Habis berkata dia terus mengendapkan tubuh lalu
dorongkan kedua tangannya ke muka.
Walaupun terpisah dua tombak, tetapi Cu Jiang tak
berani meremehkan. Dia pusatkan segenap semangatnya
untuk menyambut.
Eh, mengapa yang berhembus bukan tenaga pukulan
dahsyat melainkan angin yang lembut?
Apakah orang tua itu hendak berolok-olok kepadanya ?
Belum habis rasa herannya, tiba2 angin lembut itu
berobah menjadi gelombang tenaga yang dahsyat.
Cu Jiang terkejut sekali. Dia hendak menghindar
ataupun menangkis, sudah tak keburu lagi. Terpaksa dia
mengempos semangat dan menyambutnya.
Bum....
Dia terpelanting ke belakang dan jatuh dari atas batu,
sempoyongan sampai beberapa langkah dan membentur
segunduk batu besar. Walaupun tak sampai menderita luka
berat tetapi cukuplah membuat kepalanya pusing tujuh
keliling ....
Orang tua aneh itu tertawa terbahak-bahak.
"Nah, begitu baru mending. Kalau tidak, aku si orang tua
ini tentu jatuh merk."
Cu Jiang tertawa meringis. Setelah menenangkan
semangat, dia loncat lagi keatas batu. Dilihatnya orang tua
aneh itupun sudah duduk lagi dialas batu:
"Cianpwe, kau sudah selesai ?"
"Uh. duduklah !"
Cu Jiang menurut. Duduk berhadapan dengan orang tua
itu barulah dia dapat melihat jelas wajahnya. Ternyata
orang tua itu berwajah welas asih.
Setelah beberapa saat memandang Cu Jiang, orang tua
aneh itu mengangguk-angguk.
"Ah, benar2 bahan yang bagus. Siau-lo-ji benar2 bermata
jeli sekali."
Cu Jiang heran. Dia tak tahu apa yang dimaksudkan
orang tua aneh itu. Hanya mendengar orang tua itu
menyebut-nyebut tentang bahan bagus, dia serentak teringat
akan hubungannya dengan maksud hendak mengambil
murid.
Dia benar2 heran, mengapa begitu banyak tokoh2 dalam
dunia persilatan yang ingin sekali mengambil dia sebagai
murid.
"Apakah wanpwe dapat mengetahui nama locianpwe ?"
akhirnya ia bertanya.
Orang tua itu kicupkan kedua matanya lalu menguruturut
jenggotnya dengan santai.
"Pernah dengar tentang nama Lam-kek-siu ?"
Cu Jiang terperanjat. Lam-kek-siu atau kakek dari
Kutub-selatan merupakan seorang tokoh aneh yang berada
diluar dunia persilatan. Namanya lebih atas dari Bu-lim
Sam-cu.
Ketika ayahnya masih hidup, pernah mengatakan, ingin
sekali berjumpa dengan tokoh itu.
Ah, sungguh tak terkira bahwa orang tua pendek yang
berada dihadapannya itu tak lain adalah tokoh Lam-kek-siu
yang termasyhur itu. Serentak timbullah rasa
mengindahkan kepada kakek Itu.
"Oh, locianpwe ini tokoh Lam-kek-siu yang termasyhur
itu ?" tanyanya.
"Ya."
"Maaf, wanpwe telah berlaku kurang hormat "
"Ngaco, aku ai kakek tua ini tak perlu engkau junjung
setinggi langit."
"Wanpwe memang berkata dengan kesungguhan hati."
"Engkau dari perguruan mana ?"
"Dari keluarga sendiri."
"Siapa keluargamu ?"
"Ini.... maaf, wanpwe sukar mengatakan."
"Tak apa. Engkau tahu mengapa aku kakek tua ini
mencarimu?"
"Mohon cianpwe memberi keterangan."
"Aku menerima permintaan tolong orang."
"Siapa ?"
"Gong-gong-cu!"
"Gong gong-cu ketua dari Bu-lim Sam-cu?"
Cu Jiang menegas.
"Sudah tentu, masakan dalam dunia persilatan terdapat
dua Gong-gong-cu!"
"Ah, terlalu bagus sekali!"
"Terlalu bagus, apa maksudmu?"
Cu Jiang merasa kelepasan omong. Dia belum kenal
dengan Gong-gong-cu mengapa tokoh itu minta tolong
orang supaya mencarinya? Apakah artinya ?
Tetapi itu memang sungguh kebetulan sekali karena ia
hendak menyampaikan pesan dari Go-leng-cu untuk Gonggong-
cu.
"Wanpwe juga menyanggupi permintaan orang untuk
mencari Gong-gong cianpwe."
"O, mengapa begitu kebetulan sekali. Siapa yang
menyuruhmu ?"
"Go-leng-cu."
"O, si kepala gundul yang menempuh bahaya itu. Soal
apa ?"
"Sebuah pesan lisan."
"Mengapa kepala gundul itu dapat minta tolong
kepadamu?"
"Karena dia . . . senasib dengan wanpwe."
"Senasib? Apa maksudmu?"
Cu Jiang lalu menceritakan tentang penjara di bawah
tanah dari Gedung Hitam. Tentang nasib yang dialami dari
Go leng-cu dan Thian-hian-cu dan tentang sarang serigala
yang menjadi kuburan dari tokoh2 persilatan.
Mendengar itu Lam-kek-siu marah. Rambutnya
meregang tegak.
"Kalau Gedung Hitam tak dibasmi, dunia persilatan
Tiong goan takkan tenang. Budak, engkau benar2 nyawa
kembalian dari neraka!"
Dengan mengertek gigi, Cu Jiang menyahut:
"Selama wanpwe masih bernyawa, tentu akan
membasmi Gedung Hitam!"
"Sungguh berpambek tinggi! Pokoknya, engkau harus
lekas2 menemui Gong-gong-cu. . ."
"Tetapi di manakah beliau?"
"Dia hanya mondar-mandir di wilayah Sujwan-Oupak,
mencarimu!"
"Bagaimana cara mencarinya?"
"Ini.... karena engkau meloloskan diri dari Gedung
Hitam, mereka tentu berusaha keras untuk menangkapnya
lagi. Oleh karena itu baiklah engkau jangan unjuk diri.
Begini saja, aku mempunyai sebuah benda, pergilah ke
markas Kay-pang cabang Kui-cin, tunjukkan benda itu dan
suruh pengemis2 itu membantu engkau mencarikan..."
Habis berkata Lam-kek-siu mengeluarkan sebuah tiokpay
(keping bambu) kecil, diberikan kepada Cu Jiang.
"Inilah pertandaan dari Kay-pang tiang-lo. Dulu seorang
sahabat pengemis memberikan kepadaku. Aku sih tak perlu.
Sekalian suruh mereka mengembalikan pertandaan itu ke
markas besar Kay-pang dan diserahkan kepada tianglo Kaypang
yang bernama Tong Ih Leng bergelar Pengemisperayu
nyawa."
Sambil menyambut Cu Jiang menghaturkan terima
kasih.
"Budak, apabila engkau tidak capek, malam ini engkau
berangkatlah . . ."
"Jika begitu wanpwe mohon diri."
"Hati2 di jalan !"
Setelah memberi hormat, Cu Jiang lalu turun gunung.
Malam itu juga ia terus menuju ke Kui-ciu, mencari
markas partai Kay-pang.
Cu Jiang tetap menggunakan cara yang sama. Kalau
siang beristirahat, sembunyi di hutan atau tempat yang sepi,
malam baru melanjutkan perjalanan.
Pada malam itu tibalah dia di luar kota Kui-ciu. Dia
bersangsi. Saat itu tengah malam, para pengemis tentu
sudah pulang kandang. Bagaimana ia hendak mencari
markas mereka?
Setelah memikir beberapa saat. ia mendapat akal.
Menurut keadaannya markas cabang Kay-pang itu tentu
berada di tempat sepi di luar kota. Ah. baiklah ia coba2
mengitari kota, mungkin saja ia dapat menemukannya.
Dalam perjalanan itu tiba2 ia mendengar jeritan minta
tolong dari seorang wanita. Cu Jiang berhenti dan
memandang ke sekeliling. Rumah2 sudah mati lampunya
dan jeritan itu tak kedengaran lagi
Baru dia bersangsi tiba2 jeritan itu terdengar lagi tetapi
pelahan dan terputus-putus. Jika tak memiliki pendengaran
yang tajam tak mungkin dapat menangkap suara itu.
Kini Cu Jiang dapat mengetahui arahnya. Jelas dari
gerumbul hutan yang terpisah beberapa puluh tombak dari
tempat ia berdiri.
Tanpa ayal lagi dia terus lari menghampiri. Begitu tiba di
hutan itu baru dia dapat melihat di dalam hutan Itu terdapat
sebuah rumah pondok yang dilingkari dengan pagar bambu.
Lampunya masih menyala. Menilik bangunannya, rumah
itu bukan rumah petani melainkan sebuah rumah orang
yang memang hendak mengasingkan diri dari pergaulan
ramai.
Rumah itu merupakan satu-satunya rumah di hutan itu.
Tiada tetangganya lagi. Suara jeritan tadi jelas berasal dari
dalam rumah itu.
Cu Jiang segera menghampiri. Begitu dekat ternyata
pintu rumah itu terbuka separoh. Dia terus melangkah
masuk. Apa yang dilihatnya benar2 mengejutkan sekali.
Di lantai ruang tengah, tampik sesosok mayat yang
bergelimangan darah. Korban mengenakan pakaian sebagai
seorang bun-in atau sasterawan.
Tiba2 terdengar suara rintihan bercampur isak tangis.
Asalnya dari kamar sebelah.
Cu Jiang segera menghampiri kamar itu dan melongok
dari jendela. Apa yang disaksikan dalam kamar itu benar2
membuat darahnya bergolak keras. Nafsu pembunuhan
serentak berkobar-kobar.
Seorang Pengawal Hitam tengah meringkus seorang
anak berumur lima tahun, melintangkan pedang di leher
anak itu. Mukanya tertawa menyeringai sehingga anak itu
ketakutan setengah mati.
Di pinggir ranjang berdiri seorang tua berpakaian hitam,
umur di antara 50 an tahun, sedang membuka pakaian dan
ikat pinggangnya.
Sementara diatas ranjang, rebah seorang wanita muda
berumur 20-an tahun dalam keadaan telanjang dan
memandang lelaki tua itu dengan penuh dendam.
"Heh, heh, jangan memandang aku begitu rupa. Kalau
menghendaki jiwa anakmu, engkau harus mau melayani
aku main satu kali," lelaki berpakaian hitam itu tertawa
mengekeh.
Bibir wanita itu mengumur darah. Rupanya dia telah
menggigit bibirnya sendiri karena dendam kebenciannya
yang meluap-luap.
"Dengarkan, aku tak ingin menggunakan kekerasan.
Sikapmu begitu itu tak menyenangkan, Jika tidak..." kata
lelaki tua itu pula.
Seketika terbayanglah Cu Jiang akan dua buah peristiwa
yang lalu. Anak perempuan dari paman Liok yang mati
diatas ranjang dengan tubuh telanjang.
Dan jenasah ibunya yang menggeletak diatas batu, juga
dalam keadaan tak berpakaian ....
"Tunggulah diluar, nanti kuberi mu bagian," kata lelaki
tua itu kepada Pengawal Hitam.
Wajah yang menyeramkan dari Pengawal Hitam itu
sejenak menyapu tubuh wanita muda yang rebah di ranjang
lalu melangkah keluar.
"Jangan mengganggu anakku!" teriak wanita muda itu
dengan nada pilu.
Saat itu lelaki tua sudah membuka pakaian dan hanya
tinggal celana dalam saja. Dengan tertawa menyeringai dia
berkata:
"Asal engkau mau menurut saja dan dapat memuaskan
aku, anakmu tentu selamat."
Cu Jiang tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia
terus menerjang masuk dan tepat kesampokan dengan
Pengawal hitam yang membawa anak kecil itu.
"Siapa engkau !" bentak Pengawal Hitam.
Secepat kilat Cu Jiang terus mencengkeram tangan orang
itu. Marah sekali Cu Jiang sehingga ia mencengkeram
dengan sekuat tenaganya.
"Auh..." Pengawal Hitam menjerit karena tulang
pergelangannya pecah dan pedangnyapun jatuh.
"Hai, ada apa itu!" seru lelaki tua dalam kamar.
Pengawal Hitam lepaskan anak kecil lalu menghantam
dada Cu Jiang.
Krak.... Cu Jiang menangkis. Pengawal Hitam itu
tergetar. Sebelum ia sempat menghantam lagi, Cu Jiang
sudah mendahului menghantam kepalanya, prak....
rubuhlah orang itu ke lantai.
"Pek thaubak. budak . . itu ....," sebelum melayang
jiwanya, Pengawal Hitam itu sempat berteriak.
"Ho, bagus, kiranya engkau budak!" dengan masih
mengenakan celana dalam kepala kelompok atau thaubak
orang she Pek itu segera melesat keluar.
Dengan berapi-api Cu Jiang memandang orang itu.
Wajahnya yang rusak dan memancarkan hawa
pembunuhan itu, membuat ngeri Pak Thaubak sehingga
menyurut mundur selangkah.
Wanita muda menyambar selimut untuk menutup
tubuhnya lalu lari keluar dan membopong anak kecil itu ke
sudut.
"Budak buruk, tak kira engkau mengantar jiwa sendiri."
seru Pak thaubak menyeringai iblis.
Sepasang bola mata Cu Jiang merah membara dan
gerahamnya bergemerutukan. Tanpa berkata apa2, dia terus
menghantam.
Pak thaubak menangkis dan tangannya yang lain
menyambar. Tetapi alangkah kejutnya ketika tenaga
pukulan Cu Jiang itu sedahyat gunung meletus. Krak.... Pek
thaubak terpelanting kedalam kamar.
Sebelum dia sempat bergerak, Cu Jiang sudah loncat dan
mencengkeram bahunya.
"Auh..." Pek thaubak mengerang kesakitan karena
bahunya mengucur darah. Jari2 Cu Jiang telah menembus
masuk kedalam dagingnya.
Pek thaubak terbelalak. Dia tak mengira bahwa Cu Jiang
memiliki tenaga yang sedemikian sakti.
Cu Jiang tak bicara apa2. Matanya yang merah membara
sudah berbicara sendiri.
Pek thaubak nekad. Karena tubuhnya lemas akibat jalan
darah pada bahunya dicengkeram, dia mengangkat lutut
kaki kanannya dan dibenturkan ke perut Cu Jiang.
Cu Jiang sedang dirangsang kemarahan sehingga dia
kehilangan kewaspadaan. Dia tak mengira lawan akan
menggunakan cara itu.
"Huh.." ia mengerang tertahan dan terjungkal ke
belakang. Kalau tak memiliki tenaga-dalam yang tinggi,
tentu dia sudah mati saat itu.
Berhasil dengan gerakan lutut, Pek thaubak menyusuli
lagi dengan sebuah tendangan.
Tetapi saat itu kesadaran Cu Jiang sudah kembali, ia
miringkan tubuh sembari menyambar kaki lawan dan
sebelah tangannya bergerak untuk menabas kaki orang,
krak.
Tulang kaki Pek thaubak pecah dan orangnyapun rubuh.
Cu Jiang membarengi menerkam paha orang.
"Ha. ha, ha " dia tertawa gelak2.
"Budak engkau berani . . .. "
"Akan ku robek-robek tubuhmu, anjing !" teriak Cu
Jiang. Krak .... sekali merentang kedua lengannya terdengar
Pek thaubak meraung ngeri karena tubuhnya sempal dua.
Setelah menenangkan perasaannya, Cu Jiang melangkah
ke luar. Tampak wanita muda tadi dengan memeluk anak
kecil tengah menelungkupi mayat lelaki berdandan seperti
sasterawan itu, menangis tersedu-sedu.
Sinar lampu yang redup di malam hari, menambah
suasana tempat itu makin seram.
Lama sekati baru wanita itu menyadari bahwa di
sampingnya terdapat seorang pemuda yang tegak berdiri, Ia
mengangkat muka dan terkejut ketika pandang matanya
terbentur pada wajah Cu Jiang yang buruk.
Tetapi sesaat kemudian wanita itu segera menghaturkan
hormat:
"Terima kasih atas budi pertolongan siauhiap!"
"Ah, tak usah, " kata Cu Jiang dengan nada hambar,
"hanya secara kebetulan saja. Apakah yang meninggal itu
suami nyonya?"
"Ya memang .... suamiku," kata wanita itu tersendatsendat.
"Siapakah namanya?"
"Sastrawan- pukulan sakti Kang Giok."
"Ah, bukan seorang yang tak ternama. Bagaimana asal
mula peristiwa ini?"
"Silahkan siauhiap melihat di atas meja itu ...."
Cu Jiang berpaling dan tiba2 menjerit:
"Amanat Maut!"
"Benar, Amanat Maut dari Gedung Hitam."
"Mengapa Gedung Hitam mengirim amanat itu ke
mari?"
"Karena kami pernah menerima seorang nona menginap
di sini. Dan nona itu adalah orang yang hendak dicari
Gedung Hitam."
Cu Jiang terkejut.
"Bagaimana nona itu?"
"Seorang dara yang berpakaian hijau."
"Dara berpakaian hijau? " ulang Cu Jiang.
"Ya. hal itu terjadi lima hari yang lalu . .."
"Apakah dara itu mengakui she apa?"
"Dia . . . mengatakan she Ho!"
Cu Jiang tergetar. Sungguh tak kira dalam dunia ini
terjadi hal yang aneh. Dulu ketika dia pulang dari berkelana
dan menolong nona yang bernama Ho Kiong Hwa itu,
telah menerima Amanat Maut dan Gedung Hitam. Jika
tidak wanita gemuk pemilik rumah penginapan yang
melindunginya, dia tentu sudah mati.
Tetapi wanita gemuk itu sendiri yang menjadi korban.
Rumah makan dan penginapannya dibakar dan wanita
gemuk itu jatuh miskin.
Kini Kang Giok yang bergelar Sasterawan-pukulan sakti
itupun mati dibunuh orang Gedung Hitam karena
menolong Ho Kiong Hwa. Bahkan anak isterinyapun
hampir menjadi korban keganasan orang Gedung Hitam.
Tiba2 ia teringat akan dara Ho Kiong Hwa yang
tentunya masih berada dalam gua rahasia menunggu Ang
Nio Cu. Entah bagaimana keadaan dara itu.
Sesaat iapun teringat akan surat dari Ang Nio Cu yang
hendak menjodohkan dia dengan Ho Kiong Hwa. Teringat
itu merahlah wajah Cu Jiang.
"Nyonya Kang, baiklah malam ini juga engkau
tinggalkan rumah ini dan pergi sejauh mungkin. Orang
Gedung Hitam tentu tak mau melepaskan engkau begitu
saja, " katanya.
Wajah nyonya muda itu pucat dan air matanyapun
segera berderai-derai ke luar.
"siauhiap, aku hendak mohon tolong sebuah hal..."
Cu Jiang tertegun. "Soal apa?"
"Akan kuserahkan anak ini kepada siauhiap."
Lalu nyonya?"
"Hendak menyusul suamiku . . ."
Anak itu rupanya agak mengerti maksud ucapan
mamahnya. Dia memandang wajah mamahnya lalu
memandang Cu Jiang. Dia tahu walaupun berwajah buruk
tetapi Cu Jiang berhati baik. Dia tak takut.
"Jangan! " seru Cu Jiang.
"Apakah siauhiap tak meluluskan?"
"Saat ini aku juga orang yang sedang diburu Gedung
Hitam." kata Cu Jiang, "dan cara berpikir nyonya itu tak
benar. Suami nyonya dibunuh orang, nyonya seharusnya
berjuang untuk merawat putera nyonya. Dengan demikian
suami nyonya tentu dapat beristirahat dengan meram di
alam baka."
Nyonya itu terisak-isak. Anaknyapun ikut menangis.
Adegan itu benar2 menyayat hati Cu Jiang.
"Nyonya Kang, harap lekas berkemas-kemas dan
memanfaatkan malam yang gelap ini untuk lolos." sesaat
kemudian Cu Jiang memberi peringatan.
Nyonya itu menurut Ia masuk ke dalam kamar. Tak
lama kemudian ke luar dengan sudah berpakaian dan
membawa sebuah bungkusan. Ia berjongkok di hadapan Cu
Jiang.
"Terima kasih atas budi pertolongan siauhiap." katanya
seraya memberi hormat.
"Ah, tak usah, nyonya," Cu Jiang tersipu-sipu, "Harap
lekas bangun."
"Dapatkah siauhiap memberitahu nama siauhiap yang
mulia?" serunya berbangkit.
"Aku . . . bernama Gok-jin-ji."
"Gok-Jin-Ji?"
"Ya."
"Nama gelaran ?"
"O, ya."
"Nama yang sebenarnya ?"
"Aku tak punya nama dan she. Hanya nama gelaran itu."
"Akan kucatat dalam hati selama-lamanya."
"Lebih baik nyonya segera berangkat. Urusan disini
serahkan kepadaku."
"Mayat suamiku ..."
"Aku yang akan menguburnya."
"siauhiap, keluarga Kang akan mengukir budi kebaikan
siauhiap itu."
"Ah, tak perlu nyonya mempersoalkan hal sekecil itu.
Silahkan berangkat!"
Dengan masih berat hati, nyonya itu memandang lagi
sekeliling rumahnya.
"Mah, kita akan kemana?" seru anak kecil.itu.
Air mata nyonya itu tiada putusnya mengalir.
"Nak, dalam dunia yang begini luas, kita tentu dapat
mencari tempat tinggal."
"Dan paman buruk !"
"Hui, jangan kurang ajar!" bentak mamahnya.
Cu Jiang tertawa.
"Paman Buruk memang tepat. Harap nyonya jangan
marah kepadanya."
"siauhiap, sampai jumpa lagi," nyonya itu memberi
hormat mohon diri.
"Harap nyonya berhati-hati ..."
"Terima kasih !" dengan memondong anaknya nyonya
itu segera melangkah keluar dan lenyap dalam kegelapan
malam.
Cu Jiang menghela napas. Kemudian ia menuju
kebelakang dan membuang liang untuk mengubur Kang
Giok. Dibuatkannya juga sebuah nisan dengan tulisan
nama Kang Giok.
Tepat pada saat ia selesai mengurus mayat itu terdengar
suara ayam berkokok. Hari segera akan terang tanah.
Ia meletakkan Amanat Maut diatas kuburan lain
membakar rumah pondok itu. Maksudnya supaya orang
Gedung Hitam tahu bahwa orang yang hendak dibunuhnya
itu sudah mati.
Tiba2 ia teringat bahwa nyonya tadi tentu juga seorang
wanita persilatan. Jika ia menanyakan letak markas Kaypang,
mungkin tahu. Tetapi ah, dia sudah pergi jauh.
Cu Jiang melanjutkan perjalanan lagi. Saat itu di jalan
pun sudah tampak orang berlalu lalang. Ia merenungkan.
Apabila jejaknya diketahui Gedung Hitam, tentu akan
melibatkan markas Kay-pang.
Akhirnya ia kembali hendak mencari hutan yang sepi.
Tiba2 di tengah jalan ia melihat sebuah kuil besar. Dia
gembira Sekali karena tempat semacam kuil, merupakan
tempat persembunyian yang bagus. Segera ia lari
menghampiri.
Tetapi tiba di tempat itu ternyata bukan kuil melainkan
sebuah biara yang megah dan besar. Papan nama besar
yang tergantung pada pintu bertulis tiga huruf Hian-tokwan.
Pintu biara itu terbuka tetapi tak kelihatan barang
seorang penjaganya.
Cu Jiang mengambil keputusannya. Dari pada
mengganggu para imam dalam biara itu, lebih baik ia
mencari tempat yang sepi untuk bermalam.
Ia segera masuk. Di belakang pintu terdapat sebuah
halaman luas yang penuh ditumbuhi bunga2 indah. Jalan
ditengah tengahnya terbuat dari batu putih yang rapi dan
bagus.
Di ujung halaman merupakan sebuah ruangan. Di
belakang ruang itu tentulah ruang besar. Di kanan kiri
terdapat pintu bundar yang disebut Gwat-tong- bun.
Pada ujung timur laut terdapat sebuah pintu yang
tertutup.
Cu Jiang lalu menghampiri pintu itu dan mendorong.
Tetapi pintu itu terkancing dari dalam. Terpaksa Cu Jiang
loncat dari atas pintu.
Dia menyusur sebuah lorong Jalan. Tiba diujung lorong,
terdapat sebuah halaman kecil. Di situ terdapat sebuah
pondok papan yang cukup bersih. Tetapi menilik halaman
itu penuh ditumbuhi rumput dan semak, jelas pondok itu
sudah lama tak dipakai orang.
"Tempat yang bagus! " pikirnya lalu menghampiri.
Tetapi sebelum tiba di pondok harus melalui sebuah
pintu halaman. Pintu itu dikunci dengan gembok yang
karatan. Cu Jiang tak berani membuka.
Iapun melihat bahwa pintu pondok yang terbuat dari
kayu dipelitur, Juga dikunci. Setelah memeriksa keadaan
disekeliling, Cu Jiang rebahkan diri diatas sebuah bangku
batu dibawah tangga bunga. Pikirnya, tempat itu cukup
aman, tentu tak diketahui orang dan para imam biara situ.
Karena semalam suntuk hampir tak tidur maka Cu Jiang
lelah sekali dan terus jatuh pulas.
Beberapa waktu kemudian ia terjaga oleh suara ribut2.
Ternyata saat itu sudah tengah hari. Cepat ia bangun dan
pasang telinga.
Suara itu berasal dari luar pintu. "Bu-liang-siu-hud, siaoto
tak berani sembarangan masuk !"
"Ngaco!"
"Tempat ini merupakan tempat larangan dalam biara
kami. Kecuali kwan-cu, tiada seorangpun boleh masuk."
"Minta mampus?"
"Apakah sicu sama sekali tak mengindahkan peraturan
dunia persilatan ?"
"Suruh kunyuk2 kecil itu menyingkir"
"Sicu "
Huak ... hoak .... terdengar serentetan orang muntah dan
menyusul sosok2 tubuh yang rubuh.
"Dobrak pintu dan ringkus kawanan imam hidung
kerbau disini !"
Terdengar bentakan2 keras dan suara rintihan.
Bum... pintu jebol terhantam sebuah pukulan dahsyat.
Beberapa sosok bayangan segera menerobos masuk.
Melihat itu Cu Jiang segera loncat bersembunyi dibalik
sebuah gunung-gunungan. Dari celah gunungan batu itu ia
dapat melihat apa yang terjadi. Seketika meluaplah
kemarahannya.
Ternyata yang menerobos masuk itu dua orang
Pengawal Hitam yang menjinjing seorang Imam setengah
tua. Dua orang Pengawal Hitam yang lain mengiring
dibelakang seorang lelaki tua berpakaian hitam.
Cu Jiang cepat mengenali lelaki tua baju hitam itu
sebagai salah seorang thaubak Gedung Hitam yang
bernama Kho Kun gelar Bu ceng-thay-swe atau Pangerantanpa-
kasihan.
"Geledah !" Kho Kun memberi isyarat.
Kedua Pengawal Hitam itu segera maju. Brak, pintu
pondok ditendang dan terus menerobos masuk.
Imam yang dikepit itu merah matanya dan meronta
sekuat-kuatnya tetapi tak dapat melepaskan diri dari
himpitan kedua Pengawal Hitam itu.
"Perbuatan kalian ini tentu takkan dibiarkan kwan-cu."
imam itu berteriak-teriak.
O0o0dw0o0O
Jilid 8
Plak
Salah seorang Pengawal Hitam menampar muka imam
itu hingga mulutnya berdarah dan muka bengap.
Mata Cu Jiang melotot keluar, dada serasa mau
meledak. Pada saat ia hendak unjuk diri tiba2 ia melihat
sesosok bayangan melesat dan lenyap. Diam2 ia tahu
bahwa ditempat itu muncul seorang ko jiu atau tokoh sakti.
Terpaksa ia menahan diri dan tak mau bergerak keluar.
Diam2 dia menduga-duga, siapakah bayangan itu? Imam
dari biara atau orang Gedung Hitam?
Kedua Pengawal Hitam yang masuk ke dalam pondok
tadi keluar pula. Salah seorang membawa sejilid kitab,
dihaturkan kehadapan Bu-ceng-thay-swe Kho Kun.
"Laporan, yang kami dapatkan hanya kitab ini!"
Kho Kun menyambuti dan membacanya. "Ah, Thian-to
po-lok."
"Itulah kitab pusaka dari biara kami, kalian jangan..."
"Tutup mulutmu, hidung kerbau!" bentak Kho Kun
kepada imam setengah tua itu ."lebih baik engkau serahkan
saja!"
"Pinto benar2 tak tahan !"
"Mm, kalau belum menghadapi peti mati engkau
memang belum menangis. Kali ini engkau tak mau
menyerahkan kitab, Hian-to-kwan ini akan kuhancurkan."
Kho Kun mengancam.
"Kitab itu sukar didapat keduanya!"
"Hidung kerbau, jangan ngaco belo. Siapa yang
membicarakan kitab itu ?"
Sekonyong-konyong sesosok bayangan melesat masuk.
Seorang lelaki tua berjubah kuning emas, mata berkilat2
tajam.
"Bagus, Sebun sicu, harap memberi keadilan." imam
setengah tua itu serentak berseru.
Lelaki berjubah kuning emas itu kerutkan alis, serunya:
"Apa yang terjadi?"
"Mereka memaksa pinto supaya menyerahkan kitab
Giok-kah-kim keng. Katanya susiok kami yang
memperolehnya."
Mendengar keterangan imam setengah tua itu, Cu Jiang
terkejut Kiranya kawanan anak buah Gedung Hitam itu
sedang mencari kitab Giok-kah kim-keng. Yang disebut
susiok atau paman guru oleh imam setengah tua itu tak lain
adalah Thian-hian cu.
Padahal para imam di biara situ tak tahu bahwa ketua
mereka yakni Thian hian cu sudah dibinasakan secara keji
dalam penjara di bawah tanah dari Gedung Hitam.
Itulah sebabnya mengapa pondok dalam biara itu tak
terawat. Kiranya pondok itu merupakan tempat semedi dari
imam Thian-hian- cu.
Lalu siapakah lelaki tua yang mengenakan jubah kuning
emas itu?
"Ho, kiranya Buddha-hidup Sebun Ong yang datang ini.
Maaf, aku berlaku kurang hormat." seru Kho Kun dengan
sinis.
Cu Jiang makin kaget. Kiranya lelaki tua berjubah
kuning emas itu adalah Bu-lim-seng-hud atau Budha-hidupdari-
dunia persilatan Sebun Ong, tokoh yang sering dipujipuji
oleh ayah Cu Jiang waktu masih hidup.
Sebun Ong memiliki kepandaian yang sakti.
Dia menjalankan dharma sebagai seorang hiap-gi atau
pendekar utama!.. Menolong yang lemah dan membasmi
yang lalim. Itulah sebabnya orang persilatan mengagungkan
dia dengan sebutan Buddha hidup dalam dunia persilatan
atau Bu lim seng-hud.
Sebun Ong balas memberi hormat: "Ah, terima kasih.
Tetapi siapakah kiranya nama anda yang terhormat ini ?"
"Aku Bu-ceng-thay-swe Kho Kun."
"Apakah saudara Kho tak keberatan untuk mendengar
sepatah kataku?"
"Ah, kurasa lebih baik anda berada diluar kalangan."
sahut Kho Kun.
"Sayang aku sudah terlanjur mengetahui dan tak dapat
membiarkan saja."
"Kuharap janganlah anda terlalu membanggakan
kemasyhuran nama .. ."
"Ha, ha, ha..." Sebun Ong tertawa, "jangan keliwat
menyanjung terlalu tinggi. Aku jarang muncul dalam dunia
persilatan, bagaimana bisa membanggakan diri ? Hanya
karena kepala biara disini seorang sahabatku yang lama,
terpaksa aku harus ikut campur. . ."
Tiba2 Cu Jiang teringat orang tua cacat didasar jurang
yang telah menolong dirinya ketika dilempar oleh orang
Gedung Hitam dahulu. Kakek cacad itu bernama Cukat
Giok bergelar Tionggoan tayhiap atau pendekar besar dari
Tionggoan.
Karena isteri kakek cacad itu serong dengan Se-bun Ong,
maka kakek cacat itu sampai dicelakai oleh Sebun Ong.
Jelas bahwa Se-bun Ong itu seorang manusia yang telah
merampas isteri sahabatnya, dan mencelakai sahabat itu.
Cu Jiang pun teringat akan janjinya kepada kakek cacat
Tionggoan tayhiap Cukat Giok untuk menuntut balas pada
musuh yang telah mencelakainya itu. Dia akan membunuh
Tio Hou Hui isteri yang serong itu dan akan mencari anak
dari Cukat Giok.
Tetapi melihat sikap dan nada Sebun Ong terhadap
orang Gedung Hitam, diam2 Cu Jiang bersangsi. Adakah
benar Sebun Ong itu seorang manusia jahat seperti yang
dikatakan kakek Cukat Giok itu ?
Tiba2 saat itu Kho Kun tertawa mengekeh dan berseru:
"Sebun Ong, jangan terlalu tak tahu diri!"
Dengan wajah tenang, Sebun Ong tersenyum simpul:
"Apakah saudara Kho tak mau menerima ucapanku. . ."
"Sebun Ong, jika bukan engkau, saat ini tentu sudah tak
dapat bicara di hadapanku! " tukas Kho Kun.
"Aku hanya mengharap untuk memberi penjelasan."
"Apakah engkau tetap ikut campur?"
"Karena sudah begini, terpaksa aku tak dapat lepas
tangan!" sahut Sebun Ong.
Kho Kun keliarkan biji mata lalu berseru:
"Baiklah, karena engkau tetap akan ikut campur, aku
orang she Kho dengan memandang muka mu, akan
melepaskan imam hidung kerbau ini!"
Kedua Pengawal Hitam yang meringkus imam setengah
tua itu segera melepaskannya.
Imam itu gopoh menghampiri dan berdiri di samping
Sebun Ong.
Kemasyhuran nama Buddha-hidup Sebun Ong benar2
amat berwibawa. Kehadirannya dapat memaksa thaubak
dari Gedung Hitam mau melepaskan korbannya.
"Adakah Sebun Ong itu mampu mengelabuhi dunia
persilatan agar menganggapnya sebagai seorang pendekar
perwira?"
Cu Jiang memutuskan hendak menunggu perkembangan
selanjutnya. Ia ingin tahu bagaimana Sebun Ong akan
mengatasi peristiwa saat itu.
Dengan mengangkat tangan memberi hormat, Sebun
Ong menghaturkan terima kasih kepada Kho Kun.
"Ah, tak perlu, aku hanya melakukan perintah atasan
saja untuk menyelesaikan urusan ini. Dan karena anda ikut
campur dalam urusan ini maka kuminta anda menasehati
imam itu agar menyerahkan kitab Giok-kah-kim-keng, "
kata Kho Kun dengan nada dingin.
"Kalau tak mau menyerahkan?"
"Biara Hian-to-kwan ini terpaksa akan dicuci dengan
darah!"
Sebun Ong berpaling ke arah imam itu.
"Han Hi, engkau sudah dengar sendiri. Jika tak
menyerahkan kitab itu, akibatnya sungguh berat. Kalau
paman gurumu pulang, akulah yang akan memberi
penjelasan kepadanya."
Wajah imam Han Hi mengerut, serunya: "Tetapi siau-to
benar2 tak tahu soal kitab itu!"
"Apakah keteranganmu itu sungguh2?"
"Siau-to mana berani bohong."
"Andaikata, di tempat yang engkau ketahui mungkin
menjadi tempat susiokmu menyimpannya...."
"Dalam biara, hanya pondok inilah yang biasa dipakai
susiok. Tiada lain tempat lagi!"
"Cobalah engkau pikir2! "
"Ini sukar . . . siau-to tak pernah ke luar dari biara."
Sebun Ong mengelus jenggot dan kerutkan alis. Dia
merenung diam sampai beberapa saat.
Kho Kun tertawa dingin:
"Jika begitu, bukankah anda sudah boleh lepas tangan?"
Wajah Sebun Ong mengerut serius:
"Tidak !"
Wajah Kho Kunpun mengerut gelap.
"Lalu bagaimana anda hendak mengurusnya?"
"Kasih waktu sebulan, biar kubantu Han Hi to te ini
mencarinya. Di samping itu akan kukirim orang untuk
mencari Thian-hian-cu, barangkali saja akan menyerahkan
sesuatu."
Mendengar itu Cu Jiang mengertek gigi “Thian-hian-cu
jelas sudah meninggal. Bagaimana mungkin hendak dicari "
"Mungkin hal itu sukar terlaksana." seru Kho Kun
dengan hambar.
"Lalu bagaimana kalau menurut pendapat anda?" tanya
Sebun Ong.
"Bertindak menurut perintah!"
"Bertindak menurut perintah?" ulang Sebun Ong.
"Ya, mencuci biara Hian-to-kwan ini dengan darah."
"Karena aku berada di sini, mungkin sukar anda
melakukannya."
"Sebun Ong, apakah engkau berani bermusuhan dengan
Gedung Hitam?"
"Aku hanya membela keadilan dan kebenaran saja!" seru
Sebun Ong. Gagah sekali ucapan itu sehingga hati orang
merasa kagum.
"Engkau tentu akan menyesal."
"Aku Sebun Ong, takkan menyesal apa yang telah
kulakukan!"
"Sekalipun harus bertaruh dengan nyawa?" Kho Kun
menegas.
"Jika perlu."
"Apakah itu berharga?”
"Dalam membela kebenaran, tiada yang disebut berharga
atau tidak berharga."
"Rupanya kita harus mengadu kepandaian?"
"Orang she Ko, terus terang saja kukatakan kepadamu.
Sekalipun engkau mengajak empat orang kawanmu lagi,
masih bukan tandinganku, percaya tidak?"
Tring, tring .... keempat Pengawal Hitam serempak
mencabut pedang. Belasan imam yang muncul di sekeliling
pintu halaman mengerut alis dalam sikap hendak mengadu
jiwa. Suasana tegang meregang.
Tiba2 Cu Jiang mengambil keputusan. Soal pesan kakek
di dasar lembah terhadap Sebun Ong itu kelak tentu akan ia
selesaikan. Tetapi saat itu yang penting dia harus
membantu pihak Hian-to-kwan.
"Kho Kun, apakah engkau benar2 hendak mencuci biara
ini dengan darah?" seru Sebun Ong dengan nada gemetar.
Kho Kun deliki mata.
"Rupanya memang begitu!"
"Sebun sicu," teriak Han Hi tojin, "kurasa lebih baik
engkau berada diluar urusan ini. Walau pun kami para
imam biara Hian-to-kwan ini tak becus, tetapi kami telah
bertekad hendak mempersembahkan jiwa demi membela
biara kami!"
Sebun Ong pun berteriak keras:
"Jangankan aku ini sahabat karib dari Thian-hian-cu.
Sekalipun orang luar tetapi demi membela Keadilan dan
Kebenaran, aku tentu akan mengadu jiwa . . ."
"Sebun sicu, bersalah kepada Gedung Hitam, akibatnya .
. ."
"Sudahlah, Jangan banyak bicara." cepat Sebun Ong
menukas kata2 imam itu.
Setelah mendapat isyarat mata dari Kho Kun, keempat
Pengawal Hitam itu berteriak dan mulai menyerang Sebun
Ong. Karena Han Hi tojin juga berada di sampingnya,
diapun ikut terancam.
Entah dengan gerakan apa, tahu2 Sebun Ong sudah lolos
dari serangan mereka, bahkan dia masih dapat membawa
Han Hi ke luar dari kepungan. Keempat pedang lawan
hanya menyerang tempat kosong.
Peristiwa itu benar2 mengejutkan orang.
Keempat Pengawal Hitam itu berteriak dan menyerang
lagi. Gerakan pedang mereka, hebat bukan kepalang.
Dengan menggerakkan tangan melingkar dan
menggurat, keempat Pengawal Hitam itu terdampar
mundur.
"Aku tak ingin membunuh orang, harap kalian tahu
diri." serunya.
Kho Kun tertawa mengekeh.
"Sebun Ong, tak perlu pura2 berhati mulia. Pertempuran
ini pertempuran mati hidup. Kalau tiada yang mati tentu
tak selesai."
Habis berkata dia terus silangkan kedua tangan dan
melangkah maju.
Keempat Pengawal Hitam itupun segera mengambil
tempat, mengepung dari empat penjuru.
Sebun Ong menyiak Han Hi tojin. Imam itu pun segera
menghantam seorang Pengawal Hitam. Ternyata angin
pukulannya juga hebat sekali. Pengawal Hitam yang berada
di hadapannya, tersiak pedangnya dan orangnyapun
tersurut mundur dua langkah.
Dua orang Pengawal Hitam serentak maju menyerang
imam itu. Tetapi Han Hi tojin cepat melesat ke muka untuk
menghindar.
Bum ....
Terdengar letupan keras ketika pukulan Kho Kun
disambut oleh pukulan Sebun Ong.
Kuda2 kaki Kho Kan tergempur dua langkah ke
belakang. Jelas kepandaiannya masih kalah setingkat dari
Sebun Ong.
Melihat itu seorang Pengawal Hitam cepat menusuk
punggung Sebun Ong dari belakang.
Tetapi Sebun Ong memang sakti. Punggungnya seperti
bermata. Dia menampar ke belakang dan pedang Pengawal
Hitam itupun mencelat ko udara, tepat jatuh di tempat
gunungan batu.
Tetapi aneh pedang itu sama sekali tak mengeluarkan
suara. Dan tahu2 Pengawal Hitam yang di belakang itu
menjerit rubuh.
Sekonyong-konyong dari balik gunungan batu itu
muncul seorang pemuda berwajah buruk, mencekal pedang
dari Pengawal Hitam yang terlempar jatuh tadi.
"Hai . . . !" sekalian orang menjerit kaget. Mereka benar2
tak percaya akan pemandangan yang dilihatnya. Setan atau
manusiakah yang muncul itu? Kalau manusia mengapa
wajahnya begitu menyeramkan? Tetapi kalau setan
mengapa muncul di siang hari?
"Ho engkau! " tiba-tiba Kho Kun berpaling dan berseru
ketika melihat yang muncul itu tak lain adalah Cu Jiang.
Sejenak menyapu pada sekalian orang yang berada di
tempat itu, Cu Jiang menatap Sebun Ong dan berkata:
"Apakah anda yang disebut Bu-lim-seng-hud?"
Entah bagaimana perasaan Sebun Ong saat itu, girang
atau terkejut. Tetapi yang jelas wajahnya kelihatan
menyeringai seperti kucing tertawa. Namun dengan masih
bersikap garang dia menjawab:
"Ya, siapakah sahabat ini?"
"Aku Gok jin-ji."
"Gok-jin-ji?"
"Ya benar. Aku pernah bertemu beberapa kali dengan
Thian-hian-cu cianpwe kepala biara di sini."
"Oh..."
Kemudian Cu Jiang berpaling menghadap Bu-ceng-thayswe
Kho Kun dan berseru datar: "Apakah anda terkejut?"
"Budak cacad, memang aku tak menduga sama sekali."
sahut Kho Kun dengan sinis.
"Masih ada lagi yang akan mengejutkan hati mu! " kata
Cu Jiang.
"Apa?"
"Kalian pasti mati semua!"
"Budak cacad, jangan tekebur! Engkau mampu lolos satu
kali. jangan harap dapat lolos lagi untuk yang kedua kali"
Kho Kun maksudkan peristiwa Cu Jiang dapat
melarikan diri dari penjara di bawah tanah dalam Gedung
Hitam.
Merah mata Cu Jiang. Melangkah maju dua tindak, ia
mengangkat pedang dan berseru bengis:
"Aku hendak membunuh habis kalian budak2 Gedung
Hitam ini, hm!"
Tiga Pengawal Hitam, yang seorang menyerang dengan
tangan kosong dan yang dua menyerang dengan pedang.
Mereka bergerak cepat sekali,
Cu Jiang berputar tubuh seraya memutar pedangnya.
Hauhhh ... terdengar jeritan ngeri ketika salah seorang
Pengawal Hitam yang menyerang dengan pedang itu,
terpental batang kepala dan menggelinding ke lantai. Tak
ampun lagi tubuhnyapun rubuh.
Kedua kawannya terlongong kaget.
Cu Jiang sudah terlanjur dirangsang hawa pembunuhan.
Sekali bergerak, seorang Pengawal Hitam rubuh lagi. Kini
hanya tinggal seorang Pengawal Hitam yang menggunakan
pedang.
Dengan sebuah serangan yang luar biasa cepatnya, tahu2
dada Pengawal Hitam itu sudah berlubang, darah
menyembur deras dan orangnyapun terhuyung mundur
sampai setombak. Wajah pucat seperti mayat ....
Dengan menggerung keras. Kho Kun terus menghantam.
Jurusnya aneh dan dahsyatnya bukan alang kepalang
"Berhenti!" tiba2 Sebun Ong membentak dan menangkis
pukulan Kho Kun.
Sebenarnya Cu Jiang tak senang Sebun Ong mencampuri
urusan itu. Tetapi karena mengingat Sebun Ong sama2
menentang Gedung Hitam, terpaksa dia agak sungkan.
"Apa maksudmu?" teriak Kho Kun. Dengan wajah
serius,
Sebun Ong berseru "Maksudku hendak menenangkan
keadaan ini."
"Mungkin sukar!"
"Kho Kun, engkau sudah menyaksikan sendiri kesaktian
dari sahabat kecil ini. Kalau aku ikut masuk, mampukah
engkau menyelamatkan jiwamu?"
"Aku tak mudah digertak !"
"Tetapi itu suatu kenyataan yang tak dapat engkau
sangkal !"
Cu Jiang hendak membuka mulut tetapi rupanya Sebun
Ong tahu dan mencegahnya:
"Sahabat, dalam melakukan sesuatu kita harus
memikirkan akibat dibelakang hari."
Terpaksa Cu Jiang tutup mulut lagi. Ia menyadari akan
akibat yang akan diterima para imam biara Hian-to kwan
dari pembalasan Gedung Hitam nanti.
Kembali Sebun Ong berkata kepada Kho Kun:
"Bagaimana pendapat mu tentang saranku tadi ?"
"Tiga mati dan satu terluka, bagaimana harus
menyelesaikan perhitungannya ?" seru Kho Kun dengan
gusar.
"Juga dalam biara ini sudah empat orang imam yang
binasa, apakah itu juga tak sia-sia ?" sahut Sebun Ong.
"Pihak Gedung Hitam selamanya tak pernah melepaskan
musuh."
"Kata-kataku hanya sampai disini, terserah
keputusanmu!"
Wajah Bu-ceng-thay swe Kho Kun berobah-robah.
Rupanya dia sedang memperhitungkan untung ruginya.
Lama baru dia membuka mulut:
"Sebun Ong, engkau minta waktu sebulan?"
"Ya, benar."
"Apabila sampai waktunya tidak menyerahkan ?"
"Aku Sebun Ong, akan mengundurkan diri dari dunia
persilatan."
"Apakah ucapanmu dapat dipercaya?" Kho Kun
menegas.
"Gila ! Apakah Sebun Ong bangsa manusia yang tak
dapat dipercaya ?"
"Baik. aku dapat menyetujui," kata Kho Kun terus
berpaling kepada Cu Jiang.
"Budak cacat, terpaksa kita tak dapat menggunakan
kesempatan kali ini, sampai Jumpa !" serunya seraya
memberi isyarat kepada Pengawal Hitam yang terluka:
"Apakah engkau masih dapat jalan ?"
"Ya."
"Engkau bawa seorang mayat kawanmu. yang lain biar
aku ..."
"Baik."
"Kho Kun, tinggalkan kitab Hiau-to-po-lok itu!" tiba2 Cu
Jiang berseru dingin.
Dengan deliki mata Kho Kun segera membuang kitab
itu. Imam Han Hi buru2 memungutnya.
Para imam yang mengepung diluar pintu halaman itupun
segera menyingkir.
Dengan membawa dua sosok mayat Pengawal Hitam,
Kho Kun lalu melangkah keluar diikuti Pengawal Hitam
yang terluka dan memanggul mayat kawannya itu.
Kawanan imam yang menunggu diluar pintu mengawasi
kedua orang itu dengan mata marah.
Imam Han Hi segera menghaturkan terima kasih kepada
Cu Jiang. Tetapi Cu Jiang mengatakan supaya imam itu
jangan banyak peradatan untuk soal sekecil itu.
"Harap siauhiap duduk di ruang depan ..."
"Maaf, aku hendak melanjutkan perjalanan lagi, Hanya
ada sepatah kata yang hendak kuhaturkan kepada totiang."
"Soal apa?"
Sejenak merenung. Cu Jiang berkata dengan nada yang
berat:
"Sejak hari ini harap totiang suka membubarkan para
murid dalam biara ini. Demi menjaga pembalasan dari
Gedung Hitam!"
Han Hi tojin terbelalak.
Sejenak kemudian Han Hi tojin mengertek gigi, serunya:
"Membubarkan mereka?"
"Begitulah." sahut Cu Jiang.
"Tetapi, harus susiok-ku yang mengambil keputusan . . ."
"Thian Hian Cianpwe sudah tak dapat mengambil
keputusan! "
"siauhiap maksudkan . . ."
"Thian Hian cianpwe sudah pulang ke alam
kesempurnaan di dalam penjara rahasia Gedung Hitam!"
Seketika cahaya muka Han Hi berobah.
"Apakah kata2 siauhiap ini sungguh2?" serunya dengan
gemetar.
"Masakan aku berani omong sembarangan? Aku juga
nyawa kembalian dari neraka Gedung Hitam. Aku
menyaksikannya dengan mata kepala sendiri!"
"Bu-liang-siu hud!"
Han Hi tojin menundukkan kepala. Tubuhnya
menggigil.
"Sobat kecil, apakah benar terjadi peristiwa itu?" seru
Sebun Ong dengan muka berkerenyutan.
"Benar!"
"Sobat dapat lolos dari neraka Gedung Hitam, tentu
orang sukar percaya . . . . "
"Memang benar, aku sendiri juga tak pernah mimpi
dapat lolos. Tetapi rupanya Thian memang belum
menakdirkan aku harus mati! "
"Apakah sahabat dapat menuturkan peristiwa itu?"
"Maaf, tak dapat."
"Sahabat ini dari perguruan mana? "
"Soal ini ... juga sukar kuterangkan."
"Jurus ilmu pedang yang engkau mainkan tadi bukankah
sama seperti ilmu pedang sakti It kiam-tui-hun dari Nabipedang
Cu Beng Ko dahulu?"
Tergetar hati Cu Jiang seketika. Tetapi dia berusaha
untuk menindas kegoncangan hatinya. Dengan tenang ia
menjawab:
"Ilmu silat itu sama sumbernya. Banyak persamaannya
satu dengan lain."
Dengan mata berkilat kilat, Sebun Ong memandang
wajah Cu Jiang, seolah-olah hendak menembus isi hatinya.
"Mengenai pengetahuanku tentang ilmu silat yang
terdapat dalam dunia persilatan Tionggoan, kurasa hanya
ilmu pedang dari Nabi-pedang Cu Beng Ko itu yang sangat
beda dengan ilmu pedang lain2 aliran," kata Han Hi tojin.
Diam2 Cu Jiang memuji ketajaman mata imam itu, ia
tertawa hambar.
"Aku yang rendah karena masih dangkal dalam ilmu
silat, tak berani menyatakan apa-apa," katanya.
"Kudengar berita yang tersiar dalam dunia persilatan
bahwa Nabi-pedang Cu Beng Ko mempunyai putera yang
berkelana di dunia persilatan..."
"Ah, banyak sekali hal2 dalam dunia persilatan yang tak
kuketahui."
"Wajah anda itu agaknya bukan begitu aselinya tetapi
karena menderita luka ..."
Kembali tergetar hati Cu Jiang. Tak mau ia melayani
berbicara soal itu dan buru2 alihkan pembicaraan:
"Sudah lama aku mengagumi akan kemasyhuran nama
cianpwe di dunia peralatan. Sungguh beruntung sekali hari
ini dapat bertemu. Jika cian-pwe tak keberatan, sudilah
memberi alamat tinggal cianpwe agar kelak lain waktu
dapat berkunjung"
Maksud Cu Jiang pada waktu yang diperlukan nanti, dia
akan melaksanakan sebuah pesan terakhir dari Ko-tiong-jin
atau kakek yang menderita dalam gua itu. Jelasnya, Cu
Jiang hendak membuat perhitungan yang penghabisan
dengan Sebun Ong.
"Aku tak punya tempat tinggal tertentu. Tetapi
kegiatanku tak lepas dari lingkungan wilayah Kanglam dan
Kangpak. Sudah tentu kita mempunyai banyak kesempatan
untuk berjumpa lagi."
"Oh..." baru Cu Jiang mendesah, tiba2 sesosok bayangan
berkelebat masuk. Melihat pendatang itu, Cu Jiang
terlongong.
Pendatang itu seorang itu seorang kakek tua mengenakan
jubah kuning telur. Cu Jiang masih ingat, ketika lolos dari
neraka Gedung Hitam dan tiba disebuah kota, dia bertemu
dengan orang tua itu mengaku she Gong dan menyatakan
hendak memungutnya sebagai murid. Tetapi saat itu dia
menolak ....
Tiba2 orang tua itu tertawa keras.
"Sebun Jite, belasan tahun tak berjumpa, engkau masih
tetap awet muda dan gagah seperti dulu!" serunya.
Melihat kedatangan orang tua itu, Sebun Ongpun
tertawa nyaring, serunya:
"Sungguh kebetulan sekali loko datang. Disini telah
terjadi suatu peristiwa besar."
"Peristiwa apa?" orang tua itu hentikan tawanya.
"Menurut berita dalam dunia persilatan, Thian-hian-cu
telah mendapatkan kitab Giok-kah-kim keng. Benarkah
itu?"
"Itu hanya desus desus yang tak sesuai dengan
kenyataannya."
"Jika loko yang mengatakan begitu, sudah tentu yang
paling dapat dipercaya ...." kata Sebun Ong.
Tiba2 mata orang tua itu beralih memandang Cu Jiang.
Wajahnya cerah tersenyum.
"Engkoh kecil, tak kira kita akan bertemu lagi disini."
"Sungguh gembira sekali," Cu Jiangpun segera memberi
hormat.
Dalam pada itu Han Hi tojinpun segera memberi hormat
kepada kakek itu.
"Engkau ini..."
"Han Hi. Tentulah cianpwe masih ingat ketika dalam
perjamuan dihidangkan arak, cianpwe telah memberi
dampratan pedas kepada susiok-ku..."
"Ah, engkau ini Han Hi, hampir aku tak ingat lagi.
Tempo berlangsung cepat sekali mendorong manusia jadi
tua, engkau sudah banyak berobah sekarang."
"Dimanakah Thian hian-cu ?" seru orang tua itu pula.
"kakiku sudah lelah lari kesana kemari mencarinya . .. ."
Seketika wajah Han Hi pucat lesi, sahutnya sedih:
"Sudah pulang ke alam baka!"
"Hah, sudah mati?" teriak orang tua itu gemetar.
"Ya, sudah meninggal."
"Bagaimana peristiwanya !"
"Menurut keterangan siau sicu ini. beliau telah
meninggal dalam kamar rahasia Gedung Hitam . . . . "
"Benarkah itu?" serentak orang itu berseru kepada Cu
Jiang dengan mata berkilat-kilat.
Cu Jiang mengiakan.
"Sudah lama kau menginjak dunia persilatan Tionggoan
Kabarnya sekarang dunia persilatan Tionggoan ini sudah
dikuasai oleh Gedung Hitam. Darimana engkoh kecil tahu
hal itu?"
"Karena aku juga ditawan bersama Thian-hian cianpwe
dalam penjara rahasia itu . .."
"Bagaimana engkau dapat lolos?"
"Karena mendapat bantuan Go-leng cianpwe yang
mengatur siasat supaya aku lolos."
"Apakah Go-leng juga di situ?"
"Ya. Beliau juga mengalami nasib yang menyedihkan."
"Hai! Bu-lim-samcu telah mati dua . . ." seru orang tua
tua dengan airmata berlinang linang.
Mendengar itu girang Cu Jiang bukan kepalang. Serentak
ia berseru:
"Jika tak salah, locianpwe tentulah Gonggong-cu
locianpwe, bukan?"
Orang tua itu mengangguk.
"Benar, pada waktu pertama bertemu dengan engkau,
bukankah aku sudah menyebut she-ku?"
"Aku tolol sekali sehingga mudah lupa." kata Cu Jiang.
"Cobalah engkau ceritakan peristiwa yang telah engkau
alami." kata Gong-gong-cu.
"Kumohon dapat bicara empat mata dengan locianpwe .
. . . "
"Mengapa perlu begitu?"
"Perjalananku kali ini memang khusus hendak mencari
lo cianpwe!"
"O, baiklah, nanti kita bicara lagi," kata Gonggong-cu
lalu berpaling kepada Han Hi, " Han Hi, peristiwa apakah
yang terjadi dalam biara ini?"
"Gedung Hitam telah mengirim beberapa jagonya ke
mari, memaksa kami supaya menyerahkan kitab Giok-kahkim-
keng. Kalau tak mau menyerahkan, biara ini akan
dicuci dengan darah."
"Hm, lalu ?"
"Kebetulan Sebun sicu datang dan melerai. Tetapi tetap
kami harus menyerahkan kitab itu dalam waktu satu
bulan!"
"Sama satu kaum saling bunuh membunuh, menandakan
bahwa dunia persilatan akan mendekati hari kiamat!" seru
Gong-gong-cu.
Sebun Ong Juga menghela napas rawan.
"Dunia persilatan memang tak pernah mengenyam hari2
damai. Dari dahulu sampai sekarang selalu terjadi
pergolakan yang tak kunjung habis," katanya.
"Han Hi. lalu bagaimana tindakanmu?" tegur Gonggong-
cu pula.
"Tiada lain pilihan kecuali harus menyingkir ke lain
tempat ...."
"Demi menyelamatkan suatu pembunuhan besar,
terpaksa aku harus cepat2 bertindak, tak boleh berayal.. ."
"Cianpwe hendak ke mana ?"
"O, aku harus pergi."
"Loko selalu datang dan pergi dengan bergegas-gegas"
seru Sebun Ong,
"sepuluh tahun tak berjumpa apakah kita tak dapat
menikmati omong kosong ?"
Gong gong-cu tertawa.
"Hari masih panjang, kita masih dapat berjumpa pada
lain kesempatan untuk minum arak se puas-puasnya dengan
lote. Tetapi hari ini aku benar2 harus mengecewakan lote!"
"Menurut ucapan loko tadi, apakah kitab Giok kah-kimkeng
itu masih berada di Istana terlarang negeri Tay-li ?"
"Ya,"
"Haa desas desus dunia persilatan itu sungguh berbahaya
sekali sehingga Thian-hian-cu dan Go-leng-cu sampai
menderita nasib malang."
"Tetapi pada suatu hari, Gedung Hitam harus membayar
kesemuanya itu," seru Gong-gong-cu dengan geram.
Mendengar itu Cu Jiang tak tahan untuk diam. Serentak
ia berseru:
"Dewa sakti dari manakah sebenarnya ketua Gedung
Hitam itu?"
"Mungkin tiada seorang dalam dunia persilatan yang
tahu akan dirinya," Sebun Ong menyeletuk.
Memberi isyarat tangan kepada Cu Jiang. Gong-gong-cu
lalu mengajaknya.
"Engkoh kecil, mari kita berangkat. Saudara2, sampai
jumpa !"
"Ijinkan wanpwe mengantar" kata Han Hi. Tetapi
dicegah Gong-gong-cu.
Habis itu Gong-gong-cu sudah mendahului melesat
keluar. Setelah memberi hormat kepada Sebun Ong dan
Han Hi tojin, Cu Jiangpun segera menyusul. Karena
sebelah kakinya pincang, maka larinyapun tidak stabil.
"Engkoh kecil, kita cari tempat yang sepi, jangan sampai
terdengar orang." kata Gong-gong-cu.
Cu Jiang mengiakan.
Gong-gong cu berjalan dimuka dan Cu Jiang mengikuti
dibelakang. Setengah li kemudian, Cu Jiang sudah
ketinggalan jauh. Walaupun dia memiliki tenaga dalam
yang hebat tetapi karena sebelah kakinya cacad, walaupun
larinya masih jauh lebih cepat kalau ditanding dengan jago
silat biasa tetapi karena bertanding dengan tokoh semacam
Gong-gong-cu, sudah tentu terpaut jauh sekali.
Rupanya Gong gong cu tahu hal itu. Ia lambatkan
larinya, kemudian berseru: "Kita ke puncak bukit itu!"
Cu Jiang mengangguk. Beberapa saat kemudian mereka
sudah tiba di puncak bukit itu dan duduk di atas batu dalam
hutan.
Lebih dulu Gong gong cu memetik beberapa ranting
pohon, di tancapkan di sekeliling tempat itu. Lalu
mengumpulkan batu besar kecil diletakkan diantara pagar2
ranting itu. Setelah itu baru duduk dengan Cu Jiang.
Sebagai putera dari seorang tokoh silat yang termasyhur
sudah tentu Cu Jiang memiliki pengetahuan yang luas.
