kau tahu?" jawab Soat Peng-say dengan
heran.
Diam-diam Tai-peng menghela napas gegetun,
sedapatnya ia berkata dengan tersenyum; "Coba jawab,
adakah aturan didunia ini orang ikut she ibunya?"
Soat Peng-say tampak muram, jawabnya, "Aku tidak
punya ayah, terpaksa ikut she ibu."
Hati Tai-peng seperti tertusuk, sungguh ia ingin memeluk
anak muda itu dan menceritakan duduknya perkara
kepadanya, Tapi ia kuatir Soat Peng-say akan ketakutan,
mungkin apa yang diceritakannya nanti juga takkan
mendatangkan pengertian anak muda itu, terpaksa ia
menahan rasa ingin memeluk dan mengenalkan dirinya. Ia
pikir akan mengikat dulu kesan baik anak muda itu, baru
kemudian menjelaskan persoalannya secara pelahan.
Maka ia lantas berkata; "Siapa bilang kau tidak punya
ayah? Kukenal ayahmu she Tio, makanya kupanggil kau
Tio Peng-say."
"Kau kenal ayahku?" tanya Soat Peng-say tidak percaya.
"Jika begitu, coba katakan, siapa nama ibuku? Jika benar
kau kenal ayahku, tentu kaupun tahu nama ibuku."
"Sudah tentu kutahu nama ibumu." jawab Tai-peng,
"Lebih dua tahun kukenal baik ibumu, masakah aku tidak
tahu namanya. Ibumu she Soat dan bernama Ciau-hoa
bukan?"
"Salah!" mendadak Soat Peng-say menggeleng.
"O, ya, ibumu mempunyai nama lain lagi, Soat Ih-nio,
betul tidak?" demikian cepat Tio Tai-peng menambahkan.
Ia yakin sekali ini pasti tidak salah lagi.
Tak terduga Soat Peng-say tetap menggeleng dan
berkata; "Kau ngawur! Hakikatnya kau tidak tahu nama
ibuku dan tentu juga tidak kenal ayahku."
Habis berkata ia terus angkat kaki pula.
Tio Tai-peng menjadi gelisah, segera ia memburu maju
dan bertanya; "Habis siapa nama ibumu yang benar?"
"Tidak nanti kukatakan padamu," jawab Soat Peng-say
sambil berpaling, "Bukankah kau bilang kenal baik ibuku
selama lebih dua tahun. Jika kau kenal beliau, mengapa
malah tanya padaku?"
Tai-peng meng-garuk2 kepalanya yang tidak gatal,
katanya pula; "Ah, jangan2 ibumu mempunyai nama lain
lagi. Namanya yang ketiga justeru tidak kuketahui. Akan
tetapi, aku bicara sungguh-sungguh, aku tidak bohong, aku
memang benar-benar berkawan baik dengan ibumu selama
dua tahun lebih, sedangkan ayahmu she Tio, hal inipun
jelas dan pasti."
Tentu saja, jika dia tidak tahu jelas dan pasti akan she
sendiri, lalu siapa lagi yang lebih tahu?
Tertampak Soat Peng-say tidak sabar lagi, katanya;
"Sudahlah aku tidak mau bicara ber-tele2 dengan kau. Kau
mengincar diriku, sengaja ber-putar2 lidah, Huh, jangan
kau salah sasaran, biarpun kecil aku Soat Peng-say tidak
nanti tertipu."
Diam-diam Tio Tai-peng merasa geli, ia tahu anak muda
itu menyangka sang ayah hendak menipu mutiara mestika
Pi-tun-cu itu. Maka sambil menggeleng ia berkata; "Siapa
yang mengincar kau? Jangan kau kira kuincar mutiaramu
itu."
"Habis untuk apa kau menahanku disini dan mengajak
omong tak karuan, apa maksudmu?" tanya Soat Peng-say.
Tai-peng tersenyum getir karena dituduh mempunyai
maksud tertentu, katanya kemudian; "Maksud tujuan lain
tidak ada, aku cuma ingin menerima kau sebagai muridku."
Soat Peng-say terkejut, cepat ia menggoyang tangan dan
menjawab, "O, tidak, jangan, aku ini bodoh seperti kerbau,
jangan kau salah pilih."
"Tapi bakatmu sama sekali tidak dibawah kaum Kongcu
tadi." ujar Tai-peng.
Timbul pikiran Soat Peng-say hendak mengeluyur pergi
seperti majikannya, ia berlagak tenang dan menjawab; "Kau
maksudkan Siauyaku tadi?"
"Siauya apa? Hakikatnya dia tidak ada harganya untuk
menjadi Siauyamu," kata Tai-peng dengan mendongkol.
Ia pikir hanya anakku yang pantas menjadi Siauya
orang, tiada orang lain yang boleh menjadi Siauyanya.
Selagi Tio Tai-peng merasa penasaran, kesempatan itu
digunakan Soat Peng-say untuk menyelinap keluar.
Tapi dari lagak lagu anak muda itu Tai-peng sudah tahu
ia bermaksud lari, maka begitu tubuh orang bergerak,
serentak ia pun mencengkeram.
Tak tersangka gerak tubuh Soat Peng-say ternyata sangat
licin, sedikit mengengos saja ia dapat menghindari
cengkeraman Tio Tai-peng. Karuan Tai-peng terkejut,
secepat kilat tangannya membalik dan mencengkeram pula.
Cengkeraman kedua kalinya ini memakai gerak cepat
tusukan pedang, sedangkan Soat Peng-say belum cukup
tinggi kepandaiannya untuk "mendengarkan suara angin
membedakan arah", cengkeraman Tai-peng dari belakang
itu sukar diraba kemana tujuannya, ketika dia berkelit
kekanan, kebetulan jatuh kecengkeraman Tio Tai-peng yang
pura-pura bergerak kekiri, tapi terus menangkap kekanan
itu.
Seperti elang mencengkeram anak ayam saja, seketika
Soat Peng-say terpegang Hiat-to bagian kuduknya hingga
sama sekali tak dapat berkutik lagi terus diangkat keatas.
"Lepaskan, lepaskan aku," teriak Soat Peng-say," Aku
tidak mau berguru padamu, aku tidak ingin menjadi orang
yang cacat."
Merasa anak muda itu hendak menghindari dirinya,
sebagai ayah, diam-diam Tio Tai-peng merasa berduka.
Tapi ia sengaja me-nakut2inya; "Tidak, betapapun kau
harus mengangkat guru padaku. Cacat badan saja apa
halangannya?"
Apa pun juga Soat Peng-say masih terlalu muda, usianya
belum genap lima belas, demi teringat peraturan Tio Taipeng
yang menerima murid dengan menguntungi lengan
kanan calon murid, ia menjadi takut dan menangis.
Selagi Tai-peng hendak membawa pergi Soat Peng-say,
se-konyong2 terdengar seorang membentak; "Orang jahat,
lepaskan dia!"
Yang bersuara ini kiranya Beng Siau-gi.
Sejak tadi ia menangis sambil mendekap jenazah
ayahnya, akhirnya air matapun terkuras kering, pada saat
itulah ia menengadah dan melihat Soat Peng-say hendak
dibawa pergi oleh Tio Tai-peng.
Terpikir olehnya: "Dengan tulus hati dia telah
menyelamatkan aku, sekarang dia mengalami kesulitan,
adalah pantas kalau kubalas menolong dia!"
Dalam hati kecilnya timbul pikiran yang luhur dan ingin
menolong sesamanya tanpa memikirkan ilmu silat sendiri
sesungguhnya selisih sangat jauh dengan Tio Tai-peng.
Segera ia jemput pula pedang tadi terus memburu kesana.
Melihat Beng Siau-gi akan menyerempet bahaya, sama
sekali Kay Hiau-thian tak mencegah atau menghalanginya,
sebaliknya diam-diam ia malah berharap semoga sekali
tabas Tio Tai-peng akan membinasakan anak dara itu.
Ketika pedang Beng Siau-gi menusuk tiba, sambil
tertawa Tio Tai-peng melayang belasan tombak jauhnya
kedepan, setiba dipintu gerbang keluarga Beng itu, ia
sempat meninggalkan pesan:
"Budak cilik, belajarlah baik-baik kepada kakekmu, lima
tahun lagi akan kusuruh anak-didikanku ini kesini untuk
bertanding dengan kau!"
Dengan cepat Beng Siau-gi memburu maju dan menusuk
pula dengan pedangnya. Tapi Tio Tai-peng lantas melayang
keatas pohon besar diluar rumah, disitu pepohonan berderet2
ditepi jalan.
Begitulah, sebelum Beng Siau-gi mengejar tiba, dengan
mengempit Soat Peng-say, Tio Tai-peng terus melayang
pergi seperti terbang diatas pepohonan itu.
== ooo OdOwO ooo ==
Dengan cepat lima tahun telah berlalu.
Selama waktu lima tahun yang singkat ini, bagi kota tua
seperti Pakkhia, selain usia para penduduknya bertambah
banyak, suasana dan keadaan kota ini tidak ada perobahan
sedikitpun.
Hari itu tepat hari raya Jingbeng, hari orang melakukan
pembersihan makam sanak famili dan leluhur. Pagi-pagi
sekali penduduk Pakkhia sudah ber-bondong2 menuju
keluar kota untuk berziarah kemakam leluhur masingmasing.
Baru saja Kong-an-bun, pintu gerbang selatan kota
pakkhia dibuka, orang pertama yang keluar kota adalah
seorang nona berbaju putih sebagai tanda berkabung
dengan kuda tunggangan berbulu putih pula.
Kaum puteri keluarga berpangkat atau bangsawan di
Pakkhia tidak nanti keluar kota dengan menunggang kuda,
biasanya mereka pasti menggunakan kereta kuda, Tapi
nona penunggang kuda ini meski bukan puteri keluarga
bangsawan, namun hampir setiap penduduk Pakkhia pasti
kenal dia.
Siapapun tahu nona cantik dan menyenangkan ini
adalah cucu tunggal kesayangan Beng-loyacu, Beng Engkiat
yang termashur, Seringkali orang melihat jago tua yang
terhormat dan disegani itu membawa serta cucu perempuan
satu2nya itu pesiar keluar, Tapi sekarang, cucu perempuan
jago tua itu yakni Beng Siau-gi keluar kota sendirian dengan
menunggang kuda, hal ini memang jarang atau hampir
tidak pernah terjadi.
Sebenarnya Beng Siau-gi memang tidak keluar kota
sendirian, kakeknya sudah berjanji akan menyuruh dua
muridnya, yaitu paman guru Siau-gi untuk mengiringi nona
itu keluar kota. Tapi pagi-pagi hari ini Beng Siau-gi sudah
menunggu sekian lama, ternyata satu diantara kedua Susiok
itu tidak kunjung muncul, ia menjadi tidak sabar untuk
menunggu lagi, diam-diam ia menguluyur keluar kota
sendirian.
Ia pikir pada hari Jingbeng itu, harus se-pagi2nya
berziarah, perlu apa ditemani para Susiok?
Beng Si-hian putera tunggal Beng Eng-kiat, dimakamkan
disuatu tempat kira-kira lima li diluar pintu kota Kong-anbun.
Dengan menunggang kuda tidak perlu setengah jam
sudah bisa sampai disitu.
Belum lama Siau-gi keluar kota, tiba-tiba terdengar
seekor kuda membedal cepat dari belakang, Siau-gi berkerut
kening, disangkanya sang kakek merasa kuatir ketika
mengetahui dia keluar kota sendirian, maka Kay-supek
disuruh menyusulnya.
Segera ia berpaling, tapi bukan paman guru Kay Hiauthian
yang dilihatnya, melainkan seorang pemuda gagah
dan tampan sedang melarikan kudanya yang hitam mulus
kejurusan sini. Karena bukan Kay-supek yang disangkanya,
Siau-gi tidak meng-amat2i lagi penunggang kuda serba
hitam itu, cepat ia berpaling kembali kedepan.
Ketika penunggang kuda berbaju hitam itu membedal
kudanya sampai dibelakang kuda Beng Siau-gi, mendadak
ia memperlambat lari kudanya, lalu berseru memanggil;
"No. . . .nona. . . ."
Agaknya penunggang kuda berbaju hitam yang kelihatan
gagah ini ternyata bermuka tipis, malu-malu, baru berseru
memanggil "Nona", lanjutannya lantas sukar diucapkan
lagi.
Menurut pengalaman Siau-gi, memang sering dia
dibuntuti oleh anak muda dan dipanggil "nona", lalu tak
berani bicara lagi,Maka seperti biasanya, iapun anggap sepi
saja, sama sekali tak digubrisnya. Dengan demikian ia
berharap orang akan malu sendiri dan tinggal pergi.
Ia pikir jika Kay-supek ikut mengawalnya, tentu
penunggang kuda ini sudah didamperatnya dan disuruh
pergi. Cuma sayang, sekarang ia sendirian, sedangkan
penunggang kuda berbaju hitam ini tetap tidak tahu diri,
tidak digubris masih tetap saja mengintil dibelakang.
Sekarang Siau-gi jadi menyesal Kay-supek tidak ikut
datang, ia pikir orang ini pasti dari luar daerah, karena tidak
kenal dia, maka mencari kesempatan untuk pasang omong.
Kalau penduduk setempat kebanyakan tahu siapa Beng
Siau-gi dan tentu tak berani main gila padanya.
Memangnya siapa yang berani mengganggu cucu tunggal
jago tua Beng loyacu yang termashur itu?
Rupanya penunggang berbaju hitam itu teramat polos,
setelah kata2nya sukar terucapkan dan si nona juga tidak
menggubrisnya, ia tambah kikuk dan lebih-lebih tidak
sanggup bicara lagi. Entah apa maksudnya dia hanya
mengintil saja dibelakang dengan diam.
Perbuatan begini sesungguhnya teramat tidak sopan bagi
seorang anak perawan, jika anak perempuan biasa dan
bernyali kecil, tentu menyangka pemuda baju hitam ini
bermaksud jahat dan tak berani melanjutkan perjalanan.
Tapi Beng Siau-gi bukanlah gadis biasa. Kungfunya tinggi
dan nyalinya besar, ia pikir; "Baiklah, boleh mengintil terus,
Nanti kalau berani berbuat kasar terhadapku, segera akan
kuhajar adat padamu supaya kau tahu kelihayan nonamu!"
Setelah mengambil keputusan begini, segera ia melarikan
kudanya dengan cepat.
Pemuda baju hitam itu se-olah2 kuatir Beng Siau-gi akan
kabur, begitu si gadis membedal kudanya, segera iapun
mengejar dengan cepat, bahkan senantiasa
mempertahankan jarak sedemikian dekatnya sehingga
sepintas pandang orang bisa mengira sepasang kekasih yang
sedang bercanda.
Beng Siau-gi terus membedal kudanya dengan cepat,
hanya sekejap saja sudah sampai disuatu persimpangan
jalan kecil.
Kedua tepi persimpangan jalan kecil itu penuh
pepohonan lebat, diujung sana ada sebuah tanah
pekuburan, karena hari masih pagi, dijalan simpang sana
tiada terdapat peziarah lain.
Sampai disini timbul rasa waswas Beng Siau-gi, ia pikir
jalan simpang ini agak panjang, harus hati-hati terhadap
segala kemungkinan. Ia kuatir ditengah jalan simpang sana
sipenunggang kuda berbaju hitam itu bisa jadi akan berbuat
tidak senonoh padanya.
Karena itulah, waktu belok kejalan simpangan situ, ia
sengaja melambatkan kudanya. Dengan demikian
penunggang kuda hitam itu mendapatkan kesempatan lagi,
iapun ikut belok kejalan simpang situ, dengan tabahkan hati
ia bertanya pula; "Nona. . . nona akan membersihkan
makam?"
Diam-diam Siau-gi mendongkol, pertanyaan ini benar2
berlebihan. Memangnya mau apa pagi2 datang ketanah
pekuburan jika tidak hendak berziarah atau membersihkan
makam? Ia yakin si pemuda baju hitam sengaja hendak
memancing bicara padanya, maka dia tetap tidak
menggubrisnya.
Karena tidak digubris si nona, pemuda baju hitam itu
menjadi risi sendiri, katanya pula dengan ter-gagap2; "Cay.
. . .cayhe juga datang untuk membersihkan makam. . . ."
tiba-tiba teringat olehnya kata-kata "membersihkan makam"
terasa tidak tepat, maka cepat ia bungkam.
"Kiranya dia juga datang berziarah, jadinya akulah yang
salah sangka padanya." demikian pikir Siau-gi. Karena itu,
diam-diam timbul rasa menyesalnya karena prasangka tadi.
Pemuda baju hitam itu ingin bicara pula, tapi dilihatnya
si nona membedal lagi kudanya kedepan. Ia pandang
bayangan punggung si nona dan menghela napas pelahan,
ia merasa dirinya terlalu penakut, masa menjelaskan siapa
dirinya sendiri saja tidak berani.
Setiba diujung jalan simpang itu, Beng Siau-gi sedikit
melirik kebelakang, tidak terlihat si pemuda baju hitam
menyusulnya, Diam-diam ia berbalik merasa kesal,
Pikirnya: "Sebentar dia tentu akan datang kemari. Entah dia
anggota keluarga mana dan hendak berziarah makam
siapa?"
Di tanah pekuburan dengan rerumputan yang tumbuh
lebat disana-sini ini tak terhitung banyaknya makam yang
malang melintang tak teratur, Siau-gi turun dari kudanya da
menuntunnya menuju kemakam ayahnya.
Sambil berjalan, dalam benaknya terbayang wajah
pemuda baju hitam yang ganteng tadi, ia merasa wajah itu
seperti sudah dikenalnya, tapi entah pernah dilihatnya
dimana?
Setiba didepan sebuah kuburan yang dibangun dengan
megah, Siau-gi menambat kudanya pada tetumbuhan
didekat situ, lalu diturunkannya alat-alat pembersih rumput
seperti arit dan cangkul kecil serta sesajian, kertas bakar dan
sebagainya.
Karena setiap bulan dia pasti berziarah satu kali, maka
rumput liar dikuburan Beng Si-hian itu tidak banyak,
setelah dibabati sejenak, ia lantas mengatur sesajian dan
mulai bersembahyang.
Habis membakar kertas sembahyang, selagi dia duduk
termenung menghadapi makam sang ayah, tiba2 terdengar
suara langkah orang mendatangi.
Waktu ia menoleh, ternyata dia lagi!
Mau-tak-mau tegang juga perasaannya, Disangkanya
pemuda ini bukan berziarah tujuannya, buktinya dia tidak
membersihkan makam yang dituju, sebaliknya mendekati
makam ayah Siau-gi ini.
-ooo0dw0oooJilid
3
Kini ditanah pekuburan yang luas dan sunyi ini hanya
terdapat mereka berdua saja, meski Siau-gi tidak takut
diperlakukan kasar oleh pemuda baju hitam itu, tanpa
terasa timbul juga rasa cemasnya.
Dilihatnya pemuda baju hitam itupun membawa
beberapa ikat Gin-coa (kertas sembahyang), tampaknya
memang benar hendak berziarah. Malahan kertas
sembahyang itu lantas ditaruhnya pada sisa abu yang baru
dibakar Siau-gi itu, maka sejenak kemudian kertas itupun
terjilat bara dan mulai berkobar.
Orang membakar kertas sembahyang di makam
ayahnya, meski Siau-gi menduga orang tidak bermaksud
baik, hanya ingin mendekati dia dan mengajak ngobrol saja,
tapi apapun juga dia tak dapat menolak, Pikirnya;
"Seingatku ayah tidak mempunyai kenalan pemuda begini,
tanpa sebab dia membakar kertas sembahyang kemakam
ayah, dia pasti mempunyai sesuatu maksud tujuan."
Tapi pemuda baju hitam itu tidak cuma membakar kertas
sembahyang saja, bahkan ia lantas berlutut didepan makam
Beng Si-hian dan menyambah tiga kali dengan khidmat.
Perbuatan ini membuat Siau-gi melenggong, apalagi
dilihatnya cara memberi hormat pemuda itu sedemikan
khidmatnya, sedemikian tulusnya, mau-tak-mau Siau-gi
merasa terharu, cepat ia berdiri dan balas memberi hormat
dan sambil berkata: "terima kasih atas kedatangan anda
berziarah kemakam mendiang ayahku. Mohon tanya
siapakah nama anda yang mulia agar Siaulicu (anak
perempuan kecil) tahu cara bagaimana harus menyebut
anda."
Pemuda baju hitam itu berbangkit, iapun memberi
hormat, lalu berkata: "Nona Siau-gi, engkau sudah pangling
padaku?"
Kembali Siau-gi melengak, dalam benaknya terlintas lagi
perasaan seperti sudah kenal orang, akan tetapi betapapun
juga dia memang tidak ingat lagi bahwa pemuda ini taklain-
tak-bukan ialah Soat Peng-say, si kacung yang pernah
dilihatnya lima tahun yang lalu.
Hal inipun dapat dimaklumi selama lima tahun ini
mereka sudah sama-sama tumbuh besar, lebih2 Soat Pengsay,
perawakannya sekaran tinggi besar, kekar gagah, sama
sekali berbeda daripada bentuk kacung dimasa lalu,
pantaslah kalau Siau-gi pangling padanya.
Sebaliknya Soat Peng-say sebenarnya juga pangling pada
Beng Siau-gi. Banyak perubahan pada diri si nona,
sekalipun Siau-gi berjalan lalu didepannya juga tak
dikenalnya lagi. Sebabnya Peng-say mengetahui nona ini
ialah Beng Siau-gi adalah ketika nona itu keluar kota, Pengsay
mendengar percakapan dua penduduk Pakkhia yang
menyatakan keheranannya mengapa cucu tunggal Bengloyacu
pagi-pagi keluar kota sendirian.
Kebetulan saat itu Soat Peng-say juga akan keluar kota,
mendengar keterangan itu, hatinya tergerak, segera ia tanya
lebih jelas nona mana yang dimaksudkan sebagai Beng
Siau-gi, cucu Beng-loyacu yang termashur itu.
Maksud tujuan Soat Peng-say keluar kota adalah untuk
menunaikan cita-cita Tio Tai-peng. Rupanya Tio Tai-peng
merasa menyesal lima tahun yang lalu telah membunuh
Beng Si-hian, maka sekarang setelah Soat Peng-say tamat
belajar dan hendak berpisah, ia lantas memberi pesan agar
setiba di Pakkhia hendaklah Soat Peng-say berziarah ke
makam Beng Si-hian dan bersembahyang baginya.
Baru semalam Soat Peng-say sampai di Pakkhia, ia
sudah mencari tahu dimana makam Beng Si-hian, maka
pagi-pagi hari ini dia akan menuju kesana. Siapa tahu Beng
Siau-gi terlebih pagi daripada dia dan keluar kota lebih
dulu.
Dari keterangan yang diperoleh, Peng-say hanya tahu
kuburan Beng Si-hian terletak diluar pintu gerbang Kongan-
mui, tempatnya yang tepat belum diketahui, ia pikir
akan mencarinya nanti jika sudah tiba ditempat tujuan.
Maka ketika diketahui Beng Siau-gi berjalan didepan, ia
lantas menyusulnya dengan maksud hendak tanya letak
makam ayah si nona.
Ketika dia berhasil menyusul Siau-gi, dilihatnya si nona
sedemikian cantiknya, seketika ia menjadi kikuk dan tak
dapat omong sehingga menimbulkan prasangka Siau-gi.
Kemudian ia coba menyapa, tapi timbul pula rasa
kuatirnya bilamana si nona mengetahui dia adalah murid
pembunuh ayahnya, maka dia tidak berani bicara terus
terang akan maksud kedatangannya, dia hanya bertanya
satu kaliamat yang sama sekali tiada artinya.
Sekarang si nona menanyakan namanya, setelah raguragu
sejenak, akhirnya ia menjawab terus terang: "Nona
Siau-gi, aku. . . . aku Soat Peng-say. . . ."
"Soat Peng-say", nama ini mana bisa dilupakan Siau-gi?
Begitu mendengar nama ini, segera teringat olehnya anak
muda yang pernah mendekapnya lima tahun yang lalu.
Seketika muka Siau-gi bersemu merah dan berseru;
"Ahh, kiranya engkau ini Soat-toako!"
Soat Peng-say tidak menduga si nona tidak marah
padanya, sebaliknya malah memanggilnya "Soat-toako", ia
menjadi girang, katanya pula dengan tersenyum; "Nona
Siau-gi, kiranya engkau masih ingat pada namaku."
Beng Siau-gi tidak memperhatikan rasa likat atau jengah
meski memanggil pemuda itu sebagai "Toako", maklumlah,
tutur kata dan tindak-tanduk Soat Peng-say yang baik
dimasa dahulu itu telah berkesan mendalam dalam lubuk
hatinya untuk menghormatinya sebagai toako.
Dipandangnya lengan kanan Soat Peng-say yang utuh
tanpa cacat itu, Siau-gi bertanya dengan tertawa;
"Kemudian cara bagaimana engkau meloloskan diri dari
cengkeramanOkjin (orang jahat) itu?"
Terkesiap juga Soat Peng-say oleh pertanyaan ini, tapi ia
berlagak seperti bergurau dan menjawab; "Aku tidak
meloloskan diri, kuangkat dia sebagai guru!"
Siau-gi tidak percaya sedikitpun, ia menggeleng dan
berkata; "Apabila kau angkat guru kepada Okjin itu,
mustahil lengan kananmu masih dapat dipertahankan."
Dari sebutan "Okjin" yang ber-ulang2 terlontar dari
mulut si nona, Peng-say tahu dendam Siau-gi terhadap
gurunya sangat mendalam, maka dirinya se-kali2 tidak
boleh mengakui benar-benar telah menjadi muridnya.
Dengan tertawa ia lantas berkata; "Ditengah jalan aku purapura
ingin buang air, dia melepaskan aku waktu kumasuk
hutan untuk buang air, kesempatan itulah kugunakan untuk
kabur."
Keterangan yang sederhana ini ternyata dipercaya penuh
oleh Beng Siau-gi, katanya dengan tertawa; "Memang
sudah kuduga, engkau pasti dapat meloloskan diri dari
cengkeramanOkjin itu."
Gurunya sendiri ber-ulang2 disebut orang sebagai
"Okjin", sudah tentu hati Soat Peng-say merasa tidak enak.
Tiba-tiba terdengar Siau-gi berkata pula dengan
menghela napas; "Entah tinggal dimana sekarang Okjin
itu?!"
Peng-say sengaja balas bertanya, "Kau ingin mencari
dia?"
Tampak Siau-gi mengertak gigi penuh rasa dendam,
jawabnya; "Mengapa tidak? Sudah tiga tahun kakek
membawaku berkelana di Kangouw, namun sedikitpun
tidak mendapat kabar beritanya, barangkali Okjin itu sudah
mampus."
Kalimat terakhir itu sangat menusuk perasaan Soat Pengsay,
ia tersenyum getir dan bertanya, "Lalu mau apa bila
kalian dapat menemukan dia?"
Siau-gi memandang Soat peng-say sekejap, ia meragukan
apa maksud pertanyaan anak muda itu.
"Tentunya hendak menuntut balas bagi ayahmu,"
sambung Soat Peng-say setelah berdehem pelahan.
"Ya, sudah tentu, sakit hati kematian ayah sedalam
lautan, kakek telah mengajarkan segenap ilmu pedangnya
dan membawaku mencari Okjin itu, tujuannya adalah agar
aku dapat menuntut balas dengan tanganku sendiri."
Sungguh tak tersangka anak perempuan secantik bidadari
begini dapat mengucapkan kata2 segarang ini. Diam-diam
Peng-say merasa ngeri, tapi iapun tidak enak untuk
membujuknya, teringat olehnya dahulu ia sendiri pernah
berkata kepada si nona bahwa selama gunung tetap
menghijau jangan kuatir tiada kayu bakar. Arti dari katakata
itu adalah isyarat bahwa untuk menuntut balas masih
cukup waktunya dan tidak perlu ter-buru2.
Dan sekarang apakah dirinya dapat membujuknya pula?
Tentu juga tidak boleh lantaran Tio Tai-peng telah menjadi
gurunya, lalu ia menyuruh si nona jangan menuntut balas
kematian ayahnya?
Se-konyong2 Siau-gi pasang kuping mendengarkan
dengan cermat, lalu berkata; "He, siapa itu yang datang,
begitu kencang dia melarikan kudanya?!"
Soat peng-say juga sudah mendengar suara kuda lari itu,
katanya dengan tertawa; "Kita berziarah, dengan sendirinya
masih ada orang lain juga ingin berziarah."
"Soat-toako," kata Siau-gi dengan tersenyum manis,
"Terima kasih atas kedatanganmu yang khusus
bersembahyang di makam ayahku ini."
Belum habis ucapannya, dari persimpangan jalan sana
seorang penunggang kuda tampak membedal kudanya
kearah sini dengan gugup, begitu melihat Siau-gi dari jauh
orang muda itu lantas berteriak; "Beng-sumoai, lekas
pulang, lekas. . . . ."
Dengan gelisah orang itu melarikan kudanya kedepan
kuburan terus melompat turun, dengan napas ter-engah2 ia
berseru pula; "Suhu dan Cin. . . . Cin-susiok, mereka. . .
.mereka sudah habis semuanya. . . . ."
"Bagaimana persoalannya, Ci-suheng, hendaknya kau
bicara pelahan dengan lebih jelas." tanya Siau-gi dengan
kuatir.
Anak muda ini adalah murid Kay Hiau-thian, dia
mengembus napas, lalu bertutur; "Pagi-pagi tadi, kira-kira
tidak lama setelah Sumoai pergi, di rumah kedatangan dua
orang perempuan, yang satu berusia agak tua, seorang lagi
mungkin belum ada dua puluh umurnya, begitu datang
yang muda itu lantas menyatakan hendak berkenalan
dengan Gway-hoat-kiam-hoat keluarga Beng. Kebetulan
Cin-susiok datang dan memergoki kejadian itu, maka Cinsusiok
lantas melayani pihak penantang. Siapa tahu, belum.
. . .belum sampai sepuluh jurus, Cin-susiok lantas
dikalahkan. . . ."
Siau-gi berkerut kening, pikirnya: "Meski Cin-susiok baru
lima tahun belajar pedang dengan kakek, tapi sudah
mendapatkan segenap keahlian kakek, masa tidak sampai
sepuluh jurus sudah dikalahkan orang?"
"Kemudian Suhu juga turun kalangan," tutur pula anak
muda tadi, "tapi. . . .tapi beliau juga. . . .juga tidak sanggup
bertahan sampai sepuluh jurus. . . . ."
"Kay-supek juga kalah?" Siau-gi menegas dengan
terkejut.
Anak muda itu meng-angguk2, katanya dengan sedih;
"Cin-susiok masih ada harapan untuk hidup, tapi Suhu
telah meninggal karena terluka parah."
Selama lima tahun ini Beng Eng-kiat telah mengajarkan
intisari Gway-hoat-kiam-hoat kepada Kay Hiau-thian.
Latihan selama lima tahun dengan tekun telah banyak
menambahkan kemahiran Kay Hiau-thian dalam hal ilmu
pedang itu sehinga jauh berbeda daripada kepandaiannya
lima tahun yang lalu, siapa tahu dalam sepuluh jurus iapun
dikalahkan orang, hal ini benar-benar membuat Beng Siaugi
terkejut, sebab biarpun ilmu pedangnya sekarang
memang lebih banyak memperoleh petunjuk khusus dari
kakeknya, tapi juga tidak selisih banyak dibandingkan
kepandaian Kay Hiau-thian.
Setelah berhenti sejenak, lalu anak muda tadi berkata
pula dengan menangis: "Suhu sudah meninggal, tiada orang
lagi yang sanggup menghadapi tantangan perempuan muda
itu, terpaksa. . . terpaksa Suco (kakek guru) dipanggil. . . . ."
"Dan kakek telah mengalahkan perempuan muda itu?"
tanya Siau-gi dengan tegang.
Namun anak muda itu menjawab dengan menggeleng
kepala.
"Apa benar begitu?! Kakek juga tidak sanggup
melawannya?!" jerit Siau-gi, hampir-hampir ia tidak percaya
kepada keterangan anak muda murid Kay Hiau-thian itu.
"Sebenarnya Suco dapat mengalahkan perempuan muda
itu." tutur orang itu. "Tapi baru bergebrak belasan jurus,
perempuan setengah baya yang datang bersama perempuan
muda itu lantas berteriak menyuruh yang muda mundur,
dia sendiri lantas maju untuk menghadapi Suco. Meski
perempuan setengah baya itu memainkan ilmu pedang yang
sama dengan perempuan muda, bahkan dia cuma bertangan
satu, namun ilmu pedangnya jauh lebih tinggi daripada
yang muda. Melihat gelagatnya tidak menguntungkan
Suco, diam-diam kami berunding dan aku disuruh
memanggil Sumoai supaya lekas pulang. . . ."
Sampai disini, hati Beng Siau-gi menjadi cemas dan
gelisah seperti dibakar, cepat ia menceplak keatas kudanya
dan dibedal ke kota secepat terbang.
Soat Peng-say lantas menyusulnya dengan kencang.
Tidak berapa lama, Soat Peng-say telah ikut Beng Siau-gi
sampai diruangan berlatih keluarga Beng, terlihat disitu
sudah berkurumun anak murid angkatan kedua, salah
seorang melihat pulangnya Beng Siau-gi dan segera
berteriak; "Itu dia Sumoai sudah pulang!"
Be-ramai2 semua orang lantas memberi jalan.
Tertampaklah tiga sosok tubuh yang bermandi darah
bersandar pada tiga buah kursi besar, seorang diantaranya
adalah Beng Eng-kiat sendiri. Sambil menjerit Siau-gi terus
menubruk kesana.
Melihat cucu perempuan satu2nya sudah pulang, Beng
Eng-kiat sedikit membuka kelopak matanya yang terasa
berat itu, ucapnya dengan lemah; "Siau-gi, kem. . . kembali
Siang-liu-kiam. Ing. . . .ingat kakek dan ayahmu sama-sama
mati dibawah Siang-liu-kiam. . . .Siang-liu-kiam dan
keluarga Beng kita mempunyai dendam kesumat yang sukar
diukur, kau harus. . . .harus. . . ." karena lukanya terlalu
parah, suaranya hampir tak terdengar lagi.
Dengan menahan air mata duka, dengan suara pelahan
Siau-gi berkata; "Siau-gi tahu, Yaya (kakek), Siau-gi pasti
akan menuntut balas, akan kubunuh habis setiap musuh
yang bisa memainkan Siang-liu-kiam-hoat!"
Mulut Beng Eng-kiat setengah terpentang, seperti mau
bicara apa-apa lagi, tapi napasnya sudah terlalu lemah,
sekali terhembus, mangkatlah dia.
Air mata Siau-gi berderai, jeritnya melengking: "Yaya,
Yaya. . . . ."
Tapi sang kakek tidak bergerak lagi, sang kakek tak dapat
mendengar lagi suaranya. Tidak kepalang sedih Beng Siaugi,
ia menangis ter-gerung2 sambil mendekap mayat sang
kakek.
Peng-say berdiri dibelakang Siau-gi, ia dapat mendengar
semuanya, ia merasa heran siapakah perempuan bertangan
satu yang juga mahir Siang-liu-kiam-hoat itu. Siapakah dia
sebenarnya?
Suara tangis Beng Siau-gi masih tergerung hinga
menggema ruangan seluas itu, para anak murid angkatan
kedua juga ikut mencucurkan air mata, hampir Soat Pengsay
juga ikut meneteskan air mata, ia mengusap matanya
yang basah dan berusaha menghiburnya: "Nona. . . .nona
Siau-gi, janganlah engkau terlalu berduka, engkau masih
harus menyelesaikan banyak urusan."
Tapi Siau-gi tidak menggubrisnya dan masih terus
menangis. Dia benar-benar teramat berduka, satu2nya
anggota keluarganya yaitu sang kakek sekarangpun
meninggal, tentu saja dia sangat sedih dan kalau bisa ingin
ikut mati saja.
Peng-say menghela napas, ia tahu membujuk lagi juga
tiada gunanya, dengan muram ia mendekati kursi yang lain,
dilihatnya menelentang orang yang disebut "Cin-susiok" itu.
Kiranya Cin-susiok yang dimaksudkan ini bukan lain
daripada Siauya yang dulu pernah dilayani Soat Peng-say,
yaitu Cin Siau-hoay, putera kesayangan gubernur militer
kota Pakkhia.
Sejak Peng-say dibawa pergi oleh Tio Tai-peng, setelah
Beng Eng-kiat pulang, lalu Cin Siau-hoay datang lagi
memohon agar diterima menjadi murid jago tua itu. Karena
Cin Siau-hoay memang mempunyai perawakan dan bakat
yang bagus, pula putera pembesar berkuasa setempat,
terpaksa Beng Eng-kiat menerimanya.
Selama lima tahun ini banyak juga pelajaran yang
diperoleh Cin Siau-hoay, cuma sayang, sebelum tamat
belajar dia sudah dikalahkan oleh seorang perempuan yang
lebih muda daripada dia.
Hanya luka Cin Siau-hoay saja yang tidak begitu gawat,
namun begitu iapun tak sadarkan diri, setengah badannya
bagian kiri tampak berlepotan darah, jelas tulang pangkal
lengan kirinya tertabas luka.
Segera Soat Peng-say memondong tubuh Cin Siau-hoay,
iapun tidak pamit kepada Beng Siau-gi, hanya berpesan
sekedarnya kepada salah seorang murid angkatan kedua
keluarga Beng, lalu dibawanya pergi.
Diluar Soat peng-say menyewa sebuah kereta kuda dan
menyuruh kusir lekas membawanya kerumah gubernur.
Letak istana gubernur itu dibagian tengah kota Pakkhia,
gedungnya megah dan halaman luas.
Setiba didepan istana, Peng-say memondong Cin Siauhoay
turun dari kereta. Terharu juga sejenak Soat Peng-say
memandangi gedung megah yang telah ditinggalkan lima
tahun lamanya itu.
Segera ia melangkah kepintu gerbang yang bercat merah
itu. Dengan sendirinya penjaga tidak kenal dia lagi, tapi
kenal Cin-siauya yang dipondongnya, tanpa tanya lebih
jelas penjaga itu lantas berlari kedalam untuk melapor.
Sekejap kemudian pintu gerbang lantas terpentang dan
berbondong menyongsong keluar serombongan orang
perempuan, yang paling depan adalah seorang nyonya tua
bertongkat, begitu melihat cucu lelakinya yan berada dalam
pangkuan Soat peng-say seperti orang mati, segera ia
berteriak dan menangis; "O, anak Hoay. . . .Anak Hoay. . .
."
Cepat Peng-say setengah berlutut dan berkata;
"Thayhujin (nyonya tua), luka Siauya tidak terlalu parah,
lekas mengundang tabib saja untuk mengobatinya."
Mendengar cucunya tidak berbahaya, cepat si nenek
memberi perintah; "Cin Hok, lekas panggil tabib!"
Seorang hamba tua mengiakan dan berlari pergi. Seorang
hamba yang muda dan kuat lantas memondong Cin Siauhoay
dari pangkuan Soat Peng-say.
Nyonya tua itu meng-amat2i Soat Peng-say sejenak, lalu
bertanya; "Siapa she yang terhormat engkoh cilik ini, terima
kasih atas kebaikanmu yang sudi mengantar pulang Siauhoay.
Siapakah yang melukai dia?"
"Pengganas yang melukai Siauya itu entah kabur
kemana, aku. . . ."
Belum habis Soat Peng-say bertutur, salah seorang Siocia
(puteri) yang berdiri disamping si nenek yang sejak tadi
selalu mengawasi Soat Peng-say, mendadak berseru: "He,
kau ini Soat Peng-say?!"
Sudah lima tahun Soat Peng-say menghilang dan
sekarang muncul mendadak, tentu saja para pelayan yang
mengitari Lohujin sama terkejut.
"Kau. . . .kau benar Peng-say?" tanya nyonya tua itu
dengan suara rada gemetar.
"Thayhujin, hamba memang betul Soat Peng-say yang
pergi selama lima tahun itu," jawab Peng-say sambil
memberi hormat.
Nyonya tua itu rada terguncang perasaannya, katanya:
"Ke. . . .kemana saja kau selama ini, kami mencari kau
ubek2an dan menyangka kau telah diculik orang, aku
menyesal karena tak dapat memenuhi pesan keponakan
perempuanku itu."
Kiranya ibu Soat Peng-say adalah keponakan nyonya tua
keluarga Cin, yaitu ibu Cin Ci-wan, nenek Cin Siau-hoay.
Waktu Soat Peng-say berumur sepuluh, ibunya sakit berat
dan membawanya mondok dirumah keluargaCin.
Tidak lama setelah berada disini, ibu Soat Peng-say
meninggal. Oleh karena Soat Peng-say adalah anak haram,
anak yang dilahirkan diluar perkawinan, ibunya malu untuk
memberitahukan kepada orang lain bahwa Peng-say adalah
anak kandungnya, tapi mengakui Peng-say sebagai anak
seorang sahabatnya. Sebab itulah setelah ibu Peng-say
meninggal, keluarga Cin tidak menganggap Peng-say
sebagai sanak famili sendiri dan juga tidak dapat
memandangnya sebagai kaum budak, maka dia disuruh
meladeni Cin Siau-hoay sebagai kacung pribadinya.
Hanya Cin-lohujin saja diam-diam mengetahui Soat
Peng-say adalah anak kandung keponakan perempuan
sendiri dari perkawinan tidak resmi, tapi ia pun tidak enak
untuk bicara terus terang, maka membiarkan anak muda itu
menjadi kacung pribadi cucu kesayangannya.
Cin Siau-hoay sendiri sejak kecil sudah kehilangan ibu,
yaitu mati pendarahan waktu ibunya melahirkan adik
perempuannya, Cin Yak-leng.
Ci-lohujin yang mendidik dan membesarkan Cin Siauhoay
dan Cin Yak-leng. Karena Siau-hoay adalah
keturunan lelaki satu2nya, dengan sendirinya dia sangat
disayang oleh sang nenek.
Lima tahun yang lalu, setelah Cin Siau-hoay lari pulang
dari tempat Beng Eng-kiat, kemudian diketahui Soat Pengsay
tidak ikut pulang. Esoknya keluarga Cin baru mengirim
orang mencari dan menanyai keluarga Beng tentang diri
Soat Peng-say. Tapi waktu itu keluarga Beng lagi sibuk
mengurusi kematian Beng Si-hian, supaya tidak tambah
repot, maka jawaban Kay Hiau-thian adalah tidak tahu.
Setelah dicari kian kemari tetap tidak ketemu, terpaksa
keluarga Cin menganggap Peng-say hilang diculik orang.
Kejadian inipun membuat Cin-lohujin berduka sampai
sekian lamanya. Kini melihat anak muda ini pulang dengan
selamat, bahkan sudah tumbuh tinggi besar begini, tentu
saja nyonya tua ini sangat girang dan menegurnya dengan
nada setengah mengomel.
Dengan hormat Soat Peng-say kemudian berkata:
"Thayhujin, diluar sini angin sangat kencang, silakan masuk
saja, didalam nanti hamba akan menjelaskan."
Dengan dipapah dayangnya Cin-lohujin lantas masuk
keruangan dalam, sudah tentu Soat Peng-say tidak
menceritakan pengalamannya dengan sungguh-sungguh,
melainkan mengarang sekedarnya bagi nyonya tua itu.
Waktu Peng-say bertutur, Siocia yang mengenali Soat
Peng-say tadi, yaitu Cin Yak-leng selalu menatap Peng-say
dengan sorot matanya yang bening tajam se-akan2 hendak
menembus hati anak muda yang bersuara itu.
Belum lagi Soat Peng-say habis berbohong, tampak
datanglah seorang tabib tua, Cin-lohujin lantas sibuk
menanyai keadaan luka cucunya sehingga tidak tanya lebih
lanjut pengalaman Peng-say, seorang pelayan dipesannya
agar mengatur tempat pondokan anak muda itu.
Petangnya ter-gesa2 Cin Ci-wan pulang dari kantornya,
syukur luka Cin Siau-hoay tidak berbahaya, lengan kiri
tidak sampai terkutung, tulang lengan juga tidak remuk,
kalau dirawat sebulan dua bulan tentu akan sembuh.
Maka legalah hati Cin Ci-wan, ia panggil Soat Peng-say
untuk ditanyai kejadian sampai terlukanya Cin Siau-hoay.
Secara ringkas Peng-say bercerita. Karena dia sendiri tidak
hadir pada waktu itu. ia pun tidak terlalu jelas bagaimana
terjadinya, yang diketahuinya adalah Cin Siau-hoay
bertanding pedang dan dilukai seorang perempuan muda.
Cin Ci-wan tahu pertarungan antara orang Kangouw tak
dapat dituntut dengan undang-undang negara. andaikata
mengirim petugas untuk menangkap si pengganas juga
sukar menemukannya. Diam-diam ia bersyukur puteranya
tidak sampai terbunuh oleh perempuan muda itu. Kalau
gurunya saja yang jagoan itupun terbunuh, maka boleh
dikatakan sangat beruntung jiwa puteranya tidak ikut
melayang.
Malamnya sehabis makan, Peng-say berjalan-jalan
sendirian ketaman bunga dibelakang rumah.Waktu makan,
dengan cerita bohongnya iapun memenuhi sekedar
pertanyaan Cin Ci-wan tentang pengalamannya selama
menghilang lima tahun.
Malam ini bulan sabit tampak menghiasi angkasa nan
kelam. Pada musim semi ini semuanya serba segar, Soat
Peng-say mencium bau bunga yang harum, semangatnya
terangsang, sambil menyusuri jalan kecil mengitari taman
sembari merenungkan lagi ilmu pedang yang telah
dipelajarinya dengan tekun selama lima tahun ini.
Ia terkadang mendongak memandangi bulan diangkasa,
lain saat berkomat-kamit sambil menggerakkan kaki dan
tangannya, orang yang tidak tahu bisa mengira dia orang
sinting.
Selagi lupa daratan, tiba-tiba didengarnya suara tertawa
ngikik orang perempuan. Seketika Soat Peng-say terkejut,
cepat ia berpaling dan siap siaga sambil membentak; "Siapa
itu?"
Waktu tangkai tetumbuhan tersiah, muncul seorang
siocia yang cantik.
Legalah hati Peng-say setelah mengenalinya, ucapnya
dengan tertawa; "Kiranya Siocia."
Siocia ini ialah Cin Yak-leng. Katanya; "Jika diriku
lantas tidak menjadi soal bukan?"
"Maksudku asalkan bukan orang luar yang menerobos
ketaman ini." jawab Peng-say.
"Memangnya dikala berlatih pedang kau kuatir diintip
orang?" ujar Yak-leng dengan tertawa.
"Mana. . . mana kulatih pedang segala?" jawab Peng-say
dengan gugup. "O, ya, Siocia, kepulangan hamba sekali ini
antara lain bermaksud meminta kembali kepada Siocia
buku 'Siang-jing-pit-lok' yang pernah Siocia ambil itu."
"Siang-jing-pit-lok apa? Aku tidak tahu?" jawab Cin Yakleng
sambil menggeleng.
"Yaitu buku yang pernah Siocia ambil ketika bermain
kekamar hamba dulu," kata Peng-say pula dengan cemas,
"Kan Siocia sudah mengakui mengambil buku itu dan tidak
mau mengembalikan padaku, katanya Siocia akan baca
dulu, setelah melatihnya baru akan dikembalikan padaku.
Sekarang urusannya sudah berselang tujuh tahun, hamba
yakin Siocia sudah berhasil melatih isinya dengan baik,
maka kuharap sudilah Siocia mengembalikannya padaku."
Cin Yak-leng mengerut kening dan berkata; "Ai,
bicaramu tidak karuan, pakai Siocia dan hamba segala! Kau
juga bukan kaum budak sungguh-sungguh, mengapa
nadamu berbau budak?!"
Muka Peng-say menjadi merah, ucapnya; "Tapi aku. . .
.melayani kakakmu dan menyebut kakakmu sebagai
Siauya, dengan sendirinya kupanggil engkau sebagai Siocia,
kalau tidak bagaimana harus kupanggil?"
"Kau lebih tua dua tahun daripadaku, boleh kau sebut
aku adik Leng saja dan aku pun akan memanggil kau kakak
Peng, nah, kau setuju?"
"Eh, mana boleh jadi!" seru Peng-say sambil
menggoyang tangannya, "Mana hamba berani, Engkau
adalah Siocia terhormat, sedangkan aku. . . .aku. . . . ."
"Kau adalah putera bibi Soat, kan bukan kaum budak
dan juga bukan orang luar," kata Yak-leng.
"Dar. . . darimana kau tahu?" tanya Peng-say dengan hati
tergetar.
"Sesungguhnya nenek juga keterlaluan, sudah tahu asalusulmu,
mengapa tidak mau mengakui kau sebagai cucu
keponakannya, tapi membiarkan kau menjadi pesuruh
kakak," kata Yak-leng dengan gegetun.
"Masa Thayhujin juga tahu?" tanya Peng-say.
"Tentu saja tahu, kalau nenek tidak tahu, darimana pula
kutahu?" ujar Yak-leng dengan tertawa.
Soat Peng-say menjadi sedih, ucapnya dengan muram;
"Seumpama beliau hendak mengakui diriku juga tiada
dasarnya, cara bagaimana nenekmu dapat mengakui diriku
sebagai cucu keponakannya? Nenekmu she Soat, ibuku she
Soat dan akupun she Soat, bisakah nenekmu mengakui aku
sebagai cucu keponakannya?"
"Masa. . . .masa kau benar-benar tidak tahu she
ayahmu?" tanya Yak-leng dengan tergagap.
Peng-say menggeleng, jawabnya; "Siocia, harap engkau
jangan menanyai asal-usulku, silakan kembalikan saja buku
itu."
"Lagi2 Siocia segala," omel Yak-leng, "Baiklah, terserah
cara bagaimana kau akan memanggil diriku. Tentang buku?
Maaf, Siociamu tidak pernah mengambilnya!"
Cepat Peng-say memberi hormat dan berkata; "Siocia
yang baik. . . .eh, salah, adik Leng yang baik,
kembalikanlah bukuku."
"Nah, begini baru pantas," ujar Yak-leng dengan tertawa.
"Tapi tidak ada aturan sang kakak memberi hormat kepada
adik perempuannya. Kakak Peng, aku mengakui pernah
mencuri Siang-jing-pit-kip itu. Sebenarnya waktu itu juga
akan kukembalikan padamu, tapi kaupun setuju setelah
berhasil kulatih isinya baru akan kukembalikan, sayang
sekarang belum berhasil kulatihnya, maka harap ditunda
lagi beberapa tahun."
Sudah tentu Peng-say tahu si nona sengaja mempersulit,
kembali ia memberi hormat dan berucap; "Adik Leng yang
baik, kitab itu bukan milikku sendiri, waktu ibuku akan
meninggal, beliau meninggalkan pesan agar kukembalikan
buku itu kepada pemiliknya bilamana aku berusia dua
puluh, sekarang aku tepat berumur dua puluh, pesan ibuku
itu harus kulaksanakan. Maka kumohon dengan sangat,
janganlah engkau mempersulit kakak Peng, tidak mungkin
kau belum melatihnya, harap kembalikan saja padaku."
"Ck, ck-ck! Kasihan! Rasanya aku menjadi rikuh kalau
tidak kukembalikan," ucap Cin Yak-leng sambil ber-kecek2,
"Cuma aku memang tidak melatih isi kitab itu, bila
kukembalikan begitu saja rasanya tidak rela. Bagaimana
kalau kita main tukar barang saja?"
"Tukar barang bagaimana?!" tanya Peng-say dengan
terkejut. "Adik Leng yang baik, memangnya apa yang kau
kehendaki dariku?"
Ia pikir waktu ibu meninggal hanya meningalkan satu
jilid Siang-jing-pit-lok dan satu biji mutiara Pi-tun-cu, dia
minta tukar barang lain, jangan-jangan yang diincar adalah
mutiaraku ini? Apalagi anak perempuan pada umumnya
tentu suka pada batu permata, tanpa terasa ia lantas meraba
tempat menyimpanan mutiara mestika itu se-akan2 kuatir
mendadak mutiara itu akan direbut oleh Cin Yak-leng.
Sudah tentu si nona dapat merasakan gerak-gerik Pengsay
itu, ia tertawa ngikik, katanya; "Kau ini, sejak kecil
sudah kuperhatikan dirimu, barang apa yang kau miliki
akulah yang paling tahu. Apakah kau kuatir kuminta tukar
dengan mutiaramu yang berwarna merah itu?"
Soat Peng-say tidak sempat pikir cara bagaimana si nona
bisa mengetahui dirinya memiliki sebiji mutiara yang selalu
tersimpan dalam bajunya, maka ia hanya menggeleng dan
menjawab; "Jika mutiara ini yang ingin kau tukar, maka
jelas tidak boleh jadi. Mutiara ini adalah satu2nya benda
tinggalan ibuku."
"Jangan pelit, memangnya kau kira aku mengincar
mutiaramu?" kata Yak-leng dengan tertawa. "Padahal
akupun tidak suka mutiara, jika suka sudah kucuri sejak
dulu."
"Manabisa kau curi." ucap Peng-say tidak percaya.
"Kitab itu memang selalu kutaruh dikamar sehingga tak
dapat kujaga, tapi mutiara ini selalu kubawa, cara
bagaimana kau akan mencurinya?"
"Apanya yang sulit?" ujar Yak-leng. "Suatu hari pernah
kuintip kau mandi. . . ."
Sampai disini cepat ia berhenti. Urusan pribadi ini mana
boleh diceritakannya. Meski waktu itu usianya masih kecil,
tapi anak perempuan mengintip anak lelaki mandi,
betapapun hal ini bukan perbuatan yang terhormat, apalagi
sekarang sudah besar, kalau diceritakan kan terasa malu.
"Ah, kiranya kau mencuri pada waktu kumandi, Wah,
berbahaya. Untung bajuku jarang kutinggalkan diluar
kamar mandi. Kalau tidak, demi melihat mutiara ini sangat
menarik, tentu sudah kau ambil."
Diam-diam Yak-leng bersyukur anak muda itu tidak
menyinggung persoalan mengintip orang mandi, sikap
kikuknya menjadi tenang kembali, dengan tertawa ia
berkata pula; "Tapi pernah dua kali kuambil, tapi aku tidak
tertarik, maka kutaruh kembali pada tempat semula.
Padahal kalau aku menaksirnya, tentu sudah lama kuambil
dan kusembunyikan."
"Tapi tetap berbahaya juga." ujar Peng-say. "Bila bajuku
selalu kutanggalkan diluar kamar mandi, mungkin satu dua
kali kau ambil mutiara itu dan merasa tidak tertarik, namun
pada akhirnya bisa jadi kau akan tertarik, lalu
mengambilnya dan takkan dikembalikan padaku untuk
selamanya."
"Huh, kau kira aku ini orang serakah? Kalau ambil
barang orang lain lantas tidak mau mengembalikannya?"
omel Yak-leng.
"O, tentu kau kembalikan, tentu, seperti sekarang juga
akan kau kembalikan Siang-jing-pit-lok itu kepadaku," ujar
Peng-say dengan tertawa.
"Tidak, kalau tidak ditukar barang dengan barang,
takkan kukembalikan," kata Yak-leng.
"Adik Leng yang baik, barang apa yang ingin kau tukar,
asalkan bukan mutiara merah ini, apapun kuberikan." kata
Peng-say dengan setengah memohon.
Yak-leng menjadi girang, segera ia menegas; "Apa
betul?"
"Tentu saja betul," jawab Peng-say tanpa ragu. Ia pikir
dirinya toh tidak mempunyai barang lain lagi yang dapat
ditukarkan.
Dengan tertawa senang Cin Yak-leng lantas berkata;
"Sebelum kulatih isi kitab pusaka itu, sungguh aku tidak
rela mengembalikannya kepadamu, asalkan kau tukar
dengan mengajarkan ilmu silat lain padaku, maka akan
kukembalikan kitabmu itu."