"Ah, kiranya lo cianpwe ahli sekali dalam soal barisan
Ki-bun." serunya.
"Demi menjaga ketenangan, terpaksa harus berbuat
begitu," sahut Gong-gong-cu.
"Barisan apakah yang locianpwe susun ?"
"Barisan Thian-lotin, bagian yang mudah dirobah dari
barisan Kim-soa-tin."
"Ah. aku buta sama sekali tentang ilmu itu," kata Cu
Jiang.
"Marilah kita mulai bicara. Coba engkau dulu yang
bicara, mengapa engkau mencari aku," kata Gong-gong-cu.
Cu Jiang agak bersangsi. Apakah ia harus menceritakan
siapa dirinya ataukah menurut pesan Go-leng cu saja.
Sejenak merenung, ia berkata:
"Aku telah berjanji untuk melaksanakan pesan Go-leng
cu cianpwe, untuk menyampaikan pesan lisan dari beliau. .
."
"Katakanlah !"
"Thian-hian cu dan Go leng cu berdua lo cianpwe,
karena berita2 fitnah di dunia persilatan, telah ditangkap
dan dijebloskan dalam penjara Gedung Hitam Dipaksa
harus menyerahkan kitab. Menunjukkan dimana kitab
Giok-kah-kim-keng. Karena kedua lo-cianpwe itu memang
tak tahu dan tak dapat memberi keterangan, akhirnya
disiksa sampai mati..."
“Terkutuk! Teruskan ceritamu!"
"Go-leng-cu cianpwe pesan, bahwa tunas yang luar biasa
itu adalah pada diri Pelajar baju putih. Harap locianpwe
mencarinya sampai ketemu !"
"Pelajar baju putih ?"
"Ya."
"Hanya itu pesannya?"
"Ya, hanya begitu."
Gong-gong-cu memandang Cu Jiang tajam2, kemudian
sepatah demi sepatah ia berkata:
"Menurut penilaianku, tunas luar biasa itu tak lain
adalah engkau sendiri!"
Cu Jiang gemetar.
"Ah, masakan aku berani menerima pujian setinggi itu
dari locianpwe !"
"Itu memang kenyataan, bukan pujian kosong. Tempo
hari aku pernah mengatakan kalau akan menunggu
kesempatan, sekarang .. ."
Ia hentikan kata-katanya dan memandang Cu Jiang.
Rupanya dia hendak menunggu bagaimana reaksi anak
muda itu.
Cu Jiang tahu akan maksud orang. Sengaja dia bertanya
pula.
"Jika ingin memberi petunjuk, harap locianpwe
katakan."
"Apalagi kalau bukan persoalan tempo hari itu pula."
"Hendak mengambil murid?" ulang Cu Jiang.
Wajah Gong-gong-cu membesi, katanya:
"Engkoh kecil, dari daerah Tay-li di ujung selatan
menuju ke utara kali ini, tujuanku bukan hendak mencari
pewaris melainkan demi suatu rencana besar dalam dunia
persilatan ...."
"Demi suatu rencana besar dalam dunia persilatan ?" Cu
Jiang terkejut.
"Benar," kata Gong-gong-cu, "karena salah langkah
akhirnya Thian-hian-cu dan Go-leng-cu telah membuat
kesalahan besar. Akibatnya dunia persilatan telah menderita
bencana. Harus diusahakan untuk menolong. Karena itu
maka Bu-lim Sam-cu bergerak untuk mencari tunas luar
biasa itu !"
Tertarik perhatian Cu Jiang mendengar keterangan itu.
"Dapatkah lo cianpwe memberi penjelasan selengkapnya
?" tanyanya.
Gong-gong-cu menghela napas, ujarnya. "Sudah tentu
dapat kujelaskan kepadamu, tetapi..."
"Bagaimana ?"
"Bersediakah engkau menjadi bintang penolong dari
keadaan yang sudah morat marit itu."
"Aku belum jelas persoalannya..."
"Jika engkau menyatakan bersedia, barulah dapat
kuberitahu."
"Dengan tubuh yang cacat ini, mungkin aku..."
"Jangan merendahkan dirimu. Semuanya akan diatur
beres. Yang penting, engkau bersedia atau tidak ?"
"Bukankah langkah yang pertama harus mengangkat
guru kepada locianpwe ?"
"Dunia persilatan mempunyai peraturan tersendiri.
Hubungan itu memang masih diperlukan."
"Mengapa locianpwe belum memandang penting kepada
seorang cacat seperti diriku ?"
"Karena bakatmu yang luar biasa."
"Bakatku yang begini jelek ...."
"Sudahlah, jangan merendah diri."
Cu Jiang merenung. Menghadapi pilihan yang sepenting
itu yang menjadi murid lain perguruan, bukan suatu hal
main2. Sekali salah pilih, akan menyesal seumur hidup.
Gonggong cu seorang tokoh terkemuka dalam aliran
putih, Dia mendapat penghargaan diangkat sebagai Kun-su
atau penasehat kerajaan Tayli.
Ucapan dan tindakannya tentu dapat dipertanggung
jawabkan.
Kebetulan pula ketiga tokoh Bu-lim atau Bu-lim Sam-cu
itu sama menaksir dirinya. Apakah itu bukan suatu jodoh
yang hebat ?
Setelah mempertimbangkan beberapa saat, akhirnya Cu
Jiang mengambil keputusan, serunya:
"Baik, aku bersedia. Tetapi, aku hendak menghaturkan
sepatah kata."
"Bilanglah!" kata Gong-gong-cu.
"Wanpwe mempunyai beban untuk membalas sakit hati
ayah bunda. Apakah tindakan wanpwe kelak dapat wanpwe
lakukan sendiri ?" kata Cu Jiang yang berganti dengan
sebutan wanpwe kepada Gong-gong-cu.
Tanpa banyak pikir, Gong-gong-cu serentak menyahut:
"Sudah tentu boleh saja, asal jangan sampai melanggar
kesusilaan tata persilatan."
"Masih ada sebuah hal lagi, untuk sementara waktu ini.
wanpwe tak dapat memberitahu asal usul diri wanpwe ...."
"Boleh. Apa masih ada lain lagi ?"
"Tidak ada."
Tepat pada saat itu dari arah biara Hian-hu kwan
mengepul asap tebal.
Seketika wajah Gong-gong-cu berobah, serunya:
"Celaka, Hian-hu-kwan telah dirampok mereka."
"Tentulah perbuatan orang Gedung Hitam." Cu Jiang
menggeram.
"Engkau tunggu saja di sini. Walaupun menyaksikan
apa2, jangan engkau melangkah ke luar dari barisan ini.
Aku hendak menengok ke Hian-tou-kwan," kata Gonggong-
cu.
"Silahkan," kata Cu Jiang.
Tubuh Gonggong cu menggeliat dan melayang beberapa
tombak terus lenyap.
Cu Jiang marah melihat perbuatan orang Gedung Hitam
yang selalu melakukan pengacauan, pembunuhan dan
kekejaman. Selama berpuluh tahun seolah dunia persilatan
telah di teror oleh gerombolan Gedung Hitam dan tak ada
seorang tokoh persilatan yang berani menentang.
Tiba2 ia melibat beberapa sosok bayangan lari ke lereng
gunung. Makin lama makin mendaki ke puncak. Saat itu
Cu Jiang dapat melihat jelas, mereka adalah anak buah
Gedung Hitam yang terdiri dari enam Pengawal Hitam, tiga
orang tua baju hitam. Diantaranya terdapat Pangerantanpa-
perikemanusian Kho Kun.
Cu Jiang serentak berbangkit. Tetapi tiba2 ia teringat
akan pesan Gong-gong cu. Terpaksa ia duduk lagi.
Kesembilan orang itu naik ke atas puncak dari beberapa
jurusan. Makin lama makin dekat. Sudah tentu Cu Jiang
tegang sekali.
Tetapi sungguh heran sekali. Tiba di tepi barisan ranting
dan batu yang tampaknya berserakan tak teratur itu, mereka
berhenti. Dan aneh pula. Mereka seolah-olah tak melihat
Cu Jiang. Sedang Cu Jiang. Sedang Cu Jiang dapat melihat
jelas gerak-gerik mereka.
"Aneh, jelas naik ke puncak ini mengapa tak kelihatan.
Apakah dapat terbang ke langit? " kata salah seorang tua.
Kho Kun memandang kian kemari lalu berkata:
"Rasanya puncak ini agak aneh . . . ."
Dingin2 saja Cu Jiang memandang tingkah ulah mereka.
Diam-diam ia kagum kepada Gong-gong-cu.
"Ah, kalau dulu ayah juga belajar ilmu gaib begini,
tentulah tak sampai mengalami nasib yang menyedihkan."
diam2 ia teringat akan ayahnya.
Sekonyong-konyong ke sembilan orang itu terkesiap
kaget, menundukkan tubuh memberi hormat lalu menyisih
ke sebelah kanan dan kiri.
Dua sosok tubuh tiba2 muncul. Yang pertama,
mengenakan Jubah hitam dan mukanya ditutup dengan
cadar hitam. Dari atas kepala sampai ujung kaki semua
tertutup dengan kain hitam. Hanya terdapat dua buah
lubang untuk kedua matanya yang berkilat-kilat tajam
sekali.
Sedang yang dibelakangnya seorang sasterawan
pertengahan umur. Dia adalah congkoan atau pengurus
besar dari Gedung Hitam, bernama Ho Bun Cai.
Seketika meluaplah darah Cu Jiang. Dia memastikan
bahwa orang yang seluruh tubuhnya tertutup Jubah hitam
itu tentulah pemimpin Gedung Hitam. Ah, tak sangka
kalau ia mempunyai kesempatan untuk melihatnya.
Sebenarnya ingin sekali ia menerjang keluar dari barisan.
Tetapi kesadaran pikirannya mengharuskan dia bersabar. Ia
menyadari bahwa saat itu masih terlalu jauh untuk
melakukan pembalasan kepada musuh.
Dilanda oleh kebencian sakit hati dan diamuk oleh
gemuruh amarah, hampir saja membuat Cu Jiang kalap.
Kepala Gedung Hitam dan Ho congkoan berdiri diluar
barisan dan tengah memperhatikan barisan itu. Kesembilan
anak buah Gedung Hitam tadi jangankan bergerak,
mengangkat kepala yang masih menunduk saja tak berani.
Beberapa waktu kemudian baru pemimpin Gedung
Hitam itu berkata dengan nada yang aneh. "Ho congkoan,
apakah engkau melihat sesuatu ?"
"Menurut penglihatan kami, agaknya seperti sebuah
barisan aneh." kata Ho congkoan.
"Benar," kala pemimpin Gedung Hitam," Gong-gong-cu
memang ahli dalam hal itu. Menurut pendapatmu, barisan
apakah itu ?"
"Ini .... kami tak berani sembarangan menebak,"
Pemimpin Gedung Hitam mengguratkan kaki pada
tanah dan mulutnya menghafal:
"Seng, Si, Keng .... ah, salah, Kung ... disini ujung
akhirnya. Bagaimana kalau kita memasukinya ?"
"Kami menurut perintah," kata Ho congkoan.
Ketuanya segera melangkah kedalam barisan. Melihat
itu Cu Jiang segera bangkit lagi dan bersiap seraya
memandang kedua orang itu. Begitu kedua orang itu
mendekat, dia hendak turun tangan lebih dulu.
Pemimpin Gedung Hitam dan Ho cong koan berjalan di
kanan kiri. Lebih kurang tiga meter berjalan, mereka
berputar-putar kian kemari tetapi tetap dalam lingkungan
seluas satu tombak.
Melihat itu tenanglah hati Cu Jiang. Dia tak mengerti
ilmu barisan maka diapun tak berani gegabah melangkah
keluar. Dia taat perintah Gong-gong-cu untuk tetap tinggal
ditempatnya.
Beberapa saat kemudian kedua pimpinan Gedung Hitam
itupun mundur lagi.
"Bagaimana baiknya Ho congkoan?" ujar ketua Gedung
Hitam.
"Jaga pohon menunggu kelinci, setiap tempat kita jaga",
sahut Ho cong-koan.
"Walaupun cara itu agak bodoh tetapi tiada lain cara
yang lebih baik dari itu. Perintahkanlah!" seru ketua
Gedung Hitam.
Ho cong-koan berseru kepada Kho Kun:
"Kho thaubak. perintahkan anak buah supaya
mengepung bukit ini dengan rapat!"
Kho Kun mengiakan dan rombongan anak buah Gedung
Hitampun segera berpencar melakukan perintah.
Suasana puncak sunyi kembali. Diam2 Cu Jiang gelisah.
Jika Gong gong cu kembali, jelas tentu akan kepergok.
Entah dapatkah dia menghadapi ketua Gedung Hitam?
Jumlah mereka begitu besar, hebat sekalipun Gong-gong cu,
paling2 hanya dapat menyelamatkan diri lari.
Gong-gong-cu dapat lolos tetapi bagaimana nasib
dirinya? Bukankah dia akan terkepung dan akhirnya mati
kelaparan dalam barisan?
Andaikata gerombolan Gedung Hitam itu menarik anak
buahnya dan tinggalkan bukit itu, tetapi dia tetap tak
mampu ke luar dari barisan. Bukankah hal itu sama artinya
dia akan mati kelaparan?
Memandang ke arah biara, api masih tampak berkobar.
Tentulah biara itu habis dimakan api. Ah, siasat orang
Gedung Hitam memang busuk sekali.
Setengah jam telah berlalu tetapi suasana masih sunyi.
Kepala Cu Jiang mulai bercucuran keringat. Mengapa
Gong-gong-cu belum kembali? Apakah dia disergap musuh?
Ah, benar2 dia harus mati dalam barisan itu. Pikir Cu
Jiang.
Cu Jiang tak mengerti sama sekali tentang ilmu barisan.
Thian-lo-tin atau barisan Jala-langit, asing sama sekali
baginya.
Pada saat pikiran tegang hati gelisah, tiba2 bahunya
ditepuk orang dari belakang. Ia tersentak kaget dan
berpaling, ah ... . kiranya Gong-gong-cu.
"Kapan locianpwe datang? " serunya gembira.
Tetapi wajah Gong gong-cu muram dan hanya
mendengus geram.
"Bagaimana keadaan Hian-tou-kwan ?" tanya Cu Jiang
pula.
"Jadi tumpukan puing."
"Dan para imam ?"
"Tak ada yang hidup."
"Kejahatan Gedung Hitam memang sudah melampaui
batas!"
"Jika kesaktian persilatan tak berkembang, kawanan
durjana tentu timbul dan menginjak-injak perikemanusian."
"Apakah locianpwe bertempur?"
"Tidak. Masih belum saatnya. Membasmi beberapa
kerucuk, takkan dapat menolong keadaan."
"Pemimpin Gedung Hitam sudah unjuk diri..."
"Ya, kutahu."
"Kenalkah locianpwe padanya ?"
"Tidak."
"Apakah locianpwe kepergok mereka ?"
"Tidak."
"Tidak? Lalu..,."
"Buyung, engkau heran, bukan? Sebenarnya aku tak
mempunyai keistimewaan melainkan hanya kepercayaan
pada diri sendiri. Kalau aku mau menyembunyikan diri, tak
mungkin mereka dapat mencari aku. Kalau tidak begitu
masakah aku mendapat gelar ……
Jilid 8 Halaman 25/26 Hilang
….. jaga mereka jangan sampai lolos, kututup goa itu
dengan barisan Kiat-soh-tin (barisan Kunci Emas).”
"Mengapa tidak dibasmi saja agar jangan menimbulkan
bahaya dikemudian hari ?" tanya Cu Jiang.
Gong-gong-cu menghela napas:
"Mungkin sudah kehendak Thian. Raja Tayli Toan hongya
memang penganut agama Buddha, beliau tak
mengijinkan pembunuhan ...."
"Lalu?" tanya Cu Jiang.
"Peristiwa Sip-pat Thian-mo dijebloskan dalam gua lio
tiada seorang persilatan yang tahu. Beberapa tahun
kemudian Thian-hian-cu dan Go-leng-cu datang ke daerah
selatan dan menyelidiki gunung Jongsan. Tanpa sengaja
mereka mengetahui seorang keadaan Sip pat thian-mo.
Pada waktu itu karena dirangsang kebanggaan, aku
kelepasan omong, mengatakan bahwa tiada manusia dalam
dunia ini yang mampu memecahkan barisan Kim-soh-tin
itu. Tak terduga, ucapanku itu diterima dengan sungguhsungguh.."
"Apakah hubungan antara Sam-cu itu?" tanya Cu Jiang
pula.
"Sebenarnya tiada hubungan apa2, melainkan hanya
kenalan saja. Tetapi entah bagaimana dunia persilatan
menamakan kami bertiga sebagai Bu-lim Sam-cu. Bermula
Thian-hian-cu hanya bergelar Thian hian dan Go-leng-cu
juga Go-leng. Sedang aku Gong gong-cu. Kemudian kaum
persilatan menganggap kita sebagai tiga-serangkai atau
Sam-cu. hanya begitulah ..
"Oh..." desah Cu Jiang.
"Disamping Thian-hian dan Go-leng itu masih memiliki
rasa ke-Aku-an dan berusaha untuk lebih dari orang lain,
dan karena mengira bahwa dalam barisan Kim-soh-tin itu
tentu terdapat kitab pusaka negeri Tayli yakni kitab Giokkah-
kim-keng, maka timbullah nafsu mereka. Setelah
mempelajari keadaan barisan itu selama sepuluh tahun,
akhirnya mereka berhasil memecahkan. Untuk yang kedua
kali mereka datang ke Jongsan lagi dan dapat memecahkan
Kim-soh-tin dan melepaskan Sip-pat Thian-mo..."
"Ah. makanya kedua locianpwe itu selalu menyesali
dosanya sendirinya yang telah salah langkah sehingga
menimbulkan bencana besar."
"Hal itu mungkin memang sudah jalannya Karma.
Mereka berdua harus menerima akibatnya dengan kematian
yang menyedihkan."
"Dari sumber mana maka dunia persilatan timbul desas
desus bahwa kedua cianpwe telah
<
Selama itu tak sedikit Gong-gong-cu harus berhenti tetapi
sebelum musuh memergoki dia sudah melesat ke lain
tempat. Belum sampai setengah jam kemudian, dia sudah
lari belasan li jauhnya tanpa diketahui sama sekali oleh
anak buah Gedung Hitam.
Setelah tiba diluar hutan barulah Gong-gong-cu
meletakkan Cu Jiang. Gong-gong-cu mengeluarkan sehelai
kedok muka yang terbuat dari kulit manusia, diberikan
kepada Cu Jiang.
"Pakailah kedok kulit ini!"
Cu Jiang menurut. Setelah mengenakan kedok kulit, kini
wajahnya yang buruk lenyap dan dia telah menjelma
sebagai seorang lelaki pertengahan umur. Wajahnya
berwarna semu ungu.
Sementara Gong-gong- cupun juga mengenakan kedok
kulit dan menyamar sebagai seorang tua berwajah hitam,
memelihara dua jalur jenggot. Ia membuka baju dan kini
mengenakan jubah warna biru. dengan penyamaran itu
mereka telah menjadi manusia baru. Tak seorangpun yang
mengenal dan mengira siapa diri mereka itu sebenarnya.
"Mari kita lanjutkan perjalanan. Kita cari rumah makan
di kota yang terdekat dari sini." kata Gong-gong-cu.
"Lo cianpwe, kita ambil jalan mana ?"
"Naik perahu ke Sujwan, mengitari daratan lalu masuk
ke wilayah Hun - lam. Kurasa itulah jalan yang paling
singkat !"
"Tetapi tetap makan waktu sebulan."
"Ah, tak sampai, mari kita berangkat." Sekeluarnya dari
hutan mereka lagi berjalan di jalan besar, Sambil berjalan
Gong-gong-cu berkata:
"Buyung, agaknya dengan waktu berjumpa padaku
tempo hari, sekarang engkau sudah berbeda..."
"Apanya yang berbeda ?"
"Keng, go, sin, semua telah berobah."
Keng artinya semangat. Go hawa murni dan sin artinya
jiwa. Diam2 Cu Jiang kagum akan pengamatan Gong-gongcu
yang teliti. Diantara ketiga Sam-cu, rasanya Gong gongcu
ini lebih lihay segalanya dari kedua rekannya.
Cu Jiangpun lalu menceritakan bagaimana ketika
berhadapan dengan Samsat (algojo ketiga) dari gerombolan
Kiu-te-sat, ia masih kalah setingkat.
"Rupanya itu sudah kehendak Thian, nak, dengan begitu
aku tak perlu membuang banyak tenaga dan pikiran," kata
Gong-gong-cu dengan perasaan lega.
Diam2 Cu Jing menimang. Jelas bahwa tujuan Gong
gong-cu hendak membawanya ke daerah selatan itu yalah
hendak mengambilnya sebagai murid dan menempanya
menjadi seorang kojiu
Hal itu dipersiapkan untuk membasmi kawanan Sip-patthian-
mo. Tetapi pada umumnya, demikian ia berpikir,
tentulah guru itu lebih tinggi kepandaiannya dari murid.
Belum tentu murid itu dapat menyerap semua pelajaran
yang diturunkan gurunya. Jika begitu, mengapa Gong-gong
cu itu tidak mau menghadapi gerombolan Sip-pat-thian-mo
itu sendiri saja ? Bukankah itu lebih singkat waktunya dan
lebih praktis daripada harus bersusah payah mencari murid?
Dengan pemikiran itu segera ia bertanya.
"Kalau dahulu locianpwe mampu menangkap Sip-patthian-
mo, mengapa sekarang locianpwe harus bersusah
payah mencari murid?"
Gong-gong-cu tertawa:
"Buyung, lain dulu lain sekarang. Telah kukatakan
bahwa aku berhasil menangkap gerombolan Sip-pat-thianmo
itu adalah berkat menggunakan siasat. Tetapi kawanan
iblis itu bukan manusia bodoh. Mereka tak mungkin
terjebak lagi untuk yang kedua kalinya."
"Kelak kalau berhadapan dengan mereka boanpwe harus
menggunakan siasat atau kepandaian?"
"Kedua-duanya," sahut Gong-gong-cu.
"Kalau kepandaian kurang dan kecerdikan tak cukup?"
desak Cu Jiang.
Gong-gong-cu tertawa gelak2:
"Buyung, kutahu isi hatimu. Tetapi akupun tentu sudah
mempertimbangkan. Apabila kedua syarat itu masih belum
cukup, tentu aku tak berani sembarangan menyuruh engkau
menghadapi mereka."
"Benar. memang wanpwe juga mempunyai pikiran
begitu."
"Bukankah telah kukatakan bahwa aku masih
mempersiapkan sesuatu lagi...."
Tetapi Cu Jiang tak dapat menduga persiapan apa yang
telah dirancang Gong-gong-cu itu. Dia diam saja.
Beberapa saat kemudian Gong-gong-cu memecah
kesunyian:
"Buyung, kuberitahu kepadamu dengan terus terang.
Atas kemurahan baginda Toan Hong-ya yang memberi ijin
kepadaku untuk mencari calon jago itu, baginda berkenan
akan memberikan kitab pusaka kerajaan Giok-kah-kimkang."
“Kitab Giok-kah-kim-keng ?" Cu Jiang terkejut.
"Ya, itulah yang kumaksud bahwa aku mempunyai
persiapan lain."
Kini Cu Jiang baru menyadari mengapa ketiga Bu-lim
Sam-cu sama2 hendak mencari tunas baru yang akan
ditempa menjadi kojiu sakti. Kiranya mereka memang
sudah membuat perjanjian.
"Tetapi kitab Giok-kah-kim-keng itu adalah pusaka
kerajaan Tay-li." masih Cu Jiang ingin mendapat
keterangan yang jelas.
"Ya, memang kitab pusaka kerajaan."
"Jika begitu, apakah tak mungkin diantara menteri2 dan
Jenderal2 kerajaan yang mempelajari kitab itu."
"Baginda tak mengijinkan," kata Gong-gong-cu, "sampai
saat ini belum seorangpun yang pernah mempelajari kitab
itu."
"Wanpwe sungguh tak mengerti."
"Untuk mempelajari kitab Giok-kah-kimkeng harus
mempunyai tiga buah syarat...."
"Apakah ketiga syaraf itu ?" Cu Jiang makin heran.
Dengan tenang Gong-gong-cu berkata: "Pertama, orang
itu harus memiliki kecerdasan yang tinggi dan bakat yang
luar-biasa. Kedua, harus masih seorang perjaka. Ketiga
harus memiliki dasar ilmu tenaga dalam yang kuat.
Tampaknya ketiga syarat itu memang tak berat, tetapi untuk
menjadi seorang yang sekaligus memiliki tiga syarat itu
sukarnya seperti mencari jarum dalam lautan."
"Apakah locianpwe menganggap diri wanpwe memiliki
ketiga syarat itu ?" tanya Cu Jiang dengan gemetar.
Gong-gong-cu berpaling memandang Cu Jiang dan
berkata dengan tandas:
"Memiliki semua bahkan lebih !" Pada saat itu tiba2
sebuah tandu lewat. Memandang tandu itu tiba2 mulut Cu
Jiang mendesuh kejut. Tandu itu diangkat oleh empat
wanita baju merah, yang kakinya besar dan alis tebal.
Jalannya seperti orang lari. Hanya dalam beberapa kejap
saja sudah berada belasan tombak jauhnya.
"Nak, banyak nian hal2 yang aneh dalam dunia
persilatan itu. Engkau harus membiasakan diri untuk tidak
heran melihat sesuatu yang heran."
Serta merta Cu Jiang menghaturkan terima kasih.
Nasehat orang tua itu memang benar2 tepat dan berharga
sekali.
Tiba2 terdengar derap kuda berlari deras. Debu dan
kotoran berhamburan tebal ke arah Gong-gong-cu dan Cu
Jiang. Cu Jiang marah. Tetapi ketika melihat Gong gong-cu
tenang2 saja, diam2 ia malu hati sendiri.
Ketika memandang ke muka, tampak penunggang kuda
itu bermantel hitam.
"Pengawal Hitam! " seru Cu Jiang.
Gong gong cu menyahut hambar. "Pertunjukan bagus
akan berlangsung!"
"Bagaimana locianpwe dapat mengetahui?" Cu Jiang
heran.
"Keempat penunggang kuda itu jelas mengejar tandu
indah tadi. Siapa yang berada dalam tandu itu, memang
masih sukar diketahui. Tetapi kalau menilik keempat
wanita yang membawanya begitu lihay, tentulah orang
yang berada dalam tandu itu bukan tokoh sembarangan . ."
000ood-eoo00
Jilid 9
"Oh !" desah Cu Jiang.
Tiba2 terdengar suara bentakan. Tandu indah Itupun
berhenti di tengah jalan, Keempat penunggang kuda
Pengawal Hitam masing2 loncat turun dari kuda dan
mengepung tandu.
Sambil menarik tangan Cu Jiang ke samping, Gonggong-
cu mengajaknya mendekat untuk menyaksikan apa
yang akan terjadi. Tiga tombak dari tempat orang2 itu,
Gong-gong-cupun berhenti.
"Perlu apa kalian mengejar kami?" seru salah seorang
wanita baju merah.
Salah seorang dari Pengawal Hitam membentak bengis:
"Lekas buka tandu itu!"
"Mau cari mati?"
"Kentut!"
"Kalau berani mengapa tak mau membuka sendiri?"
Sring .... serentak Pengawal Hitam itu menabas wanita
baju merah yang mengejeknya. Tetapi dengan gerak yang
lincah, wanita itu dapat menghindarinya. Hanya terpaut
selembar rambut tubuh dengan pedang. Sungguh
mengejutkan dan mengherankan sekali.
"Maju!" serempak terdengar sebuah aba2 dan keempat
Pengawal Hitam itu pun segera menyerang.
Keempat wanita penggotong tandu itupun bergerakgerak
laksana bayangan setan. Keempat Pengawal Hitam
itupun menyerang dari empat jurusan.
Salah seorang Pengawal Hitam yang mendekat tandu
segera mencungkilkan ujung pedang menyingkap kain layar
yang menutup pintu tandu.
"Aahhh. . ." seorang Pengawal Hitam yang mengikuti
dengan pandang mata akan tindakan kawannya yang
mencungkil tenda tandu itu serentak menjerit kaget.
Demikian pula ketiga kawannya yang lain
Ternyata yang berada dalam tandu itu adalah seorang
lelaki jubah putih. Dia bukan lain adalah Pek poan koan
atau Hakim Putih.
Keempat wanita baju merah cepat lari menghampiri
tandu dan menutup tendanya. Bahwa tandu dari Hakim
Putih dipikul oleh empat orang wanita memang aneh.
Tetapi lebih menggelikan lagi bahwa Pengawal Hitam atau
anak buah Gedung Hitam kemati-matian mengejarnya
orang atasannya sendiri.
Kejut keempat Pengawal Hitam bukan alang kepalang.
Serempak mereka menghaturkan hormat dengan pedangnya
ke arah tandu.
Dari dalam tandu hanya terdengar suara orang
mendengus dan tak mengucap apa2.
"Locianpwe, memang benar2 suatu pertunjukan yang
menarik." kata Cu Jiang.
"Itu baru permulaan, yang lebih menarik lagi nanti di
belakang."
Salah seorang dari keempat wanita baju merah itu
menegur Pengawal Hitam:
"Mengapa kalian tak lekas pergi dari sini?"
Keempat Pengawal Hitam itu saling bertukar pandang
lalu mundur beberapa langkah tetapi tetap tak pergi.
Tanpa pedulikan mereka lagi keempat wanita baju merah
itupun segera mengangkat tandu dan berangkat lagi.
Mereka lari cepat sekali
"Nak. mari kita pergi juga," kau Gong-gong-cu.
Salah seorang Pengawal Hitam cepat menghampiri dan
membentaknya: "Siapa kalian ini!"
Cu Jiang marah dan hampir tak dapat mengendalikan
diri lagi. Tetapi Gong-gong-cu sudah mendahului
menjawab:
"Kami berdua paman dan keponakan akan menuju ke Su
jwan."
"Aku tak bertanya ke mana kalian hendak pergi tetapi
siapa nama kalian! "
Gong-gong-cu pura2 ketakutan:
"Aku orang tua ini orang she Ho nama Siong Ya dan
keponakanku ini Ho Jin."
"Gelaran?"
"Tidak punya. "
"Dari perguruan?"
"Tidak punya perguruan apa2. Kami hanya belajar
sedikit ilmu silat untuk jaga diri saja, " jawab Gonggong cu.
Ketiga Pengawal Hitam segera menghampiri dan setelah
memandang Gong-gong-cu dan Cu Jiang beberapa jenak,
salah seorang berkata:
"Orang desa tua, biarkan mereka pergi!"
Gong-gong-cu menarik tangan Cu Jiang:
"Nak, mari kita lanjutkan perjalanan."
"Baik," Cu Jiang mengiakan. Terpaksa dia menahan diri
dan mengikuti Gong-gong-cu.
Setelah tiba di sebuah tikungan gunung, mereka melihat
sebuah tandu tadi menggeletak di tengah jalan. Keempat
wanita baju merah tak kelihatan, entah di mana. Sudah
tentu Cu Jiang heran dan bertanya.
"Eh, mengapa begitu ?"
Gong gong-cu hanya ganda tersenyum.
"Cobalah engkau buka kain tandu dan melihat apa yang
berada dalam tandu itu." katanya.
"Apakah locianpwe kenal dengan lelaki baju putih yang
berada dalam tandu itu ?" tanya Cu Jiang.
"Engkau kenal?" balas Gong-gong-cu.
"Ya, dia adalah hoohwat dari Gedung Hitam yang
disebut Hakim Putih."
"Tetapi dia sudah meletakkan jabatan."
"Meletakkan Jabatan?" Cu Jiang heran.
"Sudah tentu. Poan-koan (hakim) itu sebuah jabatan di
Akhirat. Di dunia masakan perlu dengan hakim semacam
itu."
"Lo - cianpwe, wanpwe benar tak mengerti...."
"Lihat saja kesana sendiri engkau tentu tahu."
Namun Cu Jiang masih bersangsi.
"Aneh, mengapa keempat wanita pemikul tandu tadi
membiarkan saja tandu itu di tengah jalan ?" katanya
dengan penuh keheranan.
Sambil masih tertawa Gong - gong - cu berkata:
"Poan-koan sudah melepaskan jabatan, tak perlu lagi
dengan mereka !"
Tetapi Cu Jiang tak mengerti. Pikirnya, kalau menurut
kata Gong-gong-cu, tandu itu kosong. Tetapi dia melihat
dengan mata kepala sendiri bahwa tadi Hakim Putih berada
di dalamnya. Apakah Gong-gong-cu ini memang ahli dalam
meramal ?"
Ia maju menghampiri kemuka tandu dan ulurkan tangan
kiri untuk menyingkap kain penutup, sedang tangan kanan
bersiap menjaga setiap kemungkinan yang tak terduga.
Begitu kain tersingkap, kejutnya bukan kepalang
sehingga ia sampai menyurut mundur tiga langkah dan
terus hendak menghantam ....
"Jangan !" cepat Gong-gong-cu berteriak mencegah.
Cu Jiang turunkan tangannya. Jelas ia melihat Hakim
Putih masih duduk di dalam tandu, maka dia hendak
mendahului menyerangnya. Tetapi sesaat ia teringat bahwa
Hakim Putih itu duduk diam saja seperti patung. Serentak
timbul kecurigaannya dan ia maju pula untuk mengamati.
"Hai, dia sudah tak bernyawa !" serentak ia berteriak
kaget.
"Memang," sahut Gong-gong-cu, "dia sudah beberapa
lama tak bernyawa lagi."
"Bagaimana lo cianpwe dapat mengetahui?" Cu Jiang
makin heran.
"Nak," kata Gong- geng-cu dengan wajah bersungguh,
"hal itu bukan suatu ilmu gaib, melainkan dari ketajaman
cara kita berpikir dan menarik kesimpulan. Coba engkau
renungkan peristiwa tadi lagi. Bahwa kawanan Pengawal
Hitam mengejar tandu itu. Jelas tentu menganggap orang di
dalam tandu itu musuh mereka. Kemudian ternyata dalam
tandu itu berisi Hakim Putih tetapi Hakim Putih itu tak
bicara apa2 kepada Pengawal Hitam. Saat itu juga aku
sudah mengetahui bahwa Hakim Putih tentu mati. Dia
tentu mati di tangan pemilik tandu itu,"
"Siapakah pemilik tandu itu ?" tanya Cu Jiang.
"Dia tentu bersembunyi dibelakang tubuh Hakim Putih.
Karena mayat, apabila tidak disanggah oleh orang dari
belakang, tentu tak dapat duduk dengan tegak, Bukankah
Hakim Putih tadi duduk tegak dan bukan bersandar pada
tandu ? Dan ingat2 suara Hakim Putih yang tidak
menyahut tetapi hanya mendengus tadi. Jelas tentu berasal
dari pemilik tandu itu."
"Oh." desah Cu Jiang tersipu-sipu malu-hati, "dan
kenapa tandu itu sekarang diletakkan di tengah jalan ?"
"Ciri yang mereka gunakan hanya dapat
membingungkan orang Gedung Hitam. Tetapi untuk
sementara waktu saja karena bagaimanapun juga akhirnya
orang Gedung Hitam tentu tahu dan akan mengejar mereka
lagi," kata Gong-gong cu.
Saat itu terdengar ayam berkokok bersahut-sahutan,
menandakan bahwa hari hampir menjelang pagi.
Segera Gong-gong - cu mengajak melanjutkan perjalanan
lagi agar terhindar dari kesulitan. Keduanya segera lari
kearah sebuah hutan.
Pada saat itu timbul pula suatu peristiwa yang aneh
mengejutkan. Entah bagaimana tiba2 tandu itu bergerak
masuk kedalam hutan. Sudah tentu Cu Jiang terkejut. Ia
berpaling dan melihat mayat Hakim Putih menggeletak di
tengah jalan. Dengan begitu jelas pemilik tandu itu tadi
masih berada dalam tandu dan belum melarikan diri.
Sesaat kedua orang itu masuk kedalam hutan maka
terdengarlah gemuruh rombongan kuda lari mendatangi ke
tempat mayat Hakim Putih.
Ternyata penunggang kuda itu ialah keempat Pengawal
Hitam tadi bahkan tambah dengan seorang tua baju hitam,
muka seram.
Kelima penunggang kuda itu serempak loncat turun.
Salah seorang segera mengangkat mayat Hakim Putih ke
atas kudanya lalu dibawanya pergi. Sedangkan yang empat
orang loncat ke kudanya masing2 dan terus lari ke muka.
Jelas mereka tentu hendak mengejar tandu tadi.
Brakkkk .... terdengar suara keras. Gonggong cu dan Cu
Jiang cepat menghampiri ke tempat suara itu. Ternyata
mereka mendapatkan tandu bagus tadi sudah hancur. Tentu
dihancurkan orang tetapi siapa orangnyalah tampak
bayangannya lagi.
Sejenak memandang ke sekeliling, Gonggong cu berkata:
"Kali ini pemilik tanda tentu benar2 sudah pergi."
"Berani menentang Gedung Hitam, jelas dia tentu bukan
tokoh sembarangan, " kata Cu Jiang.
Gong-gong-cu batuk2 kecil.
"Nak, kita ini bukan orang persilatan, lebih baik tak perlu
mengurus urusan persilatan. Mari kita lanjutkan perjalanan
lagi. "
Mendengar kata2 Gong-gong cu, Cu Jiang tak habis
herannya. Tetapi dia segera tahu bahwa tentu ada
maksudnya mengapa Gong-gong cu berkata begitu.
"Ah, aku hanya sembarangan omong saja. Baiklah,
paman, mari kita lanjutkan perjalanan," akhirnya ia
berkata.
Dalam berkata-kata itu Cu Jiang mengeliarkan pandang
ke sekeliling. Ia terkejut sekali ketika melihat seorang lelaki
tua baju hijau, tegak berdiri dibawah pohon lebih kurang
dua tombak jauhnya, dengan pandang mata yang berkilatkilat
tajam. Rambutnya merah dan mukanya juga merah.
Cu Jiang tak tahu bila dan bagaimana orang tua rambut
merah itu secara tiba2 muncul disitu. Mungkin memang
sejak tadi dia sudah berada disitu. Saat itu baru dia mengerti
mengapa Gong-gong-cu tadi berkata supaya tak usah
mencampuri urusan persilatan.
Tentulah Gong-gong-cu sudah lebih dulu melihat orang
tua rambut merah itu
Karena dipandang sedemikian rupa, hati Cu Jiang tak
enak.
"Anda ini kutu dari mana ?" tiba2 karena tak kuat
menahan perasaan, Cu Jiang berseru.
Lama sekali baru orang tua itu menyahut. "Cik bin Jin!!"
tiba2 orang itu menjawab dengan nada yang menusuk
telinga.
Cek bin-jin artinya Manusia-berwajah-merah. Tentu baja
nama itu sebuah gelaran persilatan. Tetapi
sepengetahuannya. belum pernah ia mendengar gelar yang
bergelar Cek-bin-jin.
Cu Jiang alihkan pandang matanya ke arah Gong-gongcu.
Ia yakin sebagai seorang tokoh angkatan tua yang
memiliki pandangan luas, tentulah Gong-gong-cu tahu.
Tetapi Cu Jiang putus asa ketika memperhatikan mata
Gong-gong-cu juga tampak bingung.
"Engkau tentu asing kepadaku, bukan ?" seru orang tua
rambut merah pula.
"Benar, karena belum pernah mendengar," jawab Cu
Jiang.
"Tetapi aku tak asing kepadamu..."
Cu Jiang berdebar keras.
"Anda kenal padaku ?" tanyanya gugup.
"Tentu."
"Di depan Hud, jangan suka menyulut dupa palsu.
Jangan berpura-pura, bukankah engkau ini si Gok jin-ji ?"
Cu Jiang seperti disambar halilintar kejutnya sehingga ia
tersurut selangkah ke belakang.
"Siapakah Gok-jin-ji itu 7" serunya.
"Engkau !"
"Anda punya bukti apa ?"
"Kakimu sebelah kiri!"
Cu Jiang mendesah. Ia tak menduga bahwa kakinya
sebelah kiri yang cacat itu dapat dijadikan ciri dirinya.
Namun ia berusaha untuk bersikap tenang dan berkata
dengan nada dingin:
"Dalam dunia orang yang kaki kirinya pincang, bukan
hanya Gok-jin-ji seorang?" Cek bin-jin mengekeh.
"Memang benar. Tetapi wataknya tentu tak sama."
"Belum tentu, " bantah Cu Jiang.
"Tetapi kuanggap memang engkau ini!"
Cu Jiang marah.
"Apa sebenarnya maksud anda? " tegurnya.
"Kalau begitu engkau mengakui, bukan?" si rambut
merah Cek bin-jin balas bertanya.
Cu Jiang menyengir. Ia agak bingung. Mengaku atau
tidak.
"Kalau engkau berani membuka kedok mukamu, engkau
tentu tak dapat menyangkal lagi, " Cek-bin-jin mendesak.
Cu Jiang makin kaget. Kedok muka yang di pakaiannya
itu sedemikian halus buatannya sehingga umumnya orang
tentu tak dapat mengetahui. Tetapi nyatanya kakek rambut
merah itu cepat dapat mengetahui.
Tiba2 Gong-gong-cu menyelutuk: "Bukankah anda ini
yang berada dalam tandu tadi?"
Si rambut merah tertawa mengekeh:
"Kalau benar lalu mau apa?"
"Andapun memakai kedok muka ..."
"Sama-sama, sama-sama!"
"Apakah sebenarnya tujuan anda?"
"Omong2 beberapa patah dengan Gok jin-ji." Mendengar
bahwa tujuan orang hendak mencari dirinya, Cu Jiang
segera menyela .
"Apakah anda hendak bicara dengan aku ?"
"O, engkau sudah mengakui dirimu ?” Cek-bin jin
melanjutkan. "engkau kenal dengan Ang Nio-cu ?"
Cu Jiang terkejut. Sejenak merenung ia mengiakan.
"Bagaimana pandanganmu tentang dirinya ?" tanya Cekbin-
Jin pula.
"Aku belum pernah melihat wajahnya yang sungguh
tetapi telah berhutang budi kepadanya."
"Engkau jujur. Kedatanganku kemari adalah karena
hendak menyampaikan pesannya .. ."
"O, silahkan."
"Engkau masih ingat perjanjian di lembah dulu ?"
Seketika Cu Jiang terbeliak. Ia terbayang akan bayang si
jelita baju hijau dan teringat akan perjanjiannya dengan
Jelita itu tempo hari. Cepat ia dapat menduga apa yang
akan disampaikan oleh Cek-bin-jin saat itu. Ia merasa tak
enak hati namun apa boleh buat, ia terpaksa menjawab:
"Takkan melupakan."
Sejenak Cek - bin - jin keliarkan pandang lalu bertanya:
"Apakah tiada halangan pamanmu palsu itu hadir disini
?"
"Tak apa."
"Baik, sekarang aku hendak menyampaikan kata2 Ang
Nio-cu." Cek-bin-jin mulai pembicaraan, "engkau masih
ingat akan gadis lembah Ho Kiong Hwa itu?”
Walaupun sudah menduga tetapi tak urung hati Cu Jiang
berdebar keras, mukanya merah padam dan keningnya
mulai mengucurkan keringat dingin.
" Ya, masih ingat, " katanya terbata.
"Engkau tinggalkan dia seorang diri dalam lembah, jika
sampai terjadi sesuatu, coba tanya pada hati nuranimu,
apakah engkau merasa enak?"
"Aku mengira bahwa Ang Nio-cu tentu akan
melindunginya. "
"Kalau terlambat datangnya?"
"Ini .... ini ... . aku memang mengaku salah."
"Engkau merasa dirimu paling hebat, bukan?"
"Ah, tidak, aku tak merasa begitu."
"Lalu mengapa engkau tak menurut apa yang Ang Niocu
telah mengatur untukmu?"
Cu Jiang terlongong kemudian tertawa hambar:
"Karena aku merasa diriku tak sepadan."
"Apanya yang tak sepadan?"
"Ang Nio-cu tentu sudah maklum sendiri. Telah kutulis
dalam surat yang kuberikan kepada Ho Kiong Hwa. "
Tetapi Cek-bin jin tetap menuntutnya:
"Jelas engkau memandang dirimu terlalu tinggi sehingga
memandang rendah pada Ho Kiong Hwa."
"Kusangkal tuduhan itu! " seru Cu Jiang.
"Tak mungkin Ang Nio-cu akan bertindak secara
gegabah. Soal itu tentu lebih dulu sudah minta persetujuan
Ho Kiong Hwa."
"Tetapi aku tak ingin menghancurkan masa remajanya
yang indah."
"Engkau salah." kata Cek-bin-jin, "Ho Kiong Hwa hanya
ingin menitipkan dirinya yang sudah sebatang kara, bukan
soal wajahmu buruk atau tampan."
"Tetapi orang tentu harus mempunyai rasa tahu diri
sendiri."
"Sudahlah, kita persingkat saja pembicaraan ini.
Bagaimana pandanganmu terhadap Ho Kiong Hwa?"
"Cantik dan cerdas Orangnya sesuai dengan namanya!"
"Lalu engkau setuju atau tidak?"
"Sukar untuk melaksanakan."
Cek-bin-jin mendengus dingin: "Engkau menolak ?"
Dengan nada yang berat Cu Jiang berkata: "Budi
kebaikannya takkan kulupakan seumur hidup."
"Jangan banyak pertimbangan lagi!"
"Aku telah mempertimbangkan sedalam-dalamnya."
"Apakah engkau sudah pernah membayangkan akibat
penolakan terhadap kemauan Ang Nio-cu itu ?"
Cu Jiang keraskan hati, sahutnya: "Jika tak mau
menerima penjelasanku, sudah tentu aku tak dapat berbuat
apa2 kecuali rela menerima akibat apapun juga dikemudian
hari."
"Engkau terlalu congkak!"
"Ah, tidak."
"Jika saat ini kuambil jiwamu..."
Cu Jiang tersentak kaget, serunya: "Apakah maksud
anda ?"
Dengan suara dingin seram, Cek-bin-jin berkata:
"Telah kukatakan bahwa aku dimintai tolong Ang Niocu."
"Apakah dia minta anda supaya mencabut Jiwaku?"
"Ha. ha..."
"Aku tak takut mati, tetapi saat ini, maaf, aku belum
dapat menyerahkan nyawaku."
"Kenapa ?"
"Masih ada urusan penting yang belum ku selesaikan."
"Aku tak peduli semua itu !"
Cu Jiang mengertak gigi, serunya: "Beri waktu setahun,
aku nanti tentu akan menyerahkan diri."
"Kalau aku tak setuju ?"
"Terpaksa aku harus melawan."
"Mungkin engkau tak mampu mengadakan perlawanan
itu."
"Kalau begitu, salahku sendiri mengapa belajar silat tak
sungguh2. Aku takkan menyesali siapa2 lagi."
Saat itu suasana tegang regang. Hawa pembunuhan
bertebaran. Kenyataan sudah jelas bahwa Cek-bin jin
mampu membunuh Hakim Putih dari Gedung Hitam dan
dapat membawa lari tandu seperti orang terbang.
Muncul lenyapnya seolah tak meninggalkan bekas. Jelas
dia seorang tokoh yang amat sakti. Dan Jelas pula bahwa
Cu Jiang tentu tak mampu melawannya.
Tiba2 Gong-gong-cu tertawa gelak2 dan maju selangkah,
serunya:
"Ah, sahabat ini terlampau sekali !"
Cek-bin-jin deliki mata, sahutnya:
"Aku hanya mewakili permintaan tolong orang!"
"Kurasa Ang Nio-cu tak bermaksud begitu.."
"Bagaimana engkau tahu ?"
"Pernikahan merupakan soal besar dalam kehidupan
seseorang. Harus mendapat persetujuan kedua belah pihak.
Kalau tidak begitu, tentu bukan suatu perjodohan yang
wajar, bahkan akan menimbulkan saling dendam diantara
suami isteri !"
"Lebih baik jangan ikut campur !"
"Tetapi aku terikat keluarga dengan engkoh kecil ini."
"O, berarti engkau hendak ikut turun tangan ?"
"Sahabat, walaupun tak tahu bagaimana persoalan yang
sebenarnya tetapi aku telah mendengarkan pembicaraan
tadi. Engkoh kecil itu tak mau dengan badannya yang cacat,
akan mengecewakan masa muda diri nona itu. Dia
bermaksud baik, bukan bermaksud hendak menolak
kemauan Ang Nio-cu.
Dan lagi urusan ini belum sampai pada tingkat dimana
orang harus putus asa. Mengapa tidak sabar menanti pada
lain kesempatan yang menguntungkan dan harus
menyelesaikan sekarang dengan pertumpahan darah ?
Ingat, ini soal perjodohan, suatu hal yang bahagia.
Bagaimana pendapat anda ?"
Agaknya Cek-bin jin tergerak mendengar kata2 Gonggong
cu. Dia diam merenung.
Cu Jiang tahu bahwa Ang Nio-cu memang bermaksud
baik kepadanya. Karena Ang Nio-cu tahu akan asal usul
dirinya dan sebelum dia rusak wajah dan kakinya dulu.
Sedang Gong-gong cu belum tahu tentang dirinya.
Cu Jiang merasa bahwa apabila saat itu harus
memutuskan perjodohan itu, memang kurang tepat.
Akhirnya ia mengambil keputusan.
"Aku minta waktu setahun. Apabila pada waktu itu
bertemu dengan Ang Nio-cu, aku akan memberi keputusan.
Bagaimana ?"
Setelah merenung beberapa saat, baru Cek-bin-jin
menjawab: "Satu tahun ?"
"Dalam setahun itu kemana saja engkau hendak pergi ?"
"Aku sendiri belum tahu." Sejenak menatap Cu Jiang
dengan tajam. Cek-bin jin akhirnya berkata.
"Baiklah, kuharap engkau dapat pegang janji!"
"Seorang lelaki tentu takkan menjilat ludahnya lagi"
"Sampai jumpa pada lain waktu..."
"Mohon sampaikan pada Ang Nio-cu, budi kebaikannya
lain waktu pasti akan kubalas."
"Sampai Jumpa !" tahu2 Cek bin-jin sudah melesat
lenyap kedalam gerumbul.
"Hebat sekali !"seru Cu Jiang memuji gerakan orang
yang luar biasa gesitnya itu.
"Rasanya selatanku itu harus kutaruhkan kepadanya."
kata Gong-gong-cu.
"Apakah locianpwe benar2 belum pernah mendengar
tentang diri tokoh itu ?"
"Apa engkau tak mengetahui ?"
"Mengetahui apa ?"
"Dia adalah Ang Nio cu sendiri!"
Cu Jiang seperti digambar petir kejutnya:
"Hai! Dia itu Ang Nio Cu sendiri ?"
"Benar."
"Tetapi Ang Nio-cu itu seorang wanita. Nada suaranya
juga tak begitu."
"Aku tak mengatakan bahwa dia tadi seorang lelaki. Ada
dua hal yang dapat membuktikan."
Cu Jiang meminta penjelasan.
Dengan pelahan, Gong-gong-cu berkata:
"Pertama, dia mengaku kalau orang yang ada dalam
tandu dan yang memikul tanda itu empat wanita baju
merah. Dengan begitu Jelas bahwa yang di dalam tandu itu
tentulah seorang wanita. Kemudian kakinyapun lebih kecil
dari seorang lelaki, memakai sepatu kain. Suatu hal yang
janggal bagi seorang pria. Dengan begitu jelas dia tentu
seorang wanita yang sedang menyaru ..."
"O, penilaian locianpwe sungguh tajam sekali. Lalu yang
kedua ?"
"Yang kedua, dia menggunakan tenaga-dalam untuk
merobah nada suaranya. Tetapi nada itu kalau dibanding
dengan suara seorang tua pada umumnya, masih beda
sekali. Tidakkah engkau merasa bahwa suaranya itu aneh
dan menusuk telinga ?"
"Ah, benar, wanpwe memang tolol sekali tak dapat
memikir sampai disitu ..."
"Engkau tidak tolol melainkan masih kurang
pengalaman dan lagi kurang tenang."
“Terima kasih atas petunjuk lo-cian-pwe!"
"Mari kita lanjutkan perjalanan lagi," ajak Gong-gongcu.
Singkatnya setelah lebih dari satu bulan mengadakan
perjalanan, pada hari itu mereka tiba di kota Tayli yang
terletak di tepi laut.
Gong-gong-cu sudah membahu kedok mukanya, sedang
Cu Jiang masih tetap memakai.
Cu Jiang merasa tegang sekali. Dia berada dalam alam
dan suasana yang asing. Orang2 yang berpapasan
disepanjang Jalan, baik pakaian dan bahasanya, terasa aneh
dan beda dengan Tiong goan.
Banyak sekali aneka ragam keadaan yang belum pernah
dilihatnya. Boleh dikata setiap seratus Ii, tentu ia melihat
keadaan yang baru. Baik mengenai cara dan pakaian rakyat
disitu.
Hanya untungnya, sedikit banyak penduduk disitu
sedikit-sedikit mengerti bahasa Han.
Tiba di pintu kota timur, tampak penduduk memenuhi
sepanjang Jalan untuk melihat. Di pintu kota berpuluhpuluh
pembesar2 yang berpakaian dinas, baik dari kalangan
militer maupun sipil, sudah tegak berjajar dalam dua deret
untuk menyambut.
Gong-gong-cu memimpin tangan Cu Jiang. Dengan
mengulum senyum, tokoh itu melintasi barisan pembesar2
yang menyambut kedatangannya.
Terdengar sorak gembira menyatakan selamat datang
kepada Kok su (penasehat kerajaan). Dan Gong gong-cu
melambaikan tangan sebagai tanda balas menghormati.
Hampir tiba di pintu kota, seorang tua bertubuh tinggi
besar dan berjubah ungu segera maju menyambut dan
memberi hormat:
"Mengemban seng-ci (amanat) baginda untuk
menyambut Kok-su!"
Sekalian menteri dan pembesar serempak
membongkokkan tubuh memberi hormat.
Dengan suara nyaring. Gong-gong-cu menyambut: "Ah.
sungguh berat untuk menerima penyambutan begini."
Saat itu Cu Jiang merasa seperti berada dalam keadaan
yang hanya dapat dijumpai dalam impian. Dia tak dapat
berkata apa2. Sebagai seorang Kok-su. kedudukan Gonggong-
cu itu hanya setingkat dibawah baginda Tayli.
Demikian deretan menteri dan pembesar2 kerajaan Tayli
itu segera memasuki kota.
Cu Jiang menjadi pusat perhatian orang menilik
wajahnya yang biasa saja, orang tak melihat sesuatu pada
dirinya. Tetapi mengapa Kok-su berjalan berjalan
berdampingan dan menggandeng tangannya ?
Para pembesar itu segera kasak kusuk untuk merangkai
dugaan tentang diri Cu Jiang.
Pada saat memasuk jalan yang menuju ke istana, disitu
telah dipersiapkan meja perjamuan. Empat orang pemuda
dan pemudi cantik, tegak di kedua sisi meja. Meja itu tiada
hidangan apa2 kecuali tiga buah piala kumala, sebuah teko
perak.
Tiga orang gadis mengangkat piala kumala dan menuang
kedalam tiga cawan lalu serempak menghaturkan
kehadapan Gong-gong-cu:
"Hong-ya berkenan memberi arak untuk pelepas lelah."
Wajah Gong-gong-cu serentak berobah serius. Dia
membungkuk tubuh dan berseru penuh khidmat:
"Menghaturkan terima kasih atas budi yang dilimpahkan
Hong-ya."
Ia menyambuti cawan, satu demi satu diteguknya habis.
Sebuah tandu yang dipikul olah delapan orang segera
disediakan di muka meja. Orang tua jubah ungu tadi maju
dua langkah dan berseru :
"Silahkan Kok-su naik kedalam tandu !"
"Terima kasih." kata Gong-gong-cu lalu memimpin
tangan Cu Jiang dan diajak naik tandu.
"Ah, lebih baik wanpwe berjalan di belakang tanda saja,"
Cu Jiang tersipu-sipu.
"Jangan, tidak menguntungkan kalau engkau berjalan
kaki. Lebih baik duduk bersama aku saja," kata Gong gongcu.
Teringat akan kakinya yang pincang, apabila berjalan
tentu akan menimbulkan perhatian orang, maka Cu
Jiangpun menurut. Dia duduk disebelah Gong-gong-cu.
Demikian tandu segera diangkat oleh kedelapan pemikul
bertubuh kekar. Sepanjang Jalan masuk kedalam kota,
ternyata negeri Tayli yang kecil itu juga amat ramai. Jalan
raya terbuat daripada marmer, rumah2 penduduk, rumah
makan yang berjajar-jajar disepanjang jalan, dihias dengan
mewah sebagai tanda penyambutan atas kedatangan Koksu.
Beberapa saat kemudian tibalah mereka di pintu gerbang
istana raja. Diatas pintu gerbang yang tinggi itu terpancang
tiang bendera. Sedang di kanan kiri pintu, berhias sepasang
singa batu yang besar sekali.
Melalui pintu gerbang, merupakan sebuah lapangan
seluas setengah bau yang juga ditutup dengan batu marmer
semua. Didepan pintu gerbang istana itu dijaga oleh
delapan belas wi-su atau pengawal istana yang bersenjata.
Tandu diturunkan dibawah titian. Belasan pembesar
berpakaian kebesaran segera menyambut. Satu demi satu
Gong-gong-cu membalas hormat mereka.
Setiap orang tentu memandang Cu Jiang dengan mata
terkejut tetapi tiada yang berani bertanya. sekalipun
demikian tetapi Cu Jiang merasa likat sendiri.
Dibelakang pintu terdapat pula sebuah lapangan luas,
terbuat dari marmer, dibelah menurut bentuk palang.
Empat keliling lapangan itu berjajar-jajar bangunan gedung
yang besar. Sepanjang jalan bertumbuhan pohon siong yang
hijau.
Seorang tua berpakaian kuning, keluar menyambut dari
tengah lorong berbentuk palang itu dan berseru lantang:
"Hong-ya melimpahkan amanat karena habis menempuh
perjalanan jauh, Kok-su tentu lelah dan dipersilahkan
beristirahat dulu."
Gong gong cu menghaturkan hormat dan menyatakan
terima kasih. Setelah itu baru orang tua baju kuning itu
tertawa seraya maju menghampiri:
"Ah, Kok-su tentu lelah."
"Ah, tidak. Semoga Hong-ya sehat selalu," sahut Gonggong-
cu dengan hormat.
"Hong-ya sehat dan bahagia."
"Semoga cong-koan juga sehat2 saja." kata Gong-gongcu
kepada orang tua baju kuning. Dia pembesar istana yang
berpangkat cong-koan.
"Ah, doa keselamatan untuk Kok-su juga." kata orang
tua baju kuning itu.
"Baiklah, lain waktu kita bercakap-cakap lagi...."
"Silahkan, Kok-su. O. tuan ini...." mata orang tua baju
kuning itu memandang Cu Ciang.
Gong-gong-cu tertawa gelak2, serunya: "Dia adalah
muridku yang baru kuperoleh waktu didaerah Tionggoan !"
Kemudian ia berpaling kepada Cu Jiang: "Inilah Khu Bun
Ki, cong koan istana. Masih banyak hal2 yang engkau perlu
meminta bantuannya."
"Khu cong koan, terimalah hormatku," Cu Jiangpun
secara menghaturkan hormat.
"Ah, tak usah banyak peradatan." kata Khu Bun Ki yang
menjabat cong-koan atau pembesar urusan istana Itu.
Kemudian Gong-gong-cu pun meminta kepada
rombongan pembesar yang menyambutnya tadi supaya
kembali ke tempat masing2. Demikian setelah berbicara
basa-basi dengan beberapa pembesar istana yang
mengerumuninya itu, akhirnya Gong-gong-cu mengajak Cu
Jiang menuju ke lorong kiri dan melangkah ke jalan besar
yang rindang dengan pohon2.
Sesungguhnya istana raja Tayli itu tak lebih hanya
sebesar gedung kediaman seorang menteri Kerajaan di
negeri Tionggoan. Paling bedanya hanyalah istana Tayli itu
dihias dengan sebuah lapangan.
Setelah melalui beberapa pintu halaman, akhirnya Gonggong-
cu dan Cu Jiang tiba dimuka sebuah pintu berbentuk
rembulan.
Begitu melangkah, Cu Jiang segera merasakan suatu
suasana yang baru. Pagoda kecil tempat beristirahat yang
terbuat dari batu, tiang2 pilar yang tinggi bersih dan terbuat
dari batu marmer, menghias sebuah gedung yang tenang.
Dari dalam gedung itu muncul dua orang anak yang
berlari-lari menyambut: "Kok-su sudah pulang ...!"
Dengan penuh kasih sayang Gong-gong cu mengeluselus
bahu kedua bocah itu seraya berkata: "Ing San, Bok Ci,
beri hormat kepada Sausu !"
Cu Jiang diam2 menghela napas longgar. Dengan
bijaksana Gong-gong-cu dapat menghindarkan kesulitan Cu
Jiang dengan memberinya sebutan sebagai sausu atau guru
muda.
Juga ketika memperkenalkan kepada Khu Bun Ki,
congkoan atau menteri rumah-tangga istana, Gong-gong cu
juga tak menyebut nama Cu Jiang.
Sejenak memandang ke arah Cu Jiang kedua bocah itu
berturut-turut memberi hormat.
"Ing San menghaturkan hormat kepada sau-su." kata
salah seorang bocah itu sambil berlutut.
"Bok Cui menghaturkan hormat," kata bocah yang
seorang pula. Keduanya segera berlutut di hadapan Cu
Jiang.
"Bangunlah!" buru2 Cu Jiang mengangkat mereka.
Kedua bocah itupun lalu mundur ke samping.
Gong-gong-cu melambai dan suruh Cu Jiang
mengikutinya masuk.
"Rumahku ini bebas, tak perlu sungkan" katanya.
Gong-gong-cu menuju ke sebuah bangunan gedung di
tengah pagar bunga. Walau pun tidak berapa besar tetapi
gedung itu amat bersih dan sedap. Pada papan yang besar
tertulis tiga buah huruf "Tiau-tim-tian" atau wisma
Pembersih Debu.
Alat perabot dalam ruang gedung itu terdiri dari barang2
antik yang jarang terdapat. Ing San membawa Cu Jiang ke
belakang untuk mandi dan tukar pakaian.
Setelah itu Bok Cui datang mengundangnya supaya
makan. Ruang makan berada di tengah kolam. Walaupun
bukan tergolong jenis yang mewah tetapi hidangannyapun
terdiri dari masakan yang mahal dan lezat.
Gong-gong-cu sudah menanti di situ dan Cu Jiangpun
segera duduk berhadapan di sebelah bawah.
"Anggap engkau telah kuberi pencucian debu," Gonggong
cu.
"Ah, terima kasih."
"Sebelum pengangkatan resmi sebagai guru dengan
murid, kita masih sebagai kawan," kata Gong gong-cu pula,
"Jangan engkau sungkan."
"Baik !"
"Lepaskan kedok mukamu."
Begitu Cu Jiang membuka kedoknya, kedua bocah yang
berdiri disamping itu menjerit tertahan. Gong gong cu
melirik dan merekapun buru2 tundukkan kepala, Betapa
perasaan hati Cu Jiang, dapat dibayangkan.
Setelah makan malam selesai, barulah mereka masuk
kedalam ruang tamu yang telah disiapkan. Semalam itu
benak Cu Jiang penuh diliputi berbagai pikiran sehingga
semalam suntuk tak tidur.
Pagi2 sekali Ing San sudah berseru pelahan2 dimuka
pintu:
"Sausu, utusan baginda datang, harap sausu mandi dan
ganti pakaian."
Cu Jiang buru2 bangun. Selesai mandi dan ganti
pakaian, Gong-gong-cupun sudah memangginya. Buru2 dia
keluar dan menghaturkan selamat.
"Hongya akan menerima engkau."
"Ya, wanpwe tahu."
"Ikut aku."
Mereka melalui pintu samping, berjalan disepanjang
lorong marmar putih. Dinding keraton tinggi sekali. Tiba
diujung lorong, mereka berhadapan dengan sebuah pintu
gerbang bercat merah.
Didalam pintu merupakan sebuah taman yang indah,
penuh dengan aneka bunga yang aneh. Lorong yang
menuju ke ruang istana, terbuat dari marmer putih.
Ditepi titian dimuka pintu ruang, sudah menyambut Khu
Bun Ki menteri pengurus istana.
"Hong-ya menunggu Kok-su." seru Khu Bun Ki.
Setelah mengemasi pakaiannya, Gong-gong-cu suruh Cu
Jiang menunggu di situ sedang dia terus naik ke titian dan
masuk kedalam istana.
Beberapa waktu kemudian, baru menteri Khu Bun Ki
berseru memangginya: "Gok-Jin-Ji, silahkan naik."
Dengan langkah yang pincang, Cu Jiang segera meniti
titian dan naik ke atas. Ruang mana tampak berkilaukilauan
bergemerlapan. Zamrud permata menghias segenap
ruang.
Di tengah ruang tampak duduk seorang lelaki tua
berjubah kuning. Wajahnya keren tetapi sikapnya amat
ramah. Usianya disekitar 50-an tahun. Sedang Gong-gongcu
duduk disebelah samping bawah.
"Apakah ini raja Tayli ?" pikir Cu Jiang. Tetapi sebelum
ia sempat berkata apa2 Gong-gong-cu sudah berseru:
"Haturkan hormat kepada Hong-ya!"
Cu Jiangpun segera berturut:
"Menghaturkan hormat kepada Hong-ya."
"Bangunlah, disini ruang paseban muka, tak perlu
banyak peradatan," seru orang berjubah kuning itu.
"Terima kasih, Hong-ya," seru Cu Jiang lalu berdiri.
Ketika mengangkat muka dan beradu pandang dengan pria
jubah kuning itu, hati Cu Jiang bergetar.
"Hong-ya, walaupun wajahnya buruk, tetapi anak muda
itu seorang tunas yang berbakat luar biasa."
"Um.." pria Jubah kuning itu hanya mendesah tetapi tak
berkata apa2.
"Mohon Hong-ya menurunkan titah." seru Gong-gongcu
pula.
Sampai beberapa saat baru pria jubah kuning itu berseru:
"Koksu, untuk sementara tunda dulu."
Wajah Gong-gong-cu agak berobah.
"Hong-ya, walaupun tua tetapi rasanya mata hamba
masih dapat mengenal barang..."
Pria jubah kuning memotong, serunya: "Koksu, besok
pagi kita berunding lagi."
Gong-gongcu berbangkit dan membungkuk tubuh
dalam2, serunya:
"Hamba menerima perintah, mohon mengundurkan
diri."
Tubuh Cu Jiang terasa agak gemetar. Hanyalah karena
memandang mukanya buruk, rupanya raja Tayli itu kurang
berkenan dalam hati. Tampaknya sia2 saja perjalanan ke
negeri Tayli itu.
"Nak, mari kita kembali dulu," kata Gong-gong-cu
dengan tenang.
Cu Jiang terkejut dan buru2 memberi hormat kepada raja
seraya mohon diri. Kemudian ia mengikuti Gong gong-cu
kembali ke wisma Tiau-tiok-tian, tempat kediaman Gonggong
cu.
"Nak, jangan putus asa, aku akan berusaha untuk
menembus persoalan ini."
Cu Jiang hanya tertawa hambar.
"Terserah bagaimana locianpwe hendak mengatur,"
katanya
"Nak, apabila sampai gagal, akupun hendak meletakkan
jabatan."
"Ah, jangan locianpwe bertindak begitu. Manusia
berusaha, Thian yang memutuskan. Aku tak bernafsu nekad
untuk menginginkan sesuatu."
"Ya kutahu isi hatimu, nak, beristirahatlah dulu."
Kembali ke kamarnya, perasaan Cu Jiang tak keruan
rasanya. Pikirnya, bagaimana ia dapat lolos dari istana
terlarang itu. Kesan yang telah dialaminya, membangkitkan
pula dendam kebencian yang sudah mengendap beberapa
waktu.
Pada saat dia sedang dilanda oleh luap amarah yang
sukar dikendalikan, tiba2 ia mendengar gemerincing suara
tawa seorang gadis yang berasal dari ruang di sebelah
muka. Ia duga tentulah gadis2 pelayan atau dayang istana
disitu.
"Bagaimana latihan badan?"
tiba2 terdengar suara Gong gong-cu tertawa keras.
"Mau sembunyi tapi takut dapat diketahui," seru gadis
itu.
"Ha, ha, ha "
"Kabarnya Nyo kongkong ketika di Tionggoan telah
menerima seorang murid hebat ?"
"Ih, bagaimana engkau tahu ?"
"Hm, segala apa yang terjadi di negeri ini, dari atas
sampai ke bawah, tiada yang tak kuketahui."
"Engkau lihay sekali!"
"Ucapan Nyo kongkong sukar dipercaya."
"Ih ?"
"Bukankah Nyo kongkong pernah mengatakan tak mau
menerima murid?"
"Oh. .. soal itu, lain dulu lain sekarang."
"Orang tua tetapi tak malu!"
"Mengapa engkau tak mengatakan "tua tetapi tidak mati?
"
"Berbicara dengan sungguh2, Nyo kongkong, apakah
aku boleh berkenalan dengan dia?"
Mendengar itu hati Cu Jiang bergetar keras. Siapakah
gadis itu? Mengapa dia menyebut Gong-gong-cu sebagai
kongkong ( kakek )? Menurut kata gadis itu. Gong-gong cu
itu orang she Nyo Dan kalau menilik nada
pembicaraannya, gadis itu jelas bukan dayang istana. Lalu
siapakah dia?"
Tiba2 terdengar Gong-gong-cu tertawa:
"Kongcu lebih baik jangan kenal dia."
Kali ini Cu Jiang benar2 tergetar hatinya. Ternyata gadis
itu adalah kongcu atau puteri raja. Pembicaraan kedua
orang itu bebas sekali dan tak terikat oleh adat istiadat
istana. Rupanya di istana itu. peraturan antara pria dan
wanita bukan merupakan larangan.
Kerajaan kecil yang terletak di sebelah selatan itu
menyerupai suatu kerajaan tersendiri.
"Kenapa tak boleh?" puteri itu melengking.
"Tak sedap dipandang!" sahut Gong gong cu.
"Asal dapat melihat bagaimana macam orang yang
mampu mendorong Nyo kongkong sampai merobah
keputusan takkan menerima murid. Soal sedap atau tak
sedap dipandang, aku tak peduli!"
"Engkau tak mengerti."
"Apanya yang tak mengerti?"
"Kelak kita bicara lagi. "
"Setelah mendapat murid baru, rupanya Nyo kongkong
tak sayang padaku Toan Swi Ci lagi, ya?"
Tergerak hati Cu Jiang. Toan Swi Ci, oh, nama puteri itu
Toan Swi Ci.
"Apakah engkau tetap akan melihat?"
"Tentu, kalau tidak aku tentu tak dapat setiap waktu
datang ke mari untuk meminta pelajaranmu."
"Baik, nak, keluarlah menemui kongcu!"
Kejut Cu Jiang seperti disambar petir. Dia harus keluar
bertemu puteri raja itu? Ah tidakkah wajahnya begitu
menyeramkan orang? Bagaimana mungkin dia ketemu
seorang puteri raja dengan wajah begitu?
Tetapi ah, kalau toh menyeramkan,kan hanya satu kali
saja Selanjutnya puteri raja itu tentu tak mau bertemu
dengan dia lagi.
Setelah mengambil keputusan dia terus melangkah ke
luar.
Begitu melangkah ke dalam ruang, seketika terpancar
penerangan yang gemilang. Tampak seorang dara secantik
bidadari tengah duduk berhadapan dengan Gong-gong-cu.
Usianya baru diantara 16-17 tathun.
"Aah..." Toan Swi Ci menjerit kaget, wajahnya berobah
tegang.
Betapa perasaan Cu Jiang saat itu sukar dilukiskan.
Malu, marah, benci dan dendam campur aduk menjadi
satu. Serentak ia berputar tubuh dan melangkah keluar.
"Nak, kembalilah !" teriak Gong-gong-cu.
Tetapi Cu Jiang tak menghiraukan. Dia terus menuju ke
ruang di belakang dan duduk terlongong diatas kursi.
"Engkau menyebabkan dia tertusuk perasaannya." tiba2
terdengar suara Gong-gong-cu dari ruang depan.
"Aku tak mengerti mengapa Nyo kongkong menjatuhkan
pilihan padanya ?"
"Itulah sebabnya kukatakan tadi, kalau engkau tak
mengerti."
"Harap Nyo kongkong suka memberi petunjuk."
"Aku memilih bakat tulangnya yang luar biasa, bukan
dari air mukanya."
"Kalau begitu. . . aku hendak minta maaf kepadanya."
"Tak usah."
"Siapa namanya ?"
"Gok jin-ji."
"Gok-jin-ji? Ah, rasanya itu bukan suatu nama.
Dikalangan rakyat juga tak terdapat orang she Gok."
"Itu nama gelarannya."
"Yang kutanyakan nama sebenarnya."
"Dia tak punya nama."
"Ih, aneh. Masakan orang tak punya nama."
"Kongcu yang baik, banyak sekali hal2 dalam dunia
persilatan yang tak engkau ketahui."
Sampai disitu Cu Jiang tak mau mendengarkan lagi. Ia
memandang kearah almari rak buku yang penuh dengan
buku. Ia segara mengambil sebuah. Ternyata sebuah buku
sejarah. Membuka beberapa halaman, ia tak ada selera
membacanya lalu menukar dengan yang lain.
Juga tak senang. Setelah mengembalikan buku itu dia
terus melangkah ke luar halaman. Kebun halaman penuh
dengan aneka bunga yang belum pernah dilihatnya.
Hatinya terasa agak lapang.
Sekonyong-konyong sesosok tubuh yang rasanya sudah
pernah dikenal, mendadak berjalan pelahan-lahan dititian
belahan Jalan-setapak di tengah kebun bunga. Ketika
memperhatikan, hampir saja Cu Jiang memekik.
Itulah si wanita gemuk, pemilik rumah makan yang telah
dibakar oleh orang Gedung Hitam, Tetapi mengapa wanita
gemuk itu berada di istana Tayli ?
Kenangan lama muncul kembali. Ia hendak menemui
wanita gemuk itu dan memperkenalkan dirinya. Selagi dia
masih bersangsi, wanita gemuk itupun, sudah tiba beberapa
langkah di mukanya.
"Hai, engkau!" teriak wanita gemuk itu terkejut.
Cu Jiang menahan luapan perasaannya dan bersikap
tenang: "Ya, memang aku."
"Masih ingat kepada wanita penjual kacang yang
menjajakan dagangannya di kota kecil tempo hari ?"
"Tentu."
"Bukankah engkau bersama seorang sasterawan
pertengahan umur . . ."
"Ya, benar, tetapi aku segera berpisah dengan dia."
Dengan tegang wanita gemuk itu memandang Cu Jiang,
serunya :
"Lalu bagaimana harus menyebutmu ?"
"Aku bernama Gok Jin ji."
"Yang kumaksudkan sebutannya."
"Mereka memanggil dengan sebutan sausu."
"Sausu?"
"Ya."
"Apakah sausu ikut Kok - su yang baru datang dari
Tionggoan itu?"
"Ya."
"Bagaimana keadaan sasterawan yang telah memberi
bantuan uang kepadaku itu ?"
Cu Jiang tak mau mengatakan bahwa orang yang
dimaksud wanita gemuk itu sesungguhnya adalah seorang
cong koan dari Gedung Hitam. Dia hanya menjawab
sembarangan saja.
"Dia baik2 saja. Apakah aku boleh menyebutmu dengan
panggilan .... toanio ?"
"Ah, jangan, sausu ! Aku hanya salah seorang tukang
masak."
"Bukan soal. Aku seorang persilatan. Kaum persilatan
tak membedakan pangkat dan kedudukan."
"Kalau sausu menghendaki, terserah. Memang orang2 di
istana sini memanggil aku begitu."
"Bagaimana toanio dapat datang kemari?"
"Menghindari musuh."
"Ah.." Cu Jiang hanya mengaduh tetapi tak mau
bertanya lebih lanjut. Dia tahu yang dimaksud musuh
tentulah pihak Gedung hitam.
Diam2 Cu Jiang merasa menyesal. Kesemuanya itu
adalah gara-garanya. Jika dia tak mencampuri urusan si
jelita Ho Kiong Hwa tentu tak sampai bentrok dengan
orang Gedung Hitam dan takkan diberi Amanat Maut.
Wanita gemuk itupun tak perlu melindungi dirinya dan
tak sampai rumah makannya dibakar orang Gedung Hitam
dan orangnya harus lari menyembunyikan diri dari kejaran
pihak Gedung Hitam.
"Maaf toanio, kelak budimu tentu akan kubalas," diam2
Cu Jiang berjanji dalam hati.
Sambil memandang lekat2 pada wajah Cu Jiang, wanita
gemuk itu berkata:
"Sausu, maaf, tetapi memang benar engkau ini mirip
dengan seseorang yang kenal baik dengan aku..."
"Siapa ?" Cu Jiang terkejut.
"Usianya sebaya dengan sausu, juga sinar matanya,
bahkan perawakannya. Hanya, ah, mungkin dia sudah tak
berada di dunia lagi.."
"Dia mempunyai hubungan apa dengan toanio ?"
"Keluarga."
"Keluarga? Apa ikatannya dalam keluarga dengan toanio
?"
"Ah, sudahlah, tak perlu dibicarakan lagi. Aku sedih
kalau mengingat dia."
"Cu Jiang, kasih tahu pada toanio, bahwa pemuda yang
dikenangnya itu saat ini berdiri dihadapannya. Hanya
karena wajahnya rusak, engkau tak mengenalnya . . .. "
tiba2 hati Cu Jiang melantang.
Tetapi dia berusaha untuk menekan perasaannya.
Saatnya belum tiba, pikirnya.
Saat Itu bocah Ing San bergegas memanggil. "sausu !"
katanya kepada Cu Jiang, dan kepada wanita gemuk, bocah
itupun berseru: "Toanio, aku mencarimu kemana-mana."
"Ada apa?"
"Siang nanti kongcu hendak bersantap di wisma Tiautim-
tian. Koksu pesan agar disiapkan hidangan."
"O, baiklah, aku segera menyiapkannya." wanita gemuk
itu memberi hormat kepada Cu Jiang lalu bergegas pergi.
Cu Jiang kerutkan dahi. Ada sesuatu yang melintas
dalam benaknya.
"Ing San, aku hendak jalan-2 ke luar istana ini, " katanya.
"Sausu hendak pesiar melihat-lihat luar?"
"Ya."
"Biarlah kulaporkan pada Koksu dulu."
"Ya, silahkan."
Bocah itu gopoh2 pergi dan tak lama kemudian dia
muncul kembali seraya tertawa:
"Koksu mengijinkan tetapi supaya dekat2 saja dan cepat
kembali. Juga pesan supaya sausu mengenakan kedok
muka."
Cu Jiang girang sekali, ia masuk ke kamar dan
mengenakan kedok muka.
"Hayo, kita ke luar."
Ing San yang mengiring dan menjadi penunjuk jalan.
Mereka keluar dari pintu samping dan setelah melalui
beberapa lorong akhirnya keluar dari istana.
Saat itu sedang ramai-ramainya orang berjualan. Pasar2
penuh sesak dengan orang berjual beli. Rupanya Ing San
jarang sekali mendapat kesempatan seperti itu. Dia tampak
gembira sekali. Sepanjang jalan selalu nyerocos ngoceh
sembari menuding kesana kesini.
Cu Jiang hanya mengiakan saja tetapi hatinya tak
memikirkan soal itu. Diam2 dia mengasah otak untuk
mencari jalan bagaimana dapat kembali ke Tiong goan.
Kesan yang diterimanya ketika menghadap raja Tayli tak
menyenangkan hati. Lebih baik dia kembali ke Tionggoan
saja.
Tak terasa hampir separoh kota telah dijelajahi dan saat
itu mereka tiba di pintu kota utara. Sengaja Cu Jiang
bersikap gembira, serunya:
"Ing San. kabarnya pemandangan laut Ki-hay itu indah
sekali. Mari kita ke sana . . ."
Ing San menengadah memandang matahari, serunya:
"Sausu, sekarang sudah saatnya kita harus pulang."
"Lebih baik kita makan di luar saja."
"Jangan! Koksu pesan, agar sausu menemani kongcu
makan siang."
"Ing San, aku justeru takut menghadapi peristiwa itu . . ."
"Kenapa?"
"Wajahku yang begini buruk, masakan layak duduk
bersama kongcu?"
"Kongcu sering berkunjung ke wisma Tian-tim-tian. Dan
kongcu tentu akan lebih sering datang, lama kelamaan tentu
biasa."
"Itu soal besok, Ing San. Lebih baik hari ini kita pesiar
sampai puas."
"Hamba tak berani, takut pada Koksu ...."
Melihat sikap bocah itu, tergeraklah hati Cu Jiang. Ia
mendesak:
"Jangan kuatir, segala kesalahan aku yang tanggung
nanti. Engkau hanya menjadi penunjuk jalan. Tak nanti
Koksu akan marah kepadamu."
"Sausu, tindakan sausu itu berarti tak menghormat pada
kongcu . . ."
"Pagi tadi ketika melihat wajahku, kongcu tampak ngeri.
Kalau aku tak pulang, bukankah sesuai dengan kehendak
hatinya?"
Ing San termenung sejenak, katanya:
"Hong-ya hanya mempunyai seorang puteri, amat
disayanginya "
"Tak punya putera?"
"Tidak."
Pada saat itu mereka sudah ke luar dari kota. Ing San
hentikan langkah. Cu Jiang berpaling kepadanya:
"Begini sajalah. Apakah di tepi laut ada rumah makan?"
"Ada, rumah makan Ong-hay-loh, mewah dan bersih,
ramai tetapi tenang."
"Ah, bahasa Han-mu lancar sekali."
"Memang ayah bundaku orang Tionggoan. Mereka
berdagang sampai ke Tayli dan aku dipilih menjadi pelayan
Koksu.”
"O, kalau begitu . . . begini sajalah. Engkau pulang dulu
dan memberitahu Koksu. Katakan aku sedang bertemu
dengan seorang sahabat dari Tionggoan dan masih omong2
di rumah makan. Terpaksa sore nanti baru pulang. Akan
kutunggumu di rumah makan Ong hay loh sana,
bagaimana?"
"Apakah tak apa2?"
"Tak apa, lekas engkau pulang dan kembali cari aku
lagi."
"Apakah sausu tahu di mana letak rumah makan Onghay-
loh itu?"
"Uh, masakan tak dapat bertanya orang?"
"Tetapi . . ."
Tetapi Cu Jiang cepat menepuk bahu bocah itu dan
berseru:
"Ai, sudahlah, pulang dan kutunggu kedatanganmu lagi.
Hari ini kita akan pesiar sampai puas."
Sebenarnya Ing San takut dimarahi Koksu tetapi dalam
hati ia memang senang kalau dapat pesiar diluar. Akhirnya
ia mau juga menurut perintah Cu Jiang dan harus berangkat
pulang.
Setelah bocah itu jauh, barulah Cu Jiang dapat menghela
napas longgar. Ia pun melanjutkan langkah. Setelah tiba
pada jalan yang terakhir dalam kota, seharusnya belok ke
kanan baru akan tiba di rumah makan Ong hay-loh. Tetapi
Cu Jiang sengaja belok ke kiri.
Walaupun kakinya pincang hingga tak leluasa berlarilari,
karena ia memiliki tenaga-dalam yang kokoh,
walaupun hanya mengandalkan kaki kanan berlari, pun
tetap cepat sekali. Jago silat biasa tak mungkin dapat
mengimbangi larinya.
Ia takut Gong-gong-cu akan mengirim orang untuk
mengejarnya, maka ia lari terus tanpa berhenti.
Arah yang ditujunya, sama dengan ketika ia datang ke
Tayli, hanya Jalannya yang berbeda.
Menjelang petang hari setelah memperkirakan mencapai
seratusan li, tibalah dia disebuah kota kecil di pegunungan.
Penduduknya separoh suku Han separoh penduduk
pribumi. Tetapi yang digunakan disitu adalah bahasa Han.
Diam2 ia menimang Pada saat bocah Ing San pulang
memberitahu kepada Gong gong cu, tentulah Gong-gong-cu
akan perintahkan orang untuk mencarinya di dalam kota.
Untuk sementara waktu. Gong-gong cu tentu tak
menduga kalau ia sudah meloloskan diri. Pada saat Gong
gong-cu menyadari kalau dia minggat, tentu sudah tak
keburu lagi untuk memerintahkan orang mengejarnya. Apa
lagi jalanan, bukan melainkan satu.
Setelah memperhitungkan hal itu, dia masuk kedalam
kota dan beristirahat dalam sebuah kedai minum yang
diusahakan orang Han.
Rumah makan kecil itu tiada sesuatu hidangan yang
enak. Tetapi Cu Jiang tak memikirkan soal itu. Ia pesan
makanan dan arak.
Kini pikirannya mulai merancang rencana. Lebih baik
menempuh perjalanan pada malam hari atau siang.
Walaupun tenaga-dalamnya sudah bertambah lihay tetapi
ilmu silatnya masih kurang. Sedang musuh yang
dihadapinya terdiri dari tokoh2 lihay, Lalu bagaimana
langkahnya apabila dia kembali ke Tionggoan nanti?
Dalam waktu merenung dan menimang-nimang pikiran
itu tak terasa ia telah menghabiskan arak dan minta tambah
lagi. Tetapi daya arak itu bahkan menambah kedukaan
hatinya.
Pemilik kedai seorang lelaki pertengahan umur,
mengenakan pakaian warna hitam dari kain kasar. Tetamu
hanya sedikit, berikut Cu Jiang hanya tiga orang. Pemilik
kedai itu menghampiri dan duduk pada sebuah meja lain.
"Apakah tuan ini orang Han ?"
"Ya," sahut Cu Jiang. "Berdagang atau .."
"Oh, aku .. . menjenguk sahabat."
"Siapakah sahabat tuan ? Jelek2 aku sudah kenal dengan
semua penduduk disini."
"Ah, tak perlu. Aku sudah tahu. Sahabatku itu menjadi
tabib di kota kerajaan Tayli."
"O, tabib ? Siapakah namanya ?"
Sebenarnya Cu Jiang hanya sekenanya saja menjawab.
Tak tahunya pemilik kedai itu malah mendesak terus.
Untung dia memakai kedok muka sehingga cahaya air
muka tak terlihat orang.
"Orang she Ih," katanya hambar.
Tiba2 pemilik kedai itu menepuk pahanya sendiri dan
tertawa gembira:
"O, apa bukan Sin-Jiu Ih Hoa?"
"Ya, dia!"
"Ah, sungguh tak tahu adat, maaf. Tabib besar In Hoa,
namanya harum mewangi didaerah selatan. Entah berapa
banyak jiwa yang telah ditolongnya. Dia mampu
menghidupkan kembali orang yang sudah mati!" seru
pemilik rumah makan itu dengan gembira.
Cu Jiang geli dalam hati. Dia hanya sembarangan saja
menyebut sebuah she, eh, kiranya memang ada seorang
tabib yang bernama Ih Hoa.
Pemilik rumah makan itu masuk dan keluar lagi dengan
membawa poci perak, sepiring ayam panggang dan
sepasang sumpit.
"Harap tuan suka dahar sebagai tanda hormat kami,"
katanya dengan tertawa.
"Ah, apakah artinya ini ?" Cu Jiang heran.
"Terhadap seorang sahabat dari Ih toa-koh jiu (tabib
negara) kepada siapa aku pernah berhutang budi, sudah
sepantasnya kalau aku menghaturkan hormat."
Ia menuang arak ke cawan Cu Jiang dan ke cawannya
sendiri lalu mempersilahkan pemuda itu minum dan dahar.
Cu Jiang mengucapkan kata2 basa-basi tetapi pemilik
rumah makan itu mendesaknya supaya jangan sungkan,
Terpaksa Cu Jiang minum juga.
"Arak yang hebat," serunya memuji. Pemilik rumah
makan lalu menuang lagi. Berturut turut Cu Jiang menegak
sampai tiga cawan. Tetapi beberapa kejab kemudian ia
rasakan matanya ngantuk sekali, sampai sukar dibuka. Ia
terkulai, rebahkan kepalanya di meja dan tak ingat apa2
lagi.
Entah berselang berapa lama, ingatannya mulai timbul
kembali. Ia rasakan sekujur tubuhnya tak enak dan kaki
tangannya tak dapat digerakkan. Bahkan terasa seperti
lunglai. Ia mendengar suara ribut2 dan bau asap dupa
wangi.
Ketika membuka mata, kejutnya bukan kepalang.
Ternyata saat itu dirinya sedang terikat pada sebatang
tonggak. Sekelilingnya penuh dengan orang, ada yang
duduk ada yang berdiri. Masing2 membawa obor. Bau asap
kayu cendana, timbul dari unggun api.
Tempat itu merupakan sebuah lapangan terbuka. Menilik
pagar-pagar yang terpancang di sekeliling, seperti
merupakan sebuah pasar.
Di sebelah muka, disiapkan meja sembahyangan, bunga
dan lilin. Di atas meja diberi sebuah sin-pay atau nisan yang
bertulis beberapa huruf, berbunyi:
Arwah mendiang tabib Sin-jiu Ih Hoa.
Cu Jiang tercengang tak tahu apa yang terjadi. Bukankah
karena menganggap Cu Jiang itu seorang sahabat dari Ih
Hoa maka pemilik rumah makan lalu menyediakan arak
dan hidangan ayam panggang? Mengapa tahu terjadi
adegan seperti saat itu?
Cu Jiang sudah tentu tak kenal siapa tabib Ih Hoa itu dan
bagaimana peribadinya. Dan hanya karena menjawab
pertanyaan, ia sekenanya saja mengatakan hendak
menjenguk seorang sahabat orang she Ih. Ai, mengapa
tahu2 jadi begini...
Di samping meja tegak delapan lelaki berjubah panjang.
Salah seorang tak lain adalah pemilik rumah makan itu
sendiri.
Menilik gelagatnya, jelas mereka tentu bermaksud buruk
terhadap Cu Jiang. Tentulah pemilik rumah makan itu telah
mencampuri obat ke dalam arak.
"Tho-si telah tiba!" tiba2 terdengar lelaki tua yang berdiri
di tepi meja itu berseru nyaring.
Tho-si adalah sebutan untuk pembesar atau kepala
daerah dari suku golongan minoritas (kecil) yang hidup di
daerah Lam bong atau Tionggoan sebelah barat-daya
Suasana hening seketika. Dari jauh tampak mendatangi
sebuah rotan panjang yang menyerupai ular api. Ternyata
mereka terdiri dan berpuluh-puluh lelaki berpakaian
pendeta, memegang obor dan berjalan menuju ke lapangan.
Diantara cahaya api itu, tampak sebuah tandu besar. Cu
Jiang duga, yang berada dalam tandu itu tentu tho-si.
Selekas memasuki lapangan, rombongan obor itu segera
berpencar dengan rapi sehingga lapangan terang benderang
seperti siang.
Tandu berhenti di muka meja sembahyangan. Orang2
yang berdiri di tepi meja segera maju menghampiri.
Seorang pengawal yang bersenjata golok, segera
membuka tenda penutup tandu dan seorang lelaki bertubuh
tinggi besar mengenakan jubah kuning emas, melangkah ke
luar dari dalam tandu. Dengan mata berkilat-kilat ia
memandang ke sekeliling.
Bagai rumput tertiup angin, sekalian orang yang berada
di lapangan itu, segera berlutut memberi hormat.
Lelaki yang menyambut ke muka tandu itu-pun juga
membungkukkan tubuh memberi hormat. Rupanya ke
delapan orang yang tegak berjajar di kedua samping meja
itu merupakan tokoh2 penduduk yang terkemuka.
Lelaki tua jubah kuning emas lalu berjalan pelahan-lahan
menuju ke muka meja. Ia mengangkat tangan selaku
membalas penghormatan orang2 itu. Kemudian ia duduk di
kursi yang telah disediakan. Kedelapan pengiring bersenjata
golok, tegak berjajar di belakangnya.
Orang2 yang berlutut tadipun bangun. Tetapi tiada
seorangpun yang berani membuka mulut. Suasana masih
tetap hening lelap.
Cu Jiang rasakan benaknya masih memar sehingga ia tak
jelas apa yang terjadi di tempat itu.
Delapan penduduk terkemuka yang berjajar pada kedua
samping meja sembahyangan, berdiri di tepi tempat duduk
lelaki tua berjubah kuning.
Setelah beberapa jenak menatap Cu Jiang, lelaki
berjubah kuning emas itu baru berkata: "Apakah hanya dia
seorang?"
"Ya," jawab seorang tua berjubah panjang. "semalam dia
singgah di kedai Tio lopan. Dalam pembicaraan, dia telah
kelepasan omong, Tio lopan segera menghidangkan arak
obat untuk meringkusnya..."
"Apakah sudah pernah ditanya?"
"Belum, kami menantikan loya yang memeriksanya."
"Tio lopan." seru lelaki tua jubah kuning emas itu.
Pemilik rumah makan segera mengiakan. "Kapan dia
singgah di kedaimu?"
"Baru semalam."
"Dia berkata apa saja ?"
"Katanya hendak berkunjung ke daerah selatan
menjenguk seorang sahabat. Aku curiga dan mendesaknya,
Dia mengatakan sahabatnya itu orang she Ih. Segera
kuhidangkan arak obat sehingga dia rubuh dan ternyata
memang terdapat bukti."
"Bukti ?"
"Kutungan pedang!" kata pemilik rumah makan,
menjemput sebilah kutungan pedang, diangkat tinggi2 lalu
diletakkan kembali.
Bukan main marah Cu Jiang. Kutungan pedang itu
adalah benda peninggalan mendiang ayahnya. Ia tak
menduga orang akan menggeledah dirinya dan menganggap
benda itu sebagai barang bukti.
Wajah lelaki tua jubah kuning emas itu tampak gelap.
Dengan penuh dendam ia memandang Cu Jiang lalu ke
segenap hadirin dan terakhir berseru dengan lantang:
"Tabib Ih, seorang tabib yang budiman dan pandai,
menyelamatkan jiwa manusia dari cengkeraman maut.
Didaerah ini beliau merupakan dewa penolong yang sangat
dipuja dan dihormati. Sungguh tak kira kalau orang yang
begitu baik akhirnya harus mengalami nasib menyedihkan
dibunuh oleh serombongan lima orang.
Sudah empat pembunuh yang membayar dosanya.
Arwah tabib Ih masih melayang-layang di daerah ini
sehingga pembunuh2 itu kebingungan dan menyerahkan
diri. Pada tubuh mendiang tabib Ih, masih tertanam sebilah
pedang kutung. Dan karena dibadan orang itu-pun terdapat
kutungan pedang, maka bukti kejahatannya sudah jelas, tak
perlu ditanya lagi..."
Beratus-ratus mata yang penuh dendam kemarahan
mencurah pada Cu Jiang. Kini Cu Jiang baru menyadari
persoalannya. Ternyata dia telah didakwa sebagai
pembunuh tabib Ih Hua. Padahal ia tak kenal sama sekali
siapa dan bagaimana tabib Ih itu.
"Ah, jika aku tak membantah, tentu akan mati konyol,"
pikir Cu Jiang.
"Tho-si, apakah ucapan anda itu benar ?" serunya.
"Soal apa ?" sahut lelaki tua berjubah kuning emas.
"Anda tak boleh hanya dengan kesimpulan dugaan saja
lalu menjatuhkan hukuman terhadap orang yang tak
berdosa..."
"Apa engkau tak berdosa?"
"Aku seorang pejalan yang kebetulan lalu didaerah ini.
Kutungan pedang itu adalah peninggalan ayahku.
Bagaimana engkau jadikan bukti sebagai alat pembunuh
tabib itu ?"
"Itu menurut katamu."
"Mengapa tak mencocokkan dulu kedua kutungan
pedang itu ?"
“Jenasah tabib mulia itu tak boleh diganggu. Kutungan
pedang masih berada pada Jenasah dan ikut dikubur."
"Aku sama sekali tak kenal siapa tabib Ih itu. . ."
"Tutup mulutmu ! Percuma engkau membantah. Lekas
sumbat mulutnya !"
Seorang pengiring segera maju. Merobek baju Cu Jiang
lalu menyumpalkan pada mulut pemuda itu.
Hampir melotot keluar mata Cu Jiang karena menahan
kemarahannya. Tetapi dia tak berdaya. Tenaganya masih
merana, tenaga-dalam masih di hanyut obat dalam arak
tadi.
Jika saat itu dia mau menyebut nama Gong gong-cu,
persoalan tentu akan berobah. Tetapi dia memang berhati
tinggi. Tak mau dia mengemis pertolongan orang.
"Mulai sembahyang !" teriak lelaki berjubah kuning
emas.
Seorang laki tua yang mengenakan pakaian warna biru
segera maju ke depan meja sembahyangan. Kawankawannya
yang lain mundur dan berjajar di belakang tho-si.
Sementara thosi itupun segera menghadap meja.
"Mulai! Satu dua.... tiga," dengan suara aneh lelaki
berjubah biru itu berteriak.
Thosi berturut-turut tiga kali melakukan sembahyangan
dengan dupa dan menancapkan pada sebuah tempat dupa.
"Berlutut !" lelaki jubah biru itu berteriak nyaring dan
panjang.
Seluruh hadirin segera berlutut. Suasana hening, tegang
dan seram. Cu Jiangpun berdiri bulu kuduknya. Kini ia
menyadari apa yang akan terjadi. Dia akan dijadikan sesaji
sembahyangan,
"Penghormatan dimulai. Satu .. . dua .. tiga " kembali
lelaki berjubah biru itu berseru. Sekalian hadirin segera
membungkukkan kepala hingga sampai ke tanah.
"Menghaturkan sesaji !"
Dua orang lelaki baju merah muncul dari meja
sembahyangan. Yang seorang membawa panci kayu warna
merah. Dalam panci kayu itu terdapat basi dari tembikar.
Sedang yang seorang mencekal sebatang pisau sebesar
kuping kerbau.
Setelah maju memberi hormat dihadapan meja,
keduanya lalu menghampiri Cu Jiang.
Semangat Cu Jiang serasa terbang. Dia tak nyana bahwa
dirinya akan mati dalam keadaan yang begitu
menyedihkan. Jauh di daerah pedalaman Lam bong dan
disembelih seperti babi.
Kedua Jagal itu berdiri di kanan kiri Cu Jiang.
Dengan kata2 dalam bahasa Han yang kurang lancar,
jagal yang memegang pisau itu berkata pelahan-lahan:
"Semoga dalam penitisanmu besok, engkau akan
menjadi orang baik!"
Orang yang membawa panci kayu, mengertek gigi:
"Dia memang jahat sekali. Jangan cepat2 di bunuh tetapi
harus disayat pelahan agar dia tahu rasa!"
Jagal yang memegang pisau itu segera mengangkat pisau
dan ujung pisaupun mulai digerakkan ke tenggorokan Cu
Jiang. Dan Cu Jiang karena tak berdaya hanya pejamkan
mata pasrah nasib.
"Tahan!" sekonyong-konyong terdengar suara bentakan
keras yang mengejutkan sekalian orang.
O0xxdw-kzxx0O
Jilid 10
Kedua jagal itu terkejut dan mundur sampai beberapa
langkah Orang2 yang berlutut mengikuti upacara
penjagalan Cu Jiang itupun serempak berdiri.
Cu Jiang membuka mata. Tampak seorang lelaki
berumur 40 an tahun melesat ke depan meja
sembahyangan. Dia mengenakan pakaian ringkas seperti
orang persilatan dan menyanggul pedang.
Melihat pendatang itu, lelaki jubah kuning emas tadi
serentak pucat wajahnya. Buru2 dia membungkuk tubuh
memberi hormat.
“Se-cun thosi lo Ciau Liang menghaturkan hormat ke
hadapan Lwe-si-tiang."
Orang yang disebut lwe-si-tiang atau kepala prajurit
keraton (bhayangkara) menghela napas longgar.
"Ah, lo thosi tak usah banyak peradatan. Kalau aku
terlambat datang, urusan ini tentu hebat akibatnya . . ."
Sekalian orang berturut-turut menghaturkan hormat
kepada kepala bhayangkara keraton itu, kemudian sama
menyingkir ke samping.
"Mohon segera diberitahu, perintah apa yang lwe-si-tiang
hendak berikan kepada kami?" kata thosi yang ternyata
bernama lo Ciau Liang.
"Tahukah In thosi siapa pemuda itu?"
"Dia ... . adalah . . ."
"Pewaris dari Kok-su!" tukas kepala bhayangkara itu.
"Ah!" thosi itu menjerit kaget, menyusul sekalian
hadirinpun melengking kejut.
Lwe-si tiang terus menghampiri Cu Jiang melepaskan
pengikat dan sumbat mulutnya.
"Ah, sausu tentu menderita kejut," serunya tegang.
Cu Jiang hanya tertawa hambar, tak berkata apa2.
Keduanya segera menghampiri ke muka meja
sembahyangan.
Pemilik rumah makan tadi, pucat wajahnya dan serta
merta berlutut, menundukkan kepalanya sampai ke tanah.
"Hamba pantas dibunuh! Hamba pantas dibunuh!"
"Sausu mengapa tak mau mengatakan diri sausu
sehingga rakyat kami hampir saja melakukan kesalahan
besar," kata In thosi sembari memberi hormat kepada Cu
Jiang.
"Aku tak mendapat kesempatan," sahut Cu Jiang dengan
nada dingin.
Sejenak memandang ke arah rakyat yang masih
dicengkam kejut dan ketakutan, berkatalah kepala
bhayangkara itu kepada Cu Jiang:
"Sausu, Kok-su sedang menuju ke mari, mari kita
menyambutnya."
Untuk menebus dosa, kepala desa In thosi itu mohon
agar tetamu2 agung itu suka singgah di rumahnya. Tetapi
kepala bhayangkara menolaknya.
"Mohon Iwe si-tiang suka memintakan ampun di
hadapan Kok-su." kata In thosi.
"Kok-su selalu bijaksana."
Dalam pada itu pemilik rumah makan segera berlutut di
hadapan Cu Jiang dan menyerahkan sebuah bungkusan:
"Sausu, hamba memang harus mendapat hukuman mati.
Dengan ini hamba haturkan obat penawar arak beracun
itu."
Sambil menyambuti, Cu Jiang mengatakan bahwa orang
yang tak tahu itu tak berdosa. Sudah tentu pemilik rumah
makan sangat gembira dan menghaturkan terima kasih tak
terhingga atas kelapangan hati Cu Jiang.
Setelah minum obat penawar, tenaga Cu Jiang pun pulih
kembali.
Walaupun Cu Jiang mengampuni tetapi kepala
bhayangkara itu tetap marah:
"Hm, kalian tetap tak mau tunduk perintah. Masih
berani menggunakan obat bius untuk mencelakai orang."
Pemilik rumah makan dengan gemetar mohon ampun
atas kesalahannya.
"Sausu, mari kita tinggalkan tempat ini." kata kepala
bhayangkara.
Sebelum pergi, Cu Jiang mengambil kutungan pedang di
meja lalu bersama lwe-si-tiang melangkah pergi. Sekalian
orang serempak memberi hormat.
Salah seorang pengawal dari In thosi, memberikan
kudanya kepada Cu Jiang. Demikian Cu Jiang dan Iwe sitiang
segera naik kuda menyongsong Gong-gong-cu.
Beberapa saat kemudian tiba2 Cu Jiang hentikan
kudanya.
"Lwe-si tiang, pelahan dulu!"
"Oh, sausu hendak memberi pesan apa ?" kepala
bhayangkara hentikan kuda.
"Ah, hanya mohon tanya siapakah nama lwe-si-tiang
yang mulia?"
"Aku bernama Ang Ban !"
"Oh. harap Ang Iwe-si- tiang sampaikan kepada Koksu
bahwa aku hendak kembali ke Tiong goan . ."
Kepala bhayangkara itu terkejut, serunya:
"Aku tak dapat memberi keputusan. Harap menghadap
Kok-su dulu."
Cu Jiang diam2 menghela napas. Dia sebenarnya malu
kembali ke keraton Tayli tetapi dia tak mau menyulitkan
kepala bhayangkara yang telah menolong jiwanya tadi.
Tidak jauh arah muka tampak tiga ekor kuda
mencongklang datang dengan pesat.
"Koksu sudah tiba," seru Ang Iwe-si-tiang gembira.
Yang dimuka memang Gong-gong-cu. Dua penunggang
kuda dibelakangnya adalah wi-su atau prajurit penjaga
keraton. Cepat sekali ketiga penunggang kuda itu tiba.
Gong-gong-cu loncat dari kudanya.
"Nak, mengapa engkau hendak melarikan diri ?"
Cu Jiangpun turun dari kuda. "Lo cianpwe, wanpwe
merasa tak layak menerima budi yang sebesar itu maka
wanpwe pikir akan kembali ke Tionggoan saja."
"Ah, semuanya dapat diatur pelahan-lahan" kata Gong
gong-cu kemudian berpaling dan bertanya kepada Ang Ban
bagaimana tadi dapat menemukan jejak Cu Jiang.
Ketika Ang Ban selesai menceritakan semua yang terjadi
pada diri Cu Jiang, Gong-gong cu banting2 kaki:
"Berbahaya, sungguh berbahaya sekali! Nak, engkau
terlalu keras hati!
"Wanpwe menyesal sekali," kata Cu Jiang. "Untung tak
sampai terjadi sesuatu yang menyedihkan."
"Wanpwe hendak mohon pamit kepada cian-pwe."
"Jangan terburu-buru dulu." kata Gong-gong-cu lalu
memberi perintah kepada Ang Ban, "lwe-si-tiang,
perintahkan agar semua kesatuan yang mencari jejak
supaya pulang. Dan haturkan ke hadapan Hong-ya, bahwa
dalam beberapa hari lagi aku tentu pulang."
"Apakah untuk sementara waktu ini Kok-su tak kembali
keraton?"
"Aku hendak mengurus sebuah persoalan penting harap
kalian pulang."
Kepala bhayangkara itu mengiakan. Bersama kedua
prajurit penjaga keraton dia memberi hormat kepada Gonggong-
cu lalu melarikan kuda. Tak berapa lama mereka
lenyap dalam kegelapan.
Setelah mereka pergi, barulah dengan wajah serius
Gong-gong-cu berkata:
"Nah segalanya telah beres."
Cu Jiang terkejut dan heran, tanyanya: "Apa yang locianpwe
maksudkan dengan beres itu ?"
"Semua berjalan menurut yang kita rencanakan."
"Apakah baginda meluluskan?"
"Tentu. Pernah kukatakan, kalau baginda tak
meluluskan, aku akan mengundurkan diri."
"Ah, mengapa locianpwe akan bertindak begitu ?"
"Nak, soal ini menyangkut urusan besar dan kepentingan
mati hidupnya dunia persilatan. Rupanya Thian telah
meluluskan sehingga secara kebetulan dapat berjumpa
dengan engkau. Sudah tentu aku tak mau melepaskan
begitu saja sebelum selesai”
"Tetapi wanpwe sudah tak berminat kembali ke kota
Tayli lagi. Harap locianpwe suka memberi maaf."
"Engkau boleh kembali pulang ke Tionggoan," kata
Gong-gong cu.
"Boleh pulang ke Tionggoan ?" Cu Jiang terbeliak kaget:
"Ya, untuk sementara lebih baik jangan dulu."
"Wanpwe sungguh tak mengerti maksud ucapan
locianpwe."
"Dengan susah payah akhirnya aku berhasil menjelaskan
Hong-ya sehingga Hong-ya meluluskan untuk menyerahkan
kitab pusaka kerajaan Tayli Giok-kah-kim-keng kepadamu
agar engkau dapat mempelajarinya.
Di puncak utama dari gunung Jong-san terdapat sebuah
tempat yang bagus untuk berlatih silat. Di tempat itulah
dulu aku memenjarakan gerombolan Sip-pat-thian-mo.
Maksudku, supaya engkau seorang diri mempelajari isi
kitab itu. Aturlah soal makananmu. Setiap waktu boleh
suruh orang untuk mengambil . . . . "
"Wanpwe benar2 tak mengerti."
"Soal apa?"
"Jika kitab pusaka Giok kah kim-keng itu sungguh
sebuah kitab pusaka kerajaan mengapa Hong-ya tak mau
mempelajarinya sendiri? Begitu pula masakan dalam
kerajaan Tayli tiada seorang mentri dan hulubalang yang
mampu untuk meyakinkan isi pelajaran kitab itu?"
"Pertanyaanmu bagus sekali." seru Gong gong cu, "tetapi
pernah kukatakan bahwa untuk mempelajari isi kitab itu
harus yang masih perjaka tulen, mempunyai pokok ilmu
tenaga-dalam yang kokoh dan bakat serta kecerdasan tinggi.
Ketiga syarat itu tak boleh kurang salah satu.
Hong-ya tak berputera melainkan hanya mempunyai
seorang puteri tunggal. Didalam negeri Tayli tiada tunas
yang luar biasa. Dan lagi kalau sembarangan saja
menurunkan pada orang, besar sekali akibatnya. Kalau
orang itu buruk moralnya, akibatnya tentu mengerikan."
"Apakah lo cianpwe memastikan bahwa aku ini seorang
manusia baik?"
Gong gong cu tertawa.
"Nak, dalam ilmu meramalkan tampang muka rasanva
aku masih dapat dipercaya."
"Apakah pusaka milik kerajaan itu, boleh diberi kau
kepada orang luar?"
"Keadaan memaksa begitu. Selama gerombolan Sip patthian-
mo itu belum terbasmi, Tayli tentu akan terancam
bahaya. Gerombolan durjana itu. tentu takkan melupakan
dendam kemarahannya karena telah dipenjara selama
berpuluh tahun."
"Tetapi mengapa sampai saat ini mereka tak tampak
melakukan kegiatan apa2?"
"Jika dianggap tenang, ketenangan itu merupakan
ketenangan pada saat badai akan melanda. Sekali meletus
tentu sukar diatasi lagi. Mungkin gerombolan Sip-pat thianmo
itu hendak membereskan dunia persilatan Tiong goan
dulu, baru kemudian akan bergerak menghancurkan Tayli."
"Oh, apakah terdapat kemungkinan begitu?"
"Nak, bukankah sekarang engkau sudah tak mempunyai
pikiran hendak melarikan diri lagi ?"
"Jika lo cianpwe tidak berkeras menahan, wanpwe tentu
akan pulang."
"Sudahlah, nak, naik kuda dan ikut aku."
Sebenarnya Cu Jiang tak berminat besar tetapi karena
sikap dan perlakuan Gong gong- cu ramah dan hangat,
terpaksa dia menurut. Dia segera naik kuda dan mengikuti
dibelakang Gong-gong- cu.
Tak lama. cuaca terang dan disebelah muka tampak
beberapa orang siap menyambut kedatangan mereka.
Gong-gong-cu memberi perintah supaya menyediakan
makanan dan diantar ke puncak gunung Jong-san. Setelah
itu ia turun dari kuda dan bersama Cu Jiang lalu mendaki
keatas gunung.
Menjelang sore mereka sudah mencapai setengah
perjalanan Puncak gunung yang tertutup salju sudah
nampak. Jelas puncak itu dingin sekali hawanya.
Terdapatnya salju abadi, salju yang tak lumer sepanjang
tahun.
Menjelang petang hari, mereka tiba di tempat di mana
dahulu gerombolan Sip-pat thian-mo dipenjarakan. Barisan
Kim soh-tin yang sudah morat marit, masih berada di muka
gua.
"Nak, di tempat inilah," Gong-gong-cu menunjuk gua
itu, "barisan itu telah kuperbaiki lagi. Engkau dapat
mempelajari kitab itu dengan tenang. Tak perlu kuatir
diganggu orang. Mari kita masuk."
Cu Jiang mengiakan. Diam2 dia setuju sekali. Setelah
melintasi barisan, mereka masuk kedalam gua.
Gua itu merupakan gua alam yang aneh. Lebar dan
bersih sekali. Gong-gong-cu ternyata sudah mempersiapkan
segala sesuatu disitu. Terdapat juga kursi dan meja, tempat
perapian dan lain2.
Didalam gua terdapat beberapa cekung yang menyerupai
gua kecil, jumlahnya delapan buah. Setelah menyulut api,
Gong-gong-cu dan Cu Jiang duduk berhadapan.
Sambil melirik ke sekeliling. Cu Jiang berkata: "Ah,
rupanya locianpwe sudah mempersiapkan semuanya."
Gong gong-cu mengiakan.
"Atas jerih payah lo cianpwe, wanpwe sungguh
berterima kasih sekali."
"Nak, tak usah mengatakan begitu. Sekarang mari kita
membicarakan yang penting2."
Cu Jiang mengiakan.
"Apakah engkau sungguh2 rela masuk menjadi
muridku?"
"Suka."
"Tata peraturan tak boleh diabaikan. Apakah engkau
bersedia untuk melakukan upacara mengangkat guru?"
"Tentu."
Gong-gong cu berbangkit dan mendorong kursi ke
samping. Wajahnya tampak serius.
Juga Cu Jiang berbangkit dan duduk menghadap Gong
gong cu. Ia membuka kedok mukanya.
Gong-gong-cu mulai berseru dengan tegas dan khidmat:
"Aku Nyo Wi, tiada perguruan tiada partai persilatan.
Ilmu yang kuperoleh, sebagian kudapat secara kebetulan,
sebagian dari buah ciptaanku sendiri. Engkau, menjadi
muridku yang pertama. Sesungguhnya, setelah mempelajari
ilmu pelajaran dalam kitab pusaka Giok-kah-kim-keng,
engkau sudah cukup pantas menjadi seorang pendiri sebuah
partai persilatan."
Cu Jiang berlutut dan berseru dengan penuh hormat:
"Murid. Cu Jiang, menghaturkan hormat ke hadapan
suhu!"
"Apa? Namamu Cu Jiang?" seru Gong-gong-cu.
"Ya, murid adalah pelajar baju putih yang pernah
bertemu dan disebut-sebut oleh kedua locianpwe Go Lengcu
dan Thian-hian-cu itu."
"Jadi pelajar baju putih itu engkau sendiri?"
"Benar, murid adalah anak sebatang kara dari Dewapedang
Cu Beng Ko."
Gong-gong cu termangu beberapa saat. Kemudian
tertawa gelak2:
"Jodoh ! Jodoh ! Inilah yang disebut jodoh! Nak, kini
kepercayaanku makin besar terhadap daya penilaianku.
Aku kenal baik dengan ayahmu. O, engkau mengatakan
sudah sebatang kara, apakah. . ."
Dengan mata merah dan nada tersekat Cu Jiang berkata:
"Ijinkanlah murid menuturkannya dengan pelahan-lahan
nanti."
"Baik!"
Cu Jiang lalu menjalankan upacara memberi hormat
dengan berlutut dan membungkukkan kepala sampai tiga
kali. Setelah itu baru ia memohon petunjuk suhunya. Sejak
saat itu dia menjadi murid Gong-gong-cu dan menyebut
Gong-gong-cu sebagai suhu.
"Engkau adalah anak keturunan dari seorang tokoh
termasyhur. Tak usah engkau menuturkan riwayatmu.
Sebagai suhu, aku tetap harus menekan beberapa hal
padamu agar jadi peganganmu. Kesungguhan, Kejujuran
Kebajikan dan Keberanian. Empat hal itu harap engkau
lakukan dan pelihara sebaik-baiknya."
"Murid berjanji akan melakukan pesan suhu."
"Menilik kaki kirimu cacat, akan kuajarkan ilmu gerak
Gong gong-sim-hwat hasil ciptaanku sendiri. Ilmu itu
merupakan sebuah aliran tersendiri. Agar jangan engkau
awut-awutan mempelajari beberapa macam ilmu, untuk
sementara waktu2 ilmu takkan kuberikan.
Curahkan segenap perhatian untuk meyakinkan ilmu
pelajaran dalam kitab pusaka Giok-kah-kim-keng itu. Apa
isi kitab itu, aku sendiri juga belum pernah melihat. Engkau
pelajari dan berlatih sendiri."
Habis berkata Gong-gong cu mengeluarkan sebuah kitab
kecil, diangsurkan kepada Cu Jiang. Anak muda itu
menyambuti dengan kedua tangan.
Kitab itu merupakan pusaka kerajaan Tayli. Merupakan
kitab yang paling diincar oleh segenap jago persilatan,
Mimpipun tidak bahwa saat itu ia telah memperolehnya.
Sudah tentu dia tegang sekali.
"Bangunlah !"
Setelah memberi hormat lagi barulah Cu Jiang
berbangkit.
"Duduk."
"Ah, murid tak berani."
"Jangan takut segala peradatan. Walaupun aku menjadi
Kok-su tetapi perangaiku senang sebagai burung bangau
liar. Aku tak senang mengekang kebebasan dengan segala
tata peraturan."
"Maafkan, kelancangan murid," kata Cu Jiang terus
menarik kursi dan duduk.
"Sekarang engkau boleh menuturkan riwayat hidupmu."
Sebenarnya sedih sekali apabila Cu Jiang harus
menceritakan tentang keadaan keluarganya. Tetapi
dihadapan suhunya, terpaksa dia harus berlaku terus terang.
Ia segera menuturkan semua peristiwa yang telah dialami
dan menimpa keluarganya selama ini.
Juga peristiwa yang dideritanya mengapa kakinya
sampai cacat dan wajahnya rusak, semua diceritakan
dengan terus terang. Hanya bagian yang mengenai soal2
asmara dengan beberapa Jelita itu, dia tak mengatakan.
"Nak. hapuslah semua kenangan lampau yang sedih itu.
Sekarang engkau hanya mencurahkan segenap perhatianmu
untuk mempelajari ilmu sakti dalam kitab pusaka itu. Kelak
segala sesuatunya tentu dapat diatasi," kata Gong gong-cu.
Cu Jiang mengiakan.
"Sekarang, mari, akan kuberimu pelajaran ilmu tatalangkah
yang kuberi nama Gong-gong-poh-hwat.
Keistimewaan dari ilmu gerak langkah itu, mengutamakan
kaki kanan sebagai tiang utama dan kaki kiri sebagai
pembantu. Kuciptakan khusus untuk dirimu." kata Gonggong-
cu.
Cu Jiang menghaturkan terima kasih.
Dengan memberi petunjuk melalui gerak tangan dan kaki
disertai dengan keterangan lisan, dalam waktu singkat saja,
Cu Jiang sudah dapat menyelami.
Begitu melakukan latihan, dia sudah dapat bergerak
sesuai dengan yang diajarkan suhunya. Yang kurang hanya
dalam kesempurnaannya saja.
Malam itu keduanya bermalam dalam gua. Keesokan
harinya menjelang siang, makanan dan alat2 perkakas yang
diperlukan sudah tiba. Sementara Cu Jiang membuat
perapian, Gong-gong-cupun mengatur lagi barisan Kim sohtin.
Pada waktu makan tengah hari, Gong-gong-cu
memberitahu tentang cara masuk keluar barisan itu. Setelah
meninggalkan beberapa pesan kepada Cu Jiang, Gonggong-
cu lalu tinggalkan gua itu.
Cu Jiang tak mau buru2 membuka kitab pusaka Giokkah-
kim-keng melainkan berlatih lagi ilmu langkah Gong
gong poh hwat. Ternyata ilmu tata langkah itu hebat sekali.
Didalamnya mengandung beberapa gerak yang tak terdapat
dalam pelajaran silat.
Beda sekali dengan gerak langkah dalam ilmu silat
umumnya. Karena tertarik, semangatnya makin besar dan
tiap hari dia giat sekali berlatih. Dalam sepuluh hari dia
sudah dapat melakukan gerak tata-langkah itu dengan
sempurna.
Pada hari yang kesebelas, pada saat semangatnya
gembira, diapun bersiap-siap hendak membuka kitab
pusaka Giok-kah-kim-keng.
Kitab pusaka itu dibuat dengan luar biasa indahnya.
Giok atau batu kumala yang menjadi tempatnya juga dipilih
dari bahan batu kumala yang tinggi nilainya.
Penutup kotak kumala itu di lekat dengan stempel cap
kerajaan Tayli Masih mulus tiada cacadnya, pertanda
bahwa selama ini kotak kumala atau Giok-kah itu belum
pernah di buka.
Cu Jiang menahan gejolak hatinya. Lebih dulu dia
memberi hormat lalu dengan sikap yang khidmat ia mulai
membuka tutup stempel itu.
Kotak kumala Itu tidak dikunci, maka sekali stempelnya
dibuka, kotakpun terbuka. Di dalamnya berisi sebuah kitab
kecil yang kalau menurut warnanya penuh bintik2, jelas
sudah berumur tua sekali.
Pada sampul kitab itu tertulis empat buah huruf: Giokkah-
kim-keng.
Begitu membuka lembar pertama, terdapat tulisan huruf2
hias:
Kitab ini ditulis olah Kong yang Beng, tokoh aneh pada
jaman huru hara Can Kok, tahun kedelapan dari
perhitungan tahun Giau Hong.
Jika menilik tulisan itu, kitab Giok kah-kim-keng tersebut
merupakan sebuah kitab kuno.
Kemudian membalik lembaran kedua, terdapat catatan
yang bunyinya hampir sama seperti yang diucapkan
Gonggong cu mengenai syarat2 penting dari orang yang
hendak mempelajari kitab itu.
Sedang pada bagian belakang merupakan indeks atau isi
kitab itu, yakni:
Bagian pertama : Pelajaran Iwekang.
Bagian kedua : ilmu pukulan dan jari.
Bagian ketiga : Ilmu pedang.
Tambahan: Pelajaran ilmu tenaga sakti Kim - kong - sin -
kang
Membuka halaman dari Bagian pertama, disitu memuat
pelajaran yang diuraikan dengan bahasa dan sastera yang
dalam. Tak mudah untuk menyelami artinya.
Orang harus tekun dan mencurahkan segenap pikiran
untuk mempelajari.
Sebagai putera dari tokoh silat yang mendapat gelar Sian
kiam atau Dewa-pedang, Cu Jiang mempunyai
pengetahuan luas dan selera tinggi tentang ilmu pedang.