Peng-say terkejut, ucapnya; "Ganti dengan ilmu silat
lain?! Dari. . .darimana kupunya ilmu silat lain segala?
Dalam kitab Siang-jing-pit-lok itu terisi macam-macam
Kungfu, baik Lwekang, Ciang-hoat dan Am-gi, semuanya
tertulis lengkap. Memangnya ilmu silat apa yang kau
harapkan dariku?"
"Memang betul, sudah kubaca kitab Siang-jing-pit-lok
itu, disitu memang tercatat lengkap pelajaran Kungfu
sebagaimana kau sebut tadi, kalau mau melatihnya
memang sangat mudah, cuma sayang, disitu tiada terdapat
pelajaran Kungfu bersenjata, sedangkan mengenai senjata,
pedang adalah pangkalnya segala macam senjata, kalau
mau belajar tentu kupilih ilmu pedang, makanya. . . ."
Makin tegang Peng-say mengikuti ucapan si nona hingga
akhirnya dia seperti mau menangis, katanya; "Ai, adik Leng
yang baik, kaupun tahu ilmu silatku kupelajari dari kitab
Siang-jing-pit-lok itu masa kau anggap aku ini ahli pedang.
Kau sendiri bilang didalam kitab itu tiada terdapat pelajaran
ilmu main pedang, aku. . . akupun tidak pernah belajar ilmu
pedang lain. . . . ."
Ia kuatir si nona yang bandel dan jahil itu akan
merecokinya lagi, sedangkan ilmu pedangnya dengan tegas
telah diperingatkan oleh Tio Tai-peng bahwa selain
puteranya sendiri, biarpun murid juga tak boleh diajari,
apalagi orang luar. Bila larangan ini dilanggar dan
ketahuan, maka tiada ampun lagi.
Sebab itulah dia tetap menyangkal pernah belajar ilmu
pedang.
Cin Yak-leng menatap Peng-say tajam-tajam, biji
matanya yang bening terang itu se-akan2 sedang berkata;
"Hm, di depanku juga kau berdusta!"
Peng-say menelan air liur sekedar menenangkan
perasaan tegang orang yang suka bohong. Lalu berkata
pula; "Terhadap ilmu yang tercantum dalam kitab Siangjing-
pit-lok itu memang cukup banyak pengetahuanku.
Begini saja, akan kuajari kau Kungfu yang terdapat didalam
kitab itu, setuju?"
Tapi Cin Yak-leng menengadah dan menggeleng,
jawabnya; "Untuk ini, kitab itu kan berada padaku, kalau
mau dapat kulatih sendiri. Kukira besok bolehlah kita mulai
berlatih, tujuh tahun saja cukup. Nah, kakak Peng, tujuh
tahun lagi pasti akan kukembalikan Siang-jing-pit-lok itu!"
"Akan. . . .akan tetapi. . . ." Peng-say menjadi gugup.
"Tidak ada tetapi segala." ujar Yak-leng sambil menarik
muka. "Jika ingin ambil kembali kitab itu sekarang, boleh,
asalkan ditukar seperti permintaanku tadi. Ini sudah
menjadi keputusan nona, tidak ada tawar menawar."
Melihat kenakalan si nona yang sukar diajak berdamai
itu, Peng-say menjadi kelabakan, serunya; "Tapi aku benarbenar
tidak paham ilmu pedang apa-apa."
Yak-leng tertawa, tanyanya; "Jika begitu, coba jawab,
untuk apa kau membawa dua bilah pedang yang tajam luar
biasa?"
"Da. . . .darimana kau tahu?" jawab Peng-say dengan
tercengang.
"Biasa, entah mengapa aku memang suka
memperhatikan dirimu secara diam-diam, lebih2 setelah
berpisah selama lima tahun, hampir sudah asing terhadap
dirimu, maka aku harus mempelajari betapa banyak
perubahan dirimu selama lima tahun ini. Tadi, waktu kau
bersantap bersama ayah, diam-diam kugerayangi rangsal
yang kau bawa, ingin kucari sesuatu yang sekiranya
menarik bagiku. . . ."
"Ai, mengapa kau selalu suka menggeledah barangku
diluar tahuku." kata Peng-say sambil menggeleng, "Untung
kau. . . . ."
Tidak perlu dijelaskan lagi bahwa lanjutannya dia pasti
akan bilang; "Untung kau bukan isteriku, jika punya isteri
seperti kau, maka runyamlah Soat Peng-say."
"Kan sudah kukatakan, sudah kebiasaan," kata Yak-leng
pula, "Kebiasaan sejak kecil itu memang sukar berubah.
Namun begitu akupun sangat memahami dirimu, misalnya
kau suka menaruh barangmu dimana, cara bagaimana kau
melipat pakaianmu, semua itu akupun tahu dengan jelas.
Apabila hal2 seperti itu ada perubahan luar biasa, itu
menandakan pikiranmu tidak tenteram. Juga lantaran
terbiasa kuperhatikan setiap gerak-gerikmu serta tutur
katamnu, maka segera pula kudapat mengetahui kesalahan
apa yang kau lakukan atau sedang berdusta. . . . ."
Diam-diam Peng-say terperanjat, pikirnya; "Wah,
jadinya kau ini orang macam apa?"
Padahal biarpun ibu Soat Peng-say sendiri juga belum
tentu lebih memahami pribadinya daripada Cin Yak-leng.
"Dan baru tadi, kulihat sifatmu hampir tiada perubahan
sama sekali, baik melipat pakaian, bicara, gerak-gerikmu,
semuanya serupa dulu kau pada lima tahun yang lalu dan
kau pada saat sekarang, bedanya cuma tubuhmu bertambah
tinggi besar dan membuatku pangling, selain itu boleh
dikatakan tiada bedanya. Tadi kau telah berdusta dua hal,
betul tidak? Tidak perlu kau menyangkal, soalnya aku
sudah teramat memahami dirimu. Dustamu yang pertama
adalah karanganmu mengenai pengalaman selama lima
tahun menghilang itu. Dusta yang kedua, kau membohongi
aku bahwa kau tidak mahir ilmu pedang, padahal menurut
pandanganku serta perkiraanku, selama lima tahun ini tentu
kau bersembunyi disuatu tempat dan belajar ilmu pedang
yang maha lihai dengan seorang kosen. Kau ingin bukti
bukan? Sederhana sekali. Kalau kau tidak belajar ilmu
pedang kelas tinggi dengan orang kosen, tentu kau takkan
komat-kamit dan ber-gerak2 sendirian waktu ber-jalan2
ditaman tadi. Ini membuktikan kau selama lima tahun ini
tidak pernah lalai menyelami intisari ilmu pedang yang
tinggi itu dimana dan kapanpun juga."
Karena rahasianya telah dipecahkan orang dengan tepat
dan jelas, apapula yang dapat dikatakan Soat Peng-say?
Terpaksa ia menyerah dan berkata; "Ya, memang,
semuanya persis apa yang kau katakan."
"Nah, setelah kubongkar dustamu, syarat tukar menukar
tadi kau terima tidak?" tanya Yak-leng dengan tertawa.
"Tidak!" jawab Peng-say sambil menggeleng.
Sekali ini si nona tidak dapat memahami lagi jalan
pikiran Soat Peng-say. Jawaban anak muda yang tegas dan
ketus itu telah melukai harga diri si nona.
Maka senjata kaum wanita yang utama lantas muncul,
yaitu air mata, meneteslah air mata Cin Yak-leng.
Sejak kecil Peng-say paling takut bila Yak-leng menangis.
Sekarang meski si nona tidak mengeluarkan suara tangisan,
tapi air matanya yang tak bersuara itu terlebih lihai
daripada tangis yang berwujud.
Sekarang ia menjadi kelabakan. Untuk menerima
permintaan si nona tidak mungkin. Jika berkeras menolak,
rasanya tidak tega.
Dalam keadaan serba susah ini, sungguh dia berharap
akan datang penolong yang dapat menghindarkan dia dari
kesulitan ini.
Baru timbul pikiran ini, Thian telah memenuhi
harapannya. Mendadak terdengar bentakan keras seorang;
"Budak busuk, akhirnya kutemukan juga kau!"
Mendengar suara bentakan yang mirip benda pecah itu,
seketika pucat wajah Cin Yak-leng. Cepat ia mengusap air
mata dan bersembunyi ke belakang Soat Peng-say sambil
berkata dengan gemetar; "Kak. . . .kakak Peng, kau. . . .kau
harus menolong diriku. . . . ."
Segera Peng-say membusungkan dada dan berseru
kearah datangnya bentakan tadi; "Siapa itu? Silakan keluar
untuk bicara!"
"Siapa lagi, kakekmu!" jawab si suara seperti bende
pecah itu. Baru lenyap suaranya, seperti badan halus saja
tahu-tahu segulung benda putih muncul didepan Peng-say.
Inilah seorang kakek buntak berjenggot putih panjang,
berjubah sulaman huruf Hok (rejeki) didepan dada, pakai
kopiah batok semangka, melihat potongan tubuhnya lebih
mirip hartawan kampungan. Akan tetapi mukanya yang
bersungut itu sama sekali tiada tanda-tanda riang seorang
hartawan, hanya air mukanya yang bersungut dan
menakutkan inilah masih membuat orang ber-pikir2 kalau
berhadapan dengan dia, kalau tidak, anak kecil saja berani
menggodanya.
Pada waktu Peng-say hendak berpisah dengan Tio Taipeng,
oleh gurunya itu telah diceritakan beberapa gembong
iblis yang disegani didunia Kangouw serta bentuk tubuhnya
yang khas. Dan kakek buntak sekarang ini paling gampang
dikenalinya, segera ia memberi hormat dan menyapa; "Eh,
kiranya Pang Bong-ki, Pang-loyacu."
"Ehm, cucu yang baik, kenal juga kau kepada kakekmu,"
ujar Pang Bng-ki sambil berdehem.
Peng-say tidak marah meski orang menarik keuntungan
atas dirinya dengan kata-kata, yaitu menganggap dirinya
sebagai kakek Peng-say. Ia pikir, usiamu memang jauh lebih
tua, jika kau menjadi kakekku juga sepadan. Maka ia
bertanya pula; "Pang-loyacu ada keperluan apa berkunjung
kesini?"
Sorot mata Pang Bong-ki yang tajam itu menyapu muka
Cin Yak-leng yang sedang mengintip dari belakang Pengsay
itu, lalu katanya dengan ter-kekeh2; "Hehe, budak
busuk, apa gunanya kau sembunyi dibelakang seorang
lelaki?"
Merasa ada sandaran, meski belum jelas sandarannya itu
mampu membelanya atau tidak, dengan nakal Yak-leng
lantas mencibir kepada kakek buntak itu dan menjawab;
"Bola semangka, mulutmu hendaklah cuci bersh sedikit,
kau tahu siapa dia? Dia ini kakakku."
Alangkah mesranya dia menyebut "kakakku" sehingga
Peng-say merasa "sreg" didalam hati. Dalam keadaan
demikian, biarpun persoalan ini bakal mencabut nyawanya
juga dia tidak peduli.
Pada umumnya manusia suka sirik bila ciri lahiriahnya
diperolokkan. Sekarang Cin Yak-leng menyebut si kakek
buntak yang tubuhnya memang gemuk bundar dan cebol itu
sebagai "bola semangka", tentu saja alis Pang Bong-ki lantas
berjengkit, dengan murka ia mendamprat; "Budak busuk,
kau berani kurang ajar padaku? Akan kurobek tubuhmu
menjadi dua keping!" Habis berkata segera ia hendak
mencengkeram nona itu.
Sudah tentu Peng-say tidak tinggal diam, cepat ia
menangkis, katanya dengan tertawa; "Sabar Pang-loyacu,
ada urusan apa boleh bicara saja baik-baik."
Sekali gebrak saja bagi kaum ahli akan segera
mengetahui pihak lawan berisi atau tidak. Maka Pang
Bong-ki lantas menarik kembali tangannya dan menyurut
mundur ketempatnya semula, ia pandang Soat Peng-say
dan berpikir; "Tampaknya bocah ini jauh lebih lihai
darpada adik perempuannya."
Tapi ia lantas menjengek; "Cucu yang baik, jika kau tahu
nama kebesaran kakekmu ini, tentunya kaupun tahu nama
julukanku didunia Kangouw."
Agar sesuatunya dapat diselesaikan dengan damai, Soat
Peng-say menjawab dengan tertawa; "Usia adik
perempuanku masih muda dan tak tahu urusan sehingga
membikin marah engkau, untuk itu kuharap kemurahan
hatimu agar sudi mengampuni dia sekali ini."
"Mengampuni dia sekali ini?" teriak Pang Bong-ki. "Hm,
tidak boleh jadi! Kakek berjuluk 'Kin-kin-kek-kau' (satu
katipun dipersoalkan, artinya satu peser saja dihitung).
Melulu sebutannya padaku yang kurang ajar itu sudah
cukup menghukum mati dia, apalagi dia telah
membuntungi tangan muridku."
Yak-leng lantas menjengek, "Siapa suruh muridmu itu
berkelakuan jahat dan tangannya berani sembarangan
menggerayang. Hm, dasar setali tiga uang, guru yang tak
karuan tentu mengeluarkan murid yang tidak genah. Si
cebol tidak nanti melahirkan anak jangkung!"
Rupanya murid Pang Bong-ki juga seorang pendek.
Padahal dia paling benci jika orang menyinggung tentang
kecebolannya, karuan ia lantas berteriak dan hendak
mencengkeram si nona pula.
Cepat Peng-say mencegah lagi dan berkata; "Nanti dulu,
Pang-loyacu, bolehkah kutanyai sebentar adik
perempuanku?"
"Hm, cucu lelaki memang berbeda daripada adik
perempuannya," jengek Pang Bong-ki. "Mengingat sikapmu
yang sopan-santun ini, biarlah kuberi kesempatan hidup
padanya sebentar lagi."
Segera Peng-say menarik Cin Yak-leng kesamping, lalu
betanya dengan suara tertahan; "Adik Leng, sesungguhnya
apa yang terjadi?"
"Untuk apa bertanya!?" seru Yak-leng. "Pendek kata,
tangan muridnya itu memang pantas ditabas."
"Adik Leng," ucap Peng-say dengan tertawa, "Kabarnya
murid Pang Bong-ki itu juga orang jahat, seorang bandit
yang biasa malang melintang didunia Kangouw, ilmu
silatnya juga tidak lemah, bahwa kau dapat menguntungi
tangannya, sungguh kejadian tidak sederhana."
Muka Yak-leng menjadi merah, katanya dengan
tergagap; "Ah, itu. . .itupun kebetulan saja, Thian yang
memberkati diriku sehingga berhasil menabas buntung
tangannya."
= Sebab apa sehingga Cin Yak-leng membuntungi
tangan murid Pang Bong-ki itu?
= Darimana puteri gubernur militer ini belajar
Kungfunya?
= Siapakah kedua perempuan yang membunuh Beng
Eng-kiat dan kedua muridnya?
-ooo0dw0ooo"
Ah, kenapa adik Leng rendah hati," ujar Peng-say,
"Sekarang kedudukan kita sama satu satu, aku berdusta,
kaupun telah berdusta."
"Aku. . . . aku berdusta apa?" tanya Yak Leng dengan
melengak.
"Kau membohongi aku, katanya tidak pernah melatih
ilmu yang tercantum didalam Siang-jing-pit-lok itu, hal ini
tidak betul, bukan?" kata Peng-say dengan tertawa.
Terpaksa Yak-leng menunduk dan tak dapat menjawab,
ucapnya kemudian: "Kau mau membantu aku tidak?"
"Sudah tentu kubantu kau, biarpun kepala akan
dipenggal juga takkan kubiarkan kakek itu mengganggu
seujung rambutmu," jawab Peng-say tegas, "Cuma, kau
harus menceritakan duduknya perkara agar aku dapat
bicara dengan orang tua itu, jika dia tetap tak dapat diajak
bicara secara baik-baik, nah, baru pakai kepalan."
Yak-leng melirik Peng-say sekejap sambil menunduk,
katanya dengan lirih: "Baiklah, takkan kubohongi kau lagi.
Sejak tahun yang lalu sudah berhasil kulatih ilmu yang
tercantum didalam kitab pusaka pinjaman itu. Demi
mencari dirimu, diluar tahu orang rumah aku keluar dengan
menyamar sebagai Suseng pelancongan, yang benar aku
ingin menyelidiki jejakmu."
Pelahan Peng-say memegangi tangan Yak-leng dan si
nona ternyata diam2 saja dan melanjutkan ceritanya:
"Hampir setahun kucari engkau dan tidak memperoleh
kabar apapun. Tapi pada akhir tahun yang lalu kepergok
murid Pang Bong-ki, muridnya itu adalah seorang bandit
besar, bahkan juga. . . .juga penjahat cabul, entah cara
bagaimana penyamaranku dapat diketahuinya, dia purapura
bersahabat denganku, akupun tidak tahu bahwa dia
sesungguhnya dia orang jahat, malahan ingin kutanyai dia
kabar berita dirimu, kulihat sikapnya sangat sopan, maka
lantas seperjalanan dengan dia. Dia mengira aku mudah
ditaklukkan, maka cuma beberapa hari saja kedoknya lantas
terbuka. Suatu malam, diam2 dia menyusup ke kamarku,
disitulah kukerjai dia, baru saja tangannya terjulur ke balik
kelambu segera kutabas. . . ."
Sampai disini ceritanya dia merandek sejenak, mungkin
hawa panas yang terpancar dari tangan Peng-say
membuatnya tidak tahan, ia meronta dan melepaskan
pegangan anak muda itu, hal ini tidak diperhatikan oleh
Peng-say, dengan muka merah Yak-leng lantas
menyambung:
"Sesudah itu barulah bangsat cabul itu mengetahui
akupun memiliki kungfu, cepat dia kabur. Habis itu akupun
tidak menaruh perhatian atas kejadian itu dan melanjutkan
pencarianku padamu. Tapi hari ketiga aku telah disusul
oleh bangsat tua she Pang itu, jelas aku bukan tandingan tua
bangka itu, syukur Thian melindungi diriku dan aku
berhasil lolos, maka terjadilah lari dan kejar, akhirnya kulari
pulang kerumah, kukira urusan akan selesai, siapa tahu. . .
."
Peng-say mengangguk, katanya: "Pang Bong-ki itu
seorang tokoh Kangouw kawakan terkenal pula 'satu
peserpun diusut'. Setelah kau tabas kutung tangan
muridnya, sekalipun lau lari ke ujung langit juga dia
sanggup menemukan kau. Sekarang persoalannya sudah
jelas, kita di pihak yang benar, biarlah kubicara secara baikbaik
dengan dia. Tapi untuk menjaga segala kemungkinan,
harap kau ambilkan kedua pedangku itu. Tanpa pedang
jelas aku bukan tandingan kakek itu."
"Kau, kau harus hati-hati." pesan Yak-leng.
"Jangan kuatir, tanggung tidak menjadi soal." jawab
Peng-say dengan tertawa. Lalu ia memutar tubuh
mendekati Pang Bong-ki.
"Hayo, budak liar, jangan lari!" segera Pang Bong-ki
berteriak demi melihat Cin Yak-leng melangkah kedalam
rumah.
Peng-say lantas menghadang didepan si kakek, katanya:
"Peng loyacu, marilah kita bicara menurut aturan."
Diam-diam Pang Bong-ki berpikir, disini adalah
rumahnya, andaikan budak itu bisa kabur, masa rumahnya
bisa berpindah pula, maka tanpa kuatir ia lantas menjawab;
"Bicara aturan apa?"
"Pang-loyacu seorang tua yang terhormat dan disegani. .
. ." sampai disini Peng-say sengaja merandek.
"Kalau terhormat dan disegani, lalu ada apa?" Pang
Bong-ki menegas, ia pikir anak muda ini pintar juga
menjilat pantat, tapi apa gunanya kau menjilat.
Maka terdengar Peng-say telah menyambung: "Tapi
nama muridmu. . . ."
"Sudahlah, tidak perlu kau teruskan, kutahu maksudmu,"
potong Pang Bong-ki, "Tindak-tanduk muridku itu memang
tidak dapat dipuji, tapi juga bukan sesuatu soal yang perlu
direcoki. Dahulu, ketika gurunya masih muda, tindaktanduk
gurunya juga tidak banyak berbeda dari pada dia."
"Hm, jika begitu, tampaknya memang tidak salah
pepatah yang mengatakan tikus tidak melahirkan kucing,
kalau gurunya begitu, masakah muridnya bisa lain?" ejek
Peng-say.
Anehnya Pang Bong-ki tidak menjadi marah, juga tak
malu, ia hanya berdehem lalu berkata:
"Ada perbedaan sedikit, betapapun murid tidak dapat
lebih unggul dari pada sang guru, dia kurang becus sehingga
tangannya ditabas budak itu. Dia malah belum kapok dan
memohon padaku agar menangkap si budak untuk
dijodohkan kepadanya. Sebenarnya, betapapun juga budak
itu akan kurobek menjadi dua keping tapi mengingat
dirimu, kuberi kelonggaran padanya, boleh kau suruh
adikmu membuntungi sebelah tangannya sendiri, lalu ikut
pergi bersamaku dan jiwanya dapat ku-ampuni."
Melihat orang tak dapat diajak bicara menurut aturan,
Peng-say lantas menggeleng dan berkata: "Tidak, hal ini
tidak mungkin terjadi."
"Tidak ada sesuatu di dunia ini yang tidak mungkin,"
ujar Pang Bong-ki. "Eh, itu dia, si budak liar itu sudah
datang lagi. Kebetulan!"
Betul. Cin Yak-leng sudah muncul pula dengan
membawa dua pedang bersarung hitam dan bergaran hitam,
untaian benang mainan pada garan pedang itupun berwarna
hitam. Peng-say menerima kedua pedang, yang satu
disandangnya di punggung, yang lain dipegang dengan
tangan kiri.
Pang Bong-ki tidak mengganggu selama Peng-say
menyandang pedang dan menghunus pedang yang lain
pula, habis itu barulah ia menegur dengan tertawa:
"EH, kau ingin main senjata denganku?"
"Betul," jawab Peng-say.
"Hahahaha!" Pang Bong-ki bergelak tertawa, "Tak
tersangka, baru bertambah memegang dua pedang, sikapmu
lantas garang. Baiklah, bagaimana kalau kita pakai
taruhan."
"Taruhan apa? Aku ikut!" Se-konyong2 sesosok
bayangan orang melayang tiba, datangnya hampir
berbareng dengan terdengarnya suara.
Pang Bong-ki memandang pendatang itu, lalu berkata:
"Kwa-laute, angin apa yang meniup kau kesini?"
Kiranya orang itu juga seorang kakek, cuma tubuhnya
tinggi kurus, boleh dikatakan tinggal kulit membalut tulang.
Tubuhnya sudah cukup jangkung, tapi memakai lagi topi
yang berujung tinggi, berjenggot panjang seperti jenggot
kambing, saking tinggi dan kurusnya, angin meniup saja
rasanya dapat menerbangkan dia.
Diam-diam Peng-say terkejut, pikirnya: "Mengapa
datang pula iblis ini?"
Ia menoleh, dengan sorot matanya ia ingin bertanya
kepada Yak-leng apakah kenal pendatang ini, tapi si nona
menggeleng sebagai tanda tidak tahu.
"Angin apa? Serupa kau!" demikian jawab si kakek
kurus.
"Kenapa? Muridmu itu. . . . ."
"Muridku telah dirusak oleh budak ini!" sela si kakek
kurus sebelum lanjut ucapan Pang Bong-ki, lalu ia melototi
Cin Yak-leng dengan sorot mata yang benci.
Segera Yak-leng berteriak: "He, jangan kau sembarangan
memfitnah orang. Siapa muridmu, hakikatnya nonamu
tidak kenal!"
"Kau tidak kenal?" si kakek kurus menegas. "Coba
jawab, sebulan yang lalu, pernahkah kau membutakan mata
seseorang?"
"Ahhh!" Yak-leng berseru kaget. Tak perlu ditanya lagi,
jelas buah karyanya.
-ooo0dw0ooo-
Jilid 4
Diam-diam Peng-say menggeleng kepala, pikirnya:
"Adik Leng ini keterlaluan juga, mengapa suka melukai
murid orang. Belum lagi satu peserpun diusut, dibereskan,
kini datang lagi seorang yang dilirik saja marah!"
Kiranya kakek tinggi kurus ini bernama Kwa Liong dan
berjuluk "kong-ju-pit-po" atau dilirik saja tidak terima,
artinya biarpun dipandang sekejap saja dia tidak mau, dia
terlebih ganas dari pada Pang Bong-ki, sedikit orang
mengganggunya, maka celakalah orang itu, pasti akan
dibunuh olehnya.
Begitulah Kwa Liong lantas berkata kepada Pang Bongki:
"Pang-heng, kau bilang hendak taruhan dengan dia,
maka aku harus turut ambil bagian untuk melampiaskan
dendam muridku itu."
"Cara bagaimana Kwa-laute akan melampiaskan
dendam?" tanya Pang Bong-ki.
"Karena budak itu akan kau bawa pulang untuk
dijadikan alat kesenangan muridmu, dengan sendirinya aku
tidak dapat membunuhnya," kata Kwa Liong. "Maka begini
saja, cukup kukorek sepasang matanya itu."
"Eh, tumben Kwa-laute kenal belas kasihan." ujar Pang
Bong-ki dengan tertawa.
"Habis bagaimana, murid Pang-heng penujui budak itu,
anggaplah nasibnya lagi mujur," kata Kwa Liong. "Cuma
belas kasihan juga ada batasnya, selain dia, setiap sanak
keluarganya harus ikut memberi ganti rugi sepasang biji
mata."
Yak-leng menjadi gusar, ia segera membentak,
"Kawanan bangsat, memangnya sanak keluargaku berbuat
salah apa padamu?"
"Dan muridku berbuat salah apa pula padamu?"
"Dia. . . .dia berani meng. . . .mengintip nona mandi. . .
." Yak-leng menjawab dengan gelagapan dan muka merah.
"Hahahaha!" Kwa Liong bergelak tertawa. "Kan kau
sendiri menyamar sebagai Suseng, kelakuanmu yang kebencong2an
dengan sendirinya menimbulkan rasa curiga
orang, tentu saja setiap orang ingin tahu sehingga muridku
itu mengintip kau mandi. Yang penting, mestinya tidak
perlu kau butakan matanya dengan Am-gi (senjata gelap
atau rahasia)."
"Hm, muridmu yang kotor itu berani mengintip tubuhku,
kalau bisa ingin kucabut nyawanya!" damperat Yak-leng
dengan gemas.
"Budak busuk, melulu ucapanmu ini saja cukup alasan
bagiku untuk babat habis setiap sanak keluargamu," bentak
Kwa Liong dengan murka.
Soat Peng-say lantas melangkah maju dan berkata: "Ah,
rasanya ucapanmu ini agak berkelebihan!"
"Nah, Kwa-laute, ada orang memprotes!" kata Pang
Bong-ki dengan ter-bahak2.
Kwa Liong melirik Soat Peng-say sekejap, ucapnya
dengan tak acuh: "Huh, untuk apa banyak omong dengan
keroco begini, kirim saja dia ke akhirat!"
Tapi Pang Bong-ki lantas bisik-bisik ditepi telinga Kwa
Liong: "Ssst, jangan kau remehkan boch ini!"
"Habis bertaruh apa?" teriak Kwa Liong.
"Pertarungan yang belum pasti menang lebih baik jangan
pakai taruhan.Marilah saudara, kita maju bersama."
Pang Bong-ki lantas menyengir terhadap Soat Peng-say,
katanya: "Kakek Kwa ini tidak mau bertaruh seperti
kukatakan tadi, tapi mengajak maju bersama. Eh, cucu
yang baik, setelah kau tahu apa yang bakal terjadi, apakah
kau masih berani berlagak?"
Peng-say tahu pertarungan sengit sukar dihindarkan, ia
tidak menghiraukan olok2 orang, dari sakunya lantas
dikeluarkannya seutas benang hitam panjang.
Mendengar kedua kakek itu akan maju sekaligus. Yakleng
menjadi kuatir, ia lantas mencibir dan mencemooh:
"Huh, tidak tahu malu, dua kakek maju bersama
mengerubut seorang anak muda, kalian tidak kuatir tersiar
ke Kangouw dan ditertawakan orang?"
"Ini bukan pertandingan mencari nama, tapi bertempur
demi membalas sakit hati murid, maka tidak perlu pakai
aturan satu-lawan-satu segala," jengek Kwa Liong. "Lagi
pula, mulai sekarang, mana ada kesempatan lagi bagi kalian
untuk menyiarkan kejadian ini?"
Segera Yak-leng hendak mendamperat pula, tapi Soat
Peng-say lantas memanggilnya: "Adik Leng, kemarilah,
tolong ikat tali ini pada tubuhku."
Yak-leng mengira pemuda itu hendak memakai ikat
pinggang, segera ia mendekatinya dan menerima tali hitam
itu, katanya dengan kuatir: "Kakak Peng, engkau mungkin
bukan tandingan mereka berdua, apa perlu kitapun maju
bersama melawan mereka?"
"Tidak, tidak perlu," jawab Peng-say sambil menggeleng,
"Bila aku kalah, hendaklah cepat kau lari. Eh, salah, tidak
cuma ikat bagian pinggang, tapi sekalian ikat juga lengan
kananku!"
Kiranya Cin Yak-leng hanya melibatkan tali hitam tadi
pada pinggang anak muda itu. Ia terkejut mendengar
pemintaan Peng-say, katanya: "Masa kau. . . .kau. . . ."
"Jangan tanya dulu, ikatlah lekas, makin erat makin
baik!" pnta Peng-say.
Diam-diam Yak-leng heran, pikirnya: "Jika lengan
kananmu terikat, lalu cara bagaimana menggunakan dua
pedang?"
Meski penuh tanda tanya, diikatnya juga lengan kanan
Peng-say bersama tubuhnya menurut permintaan anak
muda itu, malahan ia lilit tali itu hingga dua-tiga kali
sehingga terikat erat.
Peng-say coba menarik lengan kanan dan terasa sukar
bergerak lagi, lalu ia melangkah ke depan.
Sudah tentu Pang Bong-ki dan Kwa Liong melenggong
menyaksikan cara Soat Peng-say menghadapi mereka itu,
Pikir mereka: "Apakah bocah ini mahir ilmu sihir, kalau
tidak masakah sengaja mengikat sebelah tangan sendiri
untuk menempur kerubutan dua orang?"
Setiba di depan kedua kakek itu, Soat Peng-say angkat
pedang tangan kiri yang masih berselubung itu di depan
dada, lalu berkata: "Silakan mulai!"
"Kurang ajar!" teriak Pang Bong-ki mendongkol, "Kau
berani memandang enteng kedua kakekmu?!"
Sekali bersuara, Soat Peng-say tidak sungkan-sungkan
lagi, baru habis ucapan Pang Bong-ki, "sret", sarung pedang
terlepas, sinar perak terus menyambar ke depan.
Pang Bong-ki dan Kwa Liong memang bukan kaum
keroco, keduanya tidak kalah lihaynya dibandingkan Beng
Eng-kiat. Mendadak mereka menyongsong maju, berbareng
mereka menghantam.
Karena dua orang bergabung, mereka rikuh untuk
mengeluarkan senjata andalan mereka yang sudah terkenal.
Maka terjadilah pertarungan sengit antara tiga orang itu,
sama2 cepat dan sama lihaynya. pandangan Yak-leng
sampai kabur dan sukar membedakan siapa kakak Peng dan
siapa kedua kakek itu.
Sejenak kemudian, keluarlah pedang kedua Soat Pengsay
dari sarungnya, inilah jurus serangan "Siang-liu-kiamhoat"
tulen.
Mendadak Soat Peng-say melepaskan pedang pertama
yang berantai lembut di pergelangan tangan itu, hampir
pada saat yang sama ia mencabut pedang kedua untuk ikut
menyerang. Dengan sendirinya daya serangannya sukar
dibayangkan. Terdengar suara berdering nyaring dan ketiga
orang lantas terpencar mundur.
Dalam sekejap itu pedang kedua Soat Peng-say sudah
masuk kembali sarungnya, lalu pedang pertama yang
berantai kecil itupun ditarik kembali. Ia berdiri tegak
dengan pedang tetap terhunus, sikapnya seperti tidak
pernah menyentuh pedang kedua di belakang pundaknya.
Kalau memandang kearah Pang Bong-ki dan Kwa Liong
berdua, ternyata senjata andalan masing-masing sudah
dikeluarkan. Malahan butiran keringat tampak menghias
kening mereka, keduanya berdiri di kanan-kiri depan Soat
Peng-say.
Rupanya pada detik yang gawat itu, secepat kilat Pang
Bong-ki telah mengeluarkan senjatanya yang khas, yaitu
berupa sebuah Suipoa emas, alat yang biasa dibuat
berhitung. Sedangkan senjata Kwa Liong berwujud sebuah
gunting raksasa. Dengan mengeluarkan senjata mereka
itulah baru sekadar mampu menangkis jurus Siang-liu-kiamhoat
Soat Peng-say tadi.
Namun dalam hati mereka cukup gamblang, bila mana
mereka tidak bergabung dua lawan satu, biarpun
menggunakan senjata juga sukar menangkis serangan Soat
Peng-say yang liha itu.
Diam-diam kedua orang itu bersyukur di dalam hati,
walaupun begitu mereka masih penasaran, Pang Bong-ki
mengedipi Kwa Liong, segera mereka hendak menerjang
lagi. Cuma pada saat itu juga mendadak terjadi keajaiban.
Soat Peng-say yang berdiri tegak di tengah kalangan itu
mendadak tersabet oleh cambuk yang menyambar keluar
dari semak2 tetumbuhan di samping sana. Kontan anak
muda itu jatuh tersungkur. Rupanya Kin-sok-hiat bagian
punggung tepat tersabet oleh cambuk itu.
Bahkan sebelum tubuh Soat Peng-say menyentuh tanah,
secepat kilat cambuk itu berputar terus menyambar tiba
pula, sekali ini bukan lagi menyabat Hoat-to, tapi cambuk
itu berubah seperti ular yang hidup, dalam sekejap saja
tubuh Peng-say telah terbelit oleh cambuk yang panjang itu
hingga beberapa lilitan.
Waktu Soat Peng-say jatuh ke tanah, tubuhnya berikut
kedua lengannya sudah terbelit erat oleh cambuk kulit,
pedang kiri terlempar di sebelahnya, tubuh tidak mampu
berkutik sedikitpun.
Meski sudah menyerang dua kali dengan cambuknya,
tapi pemain cambuk itu belum lagi memperlihatkan diri.
Cambuk yang lemas itu digunakan menutuk atau menyabat
Hoat-to dan dipakai meringkus orang pula, caranya cepat
dan ajaib, sungguh sukar untuk dibayangkan.
Kalau Soat Peng-say telah roboh diringkus orang, ini
berarti pemain cambuk itu telah memberi bantuan kepada
Pang Bong-ki berdua, seharusnya mereka bergembira dan
berterima kasih. Tapi aneh, mereka sama sekali tiada
tanda2 bergirang, sebaliknya malah ketakutan hingga muka
pucat dan berdiri mematung.
"Enyah!" terdengar bentakan tertahan di balik rumpun
pohon sana.
Karena disuruh "enyah", Pang Bong-ki berdua menjadi
girang, mereka saling pandang sekejap, tanpa omong lagi
mereka terus lari sipat kuping.
Kejadian mendadak tadi telah mengejutkan Cin Yakleng,
setelah Pang Bong-ki dan Kwa Liong kabur barulah ia
tenangkan diri dan cepat menubruk Soat Peng-say, ia
berusaha membuka belitan cambuknya.
"Berani kau?!" kembali terdengar bentakan dari balik
pohon sana.
Namun Yak-leng tidak peduli, ia tetap berusaha
membuka ringkusan Peng-say, tapi sukar membukanya.
Pada saat itulah seorang lantas melayang keluar dari balik
pohon sana, belum lagi Yak-leng sempat menoleh, satu kali
tepuk, "Hong-hu-hiat" di belakang kepala nona itu tertepuk
oleh orang itu dan jatuh pingsan.
Ketika pendatang ini berdiri tegak, kiranya seorang
nenek yang bertubuh agak tinggi, tapi rada bungkuk
punggungnya, mukanya penuh keriput dan rambut putih.
Segera si nenek berseru ke arah pepohonan: "Lekas
keluar mengenali orang, setan cilik!"
Dari balik pepohonan sana lantas menerobos keluar
seorang anak laki-laki dengan pakaian merah, usianya
mungkin belum genap sepuluh tahun.
Nenek itu tarik cambuknya sehingga Soat Peng-say
terangkat keatas, lalu ia bertanya pula: "Apakah orang ini?"
"Ya, tidak salah, memang orang ini!" jawab anak lakilaki
itu dengan tegas.
Dalam keadaan masih teringkus oleh cambuk, Soat
Peng-say dibawa pergi oleh si nenek ke jalanan kecil
menyusur pepohonan sana.
Soat Peng-say tak dapat berkutik, tapi mulutnya masih
bisa bicara, segera ia bertanya: "Lau-thaypo (nenek), kau
apakan adik perempuanku?"
Si nenek tidak menggubris pertanyaannya dan tetap
melanjutkan perjalanannya.
Karena tidak tahu keadaan Cin Yak-leng, segera Pengsay
berteriak: "Adik Leng, adik Leng. . . ."
Karena melihat Cin Yak-leng terbaring disana tanpa
bergerak dan juga tidak menjawab seruannya, maka ia
memanggil lagi terlebih keras.
Anak laki-laki tadi mengikut di belakang si nenek, ia
merasa kasihan melihat Soat Peng-say berteriak-teriak
menguatirkan temannya, anak kecil umumnya memang
besar rasa simpatinya, segera iapun berkata: "Nenek,
bagaimana kalau biarkan dia bertemu sekali lagi dengan
adik perempuannya?"
"Peduli amat!" damperat si nenek.
Sejenak kemudian, Peng-say tak dapat melihat Cin Yakleng
lagi, disangkanya anak dara itu sudah meninggal,
maka ia berteriak pula dengan suara parau: "Adik Leng,
adik Leng. . . ."
Karena gembar-gembornya, biarpun taman ini sangat
luas, tidak urung didengar juga oleh kaum budak keluarga
Cin. Beramai-ramai mereka keluar, ada yang membawa
lampu dan ada ang berteriak bertanya: "Siapa itu?"
Karena luasnya taman, maka suara kawanan budak itu
hanya terdengar sayup-sayup di kejauhan saja. Sudah tentu
Peng-say mendengar suara ribut-ribut itu, segera ia berteriak
terlebih keras lagi.
Si nenek lantas mengancamnya: "Bila berteriak lagi, akan
kupotong lidahmu!"
Namun Soat Peng-say tidak peduli, ia justeru ingin
menimbulkan perhatian seluruh penghuni istana agar
mereka dapat menemukan Cin Yak-leng, bila mana nona
itu tidak mati, tentu mereka akan menyelamatkannya.
Si nenek menjadi gusar karena peng-say masih terus
menggembor, meski tidak benar-benar memotong lidahnya,
tapi ia lantas menabok pula kepala anak muda itu dan
membuatnya pingsan.
Entah sudah lewat berapa lama lagi, siang hari esoknya,
lamat-lamat Soat Peng-say bari siuman kembali.
Agaknya ada Hiat-to yang belum terbuka, meski sudah
siuman, tapi dia masih belum mampu bergerak. Ia coba
memandang sekitarnya, ternyata tertutup oleh kain tenda
kereta kuda, terdengar kusir sedang berseru di bagian
depan, jelas dia berada didalam sebuah kereta.
Anak laki-laki berbaju merah yang duduk di sebelahnya
dapat melihat Peng-say telah siuman, segera ia
mendekatkan mukanya dan bertanya: "Kau lapar tidak?"
Leher Soat Peng-say tidak dapat bergerak, hanya bagian
atap tenda kereta yang terlihat, ia menjawab dengan suara
lemah: "Tidak!" Sejenak kemudian, ia coba bertanya: "Adik
kecil, mana nenekmu?"
"Nenek berduduk di depan." jawab anak laki-laki itu.
"Entah nenekmu memukul mati adik perempuanku atau
tidak?!" ujar Peng-say dengan menyesal.
"Tidak." kata anak berbaju merah itu dengan tertawa.
"Nenakmu bilang begitu padamu?" Peng-say menegas.
"Tidak," jawab anak itu dengan tertawa, "Bila mana adik
perempuanmu sudah mati, saat ini tentu tak dapat bernapas
lagi."
Peng-say jadi melengak. Tapi anak laki-laki itu lantas
menyambung: "Pagi tadi baru kuperiksa pernapasannya,
kukira tidak lama lagi dia akan siuman dengan sendirinya
seperti kau."
"He, adikku juga berada di kereta ini?" tanya Peng-say
dengan girang.
"Bukankah dia berbaring di sampingmu?" jawab si anak
laki-laki berbaju merah.
Segera Peng-say ingin menoleh, akan tetapi, apa daya,
kehendak ada tenaga kurang, sedikitpun kepalanya tak
dapat bergerak. Ia menjadi gelisah. Ia tanya pula kepada
anak laki-laki itu:
"Adik cilik, apakah kau paham ilmu Tiam-hiat?"
"Tentu saja paham!" jawab anak laki-laki itu.
Peng-say lantas memohon: "Adik cilik yang baik,
maukah kau menolongku, bukalah Hoat-to yang tertutuk
agar aku dapat melihat keadaan adik perempuanku!?"
"Tidak, aku tidak berani," jawab anak itu sambil
menggeleng. "Bila kulakukan, aku akan dihajar nenek.
Karena diam-diam kubawa adikmu keatas kereta, hal ini
mengakibatkan aku didamperat oleh nenek, katanya aku
suka cari gara-gara."
Peng-say tidak memohon lagi, pikirnya; "Bisa jadi anak
laki-laki baju merah ini kasihan padaku karena teriakanku,
maka pada waktu aku pingsan diam2 ia kembali kesana
membawa adik Leng kesini.Meski masih kecil, tapi hatinya
sangat baik. Dia sudah diomeli neneknya, tidak boleh
kubikin dia dihajar lagi."
Tidak lama kemudian, Peng-say merasa Cin Yak-leng
yang meringkuk disebelahnya bergerak sedikit, disangkanya
si nona telah siuman, cepat ia berseru: "Adik Leng. . . ."
Tapi Yak-leng hanya bergerak saja tanpa menjawab.
Peng-say menjadi kuatir, tanyanya kepada si anak laki2:
"Adikku sudah siuman belum?"
"Siuman sih sudah, tapi nenek bilang, seumpama sudah
siuman juga pikirannya takkan jernih lagi, kecuali diberi
minum Leng-ju-coan (air susu ajaib), kalau tidak,
selamanya dia akan linglung."
Karuan Peng-say terkejut, cepat ia tanya pula: "Pada
bagian mana nenekmu memukul adikku itu?"
"Hong-hu-hiat." jawab anak itu.
Hampir saja Peng-say jatuh kelengar pula. Hong-hu-hiat
itu terletak pada ubun-ubun kepala dan merupakan Hiat-to
yang fatal, bila terpukul ringan hanya akan mengakibatkan
pingsan, kalau berat bisa mati seketika.
"Dimana bisa didapatkan Leng-ju-coan?" tanya Peng-say
pula.
"Di rumahku banyak sekali air begituan." jawab sia anak
laki2. "Nenek bilang, setiba dirumah segera akan diberi
minum kepada adikmu, asal saja jangan timbul maksud lari
dalam benakmu."
"Dimana letak rumahmu?" tanya Peng-say.
Anak itu menggeleng, sahutnya: "Nenek melarang
kukatakan padamu."
Peng-say menghela napas, katanya pula: Ai, entah dalam
hal apa kuperbuat salah kepada kalian?! Adik cilik, apakah
kau kenal padaku?"
"Sudah tentu kukenal, kalau tidak masakah nenek
membawaku untuk mencari kau?" jawab si anak.
"Kau kenal padaku, mengapa aku tidak kenal kau,
janganlah kau salah mengenali orang!" ujar Peng-say.
Pada umumnya anak kecil enggan mengaku salah, maka
anak kecil itupun cepat menggeleng dan menjawab: "Tidak,
tidak mungkin keliru. Kau tidak kenal diriku, soalnya kau
asyik menemani bibi sehingga tidak memperhatikan diriku."
"Bibi? Bibimu maksudmu?" peng-say menegas dengan
melongo. "Siapa nama bibimu?"
"Ai, masa nama bibi saja kau lupakan, pantas nenek
bilang kau tidak punya Liangsim (hati nurani yang baik)."
seru si anak laki-laki.
Peng-say yakin setan cilik ini pasti keliru mengenali
orang, maka dengan sungguh-sungguh dan tegas ia berkata
pula: "Adik cilik, coba, kenali diriku lebih teliti, coba amat2i
lagi lebih jelas, aku ini orang yang pesiar bersama bibimu
itu?"
"Ah, jangan kau bikin bingung padaku." ujar anak lakilaki
itu dengan tertawa, "Kemarin hanya sekali pandang
saja lantas kukenal kau sebagai orang yang menemani bibi
itu, masa bisa keliru!"
Umumnya anak kecil suka kukuh pada pendapatnya,
biarpun salah juga tidak mau mengaku.
Setelah berpikir sejenak, Peng-say ganti siasat, ia coba
main gertak, katana: "Ya, sudahlah, percuma kuribut
dengan kau. Tapi awas, hendaklah kau periksa lagi lebih
teliti, bila setiba di rumah dan bibimu mengetahui orang
kau bawa pulang ternyata keliru, nah, bukan mustahil
nenek akan membeset kulitmu."
"Tidak, pasti tidak keliru!" si anak yakin pada
pendiriannya.
Walaupun begitu, mau tak mau timbul juga rasa
sangsinya, terbayang olehnya bilamana benar dia salah
mengenali orang, bisa jadi nenek akan menghajarnya, maka
ia menjadi ragu-ragu, ia terus mengawasi Soat Peng-say dari
samping.
Tiba lohor, kereta kuda itu berhenti pada suatu tempat, si
nenek memebeli makanan dan diantar kedalam kereta serta
memberi pesan kepada anak laki-laki berbaju merah itu:
"Setan cilik, makan dulu, setelah kenyang, suapi mereka."
Pada kesempatan itu cepat Peng-say berseru: "Hei,
nenek, kalian salah mengenali orang!"
"Coba jawab, siapa namamu?" tanya si nenek.
"Soat Peng-say," kata Peng-say.
"Soat salju, Peng-nya Peng-an (selamat), Say-nya barat,
betul tidak?"
"Betul!" jawab Peng-say.
"Jika begitu jelas tidak salah lagi!" jengek si nenek.
Habis itu tanpa peduli gembar-gembor Soat Peng-say
lagi, ia kembali ke depan kereta.
Soat Peng-say mati kutu, ia termenung-menung sejenak,
kemudian ia tanya si anak laki-laki: "Orang yang pesiar
bersama bibimu itu bernama siapa?"
"Soat Peng-say," jawab si anak.
Jawaban ini membikin Soat Peng-say menjadi bingung
sendiri, ia pun tidak jelas lagi apakah dirinya memang
orang yang pernah menemani bibi si anak atau bukan.
Karena tak berdaya, percuma Peng-say kelabakan
sendirian, akhirnya iapun masa bodoh dan pasrah Allah.
Lohor hari ketiga, berhenti kereta itu di suatu tempat.
Anak laki2 itu melompat turun, tidak lama kemudian tenda
kereta lantas dibuka, datang beberapa babu muda dan
menggotong turun Soat peng-say.
Si nenek berjalan didepan, ia menjengek: ”Dan kaupun
jangan lupa menyembuhkan penyakit Siocia (tuan puteri)!"
"Menyembuhkan penyakit!" teriak Peng-say kaget, "Hei,
nenek, jangan kau keliru, aku sama sekali tidak paham ilmu
pengobatan segala, ada penyakit harus mencari tabib, bila
aku Soat Peng-say yang disuruh mengobati orang sakit,
pasti orang hidup akan berubah menjadi orang mati!"
"Setan cilik, orang hidup dan orang mati apa, mulutmu
hendaklah bicara yang bersih sedikit!" omel si nenek,
"Pokoknya kalau penyakit Siocia tidak dapat kau
sembuhkan, maka tubuhmu akan dipereteli oleh lima ekor
kuda."
Nenek ini sudah sangat tua, tapi cara bicaranya seperti
orang muda, galak dan cepat marah.
Soat Peng-say digotong ke suatu kamar dan dibaringkan
di suatu tempat tidur dengan seperai bersulam indah, waktu
tinggal pergi dan merapatkan pintu kamar, si nenek tidak
lupa memberi pesan: "Akan kubuka Hiat-to yang tertutuk
setelah kau mandi."
Peng-say pikir kebetulan, memang badan terasa lelah dan
kotor, tentu akan terasa segar setelah mandi nanti.
Tidak lama kemudian datanglah beberapa pelayan, ada
yang menyiapkan baskom mandi besar, ada yang mengisi
air, ada yang menyediakan handuk, semuanya sibuk
menyediakan peralatan mandi.
Peng-say baru kelabakan ketika pelayan pertama mulai
membelejeti bajunya, cepat ia berteriak: "He, jangan, lelaki
dan perempuan tidak boleh bersentuhan, jangan pegangpegang."
"Kalau tidak boleh pegang-pegang, cara bagaimana kami
dapat memandikan Siauya?" ujar pelayan itu dengan
mengikik tawa.
Muka Peng-say menjadi pucat, serunya: "Tidak,
kumandi sendiri, kumandi sendiri saja. . . ."
Tapi beberapa pelayan genit itu tidak menghiraukannya
lagi, mereka terus membuka semua pakaian Soat Peng-say
dan merendamnya di baskom besar itu, sudah tentu digosok
dan dipijat pula.
Jika orang lain mungkin akan gembira karena dapat
mandi dilayani perempuan2 cantik, tapi mandi Soat pengsay
ini hampir membuatnya kelengar di dalam bak mandi
itu.
Selesai mandi, Soat Peng-say berbaring pula di tempat
tidur, sambil memandangi langit-langit kelambu ia berpikir:
"Kenapa belum ada yang datang membuka Hiat-toku?"
Syukur tidak lama kemudian berkumandang suara
tindakan kaki orang di luar. Lalu terdengar si anak laki-laki
berbaju merah sedang berseru: "Nek, nenek, rasanya makin
lama makin tidak cocok. . . ."
Si nenek berhenti di depan pintu kamar dan bertanya:
"Tidak cocok bagaimana?"
"Rasanya Soat peng-say yang ini tidak sama dengan Soat
Peng-say yang itu," kata anak laki-laki baju merah.
"Tidak sama?! Dalam hal apa tidak sama?" tanya si
nenek dengan mendongkol.
"Yang ini agak lebih. . . .lebih tinggi." tutur anak itu
dengan ter-gagap2. "Cara bicaranya juga berbeda, suaranya
lebih kasar. . . ."
"Setan cilik," raung si nenek, "Jadi kau salah mengenali
orang?!"
"O, ti. . . tidak, belum. . . .belum pasti, aku cuma. .
.cuma melihatnya dua kali dan tidak. . . tidak begitu jelas. .
. ."
"Kalau tidak jelas, mengapa kau berkeras bilang pasti
dia?!" si nenek meraung gusar pula.
Kemudian leher baju anak laki-laki itu terus ditarik dan
diangkat keatas oleh si nenek sehingga anak itu berteriakteriak
ketakutan: "Jang. . . jangan, nenek, jangan. . . .jangan
membeset kulitku!"
"Katakan terus terang, dia atau bukan?!" bentak si nenek
dengan bengis.
"Iy. . .iya!" jawab anak itu.
"Bluk", nenek itu melemparkan si anak baju merah dan
meraung pula dengan gusar. "Pokoknya kalau keliru akan
kubeset kulitmu!"
"Kukira dia. . . dia agak lebih tinggian dikit. . . ." si anak
berusaha menjelaskan pula dengan takut-taku.
"Kalau cuma lebih tinggi sedikit, akan kupotong saja
kakinya." kata si nenek.
Lalu nenek itu masuk ke kamar dan bertanya: "Soat
Peng-say, coba jawab, kau benar-benar Soat Peng-say?"
"Sudah tentu benar, tanggung tulen!" jawab Peng-say
penasaran.
"Tapi Ang-hay-ji (anak merah) bilang kau agak tinggian
sedikit, apakah kau memang agak tinggi?" tanya pula si
nenek.
Peng-say menjadi kuatir orang benar2 akan memotong
kakinya, cepat ia menjawab: "O, tidak, tidak tinggi, tinggi
Soat peng-say yang tulen memang pas begini, yang palsu sih
aku tidak tahu."
Nenek itu mengangguk, katanya: "Kupercaya padamu,
masakah kau berani memalsukan Soat peng-say untuk
menipu nenek?"
"Aku memang Soat peng-say tulen, kenapa mesti
memalsu?!" ujar Peng-say dengan mendongkol.
Melihat anak muda ini bersitegang, si nenek tidak sangsi
lagi, segera ia membuka Hiat-to yang tertutuk tempo hari.
Begitu dapat bergerak, serentak Soat peng-say melompat
turun, tapi tak dapat berdiri tegak, ia jatuh tersungkur.
"Jangan terburu-buru." kata si nenek. "Ketahuailah
Tiam-hiat-hoat nenek lain daripada orang lain, setelah Hiatto
terbuka, dalam dua hari tidak dapat mengerahkan tenaga
dan juga tidak dapat mengerahkan tenaga dan juga tidak
boleh berjalan cepat."
Terkesiap Peng-say, buyarlah harapannya untuk
melarikan diri.
Agaknya si nenek dapat meraba maksud Peng-say yang
ingin kabur itu, segera ia menjengek: "Hayo ikut padaku!"
"Kemana?" tanya Peng-say.
Si nenek mendongkol, ia anggap anak muda itu sudah
tahu sengaja tanya lagi, jawabnya kemudian: "Suruh kau
ikut ya ikut saja, rewel apa lagi?"
Tiada jalan lain, terpaksa Peng-say berkata dengan
menghela napas: "Baik, ikut juga boleh, cuma ingin
kukatakan sebelumnya, aku tidak pernah belajar ilmu
pengobatan, jika aku disuruh mengobati Siocoa kalian,
mungkin orang. . . . ."
Mendadak si nenek menoleh dengan sorot mata yang
tajam, seketika Peng-say mengkeret dan kata-kata "orang
hidup akan berubah menjadi orang mati" ditelan kembali
mentah-mentah.
Si nenek mendahului keluar dari kamar serambi itu,
karena tidak mampu melarikan diri, terpaksa Soat Peng-say
mengikut pergi.
Di luar adalah serambi panjang yang mengitari rumah
besar, membelok dan berliku dan akhirnya menembus
kesuatu serambi lain yang lurus, pada ujung jalan serambi
yan ini terlihat sebuah pintu bundar, dipandang dari luar,
kelihatan beraneka warna yang semarak, mungkin di balik
pintu sana adalah taman bunga yang indah.
Setelah melalui pintu bulan itu, Peng-say mengendus bau
harum yang memabukkan, ditengah taman bunga
berwarna-warni itu berdiri sebuah rumah mungil. Jalan
yang menuju ke villa itu adalah suatu jalan kecil diapit oleh
tanaman bunga yang mekar semerbak. Untuk melalui jalan
sempit itu terpaksa harus berhimpitan dengan pohon bunga
yang rimbun.
Soat peng-say menyukai bunga yang berwarna-warni itu,
dengan pelahan ia menyiak tumbuhan yang melambai
menghadang di jalan sempit itu, ia kuatir kalau tangkai
bunga akan patah bilamana terpegang terlalu keras.