Waktu membuka Bagian ketiga yang memuat pelajaran
ilmu pedang, mau tak mau dia harus menghela napas.
Pelajaran itu terdiri dari dua belas keterangan untuk
digabungkan dalam satu jurus. Jurus itu disebut Thian-te-
Kiau-thay. Untuk memahami jurus itu, tentu sukar.
Demikian mulai hari itu dia terus mempelajari kitab
pusaka Giok-kah-kim-keng dengan sungguh2.
Bagian pertama menghabiskan waktu selama seratus
hari. Sudah tentu hal itu dikarenakan dia sudah memiliki
pokok2 dasar tenaga-dalam. Jika tidak, tentu paling sedikit
harus menggunakan waktu tiga tahun.
Bagian tengah atau kedua. Juga memerlukan waktu
seratus hari. Dalam pelajaran ilmu gerak tubuh karena
terpancang oleh kakinya yang cacad, terpaksa di hanya
dapat memahami pelajaran teori atau lisan tetapi tak dapat
mempraktekkan dalam latihan.
Selama itu Gong-gong-cu sudah tiga kali datang
menjenguk. Dia hanya bertanya sebentar mengenai
perkembangan dan kemajuan yang dicapai Cu Jiang.
Setelah Itu lalu pergi lagi.
Tidak sepatahpun Gong gong cu menceritakan kepada
Cu Jiang tentang kejadian diluar. Dia kuatir hal itu akan
mengganggu pemusatan pikiran Cu Jiang.
Kini Cu Jiang mulai mempelajari sejurus ilmu pedang
Thian-te-kiau-thay yang tiada bandingannya itu. Uraiannya
terdiri dari dua belas kata. Sepuluh hari telah lalu, huruf
yang pertama saja dia tak mampu mengungkap artinya.
Dia makin ngotot untuk memecahkan arti huruf itu.
Tetapi semakin ngotot, pikirannya makin kacau.
Akhirnya ia menyadari bahwa belajar dengan cara
memaksa diri tentu tiada gunanya. Dan ia teringat akan
sebuah pelajaran dari kaum vihara Siau-lim pay yanki
"Dengan menghadap tembok untuk mengheningkan segala
kerisauan pikiran." Ah, mengapa dia tak mencobanya.
Maka dia lepaskan semua pemikiran, duduk diam
menghadap tembok gua. Dia memulai lagi untuk
menyelami pelajaran itu. Akhirnya ia terbenam dalam
kehampaan dan terlelap dalam keadaan yang tiada.
Sehari, dua hari dan akhirnya pada hari yang ke tigapuluh
lima, terpetiklah suatu penerangan dalam hatinya.
Kini kekosongan alam pikirannya mulai merekah suatu isi
dan mulailah ia dapat menyelami arti dari keempat huruf
yang terdepan. Dia seperti mendapat penemuan baru,
sebuah alam yang memercik sinar terang.
Dengan cara itu ia melanjutkan untuk membuka tabir
yang menyelimuti rahasia ilmu dalam kitab pusaka Giok
kah-kim-keng itu.
Selama itu apakah Gong-gong cu menjenguk, dia tak
tahu. Karena begitu mulai duduk bersemedhi, tentu dua
hari baru selesai. Kadang sampai tiga hari, lupa makan lupa
minum.
Tempo berjalan cepat sekali. Tak terasa Cu Jiang telah
menghabiskan waktu setengah tahun untuk mempelajari
ilmu pedang itu. Setelah itu seharusnya ia mempelajari
Bagian Tambahan yakni Ilmu pelajaran Kim-kong-sin-kang.
Kim kong-sin-kang merupakan tataran tertinggi dari ilmu
silat, serupa dengan darah dan daging pada tubuh manusia.
Jarang sekali jago silat yang mampu mencapai tingkat itu.
Bahkan dalam seratus tahun, kira2 baru satu orang yang
berhasil.
Setelah membaca uraiannya, Cu Jiang merasa bahwa
untuk memahami pelajaran itu harus memerlukan waktu
berpuluh tahun. Akhirnya ia memutuskan, akan
menghafalkan uraiannya dulu, baru kelak apabila ada
kesempatan ia akan berlatih.
Dengan keputusan itu, Cu Jiang menganggap bahwa
tugasnya mempelajari kitab Giok-kah-kim-keng sudah
selesai.
Hidup selama setahun lebih dalam keadaan "hilang diri"
kini Cu Jiang sudah memperoleh hasil. Selama itu dia harus
menindas segala dendam perasaannya.
Kini bagaikan tahang yang telah penuh air, meluaplah
semua perasaan yang telak tertampung dalam dada Cu
Jiang. Tetapi dia tetap tak mau bertindak sendiri. Dia harus
tunggu kedatangan Gong-gong-cu dan menunggu
petunjuknya.
Jika hampir setahun dia telah mematikan semua
perasaan sehingga tak tahu apa yang terjadi selama ini, kini
perasaannya mulai hidup dan menyala kembali. Rasanya
tempo berjalan amat lambat sekali.
Sehari seperti setahun. Dia ingin lekas2 muncul ke dunia
luar. Ia ingin supaya suhunya, gong-gong-cu lekas datang.
Tetapi ah, sampai beberapa hari ternyata Gong-gong-cu
tak muncul. Karena keisengan, dia melangkah keluar gua,
melintasi barisan Kim-soh tin.
Pemandangan pertama yang menyegel mata adalah
puncak gunung yang tertutup salju, badai yang dingin.
Aneh, mengapa dia tak merasa kedinginn. Memang secara
tak disadari karena ilmu kepandaiannya telah mencapai
tataran tinggi, tubuhnya tahan dingin, panas dan segala
macam perobahan hawa.
Dia mendaki ke puncak yang tertinggi. Dari situ ia
memandang ke laut yang tampak seperti sebuah telaga
besar. Gunung Ke-tiok-san yang termasyhur indah alamnya
di daerah Lampak, tampak seperti sebuah menara di tepi
telaga. Kota kerajaan Tayli seperti sebuah lapangan
berpagar.
Cu Jiang duduk diatas sebuah gunduk es yang menonjol.
Diam2 dia merenungkan perjalanan hidupnya. Sejak kecil
hingga hampir mencapai usia dua-puluh tahun, dia sudah
mengalami nasib yang hebat dan aneh yang mungkin orang
tak pernah mengalaminya.
Kemudian dia mencabut kutungan pedang Seng-kiam.
Itulah benda peninggalan ayahnya. Dan dengan kutungan
pedang itulah kelak dia akan menuntut balas kepada
musuh-musuhnya.
Ketika sedang tenggelam dalam lautan menung, tiba2 ia
mendengar suatu bunyi yang pelahan dan halus sekali.
Seolah tergetar oleh suatu kontak rasa yang tajam, dia cepat
berseru.
"Hai. siapa itu ?"
Dia tetap duduk tenang seperti batu karang, tak berkisar
maupun berpaling. Nada tegurannya lebih dingin dari salju
yang menyelimuti sekeliling tempat situ.
"Ha, ha, ha” tiba2 terdengar suara tawa bergelak. Dan
segeralah Cu Jiang tahu siapa pendatang itu. Segera dia
melayang turun dari gunduk es. Tampak suhunya berdiri
pada jarak dua tombak, sedang tertawa gembira.
"Suhu, murid menghaturkan hormat," katanya segera
memberi hormat.
Gong-gong-cu hentikan tawa dan berkata: "Menilik
nadamu, engkau tentu gelisah menunggu kedatanganku,
bukan ?"
"Benar, murid memang mempunyai perasaan begitu."
"Nak engkau telah berhasil dalam mempelajari ilmu
Giok-kah-kim-keng."
"Murid menghaturkan terima kasih atas petunjuk suhu."
"Ha, ha... nak, itu dari usahamu sendiri yang berhasil.
Bagaimana aku engkau anggap berjasa?"
"Apabila suhu mengatakan begitu, murid tiada muka
hidup lagi."
Gong gong-cu tertawa puas.
"Nak satu-satunya ilmu kebanggaanku hanya Jari Gonggong-
sim-hwat. Bukan tekebur kalau kukatakan bahwa
dengan ilmu itu aku dapat muncul lenyap seperti bayangan,
tetapi kenyataannya hanya beberapa tokoh persilatan yang
mampu menangkap suara gerak tubuhku itu.
Bahwa sekarang pada jarak lebih dari tiga tombak
jauhnya, ia mampu menangkap suara kedatanganku, ilmu
pendengaranmu sungguh tiada tandingannya dalam dunia
persilatan."
Cu Jiang juga gembira sekali, serunya: "Ah, suhu terlalu
menyanjung diriku."
"Bukan menyanjung tetapi memang kenyataan,"
"Tetapi kesemuanya itu adalah berkat petunjuk suhu."
"Nak,” Gong-gong cu alihkan pembicaraan, "selama
mempelajari kitab Giok-kah-kim-keng itu, ilmu apa yang
paling engkau senangi ?"
"Ilmu pedang."
"Coba engkau mainkan sebuah jurus untuk suhu."
"Baiklah. Mohon suhu memberi petunjuk apa bila
terdapat kesalahan."
"Petunjuk? Ha, ha, ha, nak, hal itu takkan mungkin."
Cu Jiang pusatkan semangat, kutungan pedangnya
dilintangkan ke muka dada ....
"Nak, dalam gudang kerajaan tak kurang senjata pusaka.
Lain hari engkau boleh pilih sendiri mana yang engkau
sukai .. . ."
"Suhu," sahut Cu Jiang dengan nada sarat, "benda ini
adalah peninggalan mendiang ayahku. Mohon suhu
luluskan agar murid dapat menggunakan kutungan pedang
ini sebagai senjata untuk selama-lamanya."
Gong-gong-cu kerutkan dahi:
"Pedang itu hanya tinggal separoh, apakah tidak
mempengaruhi gerak ilmu pedangmu ?"
"Selama ini murid berlatih dengan pedang kutung ini dan
tak mengurangi keperbawaan ilmu pedang itu."
"Ah, hal itu memang di luar dari kelaziman."
Tiba2 saat itu seekor burung rajawali yang hanya hidup
di daerah gunung es Jong-sa, terbang melayang di udara,
melintas di atas kepala Cu Jiang. Serentak pemuda itu
mendapat pikiran. Sekali ayun, pedang kutungpun
meluncur ke udara.
"Kaok ....!" terdengar bunyi seram dan burung yang
terbang setinggi dua tombak itu segera menukik jatuh ke
tanah salju. Tanah yang bertutup salju putih berhamburan
dengan warna merah darah.
Gong gong-cu tertegun lalu bertepuk tangan: "Oh, aku
tahu. Engkau sudah memahami inti ilmu Kim-gi (hawa
pedang) tingkat tinggi. Kuucapkan selamat kepadamu,
nak!"
Cu Jiang merah mukanya tak dapat menjawab.
"Kelak akan kubuatkan sebuah kerangka untuk
pedangmu itu." kata Gong-gong-cu pula.
Setelah mencabut pedang kutung, Cu Jiang
menghaturkan terima kasih kepada suhunya. Gong-gong-cu
mengajaknya kembali ke gua.
Setelah duduk, Cu Jiang menghaturkan kembali kitab
Giok-kah kim keng itu kepada Gong gong-cu:
"Murid menghaturkan kembali kitab pusaka kerajaan ini,
mohon suhu menghaturkan kembali kepada Hong ya."
Setelah menyambuti dan menyimpannya, Gong-gong-cu
mengangguk kepala:
"Baiklah. Sebenarnya aku memberimu waktu sampai tiga
tahun. Sungguh tak kira kalau dalam waktu setahun lebih
saja, engkau sudah menyelesaikan pelajaranmu."
"Hatur beritahu kepada suhu, murid belum
menyelesaikan semua pelajaran."
"O, kenapa?"
"Bagian terakhir dari kitab itu merupakan Bagian
Tambahan yang memuat pelajaran Kim-kong sin-kang.
Murid hanya menghafalkan uraiannya tetapi belum pernah
berlatih."
"Oh, Kim kong-sin-kang merupakan ilmu yang paling
sakti dalam pelajaran silat. Mengapa engkau
melepaskannya?"
"Murid memperhitungkan, pelajaran itu tentu memakan
waktu sampai tiga-lima tahun baru selesai ..."
"Apakah engkau ingin lekas2 melaksanakan balas
dendam?"
"Benar, suhu. Murid tak berani membohongi suhu."
"Mm, baiklah. Karena engkau sudah faham uraiannya,
setiap ada kesempatan engkau harus melatihnya."
Cu Jiang mengiakan.
"Nak, dengarkan kata-kataku," ujar Gonggong cu,
"selekas engkau turun gunung, beban tugas yang terletak
pada bahumu, bukan main beratnya. Membasmi durjana
memelihara jalan kebenaran, sekarang, besok dan selamalamanya.
Walaupun kini engkau sudah memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi, tetapi Jangan sekali-kali engkau
lupakan. Kecerdasan dan keberanian harus saling mengisi.
Dan yang penting, jangan engkau tinggalkan kehormatan
sebagai seorang ksatrya yang berbudi luhur, jangan
melakukan pembunuhan sewenang-wenang."
"Murid berjanji akan melakukan semua nasehat suhu."
"Karena harus menjaga keamanan kota raja, terpaksa
aku tak dapat menemani engkau kembali ke Tionggoan.
Tetapi akan kuperintahkan empat orang ko-jiu untuk
mengikuti perjalananmu secara diam2 agar setiap saat yang
diperlukan dapat membantumu ..."
"Baik."
"Sekarang kemasilah barang-barangmu dan mari kita
turun gunung."
“Murid tak punya barang2 yang perlu dikemasi kecuali
pakaian yang murid pakai ini."
"Pakailah kedok muka lagi nanti boleh engkau buka
setelah berada dalam istana."
Setelah memakai kedok muka, Cu Jiang lalu bersama
Gong-gong-cu turun gunung.
Lebih dari setahun melewatkan kehidupan terasing
dalam gua. menimbulkan rasa berat hati Cu Jiang untuk
meninggalkan tempat itu. Jika tiada berniat akan
melaksanakan dendam darah keluarganya, ia merasa lebih
senang tinggal di tempat yang terpencil dan terasing dari
dunia luar situ.
Menjelang sore, mereka tiba di wisma Tiau lim-kiong,
Dalam setahun itu ternyata kedua bocah pelayan Gonggong-
cu sudah besar.
"Ai. sausu. telah membuat aku menderita sekali," seru
Ing San ketika menyongsong.
Teringat akan peristiwa meloloskan diri dengan
membohongi bocah itu, diam2 Cu Jiang geli dan menyesal.
"Apakah engkau masih membenci aku ?"
"Ah. tidak... sausu, masakan aku berani."
Setelah membersihkan badan dan ganti pakaian, Gonggong
cu memerintahkan supaya menyiapkan perjamuan
guna menyambut dan merayakan keberhasilan Cu Jiang.
Yang menemani dalam perjamuan itu adalah keempat kojiu
istana.
Setelah memperkenalkan keempat ko jiu itu kepada Cu
Jiang maka Gong-gong-cu mempersilahkan makan.
"Kongcu tiba !" sekonyong-konyong si bocah Bok Cui
berseru nyaring.
Keempat ko-jiu serempak berbangkit. Walaupun ingat
akan hinaan yang pernah diterimanya setahun yang lalu,
tetapi demi penghormatan terpaksa Cu Jiang berdiri Juga.
Hanya Gong-gong-cu yang tetap duduk.
Sesaat kemudian muncullah kongcu dengan di iring
empat orang dayang istana.
Keempat ko-jiu maju menghaturkan hormat.
"Ah. tak usah banyak peradatan. Silahkan duduk," kata
kongcu.
Juga Cu Jiang menghaturkan hormat.
Kongcu tertawa dan berkata:
"Tempo hari aku telah berlaku kurang tata sehingga
menyinggung perasaanmu. Sekarang aku sengaja datang
untuk menebus kesalahan itu."
Merah muka Cu Jiang, katanya:
"Ah, bagaimana aku berani berlaku kurang hormat.
Harap kongcu jangan sungkan."
Percakapan yang dilakukan secara begitu terbuka sudah
tentu di Tionggoan takkan dapat dijumpai.
"Apakah kongcu mempunyai selera untuk minum
secawan arak?"
"Kalau Nyo kongkong tak menganggap hal itu akan
mengganggu acara, aku akan ikut duduk sebentar."
"Baik, silahkan duduk disampingku," kata Gong-gong-cu
lalu memerintahkan keempat dayang itu melayani kongcu.
Setelah minta maaf keempat ko-jiu itupun duduk lagi.
Karena kehadiran puteri itu, suasana pun menjadi resmi.
Sambil mengangkat cawan arak, kongcu berkata kepada
Cu Jiang:
"Sausu kuhaturkan secawan arak kepadamu."
Cu Jiang terkejut dan serempak berdiri:
"Ah. mohon kongcu jangan menyebut begitu. Panggil
namaku Cu Jiang saja . . ."
"Aku Toan Swi Ci. Cu sausu silahkan minum !"
Dengan kedua tangan Cu Jiang menyambut pemberian
puteri dan meneguknya habis. Puteri itu pun juga meneguk
secawan. Setelah itu baru Cu Jiang duduk lagi.
Kongcu juga menghaturkan secawan arak kepada Gonggong
cu seraya berkata:
"Nyo kongkong, engkau tentu tak marah kalau tadi aku
memberi arak kepada muridmu lebih dulu !"
Gong-gong-cu tertawa terbahak:
"Ah, tidak. Perjamuan ini memang ku peruntukkan dia."
Keduanya masing2 meneguk secawan. Sebagai tanda
penghormatan, keempat ko-Jiu itupun menghaturkan arak
kehormatan kepada puteri.
Beberapa saat kemudian tiba2 Khu Bun Ki, congkoan
istana bergegas masuk kedalam ruangan.
"Kok-su. Hong-ya menitahkan supaya menghadap."
"Ada peristiwa apa ?"
"Peristiwa besar yang gawat."
"Baik," kata Gong-gong cu seraya berbangkit. Setelah
sejenak memandang kepada kongcu maka congkoan itupun
bersama Gong-gong- cu lalu melangkah keluar.
Cu Jiang terkejut. Apakah yang terjadi dalam istana
sehingga Hong-ya secara mendadak menitahkan Gonggong-
cu menghadap ?
Diam2 Cu Jiang gelisah.
Sepergi Gong gong cu, puteri Toan Swi Ci dengan
mengulum senyum, berkata kepada Cu Jiang: "Kuhaturkan
selamat atas keberhasilan Cu sausu mempelajari ilmu-silat
yang sakti. Tetapi apakah Cu sausu tak berkeberatan untuk
mempertunjukkan barang sejurus saja agar dapat
menambah pengalaman kami?"
Cu Jiang tahu bahwa di balik ucapan yang penuh rasa
sungkan itu sebenarnya puteri hendak menitahkan dia
mempertunjukkan kepandaian. Sejenak merenung, dia
segera berbangkit.
"Ah, titah kongcu benar2 membuat aku mengeluarkan
keringat dingin."
"Ah, sudahlah, jangan memakai kata2 yang merendah."
"Baiklah, kongcu. Apakah kongcu meluluskan hamba
menghaturkan secawan arak kehormatan ke hadapan
kongcu?"
"Arak? Ah, Tak usah...."
"Kumohon kongcu sudi memberi muka kepada hamba
untuk mempersembahkan arak."
Cu Jiang terus mengambil cawan dan In Cuipun segera
menuang arak sampai penuh. Dengan kedua tangan Cu
Jiang mengangkat cawan kemuka dan tahu2 cawan itupun
pelahan-lahan melambung keatas dan melayang kearah
kongcu.
Keempat ko-jiu terbeliak dan melongo. Sedangkan
putripun segera ulurkan tangan untuk menyambuti.
Keempat pahlawan dari istana itu menyadari bahwa
kepandaian yang diunjukkan Cu Jiang termasuk suatu ilmu
tenaga-murni tingkat tinggi.
Tidak sembarang orang persilatan yang mampu
melakukan hal itu. Dengan begitu ilmu kepandaian Cu
Jiang sekarang, jauh diatas keempat pahlawan istana atau
ko-jiu itu.
"Mohon maaf, hamba mempertunjukan kepandaian yang
jelek dihadapan kongcu," seru Cu Jiang.
Puteri pun menegak arak itu lalu dengan nada bergetar
tegang berseru:
"Sausu benar2 berhasil hebat !" Sekonyong-konyong
seorang istana bergegas masuk dan menghadap puteri:
"Mohon kongcu kembali ke istana!"
Putri kerutkan dahi lalu berbangkit: "Ah. maaf tak dapat
menemani." Cu Jiang dan keempat pahlawan istana itu
serempak berbangkit dan hendak mengantar. Tetapi puteri
menolak dan suruh mereka tetap saja di ruangan
melanjutkan makan.
Setelah puteri melangkah keluar diiring keempat dayang
maka Cu Jiang dan keempat pahlawan istana itupun duduk
kembali. Tetapi perasaan mereka tak tenang lagi. Mereka
memandang pada diri puteri. Apakah yang terjadi di istana
sehingga puteri di titahkan kembali ?
Setelah melanjutkan minum beberapa cawan arak yang
"dingin", Gong gong cu lalu meninggalkan ruangan itu dan
tak lama kembali lagi dengan wajah sarat.
Cu Jiang dan keempat pahlawan istana serempak
menyambut.
"Suhu, apakah yang telah terjadi di istana ?"
"Raja Biau mengirim puteranya dengan diiring sepuluh
pengawal yang sakti."
"Oh apakah keperluannya 7"
"Meminang."
"Meminang?" ulang Cu Jiang terkejut.
"Ya, meminang tuan puteri."
"Aah..." desah Cu Jiang. "lalu bagaimana keputusan
Hong ya ?"
"Sudah tentu tak meloloskan."
"Kalau begitu tolak saja."
"Ah, tidak semudah itu."
"Murid tak mengerti apa yang suhu maksudkan," kata
Cu Jiang.
"Menurut adat istiadat suku Biau. Kalau tak dapat
mengikat hubungan keluarga, akan dianggap musuh!"
"Musuh ?"
"Ya," kata Gong-gong-cu, "mereka menganggap
penolakan itu sebagai suatu hinaan besar. Mereka tak segan
mengadakan pertumpahan darah dan menganggap sebagai
musuh bebuyutan."
"Seorang putera raja sebuah suku yang masih belum
beradab berani meminang Kongcu. Sungguh tak tahu diri !"
seru Cu Jiang.
"Mungkin ada lain maksud yang tersembunyi."
"O, mohon suhu suka menjelaskan."
"Putera raja Biau itu bernama Kopuhoa, sikapnya
congkak sekali. Bukan melainkan menimang kongcu, pun
juga menuntut kitab pusaka Giok-kah-kim-keng sebagai
emas kawin."
"Gila !" teriak Cu Jiang.
"Diantara barisan pengawalnya, terdapat enam orang
suku Han. Menurut pengamatanku, keenam orang itu
merupakan jago silat kelas satu."
"Lalu bagaimana keputusan Hong-ya ?"
"Hong-ya belum dapat memberi keputusan dan
menitahkan aku menghadap dan mengusahakan siasat
menghadapi mereka."
"Maksud suhu bagaimana?"
"Menolak berarti pertumpahan darah, tak ada lain
penyelesaian lagi."
"Penumpahan darah?" Cu Jiang menegas terkejut.
"Benar, memang harus begitu. Tetapi sukarnya, selama
ini Hong-ya selalu melarang untuk suatu pertumpahan
darah."
"Dimanakah rombongan tetamu itu ?"
"Di Wisma Tamu Agung."
"Hanya beberapa belas orang saja berani datang ke
kerajaan tayli untuk meminang puteri dan menuntut kitab
pusaka, Benar2 suatu perbuatan yang keliwat batas .. ."
"Menurut penilaianku mereka tentu mempunyai
rencana."
"Lalu rencana suhu untuk menghadapi mereka ..."
"Terpaksa menurut peraturan suku Biau, menerima
tantangan mereka."
"Menerima tantangan ?"
"Ah, penumpahan darah kali ini memang sukar
dihindari."
Kemudian Gong gong cu berkata kepada keempat
pahlawan itu.:
"Karena anda berempat ini berasal dari Tionggoan, lebih
baik malam ini jangan unjuk diri. Silahkan anda kembali ke
tempat peristirahatan."
Keempat pahlawan istana itu mengiakan memberi
hormat lalu meninggalkan ruangan.
Setelah itu Gong gong-cu berkata pula kepada Cu Jiang:
"Bebanmu sangat berat. Saat ini belum saatnya untuk
tampil. Pakailah kedok mukamu lagi. Hong-ya titahkan aku
supaya mengangkat engkau sebagai Tin tian ciangkun . . ."
Tin tian-ciang-kun artinya jenderal kota kerajaan. Cu
Jiang terkejut.
"Suhu, murid tak ingin menjadi menteri !"
"Nak, pangkat itu tiada mempunyai ikatan terhadap
dirimu. Yang penting, dalam menghadapi anak raja Biau
itu, engkau tak boleh keluar tanpa gelar. Nanti engkau
menghadap baginda dan lakukan apapun titahnya."
Cu Jiang mengiakan.
"Gantilah pakaian dulu. Semua telah tersedia dalam
kamarmu."
Pada saat Cu Jiang kembali ke kamarnya benar juga di
situ telah tersedia seperangkat pakaian baju dan topi besi,
sepasang sepatu dan sebatang kerangka pedang yang
bertabur mutiara, memancarkan sinar yang kilau kemilau.
Itulah kerangka pedang yang telah dijanjikan Gong-gong cu
kepada Cu Jiang.
Bocah Ing Sanpun masuk dan membantu Cu Jiang untuk
mengenakan pakaian itu. Setelah selesai ia berkaca. Hampir
saja ia tak mengenali dirinya lagi. Diam2 ia tertawa geli.
Tak kira kalau dia bakal jadi seorang jenderal kerajaan.
"Sausu, Kok-su menunggu!" seru Ing San.
Cu Jiang segera melangkah keluar. Tiba di muka
paseban, Gong gong cu sudah menyongsong dengan
tertawa gelak2:
"Nak, ah, sungguh gagah benar, mari kita ke wisma
Seng-bu-tian!"
Seng-bu-tian atau wisma Ketetapan-pangkat. Merupakan
sebuah gedung mewah dengan enam belas pilar dari batu
marmar yang amat besar dan kokoh.
Di bawah sinar lampu yang terang, tampak penuh
berjajar barisan wisu (pengawal utama). Di tengahnya
terdapat meja panjang. Toan Hong-ya atau baginda Toan
dari negeri Tayli duduk di tengah meja. Di sebelah
kanannya, Gong-gong-cu yang berpangkat Kok-su
(penasehat kerajaan.) di sebelah kirinya adalah Toan Swi
Ci, puteri raja.
Di belakang Hong-ya berdiri menteri urutan istana yakni
Khu Bun Ki congkoan dan kepala bayangkara istana Ang
Ban.
Di samping jajaran tiang sebelah kanan, tampak seorang
panglima yang mengenakan pakaian seragam besi. Dia
adalah Tin tian-ciangkun Cu Jiang.
Pada dua kotak di samping luar tiang pilar, adalah rak
senjata. Delapan belas macam senjata berjajar-jajar dalam
rak itu.
Di muka wisma itu terdapat sebuah tanah lapang. Pada
kedua samping lapangan itu, didirikan dua buah panggung
datar yang berbentuk seperti sayap burung belibis.
Di sebelah kiri, duduk para pegawai kerajaan bagian sipil
maupun militer. Sedang di sebelah kanan, dideret depan
dan di tengah2, tampak seorang pemuda yang mengenakan
pakaian aneh.
Di belakangnya dikawal oleh sepuluh orang. Yang empat
orang busu (militer) berumur pertengahan abad. Sedang
yang enam orang tua. Walaupun kesepuluh pengawal itu
mengenakan pakaian suku Biau namun masih dapat dilihat
bahwa empat dari keenam orang tua dan dua dari ke empat
lelaki pertengahan umur itu, bukan orang Biau melainkan
orang Han. Telinga mereka tidak pakai anting-anting seperti
umumnya lelaki suka Biau.
Suasana tanah lapang itu sunyi senyap tetapi tegang
sekali.
Seorang lelaki Biau tua, berdiri lalu dengan bahasa Han
yang lancar, berseru:
"Lohu adalah Beng Kiu, kepala dari Thian-ji-tong.
Mendapat titah dari Lo-ong (raja) untuk mengiring siau ong
( raja muda ) Kopuhoa berkunjung ke mari untuk
meminang. Sungguh suatu hinaan besar bagi suku kami
bahwa peminangan kami itu telah ditolak.
Lohu mewakili lo-ong untuk menantang adu kepandaian
pada para pahlawan kerajaan ini dalam lima kali
bertanding. Yang memenangkan tiga kali pertandingan,
dianggap menang. Jika pihak kami yang beruntung
menang, mohon supaya permintaan kami diluluskan
semua."
Habis berkata dia duduk kembali.
Mendengar itu seluruh hulubalang dan perwira kerajaan
Tayli serempak berobah air-mukanya. Mereka marah.
Gong-gong cupun segera berdiri dan berseru dengan
suara nyaring:
"Aku, Tayli Koksu, atas nama baginda, menerima baik
tantangan tetamu!"
Seketika suasanapun tegang regang.
Sesaat Gong gong-cu duduk kembali, Kopuhoa, putera
kepala suku Biau segera apungkan tubuh melayang ke
tengah gelanggang Dengan tertawa menyeringai, dia
berseru:
"Kudengar bahwa kongcu kerajaan Tayli itu seorang
puteri yang ahli dalam ilmu sastera dan pandai dalam ilmu
silat. Biarlah dalam pertandingan pertama ini kumohon
supaya kongcu yang keluar untuk menyambut
tantanganku."
Seketika seluruh hadirin gemuruh. Toan Hong-ya
kerutkan alis dan memandang dengan pandang meminta
pendapat kepada Gong-gong-cu.
Dengan berbisik-bisik Gong-gong cu menghaturkan
pendapatnya. Toan Hong-ya tampak mengangguk angguk
kemudian Gong gong cu bisiki puteri Toan Swi Gi. Setelah
itu baru berseru nyaring:
"Kongcu bertubuh lemah lembut dan berharga. Tetapi
karena Ong cu ( pangeran ) mengajukan tuntutan begitu,
sungkan untuk menolak. Baginda telah menurunkan titah,
dalam pertandingan itu jangan menggunakan pedang atau
tombak tetapi cukup dengan tangan kosong. Barang siapa
terkena totokan, dia harus mengaku kalah. Entah
bagaimana pendapat Ong-cu?"
Wajah Kopuhoa berseri cerah. Tetapi karena mukanya
penuh dengan gurat2 dan tato, maka tawanyapun bukan
sedap dipandang melainkan menyeramkan hati.
"Baik, aku setuju !" serunya. "Bertanding dengan cara
bagaimana?"
"Gulat !"
Sudah tentu kata2 itu diluar dugaan orang. Gulat
memang menjadi ciri permainan khusus dari suku Biau.
Dalam adu gulat itu tentu orang harus bergumul,
mencengkram, berpelukan dan lain2 gerak yang merapat.
Dengan mengusulkan cara begitu, jelas anak raja Suku Biau
itu tentu mngandung tujuan yang buruk.
Belum orang habis dilanda kejut, tiba2 terdengar Gong
gong-cu berseru lebih menggemparkan.
"Tantangan itu diterima. Tetapi terbatas hanya dalam
sepuluh jurus."
Kopuhoa gembira sekali. Dia menyurut ke belakang tiga
langkah dan mulai pasang kuda-kuda.
Gong-gongcu memberi isyarat anggukan kepala dan
berbangkit dan menuruni titian masuk ke lapangan.
Walaupun tak mengerti ilmu gulat tetapi Cu Jiang dapat
menduga bahwa adu permainan itu tentu akan saling
mencengkram dan banting membanting. Dalam hal ini,
berpakaian ringkas akan lebih leluasa geraknya.
Padahal puteri mengenakan celana panjang dan baju
semacam jubah yang menjulur sampai ke lutut. Bukankah
hal itu akan menghambat gerakannya ?
Dia cemas tetapi kemudian dia teringat akan Gong-gong
cu. Ia percaya penuh dan mengagumi kecerdasan gurunya
itu. Jika Gong-gong-cu mengijinkan puteri maju ke medan,
tentu dia sudah mempunyai rencana memenangkan
pertandingan itu.
Menghadapi Kopuhoa yang bertubuh tinggi besar, puteri
bersikap tenang sekali. Seolah tiada terjadi suatu apa.
Adalah anak raja suku Biau itu sendiri yang tampak
kelabakan. Betapa tidak. Berhadapan dengan seorang puteri
yang secantik bidadari, semangat Kopuhoa seperti terbang
melayanglayang.
Kini semua perhatian tertumpah ruah kearah lapangan.
Jika puteri sampai kalah atau sampai dibuat malu oleh
Kopuhoa, Kerajaan Tayli akan menderita hinaan besar.
Dengan mengangkat kedua tangan memberi hormat
seperti lazimnya orang Tionggoan, Kopuhoa berseru:
"Sungguh suatu peristiwa yang paling bahagia dalam
hidupku bahwa saat ini aku mendapat kesempatan untuk
melihat wajah tuan putri."
"Ah, jangan memuji." Toan Swi Ci tertawa.
"Walaupun rakyatku tinggal di daerah yang terpencil
tetapi kemewahan dan kebesaran istana kami, tak kalah
dengan negeri tuan puteri. Dan aku adalah putera pewaris
raja ... ."
Toan Swi Ci mengangkat tangan dan menukas:
"Saat ini kita sedang adu pertandingan. Jangan
membicarakan soal2 lain"
Muka putera raja Biau itu makin hitam lalu berkata
dengan sinis:
"Kalau aku yang menang, apakah tuan puteri takkan
mencari alasan lain . .."
"Sekarang masih terlalu pagi untuk mengatakan hal itu!"
"Hm, silahkan bergerak dulu!"
"Ong-Cu seorang tetamu, silahkan turun tangan dulu !"
"Jika begitu, maaf!"
Dalam gaya macan lapar, Kopuhoa terus menerkam
Toan Swi Ci. Gaya gerakannya aneh sekali. Berbeda
dengan ilmu silat di Tionggoan. Sekalian orang menahan
napas. Kalau puteri yang bertubuh lemah gemulai itu
sampai kena terdekap, ah ....
Sekalian orang tak tahu bagaimana puteri bergerak. Yang
mereka lihat hanya sesosok bayangan berkelebat dan tahu2
Kopuhoa sudah menubruk angin karena puteri sudah
pindah ke lain tempat.
Tetapi Kopuhoa tidak berhenti sampai disitu saja.
Berturut-turut dia menerkam sampai tiga kali tetapi tiada
yang kena. Bahkan ujung pakaian puteri saja dia tak
mampu menyentuh.
Rombongan jago2 yang mengiring Kopuhoa, serempak
berobah cahaya mukanya.
Sepintas memandang tahulah Cu Jiang bahwa puteri
sedang menggunakan gerak langkah ajaran Gong-gong-cu.
Diam2 Cu Jiang menghela napas longgar. Ilmu ciptaan
Gong-gong cu itu memang luar biasa sekali. Tak ubah
seperti gerak bayangan setan. Walaupun tak dapat
mengalahkan musuh tetapi jangan harap musuh mampu
mengalahkannya.
Karena malu akhirnya marahlah Kopuhoa. Wajahnya
yang hitam tampak makin hitam sehingga menyeramkan
sekali.
"Hai, ilmu apakah yang seperti gerak setan itu ?"
teriaknya kalap.
"Ah, hanya permainan anak kecil saja." sahut puteri
dengan lenggang.
"Apakah ini sudah dianggap bertanding?"
"Mengapa tidak dianggap ?"
"Tetapi tuan puteri selalu menghindar saja."
"Apakah hal itu melanggar peraturan pertandingan?
Sudah tiga jurus, silahkan melanjutkan lagi! "
Geraham Kopuhoa tampak bergemerutukan karena
menahan kemarahan. Dia mulai menyerang lagi, makin
dahsyat dan keras. Tetapi gerak tubuh puteri luar biasa
sekali, cepat dan aneh.
"Berhenti! Sudah sepuluh jurus"
Tiba2 karena tak kuat menahan ketegangan hatinya, Cu
Jiang berteriak.
Kopuhoa-pun terpaksa hentikan serangannya. "Maaf."
seru puteri.
Tiba2 Kopuhoa mencabut goloknya. Melihat para jago2
Tayli yang berjajar di muka wisma serempak merabah
senjatanya.
Seketika suasana tegang sekali. Pertumpahan darah tak
dapat dihindari lagi.
Melihat itu Beng Kiu, kepala daerah gunung Thian ji
tong segera berseru:
"Ong-cu, pertandingan baru berjalan satu kali. Kita harus
melaksanakan menurut rencana!"
Toan Swi Ci tertawa dingin lalu melangkah ke luar
gelanggang, kembali ke dalam wisma lagi.
Rupanya Kopuhoa tak dapat menahan perangainya yang
kasar. Sambil membolang-balingkan golok, dia berseru
menggeledek:
"Untuk pertandingan kedua, tetap aku yang akan maju!"
Melihat itu Toan Hong-ya kerutkan dahi lalu berpaling
kepada Gong-gong-cu yang berada di sampingnya:
"Koksu, terserah kepadamu untuk menyelesaikan mereka
!"
Gong-gong cu berdiri lalu memberi hormat kepada raja
setelah itu dia duduk lagi. Sejenak memandang ke segenap
penjuru, tiba2 dia berseru:
"Li ciangkun. harap tampil ke gelanggang!" Seorang
lelaki berjubah Imam segera maju ke tengah gelanggang.
Setelah menghadap baginda dan memberi hormat kepada
baginda diapun terus memberi hormat juga kepada Gonggong
cu. Setelah itu baru menghadapi Kopuhoa dan
pelahan-lahan mencabut pedang.
"Silahkan Ongcu menentukan bagaimana cara
pertandingan ini harus dilakukan?"
"Jika ada salah seorang yang rubuh baru pertandingan
itu berhenti! " seru Kopuhoa dengan geram.
"Silahkan!" seru ciangkun atau hulubalang yang bernama
Li Kong Hi itu.
Tanpa banyak bicara lagi Kopuhoa terus menyerang.
Cepat sekali kedua jago itu terlibat dalam serang menyerang
yang seru dan dahsyat.
Keduanya sama2 bertubuh tinggi besar dan tenaga kuat.
Mereka berimbang kekuatannya. Dalam beberapa kejab saja
sudah melangsungkan tujuh sampai delapan jurus.
Tampak Kopuhoa kalap sekali cara bertempurnya. Dia
menyerang dengan jurus2 yang dahsyat dan adu jiwa. Sama
sekali dia tak menghiraukan pertahanan.
Setelah mencapai jurus yang ke lima puluh, tampak Li
ciangkun sudah mulai lelah. Tetapi pertandingan itu tak
dapat dihentikan sebelum ada salah satu yang rubuh. Atau
ada yang mau mengaku kalah.
Tampak Gong-gong-cu kerutkan dahi. Jelas dia gelisah.
"Hai! Huak..."
Terdengar suara bentakan disusul oleh jeritan tertahan.
Li ciangkun terhuyung mundur beberapa lagi. Bluk, dia
jatuh tak dapat bangun lagi. Dadanya sebelah kanan
memancarkan darah.
Kopuhoa tertawa gelak2: "Ha, ha, dua kali pertandingan
ini, anggap saja serie!"
Dua orang busu segera turun ke gelanggang untuk
mengangkut hulubalang Li.
Kesempatan itupun digunakan Beng Kiu untuk
mempersilahkan Kopuhoa mundur:
"Harap Ong-cu beristirahat. Pertandingan ke tiga biarlah
Auyang huhwat yang melakukan!"
Kopuhoa menurut dan kembali ke tempat duduknya.
Empat orang Han yang berpakaian seperti suku Biau
serempak berbangkit. Dan entah dengan gerak apa, tahu2
sudah melayang ke tengah gelanggang.
Dari gerak itu saja dapatlah diketahui bahwa mereka
tentu jago yang berisi.
Salah seorang yang tua, memberi hormat ke arah Gong
gong cu:
"Hamba Auyang Jong-san, huhwat dari istana raja Biau,
akan menyambut pertandingan yang ketiga ini!"
"Koksu, dia tentu sakti sekali," bisik Toan Hong-ya
kepada Gong gong-cu.
Gong gong cu mengangguk, kemudian memberi
perintah:
"Ang wi tiang, silahkan ke luar!"
Ang Ban, kepala prajurit bhayangkara keraton segera
mengiakan dan turun ke gelanggang.
Setelah saling berhadapan, berkatalah Auyang Jong san
dengan nada yang tajam:
"Anda hendak memakai senjata apa ?"
"Dan anda sendiri ?"
"Sepasang daging tangan."
"Akupun akan melayani dengan sepasang tangan juga."
"Silahkan."
"Silahkan."
Sejenak saling membidik pandang Auyang Jong-san
menggembor keras dan terus menghantam. Ang Ban
menangkisnya Rupanya keduanya hendak saling mengukur
kekuatan tenaga lawan.
Bum!
Terdengar letupan keras dan angin berhamburan
menderu sehingga lampu2 obor bergoncang2. Sungguh
suatu adu pukulan yang dahsyat sekali.
Auyang Jong san masih tetap tegak ditempat sedangkan
Ang Bau tersurut mundur dua langkah.
"Ah, kali ini akan kalah lagi," diam2 Cu Jiang mengeluh.
Tetapi pada saat itu Auyang Jong sanpun sudah
menggembor keras dan menyerang Ang Ban.
Jurus yang digunakan aneh sekali. Selama menyerang
belum habis sejurus sudah berganti lain jurus lagi.
Baru setengah jalan Ang Ban menyambut, dia sudah
mengerang dan muntah darah. Tubuhnya terhuyunghuyung.
Auyang Jong-san tak memberi ampun lagi. Maju ke
muka ia menghantam kepala Ang Ban sekeras-kerasnya.
"Hai!" terdengar teriak kejut dari empat penjuru.
"Jangan melukai orang."
Tiba2 terdengar bentakan menggeledek dan tahu2 di
tengah gelanggang telah bertambah seorang yang sudah
menyambar tubuh Ang Ban. Bagaimana dia loncat ke
tengah gelanggang dan menarik tubuh Ang Ban, tiada
seorangpun yang melihat jelas.
Auyang Jong-san terkejut dan mundur tiga langkah lalu
membentak:
"Anda telah merusak peraturan pertandingan!"
"Adu kepandaian bukan bertujuan membunuh. Li
ciangsuu tadi sudah menderita luka. Jika anda hendak
melukai orang lagi berarti menghina rakyat Tayli! " seru
orang itu.
"Anda siapa?"
"Tin-tian ciangkun!"
"Bagus, pertandingan keempat akulah yang maju!"
"Aku bersedia melayani."
"Dengan senjata apa?"
"Cukup tangan kosong."
"Bagus! Jika kali ini aku menang, pihak kami telah
menang tiga kali dan kalah satu kali. Dengan demikian jelas
kemenangan tentu ditangan kami."
"Ah, mungkin anda akan kecewa!"
"Hm, kenyataan akan berbicara, mulailah! "
"Tunggu, aku hendak menyatakan sesuatu . .."
"Silahkan."
"Dalam gebrak pertama, anda harus mengerahkan
seluruh tenaga!"
"Lho, kenapa?"
"Karena anda bakal tak punya kesempatan untuk
menyerang lagi."
Ucapan dari Tian-tian ciangkun Cu Jiang yang begitu
congkak, membuat wajah Auyang Jong-san merah padam,
rambut menjingkrak dan mata melotot.
"Auyang huhwat, bertempur sampai mati baru berhenti!"
tiba2 Kopuhoa berseru marah.
"Hm, apakah ciangkun sudah mendengar perintah Ongcu
kami?" Auyang Jong-san berseru mengejek.
"Sudah, mengapa?"
"Berani menerima?"
"Hong ya tak meluluskan pembunuhan!" tiba2 Gonggong-
cu berteriak.
Kopuhoa tertawa keras:
"Memangnya Hong ya seorang junjungan yang penuh
kasih sayang atau karena . . . ."
"Jangan kurang ajar! " bentak Cu Jiang.
"Engkau berani menghina Ong cu kami !" Kopuhoa
balas membentak.
Melihat ketegangan itu, buru2 Beng Kiu mencegah.
"Ongcu sukalah memikirkan kepentingan besar. Kita
datang kamar hendak meminang."
Kemudian dia berseru nyaring:
"Menurut tata peraturan, setiap penantang berhak untuk
menentukan cara pertandingan."
Mendengar itu Gong gong-cu segera menghaturkan
laporan kepada Hong-ya:
"Hong ya, agaknya pertumpahan darah tak dapat
dihindari lagi."
Toan Hong-ya gelengkan kepala dan menghela napas,
tak berkata apa2.
"Tin-tian ciangkun, silahkan engkau menentukan
keputusan sendiri."
Cu Jiang memberi hormat kearah Gong-gong-cu lalu
menghadap musuh dan berseru dengan nada dingin:
"Harap anda pertimbangkan lagi, karena anda bakal
tiada kesempatan menyerang lagi."
"Engkau tak berani menerima tantanganku tadi."
"Rasanya anda ini orang persilatan dari Tionggoan. Aku
tak sampai hati melihat mayatmu dibuang ke bawah
gunung."
Auyang Jong - san terkesiap. Matanya berkilat2
memancarkan sinar pembunuhan.
"Saat ini kita sedang adu kepandaian. Kesudahannya
akan menyangkut hubungan kedua belah pihak. Entah
menjadi kawan atau lawan. Dan akulah sebagai pihak yang
menantang."
Sejenak merenung, akhirnya Cu Jiang menjawab:
"Baiklah, aku menerima tantanganmu untuk bertempur
sampai mati!"
Mendengar itu suasana berubah tegang sekali. Sekalian
orang, terutama rombongan pihak Tayli berdebar-debar.
Auyang Jong-san segera silangkan kedua tangannya lalu
pelahan-lahan dijulurkan lurus ke muka dada. Sepasang
telapak tangannya berwarna hitam. Jelas dia memiliki ilmu
tangan beracun yang ganas.
Sudah tentu sekalian menteri hulubalang Tayli was-was
akan keselamatan jenderal baru yang baru saja dilantik itu.
Yang membuat pihak Tayli tegang dan cemas ialah
apabila pertandingan itu dimenangkan pihak tetamu lagi,
jelas puteri Toan Swi Ci akan diperisteri Kopuhoa.
Tampak Cu Jiang tegak berdiri bagaikan gunung karang.
Diam2 dia telah menyalurkan tenaga-murni untuk
melindungi seluruh tubuhnya.
Tiba2 saja Toan Hong-ya berpaling:
"Kok-su, adakah dia dapat diandalkan?"
"Jika tidak, Jelas waktu setahun itu akan sia-sia belaka !"
sahut Gong gong-cu.
"Kok-su, pertandingan itu menyangkut kepentingan
negara..."
"Harap Hong-ya suka lepaskan pikiran, tentu takkan
mengecewakan!"
Puteri Toan Swi Ci Juga gelisah. Bahkan paling gelisah
sendiri. Karena pertempuran itu menyangkut nasib dirinya.
Jika kalah, jelas dia tentu akan menjadi isteri Kopuhoa yang
memuakkan itu.
Saat itu ditengah gelanggang, Cu Jiang dan Auyang
Jong-san saling berhadapan. Selurun perhatian orang
tertumpah ruah pada kedua orang itu.
Keduanya sama2 berdiri tegak mengambil sikap dan
bersiap-siap menyalurkan seluruh tenaga murni. Siapa yang
lengah atau lemah, tentu akan lenyap jiwanya.
Suasana hening lelap Maut mulai bertebaran
"Hait...!!" sekonyong-konyong Auyang Jongsan berteriak
keras dan kedua tangannya yang berwarna hitam itupun
segera menghantam.
“Bum ... bum..."
=00o-d^w-o00=
Jilid 11
Terdengar letupan keras ketika dua buah pukulan sakti
saling beradu. Cu Jiang tergetar. Dia tidak menghindar,
juga tidak balas menyerang.
Sedangkan wajah Auyang Jong-san tampak ngeri dan
ketakutan. Dia mundur selangkah demi selangkah.
Mungkin, baru pertama kali itu dia berjumpa dengan
seorang manusia yang mampu menerima pukulan yang
disertai dengan seluruh tenaganya.
Auyang Jong-san mundur, mundur dan mundur lagi
sehingga dia sudah mundur sampai delapan langkah.
Cu Jiang cepat melesat kehadapannya dan berseru
dingin:
"Dengan sejujurnya kuberitahu kepadamu, bahwa
engkau pasti mati hari ini !"
Wajah Auyang Jong-san mengerut dalam, keringat
bercucuran membasahi kepala. Dia tak mundur lagi.
Segenap jago2 pengiring putera raja Biau serempak
berdiri dengan mulut terlongong-longong.
Dendam dan kebencian Cu Jiang yang terpendam
selama ini, tercurah dalam pandang matanya yang berapi
api menyeramkan. Seolah-olah dia hendak menelan orang
itu.
Gong-gong-cu cepat berteriak nyaring: "Tin tian
ciangkun, kalau lawan sudah mengaku kalah, terimalah
saja."
Cu Jiang teringat bahwa raja Tayli itu tak menyukai
pembunuhan. Dia pun teringat bahwa kepandaiannya
berasal dari budi yang dilimpahkan baginda dengan
mengijinkan dia mempelajari kitab pusaka Giok kah kimkeng.
Dia menyadari bahwa baik-baik kalau dia mengumbar
nafsu kemauannya sendiri. Setelah menekan perasaannya,
berserulah dia dengan nada sarat:
"Apakah engkau sudah menyerah ?"
"Tidak!" teriak Auyang Jong san lalu tiba-tiba
menyerang. Memukul dengan tangan kiri, menutuk dengan
jari tangan kanan lalu menendang ke jalan darah Gi-hay
pada perut orang.
Tiga buah gerakan itu dilancarkan secara tak terduga
duga, cepat dan serempak.
Tetapi diluar dugaan Cu Jiangpun bergerak luar biasa
cepatnya Secepat tubuh berkisar, tangan menghantam dan
huak . . . terdengar jeritan ngeri.
Auyang Jongsan muntah darah, terhuyung-huyung
sampai tiga langkah dan terus jatuh terduduk.
Para pembesar sipil dan militer kerajaan Tayli yang
duduk pada panggung sebelah itu, tak ingat lagi kalau
baginda berada disitu. Mereka serempak bersorak sorai
menyambut kemenangan Cu Jiang itu dengan kegembiraan
yang meluap luap.
Anak rombongan Biau terkejut sekali.
Untuk membunuh lawan, Cu Jiang hanya seperti
menampar nyamuk saja. Tetapi dia tak mau
membunuhnya, melainkan hanya berseru:
"Demi menjunjung titah Hong ya yang penuh welas asih,
kuampuni jiwamu!" habis berkata dia terus mundur ke
tengah gelanggang.
"Tunggu!" tiba2 terdengar sebuah suara yang seram,
disusul dengan sesosok tubuh yang muncul di tengah
gelanggang.
Sekalian orang terkesiap. Gerakan orang itu masuk ke
tengah gelanggang sungguh hebat sekali. Hampir mereka
tak dapat melihatnya. Bahkan mereka mengira kalau orang
itu memang sebelumnya sudah berada di tengah
gelanggang.
Cu Jiang hentikan langkah, berputar tubuh. Dilihatnya
pendatang itu adalah salah seorang pengiring Kopuhoa,
orang Han yang berpakaian seperti suku Biau.
"Anda bermaksud bagaimana?" tegur Cu Jiang.
"Menantang!"
"Kali ini merupakan pertandingan yang terakhir."
"Tahu!"
"Ada syaratnya?"
"Bertempur dengan pedang."
"Baik. Siapakah nama anda?"
"Kepala huhwat istana Biau, Ih bun Ih Hiong."
"Rupanya anda mempunyai keistimewaan dalam ilmu
pedang."
"Tak perlu engkau tanyakan."
Tiba2 Cu Jiang teringat. Apabila kali ini dia
menggunakan kutungan pedang, kelak tentu akan
menimbulkan kesulitan apabila dia muncul di Tionggoan.
Hal itu tentu akan menyangkut kerajaan Tay-li. Iapun
memutuskan untuk memakai pedang lain maka dia berseru
kepada rombongan perwira yang berjaga di depan meja
supaya membawakan pedang.
Seorang perwira segara mengambil sebatang pedang
ceng-kong-kiam dari rak senjata dan di serahkan ke Cu
Jiang
Rupanya Gong-gong-cu tahu kandungan hati Cu Jiang.
Diam2 ia mengangguk.
Kepala huhwat dari istana Biau, Ih bun Ih Hiong
pelahan-lahan mulai melolos pedangnya. Di tingkah sinar
obor, batang pedang itu berkilat-kilat memancarkan sinar
yang menyilaukan mata. Jelas bahwa pedangnya itu tentu
sebuah pusaka. Dan ketika ia getarkan ujung pedang maka
ujung pedang itupun menjulur panjang beberapa jari.
Setelah saling mengucap sepatah kata untuk
mempersilahkan maka kedua jago itupun segera saling
berhadapan. Keduanya melakukan kuda2 pembukaan yang
aneh. Beda dengan kuda2 ilmu pedang biasa.
Namun mereka belum segera mulai bertempur
melainkan saling beradu tatap pandang. Tajam dan penuh
dengan sinar pembunuhan.
Sedetik, semenit... berjalan merayapi ketetapan suasana.
Tiada seorang pun yang mengedipkan mata.
Pelahan lahan ujung hidung Ih hun Ih Hiong
mengucurkan keringat. Beberapa tokoh ahli pedang,
berturut-turut berdiri. Mereka tak kuat menahan ketegangan
hatinya. Mereka tahu bahwa sekali bergerak, keduanya
tentu akan menghadapi kekalahan atau kemenangan.
Memang sikap dari kedua jago itu, berbeda dengan
pertempuran jago pedang yang kebanyakan.
Tetapi mereka tak tahu apa sebenarnya yang sedang
dilakukan Cu Jiang. Sikap yang diambil Cu Jiang untuk
menghadapi lawan itu sebenarnya hanya untuk mengetahui
bagaimana serangan yang akan dibuka lawan. Ia baru akan
menunggu lawan menyerang lebih dulu baru akan
mendahului untuk mematikannya.
Tampak para jago2 pengawal Kopuhoa pun berturutturut
berdiri. Merekapun tegang sekali.
Dari acara pertandingan yang akan dilangsungkan lima
kali, kedua belah pihak sama2 membagi angka. Dalam
empat kali pertandingan, mereka kalah dua kali dan
menang dua kali. Jadi seri.
Pertandingan saat itu merupakan pertandingan kelima
atau yang terakhir. Itulah sebabnya kedua belah pihak amat
tegang sekali.
Beberapa saat kemudian tampak tubuh Ih-bun It Hiong
gemetar. Hal itu menandakan bahwa dia tak kuat bertahan
lagi.
Dalam keadaan seperti itu sebenarnya Cu Jiang dapat
turun tangan. Lawan sudah goyang konsentrasi
semangatnya. Tetapi Cu Jiang tak mau. Dia tetap diam tak
bergerak. Orang dan pedang seperti bersatu.
Dalam pandangan ahli pedang, keadaan itu merupakan
ilmu pedang yang telah mencapai tataran tertinggi. Dapat
membunuh lawan tanpa terasa.
Kopuhoa mulai mengucurkan keringat. Wajahnya yang
hitam makin menyeramkan.
Sementara Toan Hong-ya berbisik kepada Gonggong cu:
"Kok-su, tak kira anak itu memperoleh hasil yang
sedemikian hebat!"
"Hong-ya, mungkin tidak hanya sampai di situ saja, "
sahut Gong-gong cu.
"Nyo kongkong, sesungguhnya berapa tinggikah
kepandaian dari sausu itu ?" tanya Puteri Toan Swi Ci.
Gong- gong cu tertawa:
"Sukar dikata. Cukup dikatakan bahwa dia sukar dicari
tandingannya !"
"Jika begitu bukankah dia merupakan jago nomor satu
dalam dunia?"
"Ilmu silat itu tiada batasnya. Tak ada yang disebut
nomor satu. Hanya ada tinggi dan rendah saja."
"Bagaimana kalau dibanding dengan Nyo kongkong ?"
"Aku terpaut jauh sekali dengan dia !"
"Aneh, besar2 aneh. Murid lebih sakti dari guru."
Murid dan guru hanya soal nama saja."
"Nyo kongkong, lihatlah.... dia tetap belum turun
tangan!"
Memang Cu Jiang bahkan menyimpan pedangnya dan
berkata:
"Hong-ya tak memperkenankan darah menumpah!"
Habis berkata dia terus melangkah, berhenti serentak
memberi hormat kearah tempat duduk baginda kemudian
baru kembali ketempat duduknya semula.
Wajah Kopuhoa dan sekalian jago2 pengiringnya
berobah, tak sedap dipandang. Dan saat itu Gong gong
cupun berbangkit.
"Pertandingan adu kepandaian ini, telah berakhir. Pihak
Tayli beruntung dapat menangkan sebuah pertandingan.
Urusan peminangan, menurut peraturan sudah bebas.
Sekarang kami persilahkan para tetamu yang terhormat
supaya beristirahat ke Wisma Tamu Agung lagi..."
Dengan napas memburu keras, Kopuhoa berseru:
"Tak lama kami akan datang kembali untuk mohon
pelajaran. sekarang kami hendak mohon diri."
Beng Kiu yang mengepalai rombongan pengiringpun
menyatakan mohon diri kepada tuan rumah.
Diam2 Cu Jiang geli dalam hati. Dia tak mengerti adat
istiadat suku yang tinggal di daerah selatan itu.
"Walaupun kami mengecewakan harapan, tetapi kami
takkan mengecewakan peraturan. Atas nama Hong-ya,
kami mengucapkan selamat jalan kepada rombongan tamu
agung!" seru Gong-gong cu dengan nyaring sebagai
pengantar dan kepergian rombongan Kopuhoa.
Setelah itu dia mohon petunjuk baginda dan raja pun
memberi isyarat agar upacara pertandingan itu dibubarkan.
Sesaat Gong-gong cu mengumumkan bahwa acara telah
selesai dan dibubarkan maka seluruh pegawai sipil dan
militer kerajaan Tayli serempak berdiri memberi hormat.
Dengan diiring puteri, bagindapun tinggalkan tempat itu.
Sorak sorai bergemuruh gegap gempita dari sekalian
menteri dan rakyat Tayli menyambut kemenangan Cu
Jiang. Cu Jiang membalas hormat kepada mereka. Dua
butir airmata haru dan gembira menitik keluar dari pelupuk
Cu Jiang. Dia merasakan saat itu suatu saat yang
mempunyai kebahagian tersendiri.
Gong-gong cu mengajak Cu Jiang pulang ke wisma Tiautim-
tian, Ing San dan Bok Cui menyiapkan hidangan.
"Nak, kuhaturkan secawan arak kehormatan atas
kemenanganmu!" seru Gong gong cu.
"Ah bagaimana murid berani menerimanya ? Selayaknya
muridlah yang harus menghaturkan arak kehormatan
sebagai tanda terima kasih atas budi suhu." seru Cu Jiang.
Gong gong-cu tertawa.
"Ha, ha, ha, sudahlah, jangan peduli siapa yang harus
menghaturkan arak kehormatan, yang penting mari kita
meneguknya."
Cu Jiang terpaksa menyambuti dan setelah meneguk
habis diapun menghaturkan secawan arak kepada Gonggong-
cu.
"Nak, Hong-ya sangat menaruh kepercayaan kepadamu,
Engkau diharapkan dapat menyelesaikan tugas besar,
melenyapkan gerombolan Sip-pat-thian-mo yang ganas itu
!"
"Murid berjanji akan melaksanakan titah Hong ya
dengan sekuat tenaga."
"Kuharap dalam waktu tak lama lagi, aku dapat
menyiapkan perjamuan untuk memberi arak kehormatan
kepadamu lagi."
"Terima kasih suhu."
"Apakah engkau ingin bertamasya melihat-lihat tempat2
indah dalam negeri Tayli sini ?"
Sejenak merenung Cu Jiang mengatakan bahwa dia ingin
selekasnya kembali ke Tionggoan. Kelak kalau tugasnya
sudah selesai, ia tentu akan melihat2 tempat2 indah di
negeri Tayli itu.
Gong-gong cu tak mau memaksa.
"Suhu, kapankah murid dapat berangkat ?"
"Bagaimana kalau lusa saja ?"
Cu Jiang mengiakan. Demikian setelah beristirahat
sehari pada hari kedua Cu Jiangpun segera tinggalkan kota
Tayli.
Dengan mengenakan pakaian seperti seorang pelajar dan
muka tertutup, dia berjalan pelahan-lahan.
Hampir setahun lamanya Cu Jiang pergi dari daerah
Tionggoan selama itu banyak sekali terjadi perobahan. Dan
beberapa kaum persilatan yang dijumpai dalam perjalanan,
Cu Jiang banyak mendengar cerita2 tentang dunia
persilatan yang mengejutkan.
Perkumpulan agama Thong-thian-kau berdiri di kota
Khay-hong. Siapa ketuanya tiada diketahui orang.
Perkumpulan itu mempunyai delapan buah cabang yang
tersebar di beberapa tempat. Pengaruhnya amat besar.
Kecuali Siau-lim-pay, Bu-tong, Kay-pang dan Hek-poh
atau Gedung Hitam, semua partai2 dan perhimpunan silat
kecil2 telah ditelan dan dilebur ke dalam Thian tong kau
itu.
Tetapi Cu Jiang tak tertarik akan partai baru itu. Dia
tetap mencurahkan perhatian pada musuh utamanya yakni
gerombolan kedelapan belas durjana yang disebut Sip-patthian
mo itu.
Setiap detik, menit dan jam, hatinya selalu tersikut oleh
dendam kesumat terhadap kawanan durjana itu. Darahnya
bergolak keras ketika teringat akan peristiwa yang lalu yang
menyebabkan kedua orang tuanya mati dan yang membuat
dirinya sekarang menjadi pemuda cacad dan bermuka
buruk.
Kini hutang itu harus di impas. Setelah memasuki daerah
Kwitang dia terus menuju ke Sujwan. Rencananya dari Sujwan
terus akan menuju ke gunung Keng san tempat
markas Gedung Hitam.
Ia belum tahu apakah ketua dari Gedung Hitam itu
terlibat juga dalam peristiwa berdarah, masih harus
diselidiki. Tetapi tentang dendam dengan Go-leng cu dan
Thian-hiancu memang sudah jelas.
Terhadap gerombolan durjana Sip pat-thian-mo, harus
mencari kesempatan untuk menemui mereka. Untuk itu
harus menggunakan siasat memikat perhatian mereka.
Hari itu dia tiba di kota Keng-ciu wilayah Sujwan. Saat
itu hari sudah menjelang petang. Seperti beberapa hari yang
lalu, dia membeli saja makanan dan minuman botolan, lalu
mencari tempat yang sunyi untuk beristirahat.
Dia tak mau masuk kota melainkan melingkar memutari
kota itu untuk mencari tempat yang sepi. Tak berapa lama,
dia melihat sebuah biara. Dengan langkah yang terpincangpincang
dia menghampiri biara itu. Ketika tiba di muka
biara itu, pada papan nama di atau pintu terpampang tiga
buah huruf besar: Bu Hou Si atau tempat pemujaan
panglima perang.
Biara itu sunyi senyap tiada bekas dupa sembahyangan.
Rupanya sebuah tempat pemujaan yang tak pernah
dikunjungi orang lagi. Hal itu mencocoki selera Cu Jiang.
Dia memang hendak mencari tempat yang sepi dan tenang.
Setelah masuk dia terus duduk bersila dan membuka
bungkusan makanan. Selesai makan hari pun sudah malam,
suasana amat sunyi.
Dalam biara yang sebesar itu ternyata tiada berpenghuni
sama sekali. Cu Jiang mulai mencurahkan pikirannya untuk
merenungkan ilmu pelajaran Kim-kong-sin kang yang
belum difahaminya itu.
Entah berapa lama, ketika rembulan berada di tengah,
tiba2 terdengar derap langkah kaki orang mendatangi dan
masuk. Masakan tengah malam buta seperti saat itu,
muncul seorang pendatang. Siapa mereka?
Dua sosok bayangan melesat ke dalam ruang. Yang di
depan seorang baju hitam setengah tua. Yang di
belakangnya seorang bun-su ( orang terpelajar ), juga
setengah tua. Cu Jiang tak asing lagi dengan bun su itu.
Siapa lagi kalau bukan Ho Bun Cai, congkoan atau
pengurus Gedung Hitam.
Seketika teringatlah Cu Jiang akan peristiwa yang
lampau. Ho Bun Cai giat menyelidiki jejak pemuda pelajar
baju putih ( Cu Jiang sendiri kala masih belum rusak
mukanya )
Sebagai seorang congkoan Gedung Hitam tetapi ternyata
Ho Bun Cai itu itu malah membunuh beberapa jago
Gedung Hitam sendiri. Pernah membantunya lolos dan
penjara neraka Gedung Hitam. Diam2 Cu Jiang mengakui
bahwa ia masih berhutang setitik budi kepadanya.
Mengapa congkoan itu tiba2 muncul di biara situ?
Siapakah sebenarnya orang itu? Agar tak dipergoki mereka,
Cu Jiang kerahkan tenaga sakti. Tanpa berkisar dari posisi
duduknya, tubuhnya melayang ke belakang sebuah tiang
yang besarnya sepemeluk lengan orang.
Tepat pada saat itu kedua orang itupun muncul di tengah
ruang.
"Di sini saja kita selesaikan," tiba2 orang baju hitam itu
berseru dingin.
Ho Bun Cai tertawa hambar:
"Tio Pit Bu, mengapa engkau tetap ngotot demikian
rupa?"
Pengawal Hitam yang bernama Tio Pit Bu itu tertawa
dingin:
"Ho Bun Cai, urusan ini harus diselesaikan. Kalau tidak
bagaimana dapat mengubur agar arwah suhu mengasuh
dengan tenang di alam baka ..."
"Kalau menurut umur, aku lebih tua dua tahun dari
engkau, " seru Ho Bun Cai dengan nada serius, "layaknya
kusebut engkau sebagai hian-te. Pada masa itu guruku dan
gurumu merupakan sepasang sahabat yang karib . . ."
"Tutup mulutmu! Kalau memang karib hubungannya
mengapa tak mau memberi kelonggaran pada orang?"
"Hiante, ucapanmu itu mengandung prasangka . . . . "
"Prasangka ? Adalah karena hal itu maka mendiang
suhuku sampai binasa. Pada saat menutup mata masih tetap
tak melupakan jurus ilmu pedang yang menyebabkan dia
mendendam kebencian !"
"Hiante, sebenarnya kedua orang tua itu tidak
bermusuhan, hanya .... hanya . . .."
"Hanya bagaimana ?"
"Gurumu itu berwatak agak mau menang sendiri."
"Ngaco! Gurumulah yang hendak membuktikan bahwa
dirinya adalah jago pedang nomor satu didunia ini sehingga
dia tak mau mempedulikan sahabat lagi."
"Hiante, Jurus ilmu pedang itu adalah ciptaan mendiang
guruku sendiri. Pada waktu mereka mengadu kepandaian
tujuannya tak lain hanya saling menguji dan mempelajari
kelemahan masing2 ..."
"Ah, tak perlu menguraikan peristiwa yang telah lalu.
Perhitungan yang oleh angkatan terdahulu belum selesai,
kita sebagai angkatan sekarang harus menyelesaikannya.
Marilah kita buktikan, apakah Jurus ilmu pedang ciptaan
gurumu itu benar2 merupakan ilmu pedang yang tiada
tandingannya dalam dunia ini!"
"Ah, siapapun yang menang atau kalah, engkau atau
aku, lantas bagaimana ?"
"Jika aku sampai kalah," seru Tio Pit Bo dengan nada
tergetar, "aku akan bunuh diri."
Seketika wajah Ho Bun Cai berobah: "Ah, janganlah
hiante begitu serius. Kedua beliau sudah menutup mata,
kita sebagai angkatan sekarang masakan hendak mengikuti
jejak mereka?"
"Lebih dari sepuluh tahun aku membenam diri dari
dunia ramai, perlunya hanya untuk menunggu saat seperti
sekarang ini !"
"Hiante menganggap hal itu sebagai suatu dendam
permusuhan ?"
"Permusuhan sih bukan tetapi hanya dendam saja."
"Tetapi aku sudah bersumpah takkan menggunakan
jurus ilmu pedang itu lagi."
"Apakah dengan alasan itu engkau hendak menjaga
gengsi ?"
"Tidak hiante, apa yang kukatakan itu memang
sesungguhnya."
"Keputusanku sudah mantap, tak mungkin di robah
lagi."
Sudah tentu Cu Jiang tak mengerti apa yang mereka
percakapkan itu. Tetapi ia hanya menduga bahwa urusan
itu menyangkut pertengkaran yang terjadi pada guru
mereka. Memang rata2 kaum persilatan mempunyai watak
begitu, menganggap "nama baik" itu lebih berharga dari
Jiwa.
"Hiante, apakah sudah engkau pikirkan akibatnya ?" seru
Ho Bun Cai pula.
"Akibat yang bagaimana?"
"Demi menjaga agar nama baik mendiang guruku tak
sampai terhina, terpaksa aku harus mainkan jurus itu
dengan sepenuh tenaga."
"Justeru itulah yang kukehendaki !"
"Tetapi begitu dimainkan. Jurus ilmu pedang itu tentu
melukai orang..."
"Juga ilmu pedangku nanti."
"Untuk apakah kita akan bertempur ini ?"
"Demi menumpahkan ganjalan hati"
"Tetapi aku tak mau menggunakan jurus itu."
"Engkau harus!"
"Kalau tidak ?"
"Akan segera kusiarkan kepada dunia persilatan bahwa
ilmu pedang gurumu itu ternyata bukan Ilmu pedang yang
menjagoi kolong langit!"
"Kalau begitu, silahkan hiante menyiarkan!"
"Ilmu pedang ajaran suhu dikala beliau hendak menutup
mata, tak dapat disiarkan ke dunia persilatan bersama
dengan jurus ilmu pedang gurumu itu."
"Apa maksudmu ?"
"Malam ini marilah kita sama2 menguji mana yang lebih
sakti."
"Adu Jiwa?"
"Mati hidup tergantung dari kepandaian yang didapat
masing2. Jangan mengaitkan dengan kata adu Jiwa."
Sebagai putera dari Kiam-seng (Nabi pedang) sudah
tentu Cu Jiang tertarik sekali. Rupanya yang
dipertengkarkan kedua orang itu mengenai sebuah jurus
ilmu pedang yang tiada tandingannya.
Apakah didunia ini benar2 terdapat ilmu pedang yang
tiada lawannya?
Jika begitu ilmu pedang Thian te-kiamhoat atau Langit
bumi-saling-terangkap yang dipelajarinya dari kitab Giokkan-
kim- keng itu termasuk ilmu pedang tingkat
bagaimana?
Ah, lebih baik ia melihat saja ilmu pedang apa yang akan
dipertunjukkan kedua orang itu.
"Aku tetap tak mau mengeluarkan ilmu pedang Itu," seru
Ho Bun Cai.
"Takut ?"
"Bukan begitu."
"Suatu pengakuan tak berani?"
"Juga bukan."
"Hm, kalau begitu harus dibuktikan."
Dalam berkata itu, Tio Pit Bupun sudah mencabut
pedang dan mengambil sikap dalam gaya yang aneh sekali.
Sekali dipandang tampaknya rapat sekali dan sukar
diserang tetapi dalam pandangan Cu Jiang, masih ada
beberapa bagian kelemahannya.
Ho Bun Cai tiba2 mundur selangkah dan berseru dingin:
"Maaf, tak dapat melayani!"
"Tidak ! Loloslah pedangmu !"
"Tidak !"
"Sungguh tak mau ?"
"Tidak !"
"Penakut, engkau mencemarkan nama baik gurumu."
Wajah Ho Bun Cai menampil kerut kedukaan tetapi
sepasang matanya berapi-api. Tetapi hanya sekejap terus
padam lagi. Dengan mengerenyit geraham dia berkata.
"Hiante. aku tetap tak mau mencabut pedang."
"Engkau tak mau menjaga diri ?"
"Apakah hiante hendak membunuh orang yang tak
melawan ?"
"Mungkin ! Aku mungkin .... melakukan hal itu," seru
Tio Pit Bu dengan nada tinggi dan geram.
Diam2 Cu Jiang heran mengapa Ho Bun Cai menolak
untuk adu kepandaian dengan orang itu. Memang tindakan
itu dapat digolongkan pengecut, suatu perbuatan menghina
perguruan sendiri.
Jelas dia tahu bahwa Ho Bun Cai itu bukan penakut
tetapi mengapa dia bersikap seaneh itu ? Apakah karena dia
tahu tak dapat menang ? Ataukah karena mempunyai
alasan lain ?
"Cabut pedangmu !" kembali Tio Pit Bu berteriak.
"Tidak!" Ho Bun Cai tetap menolak.
Ujung pedang Tio Pit Bu bergetar perlahan, sekali
menyambar tentulah dada Ho Bun Cai akan tembus.
"Kubilang cabutlah pedangmu dan jaga dirimu dari
seranganku. Ho Bun Cai, engkau adalah murid pewaris dari
jago pedang nomor satu di dunia !"
"Siapa bilang ? Dalam dunia persilatan siapa yang tahu?"
"Aku yang tahu, itu sudah cukup !"
"Ah, hiaute, kita berdua bertempur adu jiwa, engkau
yang menang atau aku menang, tiada orang yang menjadi
saksi . .. ."
"Bagaimana kalau aku yang menjadi saksi ?" tiba2
sebuah suara parau berkumandang dari ujung sudut
ruangan dan menyusul sesosok bayangan melesat ke tengah
ruang dalam gerak yang seringan daun kering gugur. Kini di
tengah ruangan bertambah dengan seorang tua berambut
putih bertubuh kurus kering.
Cu Jiang terkejut. Dia tak menyangka bahwa diruang itu
masih terdapat seorang lain lagi. Menilik gerakannya, jelas
orang tua berambut putih itu bukan seorang tokoh yang
lemah.
Ho Bun Cai dan Tio Pit Bu serempak berpaling.
"Apakah anda ini bukan Thian put-thou Ciok Siau Ji?"
seru Ho Bun Cai seraya kerutkan dahi.
Melangkah dan berhenti lebih kurang setombak jauhnya,
orang tua berambut putih itu tertawa gelak-gelak.
"Benar, memang aku inilah orangnya!"
Cu Jiang terkejut lagi. Dia tak kira kalau orang tua
berambut putih dan bertubuh kurus kering, ternyata raja
pencuri yang termasyhur dalam dunia persilatan.
Kepandaiannya mencuri memang hebat sekali sehingga
orang persilatan menggelarinya dengan julukan Thian-putthoo
atau Hanya-langit-yang-dia tak-mampu-mencuri.
Semua benda apapun dalam dunia dia sanggup mengambil
kecuali langit.
Sejak pertama-tama keluar mengembara kedunia
persilatan, waktu tiba didaerah Kanglam, Cu Jiang pernah
mendengar nama orang itu. Sungguh tak kira bahwa malam
itu dia bakal bertemu dengan manusianya.
Menurut cerita orang persilatan Thian-put-thou itu
berwatak aneh, ilmu kepandaiannya tinggi, suka usil
mencampuri urusan orang. Sekali dia menggoda, orang
tentu akan kewalahan, Tak peduli benda apa saja, asal dia
melihat dan senang, tentu takkan berhenti berusaha
mengambilnya sebelum dapat. Pendek kata, kecuali langit,
dia akan mencuri segala apa dalam dunia ini.
Tetapi ada suatu keganjilan pada diri pencuri itu.
Walaupun dia digelari sebagai pencuri sakti tetapi dalam
soal kebaikan dan kepahlawanan, namanya tak kalah
dengan Bu-lim-seng-hud Sebun Ong.
Tio Pit Bu segara memberi hormat kepada Thian-putthou,
serunya:
"Sungguh kebetulan sekali Ciok cianpwe hadir, mohon
suka menjadi saksi dalam pertandingan kami ini."
Thian-put-thou tertawa gelak2: "Kalian berebut soal
kebesaran nama?"
"Ya."
"Tujuannya hanya hendak membuktikan siapa
sebenarnya yang paling unggul ilmu pedangnya ?"
"Ya."
"Jika demikian sebutkanlah nama perguruan kalian !"
"Maaf, aku tak dapat memberitahukan nama suhuku,"
seru Ho Bun Cai.
Tetapi Tio Pit Bu cepat merebut pembicaraan dengan
berseru:
"Mendiang guruku adalah Hui-kong kiam Go Siok
Ping!"
Mendengar itu Cu Jiang terkejut sekali, Hui-kong-kiam
Go Siok Ping termasuk salah seorang jago pedang kelas
satu dalam dunia persilatan. Semasa hidupnya, ayah Cu
Jiang sering membicarakan tokoh itu sebagai seorang
manusia yang berdada sempit dan pikiran cupet.
Hal itu merupakan pantangan dalam pelajaran ilmu
pedang. Kalau tidak. Go Siok Ping pasti memperoleh
kemajuan ilmu pedang yang tiada taranya.
Thian- put thou mengangguk lalu memandang Ho Bun
Cai. serunya:
"Kutahu siapa gurumu, tak usah engkau katakan!"
"Terima kasih atas kepercayaan locianpwe," seru Ho Bun
Cai dengan wajah cerah.
Tetapi diam2 Cu Jiang kecewa. Sebagai putera seorang
tokoh yang digelari sebagai Nabi-pedang ternyata dia tak
banyak mengetahui nama tokoh ilmu pedang dalam dunia
persilatan.
"Ho heng. apakah kita dapat mulai?" seru Tio Pit Bu
yang menyala-nyala nafsunya.
Ho Bun Cai gelengkan kepala:
"Telah kukatakan, aku tak mau menggunakannya."
"Tidak beralasan sama sekali!"
“Mengapa hiante tak dapat memaafkan orang."
"Aku hanya ingin adu ilmu pedang, aku hanya ingin
membuktikan, lain2 hal aku tak peduli!" seru Tio Pit Bu
dengan nada keras.
"Maaf, aku tak dapat melayani," Ho Bun Cai tetap pada
pendiriannya.
Tio Pit Bu hilang kesabarannya. Gentar pedang dia
berteriak dengan marah:
"Engkau harus turun tangan!"
"Tidak!"
"Takut kubunuh?"
"Silahkan turun tangan!"
"Ho Bun Cai, engkau kira aku tak berani?"
"Kalau berani, langsungkanlah!"
Thian-put-thou kerutkan alisnya yang putih, serunya:
"Menurut pendapatku orang tua ini, sudahlah."
"Tidak bisa sudah begini saja," teriak Tio Pit Bu dengan
nada gemetar, "aku Tio Pit Bu kalau pulang tak membawa
kemenangan, lebih baik kuserahkan jiwaku di tempat ini.
Jika Ciok locianpwe tak suka menjadi saksi, silahkan
menonton di pinggir saja. Dia, jika tak mau menangkis
seranganku, bukan salahku!"
Thian put-thou tertawa gelak2:
"Tunggu dulu! Yang berada di tempat ini, bukan hanya
aku seorang."
"Hai ...." Ho Bun Cai dan Tio Pit Bu serempak berseru
kaget. Mereka tak mengira bahwa dalam ruang itu masih
terdapat seorang lagi.
Juga tak terperikan kejut Cu Jiang. Karena menyadari
jejaknya telah diketahui si pencuri sakti, akhirnya ia
memutuskan untuk unjuk diri.
"Sahabat, silahkan ke luar!" belum ia melaksanakan
keputusannya, si raja pencuri sudah berseru ke arahnya.
Cu Jiang segera berdiri lalu melangkah keluar,
menghampiri ke tempat mereka. Dia berhenti tiga empat
langkah dari mereka.
"Aku baru pertama kali ini mengembara ke luar, tak
kenal dengan siapa saja! " serunya.
"Kalau begitu, silahkan sahabat tinggalkan tempat ini,"
seru Tio Pit Bu.
"Kenapa?"
"Menurut tata peraturan dunia persilatan, suatu
pantangan apabila orang mencuri dengar percakapan orang.
Apalagi saat ini kami sedang membicarakan urusan pribadi
Tidak mengharap orang luar ikut campur dan
mendengarkan."
Tiba2 terlintas sesuatu dalam benak Cu Jiang. Jika ia
bertindak, sekaligus ia akan memperoleh tiga keuntungan.
Pertama, rupanya Ho Bun Cai menyimpan sesuatu rahasia,
karenanya tak mau bertempur. Dia merasa berhutang setitik
budi dari Ho Bun Cai, biarlah dia yang mewakili Ho Bun
Cai untuk menyelesaikan urusan itu.
Kedua, diapun mendapat kesempatan untuk menguji
sampai dimana tingkat ilmu pedang yang dipelajari selama
ini. Dan ketiga, apabila dapat menundukkan lawan, tentu
akan cepat tersiar ke dunia persilatan. Dengan begitu
tentulah akan menarik perhatian dari orang2 yang justeru
hendak dicarinya itu.
Setelah mantap dengan rencananya, Cu Jiang menjawab
tegas:
"Aku yang lebih dulu datang ke sini. Dan kalian datang
belakangan. Menurut peraturan, kalianlah, yang seharusnya
pindah ke lain tempat."
"Apakah sahabat tahu tata peraturan?"
"Tentu."
"Kalau begitu silahkan pergi."
"Telah kukatakan, kalau pergi seharusnya kalian yang
pergi. "
"O, apakah sahabat memang hendak ikut campur dalam
urusan ini?"
"Kalau memang perlu begitu."
Tiba2 mata Ho Bun Cai tertumbuk pada pedang yang
tergantung pada pinggang Cu Jiang. Seketika wajahnya
berobah dan berseru dengan nada tergetar:
"Sahabat engkau . . . pedangmu . . .."
“Kenapa?" Cu Jiang juga terkejut.
"Kumaksudkan .... pedang dalam kerangka itu . . . . "
"Sudah tentu pedang tersimpan dalam kerangkanya!"
Beberapa jenak Ho Bun Cai memandang Cu Jiang
kemudian berkata pula dengan nada gemetar:
"Kerangka pedang sahabat ini tentu bukan kerangka
yang aseli."
Kali ini Cu Jiang terbeliak kaget. Rupanya orang2
persilatan paham akan pedang pusaka yang digunakan
mendiang ayahnya. Namun ia beralih tanya tak acuh:
"Apa maksud kata2 anda itu?"
"Aku faham sekali akan pedang itu, tetapi belum pernah
melihat kerangkanya semacam itu."
"Aneh benar anda ini."
"Siapakah nama sahabat?"
Cepat Cu Jiang mendapat pikiran, dengan tegas dia
menyahut:
"Toan- kiam Jan-jin"
"Apa? Sahabat bernama Toan-kiam Jan-jin?"
Ho Bun Cai menegas. Toan kiam artinya pedang kutung.
Jan-jin artinya orang cacad. Orang cacad bersenjata pedang
kutung.
"Pedang itu . . ."
“Bu-te-toan kiam, minumannya hanya darah bangsa iblis
durjana!" kata Cu jiang. Bu te-toan-kiam artinya pedang
kutung-tanpa-lawan.
Cu Jiang hanya mengangguk tak menjawab. Tio Pit Bu
memandang Ho Bun Cai dan berseru:
"Engkau dengar, bukan ? Pedang tanpa tanding ?"
"Ya, dengar. Bagaimana ?"
"Tak ada komentar."
Tio Pit Bu mendengus dingin lalu berpaling lagi kepada
Cu Jiang :
"Aku merasa gembira jika sahabat suka memberi
pelajaran ilmu Pedang-tanpa-tanding itu."
"Suatu tantangan ?"
"Boleh dianggap begitu!"
"Bukan aku hendak menyombongkan diri tetapi anda
pasti tak mampu menahan sejurus saja."
Seketika berubahlah wajah Tio Pit Bu.
"Engkau sungguh besar mulut!" serunya marah.
"Memang begitu kenyataannya," Cu Jiang tetap
menyahut dengan nada dingin.
"Kalau begitu mari kita buktikan !"
"Boleh," Cu Jiang terus memandang Thian-put thou dan
berseru: "Harap cianpwe menjadi saksi !"
Raja pencuri itu hanya mengangguk.
Saat itu sikap Tio Pit Bu berobah sembilan puluh derajat.
Jika tadi dia tenang2, kini dia tampak serius sekali.
Diam2 Cu Jiang memuji dalam hati. Memang begitulah
layaknya sikap seorang jago pedang yang berkepandaian
tinggi.
"Silahkan!" ia berseru.
"Mengapa anda tak mencabut pedang?" Tio Pit Bu
menegur.
"Silahkan anda menyerang dulu, begitu kucabut pedang
tentu anda kalah !"
Ucapan itu benar2 menggelitik hati orang. Tetapi
ternyata Tio Pit Bu tak kena diprovokasi. Ia segera
mengambil sikap dan pusatkan perhatian. Cu Jiangpun
terpaksa tak berani mengabaikan. Dia juga pasang kudakuda.
Keduanya mengambil sikap yang hebat. Pertempuran itu
pasti akan dahsyat. Suasana makin tegang. Ho Bun Cai dan
Thian-put-thou juga ikut tegang pula sebagai seorang tokoh
silat, keduanya terasa bahwa pelajar yang mengenakan
kerudung muka ini memang tidak bermulut besar.
Kenyataannya memang seorang ahli ilmu pedang yang
sukar diketahui tingkat kepandaiannya.
Dahi Tio Pit Bu mulai mengucur keringat. Berhadapan
mengadu sikap itu jauh lebih menekan perasaan dan lebih
berbahaya daripada bertempur dengan pedang.
Tiba2 sebuah gemboran teras memecahkan ketegangan
dan menyusul terdengar dering nyaring dari dua buah
senjata yang beradu keras. Tetapi cepat sekali sinar pedang
yang berhamburan itu lenyap lagi.
"Ah," beberapa saat kemudian terdengar Ho Bun Cai
mendesah kejut.
Sementara Thian-put-thoupun menyeloteh seorang diri:
"Malang melintang delapan belas tahun, baru malam ini
mataku terbuka. "
Cu Jiang menyarungkan pula pedangnya ke dalam
kerangka.
Tiba2 terdengar Tio Pit Bu melengking geram dan putus
asa:
"Ah, sudahlah." dia terus menusuk tenggorokannya
sendiri.
"Jangan!" secepat kilat Thian put-thou melesat dan
mencengkeram tangan Tio Pit Bu.
"Ah, mengapa anda hendak berbuat begitu? Apakah
anda tak memiliki sedikit kesabaran saja? Dalam dunia ini
tiada yang disebut ilmu pedang tanpa tanding. Tidak ada
yang dikata pedang nomor satu. Yang kuat masih ada yang
lebih kuat. Apa perlunya anda berebut soal nama kosong? "
kata Cu Jiang.
Tio Pit Bu menghela napas panjang, kemudian mulut
mengigau:
"Toan-kiam Jan-jin! Toan-kiam Jan-jin !"
Sesaat Thian-put-thou lepaskan cengkeramannya, Tio Pit
Bo terus lari keluar dan tetap berteriak . "Toan-kiam Jan jin.
. ."
"Ah, dia sesungguhnya seorang jago pedang ternama,
sayang .. . ," baru Ho Bun Cai berkata begitu, Thian-put
thou sudah menyanggupi.
"Sayang bertemu dengan sahabat ini !" Kemudian
dengan tersendat-sendat, Ho Bun Cai berkata kepada Cu
Jiang:
"Sahabat, dapatkah .... aku mohon keterangan tentang
asal usul pedang kutung anda itu ?"
"Aku akan menjawab segala pertanyaan apapun kecuali
soal itu," sahut Cu Jiang.
Ho Bun Cai terkesiap tak berani berkata apa-apa lagi.
Tiba2 Cu Jiang melihat bahwa jari kiri si Raja pencuri
hanya tinggal tiga buah. Jari telunjuk dan jari tengahnya
hilang Serentak dia teringat akan penemuannya dua buah
jari tangan ditempat kedua ayah bundanya terbunuh
dahulu. Seketika meluaplah darah Cu Jiang. Dipandangnya
Thian-put-thou dengan pandang mencekam.
Rupanya tahu juga orang tua berambut putih yang
bergelar Thian-put-thou itu.
"Sahabat, mengapa engkau memandang diriku begitu
rupa ?"
"Tangan kirimu !"
"Tangan kiriku mengapa ?"
"Mengapa jarinya kurang dua buah ?" Seketika wajah
Thian put-thou berobah geram. Urat2 dahinyapun
meregang-regang dan berat, barulah dia berkata dengan
nada getar:
"Apakah maksudmu ?"
"Aku ingin tahu !"
"Apakah engkau hendak cari-cari?"
"Terserah, pasti aku minta supaya engkau memberi
keterangan !"
Thian-put-thou tak dapat menahan kemarahannya lagi:
"Hak apa engkau hendak menanyakan soal itu ?"
"Kurasa aku memang mempunyai kepentingan untuk
mengetahui." sahut Cu Jiang dengan dingin.
"Sudah berpuluh tahun aku malang melintang di dunia
persilatan, belum pernah ada orang yang berani
memperlakukan aku begitu liar . . ."
"Anggaplah malam ini sebagai suatu pengecualian !"
"Menyelidiki urusan peribadi orang, merupakan
pantangan dalam dunia persilatan . ."
"Kalau melakukan tindakan yang terang dan benar,
kenapa tetap takut diketahui orang?"
"Dalam hal apa aku bertindak tak terang?"
"Aku hanya minta agar anda suka menuturkan tentang
hilangnya kedua jari anda itu."
"Kalau aku tak mau ?"
"Mungkin anda tak dapat menolak !"
"Apa engkau hendak menumpahkan darah !"
"Mungkin."
Karena marahnya tubuh Thian put-thou sampai
menggigil. Tetapi berhadapan dengan seorang jago pedang
yang misterius seperti yang dihadapinya saat itu, dia tak
dapat berbuat apa2.
Mungkin, saat itu merupakan saat yang paling menyiksa
hatinnya selama hidup ini. Dan merupakan adegan yang
paling menekan jiwanya.
"Ah, tentulah ada sebabnya mengapa sahabat begitu
mendesak hendak mengetahui hal itu !" tiba2 Ho Bun Cai
ikut bicara lagi.
Sejenak melirik kepadanya. Cu Jiang menyahut:
"Tentu, kalau tidak masakan aku hendak mencari
perkara!"
"Menurut pengetahuan, empat puluh tahun yang
lampau, di dunia persilatan telah muncul seorang tokoh
sakti yang jarang mendapat lawan. Dia bernama Nabi
pedang-berjari-tujuh !"
"Nabi-pedang-Jari-tujuh ?"
"Benar. Dan Nabi pedang - jari - tujuh pada empat puluh
tahun yang lalu itu adalah Thian-put-thou Ciok cianpwe
saat ini!"
"Apakah peristiwa itu terjadi pada empat puluh tahun
yang lalu?"
"Benar."
"Sungguh ?"
"Sungguh ! Yang kenal akan nama Nabi-pedang-jari
tujuh bukan hanya aku seorang !"
Cu Jiang memandang Thian-put-thou, ujarnya :
"Benarkah begitu ?"
"Benar," sahut Thian-put-thou.
Tiba2 Cu Jiang mengangkat kedua tangan memberi
hormat.
"Ah. aku salah faham, harap dimaafkan."
"Tak apa," Thian-put-thou tertawa menyeringai.
Cu Jiang kembali berpaling memandang Ho Bun Cai
hendak berkata tetapi tiba2 tak jadi. Dia berputar tubuh
terus melangkah keluar.
Dingin, misterius dan nyentrik sekali sikapnya saat itu.
"Tunggu dulu !" tiba2 Thian put-thou berseru.
Cu Jiang berputar tubuh tetapi tak berkata apa2. Thianput-
thou maju menghampiri.
"Engkau benar2 memiliki perbawa seorang bu-su
(ksatrya). Kalau tak kukatakan isi hatiku, rasanya masih
mengganjal. Lima puluh tahun yang lalu, aku
mengandalkan sebatang pedang malang melintang di
daerah Kanglam Kang-pak. Itu waktu aku masih muda dan
menganggap diriku yang paling sakti. Tetapi dalam sebuah
pertempuran hebat, aku telah kehilangan dua buah jari.
Sejak itu aku digelari orang sebagai Jit-ci seng-kiam atau
Nabi-pedang jari-tujuh.
Kecewa dengan kekalahan itu, aku mengasingkan diri
dan beralih selama lima tahun, kemudian keluar lagi untuk
mencari musuh itu. Secara kebetulan, akupun dapat
bertemu dan melangsungkan pertempuran. Aku beruntung
menang dan menjadikan dia cacad
Waktu kutanya asal usul dirinya, kejutku bukan alang
kepalang. Ternyata dia adalah kakak kandungku sendiri
yang sejak kecil sudah berpisah dengan aku. Serentak
kupatahkan pedang dan bersumpah. Sejak saat itu aku tak
mau menggunakan pedang lagi. Demikianlah sekelumit
kisah hidupku!"
"Oh, kiranya begitu. Maafkan kalau tanpa sengaja aku
telah mengungkit lagi peristiwa yang menusuk perasaan
locianpwe." Cu Jiang dengan lapang dada meminta maaf.
"Tetapi engkohku sudah meninggal, dan tak lama
akupun tentu akan mati. Tak ada sesuatu yang harus
dipedihkan lagi, "kata Thiau-put-thou.
"Aku mohon diri!" Cu Jiang memberi hormat lalu
lanjutkan langkah.
"Ahli pedang seperti dia, dalam seratus tahun sukar
ditemui," Thian-put-thou mengigau seorang diri.
Sambil memandang bayangan Cu Jiang, Ho Bun Caipun
berkata:
"Seorang yang cacad tubuhnya ternyata mampu
memiliki kepandaian sesakti itu ...."
"Itu yang dikatakan, jangan pandang orangnya tetapi
kepandaian." sambut Thian-put thou.
"Cianpwe kaya akan pengalaman dan luas pandangan.
Dapatkah cianpwe memberitahu, apakah sumber ilmu
pedang orang itu?" tanya Ho Bun Cai.
"Sedikitpun aku tak mengetahui?"
"Mungkinkah dia seorang jago pedang dari seberang
lautan?"
"Sukar diduga."
Dalam pada itu Cu Jiangpun sudah jauh dari biara.
Rembulan sudah pudar dan angin segar mulai berhembus.
Saat itu menjelang pagi.
Dari pertandingan tadi, dia mulai menaruh kepercayaan
pada ilmu pedang yang dimilikinya. Apabila ajaran ilmu
pedang It-kiam-tui-hun dari mendiang ayahnya, ia mainkan
dengan tenaga sakti yang dimilikinya sekarang, tentu
perbawanya hebat sekali.
Tak mungkin lemah lagi. Rasanya dalam dunia
persilatan dewasa itu, jarang sekali jago silat yang mampu
menerima serangan dengan ilmu pedang itu.
Mendiang ayahnya telah digelari sebagai Kiam-seng ibu
Nabi pedang. Tentulah gelar itu bukan didapat dengan siasia.
Tetapi ilmu pedang ayahnya apabila dibanding dengan
ilmu pedang Thian-te-kiau-thay, ah, masih kalah tinggi.
Hal itu menandakan bahwa ilmu silat itu benar2 tiada
batasnya.
Tak lama hari pun pagi, Kota Kengciu sudah tertinggal
jauh di belakang. Tiba2 ia tersentak oleh sebuah
pemandangan yang mengerikan di sebelah muka.
Di tengah jalan terdapat sebelas tubuh manusia yang
terkapar malang melintang. Mereka berpakaian warna
hitam. Empat orang diantaranya memakai mantel hitam.
Cu Jiang tak ragu lagi. Kesebelas mayat itu tentulah anak
buah Gedung Hitam.
Mayat2 itu keadaannya mengerikan sekali. Jelas bahwa
pembunuhnya telah melampiaskan dendam kebencian yang
meluap-luap. Terutama keempat Pengawal Hitam itu,
tubuhnya penuh berhias tusukan pedang. Rupanya sebelum
mati mereka telah melakukan pertempuran dahsyat.
Tetapi siapakah gerangan yang berani bermusuhan
dengan Gedung Hitam? Yang dapat membunuh Pengawal
Hitam tentulah tokoh yang sakti. Tetapi apakah pembunuh
itu hanya seorang atau beberapa orang?
Karena tiada hubungan dengan kepentingannya, Cu
Jiangpun tak mau menyelidiki lebih lanjut Ia terus berjalan.
Tetapi baru setengah li jauhnya, kembali dia berhadapan
dengan pemandangan yang ngeri lagi.
Kali ini lima sosok mayat malang melintang di tengah
jalan jalan. Empat di antaranya berpakaian ringkas warna
kuning dan seorang mengenakan jubah kuning. Kepala
mereka hancur, benaknya berhamburan ke luar.
Apakah artinya itu? Apakah dalam dunia persilatan
muncul pula seorang momok yang ganas?
Dan siapakah mayat-mayat berpakaian kuning itu ?
Di kala Cu Jiang sedang menimang-nimang peristiwa
aneh itu, tiba2 tiga sosok bayangan berlarian mendatangi.
Ketika dekat, ternyata mereka berpakaian baju kuning
semua. Seorang mengenakan jubah panjang dan yang dua
berpakaian ringkas seperti umumnya kaum persilatan.
Mereka itu jelas sekaum dengan korban2 baju kuning
yang terkapar di tengah jalan.
"Hai!"
Terdengar teriakan kaget dan ketiga orang baju kuning
itupun serempak berhenti.
Orang berjubah kuning itu seorang lelaki tua, matanya
tajam, hidung seperti paruh burung elang. Dengan wajah
sarat dan mata berapi memandang Cu Jiang.
"Sahabat, engkau terlalu ganas.!" serunya.
"Aku hanya kebetulan jalan di tempat ini," sahut Cu
Jiang.
"Sudah membunuh orang masih tak berani mengaku?"
"Gila!"
"Sebutkan namamu!"
Tetapi Cu Jiang tak peduli. Setelah mendengus dia terus
ayunkan langkah.
"Berhenti!" teriak orang tua jubah kuning itu seraya
menghadang jalan. Sementara kedua lelaki muda yang lain
terus mencabut pedang dan mencegat di kanan kiri Cu
Jiang.
"Apakah artinya ini? " seru Cu Jiang.
"Hutang jiwa bayar jiwa!" lelaki tua itu tertawa seram.
Cu Jiang tertawa mengkal tetapi dia masih dapat
menguasai diri, serunya:
"Sudah kukatakan dengan sejujurnya, aku hanya
kebetulan lalu di tempat ini."
"Beritahukan namamu!"
"Tak perlu."
"Minta mati, ya? "
"Engkau tak layak mengatakan begitu."
"Jangan menutup muka pura2 jadi orang baik. Tahukah
engkau aku ini siapa?"
"Siapa? "
"Kepala barisan keamanan dari perkumpulan Thong
thian-kau cabang Siok-ciu."
Cu Jiang terkesiap. Sepanjang berita yang didengarnya
sepanjang perjalanan, partai yang baru muncul ialah Thong
thian-kau, makin berkembang dan makin mendesak
pengaruh Gedung Hitam. Tak kira kalau kawanan orang
baju kuning itu ternyata anak buah mereka.
"Aku tiada mempunyai kepentingan suatu apa dengan
partai kalian," seru Cu Jiang dengan nada dingin.
"O. kalau begitu jelas engkau memang cari mati."
"Kentut !"
"Bunuh!"
Serta mulut berteriak, serempak kedua lelaki muda baju
kuning itu pun membacok Cu Jiang.
Cu Jiang mengisar tubuh dan menggunakan gerak
langkah Gong-gong-poh-hwat ajaran Gong-gong-cu.
Dengan lincah, dia menghindari serangan pedang.
Tetapi diam2 ia terkejut Juga. Ternyata jurus ilmu
pedang kedua orang itu, cukup unggul. Lebih unggul dari
kepandaian Pengawal Hitam. Dapat digolongkan sebagai
jago kelas satu dalam dunia persilatan.
Ketiga orang baju kuning itu tertegun.
"Jangan memaksa aku membunuh orang!" teriak Cu
Jiang memberi peringatan.
Tetapi kedua lelaki muda baju kuning itu rupanya
penasaran. Dengan mendengus geram, mereka menyerang
lagi, makin ganas.
Setelah lolos dari serangan maut, mata Cu liang berapiapi
memancarkan hawa pembunuhan.
"Apa kalian benar-2 ingin mati?" serunya.
"Ha, dengan mengandalkan ilmu meloloskan diri seperti
setan itu, engkau hendak menggertak kami?" orang tua baju
kuning menyeringai.
Kedua lelaki muda baju kuning mulai menyerang lagi.
"Haahh, bum. ..." terdengar jeritan ngeri dan kedua lelaki
baju kuning itupun rubuh ke tanah. Sementara tahu2 tangan
Cu Jiang sudah mencekal pedang kutung yang memancar
sinar darah.
Orang tua baju kuning mundur beberapa langkah.
Wajahnya berubah pucat dan ketakutan. Rupanya dia tak
tahu cara bagaimana tadi Cu Jiang mencabut pedang dan
membunuh kedua kawannya.
Pelahan-lahan Cu Jiang masukkan pedang kutungnya
kedalam kerangka dan dengan tegas menyebut dirinya:
"Toan-kiam-jan-jin !"
Tetapi lelaki tua baju kuning itu sudah pecah nyalinya.
Tanpa berkata apa2, dia terus lari.
Dengan menyebut nama itu, Cu Jiang bermaksud
hendak memperdengarkan diri agar kawanan durjana yang
menjadi musuh2 keluarganya itu muncul mencarinya.
"Ho, sahabat, ilmu pedangmu sungguh membuat hatiku
pecah !" sekonyong-konyong terdengar gema nyaring dan
dari dalam hutan ditepi jalan muncul seorang lelaki tua
mengenakan jubah berwarna kuning emas.
Dia bukan lain adalah Sebun Ong, yang bergelar Bu limseng
hud atau Budha-hidup dunia-persilatan.
"Bagus," diam2 Cu Jiang bersorak girang dalam hati.
"Bukankah anda ini yang bernama Buddha hidup Sebun
Ong ?" serunya.
Orang itu tertawa gelak2.
"Ho, kiranya engkau juga tahu namaku ?"
"Ya, sungguh beruntung sekali hari ini aku dapat
bertemu muka .. .."
"Ah, Jangan merendah diri !"
"Tetapi memang benar aku hendak mencari anda."
Serentak Sebun Ong hentikan tawa dan berseru kaget:
"Engkau hendak mencari aku?"
"Benar."
"Keperluan ?"
"Menolongi seorang sahabat untuk membereskan suatu
hutang lama dengan engkau !"
"Menagih hutang ?"
"Hm,"
"Sepanjang hidup, Jarang sekali aku meminjam kepada
orang. Siapakah kiranya sahabatmu itu?"
"Anda tentu tak asing lagi dengan orang itu. Dia adalah
Pendekar-besar dari Tionggoan yang bernama Cukat Giok!"
Seketika cahaya muka Sebun Ong berobah dan menyurut
mundur selangkah.
"Apakah Cukat Giok masih hidup ?" serunya.
"Ya." sahut Cu Jiang dengan dingin, "tetapi hiduphidupan,
jauh lebih celaka dari orang mati."
Muka Sebun Ong berkerenyutan. Sampai beberapa saat
tak dapat berkata apa2. Wajahnya berobah-robah dan
akhirnya terluncurlah kata-kata dari mulutnya:
"Dia ... dia masih hidup ?"
"Anda tak menyangka bukan ?"
"Benar, memang tak kusangka sama sekali. Dia seorang
sahabatku yang paling erat. Sejak dia lenyap, aku
membuang waktu sepuluhan tahun untuk mencarinya tetapi
sia2. Kukira dia sudah meninggal.. ."
Mendidih darah Cu Jiang. Sebun Ong benar-benar
seorang manusia yang pandai bermain sandiwara.
Mulutnya bersedih tetapi hatinya membenci. Dia telah
mencelakai sahabat itu dan merebut isterinya. Manusia
yang berhati serigala, masih digelari orang sebagai Buddhahidup.
Dengan begitu jelas dunia persilatan itu kabur akan
pandangannya terhadap manusia baik dan jahat.
"Apakah engkau berkata dengan sesungguh hati?" tegur
Cu Jiang.
"Sudah tentu," sahut Sebun Ong, "di manakah dia
sekarang?"
"Soal itu anda tentu sudah tahu sendiri."
"Ah, mengapa engkau berkata begitu?"
"Sudahlah, jangan berpura-pura. Aku cukup tahu siapa
anda ini. "
Sebun Ong kerutkan alis.
"Sahabat, walaupun aku tak berani bertepuk dada
membanggakan bahwa setiap tindakanku selama ini selalu
berjalan lurus sesuai dengan Jalan Persilatan, tetapi sedikit
banyak aku mempunyai nama."
"Singkat saja kukatakan, bahwa lebih dulu aku hendak
bertemu dengan Ratu-kembang Tio Hong Hui dan puterimu
. . . . "
"Hai, engkau salah. Tio Hong Hui itu isteri Cukat Giok
dan anak perempuan itu juga puterinya . . ."
"Apakah aku boleh bertemu?"
"Tentu saja boleh. Kalau ibu dan anak itu tahu Cukat
Giok masih hidup, ah betapa girang mereka!"
Ucapan itu benar2 diluar dugaan Cu Jiang. Apakah ada
sesuatu rahasia dibalik peristiwa itu? Mengapa Sebun Ong
mengakui bahwa Tio Hong Hui dan puterinya itu adalah
anak isteri Cukat Giok? Dan betapa cepat Sebun Ong
menyanggupi untuk mempertemukannya dengan kedua ibu
anak itu. Hal itu beda sekali dengan keterangan Cukat Giok
tempo hari.
Tetapi ketika dia terjatuh di dasar jurang, dia melihat dan
menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa
penderitaan Cukat Giok saat itu. Apakah dia sampai hati
akan merangkai cerita bohong? Mungkinkah itu?
Menilik keadaannya, keterangan Cukat Giok itu
berlawanan dengan Sebun Ong. Apakah memangnya Cukat
Giok hendak memperalat dirinya untuk melakukan balas
dendam terhadap Sebun Ong. Tetapi ah, pada saat itu
bukankah dia masih seorang pemuda yang cacad dan tak
berkepandaian tinggi? Mungkinkah Cukat Giok hendak
mengelabuhinya supaya menuntutkan balas?
Tetapi di kalangan persilatan nama Sebun Ong itu sangat
harum. Mungkinkah dia akan melakukan perbuatan yang
sedemikian hina, membunuh sahabat dan merampas
isterinya?
Cu Jiang agak bingung. Dan akhirnya ia memutuskan,
sebelum mengetahui jelas duduk perkaranya, ia tak mau
turun tangan lebih dulu.
Tiba2 ia teringat akan bungkusan Ho poh (teratai ) dan
Poh-po (kain). Bungkusan ho poh itu berisi racun,
diperuntukkan Tio Hong Hui. Sedang bungkusan kain
supaya diserahkan kepada puterinya. Kedua bungkusan itu
masih disimpannya dengan baik. Nanti apabila berhadapan
dengan Tio Hong Hui, segala sesuatu tentu akan terang.
Sebun Ong menghela napas, ujarnya: "Sejak Cukat Giok
menghilang, isteri dan anaknya tiada yang menjadi tiang
sandaran. Aku sebagai seorang sahabat, wajib untuk
memelihara mereka selama belasan tahun ini."
"Tetapi keterangan Cukat Giok lain dengan keterangan
anda!" tukas Cu Jiang.
"Apa katanya?"
"Mencelakai sahabat merampas isterinya."
"Ah, atas dasar apakah tuduhan itu?” sesaat berhenti, dia
melanjutkan pula, "soal itu tentu terselip suatu kesalahan
paham. Kuyakin Cukat Giok bukan seorang yang suka
menghambur fitnah. "
"Di manakah nyonya Cukat sekarang?"
"Telah kuatur tempat yang aman untuknya, di jalan
Lam-tay kota Gong-an."
"Ah."
"Silahkan saudara mengunjunginya. Dengan begitu
selesailah sudah tugasku sebagai seorang sahabat."
Menilik ucapannya itu, jelas bahwa Sebun Ong itu
seorang yang budiman suka menolong orang.
"Apakah aku tentu dapat menemukan alamat itu?" kata
Cu Jiang masih meragu.
"Tentu."
"Bagaimana cara mencarinya?"
"Akan kusuruh orang untuk menanti kedatangan anda."
"Baik, dalam sepuluh hari lagi aku pasti akan
mengunjungi rumah itu."
"Apakah aku boleh pergi dulu?"
"Silahkan."
Sebun Ong memberi hormat. Sambil memandang
bayangan orang itu, timbullah keraguan dalam hati Cu
Jiang. Tetapi betapapun setiap perbuatan jahat pasti akan
terbuka kedoknya.
Kalau Sebun Ong itu hanya seorang kuncu ( gentlemen )
palsu, akhirnya tentu terbuka juga belangnya. Menurut
keterangan Cukat Giok, Sebun Ong itu seorang manusia
yang tak pantas diberi hidup. Tetapi buktinya dunia
persilatan sangat menjunjung dan menghormatinya.
Cu Jiang menarik kesimpulan manusia semacam Sebun
Ong itu hanya dapat tergolong satu diantara dua. Kalau
bukan seorang ksatrya yang budiman tentulah seorang
bajingan besar.
Tiba2 muncul seorang lelaki yang menggendong peti
obat. Orang itu memberi hormat ke hadapannya:
"Menghaturkan hormat kepada ciangkun."
Ciangkun adalah jenderal. Demikian pangkat Cu Jiang.
Kini Cu Jiang baru mengetahui bahwa orang yang
menyaru sebagai tukang obat itu tak lain adalah salah
seorang dari Su-tay ko-jiu atau Empat jago sakti dari istana
Tayli, yang ditugaskan untuk diam2 mengikuti dan
memberi bantuan Cu Jiang apabila dalam perjalanan ke
Tionggoan itu mendapat kesulitan.
Keempat jago sakti dari Tayli itu sebenarnya memang
telah dilatih oleh Gong-gong-cu sebagai mata-mata. Tugas
pokoknya untuk menyelidiki jejak gerombolan Sip-pat
thian-mo.
Mereka pandai sekali dalam ilmu menyamar dan
berpengalaman luas dalam dunia persilatan.
"Oh apakah bukan saudara Song Pik Liang?" tegur Cu
Jiang setelah mengetahui siapa yang berada didepannya itu.
"Ah, harap ciangkun jangan merendah diri. Panggil saja
namaku secara langsung."
"Ah, masakan begitu. Ada kabar ?"
"Ya. Menurut keterangan Ko Cun, kepala dari partai
Thian- liong - kau cabang Siok Liu itu adalah Kian mo. Iblis
terakhir dari gerombolan Sip-pat-thian-mo. Saat ini Ko Cun
masih akan menyelidiki lagi secara cermat. Demikianlah
aku mengaturkan laporan lebih dulu kepada sausu agar
sausu dapat berita !."
"Jika begitu Thian tong-kau itu didirikan oleh Sip-patthian-
mo?" Cu Jiang menegas.
"Kemungkinan besar."
"Baik, aku akan kembali kedalam kota."
Sejenak memandang kearah mayat2 baju kuning itu
berkatalah Song Pek Leng pula:
"Apakah ciangkun tahu akan asal usul korban2 itu?"
"Anak buah partai Thian-tong-kau cabang Siok-ciu !"
"Benar. Dan tahukah ciangkun siapa pembunuhnya ?"
"Siapa ?"
"Lelaki tua jubah kuning emas yang barusan pergi tadi."
"O, Bu-lim-seng hud Sebun Ong yang membunuh
mereka ?" teriak Cu Jiang terkejut.
Song Pak Liang mengangguk.
"Ya, memang dia. Lebih dulu kawanan baju kuning ini
yang membunuh belasan jago pedang Gedung Hitam tadi,
kemudian baru lelaki Jubah kuning emas yang membunuh
mereka."
"Oh," Cu Jiang mendengus. Bahwa enam murid Thiantong-
kau membunuh jago2 Gedung Hitam, itu memang
merupakan permusuhan antara kedua partay yang sedang
berebut pengaruh, Tetapi mengapa Sebun Ong membunuh
murid2 Thian-tong-kau?"
Gedung Hitam merupakan sebuah persekutuan jahat
yang mengganggu keselamatan dunia persilatan. Sungguh
kebetulan sekali kalau diberantas oleh Thian-tong-kau. tapi
Thian-tong-kau sendiri tentu juga bukan suatu perkumpulan
yang baik.
Mungkinlah Sebun Ong hendak menggunakan siasat
mengadu domba kedua perkumpulan jahat itu?
"Cara lelaki jubah kuning emas turun tangan sungguh
ganas sekali. Tak memberi kesempatan kepada korban itu
untuk membalas." kata Song Pek Liang pula.
"Bagaimana kalau Pek Liang heng melakukan suatu
urusan untukku ?" tanya Cu Jiang.
"Silahkan ciangkun memberi perintah."
"Lelaki Jubah kuning emas itu adalah tokoh Bu lim-senghud
Sebun Ong yang terkenal. Dia telah merawat seorang
wanita dan putrinya, ditempatkan di jalan Lam-tay, kota
Gong-an...."
"Suruh hamba melakukan penyelidikan ?"
"Ya, tetapi jangan sampai mengejutkan mereka sehingga
mereka dapat bersiap. Dalam sepuluh hari aku tentu datang
kesana."
"Baik."
Cu Jiang meminta agar jangan menggunakan sebutan
ciangkun dan berbahasa saja sebagai orang persilatan, demi
menjaga agar diri mereka jangan sampai ketahuan orang.
"Baik. aku akan ke Siok-ciu dulu untuk berunding
dengan ketiga kawanku, baru menuju ke Gong-an."
Cu Jiang mengiakan.
"Tetapi menurut ciangkun, kita menggunakan sebutan
apa?" tanya Song Pek Liang pula.
"Kupanggil kakak dan kamu berempat menyebut aku
lote saja."
"Ada beberapa kata sandi untuk mengadakan hubungan,
harap dicatat agar hubungan kita jangan sampai putus . .."
"Sebutkan."
"Ciangkun . . ."
"Ai, jangan menyebut begitu!"
"O, benar. Semua telah kutulis di kertas. Setelah
membaca harap lote merobeknya." Song Pek Liangpun
menyerahkan sehelai kertas. Kemudian dia pamit pergi.
Cu Jiangpun segera melanjutkan perjalanan sambil
membuka kertas dan menghafalkan sandi2. Tiba di kota
Sok ciu sudah menjelang petang. Setelah semua sandi
dihapalkan diapun lalu menghancurkan kertas itu.
Dia memilih sebuah rumah makan kecil yang terletak
ditempat yang sepi. Setelah memberi sandi pada pintu dia
lalu masuk.
Dia pesan hidangan dan arak, menyuruh jongos pergi
dan mulai makan. Dia sengaja duduk membelakangi
jendela dan menghadap ke sebelah dalam agar orang jangan
melihat wajahnya.
Rumah makan itu sudah sering menerima tetamu-tetamu
yang bertingkah aneh. Mereka tak menghiraukan mereka.
Pokok mereka makan dan bayar.
Brak ,. . tiba2 terdengar meja ditepuk keras oleh orang.
"Hai, Jongos, lekas sediakan daging porsi besar. Ho,
lapar setengah mati. Juga sepoci besar arak !"
Jongos gopoh2 melakukan pesanan itu. Diam2 Cu Jiang
membatin tetamu kasar itu kalau bukan Jahat tentu seorang
limbung.
Rupanya tetamu itu tak menghiraukan apa2. Dia
bersenandung dengan nada suaranya yang parau:
"Tio Bik Tik dengan tiga kali menggerung dapat
meruntuhkan tiang. Bu Siong membunuh harimau besar di
Kang-yang-hong...."
Mendengar senandung yang tak keruan juntrungannya
itu, tiba2 Cu liang teringat akan kata2 sandi. Ah, tetamu itu
tak lain dari Ong Kian, salah seorang dari Su-tay-ko-ju
Tayli. Rupanya dia memang sengaja melantangkan kata
sandi. Tetapi entah dia membawa berita apa saja..."
Tetapi setelah bersenandung beberapa kata tadi, Ong
Kianpun berhenti.
Tiba2 sebuah kertas yang telah dipulung kecil melayang
keatas meja Cu Jiang. Ketika Cu Jiang membukanya
ternyata berisi beberapa tulisan, berbunyi:
"Disebuah gedung besar kira2 tiga li dari sini ke timur,
ketua cabang memang Kiam-mo."
Cu Jiang cepat meremas hancur kertas itu lalu
mengenakan kain kerudung muka lagi. Setelah membayar
rekening dia terus melangkah keluar. Ia sempat melihat
pada Ong Kian yang menyamar sebagai seorang lelaki kasar
tengah menggerogoti paha ayam dan minum arak. Setelah
saling memberi isyarat mata. Cu Jiangpun terus lanjutkan
perjalanan.
Dia menuju ke pintu kota timur, Berjalan tiga li jauhnya
dia melihat sebuah bangunan gedung besar, terletak
ditengah hutan dan dikelilingi sawah yang tak terurus
keadaannya. Bukan padi melainkan rumput dan Ilalang
yang tumbuh.
Diluar dari hutan itu didirikan sebuah lingkaran pagar
tembok, pintunya setengah terbuka tetapi tak tampak
barang seorangpun juga.
Cu Jiang segera menghampiri ke pintu yang terbuat
daripada papan kayu itu.
Seorang lelaki tua berpakaian kuning segera muncul
menyambut. Dalam sikap dan nada yang dingin dia
berkata:
"O, ternyata sahabat datang juga !"
Cu Jiang terkejut. Diam2 ia membatin bahwa ternyata
orang sudah mengadakan persiapan.
"Aku hendak bertemu dengan thau-cu kalian!" sahut Cu
Jiang.
"Sahabat.... engkau mau bertemu thancu kami ?"
"Ya."
"Perlu ?"
"Adu pedang!"
"Apa ? Adu pedang ?"
"Ya!"
"Ah, sahabat datang ke alamat yang tepat, Silahkan ikut
aku."
O0odwo0O
Jilid 12
Cu Jiang melangkah masuk. Ternyata di dalamnya telah
bersiap berpuluh-puluh jago silat berpakaian kuning dengan
senjatanya. Tiap tiga langkah seorang baju kuning. Suatu
penjagaan yang seketat pagar pedang.
Pada saat berjalan melalui mereka, mereka pun
mengangkat pedang selaku hormat kepada lelaki tua baju
kuning itu. Jelas lelaki tua itu tentu mempunyai kedudukan
tinggi. Paling tidak tentu sebagai seorang tongcu.
Setelah berpuluh meter menyusuri jalan, tibalah Cu Jiang
disebuah lapangan yang cukup luas. Sebuah bangunan
gedung bertingkat tampak berdiri dengan kokoh.
Bangunan itu tentu sudah lama dibangun, bukan
didirikan oleh partai Thong-thian-kau. Mereka tentu
merebutnya dari lain orang.
Tiba di tengah lapangan, lelaki tua itu berseru:
"Harap tunggu disini," kakinya terus melangkah kearah
gedung.
Cu Jiang hentikan langkah. "Heh, heh, heh, heh, heh ..
"Huak, huak !"
Terdengar kekeh tawa seram disusul dengan Jeritan
ngeri. Cu Jiang memandang kearah suara itu dan seketika
darahnya pun mendidih.
Pada tepi yang hitam dari lapangan itu, sedang
berlangsung suatu penjagalan yang mengidikkan bulu roma.
Seorang pemuda dengan dandanan sebagai pelajar,
duduk di sebuah kursi. Di depannya terpancang berpuluh
batang tonggak. Setiap tonggak terikat seorang lelaki yang
berpakaian compang-camping seperti pengemis. Tua dan
muda.
Di muka tonggak, tegak sekelompok busu baju kuning
mencekal pedang. Pada saat itu sudah ada empat orang
pengemis yang kepalanya menggelinding ke tanah. Tanah
tergenang darah merah.
Tawa kekeh tadi berasal dari mulut pemuda pelajar itu.
Jelas yang sedang dijagal itu adalah anak murid dari
partai Kay pang atau pengemis.
Pemuda pelajar mengangkat tangan dan berseru:
"Hayo, menerima atau tidak?"
Seorang pengemis tua, meraung dengan nada ngeri:
"Tidak bisa ! Anak murid Kay-pang lebih suka mati
daripada menyerah!"
Pemuda pelajar itu tertawa dingin lalu menjulur tiga
buah jari tangannya. Pedang berkelebat dan jeritan ngeri
segera menusuk telinga.
Batang kepala tiga orang murid Kay-pang menggelinding
lagi ke tanah. Darah menyembur tinggi ke udara.
"Berhenti!" Cu Jiang menggembor keras dan terus
menghampiri.
"Tunggu!" terdengar teriakan empat orang bu-su
pengawal yang melangkah maju dengan membawa pedang.
Tetapi Cu Jiang tetap ayunkan langkah. Ia memandang
tajam pada keempat bu-su itu.
Pemuda pelajar itu masih tetap duduk di kursinya. Dia
hanya berpaling dan berseru:
"Hai, ada apa?"
Rupanya dia tak tahu akan kedatangan Cu Jiang. Dan
dengan gunakan gerak-langkah Gonggong-poh-hwat, dalam
dua putaran saja Cu Jiang sudah berdiri di muka pemuda
pelajar itu.
Dipandangnya pemuda pelajar itu dengan tajam.
Seorang pemuda yang berumur dua puluhan tahun,
berwajah sadis.
Serentak pemuda itupun berbangkit dan menghardik:
"Siapa engkau!"
Belasan bu-su yang bertugas melakukan penjagalan
itupun serempak mengepung. Kilau sinar pedang mereka
mengerikan sekali. Tetapi Cu Jiang tenang2 saja.
"Dan engkau siapa?" Cu Jiang balas bertanya.
"Pelajar-gemar darah Kiang Ki, putera angkat dari ketua
cabang partai . . . . " tiba2 dia teringat sesuatu. Wajahnya
meregang dan berseru dengan tersendat:
"Apakah engkau bukan . . . . "
Sepatah demi sepatah, Cu Jiang berkata:
"Toan . . . kiam ... jan ... jin ...."