Si nenek jalan di depan, mungkin kuatir Soat peng-say
mengeluyur pergi maka terkadang dia berpaling ke
belakang. Melihat kelakuan anak muda yang kuatir
mematahkan tangkai bunga itu, segera ia mendengus: "Hm,
Siocia kami terlebih cantik dari pada bunga, bahwa kau
sayang pada bunga, tapi tidak sayang kepada Siocia kami,
hm, memangnya kau kira penghuni Leng-hiang-cay boleh
kau ganggu sesukamu?"
Peng-say terkejut mendengar istilah "Leng-hiang-cay"
atau perpustakaan harum dingin. Tapi mengingat dirinya
tidak berbuat sesuatu kesalahan apapun, ia merasa tidak
perlu gentar, segera ia bertanya: "Kau bilang apa, nenek?
Sedikitpun aku tidak paham!"
Si nenek berpaling, selagi dia hendak mendamperat, tibatiba
terdengar bunyi suara kecapi, menyusul mana
terdengar suara orang bernyanyi pelahan, jelas itulah suara
orang perempuan yang merdu. Lagunya sedih
mengharukan.
Peng-say dapat menangkap arti syair lagu itu yang
menyatakan rasa sedih karena ditinggal kekasih. Jadi
perempuan ini sedang merindukan kekasihnya. Lantas
siapakah kekasihnya, apakah lelaki itu seorang yang tidak
punya perasaan?
Selagi Soat peng-say termenung, mendadak si nenek
mendorongnya dan berkata: "Tampaknya kau masih punya
sedikit Liangsim"
Soat Peng-say melengak, jawabnya dengan bingung:
"Aku punya Liangsim apa?. . . ."
"Justeru lantaran kau tidak punya Liangsim sehingga
Siocia kami kau bikin merana, sekarang kucari kau kesini,
tujuanku supaya kau sembuhkan sakit rindu Siocia kami."
tutur si nenek dengan ketus. "Awas, jika tidak kau
sembuhkan Siocia, akan kupenggal kepalamu."
"Kalian salah mengenali orang, hakikatnya aku tidak
kenal Siocia kalian," sahut Peng-say sambil menggeleng.
"Sakit rindu itu jelas aku tidak mampu
menyembuhkannya."
"Bangsat cilik," maki si nenek, "Kau sudah mencuri hati
Siocia kami, sekarang kau bilang tidak kenal dia. Coba
kutanya padamu, masa di dunia ini ada kejadian yang
begini kebetulan. Orang itu mengaku bernama Soat pengsay,
katanya tinggal di istana Kiu-bun-te-tok di Pakkhia,
memangnya ditempat gubernur itu ada dua orang yang
punya nama sama?"
Sampai disini. Peng-say seperti memahami sesuatu, ia
tanya: "O, jadi 'Soat peng-say' itu mengaku bertempat
tinggal di istana Kiu-bun-te-tok Pakkhia?"
"Setan cilik yang tidak punya Liangsim." si nenek
mendamperat pula dengan gusar, "Masa kau melupakan
ucapannya sendiri, tapi Ang-hay-ji tidaklah lupa, dengan
jelas dia mendengar apa yang pernah kau katakan kepada
Siocia kami."
Soat Peng-say jadi teringat pula kepada keterangan anak
berbaju merah itu, ia bergumam: "Lebih tinggi sedikit?
Ehm, memang agak lebih tinggi. . . ."
Tapi si nenek tidak gubris kepada gumamannya, ia
berkata pula: "Aku tidak perdulikan kau tulen atau palsu,
pokoknya kau harus menyembuhkan penyakit Siocia, kalau
tidak, akan kupereteli tubuhmu dengan lima ekor kuda dan
kupenggal kepalamu!"
Diam-diam Peng-say menggerutu, pikirnya: "O, Cin
Yak-leng, gara-gara perbuatanmu, akulah yang kau bikin
celaka. Jika terhadap orang lain mungkin kakak Peng masih
sanggup menghadapinya, tapi memusuhi orang Leng-hiangcay,
aku menjadi mati kutu."
Di dunia persilatan jaman ini terkenal sebutan "Lam-han
Pak-cay", yaitu nama dua aliran persilatan yang sangat
disegani. Leng-hiang-cay adalah Pak-cay yang dimaksudkan
itu. Konon ilmu pedang Pak-cay tiada bandingannya di
duna persilatan, bahkan Bu-tong-pay yang termashur
selama beratus tahun karena ilmu pedangnya juga tidak
lebih hebat daripada ilmu pedang Pak-cay.
Waktu Soat Peng-say tamat belajar dan mau berpisah
dengan Tio Tay-peng, pernah Tay-peng memperingatkan
kepadanya agar jangan sekali-kali bermusuhan dengan anak
murid Pak-cay, lebih-lebih jangan pamer ilmu pedangnya
dihadapan anak murid Pak-cay, sebab Co-pi-kiam-hoat
(ilmu pedang tangan kiri) yang diajarkan itu boleh
dikatakan tiada artinya sama sekali bagi anak murid Pakcay.
Meskipun pesan itu diam-diam membikin penasaran
Soat peng-say, tapi fakta telah membuktikan dia memang
jauh bukan tandingan si nenek. Padahal nenek itu tidak
terkenal didunia Kangouw, paling-paling cuma kaum
hamba Pak-cay saja. Kalau budaknya saja selihay itu,
apalagi majikan atau ahli-waris Pak-cay?
Kini Soat Peng-say sudah tahu orang yang memalsukan
dirinya dan main roman dengan Siocia yang disebut si
nenek jelas adalah karya Cin Yak-leng. Tapi ia kuatir
bilamana hal ini diceritakan terus terang, bisa jadi dari malu
sang Siocia akan menjad marah, maka ia tidak
membicarakannya dengan si nenek, a pikir biarkan saja,
yang penting dirinya sendiri memang Soat Peng-say tulen,
apa yang akan terjadi nanti akan dihadapinya menurut
gelagat.
Maka ia tidak banyak omong lagi dan ikut si nenek
menuju ke villa yang indah itu.
Dilihatnya bagian depan villa itu, pada kanan kirinya
masing-masing ada sebuah ruangan duduk yang
menghadap ke utara, ditengahnya adalah sebuah ruangan
panjang yang menjurus keujung sana dibatasi dengan
sebuah dinding terkapur putih, kalau dipandang ke selatan
melalui lubang-lubang dinding, di dalamnya adalah sebuah
lapangan yang luas dengan macam-macam alat latihan
Kungfu, tentulah disini se-hari2 penghuni villa ini berlatih.
Soat Peng-say dibawa ke sebuah kamar yang terletak
dibelakang ruangan duduk sebelah kanan, kemudian
mendengar suara, seorang pelayan menyambut keluar dan
bertanya: "Siapa?"
Dan ketika melihat si nenek membawa seorang lelaki
yang tak dikenal, selagi pelayan itu hendak bertanya pula,
cepat si nenek mengedip dan mendesis: "Ssst. . . ."
Pelayan itu seperti menyadari sesuatu, ia mengangguk
dan bertanya dengan suara tertahan: "apakah dia ini Soat
Peng-say?"
Si nenek mengangguk perlahan dan memberi tanda agar
pelayan lain yang berada didalam kamar dipanggil keluar.
Pelayan ini tahu maksud si nenek agar Soat peng-say
dapat bertemu sendirian dengan Siocia mereka, maka
dengan mengulum senyum ia lantas berseru: "Siau Tho,
Siau Tho, lekas keluar, dipanggil Lolo (nenek)!"
Pelayan yang bernama Siau Tho itu tampak keluar,
tanpa memberi kesempatan bicara padanya, pelayan yang
pertama lantas menariknya pergi.
Segera si nenek menarik muka dan berkata kepada Soat
peng-say dengan suara tertahan: "Sekarang kuserahkan
padamu!"
Bahwa Soat peng-say diharuskan menemui seorang nona
yang belum dikenalnya didalam suatu kamar tersendiri,
betapapun ia merasa kikuk dan serba susah, cepat ia
menggoang tangan dan berkata: "Jangan. . . . . ."
Tapi si nenek tidak memusingkan apa yang dipikir Soat
Peng-say, sekali dorong, kontan Peng-say terhuyunghuyung
masuk kedalam kamar, lalu pintu kama dirapatkan.
Setelah berdiri tegak didalam kamar, Soat peng-say
meng-amat2i kamar itu. Sungguh sebuah kamar yang
sangat luas dan indah, setiap meja kursi berukir hasil karya
seni yang bernilai tinggi, rak buku yang bersusun-susun,
sebagian besar tertaruh kitab, bagian lain diberi bendabenda
antik pajangan. Dinding sekeliling kamar bergantung
lukisan dari pelukis ternama, terdapat pula kecapi dan
pedang yang bergantungan di dinding.
Jelas inilah sebuah kamar baca, manabisa kamar tidur
orang perempuan?
Hati Peng-say rada tenteram, ia coba mendekati rak
buku, selagi hendak mengambil salah satu kitab itu untuk
dibaca, tiba-tiba didengarnya sayup-sayup suara langkah
orang.
Ia coba memandang kesamping sana, tadi tak
diperhatikannya, baru sekarang dia melihat jelas kamar
baca ini ada pintu tembus kedalam sana dan suara langkah
orang berkumandang dari dalam situ.
Soat Peng-say dapat menduga siapa yang datang sini, ia
menjadi tegang, cepat ia duduk pada sebuah kursi malas
yang berada disebelahnya. Lagaknya itu mirip seorang
tamu yang sedang menunggu munculnya tuan rumah.
Dari tempat duduknya itu ia dapat melihat orang yang
bakal muncul, tapi orang yang datang itu belum pasti dapat
melihatnya dengan segera.
Sejenak kemudian, seorang perempuan muda berbaju
putih tipis melangkah keluar, rambutnya yang panjang
hitam gompiok semampir dibelakang pundak sehingga
bajunya yang memang putih kelihatan lebih putih dan
rambutnya yang hitam tampak lebih pekat. Tapi lantaran
dia merangkul sebuah kecapi sehingga mukanya tidak
kelihatan, hanya nampak potongan tubuhnya yang
semampai serta pinggangnya yang kecil.
Nona itu mendekati meja panjang yang terletak didepan
jendela dan menaruh kecapinya dengan pelahan, "cringcring",
sekenanya dia menyentil senar kecapi, lalu terdengar
dia menghela napas pelahan.
Meski si nona berdiri membelakangi Soat Peng-say
sehingga anak muda ini tidak melihat bagaimana air
mukanya, tapi dari gerak-geriknya dapat diketahuinya si
nona sedang kesal dan murung, hal ini semakin terungkap
dari helaan napasnya tadi.
Diam-diam Peng-say membayangkan betapa Cin Yakleng
telah membikin susah si nona, ia tahu sebabnya Cin
Yak-leng menyamar sebagai lelaki tidak bertujuan
mencelakai orang lain, tapi mengakibatkan nona ini terpikat
dan merindukan dia, hal ini adalah tidak pantas, mestinya
penyamarannya itu harus dijelaskan sejak mula.
Ada maksud Peng-say hendak menyapanya, tapi ia
bngung sebutan apa yang harus digunakannya, karena itu
tanpa terasa ia berdehem pelahan.
Sudah tentu nona itu tidak menduga-duga di kamarnya
ada orang lain, dengan terkejut ia berpaling. Sekarang
dapatlah Peng-say melihat wajahnya, ternyata cantiknya
luar biasa dan sukar dilukiskan. Belum pernah Peng-say
melihat perempuan secantik ini.
Sekalipun Cin Yak-leng juga cantik, tapi belum apa-apa
kalau dibandingkan nona jelita yang sekarang ini. Lebihlebih
raut wajahnya yang ke-kurus2an dan pandangannya
yang sayu, melankolis, kata orang jaman kini, sungguh
menimbulkan rasa kasih-sayang setiap orang yang
memandangnya.
Setelah melengak, kemudian si nona melihat Peng-say
yang rada-rada mirip orang yang telah mencuri hatinya, tapi
belum pernah dikenalnya, entah cara bagaimana bisa
berada didalam kamar bacanya, segera ia berkerut kening
dan menegur dengan kurang senang: "Siapa kau? Siapa
suruh kau duduk disini? Keluar, lekas keluar!"
Belum lagi Soat Peng-say memperkenalkan diri untuk
menjawab pertanyaan "siapa kau" dan baru saja terdengar
"siapa suruh kau duduk disini", menyusul lantas kata-kata
mengusir, hakikatnya Soat peng-say tidak diberi
kesempatan untuk bicara.
Tapi watak Peng-say memang sabar, biarpun oran bicara
kasar padanya, dia tetap tenang-tenang saja. Tapi orang
mengusirnya, jika tidak keluar, rasanya tidak pantas karena
dirinya masuk kesitu tanpa permisi.
Karena itulah ia lantas berbangkit, tidak terburu-buru
juga tidak pelan-pelan, lalu menuju ke pintu kamar dengan
sewajarnya.
Tapi ketika pintu terbuka, dilihatnya si nenek berdiri
menghadang ditengah pintu, Peng-say memberi tanda
dengan merangkap kedua tangannya didepan dada,
maksudnya memohon si nenek memberi jalan baginya.
Dengan kurang senang si nenek berkata: "Kenapa
disuruh keluar segerapun kau keluar?!"
Di balik ucapannya ini jelas si nenek menganggap Soat
peng-say terlalu penurut dan melupakan maksud tujuan
kedatangannya ini.
Segera Peng-say bermaksud menjawab, tapi cepat si
nenek menambahkan pula: "Masuk dulu dan bicara
belakang!"
Mendadak nona tadi berkata: "Liok-ma (mak Liok),
apakah kau sudah pikun? Tempatku ini mana boleh
sembarangan didatangi orang luar?"
Lolo atau nenek itu sejak ecil sudah menjual diri sebagai
budak di keluarga Sau, penguasa Pak-cay ini. Aslinya si
nenek she Liok, hanya sang majikan saja yang suka
memanggilnya Liok-ma, orang lain, terutama kaum hamba
tidak berani menyebutnya demikian melainkan
memanggilnya Lolo.
Sepanjang hidup Liok-ma telah melayani kakek dan ayah
sang Siocia, iapun menyaksikan kelahiran Siocia asuhannya
ini, sesudah besar, kasih-sayangnya tidak kurang daripada
ayah-bunda kandung sang Siocia sendiri.
Maka dengan tertawa Liok-ma menjawab: "Dia bukan
orang luar, dia inilah Soat peng-say!"
"Siapa bilang dia ini Soat Peng-say?" jengek si nona.
"Ang-hay-ji yang bilang begitu, ia sendiri juga mengaku
bernama Soat peng-say," ujar Liok-ma.
"Tidak nanti kupangling kepada Soat peng-say, dia ini
jelas bukan Soat peng-say," kata si nona.
Liok-ma menjadi gusar, ia meraung terhadap Soat Pengsay:
"Kurang ajar, anak busuk, jadi kau berdusta kepada
Lolo?!" Berbareng sebuah tamparan segera akan mampir di
muka Soat peng-say.
Untung pada saat itu juga mendadak seorang
membentak: "Nanti dulu!"
Liok-ma melengak dan berpaling, dilihatnya seorang
Kongcu cakap diantar datang oleh Ang-hay-ji.
Hampir saja Soat peng-say berteriak: "Adik Leng", tapi
dilihatnya Cin Yak-leng mengedip padanya serta menegur
dengan tertawa: "Ai, bikin susah kau, Toako!"
Dalam pada itu terdengar Ang-hay-ji atau si anak berbaju
merah, sedang berseru: "He, nenek, inilah Soat Peng-say
yang tulen, yang palsu itu memang benar rada tinggi
sedikit."
Entah darimana Cin Yak-leng mendapatkan seperangkat
pakaian anak sekolahan, setelah berdandan, jadilah dia
seorang Kongcu yang cakap, sambil mengebas kipas lempit
dia mendekati Soat Peng-say dengan tersenyum simpul.
Dipandang sepintas lalu Cin Yak-leng sekarang memang
rada-rada mirip Soat peng-say, waktu dia meninggalkan
rumah dan berkelana mencari anak muda itu, lantaran
namanya sendiri tidak mirip nama orang lelaki, maka
selama itu dia menggunakan namanya Soat peng-say. Dia
berkenalan dengan Siocia dari Pak-cay ini pada waktu
malam sehingga sukar dibedakan dengan jelas antara lelaki
dan perempuan. Kejadian itu sudah berselang setengah
tahun. Ang-hay-ji tidak ingat lagi dengan, maka ketika
melihat Soat Peng-say yang tulen, tanpa ayal dia bilang
inilah Soat Peng-say yang sedang dicarinya.
Padahal kalau dibandingkan, sedikitnya Cin Yak-leng
lebih pendek satu kepala daripada Soat Peng-say, tapi Anghay-
ji hanya bilang "agak lebih tinggi sedikit" saja.
Melihat Cin Yak-leng sudah dapat bergerak dengan
bebas, segera Soat Peng-say bertanya: "Apakah sudah kau
minum Leng Ju-coan?"
Yak-leng kuatir Liok-ma mengetahui siapa dia
sebenarnya, cepat ia berdehem dan memegang tangan nona
cantik tadi dengan rayuan mesra: "Enci Kim-leng, setengah
tahun tidak bertemu, sungguh sangat merindukan daku."
Siocia yang bernama Sau Kim-leng itu ingin menarik
tangannya, tapi tidak melepaskannya dengan sungguhsungguh,
ucapnya dengan menunduk malu: "Mengapa
orang itu memalsukan namamu, dia pernah apamu?"
"Dia kakakku, sesungguhnya dia inilah yang bernama
Peng-say, aku sendiri bernama Soat Yak-leng," jawab Yakleng.
"Karena nama Yak-leng terasa kurang gemilang, maka
diluaran aku menggunakan nama kakakku."
Sau Kim-leng mengangkat kepalanya dan tersenyum
kikuk terhadap Soat Peng-say, katanya: "Kiranya engkau
adalah kakaknya, silahkan masuk kemari, silahkan!"
Habis berkata ia berpaling dan memandangi Cin Yakleng
dengan mesra.
Kiranya tempo hari Cin Yak-leng menyaru sebagai
lelaki, tapi ia lupa beda antara lelaki dan perempuan, dia
bersikap mesra dengan Sau Kim-leng yang baru
dijumpainya. Tak tersangka Sau Kim-leng juga tidak dapat
membedakan mana jantan dan mana betina, ia anggap Cin
Yak-leng sebagai kekasihnya, setengah tahun berpisah, dia
jatuh sakit rindu bagi si "dia".
Kini melihat si "dia" ternyata tidak ingkar janji dan
masih ingat padanya, Sau Kim-leng tertawa senang,
ucapnya dengan lembut: "Kau ini memang pintar omong
yang manis2, katamu merindukaktu segala, padahal Siaungo
tay hanya berjarak tiga hari perjalanan dari rumahmu,
tapi sudah setengah tahun kau tidak datang menjenguk
diriku. Aku sendirikan anak perempuan dan tidak bebas
pergi mencari kau. Umpaama kuberani mencari kau,
jangan2 akan kau pandang hina pula. Yang benar akulah
yang tidak pernah lupa, tapi kau yang telah melupakan
diriku. Kalau tidak, mengapa janji tiga bulan baru sekarang
kau datang lagi?"
Ang-hay-ji masih ingusan, ia tidak tahu seluk-beluk
urusan muda-mudi, mendadak ia menyela: "Malahan
datangnya kemari harus diringkus bersama kakaknya oleh
Lolo."
Seketika Sau Kim-leng melenggong, air matapun
bercucuran, ucapnya degan tergagap: "Jadi-jadi engkau . . .
."
Cepat Cin Yak-leng berkata dengan menyengir: ”O, Cici
yang baik, janganlah marah dulu. Sesungguh aku terlalu
sibuk dan tidak sempat berkunjung kemari. Selagi aku
hendak berangkat, entah mengapa Liok-ma terus main
ringkus dan menculikku ke sini."
Liok ma menjadi curiga, pikirnya: "Yang kubawa kemari
hanya Soat Peng say, mana pernah kupaksa orang ini ikut
ke sini?" Karena itu, ia lantas mengawasi Cin Yak-leng
dengan cermat.
Tampaknya rasa menyesal Sau Kim-leng belum hapus,
katanya dengan sayu: "Jangan kau bohongi diriku lagi.
Kalian putera orang kaya dan berpangkat, biasanya tentu
tidak cukup hanya mempunyai seorang kekasih, mana
engkau menaruh perhatian terhadap perempuan gunung
macamku ini. Biarlah kukatakan terus terang dan tidak
perlu malu2, sejak berpisah, siang dan malam senantiasa
kuharapkan kedatanganmu. Asalkan mendengar orang
berjalan diluar kamar lantas kusangka kau telah datang.
Siapa tahu tunggu punya tunggu, bayanganpun tetap tak
nampak. Bilamana kuterjaga pada waktu tidur, aku lantas
menangis mengenangkan dirimu. Sampai2 Siau Tho bilang
aku ini bodoh, belum apa2 sudah sakit rindu kepada lelaki
yang baru dikenalnya."
Mendadak Liok-ma menjengek: "Hm, hakikatnya dia
bukan lelaki!"
Rupanya setelah diamat-amati sejak tadi, baru sekarang
dia mengetahui wajah asli Cin Yak-leng. Tapi Sau Kim-leng
mengira si nenek sengaja ber-olok2, maka tidak
diperhatikannya.
Melihat sang Siocia tidak percaya pada ucapannya.
segera si nenek bertanya kepada Ang-hayji: "Dimana dia
mendapatkan pakaian laki2 itu?"
Ang-hay-ji masih kecil, hakikatnya dia tidak tahu urusan
laki2 dan perempuan dan apa bedanya bagi sang bibi, maka
dengan tertawa ia menjawab secara lugu: "Menurut
perintah Lolo, kuberi minum dia sebotol Leng-ju-coan,
setelah siuman dia lantas tanya kakak Peng-nya, kubilang
Soat Peng-say telah dibawa Lolo menemai Kokoh (bibi).
Entah sebab apa, dia mendesak agar kucarikan seperangkat
pakaian anak pelajar baginya. Kuingat Sau Tiong
menyimpan seperangkat pakaian baju baru, aku tidak tahu
apakah itu pakaian anak pelajar atau bukan, tapi
kuambilkan juga pakaian itu. Selesai dia berdandan barulah
kutahu dia inilah Soat Peng-say yang sebenarya."
Sau Tiong yang dimaksudkan Ang-hay-ji adalah seorang
budak muda keluarga Sau, dia sering disuruh belanja ke
kota Pakkhia. Anak muda umumnya suka necis, dia sering
melihat kaum Kongcu berdadan dengan perlente, maka
diam2 iapun memesan seperangkat baju kaum Kongcu
tersebut, tapi belum pernah dipakainya selama ini dan
selalu disimpan saja, hal ini diketahui oleh Ang hay-ji,
maka untuk memenuhi permintaan Cin Yak-leng, dia lantas
mencuri pakaian baru Sau Tiong itu.
Keterangan Ang-hay-ji itu cukup jelas, tapi tiada sepatah
katapun membongkar penyamaran Cin Yak-leng.
Maka si nenek lantas mendesak pula: "Sebelum memakai
baju Sau Tiong ini, bagaimana bentuknya?"
"Serupa Kokoh," tutur Ang-hay ji dengan tertawa ngikik.
"Panjang rambutnya, cakap benar!"
Sampai di sini, air muka Sau Kim-leng menjadi pucat
seketika, matanya yang jeli itu menatap tajam ke tubuh Cin
Yak-leng. pandangnn yang gemas, sinar matanya itu seakan2
ingin menembus badan Cin Yak-leng
Diam2 Soat Peng-say berkuatir melihat gelagat tidak
menguntungkan, tapi seketika iapun tidak tahu cara
bagaimana memecahkan kesukaran didepan mata ini.
Cin Yak-leng tidak tahu kelihayan "Pak cay" yang
terkenal itu, ia pikir bila penyamarannya sudah terbongkar,
maka biarlah nanti dijelaskan sekalian secara terus terang,
toh bukan maksudku hendak berdusta. tapi Sau Kim-leng
sendiri yang mengira dia sebagai lelaki. Namun ia pun tahu
si nenek tidak boleh diremehkan, diam2 ia memberi tanda
kepada Soat Peng-say, maksudnya menyuruh anak muda
itu melarikan diri bilamana gelagat tidak menguntungkan.
Namun Soat Peng say menggeleng pelahan diam2 dia
mengeluh dalam hati: "Jangankan aku tidak mampu lari,
seumpama gerak-gerikku tanpa alangan apapun juga aku
tidak sanggup lolos didepan mata si nenek."
Tak tersangka Cin Yak-leng malah salah sangka, ia tidak
tahu Hiat-to Soat Peng-say baru terbuka akibat tutukan si
nenek yang lain daripada yang lain itu, dalam waktu satu
dua hari anak muda itu tidak dapat mengerahkan tenaga
dan tidak dapat berjalan cepat, ia mengira gelengan kepala
Soat Peng-say itu menyuruhnya jangan kuatir.
Sebab itulah ia lantas berkata dengan terus terang, "Cici
yang baik, kau tahu anak perempuan seperti kita ini tentu
tidak leluasa bepergian, untuk menghindari gangguan lelaki
busuk, paling baik kalau kita menyamar. Memang salah
adik, tidak kukatakan hal ini kepadamu sehingga Cici . . ."
Tidak seharusnya Yak-leng merngeluarkan suara tertawa
yang bernada geli, keruan air muka Sau Kim-leng seketika
berubah hijau, mendadak ia menarik tangannya dan
menyurut mundur beberapa langkah, saking marahnya
sampai tubuhnya gemetar, ia tuding Yak-leng dan berkata
dengan suara ter-putus?: "Kau. . . kau menipu aku dan
sekarang. . . sekarang kau meng-olok2 diriku pula. . . "
Rasa menyesal. dongkol, malu dan benci bercampur
aduk, Sau Kim-leng merasa keterus-terangannya
mengungkapkan isi hatinya tadi membuat dirinya
kehilangan muka habis-an2, serentak ia membalik tubuh
dan berlari kekamar tidurnya, tapi baru beberapa langkah ia
lantas jatuh tersungkur.
Cepat Liok-ma melayang kesana dan membangunkan
Sau Kim-leng, katanya dengan penuh kasih sayang: "Siau
Leng, jangan sampai terganggu kesehatanmu, biar Liok-ma
melampiaskan dendammu."
'Siau Leng" atau Leng cilik adalah nama kecil Sau Kimleng,
sebagai budak tiga turunan keluarga Sau, kedudukan
Liok-ma jelas berbeda daripada budak umumnya, dia selalu
memangggil Sau Kim-leng dengan nama kecil.
Setelah mendudukkan Sau Kim-leng pada sebuah kursi,
lalu Liok-ma berpaling, dengan ketus dan dingin ia berkata:
"Soat Peng say, kalian kakak beradik ingin mati dengan
cara bagaimana?"
Cin Yak-leng tidak menduga urusan akan berubah
menjadi segawat ini, ia menggeleng dan menjawab: "Liokma,
jangan kau takut-takuti orang, kesalahan kami tidak
perlu harus ditebus dengan kematian."
"Hm, kau kira anggota keluarga Sau Pak cay boleh
dihina sesukamu?" jengek Liok-ma. "jangankan Siocia kami
telah kau bikin susah sehebat ini, cukup seorang budak
keluarga Sau kau hina sudah berhalangan menghukum mati
padamu."
Cin Yak-leng berkerut hidung dan berkata "Wah, mana
begitu galak, sedikit2 lantas mau membunuh orang. Apakah
kalian tidak tahu undang-undang?"
"Undang2? Hm, si tua raja berharga berapa peser dimata
keluarga Sau Pak-cay kami?!" jengek Liok-ma.
"Ai. tampaknya kita telah ketemu bandit," ujar Cin Yakleng
sambil menjulur lidah. "Hayolah Peng koko, lekas kita
pergi saja. Jika tinggal lama disini, jangan2 akan ketularan
bau bandit!"
Dibalik ucapannya ini dia memberi isyarat kepada Soat
Peng-say agar ber-siap2 kabur saja.
Tapi Liok-ma lantas berteriak: "Pergi? Hm, kalian ingin
pergi ke mana?"
Soat Peng-say memandang keluar, dilihatnya kedua
pelayan kamar Sau Kim-leng tadi menghadang di depan
pintu, ia tahu tiada seorang anggota keluarga Sau Pak-cay
yang tak mahir ilmu silat, tapi iapun tidak bermaksud
kabur, ia malahan mendekati orang tua itu dan berkata:
"Lolo, dalam perkara ini memang salah adik perempuanku,
apakah engkau sudi memberi kelonggaran?"
"Aku cuma bertanya kalian ingin mati dengan cara
bagaimana?" jawab Liok-ma dengan ketus.
Mendongkol juga Cin Yak-leng, tanyanya: "Numpang
tanya, ada berapa macam kematian yang kau sediakan?"
"Ada kematian seberat gunung Thay dan ada kematian
seenteng bulu, ada pula kematian yang cepat dan lambat,
boleh kalian pilih," jawab Liok-ma.
Dari Tio Tay-peng pernah Soat Peng say diberitahu
bahwa "Lam-han dan Pak-cay" suka bertindak se-wenang2
dan tiada satupun yang bicara tentang aturan umum.
Karena itulah iapun sungkan untuk banyak berdebat, segera
ia bertanya: "Dari ucapan nenek ini, bolehkah kiranya kami
memilih mati seberat gunung Thay saja?"
Ia pikir, kalau dapat mati dengan gilang-gemilang, maka
cukup berharga rasanya. Cuma tidak diketahui dengan cara
bagaimana mereka menghendaki pelaksanaan kematiannya.
Apalagi inipun suatu titik perputaran, sebab Soat Pengsay
mengira Liok-ma akan menyuruhnya melakukan
sesuatu yang maha sulit sebelum membunuh mereka. Ia
pikir kalau perlu kesempatan ini akan gunakannya untuk
kabur.
Siapa tahu beginilah keterangan Liok-ma: "Jika kalian
memilih mati seberat gunung Thay, maka akan kuberi
kelonggaran kepada kalian dan menganggap kalian sebagai
manusia, mayat kalian akan kami kubur selayaknya. Kalau
tidak, kematian kalian akan berlangsung dengan penuh
penderitaan, setelah matipun kalian akan dianggap seperti
binatang dan dibuang kehutan untuk umpan anjing liar.”
Soat Peng say menggeleng kepala, katanya dengan
gegetun: "O, kiranya sama saja, akhirnya juga mati!"
"Jadi kalian ingin memilih cara yang lain?" jengek Liokma.
"Toh sama2 mati, peduli menderita atau tidak, dikubur
atau tidak, jika sudah mati segalanya habis perkara, hanya
orang tolol yang bicara tentang penguburan secara besaran2.
bila menjadi isi perut anjing liar kan semuanya
menjadi bersih malah?"
Liok-ma berbalik melengak, ia pikir anak muda ini
ternyata mempunyai kelapangan hati dan pandang
kematian sebagai sesuatu yang wajar. Mendadak, secepat
kilat telapak tangannya menabas pundak Cin Yak-leng.
Tapi selama tujuh tahun berlatih ilmu yang tertera di
Siang-jing-pit-lok ternyata tidak sia2, dengan cepat Cin Yakleng
miringkan tubuh dan mendak sedikit, "serr", tahu2 ia
sudah menyelinap lewat di bawah tabasan tangan Liok-ma.
Namun Liok-ma memang lihay, sekali menyerang tidak
kena, segera serangan lain menyusul secara ber-tubi2,
telapak tangannya membalik menjadi mencengkeram.
Yak-leng merasa gelagat jelek, bicara tentang kecepatan
jelas bukan tandingan si nenek. sedapatnya ia menggeliat
kesamping dan melangkah mundur, segera ia bermaksud
berkelit pula kesamping.
Tapi pengalaman Liok-ma sangat luas, dia se-akan2
dapat meraba setiap gerakan lawan, mendadak ia berseru:
"Bagus!"
Ternyata sebelah tangannya sudah menanti lebih dulu
pada arah yang hendak dituju Cin Yak-leng jadi si nona
seperti masuk jaring sendiri. Waktu ia merasakan ancaman
bahaya dan hendak melompat mundur, namun sudah
terlambat, tahu2 ia sudah kena dibekuk oleh si nenek.
Sekaligus Cin Yak-leng diangkat dan dikempit oleh si
nenek. "Hm, tak terduga kau juga mahir satu-dua jurus!"
jengeknya.
Karena Hiat-to dan urat nadinya terjepit. meronta sedikit
saja darah terasa bergolak dan sakitnya tidak kepalang,
terpaksa Yak leng tak berani berkutik lagi dan pasrah nasib.
Gerak serangan kedua orang tadi berlangsung. dengan
sangat cepat, hanya sekejap saja Cin Yak-leng sudah
tertawan oleh si nenek, sama sekali Soat Peng-say tidak
sempat memberi pertolongan, apalagi saat ini sebenarnya
Peng-say juga tidak sanggup menolongnya.
"Soat Peng-say," kata si nenek, "anggaplah kau seorang
jantan sejati yang tidak takut mati, tapi adikmu adalah
seorang nona yang lemah-lembut, tidak seperti orang lelaki
yang tahan siksaan. Maka sekarang juga kuharap kau
mendengarkan rintihan sebelum ajalnya."
Mana sanggup Soat Peng-say menyaksikan begitu saja
Cin Yak-leng disiksa. ia menjadi murka dan meraung:
"Kami memilih cara mati cepat saja."
"Ingin mati dengan cepat, boleh, tapi juga tidak cukup
hanya dengan sepatah katamu saja," kata Liok-ma dengan
tertawa ter-kekeh2.
Seperti domba yang akan disembelih, terpaksa Soat
Peng-say bertanya dengan sikap yang minta dikasihani,
"Harus bagaimana lagi?"
"Harus coba melayani cambukku barang seratus jurus.!"
kata Liok-ma.
"Seratus jurus? Mungkin sepuluh jurus saja tidak
sanggup!" demikian pikir Soat Peng-say.
Lantaran dengan mudah dia ditutuk roboh oleh cambuk
Liok-ma, maka Soat Peng-say menjadi kapok dan
meremehkan dirinya sendiri. Ia tidak tahu bahwa Siang-liukiam-
boat sesungguhnya bukan sembarangan iimu pedang,
berhasilnya Liok-ma merobohkan dia hanya sekali serang
saja adalah karena dia menyergapnya dari belakang,
bilamana muka berbadapan muka, sebelum ratusan jurus
Liok-ma pasti tidak mampu mengatasinya.
Karena menyangka si nenek sengaja hendak
mempermainkan dia. dengan gusar Soat Peng-say lantas
berkata: "Mau bunuh boleh lekas bunuh, kenapa engkau
sengaja mempermainkan diriku?"
"Huh," jengek Liok-ma, "malam itu tampaknya kau
begitu gagah perkasa. kedua tua bangka she Pang dan Kwa
itupun teramat tidak becus. hanya satu jurus gabungan
pedang ganda saja lantas ketakutan hingga terpaksa melolos
senjata, padahalnya, paling2 juga cuma satu jurus itu saja,
masakah kau masih ada jurus simpanan?"
Rupanya malam itu ketika Soat Peng say menghadapi
Pang Bong-ki dan Kwa Liong berdua, Liok-ma dan Anghay-
ji sudah sembunyi di balik pohon maka apa yang terjadi
dapat dilihat oleh Liok-ma dengan jelas.
Waktu itu memang betul Soat Peng-say melolos pedang
kedua, dengan jurus serangan pedang ganda itulah Pang
Bong ki dan Kwa Liong dipaksa mengeluarkan senjata
andalan mereka dan sekadar dapat menyelamatkan diri.
Bilamana Soat Peng-say melancarkan lagi jurus serangan
kedua, pasti Pang Bong-ki dan Kwa Liong akan mandi
darah.
Akan tetapi Soat Peng-say bukan orang yang kejam,
urusan apapun selalu diselesaikan secara baik2, asalkan
Pang Bong-ki dan Kwa Liong mau mundur teratur, maka
iapun tidak ingin melukai mereka, jadi bukannya tidak
mempunyai jurus "simpanan" sebagaimana dikatakan si
nenek tadi.
Namun Peng-say juga tidak membantahnya meski diolok2
bahwa dia tidak mempunyai kepandaian lain,
katanya kemudian: "Numpang tanya, apakah sekarang aku
sudah boleh memainkan ilmu pedangku?"
"O, ya, aku sampai lupa, sudah kuduga kau bukan orang
yang lemah, masa takut menghadapi cambukku? Ternyata
memang betul, bukanlah kau tidak mau, tapi tidak dapat,"
lalu si nenek berpaling kearah Ang-hay-ji dan berseru:
"Coba ambilkan sebotol Leng-ju-coan!"
Diam2 Peug-say merasa heran, kalau benar si nenek
akan membunuhnya, buat apa mesti banyak urusan lagi,
apakah dia tidak kuatir kulari setelah minum Leng ju-coan?
Tidak lama datanglah Ang-hay-ji dengan berlari
membawakan sebotol Leng-ju-coan.
"Air ini berkhasiat membangkitkan tenaga dan
menambah semangat, setelah kau minum sebotol, Hiat-to
yang terganggu akan pulih seperti semula," demikian kata
Liok-ma.
Soat Peng-say menerima dan membuka tutup botol,
tanpa sangsi ditenggaknya hingga habis, Sejenak kemudian
ia coba mengatur pernapasan dan mengerahkan tenaga.
Sebelum ini, bila sedikit mengerahkan tenaga, Kin-siok-hiat
yang tertutuk itu lantas kesakitan, tapi sekarang rasa sakit
itu hampir tidak terasa lagi. Waktu dia mengatur napas
lebih lanjut, dalam waktu singkat Kin-siok-hiat itu tiada
halangan lagi dan sembuh sama sekali hanya dengan
sebotol Leng-ju-coan saja.
Dengan lancarnya Kin-siok-hiat, Soat Peng-say dapat
mengerahkan tenaga murninya ke seluruh tubuhnya, kini
dapatlah dia memainkan ilmu pedangnya atau Ginkangnya
tanpa halangan apapun.
Segera Liok-ma berkata pula: '"Siau Tho, pergi kekamar
senjata. bawakan kedua pedang Soat-kongcu kemari."
Ternyata Liok-ma juga sungkan2 sekarang dan menyebut
Peng-say dengan 'Soat-kongcu".
Diam2 Peng-say membatin pantas kedua pedangnya
hilang, kiranya diambil dan disimpan mereka.
Tidak lama kemudian Siau Tho sudah kembali dengan
membawa sepasang pedang. Liok-ma menyuruhnya
menyerahkan kepada Soat Peng-say.
Sudah tentu Sau Kim-leng tidak tahu apa maksud tujuan
si nenek, tapi mereka menduga Liok-ma pasti ada
perhitungan. kalau tidak, jika menuruti wataknya yang
keras, sejak tadi tentu anak muda itu sudah dibunuhnya,
masakah perlu buang tenaga mengajaknya bertanding
segala.
Setelah memegang senjata yang biasa dipakainya, Soat
Peng-say merasa mantap, seumpama sekarang akan mati
terbunuh juga berharga, paling sedikit kan masih dapat
melawan dan tidak mati konyol.
Lalu Liok-ma berkata pula: "Siau Tho, bawa nona Soat
kesana."
Mereka menyangka Cin Yak-leng benar2 adik kandung
Soat Peng say, sama sekali mereka tidak tahu bahwa Cin
Yak-leng cuma omong asal omong saja, mana dia she Soat
segala.
Kepandaian Siau Tho masih cetek, dia kuatir tidak
mampu mengatasi Cin Yak-leng. maka waktu
menyingkirkan nona itu, lebih duiu ia tutuk Ciang-bun-biat
sehingga nona itu jatuh pingsan. Habis itu ia memondong
Yak-leng dan mundur ke samping Sau Kim-leng.
Terdengar Liok-ma memberi pesan lagi: "Bilamana Soatkongcu
ingin kabur, sekali hantam boleh kau hancurkan
batok kepala nona Soat!"
Sau Tho mengiakan.
Tindakan ini sungguh amat keji. Kecuali Soat Peng-say
tidak menghiraukan mati hidup Cin Yak-leng lagi, kalau
tidak, biarpun dia dapat mengalahkan Liok-ma tetap tidak
daptt menyelamatkan Yak-leng, betapapun dia tetap tak
dapat pergi begitu saja.
Peng-say bertekad akan menempur si nenek dan
berharap akan timbul keajaiban. Jika dia suruh lari
sendirian dan meninggalkan Cin Yak leng, jelas hal ini
tidak sudi diperbuatnya. Bilamana keajaiban bisa timbul,
tentu mereka berdua ada harapan akan hidup, kalau tidak,
biarpun mati dalam pertempuran juga tidak sia2 lagi.
Segera Peng-say bertanya: "Apakah disini kita
bertempur?"
Cambuk kulit Liok-ma terbelit di pinggangnya, begitu
dilepaskan, "tar, tarr", segera ia mengayun cambuknya
beberapa kali, ia menyingkirkan meja-kursi yang berdekatan
sehingga bagian tengah terluang beberapa meter persegi.
"Cukup luas tidak?" tanya si nenek dengan ketus.
-ooo0dw0ooo-
= Apa maksud tujuan Liok-ma mengajak bertanding
seratus jurus dengan Soat Peng say?
= Ada hubungan apa antara ilmu pedang tangan kiri
Soat Peng-say itu dengan keluarga Sau yang terkenal
sebagai aliran Pak-cay itu?
= Benarkah Soat Peng-say anak Tio Tay-peng?
= Bacalah jilid selanjutnya =
-ooo0dw0ooo-
Jilid 5
"Cukup," jawab Peng-say sambil menyusupkan tangan
kanan keikat pinggangnya, tangan kiri memegang pedang
yang masih bersarung itu dan terlintang didepan dada
sebagai tanda menghormat. Lalu ia menyambung pula:
"Silakan!"
Sau Kim-leng menjadi heran, Soat Peng-say membawa
dua pedang, tapi tangan kanan justeru tidak digunakan
melainkan dimasukkan pada ikat pinggang. Ia menganggap
sikap Soat Peng-say ini terlalu takabur dan suatu
penghinaan.
Liok-ma sendiri meski tidak tahu sebab apa anak muda
itu mengikat tangan kanannya, tapi ia tahu pasti bukan
maksud Peng-say meremehkan dia. Ia pikir kalau orang
memang bertangan satu masih dapat dimengerti, tapi kedua
tanganmu tiada cacat sedikitpun, namun sengaja
menggunakan satu tangan, apakah ini tidak mencari susah
sendiri?
Ia tidak tahu bahwa guru Soat Peng-say justeru cuma
bertangan satu, meski Soat Peng-say sendiri bertangan dua,
tapi akibat belajar selama lima tahun pada Tio Tay-peng,
tangan kanannya hampir kehilangan daya-guna sama
sekali, seumpama tidak diikat juga tiada gunanya, bahkan
akan menjadi pengalang malah.
Liok-ma tidak suka bicara tentang peraturan bertanding
segala, begitu Soat Peng-say menyilakan tanpa sungkan2 ia
terus ayun cambuknya dan menyabat kepinggang anak
muda itu.
Ketika cambuk hampir menyentuh tubuh Soat Peng-say.
sekejap itu sarung pedang yang berwarna hitam itupun
mencelat kesamping, belum lagi sarung pedang itu jatuh ke
lantai, sekaligus Soat Peng say sudah bergebrak tujuh atau
delapan jurus dengan si nenek, tapi setiap jurus serangannya
selalu mengincar cambuk lawan.
Dengan sendirinya Liok-ma tidak membiarkan
cambuknya ditabas Soat Peng-say, asal pedang anak muda
itu memapas, segera ia tarik kembali cambuknya dan ganti
serangan.
Namun Soat Peng-say tidak berharap akan melukai
lawan. yang diincar justeru melulu cambuk sinenek saja. Ia
tahu tidaklah mudah untuk melukai Liok-ma, jalan yang
baik adalah memapas cambuknya agar serangan si nenek
selalu gagal setengah jalan, akhirnya bukannya menyerang
lagi tapi harus bertahan. Dengan demikian seratus jurus
dengan mudah akan dicapainya.
Sudah tentu pertarungan cara begini bukan kehendak
Liok-ma, dia masih mempunyai rencana lain. Ia lihat Soat
Peng-say tidak mengeluarkan ilmu pedang yang digunakan
menghadapi Pang Bong-ki dan Kwa Liong tempo hari, tapi
melulu mengandalkan kecepatan pedangnya untuk
memapas cambuknya. Akhirnya ia menjadi tidak sabar, ia
pikir bolehlah kau papas cambuk ini jika ini yang kau
inginkan.
Maka ketika pedang Soat Peng-say menabas lagi,
seketika ujung cambuk Liok-ma terpapas satu bagian.
Pertandingan antara jago silat kelas tinggi, bila senjata
terusak, hal ini berarti kalah Tapi Liok-ma tidak terikat oleh
peraturan demikian, ia tidak mau mengaku kalah,
Cambuknya berputar semakin kencang dan selalu
mengincar Hiat-to penting di tubuh Soat Peng-say.
Ini memang bukan pertandingan, tapi pertarungan maut,
hanya ada mati atau hidup. Liok-ma tidak mau mengaku
kalah, terpaksa ia harus merobohkannya. Tapi cambuk
Liok-ma itu cukup panjang. bahkan berjaga dengan sangat
rapat, tentu tidak mudah bagi Soat Peng-say untuk
mendekatinya.
Ia pikir bilamana cambukmu kupapas sedikit demi
sedikit, akhirnya cambukmu akan terpapas habis, lalu apa
yang kau gunakan untuk bertahan?
Berpikir demikian. Soat Peng-say tidak mengeluarkan
gerakan Siang liu-kiam-hoat lagi, ia sengaja keras lawan
keras, cambuk lawan disambut dengan pedangnya, maka
setelah belasan gebrak lagi, kembali ujung cambuk Liok-ma
terpapas belasan potong.
Kini cambuk panjang si nenek yang semula lebih dua
tombak itu tersisa lima-enam kaki saja, panjangnya
sekarang hampir sama dengan pedang Soat Peng-say.
"Coba kau papas lagi cambukku!" mendadak Liok-ma
membentak.
Soat Peng-say pikir kalau cambuk lawan sudah
ditabasnya belasan kali, apa susahnya jika ditabas sekali
lagi.
Ia kuatir si nenek ada jurus serangan istimewa yang
dapat mengelakkan tabasan pedangnya, maka ketika ia
memapas pula, yang digunakan adalah satu jurus Pedang
Kiri ajaran Tio Tay-peng.
Tak terduga serangan Liok-ma tiada sesuatu perubahan
yang aneh, bahkan dengan mudah membiarkan cambuknya
ditabas pedang Soat Peng-say. Walaupun tertabas dengan
telak, tapi sekali ini cambuk tidak terpapas putus,
sebaliknya seperti menabas pada sepotong kulit tebal dan
menimbulkan suara "bluk".
Soat Peng-say terkejut, tak diduganya sedemikian lihay
Lwekang si nenek sehingga cambuk yang lemas itu dapat
dikeraskan dan tidak mempan ditabas pedang.
Karena itu, ia tahu tidak nanti pedangnya dapat menabas
putus lagi cambuk lawan, ia ingin menang dengan jurus
serangan ilmu pedang saja. Segera gerak pedangnya
berubah, ber-turut2 dimainkannya jurus ilmu pedang tangan
kiri ajaran Tio Tay-peng itu.
Soat Peng-say tidak tahu bahwa Co-pi-kiam-hoat atau
ilmu pedang tangan kiri hanya setengah bagian dari Siangliu-
kiam-hoat yang termashur.
Dahulu Soat Ih-nio dan Tio Tay-peng masing2
menemukan setengah bagian ilmu pedang dua aliran itu,
kebetulan Tio Tay-peng buntung lengan kanannya dan yang
diperolehnya juga sebagian ilmu pedang yang dimainkan
dengan tangan kiri. Sebaliknya tangan kiri Soat Ih-nio
tertabas kutung dan mendapatkan pelajaran ilmu pedang
tangan kanan.
Selama lima tahun Soat Peng-say belajar ilmu pedang
tangan kiri dan selama itu Tio Tay-peng tidak pernah
bercerita tentang saling mengutungi sebelah lengan masing2
dengan Soat Ih-nio itu, maklum, ia kuatir Soat Peng-say
akan memandang rendah perbuatannya itu, dengan
sendirinya ia tidak suKa menceritakan niat serakahnya yang
hendak mengangkangi sendiri kitab pusaka Siang-liu-kiamhoat
dahulu itu.
Selain itu Tio Tay-peng juga tidak menjelaskan bahwa
dia sebenarnya adalah ayah Soat Peng-say, ia hanya
menurunkan segenap ilmu pedang yang dipelajarinya
selama belasan tahun itu kepada Soat Peng-say. Ia pikir:
"Sehari menjadi gurunya, selama hidup seperti ayahnya.
Kalau dapat menjadi guru dan murid, untuk apa mesti
bicara tentang hubungan ayah dan anak jika akibatnya
hanya akan menimbulkan antipati si anak setelah
mengetahui perbuatannya mengutungi lengan kiri
ibundanya?"
Sudan tentu tak pernah terbayang olehnya bahwa
sesungguhnya Soat Peng-say bukanlah anaknya. Ibu Soat
Peng-say yang juga telah meninggal dunia itu mempunyai
dua tangan yang utuh dan baik tanpa kurang apapun.
Begitulah, setengah bagian Siang-liu-kiam-hoat yang
berhasil diyakinkan Soat Peng-say itu ternyata tidak mampu
mengalahkan Liok-ma, sebaliknya cambuk si nenek yang
kini tersisa pendek itu telah dimainkannya menurut ilmu
permainan pedang. Ia menusuk, menabas, menyabat,
menutul, semuanya bergaya pedang, bahkan jurus
serangannya sangat lihay, sedikitpun tidak lebih asor
dibandingkan ilmu pedang Soat Peng-say.
Ilmu pedang "Pak-cay" terkenal tiada tandingannya
didunia ini, sekarang Liok-ma menggunakan cambuk
sebagai pedang, tenaga dalamnya sangat hebat, namun
begitu permainan cambuk bergaya pedang itupun terbatas
begitu saja dan tak dapat mengalahkan Soat Peng-say.
Diam2 Peng-say heran, pikirnya: "Menurut Suhu,
katanya Co-pi-kiam-hoat tidak ada artinya bagi anak murid
Pak-cay, tampaknya sekarang hal itu tidaklah benar,
paling2 hanya dapat dikatakan selisih tidak banyak dan
tidak boleh meremehkan pihak lain."
Dalam pada itu Soat Peng-say sudah selesai memainkan
Co-pi-kiam-hoat yang meliputi 49 jurus itu. Tapi keduanya
masih tetap sama kuat.
Mereka bertempur dengan penuh perhatian tanpa
memikirkan urusan lain, orang yang menonton juga
memusatkan perhatian pada pertarungan mereka. siapapun
tidak melihat air muka Sau Kim-leng yang berubah hebat
karena keheranan itu.
Soat Peng-say bartekad harus menang, pada jurus
terakhir, yaitu jurus ke- 100, mendadak pedangnya
dilepaskan kedepan, dalam sekejap itu dia melolos pedang
cadangan yang tersanding di pundaknya. Dua pedang
bergabung dan menyerang sekaligus. Inilah jurus Siang-liukiam-
hoat ciptaan Tio Tay-peng sendiri dan mempunyai
daya serang yang sangat lihay.
Dengan jurus pedang inilah Tio Tay-peng telah
membunuh Beng Si-hian. Jurus ilmu pedang sakti ini
diturunkannya kepada Soat Peng-say. Dengan jurus pedang
ini pula Soat Peng-say telah pernah membuat kedua
gembong iblis kalangan Hek-to yang termashur di dunia
Kangouw itu terpaksa harus melolos senjata andalan untuk
menangkis dan tetap kewalahan.
Tapi sekarang. sama sekali tak terduga bahwa seorang
nenek malah dapat mematahkan jurus serangannya ini
tanpa cedera apapun.
Meski gagal serangannya, namun Soat Peng-say, tidak
patah semangat, ia membentak: "Sambut lagi satu jurus!"
Sekali ia tarik rantai yang mengikat pedang pertama, lalu
diayun lagi kedepan, pedang itu tidak sampai dipegangnya
kembali, tapi terus menusuk lagi kearah Liok-ma dari
jurusan lain. Dan pada saat pedang pertama itu menusuk,
pedang kedua menyusul menusuk juga, kembali satu jurus
gabungan kedua pedang dilontarkan. Bahkan jurus
serangan ini jauh lebih kuat daripada yang pertama tadi.
Namun Liok-ma tetap dapat mematahkan serangan lihay
ini tanpa terluka, hanya caranya rada kerepotan sedikit.
Bilamana Liok ma tidak memiliki keuletan latihan berpuluh
tahun, tentu dia sudah roboh terkapar.
Diam2 Peng-say kagum juga terhadap ketangguhan si
nenek, tapi demi kemenangan, tanpa bersuara ia
melontarkan lagi serangan gabungan dua pedang untuk
ketiga kalinya.
Daya tekanan serangan ketiga ini hampir sama dengan
gabungan kekuatan serangan pertama dan kedua tadi.
Liok-ma masih dapat mengelak, akan tetapi pergelangan
kedua tangannya sama luka tergores, inipun lantaran
kebaikan hati Soat Peng-say, kalau tidak kedua tangan si
nenek sudah terbatas kutung.
Begitu tercapai maksud tujuannya. segera Soat Peng-say
Mengembalikan pedang kesarungnya dan pedang lain tetap
terhunus, dengan gagah perkasa ia pandang si nenek dan
ingin dengar apa komentarnya.
Liok-ma hanya mendengus saja tanpa bicara, sebaliknya
Sau Kim-leng lantas berdiri dan berkata dengan agak
gemetar: "Salah, salah . . . ."
Melihat si nona bicara menghadap kearahnya. jelas
ucapan "salah'" itu ditujukan kepadanya, tapi Soat Peng-say
tidak tahu apa maksudnya, ia coba Tanya: '"Apa yang nona
maksudkan?"
Dengan lemah Sau Kim-leng berkata: "Ke ....ketiga jurus
serangan gabungan pedangmu itu tidak tepat. . ."
Sudah tentu Peng-say merasa tersinggung, jawabnya
dengan gusar: "Jika tidak tepat, harap nona suka memberi
petunjuk!"
Sau Kim-leng menggeleng, katanya: "Ketiga jurus
serangan gabungan dua pedang itu masih selisih sangat ....
sangat jauh. sama sekali .... sama sekali kacau balau." "
Sungguh tidak kepalang gusar Peng-say karena orang
berani menghina ketiga jurus ilmu pedang kebanggaan
perguruannya, ia tidak tahan lagi, bentaknya: "Lihat
serangan!" Berbareng itu pedangnya terus menusuk ke ulu
hati Sau Kim-leng
Menurut jalan pikiran Soat Peng-say, ilmu silat Sau Kimleng
pasti jauh di atas Liok-ma, makanya nona itu
memandang rendah ketiga jurus ilmu pedangnya tadi.
Karena itulah serangannya dilakukan dengan cepat dan
ganas.
Tak tersangka Sau Kim-leng sama sekali tidak berkelit
sehingga dengan tepat kena ditusuk oleh Soat Peng-say,
kontan nona itu menjerit.
Peng-say jadi terkejut dan cepat menahan serangannya,
namun begitu ujung pedang tetap masuk juga satu-dua senti
kedalam dada Sau Kim-leng.
Sama sekali Liok-ma tidak menyangka akan kejadian itu,
namun cukup cepat juga dia melakukan pertolongan,
hampir pada saat yang sama cambuknya menyabat batang
pedang Soat Peng-say. Seketika tangan Peng-say bergetar
dan tidak mampu memegangnya lagi, kontan pedang
mencelat oleh betotan cambuk dan melayang ke atas, "crat",
pedang menancap dibelandar hingga ambles lebih dari
setengah.
Menyusul cambuk Liok-ma berputar balik lagi dan
menutuk ke depan.Merasa telah menimbulkan malapetaka,
Soat Peng say menyadari nasib dirinya pasti akan celaka,
tapi iapun tidak manda menanti ajal, cepat ia melompat
mundur sambil meraba pedang dipunggungnya.