Serentak cahaya muka Kiang Ki berobah dan tiba2 ia
menyurut mundur, menendang kursi sampai terpental
setombak jauhnya. Juga kawanan bu-su itupun pucat lalu
mundur beberapa langkah.
"Andakah yang bernama Toan-kiam-jan-jin itu?"
"Benar."
"Apa maksud kedatangan anda ke mari?"
"Menantang adu pedang."
Pemuda pelajar itu terkesiap lalu tertawa sinis:
"Toan-kiam-jan jin, apakah engkau mampu hidup
panjang dengan sikapmu yang congkak itu?"
Sejenak Cu Jiang mengeliarkan pandang ke arah anak
murid Kay-pang yang diikat pada tonggak.
"Apakah anda gemar membunuh orang?" serunya.
"Itu bukan urusanmu. "
"Lepaskan mereka!"
"Heh, heh, heh, dengan dasar apa anda memberi
perintah begitu?"
"Pedang kutung!"
"Bagus ! Hari ini anda beruntung bertemu dengan leluhur
dari orang yang bersenjata pedang."
"Lepaskan mereka !"
"Tidak bisa!"
Namun Cu Jiang tak menghiraukan- Dengan langkah
yang terpincang pincang dia menghampiri ke tempat
tonggak itu.
Sekonyong-konyong setiup hujan pedang segera
menghambur ke arahnya. Setiap bu su itu merupakan jago
pedang kelas satu. Mereka berjumlah belasan orang. Sudah
tentu perbawanya luar biasa dahsyatnya.
Sepasang tangan Cu Jiangpun serempak bergerak.
Segulung angin pukulan yang sedahsyat badai segera
berhamburan memekikkan telinga.
Jeritan ngeri dan teriak tertahan, disusul dengan sosok
tubuh yang mencelat keempat penjuru segera tampak. Tiga
dari kawanan bu su itu mencelat ke udara dan melayang
sampai tiga tombak jauhnya Nyawanya pun putus seketika.
Melihat itu wajah Kiang Ki berobah merah padam.
Matanya memancarkan sinar pembunuhan yang ngeri.
Mencabut pedang dia terus melangkah maju dan
membentak bengis:
"Toan-kiam jan jin, engkau berani membunuh anak
buahku, sungguh besar sekali nyalimu."
"Tempat macam apakah ini ?" sahut Cu Jiang.
"Engkau memang hendak cari mati atau hendak menjual
jiwa untuk Kay-pang?"
"Dua-duanya."
"Kalau membiarkan engkau keluar dari sini dengan
masih bernyawa nama Thong - thian - kau tentu akan pudar
dari dunia persilatan."
"Barangkali."
Kiang Ki makin kalap, ia tertawa seram : "Hm, engkau
akan mati dengan tubuh tercincang!"
"Jangan terburu mengatakan begitu dulu. Apa lagi
engkaupun tak layak berkata begitu. Sekarang katakan dulu,
apa sebab anak murid Kay-pang hendak engkau jagal ?"
"Sederhana sekali. Kay-pang harus enyah dari wilayah
Kekuasaan partai Thong thian-kau cabang kota ini. Kalau
tidak, akan dibunuh semua !"
"Apa mampu ?"
"Tentu."
"Saat ini aku belum mau membunuhmu..." Belum selesai
Cu Jiang berkata, tiba2 terdengar suara nyaring berteriak.
"Than cu datang !"
Sekalian bu-su serempak mundur sampai beberapa
tombak, menundukkan kepala dan tubuh. Juga kawan-2
mereka yang terluka, berusaha untuk mundur.
Cu Jiang berputar tubuh, memandang ke muka. Seorang
lelaki tua bertubuh tinggi besar dan berjubah kuning dengan
dikawal oleh berpuluh orang, melangkah masuk. Lebih
kurang lima tombak dari tempat Cu Jiang, para pengawal
itu berhenti dan membentuk diri dalam formasi busur
melengkung.
Sementara lelaki tua berjubah kuning itu teruskan
langkah menuju ke tengah lapangan.
Pelajar-gemar-darah Kiang Ki serentak memberi hormat:
"Gihu, orang ini hendak menantang adu pedang."
"Kutahu," sahut lelaki tua jubah kuning itu.
Ketika beradu pandang, Cu Jiang agak terkesiap. Dari
sorot mata lelaki tua itu, dapatlah ia menarik kesimpulan
bahwa orang itu memiliki tenaga-dalam yang hebat sekali.
"Apakah engkau yang disebut Toan-kiam-Jan-jin?" tegur
lelaki tua jubah kuning.
"Benar," sahut Cu Jiang, "dan anda tentulah ketua
cabang partai Thong-thian-kau yang bernama Kiam-mo.
bukan?"
"Geladak! Engkau berani menyebut gelar itu seenakmu
sendiri ....!" bentak Kiang Ki dengan kemarahan meluapluap.
Tetapi Cu Jiang tak berkedip dan tak mengacuhkan. Dia
tetap mencurah pandang kepada lelaki tua berjubah kuning
itu.
Tiba2 lelaki jubah kuning itu tertawa, serunya:
"Engkau . ... hendak menantang adu pedang dengan
aku?"
"Benar."
"Bagaimana engkau tahu gelaranku?"
"Berkelana dalam dunia persilatan, mata dan telinga
harus tajam."
"Apa tujuanmu?"
Cu Jiang teringat sesuatu.. Dengan nada dan sikap yang
congkak sekali ia berkata:
"Sejak turun gunung, belum pernah aku ber temu dengan
lawan yang mampu menandingi kepandaianku. Kudengar
setiap anggauta dari Sip-pat-thian-mo itu memiliki
kepandaian hebat maka aku hendak menemui mereka satu
demi satu."
"Engkau hendak menempur Sip-pat-thian-mo?"
"Begitulah"
"Mungkin engkau akan kecewa."
"Mengapa ?"
"Karena hari ini engkau sudah keburu mati ditempat ini."
"Ha, ha, ha . . . anda bermulut besar . . .."
Kiang Ki mengisar selangkah, serunya: "Gihu, ijinkan
aku yang menyempurnakannya"
"Jangan," cegah Kiam-mo, "engkau bukan
tandingannya."
"Bukankah gihu mengatakan bahwa kepandaianku
sekarang ini sudah dapat menghadapi jago pedang yang
manapun dalam dunia penilaian di Tionggoan .. .."
"Tetapi tidak dengan orang ini," tukas Kiam-mo.
"Atas dasar apa Gihu membuat penilaian itu?"
"Tenaga-dalammu belum menyamainya."
"Tetapi ilmu pedangku masakan kalah ?"
"Jika tak mencekal senjata, jangan masuk kedalam
hutan. Lebih baik engkau jangan coba-coba."
"Justeru aku ingin sekali mencoba berhadapan dengan
jago pedang yang sakti."
Cu Jiang mendengus dingin:
"Setiap kali pedang kutungku keluar, takkan masuk
kedalam sarungnya apabila belum meminum darah."
Kiang Ki getarkan pedangnya sehingga memancarkan
sinar sampai meluas, lalu berseru dengan congkak:
"Akupun juga begitu. Sebelum minum darah takkan
berhenti."
Kiam-mo mundur tiga langkah, serunya: "Kalau mau
mencoba silahkan. Tetapi hanya boleh sampai tiga jurus
saja."
Serentak meluaplah kemarahan Cu Jiang. Dia
memutuskan hendak membasmi pemuda yang ber hati buas
itu agar melenyapkan bahaya dalam dunia persilatan.
Demikian pula ia hendak mengejutkan kawanan Sip pat
thian-mo agar beramai-ramai keluar mencarinya. Ya, ia
harus bertindak ganas.
"Tidak perlu," serunya, "selama ini aku hanya
menggunakan satu jurus saja. "
"Peraturan yang kupegang selama ini." sahut Kiang Ki,
"jika lawan belum mengucurkan darah, takkan berhenti. "
"Bagus, silahkan mulai! "
"Cabutlah pedangmu."
"Menghadapi engkau, belum perlu." Kata2 yang congkak
dari Cu Jiang itu benar2 meledakkan dada Kiang Ki.
"Marah merupakan pantangan dalam ilmu pedang,"
tiba2 Kiam-mo berseru memberi peringatan kepada pemuda
yang menjadi putera angkatnya itu.
Mendengar itu Kiang Ki tenangkan diri. Ia mengangkat
pedang ke atas, sorot matanya penuh dengan nafsu
pembunuhan yang meluap-luap. Sementara Cu Jiang tetap
memandangnya dengan tak berkedip.
Suasana senyap seketika. Seluruh mata sekalian orang
tercurah ruah ke tengah lapangan. Hati mereka tegang
bukan kepalang.
Walaupun belum lama timbul, tetapi kebesaran nama
Thong thian kau melebihi penguasa dunia persilatan yang
sekarang yakni Gedung Hitam. Bahwa orang berani datang
untuk menantang adu kepandaian, tentulah dia manusia
yang harus digolongkan satu diantara dua jenis: gila atau
sakti.
"Hai!" terdengar pekikan singa yang menggetar jantung
sekalian orang. Pedang dari Kiang Ki memancar
menyambar ke arah Cu Jiang. Bukan saja dengan tenaga
penuh, pun jurus gerakannya luar biasa anehnya.
Selarik sinar pedang memancar lalu padam.
"Huak..." terdengar teriakan keras tetapi hanya setengah
jalan berhenti Dan selesailah pertempuran yang penuh
ketegangan itu.
Tampak Cu Jiang masih mencekal sebatang pedang
kutung, entah bagaimana cara dia mencabut dan
menyerang. Terlalu cepat bagi mata memandangnya.
Ujung pedang Kiang Ki masih menjulur maju ke muka
dada Cu Jiang, hanya terpisah tiga inci dari dada. Dan
sekalian orangpun masih menahan napas. Tetapi mengapa
terdengar jeritan ngeri tadi? Dari mulut siapakah jeritan itu?
Mengapa saat itu Kiang Ki tak melanjutkan gerak
pedangnya untuk menusuk dada Cu Jiang.
Bluk .... sekonyong-konyong tubuh Kiang Ki rubuh,
kepalanya terpisah dari leher, menggelinding ke tanah,
diantar oleh darah segar yang menyembur seperti pancuran.
"Ai..." terdengar teriakan hiruk pikuk yang menggema.
Dan Cu Jiangpun pelahan-lahan menyarungkan pedang
kutungnya.
Wajah Kiam-mo berobah hebat. Serentak dia berteriak:
"Bawa pedang ke mari!"
Seorang busu baju kuning segera menghaturkan sebatang
pedang. Kiam-mo mencabut pedang itu dan busu pun
kembali mundur lagi.
Pedang itu memancarkan sinar dingin yang kebirubiruan
warnanya. Tentulah sebatang pedang pusaka.
Maju selangkah kehadapan Cu Jiang, Kiam-mo berseru
bengis:
"Budak, apakah maksud kedatanganmu kemari benar2
hendak menantang adu ilmu pedang?"
"Benar," jawab Cu Jiang. "aku telah terlanjur bersumpah.
Apabila aku, Toan-kiam-jan jin masih hidup, takkan
membiarkan seorang jago pedang yang manapun menjagoi
dunia."
"Kecongkakanmu hebat sekali . . ."
"Aku tak pandai putar lidah."
"Sejak hari ini, dunia persilatan takkan terdapat seorang
manusia yang bergelar Toan-kiam-jan-jin lagi."
"Jangan anda terlalu membanggakan diri. Mungkin
nama Kiam-mo akan lenyap."
"Engkau menghendaki cara bagaimana?"
"Satu jurus!"
"Sebelum engkau mati, aku takkan berhenti."
"Aku tetap hanya satu jurus."
Wajah Kiam-mo membesi dan gerahamnya
bergemerutukan.
"Seumur hidup baru pertama kali ini aku berjumpa
dengan seorang yang bakal mati tetapi tetap congkak
sekali."
Cu Jiang tak menghiraukan. Dia tetap tenang dan
dingin.
"Pujian." serunya.
"Mulailah!"
"Tunggu dulu, aku mempunyai syarat," tiba-tiba Cu
Jiang berkata
"Apa? Engkau masih akan mengajukan syarat apa lagi?"
"Ya, memang. Dan syarat itu sederhana sekali. Karena
ada Toan-kiam-jan-jin, tak boleh ada Kiam-mo. Salah satu,
engkau atau aku yang harus hidup di dunia persilatan . . ."
"Ha, apa lagi!"
"Yang kalah, harus menghancurkan ilmu kepandaiannya
sendiri dan selama-lamanya tak boleh muncul dalam dunia
persilatan."
"Bagiku, hanya jiwamu yang akan kuminta," seru Kiammo.
"Baik tetapi anda pun harus menerima syaratku. Kalau
tak berani, tak usah turun tangan, " kata Cu Jiang.
"Jangan banyak mulut, lekas bersiap menerima
kematian!" bentak Kiam-mo.
Serentak dia melakukan sikap pembukaan yang aneh.
Ujung pedang tak henti-hentinya ditarik dan dijulurkan.
Hawa pedang segera berhamburan meluncur seluas satu
tombak.
Hal itu menandakan bahwa segenap tenaga dalam telah
dikerahkan. Rupanya dia sangat bernapsu sekali dalam satu
gebrak dapat menghabisi lawan.
Suasana tegang sekali. Sekalian pengawal Kiam mo yang
berada di sekeliling lapangan itu memandang dengan mata
tak berkedip dan napas tertahan.
Kedua jago itu masing2 mengadakan sikap kuda2 yang
tangguh dan sukar diterobos.
Detik demi detik berlalu cepat. Sekalian pengawal Kiammo-
un sudah bercucuran keringat. Mereka dicekam
ketegangan dari pertempuran yang akan terjadi. Entah
bagaimana nanti hasil dari pertempuran itu apabila
berlangsung.
Mata Cu Jiang seperti melekat tak berkedip. Beberapa
waktu kemudian, dahi Kiam-mo mulai agak berkereyutan.
"Hatimu!"
Akhirnya yang dinanti-nanti terjadi juga. Sebuah ledakan
suara gemboran yang dahsyat segera disusul dengan dering
benturan senjata yang seolah-2 memutuskan urat2 jantung.
Setelah itu terus sirap. Sepi lagi.
Cu Jiang memasukkan kembali pedang kutungnya ke
dalam sarung.
Pedang di tangan Kiam-mo menjulai ke bawah dan
orangnyapun sudah bergeser tiga langkah ke belakang.
Mukanya menggigil, sorot matanya yang menyeramkanpun
sudah kehilangan perbawanya. Dua alir darah mengucur
dari sudut mata dan mulutnya
Kiam-mo, salah seorang tokoh dari gerombolan Sip-pat
thian mo yang termasyhur, saat itu menderita kekalahan.
Kekalahan yang menggemparkan, Suatu peristiwa yang
benar2 orang tak mungkin mau percaya.
Suasana sunyi senyap. Tiada barang suatu pekik kejut
ataupun teriakan ngeri Seluruh jago2 ko jiu dari Thongthian-
kau terlongong-longong.
Beberapa saat kemudian baru Cu Jiang terdengar
membuka mulut. Nadanya dingin dan hambar tetapi
mengandung perbawa yang menakutkan.
"Harap anda segera melakukan syarat itu!" sepatah demi
sepatah diucapkan dengan nada seberat palu menghantam
paku.
Tiba2 pecah gelombang bentakan. Belasan sosok tubuh
berhamburan menaburkan pedang menyerang Cu Jiang.
Huak .... huak ....
Tetapi bagaikan gelembung air tertimpa hujan, cepat
sekali tubuh itu berserakan tercerai berai keempat penjuru.
Yang tertinggal, empat sosok tubuh manusia yang sudah
menjadi mayat.
Kiam-mo menggigil.
"Aku menunggu jawabanmu!" seru Cu Jiang.
"Engkau suruh aku menjawab apa?" Kiam-mo meraung
seperti singa terluka.
"Sesuai dengan syarat yang kukatakan tadi. Lekas
engkau hancurkan ilmu kepandaian anda sendiri!"
"Tidak bisa!"
"Ho, tak kira kalau kawanan Sip pat-thian-mo yang
termasyhur itu ternyata hanya kantong nasi yang tak
berguna. Sungguh mengecewakan sekali. Apa yang
kukatakan tentu kujalankan. Kalau anda tak mau merusak
tenaga kepandaian anda sendiri, terpaksa aku yang akan
mewakili ...."
"Engkau berani?" bentak Kiam-mo dan bertaburan sinar
pedangnya mencurah kepada Cu Jiang.
Cu Jiang menggembor dan hujan sinar pedang itupun
serentak lenyap, berganti dengan selarik sinar melambung
ke udara. Pedang Kiam-mo terlempar ke atas.
"Auh . . . . " terdengar teriak kejut yang menggeledek.
Cu Jiang mengangkat tangan dan menebarkan sebuah
jari ke muka Seketika Kiam-mo mengerang tertahan.
Tubuhnya yang tinggi besar terhuyung-huyung. Wajah
pucat lesi.
"Sejak saat ini, dunia persilatan tak ada tokoh yang
bernama Kiam-mo lagi!" seru Cu Jiang dengan nada bengis.
Kiam-mo memandang Cu Jiang dengan sorot mata
penuh dendam kesumat lalu berputar tubuh dan berjalan
masuk ke dalam gedung.
Sekian banyak jago2 Thong-thian-kau, tak ada
seorangpun yang berani bergerak menyerang Cu Jiang.
Dengan langkah yang terpincang-pincang, Cu Jiang
segera menghampiri ke tempat tonggak. Dengan pedang
menggurat putus tali yang mengikat tubuh seorang
pengemis tua. Pengemis itu serta merta menghaturkan
hormat.
"Terima kasih atas bantuan anda, partai kami .... "
Tiba2 Cu Jiang mengacungkan sebuah benda dan
serentak pengemis tua itupun terkejut lalu jatuhkan diri
berlutut.
"Murid Ang Ih, kepala cabang kwan-se, menghaturkan
hormat ke hadapan tianglo."
"Harap bangun." seru Cu Jiang, "lencana Tiok-hu ini
pemberian tianglo Kay-pang Pengemis-sakti pencabut
nyawa Tong Ih Leng kepada tokoh Lam-kek-sah. Lam keksah
minta tolong kepadaku supaya menyerahkan kembali
kepada pemiliknya. Harap Ang tho cu suka mewakili
menerimanya."
Pengemis tua yang bernama Ang Ik itu segera berbangkit
dan menyambuti.
"Lekas ajak anak buah anda tinggalkan tempat ini," kata
Cu Jiang seraya menyimpan pedangnya.
Ang Ikpun segera melakukan perintah. Membebaskan
anak buahnya yang terikat lalu membawa kawan2 yang
menjadi korban. Sebelum pergi mereka beramai-ramai
menghaturkan terima kasih kepada Cu Jiang.
Sekalian anak buah Thong thian-kau hanya melihat saja
anak buah Kay-pang itu pergi tetapi tak berani berbuat
apa2.
Setelah mereka pergi barulah Cu Jiang tinggalkan tempat
itu.
Berita kekalahan partai Thong-thian-kau cabang kota
Kwo-se itu cepat sekali tersiar dalam dunia persilatan.
Kaum persilatan terkejut, heran dan hampir tak percaya,
tetapi mereka harus menerima berita itu sebagai suatu
kenyataan.
Nama Toan-kiam jan-jin menjadi buah bibir.
Tantang menantang.
Kira2 empat belas li dari kota Gong-an, di tepi jalan
besar dibangun sebuah pagoda peranginan, untuk pejalan2
yang hendak beristirahat. Di tepi pagoda peranginan itu
dibangun juga beberapa rumah pondok untuk kedai
minuman dan orang2 jualan.
Ciat goan-thong atau pagoda Pelepas-lelah, demikian
nama tempat peristirahatan itu. Kabarnya pada jaman dulu
ada seorang penyair ternama yang singgah di tempat itu.
Sebelum araknya habis, syair telah selesai dirangkainya.
Sejak itu maka pagoda peranginan diberi nama seperti
diatas.
Saat itu waktu lohor. Di dalam pagoda peranginan
duduk lima jago pedang yang mengenakan pakaian ringkas.
Dua diantaranya berumur dua puluhan tahun, yang dua
lagi berumur tiga puluhan tahun sedang yang satu disekitar
empat puluhan tahun.
Lelaki yang paling tua itu mondar-mandir menggendong
tangan. Wajahnya tegang dan tak henti-hentinya
memandang ke arah jalanan seperti menunggu sesuatu.
Kawanan yang empat juga agak gelisah.
"Toa-suheng, kukira sudah sajalah," tiba2 salah seorang
yang muda berkata.
"Apa? Sudah?" teriak lelaki yang paling tua itu dengan
nada tegang. "sejak lima puluh tahun berselang ketika
ciang-bun su cun (kakek guru ketua partai) kita kalah adu
pedang di gunung Bo-san, nama partai Hoa san-pay seolaholah
tenggelam dalam dunia persilatan. Sekarang ini kita
mendapat kesempatan yang jarang sekali datangnya untuk
membangun kembali nama perguruan Hoa-san pay,
bagaimana kita akan sudah begitu saja."
"Tetapi .... toa-suheng, ilmu pedang lawan memang
benar2 telah mencapai tataran yang sukar dibayangkan . . ."
"Sute, sepuluh tahun lamanya aku mati-matian bersusah
payah untuk berlatih ilmu pedang, apa tujuanku?"
"Membangun partai, banyak jalan yang dapat ditempuh.
Mengapa harus mengambil cara begini."
"Itu merupakan satu-satunya jalan yang tercepat. "
"Apakah toa suheng yakin pasti menang?"
"Kalau tak berhasil tentu gagal. Kalau kalah tentu mati.
Apakah pendirian hidup seorang ksatria itu?"
"Kukira tidak begitu."
"Sute, engkau salah pilih. Seharusnya engkau menyekap
diri dalam kamar dan rajin belajar agar dapat mencapai
nama. Tak seharusnya engkau memilih jalan hidup sebagai
seorang bu su."
"Toa-suheng, apakah engkau benar2 mempunyai
pegangan?"
Rupanya lelaki yang paling tua dan dipanggil sebagai
toa-suheng itu agak kurang senang, sahutnya:
"Sudahlah, ji sute, jangan merengek-rengek. Sejak
mendapatkan kitab rahasia peninggalan su-cou ya (kakek
guru), aku telah mempelajari dan berlatih keras selama
sepuluhan tahun baru dapat mencapai hasil. Hoa-san-pay
mampu atau tidak untuk bangkit kembali dan
menempatkan diri dalam jajaran Empat-besar partaipedang,
semua tergantung pada gerakan kali ini. Sejak
berkunjung ke markas partai Bu-tong dan Go-bi,
kepercayaan ku makin tumbuh delapan puluh persen. . ."
"Pernyataan siau sute tadi memang bukan tak beralasan.
Selama dalam perjalanan beberapa kali kita sudah saling
menguji ilmu pedang dengan kawan2 dari partai Bu tong
dan Gobi. Ternyata hasilnya tak mengecewakan. Hal itu
cukup."
"Keputusanku sudah tetap, tak perlu banyak bicara.
Coba pikir, kalau nanti aku dapat menangkan barang
setengah jurus saja dari lawan, bagaimanakah akibatnya.”
“Andaikata Hoa-san-pay tak dianggap sebagai partai
ilmu pedang yang paling hebat, tetapi sekurang-kurangnya
tentu akan sejajar dengan partai Bu-tong dan Go-bi."
"Mudah-mudahan begitu, tetapi..."
"Tetapi bagaimana ?"
"Kalau tak berhasil menang?"
"Telah kukatakan. Sebagai seorang kaum persilatan,
janganlah kita berat akan Jiwa kita. Dengan susah payah
sucouwnya telah mendirikan partai Hoa-san-pay.
Kemudian kita yang menerima warisan untuk memelihara
ternyata tak mampu menjaga kelangsungan hidupnya.
Apakah ini tidak memalukan ?"
Tiba2 lelaki yang paling muda itu menunjuk ke arah
jalan dan berseru: "Tuh sudah datang !"
Kelima orang itu menjadi tegang dan serempak berdiri.
Dua ekor kuda lari sekencang angin dan beberapa saat tiba
ditempat itu. Penunggangnya loncat turun. Ternyata dua
lelaki baju hitam.
"Bagaimana kabarnya?" serentak lelaki tua yang disebut
toa suheng itu bertanya.
Salah seorang lelaki baju hitam memberi hormat:
"Hatur beritahu kepada ciangbun ..."
"Jangan menyebut ciangbun, belum saatnya!!" tukas
lelaki tua tadi.
Orang berbaju hitam itu agak merah mukanya lalu
berganti sebutan.
"Hatur beritahu kepada toa-supeh, akan segera tiba."
"Segera tiba ?"
"Ya, dia berjalan lambat sekali dan tak kira kalau hanya
seorang cacat..."
"Jangan banyak cakap! Sekarang dia sampai di mana?"
"Kira-kira lima li."
"Baik, kalian boleh kembali ke kota."
Setelah mengiakan kedua pendatang itu pun melarikan
kudanya.
Dibawah bayang2 pagoda peranginan yang menjulur
panjang sampai ke tengah itu, tegak berjajar kelima orang
itu. Pedagang2 disekitar tempat itu sudah sama menutup
dagangannya. Pejalan2 pun sudah sepi.
Tak berapa lama tampak sesosok tubuh muncul dari
ujung jalan. Jalannya aneh, seperti bergoyang gontai.
"Tuh, akhirnya dia datang Juga," kata busu yang
dipanggil toa-suheng.
Keempat kawannya mulai tegang. Makin dekat makin
tampak kalau pendatang itu seorang berkaki pincang,
mengenakan dandanan seperti sasterawan tetapi mukanya
bertutup kain cadar.
"Dengarkan, sute berempat," kata lelaki yang tertua.
"kamu cukup menyaksikan disamping, tak boleh ikut turun
tangan. Kalau aku gagal maka tugas untuk membangun
partai terletak di bahu kalian."
"Toa-suheng,kan ini hanya merupakan saling uji
kepandaian, bukan ajang saling bunuh mencari balas
dendam. Kalah atau menang, bukan soal," seru bu su yang
paling muda.
"Benar," sahut busu yang tua, "tetapi kali ini aku
berjuang untuk mengangkat nama. Seorang ksatrya hidup
demi nama."
"Tetapi apakah toa-suheng tidak memikirkan beberapa
jago dari Bu-tong dan Go bi yang engkau kalahkan itu, juga
tidak berpikiran seperti toa-suheng juga ?"
"Itu lain persoalannya ..."
Saat itu pelajar pincang sudah tiba. Tanpa menghiraukan
pandang, dia terus berjalan.
Setelah sejenak memandang kearah keempat sutenya,
busu yang tertua itu loncat dari pagoda peranginan lalu
memberi hormat.
"Sahabat, harap berhenti dulu!"
Sasterawan pincang itu berhenti. Memandang datar
kepada orang itu. Tidak berkata apa-apa kecuali hanya
memandang saja.
"Aku yang rendah ini adalah Tan Bun Cau dari partai
Hoa-san-pay. Bukankah sahabat ini yang disebut Toankiam
Jan-Jin ?" seru busu yang tertua itu pula.
Memang sasterawan pincang itu tak lain adalah Cu
Jiang. Dia hendak ke kota Seng tou untuk memenuhi suatu
janji.
"Ya, benar, apa maksud anda?" sahutnya dengan nada
yang dingin.
"Kabarnya, anda telah mengobrak-abrik partai Thongthian-
kau cabang Kwo se. Membunuh Pelajar-gemar darah
Kiang Ki dan melumpuhkan Kiam-mo ?" seru Tan Bun
Biau pula.
Cu Jiang tergerak pikirannya.
"Lalu apa maksud anda?"
"Aku sangat mengagumi ilmu pedangmu !"
"Lalu ?"
"Sengaja aku mencari anda untuk mohon pengajaran."
"Ha, ha, ha, ha " Cu Jiang menengadah dan tertawa
gelak2 seraya lanjutkan langkah.
Tan Bun Ciau cepat menghadang.
"Apakah sahabat tak mau memberi pelajaran kepadaku?"
Cu Jiang terpaksa berhenti, Menatap orang itu lalu
berkata dengan nada dingin:
"Aku tak punya selera !"
"Menganggap hina ?"
"Terserah anggapan anda."
"Toan kiam jan jin, apa engkau kira dalam dunia ini
tiada yang mampu menandingi engkau?"
"Aku tak pernah mengatakan begitu. "
Keempat busu yang berjajar di dalam pagoda peranginan
tak setuju melihat tindakan Tan Bun Ciau, toa-suheng
mereka. Tetapi mereka tak dapat berbuat apa2.
"Apakah engkau tak berani?" seru Tan Bun Ciau
menantang.
"Apa yang tak berani?"
"Menguji ilmu pedang!"
"Sudah kukatakan, aku tak punya selera."
"Tetapi aku justeru berselera sekali."
"Menantang?"
"Terserah. "
"Apa tujuanmu?"
"Untuk membuktikan apakah ilmu pedang dari partai
Bu-tong pay itu sederajat dengan partai2 ilmu pedang yang
lain!"
"Ha, ha, ha, ha .... "
"Mengapa tertawa?"
Cu Jiang hentikan tawa, serunya :
"Aku bukan ukuran ilmu pedang masa ini, anda salah
alamat. "
"Aku tetap akan minta pelajaran."
"Apakah anda bernafsu sekali untuk cari nama?"
Tan Bun Ciao terkesiap. Dengan mengertak gigi dia
menyahut:
"Terserah akan dianggap bagaimana !"
"Sudah anda pikirkan masak-masak ?"
"Hmm."
"Ilmu silat itu tiada batasnya. Andaikata dapat
mengalahkan aku, belum tentu anda akan menjadi jago
nomor satu dalam dunia. Dan apabila anda sampai lengah."
"Aku tak meminta nasehatmu!"
"Jadi anda tetap ngotot hendak adu pedang?"
"Ya."
"Kalau aku menolak ?"
"Kecuali engkau Toan-kiam-jan Ji menyatakan
menyerah,"
"Ah, Jangan terlalu mendesak orang."
"Terpaksa begitu."
"Sekali lagi kuperingatkan. Anda ini bukan
tandinganku."
"Harus dibuktikan dulu."
"Silahkan melolos pedang!"
Mendengar itu keempat murid Hoa-sanpay yang lain
serempak keluar dari pagoda peranginan. Beberapa
pedagang yang masih berada disitu terkejut dan cepat2
membenahi dagangannya.
Mereka mengira terjadi bentrokan dari beberapa orang
persilatan yang hendak menuntut balas.
Tan Bun Ciau mencabut pedang dan terus pasang kudakuda.
Matahari hampir tenggelam. Bayang2 orang itu
makin menjulur panjang.
Cu Jiang tegak seperti patung. Kedua tangannya
menjulai kebawah.
"Mengapa tak mencabut pedang?" tegur Tan Bun Ciau.
"Silahkan mulai."
"Jangan keliwat sombong !"
"Anda yang menantang pertarungan ini."
Tan Bun Ciau tak mau banyak bicara, Ia salurkan
tenaga-dalam kebatang pedang. Tetapi segera ia melihat
sesuatu yang mengejutkan. Walaupun tampaknya diam
seperti patung tetapi sikap Cu Jiang itu sukar diserang. Tan
Bun Ciau masih menunda serangannya.
Keempat sutenya menghampiri dan berdiri pada jarak
tiga tombak dari tempat pertempuran.
Cepat sekali sudah sepeminum teh lamanya dan Tan
Bun Cian tak uban lagi. Ia menyadari dirinya bukan
tandingan lawan tetapi karena sudah terlanjur menantang,
terpaksa dia harus melanjutkan.
"Haiiiiit!"
Serempak meraung keras, Tan Bun Ciau segera
lancarkan serangan dengan sepenuh tenaga. Jurus itu luar
biasa hebatnya dan telah dilatih dengan sempurna oleh Tan
Bun Ciau. Dalam dunia persilatan, dia sudah termasuk jago
kelas satu. Tetapi sayang dia cari gara2 dengan Cu Jiang.
"Trinng . . . ! " terdengar dering senjata yang nyaring
sekali dan Tan Bun Ciau terhuyung-huyung mundur
beberapa langkah. Pedangnya hampir jatuh.
Keempat sutenya serempak memekik kaget. Cu Jiang
menyarungkan lagi pedangnya, dan berseru:
"Aku hanya menggunakan setengah jurus karena
sebenarnya kita tak saling bermusuhan apa2."
Habis berkata dia terus angkat kaki melanjutkan
perjalanan.
Setengah jurus? Hanya setengah jurus? Ah, mungkin
orang2 tentu takkan percaya. Wajah Tan Bun Ciau pucat
lesu, tubuh bergemetaran keras. Hanya setengah jurus saja,
impiannya yang muluk telah hancur berantakan.
"Ya, sudahlah ..." tiba2 dia ayunkan pedang ke
tenggorokannya sendiri.
"Toa suheng, jangan . . ." keempat sutenya menjerit dan
serempak lari mencegah tetapi terlambat.
Cret .... Tan Bun Cau rubuh mandi darah.
Karena belum jauh Cu Jiang mendengar juga peristiwa
itu. Dia menghela napas tetapi tak mau berpaling. Dia
merasa tak bertanggung jawab atas peristiwa sedih itu. Hal
itu merupakan suatu akibat dari perbuatan seorang
persilatan yang sangat ambisius atau bernafsu untuk cari
nama.
Sekalipun begitu, Cu Jiang diam2 merasa sayang bahwa
seorang jago pedang yang memiliki kepandaian sehebat itu
harus mengakhiri hidupnya sendiri secara begitu
mengenaskan.
Menjelang malam tibalah Cu Jiang di pintu selatan kota
Gong-an. Jalan Lam-tay terletak di pintu selatan kota itu.
Seorang penjual obat tengah merentang tikar dan
menjajakan dagangannya. Dia berteriak-teriak memanggil
pembeli. Pada sebuah peti obat dilandasi selembar kain
yang bertuliskan beberapa huruf, berbunyi. "Obat pusaka
dari kakek moyang, khusus mengobati segala penyakit aneh
yang sukar disembuhkan."
Mendengar suara penjual obat itu, Cu Jiang segera dapat
mengenali siapa orangnya. Orang itu tak lain adalah Song
Pek Liang, salah seorang dari Keempat jago Tayli yang
ditugaskan Cu Jiang untuk menyelidiki tempat yang
dijanjikan Sebun Ong.
Cu Jiang menghampiri dan memberi isyarat mata.
Melihat itu Song Pek Liang segera menegur: "Tuan hendak
memerlukan apa?"
"Ya apakah khusus mengobati penyakit istimewa ?"
sahut Cu Jiang.
"Benar," sahut Pek Liang, "ilmu pengobatanku dari
warisan leluhur. Penyakit ayan, gila, kesetanan, luka2
dibagian tubuh yang manapun, bisul2 yang kelihatan dan
tak kelihatan, angin duduk, angin jahat, tentu dapat ku
sembuh kan. Bagaimana kehendak tuan ?”
Cu Jiang geli dalam hati.
"Ada seorang sanakku, menderita penyakit ulu hati,
segala obat telah dicoba tetapi tak mempan ..."
"O, penyakit ulu hati ?" seru Pek Liang, "itu karena
pencernaan macet, hawa darah tak dapat mengalir lancar.
Setelah bertahun-tahun baru meledak. Tuan aku
mempunyai resep. Tuan boleh belikan di rumah obat, tiga
hari kemudian tuan boleh datang lagi kemari, nanti akan
kubuatkan resep lain."
Habis berkata dia terus menulis diatas secarik kertas, lalu
diserahkan kepada Cu Jiang.
"Tuan. obat dalam resep ini harganya mahal tetapi
mengingat tuan tentu seorang kaya maka kurasa tuan tentu
tak keberatan membelikannya."
"O, aku tahu bahan2 obat," seru Cu Jiang.
"Kalau begitu kebetulan sekali."
Setelah memeriksa resep itu, Cu Jiang mengatakan
apakah takerannya tidak terlalu berat.
"Tidak, tidak berat." seru Pek Liang. "justeru disitulah
letak perbedaan resepku dengan resep orang lain. Kayu
pwe-bok lipat dua, tidak pakai biji Ti-lip, yang penting som,
harap diperbankan, belikan menurut resep."
"O, baiklah. Lalu berapa ongkosnya ?"
"Tak usah. Apabila obat itu manjur, tiga hari lagi harap
datang dan tuan boleh bayar ongkosnya."
Setelah mengucapkan terima kasih, Cu Jiang-pun segera
melanjutkan langkah.
Cu Jiang berotak cerdas. Sandi2 yang diselipkan dalam
kata2 Pek Liang tadi, dia cepat dapat menangkap
maksudnya. Yang dibilang "belikan obat menurut resep",
ialah supaya bertindak menurut keterangan. Sedang "kayu
pwe-bok lipat dua dan tidak pakai biji Ti-lip", berarti ada
dua wanita tetapi tidak ada lelakinya. Berarti yang ada
hanya si Ratu-kembang Tio Houw Hui dan putrinya.
Sedang kata2 "yang penting som", artinya yalah
menunjukkan Budha-hidup Sebun Ong. Sementara yang
dibilang "Harganya mahal", menunjukkan bahwa lawan
memiliki kepandaian tinggi.
Menurut tanda2 sandi disepanjang jalan, akhirnya Cu
Jiang tiba di depan sebuah rumah gedung besar. Pintu
bercat merah, gentengnya warna hijau. Beberapa pohon tua
yang tumbuh di sekeliling, menjulang tinggi melampaui
puncak rumah.
Baru Cu Jiang melangkah ke muka rumah, pintupun
sudah terbuka dan seorang lelaki tua menyambutnya.
"Apakah yang datang ini bukan tuan Toan-kiam-jan-jin?"
"Ya, benar."
"Hamba diperintah majikan untuk menyambut
kedatangan tuan. Mari silahkan masuk."
Sejenak meragu, Cu Jiang segera melangkah ke titian
dan masuk ke dalam gedung. Dinding ruangan berhias
sebuah lukisan pemandangan alam. Dua buah lentera dari
sutera tergantung tinggi.
Di belakang tembok, merentang sebuah lorong yang
terbuat dari batu putih. Tak panjang dan beberapa saat
sudah tampak pintu dan jendela dari gedung utama.
Setiba di muka serambi, bujang tua itu berseru nyaring:
"Tetamu sudah datang."
"Ha, ha, ha, sahabat benar2 menepati janji!" tiba2
terdengar suara orang tertawa dan muncullah Budha-hidup
Sebun Ong.
"Anda juga pegang janji." Cu Jiang balas memberi
hormat.
Sebun Ong mempersilakan tetamunya masuk dan duduk
di tengah ruang. Seorang kacung menghaturkan teh.
"Bolehkah sekarang aku bertemu dengan nyonya Cukat
dan puterinya ?" sesaat kemudian Cu Jiang berkata.
"Boleh." kata Sebun Ong lalu menggapai kacung tadi,
"pergilah mengundang Cukat hujin dan siocia kemari.
Katakan kalau tetamu yang ku ceritakan itu sudah datang."
Tak berapa lama muncullah dua orang wanita. Dengan
nada sopan, Sebun Ong mempersilakan wanita itu masuk.
Kembali timbul keraguan dalam hati Cu Jiang. Sebun
Ong benar2 bersikap seperti seorang kuncu atau gentleman.
Beda sekali seperti yang di gambarkan Koh tiong-jin atau
Cukat Giok tempo hari. Apakah benar2 terdapat salah
faham dalam peristiwa itu.
Kedua wanita itupun melangkah masuk. Yang di muka
seorang nyonya dalam pakaian sederhana. Di belakangnya
mengikuti seorang gadis berumur 17-18 tahun. Cantik
menyilaukan mata.
Cu Jiang serentak berdiri memberi hormat: "Maaf atas
kedatanganku pada malam begini."
Sebut Ongpun memperkenalkan diri Cu Jiang sebagai
Toan kiam jan-jin yang menerima permintaan tolong dari
Cukat Giok.
Sejenak memandang Cu Jiang, wanita itu segera
menggandeng tangan si gadis, diajak duduk di samping.
Wajahnya menampilkan kedukaan. Sedang gadis itu
menundukkan kepala.
"Sahabat, silahkan bicara. Kalau tak leluasa, baiklah aku
mengundurkan diri . . . . " kata Sebun Ong.
"Tak usah," cegah Cu Jiang kemudian berkata kepada
wanita itu, "apakah nyonya itu Tio Hong Hui yang bergelar
Ratu-kembang dahulu? Dan nona ini apakah puteri
nyonya?"
"Ya. Kabarnya suamiku masih hidup?"
"Masih."
"Mengapa dia menelantarkan kami ibu dan anak?"
"Tetapi sekalipun masih hidup, keadaannya jauh lebih
menderita dari mati. "
"Ih, kenapa?"
Mata Cu Jiang memancar sinar berkilat-kilat seperti
hendak menembus isi hati nyonya itu. Kemudian dengan
keras ia mengucapkan kata2 sepatah demi sepatah:
"Dia telah dicelakai orang, kini menjadi orang yang
cacad tubuhnya! "
Wajah wanita itu pucat seketika dan dengan nada
gemetar berseru:
"Mengapa dia sampai dicelakai orang?"
Cu Jiang tertegun. Dia agak bingung bagai mana akan
menyelesaikan persoalan itu. Untuk membalas budi Cukat
Giok, dia telah menyanggupi untuk menyelesaikan
persoalan itu. Tetapi kenyataannya, lain seperti yang
diceritakan Cukat Giok. Karena hal itu mengenai jiwa
manusia, ia harus hati2 bertindak.
"Maaf. aku hendak bicara secara blak-blakan. Suami
nyonya telah dicelakai oleh sahabatnya yang karib sendiri."
"Siapa! " teriak wanita itu.
Dengan mata berkilat-kilat, Cu Jiang mengerling ke arah
Sebun Ong dan berseru:
"Sebun tayhiap! "
"Ah . . . ! " kedua ibu dan anak itu serempak menjerit
kaget.
Sebun Ong berbangkit tetapi duduk lagi dan tersenyum
hambar:
"Bagaimana dasar dari tuduhan itu?"
Tiba2 Cu Jiang berdiri dan berseru dengan nada tegang:
"Cukat cianpwe menceritakan sendiri kepada ku. Anda
telah menurunkan tangan ganas kepada nya. Mengorek
sebuah biji matanya, mengutungkan kedua kaki dan
melemparkannya ke dasar jurang. Jika tak ada
kenyataannya, masakan Cukat cianpwe akan merangkai
cerita begitu?"
"Aku.... mengapa harus melakukan perbuatan yang tak
kenal perikemanusian seperti itu?" teriak Sebun Ong dengan
tegang.
"Karena hendak merebut isterinya."
"Haia. sungguh suatu fitnah yang menyakitkan hati!"
Wanita itupun segera mengelap muka dengan lengan
bajunya dan dengan suara terisak-isak, berseru:
"Aku tak percaya, tak mungkin terjadi peristiwa
semacam itu ! Sepuluh tahun lamanya aku dan anakku
telah mendapat pertolongan Sebun siokhu yang memberi
tempat tinggal dan menjamin kehidupan kami dengan baik.
Agar tidak disangka buruk oleh orang, maka hanya setahun
sekali Sebun sioksiok datang kemari. Mengapa ... ada cerita
semacam itu."
Juga gadis itu rebahkan kepala ke dada ibunya dan ikut
terisak-isak.
Melihat adegan itu, itu tak enak hati Cu Jiang. Soal itu
benar2 diluar dugaannya. Lalu bagaimana dia harus
berbuat ? Jika begitu dia perlu harus kembali ke dalam
jurang untuk meminta keterangan yang jelas kepada Cukat
Giok mengenai peristiwa itu.
Bungkusan bunga teratai yang harus diberikan kepada
Tio Hong Hui dan bungkusan kertas yang harus diberikan
kepada nona Beng Cu itu, lebih baik ditahan dulu.
Sambil mengusap air mata, wanita itu berkata pula
dengan rawan:
"Apakah tidak mungkin dia menderita penyakit syaraf
karena putus asa?"
Cu Jiang terkesiap. Memang hal itu mungkin.
Tiba2 nona Beng Cu mengangkat muka dan berkata
dengan sedih:
"Di manakah ayah sekarang? Aku bersumpah akan
mencarinya sampai ketemu . . ."
"Sahabat !" Sebun Ong cepat menanggapi lagi. "dalam
soal salah paham ini, sukar untuk menjelaskan dengan
kata2. Lebih baik anda menunjukkan tempat Cukat beng.
Setelah bertemu dengan orangnya sendiri, segala apa tentu
dapat dijelaskan!"
Cu Jiang tertegun diam.
"Apakah suamiku sudah tak dapat berjalan lagi?" tanya
wanita itu.
"Hm tenaganya sudah hilang, umurnyapun takkan
panjang lagi."
"Apakah dia minta tolong anda untuk membereskan
peristiwa ini?"
"Ya."
"Apa pesannya?"
"Potong kepala manusia yang mencelakai kawan dan
merebut isterinya itu !"
"O, Aah .. ..." Tio Hong Hui meratap. Air matanya
berderai-derai keluar.
"Lalu bagaimana anda akan bertindak ?" kata Sebun Ong
dengan wajah beku.
"Memeriksa lagi persoalan ini sampai jelas."
"Mengapa anda keberatan untuk memberitahu tempat
Cukat-heng !"
"Soal ini .... untuk sementara tak dapat, maaf."
Tiba2 wajah Sebun Ong membesi, serunya : "Sahabat,
maafkan kelancanganku berbicara. Kedatangan anda ini
sangat mencurigakan."
Cu Jiang tertawa meringis. Kini dia berbalik menerima
tuduhan. Ia mendengus:
"Persoalan ini masih belum selesai. Aku masih akan
menyelidiki sampai tenang, maaf, aku mohon diri."
"Tunggu."
"Anda masih mempunyai pesan apa lagi?"
"Sahabat datang sebagai tetamu, ijinkan aku menunaikan
kewajibanku sebagai tuan rumah ...."
"Ah, jangan banyak peradatan."
"Lepas dari persoalan ini, apakah anda benar2 tak mau
memberi muka kepada Sebun Ong?"
"Aku sudah biasa berkelana seorang diri. Tak suka
berkawan, maaf." habis berkata Cu Jiang menatap ke arah
nona Beng Cu, kemudian melangkah keluar.
"Sahabat," Sebun Ong memburu, "setelah persoalan ini
selesai, apakah sahabat tak keberatan bersahabat dengan
aku ?"
"Kelak kita bicara lagi." Jawab Cu Jiang dengan nada
dingin.
Sehabis keluar dari pintu, tiba2 Tio Hong Hui lari dan
menghadangnya:
"Anda harus menunjukkan tempat suamiku !"
"Nyonya, sekarang masih belum waktunya."
"Sudah belasan tahun kami suami isteri tak bertemu.
Kita sama2 tak mengetahui bagaimana nasib kita masing2.
Mengapa anda begitu ...."
"Nyonya, kuminta suka bersabar beberapa waktu lagi."
"Tidak, tidak !" tiba2 Tio Hong Hui menjeritkan
tangisan.
Gadis Beng Cu juga lari keluar dan dengan bercucuran
airmata, berseru:
"Apakah anda benar2 tak mengetahui bagaimana
perasaan suami isteri dan anak?"
Tiba2 Tio Hong Hui berlutut, disusul oleh puterinya.
Melihat keadaan itu Cu Jiang benar2 kelabakan. Ia
tertusuk perasaannya Juga. Jika Tio Hong Hui memang tak
bersalah dan semuanya terjadi karena salah faham,
bukankah berat untuk menerima permohonan yang disertai
berlutut dari Tio Hong Hui ?
Bukankah Tio Hong Hui itu juga seorang cianpwe dalam
dunia persilatan? Kalau memang tidak sungguh2, masakan
wanita itu mau berlutut di hadapannya.
Tetapi apabila memang benar Tio Hong Hui itu
menyeleweng, jika ia memberi tahu tempat Cukat Giok
kepadanya, apakah itu tidak berarti merusak kepercayaan
dan mencelakai Cukat Giok?
Dan ia masih mempunyai lain persoalan yang penting,
jelas tak dapat menemani wanita dan puterinya itu ke
gunung Bu-leng san mencari Cukat Giok.
Cu Jiang bingung dan cepat2 menghindar jauh seraya
berseru.
"Nyonya, jangan bersikap begitu. Kita bisa berunding!"
"Oh, anda meluluskan?" seru Tio Hong Hui penuh
harap.
Cu Jiang teringat bahwa ketika dia jatuh ke dalam jurang
dan ditolong Cukat Giok, ia jelas mengetahui orangnya itu
masih normal pikirannya, tidak terganggu atau menderita
sakit jiwa.
Tetapi ternyata keterangan orang tua itu lain dengan
kenyataan. Mana yang salah dan mana yang benar, ia
masih belum tahu. Teringat akan budi pertolongan orang
tua itu, sebaiknya ia menuju ke dasar jurang menemuinya
lagi agar persoalan itu jelas dan selesai.
Tio Hong Hui dan puterinya masih tetap berlutut. Sebun
Ongpun muncul. Dia kerutkan dahi.
"Sahabat, persoalan ini harus selekasnya dibereskan,
jangan biarkan pembunuh itu bebas berkeliaran diluar.
Sebaiknya engkau luluskan permintaan mereka dan
bersama-sama menemui Cukat-Heng. Hubungan darah
daging, setiap orang tentu merasakan."
"Jika anda tetap menolak, lebih baik anda bunuh aku
sebagai seorang wanita hina!" teriak Tio Hong Hui,
Dalam terdesak dan gugup akhirnya Cu Jiang
mengangguk dan meluluskan. Tio Hong Hui dan Beng Cu
serempak berbangkit.
"Mohon anda memberitahu tempat suamiku itu, agar
kami dapat lekas2 menemuinya," seru Tio Hong Hui.
"Tidak, tempat itu amat rahasia sekali. Harus aku yang
menjadi penunjuk jalan!"
"Ini . . . . ah, bagaimana kami berani membikin repot
anda . . ."
"Aku mempunyai beban dari Cukat cianpwe untuk
melindungi kebenaran."
Tio Hong Hui memandang kearah Sebun Ong dengan
pandang bertanya pendapatnya.
"Sahabat." kata Sebun Ong dengan nada sarat, "bukan
karena aku banyak curiga, Tetapi ke dua nyonya dan
puterinya itu telah diserahkan dalam tanggung jawabku.
Maka hendak kutitipkan keselamatan mereka kepadamu."
"Baik akan kulaksanakannya dengan sekuat
kemampuanku."
"Apakah aku juga boleh ikut?"
"Ah, maaf, rasanya belum waktunya."
"Tetapi sahabat secara lisan mengatakan menjalankan
permintaan tolong dari Cukat Heng. Adakah sahabat
membawa sesuatu yang dapat dijadikan bukti?"
"Ada!"
"Harap menunjukkan."
Dengan hati2 Cu Jiang segera mengeluarkan bungkusan
teratai yang berisi racun sambil menunjuk, dia berkata.
"Benda inilah !"
Sesaat wajah Sebun Ong tampak berobah pada lain saat
sudah tenang kembali. Kemudian berpaling kepada Tio
Hong Hui:
"Ensoh, kenalkah engkau akan benda itu?"
Tio Hong Hui tertegun lalu mengangguk:
"Ya, memang benar."
Cu Jiang menyimpan kembali.
"Sahabat, karena sudah ada keputusan. harap masuk
kedalam lagi, akan kuhaturkan arak terima kasih ..."
"Ah, tak perlu."
"Mengapa sahabat menolak?"
"Adatku memang begitu."
"Apakah sekarang sahabat akan membawa Toasoh dan
puterinya?"
"Kita bertemu di kota Li-Jwan."
"Ah, Li Jwan jauh sekali. Kapan ?"
"Dalam sepuluh hari."
"Jika begitu, baiklah."
Sepeninggal Cu Jiang dari rumah itu, dia masih berkabut
kegelapan. Antara kata Cukat Giok dengan kenyataan tidak
sama. Hal itu berarti dia masih terlibat dalam persoalan
yang belum selesai.
Malam sudah larut. Jalan2 sepi. Tak mungkin dia akan
mencari rumah penginapan. Terpaksa dia berjalan dengan
langkah tertatih-tatih.
Tiba di tempat Pek Liang menjajakan dagangannya, ia
melihat sebuah tanda sandi. Ia mengikutkan pandang
matanya kearah yang ditunjuk oleh tanda sandi itu. Diatas
segunduk tembok ia melihat beberapa corat-coretan yang
melukiskan seorang lelaki tengah dikejar anjing.
Diujung muka, terlukis beberapa ekor anjing,
dibawahnya diberi tulisan yang berbunyi: "Kawanan anjing
milik keluarga siapa?"
Sepintas pandang, lukisan itu merupakan corat coret
yang biasa dilakukan anak-anak nakal pada tembok2
rumah. Tetapi bagi Cu Jiang hal itu merupakan petunjuk
rahasia bahwa saat itu dia sedang dikuntit orang. Selain itu
juga sedang terancam oleh beberapa kawanan musuh yang
belum di ketahui golongannya.
Cu Jiang terkejut heran. Siapa yang secara diam2
mengikuti perjalanannya itu? Orang2 Thong-thian-kau,
Gedung Hitam atau...
Ah, tetapi dia tak gentar. Setelah melalui pintu kota dan
berjalan di jalan yang sepi, ia merasa di belakangnya
terdapat seseorang yang mengikuti.
Tetapi dia pura2 tak tahu.
Tak berapa lama berjalan, tibalah Cu Jiang disebuah
rumah berhala kecil yang terletak di tepi Jalan. Cepat ia
gunakan tata langkah Gong-gong-poh-hwat, menyelinap
bersembunyi.
Tetapi orang yang mengintil itu cerdik sekali. Dia
berhenti tak mau ikut masuk. Cu Jiang tak mengacuhkan.
Dia naik keatas wuwungan dan duduk bersemedhi.
Semalam tak terjadi suatu apa. Tetapi ketika keesokan
harinya dia hendak melanjutkan perjalanan, tiba2 ia
mendengar suara orang mendengus. Kejutnya bukan
kepalang dan cepat2 Ia berpaling kearah suara itu, tempat ia
bersembunyi, diujung wuwungan belakang, tampak seorang
lelaki tua tengah tidur melingkar dan mendengkur.
Kapan orang tua itu muncul, sama sekali tak
diketahuinya. Yang jelas ketika semalam dia naik keatas
wuwungan, ia tak melihat sesosok bayangan manusiapun.
Ah....
Suatu hal yang benar2 mengejutkan hatinya. Karena
kalau menilik ilmu kepandaian yang dimilikinya sekarang,
tak mungkin dia tak mengetahui. Jangankan manusia,
barang semut berjalanpun ia dapat menangkap suaranya.
Dengan begitu jelas orang tua itu bukan orang
sembarangan.
Oh, apakah dia yang menguntitnya selama ini ?
Setelah menenangkan pikiran, Cu Jiang batuk2. Orang
tua itu membalikkan tubuh dan mengingau:
"Siapa yang lebih dulu sadar dalam mimpi, segala urusan
aku dapat mengetahui sendiri. Belum puas tidur diatas
wuwungan rumah berhala uh, mahluk apa yang
mengganggu mimpiku ?"
Kini Cu Jiang semakin Jelas.. Orang tua itu tak lain
adalah Ciok Yau to bergelar Thian-put loya atau Hanyalangit-
yang-tak-dicuri.
Jelas orang tua itu datang belakangan dan bukan karena
secara kebetulan tetapi tentu mempunyai tujuan.
"Aku manusia, bukan binatang." serunya.
Pencuri sakti itu membuka besar-besar mata sambil
bangun, ia lalu memandang Cu Jiang dan tertawa meringis:
"Oh, sungguh kebetulan sekali ! Kiranya Toan-kiam-jan
jiu !"
Sepasang mata Cu Jiang memancar sinar berkilat-kilat,
serunya dingin:
"Apa maksud anda mengikuti aku?"
"Mengikuti ? Tidak, tidak! Aku kemalaman dan terpaksa
tidur disini."
"Apa benar begitu ?"
"Percaya atau tidak. terserah !"
“Didalam dunia itu jangan terjadi hal secara kebetulan
seperti kali ini .." Cu Jiang terus melayang turun dan
ayunkan langkah. Nada dan suaranya sungguh jumawa
sekali.
"Hai, menganggap dunia ini tiada tandingannya. Lambat
atau cepat tentu akan mengantar Jiwa dibawah kun (rok) si
Ciok Liu !" terdengar orang tua itu mengigau seorang diri.
Cu Jiang terkesiap tetapi dia tak mau menghiraukan dan
pura2 tak dengar.
Sinar matahari mulai menghangatkan bumi.
Di Jalan pun sudah banyak orang. Cu Jiang singgah
disebuah kedai makan lalu melanjutkan perjalanan lagi.
Dalam sepuluh hari dia harus tiba di Li jwan, bertemu
dengan Tio Hong Hui dan puterinya.
Sebenarnya dia segan kembali ke dasar jurang yang
menyeramkan itu. Tetapi apa boleh buat. Diam2 ia
menimang, berpisah sekian lama, kemungkinan Ko-tiong
Jiu Cukat Giok itu sudah meninggal dunia.
Karena pada waktu berpisah, orang tua itu mengatakan
bahwa tak lama lagi dia tentu sudah mati. Jika Cukat Giok
benar2 sudah mati, bukankah persoalan Itu akan terbeku
selama-lamanya ?
Saat itu dia sedang menempuh jalan yang sepi.
Walaupun dengan kaki sebilah pincang tetapi kecepatannya
mengejutkan orang.
Tiba2 ia merasakan sesuatu yang mencurigakan. Serasa
ada orang yang bersembunyi. Sengaja ia lambatkan
langkah.
Tak berapa lama berjalan, pada jarak sepuluh tombak
dari tepi jalan, ada sebuah gunduk tanah digerumbul
pohon. Rupanya gunduk itu, masih baru dan didepannya
dipasang sebilah papan batu yang bertulis:
"Toan-kiam-jan jin dikubur disini."
Melihat itu Cu Jiang tertawa gelak2. Dia segera
menghampiri. Memang benar, gunduk tanah itu masih
baru. rupanya orang2 itu hendak mencegat, membunuh dan
menguburkan dia disitu.
Selesai memeriksa dia lalu duduk bersemedhi dibawah
sebatang pohon tua, diatas lutut, kemudian pejamkan mata.
Beberapa saat kemudian semula mendengar suara yang
lembut. Dan dua musuh tentu mulai bergerak tetapi dia
diam saja.
Setiup angin dahsyat segera melanda kearah kepalanya.
Huak.... terdengar jeritan ngeri disusul dengan sosok
tubuh yang jatuh. Tanpa membuka mata, pedang kutung di
acungkan keatas dan hawa pedang memancar sampai dua
tombak, merontokkan ranting dan daun2..
"Ha. ha, ha .... Toan-kiam-Jan-jin sungguh hebat sekali !"
Suara gelak tawa itu menggetarkan empat penjuru
angkasa.
Cu Jiang menurunkan pedang, membuka mata dan
berbangkit. Kedua matanya memancarkan sinar berapi-api.
Didepannya melintang sesosok mayat dari seorang busu
baju kuning.
Mungkin karena melibat Cu Jiang duduk pejamkan
mata, busu itu terus melancarkan serangan. Tetapi
akibatnya dia sendiri yang mati.
Dua tombak jauhnya, tampak seorang aneh berjubah
kuning. Mulutnya mencolot, tulang pipinya menonjol, biji
matanya banyak putih dari hitamnya. Tingginya tak kurang
dari dua meter.
Cu Jiang cepat mengenali orang aneh itu sebagai si Iblis
gila atau Gong Mo yang dahulu pernah memukulnya
dengan pukulan Thian-kong-sat.
Tetapi rupanya iblis itu tak kenal siapa sebenarnya Toankiam
jan-jin. Dia tentu tak mengira bahwa Toan kiam-Jan
Jin itu tak lain adalah pemuda Gok-jin-Ji yang dahulu itu.
Melihat orang yang telah mencelakai dirinya menjadi
cacat, seketika meluaplah hawa pembunuhan Cu Jiang.
Tetapi ketika keliarkan mata ke sekeliling, ia terkejut juga.
Ternyata sekeliling empat penjuru, telah dikepung tak
kurang dan lima puluhan orang. Pelahan-lahan mereka
maju menghampiri.
Dia menyadari apa yang akan dihadapi saat itu.
Rupanya Thong thian kau telah mengirim berpuluh-puluh
jago sakti untuk membunuhnya. Mereka tentu marah
mendengar berita Thong thian-kau cabang Siok-ciu telah
diobrak-abrik dan ketuanya yakni Kiam Mo. menjadi
manusia lumpuh dan cacat seumur hidup.
"Toan-kiam jan jin," seru Gong Mo dengan nyaring,
"liang sudah disediakan untukmu. Jika ingin mayatmu
utuh, masuklah sendiri ke dalam liang kuburmu itu!"
Cu Jiang mendengus dingin: "Gong Mo, liang itu
untukmu sendiri!"
"Engkau tahu namaku?" Gong Mo terkejut.
"Bukan baru sekarang ini!"
"Siapakah engkau ini?"
"Tak usah bertanya. Aku keluar demi menumpas
kawanan iblis seperti engkau dan kawan-kawan mu itu."
"Ha, ha. ha ... . engkau adalah manusia kedua yang
paling congkak yang kujumpai didunia ini!"
"Siapa yang kesatu?"
"Gok-jin-ji budak gila itu."
Diam2 Cu Jiang geli tetapi ia berseru dengan nada
dingin:
"Sayang engkau takkan bertemu orang yang ketiga lagi!"
"Apa maksudmu?"
"Sejak saat ini dunia persilatan takkan terdapat nama
Gong Mo lagi!"
Karena marah Gong Mo tertawa nyaring: "Akan ku
tangkap hidup-hidupan untuk kusiksa sepuas hatiku. "
"Asal engkau mampu." sahut Cu Jiang. "aku sih tak
memilih kematian cara apa saja."
"Bagus, engkau ini memang budak . .." Gong Mo maju
dua langkah sehingga hanya terpisah tidak sampai dua
meter. Cu Jiang lekatkan pandang matanya, menyalurkan
tenaga dalam ke tangan.
Suasana tegang sekali, diliputi hawa pembunuhan. Tiba2
Gong Mo dorongkan kedua tangannya, menghantam Cu
Jiang.
Pedang berkilat, dengan sepenuh tenaga Cu Jiang
pancarkan ilmu pedang Thian-tay kiau-thay.
Angin pukulan menderu dahsyat, hawa pedang pun
meroket angkasa. Jeritan ngeri, erang tertahan serempak
terdengar.
"Huak . . . . "
"Auh..."
Cu Jiang terdorong tiga langkah ke belakang. Darah
dalam tubuhnya bergolak-golak, pukulan Thian-kong-sat
dari Gong Mo hampir memberantakan tenaga kong gi yang
dipancarkan Cu Jiang untuk melindungi tubuhnya.
Jika setahun yang lalu, dia tentu mati karena pukulan itu.
tetapi sekarang ia mampu bertahan.
Jubah Gong Mo mengalirkan darah merah. Bluk ....
tubuhnya yang tinggi besar segera terjungkal rubuh ke tanah
dan tak dapat bangun lagi untuk selama-lamanya.
"Hai ...." pecahlah teriak kejut dari sekalian anak buah
Thong-thian-kau.
Benar2 mereka tak percaya pada peristiwa yang
dilihatnya saat itu. Seorang anggauta Sip-pat thian mo yang
termasyhur, ternyata hanya dengan sebuah jurus saja, sudah
terbunuh mati.
Secepat kilat dua batang pedang segera menerjang Cu
Jiang. Cu Jiangpun cepat memutar pedang kutungnya.
Huak. . . huak . . . kembali di atas tanah bertambah lagi
dengan dua sosok mayat.
Menyusul tiga pedang menyerang lalu pekik bentakan,
jeritan ngeri. Darah, sinar golok, bayangan pedang, angin
pukulan dan deru sambaran senjata rahasia, bertubi-tubi
menggemuruh ....
Hutan itu segera berobah menjadi tempat pembunuhan.
Jago2 Thong-thian-kan susul menyusul rubuh. Setiap kali
Cu Jiang menggerakkan pedang, paling sedikit tentu ada
seorang musuh yang rubuh.
Mayat makin lama makin menumpuk. Tetapi jago2
Thong-thian kau itu seperti kerasukan setan. Mereka
menyerang dengan jurus2 maut. Mereka tak menghiraukan
mati.
Cu Jiang merah matanya. Diapun ikut kalap seperti
lawan. Pakaiannya penuh berlumur percikan darah.
"Mundur ...!" tiba2 terdengar sebuah bentakan
menggeledek.
Kawanan jago itupun berhamburan mundur. Dari
sejumlah lima puluhan orang, kini mereka hanya tinggal
belasan orang.
Dua orang aneh berjubah warna kuning, serempak maju
ke dalam gelanggang. Keduanya berwajah menyeramkan.
Cu Jiang menjulurkan pedangnya ke bawah, pedang itu
masih mengucurkan darah.
Kedua pendatang itu yang seorang memegang senjata
Tok kak thong jiu atau Orang-tembaga-berkaki-satu dan
yang lain mencekal Ki bi-thiat kun atau tongkat besi. Kedua
senjata itu termasuk senjata berat. Jelas keduanya tentu
memiliki tenaga yang kuat sekali.
Sepasang mata mereka berkilat-kilat memancarkan sinar
buas sekali seperti singa mencium darah.
"Rupanya kalian berdua ini juga anggauta dari Sip pat
thian mo?" tegur Cu Jiang.
"Benar, aku adalah Bu Mo yang termasuk pada jajaran
ke tujuh belas." sahut orang yang mencekal tongkat besi.
"Dan aku iblis yang ketiga belas. Toa-lat-sin-mu. Budak,
aku takkan berhenti sebelum mencincang tubuhmu! "
"Kalian akan maju berdua atau . . ."
"Heh, heh, heh .... Sip pat thian-mo selalu bertempur
satu lawan satu."
"Siapa yang akan maju dulu?"
"Aku."
"Silakan ! Aku masih ada lain urusan penting. Tak dapat
lama disini."
Bu Mo mundur setombak jauhnya. Sementara setelah
siap dengan senjata Tok-kak-thong-jin. maka dengan
tertawa seram, Toa-lat-cin-mo atau Iblis-sakti-bertenaga
besar segera melancarkan serangan menghantam kepala Cu
Jiang dengan sekuat-kuatnya.
Cu Jiang menangkis dengan pedangnya.
Tring . . . senjata Tok-kak-thong-jin tertolak tetapi adu
tenaga itu menggetarkan tubuh Cu Jiang sehingga darahnya
bergolak keras.
Tok-kak-thong Jin atau naga berbentuk orang berkaki
satu merupakan senjata yang berat. Sedang pedang adalah
senjata ringan, hanya mengutamakan kelincahan dan
tenaga si pemakai.
Kalau bukan Cu Jiang, tentu tak ada orang berani
mengadu pedang dengan Tok-kak-thong-Jin tetapi pun jika
bukan Toa lat sin-mo, tentu sudah mati di bawah pedang
Cu Jiang.
Toa-lat-sin-mo juga terkejut bukan kepalang. Dia tak
menyangka lawan berani mengadu pedang dengan gada
yang berat. Dan lebih kaget lagi ketika ia merasakan akibat
dari benturan senjata itu. Ternyata lawan memiliki tenaga
dalam yang hebat sekali.
Pada saat Toa lat-sin-mo masih tercengkram terlongong
keheranan. Cu Jiangpun sudah bergerak menyerang dengan
jurus Thian te kun-thay.
"Uh.." cepat Toa lat sin-mo lintangkan gada Tok kak
thong-jin untuk melindungi tubuhnya.
Iblis itu memang hebat dan cepat bergerak tetapi sayang
masih kalah cepat setindak dengan Cu Jiang.
Serentak terdengar seruan tertahan dan keduanyapun
loncat berpencar diri. Dada Toa-lat sin-mo berhias dengan
suatu luka sepanjang setengah meter, darahnya bercucuran.
Melihat dirinya terluka, Sin-mo marah sekali. Dengan
menggerung seperti singa kelaparan, dia menyerang
dahsyat.
Wut.. tongkat besi dari Bu Mopun ikut menyerang.
Kalau dua iblis maju serempak, dahsyatnya sukar
dilukiskan.
Cu Jiang terkejut dan cepat menggunakan gerak-langkah
Gonggong-poh-hwat untuk menghindar.
Kedua iblis itu menggeram dan serempak berputar
tubuh.
Sebenarnya Cu Jiang hanya menyelinap ke belakang,
bukan melarikan diri.
"Bukankah Sip-pat-thian-mo itu selalu bertempur satu
lawan satu?" serunya mengejek.
"Kecuali terhadap engkau karena engkau harus mati,"
sahut Bu Mo dengan menyeringai.
Dan kedua iblis itu lantas menyerang lagi. Deru angin
sambaran dan dua buah senjata berat mereka, menimbulkan
letupan2 macam halilintar menyambar.
Kali ini Bu Mo benar2 ngotot sekali. Dia menumpahkan
segenap kepandaiannya. Dia cepat merobah permainannya
dalam jurus Ya-con-pat-hong atau bertempur-empat-arahpada-
malam-hari.
Suatu jurus yang sederhana.. Tetapi dimainkan oleh
seorang iblis macam Bu Mo, jurus itu berobah menjadi
gerak yang hebat.
Saat itu Cu Jiang melihat suatu lubang kesempatan.
Sehabis menghindari serangan, dia terus menghantam
punggung Sin-mo.
0oodwoo0
Jilid 13
Tring ... . terdengar dering senjata beradu di susul dengan
erang kesakitan. Andaikata tak tertahan oleh tongkat dari
Bu Mo, tentulah Toa-lat-sin-mo sudah mati.
Tetapi sekalipun tertahan tongkat, ujung pedang kutung
dari Cu Jiang masih dapat melukai punggung Toa lat sinmo
sampai sepanjang beberapa jari. Kembali bercucuran
darah lagi. Dan lebih sakit dari luka di dadanya sehingga
dia terhuyung-huyung hampir rubuh.
Cu Jiang tak mau buang tempo. Kin dia akan
membereskan Bu Mo, Tongkat besi merupakan senjata
berat dan panjang. Harus dibasmi dulu.
Tetapi Bu Mo memang lebih berpengalaman. Sesuai
dengan gelarnya Bu Mo atau iblis-silat. dia memang sakti
dan waspada. Pada saat Cu Jiang bergerak, diapun sudah
cepat-cepat menghindar lalu menghantam.
"Ahhh !" terdengar jeritan ngeri. Karena Bu Mo
menghindar, babatan Cu Jiang itu berganti sasarannya.
Karena menderita luka dan gerakannya agak lamban, maka
Toa lat sin mo tak keburu menghindar.
Kepalanya terbelah, darah menyembur dan tubuhnyapun
rubuh.
Serempak pada saat itu, pukulan jarak jauh dari Bu Mo
tadi telah menghantam tubuh Cu Jiang. Karena sedang
melancarkan serangan maka tenaga sakti yang digunakan
Cu Jiang untuk melindungi tubuhnya agak lemah. Dia
mengerang tertahan dan terhuyung-huyung tiga langkah ke
belakang.
Melihat itu Bu Mo tak memberi kelonggaran lagi. Dia
terus menyerang dengan tongkat besinya. Ilmu permainan
tongkatnya, luar-biasa dahsyat dan aneh. Cepat dan gencar
sekali sehingga Cu Jiang tak sempat menangkis. Dia
terpaksa hanya menghindar saja.
Trang. . . . tongkat tersiak tetapi kedua tangan Cu
Jiangpun terasa kesemutan, pedangnya hampir terlepas.
Darah bergolak keras.
Dia sempoyongan sampai lima langkah baru dapat
berdiri tegak.
Bertempur menghadapi serbuan berpuluh-puluh ko jiu
dari Thong-thian kau lalu harus menghadapi keroyokan
kedua iblis itu, menyebabkan Cu Jiang banyak kehilangan
tenaga dalam. Kekuatannyapun banyak berkurang.
Bu Mo tak mau memberi ampun lagi. Dia menyerang
lagi dengan jurus2 permainan tongkat yang aneh dan keras.
Cu Jiang menghindar lalu tangan kirinya menuding
memancarkan tenaga-dalam ke luar.
"Hem ..." Bu Mo mengerang. Bahu sebelah kiri
tertembus, darah bercucuran. Tetapi iblis durjana yang buas
dan ganas itu tidak menyerah karena luka sekecil itu. Dia
menyerang lagi makin dahsyat dan gencar.
Dalam keadaan itu tiada lain jalan bagi Cu Jiang kecuali
menggunakan cara menghindar. Kadang dalam keadaan
terpaksa, baru dia menangkis adu kekerasan.
Tetapi lama2 dia marah juga. Dia memilih cara yang
belakang yakni adu kekerasan. Dengan mengerahkan
seluruh tenaga, dia segera memutar pedang terus
menyerang, tring
Tongkat Bu Mo terbabat, melayang ke udara. Mulut,
hidung, mata dan telinganya mengucurkan darah dan
tubuhnya sempoyongan lalu rubuh. Dia tak kuat mengadu
kekerasan dengan Cu Jiang.
Urat2 jantungnya putus.
Tetapi Cu Jiang juga menderita luka dalam. Mulutnya
menyembur darah sampai separoh dari kerudung mukanya
merah. Diapun terhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang lalu jatuh terduduk.
Melihat itu belasan jago2 Thong thian-kau segera
berteriak dan menyerbu Cu Jiang yang ngelupruk di tanah
itu.
Melihat maut mengancam, dengan kuatkan diri Cu
Jiangpun berdiri lagi. Ia mengerahkan lagi tenaganya untuk
menyambut serangan musuh.
Huak, huak . . . dua orang jago Thong-thian-kau rubuh.
Yang lain2 serempak mundur.
Napas Cu Jiang makin tersengal-sengal dan tubuhnya
gemetar keras. Tiba2 terdengar gemboran keras. Empat
orang menyerang lagi dari empat arah.
Cu Jiang mengertek gigi.
"Cu Jiang, jangan engkau rubuh. Kalau engkau rubuh,
habislah riwayatmu. Hayo, kuatkan dirimu dan bunuhlah
mereka . . ." seolah telinganya mendengar sebuah suara
mengiang-ngiang, membangunkan semangatnya.
Dengan kuatkan diri. Cu Jiang lalu memutar pedangnya.
Terdengar jeritan ngeri dan keempat orang itupun rubuh
mandi darah. Musuh yang berada di sebelah depan, malah
mengalami kematian yang mengerikan.
Kepalanya terbelah, darahnya muncrat mengenai kain
kerudung muka Cu Jiang.
Darah, mayat dan kutungan anggauta badan. Berserakserak
memenuhi tempat itu. Sekilas terbayanglah benak Cu
Jiang bahwa keadaan tubuh ibunya ketika menghadapi
keroyokan dari berpuluh tokoh2 sakti, tentulah sedemikian
juga.
Teringat akan kematian ayah bundanya, darahnya
meluap, semangatnya pun berkobar lagi.
"Ha, ha, ha . ..." Ia tertawa nyaring. Nadanya
menyerupai aum singa yang menginjak korbannya.
Kini yang masih tinggal hanya sembilan orang. Mereka
saling bertukar pandang. Menilik keadaannya, Cu Jiang
telah seperti pelita yang kehabisan minyak. Jika tidak saat
itu membunuhnya, tentu akan mensia-siakan suatu
kesempatan yang bagus.
Tetapi ilmu pedang Toan kiam jan-jin itu luar biasa aneh
dan saktinya. Dalam keadaan menderita luka, masih
mampu membunuh empat orang jago kojiu ...
Saat itu Cu Jiang seperti orang kerasukan setan. Ia
terbayang akan akan kematian kedua orang tua, kedua
adiknya yang masih kecil, paman Liok dan isterinya serta
anak perempuannya, gadis malang yang diperkosa lalu
dibunuh itu.
Hutan darah, dendam darah, saat itu berkecamuk dalam
dada Cu Jiang sehingga tenaga-dalamnya yang sudah
menurun itu mulai bangkit lagi.
Pelahan-lahan dia berputar tubuh menghadapi
kesembilan sisa jago2 Thong-thian-kau itu.
Pandang mata Cu Jiang yang penuh dendam kesumat
berdarah, tampak merah membara sehingga nyali
kesembilan orang itupun makin berguguran, berganti
dengan bayang2 ketakutan.
"Pergi . . ." entah siapa yang berseru tetapi ke sembilan
orang itupun segera berhamburan mundur.
"Berhenti!" Cu Jiang menggerung dan secepat kilat
berputar-putar menyerang mereka.
Huak, huak, huak . . . jeritan susul menyusul, darah
berhamburan memerah tanah dan sosok2 tubuhpun rubuh
morat marit.
Ia berhasil membasmi beberapa jago itu tetapi setelah itu
diapun kehabisan tenaga, Bluk, dia jatuh terduduk, mata
berkunang-kunang. Entah berselang berapa lama, hingga
pikirannya timbul: "Aku harus tinggalkan tempat ini."
Apabila saat itu Thong-thian-kau mengirim jago-jagonya,
cukup seorang saja, tentulah dengan mudah mengambil
jiwa Cu Jiang. Karena dia benar-benar lunglai sehingga
rasanya tak kuasa lagi mengangkat pedangnya.
Namun tekadnya yang membaja menimbulkan
kekuatannya. Dia merangkak bangun dan dengan
terhuyung-huyung ia melangkah pergi.
"Cu Jiang, kuatkan dirimu. Jangan rubuh, ayo, terus
jalan pelahan-lahan. Makin jauh dari tempat itu makin baik
. . ." suara hatinya membisikinya.
Entah berapa lama dan entah sampai di mana, akhirnya
ia merasa tak kuat lagi.
"Ayo, jangan rubuh ..." hatinya berkata namun tubuhnya
tak kuat Dan jatuhlah ia ke tanah, tak ingat apa2 lagi. .
Tak berapa lama, sesosok bayangan merah muncul. Dia
terlongong tegak di samping Cu Jiang, berjongkok
membuka kain penutup muka anakmuda itu dan menjerit
kaget:
"Oh, kiranya dia!"
Dari nadanya menunjukkan bahwa pendatang itu
seorang wanita. Tetapi siapakah dia? Apakah dia kenal
pada Cu Jiang?
Tiba-2 terdengar suara pekik seram berkumandang dari
kejauhan. Bayangan merah itu segera menghilang dalam
kegelapan lagi.
Selekas bayangan merah itu lenyap maka muncullah
seorang berjubah hitam. Wajahnya juga ditutup dengan
kain kerudung. Gesit sekali orang itu sudah melompat ke
tempat Cu Jiang, membuka kain penutup mukanya dan
menyurut mundur tiga langkah.
"Kiranya tak salah dugaan itu, memang dia!"
Habis berkata dia terus mengangkat tangan dan
menghantam kearah Cu Jiang, tetapi di tengah jalan tiba2
dihentikan lagi.
"Apakah harus sekarang mencabut jiwanya?" Beberapa
saat kemudian, dia mengangkat lagi tangannya. Tiba2
terdengar tawa dari seorang perempuan. Orang berjubah
hitam itu menarik tangannya dan secepat kilat terus lari
kearah suara tawa itu.
Kembali muncul sesosok bayangan. Dengan cepat orang
itu terus menyambar tubuh Cu Jiang dibawa lari.
Ketika sadar, Cu Jiang dapatkan dirinya tidur diatas
tumpukan rumput yang empuk. Walaupun gelap, dia dapat
mengetahui kalau sedang berada disebuah goa.
"Hah, mengapa aku berada disini ? Bukankah aku
terkulai rubuh kehabisan tenaga ?" Ia terkejut sendiri.
Demi menjaga keselamatan, dia tak berani bergerak dan
pura2 tetap pingsan. Tetapi diam2 ia kerahkan tenagadalam.
Ternyata sudah pulih separoh bagian. dan sudah tak
merasa sakit.
Hal itu tak mengherankannya. Jalan darah utama Sengsi-
hun-koen pada tubuhnya sudah tertembus. Dan hal itu
hanya merupakan satu langkah lagi untuk mencapai
kesempurnaan tenaga-dalam.
Diam2 dia mengingat dan menghafalkan isi pelajaran
kitab Giok ka-kim-keng mengenai ilmu pernapasan untuk
menenangkan perasaan hati. Dalam beberapa saat
kemudian, tenaganya makin pulih.
Dan kilat pandang matanyapun bertambah tajam.
Memang benar tempat itu sebuah gua yang dalamnya dua
tombak. Diluar tampak bintang2 berkelip-kelip.
Menunjukkan bahwa saat itu masih malam hari.
Tiba2 ia mengetahui bahwa dalam suasana yang gelap
itu ada sepasang mata yang berkilat-kilat tajam memandang
kepadanya. Dia terkejut sekali dan beranjak bangun.
Dari sinar bulan yang menyeruak ke dalam gua, ia segera
mengetahui bahwa pemilik sepasang mata tajam itu tak lain
adalah pencuri-sakti Ciok Yau to bergelar Thian-put-hoa.
Mengapa orang tua itu berada disitu? Belum sempat ia
menegur, orang itu sudah mendahului tertawa:
"Ho, hebat sekali. Ternyata engkau cepat kali sudah
sembuh !"
Diam2 Cu Jiang merabah pedangnya.
"Sahabat kecil, jangan banyak curiga. Kalau mau, aku
dapat dengan mudah mencabut jiwamu!"
Cu Jiang malu atas tindakannya mencurigai orang.
"Apakah cianpwe yang menolong aku?"
"Separoh bagian."
"Separoh bagian? Aku tak mengerti maksud cianpwe."
"Engkau mati satu kali."
Cu Jiang makin bingung.
"Aku benar2 masih tak jelas!"
"Duduk dan mari kita bercakap-cakap,” orang itu
memberi isyarat tangan. Dan Cu Jiangpun menurut.
Setelah berbatuk-batuk, Thian-put-thou berkata pelahanlahan.
"Setelah engkau membunuh ketiga iblis, membasmi
kawanan kunyuk2 kecil, engkau kehabisan tenaga dan
menggeletak dalam hutan . . ."
"O, lo cianpwe tahu semua ini?" Cu Jiang terkejut.
"Tentu."
"Lalu?"
"Seorang gadis baju merah yang mukanya bertutup kain
cadar, muncul dan membuka penutup wajahmu . . ."
"Ah, dia ...."
"Bentuk badannya seperti hantu. Jika aku tak salah terka,
dia adalah iblis wanita yang disohorkan orang sebagai Ang
Nio Cu !"
"Ang Nio Cu ?" Cu Jiang mengulang gemetar.
"Tetapi itu hanya dugaan saja. Akupun hanya
mendengar namanya belum pernah tahu orangnya."
"Lalu?"
"Ang Nio Cu membawa anak buahnya yang sembunyi.
Ketika mendengar anak buahnya bersuit memberi tanda,
dia terus kabur. Dan lalu muncul lagi seorang lain..."
"Siapa ?"
"Seorang yang pakaian dan mukanya bertutup kain
hitam, entah siapa . . ."
Cu Jiang mengangguk. Pikirnya, mungkin ketua Gedung
Hitam tetapi Thian-put-thou tak mau mengatakan.
Pencuri-sakti Thian-put-thou melanjutkan: "Orang itu
mengenal engkau . . ."
"Apakah dia juga membuka kain penutup mukaku ?" Cu
Jiang terkejut.
"Benar, dia hendak menghancurkan dirimu, tetapi ragu2.
Itulah sebabnya maka kubilang, engkau sudah mati satu
kali."
"Akhirnya dia tak jadi turun tangan ?"
"Jadi. tetapi pada saat dia hendak melepaskan hantaman,
tiba2 Ang Nio Cu bersuit untuk mengganggunya."
"Oh !" Cu Jiang mendesah pula. Diam2 ia mengeluh
karena merasa terlalu banyak berhutang budi pada Ang Nio
Cu.
"Ketika si baju hitam itu pergi, akupun segera
membawamu ke mari, Itulah sebabnya maka aku katakan
bahwa aku hanya memberi pertolongan separoh bagian
adalah wanita baju merah itu." kata Thian put thou pula.
Cu Jiang bangun dan memberi hormat:
"Terima kasih lo cianpwe. Budi locianpwe akan kucatat
baik2 dalam hati."
"Tak usah, tak usah," Thian-put thou gopoh mencegah,
"aku situa ini masih berhati seperti anak kecil. Kita jadi
sahabat saja."
"Tua dan muda harus ada tata peraturannya, masakan .."
"Duduk, duduk. Kalau engkau suka, panggil saja aku
sebagai lo-koko, mau?"
"Ini ..."
"Aku tak senang segala macam peradatan."
"Kalau begitu terpaksa aku menurut saja."
"Begitulah, adik kecil, ha, ha, ha . . ."
"Rupanya lo-koko terus menerus mengikuti aku . . ."
"Kukatakan, hatiku masih seperti anak kecil," kata Thian
put thou lalu berobah serius, katanya. "adik kecil, aku
mempunyai isi hati, seperti tulang menyekat di
tenggorokanku, kalau tak kukatakan cukup mengganjel. . ."
"Lo koko mau bilang apa, silakan."
"Adik kecil! Aku, bagi seorang ksatrya sejati, apakah
pantangannya nomor satu?"
Cu Jiang terbeliak. Ia tak mengerti apa yang akan
dimaksud oleh orang tua itu.
"Pantangan .... apa?"
"Wanita !" Thian-put-thou berkata dengan tegas.
Serentak Cu Jiang teringat, ketika hendak meninggalkan
rumah berhala di luar kota Gong-an. Thian put thou pernah
bergumam: "Hm, jangan menganggap dirinya paling gagah
sendiri di dunia. Lambat atau cepat, pasti akan mengantar
jiwa ke bawah kun ( rok ) si Ciok Liu . . ."
Kini orang tua itu mengatakan soal pantangan, tentu ada
sebabnya. Tetapi Cu Jiang heran, ke mana tujuan kata2
Thian-put thou itu. Selama ini ia merasa selalu menjaga diri
dan menjauhi kehidupan dengan wanita iseng ....
Ia hendak menyatakan keadaan dirinya kepada Thian
put-thou tetapi saat itu dari kejauhan terdengar lengking
jeritan ngeri dari seorang wanita.
Thian-put thou pun serentak berbangkit: "Jangan2
wanita baju merah itu disiksa orang berbaju hitam itu ?"
"Mungkinkah ?" teriak Cu Jiang penuh emosi.
"Mungkin sekali. Ketika kubawa engkau kemari, wanita
baju merah itu masih berkeliaran ditempat itu, rupanya dia
hendak mencari engkau...."
"Lo koko, mari kita ke sana."
"Hayo !"
Keduanya segera melesat dari goa. Menilik letak bintang
Pak-tou, saat itu tengah malam. Setelah jeritan ngeri itu, tak
terdengar suara apa2 lagi. Sukar untuk menentukan
arahnya.
Cu Jiang yakin dugaannya tentu benar. Orang berbaju
hitam dan berkerudung muka kain hitam itu tentulah ketua
Gedung Hitam dan wanita baju merah itu tentulah Ang Nio
Cu.
Kemungkinan Ang Nio Cu tentu bukan tandingan dari
Ketua Gedung Hitam. Ia memang telah banyak berhutang
budi kepada Ang Nio Cu, tak dapat ia berpeluk tangan tak
memperdulikan. Dan lagi, diapun hendak mencari ketua
Gedung Hitam itu untuk menyelesaikan dendam hutang
darah yang terakhir.
"Lo-ko, lari ke timur dan aku yang kebarat. Kalau
bertemu sesuatu, berilah pertandaan suitan."
"Baik," kata Thian put thou yang terus lari ke timur. Cu
Jiangpun menuju ke barat.
Cu Jiang melintasi sebuah hutan. Walaupun gelap sekali
tetapi berkat tenaga-dalam yang dimiliki sudah mencapai
tingkat tinggi, dia tetap dapat menembuskan pandang
sampai jarak seluas delapan tombak.
Beberapa saat berlari dia sudah tiba di ujung hutan.
Ketika dia hendak berputar tubuh balik lagi mencari lain
jalan, tiba2 ia melihat sesosok bayangan bergerak cepat dari
balik gerumbul.
Cu Jiang cepat mengejarnya. Tetapi karena kaki kirinya
pincang. dia kalah gesit dengan orang itu yang diduga tentu
seorang jago ko jiu. Jaraknya makin lama makin jauh.
Orang itu sebentar tampak sebentar lenyap.
Setelah sepuluhan li, tiba2 orang itu berhenti seperti
sudah lelah. Cu Jiang percepat gerakannya. Dalam
beberapa loncatan dia sudah tiba di samping orang. Tetapi
ketika memandangnya, kejutnya bukan kepalang.
Yang dihadapannya, seorang wanita baju merah dan
dibawah kaki wanita itu menggeletak sesosok mayat dari
seorang wanita baju merah lagi.
Cu Jiang tak asing lagi. Wanita baju merah itu adalah
salah seorang dari keempat wanita baju merah yang
memikul tandu tempo hari. Dengan demikian benarlah
dugaan Thian put-thou, bahwa wanita baju merah yang
muncul di hutan itu, tak lain adalah Ang Nio Cu.
Tampaknya wanita baju merah itu tak terkejut atas
kemunculan Cu Jiang. Mungkin pada waktu berkejarkejaran
tadi, wanita itu sudah tahu.
"Apakah anda Toan-kiam-jan-jin?" tegur wanita itu.
"Ya, benar."
"Engkau tidak mati?" tanya pula wanita itu tanpa
sungkan lagi.
Mengingat Ang Nio Cu, Cu Jing tak marah kepada
bujang baju merah itu, sahutnya:
"Kalau mati masakan bisa datang ke sini."
Sambil menunjuk pada kawannya yang menggeletak di
bawah kakinya, bujang baju merah itu menggeram:
"Engkau masih bernyawa tetapi dia sudah mati."
"Mengapa mati?"
"Karena engkau."
Cu Jiang terperanjat, serunya:
"Apa? Dia mati karena aku?"
"Siapa bilang tidak?"
"Bagaimana peristiwanya?"
"Kami berdua menerima perintah majikan untuk
mencari jejakmu . . ."
"Oh, lalu siapa yang membunuhnya?"
"Seorang baju hitam yang berkerudung muka."
"Dia!" Cu Jiang mengertek gigi.
"Siapa?" dayang baju merah itu tegang.
"Ketua Gedung Hitam!"
"Dia ... dia pemimpin Gedung Hitam yang menguasai
dunia persilatan itu?"
"Ya. "
"Hm, baik, baik . . ." bujang baju merah itu tak
melanjutkan katanya karena terdesak oleh rasa tegang yang
meluap-luap.
Dengan mengertek gigi, berkatalah Cu Jiang dalam nadi
tegas:
"Aku akan membalaskan sakit hatinya."
"Majikan kamipun dapat juga!"
"Di mana majikanmu?"
"Mengejar jejak lelaki jubah hitam itu."
"Lalu hendak engkau apakan mayat kawanmu itu?"
"Menurut peraturan perguruan kami, akan dikubur
dengan baik. "
"Apakah aku dapat membantu? "
"Tak usah."
"Majikanmu mengejar ke arah mana?" tanya Cu Jiang.
"Barat. "
"Bila bertemu dengan majikanmu, tolong sampaikan,
bahwa Toan-kiam-jan-jiu takkan melupakan budinya!"
"Hm, mudah-mudahan hatimu sesuai dengan katakatamu."
wanita baju merah mendengus dingin.
"Apa maksudmu ?"
Wanita baju merah itu tertawa rawan.
"Orang bawahan tak bebas bicara. Semoga anda ingat
apa yang anda ucapkan tadi!"
Cu Jiang tak mengerti tetapi dia tak mau mendesak.
"Aku seorang lelaki, apa yang kuucapkan adalah
pendirianku Bagaimana aku tak dapat pegang Janji?
Sudahlah, jangan cemas," kata Cu Jiang terus lari ke arah
barat.
Karena sampai terang tanah tak bertemu suatu apa,
terpaksa dia kembali ke timur lagi.
"Thian put-thou kebanyakan tentu sudah tak berada
dalam goa itu. Karena aku harus menepati janji dengan Tio
Hong Hui di Li-jwan. Lebih baik aku kesana dulu."
pikirnya. Dengan keputusan itu ia segera melanjutkan
perjalanan.
Setiba di kota lebih dulu ia membeli seperangkat pakaian
baru untuk ganti, lalu meneruskan perjalanan lagi. Dan
pada hari itu setelah menyeberang di pangkalan Ciok-posay,
tibalah dia didaerah pegunungan Bu-leng san. Dengan
kota Li-Jwan sudah tak berapa jauh lagi.
Begitu memasuki daerah gunung Bu-leng san, perasaan
Cu Jiang mulai tegang. Keluarganya telah terbunuh di
gunung itu. Dendam darah itu belum terbalas, bagaimana ia
dapat menghibur arwah kedua orang tua dan adik-adiknya?
Untuk mempersingkat jalan, dia tak mau mengambil
jalan besar tetapi melintasi daerah hutan di gunung.
Saat itu matahari sudah condong ke barat. Di sebelah
muka hutan belantara yang tak diketahui ujungnya. Tak
terdapat sebuah rumah pendudukpun juga.
Pada saat ia bingung, tiba2 ia melihat gumpalan asap
mengepul dari arah lamping gunung. Jelas itu sebuah
perumahan, entah milik kaum pemburu entah orang lain.
Cepat ia lari menuju ke tempat itu.
Setelah melintas sebuah bukit, ternyata lamping gunung
itu merupakan sebuah lembah sempit dengan sebuah airterjun.
Di dekat air-terjun itu, terdapat sebuah rumah
bambu. Membelakangi gunung dan menghadap air-terjun.
Cu Jiang termangu-mangu menyaksikan tempat yang
tenang dengan dikelilingi alam yang indah itu. Ia duga
tempat itu tentu bukan rumah orang tani melainkan tempat
persembunyian seorang yang mengundurkan diri dari
pergaulan ramai.
Cepat ia menuju ke tempat itu. Tiba di muka pagar, pada
waktu hendak berseru tiba2 muncul seorang lelaki
berpakaian seperti seorang sasterawan, tangannya
membawa sebuah buntalan kain panjang.
Jelas dia bukan orang desa atau bangsa pemburu. Cu
Jiang cepat melesat ke belakang sebuah batu besar.
Sasterawan itu melangkah pelahan-lahan ke tengah
ruang. kemudian berdiri tegak dan memandang langit
seolah seperti memikirkan sesuatu yang sulit.
Wajahnya gagah, alis tebal menaungi sepasang matanya
yang bundar. Usianya lebih kurang tiga puluhan tahun.
"Adakah dia seorang persilatan yang menyembunyikan
diri dari kejaran musuh?" tiba2 timbul dugaan Cu Jiang.
"Engkoh Hong!"
"Ya, aku di sini!" terdengar sebuah penyahutan dan
tahu2 muncul seorang wanita muda yang cantik sekali.
"Ah, mengapa kedua orang itu tinggal ditempat yang
sesunyi begini?" timbul lagi pikiran Cu Jiang.
Dengan langkah tergontai, wanita cantik itu
menghampiri ke sisi sasterawan, memandangnya sejenak,
lalu berseru:
"Engkoh Hong, mengapa tiba2 engkau berobah?"
"Ceng-moay, aku tidak berobah." sahut sasterawan itu
dengan tak acuh.
"Ih, mengapa engkau tak mau mengaku. Sejak tiga hari
yang lalu engkau turun gunung, pulang di rumah sikapnya
agak lain ..."
"Ah, engkau terlalu banyak mereka-reka sesuatu."
Wanita cantik itu beralih memandang pada bungkusan
kain yang dipegang sasterawan itu, seketika wajahnya pucat
dan tubuh gemetar.
"Engkau . . . mengeluarkan . . . barang itu lagi?" serunya
dengan nada tergetar.
Wajah sasterawan itu mengulum senyum tetapi tak
sedap dipandang. Suatu senyum hambar yang dipaksakan.
Dan cepat sekali wajahnya sudah membeku lagi.
"Ceng-moay. aku . . . aku ..."
"Engkau bagaimana?"
"Terus terang saja, selama tiga tahun ini aku memang tak
dapat melupakan barang ini!"
Airmata wanita itu mulai berlinang-linang dan dengan
rawan berkata:
"Kalau begitu selama tiga tahun ini, engkau
mempermainkan aku?"
Sasterawan itu tertawa hambar, sahutnya: "Bagaimana
engkau mengatakan begitu?"
"Engkau membohongi aku! Mempermainkan cinta . . ."
"Tidak, aku tidak merasa begitu. Kalau aku memang
bermaksud hendak membohongimu, tentu tak dapat
mengatakannya."
"Tetapi engkau . . . berobah.."
"Berobah?"
"Engkoh Hong, bilanglah dengan setulus hatimu, engkau
mencintai aku atau tidak?"
Di tempat persembunyiannya, Cu Jiang tak mengerti apa
yang terjadi pada kedua orang laki dan wanita itu.
"Sudah tentu mencintaimu." sahut sasterawan itu.
"Kalau sungguh-2 mencintai aku, lupakan barang itu! "
seru wanita itu dengan tegang.
"Tetapi ..."
"Oh, tak dapat melupakan, bukan?"
"Ceng moay, kuminta dengan sangat akan pengertianmu.
Hal itu merupakan tujuan utama dari hidupku . . ."
"Tutup mulut! Engkau lupa bagaimana kita berdua
sampai berkumpul disini. Bukankah karena hendak
menghindari keramaian dunia?"
Dahi sasterawan itu nampak berkerut.
"Engkoh Hong, darimana sepuluh buah luka yang terjadi
pada tubuhmu itu? Tampaknya engkau sudah hampir mati
sampai beberapa kali ? Engkau pernah mengatakan bahwa
selamanya engkau akan melupakan dan takkan membuka
bungkus kain itu lagi. Tetapi mengapa sekarang engkau
berobah pendirian ?"
Wajah sasterawan itu makin tak sedap dipandang.
Menandakan bahwa saat itu hatinya sedang kacau.
"Ceng-moay, aku sangat menderita. Banyak kali aku
berusaha untuk melupakannya, tetapi aku . . . tak dapat!"
akhirnya ia berkata.
"Eh, sebenarnya engkau bertemu apa waktu kali ini turun
gunung ?" seru wanita cantik itu dengan tegang.
"Kudengar.... di daerah Tionggoan telah muncul seorang
jago pedang yang hebat sekali, bernama Toan-kiam-jan jin!"
"Benar, sejak dulu memang begitu. Begitu mendengar di
daerah mana muncul seorang jago pedang, engkau terus
buru2 mencarinya. Apa yang engkau dapatkan? Engkau....
engkau..."
Wanita itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena
tersekat oleh kemarahan.
Sasterawan kerutkan alis dan berkata dengan nada
tegang:
Tetapi kali ini memang berbeda. Kaum persilatan
menyanjung Toan-kiam-Jan Jin sebagai seorang Dewapedang.
Setiap kali dia hanya menggunakan sebuah jurus
dan musuh tentu terluka atau mati. Kalau.... aku dapat
mengalahkannya, aku merasa puas seumur hidup !"
Diam2 Cu Jiang tercekat hatinya. Lelaki itu jelas seorang
silat maniak, seorang yang gila akan ilmu silat. Suatu cita2
yang jahat dan juga melanggar etika (susila) persilatan.
Bukankah banyak jalan untuk mengangkat nama supaya
termasyhur. Menjalankan kebaikan, menolong yang lemah,
memberantas yang jahat dan lain2 cara yang bersifat
ksatrya, merupakan cara yang lebih utama dan terpuji
daripada dengan jalan menghancurkan setiap orang yang
dipandang lebih tinggi kepandaiannya dari dirinya.
Terdengar pula sasterawan itu berkata: "Kabarnya dia
muncul disekeliling daerah ini. Aku hendak mencarinya
Ceng moay, ijinkan aku. Hal ini kecuali dirimu, merupakan
cita2 harapanku yang utama. Sejak aku berumur tujuh belas
tahun dan mendapat pelajaran ilmu pedang dari jago
pedang yang tak dikenal itu, baru hari ini aku dapat
memahaminya dengan sempurna."
Tampak wanita cantik itu agak tenang. "Apakah engkau
tetap hendak menantang Toan-kiam jan jin ?" serunya
dingin.
Wajah sastrawan itu berobah merah.
"Ceng-moay, kabulkanlah keinginanku !"
Sepatah demi sepatah, wanita cantik itu berkata dengan
tegas:
"Jika begitu, bunuhlah aku lebih dulu !"
Sastrawan terkejut sekali, serunya: "Apa maksudmu?"
"Karena kita berdua takkan dapat berkumpul"
"Mengapa ?"
"Aku mempunyai firasat, kali ini engkau pasti takkan
kembali lagi."
Sastrawan itu mundur dua langkah. Sepasang matanya
berkilat tegang lalu berseru dengan suara tergetar:
"Ceng-moay, menganggap aku akan mati ditangan Toankiam
jan Jin?"
"Aku benar2 mempunyai firasat begitu !"
Sasterawan membuka bungkusan kain panjang dan
sebatang pedang pusaka nampak menongol.
"Engkoh Hong, apakah engkau benar2 sudah tetap pada
keputusanmu?" teriak wanita cantik itu.
Setelah mencabut pedang itu maka tampak pedang itu
memancarkan hawa panas yang menyeramkan. Ditingkah
sinar matahari silam, pedang itu memancarkan sinar yang
aneh, seolah memberi suatu firasat.
"Ceng-moay, hanya sekali ini saja aku mohon
kepadamu!"
Tampak cahaya muka wanita cantik itu sebentar-sebentar
berobah dan akhirnya membeku. Dia mengangguk:
"Sejak dulu aku memang sudah meramalkan bahwa
kelak tentu akan menghadapi saat seperti ini. Tetapi aku
tetap menikah dengan engkau. Mungkin kesemuanya ini
sudah garis takdir !"
"Ceng-moay, jangan berkata begitu!"
"Sekarang aku baru tahu. Engkau tidak mencintai diriku
tetapi lebih cinta pada pedang. Hidup-mu hanya untuk
pedang..."
"Ceng-moay, ucapanmu terlalu tajam..."
Wanita cantik tertawa dingin:
"Bukankah kenyataan memang begitu?"
"Ceng-moay," kata sasterawan dengan nada pilu, "aku
cinta padamu. Tindakanku ini membuatmu bersedih tetapi
kumohon engkau suka maafkan. Aku berjanji, hanya satu
kali ini saja, ya, sekali ini saja !"
"Ya hidup itu .. . memang hanya sekali ini saja !"
"Ceng-moay . .."
"Hong-ko, semoga engkau berhasil mengangkat nama !"
habis berkata tiba2 wanita cantik loncat kebelakang rumah
dan terus lari keatas gunung.
Sasterawan itu tercengang, sesaat kemudian baru
berteriak:
"Hai, hendak kemana engkau, Ceng-moay?"
Tetapi wanita cantik tak menghiraukan lagi. Larinya
makin kencang. Melihat itu sasterawanpun segera mengejar
dan berteriak-teriak memangginya:
"Ceng-moay . . . Ceng-moay ..."
Cu Jiang geleng2 kepala dan menghela napas. Pikirnya,
manusia memang aneh. Mengapa sudah enak2 hidup
tenteram, masih hendak cari perkara? Mengapa orang itu
lebih mengutamakan nama daripada cinta? Apakah
kemasyhuran nama itu? Ayah juga diagungkan sebagai
Seng-kiam (Dewa Pedang), tetapi apa jadinya?
Tertarik oleh peristiwa kedua suami isteri itu, Cu Jiang
diam2pun lari mengikuti, Ia lupa akan rasa lapar.
Tiba di lamping gunung, ia terkejut menyaksikan suatu
adegan yang mendebarkan. Wanita cantik itu berdiri di atas
sebuah batu karang tinggi yang hanya cukup untuk
ditempati seorang. Di bawah karang itu terbentang airterjun
yang meluncur ke bawah sampai beratus tombak.
Sasterawan merangkak naik menghampiri seraya berseru
membujuknya.
"Ceng moay . . . kembalilah, aku. . . akan menurut segala
permintaanmu!"
Wanita cantik tertawa dingin:
"Terlambat, aku tak mau mengemis cinta karena engkau
kasihan kepadaku. Aku tidak bersandiwara, juga tidak
menggertakmu. Semoga engkau menjaga diri baik2, engkoh
Hong, selamat tinggal, jago pedang nomor satu di dunia . ."
Saat itu sasterawan sudah merangkak ke atas permukaan
karang dan terus menyambar kaki wanita itu tetapi ah....
hanya terpaut seujung jari dan terlambatlah dia. Wanita
cantik itu sudah loncat ke bawah jurang ....
"Ceng moay . . . !" terdengar sasterawan itu melolong
seperti serigala mengaum di tengah malam. Nadanyapun
kepiluan dan putus asa.
Tetapi hal itu tidak menolong apa2. Bahkan hanya
merupakan suatu irama musik yang menghantar tubuh
wanita cantik lenyap tenggelam dalam kabut senja yang
menutupi permukaan jurang.
Hidung Cu Jiang turut mengembang air. Betapa
menyedihkan peristiwa itu. Kematian wanita cantik itu
walaupun dengan cara membuang diri ke bawah jurang,
tetapi hal itu tak lain hanya sebagai akibat dari ambisi
sasterawan itu. Atau lebih jelas, dia mati di tangan lelaki
yang dicintainya.
Karena tak ingin menderita berpisah mati dengan
suaminya yang akan menantang ilmu pedang dengan Toankiam-
jan jin, lebih baik ia mati lebih dulu.
Tetapi adakah pengorbanan jiwanya itu mampu
meredakan ambisi besar dari suaminya yang begitu sangat
bernafsu untuk mencari nama itu?
Sebenarnya Cu Jiang tak suka akan pikiran dan tindakan
sasterawan itu. Dia hendak muncul dan memberinya
pengajaran. Tetapi mengingat bahwa baru saja sasterawan
itu berduka cita kehilangan isteri tercinta, dia terpaksa
menahan diri. Dia mengharap semoga peristiwa pahit itu
akan menyadarkan pikirkan orang itu.
Sasterawan itu terus lari ke bawah untuk mencari mayat
isterinya di bawah air-terjun. Cu Jiang pun tak mau
mengikuti lagi dan terus melanjutkan perjalanan.
Keesokan harinya dia sudah keluar dari daerah gunung
Bu-leng-san. Hanya tinggal lima puluh li dari kota Li-jwan.
Ia berhenti di sebuah kota kecil lalu meneruskan jalan lagi.
Diperhitungkan waktu lohor nanti dia akan sudah tiba di
Li-jwan.
Menurut perhitungan hari itu masih kurang dua hari dari
waktu perjanjian. Entah apakah Tio Hong Hui dan
puterinya sudah datang atau belum.
Tengah berjalan tiba2 dia melihat beberapa rumah
pondok di pinggir jalan. Ternyata beberapa kedai minuman.
Kedai2 itu menjadi tempat persinggahan dari para penjual
dari desa.
Cu Jiang juga merasa haus. Dia singgah di sebuah kedai
dan minta disediakan arak putih.
Tengah dia perlahan-lahan menikmati minuman, tiba2
terdengar suara orang tertawa dan seorang pemuda berseru:
"Aneh, Can Su Nio, kepala perguruan Hot-goat-bun,
selama ini tak pernah meninggalkan kota Gong-an. Tetapi
mengapa kali ini tiba2 dia membawa muridnya Kim hun-li
pesiar ke daerah yang begini sunyi?"
Kawannya, juga seorang anak muda menyahut:
"Saudara Tio, mungkin bukan hendak pesiar tetapi ada
lain tujuan . . ."
"Ha, ha, ha .... Ho toako, kecuali cari kumbang memikat
kupu-kupu", apalagi pekerjaan perguruan Hoa-goat-bun
itu?"
"Apakah engkau bermaksud . . . bertamasya di taman
bunga Tho yang indah?"
"Apakah Ho toako tak ingin juga?"
"Kita satu tujuan, satu warna, ha, ha, ha, ha..."
"Ho toako hendak memberi bingkisan apa kepada
mereka ?"
"ini... ya, sebatang pohon Cian lian-hosiu-oh."
"Ah, benar2 sebuah benda yang jarang sekali."
"Dan engkau ?"
"Sepasang mustika Han-giok warisan leluhurku . . ."
"Ah, cukup nilainya."
Agak panas juga telinga Cu Jiang. Partai Hoa-goat-bun,
dia pernah mendengar. Partai itu menggunakan paras
cantik untuk menggaet kawanan orang persilatan yang
rendah moralnya, mengadakan tukar menukar ilmu
kepandaian dengan benda2 pusaka. Setiap kota, besar kecil,
dibuka cabang.
Pengaruhnya cukup besar. Sepak terjang mereka tak
lebih tak kurang seperti sarang pelacur. Hanya bedanya
setiap anak murid perempuan dari partai itu, rata2 memiliki
ilmu silat yang tinggi.
"Ho toako, engkau lebih banyak pengalaman. Menurut
pendapatmu, apakah kita akan berhasil?" tanya pemuda
yang pertama.
"Asal imbalannya cukup tinggi, dimana-mana tentu
dapat saling tukar. Apakah engkau baru pertama kali ini?"
"Ah, sudah . . . pernah sekali."
"Bagaimana?"
"Sukar dikata."
"Ha, ha, ha, ha...."
"Selama bunga Bo-tan masih berkembang, sudah jadi
setanpun orang tetap akan mengenang."
"Anak murid Hoa-goat-bun rata2 memiliki ilmu
kepandaian Kwan-ing-kang-hu (lunak dan keras). Terutama
dalam kepandaian di atas ranjang... sekali engkau pernah
merasakan mereka, engkau takkan kepingin lagi terhadap
lain wanita sekalipun dia itu secantik bidadari."
"Ho toako, hari ini kita akan sama2 mendayung dalam
satu perahu, bukan?"
"Ha, ha, ha . . . lote, jangan kuatir, hari ini aku hendak
coba2 menempel ketuanya, Hong Cek. Dengan sebatang
mustika Cian-lian-ho-siu-oh ini, tentu dapat menarik
perhatian ketuanya. Jika muridnya sudah begitu yahud,
ketuanya tentu lebih hebat lagi, heh, heh . . ."
"Aku sih asal dapat menggaet muridnya yang bernama
Soh-hunli itu saja, rasanya sudah puas!"
"Jika begitu kita sudah ada pembagian, tak mungkin
terjadi rebutan, ha, ha, ha .... "
"Apakah mereka benar menginap di kuil Lian hoa-yan
sana?"
"Benar, kita harus lekas2 ke sana. Jangan sampai
didahului lain orang."
"Mari."
Setelah membayar kedua anak muda itu terus keluar. Cu
Jiang segan mengurus mereka. Setelah minuman, diapun
terus melanjutkan perjalanan. Di jalan dia melihat kedua
busu (orang persilatan) tengah berjalan cepat. Tentulah
kedua pemuda yang berbicara dalam warung tadi.
Cu Jiang bahkan tak mau cepat2 berjalan. Dia masih
mempunyai waktu dua hari. Mungkin Tio Hong Hui masih
sedang dalam perjalanan.
Tiba di persimpangan jalan, yang satu menjurus ke
sebelah kiri dan masuk ke hutan, dia melihat sebuah
pertandaan rahasia. Dia terkejut. Apakah sandi itu dibuat
oleh salah seorang dari ke empat jago ko-jiu Tayli itu?
Apakah di daerah ini terdapat jejak kawanan Sip-pat-thianmo?
Ia terus balik ke tikungan jalan. Ia melihat jelas tanda
rahasia itu. Agar tidak membikin kaget lawan, dia segera
masuk ke dalam hutan, mematahkan ranting pohon lalu
dengan menutup diri pakai daun2, dia melanjutkan berjalan
ke muka.
Kira-kira setengah li jauhnya, tampak sebuah rumah
yang berdinding batu merah. Rupanya sebuah kuil. Segera
dia gunakan tata-langkah Gong-gong-poh hwat untuk
menghampiri.
Ketika dekat, Ia terkejut. Ternyata gedung itu adalah kuil
Lian hoa-yan seperti yang dikatakan kedua anak muda di
warung tadi.
Cu Jiang menyembunyikan diri dan merenungkan apa
maksud dari pertandaan rahasia yang ditinggalkan keempat
jago Tayli itu ? Tetapi sampai lama ia tak dapat
menemukan jawabannya.
Tiba2 dari dalam kuil itu terdengar suara tawa dari orang
perempuan. Nadanya amat cabul. Cu Jiang menduga, yang
tertawa itu tentu anak-murid dari partai Hoa-guat-bun yang
bernama Soh-hun li. Kuil merupakan sebuah tempat
pemujaan yang suci. Mana bisa akan dijadikan tempat
maksiat semacam itu.
Lalu apakah maksud tanda rahasia itu mengundang dia
supaya datang ke tempat itu ? Karena tetap tak dapat
menemukan jawaban akhirnya Cu Jiang memutuskan
untuk bersembunyi menunggu perkembangan.
Ia segera menuju ke samping dan terus menyelundup
masuk kedalam kuil.
Lian-hoa-yan partainya Kuil Teratai. Yang dipuja disitu
adalah Koan Im pousat. Keadaan bersih dan indah sekali.
Tak kalah mewah dengan gedung orang kaya.
Dari ruang sebelah barat yang berhias bunga2 indah.
terdengar suara tawa cabul tadi. Kedua busu tadi berdiri
diluar pintu ruangan. Wajahnya tampak dirangsang nafsu
yang berkobar-kobar.
Saat itu Cu Jiang bersembunyi digerumbul bambu yang
berhadapan dengan ruang bunga tadi. Melalui sela2 daun,
dia dapat melihat apa yang terjadi di ruang itu. Begitu
melihat, darahnyapun bergolak, mata merah membara.
Yang duduk didalam, ruang itu tak lain adalah Tio Hong
Hui dan puterinya. Tingkah mereka yang genit dan cabul
jauh berbeda sekali dengan sikap mereka yang sedih ketika
berada di kota Gong-an tempo hari.
“Mengapa Tio Hong Hui hendak berjumpa dengan ketua
Hoa-goat-bun ?" demikian Cu Jiang menimang dan
merenung peristiwa aneh itu.
Ah, mungkin Tio Hong Hui itu memang seorang wanita
cabul seperti yang dikatakan oleh bekas suaminya Cukat
Giok atau Koh-tiong-jin, orang dan dalam lembah itu.
Dengan kata2 yang merangsang dan genit berserulah Tio
Hong Hui kearah pintu.
"Karena kalian dengan bersungguh hati datang kemari
hendak mencari keharuman, maka ketua kamipun terpaksa
meluluskan. Begini sajalah, kalian berdua dengan sepasang
burung hong mencari burung hong."
Dada Cu Jiang hampir meledak. Ternyata di dunia
terdapat wanita yang serendah itu martabatnya. Tetapi pada
lain saat dia terpaksa harus sabar. Dalam hal itu tentulah
terdapat sesuatu rahasia. Sebun Ong tentu mengatur
rencana dalam peristiwa itu.
Busu orang she Ho dengan hormat membungkukkan
tubuh lalu berkata.
"Bun-cu, aku yang rendah merasa sangat dahaga dan
mohon bun-cu sudi mencurahkan air hujan..."
Bun-cu artinya ketua perguruan.
"Ah, tak mungkin, barang upetinya tidak memenuhi
syarat." kata Tio Hong Hui dengan tertawa cabul.
"Akan kutambahi dengan pedang Keng-lui-kiam
tinggalan leluhurku!"
"Akan kuberi kelonggaran kepada kalian berdua untuk
bermain-main dengan burung hong !"
"Ini.... ini ... ."
"Terserah mau atau tidak. Jika tak mau, silahkan
kembali dan bawalah barang upeti itu !"
Kedua busu itu saling bertukar pandang. Lalu sama2
mengangguk.
Tio Hong Hui berpaling ke arah dara yang duduk
disampingnya:
"Anak manis, layanilah kedua tuan itu dengan baik2,
Jangan sampai mengecewakan.”
Gadis itu tertawa dan berbangkit. Setelah menyatakan
kesanggupannya, ia terus melontarkan lirikan mata kepada
kedua busu yang berdiri di depan pintu, seraya
mengundang:
"Mari. kalian silahkan masuk !" Lirikan mata gadis itu
benar2 maut sekali. Seakan-akan mempunyai daya pesona
yang kuat.
Tiba2 Cu Jiang teringat akan ocehan Thian-put-toa
ketika dipuncak wuwungan rumah berhala.
"Selembar jiwa cepat atau lambat pasti akan diantar ke
bawah kun (rok) si Ciok Liu ..."
Orang tua aneh itu memperingatkan bahwa pantangan
besar bagi seorang pendekar ialah paras cantik.
Dengan begitu jelas bahwa Thian put thou ternyata
sudah tahu bahwa Ratu-kembang Tio Hong Hui dan
puterinya itu wanita yang cabul. Sayang Thian put-thou tak
mau bilang dengan terus terang dan Cu Jiang pun tak mau
bertanya lebih lanjut.
Sudah tentu pula Cukat Giok, kakek bernasib malang
yang terlempar didasar jurang itu, tak tahu bahwa isteri dan
puterinya sudah menjadi wanita penjual senyum.
Kedua busu itupun segera melangkah masuk. Cu Jiang
hampir tak dapat menguasai diri dan hendak keluar
membunuh mereka. Tetapi tiba2 terdengar suara tawa keras
dan dari balik gunungan batu yang tak jauh dari kuil itu,
meluncur keluar sesosok bayangan, seorang tua berjubah
kuning, berwajah merah segar seperti bayi, tubuh gagah
perkasa, memasuki ruangan.
Menilik perawakannya, teringatlah Cu Jiang akan
kawanan Sip-pat-thian-mo. Terpaksa dia menahan
kesabarannya.
Dengan hormat kearah ruangan, orang tua jubah kuning
itu berseru.
"Buncu, sudah lama kita tak berjumpa."
Pada saat itu Tio Hong Hui agak keheranan tetapi cepat
ia tenangkan diri dan tertawa.
"Oh, siapakah anda ?"
"Cobalah terka !"
"Seumur hidup belum pernah kenal, sukar untuk
menerka."
"Di seluruh kolong jagad ini, yang mampu melayani
bertanding ilmu kepandaian dengan bun-cu, siapa lagi
orangnya kecuali aku."
"O, biarlah kuingat-ingatnya dulu . . ."
"Apakah ketua yang dulu tak pernah menceritakan
tentang peristiwa pertempuran seratus babak yang
berlangsung sehari semalam itu?"
Ratu-kembang Tio Hong Hui serentak berbangkit dan
berseru tegang:
"Apakah anda itu dalam persekutuan Sip-pat-thian-mo,
bukan Hong-gwat-mo yang menempati urutan keempat?"
Orang tua jubah kuning itu tertawa gelak2.
"Benar, benar, itulah aku. Bagaimana kekuatan buncu
sekarang?"
"Dalam seratus babak, masih dapat melayani!"
"Bagus, aku sih orangnya tua tetapi tombak ku tak
pernah tua. Akan menjadi menteri utama untuk mengawal
pintu gedung bun-cu!"
Cu Jiang ingin mendekap telinganya agar tak mendengar
kata2 cabul yang bagi mereka diucapkan dengan enak saja.
Saat itu gadis Beng Cu dan kedua bu-su muda tadi sudah
masuk ke dalam kamar samping. Mungkin mereka sudah
mulai melangsungkan adegan yang disebut “Sepasang
burung hong bermain dengan burung hong". Dua lelaki
melakukan adegan ranjang melawan seorang perempuan.
"Apakah aku boleh masuk?" seru orang tua jubah kuning
itu.
"Tunggu dulu!"
"Apakah bun cu masih hendak mengatakan pesan lagi?"
"Anda tahu peraturan perguruan kami?"
"Untuk aku si tua ini juga harus terkena peraturan?"
"Siapapun tiada yang dikecualikan!"
"Baiklah, sebuah ilmu silat, bagaimana?"
"Ilmu silat yang bagaimana?"
"Kui ai-lay-hwat?"
"Oh, ilmu pernapasan kura-kura, itu harus di berikan
lebih dulu. . ."
"Aku sudah tak dapat menunggu lagi ..."
"Tidak bisa, itu sudah menjadi peraturan perguruan
kami!"
"Baiklah."
"Silahkan masuk!"
Melihat itu Cu Jiang tak dapat menahan hatinya lagi.
Sambil berseru supaya mereka jangan bergerak dia terus
melesat ke luar.
Melihat Cu Jiang wajah Ratu-kembang Tio Hong Hui
berobah seketika. Kemunculan Cu Jiang benar2 tak pernah
diduganya.
Tanpa berpaling iblis Hong-gwat-mo berseru seram.
"Hai, manusia mana yang tak punya malu berani cari
mampus?"
Berulang kali Tio Hong Hui mengedipkan mata memberi
isyarat kepada iblis itu. Hong-gwat-mo pelahan-lahan
membalik tubuh dan . . .
"Hm engkau tentu Toan-kiam-jan jin yang memusuhi
golonganku?" serunya gemetar.
"Benar!"
"Baik, aku memang hendak mencarimu!"
"Sama-sama."
"Hari ini engkau harus mati!"
"Kata2 itu seharusnya aku yang mengatakan kepadamu!"
Mata Cu Jiang berkilat-kilat menyapu ke dalam ruang.
Ratu kembang Tio Hong Hui menggigil.
Iblis Hong-gwat mo melangkah maju dua tindak. Tiada
angin, jubahnya menggelembung sendiri.
Cu Jiang beralih memandang iblis itu. Diam2 ia
menimang. Walaupun raja Tayli tidak menyukai suatu
pembunuhan dan waktu berangkatpun suhunya, Gong
gong-cu, memberi pesan agar menghindari pembunuhan
dan cukup menghancurkan tenaga kepandaian musuh saja,
tetapi Cu Jiang berpendapat bahwa terhadap iblis cabul
macam Hong-gwat-mo, jika dibiarkan hidup tentu akan
merusak gadis2 dan kaum wanita di dunia. Harus dibasmi.
Setelah mengambil keputusan, mata Cu Jiang pun
memancar sinar pembunuhan. Kata2 Thian-put thou
kembali terngiang di telinganya . . . "jangan kasih
kesempatan pada lawan " . . . .
Dan Cu Jiangpun teringat akan peristiwa yang
dialaminya sendiri. Karena bertempur terlalu lama, hampir
saja dia mati di tangan kawanan Bu Mo dan kawankawannya.