Rupanya Liok-ma benar2 menjadi murka, tutukan
pertama luput, segera cambuknya menyabat pula secepat
kilat.
Soat Peng-say juga cukup cekatan, pada saat yang tepat
pedang di punggung telah dilolosnya untuk menangkis
"Pletak", cambuk dan pedang beradu, tahu2 pedang Soat
Peng-say yang patah menjadi dua potong.
Pucat pasi muka Soat Peng say, ia tidak sanggup
bertahan lagi setelah kehilangan senjata andalannya
sedingkan serangan ketiga cambuk Liok-ma bertambah
cepat, kontan Tiong-ting hiat didada Soat Peng-say tertutuk.
Tutukan cambuk Liok-ma sangat keras, "bluk" Peng-say
jatuh terduduk dan darah segar tersembur dari mulutnya,
seketika ia tak mampu berdiri lagi.
Meski anak muda itu sudah terluka parah, namum
marah Liok-ma belum lagi reda, damperatnya: "Keparat
yang tidak tahu malu, mengapa kau menyerang gadis yang
sama sekali tak bertenaga, kau manusia atau bukan?"
Biasanya Soat Peng-say sangat disiplin terhadap dirinya
sendiri, sebaliknya suka memberi maaf kepada kesalahan
orang lain. Meski terluka parah, dengan malu ia tetap
menjawab: "Aku .... aku tidak tahu bahwa Siocia kalian
tidak mahir ilmu silat."
"Tidak tahu apa?" damperat Liok-ma. "Siocia kami serba
pintar, apa yang diketahuinya jauh diatasmu, hanya ilmu
silat saja sejak kecil tidak mau dipelajarinya."
"Untunglah lukanya tidak parah," ujar Peng-say.
Hati Liok-ma rada lega juga melihat baju Sau Kim-leng
di bagian dada hanya berlepotan darah sedikit saja, namun
ia mengira ucapan Soat Peng-say itu sengaja ber-olok2,
segera ia mendengus: "Hm. jadi kau menyesal karena tidak
berhasil membunuh Siocia kami? Hm, kulihat seranganmu
sangat keji, jika pertolonganku kurang cepat, tentu
terlaksanalah maksud tujuanmu."
Peng-say tidak mau berdebat dengan si nenek, ucapnya
dengan pelahan: "Sudah lebih seratus jurus kita bergebrak,
sekarang hendaklah kau beri kematianku dengan cepat, jika
kau ingin melampiaskan sakit hati Siociamu, silakan bunuh
saja aku dan hendaklah kau suka mengampuni adik
perempuanku."
"Jangan mimpi!" teriak Liok-ma. "Adik perempuanmu
adalah biang keladi dari semua gara2 ini dan tidak boleh
diampuni. Sebaliknya kau, sebenarnya dapat kuberi
kelonggaran padamu, tapi sekarang pun tidak dapat lagi,
kau melukai Siocia kami, dosamu tidak dibawah budak cilik
itu."
"Jika demikian, jadi kami harus mati?' tanya Peng-say.
"Ya, tiada jalan lain!" dengus Liok-ma.
Mendadak Sau Kim-leng berkata dengan suara lemah:
"'Liok-ma, coba tanyai dia dulu, jangan menakuti dia."
Untuk lebih meyakinkan, Liok-ma berpaling dan tanya si
nona: "Yang dimainkannya apakah betul Siang-liu-kiamhoat?"
Sau Kim-leng mengangguk, jawabnya: "Betul. cuma
ketiga jurus serangan gabungan dua pedang itu sudah
diubah sedemikian rupa sehingga tidak keruan. sudah
selisih jauh daripada ketiga jurus yang asli. ilmu pedangnya
boleh dikatakan kacau-balau."'
Soat Peng-say menjadi gusar pula, teriaknya: "Kau cuma
seorang perempuan lemah, apa yang kau ketahui? Ilmu
pedang Ajaran guruku masa boleh kau lukiskan dengan
kata2 kacau-balau begitu?!"
”Tutup mulut!" bentak Liok-ma. "Sekali Siau Leng
bilang ilmu pedangmu salah, maka pasti tidak betul. Bila
Siau Leng bilang ilmu pedangmu kacau-balau, maka jelas
memang kacau-balau "
"Hehe, sayangnya anda justeru kalah di bawah ilmu
pedang yang kacau balau ini!" ejek Peng-say.
Ini memang fakta. Liok-ma sendiri tahu bilamana
serangan ketiga Soat Peng-say tadi tidak memberi
kelonggaran, tentu kedua tangannya sudah buntung.
Namun dia tidak mau terima kebaikan ini.
Jengeknya: "Hm, bilamana kita bertempur betul2, coba
jawab, apakah kau sempat mengeluarkan ketiga jurus
serangan pedang gabungan begitu?"
Soat Peng-say menjadi bungkam. Apa yang dikatakan si
nenek juga betul. Bilamana mereka benar2 bertempur, tentu
kedua pedang Soat Peng-say sudah tergetar patah semua,
hakikatnya tidak ada kesempatan melancarkan ketiga jurus
serangan maut itu dan juga tidak mungkin dapat bergebrak
dengan nenek itu hingga seratus jurus.
Jadi jelas Liok-ma mampu mematahkan pedangnya sejak
tadi, dalam gebrakan seratus jurus itu, asalkan cambuk
sinenek beradu dengan pedang, setiap saat ada
kemungkinan pedang tergetar patah, namun dia tidak
mencari kesempatan itu, malahan beberapa kali pedang
beradu dengan cambuk juga si nenek tidak menggunakan
tenaga dalamnya untuk mematahkan pedang, jadi seperti
sengaja membiarkan Soat Peng-say menyelesaikan seratus
jurus Co-pi-kiam-hoatnya.
Maka sadarlah Peng-say sekarang bahwa sesungguhnya
si nenek telah memberi kelonggaran padanya. entah ada
maksud tujuannya. Dengan dahi berkerut ia coba
merenungkan arti pertanyaan Liok-ma kepada Sau Kimleng
tadi.
Begitulah didengarnya Liok-ma lagi berkata; "Lolo
sengaja memberi kesempatan bagimu memainkan seratus
jurus pedangmu agar kau dapat mati lebih enak, sekarang
seratus jurus itu sudah selesai, ingin kutanya lagi beberapa
kali, jika kau mengatakan terus terang, segera akan
kubunuh kau dengan cepat. Kalau tidak, biar kau rasakan
dulu tutukan maut dan mencicipi pula rasanja Hun-kin-cohkut
(otot keseleo dan tulang terkilir)."
Tergerak hati Soat Peng-say, baru sekarang dipahaminya
maksud tujuan orang. Segera ia mendengus: "Hm, kiranya
tujuanmu yang terakhir hanya ingin menanyai
keteranganku. Namun Cayhe bukan pesakitan mau bunuh
boleh bunuh, tidak ada yang perlu kukatakan."
"Sekarang kau tak dapat bebas lagi, meski bukan
pesakitan, jika ingin mati dengan cepat, mau-tak-mau harus
kau katakan terus terang!" damperat pula si nenek.
Dengan hambar Peng say menjawab: "Kutahu kau cuma
ingin tanya Siang-liu-kiam-hoat apa segala ingin kukatakan
lebih dulu bahwa selama ini tidak pernah kukenal nama
ilmu pedang tersebut."
"Anak busuk, bohong kau!" teriak Liok-ma.
"Percaya atau tidak terserah padamu," kata Peng say.
"Jika kau sengaja membunuh orang untuk memuaskan
hatimu, silakan turun tangan saja, bilamana Soat Peng say
berkerut kening dia bukan lelaki sejati."
Mendadak Sau Kim-leng menyela: "Numpang tanya
Kongcu, apa nama ilmu pedang tangan kirimu itu?"
"Tidak ada nama," jawab Peng-say singkat.
Liok-ma mengira anak muda itu sengaja tidak mau
mengaku, dengan gusar ia membentak: "Siau Tho, buka
Hiat-to adik perempuannya."
Setelah Ciang bun-hiat yang tertutuk itu dilancarkan. Cin
Yak-leng lantas siuman, ketike melihat Soat Peng-say
berduduk di lantai dengan dada berlepotan darah, ia
berteriak kuatir: "He, kakak Peng, kenapa kau?!"
Segera ia bermaksud memburu maju. Tak terduga Hiatto
yang satu dibuka, Hiat-to yang lain ternyata masih
tertutuk sehingga hanya dapat bicara tanpa bisa bergerak.
"Tidak apa2, adik Leng, cuma terluka sedikit, tidak
gawat jangan kuatir," kata Peng-say.
"Hm, apa yang dikuatirkannya? Kukira kau yang tidak
perlu berkuatir baginya," jengek Liok-ma Sambil
menyeringai ia lantas mendekati Yak-leng.
"Akan kau apakan dia?" teriak Peng say sekuatnya.
"Akan kucabut seluruh rambutnya bersama kulit
kepalanya," ucap si nenek dengan keji.
"Sekali kubilang tidak tahu ya tetap tidak tahu, urusan
yang memang tidak tahu cara bagaimana harus kujawab?"
teriak Peng-say dengan gusar.
Segera Liok-ma hendak mencengkeram rambut Cin Yakleng
Syukur Sau Kim-leng lantas berseru: "Nanti dulu,
Liok-ma, biarkan kutanyai dia."
Lalu ia meninggalkan kursinya dan mendekati Soat
Peng-say.
Liok-ma tahu Soat Peng-say tidak mampu berdiri, tapi ia
kuatir anak muda itu akan nekat dan melakukan serangan
terakhir untuk gugur bersama sang Siocia, maka cepat ia
memburu kesamping Sau Kim-leng untuk melindunginya.
Sau Kim-leng berdiri didepan Peng-say dengan wajah
yang melankolik, wajah yang murung dan menimbulkan
rasa kasih-sayang setiap orang yang melihatnya, katanya
dengan sayu: "Soat kongcu, jurus pertama Co-pi-kiamhoatmu
itu bernama Kiong-siang-kut-tau bukan?"
"Kiong-siang-kut-tau" atau muka melarat tulang kere
adalah kata2 makian, artinya dasar tulang melarat,
bagaimanapun tetap melarat dan tidak mungkin jaya.
Hampir dapat dipastikan didunia ini tiada orang tolol
yang mau memberi nama jurus pedangnya dengan istilah
makian itu. Cin Yak-leng menyangka Sau Kim-leng sengaja
ber-olok2 dan secara tidak langsung memaki kakak Peng
bermuka kere. Diam2 ia merasa gusar.
Tak terduga, tiba2 terdengar Soat Peng-say menjawab
dengan melengak: "Ya, betul!"
Dimaki orang, tapi malah menjawab "betul" dengan
sungguh2, Cin Yak-leng mengira anak muda itu mungkin
gegar otak karena serangan musuh tadi sehingga pikirannya
menjadi tidak waras lagi.
Terdengar Sau Kim-leng menghela napas pelahan, lalu
menyambung: "Tahukah Kongcu bahwa istilah Kiongsiang-
kut-tau adalah pemberian ayahku? Dengan nama itu,
ayah ingin menunjukkan kerendahan hatinya pada jurus
pertama ini, maksudnya ilmu pedang beliau tiada berguna,
wujudnya miskin dan mungkin akan ditertawakan orang."
Di balik ucapannya jelas dia menganggap Co-pi-kiamhoat
yang dimainkan Soat Peng-say tadi adalah ilmu
pedang ciptaan ayahnya.
Sudah tentu Peng-say tidak mau percaya begitu saja
hanya karena Sau Kim-leng dapat menebak dengan jitu
nama satu jurus ilmu pedangnya, ia menjawab: "Istilah
Kiong-siang-kut-tau berasal dari pujangga Ong Ting-po di
jaman Cunciu, nona memang terpelajar dan serba tahu,
dengan sendirinya paham istilah tersebut, tapi jika engkau
bilang istilah itu ciptaan ayahmu, hehe .. . . " dia hanya
menjengek saja dan tidak melanjutkan.
Ucapan Soat Peng-say ini tetap menyatakan tidak
percaya, bahkan bernada menyindir. Keruan muka Sau
Kim-leng menjadi merah, katanya dengan suara pelahan:
"Ah, anak perempuan pegunungan seperti diriku mana bisa
dikatakan terpelajar dan serba tahu. Numpang tanya, jurus
kedua ilmu pedang Soat-kongcu itu bernama Put-cun-kay-ti
(tidak naruh rasa sirik) bukan?"
Supaya maklum bahwa ayah Sau Kim-leng bernama Sau
Cing-in, meski wataknya aneh, eksentrik, tingkah-lakunya
angkuh dan mendekati sifat latah. namun hidupnya lebih
suka menyendiri dan tidak suka menonjolkan nama. Ilmu
pedang aliran Pak-cay sudah termashur sejak turun
temurun, sampai di tangan Sau Cing-in, karena bakat
pembawaannya yang luar biasa, Pak-cay tambah terkenal
dan berjaya, pada usia setengah baya dia berhasil
menciptakan sendiri Siang-liu-kiam-hoat atau ilmu pedang
dua saluran.
Siang-liu-kiam-hoat itu boleh dikatakan sudah mencapai
puncaknya pengetahuan ilmu pedang, tapi Sau Cing-in
tidak pernah pamerkan ilmu pedangnya itu terhadap orang
luar. Ketika untuk pertama kalinya dia perlihatkan ilmu
pedangnya itu kepada orang luar dan namanya bertambah
mengguncangkan dunia persilatan, tapi pada tahun itu juga
dia lantas menghilang hingga sekarang.
Begitulah Soat Peng-say menjadi sangsi setelah Sau Kimleng
menyebut dengan tepat nama jurus ilmu pedangnya, ia
tidak habis mengerti darimana si nona bisa tahu sejelas itu.
Dalam pada itu Sau Kim-leng telah menyambung pula:
"Dan jurus ketiga bernama Ya-jin-hian-pau (orang liar
memperlihatkan keluguannya) betul tidak!"
Saking kejut dan herannya sampai Soat Peng say tidak
sanggup bersuara, ia hanya mengangguk saja.
Lalu Sau Kim-leng berkata pula: "Dan jurus keempat
Wan-se-put kiong (main2 tanpa ikatan peraturan). jurus
kelima Tam-jian-tit-ci (menghadapinya dengan tak acuh). .
." Dia terus menyebut nama setiap jurus ilmu pedang Soat
Peng-say hingga jurus ke-49 yang bernama Ki-jik san-lim
(meninggalkan jejak di pegunungan), lalu selesai.
Nama ke-49 jurus ilmu pedang itu ternyata disebutnya
dengan jitu. keruan Soat Peng-say melenggong hingga lama
dan tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
"Bagaimana, mengapa diam saja, jangan2 hapalan Siau
Leng tidak betul?" demikian tanya Liok-ma kemudian.
"Kalau betul mau apa?" jawab Peng-say dengan
mendongkol.
"Baiklah jika kau mengaku betul," kata Liok-ma.
"Sekarang ingin kutanya suatu soal yang paling sederhana,
coba jawab, sebab apa Siocia kami dapat mengapalkan
nama setiap jurus ilmu pedangmu tanpa keliru satu
hurufpun?"
"Ini . ... ini." Soat Peng-say menjadi gelagapan.
”Tidak perlu ini dan itu, mengaku saja terus terang,
Siang-liu-kiam-hoat itu kau pelajari dari siapa?" tanya Liokma.
"Hakikatnya aku tidak tahu Siang-liu-kiam-hoat apa
segala!" jawab Peng say tegas.
"Masih bilang tidak tahu? Co-pi-kiam-hoat yang kau
mainkan itulah bernama Siang-liu-kiam-hoat!” teriak Liokma
dengan gusar.
"Kukira bukan," ujar Peng-say sambii menggeleng. "Bila
betul Siang-liu-kiam-hoat, mustahil aku tidak tahu."
"Bukan tidak tahu, tapi matipun kau tidak mau
mengakuinya!" bentak Liok-ma.
"Baiklah, anggaplah memang betul Siang-liu-kiam-hoat,
lalu mau apa?" kata Peng-say dengan mendongkol.
"Siang-liu-kiam-hoat adalah ilmu rahasia keluarga Sau
yang terkenal sebagai Pak-cay ini, tiada ilmu keluarga Sau
yang diajarkan kepada orang luar. lalu darimana kau
berhasil mencuri belajar?"
"Kukira ucapanmu kurang tepat," ujar Peng-say sambil
menggeleng. '"Cayhe mempelajari ilmu pedang ini secara
terangan dari guruku, mana boleh kau katakan mencuri
belajar segala?"
"Siapa gurumu?" tanya Liok-ma.
"Nama guruku tidak boleh sembarangan kukatakan."
"Apakah tidak berani kau katakan" ejek Liok-ma.
Soat Peng-say menjadi gusar, jawabnya: "Guruku
bukanlah pesakitan atau buronan, kenapa tidak berani
kukatakan? Soalnya aku merasa tidak perlu kukatakan
kepadamu."
"Hm, kalau gurunya maling, dengan sendirinya tak
berani kau katakan," jengek Liok-ma pula.
Tidak kepalang gusar Soat Peng-say, ia ingin
mendamperat nenek itu, tapi napas terasa sesak, terpaksa
hanya melotot saja, sorot matanya yang bengis itu se-akan2
hendak memberitahu kepada Liok-ma bahwa bilamana aku
Soat Peng-say tidak mati sekarang, pada suatu hari kelak
pasti akan kau rasakan akibat dari ucapanmu tadi!
Liok-ma lantas menjengek pula. katanya: "Hm, boleh
saja kau mendelik, memangnya Lolo takut akan kau
caplok? Biar kukatakan lagi lebih jelas, gurumu ialah
maling, dia mencuri Siang-liu-kiam-hoat keluarga Sau
kami!"
Karena tidak sanggup bersuara untuk membantahnya,
saking gemasnya hampir saja Peng-say jadi kelengar.
"Soat kongcu," tiba2 terdengar suara Sau Kim-leng yang
lembut itu, "janganlah kau marah, Liok-ma memang suka
bicara kasar dan sembarangan maki orang, engkau anggap
sepi saja."
Padahal Liok-ma sangat setia kepada majikan, malah
dianggap suka sembarangan memaki. ia menjadi penasaran
dan berseru: "Siocia, masa ucapanku tidak betul? Jika
gurunya bukan maling. mengapa tidak memberitahukan
nama ilmu pedangnya kepada muridnya, kukira anak busuk
inipun tahu gelagat tidak menguntungkan, maka sengaja
merahasiakan nama gurunya .... "
"Sudahlah, Liok-ma," sela Sau Kim-leng dengan dahi
berkerut, "Soat kongcu tidak mau sembarangan menyebut
nama gurunya, ini tanda rasa hormatnya kepada sang guru,
mana boleh sembarangan kau menuduhnya."
Kembali dianggap sembarangan menuduh orang, Liokma
hanya tersenyum dongkol, tapi iapun tidak berani
membantah lagi agar tidak didamperat majikan mudanya.
Dengan sungguh2 Sau Kim-leng lantas bertanya pula:
"Soat-kongcu, apakah gurumu sepanjang tahun suka
memakai jubah hitam?"
Peng-say tidak sampai hati menolak pertanyaan orang, ia
mengangguk dan berkata: "Ya, guruku memang suka pada
warna hitam, sepanjang tahun beliau memang memakai
jubah hitam."
Air muka Sau Kim-leng tampak berubah, ucapnya
dengan suara rada gemetar: "Apakah boleh kutanya pula,
adakah sesuatu tanda khas pada wajah gurumu?"
Liok-ma juga memandangi Soat Peng-say dengan tegang,
katanya di dalam hati: "Wah, jika gurunya adalah Cukong
(majikan) yang hilang itu, maka berarti aku telah memaki
majikan sendiri sebagai maling, dosaku ini tak dapat
kutebus dengan sekali mati saja."
Watak Liok-ma memang pemberang, mulutnya suka
'ceplas-ceplos" tanpa pikir. tak pernah terbayang olehnya
ada kemungkinan majikannya yang hilang itu yang
mengajarkan Siang-liu-kiam-hoat kepada Soat Peng-say.
Maklumlah, sudah lebih 20 tahun Sau Cing-in menghilang
sehingga harapannya untuk kembali dengan hidup
sangatlah tipis, namun begitu juga tiada seorangpun yang
dapat memastikan sang majikan telah meninggal dunia.
Setelah berpikir sejenak, Soat Peng-say menggeleng dan
berkata: "Tidak ada, muka guruku tiada terdapat sesuatu
ciri khas "
Segera Liok-ma berkata: "Coba pikirkan lagi lebih teliti,
apakah pada . . . ." dia menyuruh orang pikir lagi, tapi dia
sendiri hampir tak tahan akan menjelaskan ciri khas yang
terdapat pada wajah Sau Cing-in.
Maka cepat Sau Kim-leng mencegahnya: "Liok-ma,
jangan banyak bicara!"
Si nenek mengiakan, tapi Soat Peng-say didesaknya pula:
"Hayo anak muda, lekas pikir lagi!"
"Muka guruku memang tiada ciri khas apa2, tak perlu
kupikirkan lagi," jawab Peng-say.
"Masa di pipi kiri . . . ."
"Kau usil apalagi?!" sela Sau Kim-leng kurang senang
sebelum lanjut ucapan Liok-ma itu.
"Mungkin dia lupa maka kuingatkan dia, masa tidak
boleh?" ujar si nenek.
"Menurut ibu, ciri khas itu sangat menyolok, masa perlu
diingatkan segala?" kata Kim-leng.
Liok-ma pikir apa yang dikatakan si nona memang betul,
ia merasa dirinya sendiri yang tidak punya otak, ia
menyengir, diam2 iapun menghela napas lega karena tidak
telanjur memaki majikannya sendiri.
Peng-say jadi tertarik oleh karena pertanyaan orang yang
ber-tubi2 itu, katanya kemudian, "Memangnya nona
menyangka guruku ada hubungan apa2 dengan anggota
keluargamu?"
Sau Kim-leng menggeleng. jawabnya: "Tidak, akulah
yang salah sangka. Cukup dari ketiga jurus serangan
gabungan kedua pedangmu saja jelas berselisih sangat jauh,
sedikitpun tak mungkin terjadi."
Mendadak Soat Peng-say mendengus.
Sau Kim-leng sangat pintar dan cerdik, ia tahu kata2nya
barusan telah menghina kehormatan guru orang, cepat ia
minta maaf: "Ucapanku tadi tidaklah sengaja, harap
Kongcu jangan marah "
Karena orang mau minta maaf, hati Peng-say menjadi
lemas, dengan ramah iapun menjawab: "Ah, tidak apa2."
Melihat anak muda itu bersikap baik pada Sau Kim-leng,
Cin Yak-leng menjadi sirik, mendadak ia menjengek: "Hm,
apabila ada orang berani menghina guruku, andaikan tak
dapat kutampar mukanya. sedikitnya juga akan kudamperat
dia, kalau tidak sia2 belaka budi kebaikan Suhu yang telah
mendidik kita selama ini."
"Jika kau mampu, boleh coba kau mendamperat!" ujar
Liok-ma.
"Bukan guruku yang dihina, tidak perlu kuikut campur,"
jawab Yak-leng.
"Untuk menghina gurumu apa susahnya?" ujar Liok-ma.
"Nah. dengarkan, gurumu mirip genderuwo, siluman rase,
perempuan bawel."
Cin Yak-leng tertavva ter-kekeh2 geli malah.
Liok-ma jadi melengak sendiri, tanyanya: "Kenapa kau
tertawa, kau tidak balas memaki?"
"Hihihi, malahan harus kupuji kepintaranmu
memberikan istilah2 bagus itu, mana boleh kumaki kau,"
kata Yak-leng.
Liok-ma menyangka Cin Yak-leng takut mati, maka
tidak berani memakinya, segera ia menjengek; "Huh, tak
berguna!"
"Adik Leng bukankah nona yang tak berguna," tiba2
Peng-say menimbrung.
"Kalau berguna, mengapa dia tidak ambil pusing
gurunya dimaki orang?" jengek Liok-ma pula. "Huh. jelas
dia takut kuhajar dia, makanya dia ter-tawa2 padaku."
"Adik Leng tidak punya guru, dengan sendirinya dia
tidak ambil pusing," kata Peng-say.
"Mustahil dia tidak punya guru," kata Liok-ma. "Jelas
dia anak murid Bu-tong-pay, memangnya kau kira aku
tidak tahu?"
Dari gerak tubuh Cin Yak-leng tadi Liok-ma mengetahui
nona ini anak murid Bu-tong-pay, menurut peraturan
perguruan Bu-tong, guru lelaki tidak mengambil murid
perempuan dan guru perempuan tidak menerima murid
lelaki. Jika Cin Yak-leng benar mempunyai Suhu, maka
Suhunya pasti seorang Tokoh (pendeta perempuan agama
Tao).
Tapi Soat Peng-say lantas menjelaskan: "Ilmu silat adik
Leng memang berasal dan Bu-tong-pay. tapi dia bukan
murid Bu-tong."
Dengan sendirinya Liok-ma tidak tahu ilmu silat Cin
Yak-leng itu diperoleh dari hasil renungan, sendiri dari kitab
pusaka Siang-jing-pit-lok yang dipinjamnya dari Soat Pengsay
itu, dia mengira anak muda itu sengaja membela adik
perempuannya. maka dia lantas menjengek pula: "Huh. aku
tidak percaya."
Soat Peng-say hendak bicara lagi tapi Cin Yak-leng
lantas menyela: "Sudahlah kalau dia tidak percaya."
Dalam hati si nona diam2 menyesal atas kata2-nya tadi
yang menusuk perasaan itu. padahal kakak Peng telah
membelanya setulus hati ketika orang memakinya tak
berguna Karena pikiran ini, dengan penuh rasa terima kasih
ia memandang ke arah Soat Peng-say.
Kelakuan Cin Yak-leng ini telah dilihat oleh Sau Kimleng,
diam2 ia merasa curiga: "Aneh, mengapa dia
memandang kakaknya sendiri dengan sorot mata yang
mesra begitu?"
Hanya perempuan sendiri yang paling memahami hati
perempuan, asalkan sinar mata pihak lain ada sesuatu
perubahan yang aneh. segera dia paham isi hatinya Sau
Kim-leng menyangsikan Cin Yak-leng pasti bukan adik
perempuan kandung Soat Peng-say, makanya nona itu
memandang Peng-say dengan sorot mata yang menyangkut
hubungan mesra antara lelaki dan perempuan.
Rasa sangsi ini disimpannya dalam hati, mungkin dia
merasa lelah berdiri, maka ia duduk dikursi yang terletak
disebelah Soat Peng-say, lalu berkata: "Soat-kongcu. ayahku
menghilang pada lebih 20 tabun yang lalu, tadi aku
menyangka gurumu mungkin ayahku, tapi sekarang setelah
kupikirkan lagi. hal ini memang tidak mungkin."
"Guruku bernama Tio Tay peng," tanpa ditanya
sekarang Soat Peng-say bicara urus terang.
Sau Kim-leng berdiri dan memberi hormat, katanya:
"Terima kasih atas keterangan Kongcu ini. Ayahku Sau
Cin-in, jelas bukan orang yang sama dengan gurumu, tapi
Co-pi-kiam-hoat ajaran gurumu itu...." dia merandek
sejenak, lalu menyambung dengan rasa menyesal: "maaf.
Co-pit-kiam-hoat itu jelas adalah Siang-liu-kiam-hoat.
Ciptaan ayahku."
"Hal ini masih harus dibuktikan lagi lebih lanjut, untuk
sementara ini Cayhe tidak dapat menerima pernyataan
nona ini," jawab Peng-say.
Bibir Sau Kim-leng yang merah dan mungil itu bergerak2,
seperti mau bicara lagi. tapi urung.
"Ada urusan apa, silakan nona bicara saja." ujar Pengsay.
Sau Kim-leng memang nona pemalu, mestinya ia ingin
tanya dimana tempat tinggai guru Soat Peng-say, tapi dia
kuatir disemprot orang, maka tak berani dikemukakannya.
Liok-ma tahu isi hati sang Siocia. segera menukas:
"Dimana tempat tinggal gurumu?"
Sebenarnya Soat Peng-say cukup menghormati orang tua
semacam Liok-ma, sejak tadi iapun memanggilnya "Lolo"
atau nenek, tapi sekarang ia malas menggubrisnya, ia pura2
tidak tahu pertanyaan orang tua itu.
Merasa diremehkan, segera Liok-ma hendak mengumbar
marahnya lagi, tapi tidak jadi. Ia pikir anak muda ini hanya
boleh diperlakukan secara halus dan tidak mau dihadapi
dengan sikap keras. jalan paling baik sekarang adalah
berunding secara damai dengan dia. Maka ia lantas
menoleh dan berkata: "Siau Tho, lepaskan Hiat-to nona
Soat."
Diluar tahu Soat Peng-say. diam2 si nenek mengedipi
Siau Tho pula. Pelayan itu tahu apa artinya itu, waktu dia
membuka Kim-sok-hiat, seperti tidak sengaja sikutnya
menyodok pelahan pula Leng-tay-hiat di tubuh Cin Yakleng.
Hiat-to yang tersebut belakangan ini adalah Hiat-to
mematikan. bila tertutuk tepat bisa binasa seketika. sedikit
tersodok juga akan mengakibatkan kepala pusing dan
semaput. Siau Tho menyikut dengan pelahan, seketika Yakleng
merasa kepalanya pening dan sekujur badan tak
bertenaga. Sudah tentu Siau Tho tidak melepaskan Cin
Yak-leng, ia pura2 menyilakan duduk si nona dan
memayangnya berduduk di suatu kursi.
Karena kepala pening dan badan lemah, Cin Yak-leng
jadi mengantuk dan ingin tidur saja. sedapatnya ia bertahan
diatas kursi.
Diam2 Liok-ma memuji kecekatan bekerja Siau Tho, ia
sengaja berseru kaget: "He, air muka nona Soat seperti
kurang sehat. lekas membawanya mengaso kekamar tidur
Siocia."
Cin Yak-leng tidak tahu telah dikerjai orang, dalam
keadaan pening ia berkata: "Kakak Peng, aku ....aku tidak
enak badan . . . ."
"Ya, lekaslah pergi tidur sebentar," ujar Peng-say dengan
penuh perhatian.
Siau Tho lantas membawa Cin Yik-leng kedalam kamar.
Setiba disana, kuatir si nona akan cepat sadar kembali.
segera ia menutuk pula Kin-sok-hiat serta Hiat-to yang
membuatnya bisu.
Sekarang umpama Hiat-to Cin Yak-leng yang tertutuk
tadi dapat terbuka sendiri, tapi jelas tak dapat bergerak dan
bicara lagi. Dengan sendirinya Soat Peng-say tidak tahu apa
yang terjadi, ia menyangka Yak-leng sedang tidur didalam
kamar. Diam-diam dia merasa sangat berterima kasih atas
kebaikan Liok-ma yang menyuruh Siau Tho membawa
Yak-leng ke kamar.
Lalu Liok-ma berkata dengan tersenyum kepada Pengsay:
"Biarpun aku tidak paham Siang-liu-kiam-hoat, tapi
pernah kulihat Loya (tuan besar) berlatih maka sedikit aku
masih ingat caranya, sebab itulah ketika Soat-kongcu
menghajar Peng dan Kwa tempo hari, segera aku tertarik
oleh ilmu pedangmu. Pertama demi menyembuhkan sakit
rindu Siocia. selain itu juga untuk dibuktikan sendiri oleh
Siocia akan ilmu pedangmu, terpaksa kuserang mendadak
dan membawa Kongcu ke sini."
Didepan Sau Kim-leng si nenek bicara tentang sakit
rindunya, tentu saja Kim-leng malu dan menunduk, ia ingin
mengomeli si nenek, tapi tidak enak karena hadirnya Soat
Peng-say.
Cara bicara Liok-ma memang tanpa tedeng aling2,
segera ia mencerocos lagi: "Tak tersangka orang yang
dirindukan Siocia kami bukanlah kau melainkan. . . ." "
Sampai disini, Sau Kim-leng tidak tahan lagi, ia sengaja
berdehem perlahan.
Baru sekarang Liok-ma melihat air muka sang Siocia
yang kurang senang itu, dia bukan orang bodoh, maka cepat
ia putar haluan dan menyambung pula: "Sudahlah, hal ini
tidak perlu kukatakan lebih banjak Hanya satu hal, coba
Kongcu pikir. apakah orang tidak mendongkol, sudah lama
ayah Siocia tak diketahui jejaknya, ibunda meninggal dunia
pula, Siocia hidup sebatangkara. semua ini sudah cukup
membuatnya sengsara dan harus dikasihani. tapi sekarang
dia terhina pula. Kalau menuruti watakku, betapapun harus
kubunuh kau dan adik perempuanmu untuk melampiaskan
dendam Siocia."
Dengan kurang senang Sau Kim-leng berkata: "Ai, buka
mulut bunuh orang, tutup mulut bunuh orang, sifat Liokma
yang pandang jiwa manusia seperti tak berharga ini
harus diubah."
"Hm, jika bukan sifatku yang keras ini, apakah Lenghiang-
cuy dapat bertahan sampai sekarang!" ujar Liok-ma.
Apa yang dikatakannya memang bukannja tidak
beralasan. Semenjak menghilangnya Sau Cing-in, ibu Sau
Kim-leng lantas keluar rumah mencari kesegenap pelosok
tanpa berhasil. Sau-hujin (nyonya Sau) dan Sau Cing-in
hidup rukun bahagia, hilangnya suami dalam beberapa
tahun saja telah membuat nyonya yang baru berumur 40-an
itu tampak lebih tua belasan tahun.
Akhirnya segala petunjuk yang mungkin dapat
menemukan Sau Cing-in putus asa sama sekali, Sau-hujin
jatuh sakit dan masih bertahan hingga beberapa tahun,
waktu meninggal, umur Sau Kim-leng baru sebelas tahun.
Selagi Sau-hujin masih hidup, sementara orang persilatan
yang berniat jahat masih jeri terhadap nyonya rumah itu
dan tidak berani menyatroni Leng-hiang-cay, tapi begitu
Sau-hujin wafat, orang2 jahat itu sama mengincar kitab
pusaka ilmu silat keluarga Sau, begitu pula kekayaannya
yang tertumpuk selama turun-temurun.
Dalam keadaan begitu di rumah keluarga Sau hanya
Liok-ma saja yang ilmu silatnya cukup memadai untuk
menghadapi para penyatron itu, dia melanggar pantangan
membunuh secara besar2an. setiap pengacau yang datang,
hampir sembilan di antara sepuluh orang yang binasa di
bawah cambuknya. Terkadang ada kaum pelancongan yang
tidak sengaja lalu di Leng-hiang-cay juga telah menjadi
korban keganasan Liok-ma, sampai akhirnya Ngo-tay-san
yang terkenal indah permai itu putus oleh kunjungan
wisatawan.
Tapi setelah Liok-ma berhasil membinasakan beberapa
gembong iblis penyatron itu, namanya lantas disegani
sehingga kawanan perusuh tidak berani mengincar Lenghiang-
cay lagi. Sebaliknya nama Leng-hiang-cay masih
tetap gemilang di dunia Kangouw. nama Pak cay tidak
tercemar sedikit pun oleh karena hilangnya Sau Cing-in,
setelah Sau-hujin Wafat juga Pak-cay tetap berjaya.
Kalau Liok-ma menonjolkan jasanya itu, siapapun tidak
berani menyangkalnya. Apalagi tujuan utama Liok-ma
adalah untuk melindungi keselamatan Sau Kim-leng, hal ini
cukup diketahui si nona, maka biarpun kata2 Liok-ma tadi
agak kaku dan kurang hormat, terpaksa Sau Kim-leng diam
saja.
Betapapun Liokima memang budak tua yang setia,
setelah mengucapkan kata2 tadi, ia menjadi kuatir si Siocia
akan tersinggung. cepat ia berkata pula dengan tersenyum:
"Siau Leng, kutahu kau paling anti kubunuh orang. Baiklah.
mulai sekarang, kecuaii terpaksa, aku berjanji takkan
membunuh orang lagi. Seperti halnya sekarang, lepas dari
kebiasaanku, akan kuampuni jiwa Soat-kongcu dan adik
perempuannya."
Kesempatan itu tidak di-sia2kan oleh Soat Peng-say,
cepat ia menanggapi: "Jika begitu. Cayhe dan adik Leng
harus mengucapkan terima kasih kepada kemurahan hati
Lolo."
Tapi mendadak si nenek menarik muka pula, katanya:
"Jangan buru2 berterima kasih segala. ucapanku belum lagi
habis. Sekarang setelah Siau Leng membuktikan ilmu
pedangmu adalah Siang-liu-kiam-hoat, maka melalui
dirimu kami ingin cari tahu mengenai jejak Loya kami."'
Peng-say menggeleng, jawabnya: "Sekarang belum dapat
dipastikan ilmu pedang tangan-kiriku ini adalah Siang-liukiam-
hoat, untuk ini masih harus diselidiki dan dipelajari
lebih lanjut."
"Harus dipelajari bagaimana?" tanya Liok-oia.
"Cara yang paling sederhana adalah minta Siocia kalian
memainkan ke 49 jurus Co-pi-kiam-hoatku yang diapalkan
olehnya tadi, jika dia dapat memainkannva dengan tidak
salah sedikitpun barulah aku mau percaya."
"Jika tidak?" tanya Liok-ma.
"Jika tidak, maka jelas cuma nama jurusnya saja yang
sama, tapi prakteknya berbeda," jawab Peng-say. "Maka
Co-pi-kiam-hoat ajaran guruku tak dapat dikatakan sebagai
Siang-liu-kiam-hoat segala, pula, kalianpun tidak perlu
mencari tahu jejak Sau-locianpwe melalui diriku."
"Tapi kau mesti tahu bahwa Siocia kami hakikatnya
tidak mahir ilmu silat," kata Liok-ma.
"Jika begitu, mengapa dia dapat memastikan ilmu
pedangku sebagai Siang-liu-kiam-hoat?" Peng-say balik
bertanya.
"Sejak masih kecil Siocia sudah senang melihat Hujin
berlatih ilmu pedang yang sakti ini. sebab itulah Siocia
dapat mengingatnya dengan baik." tutur Liok-ma. "Apakab
permainan ilmu pedangmu betul atau salah. sekali pandang
saja Siocia akan segera tahu, misalnya ketiga jurus serangan
gabungan kedua pedangmu tadi dikatakannya salah besar.
Aku jadi ingat kejadian dahulu, pernah kuragukan
kelihayan kedua pedang Loya, aku sengaja mohon petunjuk
kepada beliau. Siapa tahu, hanya satu jurus Siang-liu-kiamhoat
saja aku telah dikalahkan oleh Loya, tidak seperti kau.
harus tiga jurus baru dapat melukai tanganku."
"Latihanku masih cetek, dengan sendirinya tak dapat
dipersamakan dengan Sau-locianpwe," kata Peng-say.
"Siang-liu-kiam terdiri dari: satu kanan satu kiri, satu
depan satu balik, satu Yang (positip) satu Im (negitip),
bilamana jurus serangannya dilontarkan, tak peduli kuat
atau lemah tenaga lawan, asalkan lawan tidak mampu
mematahkannya dengan Kungfu yang lebih tinggi, maka
dia pasti akan terluka tanpa ampun."
"Satu kanan satu kiri?" demikian Peng-say bergumam
sendiri.
"Ya," Liok-ma mengangguk. "Kau mempunyai tangan
kanan. tapi tidak digunakan, sungguh si tolol nomor satu di
dunia ini. Akan tetapi, kalau dipikir lagi, percuma juga
andai kan tangan kanan kau gunakan, sebab Siang-liu-kiam
yang kau mainkan hakikatnya tidak betul. Padahal kalau
betul, cukup satu jurus saja dapat kalahkan diriku, buat apa
mesti bergebrak hingga seratus jurus, lebih2 tidak mungkin
pedangmu tergetar patah oleh cambukku."
"Apakah .... apakah karena Siang-liu-kiam-hoat yang
tulen tidak mungkin ada kesempatan bagimu untuk
menggetar patahkan pedangnya?" tanya Peng-say.
"Ya, sebab bila aku ingin menggetar patahkan pedang
lawan, betapapun cambukku harus beradu dengan pedang
lawan, tapi kelihayan Siang-liu-kiam-hoat justeru terletak
pada kelincahannya sehingga tidak memberi kesempatan
kepada lawan yang bertenaga dalam lebih kuat untuk
menyentuh kedua pedangnya itu. Sebab itulah, bilamana
kedua pedang sudah dimainkan, biarpun lawan yang punya
Lwekang tinggi juga tidak dapat menarik keuntungan
sedikitpun."
"Oo. . .jika begitu, bila kumainkan Siang-liu-kiam-hoat
dengan betul, hakikatnya cambukmu tidak mungkin dapat
menyentuh pedangku?" tanya Peng say.
"Memang," jawab Liok-ma "Jika sampai tersentuh, lalu
terhitung ilmu pedang macam apa Siang-liu-kiam-hoat bila
semudah itu pedangnya akan tergetar patah oleh musuh."
"Ilmu pedang yang kumainkan ini memang bukan Siangliu-
kiam-hoat yang maha hebat itu, makanya kau dapat
menggetar patah pedangku," ucap Peng-say dengan tertawa.
"Lolo, ucapanmu dan Siocia kalian memang betul, yang
kumainkan ini hakikatnya bukan Siang-liu-kiam-hoat
segala, dibandingkan ilmu pedang sakti inipun selisih sangat
jauh juga kacau balau cara permainanku, maka hendaklah
kalian jangan lagi mengatakan Co-pi-kiam-hoat ku ini
adalah Siang-liu-kiam-hoat."
Liok-ma jadi melengak, pikirnya: "Ucapannya ini juga
ada betulnya." — Tapi setelah direnungkan lagi, mendadak
ia menggeleng dan berkata pula: "Tidak. tidak tepat!"
"Apa alasanmu?" tanya Peng-say.
Kiranya ilmu pedang keluarga Sau yang terkenal dengan
Pak-cay ini berjumlah belasan macam dan setiap macamnya
tergolong ilmu pedang kelas satu di dunia persilatan, lebih2
tiga macam ilmu pedang diantara belasan macam itu adalah
ilmu pedang khas yang tidak diajarkan kepada orang luar
terkecuali keturunan lurus keluarga Sau. Dan Siang-liukiam-
hoat diciptakan oleh Sau Cing-in dengan memetik
intisari dari ketiga macam ilmu pedang tadi.
Menurut aturan, Siam-liu-kiam-hoat inipun hanya
dipelajari oleh keturunan langsung keluarga Sau, lantaran
Liok-ma adalah kaum budak saja, dengan sendirinya satu
jurus saja dia tidak pernah belajar.
Akan tetapi Liok-ma pernah menyaksikan latihan Sau
Cing-in, Soat Peng-say tanya apa alasannya, dia memang
tak dapat memberi jawaban yang tepat, tapi ia lantas
berkata: "Co-pi-kiam-hoat-mu itu pasti Siang-liu-kiam-hoat,
kalau tidak masakah sekali pandang saja kurasa sudah
pernah melihatnva."
"Kalau diputuskan begitu saja berdasarkan sekali
pandang saja, kukira caramu ini hanya ingin menang
sendiri," ujar Soat Peng-say sambil menggeleng.
"Kuingat Siang-liu-kiam-hoat yang dimainkan Loya
sekaligus. menggunakan dua pedang kanan dan kiri,
mungkin karena kau cuma menggunakan tangan kiri saja,
maka tampaknya mirip, namun tak dapat mengeluarkan
daya serangan yang ampuh," demikian tutur Liok-ma.
"Tapi kalau kedua tanganmu sekaligus memainkan pedang,
mungkin caramu akan serupa Loya dan mengalahkan
diriku dengan satu jurus saja."
"Hakikatnya tangan kananku tak dapat kugunakan," ujar
Peng say. "Seumpama kupaksakan tangan kanan
memainkan ilmu pedangku, paling2 juga sama seperti dua
Soat Peng-say menghadapi seorang Lolo, coba pikir,
apakah Lolo tidak mampu menangkis satu jurus serangan
dari dua orang Soat Peng-say macamku ini?"
Liok-ma berpikir sejenak, katanya kemudian sambil
menggeleng: "Ya, tidak dapat, biarpun sepuluh orang Soat
Peng-say maju sekaligus juga tak dapat mengalahkan aku
dalam sejurus saja."
"Kalau begitu, maka persoalannya menjadi jelas sudah,"
kata Peng-say dengan tertawa. "Berhubung Co-pi-kiam-hoat
yang kumainkan tadi bukan Siaug-liu-kiam-hoat, maka
tidak dapat kukalahkan kau dalam sejurus. Lolo, berkat
kemurahan hatimu jiwaku telah kau ampuni. Sekarang jelas
Cayhe tiada sangkut-pautnya dengan Siang-liu-kiam-hoat,
juga jejak Loya kalian tak dapat ditemukan melalui diriku.
maka kumohon kalian jangan bertanya lagi dan sukalah
melaksanakan janjimu tadi."
"Maaksudmu supaya kubebaskan kalian kakak beradik?"
tanya Liok-ma dengan menarik muka.
"Itulah yang kuharapkan meski tidak berani kuminta,"
jawab Peng-say.
"Janjiku hanya mengampuni jiwa kalian, tapi tidak
kukatakan akan membebaskan kalian, ujar Liok ma.
"Tidak kau bebaskan kami juga tidak menjadi soal,
adalah beruntung dapat menjadi tamu Pak-cay yang
termashur ini," kata Peng-say dengan tersenyum.
"Hm, jika begitu kalian kakak-beradik boleh tinggal
selama hidup di Leng-hiang-cay sini," jengek Liok-ma.
Terkesiap juga Peng say, katanya: "Pemandangan alam
disini indah permai, tinggal selama hidup di sini juga boleh,
tapi bila maksud tujuan Lolo menahan kami disini hanya
untnk mencari tahu jejak Sau-locianpwe, maka harapan
kalian kukira takkan terkabul."
Liok-ma meloncat keatas dan mencabut pedang yang
menancap dibelandar tadi, lalu sepotong demi sepotong
pedang itu dipatahkannya sambil berkata: "Tamu selama
hidup dipenjara, apakah sekiranya kalian juga sanggup
bertahan?"
Tindakan ini mangandung ancaman. namun Soat Pengsay
hanya mendengus saja dan tidak menanggapinya pula
Seketika suasana jadi beku dan sukar didamaikan.
Sau Kim-leng yang mendengarkan sejak tadi mendadak
berkata sambil menghela napas panjang: "Bilamana dapat
kutunjukkan bahwa Co-pi-kiam-hoat Soat-kongcu ini pasti
Siang-liu-kiam-hoat ciptaan ayahku, apakah nanti Kougcu
mau percaya?"
"Untuk itu nona harus memainkan satu jurus demi satu
jurus dari seluruh ke-49 jurus Co-pi-kiam-hoat ini," jawab
Peng-say tegas.
Sau Kim-leng menggigit bibir dengan giginya yang putih
rajin itu, lalu berkata: '"Baik, akan kulakukan sekuat
tenaga!"
"Jangan!" mendadak Liok-ma mencegah.
"Kenapa jangan?" ujar Kim-leng dengan tersenyum getir.
"Memang tidak salah ucapan Soat-kongcu, bilamana
kutahu apa yang disebut Siang-liu-kiam-hoat, kalau tak
dapat kumainkan sendiri, jelas orang lain tidak mau
percaya." — Dia memberi tanda agar Liok-ma tidak
merintangnya, lalu ia memanggil pelahan: "Siau Li, coba
ambilkan pedang di dinding itu."
Pelayan lain yang sejak tadi menunggu diluar pintu
kamar mengiakan dan melangkah masuk pedang hiasan
yang tergantung didinding sana diambilnya serta
diangsurkan kepada Sau Kim-leng.
Bagian-13
Setelah memegang pedang ringan itu, Kim-leng berkata
pula: "Soat-kongcu, ke-49 jurus Co-pi-kiam-hoat itu tak
dapat kumainkan dengan lengkap."
"Sejak kecil nona tidak belajar silat, dengan sendirinya
yang dapat kau ingat sangat terbatas," ujar Peng-say. "Tapi
kalau dapat kau mainkan sepuluh jurus dengan tepat, maka
akupun percayalah."
Dengan pedang terhunus Sau Kim-leng lantas maju
ketengah ruangan yang sudah bebas dari perabot itu, ia
pasang kuda2 menurut ajaran ibunya.
Selagi dia hendak memutar pedangnya menurut
ingatannya, mendadak Liok-ma berseru: '"Siau Leng...."
Namun Sau Kim-leng tidak menghiraukannya, dia mulai
memainkan ilmu pedang itu dengan jurus "Kiong-siang-kuttau".
Setiap jurus yang dimainkannya sangat lambat,
tampaknya tiada sedikitpun daya serangan. namun gaya
gerakannya serupa benar dengan permainan Soat Peng-say
tadi. Baru lima-enam jurus saja, meski tepat permainannya,
namun butiran keringat sudah mulai merembes di dahinya.
"Sudahlah, cukup, cukup . . . ." seru Liok-ma, suaranya
kedengaran cemas dan kuatir, se-akan2 bila Sau Kim-leng
melanjutkan permainan pedangnya segera akan tertimpa
bencana.
Tapi demi untuk meyakinkan Sou Peng-say, Sau Kimleng
tidak mau berhenti.
Karena tak dapat mencegahnya. cepat Liok-ma
mendekati Peng-say dan berkata: "Lekas kau suruh dia
berhenti!"
Namun Soat Peng-say tidak menggubrisnya.
Dilihatnya Sau Kim-leng telah mandi keringat ketika
bermain sampai jurus kedua belas. Hal ini membuat Soat
Peng-say tidak mengerti. Ia pikir, biarpun perempuan yang
paling lemah juga takkan lelah memainkan ilmu pedang
yang tidak disertai tenaga dalam ini.
Pada saat itulah mendadak terdengar Liok-ma berseru
padanya: "Jika tidak lekas kau minta dia berhenti, sebentar
bila urat nadi Liok-im keterjang, jiwanya pasti sukar
dipertahankan."
"Apa katamu? Dia memiliki urat nadi Liok-im yang
buntu?" teriak Peng-say terkejut.
Dia pernah mendengar dari Tio Tay-peng bahwa di
dunia ini ada sejenis orang yang selama hidupnya tidak
boleh belajar silat, jika memaksa belajar silat, biarpun
gerakan yang sangat umum, tentu juga akan mengakibatkan
urat nadi Liok-im terganggu dan jiwa bisa melayang.
Hal ini disebabkan kelainan orang yang memiliki urat
nadi Liok-im yang bi ... .bila orang biasa dapat belajar silat
untuk kesehatan maka orang yang mempunyai kelainan
urat nadi itu tak dapat berlatih, bahkan terlalu lelah juga
tidak boleh, apalagi kalau bergerak terlatu keras dan
mengguncangkan Liok-im, bisa jadi urat nadi akan putus
seketika dan binasa.
Dengan sendirinya Soat Peng-say tidak mau
menanggung dosa membikin celaka nyawa orang, cepat ia
berseru: "Harap berhenti, nona!"
Saat itu Sau Kim-leng sudah main sampai jurus ke-17,
kepala sudah terasa pusing dan mata ber-kunang2, ia tahu
bila permainan diteruskan tentu membahayakan jiwanya,
maka demi mendengar seruan Soat Peng-say itu, perlahan2
ia lantas menghentikan gerakan pedangnya.
Walaupun begitu berdirinya saja tidak tegak lagi dan terhuyung2.
Cepat Siau Li memburu maju untuk
memapahnya.
"Bawa kesamping Soat-kongcu," kata Kim-leng dengan
lemah.
Siau Li mendudukkan Siocianya pada kursi di samping
Soat Peng-say itu, begitu lelah sehingga napas Sau Kim-leng
tampak megap2.
Apabila orang biasa, cukup Liok-ma menyalurkan sedikit
tenaga murninya dan dapat memulihkan kekuatan si nona.
Tapi urat nadi Sau Kim-leng ada kelainan, bila dibantu
dengan tenaga murni, bukannya menyembuhkan
kesehatannya, sebaliknya akan membikin celaka padanya
malah.
Karena itulah Liok-ma hanya menunggui dengan cemas,
Siau Li disuruh mengambilkan handuk dingin untuk
mengusap muka si nona, sejenak kemudian barulah Sau
Kim-leng pulih kembali seperti biasa.
Setelah tenang kembali, dengan suara rendah Sau Kimleng
lantas tanya: "Soat-kongcu, tepat tidak ke-17 jurus yang
kumainkan tadi?"
Peng-say melihat luka di dada si nona telah
merembeskan darah lagi sehingga bajunya yang putih
berlepotan darah lebih banyak. Ia mengangguk dan
menjawab: "Tepatnya memang tepat, cuma. . ." tapi
mengingat si nona telah memainkan ke-17 jurus tadi dengan
susah payah, ia tidak tega memberi penilaian lagi
"Cuma apa? Harap Kongcu bicara terus terang," pinta
Kim-leng.
"Nona memang cerdas luar biasa," kata Peng-say secara
tidak langsung, "daya ingatanmu juga sangat kuat. . . ." "
Dibalik ucapannya ini se-akan2 hendak mengartikan si
nona cuma berdasarkan daya ingatannya yang kuat, maka
dapat mengulangi permainan pedang Peng-say yang telah
dilihatnya tadi.
Sudah tentu Sau Kim-leng dapat menangkap arti ucapan
anak muda itu, sungguh tak tersangka sedemikian kejam
hati anak muda itu, ia telah berusaha mati2an, akhirnya
cuma sia-sia belaka. Seketika tubuh Kim-leng menjadi
gemetar saking penasaran, selang sejenak barulah ia tanya
pula: "Apakah ke-49 jurus itu harus kumainkan seluruhnya
baru Kongcu mau percaya?"
"Sudahlah, kukira tidak perlu," sahut Peng-say.
Sau Kim-leng lantas meronta turun dari kursinya,
katanya dengHn tegas: "Baik, akan kumulai dengan jurus
ke-18!"
Liok-ma bertambah cemas. teriaknya bengis: "Soat Pengsay,
apakah kau sengaja hendak membikin celaka dia?"
Dengan ketus Peng-say menjawab: "Aku kan seperti ikan
di dalam kuali dan akan menjadi makananmu yang empuk.
masa aku berani mencelakai Siocia kalian?"
Pedih rasa hati Sau Kim-leng mendengar ucapan anak
muda itu, dengan rasa getir iapun berkata: "Jangan kuatir,
apabila kubikin celaka diriku sendiri, tidak nanti kuminta
ganti nyawa padamu." — Habis berkata ia terus melangkah
ketengah pula dengan pedang terhunus.
"Biarpun nona dapat memainkan ke-49 jurus secara
lengkap dan benar, tetap aku tidak mau mengakui Co-pikiam-
hoat ajaran guruku adalah Siang-liu-kiam-hoat."
Kim-leng melengak dan berhenti melangkah.
Liok-ma kegirangan melihat sang Siocia dapat dicegah
menyerempet bahaya, tapi ia lantas bertanya: "Sebab apa?"
— Ia menyangka Peng-say sengaja mencegah permainan
pedang si nona, maka ia bertanya dengan nada yang ramah
dan pelahan.
Soat Peng-say lantas menjawab: "Betapapun ruwetnya
ilmu pedang didunia ini tetap dapat di ingat dengan baik,
lalu dimainkan menurut apa yang telah dilihatnya. Tapi
kalau tangan tidak memberi gerakan kunci ilmu pedangnya,
melulu gerakan kosong saja tetap tiada gunanya."
Sau Kim-leng menghela napas, ia putar balik dan duduk
kembali di kursi tadi.
"Maaf, nona," kata Peng-say pula, "lantaran
permainanmu tadi tiada satu jurus pun yang disertai
gerakan kunci, sebab itulah meski permainanrmu tidak
salah, namun hal itu tidak dapat menyatakan bahwa nona
mahir memainkan Co-pi-kiam-hoat dan lebih2 tak dapat
dijadikan bukti. Bilamana nona tetap ingin
membuktikannya, maka silakan menguraikan beberapa kata
kunci ilmu pedangnya, asalkan tepat beberapa kalimat
diantaranya, maka percayalah aku."
"Jangankan beberapa kalimat kuncinya, satu kalimat saja
aku tidak tahu," jawab Sau Kim-leng sambil menggeleng.
"Hm, syukur nona mau bicara terus terang," jengek
Peng-say, "pantas. . . ."
Mungkin lanjutannya adalah kata2 yang tidak enak
didengar, makanya dia tidak menyambung.
"Silakan Kongcu bicara lebih lanjut," desak Kim-leng.
"Nona ingin mendengarnya?" tanya Peng-say.
"Ya, sekalipun kata2 mengejek dan menusuk perasaan.
tetap ingin kudengar." ujar si nona.
"Juga bukan kata2 mengejek. cuma waktu turun gunung,
guruku telah memperingatkan agar jangan sembarangan
memainkan Co-pi-kiam-hoat, sebab kalau dilihat oleh orang
yang berhati tamak. bisa jadi orang akan berusaha menipu
kunci rahasia ilmu pedang ini."
"Kau kira kami ini orang semacam itu?" tanya Sau Kimleng.
"Mana berani kubilang begitu, Co-pi-kiam-hoat yang
tiada artinya ini masa terpandang dimata Pak-cay yang
termashur?!" ujar Peng-say.
"Di mulut kau bilang tidak, tapi di dalam hati kau
anggap aku bersekongkol dengan Liok-ma, sebab itulah kau
tidak mau mengakui Co-pi-kiam-hoat adalah Siang-liukiam-
hoat, begitu bukan?"
"Tidak, ilmu pedang ajaran guruku ini memang bukan
Siang-liu-kiam-hoat," jawab Peng-say tegas.
"Apakah kau kuatir secara resmi kami minta kembali
bilamana kau mengaku ilmu pedangmu itu adalah Siangliu-
kiam-hoat?" tukas Liok-ma.
Terhadap si nenek Soat Peng-say tidak mau sungkan2,
segera ia menjawab dengan ketus: "Aku kan sudah jatuh
ditanganmu, apakah perlu kau bicara tentang resmi dan
sebagainya, kan dapat kau gunakan kekerasan untuk
memaksa pengakuanku."
Mendongkol si nenek, katanya: "Apa susahnya untuk itu,
tiba saatnya nanti masakah kau tidak bicara secara terus
terang?"
Mendadak Kim-leng berseru: "Liok-ma, apakah aku
akan kau bikin menjadi manusia yang tidak berbudi?"
"Cara bicara bocah ini terlalu kaku, bila tidak diberitahu
rasa sedikit, tentu dia belum kenal kelihayan Pak-cay!" ujar
Liok-ma.
"Soat-kongcu," Sau Kim-leng lantas berkata kepada Peng
say, "janganlah kau anggap sungguh2 ucapan Liok-ma,
sama sekali kami tidak bermaksud menipu atau memeras
kunci rahasia ilmu pedangmu."
Si nona bicara dengan sungguh dan setulus hati, tapi
Soat Peng-say tetap tidak percaya, pikirnya: "Ah, jangan2
kau cuma manis di mulut tapi keji di hati. Kalian bilang Sau
Cing-in menghilang selama 20 tahun, bahwa Co-pi-kiamhoatku
ini adalah Sian-liu-kiam-hoat pusaka keluargamu
segala, hm, rupanya setindak demi setindak kalian hendak
menjirat diriku agar kukembalikan ilmu pedang yang kalian
katakan sebagai Siang-liu-kiam-hoat ini."
Tadinya ia mengira Sau Kim-leng adalah seorang nona
yang jujur dan perlu dikasihani, tapi sekarang sedikitpun dia
tidak kasihan lagi padanya dan menganggap dia cuma
pura2 saja.
Dari air muka Peng-say yang guram itu, Kim-leng tahu
apa yang dipikirkan anak muda itu pasti tidak
menguntungkan pihaknya, diam2 ia menyalahkan cara
bicara Liok-ma yang kasar itu sehingga menambah rasa
curiga orang.
Ia berusaha memberi penjelasan, katanya: "Keluarga Sau
memiliki tiga macam ilmu pedang, masing2 bernama 'Huingai',
'Liu-jay' dan 'Hoa-hong'. Ketiga macam ilmu pedang
ini hanya diturunkan kepada putera kandung sendiri dan
tidak diajarkan kepada murid, bahkan anak perempuan
sendiri juga tidak diajari. Siang-liu-kiam-hoat ciptaan
ayahku bersumber dari ketiga macam ilmu pedang leluhur
tadi, demi mentaati peraturan leluhur, maka cuma putera
ayah saja yang boleh mendapatkan ajaran Siang-liu-kiamhoat.
"Akan tetapi waktu ayah menghilang, ibu belum
melahirkan seorang anakpun, sebab itulah selama ayah
sendiri tiada orang kedua lagi yang tahu rumus Siang-liukiam-
hoat, sedangkan kitab pusaka ilmu pedang tersebut
juga hilang bersama dengan lenyapnya ayahku."
"Hanya saja waktu ayah menciptakan ilmu itu, saking
asyiknya beliau sering2 lupa makan dan lupa tidur,
mendiang ibuku senantiasa mendampingi ayah, maka setiap
gerakan dan setiap jurus ilmu pedang tersebut telah
diingatnya dengan baik dan apal, bahkan dari serangan
setiap juius, pada waktu diciptakan ayah pasti juga
memberitahu kepada ibu, karena itulah ibu sendiri sangat
memahami Siang-liu-kiam-hoat, baik gerakannya, nama
setiap jurusnya dan daya serangannya. semuanya
diketahuinya dengan jelas, namun rumusnya sama sekali
tidak paham.
"Tahu permainannya tanpa memahami rumusnya, tentu
saja tidak banyak gunanya, namun ibu tidak mau tanya
kepada ayah, andaikan ditanyakan juga ayah takkan
memberitahu mengingat petuah leluhur. Setelah ayah
menghilang, ibu telah mencarinya hingga belasan tahun dan
tidak bertemu, namun beliau belum lagi putus asa, cuma
sayang kesehatan ibu lantas terganggu sehingga tidak
sanggup mencari jejak ayah lagi, tugas pencarian itupun
lantas diserahkan kepadaku.
"Cuma aku dilahirkan setelah ayah menghilang, selama
ini belum pernah kukenal muka ayah, lalu cara begaimana
aku mencarinya. andaikan bertemu muka juga tidak kenal
dan usaha pencarian tentu akan sia2 belaka. Apalagi
menghilangkan ayah bersangkutan dengan kitab pusaka
Siang-liu-kiam-hoat, hanya melalui pencarian kitab pusaka
itulah jejak ayahku dapat ditemukan.
"Mungkin ibu menyadari hidupnya tak tahan lama lagi,
maka beliau lantas memberitahukan nama dan gaya
permainan Siang-liu-kiam-hoat itu kepadaku. bahkan
dimainkannya dihadapanku meski dalam keadaan sakit,
supaya aku dapat mengingat seluruh teori dan praktek
Siang-liu-kiam-hoat itu. Pada saat ibu mangkat, beliau
memberi pesan wanti2 agar selama hidupku ini harus
mencaritahu kemana menyhilangnya ayah, tapi sejauh ini
belum kutemukan sesuatu petunjuk apapun meski setiap
tahun sekali aku pasti meninggalkan gunung ini untuk
melakukan penyelidikan. Sampai hari ini . . . . "
"Karena melihat aku dapat memainkan ilmu pedang
yang serupa Siang-liu-kiam-hoat, maka kau kira ada
petunjuk yang dapat menemukan jejak ayahmu, begitu
bukan?" sela Soat Peng-say.
"Ya, maka kumohon Kongcu sudi membantu!" Kim-leng
memohon dengan sangat.
Peng-say menggeleng. katanya: "Jangankan aku tidak
dapat memberi bantuan apa2, andaikan bisa. . ." dia
merandek dan tidak meneruskan.
"Jangan2 kau kuatir Leng-hiang-cay akan bertindak
sesuatu yang tidak menguntungkan gurumu?" tanya Sau
Kim-leng.
Memang inilah yang dikuatirkan Soat Peng-say. Ia pikir
Sau Cing-in sudah hilang lebih 20 tahun, besar
kemungkinan sudah mati, bilamana kematiannya
berhubungun langsung dengan kitab pusaka Siang-liu-kiamhoat,
maka orang yang mendapatkan kitab pusaka itu
mungkin juga si pembunuh Sau Cing-in, jika keluarga Sau
berhasil menemukan orang itu, mustahil urusan ini dapat
didamaikan dan bila Soat Peng-say membantu mereka,
bukanlah ini berarti dia membikin celaka gurunya sendiri?
Sudah tentu Ping-say tak dapat mengakui kekuatirannya
itu, jawabnya sambil menggeleng: "Tidak, Co-pi-kiam-hoat
guruku jelas bukan Siang-liu-kiam-hoat!"
"Alasanmu tetap menyatakan Co-pi-kiam-hoat bukan
Siang-liu-kiam-hoat, apakah lantaran tiada satu jurus Co-pikiam-
hoatmu itu dapat mengalahkan Liok-ma?" tanya Kimleng.
"Ya, boleh dikatakan begitu," jawab Peng-say.
"Sebabnya tak dapat mengalahkan Liok-ma dengan satu
jurus adalah karena yang diperoleh gurumu hanya setengah
bagian dari kitab Siang-liu-kiam-hoat!"
"Darimana kau tahu?" tanya Peng-say.
"Coba Kongcu terka, sebab apa kukatakan ketiga jurus
serangan gabungan kedua pedangmu itu masih selisih
sangat jauh?"
"Dan harus ditambah lagi satu kalimat, kacau balau!"
tukas Peng-say dengan menyengir.
"Untuk itu hendaklah Kongcu sudi memberi maaf," kata
Kim-leng dengan menyesal. "Bukan maksudku
meremehkan kesanggupan gurumu, padahal boleh
dikatakan tidak mudahlah bagi gurumu yang cuma
mempunyai lengan satu, tapi dapat menciptakan ketiga
jurus serangan gabungan dua pedang itu."
Peng-say terkejut. "Da. . .darimana kau tahu guruku
hanya mempunyai lengan satu?" tanyanya cepat.
"Kalau tidak lengan satu, mengapa Kongcu memainkan
gerak serangan dua pedang, tapi yang digunakan hanya
tangan kiri saja?" kata Kim-leng. "Maka jelaslah gurumu
adalah seorang yang cuma berlengan satu, dan jurus
serangan dua pedang yang diciptakan orang yang buntung
sebelah tangannya dengan sendirinya juga cuma cocok
digunakan dengan satu tangan saja."
Mau-tak-mau Soat Peng-say mengangguk, katanya:
"Ucapan nona memang betul, ketiga jurus serangan
gabungan dua pedang yang diciptakan guruku itu bila
kugunakan dengan kedua tangan, jadinya malah tidak
sehebat bilamana kumainkan dengan satu tangan."
"Apakah Kongcu tahu sebab apa gurumu menciptakan
ketiga jurus serangan itu dengan menggunakan pedang
ganda?" tanya Kim-leng.
Peng-say menggeleng, jawabnya: "Hal ini akupun tidak
tahu. Tadinya kukira ilmu pedang yang dilatih Suhu melulu
terdiri dari tiga jurus itu saja dan harus digunakan dengan
dua pedang. Tapi ketika Subu mengajarkan ketiga jurus itu
padaku, beliau bilang ketiga jurus itu adalah hasil
ciptaannya selama berlatih belasan tahun, maka aku
dipesan menyelaminya lebih mendalam. Waktu itu akupun
heran mengapa Suhu mencari susah sendiri dengan ilmu
pedang ciptaannya yang aneh itu."
"Orang berlengan satu justeru menciptakan permainan
pedang ganda, setiap orang pasti akan menganggap
penciptanya itu mencari susah sendiri," kata Kim-leng.
"Tapi kalau Kongcu percaya pada keteranganku, tentu kau
takkan ragu2 lagi."
"Percaya apa?" tanya Peng-say.
"Percaya bahwa gurumu hanya mendapatkan setengah
bagian dari kitab pusaka Siang-liu-kiam-hoat milik ayahku,"
kata Kim-leng.
Karena ingin tahu sebab-musababnya, Soat Peng-say
tidak lantas menyangkalnya, katanya: "Coba jelaskan lebih
lanjut."
"Kitab pusaka Siang-liu-kiam-hoat itu terdiri dari dua
bagian, satu kiri dan satu kanan, satu depan dan satu balik,
satu 'Yang' dan satu 'Im', hal inipun diketahui oleh Liokma,"
tutur Sau Kim-leng.
-ooo0dw0ooo-
Jilid 6
"Ya, dahulu aku dikalahkan Loya hanya dengan satu
jurus saja, dalam hati sangat kukagumi Siang-liu-kiam-hoat
ciptaan Loya itu," demikian Liok-ma bertutur. "maksudku
hendak memohon Loya suka memberi petunjuk barang
sejurus-dua, tapi Loya menolak karena tidak berani
melanggar peraturan leluhur. Beliau cuma menyebut ke-12
kata tadi, yaitu: satu kiri satu kanan, satu depan satu balik,
satu 'Yang' satu 'Im', katanya berkat intisari ke-12 kata
itulah Siang-liu-kiam-hoat sudah jauh diatas segala ilmu
pedang di antero kolong langit ini. Tatkala itu aku tidak
begitu jelas arti kata tersebut, sekarang setelah kupikir, bisa
jadi Co-pi-kiam-hoat yang dimainkan Soat-kongcu memang
betul cuma setengah bagian dari Siang-liu-kiam-hoat,
makanya engkau tidak dapat mengalahkan diriku dalam
satu jurus."
Sau Kim-leng lantas menyambung: "Apa yang disebut
satu kiri satu kanan. maksudnya satu orang sekaligus
memainkan dua macam ilmu pedang yang tidak sama,
untuk ini dengan sendirinya orangnya harus mempunyai
dua tangan yang utuh. Tapi kalau satu orang berlatih satu
tangan, lalu dua orang maju bersama, tetap dapat
memancarkan daya serangan Siang-liu-kiam-hoat yang
dahsyat. Sesuai dengan keadaan begitu, ayah lantas
membagi Sian-liu-kiam-hoat menjadi dua bagian.
Tapi kalau dilatih begitu saja, Siang-liu-kiam-hoat
tampaknya menjadi serupa Liang-gi-kiam-hoat Bu-tong-pay
dan tiada sesuatu yang luar biasa. Konon Liang-gi-kiamhoat
Bu-tong-pay itu tergolong top di dunia persilatan saat
ini, tapi ilmu pedang pedang itu harus dimainkan dua orang
sekaligus, Jadi, dengan dua lawan satu, andaikan menang
juga kurang gemilang. Sedangkan Liang-gi-kiam-hoat tidak
dapat dimainkan satu orang, maka bila diadakan
pertandingan ilmu pedang secara terbuka, jelas Liang-gikiam-
hoat tidak mungkin menjadi juara. Berdasarkan
alasan tersebut, ayahku berpikir bila mau menciptakan
sejenis ilmu pedang yang memainkan dua pedang sekaligus,
maka hal itu harus dilakukan oleh satu orang saja dengan
menggunakan tangan kanan dan kiri. Disinilah kejutan
hasil ciptaan ayah yang tidak dapat disamai oleh Liang-gikiam-
hoat."
-Tapi ayahku juga mempertimbangkan suatu soal, yakni,
dapatkah orang lain menghadapi kesulitan berlatih ilmu
pedang ganda yang dimainkan tangan kanan dan kiri
sekaligus. Lebih2 puteranya sendiri apakah kelak
mempunyai bakat seperti sang ayah. Maklumlah, hanya
karena kecerdasan yang tinggi ayah dapat menciptakan
Siang-liu-kiam-hoat, tapi apakah kecerdasan orang lain,
termasuk puteranya sendiri, apakah juga setinggi ayah?
Dengan sendirinya hal ini sukar terjadi, mengingat kesulitan
inilah selama beberapa tahun ayah berusaha membagi
Siang-liu-kiam-hoat menjadi dua bagian, dengan demikian
Sian-liu-kiam-hoat dapat dilatih oleh satu orang hingga
sempurna, tapi dua orang melatihnya dengan salah satu
tangan juga dapat mencapai hasil yang sama, semua itu
bergantung pada bakat dan kecerdasan masing2."
Sampai disini, Sau Kim-leng berhenti sejenak, kemudian
menyambung pula: "Penjelasanku ini hanya ingin
kuberitahukan kepada kongcu apa sebabnya Co-pi-kiamhoat
gurumu itu dapat berdiri sendiri, dengan alasan yang
sama, orang yang mendapatkan sebagian Siang-liu-kiamhoat
yang lain juga dapat memainkan 49 jurus Yu-pi-kiamhoat
(ilmu pedang tangan kanan) dan tampaknya juga 'Ilmu
pedang yang berdiri sendiri."
Soat Peng-say mendengarkan dengan diam2 saja,
dahinys berkerut, seperti sedang memikirkan sesuatu.
Selang sejenak lagi baru Soat Peng-say berkata; "Harap
nona melanjutkan penuturanmu."
"Meski kedua bagian Siang-liu-kiam-hoat yang
kukatakan tadi dapat berdiri sendiri2, namun sejak mula
maksud tujuan ayah hanya ingin menciptakan semacam
ilmu pedang yang dimainkan satu orang saja dan kemudian
terpaksa dipecah menjadi dua, maka bila ada seorang yang
berbakat tinggi dan cuma dapat meyakinkan setengah
bagian saja dari ilmu pedang ciptaan ayah itu, baginya akan
selalu merasa ada sesuatu kekurangan. -Aku tidak tahu
mengapa gurumu hanya mendapatkan bagian kiri dari ilmu
pedang ayah itu, tapi jelas gurumu telah merasakan
kekurangannya, cuma sayang kitab yang berada padanya
hanya setengah bagian saja, mungkin dia tidak tahu masih
ada setengah bagian lagi, akibatnya berdasarkan
kepintarannya sendiri gurumu telah menciptakan ketiga
jurus serangan gabungan yang daya serangannya jauh lebih
hebat daripada ke-49 jurus Co-pi-kiam-hoat yang
ditemukannya. Tapi gurumu hanya mempunyai satu
lengan, bahkan tiga jurus serangannya itu diciptakan
lantaran ketidak-puasan, dengan sendirinya ilmu pedang
ciptaan gurumu lidak dapat melebihi ketiga macam ilmu
pedang warisan leluhur kami. Sebab itu pula, meski ketiga
jurus ciptaan gurumu itu bergaya Siang-liu-kiam-hoat yang
tulen, namun . . . . " karena kuatir Soat Peng-say tidak
senang, maka Kim-leng tidak melanjutkan.
"Namun jauh di bawah kelihayan daya serangan
gabungan dua pedang ciptaan ayahmu, makanya nona
bilang selisih sangat jauh dan kacau balau, begitu bukan?"
tukas Peng-say.
Melihat cara bicara anak muda itu masih penasaran,
dengan menyesal Sau Kim-leng berkata: "Harap .... harap
engkau suka memaafkan keterus-teranganku. . . ."
"Kenapa mesti minta maaf," ujar Peng-say dengan ketus.
"Kenyataannya Co-pi-kiam-hoat guruku memang jauh
dibandingkan Siang-liu-kiam-hoat!" Di balik ucapannya
jelas masih bernada tidak mengakui Co-pi-kiam-hoat!
adalah sebagian dan Siang-liu-kiam-hoat.
Meski Sau Kim-leng dapat menangkap nada ucapan Soat
Peng say itu, tapi ia malah berkata pula: "Kelihayan Lianggi-
kiam-hoat Bu-tong-pay itu terletak pada penggunaannya
oleh dua orang sekaligus, bila dimainkan satu orang saja,
maka banyak sekali lubang kelemahannya, sekalipun ilmu
pedang biasa saja dapat mematahkannya. Meski Siang-liukiam-
hoat tidak terdapat kelemahan demikian, tapi cuma
setengah bagian saja juga sukar mengeluarkan daya
serangnya yang ampuh. Andaikan gurumu bisa
mendapatkan dua bagian secara lengkap, biarpun lengan
satu tidak leluasa melatih dua pedang sekaligus, tapi dengan
kecerdasan gurumu kuyakin beliau sanggup menguasai
delapan atau sembilan bagian."
Maksud Sau Kim-leng hendak memuji guru Soat Pengsay,
tak terduga anak muda itu malah berkata dengan ketus:
"Sekali Co-pi-kiam-hoat tetap Co-pi-kiam-hoat, masa ada
setengah bagian Siang-liu-kiam-hoat apa segala?"
Liok-ma menjadi marah, damperatnya: "Anak busuk,
sudah setengah harian Siocia memberi penjelasan padamu,
jika kau tetap kepala batu, bila Lolo naik darah, batang
lehermu bisa kupuntir patah!"
Tapi Sau Kim-leng menjadi tidak senang, katanya:
"Liok-ma, silakan kau keluar saja." Dengan mendongkol
terpaksa Liok-ma mengundurkan diri, tapi dia masih merata
kuatir, ia hanya berhenti diambang pintu dan tidak keluar.
"Soat kongcu," kata Kim-leng pula dengan lembut,
"apakah benar Co-pi-kiam-hoat gurumu itu bukan Siang-liukiam-
hoat?"
"Bukan!" jawab Peng-say tegas.
Betapapun dia takkan mengakui Co-pi-kiam-hoat adalah
Siang-liu-kiam-hoat, tapi dalam hati ia tahu ucapannya itu
bertentangan dengan hati nurani sendiri. Bukan saja dia
tahu Co-pi-kiam-hoat gurunya itu memang betul setengah
bagian kiri Siang-liu kiam-hoat, bahkan iapun mengetahui
setengah bagian kanan Siang-liu-kiam-hoat itu dimiliki oleh
seorang perempuan berlengan kanan yang telah membunuh
Beng Eng-kiat itu.
Walaupun tidak diketahui asal-usul perempuan buntung
itu, anehnya tangan perempuan yang buntung itu justeru
tangan kiri, inilah suatu kebetulan yang aneh dan
menimbulkan tanda tanya.
Padahal sudah dua kali dia mendengar nama Siang-liukiam-
hoat, pertama kali pada lima tahun yang lalu ketika
Tio Tay-peng mengalahkan Beng Si-hian, waktu itu Beng
Si-hian telah memberi pesan kepada anak perempuannya
yang masih kecil itu agar bilang kepada Beng Eng-kiat
bahwa dirinya mati oleh Siang-liu-kiam. Kedua kalinya
baru terjadi beberapa hari yang lalu, yaitu ketika Beng Engkiat
berpesan kepada Beng Siau-gi (puteri Beng Si-hian)
agar selalu ingat bahwa kakek dan ayahnya mati terbunuh
oleh Siang-liu-kiam-hoat.
Tapi lantaran selama menjadi murid Tio Tay-peng belum
pernah sang guru menyebut nama Siang-liu-kiam-hoat
hanya dikatakan bahwa ilmu pedang yang diajarkan itu
bernama Co-pi-kiam-hoat, maka Peng-say mengira
sebabnya sang guru merahasiakan nama ilmu pedang ini
mungkin kuatir dia tidak dapat tutup mulut rapat2 dan bisa
jadi akan menyebutkan nama Siang-liu-kiam-hoat di depan
umum dan didengar anak murid Pak cay. Ia pikir mungkin
inilah alasannya sang guru pernah pesan padanya agar
dirinya jangan sampai bertengkar dengan anak murid Pakcay.
Tadinya ia mengira sang guru mengetahui kelihayan
ilmu pedang Pak-cay, maka dikatakannya bahwa Co-pikiam-
hoat tidak ada artinya bagi pandangan anak murid
Pak-cay Baru sekarang ia tahu bukannya tiada artinya bagi
pandangan anak murid Pak-cay, yang benar ialah kuatir
ilmu pedangnya itu dikenali orang.
Dan mengapa kuatir orang mengenali Co-pi-kiam-hoat
adalah Siang-liu-kiam-hoat, mengapa kuatir dikenali oleh
anak murid Pak-cay? Jangan2 sang guru yang membikin
celaka ketua Pak-cay Sau Cing-in?
Mengingat hal2 itu, terpaksa Peng-say berkeras tidak
mau mengakui Co-pi-kiam-hoat sebagai Siang-liu-kiamhoat.
Iapun kuatir bilamana mengakui kebenarannya,
jangan2 Liok-ma akan memaksa dirinya membawa nenek
itu untuk menemui sang guru, ia pikir gurunya pasti bukan
tandingan Liok-ma, mana boleh dia membawa seorang luar
untuk membunuh gurunya sendiri?
Begitulah, karena merasa berdusta, Peng-say merasa
malu diri, ia menunduk dan tidak berani memandang Sau
Kim-leng.
Didengarnya si nona menghela napas pelahan, ucapnya
rawan: "Kau tidak mau mengaku, ya, apa boleh buat,
akupun tidak dapat memaksa, cuma kumohon sesuatu
padamu, maukah kau berjanji?"
Dia masih tetap memobon dengan suara lemah-lembut,
sedikitpun tidak gusar. Mau-taU-mau Peng-say merasa
rikuh, ia mengangkat kepala dan berkata: "Silakan nona
bicara saja, asalkan sanggup kulakukan. tentu akan
kuterima."
"Kumobon sukalah engkau ikut bantu mencari tahu jejak
ayahku baik hidup atau mati." kata Kim-leng. "Andaikan
benar ayah sudah mengalami nasib malang, bila tulang
beliau dapat dibawa pulang untuk dikubur bersama ibuku,
cukup kiranya sekadar menghibur arwah ibu di alam baka."
"Bila ayah nona meninggal di tangan musuh, apakah
nona tidak ingin menuntut balas?" tanya Peng-say.
"Jangan kuatir. akan kuberi perintah kepada segenap
anggota Pak-cay agar tidak mencari gurumu untuk
menuntut balas, asal saja gurumu mau memberitahukan
jejak ayahku," kata Kim-leng.
"Ah, nona jangan bergurau, darimana guruku tahu di
mana ayahmu?" ujar Peng-say dengan waswas.
"Apakah kau kuatir kami akan mencari gurumu untuk
menuntut balas?" tanya Kim-leng pula dengan gegetun.
"Padabal siapa pula yang mampu menuntut balas bagi
ayahku? Aku? ai, aku sendiri jelas tidak mempunyai
kepandaian apa2, hakikatnya tiada soal menuntut balas
bagiku. Adapun murid ayah, sejak ibu meninggal, satu
persatu mereka sudah pergi semua tanpa sisa seorangpun.
Mereka adalah manusia yang rendah. tidak tahu budi dan
tidak setia, mereka hanya mementingkan dirinya sendiri,
mana mau mengurus mati-hidup ayahku lagi."
Dengan sendirinva Peng-say tidak percaya bahwa Sau
Kim-leng tidak akan menuntut balas bagi ayahnya, ia
memandang Liok-ma yang berdiri diambang pintu sana dan
berpikir: "Kau sendiri tidak, tapi dia?"
Sau Kim-leng dapat meraba pikiran Soat Peng-say itu, ia
menggeleng dan berkata: "Jika ayah sudah mengalami nasib
malang dan sekiranya menyangkut gurumu, tentu takkan
kusuruh Liok-ma mencari dan menuntut balas pada
gurumu. Yang ingin kami ketahui hanya jejak ayahku yang
sesungguhnya."'
"Ucapan nona semakin aneh kedengarannya. bilamana
ayahmu mengalami sesuatu, manabisa ada sangkut-pautnya
dengan guruku?"
"Baiklah, engkau tidak perlu menjelaskan di mana
kediaman gurumu, kami takkan mencari beliau, kami
hanya mohon engkau suka bantu mencari tahu dimana
jejak Caycu atau ayahku," cara bicara Sau Kim-leng
sekarang sudah lebih bersifat memohon dengan sangat.
Peng-say mengangguk, katanya; "Sebagai sesama orang
Bu-lim, sudah sepantasnya kuberi bantuan, tapi sama sekali
aku tidak tahu cara bagaimana ayahmu menghilang.
Apabila ada penjelasan sekadarnya, tentu akan jauh lebih
mudah untuk menyelidikinya."
Sudah tentu Sau Kim-leng tahu maksud Peng-say yang
tidak ingin melibatkan gurunya dalam persoalan ini, maka
iapun berkata pula mengikuti haluan Peng-say itu: "Ayah
meninggalkan rumah dan hilang pada 27 tahun yang lalu "
mendadak ia merandek ketika menyadari ucapannya
keseleo, cepat ia menunduk dengan kikuk.
Melihat sikap si nona, pahamlah Soat Peng-say,
pikirnya: "Pantas kau tidak bermaksud menuntut balas,
kiranya Sau Cing-in bukan ayah-kandungmu. Kau sendiri
tampaknya baru berumur 20-an, sedangkan ayahmu sudah
hilang 27 tahun, setiap orang tentu dapat meraba bahwa
Sau Cing-in pasti bukan ayahmu sebenarnya."
Peng-say tidak bertanya, ia diam saja menunggu cerita si
nona lebih lanjut.
Pelahan2 Sau Kim-leng tenang kembali, ia mendongak,
melihat Soat Peng-say tidak memandang hina padanya,
hatinya merasa tenteram, segara ia menyambung: "Tahun
itu ayah menerima sepucuk surat undangan agar hadir ke
Ki-lian-san, surat undangan itu ditanda tangani Ciamtay
Cu-ih. . . ."
"Apakah Hong hoa-wancu Ciamtay Cu-ih?" sela Pengsay.
"Betul, Hong-hoa-wancu dari Tang-hay (lautan timur),"
jawab Kim-leng. "Dalam suratnya dinyatakan pula bahwa
yang diundang ada pula Ngo-hoa-koancu dan Son-hokhancu."
"Wah, itu kan suatu pertemuan besar yang
menggemparkan?!" Peng-say berseru tertahan.
"Tang-wan, Se-koan, Lam-han, Pak-cay, empat aliran
yang paling terkenal pada jaman itu sudah menjagoi
wilayah masing2 selama ratusan tahun," tutur Kim-leng
pula. "Selama itu mereka tidak saling mengganggu, masing2
mempertahankan nama dan kehormatan sendiri, juga tidak
mau saling menyambangi. Bahwa empat tokoh top pada
waktu itu dapat mengadakan pertemuan, sungguh peristiwa
yang sukar dicari, bilamana hal ini diketahui oleh kaum
persilatan umumnya tentu akan menganggapnya suatu
pertemuan besar yang luar biasa. Akan tetapi sebenarnya
kejadian itu justeru sedikit diketahui orang."
"Jangan2 suatu pertemuan rahasia, maka sedikit orang
yang tahu?" tanya Peng-say.
"Meski tak dapat dikatakan pertemuan rahasia tapi
lantaran maksud undangan Ciamtay Cu-ih itu disebutkan
untuk tukar pikiran mengenai ilmu silat dan saling
mendemonstrasikan ilmu silat andalan masing2. dengan
sendirinya diperlukan tempat yang paling tenang dan sepi,
mungkin masing2 pihak memang tidak ingin diganggu
orang luar sehingga berita pertemuan itu sengaja tidak
disiarkan."
Keteranganmu ini memang beralasan, kalau sampai
berita itu tersiar. bisa jadi jalan menuju Ki-lian akan
menjadi macet, sebab siapa didunia Kangouw ini yang tidak
ingin melihat wajah asli keempat tokoh aneh dunia
persilatan pada waktu itu?"
"Dan hal itu tentu bukan kehendak mereka," kata Kimleng
pula. "Sebab itulah ayah hanya memberitahu kepada
ibu saja mengenai surat undangan itu dan tiada orang lain
yang tahu."
"Jika demikian, jadi hilangnya ayahmu. . . ." mendadak
teringat sesuatu oleh Peng-say, tanyanya segera: "Dan
ayahmu akhirnya hadir tidak di saoa?"
"Mendiang ibuku juga pernah memikirkan soal ini,"
jawab Kim-leng sambil mengangguk. "Apabila ayah tidak
hadir di Ki-lian-san, itu berarti beliau hilang di tengah
perjalanan, untuk mencarinya akan lebih mudah mengingat
letak tempatnya jelas lebih sempit."
"Lalu apakah ibumu menyelidiki ayahmu hadir di Kilian-
san atau tidak?" tanya Peng-say pula.
"Sebelum berangkat ayah telah memberi pesan kepada
ibu bahwa dalam setengah tahun beliau pasti akan pergi dan
pulang," tutur Kim-leng, "Tapi setelah setengah tahun
berlalu dan ayah belum nampak pulang, ibu menjadi cemas
dan buru2 menyusul ke Ki-lian-san. Lantaran kebiasaan
ayah tidak suka bermalam di hotel sehingga ditengah
perjalanan ibu tidak dapat menyelidiki apakah ayah menuju
ke pertemuan di Ki-lian-san atau tidak."
Ia merandek dan menghela, lalu menyambung pula:
"Mendiang ibuku dan ayah adalah suami isteri yang
bahagia, selama hidup mereka tidak pernah berpisah barang
sebulanpun, apalagi setengah tahun. Ibu mengira mungkin
ayah menjadi lupa daratan dan lupa pulang setelah bertemu
dengan Ciam-tay Cu-ih dan kawan lainnya di Ki-lian,
saking asyiknya berdiskusi tentang ilmu silat. Tapi ketika
ibu sampai ditempat pertemuan itu, tiada bayangan
seorangpun yang dilihatnya. Dengan demikian apakah ayah
hadir disana atau tidak seketika menjadi sukar untuk
menyelidikinya."
"Setengah tahun lebih baru ibumu menyusul kesana, bisa
jadi pertemuan mereka sudah lama bubar," ujar Peng-say.
"Jika pertemuan sudah bubar, mustahil ayah tidak cepat2
pulang," kata Kim-leng. "Setelah tidak menemukan ayah di
Ki-lian-san, diam2 Ibu sudah merasakan firasat yang tidak
enak."
"Jangan2. . . ." karena tidak berani sembarangan
menerka Peng-say urung bicara.
"Untuk mendapatkan keterangan apakah ayah hadir
tidak di Ki-Iian-san, kemudian ibu menuju ke Huiciu di
Kanglam untuk menemui Soh-hok-bancu, dari beliau ibu
mendapat tahu bahwa ayah hadir di Ki-lian-san tepat pada
waktunya sehingga bubarnya pertemuan itu."
"Apakah mungkin terjadi sesuatu di dalam peristiwa
itu?" tanya Peng-say dengan sangsi.
"Setelah ibu tanya lebih jelas kepada Soh-hok-hancu,
akhirnya diketahui bahwa dalam pertemuan yang
berlangsung selama tujuh hari itu, keempat tokoh itu
berunding dengan rukun dan damai, kemudian berpisahlah
mereka dan tiada yang menjelaskan akan pergi kemana,
maka menurut dugaan Soh-hok-hancu tentu ayah langsung
pulang ke Ngo-tay-san kecil Padahal ayah jelas belum
pulang, apa lagi waktu ibu keluar rumah mencari ayah,
kira2 sudah empat bulan lebih sejak bubarnya pertemuan
itu, betapapun lambat perjalanan ayah seharusnya sudah
pulang kerumah dalam setengah tahun itu.
-Walaupun yakin kepulangan ayah tidak mungkin tertunda
sampai empat bulan setelah bubarnya pertemuan, tapi
setelah mendapat keterangan Soh-hok-huncu tersebut,
diam2 ibu menghibur diri semoga ayah sudah pulang selagi
ibu sendiri keluar mencarinya. Maka buru2 ibu pulang ke
rumah, tapi ayah tetap tidak kelihatan pulang Tentu saja ibu
bertambah cemas, sebab setiba ibu di rumah sementara itu
sudah lebih delapan bulan sejak bubarnya pertemuan di Kilian-
san. Padahal jarak Ki-lian-san dengan Ngo-tay-san
cuma perjalanan sebulan lebih, betapapun lambatnya
perjalanan pasti akan sampai juga dalam waktu delapan
bulan.Menghadapi kenyataan ini, ibu tidak mengkhayalkan
lagi kemungkian pulangnya ayah, tapi kalau ayah
mengalami sesuatu yang tidak baik yang pertama
menimbulkan curiga adalah pasti di tengah pertemuan Kilian-
san itu telah terjadi sesuatu, Akan tetapi menurut
keterangan Soh-hok-hancu, katanya pertemuan yang makan
waktu tujuh hari itu berlangsung secara rukun dan damai,
jadi tidak mungkin terjadi apa2."
"Apakah ibumu tidak tanya lagi kepada kedua tokoh
yang lain?" tanya Peng-say.
"Apakah kau sangsikan keterangan Soh-hok-hancu?"
"Soh-hok-hancu dari Tiong-hi-koan adalah Tosu yang
beribadat tinggi," kata Soat Peng-say, "jadi tidak boleh kita
menaruh prasangka kepadanya. Akan tetapi bila keterangan
ketiga orang lainnya seragam, tentu akan lebih
meyakinkan."
"Kita" yang diucapkan Soat Peng-say itu membuat
hangat perasaan Sau Kim-leng, ia merasa kata2 itu
sedemikian mesra, untuk sejenak ia berusaha meresapi
kata2 itu.
Soat Peng-say tidak menyangka Sau Kim-leng adalah
nona yang haus cinta, disangkanya nona itu sedang
merenungkan sesuatu, maka tidak diganggunya.
Liok-ma berdiri di ambang pintu, dia cuma dapat melihat
punggung Sau Kim-leng, ia tidak tahu apa yang sedang
dilakukan si nona, maka ia bertanya: "Siau Leng, ada apa?
Badanmu tidak enak?"
Sau Kim-leng tersentak sadar, cepat ia menjawab: "O,
tidak apa2"
"Jika tidak enak badan, tidurlah sebentar dulu!" ujar
Liok-ma.
Tapi Sau Kim-leng menggeleng kepala, katanya:
"Ucapan Soat kongcu memang benar, kita tidak pantas
menyangsikan keterangan Soh-hok-hancu itu. Tapi untuk
membuktikan keterangan itu, mendiang ibuku telah pergi ke
Sinkiang untuk menanyai Ngo-hoa koancu. akhirnya beliau
juga menyeberang lautan timur untuk menanyai Hong-hoawancu.
Akhirnya diketahui keterangan ketiga orang itupun
sama, semuanya bilang selama pertemuan tujuh hari itu
berlangsung dalam suasana rukun dan damai. Dengan
demikian ibu tidak dapat menyangsikan lagi telah terjadi
sesuatu dalam pertemuan Ki-lian-san itu, rasanya ketiga
tokoh terkemuka itupun tidak akan mendustai ibu, apalagi
Tang wan, Se koan, Lam-han dan Pat-cay selama ini tidak
ada permusuhan apapun, tiada alasan bagi mereka untuk
mencelakai ayah. Tapi, lantas kemanakah ayah
sebenarnya?!"
"Ya, sulit jadinya," ujar Peng-say sambil menggeleng,
"Ayahmu tidak menyatakan kemana perginya kepada
rekannya, kenyataan beliau juga tidak pulang ke rumah,
dunia seluas ini, tidaklah mudah untuk mencari jejaknya."
"Tapi kalau dapat menemukan Siang-liu-kiam-boh (kitab
pusaka) kuyakin pasti dapat menemukan jejak ayah," kata
Sau Kim-leng mendadak setelah berpikir sejenak.
"Apa dasarnya?" tanya Peng-say.
"Akhirnya setelah ibu pulang dari lautan timur dan
terbukti tiada terjadi apa2 dalam pertemuan di Ki-lian-san,
beliau lantas mulai menyelidiki ke segenap pelosok
Tionggoan (daratan tengah), sebab ibu yakin jejak ayah
pasti tidak meninggalkan Tionggoan, akhirnya meski ayah
tak dapat ditemukan, namun ibu berhasil mendapatkan
berita mengenai jejak ayah. . . ."
Melihat si nona merandek, Soat Peng-say tidak tahan, ia
tanya: "Berita apa itu?"
"Ibu merasa heran didunia persilatan daerah Tionggoan
ramai tersiar berita tentang ilmu pedang nomor satu di
dunia, yaitu Siang-liu-kiam-hoat ciptaan ayah. Hampir
setiap jago pedang pasti tahu istilah 'Siang-liu-kiam-hoat
nomor satu di dunia' yang terkenal itu."
"Kenapa mesti heran, siapa yang tidak tahu ilmu pedang
Pak-cay memang tiada bandingannya di dunia ini," ujar
Peng-say. "Siang-liu kiam-hoat ciptaan ayahmu itu disebut
ilmu pedang nomor satu di dunia, kan juga masuk diakal."
"Soalnya sifat ayahku tidaklah suka pamer. setelah
Siang-liu-kiam berhasil diciptakan, meski beliau tahu pasti
dapat mengalahkan Liang-gi-kiam-hoat dari Bu tong-pay,
tapi beliau tidak pernah mencobanya, dengan sendirinya
orang luar juga tidak pernah kenal nama Siang-liu-kiamhoat
segala, manabisa terjadi setelah menghilangnya ayah,
nama Siang-liu-kiam-hoat justeru menggemparkan dunia
persilatan, bahkan didukung sebagai ilmu pedang nomor
satu di dunia?"
"Masa ayahmu tidak pernah perlihatkan Siang-liu-kiamhoat
kepada orang luar?"
"Menurut cerita ibu, sejak ayah berhasil menciptakan
ilmu pedang tersebut memang tidak pernah dipertunjukkan
kepada orang luar. Pada umumnya orang cuma tahu ketiga
macam ilmu pedang Leng-hiang-cay yang terkenal, yaitu
Hui-ngai, Liu-jay dan Hoa-hong-kiam-hoat, itupun karena
kakek pernah memperlihatkan ketiga macam ilmu pedang
itu di medan pertemuan Bu-lim yang sering diadakan, tapi
dapat dipastikan tiada orang luar yang tahu ayahku telah
menciptakan pula Siang-liu-kiam-hoat yang baru itu "
"Kukira ayahmu pasti pernah memperlihatkan Siang-liukiam-
hoat kepada orang luar, cuma kalian sendiri yang
tidak tahu," ujar Peng-say.
"Ingin kutanya padamu, berdasarkan apa kau bilang
begitu?" tanya Kim-leng dengan tersenyum.
"Coba pikir, dalam pertemuan Ki-lian-san sana masakah
ayahmu tidak menonjolkan hasil ciptaannya? Pertemuan itu
kan bertujuan tukar pikiran. kukira ayahmu pasti
memperlihatkan ilmu pedang baru kebanggaannya itu."
"Betul juga alasan Soat-kongcu, tapi coba pikir pula,
berdasarkan watak keempat tokoh yang tidak mau tunduk
kepada pihak lain, biarpun ilmu pedang ayahku memang
nomor satu di dunia, mustahil ketiga tokoh yang lain mau
mengakui hal ini, apalagi menyiarkarnya."
Peng-say garuk2 kepalanya yang tidak gatal, katanya:
"Ya, rasanya memang tidak mungkin. . . ."
"Hakikatnya memang tidak mungkin," tukas Kim-leng.
"Coba pikir, mereka masing2 menjagoi wilayahnya sendiri,
mana mau mereka menjunjung ilmu pedang tokoh lain
sebagai nomor satu di dunia? Andaikan betul mereka mau
mengakuinya, mengapa tiada seorangpun yang
menyinggungnya, waktu mendiang ibuku berkunjung
kepada mereka, semuanya cuma menyatakan pertemuan di
Ki-lian-san berlangsung dengan akrab dan damai."
Peng-say pikir keterangan ini memang beralasan,
terpaksa ia hanya mengangguk saja.
Maka Kim-leng melanjutkan lagi: "Karena
menyangsikan berita Siang-liu-kiam-hoat nomor satu
didunia itu, ibu lantas mulai mengusut darimana sumber
berita itu. Ibu yakin bilamana sumber berita itu ditemukan,
pasti tidak sulit untuk menemukan pula jejak ayahku .... "
Karena si nona merandek pula, Soat Peng-say tambah
ingin tahu, segera ia bertanya: "Dan akhirnya bagaimana?"
"Akhirnya diperoleh belasan sumber berita tersebut,"
jawab Kim-leng.
"Bagaimana menurut keterangan mereka?"
"Mereka? Sama seperti ayahku."
"Hilang semua?!"
"Ya, siapapun tidak tahu kemana mereka?"
"Aneh, sungguh aneh!. . ." gumam Peng-say sambil
menggeleng.
"Walaupun tampaknya aneh, kalau dipikir dengan
cermat akan menjadi tidak aneh."
"Masa tidak aneh?" ujar Peng-say.
"Apabila mereka sudah terbunuh semua, kan menjadi
tidak aneh sama sekali."
"Siapa yang membunuh mereka?"
"Kedua orang terakhir yang mendapatkan Siang-liukiam-
boh itu," ucap Sau Kim-leng dengan ketus.
Diam2 Peng-say terkesiap. apakah mungkin kedua orang
yang dimaksud itu ialah gurunya sendiri dan si perempuan
berlengan satu itu? Tapi mengingat gurunya bukan manusia
kejam yang suka membunuh, cepat ia menggeleng dan
berkata: "Tidak-tidak masuk diakal"
Kim-leng tahu anak muda itu tetap membela gurunya,
katanya kemudian dengan gegetun: "Tapi ibu justeru yakin
akan kejadian itu."
"Bagaimana menurut keyakinan ibumu itu?"
"Menurut ibu, Siang-liu-kiam-boh selalu dibawa oleh
ayah, maka dapat diduga pasti kitab pusaka itulah yang
membikin celaka ayah, sedangkan orang yang mencelakai
ayahku itu termasuk belasan jago pedang kelas tinggi yang
hilang itu."
"Jago pedang kelas tinggi?" gumam Peng-say.
"Ya, ibu telah menyelidiki dengan jelas bahwa belasan
orang itu adalah jago2 pedang yang terkenal di dunia
Kangouw," tutur Kim-leng pula. "Bisa jadi mereka
mengincar kitab pusaka ayahku, be-ramai2 mereka lantas
mengerubut dan membunuh ayah. Akhirnya setelah kitab
pusaka itu diperoleh dan dipelajari, mereka sama mengakui
kitab itu berisi ilmu pedang nomor satu di dunia, maka dari
mulut mereka itupun tersiar berita itu secara luas. Lantaran
mereka adalah jago pedang ternama. apa yang mereka
ucapkan tentu juga berbobot, maka berita !tu tersiar
semakin luas sehingga setiap orangpun menganggap Siang
liu-kiam-hoat adalah ilmu pedang nomor satu di dunia.
Tapi di antara belasan orang itu, ada dua orang yang diam2
timbul pikiran jahat." "
"Mengapa ibumu hanya menerka dua orang di
antaranya?" sela Peng-say.
Sau Kim-leng memandang Peng-say sekejap, katanya
kemudian dengan menyesal: "Ibu sendiri cuma menerka
satu di antara mereka yang berpikiran jahat. yang menerka
dua orang di antara mereka itu adalah aku sendiri.
Bagaimana pendapatmu?"
"Aku tidak tahu," jawab Peng-say dengan kurang senang.
"Janganlah kau marah," bujuk Kim-leng dengan suara
lembut.
Peng-say tersadar, ia pikir bila dirinya memperlihatkan
rasa tidak senang, ini sama dengan mengakui bahwa dua
orang di antaranya yang bermaksud jahat itu termasuk juga
gurunva Maka cepat ia menggeleng dan menjawab: "Tidak,
aku tidak marah, lanjutkan saja ceritamu!"
"Kuharap engkau jangan marah, bilamana penuturanku
tidak tepat, hendaklah jangan kau pikirkan. Menurut
taksiranku, demi mengangkangi kitab pusaka ayah, kedua
orang itu lantas membunuh teman2nya satu persatu,
kemudian mereka sengaja mengarang cerita se-akan2
orang? itu telah hilang agar tidak menimbulkan curiga
umum. Tapi entah mengapa, kemudian kedua orang itu
bertengkar sendiri dan masing2 mendapatkan setengah
bagian kitab ayah, pula satu di antara kedua orang itu
terkutung lengan kanannya, ialah. . . . ."
Jelas yang dimaksud si nona ialah gurunva Soat Pengsay,
tapi anak muda itu tidak percaya gurunya adalah
manusia yang rendah begitu, dengan tegas ia bertanja:
"Siapa dia yang kau maksudkan?"
"Kukira kau sendiri sudah tahu!" ujar Kim-leng dengan
menyesal.
"Aku tidak percaya!" teriak Peng-say.
"Persoalannya sudah cukup gamblang, apapula yang kau
ragukan pula?" demlkian pikir Kim-leng di dalam hati,
cuma tidak diucapkannya.
Soat Peng-say memang tidak percaya gurunya adalah
manusia yang rendah dan keji, dia berteriak membantah
pula: "Semua ini cuma rekaanmu saja, sebaiknya jangan
sembarangan kau menerka, tidak mungkin terjadi begitu."
Dengan rendah hati Kim-leng menjawab: "Apakah betul
atau tidak terserah kepadamu, aku cuma mohon
bantuanmu agar ikut menyelidikinya."
"Menurut ceritera nona, dahulu ibumu sudah
menyelidikinya sehingga jelas, kenapa minta bantuan
penyelidikanku pula?!"
"Meski ibu sudah menarik kesimpulan ada satu di
antaranya yang mengangkangi kitab pusaka itu, tapi beliau
tidak dapat menemukar siapa gerangan orangnya, kecuali
salah seorang jago pedang yang telah hilang itu dapat hidup
kembali dan memberi tahukan ibuku, kalau tidak hampir
tiada sesuatu petunjuk lain yang dapat ditemukan."
Tergerak hati Peng-say, katanya: "Ah, masa begitu?!"
"Memang aneh juga, meski ibu telah menyelidiki mulai
dari sumber pertama yang menyiarkan berita tentang Siangliu-
kiam-hoat nomor satu didunia sehingga sanak keluarga
belasan jago pedang yang hilang itu, ternyata sia2 belaka
usahanya."
"Apakah ibumu sudah langsung menanyai sanak
keluarga belasan jago pedang yang hilang itu?" tanya Pengsay.
"Menurut ceritu ibu, semuanya sudah ditanyai tanpi
kecuali, kecermatannya cukup meyakinkan. Akan tetapi
orang yang merupakan sumber berita pertama itu se-akan2
tidak mempunyai sanak keluarga, maka sama sekali tidak
dapat menyelidikinya. Bila betul demikian, cara bagaimana
orang ini bisa mengerubut ayahku bersama belasan orang
yang hiiang itu?"
"Nona Sau, kukira disitulah kesalahan kesimpulan
ibumu," kata Peng-say dengan tersenyum.
Kim-leng menggeleng, katanya: "Tidak mungkin, sebab
belasan orang itu tidak nanti hilang tanpa sebab. Menurut
pendapat ibuku, bisa jadi orang itu muncul peda saat
terakhir dan membantu belasan jago pedang itu membunuh
ayahku, namun belasan jago pedang yang hilang itupun
tidak kenal dia, maka sukar diperoleh keterangan apapun
dan sanak keluarga belasan korban itu."
"Tidak, kukira jalan pikiran ini kurang berdasar," ujar
Peng-say sambil menggeleng. "Kupikir di dalam persoalan
ini pasti ada rahasia lain lagi, hanya saja sejauh itu tak
dapat dipecahkan oleh ibumu."
Mendadak Sau Kim-leng berkata dengan berduka:
"Setelah gagal menemukan jejak ayah, tidak lama setelah
ibu pulang, beliau lantas sakit dan beberapa tahun
kemudian beliaupun wafat, Tapi sebelum meninggal ibu
tetap tidak putus harapan, kata beliau, lambat atau cepat
Siang-liu-kiam-hoat pasti akan muncul didunia Kangouw,
maka aku disuruh menaruh perhatian. Bila Siang-liu-kiamhoat
muncul, tentu tidak sukar mencari jejak ayah,
sekalipun yang ditemukan hanya abu tulang ayah, lalu
dapat dikuburkan bersama ibu, maka tenanglah ibu di alam
baka. Ibupun memberi pesan, apabila ayah ditemukan
belum meninggal, maka per-tama2 harus bersembahyang di
depan makam ibu agar diketahui arwah beliau dialam baka,
kalau tidak, arwah beliau takkan tenang selamanya."
Peng-say sangat terharu atas cerita Sau Kim-leng yang
terakhir ini, ucapnya dengan tulus: "Nona Sau, pasti akan
kubantu mencari jejak ayahmu. sekalipun nanti diketahui
guruku yang mencelakai ayahmu, pasti juga akan
kuberitahukan padamu se-jelas2nya."
Sau Kim-leng berbangkit dan memberi hormat katanya:
"Atas pernyataan Kongcu ini, terimalah hormatku lebih
dulu."
Soat Peng-aay tidak dapat berdiri untuk mencegahnya,
cepat ia menjawab: "Ah, jangan begitu!"
Namun Sau Kim-leng tidak berhenti, ia tetap memberi
hormat dengan khidmat.
"Dengan penghormatanmu ini, hatiku menjadi tidak
tenteram," ujar Peng-say dengan gegetun. "Ketahuilah
bahwa ucapan seorang lelaki sejati pasti akan dilaksanakan,
mestinya engkau tidak perlu memberi penghormatan
setinggi ini."
"Kuberterima kasih dengan setulus hati dan bukannya
meragukan pernyataan Kongcu," ucap Kim-leng.
"Jangankan usaha ibumu yang mengharukan itu. demi
membuktikan bahwa guruku pasti bukan orang yang berhati
jahat dan keji begitu, pasti juga akan kuselidiki soal ini
hingga jelas," kata Peng-say tegas.
"Liok-ma!" mendadak Kim-leng memanggil.
Si nenek mengiakan dan mendekatinya.
"Harap engkau suka menyembuhkan luka Soat-kongcu
yang kau tutuk tadi," kata si nona.
"Lukanya cukup parah, tidaklah mudah untuk
menyembuhkannya," kata Liok-ma.
Sau Kim-leng lantas uring2an, omelnya: "Salahmu
mengapa melukai orang. Tidak mudah disembuhkan juga
harus kau lakukan!"
Ia lupa bahwa apa yang dilakukan Liok-ma tadi adalah
demi membelanya. Tapi si necek tidak berani membantah
melainkan mengiakan saja.
Segera ia memberi perintah kepada Ang-hay-ji yang sejak
tadi berdiri melongo di samping sana: "Lekas panggil Sau
Tiong dan Sau Coan ke sini."
"Untuk apa memanggil mereka?" tanya Kim-leng.
"Luka Soat-kongcu ini harus dirawat di Ciok-leng-tong
(gua susu batu), kupanggil Sau Tiong dan Sau Coan untuk
mengusungnya ke sana," tutur si nenek
"Sau Tiong dan Sau Coan adalah orang kasar, masa
dapat mengusung dengan hati2," ujar Kim-leng sambil
memandang Liok-ma, maksudnya menyuruh si nenek
sendiri yang membawa Soat Peng-say ke gua yang
dimaksud.
Liok-ma merasa enggan, sebab Ciok-leng-tong itu
terletak di pedalaman Ngo-tay-san dan harus melalui jalan
pegunungan yang tidak dekat, bukan soal lelah yang dipikir
Liok-ma, tapi orang tua seperti dia diharuskan memondong
seorang anak muda, inilah yang membuatnya enggan,
apalagi sikap Peng-say juga tidak ramah padanya.
Namun iapun tidak berani membangkang atas kehendak
sang Siocia, selagi ragu itulah, se-konyong2 terdengar suara
tertawa seorang lelaki di luar: "Hahaha, adik Leng, sekali
ini dapatlah kakanda memergoki kau di rumah!"
Meski orangnya masih berada di kejauhan, tapi suaranya
yang bernada bangor itu dapat terdengar dengan jelas.
Air muka Kim-leng menjadi pucat, tanyanya cepat: "Sia
.... siapa dia?"
"Lekas sembunyi, itulah putera Ciamtay Cu-ih," seru
Liok-ma kuatir.
"Mau apa dia datang kemari?" tanya Kim-leng pula.
"Dia .... dia .... sudahlah, jangan tanya lagi, lekas
sembunyi saja!"
Tapi Sau Kim-leng mendengus, katanya: "Hm, mengapa
aku harus sembunyi?"
"Jika tidak segera bersembunyi tentu tidak keburu lagi!"
ujar Liok-ma dengan gelisah.
Mendadak dua orang budak berlari masuk sambil berseru
dengan kuatir: "Lolo, wah, orang banyak tidak mampu
menahannya!"
Kedua budak ini kebetulan adalah Sau Tiong dan Sau
Coan yang akan dipanggil tadi.
"Kedatangan kalian sangat kebetulan," kata Liok-ma.
"Lekas kalian membawa Soat-kongcu ke Ciok-leng-tong
dengan jalan memutar."
Kedua orang itu mengiakan, cepat mereka mengangkat
Soat Peng-say.
Peng-say diam saja membiarkan dirinya diangkat,
pikirnya: "Untuk apakah putera Ciamtay Cu-ih datang ke
sini dari lautan timur yang jauh sana?"
Melihat Sau Kim-leng masih tetap berdiri saja, segera
Liok-ma berseru pula: "Siau Li. lekas membawa Siocia dan
bersembunyi!"
Cepat Siau Li memburu saja, tapi Kim leng lantas
rnendelik, katanya dengan menggeleng: "Tidak, aku tidak
perlu sembunyi!"
Terpaksa Liok-ma bicara terus terang: "Baiklah, biar
kukatakan padamu, selama dua tahun ini sudah tiga kali dia
dataog kemari, kebetulan kau tidak di rumah, tapi kami
tidak berani lapor padamu, sebab dia .... dia bilang akan
menikahi kau dan membawamu ke Tang-hay."
Sekujur badan Sau Kim-leng tampak gemetar, ia
mendamperat: "Binatang, dasar binataug. . . ."
Diam2 Peng-say merasa heran, kalau tidak mau boleh
tolak saja lamaran orang, mengapa mesti maki orang
sebagai binatang? Karena Sau Kim-leng tetap tidak mau
sembunyi. Liok-ma mendesak pula: "Siau Li, lekas gendong
Siocia, sembunyilah ke Ciok leng-tong bersama Sau Tiong
dan Sau Coan."
Segera Siau Li hendak menggendong Sau Kim-leng tapi
si nona tetap menolak, katanya: "Tidak, akan kumaki dia
bila berhadapan nanti!"
"Jangan," seru Liok-ma kuatir. "Orang itu tidak bisa
diajak bicara secara baik2, apalagi aku bukan
tandingannya."
Mendengar satu2nya orang yang diandalkannya ngaku
bukan tandingan si penyatron, mau-tak-mau Sau Kim-leng
jadi gugup, maka ia tidak menolak lagi ketika Siau Li
menggendongnya.
"Lekas bawa Siocia keluar pintu belakang," seru Liok-ma
pula.
Segera Siau Li yang menggendong Kim-leng itu
mendahului jalan di depan dan menyelinap masuk ke
kamar tidur Sau Kim-leng, Sau Tiong dan Sau Coan yang
menggotong Soat Peng-say juga ikut masuk ke situ.
Dalam pada itu terdengar suara penyatron tadi bergema
pula di tempat yang makin dekat, katanya: "Adik Leng
keretamu berada di luar, sekali ini jelas kau berada di
rumah!"
"Siau Tho, lekas keluar dan berusaha menahannya
sebisanya," seru Liok-ma.
Mestinya Siau Tho berada di kamar Sau Kim-leng dan
menjaga Cin Yak-leng di situ, mendengar seruan si nenek,
cepat ia lari keluar.
Waktu masuk kamar tidur, Soat Peng-say sempat
melihat Cin Yak-leng berbaring disuatu tempat tidur buatan
dari perunggu yang indah, tubuhnya tertutup oleh selimut
merah bertepi hijau. kelambu setengah tertutup, agaknya si
nona sedang tidur nyenyak.
Selagi Soat Peng-say hendak membangunkan Cin Yakleng
dan mengajaknya pergi bersama, namun Sau Tiong
dan Sau Coan keburu membawanya keluar melalui sebuah
pintu kecil di belakang kamar tidur itu.
Pikir Peng-say: "Adik Yak-leng sedang tidur nyenyak,
lebih baik jangan kubangunkan."
Ia tidak tahu bahwa Cin Yak-leng bukannyn tidur
nyenyak melainkan pingsan karena Leng-tay-hiat tertutuk.
Baru saja mereka menyelinap keluar, menyusul Liok-ma
lantas masuk ke kamar. Ia mendekati tempat tidur dan
cepat membuka Hiat-to bisu Cin Yak-leng yang ditutuk
Siau Tho tadi serta Sok-kin-hiat itu ia menepuknya pelahan
hingga Yak-leng siuman. . . .
-)()(- -)(dw)(- -)()(-
Sementara itu Siau Li dengan menggendong Sau Kimleng
dan Soat Peng-say yang digotong Sau Tiong dan Sau
Coan telah meninggalkan lingkungan Leng-hiang-cay dan
menuju ke suatu puncak gunung menjulang tinggi ke tengah
awan didepan sana.
Jalan pegunungan melingkar terus menanjak keatas, di
pandang dari jauh mirip usus kambing yang me-lingkar2,
makin lama makin tinggi, tidak lama sampailah mereka di
tengah hutan purba yang lebat.
Jalanan kecil yang sempit kini hampir seluruhnya
terbenam oleh tumbuhan berduri, ditambah keremangan
ditengah hutan yang rindang itu, hampir saja jalanan kecil
itu tidak kelihatan saat itu.
Namun semua itu tidak menjadi halangan bagi Siau Li,
Sau Tiong dan Sau Coan, mereka terus berlompatan di atas
tumbuhan berduri, Ginkang mereka sama sekali tidak
menjadi kendur. Mungkin mereka sudah sangat apal jalan
menuju ke Ciok-long-tong atau gua susu batu yang
dimaksud, walaupun suasana remang2, tapi mereka tetap
dapat membedakan arah dan berlari dan berlompatan
dengan lincah dan cekatan.
Tidak lama kemudian, terbeliaklah mereka, suasana
terang benderang, rupanva hutan purba itu sudah ditembus
mereka dan tibalah di puncak gunung yang gundul,
mungkin karena tiupan angin yang keras, maka di puncak
situ tiada sesuatu tetumbuhan. Yang ada cuma batu2an
yang berbentuk aneh, ada yang mencuat, ada yang mirip
ukiran patung.
Mendadak Siau Li yang berjalan di depan berhenti
mengaso di bawah sebuah batu padas besar, lalu menuju ke
bagian dalam, makin jauh makin gelap, rupanya mereka
sedang memasuki sebuah gua.
Sungguh terlalu gelap gua ini, Siau Li bertiga lantas
menyalakan geretan api, tapi cahaya geretan terlalu lemah,
hanya mencakup sejauh beberapa kaki saja, bagian atas
terang, bagian bawah menjadi remang2. Pula jalanan di
dalam gua terasa lembab dan licin, Gunkang mereka tiada
gunanya didalam gua ini, terpaksa mereka berjalan pelahan
dan hati-hati.
Gua itu makin dalam makin ciut, mendingan tubuh Siau
Li yang memang kecil, Sau Tiong dan Sau Coan terpaksa
harus jalan dengan setengah berjongkok.
Dari cahaya geretan yang menyorot keatas, tampak batu
gua itu berbentuk aneh dan berwarna hitam pekat. Kadang2
ada butiran air yang menetes dari batu itu, bila kuduk
kejatuhan tetesan air, rasanya dingin merasuk tulang.
Waktu muka Soat Peng-say kejatuhan satu tetes, tanpa
terasa ia menggigil kedinginan.
Agak lama mereka merayap di dalam gua itu, setelah
melintasi suatu punggung batu raksasa bagian depan
mendadak ada cahaya terang, makin lama makin terang,
jalanan juga tambah lebar, di sekeliling bagian atas penuh
bergantungan jalur batu yang berbentuk genta, besar kecil,
kasar dan halus tidak tentu.
Setelah belasan langkah pula, mendadak cahaya terang
mencorong masuk dari atas dan menerangi sebuah lubang
gua seluas tiga-empat meter persegi sehingga sesuatu dapat
terlihat dengan jelas. Cahaya itu ternyata tidak menyorot
langsung dari atas, bila memandang kearah atas, lubang gua
itu seperti lurus keatas sehingga mirip sebuah cerobong asap
besar, tapi "cerobong" ini setiap beberapa meter tentu
membelok satu kali sehinga sukar diketahui berapa
tingginya.
Tapi lantaran di bawah lubang gua ini penuh batu2 putih
sehingga ketika tertimpa cahaya dari cerobong di atas lantas
memantulkan sinar terang ke sekelilingnya. Di dalam gua
ternyata penuh jalur2 batu yaog berbentuk aneh dan
membingungkan.
Siau Li menurunkan Sau Kim-leng, lalu si nona berkata
sambi! menuding sekitarnya: "Inilah Ciok-leng-tong yang
kumaksudkan."
Soat Peng-say ditaruh berduduk di suatu potong batu
yang menyerupai sebuah kursi raksasa, dilihatnya di dalam
gua banyak botol porselen. mulut botol menghadap jalur
batu putih yang berbentuk seperti puting susu, dari puting
batu itu meneteslah cairan putih dan tepat masuk ke dalam
botol porselen.
"Apakah Ciok-leng-tong inilah tempat yang
mennghasilkan Leng-ju-coan?" tanya Soat Peng-say.
Sau Kim-leng mengangguk sambil mengulum senyum.
"Keajaiban alam memang sukar dibayangkan tidak
tersangka disini ada sebuah gua yang semuanya terdiri dari
batu puting susu begini!" kata Soat Peng-say dengan
gegetun.
"Batu ini disebut batu puting, makanya kami namainya
gua susu batu, tapi batu di sini lain daripada batu
umumnya, kadar batu disini seragam batu murni, menurut
cerita, air puting batu yang berwarna putih ini pernah
dijadikan barang upeti untuk kerajaan," demikian tutur
Kim-leng.
"Wah, sampai dijadikan barang upeti, maka nilainya
dapat dibayangkan!" ujar Peng-say.
"Coba pikir, air yang tidak mudah diminum raja
sekalipun, sekarang akan kau jadikan air mandi," kata Kimleng
dengan tertawa.
"Apa katamu?" tanya Peng-say terkejut.
Sau Kim-leng hanya tersenyum saja tanpa menjawab, ia
lantas memerintahkan Sau Tiong dan Sau Coan agar
memindahkan kursi raksasa itu.
Pelahan2 Sau Tiong berdua menggeser kursi batu
diduduki Soat Peng say itu, ternyata kursi itu bergerak.
hanya sebentar saja tertampaklah sebuah kolam kecil di
bawah kursi tadi, air yang berhawa dingin segera terasa
menggigilkan, air kolam kecil itupun berwarna putih susu.
Sambil menunjuk kolam kecil itu, Sau Kim-leng berkata
dengan tertawa: "Silakan anda buka baju dan mandi di
situ."
"He. ma. . .mana boleh jadi. . .!" Peng-say menjadi
kelabakan.
"Aku dan Siau Li dengan sendirinya akan menyingkir
dari sini," kata Kim-leng pula dengan wajah ke-merah2an.
Lekas Peng-say berseru: "He, bukan. . .bukan begitu
maksudku. . . ."
Karena gugupnya, ucapan Peng-say se-akan menyatakan
Sau Kim-leng tidak perlu menyingkir pergi apabila benar
dirinya diharuskan mandi telanjang di dalam kolam.
Karena menyangka Peng-say tidak keberatan ditonton,
namun Sau Kim-leng sendiri tetap kikuk, ia lantas
membalik tubuh dan berkata: "Sau Tiong dan Sau Coan,
buka baju Soat-kongcu."
"Eh, jangan, jangan, nanti dulu!" teriak Peng-say,
mungkin Sau Tiong dan Sau Coan telah mulai membelejeti
pakaiannya, maka akhirnya ia berseru "nanti dulu".
Mengira Peng-say malu mandi di depan orang banyak,
selagi Sau Kim-leng hendak mengajak Siau Li menyingkir,
tiba2 Peng-say berkata pula: "Leng-ju-coan satu kolam
penuh ini apakah akan terbuang percuma hanya kugunakan
untuk mandi?"
Baru sekarang Kim-leng tahu kiranya disinilah letak
keberatan Soat Peng-say, diam2 ia tertawa geli, dengan
suara lembut ia hanya berkata: "Tidak menjadi soal. Lengju-
coan yang keluar dari sumber didasar kolam ini
dinginnya melebihi es, memang tidak boleh dibuat minum,
tapi lebih cocok untuk mandi."
"Aneh, apa manfaatnya mandi air ini?" ujar Peng-say
dengan heran.
"Soalnya Tiong ting-hiatmu terluka, kalau melulu Leng
ju-coan yang menetes keluar dari itu kurang cepat
khasiatnya, bilamana berendam pula di dalam kolam,
dengan pengobatan dari luar dan dalam, tentu cepat
kesembuhanmu."
"O, pantas Lolo bilang akan mengantarku ke Ciok-tengtong
ini untuk menyembuhkan lukaku," kata Peng-say.
"Nah, silakan membuka baju!" kata Kim-leng sambil
berdiri membelakangi anak muda itu.
Karena orang lain tiada bermaksud menyingkir, terpaksa
Peng-say menyilakan Sau Tiong dan Sau Coan membuka
bajunya.
Selagi Sau Tiong berdua sibuk bekerja, datanglah Siau Li
dengan membawa satu botol Leng-ju-coan, katanya dengan
tertawa: "Silakan Kongcu minum."
Waktu itu baju luar Peng-say, sudah ditanggalkan, bila
baju dalam dibuka tentu akan mulai telanjang, maka cepat2
ia minum air yang dibawakan itu. Rupanya Siau Li juga
tahu anak muda itu malu ditonton orang, ia tertawa dan
juga berdiri mungkur.
Setelah membuka semua pakaian Peng-say Sau Tiong
dan Sau Coan menggotongnya kedalam kolam. Dasar
kolam itu tidak dalam, dengan duduk bersila di dalam
kolam, tepat air kolam hanya sebatas leher.
Waktu minum Leng-ju-coan yang dibawakan Siau Li
tadi Peng-say merasa perutnya dingin segar, tak tersangka
setelah berduduk di dalam kolam, air kolam benar2 lebih
dingin daripada air es, kalau Sau Kim-leng tidak
memberitahu sebelumnya, bisa jadi dia akan menjerit kaget
"Pantas tidak dapat diminum, kalau diminum pasti isi
perut akan beku," demikian pikir Peng-say. Walaupun
begitu ia sendiripun kedinginan setengah mati.
Pelahan2 Sau Kim-leng membalik tubuh, katanya
dengan tertawa: "Cukup duduk satu jam di situ dan akan
sembuh."
"I . . . . iya. . ." sebisanya Peng-say menjawab, tapi saking
kedinginan. hampir saja giginya gemertuk, kuatir didengar
si nona, cepat ia berbicara untuk menutupi menggigilnya
itu: "Rasanya lebih dingin daripada duduk di tanah bersalju
di musim dingin."
Kim-leng tersenyum, ucapnya: "Lambat-laun takkan kau
rasakan dingin."
"I.... iya. . ." sungguh celaka. hampir saja giginya
gemertuk lagi. lekas ia bertahan sekuatnya dan berkata pula:
"No . . . nona Sau, apakah sebelum ini kau kenal Ciamtay. .
. .Ciamtay-kongcu?"
"Tidak," jawab Kim-leng.
"O, jadi. . . .jadi dia sengaja datang melamar. . . ."
Si nona hanya mengiakan pelahan.
"Entah. . .entah bagaimana tampang mukanya. . . ." kata
Peng-say pula.
Kim-leng hanya meliriknya sekejap tanpa bersuara,
tampaknya dia tidak suka Peng say berbicara mengenai
puteranya Ciamtay Cu-ih.
Sebenarnya Peng-say lagi menggigil kedinginan, ia
bertahan sekuatnya sehingga tidak sempat memperhatikan
sikap si nona. Agar giginya tidak gemertuk, ia berkata pula,
"Jika. . .jika Ciamtay kongcu memiliki tampang muka yang
bagus, agaknya cukup setimpal juga. . . ." "
"Sudahlah. jangan omong lagi!" teriak Kim-leng
mendadak dengan aseran.
Peng-say melengak, seketika ia menggigil sehingga
giginya gemertuk.
Kim-leng mengira anak muda itu menjadi takut karena
dimarahmya, dengan menyesal ia berkata: "Maaf, tidak
seharusnya kumarah padamu. . ."
"Ti. . .tidak apa. . . ." Peng-say menggeleng.
"Sebenarnya tak dapat kukatakan tidak kenal dia," tutur
Kim-leng seteleh menghela napas. "Sebab pada waktu aku
berusia lima tahun sudah kukenal dia bernama Ciamtay
Boh-ko "
"O, kiranya kalian kenal sejak kecil, pantas jauh2 dia
datang dari lautan timur sana untuk melamar dirimu." kata
Peng-say.
Kini Peng-say mulai tidak merasakan kedinginan lagi,
rasa dinginnya sekarang malahan terasa segar dan enak,
terasa 36 ribu pori di tubuhnya sedang mengisap hawa
dingin dengan kuat, makin banyak pori2 itu mengisap,
makin segar pula rasanya, mirip orang minum air es di
musim panas,
"Juga tak dapat dikatakan kenal sejak kecil, sebab
mendiang ibuku tidak mengizinkan aku ber-main2 dengan
dia, bertemu saja dilarang," tutur Kim-leng pula
"O, jadi ibumu pernah membawa kau ke lautan timur
sana?"
"Aku sendiri dilahirkan di lautan timur sana, sampai
berumur lima baru ikut ibu meninggalkan sana."
"Oo!" Peng-say bersuara heran, ia menjadi sangsi, kalau
si nona lahir di lautan timur sana, lalu siapa ayahnya?
Tiba2 Sau Kim-leng menghela napas sedih, katanya pula:
"Kutahu engkau tentu menyangsikan asal-usulku, memang
sudah jelas aku bukan puteri dari Sau Cing-in, dia sudah
hilang 27 tahun lalu, sedangkan umurku baru 20 ... ."
"Sia ... siapakah ayah nona? ...."
"Ciamtay Cu-ih," jawab Kim-leng.
"Ahhh," Peng-say bersuara kaget, sejenak kemudian baru
ia berkata pula: "Pantas kau memaki Ciamtay Boh-ko
sebagai binatang."
"Ciamtay Cu-ih telah membikin susah ibuku, sekarang
menyuruh anaknja mencelakai diriku pula seperti hewan,"
kata Kim-leng dengan gemas
Peng-say merasa bingung, ia bertanya: "Apakah Ciamtay
Cu-ih tidak tahu kau adalah puterinya"
"Masa dia tidak tahu? Apa yang telah diperbuatnya
mustahil dia tidak tahu," jawab Kim-leng dengan gregetan.
"Dan Ciamtay Boh-ko?"
"Sudah tentu iapun tahu aku ini adik perempuannya!"
kata Kim-leng.
Teringat oleh Peng-say sebelum masuk rumah tadi
Ciamtay Boh-ko telah berteriak dan mengaku "kakanda"
terhadap Sau Kim-leng, disangkanya ucapan tersebut hanya
sebagai kata2 rayuan saja, tak tersangka memang benar.
Di dunia ini ternyata ada kakak ingin memperisteri adik
perempuan sendiri, jelas ini perbuatan abnormal, melanggar
susila tata keluarga, sungguh kejadian yang aneh.
Dengan gemas Peng-say juga berkata: "Percuma
Ciamtay Cu-ih termasuk satu diantara 'Su-ki' (empat tokoh )
yang disegani, tadinya kukira dia pasti seorang kosen yang
bijaksana, tak terduga dia malah menganjurkan anaknya
sendiri melakukan perbuatan asusila seperti binatang."
Apapun juga Hong-hoa-wancu Ciamtay Cu-ih tetap ayah
kanduhg Sau Kim-leng, lantaran gemasnya Peng-say
memaki tokoh itu seperti binatang, tentu saja terasa tidak
enak bagi pendengaran Sau Kim-leng.
Segera Peng-say melihat sikap kikuk si nona, ia
menyadari ucapan sendiri yang menyinggung perasaan itu,
ia cepat menyatakan penyesalannya:
"Maaf, nona, bila ucapanku tidak pantas. . . ."
"Aku tidak menyalahkan kau," ujar Kim-leng gegetun.
"Mempunyai ayah begitu. tentu tidak terhindar dari makian
orang. Apabila kuingat aku ini anaknya, sungguh akupun
malu dan ingin mati saja, Entah. . .entah setelah kau tahu
persoalan ini, apakah selanjutnya kau tetap baik
terhadapku?...."
"Aku hanya menganggap engkau adalah puteri Saucianpwe,"
kata Peng-say.
"Kau tidak mencela asal-usulku?" tanya Kim-leng dengan
hati terhibur.
Peng-say mengangguk, katanya: "Sudahlah, urusan ini
tidak perlu kita menyinggungnya lagi, selamanya akan
kuanggap engkau adalah ahli waris Pak-cay, apabila suatu
hari dapat kutemukan setengah Siang-liu-kiam-boh yang
lain pasti akan kukembalikan kepadamu."
Saking terharunya hampir Sau Kim-leng mencucurkan
air mata, katanya: "Ini sih tidak perlu, Siang-liu-kiam-boh
juga tak berguna bagiku. Pula aku bukan keturunan Pak-cay
yang sesungguhnya, aku tidak berhak mendapatkan Siangliu-
kiam-boh. . . ."
"Salah ucapan nona," ujar Peng-say sambil menggeleng.
"Keluarga Sau dari Pak-cay hanya mempunyai puteri she
Sau seperti dirimu ini, bilamana kau tidak berhak
mendapatkan Siang-liu-kiam-boh, lalu siapa yang berhak?"
"Tapi. . .tapi aslinya aku she Ciamtay. . . ."
Peng-say terdiam sejenak, pikirnya: "Di dunia ini tidak
ada ayah-ibu yang salah, tampaknya betapapun kotor dan
rendahnya Hong-hoa-wancu, pada suatu hari akhirnya
nona ini juga akan mengakuinya sebagai ayah."
Setelah termenung sejenak, lalu ia bertanya; "Dan
bagaimana sekarang? Apakah nona sudah mengambil
sesuatu keputusan? Melulu bersembunyi kukira juga bukan
cara yang baik. . . ."
"Tapi selain bersembunyi apapula yang dapat
kuperbuat?" ujar Kim-leng dengan sedih. "Liok-ma jelas
bukan tandingannya, lalu siapa pula yang sanggup
melindungi diriku?"
Jiwa ksatria Soat Peng-say segera membangkitkan
semangatnya dan akan mengajukan kesediaannya membela
si nona, tapi bila teringat pihak lawan teramat lihay,
saimpai Liok-ma juga mengaku bukan tandingannya, kan
berarti dirinya terlalu tidak tahu diri. Maka setelah berpikir,
lalu ia berkata: "Selama dua tahun konon Ciamtay Boh-ko
telah datang mencari kau dua kali, ini menandakan dia
tidak pernah meninggalkan daratan Tionggoan dan
bertekad harus mendapatkan nona. Sekarang kau kepergok
dirumah, kukira urusan tidak mudah diselesaikan.
Sekalipun nanti Liok-ma dapat mengenyahkan dia,
selanjutnya dia tetap akan mengacau lagi ke sini. Jalan yang
paling baik kukira harus mematikan hasratnya untuk
mendapatkan dirimu, maka menurut pendapatku. . . ." "
"Jika Kongcu mempunyai saran yang baik, mohon
memberi petunjuk," pinta Kim-leng.
"Saran baik juga bukao," jawab Peng-say. "Kukira
engkau harus bicara berhadapan dengan dia dan
membujuknya secara persaudaraan."
"Dan kalau dia tidak menurut?"
"Ciamtay Boh-ko adalah keturunan tokoh teekemuka
kukira tidak sampai bertindak secara ngawur, andaikan
sukar dibujuk, apakah benar dia berani membawa kau
pulang ke Tang-hay?"
"Hakikatnya dia memang hewan, masa tidak berani?"
ujar Kim-leng.
"Menurut perkiraanku, meski Ciamtay Boh-ko
menyatakan hendak menikahi kau dan membawa kau ke
Tang-hay, bisa jadi apa yang dilakukannya ini bukan atas
perintah sang ayah, apabila nanti ayahnya mengetahui kau
adalah puterinya, tidak nanti dia membiarkan puteranya
sendiri bertindak ngawur begitu."
"Memangnya kau kira setelah aku dibawa ke Tang-hay,
lalu Hong-hoa-wancu akan mencegah perbuatan Ciamtay
Boh-ko yang melanggar susila ini?"
"Kukira pasti akan dilakukannya," ujar Peng-say.
"Hong-hoa-wancu bukanlah penduduk asli kepulauan
yang masih biadab di lautan timur sana, lihat saja nama
Hong-hoa-wancu, jelas ini nama istana kerajaan Sui-yang-te
pada dinasti Sui dan Tong dahulu. Nama Ciamtay Cu-ih
sendiri juga cangkotan nama murid nabi Khongcu, jelas
Hong-hoa-wancu tidak pernah melupakan adat istiadat
Tionggoan meski dia bertempat tinggal jauh di lautan timur
sana. Kalau sudah begitu, mustahil dia memperkenankan
anaknya sendiri melanggar susila tata kekeluargaan? Kukira
pasti disebabkan Ciamtay Boh-ko dilahirkan dan dibesarkan
di lautan timur sana, dia tidak tahu adat kebiasaan
Tionggoan, bisa jadi untuk pertama kalinya dia berkunjung
ke Tionggoan sini dan mendengar kecantikan nona yang
tiada bandingannya, maka tanpa menghiraukan nona ini
terhitung adik perempuannya, tapi memaksa akan
mengisterikan dirimu. Tapi bila sudah pulang ke Tang-hay,
mustahil Hong-hoa-wancu takkan mencegahnya?"
Mendengar dirinya dipuji Peng-say sebagai cantik tiada
bandingannya, Kim-leng menjadi malu, katanya: "Diriku
hanya gadis gunung biasa saja, manabisa dikatakan cantik
tiada bandingannya...."
"Ini memang kenyataan, bukan muksudku hendak
menyanjung nona," ucap Peng-say.
Pembawaan orang perempuan suka pada kecantikan,
lebih2 bila orang memujinya cantik, betapapun pasti merasa
senang.
Dengan sendirinya Sau Kim-leng juga suka dipuji. Ia
tersenyum, lalu berkata pula: "Tapi Kongcu cuma tahu
yang satu dan tidak tahu yang dua."
"O, masa masih ada persoalan lain?"
"Memang betul seperti dugaan Kongcu tadi. Hong-hoawancu
memang pengagum kebudayaan Tionggoan, maka
tempat tinggalnya telah dibangun sedemikian rupa sehingga
menyerupai istana raja. Tapi hakikatnya dia tidak
menghiraukan tata adat Tionggoan, dia merajai dunia
lautan timur sana dan berbuat sesukanya, bahkan adat
kebiasaan busuk setempat juga dianutnya."
Peng-say terkejut. tanyanya: "Apakah di sana ada adat
kebiasaan perkawman di antara saudara sekandung
sendiri?!"
Kim-leng mengangguk, katanya: "Ketika ibuku
menyelidiki hilangnya ayah di pertemuan Ki-lian-san,
setelah mengunjungi Lam-han dan Se-koan, ibu lantas
menyeberang ke lautan timur sana. Sungguh malang,
perjalanan kesana telah tertahan selama tujuh tahun, sebab
ibu terjeblos ke sarang iblis, beliau bukan tandingan Honghoa-
wancu sehingga diperlakukan tidak senonoh. Pedih hati
ibu dan ingin mati saja kalau bisa, tapi apa daya, biarpun
dimaki dan dipukul, atau bicara menurut aturan, Hong-hoawancu
tetap tidak mau tahu dan juga tidak mau
membebaskan ibu pulang ke Tionggoan. Demi pencarian
jejak ayah, terpaksa ibu mempertahankan hidupnya, lima
tahun kemudian, waktu aku berumur tiga tahun, Ciamtay
Boh-ko juga sudah berumur sepuluh. Suatu hari waktu
Hong-hoa-wancu menimang diriku, ia bilang kepada ibu
bahwa Leng-ji makin besar makin menyenangkan,
bilamana sudah besar kelak rasanya berat kalau dinikahkan
kepada orang luar, syukur adat kebiasaan setempat
memperbolehkan perkawinan antara saudara sendiri, maka
kelak biar Boh-ko kawin saja dengan anak Leng dan
mewarisi Hong-hoa-wan bersama."
Peng-say meng-geleng2 kepala oleh cerita yang tidak
masuk diakal sehat itu.
Kim-leng mencucurkan air mata, katanya pula:
"Mendengar ucapan Hong hoa-wancu itu, dapat
dibayangkan betapa kejut dan sedih ibuku. beliau tidak
memperlihatkan sesuatu perasaan apapun, diam2 ia
mencari kesempatan untuk meloloskan diri dari sarang iblis.
Selama dua tahun ibu terus berusaha, disamping menyogok
pelayan dan siap menyeberangi lautan , diam2 juga berjaga
agar aku tidak bergaul dengan Ciamtay Boh-ko. Sebab
itulah sampai sekarang aku tidak mempunyai kesan apapun
terhadap Ciamtay Boh-ko, mungkin Ciamtay Boh-ko
sendiri juga tidak mempunyai kesan apapun atas diriku,
inilah cara mendiang ibuku ber-jaga2 terhadap segala
kemungkinan, sebelum meninggal ibu juga berpesan
padaku, apabila kelak Ciamtay Boh-ko datang ke Tiongoan
dan terlalu mendesak, maka aku dianjurkan mengasingkan
diri dan hidup terpencil agar tidak dapat ditemukan
Ciamtay Boh-ko. Tujuh tahun ibu bertempat tinggal di
Tang-hay sana, akhirnya tiba saatnya ketika Hong-hoawancu
sedang mabuk, ibu berusaha membunuhnya dan
melarikan diri . . . ."
"Jadikah Hong-hoa-wancu mati?" sela Peng-say.
"Menurut cerita ibu, Hong-hoa-wancu benar2 tidak malu
menjadi satu diantara Su-ki yang termashur, sudah jelas
pedang ibu tepat menikam pada tempat fatal di tubuhnya,
tapi dia masih mampu mematahkan pedang ibu, bahkan
balas menghantam sekali sehingga ibu terluka. Melihat
bagian pedang yang patah menancap di tubuh Hong-hoawancu
dan dia tetap berdiri tegak tanpa roboh. ibu menjadi
ketakutan dan cepat2 melarikan diri dengan menanggung
luka, karena itulah mati hidup Hong-hoa-wancu juga tidak
diketahui. Akan tetapi kemudian sama sekali tiada tersiar
berita tentang kematian Hong-hoa-wancu, jadi mungkin dia
masih hidup. Namun menurut ibu, biarpun tikaman itu
tidak membinasakan dia, sedikitnya akan membuatnya
lumpuh untuk selamanya dan sakit hati selama tujuh tahun
terasa sudah terbalas. Sampai sekarang Hong-hoa-wancu
tidak pernah muncul di Tionggoan, mungkin dia memang
sudah lumpuh. Sebaliknya karena pukulan Hong hoawancu
luka ibupun tidak ringan dan tidak pernah
disembuhkan secara tuntas. Ditambah lagi ibu terlalu capek
mencari Caycu, lari kesana cari kesini, akhirnya buyarlah
segala harapannya untuk menemukannya, karena sedih
ditambah lukanya, ibu tidak pernah bangun lagi, beliau
wafat pada waktu aku berumur sebelas."
Peng-say menghela napas gegetun, katanya: "Kalau
Hong hoa-wancu lumpuh tesama itu, jelas itulah
ganjarannya yang setimpal. Tapi kematian ibumu, ai,
sungguh tidak adil dunia ini."
"Yang harus disesalkan adalah diriku yang dilahirkan tak
berguna ini," ucap Sau Kim-leng dengan gemas. "Ilmu silat
tak dapat kulatih, aku tidak mampu pergi ke Tang-hay
untuk menuntut balas kematian ibu, sebaliknya Hong-hoawancu
malah tidak melupakan diriku, jelas dia sengaja
menyuruh puteranya datang kemari untuk memaksa diriku
pulang ke Tang-hay sana."
"Dengan tindakan ini apa manfaatnya bagi Hong-hoawancu
sendiri?" ujar Peng-say sambil meng-geleng2 kepala.
"Dia mengira ibu belum meninggal, tentu dia sengaja
menyuruh anaknya bertindak demikian agar ibu mati keki,"
kata Kim-leng.
Peng-say menggeleng kepala pula, ucapnya: "Ibumu
adalah tokoh ternama di dunia Kangouw, setiap orang Bulim
tahu ibumu sudah meninggal dunia, makanya terjadi
penyatron berulang kali ke Leng-hiang-cay sini. Meski
Hong-hoa-wancu ber-tempat tinggal jauh di lautan sana,
tentu dia juga mendengar berita meninggalnya ibumu."
"Pendek kata, jelas Hong-hoa-wancu tidak bermaksud
baik," ucap Kim-leng dengan gegetun.
"Apabila pada suatu hari engkau dapat menuntut balas,
cara bagaimana akan kau perlakukan Hong-hoa-wancu?"
tanya Peng-say.
Kim-leng ragu sejenak, jawabnya kemudian dengan
tergagap: "Akan akan kubunuh dia. . . ."
"Jangan lupa, dia adalah ayah-kandungmu!"
Mendadak Sau Kim-leog mendekap mukanya dan
menangis, serunya: "Tapi. . .tapi kalau dia tahu hubungan
baik antara ayah dan anak, tentu dia tidak menyuruh
puteranya datang kesini untuk menghina diriku "
"Nona janganlah berduka, yang penting sekarang,
pikirkanlah cara bagaimana menghadapinya," ujar Pengsay.
"Dalam keadaan terpaksa, biarlah kutinggalkan tempat
ini, aku akan mengasingkan diri untuk menyambung sisa
hidupku ini."
"Tapi pondasi Pak-cay yang sudah terpupuk selama
ratusan tabun. apakah tidak sayang jika ditinggalkan begitu
saja?"
"Habis seorang perempuan lemah macam diriku ini masa
mampu menghadapi srigala yang buas itu?"
Peng-say terdiam. Ia membatin: "Semoga Sau Cing-in
belum lagi mati, asalkan dia muncul kembali untuk
mengemudikan keadaan ini, tentu Pak-cay dapat
diselamatkan."
Akan tetapi Sau Cing-in sudah hilang 27 tahun lamanya,
apakah jalan pikirannya ini tidak terlalu muluk?
Tiba2 Sau Kim-leng bertutur pula: "Ang-hay-ji adalah
anak yatim-piatu yang dibuang orang tuanya, tak diketahui
she dan namanya, tapi dia pintar dan cerdas, mestinya ada
maksudku akan mengangkat dia menjadi ahliwaris Pak-cay
agar nama kebesaran Pak-cay yang sudah bersejarah
ratusan tahun ini tidak hanyut di tanganku." "
"Inipun pikiran yang baik," ujar Peng-say "Sudah berapa
tahun Liok-ma mengajarkan Kungfu kepadanya?"
"Kira2 tiga tahun," jawab Kim-leng.
"Kalau sudah dewasa nanti akan kuajarkan padanya
setengah bagian kiri Siang-liu-kiam-hoat ini," kata Peng-say.
"Tapi setelah dia dewasa nanti, mungkin didunia
persilatan sudah tidak dikenal lagi nama Pak Cay," kata
Kim-leng.
"Kan masih ada Liok-ma, kukira tidak perlu kuatir."
"Usia Liok-ma sudah hampir delapan puluh, berapa
tahun lagi dapat kita tunggu?" ujar Kim-leng.
"Ya, ini .... memang . . . . "
"Meski kau bukan murid Pak-cay, tapi kau memiliki ilmu
pedang Pak-cay, asalkan kau mau mengambil alih tugas ini
dan berjuang bagi Pak-cay, tentu nama Pak-cay tidak kuatir
akan lenyap."
Permintaan ini sebenarnya rada semberono, tapi lantaran
percakapan mereka makin lama makin cocok, Sau Kimleng
memandang Peng-say seperti orang sendiri, tanpa
terasa tercetus permintaannya itu.
Tapi Peng-say juga tidak marah, ia mengangguk dan
berkata: "Pantasnya, karena aku memainkan ilmu pedang
Pak-cay, akupun harus berjuang bagi Pak-cay, asalkan
tenagaku mampu melaksanakannya. secara diam2 aku pasti
akan membela nama baik Pak-cay."
"Kenapa mesti secara diam2?" tanya Kim-leng dengan
heran.
"Habis bagaimana menurut kehendak nona?"
"Jika aku mengasingkan diri, Liok-ma tentu akan ikut
bersamaku, Leng-hiang-cay tidak boleh kosong tanpa
pemilik, sedangkan usia Ang-hay-ji masih terlalu kecil,
kelak juga belum pasti sanggup memikul beban berat
sebagai pewaris Pak-cay, sekarang terpaksa harus mohon
bantuanmu agar suka tinggal di sini dan menjadi pemilik
Pak-cay."
Cepat Peng-say menggeleng, katanya: "Wah, mana boleh
jadi begini! Betapa banyak harta benda Pak-cay mana boleh
jatuh ke tanganku dengan begini saja? Apalagi aku masih
banyak urusan lain dan tidak dapat setiap hari berdiam di
Leng-hiang-cay."
"Ai, Ka. . . . Kongcu dungu," mestinya dia akan bilang
"kakak tolol", tapi terasa tidak enak, maka cepat ganti
sebutan, "siapa yang suruh kau berdiam disini setiap hari,
kau bebas kemanapun sesukamu, jangan lupa, aku kan
pernah minta bantuanmu agar ikut mencari kabar jejak
Caycu, jika engkau hanya berdiam disini setiap hari, lalu
cara bagaimana akan kau cari beritanya? Terserah padamu,
boleh kau tinggal di sini satu-dua hari setiap bulan atau
sepuluh hari setiap dua bulan, asal saja kau menganggapnya
sebagai tempat tinggalmu."
Tapi Peng-say tetap menggeleng, katanya: "Tanpa alasan
seorang asing seperti diriku ini mendadak disuruh menjadi
pemilik Pak-cay, namanya tidak cocok, kata2nya tidak
sesuai, kukira tidak boleh jadi."
Mendadak dari lorong sana ada orang menyambung:
"Siapa bilang namanya tidak cocok dan kata2nya tidak
sesuai?"
"Ah, Liok-ma datang," seru Kim-leng girang.
Benar juga, sejenak kemudian tampak liok-ma
melangkah masuk gua itu, katanya dengan mengulum
senyum: "Soat kongcu diminta menjadi Pak-cay Caycu
kukira memang paling ideal. Tua bangka macam diriku
entah bisa hidup berapa tahun lagi, bilamana mendadak
kutinggalkan dunia fana ini, tertinggal anak ingusan macam
Ang hay-ji bisa ber-buat apa? Kepandaian Soat kongcu jelas
tidak di bawahku, engkau juga menguasai ilmu pedang
ciptaan Loya, ini sama dengan murid Loya, sungguh ideal
bila engkau menjadi pewaris Pak-cay. Soal namanya tidak
cocok dan kata2nya tidak sesuai kan mudah diatur."
"Cara bagaimana mengaturnya?" tanya Kim-leng.
"Asalkan dia memperisteri Siocia kita, kan segala urusan
menjadi beres?" ujar Liok-ma dengan tertawa.
Seketika muka Sau Kim-leng menjadi merah, ia
menunduk malu hingga kepala hampir menempel dada.
Tapi dia tidak bersuara, bahkan cuma merasa malu saja,
jelas diam2 berarti setuju, hanya tidak diketahuinya apakah
sang jejaka setuju atau tidak.
Bahwa mendadak ada rejeki nomplok, diberi isteri
cantik, terima warisan harta benda yang tak terhitung
besarnya, semua ini benar2 sangat menarik. Soat Peng-say
sendiri baru saja lolos dari lubang jarum, setelah jiwa
selamat segera diuruk rejeki, perubahan mendadak ini
benar2 membuatnya terkesima,
Sejak dulu setiap pahlawan memang sukar terhindar dari
gangguan si cantik, bahwa sekarang isteri cantik disodorkan
kepadanya, betapapun Soat Peng-say sukar menolaknya,
jangankan kuatir akan melukai hati si nona, sesungguhnya
iapun merasa sayang untuk tidak menerimanya. Tapi kalau
dia menerima begitu saja, rasanya juga rada2 enggan.
Untung pinangan Liok-ma itu tidak ditanyakan secara
langsung, jadi masih dapat dipertimbangkan lagi secara
pelahan2.
Maka Peng-say lantas bertanva: "Apakah Ciamtay Bohko
sudah pergi?"
"Syukurlah sudah dapat kuenyahkan dan terhindarlah
kesukaran di depan mata," jawab Liok-ma. "Eh, hari sudah
lewat lohor, kalian belum makan siang, maka sengaja
kudatang memapak pulang Siau-leng."
-ooo0dw0ooo-
Jilid 7
Baru sekarang Sau Kim-leng mengangkat kepalanya dan
melirik Peng-say sekejap, lalu katanya kepada Liok-ma:
"Dan dia. . . .dia bagaimana?"
"Soat-kongcu sudah berduduk sekian lamanya didalam
kolam, kukira lukanya sudah hampir sembuh seluruhnya
dan sekarang bolehlah berdiri," kata Liok-ma.
"Sau Tiong dan Sau Coan, lekas kalian melayani Soatkongcu
berpakaian, aku dan Siocia berangkat lebih dulu."
Segera Siau Li menggendong lagi Sau Kim-leng dan ikut
keluar gua bersama Liok-ma. Di dalam gua sekarang tiada
orang perempuan lagi, Peng-say lantas melompat keluar
kolam, ia coba mengatur napas dan melemaskan otot,
rasanya memang sudah hampir sehat seluruhnya. Iapun
tidak minta dilayani Sau Tiong dan Sau Coan, ber-gegas2 ia
berpakaian sendiri. Setelah Peng-say bersama Sau Tiong
dan Sau Coan sampai di Leng-hiang-cay, sementara itu
santapan yang tersedia sudah hampir dingin, tapi sebelum
Peng-say bersantap, lebih dulu ia lantas menanyai Ang-hayji:
"Di mana Lolo?"
"Lolo dan Kokoh (bibi) sudah dahar, mereka berada di
atas loteng," jawab Ang hay-ji.
Peng-say mengangguk, tampa bicara lagi ia terus menuju
ke atas.
"Hei, engkau belum makan?!" seru Ang-hay-ji.
"Aku tidak lapar, makan nanti saja," sahut Peng-say
walaupun perutnya sudah berkeruyukan.
Rupanya dia menguatirkan keselamatan Cin Yak-leng,
maka ingin tanya Liok-ma apakah Yak-leng sudah
mendusin dan sudah makan atau belum.
Waktu Cin Yak-leng hendak tidur, wajahnya kelihatan
meriang, setelah sekian lama tak dijenguk, ia menjadi
kuatir. Maka dengan langkah ter-gesa2 ia mendatangi
kamar tidur Sau Kim-leng.
Dari jauh sudah didengarnya suara kecapi, waktu masuk
keruangan panjang sana, ia menjadi terkesima oleh suara
kecapi yang mengalun merdu, tanpa terasa ia berhenti dan
mendengarkan dengan cermat, suara kecapi itu jelas
berkumandang dari kamar tidur Sau Kim-leng.
Agaknya Peng-say mempunyai bakat seni, setelah
mendengarkan sejenak, tahulah dia Sau Kim-leng sedang
memetik lagu berdasarkan isi Si-keng (kitab bersyair) yang
berjudul "Tho-yau". Syair ini mengisahkan seorang gadis
yang sudah cukup umur dan sedang berahi, tapi sebegitu
jauh belum lagi mendapatkan jodoh, maka tercetuslah
perasaannya melalui lagu ini untuk menghibur hatinya yang
haus cinta.
Syair itu terdiri dari tiga bait, sampai sekian lama Pengsay
mendengarkan dan ternyata bolak-balik Sau Kim-leng
hanya mengulangi bait lagu ini. Diam2 ia merasa geli,
pikirnya: "Kelihatannya nona Sau ini malu2 kucing, tak
tersangka iapun berani memetik lagu yang bernada minta
kawin ini."
Se-konyong2 terpikir olehnya mengapa si nona bolakbalik
membawakan lagu itu melulu, jangan2 sengaja
diperdengarkan kepadanya.
Pada saat itulah mendadak pintu kamar terbuka, Liokma
melongok keluar dan menyapa dengan tertawa: "He,
kiranya Soat kongcu sudah datang."
Suara kecapi seketika berhenti juga begitu mendengar
Soat Peng-say sudah datang.Mendingan kalau si nona tidak
memutus petikan kecapinya. karena berhenti mendadak, hal
ini malah kelihatan belangnya, tandanya dia malu untuk
memetik lagi lagu itu.
Diam2 Peng-say membatin: "Waktu di Ciok-leng-tong,
dia malu2 dan jarang bicara. Tapi sekarang dia
memaparkan perasaannya melalui suara kecapi. jelas dia
sangat suka menjadi isteriku. Jika sebentar Liok-ma
langsung mengajukan persoalan ini kepadaku, lalu cara
bagaimana harus kujawabnya?"
Mendadak didengarnya Liok-ma sedang menegur: "He,
kau melamun apa?Mau masuk tidak?"
Peng-say terkejut dan cepat menjawab: "Mau, mau
masuk!" — Segera ia melompat masuk ke dalam kamar.
Liok-ma menggeleng kepala, katanya: "Kenapa terburu2.
masa kututup pintu dan mengalangi
kedatanganmu?"
Peng-say menyengir. Tanyanya kemudian: "Dimanakah
adik perempuanku?"
"Ingin kutanya dulu sesuatu padamu, coba bagaimana
jawabmu, jangan terburu tanya adikmu," kata Liok-ma.
Terkesiap hati Peng-say, benar juga segera Liok-ma
membicarakan tentang perjodohannya dengan Sau Kimleng,
katanya: "Ingin kutanya padamu. kau suka kawin
dengan Siau Leng atau tidak? Mengenai Siau Leng, dia
sudah pasrah padaku. Bahwa da menyerahkan soal yang
kutanyakan ini padaku, jetas dia sudah mau. Tinggal kau,
hendaklah kau jawab terus terang. Kita sama2 orang yang
suka blak2an dan tidak perlu bicara secara ber-tele2. Kalau
mau bilang mau. tidak mau ya katakan tidak mau."
Tentu saja Peng-say serba susah, jawabnya dengan
gelagapan: "Ini .... ini .... "
"Tidak perlu ini atau itu," bentak Liok-ma mendadak
dengan mendelik. "Kau tidak mau, begitu?"
"Tapi perjodohan adalah urusan penting, harus
dipertimbangkan dengan baik dan tidak boleh diputuskan
secara gegabah," kata Peng-say.
Liok-ma menjadi tidak tenang, ucapnya: "Apa yang
perlu dipertimbangkan lagi? Apa kau takut?"
Peng-say meleogak, belum lagi ia paham apa arti ucapan
nenek itu, dilihatnya Siau Tho melangkah keluar dan
berkata: "Lolo, Siocia bilang boleh memberi kesempatan
padanya untuk dipertimbangkan dan jangan memaksanya."
"Masa kupaksa dia?" kata Liok-ma. "Rejeki nomplok
begini, siapa yeng tidak mau? Bila seorang pemberani,
mungkin kontan akan menjawab ya dan kuatir terlambat
memberi jawaban. Hanya manusia pengecut saja yang suka
ragu2 dan sangsi2, pakai pertimbangan segala."
"Kukira ucapanmu ini kurang tepat?" ujar Peng-say.
"Apa? Tidak tepat?" kontan si nenek mendelik pula.
"Hm, jelas kau takut bila menikah dengan Siau Leng, tentu
Ciamtay Boh-ko akan mencari perkara padamu, kalau tidak
masa kau ragu2. Untuk ini. biarlah Liok-ma memberi
jaminan padamu, kutanggung bocah itu takkan merecoki
kau. Kau boleh menjadi majikan Pak-cay kami dengan
aman sentosa, hidup bahagia seumur hidupmu."
Rupanya Liok-ma mengira Soat Peng-say bernyali kecil
dan takut pada Ciamtay Boh-ko, maka dia memberi garansi
penuh.
Peng-say tidak mau membantahnya, ia pikir bila aku
suka, boleh kukawin secara resmi dan terang2an,
memangnya siapa yang kutakuti? Apalagi kalau aku kawin
dengan Sau Kim-leng, jelas akan membikin buntu pikiran
sesat Ciamtay Boh-ko, betapapun dia takkan paksa adik
perempuannya yang sudah kawin dengan orang lain untuk
bercerai dan kawin lagi dengan dia sendiri?"
Berpikir demikian, ia merasa jalan pikirannya ini sangat
bagus dan akan bantu memecahkan kesulitan orang lain,
dengan simpati ia lantas berseru: "Nona Sau, apabila kau
sudah kawin, tentu Ciamtay Boh-ko takkan merecoki kau
lagi dan kaupun tidak perlu kuatir akan dipaksa ikut pulang
ke Tang-hay."'
Di dalam kamarnya, Sau Kim-leng merasa ucapan Pengsay
itu masuk di akal, diam2 hatinya bergirang.
Supaya maklum, di jaman dahulu, perempuan yang
berusia 15 sudah cukup umur untuk kawin. Bila berunur 20
dan belum menikah, maka akan dianggap perawan tua dan
akan menimbulkan omongan iseng tetangga, bila disangka
kelakuannya tidak baik atau mukanya jelek segala.
Kini umur Sau Kim-leng sudah lewat 20. sudah lima
tahun masa jodohnya dilalui dengan hampa, ia menjadi
sedih bila dirinya tidak lekas2 menikah, bisa jadi akan
ditertawai orang. Cuma penilaiannya terlalu tinggi, selama
ini belum ketemu jodoh yang cocok. Baru tahun yang lalu
secara kebetulan ia penujui Cin Yak-leng yang cakap. maka
tergodalah hatinya. Siapa tahu kekasihnya itu adalah jejaka
gadungan.
Tentu saja ia sangat kecewa dan sedih, entah kapan baru
akan menemukan jodoh yang setimpal. Setelah bergaul
setengah hari dengan Soat Peng-say, ia merasa anak muda
ini berhati jujur dan simpatik, banyak segi2 baiknya, apalagi
dia adalah Soat Peng-say yang tulen, bukan Soat Peng-say
gadungan. Karena itulah hatinya yang tergoda oleh Pengsay
gadungan itu lantas beralih kepada Peng-say yang tulen.
Waktu Liok-ma mengusulkan agar Soat Peng-say
menikahi dia, mendadak timbul semacam perasaan kuat
bahwa dia harus kawin dengan orang ini, karena itulah
dalam hati ia sudah setuju seratus persen. Setelah pulang ke
kamarnya, melalui suara kecapi diulanginya perasaannya
itu.
Perempuan kalau besar harus kawin. dia melambangkan
perasaannya melalui suara kecapi, ini bukannya dia tidak
dapat mengekang diri, melainkan semacam tanda minta
kawin yang normal.
Semula ia kuatir Soat Peng-say tidak sudi menikahinya,
tapi sekarang didengarnya anak muda itu menyuruh dia
jangan kuatir, ia sangka ucapan Peng-say itu berarti anak
muda itu sudah setuju untuk kawin dengan dia, dengan
sendirinya ia kegirangan.
Maka dengan malu2 ia menjawab: "Soat . . . Soat-long,
ucapanmu betul juga ... . " nyata, tanpa terasa ia telah
menyebut Peng-say dengan sebutan "long" (sebutan isteri
pada suami atau kekasih).
Liok-ma lantas tertawa, katanya: "Nah, Kongcu dengar
tidak?"
Karena hati Peng-say tidak pernah berpikir sampai
sejauh itu, ia tidak tahu dimana letak keistimewaan sebutan
"Soat-long" itu, maka dengan ke-tolol2an ia menjawab:
"Dengar apa?"
Dengan mendongkol Liok-ma mengomel: "Dungu, Siau
Leng sudah ganti sebutan padamu, masa kau tidak tahu?
Menurut pendapatku, jika perkawinan dapat
menghilangkan maksud buruk Ciamtay Boh-ko, nah,
kenapa tidak cepat kalian laksanakan saja. Gembleng besi
mumpung panas, bagaimana kalau kita langsungkan saja
hari ini juga?!"
"Apa katamu?" seru Peng-say terkejut. "Ini.... ini ....
mana boleh jadi!"
Ya dongkol ya bingung Liok-ma, sungguh sukar
dimengerti ada lelaki aneh begini, ada rejeki nomplok tidak
mau, disodori gadis cantik malah menolak. Segera ia
bertanya dengan gusar: "Eh, coba kau bicara yang jelas,
sesungguhnya kau mau kawin dengan Siocia kami atau
tidak?"
Soat Peng-say sendiri sebatangkara, tidak punya sanak
tidak punya kadang, tidak punya rumah tidak punya
gudang, kawin dan berumah tangga sebenarnya adalah
idamannya, tapi dalam hati kecilnya terasa ada sesuatu
perasaan enggan yang sukar dijelaskan, maka ia menjadi
ragu2 dan menjawab dengan tergagap:
"Aku .... aku tidak tahu ...."
"Apa katamu? Kau tidak tahu?" teriak Liok-ma. "Sialan!
Lelaki macam apa kau ini? Kau kan bukan anak kecil, masa
urusan perjodohan sendiri kau bilang tidak tahu?"
"Aku .... aku .... "
"Aku apa? Berani bilang tidak mau, segera kubunuh
kau!" bentak Liok-ma sebelum lanjut ucapan Peng say.
Sungguh lucu dan janggal Masa "ulam mencari sambal",
masa ada perempuan mencari lelaki dan memaksanya
kawin.
"Liok-ma," tiba2 Sau Kim-leng yang berada di dalam
kamar berseru, "sudahlah kalau dia tidak mau, biar
....biarkan dia pergi saja . . . ." Sampai kata terakhir itu,
suaranya kedengaran pedih dan tersedan-sedu.
Peng-say tidak tahan mendengar tangisan perempuan,
dengan menyesal ia berkata: "Nona Sau, bukanlah aku
tidak mau melainkan karena aku tidak dapat ...."
"Mengapa tidak dapat? Karena aku cuma seorang
perempuan yang tak berguna?" sela Kim-leng.
"O, tidak, bukan begitu," jawab Peng say.
"Tapi. . .tapi akupun sukar memberi penjelasan. . . ."
Liok-ma menjadi murka, bentaknya: "Anak busuk,
plintat-plintut, kalau tidak mau, lekas enyah!"
"Dan adik perempuanku?" tanya Peng-say dengan
bersitegang,
"Siapa urus adikmu, lekas enyah, lekas pergi!" bentak
Liok-ma pula. "Jika tidak lekas enyah, biar pun nanti
didamperat Siocia juga akan kubunuh kau."
Segera Peng-say pasang kuda2 dan melintangkan tangan
di depan dada, katanya pula dengan tegas "Di mana adik
perenpuanku?"
"Anak keparat, kau benar2 sudah bosan hidup!" teriak
Liok-ma dengan gemas, kontan telapak tangannya menabas
secepat kilat. Ciang-hoat atau ilmu pukulan dengan telapak
tangan Pak-cay terhitung juga ilmu silat yang termashur
didunia persilatan walauoun tidak sehebat ilmu pedangnya.
Liok-ma sudah mendapatkan ajaran Ciang-hoat
selengkapnya, maka daya serangannya tidak kepalang
dahsyatnya, pukulan demi pukulan bertambah cepat
laksana angin puyuh menyapu daun rontok dan sangat
mengejutkan lawan.
Soat Peng-say belajar Ciang-hoat melalui Siang-jing-pitlok,
sebuah kitab pusaka yang memuat seluruh ilmu silat
Bu-tong-pay kecuali ilmu pedang. Ciang-hoat yang terdapat
di dalam kitab itu tidak lebih asor daripada Ciang-hoat gaya
Pak-cay. Cuma keuletan Peng-say yang selisih jauh di
bandingkan Liok-ma, dengan sendirinya terjadilah
perbedaan kekuatan pukulan yang menyolok.
Sedapatnya Peng tay mematahkan beberapa kali pukulan
si nenek, ketika angin pukulan lawan mulai mengurung
dirinya, gerak-geriknya menjadi lamban dan tidak sanggup
menangkis dan balas menyerang lagi.
Dengan suatu gerak pancingan, Liok-ma membuat Pengsay
kerepotan, menyusul sebelah tangannya lantas
mencengkeram, Peng-say ditawannya hidup2 dan diangkat
ke atas, segera pemuda itu hendak dibantingnya hingga
hancur.
Untunglah pada saat itu juga Sau Kim-leng melangkah
keluar, dengan air mata meleleh ia berseru: "Jangan
melukai dia, Liok ma!"
"Anak busuk ini terlalu tidak tahu diri, kau malah
melindungi dia?" omel Liok-ma dengan penasaran. "Biar
kubanting dia hingga setengah mati, lalu suruh dia enyah
dari sini dengan merangkak!"
"Tidak, jangan," ucap si nona Lalu ia bertanya: "Di
manakah adik perempuannya?"
"Sejak tadi2 sudah pergi sendiri," jawab Liok-ma.
"Lepaskan dia, biarkan dia pergi juga," kata Sau Kimleng.
Tapi Liok-ma tidak mau menurut.
Kim-leng menjadi gusar; "Dengar tidak, Liok-ma?"
Tidak kepalang gemas Liok-ma, ia lemparkan Soat Pengsay
ke sana, cuma tidak berani menggunakan tenaga berat.
Maka sekali melejit di udara. dapatlah Peng-say berdiri
tegak di tanah.
"Huh, tanpa pedang, ilmu silatmu tiada ubahnya seperti
anak kecil umur tiga, tidak tahan sekali pukul!" demikian
Liok-ma sengaja mengejek. "Tapi sekalipun kau pakai
pedang, yang kau mainkan juga ilmu pedang Pak-cay kami,
ilmu silatmu yang asli tiada berguna sama sekali. Untung
Siau Leng tidak jadi kawin dengan kau, jika jadi, kalau ada
apa2 mungkin kaupun tidak mampu membela isteri sendiri.
Maka lebih baik cepat merat dari sini, belajarlah beberapa
tahun lagi baru nanti perlihatkan lagi kepandaianmu
kepadaku."
Peng-say menahan rasa malunya karena telah keok, ia
tanya pula: "Di manakah adik perempuanku?"
"Apa kau tuli?" damperat Liok-ma. "Kan sudah
kukatakan dia telah pergi sendiri?!"
"Dia benar2 pergi sendiri?" Peng-say menegas dengan
sangsi.
"Kalau justa aku . . . . " mendadak si nenek tidak
melanjutkan.
"Aku apa?" Peng-say menegas.
Liok-ma berlagak tidak sabar dan berteriak "Sudahlah,
lekas enyah, percaya atau tidak terserah padamu Adikmu
kan bukan mestika berharga, untuk apa kusembunyikan
dia?"
Peng-say manggut2, gumannya: "Ya, benar juga, kalau
adik Leng tinggal disini hanya akan menghabiskan nasi
saja. Kalau dia sudah pergi, harus lekas kususul dia."
Habis berkata, tanpa pamit ia terus melangkah pergi
dengan cepat. Ketika lalu di samping Sau Kim-leng, ia
pura2 tidak menghiraukannya, pada waktu Liok-ma lengah,
mendadak tangannya membalik dan berhasil
mencengkeram Sau Kim-leng.
Karuan Liok-ma terkejut dan membentak: "Kau cari
mampus?!"
"Tetap di tempat, jangan maju!" bentak Peng-say dengan
bengis.
Gemertuk gigi Liok-ma saking gemasnya, damperatnya:
"Anak busuk, berani kau ganggu Siau Leng, kubeset
kulitmu dan betot uratmu!"
Tapi iapun tidak berani sembarangan bertindak demi
melihat air muka Peng-say yang beringas itu.
Anak muda itu masih tetap dengan pertanyaan tadi: "Di
manakah adik perempuanku?"
Liok-ma meraung: "Keparat, harus berapa puluh kali
kuulangi perkataanku?"
"Menuruti watakmu yang keras, tidak nanti kau
bebaskan adik Leng dengan begitu saja," ujar Peng-say.
"Pula, adik Leng juga takkan pergi sendiri tanpa menunggu
aku."
"Aku bersumpah bahwa dia tidak berada disini," teriak
Liok-ma. "Jika dia masih terdapat disini, asal kau temukan,
biar Lolo merangkuk di tanah dan menyembah seribu kali
padamu."
"Tadi mengapa kau tidak berani sumpah. Kalau kau
berdusta bagaimana?" jengek Peng-say.
"Kalau kubilang dia sudah pergi ya sudah pergi, bila
dusta anggap Lolo ini piaraanmu!" jawab si nenek dengan
mendongkol.
"Dia pergi sendiri?" Peng-say menegas.
"Sudah tentu pergi sendiri, memangnya harus kuantar?"
jawab Liok-ma.
"Kalau dusta?''
"Kalau dusta aku .... "mendadak si nenek tidak
melanjutkan.
Segera Peng-say perkeras cengkeramannya pada bahu
Sau Kim-leng sambil membentak dengan bengis: "Kalau
dusta bagaimana?'*
Karena dirinya digunakan sebagai sandera, tindakan
Peng-say ini membuat pedih hati Sau Kim-leng dan
mencucurkan air mata, sekarang pemuda itu malah sampai
hati menyakiti lengannya, meski rasanya tulang lengan seakan2
remuk, tapi sekuatnya Kim-leng bertahan dan tidak
merintih. ia malah berkata dengan sedih "Soat-long, lebih
baik kau bunuh saja diriku . . . ."
"Memangnya kau kira aku tidak berani membunuhmu?"
kata Peng-say dengan garang "Hm, kalau Liok-ma tidak
mengaku terus terang, tentu kubunuh kau."
"Kau berani?" bentak Liok-ma.
"Kenapa tidak? Paling aku mati bersama dia!" jawab
Peng-say dengan angkuh.
Mendadak Sau Kim-leng tersenyum, katanya: "Soatlong,
bunuhlah diriku, aku rela mati di sampingmu dan
suruh Liok-ma mengubur kita menjadi satu."
Peng-say melengak, jawabnya kemudian sambil
menggeleng: "Tidak, aku tidak mau mati bersama kau, kau
ingin mati boleh mati sendirian."
"Tapi kalau kau bunuh diriku, tentu Liok-ma takkan
melepaskan kau, dia pasti akan mematuhi kehendakku,
setelah membunuh kau lalu mengubur kita menjadi satu
liang," ujar Kim-leng.
Di balik ucapannya itu jelas ia ingin menyatakan: 'bila
hidup tidak dapat bersatu ranjang, biarlah mati bersatu
liang'.
Peng-say tidak menyangka bahwa hanya dalam waktu
satu hari sesingkat ini si nona telah menaruh perhatian
sedemikian besar padanya. Mau-tak-mau terharu juga
hatinya, katanya dengan menyesal: "Aku takkan
membunuh kau, aku cuma minta Liok-ma bicara
sejujurnya."
"Apa yang dikatakan Liok-ma memang betul," ujar Kimleng.
"Adik perempuanmu memang sudah pergi, tadinya
dia tidur di kamarku, sekarang sudah tidak ada lagi.
kutanya Siau Tho, dia juga bilang adikmu sudah pergi."
"Tapi dia tidak pergi sendirian!" kata Peng-say.
"Darimana kau tahu?" tanya Kim-leng.
"Mengapa Liok-ma hanya berani bersumpah bahwa dia
sudah pergi. tapi tidak berani bersumpah dia pergi
sendirian? Jelas dia tidak pergi sendirian, tapi pasti ada
sebab lain. Untuk itulah aku ingin tanya dengan lebih jelas."
"Cermat juga kau," ujar Kim-leng. "Ingin kutanya
padamu, mengapa kau sedemikian memperhatikan dia?
Apakah dia benar2 adikmu?"
"Adik perempuan sendiri sudah tentu harus
diperhatikan."
"Kalian saudara sekandung?"
"Bukan. dia Pau-moayku (adik misan).. . ."
"Pantas dia sering memandangmu dengan sorot matanya
yang luar biasa, pantas juga kau begini memperhatikan dia.
Apakah kau tahu dia sangat mencintai kau?"
Peng-say menggeleng dan menjawab: "Aku .... aku tidak
tahu ..."
"Dan tahukah kau bahwa kau sendiripun sangat
mencintai dia?"' tanya Kim-leng pula dengan hati pilu.
Dengan bingung Peng-say menjawab pula: "Entah, aku ....
aku tidak jelas. . . ."
Remuk rendam hati Sau Kim-leng, katanya: "Baru
sekarang kutahu apa sebabnya kau bilang tidak dapat
mengawini aku. kiranya kau jatuh cinta kepada
Piaumoaymu tanpa kau sadari sendiri, hanya dalam hati
kau merasa tidak dapat kawin denganku, meski kau tahu
sebabnya, tapi sukar menjelaskan, kau cuma tahu tidak
betul jika kawin dengan aku. Dalam hatimu hanya terdapat
Piao-moay seorang. Bolehlah kau pergi mencari
Piaumoaymu! Liok-ma, beritahukan duduknya perkara,
tidak boleh berdusta."
"Piaumoaynya telah pergi bersama Ciamtay Boh-ko,
memang betul tidak pergi sendirian," tutur Liok-ma.
"Apa? Mengapa dia pergi bersama Ciamtay Boh-ko?"
tanya Peng-say dengan terkejut.
"Dilihatnya Ciamtay-kongcu sangat cakap, maka dia
lantas ikut pergi bersama dia," jengek Liok-ma.
"Kau dusta! Kau bohong!" bentak Peng-say.
Melihat betapa gelisahnya anak muda itu, sukar
diucapkan rasa kecut hati Sau Kim-leng, dia sengaja
berkata: "Ciamtay Boh-ko memang cakap dan ganteng,
ilmu silatnya juga kelas pilihan apa tidak baik dia
berjodohkan Piaumoaymu?"
"Tidak baik, ya tidak baik," seru Peng-say sambil menggeleng2.
"Tapi apa daya, Piaumoaymu sendiri yang penujui dia,"
ujar Kim-leng.
"Tidak, aku tidak percaya!" Peng-say tetap ngotot.
"Berdasarkan apa kau tidak percaya?" Kim-leng sengaja
membakarnya. "Kau kira Piaumoaymu akan mencintai kau
dengan sepenuh hati? Tahukah kau hati manusia itu tidak
kenal apa artinya puas? perempuan yang beriman tidak
teguh, bila ketemu lelaki yang lebih baik daripadamu,
segera dia akan meninggalkan dirimu, seperti halnya
Piaumoaymu...."
"Piaumoayku kenapa?" bentak Peng-say dengan melotot
dan beringas.
Kim-leng sengaja hendak membikin sedih hati Peng-say,
bilamana anak muda itu sudah putus harapan tentu
perhatiannya akan beralih kepadanya. maka ia sengaja
membual: "Coba kau pikir, Ciamtay Boh-ko adalah
keturunan salah seorang tokoh Su-ki. baik Bun (sastra, sipil)
maupun Bu (silat. militer), semuanya melebihi kau. Apalagi
keluarga kaya dan berpengaruh, setelah ketemu dia jelas
Piaumoaymu lantas berubah pikiran."
Sampai gemetar badan Peng-say saking gusarnya,
teriaknya: "Kau, kau anggap Piaumoayku itu orang macam
apa?"
Dengan sengaja Kim-leng menjawab: "Dia tiada
harganya untuk dicintainya, dia adalah model perempuan
yang beriman tidak teguh."
Tidak kepalang gusar Peng-say, kontan ia menampar
sehingga Sau Kim-leng jatuh terguling, mukanya yang putih
bersih itu berhias lima jalur merah bekas jari.
Cepat Liok-ma memburu maju dan merangkul Sau Kimleng.
"Kau sendiri perempuan yang tidak teguh," demikian
Peng-say mendamperat dengan gregetan. Habis itu ia terus
melangkah pergi.
"Berhenti! Setelah memukul orang lantas mau pergi
begitu saja?!" bentak Liok-ma.
Dia bermaksud mengejar, tapi Sau Kim-leng dalam
pelukannya lantas mencegah: "Biarkan dia pergi!"
Setelah melepaskan nona itu, Liok-ma berkata sambil
menggeleng: "Ai, untuk apa kau omong begitu sehingga kau
digampar olehnya."
"Aku takkan terpukul secara percuma," ujar Kim-leng
sambil meraba pipinya.
"Kau tahu Piaumoaynya bukan model perempuan
begitu, malahan dia. . . ."
"Kutahu. tidak perlu kau katakan lagi," sela Kim-leng.
"Dapat kubayangkan sebab apa dia ikut pergi bersama
Ciamtay Boh-ko."
"Jika begitu, mengapa kau. . . ."
"Aku sengaja membikin hatinya terluka dan sukar
disembuhkan selamanya," ujar Kim-leng. "Bilamana dia
tidak berhasil menemukan dan merebut kembali
Piaumoaynya, lama2 dia pasti akan melupakan sang
Piaumoay atau mungkin sama sekali tidak suka lagi
padanya, tatkala mana baru akan kelihatan tamparan yang
kuterima ini tidaklah sia2."
"Akan tetapi juga belum tentu dia akan berubah
pikirannya terhadapmu. . . ."
"Bisa, pasti bisa, dia pasti akan berubah pikirannya
padaku," kata Kim-leng tegas dan mantap, "Sekarang
marilah kita berangkat!"
"Berangkat kemana?" tanya Liok-ma.
"Ke Tang-hay!"
"Tang-hay?!"
"Sudahlah, jangan banyak bertanya, lekas kita bebenah
dan segera berangkat!"
-oo0dw0oo-
Sudah tentu Soat Peng-say tidak percaya Cin Yak-leng
ikut pergi bersama Ciamtay Boh-ko dengan sukarela, ia
yakin si nona pasti terpaksa, tapi iapun tidak mengerti
mengapa Ciamtay Boh-ko memaksa Yak-leng pergi
bersama dia?
Jangan2 Ciamtay Boh-ko menyangka Cin Yak-leng ialah
Sau Kim-leng?
Inipun tidak mungkin. Yak-leng kan punya mulut, masa
dia tidak dapat menjelaskan siapa dia? Kalau bukan salah
paham, masih ada kemungkinan lain, yaitu Ciamtay Bohko
penujui Cin Yak-leng, maka menculiknya.
Jika betul terjadi begini, inilah yang menakutkan. Cin
Yak-leng tidak tergolong cantik luar biasa. jika sembarang
perempuan disukai Ciamtay Boh-ko, maka jelas pemuda ini
pasti pemuda bangor yang gila perempuan. Berpikir
demikian, Peng-say tidak berani lagi membayangkan
bagaimana akibatnya Cin Yak-leng digondol Ciamtay Bohko.
Tapi apapun juga dia harus berusaha sebisanya untuk
menyelamatkan Cin Yak-leng sekalipun jiwa sendiri harus
berkorban. Sudah tentu, waktunya memegang peranan
penting, semakin cepat semakin baik, bila keburu, mungkin
kesucian Cin Yak-leng masih dapat diselamatkan.
Karena itulah, sejak meninggalkan Siau-ngo-taysan,
sepanjang jalan ia lantas ber-tanya2 dan mencari keterangan
adakah seorang pemuda seperjalanan dengan seorang nona.
Tak tersangka, sudah banyak juga orang yang ditanyai
tapi semuanya menggeleng menyatakan tidak tahu. Ia
menyangka dirinya telah salah arah, tapi kemudian terpikir
olehnya bisa jadi Ciamtay Boh-ko menumpang kereta
bersama Yak-leng, kalau mereka tidak memperlihatkan
wajahnya, dengan sendirinya tiada orang yang tahu.
Lantas bagaimana baiknya? Padahal setiap hari entah
berapa banyak kereta kuda yang berlalu-lalang, siapa yang
tahu dikereta mana terdapat seorang pemuda dan seorang
nona jelita?
Beberapa hari telah berlalu, makin kesal hati Soat Pengsay,
dia tidak tahu pasti kearah mana Ciamtay Boh-ko
membawa Cin Yak-leng, pencarian secara ngawur ini jelas
akan sia2 belaka.
Setengah bulan kemudian, ruang lingkup ratusan li di
sekitar Siau-ngo-tay-san telah dijelajahi semuanya, boleh
dikatakan siang malam bekerja tanpa berhenti, tapi hasilnya
tetap nihil.
Makin lama waktu yang terbuang makin tidak
menguntungkan dia, keruan ia sangat gelisah dan cemas,
tubuhnya mulai kurus, hampir tidak suka makan dan tidak
enak tidur. Sampai2 kuda yang baru dibelinya itu juga
lantaran bekerja terlalu keras pula dia malas merawatnya,
maka kudapun semakin kurus.
Sebulan kemudian, ia merasa tiada berguna lagi mencari
di seputar Ngo-tay-san itu, semula ia percaya pencariannya
pasti akan berhasil, sebab orang yang dituju Ciamtay Bohko
adaiah Sau Kim-leng nona itu tidak diperolehnya, besar
kemungkinan Ciamtay Boh-ko akan menunggu kesempatan
di sekitar Siau-ngo-tay-san. Akan tetapi setelah penyelidikan
teliti selama sebulan, seluas tiga ratus li di seputar Siau-ngo
tay-san sudah dijelajahi dan tetap tiada mendapatkan
sesuatu jejak, maka Soat Peng-say mulai patah semangat, ia
yakin pada hari pertama juga Ciamtay Boh-ko telah pergi ke
tempat yang jauh, hakikatnya tidak pernah tinggal di sekitar
Siau-ngo-tay-san.
Maka ia berganti haluan, ia hendak mencari jarak jauh.
Tapi pencarian jarak jauh terutama harus tahu dulu arah
yang tepat, kalau tidak, makin lama makin jauh jaraknya.
akhirnya tambah celaka.
Untuk memastikan arah kepergian Ciamtay Boh-ko,
setelah sebulan kemudian boleh dikatakan tidak mungkin
lagi, terpaksa harus untung2an.
Empat penjuru terbagi dalam timur, barat, utara dan
selatan, jadi kesempatannya cuma seperempat bagian.
Setelah dipikir dan ditimbang, Peng-say mengambil
keputusan malam ini juga akan berangkat ke jurutan timur.
Keputusannya ini didasarkan kepada tempat kediaman
Ciamtay Boh-ko berada di Tang-hay, di lautan Timur. Jadi
lebih besar harapannya jika mencari ke arah timur.
Umpama salah arah, pada suatu hari akhirnya Ciamtay
Boh-ko juga pasti akan kembali ke lautan timur. Sebab
itulah tujuan terakhir Soat Peng-say adalah berlayar,
mendatangi tempat kediaman Ciamtay Boh-ko.
Hari ini dia sampai di Pakkhia, Peng-say tidak
menjenguk famili ke keluarga Cin, juga tidak menyambangi
keluarga Beng, dia sengaja menginap di sebuah hotel kecil.
Sudah tiga hari dia tinggal disitu, setiap hari kecuali
pulang tidur di hotel, waktu selebihnya ia gunakan putar
kayun di segenap pelosok kota, ia berharap kalau2
kebetulan bertemu dengan Cin Yak-leng. Ia pikir ada
kemungkinan Ciamtay Boh-ko tinggal di kota besar ini, bila
dia membawa keluar Cin Yak-leng dan bisa jadi akan
dipergokinya.
Sudah tentu jalan pikirannya ini terlalu ke-kanak2an.
Selama tiga hari dia mondar-mandir kian-kemari, sepatu
baru yang dipakainya sudah hampir jebol, tapi Cin Yakleng
yang diharapkan kepergok tetap tidak kelihatan.
Terkadang memang dilihatnya satu-dua nona yang
bayangan punggungnya mirip Cin Yak-leng, tapi setelah
didekati dan ditegur, tahu2 bukan. Tentu saja nona yang
disapanya menjadi malu dan memaki dia orang gila.
Selama lebih sebulan Soat Peng-say hidup merana,
keadaannya memang rada2 berubah seperti orang sinting,
Dia malas cuci muka dan sisir rambut, bajunya juga sudah
robek, rambutnya semrawut, janggutnya tidak dicukur,
keadaannya menjadi mirip pengemis,
Akhirnya ia merasa dirinya bisa benar2 menjadi sinting
bilamana berdiam lebih lama lagi di Pakkhia. Ia
memutuskan besoknya akan berangkat. Tapi malam
terakhir ini tidak dilewatkan dengan percuma, ia masib
penasaran dan ingin mencari pula. Ia pikir Ciamtay Boh-ko
tidak dikenalnya, bila jadi ketika pemuda itu keluar sendiri
dan Cin Yak-leng ditinggal di hotel, makanya tidak
dipergokinya. Mumpung masih ada waktu satu malam.
setiap hotel harus diselidiknya dengan baik.
Tapi kebanyakan jongos hotel adalah manusia yang
berjwa budak, terhadap orang atas dia munduk-munduk,
terhadap orang bawah dia tindas. Sudah belasan hotel
didatangi Peng-say, tapi tiada seorang jongos hotel yang
mau menggubrisnya, bahkan dia diusir,
Terpaksa ia hanya melongok saja dari luar hotel. Ketika
sampai di luar sebuah hotel yang terbesar di kota Pakkhia,
dilihatnya tetamu yang keluar masuk semuanya adalah
orang kalangan atas. Jongos hotel yang garang segera
mengusirnya pergi begitu melihat dia longak-longok di
pintu hotel seperti pencoleng mengincar koper, atau
sedikitnya menganggap pakaian Peng-say terlalu dekil, bila
dekat hotel bisa jadi akan membikin kotor tetamu mereka.
Padahal banyak uang perak yang dibawa Peng-say, dia
cukup mampu tinggal di hotel mewah ini. Tapi dia malas
bertengkar dengan jongos yang bejiwa anjing itu.
Coba anda perhatikan, jika melihat orang yang
berpakaian perlente, anjing lantas goyang2 ekor dan menjilat2.
Tapi kalau ketemu orang jembel, tanpa alasan terus
menggonggong, bahkan akan menggigit. Itulah sifat anjing.
Selagi Peng-say hendak menyingkir, se-konyong2 sebuah
kereta kuda bercat emas dan berhias mentereng
menyerempet lewat disisanya sehingga bajunya yang sudah
compang-camping itu terobek sebagian, bahkan kulit
dagingnya juga melecet.
Keruan Peng-say marah, diam-diam ia memaki kusir
kereta itu buta, perlu didamperat.
Dilihatnya kereta warna emas itu tepat berhenti di depan
hotel, beberapa jongos lantas berlari mendekati penumpang
kereta, seketika tiada orang yang memperhatikan Soat
Peng-say, maka ia dapat mendekati pintu hotel.
Se-konyong2 Peng-say terkesima, hampir saja ia
berteriak: "Adik Leng!"
Ia kuatir salah lagi dan ditertawai kawanan jongos yang
suka menghina itu, maka tidak jadi berseru. Tapi semakin
dipandang semakin mirip, nona yang turun dari kereta kuda
itu bayangan punggungnya jelas serupa Cin Yak-leng, cuma
sayang tidak kelihatan mukanya dan nona itu lantas
melangkah masuk ke hotel.
Setelah kereta warna emas itu dihalau pergi seorang
jongos yang bertugas menyambut tamu segera melihat Soat
Peng-say berdiri di situ, dengan gusar ia membentak, "He,
pengemis busuk! Mau apa berdiri di situ? Mau mencuri ya?
Lekas enyah lekas!" Sambil mendamperat ia terus
mendekati Peng-say dan mendorongnya dengan kuat.
Tapi sedikitpun Peng-say tidak bergerak, ia tanya sambil
tertawa: "Sahabat, numpang tanya, apakah nona yang baru
masuk tadi adalah langganan hotel kalian?"
Karena sekali dorong tidak dapat membikin Soat Pengsay
sempoyongan, si jongos tidak berani meremehkannya
lagi. Maklum, jongos hotel juga banyak pengalaman,
terutama di kotaraja seperti Pakkhia ini tentu tidak sedikit
terdapat orang kosen, contohnya adaiah Soat Peng-say di
depannya ini. Jangan kira dandanannya kotor seperti kere,
nyatanya memiliki Lwekang yang kuat, didorong saja tetap
tegak seperti tonggak.
Orang kosen macam begini kalau tidak memukul orang
masih mendingan, sekali memukul orang. maka pasti jatuh
korban nyawa. Dengan sendirinya si jongos hotel menjadi
waswas, karena takutnya sehingga pertanyaan Peng-say tadi
tidak terdengar olehnya.
Peng-say malah menyangka jongos itu tidak mau
memberi keterangan, ia tahu orang begini perlu disogok.
cepat ia mengeluarkan sepotong perak satu tahil dan
dijejalkan ke tangan si jongos.
Dengan gugup jongos itu berkata: "Ah, mana hamba
berani menerima uang tuan besar, ada urusan apa silakan
anda tanya saja."
"Tidak apa2. terimalah," bujuk Peng-say dengan tertawa.
Melihat Peng-say bersikap ramah dan tertawa, jongos itu
menjadi berani, uang perak itu disimpannya, lalu berkata
dengan munduk2: "Silahkan Toaya duduk di dalam!"
"Tidak. aku cuma ingin tanya nona tadi "
"O, nona yang tadi itu, beliau. she Soat, sungguh baik
hati dia, sudah lebih sebulan dia tinggal di hotel kami, uang
tip yang dikeluarkannya setiap kali selalu satu tahil penuh,
sebaik hati anda sekarang ini," demikian jongos itu bertutur
dengan cengar-cengir.
Peng-say salah dengar, dia rada kecewa dan menegas:
"O, nona itu she Soat?"
"Soat, bukan Sat, Soat dari salju," cepat si jongos
menjelaskan.
"Ehm, kiranya sama leluhur denganku," Peng-say
manggut2. "Apakah dia tinggal bersama seorang lelaki
muda?"
Si jongos tidak lantas menjawab, tapi lebih dulu menjilat
pantat. katanya: "Ah, kiranya anda juga she Soat? Sungguh
she yang bagus. uang perak sama putih, salju juga putih,
putih lambangnya suci. kelak anda pasti akan bertambah
kaya raya lantaran she Soat."
Setelah mengusap ilernya yang berhamburan, jongos itu
menyambung lagi: "Nona itu masih perawan, manabisa
tinggal bersama lelaki muda? Selain dilayani seorang kusir,
beliau tinggal sendirian di hotel kami, biasanya jarang
keluar, hanya kalau malam tiba dia suka pesiar sekeliling,
lalu pulang kehotel."
Soat Peng-say tambah kecewa, ia menduga nona Soat
pasti bukan Cin Yak-leng, dengan kesal ia kembali ke
pondoknya.
Ia merasa bajunya sudah terlalu kumal dan juga bernoda
darah, terpaksa membeli baju baru. Tapi dia tetap tidak
suka cuci muka dan bersisir rambut, sampai luka lecet
keserempet kereta itupun tidak dihiraukannya, lalu rebah
dan tidur.
Besoknya ia keluar dengan baju baru, keadaannya
sekarang tidak lagi mirip pengemis cuma kudanya masih
tetap kurus, ia menuju keluar kota melanjutkan perjalanan
ke arah timur.
Orang di tengah jalan sama menyangka dia bandit,
maklum, bajunya baru, tapi rambutnya semrawut dan
bercambang tak teratur. Umumnya kaum bandit memang
tidak suka berdandan. Baiknya dia tidak membawa senjata,
kudanya juga kurus, kalau tidak, mungkin orang akan
ketakutan dan tidak berani mendekatinya.
Lambat sekali Peng-say menjalankan kudanya, tidak
banyak lebih cepat dari pada orang berjalan kaki. Karena
semalam terlalu banyak memikiri Cin Yak-leng, tidurnya
tidak nyenyak, diatas kudanya sekarang ia menjadi
mengantuk.
Selagi dia ter-angguk2 di atas kudanya. mendadak ia
jatuh terjungkal ke bawah, dengan gelagapan ia berbangkit
dan memandang kesana. kiranya dia disenggol lagi oleh
kereta berwarna emas kemarin.
Keruan ia sangat gusar, pikirnya: "Kurang ajar! Lecet
kemarin belum lagi sembuh, sekarang kau seruduk lagi
diriku hingga terjungkal. Dasar kusir brengsek, kalau tidak
diajar adat, tentu banyak korban lagi yang akan terjadi."
Segera ia mencemplak ke atas kudanya dan mengejar ke
depan.
Tapi kudanya itu dalam keadaan kelaparan dan tidak
kuat lari, betapapun dia menghalaunya tetap tidak mampu
menyusul kereta tadi, malahan jarak kedua pihak semakin
jauh, sampai akhirnya bayangan kereta saja tidak kelihatan
lagi.
Karena bertekad akan memberi hajaran kepada kusir
kereta, Peng-say tidak berhenti mengejar, diam2 iapun
mendongko! kepada kudanya yang sialan itu, kalau
menyusul kereta saja tidak dapat, apa gunanya kuda ini?
Karena gemasnya, ia tidak peduli kuda itu tahan atau tidak,
sekuatnya ia menghalau agar lebih kencang.
Thian memang tidak mengecewakan orang yang
berusaha dengan susah payah. Akhirnya ia dapat susul
kereta itu, dari kejauhan dilihatnya kereta itu berhenti di
tepi jalan, ia kuatir kereta itu berangkat lagi dan mungkin
akan sukar disusul pula, segera ia percepat lari kudanya.
Tak tahunya kudanya sudah kehabisan tenaga, beberapa
tombak sebelum sampai di tempat tujuan, kuda itu
keserimpet dan jatuh terjungkal dengan mulut membuih.
Cepat Peng say melejit bangun tapi mendadak dilihatnya
gelagat tidak baik, segera ia berlagak sempoyongan dan
jatuh terduduk. lalu merangkak bangun dengan meringis
sambil meraba pantatnya yang kesakitan.
Dilihatnya kereta berwarna emas itu dikelilingi belasan
orang, satu diantaranya yang bertubuh tegap dan beralis
tebal lantas mendekati Peng-say dan berkata: "Orang lalu
jangan ikut campur, lekas jalan!"
"Ya, ya!" cepat Peng-say menjawab.
Ia pura2 masih kesakitan karena jatuhnya tadi, jalannya
dibikin terincang-incuk dan sangat lambat. Waktu lewat di
samping kereta, sekilas lirik dilihatnya si kusir kereta
terpanah mati di tempat duduknya. tapi tiada terdengar
sesuatu di dalam kabin kereta.
Yang mengelilingi kereta itu terdiri macam2 jenis orang,
ada Hwesio, ada Tosu, ada tua ada muda, semuanya
tampak tangkas dan kuat. jelas jago silat yang lihay.cuma
tidak diketahui dari golongan mana.
Terdengar seorang tua bermuka putih lagi berkata:
"Budak she Soat, tidak perlu kau berlagak mampus, lekas
keluar, sudah cukup banyak perkaramu,"
Lalu seorang Hwesio gemuk menyambung dengan
bergelak tertawa: "Budak busuk, selama sebulan ngendon di
Pakkhia, tidak sedikit kan hasilmu?"
Seorang Tosu tua dan kurus menukas: "Asalkan semua
barangnya kau serahkan, tentu kami takkan menjebloskan
kau ke dalam penjara dan mamberi jalan hidup bagimu."
Meski ketiga orang itu sudah bicara sekian banyak, tapi
di dalam kereta tetap tiada reaksi apapun se-akan2 tiada
penumpangnya.
Peng-say berdiri dikejauhan, dilihatnya kabin kereta itu
tertutup oleh tirai yang indah, maka tidak jelas apakah di
dalam kereta ada orang atau tidak.
Dari ucapan ketiga orang tadi, jelas nona she Soat itu
adalah pencuri ulung yang telah banyak melakukan
kejahatan di Pakkhia. tapi perbuatannya diketahui orang2
ini, maka mereka mencegatnya di sini untuk membagi
rejeki.
Di antara belasan orang itu, kecuali ketiga orang yang
bicara tadi, rata2 berumur 30-an, bahkan ada beberapa
orang di antaranya cuma berusia 18-19 tahunan, mereka
terdiri dari empat lelaki kekar, tiga Hwesio dan lima Tosu.
Melihat orang2 itu berani mencegat kereta berwarna
emas itu di tengan jalan raya, Peng-say menyangka mereka
adalah jago pengawal keluarga yang kehilangan, mungkin
jeri kepada kelihayan maling perempuan itu, maka mereka
tidak berani menangkapnya, cukup asalkan barang
curiannya diminta kembali.
Tapi sampai sekian lama tetap tiada reaksi apapun di
dalam kereta. Si kakek bermuka putih menjadi tidak sabar,
bentaknya: "Budak busuk, kau dengar tidak perkataan
kami?!"
Ucapannya ini tetap seperti batu tenggelam kelaut,
sedikitpun tiada jawaban.
Dengan murka si kakek berteriak: "Lepaskan panah!"
Serentak keempat lelaki tegap mementang busur dan
melepaskan panah, hanya sekejap saja kabin kereta itu telah
penuh tertancap anak panah sehingga mirip landak raksasa.
Anehnya, di dalam kereta tetap tiada sesuatu reaksi apa2.
Selesai memanah, salah seorang lelaki itu berkata:
"Lotoa, mungkin di dalam kereta tiada penumpangnya."
Si kakek muka putih tidak berani memeriksa sendiri, tapi
ia memberi perintah: "Coba kalian ber-empat
memeriksanya."
Selagi keempat orang itu hendak mendekati kereta,
mendadak si Tosu buru2 membentak: "Nanti dulu!"
"Eng-lo (kakek Eng), maasa engkau kira budak itu masih
sembunyi di dalam keretanya?" tanya si kakek muka putih.
"Pagi tadi muridku menyaksikan dengan mata kepala
sendiri budak itu naik ke dalam kereta, kuyakin pasti tidak
salah." jawab si Tosu kurus.
"Anak panah yang dilepaskan keempat Long bersaudara
belum sampai menembus kereta ini, maka tiada salahnya
jika kita bertindak lebih hati2."
Si Hwesio gemuk menyelutuk dengan tertawa: "Memang
tidak salah pertimbangan Eng-lo ini, Selama sebulan budak
itu telah merajalela di seluruh kota Pakkhia dan tidak
pernah gagal, suatu tanda dia memang pintar dan cerdik,
maka kita barus menghadapinva dengan hati2, jangan
sampai kita terjungkal di sini."
"Bagaimana jika menurut kau, Hou-ya?" tanya si kakek.
Hwesio gemuk ter-bahak2. katanya: "Kukira karena kita
sama2 kawan satu garis, meski dia belum bergabung dengan
kita. mengingat jerih payahnya selama sebulan, cukup
asalkan dia membagi separo saja bagi kita."
"Nah, budak liar, Hwesio, Tosu dan Preman kami hanya
minta separo bagian saja, kau setuju tidak?" bentak si Tosu
kurus.
Baru sekarang Soat Peng-say tahu duduknya perkara,
kiranya orang2 ini juga bandit, mereka sengaja menghadang
di tengah jalan dengan cara bandit makan garong,
Ia masih ingat cerita Tio Tay-peng bahwa di kalangan
hitam terdapat tiga orang bandit yang biasa berdandan
sebagai Hwesio, Tosu dan orang preman. Karena ilmu silat
mereka tidak terhitung kelas satu, maka cerita itu tidak
terlalu menarik baginya. Kini ia jadi ingat lagi bahwa
mereka itu juga disebut sebagai Hou, Eng dan Long atau
Harimau, Rajawali dan Serigala.
Hou Ceng (Hwesio harimau), Eng to (Tosu rajawali) dan
Pek-bin-long (serigala muka putih) tidak bercokol disuatu
gunung sebagai pangkalan, tapi adalah bandit yang
beroperasi serba bebas, anak buah mereka tidak banyak,
Hou-ceng cuma membawa tiga murid, Eng-to lima murid,
Pek-bin-liong tidak punya murid, tapi membawa empat
saudaranya sebagai pembantu.
Begitulah si kakek muka putih, Pek-bin-long, seperti
manghapalkan harta tabungannya, sedang berkata: "Budak
she Soat, selama sebulan kau telah mencuri sepasang Yabeng
cu (mutiara bercahaya di waktu malam) dirumah Thio
houya, delapan ekor Giok-be (kuda kemala) di rumah Lihouya,
serenteng mutiara mestika di kediaman Ui-houya,
sepasang kupu2 kemala hijau dan dua biji batu merah di
rumah Go-ongya serta menggerayangi satu biji semangka
jamrud dan sepotong bunga karang mestika di rumah Hoongya."
Diam2 Soat Peng-say menjulur lidah demi mendengar
benda2 berharga itu. Setiap macam benda itu sukar dinilai
harganya, kalau digabung, jangan ditanya lagi. Mungkin
saudagar mas-intan paling kaya juga tidak sanggup
membelinya.
Ia tidak tahu ketujuh macam barang itu adalah benda
mestika yang paling terkenal di Pakkhia, terkecuali benda
mestika simpanan raja. Sudah lama ketiga gembong bandit
itu mengincarnya, cuma penjagaan si pemilik terlalu ketat,
maka sebegitu jauh mereka tidak mampu turun tangan.
Namun mereka tidak putus asa, mereka memasang
mata2 pada setiap keluarga itu. asalkan penjagaan si
pemilik sedikit kendur, segera mereka diberitahu dan
berusaha mencurinya. Tapi sayang, kesempatan bagus itu
selama ini belum terbuka, sia2 mereka menunggu sekian
tahun.
Tapi dalam bulan ini agen2 yang mereka tanam di
tempat2 pemilik benda pusaka itu telah memperlihatkan
manfaatnya, meski bukan pemberitahuan peluang untuk
mencuri, tapi pada saat yang tepat mereka diberitahu
tentang hilangnya benda2 pusaka itu, dengan demikian
mereka sempat mencegat malingnya dengan cara hitam
makan hitam. Maka ketiga gembong bandit dengan anak
buahnya lantas merembet masuk Pakkhia untuk
menyelidiki pencuri itu. Mereka tidak mampu mencuri
sendiri, tapi untuk mencari tahu siapa pencurinya tentu
tidak sulit bagi mereka. Akhirnya diketahui pelakunya
adalah seorang nano she Soat yang tinggal di sebuah hotel.
Mereka pikir menghadapi seorang nona muda belia
tentulah tidak sukar, mereka mengambil keputusan akan
"hitam makan hitam", maka begitu maling perempuan itu
menguras ketujuh benda mestika terkenal di kotaraja ini
dan membawanya kabur, mereka lantas mencegatnya di
tengah jalan untuk merampasnya.
Sesungguhnya merekapun terlalu gegabah, mereka
menyangka dalam waktu singkat saja dapat membereskan
maling perempuan itu, maka secara terang2an mereka
mencegatnya di tengah jalan raya.
Tak tahunya lawan sama sekali tidak memberi reaksj,
bahkan bersembunyi didalam kereta dan tidak mau keluar.
Padahal orang yang berlalu lalang tambah banyak,
perbuatan mereka itu tentu saja sangat menarik perhatian
khalayak ramai.Mereka menjadi gelisah, apalagi mengingat
maling perempuan hanya sendirian mampu memcuri
ketujuh benda pusaka, ilmu silatnya tentu juga tidak rendah
maka mereka mulai mundur teratur dan cuma minta bagi
rejeki separo bagian saja.
Meski orang yang berlalu lalang cukup ramai, tapi tiada
seorangpun yang berani meniru Soat Peng-say dan berhenti
menonton di situ, mereka kebanyakan adalah kaum
saudagar yang alim, melihat kereta itu penuh anak panah
dan dikerumuni orang2 yang berwajah jahat serta
bersenjata, jelas sedang terjadi pembegalan.Maka banyak di
antara saudagar itu segera putar balik agar tidak ikut
terkena getahnya.
Hanya Soat Peng-say saja yang masih berdiri menonton
disamping, tapi ketiga gembong bandit itupun tidak
memperhatikan, mereka menyaksikan Peng-say terbanting
jatuh dari kudanya, andaikan mahir ilmu silat juga sangat
terbatas, maka tidak perlu dihiraukan. Cuma cara kerja
mereka harus cepat mengingat perbuatan mereka sudah
dilihat orang, bila orang yang putar balik ke kota itu
memberi laporan kepada yang berwajib, tidak lama lagi
pasukan pemerintah mungkin akan datang, maka dalam
waktu setengah jam ini mereka harus dapat membereskan
pembagian rejeki ini.
Si Hwesio gemuk tadi lantas berseru pula dengan
tertawa: "Nona Soat, baiklah aku hanya minta serenteng
mutiara saja. Eng-lo dan Long-heng, apa yang kalian
inginkan, lekas katakan padanya, setelah bagi rata segera
kita angkat kaki."
"Bagiku cukup sepasang Ya-beng-cu itu," kata si Tosu
kurus.
Pek-bin-long juga berseru: "Dan aku minta kedelapan
ekor kuda kemala saja."
"Nah, nona Soat, permintaan kami ini tentunya cukup
ringan bagimu," seru si Hwesio, "benda pusaka milik
keluarga Ongya (pengeran) itu boleh menjadi bagianmu
sendiri."
Tapi setelah ditunggu sekian lama, tetap tiada jawaban.
Pek-bin-long menjadi murka, teriaknya: "Budak she Soat.
janganlah kau terlalu kepala batu Jika tidak lekas jawab,
terpaksa kita gunakan kekerasan!"
Si Hwesio juga hilang sabar. ucapnya: "Eng-lo, suruh
kelima muridmu memberi tanda peringatan kepadanya."
Sekali si Tosu rajawali memberi perintah, serentak
kelima Tosu muda melolos senjata masing2, yaitu sepasang
Boan koat pit dan segera disambitkan ke depan seperti
lemparan lembing.
"Crat cret" hampir pada waktu yang sama sepuluh buah
Boan-koan-pit menembus kabin kereta kuda itu, ujung Boan
koan-pit tampak menonjol keluar di sisi sana. Apabila di
dalam kereta ada penumpangnya, biarpun berbaring juga
akan tertembus tubuhnya oleh kesepuluh Boan-boat-pit itu.
Akan tetapi ujung Boan-koan-pit tidak kelihatan ada
bekas darah, jelas penumpang di dalam kereta tidak terkena
serangan.
Hwesio harimau lantas memberi tanda, tiga HwesiO
muda tanpa bersuara sama angkat tongkat mereka yang
ujungnya lebar tajam seperti kampak, berbareng mereka
sundukkan ketiga tongkat kedalam kereta, ujung tongkat
juga menembus kesana, tapi aneh, tetap tidak berdarah.
Kini kabin kereta itu sudah dipenuhi anak panah, Boankoan-
pit dan tongkat Hwesio, seekor kelinci saja sukar
sembunyi di situ, jangankan manusia.
Maka berkatalah Hwesio harimau dengan masgul: "Kita
tertipu, kereta ini kosongl"
"Coba digeledah lagi, budak itu tidak menumpang kereta
ini, tapi benda pusaka curiannya mungkin disembunyikan
di dalam kereta," kata Pek-bin-long.
"Baiklah, kita memeriksanya bersama!" ajak Hwesio
harimau. Dia kuatir ada perangkap didalam kereta, kalau
maju bersama akan lebih aman.
Begitulah lima belas orang lantas mendekati kereta itu
dengan pelahan. Sudah begitu mereka tetap kebat-kebit dan
takut, jelas karena kepandaian maling perempuan itulah
yang membuat jeri mereka.
Seorang lelaki pemberani mendahului mendekati pintu
kabin kereta, tirai jendela ditariknya hingga terlepas. Lalu ia
melongok ke dalam dan berseru: "Bayangan setan saja tidak
ada di dalam!"
Karena itu, orang2 itu menjadi mantap, berbareng
mereka berjalan maju dan membuka pintu kereta, semua
tirai kereta juga ditarik sehingga bagian dalam kereta
terkena sinar terang, jelas, kereta ini memang tanpa
penumpang.
Jadi satengah harian mereka cuma ribut sendirian,
sungguh konyol. Dengan mendongkol Pek-bin-long
memaki: "Budak busuk, budak sialan!"
Dengan menyengir Hwesio harimau lantas memberi
perintah: "Cabut semua senjata kita. lalu digeledah lagi
lebih teliti."
Hanya sekejap saja semua senjata yang menancap
dikabin kereta itu sudah dibersihkan, kereta yang tadinya
bercat emas indah itu kini menjadi ber-lubang2 seperti
sarang tawon.
"Di bawab jok, dinding samping dan belakang,
semuanya dipereteli dan diperiksa, coba adakah
tersembunyi sesuatu benda mestika, cepat, waktunya sudah
hampir habis!" seru Pek-bin-long.
Be-ramai2 belasan orang itu lantas melompat keatas
kereta, ada yang memukuli dinding kabin dan
membongkarnja, ada yang menyingkap jok tempat duduk,
cuma Hwesio harimau bertiga juga menduga kemungkinan
ditemukannya benda mestika itu sangat tipis. Bisa jadi
sebelumnya maling perempuan itu sudah mengendus
gelagat tidak enak, maka kabur kearah lain dengan
membawa hasil curiannya itu.
Sejak tadi Peng-say berdiri menonton di samping.
tujuannya yang utama ialah ingin melihat bagaimana wajah
nona Soat itu. sekarang nona itu ternyata tidak berada di
dalam kereta, segera ia membalik tubuh dan melanjutkan
perjalanan, diam2 ia menyesal telah kehilangan kudanya
hanya karena mengejar kereta ini tanpa mendatangkan hasil
apapun.
Tapi baru saja ia melangkah, se-konyong2 terdengar
suara jepretan ber-ulang2, menyusul lantas terdengar suara
jeritan ngeri. Ia terkejut dan cepat menoleh, dilihatnya nona
Soat yang bayangan punggungnya mirip Cin Yak-leng itu
mendadak muncul disamping kereta.
Sekaligus nona itu telah memanah mati ke-12 orang yang
sedang mengobrak-abrik kabin kereta itu, waktu Peng-say
berpaling, nona itu telah membalik tubuh lagi kesana dan
sedang mengangkat sebuah alat bidikan yang kecil, tiga
anak panah kecil warna hitam terus dibidikkan ke arah
Hwesio bertiga yang asyik mengobrol itu.
Waktu ketiga gembong bandit itu mendengar jerit ngeri
anak murid mereka, dengan segera mereka tahu ada sesuatu
telah terjadi. Mereka tambah terkejut ketika melihat si
maling perempuan yang sukar dicari jejaknya itu tahu2
muncul di samping kereta. Mereka sempat menghindari
ketiga panah kecil warna hitam pertama, tapi tiga panah
lain seeera menyambar tiba pula.
Cara membidik panah maling perempuan itu cepat luar
biasa, ketika untuk keempat kalinya ia membidik lagi tiga
panah, Hwesio bertiga tidak sanggup menghindar pula,
untung tidak mengenai ulu hati mereka melainkan cuma
menancap di bagian lengan. Dalam keadaan begitu, jika si
maling perempuan menyusuli tiga panah lain, jelas pasti
akan mengenai ulu hati mereka dengan telak, tapi hal ini
tidak dilakukannya, agaknya ia sudah puas setelah
panahnya berhasil mengenai lengan mereka.
Kalau lengan cuma terkena sebuah panah sekecil itu,
bagi orang? kuat macam Hwesio gemuk itu tentu saja tidak
manjadi soal.Mereka melihat ke-12 muridnya sudah binasa
seluruhnya di dalam kereta, mereka menjadi gusar dan
membentak: "Budak busuk, kalau punya kepandaian lain,
janganlah melepaskan panah!"
Maling perempuan itu tertawa, jawabnya: "Baik panah
tidak kugunakan." — lalu ia benar2 menyimpan kembali
alat bidikan itu ke kantong kulit yang tergantung di
pinggangnya.
Serentak Hwesio bertiga melolos senjata dan
membentak: "Terjang!"
Si maling perempuan tenang2 saja, ia menggeleng kepala
dan berkata: "Tiga lelaki besar mengeroyok seorang nona
cilik tidak tahu malu!"
Tapi ketiga gembong bandit itu tidak menghiraukan
olok2 itu, mereka melompat maju terus membacok,
menabas dan menutuk.
Maling perempuan itu tidak menggunakan senjata, ia
cuma berkelit dan menyelinap kian kemari di tengah
sambaran senjata ketiga lawan.
Belum lagi beberapa jurus, "trang", tanpa sebab golok
Pek-bin-long terjatuh sendiri ketanah, menyusul terdengar
ia menjerit ngeri: "Wah, tanganku!"
Baru lenyap suaranya, kembali terdengar gemerantang
lagi dua kali, senjata Hwesio harimau dan Tosu rajawali
juga terjatuh, merekapun menjerit: "Aduh tanganku!"
Peng-say menjadi heran, sama sekali mereka tidak
diserang si maling perempuan, memangnya kenapa tangan
mereka? Waktu ia memperhatikan, dilihatnya tangan kanan
ketiga orang itu sama berwarna hitam pekat.
Baru sekarang Peng-say terkejut, diam2 ia membatin:
"Jahat amat panah kecil beracun itu."
Rupanya Hwesio bertiga tadi menyepelekan panah kecil
yang melukai lengan mereka itu, mereka terus melabrak
lawan tanpa mencabut panah kecil itu, sebab bila panah
dicabut, tentu dari lukanya akan mengalirkan darah, hal ini
akan mengurangi tenaga mereka. Demi mengerubuti maling
perempuan itu dan merampas benda pusaka curiannya,
mereka tidak menyadari racun panah telah menjalar, tangan
mereka berubah menjadi hitam dan terasa kaku, mereka
baru menyadari hal ini setelah senjata terlepas dari cekalan.
Cepat mereka merobek lengan baju kanan, tertampak
warna hitam dilengan sudah merembet sampai di atas siku,
bilamana warna hitam itu merambat sampai dada, maka
tamatlah riwayat mereka.
Tegas tindakan Pek-bin-long, tanpa ragu2 ia jemput
golok sendiri dengan tangan kiri, sekali tabas segera ia
kutungi lengan kanan sendiri sebatas bahu.
Hwesio harimau juga tidak berani ayal, cepat ia jemput
kembali tongkatnya yang berujung seperti kampak itu,
sekali bacok iapun membuntungi lengan kanan sendiri.
Wajahnya yang selalu tertawa2 itu kini lebih tepat
dikatakan menangis.
Senjata Tosu rajawali adalah Boan-koan-pit. dengan
sendirinya tidak dapat digunakan menabas lengan sendiri
yang keracunan itu, dengan gugup ia berseru: "Long-heng,
tolong, lekas, lekas!"
Segera Pek-bin-long ayun goloknya pula, tapi lantaran
racun sudah merambat maju lagi. terpaksa lengan Tosu
yang ditabasnya tepat di batas pundak. Keruan sakitnya
berlipat ganda, Tosu itu menjerit dan hampir saja jatuh
kelengar.
Menyaksikan ketiga lawan membuntungi tangan sendiri
dan darah berhamburan, namun si maling perempuan itu
tidak mengambil pusing, ia malah tertawa nyaring dan
berkata: "Tidak lekas enyah, apakah minta paha kalian juga
kupanah?!" Sambil bicara iapun berlagak hendak
mengambil alat bidiknya lagi,
Keruan ketiga gembong bandit itu ketakutan, lukapun
tidak sempat dibalut, cepat mereka lari ter-birit2.
Maling perempuan itu tertawa ter-kekeh2, tampaknya
sangat gembira. Setelah puas tertawa, pe-lahan2 ia
membalik tubuh.
Baru pertama kali ini Soat Peng-say berhadapan muka
dengan muka orang, dilihatnya wajah nona Soat ini
potongan daun sirih, matanya besar dan memperlihatkan
sifat2 yang jahil dan penuh misteri, tapi tampaknya juga
sangat menyenangkan.
Bayangan punggung serta perawakannya sangat mirip
Cin Yak-leng, tapi mukanya sedikitpun tidak sama. Meski
nona Soat ini boleh dikatakan lebih cantik daripada Cin
Yak-leng, tapi Peng-say justeru merasa sangat kecewa.
Betapa dia berharap wajah nona Soat ini akan mirip Cin
Yak-leng, paling baik kalau nona ini memang Cin Yak-leng
adanya. Akan tetapi ternyata bukan. Terpaksa ia cuma
menghela napas dan melangkah pergi sambil menggeleng.
"Hai, kemari kau!" mendadak maling perempuan itu
berseru.
Peng-say hanya menoleh dan bertanya: "Apakah nona
memanggil diriku?"
"Semua orang sudah lari ketakutan, yang tertinggal cuma
kau sendiri, siapa lagi kalau bukan memanggil kau?" kata
maling perempuan itu.
Peng-say sengaja berkerut kening dengan lagak ogah2an.
jawabnya: "Ada urusan apa nona memanggilku?"
"Tidak perlu kau menggeleng, menghela napas dan tidak
suka," kata maling jelita itu. "Yang kubunuh adalah orang
jahat demi kesejahteraan umum, seharusnya kau bersyukur
dan ikut bergembira. Mari sini, tampaknya nyalimu cukup
besar, bantulah menggotong dan membuang mayat2
didalam keretaku ini"
"Nona yang membunuh mereka, silakan nona
menggotong sendiri, aku tidak mau."jawab Peng-say.
"Aku sendiri tidak kuat, tolonglah bantu," pinta si maling
cantik.
Sudah tentu Peng-say tidak percaya, tapi gerak-geriknya
mengingatkan dia kepada Cin Yak-leng, setelah menghela
napas, ia menjawab: "Baiklah, akan kubantu kau!"
Dengan lambat2 Peng-say merangkak keatas kereta, ia
pura2 tidak bertenaga dan menggotong mayat2 itu kebawah
kereta dengan susah payah.
Dilihatnya ke-12 sosok mayat itu semuanya mati karena
ulu hati terpanah, diam2 ia sangat kagum kepada kejituan
panah si nona.
Sampai lama baru ke-12 mayat itu diturunkan, nona itu
lantas mengeluarkan sepotong perak dan diberikan kepada
Peng-say, katanya; "Tampaknya kau sangat kasihan, tentu
sudah beberapa hari kau tidak makan. Ini, ambil uang perak
ini dan makanlah yang kenyang."
Tanpa sungkan Peng-say terima pemberian itu tapi
dengan ketus ia menjawab: "Ini adalah upah jerih payahku
menggotong mayat, jangan kau omong seperti orang yang
memberi sedekah,"
"Eh, dapatkah kau mengemudikan kereta?" tiba2 si nona
bertanya dengan tertawa.
"Apakah nona ingin mengundangku menjadi kusir?"
tanya Peng-say.
"Kusirku telah terpanah mati oleh mereka, jika kau mau,
akan kuberi upah satu tahil perak setiap hari," kata si nona
dengan tertawa.
"Wah, royal benar nona ini, masa upah kusir satu tahil
satu hari?" ucap Peng-say dengan mulut ber-kecek2. "Akan
tetapi bagiku masih kurang banyak."
"Kurang banyak?" nona itu menegas dengan terbelalak.
"Kau tahu, kusir umumnya jangankan satu hari satu tahil,
biarpun tiga hari juga sukar mendapatkan untung satu tahil,
malahan mereka harus membawa kereta dan kuda sendiri."
"Tapi kusir dan kusir kan berbeda," ujar Peng-say.
"Menjadi kusir nona harus jual nyawa pula, dengan
sendirinya satu tahil terlalu sedikit bagiku. Jika nona mau,
lima tahil satu hari, tidak mau, batal!"
Nona itu tampak mendongkol, omelnya: "Gila kau!"
"Tidak mau ya sudahlah, selamat tinggal!" seru Peng-jay
terus hendak melangkah pergi.
Pada saat itu juga mendadak dari arah kota sana debu
mengepul tinggi. Si nona berseru kuatir: "Wah, celaka!
Pasukan pemerintah dan para jago pengawal memburu
tiba!"
Tapi Peng say pura2 tidak mendengar, bahkan ia
melangkah terlebih cepat.
Cepat si nona berteriak; "He, hei, kembali! Baiklah, lima
tahil, jadi!"
Tak terduga, Peng-say lantas menggeleng, jawabnya:
"Tidak, sekarang tarip sudah naik, sepuluh tahil satu hari."
Si nona menjadi gusar, omelnya: "Sialan, jangan main
peras!"
"Ai, ucapan nona ini tidak enak didengar," kata Peng-say
sambil menggeleng. "Untuk menyelamatkan diri. masa
sepuluh tahil satu hari tidak kau bayar?"
Karena pengejar sudah makin dekat, terpaksa si nona
berseru dengan gemas: "Baiklah, sepuluh tahil!"
Tanpa bicara lagi Peng-say lantas melompat ketempat
kusir, tapi sampai sekian lamanya dia berkutak-kutek kereta
itu belum lagi bergerak.
Keruan si nona sangat mendongkol dan gelisah, ia berteriak2
di dalam kereta sambil memukul kabin: "He, ada
apa, lekas larikan kudanya!"
"Tidak mau jalan!" jawab Peng-say.
Dengan gusar si nona mendamperat: "Sialan!
Hakikatnya kau tidak dapat mengendarai kereta."
"Aku memang tidak bisa " kata Peng-sny tanpa malu2
sedikitpun.
"Kalau tidak bisa, kenapa kau terima pekerjaan ini?"
omel si nona.
"Kan nona cuma tanya padaku apakah mau menjadi
kusir, karena kau memberi upah yang lumayan, aku lantas
coba2 pekerjaan ini."
Melihat pengejar semakin dekat, sedikitnya berjumlah
ratusan orang, wajah pengejarpun kelihatan jelas, si nona
menjadi kuatir, segera ia berbangkit dan bermaksud
meninggalkan kereta dan lari.
Tak terduga, se-konyong2 ia tergentak jatuh terduduk
lagi, sebab mendadak kereta itu bergerak ditarik keempat
ekor kuda, lantaran tidak ter-sangka2, nona itu terbanting
dengan cukup keras.
Kiranya Soat Peng-say rmemang tidak mahir menjadi
kusir, di mana letak rem kereta saja tidak tahu.
Kusir yang tadi ketika dicegat penjahat, terpaksa ia
mengerem keretanya dan berhenti, setelah kusir mati
terpanah dan Peng-say menggantikannya, karena tidak tahu
rem kereta harus dibuka lebih dulu, dengan sendirinya
kereta tidak mau jalan. Untung pada detik terakhir secara
kebetulan pegangan rem kena dirabanya, sekali kereta dapat
bergerak, keempat ekor kuda yang sudah dihalau sejak tadi
segera membedal secepat terbang. Sebab itulah nona Soat
yang berada di dalam kereta jadi terbanting jatuh.
Untung dia tidak terlempar keluar kereta, ia cuma
meringis sambil meraba pantatnya yang kesakitan. Karena
dia berharap Soat Peng-say akan melarikan kereta itu
secepatnya, maka dia tidak mengomel kejadian itu, ia
anggap dirinya yang sial ketemu 'orang gila".
Cara Peng-say mengemudikan keretanya juga tidak
memenuhi syarat, bilamana dia minta rebewes ditanggung
dia akan diapkir.
Cepatnya sih memang cepat lari keretanya. tapi kereta itu
sebentar meliuk ke kanan dan sebentar lagi berkeluk ke sisi
kiri, larinya tidak pernah lurus, kalau dipandang dari
belakang, orang pasti mengira kusirnya lagi mabuk atau
kudanya yang gila.
Nona Soat di dalam kereta hanya geleng2 kepala belaka,
ia pikir kalau begini caranva Peng-say mengemudikan
kereta, sebentar lagi pasti akan tersusul oleh pasukan
pengejar itu.
Benar juga, pasukan pengejar sudah semakin dekat,
suara bentakan sudah terdengar dengan jelas.
Namun begitu, Soat Peng-say juga pantang menyerah,
dia masih terus menghalau kuda agar berlari terlebih
kencang, akan tetapi makin kencang makin tak keruan jalan
keretanya, untung tidak terperosot ke sawah di tepi jalan.
kalau tidak, mustahil kereta itu tidak akan terbalik dan
penumpangnya tidak terjungkir.
Akhirnya tersusul juga oleh pasukan pengejar, tapi ketika
disuruh berhenti, Soat Peng-say justeru tidak mau berhenti.
Bukannya dia nekat, soalnya dia tidak sanggup
menghentikannya.
Dua orang jago pengawal yang cekatan segera membedal
kudanya hingga sejajar dengan kuda penarik kereta, mereka
terus melompat ke atas kedua kuda paling depan, dengan
demikian dapatlah kereta itu dihentikan,
Serentak ratusan penunggang kuda itu mengelilingi
kereta berwarna emas itu, para penunggang kuda itu
kebanyakan adalah jago pengawal istana pangeran dan
orang berpangkat di kotaraja, sebagian lagi adalah kaum
opas.
Seorang kepala opas lantas mengangkat sepotong gada
besi dan membentak dengan bengis: "He, orang itu? Kenapa
kau kabur?"
"Kabur? Ti. . .tidak?. . ." jawab Peng-say dengan
gelagapan.
Kaum opas sudah biasa main bentak dan main pukul
terhadap rakyat kecil, melihat kusir ke-tolol2an ini, segera ia
membentak pula: "Berani kau menyangkal?!" Berbareng
gada besinya terus menghantam dada Soat Peng-say
Mendadak Peng-say berteriak terus terjungkal ke bawah
kereta, lagaknya seperti duduknya tidak betul dan terpeleset
kebawah. Padahal dia sengaja berlagak gugup dan
ketakutan, tapi dengan tepat mengelakkan pukulan gada
besi.
Kepala opas itu tidak tahu akal bulus Soat Peng-say itu,
disangkanya anak muda itu memang takut padanya. ia
tambah galak, makinya dengan tertawa: "Setan alas!
Dimana malingnya?"
"Maling apa?" jawab Peng-say. "Aneh, masa polisi tanya
si kusir, kan lucu?"
Semula kepala opas itu melengak, lalu menjadi gusar,
bentaknya: "Kurangajar!" Segera ia ayun gadanya hendak
menyerang lagi.
Tapi seorang kakek botak bermuka merah cepat
memanggilnya: "Ong-thauji!"
Tampaknya kepala opas she Ong itu tidak berani
semberono terhadap si kakek botak, cepat ia menarik
kembali serangannya dan bertanya: "Ya, ada apa, Tanlosu?"
Kakek botak she Tan itu adalah kepala penjaga istana
salah seorang pangeran yang kehilangan benda pusaka,
tokoh pilihan dari Tiam-jong-pay. Lwekang dan
Gwakangnya tergolong kelas tinggi. lebih2 ilmu pedangnya,
jarang ketemu tandingan. Kepandaiannya terhitung paling
tinggi di antara semua jago pengawal istana pangeran yang
kehilangan barang itu.
Begitulah kakek botak itu lantas menjawab: "Biarkan
kutanyai dia dulu."
"Silakan Tan-losu tanya saja," jawab Ong thauji dengan
hormat.
Melihat pintu kereta bercat emas itu tertutup rapat, si
kakek botak tersenyum, tanyanya kemudian: "Eh, saudara
ini, mohon tanya siapakah penumpang keretamu ini?"
Peng-say menjawabnya dengan tersenyum: "Harap kakek
maklum, kereta hamba ini tanpa penumpang."
Meski tirai pintu dan jendela kereta itu telah ditarik
terlepas oleh kawanan Hwesio dan Tosu tadi, tapi daun
pintu dan jendela yang terbuat dari kayu itu masih baik2,
sekarang telah ditutup rapat2 dari dalam oleh si nona Soat.
Tampaknya kakek botak she Tan itu tidak percaya, ia
berkerut kening dan berkata pula: "Apa betul tidak ada
penumpangnya?"
Dengan tetap tersenyum Peng-say menjawab: "Betul, jika
kakek tidak percaya, silakan engkau memeriksanya."
Kakek botak itu memandang sekejap ke arah kereta, lalu
berkata: "Periksa sih tidak perlu. kupercaya adik cilik ini
bukan orang yang suka bohong."
Si kepala opas she Ong tadi tidak sependapat dengan si
kakek botak, diam2 ia membatin: "Si tua she Tan ini tinggi
ilmu silatnya, tapi tidak pernah mengusut perkara, masa
oceban seorang kusir boleh dipercaya begitu saja."
Dia bermaksud menggeledah kereta, tapi juga tidak
berani bertentangan dengan kehendak si kakek botak.
Peng-say lantas memberi hormat dan berkata pula: "Jika
tidak ada urusan lain, hamba mohon diri untuk
melanjutkan perjalanan."
"Nanti dulu, ingin kutanyakan sesuatu lagi," kata si
kakek botak. "Di tengah jalan tadi terdapat belasan sosok
mayat, siapa yang membunuhnya, tentu kau tahu bukan?"
Soat Peng-say mengangguk, jawabnya: "Ai, tadi hamba
hampir saja mati ketakutan, waktu rombongan kakek
menyusul kemari, hamba menyangka datang lagi kaum
bandit, maka lari sekuatnya. Karena gemetar ketakutan.
hamba menjadi bingung dan tak dapat melarikan kereta ini
dengan baik, kukira kakek dan tuan2 yang lain sudah
melihatnya dengan jelas."
Salah seorang jago pengawal lain berwatak keras, segera
ia membentak: "Tidak perlu kau mengoceh, lekas katakan,
belasan mayat di tengah jalan sana apakah dibunuh oleh
seorang maling perempuan?!"
Orang ini berasal dari sebuah perusahaan peternakan
besar she Liong di Kwan-gwa, diluar tembok besar.
Keluarga Liong terkenal dengan permainan cambuknya.
Orang ini sejak kecil bekerja sebagai gembala di peternakan
keluarga Liong itu, karena kerjanya giat, orangnya jujur,
maka oleh pemilik peternakan, yaitu Liong Hi-cong, dia
diterima sebagai murid. Ia tamat belajar pada usia 30,
karena tidak mau bakatnya terpendam di daerah
perbatasan, dia masuk kedaerah Tionggoan untuk mencari
Cukong yang baik agar mendapat kemajuan.
Hampir sepuluh tahun dia berkecimpung di dunia
Kanguow, namanya memang sudah mulai membubung,
bila orang menyebut Li Yu-seng dari Kwan-gwa, semuanya
tahu permainan cambuknya memang cukup lihay. Cuma
sayang, Hokkhinya kurang, sejauh itu belum ketemu
cukong yang cocok, ia hidup luntang-lantung. hampir saja
cambuk perak pemberian sang guru dijual untuk biaya
hidup.
Syukurlah permulaan tahun yang lalu dia mendapat
pekerjaan dirumahHo-houya, keluarga Ho yang berpangkat
raja muda ini memang kaya raya, dia diangkat menjadi
kepala penjaga rumah. Itupun atas ikhtiar sang guru, kalau
tidak mungkin sampai detik ini dia masih menganggur.
Rupanya iapun puas dengan pekerjaannya itu, ia bekerja
dengan giat dan hati2, ia pikir periuk nasi ini harus
dipertahankan dan jangan sampai berantakan.
= Cara bagaimana Soat Peng-say akan mengocok
lawannya dengan caranya yang kocak ?
= Siapakah nona she Soat yang menjadi pencuri ini ?
— == Bacalah jilid selanjutnya 8 ==—
-ooo0dw0ooo-
Jilid 8
Tak tersangka belum setahun dia bekerja sudah tertimpa
musibah, benda pusaka sang majikan, yaitu delapan ekor
kuda kemala, telah hilang dicuri orang.
Houya, sang majikan itu bermaksud melapor kepada
yang berwajib, tapi bila hal ini dilaporkan akan berarti
tamat pula karir Li Yu-seng, bukan saja periuk nasinya
berantakan, selanjutnya juga jangan berharap akan
mendapat pekerjaan lagi, bila tersiar ke dunia persilatan
nama Li Yu-seng pasti juga tercemar.
Mau-tak-mau ia tepuk dada dan menjamin benda pusaka
yang bilang itu pasti akan ditemukan kembali sehingga sang
majikan batal lapor perkara ini kepada yang berwajib. Tapi
majikan juga memberi batas waktu, dalam satu bulan
barang yang hilang harus kembali.
Keruan selama beberapa hari akhir2 ini kaki Li Yu-seng
hampir patah lari kesana dan balik kesini, tapi bayangan
Giok-be atau kuda kemala tetap tak terlihat. Sementara itu
batas waktu sebulan sudah hampir berakhir, tentu saja ia
tambah kelabakan sehingga seperti semut di dalam wajan
yang panas.
Suatu hari dia minum arak di satu restoran untuk
menghilangkan rasa kesalnya, kebetulan dia bertemu
dengan si kakek botak yang bernama Tan Goan-hay, karena
sama-sama bekerja di keluarga bangsawan, keduanya sudah
kenal. Dalam pasang omong mereka baru diketahui mereka
senasib setanggungan. Rupanya majikan Tan Goan-hay
juga kehilangan benda pusaka.
Ketika mereka berdua mengadakan kontak pula dengan
kawan lain, diketahui pula bahwa kedua keluarga raja
muda lain juga kemalingan, kedua kepala penjaga rumah
tangga itu masing2 bernama Ho Kong-lim dan Tan Yambok,
yang satu ahli golok Toan-bun-to dari Kwitang dan
yang lain jago Ang-kun dari Hopak.
Kedua orang itupun serupa Tan dan Li berdua, demi
menjaga gengsi, mereka minta kepada majikan masing2
agar jangan lapor kepada pihak yang berwajib, mereka
menjamin dalam waktu singkat barang yang hilang pasti
dapat ditemukan.
Akan tetapi keempat jago pengawal itu sudah bergabung
dan telah melakukan penyelidikan bersama dan sampai
sekarang belum lagi menemukan seuatu tanda2 yang
memberi harapan.
Mereka menjadi heran juga bahwa di antara tujuh
macam benda pusaka yang terkenal di kota raja ini, masih
ada dua macam lain milik keluarga pangeran yang lain
belum terdengar ikut tercuri. Jangan2 jago pengawal di
istana pangeran itupun serupa mereka, menjaga gengsi dan
sengaja tidak melaporkan kecurian itu.
Keempat orang itu lantas mengunjungi Hoa ih-congkoan
atau kepala penjaga istana dan menjelaskan benda pusaka
majikan mereka telah hilang dicuri orang, maka minta
bantuan agar Hoa-ih-cong-koan istana pangeran itu mau
bergabung dengan mereka untuk menyelidiki bersama
peristiwa itu.
Tak tersangka Hoa-ih congkoan itu justeru menyatakan
benda pusaka milik majikannya masih tersimpan dengan
baik dan tidak pernah hilang. Agar keempat rekannya itu
mau percaya, dia sengaja memperlihatkan benda pusaka
sang majikan, bahkan menepuk dada dan menyatakan
betapa ketat penjagaannya sehingga tidak mungkin si
maling mampu menggerayangi istana pangeran itu.
Kiranya Hou ih congkoan istana pangeran itu bernama
The Kim ciam, anak murid Siau-lim-pay dari keluarga
preman, usianya belum 30 tahun sudah termashur karena
ilmu permaiaan tongkat Hang-mo-tiang-hoat yang jarang
ada tandingannya, Sebab itulah dia menjadi tinggi hati dan
anggap tiada maling yang berani mengganggunya.
Padahal nama The Kim-ciam sebenarnya tidak lebih
gemilang daripada nama Tan Goan-hay di dunia persilatan.
Kalau sipencuri benda pusaka berani merecoki Tan Goanhay,
mustahil tidak berani terhadap The Kim ciam, dia
cuma lebih mujur, yaitu giliran terakhir menjadi incaran si
maling.
Karena ajakan kerja sama mereka ditolak. Tan Goan-hay
berempat juga tidak banyak bicara, hanya mulai malamnya
mereka lantas mengawasi istana pangeran itu dengan
cermat. mereka yakin istana pangeran itu pasti juga akan
didatangi si pencuri. Maka diam2 ia mengintai. Benar juga,
pada malam itu mereka menyaksikan si pencuri benda
pusaka itu melayang masuk ke istana pangeran itu.
Mereka menyesal karena The Kim ciam tidak mau
bekerja sama, maka mereka sengaja tinggal diam, mereka
hanya siap siaga bilamana maling itu hendak kabur
membawa hasil curiannya barulah mereka akan muncul
dan membekuknya,
Akan tetapi nona Soat itu cukup cerdik. ditambah lagi
Ginkangnya memang tidak lemah, biarpun di bawah
pengawasan para jagoan itu benda pusaka istana pangeran
itu tetap berhasil digerayanginya dan dibawa lari. Cuma
iapun tidak menyadari bahwa jejaknya telah diketahui dan
sedang diintai, ketika dia membawa barang curian dan
melayang keluar dari istana pangeran itu, serentak ia
terkepung oleh Tan Goan-hay berempat.
Sudah tentu ia kewalahan dikerubut empat jagoan itu.
apalagi ditambah The Kim-ciam yang menyusul tiba, ia
lebih kepayahan, terpaksa ia bertahan sekuatnya.
Menjelang fajar, dengan beberapa jurus serangan
pedangnya yang aneh dapatlah dia membobol kepungan
dan lari pulang ke hotel. Ia tahu dalam waktu singkat
musuh pasti akan mencium jejaknya dan menyusul tiba,
maka cepat ia meringkasi ketujuh benda pusaka hasil
curiannya dan membangunkan kusir kereta lalu kabur
keluar kota.
Ia yakin keretanya yang cukup cepat itu pasti dapat lolos
dari kejaran musuh. tak terduga Hwesio. Tosu dan Preman,
tiga gembong bandit sudah lama mengintainya dan telah
mencegatnya tidak jauh di luar kota.
Waktu kereta itu menyerempet Soat Peng-say, hal ini
bukannya disengaja melainkan karena gugupnya si kusir.
Soat Peng-say sendiri karena mengantuk diatas kudanya
sehingga dengan mudah tersenggol jatuh terjungkal.
Sementara itu Tan Goan-hay berlima demi menjaga
gengsi tetap tidak mau menghubungi pihak yang berwajib
meski jejak si pencuri sudah diketahui. Tentu saja hal ini
sangat menguntungkan nona Soat, tanpa halangan dia
dapat kabur keluar kota. Sedangkan Tan Goan-hay berlima
masih sibuk mencari jejaknya di tengah kota. Untungluh
setelah dicari kian kemari, akhirnya pada hotel yang
dipondoki nona Soat itu diperoleh keterangan bentuk dan
wajah maling benda pusaka yang serupa dengan nona Soat
itu, maka mereka terus menyiapkan segala keperluan dan
bermaksud mengadakan pengejaran jarak jauh dan bertekad
membekuk maling perempuan itu.
Setiba dipintu gerbang timur, tiba2 mereka kepergok
barisan opas yang dipimpin kepala opas Pakkhia yang
bernama Ong Cin-ek. Kepala opas Ong itupun kenal Tan
Goan-hay dan konco2nya itu adalah para jago pengawal
istana pangeran, dengan sendirinya ia menegur sapa dan
memberitahu maksud tujuannya yang hendak mengejar
kawanan bandit yang mengacau di kotaraja.
Tan Goan-hay dan lain2 pura2 menyatakan hendak
membantu Ong Cin-ek, dengan sendirinya tawaran ini
diterima baik. Mereka tidak tahu bahwa Ong Cin-ek sudah
tahu terjadinya pencurian2 itu, kedatangannya sekarang ini
justeru hendak menangkap maling yang melakukan
pencurian secara besar2an itu.
Kiranya majikan Li Yu-seng yang diam2 telah laporkan
peristiwa pencurian itu kepada pihak yang berwajib, hanya
saja untuk menjaga jangan sampai membikin malu jago
pengawalnya sendiri, pihak yang berwajib hanya diminta
agar meyelidikinya secara diam2 selama sisa batas waktu
yang masih ada, yaitu lima hari. Tugas penyelidikan itu
dilakukan oleh Ong Cin-ek yang cukup berpengalaman.
Selama dua hari dia menyelidiki setiap orang yang kira2
harus dicurigai, diketahui kotaraja telah kedatangan
kawanan bandit yang dipimpin oleh tiga gembong bandit
Hwesio, Tosu dan Preman itu Berbareng itu juga ditemukan
seorang tamu perempuan berkereta warna emas yang patut
dicurigai, maka diam2 dikirim petugas untuk mengawasi
perak-geriknya.
Malam hari ketika diketahui kawanan bandit telah
meninggalkan kota, hal ini tidak diperhatikan oleh Ong
Cin-ek, sebab kawanan bandit itu hanya beberapa hari
berdiam di dalam kota dan laporan tentang pencurian
sudah terjadi 20 hari, jelas pencurian bukan dilakukan oleh
kawanan bandit itu. Maka kecurigaannya tertuju kepada
tamu perempuan muda she Soat yang sudah sebulan tinggal
di kotaraja itu, begitu kawanan bandit itu pergi,
perhatiannya lantas dipusatkan kepada diri tamu she Soat.
Pengawasan diperketat. Maka begitu mendapat laporan
bahwa pagi2 perempuan muda she Soat itu telah angkat
kaki, Ong Cin-ek menjadi sibuk dan cepat2 pimpin belasan
anak buahnya melakukan pengejaran dan kebetulan
bergabung dengan rombongan Tan Goan-hay.
Di tengah jalan diperoleh laporan pula bahwa di luar
kota terjadi pembegalan, setelah ditanya lebih jelas,
diketahuinya kawanan bandit hendak main hitam makan
hitam.Maka cepat ia mengerahkan barisannya ke sana.
Akhirnya tersusul juga kereta yang dimaksud. tapi Tan
Goan-hay menganggap kereta itu kosong dan tidak perlu
digeledah. Sudah tentu Ong Cin-ek serba susah dan tidak
berani membantah.
Hanya Li Yu-seng saja, karena batas waktunya tinggal
dua hari saja. bila besok juga terlewatkan dengan sia2,
berarti periuk nasinya akan berantakan. Maka ia coba
menggertak Soat Peng-say pula dengan ayunan cambuknya,
sekali sabat ujung kabin kereta sempal sebagian, lalu
bentaknya: "Lekas katakan, siapa yang membunuh belasan
orang di sana tadi? Dilakukan seorang perempuan bukan?"
Soat Peng-say tetap duduk saja tanpa bergerak, ia
berlagak pilon seperti tidak tahu betapa lihaynya sabatan
cambuk Li Yu-seng itu, dengan tertawa ia menjawab: "Eh.
tuan ini hendaklah bersabar sedikit, bila ingin tahu apa yang
terjadi, harap tenang dan dengarkan cerita hamba."
Li Yu-seng menjadi gusar dan mendamperat: "Kentut
makmu! Lekas ceritakan, jika rewel, sekali hantam
kuhancurkan kepala-anjingmu!"
Saking gregetan ia benar2 ingin membinasakan Soat
Peng-say dengan sekali hantam. Tapi Tan Goan-hay telah
mencegahnya: "Li-laute, apa yang dikatakan saudara cilik
ini memang betul juga, tenanglah dan dengarkan ceritanya."
Di antara mereka ilmu silat Tan Goan-hay terhitung
paling tinggi, walaupun tidak resmi dan telah menjadi
kepala rombongan, maka terpaksa Li Yu-seng menurut,
begitu pula yang lain. Ho Kong-lim dan Tan Yam-bok
adalah kedua orang yang menghentikan kereta tadi. mereka
masih memegangi kuda penarik kereta dan mengikuti
perkembangan selanjutnya, kedua orang ini cukup percaya
kepada kemampuan Tan Goan-hay, segalanya mereka
serahkan kepada keputusannya.
Tapi Li Yu-seng lantas mendesak lagi: "Hayo, lekas
ceritakan!"
Namun Soat Peng-say justeru bicara dengan seenaknya,
ucapnya dengan pelahan: "Pagi tadi hamba sendirian
meninggalkan kota. . . ."
"Jadi sejak pagi keluar kota kereta ini memang kosong?"
sela Tan Goan-hay.
Peng-say tertawa, ia tidak membenarkan secara
langsung, tapi berkata pula: "Hamba sendirian keluar kota,
sampai di sini. . . ."
"Bohong kau!" bentak Ong Cin-ek mendadak. "Di dalam
keretamu kan ada seorang penumpang perempuan, lekas
katakan siapa dia?!"
"Kubohong atau tidak ada sangkut-paut apa dengan
kau?" jawab Peng-say dengan tertawa.
Ong Cin-ek jadi melengak sehingga tidak sanggup
bersuara lagi.
Padahal Soat Peng-say memang tidak bohong, dia
memang keluar kota sendirian. Maka ia lantas
menyambung: "Setiba di sini, kulihat belasan penjahat
menghadang di tengah jalan dan mengatakan didalam
kereta ada benda mestika segala, malahan mereka terus
mengganas, ya panah, ya golok, semuanya tertuju kereta
ini, se-akan2 dengan begitu benda mestika akan keluar
dengan sendirinya dari dalam kereta."
Dia sengaja menekankan suaranya pada istilah "benda
mestika" sehingga bagi pendengaran si nona Soat di dalam
kereta, rasanya ialah yang dimaksudkan sebagai
"mestikanya". Keruan ia sangat mendongkol.
"Pada saat itulah tiba2 datang seorang Lihiap (pendekar
perempuan) yang berbusur kecil," tutur Peng-say pula.
"Terdengar suara jepretan beberapa kali dan kontan
beberapa orang lantas roboh Hanya tersisa tiga pentolan
bandit saja tidak terpanah ulu hatinya yang mematikan.
Tapi panah kecil itu beracun, meski cuma mengenai lengan
kanan mereka, hanya sebentar saja lengan mereka lantas
berubah menjadi hitam."
"Hm, kiranya dia murid ahli racun Cu Hway-tong!"
jengeK Tan Goan-hay.
"Siapa itu Cu Hway-tong?" tanya Tan Yam-bok.
"Berapa usia Tan-hiaute tahun ini?" tanya Tan Goanhay.
Di antara kelima orang usia Tan Yam-bok memang
paling muda, ia jadi melengak karena tidak tahu apa
sebabnya mendadak orang menanyakan umurnya,
jawabnya kemudian: "Tahun ini 27."
"Pantas kau tidak kenal nama Cu Hway-tong," tutur Tan
Goan-hay. "Pada 30 tahun yang lalu Cu Hway-tong itu
sudah malang melintang di dunia Kingouw, bukan saja
ilmu pedangnya, bahkan keahliannya menggunakan racun
sangat ditakuti setiap orang persilatan. Tapi entah mengapa,
27 tahun yang lalu mendadak dia menghilang dari dunia
ramai, bisa jadi dia sengaja mengasingknn diri untuk
mempelajari semacam ilmu pedang dan ilmu pedangnya
sudah sama2 kita ketahui."
"Dilihat dari ilmu pedang muridnya, agaknya tidak sia2
selama 27 tahun Cu Hway-tong mengasingkan diri," ujar
Tan Yam-bok. Nyata ia sangat mengagumi ilmu pedang si
maling perempuan she Soat itu.
Diam2 Peng-say membatin: "Kiranya nona itu pun
mahir ilmu pedang. entah selama 27 tahun ilmu pedang apa
yang diciptakan oleh gurunya yang bernama Cu Hway-tong
itu sehingga musuh juga merasa kagum sekali."
Mendadak Li Yu-seng membentak: "Kemudian
bagaimana. hayo lekas teruskan, kusir!"
"Kemudian. . . kemudian ketiga pentolan bandit itu
merasakan lihaynya racun yang mengenai lengan mereka,
buru2 mereka mengutungi lengan sendiri dan melarikan
diri," tutur Peng-say dengan ter-gagap2.
"Yang kutanya bagaimana kemudian dengan maling
perempuan itu?" kata Li Yu-seng dengan mendesak,
Soat Peng-say sengaja membetulkan istilah orang,
katanya: "Maksudmu si pendekar perempuan itu?"
Kuatir Li Yu-seng ribut lagi dengan Soat Peng-say, cepat
Tan Goan-hay menimpali: "Betul, kemudian bagaimana
dengan pendekar perempuan itu?"
"Wah, akupuu tidak jelas," ujar Peng-say sambil
mengangkat bahu. "Hamba terus kabur mengendarai kereta
ini, mana sempat ku perhatikan diri pendekar perempuan
itu. Eh. sekarang hamba boleh pergi bukan?"
Tan Goan-hay mengangguk.
Ong Cin-ek menjadi kelabakan, cepat ia menimbrung:
"Pergi? Mana boleh? Kau harus ikut kami ke kantor, di
tengah jalan sana jatuh korban belasan orang, kau harus
menjadi saksi dalam perkara ini."
Melihat cara Ong Cin-ek tanya Soat Peng-say tentang
"maling perempuan" tadi, Tan Goan-hay tahu kepala opas
itu pasti sudah tahu hal2 pencurian yang terjadi di kota raja,
betapapun Ong Cin-ek tidak boleh mendapatkan keterangan
dari Soat Peng-say mengenai benda2 pusaka kelima
keluarga pangeran yang hilang itu, maka cepat ia menyela:
"Ong-thauji, kita jangan menuduh orang baik2 dan
merintangi perjalanan penduduk yang tak bersalah.
Keretanya sudah dirusak oleh kawanan penjahat. masa
sekarang kita membikin susah lagi padanya?"
"Masa Tan-heng menganggap dia orang baik2 dan. . . ."
"Sudahlah, tak perlu omong lagi, berilah kebebasan
padanya dan kebaikanmu pasti takkan kami lupakan," ucap
Tan Goan-hay sebelum Ong Cin-ek melanjutkan kata2nya.
"Apalagi belasan mayat tadi jelas adalah kawanan bandit
yang menjadi buronan pemerintah, bila mayat2 itu kau
bawa pulang, bukankah akan merupakan jasa besar
bagimu?"
"Betul juga ucapanmu Tan-losu," kata Ong Cin-ek
dengan tertawa. Dalam hati ia tahu tentu kelima keluarga
pangeran tempat bekerja Tan Goan-hay berlima itu
kehilangan barang pusaka dan mereka ingin menyelidikinya
sendiri demi gengsi. Tapi peduli apa jika mereka tidak mau
perkara ini terbuka, yang benar bilamana mayat kawanan
bandit itu dibawa pulang ke kotaraja memang akan
merupakan jasa besar. Yang diherankannya cuma sikap Tan
Goan-hay tadi, bilamana kereta warna emas itu dilepaskan,
kemana lagi mereka akan mencari maling benda pusaka itu
kelak?
Dalam pada itu Tan Goan-hay telah mengedipi kedua
kawannya yang menahan kuda penarik kereta dan berkata:
"Lepaskan, biarkan dia pergi!"
Segera Ho Kong-lim dan Tan Yam-bok melompat
kembali keatas kudanya masing2 tanpa membantah The
Kim-ciam juga tidak omong lagi, dia cukup cerdik, dengan
sendirinya ia tahu maksud Tan Goan-hay melepaskan Soat
Peng-say. Ia kuatir Li Yu-seng tidak paham kehendak Tan
Goan-hay, maka cepat ia membisikinya: "Jangan kuatir, Li
laute, kita bereskan nanti!"
Otak Li Yu-seng memang lebih sederhana daripada yang
lain, tapi demi melihat keempat kawannya tidak merasa
kuatir dan mungkin mereka sudah mempunyai pendirian
lain untuk mengusut barang2 yang hilang, terpaksa iapun
tidak berbicara lagi.
Dilihatnya Soat Peng-cay menarik tali kendali dan
menjalankan keretanya dengan cara ke-tolol2-an, sebentar
kemudian kereta itupun berlari pergi, namun jalannya tetap
meliuk ke kanan dan berbelok ke kiri.
Diam2 Tan Goan-hay mendengus dari kejauhan- "Hm,
sampai saat ini kau masih berlagak pilon?!"
Dia menyangka Soat Peng-say sengaja pura2 ketakutan
sehingga cara mengendarai keretanya tidak benar, ia tidak
tahu bahwa memang baru pertama kali ini Soat Peng-say
menjadi kusir, hakikatnya dia memang tidak dapat
mengendarai keretanya dengan baik.
—00O00—dw—00O00—
Setelah jauh meninggalkan kotaraja dan melewati dua
kota Hongtay dan Tayhin, di tengah jalan barulah si nona
Soat didalam kereta melongok keluar dan berkata kepada
Soat Peng-say: "Melihat caramu mengendarai kereta ini,
biarpun gratis juga tiada tamu yang mau menumpang
keretamu ini. Waktu menghadapi musuh tadi, lagak dan
bicaramu sungguh sangat bagus, upah sehari sepuluh tahil
perak sungguh tidak sia2 kukeluarkan."
Sementara itu Soat Peng-say sudah mulai paham cara
menguasai keretanya, jalan kereta sudah mulai stabil. Si
nona Soat mengajak ngobrol padanya juga tidak
dihiraukannya, dia benar2 memusatkan perhatiannya
mengendarai keretanya.
"Ingin kutanya padamu, sebab apa kau sebut diriku
Lihiap?" tanya si nona pula. Agaknya sebutan ini telah
menimbulkan kesan baik pada si nona sehingga dia lupa
Peng-say tadi juga menganggapnya sebagai "benda
mestika".
Karena Peng-say masih diam saja, nona itu lantas
berteriak pula: "He. kusir, jangan berlagak gagu, kutanya
padamu, sebab apa kau tolong diriku meski kau tahu aku
memang si maling yang mereka cari itu?"
Baru sekarang Peng-say menjawab: "Apa jadinya kalau
aku tidak menolong nona? Bila kukhianati kau, masakah
aku dapat hidup bila kau panah aku dari belakang?"
Nona Soat itu tidak puas dengan jawaban Peng-say, ia
tahu anak muda itu sama sekali tidak takut akan dipanah,
tapi berkat ketabahan dan akalnya yang berani itulah Tan
Goan-hay berhasil dikelabui.
Maka nona Soat itu lantas mengomel: "Jangan omong
kosong, untuk apa kupanah kau? Aku bukan iblis yang suka
sembarangan membunuh rakyat jelata. Kutahu tujuanmu
menolong diriku, upah sepuluh tahil perak sehari bukanlah
pekerjaan yang mudah dicari, jika aku tertangkap mereka,
kemana lagi kau akan mendapatkan pekerjaan baik ini,
betul tidak?"
"Betul, betul, betul sekali," seru Peng-say sambil tertawa.
"Satu hari sepuluh tahil, satu peser saja tidak boleh kurang."
"Dasar mata duitan!" omel nona Soat dengan
mendongkol.
Tapi Peng-say tidak peduli, ia bergumam dan
menghitung2 sendiri: "Sehari sepuluh tahil, sebulan tiga
ratus tahil, setengah tahun tentu delapan ratus tahil, cukup
bekerja setengah tahun saja aku Tio-jilengcu sudah dapat
mencari isteri yang putih dan cantik di kotaraja nanti."
"He, Tio-jilengcu, apakah kau mimpi?!" tanya nona Soat.
"Mimpi? Memangnya kenapa? Bukankah nona sudah
berjanji satu hari sepuluh tahil, apakah engkau akan ingkar
janji?"
"Ingkar janji sih tidak, cuma upah sehari sepuluh tahil
perak memang terlalu mahal dan terlalu berat bagiku, tidak
dapat kupakai tenagamu dalam jangka panjang, paling lama
hanya satu bulan saja."
"Satu bulan tiga ratus tahil perak, untuk mencari isteri
gadis desa juga cukup."
"Tio jilengcu, tampaknya kau orang yang bisa puas
dengan kenyataan."
"Orang yang puas menurut kenyataan adalah orang yang
bahagia, sering2 orang di dunia ini tidak kenal puas dari
hasil yang diperolehnya dan selalu berusaha mendapat lebih
banyak, akibatnya memanjat semakin tinggi, jatuhnya juga
tambah sakit. Setelah jatuh kembali lagi kepada kenyataan
semula, namun suasana semula juga sudah berubah. Kalau
sudah begitu, nah, barulah dia sadar."
Uraian Soat Peng-say ini memang bukannya tak
beralasan dan bukannya dia sok berfilsafah. Tempo hari
ketika di Siau-ngo-tay-san, Liok-ma berniat menjodohkan
dia dengan Sau Kim-leng, melihat nona Sau itu secantik
bidadari, apalagi keturunan salah satu di antara Su-ki yang
termashur. Meski kemudian dia tetap menolak, tapi pernah
juga dia hampir melupakan sang Piaumoay yang dibesarkan
bersama sejak kecil. Syukur akhirnya dia tidak melupaknn
sama sekali kepada sang Piaumoay. Tapi ketika dia ingat
kepada Cin Yak-leng den jatuh kembali kepada realitas
semula, sementara itu si nona sudah mengalami nasib
diculik Ciamtay Boh-ho, sekarang, entah di mana si nona
dan ke mana dia harus mencarinya.
Apabila teringat kepada Cin Yak-leng, seketika Peng-say
pusing kepala. Dasar dia memang tidak mahir mengendarai
kereta, perhatiannya terpencar memikirkan Cin Yak-leng,
ketika dekat sebuah jembatan, hampir saja kereta itu
menyelonong masuk ke sungai. Masih untung si nona Soat
keburu menjerit, dalam kagetnya Peng-say sempat menarik
tali kendali dan membetulkan arah keretanya.
Nona Soat itu tepuk2 dada sendiri bersyukur kereta tidak
jadi masuk sungai, jika terjerumus ke sungai, ia tak bisa
berenang, pasti akan mengalami nasib malang tenggelam
didasar sungai.
Setelah tenang kembali, si nona lantas mengomel: "Hei,
Tio jilengcu, jangan kau melamun akan mencari bini
melulu! Kendarai keretamu dengan baik, bisa jadi akan
kupakai tenagamu selama setengah tahun."
Tapi Peng-say tidak berminat bicara lagi, ia curahkan
perhatian pada kemudi keretanya.
Mungkin merasa kesal berada sendirian di dalam kereta
dan tiada teman mengobrol, tidak lama kemudian nona
Soat itu melongok keluar pula dan berseru: "Tio jilengcu,
apabila pagi tadi orang she Tan itu tidak tertipu olehmu dan
membuka pintu kereta, coba, lantas bagaimana
tindakanmu?"
"Kalau dia membuka pintu kereta, biarkan saja dia
periksa sesukanya," jawab Peng-say.
Nona itu seperti ingin mengetahui sampai di mana
ketulusan hati Soat Peng say akan menolongnya, dengan
tertawa ia bertanya pula: "Tapi aku kan bersembunyi di
dalam kereta, kalau terlihat lantas bagaimana?"
"Siapa bilang nona berada di dalam kereta?" Peng-say
balas bertanya.
"Kalau tidak bersembunyi di dalam kereta habis berada
di mana?" tanya si nona dengan heran.
"Tatkala mana nona bersembunyi di bawah kereta,
memangnya kau kira aku tidak tahu?"
"Darimana kau tahu?"
"Hahahaha! Tentunya masih ingat waktu orang she Tan
itu tanya padaku siapa penumpang di dalam kereta?
Kujawab tidak ada penumpangnya. Aku tidak berdusta
padanya, sebab kukatakan didalam kereta tidak ada
penumpangnya, kan tidak termasuk dibawah kereta."
Si nona mendongkol karena Peng-say tidak menjawab
pertanyaan, omelnya: "Yang kutanya adalah cara
bagaimana kau tahu aku bersembunyi di bawah kereta?!"
"Sebelumnya kan ketiga pentolan bandit itu sudah
menggeledah seluruh kereta dan tidak dapat menemukan
nona, tahu2 nona muncul di samping kereta.Waktu itu aku
sangat heran. jelas didalam kereta tiada seorangpun, nona
kan bukan badan halus. mengapa mendadak bisa muncul di
samping kereta? Maka kuyakin nona pasti tidak pernah
meninggalkan kereta, jelas kereta ini ada alat rahasianya
dan nona pasti bersembunyi di tempat yang dirahasiakan
itu. Maka ketika nona menghajar kawanan bandit itu,
secara teliti telah kupelajari keadaan kereta ini. Betul juga,
kulihat dibawah kereta masih ada satu lapis yang tebal
cukup untuk direbahi badan satu orang."
"Ya, kau memang pintar, tapi kau tetap berhasil
mendustai Orang she Tan itu," ujar si nona Soat dengan
tertawa.
"Apa artinya ucapanmu?"
"Kan kau katakan bahwa di dalam kereta ini tiada
penumpangnya, padahal ada, Aku tidak bersembunyi
dibawah kereta, tapi kau kira aku telah bersembunyi disitu.
Bukankah orang she Tan itu telah kau tipu dengan
keteranganmu bahwa di dalam kereta tiada seorang
penumpang pun?"
Soat Peng-say menoleh dan memandang si nona sekejap,
mendadak ia tertawa ter-bahak2.
"Apa yang kau tertawakan?" omel si nona.
"Aku sangat kagum kepada nona, biarpun berdusta.
mukamu tidak merah sedikitpun."
"Hm, kenapa aku berdusta? Aku memang tidak
bersembunyi waktu itu. Untuk apa aku bersembunyi?
Memangnya kau kira aku takut kepada mereka?"
"Takut atau tidak adalah urusanmu, yang jelas. dia tidak
menggeledah kereta ini bukanlah lantaran dia mudah
ditipu. soalnya dia juga tahu di dalam kereta waktu itu tiada
penumpangnya."
"Hm, jangan sok pintar dan mengira tahu segalanya!"
jengek si nona.
"Bukan maksudku sok pintar, cuma cara nona berdusta
terasa kurang rapi sedikit," kata Peng-say. "Coba pikirkan,
apa gunanya kereta ini nona tutup rapat2, bukankah kereta
ini sudah berlubang seperti sarang tawon oleh karena
dipanah oleh anak buah kawanan bandit itu. Biarpun
lubang2 itu tidak besar, tapi bagi orang she Tan itu tentu
tidak sulit untuk mengetahui keadaan di dalam kereta."
Rupanya nona she Soat itu memang berdusta. Dia
menyadari bukan tandingan Tan Goan-hay berlima, maka
ketika tersusul dia lantas sembunyi di bawah kereta, dia
bilang tidak takut, padaha! dia sangat ketakutan. Cuma
dasar wataknya memang suka menang, meski Soat Pengsay
telah mengetahui rahasia keretanya dia tetap sengaja
menganggap Soat Peng-say berhasil menipu Tan Goan-hay
dan kawan2nya sekedar mengumpak anak muda itu. Tak
terduga Peng-say tidak tahu apa artinya pujian, dia berbalik
membongkar kebohongan si nona sehingga terpaksa nona
Soat itu tidak dapat membantah lagi. Setelah dibuat kikuk,
nona itu tidak ceriwis lagi seperti tadi, sampai setengah hari
dia tidak bicara lagi.
Menjelang lohor, kereta mereka lalu di suatu dusun yang
cukup banyak penduduknya. Mendadak nona Soat itu
berseru: "Berhenti! Berhenti!"
Tapi Peng-say tidak menghiraukannya, sebaliknya
tambah mencambuk kudanya sehingga dusun dilaluinya
dengan cepat. Nona Soat itu menjadi gusar, bentaknya:
"Suruh kau berhenti, apakah kau tuli?"
"Nona sudah lapar bukan?" tanya Peng-say.
"Ya, lekas putar balik ke sana, habis makan kenyang
baru melanjutkan perjalanan," teriak si nona.
"Kuminta nona suka tahan lapar dulu, sampai malam
nanti boleh makan dobel, makan siang malam sekaligus,"
ujar Peng-say.
"Berdasarkan apa kau membantah perintah?" bentak si
nona. "Kubilang putar balik ke sana maka harus lekas putar
balik."
Peng-say menghela napas, jawabnya: "Baiklah!" -Segera
ia memutar kudanya ke arah datangnya tadi.
Tapi sebelum masuk ke kampung itu, mendadak Pengsay
memutar keretanya lagi dengan cepat terus dibedal
secepat terbang ke arah semula.
"He, kerja apa kau ini?!" teriak si nona dengan gusar.
"Silakan nona berpaling ke sana dan lihatlah sendiri,"
ujar Peng-say.
Waktu nona Soat itu membuka jendela dan melongok
kebelakang, dilihatnya di dalam kampung sana ada lima
penunggang kuda sedang tanya jalan kepada penduduk
disitu, jelas itulah rombongan Tan Goan-hay, cepat ia
menutup jendela pula dan berteriak: "Lekas lekas larikan
kudanya lebih cepat!"
Kiranya rombongan Tan Goan-hay itu telah
meninggalkan barisan opas yang dipimpin Ong Cin-ek dan
menguntit arah yang dituju kereta warna emas ini. Kuda
tunggangan mereka adalah kuda pilihan, meski setiap tiba
di suatu kampung mereka harus tanya dulu kepada
penduduk setempat kearah mana perginya kereta itu, tapi
jarak pengejaran mereka makin lama makin dekat.
Untung mereka asyik tanya jalan kepada penduduk
sehingga tidak melihat kereta warna emas itu berputar balik,
kalau tidak, tidak sampai seminuman teh pasti akan disusul
oleh mereka.
Beberapa kali Peng-say sengaja membelok kejalan
simpang, akhirnya nona Soat itu merasa aman, katanya
dengan tertawa: "He, Jilengcu (si dungu), namamu ini tidak
baik. Orang bernama Lengcu jika otaknya rada2 tolol, tapi
tulus dan lugu. Padahal kau tidak kelihatan bodoh, bahkan
cukup pintar."
"Terima kasih atas pujian nona," jawab Peng-say. "Dan
entah siapa nama nona yang terhormat?"
"Namaku hanya satu huruf saja, yakni Koh."
"Soat Koh? Soat Koh?. . . ." Peng say mengulangi nama
itu beberapa kali.
"Bagaimana, enak didengar atau tidak namaku?"
"Ya, jauh lebih enak didengar daripada namaku?" ujar
Peng-say dengan tertawa.
"Menurut cerita ibuku, pada waktu ibu mengandung
diriku, kebetulan dilihatnya burung merpati salju terbang
lewat di atas kepala beliau, nama lain daripada merpati
salju adalah Soat-koh, kebetulan akupun she Soat, maka ibu
lantas memberi nama Soat Koh padaku."
"Pantas aku merasa nama Soat Koh sudah pernah
kudengar, aku jadi ingat kepada gumam guruku waktu kami
tinggal diatas gunung sana, setiap kali turun salju dan ada
burung salju terbang lewat. Suhu suka menyebut "Soat koh',
tadinya kusangka guruku sedang terkenang kepada orang
yang bernama Soat-koh, baru sekarang kutahu yang
dimaksudkannya adalah merpati salju."
”Kau juga punya Suhu?" tanya Soat Koh.
"Memangnya kau kira cuma kalian yang belajar silat saja
yang punya guru dan orang udik pencari kayu seperti kami
ini tidak punya guru?" jawab Peng-say dengan tertawa
"Hendaklah maklum bahwa dalam segala pekerjaan pasti
ada gurunya Pencari kayu juga perlu mengangkat guru,
pada waktu hujan salju dan perlu mencari kayu lebih2 perlu
diberi petunjuk oleh sang guru. Kalau tidak, bukan mustahil
akan kesasar diatas gunung bersalju, bahkan kalau kurang
hati2 bisa terjerumus kejurang yang tertutup salju dan
jiwapun bisa melayang."
Mestinya Soat Koh hendak tanya siapa gurunya, tapi
demi mendengar hanya seorang pencari kayu saja, ia
menjadi malas bertanya. Cuma diam2 iapun merasa kagum
bahwa murid seorang pencari kayu ternyata cukup cerdas
dan tangkas.
Begitulah Soat Peng-say menghalau keretanya menuju
kejalan yang sepi, apabila ketemu jalan persimpangan, yang
dipilih tentu adalah jalan yang kecil.
Keretanya tiba di suatu jalan persimpangan yang terdiri
dari tiga jalan kecil yang sama, segera ia pilih satu jalan itu
dan membelokkan keretanya ke Sana Jalan itu semakin
jauh semakin sepi dan akhirnya tiba di lereng pegunungan
yang jauh dari khalayak ramai.
Soat Koh tahu jalan pikiran Soat Peng-say, jelas anak
muda itu sengaja hendak meloloskan diri dari pencarian
Tan Goan-hay dan konco2nya, untuk Peng say sengaja
menuju ke jalan yang sepi dari penduduk, dengan demikian
sukar bagi rombongsn Tan Goan-hay untuk mencari
keterangan.
Sementara itu hari sudah mulai gelap. malam hampir
tiba Soat Koh menjadi sedih, ia ragu malam nanti akan
mondok di mana jika cara demikian perjalanannya?
Akhirnya di jalan yang dilalui hanya tampak rumput dan
batu belaka, orang berjalan kaki saja rasanya sulit melalui
jalan pegunungan kecil ini, dengan sendirinya kereta
mereka lebih2 tak keruan jalannya, guncangannya yang
keras membuat orang kepala pusing.
Kuatir akan kesasar bila perjalanan diteruskan. cepat
Soat Koh berseru: "He, Jilengcu, bolehlah kita istirahat saja
di sini!"
Peng-say melihat keempat kuda penarik kereta juga
sudah lelah, ia lantas memilih suatu tempat yang agak
lapang dan menghentikan keretanya.
Soat Koh keluar dari kabin kereta dan memandang
sekelilingnya, dilihatnya lereng gunung sana diliputi hutan
lebat, sang surya sudah terbenam sehingga suasana
sekitarnya terasa dingin dan kelam, tapi juga terasa tenang
dan damai, membuat orang lupa pada keramaian duniawi.
Di sebelah sana ada sebuah selokan yang mengalirkan air
yang bersumber pada sebuah gua dikejauhan sana, air
selokan itu mengalir dengan tenang dan jernih.
Soat Koh mendaki selokan itu dan meraup air yang
jernih itu untuk diminum, serunya dengan girang: "Jilengcu,
lekas kemari, minumlah air sumber ini. segar sekali
rasanya!"
Pelahan Peng-say mendekati selokan itu, katanya dengan
tertawa: "Caramu minum itu terlalu banyak buang tenaga."
Habis berkata ia terus bertiarap, kepalanya dibenamkan
ke dalam air dan diminumnya air jernih itu, dalam Waktu
singkat perutnya sudah penuh terisi air.
"Jilengcu," kata Soat Koh dengan tertawa, "Apakah
pencari kayu seperti kalian ini biasanya memang suka
minum cara kerbau begini?"
Merasa nada pertanyaan orang mengandung ejekan,
dengan ketus Peng-say menjawab: "Orang lelaki seperti
kami tidak perlu berlaku halus segala, kalau haus ya
minumlah sekenyangnya, kenapa mesti berlagak seperti
perempuan?!"
Soat Koh tahu meski otak anak muda itu tidak dungu,
tapi sifatnya rada2 dogol, malahan boleh dikatakan tidak
dapat merayu anak perempuan, benar2 pemuda udik sejati,
maka pantaslah jika nama Jilengcu. Maka dengan
menggeleng ia berkata: "Jilengcu, dengarkan, biar kuajari
kau sedikit sopan santun. bicara dengan orang perempuan
hendaklah halus dan ramah. menghadapi urusan apapun
mengalah, kalau tidak, selama hidupmu jangan
mendapatkan bini yang baik. Sebaiknya bila kau turut pada
petunjukku, kutanggung tanpa membuang uang juga akan
mendapatkan isteri cantik."
Peng-say sengaja hendak bertengkar dengan dia, ia
menjawab: "Ah, jangan nona menipu diriku si dogol ini.
mana ada urusan seenak itu di dunia ini, tanpa buang uang
akan mendapatkan isteri cantik?.
"Sekalipun kau punya uang juga tiada gunanya,
memangnya kau kira perempuan baru mau menjadi
isterimu jika uangmu banjak? Contohnya seperti diriku ini,
biarpun kau tumpuk uangmu berlaksa tahil di depanku juga
nonamu takkan terpikat olehmu."
"Ai, masa engkau berani omong," Peng-say sengaja berolok2.
"Ke mana kuhalau kereta ini, ke sana pula kau ikut,
jelas2 kau lengket padaku, masa bilang tidak bakal terpikat
olehku?"
Seketika Soat Koh mendelik, katanya: "Kurang ajar!
Bicara yang benar, apa kau minta kubanting hingga
setengah mampus?!"
Melihat sikap si nona di waktu marah sangat mirip Cin
Yak-leng, Peng-say jadi sengaja menggodanya, ia sengaja
berlagak dungu dan berkata pula: "Ah, aku tidak percaya
nona mampu membanting aku hingga setengah mati.
Asalkan kau tidak pakai panah, biarpun kau pukul tubuhku
seratus kali juga aku takkan menjerit kesakitan, malahan
kukuatir tangan nona yang putih dan halus itu akan . . . "
"Tutup mulut!" bentak Soat Koh.
Kuatir juga Peng-say kalau si nona benar2 naik pitam, ia
lantas tutup mulut dan tidak berani omong lagi.
"Kemari kau!" bentak Soat Koh.
Peng-say menurut dan mendekati si nona.
"Ingin kulihat kau akan berteriak kesakitan atau tidak?!"
omel Soat Koh sambil angkat telapak tangannya.
Peng-say tahu hantaman si nona tidak boleh diremehkan,
jika terkena tepat, kepala lembu saja bisa hancur. Namun
dia justeru tidak menghindar, ia pandang wajah si nona
yang marah itu dengan terkesima.
Soat Koh menjadi tidak tega ketika tangan sudah
terangkat, teringat olehnya jasa Peng-say yang telah berhasil
mengingusi musuh, dengan menghela napas ia berkata :
"Sudahlah, lain kali hendaklah hati2 dan tahu aturan
sedikit."
Peng-say memang anak kolokan, diberi hati tambah
minta kepala, ia lantas membual pula: "Nona Soat kau
takkan ikut padaku meski hartaku ber-juta2 tahil, tapi kalau
tidak punya duit malahan engkau mau ikut padaku, begitu
bukan?"
Soat Koh tidak merasakan ucapan orang sebagai kata2
kurang sopan, ia memberi penjelasan: "Bukan begitu
maksudku, aku cuma memberi misal, supaya kau tahu
perempuan tidak melulu memandang duit saja, lalu mau
ikut padamu "
"Lalu cara bagaimana baru nona mau ikut aku si
Jilengcu ini?" Peng-say melanjutkan bualannya.
"Kau harus pandai membujuk, lemah lembut, santun,
jangan jorok, jangan tamak dan mata duitan, dengan
demikian, biarpun kantongmu kosong juga banyak
perempuan yang kepincuk padamu. Hendaklah kau tahu,
bini yang dibeli dengan duit kebanyakan tak dapat
dipercaya."
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 2 komentar... read them below or add one }
artikelnya bagus sekali sob,,menambah pengetahuan dan wawasan.. terima kasih banyak atas sharenya..semoga selalu menciptakan karya" terbaiknya,,,dan ditunggu UPDATEan terbarunya sob,,,pokoknya mantap deh! keren buat blog ente ! dan saya mohon dukungannya sob buat lomba kontes SEO berikut:
Ekiosku.com Jual Beli Online Aman Menyenangkan
Commonwealth Life Perusahaan Asuransi Jiwa Terbaik Indonesia
terima kasih atas dukungannya sob,, saya doakan semoga ente selalu mendapatkan kebaikan,, dan terus sukses!! amin hehe sekali lagi terima kasih banyak ya sob...thaks you verry much...
mantap cerita nya gann
Judi Online
Judi Bola
Taruhan Bola Online
Agen Judi Bola
Posting Komentar