Hong-gwat-mo memang tak kecewa sebagai seorang
pentolan iblis. Melihat sinar mata Cu Jiang ia dapat menilai
isi hati pemuda itu. Maka cepat dia mendahului
menghantam lawan dengan kedua tangannya.
Tetapi dengan memiliki kepandaian yang tinggi, Cu
Jiangpun memiliki gerak yang cepat sekali. Begitu lawan
menghantam diapun terus menyabet dengan pedang
kutungnya. Gerakan itu hampir berbareng waktunya.
Terdengar erang tertahan dan Hong-gwat-mo terhuyung
mundur tiga langkah. Lengan kanannya berdarah. Tetapi
Cu Jiang pun termakan pukulan lawan sehingga tubuhnya
berguncang keras.
Begitu tercerai Hong gwat-mo terus melesat pergi. Sudah
tentu Cu Jiang sangat terkejut sekali. Bagaimana seorang
iblis berasal dari Sip pat thian-mo, dalam satu gebrak saja
sudah ngacir.
"Hai, mau lari kemana engkau !" Cu Jiang terus
mengejar. Tetapi dalam sekejab mata iblis itu sudah lenyap
dalam kegelapan malam. Sekeliling penjuru hutan lebat,
sukar untuk mengejarnya.
Cu Jiang termangu, Ia mengakui bahwa nasehat orang
tua Thian-put-thou itu memang tepat. Jika tadi dia terus
melancarkan serangan dahsyat, Hong-gwat-mo tentu tak
sempat melarikan diri lagi.
Ia terus alihkan perhatiannya pada Tio Hong Hui dan
anak gadisnya. Cepat dia kembali masuk kedalam ruang.
Tetapi alangkah kecewanya ketika melihat ruang itu sudah
kosong melompong.
Ketika menuju ke ruang kecil, ia mendengar suara orang
merintih aneh. Setelah menentukan rintihan dari dalam
sebuah kamar, dia terus menghantam pintunya dan
menerobos masuk. Apa yang di saksikan membuatnya
muak dan panas.
Diatas ranjang kayu yang besar, kedua busu tadi rebah
dengan telanjang. Mereka terus menerus merintih-rintih
karena dibungkus dengan kasur dan dibuntal dengan kain
kelambu. Sedang gadis tadi bersama ibunya sudah lolos.
Kedua bu-su itu lemas tak bertenaga. Mereka tentu
terkena ilmu pesona.
"Menjadi kaum persilatan tetapi melanggar peraturan
persilatan, pantas dibunuh!" Cu Jiang mendamprat seraya
mengangkat tinjunya.
Kedua bu-su itu membuka mulut tetapi tak dapat
bersuara apa2. Keduanya hanya membelalakkan mata
menunggu kematian.
Adegan itu menimbulkan ingatan Cu Jiang akan
kematian yang mengenaskan dari mamah dan anak
perempuan paman Liok Keduanya itu telah menjadi korban
pembunuhan dan perkosaan yang keji dari kawanan
manusia iblis.
Seketika hilanglah rasa kasihan Cu Jiang. Sekali tangan
berayun, ke dua bu su itupun menjadi setan2 cabul di
neraka.
Cu Jiang tak mau menyaksikan lebih lanjut. Dia menuju
kembali ke dalam ruang, ia marah sekali. Dia telah kena
dikelabuhi oleh Sebun Ong dan Tio Hong Hui. Ia menyesal
karena meragukan kepercayaan Cukat Giok.
Kini kemarahannya ditumpahkan pada para rahib dalam
kuil itu. Kuil Lian-hoa-yan merupakan tempat suci,
mengapa sampai dijadikan tempat maksiat. Jelas para rahib
di situ tentu tersangkut. Mereka tentu bukan rahib baik2.
Tetapi ketika dia menuju ke ruang tempat tinggal para
rahib dan lain2 ruang, dia tak melihat barang seorang
rahibpun juga. Rupanya mereka sudah sama melarikan diri
semua.
Karena tak mendapat hasil, dia kembali lagi ke ruang
depan. Tiba2 sesosok bayangan muncul. Cu Jiang terkejut
dan mengawasi tajam. Ah, kiranya pendatang itu seorang
sahabat baik dari suhunya, yaitu Lam-ki-soh.
"Locianpwe, selamat berjumpa," dia memberi hormat.
Tiba2 ia teringat bahwa saat itu ia memakai kain kerudung
penutup muka. Tetapi mengapa Lam-ki-soh dapat
mengenalinya?
"Ho, budak kecil, engkau masih ingat kepadaku?"
tenang2 saja Lam-ki soh menjawab.
"Sudah tentu tak lupa."
"Karena mendapat berita dari suhumu, maka akupun
akan menjaga dirimu . . ."
"Oh, terima kasih, lo cianpwe. "
"Tak perlu."
"Tetapi bagaimana locianpwe dapat datang ke mari? "
Cu Jiang bertanya pula.
"Aku si orang tua justeru hendak bertanya kepadamu.
Mengapa engkau hendak mengejar Hoa-gwat bun bun-cu, si
gagak tua yang tidak tahu malu itu?"
"Aku menerima permintaan tolong dari seorang sahabat
untuk menyelesaikan sebuah persoalan."
"Menerima permintaan orang ?"
"Dari Tionggoan-thayhiap Cukat Giok."
"Hm, bukan orang tak bernama. Mengapa dia dapat
meminta bantuanmu untuk mengejar ketua Hoa-goat bun ?"
"Karena wanita itu adalah isterinya !"
"Apa?"
"Ketua Hoa goat-bun itu adalah isteri Cukat Giok."
"Ngaco!" bentak Lam-ki-soh dengan mata membelalak.
Walaupun menaruh rasa hormat, tetapi Cu Jiang tak
suka diperlakukan semacam itu, Ia menyabut dengan nada
dingin:
"Aku tidak ngaco!"
"Budak, siapa yang bilang kalau isteri dari Cukat Giok
itu ketua Hoa-goat-bun ?" bentak Lam-ki-soh.
"Cukat Giok sendiri."
"Apa itu bukan ngaco belo namanya?"
"Aku bukan manusia yang gemar ngaco !"
"Apa Cukat Giok sudah gila?"
Cu Jiang tertegun lalu menjawab tegas:
"Dia tidak gila !"
"Mengapa dia minta tolong kepadamu supaya mencari
jejak isterinya?"
"Dia telah dikhianati orang dan kini menjadi manusia
cacad, ilmu kepandaiannya sudah punah. Dia mengatakan
bahwa istrinya itu tidak setia dan menyeleweng."
Lam-ki-soh regangkan kepala, merenung sejenak lalu
berkata:
"Apakah dia mengatakan kalau isterinya itu ketua dari
Hoa gwat bun?"
"Tidak ! Dia mengatakan isterinya adalah Hoa Hou
(Ratu kembang) To Hong Hui."
"Ya benar. Dan mengapa engkau tidak mencari Hoa hou
Tio Hong Hui tetapi memburu ketua Hoa-goat-bun?"
Rupanya Cu Jiang cepat menyadari. .
"Apakah ketua Hoa-goat-bun itu bukan Tio Hong Hui?"
serunya dengan nada gemetar.
"Engkau kurang pengalaman. Ketua Hoa-goat bun itu
Can Su Nio. Setiap hidung belang tahu. Mengapa hendak
engkau jadikan sebagai Tio Hong Hui? Apakah engkau
hendak mempersamakan kuda dengan keledai ?"
"Aku kena ditipu !" Cu Jiang menggeram.
"Siapa yang menipu ?"
"Bu lim-seng hud Sebun Ong !"
Lam-Ki soh kerutkan dahi.
"Nama Sebun Ong itu harum sekali, bagaimana
menipumu?"
Dengan mengertak gigi, Cu Jiang lalu memberitahu
semua peristiwa yang telah diceritakan Cukat Giok
kepadanya, tetapi dia tak mau mengatakan tentang dirinya
disiksa Bu Mo dan dilempar kedalam jurang.
"O, kiranya begitu. Kalau demikian, aku telah salah
duga. Ternyata Sebun Ong seorang ksatrya palsu yang
mengelabuhi mata seluruh kaum persilatan!" kata Lam-kisoh.
"Takkan kubiarkan dia dapat bebas berkeliaran lagi."
seru Cu Jiang.
"Tetapi tak mudah engkau hendak mencarinya. Dan
hati-hatilah terhadap rencana2 jahat yang akan
dilakukannya terhadap dirimu. "
"Lalu bagaimana langkahmu sekarang ?"
"Membikin perhitungan dengan ketua Gedung Hitam."
Pada saat itu terdengar suara dengusan dingin yang
menusuk telinga.
"Siapa!" teriak Cu Jiang.
Tetapi tiada penyahutan. Pada saat Cu Jiang hendak
mengejar, Lam-ki-sohpun mencegahnya:
"Jangan! Mereka dapat bersembunyi tanpa kita ketahui.
Jelas mereka tentu bukan kawanan yang lemah. Percuma
mengejarnya. Yang penting, bagaimana rencanamu hendak
mencari ketua Gedung Hitam itu?"
"Aku sudah punya rencana !"
Lam ki-soh tak mau mendesak. Dia beralih pembicaraan.
Dia mengatakan bahwa kuil Lian-hoa-yan itu merupakan
cabang perkumpulan Hoa-goat-bun, lebih baik dibakar.
Cu Jiang mengiakan! Dia masuk, merobek kain kelambu
dan menyalakannya. Keduanya keluar dan menyaksikan
kuil itu di makan api. Tiba2 beberapa sosok bayangan
melesat keluar dari dalam kuil itu. Seorang rahib tua dan
lima rahib muda.
"Karena sarangnya terbakar, kawanan rase bermunculan
keluar." Lam ki-soh bertepuk tangan.
"Apakah rahib2 itu anak murid Hoa-goat-bun ?"
"Ya, kau..."
Cu Jiang cepat loncat ke muka. Dengan beberapa
ayunan tangan, keenam rahib cabul itu menjerit ngeri dan
terlempar lagi ke dalam api.
"Budak, agaknya ganas sekali engkau ini." seru Lam.kisoh.
"Membasmi kejahatan harus sampai bersih. Membiarkan
orang2 seperti itu hidup di dunia, takkan membawa berkah
pada manusia."
"Hayo, kita pergi." seru Lam ki soh.
Tiba2 pula Lam ki soh berkata bahwa sebaiknya mereka
pergi secara berpencar. Sudah tentu Cu Jiang setuju. Dalam
melakukan pembalasan terhadap Gedung Hitam itu, dia
memang ingin melakukan dengan tenaganya sendiri, tak
perlu dibantu orang.
Demikian keduanya lalu menyetujui rencana itu dan Cu
Jiang terus berangkat dulu. Dalam perjalanan dia masih
marah terhadap Sebun Ong yang telah mengelabuhi
dirinya, menyodorkan ketua Hoa-goat-bun sebagai Tio
Hong Hui.
Diam2 ia bersyukur karena tak lekas menyerahkan kedua
bungkusan dari Cukat Giok itu kepada ketua Hoa-goat-bun.
Andaikata dia terlanjur memberikan, bukankah dia akan
menelantarkan pesan Cukat Giok? Ketua Hoa-goat-bun
mati selagi Tio Hong Hui masih hidup.
Cu Jiang merasa tak perlu masuk ke kota Li Jwan lagi.
Dia memutar dari samping tembok kota lalu menyusur
jalan di sepanjang tepi sungai.
Tengah dia berjalan tiba2 dari belakang terdengar orang
berseru:
"Hai, bung. berhenti dulu!"
Cu Jiang berhenti tetapi tak mau berpaling melainkan
balas menegur:
"Sahabat dari mana ini?"
"Bukankah anda ini Toan-kiam jan jin?" seru orang itu
pula.
"Benar."
"Aku Ban Ki Hong."
"Ada keperluan?"
"Hendak minta beberapa jurus ilmu pedang dari anda."
Cu Jiang berputar tubuh, Ban Ki Hong adalah orang
yang membawa kemauannya sendiri, berkeras hendak
menempurnya sehingga isterinya sampai nekad melempar
diri ke dalam jurang.
Hanya beberapa hari setelah kematian isterinya, Ban Ki
Hong sudah turun gunung dan mengejarnya. Orang itu
benar2 gila.
"Mari kita ke atas pesisir sana." seru Ban Ki Hong seraya
menunjuk ke sebuah pesisir.
"Apa engkau yakin kalau aku tentu mau meladeni
permintaanmu?" seru Cu Jiang.
"Bukankah anda takkan pelit untuk memberi pelajaran
kepadaku?" agak kurang senang Ban Ki Hong balas
bertanya.
"Mungkin."
Wajah Ban Ki Hong berobah seketika.
"Terus terang aku menantang anda!" serunya dengan
nada tergetar.
"Engkau belum pantas menjadi lawanku." sahut Cu
Jiang.
Ban Ki Hong melotot mata, teriaknya: "Anda tak
memandang mata kepadaku!"
"Memang."
"Toan kiam-jan-jin, engkau terlalu menghina orang . . ."
"Lalu?"
"Kita bertempur sampai mati!"
"Telah kukatakan, engkau belum pantas!"
Ban Ki Hong mencabut pedang dan menggetarkannya.
Segulung sinar berhamburan menyilaukan mata.
"Baik, mari kita ke sana," tiba2 Cu Jiang merobah
keputusan.
Dua puluhan tombak jauhnya terdapat sebuah padang
rumput! rumput yang tebal sehingga teraling dari
pandangan orang. Sedang di depannya terdapat pasir yang
menjurus ke tepi sungai.
"Ban Ki Hong, engkau benar2 manusia yang tak punya
perikemanusian !" seru Cu Jiang.
Didamprat begitu, Ban Ki Hong gemetar marah,
serunya:
"Kita belum kenal mengenal. Menantang adu ilmu
pedang sudah lazim dikalangan persilatan. Mengapa
engkau menghambur makian kepadaku ?"
"Hm. sekali lagi kutegaskan. Engkau memang belum
pantas menjadi lawanku."
"Apa artinya ?"
"Dengan memburu nama kosong, engkau
mengesampingkan kecintaan isteri sehingga istrimu sampai
bunuh diri. Apakah engkau ini seorang insan manusia ?"
Pucat seketika wajah Ban Ki Hong. Dia menyurut
mundur sampai empat lima langkah. Dipandangnya Cu
Jiang sampai lama sekali, baru dia berseru:
"Bagaimana engkau tahu ?"
"Tak perlu bertanya. Engkau mengakui atau tidak!"
"Aku... aku .... tak membunuhnya," suaranya penuh
mengandung kesedihan.
"Memang bukan engkau yang membunuh. Tetapi karena
ulah tindakanmu yang menyebabkan doa putus asa dan
nekad. Apakah itu tidak sama artinya engkau yang
membunuh ?"
Butir2 keringat sebesar kedelai bercucuran turun dan dari
dahi Ban Ki Hong. Wajahnya mengerut tegang.
"Apakah anda.... melihat peristiwa sedih itu?" serunya
dengan gemetar.
"Ya "
"Aku tak mengira kalau dia berlaku senekad itu."
"Tetapi kematiannya tetap tak dapat menolong. Engkau
tetap akan turun gunung."
Mendengar itu menjeritlah Ban Ki Hong seperti orang
kalap:
"Aku harus mengadu ilmu-pedang dengan engkau, ini
merupakan jalan hidupku. Ayahku juga keras kepala . ..
tetapi .... akhirnya mati dibawah pedang."
Air matanya berderai-derai membasahi kedua pipinya.
"Bukankah engkau sudah berjanji kepada istrimu takkan
mengeluarkan pedang itu lagi ?"
"Ya."
"Kalau sudah merasa tak dapat memegang janji,
mengapa engkau menikah dengan dia ?"
"Ini.... ini... karena aku mencintainya!"
"Bohong, engkau tak punya malu ! Tak layak engkau
menjadi seorang bu-su !"
Wajah Ban Ki Hong makin berkerenyutan dan berteriak
sekerasnya:
"Tetap harus mengadu pedang!"
"Mudah sekali untuk membunuhmu !"
"Biar, biar ! Mati atau hidup bagiku sekarang sudah tidak
penting lagi."
"Pandangan isterimu memang tepat. Engkau memang
tak dapat dinasihati lagi."
"Cabut pedangmu."
"Engkau mengatakan bahwa waktu berumur tujuh belas
tahun engkau pernah menerima ajaran Ilmu pedang dari
seorang sakti yang tak dikenal. Apakah hingga sekarang
engkau dapat mengerti pelajaran itu?"
"Benar!"
"Engkau hendak mengangkat nama dengan sejurus ilmu
pedang itu?"
"Bukan, aku hanya melanjutkan cita2 mendiang
ayahku."
"Apakah ayahmu juga segila engkau ?"
"Jangan menghina orang yang sudah mati !"
"Ah !"
"Baik, akan kululuskan keinginanmu !" Cu Jiang terus
mencabut pedang kutung, diacungkan condong ke arah
kanan.
Ban Ki Hongpun mengangkat pedang ke muka dada.
Sikapnya tenang kembali. Suatu sikap yang diperlukan
sebelum melakukan gerakan. Walaupun memiliki ilmu
pedang yang sakti, tanpa ketenangan, juga akan berkurang
kesaktiannya.
Melihat sikap perobahan orang, Cu Jiang makin curiga
dan berseru:
"Tunggu dulu!"
"Anda mau bicara apa lagi ?" seru Ban Ki Hong.
"Apa nama jurus ilmu pedangmu itu?"
"Entah !"
"Lalu apa orang yang memberi pelajaran kepadamu itu
tak meninggalkan namanya ?"
"Tidak."
Merenung sejenak Cu Jiang lalu mempersilahkan Ban Ki
Hong menyerang.
Ban Ki Hong tenangkan perhatian. Sepasang mata tak
berkelip memandang Cu Jiang. Melihat sikap dan gayanya,
memang rapat dan tak memberi kesempatan lawan untuk
mencari bagian yang lemah.
Keduanya seperti dua buah patung batu. Saling pandang
memandang tanpa berkedip.
"Haaiit !" dua buah pekikan terdengar. Hampir serempak
sehingga sukar dibedakan mana yang lebih dulu
menghambur teriak dan serangan.
Yang tampak hanya lingkar sinar yang mencurah bagai
bunga, mirip pula dengan ratusan ular perak menari-nari.
Hanya sekejap dan terdengarlah suara mengerang...
00^od^^wo^00
Jilid 14
Suara erangan tertahan dan jeritan kaget hampir
serempak terdengar dan tahu2 pedang Ban Ki Hong
menjulai ke tanah. Tubuhnya berhias empat lobang yang
mengucurkan darah. Wajahnya lebih pucat dari orang mati.
Sinar matanya redup.
Cu Jiang tegak memandangnya.
Beberapa saat kemudian tiba2 Ban Ki Hong menjerit:
"Ceng-moay, aku bersalah kepadamu!" habis berkata dia
terus hendak menikam tenggorokannya sendiri.
"Tring "
Cu Jiang acungkan jarinya dan pedang Ban Ki Hong pun
jatuh ke tanah.
"Toan-kiam jan-jin, seharusnya engkau dapat membunuh
aku dengan jurusmu tadi. Mengapa tak engkau lakukan?"
serunya.
Cu Jiang tidak menyahut tetapi hatinya gelisah. ilmu
pedang yang dimainkan Ban Ki Hong itu ternyata adalah
ilmu simpanan dari ayahnya ialah ilmu pedang It- kiam-tuihun.
Ia heran mengapa ayahnya mengajarkan ilmu pedang itu
kepada Ban Ki Hong.
"Toan kiam Jan jin, apakah engkau hendak menyiksa
diriku ?" seru Ban Ki Hong.
"Apa perlu harus begitu?"
"Mengapa engkau tak membiarkan aku mati?"
"Apakah jiwa begitu rendah harganya?"
"Aku sudah tak berharga hidup lagi."
"Ban Ki Hong, sedangkan sip-pat-thian-mo pun mati
dibawah pedangku, apalagi engkau!"
"Tak mampu melaksanakan cita2 ayah, menerima
dendam penasaran isteri. Tidak berbakti dan tidak berbudi,
perlu apa aku hidup di dunia..."
"Jurus ilmu pedangmu tadi, cukup menggetarkan kaum
persilatan. Mengapa tidak engkau gunakan untuk
melakukan perbuatan2 yang berbudi agar arwah isterimu
dapat mengasoh tenang di alam baka? Engkau malu hidup
di dunia, tidakkah engkau akan lebih malu apabila bertemu
dengan isterimu di alam baka?"
Seketika wajah Ban Ki Hong berobah, Dari tegang
menjadi duka dan akhirnya dengan penuh rasa sesal dia
mengangkat kedua tangan memberi hormat.
"Nasihat anda yang berharga, menyadarkan pikiranku
yang gelap. Mohon sejak sekarang jangan..."
"Tunggu !"
"Apa anda masih ingin memberi pesan lagi ?"
"Dalam waktu setahun ini, jangan engkau gunakan jurus
ilmu pedangmu itu. Kalau tak menurut engkau tentu akan
mengalami bencana besar !"
"Mengapa ?" Ban Ki Hong terkejut.
Cu Jiang tak mau secara terus terang memberitahu
bahwa jurus ilmu pedang It Kiam tui-hun itu adalah ilmu
simpanan mendiang ayahnya. Apabila Ban Ki Hong
menggunakan tentu musuh akan tahu dan menduga dia
keluarga Lamkiong, dan pasti akan membunuhnya.
"Maaf, aku belum dapat menjelaskan sekarang tetapi
peringatanku itu memang keluar dari ketulusan hatiku."
sahutnya.
"O, aku memang memutuskan hendak hidup di
pegunungan sepi untuk menemani arwah isteriku tercinta.
Sejak saat ini aku takkan mengurus soal persilatan lagi."
"Bagus." Cu Jiang gembira, "waktu isteri masih hidup tak
dapat pegang janji, setelah isteri meninggalpun masih
mempunyai kesempatan untuk menebus kesalahan."
"Terima kasih."
"Masih ada sebuah hal lagi. Apabila engkau tak
keberatan, maukah menceritakan, tentang peristiwa dari
orang asing yang memberikan ilmu pedang kepadamu itu?"
Sejenak merenung Ban Ki Hongpun berkata.
"Baiklah. Peristiwa itu terjadi secara tak terduga, Jago
pedang itu bersama isterinya sedang menempuh perjalanan
lalu dikejar musuh. Saat itu isteri si jago pedang sedang
mengandung tak mampu lari. Sedang karena melindungi
istrinya, jago pedang itupun menderita luka berat. Mereka
lalu kerumahku minta perlindungan. Kusembunyikan
mereka dan ketika kawanan musuh datang, kukelabuhi
mereka dengan keterangan yang bohong. Setelah peristiwa
itu selesai, jago pedangpun lantas memberikan Jurus ilmu
pedang itu kepadaku."
"Ah . .. ." Cu Jiang hampir mengucurkan air mata tetapi
untung dia dapat menahan. isteri jago pedang itu tak lain
adalah mamanya. Dan bayi yang dikandungnya itu adalah
dirinya sendiri.
Dengan begitu jelas bahwa Ban Ki Hong itu pernah
menolong jiwa kedua ayah bundanya.
"Apakah anda kenal dengan jago pedang itu?" tanya Ban
Ki Hong.
Cu Jiang bersangsi sejenak lalu mengatakan, kelak
setelah ada bukti baru dia akan memberi keterangan lagi
"Apakah anda masih hendak memberi pesan lagi ?"
Cu Jiang teringat bahwa Ban Ki Hong telah melepas
budi yang sedemikian besar kepada ayah-bundanya dan
untuk itu ayahnya telah mengajarkan sejurus ilmu Pedang
istimewa, Walaupun tanpa ikatan apa2, tetapi hal itu tak
ubah sebagai ikatan perguruan. .
"Bagaimana kalau kita bersahabat?" tiba2 Cu Jiang
berseru.
"Anda menjadi sahabatku?" Ban Ki Hong menegas.
"Benar."
"Sudah tentu aku aku menurut sekali"
"Anda lebih tua. aku . . . sebagai siaute dan anda sebagai
heng-tay!"
"Ini ... ini ...”
"Toako," cepat Cu Jiang menukas, "ikatan persahabatan
kita ini merupakan jodoh yang dipertemukan pedang.
Bagaimana asal usul diriku, untuk sementara tak dapat
memberitahu dulu. Dalam hal ini kuharap toako suka
memaafkan."
Peristiwa saat itu telah menghapus semua derita
perasaan Ban Ki Hong. Derita malu karena kalah, derita
kehilangan isteri tercinta.
“Baiklah, lote, aku menurut saja rencanamu."
"Apakah toako hendak kembali ke gunung Bu-leng-san?"
Teringat akan kematian isteri tercinta, Ban Ki Hong
bercucuran air matanya.
"Sudah tentu aku akan ke gunung lagi untuk menemani
makam isteriku."
"Baiklah, toako, kelak kita berjumpa lagi di gunung itu."
kata Cu Jiang.
"Hiante hendak ke mana?"
"Masih banyak urusan yang hendak kulakukan. Kelak
tentu akan kuceritakan semua kepadamu, toako."
"Jadi sekarang kita akan berpisah?"
"Musuhku terlalu banyak, kurang baik kalau kita selalu
bersama."
Ban Ki Hong menurut. Tiba2 Ban Ki Hong
melemparkan pedangnya ke dalam sungai.
"Hai, mengapa toako lakukan hal itu?" Cu Jiang heran.
"Walaupun aku juga mempunyai dendam, tetapi aku
harus putuskan janjiku terhadap isteri. Aku takkan
menggunakan pedang lagi."
"Bagus, toako, dengan demikian arwah ensoh pasti akan
tenang di alam baka, " seru Cu Jiang.
Memandang pada kain cadar yang menutup wajah Cu
Jiang, Ban Ki Hong hendak berkata tetapi tak jadi.
Rupanya Cu Jiang tahu maksud Ban Ki Hong, katanya:
"Toako, maaf, untuk sementara waktu ini aku tak dapat
menunjukkan mukaku."
Ban Ki Hong tertawa dan memuji Cu Jiang cerdas dan
tajam pandangannya. Dia segera minta diri. Setelah saling
memberi hormat. Ban Ki Hong lalu melesat pergi.
Cu Jiang masih tegak termenung memandang riak
gelombang sungai. Ia merenungkan pula peristiwa kedua
suami isteri itu. Apabila dia terus muncul dan menerima
tantangan Ban Ki Hong. tentulah istrinya tak sampai bunuh
diri.
Tetapi iapun heran mengapa untuk hal itu, isteri Ban Ki
Hong sampai melakukan perbuatan yang senekad itu ?
Dan diapun tak menyangka akhirnya mengikat tali
persahabatan dengan Bin Ki Hong.
Tengah melamun tiba2 ia merasa ada suatu getaran yang
menyiak hawa udara. Jika tidak memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi tentu takkan mampu merasakan getaran itu.
Cu Jiang menyadari bahwa dari arah belakang tentu
terdapat orang yang mendatangi. Dan pendatang itu tentu
memiliki kepandaian yang tinggi. Tanpa berpaling, dia terus
menegur:
"Sahabat dari mana itu?" Sebuah suara yang tak asing
nadanya segera menyahut:
"Aku Ho Bun Cai!"
Cu Jiang berbalik tubuh. Dua tombak jauhnya tegak
seorang lelaki. Dia tak lain adalah Ho Bun Cai yang
menjabat sebagai cong-koan atau pengurus rumah tangga
Gedung Hitam.
Melihat Ho Bun Cai muncul, Cu Jiang menduga bahwa
ketua Gedung Hitam tentu juga berada disekitar tempat itu.
Dendam membara pula di dada Cu Jiang. Ia
memutuskan, bahwa dia harus mengorek keterangan dan
mulut Ho Bun Cai ini.
"Ho Bun Cai, congkoan dari Gedung Hitam, "seru orang
itu setelah beberapa saat memandang Cu Jiang, "Toan-kiam
jan-jin, mari kita bicara baik-baik.”
"Bagus, akupun memang bermaksud begitu," sahut Cu
Jiang.
"Kenalkah engkau dengan lelaki yang bertanding sejurus
ilmu pedang dengan engkau tadi ?"
Cu Jiang terkejut. Rupanya orang itu sudah lama
bersembunyi dan menyaksikan peristiwa tadi. Diam2 dia
bersyukur karena tak memberikan keterangan lebih luas
kepada Ban Ki Hong.
Tetapi pertanyaan menimbulkan hawa pembunuhan
dalam hati Cu Jiang.
"Anda sudah bersembunyi diatas tembok samping itu
dan mendengarkan semua pembicaraan kami ?"
"Aku tak menyangkal."
"Lalu mengapa anda bertanya soal itu ?"
"Sudah tentu ada maksudnya."
"Katakanlah."
"Tetapi lebih dulu jawablah beberapa pertanyaanku itu."
"Apakah anda tahu juga akan jurus ilmu pedang orang
itu?"
"Tentu saja."
"Apa namanya ?"
"ilmu pedang satu Jurus It-kiam-tui hun-kiam dari Dewa
pedang Cu-Beng Ko."
Cu Jiang tak terkejut karena ilmu pedang mendiang
ayahnya itu memang sudah sangat terkenal di dunia
persilatan.
"ilmu pedang itu memang sudah dikenal dalam dunia
persilatan. Andapun tentu begitu."
"Sekalipun begitu tetapi lain keadaannya !"
"Apa maksudmu ?"
"Engkau tentu tak menyangkal bahwa engkau merasa
heran waktu orang itu mengeluarkan jurus ilmu pedang itu
bukan ?"
"Benar, lalu ?"
"Dengan bukti itu aku melihat suatu ujung dari lingkaran
. .."
"Katakan!"
"Pertama, engkau tentu pemuda yang melarikan diri dari
penjara Gedung Hitam dahulu yakni Gok-jin ji..."
Cu Jiang mendengus.
"Taruh kata benar, lalu bagaimana ?"
Nada Ho Bun Caipun makin tegang:
"Engkau tentu mempunyai hubungan erat dengan pelajar
baju putih itu. Sekali-kali bukan seperti yang pernah engkau
katakan bahwa engkau melakukan permintaan dari pelajar
baju putih itu."
Hawa pembunuhan makin menebal di dahi Cu Jiang,
"Berbahaya sekali penilaianmu itu?"
"Mengapa ?"
"Mungkin aku terpaksa harus turun tangan kepadaku."
Wajah Ho Bun Cai agak berobah, serunya. "Untuk
menghapus mulut, bukan?"
"Mungkin saja begitu."
“Tetapi Jika aku mempunyai penilaian baru lagi ?"
"Penilaian apa ?"
Ho Bun Cai mementang mata lebar2 dan berseru :
"Engkau ini adalah pelajar baju putih !"
Cu Jiang menyurut mundur selangkah.
"Siapakah pelajar baju putih itu?" serunya dengan nada
tergetar.
Wajah Ho Bun Cai berkerenyutan lalu berseru pelahan:
"Putera mendiang Dewa pedang yang bernama Cu
Jiang!"
Tegang sekali wajah Cu Jiang. katanya tandas:
"Anda tahu terlalu banyak !"
"Engkau mengakui ?"
Cu Jiang merabah tangkai pedang dan berseru:
"Dan anda harus mati !"
Tubuh Ho Bun Cai gemetar dan dahinyapun beralun
kernyit. Diam2 Cu Jiang heran mengapa orang itu bersikap
demikian.
Memandang beberapa kali kearah pesisir sungai, Ho Bun
Cai berkata pula.
"Bukankah engkau datang dari Tayli ?"
Kejut Cu Jiang sukar dilukiskan lagi. Mengapa Ho Ban
Cai tahu semua tentang dirinya ? Berbahaya, itu harus
dirahasiakan sekali.
"Kenalkan engkau dengan Poan toanio si wanita gemuk
itu?" kembali Ho Bun Cai bertanya pula. Cu Jiang benar2
kewalahan kejutnya.
Ia teringat ketika dibawa Ho Bun Cai ke Gedung Hitam,
ditengah jalan bertemu kembali dengan wanita gemuk yang
menjual kacang. Saat itu Ho Bun Cai tak menunjukkan
reaksi apa2 kecuali mengajukan pertanyaan sederhana dan
lalu memberi uang, suruh wanita gemuk itu jangan
menampilkan diri di muka umum.
Juga ia terkejut ketika bertemu wanita gemuk itu dalam
keraton raja Tayli.
Mengapa sekarang Ho Bun Cai tiba2 mengajukan
pertanyaan tentang diri wanita gemuk itu ?
"Ya, kenal" sahut Cu Jiang.
"Engkau tahu asal usulnya ?"
"Soal itu .... aku tak tahu."
"Dia bernama Cu Han Ih."
"Hai, dia orang she Cu" seru Cu Jiang.
"Bukan hanya she Cu, pun juga..."
"Juga bagaimana ?"
"Engkau mengakui apa yang kukatakan tadi semua ?"
"Ya."
"Baik," kata Ho Ban Cai, "sekarang aku hendak
memberitahu kepadamu bahwa jejakmu selama berada di
Tayli maupun datang ke Tionggoan sini, semua adalah dia
yang menyelidiki."
"Dia.... dia memberi berita itu kepada anda?"
"Benar, tetapi dia hanya menyampaikan berita saja dan
tak tahu jelas asal usul dirimu ..."
"Siapakah sesungguhnya wanita itu?"
"Dia adalah adik perempuan mendiang ayahmu, jadi
bibimu."
Cu Jiang seperti disambar petir kejutnya hingga dia
sampai gemetar, terhuyung mundur tiga langkah. Sungguh
tak pernah diduganya sama sekali bahwa wanita gemuk itu
ternyata bibinya sendiri.
Lalu terbayanglah dia akan peristiwa2 yang lampau.
Ketika di kota Li jwan membuka rumah makan, wanita
gemuk itu sangat memperhatikan sekali dirinya. Dia ketika
ia menerima Amanat-maut dari Gedung Hitam, wanita
gemuk itu berusaha untuk menyembunyikan dirinya dalam
kamar rahasia. Akibatnya rumah makan itu dibakar habis
oleh gerombolan Gedung Hitam.
Cu Jiangpun teringat bahwa dalam pembicaraan, samar2
seadanya nyonya gemuk itu dapat mengetahui asal usul
dirinya....
Jika benar seperti yang dikatakan Ho Bun Cai bahwa
nyonya gemuk itu adalah adik perempuan ayahnya, tentu
tidaklah mengherankan kalau nyonya gemuk itu diam2
selalu memperhatikan dan melindungi dirinya.
Tetapi yang membuat Cu Jiang tak habis bertanya
mengapa Ho Bun Cai yang menjabat congkoan dari
Gedung Hitam, bisa tahu semua hal ini?
"Mengapa anda bisa tahu jelas semua peristiwa ini ?"
akhirnya ia meminta keterangan juga.
Tiba2 mata Ho Bun Cai berlinang-linang.
"Tahukah siapa aku ini sebenarnya ?" serunya dengan
nada rawan.
Cu Jiang terkejut, gelengkan kepala.
"Aku ini sebenarnya adalah suhengmu sendiri!"
Kali ini benar? Cu Jiang terkejut setengah mati. Hampir
ia tak percaya akan apa yang didengarnya saat itu. Ho Bun
Cai, cong koan dari Gedung Hitam itu suhengnya ? Ah,
tidak, tidak mungkin.
Tetapi kalau tidak, mengapa dia bisa tahu jelas asal
usulnya, keadaan rumah-tangga, tentang diri nyonya gemuk
itu. Dan bahkan dia selalu mengejar jejak pelajar baju putih
itu.
Tindakan2 Ho Bun Cai sebagai tokoh penting Gedung
Hitam benar2 tak sesuai dengan perintah perkumpulan itu.
Adakah dia seorang mata2 yang menyelundup dalam tubuh
Gedung Hitam.
Diam2 timbullah percik harapan dalam benak Cu Jiang.
Jika demikian halnya, tentulah dia mempunyai jalan untuk
membongkar rahasia pemimpin Gedung Hitam.
Tetapi seingatnya, waktu masih hidup, mendiang
ayahnya tak pernah mengatakan pernah menerima murid.
Apakah Ho Bun Cai itu menggunakan siasat halus dengan
mengaku sebagai murid mendiang ayahnya?
Kalau tidak, mengapa dia bisa menjabat sebagai Congkoan
Gedung Hitam? Kalau memang bukan seorang yang
setia, bagaimana ketua Gedung Hitam sampai begitu
percaya mengangkatnya sebagai congkoan?
Mungkinkah tokoh durjana macam ketua Gedung Hitam
itu dapat dikelabuhi begitu mudah ?
"Anda .... mengatakan apa ?" akhirnya ia menegas.
"Aku. . .. adalah suhengmu."
"Engkau .... suhengku ?"
"Sute, dengarkanlah. Selain aku, suhu memang tak
pernah menerima murid lain. Dan beliau menerima akupun
sangat dirahasiakan sekali. Tak ada seorang dalam dunia
persilatan yang tahu hal itu!"
Cu Jiang deliki mata. serunya.
"Bahwa ayah diagungkan sebagai tokoh Dewa-pedang,
semua orang persilatan tahu. Mengapa harus merahasiakan
soal menerima murid ?"
"Suhu memang memiliki pandangan jauh ke muka yang
tajam. Pohon semakin tinggi semakin dilanda angin. Nama
makin termasyhur makin terancam. Karena itu beliau lebih
dulu telah mempersiapkan rencana."
"Tetapi mengapa engkau menghamba sebagai congkoan
pada gerombolan semacam Gedung Hitam itu?"
"Demi menyelidiki sebuah rahasia!"
"Rahasia apa?"
"Tentang diri ketua Gedung Hitam itu!"
"Apakah sudah berhasil?"
Tiba2 seekor burung merpati terbang melintas di udara
dengan mengedarkan bunyi kelinting.
Wajah Ho Bun Cai berobah dan berseru gopoh:
"Sute, lain kali saja kita bicara lagi!" habis berkata ia
terus melesat dan lenyap dari pandang mata.
Cu Jiang masih tertegun. Siapakah yang telah melepas
burung merpati pos itu? Mengapa Ho Bun Cai begitu
ketakutan terus bergegas pergi?
Mengapa tidak sebelum dan sesudahnya tetapi tepat
pada saat Ho Bun Cai sedang akan menuturkan soal
penyelidikannya terhadap diri ketua Gedung Hitam, lalu
tiba2 burung merpati pos itu tiba2 melayang di atas mereka?
Sebenarnya Cu Jiang akan segera mengetahui rahasia
yang diinginkan mengenai diri ketua Gedung Hitam atau
tiba2 digagalkan oleh seekor buyung merpati.
Dan masih banyak hal2 lain yang perlu ditanyakan.
Sudah tentu Cu Jiang penasaran sekali. Tetapi tak dapat
berbuat apa2.
Ho Bun Cai, menurut pengakuannya, adalah satusatunya
murid dari mendiang ayahnya. Menurut katanya
pula, dia telah mendapat perintah rahasia dari suhunya
supaya menyelundup kedalam Gedung Hitam untuk
mencari tahu rahasia dari ketua Gedung Hitam.
Dan hal itu sudah dilaksanakannya selama belasan
tahun. Apakah selama itu masih belum berhasil menyelidiki
suatu apa? Bukankah dia menjabat sebagai congkoan yang
dekat sekali hubungannya dengan ketua Gedung Hitam?
Dan jika dia mempunyai hubungan dengan nyonya
gemuk, tentulah sebelumnya dia harus sudah tahu bahaya
yang akan menimpa nyonya itu.
Tetapi mengapa rumah makan nyonya gemuk itu sampai
dibakar oleh kawanan Gedung Hitam.
Banyak sekali rahasia yang menyelubungi diri Ho Bun
Cai itu. Asal menuju gunung Keng-san tentu dapat
menemuinya pula.
Setelah meninggalkan pesisir dia mengambil jalan yang
besar lagi. Belum seberapa jauh berjalan tiba2 ia melihat
sebuah peti warna merah, melintang di tengah jalan.
Tutup peti itu dibuang ke tepi jalan dan seorang
perempuan menggeletak di samping peti mati itu.
Sudah tentu Cu Jiang terkejut sekali menyaksikan
pemandangan itu.
Saat itu muncul empat orang busu yang berjalan lewat
samping peti mati. Rupanya mereka juga terkejut melihat
pemandangan di tengah jalan itu.
Mereka menjerit dan saling berpandangan lalu lari
menghampiri. Seketika wajah mereka pucat dan bergerak
menyingkir.
Sudah tentu Cu Jiang makin kaget. Dia lari
menghampiri. Dan ketika menyaksikan peti mati itu,
seketika tegaklah bulu romanya dan menjerit tertahan.
Di dalam peti mati ternyata berisi sesosok mayat yang
telah dipotong2. Sedang yang menggeletak di samping peti
mati itu mayat seorang gadis. Beberapa peralatan dari petimati
itu berserakan di sekelilingnya.
Apakah artinya itu?
Potongan kaki dan tangan dari mayat dalam peti mau itu
tak mengucurkan darah lagi. Tentulah sesudah mati, baru
korban itu dipotong-potong.
"Ganas benar !" diam2 Cu Jiang memaki. Sesaat
kemudian ia berjongkok untuk memeriksa mayat gadis itu.
Tak terdapat barang sebuah luka pada tubuhnya, entah mati
karena apa. Memegang tangannya, ternyata masih hangat.
"Ah, belum mati, mungkin masih dapat ditolong."
katanya seorang diri.
Demi menolong jiwa, Cu Jiang tak mengacuhkan tata
susila apa2 lagi. Ia membalikkan tubuh si gadis yang
menggeletak miring.
Gadis itu baru berumur 18 an tahun. Rambut terurai,
mukanya basah dengan airmata tetapi masih cantik sekali.
Ketika memandang ke tubuh nya, tergetarlah darah Cu
Jiang.
Baju nona itu sudah robek sehingga tampak sepasang
buah dudanya. Buru2 Cu Jiang berpaling muka.
Beberapa saat kemudian setelah menenangkan perasaan,
akhirnya ia memutuskan, demi menolong jiwa, tak
seharusnya ia mempunyai pikiran yang bukan2. Terlambat
sedikit saja, jiwa nona itu pasti takkan tertolong lagi.
Dia terus bertindak, memeriksa jalan darah tubuh si
nona Hasilnya, ia mendapatkan bahwa jalan darah nona itu
telah ditutuk orang. Jika tidak keburu ditolong, dia pasti
mati.
Tetapi walaupun memeriksa dengan teliti, ia tak dapat
meneruskan jalan darah yang mana yang telah ditutuk itu.
Lebih dulu ia akan membawa nona itu kesebuah tempat
yang sepi dan pelahan-lahan berusaha untuk membuka
jalan darahnya Tetapi saat itu terang benderang, berjalan
dengan menggotong seorang nona tentu akan mengejutkan
orang2.
Namun kalau membiarkan saja nona itu menggeletak
disitu, itu-pun menyalahi hatinnya sendiri sebagai seorang
bu su.
Dia berbangkit, memandang keempat penjuru untuk
mencari tempat yang sesuai. Tiba2 ia melihat sebuah thiatpau
atau lencana dari besi, menggeletak disamping peti
mati.
"Amanat-maut!" Ternyata orang Gedung Hitam yang
melakukan kekejaman ini," serunya. Kini dia mengerti apa
sebab beberapa busu yang lalu disitu tadi, tak berani campur
tangan.
Gedung Hitam mengganas lagi. Kini Cu Jiang makin
mantap untuk menolong gadis itu. Ia berjongkok,
menutupkan baju nona itu pada bagian dadanya lagi, lalu
mengangkatnya.
Tetapi ia tertumbuk pula akan mayat dalam peti yang
telah dipotong-potong itu. Apa boleh buat, yang mati
biarlah mati. Yang hidup perlu ditolong ditolong dulu.
Biarlah mayat dalam peti itu diurus orang2 yang lewat
disitu.
Mayat dalam peti itu rautnya sudah berubah, umurnya
lebih dari lima puluh. Entah apa hubungannya dengan
gadis itu.
Cu Jiang menendang Amanat maut, agar orang2 yang
tiba disitu tidak takut untuk menolong orang tua yang
sudah menjadi mayat itu. Kemudian dia terus melanjutkan
perjalanan menyusur sepanjang sungai.
Tetapi hampir satu li berjalan, masih juga ia belum
melihat sebuah tempat yang sesuai. Tiba2 pada sebatang
pohon yang tumbuh ditepi sungai, tertambat sebuah perahu
nelayan.
Segera ia menghampiri perahu itu dan berseru
memanggil pemiliknya.
Tukang perahu muncul. Melihat Cu Jiang membawa
seorang gadis, tukang perahu itu terkejut.
"Apakah tuan hendak menyewa perahu?"
"Membeli perahumu !"
"Apa ? Mau membeli ?"
"Ya."
"Tuan, aku mengandalkan perahu ini untuk cari makan.
Tak kujual."
"Berapa kira2 harga perahu semacam ini kalau masih
baru?"
"Tidak kujual!"
"Hanya tanya saja berapa harganya?"
"Kalau baru paling tidak antara sepuluh tail perak."
"Bagaimana kalau kuberimu dua-puluh tail perak?"
Beberapa orang yang muncul lagi dari dalam ruang perah
itu pun tidak percaya.
"Tuan mengatakan apa?"
"Dua puluh tail perak untuk perahumu ini."
Pemilik perahu mengusap-usap kepala dan sesaat
kemudian berteriak. "Baik, kujuallah!"
Cu Jiang merogoh kepingan perak, dilemparkan kepada
pemilik perahu yang menyambuti dengan tertawa gembira.
"Tuan mau mendayung sendiri atau suruh aku . . ."
"Sendiri!"
"Baik, kami akan turun."
"Angkat semua barang-barangmu."
Dengan gembira tukang perahu itu segera memindahkan
semua barangnya, menyapu lantai geladak sampai bersih
lalu mempersilakan Cu Jiang.
"Tuan, perahu ini menjadi milikmu!" tukang perahu dan
beberapa kawannya segera loncat ke daratan.
Cu Jiang terus loncat ke dalam perahu.
Meletakkan si nona di atas tempat tidur kayu yang butut
dan dia sendiri terus naik ke atas geladak. Dan perahupun
mulai meluncur terbawa arus.
Tak berapa lama perahu tiba di sebuah rumpun ilalang.
Cu Jiang hentikan perahu. Setelah menambatkan pada
sebatang pohon, dia terus masuk ke dalam ruang. Gadis itu
masih pingsan. Kalau tak lekas ditolong tentu mati.
Cu Jiang mulai memeriksa lagi jalan darah nona itu.
tetapi baru diketahuinya bahwa jalan darah yang tersumbat
itu terletak pada bagian bawah perut. Ah .... Cu Jiang
terkesiap. Bagaimana mungkin seorang pria akan mengurut
jalan darah di bawah perut seorang gadis?
Cu Jiang ki mengucurkan keringat dingin. Dia benar2
diuji hatinya. Betapa tidak, baju si gadis yang robek itu
memperlihatkan dua gunduk buah dadanya yang putih.
Sedang tubuh si gadis yang menyiarkan bau harum, benar2
membuat Cu Jiang berdebar-debar.
Seharusnya dia suruh saja beberapa jago Tayli yang
mengawalnya itu untuk melakukan pekerjaan menolong si
nona. Tetapi kemanakah harus mencari mereka.
Dan tentu memakan waktu menemukan mereka, si nona
sudah tak dapat ditolong lagi.
Akhirnya ia nekad. Dengan pejamkan mata ia mulai
bekerja. Melepaskan baju si nona lalu membuka celananya
dan pelahan-lahan tangannya mulai mengurut jalan darah
dibawah perutnya. Tangannya gemetar dan bajunyapun
basah kuyup dengan keringat.
Orang yang telah menutuk jalan darah sinona itu
memang ganas sekali serta memiliki ilmu tutuk yang lihay.
Jika tak bertemu tokoh semacam Cu Jiang, tentu sukarlah
nona itu tertolong jiwanya.
Setelah selesai membuka Jalan darah sinona, Cu Jiang
sandarkan diri pada dinding ruang dan napasnya terengahengah
seperti orang yang habis kerja berat.
Tak berapa lama, napas nona itu makin lancar dan tak
lama kemudian dia membuka mata, memandang ke
sekeliling.
"Siapa engkau ?" tiba2 ia melonjak kaget ketika melihat
Cu Jiang.
"Toan-kiam-Jan-jin !"
"Toan-kiam jan jin?"
"Benar."
Gadis itu menyiak rambutnya yang menutup muka.
Ketika menunduk dan melihat bajunya robek2, marahnya
bukan kepalang.
"Kuhantam mampus engkau, iblis Jahanam !" serunya
seraya menghantam.
Karena jaraknya amat dekat, hampir berhadapan, maka
Cu Jiang tak dapat menghindar. Jika menangkis, ia kuatir
akan melukai nona. Terpaksa ia menyambar pergelangan
tangannya.
"Nona, engkau salah faham!"
"Salah paham? Kalian kawanan anjing Gedung Hitam,
harus dibunuh!"
Ia meronta tetapi tak mampu terlepas. Akhirnya ia
menghantam kepala Cu Jiang dengan tangan kiri. Tetapi
kembali Cu Jiang menyambar pergelangan tangannya.
"Nona harap tenang. Cobalah ingat lagi peristiwa yang
engkau alami."
"Tak perlu, engkau atau aku yang mati..."
Karena kedua tangannya dikuasai, nona itu ayunkan
kaki menendang dada Cu Jiang. Cu Jiang miringkan tubuh
lalu mendorong si nona ke ranjang lagi:.
"Salahkah aku karena menolongmu?"
Dara itu tertegun lalu menangis. Cu Jiang melengos
memandang ke luar jendela. pemandangan yang
dihadapinya saat itu benar2 menggetarkan hatinya.
"Harap nona jangan menangis. Aku hendak bertanya
kepadamu." beberapa saat kemudian Cu Jiang berseru.
Nona itu menurut tetapi masih terisak-isak, katanya:
"Siapakah nama sauhiap?"
"Toan-kiam-jan Jin."
"Aku mohon tanya nama anda,”
"Aku tak punya nama lain."
"Apakah sauhiap yang menolong aku?"
"Ya "
"Mengapa berada di perahu ini ?"
"Untuk menolong jiwa nona."
"Dan jenasah ayahku?"
"Oh, itu .. .. ayahmu..."
Airmata nona itu bercucuran lagi dan dengan mengertak
gigi mengiakan.
"Siapa nama nona?"
"Pui Ji-Ji."
Cu Jiang tergetar. Sungguh sebuah nama yang menarik.
"Maukah nona Pui menuturkan tentang peristiwa yang
nona alami ?"
Ji ji mengusap airmatanya lalu dengan menahan isak
bercerita:
"Ayahku bernama Pui Lim, seorang busu. Ayah bekerja
sebagai pengawal dari gedung Tio gisu dikota Seng tou.
Mamaku sudah meninggal, kami hanya hidup berdua ayah
dengan anak . . .
"Ah, tahukah nona siapa pembunuh ayah nona itu ?"
"Tahu. Kawanan iblis dari Gedung Hitam."
"Apa sebabnya ?"
"Kabarnya ketika Tio gi-su menjabat di kota raja, secara
tak sengaja pernah mendapat sebuah mutiara dari seorang
utusan negeri lain, mutiara itu disebut Hiat-liong-cu."
"Hat liong-cu ?" Cu Jiang terkejut.
"Ya. mutiara itu mempunyai khasiat untuk menolak
bahaya api, air dan segala racun. Maka menjadi incaran
orang persilatan ...
"Lalu ?"
"Sebulan yang lalu, pada malam hari datanglah seorang
bunsu (sastrawan) yang menyampaikan perintah tuannya,
minta supaya dalam waktu setengah bulan, ayah mencuri
mutiara itu dan menyerahkan kepadanya. Kalau tidak.
keselamatan Jiwa ayah tak terjamin.”
Cu Jiang mengangguk. Diam ia menduga, bun-su
pertengahan umur itu tentulah Ho Bun Cai, yang mengaku
sebagai suhengnya.
Pui Ji ji mengucap airmatanya pula.
"Ayah seorang yang berhati lurus. Sudah tentu dia tak
mau melakukan pekerjaan hina itu terhadap Tio gisu yang
baik budi. Tetapi dia takut akan ancaman gerombolan
Gedung Hitam. Begitu sudah tiba waktu yang dijanjikan,
ayah lalu minta berhenti, membawa aku pulang ke
kampung halaman."
Tetapi ketika tiba di Kun ciu, kita telah disergap mereka.
Aku seorang anak perempuan, setelah ayah bundaku
meninggal, bagaimana aku dapat hidup .... "
Ia mengusap air matanya lagi.
"Beberapa kali hendak bunuh diri, selalu digagalkan oleh
orang yang baik hati. Kali ini bersama ayah pulang ke
kampung, akhirnya dibunuh oleh musuh. Ayah dibunuh
dan akupun juga dicelakai." sampai disini gadis itu
menangis tersedu sedan.
"Hutang jiwa harus bayar jiwa. Harap nona lihat saja."
seru Cu Jiang dengan menggeram.
Ji-ji memandang Cu Jiang lalu mendadak. Melihat
bajunya compang camping ia menangis makin keras
sehingga Cu Jiang sibuk menghiburnya.
"Selama kawanan iblis itu masih merajalela memang
banyak sekali orang sengsara. Nona termasuk salah seorang
korban keganasan mereka."
Ji-ji tiba2 berbangkit dan berseru: "Budi kebaikan
siauhiap. kelak dalam penitisanku yang akan datang, tentu
ku balas!"
Habis berkata dia terus melangkah keluar. "Nona mau ke
mana?" buru-2 Cu Jiang mau cegah.
"Akan menyusul ayah!"
"Ah, mengapa nona bertindak begitu? Apakah ayah nona
akan meram di alam baka?"
"siauhiap . . . aku . . . aku . . . bagaimana dapat hidup
dalam dunia ini!"
"Duduk dan marilah kita bicara yang tenang."
Ji-ji menurut, lalu bertanya dengan masih terisak-isak:
"Apakah .... yang harus kukatakan?"
"Silahkan, apa saja yang nona hendak katakan."
Sambil menunduk, nona itu berkata: "Ah, sebenarnya
aku ini seorang manusia yang tak kenal budi . . ."
"Ya, silakan bilang apa saja. Di sini tak ada orang lain. "
"Walaupun aku bukan anak seorang keluarga ternama
atau berpangkat, tetapi akupun mengerti tentang susila
seorang wanita..."
"Bagaimana?"
"Ini... suruh harus mengatakan bagaimana?"
"Tak apa. Nona hendak mengatakan apa saja, aku
takkan marah."
Pui Ji ji mengangkat muka memandang Cu Jiang,
katanya:
"Diambil isteri atau dijadikan pelayan, mohon siauhiap
suka menerima diriku."
Kejut Cu Jiang bukan kepalang.
"Mengapa nona mengatakan begitu ?"
Sambil terisak-isak Ji Ji berkata.
"Aku bukan seorang gadis yang tak punya rasa malu.
Jika siauhiap tak meluluskan, aku . . . lebih baik mati”
"Eh, bagaimana begitu ?" Cu Jiang kelabakan dibuatnya.
"Siauhiap sudah... menyentuh tubuhku. Bagaimana
aku... dapat menikah dengan lain orang lagi ?"
Cu Jiang tertawa meringis.
"Nona, hal itu kulakukan demi membuka jalan darah
guna menolong jiwamu. Sama sekali aku tak bermaksud
melakukan perbuatan yang hina..."
"Ya .... maka kecuali mati, tak ada jalan lain yang layak
kutempuh !"
"Nona juga seorang puteri persilatan, mengapa terlalu
terikat pada peraturan yang begitu?"
"Itu bukan tata aturan." seraya menarik dada bajunya
sehingga kedua buah dadanya berguncang-guncang lagi.
Sekilas teringat akan tindakannya membuka jalan darah
nona itu, merahlah muka Cu Jiang. Betapapun dia seorang
muda yang masih berdarah panas.
Iapun teringat akan hubungannya dengan si Jelita Ho
Kiong Hwa. Belum dia menyelesaikan perjodohan yang
hendak diatur Ang Nio Cu. sekarang sudah bertambah
dengan seorang nona lagi.
"Ah, apa wanita itu memang tak layak ditolong ?"
pikirnya. Teringat akan perjanjiannya dengan Ang Nio Cu,
iapun terkesiap. Waktu perjanjiannya dengan Ang Nio Cu
sudah lebih dari setahun. Bagaimana nanti kalau bertemu
dengan Ang Nio Cu lagi ?
Dan bagaimana dia harus menyelesaikan gadis yang
bernama Pui Ji-ji ini ?
"siauhiap, aku sudah menebalkan kulit muka untuk
mengutarakan isi hatiku. Sekarang bagaimana jawaban
siauhiap?" seru Ji-ji pula.
Cu Jiang gemetar tangannya. Ia bingung. Kalau menolak
tentulah akan menyinggung perasaannya dan tentulah nona
itu akan nekad bunuh diri. Sampai lama ia memutar otak
baru kemudian berkata:
"Nona Pui, musuhku tak terhitung banyaknya. Entah
pagi entah sore, setiap saat jiwaku terancam. Harap engkau
pikir yang masak lagi."
"Tidak! Keputusanku sudah tetap, tak dapat dirobah
lagi!"
"Percuma saja engkau ikut aku. Engkau tentu tak
bahagia..."
"Tidak peduli, siauhiap mati akupun akan ikut mati! "
Mendengar kenekadan gadis itu, mau tak mau tergerak
juga hati Cu Jiang. Terus terang, walaupun demi untuk
melakukan pertolongan, tetapi dia telah menyentuh bagian
yang paling dirahasiakan oleh seorang gadis. Menilik
wajahnya, Ji-jipun tak kalah dengan Ho Kiong Hwa,
bahkan dengan puteri raja Tayli.
Tetapi dia sendiri? Ah, ketika teringat akan wajahnya
yang sudah rusak, dinginlah hatinya.
"Tidak, aku seorang cacad!"
Tanpa banyak pikir, Ji ji kontan menjawab: "Bagiku,
bagaimanapun wajah dan keadaan siauhiap, pokok aku
dapat melayani siauhiap!"
"Pada satu saat nona pasti kecewa!"
"Tidak!" teriak Ji ji.
"Tetapi maaf, aku tak dapat nona."
Mendengar itu Ji ji memandang rawan ke arah Cu Jiang,
lalu berbangkit hendak melangkah keluar. Cu Jiang
terpaksa mencegahnya lagi.
"Apakah siauhiap meluluskan?"
"Kita rundingkan lagi."
"Aku tak berani mengharap menjadi isteri siauhiap.
Pokok asal siauhiap suka menerima diriku, aku sudah
bahagia."
"Nona yakin kalau aku belum beristeri?"
"Tak jadi apa. Sebagai isteri atau selir, pun boleh."
"Jangan mencinta secara buta. Silahkan duduk," tiba2 Cu
Jiang lepaskan cekalannya dan tiba2 Ji-jipun terhuyung
jatuh ke dada pemuda itu.
Cu Jiang bicara sambil duduk. Bahwa sesosok tubuh
yang lembut dan harum tiba2 menekan dadanya, ia gugup
dan hendak mendorongnya. Tetapi sepasang lengannya
secara tak sengaja telah memegang dua gunduk daging
lembut yang menghias dada si nona. Seperti kena aliran
stroom, dia cepat2 menarik kembali.
Ji-ji seperti tergelitik geli dan makin merapat ke dada Cu
Jiang. Cu Jiang kehilangan diri dan terlongong. Hawa
harum makin menyerbak hidung dan darah mudanya pun
makin mengelora.
Walaupun dia seorang patung malaekat yang terbuat dari
baja, tetapi dalam menghadapi saat seperti itu, tentu akan
luluh juga. Apalagi dia hanya seorang manusia biasa,
seorang anak muda yang masih panas darahnya.
Mempunyai gelora asmara atau perasaan.
Tubuh Ji ji menggigil tak henti-hentinya. Bau harum dari
tubuhnya makin membius. Suasana saat itu sunyi senyap
sehingga napaspun terdengar.
Darah Cu Jiang makin deras, jantungnya mendebur
keras sekali dan napaspun makin berat. Tubuhnya terasa
panas.
Ji-ji menengadahkan muka. sepasang bibirnya yang
mungil merah gemetar. Matanya memancarkan sinar
bening yang penuh pesona. Ah, saat itu pria manakah di
dunia ini yang sanggup menghadapi tantangan semacam
itu?
Cu Jiangpun berantakan imamnya. Ia dapat
ditundukkan. Serentak kedua lengannya yang kokoh
memeluk pinggang si nona, matanya menatap mata si dara.
Dan Ji jipun pasrah bagai seekor domba. Pada lain kejap,
dua pasang bibir telah merapat dengan hangat.
Sejak dahulu kala hingga sekarang, seorang ksatria sukar
untuk melawan godaan wanita cantik. Dan Cu Jiangpun
tak terkecuali.
Pada saat keduanya terbenam dalam kehangatan ciuman
yang mesra. Tiba2 Cu Jiang melihat wajahnya terbayang
pada biji mata Ji-ji. Ia melihat bahwa saat itu mukanya
tertutup kain cadar. Dan seketika timbullah rasa ngeri
apabila sekarang akan wajahnya yang telah rusak itu.
Buruk muka! Cacat kaki!
Tubuh berlumur darah musuh
Bahu memikul beban berat!
Serentak ia menyiak dara itu lalu berkisar ke haluan
perahu dan menghembus napas longgar.
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar