Cersil SD LIONG : Pedang Darah Bunga Iblis [1]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 25 Agustus 2011

Cersil SD LIONG : Pedang Darah Bunga Iblis


(Hiat Kiam Mo Hoa)
Judul Lama : Terror Bwe Hwa Hwe Diceritakan oleh G.K.H
Jilid 1
PENDAHULUAN
Darah yang mengalir memanjang sudah membeku seperti beratur
ekor ular hitam yang mati kaku dibawah terik matahari.
Mayat-mayat dengan anggota tubuh yang tidak lengkap
bergelimpangan di puncak Hou-thou-hong (puncak kepala
harimau) di gunung Tiam-tjong-san; kepala, tangan atau kaki
berserakan dimana-mana mengeluarkan bau amis yang
memualkan.
Satu jam yang lalu beberapa ratus gembong silat dari berbagai
aliran atau golongan hitam dan putih telah melakukan suatu
upacara penyembelian besar-besaran di puncak gunung ini,
sekarang keadaan sudah tenang, namun bau darah dan keseraman
masih meliputi bekas gelanggang jagal manusia ini.
Seorang wanita yang mengemban seorang anak kecil kira- kira
berusia tiga tahun berjalan keluar sempoyongan dari balik batu
gunung sana, walaupun rambutnya awut-awutan tubuhnya penuh
luka dan berlepotan darah, bajunya koyak- koyak tak karuan,
namun semua itu masih belum dapat menutupi wajahnya yang ayu
molek dan tubuh yang langsing menggiurkan, dibelakangnya
muncul pula seorang laki-laki pertengahan umur berdagu panjang
dan berwajah putih halus sambil berjalan dia sedang merapikan
celana dan bajunya.
Si wanita langsung mendekati sesosok mayat yang penuh
luka-luka dan susah dikenal lagi, perlahan-lahan ia berlutut
disamping mayat dan menggumam dengan suara igauan seperti
orang bermimpi ”Hong-ko, aku tidak minta agar kau memaafkan
aku, tapi kau harus mengerti, demi keturunan keluarga Suma,
demi darah dagingmu dan dendam kesumat ini, terpaksa aku
berbuat demikian, aku….”
Anak kecil dipelukannya mendadak menggigil gemetar dan
mengejang, mulutnya yang kecil megap-megap, bibirnya gemetar
tapi sedikitpun tidak mampu mengeluarkan suara.
”Nak, apakah kau sangat menderita, ibumu ingin menggantikan
kau, oh ibumu relah menderita segala kesengsaraan dalam dunia
fana ini asalkan dapat menggantikan jiwamu nak…. kau…. kau
jangan mati….” demikian ratap si wanita.
Anak itu tetap membisu, kedua matanya terpejam, tubuhnya basah
kuyup oleh keringat, wajahnya penuh diliputi hawa hijau, bibirnya
mulai membiru dan tubuhnya tak henti- hentinya berkelejetan,
naga-naganya jiwa kecilnya tengah berontak dari renggutan
elmaut. Mendadak si wanita angkat kepala dan berseru kepada
laki-laki pertengahan umur yang tengah berdiri kira-kira dua
tombak jauhnya, ”Kumohon padamu, tolonglah jiwa anakku ini.”
”Menolong dia?” sahut si lelaki pertengahan umur sambil
menyeriangi.

”Suara si wanita penuh mengandung permintaan dan harap” ” kau
sendiri pernah berjanji hendak menolong jiwanya?”
”Nadi pengantanya sudah putus, kalau aku menolong jiwanya
dengan menggunakan Kiu-yang –sin-kang, tenaga murniku akan
susut terlalu banyak, dalam jangka waktu lima tahun aku tidak
dapat bergebrak dengan orang, padahal tahun depan tibalah
waktunya mengadu kepandaian di puncak Hoa- san, aku tidak mau
kehilangan kesempatan memegang simbol teragung sebagai tokoh
silat nomor satu di dunia.!”
Wajah si wanita yang memang pucat kini semakin pucat
keabu-abuan, dengan suara hampir menggila ia berseru ”tadi kau
mengatakan mau menolong anakku, kau menginginkan tubuhku,
aku sudah berikan padamu. Oh…. kumohon padamu, tolonglah
jiwanya, aku rela selama hidup ini melayani kau, akan
kupersembahkan segala milikku, termasuk jiwa ragaku….”
”Tidak bisa!” ”Kau…. kau tidak boleh begitu, tolonglah, tolonglah
jiwanya….” ”Maaf, aku tidak dapat melulusi permintaanmu!”
Seketika kedua mata si wanita mendelik, sambil menuding
laki-laki pertengahan umur itu dengan suara melengking
menyeramkan ia memaki, ” Loh Tju-gi,
binatang kau, anjing…. kau manusia hinda dina, tubuhku sudah
kau nodai tapi kau….”
Sekilas wajah Lo Tju-gi berubah, tapi lantas pulih lagi seperti
semula, katanya, “San hoa li, aku tidak mungkin menolongnya,
tapi aku cinta padamu.”
“Tutup mulut, binatang….”

”San hoa li, memang tidak salah aku telah merasakan kenikmatan
tubuhmu, akan tetapi jikalau bukan karena aku, mungkin hari ini
kamu sudah menemui ajal!”
”Anjing, karena kau hendak melampiaskan nafsu kebinatanganmu,
tujuan kau anjing hina dina ini, bukankah hendak mengangkangi
”Hiat-kiam” (Pedang darah)….”
Wajah si anak dari hijau telah berubah ungu gelap, berkelejetan
semakin menjadi-jadi, rasa sakit yang sangat tengah menyiksa
nyawa kecil yang sudah diambang pintu kematian itu.
San hoa li memeluk anaknya semakin kencang, kedua matanya
yang redup kuyu mengalirkan air darah dengan suara yang sangat
memilukan ia berkata, ”Nak, ibumu tak dapat menolong kau, tapi
aku dapat membuatmu tidak menderita terlalu lama, nak kau tidak
akan menderita lagi selamanya!”
”Sret!” tangan San hoa li tahu-tahu sudah menghunus sebilah
cundrik yang berkilauan, sambil menggertak gigi ia tusukkan
cundrik itu ke ulu hati anaknya, namun cundrik itu hanya menusuk
satu dim tangannya sudah gemetaran hampir tak kuat lagi
memegang cundrik itu, Setelah berkelejetan dua kali lagi si anak
kecil itu berhenti bergerak.
”Anakku, kau tidurlah tenang menyusul ayahmu….” Diletakkannya
jenasah anakanya dipinggir mayat yang penuh berlepotan darah
itu, lalu ia berdiri, ” Lo Tju-gi, kau ingat pada suatu hari tentu
cundrik ini akan menusuk kedalam ulu hatimu, termasuk juga dada
anak muridmu!”
Mendadak San hoa li mendongak dan tertawa panjang histeris,
sekali berkelebat dengan cepat ia berlari turun gunung.
”Dia sudah gila!” Loh Tju-gi menggumam, dimana tanganya
menyapu jenasah anak kecil itu terpental terbang masuk ke dalam
jurang yang dalam di samping sana, lalu sekali melejit
tubuhnyapun terbang menghilang dari pandangan mata.

1. BANJIR DARAH DI KUIL KUNO
Hujan lebat disertai angin puyuh membuat jagat remangremang
gelap, keadaan seluruh kehidupan dalam dunia fana ini
menjadi sedemikian sunyi senyap yang terdengar hanyalah deru
angin dan hujan, jarang terlihat ada manusia atau insan hidup
berlalu lalang dibawah hujan lebat ini.
Tapi didepan pintu sebuah biara ”Pek-hun-ko-sat” (biara kuno
awan putih) berdirilah seorang pemuda dengan tenangnya diterpa
air hujan, dengan nanar kedua matanya memandang pintu biara
kuno ini, pemuda ini kira-kira berusia tujuh delapan belas tahun
berwajah ganteng dan membawa sedikit sifat keangkuhan, air
mukanya penuh diliputi hawa membunuh membuat siapa yang
bertemu pandangan bergidik seram ketakutan.
” Masa para kepala gundul ini semua sudah modar!”, si pemuda
bicara seorang diri, tangan diangkat dengan ringannya sebuah
jarinya menyentil dari kejauhan. ”Blang” gelang besi diatas pintu
biara itu mengeluarkan suara keras yang menggetarkan telinga,
tidak lama kemudian pintu biara terpentang perlahan-lahan,
seorang hwesio beralis tebal bermata besar dengan marah-marah
melangkah keluar dari dalam, dan sebelum sempat membentak
sapa, sinar matanya bentrok dengan pandangan si pemuda yang
berdiri dibawah hujan lebat di depan pintu biara, tanpa merasa bulu
kudunya mengkirik seran, diam-diam hatinya berkata, “nafsu
membunuh yang besar!”
Dingin si pemudah menyapu pandang kearah si hwesio, kaki
diangkat ia langkahi undakan didepan pintu biara, sejenak si
hwesio menenangkan hati lalu berkata dengan nada berat , “Sicu
(tuan) harap berhenti!”
Si pemuda berhenti di undakan paling atas.

“Apa keperluan sicu berkunjung ke biara kita?” ”Mencari Tji
Kong si hwesio tua!” Berobah wajah si hwesio, semprotnya
gusar: dia, adalah
taysu ketua, sicu bicaralah mengenal aturan!” ”Ini, sudah
terhitung paling beraturan1” ”Huh,” jengek si hwesio. ”Kau
mengejek siapa?” Sontak timbullah gelora kemarahan di benak si
hwesio,
bentaknya keras, ”Pek hun ko sat bukan tempat kau bertingkah
tahu?”
Si pemuda melerok hina kearah si hwesio serta ujarnya dingin,
“Kau perlu memberitahukan kedatanganku dulu atau aku harus
masuk sendiri?”
“Silahkan sicu sebutkan namamu.” ”Bu (go) Bing!” ”Bu bing?
(tak bernama)” “Lebih baik kau jangan cerewet!” Si hwesio
sudah tidak sabar menahan gusar, teriaknya
menggeledek, “Siaucu….” ”Plak!” seketika si hwesio terhuyung
mundur tiga langkah,
pipinya berpeta jelas bekas lima jari tangan, agaknya si pemuda
masih berdiri tenang di tempatnya, dan bagaimana si hwesio kena
ditempeleng dia sendiri tidak melihat, tahu-tahu pipinya sudah
bengap.
Nada si pemuda tetap sedingin es, ”berani sekali lagi kau buka
mulut kotor, akan kubuat kau selamanya tidak bisa bicara”
Keder dan kuncuplah nyali si hwesio, tahu dia bahwa si pemuda
dihadapannya ini ternyata berkepandaian silat sangat

tinggi, tanpa merasa ia berdiri termangu ditempatnya tanpa
berani membuka suara lagi.
Terdengan langkah berat mendatangai, dua hwesio tua yang
berusia 50an bergegas mendatangi, selayang padang terhenyaklah
mereka beberapa langkah jauhnya, dua pasang mata yang tajam
berbareng menatap kearah si pemuda. Segera si hwesio yang
barusan kena ditempeleng segera bersabda dan melapor dengan
suara lirih, “Lapor Susiok, sicu ini ingin bertemu dengan ketua
kita.”
Kedua hwesio tua mengiakan berbareng lalu salah seorang
diantaranya lantas bertanya, “Apa sicu benar-benar hendak
menemui ketua kami?”
“Tidak salah!” ”Harap sukalah terangkan maksud
kedatanganmu ini!” ”Setelah bertemu dengan Tji Khong Hwesio
dia sendiri
tentu akan tahu!” Berbareng kedua hwesio tua menarik muka,
seorang yang
lain segera menyahut, “Mengapa datang-datang sicu lantas
memukul anak murid kami?”
”Itu hanya suatu hukuman kecil bagi mulutnya yang kotor.”
lagi-lagi kedua hwesio tua ini bersungut dongkol, salah
seorang yang membuka suara dulu tadi bicara pula dengan sabar,
“Kalau sicu tidak menerangkan maksud kedatanganmu, maaf
pinceng tidak dapat melayani?”
Si pemuda mendengus sekali, “Kalau begitu terpaksa aku mencari
sendiri.” habis berkata dengan langkah lebar ia hendak memasuki
pintu besar biara.
”Mana boleh kamu bertingkah ditempat Budha yang tenang suci.”
kedua hwesio tua itu menghardik berbareng dengan melayangkan
pukulan masing-masing.

Sipemuda tidak peduli dan bagai tak merasa apa2, kakinya masih
tetap melangkah maju, ”Plak – plok: dua suara nyaring menggema,
seketika kedua hwesio tua merasakan pukulan mereka membal
atau dirutul balik menerjang mereka sendiri, kontan tubuh mereka
tergetar mundur sempoyongan, ditengah suara keluhan mereka,
sipemuda sudah memasuki pintu biara dengan tenangnya.
Karena ribut2 ini sudah menggemparkan para hwesio lain dalam
biara, waktu si pemuda melenggang melalui samping patung
pemujaan, belasan hwesio sudah bersiaga mencegat didepannya,
dari belakang terdengan seruan gusar kedua hwesio tua tadi;
“Kedatanganya bermaksud jahat, cegat dia!”
Serentak belasan hwesio itu berjajar menghadang ditengah jalan,
sambil berjalan si pemuda berkata mengancam, “Kalau kalian
tahu diri lebih baik menyingkir, aku tidak ingin melukai kalian.”
”Bocah sombong rasakan ini!” serempat kepelan dan jotosan
beruntun dilancarkan untuk merintanginya.
Sekilas berkelebat sinar merah dalam mata sipemuda, sebelah
tangan diangkat dan diayun, seketika terbit angin badai
menghembus deras kedepan, sontak terdengar suara keluhan dan
kesakitan, beberapa hwesio yang memberondong tiba terpental
jauh oleh gulungan angin kencang yang menerjang mereka, hanya
sekali berkelebat bayang sipemuda tahu2 sudah tiba dipekarangan
dalam.
”Tang-tang-tang!” lonceng tanda bahaya bergema keras maka
ributlah suasana dalam biara itu, para hwesio yang tak terhitung
banyaknya bergegas berlarian keluar dari empat penjuru sambil
membekal golok dan pentungannya, mereka berdiri rapi bagai
pagar mengepung sipemuda.
“Kalian mundur!” mendengar suara keras berwibawa ini serempat
para hwesio membungkuk tubuh dan merangkap tangan terus
mundur kesamping, Ditengah ruangan sana

berdiri seorang hwesio berusia lanjut mengenakana kas warna
merah marong, sepasang matanya berkilat2 menatap si pemuda,
tanyanya “Siau-sicu siapakah namamu?”
”Go bing!” ”Ada urusan apa kau mencari lolap?” Pandangan
dingin bagai aliran listrik Go Bing mata
menyorong kearah si hwesio tua, “Kau inikah Tji Kong Hwesio!”
tanyanya lantang.
Ucapannya ini menimbulkan gereman gusar dari semua hwesio
yang hadir, tidak ketinggalan si hwesio itupun berobah air
mukanya, “Omitohud, itulah gelarang pinceng”.
Go Bing ulurkan jari tengah tangan kanannya, secarik sinar terang
mencorong keluar dari tengah jarinya, katanya dingin “Apa kau
masih kenal ini?”
Seketika wajah Tji Kong Hwesio berobah pucat lesi dan terhuyung
mundur ketakutan, mulutnya mendesis, “Mo hoan (cincin iblis)”.
“Tidak salah!” Begitu ”Mo-hoan” disebut seketika gemparlah
seluruh
hadirin, semua hwesio yang hadir berobah pucak dan
bergemetaran.
”Apa hubunganmua dengan Sia-Sin Kho Djiang?” suara Tji Khong
tergetar menahan gelora hatinya.
”Muridnya!” ”Dia…. dia…. belum mati?” Hawa membunuh
diwajah Go bing semakin memuncak,
mendengus sekali dia menjawab, “ Hal itu kau tidak perlu tahu!”

Otot dijidat Tji Kong Hwesio merongkol keluar, keringatpun
membajir membasahi tubuh, tanyanya gemetar, “Kau…. apa
maksud kedatanganmu?”
”Mengambil batok kepalamu!” Betapa keder dan takunya para
hwesio mendengar nama
Sin-sin Kho Djiang, serta mendengan sipemuda hijau ini berani
hendak mengambil batok kepala ketuanya, semua menggeram
gusar, masa mereka harus diam saja membiarkan orang
memenggal kepala ketuanya, satu bergerak yang lain mengikuti
beramai2 mereka merubung tiba di depan ruang besar.
Dengan pandangan dingin Go Bing menyapu pandang kearah para
hwesio itu lalu serunya dengan datar: Tji Khong Hwesio aku tidak
suka membunuh orang yang tidak berdosa, lebih baik kau
perintahkan mereka menyingkir saja!”
”Sudahlah!” teriak Tji Khong keras sambil mengebutkan lengan
jubahnya yang besar, seruannya hampir mengeluh, “Saudara2 dan
semua anak muridku, lekas kalian mundur!”
Sejenak para hswesio itu merandek, tidak mundur malah dengan
nekad mereka maju lagi.
”Tji Khong maaf aku hendak turun tangan”, habis ucapannya
tubuhpun menerjang maju, sebuah jotosan mengarah tepat kedada
Tji Khong. Serangan pukulan ini bukan saja sangat cepat laksana
kilat juga hebat dan seram, meskipun kelihatannya hanya sekali
pukulan namun diantaranya mengandung banyak perobahan yang
susah diselami, seluruh halan darah didada lawan sudah dalam
incaran cengkeramannya.
Sudah tentu Tji Khong tidak mandah terima binasa, akan tetapi
kecepatan musuh turun tangan tiada kesempatan lai untuk dirinya
berkelit atau balas menyerang, dalam saat-saat jiwa diambang
pintu kematian sekuatanya ia lintangkan tangannya untuk menjaga
didepan data. ”Blang” disertai suara

keras seperti orang hendak muntah dari mulut Tji Kong tubuhnya
terhuyung surut ting langkah ke belakang.
Bersamaan dengan itu dua batang tongkat besar dan tiga sinar
pedang berbareng memberondong mengurung tubuh Go Bing
dengan serangan yang tidak kalah hebatnya.
Tanpa berpaling lagi, sebelah tangan diajun kebelakang terbitlah
angin deras bergulung2 menerpa kebelakang hingga tujuh hwesio
yang menyerang didirnya terpental pontang panting keempat
penjuru, hampir saja mereka tidak kuat lagi mencekal senjata
masing2, masih untung Go Bing masih belu mau turunkan tangan
jahatnya,
Sebat luar biasa tubuh Tji Khong berkelebat lari memasuki
Tay-hiong-po-tian.
”Tji Khong, kemana kau hendak lari?” seru Go Bing, belum habis
ucapannya tubuhnyapun sudah melejit tiba bagai kilat
menghadang dihadapan Tji Khong.
Terasa semangat Tji Khong bagai terbang ke awang2 dilihatnya
bibit bencana yang menyertai kedatangan anak muda ini
berkepandaian tidak kalah lihay dari Sia sin Kho Djiang dulu, jelas
bahwa dirinya tentu bukan tandingan musuh, Elmaut kematian
terbayang didepan matanya hingga wajahnya yang pucat lesi
berobah kehijau2an.
Go Bing kerahkan tenaganya di jari tengah, maka menyoronglah
sinar dingin dari ”cincin Iblis” itu lebih lebar dan terang, perlahan2
tangan bergerak dimana sinar dingin itu menyambar, terdengarlah
suara jeritan panjang yang menyayat hati. Kepala Tji Khong yang
gundul terbang meninggalkan tubuhnya, darahpun menyembur
keras bagai mata air dari luka dillehernya, mayatnya terkapar di
lantai tanpa bergerak lagi.
Seketika para hwesio yang memburu tiba didepan pintu Tay hiong
po tian terkesima menyaksikan adengan pembunuhan

yang aneh dan kejam ini, Mereka terlongong bagai patung dan
kehilangan semangat dan kesadaran.
Dengan tenang dan seenaknya Go bing mengeluarkan sebuah
kantongan dan memasukkan kepala Tji Khong kedalamnya, sekali
melejit tubuhnya terbang melewati kepala para hwesio dan
menghilang ditengah udara dalam sekejap mata.
Sayup2 terdengar gema lonceng pertanda dukacita dari pada biara
pek hun ko sat.
Dalam pada itu begitu sampai diluar dengan kecepatan yang
susah diukur Go Bing berlarian keras, cuaca masih tetap gelap,
namun hujan dan angin badai sudah lama berhenti, ditengah
keremangan cuaca itulah dia berlari tiba didepan sebuah gua.
”Siapa?” bentakan dingin dan serak terdengar dari dalam gua.
”Murid sudah kembali, Su….” ”Apa tugasmya sudah kau
selesaikan?” ”Sudah selesai menurut perintah!” ”Masuklah!”
Sambil menjinjing kantongannya Go Bing berkelebat
memasuki gua, gua itu tidak terlalu dalam, ditengah gua tersulut
api unggun, dibawah penerangan api unggun itulah terlihat
dipojok dinding sebelah dalam sana berduduk sila seorang aneh
yang rambut dan cambang bauknya menutupi mukanya, matanya
tinggal sebelah dan merem melek, kedua kakinya sudah buntung
tinggal tulang keringnya saja yang masih kelihatan memutih.
Go Bing meletakkan buntalan kantongnya serta berkata, “Suhu….”

Mata tunggal si orang aneh mendelik sinar matanya hijau
mengancam desisnya gusar, “Bocah, sekali lagi kau berani
memanggil ”Suhu”, kubunuh kau?”
Go bing menyahut sedih, “Budi kau orang tua membesarkan murid
selama lima belas tahun ini….”
“Kentut!, dulu secara kebetulan kau terjatuh dalam tanganku, itu
pertanda ajalmu memang belum tiba saatnya, Lohu menolong dan
memberi pelajaran silat kepadamu adalah supaya kau kelak dapat
menyelesaikan urusanku. Budi apa segala….”
”Akan tetap…. suhu….” Si orang aneh ayunkan tangannya,
seketika Go Bing
tersurut mundur tiga langkah dengan ketakutan, ”Bocah, ingat,
panggil aku Kho Lo-sia (Kho tua sesat), kau dengan tidak, dulu
Lohu sudah bersumpah untuk tidak terima murid selama hidup!”
Dimulut Go Bing mengiyakan namun dalam hati ia membatin; kau
melarang aku memanggil kalau dalam hati aku tetap menganggap
kau sebagai Suhu, bukankah beres. Selama lima belas tahun ini
berkawan dengan siorang aneh yang cacat kedua kakinya dan
sebuah matanya. Bermula dia menyangka siorang aneh ini sudah
gila atau sinting, lama kelamaan menjadi kebiasaan. Dalam
ingatannya yang pertama memang gurunya ini sangat aneh dan
sesat tindak tanduk dan ucapannya selalu bertentangan dengan
adat dan peraturan umum, selain kata “Sesat” susahlah
mengungkat keanehan wataknya itu.
Terhadap riwayat hidup suhunya ini boleh dikata hanya samar2
saja diketahui dari mulut orang2 dikelangan kang- ouw. Yang jelas
diketahui hanyalah bahwa nama Sia-sin Kho Djiang (Kho Djiang si
malaikat sesat) sudah sejak dua puluh tahun yang lalu
menggetarkan dan menciutkan nyali setiap toko silat dari aliran
hitam maupun golong putih. Selama

belasan tahun dirinya dibimbing sampai beesar, mengajarkan
kepadaian silat lagi kepadanya hakikatnya hubungan mereka
adalah guru dan murid, naum dia melarang mengaukui hubungan
antara guru dan murid ini.
Teringat sebelum dirinya melaksanakan perintah suhunya pergi
membunuh orang, si orang aneh ini hanya menerangkan bahwa
orang yang harus dibunuhnya ini adalah salah satu biangkeladi
yang menggunakan akal muslihat menyebabkan sebuah mata dan
kedua kakinya menjadi cacat selamanya. Selain itu apapun tidak
diterangkan.
”Buka kantongan itu!” Segera Go Bing mengerjakan apa yang
diminta dan
mengeluarkan batok kepala gundul itu. Sia-sin Kho Djiang
mengekeh tertawa, serunya, ”Tidak
salah, memang dialah Tji Khong si kepala gundul itu, bawa
kebelakang gua dan direndam dalam obat supaya tidak
membusuk.”
Go Bing mengiyakan terus masuk ke gua belakang, tidak lama
kemudian ia berjalan keluar lagi.
Sia-sin Kho Djiang ulapkan tangannya dan berkata, ”Bocah kau
duduklah”.
Go Bing duduk ditepi api unggun. Terdengan Sia-sin Kho Djiang
menyambung katanya
”Siaucu, Lohu pernah melulusi setiap kali kau selesai mengerjakan
tugasmu, aku menjawab satu pertanyaanmu, sekarang kau
tanyalah?”
”Murid…. aku ingin mengetahui riwayat hidupku!” ”Go Bing
atau Bu Bing hampir sama nada ucapannya dan
itu berarti kau sendiri tidak mempunyai nama, tentang riwayatmu
sedikitpun Lohu tidak mengetahui, sekarang pertanyaan sudah
selesai!”

Go Bing menjadi geli dan angkat pundak, pertanyaannya menjadi
sia-sia, baru saja ia hendak membuka mulut lagi, Sia- sin Kho
djiang sudah menggoyang tangan, “Kalau maasih ada pertanyaan,
tanyakanlah setelah kau selesai mengerjakan tugasmu.”
Go Bing menelan ludah dan mengurungkan ucapannya, tapi lanatas
timbullah rasa sedih dalam benaknya bahwa ternyata dirinya
adalah insan yang harus dikasihani tanpa mengetahui riwayat
sendiri. Suhunya sendiripun tidak mengetahui, bukankah teka-teki
riwayat hidupnya takkan terpecahkan selama hidup ini. Go Bing, Bu
bing (tak bernama) sungguh tak terduga hanya nama saja dirinya
tidak punya.
Bagaimana dirinya sampai dibimbing dan dibesarkan oleh Sia-sin
Kho Djiang, tiada pangkal mulanya yang dapat diingat. Mungkin
dari permulaan apa yang pernah dialami, dapat dicari pangkal
sumbernya, akan tetapi dia tahu akan sifat aneh gurunya, tiada
gunanya banyak tanya. Satu2nya jalan hanya menunggu
kesempatan lain yang akan datang.
Mata tunggal Sia-sin Kho Djiang berkedi2, katanya, “Siaucu
dengarlah orang kedua yang harus kau bunuh adalah Tiang- un
Suseng….”
”Tiang-un Suseng (pelajar nestapa)?” ”Tidak salah, apa kau
pernah dengar tentang orang itu
dikalangan kangouw?” ”Pernah kudengar, nama pendekar dan
kepahlawaman
Tiang-un Suseng….” “Bohong, nama kosong dan perbuatan
palsu kaum keroco
di kalangan bulim sangat banyak!” “Aku hanya dengar dari cerita
sementara orang.” ”Tiang-un Suseng tiada mempunyai tempat
tinggal tetap,
kau harus lebih banyak mengeluarkan tenaga untuk mencari
jejaknya”.

”Mengapa kau orang tua tidak secara total menyebutkan nama2
orang yang harus kubunuh, kalau dapat sekaligus kubereskan
bukankah menghemat tenaga dan waktu untuk pulang pergi….”
”Siaucu ambekmu terlalu besar, apa kau kira setiap orang yang
harus kau bunuh ini sama rata dengan Tji Khong sikepala gundul
yang tidak becus ini?”
“Maksudku orang yang harus kucari itu mungkin tidak ketemu
dan secara kebetulan dapa kebentrok dengan yang lain….”
“Memang omonganmua sangat beralasan, tapi apa yang pernah
Lohu ucapkan tidak pernah kujilat kembali.”
Go bing tidak membuka suara lagi, dengan langkah lebar dia
meninggalkan gua itu, sejak kecil hidup bersama Sia-sin Kho
Djiang sedikit banyak sifat aneh gurunya itu menular pada
muridnya.
”Siaucu kau kembali!” ”Kau masih ada omongan lagi?”
Walaupun Sia-sin tidak
mengijinkan dia memanggil Suhu dan harus memanggil Kho
Lo-sia, tapi dia tidak mau secara terang2an menyebut itu, sebab
meskipun hubungan mereka tidak resmi, tapi hakekatnya adalah
guru dan murid, dan sebab yang lebih penting adalah bahwa
dirinya senantiasa harus berkelana di kalangan kangouw, sifat
menyendiri yang aneh sudah berdarah daging dalam tubuhnya.
Membunuh tji Khong hwesio merupakan tugasnya yang pertama
kali, sebelumnya belum ada seorangpun yang mengenal dirinya
dikalangan kangouw.
Terdengan Sia-sin berkata haru, “ kalau kau bertemu dengan
orang yang dapat menggunakan ”Pek-pian-kui-djiau”, tidak peduli
siapa dia dan apa kedudukannya, kau tidak boleh turun tangan,
lebih penting lagi jangan kau katakan jejakku ini, ingatlah hal ini.”

“Lalu mengapa?” ”Kenapa? kau tidak perlu tahu!” ”Masa, murid
Sia-sin Kho Djiang harus takut….” ”Kentutu, siapa bilang bocah
macammu ini adalah
muridku?” ”Akan tetap kepandaian silatku dan cincin iblis ini
bukankah
itu berarti mencuri kelintingan menutupi telinga sendiri?” ”Berani
banyak bacot lagi kubunuh kau.” Apa boleh buat Go Bing angkat
pundak terus tinggal pergi
keluar gua. Mala itu juga dia tinggalkan gunung dimana Suhunya
bersemayam dan menginap disebuah hotel. Terdengar olehnya
banyak para tamu penginapan itu tengah ribut2 mempercakapkan
tentang murid Sia-sin Kho djiang yang muncul lagi dikalangan
kangouw. Sekali gebrak menanggalkan batok kepala Tji Khong
hwesio ketua biara Pek-hun-ko-sat.
Selama malang melintang dulu Sia-sin Kho Djiang selalu menuruti
kata hatinya, sifatnya jahat2 jantan, dikatakan sesat bukan karena
dia adalah penjahat besar yang laknat, adalah karena sifatnya
yang aneh semua perbuatannya bertentangan dengan kehendak
umum, dan lagi ilmunya sangat tinggim maka orang2 memberikan
julukan Sia-sin (malaikat sesat) padanya.
Timbullah dugaan dalam benak Go bing, mungkin peristiwa
pembunuhan di Pek-hun-ko-sat telah menggemparkan seluruh
bulim, untung selain para hwesio itu tiada seorangpun yang
mengenal wajah dirinya. Kalau cincin iblis ditangannya tidak
diketahui orang, asal-usul dirinya masih dapat dirahasiakan, kalau
tidak tentu membawa banyak kesukaran akan tugas yang harus
dilaksanakan itu. Maka terpaksa ia tanggalkan Mo- hoan dari
jarinya dan disimpan di dalam kantong bajunya.

2. MAYAT JELITA DIDALAM HUTAN
Waktu terang tanah dia tinggalkan penginapan dan
berjalan seenaknya dijalanan raja tanpa tujuan yang menentu,
Tiang-Un Suseng tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap,
sedemikian besar kangouw ini mencari seorang berarti mencari
sebatang jarum dilautan, disamping itu nama Tiang- Un Suseng
sangat disanjung puji sebagai seorang pendekar budiman yang
tenar, sekali dia menemui ajalnya, geombang heboh kematiannya
itu dapatlah dibayangkan, akan tetapi perintah guru bagaimanapun
harus dilaksanakan.
Tapi bila teringat kejadian betap kejam waktunya suhunya dikorek
sebuah matanya dan kedua kakinya dikutungi, ia maklum akan
dendam kesumat suhunya ini, mereka lebih dulu mencelakai
gurunya dengan cara keji dan busuk, kini kalau dirinya membunuh
mereka agaknya sangat setimpal dan tiada salahnya.
Bagaimana wajah dan perawakan Tiang-Un Suseng sedikitpun dia
belum mengetahui, seumpama bertemu ditengah jalan juga tidak
mungkin mengenalnya, lagipula tidak mungkin ia tidak mungkin
bertanya pada orang lain….
Tengah bejalan sebuah suara yang melengking mengerikan
bergema ditengah udara dari kejauhan sana, suara itu membuat
bulu kuduk orang mengkirik mendengarnya.
Terkesiap hati Go Bing terbangun semangat dari lamunannya, lalu
dengan cermat dia pasang kuping, tapi setelah suara jeritan itu tak
terdengar lagi suara lain atau reaksi apa2, dari arah suara yang
melengking tinggi itu agaknya tidak jauh didepan jalanan sana,
maka sebat sekali tubuh Go Bing berkelebat melayang kedepan
dengan kecepatan bagai anak panah. Sebelah samping kanan dari
jalan itu adalah sebuah hutan kecil, sebelah kiri adalah padang

rumput yang luas tak berujung pangkal, sekilas ia berpikir cepat2
ia memutar arah memasuki hutan didepannya ini, kedua matanya
bagai kilat menyapu keempat penjuru. Kira2 sepuluh tombak
didepan sana tampak sesosok tubuh seorang wanita rebah
membujur diatas tanah, baju atasnya hancur lebur, sedang bawah
tubuhnya tanpa mengenakan seutas benangpun.
Seketika merah padam wajah Go Bing, hati berdetak keras
napaspun memburu, baru saja hendak putar tubuh tinggal pergi,
sekonyong2 tergeraklah hatinya, bukankah suara jeritan panjang
tadi adalah suara seorang wanita apa mungkin dia ini…. karena
pikirannya ini ia putar balik lagi sambil menahan gelora hatinya ia
maju mendekat dan melihat lebih tegas. Terlihat olehnya orang itu
adalah seorang gadi remaja, keduanya matanya tertutup rapat dari
lobang panca inderanya mengalir darah segara, kedua tangannya
mencengkram kencang kedalam tanah, bawah tubuhnya merah
bernoda darah.
Tergetar kecut hati Go Bing, batinnya, “mayat seorang wanita
yang diperkosa dulu sebelum dibunuh.”
Meski menghadapi sesosok mayat, namun bagi jiwa muda yang
belum pengalaman mengalami gelora hidup manusia dan usia
yang baru menanjak dewasa seperti Go Bing hampir2 tidak kuat
menahan gejolak hatinya, terasa jantungnya hampir melonjak
keluar.
Tapi itu kejadian dalam sekejap saja, lantas terpikir olehnya inilah
tragedi mengenaskan yang penuh diliputi suasana seram
mengerikan, gadis remaja ini kira2 baru berusi lma – enam belas,
mengapa diperkosa dan dibunuh orang? Lalu siapakah dia, orang
dari kalangan persilatan atau….
”Siapakah algojo yang berbuat demikian kejam?”, ”harus
dibunuh!” demikian ia menggumam seorang diri. Lalu terpikir
dalam hatinya, “gadis ini diperkosa dan dibunuh oleh bangsat
rendah yang tidak bertanggungjawab, enggenaskan dan harus

dikasihani, aku tidak bisa membiarkan jenasanya demikian saja,
aku harus menguburkannya!”.
Baru saja hatinya mengambil ketetapan, mendadak terdengar
suara dingin mengejek dibelakangnya, “bukankah perbuatan
sarudara ini sangat telengas!”
Sungguh kejut Go Bing bagai disengat kala, lekas2 ia memutar
tubuh, dilihatnya tiga tombak jauhnya berdiri seorang pemuda
gagah yang mencoreng pedang tengah mengawasi dirinya,
wajahnya membeku geram dan penuh hawa membunuh.
Diam2 Go bing mengeluh, “ celaka, kalau orang salah paham
bagaimanapun susah menerangkan peristiwa ini.”
Dari itu diapun balas bertanya dingin, “Apa yang kau katakan?”
”Disiang hari bolong, saudara berani memperkosa dan membunuh
seorang wanita lemah….”
”Tutup mulutmu!” hardi Go Bing dengan amarah yang menggelora
didada, ”Dengan alasan apa kau memfitnah orang semena2?”
”He he he he, saudara tak perlu main debat, kenyataan
didepanmu itu membuktikan …………”
“Sekali lagi kau berani buka bacot kubunuh kau!” Wajah beku
pemuda itu berobah abu2, maju berapa
langkah dia memandang atajam kearah mayat wanitu itu,
mendadak ia menggerung gusar dan memaki, “bangsat cabul,
beani kau memperkosa dan membunuh tunanganku, kalau hari ini
aku tidak mencacah jiwam, aku bersumpah tidak menjadi
manusia!” sambil berkata2 itu tubuhnya menerjang maju sambil
menggerakkan kedua tangannya melancarkan serangan hebat.

Mendengar sikorban adalah tunangan orang, timbullah rasa
simpatik dalam benak Go Bing, tanpa membalas dengan ringan
sekali ia berkelit kesamping delapan kaki sambil berseru; ”hai,
berhenti dulu!”
Bagai tidak mendengar sipemuda masih lancarkan lagi dua
pukulan keras dengan kalap.
Laig2 Go bing harus melejit kesamping, “Sret” seketika sinar
terang berkilatan, kiranya si pemuda telah menjoreng pendang
panjang, dan belum sempat Go Bing membuka suara lagi, sei
pemuda telah berteriak panjang, pedang ditangannya menusuk
enteng kedepan, kelihatannya tusukan ini biasa saja tapi
sebenarnya mengandung perubahan tersembunyi yang susah
diukur kehebatannya, sebelum ujung pedang menusuk tiba
didepan tubuh, susahlah diduga sasaran mana yang diincarnya,
dari sini dapatlah diketahui bahwa ilmu pedang si pemuda sudah
hebat dan sempurna betul.
Bagai bayangan setan iblis lagi2 tubuh Go Bing berkelebat
menghilang, mulutnyapun berseru, “Inilah jurus ketiga!”
Begitu sipemuda lancarkan tusukannya, bayangan musuh seketika
menghilang, mala suaranya terdengar dibelakangnnya, keruan
hatinya tergetar kecut, sambil kertak gigi ia ayunkan pedangnya
kebelakang sambil memutar tubuh, gerak perobahan yang cepat ini
benar2 membuat orang kagum meleletkan lidah, namun demikian
kepandaian lawan beberapa tingkat lebih tinggi dari kemampuannya.
”Lepas tangan!” ditengah bentakan dingin itu, sipemuda rasakan
pergelangan tangan tergetar, tahu2 pedang panjangnya sudah
terampas oleh lawan, saking kecut serasa jiwanya melayang ke
awang2, dengan ketakutan ia mundur beberapa langkah. Ia
menyesal karena memandang rendah kepandaian musuhnya ini.
Go Bing membolang-balingkan pedang, lalu melontarkan balik
sambil berseru, “Sambutlah.”

Sipemuda menyambut pedang wajahnya berobah2 tak menentu.
Go bing mendengus sekali lalu bertanya, “Sikorban ini benar2
adalah tunanganmu?”
“Tidak salah!” sahut sipemuda sambil kertak gigi. ”Kau belum
memeriksa lantas dengan alasan apa kau
menuduh orang seenakmu dewek?” ”Aku hanya melihat kau disini,
masa bisa….” ”Aku mendengar teriakan mengerikan lalu bergegas
memburu tiba, selain si korban ini tak kulihat bayangan
seorangpun, kalu dia benar2 adalah tunanganmu, tentu kau dapat
mencari sumber penyelidikanmu….”
Pada saat itulah sebuah bayangan langsing terbang tiba dalam
gelanggang pertempuran, waktu Go Bing menoleh ternyata
sipendatan ini adalah seorang gadis ayu jelita, wajahnya cerah
secantik bidadari.
Si pemuda berseru girang dalam dukanya, “Hun-ci, lihatlah adik
Moay….”
Si Gadis memutar bola matanya melihat jenasah diatas tanah,
seketika ia terbelalak ngeri dan berobah air mukanya, mulutnya
memekik keras, ”Li Bun siang apakah yang telah terjadi?”
Kirnya nama sipemuda adalah Li Bun siang. Li Bun siang tergagap
sambil menunjuk Go Bing, “Dia….”
Bergegas sigadis maju sambil melepaskan mantelnya terus
ditutupkan ditubuh adiknya, seketika air mata membanjir bagai air
mancur, pekiknya penuh duka, “Adik Moay, biar cicimu membalas
sakit hatimu ini”.
Memutar tubuh dia menghadapi Go Bing wajah jelita itu
menunjukkan nafsu membunuh yang menggelora, serunya

bengis, “Bangsat, aku siang Siau-hun berumpah pasti membeset
kulitmu dan mencacah jiwamu”
Go Bing berseru gugup, “ Nona, aku….” Saking dka hati Siang
Siau hun terasa bagai diiris2. ”Serahkan jiwamu!” bentaknya
diserai serangan kilat
me n j o j o h mu k a Go B i n g s e d a n g t a n g a n y a n g l a i n
b e r g e r a k s e p e r t i c a k a r g a r u d a me n c e n g k r am
k e u l u h h a t i n y a b e t a p a k e j am d a n g a n a s s e r a n g a n
i n i s e k a a n 2 s e k a l i g e b r a k i n g i n r a s a n y a
me Baganigmkaenarpeumn utasj aGmo m Buliunt gG.o bing susahlah memberi penjelasan,
baru saja ia berkelit kesamping lantas terasa samberan angin
dingin dari belakangnya, tahu dia bahwa Li Bun siang telah
mencuri kesempatan ini untuk membokong dirinya, dibawah
gencatatan dari depan dan belakang, musuhpun bukan lawan
enteng, cara turun tangannyapun secepat kilat, dalam keadaan
gawat itu, tak sempat serangan Siang Siau hun dihiraukan sambil
miringkan tubuh ia lancarkan sebuah pukulan menerjang kearah Li
Bun Siang.
”Blang!” disertai suara tertahan pukulannya membuat Bun siang
terpental jauh membawa pedangnya, tapi punggungnya
sendiripun tidak urung kena terpukul oleh serangan siang Siau
hun tubuhnya terhuyung maju.
Tergetar hati Siang Siau hun bahwa pukulannya itu dilancarkan
dalam kegusarannya yang memuncak telah menggunakan seluruh
tenaganya, seumpama batu gunung yang keraspun pasti hancur
lebur, tapi tidak demikian dengan lawan ini, bukan saja tidak
terluka mala timbul suatu tenaga mental balik dari tubuh lawan
hingga tangan sendiri tergetar dan linu kesakitan. Namun gejolak
hati ini hanya sekilas saja merisaukan hati, pada lain kejap kedua
tangannya bergerak dan tubuh melejit menyerang Go Bing lagi.
Mau tak mau Go Bing harus ambil keputusan nekat dan tegas,
kalau lawan tidak ditundukkan hakikatnya tiada

kesempatan baginya untuk memberi penjelasan, sebenarnya
dengan kepandaiannya gampang saja tinggal pergi tapi dengan
tuduhan dosa tak terampunkan itu kalau tersiar luas dikalagan
kangouw susahlah dibayangkan akibatnya, sambil berpikir2 itu
kedua tangan bergerak melingkar dan menyapu, seruang keras
tertahan segera terdengar Siang Siau hun tersurut mundur lima
langkah, dari mulut kecilnya melelh keluar darh segar. Gerak gerak
Go bing tidak berhenti sampai disitu, sebat luar biasa ia memutar
tubuh terus melesat tiba didepan Li Bun siang, dari sampai
dilancarkan sebuah pukulan, tanpa sempat menggerakkan
pedangnya Li Bun siang mendem keras badannya meliuk dan jatuh
duduk diatas tanah.
Perlahan2 Go Bing putar tubuh menghadapi Siang Siau hun
ujarnya, “Siang-kohnio, maafkan perbuatanku ini, aku tidak
sengaja hendak melukaimu, tapi kau terlalu mendesak hingga
terpaksa aku harus turun tangan.”
”Bangsat cabut, ingin nonamu ini mencacah tubuhmu dan minum
darahmu….”
”Nona sukalah kau dengan sepata kataku?” Siang Siau hun
sudah nekat, matanya merah membara
tubuhnya gemetar saking duka dan gusarm wajahnya membesi
tanpa ekspresi, tangan diangkat lagi2 ia hendak lancarkan
serangannya….
Pada saat2 genting inilah sebuah bayangan tinggi lencir mendadak
terbang datang dari belakang phon lima tombak sana, sekali
berkelebat bayanga ini sudah berdiri dihadapan mereka, bayang ini
ternyata adalah seorang yang mengenakan pakaian hijau.
Siang siau hun sudah pasti bahwa si algojo yang membunuh dan
memperkosa adiknya adalah Go bing, ingin rasanya menelan
musuh ini bulat2. makanya munculnya si orang berkedok ini
sedikitpun tidak dihiraukannya, adalah Go

Bing malah melihat tegas, cara orang baju hijau ini bergerak
sungguh sangat aneh dan menakjubkan ginkang orang ini.
”Nona berhenti sebentar!” seru orang berkedok itu, suaranya
dingin menggiriskan tubuh membuat bergidik pendengarnya.
Berdetak jantung Siang Siau hun, serangannya dibatalkan lalu
mundur satu langkah, baru sekarang ia melihat kehadiran si baju
hijau berkedok yang berdiri didepannya. Suara kata dingin tadi
terang diucapkan olehnya, Maka dengan gemes ia bertanya ,
“Siapa tuan ini?”
”Orang lewat!” sahut siorang berkedok seenaknya. ”Hm, apa
tujuan tuan muncul disini?’ ”Untuk melerai!” ”Apa maksudmu?”
”Kepandaian nona tidak lemah, tapi kau masih bukan lawan
engkoh kecil ini!”. Siang siau hun mengangkat alis, serunya
geram, “Aku ingin
mencacah hancur tubuhnya.” “Karena adikmu dibunuh dan
diperkosa?” ”Ya, tuan orang lewat, silahkan lanjutkan
perjalananmu!”. ”Dengan alasan apa nona memastikan bahwa
engkoh kecil
ini adalah sipembunuh yang memperkosa adikmu itu?” ”Ini….”
Siang siau hun melengak bungkam, tergugahlah
hatinya, karena pertanyaan ini seketika ia terhenyak ditempatnya,
bola matanya melirik kearah Li bun siang yang berdiri disamping
sana.
Dengan haru dan rasa terima kasih yang tak terhingga Go Bing
meliring kearah siorang berkedok, terdengan si orang berkedok
bicaa lagi, “dalam peristiwa ini Lohu dapat menjadi saksi.”

“Saksi?” jengek Siau siau hun dengan geramnya. “Ya!” ”Punya
bukti apa kau hendak menjadi saksi, apa kau tahu
siapa pembunuh itu?” “Engkoh kecil ini datang kemari setelah
mendengar teriakan
adikmu yang sudah menjadi korban, ini Lohu melihat sendiri.”
Siang Siau hun mendesak maju dan berseru haru, “jadi
tuan mengetahui siapakah pembunuh itu?” “Sudah tentu!”
sahutnya, dua jalur sinar dingin mencorong
keluar dari belakang kedoknya menatap kearah Li Bun Siang. Li
Bun siang bergidik lemas, serunya gugup, “Hun-ci waktu
aku memburu tiba, kulihat bocah ini tengah berdiri disamping
jenasah adik Moay, dia….”
Mata Go Bing pun tidak kalah tajamnya dan bengisnya menyapu Li
Bun siang, suaranya mendesis, “Siaucu mengingat si korban ini
adalah tunanganmu, aku tidak ambil panjang urusan ini, kalau
tidak sejak tadi sudah kulumas nyawamu, berani kau memfitnah
semen2 tanpa bukti?”
Suara siorang berkedok dingin menyambung ucapan Go Bing,
“Tapi Lohu melihat kau berlari pontang panting dan kembali lagi,
waktu engkoh kecil ini datang tadi kebetulan kau baru saja lari
pergi….”
“Bohong, dia adalah tunanganku, masa….” Dengan penuh
kecurigaan Siang Siau hun bertanya pada
orang berkedok, “Apakah keterangan tuan ini dapat dipercaa?”
”Apa faedahnya aku berbohong!” Pucat pias wajah Li Bun Siang,
tubuhnya gemetar keras. Siang siau kun berbalik menghadapi Li
Bun siang, sinar
matanya mengandung kebencian yang menyala2, hardiknya
bengis, “Li Bun siang coba kau katakan!”

Mendadak Li Bun siang menggembor keras bagai orang gila,
tubuhnya terkapar jatuh, kedua tangannya mencakar dan
menggaruk keseluruh tubuhnya hingga seketika itu bajunya dedel
dowel hancur lebur. Perobahan mendadak yang tidak terduga ini
membuat ketiga orang lainnya bercekat hatinya dan berdiri
kesima.
Gesit sekali tubuh orang berkedok melejit maju mendekat, jari
tangan menutuk dari jauh mengarah jalan darah Tiong- tong,
jalan darah kematian didada Li Bun siang, setelah berkelejet sekali
tubuh Li Bun siang diam tak bergerak, mati!
Bergetar hati Go Bing, sebelum sempatia buka suara, Siang Siau
hun sudah memburu maju beberapa langkah, matanya menatap
tajam sambil menuding orang berkedok suaranya gemetar, “Tuan,
apa maksudmu ini?
“Membebaskan dia dari penderitaan!” ”Apa bebas dari
penderitaan?” ”Ya.” Ucapan ini seakan menhentikan napas Go
Bing dan Siang
siau hun, wajah mereka menunjukkan perasaan penuh curiga dan
ketakutan.
Siorang berkedok menggeleng kepala, ujarnya, “Lohu terburu
nafsu menyalahkan dia”
“Jadi dia mati terbokong?” tanpa merasa tercetus pertanyaan dari
mulut Go Bing.
Dengan suara sangat haru siorang berkedok berkata kepada Siang
Siau hun, “Nona siang, coba kau lihat cara kematiannya itu apakah
sama dengan kematian adikmu?”
Go bing dan Siang Siau hun berseru kaget hampir bersamaan,
“tujuh lobang (panca indra) keluar darah.”, memang darah melelh
keluar dari mata, hidung, kuping dan mulut Li Bun siang.

Suara siorang berkedok kini tidak lagi dingin dan menggiriskan, tapi
berobah haru dan sember, “Adikmu ini bukan mati lantaran
diperkosa, tapi karena keracunan!”
“Keracunan?” tergetar suara Siang Siau hun. ”Ya, setelah Lohu
meliat bocah ini baru mendadak aku
teringat, kalau dugaanku tidak salah racun jahat ini adalah yang
sering dikabarkan sebagai bisa paling lihai bernama racun tanpa
bayangan….”
”Racun tanpa bayangan?” ”Ya, racun tanpa bayangan! racun
tanpa bayangan ini
boleh dikata merupakan racun yang paling jahat dikolong langit
ini, kalau racun ini bekerja dalam tubuh terasa sangat panas,
seluruh tubuh gatal2 susah ditahan, maka sipenderita menggaruk
dan mencakar badan sendiri, setelah mati darah merembes keluar
dari panca indra, selayang pandang tidak kentara adanya bekas2
keracunan, hampir mirip benar karena mati tergetar remuk oleh
pukulan berat, maka itu dinamaakan racun tanpa bayangan.”
Mendengar keterangan ini Go Bing menghela napas dalam,
sungguh ajaib bahwa didunia ini ternyata ada bisa yang
sedemikian jahat.
Siang Siau hun sesungukan menutupi mukanya, Lagi2 suara
siorang berkedok bertanya, “Apa nona
mempunyai musuh besar atau….” ”Tidak ada!” jawab Siang Siau
hun sambil mengusap air
mata, “Apalagi adikku belum penuh berusia enam belas, selama ini
belum pernah kelana di kangouw, sudah tentu tak perlu diragukan
adanya musuh besar apa segala, adalah kematiannya ini yang
membuat aku tak habis mengerti.”
”Lalu saudara kecil ini?”

”Dia bernama Li Bun siang, kawan karib adikku sejak kanak2,
diapun jarang kelana di Bulim.”
Go Bing turut bicara, “Apakah adikmu membawa suatu benda apa
yang bisa membuat tokoh kangouw mengincar dan ingin
merebutnya?”
”Ya, itu satu kemungkinan” sambungnya siorang berkedok sambil
manggut2.
Siang Siau hun mengiakan, tapi lantas menggeleng kepala.
”Benar2 tidak!” ”Tidak!” “Inilah mengherankan, mengapa
orang membunuh adikmu
dan Li Bun siang ini, coba nona pikir2 lagi, sebelum kalian tiba
disini, apakah suatu peristiwa terjadi yang harus diambil
perhatian.”
Mendadak Siang siau hun melompat maju menubruk kearah
jenasah adiknya.
Siorang berkedok membentak keras” ”jangan sentuh!” ~ disusul
tubuhnya menyambar maju dengan kecepatan yagn susah diukur
ia menghadang didepan Siang Siau hun, sekuatnya Siang Siau hun
menghentikan luncuran tubuhnya, tanyanya kaget, “Mengapa
jangan?”
”Menurut kabarnya, racun tanpa bayangan ini melebar keseluruh
tubuh sikorban, kalau nona menyentuh kulitnya saja tentu kaupun
akan mengikuti jejak adikmu bersama Li Bun siang itu.”
Mengkirik bulu tengkuk Siang siau hun, keringat dingin
membasahi tubuhnya.
”Nona ada menemukan apa?” tanya siorang berkedok lagi.

Dengan rasa pedih dan pilu Siang Siau hun memandang jenasah
adiknya, sahutnya, “Mendadak teringat olehku suatu perstiwa….”
“Peristiwa apa?” Karena heran dan ingin tahu perkembangan
selanjutnya Go
Bing urungkan niatnya hendak tinggal pergi, ia maju mendekat
sambil pasang kuping.
Kata Siang Siau hun, “Kira2 sepuluh li didepan jalan tadi kita
bertiga bertemu dengan seorang tua yang sudah hampir menemui
ajalnya, karena terluka berat, dititipkan kepada kita bertiga sebuah
barang yang minta tolong supaya dihantarkan ke Yok-ong bio
diluar kota Seng-toh, barang itu harus langsung diserahkan kepada
ketua kelenteng itu, karena kasihan kita….”
“Lalu kalian melulusi hendak menyampaikan barang itu?” tukas
siorang berkedok cepat.
”Ya, memang tujuan kitapun hendak ke Seng-toh.” ”Barang
apakah itu?” ”Agaknya sebuah kotak panjang yang dibungkus
kain
berminyak.” ”Mana barang itu?” ”Disimpan oleh adikku!, justeru
tadi aku hendak memeriksa
apa barang itu masih ada ditubuhnya.” ”Coba nona periksa
menggunakan dahan pohon.” Siang Siau hun menjemput
sebatang dahan pohon sebesar
lengan lalu mengcungkil-cungkil baju yang hancur lebur dan
membalikkan juga tubuh adiknya, tapi apapun tidak kelihatan,
dengan kejut dan keheranan ia berseru, “Sudah hilang!”
Siorang berkedok manggut2, ujarnya, “disitulah pangkal mula
peristiwa ini, barang itu pasti suatu benda berharga di

bulim, mungkin siorang tua yagn sudah dekat ajal itu memang
terluka berat dan terpaksa minta bantuan kalian untuk
mengantarkanb enda itu, dan juga mungkin karena dikejar2 musuh
besar, lalu pura2 terluka berat dan hendak mati, menitipkan barang
itu kepada kalian adalah untuk mengelabuhi musuhnya itu, tapi
bagaimana adikmy lantas bisa keluyuran seorang diri….”
”Adikku masih bersifat kanak2 karena sedikit selisih mulut dia
lantas berlari mendahului kita, aku dan Li Bun siang tidak ambil
perhatian, berjalan seenaknya dibelakang, akhirnya karena kuatir
seorang diri Li Bun siang berlari menyusul kedepan dan aku
bejalan paling belakang, sungguh tak terduga….” bicara sampai
disitu Siang siau hun tidak kuat lagi meneruskan penuturannya, air
mata mengucur semakin deras.
Siorang berkedok berdehem berat, lalu katanya, “Benar, menurut
dugaan Lohu, buntalan itu pasti berisi suatu benda pusaka apa
yang sangat berharga di Bulim, sipembunuh mungkin adalah
siorang tua yang pura2 terluka dan hampir mati itu, setelah
tipunya dapat mengelabuhi musuh2nya, secepat terbang dia
menyusul tiba dan membunuh adikmu untuk menutupi mulutnya,
bahwa dia menggunakan racun tanpa bayangan tujuannya adalah
hendak sekaligus secara tidak langsung hendak membunuh kalin
bertiga, dalam perhtitungannya setelah adikmu mati tentu kalian
akan menyentu tubuhnya dan ini berarti sekali panah terkena tiga
ekor burung, akan tetapi juga kemungkinan adalah perbuatan
musuh yang mengejar siorang tua hampir mati itu, setelah dapat
mengetahui tipu licik orang tua hampir mati itu dia menyusul tiba
terus membunuh adikmu!”
Tanpa terasa Go Bing mendengus sekali dan menggumam,
“jahat, harus dibunuh!”
Mendengar itu Siang siau hun melirik kearah Go bing, tergerak
hatinya baru kini didapatinya pemuda yang salah sangkanya
sebagai pembunuh adiknya ini ternyata adalah

seorang pemuda yang cakep ganteng, tapi wajah yang ganteng itu
bersemu hawa pembunuhan yang lebat, daya tarik laki2 jantan
menyedot hatinya, tanpa terasa ia membungkuk minta maaf;
“Sukalah dimaafkan kecerobohan ku tadi”
”Tidak menjadi soal,” sahut Go Bing kaku. ”Bolehkan kuketahui
nama besarmu?” Berputarlah otak Go Bing, waktu di Pek hun
ko sat ia
pernah menyebut namanya sebagai Go Bing kalau sekarang
dikatakan bukankah akan membuka rahasia dirinya, hal itu tentu
tidak menguntungkan dirinya untuk menuntut balas sakit hati
gurunya kelak. Apabila Go Bing itu berarti dirinya tidak mempunyai
nama, karena pikiran ini dengan tawar dia menyahut, “Aku
seorang keroco dari kangouw, kiranya tidak perlu nona
mengetahui namaku.”
Merah jengah wajah siang Siau hun, berpaling muka dia bertanya
kepada siorang berkedok, “Apakah cianpwe mengetahui siapa2
kiranya yang menggunakan racun tanpa bayangan itu dikalangan
kangouw?”
Sejenak siorang berkedok berpikir lalu berkata, “Racun tanpa
bayangan hanya kudenganr dari cerita orang saja, menurut
keadaan kematian adikmu itu persis benar dengan kabar cerita itu,
jadi itu hanya dugaanku saja, benar atau tidak belum tentu dapat
dipastikan, namun dikalangan kangouw sekarang ini yang merajai
menggunakan racun berbisa terhitung Pak-tok Tangbun Lu
seorang….”
”Apa tidak mungkin Pak-tok (racun utara) yang turun tangan?”
“Tidak mungkin!” ”Kenapa?” ”Selain pandai menggunakan
racun juga ilmu silat Tangbun
Lu lihat jarang ada tandingannya didunia persilatan. Selama hidup
ini dia hanya punya seorang musuh yang paling ditakuti,

itulah Sia-sin simalaikat sesat Kho Djiang yang berjuluk Lam- sia
(sesat dari selatan)….”
Bicara sampai disini dengan sengaja siorang berkedok merandek
dan entah sengaja atau tidak matanya melerok kearah Go Bing.
Mendengar orang menyinggung nama gurunya, tergerak hati Go
Bing, namun sejak kecil dia sudah digembleng simalaikat sesat,
tindak tanduk Sia-sin yang bertentangan dengan kebiasaan umum
sedikit banyak membawa pengaruh pada jiwanya, perobahan
perasaan hatinya tidak kentara dari lahir wajahnya, pikirnya : kalau
kepandaian racun utara sudah jarang menemui lawan didunia
persilatan apalagi merupakan musuh bebuyutan suhuna, bukankah
itu berarti bahwa kepandaian suhu mungkin lebih tinggi dari racun
utara ini, lalu bagaimana terjadinya suhu sampai celaka dibawah
tangan orang? Tanpa merasa mulutnya terpentang bicara, “Antara
sesat dari selatan dan racun utara itu siapakah lebih kuat dan
lemah?”
”Ilmu Hian-In-kang dari racun utara boleh dikata sukar dicari
tandingannya, tapi Kiy-yan-sin-kang dari Lamsia justeru
merupakan lawan mematikan bagi ilmu Hian-In-kang itu, tapi
karena racun utara berkelbihan pandai menggunakan bisa maka
mereka masing2 memiliki kelebihan dan kelemahan sendiri2”
”Tadi cianpwe belum memberi penjelasan mengapa racun utara
tidak mungkin turun tangan?” Siang Siau hun mengajukan
pertanyaan lagi.
Siorang berkedok manggut2, sahutnya, “Pertama: racun utara
sangat menjunjung tingkatan dan kepandaianya tentu tidak
mungkin ia turunkan tangan jahat kepada tingkatan rendah, hal ini
semua orang dikalangan kangouw tentuk maklum, kedua
seumpama terdesak oleh keadaan dengan kepandaian silatnyapun
tidak perlu dia menggunakan racun,

ketiga, sudah belasan tahun dia tidak pernah muncul didunia
persilatan, maka kukatakan….”
Bola mata Siang Siau hun berputar, “Apa tidak mungkin
perbuatan anak muridnya?”
Siorang berkedok ragu2, lalu sahutnya, “Ya, itu kemungkinan.”
”Aku bersumpah harus mencari tahu perbuatan siapa ini, untuk
menuntut balas bagi kematian adikku dan Li Bun siang.”
Suara Go Bing dingin kaku menyambung, “Secara kebetulan aku
memergoki peristiwa ini, akan kubantu sekuat tenaga untuk
menyelidiki siapa pembunuh adikmu itu.”
Ucapan ini diluar dugaan Siang Siau hun, sungguh dia tidak habis
mengerti bagaimana watak dan tindak tanduk pemuda ini
sebenarnya, bukan saja dingin dan garang serta congkak, namun
ucapannya itu menunjukkan pula sifat jujurnya, sinar matanya lagi2
menatap wajah cakep ganteng yang mengandung daya tarik bagi
semua lawan kelaminnya, lupa akan sifat dingin dan congkak orang
terhadap dirinya, dengan suara lembut ia berkata, “Saudara
menjunjung keadilan dan kebenaran, biarlah sebelumnya aku
mengucapkan terima kasih.”
Go Bing ulapkan tangannya, ” itupun tidak perlu, aku bukan
pendekar yang suka menanam budi, tadi sudah kukatakan secara
kebetulan saja aku memergoki peristiwa ini, terpaksa aku harus
ikut campur.”
Sahutan ini membuat Siang Siau hun hampir susah bernapas
saking dongkol, raut mukanya mengelam dan sahutnya, “Kalau
begitu tak berani aku menyusahkan saudara.”
Go Bing menarik muka wajahnya membesi, “turut campur atau
tidak adalah urusanku, nona tidak perlu banyak komentar,
selamanya aku melakukan apa kata isi hatiku, tiada

sangkut pautnya dengan orang lain dan orang lainpun tidak perlu
memberi pendapat.”
Ucapan yang seakan2 benar tapi juga seolah2 tidak mengenal
perasaan ini membuat Siang Siau hun serba susah, serunya
jengkel, “ saudara yang menjadi korban adalah adikku….”
”Adikmu adalah orang persilatan.” tukas Go Bing tegas, “Sudah
tentu sipembunuh itu jug aorang persilatan, orang persilatan
mengurus persoalan bulim, lalu apanya lagi yang salah?”
”Orang aneh ucapannyapun aneh” gerutu Siang Siau hun sambil
berpaling muka, tapi setelah mengatakan itu ia merasa ucapannya
rada2 kurang sopan, merah jengahlah raut wajahnya.
Siorang berkedok turut bicara lagi, “Nona Siang, urusan
selanjutnya disini biarlah kau bereskan sendiri, Lohu akan mencari
jejak siorang tua luka berat hampir mati itu, akan kuperiksa
sepanjang jalan sepuluh li ini, jikalau benar jenasah orang itu itu
berada disana, maka kau harus mencari tahu ke Yong-ong-bio di
Seng-toh itu, atau sebaliknya inilah tipu muslihat orang2 licik dari
dunia persilatan, kalau tidak bisa mencari tahu barang macam
apakah dalam buntalan itu, maka susahlah untuk mencari tahu
siapakah sipenyebar racun itu.”
Siang Siau hun terharu dan dan sangat berterima kasih. ”Cianpwe
seorang budiman yang suka membantu kesukaran oran glain, tapi
bagaimana baik menyukarkan….”
“Hahahaha, nona Siang, bukankah Thay-kek-tjhiu siang Se-ing
adalah ayahmu?”
”Lho apa cianpwe kenal pada ayah?” “Boleh dikata sahabat
lama, maka sudah tentuk dalam
peristiwa ini Lohu harus turut campur!”

Merah kedua mata Siang Siau hun ia membungkuk memberi
hormat serta berkata, “Kalau begitu cianpwe adalah seangkatan
dengan ayah, harap sukalah memberitahu nama….”
“Jangan, tak usah” tukas siorang berkedok, “Sudah lama Lohu
mengasingkan diri dan melupakan nama sendiri.”
Lalu ia berputar berkata pada Gi Bing, “Saudara kecil apa kau ada
minat turut pergi menyelidiki kedepan sana?”
Otak Go Bing berkerja cepat, “Agaknya orang berkedok ini
berpengalaman luas dikalangan kangouw, menggunakan
kesempatan ini baik aku bersahabat dengan dia, dari mulutnya
mungkin aku dapat meencari tahu jejak Tiang-Un Suseng!” oleh
karena itu segera ia melulusi, “Memang aku bermaksud demikian!”
“Kalau begitu marilah segera kita berangkat.” Dua sosok
bayangan dengan kecepatan seperti meteor
terbang menghilang dari pandangan mata, tanpa terasa lagi2 dari
mulut Siang Siau hun tercetus kata2nya, “manusia yang bersifat
aneh!” dalam benaknya terkandung suatu perasaan yang
menyegarkan tubuhnya, seakan2 ia kehilangan sesuatu dan
seolah2 menemukan sesuatu apa pula!
3. MEMPEREBUTKAN PEDANG BERDARAH
Dalam pada itu, dengan kecepatan lari Go Bing dan orang
berkedok itu dalam waktu singkat sepuluh li sudah dicapai,
sepanjang jalan sudah mereka teliti dan selidiki namun tidak
diketemukan seperti apa yang diceritakan Siang Siau hun tentang
orang tua yang terluka berat dan hampir mati, jangan kata
mayatnya bayangannya saja tidak kelihatan.

Siorang berkedok menghela napas, katanya, “gelombang
perkitaian dikalangan kangouw sangat berbahaya, agaknya lagi2
suatu peristiwa yang susah dipecahkan.” Gerak kaki mereka
semakin lamban, Selama dalam perjalanan sudah berulang kali Go
bing hendak membuka mulut menanyakan tentang jejak Tiang-Un
Suseng, tapi tidak tahu dia darimana ia harus membuka mulut.
Siorang berkedok telah membuka mulut lagi, “Saudara kecil
kemanakah tujuanmu?”
”Tiada tujuan yang menentu, kemana2pun boleh jadi.” ”Lohu
ingin bersahabat dengan kau, bagaimana
pendapatmu?” ”Hal ini…. sudah tentu boleh!” ”Saudara kecil lulus
dari perguruan mana?” Go Bing ganda tersenyum, katanya, “Kita
mengikat
persahabatan sejati saja, bagaimana?” ”Apa yang dinamakan
persahabatan sejati?” ”Tuan tidak perlu menanyakan asal usul dan
riwayatku,
akupun tidak usah menanyakan nama atau gelaranmu,
umpamanya kalau aku minta kau menanggalkan kedokmu, itu
bukankah membuat kau serba susah, kalau tuan mengenakan
kedok itu tentu mempunyai kesukaran sendiri. Maka itu kita
mengikat persahabatan sejati, dua belah pihak sama membawa
keuntungan masing2.”
Siorang berkedok tertawa gelak2, serunya, “tepat, sungguh tepat!
Tapi lantas bagaimana memanggil nama masing@?”
”Dilihat dari usia tentu kau jauh lebih tua, baiklah kupanggil kau
Bong-bian-heng (kakak berkedok), tentang aku, terserah kau mau
panggil aku apa?”
”Bagus sekali, aku lebih tua dan menjadi kakak, baiklah kupanggil
kau “Saudara kecil” saja?”

”Aku sih menurut saja.” ”Saudara kecil kalau kau tiada apa2
yang perlu
dikerjakan….” ”Yang dimaksud tiada tujuan tertentu adalah
sekarang ini,”
demikian tukas Go Bing memberi penjelasan, “Kelak tidak
termasuk dalam maksudku itu.”
”Baiklah kita persoalkan sekarang ini, kau ikut aku pergi ke suatu
tempat, lalu kita sama2 pergi menyelidiki barang yang dititipkan
non Siang dan telah tercuri hilang itu, asal kita dapat menemukan
barang itu, tentu mudah saja kita mengejar sipembunuh yang
telah meracuni adik nona Siang dan Li Bun siang itu.”
“Kemana Bong-bian-heng hendak pergi?” panggilan ini boleh
dikata tidak berarturan dalam garis sopan santun, dasar murid
Sia-sin yang terkenal sesat dan suka membangkang dari garis
umum sedikit banyak Go Bing ketularan sifat gurunya itu,
sedikitpun ia tidak ambil peduli pendapat itu, justeru siorang
berkedokpun tidak ambil perhatian malah ia tertawa geli dalam
hati.
”Pergi menyambangi seorang sahabat lama.” ”orang macam
apakah dia?” ”Sahabatku itu sudah meninggal dunia.” ”Lalu….”
”Pergi sembayang dideapan kuburannya.” ”Oh, jadi begitu!”
Selama dua jam Go Bing mengintil dibelakang siorang
berkedok sampailah mereka didepan sebuah lereng gunung kecil,
benar juga disana dilihatnya sebuah gundukan tanah tinggi
diantara semak2 rumpun bambu.
”Inilah dia.”

”Berapa lama sahabatmu meninggal?” ”Belum lama ini.” Dalam
berkata2 itu mereka sudah tiba dideapan kuburan,
waktu Go Bing angkat kepala memandang batu nisan, seketika
tubuhnya tergetar hebat, meski sudah sekuat tenaga ia menekan
gelora hatinya, tapi tidak urung air mukanya berobah juga, sebab
apa yang dihadapinya ini benar2 diluar dugaannya, hampir saja ia
tidak percaya akan apa yang dilihatnya.
Diatas batu nisan itu jelas tertulis ”Tempat istirahat Tiang- Un
Suseng Po Djiang”. Delapan hurup besar.
Dia mendapat tugas dari gurunya untuk memenggal kepala
Tiang-Un Suseng, sungguh tak terduga olehnya bahwa orang
yang tengah dicari itu ternyata sudah terpendam dalam tanah.
Setiap kali ia menyelesaikan tugas gurunya melulusi untuk
menjawb satu pertanyaannya, sebetulnya segala ap yang ingin
diketahui terlalu banyak, sekarang kesempatan untuk bertanya itu
mungkin sudah ludas, justeru yang paling penting dan dikuatirkan
mungkin gurunya akan menyesal dan berdua karena kematian
musuh besarnya ini.
”Saudara kecil, agaknya kau sangat haru?” tanya siorang
berkedok.
Sadari dari lamunannya terkejutlah hati Gio Bing, sahutnya
segera, “ya, betul memang sangat mengharukan!”
”Apa kau kenal dengan Tiang-Un Suseng?” ”Tidak kenal
orangnya tapi pernah kudengar namanya,
menurut kabarnya dia seorang pendekar yang menunjung pribudi,
namanya tegar dan cemerlang, entah mengapa dia meninggal
dunia?”
”Dia meninggal karena menghabisi jiwanya sendiri.”
”Bunuh diri?”

“Ya, benar” “Kenapa?” ”Julukannya saja Tiang-un (selalu
berduka), sudah tentu
dia seorang yang membenci dunia fana ini, akan tetapi yang
mendorong dia nekat membunuh diri karena akhir2 ini dia sadar
bahwa dahulu kala dia pernah melakukan perbuatan tercela, maka
dia bunuh diri untuk menebus dosanya itu.”
Tergerak hati Go Bing, tanyanya lagi, “entah perbuatan apakah
itu, masa sedemikian berat?”
”Waktu dia bunuh diri aku tidak disana, ini hanya menurut kabar
yang tersiar dikalangan kangouw!”
”Tahu salah tapi tidak memperbaiki, masa dengan bunuh diri
lantas bisa….”
”Saudara kecil, mungkin perbuatannya itu merupakan kesalahan
yang sudah ditolong lagi?”
”Kalau kesalahan tanpa sengaja, kalau sudah salah memang salah,
apa perlu ditakutkan lagi!”
”Seumpama kesalaha tanpa sengaja, lantas melahirkan suatu akibat
yang berat, umpamanya membahayakan jiwa orang lain, lalu
bagaimana dia harus menerangkan perbuatannya itu kepada
sahabat2 di kangouw?”
Go bing bungkam seribu bahasa. Siorang berkedok merubah
haluan kata2nya, “Akhir ini,
kabarnya ada seorang pemuda yang tidak diketahui namanya, ia
mengaku sebagai murid Sia-sin Kho Djiang, mendatangai
Pek-hun-ko-sat mengambil batok kepala Tji Khong hwesio, apakah
saudara kecil pernah dengar berita ini?’ ~ sinar matanya yang
tajam dingin dengan tajam menatap wajah Go Bing.
Terkesiap hati Go bing, waktu berada di Pek-hun-ko-sat ia
memperkenalkan diri sebagai Go Bing, mungkin pihak sana

salah dengar dan menganggap Bu bing (tak bernama), maka
kabar itu mengatakan dirinya sebagai pemuda tak bernama maka
dengan pura2 heran dan kejut ia balas bertanya, “Apa benar ada
peristiwa itu?”
“Menurut hematku tidak mungkin kabar itu bohong, akan tetapi
urusan ini membuat orang bertanya2.”
”Mengapa?” “Menurut kabarnya, Kho Djiang sisesat dari
selatan itu
sudah mati pada dua puluh tahun yang lalu, semasa hidupnya ia
mempunyai seorang murid, bernama Lo Tju-gi, empat belas tahun
yang lalu waktu diadakan du kepandaian dipuncak Hoa- san dia
merbut kedudukan tokoh silat nomor satu diseluruh jagat ini, sejak
itu dia terus menghilang dari dunia persilatan, lalu darimana pula
baru2 ini mendadak muncul soerang muridnya, tapi menurut
beritua itu katanya sipemuda tak bernama itu membekal cincin
iblis tanpda pengenal dari Lam- sia dan hal ini tidak mungkin
palsu….”
Baru sekaranglah Go Bing mengetahui bahwa gurunya ternyata
pernah mempunyai seorang murid lainnya, tapi menurut kata
gurunya bahwa pada dua puluh tahun yang lalu dia sudah
bersumpah untuk tidak menerima murid, apa mungkin sumpahnya
itu ada hubungan erat dengan Lo Tju-gi atau suhengnya itu?
Otaknya berpikir demikian, namun mulutnya berkata ”Ya hal itu
benar2 membuat heran dan tak mengerti!”
Pada saat itulah tiba2 terdengar suara bentakan2 nyaring dari
kejauhan dibalik lereng sebelah sana, sejenak siorang berkedok
pasang kuping, lalu berkata, “mari kita coba lihat!”
Berbareng mereka melesat dan berlari kencang kebalik lereng
sebelah sana, dibalik lereng ini adalah sebuah tanah datar kira2
satu bau luasnya, hutan lebat mengelilingi separoh tanah
berumput dan ditanah berumput inilah berkelebat

banyakan banyak orang, ada tosu ada hwesio dan ada juga orang
preman sekitara lima puluhan orang.
Tiga orang tua berpakaian serba hitam terkepung ditengah2 dan
disebelah sana seorang laki2 pertengahan umur berbaju abu2
tengah bertempur seru melawan seorang Thau- to (hwesio yang
memelihara rambut), teriakan dan bentakan mereka yang keras
terdengar sampai jauh.
Bergegas Go Bing dan siorang berkedok menyembunyikan diri
diantara rumpun lebat diatas sebuah pohon besar dan dari
ketinggian inilah mereka diam2 menonton pertempuran seru ini.
Sebuah bentakan keras disertai suara jeritan yang mengerikan
menggetarkan seluruh hadirin, darah segar menyembur deras
bagai anak panah dari mulut si Thau-to ”Blang” tubuhnya terkapar
keras diatas tanah.
Laki2 pertengahan umur baju abu2 menyapu pandang keempat
penjuru, suaranya dingin melengking, “masih ada kawan mana
yang menginginkan pedang berdarah ini, silahkan….”
Seorang hwesio gendut yang menyeret Hong-piang-djan (tongkat
kaum hwesio) melangkah maju masuk gelanggang.
Go Bing tidak tahan bertanya kepada siorang berkedok dengan
suara lirih, “Mereka tengah memperebutkan ”pedang berdarah”
apa….”
”Ya, pedang berdarah merupakan gbenda pusaka dari dunia
persilatan, juga benda keramat yang membawa bencana.”
”Bagaimana maksudnya ini?” ”Setiap orang yang memiliki
Pedang berdarah, tiada
seorangpun yang selamat jiwanya.”

Dalam gelanggang sana, si hwesio yang bersenjata tongkat sudah
bertempur seru melawan laki2 berbaju abu2 itu, terlihat bayangan
tongkat diputar kencang bagai sebuah gunung, kesiur angin
pukulanpun tidak kalah hebatnya bagai badai gelombang menderu2
menggetarkan bumi memekakkan telinga.
Sekilas Go Bing menyapu keadaan gelanggang pertempuran lalu
berkata lagi , “Bong-bian-heng, harap sukalah kau memberi sedikit
penjalasan sekdaranya kepada siaute?”
“Menurut berita yang tersiar di Bulim, pedang berdarah
menyangkut sejilid buku Bu-lim-pit-kip, bagi siapa yang
mendapatkan rahasia buku silat ini dapat malang melintang
dikolong langit ini tanpa tandingan, tapi kebenarannya siapapun
tidak tahu, lima belas tahun yang lalu pedang berdarah itu pernah
muncul didunia ini untuk ketiga kalinya, pemiliknya adalah
Swu-hay-yu-hiap Suma Hong, begitu berita itu tersiar luas maka
semua tokoh2 silat dari segala aliran hitam atau putih mengiri dan
mengincar benda keramat itu, akhirnya jejak suami istri
Su-hay-yu-hiap Suma Hong berdua ditemukan dipuncak gunung
Tiam-Tjong-san, maka dipuncak Hou-thau-hong digunung
Tiam-tjong-san itulah terbuka suatu penyembelian besar2an untuk
memperebutkan benda berharga itu….”
Tanpa meresa tergerak hati Go Bing, bukankah gua tempat tinggal
gurunya berada dibawah jurang disamping puncak Hou-thau hong
digunung Tian-tjong-san itu.
Siorang berkedok menyambung ceritanya lagi, “Su-hay-yu- hiap
Suma Hong (sikelana bebas keempt penjuru angin, bersama
istrinya San-hoa-li (wanita penyebar bunga) Ong Fang Lan juga
terhitung tokoh silat kelasw satu, dibawah kerubutah ratusan
gembong2 silat mereka bertempur dengan gigih sampai titik darah
penghabisan, akhirnya mereka rebah tak bergerak lagi dipuncak
itu, malah ada pula yang

mengatakan ada seorang anak kecil berusia tiga tahun ikut
meregang nyawa dalam keributan itu, korban dari pihak
pengeroyokpun tidak terhitung banyaknya.”
Diluar sadar Go Bing bergidik seram, dalam dunia persilatan sudah
menjadikan suatu peraturan tidak resmi bahwa yang kuat pasti
malang melintang menindas yang lemah, bunuh membunuh dan
balas membalas tiada habisnya.
”Lalu selanjutnya bagaimana?” ”Akhirnya pedang berdarah itu
terjatuh ditangah Tang-mo
(iblis timur) dan akhir2 ini katanya berpindah ditangan penjahat
besar dari aliran hitam Mo-san-dji-kui bersaudara.”
”Lalu bagaiamana pula sekarang bisa diperbutkan disini….”
”Kejadian di bulim susah diduga, banyak perobahan terjadi
diluar kehendak manusia, mungkin Mo-san-dji-kui juga mengikuti
jejak Su-hay-yu-hiap suami istri sudah tamat riwayatnya.”
Terdengarlah sebuah jeritan lagi dari dalam gelanggang sana,
kiranya si hwesio gendut itu sudah menemui ajalnya juga ditangan
laki2 baju abu2 itu.
Kata siorang berkedok hambar, “Liau Sing, hwesio bakpau dari
Ngo-tai-san akhirnyapun mati diatas pegunungan tanpa tempat
kubur yang layak karena ketamakan hatinya sendiri.”
”Kepandaian laki2 baju abu2 itu agaknya tidak lemah, tiga orang
berseragam hitam dibelakangnya itu agaknya segolongan dengan
dia?”
”Apa kau tidak melihat tanda bergambar diatas baju meraka.?”
”Oh, sekuntum bunga bwe, Bwe-hoa-hwe!” “Laki2 baju abu2
itu berjuluk Tjhit-ou-tjiu, Tjong lun, salah
satu dari Tongcu luar dari Bwe-hoa-bwe.”

”Tokoh macam apakah ketua dari Bwe-hoa-bwe itu?” ”Mungkin
tiada seorangpun yang tahu, belum ada sepuluh
tahun Bwe-hoa-bwe muncul didunia persilatan, kekuatan mereka
sudah menjagoi sampai berbagai aliran dan golongan, gembong2
silat tingkat tinggi yang lihat tak terhitung banyaknya terhimpun
dalam kumpulan itu….”
Tiba2 gelak tawa aneh yang ngekek bergelombang memekakkan
telinga dan menggetarkan sukma mengiringi kedatangan tiga
manusia aneh berpakaian aneh pula rambut mereka awut2an
dengan langkah lebar memasuki gelanggang.
Go Bing berseru heran, “Ketiga orang tua ini agaknya seperti
Lam-hong-sang-hiong….”
”Tidak salah, pengalamanmu saudara kecil cukup luas juga.”
Lam-hong-sang-hiong (tiga garang dari gunung Lan diselatan)
menghentikan langkah setombak lebih didepan Tjit- ou-tjiu Tjong
Lun. Tjui-hun-siu (aki mengejar sukma) tertua dari manusia aneh
ini perdengarkan ejek tawanya, lalu serunya bengis, “orang she
Tjong, apa kau tahu maksud kedatangan kami bersaudara kemari?”
Suara Tjit-ou-tjiu Tjong Lunpun tidak kalah dinginnya, “ Semua
kawan yang masuk gelanggang hari ini semua satu tujuan, kiranya
tidak perlu aku banyak mulut lagi bukan?”
Tjiu-hun-siu mengumbar suaranya lebih keras, “tjong Lun, apa
kau tahu apa hubungan kami bersaudara dengan Mo-sandji-
hiong?”
Mo-san-dji-kui dimulut Tjui-hui-siu menjadi Mo-san-dji- hiong, dua
setan menjadi dua gagah, tanpa merasa Go Bing tertawa geli.
Suara Tjit-ou-tjhiu Tjong Lun masih tetap dingin dan kaku, “Yang
saudara maksudkan adalah Mo-san-dji-kui?”

”Ya, tidak salah!” seru Tjui hun siu merah padam. ”Justeru aku
belum pernah dengar kalin bersaudara ada
hubungan erat apa segala dengan Mo-san-dji-kui?” ”He he,
hubungan kita sangat erat bagai saudara sepupu
dengan Mo-san-dji-kui, kini Mo-san-dji-kui sudah menggeletak
diluar Kim-pi-tong, tapi pedang berdarah itu berada di
tanganmu….”
”Lalu apa maksud kalian?” “Menebus keadilan kepadamu.”
”Bagaimana aku harus membayar?” ”Serahkan dulu pedang
berdarah, urusan belakang.” ”Jadi tujuan kalian bertiga hendak
menuntut keadilan bagi
Mo-san atau hendak minta pedang berdarah?” ”Orang she Tjong,
pedang berdarah itu adalah milik
sahabat kami, sudah selayaknya harus kami minta kembali
tentang utang darah itu sudah tentu harus ditagih.”
Sekonyong2 diantara para hadirian diluar gelanggang terdengar
suara orang tertawa dingin menjengel, suaranya tidak keras
namun semua hadirin mendengar dengan jelas, lalu disusul satu
suara dingin berkata, “Kiranya diseluruh jagat ini masih ada
manusia yang tidak kenal rasa malu seperti kalian
Lam-hon-sam-hiong!”
Lam-hon-sam-hiong sudah biasa malang melintang dan
bersimaharaja didaerah selatan, sudah tentu mereka sangat
mendongkol dan murka mendengar ejekan yang menghina ini,
berbarang mereka memutar tubuh, segera To-bing-siu (aki
pencabut nyawa) tokoh nomor dua dari tiga manusia aneh dari
selatan itu membentak gusar, “Kurcaci darimana yang bicara itu
kalau berani silahkan keluar, biar kita bertiga belajar kenal.”

Belum habis kata2nya sebuah bayangan orang seringan asap
melayang berkelebat masuk ditengah gelanggang, itulah seorang
tua berambut uban mengenakan baju kasar dan dipunggungnya
terselip sebatan joran dan sebatang dayung.
Begitu melihat kehadiran orang tua ini, berbareng Lamhong-
sam-hiong melengak heran, Tjui Hun siu tertawa kaku
dibuat2, “Kiranya saudara Kwe Lih ada pengajaran apakah?”
Kiranya orang tua ini adalah Tang-hay-hi-hu si nelayan lautan
timur, Kwe lih yang menggetarkan dunia persilatan daerah timur,
begitu melihat kehadiran Tang-hay-hi-hu ini semua hadirin
tercekat dan kuatir dalam hati.
Tedengar si nelayan dari lautan timur tengah bicara, ” Song put
tjwan, jangan kau sebut sadara apa segala denga aku, kalian
bertiga ada persahabatan kentut apa dengan Mo-san, tujuan kalian
pergi ke Kim-pi tong bukankah hendak mengincar pedang berdarah
itu, tapi kalian kembali dengan hampa karena didahului orang lain,
ya bukan?”
Merah jengah selebar muka Lam hong sikapnya kikuk dan risi
karena dikorek boroknya dihadapan sekian banyak orang, dasar
licik dan tebal muka segera sip hun siu (aki penyedot sukma) si
buncit dari ketiga manusia aneh itu bicara dengan suara serak,
“orang she Kwe lalu apa tujuan kau datang kemari?”
Tang-hay-hi-hu bergelak bebas, sahutnya : aku orang tua selalu
berterus terang dant idak perlu menggunakan segala alasan tetek
bengek, tujuanku adalah pedang berdarah itu juga.”
Ributlah para tokoh silat yang turut hadir dalam gelanggang itu,
kala itu Tji ou tjiu tjong Lun sudah mengundurkan diri dan berjajar
dengan tiga orang tua berseragam hitam itu.
Tjui hun siu mendengus keras, ejeknya, “Apa tuan bermaksud
menjajal kepandaian kami bertiga?”

”Barang itu masih berada di tangan orang lain, apa ada harganya
perkelahian itu?”
”Lalu bagaimana pendapat tuan?” ”Mengandal kepandaian
masing2, siapa berkepandaian
tinggi dia berhak memiliki benda itu”. Setelah saling
berpandangan Lam hong berseru berbarang
”Baiklah!” mereka memutar tubuh mengambil posisi masing2
menghadapi Tji ou tjiu berempat.
Disebelah sana Tang-hay-hi-hu Kwe Lih pun maju tiga langkah,
suasana dalam arena seketika menjadi tegang, semua tokoh 2 silat
yang hadir dengan mendelong mengawasi arena tanpa berkedip,
sinar mata mereka mengaundung maksud yang sama, itulah sinar
mata serakah, licik dan buas bercampur aduk menjadi satu.
Dalam pada itu, Tjit ou tjiu dan tiga orang tua seragam hitam
sudah bersiap punggung menduduki satu posisi tersendiri, mereka
siap waspada menghadapi segala kemungkinan.
Tiba2 Go Bing bertanya lirih kepada siorang berkedok, “menurut
pendapatmu siapa yang bakal berhasil?”
”Sudah diduga, menurut situasi dalam arena, kepandaian
Tang-hay-hi-hu agak lebih tinggi, tapi dalam jumlah Lam hong
berada diatas angin, akan tetapi tak peduli siapa yang bakal
berhasil mungkin susahlah dapat meninggalkan gelanggang
pertempuran ini, orang2 gagah diluar gelanggang itu dimana ada
kesempatan pasti juga akan turun tangan dan entah masih berapa
banyak tokoh2 lihai lainnya yang main sembunyi, lagipula keempat
tokoh lihai dari anggota Bwe hoa bwe itupun bukan olah2 hebat
kepandaiannya.”
”Apa kamu ada maksud turun campur?”
”Kau sendiri bagaimana?”

Go Bing menggeleng kepala, maka siorang berkedok berkata,
“Akupun demikian.”
Dimana terdengar suara bentakn riuh rendah, Lam hong serentak
turun tangan menyerang kearah Tjiu ou tjiu, segera tiga orang tua
seragam hitam melompat maju menandangi serangan mereka,
adalah pada saat yang bersamaan itu si nelayan dari timur telah
menuburuk maju kearah Tjong Lun, maka terbentanglah suatu
pertempuran mati2an yang seru dan gegap gempita.
Lam hong bertiga masing2 menandangi tiga orang tua seragam
hitam dari bwe hoa hwe, kepandaian dan iwekang mereka
agaknya seimbang, maka susahlah dapat ditentukan siapa bakal
unggul dan siapa asor, lain halnya dengan kepandaian
Tang-hay-hi-hu agaknya sedikit unggul dari Tjit ou tjium namun
untuk mengambil kemenangan dalam waktu dekat dan
memperoleh barang yang diperebutkan ia harus memeras keringat
juga.
Delapan orang terbagi dalam empat pasang menunjukkan
kepandaian masing2 yang paling hebat dan simpanan yang paling
lihai, hingga angin menderu kerikil dan debu berterbangan diselingi
suara bentakan dan geraman, malah terdengar juga suara
menggeledek dari benturan angin pukulan yang dahsyat.
Tiba2 siorang berkedok berseru kaget dan menyatakan
keheranannya.
Go Bing berpaling dan bertanya “Apa yang mengherankan?”
”Gembong2 silat dari bwe hoa hwe tidak terhitung banyaknya,
tokoh berkepandaian lebih lihat dari Tjong Lun tidak kurang
jumlahnya, benda berharga sangat penting seperti pedang
berdarah itu mengapa tidak dilindungi oleh para jagoan yang lebih
lihai, malah tidak terlihat adanya penyambutan atau bantuan.”

Sekonyong2 terdengar sebuah suara serak dari samping sebelah
sana katanya, “tuan ini terlalu banyak prihatin”
Go Bing dan orang berkedok terperanjat, lekas2 mereka berpaling
kearah datangnya suara, tampak diatas sebuah pohon besar yang
jauhnya hanya tiga tombak dari tempat mereka sembunyi duduk
ongkang2 diatas sebuah dahan seorang tua yang berpakaian serba
kuning, siorang tua berpakaian kuning ini sudah sejak tadi
sembunyi disitu atau baru saja tiba sedikitpun mereka tidak
mengetahui, jika dikatakan baru saja tiba dan tidak diketahui
sedikitpun oleh mereka amaka kepadanaian ringan tubuh yang
hebat ini benar2 membuat orang merasa kagum dan meleletkan
lidah.
Sekilas Go Bing dan orang berkedok melirik kearah si baju kuning,
lalu berpaling lagi menyaksikan pertempuran seru dalam
gelanggang, mereka tidak bersuara lagi.
Karena sudah sekian lamanya belum dapat mengalahkan ketiga
lawan seragam hitan ini, kumatlah sifat buat dan kegarangan Lam
hong mereka menggeram dan berteriak2 seperti binatang buas,
setiap jurus serangannya adalah pukulan dahsyat yang mematikan,
adalah ketiga orang tua berseragam hitam itu masih berlaku sabar
dan tidak tamak kemenangan, meereka tetap tenang dan menjaga
diri dengan rapat, lebih banyak membela diri daripada menyerang.
Disebelah sana, Tang hay hi hu mendesak Tjit ou tjhiu Tjong Lun
sedemikian rupa hingga yang belakangan ini mencak2 kerepotan,
setiap saat jiwanya terancam bahaya, dimana tedengar sebuah
gerungan keras dan panjang, disusul terdengar seruant ertahan
dari empat penjuru, jubah panjang didepan dada Tjit ou tjhiu
Tjong Lun tahu2 sudah sobek panjang dan bertepatan dengan itu
sebuah buntalan kain berminyak sepanjang satu kaki
menggelundung keluar dari dalam bajunya dan jatuh ditengah
gelanggang, sedang Tjong Lun sendiripun terhuyung mundur
beberapa langkah.

Hati Go Bing berdetak keras, tanpa tertahan iapun berseru heran,
cepat2 siorang berkedok sedikit menarik lengannya memberi
tanda supaya dia tidak bersuara lagi.
Sementara itu Tang hay hi hu sudah ulurkan sebelah tangannya
hendak meraup buntalan kain diatas tanah itu…., tiga gelombang
angin deras bagai gugur gunung berbareng menerpa tiba
mengurung diseluruh tubuh Tang hay hi hu tergetar mundur
jumpalitan delapan kaki jauhnya.
Kiranya begitu melihat Tang hay hi hu dapat mengalahkan Tjong
Lun lalu hendak menjemput buntalan diatas tanah itu, segera Sam
hiong tinggalkan musuhnya lalu berbareng meluruk tiba bersama
serta lancarkan tiga pukulan berat kepada tang hay hi hu. Sam
hiong (tiga jahat) bertujuan sama cara turun tangannyapun
serentak dalam waktu yang sama pula.
Pada detik2 Tang hay hi hu terpental oleh desakan pukulan
gabungan Sam hiong itulah sebuah bayangan orang dengan
kecepatan yang susah diukur terbang menyamber buntalan kain
diatas tanah itu, sekali raup tubuhnya terus melejit tinggi….
Menubruk tiba, meraup buntalan ditanah lalu melejit tinggi semua
ini dilakukan sekaligus boleh dikata secepat kilat.
”In Hong Lokoay, tinggalkanlah barang itu untuk Toayamu”
bersamaan dengan datangnya suara, sebuah bayangan lain
melesat tiba pula dari tengah udara bagai meteor terbang dengan
cepatnya. ”Blang” kedua bayangan itu saling tumbuk ditengah
udara dan keduanya sama2 terpental jatuh diatas tanah, dan
buntalan kain itu juga terjatuh lagi diatas tanah ditengah2 antara
mereka, situasi yang menegangkan ini benar2 membikin orang
menahan gelora hatinya yang susah bernapas.
Kedua orang yang terpental jatuh itu salah soerang adalah In
Hong Lokoay dan yang lain adalah Sang Gan Todjin dari

Kong tong pay, dan dalam kejap buntalan kain itu terjatuh diatas
tanah lagi, kebetulan jarak dimana Sip hun siu satu diantara lam
hong sam hiong kira2 hanya lima kaki, gesit luar biasa tanganya
diulur hendak mengambil, tapi dengan kecapatan kilat Tang hay hi
hu mengayun sebelah tangannya, dimana angin pukulannya
menyamber buntalan kain itu tergulung angin menggelundung jauh
melesat kearah Tjiu hun sui, hal ini sangat kebetulan bagi tjui hun
siu, girang luar biasa ia ulurkan tangan menyambut…. ” Bluk”
”hoak” diselingi suara jeritan ngeri tjhiu hun siu menyemburkan
darah segar dari mulutnya, tubuhpun sempoyongan mundur
delapan kaki jauhnya. Musuh licik yang memukul mundur tjui hun
suiu hingga luka berat ini kiranya adalah In Hong Lokoay, sekali
lagi buntalan kain itu terjatuh ditengah gelanggang.
Karena menubruk tempat kosong, Tang hay hi hu sangat gusar,
tanpa menghentikan gerak tubuhnya, kedua tangannya menerjang
maju kearah Sip hun siu dengan seluruh kekuatan tenaganya maka
pukulan ini seakan gugur gunung dahsyatnya, saat mana Sip hun
siu tengah kesima karena tidak menduga bukan saja tidak
mendapatkan buntalan itu mala tjiu hun siu terluka berat terbokong
oleh In Hong Lokoay, sedikitpun ia tidak emnduga bahwa pada saat
itu juga dirinya terancam bahaya pukulan Tang hay hi hu waktu dia
sadar dan coba berkelitu sudah tidak keburu lagi…. sebuah jeritan
panjang yang menggema ditengah udara menambah keseraman
gelanggang pertempuran, tubuh Sip hun siu terbang jauh dan
muntah darah, bersamaam dengan itu, Sam Gan Todjin dari Kong
Tong pay sudah melesat tiba menjangkau buntalan diatas tanah itu.
” Bkang” tanpa ampun Sam Gan Todjin pun juga terhuyung mundur
diterpa angin pukulan yang bergulung tiba, agaknya tjit ou tjiu
Tjong Lun dari bwe hwa hwe juga tidak tinggal diam melancarkan
pukulan hebatnya.
Situasi dalam gelanggang semakin kacau balau, para tokoh2 silat
yang menontong diluar gelanggangpun beramai2

merubung maju dan bimbang untuk turut ikut campur, tapi
merekapun tidak rela tinggal pergi begitu saja karena tengah
ditunggunya kesempatan, ya siapa tahu bahwa dirinya nanti yang
bakal ketiban rejeki.
Dua diantara tiga dari Lam hong sam hiong sudah terluka berat,
kesempatan untuk menang bagi mereka sudah nihil, terdengan To
bing siu mengerung keras, “In Hong Lokoay, Tang hay hi hu kita
bertemu pada lain kesempatan!” Namun seruannya ini sudah
tidak menimbulkan perhatian orang, sebab perhatian orang tengha
dicurahkan kepada buntalan kain itu, segera Toh bing siu
memanggul sip hun siu dan mengemput tjui hun siu mencawat
ekor meninggalkan gelanggang.
Pada waktu itulah mendadak terdengar sebuah suara keras bagai
kitat menggeledek disiang hari bolong menggelegar memekakkan
telinga semua hadirin, “Saudara2 sekalian harap berhenti
sebentar!”
Tanpa merasa para tokoh silat itu berbareng hentikan
pertempurand an berpaling kearah suara itu tedengar, maka
terlihat seorang tua berambut putih pendek ekcil gendut lagi
mendatangi dengan cepat memasuki gelanggang seperti bola
menggelundung, seketika para hadirin mengunjuk rasa heran dan
kejut, sudah sekian lama mereka kenal manusia kerdil buntak ini
merupakan seorang tokoh yang paling susah dilayangi yaitu Tong
sing to gwat (mencuri bintang merampok rembulan) Si Ban-tjwan.
Bintang dilangitpun hendak dicurinya, amaka dapatlah
dibayangkan betapa aneh martabat manusia aneh ini, barang
berapa apapun bila sudah diincar olehnya, jangan harap kau dapat
melindungi atau dapat menyimpannya dengan aman, sebelum
barang samapi ditangannya dia takkan berhenti bekerja.
Segera sinelayan lau timur Kwe Lih angkat tangan memberi salam
hormat, “Silahkan Si heng, apa kau juga….”
Tiraik
asih
Websi
te
http://
kangz
usi.co
m/
Tong sing to gwat Si Ban tjwan segera goyangkan tangan seraya
berkata, “ Eh, sipengail kunasehatkan padamu jangan kau
pancing ikan ini.”
”Mengapa?” ”Duri ikan akan mencocok tanganmu.” Disebelah
samping Sam Gan Todjin tertawa dingin
jengeknya, “Maling tua apa maksud ucapanmu itu?” Setelah
menyapu pandang keempat penjuru segera Tou
sing to gwat membuka suara lagi, “entah mengapa hati Lohu hari
ini tidak tenteram dan timbul kewelas-asihan dalam benakku untuk
menasehati kepada kalian, kalau kalian tidak mau mati konyol, ada
lebih baik kalian jangan sentuh benda keramat yang membawa
banyak bencana ini.”
Semua hadirin menjadi melongo heran dan saling panang, tiaa
seorangpun dapat menebak apa juntrungannya ucapan sipencuri
lihai itu? Walaupun terkenal sebagai manusia yang sudah
dilayani dan susah diajak kompromi, tapi perkataannya selamanya
dapat dipercaya, belum pernah bicara main2 atau ingkat janji.
Susana diseluruh gelanggang menjadi sunyi senyap tanpa suara,
adalah In Hong Lokoay agaknya tidak percaya, serunya, “Maling
tua, kau jangan main gertak dengan ucapan teka-tekimu itu,
kenapa tidak kau terangkan sejelasnya maksudmu itu?”
”Omonganku sampai disini saja, titik. Percaya atau tidak terserah
kalian, aku Maling tua minta diri!” habis berkata benar2 dengan
cepat ia menggelundung pergi dan menghilang dalam sekejap
mata.
4.
PEK
HOA
T
SIAN
NIO
=
DEW

Memang tidak mengherankan bahwa pedang berdarah adalah
sebuah benda keramat yang dapat menyedot hati manusia,
meskipun tahu berbahaya tapi mereka ingin untuk memilikinya,
begitulah setelah saling merasa curiga, kuatir dan bimbang,
akhirnya pandangan semua mata tertuju lagi kearah buntalan kain
diatas tanah itu.
Para tokoh silat yang berada ditengah gelanggang itu rata2 adalah
gembong penjahat yang kejam dan telengas, siapa berani turun
tangan lebih dulu pasti lawan2nya akan serentak menyerang
menamatkan jiwanya, oleh karena itu, beberapa saat itu suasana
menjadi agak tenang, dan semua orang mengambil sikap untuk
menonton saja sementara. Tahu2 seorang tua baju kuning dengan
langkah tenang dan tetap berjalan memasuki gelanggang dan
langsung menghampiri kearah Tjiu ou tjiu Tjong Lun berempat,
dihadapan mereka ia hentikan langkahnya, orang tua baju kuning
ini bukan lain adalah siorang tua yang sembunyi diatas pohon
disamping Go Bing dan orang berkedok it. Jubah panjang didepan
dadanya tersulam bunga bwe besar, jelas menunjukkan
kedudukannya.
Pertama2 In Hong Lokoay berseru kejut lalu serunya, “eh,
sungguh diluar dugaan bahwa It tjiang toan hun (sekali pukul
menamatkan nyawa) Tjiu Eng lian kiranya juga sudah menjadi
anggota Bwe hwa hwe?”
It tjiang toan hun menyahut dingin, “memangnya kenapa, apa
tidak boleh?”
In Hong Lokoay menjengek hina, katanya, “Setiap orang
mempunyai cita2nya sendiri, ah buat apa aku banyak mulut!”
Kedua mata It tjiang toan hun berkilat menyapu pandang keseluruh
gelanggang, serunya lantang, “ buntalan kain ini menurut perintah
ketua kami harus dilindungi dan diantar kemarkas besar, apa
didalamnya adalah pedang berdarah atau bukan, cayhe sendiripun
tidak mengetahui, kini kupersilahkan para hadirin sekalian berpikir2
dulu sebelum bertindak, jikalau kalian mendengar nasehat
berharga dari

simaling tua tadi dan tidak turun memperebutkan buntalan ini lagi,
biarlah aku mewakili perkumpulan kami menyatakan banyak terima
kasih, atau sebaliknya cayhe sedang tugas menurut perintah,
terpaksa aku harus melayani setiap kehdank kalian beramai.”
Keadaan dalam gelanggang menjadi hening lelap. Dengan
penuh keharuan Go Bing berkata keapda siorang
berkedok, “bukankah buntalan kain itu adalah benda yang
dititipkan kepada Siang Sian hun dari siorang tua yang hampir
mati itu hingga menyebakan kematian Siang Siau moay dan Li bun
siang?”
”Benar!” “Jadi sipembunuh adalah orang dari Bwe hoa bwe?”
”Belum tentu, ucapaan Tou sing to gwat Si Ban tjwan tadi
harus diperhatikan, mungkin ada udang dibalik batu!” ”Aku ingin
mengambil buntalan kain itu untuk mengejar
sipembunuh itu, kalau barang itu sudah berada ditangan kita tidak
perlu disangsikan pasti sipembunuh itu akan muncul sendiri?”
”Saudara kecil, apa kau benar2 hendak turut campur?” “Aku
pernah berjanji dihadapan nona Siang untuk
menyelidiki jejak sipembunuh itu, apalagi aku sudah bersumpah
hendak membunuh manusia durjana yang menggunakan racun
tanpa bayangan itu, pada hakekatnya tujuan utamaku bukan
melulu merebut Pedang berdarah ini.”
”Saudara kecil apa kau ada pegangan untuk dapat merebut
barang itu?”
”Akan kucoba sekuat tenagaku”, sahut Go Bing. ”Mereka adalah
gembong2 besar yang berkepandaian
tinggi, kau akan menjadi sasaran empuk bagi mereka!”

”Aku tidak peduli akan hal itu.” Pada saat itulah sebuah
bayangan kecil lenjir melayang tiba
dari tengah udara, setelah jumpalitan tiga kali terus melayang
dengan entengnya memasuki gelanggang. Pertunjukan ilmu
ringan tubuh yang mengejutkan ini membuat semua hadirin
tergetar kesima. Orang yang berputar ditengah udara dan hingga
ditanah ini ternyata adalah seorang gadis yang cantik molek
menggiurkan mengenakan baju serba putih.
Bahwa ilmu ringan tubuh jarang terlihat didunia persilatan
dipertontonkan oleh seorang gadis muda belia dan cantik rupawan
lagi, benar2 mengejutkan hati semua hadirin.
Go Bing sudah berdiri dan bersiap hendak melompat turun, tapi
siorang berkedok keburu mencegah, katanya, “Saudara kecil,
kedatangan gadis ini sangat aneh dan mendadak, kenapa kau
tidak sabar sebentar, siapa tahu ada sesuatu kejadian diluar
dugaan!”
Terpaksa Go Bing duduk lagi diatas dahan pohon. Terdengar
gadis cantik bagai bidadari itu tengah berkata,
“Sian nio segera akan tiba, sementara kuharap kalian mundur
lima tombak jauhnya!”
Ucapan ini menimbulkan suasana bunca dalam gelanggang,
tokoh2 silat yang berada ditengah gelanggang mengunjuk rasa
kejut dan heran, beramai2 mereka mundur teratur dan menyingkir
memberi sebuah jalan, hanya Tang hay hi hu dan beberapa orang
yang menganggap dirinya berkedudukan tinggi masih ragu2 tanpa
bergerak.
It tjiang toan hun mengekeh tawa dan berseru, “Kalau Sian nio
akan datang, memang kita sekalian harus mengundurkan diri,
maka buntalan kain ini sementara waktu biar Lohu simpan
kembali, nanti biarlah kita rundingkan lagi bagaimana cara
menyelesaikan urusan ini?” ~ dalam berkata2 itu ia melangkah
maju dan ulurkan tanganya hendak mengambil buntalan kain
itu….

In Hong Lokoay dan Sam Gan Todjin berbareng maju satu tindak,
disebelah sana Tang hay hi hu pun perlahan2 angkat kedua
tangannya, jikalau ti Tjiang toan hun benar2 mengambil buntalan
kain itu, ketiga orang ini pasti akan melancarkan serangan
berbareng, adalah Tjit ou tjiu dan ketiga orang tua seragam
hitampun merapat dibelakang It tjiang toan hun bersiap menjaga
segala kemungkinan.
Maka suasana dalam gelanggang mulai tegang mendebarkan hati.
Sepasang mata gadis cantik yang jeli itu memancarkan sinar tajam
yang aneh, suaranya tajam tandas, “Silahkan kalian mundur lima
tombak jauhnya biarkan benda itu tetap ditempatnya!”
Sungguh tak nyana para gembong iblis yang kejam dan ternama
itu ternyata takut dan tunduk betul karena bentakan gadis ini,
tanpa merasa mereka mundur teratur perlahan2 tapi mereka
masih ndablek tiada seorangpun yang mundur sejauh lima
tombak.
Go Bing terheran2 dan tak habis mengerti, tanyanya, “ Bong bian
heng, tokoh macam apakah Sian nio itu?”
Siorang berkedok menekan suaranya sedemikian lirih, sahutnya,
“Pek hoat sian nio!”
”Pek hoat sian nio? (dewi rambut putih). ”Benar, Pek hoat sian
nio, namanya sudah
menggoncangkan dunia kangouw pada 60 tahun yang lampai,
selamanya ia jarang muncul didunia persilatan, tentang asal usul
atau riwayatnya mungkin tiada seorangpun yang mengetahui!.”
”Orang2 yang hadir hari ini adalah tokoh2 lihai yang besar
namanya, sungguh tak nyana sedemikian takut mereka terhadap
Dewi berambut putih itu….”

”Betapa tinggi kepandaian Pek hoat sian nio susah diukur, gadis itu
adalah muridnya kepandaiannya saja agaknya lebih tinggi dan
lebih lihay dari siapa saja yang hadir dalam gelanggang itu”
Diam2 Go bing menimang dalam hati, “Betapa tinggipun
kepandaian Pek hoat sian nio itu masa bisa lebih tinggi dari
kepandaian Suhu?”
Sementara itu wajah sigadis semakin kaku dingin, suaranya
mengancam, “Apa kaoian sudah dengar omonganku?”
It tjiang toan hun mendadak mengulapkan tangan bersama tjit ou
tjiu berempat perlahan2 mereka mundur lima tombak jauhnya,
terpaksa Tang hay hi hu, In Hong Lokoay dan Sam Gan Tojin tiga
gembok iblis inipun turut mundur tanpa berani banyak mulut.
Sedemikian sunyi dan hening lelap suasana gelanggang
pertarungan yang ramai tadi seumpama jarun jatuhpun bisa
terdengar, namun demikian dalam keheningan ini terkandung
ketegangan hati yang menggetarkan semangat, Bahwa Pek Hoat
sian nio benar akan berkunjung dan turut hadir tanpa diundang
benar2 diluar dugaan semua orang, apakah tokoh misterius
berkepandaian tinggi susah diukur itu juga hendak ikut merebut
pedang darah.
Kalau Pek hoat sian nio benar2 mengincarnya maka semua hadirin
harus mengalah dan mandah saja barang itu diambil olehnya.
Sebaliknya Go Bing berpikir, peduli apa dewi atau dewa lebih
penting aku mencari tahu jejak sipembunuh dengan menggunakan
racun itu habis perkara, kalau dalam otaknya dia berpikir begitu
segera ia bertindak mendadak tubuhnya melejit tinggi dan
menubruk masuk kedalam gelanggang, Siorang berkedok ingin
mencegah tapi sudah tidak keburu lagi, dan karena kehadirannya
yang mendadak ini membuat semua orang terperanjat serta
melihat tegas kiranya hanya

seorang muda yang masih hijau pelonco ini, wajah mereka
mengunjuk rasa heran dan bertanya2.
Bola mata sigadis cantik berputar2 tergerak hati kecilnya, sebesar
usianya itu baru pertama kali ini dilihatnya seorang pemuda yang
gagah ganteng mempunyai daya tarik yang meluluhkan hati setiap
insan lawannya, hanya sayang sikap gagahnya itu mengandung
kecongkakan.
Begitu menginjak tanah dan berdiri tegak Go Bing langsung
menghampiri buntalan kain itu tanpa memperdulikan orang lain
dihadapannya.
”Behenti!” suara si gadis membentak halus. Tanapa diminta
lagi Go bing menghentikan langkahnya dan
bertanya, “Ada keperluan apa nona menghentikan aku?’ ”Apa
yang hendak kau buat?” “Mengurus pekerjaan!” “Mengurus
pekerjaan apa?” “Tiada perlunya cayhe memberita kepadamu.”
Berobah kelam wajah si gadis, timbul hawa membunuh
pada air mukanya. Sementara itu, sekali berkelebat tahu2 Go Bing
sudah
menjemput buntalan kain itu ditangannya, kecepatan gerak
tubuhnya benar2 membuat semua orang melelet lidah. Para tokoh
silat diluar gelanggangpun tunduk mundur lima tombak jauhnya
karena gentar mendengar nama Pek ho sian nio, kini pemuda tak
bernama dan masih hijau ini secara terang2an berani merebut
barang incaran mereka dalam gelanggang, hal ini merupakan
suatu kesempatan bagi semua orang malah mereka dapat
mengganggap sipemudah sebagai biang keladi dalam kekacauan
yang berani membangkang perintah sidewi rambut putih.

Adalah gadis ayu rupawan itu malah tertegun kaget benar2 diluar
dugaannya bahwa sipemuda ini ternyata tidak memandang sebelah
mata perintah Pek hoat sian nio.
Maka terdengar In Hong Lokoay memelopori membantak, “Siaucu
letakkan buntalan itu!” berbareng tubuhnyapun berkelebat
menerjang maju dengan kecepatan seperti angin lesus.
”Kembali! ` diselingi suara bentakan nyaring ini terjangan langsing
tubuh sigadis berkelebat tangannya membuat sebuah lingkaran
terus disorong kedepan menyongsong kedatangan tubuh In Hong
Lokoay yang menerjang tdatang, dan karena dorongan ini tubuh
In Hong Lokoay terdampar terbang balik ketempatnya, hampir
dalam waktu yang bersamaan Sam Gan Tojin pun sudah
menubruk tiba sambil mengayun tangan kanan mengenjet muka
Go Bing sedang tangan kiri dengan kecepatn kilat mencengkram
kearah buntalan itu.
”Bum!” diselingi suara tertahan keras, San Gan Tojin terhuyung
mundur sepuluh langkah, dari ujung mulutnya melelah darah
segar, suasana diluar gelanggang menjadi gempar.
Bahwa nama dan kedudukan Sam Gan Tojin sangat tenar dan
tinggi bukan nama kosong belaka, tapi baru setengah jurus saja
telah dapat dikalahkan oleh seorang pemuda yang masih hijau
benar2 membuat semua orang sangsi akan penglihat sendiri,
apalagi cara bagaimana sipemuda melukai Sam Gan Tojin mungkin
hanya beberapa orang saja yang dapat melihat tegas.
Hati sigadispun bukan alang kepalang kejutnya, tahu dia bahwa
kepandaian sipemuda ini ternyata sangat mengejutkan, sambil
mengusap noktah dara dibibirnya Sam Gan Tojin berseru dengan
penuh kebencian, “Siaucu beritahukan namamu?”

Go Bing menyebut dingin, “Kalau kau tahu gelagat lekaslah
mengelinding jauh sedikit!”
Hitung2 nama Sam Gan Tojin sangat ternama dan sangat disegani
dikalangan kangouw, mana kuat ia menahan hinaan ini, apalagi
lawannya ini hanya seorang pemuda yang berusia belum lebih dari
dua puluh tahun, saking gusar ia membentak keras, “Siaucu biar
kubunuh kau!” ` sambil mengerahkan setaker tenagannya
tubuhnya merangsak maju melancarkan pukulannya dengan
derasnya.
Go Bing ganda tertawa dingin dan membentak, “Kau ingin cari
mampus sendiri!” ` buntalan dipindah ketangan kiri, tangan
kananpun membalik dan menyurung kedepan segulung gelombang
panas dengan perbawa bagai geledek menyambar bergulung2
mendampar kedepan, maka terdengarlah suara ledakan keras yang
memekakkan telinga dan menyedot semangat diselingi teriakan
panjang mengerikan menggetarkan seluruh arena pertempuran,
ditengah gelombang terpaan angin keras itulah tubuh Sam Gan
Tojin terbawa terbang setinggi tiga tombak, mulutnya menyembur
darah dan terbanting keras tanpa bergerak lagi.
Pukulan Go Bing ini telah menggunakan kepandaian sakti Kiy yang
sin kang yang menjagoi seluruh dunia, namun karena selama
hidup dan mengembara Sia sin jarang menggunakan kepandaian
ini maka semua tokoh silat yang hadir termasuk sigadis, tiada
seorangpun tahu kepandaian apa yang telah digunakan oleh
sipemuda ini.
Wajah gadis baju putih berobah asam, sungguh sukar
dibayangkan betapa tinggi kepandaian silat pemuda ini, timbul
suatu perasaan yang susah dilukiskan dalam hatinya.
Sam Gan Tojin terhuyung2 berdiri perlahan2 dia tinggalkan
gelanggang sambil beringsut2.

Gerak gerik sigadis baju putih adalah sedemikian lemah gemulai
terdengar suaranya tawar bertanya kepada Go bing, ”Bolehkan
saudara memberitahukan namamu?”
”Ini…. agaknya tidak perlu!” ”Saudara datang untuk merebut
Pedang darah juga?” ”Boleh dikata betul, tapi juga tidak
benar.” ”Apa maksudmu ini?” ”Tujuan yang penting tidak
terletak pada Hiat kiam ini, tapi
dari hiat kiam ini akau akan mencari jejak seorang pembunuh.”
”Sian nio segera tiba, silahkan saudara letakkan buntalan itu dan
menyingkir keluar gelanggang.”
Go Bing mendengus dan menyahut dingin, “Selamanya aku tidak
senang diperintah orang lain.”
Berobah air muka sigadis baju putih, suranya mengancamg, “Apa
kau dapat berbuat seenakmu disini?”
”Aku bebas melakukan apa yang ingin kuperbuat, tidak percaya,
boleh kau coba2”
Suasana dalam gelanggang mencekik leher lagi, kalau kedua muda
mudi ini saling gebrak, bakal terjadilah pertempuran yang dahsyat
yang jaring terlihat di bulim, siapa yang takkan senang kalau dunia
ini aman tentram tanpa perang, adalah daya tarik hiat kiam itu
sedemikian besar sehingga susah menarik pikiran tamak untuk tidak
memilikinya.
Pada saat itulah sebuah tandu warna hijau mulus berayun2
memasuki gelanggang, tandu sedemikian besar dipukul begitu
enteng bagai memikul kapuk dengan cepat sekali dalam sekejap
mata tandu itu sudah tiba ditengah gelanggang, kerai didepan
tandu tertutup rapat, tidak kelihatan siapa yang duduk
didalamnya, keempat orang pemikul tandu itu adalah

gadis2 yang masih muda belia dan cantik2 lagi mengenakan
seragam hijau mulus.
Sorot mata semua orang tertuju kearah tandu yang baru datang
ini, setelah tandu diletakkan ditanah, keempat gadis baju hijau itu
berjajar didua pinggir pintu.
Suasana tegang dan seram meliputi seluruh hadirin, air muka
sigadis berobah pucat dengan sinar kebencian yang sangat ia
melerok kerah Go Bing lalu berpaling dan menghampiri kedepan
tandu, tubuh sedikit membungkuk mulutnya komat kamit mungkin
tengah melapor keadaan yang terjadi didalam gelanggang ini.
Tanpa merasa berdetak keras hati Go Bing, tidak lama kemudian,
gadis baju putih itu memutar tubuh dan maju beberapa langkah
terus menggape kearah Go Bing dan berseru ”Sian nio
mengundang kau mendekat!”
Go Bing tertegun melongo, tanyanya, “Maksud non adalah aku?”
“Siapa lagi kalau bukan kau!” Diam2 Go bing membatin;
”justeru aku tidak percaya
segala kabar angin itu, Pek hoat sian nio apa segala dapat
mengapakan aku? Maka sambil membusung dada dan mengangkat
kepala ia maju mendekat dengan langkah lebar kearah tandu itu,
diantara jarak delapan kaki dari tandu itu segera salah satu gadis
berbaju hijau itu angkat tangan dan berseru, “Berhenti disitu!”
Go bing menurut menghentikan langkah, dengan kencang ia
masih memegang buntalan kain yang diperebutkan itu.
Kerai tandu terbuat dari anyaman butir2 mutiara yang kecil
lembut, orang didalam tandu dapat melihat keluar dengan tegas
namun orang diluar susah melihat tembus kedalam tandu, dengan
sikap angkuh dingin Go Bing menatap pintu

tandu, diam2 hatinya berpikir akan kulihat kau dapat berbuat apa
terhadapku?”
Lama dan lama kemudian baru terdengar suara lembut halus dari
dalam tandu, “Siapa namamu?”
Tanapa merasa tergerak hati Go Bing, Pak hoat sian nio serasi
dengan nama ini tentu dia adalah seorang nenek2 tua yang sudah
berambut uban, tapi didengar dari suaranya yang halus nyaring
agaknya usianya masih muda, karena itu dengan sikap kaku ia
menyahut, “Aku yang rendah adalah kaum keroco dikalangan
kangouw, reasanya tidak perlu menyebut nama apa segala.”
”Kau dari perguruan mana?” “Hal itu aku tidak dapat memberi
tahu!” ”Hm, sedemikian congkak dan sombong kau ini?” ”Jauh
dari pada sombong dan congkat, karena memang
begini tabiatku!” Keempat gadis baju hijau dipinggir tandu itu
bersama
mengunjuk rasa heran dan kejut, baru pertama kali ini mereka
melihat dan dengar ada orang berani main bantah dengan Sian
nio, lagipula nada ucapan Sian nio pun agak berbeda dengan
biasanya.
Sejenak Go Bing ragu2 lantas ia balas bertanya, “Kau adalah Pek
hoat sian nio yang disanjung puji oleh dunia persilatan?”
”Ya, benar, kau datang untuk merebut hiat kiam itu?” ”Bukan,
harus dikatakan mencari jejak seorang
pembunuh!” ”Tapi hiat kiam itu sudah kau rebut?” ”Justeru dari
benda inilah aku hendak mencari jejak
manusia kejam itu!”

“Apa kau tahu kedatangan semua yang hadir disini justeru
hendak merebut benda itu?”
”Itu aku tahu” ”Lalu bagaimana kau hendak menghadapi
mereka?” ”Setelah urusanku beres benda ini segera
kukembalikan
kepada mereka, aku sendiri tidak kepingin memiliki benda
pembawa bencana ini.”
”Hm, sementara aku dapat percaya ucapanmu itu….” ”Apa
kedatangan Sian nio juga hendak merebut hiat kiam
ini?” ”Tidak!” Penyahutan pendek dan tegas ini membuat Go Bing
melengak, kalau pek hoat sian nio sendiri berkata bahwa
kedatangannya bukan karena hendak merebut hiat kiam, hal itu
sudah dapat dipercaya, tapi untuk apa dia datang kemari?
”Nak, kau tidak percaya bukan?” Panggilan ”nak” ini membuat
tergetar seluruh tubuh Go
Bing, baru pertama kali inilah selama hidup ia mendengar orang
memanggilnya dengan sebutan itu, maklum selama bercampur
dengan suhunya, Sia sin Kho Djing selalu memanggilnya dengan
siaucu, sebutan ini menimbulan suatu perasaan ganjil dalam
sanubarinya, tapi selang tak lama teringat olehnya kebiasaan
watak Sia sin serta tindak tanduknya, maka dengan sikap kaku
dingin ia menyahut, “Apakah panggilanmu itu tidak berkelebihan.”
”Eh, apa makmudmu, usia setuaku ini apa tidak boleh panggil kau
anak?”
”Dalam dunia persilatan mengutamakan luhur budi dan bijaksana.”

Keempat gadis hijau dipinggir tandu lekas2 menutup mulut dengan
lengan bajunya, hampir saja mereka tak kuat menahan rasa
gelinya.
Berhenti sekian lamanya baru Pek hoat sian nio bicara lagi,
“Komentar aneh, boleh dibandingkan dengan Lam sia dahulu.”
Go Bing menjadi tidak sabar, serunya, “ kau memanggil aku
kemari, hanya untuk omong beberapa patah kata ini.?”
”Sekarang kau kembalikan buntalan ditanganmu itu kedalam
gelanggang.”
Go Bing menarik muka, suaranya ketus, “tidak bisa!” ”Benda itu
tiada membawa manfaat bagimu.” ”Seperti kukatakan aku
hanya mengejar jejak seorang
pembunuh dengan benda ini.” ”Coba kau ceritakan, mungkin Sian
nio dapat memberi
sedikit sumber penyelidikan untuk kau!” Sejenak Go Bing bimbang,
akhirnya ia ceritakan juga
pengalamannya didalam hutan kecil itu. Nadi ucapan Sian nio
tandas dan berat, “menurut ceritamu
itu, memang tidak salah sikorban itu mati karena terkena racun
tanpa bayangan, tapi diseluruh jagat ini yang mungkin bisa
menggunakan racun tanpa bayangan itu hanya racun utara seorang,
dan lagi selain seorang putra yang keliwat dimanjakan racun utara
tidak mempunyai seorang muridpun….”
”Maksud Sian nio adalah….” ”Tidak mungkin racun utara
campur tangan.” ”Dengan bukti apa Sian nio berani
memastikan begitu!” ”Menurut martabat dan karakter racun
utara ayah beranak,
barang apa yang sudah ditangannya tak mungkin dilepas lagi,
apalagi benda yang sudah disentuh tangan mereka, tak

mungkin orang berani menjamahnya lagi, selain itu juga tidak
sedemikian gampang dan murah mereka mau menggunakan
racunnya!”.
”Maksud pertanyaan saya ialah siapakah orangnya yang menyebar
racun itu?”
”Mungkin sukar untuk mencari tahu!” ”namun terang gamblang
barang ini berada ditangan
orang2 Bwe hoa hwe, tidakkan beres mencari jejak siorang
pembunuh ini dari tubuh mereka?”
Pek hoat sian nio tertawa ringan, ujarnya, “Kau bisa menyesal?”
“Mengapa?” ”Sebab pedang berdarah ditanganmu itu adalah
palsu!” ”Palsu?” tercetus serusan kaget dari mulut Go bing.
”Ya, memang palsu, maka kusuruh kau melempar kembali
ketengah gelanggang.” Otak Go Bing bekerja cepat, setelah itu
baru ia membuka
lagi, “tulesn atau palsu tidak menjadi soal, tujuanku yang utama
adalah mengejar jejak sipembunuh itu.”
”Kau masih hijau dan perbuatanmu ini terlalu semberono.”
“Ha, dengan alasan apa kau berkata begitu?” ”Coba kau
jelaskan, benda itu direbut orang sebelum adik
Siang Siau hun itu keracunan atau setelah keracunan baru direbut
orang, kau tahu pasti tidak, lagipula hanya Pak tok Tang bun Lu
ayah beranak yang dapat menggunakan racun tanpa bayangan itu,
merekapun tidak sembarangan menggunakan racun, dengan
kepandaian silat racun utara anak beranak untuk menghadapi non
sian itu kalau dia sampai menggunakan racun apakah tidak
menimbulkan cercaan dan tertawaan orang bulim, bwe hwa bwe
memamerkan pedang

berdarah palsu, apakah tujuannya belum dapat diketahui, tapi
menurut apa yang kita hadapi ini, kalau pedang berdarah ini
adalah tulen, betapa banyak tokoh2 silat lihat yang terhimpun
dalam bwe hwa hwe tentu mereka takkan tinggal diam barang
yang sudah menjadi milik mereka diperebutkan orang banyak.”
Analisa panjang lebar ini membuat Go bing bungkam seribu
bahasa, sekali ayun ia lemparkan buntalan kain itu ketempat
asalnya, perbuatan diluar dugaan ini membuat semua orang yang
hadir melongo heran dan garuk2 kepala, sebab mereka tidak tahu
apa yang telah dipercakapkan Pek hoat sian nio dan sipemuda
aneh yang berkepandaian hebat ini.
Setelah merandek sejenak Pek hoat sian nio bicara lagi ” sekarang
kau boleh undurkan diri!”
Sekali berkelebat tubuh Go bing melayang mundur lima tombak
jauhnya.
Gadis baju putih melangkah cepat kearah tandu, setelah
mendengarkan apa2 terus memutar tubuh dan bicara lantang , “
Sian nio mempersilahkan Tang hay hi hu dan Im hong Lokoay
berdua maju menjawab pertanyaan.”
Setelah saling berpandangan heran, berbareng Tang hay dan Im
Hong melangkah maju kedepan tandu, entah apa yang dikatakan
oleh Sian nio, yang jelas setelah mendengar, Tang hay dan Im
Hong berseru kaget berbareng tubuhnya sempoyongan mundur
begitu memutar tubuh terus melejit jauh hendak melarikan diri….
Kerai mutiara yang menjulai turun didepan pintu terbuka sedikit lalu
menutup kembali, dibarengi suara jeritan ngeri yang mendirikan
bulu roma, tubuh Tang hay dan Im Hong yang terbang tinggi
terlempar jatuh bersama terus tak bergerak lagi, mati. Dua
gembong iblis durjana bergelimpangan mati didepan tandu, kenapa
Pek hoat sian nio menamatkan jiwa kedua orang ini tiada
seorangpun yang

tahu, semua hadirin berobah air mukanya kuatir dan takut2, siapa
tahu ancaman elmaut itu juga akan menimpa dirinya atau orang2
jahat lainhya? Rasa ketakutan dan bayangan mau tercekam dalam
benak masing2 bahwasannya nyawa adalah sangat berharga,
dalam keadaan ada sedikit kesempatan menyelamatkan diri ini,
banyaklah gembong2 silat itu yang tidak menyia-nyiakan
kesempatan itu secara diam2 dan sembunyi2 mereka pergi. Siapa
berani mencabut gigi dimulut harimau, merebut benda yang telah
diincar oleh Sian nio kematianlah hadiahnya.
Dalam pada itulah terdengar sigadis baju putih mendadak berseru
lantang, “Kawan2 dari Bwe hwa hwe, perhatikan! Sampaikan
kepada ketua kalian, bahwa tipu muslihat kalian gagal total, cara
bekerja mencuri kelintingan menutupi telinga adalah menipu diri
sendiri dan sangat menggelikan.”
Karena dikorek borok dan akal liciknya, It tjian toan hun Tjiu Eng
lian bersama para kerabatnya dari Bwe hwa hwe merah jengah
dan malu luar biasa, sikapnya kikuk dan serba runyam.
Keempat gadis baju hijau itu segera memikul tandu dan tinggal
pergi dengan cepat bagai terbang, sedang buntalan yang
diperebutkan tadi masih tetap berada diatas tanah dan tiada
orang yang mau menyentuhnya lagi.
Sebelum pergi sepasang bola jeli sigadis baju putih melirik kearah
Go Bing sambil unjuk senyum menggiurkan, namun hati Go Bing
tetap membeku bagai tak berperasaan, dalam hati ia tengah
membatin, “bahwasannya Pek hoat sian nio siang2 sudah tahu
kalau peang berdarah itu adalah palsu, mengapa ia datang dan
unjukan diri juga, malah sekaligus ia bunuh juga Tang hay hi hu
dan Im Hong Lokoay?” ~ Lalu apa pula tujuan Bwe hwa hwe
memancing dengan pedang darah palsu untuk menimbulkan
perebutan dan pertempuran yang menimbulkan banyak korban
ini? Siapa pula sipembunuh yang menurunkan tangan jahatnya
kepada Siang siau moay dan Li

Bun siang? Mendadak teringatlah sebuah persoalan lainnya,
tanpa merasa ia tertawa geli sendiri. Hanya percaya pada sedikit
cerita Siang Siau hun yang kurang jelas itu lantas dirinya bertindak
serampangan menganggap buntalan kain ini adalah benda yang
dititipkan kepada mereka itu, benar2 terlalu ceroboh dan
semberono.
Pendapat Pek hoat sian nio ternyata sangat tepat dan persis benar
dengan uraian si orang berkedok, racun utara Tang bun Lu ayah
beranak tidak mungkin turunkan tangan jahatnya, akan tetapi
racun tanpa bayangan itu hanya terdapat dari satu aliran ini tanpa
ada cabang atau orang lain yang pandai menggunakan hal inilah
yang menjadi teka teki dan susah dipecahkan.
Go Bing berdri melongo tenggelam dalam pikirannya, tidak
diketahuinya bahwa semua hadirin sudah menghilang tanpa
kelihatan bayangannya lagi, lalu timbullah suatu keingin aneh
dalam benaknya, meski benda ini palsu mengapa aku tidak coba
membuka dan memeriksanya maka segera ia membungkuk
membuka buntalan kain itu, kiranya yang terbungkus itu sebuah
kotak kayu gepeng sepanjang satu kaki lebih, perlahan2 dibukanya
tutup kotak itu ternyata didalamnya terletak sebilah pedang kecil
panjang satu kaki selain gagaknya panjang batang pedang kecil itu
tidak lebih dari enam dim.
Hati2 dilolosnya pedang kecil itu dari sarungnya seketika secarik
sinar merah marong memancar keluar menembus ketengah udara,
pada saat itu juga terdengar seorang berseru kejut dibelakangnya,
cepat2 Go Bing memasukkan kembali pedang kedalam sarungnya
lalu perlahan2 memutar tubuh, kiranya siorang berkedoklah yang
berseru kaget tadi.
”Saudara kecil, mari kita bicara dalam hutan?” Dengan rasa
heran dan tak habis mengerti Go Bing
memandang bayangan si orang berkedok, setelah
menjemput

kain buntalan itu diapun mengikuti jejak orang masuk kedalam
rimba.
”Saudara kecil, keadaan ini sangat ganjil dan perlu disangsikan.”
“Mengapa?” ”Mungkin pedang berdarah ini adalah tulen!” ”Apa
benar? kurasa tak mungkin, bahkan Pek hoat sian nio
juga mengatakan bahwa benda ini adalah palsu, sampaipun para
tokoh2 lihai dari Bwe hoa hwepun tinggal pergi tanpa ambil
perhatian lagi, bagaimana bisa….”
”Justeru disitulah sebab musabab keganjilan itu” ”Aku tidak
habis mengerti.” ”Kalau pedang ini palsu mana bisa
memancarkan sinar
terang yang merah marong itu, harus kau ingin Hiat Kiam
merupakan benda keramat yang berharga siapapun belum pernah
ada yang melihat, tulen atau palsu susah dibedakan, lebih baik
jangan kau buang, simpanlah untuk sementara waktu, siapa tahu
kelak ada gunanya.”
Tawar2 Go Bing mengiyakan, ucapan siorang berkedok tidak
masuk dalam perhatiannya, tapi akhirnya ia masukkan pedang
berdarah itu kedalam kotak dan dibungkus lagi lalu disimpan
dalam bajunya.
“Banyak kejadian didunia ini sukar dijelaskan dengan alam pikiran
yang sehat, untuk kedua kalinya pedang berdarah muncul
dipuncak Tian tjong san terjatuh ditangan Tang mo (iblis timur),
cara bagaimana sampai terjatuh ketangan Mosan ji kui tidak dapat
diketahui, pendek kata segala kemungkinan bisa terjadi!” demikian
kata si orang berkedok.
”Akan tetapi dimana letak keanehan dan betapa tinggi harga
pedang berdarah ini?”
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/
“Mana dapat diketahui, menurut kabarnya bila siapa dapat
memiliki pedang berdarah lantas dapat menemukan sejilid kitab
pelajaran silat yang tiada taranya, setelah dapat melatih sempurna
akan tiada lawannya diseluruh dunia.”
-oo0dw0oo-
Jilid 2
5. S1APAKAH AKU INI?
Go Bing semakin bingung dan pepat pikiran, berbagai
peristiwa yang beruntun terjadi ini benar2 merupakan teka- teki
yang susah dipecahkan olehnya. Teringatlah akan tugas yang
dibebankan oleh Suhunya, jaitu harus memenggal ke- pala
Tiang-un Suseng, kenyataan bahwa Tiang-un Suseng sekarang
sudah mati, maka ia harus segera kembali melaporkan hal ini dan
minta petunjuk sang guru selanjutnya. Tentang kematian Siang
Siau-moay dan Li Bun-siang terpaksa ia harus menunda sementara
waktu, biar kelak dilanjutkan lagi penyelidikan ini pada lain
kesempatan.
Karena pikirannya ini segera ia berkata kepada siorang berkedok,
“Siaute masih banyak urusan yang harus dikerja-kan,
terpaksa kita harus berpisah untuk sementara waktu!”
Dengan rasa berat siorang berkedok berkata, “Apakah
memerlukan tenagaku untuk membantu?”
“Terima kasih, rasanya tidak perlu!” “Ya, kuharap tidak lama
lagi kita dapat bertemu pula!”
Sekali melompat tinggi Go Bing melesat keluar dari dalam rimba
terus berlari kembali mengikuti jalan besar.

Hari kedua tibalah dia digua tempat kediaman Gurunya, waktu
memasuki gua tiada terdengar bentakan gurunya yang sudah
kebiasaan itu, hatinya berdetak tidak tenteram, langkahnya
dipercepat memburu masuk, terlihat gurunya tengah duduk
menggelendot dinding, mata tunggalnya sudah kehilangan sinar
murni yang biasa menjedot semangat orang.
“Kau sudah kembali?” suaranya kedengaran sangat lelah. Go
Bing menyahut hampa, “Kau…. bagaimana kau orang
tua?” “Aku sudah tak kuat lagi, kau kebetulan kedatanganmu ini.”
“Apa, apa kau mengalami sesuatu?” “Bagaimana tugasmu? “
“Tiang-un Suseng sudah mati bunuh diri.” “Bunuh diri, mana
batok kepalanya?” “Murid…. eh, aku hanya melihat kuburannya.”
Mata tunggal Sia-sin Kho Jiang membelalak besar, serunya
tergetar , “Darimana kau ketahui bahwa dia mati bu-nuh diri?”
“Kebetulan kujumpai seorang sahabatnya yang
sembahyang dikuburannya, dari mulutnyalah kuketahui.” “Hm,
kepandaian dan kecerdikan Tiang-un Suseng
merupakan pentolan diantara sepuluh kawannya, Bunuh diri? Apa
kau melihat sendiri jenazahnya?” Go Bing menggeleng kepalanya.
“Kau harus mengeduk kuburannya untuk mengetahui
kebenarannya. Kematian Ci Khong sigundul itu, cukup membuat
para kurcaci ini waspada, mereka tidak akan sayang menggunakan
segala akal muslihat demi keselamatan jiwa-nya sendiri. Siaucu,
dulu waktu Lohu dicelakai sebelumnya telah keracunan oleh
mereka, untung mengandal Sian-thian-sin- kang aku masih dapat
melindungi nadi jantungku, sehingga

tidak segera mati. Sekarang racun itu sudah luber dan menjalar
semakin dalam, Lohu sudah tidak lama dapat hidup lagi.”
Rambut dan jenggot Sia-sin Kho Jiang ber-gerak2, dia tengah
paksakan diri unjuk bicara, tangannya bergoyang cepat, katanya,
“Dengar kataku, dua puluh tahun yang lalu dipuncak Sin-li-hong
(puncak dewi suci) digunung Bu-san, aku disergap oleh tujuh
orang diantara “Bui lim-sip-yu” yang kenamaan didunia persilatan.
Dalam pertempuran itulah baru kuketahui bahwa sebelumnya aku
telah dibokong, tubuhku terkena racun yang amat berbisa
kepandaianku sudah susut separoh lebih, untung saat itu aku
dapat melindungi nadi dan jalan darah terpenting menggunakan
Kiu yang-sin-kang, untuk sementara aku dapat mencegah racun
itu supaya tidak menjalar karena aku hanya bertempur seru….”
Mendengar sampai disini, saking tegang jantung Go Bing berdetak
cepat darahpun bergolak dalam tubuhnya.
Berhenti sejenak lalu Sia-sin Kho Jiang melanjutkan ceritanya lagi,
“Betapa gusar dan benci Lohu waktu itu maka sewaktu turun
tangan akupun tidak kepalang tanggung lagi, sekaligus kulukai lima
diantara mereka, tapi karena tubuh keracunan tenaga murni susah
dikerahkan lagi, maka aku mandah dikorek sebuah mataku dan
dikutungi kedua kakiku terus dibuang kedalam jurang dipuncak
Dewi suci….”
Sepasang mata Go Bing- merah membara beringas. napaspun
memburu cepat.
Setelah napasnya yang memburu tenang kembali, Sia-sin kho
Jiang melanjutkan lagi, “Untung Tuhan maha pengasih jiwa Lohu
belum tiba ajal, aku tersangkut diatas pohon2 jalar dan tertolong
oleh seorang penebang kayu, setelah susah payah secara
sembunyi2 aku menyingkir dan mengumpet di jurang
Tiam-cong-san ini. Teringat olehku akan keadaan pertempuran
hari itu baru aku insaf bahwa biang keladi semua peristiwa ini
kiranya adalah Suhengmu Loh Cu-gi itu, tidak kau

jangan pandang dia sebagai Suheng, kau belum resmi menjadi
muridku. Binatang rendah itu waktu itu juga turut hadir, namun
dia hanya menggendong tangan menonton saja”
“Loh Cu-gi?” “Ya, Benar, apa kau pernah dengar jejaknya di
kalangan
Kangouw” “Konon empat belas tahun yang lalu setelah dia
merebut
kedudukan tokoh silat nomor satu dari seluruh jagad ini terus
menghilang tanpa meninggalkan jejak”.
“Kau harus cari dia sampai ketemu, dan bunuh serta cacah
hancur tubuhnya.”
“Baik, pasti akan kulakukan.” “Oleh karena itulah, dulu Lohu
bersumpah untuk tidak
terima murid lagi seumur hidup. Selain Ci Khong Hwesio, Tiang-un
Suseng, masih ada lima kurcaci lainnya “
“Siapakah kelima kurcaci itu?” “Lo-san-siang-kiam. Leng Hun
seng ciangbunjin Ceng-sengpay,
Ngo-ouw Pangcu Coh Pin dan Goan Hi dari Siau-lim”. “Akan
selalu kuingat kelima kurcaci ini!” geram Go Bing. Sejenak Sia-sin
Kho Jiang pejamkan mata untuk istirahat,
lalu katanya lagi, “Siaucu, latihan kiau-yang-sin-kang mu baru
mencapai tingkat keempat, pasti kau bukan tandingan Loh Cu- gi
murid durhaka itu”
“Dia sudah melatih sampai tingkat keberapa?” “Mungkin sudah
sampai tingkat kesepuluh!” Go Bing melonjak kaget, serunya,
“Tingkat kesepuluh
Bukankah lebih tinggi dua tingkat dari kau orang tua sendiri?”
“Latihan bajingan durhaka itu sebenarnya sudah men-capai
tingkat keenam, setelah aku celaka, dia mencuri sejilid KiuTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
yang-cin-keng dan sebutir Kiu-coan-hoan-yang cau-ko yang
kuperoleh secara kebetulan”
Suma Bing tertegun heran memandangi wajah Suhunya, dia
belum pernah dengar perihal Kiu-coan-hoan-yang-cau ko segala.
Setelah istirahat sekian lamanya, Sia-sin Kho Jiang ber kata lagi,
“Sebutir Kiu-coan-hoan-yang-cau-ko kiranya cukup membantu
untuk melatih Kiu-yang-sin-kang sampai tingkat kesepuluh. Di
seluruh jagad pada saat ini mungkin tiada seorangpun yang kuat
melawannya, agaknya Lohu harus membawa dendam nestapa ini
kealam baka!”
Kata Suma Bing penuh haru dan sedih, “Apa benar2 tiada
tandingan di seluruh jagad?”
“Ada, selain….” “Selain apa?” “Kecuali mendapat….ai, tidak
mungkin, angan kosong
belaka.” “Cobalah kau terangkan!” “Hiat-kiam Mo-hoa!” Kedua
mata Suma Bing memancarkan sinar aneh, kata-nya
gemetar, “Hiat-kiam Mo-hoa?” “Benar carilah Pedang berdarah
dan Bunga Iblis. Dua
benda mestika di Bu-lim, bila siapa mendapatkannya dapat
melatih suatu ilmu silat tiada taranya di seluruh kolong langit ini.”
“Pedang berdarah….” “Bagaimana?” “Tanpa sengaja aku
mendapatkan sebilah pedang, namun
entah tulen atau palsu!”

“Mata tunggal Sia-sin membelalak bundar besar, bibirnya tergetar
sampai sekian lamanya baru tercetus perkataannya, “Coba
kulihat”
Lekas2 Go Bing merogoh kantong mengeluarkan pedang berdarah
itu, dengan kedua tangannya ia angsurkan kehadapan Suhunya.
Cepat2 Sia-sin Kho Jiang menyambut dan terus melolosnya keluar,
seketika sinar merah marong mencorong keluar menyilaukan mata
dan menerangi seluruh Ruangan.
“Siaucu, ambil secawan air.” Sebentar Go Bing memandang
Suhunya penuh kecurigaan
lalu berlari mengambil secawan air. Sia-sin merendam ujung
pedang kedalam air dan tak lama
kemudian lantas membantingnya diatas tanah, serunya, “Palsu!”
“Palsu? Darimana kau orang tua berani memastikan’ “Pedang
berdarah yang tulen direndam dalam air bisa
berobah menjadi darah, itu berarti kalau pedang berdarah Itu
tulen maka air dalam cawan itu segera berobah menjadi darah!”
“O, direndam menjadi darah!” “Siaucu….kau harus
mendapatkan Pedang berdarah dan
bunga iblis bunuh “ tubuh Sia Sin Kho Jiang yang renta loyo
semampai didinding batu.
“Suhu, kau….” “Siaucu, sesudah kau menyelesaikan tugas yang
belum
terlaksana itu kau boleh kuijinkan menjadi muridku….” Go Bing
maju memayang tubuh Suhunya yang sudah lebih
lunglai, tak tertahan air mata membanjir keluar, siorang tua aneh
yang membesarkan dirinya ini agaknya sudah kehabisan

tenaga seumpama pelita kehabisan minyak atau pohon yang
sudah keropos tinggal menunggu waktu saja.
Lam-sia salah seorang tokoh yang terkenal lihay kepandaiannya
dan aneh sifatnya, akan mengakhiri hidupnya yang telah
menggemparkan dunia secara diam2!
“Suhu…. eh tidak dapatkah kau orang tua menceritakan sedikit
perihal asal usulku?”
Terbangun semangat Sia-sin. dengan susah payah ia berkata,
“Sudah tentu Lohu harus memberi tahu kepadamu. Lima belas
tahun yang lalu, diluar gua kudengar dipuncak bukit terdengar
suara pertempuran yang gegap gumpita, dua jam kemudian kau
melayang jatuh dari puncak bukit itu, dan kebetulan dapat
Lohu-tangkap hanya kebetulan saja, atau mungkin kau sudah
hancur lebur terjatuh diatas batu2 gunung itu. Kau saat itu
mungkin tidak lebih berumur tiga tahun, napasmu sudah berhenti,
untung nadi jantungmu masih belum putus, tulang igapun patah
lima seluruh urat nadi tergetar putus….”
Tubuh Go Bing terasa membeku, giginya berkereotan saling
beradu.
“Didepan dadamu masih terdapat sebuah luka lagi, terpaut
setengah dim menembus jantung. Selamanya Lohu tidak percaya
akan adanya nasib, itu hanya kebetulan saja, kebetulan! Terkecuali
ilmu Kiu-yang-sin-kang Lohu, seluruh jagad ini tiada seorangpun
yang dapat menarik kembali nyawamu yang sudah dipinggir jurang
kematian….”
Go Bing semakin tenggelam dalam lamunannya. Teringat
olehnya akan cerita tentang perihal pedang
berdarah. Menurut cerita siorang berkedok; lima belas tahun yang
lalu “Hiat-kiam” muncul lagi didunia persilatan untuk ketigakalinya.
pemiliknya adalah Su-hey-yu-hiap Suma Hong suami-isteri.

Lantas terjadilah pertempuran besar2an dipuncak kepala harimau
digunung Tiam-coang-san, dibawah kepungan dan keroyokkan
beratus gembong2 silat dari aliran putih dan hitam, Suma Hong
suami-istri bersama anaknya yang baru berumur tiga tahun semua
mati mengenaskan! Waktu dan alamat peristiwa itu semuanya
cocok satu sama lain, apa tidak mungkin kalau dirinya ini adalah
titisan anak kecil itu? Ja, takkan salah lagi pasti aku inilah anak
yang dilempar kedalam jurang dan secara kebetulan telah ditolong
oleh Suhu. Itu berarti bahwa dirinya adalah keturunan Suma Hong,
jadi ia harus she Suma juga. Terbayanglah mayat bergelimang
diantara merah darah yang susah dikenal lagi didepan matanya.
Ayahnya Su-hay-yu-hiap Suma Hong dan ibunya San-hoat-li Ong
Fang-Ian bertempur mati2an sampai titik darah penghabisan
dikepung sekian banyak tokoh silat, akhirnya menemui ajal dan
pe-dang berdarahpun direbut orang. “Pedang berdarah” sudah
seharusnya menjadi milik warisan orang tuanya, seumpama harus
mengorbankan jiwanyapun harus kurebut kembali. “Bunuh! Biar
darah mengalir, biar jiwa melayang tapi jiwa para pengerojok
itupun harus dicabut.”
Lama dan lama sekali ia berteriak2 histeris bagai orang gila.
Sebuah helaan napas berat memulihkan kesadarannya,
waktu ia menunduk hampir2 ia jatuh kelengar saking kaget sebab
Suhunya atau berarti juga penolong jiwanya, sudah berhenti
bernapas, kepalanya terkulai didepan dadanya. ia meninggal
dalam pelukannya!.
Lama dan lama sekali seakan dia kehilangan perasaan, kedua
matanya kuju dan redup memandang ke Iangit2 gua. Saking
bersedih dia tidak bisa menangis juga tidak mengalirkan air mata,
Sungguh mengenaskan kematiannya ini, namun lebih sengsara
dengan penderitaan hidupnya ini.
Dari terang keadaan dalam gua menjadi gelap, dan dari gelap
menjadi terang lagi. Itulah pagi hari pada hari kedua.

Kedua matanya penuh tergenang air darah, terbayang suatu pikiran
menggila dalam benaknya; Bunuh, ja, bunuh! Diangkatnya jenazah
Suhunya lalu diletakkan di tengah2 gua lalu dia berlutut dan
berdoa, “Suhu, sewaktu kau hidup kau melarang aku
menganggapmu sebagai guru, namun hakekatnya aku adalah
muridmu. Sekarang aku akan memanggilmu demikian, budi
mengasuh aku hingga besar selama lima belas tahun, muridmu
bersumpah akan memberantas habis mereka itu untuk membalas
budimu, Suhu, istirahatlah dengan tenang, harap dialam baka kau
mendapat tahu dan melihat muridmu pasti akan melaksanakan
tugas dan angan2mu yang belum selesai itu.”
Baru sekarang dia bisa menangis ter-gerung2, hingga lama sekali
baru ia menghentikan tangisnya, sekali lagi dipandangnya jenazah
Suhunya, dengan rasa pedih dan berat terpaksa ia tinggal keluar
dan menutup mulut gua dengan batu2 besar dan rumput2 kering
untuk menutupi jejak.
Setelah itu dikembangkannya ilmu ringan tubuhnya yang hebat
berlarian cepat menuju kepuncak Hou-thau-hong.
Tampak olehnya di mana2 diatas tanah berserakan tulang2
manusia yang tidak lengkap, rumput liarpun sudah tumbuh tinggi.
Kedua matanya mengembeng air mata, karena di antara sekian
banyak tulang2 itu ada kerangka ayah- bundanya. Tapi cara
bagaimana dirinya dapat mengenali? Rasa dendam dan benci
sudah mencekam dalam hatinya. Akhirnya terpaksa ia turun
gunung, sepanjang jalan dia sudah mengatur segala rencana
untuk melaksanakan sumpahnya itu.
Nama2 para musuh yang ikut menganiaya Suhunya sudah tercatat
dan dapat dihitung, tidaklah sukar untuk melak- sanakan tugasnya
itu menurut catatan itu. Terutama si durjana yang harus dicarinya
adalah Suhengnya Loh Cu-gi yang telah menghianati perguruan
dan perancang segala; peristiwa penganiayaan itu, konon setelah
merebut simbol sebagai jago nomor satu di seluruh jagad ini ia
menghilang

sejak empat belas tahun yang lalu, terpaksa dia harus perlahan2
dan sabar serta tahan uji untuk mencari jejaknya.
Bersama itu teringat olehnya ucapan gurunya sebelum ajal bahwa
Loh Cu-gi telah mencuri sejilid buku Kiu-yang-sin-kang dan sebutir
Kiu-coan-hoan-yang-cau-ko yang susah dicari keduanya.
Ilmu Kiu-yang-sin-kang itu mungkin sudah dilatihnya sampai pada
tingkat kesepuluh, masih lebih tinggi dua tingkat dibanding
Suhunya, sudah tentu dirinya bukan tandingan orang.
Benar, kecuali memiliki Pedang berdarah dan Bunga iblis, tapi
apakah itu mungkin bisa terjadi!
Konon Hiat-kiam berada ditangan ‘iblis timur’ cara ba-gaimana bisa
beralih ditangan Mo-san-ji-kui? Susah diduga.
Berapa banyak musuh2 besarnya termasuk yang turut ber- tempur
di puncak Hou-thau-hong digunung Tiam-cong-san pada lima
belas tahun yang lalu, yang terang “iblis timur” adalah salah
seorang dari mereka itu, kalau dapat menemukan Iblis timur pasti
dapat mengejar jejak musuh2 besar lainnya. Teringat akan Tang
mo, dingin dan bekulah hati Go Bing, nama iblis ini sejajar dengan
Suhunya Lam-sia, betapa tinggi kepandaiannya dapatlah
dibayangkan.
Sekarang tugas utama yang harus diselesaikannya yaitu
membuktikan apa benar Tiang-un Suseng sudah mati atau hanya
pura2 mati. Tidak perlu disangsikan, karena kematian Ci Khong,
begitu mendengar berita ini para kawan2nya yang ikut dalam
pengeroyokan dulu itu pasti sudah melarikan diri atau sudah
pura2 meninggal dunia.
Selama satu hari satu malam melakukan perjalanan, akhirnya ia
sampai juga didepan kuburan Tiang-un Suseng.
Sejenak ia ragu2, achirnya diangkat juga tangannya perIahan2
hendak dibongkarnya kuburan dihadapannya ini

untuk membuktikan kecurigaan hatinya, di saat ia mengerahkan
tenaga dan hendak menghantamkan tangannya itulah tiba2
terdengar bentakan nyaring, “Perbuatan tuan ini terlalu keji.”
Sungguh kejutnya bukan kepalang, memang luar biasa bahwa ada
orang menggeremet tiba disampingnya tanpa diketahuinya.
Terpaksa ia tarik pulang tangannya dan membalik tubuh secepat
kilat, waktu ia angkat kepala memandang kedepan tanpa merasa
dia berdiri melongo. Karena orang yang buka suara tak lain tak
bukan adalah gadis baju putih murid Pek-hoat-sian-nio itu.
Bahwa sigadis baju putih ini mendadak muncul disitu benar2 diluar
dugaannya.
“Apa tuan hendak membongkar kuburan dan menghancurkan
jenazah?”
“Membongkar kuburan memang benar, tapi belum tentu
menghancurkan jenazah!”
“Mengapa?” “Untuk membuktikan kebenaran orang dalam liang
kubur
itu.” “Inilah aneh, masa orang mati ada tulen atau palsu?” “Itu kan
urusanku sendiri!” “Apakah tuan bermusuhan dengan Tiang-un
Suseng?” “Benar, memangnya kenapa?” “Orangnya mati
permusuhanpun ludas, bukankah
perbuatan tuan ini keterlaluan?” “Itu bukan urusan nona” Bola
mata sigadis berputar lalu mengunjuk senyum manis,
ujarnya, “Tak perlu memperpanjang urusan ini, aku….aku

bernama Ting Hoan, bolehkah aku mengetahui nama tuan yang
besar?”
Bahwa tanpa diminta sigadis baju putih ini langsung
memperkenalkan diri membuat dia melengak heran, hatinya
membatin: Sekarang asal usulku sudah terang namun aku punya
she tak punya nama, untuk mengenang guru tercinta baiklah aku
mengambil nama pemberian Suhu jaitu ‘Go Bing’ dipetik huruf
‘Bing’nya. Maka lantas sahutnya dingin, “Aku yang rendah Suma
Bing.”
“Suma Bing?” “Apa saudara pasti harus membongkar kuburan
ini?” “Terpaksa harus kulakukan.” “Selama hidup Tiang-un
Suseng Poh Jiang banyak
melakukan kebaikan dan banyak menanam budi terhadap
kalangan tertindas, sebenarnya ada permusuhan besar apakah
dengan saudara?”
“Untuk hal ini lebih baik nona Ting jangan banyak tanya.”
“Tapi aku juga harus mengetahui?” Berobah wajah Suma Bing
(Go Bing sudah merobah na-ma
aslinya) desaknya, “Lalu apa maksud nona Ting?” Ting Hoan sigadis
baju putih membasut rambut
dikeningnya yang terhembus angin seraya berkata, “Sebab Tian
un Suseng berhubungan erat dengan perguruanku.”
“Hubungan apa, itu?” “Untuk hal itu kaupun tidak perlu
mengetahui.” Suara Suma Bing semakin kaku ketus, “Kalau aku
tetap
harus melakukannya?” Ting Hoan menarik muka wajahnya
berobah mengelam.

“Suma Bing, ada salah apa jenazah itu terhadap kau, mengapa
harus kau bongkar kuburannya, kecuali….”
“Bagaimana?” “Kecuali aku sudah kehilangan tenaga untuk
merintangi
perbuatan gilamu itu, atau jangan harap keinginan edanmu itu
bisa terlaksana.”
“Jadi maksud nona memaksa hendak berkelahi dengan aku?”
“Mungkin kalau terpaksa.” Otak Suma Bing berputar cepat.
Sudah tentu dia harus
mematuhi perintah gurunya, bila perlu seumpama mesti
bermuusuhan dengan Pek-hoat-sian-nio pun akan ditandangi, asal
seorangpun musuh perguruan tidak sampai lolos dari kematian.
Dalam geramnya tanpa banyak bicara lagi mendadak ia angkat
kedua, tangannya terus menghantam sekuat tlenaga, gelombang
tenaga dalam bagai gugur gunung segera melanda menerjang
kearah kuburan Tiang-un Suseng.
“Tahan!” Berbareng hardikan ini, sebelah tangan Tin Hon pun
diayun, dari samping angin pukulan bagai angin badai menerjang
kedepan, ditengah suara banturan mengeledek yang
menggetarkan bumi kedua orang ini masing2 tersurut mundur
satu langkah lebar, masing2 terkejut atas kekuatan lawannya.
Suma Bing mendengus sekali lalu berkata ‘“Apa nona benar2
hendak merintangi perbuatanku?”
“Bukankah sudah kukatakan sejak tadi?” “Kalau begitu jangan
kau salahkan aku karena berbuat
kejam” dalam ber-kata2 itu wajahnya penuh terselubung hawa
membunuh.

Tanpa merasa kecut hati Ting Hoan, betapapun dia tidak ingin
bertempur mati2an terhadap lawannya ini. Akan tetapi
bagaimanapun dia tidak mengijinkan orang merusak kuburan
Tiang-un Suseng. Selain itu, sebagai murid tersayang Pekhoat-
sian-nio yang ditakuti dan disegani oleh seluruh kaum
persilatan mana boleh mengunjuk kelemahan dihadapan orang,
segera dengan galaknya ia maju mendesak dua langkah sambil
menantang, “Boleh kau coba2-”
“Baik, sambutlah ini!” seru Suma Bing dingin, sekaligus lancarkan
tiga kali serangan berantai, betapa kuat dan dahsyat pukulannya
ini sungguh mengejutkan dan menggetarkan sukma.
Cepat2 tangan Ting Hoan berputar membuat sebuah garis lintang
sambil menggeser kedudukan kaki kearah kiri untuk memunahkan
hamparan angin pukulan musuh disamJ ping itu juga dikirimnya
sebuah pukulan menggeledek yang tidak kalah hebatnya.
Terjadilah pertempuran seru yang jarang terjadi didunia persilatan,
kepandaian silat masing2 boleh dikata sudah mencapai tingkat
tertinggi masing2 lancarkan ilmu2 lihay dari perguruannya, sebab
yang satu adalah murid Lam-sian yang sudah kenamaan sifat dan
ilmu silatnya, dan yang lain adalah murid Pek-hoat-sian-nio
tersayang yang sudah menggetarkan Bulim pada enam puluhan
tahun yang lalu, untuk menjaga nama baik perguruan maka
masing2 keluarkan simpanan kepandaian perguruan yang paling
ampuh dan digdaja.
Angin disekitar gelanggang pertempuran berputar demikian dahsyat
dan deras bagai angin lesus sehingga debu membumbung tinggi
keangkasa. lima tombak sekitar gelanggang dahan dan daun pohon
berguguran. Dalam sekejap mata keduanya sudah bertempur lima
puluh jurus, dan masih belum kelihatan pihak mana yang bakal
unggul atau asor.

Tiba2 terdengar teriakan nyaring melengking, mendadak Ting Hoan
merobah permainan silatnya, sekaligus ia pertunjukkkan lima
perobahan gerakan pelajaran tunggal perguruannya hingga
seketika bayangan pukulan berkelebatan bagai bayangan gunung
dan rapat tiada sedikit lobangpun, selayang pandang seperti
puluhan kepalan berbareng melancarkan serangan yang dapat
menambal langit dan menutup bumi merangsang kearah Suma
Bing.
Bercekat hati Suma Bing terpaksa iapun harus bergerak cepat
melindungi seluruh tubuh dengan rapat sekali.
Sekonyong2 tubuh Ting Hoan jumpalitan mundur delapan kaki
jauhnya, hal Ini membuat Suma Bing terheran2, dan tengah Suma
Bing terlongo itulah tubuh Ting Hoan sudah merangsak maju lagi
secepat kilat, lima buah jarinya menjentik beruntun, maka lima
jalur angin kencang yang tajam dengan suaranya yang
memekakkan telinga melesat bagai geledek, tidak sampai disitu ia
bergerak, tangan kiripun menyusul kirim sebuah hantaman dahsyat
juga. Serangan kali ini bukan saja hebat juga sangat aneh,
seakan2 lambat namun sebenarnya cepat luar biasa.
Tergetar keras jantung Suma Bing, sebat luar biasa tubuhnya
berkelebat menghindari serangan jari lawan, berba-reng tangan
kanan didjodjohkan kedepan menyambuti serangan tangan kiri
musuh, cara geraknya luar biasa, cepat dan perobahan gerak
tubuhnya benar2 membuat siapa yang melihatnya merasa kagum
dan melelet lidah. Pada detik sebelum kedua pukulan mereka saling
bentur itulah, tiba2 Ting Hoan unjukkan kepandaiannya yang luar
biasa, hakekatnya kedua pukulan itu pasti dan tentu akan saling
bentur tetapi dahsyatnya justru kali inilah Ting Hoan unjukkan
kemampuannya diluar kemampuan orang lain, begitu tangan
bergerak berputar membuat satu lingkaran, tenaga dalam bagai
gelombang badai melanda keluar dari telapak tangannya

terus menerjang maju. “Blang” disertai suara tertahan yang keras.
Kontan Suma Bing tergetar mundur tiga langkah, darah segar
hampir menyembur keluar dari mulutnya. Tapi tenaga tolakan dari
pukulan Suma Bing juga membuat Ting Hoan tergetar bergoyang
gontai. “Suma Bing, kita sudahi sampai disini saja, janganlah
memperpanjang persoalan itu lagi, bagaimana?”
“Tidak mungkin terjadi” “Jikalau pukulanku tadi kutambah lagi
tiga bagian
tenagaku, kau dapat membayangkan akan akibatnya?” “Jadi Itu
berarti kau sudah menanam budi atas
keselamatan nyawaku?” “Buat apa kita harus bertempur
mati2an!” “Aku Suma Bing tidak sudi terima belas kasihanmu,
budimu
itu akupun tidak terima.” Wajah Ting Hoan berobah gusar dan
penuh nafsu
membunuh, suara dingin mencekam hati. “Suma Bing, sebelum
darah membanjir kau tidak rela menghentikan pertem-puran?”
“Kecuali kau tahu diri dan tinggal pergi!” “Apa kau sangka aku
bisa berbuat begitu?” “Tentu kau bisa.” dengus Suraa Bing tidak
kalah
angkuhnya. Tanganpun perlahan-lahan diangkat lagi. Alis Ting
Hoan tegak berdiri, “Wut” tanpa banyak cingcong
lagi ia mendahului kirim serangannya. Bertepatan dengan
serangan Ting Hoan ini. Kedua tangan Suma Bingpun sudah
diangkat setinggi dada terus disurung kedepan, gelombang panas
bagai gugur gunung menggulung kedepan bagai hujan badai,
saking marahnya tanpa sungkan2 lagi ia gunakan Kiuyang-
sin-kang.
Tiraik
asih
Websi
te
http://
kangz
usi.co
m/
Begitu tenaga murni saling bentur, seketika Ting Hoan insaf bahwa
bahaya tengah mengancam jiwanya, kontan air mukanya berobah
pucat pasi. “Bum!” meledaklah benturan yang lebih dahsyat, hawa
panas bergulung mengembang keempat penjuru. Ditengah
keluhan sakit, tubuh Ting Hoan yang langsing itu terbang satu
tombak lebih, namun begitu tubuh menjentuh tanah segera ia
melompat bangun lagi, mulutnya yang kecil bagai delima merekah
itu bernoktah merah darah.
Tanpa merasa Suma Bing tertegun kejut ditempatnya. Wajah Ting
Hoan beringas dan penuh kegusaran yang meluap2, dengan
lengan bajunya ia mengusap darah yang meleleh keluar dari
mulutnya serta desisnya bengis, “Suma Bing, sekarang dapatlah
kau berbuat sesuka hatimu. Tapi kau ingat, pada suatu saat
nonamu ini pasti akan menghantammu juga hingga kau muntah
darah!” — Sekali melenting tubuhnya segera melesat menghilang
diantara bayangan pohon.
Sambil berkerut alis Suma Bing mengiringi kepergian orang dengan
pandangan mendelong. Batinnya, “entah ada hubungan apakah
antara Pek-hoat-sian nio dengan Tiang-un Suseng? Hingga tanpa
memperdulikan keselamatan sendiri Ting Hoan rela berkorban untuk
merintangi perbuatannya yang tercela ini? Dan kalau benar2 dirinya
membongkar kuburan ini, itu berarti dirinya harus bermusuhan juga
dengan Pek-hoat-sian-nio, teringat olehnya waktu memperebutkan
Pedang berdarah tempo hari dengan mudah saja Pek-hoat- sian-nio
turun tangan membinasakan Tang-hay-hi-hu dan In Hong Lokoay
dua gembong iblis yang terkenal hebat dan ampuh kepandaiannya.
Tanpa merasa bergidik dan merindinglah seluruh tubuhnya.
6.
WAN
ITA
MIST
ERIU
S
SER
BA

Akan tetapi betapapun musuh perguruan harus ditumpas. Para
durjana yang turun tangan keji mencelakai Suhunya mana bisa
begitu saja dibiarkan lolos dari pembalasan. Setelah mengambil
ketetapan hati dia memutar badan menghadapi kuburan dan
kedua tangannya Iagi2 sudah berada ditengah udara.
Mendadak, diujung pandangan matanya terlihat sebuah bayangan
seperti bayangan setan saja tengah melayang mendatangi sangat
lambat kearah dimana ia tengah berada. waktu ia melebarkan
mata dan melihat tegas, tanpa merasa ia menjedot hawa dingin,
kedua tangan yang diangkatpun tanpa kuasa menjulai turun. Kalau
saat itu diwaktu malam tentu disangkanya ia melihat setan. Sebab
bangun tubuh itu bayangan itu benar2 mirip dengan setan
gentayangan yang sering diceritakan orang.
Kiranya bayangan yang muncul ini adalah seorang wanita yang
mengenakan pakaian serba hitam, rambutnya yang panjang dan
hitam kelam menjulai turun dari atas kepalanya menutupi pundak
dan dadanya, ditangannya menjinjing tergenggm bunga berwarna
merah darah. Yang terlihat dari seluruh tubuhnya itu hanya kedua
tangannya yang menjinjing bunga, pucat memutih bagai bunga
salju, seakan tangan itu bukan tangan seorang hidup.
Tanpa sadar Suma Bing mundur beberapa langkah ke belakang.
seakan tidak melihat kehadiran Suma Bing, sigadis hitam Ini
langsung mendekati kedepan kuburan, dan meletakkan seonggok
bunga itu didepan batu nisan.
Suma Bing berpikir: siapakah gerangan perempuan baju hitam ini,
bagaimana bisa meletakkan bunga didepan kuburan Tiang-un
Suseng?
Mendadak dilihatnya wanita itu menggelendot diatas batu nisan
dan nangis sesenggukkan dengan sedihnya, suara tangisnya
sedemikian memilukan hati, bagai pekikan orang

hutan diatas pegunungan, juga seperti seorang kekasih yang
ditinggal pergi kawan hidupnya tercinta.
Serta merta Suma Bing juga merasa pilu dan sedih hampir saja air
matapun meleleh keluarr termenung ia memandang wanita
misterius ini.
Entah sudah berselang berapa lama akhirnya siwanita baju hitam
itu menghentikan tangisnya dan berkata menggumam, “Jiang-ko,
kau pernah berkata seumpama dunia kiamat, lautan kering dan
batu hancur lebur cintamupun takkan berobah, untuk sepercik
harapan ini aku rela menderita segala siksaan selama tiga puluh
tahun. Tiga puluh tahun! Jiang-ko, seperti tiga ratus, laksana tiga
ribu tahun, tapi juga seperti baru berlangsung tiga jam yang lalu,
namun akhirnya, sekarang kau telah pergi, meninggalkan dunia
fana ini, didalam segunduk tanah diantara semak belukar dalam
hutan ini”
Diam2 terkejut hati Suma Bing, tidak perlu diragukan lagi bahwa
wanita baju hitam ini pasti adalah tunangan Tiang-un Suseng.
Demi cintanya ia rela menderita siksaan selama tiga puluh tahun
lamanya. Tekad yang besar dan cinta yang murni ini agaknya
akan selalu abadi selama hajat masih dikandung badan.
Mendadak siwanita baju hitam mendongak dan tertawa gelak2
bagai orang kesurupan suaranya serak dan menyedihkan penuh
kegetiran hidup yang menyayatkan hati, lebih seram dan menusuk
telinga dari suara tangisnya tadi, membuat siapa yang mendengar
merinding dan bergidik seram.
Tiga puluh tahun merupakan hari2 yang cukup panjang dan
kelebihan untuk menghilangkan masa remaja dan membawa jiwa
manusia sampai titik pangkal terachir, wa nita yang teguh dalam
lahir batin ini demi cinta dan cita2 rela tersiksa selama tigapuluh
tahun. Sehari begitu ia terlepas dari belenggu kesengsaraan yang
diperoleh kiranya hanyalah kehampaan dan putus segala harapan
dan cita2, betapa pedih dan sedih

hatinya dapatlah dibayangkan. Cinta murni yang abadi ini kiranya
cukup meluluhkan setiap hati manusia yang mempunyai perasaan.
Sekonyong2 suatu tawanya terhenti dan mendadak wanita baju
hitam itu mundur tiga langkah, terdengar mulutnya mengigau
bagai orang bermimpi, “Jiang-ko, aku ingin melihat kau.”
Membarengi kata2nya ia ayunkan sebelah tangan menghantam
kearah kuburan itu.
Mimpipun Suma Bing tidak menduga bahwa siwanita baju hitam
bisa berbuat begitu membongkar kuburan Tiang-un Suseng, tanpa
merasa ia berseru kejut dan heran.
Ditengah suara mengguntur yang dahsyat tanah dan batu
bergulung beterbangan, maka terlihat sebuah lobang sebesar satu
tombak sedalam lima enam kaki.
“Eh!” tanpa merasa Suma Bing dan siwanita baju hitam berseru
kejut berbareng dan tertegun dimasing2 tempatnya.
Kiranya bahwa liang kubur itu kosong melompong tiada jenazah
atau benda apapun juga.
“Sibaju hitam tergetar dan berseru gemetar; “Kiranya dia tidak
mati, eh. Jiang-koku tidak mati- Kenapa dia harus berbuat
demikian?”
“Sebab dia takut mati, dia menghindari kematian.” Perlahan2
sibaju hitam memutar tubuh, sinar matanya ingin
menembus dari belakang rambut yang terurai menutup mukanya.
keadaannya ini benar2 membuat orang merinding ketakutan.
“Apa yang kau katakan?” Suaranya dingin melebihi es, tapi
nyaring melengking
Seperti suara seorang gadis remaja. Serta merta Suma Bing
melangkah mundur lagi satu tindak tindak. Didengar dari suaranya
usia wanita misterius ini agaknya belum terlalu

lanjut, tapi dia sendiri tadi mengatakan telah tersiksa selama
tigapuluh tahun, hal ini benar2 susah dibayangkan. sayang
wajahnya tertutup oleh rambutnya yang hitam lebat susah dilihat
wajahnya, mungkin….
“Hei, apa yang kau katakan tadi?” tanya siwanita baju hitam lagi.
Nada suara Suma Bing berat dan sinis, sahutnya, “Kukatakan ia
takut mati, dia membangun kuburan kosong ini untuk menghindari
kematian!”
“Siapa yang bilang?” “Aku” “Alasanmu?” “Orang yang akan
mencabut nyawanya adalah aku!” Bahna
kaget siwanita baju hitam mundur melangkah. serunya bengis,
“Kau berani?”
Sikap Suma Bing sangat temberang, sahutnya, “Kenapa tidak
berani?”
Siwanita baju hitam mengekeh tawa panjang, nada tawanya
mengandung nafsu membunuh yang besar, katanya; “Siaucu biar
kuhancurkan kau lebih dulu!”
Wajah Suma Bing mengelam dan katanya hambar, “Aku kuatir
kau tidak mampu.”
Wanita baju hitam itu menyeringai dingin, ujarnya “Tidak percaya,
boleh kau coba2!” —- Bertepatan dengin kata2 terakhirnya
kesepuluh jari tangannya ditekuk bagai cakar binatang langsung ia
menerjang kearah Suma Bing pundak dan dada Suma Bing
diancam cengkeraman maut.
Tergetar hati Suma Bing melihat cara penyerangan lawan, bahwa
cengkeriaman lawan ini temyata begitu ganjil dan keji luar biasa,
Yang lebih lihay lagi adalah sekali jarak seakan ada beberapa
ratus cakar tajam sekaligus mengancam berbagai

jalan darah penting diseluruh tubuhnya Rasanya susah dihindari
atau ditangkis. lagipula sebelum ujung cakar mencengkeram tiba
lebih dulu terasa angin di ngin msnerjang tiba menyusub kedalam
badan.
Terpaksa ia jejakkan kedua kakinya, secepat anak panah tubuhnya
melejit minggir delapan kaki jauhnya. Dan sebelum ia dapat
punahkan diri hawa dingin dari cakar setan lawan sudah
membayang tiba pula menungkrup tubuhnya Lagi2 Suma Bing
harus menggeser kedudukan setombak lebih, maka kekuatan
Kiu-yang-sin-kangpun sudah terhimpun dikedua telapak
tangannya.
“Siaucu, boleh juga kepandaimu ya,’ seru wanita baju hitam
melengking dingin. “Dapat kau menghindari dua kali cakaranku.
Tapi ketahuilah bahwa dalam dunia persilatan yang dapat tetap
hidup dibawah rangsangan Pek-pian cui-jiau dapat dihitung dengan
jari!”
“Apa, Pek-pian-kui-jiau! (cakar setan Seratus perobahan)”
lengking Suma Bing melonjak kaget.
“Tidak salah, tidaklah penasaran mati dibawah Pek-pian cui-jiau,
apalagi kau sudah dapat menghindari dua jurus seranganku,
kepandaianmu sudah boleh dibanggakan di kalangan Kangouw!”
Suma Bing membuyarkan Kiu-yang-sin-kang, teringat akan pesan
Suhunya sebelum ajal, terasa omongan itu masih terngiang2
ditelinganya, meskipun dia tidak tahu mengapa Gurunya harus
berbuat demikian, tapi perintah guru bagaimanapun harus ditaati.
Untuk ketiga kalinya siwanita baju hitam menjerang lagi, terpaksa
Suma Bing harus berkelit dan main hindar saja tanpa berani balas
menjerang.
“Siaucu, kau mampu balas menyerang, mengapa tidak
menyerang?”

Susah bagi Suma Bing untuk memberi penjelasan, ter-paksa ia
tetap bungkam seribu bahasa. Maka menjadi2lah serangan wanita
baju hitam itu, bayangan cakar putih bagai berkelebatnya bayangan
setan seakan jala berlapis2 mengurung sekitar tubuhnya.
“Kena!” berbareng dengan bentakan nyaring ini, terdengar pula
Suma Bing berseru tertahan lima cakar jari tangan kanan siwanita
hitam dengan telak mencengkeram dipundak kiri Suma Bing,
kelima jarinya itu ambles sedalam satu dim, dari ujung cakar
jarinya itu merembes keluar hawa dingin yang mengalir masuk
kedalam tubuhnya merembes sampai ke tulang2nya.
Masih untung Suma Bing melatih Kiu-yang-sin-kang, hawa dingin
masih belum seberapa hanya kelima cakar yang menusuk kedalam
daging itulah terasa sangat sakit menembus jantung, seketika
keringat dingin berketel2 membanjir keluar.
Wanita baju hitam menyeringai bengis, katanya, “Kau tadi
mengatakan hendak membunuhnya lagi?”
Suma Bing mengertak gigi, sahutnya congkak, “Andaikan aku
tidak mati, aku tetap akan membunuhnya!’
“Akan tetapi, sudah pasti bahwa kau sendiri akan mati hari ini.”
Kontan bergejolak perasaan Suma Bing, sungguh sedih dan perih
hatinya susah dilukiskan. Bukan dia takut mati adalah ia merasa
berat kalau mati begitu saja, karena dendam perguruan dan musuh
keluarga masih belum tertumpas habis. Jikalau bukan mematuhi
perintah gurunya, dengan Kiu-yang- sin-kang untuk menghadapi
lawan serba hitanm ini, seumpama tak dapat menang, melarikan
diri dengan selamat bukanlah hal yang sukar. Sekarang, semua
telah terlambat, terasa seandainya ia matipun takkan meram.
Wanita serba hitam mengangkat tangan kiri dan mengancam,
“Siaucu, cakar ini akan mencengkram hancur batok kepalamu!”

Dengan tenang Suma Bing meramkan mata menanti ajal.
Dinanti2 siwanita serba hitam masih belum turunkan
tangannya, malah terdengar suaranya mengkili2:” “Kau tidak
takut mati?”
“Kalau memang sudah suratan takdir, perlu apa ditakuti!” debat
Suma Bing ketus.
“Dengan usiamu yang masih muda dan kepandaianmu yang susah
didapat ini, bukankah sayang kematianmu ini”
“Aku tidak akan minta belas kasihanmu!” Tiba2 sikap wanita
serba hitam ini menjadi lesu, ia
turunkan tangan kirinya sambil menghela napas panjang, katanya
seorang diri, “Persis benar dengan dia dulu! Dia belum mati, tapi
kenapa tidak pergi mencari aku, apa dia betul2 menjadi seorang
penakut? Tidak mungkin, tidak mungkin dia begitu takut mati
seperti apa yang dikatakan Siaucu ini, pura-pura mati untuk
mengelabui musuhnya tidak mungkin, tapi mengapa? Mengapa?”
Cengkeraman dipundak Suma Bing perlahan2 dilepaskan.
Bergegas Suma Bing mundur tiga langkah lebar, Sebelah kiri
tubuhnya sudah basah kujup oleh merah darah.
Setelah merenung sekian lamanya, wanita serba hitam membuka
suara lagi, “Siapa namamu?”
“Suma Bing!” “Dari perguruan mana?” “Tidak dapat
kuberitahukan.” “Kenapa kau tidak turun tangan, kau mampu
dan punya
tenaga untuk balas menyerang?” “Maaf, aku tidak
dapat menerangkan!” “Hm, aku tidak jadi
membunuhmu, kau pergilah!”

“Apa kau tidak menyesal?”’ “Menyesal, mengapa menyesal?”
“Sebab aku tidak merobah pendirianku untuk membunuh
Tiang_un Suseng.” Sejenak wanita baju hitam melengak dan
berpikir, lalu
katanya, “Akupun perlu memperingatkan kau, lain kali bertemu
lagi, jangan harap kau dapat tinggal pergi dengan masih
bernyawa”
“Itu akan terukir dalam benakku.” “Baik, kau boleh pergi”
Suma Bing menjejak tanah dan baru saja tubuhnya melesat
ditengah udara, berserulah siwanita baju hitam me- manggilnya
kembali- Tanpa merasa Suma Bing menghentikan luncuran
tubuhnya dan berpaling balik. Disangkanya lawan merobah
niatnya.
“Apa sedemikian besar hasratmu hendak membunuh Tiang- un
Suseng Poh Jiang?”
“Tidak salah, kau menyesal?” Wanita baju hitam tertawa
terloroh2, jengeknya, “Apa yang
sudah kuucapkan tidak akan kusesali. hanya maukah kau melulusi
satu syaratku?”
“Syarat apa itu, coba katakan.” “Setelah kau dapat menemukan
Tiang-un Suseng, harap
jangan kau segera turun tangan, kau harus tunggu setelah bertemu
dengan aku, kita putuskan menurut kebenaran dan duduk perkara
yang terang, kau akan mendapatkan kesempatan yang adil,
dapatlah kau melulusi?”
“Boleh, tapi aku juga ada dua keterangan!”
“Coba katakan?”

“Pertama; begitu Tiang-un Suseng bertemu dengan aku, kalau dia
yang turun tangan lebih dulu, susahlah aku untuk tidak
membunuhnya.”
“Tidak bakal terjadi asal kau mengatakan, sahabat-lama di
Te-jui-hong pada tiga puluh tahun yang lalu kini telah melihat
sinar matahari, tentu dia takkan turun tangan menyerang kau!”
“Kedua, beritahu dulu alamat dan nama besarmu, kalau tidak
sedemikian lebar dunia kangouw ini”
“Itupun tak perlu, karena dia pasti dapat membawamu, menemui
aku. Kalau begitu jadi kau melulusi syaratku itu?”
“Baiklah!” “Suma Bing- aku percaya kau?” “Ucapan seorang
Tianghu takkan dijilat lagi harap legakan
hatimu!” — Selesai kata2nya la memutar tubuh terus terbang
cepat
kedalam hutan. Sudah ada satu keteta-pan hati untuk langkah
selanjutnya Tiang-un Suseng ada-lah salah satu tokoh dari Bulim-
sip-yu (sepuluh kawan Kaum Bulim), dan Bu-lim-sip-yu ini
adalah komplotan Loh Cu-gi itu murid murtad gurunya atau biang
keladi dalam pengerojokan dan penganiajaan tcrhadap gurunya
dulu, kecuali empat orang yang sudah mati, masih sisa enam
orang berada di kalangan Kangouw, asal dapat mencari lima
orang lainnya lagi, tidaklah sukar untuk mengejar jejak Tiang-un
Suseng.
Baru saja tubuh Suma Bing melesat keluar dari hutanl dan belum
menginjak kaki dijalan besar dari depan sana telah mendatangi
sebuah tandu warna hijau mulus bagai terbang. Berdetak hati
Suma Bing, karcna yang mendatangi itu bukan lain adalah
Pek-hoat-sian-nio. Maka segera ia menghentikan langkah dan
berdiri tenang menantikan apa yang bakal terjadi,

dapatlah diduga bahwa kedatangan orang pasti mencari dirinya.
Benar juga terpaut lima tombak dari dirinya tandu hi jau itu
berhenti, dan muncullah si gadis baju putih Ting Hoai yang beium
lama ini terluka oleh pukulannya, sinar matanya bengis me-nyala2
penuh kebencian.
“Suma Bing majulah kedepan!” suara ini terucapkan dari dalam
tandu.
Sejenak Suma Bing menenangkan gejolak hatinya, Ia lantas
dengan sikap angkuh tanpa takut2 ia melangkah lebar kedepan
tandu kira2 dua tombak jauhnya.
“Kau tadi yang melukai Hoan-ji?” Sekilas Suma Bing melirik
kearah Ting Hoan, lalu sahutnya,
“Ja, memang begitulah telah terjadi!” “Kau benar2 sangat takabur
dan sombong?” “Apa perkataan Sian-nio ini tidak terlalu berat
sebelah.”dua
harimau bertarung tidak mungkin tidak terluka!” “Tapi dia
menaruh belas kasihan lebih dulu membuang
kesempatan untuk melukaimu.” “Akupun tidak menghendaki
jiwanya bukan.” “Membongkar kuburan dan meusak jenazah, apa
kau tidak
merasa bahwa perbuatanmu itu sangat hina, rendah dan keji?”
“Cayhe hanya ingin membuktikan apakah musuhku itu benar2
mati atau pura2 mati, sedikitpun tiada niatku me-rusak
jenazahnya.”
“Ada permusuhan apa antara kau dengan Tiang-un Su-seng Poh
Jiang?”
“Dendam kesumat sedalam lautan!”

“Perguruanmu dari aliran mana”“ “Tentang itu…. aku tidak
dapat memberi tahu” Pek-Hoat-sian-nio tertawa terloroh2,
serunya, “Hoan-ji,
coba kau serang dia.” Tanpa diminta kedua kalinya sigadis baju
putih yitu Ting
Hoan mendesak maju terus mengayn tangannya melancarkan
sebuah pukulan jarak jauh.
Suma Bing maklum bahwa lawan hendak mengorek asal usul
dirinya dari ilmu kepandaiannya. mka tanpa balas menjerang,
sekali meleit tubuhnya melayang menghindar.
“Hoan-ji, gunakan jurus Ban-Iiu-kui-cong.” suara Pek-hoatsian-
nio bergema lagi.
Tubuh Ting Hoan menerjang maju sambil berputar, seketika
bayangan pukulannya laksana bunga salju beterbangan memenuhi
udara, melayang2 mengepung seluruh tu-buh Suma Bing,
sedemikian rapatnya serangan ini seumpama hujan badaipuu takan
tertcmbuskan. Diluar dugaan, tampak tubuh Suma Bing bergoyang
guntai tahu2 bagai setan yang bisa menghilang tubuhnya sudah
berkelebat menghindar dari bayangan pukulan lawan.
“Hoan-ji, mundur!” Ting Hoan mendelik benci memandang
Suma Bing, tanpa
bersuara ia mengundurkan diri. Dimana terlihat tirai rangkaian
mutiara dipintu tandu itu
tersingkap, seorang nenek tua berambut putih bagai perak dan
wajah bersemu merah bagai wajyh seorang baji muncul dari
dalam tandu.
Tergetar jantung Suma Bing, darahpun terasa berjalan. semakin
cepat seumpama, Pek-hoat-sian-nio benar2 turun tangan sendiri,
dapatkah dirinya tetap merahasiakan asal usul dirinya susahlah
diduga.

Baru ia tengah berpikir terasa pandangannya kabur tahu2
Pek-hoat-sian-nio sudah berdiri dekat dihadapannya, demikian
dekat sampai dijamahpun dapat dipegang. Gerak tubuh yang
hebat luar biasa ini dia mengakui tak mungkin dirinya bisa
melawan. Wajah kekanak2an Pek-hoat-sian-nio yang kemerah2an
itu mengunjuk sikap serius dan kaku menatap Suma
Bing sampai sekian lamanya, katanya “benar2 kau sudah
membongkar kuburan Tiang un Suseng”
“Memang kuburan itu sudah terbongkar, tapi….” “Tapi apa?”
“Bukan aku yang membongkarnya!’1 Berkelebat rasa heran dan
tak habis mengarti pada wa
cljah Pek-hoat-sian-nio. tanyanya lagi, “Lalu siapa yang
membongkar?”
“Seorang wanita serba hitam yang misterius”. “Siapakah dia?”
“Aku tidak kenal!” Dari samping Ting Hoan perdengarkan
ejekannya,
jengeknya, “Seorang laki2 berani berbuat berani bertanggung
jawab, buat apa bohong mengelabui orang lain!”
Suma Bing melotot dengan rasa gusar meluap2, serunya keras:
.Siapa dusta dan tidak berani bertanggung jawah?’1'
“Kau! Pek-hoat-sian-nio ulapkan tangan menghentikan
perkataan
Ting Hoan, lalu katanya pula, “Suma Bing, tidak peduli sia-pa yang
membongkar, bagaimana. dengan tulang kerangka nya….”
Suma Bjng berseru geram, “sebuah kuburan kosong, hakekatnya
tiada tulang kerangka Tiang-Un Suseng Poh Jiang apa segala.”

Ucapannya ini benar2 diluar dugaan siapapun. Tidak ketinggalan
Pek-hoat-sian-niopun kerutkan alisnya, tanyanya menegas, “Apa
betul ucapanmu itu?”
“Apa perlu aku berdusta?” jengek Suma Bing mendongkol
Wajah Pek-hoat-sian-njo mengunjuk rasa curiga dau tidak
percaya (sangsi), katanya seorang diri, “Aneh, mana mungkin
terjadi. Mengapa dia berbuat begitu? Baiklah, kita doakan begitulah
sesungguhnya.' selanjutnya berobahlah nada ucapannya, “Suma
Bing, beritahukan perguruanmu’ — dua sinar mata yang dapat
menyedot semangat orang menatap tajam kedua mata Suma Bing.
“Sudah kukatakan, tidak mungkin kuberitahukan,” sikapnya
angkuh dan dingin luar biasa.
“Tidak kau katakan apa kau dapat mengelabui mata tuaku ini,”
ditengah ucapannya secepat kilat sebuah tangannya menjelonong
maju.
Suma Bing insaf tak mungkin dirinya dapat menghindar atau
berkelit. secara langsung gerakan reflek tangannya maju
menjongsong tangan lawan. Se-konjong2 Pek-hoat-sian-nio
berseru kejut dan mundur selangkah besar, wajahnya yang merah
bagai wajah orok itu berobah ber-ulang2, suaranya bengis dan
tajam berkata, “Suma Bing, ilmu silatmu berasal dari “Lam-sia”.
Tapi Siasin Kho Jiang sudah meninggal pada duapuluh tahun yang
lalu, tentu tidak mungkin mempunyai seorang murid muda belia
seperti kau ini….” sampai disini suaranya merandek, sinar matanya
su-dah mengunjuk nafsu membunuh.
Tergetar semangat Suma Bing, nama Pek-hoat-sian-li yang
tenar dan disegani bukan kosong belaka. dalam satu gebrak
saja lantas dapat mengenali asal sumber ihnu silatnya maka
dapatlah dibayangkan betapa luas dan tinggi
kepandaiannya. Namun nafsu membunuh pada sinar
matanya itu betul2 membuatnya tak habis mengerti.

Setelah berhenti sebentar suara Pek-hoat-sian-nio semakin bengis
menakutkan, “Apa hubunganmu dengan Loh-Ju-gi?”
Lagi2 Suma Bing tertegun dibuatnya, tidak nyana bahwa Orang
dapat menyebuttkan nama Suhengnya yang menghianat pada
perguruan itu, entah apakah maksud tujuannya.
Dilihat dari sepak terjang orang, tentu mengandung mak-sud tidak
baik. Akan tetapi sejak kecil dirinya dibesarkan dan dibimbing oleh
Lam-sia, sedikit banyak ketularan sifat pembawaan gurunya yang
aneh itu Timbullah perlawanan dan rasa tak puas terhadap sikap
Pek-hoat-sian-nio yang menantang itu, maka sahutnya dengan
congkaknya, “Tidak sudi aku memberi tahu.”’
Sikap kamarahan Pek-hoat-sian-nio semakin menjadi2, kedua
matanya merah membara, sekali lagi ia menghardik, “Apakah Loh
Cu-gi itu adalah Suhumu?”
“Tidak perlu kuberitahu.” “Jangan sesalkan aku mengompes
mulutmu.” “Aku selamanya tidak senang diancam.” “Dimana
Loh Cu-gi sekarang berada?” “Sekali lagi kukatakan tidak bisa
kuterangkan.” “Budak kecil, masa benar kau tidak mau
menerangkan-”
Wut, dilancarkannya sebuah pukulan membawa kekuatan dahsyat
yang menggetarkan bumi.
Suma Bing berkelebat kesamping, menghindar sambil membalas
kirim tiga pukulan- kekuatan tiga pukulannya inipun bukan olah2
hebatnya. Pek-hoat-sian-nio memutar kedua tangannya membuat
sebuah lingkaran besar, maka lenyap sirnalah kekuatan tiga
pukulan Suma Bing itu bagai tenggelam dalam lautan tanpa jejak.
Wut- wut, Iagi2 lawan lancarkan dua kali pukulan berbareng.

Terpaksa Suma Bing menggertak gigi dan mengulur ta- ngan
menyambut dua pukulan musuh ini. “Bum, Bum!” dua kali
benturan yang menggeledek, Suma Bing tergetar mun-dur satu
langkah besar.
Pek-hoat-sian-nio menggeram gusar, tubuhnya menerjang maju
sambil ulurkan cakar tangannya mencengkeram kedada lawan,
cara gerak turun tangan ini, hakekatnya tidak memandang musuh
sebelah mata.
Selama limabelas tahun Suma Bing ditempa dan digembleng oleh
Lam-sia, kepan-daiannyapun sudah bukan olah2 hebat, kedua
tanganya membalik dan berputar cengkeraman Pek-hoat-sian-nio
tertolak terhenti ditengah jalan. Kalau musuh tidak membatalkan
Serangannya, sudah tentu Suma Bing tak mungkin terhindar dari
mara bahaya kematian, namun demikian kedua tangan
pek-hoat-sian-nio pun harus dikorbankan.
Tanpa merobah jurus serangannya, secepat kilat Pek-hoatsian-
nio merobah gerak jarinya dari mencengkeram ganti
memukul, telapak tangannya tahu2 menggenjot kemuka musuh,
sedang sebuah tangan yang lain jari2nya bergantian menjentik,
melancarkan lima carik kekuatan tenaga angin berbareng tubuh
juga ikut menyelonong maju membantu kecepatan serangannya.
Betapapun cepat reaksi Suma Bing sudak tak mungkin lagi dapat
berkelit, dalam keadaan gawat itu cepat2 ia miringkan kepala dan
menggeser kedudukan kakinya kesamping, perasaan sakit
menembus tulang segera menyerang tubuhnya, dua jalur kekuatan
selentikan jari lawan dengan telak menembus pundaknya, darah
segar segera rnembanjir keluar bagai air mancur, tubuhnya
terhuyung mundur delapan kaki hampir roboh, tapi dia mengertak
gigi menahan sakit tanpa mengeluarkan keluhannya.
Pek-hoat-sian-niopun menghentikan serangannya, suaranya tetap
mengancam, “Kau mau katakan atau tidak?”

Suma Bing menutuk jalan darahnya sendiri untuk mengurangi
mengalirnya darah dilukanya itu, wajahnya yang putih cakap saat
itupun penuh diselubungi hawa pembunuhan yang dalam,
jawabannya tetap kaku dan garang, “Tidak kukatakan.”
“Pendek kata kau harus mengatakan.” ~ Habis berkata
Pek-host-sian-nio melancarkan serangannya. Sungguh murka Suma
Bing bukan alang kepalang, dua tangannya diangkat berbareng ia
mendorong sekuatnya kedepan. Pukulannya ini mengandung
seluruh tenaga Kiu-yang-sin-kang, maka gelombang panas
bergulung2 bagai lahar gunung berapi yang meletus. Suara
benturan mengguntur memekakkan telinga Sekali lagi Suma Bing
terdesak mundur tiga langkah, tubuh Pek-hoat-sian-nio hanya
ber-goyang2 saja, jengeknya dingin, “Kiu-yang-sin-kang, pelajaran
tunggal dari Lam-sia, sayang latihanmu masih terpaut ter-lalu
jauh.”
Suma Bing melihat bahwa pukulan Kiu-yang-sin-kang yang telah
mengerahkan setaker tenaganya masih belum mampu
merobohkan lawan malah seujung rambutpun tidak terluka,
seketika luluhlah semangatnya, namun begitu hatinya ma-sih
mantap untuk tidak mundur begitu saja.
Sambil berteriak panjang Pek-hoat-sian-nio lancarkan sebuah
pukulan lagi. Kedua mata Suma Bing merah membara, tahu dia
bahwa dirinya bukan tandingan orang, tapi bagaimanapun ia tidak
mau mandah terima ajal, tangan diangkat lagi2 ia menangkis.
“Blang” ditengah suara mengge-ledek itu, Suma Bing mengeluh
panjang, darah segar me-nyembur keluar bagai anak panah,
tubuhnyapun terbang tiga tombak jauhnya- Pucat pasi wajah Ting
Hoan, tanpa me-rasa ia berseru kejut dan kuatir, keempat gadis
pemikul tandupun tak urung ikut kaget dan berobah air mukanya.
Suma Bing merasakan kesakitan yang luar biasa menyerang
seluruh tubuhnja, pandangan mata ber-kunang2, namun sifat
angkuh dan kukuhnya masih tetap bertahan

dalam be-naknya, seakan2 terkiang dipinggir kupingnya sebuah
suara, “Jelek2, kau murid Lam-sia yang ditakuti, mana boleh
ber-tekuk lutut dihadapan orang lain!” ~ Sambil mengertak gigi,
tubuhnya terhuyung bangun, seluruh tubuh penuh berlepotan
darah, kiranya luka dipundak kiri karena cengkeraman siwanita
baju hitam itu dan lobang pundak kanan karena tusukan jari
Pek-hoat-sian-nio itu pecah lagi dan mengeluarkan darah karena
benturan adu kekuatan dahsyat ini. Ditambah noda darah dari
mulutnya, keadaannya boleh dikatakan sangat seram dan
mengenaskan seperti setan da-rah.
Kecut serta dingin perasaan Pelc-hoat-sian-nio melihat
ke-angkuhan dan tekad anak muda yang besar ini.
“Suma Bing, selamanya aku orang tua tidak suka tu-run tangan
kejam terhadap orang, tapi untuk menge-tahui jejak bajingan Loh
Cu-gi itu, terpaksa aku me-langgar kebiasaanku. Kurasa kaupun
tahu betapa enak me-rasakan menjungsang nadi memuntir urat?”
Bergidik dan gemetar tubuh Suma Bing mendengar pernyataan
orang, namun ia tetap berkeras hati, “Pek-hoat- sian-nio, kau turun
tanganlah, paling banyak aku Suma Bing mati di tanganmu.”
Mimik wajah Pek-hoat-sian-nio berobah tak menentu, dengan
kedudukan dan namanya yang tenar kiranya tidak pa-tut ia turun
tangan terhadap angkatan muda. Akan tetapi, untuk mengetahui
dimana jejak Loh Cu-gi itu terpaksa dia harus berlaku sekejam
mungkin, tidak peduli akan gengsi dan kedudukan apa segala.
Sebelum Pek-hoat-sian-nio turun tangan, Ting Hoan maju
beberapa langkah dan berkata gemetar, “Suhu, lebih baik digusur
pulang saja dan per-lahan2 ditanyai.”
Pek-hoat-sian-nio mendelik, “Apa kau sudah melupakan peraturan
gurumu?”

“Murid tidak berani, hanya….” “Bagaimana?’ “Mungkin dia
bisa…. mati!” “Kau jangan melupakan seorang yang lebih
menderita
daripada mati.” Ting Hoan tidak berani bersuara lagi, sambil
tunduk la
mengundurkan diri. Hakekatnya Suma Bing tidak tahu persoalan
apa yang di
percakapkan antara guru dan muridnya itu. Tapi sedikit banyak ia
dapat menduga persoalan itu menyangkut per-buatan busuk Loh
Cu-gi Suhengnya yang murtad itu. Kalau mau bicara terus terang,
mungkin perkembangan selanjutnya akan berobah. Dasar sifat
Suma Bing memang angkuh dan ketus sampai matipun dia takan
bertekuk lutut.
Setelah merenung sekian lama, mendadak Pek-hoat-sian- nio
menghardik lebih bengis lagi, “Ada guru tentu ada mu-rid, sifat
pembawaan binatang serigala yang harus diberan-tas. Hoan-ji,
musnahkan dia.”
Sekilas Ting Hoan memandang gurunya, dengan ragu2 ia
mendekat kedepan Suma Bing bibirnya gemetar, “Suma Bing,
mengapa tidak kau katakan saja?”
Suma Bing hanya pelototkan kedua matanya yang mengembang air
darah, mulutnya terkancing rapat tak menggubris pertanyaan
orang.
Wajah Ting Hoan penuh mengunjuk belas kasihan, de-ngan suara
yang paling lirih hampir tak terdengar ia mem-bisiki, “Suma Bing,
rebahlah mengikuti telunjuk jariku.” Lantas disusul suaranya
membentak keras, “Kau mencari kematianmu sendiri, jangan
sesalkan orang lain.” Ditengah suara bentakannya kedua jarinya
dirangkapkan menutuk jalan darah kematian didada Suma Bing.
Tanpa ber-suara Suma Bing roboh terkapar diatas tanah.

Pet-hoat-sian-nio ulapkan tangan terus membalik tubun masuk
kedalam tandu lagi, segera keempat gadis baju hijau mengangkat
tandu terus tinggal pergi. Diam2 Ting Hoan memandang iba
kearah tubuh Suma Bing yang meng-geletak diatas tanah, terus
tinggal pergi ikut dibelakang tandu.
Begitu bayangan Pek-hoat-syan-nio beramai menghilang. Suma
Bing terhuyung bangun berdiri. Mulutnya menggu-mam,
“Mengapa dia menolongku? Aku berhutang nyawa kepadanya,
sebaliknya Suhunya berhutang darah padaku.”
Suma Bing menunduk melihat seluruh tubuhnya yang pe-nuh
berlepotan darah, katanya tertawa sedih, “Aku sudah mati dan
hidup sekali lagi.” dengan sempoyongan ia berjalan menyusur balik
memasuki hutan, untung hutan ini tidak begitu besar, setelah
sekian lama ubek2an ditengah rimba ditemukan sebuah gua cukup
untuk menetap semen-tara waktu. Saat mana yang paling penting
adalah menge-rahkan tenaga untuk berobat diri. Luka2nya terlalu
berat, pukulan Pek-hoat-sian-nio itu hampir saja memutuskan
seluruh urat nadinya, hawa murninya susut terlalu banyak, se-telah
berkutetan sekian lama jalan darah tertembuskan semua rintangan
dalam tubuhnya. Begitulah tanpa mengenal lelah ia semadi dan
berobat diri, dua hari dua malam kemudian baru usahanya itu
berhasil memuaskan. Tengah hari pada hari ketiga, dengan sikap
gagah dan semangat me-nyala2 ia sudah melanjutkan
perjalanannya ditengah jalan raya.
7. TANGBUN YU = PUTRA RACUN UTARA
Tujuan perjalanan kali ini adalah markas besar Ngo-ouwpang.
Didepan pintu gerbang markas besar Ngo-ouw-pang
terpancang sebuah bendera putih tanda duka-cita, semua anak
murid perkumpulan itu mengunjuk rasa duka dan lesu.

Saat mana tiba waktu tengah hari, seorang pemuda ganteng yang
bersikap agak angkuh dan kasar memasuki ruang menyambut
tamu pada markas terdepan.
Seorang tua berwajah hitam sekian lama mengamat-amati orang
yang baru datang ini, lalu maju menyapa, “Harap tanya nama
Siauhiap yang mulia?”
“’Suma Bing.” “Ada hubungan apa dengan Pangcu kami?”
“Sahabat lama.” “O, jadi kedatangan Siauhiap dari jauh ini
tentu hendak ikut
melawat, sepanjang jalan tentu melelahkan silahkan duduk dan
minum teh untuk menyegarkan badan, nanti ….”
“Tidak usahlah.” tukas Suma Bing dingin. ‘Harap saja saudara
mengundang orang untuk mengantarkan aku bagai-mana?”
“Ini…. baiklah, The-hiangcu!” “Hamba berada disini.” Seorang
laki2 pertengahan umur
maju memberi hormat. “Tuan Suma Siauhiap ini adalah sahabat
kental Pangcu
waktu masih hidup, dari jauh dia datang ikut melawat, iringilah
pergi keruang lajon.”
Hiangcu she The itu mengiakan hormat terus memutar tubuh
menghadapi Suma Bing dan merangkap tangan kata-nya, “Suma
Siauhiap silahkan ikut aku yang rendah.”
Suma Bing mengangguk terus mengikuti dibelakang The- hiangcu,
setelah keluar dari ruang penyambut tamu terus langsung menuju
kemarkas besar, sepanjang jalan orang berlalu lalang tak
putusnya, wajah mereka menunjuk rasa simpatik dan serius.
Diam2 Suma Bing tengah menimang2 satu persoalan yang
penting. Seperti dugaan Suhu-nya semula ternyata bahwa
Tiang-un Suseng benar2 pura2 mati untuk menghindari

kematian. Sekarang Ngo-Jouw Pangcu Coh Pin juga mati
bertepatan dengan kedatangannya ini. Inilah kebetulan atau
mengikuti cara Tiang-un Suseng untuk mengelabui dirinya?
Naga2-nya memang keadaan ini tak mungkin palsu, tapi
pengalaman terdahulu membuatnya waspada, mana bisa ia
membiarkan musuh lolos dengan secara licin. Demi mem-balas
sakit hati Suhunya dia bersiap untuk menghadapi segala resiko
meskipun dirinya harus menjadi mu-suh bersama kaum persilatan
tapi tujuan pertama untuk membelah peti mati harus tetap
dilaksanakan. Sudah tentu secara halus ia bisa minta supaya diberi
kesempatan mem-buka peti mati untuk memeriksa, tapi itu tak
mungkin terjadi. Setelah jenazah masuk peti dan dipaku rapat,
pasti tidak mungkin dibuka lagi untuk diperiksa, maka jalan
satu2-nya menggunakan kekerasan membelah peti mati itu.
Dia sudah dapat membayangkan akibat perbuatannya itu. Tanpa
menimbulkan kecurigaan ia bertanya kepada The- hiang-cu yang
membawa dirinya itu, “The-hiangcu, terse-rang penyakit apakah
hingga Pangcu kalian meninggal dunia?”
“Ini…. eh angin duduk.” “Angin duduk?” “kejadian didunia ini
susah diduga sebelumnya oleh
manusia”. Mulut Suma Bing menjebir ejek, sahutnya pura2 penuh
perhatian, “Benar, kejadian dikolong langit ini kadang2 memang
diluar dugaan orang.”
Tak lama kemudian tibalah mereka diluar gedung markas besar,
gedung markas besar ini dibangun sedemikian megah dan
angkernya. Walaupun dalam saat2 duka-cita tapi pen- jagaan
diadakan sedemikian kuat dan keras. Tiba diluar pintu The-hiangcu
menyingkir kesamping dan menyilahkan, “Siauhiap silakan!”

Suma Bing tidak mau bermain sungkan, sambil mengang-kat dada
ia melangkah memasuki markas besar. Ruang lajon terletak
ditengah bangunan gedung bertingkat dimana biasanya diadakan
perundingan penting bagi kaum Ngo-ouw-pang. Suasana dalam
gedung sesak berhimpitan kare-na tamu2 yang datang melawat
kelewat banyak.
Sampai didalam ruang lajon Suma Bing menjadi sangsi, sukar
dipastikan untuk menentukan benar2 mati atau pura2 matikan
Ngo-ouw Pangcu Coh Pin ini. Coh Pin adalah satu. diantara
Bu-lim-sip-yu, pemalsuan kuburan Tiang-un Suseng merupakan
pengalaman pahit yang pertama, maka kalini dia harus berani benar
turun tangan untuk membuk tikau kebenarannya. Tapi, dihadapan
sekian banyak hadirin, hendak membelah peti mati, akfbatnya tentu
akan menim-bulkan kemarahan massa- Lantas teringat olehnya
bahwa kedatangannya ini adalah untuk penuntut balas sakit
pergu-ruan, mengapa harus takut2 dan gentar menghadap; segala
risiko. Tengah berpikir itu Ia sudah melangkah mendekati layon,
seorang tua berjubah panjang warna hitam segera maju menyapa,
“Banyak terima kasih atas kedatangan Siauhiap ikut memberi
penghormatan kepada Pangcu.”
Hidung Suma Bing mendengus dingin sikapnya angkuh. Melihat
gelagat Yang tidak baik ini berobah air muka si OTang tua jubah
hitam, namun ia masih berlaku hormat dan merendah, “Siapakah
Siauhiap Ini?”
“Aku yang rendah Suma Bing.” “Suma Siauhiap dan Pangcu
kita semasa hidup adalah….” Wajah Suma Bing berobah
kelam, sinar matanya beri-ngas
penuh nafsu membunuh, dengan angkuh ia tukas kata2 orang,
“Cayhe ingin menjenguk wajah jenazah Pangcu kalian.”’
Siorang tua melonjak kaget, serunya, “Jenazah Pangcu sudah
masuk peti dan tertutup rapat.”

Sekali berkelebat Suma Bing memutar kesamping meja
sembahyang terus maju mendekat lajon. Orang tua jubah hitam
menghardik keras, “Berani kau-” sebat sekali memburu tiba
dibelakang Suma Bing terpaut lima langkah Karena bentakan
nyaring ini terkejutlah para hadirin dalam dan diluar gedung,
beramai2 mereka merubung datang, maka dalam sekejap mata
ribut dan gegerlah suasana dalam ruang lajon itu. Segera seorang
tua yang berwajah angker berjenggot kambing melangkah
kedepan, berhadapan de-ngan Suma Bing terpaut peti mati, nada
kata2nya berat-”Siauhiap ini apakah tujuan kedatanganmu?”
Sekilas Suma Bing melirik dingin kearah orang tua beru-ban ini.
sahutnya kaku, “Tidak apa2, hanya ingin kulihat jenazah Pangcu
kalian.”
Buncahlah semua hadirin Yang mendengar ucapanya itu, semua
mengunjuk rasa gusar. Alis putih siorang tua beruban berjengkit,
serunya, “Lohu San Bok-sing Tongcu pejabat seksi hukum,
Siauhiap ini siapa dan dari perguruan mana?”
“Aku Suma Bing.” Dari perguruan mana?” “Tidak perlu
kuberitahu kepada kau.” San Bok-sing Tongcu pejabat seksi
hukum dari Ngo-ouwpang
menarik muka keren, sinar matanya berkilat2, serunya
bengis, “Kedatangan tuan ini adalah hendak menuntut balas?”
“Tidak salah ucapanmu” “Tidak perduli semasa hidup Pangcu
kita ada permusuhan
sebesar apa dengan kau. tapi pepatah mengatakan; orangnya
mati permusuhan ludes. Masa tuan hendak membelah peti mati
dan merusak jenazahnya?”
“Aku yang rendah hanya ingin memeriksa dia benar2 mau atau
pura2 mati, tentang merusak jenazah itulah ucapan berkelebihan.”

Ketegangan dalam ruang lajon meruncing, saat mana datang pula
tiga orang tua dan dua laki2 pertengahan umur mendesak
dibelakang Suma Bing berdiri jejer dengan si orang tua jubah
hitam tadi, semua mengangkat alis membelalakan mata, wajah
serius penuh ketegangan bersiaga menghadapi setiap perobahan.
Suma Bing ganda mendengus sekali, tangan diangkat langsung
mencengkram kearah peti mati….
“Siaucu kau cari mati.” Teriak Sing-tong Tongcu (Tong-cu seksi
hukum) San Bok-sing. Berbareng kedua tangan-nya menjodok
kedepan membawa kesiur angin dahsyat me- nerjang kearah
Suma Bing. Tangan kiri Suma Bing dikiblatkan, sedang tangan
kanan tetap mencengkram kearah peti mati. “Blang” San Bok-sing
tertolak undur tiga langkah.
Hampir dalam waktu yang bersamaan enam jalur angin keras
bersama melanda dari belakang menerjang ke arah punggung
Cuma Bing. Betapa tinggipun kepandaian Suma Bing tak mungkin
berani memandang enteng gabu-ngan tenaga enam tokoh silat
tinggi, terpaksa ia melejit untuk menyingkir, kecepatan gerak
tubuhnya ini hampir susah dilihat pandangan mata. Baru saja
enam tokoh silat dari Ngo-ouw- pang melancarkan pukulannya
lantas mereka kehilangan bayangan musuh, maka cepat2 mereka
harus berusaha untuk menarik tenaganya, atau mungkin tenaga
pukulan mereka sendiri yang akan membelah peti mati itu.
Di sebelah sana Sing-tong Tongcu San Bok-siang sudah memutar
tubuh berhadapan lagi dengan Suma Bing. Nafsu membunuh
semakin menegangkan.
Air muka Suma Bing beringas dan tebal diselubungi hawa
membunuh, nada kata2nya dingin laksana es, “Cayhe hanya ingin
membuktikan kematian Coh Pin, tiada hasratku untuk mengalirkan
darah, kuharap kalian tahu diri.” — Sorot ma-tanya tajam
ber-kilat2 menyapu kearah semua hadirin, bergidiklah semua
orang yang dipandang sedemikian rupa.

Tahulah mereka bahwa tiada seorangpun hadirin yang bakal
mampu melawan kelihayan Suma Bing. Karena apa Suma Bing
hendak membuka peti mati dan memeriksa jenazah? permusuhan
apa dengan Pangcu mereka semasa masih hidup, semua bertanya2
dalam hati.
Akan tetapi betapa besar wibawa nama Pangcu dari Ngo- ouw-pang
ini, setelah mati di kandang sendiri pula, peti matinya hendak
dibelah orang, bukankah merupakan penghi-naan yang terbesar.
Ditengah suara bentakan yang riuh rendah itu, Sing-tong Tongcu
San Bok-sing sudah merangsak maju lagi, “Wut” langsung ia kirim
sebuah pukulan mengarah dada Suma Bing. Pukulan ini
dilancarkan dengan himpunan seluruh tenaganya, kekuatannya
benar2 membuat orang kagum dan mengelus dada.
Cepat” tangan Suma Bing berkelebat. “Blang” terdengar San
Bok-sing berseru tertahan darah segar berhamburan dari
mulutnya, tubuhnya terpental mundur menerjang din-ding dan
terpental balik lagi. ~ San Bok-sing merupakan to-koh kelas satu,
namun hanya satu gebrak saja sudah terluka muntah darah,
keruan semua hadirin mengkirik ke-takutan.
Namun tidak demikian dengan empat orang tua dan dua laki2
pertengahan umur itu, demi melindungi nama baik perkumpulan,
mereka rela berkorban segalanya termasuk jiwa raga sendiri. Maka
sambil membentak2 serentak me-reka menubruk maju. Walaupun
ruang lajon itu sangat besar tapi karena terlalu banyak orang yang
hadir dalam ruang itu, tempat yang tinggal kosong tidak lebih
hanya tiga tombak lebarnya, maka begitu berkelebat keenam
orang itu sudah menerjang tiba. Suma Bingpun tidak mau unjuk
kelemahan, kedua tangan bergerak membuat garis lintang
beruntung ia lancarkan tiga kali pukulan menyam-but rangsakan
musuh. Dimana angin pukulannya melandai segera terdengarlah
keluhan sakit dari mulut2 penjerangnya, keempat orang tua

terdesak mundur beberapa langkah, se-dang dua laki2
pertengahan umur itu terpental terbang se-jauh tiga tombak
menerjang kearah kawan2nya yang te-ngah menonton.
Dan pada saat itulah sebat luar biasa Suma Bing berkelebat tiba
didepan peti mati dan tangan sudah diajun, sesaat sebelum
tangannya tiba pada sasarannya….
“Siaucu, kau terlalu menghina orangl” Dibarangi seruan itu,
beberapa jalur desis angin selentikan jari secepat kilat menyerang
dirinya.
Keruan kejut Suma Bing bukan kepalang, tahu dia bah-wa orang
yang turun tangan ini tentu Lwekangnya hebat luar biasa, maka
sebat sekali ia menggeser kesarnping lima’ kaki, dimana
pandangan matanya tertuju, seketika ia terte-gun heran, karena
orang yang melancarkan serangan selen-tikan jari ini kiranya
adalah seorang nenek2 tua yang me-ngenakan pakaian berkabung.
Sinar matanya berkilat2 mengandung penuh kebencian benar2
menciutkan nyali orang yang dipandang.
“Kau ini yang bernama Suma Bing?” “Tidak salah, harap
tanya….” “Akulah janda tua Coh Pin, ada dendam dan sakit hati
apakah suamiku itu terhadap kau hingga sedemikian tega kau
menghadapi kematiannya?”
“Coh-hujin,” seru Suma Bing dingin. “Saat ini lebih baik jangan
mempersoalkan tentang permusuhan, aku hanya ingin
membuktikan kebenaran Kematian suamimu ini?”
“Cara bagaimana kau hendak membuktikan?”
“Membuka peti mati dan melihat jenasahnya.”
“Orang benar2 mati masa ada palsu atau tulen?”
“Aku yang rendah sudah pernah tertipu sekali”

“Tertipu?” “Ya, Tiang-un Suseng membuat sebuah kuburan
kosong
untuk mengelabui mata hidung orang. Hanya sayang tipu
muslihatnya yang llcik itu telah membuka kedoknya.”
Berobah hebat air muka Coh-hujin, serunya ketakutan”. “Jadi kau
sudah membongkar kuburan Tiang-un Suseng? ‘
“Memang begitulah tujuanku, tapi secara kebetulan su-dah ada
orang lain yang turun tangan.”
“Benar2 kau hendak membuka peti mati ini?” “Maaf aku
terpaksa harus berbuat demikian” “Suma Bing, bila kau dapat
mengatakan alasanmu, boleh
kusilakan kau membuka peti mati ini untuk kau periksa.” Otak
Suma Bing bekerja cepat, setelah sangsi sekian
lamanya akhirnya ia merogoh saku mengeluarkan Mo-hoan dan
dipakai dijarinya tengah terus diangsurkan kehadapan orang,
“Hujin sudah jelas?”
“Mo-hoan!” seru Coh-hujin ketakutan kontan wajah-nya pucat
pasi.
Benda khas pertanda milik Sia-sin Kho Djiang itu tiada seorangpun
dari kalangan Bu lim tidak mengetahui, andaikata belum pernah
lihat juga pernah dengar. Seruan ini benar2 membuat kejut semua
hadirin.
Siapa akan mengira benda khas pertanda milik Lam-sia itu bisa
terdapat ditubuh anak muda berkepandaian tinggi ini, jelas kalau
bukan muridnya tentu cucu muridnya, ten-tang mengapa datang
hendak menuntut balas kepada Pangcu kecuali Coh-hujin seorang,
mungkin tiada seorangpun yang tahu akan latar belakangnya.
“Suma Bing, peristiwa dulu itu merupakan salah paham yang
berat.”

“Hujin, itulah kecerobohan, bukan salah paham.” “Sekarang
susah untuk dijelaskan, apa tujuanmu hanya
mau memeriksa jenazah suamiku saja?” Suma Bing mengiakan
sambil menggut2. “Suma Bing, baik kuijinkan kau memeriksa, tapi
jangan
sekali2 kau sentuh jenazahnya!” “Syarat ini dapat kululusi.” “Baik,
silakan periksa” Wajah Coh-hujin membesi kehijau2an, ia maju
men-dekat
disamping peti mati kedua tangannya menyanggah di tutup peti
terus diangkat keras dan digeser kesamping satu kaki. Serunya
sekali lagi, “Lihatlah.”
Dengan pandangan tajam Suma Bing memandang ke- dalam peti,
terlihat olehnya seorang tua yang berwajah ke-ren berwibawa
menjulur kaku didalam peti, wajahnya masih sedemikian hidup
bagai tidur njenyak saja, segera alisnya dikerutkan dan bertanya,
“Sudah berapa hari dia meninggal?”
“Tiga hari.” “Tiga hari tapi wajahnya masih belum berobah?”
Serta merta tubuh Coh-hujin tergetar seperti kesetrom
listrik, sahutnya, “Jenazahnya sudah kita lumuri obat anti
membusuk.”
Suma Bing mengiakan dengan sangsi, katanya, “O, be-gitu.”
“Suma Bing, kau sudah puas?”….’ Dalam hati Suma Bing masih
banyak persoalan yang
me-nimbulkan kecurigaan. Pertama: Waktu kematian Coh Pin ini
secara kebetulan terjadi setelah dirinya mulai menun-tut balas,
bukankah sangat meragukan. Kedua: walaupun sudah dimasukan
dalam peti mati, air mukanya masih ha-ngat

seperti masih hidup. Ketiga; Dengan adanya pengala-man pahit
Tiang-un Suseng itu, sukarlah diduga bahwa apa yang dialami hari
inipun ada yang harus dicurigai. Namun dia sudah berjanji untuk
tidak merusak jenazah, bagi kaum persilatan sangat menghargai
ucapan yang harus dipercaya. Kalau tidak hanya dengan sebuah
jarinya saja dapatlah ia menghapus rasa curiganya ini. Maka
dengan dingin segera ia berkata, “Coh-hujin, begitulah untuk
se-mentara.”
“Sementara, apa maksudmu?” “Kuharap aku takan datang lagi
kemari.” Wajah tua Coh-hujin berobah2, bahwa ucapan musuh
yang
penuh mengandung arti itu membuat tubuhnya bergidik seram.
Habis berkata dengan langkah lebar dan membusung da-da Suma
Bing berjalan pergi.
Perjalanan ke Ngo-ouw-pang kali ini boleh dikatakan menemui
kegagalan lagi. Para durjana yang mengerojok dan menganiaja
gurunya dulu itu masih ada Lo-san-siang-kiam, Leng Hun-seng
Ciangbun dari Ceng-seng-pay dan Goan Hi Hwesio dari Siau-lim.
Setelah me-nimang2 dalam hati, Suma Bing memutar ha-luan
meruju kearah Ceng-seng-san.
Hari itu matahari mulai doyong kebarat. baru saja Suma Bing
menangsel perut dan melanjutkan perjalanan belum beberapa li
jauhnya, tiba2 terlihat olehnya sebuah bayangan manusia
berkelebat seperti kecepatan elang terbang, bayangan itu melesat
memasuki sebuah biara bobrok, diketiak bayangan itu agaknya
mengempit seorang wanita.
Karena heran dan ingin tahu segera Suma Bingpun menyusul
kearah biara bobrok itu. Ditengah ruang sembayang yang tidak
keruan keadaannya, terlihat olehnya seorang ga-dis cantik bagai
bidadari terlentang rebah diatas tanah, kedua

matanya dipejamkan. Disampingnya berdiri seorang pemuda yang
berpakaian sastrawan lemah berusia 20-an, wajahnya dingin
membeku, kedua matanya tengah menatap wajah sigadis tanpa
berkedip.
Baru saja Suma Bing melangkah kedalam biara, sipemuda sudah
mengetahui, tanpa berpaling ia berseru tanya, “Siapa itu?” “Orang
lewat,”
“Pergi keluar!” “Hm,” — Suma Bing sudah berkelebat tiba
didalam ruang
sembahyang itu, waktu ia pentang matanya tanpa merasa
bergolaklah hawa amarahnya. Sebab gadis yang rebah diatas
tanah itu bukan lain adalah Siang Siau-hun- Meskipun tiada
sesuatu hubungan dengan Siang Siau-hun, hitung2 mereka sudah
pernah bertemu satu kali.
Pemuda berpakaian sastrawan itu perlahan2 memutar tu-buh,
melihat orang yang datang ini kiranya adalah seorang pemuda
cakap ganteng bertubuh kekar, diapun tertegun heran, suaranya
dingin sambil menyeriangi, “Siaucu, ku-suruh kau pergi dengar
tidak?”
Sinar mata tajam dingin Suma Bing menatap garang, mendengus
ejek sekali lalu menjawab, “Kau tidak berhak berkata demikian.”
“Ada tiada harganya segera kau akan tahu.” “Siang hari bolong
yang terang benderang ini kau hen-dak
mengapakan gadis ini?’ “Kau tak berharga bertanya” “Aku sudah
pasti harus tahu.” “Hahahaha, Siaucu. kalau begitu, kau sudah
pasti mati,”
sambil berkata dari kejauhan itu sebuah tangannya disodokkan
mengirim serangan.

Serta merta Suma Bing juga mengangkat sebelah ta-ngan untuk
menyambut pukulan musuh Mendadak terasa olehnya tenaga
pukulan lawan sedemikian ringan’ melayang mengandung hawa
dingin laksana es, sedikitpun pukulan dirinya itu belum mampu
mendesak balik serangan lawan malah terasa hawa dingin bagai es
itu menembus masuk kedalam tubuhnya sampai2 kesendi2
tulangnya, seketika se-luruh tubuh terasa dingin bagai berada
didalam gua gunung salju.
Sungguh kejutnya bukan alang kepalang, cepat2 ia kerahkan
Kiu-yang.sin-kang untuk bertahan, sejalur hawa hangat timbul dan
melebar keseluruh tubuh dari pusarnya, kekuatan hawa dingin itu
segera lenyap seluruhnya
Agaknya pemuda pelajar itu juga tercengang- bahwa Hawanya
sedikitpun tiada menunjukkan reaksi pukulannya itu, dengan wajah
penuh penasaran segera ia berseru lagi. “Siaucu, cobalah sambut
ini lagi” — berbareng dengar ucapannya ini kedua tangan sudah
bergantian dikiblatkan kedepan, gelombang angin dingin segera
bergulung mener- jang kearah Suma Bing.
Tanpa ayal Suma Bing kerahkan kekuatan Kiu-yang-sin- kang,
dimana kedua tangan ditarik lalu disodokkan kedepan, gelombang
panas bagai gugur gunung melandai keluar. Sungguh ajaib begitu
gelombang dingin saling bentur dengan gelombang panas kontan
mengeluarkan suara “ces” nyaring sedikit tergelar kedua
gelombang pukulan itu sirna menghilang tanpa bekas.
“Kiu-yang-sin-kang!” tanpa merasa sipemuda pelajar berseru kejut
ketakutan.
Melihat lawan sekali gebrak lantas mengetahui asal-usui ilmu
saktinya, diam2 Suma Bing terkejut juga, sahutnya dingin, “Tidak
salah, luas juga pandanganmu.”

“Siaucu, jadi kau inilah, murid Lam-sia?” Pada saat itulah
perlahan2 Siang Siau-hun membuka ke-dua matanya. setelah
tertegun segera ia berseru marah, “Dia….dialah Tangbun Yu,
putra Racun utara”
Melonjak kaget hati Suma Bing, batinnya, “Kiranya pemuda ini
adalah putra Racun utara, tak heran Siang Siau-hun telah
menemukannya. Racun tanpa bayangan yang membunuh Siang
Siau-moay dan Li Bun-siang pastilah….” karena pikirannya ini
wajahnya berobah bengis membesi, sambil tertawa dingin ia
berkata, “Tangbun Yu, Tuhan sudah mengatur segalanya, aku
tengah mencarimu.”
Tangan Yu melengak, tanyanya, “Bocah seperti kau ini mencari
aku?”
“Benar, bukan saja mencari kau, malah hendak kubu-nuh kau.”
“Mulut yang takabur, sebutkanlah namamu dulu ““ “Suma
Bing.”…. “Ada urusan apa kau mencari tuanmu.” “Belum lama
berselang, yang menggunakan ‘Racun tanpa
bayangan’ membunuh adik nona Siang ini dan seorang pe-muda
bernama Li Bun-siang apakah itu buah karyamu?”
“Kalau benar bagaimana? Kalau bukan kau mau apa?” Suma Bing
maju satu langkah, suaranya mendesis hambar, “Kalau benar
perbuatanmu, jangan harap kau dapat tinggal pergi dengan masih
hidup.”
“Mengandal kau ini?” “Tiada halangannya kau mencoba2-” —
sebuah tangannya
meluncur dengan sebuah serangan hebat kearah Tang-bun Yu,
bukan saja cepat serangan inipun sangat aneh, sasaran yang
diarah berbeda pada permainan silat umumnya.

Sebagai murid ‘Racun utara’ sudah tentu kepandaian Tangbun Yu
juga tidak lemah, ringan sekali tubuhnya meng-geser kesamping
menghindarkan pukulan dahsyat ini, berba-reng iapun kirim
sebuah hantaman balas menjerang, serangannya inipun tidak
kalah aneh dan kejinya dibanding pu-kulan musuh.
Segera Suma Bing angkat tangan untuk menangkis “Biang” kedua
belah pihak mundur satu langkah. Dalam gebrak permulaan ini
menunjukkan bahwa ke-pandaian dan tenaga dalam kedua pihak
sama kuat alias berimbang.
Tangbun Yu perdengarkan suara tawa dingin, katanya, “Suma
Bing. dalam dunia persilatan orang membanggakan bagaimana
lihay dan ampuh Kiu-yang-sin-kang dari Lam-sia. Biar harini tuan
mudamu menjajal sampai dimana kau bocah ini telah belajar ilmu
yang diagul2kan itu.”
Tidak kurang garangnya Suma Bingpun balas menjemprot, “Bagus
Sekali, aku juga ingin berkenalan sampai dimana kejam dan keji
Hian-in-kang dari Racun utara”.
Setelah itu mereka masing2 mundur tiga langkah lalu ber-bareng
mengangkat kedua tangan. Maka dilain kejap meng-gunturlah
benturan dua tenaga dahsyat yang saling beradu debu
berhamburan atap rumahpun tergetar. Kiranya Tang-bun Yu dan
Suma Bing kerahkan duabelas bagian tenaga masing2 untuk
mengadu pukulan ini. Kalau Suma Bing ma-sih dapat berdiri tegak
ditempatnya, tidak demikian dengan Tangbun Yu ia terhujung
mundur dua langkah. Kiu- yang-sin-kang termasuk pukulan positip
sebaliknya Hiau-in- kang termasuk pukulan negatif. Perbedaan
tenaga dalam kedua belah pihak berselisih tidak terlalu besar.
Su-ma Bing cuma lebih unggul seurat, begitu saling bentur getaran
tenaga pukulan itupun tidak terlalu berat, kalau sebaliknya
mungkin rumah biara itu sudah runtuh berham-buran.
Sejak tadi Suma Bing sudah bermaksud untuk membu-nuh
lawannya, akan dibuatnya supaya bocah keji berbisa ini tak

dapat pergi dengan jiwa masih hidup. Sambil mengge-ram keras
secepat kilat ia menubruk maju lagi kedua tanganny berputar
membuat lingkaran dengan jurus Liu-kim-hoat-ciok (emas murni
berobah batu) ia turunkan ta-ngan kejinya.
Jurus Liu-kim-hoat-ciok ini merupakan daya cipta Lam-sia yang
telah menguras seluruh tenaga pikirannya selama ber- tahun2-
meskipun hanya satu jurus, tapi perbawa pero- bahannya tak
terhitung banyaknya, waktu melancarkan se-rangan ini harus
mengandal kemurnian Kiu-yang-sin-kang sebagai landasan atau
pendorong yang utama- Untuk masa itu tokoh2 silat dikalangan
Kangouw yang mampu bertahan dari serangan jurus
Liu-kim-hoat-ciok ciptaan Lam-sla ini mungkin dapat dihitung
dengan jari. Walaupun tenaga dalam Suma Bing belum dapat
menandingi gurunya, tapi be-gitu jurus ampuh ini dilancarkan,
betapa dahsyat kekuatannya kiranya cukup juga menggetarkan
dunia persilatan.
Arwah Tangbun Yu seakan terbang meninggalkan badan melihat
kehebatan pukulan musuh, cepat2 ia lancarkan tipu
Te-tong-thian-han (bumi membeku udara dingin) untuk menjaga
diri melindungi tubuh.
Memang jurus Te-tong-thian-han ini diciptakan praktis untuk
menjaga diri. Lagipula ciptaan Pak-tok ini memang khusus untuk
menghadapi jurus serangan Liu-kim-hoat-ciok dari Lam-sia itu.
Jurus Te-tong-thian-han ini selesai dan sempurna diciptakan
setelah 20 tahun akhir2 ini, bahwasa-nya belum pernah saling
diadu secara berhadapan. Bahwa Tangbun Yu menggunakan jurus
itu tidak lebih hanya ber-harap dapat melindungi jiwanya.
disamping itu karena te-naga dalamnya memang kalah setengah
urat dibanding la-wan. Apalagi Kiu-yang-sin-kang justru merupakan
ilmu sakti satu2nya yang dapat melumpuhkan Hian-in-kangnya itu.
Sambil berteriak kesakitan yang sangat mulut Tangbun Yu
menyembur darah segar bagai anak panah, tubuhpun tergoyang
gontai hampir roboh.

Suma Bing sendiripun merasa kaget, bahwa jurus ciptaan gurunya
ini baru pertama kali ini dilancarkan ternyata keampuhannya
begitu dahsyat diluar dugaannya.
Air muka Tangbun Yu yang memang sudah pucat dan membesi itu
kini semakin jelek membeku bagai wajah setan, serunya sambil
mengertak gigi. “Suma Bing, kau dengar, tubuhmu sekarang sudah
terkena racun yang jahat, diseluruh kolong langit ini mungkin tiada
seorangpun yang bisa mengobati….”
Suma Bing bergidik dia menjedot hawa dingin, sungguh dia tidak
habis mengerti kapan lawannya telah menjebarkan racunnya.
Disamping sana Siang Siau-hun juga berseru kejut, na-mun
suaranya lirih lemah.
Sekilas Tangbun Yu melirik kearah Siang Siau-hun dengan sorot
mata penuh kebuasan lalu berkata kepada Suma Bing, “Kau masih
dapat hidup selama seratus hari, jangka seratus hari ini cukup
untuk kau menyelidiki siapakah yang menyebar bisa racun tanpa
bayangan itu- Sudah jelas bukan, itu berarti bahwa keluarga
Tangbun kita tiada pernah mengguna-kan Racun tanpa bayangan
itu.”
Hal ini benar2 diluar sangkaan Suma Bing, serunya ka-get, “Jadi
bukan kau yang membunuh Siang Siau-moay dan Li Bun- Siang?”
“Omonganku cukup sampai disini saja….” Tangbun Yu, berilah
penjelasan mengapa kau bawa nona
Siang Siau-hun kemari?” “Begitu bertemu dia terus menjerang
dengan kalap, maka
terpaksa Siauya meringkusnya dan tujuanku membawanya kemari,
pertama untuk memberi penjelasan, kedua untuk mengobati
lukanya itu.”
“Hm, gagah benar ucapanmu itu….”

“Suma Bing, kau jangan mengukur orang dari pandangan sela2
pintu, orang lain akan gepeng dalam pandanganmu. Aku Tangbun
Yu bukan bangsa bejat yang suka berlaku tidak senonoh. Dia
terluka oleh Hian-in-kangku, Kiu-yang-sin- kangmu itu cukup
untuk menolongnya. Tapi kau jangan lupa, nyawamu hanya hidup
untuk seratus hari saja.”
“Tangbun Yu,” teriak Siang Siau-hun mendelik, “Hatimu sungguh
kejam, kau tidak….!”
Tangbun Yu ganda menyeringai seram ujarnya, “Memang sudah
merupakan tradisi keluarga Tangbun selamanya menggunakan
racun, kaum wanita lemah takkan mengarti dun paham. Kuberitanu
kau, dalam dan luar seluruh tubuhnya sudah terkena racun, namun
terhadap kau aku tidak meng-gunakan racun, sebab kau sendiri
belum ada harganya.”
Saking gusar dan gugup, Siang Siau-hun muntahkan darah segar
dan jatuh pingsan lagi.
Air muka Suma Bing mengelam penuh diselubungi hawa
membunuh dengan geram dan murka sekali dia mengancam,
“Binatang jahat, kau masih mengharap dapat pergi?”
Sambil mengusap darah di ujung mulutnya Tangbun Yu mengekeh
tawa panjang lalu serunya dingin, “Siaucu, coba kau kerahkan
tenaga dalammu?”
Mendengar itu berdirilah bulu roma Suma Bing, dicobalah
menjedot hawa dan mengerahkan tenaga, benar juga hawa
murninya tidak dapat tersalur keluar dari pusarnya, seketika
dingin membeku seluruh tubuhnya diam2 ia mengeluh dalam hati-
“Siaucu, bagaimana, aku tidak bohong bukan?” seru Tangbun Yu
puas sekali.
“Binatang jahat, cara turun tanganmu ini rendah hina dina….”

“Tutup mulutmu. Dalam dunia persilatan masa ini, yang berharga
sampai Pak-tok ayah beranak terpaksa menggu-nakan racunnya
hanya beberapa gelintir manusia saja, kau Siaucu ini harus merasa
bangga akan hai ini”
“Binatang jahat, akan kubeset dan kucacah hancur tu-buhmu itu.”
“Sedikitnya sekarang kau tidak mampu” “Tunggulah saatnya
akan tiba.” “Akan tetapi kau sudah terkena bisa “Pek-jit-kul”
(seratus
hari pulang), kalau kau hendak membunuh aku, harus kau lakukan
dalam jangka seratus hari itu, kalau sudah lewat seratus hari, kau
akan menyesal dan mungkin penasaran menghadap Giam-lo-ong.”
Gugup dan gusar merangsang benak Suma Bing hingga keringat
dingin membasahi seluruh tubuh.
Selanjutnya Tangbun Yu berkata lagi, “Siaucu, dalam jangka
seratus hari ini, carilah sampai ketemu manusia yang, menjebar
Racun tanpa bayangan itu, tentang tenaga dalam-mu setengah
peminuman teh lagi bisa pulih sendiri seperti sediakala. Maaf tidak
kuucapkan lagi ’selamat bertemu’ ke-pada kau”. ~ Habis berkata
tubuhnya melejlt terbang keluar biara.
Tinggal Suma Bing masih terlongong2 ditempatnya, sekian lama
dia tak kuasa mengeluarkan suara. Dendam per-guruan belum
terbalas, musuh2 keluargapun belum ditumpas Musuh2 keluarga
yang ikut membunuh ayah-bundanya selaut Tang-mo yang telah
merebut pedang berdarah itu, yang lain tiada seorangpun yang
diketahui.
Nyawanya tinggal hidup seratus hari. Dalam jangka Seratus hari apa
yang dapat diperbuatnya? Suhunya berpesan supaja dirinya
mendapatkan Pedang berdarah dan Bunga iblis untuk melatih
kepandaian tiada taranya didunia, supaya
Tiraik
asih
Websi
te
http://
kangz
usi.co
m/
membersihkan nama perguruan, harapan besar ini agaknya akan
terkatung2 sepanjang masa.
Tidak lama kemudian benar juga hawa murninya sudah berjalan
lancar kembali. Hatinya benci benar terhadap Tangbun Yu, namun
demikian mau tak mau ia memudar juga cara binatang kecll itu
menggunakan racun serta kecerdikannya. Tadi kalau Tangbun Yu
tidak membuat Suma Bing kehilangan tenaga untuk sementara
waktu, pas-ti dia sukar meloloskan diri.
Kenyataan bahwa penyebar racun tanpa bayangan kiranya bukan
perbuatan Pak-tok ayah beranak, ini benar2 diluar sangkanya,
menurut nada ucapan bocah berbisa tad; seakan bukan saja mereka
ayah beranak tidak mungkin menggu-nakan, malah rasanya belum
kenal akan Racun tanpa bayangan itu. Dikolong langit ini masa ada
manusia lain yang pandai menggunakan bisa melampaui
Racun-utara?”
8. SI
MALI
NG
BINT
ANG
MEM
BUK
A
TABI
R
RAH
ASIA
.
Dalam pikiran tengah melayang2 itu, akhirnya sorot
matanya menatap ketubuh Siang Siau-hun yang terlentang
pingsan ditanah.
Tampak kedua matanya yang bundar itu tertutup rapat wajahnya
pucat ke-hijau2an kaki tangannya mulai berkelejetan. Sejenak ia
berkerut alis, lalu menghampiri dan berjongkok disampingnya,
membalikkan tubuhnya hingga tengkurap lalu diulurkan tangannya
tepat menempel di jalan darah Bing-bun-hiat, Kiu-yang-sin-kang
mulai disalurkan.
Untuk pengobatan memang Kiu-yang-sin-kang sangat mujarab
seumpama dapat menghidupkan orang mati- Akan tetapi orang
yang mengobati sendiri pasti banyak kehilangan tenaga, selama
lima tahun tak mungkin dia bisa berkelahi

dengan orang lain. Justru sekarang Siang Siau-hun terluka oleh
hawa dingin Hian-inkang. Kiu-yang-sin-kang merupakan satu2nya
lawan pemunah dan adanya teori berlawanan antara panas dingin
ini, Suma Bing tidak perlu lagi menge-rahkan tenaganya
sedemikian besar, untuk menolong jiwa Siang Siau- liun, boleh
dikata hanya sekali jamah saja su-dahlah cukup!
Air muka Siang Siau-hun berobah kuning lalu lama kelamaan
bersemu merah, napasnyapun mulai lancar dan ter-atur. Setengah
jam kemudian, mulut kecil Siang Siau-hun mengeluh lirih terus
siuman kembali- Per-lahan2 Suma Bing- pun menarik tangannya.
Bergegas Siang Siau-hun membalik tubuh dan duduk diatas
tanah, dengan rasa benci yang me-nyala2 ia bertanya. “Mana
bocah berbisa itu?”
“Sudah pergi.” “Suma-siangkong….” “Ada urusan apa?” “Kau….
untuk aku, kau terkena racun Pek-jit-kui, kau….kau
hanya dapat hidup seratus hari lagi….” Suma Bing tertawa pahit,
sahutnya.: , Nona tidak perlu
kuatir akan hal itu.’“ Suma Siangkong, kalau kau berkata begitu,
matipun aku
tidak tentram.” “Nona Siang, selamat bertemu, selama hajat masih
dikandung badan pasti aku akan melaksanakan janjiku itu, untuk
menemukan sipenyebar Racun tanpa bayangan itu. Ta-pi dapat
atau tidak terlaksana, susahlah dikatakan.”
“Tidak, kau tidak boleh pergi” “Aku,
tidak boleh pergi, mengapa?”

Sahut Siang Siau-hun penuh perasaan haru, “Aku akan selalu
mengiringi kau selama seratus hari ini- Dalam jangka seratus
harini kita mencari tabib ternama untuk memunah-kan racun yang
mengeram dalam tubuhmu.”
Suma Bing tertawa kecut, ujarnya, “Apa kau tidak de-ngar Tangbun
Yu mengatakan bahwa racunnya itu tiada seorangpun yang mampu
memunahkan?”
“Tapi aku ingin bersama kau dalam seratus harini.” “Mengapa?
“ Merah jengah selebar wajah Siang Siau-hun. achirnya
sahutnya tegas, “Sebab aku cinta padamu, aku ingin ber-samamu
sampai akhir hidupmu.”
Ucapan ini benar2 diluar dugaan Suma Bing, sekian lama ia
tertegun lantas katanya: ,-Nona Siang, tapi aku tidak mempunyai
maksud demikian.”
Berobah wajah Siang Siau-hun, airmata meleleh semakin deras
hingga kedua matanya merah, katanya gemetar, “Ya. memang kau
takkan mencintai aku, tapi, aku cinta kau bukankah beres….”
“Bukankah tujuan nona hanya untuk menghibur hidupku yang
takkan lama lagi ini?”
Siang Siau-hun menggigit bibir, sahutnya, “Aku tidak menyangkal
ada sebab itu, tapi sejak pertama kali aku meli-hatmu, aku…. aku
sudah tertarik olehmu”
Tersirap darah Suma Bing…. “Suma Siangkong ijinkanlah aku
memanggilmu Bing-ko.
dalam, seratus harini, segala milikku kupersembahkan kepa-damu.
Tapi, aku harap kau jangan lantas anggap aku se-bagai wanita
rendah yang tak bermartabat, seratus hari kemudian. Aku akan
bunuh diri….” — airmata meleleh membasahi kedua pipinya-Suma
Bing terperanjat hingga

mundur satu langkah, serunya tergetar, “Nona Siang, selamanya
Suma Bing akan berterima kasih akan rasa cintamu, tapi aku tidak
dapat menerima cara perbuatanmu itu.”
“Bing-ko, seumpama kau bosan dan membenciku. Tapi hatiku
sudah mantap tak mungkin dirobah lagi.’
“Apa cukup berharga aku Suma Bing untuk kau berbuat
demikian?”
“Cukup dan malah berkelebihan-” “Kau salah, aku tidak sudi
terima segala pengorbanan kasih
orang,” “Pengorbanan kasih, apa maksudmu?” “Kau anggap aku
keracunan karena kau, hatimu menyesal.
lantas kau berbuat seperti apa yang kau katakan untuk menambal
sanubarimu yang tidak tentram itu!”’
“Tidak peduli bagaimana anggapanmu, aku cinta padamu, dari
sejak sekarang ini, aku tidak akan berpisah setapakpun dengan
kau.”
Akhirnya tergerak juga hati kecil Suma Bing atas ke-teguhan dan
kesetiaan orang, tapi lantas terpikir juga oleh- nya: mengapa aku
menggunakan tubuh yang hampir mati ini, membawa atau
memendam kebahagiaan seumur hidup seorang gadis- Karena
pikirannya ini segera ia merobah sikap, wajahnya kaku membesi
ujarnya dingin, “Nona Siang, kebaikanmu itu kusimpan dalam lubuk
hati. banyak urusan penting yang harus kuselesaikan dalam jangka
wak-tu seratus harini, maaf aku tidak dapat melajani kau terlalu
lama.” — habis berkata ia memutar tubuh dan baru saja hendak
tinggal pergi….
Mendadak Siang Siau-hun mengeluh panjang serunya “Bing-ko,
kau tetap tidak mau melulusi, baiklah biar Siau-moay pergi lebih
dulu.”

Tergetar hati Suma Bing mendengar seruannya itu, secepat kilat ia
memutar balik, terlihat Siang Siau-hun sudah angkat sebelah
tangannya hendak mengepruk batok kepalanya sendiri, dalam
gugupnya secepat kilat sebuah jarinya menjentik dari jauh,
seketika tangan Siang Siau-hun yang sudah terangkat itu lemas
semampai. Sungguh diluar dugaan bahwa Siang Siau-hun bisa
mengambil jalan pendek, sa-king kejut keringat dingin membasahi
seluruh tubuh.
“Nona Siang, kau….mengapa kau berbuat begitu?” “Bing-ko….”
seru Siang Siau-hun sambil berlari me-nubruk
kedaiam pelukan Suma Bing dan pecahlah tangisnya tergerung2.
Selama hidup ini kapan Suma Bing pernah menghadapi adegan
yang mendebarkan ini, kontan merah jengah seluruh wajahnya,
jantung berdetak keras, kaki tanganpun lemas gemetar, entah apa
yang harus diperbuatnya menjurungnya atau memeluknya.
Bau wangi khas seorang perawan merangsang hidungnya, dua
tubuh hangat bersentuhan menimbulkan suatu perasaan mesra
mengalir keseluruh tubuh. Karena tangisnya yang penuh perasaan
hingga badannya tergetar naik turun, Suma Bing merasakan dada
sinona yang padat dan lunak menempel diatas tubuhnya,
membuat pikirannya melayang se-perti di awang-awang.
Lengan Suma Bing yang kokoh kuat akhirnya melingkar memeluk
tubuh yang montok dan langsing menggiurkan, Akhirnya terangkap
juga hati sepasang muda-mudi ini setelah mengalami segala
lika-liku aral lintang. Tapi tidak dapat disangkal bahwa rangkapan
jodoh mereka ini penuh mengandung sifat duka.
“Bing-ko, kalau kau….aku dapat melulusi segala permintaanmu.”
suaranya penuh buaian mesra mengandung daya tarik yang tiada
batasnya.

Semangat Suma Bing terombang-ambing, namun pikiran-nya masih
sadar, bagaimana boleh begitu saja ia mengor-bankan jiwa seorang
gadis demi menghibur jiwa hidupnya yang sudah tak lama lagi. Maka
perlahan2 ia lepaskan pelukannya. Wajah Siang Siau-hun masih
bersemu merah, kedua matanya penuh mengembeng air mata,
katanya sam-bil sesenggukkan, “Bing-ko, untuk aku, kau
mengorbankan jiwamu….”
“Tapi sekarang aku masih belum mati?” “Memang belum, tapi
seratus hari, betapa pendek jangka
itu, aku….apa yang dapat kuberikan kepadamu?” “Adik Hwi, hal
itu terjadi diluar dugaan, sedikitpun aku tidak
bermaksud mengorbankan jiwaku untuk kau, maka kaupun tidak
perlu menaruh dalam hati, hidup memang menyenangkan, bagi
seorang laki2 sejati matipun tidak perlu dibuat sedih, hanya….ai!”
“Bing-ko, bagaimana kau bisa menghapus kenyataan hakikatnya
kau telah memberikan pengorbanan yang tiada taranya karena
aku.”
Meskipun Suma Bing seorang laki2 yang Keras hati, akhir-nya toh
dia mengeluh juga akan nasibnya itu, dendam per-guruan dan
musuh keluarga bagai dua pisau tajam me-lintang didalam
benaknya. Seratus hari, apa yang dapat di-perbuatnya? Apa ada
muka ia menemui gurunya yang ber-budi dan ayah bundanya
dialam baka? “Aku tidak boleh mati?” keluhannya ini seakan
memperotes akan nasib yang sudah menentukan jalan hidupnya.
Siang Siau-hun merasa hatinya bagai di-iris2, namun mulutnya
kehabisan kata2 untuk membujuk dan menghibur- nya, jikalau itu
mungkin terjadi, besar harapannya ia rela menggantikan
kematiannya itu, namun itu tak mungkin terlaksana.

“Bing-ko, sampai keujung langitpun kita harus mencari obat
pemunah itu….”
Suma Bing membisu sambil goyang kepala, lalu katanya, “Adik
Hun, itu tidak mungkin, walaupun jangka seratus hari ada
batasnya, aku ada banyak urusan yang harus ku selesaikan, aku
tidak boleh menghamburkan waktu sedetik pun. Mungkin semua
itu tidak bisa terlaksana, namun seta-pak demi setapak akan
kucapai dengan sekuat tenagaku, setelah mati baru hatiku merasa
tentram.”
“Bing-ko!” Siang Siau-hun mengeluh pendek, suaranya
mengandung penjesalan, cemas, menghibur dan putus ha-rapan….
Nafsu membunuh segera merangsang dalam benak Suma Bing,
achirnya diambilnya ketetapan teguh. “Adik Hun, dimanakah
tempat tinggal Racun utara ayah beranak?”
“Di lembah racun di belakang puncak ketujuh gunung Eu- san,
ada apakah kau….
“Terlebih dahulu hendak kubunuh Racun Utara ayah ber-anak,
baru menjelesaikan urusan yang lain.”
Saking kaget Siang Siau-hun mundur tiga langkah, mata- nya
membelalak tanpa bicara.
Pada saat itulah, sebuah suara serak terdengar berkata, “Bujung,
mendengar nama Racun utara ayah beranak saja kaum persilatan
sudah lari menyingkir, sungguh takabur ucapanmu itu.”
Berobah kaget wajah Suma Bing dan Siang Siau-hun, sungguh
diluar tahu mereka bahwa dalam biara bobrok itu kiranya masih
ada orang ketiga yang sembunyi disitu. Segera sinar tajam Suma
Bing menatap kearah dari mana suara itu terdengar, serunya,
“Orang kosen dari manakah ini, si-lakan keluar untuk bicara.”

“Hahahaha, Siaucu, darimana kau tahu kalau aku ini seorang
kosen?” ditengah gema suaranya ini, seorang tua beruban yang
bertubuh buntak dan pendek, dengan ringan- nya melayang turun
dari atas penglari yang penuh kotoran debu, sedemikian enteng
bagai asap tubuhnya menginjak tanah tanpa mengeluarkan suara.
Tanpa merasa Suma Bing berseru kejut tertahan. Siang
Siau-hunpun tidak kalah kaget dan malunya, bahwa orang tua
pendek gemuk ini kiranya telah bersembunyi diatas penglari
semalaman lamanya, terang segala gerak geriknya tadi tentu telah
disaksikan olehnya, bersama itu iapun kagum akan kelihayan
ringan tubuh orang.
Mulut siorang tua terbuka lebar tertawa besar, katanya, “Siaucu,
apa benar kau ini adalah muridnya Kho-losia?”
“Bagaimana pendapat tuan?” “Ja, anggap saja benar. Kau
tahu siapa Lohu ini?” “To-singtau-
gwat Si Ban-can.” Dalam pertempuran memperebutkan
pedang darah tempo
hari, Suma Bing pernah melihat orang muncul memberi
peringatan, lalu segera tinggal pergi lagi, maka segera ia bisa
menyebutt nama julukan siorang tua.
To-sing-tau-gwat Si Ban-cwan manggut – manggut, “Tidak malu
kau menjadi murid Lam-sia, pengalamanmu boleh juga.”
“Tadi tuan mengatakan apa?” “O, bukankah barusan kau
bermulut besar hendak
mem-bunuh Pak-tok ayah beranak?” “Tidak salah, tapi aku tidak
takabur.” “Itu berarti kau ingin
mempercepat kematianmu,” Berobah air muka Suma Bing,
sahutnya lantang, “Kukira belum tentu.”
To-sing-tau-gwat (mencuri bintang merampok rembulan) Si
Ban-cwan tertawa hambar katanya, “Siaucu, kepandaian PakTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tok seumpama Suhumu sendiri juga harus menghadapi sekuat
tenaga, kemampuanmu terpaut terlalu jauh, dan lagi dalam
lembah beracun itu segala tumbuhan termasuk rumputpun
mengandung bisa, apa kau jakin dapat mema-suki lembah itu?”
Suma Bing merinding, serunya penuh kebencian, “Kalau aku tidak
bunuh Pak-tok ayah beranak, belumlah terlampias rasa penasaran
dalam hatiku.”
“Buyung, mungkin kau menganggap hidup seratus hari itu terlalu
panjang?”
“Tuan bicaralah sopan dan tahu aturan.” “Hihihihi, buyung, ini
sudah sangat sungkan. Orang yang
tidak masuk dalam pandangan Lohu, malas aku bicara dengan
dia. Jangka seratus hari bukan waktu pendek, kau masih bisa
menyelesaikan banyak urusan, buat apa kau main berlagak?”
“Lo-cianpwe,” tiba2 Siang Siau-hun menjelak, “Racun Pek- jit-kui
itu, adakah obat pemunahnya?”
“Tentang ini….Kecuali dapat menemukan tertua dari Bu limsip-
yu yang bernama Wi-thian-chiu Poh Jiang.”
Suma Bing merasa sangat terkejut, Bu-lim-sip-yu adalah musuh
perguruannya, dia hanya tahu adanya Tiang-un Suseng Poh Jiang,
namun belum pernah dengar adanya julukan Wi- thian-chiu
(tangan membalik langit). Maka dengan penuh curiga ia bertanya,
“Apa diantara Bu-lim-sip-yu itu ada terdapat dua Poh Jiang?”
“Tidak, satu saja.” “Lalu “Tiang-un Suseng Poh Jiang….” “Asal
julukannya adalah Wi-thian-chiu, pandai menyamar
dan pintar pertabiban, akhirnya entah mengapa dia berganti
julukan menjadi Tiang-un Suseng. Kalau kalian dapat menemukan
orang ini, mungkin masih ada sedikit harapan.”

Suma Bing mengiakan, hatinya berpikir, “Su seng adalah salah
seorang musuh besar perguruan yang ha-rus dibunuh, kini dia
mengumpet dan melarikan diri, sam-pai keujung langitpun pasti
kupenggal kepalanya, mana bisa aku minta obat penawar
padanya.”
Sebaliknya Siang Siau-hun berjingkrak kegirangan, seru-nya
gemetar, “Bing-ko, singkirkan semua itu dulu, lebih pen-ting kita
pergi mencari Tiang-un Suseng?”
Tawar2 Suma Bing mengangguk kepala, lantas terpikirkan juga
akan wanita seragam hitam yang juga ingin segera menemui
Tiang-sun Suseng- Dia pernah berkata bahwa untuk Tiang-un
Suseng dia telah rela menderita selama tiga puluh tahun lamanya,
meskipun hubungan mereka itu terikat olen rangkaian cinta yang
belum diselesaikan. Demikian juga Pek- hoat-sian-nio, dia hendak
mencari jejak Tiang-un Suseng, untuk apa hal ini belum jelas.
Setelah Pek-hoat-sian-nio mengetahui asal-usul perguruannya lantas
dia mencecar menanyakan jejak Suhengnya Loh Cu-gi malah turun
tangan keji terhadap dirinya, kalau gadis putih yang bernama Ting
Hoan itu tidak membantunya secara diam2 mungkin dia sudah mati
beberapa saat lamanya. inipun kenapa? Apa mungkin antara
Pek-hoat- sian-nio dengan perguruannya ada permusuhan yang
dalam?
Pikiran Suma Bing semakin tenggelam, lantas teringat pula akan
Suhengnya Loh Cu-gi yang sudah menghianati perguruan, setelah
merebut simbol teragung sebagai jago nomor satu diseluruh jagad
terus menghilang sejak empat lima tahun yang lalu. entah dimana
dia sekarang, diapun salah seorang yang harus dicari dan dibunuh
menurut pesan gurunya.
Nyata2 simaling bintang Si Ban-cwan menghentikan tawanya
katanya: -Siaucu, kalau kau dapat menemukan Tiang-un Suseng
tentu kau takkan mati.”

Katanya tegas. “Aku tentu bisa, akan kucari dia dengan sekuat
tenagaku” dimulut dia berkata begitu tapi maksud hati Suma Bing
mengandung arti lain.
Siang Siau-hun kegirangan ujarnya tertawa, “Bing-ko, itulah baik,
kita harus berpegang pada kesempatan hidup ini.”
Sudah tentu dia tidak mengetahui arti ucapan Suma Bing yang
mempunyai maksud tertentu. Simaling bintang berkata kepada
Siang Siau-hun, “Budak kecil, orang yang mati keracunan beberapa
waktu yang lalu adalah adikmu?’
Air muka Siang Siau-hun berobah suram, sahutnya sedih “Ja,
itulah adik kandungku Siang Siau-moay dan seorang kawannya
bernama Li Bun-siang bersama menjadi korban.’
“Jadi karena itu kau mencari Bocah beracun itu?” “Benar,
menurut hematku Racun tanpa bayangan yang
jahat itu selain Pak-tok ayah beranak mungkin….” “Sudah tentu
hal ini tidak bisa menyalahkan kau. Racun
tanpa bayangan konon adalah semacam bisa paling jahat,
mungkin Racun-utara sendiripun kewalahan menghadapinya,
adikmu itu adalah korban yang penasaran.”
“Apa Lo-cianpwe mengetahui hal ihwal peristiwa itu.” tanya
Siau-hun terkejut.
“Tidak banyak, kutahu kulitnya saja.” “Harap Lo-cianpwe suka
memeriahkan teka-teki ini?” Sejenak simaling bintang berpikir,
lalu katanya, “Cerita ini
harus dimulai dari pedang darah itu….” Tergugah semangat Suma
Bing mendengar Pedang darah
disinggung lagi, sebab ‘Pedang darah’ semestinya menjadi hak
milik ayahnya Suma Hong, karena pedang darah itu pula maka
ayah bundanya menemui ajal, untung dia sendiri dapat lolos dari
kematian, maka Pedang darah itupun harus dike-jar kembali. Dan
hutang darah yang timbulkan pedang da-rah itu

juga harus ditagih. Disamping itu, sebelum meninggal Suhunya —
Lam-sia pernah berpesan supaja dirinya merebut Pedang darah
dan Bunga iblis supaja dapat melatih kepandaian mujijad yang
tiada taranya untuk membersih-kan nama perguruan, sebab
Suhengnya Loh Cu-gi yang ber- chianat itu telah mencuri sebutir
Kiu-coan-hoan-yang-cau-ko, Lwekangnya sudah lebih tinggi dari
gurunya sendiri. Ini boleh dikata sebagai harapan Sia-sin Kho Jiang
sebelum mati, dan Suma Bing sendiri besar hasratnya untuk
melaksa-nakan harapan itu.
Siang Siau-hun menyambung mulut, “Apa barang yang dititipkan
kepada kita bertiga itu benar2 adalah ‘Hiat-kiam’ itu?”
Si maling bintang Si Ban-cwan membalik mata, sahutnya, “Jangan
kau menyelak, dengarkan ceritaku ini; Lima belas tahun yang lalu
Hiat-kiam pernah muncul sekali dan terjadilah penjembelihan
besar2an, pemiliknya Su-hay-yu-hia.p Suma Hong suami-istri dan
anaknya yang berusia kira2 tiga tahun mati mengenaskan, konon
Hiat-kiam itu achirnya terebut oleh Tang-Mo (iblis timur).”
Setelah merandek sejenak lantas disambungnya lagi, “Be-lum lama
ini dikalangan Kangouw tersiar kabar yang menga-takan bahwa
Pedang darah itu berada ditangan Mo- san-ji-kui. Pada waktu itu
Lohu merasa heran, bahwa Tang- mo termasuk salah satu tokoh
dari Bu-lim-su-ih (empat gembong aneh dari Bu-lim),
kepandaiannya berimbang dengar Lam-sia Pak-tok dan Se-kui,
barang yang sudah mereka dapatkan, mana mungkin bisa terjatuh
ditangan orang lain lagi. Selain itu dengan kemampuan
Mo-san-ji-kui, mana mungkin dapat merebut Hiat-kiam itu dari
tangan Tang- mo?….”
Lahirnya Suma Bing berlaku tenang, namun sanubarinya
bergejolak susah tertahan.

“Bagaimana selanjutnya?” tanya Siang Siau-hun ingin tahu benar.
“Gembong2 silat dari aliran hitam dan putih pada melurus
kesarang Mo-san-ji-kui digua Kim pitong, disana mereka
menemukan jenazah kedua setan itu sudah menggeletak di luar
gua, maka banyaklah mulut2 usil yang mengatakan bahwa
Hiat-kiam itu sudah direbut pula oleh orang lain lagi.”
Simaling bintang menghela napas panjang lalu melanjutkan
ceritanya, “Secara sangat kebetulan, seorang tua yang berseragam
hitam tengah membawa sebuah buntalan kain minyak sepanjang
satu kaki, maka timbullah serakah dan ketamakan orang ceroboh
dan gegabah itu, dan terjadilah pengerojokan, siorang tua itu
akhirnya dapat lolos dari kepungan dengan membawa luka2 berat,
karena lukanya terlalu berat ditengah jalan ia roboh dan kebetulan
ber-temu dengan kalian kakak beradik lantas ia menitipkan
buntalan kain itu supaya disampaikan kepada ketua kelenteng Yoktong-
bio di Seng-toh….”
Siang Siau-hun manggut2 tak hentinya. “Kiranya lo-cianpwe
sangat jelas akan duduk perkara peristiwa itu?”
“Orang yang meracun adikmu dan merebut buntalan kain itu
menamakan dirinya sebagai Tok-tiong ci-tok (Racun di racun)….”
“Racun didalam racun?” “Betul, sebelum ini belum pernah
terdengar adanya
se-orang tokoh macam ini didunia persilatan. Tapi racun tan- pa
bayangan yang dia gunakan itu boleh terhitung sebagai racun
diracun….”
“Apakah buntalan kain itu benar2 berisi Hiat-kiam?” “Bukan,
hanya sebatang jinsom yang berusia ribuan
tahun.”

“Benar,” sahut Siang Siau-hun tersedar, “Wanpwe pernah
menjelidiki ke Yok-ong-bio di Seng-toh, ketua biara itu kebetulan
meninggal belum lama ini, mungkin jinsom itu adalah obat yang
untuk mengobati penyakitnya…. sungguh tak terduga terjadilah
peristiwa diluar dugaan ini.”
Sebaliknya Suma Bing tak habis mengarti, tanyanya “Apakah racun
diracun dapat mengetahui bahwa apa yang dia rebut itu bukan
Hiat-kiam? Atau mungkin tujuannya adalah memang Jinsom ribuan
tahun itu?”
Mata simaling bintang Si Ban-cwan menatap tajam ke arah Suma
Bing, katanya, “Setelah mendapatkan buntalan kain itu, segera
‘Racun diracun’ membuka buntalan itu, melihat hanya berisi
sebatang Jinsom, dengan dongkol ia buang diatas tanah, entah
karena pikirannya tergerak akhirnya ia kembali dan menjemputnya
lagi. Dari kejadian in dapatlah disimpulkan bahwa ‘Racun diracun’
memang khusus mengincar Hiat-kiam itu?”
“Lalu bagaimana dengan peristiwa pedang berdarah palsu buatan
Bwe-hwa-hwe itu?”
“Kejadian itu membuat orang susah mengarti, Lohu sendiripun
belum jelas, mungkin Bwe-hwa-hwe mempunyai suatu muslihat….”
“Tuan pernah muncul memberi peringatan, untuk apa pula itu?”
“Kali ini Lohu salah melihat, aku tidak tahu bahwa Hiat kiam itu
palsu, tujuanku mem-peringati mereka adalah ka-rena aku kuatir
“Racun diracun” akan menjebarkan maut-nya untuk merebut
pedang darah itu. Bukankah semua orang yang hadir akan mati
konjol?”
Akhirnya sebagian pertanyaan dalam benak Suma Bing sudlah
terjawab, tapi urusan agaknya semakin ruwet, de-ngan munculnya
tokoh baru seperti “Racun diracun”. Siapa dan dari aliran manakah
Racun diracun itu? Bwe-hwa-hwe

menggunakan Hiat-kiam palsu untuk menimbulkan perebu-tan,
tanpa sengajakah atau memang sudah dalam rencana mereka?
Kalau memang sudah diatur demikian, apakah tujuannya? Lantas
Hiat-kiam tulen masihkah berada ditangan Tang-mo? Mo-san-ji kui
mati konyol disarangnya sendiri apakah berita itu benar bahwa
kematiannya itu karena Hiat-kiam itu juga? Dia menggelengkan
kepalanya dengan ham-pa.
Justru yang paling diperhatikan oleh Siang Siau-hun ada-lah racun
Pek-jit-kui yang mengeram dalam tubuh Suma Bing itu, dengan
sinar pandang yang penuh harapan ia me-natap kearah
To-sing-tau-gwat Si Ban-cwan dan berkata, “Lo- cianpwe,
dapatkah Tiang-un Suseng mengobati racun yang mengeram
dalam tubuhnya itu?”
Si maling bintang melirik dan menyahut, “Aku orang tua tidak
dapat memberi pertanggungan jawab, namun itulah jalan
satu2nya yang harus kalian tempuh.”
“Jejak kau orang tua sudah kelana sampai dimana2. sukalah kau
memberi petunjuk dimanakah kiranya kita da-pat menemukan
Tiang-un Suseng?”
“Apa, jejakku tersebar diseluruh Kangouw. Budak kecil jadi kau
mau maksudkan bahwa aku orang tua sudah mencuri diseluruh
jagad ini?”
“Bukan begitu maksud Wanpwe.” “Konon bahwa Tang-un
Suseng Poh Jiang sudah
me-ninggal dunia, namun waktu kuburannya dibongkar orang
kiranya kosong.” — Dalam ber-kata2 Itu sengaja atau tidak
matanya melirik kearah Suma Bing. Berdetak keras jantung Suma
Bing.
Siang Siau-hun berkerut alis, katanya, “Kalau begitu berarti bahwa
Tiang-un Suseng sengaja menghindarkan diri dari dunia ramai,
untuk mencarinya mungkin sangat sukar”

“Semua kejadian dalam dunia tergantung pada djodoh, ucapanmu
itu belum tentu.”
“Tangbun Yu bocah berbisa itu benar2 jahat, karena sedikit salah
paham saja dia lantas turunkan tangan keji meracuni orang?”
“Kau hanya tahu satu tak tahu kedua- Ketahuilah bahwa Lam-sia
dan Pak-tok selamanya tidak akur bertentangan se-perti api dan
air, begitu ada kesempatan bertemu tentu ti-daklah sia2
digunakan. Apalagi temanmu sebelumnya ini su-dah melukainya”
“Kalau Pak-tok sudah merajai dalam dunia racun, siapa yang
berani bermusuhan padanya.”
“Dia sejajar sebagai salah satu gembong aneh yang tinggi
kepandaiannya, tanpa mengingat gengsi sendiri lantas turun
tangan menggunakan racun, apalagi selama hidup situa bangka
berbisa itu paling membanggakan kepintaran-nya itu.”
“Lo-cianpwe sudah sekian lama mengumpet diatas belandar itu
bukan? Tentu kau orang tua juga takut akan racun, jadi sampai
sekarang baru muncul?”
Wajah tua simaling bintang merah jengah. katanya, “Budak kecil
runcing benar mulutmu. Akan tetapi bukan aku orang tua takut
akan bisa itu, ada sebab lain maka aku tidak mau berurusan
dengan bangsat tua beracun itu.”
Segera Suma Bing mengalihkan pembicaraan, “Bagai-manakah rupa
atau bentuk orang yang mengaku sebagai Racun didalam racun itu?”
“Seorang aneh bertubuh tinggi lencir kurus kering seluruh tubuh
kulitnya berwarna hitam gelap.”
Suma Bing manggut2 dan mengingat keterangan itu. Kata
Siang Siau-hun penuh kasih mesra, “Bing-ko sudah
saatnya kita berangkat.”

“Benar kita harus segera berangkat.” “Nanti dulu.” mendadak
maling bintang perampok bulan Si
Ban-cwan pentang tangannya. “Tuan masih ada ucapan apa
lagi?” tanya Suma Bing sambil
mengerutkan alis. “Apa kepergian kalian ini benar2 hendak
mencari Tiang-un
Suseng?” “Sudah tentu,” selak Siang Siau-hun. “Itulah baik, jikalau
kalian lebih dulu dapat menemukan
dia….” Suma Bing menjadi heran dan bertanya, “Jadi kau juga
tengah mencari Tiang-un Suseng.” “Ja, tapi aku mendapat pesan
orang lain, kalian tak perlu
banyak tanya, jikalau kalian menemukan dia katakan saja bahwa
Lohupun ingin segera menemuinya.”
“Itu boleh, adik Hun, mari berangkat,” habis berkata segera ia
mendahului angkat langkah keluar dari biara bobrok itu. Sebelum
pergi Siang Siau-hun membungkuk memberi hormat kepada Si
Ban-cwan serta berkata, “Se-lamat bertemu”. ~ terus mengintil
dibelakang Suma Bing meninggalkan tempat itu.
Sampai diluar segera Suma Bing menghentikan langkah, dan
katanya, “Adik Hun, dunia sedemikian besar, Tiang-un Susengpun
sengaja menghindarkan diri dari keramaian, mencari jejaknya
berarti mencari jarum didalam laut….”
“Ja, memang. Tapi hanya itulah harapan satu2-nya, janganlah kita
buang kesempatan ini.”
“Aku mempunyai sebuah cara.”
“Cara apa?”

“Kita berpisah mencarinya, begitu lebih gampang dan praktis.”
Berobah air muka Siang Siau-hun. katanya:”Bing-ko kau hendak
meninggalkan aku?”
“Adik Hun dengarkan penjelasanku; kita membatasi waktu tiga
bulan, tiga bulan kemudian kita bertemu lagi dikelenteng bobrok
ini. Sebelum bertemu tidak berpisah.”
“Kalau…. kalau….” “Bagaimana?” “Kalau kau tidak datang?”
Pedih rasa hati Suma Bing seperti di-iris2, sebuah ucapan
yang sederhana mengandung betapa besar rasa cinta kasih,
pengharapan dan ketulusan hati. Apa benar dia tidak akan datang?
Mengapa dia harus datang? Obat pemunah itu merupakan angan2
hampa yang tidak mungkin terlaksana, tiga bulan kemudian, hidup
jiwanya akan sampai pada titik terachir…. tapi sekuatnya ia
menguatkan hati dan unjuk senjum dibuat2, katanya, “Adik Hun,
percayalah, aku pasti datang.”
Kedua mata Siang Siau-hun merah tergenang air mata, dengan
suara yang memilukan hati ia berkata, “Bing-ko, aku percaya
kepadamu. Tapi ingatlah ucapanku ini, kini jiwaku merupakan
sebagian dari jiwamu sudah kupasrah-kan jiwaku kepada kau, itu
berarti persamaan jiwa hanya sama akibatnya, tak mungkin ada
dua akibat, tak peduli akibat itu baik atau buruk”.
Tergetar sanubari Suma Bing, walaupun dia tidak rela si nona
belia ini menjadi pengiringnya masuk dalam liang kubur, tapi,
apakah hanya dengan kata2 halus lantas dapat merobah tekadnya
yang besar itu? Hatinya mendelu dia goyang2 kepala dengan
hampa, sahutnya, “Aku tahu!”

Setelah berpandangan sekian lamanya, mereka berpisah tanpa
kata2, tanpa kata2 perpisahan sebagaimana lazimnya, tanpa
ucapan selamat tinggal!
Cinta pertama adalah perjalanan hidup manusia yang termahal,
akan tetapi cinta pertama mereka ini adalah pa-hit getir. Suma
Bing berusaha untuk menghilangkan ba-yangan kekasihnya ini dari
sanubarinya untuk sementara, dia harus mengatur serapi mungkin
akan acara yang harus di-lakukan selanjutnya. Pertama menuju ke
Ceng seng-san mencari Leng Hun-seng Ciangbun dari
Ceng-seng-pay. Dari mana menuju ke Siau-lim mencari Goan Hi
Hwesio lalu memutar balik ke gunung Lo-san menemukan Lo-san
siang-kiam. Terachir baru sekuat tenaga berdaja mencari jejak
Tang-mo, dan mengejar para pembunuh ayah-bundanya sembari
berusaha mencari Tiang-un Suseng. Tentang Hiat-kiam Mo-hoa
dan mencuci nama perguruan mungkin tinggal suatu harapan
hampa yang usah dicapai.
Setelah mengambil ketetapan hati bangkitlah semangatnya
dibuangnya hal2 menakutkan dibenaknya, demi mencapai cita2nya
dan untuk memperpendek waktu dia akan berlaku kejam telengas
tak mengenal apa yang dinamakan kasihan atau welas-asih.
Dua hari kemudian jejaknya sudah berada di Sam-ceng- koan
diatas Ceng-seng.san. Begitu ia sampai diluar pintu bangunan
agung yang angker itu tanpa merasa kakinya merandek dan was2,
pikirnya; apa mungkin sekali lagi aku menubruk tempat kosong?
Pintu besar gedung megah itu tertutup rapat tanpa bayangan
seorang jua. Sudah beberapa kali ia bersuara tanpa ada
penyahutan. Setelah dipikir2 mendadak ia layangkan sebuah
tangannya membelah kearah pintu besar itu, angin badai segera
memberondong mener- jang kedepan terdengarlah suara
gedubrakan yang nyaring, pecahan kaju beterbangan, pintu besar
yang kokoh kuat itu sudah ambruk berkeping2 dan pecah
berserakan diatas tanah.

Betapapun seorang yang tuli juga akan mendengar suara
gedubrakan yang nyaring ini. Sungguh aneh dan menghe-rankan
sedikitpun tidak tampak adanya reaksi apa2.
**************** Pengalaman apa lagi yang akan Suma Bing
alami diatas
gunung Ceng-song-san ini? Tokoh jahat kejam apakah Racun
diracun yang segera akan
berhadapan dengan Ketua Bwe-hwa-hwe yang serba misterius
itn?
Bwe-hwa-hwe menggunakan Pedang darah palsu menimbulkan
keributan, ada latar-belakang apa dibalik muslihat ini?
-oo0dw0o-
Jilid 3
9. TOK TIONG-TJI-TOK = RACUN DIRACUN.
Lantas terasalah akan adanya hal2 yang mencurigakan
Suma Bing, alisnya berkerut semakin dalam, sejenak ia ragu2
dilain saat tiba2 tubuhnya berkelebat cepat melesat kedalam biara
besar yang angker itu. Mendadak dilihatnja di sebelah sana dua
laki2 yang mengenakan pakaian ketat warna biru, tengah
mengertak gigi dan mendelik sambil melintangkan pedang didepan
dada sikapnya mengancam, tanpa terasa ia tertawa dingin dan
mengejek: “Kukira seluruh penghuni biara ini sudah modar semua,
kiranya…"
Hanya separo kata2nya dilihatnya keadaan kedua laki2 seragam
biru itu sangat aneh, maka cepat2 ia telan ucapan selanjutnya,
dan melangkah maju dua tindak, berdirilah bulu

kuduknya. Kiranya apa yang dihadapi itu adalah mayat yang sudah
dingin kaku, dari keadaan kematiannya ini jelas menunjukkan
mereka tertutuk jalan darah mematikan oleh seorang tokoh silat
lihay luar biasa, maka setelah mati matanya tidak tertutup
jenazahnyapun tidak roboh. Dilihat suasana ini naga2nya pihak
Ceng seng pay telah tertimpa bencana besar, waktu ia angkat
kepala memandang sekitarnya, bukan olah2 lagi kejutnya, disana
ditengah pelataran bergelimpangan beberapa sosok mayat. Siapa
yang telah turun tangan sekejam ini?
Melewati pelataran besar Suma Bing melangkah terus kedalam,
sepanjang dimana ia lewat dilihatnya mayat bergelimpangan bau
anyir darah merangsang hidung betapa seram dan mengenaskan
keadaan kematian orang2 itu sungguh menggiriskan. Sampai yang
paling belakang berdiri bulu kuduk Suma Bing, terdengar ia berkata
seorang diri: "Semua mati, semua penghuni biara sebesar ini tiada
satupun yang masih ketinggalan hidup,"
Betapa besar rasa benci dan dendam hatinya meluruk datang
untuk menuntut balas, serta melihat banjir darah di Sam ceng
koan ini, sungguh mimpipun tak terduga olehnya, sedapat
mungkin ia menenangkan gejolak hatinya, pikirannya melayang
kejadian yang telah dialaminya terdahulu, setelah tugas pertama
memenggal kepala Ci Khong membawa hasil yang memuaskan
lantas ber-turut2 ia menemui kegagalan yang menjengkelkan,
entahlah itu hanya secara kebetulan ataukah memang telah diatur
oleh pihak musuh, atau mungkin juga ada peristiwa lain telah
terjadi tanpa setahu dirinya. Dalam berpikir itu tanpa terasa
tubuhnya sudah basah kuyup oleh keringatnya sendiri, perobahan
kejadian yang dialaminya ini benar2 diluar dugaannya dan lagi
juga seram menakutkan. Kalau dianalisa secara teliti se-olah2
merupakan serangkaian kejadian yang berhubungan satu sama
lain. Tapi hakikatnya tak bisa dicampur adukkan dalam satu
persoalan.

Untuk selanjutnya entahlah beberapa musuh lain yang akan
dicarinya itu bakal terjadi perobahan mengenaskan apa lagi?
Pandangan matanya penuh kecewa menyapu keempat penjuru,
tidak tahu dia apakah Ciangbungjin Ceng seng pay Leng Hun seng
juga berada diantara mayat2 itu, karena bukan saja belum kenal
juga dia belum pernah ketemu, lama dan lama sekali sorot matanya
berhenti diatas sesosok mayat yang rebah diserambi sebelah sana.
Dari pakaian yang dipakainya, usia dan wajahnya dapatlah
diperkirakan mungkin dia itulah Leng Hun seng adanya. Tapi dia
sudah mati, apa aku harus menghancurkan jenazahnya? Sudah
tentu tidak! Tekad bulatnya yang besar untuk menuntut balas
dendam perguruannya lama kelamaan semakin goyah, serangkaian
kejadian yang nyata menunjukkan bahwa dibelakang semua
peristiwa ini terkandung suatu unsur bahaya yang susah
dibayangkan.
Tengah pikirannya tenggelam dalam keadaan sadar tak sadar
itulah, mendadak terdengar seruan dingin yang gemetar menarik
kembali kesadarannya: "Suma Bing. perbuatanmu ini benar2
sangat kejam."
Ter-sipu2 Suma Bing membalikkan badan, tampak dibawah teras
sana berdiri tegak dan garangnya si orang berkedok yang belum
lama ini berpisah dengan dirinya.
Si orang berkedok bisa muncul disini benar2 diluar tahunya.
"Saudara kecil, kiranya kau inilah murid Sia sin Suma Bing
yang menggemparkan kalangan kangouw itu?" "Benar, itu tidak
akan kusangkal." "Lantas kedatanganmu ini hendak menuntut
balas?" Tercekat hati Suma Bing tanyanya: "Tidak salah,
darimana
Bong bian heng mendapat tahu?" Agaknya si orang berkedok
menahan gelora hatinya,
sahutnya gemetar penuh haru: "Apa masih ingat aku
pernah

berkata bahwa aku berhubungan sangat erat dan kental dengan
Tiang un Suseng Poh Jiang. Maka kejadian permusuhan antara
gurumu dengan Bu lim sip yu dulu sedikit banyak aku mengetahui,
peristiwa itu merupakan, salah paham"
"Salah paham? Hm," jengek Suma Bing. Dimarkas besar Ngo ouw
pang ia mendengar dari mulut Coh hujin akan perkataan 'Salah
paham' itu. Sekarang si orang berkedok yang misterius ini juga
mengatakan 'salah paham'. Apa mungkin. Baru saja pikirannya
me-layang2, se-konyong2 si orang berkedok berteriak dengan
bengis: "Saudara kecil, perbuatanmu ini sungguh tak terampunkan
oleh Yang maha kuasa."
Alis Suma Bing menjengkit tinggi, tanyanya: "Bong bian heng,
perbuatan apa?"
"Apa karena kesalahan seseorang lantas kau membanjirkan darah
diseluruh biara?"
"Apa kau tahu pasti bahwa aku yang turun tangan?" "Apa
bukan kau?" desis si orang berkedok kaget. Suma Bing
manggut2 dengan geram, katanya: "Aku datang
terlambat, tak dapat kuturunkan tanganku sendiri untuk membalas
sakit hati suhu, sungguh sayang dan harus disesalkan."
"Kalau begitu, saudara kecil benar bukan kau?" "Aku ingin
akulah yang berbuat, bermula memang
begitulah maksud kedatanganku. Bila Leng Hun seng tidak mau
unjukkan diri, aku tak akan mengenal kasihan. Sayang aku
terlambat."
Sorot mata si orang berkedok menunjukkan kejut, heran dan
gusar tercampur aduk, dengan nanar ia awasi mimik wajah Suma
Bing, akhirnya berobah gelap dan luyu, katanya

seperti menggumam: "Siapakah yang telah berbuat sekejam ini?"
Memang atas munculnya si orang berkedok Suma Bing sudah
merasa heran dan curiga, segera mulutnya menyeletuk: "Bong
bian heng bagaimana kaupun bisa tiba disini?".
"Mencari jejak Tiang un Suseng!" "Kaupun mencari jejak Tiang
un Suseng?" "Ya, begitu aku dengar bahwa kuburan Tiang un
Suseng
ternyata kosong, lantas aku mulai mencari dan menyelidiki
jejaknya. Sebab kita adalah sahabat kental tidak bisa tidak aku
harus ikut mencari dan turut berkuatir akan keselamatannya. Tuan
rumah biara besar ini adalah salah satu dari Bu lim sip yu, maka
tempat inipun menjadi salah satu alamat yang harus kuselidiki
juga." demikian si orang berkedok menjelaskan, tiba2 ia balik
bertanya: "Saudara kecil, apakah kuburannya itu adalah kau yang
membongkar?"
"Bukan." "Bukan, lalu siapa?" "Seorang wanita misterius."
"Aneh, menurut apa yang aku tahu, belum pernah Tiang un
Suseng bermusuhan dengan seorang wanitapun, wanita macam
apakah itu?"
"Seorang wanita berambut panjang berseragam hitam".
Sejenak si orang berkedok menunduk sambil merenung,
lalu menggeleng2, naga2-nya tak teringat olehnya siapakah
wanita misterius seperti yang dikatakan Suma Bing itu. Tiba2 ia
mengalihkan bahan bicara, tanyanya: "Saudara kecil, jadi kau
benar2 adalah murid Lam sia."
"Kau tidak percaya?" "Bukan tidak percaya,
hanya gurumu itu..."

"Dia belum mati" "Dia belum mati?" suara si orang berkedok
gemetar. "Betul, karena dibokong dia orang tua kehilangan
sebuah
matanya dan kedua kakinya. Justru sangat ajaib akhirnya dia
tidak mati, sampai..."
"Bagaimana?" "Belum lama berselang baru dia meninggal
karena racun
dalam tubuhnya kumat." "O, saudara kecil, maukah kau dengar
cerita tentang
peristiwa sebab permusuhan itu?" "Baik, coba kau ceritakan".
"Konon tiga diantara Bu lim sip yu yang tenar
menggetarkan kalangan Kangouw itu telah terbunuh ditangan Sia
sin Kho Jiang tanpa dosa. Dalam gusarnya tujuh kawan lainnya
segera meluruk mencari Lam sia dan minta pertanggungan
jawabnya. Lam sia sudah malang melintang didunia persilatan,
sudah tentu tujuh kawan itu insaf bahwa merekapun tak bakal
ungkulan menghadapinya. Sebaliknya bagaimanapun juga mereka
harus membalaskan kematian tiga sahabatnya yang konyol itu.
Siapa tahu begitu turun tangan baru mereka tahu bahwa urusan itu
ada latar belakang diluar sepengetahuan mereka"
"Bagaimana duduknya perkara?" "Naga2nya Lwekang Lam sia
tidak seperti yang mereka
duga sebelumnya, maka walaupun akhirnya lima dari tujuh kawan
itu terluka berat, toh mereka terhitung mendapat hasil yang
memuaskan. Setelah kejadian itu, Tiang un Suseng menganalisa
sebelum dan sesudah kejadian itu, baru akhirnya dia insaf bahwa
mereka telah terjebak dalam suatu tipu muslihat seseorang yang
keji yang telah direncanakan sebelumnya"

"Tipu muslihat apakah itu?" "Pertama; bahwa Lam sia
membunuh Tam yu (tiga kawan;
hanyalah berita angin, tiada seorangpun yang melihat sendiri.
Kedua; dalam pertempuran itu sebelumnya Sia sin Kho Jiang
sudah keracunan, ketiga; Suhengmu Loh Cu gi itu ganda
menonton sambil menggendong tangan, hal ini diluar batas tata
krama”
"Lalu kenapa sebelum turun tangan Tiang un Suseng tidak mau
memberi penjelasan tentang maksud kedatangannya itu?"
"Gurumu beradat aneh dan tinggi hati begitu melihat orang luar
menginjak batas daerahnya yang terlarang tanpa banyak mulut
lantas menyerang lebih dulu, tujuh kawan itu tiada kesempatan
untuk buka mulut. Apalagi begitu dia turun tangan, tambah
besarlah kenyataan kabar berita itu, maka lahirlah akibat yang
begituan."
"Benar, agaknja inilah suatu salah paham, pangkal dari semua
kejadian ini atau dikatakan juga sebagai durjana si perencana
bencana ini pasti adalah Loh Cu gi itu, tapi tujuh kawan itupun
tidak mungkin terhindar dari bencana akibat perbuatan mereka."
Si orang berkedok tertawa melengking menyedihkan, serunya:
"Memang selain Tiang un Suseng yang sampai sekarang belum
diketahui jejaknya yang lain semua sudah mati terbunuh oleh
orang"
Sungguh kaget Suma Bing susah dilukiskan, serunya geram: "Apa,
tujuh kawan itu sudah mati terbunuh orang?"
"Betul, Lo san siang kiam menggeletak ditengah perjalanan Siang
im. Goan Hi Hwesio dari Siau lim tulangnya terpendam diluar kota
Kay hong"
Suma Bing terhuyung mundur tiga tindak, hampir ia tidak percaya
bahwa dendam kesumat gurunya tak perlu dibalas

lagi. Karena semua musuh2nya telah mati secara aneh dan
menghilang secara misterius.
Saking haru dan bersedih tubuh si orang berkedok gemetar keras,
lalu katanya lagi: "Bermula kukira semua itu adalah perbuatanmu,
baru sekarang aku tahu kiranya masih ada orang lain yang
berbuat sekeji itu, siapakah kiranya orang itu, susah diduga."
Mendadak sebuah lengking tertawa dingin bergema dalam biara
itu, suara itu bagai bunyi burung kokok-beluk diwaktu malam,
ditambah ditengah pegunungan yang sunyi dan dalam biara besar
yang sekitarnya bergelimpangan mayat2 manusia, keadaan ini
benar2 sangat seram dan mendirikan bulu roma manusia.
Keruan bergidik dan merinding seluruh tubuh Suma Bing dan si
orang berkedok, berbareng mereka menoleh, terlihat terpaut jarak
tiga tombak didepan sana berdiri seorang yang mengenakan jubah
panjang warna ungu, wajahnya dingin membeku, sekali pandang
dapatlah diketahui bahwa orang berpakaian ungu ini mengenakan
topeng.
Sorot tajam dan dingin mata Suma Bing menatap kearah orang
berjubah ungu itu, sapanya tidak kalah dinginnya: "Orang kosen
darimanakah tuan ini?"
Tidak menjawab si jubah ungu malah balas bertanya: "Kau inilah
murid Sia sin Kho Jiang yang bernama Suma Bing itu?"
"Untuk apa kau menanyakan aku?" "Hehehehe" si jubah ungu
perdengarkan tertawa dingin
yang panjang, diselingi suara tawanya itu air muka si jubah ungu
yang membeku bagai mayat itu benar2 membuat takut dan ngeri
orang yang melihatnya.
Suma Bing mendengus hina, katanya: "Tuan apa ada yang
menggelikan?"

"Tidak ada, sungguh sangat kebetulan, dicari susah2 tidak
ketemu, tanpa dicari ketemu sendiri."
Melonjak hati Suma Bing, kiranya si jubah ungu ini tengah
mencari dirinya. Dia belum lama kelana didunia persilatan, belum
pernah bermusuhan secara langsung dengan orang, delapan
bagian tentu perhitungan lama gurunya itu, maka sambil
mengerut alis ia bertanya: "Jadi tuan hendak mencari aku?"
"Betul, untuk mengambil jiwamu." Sejenak Suma Bing tertegun
lantas tertawa gelak2,
serunya: "Mulut tuan ini sungguh sangat temberang, apa kau
mampu berbuat begitu?"
"Segampang membalikkan tangan!" sahut si jubah ungu tegas.
"Untuk apa kau bunuh aku?" "Karena kau adalah murid Lam
sia, ini sudah cukup jelas
bukan?" Diam2 Suma Bing membatin, tepat dugaannya kiranya
malah salah seorang musuh gurunya. Nada ucapannya itu juga
persis seperti kata Pek hoat sian nio, maka sahutnya sambil
menyeringai: "Sedikitnya tuan mempunyai sebuah nama bukan?"
"Ada, tapi kau tiada harganya bertanya, dijalan menuju keneraka
'sesat tua' itu dapat memberitahu kepadamu."
Seketika membaralah hawa amarah Suma Bing, nafsu membunuh
sontak merangsang hatinya, keras2 ia mendengus lalu serunya:
"Baik, biar kuiringi keinginanmu."
Pada saat itulah mendadak si orang berkedok membentak dingin:
"Pembunuhan besar2an dalam biara ini apakah buah karya tuan?"
"Kalau benar kau mau apa?"

"Ada permusuhan apa Ceng seng pay terhadap kau, sampai
demikian keji kau membanjirkan darah mencabut semua nyawa
penghuni biara ini."
"Pertanyaanmu ini terlalu berlebihan. Begitu kau menginjakkan kaki
kedalam biara ini sudahlah ditakdirkan kematianmu."
Rasa gusar dan benci Suma Bing yang belum terlampias saat itu
sudah tak kuat ditahan lagi, segera ia menghardik keras: "Bangsat
takabur, biar kubunuh kau dulu." mengikuti bentakannya kedua
tangannya disodokkan kedepan membawa damparan angin bagai
gugur gunung melanda kearah si jubah ungu yang mengenakan
kedok itu.
Si jubah ungu ganda tertawa ejek sambil kiblatkan sebuah
lengannya.
Kontan Suma Bing rasakan angin pukulannya bagai menerjang
sebuah tembok besi yang kokoh kuat 'bum' tenaga pukulannya
membal balik. Kejutnya bukan alang kepalang, bahwa lwekang
lawan ternyata sedemikian tinggi susah diukur. Maka cepat2 ia
menarik kembali tangannya sambil menggeser kedudukan
kesamping lima kaki.
Dalam waktu yang bersamaan si orang berkedokpun telah
lancarkan sebuah hantaman hebat mengarah si jubah ungu.
Tanpa perhatian si jubah ungu menjengek hina, sekali berkelebat,
bukan menyingkir malah tubuhnya meluruk maju kedepan si orang
berkedok, dimana tangannya diulur langsung ia cengkram kedada
si orang berkedok. Berkelebat, menghindar dan melancarkan
cengkraman boleh dikata dilakukan dalam sekejap mata, cepatnya
sukar diikuti pandangan mata. Saking kaget dan takut nyawa
seakan terbang ke-awang2, demikianlah keadaan si orang berkedok
waktu itu, untuk berkelit sudah tak mungkin lagi, dalam keadaan
yang mengancam jiwa itu terpaksa ia berlaku nekad, sebelah
kakinya diangkat secepat kilat menyepak kejalan

darah Tan tian dipusar musuh. Perbuatannya ini boleh dikata
mengadu nyawa dan ingin gugur bersama, meskipun dirinya pasti
terluka berat atau mati dibawah cengkraman musuh, tapi
musuhpun harus membayar mahal dengan tersepak pusarnya.
Hebat kepandaian si jubah ungu dalam keadaan yang tak mungkin
menarik balik serangan bagi orang lain tahu2 secara licin luar biasa
tubuhnya melesat kesamping tiga kaki. Maka dalam waktu yang
bersamaan tendangan si orang berkedokpun mengenai tempat
kosong, sebat sekali iapun segera berputar menyingkir lima kaki
jauhnya. Kini jarak mereka meski hanya setombak lebih, si jubah
ungu berteriak melengking, 'Wut, wut' dua kali tangannya terayun
aneh dan cepat sekali melancarkan pukulan dahsyat yang
berkekuatan besar.
Belum si orang berkedok dapat menenangkan hatinya, angin
tenaga pukulan musuh sudah merudung tiba bagai gugur gunung
terpaksa lekas2 ia gerakan tangannya untuk menangkis.
Benturan menggeledek yang memekakkan telinga terdengar santer
sekali, dibarengi seruan kesakitan yang sangat lalu disusul sebuah
bayangan orang terpental terbang jatuh ditengah ruang
sembahyang. Hampir dalam waktu yang bersamaan, si jubah
ungupun terhuyung mundur dua langkah, tak urung mulutnyapun
mendehem keras seperti mau muntah.
Kiranya bersamaan dengan si jubah ungu memukul terbang si
orang berkedok, dari sebelah samping sana Suma Bing pun
lancarkan sebuah pukulan yang menggunakan setaker tenaganya.
Sebenarnya tujuannya hanya mau menolong keselamatan si orang
berkedok, sayang ia terlambat setengah detik.
Si jubah ungu mengekeh tawa aneh lalu serunya: "Suma Bing,
apa Kho lo sia benar2 sudah mati?"

Tidak menjawab pertanyaan orang Suma Bing lancarkan lagi
sebuah pukulan.
Ringan sekali si jubah ungu melejit menyingkir sembari berkata:
"Cincin iblis kepunyaan Kho lo sia tentu sudah diturunkan
kepadamu bukan?"
Suma Bing mendelik dan mengertak gigi, sahutnya: "Tidak salah,
kau ingin apa?"
"Hehehehehe, kematianmu sudah didepan mata, maka aku harus
tahu jelas supaya tidak jatuh ketangan orang lain."
"Kau tahu pasti bahwa kau tidak mati?" "Mengapa tidak kau
coba2." Sambil menggeram gusar Suma Bing lancarkan
serangannya dengan jurus Liu kim hoat ciok. Seperti diketahui
jurus Liu kim hoat ciok ini pernah membuat putra Racun utara
Tangbun Yu terluka berat, memang dunia persilatan masa itu
yang kuat menyambut pukulannya ini hanya beberapa gelintir
saja. Siapa tahu apa yang dia saksikan dalam gelanggang yang
dihadapinya ini ternyata benar2 diluar dugaan.
Tanpa menyingkir atau berkelit si jubah ungu cukup memutar dan
melintangkan kedua tangan, perbuatannya ini kiranya cukup
membuat Suma Bing tidak mampu melancarkan jurus
serangannja, malah terdesak mundur tiga langkah lagi.
"Suma Bing, Kho lo sia telah mengajarkan kepandaian apa lagi
kepadamu, silahkan berondong keluar semua, jangan nanti kau
mati tidak meram, kalau kau mengabaikan waktu ini tidak akan
mempunyai kesempatan lagi untuk selamanya?"
Saking marah uap putih mengepul dari atas kepala Suma Bing, tapi
hatinya terkejut juga bahwa kepandaian lawan ternyata sedemikian
tinggi, hal ini belum seberapa yang paling mengejutkan hatinya
ialah bahwa semudah itu lawan memunahkan Liu kim hoat ciok
jurus tunggal terlihay ciptaan gurunya. Akan tetapi karena sifat
pembawaannya yang keras

kepala dan tinggi hati tak mau dia tunduk atau menyerah
mentah2.
Sambil berteriak panjang Suma Bing lancarkan lagi pukulannya
yang ketiga kali.
Kali ini si jubah ungu tidak berani berlaku gegabah, sedikit
menggeser kaki tubuhnya melesat menyingkir. Waktu Suma Bing
menarik pulang pukulannya otaknya berputar seketika timbullah
kekuatan Kiu yang sin kang dalam tubuhnya, kalau sekali
pukulannya ini gagal lagi, maka susahlah dibayangkan bagaimana
akibatnya. Dibarengi bentakan nyaring gelombang panas bagai
lahar gunung berapi ber-gulung2 melanda kedepan.
"Kiu yang sin kang!" seru si jubah ungu penuh nada mengejek.
Kali ini dia berdiri tenang sambil menggerakkan tangan kiri
membuat satu lingkaran terus disurung kesamping, sedang tangan
kanan bersamaan memukul kedepan dengan kecepatan luar biasa.
Seketika Suma Bing merasakan bahwa pengerahan Kiu yang sin
kangnya itu karena gerakan memutar dan menyurung pihak lawan
tenaganya kena tersedot dan ikut menyelonong kesamping. Tanpa
terasa arwahnya bagai melayang meninggalkan badannya, untuk
menarik kembali atau berkelit sudah tidak sempat lagi, sedang
sebuah pukulan musuh yang berkekuatan dahsyatpun sudah
merangsang tiba. 'Blang' tubuh Suma Bing ter-huyung2 dan
beruntun mundur delapan langkah, tidak tertahan lagi mulutnya
menguak dan muntah darah.
Si jubah ungu tertawa gelak2 saking kepuasan, serunya: "Siaucu,
apa yang kau pelajari dari Kho lo sia kiranya hanya begitu saja,
masih ada simpanan lain tidak?"
Suma Bing insaf bahwa dirinya bukan tandingan musuh. Tapi
terang gamblang bahwa musuh mencari dirinya, masa murid Lam
sia yang ditakuti itu harus lari atau menyingkir

menghadapi bencana. Bahwasanya dirinya sudah terkena racun
Pek jit kui, hidupnya tinggal seratus hari, kalau memang tiada
harapan hidup, apa bedanya segera mati dengan berlebihan hidup
selama seratus hari lagi. Dalam berpikir itu secepatnya ia merogoh
keluar Cincin iblis terus dimasukkan kedalam jari tengahnya.
Begitu melihat Cincin iblis itu, segera kedua mata si jubah ungu
dibalik kedoknya itu menyorongkan rasa takut2 dan tamaknya,
katanya dingin. "Mo hoan, sedetik lagi dia akan menjadi milikku!"
Wajah Suma Bing sudah penuh diliputi nafsu membunuh, maju
beberapa langkah ia kerahkan tenaga saktinya, seketika Mo hoan
dijarinya itu menyorongkan sinar terang yang menyilaukan mata,
tapi hanya secarik sinar yang menyeluruh memancar kedepan
bagai sebatang pedang sejauh satu tombak lebih.
Terdengar si jubah ungu menggumam: "Kalau Mo hoan ini
ditanganku, dalam jarak dua tombak dapat kupenggal kepala
orang, kukira tidak menjadi soal."
Suma Bing mendengus dan katanya: "Dalam jarak setombak
kupenggal kepalamu, kukira juga tidak menjadi soal." sambil
berkata ia melangkah maju sambil mengayun tangan, sejalur sinar
dingin kemilauan sepanjang satu tombak segera menyapu datang
bagai kilat menyambar."
Sebat sekali si jubah ungu melompat jumpalitan kebelakang
sejauh dua tombak, dimana kakinya menginjak tanah kini dia
berada diluar pekarangan. Tidak perlu disangkal lagi, ternyata
diapun gentar menghadapi keampuhan Cincin iblis ini.
Suma Bing mendesak maju beberapa langkah dan turun dari
undakan berdiri tegak ditengah pekarangan.
Saat mana si orang berkedok yang terpukul terbang oleh
hantaman si jubah ungu juga sudah bangun lagi dan
menggelendot dipinggir meja yang terbuat dari kayu cendana,

sedikitpun ia tidak bergerak lagi, entah apa yang tengah
direnungkan.
Sepasang mata Suma Bing mendelik bundar menatap si jubah
ungu, katanya: "Sebelum kubunuh kau, aku ingin tahu namamu
dan tujuan kedatanganmu?"
Si jubah ungu ter-loroh2 ejek, serunya: "Suma Bing namaku kau
tidak perlu tahu, tujuanku hendak membunuh kau. Malah boleh
kutambah mengapa aku harus membunuhmu, karena kau adalah
murid Sia sin Kho Jiang"
Hampir meledak dada Suma Bing, bentaknya beringas. "Kau
sudah pasti mati" — sinar dingin yang menyorong dari
Cincin iblis dijarinya semakin melebar dan tajam, dimana
digerakkan terciptalah sebuah jaring sinar putih yang mengurung
seluruh tubuh si jubah ungu, terdengarlah juga suara mendesis
yang menambah keseraman keadaan sekelilingnya.
Si jubah ungu berloncatan berkelit dengan lincahnya enteng dan
tangkas seperti setan tanpa bayangan sungguh hebat pertunjukan
ilmu ringan tubuhnya ini, namun sedikitpun ia tidak berani
terang2an menyentuh sinar jaringan Mo hoan.
Menggunakan Cincin iblis menghadapi musuh hanya mengandalkan
tenaga murni yang didesak keluar menambah keampuhan senjata
itu, kalau terlalu lama tentu hawa murni dalam tubuhnya akan
semakin susut dan ludas. Agaknya si jubah ungu tahu akan
kelemahan ini, selama ini ia hanya main petak dan pertunjukkan
gerak tubuhnya yang lihay tiada taranya dalam dunia persilatan,
karena berlompatan dan berlarian dalam pekarangan yang
sedemikian besar, terpaksa Suma Bing pun harus mengejar dan
menyerang kalang kabut hingga napaspun megap2. Setanakan nasi
kemudian, keampuhan sinar Cincin iblis itu semakin suram sinarnya
hanya menyorong tinggal delapan kaki jauhnya. Gundah dan gugup
hati Suma Bing insaf dia bahwa tenaga murninya

semakin susut, seluruh tubuhnya sudah basah kebes oleh keringat
tapi ujung jubah musuh saja belum disentuhnya.
Kini tibalah saatnya. si jubah ungu balas menyerang, dengan
kekuatan pukulan yang susah diukur dia lancarkan, sembilan kali
pukulan dari sembilan kedudukan yang tidak sama, angin pukulan
bergelombang tinggi bagai damparan ombak yang berlapis2
menerjang tiba dari pelbagai penjuru mengarah satu sasaran.
Begitu si jubah ungu selesai melancarkan sembilan pukulannya,
sinar terang yang menyorong keluar dari Cincin iblis seketika
lenyap dibarengi suara kesakitan yang luar biasa tubuh Suma Bing
terpental terbang balik kedalam ruangan besar karena damparan
gelombang pukulan musuh yang dahsyat. Agaknya si jubah ungu
masih belum puas, sekali berkelebat dia melompat diatas undakan
sambil lancarkan lagi sapuan tangannya. 'Blang' lagi2 Suma Bing
mengeluarkan suara menguak keras darahpun menyembur deras
dari mulutnya, tubuhnya terpental lagi lebih jauh kebetulan
tubuhnya meluncur kearah si orang berkedok, cepat2 dia ulurkan
tangan dan tepat sambut tubuh Suma Bing kedalam pelukannya.
Per-lahan2 dan mantep si jubah ungu maju dua langkah berdiri
diluar pintu sembahyang itu, kedua matanya menyorotkan sinar
tajam yang menyedot semangat orang nada ucapannya sedingin
es: "Kau hendak bunuh diri atau harus aku yang turun tangan!"
Serta merta si orang berkedok mundur dua langkah, darahnya yang
mendidih tadi kini terasa membeku dalam jantungnya, diam2 ia
mengeluh: "Tamatlah sudah!" mengandal kemampuannya saat itu
tidak mungkin ia dapat lolos dari tangan jahat si jubah ungu,
apalagi dia harus membopong dan melindungi Suma Bing, hanya
kematianlah kiranya jalan satu2nya, tanpa terasa ia termenung
menatap wajah Suma Bing yang pingsan dalam pelukannya,
katanya

menghela napas: "Saudara kecil, segala dendam permusuhan
selanjutnya boleh dihapuskan."
Pada saat itulah mendadak terdengar lolong suara aneh panjang
yang menggetarkan bagai suara tertawa iblis atau jin raksasa.
Ter-sipu2 si jubah ungu membalik badan tampak olehnya ditengah
pekarangan sana berdiri seorang aneh yang bertubuh kurus tinggi
mengenakan jubah hitam, tidak ketinggalan wajah dan seluruh
badannya berwarna hitam logam, dipandang dari kejauhan seperti
tonggak yang habis terbakar. Seluruh tubuh dari atas sampai
bawah hanya terlihat dua titik putih diatas tubuhnya, yaitu kedua
bola matanya yang aneh itu.
Si orang berkedok yang berada jauh didalam ruang sembahyangan
tak luput merasa keder dan seram merinding, dengan
pengalamannya yang luas dikalangan Kangouw, tidak diketahuinya
siapa dan tokoh darimanakah si manusia aneh yang serba hitam
ini.
10 HUTANG DARAH BAYAR DARAH.
Kedua bola mata manusia aneh yang banyak putihnya
daripada hitam ber-putar2 jelalatan dengan suaranya yang
melengking menusuk ia berkata kepada si jubah ungu: "Sebagai
ketua Bwe hwa hwe yang kenamaan mengapa harus mengenakan
kedok menutup muka, apa kau malu dilihat orang?"
Agaknya si jubah ungu tergetar kaget, tanpa terasa ia mundur
satu langkah.
Dilain pihak tidak kurang pula kejut si orang berkedok, sungguh
diluar tahunya bahwa si jubah ungu ini kiranya adalah Ketua Bwe
hwa hwe yang sangat misterius itu. Kenapa

Bwe hwa hwe Hwe tiang harus membabat rumput dan membuat
banjir darah di Sam ceng koan ini? Kenapa pula dia mengejar dan
hendak membunuh Suma Bing?
Sementara itu terdengar si jubah ungu menyahut dingin: "Tuan
sebutkan nama besarmu?"
"Kau mengakui tidak kedudukanmu itu?" Kiranya manusia aneh
bagai arang inipun belum berani
memastikan kalau si jubah ungu ini benar2 adalah Bwe hwa hwe
Hwe tiang (ketua)!
Si jubah ungu tertawa ringan, sahutnya: "Kau dengar aku tidak
menyangkal!"
Orang aneh serba hitam itu manggut2, serunya lantang : "Kalau
begitu baiklah kuberitahu. aku yang rendah ini tak lain tak bukan
adalah "Tok tiang ci tok!"
"Tok tiong ci tok?" "Benar, akulah Racun didalam racun!" Ketua
Bwe hwa hwe sendiri adalah seorang yang sangat
misterius, tapi setelah dengar orang memperkenalkan diri tanpa
terasa iapun terperanjat juga, beruntun mundur tiga langkah dan
tanyanya lagi: "Jadi tuan adalah Racun diracun yang baru saja
muncul, kau menggunakan racun tanpa bayangan..."
Racun diracun terloroh2, katanya: "Baru saja muncul, hm, tingkat
kedudukanmu ketua Bwe hwa hwe toh belum tentu lebih tinggi
dari aku?"
"Diseluruh jagad yang merajai menggunakan racun hanyalah Pak
tok Tangbun Lu seorang, tuan berani menamakan diri sebagai
Racun diracun, masa bisa lebih..."
"Hehehe, Pak tok terhitung barang apa?"

Lagi2 Bwe hwa hwe Hwe tiang tergetar hatinya, apa mungkin
manusia aneh ini bisa lebih beracun dari Pak tok. Tapi selama ini
belum pernah dengar adanya seorang tokoh yang benar2 lihay
dalam bidang itu. Maka segera ia menarik muka dan berkata berat:
"Tuan kebetulan lewat disini ataukah..."
"Aku datang khusus mencari kau!" "Ada pengajaran apakah?"
Dingin dan berat Racun diracun mengucapkan sekata demi
sekata: "Apakah Pedang darah berada ditanganmu?" “Pedang
darah, hahahaha, darimana Pun hwe tiang (ketua)
mendapatkan Pedang darah itu?" "Hm, Mo san ji kui mati
ditangan siapa? Dengan sebilah
Pedang darah palsu Bwe hwa hwe menimbulkan huru-hara
dikalangan Kangouw, menimbulkan gelombang pertikaian besar,
apa tujuan kalian?"
Dalam pada itu si orang berkedok yang masih berada diruang
sembahyang melihat adanya kesempatan ini, secara diam2 segera
ia payang tubuh Suma Bing mengeloyor pergi melalui pintu
samping.
Sejenak Ketua Bwe hwa hwe menelan ludah dan ragu2 lalu
serunya lagi lebih dingin: "Bukankah pertanyaan tuan ini terlalu
berkelebihan, kalau kau sudah tahu yang kita dapatkan adalah
Pedang darah palsu, buat apalagi kau bertanya?"
"Mo san ji kui terkapar mati diluar guanya, apakah itu buah karya
kumpulan kalian. "Memang benar."
"Menurut apa yang tersiar dikalangan Kangouw, bahwa Pedang
darah itu telah dimiliki oleh Mo san ji kui. Mo san ji kui kini telah
terbunuh oleh orang2mu, bukankah itu mengatakan bahwa
Pedang darah itu telah terjatuh ditangan kalian."

"Bukankah tuan tadi mengatakan juga bahwa Pedang darah yang
kita, dapatkan itu adalah Pedang darah palsu"
"Hm, mencuri kelintingan menutupi kuping sendiri, begitu Pedang
darah tulen terjatuh ditangan kalian, lantas dengan Pedang darah
palsu kalian mengatur tipu daya dikalangan Kangouw,
perbuatanmu ini benar2 masih sangat hijau!"
"Jadi tuan pasti menuduh bahwa Pedang darah yang tulen berada
diperkumpulan kita?"
"Kenyataan memang demikian." "Setelah peristiwa itu baru Pun
hwe tiang (aku si ketua)
sadar bahwa karena kurang teliti kita telah terjebak kedalam
kabar angin itu."
"Bagaimana maksud ucapanmu ini?" "Lima belas tahun yang
lalu, Pedang darah terjatuh
ditangan Tang mo, coba pikir dengan kemampuan Mo san ji kui
mana mungkin dapat merebut Pedang darah itu dari tangan Tang
mo. Maka kukatakan bahwa kita telah tertipu oleh kabar angin
itu."
Mata Racun diracun yang banyak putihnya dari hitam ber- kilat2,
sejenak ia merenung lalu tanyanya menegasi: "Apa ucapanmu itu
dapat dipercaya?"
"Percaya atau tidak terserah kepada tuan sendiri!" "Kalau kelak
aku dapatkan apa yang kau ucapkan ini
bohong..." "Bagaimana?" "Aku tidak seperti Pak tok yang suka
mengagulkan gengsi
atau kedudukan, maka dapatlah kau bayangkan sendiri apa
akibatnya."
Se-konyong2 Bwe hwa hwe Hwe tiang perdengarkan suara tawa
yang menggelegar, nadanya seperti gembreng ditabuh

sedemikian kerasnya hingga seisi biara itu terasa menggetar,
setelah menghentikan suara tawanya segera ia berkata temberang.
"Tuan kau terlalu memandang rendah perkumpulan kita."
Wajah Racun diracun sedemikian hitam legam hingga susah dilihat
bagaimana mimik air mukanya. Tapi dilihat dari sorot matanya
yang ber-kilat2 bengis itu, naga2nya sedikitpun ia tidak gentar
atau terpengaruh oleh pertunjukan Lwekang Ketua Bwe hwa hwe
dengan suara tawanya tadi, jawabnya dingin: "Memang, jago2
kalian sangat banyak, tapi apa yang pernah kuucapkan tentu
dapat kuperbuat, selamat bertemu!"
Sekali berkelebat bayangan hitam itu sudah menghilang bagai
angin lalu.
Waktu ketua Bwe hwa hwe membalikkan tubuh lagi, jejak si orang
berkedok dan Suma Bing sudah menghilang entah kemana.
**** Waktu Suma Bing siuman kembali yang terlihat
dipandangan matanya adalah sebuah pelita minyak, bau apek
yang basah menyerang hidung, terasa dirinya rebah diatas sebuah
dipan batu, ia meng-ucek2 matanya lalu katanya seorang diri:
"Apa aku belum mati?"
"Kau belum mati." Suma Bing memandang kearah datangnya
suara, dilihatnya
si orang berkedok tengah berduduk dipojok sana terpaut
setombak, serunya kaget: "Bong bian heng, kaulah yang
menolong aku?"
"Itulah kewajiban seorang kawan." "Tempat
apakah ini?" "Ruang rahasia dibawah Sam
ceng koan"

"Ruang rahasia dibawah tanah." "Benar." "Kau bukan keluarga
dalam Sam ceng koan ini, darimana
kau tahu akan tempat ruang rahasia ini?" "Ciangbunjin Ceng seng
pay Leng Hun seng adalah salah
satu dari Bu lim sip yu, sedang Tiang un Suseng adalah sahabat
karibku, sudah tentu hubungankupun sangat erat dengan Sam
ceng koan, ruang dibawah tanah inipun bukan rahasia lagi
bagiku."
"O, lalu si jubah ungu itu" "Dialah Bwe hwa hwe Hwe tiang"
"Bwe hwa hwe Hwe tiang?" seru Suma Bing melonjak
kaget. "Ada permusuhan apakah antara Bwe hwa hwe dengan
Ceng seng pay? Ada dendam apa pula dengan, aku? Ini... ini"
"Inilah teka-teki, saat ini sukar untuk ditebak, sudah tentu
ada sebabnya mengapa dia menimbulkan banjir darah di Sam
ceng koan ini dan hendak membunuhmu lagi."
"Darimana saudara tua mengetahui bahwa dia adalah Ketua Bwe
hwa hwe?"
"Ditunjuk oleh Tok tiong ci tok, untung Racun diracun muncul
pada saat yang tepat, maka kita ada kesempatan menghindarkan
diri."
Bukan olah2 kejut Suma Bing, sungguh tak terduga olehnya
bahwa Racun diracun bisa muncul ditempat itu, serta merta
mulutnya berkata: "Si algojo yang menggunakan Racun tanpa
bayangan membunuh adik Siang Siau hun dan Li Bun siang?”
"Darimana kau tahu?" tanya si orang berkedok heran. Terpaksa
Suma Bing mengisahkan pengalamannya
dikelenteng bobrok itu, tapi soal dirinya keracunan tidak

dibicarakan. Si orang berkedok baru sadar dan jelas, katanya:
"Begitulah tujuan Racun diracun hanya menginginkan Pedang
darah itu. Benda yang dititipkan kepada Siang Siau hun bertiga
bentuknya sama seperti buntalan Pedang darah, maka Racun
diracun salah sangka dan turun tangan keji, tidak heran iapun
mendesak Ketua Bwe hwa hwe untuk mengetahui dimana jejak
Pedang darah itu berada, kiranya masih banyak sebab lainnya,"
"Lalu akhirnya bagaimana?" "Ketua Bwe hwa hwe menyangkal"
Bergegas Suma Bing bangun, mendadak dirasakan tiada
keanehan dalam tubuhnya, serunya, kaget dan heran: "Kuingat
aku terluka berat"
"Memang lukamu tidak ringan, untung aku mengetahui sedikit
cara pengobatan dan membekal obatnya pula"
Kata Suma Bing menghela napas: "Lagi2 aku berhutang budi
kepada saudara tua, ai"
"Apa maksud ucapanmu itu saudara kecil, seumpama aku yang
terluka, masa kau tidak akan menolong aku."
"Meskipun begitu, tapi aku tidak suka berhutang budi kepada
orang lain. sebab..."
"Sebab apa?" "Aku tidak akan dapat membalasnya." Si orang
berkedok tertawa ringan ujarnya: "Saudara kecil,
agaknya kaupun keracunan." Suma Bing melengak kaget,
tanyanya: "Darimana Bong
bian heng dapat tahu?" "Waktu aku mengobatimu tadi, kudapati
diatas pusarmu
ada setitik hitam, kalau titik hitam ini melebar sampai dijalan
darah Pek hwe hiat, jiwamupun akan tamat."

Dengan penuh kebencian yang me-nyala2 segera Suma Bing
bercerita tentang bagaimana dirinya terkena racun Pek jit kui dari
Tangbun Yu itu.
Sontak si orang berkedok tutup mulut tak dapat bicara. Suma Bing
sendiripun tenggelam dalam renungannya, ruang bawah tanah itu
menjadi sedemikian hening lelap yang terdengar hanyalah jalan
pernapasan mereka saja. Lama dan lama kemudian baru si orang
berkedok memecah kesunyian dengan suaranya yang bernada
berat berkata: "Saudara kecil, aku tahu ada semacam benda dapat
memunahkan racun dalam tubuhmu itu."
Keruan girang Suma Bing sukar dilukiskan mendengar keterangan
itu. Karena menurut Tangbun Yu sendiri mengatakan bahwa
racunnya itu tiada orang lain yang dapat mengobati, sedang si
maling bintang Si Ban cwan juga berpendapat hanya Tiang un
Suseng seoranglah yang mungkin dapat mengobati dirinya.
Sungguh diluar tahunya bahwa si orang berkedok ini kiranya juga
mengetahui cara memunahkan racun itu. Ter-sipu2 ia melompat
turun terus mendekati si orang berkedok sembari berkata: "Apa
saudara tua dapat mengobati racun berbisa itu?"
"Bukan aku yang dapat memunahkan, maksudku aku tahu ada
suatu benda yang dapat memunahkan racun dalam tubuhmu itu,
hanya..."
"Bagaimana?" "Benda itu sukar diperoleh." "Benda apakah
itu?" "Coa ham cau (rumput ular), rumput ini tumbuh ditengah
lembah pegunungan yang berbahaya, bentuknya tidak begitu aneh
hanya mengeluarkan bau wangi yang aneh justru baunya ini paling
disenangi oleh ular berbisa. Dimana ada tumbuh rumput ini maka,
disitulah tempat berkumpul ratusan atau ribuan macam ular
berbisa, mereka berebutan untuk

mengulum daun rumput itu, sedikitnya rumput semacam itu harus
sudah pernah dikulum oleh ribuan laksa ekor ular2 itu hingga
warnanya berobah menjadi putih bening bagai batu giok, baru ada
khasiatnya untuk memunahkan racun. Tapi rumput Coa ham cau
ini sukar dicari..."
Suma Bing menghembuskan napas panjang, ujarnya: "Terhadap
racun dalam tubuhku ini memang aku sudah tidak mengharap
dapat dipunahkan lagi "
Si orang berkedok mengulap tangan menukas kata orang lalu
katanya tersenyum: "Saudara kecil, kalau tiada harapan tentu aku
takkan buka mulut. Tentang rumput ular ini menurut apa yang
kuketahui Si gwa sian jin ada menyimpan sepucuk"
"Si gwa sian jin?" "Benar, manusia bebas diluar dunia itu
bertabiat sangat
aneh dan menyendiri, selamanya dia tak mau berhubungan
dengan kaum persilatan."
Terbangun semangat Suma Bing, ujarnya: "Dimanakah tempat
tinggal Si gwa sian jin?"
"Bu in san (gunung tanpa bayangan), dari sini kira2 tiga hari
perjalanan baru bisa sampai!"
"Baik, banyak terimakasih atas keteranganmu ini, biar kupergi
kesana, mencoba peruntungan."
"Biar kuiring kau kesana, gunung tanpa bayangan itu sukar dicari
biar aku yang menunjuk jalan."
"Ah, mana aku enak menyusahkan kau..." ujar Suma Bing penuh
haru.
"Kita toh sudah terikat sebagai sahabat, terhitung apa bantuanku
ini?"
"Kalau begitu marilah kita berangkat?"

"Nah kan begitu." Mengintil dibelakang si orang berkedok
Suma Bing berdua
berjalan keluar menyusuri jalanan rahasia dibawah tanah, setelah
belak-belok sekian lamanya kemudian tibalah mereka diujung
lorong jalan rahasia itu, segera si orang berkedok mengulur
tangan menekan dinding sebelah kanan, maka terdengarlah suara
keresekan, tiba2 diatas kepala mereka terbukalah sebuah lobang
selebar lima enam kaki persegi.
"Dari sinilah kita keluar !" — Beruntun mereka melompat keluar
dan menginjak tanah, waktu mereka angkat kepala memandang
tanpa terasa dingin perasaan mereka, karena kelenteng Sam ceng
koan yang sedemikian megah dan agung itu kini sudah tinggal
puing2 yang rata dengan tanah. Sang surya baru muncul dari
peraduannya, itu berarti sudah selama satu hari satu malam
mereka berada diruang bawah tanah itu.
Kata Suma Bing penuh haru dan berang: "Ketua Bwe hwa hwe itu
benar2 keji, bangunan gedung yang megah inipun tidak
ketinggalan dibakarnya juga. Aliran dari Ceng seng pay
selanjutnya habis total, mungkin tiada saatnya lagi mereka dapat
bangun kembali."
Saking haru dan bersedih si orang berkedok gemetar, ujarnya
penuh kebencian: "Hutang darah ini lambat atau cepat pasti ada
orang yang akan menagihnya."
Begitulah kedua orang berdiri terlongo dan merenung sekian
lamanya, lalu bersama2 melejit berlarian turun gunung. Dan pada
saat mereka mulai bergerak itulah dari jarak yang agak jauh
disana terdengar derap langkah ramai yang tengah mendatangi
dengan cepat.
"Kita mengumpat dulu dalam rimba, kita intip siapakah mereka
itu." kata si orang berkedok.
Baru saja mereka membelok dan menghilang dalam hutan
sebelah sana, beruntun lima bayangan manusia berlompatan tiba
dipelataran diluar pintu kelenteng yang tinggal puing2-nya

itu, mereka terdiri dua orang tua dan tiga orang gagah kekar,
mereka berseragam hitam sekuntum bunga Bwe yang besar
warna putih menghiasi baju depan dada mereka.
"Para begundal dari Bwe hwa hwe," kata si orang berkedok lirih,
"mungkin mereka meluruk datang mencari kita!"
Suma Bing mendengus gusar, pendek singkat dan tegas
ucapannya: "Bunuh!"
Terdengar salah seorang tua baju hitam itu tengah berkata:
"Entah bagaimanakah hasil pemeriksaan?"
Salah seorang tua lainnya menjawab: "Sepuluh li dalam
lingkungan daerah ini seekor kelinci juga jangan harap dapat lolos,
apalagi dua orang yang terluka berat, masa mereka dapat terbang
kelangit..."
"Benar, masa dapat terbang kelangit!" sebuah suara dingin
menggiriskan pendengarnya menandangi ucapannya.
Serentak kelima orang itu berputar balik, air muka mereka
berobah heran dan kaget. Tampak seorang pemuda gagah
ganteng yang berlagak congkak dan bersikap angkuh tengah
berdiri dua tombak jauhnya dari mereka, wajahnya penuh nafsu
membunuh yang me-nyala2, mimik wajahnya itu benar2 membuat
orang bergidik seram menggiriskan.
"Siapa kau, sebutkan namamu!" hardik kedua orang tua dengan
nada berat.
Orang yang mendadak muncul ini kiranya adalah jago kita Suma
Bing. Dengan penuh ejek sambil melerok Suma Bing mendengus
hidung, lalu katanya: "Bangsat kurcaci seperti kalian belum
berharga menanyakan namaku, tapi supaya kalian mati tidak
penasaran, dengarlah, akulah Suma Bing."
Begitu si pemuda memperkenalkan diri seketika kelima gembong
Bwe hwa hwe itu undur ketakutan, ketiga orang bertubuh kekar
itu segera melolos senjata.

Perlahan dan pasti Suma Bing melangkah maju mendekat, setiap
langkahnya mengandung nafsu membunuh yang ber- kobar2.
Kelima gembong Bwe hwa hwe itupun serta merta undur dan
mundur terus.
"Berhenti!" mendadak sebuah suara lain menghardik keras dari
belakang.
Melonjak kaget kelima orang itu sukma seakan terbang keluar
badan kasarnya, waktu mereka berpaling dilihatnya seorang
berkedok mengenakan pakaian warna hijau telah menghadang
dibelakang mereka. Salah seorang tua itu mendadak mengayun
sebelah tangan, selarik bunga api warna merah darah segera
melesat tinggi membumbung angkasa, terang bahwa mereka
melepas pertanda bahaya dan minta bantuan. Bunga api itu
terbang setinggi lima puluh gunung sana minta bantuan. Bunga api
itu terbang setinggi lima puluh tombak baru meluncur turun dan
jatuh dibelakang gunung sana.
Si orang berkedok ter-loroh2 sekian lamanya, katanya "Bagus
sekali, undanglah semua para cakar anjing itu, darah yang
mengalir di Sam ceng koan dari ratusan nyawa penghuninya, harus
dicuci bersih oleh darah kalian bangsa kurcaci ini."
Serempak tiga orang kekar membentak berbareng, dimana sinar
pedang berkelebat serentak mereka menyerang kearah si orang
berkedok. Sementara kedua orang tua itu saling pandang sebentar
terus menerjang kehadapan Suma Bing.
Memang sudah sejak lama nafsu membunuh sudah bersemi dalam
benak Suma Bing maka begitu turun tangan ia tidak mengenal
kasihan lagi, kedua tangannya ditarik lalu disodokkan kedepan
sedang kedua kakinyapun sedikit ditekuk, gelombang panas bagai
hujan badai segera menerjang kearah kedua orangtua yang
menubruk tiba. Seketika terdengar pekikan panjang yang
mengerikan bergema dikesunyian alas pegunungan. Kedua orang
itu masing2 menyemburkan darah

segar dan tubuh mereka terpental sejauh tiga tombak sebelum
tubuhnya menyentuh tanah jiwanya sudah melayang.
Disebelah sana terdengar juga sebuah jeritan, salah satu laki2
kekar itu terhantam remuk kepalanya oleh si orang berkedok,
keruan kedua temannya ketakutan setengah mati berbareng
mereka kiblatkan pedangnya terus putar tubuh hendak melarikan
diri.
"Roboh!" si orang berkedok membentak keras, kedua tangannya
bergerak bagai kilat, 'blang, blung' disusul teriakan mengerikan
kedua sisa laki2 kekar inipun muntah darah dan roboh terkapar
jiwapun melayang.
Baru saja Suma Bing berdua selesai membereskan musuh2nya,
derap langkah yang ramai beruntun mendatangi dari pelbagai arah
semua meluruk keatas puncak sini.
Serta merta sorot mata Suma Bing menyapu kearah orang
berkedok, kebetulan mata orangpun tengah memandang kearah
sini masing2 manggut2. Anggukkan bersama yang menandakan
kesepakatan hati ini akan menentukan nasib para tokoh Bwe hwa
hwe yang mendatangi. Maka terjadilah pertempuran hebat
mati2an dibawa puing2 Sam ceng koan, darah mengalir deras,
mayat2 beterbangan dengan anggota tubuh yang tidak lengkap.
Sedemikian banyak bantuan jago2 Bwe hwa hwe berdatangan dari
segala penjuru, teriakan dan pekikan kesakitanpun tak henti2nya
terdengar saling susul, mayat bergelimpangan semakin bertumpuk.
Beratus anggota Ceng seng pay dari ketuanya sampai muridnya
terkecil tidak kecuali terbabat habis oleh pembunuhan kejam,
tempat suci yang agungpun tidak luput terbakar habis menjadi
puing.
Sekarang darah para anggota Bwe hwa hwepun membanjir
menyiram diatas puing2 itu. Inilah yang dinamakan hutang darah
bayar darah, penyembelihan besar2an tengah berlangsung gila2an.
Puncak Ceng seng san diselubungi bau

busuk dan anyir darah yang memualkan, lambat laun semakin
sirap juga suara jeritan atau pekik kesakitan yang mendirikan bulu
roma.
"Berhenti!" terdengar sebuah suara melengking mendatangi, suara
ini tidak begitu keras tapi sangat mengejutkan pendengarnya.
Tanpa berjanji sebelumnya Suma Bing dan si orang berkedok
segera menghentikan pertempuran. Tampak seorang wanita
berusia 30-an berwajah cantik molek entah kapan sudah berdiri
ditengah gelanggang pertempuran, dibelakang wanita ini berdiri
jajar dua belas busu laki2 berpakaian ketat.
Maka berkesempatanlah para jagoan Bwe hwa hwe yang masih
ketinggalan hidup berlarian menyingkir menyelamatkan diri.
Dengan bola matanya yang cemerlang si wanita menyapu
pandang kearah mayat2 yang bergelimpangan itu lalu dengan
langkah ringan gemulai ia maju beberapa langkah, sepasang
matanya jelalatan pelerak-pelerok menatap wajah Suma Bing
yang ganteng, kedua pipinya agak kemerah2an, mimiknya cerah
tidak tertawa tapi juga tidak tersenyum, sikapnya ini sungguh
sangat menggiurkan dan memikat hati semua pria mata
keranjang.
Sorot mata Suma Bing tajam bagai ujung pedang, wajahnya
membeku dingin ia pandang pendatang baru ini lalu berpaling
kearah si orang berkedok dan bertanya: "Apa kedudukan wanita ini
didalam Bwe hwa hwe?"
Si orang berkedok menggeleng kepala tanda tidak tahu.
Pinggang dan pinggul si wanita berjentit ia maju beberapa
langkah, suaranya nyaring bening bagai kicau burung: "Kau inikah
Suma Bing?"
"Benar."

"Perbuatanmu terlalu telengas!" "Ini baru permulaan saja!"
"Hm, mungkin juga yang terakhir, kalau kukatakan bahwa
kalian berdua mampir ke perkumpulan kita, tapi kalian tidak
menampik bukan?"
"Kau ini terhitung barang apa?" jengek Suma Bing menghina.
"Barang apa? Ccce! Suma Bing, akulah Hun Cit koh pejabat Hoa
than Thancu (kepala panggung kembang) dari Bwe hwa hwe!"
Suma Bing ganda mendengus ejek sambil menjerit katanya: "Itulah
bagus, semua orang yang datang semua mendapat bagian, aku
tidak boleh memberi persen secara berat sebelah."
Semakin suram pandangan mata Hun Cit koh, wajahnyapun
mengelam, katanya dingin: "Suma Bing, kalau kau mau dengar
kata ikut Pun than (aku), kujamin keselamatan jiwamu, kalau
tidak"
Saking marah Suma Bing malah tertawa gelak2, ujarnya "Hun Cit
koh. Sebaliknya aku tidak ingin menjamin keselamatan nyawamu!"
"Para murid pelindung dengar perintah!" tiba2 Hun Cit koh
berteriak, wajahnya semakin beringas. Serentak keduabelas Busu
seragam ketat itu mengiakan berbareng memencarkan diri
menjadi dua kelompok. Masing2 enam orang dikanan kiri.
"Hadapilah si orang berkedok itu, tangkaplah hidup2" Tanpa
banyak kata lagi segera duabelas murid pelindung
itu be-ramai2 menubruk kearah si orang berkedok. Dalam waktu
yang bersamaan Hun Cit kohpun melangkah maju mendesak
kearah Suma Bing.

Sementara itu si orang berkedokpun telah terkepung oleh
keduabelas musuhnya, terjadilah pertempuran seru, kiranya
keduabelas murid pelindung itu rata2 berkepandaian lumayan
juga, begitu saling gebrak masing2 lancarkan serangan hebat
yang mengejutkan.
Disebelah sini Suma Bing masih berdiri ditempatnya dengan
tenang, matanya dingin2 mengawasi gerak gerik Hun Cit koh
bersiap melayani semua kemungkinan.
Pada jarak delapan kaki dari Suma Bing, Hun Cit koh
menghentikan langkahnya, seketika berobah pula sikapnya, alis
lentik matanya menjengkit lantas katanya: "Suma Bing, aku...
benar2 aku tidak ingin bergebrak dengan kau!"
"Mengapa?” "Sebab kau persis benar dengan suamiku yang
telah
meninggal“ "Perempuan jalang yang tidak tahu malu." demikian
Suma
Bing memaki dalam hati, nadanya tetap dingin, katanya: "Apa
betul demikian?"
"Tiada faedahnya aku menipu kau." "Lalu kau mau apa?”
"Kuharap kau suka ikut aku pergi keperkumpulan kita,
kalau kau mau menjadi anggota kita tanggung paling rendah kau
menjabat sebagai Thancu."
"Benarkah kalian mendapat perintah untuk mengejar dan
membunuh aku?"
"Aku tidak menyangkal." "Mengapa?" "Aku bertugas menurut
perintah!" "Ketua kalian tidak akan berhenti sebelum
meringkus aku,
apakah maksud tujuannya?"

"Mungkin... mungkin dia iri pada kepandaianmu." "Mungkin?
Hm, tidak sedemikian gampang bukan?" "Begitulah menurut
hematku." "Siapakah nama besar ketua kalian?" "Ini, tidak
leluasa kusebutkan". "Kalau begitu segeralah turun tangan."
"Jadi kau harus berkelahi dengan aku?" "Berkelahi? Hendak
kubunuh kau“ Berobah hebat air muka Hun Cit koh, serunya
sambil
mendengus ejek: "Suma Bing, kau tidak tahu kebaikan." "Buat
apa aku terima kebaikanmu?" "Lihat serangan!" sambil berseru
secepat kilat ia lancarkan
sebuah pukulan mengarah dada Suma Bing. Kekuatan pukulannya
ini boleh dikata sangat berat sekokoh gunung juga secepat kilat,
sekali serangannya ini menunjukkan bahwa kepandaiannya bukan
olah2 lihay.
Sigap luar biasa Suma Bing pun julurkan tangan memapak pukulan
musuh. 'Blang' kedua pukulan saling bentur dengan telak, seketika
kedua belah pihak tergetar mundur satu langkah, dalam jangka
sedetik itulah Suma Bing sudah melancarkan serangan balasan
dengan tangan kanan.
Terkesiap darah Hun Cit koh melihat kehebatan serangan musuh
ini, sekali menggeliatkan pinggang berbareng sebelah kaki
menahan tanah terus tubuhnya berputar setengah lingkaran,
secara tepat dan sangat berbahaya dia hindarkan serangan ini.
Bersamaan itu dari sebelah sana terdengar bentakan nyaring
disusul dua suara pekik kesakitan. Suma Bing berkesempatan
melirik kearah sana, terlihat olehnya dua diantara Busu berpakaian
ketat itu terhuyung mundur sambil

muntah darah keluar kalangan. Sedang si orang berkedok selicin
belut dan selincah kera selulup timbul diantara kesepuluh
lawannya, cara turun tangannya juga tidak mengenal kasihan lagi
dan gerak-geriknya masih tetap garang dan semangat, hal ini
melegakan sangat hatinya.
Sekali pukulannya meleset, pukulan kedua Suma Bing pun sudah
merangsang tiba. Kedua tangan Hun Cit koh me-nari2 berebut
kesempatan untuk menyerang lebih dulu. Kepandaian kedua belah
pihak tidak terpaut jauh, sekali mereka bergebrak sengit mati2-an
benar2 hebat pertempuran ini. Dalam sekejap masing2 pihak
sudah lancarkan lima puluh kali tipu lihay masing2, sedemikian
jauh belum dapat ditentukan mana lebih unggul dan siapa yang
asor.
Sementara itu, meskipun kepandaian si orang berkedok setinggi
langitpun akhirnya terdesak juga oleh kerubutan nekad dari sepuluh
lawannya yang menyerbu mati2an, lama kelamaan keadaannya
terdesak dibawah angin, dari menyerang ia kini ganti siasat
bertahan dengan rapat demi keselamatan nyawa sendiri.
Dalam pada itu otak Suma Bing bekerja keras, kalau dirinya tidak
melancarkan ilmu simpanannya pertempuran ini tentu akan
berjalan terlalu lama dan tiada akhirnya. Kalau pihak Bwe hwa
hwe kedatangan seorang kawan berkepandaian setingkat dengan
Hun Cit koh, pasti berbahayalah mereka berdua. Bersama itu
iapun sudah melihat keadaan si orang berkedok yang sudah
ber-kali2 menghadapi bahaya. Dalam ber-pikir2 itu, segera ia
merobah cara permainan silatnya, dalam melancarkan tipu2
silatnya diam2 ia kerahkan tenaga sakti Kiu yang sin kang
sebanyak tiga bagian sebagai landasan pukulannya itu.
Hun Cit koh coba bertahan sekuat tenaga namun akhirnya tidak
tahan diterjang badai gelombang panas seperti lahar gunung
jebluk, sambil meraung kesakitan ia terhuyung mundur sejauh
delapan kaki. Agaknya Suma Bing pun sudah

mulai mata gelap, tanpa mengenal belas kasihan meski yang
dihadapi adalah seorang wanita, sekali berhasil dimana tubuhnya
melejit maju beruntun ia kirim tiga kali pukulan berat pula.
Sesudah ketiga pukulannya dilancarkan terdengar Hun Cit koh
memekik lebih keras badannya terbang sejauh satu tombak lebih,
mulut kecilnya yang mungil menyembur deras darah segar,
wajahnya kelihatan memucat dan beringas menakutkan. Bagai
setan gentayangan Suma Bing mendesak maju lagi seraya kirim
satu hantaman pula.
Hun Cit koh berteriak panjang, tanganpun diangkat untuk
menangkis serangan lawan pukulannya ini adalah himpunan
seluruh sisa tenaganya, perbawanya bukan olah2. 'Blang' dibarengi
setengah pekik kesakitan yang tertahan, beruntun Hun Cit koh
hamburkan lagi tiga kali darah segar tubuhpun meloso duduk
diatas tanah. Sedang Suma Bing sendiripun terpental oleh tenaga
perlawananan musuh yang hebat luar biasa, darah terasa bergolak
dalam dada, tubuhnyapun terjorok dua langkah kebelakang.
Dalam pada itu, keadaan si orang berkedokpun tidak kalah
berbahayanya, namun demikian diluar gelanggang pertempuran kini
ditambah lagi rebah tiga Busu berpakaian ketat itu. Sebat luar biasa
Suma Bing sudah meluruk tiba dihadapan Hun Cit koh, sebelah
tangan sudah diayun mengarah batok kepalanya, bentaknya bengis:
"Hun Cit koh, katakan asal usul Ketua kalian?"
"Tidak mungkin." sahut Hun Cit koh ketus sambil kertak gigi.
"Kau benar2 ingin mati?" Hun Cit koh meramkan kedua
matanya, dua butir air mata
sebesar kacang meleleh membasahi kedua pipinya serunya penuh
kepedihan: "Silahkan turun tangan!"
Tergerak hati Suma Bing, pikirnya: “Tidak sedikit jumlah anggota
Bwe hwa hwe yang mati konyol, diusut dari semua

pangkal mula peristiwa ini, hanya si ketua Bwe hwa hwe
seoranglah yang benar2 merupakan musuh besarnya. Dalam
keadaan yang belum jelas dan terang ini tiada faedahnya aku
terlalu kejam turun tangan" karena pikirannya ini, tangan yang
sudah diangkat tinggi itu per-lahan2 diturunkan lagi. Lalu tanpa
membuka suara lagi mendadak ia putar tubuh terus menubruk
kearah si orang berkedok belum tubuhnya tiba angin pukulannya
sudah sampai lebih dulu. Seketika ada dua musuh terbawa
terbang oleh angin pukulannya itu. Begitu kelima kawannya
menyapu pandang kesekitar gelanggang, terbanglah semangat
mereka, serta merta mereka segera mundur dan menyingkir jauh.
Kalau si orang berkedok masih kuat bertahan adalah berkat
keteguhan hatinya yang keras, namun demikian napasnya sudah
empas empis seumpama pelita yang hampir kehabisan minyak tak
urung tubuhnya terhuyung hampir roboh tak dapat berdiri tegak
ditempatnya.
11. MANUSIA BEBAS DILUAR DUNIA.
"Bong bian heng bagaimana keadaanmu?" tanya Suma
Bing penuh perhatian. "Tidak apa, aku hanya kehabisan tenaga,"
habis berkata ia
merogoh keluar dua butir obat dimasukkan kedalam mulutnya
"mari kita pergi."
Si orang berkedok manggut2, dalam sekejap mata mereka sudah
menghilang dan berlarian cepat turun gunung, langsung menuju
kearah 'gunung tanpa bayangan'.
Ditengah perjalanan si orang berkedok berkata “dengar kejadian
ini masih belum sirap, saudara kecil kalau hendak membuka tabir
pembunuhan di Ceng seng san dan teka teki penyergapan
terhadap kau, kecuali dapat membongkar kedok

asli ketua Bwe hwa hwe, maka tiada kepikir untuk kau main tebak
apa segala."
"Wajah aslinya atau asal usul Ketua Bwe hwa hwe masa tiada
seorangpun yang tahu didunia persilatan?"
"Mungkin begitu!" "Termasuk anak buahnya?” "Itu soal lain
lagi. Tapi menurut hematku, didalam Bwe hwa
hwe sendiri yang mengetahui wajah asli ketuanya sendiri mungkin
tidak banyak, kalau tidak mungkin sudah bocor dan tersiar
dikalangan Kangouw."
"Namun cepat atau lambat pasti harus dibongkar kedoknya”.
"Ketua Bwe hwa hwe sekali ini telah salah perhitungan..."
"Mengapa?" "Menurut penilaiannya mungkin dia anggap kita
berdua
sudah terluka berat, kalau meratpun takkan dapat berjalan, maka
dia hanya perintahkan anak buahnya untuk mengadakan razia
besar2an, sedang dia sendiri tidak ikut muncul kalau tidak,
mungkin saat ini kita sukar lolos dari lobang maut."
“ltupun belum tentu, kalau kemaren aku tidak terlalu bernafsu dan
nekad, tidak sampai sedemikian mengenaskan kekalahanku"
Tiga hari kemudian, mereka tiba diatas sebuah puncak tinggi yang
menembus langit.
Menunjuk lautan awan didepannya yang tidak berujung pangkal si
orang berkedok berkata: "Disanalah letak gunung tanpa bayangan
itu."
Tanpa terasa Suma Bing mengerut kening, katanya: "Mana,
sedikitpun aku tidak melihat?"

"Kalau sudah dinamakan tanpa bayangan, sudah tentu sampai
bayangannyapun tidak begitu gampang dapat ditemukan orang.
Kita hanya memerlukan melanjutkan terus mendekati kearah lautan
awan itu, kalau jaraknya sudah dekat dan penglihatan lebih terang
tentu gampanglah mencari jalan. Tapi watak manusia bebas diluar
dunia ini sangat aneh diluar kesopanan.
Suma Bing tersenyum ewa, katanya: "Masa dia lebih aneh dari
guruku Lam Sin Kho Jiang”
"Sifat sesat suhumu kesohor karena dia paling menentang adat
istiadat atau kebiasaan umum, namun sedikit banyak ia masih
mau bicara tentang kebenaran. Lain dengan manusia bebas dari
dunia luar ini, saking aneh dia tidak mengenal apa yang
dinamakan kebenaran."
"Peduli apa, pendek kata kita harus mendapatkan rumput ular
itu."
Begitulah dengan cepat mereka telah mendekati dan mulai tiba
dilautan awan, mereka langsung menerobos terus ketengah.
Dengan kekuatan tenaga Lwekang Suma Bing matanya dapat
melihat terang dalam jarak sepuluh tombak, diluar jarak itu hanya
remang2, maka mereka harus menggeremet maju per-lahan2.
Setengah jam kemudian si orang berkedok menunjuk sebuah bukit
batu yang kelihatan remang2 dan berkata: "Itulah disana, mari
kita naik kesana!"
Ber-kobar2 semangat Suma Bing, segera ia mendahului berlari
mendaki kearah bukit batu itu. Baru saja mereka tiba dilamping
bukit, se-konyong2 terdengar sebuah suara berat dan keras
membentak: "Siapa itu, berhenti!"
Segera Suma Bing hentikan langkahnya, waktu ia angkat kepala
terlihat seorang tua baju kuning, rambut dan jengot serta alisnya
sudah beruban, berduduk tenang diatas sebuah

batu yang menonjol. Ter-sipu2 si orang berkedok maju memberi
hormat serta berkata hormat: "Wanpwe"
Orang tua baju kuning tertawa dingin dan menukas ucapan si orang
berkedok: "Kalau kalian tahu diri lekas menggelinding pergi!"
Kebentur kekerasan orang, siorang berkedok mendjadi tertegun dan
melongo ditempatnja tanpa mampu menge¬luarkan suara lagi.
Adalah Suma Bing malah berpikir, kalau dia menamakan orang
aneh, buat apa bicara segala kesopanan apa segala, maka segera
ia maju dua langkah, suaranyapun tidak kalah dingin dan
ketusnya: "Apa tuan ini yang bernama Si gwa sian jin?"
Orang tua baju kuning agaknya melengak karena sikap kasar
Suma Bing ini, kedua matanya menyorotkan sinar dingin menatap
kewajah Suma Bing, lama dan lama kemudian baru ia membuka
mulut: "Kau menyebut aku sebagai apa?"
"Apa tidak tepat?" "Berapa umurmu sekarang?" "Umur? Dalam
Bu lim mengutamakan peribudi, buat apa
mempersoalkan usia orang!" "Bocah kurangajar, kau dari
perguruan mana?" "Tuan sendiri belum menjawab
pertanyaanku?" "Huh, memang aku inilah Si gwa sian jin." "Kalau
begitu akulah Suma Bing, guruku adalah Sia sin Kho
Jiang." Berobah air muka Si gwa sian jin, tanyanya: "Kau adalah
murid Kho lo sia?" "Benar." "Tak heran sifatmu nyeleweng, untuk
apa kau datang
kemari?"

"Konon tuan mempunyai sepucuk pohon rumput ular, tuk itulah
aku datang kemari supaya diberi sedikit, sebab aku yang rendah
terkena bisa Pek jit kui."
"Tidak salah, memang ada! Rumput ular adalah benda mujijat
yang tak ternilai harganya, merupakan obat pemunah racun yang
paling ampuh khasiatnya. Lantas dengan mulut kecilmu yang
masih hijau itu, kau kira Lohu segera akan memberikan
kepadamu? Hahahaha,"
Suma Bing mendengus keras, menghentikan tertawa orang,
serunya angkuh: "Tuan ada syarat apa, coba kemukakan."
"Syarat, kenapa?" "Aku selamanya tidak sudi terima budi kasih
orang lain
kuharap dengan sesuatu syarat apa untuk dapat menukar rumput
ular itu"
"Lohu tidak akan memberikan rumput ular kepadamu, juga tidak
perlu syarat apa segala."
Namun Suma Bing masih keras kepala, serunya ketus: "Tapi aku
sudah pasti harus mendapatkan rumput ular itu."
"Apa mungkin kau berani menggunakan kekerasan?" "Aku sudah
minta kau mengeluarkan syarat untuk
menukar, bukankah itu sangat adil!" "Siaucu, barang itu
kepunyaan Lohu, Lohu tidak ingin
bertukar apa dengan kau." "Kutegaskan sekali lagi, aku pasti harus
memperoleh
rumput ular itu." Diam2 si orang berkedok menarik lengan baju
Suma Bing
dan membisiki dengan suara sangat lirih hampir tidak terdengar:
"Saudara kecil jangan kau mengeruhkan urusan ini, sabarlah
sedikit, mintalah dengan kata2 halus, kepandaian! si tua bangka ini
tidak dibawah salah seorang dari Bu lim su ih (empat gembong
silat aneh)."

Baru saja Suma Bing menggelengkan kepala mendadak si manusia
bebas diluar dunia sudah membentak marah2: "Siaucu, Gurumu
Kho lo sia sendiri melihat akupun tidak berani bersikap demikian
kurangajar"
"Itu urusannya bukan urusanku." sahut Suma Bing temberang.
Memang orang aneh bertabiat aneh, karena watak Suma Bing yang
berani berbantahan itu malah mencocoki selera si manusia bebas
aneh ini. Bukan marah dia malah tertawa gelak2 kegirangan
ujarnya: "Siaucu, sungguh menyenangkan sifat itu. Baiklah Lohu
meluluskan permintaanmu, akan tetapi, selamanya Lohu paling
benci dan tidak senang adanya kuat diluar dan keropos didalam,
wajahnya gagah tapi otaknya tumpul. Begini saja, kalau kau kuat
menahan tiga kali pukulanku, rumput ular boleh kau bawa pergi,
kalau sebaliknya gunung tanpa bayangan ini adalah tempat
keramat, tidak bakal kubiarkan orang seenaknya pergi datang."
Mau tak mau Suma Bing harus berpikir: sudah pasti dirinya harus
mendapatkan rumput ular itu atau jiwanya takkan hidup lewat
seratus hari, mati atau hidup sudah ditakdirkan oleh Tuhan, buat
apa aku main sangsi atau ragu? Karena berpikir seperti itu segera
mulutnya menjawab congkak. "Apa hanya menyambuti tiga kali
pukulanmu?"
Si gwa sian jin menarik muka, airmukanya mengelam desisnya:
"Siaucu, tiga pukulan itu bukan saja menentukan mati hidupmu,
juga menentukan nasib kawan karibmu itu."
Terkesiap darah Suma Bing mendengar keterangan itu mati hidup
dirinya tidak perlu dibuat sayang, tapi kalau sampai merembet
keselamatan si orang berkedok, bagaimanapun hatinya tidak tega,
maka segera ia memutar tubuh berkata kepada si orang berkedok:
"Bong bian heng, dengan setulus hatiku minta sukalah kau
sekarang juga meninggalkan tempat ini."

Tanpa ragu2 si orang berkedok segera menjawab: "Saudaraku, kau
tahu aku tidak akan pergi."
"Namun kalau terjadi" "Tentu aku tidak sesalkan kau!" Apa
boleh buat Suma Bing menggeleng kepala. Sedemikian
besar budi si orang berkedok menolong jiwanya, tak urung dalam
hati ia berkata: "Saudara tua, terlalu banyak aku berhutang budi
kepadamu."
Saat mana si manusia bebas telah melompat turun dari batu
menonjol itu dan berdiri tegak dihadapan Suma Bing, Ia tanya
menegas: "Siaucu, kau sudah pastikan belum?"
Suma Bing mengertak gigi, sahutnya: "Selamanya aku maju tidak
mengenal mundur!"
"Matipun kau tidak penasaran?" "Kurasa terlalu pagi
mempersoalkan itu." "Baiklah sambutlah jurus pertama ini."
baru saja suaranya
lenyap, sepasang tangan manusia bebas telah bergerak2 menjojoh
kedepan.
Segera Suma Bing merasa bahwa pukulan lawan ternyata sangat
aneh lain daripada yang lain, perobahannya sukar dijajaki, sukar
pula untuk ditangkis atau memunahkannya, lagipula begitu
dilancarkan serangannya segera merangsang tiba. Sedikitpun tidak
memberi kesempatan dirinya banyak berpikir. Maka serta merta ia
lancarkan sejurus Pit bun cia khe (menutup pintu menampik tamu)
menjaga diri menutup jalan darah.
'Bum' jurus Pit bun cia khe Suma Bing ternyata masih belum
mampu menahan serangan lawan, seketika dadanya seperti
dipukul godam, sambil meraung kesakitan tubuhnya terhuyung
lima langkah, darah hampir menyembur keluar dari mulutnya.

Tanpa tertahan si orang berkedokpun berseru kaget. Si
manusia bebas tertawa dingin, ia mundur satu langkah
sembari berkata: "Sekarang sambutlah jurus kedua." dua tangannya
terayun lagi, gelombang angin pukulannya bagai gugur gunung
menerjang dahsyat kearah Suma Bing. Suma Bing mengertak gigi,
seluruh kekuatan Kiu yang sin kang tersalurkan dikedua telapak
tangannya menyambut pukulan lawan secara keras. Benturan keras
menggelegar memekakkan telinga, awan terapung disekitar mereka
ikut tergulung menyiak keempat penjuru, saking dahsyat benturan
pukulan mereka, batu2 gunungpun berguguran.
Tubuh Si gwa sian jin bergoyang gontai akhirnya terhuyung
mundur satu tindak, wajah tuanya berobah merah padam
membeku. Suma Bing sendiri kontan jatuh terjerembab duduk
diatas tanah, dua baris darah segar meleleh keluar dari ujung
mulutnya, airmukanya pucat pias sangat mengenaskan.
Si orang berkedok mengeluh dalam hati. Sekarang Suma Bing
sudah terluka berat, bagaimanapun takkan mampu menyambuti
pukulan ketiga, baru saja ia hendak maju membantu, Suma Bing
sudah terhuyung2 bangkit dan bertindak maju tiga langkah,
suaranya gemetar hampir tak terdengar: "Silahkan lancarkan jurus
ketiga."
Tak urung Si gwa sian jin tergerak sanubarinya, serunya dengan
nada berat: "Buyung, kau mempertaruhkan jiwamu?"
"Harap tuan segera turun tangan", teriak Suma Bing geram.
Si gwa sian jin mengangguk kepala, kedua tangannya bergerak...
"Saudara kecil, sudahlah, mari kita turun gunung," seru orang
berkedok lesu penuh kepedihan.
"Tidak!" sahut Suma Bing tegas.

"Inilah jurus ketiga!" bentak Si gwa sian jin. Kedua tangannya
disodokkan keras2. Damparan angin badai lebih deras menyambar
bagai guntur seperti hujan badai. Cepat2 si orang berkedok
memalingkan muka, tak kuat hatinya menyaksikan sahabatnya mati
konyol. Dalam pada itu Suma Bing juga sudah himpun seluruh sisa
tenaganya, kedua tangannya pun menyapu kedepan menyambuti
pukulan musuh secara keras. 'Bum' ditengah suara mengguntur
dari benturan dua tenaga dahsyat, tubuh Suma Bing terbang bagai
layang2 yang putus benangnya, darah berhamburan ditengah
udara. 'Blang' tubuhnya melurus jatuh keatas tanah kebentur batu
gunung.
Sekali berkelebat gesit sekali si orang berkedok menubruk maju
hendak menolong.
"Berhenti!" Segera si orang berkedok menghentikan langkah,
dan
tanyanya gemetar: "Apa maksud Cianpwe?" "Dia sudah kalah!" "Ya,
memang aku tidak menyangkal bukan." Saat mana Suma Bing
merasakan seluruh tulang
belulangnya terasa sakit bagai copot ruasnya, kupingnya
mendengung pandangannya gelap bintang kecil2 beterbangan
didepan matanya, meski demikian watak kerasnya masih berusaha
untuk mengobarkan semangatnya, seolah2 sebuah suara berkata
dalam benaknya: kau jangan mati, jangan kau menyeret si orang
berkedok mengorbankan jiwanya, maka dengan kedua tangannya
ia menahan tubuh.
Ia berusaha berlutut lalu punggung mengelendot dibatu gunung
perlahan2 bangkit berdiri.
"Saudara kecil, kau!" seru si orang berkedok dengan suara
gemetar.

Si gwa sian jinpun tidak ketinggalan berseru kaget, rambut dan
jenggotnya ber-gerak2 bahna heran dan kagumnya melihat
kebandelan si bocah muda ini.
Bibir Suma Bing ber-gerak2 entah hendak mengatakan apa, tapi
suaranya tidak terdengar, 'buk' tubuhnya jatuh lagi diatas tanah
tanpa bergerak lagi.
Bukan kepalang kaget si orang berkedok, cepat2 ia menubruk
maju dengan tangannya dirabanya denyut nadi darah Suma Bing,
sekarang baru lega hatinya. Namun bila teringat ucapan yang
pernah diucapkan oleh manusia bebas tadi hatinya pilu.
Mendadak Si gwa sian jin memutar balik badannya dan berlarian
cepat melesat keatas puncak.
Sungguh si orang berkedok tidak habis mengerti apa yang
dikandung dalam benak orang aneh itu. Tadi dia mengatakan kalau
Suma Bing kuat menahan tiga kali pukulannya rumput ular segera
dipersembahkan tanpa syarat namun kini walaupun Suma Bing
belum menemui ajalnya tapi terluka berat sekali, apakah ini sudah
terhitung lulus dalam ujian, maka segera dikeluarkan beberapa
pulung obat lalu dijejalkan kedalam mulut Suma Bing.
Tidak lama kemudian Si gwa sian jin telah balik kembali
ditangannya menggenggam sebatang rumput aneh berwarna
putih bening bagai batu giok, batang pohon itu berupa daun
delapan lembar, dan berbuah sebesar ibu jari dan berwarna
hitam.
Hal ini diluar dugaan si orang berkedok, termenung2 dia
memandangi orang entah apa yang harus diucapkan.
Sambil mengangkat tangannya si manusia bebas berkata: "Inilah
Coa hun cau, rumput ular ini adalah obat paling aneh, mustajab
dan tak ternilai, sudah tumbuh selama seribu tahun lamanya,
kalau ditelan bersama buahnya, begitu khasiatnya

merembes keseluruh semua urat nadi dan jalan darah, tubuhnya
akan kebal segala racun..."
Dalam ber-kata2 itu ia sudah berjongkok disamping tubuh Suma
Bing lalu menjejalkan seluruh batang rumput ular itu kedalam
mulut Suma Bing, lalu mengurut beberapa kali ditulang jidatnya
terus menutuk pula jalan darah Hok thin hiat.
Kini legalah hati si orang berkedok, lantas tercetus pula katanya:
“terima kasih sebesarnya atas bantuan Cianpwe ini.”
Mata Si gwa sian jin membalik, mendelong ia awasi si orang
berkedok katanya: "Tidak perlu terima kasih apa segala, kalau
bukan sifat sesat bocah ini menyenangkan hatiku. Lohu tidak akan
mengorbankan rumput ular ini, sekarang kau bawalah dia pergi
carilah sebuah gua, dua jam kemudian bukalah jalan darahnya,
begitu rumput ini masuk kedalam perutnya tentu bekerja
khasiatnya dan dia akan merasakan suatu siksaan yang hebat
sekali..."
Si orang berkedok tunduk dan patuh, sahutnya: "Hal ini wanpwe
sudah mendapat tahu..."
"Apa kau sudah mengerti?" "Sedikit banyak aku sudah paham."
"Kalau begitu cepatlah pergi!" Segera si orang berkedok
membungkuk tubuh terus
memanggul Suma Bing dibawa turun gunung. Setelah berlarian
sekian lamanya tibalah dia disebuah puncak tinggi, mendongak
keudara ia menyedot hawa dalam2, perasaaannya lega dan
nyaman bagai baru saja terlepas dari belenggu. Dia harus segera
menemukan sebuah gua untuk segera memberi pertolongan pada
Suma Bing.
Mendadak didapatinya dipuncak sekitarnya ada bayangan
beberapa orang berkelebatan hatinya menjadi gelisah dan gugup,
kalau mereka itu anakbuah Bwe hwa hwe yang mengikuti
jejaknya, maka sukarlah dibayangkan akibatnya.

Luka berat Suma Bing belum tersembuhkan, khasiat obat rumput
ular akan segera bekerja pula. Dengan pengalaman pahit
digunung Ceng seng tempo hari, tentu Bwe hwa hwe
mencurahkan seluruh tenaganya. Kalau hanya dirinya seorang
pasti gampang untuk mengundurkan diri, tapi kalau dibebani
Suma Bing yang pingsan ini berbeda pula persoalannya.
Sejenak ia menyapu pandang keempat penjuru melihat keadaan
sekitarnya terus berlari memasuki sebuah lembah disamping
sebelah kanan sana. Supaya jejaknya tidak konangan oleh orang
lain dia menyusup diantara semak belukar, setelah bersusah payah
sekian lamanya baru dia tiba dibawah lembah, disini ia berhenti
sejenak memperhatikan sekelilingnya lantas maju terus kedepan...
"Berhenti!" mendadak suara dingin terdengar menghentikan
langkahnya.
Sungguh terkejut si orang berkedok bukan kepalang, segera ia
menghentikan langkahnya dan membalik kearah dimana suara itu
terdengar. Maka terlihat olehnya seorang nenek2 beruban dengan
wajah yang merah bagai air muka seorang bayi dengan angkernya
berdiri dua tombak jauhnya disebelah sana. Dibelakang nenek tua
ini berdiri pula seorang gadis ayu molek mengenakan pakaian
serba putih.
Si nenek bukan lain adalah Pek hoat sian nio, sedang gadis
dibelakangnya itu adalah Ting Hoan. Bahwa Pek hoat sian nio
muncul ditempat itu benar2 diluar persangkaannya.
Melihat yang muncul ini bukan orang dari golongan Bwe hwa hwe
legalah hati si orang berkedok, segera ia memberi hormat sambil
berkata: "Kiranya Sian nio telah tiba, harap terimalah hormat
cayhe."
"Tidak perlu banyak peradatan." "Sian nio memanggil
cayhe, entah ada petunjuk apa?" "Beritahukan namamu"

"Nama cayhe sudah lama kulupakan, harap suka dimaafkan."
"Apa yang kau panggul itu adalah Suma Bing?" Si orang
berkedok terhenyak ditempatnya, sahutnya:
"Memang, inilah Suma Bing adanya." "Apa hubunganmu dengan
dia?" "Sahabat karib." "Baik sekarang kau letakkan dia, berikanlah
kepadaku!" Si orang berkedok mundur selangkah dengan kaget,
tanyanya menegasi: "Berikan kepada Sian nio, kenapa?" "Kenapa
kau tidak perlu tahu, letakkan dan tinggal pergi." "Kalau Sian nio
tidak terangkan sebabnya, tak mungkin
cayhe melulusi." "Apa kau berani membangkang?" Saking gugup
keringat membanjir ditubuh si orang
berkedok, tahu dia bahwa dirinya terang bukan lawan Pek hoat
sian nio, mungkin juga muridnya saja ia takkan mudah mengatasi.
Akan tetapi bagaimanapun juga dia tidak bisa menyerahkan Suma
Bing kepada orang, sekilas ia berpikir lalu katanya: "Saat ini Suma
Bing tengah terluka berat dengan kedudukan dan nama Sian nio,
tidak seharusnya memaksa orang disaat kesusahan?"
Berobah air muka Pek hoat sian nio mendengar cerita ini,
katanya: "Seumpama dia tidak terluka juga tak mungkin bisa lolos
lari tanganku, tiada alasan aku memakai apa segala".
"Itu lain persoalan, tapi sekarang kenyataannya dia terluka
berat."
Benar2 si orang berkedok tak habis mengerti mengapa Pek hoat
sian nio demikian kukuh menghendaki dirinya menyerahkan Suma
Bing, dendam baru atau permusuhan

lama atau juga... entahlah dia tidak tahu, maka segera ia
membantah: "Aku takkan menurut."
"Benar2 kau membandel?" "Terpaksa aku harus berbuat
demikian." "Kau tahu apa akibatnya?" ucapannya ini
mengandung
ancaman yang serius. Si orang berkedok tertawa gelak2, katanya
penuh
keharuan: "Kau minta aku dengar perintahmu, kecuali napasku
sudah berhenti."
Kata Pek hoat sian nio dengan ketusnya: "Mengambil nyawamu
segampang membalikkan tangan, kau tidak sukar mencari
kematian."
Melihat tiada harapan lagi berkobarlah amarah si orang berkedok,
serunya murka: "Pek hoat sian nio, tidak malukah kau menamakan
diri sebagai datuk persilatan, tidak malu kau ditertawakan sesama
kaum Kangouw. Memang aku bukan tandinganmu, tapi sebagai
seorang kawan yang setia kau harus mencabut nyawaku dulu,
kalau tidak aku takkan lepas tangan."
Wajah si gadis pakaian putih Ting Hoan pun penuh kekuatiran,
bibirnya sudah bergerak hendak bersuara tapi kata2nya ditelannya
kembali.
Kebetulan pada saat itulah dari puncak bukit sebelah sana
berkumandang sebuah suitan nyaring tinggi yang mendebarkan hati
orang.
Wajah Pek hoat sian nio kembali seperti sedia kala, tangan
diulapkan dia berkata: "Kali ini terpaksa kulepaskan dia, Mari
berangkat!"
Si orang berkedok insaf bahwa banyak orang2 kaum persilatan
tengah berkumpul disekitar situ, mungkin ada sesuatu kejadian
penting telah terjadi. Sudah tentu Pek hoat

sian nio juga salah satu diantara mereka. Bermula disangkanya
orang2 Bwe hwa hwe yang menguntit dirinya, sekarang kenyataan
membuktikan bahwa prasangkanya tadi salah. Dalam saat ini dia
tidak perlu tahu mengapa gembong2 persilatan itu berkumpul disini
yang penting ia memikul tugas menyelamatkan jiwa Suma Bing
maka cepat2 ia berlari semakin dalam kearah lembah.
Tidak lama kemudian ia menemukan sebuah gua, bergegas ia
menerobos masuk lalu merebahkan Suma Bing diatas tanah,
di-hitung2 waktunya kira2 tepat dua jam sejak ia meninggalkan
tempat Si gwa sian jin, tanpa me-nunda2 lagi segera ia menutuk
jalan darah Hek thin hiat ditubuh Suma Bing, lalu duduk diluar gua
ber-jaga2.
Tidak lama kemudian Suma Bing mulai siuman, terasa mulutnya
kering, jalan darah dan seluruh urat nadi dalam tubuhnya terasa
melar mengembang bagai hendak meledak. Sekuat tenaga ia coba
bertahan lalu meng-amat2i tempat apakah itu, didapatinya dirinya
rebah didalam sebuah gua, si orang berkedok tengah duduk
terpekur dimulut gua, baru saja ia hendak membuka mulut
memanggil, seluruh tubuh mendadak mengejang, lalu disusul
beberapa jalur hawa dingin merangsang kepelbagai jalan darah
dan nadinya. Sakitnya bagai beribu jarum menyusup kepelbagai
anggota tubuhnya. Saking kesakitan tak tertahan lagi ia
bergulingan diatas tanah, mulutnya mengeluarkan pekik dan
merintih tak henti2nya. Bagai tidak mendengar apa2 si orang
berkedok tetap tenang duduk dimulut gua. Kira2 setanakan nasi
kemudian suara Suma Bing sudah serak dan tak kuasa lagi
bergerak, ia rebah terlentang lemas didalam gua. Segera si orang
berkedok merogoh keluar tiga butir obat semua dijejalkan kedalam
mulutnya, lalu secepat kilat beruntun ia menutuk tiga puluh enam
jalan darah penting diseluruh tubuh Suma Bing. Katanya: "Saudara
kecil, kerahkan tenaga murnimu bantulah obat bekerja."

Sekuat tenaga Suma Bing bangkit berduduk, terasa didalam
pusarnya ada tiga macam hawa hangat yang ber-beda2 perlahan2
menjalar keatas, cepat2 ia kerahkan tenaga murni
menuntun ketiga hawa hangat itu berputar menyeluruh kedalam
tubuhnya, tiga kali putaran kemudian lambat laun terlupakanlah
apa yang tengah dialaminya.
Si orang berkedok masih tetap berjaga dimulut gua dengan
tekunnya. Kalau disekitar pegunungan situ terang muncul jejak
gembong2 silat yang tak terhitung banyaknya, tentu ada
kemungkinan mereka bisa menerjang datang kemari, keadaan
Suma Bing tengah mencapai tingkat yang paling gawat tidak boleh
terganggu oleh apapun yang bisa mengagetkan.
Sebuah suitan nyaring bergema lama ditengah udara, tak berapa
lama kemudian dari empat penjuru angin terdengar juga
penyambutan suitan yang riuh rendah, apa yang tengah terjadi itu
benar2 membuat pendengarnya tegang dan merinding. Yang lebih
mengejutkan bahwa suitan nyaring tadi terdengar diatas puncak
dimana si orang berkedok dan Suma Bing tengah bersembunyi
didalam gua. Setelah sirapnya berbagai suitan tadi lalu disusul
suara bentakan yang bergantian. Terang kalau dipuncak bukit itu
tengah terjadi suatu pertempuran dahsyat, tapi entah peristiwa apa
yang telah terjadi.
Si orang berkedok nanar memandang keluar gua. Hatinya pedih
dan risau, bergantian iapun mengawasi keadaan Suma Bing.
Sebuah suara pekik panjang menggiriskan menyadarkan renungan
si orang berkedok, jelas bahwa sudah ada yang terluka atau mati
dalam pertempuran diatas bukit itu. Tak lama kemudian disusul
lagi sebuah teriakan panjang bergema dalam lembah itu sebuah
bayangan manusia meluncur dari atas bukit bagai meteor jatuh.
Tanpa terasa merinding bulu kuduk si orang berkedok dengan
penuh perhatian ia menunggu apa yang bakal terjadi. 'Bum'
bayangan hitam itu

berdentam terbanting beberapa tombak jauhnya dari gua sana
terus tak bergerak lagi.
Si orang berkedok menghela napas panjang, gumamnya: "O,
kiranya sebuah mayat entah siapa yang memukulnya jatuh
kedalam lembah, siapakah orang yang mati itu?" Meski hatinya
ingin tahu dan penuh curiga, tapi dia tidak berani meninggalkan
gua untuk pergi memeriksa, keadaan Suma Bing sudah mencapai
titik gawat yang terakhir keselamatan orang menjadi tanggung
jawabnya!
'Blang' Lagi2 sebuah mayat terkapar jatuh diluar gua karena agak
dekat si orang berkedok dapat melihat tegas siapa mayat itu,
hampir saja ia berseru kaget sebab dari pakaiannya yang bercorak
aneh itu diketahuinya bahwa si korban ini adalah gembong
penjahat yang sudah biasa malang melintang ditujuh propinsi
selatan yaitu Ngo jay bin eng Lu Pek. Lwekang dan kepandaian
elang sakti panca warna ini merupakan tokoh terkemuka
dikalangan Kangow tapi toh kena dirobohkan dan terbanting
mampus didalam jurang, maka dapatlah dibayangkan orang2 yang
bertempur diatas bukit itu tentu bukan gembong2 silat sembarang
tingkat. Jelas yang diketahui Pek hoat sian nio adalah salah satu
diantaranya.
Suara bentakan nyaring masih ber-ulang2 terdengar, sang surya
sudah mulai doyong kebarat, keadaan dalam lembah sudah mulai
remang2, pada saat itulah Suma Bing sudah selesai dalam
pengobatannya, bergegas ia melompat bangkit dari atas tanah.
Sungguh girang si orang berkedok sukar dilukiskan dengan kata2,
ter-sipu2 ia maju menyongsong sambil berseru girang: "Saudara
kecil, kuberi selamat kepadamu."
Suma Bing melengak katanya: "Selamat, apakah maksudmu?"
"Lwekangmu sudah pulih menyeluruh, malah tubuhmu kini tidak
takut lagi menghadapi segala racun berbisa, hal ini selalu

merupakan keinginan semua kaum persilatan yang susah dicapai."
"Aku tidak mengerti apa yang kau maksud!" "Si gwa sian jin
telah menjejalkan seluruh batang rumput
ular bersama buahnya kepadamu, maka bukan saja racun Pek ji
kui yang mengeram dalam tubuhmu sudah punah sama sekali,
malah sejak kini tubuhmu menjadi kebal dan tidak takut lagi pada
segala racun berbisa." Lalu si orang berkedok bercerita secara
ringkas.
"Bong bian heng, lagi2 aku berhutang budi yang susah dapat
kubalas"
"Saudara kecil, tak usah kau mengambil dalam hati semua urusan
kecil itu, mungkin juga pada suatu hari kelak lebih banyak
permintaan bantuanmu kepadaku."
"Eh, suara apakah itu?" "Diatas puncak itu tengah terjadi
pertempuran sengit." "Terjadi peristiwa apakah?" "Entahlah,
Pek hoat sian nio dan muridnyapun diantara
mereka, malah ada dua mayat manusia yang terjatuh diluar gua
sana."
Mendengar nama Pek hoat sian nio berkobarlah amarah Suma
Bing, segera ia berseru: "Mari kita coba lihat keatas."
"Saudara kecil, Pek hoat sian nio agaknya ada permusuhan apa
dengan kau. Sebelum memasuki lembah ini tanpa di- sangka2
kita pernah bertemu, dengan keras dia minta supaya kau
diserahkan kepadanya, aku berkukuh tak melulusi, untung
sebuah suitan panjang menggugah maksudnya semula."
"Aku sendiri juga belum jelas sebab musababnya, tapi teka teki
ini akhirnya pasti harus kupecahkan".

Begitu mereka keluar gua kedua mayat itu masih menggeletak
disana, salah seorang adalah seorang laki2 pertengahan umur yang
mengenakan jubah sutra panjang. Seorang yang lain adalah
seorang tua yang berpakaian serba ungu didepan dadanya
tersulam sekuntum bunga besar warna hitam.
Menunjuk mayat laki2 pertengahan umur itu si orang berkedok
berkata: "Itulah Ngo jay sin eng Lu Pek, tak terduga seorang
gembong penjahat besar akhirnya musti mati ditempat ini tanpa
tempat liang kubur yang tepat."
Tidak ketinggalan Suma Bing pun menyapu pandang kearah mayat
lainnya, seketika ia berseru kaget: "Diakan seorang tokoh Bwe hwa
hwe yang berjuluk It Cian to hun Ciu Eng lian."
"Wah, kalau begitu tentu terjadi pertemuan tingkat tinggi diatas
sana,"
"Marilah lekas pergi melihat." "Mari!" berbareng mereka melejit
dengan kecepatan susah
diukur langsung menuju keatas puncak, terlihat sebidang tanah
datar diatas puncak bayangan manusia tengah berseliweran,
bentakan2 nyaring masih terdengar saling susul.
Suma Bing berdua bermain sembunyi dibelakang dahan pohon,
per-lahan2 mereka menggeremet maju mendekat, akhirnya
sembunyi dibelakang sebuah batu besar.
Gelanggang pertempuran sudah banjir darah, ber-puluh2 mayat
bergelimpangan bertumpuk dipinggir arena pertempuran.
Saat mana Pek hoat sian nio tengah bertempur melawan seorang
tua yang berwajah bengis dengan rambut dan jenggotnya
berwarna merah.

Si orang berkedok berbisik kepada Suma Bing: "Dilihat naga2nya
musuh yang tengah mereka hadapi adalah Tang mo."
"Tang mo? Orang tua rambut merah itu?" Seketika bergolak
darah Suma Bing, timbullah nafsu
membunuh dalam benaknya, saking bernafsu tubuhnya sampai
gemetar hebat. Sebab Tang mo adalah salah satu dari pengeroyok
yang membinasakan ayah bundanya, satu2nya hal yang dapat
diketahui ialah bahwa Pedang darah itu kini berada ditangan
bangsat durjana ini.
12. TANG MO = IBLIS TIMUR DIBIKIN KEOK
Si orang berkedokpun telah melihat perobahan sikap Suma
Bing yang aneh ini, tanyanya heran: "Saudara kecil, ada apa
kau?"
"Iblis timur ini harus kubunuh!" desis Suma Bing sambil
mengertak gigi.
"Apa, kau hendak membunuh Iblis timur, ada permusuhan
apakah kau dengan Tang mo?"
"Dendam sakit hati sedalam lautan." "Tapi dengan
kemampuanmu sekarang, mungkin kau masih
bukan tandingan Tang mo?" "Terpaksa aku harus nekad." sahut
Suma Bing penuh
kebencian. "Saat ini belum menguntungkan kau untuk
bergerak." "Kenapa?"

"Pek hoat sian nio belum puas sebelum dapat meringkus kau. Dan
lagi apa kau sudah perhatikan baju ungu disebelah timur itu?"
Waktu Suma Bing menyapu pandang ketempat yang ditunjuk,
tanpa terasa ia melonjak kaget dan berseru: "Bwe hwa hwe tiang!"
"Benar, orang inipun takkan melepaskan kau, ketahuilah bahwa
lwekang ketiga orang ini jauh diatas kepandaianmu"
Suma Bing ganda mendengus tanpa buka suara lagi. Gerak
gerik kedua orang ditengah gelanggang kini berobah
semakin lambat, lama sekali baru melancarkan satu jurus, namun
setiap jurusnya adalah ajaran2 silat tingkat tinggi yang lihay, asal
salah satu pihak berlaku sedikit lalai, hidup atau mati segera akan
menentukan, sebab pertempuran macam demikian adalah lebih
seram dan berbahaya. Mendadak Tang mo berteriak panjang,
kedua tangan bergerak melintang terus disurung maju, gerak
serangannya ini aneh menakjubkan dan keras luar biasa. Dalam
waktu yang bersamaan Pek hoat sian nio juga melancarkan
sebuah pukulannya, perbawanya bagai kilat menyambar dan
guntur menggelegar. Dua belah pihak sama2 melancarkan
serangan tanpa salah satu pihak mau mengalah atau robah cara
permainannya untuk bertahan misalnya. Sebab inilah cara
bertempur untuk gugur bersama, seakan kedua belah pihak
mempunyai dendam kesumat sedalam lautan sebelum salah satu
pihak menemui ajal takkan berhenti.
'Blang, bum!' dua kali ledakan menggoncangkan sekitar
gelanggang pertempuran, diselingi suara pekik tertahan dua
bayangan orang terpental mundur berbareng, para penonton pun
ikut berseru kaget. Kalau Pek hoat sian nio terhuyung hampir
roboh, darah mengalir dari ujung bibirnya. Adalah Tang mo
menyemburkan darah, tubuhnya mundur setombak lebih dan
untung masih kuat berdiri diatas tanah.

Sebuah bayangan berkelebat, tahu2 Ketua Bwe hwa hwe sudah
berdiri diantara Pek hoat sian nio dan Tang mo. Terdengar ia
berkata dingin penuh ancaman: "Tang mo, serahkan saja
kepadaku, kenyataan sudah membuktikan kalau kau serahkan
Pedang darah itu pasti jiwamu dapat terjamin, atau sebaliknya kau
akan kehilangan segalanya, pedang dan jiwamu amblas
keduanya."
Tergetar seluruh tubuh Suma Bing, desisnya mengertak gigi:
"Mereka tengah memperebutkan Pedang darah."
"Kiranya Pedang darah masih berada ditangan Tang mo, jelas
bahwa kabar dikalangan Kangouw yang mengatakan Pedang
darah itu terjatuh ditangan Mo san ji kui adalah bohong belaka!"
Perasaan hati Suma Bing susah dilukiskan, Pedang darah
seharusnya menjadi hak milik ajahnya, dan ayah bundanya pun
mati lantaran benda itu, dia sendiripun hampir direnggut oleh
elmaut. Sakit hati harus dibalas, Pedang darah juga harus direbut
kembali.
Lantas teringat juga pesan suhunya sebelum ajal... Pedang darah,
Bunga iblis capailah pelajaran silat yang tiada taranya itu, untuk
menuntut balas dan mencuci baik nama perguruan...
Belum habis pikirannya, terdengar Tang mo perdengarkan suara
tawa menggila bagai lolong serigala seperti pekik orang hutan
pula, lalu serunya: "Kau ini terhitung barang macam apa?"
Ketua Bwe hwa hwe menyeringai dingin, katanya: "Aku yang
rendah inilah ketua Bwe hwa hwe."
"Silahkan tuan mundur!" jengek Pek hoat sian nio.
"Mengapa?" "Urusanku dengan Tang mo belum
selesai."

"Hahahahaha, tidakkah salah ucapan sian nio ini, barang berharga
yang tiada pemiliknya siapapun yang melihat dia harus mendapat
bagian semua kawan yang hadir hari ini tujuannya adalah benda
itu, jadi bukan kita saja yang ingin merebutnya."
"Siapa bilang Pedang darah tiada pemiliknya?" "Apa mungkin
menjadi milik Sian nio?" "Kenapa tidak mungkin!" "Hahaha,
meskipun nama Pek hoat sian nio diseluruh jagad
raya, tapi semua orang bukan bocah umur tiga tahun!" "Jadi kau
sudah pasti penujui Pedang darah itu?" "Aku tidak perlu
menyangkal." "Kalau begitu silahkan kau turun tangan." "Maaf aku
berlaku kurang hormat." Wajah Bwe hwa hwe tiang tertutup oleh
kedoknya,
bagaimana wajah asli atau perobahan mimiknya sukar diketahui,
namun dari sinar matanya dan nada ucapannya sangat garang
tanpa banyak cakap lagi langsung ia ulurkan tangannya terus
mencengkeram kearah pinggang Iblis timur. Cara cengkramannya
sangat keji dan cepat luar biasa menciutkan nyali orang.
Sebagai salah satu tokoh dari Bu lim su ih, meskipun sudah terluka
parah namun Lwekangnya masih bukan olah2 hebatnya, tangan
kiri melintang menangkis cengkraman ketua Bwe hwa hwe,
berbareng tangan kanan bergerak miring menghantam muka
lawan. Juga dalam saat yang sama Pek hoat sian nio melancarkan
sebuah serangan.
Seumpama kepandaian Ketua Bwe hwa hwe setinggi langitpun
takkan berani menangkis serangan berbareng dari dua tokoh silat
tingkat wahid, sebat sekali ia menggeser kedudukannya lima kaki
kebelakang. Terpaksa Pek hoat sian

nio merobah gerakannya meneruskan serangannya merangsang
kearah Tang mo yang kebetulan berada tepat dihadapannya 'biang,'
begitu saling bentur kontan mereka terpental mundur, mulut Tang
mo lagi2 menyemburkan darah segar. Kesempatan ini tidak
disia2kan oleh Ketua Bwe hwa hwe sambil berseru memperingatkan
langsung ia menyerang kearah Pek hoat sian nio. Bergulung2
gelombang angin badai mendampar deras kearah Pek hoat sian nio.
Melejitkan tubuh Pek hoat sian nio menyingkir sejauh satu tombak,
selamatlah dia dari rangsangan pukulan musuh yang mengejutkan
ini. Hebat memang kepandaian Ketua Bwe hwa hwe sedetik
kemudian tubuhnya sudah berputar sebat sekali mengirim sebuah
jotosan kearah Tang mo juga.
Sudah sekian lama Tang mo terkepung dan dikeroyok, seumpama
dewapun akhirnya pasti kelelahan, apalagi tubuhnya sudah terluka
parah, mana kuat menahan serangan tenaga baru ini. Sambil
mengeluarkan pekik kesakitan sangat mulutnya menyemprotkan
darah segar, badannya terpental mundur dan akhirnya jatuh duduk
diatas tanah. Tempat dimana ia terjatuh kebetulan dipinggir
kalangan pertempuran. Dua bayangan manusia dari kiri kanan
segera menubruk maju kearahnya.
"Mencari mati!" bentak Ketua Bwe hwa hwe dan dengan kecepatan
yang paling cepat tubuhnya mendesak maju sambil kirim serangan
masing2 menghantam kearah dua bayangan yang menubruk
kearah Tang mo. Kontan terdengar suara jeritan ngeri dua
bayangan manusia itu terhantam terbang kekanan kiri sejauh
setombak lebih, setelah kelejetan beberapa kali akhirnya diam tak
bergerak untuk se-lama2nya.
Kiranya bayangan orang yang mati itu seorang adalah Tosu dan
yang lain adalah seorang tua berpakaian baju sutera abu2.
Suara si orang berkedok gemetar: "Kepandaian Ketua Bwe hwa
hwe benar2 mengejutkan, Sam Gan Tojin dan Tiong ciu it

ok bukan kaum keroco, siapa tahu setengah jurus saja tak kuat
melawan."
Menyaksikan adegan pertempuran hebat ini kecut hati Suma Bing,
naga2nya semua tokoh yang hadir tiada seorangpun yang menjadi
tandingan ketua Bwe hwa hwe. Dan semua hadirin kecuali anak
buah Bwe hwa hwe tiada yang tak tergetar kaget dan ciut nyalinya.
Dengan pandangan dingin ketua Bwe hwa hwe menyapu pandang
keempat penjuru seolah2 dia hendak berkata, siapa lagi yang
berani turun tangan biar kubikin mampus. Lalu dengan nada
penuh ejek ia berkata kepada Tang mo: "Tuan sebagai salah satu
dari Bu lim su ih mengapa pandanganmu sedemikian cupat?"
Tang mo mendongak dan mengeluarkan suara tawa kecut, lalu
dari dalam bajunya dikeluarkan sebilah pedang kecil sepanjang
satu kaki.
"Pedang darah!" seru Suma Bing sambil bangkit berdiri. "Kau
hendak apa?" tanya si orang berkedok sambil menarik
tangannya. "Pedang darah itu tidak akan kubiarkan terjatuh
ketangan
ketua Bwe hwa hwe!" Se-konyong2 dari sebelah belakangnya
terdengar sebuah
suara halus tapi dingin kaku berkata: "Legalah hatimu, dia takkan
berhasil!"
Suma Bing dan si orang berkedok terkejut bersama, orang bicara
begitu dekat tanpa diketahui kapan dia datang. Waktu mereka
berpaling tampak dipinggir sebuah batu besar sejauh dua tombak
berdiri tegak seorang wanita berwajah ayu jelita, sanggul
rambutnya dihiasi penuh mutiara yang berkemilau ditimpa sinar
bintang2.
Sekilas Suma Bing mengamati wanita itu lalu berpaling lagi
mengawasi gelanggang pertempuran. Tatkala itu, sorot mata

semua hadirin tengah terbelalak memandang kearah pedang kecil
ditangan Tang mo itu, suasana gaduh segera sirap menjadi hening
lelap seumpama jarum jatuhpun dapat terdengar, se-olah2
pernapasan semua orang terhenti seketika.
Wanita ayu penuh hiasan itu berkata lagi memecah kesunyian:
"Tuankah yang bernama Suma Bing?"
Suma Bing melengak, membalik tubuh ia menyahut: "Ya, tidak
salah."
"Kau murid Sia sin Kho Jiang?" "Benar harap tanya..."
Se-konyong2 terdengar seruan kaget riuh rendah dalam
gelanggang pertempuran disusul sebuah lolong jeritan yang
mengerikan. Cepat2 Suma Bing memutar balik, kini bayangan Tang
mo sudah tidak kelihatan lagi olehnya, Pedang darah itupun
terlempar jatuh ditengah gelanggang, disamping Pedang darah itu
rebah sesosok mayat manusia.
Ber-ulang2 ketua Bwe hwa hwe perdengarkan tawa dingin, lalu
serunya lantang: "Masih ada kawan siapa lagi yang ingin
mengambil pedang kecil ini?" berulang tiga kali ia bertanya tanpa
penyahutan atau reaksi apapun. Maka segera ia melangkah maju
membungkuk tubuh mengulur tangan hendak menjemput Pedang
darah itu.
Pada detik sebelum tangan ketua Bwe hwa hwe menyentuh
Pedang, se-konyong2 sejalur gelombang angin menggulung
kearah Pedang darah itu hingga terkisar satu tombak lebih.
Ketua Bwe hwa hwe melengak dan cepat2 angkat kepala tanpa
tertahan ia berseru kejut dan katanya: "O, kau tuan?"
"Ya, tak duga kita berjumpa lagi tanpa berjanji sebelumnya,
hehehehehe..."

Orang yang baru muncul ini kiranya adalah manusia serba hitam
termasuk pakaian dan kulit tubuhnya, ditengah kegelapan malam
yang mendatang ini rupa dan bentuk tubuhnya itu sungguh
menyeramkan dan menakutkan. Kontan semua hadirin tergetar
kaget dan ber-tanya2 siapakah gerangan manusia aneh ini.
Si orang berkedok menyentuh tubuh Suma Bing serta berbisik:
"Apa kau tahu siapakah manusia aneh itu?"
"Tidak tahu!" "Dialah Tok tiong ci tok!" "Jadi inilah manusia
yang menggunakan Racun tanpa
bayangan membunuh adik Siang Siau hun dan Li Bun siang itu?
Hm, biar segera kutempur dia."
"Jangan kesusu, nantikanlah bagaimana ketua Bwe hwa hwe
hendak menghadapinya!"
Terdengar Racun diracun tertawa aneh, katanya: "Hwe tiang.
Bukankah kau tadi mengatakan benda keramat itu tiada
pemiliknya, siapapun yang melihat mendapat bagian?"
Ketua Bwe hwa hwe tertawa lebar, sahutnya: "Ya, memang aku
pernah berkata begitu, apa tuan juga ada minat untuk merebut
benda keramat itu?"
"Kalau ada bagiannya sudah tentu aku tidak menyia2kan
kesempatan ini."
"Tuan jangan lupa semua kawan yang hadir juga setujuan
dengan kita."
Sinar tajam mata Racun diracun menyapu pandang acuh tak acuh
keempat penjuru, akhirnya sinar matanya berhenti pada tubuh
Pek hoat sian nio, katanya: "Apa Sian nio juga ada minat turut
merebut?"
Tidak menjawab Pek hoat sian nio berbalik tanya: "Tuan ini
siapa?"

"Aku yang rendah Racun diracun!" "Racun diracun!" seru Sian
nio sambil manggut2 berarti
diapun ikut berminat. "Masih ada kawan siapa lagi yang ingin
ikut?" seru Racun
diracun lantang dengan angkuh dan congkaknya. Semua diam
tiada yang memberi reaksi atas tantangan itu.
Gesit sekali bagai terbang Racun diracun berlari memutari Pedang
darah satu lingkaran terus tertawa menyeringai seram sembari
berkata: "Biar aku terus terang, bahwa disekeliling Pedang darah
itu sudah kutaburi racun Sam pou to (roboh tiga tindak), sedikit
saja kalian terkena racun dalam tiga tindak saja pasti kalian akan
roboh binasa, siapa diantara kalian yang tidak percaya ingin
mencoba? marilah kupersilahkan..."
Belum habis ucapannya sebuah bayangan manusia secepat kilat
menubruk tiba didalam arena, si pendatang baru ini kiranya adalah
seorang pemuda berusia 20-an berwajah cakap ganteng.
Berbareng Pek hoat sian nio dan Ketua Bwe hwa hwe berseru
heran pandangan mata mereka penuh selidik dan tanda tanya
kearah pemuda yang datang tanpa diundang ini.
Kedatangan si pemuda inipun diluar dugaan Racun diracun,
tanyanya mendelik: "Siaucu, siapa kau?"
"Akulah Suma Bing!" "Murid Lam sia?" "Ada apa kau datang
kemari?" "Mengambil pedang!" "Kalau kau sudah bosan hidup
silakan coba." Sejak menelan rumput ular serta buahnya
sekalian tubuh
Suma Bing sudah kebal akan segala bisa, maka dengan congkak
dan dinginnya ia menyahut: "Hm, hanya racun

mainan dapat mengapakan aku!" sembari berkata dengan langkah
lebar ia menghampiri kearah Pedang darah. Seketika semua sorot
mata dengan nanap kesima mengawasi gerak gerik Suma Bing,
masa benar2 dia tidak takut racun? Setindak, dua tindak, tiga
tindak; segera ia membungkuk menjemput Pedang darah itu...
Tiga bayangan secepat burung terbang melesat keluar dari
kalangan para penonton terus menubruk kearah Suma Bing... Baru
saja kaki mereka menutul tanah dan hendak melompat lagi
mendadak mereka pentang mulut lebar dan berteriak panjang
mengerikan, tubuhnya juga lantas roboh terbanting diatas tanah
tanpa bergerak lagi mati! 'Tiga tindak roboh' kiranya bukan omong
kosong belaka, benar2 boleh dianggap racun berbisa paling lihay
dan berbahaya diseluruh kolong langit.
Sementara itu, sepasang bola mata Racun diracun yang banyak
putih dari hitamnya menyorongkan sinar berkilat menatap Suma
Bing, sungguh dia tidak habis mengerti dalam mimpipun dia
takkan menduga bahwa Suma Bing ternyata kebal terhadap racun
bisanya.
Terutama Pek hoat sian nio dan Ketua Bwe hwa hwe juga tidak
kalah besar rasa kejutnya bahwa Suma Bing kiranya sudah
sedemikian lihay dan ampuh.
Mengelus2 Pedang darah perasaan Suma Bing haru dan penuh
kepedihan, inilah benda dari warisan ayahnya, hari ini ia dapat
merebutnya kembali. Tang mo sudah minggat meninggalkan
pedang ini, jadi tiada kesempatan lagi untuk dirinya mencari
keterangan siapa2 saja gerangan yang menjadi musuh
keluarganya.
Dalam pada itu si orang berkedok sendiripun terpaksa harus
muncul juga dari tempat persembunyiannya dan berdiri diantara
kelompok penonton. Sudah tentu saat mana tiada orang yang
memperhatikan kehadirannya sebab sorot mata semua orang
tengah tersedot oleh perbuatan Suma Bing yang menegangkan
urat syaraf itu.

Suma Bing sendiri juga insaf bahwa untuk membawa Pedang
darah itu meninggalkan bukit pegunungan itu pasti sangat sukar.
Kepandaian salah satu dari Racun diracun, Pek hoat sian nio dan
ketua Bwe hwa hwe sudah melampaui kemampuannya sendiri.
Apalagi diantara Pek hoat sian nio dan Ketua Bwe hwa hwe
seumpama bukan karena Pedang darahpun pasti akan meringkus
atau membinasakan dirinya.
Racun diracun mendongak keatas memandang langit, agaknya dia
tengah memikirkan persoalan yang susah dipecahkan.
Adalah Pek hoat sian nio dan Bwe hwa hwe tiang dengan tatapan
mendelong tanpa berkedip selalu mengawasi gerak gerik Suma
Bing, setindak saja Suma Bing meninggalkan lingkungan beracun
yang disebar Racun diracun tadi pasti mereka akan melancarkan
serangan untuk membunuh atau meringkusnya.
Tiga sosok mayat yang memasuki lingkungan beracun ini sudah
berobah lapuk dan hitam seperti tiga batang balok yang habis
terbakar. Sudah tentu siapapun tiada yang berani mencoba2 lagi,
sebab racun tidak mungkin dapat diatasi dengan kepandaian yang
betapa tinggipun jua.
Lama dan lama kemudian baru Racun diracun tersentak dari
lamunannya, matanya menyapu pandang kearah Pek hoat sian nio
dan Bwe hwa hwe tiang serta tanyanya: "Bagaimana menurut
pendapat kalian berdua?"
"Saat ini aku hanya ingin meringkus bocah ini saja." sahut Pek
hoat sian nio tanpa banyak pikir.
Racun diracun mengekek tawa, serunya: "Bagus sekali pendapat
kita berdua tidak berselisih!" - lalu ia berpaling dan bertanya
kepada Bwe hwa hwe tiang: "Tuan ketua bagaimana?"

Sejenak Bwe hwa hwe tiang menatap kearah Suma Bing lalu
berputar dan menjawab pertanyaan Racun diracun: "Tuan
silahkan kau jelaskan maksudmu sendiri."
"Tujuanku pada Pedang darah itu!" "Bagaimana kalau
pendapatku sama dengan tuan?" "Kita tentukan dulu urusan
ini." "Bagaimana cara penyelesaiannya?" "Masing2 bergulat
menunjukkan kepandaiannya." "Yang tuan maksudkan
kepandaian ditentukan dalam ilmu
silat atau termasuk juga keahlian tuan sendiri?" "Hehehehehe,
kalau julukanku menamakan Racun didalam
racun, menggunakan racun adalah sudah pasti." "Kalau begitu"
seru Bwe hwa hwe tiang menyeringai.
"Sementara aku ingin orangnya." "Sementara." jengek Racun
diracun. "Itu berarti kelak tuan
juga akan merebut pedang darah ini lagi bukan?" "Tidak salah,"
"Baik, paling penting sekarang kita selesaikan persoalan ini
dulu. Kalau begitu setelah kuperoleh Pedang darah itu biar
kudesak dia keluar dari lingkungan bisa Sam pou to, hitung2
sebagai tanda rasa terima kasihku kepada kalian berdua yang sudi
mengalah kepadaku."
Pada lain saat Racun diracun sudah melangkah maju mendekati
Suma Bing, ketegangan mulai meruncing lagi disekitar gelanggang
perebutan ini.
Ter-sipu2 Suma Bing menyelipkan Pedang darah itu kedalam ikat
pinggangnya lalu bersiap siaga menjaga segala kemungkinan.

Tok tiong ci tok menghentikan langkahnya sejauh satu tombak
didepan Suma Bing, jengeknya dingin: "Suma Bing, tidak kuduga
kaupun cukup hebat dalam permainan racun, sedikitpun kau tidak
gentar terkena racun 'tiga tindak roboh' itu!"
"Racunmu ini terhitung barang apa?" ejek Suma Bing. "Siaucu
jangan kau takabur, kukira kau pernah dengar
tentang Racun tanpa bayangan bukan?" "Hm apa kau hendak
menggunakan racun itu untuk
menghadapi aku? Kiranya, perlu juga kuperingatkan kepadamu.
Karena sebatang jinsom, sepasang muda mudi tewas karena
perbuatanmu menggunakan racun tanpa bayangan itu?"
"Benar, lalu kenapa?" "Hutang darah ini sudah kucatat dalam
hatiku!" "Sudah jangan omong kosong, serahkan saja Pedang
darah
itu?" "Apa kau mampu?" "Marilah kau coba2." dibarengi dengan
habis ucapannya
sepasang cakar hitamnya secepat kilat sudah merangsang tiba,
yang satu meraup muka sedang yang lain mencengkram kearah
Pedang darah, kecepatan dan kehebatannya turun tangan ini
sungguh sangat menakjubkan dan mengejutkan.
Siang2 Suma Bing sudah siap siaga, disaat serangan belum
merangsang tiba kedua tangannyapun sudah bergerak tidak kalah
cepatnya menepuk kedepan, serangannya ini mengerahkan seluruh
himpunan tenaga Kiu yang sin kang dalam tubuhnya. Damparan
gelombang panas bagai lahar gunung berapi membuat Racun
diracun mau tak mau harus menyingkir mundur delapan kaki sambil
mengurungkan serangannya sendiri, tak urung mulutnyapun
tercetus seruan: "Kiu yang sin kang!"

Seruan ini benar2 membuat semua hadirin tergetar kaget, sebab
Kiu yang sin kang merupakan pelajaran tunggal dari Lam sia yang
paling ampuh, hebat dan menjagoi didunia persilatan dimasa
silam. Namun mereka hanya pernah dengar namanya dan belum
menyaksikan sendiri kehebatan ilmu yang dibanggakan itu.
Sejenak Racun diracun merandek lalu serunya lagi: "Walaupun ilmu
saktimu hebat perbawanya, sayang latihanmu belum sempurna
betul" — 'Wut" lagi sebuah jotosan keras yang dapat
menghancurkan batu dan menggugurkan gunung merangsang
kearah Suma Bing.
Tanpa berkelit atau menghindar Suma Bing angkat tangannya
untuk menangkis. Begitu benturan mengguntur terdengar, tubuh
Racun diracun ber-goyang2 tersurut mundur setapak, sedang
Suma Bing terpental mundur tiga langkah darah bergolak dirongga
dadanya. Dan dilain saat Suma Bing terhuyung mundur itu belum
sempat pula pertahankan diri lagi2 Racun diracun sudah kirim dua
kali jotosan pula.
Kali ini Suma Bing miringkan sedikit tubuh untuk menghindar
namun tidak urung tubuhnya sempoyongan juga terdampar oleh
angin pukulan. Gerak-gerik Racun diracun sungguh sebat luar biasa
seperti bayangan setan tahu2 dia melejit tiba mendekat dan sekali
raup Pedang darah sudah berada ditangannya.
Gemparlah suasana gelanggang pertempuran dengan sorak sorai
para hadirin, Suma Bing berseru beringas: "Racun diracun, pada
suatu hari tentu Siauyamu akan menelanmu bulat2"
Racun diracun bergelak menggila kepuasan, serunya: "Jikalau
malam ini kau tidak mati, tentu aku akan mnunggu
kedatanganmu." — 'Wut' tahu2 ia mengirim lagi sebuah hantaman
dahsyat karena tidak menduga tubuh Suma Bing tergetar
sempoyongan kebelakang dan keluarlah dia dari lingkaran berbisa
itu...

Begitu memutar tubuh Racun diracun melejit tinggi, sebentar saja
bayangannya menghilang dikegelapan malam. Kini Pedang darah
berpindah ketangan lain orang lagi, tapi ketegangan dalam arena
masih sedemikian tegang mencekik leher. Maka dalam waktu yang
bersamaan segera Pek hoat sian nio dan Ketua Bwe hwa hwe
berbareng mendesak dan menubruk kearah Suma Bing.
Kedua mata Suma Bing melotot hampir keluar menatap kearah
Ketua Bwe hwa hwe dan Pek hoat sian nio, sampai pada detik itu
ia masih belum jelas akan sebab musabab mengapa kedua orang
ini berkukuh hendak menamatkan riwayatnya.
Tanpa banyak mulut lagi Ketua Bwe hwa hwe segera mengayun
kedua tangannya dilancarkannya pukulan jarak jauh yang dahsyat
sekali. Bersamaan itu Pek hoat sian nio pun tidak mau ketinggalan,
cepat2 tangannyapun diayun mengirim serangannya yang tidak
kalah pula kehebatannya. Dua gembong persilatan kelas wahid
bersama melancarkan pukulannya betapa kuat dan hebat
perbawanya seumpama gunungpun bisa gugur.
Dasar sifat Suma Bing memang keras kepala dan angkuh sekali,
tanpa mau berkelit iapun menggerakkan tangannya menangkis.
Letak kedudukan Pek hoat sian nio dan Ketua Bwe hwa hwe
kebetulan berlawanan, maka kedua kekuatan pukulan mereka
menjadi saling hantam dan saling bentur dengan dahsyatnya,
suara mengguntur menggetarkan seluruh gelanggang, saking
keras benturan angin pukulan ini Suma Bing tergulung sungsang
sumbel dan terpental setombak lebih, darah bagai air mancur
menyemprot dari mulutnya. Sungguh sangat kebetulan karena
getaran kekuatan benturan itu tubuh Suma Bing terpental balik lagi
kedalam lingkaran berbisa itu malah.
Ketua Bwe hwa hwe dan Pek hoat sian nio melengak. Bahwa
racun 'tiga tindak roboh' merupakan salah satu bisa

paling lihay dikolong langit, sudah tentu mereka tidak berani
memandang enteng, namun garis tengah lingkaran berbisa itu
tidak kurang dari tiga tombak, kalau kirim serangan jarak jauh
dari luar lingkaran Suma Bing masih dapat dipukul mampus.
Sebaliknya kalau mau menawannya hidup2, rasanya tidaklah
begitu gampang.
Sejenak berpikir, berobah pikiran Ketua Bwe hwa hwe, katanya
kepada Pek hoat sian nio: "Sian nio, aku merobah pendirianku,
kubatalkan maksudku semula"
"Jadi kau hendak mengundurkan diri?" "Tidak, aku ingin
membunuhnya." Mau tak mau Pek hoat sian niopun harus
berpikir, lantas
sahutnya: "Kalau begitu aku pun hanya ingin bertanya beberapa
patah kata saja!"
"Kalau begitu silahkan lebih dulu." Sinar mata Pek hoat sian nio
setajam ujung gunting
menatap kearah Suma Bing, desisnya: "Suma Bing, kau ini murid
atau cucu murid Lam sia?"
"Tidak perlu kau tahu." jengek Suma Bing. "Jawablah
pertanyaanku sebenarnya, aku tidak akan..." "Tidak bisa."
Berobah kelam air muka Pek hoat sian nio, hardiknya
gusar: "Suma Bing, dulu beruntung kau masih hidup, tapi hari ini
jangan harap kau dapat hidup. Dengar, hanya dua jari tanganku
saja jarak sejauh tiga tombak masih dapat meremukkan batok
kepalamu."
"Mengapa tidak kau coba turun tangan?" jengek Suma Bing
sambil mengertak gigi.
"Kau sangka aku tidak mampu membunuhmu, hehehe..." —
diiringi, suara tawanya dua jari tengah dirangkapkan terus

menutuk lempang kedepan, seketika mendesis angin tutukan
jarinya melesat bagai anak panah kearah Suma Bing.
Sedikit menggeser kaki dan miringkan tubuh tanpa banyak
mengeluarkan tenaga Suma Bing menghindarkan serangan hebat
ini.
Melihat serangannya gagal Pek hoat sian nio mendesis geram,
kedua tangannya bergerak cepat mempergencar serangannya,
dirabu serangan bertubi2 ini, Suma Bing gertakan gigi sambil
angkat tangannya untuk menangkis. 'Blang' Suma Bing tersurut
mundur terhuyung. Dan sebelum ia berdiri tegak secepat itu pula
Pek hoat sian nio telah lancarkan lagi serangan serupa tadi,
sepuluh jari tangannya bergantian menyelentik, lengking pantulan
angin jarinya berseliweran bagai kilat melesat me-nyamber2.
Terpaksa Suma Bing harus berputar jumpalitan untuk selamatkan
diri walaupun tempat penting tidak terserang tak urung pundaknya
tertembus juga berlobang hingga darah membanjir keluar
membasahi tubuh, sakitnya sampai meresap ketulang sumsum.
Tengah Pek hoat sian nio menarik kembali tangannya dan sebelum
melancarkan lagi serangannya. Sambil menggereng keras Suma
Bing melejit keluar dari lingkaran berbisa langsung menubruk
kearah Pek hoat sian nio, dimana kedua tangannya bergerak
bergantian sekaligus ia lancarkan dua belas kali pukulan balasan.
Perbuatannya ini boleh dikata sudah nekat beringas seperti orang
gila, setiap kali pukulannya mengandung tenaga yang dapat
menghancurkan batu. Pek hoat sian nio kena terdesak mundur tiga
langkah. Agaknya Suma Bing sudah kelewat membenci lawannya
tidak kepalang tanggung tipu Liu kim hoat ciok dilancarkan. Pek
hoat sian nio terdesak lagi mundur selangkah dan balas memukul
tiga kali, dimana angin ribut bergulung membumbung tinggi
keangkasa Suma Bing tersurut mundur tergetar oleh pukulan
balasan lawan.

Kini agaknya Pek hoat sian nio sudah marah besar, mulutnya
menggeram lirih, dimana kedua tangannya bergerak dan diayun
bayangan tangan ber-lapis2 seakan ribuan banyaknya semua
menungkrup kearah tubuh Suma Bing, ditengah gemuruhnya angin
pukulannya samar2 terdengar suara geledek yang mengguntur.
Kedua mata Suma Bing melotot merah membara, merabu kedalam
bayangan pukulan lawan berkali2 ia lancarkan serangan dahsyat
tanpa hiraukan lagi keselamatan diri sendiri. Cara bertempur yang
nekad ini mau tak mau membuat Pek hoat sian nio gentar dan
kecut hati. Tapi hakikatnya kepandaian Suma Bing memang masih
kalah jauh, pada benturan pukulan kedelapan Suma Bing terpekik
seram darah menyembur keras dari mulutnya dan tepat
menyemprot deras kemuka Pek hoat sian nio, tubuhnya lantas
roboh terkapar diatas tanah.
Pek hoat sian nio menyeka noda darah dimukanya terus angkat
tangan hendak menepuk kepala Suma Bing...
"Berhenti!" tiba2 menggelegar sebuah suara bentakan. Serta
merta Pek hoat sian nio menghentikan tangannya dan
undur selangkah, seorang berkedok mengenakan pakaian warna
hijau tahu2 sudah menghadang didepan Suma Bing.
"Siapa kau?" "Kaum keroco dari Bu lim, tidak perlu aku
memperkenalkan
diri, akulah kawan karib Suma Bing." "Hm, kau hendak apa?"
"Ada dendam atau permusuhan apa antara Sian nio dengan
Suma Bing, kenapa kau pasti harus membunuhnya?" "Kau jangan
turut campur, tidak akan kuberitahu padamu." "Bukankah
tujuanmu hanya ingin bertanya sepatah kata
saja kepadanya? Baik, aku akan mewakilinya menjawab."

"Kau... kau bisa menjawab pertanyaanku tadi?" "Benar, dia
murid Lam sia dan si Sesat tua itu sekarang
sudah meninggal..." Saat itulah Ketua Bwe hwa hwe sudah
perdengarkan
suaranya tawanya: "Sian nio, kini urusanmu sudah selesai bukan?"
Keras2 Pek hoat sian nio mendengus hina terus putar tubuh tinggal
pergi, si gadis baju putih Ting Hoan segera ikut dibelakangnya,
sebentar saja bayangan mereka sudah menghilang.
Si orang berkedok memutar tubuh menghadapi Bwe hwa hwe
tiang, katanya: "Apa benar2 Hwe tiang menginginkan jiwanya?"
"Termasuk jiwamu juga, keajaiban tidak akan terulang kembali,
keberuntungan hanya didapat sekali, peristiwa di Sam ceng koan
tidak akan kelakon lagi disini, kuberitahu kau, kau tiada
kesempatan lagi barang sedetikpun."
Si orang berkedok bergelak tertawa, serunya: "Aku tahu
kepandaianku rendah, tapi aku tidak mengharapkan keberuntungan
itu lagi."
Pada saat itulah Suma Bing sudah merangkak bangun
sempoyongan suaranya gemetar: "Bong bian heng, kau
menyingkirlah"
"Saudara kecil tidak nanti aku berbuat sebodoh itu, agaknya
memang kita berjodoh, nasib kita berdua naga2nya sudah terikat
menjadi satu."
"Kalian berdua masih ada pesan apa tidak?" kata Ketua Bwe hwa
hwe sembari mendesak maju.
-oo0dw0ooJilid
4

13. PEK-KUT-JI = PANJI TULANG PUTIH.
Bola mata Suma Bing melotot besar se-akan2 hampir
melompat keluar bagaikan dua butir kelereng, katanya tajam:
"Aku menyesal karena tidak dapat membongkar kedok
aslimu, lebih besar pula rasa kesalku karena belum bisa
membunuh kau!"
"Hehehe, Suma Bing, sebelum ajalmu, Pun-hwe-tiang (aku ketua)
boleh membantu melaksanakan keinginanmu yang pertama,
begitu kau mengetahui siapakah aku ini, ku percaya kau akan mati
dengan tentram."
Si orang berkedok menyapu pandang kesekitar gelanggang,
dilihatnya yang hadir diluar gelanggang itu kebanyakan adalah
anak buah Bwe-hwa-hwe, tahu dia bahwa harapan lolos untuk
hidup sudah tak mungkin lagi, dalam saat2 keputusan harapan ini,
semangat dan pikirannya malah semakin tenang dan tentram.
Ketua Bwe-hwa-hwe beralih pandang kearah siorang berkedok,
katanya:
"Tuan lebih baik kau bunuh diri saja." "Tutup mulut..!" Hardik
Suma Bing geram, namun baru dua
patah kata saja mulutnya yang terpentang lebar malah
menyemburkan darah segar lagi, tubuhnyapun lantas terhuyung
hampir roboh.
Sementara itu si orang berkedok sudah menyahut lantang dengan
gagahnya:

"Kalau aku tidak beruntung mati ditanganmu, harus kusesalkan
karena kepandaianku tidak becus. Kau ingin aku bunuh diri jangan
kau sangka semudah itu."
"Ya, apa boleh buat, biar Pun-hwe-tiang menamatkan kau
sekalian" secepat habis kata2nya tahu2 lima cakar jarinya sudah
menyelonong tiba mencengkeram kearah dada si orang berkedok,
cara turun tangannya boleh dikata sangat cepat dan aneh sekali.
Tidak kalah sebatnya si orang berkedok menjejakkan kakinya
melejit mundur lima kaki, berbareng ia kirim sebuah pukulan
mendesak lawan juga, nyata kekuatan pukulannya juga bukan
olah2 kuat dan derasnya.
Ketua Bwe-hwa-hwe ganda menggerakkan tangan kiri berputar
satu lingkaran mudah sekali ia punahkan kekuatan pukulan musuh,
sementara tangan kananpun sudah diayun keluar... 'plak',
terdengar benturan keras, si orang berkedok tergetar mundur dua
langkah.
Sementara itu Suma Bing sendiripun telah menghimpun seluruh
tenaganya, sambil menggeram keras ia hantam sisi punggung
Ketua Bwe-hwa-hwe dari samping. Ketua Bwe-hwa- hwe tidak
menoleh dan tidak bergerak, seakan tidak merasakan sedikitpun
pukulan keras itu.
"Plok" karena mandah diserang dengan kekerasan ini tubuh Ketua
Bwe-hwa-hwe ber-goyang2, adalah Suma Bing sendiri malah
terpental balik oleh tenaga pantulan yang diritul oleh kekuatan
tenaga pukulannya sendiri, tubuhnya meliuk jatuh duduk dan
muntah darah.
Sementara itu si orang berkedok juga telah membentak keras
sambil menyerang dengan sekuat tenaga, kedua tangannya terbagi
dua merangsang kedada dan perut ketua Bwe-hwa-hwe,
kedahsyatan dan kelihayan tipu serangannya ini benar2
mengejutkan orang.

Dirabu pukulan sedemikian dahsyat Ketua Bwe-hwa-hwe masih
tetap tenang ganda mendengus dan angkat tangan menangkis.
Begitu kedua pukulan saling beradu menggeledek si orang
berkedok terpental setombak lebih, baru saja badannya berdiri
tegak dan belum sempat menghela napas lega, tubuhnya sudah
melayang tinggi terdampar gelombang angin pukulan musuh,
disertai teriakan panjang yang bergema ditengah udara tubuhnya
melambung setinggi dua tombak terus melayang jatuh kedalam
jurang.
Suma Bing memekik kalap darah berhamburan lagi dari mulutnya.
Terpaksa dia saksikan si orang berkedok dipukul terbang masuk
jurang oleh Ketua Bwe-hwa-hwe sedang dia sendiri tidak mampu
menolong kawan yang sudah berulangkali menolong jiwanya.
Sudah tentu karena dipukul terjungkal kedalam jurang ini pasti
badannya terbanting mampus hancur lebur. Boleh dikata sang
kawan mati karena dirinya.
Segera Ketua Bwe-hwa-hwe ulapkan tangannya serta berseru:
"Bawa pergi!" Dua orang laki2 berpakaian sepan warna hitam
segera
mengiakan sambil melompat keluar terus menubruk kearah Suma
Bing yang sudah tele2 tak mampu bergerak itu.
Sedetik sebelum kedua anak buah Bwe-hwa-hwe menyentuh tubuh
Suma Bing itulah mendadak terdengar sebuah bentakan halus
nyaring berkata:
"Cari mati!" Disusul kedua laki2 seragam hitam itu memekik
keras dan
tubuhpun terus roboh binasa. Keruan bukan kepalang gusar Ketua
Bwe-hwa-hwe,
sedemikian besar nyali orang berani membunuh anak buahnya
terang2an didepan matanya, matanya ber-kilat2 menyapu

pandang keempat penjuru namun jejak musuh tidak kelihatan,
tanpa tertahan lagi segera ia membentak murka:
"Siapa itu?" "Kau tidak berharga bertanya!" Betapa congkak
dan tinggi hati nada ucapannya ini, boleh
dikata sangat berkelebihan, masa sebagai Ketua Bwe-hwa- hwe
sebuah perkumpulan besar dikalangan Kangouw masih tidak
sembabat mengetahui nama besar musuh, hal ini benar2
membuat semua hadirin heran dan hampir tidak percaya atas
pendengarannya.
Saking murka Ketua Bwe-hwa-hwe berbalik bergelak tertawa:
"Takabur dan congkak benar ucapanmu tuan, kenapa tidak lekas
kau unjukkan diri. Apa malu bertemu dengan orang?"
Seruan nyaring merdu tadi terdengar lagi, kali ini mengandung
ancaman seram yang susah dijajaki:
"Minta aku muncul boleh, namun apakah semua hadirin rela
meninggalkan semua tulang belulangnya diatas puncak bukit ini?"
Mendengar ancaman ini, dingin perasaan Ketua Bwe-hwa- hwe,
ter-sipu2 ia maju menghampiri mayat kedua anak buahnya, begitu
ia melihat tegas semangatnya bagai terbang ke-awang2,
badannyapun sempoyongan mundur tiga tindak, suara perintahnya
gemetar dan ketakutan:
"Semua. Mundur!" Begitu perintah diserukan semua anak
buahnya
berserabutan lari jungkir balik turun gunung bagai dikejar setan,
dalam sekejap mata saja semua sudah menghilang dikegelapan
malam.
Suma Bing sendiripun tidak kurang kejut dan herannya, entah
orang kosen macam apa yang sudi mengulurkan tangan

menyelamatkan jiwanya. Sampai Ketua Bwe-hwa-hwe yang bukan
olah2 lihay kepandaian dan tinggi kedudukannyapun lari
ketakutan.
Tengah ia me-nebak2 itu serta merta pandangan matanya lantas
tertuju kearah kedua mayat yang rebah tidak berapa jauh dari
dirinya itu. Begitu melihat apa yang menggeletak disampingnya itu
arwahnya se-olah2 melayang pergi dari badan kasarnya, tubuhnya
bergidik merinding. Kiranya dalam sekejap mata ini kedua mayat
itu kini hanya tinggal tulang belulangnya saja yang memutih jelas
ditengah kegelapan malam, diatas kedua tulang2 itu tertancap
masing2 sebuah panji kecil terbuat dari sutera, ditengah panji itu
tersulam gambar sebuah tengkorak dengan dua batang tulang
bersilang.
Lantas teringatlah ia akan cerita suhunya mengenai asal- usul
panji tengkorak bersilang ini. Kiranja panji itu bernama Pek-kut-ji
(panji tulang putih), pertanda khas dari Pek-kut Hujin seorang
momok wanita yang menggetarkan dunia persilatan pada enam
puluhan tahun yang lalu. Setiap kali dimana panji serupa itu
muncul, meski betapa lihay atau tinggi ilmu silatnya, begitu
terkena panji keramat ini dalam sekejap mata saja, pasti badannya
hancur menjadi cairan air darah dan tinggal kerangka tulangnya
saja. Maka begitu melihat panji sakti ini tiada seorang pun kaum
persilatan yang tidak segera lari lintang-pukang menyelamatkan
diri.
Bahwa sekarang Pek-kut Hujin mendadak muncul disini, hal ini
benar2 diluar dugaan siapapun. Apa mungkin gembong iblis
wanita itu sekarang masih hidup? Kenapa pula dia mau menolong
jiwanya? Suma Bing tidak habis mengerti, lama dan lama sekali
suasana tetap tenang tanpa ada reaksi apa-apa.
Akhirnya hilang kesabaran Suma Bing, segera ia berseru keras:
"Apakah Pek-kut Hujin Tjianpwe yang kesudian menolong jiwaku
yang rendah ini?"

Baru kali inilah Suma Bing menyebut orang dengan panggilan
"Tjianpwe" selama ini.
Beruntun tiga kali ia berseru bertanya tanpa penyahutan atau
reaksi apapun jua, heran dan curigalah hatinya, batinnya:
"Aneh, mengapa dia membantu diriku? Belum lama ini aku
berkelana di Kangouw, tiada seorang juga yang mengetahui
tentang asal-usulku. Mungkin karena memandang muka Suhu
maka dia sudi menolong aku, namun mengapa dia tidak unjukkan
dirinya, sampai setengah patah katapun tidak diucapkan,
munculnja secara misterius perginyapun sangat aneh..."
Luka dalam tubuh Suma Bing sangat parah, setelah terluka berat
dia terlalu banyak menggunakan tenaganya pula, boleh dikata
tenaga murninya sudah ludas sama sekali, untung dia melatih
Kiu-yang-sin-kang yang khusus sangat berguna untuk melindungi
urat nadi, kalau tidak mungkin sejak tadi ia sudah tewas.
Begitulah setelah ter-longong2 sekian lamanya ia coba kerahkan
tenaga untuk berobat diri, siapa tahu begitu tenaga murninya
berkembang seketika ia merasakan diantara ketigapuluh enam
jalan darah besarnya, tujuh diantaranya bumpet(tertutup) tak
tertembuskan, bagaimanapun ia sudah susah payah kerahkan
tenaganya untuk menjebol rintangan itu tetap nihil hasilnya, keruan
dalam hati ia mengeluh dan putus asa. Kalau tiada obat mujarab
dan tenaga luar yang membantunya, tentu tenaga sendiri takkan
mampu membobol jalan darahnya yang buntu itu. Kalau jalan
darah buntu terlalu lama tidak matipun pasti dirinya menjadi tanpa
daksa alias cacat seumur hidup.
Selang berapa lama setelah beristirahat ia coba kerahkan lagi
tenaganya, seketika ia rasakan seluruh tubuh tergetar hebat,
tenaga murni yang terkerahkan menerjang balik dengan kerasnya
kontan ia jatuh pingsan tubuhnyapun terus roboh terlentang.

Sang malam dengan cepat telah berlalu, suasana dalam puncak
bukit itu masih sedemikian sunyi, alam sekelilingnya masih diliputi
kabut tebal, tak lama kemudian puncak bukit itu sudah
bermandikan sinar sang surya yang memancar terang benderang,
hawa cerah menyejukkan badan.
Per-lahan2 Suma Bing siuman dari pingsannya, perasaan pertama
yang dirasakan saat itu ialah bahwa rasa kesakitan seluruh tubuh
semalam kini sudah hilang sama sekali, sebaliknya semangat
me-nyala2 tenaga penuh gairah, sejenak ia meng-ucek2 matanya
lalu merenungkan apa yang telah dialaminya semalam. Kedua
kerangka tulang disampingnya masih ada hanya panji kecil itu
yang telah lenyap. Bergegas ia melompat bangun sambil berseru
kejut dan heran. Siapakah yang telah menolong dirinya?
Bau semerbak wangi terbawa angin merangsang hidungnya
membuat ia sadar dari rasa kejutnya dengan penuh kewaspadaan
matanya menyapu pandang keempat penjuru. Seketika ia melonjak
kaget lagi, terlihat terpaut lima kaki dibelakangnya berduduk
wanita cantik molek bagai bidadari yang seluruh tubuhnya penuh
bersolek dengan berbagai perhiasan yang tak ternilai harganya,
kedua matanya tengah terpejam, kedua pipinya juga bersemu
kemerahan, kiranya orang tengah istirahat memulihkan tenaga.
Teringat olehnya waktu semalam ia menonton pertempuran
bersama si orang berkedok dibelakang batu besar itu, wanita
cantik ini yang pernah mendadak membuka suara kepada mereka.
Siapakah dia? Tak perlu disangkal lagi, ia inilah yang telah
menolong jiwanya dengan tenaga dalamnya, karena pengerahan
tenaga yang ber-limpah2 untuk menyembuhkan lukanya, maka
kini orang tengah bersamadi untuk memulihkan tenaga sendiri.
Wanita ini boleh dikata secantik bidadari dari kahyangan namun
dari kecantikannya itu mengandung juga sikapnya yang dingin dan
angkuh, dari keangkuhan ini timbul

perbawanya yang agung membuat orang yang melihatnya merasa
tunduk dan keder.
Siapakah dia? Tak putus2 benak Suma Bing ber-tanya2. Lantas dia
teringat akan nama Pek-kut Hujin yang kedengaran suaranya dan
tidak kelihatan wujudnya semalam, hanya dengan dua panji kecil
kiranya cukup untuk menggebah pergi ketua Bwe-hwa-hwe yang
terkenal kejam dan besar pengaruhnya itu lari lintang pukang.
Mungkin dia inilah... bergidik seram bila ia teringat akan nama itu.
Tapi akhirnya ia geli sendiri akan kekuatirannya sendiri, karena
pikiran demikian agaknya sangat ganjil dan jenaka. Pek-kut Hujin
sudah tenar pada enampuluh tahun yang lalu, tingkat kedudukan
dan ketenaran namanya jauh lebih unggul dari Bu-lim-su-ih,
apalagi wanita dihadapannya ini dilihatnja kira2 baru berusia 20-an
lebih. Tengah pikirannya me-layang2 itulah, wanita itu sudah
berdiri lemah gemulai, mengunjuk senyum manis kearah Suma
Bing, syur, jantung Suma Bing melonjak keras bagai kesetrum
aliran listrik matanya kesima melihat senyuman yang
mempesonakan itu.
Sejenak Suma Bing menenangkan gejolak hatinya terus
membungkuk memberi sapa hormat:
"Terima kasih atas bantuan nona tadi." "Ah bantuan tak
berarti, tak perlu dirisaukan" sahut wanita
itu sambil ulapkan tangannya. "Cayhe harus membedakan antara
rasa kebencian dan
kebaikan budi, aku tidak sudi menerima kebaikan orang secara
gratis!"
"Lalu kau mau apa?" "Harap sebutkan nama besarmu, biar kelak
kubalas
kebaikan hatimu ini." "Cara bagaimana kau hendak membalas
kebaikan budiku?"

"Ini... mungkin aku bisa berbuat sesuatu untukmu... atau..."
"Tapi aku tidak mengharap balas budimu itu?" "Kebebasan
terletak padaku!" Wanita itu sedikit menggeleng kepala,
katanya: "Aku tiada sesuatu apa buat kau kerjakan, seumpama
ada..." "Bagaimana?" "Kau tidak akan mampu melakukan?" Suma
Bing bersikap sungguh2: "Coba kau katakan?" "Coba kutanya
dulu, apa kedatanganmu ini khusus hendak
merebut Pedang darah itu?" "Hanya kebetulan saja kepergok
disini, tapi cayhe me mang pasti harus mendapatkan pedang darah
itu!" "Jadi maksud tujuanmu sama dengan mereka kaum
persilatan itu?" "Tidak!" "Itulah aneh..." "Sebab... sebab..." Suma
Bing ragu2 untuk menerangkan
asal usul dirinya. "Sebab apa?" desak wanita ayu itu. Sekian lama
Suma Bing bimbang dan ragu, akhirnya ia
berkata juga: "Sebab Pedang darah itu seharusnya menjadi hak
milikku." "Bagaimana maksud ucapanmu itu?"

"Karena ayah-bundaku tewas setelah memiliki Pedang darah itu."
Berobah pucat wajah wanita cantik itu, badannya mundur satu
tindak, katanya penuh perasaan:
"Apa, jadi kau inilah putra Su-hay-yu-hiat Suma Hong?" Suma
Bing mengiakan sambil mengangguk serta
menggertak gigi. Tubuh wanita cantik itu gemetar karena
menahan perasaan
hatinya, lama dan lama sekali ia terlongo memandang wajah
Suma Bing.
Suma Bing sendiripun tengah keheranan melihat perobahan sikap
wanita misterius ini entah mengapa orang mendadak berobah
sedemikian serius dan terbawa oleh perasaan hatinya. Apa
mungkin dia salah seorang sahabat kental ayah semasa masih
hidup, atau...
Lagi2 airmuka si wanita berobah dan bertanya: "Konon kalian
bertiga sudah ketimpa bahaya semua..." "Cayhe tersapu jatuh
kedalam jurang dan kebetulan
tertolong oleh In-su Sia-sin Kho Jiang!" "Oh, untung keluarga
Suma masih ada keturunan, kau tahu
siapa aku?" Suma Bing melengak, sahutnya gagap: "Ini... harap
suka kau perkenalkan diri..." "Akulah bibimu Ong Fong-jui!"
Saking kejut Suma Bing berdiri melongo tertegun hampir
saja dia tidak percaya pada pendengarannya, bahwa wanita ayu
bersolek ini ternyata adalah bibinya, benar2 mimpi juga takkan
terduga sebelumnya.
Kelopak mata Ong Fong-jui merah ber-kedip2, katanya:

"Suma Bing, apa kau sudah tahu siapa2 saja para musuhmu itu?"
Sejak kecil mengalami bencana dan hidup dalam penderitaan,
sekali bertemu dengan salah seorang famili yang terdekat, tanpa
merasa airmata Suma Bing meleleh deras sahutnya:
"Saat ini baru kuketahui Tang-mo seorang, entahlah yang lain,
apa Bibi Jui..."
"Akupun tidak tahu, setelah peristiwa itu terjadi baru aku dengar
tentang kabar jelek itu. Sekarang untuk mengetahui jelas duduk
perkara peristiwa dipuncak kepala harimau itu, hanya Tang-mo
seoranglah yang dapat memberi keterangan."
"Pikiran Tit-ji (keponakan) juga begitu, sayang kemaren Tang-mo
dapat melarikan diri."
"Saat ini kau masih bukan tandingan Tang-mo, akupun datang
terlambat, kalau tidak takkan mungkin dia dapat lolos!"
Suma Bing menghela napas sedih katanya: "Kalau bukan karena
pertolongan Bibi, mungkin aku
sekarang sudah tewas!" "Urusan sudah berlalu, sudahlah tak perlu
diungkit lagi." "Tidak dapat tidak aku harus merebut kembali
Pedang
darah itu dari tangan Racun diracun" "Itu urusan kecil. Yang
penting kau harus segera
mengerjakan urusan besar, hanya... mungkin terlalu sukar!" Suma
Bing melengak: "Urusan kecil? Lalu urusan besar apakah itu?"
"Kalau kau bisa mendapatkan Mo-hoa (bunga iblis), tidak
sukar kau menjadi tokoh paling kosen dijagad ini."

"Memang Tit-ji sudah ada maksud itu," sahut Suma Bing penuh
perasaan. "Pesan Suhu juga begitu, tapi entah dimanakah Mo-hoa
itu..."
"Menurut apa yang kutahu," sambung Ong Fong-ju. "Mo- hoa
berada ditangan seorang Tjianpwe gembong Iblis wanita."
"Siapa dia?" "Bu-siang-sin-li!" "Bu-siang-sin-li?" "Benar, usia
Bu-siang-sin-li sudah seabad lebih, betapa
tinggi kepandaiannya, benar2 susah dibayangkan. Seumpama
Bu-lim-su-ih bergabung mengeroyoknyapun belum tentu dapat
selamat dari kehebatannya."
Tergetar hati Suma Bing, tanyanya: "Bagaimana kalau
dibanding Pek-kut Hujin?" Berobah wajah Ong-Fong-jui: "Kau
tahu tentang Pek-kut Hujin?" "Bibi Jui." ujar Suma Bing sambil
menunjuk dua kerangka
tulang tidak jauh itu. "Masa kau tidak melihat inilah buah karya
Pek-kut Hujin itu."
Ong Fong-jui tersurut mundur, katanya: "Aku pernah pergi
beberapa saat lamanya, waktu kembali lagi keadaan disini sudah
sepi tanpa seorangpun, kulihat kau jatuh pingsan dan terluka
parah, maka buru2 kumengobatimu, maka tidak sempat aku
memperhatikan segalanya"
"Sebelumnya Bibi Jui belum tahu siapa aku, mengapa kau
menolong aku?"
"Mungkin inilah jodoh aku tidak tega melihat seorang berbakat
seperti kau harus mati secara konyol."
"Tentang kepandaian Bu-siang-sin-li..."

"0h, Pek-kut Hujin juga bukan tandingan Bu-siang-sin-li."
"Kalau begitu berarti Bu-siang-sin-li sudah tanpa tandingan
diseluruh kolong langit?" "Selama seratus tahun belakangan ini
tiada seorangpun
yang berkepandaian sejajar dengan Bu-siang-sin-li. Tapi apakah
Bu-siang-sin-li masih hidup, ada tidak muridnya, ini merupakan
teka-teki."
Mencelos perasaan Suma Bing: "Jadi Bunga iblis itupun hanya
merupakan dongeng saja?" "Belum tentu, kejadian dijagad ini
mengutamakan jodoh,
tiada halangan kau men-coba2 keberuntungan itu." "Cara
bagaimana mencobanya?" "Konon Bu-siang-sin-li mengasingkan
diri digunung Bukong-
san, tentang alamatnya yang pasti tiada seorangpun yang
tahu, boleh kau pergi ke Bu-kong-san mencoba keberuntunganmu,
siapa tahu kau berjodoh..."
"Lalu bagaimana dengan Pedang darah itu?" "Ini... sudah
pernah kukatakan itu urusan kecil kalau kau
bisa mendapatkan Bunga iblis itu, Pedang darah pasti dikembalikan
kepadamu!"
"Maksud Bibi hendak..." "Saat ini terlalu pagi mempersoalkan
itu." "Aku masih ada hal2 yang belum kumengerti." "Soal
apakah itu?" "Pek-kut Hujin itulah. Mengapa dia turun tangan
menolong
aku? Dan lagi, dengan kepandaiannya yang tinggi, kalau toh dia
sudah datang, mengapa mandah saja. membiarkan Racun diracun
seenaknya membawa lari Pedang darah itu?"

"Mungkin ada latar belakang yang susah dimengerti orang luar."
Se-konyong2 terdengar sebuah suitan panjang berkumandang
ditengah udara.
Ong Fong-jui berkerut kening, katanya: "Bing-tit, aku harus
pergi, jagalah dirimu baik2..." Entah cara bagaimana bergerak
tubuh yang lemah
semampai itu mendadak berkelebat hilang dalam sekejap mata,
gerak tubuhnya itu benar2 membuat Suma Bing melongo heran
melelet lidah. Terang dia pergi karena tertarik oleh suitan panjang
tadi, lalu siapakah orang yang bersuit panjang itu?
Dari wajah dan bentuk tubuh Ong Fong-jui yang agung
menggiurkan itu, lantas teringat ia akan kecantikan ibunya
San-hoa-li Ong Fong-lan tentu tidak kalah ayu dan rupawan,
meski dalam ingatannya tiada setitikpun bayangan ibunya, namun
dapatlah dibayangkan dari Bibinya jni, karena mereka adalah
saudara sekandung tentu tidak banyak bedanya.
"Buyung, tak duga kau inilah keturunan Suma Hong!" Sebuah
suara mengejutkan Suma Bing dari lamunannya,
ter-sipu2 ia berpaling dilihatnya seorang tua pendek buntak
dengan rambut beruban tengah berlenggong menghampiri
kearahnya. Kiranja itulah To-sing-tau-gwat Si Ban-tjwan simaling
bintang. Jelas bahwa si maling tua ini agaknya sudah lama
sembunyi disini.
Suma Bing merangkap tangan memberi hormat, ujarnya:
"Tuan, tak duga kita bertemu lagi disini." "Hehehihi, benar
sembarang waktu pasti dapat bertemu
lagi." "Tuan sudah lama datang bukan?"

"Dikata lama tidak lama, kira2 sepeminuman teh, hanya aku si
maling tua ini paling sayang akan jiwaku, tidak berani sembrono
unjukkan diri!"
"Mengapa?" tanya Suma Bing tidak mengerti. Bola mata si
maling bintang Si Ban-tjwan jelalatan
menyapu pandang kesekelilingnya, sambil menggeleng ia
menyahut:
"Tidak mengapa, si maling tua ini ada satu persoalan hendak
kusampaikan kepadamu."
"Coba katakan." "Apa kau benar2 putra Suma Hong?" "Masa
aku bohong, apa perlunya aku meng-aku2 menjadi
anak orang?" "Kalau begitu baik, kukasih tahu, bahwa ibundamu
San
hoa-li Ong Fong-lan sebenarnya belum mati." Tiba2 seluruh tubuh
Suma Bing gemetar hebat, tanyanya: "Tuan bilang apa?" "Ibumu
masih hidup!" "Ah!" Suma Bing tersurut tiga langkah, kedua
matanya
terbelalak bagai dua biji kelengkeng, saking haru dan menahan
perasaan jidatnya basah oleh keringat.
Sungguh diluar dugaannya bahwa ibunya ternyata masih hidup.
"Benarkah ucapan tuan?" "Masa orang setua aku ini masih
main guyon dan membual
kepadamu!" "Dia... dia... dimanakah ibu
sekarang?" "Hal ini aku tidak tahu!"

Suma Bing menarik muka keren, katanya: "Tuan berani bicara
apakah ada buktinya?" "Bukti, aku si maling tua sendiri yang
melihatnya, seluruh
kolong langit ini yang tahu bahwa ibumu masih hidup mungkin
hanya dua orang, satu adalah aku, dan yang lain adalah
suhengmu..."
"Loh Tju-gi?" "Benar." "Coba tuan tuturkan secara jelas." Sambil
mengurut jenggot putihnya mulailah si maling
bintang berkisah per-lahan2: "Limabelas tahun yang lalu, karena
memperebutkan
Pedang darah terjadilah penyembelihan besar2an kaum persilatan
dipuncak Hou-thau-hong digunung Tiam tjong san. Waktu Lohu
mendengar berita, dan memburu tiba, suasana sudah sunyi
pertempuran sudah bubar. Tapi, suatu tragedi yang mengenaskan
diluar batas tengah terjadi... Seorang wanita memeluk putranya
yang terluka parah empas empis tengah menyembah dan
memohon kepada seorang laki2 supaya dia suka menolong
putranya, sebab jalan darah pengantar anak itu sudah putus,
dijagad ini hanya Kiu yang sin kanglah yang dapat menolong jiwa
kecil itu, sedang laki2 itu justru melatih ilmu sakti semacam itu..."
"Diakah Suhengku Loh Tju-gi?" "Dengar ceritaku. Laki2 itu
melulusi untuk menolong anak
itu dengan suatu syarat, syarat kejam diluar prikemanusiaan,
demi hidup anaknya terpaksa wanita itu melulusi..."
"Syarat apakah itu?" tanya Suma Bing gemetar.
"Dia minta tubuh si wanita itu."

Gelap pandangan Suma Bing, tubuhnya sempoyongan hampir
roboh.
Sambung si maling tua lagi: "Setelah menodai tubuh si wanita
itu, laki2 itu mengingkari
janjinya, dia tidak mau mengobati anak itu. Melihat jiwa anaknya
semakin meregang dan dia sendiri tak mampu berbuat apa2, tidak
tega pula melihat penderitaan anaknya sebelum ajal itu, segera ia
mencabut sebuah cundrik dan menusuk sekali didada anak itu, lalu
berlari turun gunung sambil tertawa menggila, dia bersumpah
hendak menuntut balas..."
"Bangsat rendah!" teriak Suma Bing, darahpun berhamburan dari
mulutnya.
Setelah merandek sejenak si maling tua melanjutkan lagi
penuturannya:
"Buyung, mungkin kau mencaci aku karena tidak berusaha
memberi pertolongan, ai, kalau dikatakan aku sangat menyesal.
Waktu itu baru saja aku terkalahkan oleh Pak-tok, Hian-in-kang
membuat seluruh kepandaian Lohu amblas sama sekali, maka...
untuk selanjutnya kuharap dapat membantu kau membalas sakit
hatimu, untuk menebus penyesalanku dulu."
Suma Bing membelalak geram, hatinya mendelu dan pedih seperti
di-iris2. Loh Tju-gi menipu dan memperkosa ibunya, salah seorang
pembunuh ayahnya juga dalam perebutan Pedang darah. Loh
Tju-gi dengan tipu muslihat keji mencelakai jiwa suhunya pula,
menurut pesan suhunya murid murtad ini harus dibunuh dan
dihancur leburkan. Demi nama perguruan dia harus dibunuh, demi
dendam kesumat keluarganya lebih2 dia harus dihancurkan. Jelas
para musuh besar yang telah diketahui yaitu Tang-mo dan Loh
Tju-gi berkepandaian lebih tinggi dari dirinya, maka lebih besar lagi
niat dan tekadnya untuk dapat melatih kepandaian tertinggi
Tiraik
asih
Websi
te
http://
kangz
usi.co
m/
tiada taranya diseluruh jagad raya. Sekarang tujuan utamanya
harus merebut kembali Pedang darah, lalu mencari Bunga iblis.
Bersama itu diapun ingin segera dapat menemukan jejak ibunya,
asal ibunya sudah ketemu, seluruh musuh2nya pasti dapat
diketahui dan tak usah mesti me-raba2. Lantas terbayang juga
olehnya bahwa ibunya adalah wanita paling tak beruntung dan
paling menderita didunia ini. Suatu pikiran yang seram
menakutkan mulai bersemi dalam hati kecilnya. Bunuh! Semua
manusia tamak, licik, rendah dan jahat serta telengas diluar
peribudi kaum persilatan harus dibunuh dan dihancurkan.
Menghela napas panjang si maling bintang berkata lagi.
"Buyung, kau harus mencari dulu ibumu, baru setelah itu
memperhitungkan cara2 untuk menuntut balas." Suma Bing
menggertak gigi, sahutnya: "Terima kasih atas petunjuk tuan."
Tubuhnya melejit dengan kecepatan terbang ia berlari
turun gunung. Mengawasi bayangan Suma Bing
To-sing-tau-gwat Si Bantjwan
menghela napas panjang. Kini kita ikuti perjalanan Suma
Bing, sambil menyandang
hati yang penuh gelora kemarahan dan keperihan, ia berlarian
cepat turun gunung. Mendadak teringat olehnya akan nasib si
orang berkedok yang terpukul jatuh kedalam jurang oleh Ketua
Bwe-hwa-hwe itu.
14. SETAN BARAT DJEBUL ADALAH KEKASIH SI SESAT
DARI SELATAN.

Boleh dikata si orang berkedok mati lantaran dirinya, paling tidak ia
harus mencari jenazahnya dan dikubur selayaknya. Maka segera ia
putar balik dan berlari menuju kekaki jurang terus memasuki
sebuah selat sempit, selama kurang lebih beberapa jam lamanya ia
sudah obrak-abrik seluruh lembah itu, jejak jenazah si orang
berkedok belum juga diketemukannya, dia heran dan tak habis
mengerti, batinnja:
"Apa mungkin dia belum mati? Tapi jatuh dari puncak beratus
meter tingginya, mustahil kalau tubuhnya tidak terbanting hancur
lebur, namun kenyataan ini benar2 sukar dipercaya. Setelah
direnungkan sekian lamanya, akhirnya dia ambil keputusan tak
peduli si orang berkedok sudah meninggal atau belum, dia wajib
menuntut balas kepada Ketua Bwe-hwa-hwe. Dan yang harus
disesalkan bahwa sampai pada detik itu sedikitpun dia belum
mengetahui tentang asal-usul si orang berkedok. Siapakah
namanya dan bagaimana riwayat hidup si orang berkedok,
entahlah dia tak tahu apa2, terutama yang lebih mengherankan
adalah si orang berkedok ternyata rela menjual jiwanya untuk
kepentingannya. Kalau seandainya si orang berkedok benar2 mati
maka teka-teki ini takkan mungkin dapat dipecahkan untuk
selamanya."
Tahu2 sebuah bayangan hitam muncul kira2 tiga tombak
dihadapannya. Rambutnya terurai panjang, pakaiannya serba
hitam, kepalanya tertutup rapat oleh rambutnya yang terurai
panjang. Dialah wanita misterius yang membongkar Kuburan
Tiang-un Suseng itu.
Bahwa wanita serba hitam dengan rambut terurai panjang ini bisa
muncul ditempat semacam itu benar2 diluar dugaan Suma Bing.
Maka segera terlintaslah akan pesan suhunya dulu bahwa dia
dilarang menghadapi orang yang pandai menggunakan ilmu
Pek-pian-kui-djiau, sejenak ia ragu2 pikirnya:
"Apa lebih baik aku menyingkir saja."

Maka dia lantas memutar tubuh hendak tinggal pergi. Sebelum
ia bergerak mendadak pandangannya terasa
kabur, tahu2 si wanita serba hitam itu telah menghadang
didepannya.
Tanpa merasa Suma Bing mengerut kening, naga2nya dia
memang tengah mencari dirinya. Demi mematuhi pesan suhunya
dia takkan bergebrak dengan orang, maka sesaat sikapnya
menjadi kikuk dan risi sekali.
Si wanita serba hitam sudah membuka suara: "Suma Bing,
sungguh tak tersangka kau inilah kiranya
murid Lam-si itu..." Suma Bing melengak heran, tanyanya:
"Memangnya kenapa?" "Kalau sejak dulu kuketahui, aku sudah
harus
membunuhmu!" Terperanjat Suma Bing, serunya: "Membunuh
aku? Kenapa?" Sahut wanita serba hitam penuh rasa kebencian:
"Karena aku telah mengecap penderitaan selama tigapuluh
tahun dalam penjara!" Suma Bing garuk2 kepala ter-heran2,
bahwa orang telah
dipenjarakan selama tigapuluh tahun lamanya, sedang dirinya
sejak lahir dari kandungan ibunya belum cukup dua puluh tahun
umurnya, bagaimana hal itu harus dijelaskan. Betul, tentu hal ini
menyangkut akan sepak terjang Suhunya semasa masih hidup.
Tapi justru Suhunya berpesan supaya dirinya tidak turun tangan
berkelahi dengan lawannya ini, ini benar2 lucu dan susah
dimengerti, maka dia lantas menyahut dingin:
"Apakah karena Suhuku itu?"

"Benar!" Suma Bing membatin: "Kalau bukan karena pesan
suhu yang harus dipatuhi itu,
mungkin kau sudah kubunuh lebih dulu." Maka sambil
mendengus ia berkata lagi: "Kau dipenjarakan selama tigapuluh
tahun ada sangkutpaut
apa dengan aku?" "Soal ini menyangkut suhumu itu, sedang
kau adalah
muridnya!" "Karena alasan itu lantas kau hendak membunuhku?"
"Kenapa tidak?" "Apa kau mampu?" "Kau boleh coba2." "Kukasih
tahu dulu karena aku tidak ingin melanggar
pantangan suhu maka aku tidak sungguh2 melayani kau,
memangnya kau sangka aku takut padamu."
"Pantangan apakah itu?" "Tidak perlu kuberitahu kepadamu."
"Huh, Suma Bing, akupun tidak mengharap kau
memberitahu, sekarang kau ikut aku!" "Ikut kau, mengapa?"
"Kaupun tidak perlu bertanya, sampai saatnya kau akan
tahu sendiri." "Kalau begitu maaf aku tidak ada minat." Tiba2
wanita serba hitam itu mendesak maju dua tindak,
suaranya bengis mengancam:
"Kau mau ikut tidak?"

Naga2nya kalau Suma Bing berani menjawab "tidak" pasti segera
ia turun tangan menyerangnya.
"Kalau kau tidak jelaskan alasanmu," jengek Suma Bing dengan
angkuhnya, "Kenapa aku harus ikut kau pergi?"
Apa boleh buat terpaksa si wanita serba hitam berkata:
"Suhuku ingin bertemu dengan kau." "Siapakah suhumu?"
"Mengapa kau begitu cerewet." Berputar otak Suma Bing,
batinnya: "Suhu berpesan supayaku tidak bergebrak dengan
orang
yang pandai menggunakan ilmu Cakar setan beratus perobahan,
tentu ada sebabnya. Apalagi wanita aneh seperti setan
gentayangan inipun mengatakan karena urusan itulah maka dia
dipenjarakan selama tigapuluh tahun lamanya, tidak perlu
disangsikan lagi bahwa hal itu pasti tersembunyi suatu latar
belakang yang panjang ceritanya, kenapa aku tidak ikut saja untuk
menyingkap tabir rahasia ini. Maka segera sahutnya:
"Baiklah, aku ikut kau." Tanpa membuka kata lagi segera
wanita serba hitam itu
berlari kearah mulut lembah, betapa cepat gerak tubuhnya benar2
membuat orang melelet lidah kagum. Suma Bing harus
mengerahkan seluruh tenaganya baru dapat mengimbangi
kecepatan lari wanita itu.
Begitu tiba dimulut lembah sebuah bukit tinggi melintang didepan
mereka, tanpa menghentikan langkah si wanita serba hitam
segesit kera terus berloncatan keatas sekaligus ia melampaui
berpuluh bukit tinggi. Pikiran Suma Bing semakin pepat dan
ber-tanya2, entah orang kosen macam apakah suhunya itu!
Dimana ia bersemayam? Bukit2 habis dilalui lantas terbentanglah
sebuah danau tak berujung pangkal

dihadapan mereka, dipinggir danau penuh ditumbuhi semak
belukar, bergegas si wanita itu menuju ketepi danau, dari rumpun
alang2 ia menyeret keluar sebuah sampan kecil terus berseru:
"Naiklah kemari!" Sekilas Suma Bing melirik hatinya membatin:
'aku sudah
terlanjur tiba buat apa gentar', sekali melejit tibalah dia diatas
sampan kecil itu. Wanita serba hitam duduk diburitan, begitu
kedua tangannya menepuk kebelakang, sampan kecil itu segera
meluncur dipermukaan air seperti anak panah cepatnya langsung
menuju ketengah danau.
Tidak henti2nya kedua tangannya menepuk kebelakang, sungguh
ajaib dan lucu gerak geriknya, tanpa menggunakan gayuh sampan
kecil itu ternyata berlaju semakin cepat.
Sampan kecil itu berlaju cepat dialunan gelombang air, tak lama
kemudian dikejauhan sana terlihat sebuah pulau kecil yang
menghijau ditengah danau, setelah semakin dekat terlihat lebih
jelas diatas pulau itu tumbuh bermacam pohon dengan suburnya,
samar2 terlihat juga ada beberapa bangunan rumah-rumah gubuk.
Wanita serba hitam merapatkan sampannya ketepi pantai serta
serunya:
"Sudah sampai naiklah!" Sekali loncat Suma Bing
menginjakkan kaki diatas pulau itu,
segera wanita serba hitam mendahului berjalan didepan, serunya:
"Mari ikut aku." Suma Bing menjadi was2, pikirnya tempat ini
tiada jalan
darat, kalau tiada perahu betapapun tinggi kepandaiannya tak
mungkin dapat kabur dari pulau ini. Beberapa tombak kemudian
setelah membelok dua tiga kali terlihat didepan sana berdiri tegak
beberapa batang pohon Siong yang tinggi

besar mengelilingi sekitar beberapa bangunan rumah, diatas
setiap batang pohon tergantung sebuah tengkorak, selayang
pandang keadaan ini sangat seram menakutkan, selain itu tiada
pandangan lain yang menggiriskan.
"Suma Bing," seru wanita serba hitam dingin, "Inilah barisan
Le-kui-tjui-kun-tin, diseluruh kolong langit orang yang dapat keluar
masuk dari barisan jeritan setan pengejar sukma ini mungkin tiada
ketiganya"
Tercekat hati Suma Bing, namun lahirnya tetap tenang ujarnya:
"Aku datang karena undanganmu, kedudukanku sebagai tamu ada
sangkut paut apa barisan ini dengan aku?"
Melewati barisan pohon siong ini didepan sana mereka harus
menerobos jalanan kecil diantara himpitan pohon2 bambu hijau
lantas terbentanglah sebuah pekarangan besar didepan beberapa
bangunan gubuk, mungkin orang luar akan menyangka bahwa
tempat yang sepi dan nyaman ini adalah tempat pengasingan
seorang tokoh kosen yang menyendiri seandainya tengkorak putih
yang tergantung diatas pohon Siong itu dilenyapkan.
Wanita serba hitam itu menyurung pintu sebuah gubuk, lalu tiba2
menggape tangan dan serunya:
" K a u t u n g g u s a j a d i s i n i , " l a l u i a t e k a n
s u a r a n y a b e r k a t a l a g i : " B a g a i m a n a j e j a k
T i a n g - u n S Suma Bing mengguesleengn gke pPaloa,h la nDtajsi taernbgay?a"ng lah kejadian
didepan kuburan kosong Tiang-un Suseng itu, menurut katanya
karena Tiang-un Suseng hingga ia menderita dalam penjara selama
tiga puluh tahun, ah, cinta itu benar2 buta!
Tengah pikirannya me-layang2, mendadak wanita itu muncul lagi
dan menggape padanya serta serunya:
"Suma Bing, kau boleh masuk!"

Suma Bing mengiakan terus melangkah maju sampai diluar pintu,
waktu pandangannya bentrok dengan apa yang dilihatnya itu
hatinya melonjak kaget, bulu roma berdiri perasaanpun dingin.
Kiranya, rumah gubuk yang terletak ditengah ini hanya merupakan
sebuah ruang besar tanpa segala peralatan atau perabot seperti
umumnya, yang lebih mengherankan bahwa ditengah ruangan
besar menghadap kepintu terdapat sebuah peti mati yang besar
warna merah marong. Terasa suasana seram mencekam keadaan
sekelilingnya, sesaat ia berdiri melongo tak tahu apa yang harus
diperbuatnya, waktu ia melirik kearah wanita hitam, tampak
rambutnya terurai menutupi seluruh wajahnya keadaannya ini lebih
menambah keseraman dan menakutkan keadaan waktu itu.
"Kau ini yang bernama Suma Bing?" sebuah suara tiba2 bertanya.
Suma Bing melonjak kaget, kiranya suara itu keluar dari dalam
peti besar itu, agaknya penghuni peti besar itu bukan jenazah tapi
adalah seorang hidup. Tapi mengapa baik2 menjadi seorang hidup
kok sembunyi didalam peti mati, hal inilah yang susah dimengerti.
"Kau dengar pertanyaanku tidak?" Suma Bing menenangkan
hatinya lalu menyahut: "Memang aku yang rendah Suma Bing
adanya" "Kau menjadi murid Sia-sin Kho Djiang?" "Benar, kau
mengundang aku yang rendah kemari ada
pengajaran apakah?" "Sudah tentu ada urusan!" "Kau masih
hidup mengapa menyamar jadi setan menakuti
orang?"

"Hahahahaha..." lengking suara tawa bergema panjang berat dan
menyayatkan hati, seakan bukan keluar dari mulut manusia,
hingga timbul prasangka orang yang mendengar akan ringkikkan
iblis ditengah malam.
Dasar sifatnya memang keras, Suma Bing menjadi gusar karena
merasa dicemoohkan oleh suara tawa itu, segera ia membentak
keras:
"Ada apa yang lucu hingga kau tertawa seperti setan gila?"
Seketika suara tawa itu sirap lantas terdengar pula suara
itu berkata: "Sudah terang aku ini setan, tapi kau mengatakan aku
menyamar jadi setan, bukankah sangat menggelikan?" "Huh,
setan apa segala adalah cerita badut yang melucu
mana ada setan didunia?" "Jadi kau tidak percaya?" "Kalau kau
tidak membicarakan urusan sebenarnya, lebih
baik aku permisi saja." "Kau hendak pergi? Hahaha, kuberitahu
Suma Bing, ada
jalan masuk untukmu tapi tiada pintu untuk keluar, kalau tidak
percaya kau boleh coba2"
"Belum tentu kau dapat mengekang aku?" "Terserah kau mau
percaya apa tidak, akan tiba saatnya
kau dapat membuktikan. Sekarang jawablah satu pertanyaanku,
sebebenarnya Sia-sin Kho Djiang mengumpat dimana?"
"Mengumpat, huh, diseluruh jagad raya ini mungkin tiada
seorangpun yang dapat memaksa dia orang tua mengumpat!"
"Kutanya kau dimana dia sekarang?" "Tentang..." otak Suma
Bing berputar cepat, pesan Suhu
sangat keras dia melarang aku turun tangan terhadap
wanita

yang pandai menggunakan ilmu cakar setan seratus perobahan
juga dilarang menerangkan jejaknya, bagaimana mungkin dia
melanggar pesan Suhunya itu, maka setelah merandek sekian
lamanya segera ia menyahut tegas:
"Tak bisa kukatakan!" Agaknja orang didalam peti mati itu
menjadi gusar
bentaknya garang: "Tidak kau katakan!" "Benar aku tidak bisa
memberitahu." sahut Suma Bing
kaku. "Huh, gurunya sesat muridnyapun nyeleweng, memangnya
kau sangka aku kewalahan menghadapi kau?" "Brak," tiba2 tutup
peti mati berkisar kesamping disusul
sebuah bayangan orang muncul berduduk dari peti mati, jelas
itulah seorang wanita pula keadaannya seperti si serba hitam,
rambutnya terurai panjang awut2an, yang berbeda hanya rambut
yang menutupi muka itu sudah hampir seluruhnya beruban.
Berdetak keras jantung Suma Bing, serta merta ia mundur dua
tindak. Suasana tegang mengandung keseraman yang mencekam
hati.
Entah cara bagaimana orang bergerak, tahu2 orang dalam peti
mati itu sudah melejit tiba diambang pintu dan berdiri dihadapan
Suma Bing, dengan ketajaman pandangan Suma Bing ia tidak
tahu kapan dan bagaimana orang bergerak.
"Suma Bing, kau katakan tidak?" "Tidak." "Kau jangan
menyesal ya." "Selamanya aku tidak mengenal apa artinya
menyesal!" Orang aneh dari peti mati itu mendesis seram,
katanya:

"Kau tahu bagaimana aku hendak menghadapimu?" ancaman ini
benar2 membuat orang bergidik takut.
Suma Bing menjadi nekad, sahutnya: "Cara bagaimana kau
hendak menghadapi aku?" "Kulenyapkan ilmu silatmu, kurusak
wajahmu juga baru
kulepas kau dikalangan Kangouw." Suma Bing tidak tahu wanita
aneh ini ada permusuhan apa
dengan suhunya sehingga sedemikian kejam ia hendak
menghukum dirinya. Karena suhu melarang aku turun tangan
masa aku harus mandah terima binasa? Karena pikirannya ini
tanpa terasa rnulutnya berkata:
"Ada permusuhan apa suhuku kepadamu?" "Dendam!
hehehehe, aku benci dia, juga membenci seluruh
laki2 dikolong langit ini." "Kenapa?" "Benci, karena benci, tidak
karena apa? sekarang
kuperingatkan yang terakhir, kau katakan tidak?" "Tidak!" sahut
Suma Bing menggeleng dengan angkuhnya. Tangannya diulur
langsung, wanita aneh didalam peti mati
mencengkram kemuka Suma Bing. Selayang pandang Suma Bing
dapat lihat bahwa lawan melancarkan jurus2 dari ilmu cakar setan
beratus perobahan itu, karena mematuhi pesan gurunya, segera ia
batalkan serangan tangan yang sudah diayun, tubuhnyapun
segera melesat mundur secepat kilat sejauh lima kaki, terpaut
serambut hampir saja mukanya dedel dowel.
Wanita aneh mengekeh dingin, lagi2 cakar tangannya sudah
mencengkram tiba, bukan saja cara mencengkramnya sangat
cepat juga sangat aneh dan menakjubkan.

Keringat dingin membanjir membasahi tubuh Suma Bing, sedapat
mungkin ia miringkan tubuh berusaha berkelit, namun 'bret'
lengan bajunya terkoyak panjang, sepanjang lengannya
membekas jelas lima jalur merah darah bekas cakaran tangan.
"Suma Bing, kalau kau dapat menghindari jurus ketiga, segera
kulepas kau pergi," bayangan cakar setan berkelebat melayang2
bagai hujan salju semua menungkrup kearah Suma Bing. Arwah
Suma Bing seakan melayang keluar, terasa olehnya tiada tempat
atau waktu untuk dirinya menyingkir atau berkelit lagi, tahu2
pundaknya terasa kesakitan lima cakar lawan mencengkram
amblas masuk da
ging. Seketika buyarlah semua hawa murni dan tubuhpun terasa
lemas lunglai.
"Kau masih ada omongan apa lagi?" ancam wanita aneh
menyeringai.
Bergolak darah Suma Bing serunya beringas: "Kalau bukan
karena pesan suhu, belum tentu kau dapat
berhasil sedemikian gampang." Agaknja wanita aneh itu tergetar
kaget, tanyanya: "Pesan guru apa itu?" "Dia orang tua melarang
aku turun tangan terhadap orang
yang menggunakan jurus2 Pek-pian-kui djiau!" "Apa betul?" "Apa
kau lihat aku balas menyerang?" "Dia... dia... hm, bohong.
Siautju, sekarang biar kurusak
wajahmu ini." Sebuah cakar tangan yang halus pucat memutih
per-lahan2
bergerak kearah wajah Suma Bing. Dalam saat2 diambang ajal itu
terbayang oleh Suma Bing akan tugas menuntut balas yang
belum terlaksana, juga teringat akan benci, hutang budi pada

orang lain, semua ini terbayang dikelopak matanya dan sekejap itu
pula menghilang dari ingatannya. Dia ingin berontak, tapi lantas
teringat akan pesan suhunya yang selalu mengekang dan
membatasi gera-gerik dirinya... Dengan membelalak ia awasi cakar
tangan itu semakin dekat didepan matanya. Terpaut setengah dim
dari wajahnya cakar tangan itu berhenti dan tidak bergerak lagi.
Keringat dingin segede kacang mengalir deras diatas jidatnya.
"Kasih tahu aku, dimana dia berada?" ratapnya sedih menyayatkan
hati mengandung kegetiran hati yang tak terperikan.
"Tidak bisa!" sahut Suma Bing tetap keras kepala. "Jadi kau
rela menjadi tanpadaksa dan rusak wajahmu,
lebih baik mati daripada hidup?" "Siluman jalang, turun
tanganlah." "Plok," sebuah tamparan nyaring membuat mata
Suma
Bing ber-kunang2, darahpun meleleh dari sudut bibirnya lalu
disusul jari2 berat berkali2 menutuk diberbagai jalan darah
diseluruh tubuhnya. Mengikuti setiap tutukan Suma Bing
merasakan hawa murninya pun ber-angsur2 membuyar dengan
cepat. Diam2 ia mengeluh dalam hati, seluruh kepandaian silatnya
sudah ludas dalam sekejap itu. Untuk seorang persilatan hal ini
lebih mengenaskan beratus lipat dari kematian, saking tak tahan
mulutnya berteriak memaki:
"Siluman jalang kau..." "Blang" badan Suma Bing terbang
sejauh tiga tombak
darah menyembur keras dari mulutnya, tubuhnya lemas lunglai
tergolek diatas tanah tanpa bergerak.
Segera wanita aneh dari peti mati itu berpaling kearah wanita
serba hitam dan berkata:

"Giok-sia kurung dia didalam barisan teriakan setan mengejar
nyawa, seumur hidup ia tidak membuka mulut, kurung dia selama
itu jua."
Si wanita serba hitam mengiakan, bagai menangkap anak ayam ia
jinjing tubuh Suma Bing dengan langkah lebar ia keluar terus
memasuki hutan pohon siong sebelah sana, ditengah antara
rumpun pohon siong dibangun sebuah rumah kecil serba hitam
pula, dimana hanya ada sebuah pintu dan sebuah jendela. Suma
Bing dilempar masuk kedalam rumah kecil itu, lantas pintu ditutup
keras2 dan dikunci dari luar.
Sungguh mimpipun Suma Bing takkan menduga bahwa akhirnja ia
harus menjadi tawanan dan dipenjarakan dalam rumah hitam itu
oleh wanita aneh itu. Karena kepandaiannya sudah lenyap, tak
mungkin lagi dia berobat diri, lebih tak mungkin dapat meloloskan
diri. Kiranya rumah hitam itu terbuat dari besi baja, seumpama
Lwekangnya belum hilangpun takkan mungkin dapat membobol
rumah besi yang kokoh kuat ini. Se-olah2 dia tengah bermimpi
buruk, ya buruk sekali.
Dalam rumah besi itu selain sebuah dipan kayu tiada perabot
lainnya. Setiap hari wanita bernama Giok-sia itu menghantarkan
setalang air dan secawan nasi. Begitulah Suma Bing lewatkan
hari2 dalam kegelapan. Dia masih mengandung secercah harapan,
namun harapan itu adalah sedemikian kecil bagai bayangan saja,
sang waktu berjalan terus dan berlalu tanpa terasa. Namun bagi
seorang yang menderita dalam kurungan, seumpama satu jampun
sudah terasa bagai satu tahun lamanya.
Hari itu seperti biasanya wanita serba hitam itu datang lagi
mengantar makanan, akhirnya tak sabar lagi Suma Bing bertanya:
"Sudah berapa lama aku terkurung disini?"
"Tiga bulan."

"Tiga bulan?" Suma Bing berteriak kejut tubuhnyapun
sempoyongan hampir roboh, raut wajahnya ber-kerut2 tak
hentinya. Teringat dia akan janji pertemuan dengan Siang Siau-hun
dalam jangka seratus hari didalam biara bobrok itu. Sudah tentu
Siang Siau-hun takkan tahu bahwa racun dalam tubuhnya sudah
punah. Dalam jangka seratus hari kalau dirinya tidak menepati
janji, dapatlah dibayangkan akibatnya, pasti Siang Siau-hun akan
bunuh diri untuk membuktikan kesetiaannya. Di-hitung2 waktunya
masih tinggal tiga hari lagi. Tiga hari, seumpama badannya sehat
waalfiat dan bebas dari kurungan, juga sukar dapat menyusul tiba
ditempat perjanjian. Apalagi kini dirinya terkurung dalam penjara
apa dia harus membiarkan Siang Siau-hun berkorban karena
dirinya.
"Tidak!" dia berteriak histeris, suaranya serak menggila dan
sesenggukkan.
Wanita bernama Giok-sia itu mendengus hina ujarnya: "Kau
berteriak apa? Aku terkurung disini tiga puluh tahun
lamanya, mengeluhpun aku belum pernah. Kau hanya terkurung
tiga bulan terhitung apa?"
"Tidak, aku... aku..." "Kau kenapa?" "Dalam waktu tiga hari,
kalau aku tidak menepati sebuah
janji pertemuan, seorang gadis akan melayang jiwanya."
"Kenapa?" "Dia menganggap aku sudah tak dapat hidup lagi...
"Dia itu kekasihmu?" "Benar." "Tapi kau tak mungkin keluar,
apalagi ilmu silatmu sudah
punah?"

Suma Bing mengeluh panjang serta memohon: "Aku Suma Bing
selamanya belum pernah minta belas
kasihan orang lain. Sekarang aku mohon padamu, silakan kau
lapor kepada gurumu supaya aku keluar menepati janji pertemuan
itu, setelah urusan selesai aku pasti kembali lagi, mau bunuh atau
mau diapakan terserah pada kalian, aku takkan berkerut kening."
Wanita bernama Giok-sia itu bergelak tawa, serunya:
"Ceritamu ini memilukan hati, tapi masih terlalu hijau. Kau
sangka suhumu Kho Lo-sia bisa datang menolongmu?" Saking
gugup otak Suma Bing agak limbung dan kelepasan
mulut: "Tidak, dia sudah mati suhuku sudah lama meninggalkan
dunia fana ini." Sebuah suara gemetar yang memilukan
menyambung: "Apa dia mati, dia... sudah mati?" Suma Bing
melirik kearah suara itu, wanita aneh dari peti
mati itu tengah berdiri kaku tiga tombak jauhnya. Baru sekarang ia
insaf telah kelepasan Omong, karena sudah terlanjur segera ia
berpikir: Suhu berpesan supaya jangan membocorkan jejaknya,
tapi itu waktu dia masih hidup, sekarang dia sudah meninggal, tak
perlu lagi dipersoalkan tentang jejak apa segala. Sungguh dia
sangat menyesal mengapa tidak sejak dulu2 ia berpikir akan hal
ini, kalau tidak dia takkan terkurung dan menderita dalam penjara
ini, namun sekarang semua sudah terlambat, maka ia manggut2
dan berkata:
"Benar dia sudah mati." Wanita aneh mengabitkan kepala
hingga rambutnya
panjang menjulur kebelakang kepala, maka terlihat jelas raut
mukanya, sebenarnya wajah itu tidak buruk, namun saat itu

menyeringai macam rupa setan menakutkan, dapatlah dimengerti
bahwa kabar kematian suhunya memberikan suatu pukulan berat
bagi sanubarinya.
"Hahaha... dia sudah mati... hahaha..." suara tawa yang
menyayatkan hati bagai ringkikan setan iblis, seperti juga lolong
serigala yang haus darah, membuat takut dan mengkirik
pendengarnya.
"Suhu... kau..." wanita serba hitam maju memayang tubuh wanita
aneh yang lemas karena terpengaruh oleh perasaannya sendiri.
Lama dan lama sekali baru dia menghentikan sengguk
tertawanya, kini wajahnya berobah penuh kegetiran hati dan
gusar sekali, desisnya:
"Suma Bing kau tahu siapa aku?" "Ini aku tidak tahu." "Setan
barat, kau sudah pernah dengar nama itu?" Terperanjat hati
Suma Bing, sungguh diluar tahunya bahwa
nenek tua aneh ini kiranya adalah 'Setan barat' yang sejajar
dengan suhunya dalam Bu-lim-su-ih. Akan tetapi ada dendam
apakah antara Setan barat dan Lam-sia?
"Harap tanya Tjianpwe dan guruku..." "Hal itu kau jangan
tanya," tukas Setan barat sambil
mengulapkan tangan, "Bagaimana suhumu sampai meninggal?"
"Mati keracunan." "Apa, mati keracunan?" hardik Setan barat,
saking gusar
rambutnya berdiri menegak bentaknya lebih bengis: "Siapa yang
meracuninya?"
"Murid murtad yang pertama bernama Loh Tju-gi."

Badan Setan barat ber-gerak2 hampir roboh, kedua matanya,
mendelik besar memancarkan sinar kekejaman, desisnya:
"Mati ditangan muridnya sendiri?" Sehijau dan sebodoh2nya
Suma Bing kini ia dapat menerka
bahwa antara suhunya dan Setan barat ini tentu ada pertikaian
cinta asmara yang sangat ruwet.
"Benar mati ditangan muridnya yang dididik dan diasuhnya sejak
kecil."
"Ceritakan sejelasnya." "Loh Tju-gi meminjam nama suhu
membunuh tiga antara
Bu-lim-sip-yu. Maka tujuh kawan lainnya segera meluruk datang
ke Sin-li-hong membuat perhitungan, akibat dari pertempuran
yang sengit itu, suhu dikorek sebuah matanya dan ditabas kedua
kakinya, lalu dibuang kedalam jurang..."
Tubuh Setan barat tergetar lagi, katanya: "Masa dia tidak
ungkulan melawan keroyokan tujuh orang
dari kawanan Bu-lim-sip-yu?" "Tidak, Loh Tju-gi sebelumnya
sudah mengatur tipu daya
yang keji lagi telengas, dia meracuni suhu hingga Lwekang suhu
surut sebagian besar."
"Anak serigala berhati kejam, apa tujuannya?" "Dia mencuri
sejilid buku Kiu-yang-tjin-keng dan sebutir
Kiu-tjoan-hoan-yang-tjau-ko. Dengan keampuhan dari benda
mustajab itu dia merebut kedudukan jago nomor satu dari seluruh
dunia persilatan, lalu sejak itu dia menghilang tidak keruan
paran."
"Sudah berapa lama peristiwa itu terjadi?"
"Kira2 delapan belas tahun yang lalu."

"Delapan belas tahun, delapan belas tahun. Oh, aku terlalu
menyalahkan dia!" akhirnya Setan barat tak kuat menahan
tubuhnya dia meloso lemas duduk diatas tanah.
Suma Bing bagai tenggelam ditengah kabut, pikirannya kosong
hampa.
"Kau sudah menuntut balas belum?" tanya Setan barat lagi.
"Seumpama terbang kelangit dan masuk kebumi wanpwe
juga harus mengejar Suheng Loh Tju-gi si murid murtad itu untuk
menumpasnya. Tentang Bu-lim-sip-yu selain Tji Khong Hwesio yang
sudah mati ditanganku yang lain sudah mati semua tinggal Tiang-un
Suseng seorang yang menyembunyikan diri..."
Berkilat2 mata Setan barat menatap kearah muridnya Giok- sia.
Wanita serba hitam yang bernama Giok-sia itu perlahan2
menundukkan kepalanya.
Tiba2 Setan barat mengalihkan pokok pembicaraan, tanyanya:
"Suma Bing, tadi kau bilang ada janji?" "Ya, benar." "Kalau kau
tidak menepati janjimu, maka orang itu pasti
mati?" "Ya begitulah!" "Begitu besar rasa cintanya kepadamu?"
Suma Bing mengiakan sambil manggut2. "Apa kau juga
mencintainya?" "Sudah tentu!" "Seumpama kau harus
mengorbankan jiwamu demi
cintanya itu?"

Suma Bing melengak, entah apa maksud pertanyaan ini? Namun
dengan tegas segera ia menjawab:
"Kalau memang harus begitu, akan wanpwe lakoni." Rona
wajah Setan barat berobah tak menentu, agaknya dia
tengah menahan perasaan hatinya akhirnya ia berkata lagi dingin
kaku:
"Suma Bing, kau tahu bahwa kau pasti mati. Tapi biarlah kubantu
melaksanakan keinginan hatimu itu. Kuberi kau tujuh hari untuk
hidup, kusembuhkan kembali kepandaian silatmu untuk
sementara, supaya kau dapat pergi menepati janjimu. Setelah
selesai kau harus segera kembali kesini menyerahkan jiwamu, apa
kau sanggup?"
Persoalan berat ini membuat Suma Bing ragu2 maju mundur,
sudah pasti bahwa janjinya dengan Siang Siau-hun itu sangat
penting. Tapi, dendam perguruan, sakit hati keluarga, siapa lagi
yang akan menuntut balas setelah dia mati? Apakah dia bisa
meram?
Setan barat perdengarkan suara tawa dingin ber-ulang2,
jengeknya:
"Suma Bing, macam inikah cintamu itu, kau ragu2 dan bimbang
bukan?"
Suma Bing mengertak gigi, sahutnya: "Aku teringat dendam
perguruan dan sakit hati keluarga,
kalau aku..." "Hahaha, kalau kau tidak menepati janji, kalau kau
selamanya dipenjarakan diatas pulau ini, kalau riwayatmu sudah
tamat, semua ini apakah sudah kau pikirkan? Lalu bagaimana pula
akibatnya?"
"Baiklah begitu kita atur." akhirnya Suma Bing nekad.
"Pada hari ketujuh kau harus sudah kembali disini?"

"Aku pasti kembali." "Seandainya kau tidak pulang, kau juga
takkan lolos, dari
tanganku!" habis berkata ia menunjuk wanita serba hitam itu dan
berkata: "Dia bernama Sun Giok-sia, muridku satu2nya, nanti
pada hari ketujuh dia akan menantimu dengan sebuah sampan
dibawah Te-tjui-hong! (puncak titik lajung)."
"Te-tjui-hong?" "Benar, terletak didepan danau itulah." lalu ia
berpaling dan
berkata lagi : "Giok-sia lepaskan dia." Segera Sim Giok-sia maju
membuka kunci dan mementang
pintu. Dengan langkah berat Suma Bing keluar dari rumah hitam.
Seakan ia hidup kembali setelah selama tiga bulan mengecap
penderitaan dalam penjara, seakan sudah tiga ratus tahun dia
berpisah dengan dunia ramai.
Setan barat segera maju mendekat dengan jarinya ia menutuk
beberapa jalan darah ditubuh Suma Bing lalu berkata:
"Lwekangmu bukan kupunahkan, hanya kututup dengan ilmu
tutukan tunggalku, sekarang kau pulih kembali seperti biasa"
Suma Bing menyedot hawa dalam2 dan coba2 mengerahkan
tenaga, benar juga hawa murni dalam tubuhnya segera bergolak.
Setan barat berputar dan per-lahan2 tinggal pergi masuk rumah.
"Mari ikut aku," segera Sim Giok-sia berkata dan menggape.
Suma Bing mengintil dibelakang Sim Giok-sia. setelah belak-belok
beberapa kali, mereka tiba diluar barisan jeritan setan pengejar
sukma itu. Tampak sinar sang surya berkilau2 dipermukaan danau,
hari cerah dan pemandangan
Tiraik
asih
Websi
te
http://
kangz
usi.co
m/
disekitarnya sangat menyejukkan. Beruntun mereka naik keatas
sampan, seperti datangnya dulu Sim Giok-sia melajukan perahunya
dengan cepat. Kira2 sepeminuman teh kemudian mereka sudah
tiba dibawah sebuah bukit kecil yang menghijau.
"Sudah sampai, tempat inilah yang dinamakan Te-djui- hong,
tujuh hari kemudian kunanti kedatanganmu disini."
Suma Bing tertawa hambar, katanya: "Selamat bertemu!"
Melompat tiba didarat segera ia kembangkan ilmu ringan
tubuh dan kerahkan seluruh kekuatannya berlari kencang keluar
lingkungan bukit kecil ini, dalam tempo tiga hari dia sudah harus
tiba dibiara bobrok tempat dimana ia berjanji untuk bertemu pula
dengan Siang-Siau-hun. Begitulah siang dan malam dia terus
berlari tak hentinya, pada hari ketiga pagi2 benar tepat waktu sang
surya muncul dari peraduannya dia tiba disebuah kota kecil yang
tinggal terpaut tigapuluh li dari biara bobrok itu. Baru sekarang
legalah hatinya yang was2 dan kuatir, setelah menangsel perut
sekadarnya, bergegas ia melanjutkan pula perjalanannya.
Belum jauh dia meninggalkan kota kecil itu, se-konyong2 sebuah
bayangan lencir hitam berkelebat melintang melintasi jalan raya
dengan kecepatan seperti angin lesus, sekejap itu bayangan itu
menghilang didalam rimba sebelah sana.
15.
RAC
UN
UTA
RA
KON
TRA
RAC
UN
DIR
ACU
N.
Serta merta Suma Bing menghentikan langkahnya karena ia
merasa sangat kenal akan bayangan hitam itu. Setelah merenung
sekian lamanya, teringat dia bahwa bayangan hitam itu tak lain tak
bukan adalah Racun diracun yang merebut Pedang darah dari
tangannya. Hari masih begitu pagi

dan Racun diracun muncul disini tentu ada peristiwa apa yang
telah terjadi. Apa mungkin didalam rimba itukah sarang Racun
diracun? Tanpa hiraukan bahaya bakal mengancam segera ia
melesat memasuki hutan lebat itu. Kiranya rimba itu adalah
sebidang tanah pekuburan. Membelakangi hutan sebelah kanan
sana berdiri sebuah gardu segi delapan, didalam gardu itulah
berdiri dua orang entah sedang apa.
Selincah kucing yang hendak menubruk mangsanya Suma Bing
berkelebat sembunyi dibelakang sebuah pohon besar yang tidak
terlalu jauh dari gardu itu.
Salah seorang dalam gardu itu kiranya adalah Tangbun Yu putra
Racun utara. Melihat musuh besarnya ini timbullah gelora amarah
Suma Bing yang tertekan selama ini. Karena bocah beracun inilah
sehingga timbul berbagai peristiwa yang menyakitkan hatinya,
maka bocah beracun ini harus dibunuh untuk melampiaskan rasa
dendamnya itu. Seorang lain dalam gardu itu adalah seorang tua
berwajah tirus, hidung bengkok mata juling menunjukkan kelicikan
wataknya.
Terdengar Tangbun Yu tengah berkata: "Ayah apa dia pasti
datang?" "Dia sudah datang!" Tanpa merasa Suma Bing
tergetar kaget, adalah diluar
sangkanya bahwa siorang tua ini kiranya Pak-tok Tangbun Lu
adanya, entah siapakah yang mereka maksud 'dia' dalam
percakapan itu?
Tangbun Lu si Racun utara bergelak tawa dengan angkuhnya,
serunya:
"Lohu sudah menunggu sekian lamanya, keluarlah!" Sebuah
bayangan berkelebat keluar tidak jauh dari tempat
sembunyi Suma Bing, sekali berkelebat enteng dan gesit sekali
tahu2 sudah tiba diluar gardu. Bayangan hitam itu tak lain tak
bukan adalah Racun diracun.

Menghadapi Racun diracun, Pak-tok menyeringai tawa hina,
sapanya:
"Tuan ini Racun diracun?" "Benar, tuan mengundang aku
ketanah pekuburan ini ada
pengajaran apakah?" "Kalau kau mau menghapus nama
julukanmu, Lohu tidak
akan memperpanjang urusan ini." Racun diracun bergelak
sombong, katanya: "Bagi kaum persilatan dia memandang nama
julukan lebih
berharga dari nyawanya sendiri. Omongan tuan tadi benar2
keterlaluan menghina orang."
Wajah tua Pak-tok semakin mengelam kaku, jengeknya: "Apa
kau tahu mengapa Lohu memilih tempat semacam ini
untuk tempat pertemuan kita?" "Silakan tuan jelaskan." "Kalau
dipendam disini, setelah mati pasti tidak akan
kesepian." Racun diracun mengekeh tawa meliuk tubuh, ujarnya:
"Sama2! Tuan benar2 teliti dan rapi bekerja, mungkin
selama ini tuan paling takut akan kesunyian maka sudah mengatur
ditempat semacam ini, lain halnya bagi aku yah tidak menjadi
soal!"
Saking marah wajah Pak-tok berobah membesi kehijau2an,
kepalanya menguap putih, nafsu kekejaman semakin tebal pada
wajahnya.
Kata Racun diracun lagi: "Sebaliknya aku belum berpikir untuk
minta pada tuan
supaya tuan menanggalkan nama julukan Pak-tok..."

"Tutup mulut! Nama Racun diracunmu itu, apa kau bermaksud
hendak mengungkuli Lohu?"
"Itu terserah bagaimana tuan ambil kesimpulan, aku tidak ingin
main debat!"
"Siaupwe sungguh sombong benar..." "Siaupwe? Hahahaha,
sebaliknya kau Tangbun Lu jangan
kau mengangkat dirimu terlalu tinggi." Gemetar tubuh Racun
utara saking menahan kemarahan
hatinya, suaranya mengandung ancaman membunuh: "Jadi kau
beranggapan bahwa kau lebih beracun dari
Lohu?" Racun diracun tertawa sinis, sahutnya: "Akan tetapi tuan
belum tentu kau lebih unggul dari aku." "Baiklah, biar Lohu
mengukur sampai dimana
kemampuanmu." "Dengan senang hati aku mengiringi." "Yu-ji,
tuang arak suguhkan pada tamu." Tangbun Yu mengiakan dan
segera menuang dua cangkir
arak terus diletakkan diatas meja batu ditengah gardu.
Ketegangan melingkupi suasana sekelilingnya, sebab dua
belah pihak sama2 menggunakan racun2 berbisa yang bertujuan
membunuh lawannya tanpa menggunakan kekerasan.
Sementara itu Suma Bing sendiripun tepekur dibelakang pohon
bersitegang leher, dua pihak yang tengah menyabung nyawa
dalam gardu adalah musuh2nya, ingin dia menyaksikan siapa lebih
unggul dan siapa lebih berbisa.
Tangan Racun utara diulapkan dan berkata:

"Inilah Jip-gau-toan-yang (masuk mulut meremukkan usus)
silahkan.", terus ia angkat cangkir langsung ditenggak habis.
Racun diracun melangkah masuk kedalam gardu, tanpa ragu2 ia
angkat juga cangkir yang lain terus ditenggak habis. Lalu dia
sendiri menuang dua cangkir penuh arak, jari kelingkingnya
menyelentik sekali dibibir cangkir terus berkata:
"Pemberian yang tak dibalas kurang hormat, silahkan inilah
It-te-siu (setitik istirahat)."
"Inilah Giam-ong-leng (perintah raja akhirat), silakan" "Inilah
Racun tanpa bayangan, silakan." "Inilah Biat-seng-tjui, (air
pelenyap bentuk) silakan." Racun diracun menuang dua cangkir
terakhir, serta
katanya: "Inilah cangkir yang terakhir, kalau tuan mampu
bertahan,
aku mengaku kalah saja, untuk selanjutnya biar kalangan
Kangouw tiada seorang kosen macam Racun diracun..."
"Apa nama racun ini?" "Tuan berjuluk Racun utara, masa tidak
dapat melihat
sendiri?" Rona wajah Racun utara berobah mengeras, sekian
lama ia
terlongo ditempatnya tanpa kuasa buka suara. Racun diracun
menyeringai hambar, lalu ujarnya: "Inilah Ban-lian-tok-bo!" Racun
utara mundur terhuyung tubuhnya semampai lemas
dijagak gardu mulutnya mendesis gemetar: "Induk racun berlaksa
tahun?" "Yah, inilah racun diracun, racun diluar racun, kombinasi
berlaksa racun dari seluruh jagad."

Suma Bing yang bersembunyi ditempat gelappun merinding dan
berdiri bulu kuduknya, permainan adu racun yang menentukan
mati hidup dan gengsi macam ini agaknya belum pernah terjadi
dalam dunia persilatan selama ini.
Begitulah Racun diracun segera angkat sebuah cawan terus
ditenggak habis dan mengacungkan cangkir kosong kehadapan
Racun utara. Agaknya Racun utara keder, setelah bimbang sekian
lamanya terpaksa ia minum juga arak terakhir ini, seketika otot
hijau diatas jidatnya merongkol keluar, tubuhpun terhuyung hampir
roboh.
Kata Racun diracun pula: "Tuan selamanya pandai
menggunakan racun, sudah tentu
Induk racun berlaksa tahun ini takkan dapat membuat tuan mati.
Tapi untuk membersihkan racun itu dari dalam tubuhmu,
sedikitnya kau harus berjerih payah selama sepuluh tahun!"
Dengan kebencian yang me-nyala2 Tangbun Lu mendengus,
serunya:
"Yu-ji, mari pergi!" "Bocah berbisa tunggu dulu!" berbareng
dengan habisnya
suara ini sebuah bayangan sudah melesat tiba diluar gardu.
Tangbun Yu menyeringai bengis, desisnya: "Suma Bing kau belum
mati. Oh, ya, waktunya belum tiba
bukan?" Bagai bola api yang membara kedua mata Suma Bing
berkilat2
menatap Tangbun Yu geramnya: "Bocah jadah barang
permainan seperti racun Pek-jit-kui
mu bisa mengapakan aku? Hari ini silahkan kaupun merasakan
kelihayan aku punya Lip-sip-kui"
"Apa? Lip-sip-kui (segera pulang)?"

"Benar, Lip-sip-kui-thian (segera mati)!", sembari kedua tangan
langsung disodokkan kearah Tangbun Yu, bahna gusarnya
pukulannya ini meliputi pengerahan seluruh tenaganya yang
berlandaskan Kiu-yang-sin-kang, gelombang panas bagai badai
dipadang pasir segera ber-gulung2 melanda kearah Tangbun Yu.
Ter-sipu2 Tangbun Yu juga angkat tangan menangkis. "Blang"
ditengah ledakan dahsyat itu tubuh Tangbun Yu
tergetar terbang jauh setombak lebih. Belum cukup puas melihat
hasil pukulannya Suma Bing berkelebat menyusul tiba lagi dengan
serangan yang lebih hebat.
Sebuah tangan Tangbun Yu ber-goyang2 sambil membentak:
"Roboh!"
Suma Bing tahu bahwa lawan tengah menyebar racun berbisa.
Namun sejak menelan seluruh batang rumput ular serta buahnya
pemberian Manusia bebas diluar dunia itu Suma Bing sudah kebal
dan tidak lagi takut segala racun berbisa. Bertepatan dengan seruan
'roboh' Tangbun Yu dengan kecepatan kilat sebuah pukulan Suma
Bing sudah menghantam ke dada Tangbun Yu. Sungguh mimpipun
Tangbun Yu takkan menyangka bahwa Suma Bing kini sudah tidak
gentar lagi menghadapi segala racun, baru saja ia tertegun kejut
pukulan Suma Bing sudah menyodok tiba. "Blang" diselingi pekik
kesakitan Tangbun Yu mulutnya muntah darah badannyapun
terbang sejauh tiga tombak.
Melihat putra tunggalnya terpukul luka parah, keruan Racun utara
murka sekali bergegas ia melejit maju serta bertanya:
"Kau ini murid Kho-lo-sia?" "Kau mau apa?" "Sambutlah
sebuah pukulan Lohu." habis ucapannya sejalur
angin dingin segera menerpa deras kearah Suma Bing.

Hian-in-kang kebanggaan Racun utara merupakan salah satu ilmu
tunggal yang diakui kehebatannya oleh kaum persilatan. Meskipun
Suma Bing melatih Kiu-yang-sin-kang, ilmu sakti lawan pemunah
dari Hian-in-kang sayang Lwekang dan latihannya belum sempurna.
Begitu ia menangkis, kekuatan pukulannya bagai amblas kedalam
lautan hanya terdengar suara mendesis. Kontan dia sendiri lantas
merasakan jalur2 angin sedingin es meresap memasuki seluruh
tubuhnya terus merangsang kearah jantung, tubuhnya gemetar
kedinginan dan limbung hampir jatuh.
Pak-tok menyeringai iblis, ujarnya: "Siau-sia (sesat kecil), biar
Lohu sempurnakan kau!" Angin puyuh laksana sebuah gunung
menindih kearah
Suma Bing, dalam melancarkan pukulannya ini Pak-tok tidak
mengerahkan ilmu Hian-in-kang lagi, namun dengan latihan
Lwekang Racun utara berpuluh tahun itu cukup kiranya membuat
Suma Bing gentayangan, apalagi sebelumnya ia sudah kesurupan
hawa dingin jahat dari pukulan musuh, sedikit banyak hawa
murninya sudah susut sebagian, "biang" untuk sekian kalinya
Suma Bing muntah darah dan terpental jauh setombak lebih.
Sementara itu sambil menggendong tangan Racun diracun
mandah menonton saja dipinggiran.
Memangnya antara Pak-tok dan Lam-sia adalah musuh bebuyutan,
besar niatnya hendak melenyapkan murid musuh besarnya ini.
Maka tanpa mengenal ampun lagi tubuhnya lagi2 sudah melejit
tiba dan sebuah pukulan keras dilancarkan pula. "Bum" sebelum
Suma Bing sempat bernapas tahu2 tubuhnya sudah sungsang
sumbel jungkir balik terbang dua tombak lebih jatuh dipinggir
hutan.
Memang sifat Pak-tok kejam telengas, tubuhnya berkelebat maju
lagi...

Mendadak sebuah bayangan putih berkelebat juga melayang tiba
menghadang didepan Suma Bing.
Pak-tok melengak, desisnya: "Budak kecil, minggir!" Bayangan
putih yang baru tiba ini kiranya adalah murid
Pek-hoat-sian-nio yang bernama Ting Hoan. Wajah Ting Hoan
penuh rasa ejek, semprotnya:
"Tua bangka beracun perbuatanmu sungguh kejam dan tidak tahu
malu!"
"Siapa kau?" "Ting Hoan!" "Murid siapa?" "Kau tidak perlu
tahu." "Aku tidak sudi turun tangan kepada angkatan muda
kalau
kau ingin hidup lekas menyingkir." "Huh, kenyataan tingkah lakumu
berbeda dengan
obrolanmu itu." Selamanya Pak-tok sangat menjunjung tinggi
gengsi dan
kedudukannya. Tapi setelah dikalahkan oleh Racun diracun, putra
kesayangannya juga dihantam luka parah oleh Suma Bing, dalam
gusar dan malunya ia berbuat diluar kesadarannya, tingkah lakunya
berlawanan dengan kebiasaannya, sambil menggeram murka ia
membentak:
"Budak busuk, akan Lohu bikin kau mati tiada tempat liang
kubur."
Melihat yang datang menghadang ini adalah Ting Hoan, Suma
Bing gugup teriaknya:
"Nona Ting, minggirlah kau..." Belum lenyap suaranya Racun
utara sudah turun tangan
menyerang kearah Ting Hoan. Serangan kali inipun bukan olah2
dahsyatnya. Sebenarnya Ting Hoan gampang saja berkelit, tapi
bila dia menyingkir berarti serangan hebat ini

pasti akan menerjang Suma Bing yang sudah luka parah itu, maka
dapatlah dibayangkan akibat dari pukulan ini. Terpaksa Ting Hoan
nekad menyambuti pukulan musuh secara keras lawan keras.
Akan tetapi dalam dunia persilatan masa itu yang kuat bertahan
terhadap pukulan hebat Hian-inkang dari Pak-tok ini mungkin
dapat dihitung dengan jari. Baru saja Ting Hoan melancarkan
pukulannya, angin dingin pukulan musuh sudah menungkrup tiba
mengurung seluruh tubuhnya, seketika tubuhnya bergidik
kedinginan, tubuhnyapun terpental jatuh duduk diatas tanah,
seakan badannya direndam dalam gudang es dan menjadi beku.
Memang tidak malu Pak-tok kenamaan karena kekejaman dan
kelicikannya, sambil menyeringai seram ia mendesak maju lagi
sambil angkat tangannya siap hendak memukul lagi.
Pada saat itulah mendadak Racun diracun melayang tiba
mencegat dihadapannya, jengeknya:
"Tuan kiranja cukup sampai sekian saja!" Wajah Pak-tok
berobah keras membesi, desisnya: "Kaupun turut campur
dalam urusan ini?" Racun diracun mendengus jijik, ujarnya:
"Dengan kedudukan tuan, turun tangan tiga jurus sudah
harus segera mengundurkan diri!" Air muka Tangbun Lu siracun
utara berobah merah padam,
sikapnya malu dan serba susah, setelah membanting kaki segera
ia memutar tubuh mengempit Tangbun Yu terus berlari pergi
bagai terbang.
Terdengar Suma Bing berseru keras: "Jadah tua beracun, akan
datang suatu hari akupun akan
menghantammu muntah darah!"

Bahwa dengan gertakan saja Racun diracun dapat menggebah
pergi Racun utara benar2 membuat Suma Bing kagum dan heran.
Sementara itu wajah Ting Hoan pucat pias, matanya terpejam
rapat dan tengah menjalankan pernapasan untuk menghimpun
tenaga dan mendesak hawa beracun yang bersifat dingin itu
menguap keluar dari tubuhnya.
Racun diracun mengacungkan sebutir pil kearah Suma Bing serta
katanya:
"Telanlah ini, segera tenaga kau akan pulih segar bugar!" Suma
Bing terlongo memandang Racun diracun dengan
penuh tanda tanya, dilain saat wajahnya berobah kaku dingin dan
berkata:
"Aku tak sudi terima budimu ini." "Suma Bing, nona ini terluka
parah karena menolong kau,
hawa beracun sudah meresap kedalam tubuhnya, selain ilmu
Kiu-yang-sin-kangmu tak mungkin dapat mendesak keluar hawa
beracun itu dari dalam tubuhnya. Kalau tertunda terlalu lama, bila
hawa beracun itu merembes masuk jalan darah Yang-wi dan
Yang-kiau serta sendi2nya, seumpama dewapun takkan mampu
menolongnya lagi."
Bergidik seram Suma Bing hal ini benar2 membuatnya serba
susah. Tak mungkin dia tinggal diam melihat Ting Hoan menderita
terancam jiwanya karena membantu dirinya. Tapi sebaliknya dia
tidak sudi terima kebaikan yang diulurkan dari Racun diracun. Lagi
pula sepak terjang Racun diracun ini benar diluar dugaannya.
Terdengar Racun diracun telah berkata lagi: "Apa kau benar2
tega melihat gadis rupawan ini berkorban
karena menolong jiwamu?" Lagi2 melonjak
hati Suma Bing, katanya:

"Tuan mengandung muslihat apa silakan jelaskan sekalian."
Racun diracun tertawa ejek, ujarnya: "Suma Bing, untuk
merenggut jiwamu aku tidak perlu
bersusah payah, entah dengan tanganku atau menggunakan
racunku, mengapa sedemikian besar rasa curigamu?"
"Akan tetapi diantara kita masih ada hutang lama yang belum
dilunasi."
"Maksudmu tentang Pedang darah itu?" "Benar, dan juga
peristiwa peracunan Siang Siau-moay dan
Li Bun-siang termasuk pula dalam perhitungan itu." Racun diracun
tertawa sinis, ujarnya: "Suma Bing beginilah macam murid
Lam-sia yang ditakuti
itu, sikapmu sangat tercela." Suma Bing melengak, sahutnya:
"Mengapa?" "Kelak masih ada waktu panjang untuk
menyelesaikan
perhitungan itu, aku tidak akan mungkir dan takkan menebus
dengan perbuatan baik budiku, kau tidak perlu takut. Saat ini
adakah minatmu untuk menolong jiwa orang?"
Kontan merah jengah selebar muka Suma Bing, ia bungkam seribu
basa.
Kata Racun diracun lagi: "Sebelum kau turun tangan
menolongnya kau harus
menutuk seluruh jalan darah besar kecil diseluruh tubuhnya,
supaya hawa dingin tidak merandek ketinggalan didalam
tubuhnya. Sekarang aku pergi!"
Baru saja Suma Bing hendak mengucapkan apa2, Racun diracun
sudah berkelebat hilang. Sebetulnya dia tidak sudi terima obat
orang, namun luka Ting Hoan itu tidak bisa tidak

harus diobati. Jikalau luka tubuhnya sendiri belum tersembuhkan,
mana mungkin ia kuat mengerahkan Kiu-yang- sin-kang.
Seandainya dia kuat bertahan dan berobat dengan caranya sendiri,
tanpa menggunakan obat pemberian orang, mungkin pada saat ia
selesai berobat waktunya sudah terlambat. Dulu waktu dirinya
diringkus Pek-hoat-sian-nio, beruntung Ting Hoan diam2 membantu
hingga dia lolos dari lobang jarum. Sekarang Ting Hoan terluka
parah oleh pukulan Hian-sin-kang karena dia pula, apa aku tidak
harus menolongnya?
Sepak terjang Racun diracun yang diluar kebiasaan ini benar2
susah diselami, bahwa manusia beracun yang lebih berbisa dari
Racun utara kiranya juga dapat berbuat bajik dan mengenal
peribudi? Begitulah setelah timang dan direnungkan sekian
lamanya akhirnya ia telan juga obat pembelian Racun diracun itu.
Benar2 mustajab kenyataan seperti apa yang diucapkan oleh
Racun diracun, dalam jangka waktu yang tidak begitu lama Suma
Bing rasakan tenaganya sudah pulih seluruhnya, rasa sakit
diseluruh tubuhpun lenyap tak berbekas, entah obat dewa apakah
ini sedemikian hebat khasiatnya.
Setelah tenaga Suma Bing pulih kembali, segera yang harus
dilakukannya adalah menolong Ting Hoan mendesak hawa berbisa
dari pukulan Hian-in-kang keluar dari badannya. Tapi setelah
diingat bahwa dia harus menutuki jalan darah besar kecil diseluruh
tubuh orang, seketika ia bimbang dan ragu, bukankah itu berarti
dia harus menyentuh tubuh gadis rupawan yang masih suci bersih
itu... Namun setelah dipikirkan lagi, apa yang dilakukan ini demi
untuk menolong jiwanya tentu Ting Hoan akan maklum dan
memaafkan perbuatannya ini. Maka tanpa ragu2 lagi segera ia
turun tangan menutuk semua jalan darah ditubuh orang!
Dimana telunjuk jarinya menyentuh terasa kulit tubuh orang
sedemikian halus dan lemas seakan tidak bertulang,

suatu perasaan yang susah dilukiskan terasa meresap masuk
kedalam badan dan mengambang keseluruh tubuh. Matanya
dipejamkan tak berani menatap wajah yang ayu molek bak
bidadari, karena itu akan menambah gejolak hatinya yang tidak
tentram. Saat mana kebetulan dia menutuk sebuah jalan darah
disamping Djiu-tiong-hiat, tiba2 Ting Hoan menggeliat hingga,
jarinya dengan tepat menutuk diujung buah dadanya yang montok
lunak. Tubuh Suma Bing tergetar bagai kesetrom aliran listrik.
Untung Ting Hoan masih belum siuman dari pingsannya, kalau
tidak entah bagaimana risi dan kikuk sikapnya.
Setelah semua jalan darah tertutuk habis badan Suma Bingpun
basah kuyup oleh keringat. Bukan karena terlalu lelah atau banyak
mengeluarkan tenaga tapi adalah karena terlalu tegang dan
gugup.
Ia menghela napas panjang lega lalu membalik tubuh Ting Hoan,
tangan kiri melekat dijalan darah Bing-bun-hiat, lantas kekuatan
Kiu-yang-sin-kang disalurkan melalui telapak tangannya merembes
masuk dari Bing-bun-hiat keseluruh tubuh Ting Hoan.
Kiu-yang-sin-kang memang lawan pemunah dari Hian-in- kang,
maka setengah jam kemudian per-lahan2 Ting Hoan siuman dari
pingsannya. Suma Bing segera menarik tangannya!
Ter-sipu2 Ting Hoan melompat bangun, dengan penuh haru ia
berkata pada Suma Bing:
"Terima kasih kau telah mengobati aku." "Nona terluka karena
aku," jawab Suma Bing sungguh2,
"Sudah seharusnya aku menolongmu, apalagi tempo hari nona
diam2 telah membantu aku..."
Wajah Ting Hoan berobah serius, katanya:

"Memang waktu Suhu akhirnya tahu kau belum mati, dia marah2
dan hendak menghukum aku karena membangkang pada
perintahnya. Dalam gugupku aku berbohong kukatakan bahwa kau
pandai ilmu memindah jalan darah, maka meskipun kau tertutuk
jalan darah kematianmu tapi tak dapat meninggal."
"Selamanya aku mengutamakan perbedaan budi dan dendam,
kelak aku harus membalas..."
Dengan penuh perasaan mesra dan penuh perhatian Ting Hoan
menukas ucapan Suma Bing:
"Siapa ingin kau mengucapkan perkataan itu, aku berbuat begitu,
karena... karena.."
"Karena apa?" Merah jengah selebar muka Ting Hoan, sambil
menunduk
malu2 akhirnya ia berkata: "Karena aku suka kepadamu!" Serta
merta tergerak hati Suma Bing, sudah tentu ia
maklum akan maksud perkataan 'Suka' ini. Mendadak teringat
olehnya akan tujuan kedatangannya yang utama serta janjinya
kepada Setan barat. Dalam tujuh hari dia harus kembali kepulau
kecil ditengah danau itu. Karena pikirannya ini tanpa terasa
mencelos hatinya, serunya gugup:
"Nona Ting, saat ini aku ada urusan sangat penting, harap
sukalah maafkan ucapanku yang teledor tadi. Budi kebaikan nona
itu mungkin selama hidup ini tak mungkin dapat kubalas lagi. Tapi
itu hanya suatu misal saja, asal aku dapat tetap hidup tentu tidak
akan kulupakan keluhuran budi nona itu, harap kau menjaga diri
baik2."
Berobah hebat wajah Ting Hoan mendengar ucapan Suma Bing
itu, serunya tergagap:
"Kau... kau... Apa katamu?"

Namun Suma Bing sudah melesat terbang jauh tak mendengar
seruannya, sebentar kemudian bayangan tubuhnya sudah hilang
dari pandangan mata.
Ting Hoan tertegun melongo ditempatnya, entah bagaimana
perasaan hatinya, dia tidak tahu mengapa Suma Bing bisa
mengucapkan perkataan demikian? Dengan penuh keperihan hati ia
menghela napas panjang lantas menggerakkan tubuh berlari keluar
rimba.
Dalam pada itu Suma Bing tengah berlari cepat bagai luncuran
meteor, jarak tigapuluh li dalam sekejap mata saja telah
ditempuhnya. Samar2 bayangan tembok biara bobrok itu sudah
kelihatan dari kejauhan, denyut jantungnya berdetak semakin
cepat, dia berharap bahwa kedatangannya ini masih belum
terlambat. Sejenak ia menenangkan hati terus berkelebat
memasuki biara.
"Ah..." tidak tertahan lagi Suma Bing berseru kejut bulu kudukpun
berdiri seram saking kaget hampir saja jantung terasa hendak
melonjak keluar.
Tujuh mayat manusia yang berlepotan darah susah dikenal
malang melintang terkapar diatas tanah dipekarangan biara
bobrok itu. Dari tanda pengenal yang tersulam didepan dada para
korban dapat diketahui bahwa mereka adalah anak buah
Bwe-hwa-hwe.
Siapakah yang telah turun tangan sekejam itu? Apakah Siang
Siau-hun sudah datang menepati janjinya? Apa ada sangkut paut
kematian mereka ini dengan Siang Siau-hun? Otaknya bekerja
cepat memikirkan semua pertanyaan itu. Kaki diangkat ia
melangkah masuk kedalam ruang tengah yang kotor dan jorok,
dimana ia tempo hari bertempur dengan putra Racun utara yaitu
Tangbun Yu, dan karena kelicikan Tangbun Yu lah maka dia
terkena racun dan terjadilah ikatan perjanjian sehidup semati itu.
Baru saja kakinya tiba diambang pintu sebuah bayangan punggung
seseorang tersandang dalam pandangan matanya. Sungguh girang
Suma Bing bukan

kepalang, kiranya dirinya belum terlambat, maka dengan suara
riang gembira ia berseru nyaring:
"Adik Hun!" Eh, aneh, mengapa bayangan tubuh langsing
menggiurkan
itu diam saja tanpa bergerak se-olah2 tidak mendengar seruannya.
"Adik Hun, aku..." dia berseru lagi lebih keras. Wanita itu
per-lahan2 memutar tubuh. Seketika pandangan
mata Suma Bing terbelalak se-olah2 didepan matanya terpasang
sebuah lampu yang bersinar terang menyilaukan matanya serta
melihat orang dihadapannya segera ia telan kembali kelanjutan
kata2nya dan serta merta ia mundur dua langkah.
Orang itu (wanita) bukan Siang Siau-hun. Namun lebih cantik lebih
rupawan dari Siang Siau-hun, wanita ini sedemikian cantik molek,
tapi wajahnya membeku dingin dan sikapnya angkuh sekali,
membuatnya tidak berani beradu pandang.
Hati Suma Bing menjadi gundah dan risau, bahwasanya
bagaimanapun juga tentu Siang Siau-hun tidak akan ingkar janji,
namun kemana orangnya? Mayat bergelimang darah didalam biara
bobrok ini sangat mengherankan. Adalah nona cantik bak bidadari
bersikap kaku dingin ini lebih menambah hatinya tidak tentram.
Mulut mungil sigadis setengah terbuka dan berkata dingin:
"Siapa adik Hun-mu itu?" Suma Bing merasakan mukanya
panas, sahutnya kikuk: "Maaf aku salah mengenal orang!"
"Huh, salah mengenal orang, apa adik Hunmu itu berparas
seperti nonamu ini?"

"Ini... tidak..." "Lalu bagaimana kau bisa salah mengenal
orang?" Sebenarnya Suma Bing ingin memberi penjelasan,
dasar
sifatnya sendiri memang angkuh dan congkak, melihat sikap kaku
dan dingin sinona dongkol hatinya tanpa banyak kata lagi segera
ia putar tubuh terus tinggal pergi.
"Kembali!" Tanpa kuasa Suma Bing menghentikan langkahnya
dan
membalik tubuh, tanyanya dingin: "Nona masih ada perkataan
apa lagi?" "Kau ini yang bernama Suma Bing?" Suma Bing
melengak tidak tersangka olehnya bahwa orang
mengetahui namanya, sebaliknya dia belum kenal siapakah nona
ini, maka sambil manggut dia menjawab:
"Benar!" "Apa kau tidak ingin tahu siapa aku ini?" "Hal ini...
agaknya tidak begitu perlu!" "Huh, serba sesat!" "Apa maksud
ucapan nona ini?" semprot Suma Bing
dongkol. Gadis itu celingak-celinguk lalu berkata: "Kau datang
menepati janji seorang gadis bukan?" "Darimana nona bisa
tahu?" "Gampang sekali, kau pontang panting berlari datang,
salah
mengenal orang, bukankah ini bukti yang nyata?"
"Apa nona melihat wanita sahabatku itu?" "Ya, malah
aku kenal namanya Siang Siau-hun!"

Suma Bing kegirangan serunya: "Dimana dia?" "Sudah pergi!"
"Pergi?" seru Suma Bing kejut sambil mundur setindak,
sungguh dia tidak habis mengerti mengapa setelah Siang Siau-hun
datang lantas pergi lagi, bukankah janji mereka kalau tidak
ketemu tidak akan berpisah, apa mungkin...
"Kenapai dia pergi..." "Pergi mencari kau." "Mencari aku?"
kedua mata Suma Bing membelalak
keheranan. Sikap gadis itu tetap dingin dan kaku, sahutnya: Apa
ada yang tidak beres?" "Kita berjanji hanya bertemu disini, mana
bisa..." "Mungkin dia kuatir kau terluka waktu bergebrak dengan
orang." Bertambah besar rasa kejut dan heran Suma Bing,
bagaimana bisa Siang Siau-hun mengetahui dirinya berkelahi dan
terluka oleh musuh? "Dia... mengapa dia tahu..."
"Malah dia juga tahu sekarang tubuhmu sudah kebal akan segala
racun."
"Dia... tahu... apa itu benar?" "Apa kau sangka
aku bohong?" "Tapi itu tidak mungkin?"
"Terserah kau percaya tidak?" "Dapatkah nona
memberi sedikit penjelasan?" Gadis itu
merenung sebentar lantas katanya:

"Aku pernah lihat kau berkelahi dengan ayah beranak Racun utara
hingga luka parah, lantas Racun diracun memberimu sebutir obat
mustajab, supaya kau dapat selekas mungkin memberi pertolongan
kepada murid Pek-hoat-sian- nio yang bernama Ting Hoan itu.
Kebetulan waktu aku liwat disini kudengar ada suara pertempuran,
kiranya para kurcaci dari Bwe-hwa-hwe itu tengah mengeroyok
nona Siang maka kubunuh para kunyuk rendah itu. Kuberitahu
pula apa yang barusan kulihat. Secara terus terang diapun
menuturkan segalanya, dia sangat perihatin atas dirimu maka
buru2 dia pergi menyusul kau didepan sana, mungkin kalian
selisipan jalan."
"Nona jadi kaulah yang telah menolong jiwanya?" kata Suma Bing
haru.
"Ah aku hanya melakukan apa yang senang kulakukan." Suma
Bing angkat kedua tangannya serta berkata: "Kalau begitu biar
ku mewakili nona Siang mengucapkan
terima kasih atas pertolongan nona itu." "Tidak perlu sungkan2"
"Bolehkah tanya nama nona yang harum?" Mendadak gadis itu
unjuk senyum tawa manis, tawanya ini
bak bunga mekar dimusim semi, sahutnya: "Aku bernama Phoa
Kin-sian." Serta merta tergerak hati Suma Bing. Terdengar Phoa
Kin-sian berkata lagi: "Apa kau tidak mau mencarinya?" Suma
Bing menggeleng kepala, sahutnya: "Kalau dia sudah tahu sejelas
itu lebih baik, akupun tidak
perlu lagi mencari dia."

"Mengapa?" "Sudah tiada waktu lagi" "Tiada waktu, apa
maksudmu?" "Karena aku masih ada janji lainnya." Agak
berobah wajah Phoa Kin-sian, katanya: "Begitu besar rasa
kasih Siang Siau-hun kepadamu, jangan
membuat dia putus harapan." Suma Bing menjadi gugup,
sahutnya: "Nona salah paham akan keteranganku..." "Lalu
siapakah orang yang kau janjikan itu?" Suma Bing tertawa
hambar, sahutnya: "Agaknya perlu kuterangkan, maaf aku minta
diri." Sekonyong2 dari luar biara sana terdengar derap langkah
riuh ramai lalu disusul seruan kaget beberapa orang, agaknya
mereka telah melihat mayat2 yang bergelimang darah itu.
Phoa Kin-sian tertawa ejek, katanya: "Yang mengantar
kematian telah datang lagi..." dengan
langkah lemah gemulai dia melangkah keluar ruangan
sembahyang, Suma Bing pun mengikuti dibelakangnya.
Ditengah pelataran berdiri lima orang laki2 dan seorang wanita.
Dua diantaranya berusia enam puluhan, dan tiga laki2 muda
bertubuh tegap gagah, sedang si wanita sudah berusia agak
lanjut, tapi sikapnya genit dan tengik. Dari seragam yang mereka
pakai jelas menunjukkan bahwa mereka juga para anak buah dari
Bwe-hwa-hwe.
Kehadiran Phoa Kin-sian dan Suma Bing yang mendadak itu
menimbulkan pula seruan kaget mereka, dari memandang Phoa
Kin-sian sorot mata keenam orang itu beralih menatap Suma Bing.
Mata wanita genit itu pelerak-pelerok mengawasi

kecakapan wajah Suma Bing dengan tingkah yang sangat tengik
sekali, wajahnya mengunjuk senyum tawa, entah teringat apa
mendadak wajahnya berobah kaget serta serunya:
"He, kau inikah Suma Bing?" Begitu melihat para begundal
Bwe-hwa-hwe ini muncul lagi,
nafsu membunuh Suma Bing me-nyala2, sahutnya dengan dingin:
"Benar!" Kontan kelima laki2 itu mundur terbelalak mendengar
pengakuan Suma Bing, wajah mereka berobah pucat pias perlahan2
mereka mundur teratur dan bersiap siaga.
16. SEBUAH TRAGEDI DIDALAM RIMBA.
Dengan ilmu Tjoan-in-djip-bit Phoa Kin-sian berkata kepada
Suma Bing: "Wanita itu bernama Tok-bi-kui Ma Siok-tjeng, salah
seorang pelindung Bwe-hwa-hwe, kepandaiannya hanya lebih
rendah dari Ketua mereka."
Tanpa terasa Suma Bing juga terperanjat, bahwa nama serta
kejahatan Tok-bi-kui Ma Siok-tjeng, sudah lama dia pernah
dengar, terutama sifat cabulnya sangat dibenci oleh kaum
persilatan. Sungguh diluar sangka bahwa dia kini menjadi
pelindung Bwa-hwa-hwe malah.
Sambil menunjuk tujuh mayat dihadapan mereka Tok-bi-kui Ma
Siok-tjeng bertanya:
"Siapa yang membunuh mereka?" Suma Bing mengajukan diri
dan menjawab dengan nada
berat dingin:

"Aku yang membunuh kau mau apa?" Sekilas Phoa Kin-sian
melirik kearah Suma Bing tanpa buka
suara, wajahnya yang kaku bersemu merah dan senyum2 malu
yang hampir tak kentara, entah apa yang tengah dipikirkan dalam
benak nona jelita ini.
Ma Siok-tjeng menjengek dingin serunya: "Bagus sekali Suma
Bing, hutang jiwa bayar jiwa, hutang
uang bayar uang..." "Ma Siok-tjeng," dengus Suma Bing menghina,
"Perhitunganku dengan Bwe-hwa-hwe kalian susah dilunasi, hanya
beberapa gelintir jiwa rendah itu terhitung apa? Ketahuilah, asal
aku ketemukan setiap anggota Bwe-hwa-hwe tentu tidak akan
kulepas tinggal hidup!"
"Huh, kau tahu pasti dapat hidup pergi dari sini?" Suma Bing
menjadi murka sekali, sambil menggeram ia
melompat maju ketengah pelataran. Ma Siok-tjeng berenam
gentar dan mundur beberapa langkah. Suasana menjadi tegang
meruncing.
Dengan tangannya Ma Siok-tjeng menunjuk Phoa Kin-sian dan
bertanya:
"Dia apamu?" "Kau tiada hak bertanya!" sahut Suma Bing
mendengus
hidung. Wajah jelita Ma Siok-tjeng berobah beringas penuh nafsu
membunuh geramnya: "Baik biar kusempurnakan kalian menjadi
sepasang
mendarin dialam baka.", habis berkata ia memberi aba2 kepada
kelima teman laki2nya.

Tiga orang laki2 bertubuh tegap itu segera melejit menubruk
kearah Phoa Kin-sian yang berdiri dibawah serambi panjang sana.
"Mampus kalian!" Mendadak Suma Bing menggembor keras sebat
luar biasa tubuhnya bergerak sambil mengirim sebuah hantaman
dahsyat, angin pukulannya bagai gelombang pasang menerpa
deras kearah tiga laki2 gagah itu, seketika tubuh mereka yang
tengah meluncur maju itu terporak poranda sungsang sumbel
jungkir balik ketempatnya semula. Pada saat Suma Bing
membentak dan melancarkan serangannya itu, Ma Siok-tjeng pun
telah turun tangan menyerang kearah Suma Bing dengan tidak
kalah sengitnya.
Jangan dipandang rendah sebuah pukulannya ini, karena
mengandung perobahan aneh menakjubkan yang susah diraba
sebelumnya. Suma Bing sendiripun tidak kepalang kejutnya
terdampar oleh angin pukulan musuh, tubuhnya tersurut mundur
selangkah. Sungguh diluar tahunya kalau Lwekang Tok-bi-kui Ma
Siok-tjeng kiranya sedemikian hebat.
Dalam pada itu, tanpa mengenal takut atau keder lagi ketiga laki2
tegap itu nekad membandel menubruk kearah Phoa Kin-sian.
Timbullah amarah Suma Bing melihat kebandelan lawannya,
dengan jurus Liu-kim-hoat-tjiok ia tetar Ma Siok-tjeng hingga
kelabakan melejit tinggi dan menghindar jauh. Mendapat peluang
ini dengan kecepatan kilat badannya berkelebat miring,
mengerahkan seluruh kekuatan Kiu-yang- sin-kang mengepruk
kearah tiga laki2 tegap itu. Gelombang panas bagai lahar gunung
meletus segera melanda memberangus ketiga laki2 tegap itu.
Seketika mereka berpekik nyaring mengerikan, setelah
menyemburkan darah dari mulutnya, tubuh mereka berobah hitam
angus dan mati terkapar.
Memang kedudukan ketiga laki2 tegap itu hanya tingkat dua saja
dalam Bwe-hwa-hwe, namun kalau dalam satu gebrak saja lantas
mati konyol oleh pukulan lawan, hal ini

benar2 membuat Ma Siok-tjeng dan kedua orang tua lainnya
melongo dan kaget luar biasa.
Wajah Phoa Kin-sian diliputi suatu rasa yang sukar ditebak.
Sikapnya tenang dan acuh tak acuh menyaksikan adegan seram
ini.
Maka sambil mengertak gigi, dengan nekad Ma Siok-tjeng
menubruk kearah Suma Bing. Berbareng kedua orang tua lainnya
itupun menerjang kearah Phoa Kin-sian.
Sebagai pelindung Bwe-hwa-hwe sudah tentu bukan olah2 lihay
dan hebat Lwekang Ma Siok-tjeng, dalam tiga jurus saja Suma
Bing sudah terdesak kerepotan.
Sementara itu, kedua orang tua itupun sudah menerjang tiba
diserambi panjang sana terus menyerang kepada Phoa Kin-sian.
Kontan terdengar suara benturan keras yang menggelegar disertai
pekik dua suara ngeri. Maka dilain saat terlihat kedua kakek tua itu
sudah terkapar roboh ditanah pelataran tanpa berkutik lagi untuk
selamanya.
Sungguh kejut Tok-bi-kui (bunga rose beracun) bukan olah2,
sebat luar biasa tubuhnya melejit mundur, dengan sorot mata
heran dan penuh tanda tanya matanya membeliak mengamati
Phoa Kin-sian.
Dilain pihak kejut Suma Bing sendiripun tidak kalah besarnya,
bahwa sedemikian hebat dan lihay Lwekang Phoa Kin-sian ini
benar2 diluar tahunya, dalam sekali gebrak saja dengan mudah dia
telah robohkan dua gembong silat kelas satu dari Bwe-hwa-hwe.
Bagaimanapun juga Ma Siok-tjeng takkan tahu akan asal-usul si
gadis jelita yang ayu rupawan tapi berwajah kaku dingin ini.
Dengan kepandaian yang dipertunjukkan
ini pastilah dia bukan kaum keroco yang berkedudukan rendah.
Namun nama Phoa Kin-sian ini benar2 menggetarkan jiwa dan
semangatnya, meskipun baru kali ini ia dengar akan nama itu. Apa
mungkin dia salah seorang murid seorang

Tjianpwe lihay yang mengasingkan diri, dan baru kali ini berkelana
di dunia persilatan?
Setelah sadar dari kagetnya segera Suma Bing membentak keras:
"Tok-bi-kui kaupun rebahlah!" Secepat kilat ia kirim sebuah
pukulan deras mengarah
muka Ma Siok-tjeng. Terpaksa Tok-bi-kui angkat tangan
menangkis "blang" dimana kedua kekuatan saling bentur, tubuh
Tok-bi-kui bergoyang gontai, sebaliknya Suma Bing limbung
setindak. Dalam gebrak adu kekuatan tenaga dalam ini jelas
bahwa kekuatan dan latihan Lwekang Suma Bing masih kalah
seurat dari lawan. Maka terjadilah pertempuran sengit yang
mengadu jiwa ini.
Mengandalkan kesaktian Kiu-yang-sin-kang Suma Bing masih dapat
bertahan sementara waktu, namun tiga puluh jurus kemudian,
keadaannya sudah semakin keripuhan terdesak dibawah angin.
Lima puluh jurus kemudian Suma Bing sudah kehilangan inisiatif
untuk balas menyerang, terpaksa dia main bertahan mengurung
diri dengan rapat.
Se-konyong2 terdengar sebuah bentakan nyaring disusul Suma
Bing berseru tertahan, ujung mulutnya meleleh darah segar,
tubuhpun terhuyung hampir roboh.
Dalam keadaan gawat itulah, tahu2 tubuh Phoa Kin-sian sudah
berkelebat tiba ditengah gelanggang.
Suma Bing lintangkan tangan serta berkata: "Nona Phoa,
silakan mundur, aku tidak perlu bantuanmu!" Berobah wajah
Phoa Kin-sian, katanya: "Kau bukan tandingan siluman jadah
ini!" Ucapan "siluman jadah" itu membuat wajah Tok-bi-kui
berobah bengis mengancam, mulutnyapun segera memaki:

"Budak sundel, siapa yang kau maksudkan dengan siluman jadah
itu?"
"Kau sangka siapa lagi yang berada disini selain kau?"
"Agaknya kau ingin segera mampus, biar aku sempurnakan
kau juga..." "Apa kau mampu?" Maju selangkah Suma Bing
menghadang dihadapan Phoa
Kin-sian serunya: "Nona Phoa, silakan mundur!" Tanpa menanti
reaksi Phoa Kin-sian segera ia menyerang
kearah Ma Siok-tjeng. Serangan ini dilancarkan dengan penuh
kebencian yang ber-limpah2 maka kekuatannyapun bagai guntur
menggeledek, kontan Tok-bi-kui kena terdesak mundur beberapa
langkah.
Mendadak Phoa Kin-sian mendengus ejek sambil membanting kaki
terus melesat tinggi bayangannya menghilang diluar tembok.
T o k - b i - k u i M a S i o k - t j e n g t e r p a k s a
m e n d e l o n g s a j a m e n g a w a s i P h o a
K i n - s i a n p e r g i , t a p i d i a s e n d i r i j u g a
m a k l u m d e n g a n k e p a n d a i a n o r a n g t a k
m u n g k i n d i r i n y a k u a t m e r i n t a n g i .
A p a l a g i h a n y a S u m a B i n g s e o r a n g s a j a
c u k u p m e m b u a t d i a b e k e r j a b e r a t
m e m e r a s k e r i n g a t . J i k a l a u S u m a B i n g
d a n P h o a K i n - s i a n b e r p a d u
m e n g e r o y o k n y a , t a k m u n g k i n d i r i n y a
d a p a t m e l o l o s k a n d i r i d e n g a n s e l a m a t .
M a k a d e n g a n b e r k u r a n g n y a s e o r a n g
l a w a n l e b i h m a n t a p l a h h a t i n y a u n t u k
s e p e n u h t e n a g a m e n g h a d a p i S u m a B i n g .
Dalam sekejap duapuluh jurus telah berlalu. Tubuh Suma Bing
sudah mandi keringat keadaannya sudah payah dan berbahaya
diancam maut. Se-konyong2 Tok-bi-kui merobah permainannya,
bayangan pukulannya berkelebatan seperti kupu menari2,
beruntun dia lancarkan enambelas kali pukulan, pada pukulan
keenambelas terdengar Suma Bing berpekik

kesakitan, tubuhnya sempoyongan setombak lebih. Bagai
bayangan yang selalu mengikuti bentuknya tubuh Ma Siok- tjeng
melejit memburu tiba sekali jambak jalan darah Hoan- meh-hiat
sudah dicengkramnya keras. Suma Bing coba meronta namun sia2.
Sepasang mata Tok-bi-kui Ma Siok-tjeng jelalatan menatap wajah
Suma Bing yang cakap ganteng, lama kelamaan matanya
memancarkan sinar gairah yang melemaskan hati orang, kedua
pipinyapun per-lahan2 bersemu merah.
Rasa malu gusar dan gugup bergejolak dalam benak Suma Bing,
matanya melotot besar dan merah membara.
Tiba2 Tok-bi-kui ulurkan tangan menutuk jalan darah lemas
ditubuh Suma Bing terus dikempit dibawah ketiak dan dibawa lari
kedalam hutan dibelakang biara bobrok itu.
Tak lama sesudah Tok-bi-kui mengempit tubuh Suma Bing berlalu
pergi, sebuah bayangan kecil langsing berkelebat memasuki biara
itu. Dia tak lain adalah Siang Siau-hun.
Dalam biara sekarang ketambahan lima mayat lagi, namun
bayangan kekasihnya tidak kelihatan. Keruan gugup dan cemas
hati Siang Siau-hun, dengan suara hampir berteriak ia mengeluh:
"O, engkoh Bing, dimana kau? Apa kau sudah datang? Mengapa
kau tidak tunggu aku?"
Hanya kesunyian dan keseraman suasana yang menjawab
keluhannya.
"Aku harus menemukan dia." demikian keluh Siang Sian- hun,
terus belari secepat terbang keluar biara.
Kini kita ikuti jejak Si mawar beracun Ma Siok-tjeng yang
membawa lari Suma Bing kedalam hutan dibelakang biara, setelah
mendapatkan sebuah tempat yang tersembunyi dia letakkan
tubuh Suma Bing diatas tanah, lalu dengan mesranya dia duduk
berhimpit disampingnya. Kata Ma Siok-tjeng:

"Suma Bing, ketahuilah bahwa Ketua kami belum lega sebelum
dapat meringkus dirimu?"
Suma Bing menyesal karena dirinya tertutuk jalan darahnya
hingga tak dapat bergerak, dasar sifatnya memang keras matanya
melotot ber-api2 dan memaki garang:
"Aku pun belum lega sebelum dapat membunuh kurcaci itu."
"Tapi sekarang kau tiada kesempatan lagi. Untuk membereskan kau
sekarang segampang membalikkan tanganku."
"Boleh silahkan kau turun tangan." Ma Siok-tjeng malah unjuk
tertawa genit, ujarnya: "Tapi aku sayang untuk membunuh
kau!" "Lalu apa kehendakmu?" Dengan tangannya Ma
Siok-tjeng meng-elus2 wajah Suma
Bing, suaranya halus dan merayu: "Adikku yang baik, asal kau
berlaku baik, tentu cicimu akan
segera melepaskan kau" "Cis, tidak tahu malu..." Tok bi-kui malah
perdengarkan suara ngakak yang
menggiurkan, serunya: "Tidak tahu malu, sebentar lagi kalau
tidak kubikin kau menyembah2
kepadaku, kuhapus namaku si mawar beracun."
Hampir meledak dada Suma Bing saking menahan gusar
namun apa yang dapat diperbuat. Dia insaf perempuan jalang
tidak tahu malu ini pasti dapat melaksanakan apa yang telah
dikatakannya. Bagi seorang laki2 jantan seperti dirinya, masa
harus mandah saja dihina dan dipermainkan oleh sundel cabul
ini?

Saat mana selebar muka Tok-bi-kui sudah merah padam
napasnya empas empis memburu cepat, kedua matanyapun
memancarkan sinar berapi, tubuhnya bergetar penuh birahi.
Tiba2 Suma Bing merasakan jalan darah Kiu-bwe-hiat kesemutan,
lalu disusul jalan darah Gi-tjiat dan Kui-lan dibawah perutnya
terasa suatu hawa hangat mengalir cepat merembes keseluruh
tubuh. Maka dalam sekejap saja sejalur hawa hangat timbul pula
dari dalam pusarnya terus meresap kesegala sendi2 dan urat
nadinya menyusuri seluruh jalan darah ditubuhnya, darah mengalir
semakin cepat, jantungnya berdetak semakin keras, napasnya juga
semakin berat. Sekuat tenaga ia bertahan dan berkutet dan
mencegah timbulnya nafsu berahi, supaya dirinya tetap dalam
keadaan sadar...
Dengan penuh harapan sepasang mata Tok-bi-kui pelerak- pelerok,
wajahnya penuh mengandung gairah menanti perkembangan
selanjutnya.
Kesadaran Suma Bing semakin amblas, pandangannya mulai
remang2, suatu arus keinginan yang keras membuatnya tenggelam
dalam langkah kearah pelepas rakus yang menggila. Seluruh tubuh
panas membara, jalan darah se- olah2 hendak meledak. Saat mana
dalam tubuhnya sudah mulai dirasuki oleh setan nafsu birahi yang
sedang mengembara dalam tubuhnya. Selain keinginan liar yang
buas itu otaknya kosong melompong tanpa sepercik kesadaran.
Per-lahan2 Tok-bi-kui melepaskan baju luarnya, lalu mengendorkan
baju dalamnya terbentanglah kulitnya yang halus putih, buah
dadanya yang montok menggiurkan setengah terbuka. Pandangan
yang memincuk hati ini betapa keraspun hati manusia akan luluh
juga akhirnya bagi orang semuda Suma Bing yang mulai nanjak
usia kedewasaan, pula Ma Siok-tjeng gunakan juga cara sesat
untuk membangkitkan nafsu birahinya, keruan Suma Bing seperti
kuda liar yang lama kehausan napasnya memburu ngos2an.
"Bagaimana Suma Bing?"

"Aku... aku... ingin..." "Kau mau apa? Hahahahahihihihehehe!"
"Aku... ingin kau." "Kau mau panggil aku cici?" "Ci... ci" "Ai,
adikku yang baik!" Girang si mawar beracun Ma Siok-tjeng
bukan kepalang,
segera ia bebaskan jalan darah pelemas Suma Bing yang tertutuk
tadi. Kontan Suma Bing melompat bangun, kedua matanya merah
marong seperti serigala yang haus darah terus menubruk maju
hendak memeluk...
Pada detik yang menentukan itulah tahu2 sebuah arus hantaman
angin keras menerpa tiba menerjang kearah mereka berdua, kontan
Suma Bing terpental mundur dan jatuh duduk diatas tanah. Sedang
si mawar beracunpun terguling sungsang sumbel. Sungguh
mimpipun Ma Siok-tjeng tidak menduga pada saat2 nafsu birahinya
sudah memuncak pada titik tertinggi hingga perhatiannya peka
pada diri Suma Bing itu dirinya bakal dibokong orang tanpa siaga
sebelumnya. Tidak malu kiranya si wanita cabul ini diangkat sebagai
pelindung Bwe-hwa-hwe karena memang kenyataan kepandaiannya
tidak lemah. Reaksinya sangat cekatan setelah kena dibokong,
begitu melejit bangun dan berdiri tegak segera ia tutupi dadanya
dengan baju luar yang masih utuh terus memandang kedepan
dengan berapi2. Kiranya orang yang membokong dirinya itu adalah
Phoa Kin-sian adanya.
Suma Bing sudah hilang kesadarannya, bagai binatang binal yang
sudah kehausan darah mana dapat dia membedakan baik atau
buruk, sambil berpekik beringas ia menubruk maju.
Sambil mengertak gigi terpaksa Phoa Kin-sian menyelentikkan
sebuah jarinya.

"Buk," kontan Suma Bing kena tertutuk roboh. Bahwa rasa
nikmat yang bakal dikecapnya digagalkan oleh
orang membuat si mawar beracun Ma Siok-tjeng gusar hingga
kepalanya beruap, desisnya dingin:
"Budak busuk, kau cari mampus". Sebaliknya Phoa Kin-sian
sendiri juga bukan kepalang
geram dan malunya, sambil menuding ia memaki: "Sundel yang
tidak tahu malu, hari ini nonamu pasti akan
membunuhmu." membarengi ancamannya ia kirim sebuah sodokan
keras kearah musuhnya. Tok-bi-kui ganda mendengus gusar,
sebelah tangannya juga diangkat untuk menangkis.
"Dar..." benturan menggelegar membuat tubuh Ma Siok- tjeng
tersurut mundur tiga tindak, sungguh kejutnya bagai disengat kala
bahwa Lwekang gadis muda ini kiranya sangat tinggi diluar
perkiraannya.
Saking gusar ingin rasanya Phoa Kin-sian segera menamatkan jiwa
wanita cabul ini, sekaligus ia lancarkan lagi tiga gelombang
pukulannya yang disertai himpunan seluruh kekuatannya, maka
betapa dahsyat akibat pukulannya ini dapatlah dibayangkan.
Arwah Ma Siok-tjeng seolah2 terbang dari badan kasarnya,
lenyaplah nafsu birahinya yang berapi2 tadi, tubuhnya berkelebat
sebat luar biasa menyingkir. Tapi sayang ia agak sedikit terlambat,
dua pukulan yang terdahulu memang dapat dihindari, namun
pukulan ketiga dengan telak mengenai sasarannya. Kontan si
mawar beracun berpekik ngeri sambil muntah darah, tubuhnya
terguling2 jauh.
Wajah Phoa Kin-sian semakin kelam penuh nafsu membunuh,
desisnya bengis:
"Mawar beracun, disinilah tempat liang kuburmu."

"Wut" lagi2 ia lancarkan sebuah pukulan jarak jauh. Keruan Ma
Siok-tjeng ketakutan setengah mati, sebat sekali
tubuhnya melejit menyingkir jauh, lantas dengan penuh kebencian
ia berkata:
"Budak busuk, kucatat perhitungan ini. Akan tetapi ada satu hal
yang perlu kuberitahukan. Dia sudah tertutuk oleh
Hian-to-tjui-yang-tji, dalam waktu setengah jam ini, jikalau tidak...
hehehe, urat nadinya akan meledak dan hancur berkeping2.".
Habis ucapannya bayangannyapun menghilang.
Sekarang Phoa Kin-sian melongo dan tertegun ditempatnya tanpa
mampu mengeluarkan suara.
Sementara itu meskipun jalan darah Suma Bing tertutuk, namun
nafsu birahinya masih bertegang sampai puncaknya, napasnya
memburu wajahnya merah padam.
Sungguh kacau dan gelisah benar hati Phoa Kin-sian, apa yang
harus diperbuatnya. Kalau dalam setengah jam ini Suma Bing
tidak dapat melampiaskan keinginannya, urat nadinya akan pecah
dan putuslah jiwanya.
Apakah dirinya harus mengawasi orang menderita sampai mati?
Atau menolongnya! O, tak tahu dia apa yang harus diperbuatnya.
Coba pikirkan sebagai seorang gadis yang masih perawan suci
bersih bagaimana cara menolong jiwanya. Kalau menolongnya itu
berarti dia harus mengorbankan kesuciannya.
Keadaan Suma Bing sudah menunjukkan bahwa jiwanya sudah
diambang diantara mati atau hidup.
"Itu tidak mungkin!" pekik Phoa Kin-sian keras sambil memutar
tubuh hendak tinggal pergi, namun baru beberapa langkah tanpa
merasa langkahnya berhenti lagi, hatinya gundah dan berperang
dalam batinnya, dia harus mengambil kepastian yang ganjil,
menolong dia? atau membiarkan dia mati? Akhirnya luluhlah
hatinya, dia harus berkorban untuk

menolong jiwa orang, dua titik air mata meleleh membasahi
pipinya. Sebenarnya betapapun dia tidak rela berbuat begitu, tapi
tidak bisa tidak dia harus melakukannya. Suaranya tergetar
menggumam:
"Suhu, kaulah yang menjerumuskan aku, demi melaksanakan
perintahmu, terpaksa aku harus mengorbankan tubuhku!"
Maka bagai perwira yang menuju kemedan bhakti dengan langkah
lebar ia mendekati kehadapan Suma Bing, katanya sambil
mengertak gigi:
"Suma Bing, sekarang aku menolong kau, kelak kalau kau
menelantarkan aku, aku pasti akan membunuhmu."
Napas Suma Bing kempas kempis, ingatan dan pandangannya
remang2 tidak dapat membedakan apa yang dilihatnya, sudah
tentu dia tidak dengar ucapan Phoa Kin-sian itu.
Lantas dikempitnya Suma Bing dibawah ketiaknya dibawa masuk
kedalam hutan yang lebih dalam dan tersembunyi, dimana ia buka
jalan darah Suma Bing yang tertutuk, maka terjadilah sebuah
tragedi yang tengah dipanggungkan dalam sebuah hutan lebat
tanpa seorang penonton jua. Kesadaran Suma Bing sudah hilang,
bagai serigala buas yang haus darah begitulah dia tengah
merangsang dengan menggila. Bagai sekuntum bunga yang
tengah mekar diterpa hujan badai, bunga yang lemah itu sedang
mengeluh kesakitan, begitulah keadaan Phoa Kin-sian...
Setelah hujan badai mereda terasalah suatu keheningan yang
mencekam sekelilingnya. Ber-angsur2 ingatan Suma Bing mulai
sadar dan ia merayap bangun, pandangan pertama yang dilihat
matanya adalah tubuh yang separo telanjang disampingnya. Suatu
perasaan terhina menjalar dalam benaknya membuat ia melonjak
bangun seperti disengat kala, sambil mengayun tangannya ia
membentak:

"Kubunuh kau sundel jalang!" Mendadak matanya menatap
kearah noktah darah yang
berceceran ditanah sekitarnya, tanpa terasa tergetar hatinya. Apa
mungkin Tok-bi-kui masih merupakan seorang gadis perawan
tingting? Waktu ia menegasi, seketika tubuhnya tergetar bagai
tersetrom aliran listrik. Hampir dia tidak percaya akan apa yang
dilihat itu adalah kenyataan. Dikucek2nya matanya dan menegasi
lagi. Ya, memang benar tidak salah, dialah Phoa Kin-sian adanya.
"Apakah yang telah terjadi? Mengapa Tok-bi-kui berobah menjadi
Phoa Kin-sian." demikian ia ber-tanya2 dalam hati.
Entah karena malu atau tersiksa terlalu berat, keadaan Phoa
Kin-sian seperti tidur nyenyak tanpa bergerak.
Suma Bing merenggut rambutnya sekuat2nya, ia mencoba
mengenang kembali dan berharap dapat menemukan sepercik
penemuan dalam pikirannya yang kabur dan mulai terang itu.
Samar-samar teringat olehnya bahwa dirinya telah tertawan oleh
Tok-bi-kui Ma Siok-tjeng dan ditutuk dengan cara aneh dari aliran
sesat hingga dirinya dirasuk oleh nafsu setan birahi, dalam saat2
genting itulah ia teringat ada seseorang menyerbu tiba lantas
terdengar suara bertempur...
Ya begitulah, Phoa Kin-sian telah mengorbankan dirinya demi
menolong dirinya. Karena pikirannya ini tubuhnya terhuyung
hampir roboh. Dia insaf bahwa dirinya telah membuat suatu noda
hitam yang berdosa selama hidupnya.
Bagian tubuh Phoa Kin-sian yang masih tersingkap itu membuat
hatinya berguncang lagi, darah panas merangsang kepalanya.
Per-lahan2 ia maju mendekat dengan hati2 membetulkan bajunya
yang tak karuan itu, menutupi bagian yang membuat hatinya
bergejolak keras.
Pada saat itulah, sepasang mata Phoa Kin-sian yang bundar jeli
terbuka lebar dan mendadak bergegas bangun berdiri.

"Plak, plok" kontan Suma Bing rasakan pandangannya berkunang2,
darah meleleh dari sudut mulutnya ia tersurut dua
langkah. Dengan terbelalak heran dan kaget ia mengawasi Phoa
Kin-sian, entah mengapa dia tidak tahu mendadak Phoa Kin-sian
bisa menggampar mukanya dua kali.
Setelah persen dua kali tamparan dimuka Suma Bing, tiba2 Phoa
Kin-sian memutar tubuh memeluk sebatang pohon dan menangis
ter-gerung2.
Sedungu Suma Bing juga maklum dan ikut merasakan betapa pedih
dan kecut perasaan hatinya itu. Sampai pada detik itu tidak lebih
dua jam mereka bertemu dan berkenalan, tapi demi jiwanya ia rela
mempersembahkan kesuciannya yang tak ternilai. Betapa besar
pengorbanannya itu, bagaimana pula dia takkan menangis.
Saking sesal Suma Bing terbungkam mulutnya, tak tahu dia
bagaimana dia harus mengeluarkan kata2 untuk menghiburnya.
Lama dan lama sekali baru dia tergagap membuka kata:
"Nona Phoa, sungguh menyesal aku telah berbuat salah terhadap
kau!"
Phoa Kin-sian menghentikan tangisnya dan berpaling, katanya
dengan nada pedih penuh kemarahan:
"Suma Bing, menyesal berbuat salah itulah tanggung jawabmu?"
"Maksud nona..." "Kau sudah menghina dan menyiksa aku
sedemikian rupa,
akan kubunuh kau!" Berobah tegang air muka Suma
Bing, katanya: "Aku bukan sengaja hendak berbuat
begitu." "Lalu dengan minta ma'af saja lantas
beres?"

"Ini... tidak, selama hayat masih dikandung badan, Suma Bing
pasti tidak akan membuatmu kecewa, tapi..."
"Bagaimana?" "Saat ini aku kurang bebas." "Bagaimana artinya
itu?" "Aku pernah dikurung oleh Setan Barat didalam barisan
jeritan setan menyedot sukma. Untuk menepati janjiku dengan
Siang Siau-hun, Setan barat meluluskan kedatanganku kemari,
tapi dalam tempo tujuh hari aku harus kembali ketempat
kediamannya itu!"
Phoa Kin-sian menunjuk rasa kejut, tanyanya: "Mengapa Setan
barat hendak mengurung kau?" Suma Bing tertawa ewa,
sahutnya: "Sampai sekarang aku masih belum jelas
persoalannya. Ada
kemungkinan mengenai suka-duka perguruanku." "Apa kau
hendak kembali?" "Tentu, seorang laki2 harus menepati
ucapannya, mana
boleh aku ingkar janji?" "Setan barat terkenal kejam dan telengas,
sepergimu ini..." "Aku tidak perduli dengan akibatnya." "Tapi
menurut apa yang aku tahu, dendam kesumat dan
sakit hatimu masih belum terbalas, mana boleh kau pandang
jiwamu semurah itu?"
"Akan tetapi, aku tidak bisa menelan ludahku lagi? O, nona
Phoa..."
"Huh, nona? kau..." mendengar Suma Bing masih memanggilnya
nona wajah Phoa Kin-sian berobah gusar.
Merah wajah Suma Bing, cepat2 ia ganti mulut:

"Adik Sian, kemana Tok-bi-kui si perempuan jalang itu?" "Sudah
kugebah pergi!" "Sebenarnya apakah yang telah diperbuatnya
diatas
tubuhku, bagaimana bisa..." Kontan merah jengah selebar muka
Phoa Kin-sian,
berselang agak lama baru dia menyahut: "Dia menggunakan
tutukan jari dari aliran sesat yang paling
rendah. Kalau sudah tertutuk kepandaian macam itu, seumpama
dewapun takkan kuat menahan gelora hatinya, apalagi tiada jalan
lain..." sampai disini ia merandek, lalu berkata lagi:
"Aku tidak tega melihatmu meregang nyawa dalam waktu
setengah jam ini. Bersama itu aku juga menerima perintah suhu
untuk membantu kau secara diam-diam..."
Kaget dan heran Suma Bing dibuatnya, tanyanya: "Suhumu
menyuruh kau membantu aku?" Phoa Kin-sian mengiakan.
"Siapakah suhumu itu?" "Ong Fong-jui!" Sungguh kejut Suma
Bing bukan kepalang, kiranya Phoa
Kin-sian adalah murid bibinya Ong Fong-jui, ini benar2 diluar
dugaannya.
"Adik Sian, kau... kau adalah murid bibi Jui?" "Bagaimana, kau
merasa diluar dugaan bukan?" Suma Bing bersorak girang,
katanya: "Benar diluar dugaan. Adik Sian, selama hidup ini
pasti kau
takkan aku lupakan." "Lalu bagaimana kau hendak bertanggung
jawab terhadap
Siang Siau-hun?"

Sungguh Suma Bing tidak menduga akan mendapat pertanyaan
ini, seketika merah dan merongkol otot dijidatnya, ia bungkam
seribu basa. Ya, betapa besar rasa cinta Siang Siau-hun, kejadian
mati hidup dibiara bobrok itu masa dapat terlupakan olehnya.
Phoa Kin-sian tersenyum manis, katanya: "Engkoh Bing, kau
lebih siang berkenalan dengan dia, tak
dapat aku melukai hati suci seorang gadis bersih. Hanya kau
harus ingat, aku sekarang sudah menjadi milikmu, dan aku sudah
puas."
"Adik Sian, pasti aku takkan lupa" sahut Suma Bing tegas. "Apa
kau benar2 harus kembali kecengkeraman Setan
barat?" "Tidak bisa tidak aku harus kembali!" "Baik, kau
berangkatlah" "Adik Sian, aku..." "Bagaimana?" "Aku selalu akan
merasa telah berbuat salah terhadap kau." "Hal itu sudah lewat,
soalnya terletak pada masa yang akan
datang, sekarang pergilah tepati janjimu kepada Setan barat itu!"
"Adik Sian, kuharap kau baik2 menjaga dirimu, kuharap kelak kita
dapat bertemu lagi dengan selamat."
"Pasti dapat." Suma Bing maju memeluk Phoa Kin-sian dan
memberinya
sebuah ciuman panjang, ciuman yang mengandung penyesalan dan
haru, bersama pula pengantar perpisahan yang berat.

Dia harus segera berangkat untuk menepati janjinya supaya tidak
terlambat dalam jangka tempo tujuh hari. Dipandangnya Phoa
Kin-sian lekat2 dan katanya:
"Adik Sian, maafkanlah aku, waktu sangat mendesak, aku hendak
berangkat!"
Phoa Kin sian manggut2, mengiring keberangkatan Suma Bing
dengan senyum pilu.
Dengan langkah berat segera Suma Bing melejit tinggi berlari keluar
rimba. Bertepatan dengan hilang bayangan Suma Bing, dua titik air
mata meleleh keluar membasahi pipi Phoa Kin-sian. Betapa dia
takkan kepincut dan memuja pemuda ganteng yang meluluhkan
hatinya ini. Akan tetapi persentuhan tubuh dalam keadaan yang
mengenaskan itu benar2 membuat hatinya hancur luluh. Memang
pengorbanannya terlalu besar. Segera ia membetulkan pakaiannya
yang tidak karuan, setelah menghela napas panjang pendek, iapun
berlari keluar rimba.
Dalam pada itu dengan rasa berat dan hampa Suma Bing tengah
berlari kencang untuk menepati janji Setan barat. Tak tahu dia
bagaimana Setan barat hendak menghadapi dirinya? Sepanjang
jalan bayangan Ting Hoan, Siang Siau hun, dan Phoa Kin-Sian
bergantian terbayang didepan matanya, membuat otaknya pepat
hampir meledak rasanya.
Tujuh hari kemudian waktu matahari hampir tenggelam diujung
barat sana akhirnya tiba juga dia dibawah bukit Te- tjui-hong.
Benar juga wanita serba hitam bernama Sim Giok- sia itu sudah
menantinya dengan sebuah sampan. Tanpa banyak cakap Suma
Bing langsung melompat naik keatas sampan. Segera Sim Giok-sia
melajukan sampannya ketengah danau dengan cepat.
Dalam kesunyian sekian lamanya, akhirnya Sim Giok-sia membuka
kata:
Tiraik
asih
Websi
te
http://
kangz
usi.co
m/
"Suma Bing, kiranya janjimu dapat dipercaya dari matahari terbit
aku menanti sampai sekarang, kusangka kau tidak akan datang
lagi?"
"Sebagai seorang laki2 sejati aku pasti menepati janjiku, dan
itulah modalku."
"Apa kau tahu bagaimana suhu hendak menghadapi kau?"
"Bagaimana apa kau tahu?" "Mengurungmu seumur hidup!"
Melonjak keras hati Suma Bing. "Mengapa suhumu berbuat
begitu kejam terhadap diriku?" -oo0dw0oo
Jilid
5
17
SUM
A
BIN
G
MEN
OLO
NG
RAC
UN
DI
RAC
UN
"Sebagai pembalasan!" "Pembalasan?" "Benar, pembalasan
terhadap Kho-lo-sia, gurumu itu
sekarang sudah mati, maka kaulah yang harus menebus dosanya."
"Tapi, kenapakah sebenarnya?" "Karena benci!" seru Sim
Giok-sia berang. "Aku masih belum jelas!" "Belum jelas ya
sudah" Pada saat itulah dari kejauhan ditengah danau sana
mend
atang
i
sebua
h
samp

ditengah alunan ombak danau bagai seekor burung pinis melaju
dengan cepat.
Sim Giok-sia berseru kejut dan menghentikan sampannya, tak
lama kemudian sampan itu sudah tiba dihadapan mereka, terlihat
diatas sampan kecil itu berduduk seorang wanita bersolek yang
berpakaian sangat mewah dengan sanggul kepalanya penuh
dihiasi mutiara.
Sejenak Suma Bing tertegun, lantas berseru kegirangan:
"Jui-ih!" Memang wanita setengah umur yang duduk dalam
sampan
kecil itu adalah bibinya Ong Fong-jui. Ong Fong-jui manggut2,
lalu berkata kepada Sim Giok-sia: "Putar haluan!" Selintas Sim
Giok-sia melengak, lantas tanyanya: "Siapa kau?" "Ong Fong-jui!"
"Mengandal apa kau minta aku putar haluan!" "Atas perintah
Suhumu!" "Mengandal ucapan mulutmu itu?" semprot Sim
Giok-sia. Kata Ong Fong-jui dengan nada berat: "Setelah tiba
didaratan akan kujelaskan, sekarang putarlah
dulu haluan!" sambil berkata sebelah tangannya diayun sejalur
angin kencang berputar tiba membuat sampan yang dinaiki Sim
Giok-sia dan Suma Bing berputar arah terus melesat jauh balik
kearah Te-tjui-hong.
"Kau berani!" bentak Sim Giok-sia gusar. Beruntun kedua
tangannya memukul kepermukaan air untuk menghentikan

luncuran perahunya, namun bagaimanapun usahanya sia2,
sampannya itu tetap meluncur lempang kedepan.
Seperti permainan anak2 saja tanpa mengeluarkan tenaga besar,
kedua tangan Ong Fong-jui bergerak bergantian mendera kedua
sampan mereka. Dalam waktu singkat mereka sudah tiba dibawah
Te-tjui-hong. Tanpa perdulikan apa yang bakal terjadi Suma Bing
mendahului melompat kedarat. Segera Ong Fong-juipun mengikuti
jejaknya.
Sungguh dongkol dan gusar Sim Giok-sia bukan olah2, begitu
kakinya menginjak tanah langsung ia kirim tiga kali pukulan hebat
kearah Ong Fong-jui.
Ringan dan seenaknya saja Ong Fong-jui mengebutkan lengan
bajunya, maka tiga kali serangan Sim Giok-sia itu sirna hilang
bagai tenggelam dalam lautan.
Diam2 Suma Bing melelet lidah, sungguh diluar tahunya bahwa
Lwekang bibinya ternjata sedemikian tinggi. Naga2nya masih
berada diatas Lam-sia dan Setan barat.
Saking gusar dan kewalahan Sim Giok-sia gemetar dan
menghentikan serangannya. Dia insaf bahwa kepandaian lawan
berlipat ganda lebih tinggi dari kemampuannya, akan sia2lah
tindakannya yang tanpa perhitungan. Hanya dia heran bagaimana
bisa lawan datang dari arah pulau ditengah danau sana. Lagipula
bukan saja melihat mendengar nama Ong Fong-jui saja dia belum
pernah.
Pandangan Ong Fong-jui menyapu dua orang didepannya lalu
berkata:
"Sim Giok-sia, dihitung usia kau lebih tua dari aku. Kalau menurut
tingkatan aku lebih tinggi dari kau! Maka aku langsung memanggil
namamu. Apa kau tahu apa hubunganmu dengan Suma Bing?"
Mendengar pertanyaan terakhir ini bukan saja Sim Giok-sia
melengak heran, Suma Bing juga melonjak kaget.

"Hubungan apa?" tanya Sim Giok-sia gemetar. "Kakak beradik
seperguruan!" Saking kaget Suma Bing mundur selangkah,
pandangannya
menyapu Sim Giok-sia, serunya heran dan tak mengerti: "Kakak
beradik seperguruan?" "Benar, kakak beradik seperguruan." sahut
Ong Fong-jui
serius. "Bagaimana jelasnya ucapanmu ini?" tanya Sim Giok-sia
penuh haru. "Kau tahu apa hubunganmu dengan Setan barat?"
"Dia Suhuku." "Kau salah, dia adalah ibumu." Sim Giok-sia
terhuyung tiga langkah, tubuhnya menggigil,
kepala diabitkan menyingkap rambut panjang kebelakang, maka
terlihatlah wajahnya yang pucat pias setengah tua, wajah itu
penuh keheranan dan bertanya gemetar:
"Dia adalah Bundaku?" "Benar, dan Sia sin Kho Jiang adalah
ayah kandungmu!" Sim Giok-sia terkulai hampir roboh, ini
benar2 suatu berita
yang susah dipercaya dan dapat diterima olehnya. "Apakah itu
benar?" gumam Suma Bing penuh haru. "Tentu, kalau tidak
dikatakan langsung oleh Setan barat
sendiri pada sejam yang lalu, aku sendiripun tidak tahu. Hati Sim
Giok-sia terasa sangat pilu dan perih penuh haru,
dia terlongong mematung seperti orang linglung, mulutnya
menggumam:
"Aku tidak mengerti!"

"Sudah tentu," ujar Ong Fong-jui menghela napas. "Inilah kisah
terpendam dalam sanubari orang, siapapun takkan tahu. Lam-sia
dan Se-kui sudah bermain asmara pada lima puluh tahun yang
lalu. Yang satu sesat sedang yang lain aneh, akhirnya mereka,
berpisah karena suatu salah paham. Sejak mereka berpisah Se-kui
lantas melahirkan seorang anak perempuan yaitu kau..." matanya
menatap Sim Giok-sia.
Tubuh Sim Giok-sia tergetar. Tutur Ong Fong-jui lagi: "Karena
patah hati Se-kui membenci seluruh lelaki
diseluruh jagad ini. Maka setelah mengetahui hubunganmu dengan
Wi-thian-tjhiu Poh Jiang dia mengurungmu, dan melarang kau
bertemu dengan dia..."
Tiba2 Suma Bing menyelak: "Wi-thian-tjhiu Poh Jiang mengapa
berganti julukan jadi
Tiang-un Suseng?" Airmuka, Sim Giok-sia semakin pucat,
sebenarnya dia
menaruh dendam dan benci terhadap suhunya, sungguh diluar
tahunya bahwa suhunya ternyata adalah ibu kandungnya sendiri,
luluhlah segala kekerasan hatinya, katanya lemah.
"Aku tidak dapat salahkan dia, dia tidak sengaja hendak menyiksa
aku, adalah karena pukulan batinnya yang berat membuat jiwanya
berobah, dalam pengertiannya dia takut aku kena tipu."
"Pikiranmu ini benar, tiada seorang ibu yang tidak mencintai
anaknya, hal ini tidak dapat menyalahkan ibumu."
Baru sekarang Suma Bing jelas dan paham, sebab apa gurunya
melarang dia berkelahi lawan orang yang pandai ilmu
Pek-pian-kui-jiau.
Setelah berhenti sekian lamanya, Ong Fong-jui melanjutkan
ceritanya:

"Delapanbelas tahun yang lalu, sepasang kekasih tua ini mendapat
kata sepakat dan pengertian, sayang Sia-sin Kho Djiang mengalami
bencana. Setan barat mencurigainya berobah hati. Sampai tak
lama kemudian baru dari kau..." matanya menatap Suma Bing, "...
dari mulutmu ia tahu mengapa pada delapanbelas tahun yang lalu
ayahmu ingkar janji, kiranya karena, mengalami bencana itu. Hal
ini tambah membuat hatinya hancur luluh ia bersumpah selama
hidup ini tidak akan muncul lagi didunia Kangouw!"
Kedua mata Sim Giok-sia merah dan meneteskan airmata dikedua
pipinya yang pias pucat, suaranya seperti orang mengigau:
"Semua peristiwa sudah lalu, bagai sebuah mimpi, tapi justru
meninggalkan bekas. Semua ini seperti terjadi kemaren, adalah
sekarang aku mendadak merasakan usiaku, aku sudah tua... tapi
aku masih ingin bertemu dengan Poh Jiang sekali lagi." suaranya
ini benar2 sangat berkesan dan memilukan hati.
Mendadak sinar mata Sim Giok-sia ber-kilat2 menatap wajah Suma
Bing, tanyanya:
"Sute apa kau benar2 hendak membunuh Tiang-un Suseng?"
Sejenak Suma Bing tertegun dan ragu2 lalu sahutnya hampa:
"Suci, perintah guru susah dibangkang." "Bing-tit," sela Ong
Fong-jui, "Peristiwa yang lalu kesalahan
bukan dipihak Bu-lim-sip-yu. Adalah suhengmu Loh Tju-gi itu
biangkeladinya. Betapa erat hubungan Bu-lim-sip-yu maka tiada
salahnya kalau mereka menuntut balas. Lagi pula bila suhumu
tahu hubungan sucimu dengan Tiang-un Suseng, mungkin dia
tidak akan menyuruhmu berbuat demikian."

"Ya, mungkin juga begitu," ujar Suma Bing sambil manggut2,
"Namun dia orang tua sudah dialam baka, aku sebagai muridnya
harus melaksanakan pesannya."
"Tapi subomu juga berpendapat supaya kau tidak menuntut balas
lagi kepada salah seorang dari Bu-lim-sip-yu yang masih
ketinggalan hidup itu?"
"Ini..." sesaat lamanya Suma Bing menjadi gagu tak dapat
menjawab.
Ong Fong-jui berputar dan berkata kepada Sim Giok-sia:
"Sekarang kau boleh pulang, bujuklah beberapa kata patah
pada ibumu. Kelak dikalangan Kangouw kau harus mencuci bersih
nama perguruan bersama sutemu, carilah jejak Loh Tju gi."
Sim Giok-sia mengangguk tanpa membuka suara, terus naik
kesampannya langsung kembali ketengah danau.
Ong Fong-jui menghela napas dan berkata: "Seorang wanita
yang harus dikasihani, sang ibu telah
mengubur masa remajanya." "Benar," ujar Suma Bing
menyanggah, "betul2 seorang
wanita yang bernasib jelek, rasanya aku ingin berbuat sesuatu
apa untuk dia..."
"Bing-tit, walaupun suhu dan subomu berpisah karena salah
paham, namun cita2 mereka adalah sedemikian murni dan dalam,
hanya sifat jelek masing2 merintangi mereka rujuk kembali. Jikalau
kau dapat menemukan Tiang-un Suseng, mempersembahkan
kembali bahagia sucimu yang sudah terlambat, tentu kau dapat
menghibur arwah suhumu dialam baka."
Suma Bing mengiakan sembarangan, saat ini dia tidak ingin
memperbincangkan soal itu, segera ia memutar bahan
pembicaraan:

"Jui-ih, bagaimana kau dapat datang kemari?" Wajah Ong
Fong-jui agak berobah, katanya: "Bing-tit, aku mendapat berita
dari Phoa Kin-sian, lantas
secepat terbang aku menyusul kemari, untung masih sempat
kutolong kau dari renggutan Setan barat."
Menyinggung nama Phoa Kin-sian, kontan merah jengah selebar
muka Suma Bing jantungnya berdetak keras, adegan didalam
rimba itu terbayang pula dalam benaknya, tak tahu dia apakah
Phoa Kin-sian telah menuturkan sejelasnya kepada suhunya ini.
Kata Ong Fong-jui lagi sungguh2: "Kin-sian sudah melapor
segala kejadian sejelasnya
kepadaku, memang kesalahan bukan dipihakmu, tapi hakekatnya
sekarang dia sudah menjadi istrimu, bagaimana rasa tanggung
jawabmu?"
Sikap Suma Bing sangat kikuk dan risi, sahutnya: "Kuakui dia
sebagai istriku, aku tidak akan menelantarkan
dia." "Begitupun baik, kalau tidak akupun tidak akan
mengampuni kau." sejenak merandek lalu katanya lagi: "Subomu
minta aku memberitahu kepadamu, dikalangan Kangouw kau
jangan merendahkan derajat dan nama Sia-sin Kho Jiang?"
"Aku paham!" "O, ya, dia masih ada sebuah barang hadiah
untuk kau" Suma Bing melengak, tanyanya: "Hadiah apa?"
"Kiu-tjoan-hoan-yang-tjau-ko!"
"Kiu-tjoan-hoan-yang-tjau-ko, dia juga punya?"

"Ya, semua ada dua butir, subo dan suhumu masing2 menyimpan
sebutir..."
"Milik suhu itu sudah dicuri dan mungkin sudah ditelan oleh Loh
Tju-gi."
"Hal itu aku sudah tahu, setelah menelan Kiu-tjoan-hoanyang-
tjau-ko ini dapat menambah Lwekangmu maju satu kali
lipat."
"Aku... haruskah menerima?" "Pemberian dari angkatan tua
tidak boleh ditolak. Sekarang
juga boleh kau telan, biar kubantu kau membaurkan kedalam
tenaga murnimu."
Lalu dikeluarkannya sebuah peles kecil terbuat dari porselin lalu
dituangnya sebutir buah sebesar kacang yang berbau harum yang
aneh langsung diangsurkan kepada Suma Bing. Segera Suma Bing
menerima dengan kedua tangannya terus dimasukkan kedalam
mulut.
"Duduklah dan mulai semedi, pusatkan pikiran dan hilangkan
segala perasaan."
Suma Bing menurut apa yang diperintahkan. Segera terasa
segulung hawa panas timbul dari pusarnya, lalu disusul sejalur
hawa panas yang kuat menembus masuk melalui jalan darah
Bing-bun-hiat, ditambah hawa murni dalam tubuhnya, tiga macam
hawa murni terbaur menjadi satu terus berputar dan mengalir
deras keseluruh tubuh. Tidak lama kemudian hilanglah segala
perasaan jasmaniah. Entah sudah berselang berapa lamanya,
mendadak terdengar sebuah bentakan nyaring:
"Tarik tenaga." Sigap sekali Suma Bing melompat bangun,
terasa
semangatnya me-nyala2 tenaganya bergairah padat memenuhi
seluruh tubuh, hingga terasa nyaman dan ringan sekali.

Saat mana Bintang2 dilangit sudah berkelap-kelip kiranya hari
sudah gelap.
"Bing-tit, sekarang juga lebih baik kau menuju ke Bu-kong- san
mencoba keberuntunganmu..."
"Maksud Jui-ih tentang Bunga-iblis itu?" "Benar, kalau kau bisa
mendapatkan Bunga iblis, dengan
mudah Pedang darah dapat kau rebut." Rasa heran dan curiga
membuat Suma Bing nanap
mengawasi Ong Fong-jui, entah apa yang dimaksud tentang
Pedang darah yang agaknya sangat disepelekan itu? Pedang
darah sudah terjatuh ditangan Racun diracun, masa dengan
mudah dia bisa meminta kembali?
"Bing-tit, mengapa tubuhmu kebal akan racun, apa kau..."
"Dari Si-gwa-sian-jin aku diberi sebatang rumput ular serta
sebutir buahnya." "O, begitu kiranya, sungguh besar rejekimu."
"Jui-ih, ada satu berita hendak kuberitahu kepadamu."
"Coba katakan" "Menurut kata Tou-sing-to-gwat Si Ban-tjwan si
maling
bintang, bahwa ibu masih hidup didunia fana ini." "Apa betul?"
seru Ong Fong-jui kaget, wajahnyapun
berobah. Lantas secara singkat Suma Bing menutur
pertemuannya
dengan si maling bintang Si Ban-tjwan dan mengisahkan lagi
cerita yang didengarnya itu dengan haru.
"Bing-tit," seru Ong Fong-jui berlinang air mata girang. "Benar2
suatu hal yang tak terduga. Kalau dapat menemukan ibumu, pasti
seluruh musuh besarmu dapat dibereskan. Tapi aku masih curiga,
sudah selama puluhan tahun, mengapa tiada sesuatu reaksi
dikalangan Kangouw."

"Benar, akupun berpikir begitu. Tapi ucapan si maling bintang
pasti dapat dipercaya mungkin masih ada sesuatu sebab lain yang
belum kita ketahui!"
"Lebih baik kau segera menuju ke Bu-kong-san, meskipun
harapan itu sangat kecil belum tentu tercapai. Tapi inilah cita2
ayahmu semasa hidup, sudah seharusnya kau melaksanakan
keinginannya terakhir."
"Baiklah." "Tentang jejak ibumu, aku juga harus ikut mencari
sekuat
tenaga" Sebentar Suma Bing berpikir2, lalu memberi hormat serta
katanya: "Jui-ih, baiklah Tit-ji minta diri." "Baik, kudoakan kau
berhasil, tapi semua kejadian didunia
ini tergantung jodoh, jangan kau terlalu paksakan diri, kuharap kau
selalu ingat perkataanku ini."
"Tit-ji akan selalu ingat." hilang suaranya tubuhnya sudah
berkelebat hilang.
Waktu terang tanah, Suma Bing sudah berlarian sejauh ratusan li.
Seperti kata bibinya bahwa perjalanannya ini belum tentu bisa
mendapat sukses karena harapan itu adalah sangat kecil. Coba
pikir, Bu siang-sin-li adalah tokoh aneh yang sudah berusia seabad
lebih, apakah masih hidup didunia fana ini, masih merupakan
persoalan baginya. Dan lagi sedemikian besar gunung
Bu-kong-san itu, siapa tahu dimana Bu-siang- sin-li bersemayam?
Diumpamakan saja secara kebetulan dapat diketemukan, apakah
orang mau memberikan Bunga-iblis itu yang dipandang sebagai
benda keramat dan paling berharga malah di-kejar2 oleh kaum
persilatan? Ya, meskipun sepercik harapan saja, namun dia harus
mencoba sekuat tenaganya, perintah guru dan cita2 orang tua
harus dilaksanakan dan diselesaikan secara menyeluruh.

Bahwa Pedang berdarah dan Bunga iblis mengandung rahasia ilmu
silat mujijat yang paling digdaya dan merupakan raja dari seluruh
ilmu silat adalah menjadi incaran dan impian seluruh kaum
Kangouw.
Begitulah tengah Suma Bing berlangkah ringan, mendadak sebuah
suara yang sangat dikenal tengah memanggil dibelakangnya:
"Suma-hiante!" Segera Suma Bing menghentikan langkah dan
berputar
tubuh, tanpa terasa ia terlongo kaget, karena orang yang berseru
memanggil dirinya kiranya adalah si orang berkedok yang telah
terjungkal kedalam jurang yang juga disangkanya sudah
meninggal itu.
"Bong-bian-heng, kau... kau belum meninggal?" Si orang
berkedok maju mendekat kehadapan Suma Bing
dan tertawa gelak2, katanya: "Berkat rahmat Tuhan, aku masih
hidup didunia fana ini!" "Tidak heran aku tidak menemukan
jenazahmu dalam
jurang itu. Tapi sudah jelas bahwa kau telah terjungkal masuk
jurang oleh pukulan ketua Bwe-hwa-hwe itu..."
"Ya, memang, tapi ditengah jalan aku dapat menjangkau sebuah
batu yang menonjol keluar, terhindarlah aku dari terbanting
mampus hancur lebur didasar jurang itu."
"Heng-tai (saudara tua) dari mana?" "Sungguh sangat
kebetulan, aku tengah mencari kau." "Mencari aku?" "Ya,
begitulah!" "Ada urusan apakah?"

"Racun diracun kini terkurung dalam sebuah barisan kira2
beberapa li dari sini..."
Suma Bing melonjak kaget, serunya: "Terkurung oleh siapa
Racun diracun itu?" "Oleh Racun utara!" Suma Bing lebih kaget
dan heran tak mengerti, tanyanya: "Agaknya tidak mungkin..."
"Kenapa?" "Aku menyaksikan sendiri waktu Racun utara dan
Racun
diracun beradu kepandaian minum racun. Akhirnya Racun utara
kalah berbisa dari Racun diracun, dia terluka oleh bisa
Ban-lian-tok-bo dari Racun diracun, dalam sepuluh tahun baru
dapat memunahkan seluruh racun berbisa dalam tubuhnya itu.
Mana mungkin dia mengurung..."
Tanpa menanti orang selesai bicara si orang berkedok segera
menukas:
"Tapi kejadian inipun kusaksikan sendiri, malah sekarang masih
dalam kenyataan, karena Racun diracun saat ini masih terkurung
dalam barisan itu."
"Racun utara yang membentuk barisan itu?" "Bukan, ada lima
puluh jagoan silat dari Bwe-hwa-hwe
turut hadir disana, naga2nya mereka berkomplot saling bantumembantu..."
"Selamanya Racun utara paling menjaga gengsi dan tingkat
kedudukan, sungguh tak terduga akhirnya ia minta bantuan orang
lain juga."
"Benar, mungkin dia diperalat oleh Bwe-hwa-hwe khusus untuk
menghadapi Racun diracun. Bukankah kau mengatakan bahwa
Racun utara pernah dikalahkan oleh Racun diracun. Mungkin
karena tamak hendak menebus kekalahannya, dan

lagi sehari sebelum Racun diracun lenyap dari bumi ini, dia takkan
dapat merajai menggunakan racun berbisanya lagi. Sebaliknya
Bwe-hwa-hwe tengah mengincar Pedang berdarah itu. Bukankah
bakal terlaksana tujuan mereka masing- masing?"
Suma Bing manggut, katanya: "Pendapat Heng-tai memang
tepat!" Kata si orang berkedok lagi: "Tujuanku mencari kau
adalah untuk mencari kesempatan
merebut pulang Pedang darah itu." Sejenak Suma Bing merenung
dan berpikir, lalu ujarnya: "Tidak, sekali ini aku hendak menolong
Racun diracun!" "Apa kau hendak menolong Racun diracun?"
"Benar?" "Tanpa syarat?" "Ya, menolongnya tanpa syarat!"
"Mengapa?" "Aku pernah terluka parah oleh pukulan Racun utara,
untung dia memberiku sebutir obat dan merintangi Racun utara
waktu dia hendak turunkan tangan kejinya kepadaku, ini terhitung
dia ada budi kepadaku, maka akupun harus menolongnya sekali."
"Lalu bagaimana dengan Pedang darah itu?" "Seorang laki2
harus tegas membedakan antara dendam
dan budi, kelak masih ada kesempatan." "Apa boleh buat, mari
segera kita kesana!" Sebat luar biasa tubuh mereka melenting
tinggi terus
menghilang dikejauhan. Tidak lama kemudian tibalah mereka
disebuah rimba raya, dimana terlihat puluhan jago2 silat BweTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hwa-hwe tengah mengepung puluhan pohon besar seluas lima
enam tombak, ditengah diantara puluhan pohon2 besar itu
ber-tumpuk2 batu2 dan dahan2 pohon yang sudah kering!
Didalam lingkungan bundaran batu dan dahan pohon itu terlihat
berduduk sila seorang berkedok serba hitam. Sedang disebelah
sana terlihat Racun utara tengah duduk diatas sebuah dahan
pohon besar.
Gesit dan lincah luar biasa mereka sembunyi diantara dahan2
pohon yang lebat itu, Suma Bing bertanya heran:
"Tumpukan batu dan dahan pohon itulah barisan yang kau
katakan?"
"Benar!" sahut si orang berkedok lirih! "Hanya seluas lima
tombak lantas dapat mengurung Racun
diracun?" "Justru disitulah kehebatan dan keanehan barisan itu.
Dilihat dari luar memang biasa saja, tapi sekali kau berada
didalam lain lagi keadaannya, kalau kau tidak mengetahui duduk
barisan ini, meskipun kepandaianmu setinggi langitpun mandah
saja terima binasa."
"Masa begitu lihay?" "Benar!" "Apakah Heng-tai mengenal
bentuk barisan macam apakah
itu?" "Kebetulan barisan ini adalah lawan kebalikannya dari Ngo
heng-tin (lima unsur). Asal kau dapat masuk dari lobang tengah
diantara kedua pohon itu, lantas kekiri tiga langkah dan maju
setindak, menggeser kekanan lima langkah kau sisihkan dahan
pohon yang melintang itu lalu kau pukul roboh dua gundukan batu
dihadapanmu terus maju lempang kedepan delapan langkah, kau
sapu lagi gundukan batu terbesar itu, barisan ini terhitung sudah
kau pecahkan. Asal

kau dapat menolong keluar Racun diracun, Racun utara dan para
kerabat dari Bwe-hwa-hwe itu sangat gampang digebah pergi.
Karena aku kuatir Racun utara menggunakan bisanya, maka lebih
baik kau saja yang menerjang kedalam barisan itu."
Suma Bing mengangguk paham, ujarnya: "Baik, tapi aku
hendak tempur Racun utara dulu." "Kau hendak tempur Racun
utara?" Suma Bing mengiakan sambil merogoh keluar Cincin
iblis
terus dipakai dijarinya. Cincin iblis adalah benda pertanda dari
Lam-sia, dia ingin secara resmi sebagai murid Lam-sia berhadapan
dimuka Bu-lim. Pesan Setan barat yang disampaikan Ong Fong-jui
sudah meresap dalam sanubarinya, tidak boleh dia melemahkan
gengsi dan nama serta kedudukan suhunya yang ditakuti dan tenar
itu.
Dia pernah menelan seluruh batang rumput ular, badannya kebal
akan segala racun, subonya memberikan sebutir Kiutjoan-
hwan-yang-tjau-ko hingga tenaga dalamnya bertambah lipat
ganda, dia ada pegangan dan mantep betul untuk menghadapi
Racun utara salah satu dari Bu-lim-su-ih yang sejajar dengan
tingkat gurunya.
Si orang berkedok mengunjuk rasa kurang tentram, ujarnya:
"Hian-te, Racun utara sejajar dengan gurumu, jangan pula kau
pandang rendah para jagoan Bwe-hwa-hwe itu..."
Suma Bing menjawab dengan angkuhnya: "Aku tahu." Begitu
bergerak tubuhnya berkelebat maju dengan langkah
lebar ia memasuki rimba lebat itu. "Siapa itu?" diiring suara
bentakan ini dua jagoan Bwe-hwahwe
memburu keluar mencegat ditengah jalan.

Waktu Suma Bing angkat kepala, dua jalur sinar matanya yang
dingin membeku bagai tajam pedang melesat menatap dua orang
dihadapannya.
Tanpa kuasa kedua jagoan Bwe-hwa-hwe itu bergidik seram dan
menyedot hawa dingin, salah seorang diantaranya segera
membuka kata memaki:
"Siautju, kalau masih ingin hidup lekas menggelundung pergi!"
Acuh tak acuh Suma Bing mendengus hina, tangan kanan
per-lahan2 diangkat, selarik sinar merah tajam segera memancar
keluar dari tengah jarinya.
"Cincin iblis!" "Kau... Suma Bing murid Lam-sia?" "Benar, jiwa
kalian tidak akan penasaran dan boleh mati
meram!" Seketika kedua jagoan Bwe-hwa-hwe itu undur
ketakutan,
serasa arwah mereka sudah mendahului terbang keluar badan.
Begitu putar tubuh segera mereka hendak lari...
Dimana terlihat sinar merah menyamber disusul dua jeritan ngeri
lantas darahpun berhamburan, badan kedua orang itu seketika
terbanting keras dan melayang jiwanya. Jeritan mereka yang
menyayat hati membuat gempar dan gaduh situasi dalam hutan
yang sunyi senyap itu. Kontan empat orang tua berseragam hitam
berloncatan keluar, satu diantaranya segera berseru kejut dan
ketakutan:
"Dialah Suma Bing, awas lawan berat, serang!" Serentak
empat jalur angin pukulan dahsyat bergelombang
menimpa kearah Suma Bing. Terhadap setiap insan dari
Bwe-hwa-hwe boleh dikata
Suma Bing sudah membenci sampai ketulang sumsum dan tujuh
turunan. Besar niatnya hendak menumpas habis para

durjana dari serikat laknat ini. Dimana kedua tangannya terayun
gelombang panas dari angin pukulannya segera menerjang maju
memapak gabungan tenaga empat musuhnya itu. Pukulan Suma
Bing ini mengandung sepuluh bagian kekuatan Kiu-yang sin-kang.
Kontan terdengar dentuman keras bagai bom atom meledak.
Seketika orang tua seragam hitam yang menerjang tiba lebih dulu
terbang balik kedalam rimba dan menghamburkan hujan darah,
sedang dua yang lain terhuyung jatuh duduk diatas tanah, mulut
dan hidungnya bernoda darah kental.
Gerak gerik Suma Bing tidak berhenti begitu saja, tangkas luar
biasa tubuhnya berkelebat mendesak maju kearah luar barisan
dimana Racun diracun tengah terkurung.
Sampai pada detik itu baru Suma Bing melihat tegas akan situasi
sekeliling barisan ini. Dahan dan daon pohon kering tertumpuk
dimana2 ditaburi belirang dan bahan bakar lain yang gampang
terjilat api, naga2nya mereka hendak hidup2 membakar mati
Racun diracun dalam barisan. Sebaliknya Racun diracun masih
duduk sila dengan tenang, se-akan2 tidak mendengar keributan
yang terjadi diluar barisan.
Begitu melihat Suma Bing muncul disitu, kontan Racun utara
segera mengunjuk sikap mengancam gusar, serunya:
"Tuan2, silahkan mundur ketempat masing2." Benar juga para
jagoan Bwe-hwa-hwe itu segera mundur
teratur tanpa komentar. Maka terdengar Racun utara berkata
dingin: "Suma Bing, sungguh tak duga kau datang mengantar
kematian." Suma Bing tertawa sinis katanya: "Jadah tua berbisa,
ingat perkataanku beberapa waktu
yang lalu. Hari ini akan kubikin kau muntah darah juga."

Dihadapan sekian banyak orang luar dimaki sebagai jadah tua,
sungguh murka Racun utara bukan olah2, wajahnya menyeringai
bengis dan berkata:
"Tapi Lohu segera akan cabut jiwamu." "Hm, takabur benar,
mari kau coba2." ejek Suma Bing. Tidak menanti kata2 Suma
Bing habis diucapkan, Racun
utara sudah membentak menggeledek sambil kirim sebuah
hantaman, sedemikian dahsyat pukulannya ini seakan ingin sekali
pukul ia bikin hancur tubuh Suma Bing menjadi perkedel.
18 MAU MENOLONG MALAH DITOLONG
Sudah tentu Suma Bing tidak berani memandang enteng
serangan musuh ini, bercekat hatinya, serentak dikerahkan
seluruh tenaganya untuk balas menyerang.
Dentuman dahsyat memekak telinga memecah kesunyian begitu
dua angin pukulan saling tumbuk ditengah udara. Ke- dua2nya
terpelanting mundur selangkah.
Sungguh kejut Racun utara bukan kepalang, bahwa hanya terpaut
beberapa hari saja darimana datangnya Lwekang si bocah ini
sedemikian hebat? Hal ini benar2 membikin jatuh pamor dan
gengsinya, bahwa seorang angkatan muda dapat mengimbangi
kepandaian dan tenaga dalamnya. Maka lebih besar lagi tekadnya
untuk melenyapkan jiwa Suma Bing, setelah terlongo sebentar,
serangan kedua sudah dilancarkan lagi. Pukulan kali ini
mengerahkan seluruh kekuatan Hian-in- kang yang terlatih
puluhan tahun, badai angin dingin yang menyesakkan napas
membuat tiga tombak sekelilingnya terasa dingin membeku.

Sementara itu, Suma Bingpun sudah bersiap kerahkan seluruh
kekuatan Kiu yang sin kang untuk menangkis. Taufan panas
ber-gulung2 melanda kedepan dengan dahsyatnya.
Seketika Racun utara mendehem sekali, tubuhpun ber- goyang2.
Sebaliknya Suma Bing menggigil kedinginan, tubuh terasa hampir
membeku, tanpa kuasa tubuhnya terhuyung mundur selangkah.
Semua penonton termasuk para kerabat dari Bwe-hwa-hwe
berobah tegang.
Dalam pada itu, dimana kedua tangan Racun utara diulurodotkan,
ilmu Hian in kang nya lagi2 sudah merangsang tiba.
Si orang berkedok yang sembunyi diluar rimba sana berkeringat
dingin dan kuatir akan keselamatan Suma Bing. Disamping itu
diapun merasa heran dan terkejut akan Lwekang Suma Bing yang
mendadak bertambah berlipat ganda sangat lihay lagi. Apa
mungkin dia mendapat sesuatu rejeki yang aneh?
'Bum' ditengah suara dentuman ini, kedua pihak tersurut lagi
masing2 selangkah. Jelaslah bahwa Lwekang atau kekuatan
mereka berimbang. Sungguh gusar dan malu Racun utara bukan
olah2, segera ia mendesak maju dan beruntun kirim tiga kali
serangan berantai, jurus demi jurus lebih lihay dan lebih ampuh,
apalagi sekaligus dilancarkan maka bukan olah2 hebat dan dahsyat
perbawanya.
Dalam gebrak terakhir ini mau tak mau Suma Bing harus
mengakui bahwa dirinya kalah latihan, seketika dia terdesak
mundur tiga tindak. Mendapat peluang yang menguntungkan ini
Racun utara tidak me-nyia2kan, gaya silat yang aneh dan lihay
beruntun diberondong keluar bagai air bah melanda, se- akan2
sekali serang dia ingin mengkeremus musuh kecilnya ini yang
dianggapnya masih berbau bawang, tapi berani unjuk gigi.

Suma Bing kertak gigi, ajaran suhunya yang paling lihay dan
ampuh juga tidak kalah perbawanya diboyong keluar untuk
berhantam secara keras lawan keras, sedikitpun dia tidak sudi
unjuk kelemahan dihadapan musuh bebuyutan perguruannya ini.
Gegap gempitalah sekitar gelanggang pertempuran, tigapuluh
jurus kemudian kebandelan Suma Bing yang bersilat secara tidak
mengenal kompromi ini kiranya membawa hasil juga, lama
kelamaan Racun utara semakin payah terdesak dibawah angin dari
menyerang terbalik diserang.
Kiranya setelah keracunan Ban-lian-tok-bo atau bisa diantara raja
bisa dari Racun diracun, meskipun Racun utara paling
membanggakan akan permainan serta kemahirannya
menggunakan racun, toh dalam waktu singkat tidak mungkin dia
mampu membersihkan atau mencuci bersih racun berbisa yang
mengeram dalam tubuhnya. Maka begitu saling hantam dan
kelewat besar menggunakan tenaga racun yang mengeram dalam
tubuhnya mulai bekerja semakin cepat mengikuti aliran jalan
darah. Maka semakin lama dia harus memeras keringat dan
terdesak terus dibawah angin. Masih untung kalau dia berlaku
tenang, tapi semakin dia gugup dan malu menjaga gengsi apa
segala semakin payah dan ricuhlah keadaannya.
Adalah sebaliknya semakin bertempur semangat Suma Bing
semakin berkobar, tenaga dalam semakin lancar dan bergairah
penuh, nyata bahwa Kiu-tjoan-hoan-yang-tjau-ko mulai
menunjukkan kemustajabannya.
Terdengar sebuah geraman keras disertai pekik nyaring kesakitan.
Kontan terlihat Racun utara Tangbun Lu tergusur tiga langkah,
menyemprot darah segar, tubuhnya lemas terkulai hampir roboh.
"Tua jadah berbisa, bagaimana?" jengek Suma Bing temberang.

Muka Racun utara merah membara, wajahnya mengunjuk rasa
kebencian yang ber-limpah2. Sungguh mimpipun dia tidak
menduga bahwa dirinya bakal terjungkal ditangan seorang
angkatan muda. Memang kekalahannya ini sangat menggenaskan.
Se-konyong2 empat orang tua berwajah pucat ke-hijau2an
bermunculan dihadapan Suma Bing. Diam2 terperanjat Suma Bing,
senjata keempat orang tua didepannya ini boleh dikata sangat
aneh jarang terlihat dikalangan Bulim. Itulah sebuah tongkat
panjang tiga kaki yang ujungnya berbentuk persis dengan jari2
tangan manusia yang tergenggam, seluruh tangkai dari ujung
penuh ditaburi duri2 kecil yang tajam berkilau ke-biru2an. Terang
kalau senjata mereka ini dilumuri racun berbisa yang
membahayakan jiwa manusia.
"Saudara kecil, hati2 kau, mereka adalah Kangouw-su-ok yang
sudah kenamaan kekejaman dan kekejiannya. Mereka adalah
pelaksana atau algojo dari seksi hukum dalam Bwe- hwa-hwe.",
itulah bisikan si orang berkedok yang telah menggeremet maju
dibelakang Suma Bing.
Suma Bing manggut2 sebagai jawaban bahwa dia sudah maklum.
Salah seorang Kangouw-su-ok (empat durjana dari Kangouw)
berpaling dan berkata kepada Racun utara:
"Biar bocah ingusan ini kita berempat yang melayani. Ada lebih
penting Tjianpwe segera membereskan Racun diracun!"
Dengan sikap rikuh dan risi Racun utara membesut noda darah
dimulutnya lalu berjalan cepat kearah barisan yang telah
diaturnya.
Pada saat itulah se-konyong2 Kangouw-su-ok mendadak
perdengarkan suara tawa melengking berbareng, lalu bersamaan
pula menggerakkan senjata tongkat kepelannya yang beracun
mengurung seluruh tubuh Suma Bing. Dalam

waktu yang bersamaan, dari sebelah sana tiga lelaki seragam
hitam lainnya segera menubruk kearah si orang berkedok.
Terjadilah pertempuran sengit, bahwa kepandaian Kangouw-su-ok
sudah kenamaan ditambah gabungan senjata mereka benar2 hebat
perbawanya. Mereka bertempur seru melawan Suma Bing.
Disebelah sana agaknya kepandaian si orang berkedok berkelebihan
menghadapi tiga laki2 bertubuh kekar itu.
Sementara itu, Racun utara berdiri diluar barisan dan tengah
membentak gusar:
"Racun diracun, lekas serahkan Pedang berdarah, supaya kau
terhindar dari kematian."
Bola mata Racun diracun yang banyak putih dari hitamnya
ber-putar2, suaranya berejek dingin:
"Tua keladi, agaknya kau sedang bermimpi!" "Kau tidak
menyesal?" "Tiada yang perlu disesalkan. Adalah kau tua
keladi ini, aku
merasa hina bagi kau. Sungguh tidak malu kau menggunakan
pengaruh Bwe-hwa-hwe untuk mengurung aku disini..."
"Tutup mulutmu, sebenarnya kau ingin hidup atau mati?"
"Cerewet!" "Hehehe, asal Lohu membuka mulut, segera kau
akan
terbakar hangus menjadi abu." "Silakan kau bebas buka mulut!"
"Sebenarnya kau mau tidak serahkan Pedang darah itu?" "Tidak!"
"Baik, jadi kau memang bertekad hendak mati?" "Tua keladi,
mungkin kau kenal juga akan barang yang
dinamakan Sam-li-hiang?"

Berobah tegang wajah Racun utara, serunya kaget:
"Sam-li-hiang?" Racun diracun bergelak menggila, serunya:
"Benar, 'harum tiga lie', aku sudah sebar permainanku itu
dalam barisanmu ini. Kalau kau berani melepas api, begitu
permainanku itu terjilat api segera berkembang keempat penjuru,
dalam jarak lingkungan tiga li jangan kata hanya beberapa gelintir
manusia seperti kalian ini, binatang atau burung yang bisa
terbangpun akan terbunuh mampus semua!"
"Lohu tidak gampang kena gertak!" seru Racun utara penuh
kebencian.
"Kau memang kuat bertahan, tapi kau jangan lupa para kurcaci
dari Bwe-hwa hwe itu, agaknya mereka sudah suratan takdir
harus mampus."
Ucapan terakhir ini membuat para kerabat Bwe-hwa-hwe yang
mengepung diluar barisan mundur ketakutan. Ingin hidup adalah
menjadi hak semua manusia, dan itu sudah jamak, siapa yang rela
mengantar kematian secara konyol. Seumpama Racun utara
benar2 nekat memberi perintah melepas api belum tentu mereka
mau patuh akan perintahnya itu.
Sementara dalam gelanggang, mendadak terdengar suara pekik
kesakitan, kiranya dua diantara tiga lelaki kekar yang mengeroyok
si orang berkedok sudah pecah hancur kepalanya terkena bogem
mentah lawannya. Segera seorang tua dan dua orang
pertengahan umur maju menambal pengeroyokan yang tidak
seimbang dalam jumlah, satu lawan empat.
Sementara itu, meskipun lihay, Kangouw-su-okpun tidak mendapat
keuntungan melawan Suma Bing, untung permainan senjata
mereka sangat aneh, namun demikian toh mereka sudah tidak
mampu balas menyerang lagi.

Diam2 Suma Bingpun perhatikan percakapan antara Racun utara
dengan Racun diracun. Seandainya benar semua jagoan atau
semua orang yang hadir sama2 mati, tapi Racun diracun sendiri
juga tidak luput akan terbakar hangus.
Untuk ini dia harus berusaha secepat mungkin untuk menolong
Racun diracun supaya terhindar dari kematian. Satu pihak dirinya
berhutang budi, dilain pihak Pedang darah juga harus direbut
kembali.
Dilain pihak, setelah merenung dan berpikir sekian lamanya,
se-konyong2 Racun utara bergelak tawa kepuasan, serunya:
"Racun diracun, akal licikmu akan sia2, Lohu akan perintahkan
mereka mundur secepatnya keluar lingkungan tiga li, lalu Lohu
sendiri yang akan melepas api, bukankah kau sendiri tidak mampu
keluar dari kurungan!"
Tindakan Racun utara ini memang sangat licik dan licin, seketika
Racun diracun terpaksa mulutnya tidak mampu mengeluarkan
suara.
Se-konyong2 Suma Bing bersuit panjang, beruntun ia kirim
delapanbelas kali pukulan. Dimana bayangan pukulannya
berkelebat salah satu dari Kangouw-su-ok segera menjerit seram,
tubuhnya terbang muntah darah, sedang yang satu lagi, terpental
jauh senjatanya dan terhuyung jatuh duduk. Dua dari keempat
lawannya sudah keok, Suma Bing lebih gampang dan ringan lagi
membereskan sisa dua musuhnya. Tiga gebrak kemudian kedua
sisa musuhnya inipun lari ter- birit2 membawa luka. Sekali
menggoyang tubuh gesit sekali Suma Bing melesat menubruk
kearah barisan.
Bertepatan dengan itulah terdengar suara kesiur angin baju yang
melambai mendatangi, disusul beberapa bayangan orang melesat
tiba memasuki gelanggang.
Serta merta Suma Bing menghentikan luncuran tubuhnya. Waktu
ia menegasi berdetak keras jantungnya.

Orang terdepan dari rombongan orang2 yang mendatangi ini
mengenakan kedok berpakaian ungu, itulah Ketua Bwe- hwa-hwe
adanya. Dibelakangnya beriring mengikuti tiga laki2 dan seorang
perempuan, dan perempuan itu tak lain tak bukan adalah
pelindung Bwe-hwa-hwe si mawar beracun Ma Siok-tjeng. Tiga
laki2 lainnya agaknya juga bukan tokoh2 sembarangan.
Begitu melihat Ma Siok-tjeng si mawar beracun yang bersifat cabul
ini, sontak Suma Bing merasakan darahnya mengalir deras, wanita
jalang ini lebih dibencinya daripada Ketua Bwe-hwa-hwe itu.
Bukankah karena perbuatan cabulnya itu maka dirinya sampai
mengotori kesucian Phoa Kin-sian.
Begitu tiba segera Ketua Bwe-hwa-hwe menyapu pandang
keempat penjuru, lalu berkata kepada Racun utara:
"Tuan lebih baik istirahat sebentar. Biar aku yang membereskan
dan menguasai keadaan disini!" lalu ia berpaling kearah si mawar
beracun dan berkata lagi: "Ma- houhoat, kau ringkus si orang
berkedok itu!"
Bergegas Ma Siok-tjeng mengiakan, dengan langkahnya yang
gemulai menggiurkan ia menuju kehadapan si orang berkedok.
Kedua mata Ketua Bwe-hwa-hwe ber-kilat2 menyedot semangat
orang menatap wajah Suma Bing. Situasi dalam gelanggang
seketika menginjak kearus yang menegangkan.
Melihat musuh besarnya ini sepasang mata Suma Bing me- nyala2
geram, tak kuat lagi dia menahan gelora hatinya, wajahnya penuh
terselubung nafsu membunuh, per-lahan2 ia melangkah maju
beberapa tindak, nadanya dingin mendesis:
"Tuan Ketua, mari kita selesaikan perhitungan kita yang
tertunggak itu!"
Ketua Bwe-hwa-hwe menyeringai iblis, ejeknya:

"Suma Bing, beberapa kali kau lolos dari tanganku, terhitung
jiwamu yang besar beruntung. Tapi hari ini, kau sudah pasti mati!"
Suma Bing ganda mendengus hina. "Bocah ingusan, jangan
kau takabur, segera Pun-hwe tiang
(aku) membuktikan perkataanku tadi." "Hari ini akan kubeset
kulitmu hidup2, aku juga bisa segera
membuktikan ucapanku ini." "Baik, silahkan bocah ingusan turun
tangan?" Suma Bing menggerung gusar, serunya: "Hitung2 kau
seorang Ketua, tapi kenapa malu bertemu
orang, tentu kau bukan kaum keroco yang tidak mempunyai
nama bukan?"
"Hehehe, bocah ingusan, tidak sukar kau hendak mengetahui nama
dan asal-usul Ketua ini, nanti kalau napasmu sudah tinggal
hembusan yang terakhir, pasti akan kuberitahukan kepadamu.
Tidak akan kubuat kau mati penasaran."
Saking menahan gusar, Suma Bing merasa dadanya hampir
meledak, sambil berteriak keras dilancarkannya sebuah pukulan
dengan pengerahan seluruh tenaganya. Betapa dahsyat perbawa
pukulannya ini, rasanya dapat menggugurkan sebuah gunung.
Sambil menjengek hina, Ketua Bwe-hwa-hwe seenaknya saja
angkat sebelah tangannya menangkis. "Blang!" suara dentuman
yang menggelegar ini menggetarkan semua hadirin. Sungguh
tidak nyana bahwa Ketua mereka yang dipandang bagai malaikat
sakti ini kena tergetar mundur satu langkah oleh pukulan musuh
kecilnya itu.
Bahwasanya Ketua Bwe-hwa-hwe sendiri juga bukan olah2
kejutnya, diluar persangkaannya bahwa hanya terpaut

beberapa hari saja ternyata bahwa kekuatan lawan sudah
bertambah berlipat ganda.
Disebelah sana si orang berkedok juga tengah bertempur seru dan
tegang melawan si mawar beracun Ma Siok-tjeng. Tapi jelas
kelihatan bahwa kepandaian dan Lwekang Ma Siok- tjeng agaknya
masih lebih tinggi dari si orang berkedok. Dalam beberapa gebrak
saja si orang berkedok sudah kepayahan dibawah angin.
Karena memandang ringan musuhnya, maka begitu bergebrak
kontan Ketua Bwe-hwa-hwe mendapat sedikit kerugian, sungguh
memalukan dan merendahkan derajatnya bahwa dia sampai kena
cidera ditangan musuh. Untuk mengambil muka segera ia
lancarkan tiga serangan berantai. Untuk ini Suma Bing juga
terdesak mundur tiga langkah. Hal ini menunjukkan bahwa
Lwekang Ketua Bwe-hwa-hwe memang berada diatas kemampuan
Suma Bing.
Suma Bing kerahkan seluruh kekuatannya dijari tengah tangan
kanannya, cincin iblis segera memancarkan cahaya keras dingin
yang menyilaukan mata, dimana tangannya itu bergerak langsung
ia menyerang kepada musuhnya. Terbukalah pertempuran seru dari
tokoh silat kelas tinggi yang jarang terjadi didunia persilatan.
Disamping sana, keadaan si orang berkedok seumpama keledai
yang kehabisan napas menggeh2, dilihat keadaannya paling
banyak dia kuat bertahan sampai duapuluh jurus lagi. Terang
tinggal tunggu waktu saja dia bakal terjungkal ditangan si mawar
beracun.
Mengandal keampuhan Cincin iblis. Suma Bing masih kuat
bertahan sementara waktu, namun cepat atau lambat diapun
pasti akan kalah.
Bahwa Racun utara Tangbun Lu bisa terjungkal ditangan Suma
Bing, mimpipun dia takkan menduga. Boleh dikata kekalahannya
itu adalah kekalahan yang paling mengenaskan

selama hidup. Saat mana, wajahnya membeku pucat, sepasang
matanya kesima mengikuti terus gerak gerik Suma Bing.
Sementara itu, Racun diracun masih duduk bersila ditengah
barisan dengan tenang dan antengnya, seakan dia tidak
mendengar dan tidak kuatir karena mempunyai pegangan untuk
menyelamatkan diri.
Terdengar suara tertahan seperti orang hampir muntah seketika si
orang berkedok meliuk sempoyongan hampir roboh. Begitu
serangannya membawa hasil si mawar beracun masih tidak tinggal
diam begitu saja, badannya terus mendesak maju, dimana
suaranya membentak keras, sebuah tangannya terayun lagi
menggenjot dada si orang berkedok. Pukulannya ini dilancarkan
secepat kilat. Terang kalau si orang berkedok sudah tidak mampu
berkelit atau menghindar lagi, jiwanya terancam...
Sungguh kejut dan gugup Suma Bing bukan kepalang, gesit sekali
tubuhnya berkelebat meninggalkan Ketua Bwe-hwa- hwe,
langsung ia menubruk kearah Ma Siok-tjeng.
"Blang, bum!" dua dentuman terdengar saling susul disertai pekik
kesakitan yang luar biasa dibarengi dua bayangan orang terpental
terbang beberapa tombak jauhnya.
Untuk menolong jiwa si orang berkedok, waktu menubruk datang
tadi Suma Bing kerahkan setaker tenaganya dikedua tangannya
terus disapukan kedepan. Si mawar beracun Ma Siok-tjeng tidak
menduga akan serangan yang mendadak ini, kontan tubuhnya
terbang jauh sungsang sumbel. Tapi tidak urung si orang
berkedok roboh juga terkena pukulan si mawar beracun Ma
Siok-tjeng. Untung serangan Suma Bing itu sedikit banyak
mengurangi kekuatan pukulan Ma Siok-tjeng, kalau tidak mungkin
saat itu si orang berkedok sudah menggeletak mampus.
Bersamaan dalam waktu dua bayangan tubuh orang terpental
terbang itu sejalur tenaga angin bagai gugur gunung juga telah
menimpa kearah Suma Bing, kira2 hanya terpaut

beberapa detik saja setelah Suma Bing lancarkan serangannya.
"Buk!" Kontan Suma Bing mendehem keras sambil muntah darah,
badannya tersuruk maju delapan langkah. Sebelum tubuhnya
berdiri tegak angin pukulan kedua sudah menerpa datang lagi
lebih dahsyat.
Sambil kertak gigi, sebat sekali Suma Bing menggeser kedudukan
lima kaki, kini mereka muka berhadapan muka, jarak mereka
terpaut satu tombak.
Disebelah sana, Ma Siok-tjeng dan si orang berkedok sudah
terhuyung bangun dan berkutetan lagi tidak kalah serunya.
Pada saat itulah, se-konyong2 sebuah bayangan terbang melesat
memasuki gelanggang langsung menubruk kearah ketua
Bwe-hwa-hwe. Tanpa berjanji tiga orang tua dibelakang
Bwe-hwa-hwe-tiang segera memapak maju merintangi bayangan
yang baru datang ini.
"Plak!" kontan ketiga orang tua tersurut tiga tindak, dan bayangan
itupun segera terhenti meluncur dan berdiri bergoyang gontai.
Waktu Suma Bing pentang matanya memandang, bergolaklah
darah panasnya, yang datang ini kiranya bukan lain adalah
Tang-mo atau Iblis timur, musuh besar keluarganya.
Iblis timur mengekeh tawa panjang terus menerjang kearah
Bwe-hwa-hwe-tiang ter-sipu2 Ketua Bwe-hwa-hwe bersiaga
menghadapi rangsangan lawan. Terpaksa tiga orang tua tadi
mengundurkan diri.
Mata Suma Bing bersinar buas dengan lekat ia awasi Iblis timur
yang tengah bertempur melawan ketua Bwe-hwa-hwe. Karena
kehadiran Tang-mo ini terpaksa pertentangannya dengan Ketua
Bwe-hwa-hwe harus diketengahkan dulu. Dia tengah menerawangi
situasi, apakah dia harus turun tangan...

Naga2nya kedatangan Iblis timur ini hendak menuntut balas
karena kekalahannya tempo hari waktu dia dikepung oleh
Pek-hoat-sian-nio beramai, hingga dia terluka parah akhirnya
Pedang darahpun direbut orang lain. Maka dalam kesempatan ini
segera ia lancarkan ilmu silatnya yang paling lihay, setiap
serangannya tidak mengenal kasihan sama sekali.
Adalah kepandaian ketua Bwe-hwa-hwe memang bukan tingkat
rendah, dicecar sedemikian hebat dia masih seenaknya saja
bermain silat.
Digelanggang lain keadaan si orang berkedok sudah terdesak lagi
dibawah gencetan si mawar beracun yang ganas. Sekilas Suma
Bing menyapu pandang dingin, lalu maju mendekat dan berkata:
"Heng-tai, kau mundurlah!" Si orang berkedok menurut dan
segera mengundurkan diri. "Kemana kau lari!" hardik si mawar
beracun, kedua
cakarnya mendadak menyelonong tiba. "Plak", "Huk" sekali turun
tangan, Suma Bing membuat si mawar
beracun terhuyung tiga langkah. Segera dengan mata genitnya si
mawar beracun pelerak pelerok menatap wajah Suma Bing. Suara
tawanya jalang dan berkata:
"Saudara kecil, turun tanganmu ini sungguh tidak kenal kasihan!"
"Perempuan jalang tidak tahu malu, hari ini..." desis Suma Bing
geram.
"Aduh, kalau bicara sungkanlah sedikit, apa yang dinamakan tidak
tahu malu?"
"Hari ini akan kubunuh kau."
"Mengapa?"

"Hatimu sendiri lebih jelas!" "O, jadi kau masih teringat
peristiwa dibiara bobrok itu.
Tapi aku mencintai kau." Tanpa terasa merongkol keluar otot2
diwajah Suma Bing.
Sungguh tidak nyana bahwa orang begitu tidak tahu malu berani
mengucapkan perkataan rendah dihadapan sekian banyak orang.
Tersimpul dalam benaknya bahwa perkumpulan Bwe-hwa-hwe ini
tentu berjalan sesat dan bertujuan tidak lurus. Maka sambil
berludah hina segera ia menghardik:
"Tok-bi-kui, hari ini kau sudah pasti mati!" Sikap genit si mawar
beracun masih belum lenyap,
dengusnya aleman: "Apa kau mampu?" "Baik kau coba2."
membarengi ucapannya kontan ia kirim
tiga serangan saling susul, perbawa pukulannya ini benar2 sangat
mengejutkan.
Tangkas sekali si mawar beracun melejit menyingkir, dari sini ia
balas menyerang juga dengan tiga kali pukulan pula. Mulailah
mereka keluarkan ilmu sakti masing2 dan bertempur dengan
sengitnya.
Bertepatan waktu Suma Bing turun tangan, tiga orang tua itu
berbareng menerjang kearah si orang berkedok. Agaknya
kepandaian tiga orang tua ini hebat juga, dalam gebrak pertama si
orang berkedok sudah mencak2 kepayahan!
Saat mana, keadaan Tang-mo juga sudah kerepotan menghadapi
rangsakan ketua Bwe hwa hwe, sewaktu-waktu jiwanya juga
terancam elmaut.
Sebuah pekik kesakitan memecahkan kesunyian udara, selebar
muka si mawar beracun pucat pias, badannya sempoyongan dua
tombak lebih, sebagian besar rambutnya yang hitam kelam sudah
terkupas, sampai kulit kepalanya juga

terpapas mengalirkan darah oleh cincin iblis Suma Bing, darah
membasahi muka dan kedua pundaknya.
Sekali lagi Suma Bing maju mendekat sambil kirim sebuah
pukulan dahsyat.
Seakan copot dan terbang sukma Ma Siok-tjeng dari raganya
saking ketakutan, tubuhnya melenting sejauh dua tombak.
Otaknya masih jelas teringat bahwa Suma Bing terang bukan
menjadi tandingannya tempo hari. Sungguh tidak nyana terpaut
beberapa hari saja, Lwekang lawan ternyata telah maju demikian
pesat.
Beruntun terdengar suara bentakan saling susul, tiga orang tua itu
tinggalkan si orang berkedok dan ganti haluan menubruk kearah
Suma Bing. Dada Suma Bing sudah dihuni oleh rasa murka dan
kebencian yang meluap2, dengan mengerahkan sepuluh bagian
tenaga Kiu-yang-sin-kang tangannya meluncur memapak maju.
Kontan terdengar suara pekik menyeramkan yang menggetarkan
suasana gelanggang pertempuran. Dua diantara tiga orang tua itu
tujuh lobang indranya mengeluarkan darah segar dan seketika
roboh mampus, seorang yang lain berwajah pucat keabu2an,
berdiri terlongong2 ditempatnya tanpa bergerak, mulutnya
terdengar menggumam:
"Kiu-yang-sin-kang." Ketua Bwe-hwa-hwe menggerung keras
bagai singa
ketaton, dilancarkan tiga permainan silat yang paling hebat
sehingga Tang-mo terdesak mundur lagi sempoyongan. Begitu
melejit tubuhnya langsung menerjang kearah Suma Bing, belum
tubuhnya tiba angin pukulannya sudah menerjang tiba lebih dulu.
"Bagus!" jengek Suma Bing dingin. Dua belas bagian tenaga
Lwekangnya dikerahkan dikedua lengannya terus

disodokkan kedepan untuk menangkis secara keras lawan keras.
"Dar..." terdengar benturan menggeledek, tubuh ketua
Bwe-hwa-hwe yang meluncur tiba kena tertolak dan melorot jatuh,
sedang Suma Bing sendiri terhuyung dua langkah.
Sementara itu Kangouw-su-ok yang terluka oleh pukulan Suma
Bing tadi kini sudah berganti napas dan menyerbu datang lagi
mengeroyok si orang berkedok.
Ketegangan semakin meruncing dan mencekam hati, membuat
perasaan semua orang susah bernapas.
Dari samping Iblis timur mengaum buas sambil lancarkan
serangan mengarah Ketua Bwe-hwa-hwe. Terpaksa Bwe-hwahwe-
tiang membalik tubuh melayaninya.
Mendadak tergerak hati kecil Suma Bing secepat mengambil
keputusan, maka dilain kejap ia sudah melangkah lebar
menghampiri kearah barisan yang mengurung Racun diracun itu.
Para jagoan yang menjaga diluar barisan serentak merasa kaget
dan bersiap waspada. Segera enam batang pedang melintang
ditengah jalan. Wajah Suma Bing membeku penuh nafsu
membunuh, tanpa ragu2 kakinya melangkah terus kedepan
se-olah2 keenam orang bersenjata pedang tidak dipandang sebelah
mata olehnya. Maka dilain saat sinar pedang berkelebatan, keenam
batang pedang serentak bergerak merangsang kearah tubuhnya.
"Kalian cari mati!" sambil membentak keras itu, Suma Bing
lancarkan jurus Liu-kim-hoat-tjiok. Bahwa jurus ini adalah hasil
ciptaan Sia-sin Kho Jiang yang memakan waktu ber-tahun2 dan
sudah memeras keringatnya, berlandaskan kekuatan Kiuyang-
sin-kang lagi, maka betapa hebat kekuatannya dapatlah
dibayangkan.
Suara pekik dan jerit kesakitan terdengar saling susul menembus
udara, enam batang pedang sampai terlepas dari pegangan dan
terpental terbang jauh beberapa tombak. Malah

dua yang terdepan kontan roboh tanpa bergerak lagi, sedang
empat yang lain ter-guling2 sungsang sumbel sejauh setombak
lebih.
Cepat2 Racun utara mendesak maju dan berkata dingin
mengancam:
"Siautju, kau juga bermimpi hendak merebut Pedang berdarah?"
Dengan rasa jijik Suma Bing mendengus hidung, jengeknya:
"Apa pedulimu." Besar dugaan Racun utara bahwa tujuan Suma
Bing
hendak memasuki barisan adalah hendak merebut Pedang
berdarah dari tangan Racun diracun. Diam2 ia membantin: bocah
ini sudah mendapat didikan sempurna dari manusia sesat itu,
malah tubuhnya kebal racun lagi, lebih baik biar Racun diracun
yang menghadapi dan meringkusnya. Sekali dia sudah masuk
dalam barisan, seumpama ikan yang masuk jala, apa pula yang
harus kukuatirkan. Oleh pikirannya ini segera ia ulapkan tangan
memberi tanda dan berseru:
"Biarkan dia masuk." Para jagoan yang menghadang didepan
Suma Bing
ternyata menurut segera menyingkir memberi sebuah jalan.
Sambil menyeringai dingin Suma Bing berkata: "Jadah tua berbisa,
hendak melarang juga kau takkan
mampu hitung2 kau tahu gelagat!" -- habis berkata dengan
langkah lebar ia memasuki barisan.
Dalam pada itu, seorang diri menghadapi keroyokan
Kangouw-su-ok, keadaan si orang berkedok sudah seumpama
semut dalam kuali panas tinggal menuju ajal saja.
Sementara Tang-mo juga semakin terdesak dibawah angin, lama
kelamaan ciut nyalinya, bukan saja takkan menang

malah jiwa mungkin bisa melayang, akhirnya ia angkat kaki
melarikan diri mencawat ekor.
Mendapat peluang ini segera Ketua Bwe-hwa-hwe memutar tubuh
memandang kedalam barisan. Terlihat olehnya Suma Bing tengah
berjalan belak belok mengikuti petunjuk yang diberikan oleh si
orang berkedok. Setelah melewati dua lintang pohon, dia bertindak
tiga langkah kekiri dan maju selangkah, lalu memutar kekanan lima
langkah, benar juga barisan ini tiada perobahan apa. Kini
dihadapannya melintang sebuah dahan pohon besar sepelukan dua
orang, sekali tangannya diayun dahan besar itu segera
menggelundung jauh, kini tinggal dua tumpukan batu tinggi yang
merintangi dikanan kirinya, segera Suma Bing menyapunya lagi
dengan kedua tangannya... Asal sekali lagi ia memecahkan
rintangan terakhir, maka berarti pecahlah barisan ini habis-habisan.
Melihat keadaan ini Racun utara melonjak kaget dan berseru:
"Celaka, bocah itu tahu cara pemecahannya..." Wajah ketua
Bwe-hwa-hwe berkerut membesi, tangan
diulapkan segera keluar perintahnya: "Bakar!" Mendengar
perintahnya ini semua anak buahnya segera beramai2
angkat obor. Diluar barisan itu sudah penuh terpasang
bahan bakar, sekali sundut saja pasti orang dalam barisan akan
terbakar hangus menjadi abu.
Tapi Racun utara keburu berseru mencegah: "Jangan, jangan
bakar!" "Kenapa?" tanya ketua Bwe-hwa-hwe mendongkol.
"Waktu terkurung didalam barisan Racun diracun sudah
menyebar racun berbisa sam-li-hiang!"
"Sam-li-hiang (harum tiga li)?"

"Benar." "Lalu bagaimana?" "Saudara ketua boleh segera
perintahkan semua
bawahanmu secepatnya mundur sejauh tiga li, biar lohu sendiri
yang akan melepas api."
"Apa masih keburu? Bocah itu segera akan sudah mengobrak-abrik
barisan!"
Sementara itu Suma Bing tengah berpaling memandangi obor2 itu,
jantungnya berdetak keras, serta merta langkahnya dihentikan.
Kalau mau dengan mudah saja dia masih ada kesempatan berlari
keluar barisan. Akan tetapi, Racun diracun pernah menanam budi
memberikan sebutir obat menolong jiwanya. Mana boleh orang
mati konyol didepan matanya disamping itu dia tidak rela
kehilangan kesempatan untuk merebut pulang Pedang berdarah
itu. Kalau Racun diracun mati itu berarti Pedang berdarahpun pasti
ikut ludas.
Dalam saat genting itu pikirannya serasa kosong, entah apa yang
harus diperbuat...
Otak Racun utara berputar keras, dasar cerdas tak lama kemudian
ia berseru girang:
"Ada akal. Begitu menyulut api dengan kecepatan yang paling
cepat terus berlari kearah yang berlawanan dengan arah angin.
Kalau kepandaian tidak lemah pasti dapat keluar dari lingkungan
hawa beracun itu. Silakan saudara Ketua memberi perintah!"
Maka tangan ketua Bwe-hwa-hwe sudah diangkat tinggi, tinggal
memberi aba2...
Pada saat itulah, se-konyong2 terdengar sebuah suara tawa
dingin yang mengerikan, suara yang menyedot semangat ini
bergema dan berkumandang ditengah udara, membuat orang
celingukan tidak tahu darimana suara itu datang.
Tiraik
asih
Websi
te
http://
kangz
usi.co
m/
Semua orang yang hadir merasa merinding dan berdiri bulu
kuduknya. Setelah suara tawa itu lenyap, lantas melesat secarik
sinar putih memasuki gelanggang dan menancap diatas sebatang
pohon. Jelas itulah sebuah panji kecil bersegi tiga yang
ditengahnya terukir sebuah tengkorak dan dua batang tulang
bersilang.
"Pek-kut-ji!" tanpa terasa Ketua Bwe-hwa-hwe berseru ketakutan.
Nama Pek-kut-ji ini benar2 bagai geledek disiang hari bolong
mengejutkan sanubari semua hadirin, semua berobah pucat
ketakutan. Demikian juga Kangouw su-ok dan si orang berkedok
serta merta juga menghentikan pertempuran.
Meskipun kecil dan bentuknja sangat sederhana, tapi panji ini
sudah menggetarkan dunia persilatan selama ratusan tahun
lamanya.
19
CINT
A
TIDA
K
MEN
GEN
AL
WAK
TU
DAN
USIA
Suma Bing sendiri juga merasa terperanjat. Untuk apa Pekkut
Hujin muncul disitu dan pada saat yang tepat lagi dengan
bertanda khas panji kecilnya itu. Dulu dalam memperebutkan
Pedang berdarah dengan Racun diracun, kalau bukan panji kecil
ini muncul secara mendadak dan menggebah pergi ketua
Bwe-hwa-hwe, mungkin jiwa Suma Bing sudah lama amblas
meninggalkan raganya.
Apa maksud dan tujuan Pek-kut Hujin memperlihatkan jejaknya
disini? Pek-kut Hujin pribadi atau muridnya?
Adalah Racun utara Tangbun Lu bukan saja bersifat kejam dan
keji, wataknya juga sangat licik, licin dan banyak akal muslihatnya.
Begitu melihat Pek-kut-ji muncul, segera ia mundur teratur terus
tinggal pergi mencawat ekor tanpa perdulikan orang lain.

Memandang bayangan Racun utara yang lari pontang- panting
itu, Suma Bing perdengarkan suara dingin mengejek, terus
melanjutkan masuk ketengah barisan.
Semua anggota Bwe-hwa-hwe berdiri terlongong bagai patung
ditempat masing2.
Bahwa Pek-kut-ji memperlihatkan diri lagi disaat2 situasi yang
menguntungkan pihaknya ini benar2 membuat Ketua
Bwe-hwa-hwe gusar, takut dan curiga, setelah sangsi sekian
lamanya segera ia berseru lantang kearah rimba sebelah dalam
sana:
"Apakah yang datang ini adalah Pek-kut Hujin Lotjianpwe?" —
Beruntun dia bertanya tiga kali tanpa mendapat penyahutan
semestinya. Lebih besar dan dalam rasa curiga menyelubungi
hatinya. Maka segera ia berkata kepada si orang tua yang masih
ketinggalan hidup itu:
"Thio-hiangtju, kau cabutlah panji kecil itu!" Si orang tua yang
dipanggil Thio-hiangtju itu kontan pucat
pias wajahnya, tapi tak berani dia membangkang perintah
ketuanya, maka dengan suara gemetar menyahut:
"Baik, hamba terima perintah!" — mulut mengiakan namun
tubuhnya tetap berdiri tanpa bergerak.
Mulut ketua Bwe-hwa-hwe mendehem keras2 dan pandangannya
sangat mengancam. Tidak ketinggalan pandangan semua hadirin
juga tengah menatap kearah si orang tua ini.
Setelah takut2 dan ragu2 sekian lamanya, akhirnya si orang tua
nekad juga berkelebat maju terus mencabut panji diatas pohon
itu. Tapi baru saja tangannya menyentuh gagang Pek- kut-ji,
seketika ia menjerit seram terus roboh binasa.
Seakan copot nyali Ketua Bwe-hwa-hwe, segera ia berseru
nyaring:

"Mundur!" — Maka bayangan berkelebatan dalam sekejap mata
saja semua orang sudah merat melarikan diri.
Setelah Suma Bing memporak-porandakan barisan perlawanan
Ngo-heng-tin ini baru terlihat Racun diracun berdiri dan angkat
tangan memberi hormat serta katanya:
"Aku harus berterima kasih kepada kau!" "Tidak perlu!" sahut
Suma Bing kaku. "Tapi kau menolong aku sehingga bebas dari
kurungan ini." "Ini sebagai imbalan budi pemberian obatmu
tempo hari,
dua belah pihak tidak saling berhutang budi, kita seri satu- satu,
tentang..."
"Tentang apa?" "Lain kali kita bertemu lagi, aku sendiri tidak
akan lepaskan
kau!" "Mengapa tidak sekarang saja?" "Apa tuan ingin sekarang
juga menyelesaikan perhitungan
lama itu?" "Ya, begitulah." "Dimana?" "Disini dan sekarang juga!"
"Tidak bisa" "Kenapa?" Tanpa terasa mata Suma Bing melirik
kearah Pek-kut-ji
sambil menyahut: "Aku harap kita berpindah
ketempat lain" Racun diracun tertawa ringan,
katanya: "Jadi kau takut pada pemilik panji kecil
itu?"

Ucapannya ini menimbulkan rasa congkak Suma Bing, serunya
keras:
"Apa yang perlu ditakuti, baiklah, disini juga kita selesaikan
urusan kita"
"Silakan kau sebutkan dulu ada berapa banyak perhitungan
lama?"
"Pertama kau menggunakan Racun tanpa bayangan membinasakan
adik Siang Siau-hun dan tunangannya Li Bun- siang. Perbuatan
yang kejam telengas ini kau timpakan pada dua jiwa muda yang
tidak berdosa, perhitungan inilah yang harus dibikin beres."
"Ada sangkut paut apa kau dengan peristiwa itu?" "Semua
urusan yang kepergok ditanganku, harus kuurus." Racun
diracun mendengus dingin, jengeknya: "Suma Bing itu
merupakan salah paham. Mengapa kau
turut campur, biarkan Siang Siau-hun sendiri yang membereskan?"
"Tidak bisa!" sahut Suma Bing ketus penuh ketegangan.
"Kenapa tidak bisa?" "Bahwasanya tanpa begebrak, racun
jahatmu itu sudah
cukup menamatkan jiwa Siang Siau-hun!" "Dia kekasihmu?" "Kau
tidak perlu tahu." "Kalau dia ingin menyelesaikan sendiri dan tidak
rela kau
membantu?" Sejenak Suma Bing berpikir, lalu sahutnya: "Baik
juga, yang
kedua, segera tuan serahkan Pedang darah kepadaku."
"Kalau aku jawab tidak?" "Hm, mungkin kau tidak akan
mampu berbuat begitu."

"Suma Bing, kau sangat takabur, kau tahu berapa jurus kau kuat
menghadapi aku?"
"Mungkin bisa kubunuh kau!" "Kalau kau dapat menangkan
aku setengah jurus. Pedang
darah segera kupersembahkan kepadamu, atau sebaliknya jangan
kau bermimpi lagi."
"Baik sambutlah seranganku ini." seru Suma Bing gusar. Habis
ucapannya serangannya sudah menjojoh tiba didepan muka
Racun diracun.
Racun diracun berlaku sangat tenang, begitu pukulan lawan
mendekat seenaknya saja sebelah tangannja dikebutkan, jangan
pandang ringan kebutannja ini, karena sekali gebrak kebutannya
ini mengincar berbagai jalan darah didepan dada Suma Bing.
Dengan serangan menghadapi serangan, maka yang menyerang
pasti harus membela diri. Demikian juga keadaan Suma Bing,
melonjak keras denyut jantungnya, terpaksa dia harus
membatalkan serangannya terlebih dahulu dia harus melindungi
jiwa sendiri.
Dimana terdengar dia menggerung keras, serangannya lagi2 sudah
merangsang tiba, kali ini ia kerahkan seluruh kekuatan tenaganya,
maka perbawa pukulannya ini seumpama geledek menyambar dan
air bah melanda.
Agaknya Racun diracun juga tidak mau unjuk kelemahan tangan
diangkat ia sambut pukulan Suma Bing ini secara keras juga.
"Bum", benturan keras ini menerbitkan badai angin yang bergulung
tinggi dan mengembang deras keempat penjuru hingga pohon2
disekitarnya tergetar rontok daon dan dahan2nya. Tubuh Racun
diracun ber-goyang2, sebaliknya Suma Bing tersurut dua langkah.
Dalam gebrak permulaan ini jelas kelihatan bahwa Lwekang
Racun diracun masih setingkat lebih unggul diatas Suma Bing.

Tercekat hati Suma Bing. Bukan saja Racun diracun merajai dalam
dunia racun, malah kepandaian silatnya juga bukan olah2 lihaynya.
Dalam dunia persilatan pada masa itu yang kuat menandingi
kepandaiannya mungkin dapat dihitung dengan jari.
Pada saat itu si orang berkedok secara diam2 sudah mendekat
maju berdiri diluar lingkungan pertempuran.
Se-konyong2 Racun diracun angkat sebelah tangan sambil
berseru:
"Tahan sebentar!" "Tuan ada omongan apa lekas katakan!"
desak Suma Bing
tidak sabaran. "Saat ini kau masih bukan tandinganku." "Tiada
halangannya kita coba2." "Agaknya, kita tidak perlu bertempur
mati2an." "Mengapa?" "Bukankah tujuanmu hanya hendak
merebut Pedang
berdarah?" "Benar, aku harus mendapatkannya!" "Tapi Pedang
darah saat ini tidak berada ditanganku." Suma Bing melengak
tertegun. Kalau Pedang berdarah
benar2 tidak berada ditangan Racun diracun, seandainya dirinya
menang apapula gunanya? Seketika ia bungkam berpikir2.
Nada suara Racun diracun sudah berobah kalem dan tidak
sedingin semula:
"Suma Bing. Terus terang kuberitahukan, Pedang berdarah tiada
gunanya terhadapku, kalau belum mendapatkan BungaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
iblis, Pedang berdarah berarti barang rongsokan yang tidak
berguna. Lebih baik marilah kita adakan janji sejati..."
"Apa maksudmu dengan janji sejati..." "Sebenarnya Pedang
darah sudah kau rebut dari tangan
Tang-mo, dan akhirnya terebut pula olehku. Kalau kau bisa
memperoleh Bunga iblis. Pedang berdarah tanpa syarat
kupersembahkan kepadamu, bagaimana?"
Tergerak hati Suma Bing, sungguh dia tidak habis mengerti apa
maksud tujuan sepak terjang Racun diracun. Manusia beracun
yang lebih berbisa dari Racun utara ini masa begitu gampang
diajak berkompromi. Maka setelah sangsi sekian lamanya ia
menegasi, "Benar2 kau serahkan tanpa syarat?"
"Begitulah maksudku" "Tapi aku tidak sudi terima kebaikanmu
ini." "Kenapa?" "Kau telah merebutnya dari tanganku, sudah
seharusnya
aku merebutnya kembali mengandal kepandaianku." "Hehehe,
Suma Bing, sudah kukatakan kuserahkan tanpa
syarat, tak perlu kau turun tangan." "Tuan ada maksud apa
silahkan terangkan secara total?" "Tiada maksud apa2,
kuserahkan tanpa syarat." Mau tak mau Suma Bing harus berpikir
panjang, setelah
sekian lama merenung akhirnya ia berkata dengan nada berat:
"Kalau aku tidak bisa mendapatkan Bunga-iblis?" "Kau boleh
merebut kembali mengandal kepandaianmu!" "Baik, kita tentukan
begitu" "Siapa dia?" tiba2 tanya Racun diracun mengalihkan
persoalan. "Seorang
sahabatku"

"Maksudku siapa dia?" Sekilas Suma Bing mengerling kearah si
orang berkedok,
mulutnya terkancing tak tahu dia apa yang harus dikatakan.
Memang dia belum mengetahui siapa si orang berkedok
sebenarnya. Mereka bersahabat dalam pertemuan secara
kebetulan karena beberapa sebab...
Terdengar Racun diracun mendesak lagi: "Sungguh kau tidak
tahu siapa dia?" Dalam keputus asaannya Suma Bing naik pitam
dan
menyahut ketus: "Agaknya hal ini tiada sangkut pautnya dengan
tuan?" "Tapi apa kau tidak ingin tahu siapa dia?" Menatap Racun
diracun, tanpa terasa si orang berkedok
mundur satu langkah. Betapa tidak Suma Bing juga ingin
mengetahui siapakah si
orang berkedok ini. Tapi terikat oleh perjanjian waktu mereka
berkenalan semula, tiada alasan lagi dia minta atau membuka
kedok penyamaran orang. Bersama itu dia juga tidak ingin Racun
diracun turut mencampuri hubungan pribadi mereka, maka sambil
menggeleng kepala dia menyahut:
"Inilah urusan antara dia dan aku, tidak perlu tuan turut campur,
silahkan tuan lanjutkan perjalananmu."
Racun diracun tertawa ejek, desisnya: "Kalau aku ingin tahu
siapa dia sebenarnya?" "Ini..." Suma Bing tergagap, entah apa
yang harus
diucapkan. Sebaliknya si orang berkedok ikut bicara dengan penuh
perasaan: "Tuan apakah maksudmu
ini?"

Sepasang bola mata Racun diracun yang memutih itu berputar
memancarkan sinar terang menatap tajam diwajah si orang
berkedok, seakan hendak menembus isi hatinya, lama sekali baru
dia membuka kata:
"Aku hendak menyingkap kedokmu itu." "Tuan, buat apa kau
mendesak orang sedemikian rupa.
Bagi seorang Bulim adalah jamak kalau dia mempunyai suatu
rahasia pribadi."
"Aku tidak suka melihat orang yang sembunyikan kepala unjukkan
buntut!"
"Tapi, tuan, kau sendiri..." "Aku bagaimana?" "Apakah yang
tuan unjukkan sekarang ini juga wajah
aslimu?" Racun diracun tersentak kaget dan mundur satu tindak.
Adalah Suma Bing juga ikut terperanjat. Sedemikian hitam
kelam raut wajah dan seluruh kulit Racun diracun kiranya juga
adalah penyamaran, kepandaian make-up sedemikian lihay boleh
dikata jarang diketemukan diseluruh dunia persilatan ini, karena
hakekatnya sedikitpun tidak terlihat lobang kelemahan dari
penyamarannya itu.
Terdengar si orang berkedok melanjutkan kata-katanya:
"Kepandaian Hian goan tay hoat ih sek tuan benar2 hebat
sekali, kepandaian semacam ini..." "Bagaimana?" tiba2 bentak
Racun diracun bengis. Tergetar tubuh si orang berkedok, seakan2
menguatirkan
sesuatu dia hentikan kata2 selanjutnya. Lebih besar rasa curiga
dan heran Suma Bing, mengenai
kepandaian Hian goan tay hoat ih sek baru sekali ini ia pernah
dengar. Entah mengapa karena bentakan Racun diracun

kontan si orang berkedok tidak berani melanjutkan kata2-nya,
maka segera ia berpaling dan bertanya:
"Heng-tai, ada apakah?" Si orang berkedok menggeleng kepala
tanpa membuka
suara. Terdengar Racun diracun mendengus dingin dan
mengancam: "Orang berkedok, kau buka sendiri kedokmu atau
ingin aku
yang turun tangan?" Didesak demikian rupa si orang berkedok
mundur
ketakutan, sahutnya gemetar: "Apa tuan betul2 hendak berbuat
demikian?" "Selamanya aku tidak pernah bicara dua kali." "Apakah
sepak terjang tuan ini tidak keterlaluan?" "Terserah kalau kau
beranggapan demikian!" — Mulut
berkata demikian, Racun diracun sudah angkat langkah mendesak
maju kearah si orang berkedok...
Dalam situasi yang gawat ini pikiran Suma Bing berkelebat cepat.
Meskipun si orang berkedok menutupi mukanya, jelek2 masih
terhitung sahabat kentalnya, mana bisa dia mengawasi Racun
diracun mendesaknya sedemikian rupa untuk membuka
kedoknya. Setelah tetap pikirannya segera ia memburu maju
menghadang didepan si orang berkedok dan berkata:
"Tuan, kusilahkan kau segera berlalu!" Serta merta Racun
diracun menghentikan langkahnya,
serunya: "Suma Bing, berdekatan dengan seorang yang belum
terang asal-usulnya, berarti lebih berbahaya dari berkawan
dengan seekor harimau!"

Suma Bing tergetar oleh ucapan terakhir Racun diracun, tapi
selekas itu pula dia menjawab dengan angkuhnya:
"Kukira hal itu tiada sangkut pautnya dengan kau." "Apa kau
hendak merintangi aku?" "Sudah tentu!" "Kau tidak menyesal?"
"Selamanya aku belum pernah kenal akan arti menyesal." "Bagus
sekali, begitulah kuharapkan!" — Setelah
perdengarkan suara tawa lengking sekian lama, mendadak tubuh
Racun diracun melenting tinggi terus menghilang dibalik bayangan
pohon didalam hutan.
Per-lahan2 pandangan mata Suma Bing beralih kearah panji kecil
diatas pohon itu. Seketika ia menyedot hawa dingin. Kiranya orang
yang telah berani menyentuh Pek-kut-ji tadi kini hanya tinggal
tulang kerangkanya saja yang memutih bertumpuk diatas tanah,
jangan kata kulit sampai baju serta dagingnyapun sudah lenyap
tanpa bekas. Kejadian yang mengejutkan dan menciutkan nyali ini,
tidak heran kalau Ketua Bwe-hwa-hwe yang sudah tenar malang
melintang segera lari lintang-pukang!
"Saudara kecil mari kita pergi." kata si orang berkedok lesu penuh
kesedihan.
Suma Bing manggut2 maka berbareng tubuh mereka melejit tinggi
berlari keluar rimba. Tapi baru beberapa langkah saja, tiba2 si
orang berkedok menghentikan langkahnya dan berkata dengan
nada berat:
"Saudara kecil..." Terpaksa Suma Bing ikut berhenti,
tanyanya: "Saudara tua ada omongan apa silahkan
katakan"

"Apakah perguruanmu ada hubungan erat dengan Pek-kut Hujin?"
"Setahuku tidak ada, apa maksud pertanyaan saudara ini?"
"Pek-kut-ji muncul dua kali pada saat2 kau menghadapi
bahaya, hal ini tentu bukan secara kebetulan, jelas kiranya
memang sengaja hendak menolong kau, apa kau sudah merasa
akan hal itu?"
"Hatiku masih diselimuti banyak pertanyaan!" "Sikap dan sepak
terjang Racun diracun terhadap kau
agaknya juga sangat ganjil." "Aku juga merasakan hal itu." sahut
Suma Bing penuh
tanda tanya. "Saudara kecil, apa kau sudah mulai merasa curiga
terhadap aku?" "Curiga, apa maksudmu?" "Umpamanya tingkah
lakuku..." "Tidak!" sahut Suma Bing tegas tanpa banyak pikir.
Memang terhadap tindak tanduk si orang berkedok sedikitpun dia
tidak menaruh rasa curiga. Jikalau si orang berkedok bermaksud
jahat terhadap dirinya, banyak kesempatan untuk dia turun tangan
dalam masa2 pergaulan yang telah lalu itu, tapi dia tidak,
sebaliknya berulangkali telah menolong jiwanya dari renggutan
elmaut. Kalau dia mengenakan kedok tentu ada kesukaran
pribadinya yang susah dijelaskan.
Suara si orang berkedok lirih dan gemetar: "Saudara kecil, apa
kau tidak ingin melihat wajah asliku?" "Aku tidak bermaksud
begitu" "Tapi aku sudah tidak ingin mengelabui kau lagi!" habis
berkata, per-lahan2 ia tanggalkan kedoknya. Maka terlihatlah
sebuah wajah yang cakap putih dalam usia pertengahan

umur, dagu dan jidatnya memelihara jenggot panjang yang
memutih. Dari kecakapan wajahnya itu terlintas rasa duka dan
hampa.
Suma Bing terlongong mengawasi wajah orang, tak tahu dia
siapakah orang ini.
"Saudara kecil, kau tidak tahu siapa aku?" "Aku tidak kenal
kau!" "Akulah Tiang-un Suseng Poh Jiang!" Suma Bing
berjingkrak kaget seperti disengat kala.
Mimpipun ia tidak menduga bahwa si orang berkedok ini kiranya
adalah Tiang-un Suseng, musuh perguruannya yang menghilang
dan susah dicari itu. Gelap pandangan Suma Bing, otaknya pepat,
hatipun terasa mendelu. Persahabatan, budi dan dendam kesumat
campur aduk bergolak dalam benaknya... Baru sekarang dia sadar,
waktu mereka berkenalan untuk pertama kalinya, dia membawa
dirinya kedepan kuburan palsu Tiang-un Suseng itu kiranya
mempunyai arti yang dalam. Dia heran bahwa Tiang-un Suseng
Poh Jiang sudah tahu bahwa dirinya merupakan musuh besar
daripada Bu-lim-sip-yu. Mengapa dalam berbagai kesempatan yang
ada dia tidak turun tangan melenyapkan jiwanya, malah mengulur
tangan untuk bersahabat? Terhitung sebagai seorang sahabat?
Atau sebagai musuhkah orang ini?
Terbayang akan Sia-sin Kho Jiang yang dikorek matanya dan
dikutungi kedua kakinya hingga menjadi manusia tanpa daksa,
akhirnya mati secara mengenaskan setelah racun bekerja dalam
tubuhnya. Pesan gurunya sebelum ajal sekali lagi terkiang dalam
telinganya: "... menuntut balas..." Perintah guru lebih penting!
Demikianlah titik berat daripada penilaian terakhir Suma Bing
setelah berpikir panjang sekian lamanya.
Wajah Tiang-un Suseng yang ber-kerut2 mulai lamban dan
tenang kembali, nada suaranya berat dan sember: "Sumahiangte,
bagaimana kau hendak menghadapi aku?"

Suma Bing undur selangkah, sedapat mungkin ia mengekang
perasaan hatinya yang bergejolak, katanya dingin:
"Poh-heng, aku tidak akan mengingkari persahabatan kita yang
kekal, terutama budimu yang besar terhadapku. Tapi kau adalah
salah satu musuh yang ikut mencelakai suhuku kenyataan ini tidak
mungkin dihapus..."
"Aku paham, hanya katakanlah bagaimana kau hendak
menghadapi aku?"
"Harap kau suka memaafkan, perintah guru harus kulaksanakan."
"Menggunakan cara seperti membunuh Tji Khong Hwesio dulu
itu?"
Suma Bing menggigit bibir, katanya: "Benar, tapi untuk
persahabatan kita kelak kalau urusanku
sudah beres, pasti aku akan memberikan pertanggungan
jawabku."
Tiang-un Suseng Poh Jiang tertawa ewa, ujarnya: "Saudara
kecil, kepala saudaramu yang bodoh ini kau boleh
ambil, tapi ada beberapa kata patah hendak kujelaskan." "Silahkan
katakan!" "Peristiwa di Bu-san dulu, biang keladinya adalah
suhengmu Loh Tju-gi. Ketahuilah bahwa Bu-lim-sip-yu juga
merupakan satu pihak yang kena cedera. Loh Tju-gi membunuh
tiga diantara kita sepuluh kawan, dan menimpakan bencana ini
kepada suhumu tujuannya ialah hendak menggunakan kekuatan
Bu-lim sip-yu untuk melenyapkan gurumu, dengan demikian ia
lepas dari dosa sebagai murid yang durhaka mengkhianati guru..."
Sejenak Tiang-un Suseng merandek menekan perasaan hatinya,
lalu berkata lagi:

"Tiga diantara Bu-lim-sip-yu sudah mati ditangan Loh Tju- gi, satu
lagi mati ditanganmu. Leng Hung-seng Ciangbunjin dari
Ceng-seng-pay tewas ditangan Ketua Bwe-hwa-hwe, Tjoh Pin
Ngo-ouw Pangcu meninggal terbokong oleh suatu tutukan aneh
yang mematikan. Jenazah Lo-san-siang-kiam rebah ditengah jalan
Siang-im. Tulang belulang Goan Hi dari Siaulim terkubur diluar
kota Kay-hong. Kini Bu-lim sip-yu tinggal satu yaitu aku sendiri
saudara tuamu. Hian-te, karena peristiwa dulu itu adalah tipu
muslihat orang yang mengadu domba kita, maka aku tidak
pandang kau sebagai musuh, bahwasanya dengan perbuatanku ini
aku berusaha untuk menebus dosa kita yang telah mencelakai
suhumu dulu. Sudah ucapanku sampai sekian saja!"
Pikiran Suma Bing menjadi pepat dan gundah, demi kebenaran dan
keadilan memang dia tidak seharusnya menuntut balas kepada
Tiang-un Suseng, namun lantas bagaimana pertanggungan
jawabnya kepada gurunya dialam baka? Suasana sesaat mencekam
sanubarinya sehingga terasa seakan membeku. Akhirnya sifat2
Sia-sin Kho Jiang yang menurun dan terpendam dalam benak Suma
Bing memenangkan kesadaran dirinya sendiri. Benaknya mengambil
suatu keputusan tegas, maka sambil mengertak gigi ia berkata:
"Poh-heng, aku Suma Bing dapat membedakan antara budi dan
dendam. Karena pesan guruku aku harus turun tangan terhadap
kau, demi persahabatan kita biar kelak aku bunuh diri untuk
menebus kesalahanku ini."
"Itupun tidak perlu", ujar Tiang-un Suseng gemetar. "Sekarang
boleh kau turun tangan, aku tidak akan membalas."
Sebenarnya sanubari Suma Bing terasa sangat pedih, kalau lawan
benar2 tidak melawan, dia takkan kuat bertahan.
"Tidak, kau harus melawan, balaslah menyerang sekuat yang kau
bisa."

"Melawan atau tidak hakikatnya sama saja." Pada saat itulah
se-konyong2 terdengar sebuah helaan
napas lirih yang mengandung kepedihan dan kegetiran hati. Tanpa
terasa Suma Bing mengkirik kejut, dimana pandangannya tertuju,
terlihat tiga tombak dibelakangnya sana berdiri seorang wanita
serba hitam yang rambutnya terurai panjang. Dia tak lain tak bukan
adalah Sim Giok-sia putri Lam-sia dengan Se-kui. Sekali lagi Suma
Bing tergetar bagai kesetrom aliran listrik.
Sementara itu, tubuh Tiang-un Suseng juga terhuyung mundur,
matanya terbelalak lebar. Sepasang kekasih yang menderita
segala siksaan dan rintangan, akhirnya bertemu lagi setelah
berpisah selama tiga puluh tahun lamanya, sang waktu sudah
membuat mereka menanjak pada usia ketuaan.
Per-lahan2 Sim Giok-sia menyingkap rambutnya kebelakang
kepala, wajah pucat yang berkerut dan layu penuh dibasahi air
mata, bola matanya dengan tajam menatap wajah Tiang-un
Suseng. Sinar matanya itu benar2 menyedot sukma dan semangat
orang yang dipandang.
Wajah Tiang-un Suseng juga pucat pasi, tubuhnya tergetar hebat
menahan gelora hatinya.
"Adik Sia!" "Engkoh Jiang!" Sambil berseru serta merta mereka
memburu maju dan
saling berpelukan dengan kencang. Per-lahan2 Suma Bing
membalik tubuh kearah lain,
perasaan hatinya susah dilukiskan. Musuh besar suhunya! Menjadi
kekasih sucinya! Juga menjadi sahabat kentalnya! Bagaimana dia
harus mengambil sikap? Se-konyong2 seakan dia mendapat suatu
petunjuk, mulutnya menggumam:

"Kalau suhu mengetahui dialam baka pasti dapat mengampuni aku.
Pasti dia orang tua juga rela menghapus dendam kesumatnya. Ya,
biarlah pertikaian ini habis sampai disini...
Samar2 kupingnya mendengar percakapan yang meremukkan hati...
"Adik Sia, aku tahu langit susah ditambal, laut sukar diuruk,
kukira hidupku ini akan nestapa sepanjang masa..."
"Engkoh Jiang, tiga puluh tahun, sudah membuat jiwa kita luntur,
ada apalagi yang dapat kita peroleh?"
"Adik Sia, cinta tidak mengenal waktu dan segala batas..." "Ya,
tapi sekarang kita sudah tua!" Karena mencintai Tiang-un
Suseng Poh Jiang, Sim Giok-sia
dipenjarakan selama tiga puluh tahun oleh ibunya (Setan
barat). Sekarang sepasang kekasih ini dapat bersua kembali.
Cinta mereka masih tetap murni dan abadi, tapi masa remaja
sudah lanjut takkan kembali lagi. Belum tentu mereka takkan
bahagia, namun bahagia ini rada terlambat datangnya,
pengorbanan yang harus mereka curahkan terlalu besar. 'Kita
sudah tua!' kata2 ini rasanya sudah cukup menerangkan
segala2nya.
Dalam hati Suma Bing mengambil suatu keputusan drastis, dia
tidak boleh merenggut kebahagiaan sucinya yang terlambat.
Hutang darah ini, biar ditumpahkan dan dipikul oleh Suhengnya
Loh Tju-gi yang durhaka itu. Dia tidak tahu apakah keputusan itu
benar, namun secara langsung ia merasakan bahwa suhunya yang
dialam baka juga tidak akan menentang pendapatnya ini. Sekilas ia
memandang kedua kekasih yang masih berpelukan mesra, sekali
melejit bayangannya sudah menghilang dikejauhan sana.
Lama dan lama sekali baru dua kekasih yang berpelukan dan
rindu akan kemesraan itu saling pandang dan tersenyum

tawa, tapi senyum tawa mereka adalah kecut, karena mereka
sudah menelan kegetiran cinta.
Se-konyong2 Tiang-un Suseng tersadar dan berseru kejut,
serunya:
"Kemana dia pergi" "Adik seperguruanku! (sute)..." "Apa, Suma
Bing adalah Sutemu?" Sim Giok-sia mengiakan. "Bagaimana
bisa terjadi..." "Suhunya itu adalah ayah kandungku!" "O, tapi
kenapa kau she Sim?" "Aku ikut she ibuku, ibuku juga menjadi
guruku!" Dengan penuh kejut dan keheranan Tiang-un Suseng
Poh
Jiang bertanya: "Adik Sia, bukankah dulu kau mengatakan bahwa
kau adalah seorang bayi yang diketemukan!"
"Memang riwayat hidupku baru belum lama ini kuketahui!"
"Gurumu juga adalah ibumu, mengapa dia mengurungmu
selama tiga puluh tahun, masa tiada rasa cinta ibu kepada anak
kandungnya..."
Sim Giok-sia tertawa pahit, katanya: "Kejadian yang dia alami dulu
sangat menyakiti hatinya. Aku tidak dapat menyalahkan dia, aku
tahu dia sangat sayang kepadaku. Karena kesalahan pahamnya
dengan ayahku, maka dia sangat membenci dan mendendam
kepada seluruh laki2 didunia ini, maka..."
"Adik Sia, yang sudah lalu biarkanlah pergi, kelak..."
"Kelak bagaimana?" "Apa kau tidak ada persiapan?"

Dengan sedihnya Sim Giok-sia tertawa ewa, ujarnya. "Engkoh
Jiang, kita sudah tua, lebih baik biarlah kita cadangkan rasa kasih
mesra yang sangat berharga ini."
"Adik Sia, gemblengan dan ujian selama tiga puluh tahun, apa
yang telah kita dapatkan? Kehampaan yang kita dapat. Tapi juga
boleh dikata kita telah memperoleh terlalu banyak." "Apa?"
"Cinta murni yang abadi dan teguh kukuh tak terpisahkan oleh
masa dan usia."
"Adik Sia, apa kau rela cinta kita yang merana dan nestapa ini
tiada akhirnya?"
"Sudah terlambat" "Tidak, seseorang menggunakan seluruh
tenaga sisa
hidupnya, untuk mengejar sesuatu benda, tujuan yang utama
hanyalah untuk mendapat kepuasan hati yang terakhir, meskipun
kepuasan itu hanya sekejap mata saja, atau sudah luntur, tapi itu
cukup untuk mengganti dan menambal semua pengorbanan yang
telah dia curahkan."
Mendengar penjelasan yang merasuk hati ini timbullah sinar
terang pada wajah Sim Giok-sia yang kurus kepucatan.
Se-konyong2 berobah air muka Tiang-un Suseng, katanya: "Adik
Sia, pertikaian antara Bu-lim-sip-yu dengan
ayahmu..." "Aku tahu biang keladinya yang utama adalah Loh
Tju-gi
seorang. Memang keputusan ayah menyuruh Suma-sute menuntut
balas adalah tidak patut!"
Gemetar suara Tiang-un Suseng: "Adik Sia selama hayat masih
dikandung badan, aku harus mencari bajingan Loh Tju- gi itu..."
"Sudah tentu, aku Suma Bing sudah pasti harus mencarinya."

Sekali lagi mereka berpelukan dengan mesranya, bahagia yang
terlambat datang ini, akhirnya mengikat sejoli yang akan
melangkah kejenjang hidup baru.
Dalam pada itu sepanjang perjalanan pikiran Suma Bing gundah
tidak tentram. Menurut cerita Si maling bintang Si Ban-tjwan
bahwa ibunya masih hidup didunia ini. Tapi selama sepuluh tahun
lebih ini, mengapa tidak terdengar tentang kabar cerita atau
jejaknya dikalangan Kangouw. Semestinya dia sudah muncul lagi
untuk menuntut balas pada musuh2 besarnya, hal ini benar2
membuat orang tak habis mengerti!
Latar belakang apalagi yang menyebabkan Loh Tju-gi menyekap
diri selama empatbelas tahun ini setelah dia menduduki jago
nomor satu diseluruh jagad? Sudah dua kali Pek-kut Hujin
menolong jiwanya, dengan sengaja atau secara kebetulan? Kalau
sengaja, apalagi tujuannya? Lima sisa dari Bu-lim-sip-yu beruntun
mati secara misterius, siapakah yang membunuh mereka?
Racun diracun pernah mengatakan kalau dirinya sudah
mendapatkan Bunga-iblis Pedang berdarah segera diserahkan
tanpa syarat. Meskipun maksud tujuan Racun diracun ini susah
diselami, tapi bagaimanapun juga dia harus mencoba sekuat
tenaga. Sebab bukan saja hal itu merupakan pesan terakhir
suhunya sebelum ajal, juga menjadi cita2 ayahnya semasa hidup!
Kalau bibinya Ong Fong-jui mengatakan bahwa Bunga-iblis berada
ditangan seorang momok wanita, bernama Bu-siang- sin-li, pasti
hal ini boleh dipercaya. Usia Bu siang sin li sudah seabad lebih,
ilmu silatnya susah dijajaki, dia bersemayam di Bu-kong-san.
Dengan semangat me-nyala2 dan penuh harapan inilah Suma Bing
tengah langkahkan kakinya menuju ke Bu-kong-san.
Bersama itu dia juga merasa bahwa perjalanannya ini agak
membabi buta, seumpama benar2 dia dapat menemukan Busiang-
sin-li, mengandal alasan apa dia hendak minta BungaTiraik
asih
Websi
te
http://
kangz
usi.co
m/
iblis yang dipandang pusaka paling berharga dimata para kaum
persilatan?
Begitulah pikiran Suma Bing me-layang2 jauh, dari sejak pertama
kali ia turun gunung melaksanakan perintah suhunya sampai
peristiwa yang baru saja dialami, semua terbayang didepan
matanya.
Hari itu waktu tengah hari, setelah menangsel perut disebuah
rumah makan, setelah Suma Bing menanyakan jalan menuju ke
Bu-kong-san kepada pelayan, terus melanjutkan perjalanan. Dalam
perhitungannya dua hari lagi dirinya pasti sudah tiba diwilayah
pegunungan Bu-kong-san.
Tengah ia mengayun langkah itulah tiba2 sebuah bayangan
manusia dengan kecepatan terbang bagai bintang jatuh meluncur
cepat kearah dirinya.
20. WANITA GILA KORBAN PERMAINAN LOH TJU- GI.
Ter-sipu2 Suma Bing menggeser kesebelah kanan,
maksudnya untuk mengelak supaya orang lewat dengan leluasa.
Tapi ternyata bayangan orang itu juga berkelit kearah yang
bersamaan dengan sengaja. Kedua belah pihak meluncur dengan
kecepatan penuh, dalam detik2 hampir bertumbukan itulah.
Mendadak Suma Bing menyedot hawa dalam, sebat sekali kakinya
menjejak tanah, kontan tubuhnya melesat tinggi ketengah udara
terbang melewati atas kepala bayangan orang itu...
Maka terdengarlah suara gemerantang, terlihat bayangan manusia
itu juga menghentikan luncuran tubuhnya terus memutar balik.
Waktu Suma Bing mengawasi bayangan orang ini, tanpa terasa ia
menyedot hawa dingin karena yang dihadapinya ini

kiranya adalah seorang wanita pertengahan umur yang rambutnya
acak2an, bajunya kusut masai banyak tambalannya, kedua matanya
kuyu redup, dan yang lebih mengherankan bahwa dileher wanita itu
terikat seutas rantai panjang warna hitam yang terurai panjang
diatas tanah.
Sekilas pandang Suma Bing segera bermaksud tinggal pergi.
"Kau jangan pergi!" sebuah suara kaku tanpa perasaan
menghentikan langkahnya, suara itu membuat merinding dan tak
enak perasaan Suma Bing.
Suma Bing tertegun sambil membalik tubuh lagi, tanyanya dingin:
"Siapa kau?"
Mendadak wanita itu berkakakan menggila tak henti2nya, sekian
lama dia me-liuk2 tertawa baru berhenti. Kedua matanya yang
kuyu redup mendadak memancarkan sinar kebencian yang
,me-nyala2 menakutkan orang. Wajah keropos yang pucat pias itu
menjadi bengis membeku penuh hawa membunuh, serunya sambil
mengertak gigi:
"Aku inginkan jiwamu!" "Apa kau minta jiwaku?" seru Suma
Bing berjingkrak. "Benar, hendak kukorek jantung hatimu..."
Suma Bing menjadi serba salah dan geli, katanya: "Apa kau
tahu siapa aku?" "Kau menjadi abu juga akan kukenali, bukan
saja hendak
kubunuh kau. Kho-lo-sia guru setan tuamu itu akan kubunuh
juga."
Suma Bing tertegun heran dan mundur selangkah. Orang sudah
tahu asal usulnya tapi sedikitpun dia tidak kenal orang, naga2nya
orang ini tengah mencari dirinya untuk menuntut balas, maka
segera katanya lagi:

"Sebenarnya siapa kau ini, ada permusuhan apa dengan aku yang
rendah?"
Wanita itu mendesak maju selangkah, rantai ditubuhnya ikut
terseret berbunyi nyaring, makinya sambil menunjuk kearah Suma
Bing:
"Kau bukan manusia, kau binatang, hendak kukorek hati
binatangmu itu, kau... mengapa kau demikian kejam? Oh, tidak!
Aku tidak akan bunuh kau, tidak bisa, kau masih mencintaiku
bukan?"
Berkerut alis Suma Bing, baru sekarang dia sadar bahwa orang
yang dihadapinya ini kiranya adalah wanita gila, tanpa terasa dia
tertawa geli sendiri. Karena pikirannya ini segera ia jejakkan
kakinya, tubuhnya melenting jauh...
Dimana terdengar suara gemerantang se-konyong2 wanita itu
juga sudah melesat tiba dihadapannya sambil menyurung sebuah
pukulan kedepan.
Walaupun agaknya pikirannya tidak beres, tapi gerak gerik wanita
ini lihay sekali. Karena tidak bersiaga Suma Bing kena tergetar
mundur tiga langkah.
"Kau hendak pergi, hm, naga2nya hari ini aku harus membunuh
kau!"
Suma Bing meng-geleng2 kepala sambil tertawa kikuk badannya
segera melesat miring kesamping sana...
Dalam waktu yang hampir bersamaan wanita itu juga melesat
ketengah udara, beruntun dia, lancarkan tiga kali pukulan yang
menerbitkan angin men-deru2.
Mengingat pikiran orang kurang waras. Suma Bing tidak mau
meladeni serangan ini, sebat sekali tubuhnya jumpalitan
menghindar. Tapi serangan wanita itu malah semakin gencar
beruntun ia lancarkan lagi serangan yang mematikan mengarah
tempat penting ditubuh Suma Bing.

Se-konyong2 sebuah pikiran berkelebat dalam otak Suma Bing.
Batinnya: kalau pikiran orang ini kurang beres bagaimana dia bisa
mengenal asal usulnya. Apa mungkin dia pura2 gila, atau ada latar
belakang apalagi yang tersembunyi? Mengapa pula lehernya diikat
rantai, dilihat dari cara ia turun tangan kepandaiannya agaknya
tidak lemah, lalu mengapa dia tidak berusaha menanggalkan rantai
dilehernya itu?
Serangan2 wanita itu semakin deras dan kejam tak mengenal
kasihan. Karena banyak berpikir. Suma Bing berlaku sedikit ayal,
dan hampir saja jalan darah Ci-tong-hiat kena tercengkram. Mau
tak mau akhirnya dia harus mengambil keputusan yang tegas,
pikirnya, terpaksa aku harus turun tangan meringkusnya dan
ditanyai secara terang. Karena ketetapannya ini beruntun dua
tangannya bergerak lincah melintang kedepan.
"Blang," sambil mengeluh kesakitan wanita itu terhuyung lima
kaki jauhnya:
"Loh Tju-gi, akan kukeremus dagingmu kuminum darahmu!" sambil
memaki kalang kabut wanita itu menyerbu datang lagi dengan
serangan kalap.
Tergetar perasaan Suma Bing, sambil berkelit kian kemari,
otaknya berpikir: kiranya aku disangka Loh Tju-gi suheng yang
murtad itu. Apa wajahku mirip dengan Loh Tju-gi. Tapi tidak
mungkin, sedikitnya usia Loh Tju-gi sudah pertengahan umur, usia
kita terpaut terlalu banyak, mana bisa salah kenal! Hanya ada satu
kepastian bahwa perempuan ini pasti dulu pernah dirugikan oleh
Loh Tju-gi itu... Serta merta lantas teringat akan ibunya San-hoa-li
Ong Fang-lan, tanpa terasa bergidik dan merinding tubuhnya.
Menurut cerita si maling bintang Si Ban-tjwan bahwa ibunya dulu
pernah diperkosa oleh bangsat Loh Tju-gi itu, apa mungkin...
Sekali melejit ia menyingkir sejauh dua tombak dan berdiri tegak,
dia perlu menenangkan gejolak hatinya.

Pada saat itulah tiba2 sebuah tandu tengah mendatangi dengan
kecepatan bagai terbang.
"Pek-hoat-sian-nio!" tanpa terasa mulut Suma Bing berseru kejut.
Tiba2 perempuan gila itu berteriak nyaring terus berlari pergi
se-kencang2nya.
"Cegat dia!" membarengi seruan ini, sebuah bayangan melesat
datang lewat sampingnya.
Kontan Suma Bing kirim sebuah hantaman keras kearah bayangan
ini, dimana debu dan kerikil beterbangan, bayangan itu kena
tersuruk jatuh diatas tanah, dia bukan lain adalah guru daripada
Ting Hoan yaitu Pek-hoat-sian nio.
Sambil menggeram gusar Pek-hoat-sian-nio lancarkan sebuah
pukulan keras. Segera Suma Bing angkat tangan menyambuti
dengan kekerasan juga. 'Bum' ditengah dentuman menggelegar
kedua belah pihak sama2 tersurut mundur satu tindak. Dalam
mundur setindak itulah Pek-hoat- sian-nio sudah lancarkan
selentikan jarinya lagi, beruntun angin selentikan melengking saling
susul menyambar kedepan.
Terpaksa Suma Bing jumpalitan kesamping menghindar...
Menggunakan kesempatan ini, Pek-hoat-sian-nio melejit
kedepan dengan kecepatan yang susah diukur. "Kemana kau
pergi." — tubuh Suma Bing juga ikut melesat
datang, ditengah udara ia lancarkan pukulan2 lihay membuat
Pek-hoat-sian-nio terpaksa harus meluncur turun.
"Suma Bing, apa2an maksudmu ini?" "Kita selesaikan
perhitungan lama!" "Hm, tidak malu kau turun tangan kepada
seorang
perempuan yang berpikiran kurang waras. Malah kau merintangi
aku pergi mengejar dia, jikalau terjadi sesuatu diluar dugaan, awas
kau harus bertanggung jawab?"

Terperanjat hati Suma Bing, jadi benar2 pikiran perempuan itu
kurang waras, untuk apakah Pek-hoat-sian-nio mengejar
perempuan gila itu? Tapi kebencian hatinya mendesak dia
melakukan langkah2 selanjutnya, maka dengan dingin ia
menantang:
"Pek-hoat-sian-nio, dua kali hadiahmu yang berharga tempo hari,
biar hari ini kukembalikan."
Sinar mata Pek-hoat-sian-nio, me-nyala2 gusar, rambut putihnya
juga berdiri kaku, bentaknya keras:
"Suma Bing, kau mencari mati?" "Belum tentu mencari mati,
kita setali tiga uang." "Baiklah, biar kusempurnakan
keinginanmu itu," bentak
Pek-hoat-sian-nio sambil kirim serangan kearah Suma Bing, karena
gusar kekuatan pukulannya seumpama kilat menyambar dan
geledek menggelegar.
Sejak mendapat Kiu-tjoan-hoan-yang-tjauko dari pemberian Setan
barat. Lwekang Suma Bing bertambah berlipat ganda, sekali turun
tangan kekuatan pukulannya juga bukan olah2 hebatnya.
Terjadilah pertempuran mati2an yang susah dilerai. Keempat
gadis pemikul tandu menonton diluar gelanggang dengan muka
pucat dan hati berdebar keras.
Sekonyong2 terdengar suara pekik nyaring yang mengerikan dari
kejauhan sana, suara itu benar2 membuat mengkirik dan berdiri
bulu roma.
Serta-merta Suma Bing dan Pek-hoat-sian-nio menghentikan
pertempuran. Wajah Pek-hoat-sian-nio berobah pucat, sebat sekali
tubuhnya meluncur kearah dimana suara pekik mengerikan itu
terdengar. Sejenak Suma Bing tertegun lalu membatin: apa pekik
kesakitan yang mengerikan ini keluar dari mulut perempuan gila itu?
Lantas teringat olehnya akan kata2 yang diucapkan oleh perempuan
gila itu, tanpa

terasa bergidik tubuhnya, sebat luar biasa iapun berlarian
mengejar kedepan.
Tiga li kemudian ditengah jalan raya rebah terlentang sebuah
mayat bergelimang diantara banjir darah. Kepala mayat ini sudah
hancur terpukul, wajahnya rusak berlepotan darah susah dikenal,
sungguh mengerikan dan mengenaskan keadaan ini, rantai hitam
panjang itu kini sudah tertanggal dari lehernya, separo diantaranya
terendam diantara merah darah.
Tubuh Suma Bing gemetar keras, pandangannya nanap mengawasi
mayat didepannya, sebuah pikiran yang menakutkan merangsang
hatinya, sehingga keringat dingin membasahi jidatnya, akhirnya
tercetus juga perkataannya:
"Siapakah dia?" Air mata meleleh deras dikedua pipi
Pek-hoat-sian-nio,
dengan geram ia melotot kearah Suma Bing, lalu membungkuk
memayang jenazah diatas tanah itu terus masuk kedalam tandu.
Segera keempat gadis seragam hijau berlarian pergi dengan
cepatnya.
Suma Bing ter-longong2 memandangi noda darah diatas tanah
seperti orang linglung.
"Suma Siangkong!" sebuah suara nyaring merdu membuat Suma
Bing tersentak dari lamunannya.
Seorang gadis cantik rupawan yang berwajah pucat tengah
berdiri tegak dihadapannya dia bukan lain Ting Hoan adanya.
"Nona Ting!" seru Suma Bing terharu. Sejenak Ting Hoan
menatap wajah Suma Bing dengan
penuh perasaan kasih mesra tapi tak lama pula wajahnya berobah
membeku, katanya:
"Suma Siangkong, kau berkukuh hendak berkelahi dengan
suhuku, sehingga jiwa suciku menjadi korban."

"Dia adalah sucimu?" Ting Hoan mengiakan. "Dalam hal ini
kunyatakan penyesalanku, siapakah
pembunuhnya?" "Bwe-hwa-hwe-tiang!" Gigi Suma Bing gemeratak
gusar, serunya penuh
kebencian: "Mengapa ketua Bwe-hwa-hwe mau turun tangan
terhadap
seorang perempuan yang berpikiran kurang waras malah turun
tangan secara keji lagi?"
"Kulihat kau bergebrak dengan suhuku, maka segera aku datang
mengejar seorang diri, sayang aku terlambat juga, waktu aku
menyusul tiba dia sudah mendapat celaka, durjana itu baru saja
tinggal pergi, sekian jauh aku mengejar tidak kecandak."
"Siapakah nama sucimu ini?" "Untuk apa kau menanyakan ini?"
"Aku hanya ingin tahu saja!" "Dia bernama Lim Siok-tien."
Suma Bing menghela napas lega, katanya lagi: "Apakah aku
boleh bertanya tentang keadaannya selama
ini?" "Dia seorang wanita yang harus dikasihani..." "Dia pernah
dipermainkan seorang lelaki?" "Darimana kau tahu?" "Dia salah
sangka aku sebagai Loh Tju-gi, maka dia nekat
hendak menempur aku."

Wajah Ting Hoan beringas katanya penuh kebencian sambil
mengertak gigi:
"Benar, Loh Tju-gi sudah mempermainkan dia, lalu meninggalkan
dia pergi. Dia melahirkan seorang anak perempuan yang
meninggal tidak lama kemudian, dia sendiripun menjadi gila..."
"Loh Tju-gi akan datang suatu hari pasti kuhancur leburkan
tubuhnya!"
"Eh, bukankah dia adalah..." "Dia murid murtad dari
perguruanku, juga musuh besar
keluargaku. Selama aku masih hidup terbang kelangit atau
menyusup kebumi pasti akan kucari dia sampai ketemu!"
Ting Hoan menghela napas panjang, ujarnya: "Mengapa tidak
siang2 kau katakan hal ini?" "Kenapa?" "Guruku juga
menyangka kau sebagai murid Loh Tju-gi itu,
maka dia turun tangan kepadamu!" "Jadi begitulah duduk
perkaranya." "Setelah pikirannya kurang beres, setiap melihat
pemuda
gagah ganteng, lantas suciku anggap dia sebagai Loh Tju-gi.
Karena terpaksa maka suhu mengurungnya dengan memborgol
lehernya dengan rantai. Sungguh tak duga beberapa hari yang lalu
dia dapat terlepas, maka kita beramai datang mengejar..."
"Apa kau melihat tegas orang yang membunuh dia adalah Ketua
Bwe-hwa-hwe?"
"Sedikitpun tidak salah." "Hm, aku juga tidak akan melepas
dia! Oh ya, nona Ting
kuingat bukankah gurumu juga tengah mencari Tiang-un
Suseng..."

"Benar, kenapa?" "Belum lama berselang aku baru saja
berpisah dengan
Tiang-un Suseng, si orang berkedok yang bersama aku itulah
orangnya."
"Si orang berkedok itu adalah Tiang-un Suseng?" "Begitulah,
baru sekarang aku mengetahui kedok
sebenarnya." "Tapi sekarang kami tidak perlu lagi mencari dia."
"Mengapa?" "Tiang un Suseng Poh Jiang adalah duplikat dari
Wi-thiantjhiu
yang kenamaan di Bulim. Tujuan kita dulu adalah hendak
minta dia mengobati penyakit gila suciku itu, sekarang suci sudah
menemui bencana, tidak perlu lagi mencari dia!"
Suma Bing manggut2 sambil berdiam diri. Kata Ting Hoan lagi:
"Tentang kesalah pahamanmu dengan guruku kuharap
sejak saat ini dapat dibikin terang." "Ya, tentu dapat." "Sekarang
kau hendak kemana?" "Menuju ke Bu-kong-san!" "Apa
keperluanmu kesana?" Sejenak Suma Bing berpikir dan ragu2,
akhirnya ia berkata
sebenarnya: "Aku berharap dapat menemukan Bunga-iblis..."
"Bunga-iblis?" seru Ting hoan penuh keheranan, "Apa
Bunga-iblis berada di Bu-kong-san?"

"Bukan, konon Bunga-iblis itu berada ditangan Bu-siang sin-li.
Justru tempat bersemayam Bu-siang sin-li berada di Bukong-
san..."
Berobah air muka Ting Hoan, katanya: "Bu-siang-sin li,
seorang Tjian-pwe aneh didalam dongeng,
sudah lama tidak muncul di Kangouw, malah katanya ilmu silatnya
setinggi langit, seumpama kenyataan memang begitu, kukuatir..."
Suma Bing tertawa ewa, katanya: "Aku tahu tapi besar tekadku
untuk mendapatkannya". "Baik, kudoakan kau berhasil."
"Terima kasih!" "Aku harus segera kembali membantu
mengurus jenazah
suci..." "Silahkan nona Ting, aku juga harus segera berangkat!"
"Suma Siangkong..." "Nona masih ada perkataan apa?" "Aku...
aku..." "Kalau ada perkataan apa2 silahkan katakan saja." Wajah
Ting Hoan merah jengah, bibirnya sudah bergerak
hendak berkata tapi ditelannya kembali. Lalu sambil tunduk dia
bermain ujung bajunya, sikapnya kikuk dan malu2, benar2
membuat orang merasa geli dan tenggelam dalam alunan asmara.
Mendadak ia angkat kepalanya lagi seakan tiba2 bertambah besar
nyalinya, suaranya halus merdu:
"Ada sepatah kata hendak kuberitahukan kepadamu." "Coba
katakan?" "Aku teringat pada waktu kau mengobati lukaku
dulu itu..."

"Nona terluka karena aku, peristiwa itu selalu mengganjel dalam
hatiku, dalam hal ini pasti aku tidak akan melupakan..."
"Tidak!" "Mengapa tidak?" tanpa terasa berdetak keras jantung
Suma Bing, entah apa maksud dengan 'tidak' itu? "Walaupun
kaum persilatan tidak mengukuhi adanya adat
istiadat lama tapi sedikit banyak ada batas2nya. Tubuh seorang
gadis kalau sudah diraba dan dijamah oleh seorang laki2, dia... dia
harus bagaimana?"
Suma Bing tertegun, ujarnya: "Nona waktu itu aku mengobati
lukamu" "Ya, memang mengobati lukaku, tapi seorang gadis
memandang kesucian dirinya melebihi jiwa sendiri. Hakikatnya
kita sudah bersentuhan tubuh, aku berkata demikian bukan
karena ingin memohon sesuatu, aku hanya berharap supaya kau
tahu selama hidup ini badanku ini tidak akan menjadi milik laki2
lain!"
Jantung Suma Bing hampir melonjak keluar, keringat membasahi
seluruh tubuh, teriaknya gugup:
"Nona Ting, ini... ini..." Kata Ting Hoan dengan kalem dan
tenangnya: "Sudah
kukatakan aku tidak memohon apa2, asal kau tahu maksud hatiku
saja. Sudah tentu aku tidak bisa paksa kau untuk mencintai aku.
Ucapanku sampai sekian saja, harap kau jaga dirimu baik2!" Habis
berkata sekali lagi ia pandang wajah Suma Bing lekat2 penuh
harap lalu tubuhnya melenting tinggi menghilang dikejauhan sana.
"Adik Hoan!" — waktu Suma Bing tersadar, dia berseru
memanggil, tapi bayangan Ting Hoan sudah hilang tanpa jejak.

Serasa ada sesuatu benda yang menindih sanubarinya, sedemikian
berat benda itu sehingga membuat dia susah bernapas. Hubungan
lelaki perempuan, antara cinta dan persahabatan tiada batas
perbedaan yang jelas, waktu kau merasa resah dan gundah susah
tentram, mungkin itulah pertanda cinta, tak perduli dalam keadaan
yang bagaimana kamu merangkap pertemuan itu. Untuk pertama
kali inilah hatinya resah karena cinta, karena cinta, telah
membelenggu dirinya tanpa dia sadar sebelumnya. Tanpa terasa
dia menghela napas dalam.
Tengah ia tenggelam dalam renungannya itulah, mendadak sebuah
bayangan manusia tengah mendatangi dengan sempoyongan
kearah dimana Suma Bing tengah berdiri. Waktu Suma Bing
tersadar kaget dan membalik tubuh, bayangan itu sudah terpaut
tiga tombak dari dirinya. Waktu melihat orang yang mendatangi ini
seketika membaralah hawa amarahnya menggeser kaki segera ia
mencegat ditengah jalan sambil menghardik keras:
"Berhenti!" Kiranya yang datang ini bukan lain Tang-mo
adanya, salah
satu dari Bu-lim-su-ih yang sejajar dengan Se-kui, Pak-tok dan
Lam-sia.
Tang-mo menurut kata menghentikan langkahnya. Terlihat oleh
Suma Bing pandangan kedua mata orang
begitu redup, napasnya memburu, jidatnya basah oleh keringatnya
yang meleleh deras. Diam2 terkejut hatinya batinnya apakah iblis
laknat ini terluka parah?
"Iblis timur, akhirnya kita bertemu juga disini!" "Kau... kau..."
seru Tang-mo tergagap. "Akulah Suma Bing, murid Lam-sia
Su-hay..." Tubuh Tang-mo ter-huyung2 hampir roboh agaknya
dia
hampir tak kuat lagi berdiri.

Suma Bing membatin dalam hati: "Luka iblis ini tidak ringan,
entah terluka ditangan siapa
dia." Maka segera ia bertanya: "Apa kau terluka?" Iblis timur
menggigit bibir menahan sakit dan menguatkan
hatinya, serunya beringas: "Buyung, memang Lohu terluka parah,
kau mau apa?" Hawa membunuh menyelubungi raut wajah Suma
Bing
desisnya dingin: "Aku ingin mencabut jiwamu!" Lagi2 tubuh
Tang-mo terhuyung mundur, geramnya:
"Buyung, kau tidak adil menggunakan kesempatan ini..."
"Tutup-mulutmu, tidak peduli bagaimana kau hendak
berkata, yang terang hari ini kau harus mati!" "Ada permusuhan
apa Lohu dengan kau?" "Permusuhan! Hehehe, Tang-mo,
ketahuilah dendam
sedalam lautan setinggi gunung, tapi sebelum aku turun tangan,
harap sukalah kau berlaku terus terang, jawablah beberapa
pertanyaanku"
"Buyung, kau..." "Dengar, peristiwa pengeroyokan dipuncak
kepala harimau
digunung Tiam-tjong-san dulu itu..." "Buk!" Suma Bing berjingkrak
kaget. Ternyata Tang-mo
sudah roboh binasa. Darah menyembur deras dari dadanya bagai
mata air. Saking gugup hampir saja bibir Suma Bing tergigit putus
oleh giginya sandiri, ter-sipu2 ia memburu maju membalikkan
tubuh orang dan memeriksa dengan teliti, tampak sebuah lobang
besar didepan dadanya menembus sampai dipunggungnya. Bahwa
iblis laknat ini terluka dadanya tembus sampai kepunggung masih
kuat menutup jalan darah

dan berlarian sekian jauh sampai disitu, kekuatan Lwekangnya itu
benar2 sangat mengejutkan. Tapi siapakah yang telah
melukainya?
Dengan kepandaian dan Lwekang Tang-mo yang lihay, orang yang
mampu mengalahkan atau membunuhnya kiranya hanya beberapa
tokoh lihay pada jaman itu. Bahwasanya luka Tang-mo itu bukan
karena kena pukul atau sesuatu ilmu aneh yang mengejutkan,
adalah dadanya itu tertembuskan oleh sebilah senjata tajam. Maka
dapatlah dibayangkan bahwa sipembunuh itu pasti berkepandaian
lebih tinggi dari Iblis timur sendiri.
Saking gegetun dan menyesal Suma Bing mem-banting2 kaki.
Tang-mo adalah salah seorang musuh besar yang ikut dalam
peristiwa berdarah dipuncak kepala harimau di Tiam- tjong-san.
Dari mulutnyalah dia bersiap mengejar musuh2 besar lainnya,
sungguh tidak kira sumber yang terpercaya inipun putus. Siapakah
yang telah membunuh Iblis Timur? Angkara murka hatinya beralih
kepada manusia yang membunuh Iblis timur itu, karena kematian
Iblis timur maka dia harus kehilangan sumber pengejaran kepada
musuh2 besarnya. Mengawasi jenazah musuh besarnya yang
tergolek mati ditangan orang lain ini, per-lahan2 semakin
memuncak kegusarannya tangan diangkat hendak menghantam...
"Orang mati dendam ludas, sangat keterlaluan kalau kau merusak
jenazahnya!"
Suma Bing mendengus keras sambil tarik kembali tangannya,
terlihat olehnya si orang yang bicara ini bukan lain adalah si maling
bintang Si Ban-tjwan.
"Si-tjianpwe apa baik2 saja selama berpisah?" "Hehe,
baik2 saja!" "Apakah Tjianpwe tahu Tang-mo terbunuh
oleh siapa?"

Seketika si maling bintang Si Ban-tjwan mengunjuk rasa heran
dan terkejut:
"Apa kau sendiri tidak bisa melihat?" Suma Bing menggeleng
dengan hampa: "Menurut hematku dadanya tertembus oleh
senjata tajam,
tentang siapa yang turun tangan belum dapat kuketahui!" "Ha,
peristiwa besar yang menggegerkan itu, masa kau
masih belum dengar?" "Peristiwa besar?" "Pada saat ini dunia
persilatan sudah menanjak pada akhir
jaman, karena dimana2 tersebar keseraman dan kekejaman
dengan bau anyir darah!"
Suma Bing berkerut alis, tanyanya: "Wanpwe minta petunjuk?"
Baru pertama kali inilah Suma Bing merendah diri mengaku
sebagai Wanpwe (angkatan rendah) kepada Si maling bintang.
Karena si maling bintang pernah memberitahukan kepadanya
bahwa ibunya San-hoa-li Ong Fang-lan masih hidup, bersama itu
dia juga menyanggupi untuk membantu mencari jejak ibunya itu,
maka Suma Bing merasa sangat berterima kasih.
Kata Si maling bintang Si Ban-tjwan serius: "Iblis timur mati
ditangan Rasul penembus dada yang
diutus oleh perkumpulan yang bernama Jeng-siong-hwe!"
"Jeng-siong-hwe?" seru Suma Bing terkejut. "Aneh benar
nama itu, belum pernah kudengar dikalangan Kangouw?" "Rasul
penembus dada muncul di Bulim baru beberapa
bulan saja, dalam jangka waktu satu bulan, kaum persilatan dari
aliran hitam atau putih yang mati tertembus dadanya oleh sebilah
cundrik tidak kurang dari lima puluh orang. Malah para

korban itu kalau bukan salah seorang pentolan daerah pasti tokoh
kosen yang kenamaan..."
"Bukankah kepandaian orang yang menampakkan diri sebagai
Rasul penembus dada itu sangat hebat dan mengejutkan?"
"Sudah tentu, Iblis laknat berkepandaian tinggi seperti Tang-mo
saja tidak mampu membela diri, maka dapatlah kau bayangkan
sendiri. Adalah yang paling mengejutkan bahwa Siau-lim-si yang
terkenal sebagai pentolan yang merajai dunia persilatan juga tidak
luput dikunjungi oleh Rasul penembus dada itu. Dibawah
penjagaan ketat beratus murid lihay dalam kelenteng itu, masih
dengan leluasa dia menembuskan senjatanya didada Liau Khong
Hwesio kepala pengawas dari Lo-han-tong dan dua muridnya."
"Benar2 ada peristiwa besar ini?" "Seluruh dunia persilatan
sudah geger dan gempar, sayang
mata kupingmu kurang jeli." "Perkumpulan macam apakah
Jeng-siong-hwe itu?" "Teka-teki!" "Siapakah pemimpinnya?"
"Tiada yang tahu!" Dingin perasaan Suma Bing, bahwa
Bwe-hwa-hwe sudah
merupakan perkumpulan rahasia dikalangan Kangouw, kini muncul
lagi sebuah Jeng-siong-hwe yang serba misterius dan
menakutkan.
"Apakah tujuan Jeng-siong-hwe menimbulkan kancah pembunuhan
berdarah itu?"
"Masih merupakan teka-teki!"

"Jeng-siong-hwe membunuh Tang-mo sehingga aku kehilangan
sumber penyelidikanku untuk menuntut balas, perhitungan ini..."
"Apa kau hendak menagih pada mereka?" "Sudah tentu!"
"Buyung sudahi saja. Saat ini yang terpenting adalah
mencari jejak ibundamu, kalau ibumu masih sehat waalfiat
kupercaya takkan ada seorangpun musuh besarmu dapat lolos"
Sikap Suma Bing menjadi lesu dan bersedih: "Harapan ibu
masih hidup agaknya sangat kecil." "Mengapa?" "Kalau dia
orang tua masih hidup, selama puluhan tahun ini
mengapa tidak kelihatan jejaknya. Mungkin setelah meninggalkan
Tiam-tjong-san masih tidak luput dari tangan kejam para
musuh2..."
"Itu juga mungkin, tapi bagaimana juga harus diselidiki sampai
seterang2nya!" Kata si maling bintang, "Sudah banyak tempat
kujajaki, sampai sekarang masih belum dapat kuperoleh..."
Dengan penuh perasaan haru Suma Bing memberi hormat kepada
si maling bintang, ujarnya:
"Kebaikan Tjianpwe, selamanya akan kuingat dalam lubuk
hatiku!"
"Buyung tidak perlu. Untuk menentramkan sanubari maling tua
inilah aku berbuat begitu. Dulu kalau aku tidak terluka parah dan
belum pulih lagi tenagaku, mungkin perkembangan selanjutnya
bisa berobah. Hehe, yang lalu tidak perlu diperbincangkan lagi!
Mari kekota didepan sana mencari warung dan minum arak untuk
menghilangkan kesal!" tanpa menanti jawaban Suma Bing lagi
segera ia berlari kedepan.

Sekilas Suma Bing melirik kejenazah Tang-mo terus mengikuti
dibelakangnya. Tak lama kemudian mereka sudah memasuki
sebuah kota besar yang ramai. Kedua tua muda itu bersama
memasuki sebuah rumah makan Jui-lay-ki, mereka mencari sebuah
tempat duduk disamping jendela dipojok sebelah sana, tak lama
kemudian arak dan hidangan sudah memenuhi meja dihadapan
mereka dengan lahapnya tanpa bicara mereka gegares semua
makanan yang lezat dan nikmat.
Suasana dalam rumah arak itu sangat ramai dan penuh dengan para
pengunjung rata2 mereka tengah memperbincangkan sepak terjang
Jeng-siong-hwe, wajah mereka rada2 mengunjuk rasa takut2 dan
seram.
Se-konyong2 suara keributan dalam ruang makan yang gaduh itu
sirap seketika keheningan seram mencekam sanubari setiap
hadirin, sedemikian sunyi senyap seumpama jarum jatuhpun dapat
terdengar.
Suara si maling bintang Si Ban-tjwan berbisik gemetar: "Sudah
datang!" Tanpa terasa tergerak dan berdetak hati Suma Bing
pandangannya menyapu seluruh ruang tampak wajah semua
hadirin pucat ketakutan matanya nanap memandang kearah
tangga loteng. Eh, diujung tangga sana berdiri tegap dengan
angkernya seorang seragam putih dengan mengenakan kedok
putih pula.
Bagi kaum persilatan kalau kepandaiannya tidak sangat tinggi
diandalkan jarang ada orang yang suka mengenakan pakaian
serba putih. Sebab warna putih sangat menyolok mata disiang
maupun dimalam hari.
Jubah panjang didepan dada orang aneh ini tersulam cundrik
berwarna merah darah.

"Rasul penembus dada!" tanpa terasa Suma Bing membatin
dalam hati.
Bahwa Rasul penembus dada terang2an muncul diatas rumah
makan itu benar2 diluar dugaan semua orang. Serta merta Suma
Bing merasakan ketegangan hati.
Perlahan dan pasti Rasul penembus dada melangkah mantap
diantara meja2 makan yang penuh diduduki para tamu, bagai
dewa kematian yang tengah mencari sasarannya, dimana ia lewat
orang2 itu menunduk kepala tidak berani beradu pandang. Semua
orang ber-tanya2 dalam hati elmaut kematian bakal menimpa
kepada siapa.
Dua lobang bundar diatas kedok putihnya itu memancarkan sinar
mata dingin ber-kilat2 bagai tajamnya pedang yang menciutkan
nyali orang.
Kedua bola mata Suma Bing membelalak bundar dan bergerak
mengikuti gerak tubuh Rasul penembus dada. Tiba2 ia merasa dua
sinar dingin dari sorot matanya itu tengah bentrok, merinding dan
berdiri bulu kuduknya. Batinnya: Apa aku yang dituju? Belum
lenyap pikirannya ini sorot mata orang sudah beralih ketempat
lain.
Setiap hadirin se-olah2 tengah menanti hari kiamat yang
menakutkan.
Suara derap kakinya yang seperti disengaja berkeresekan diatas
papan loteng, seakan irama kesedihan yang mengantar arwah
kematian mendetam dihati setiap hadirin. Suasana mencekam hati
serasa membeku!
Dasar sifat Suma Bing memang congkak dan angkuh, tak kuat ia
menahan suasana yang mencekam hatinya ini, bergegas ia bangkit
dari tempat duduknya, baru saja...
Ter-sipu2 si maling bintang menekan pundaknya dan
menyuruhnya duduk kembali.
Tiraik
asih
Websi
te
http://
kangz
usi.co
m/
Akhirnya suara derap langkahnya berhenti. Rasul penembus dada
berhenti disamping sebuah meja besar disebelah timur sana.
Sekeliling meja besar ini sudah padat diduduki orang, yang
berduduk ditengah adalah seorang berpakaian perlente dari kain
sutera yang mengkilap berusia lanjut, kedua sisinya duduk dua
perempuan muda yang memulas mukanya dengan pupur tebal.
Dihadapan si orang tua berduduk dua orang Tosu, dibaris
belakang mereka berdiri jajar empat laki2 yang berpakaian
sebagai centeng.
-oo0dw0oo-
Jilid
6
21.
SI-T
IAUKHE
K =
EMP
AT
MAY
AT
GAN
TUN
G
"Siapakah orang tua berpakaian perlente itu?" tercetus satu
pertanyaan dari mulut Suma Bing kepada si maling bintang.
"Dialah Ang Bong-cun, iblis cabul yang paling kenamaan
didunia persilatan." "Jadi si tua perlente inilah yang telah
dipilihnya!" Ditengah suara pekik kaget dan ketakutan, dua
perempuan
dan kedua Tosu itu bergegas bangkit dan berlari mengumpat
dibelakang si tua perlente itu, wajah mereka pucat pasi. Perlahan si
tua perlente berdiri gemetar se-akan2 semangatnya tersedot hilang,
matanya termangu, mulut terbuka lebar tanpa mampu
mengeluarkan suara.
"Kau ini yang bernama Ang Bong-cun?" suara Rasul penembus
dada melengking dingin menusuk hati.
"Ya, itulah Lohu adanya, entah tuan ada petunjuk apa?" sahut
Ang Bong-cun gemetar.

Bibir Rasul penembus dada tampak ber-gerak2, agaknya ia tengah
menggunakan ilmu Gi-i-coan-seng (suara semut menimbulkan
gelombang) untuk bicara dengan orang, orang lain tidak akan
mendengar percakapan mereka ini.
Tampak wajah Ang Bong-cun semakin pucat, tubuhnya gemetar
dan terhuyung hampir roboh, keringat dingin sebesar kacang
menetes deras, bentaknya bengis:
"Siapa kau?" "Rasul penembus dada menerima perintah ketua
kami
untuk melaksanakan kematianmu!" suaranya dingin bagai es
membuat semua pendengarnya bergidik seram.
Mendadak Ang Bong-cun menggerung keras, kedua tangan
disodokkan keras kedepan, langsung ia menggenjot kedada Rasul
penembus dada, naga2nya ia sudah nekad untuk gugur bersama.
Se-olah2 tidak merasakan ada serangan dahsyat ini, lincah dan
seenaknya saja Rasul penembus dada menggerakkan sebelah tangan
mengebut, tanpa mengeluarkan sedikit suarapun, tapi tiba2 tubuh
Ang Bong cun terpental mundur bagai diterjang kekuatan dahsyat
yang tidak terlihat pandangan mata.
Diam2 Suma Bing memuji dan mengurut dada, kepandaian Rasul
penembus dada ini benar2 hebat dan mengejutkan.
"Ang Bong-cun,kau tidak akan menyesal menghadapi ajalmu."
Agaknya Ang Bong-cun sudah panik dan nekad, lagi2 kedua
tangannya sudah diangkat dan menyerang lagi...
Terlihat sebuah bayangan putih berkelebat cepat dan terus mental
balik ketempat asalnya lagi. Lantas disusul terdengar suara jeritan
yang mengerikan hati. Tampak dada dan punggung Ang Bong-cun
tahu2 sudah berlobang besar, darah segar bagai air mancur
menyembur keluar dari lobang lukanya itu. 'Blang!' tubuhnya roboh
menumbuk meja.

Adegan pembunuhan yang seram secara terang2an ini benar2
membuat hadirin terhenyak ketakutan ditempat duduk masing2,
tubuh mereka gemetar tak henti2nya.
Dimana terlihat bayangan putih berkelebat bagai seekor burung
bangau meluncur keluar melalui jendela terus menghilang
dikejauhan dalam sekejap mata.
Suma Bing menggerung keras terus mengejar keluar melalui
jendela itu.
"Hai Suma Bing gila kau!" seru si maling bintang Si Ban- tjwan.
Belum sirap suaranya bayangan Suma Bing sudah menghilang
diluar sana.
Maka buncah dan gegerlah seluruh keadaan rumah arak yang tadi
begitu sunyi senyap. Ber-ulang2 si maling bintang mem-banting2
kaki, setelah melontarkan sekeping perak dimeja segera iapun
mengejar keluar melewati jendela itu.
Sementara itu, begitu tubuh Suma Bing sampai diluar jendela,
terlihat setitik putih bagai terbang tengah berloncatan diatas atap
rumah dikejauhan sana, jaraknya tidak kurang dari ratusan
tombak. Suma Bing me-nyumpah2 dalam hati sampai keujung
langit juga akan kukejar sampai dapat! Dalam berpikir itu dengan
kecepatan anak panah ia kerahkan seluruh tenaganya
mengembangkan ilmu ringan tubuh terus mengejar kedepan
seenteng burung walet. Tiba diujung kota diluar sana adalah
sebuah hutan lebat. Titik putih itu dalam sekejap sudah
menghilang dari jarak pandangannya didalam hutan itu. Tanpa
banyak pikir lagi Suma Bing langsung terbang memasuki hutan
lebat, terasa cuaca sekelilingnya sangat gelap. Selama berlarian
sepeminuman teh itu kira2 ia sudah menempuh sejauh puluhan li,
tapi bayangan putih itu tetap menghilang tanpa meninggalkan
jejak. Akhirnya bosan juga ia ubek2kan dalam hutan, baru saja ia
berniat putar tubuh tinggal pergi. Se-konyong2 sejalur angin dingin
menghembus ditengkuknya, sungguh kejutnya bukan olah2, gesit
sekali ia menggeser tubuhnya lima kaki kesamping lalu secepat
kilat membalik

tubuh, eh aneh bin ajaib, apapun tidak terlihat olehnya. Dan baru
saja ia hendak memutar tubuh, sejalur angin dingin menyerbu
datang lagi dari arah belakang. Tanpa terasa berdiri bulu kuduk
Suma Bing, batinnya: apa aku ketemu setan?
Kali ini ia tidak ter-gesa2 memutar tubuh, setelah menenangkan
hatinya per-lahan2 ia memutar tubuh, sepasang matanya yang
bersinar tajam, jeli dalam sekejap itu sudah menyapu pandang
keempat penjuru. Begitu melihat apa yang dipandang seketika
darah tersirap diatas kepalanya, tubuhnya gemetar dan merinding.
Kiranya diatas sebuah pohon berjarak setombak lebih
dibelakangnya sana tergantung sebuah mayat manusia.
Mayat itu agaknya sudah lama meninggal, tubuhnya kurus kering
tinggal kulit membungkus tulang, tubuhnya bergoyang gontai
dihembus angin lalu. Tapi keadaan ini sangat janggal dan
mengherankan. Masa didunia ini benar2 ada setan kalau tidak
sebuah mayat masa bisa menghembuskan angin?
Mendadak ia melihat kiranya mayat gantung itu bukan hanya satu
tapi semua ada empat yang tergantung diempat penjuru, keempat
mayat gantung ini serupa benar kurus kering, lehernya terikat
kencang diatas seutas tali yang tergantung didahan pohon.
Dimana dirinya berada kebetulan tepat ditengah2 diantara
keempat mayat gantung itu.
Hampir meledak jantung Suma Bing saking ketakutan kuncup
nyalinya, bulu seluruh tubuhnya berdiri tegak, keringat dingin
membasahi tubuh. Masa didunia ini bisa terjadi keanehan ini,
empat orang menggantung diri bersama.
Jantung Suma Bing berdetak keras dengan mendelong bergantian
mengawasi keempat mayat gantung itu. Benar2 bunuh diri secara
massal atau mati digantung orangkah?
Tiba2 salah sebuah mata mayat itu ber-putar2 mulutnya
mengeluarkan pekik tawa melengking menusuk telinga, dan belum
lenyap suaranya ini tiga yang lain juga berbareng

mengeluarkan lengking tawa dingin saling bersautan, suara
tawanya sedemikian mengerikan bagai tawa setan dineraka yang
mendirikan bulu roma dan menyedot semangat orang.
Akhirnya Suma Bing dibikin paham dan mengerti juga akan apa
yang tengah dihadapi, dari ngeri dan seram hatinya menjadi gusar
bukan buatan hardiknya keras:
"Tutup mulut!" Karena bentakan nyaring laksana geledek
menggelegar ini
seketika siraplah suara tawa bersahutan dari keempat setan
gantung yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang itu.
Terdengar Suma Bing melanjutkan makiannya: "Menyamar
setan menakuti orang, permainan rendah dari
aliran manakah ini?" Salah seorang aneh segera, menyahut
dingin: "Bujung, kau inikah murid Kho-lo-sia yang bernama Suma
Bing?" Diam2 terkejut hati Suma Bing, agaknya dirinya menjadi
sasaran pencarian mereka maka dengan angkuh dan dinginnya ia
mengiakan.
"Apa kau sudah pernah dengar nama Si-tiau-khek?" "Si
tiau-khek? Belum pernah dengar!" "Huh, biar hari ini kau
berkenalan!" — ditengah suara
lengking tawanya berbareng Si-tiau-khek melayang turun keatas
tanah, kedudukan mereka masih tetap berpencar diempat penjuru
mengepung Suma Bing di-tengah2. Lehernya masih terhias tali
gantung itu, sikap raganya benar2 seperti mayat hidup,
pemandangan ini benar2 membuat seram dan takut orang yang
melihatnya. Segera salah seorang yang berperawakan paling tinggi
membuka kata:

"Buyung, ingatlah biar betul. Jangan sesudah kau menghadap
Giam-lo-ong masih tidak mampu menyebut nama orang yang
menyempurnakan jiwamu. Toayamu ini adalah pentolan dari
Si-tiau-khek bernama Heng-si-khek." lalu berturut2 ia menunjuk
dan menyebut: Bou-bong-khek, Hui- bing-khek dan teh-tjiam-khek.
Sekilas Suma Bing menyapu pandang keempat mayat gantung itu
lalu serunya dengan nada mengejek:
"Aku juga bisa sempurnakan kalian menurut cara nama gelaran
kamu masing2. Tapi sebelum turun tangan aku ingin mengetahui
apa tujuan kedatangan kalian?"
"Buyung." jengek Heng-si-khek sinis. "Kematianmu sudah didepan
mata, tidak perlu kau membual percuma, mau tahu tujuan kita?...
kita ingin jiwamu!"
Sontak membara hawa amarah Suma Bing, serunya dengan nada
berat:
"Kalian tidak mau mengatakan tujuan kamu, terpaksa aku yang
rendah berlaku kurang hormat..."
"Buyung kau masih terpaut terlalu jauh!" tukas Bou bong- khek
dengan suara melengking.
"Silahkan kau mencoba lebih dulu!" sambil membentak keras Suma
Bing lancarkan sebuah hantaman menyerang kearah
Bou-bong-khek. Dimana gelombang angin badai melanda tampak
Bou-bong-khek angkat sebuah tangannya yang kurus kering
berputar satu lingkar...
Seketika angin pukulan Suma Bing yang dahsyat itu hilang sirna
karena putaran tangan Bou-bong-khek ini. Malah bersamaan
dengan itu sejalur angin dingin menerjang tiba merangsang
dirinya, betapa hebat kekuatan hawa dingin ini benar2 susah
dibayangkan, seketika Suma Bing terbentur mundur tiga langkah.

Baru sekarang Suma Bing benar2 merasa sangat terkejut. Bahwa
Lwekang musuh kiranya lebih tinggi dan lihay dari dugaannya
semula. Salah seorang dari musuh ini saja sudah sedemikian lihay
apalagi kalau berempat bergerak serentak mengeroyok dirinya,
sudah pasti dirinya bukan tandingan mereka. Akan tetapi dasar
sifat pembawaan Suma Bing memang keras angkuh dan tak
mengenal takut. Begitu tubuhnya berdiri tegak lagi sambil
menggerung keras ia lancarkan lagi sebuah hantaman yang
menggunakan seluruh kekuatan Kiu-yang-sin-kang, gelombang
panas ber-gulung2 bagai badai ombak dan gugur gunung menerpa
kearah musuh.
Agaknya Bau-bong-khek dapat melihat gelagat akan kehebatan
pukulan ini, tanpa berayal tubuhnya maju selangkah kedua kaki
sedikit ditekuk lantas kedua tangannya disurung kedepan...
Setelah suara menggelegar bagai bumi meledak, tanah pasir
bergulung dan beterbangan Suma Bing sempoyongan mundur lima
langkah, darah bergolak hampir menyembur keluar dari mulutnya.
Sebaliknya Bau-bong-khek hanya tergeliat dua kali tanpa berkisar
dari tempatnya semula. Jengeknya:
"Bagaimana bocah busuk. Satu diantara kita sudah cukup
mencabut nyawamu bukan?"
Sekarang baru Suma Bing benar2 merasa bergidik merinding, sejak
dirinya menelan Kiu-tjoan-koan-yang-tjau-ko, Lwekangnya sudah
maju berlipat ganda, sungguh diluar sangkanya bahwa dirinya
masih tidak kuat melawan satu diantara Setan gantung ini.
Lwekang Ketua Bwe-hwa-hwe agaknya lebih unggul dari
Bu-lim-su-ih, sebaliknya keempat setan gantung ini naga2-nya
masih lebih unggul sedikit lagi dari ketua Bwe hwa-hwe. Tapi untuk
tujuan apakah para setan gantung ini mencari dirinya?

Bahwa kepandaian empat setan gantung ini memang bukan olah2
hebatnya, namun sebelum ini dirinya belum pernah dengar akan
nama si-tiau-khek!
Dua kali terpental mundur tanpa terasa Suma Bing sampai
dihadapan Hui-bing-khek sejauh jangkauan sebuah tangan, tahu2
sebuah jari tangan sudah menekan jalan darah besar
Bing-bun-hiat Suma Bing, lalu disusul sebuah suara dingin
menggiriskan mengancam:
"Buyung, jangan bergerak!" Tergetar perasaan Suma Bing,
seketika membara hawa
amarahnya: "Membokong melukai orang terhitung orang gagah
macam
apa?" "Bocah busuk!" semprot Heng-si-khek segera, "Waktu tidak
menunggu orang, dengan cara begini lebih gampang dan cepat,
jadi tak usah lagi kita berempat susah payah. Seumpama benar2
mau berkelahi, hehehe, sekali kita turun tangan serempak,
kutanggung tubuhmu pasti hancur lebur jadi perkedel!"
Saking murka Suma Bing mengertak gigi, desisnya penuh
kebencian:
"Si-tiau-khek, ingatlah akan penghinaan begini, akan datang suatu
hari aku Suma Bing pasti membunuh kalian berempat!"
"Buyung, kudoakan kau mendapat kesempatan itu. Hanya sayang
ucapanmu ini bagai kentut yang tak berguna."
Mendadak Teh-tjiam-khek menjerit keras melengking seperti
pekikkan setan. Sebuah bayangan orang segera melesat tiba
memasuki hutan.
Segera Si-tiau-khek berseru lantang bersama: "Lapor pada
Ketua, kita sudah bekerja menurut perintah"

"Kalian berempat tak perlu banyak peradatan." Waktu Suma
Bing memandang, hampir saja dadanya
meledak saking gusar, karena bayangan yang baru muncul ini
ternyata bukan lain adalah Ketua Bwe-hwa-hwe. Sungguh diluar
tahunya bahwa Si-tiau-khek yang lihay ini kiranya adalah begundal
Bwe-hwa-hwe? Juga dia tak habis mengerti mengapa Ketua
Bwe-hwa-hwa ini sedemikian besar hasratnya hendak
melenyapkan dirinya?
Tidak lama kemudian beruntun berdatangan lagi beberapa orang
berseragam hitam dari empat penjuru, baju didepan dada mereka
bersulam sekuntum bunga Bwe besar.
Segera Heng-si-khek maju minta petundjuk: "Lapor Ketua,
bagaimana bocah ini harus kubereskan?" Tanpa ragu2 segera
Ketua Bwe-hwa-hwe menyahut:
"Gusur pulang kemarkas besar." "Wah ini agak berabe, kalau
terjadi sesuatu hal ditengah
jalan." Tapi dia orang tua ingin dia hidup, dan hendak
mengompresnya sendiri..." "Apakah Hwe-tiang masih ingat
tentang peristiwa Pek kut-ji
yang sudah muncul dua kali?" Tercekat hati Suma Bing, timbul
pertanyaan dan rasa
curiga dalam benaknya, entah siapakah 'dia orang tua' yang
dimaksud oleh Ketua Bwe-hwa-hwe ini? Naga2-nya Ketua
Bwe-hwa-hwe sendiri juga mendapat perintah lagi dari orang lain.
Terdengar Ketua Bwe-hwa-hwe berkata dengan nada berat:
"Hal itu sudah diatur dengan rapi sekali. Tutuklah jalan darah bocah
ini, begitu lebih gampang kalian menggusur pergi. Lalu silahkan
kalian berempat masing-masing

mengendarai sebuah kereta berpencar dari empat jurusan
langsung kembali kemarkas besar!"
"Kalau begitu hamba sekalian sudah paham," sahut Hengsi-
khek. "Setiap kereta memuat seorang yang berwajah sama dan
pakaian yang sama pula, berpencar dari empat penjuru."
Segera terdengar suara ringkik kuda dan roda kereta
berkeletak-keletok mendatangi, empat kereta kecil lambat2
memasuki gelanggang.
Kedua mata Suma Bing mendelik merah membara, sungguh diluar
dugaannya bahwa dirinya bakal begitu gampang terjatuh dalam
cengkeraman iblis para musuh2nya ini.
Segera ketua Bwe-hwa-hwe berkata lagi: "Pakaian kalian
berempat juga harus diganti supaya tidak
menimbulkan kecurigaan atau perhatian orang!" "Hamba terima
perintah." "Bocah ini harap Lo-toa yang mengantar?" "Baik!"
Diam2 Suma Bing tidak habis mengerti, didengar dari cara
Ketua Bwe-hwa-hwe bicara kepada Si-tiau-khek benar2 membuat
orang susah menebak atau mengambil kesimpulan apa dan betapa
tinggi kedudukan Si-tiau-khek ini didalam Bwe-hwa-hwe mereka.
Apalagi kepandaian Si-tiau-khek agaknya masih lebih unggul dari
Ketua Bwe-hwa-hwe sendiri?
"Mulai berangkat!" Seketika Suma Bing merasa seluruh tubuh
tergetar hebat,
beberapa jalan darah besar ditubuhnya beruntun ditutuk. "Buk",
kontan tubuhnya terkapar diatas tanah, seluruh tubuh terasa
lemas lunglai, mulut tak kuasa bicara, sia2 saja matanya melotot
merah gusar sisa2 tenaga untuk melawan saja tidak mampu.

Seorang laki2 segar segera maju mendekati sigap sekali orang ini
mengenakan sebuah kedok kemuka Suma Bing, lalu mengganti
juga pakaian Suma Bing dengan sebuah jubah warna hitam yang
bersulam sekuntum bunga Bwe didepan dada.
Hampir meledak dada Suma Bing, dan jatuh pingsan saking
gusar.
Bersama itu Si-tiau-khek juga telah mengeluarkan kedok masing2
terus dikenakan dimukanya untuk menutupi wajahnya yang
beringas menakutkan.
Sorot mata ketua Bwe-hwa-hwe mencorong tajam dari dalam
kedoknya, sekilas ia menyapu pandang kearah Heng-si- khek dan
berkata:
"Lo-toa, hati2lah sepanjang jalan!" "Hamba sudah paham."
"Kalau terjadi sesuatu hal dan terpaksa, kuberi ijin untuk
melenyapkan jiwanya. Dan juga, kalau kebentur lagi dengan
Pek-kut-ji atau Rasul penembus dada, kau harus hati2 layanilah
dengan hormat, jangan menggunakan kekerasan, inilah
perintahku!"
"Hamba terima perintah!" "Sekarang boleh berangkat, naik
kereta kedua!" Bau-bong-khek, Hui-bing-khek dan
Teh-tjiam-khek segera
melesat naik keatas kereta kesatu, kedua dan ketiga. Sedang
Heng-si-khek segera menjinjing tubuh Suma Bing langsung
menuju kekereta kedua...
Pada saat itulah mendadak kerai kereta tersingkap sebuah
bayangan putih mulus keluar dari dalam kereta melayang enteng
bagai roh halus didepan kereta. Pakaian sepan serba putih dan
mengenakan kedok putih pula, didepan dadanya bergambar
sebilah cundrik berwarna merah darah.

Seketika terdengarlah suara pekik terkejut dan ributlah suasana...
"Rasul penembus dada!" -- "Rasul penembus dada!"
Bahwa Rasul penembus dada bisa keluar dari kereta kedua ini
benar2 merupakan hal yang sangat mustahil dan susah
dibayangkan.
Seketika Si-tiau-khek terhenyak kaget ditempat masing2. Tidak
ketinggalan Ketua Bwe-hwa-hwe juga terkejut mundur tiga
langkah, tubuhnya gemetar menahan perasaan hatinya.
Begitu suara ribut2 itu sirap suasana menjadi sedemikian hening
lelap menegangkan, keseraman seketika meliputi lubuk hati setiap
hadirin.
Kurang lebih baru satu bulan Rasul penembus dada muncul
didunia persilatan, tapi sepak terjangnya benar2 sangat
menggemparkan kaum persilatan se-akan2 dunia persilatan sudah
mendekati masa2 akhirnya entah dia dari aliran hitam atau putih
begitu mendengar nama dan melihat ujudnya segera lari lintang
pukang menyelamatkan diri.
Sudah tahu namun Ketua Bwe-hwa-hwe sengaja mengajukan
pertanyaan:
"Tuan orang kosen darimana?" "Rasul penembus dada!" —
Kata2 ini keluar dari mulut
tokoh misterius yang menakutkan ini, tekanan nada dan irama
suaranya benar2 menyedot semangat semua anggota Bwehwa-
hwe yang hadir.
Merandek sejenak lantas Ketua Bwe-hwa-hwe berkata lagi:
"Tuan datang kemari ada petunjuk apakah?" "Kau inikah
Ketua Bwe-hwa-hwe?" "Tidak salah!" "Sebutkan namamu?"

Lagi2 Ketua Bwe-hwa-hwe tergetar mundur satu langkah,
suaranya gemetar:
"Ini... maaf tak dapat kukabulkan." Rasul penembus dada
mengekeh tawa dingin, ancamnya: "Kau berani
membangkang?" Walaupun jalan darah Suma Bing tertutuk,
mulut tak dapat
bicara, namun kupingnya masih bisa mendengar. Dengan jelas ia
menyaksikan dan dengar segala perobahan yang terjadi. Hatinya
turut terkejut dan heran bahwa Rasul penembus dada bisa
mendadak muncul disitu. "Blang", tubuh Suma Bing dilontarkan
sejauh tiga tombak dan rebah tak berkutik diatas tanah.
Sebat luar biasa keempat Setan gantung itu lantas berpencar
keempat penjuru mengepung Rasul penembus dada. Dengan
pandangan dingin Rasul penembus dada mendengus hina, tanpa
melirik sekejappun kearah Keempat Setan gantung.
Suasana seram ini semakin memperuncing ketegangan lubuk hati
setiap hadirin.
Sejenak menenangkan hatinya, lantas Ketua Bwe-hwa-hwe
bertanya:
"Tuan ingin mengetahui nama besarku, apakah tujuan tuan?"
"Ingin kuketahui wajah aslimu, mudah bukan?" "Apa tidak
keterlaluan keinginan tuan ini?" "Sekarang lebih baik kau
segera tanggalkan kedokmu itu!" Nada kata2nya seakan
memerintah dan tidak memberi
kelonggaran sedikitpun. Bahwasanya Bu-lim-su-ih yang
kenamaan juga tidak masuk
dalam pandangan Ketua Bwe-hwa-hwe ini. Sebaliknya

menghadapi ketemberangan Rasul penembus dada ini sikapnya agak
takut2. Tapi dihadapan sekian banyak anak buahnya, demi menjaga
gengsi tak dapat tidak ia harus memberanikan diri supaya tidak
memperlihatkan kelemahannya. Maka segera ia menyahut lantang:
"Maaf tak dapat kuturuti keinginan tuan!" "Selamanya kata2
Rasul penembus dada sekokoh gunung
tidak mengenal apa yang dinamakan 'tidak bisa'. Ketahuilah,
diseluruh kolong langit ini tidak akan kubiarkan seseorang
menyembunyikan wajahnya dihadapanku!"
"Memangnya kenapa?" "Itu bukan urusan yang harus kau
tanyakan!" "Baiklah kutandaskan sekali lagi, tidak bisa!" "Apa
kau sudah membayangkan akibatnya?" "Sebagai Ketua
selamanya aku belum pernah diancam." "Hehehehehe...
obrolan impian!" "Tuan terlalu menghina orang!" - disertai
suara bentakan
menggeledek, keempat Setan gantung serempak mengirim pukulan
menyerang Rasul penembus dada. Bersamaan dengan itu Ketua
Bwe-hwa-hwe malah melejit jauh menyingkir tiga tombak diluar
gelanggang.
Maka terdengarlah suara dentuman yang dahsyat memekakkan
telinga, kontan keempat Setan gantung mundur terhuyung
beberapa langkah.
Hanya gebrak pertama kali ini cukup membuat kuncup dan ciut nyali
setiap anggota Bwe-hwa-hwe yang hadir. Betapa hebat gabungan
tenaga keempat Setan gantung ternyata masih tidak kuat melawan
seorang malah terpental balik sendiri. Lwekang sedemikian hebat
benar2 sangat mengejutkan dan menggetarkan.

Pada saat keempat Setan gantung terhuyung mundur dan belum
sempat berdiri tegak itulah tiba2 terlihat sebuah bayangan putih
berkelebat secepat kilat, tahu2 Rasul penembus dada sudah melejit
tiba dihadapan Ketua Bwe-hwa- hwe sejarak uluran tangan.
Serta-merta Ketua Bwe-hwa-hwe tersurut mundur ketakutan.
"Tanggalkan kedokmu?" suara dingin Rasul penembus dada
memerintahkan!
"Tidak bisa!" "Manusia sombong!" Tiba2 terdengar sebuah
lengking suara aneh, Hui-bing khek
salah satu dari keempat Setan gantung dengan kecepatan kilat
mendadak menubruk kearah Rasul penembus dada. Belum
tubuhnya tiba, rangsangan angin pukulannya sudah melanda lebih
dulu.
"Kembali!" — dimana sebuah tangan Rasul penembus dada
diayun, kontan tubuh Hui bing khek terpental balik ditengah
udara. Maka pada saat yang bersamaan itu terdengar pula suara
bentakan yang riuh rendah, ketiga Setan gantung yang lain
serentak ikut merabu datang dengan pukulan2 dahsyat yang
mematikan.
Rasul penembus dada menggeram gusar, topan angin pukulannya
sekokoh gunung kontan menerjang keluar memapak maju
mengiringi suara geramannya itu.
Kontan terdengar suara mendehem keras seperti hendak muntah
diselingi suara lolong maut yang mengerikan. Bau- bing-khek dan
Heng-si-khek terpental terbang delapan kaki jauhnya. Adalah
Teh-tjiam khek yang paling mengenaskan, badannya terbawa
terbang tergulung topan angin pukulan hingga jungkir balik
seperti layang2 putus benangnya, hujan darahpun terjadi ditengah
udara.

Hampir dalam waktu yang sama. Ketua Bwe-hwa-hwe juga telah
lancarkan sebuah hantaman dahsyat dari seluruh kekuatannya
membokong punggung Rasul penembus dada. Pukulannya ini
bukan saja keras juga cepat laksana kilat menyambar.
Se-olah2 punggung Rasul penembus dada tumbuh mata, tanpa
berpaling lagi tiba2 tubuhnya bergerak melingkar laksana seekor
belut dan dimana kakinya menginjak tanah lagi, tahu2 tubuhnya
sudah melejit tiba dihadapan Ketua Bwe- hwa-hwe sejauh tidak
lebih dari tujuh kaki.
Melihat pukulan yang paling diandalkan ternyata mengenai tempat
kosong, tanpa terasa terbang semangat Ketua Bwe- hwa-hwe,
belum sempat lagi otaknya berpikir, tahu2 ia merasakan
pergelangan tangannya kesakitan, kiranya tangan kanannya telah
digenggam kencang oleh Rasul penembus dada.
Sementara itu, Suma Bing sudah melupakan dimana dirinya
berada, kedua matanya dengan mendelong mengawasi
gelanggang pertempuran. Bahwasanya dia sendiri sangat ingin
melihat dan mengetahui bagaimana sebenarnya wajah asli dari
Ketua Bwe hwa hwe ini, besar harapannya hendak membuka
kedok musuhnya ini yang selalu memburu dirinya dan hendak
membunuhnya malah. Teka-teki ini agaknya segera akan
terpecahkan.
Buncah dan ributlah para anggota Bwe-hwa-hwe yang hadir, pucat
dan gemetar tubuh mereka melihat Ketuanya diringkus musuh,
namun mereka insaf dan tak berani menampilkan diri untuk
menolong.
"Jangan lukai majikan kami!" terdengar ketiga Setan gantung itu
berteriak beringas ditengah suara pekik gusar mereka itulah
berbareng mereka menubruk maju lagi sambil menyerang kalap.

Sekali jinjing dengan enteng sekali Rasul penembus dada angkat
tubuh Ketua Bwe hwa hwe dibuat sebagai tameng untuk
menangkis pukulan tiga setan gantung yang meluncur tiba dari
tengah udara. Terpaksa ter-sipu2 ketiga Setan gantung menarik
balik serangannya kalau tidak pasti Ketua mereka sendiri bakal
mati konyol.
Dengan nada hina dan muak Rasul penembus dada mengancam:
"Setan gentayangan, berdirilah yang agak jauh!" Setelah saling
berpandangan, benar2 juga tanpa berani
banyak putar bacot tiga Setan gantung itu segera mundur
beberapa langkah.
Tampak tubuh Ketua Bwe-hwa-hwe gemetar keras, mungkin baru
sekarang dia merasakan betapa nikmat sebagai orang yang
ditawan oleh musuh.
"Lekas kau turun tangan sendiri!" — suara ini se-olah2
mengandung daya perintah yang tak dapat dibantah dan
diabaikan.
Maka dilain saat kedok kain muka telah ditanggalkan, terlihat
sebuah wajah cakap ganteng dari seorang pemuda yang
mengandung kebengisan, pancaran matanya buas dan dugal.
Tergetar perasaan Suma Bing sungguh diluar prasangkanya
bahwa Ketua Bwe-hwa-hwe yang menggetarkan itu ternyata
adalah seorang pemuda yang sepadan dengan dirinya. Ada
permusuhan dendam apakah pemuda ini terhadap dirinya? Ya,
benar, masih ada seorang lain dibelakang layar yang mereka
sebut sebagai 'dia orang tua' itu. Lalu siapa pula orang tua itu?
Para jagoan Bwe-hwa-hwe rata2 mengunjuk rasa terkejut
tercengang dan penuh kecurigaan, baru pertama kali ini mereka
melihat jelas wajah asli Ketua mereka selama mereka mengabdi
diri dibawah perintahnya.

"Tuan sudah puas belum?" tanya Ketua Bwe-hwa-hwe sambil
mengertak gigi.
Agaknya Rasul penembus dada juga merasa diluar dugaan,
sejenak ia tertegun lalu sahutnya: "Masih ada satu hal..."
22. RACUN DIRACUN DIPERAS OLEH RASUL PENEMBUS
DADA.
"Cepat katakan!" "Siapa namamu?" "Tjhiu Thong!" Rasul
penembus dada melepas tangannya lalu mundur satu
tindak katanya: "Sampai sekian saja kalian boleh pergi!" Kata Tjhiu
Thong Ketua Bwe-hwa-hwe dengan penuh
kebencian: "Tuan harus ingat perhitungan hari ini." "Hehehehehe,
kutunggu pembalasanmu!" Segera Ketua Bwe-hwa-hwe ulapkan
tangannya kearah
tertua dari keempat Setan gantung yaitu Heng-si-khek sambil
berseru:
"Bawa pergi!" Sekali berkelebat Heng-si-khek melejit
kesamping Suma
Bing... "Jangan sentuh dia!" — cegah Rasul penembus dada
sambil
angkat sebelah tangannya. Seketika Heng-si-khek terhenyak
ditempatnya. Gigi Ketua Bwe-hwa-hwe gemeretak menahan
amarah
yang tak terkendalikan, geramnya:

"Apa maksud tuan sebenarnya?" "Tidak apa2, lekas kalian
pergi!" Ketua Bwe-hwa-hwe membanting kaki dengan gemas
dan
dongkol, serunya: "Tuan gunung tetap menghijau air selalu
mengalir, kelak
kita bertemu lagi!" — habis berkata ia ulapkan tangan memberi
perintah untuk mundur. Maka bayangan orang berkelebatan suara
roda kereta berkeletokan menjauh dalam sekejap mata semua
sudah pergi bersih.
Dipihak lain Suma Bing merasa kejut2 heran dan tak habis
mengerti, masa kedatangan Rasul penembus dada ini adalah
khusus hendak menolong dirinya?
Sepasang mata Rasul penembus dada ber-kilat2 menyedot
semangat menatapi wajah Suma Bing, tiba2 jari2nya ber- gerak2
dari kejauhan beruntun ia menutuk.
Seketika bebas tutukan jalan darahnya, Suma Bing bergegas
melompat bangun terus merangkap tangan sambil berseru:
"Atas pertolongan tuan..." "Kau jangan salah sangka," tukas
Rasul penembus dada
dengan suara dingin kaku tak berperasaan. "Kedatanganku ini
bukan hendak menolong kau!"
Suma Bing tertegun, tanyanya: "Lalu apa maksud kedatangan
tuan ini?" "Mengejar jejak Ketua Bwe-hwa-hwe. Kebetulan
ketemu
kau disini ini memudahkan pekerjaanku." "Jadi aku
yang rendah ini juga tengah kau cari?" "Ucapanmu
benar!" "Untuk urusan apa?"

"Kau bernama Suma Bing?" "Tidak salah!" "Murid Sia-sin Kho
Jiang?" "Benar!" Seketika berobah sorot mata Rasul penembus
dada, tahu2
Suma Bing merasa pandangannya kabur, belum sempat otaknya
berpikir, sebuah cundrik yang berkilauan berhawa dingin tahu2
sudah mengancam diulu hatinya, kecepatan gerak serangan ini
benar2 susah dibayangkan. Keruan melonjak keras jantung Suma
Bing, hanya sejenak wajah berobah pucat lalu kembali seperti
sediakala lagi dengan sikapnya yang angkuh dan keras kepala,
katanya:
"Tuan hendak berbuat apa?" "Menembusi dadamu." Bergetar
seluruh tubuh Suma Bing, tanyanya: "Sebab apa?" "Sudah tentu
harus kuberitahu kepada kau, sekarang
jawablah pertanyaanku terakhir, Loh Tju-gi itu apamu?" "Loh
Tju-gi? Dia musuh besarku!" "Musuh besar!" "Benar, musuh besar
yang harus kubeset kulitnya dan
kuhancur leburkan badannya, ialah murid durhaka yang
mencelakai gurunya sendiri."
Dimulut berkata begitu, dalam hati Suma Bing tengah membatin:
heran, mengapa pula menyangkut pada diri Loh Tju-gi?
Sejenak Rasul penembus dada merenung, lalu tanyanya pula:
"Jadi kau dengan dia adalah kakak-adik seperguruan?"
"Jadi tuan ini tengah mengompres keteranganku?"
"Boleh dikata demikian!"

"Kalau begitu maaf, selamanya aku yang rendah tidak suka
diperas!"
Rasul penembus dada tertawa dingin, ancamnya: "Apa kau
tahu betapa nikmat bila dadamu kutembusi
dengan cundrikku ini?" "Ha, paling banyak mati." "Kau tidak takut
mati?" "Mengapa harus ditakuti?" "Cukup gagah" Suma Bing
menjadi gusar, semprotnya: "Tuan hendak membunuh orang pasti
ada alasannya
bukan?" "Kau sudah mulai takut?" "Hm, takut, kutanyakan
alasanmu hendak membunuh aku!" "Gampang sekali sebab kau
seperguruan dengan Loh Tjugi!"
Terkenang oleh Suma Bing peristiwa yang belum lama ini
terjadi karena ada hubungan juga dengan Loh Tju-gi, maka
hampir saja jiwanya melayang ditangan Pek-hoat sian nio.
Sekarang juga karena ada hubungan dengan Loh Tju-gi maka
Rasul penembus dada mencari dirinya, entah darimana harus
diterangkan persoalan ini? Maka lantas katanya dingin:
"Aku sudah terjatuh ditangan tuan mau sembelih atau bunuh
terserah kepadamu. Tapi ada satu hal perlu kutekankan kau boleh
menggunakan alasan apa saja untuk membunuh aku, tapi jangan
menyinggung nama Loh Tju-gi lagi! Kalau tidak matipun aku
takkan meram!"
"Mengapa?"

"Murid durhaka dan sampah kaum persilatan, aku bersumpah
hendak menghancur leburkan tubuhnya."
Lama dan lama sekali Rasul penembus dada tenggelam dalam
pikirannya menerawangi apa yang harus dilakukan selanjutnya,
akhirnya suaranya mendesis:
"Suma Bing, kau pasrah nasib saja, apapun alasanmu tidak
berguna, kau sudah ditakdirkan untuk mati."
Suma Bing menyeringai seram, ujarnya: "Silahkan turun
tangan!" Pada saat itulah mendadak Rasul penembus dada
malah
menarik mundur cundriknya dan berpaling kearah dalam rimba
serta berseru lantang: "Siapa itu main sembunyi seperti
pancalongok, lekas menggelundung keluar!"
Diam2 Suma Bing memuji kagum akan kepandaian Rasul
penembus dada yang lihay ini, sedikitpun dirinya tidak merasakan
apa2, sebaliknya dia malah mengetahui adanya seseorang yang
mengumpet didalam rimba, malah diketahui letak sembunyinya
lagi.
Waktu Rasul penembus dada menarik cundriknya dan putar tubuh,
kesempatan ini sebenarnya dapat digunakan Suma Bing untuk
turun tangan membokong atau melejit menyingkir. Tapi dasar
sifatnya memang angkuh dan tinggi hati, tidak terpikirkan olehnya
semua itu, dengan tenang ia tetap berdiri ditempatnya.
Memang apa yang diperbuatnya ini sangat tepat, dengan
kepandaian Rasul penembus dada yang sedemikian tinggi,
bilamana benar2 dia turun tangan membokong, kematianlah yang
akan menimpa dirinya.
Begitulah bertepatan dengan habis ucapan Rasul penembus dada
seorang aneh yang berwarna serba hitam legam bagai arang
melompat keluar dari dalam rimba sana.

"Racun diracun!" dalam benak Suma Bing berseru. Bahwa
Racun diracun bisa muncul disitu pada saat itu pula
benar2 susah dibayangkan. Melihat keanehan bentuk orang yang
mendatangi ini
agaknya Rasul penembus dada juga merasa heran, sejenak
tertegun lantas dia membentak:
"Kawan kosen darimanakah?" "Akulah Racun diracun!" "O,
Racun diracun? Kau tahu siapa aku ini?" "Rasul penembus
dada!" "Jadi kau sudah tahu dan sengaja melanggar?"
"Melanggar apa?" "Kau berani mengintip gerak gerik Rasul
penembus dada,
apa kau sudah bosan hidup?" Racun diracun mengekeh tawa
dingin, serunya: "Mulut besar yang sombong, aku Racun diracun
tidak ingin
hidup lama, tapi kau juga akan menyesal karena usiamu pendek."
"Hehehehe, kawan, kau sangka bisa menggunakan racun lantas
bisa selamanya selamat?"
"Aku tidak berpendapat begitu, biar aku bicara terus terang,
mengenai ilmu silat, mungkin aku yang rendah takkan terlepas
dari tangan kejimu. Tapi tuan belum tentu dapat lolos juga dari
racun berbisaku."
Suma Bing merasa kaget luar biasa. Kiranya kedatangan Racun
diracun adalah hendak melabrak Rasul penembus dada yang
sudah menggetarkan dunia persilatan ini.
Terdengar Rasul penembus dada tertawa dingin, ujarnya:

"Racun diracun, sebelum kau menggunakan racunmu mungkin
jiwamu sudah melayang lebih dulu."
Racun diracun membalas dengan tawa sinisnya, semprotnya.
"Mungkin sebelum tuan turun tangan membunuh aku kau sudah
terkena racun berbisa yang menamatkan jiwamu."
"Seandainya sekarang ini aku sudah terkena bisa, aku masih
mampu mencabut nyawamu."
"Sudah tentu, dengan kemampuan tuan segala racun berbisa tidak
akan dapat segera membinasakan jiwamu, tapi waktunya tidak
akan lama. Kalau tuan ingin mencoba marilah kita gugur bersama
bagaimana?"
Betapa tinggi kepandaian Rasul penembus dada tak urung berdiri
juga bulu romanya. Musuh berani menamakan diri sebagai Racun
diracun, apalagi sudah tahu betapa menakutkan nama Rasul
penembus dada toh orang masih berani datang dan menantangnya
lagi, agaknya kedatangannya ini mempunyai pegangan yang
mantap. Oleh karena pikirannya ini segera ia berkata lagi: "Jadi
kedatanganmu ini ada maksud tertentu bukan?"
"Sedikitpun tidak salah." "Coba katakan alasanmu?" "Karena
dia aku datang!" "Dia? Maksudmu Suma Bing!" "Benar!" Hal ini
bukan saja mengejutkan Rasul penembus dada, juga
Suma Bing merasa diluar dugaan. Bahwa Racun diracun meluruk
datang adalah karena dirinya boleh dikata sangat mustahil.
"Untuk dia kau datang?"

"Memangnya kenapa?" "Kuharap tuan melepaskan dia!"
"Kurasa tuan salah alamat, tidak bisa karena dosa2 Loh
Tju-gi lantas dia harus mati konyol dibawah cundrikmu itu." "Hai,
kawan, apa hubunganmu dengan dia?" "Hubunganku sangat
erat!" "Coba kau terangkan!" "Maaf, aku tidak dapat menutur!"
"Hm, kau sangka dengan obrolanmu itu lantas aku dapat
melepaskan dia begitu saja?" "Jadi tuan bersedia untuk gugur
bersama?" Lebih besar lagi rasa kejut dan heran Suma Bing,
bahwa
Racun diracun adalah musuh bebuyutan tangguh tak nyana kalau
manusia paling berbisa ini rela dan iklas hendak berkorban jiwa
demi kepentingannya, hal ini benar2 mustahil dan tidak masuk
diakal. Apa mungkin dia mempunyai sesuatu maksud tertentu?
Benar, ia pernah memberi dorongan dan nasehat kepada dirinya
untuk mencari Mo hoa. Jikalau Bunga iblis sudah didapat, maka
tanpa syarat ia hendak mengembalikan Pedang darah kepada
dirinya. Bahwa Pedang darah dan Bunga iblis adalah dua benda
pusaka kaum persilatan yang di-impi2kan dan hendak
diperebutkan, siapa mendapatkan kedua benda keramat itu, pasti
kepandaiannya tiada taranya didunia ini. Apa tidak mungkin dia
hendak meminjam tenagaku untuk mencari Bunga-iblis, lalu dari
tanganku ia hendak merebutnya kembali?
Tapi ini juga tidak mungkin, kalau Pedang darah sudah berada
ditangannya, mengapa dia sendiri tidak mau mencari Bunga-iblis
itu, tentang ilmu silat dia lebih tinggi berlipat ganda dari dirinya...

Suma Bing terlongo hampa, sungguh dia tidak habis mengerti
kemana sebenarnya tujuan orang?
Kenyataan Racun diracun rela menjual jiwanya untuk dirinja juga
mimpipun dia tidak menduga.
Tengah ia menunduk menepekur itulah terdengar Rasul penembus
dada tertawa dingin dan berkata hambar: "Sobat, biar
kusempurnakan keinginanmu!" — sambil berkata kakinya
melangkah maju mendekati kearah Racun diracun. Ketegangan
semakin meruncing penuh nafsu membunuh.
Segera Suma Bing menggerung dengan beringas: "Berhenti!"
Serta merta Rasul penembus dada menghentikan langkahnya, lalu
berpaling dan menjengek:
"Kau tidak perlu kesusu, segera akan sampai giliranmu!" "Tutup
mulutmu!" "Bagaimana?" "Aku tiada ikatan atau hubungan
apa2 dengan Racun
diracun, aku tidak sudi menerima budi luhurnya ini." "Jadi
maksudmu..." "Lepaskan dia pergi, kau urusan dengan aku saja!"
"Tapi dia sendiri mengatakan berhubungan erat dan kental
dengan kau?" "Dia bohong dan membual!" Segera Racun diracun
menyela berkata: "Suma Bing, tidak
perlu main sangkal, aku tidak takut kepadanya!" Rasul penembus
dada mendengus dongkol, desisnya: "Tidak perduli bagaimana
adalah kau sendiri yang mencari
kematian!"

Darah bergolak merangsang jantung Suma Bing, saking gugup ia
berteriak panjang:
"Jangan?" — sambil berteriak ia kerahkan seluruh tenaganya sekali
berkelebat ia maju menubruk sambil kirim serangan kearah Rasul
penembus dada.
Rasul penembus dada ganda tertawa ejek, enteng sekali sebelah
tangannya diayun bergelombanglah angin pukulannya bagai hujan
badai derasnya...
Ditengah suara mengguntur dari benturan kedua pukulan yang
dahsyat itu, Suma Bing melolong panjang kesakitan, darah
berhamburan dari mulutnya, badannya terpental terbang dan
terbanting keras dikejauhan sana.
Agaknya Rasul penembus dada belum puas begitu saja, lagi2
kakinya mendesak maju kearah Racun diracun.
Segera Racun diracun angkat sebelah tangannya berseru:
"Nanti dulu!" "Kau masih ada pesan apa yang perlu
disampaikan?" "Kuharap tuan suka memberi kelonggaran
sekali ini kepada
dia." "Jiwamu sendiri sudah diambang kematian, buat apa kau
mintakan belas kasihannya?" Suma Bing mendongak sambil
berteriak menggila: "Aku
Suma Bing tidak perlu mengemis kasihan orang lain!" — karena
mulutnya terpentang darah menyembur lagi sedang tubuhnyapun
tergolek lemas diatas tanah.
Kata Racun diracun lagi: "Jadi tuan tidak mau mengampuni
jiwanya?"
"Hm, termasuk jiwamu juga!" "Kalau sementara
bagaimana, boleh bukan?"

"Sementara, apa maksudmu?" "Sasaran tepat yang harus kau
cari sebenarnya adalah Loh
Tju-gi, sedang dia sendiri juga menjadi musuh besar Loh Tju- gi.
Kuharap kau dapat memberi kesempatan untuk dia menunutut
balas. Dan lagi, bukankah tuan juga mendapat perintah orang
lain..."
"Tutup bacotmu, hal itu kau tidak perlu urus!" "Tapi
bagaimanapun juga aku minta tuan suka memberi
kesempatan sekali ini, kalau hari ini..." "Bukankah terlalu berabe,
setiap saat setiap waktu aku
dapat mencabut jiwanya, kalau kesempatan hari ini hilang,
bukankah besok sama saja, apa bedanya dan manfaatnya
kelebihan hidup satu hari?"
"Apa boleh buat, aku sendiri juga mendapat perintah untuk minta
belas kasihannya!"
"Mendapat perintah dari siapa?" "Kukira tuan kenal akan
pemilik benda ini?" — habis
berkata ia merogoh keluar sebuah benda dari dalam bajunya terus
disodorkan kedepan mata Rasul penembus dada lalu cepat2
menyimpannya lagi.
Walaupun Suma Bing terluka parah tak mampu bergerak, tapi
setiap pembicaraan kedua orang ini dapat didengarnya dengan
jelas, entah mendapat perintah siapakah Racun diracun untuk
menolong jiwanya? Lebih tidak diketahui lagi benda apakah yang
dipertunjukkan kepada Rasul penembus dada itu?
"Bagaimana?" "Kawan kau adalah..." suara Rasul penembus
dada penuh
perasaan heran dan kejut.

"Mengandal benda ini kuharap tuan dapat sementara melepas
tangan?" segera Racun diracun menukas perkataan orang.
Sekian lama Rasul penembus dada ragu2 dan bimbang, akhirnya
berkata: "Baik, tapi hanya sementara saja, kelak sukarlah
dikatakan!!"
"Kalau begitu, kuucapkan banyak terima kasih!" "Tidak perlu!"
— bayangan putih berkelebat bagai
segumpal asap bayangannya menghilang dibalik hutan sebelah
sana.
Racun diracun menghampiri kearah Suma Bing serta berkata:
"Lukamu tidak ringan?"
Sambil mengertak gigi, Suma Bing merangkak bangun, sahutnya:
"Tidak menjadi soal, hanya aku berhutang budi sekali lagi kepada
tuan."
"Aku bekerja menurut perintah, kau tidak perlu ambil dihati!"
"Tuan mendapat perintah dari siapa?" "Maaf tidak boleh
kuberitahu kepada kau!" Suma Bing menghela napas panjang,
katanya: "Biar kelak
kubalas kebaikanmu ini, selamat bertemu." — lalu dengan
sempoyongan ia berjalan keluar rimba.
"Kau tidak boleh pergi!" Suma Bing melengak dan
menghentikan langkahnya,
tanyanya: "Tuan masih ada omongan?" "Kau harus
berobat untuk memulihkan tenagamu." "Itu mudah dan
dapat kulakukan sendiri." "Yang kumaksud sekarang ini,
biar kubantu kau."

Memang sifat pembawaan Suma Bing angkuh dan keras kepala,
selamanya dia tidak sudi terima budi orang lain, apalagi dia tengah
curiga mungkin Racun diracun mempunyai maksud tersembunyi
yang belum diketahui, maka segera ia menyahut tawa: "Terima
kasih akan kebaikanmu ini!"
"Suma Bing, keangkuhanmu ini tidak akan membawa faedah untuk
kau, kalau kau bentrok lagi dengan orang2 Bwe- hwa-hwe, dalam
keadaan luka parah dan tidak mampu membela diri, apakah sudah
kau bayangkan akibatnya?"
Setelah tertegun sekian lamanya, sikap Suma Bing masih tetap
kukuh:
"Hal itu sudah kupertimbangkan." Racun diracun menggeleng
kepala tanpa dapat berbuat
apa2, ujarnya: "Baiklah, kau boleh pergi, jangan kau lupa
selekasnya mencari Bunga iblis, Pedang darah tengah menanti
kau!"
Suma Bing membatin, seandainya tidak menemukan Bunga iblis,
Pedang darah adalah milik ayahku, bagaimana juga aku harus
merebutnya kembali. Dalam hati ia berpikir demikian, namun
dimulut ia menyahut: "Baik!" lalu dengan langkah sempoyongan ia
tinggal pergi.
Mendadak sebuah bayangan putih berkelebat lagi, tahu2 Rasul
penembus dada sudah melesat tiba lagi dalam rimba.
Kalau Rasul penembus dada sudah pergi dan kembali lagi hal ini
membuat tergetar hati Suma Bing dan Racun diracun.
Segera Racun diracun mendahuluinya menyapa: "Untuk apa tuan
kembali lagi?"
Suara Rasul penembus dada mendesis dingin: "Hampir aku
kelupaan sebuah urusan besar"
"Urusan apa?" "Serahkan Pedang darah
kepadaku?"

Tergetar hebat hati Racun diracun, tanpa terasa kakinya mundur
dua langkah, serunya:
"Mengapa harus kuserahkan kepadamu?" "Kenapa kau tidak
perlu tahu, lekas kau serahkan!" "Tidak bisa" "Kau tahu
akibatnya?" "Barang itu tidak berada padaku, berada di..."
Rasul penembus dada mengekeh tawa dingin, serunya:
"Kawan tahulah diri, benda apa yang kau kempit diketiak kirimu
itu?"
Tanpa terasa berdiri bulu kuduk Racun diracun, sungguh diluar
sangkanya bahwa Rasul penembus dada ternyata telah berhasil
melatih ilmu aneh yang sudah lama menghilang didunia persilatan,
hingga matanya dapat melihat benda tersembunyi dibalik baju.
Dilain pihak, Suma Bing juga tidak kalah heran dan kejutnya.
Muka Racun diracun adalah sedemikian hitam legam bagai arang,
maka susah diketahui mimik wajahnya, tapi karena kena dikorek
kedok rahasianya agaknya ia terkejut dan heran juga.
Rasul penembus dada tidak memberi hati desaknya lagi:
"Kawan, bekerjalah melihat gelagat!" Agaknya Racun diracun
kewalahan, terpaksa ia menyahut: "Tapi terlebih dulu aku harus
melapor kepada pemilik
benda yang kuunjukkan kepadamu tadi..." "Justru karena
memandang muka pemilik benda itu aku
mau melepaskan Suma Bing. Ini sudah melanggar kebiasaanku,
tentang Pedang darah itu, tak peduli siapa

pemiliknya harus diserahkan kepada aku, tiada kesempatan untuk
kamu main debat!"
"Jadi tuan benar2 memaksa?" "Sudah tentu!" Adalah Suma
Bing yang tidak kuat menahan rangsangan
amarahnya, serunya dari samping: "Tuan mengandal kepandaian
hendak merampas dengan
kekerasan..." "Lebih baik kau tutup mulut!" Tubuh Racun diracun
tergetar hebat menahan perasaan
hati, sekian lamanya baru ia kuat menyahut dengan gemetar:
"Tidak sukar tuan mengambil Pedang darah itu, tapi kau harus
mengambil jiwaku dulu!"
"Bukankah itu sangat gampang?" "Perlu dijelaskan terlebih
dahulu, setelah kau memperoleh
Pedang darah, kau takkan kuat berjalan sejauh satu li." "Kau
berani menggunakan racun?" "Ya, karena terpaksa." "Jadi
maksudmu kita gugur bersama?" "Sedikitpun tidak salah." "Aku
kuatir sukar terlaksana keinginanmu itu?" "Ada lebih baik tuan
mencoba?" "Bagus sekali, mari mulai!" dibarengi dengan lenyap
suaranya, Rasul penembus dada mendesak maju secepat kilat,
kelima jari tangannya bagai cakar garuda mencengkram tiba,
dengan kepandaian Racun diracun yang lihay itu ternyata
sedikitpun tidak mampu berkelit atau melawan, tahu2 pergelangan
tangannya sudah dicengkram oleh musuh.

Tapi pada saat itu pula dengan kecepatan luar biasa sebelah
tangan Racun diracun yang lain juga sudah menampar tiba dimuka
lawan.
Maka terdengar Rasul penembus dada menggeram keras dimana
pergelangan tangannya menggentak dengan keras, kontan tubuh
Racun diracun disekengkelit jatuh dua tombak jauhnya.
Gebrak pertama ini, kedua belah pihak bergerak sedemikian cepat
seumpama kilat berkelebat, hingga susah diikuti oleh pandangan
mata.
Begitu menyentuh tanah, secepat itu pula tubuh Racun diracun
sudah melejit bangun, kontan mulutnya mengoak muntah darah.
Dan sebelum dia bernapas lega, tubuh Rasul penembus dada
dengan kecepatan bagai angin lesus merangsang tiba, dimana
terdengar kain robek, jubah panjang didepan dada Racun diracun
sudah berlobang. Tahu2 Pedang darah sudah berada ditangan
Rasul penembus dada.
Racun diracun berteriak beringas: "Kau sudah terkena Racun
tanpa bajangan, ditambah
Induk-racun-berlaksa-tahun. Ketahuilah, kau takkan bisa keluar
dari rimba ini"
"Sekarang kuperintahkan kau mengeluarkan obat pemunahnya"
suara Rasul penembus dada agak gemetar.
"Kau bermimpi disiang hari bolong!" "Kau tidak mau
keluarkan?" "Tidak!" "Itu berarti kau mesti mati, termasuk dia
juga!" "Kau sudah melulusi untuk melepas dia?" desis Racun
diracun mengertak gigi. "Sekarang kucabut kembali
pernyataanku itu!"

"Kau pelintat pelintut dan menjilat ludahmu sendiri, kau lebih
rendah dari sampah kaum persilatan."
"Pergilah kalian menjadi pahlawan gagah dineraka." - mendadak
sebelah tangannya diayun keatas, maka meluncurlah secarik sinar
merah terang benderang menjulang tinggi kelangit. Lalu katanya
lagi: "Kawan, tanda pertolongan sudah kulepas, sebentar lagi pasti
datang orang untuk mengambil Pedang darah ini, kau tidak
menyangka bukan?" — sekali berkelebat tahu2 tubuhnya sudah
mendekati Suma Bing, sebilah cundrik yang kemilau mengancam
diulu hati Suma Bing.
Racun diracun memekik kejut, serunya: "Baik, kuberikan obat
pemunah!"
Sigap sekali Rasul penembus dada membalik tubuh menghampiri
kedepan Racun diracun pintanya: "Serahkan obat pemunahnya!"
Cepat2 Racun diracun menjentik dua butir peles obat. Rasul
penembus dada meraihnya kedalam tangannya dan tidak segera
ditelan, sinar matanya ber-kilat2 menatap Racun diracun, katanya:
"Kawan, kau menyebut diri sebagai Racun diracun, dapatkah aku
percaya akan obat pemunahmu ini?"
Racun diracun mendengus geram semprotnya: "Tuan kau
terlalu memandang rendah orang". "Baik, kupercaya kau takkan
berani main gila, kuingat
kebaikanmu ini!" — habis berkata segera ia telan obat pemunah
itu...
"Rasul penembus dada," seru Suma Bing penuh kebencian, "Aku
bersumpah untuk merebut kembali Pedang darah itu!"
"Itu tergantung dari keberuntunganmu!" — lalu bayangan putih
berkelebat ringan sekali tubuhnya melejit hilang dari pandangan
mata.

Dengan rasa penuh penyesalan Suma Bing menghadapi Racun
diracun, katanya: "Tuan, aku Suma Bing berhutang budi terlalu
banyak kepadamu biarlah kelak kita bicarakan lagi!" - lalu sambil
ber-ingsut2 ia berjalan pergi.
Racun diracun membanting kaki, lalu secepat kilat iapun melayang
pergi.
Sukar sekali Suma Bing menggerakkan kedua kakinya, seakan
berlaksa kati beratnya, setelah berjalan satu li lebih didepannya
menghadang lagi sebuah hutan lebat yang gelap batinnya, aku
harus mencari tempat tersembunyi untuk berobat.
Tengah berpikir itu didapatinya tidak jauh disebelah sana sebuah
pohon besar yang berlobang, bergegas ia menuju kearah pohon
besar itu...
Se-konyong2 terdengar suara kesiur angin dibelakangnya, cepat2
Suma Bing membalik tubuh penuh kewaspadaan. Terlihat seorang
gadis cantik bak bidadari tengah berdiri lemah gemulai
dihadapannya terpaut hanya dua tombak.
"Adik Sian, kau... kau..." "Engkoh Bing!" Kiranya gadis cantik
itu bukan lain adalah Phoa Kin sian
yang sudah ada ikatan jodoh sebagai istri Suma Bing. Secara
tiba2 Phoa Kin sian muncul dalam rimba itu benar2
diluar dugaan Suma Bing. Seketika teringat akan adegan dalam
rimba diluar kuil bobrok dulu, tanpa terasa merah jengah wajah
mereka.
"Adik Sian, bagaimana kau bisa datang kemari?" "Kulihat ada
beberapa orang anggota Bwe-hwa-hwe
meronda diluar hutan, saking kepingin tahu, ku-coba2 kemari
memeriksa. Eh, engkoh Bing, kau terluka?"
"Benar!"

"Terluka oleh siapa?" Suma Bing menutur secara ringkas jelas.
Berkerut dalam alis Phoa Kin-sian, katanya penuh kasih
sajang: "Engkoh Bing, kau perlu segera berobat!" — Lalu dengan
langkah lemah gemulai ia datang menghampiri dan payang Suma
Bing masuk kedalam lobang pohon. Seumpama seorang istri setia
tengah melayani suaminya dengan penuh rasa cinta kasih, timbul
suatu perasaan manis mesra dalam benak Suma Bing. Apalagi bau
harum yang memabukkan perasaan itu lebih2 membuat hati syur
me-layang2.
Lobang pohon itu cukup besar lebih setombak luasnya, cukup luas
untuk mereka mengumpat sementara disitu. Phoa Kin-sian
keluarkan dua butir pulung obat lalu per-lahan2 dijejalkan kedalam
mulut Suma Bing, serta katanya lemah lembut:
"Engkoh Bing, biar kubantu kau..." "Tidak perlulah, dengan
keampuhan Kiu-yang-sin-kang
dibantu khasiat obatmu, kukira cukup berlebihan!" "Baiklah, biar
aku yang menjaga diluar!" — lalu ia
menggeser maju kemulut lobang. Sedang Suma Bing segera
duduk semadi mengerahkan tenaganya.
Sang waktu berjalan dengan cepat, siang sudah berganti malam,
dalam kegelapan malam didalam lobang pohon itu, sepasang
kekasih tengah berindehoy tenggelam dalam perasaan bahagia
yang tak berujung pangkal.
Sambil menggelendot didada Suma Bing, Phoa Kin-sian berkata
malu2: "Engkoh Bing, agaknya aku..."
"Kau kenapa?" "Aku... aku..." setengah harian Phoa Kin-sian
tergagap tak
kuasa mengeluarkan kata2. Dalam pandangan Suma Bing yang
berkepandaian sedemikian tinggi, kegelapan malam tidak

menjadi soal dalam pandangan matanya, samar2 masih terlihat
olehnya sikap malu2 dari wajah kekasihnya ini.
"Adik Sian, sebenarnya ada apakah?" "Agaknya, aku... aku
sudah punya..." "Punya apa?" Kepalan Phoa Kin-sian memukul
agak keras didada bidang
Suma Bing, serunya agak gemetar: "Dungu, aku tidak tahu!"
Keruan Suma Bing melengak dan garuk2 kepala, entah
mengapa mendadak Phoa Kin-sian ngambek, maka per-lahan2
tangannya meng-elus2 rambutnya sambil ujarnya:
"Mengapa perkataanmu sendlap-sendlup tak karuan?" "Apa
betul kau tidak tahu?" "Kalau tidak kau katakan masa aku bisa
tahu, toh aku
bukan cacing dalam perutmu!" "Aku sudah mengandung!" "Apa,
kau sudah mengandung?" Suma Bing memeluk Phoa Kin-sian
dengan kencang, saking
girang badannya gemetar dan mulutnya menggumam. "Kita bakal
punya anak..." Bagai seekor domba yang aleman Phoa Kin sian
membiarkan Suma Bing memeluknya semakin kencang hingga
susah bernapas.
"Adik Sian, kau bertempat tinggal bersama Bibi Jui?" "Ya."
"Dimanakah?" "Suhu menyuruh aku sementara tidak
memberitahu kepada
kau." "Mengapa?"
Tiraik
asih
Websi
te
http://
kangz
usi.co
m/
"Aku tidak tahu!" "Kalau aku ada urusan..." "Suhu atau aku
dapat mencari kau, ai, Engkoh Bing,
katamu Pedang darah sudah terjatuh ditangan Rasul penembus
dada?"
"Begitulah kenyataannya." "Biar kulapor kepada suhu untuk
merebutnya kembali..." "Jangan, aku bersumpah untuk
merebutnya sendiri." Malam terus merayap mendekati pagi,
sang surya sudah
muncul dari peraduannya, jagat raya sudah terang benderang.
Suma Bing berjalan keluar dari lobang pohon menggandeng
tangan Phoa Kin-sian. "Engkoh Bing saat ini kau hendak kemana?"
"Aku hendak ke Bu-kong-san mengadu peruntungan,
mungkin aku dapat mencari jejak Bunga iblis siapa tahu?" "Aku
pergi bersama kau, kita dapat saling membantu?" "Tidak, adik
Sian, apa kau lupa kau sudah ada..." "Itu tidak menjadi halangan"
Phoa Kin-sian memberikan sebuah senyuman manis mesra
yang menggiurkan kepada Suma Bing, tak tertahan Suma Bing
lantas memeluk dan menciumnya sekali.
Begitulah mereka bergandengan menyusuri rimba menuju kejalan
raya, lalu ambil perpisahan dengan rasa berat dan haru.
23 SEORANG KORBAN CINTA YANG SAMPAI LUPA AKAN
USIA SENDIRI

Siang dan malam Suma Bing menempuh perjalanan menuju ke
Bu-kong-san. Bu-kong-san adalah gunung-gemunung yang
ber-lapis2 dan bersusun menjulang tinggi keangkasa.
Tidak perlu dipersoalkan apakah Bu-siang-sin-li si manusia aneh
berusia seabad itu masih hidup didunia fana ini atau tidak. Hanya
untuk mencari gua tempat dia semayam diantara sekian luas hutan
dan dataran tinggi serta lembah2 dialas pegunungan yang belum
pernah dijajaki manusia, seumpama mencari jarum dilautan. Sejak
beranjak memasuki pegunungan Suma Bing langsung memanjat
kepuncak tertinggi melalui jurang2 dan hutan2 lebat, tak mengenal
lelah ia menjelajah dan mengarungi kesegala penjuru, tidak
ketinggalan tempat2 yang mencurigakan telah diselidiki. Satu hari —
dua hari — tiga hari — tahu2 sebulan sudah berlalu dengan cepat
tanpa terasa. Selama ini sedikitpun Suma Bing belum mendapat
hasil yang diharapkan. Keputus-asaan sudah mulai merangsang
benaknya.
Hari itu Suma Bing tengah menjelajah sampai dipinggir sebuah
jurang yang dalam tak terlihat dasarnya, memandangi kabut tebal
yang ber-gulung2 didepan matanya ini, terasa seakan dirinya
berada di-awang2.
Se-konyong2 sebuah helaan napas panjang yang penuh
mengandung kegetiran hati samar2 terdengar dalam kupingnya.
Helaan napas itu membuat pendengarannya merasa seakan ia
semakin tenggelam kedalam lembah sunyi yang tak berujung
pangkal, seumpama pula kepala diguyur air dingin dimusim dingin,
gemetar dan membeku seluruh tubuh.
Pandangan Suma Bing menjelajah keempat penjuru, terlihat diatas
sebuah batu cadas besar yang menonjol keluar dipinggir jurang
sebelah sana, berdiri tegak mematung bayangan seseorang. Dari
pakaian yang me-lambai2 dihembus angin pegunungan, tidak perlu
diragukan itulah seorang wanita adanya.

Aneh dan mengherankan, dilembah pegunungan diatas batu cadas
ini, darimana datangnya seorang wanita yang menghela napas
sedemikian sedih memilukan?
Timbul rasa heran dan ingin tahu Suma Bing, per-lahan2 ia
menggeremet mendekati. Dari jarak dekat inilah baru ia melihat
tegas kiranya itulah seorang wanita setengah umur berambut
setengah ubanan, tengah asyik memandang kabut didepannya
yang ber-gulung2 mengambang bebas ditengah udara. Dari
bangun tubuhnya yang ramping semampai dapatlah dibayangkan
pasti semasa mudanya wanita ini adalah seorang gadis yang ayu
rupawan.
Lama dan lama sekali kedua belah pihak tetap membisu tanpa
buka suara.
Batu cadas dimana wanita setengah ubanan itu berdiri luasnya
tidak lebih tiga kaki dibawahnya adalah jurang yang dalam yang
tak kelihatan dasarnya, jikalau terpeleset jatuh pastilah tubuhnya
akan hancur lebur. Tak urung timbul secercah kekuatiran dalam
lubuk Suma Bing.
Akhirnya terdengar wanita tua itu membuka suara juga: "Siapa
itu?" — suaranya dingin tanpa emosi. "Aku yang rendah Suma
Bing!" "Enyah dari sini!" Suma Bing melengak, agaknya orang
tengah menanti
seseorang, maka segera ia bertanya: "Apakah Cianpwe
tengah menantikan seseorang?" "Apa kau memanggil
Cianpwe kepadaku?" "Apa tidak pantas?" "Berapa
usiamu tahun ini?" "Belum cukup sembilan belas
tahun!"

"Cianpwe? Apakah aku sudah tua?" wanita tua itu bicara dan
menggumam sendiri.
Suma Bing tergerak hati, ucapan yang sangat ganjil sekali,
dikolong langit ini masa ada orang yang tidak mengetahui usianya
sendiri, apa mungkin, dia seorang linglung yang tidak waras
pikirannya...
Sejenak merandek lantas wanita tua itu menggumam lagi: "Aku
Giok-li Lo-Ci ternyata sudah tua, tidak, aku belum tua, aku tidak
boleh tua, mengapa dia tidak kunjung datang juga?"
Suma Bing berpikir: kiranya perempuan tua ini bernama Giok-li Lo
Ci, entah siapakah orang yang dimaksudkan itu?
"Lo-cianpwe..." Mendadak Giok-li Lo Ci berpaling kearah Suma
Bing sorot
matanya ber-kilat2: "Siapa kau, darimana kau tahu aku she Lo?"
Suma Bing menjadi bingung, dilihat dari sorot mata orang
yang terang dan jernih, pastilah bukan orang yang linglung atau
gelap pikiran. Apalagi Lwekangnya sudah sempurna, justru yang
mengherankan cara bicaranya membuat orang tidak habis
mengerti. Maka segera sahutnya:
"Bukankah kau sendiri yang mengatakan?" "Apa betul?"
"Lo-cianpwe tengah menanti seseorang?" "Benar!"
"Siapakah dia" "Usianya mungkin lebih tua sedikit dari
kau..." "Apakah putramu?" "Hus, kurang ajar!"
"Siapakah namanya, mungkin aku dapat membantu?"

"Namanya Sia-sin Kho Jiang!" Suma Bing melonjak kaget dan
mundur tiga langkah,
hampir dia tidak percaya akan pendengaran kupingnya, seketika ia
terhenyak ditempatnya tanpa kuasa mengeluarkan suara kiranya
perempuan ini tengah menanti suhunya?
Sejak kena dibokong hingga menjadi invalid sampai mati suhunya
belum pernah muncul dikalangan Kangouw selama dua puluh
tahun. Secara diam2 Sucinya Sim Giok-sia bertunangan dengan
Tiang-un Suseng, maka akhirnya dikurung subonya selama tiga
puluh tahun, saat mana usianya pun sudah mendekati lima
puluhan. Sebaliknya Giok li Lo Ci mengatakan bahwa orang yang
dinantikan kedatangannya ini berusia sedikit lebih tua dari dirinya.
Jikalau itu benar, bukankah itu berarti dia telah menanti dan
menanti selama lima puluh tahun lebih. Kabarnya suhu dan
subonya bertengkar dan berpisah, apa mungkin karena perempuan
ini?
Mendadak Giok-li Lo Ci berteriak melengking bergegas
meninggalkan batu cadas itu dan melompat maju kehadapan
Suma Bing serta serunya gemetar:
"Benda apa yang kau pakai dijari tengahmu itu?" Suma Bing
terperanjat, sahutnya: "Cincin Iblis!" "Cincin iblis?" "Benar!"
"Darimana benda itu kau dapatkan?" Semakin besar dan
tepatlah dugaan Suma Bing bahwa
perempuan tua yang bernama Giok li Lo Ci ini, adalah kekasih
suhunya semasa masih muda dulu. Kalau begitu, apa benar dia
sudah menunggu selama lima puluh tahun? Dalam secercah
ingatannya bayangan wajah suhunya semasa masih muda pada
lima puluh tahun yang lalu. Maka tidak menjawab

dia balik bertanya: "Jadi Cianpwe selalu menunggunya ditempat
ini?"
"Disinilah kita mengikat jodoh, dia mengatakan pasti akan datang,
aku percaya dia takkan menipu aku!"
"Sudah berapa lama Cianpwe menunggu disini?" "Aku tidak
tahu!" "Yang kutanyakan tadi bagaimana Cincin iblis ini bisa
berada ditanganmu?" Giok-li Lo Ci kembali mengalihkan
pembicaraan pokok.
"Sebab aku adalah muridnya!" Giok-li Lo Ci terharu dan
bergirang: "Kau adalah murid engkoh Jiangku?" "Benar!"
"Dimana dia berada?" "Dia..." "Katakanlah dimana dia?" Tanpa
terasa Suma Bing merasa mendelu dalam hati,
kerongkongannya seperti disumbat sesuatu, bahwa suhunya
sudah menutup mata, apakah hal ini harus diberitahukan
kepadanya? Apa dia kuat menerima pukulan batin ini? Atau
membiarkan dia menunggu lagi dengan penuh harapan yang tak
mungkin harapan itu kunjung datang? Apakah penipuan demikian
tidak terlalu kejam? Sesaat dia menjadi bimbang, entah
bagaimana dia harus memberi jawaban yang positif.
Lima puluh tahun, ya selama lima puluh tahun dia telah
menunggu, sampai usia sudah tuapun tidak disadari olehnya,
betapa besar pengorbanan yang telah dikeluarkan demi cintanya.
Cinta itu buta dan cinta memang dapat membuat jiwa orang
gersang, ah, sungguh kasihan!

Giok-li Lo Ci mendesak maju dua langkah, suaranya berteriak
hampir menggila:
"Katakan, dimana Sia-sin Kho Jiang berada?" "Dia... dia..." "Dia
bagaimana?" Benak Suma Bing bekerja keras, daripada
membiarkan ia
meninggal secara mengenaskan dengan putus harapan adalah
lebih baik memberikan secercah harapan untuk hidup. Kalau toh
dia sudah menanti selama lima puluh tahun, apa pula halangannya
untuk menanti lagi entah sampai berapa lama, kalau dikatakan
secara kenyataan tindakannya ini memang agak terlalu kejam, tapi
apa boleh buat, maka segera sahutnya lantang: "Dia orang tua
tengah menutup diri karena tengah melatih suatu ilmu!"
"O, aku tidak dapat menyalahkan dia, dia pasti datang!" Suma
Bing benar2 sudah tak dapat menahan suasana yang
menyedihkan ini, cepat2 ia memberi hormat terus berkata:
"Wanpwe minta permisi!" "Baik, bila kau ketemu dia katakan
bahwa aku tengah
menunggunya." Suma Bing mengiakan terus bergegas berlari pergi
meninggalkan Giok-li Lo Ci, sambil ber-lari2 kecil ia menyusuri
pinggir jurang.
Jurang itu agaknya luas sekali dan tak berujung pangkal, sekian
lama sudah ia berlari masih belum sampai pada ujung
pangkalnya...
Sang surya mulai meninggi, sinar matahari yang terang mulai
mengurangi kabut yang tebal itu. Alam sekelilingnya mulai jelas
terlihat, Suma Bing menghentikan langkahnya dan mendongak
melihat situasi sekitarnya, tanpa terasa dia tertawa geli sendiri.
Sudah setengah harian ia ber-putar2

kiranya baru mencapai setengah dari lingkaran jurang itu, dimana
tempat dia berada sekarang tepat berhadapan dengan tempat
dimana ia tadi berpisah dengan Giok-li Lo Ci, malah samar2
terlihat juga tubuh yang berdiri menyendiri bagai tonggak diatas
batu cadas itu.
Suma Bing geleng2 kepala, gumamnya: "Korban cinta yang
mengenaskan!"
Se-konyong2 beberapa bayangan manusia berkelebatan tengah
meluncur datang dengan kecepatan seperti bintang terbang
tengah melesat mendatangi kearah puncak dipinggir jurang
dimana dia berada ini. Dalam waktu yang pendek orang2 itu sudah
mendatangi semakin dekat. Dimana sorot pandangan Suma Bing
melintas sontak timbullah nafsu membunuh yang ber-kobar2.
Kiranya para pendatang itu adalah para jagoan dari Bwe-hwa-hwe
yang berjumlah tujuh orang.
Agaknya seorang tua seragam kuning sebagai pimpinan dari
rombongan keenam orang lainnya yang masing2 bertubuh tinggi
tegap.
"Berhenti!" tiba2 Suma Bing menghardik dengan kerasnya!
Tujuh orang itu segera menghentikan langkahnya, si orang
tua yang memimpin itu berseru kaget: "Sia-sin kedua!" Sontak
keenam laki2 tegap lainnya berobah airmukanya,
ter-sipu2 mereka menyebar diri bersiap menghadapi segala
kemungkinan.
Suma Bing sendiri sesaat melengak heran, bahwa musuh ternyata
menyebut dirinya sebagai Sia-sin (malaikat sesat) kedua. Karena
menurut anggapannya bahwa perbuatannya toh tidak
menyeleweng, dengan alasan apa mereka menyebut dirinya
sebagai Malaikat sesat kedua?

Si orang tua pemimpin itu segera menggerakkan sebelah
tangannya, selarik sinar merah segera meluncur tinggi ketengah
angkasa.
Diam2 Suma Bing mengumpat kelicikan musuh ini, sungguh diluar
prasangkanya bahwa para jagoan Bwe-hwa-hwe ini ternyata
mengikuti jejaknya memasuki pegunungan Bu-kong- san ini juga.
Pertanda sinar merah itu sudah terang kalau memanggil bala
bantuan untuk menghadapi dirinya. Maka segera ia mendesak
maju serta tanyanya dingin:
"Kalian mengikuti jejakku ya?" Serta merta ketujuh orang itu
melangkah mundur
ketakutan, si orang tua pemimpin mendesis geram: "Suma Bing
diempat penjuru sudah dijaga ketat dan penuh jebakan,
seumpama kau tumbuh sayap juga jangan harap dapat lolos!"
Hawa membunuh diwajah Suma Bing semakin tebal, tawanya
menjengek dingin:
"Maka perlu kusilahkan kalian membuka jalan bagi tuan besarmu
ini..."
Belum habis ucapannya kedua tangannya beruntun bergerak
menyodok kedepan. Bukan saja serangannya ini sangat aneh dan
dahsyat, kekuatannyapun bukan olah2 hebatnya. Si orang tua
pemimpin berlaku sangat cerdik, sebat sekali ia mendahului
melompat nyingkir, lain dengan keenam anak buahnya yang tidak
sempat lagi menyingkir, mereka tergulung sungsang sumbel
keempat penjuru.
Begitu pukulan pertama dilancarkan, gesit sekali Suma Bing
mendesak maju sambil berputar secepat kilat tangannya
melancarkan sebuah hantaman. Dimana terdengar teriakan ngeri,
dua diantara enam laki2 tegap itu mencelat setinggi dua tombak
terus melayang masuk jurang yang tidak kelihatan dasarnya.
Keruan lima orang kawannya ketakutan setengah mati. Si orang
tua pemimpin segera berseru keras:

"Mundur!" "Mimpi!" — sambil membentak ini, badan Suma Bing
melesat cepat bagai bayangan setan, sigap sekali tahu2
pergelangan tangan si orang tua sudah dicengkram olehnya.
Kesempatan untuk berkelit belum ada tahu2 dirinya sudah kena
teringkus oleh lawan, keruan pucat pasi dan ketakutan setengah
mati si orang tua pemimpin itu, keringat dingin membanjir
membasahi tubuhnya.
Saking gentar dan ketakutan, empat laki2 tegap lainnya sampai
kesima berdiri bagai patung dengan tubuh gemetaran.
Derap langkah ramai dari kejauhan semakin dekat... Mendadak
Suma Bing menggentakkan tangannya, bagai
sebuah bola besar si orang tua dilemparkan masuk kedalam
jurang yang dalam. Pekik panjang yang menyayatkan hati
menggema jauh dari ketinggian semakin mengecil lirih terus
menghilang didasar jurang.
Bagai tersadar dari mimpi keempat laki2 tegap segera melarikan
diri pontang panting seperti dikejar setan...
"Lari kemana kalian!" — ditengah bentakan yang menggeledek ini,
lagi2 Suma Bing melesat tinggi dan jauh berbareng dikirimnya
empat kali pukulan jarak jauh yang dahsyat, empat gelombang
angin pukulannya hampir bersamaan melanda keempat sisa
anggota Bwe-hwa-hwe yang lari ketakutan itu.
Dilain saat segera terdengar jerit dan pekik kesakitan yang riuh
rendah, empat tubuh manusia seperti juga kawan2nya melayang
jatuh kedalam jurang.
"Buyung, kejam benar perbuatanmu ini!" sebuah suara dingin
sedingin es mendengus tiba.
Sigap sekali Suma Bing membalikkan tubuh, maka terlihat dua
diantara empat Setan gantung, yaitu Heng-si-khek dan Hui-bing
khek telah berdiri tak jauh dihadapannya. Tubuh

mereka kurus kering dan pucat pasi bagai mayat hidup, dilehernya
masih terikat tali gantungan, tanpa terasa melonjak kaget benak
Suma Bing. Satu diantara keempat Setan gantung saja
berkepandaian lebih tinggi dari Bu-lim-su-ih tingkatan gurunya,
maka sudah terang kalau dirinya bukan tandingan mereka.
Akan tetapi sifat pembawaannya yang keras kepala dan congkak
membuatnya tidak mengenal akan arti takut, dengan beringas dan
gagahnya ia berdiri tegak sekokoh gunung.
Heng si khek menyeringai tawa seram, desisnya: "Buyung,
bencana susah dihindari, lebih baik kau mandah
saja terima kematianmu!" Dibarengi dengan kata2nya ini, kedua
tangannya secepat
kilat mendorong kedepan, kecepatan cara turun tangannya ini
benar2 menakjubkan hingga waktu berpikir bagi musuhpun tidak
sempat lagi.
Agaknya Suma Bing juga tidak mau kalah perbawa, dipusatkannya
seluruh kekuatan tenaga Kiu-yang-sin-kang kearah tangan dan
disertai dengan dengusan keras ia songsongkan kedua tangannya
kedepan juga, dorongan disambut dengan dorongan.
Tapi sebelum dorongan dahsyat kedua belah pihak saling bentur
mendadak Heng si khek merobah cengkraman tangannya menjadi
pukulan. Dentuman dahsyat segera terjadi dialas pegunungan yang
sunyi hingga suaranya menggelegar terdengar jauh, Tubuh
Heng-si-khek bergoyang limbung, adalah Suma Bing tersurut
mundur delapan kaki jauhnya.
Dan hampir dalam waktu yang bersamaan, dari samping sebelah
sana Hui-bing-khek juga lancarkan sebuah hantaman keras bagai
topan badai menggulung kearah Suma Bing yang belum sempat
dapat berdiri tegak. Lagi2 Suma Bing mencelat sejauh beberapa
tombak baru dapat berdiri tegak, mulutnya menghambur darah
segar.

Heng-si-khek sudah mendesak maju hendak menyerang lagi...
"Lo-toa, tahan dulu!" mendadak Hui-bing-khek berseru mencegah.
"Kenapa?" "Apa tidak kita ringkus hidup2 saja?" "Ketua kuatir
akan membawa buntut yang susah
dikendalikan, dia ingin kematian bocah kerdil ini." "Tapi kau ingat,
dia orang tua..." Untuk kedua kalinya Suma Bing mendengar 'Dia
orang tua'
dari mulut musuh2nya ini, disinilah letak kunci daripada Bhehwa-
hwe mengejar dan hendak membunuh dirinya. Tokoh macam
apakah sebenarnya orang yang disebut sebagai 'dia orang tua' itu?
Mengapa dia mengutus orang untuk membunuh dirinya? Dengan
kedudukan dan ketenaran nama Si-tiau-khek empat gembong iblis
yang kenamaan ini saja masih rela tunduk dan terima perintahnya,
maka dapatlah dibayangkan tentu tokoh itu bukan sembarang
orang...
"Lo-sam, tapi ini perintah Ketua!" kata Heng-si-khek. Agaknya
Hui-bing-khek bersungguh hati, sahutnya: "Kalau dia orang tua
menyalahkan..." "Biar Ketua yang bertanggung jawab!" "Kita
berempat saudara boleh dikata mendapat perintah
hanya untuk membantu Ketua..." "Lo-sam, bocah ini agak
misterius, ternyata sedemikian
banyak orang2 kosen sebagai dekingnya, sampai Rasul penembus
dada yang baru saja muncul di Kangouw agaknya juga melindungi
bocah ini. Sekarang kesempatan yang susah, dicari ini, janganlah
kita abaikan begitu saja, kesempatan seperti ini susahlah dikatakan
lagi kapan dapat kita peroleh!"

Sungguh geram Suma Bing bukan alang kepalang, tidak kira bahwa
musuh berani begitu takabur tengah merundingkan nasib mati
hidupnya, maka dengan penuh kebencian dan gusar mulutnya
mendesis:
"Si-tiau-khek, kalau aku Suma Bing tidak sampai mati, awas
kalian akan kubeset kulit kalian hidup2..."
"Hehehehe, Buyung, sayang kematianmu sudah pasti!" Kedua
tangannya bergantian menyodok dan mendorong
kedepan. Pukulan Heng-si-khek kali ini bertujuan hendak
menamatkan riwayat hidup Suma Bing.
Suma Bing mengertak gigi, kedua tangan ditekuk lalu didorong
kedepan juga secara keras lawan keras.
Dar...! diselingi pekik kesakitan yang menyayat hati, tubuh Suma
Bing terpental setinggi dua tombak terus melayang jatuh masuk
jurang yang dalam itu.
Bermula ingatannya masih sadar, seakan tubuhnya mengambang
naik awan me-layang2 ditengah udara, tanpa terasa dia
menggembor keras: "Masa aku harus mati secara begini? O, aku
mati penasaran!" — jeritan yang mengerikan ini hampir dia sendiri
juga tidak mendengar jelas... akhirnya dia kehilangan
kesadarannya.
Dalam pada itu setelah memukul jatuh Suma Bing kedalam
jurang, segera Heng-si-khek berkata kepada Hui-bing-khek:
"Tugas sudah selesai, mari kita pergi..."
"Pergi?" mendadak sebuah suara dingin menyelak dibelakang
mereka, "jiwa kalian juga harus ditingggalkan!"
Per-lahan2 kedua Setan gantung ini membalik tubuh, tampak oleh
mereka seorang bertubuh tinggi lencir bewarna serba hitam berdiri
tiga tombak dibelakang mereka, kedua mata manusia serba hitam
ini memancarkan kebencian yang me-nyala2. Manusia kejam dan
telengas seperti kedua Setan gantung inipun tak urung bergidik
seram dan gentar.

Mata Hui-bing-khek melebar memandang kearah lawan, serunya:
"Tuan inikah yang bernama Racun diracun..."
"Ya, benar." "Tuan sombong dan takabur, berani bermulut
besar hendak
mengambil jiwa kita bersaudara, apa kau sudah bosan hidup?"
"Tidak, hanya kalian berdua..." Heng-si-khek perdengarkan suatu
tawa ngekek, jengeknya:
"Agaknya tuan hendak menuntut balas bagi si sesat kedua, Suma
Bing itu?"
"Ucapanmu tepat sekali." "Tidak perlu banyak bacot lagi,
silahkan tuan turun
tangan?" Racun diracun mendengus keras, tanpa sungkan2 lagi
segera ia kirim sebuah hantaman mengarah Heng-si-khek, betapa
besar dan dahsyat perbawa angin pukulannya ini seakan dapat
membelah gunung dan menghancurkan batu.
Heng-si-khek ada hati hendak mencoba kekuatan lawan, maka
segera tangannya pun disurung kedepan, dorong mendorong
secara keras lawan keras.
Begitu angin pukulan kedua belah pihak saling bentur dan
menimbulkan gelombang angin lesus membumbung tinggi
keangkasa, tubuh Racun diracun hanya, goyah sedikit, lain halnya
dengan Heng-si-khek, badannya limbung satu langkah.
Bahwasanya kepandaian dan Lwekang Si-tiau-khek sudah jarang
tandingan dikalangan Kangouw, salah satu diantara Setan gantung
saja cukup membuat kuncup nyali para musuhnya. Adalah dalam
gebrak pertama ini kelihatan jelas bahwa kepandaian Racun
diracun ternyata masih lebih unggul seurat dari mereka.

Agaknya Racun diracun sudah bertekad bulat hendak melenyapkan
jiwa musuh2nya, beruntun ia lancarkan lagi tiga rangkai pukulan
dahsyat.
Kali ini agaknya Heng-si-khek sudah merasakan kelihayan lawannya
dan kapok, sebat sekali tubuhnya melejit menyingkir dua tombak
jauhnya tak berani beradu pukulan lagi. Pada saat Heng-si-khek
melejit menyingkir itu, dari samping Hui-bing- khek malah
mendesak maju sambil ulur cengkraman tangannya langsung
mencengkram punggung Racun diracun. Cara cengkramannya ini
boleh dikata sangat cepat hingga susah diikuti oleh pandangan
mata.
Tapi kepandaian Racun diracun juga menakjubkan, tahu bahwa
dirinya dibokong dari belakang, pukulan tangannya mendadak
dirobah mencengkram juga ditengah jalan sambil berputar
memapak kearah musuh...
Gerak gerik kedua belah pihak boleh dikata secepat kilat. Dimana
terdengar suara mendehem keras. Cakar tangan Hui- bing-khek
dengan telak mencengkram amblas kepundak Racun diracun,
dimana kelima jarinya melesak amblas merembes keluar darah
segar bagai air ledeng. Terpaut sedetik, kelihatan cakar Racun
diracun yang berwarna hitam legam itu juga mencengkram keras
dilengan lawan...
Heng-si-khek menjerit kaget, serunya: "Lo sam, cepat lepas
tangan, Racun..." Sambil berpekik ini tubuhnya meluncur ditengah
udara seraya mengirim tendangan dan pukulan mengarah kepala
dan dada Racun diracun.
Mendadak dua bayangan mencelat berpencar. Terdengar
Hui-bing-khek menggembor keras, tangan kirinya segera diayun
memapas putus lengan kanannya sendiri. 'Peletak' kontan lengan
kanannya sendiri terjatuh buntung sebatas pundaknya, lalu
beruntun ia menutuk beberapa jalan darah dipundak untuk
menghentikan mengalirnya darah. Lalu serunya dengan bengis:
"Racun diracun, akan datang suatu

hari aku Hui-bing-khek akan membeset tubuhmu menjadi berkeping2."
Racun diracun menyeringai sinis, sahutnya: "Sekarang juga
hendak kubuat kalian Setan2 gentayangan mampus menjadi abu!"
Tapi sebelum Racun diracun melaksanakan ancamannya,
Heng-si-khek sudah membentak keras, tangannya panjang yang
kurus kering bagai kayu bakar itu sudah bergerak sebat hingga
bayangan pukulan tangannya bertumpuk berlapis bagai gunung
langsung menungkrap keatas kepala Racun diracun, perbawa dan
gerak geriknya seperti harimau gila yang kelaparan.
Sejenak Racun diracun melengak, sebat sekali tubuhnya
jumpalitan mundur kebelakang sejauh satu tombak...
Peluang inilah digunakan oleh Heng-si-khek untuk menarik
Hui-bing-khek terus melarikan diri secepatnya bagai meteor
terbang.
Nada suara Racun diracun penuh mengandung nafsu membunuh,
berkatalah ia kearah kedua Setan gantung yang tengah melarikan
diri itu:
"Kalian takkan dapat lolos dari tanganku!" Habis berkata ia
melangkah maju kepinggir jurang
memandang kedasar jurang yang tertutup kabut tebal, dengan
sedih ia menghela napas panjang.
Bertepatan dengan itu, dua bayangan manusia satu tua dan yang
lain masih muda belia tengah melangkah ringan mendekati
ketempat dimana Racun diracun berada.
"Lo-cianpwe, apa benar engkoh Bing berada di pegunungan
Bu-kong san ini?"

"Tidak akan salah, kusaksikan sendiri pihak Bwe-hwa-hwe tengah
mengerahkan bala bantuannya mengobrak-abrik dan mengepung
gunung ini untuk mencari jejaknya!"
"Tapi sudah tiga hari lamanya tanpa kita menemui jejak atau
bayangannya!"
"Sedemikian luas dan besar lingkungan gunung ini, diapun tidak
mempunyai tujuan tertentu, kita harus bersabar dan per- lahan2
mencarinya!"
"Apa maksud tujuan Bwe-hwa-hwe mencari dan mencegat dia?"
"Mana dapat kita ketahui!" Kedua orang tua dan muda ini
ternyata tak lain adalah si
maling bintang Si Ban tjwan dan Siang Siau-hun adanya, mereka
bertemu ditengah jalan tanpa berjanji sebelumnya, lalu sama2
memanjat gunung hendak mencari dan mengikuti jejak Suma
Bing.
Tiba2 si maling bintang Si Ban-tjwan angkat sebelah tangannya
menghentikan langkah Siang Siau-hun sembari berkata:
"Nanti dulu nona jangan ceroboh, lihatlah bayangan siapa yang
berada dipinggir jurang itu?"
"Peduli siapa dia!" "Dialah Racun diracun yang lebih berbisa
dari Racun utara
itu!" "Oh!" Siang Siau-hun berseru kejut, sepasang matanya
yang jeli bening lantas memancarkan nafsu membunuh menyala2,
serunya gemetar: "Racun diracun?"
"Benar, manusia serba hitam didunia ini hanya dia seorang!"
"Aku hendak membunuhnya"

"Untuk apa?" "Aku hendak menuntut balas bagi adikku dan Li
Bun siang." "Tapi nona ayu, seumpama iblis jahat ini tidak
menggunakan racun, kepandaian silatnya saja masih lebih unggul
setingkat dari Bu-lim-su-ih. Ketahuilah ketua Bwe-hwa- hwe yang
menggetarkan nyali orang itupun rada2 takut dan gentar
menghadapi dia, apalagi kau."
"Tak peduli aku harus membunuhnya!" — mulut berkata begitu
tubuhnyapun segera berkelebat lari kedepan secepat anak panah.
"Budak ingusan, percuma saja kau mengantar kematian!" Si
maling bintang Si Ban-tjwan mengulur tangan hendak
menjambret tapi tak kena, secepat itu Siang Siau-hun sudah tiba
dibelakang Racun diracun sejauh beberapa meter. Terpaksa ia
mengeraskan hati dan menebalkan muka mengikuti maju!
Racun diracun se-olah2 tidak merasa dan tidak mendengar, ia
masih tetap berdiri tegap kesima.
Karena besar tekadnya hendak menuntut balas bagi adik dan Li
Bun siang, Siang Siau-hun sudah melupakan segala keselamatan
sendiri, suaranya membentak bengis dibelakang Racun diracun:
"Racun diracun, iblis laknat, nonamu ingin membeset dan
menghancur leburkan tubuhmu!"
Pelan2 Racun diracun membalik tubuh menghadapi Siang
Siau-hun yang mendelik gusar, lalu tanyanya dingin:
"Apa kau hendak membunuh aku?" "Tidak salah, hendak
kuhancur leburkan tubuh iblis laknat
seperti kau ini"

Sekilas si maling bintang menyapu pandang kesekitarnya tampak
olehnya ditanah banyak berceceran noktah darah dan sebuah
lengan buntung, lantas terlintas sebuah pertanyaan yang
menakutkan dalam benaknya, serunya terkejut: "Disini tadi
pernah terjadi pertempuran seru?"
Pandangan dingin dengan sorot mata yang menyedot semangat
Racun diracun beralih kearah si maling bintang sahutnya:
"Memang benar, pertempuran berdarah!" "Apa termasuk juga
si sesat kedua Suma Bing?" "Memang ada!" Melonjak kaget si
maling bintang serta Siang Siau hun,
cepat2 Siang Siau-hun bertanya: "Lalu kemana dia sekarang?"
"Siapa?" "Suma Bing!" "Sudah mati." Bagai disamber geledek,
tubuh Siang Siau-hun terhuyung
lima langkah, pandangannya terasa gelap dan tubuhpun hampir
roboh, wajahnya ber-kerut2 hebat, sesaat itu terasa seakan dirinya
terjatuh kedunia lain... Sungguh tak terduga kekasihnya yang
sangat dicintainya sekarang ternyata sudah mati!
Terasa hatinya membeku, kaki tangan dingin, seluruh tubuh
mengejang linu, otaknya pun men-dengung2, jantung ber-denyut2
keras, segera ia menggembor histeris:
"Tidak, dia belum mati, engkoh Bing ku tidak mungkin mati, dia...
tak mati..."
Suaranya memilukan hati benar2 membuat orang lain turut
berduka dan bersedih.

Sepasang mata si maling bintang membelalak besar, wajahnya
merah padam penuh kegusaran, serunya gemetar:
"Tuan yang turun tangan..?" Segera Racun diracun
menggelengkan kepala, ujarnya: "Heng-si dan Hui-bing dua
Setan gantung itu jagoan kelas
satu dari Bwe-hwa-hwe." "Si-tiau-khek?" "Tidak salah." "Mana
jenazahnya?" "Terjungkal masuk jurang, dibawah sanalah." Akhirnya
pecahlah tangis Siang Siau-hun yang
menyayatkan hati. Sedemikian sedih ia menangisi kekasihnya yang
pergi mendahuluinya. Tangisnya ini suatu pertanda betapa besar
rasa cinta kasihnya terhadap Suma Bing.
Begitu sedih ia menangis hingga suaranya serak dan airmatapun
kering!
"Engkoh Bing, tunggu aku!" ratap Siang Siau-hun dengan suara
serak terus berlari kebibir jurang...
"Budak goblok, jangan kau berbuat begitu bodoh!" - si maling
bintang Si Ban-tjwan membentak keras terus menyambar
pergelangan Siang Siau-hun.
"Lepaskan aku!" "Apa yang hendak kau lakukan?" "Mencari
engkoh Bing-ku!" "Apa kau tahu tempat apa ini?" "Tempat...
apa?" "Lembah kematian. Inilah lembah kematian salah satu
dari
tiga tempat keramat dari Bu-lim. Keempat penjuru dari
lembah

ini merupakan tebing dan dinding batu yang curam tiada mulut
lembah, selain melompat turun dari atas batu cadas itu tiada jalan
lain untuk turun kebawah. Selama beratus tahun tiada seorangpun
yang memasuki lembah ini masih bisa tinggal hidup. Lembah
kematian merupakan salah satu tempat bertuah bagi kaum
persilatan yang mengandung banyak teka- teki dan misterius."
Siang Siau-hun mematung dan mengigau: "Aku, apa
faedahnya aku hidup merana didunia fana ini?" "Kau salah,
kalau kau benar2 cinta Suma Bing, kau harus
berusaha menuntut balas. Apalagi agaknya nasibnya tidak begitu
jelek, mati hidupnya masih merupakan pertanyaan, buat apa kau
menyiksa diri?"
Sementara itu, Racun diracun tengah melangkah mundur
meninggalkan pinggir jurang lalu menuju kearah samping sana
meninggalkan mereka...
Se-konyong2 Siang Siau-hun menjerit beringas, serunya: "Iblis
laknat, tidak demikian gampang kau hendak tinggal
pergi." Segera Racun diracun menghentikan langkahnya dan
membalik, tanyanya:
"Bagaimana?"
24. NASIB SIAL SUMA BING MEMBAWA KEBERUNTUNGAN
Sebat sekali Siang Siau-hun melejit maju kedepan Racun
diracun langsung ia tamparkan sebuah tangannya mengarah dada
lawan sambil memaki gemas:
"Aku inginkan jiwamu."

"Nona, goblok, jangan, beracun..." si maling bintang Si Ban-tjwan
berteriak gugup dan berjingkrak kalang kabut.
Meskipun si maling bintang Si Ban-tjwan sudah berusaha
mencegah tapi sudah terlambat telapak tangan Siang Siau-hun
sudah menekan tiba didada Racun diracun.
"Blang" Racun diracun tersurut mundur tiga langkah darah segera
meleleh dari ujung bibirnya.
Seketika si maling bintang Si Ban-tjwan terhenyak heran. Siang
Siau-hun sendiri juga tertegun dan kesima
ditempatnya. Bahwa dengan kekuatan Siang Siau-hun dapat
sekali pukul
membuat Racun diracun muntah darah, kejadian ini benar2 susah
dimengerti dan agaknya tak mungkin terjadi, tapi toh kenyataan.
Racun diracun tidak berkelit atau menyingkir, mandah saja dipukul
tanpa mengerahkan tenaga atau balas menyerang, mengapa?
"Racun!" — tiba2 si maling bintang Si Ban-tjwan berpekik kaget.
Sontak Siang Siau-hun juga mendadak sadar dari kagetnya. Benar
juga, lengan kanannya itu sudah membengkak berwarna merah
kehitaman besar dan linu tanpa dapat digerakkan lagi.
Racun diracun mengayun sebelah tangannya berkata kepada si
maling bintang Si Ban tjwan:
"Inilah obat pemunahnya, ambillah!" Cepat2 si maling bintang
Si Ban-tjwan meraih obat itu
kedalam tangannya. Walaupun luas pengalamannya dikalangan
Kangouw, tak urung dia heran dan bertanya2 tak dapat menyelami
sebab dari kejadian semua ini. Mengapa Racun diracun bisa
mengeluarkan obatnya?

Setelah melemparkan obatnya, Racun diracun melejit terbang
menghilang, kecepatan gerak tubuhnya itu benar2 membuat orang
merasa kagum, hanya dua kali berkelebat bayangannya sudah
menghilang dari pandangan mata. Biasanya si maling bintang
paling membanggakan akan ilmu ringan tubuhnya, kalau
dibandingkan dengan apa yang disaksikan sekarang ini, diam2 ia
menghela napas mengakui keunggulan orang.
Siang Siau-hun hampir tidak percaya dengan kenyataan ini,
tanyanya:
"Lo-cianpwe, mengapa iblis laknat ini bisa berbuat begitu?" Si
maling bintang tertawa pahit, sahutnya sambil
menggeleng: "Aku si maling tua juga tidak mengerti latar
belakangnya, paling perlu kau segera telan obat pemunah ini."
"Tidak mau." "Ha, mengapa?" "Dendamku sedalam lautan,
mana boleh aku menerima
obatnya..." "Apa kau sudah bosan hidup?" Pertanyaan ini
membuat jantung Siang Siau-hun melonjak
berdenyutan, rona wajahnya berobah tak menentu sahutnya:
"Tapi aku bersumpah untuk membunuhnya?" "Itu lain persoalan,
paling penting kau makan dulu obat
ini." "Apa aku dapat mempercayai obatnya itu?" "Pasti dapat
dipercaya, dengan Lwekang dan kepandaian
Racun diracun, bila dia mau mencabut jiwamu segampang
membalikkan tangan. Aku si maling tua juga belum tentu dapat
selamat. Tapi kenyataan bahwa dia mandah saja kau pukul
sampai muntah darah tanpa membalas, hal ini tentu ada

latar belakangnya yang susah dimengerti, kau kena racun karena
tanganmu menyentuh badannya, kalau dia mengandung maksud
jahat, buat apa dia berbuat demikian ini, maka legakanlah hatimu,
marilah kau telan obat ini"
Apa boleh buat akhirnya Siang Siau-hun terima juga obat
pemunah itu terus ditelan kedalam mulut. Sebentar saja rasa linu
dan bengkak itu mulai hilang tak membekas.
"Nona baik, mari kita pergi!" "Tapi engkoh Bing...?" merah
mata Siang Siau-hun hampir
menangis, berat rasanya untuk tinggal pergi. "Orang baik tentu
akan mendapat restu tuhan, kalau
seumpama memang dia sudah menemui ajalnya didasar jurang,
maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah nenuntut balas
bagi kematiannya itu."
"Menuntut balas... benar, tapi bagaimana jenazahnya..."
"Nona, bodoh, kau tidak perlu berputus asa, sedemikian
luhur hatimu, seumpama meninggal juga Suma Bing akan meram.
Lembah kematian merupakan salah satu tempat keramat dan
bertuah bagi kaum persilatan, manusia siapa pun takkan dapat
berkuasa menentang nasib ilahi..." - bicara sampai disini si maling
bintang merandek sebentar lalu katanya pula:
"Nona baik, sedemikian besar rasa cintamu kepadanya, maka kau
harus mewakilinya melaksanakan cita2nya yang belum selesai
dicapainya!"
Siang Siau-hun tertegun, tanyanya: "Cita2 apa yang belum
terlaksana?" "Mencari ibunya San-hoa-li Ong Fang-lan, entah
sudah mati
atau masih hidup". Seketika bergidik tubuh Siang Siau-hun,
suaranya gemetar:
"Apa, jadi dia adalah keturunan Su-hay-yu-hiap Suma
long?"

"Benar, mengenai riwayat hidupnya mungkin hanya Lohu dan
seorang misterius lainnya yang mengetahui!"
"Konon kabarnya dikalangan Kangouw, dulu kala itu..." "Kabar
angin itu kebanyakan tidak sesuai dengan
kenyataan, mana boleh dipercaya." Rona wajah Siang Siau-hun
mengeras penuh kebulatan
tekad, serunya: "Lo-cianpwe, mari kita pergi?" "Ya, marilah."
Sejenak Siang Siau-hun memandang kebawah jurang sana
penuh rasa menyesal, lalu sambil mengertak gigi, bersama si
maling bintang dia melompat jauh meninggalkan tempat itu.
Tiba diluar lingkungan pegunungan tak jauh disana terlihat sebuah
jalan raya, dipinggir jalan raya itulah terlihat bergelimpangan
berpuluh mayat manusia, cara kematian mayat2 itu rada2 sama
satu sama lain, rata2 panca indera mereka keluar darah segar
kehitam2an, rada2 seperti terpukul mampus oleh sebuah hantaman
berat! Dari pertanda dipakaian mereka terang bahwa mereka
adalah anak buah dari Bwe-hwa-hwe!
Tanpa terasa Siang Siau-hun berseru kejut: "Inilah buah tangan
Racun diracun!"
Si maling bintang memeriksa dengan teliti, lalu menyahut
manggut2:
"Benar, racun tanpa bayangan!" "Untuk apa Racun diracun
turun tangan terhadap anak
buah Bwe-hwa-hwe?" "Soal ini sukar dimengerti, para jagoan
Bwe-hwa-hwe ini
terang juga mengikuti Suma Bing sampai di Bu-kong san ini.
Ditinjau dari serangkaian kejadian ini agaknya memang Racun

diracun sengaja hendak menuntut balas bagi nasib Suma Bing
yang buruk itu, tentang kenapa ia berbuat demikian, soal ini sukar
ditebak dan diketahui."
Siang Siau-hun menggeleng hampa penuh tanda tanya lalu
melanjutkan perjalanan.
Sekarang baiklah kita ikuti keadaan Suma Bing yang terjungkal
masuk jurang. Dalam keputus asaannya, mulutnya menggembor
keras:
"Aku tidak bisa mati, aku mati penasaran." — belum lenyap
suaranya tahu2 tubuhnya menumbuk sebuah batu cadas yang
menonjol keluar, seketika ia merasa seakan tubuhnya remuk
redam kesakitan, tangannya meng-gapai2 coba mencakar dan
berpegang, namun tidak membawa hasil, tubuhnya lagi2
terpelanting meluncur kebawah, dan pada lain saat ia sudah
kehilangan kesadarannya.
Entah sudah berselang berapa lama, waktu sepercik kesadarannya
mulai pulih samar2 ia rasakan sejalur hawa hangat ber-gulung2
merembes masuk kedalam tubuhnya melalui jalan darah di-ubun2
kepalanya, sedemikian deras arus panas itu membuat kesadaran
dan semangatnya ber- angsur2 pulih kembali, begitu bisa berpikir
lantas terlintas suatu pertanyaan dalam benaknya: apa aku belum
mati?
Terdengar sebuah suara berkata dipinggir kupingnya: "Himpun
semangat dan salurkan tenaga." Ter-sipu2 Suma Bing himpun
semangat dan mulai
menjalankan pernapasan mengatur jalan darah, dengan kekuatan
tenaga murni dalam tubuhnya ia menuntun arus panas itu
mengarungi seluruh tubuhnya, semakin lancar semakin cepat dan
semakin bergolak, tanpa terasa tubuhnya semakin bergetar keras.
Saking tak tertahan ia jatuh pingsan lagi.

Waktu siuman lagi, terasa seluruh tubuh segar bugar dan penuh
semangat dan nyaman, darah berjalan lancar, sedikit
menggunakan tenaga kekuatan dalam badan lantas melanda
bagai gelombang ombak lautan.
Terdengar suara itu berkata lagi: "Sukses, anak muda, jalan
darah mati hidupmu sudah
tembus, bangunlah!" Suma Bing sudah pasrah nasib bahwa
tubuhnya pasti mati
hancur lebur, mimpi juga dia tidak menduga bakal mengalami
keanehan yang membawa keberuntungan, hampir2 dia tidak
percaya bahwa itu kenyataan. Maka begitu membuka mata
bergegas ia melompat bangun tampak dimana dia berada kiranya
didalam sebuah ruang batu yang dipajang sedemikian mewah dan
bersih tanpa berdebu, atas bawah dan sekitarnya berwarna putih
kehijauan seperti batu giok...
"Anak muda, kau dapat datang kemari, ini boleh terhitung ada
jodoh!"
Suara itu kedengaran nyaring merdu dan sudah sangat
dikenalnya, naga2nya dia pernah dengar suara itu, entah
dimana... waktu ia celingak-celinguk bayangan seseorangpun tidak
kelihatan, tanpa terasa giris dan kaget hatinya, serunya penuh
hormat:
"Cianpwe yang manakah itu, bisakah Suma Bing minta bertemu
untuk menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan ini?"
"Anak muda, apa kau masih belum tahu siapa aku?" Tiba2
Suma Bing berseru kegirangan: "Kau adalah Lo-cianpwe?"
"Benar, memang akulah." begitu suaranya sirap, diatas
ranjang batu yang terletak ditengah ruangan itu samar2
mulai

kelihatan bayangan orang, eh, benar juga dia tak lain tak bukan
adalah Giok li Lo Ci.
Suma Bing ter-mangu2 sekian lamanya baru maju memberi
hormat:
"Banyak terima kasih atas budi pertolongan Cianpwe yang besar!"
"Tidak perlu banyak peradatan, tentu tadi kau keheranan
mendengar suaranya tak kelihatan ujudnya bukan?"
"Ya, memang begitulah!" "Inilah ilmu Bu-siang-sin-hoat."
"Bu-siang-sin-hoat, Bu-siang-sin-hoat, tanpa ujud..."
berulangkali Suma Bing menggumam dan me-nyebut2 nama
Bu-siang-sin-hoat, agaknya dia menemukan apa2.
Giok-li Lo Ci adalah kekasih Sia-sin Kho Jiang semasa masih
muda, untuk cinta ini dia sudah menanti dibibir jurang selama
lima puluh tahun, wajahnya yang ayu molek dulu sekarang sudah
berkeriput dan rambut juga sudah ubanan.
Suma Bing sendiri juga tidak menduga setelah terjatuh kedalam
jurang, dirinya bisa ditolong olehnya, malah membantu dirinya
menembus jalan darah mati hidupnya, sehingga Lwekangnya maju
berlipat ganda, kini dirinya sudah berganti tulang beralih rupa.
"Nak, Bu-siang-sin-hoat adalah ilmu paling ampuh tiada keduanya
di jagad ini, ilmu ini dapat membuat tubuhmu menghilang dari
pandangan mata biasa, sejak tadi aku berada disampingmu, tapi
selama itu kau tidak melihat aku. Maka itu dinamakan 'Bu-siang'
(tanpa ujud), kau sudah paham?"
Suma Bing tengah berpikir, ia berpikir secara mendalam dan
menyeluruh, mendadak ia tersentak lantas bertanya: "Locianpwe,
konon di Bu-kong-san ini ada seorang Cianpwe aneh
yang menamakan diri Bu-siang-sin-li..."

Berobah wajah Giok-li Lo Ci, tanyanya: "Jadi tujuanmu kemari
adalah hendak mencari jejak Bu-siang-sin li?"
"Benar," sahut Suma Bing penuh haru, "Harap Cianpwe suka
memberi petunjuk..."
"Apa tujuanmu yang utama?" Sekilas Suma Bing berpikir cepat,
lalu sahutnya sungguh2: "Ingin memohon suatu benda."
"Benda apa?" "Bunga-iblis!" Giok-li Lo Ci melompat turun dari
ranjang batu, agaknya
diapun kaget dan heran: "Kau ingin minta Bunga-iblis?" Suma
Bing mengiakan. "Darimana kau bisa tahu kalau Bunga-iblis
berada ditangan
Bu-siang-sin-li?" "Diberitahu oleh Bibi Ong Fong-jui!" "Ong
Fong-jui itu orang macam apa?" "Wanpwe tidak begitu jelas!"
"Berapa usianya?" "Kurang lebih tigapuluh tahun!" "Aneh? Tidak
mungkin, tiada seorangpun yang tahu soal ini
dikalangan Kangouw" Tergerak hati Suma Bing, tanyanya:
"Apakah Lo-cianpwe adalah..." "Bukan. Bu-siang-sin-li adalah
guruku. Sudah setengah
abad yang lalu tidak muncul didunia persilatan, sepuluh tahun
yang lalu dia orang tua meninggal..."

Sungguh girang Suma Bing susah dilukiskan dengan kata2,
sungguh diluar tahunya bahwa Giok-li Lo Ci ternyata adalah murid
tunggal Bu-siang-sin-li. Karena mengalami bencana dirinya malah
mendapat berkah ditambah hubungan dengan gurunya semasa
muda, kejadian ini sungguh sangat kebetulan diluar kebetulan,
hanya entah...
Terdengar Giok-li Lo Ci bertanya lagi: "Untuk apa kau hendak
minta Bunga iblis?"
"Mendiang suhu..." setelah membuka mulut baru Suma Bing sadar
telah kelepasan omong, tapi sudah tidak mungkin ditarik kembali
lagi. Sebab pada pertemuan pertama dia pernah membohongi
Giok-li Lo Ci bahwa gurunya tengah melatih semacam ilmu dan
menutup diri. Tapi sekarang tanpa sengaja ia menyebut 'mendiang
guru'.
Berobah pucat wajah Giok-li Lo Ci, kedua matanya berkilat2
menakutkan, sekali raih ia cengkeram lengan Suma Bing serta
tanyanya:
"Apa katamu?" Suma Bing insaf bahwa tak mungkin ia dapat
mengelabui
lagi terpaksa ia menjawab penuh kesedihan: "Dia... dia orang tua
sudah meninggal!" "Apa, dia sudah mati? Mengapa tempo hari kau
mengatakan dia sedang bersemayam melatih ilmu?" "Wanpwe
tidak tega melihat Cianpwe mereras diri karena
putus asa." Giok-li Lo Ci melepas cengkeramannya ditangan Suma
Bing,
sambil mendongak dia tertawa ngakak ter-kekeh2, tawanya ini
seperti keluhan binatang yang terluka membuat pendengarnya
merinding seram. Air mata meleleh deras bagai butir2 mutiara
yang putus benang. Hakikatnya tawa itu adalah tangis, tawa yang
lebih sedih rawan dan duka nestapa dari tangis.

Suma Bing terhenyak mematung memandang wanita yang tak
beruntung ini, entah dia harus berkata apa lagi untuk menghibur
kedukaannya itu.
Bagi seseorang selama hidup ini mengejar satu harapan atau cita2,
tapi akhirnya harapan atau cita2 itu menjadi hampa seumpama
impian saja, betapa besar pukulan ini bagi sanubarinya, betapa
perih dan nestapanya dapatlah dibayangkan, rasanya tiada
omongan atau bujukan halus dapat menghibur hatinya yang terluka
itu, dan cara yang terbaik hanyalah melampiaskan dengan tangis
yang memilukan dan merawan hati.
Lama kelamaan berhenti juga suara tawa pilu itu dan berganti
sesunggukkan yang lirih:
"Mati! Hahahaha! Cinta selamanya membawa duka, impian indah
selalu membangunkan tidur, ternyata dia sudah mati!"
Teringat oleh Suma Bing betapa kasih sayang Sia-sin Kho Jiang
mengasuh dirinya sejak kecil, tanpa kuasa airmatanya juga ikut
meleleh turun, tapi akhirnya tertahan juga, bagi seorang gagah
airmata tidak gampang2 dialirkan!
Ruang batu itu sesaat menjadi sedemikian sunyi senyap diliputi
kabut kesedihan. Setengah jam kemudian baru suasana yang
mencekam sanubari ini mulai mereda. Dengan lemah dan lesu
Giok-li Lo Ci kembali duduk diatas ranjang batunya, se-olah2 dalam
sekejap itu usianya bertambah tua dan loyo, pukulan batin yang
berat ini, melampaui apa yang dapat diterima olehnya.
Dengan nada rendah berat Suma Bing berkata: "Cianpwe harap
kau mengekang diri."
Giok li Lo Ci pejamkan mata menenangkan gedjolak hatinya lalu
bertanya:
"Nak, teruskan ceritamu, cara bagaimana dia sampai meninggal?"

Beringas wajah Suma Bing, serunya sengit: "Duapuluh tahun yang
lalu dia orang tua kena dikorek sebuah matanya dan dikuntungi
kedua kakinya oleh musuh..."
"Siapa yang turun tangan?" "Suhu terjebak dalam suatu tipu
muslihat, biang keladinya
adalah suheng Loh Tju-gi si murid durhaka. Sebelumnya dia
meracuni mendiang suhu sehingga kehilangan sebagian besar
tenaga dalamnya. Dan secara kebetulan Bu-lim-sip-yu yang
kurang jelas mengetahui duduk perkara sebetulnya datang
menuntut balas..."
"Jadi Bu-lim-sip-yu ikut berkomplot dalam kejahatan itu?"
"Tidak, hakikatnya Bu-lim-sip-yu juga salah satu pihak yang
kena dikelabui dalam peristiwa itu, mereka juga terjebak dalam
adu domba Loh Tju-gi. Sekarang Bu lim sip yu hanya ketinggalan
Tiang-un Suseng seorang. Tapi Tiang-un Suseng sebaliknya
adalah kekasih suci."
"Lalu bagaimana dengan Loh Tju-gi itu?" "Limabelas tahun
yang lalu setelah menggondol gelar jago
nomor satu diseluruh jagat mendadak dia menghilang tidak keruan
paran. Kepandaiannya sekarang mungkin sudah lebih tinggi dari
mendiang suhu. Maka suhu berpesan kepada Wanpwe supaya
berdaya-upaya untuk memperoleh Pedang darah dan Bunga-iblis
supaya dapat melatih kepandaian tinggi tiada taranya untuk
mencuci nama baik perguruan."
"Sebab itulah maka kau harus memperoleh Bunga-iblis itu?"
Suma Bing mengiakan. Setelah merenung sekian lamanya lalu
Giok-li Lo Ci
berkata: "Apakah Pedang darah itu sudah menampakkan diri
dimayapada ini?"

"Enambelas tahun yang lalu" demikian tutur Suma Bing, "benda
bertuah itu diperoleh oleh mendiang ayah Suma Hong, selanjutnya
sudah berganti tangan berulangkali dan yang terakhir direbut oleh
Rasul penembus dada..."
"Rasul penembus dada? Mengenai urusan dunia persilatan aku
sudah lama terpisah dan tidak tahu menahu, orang macam apakah
si Rasul penembus dada itu?"
"Konon kabarnya beberapa bulan yang lalu muncul didunia
persilatan suatu perkumpulan rahasia yang menamakan diri
Jeng-siong-hwe (perkumpulan penembus dada). Rasul penembus
dada adalah duta dari perkumpulan itu, betapa tinggi
kepandaiannya itu memang sangat mengejutkan. Setiap kali
membunuh korbannya dia menggunakan sebilah cundrik
menembusi dada sang korban. Dalam jangka waktu yang pendek
ini, beberapa tokoh2 lihay dari aliran putih atau hitam tidak kurang
dari limapuluh orang kosen yang sudah tertembuskan dadanya oleh
senjatanya yang mengerikan itu"
"O." Giok-li Lo Ci manggut2 paham. "Harap tanya Cianpwe,
bolehkah kiranya Wanpwe minta
Bunga-iblis itu?" "Boleh, tapi ada syaratnya" Suma Bing
membatin: tak peduli syarat apa itu, aku pasti
harus setuju. Bahwasanya Bunga iblis adalah benda yang harus
didapatkan, satu pihak karena pesan suhunya, lain pihak juga
untuk melaksanakan cita2 ayahnya semasa masih hidup, maka
segera ia menyahut tegas: "Harap tanya syarat apakah itu?"
Sejenak Giok-li Lo Ci menatap wajah Suma Bing lalu katanya
per-lahan2: "Syarat ini adalah peninggalan dari mendiang guruku,
tak boleh dirobah lagi..."
"Harap tanya syarat pertama apa?"

"Syarat pertama, kalau kau ingin minta Bunga iblis kau harus
membawa Pedang darah kemari, apa syarat ini mampu kau
lakukan?"
Seketika Suma Bing melongo tanpa kuasa membuka mulut.
Pedang darah sudah terjatuh ditangan Rasul penembus dada
momok paling ditakuti oleh kaum persilatan. Kehebatan
kepandaian orang, seumpama berlatih sepuluh tahun lagi juga
belum tentu dirinya dapat menandinginya. Adalah Rasul penembus
dada juga menerima perintah orang lain lagi. Sudah tentu Pedang
darah pasti berada ditangan orang dibelakang layar itu.
Kepandaian seorang Rasul saja sudah cukup malang melintang
menyapu seluruh dunia persilatan maka tidak perlu disinggung
betapa hebat kepandaian orang dibelakang layar itu. Kalau dirinya
hendak merebut Pedang darah dari Jeng-siong-hwe bukankah
bagai memetik bulan dilangit?
Tapi Pedang darah adalah benda peninggalan ayahnya, ayahnya
mati lantaran benda bertuah itu. Sebab itu pula hingga mati hidup
ibunya belum diketahui. Sedang dirinya juga lolos dari renggutan
elmaut karena benda keramat itu juga, tidak perlukah direbut
kembali?
"Apa kau ada kesukaran?" desak Giok-li Lo Ci dingin. "Ya"
"Kesukaran apa?" "Pedang darah terjatuh ditangan Rasul
penembus dada
tidak mudah untuk merebutnya kembali!" "Pesan itu adalah
peninggalan suhu yang tidak boleh
diganggu gugat, dan lagi Pedang darah dan Bunga-iblis adalah dua
benda keramat yang harus disatu padukan, hanya memperoleh
salah sebuah saja berarti barang rongsokan yang tak berguna."
"Ini wanpwe paham!"

"Walaupun aku ada niat membantu kau, tapi aku tidak bisa
melanggar peraturan perguruan."
Suma Bing merenung agak lama, lalu berkata tegas: "Wanpwe
tidak hiraukan akan mati atau hidup, aku
bersumpah akan merebut kembali Pedang darah itu" "Baik sekali,
kutunggu kedatanganmu!" "Harap bertanya syarat yang kedua
itu." "Itu harus menunggu setelah kau menyelesaikan syarat
pertama baru bisa kuberitahukan. Dingin perasaan Suma Bing, tapi
apa boleh buat, ia
menghela napas panjang2, katanya: "Baiklah, kalau begitu
wanpwe minta diri?"
"Permisi? Kau tidak bisa keluar!" "Tidak bisa keluar? Mengapa?"
"Kau tahu tempat apa ini?" "Tempat apa?" "Lembah kematian,
salah satu tempat kramat bagi kaum
persilatan." Betapa kejut Suma Bing susah dilukiskan dengan
kata2,
serunya lesu: "Lembah kematian?" "Benar, keempat penjuru
merupakan dinding licin yang
curam tiada jalan keluar atau masuk." "Lalu bagaimana Cianpwe
keluar masuk..." "Terbang merambat dinding." Suma Bing tertawa
ringan, ujarnya: "Kalau Cianpwe bisa keluar masuk, wanpwe juga
akan
mencoba sekuat tenaga."

"Kemampuanmu masih terpaut jauh kau takkan berhasil. Kalau
sudah dinamakan lembah kematian salah satu dari tiga tempat
keramat, kalau semua orang dapat semudah itu keluar masuk,
maka lembah kematian dua kata ini boleh dihapus."
"Harap suka memberi penjelasan!" "Meski dinamakan lembah
tapi empat penjuru sekelilingnya
terkepung oleh dinding batu yang tinggi dan lempang menyerupai
sebuah sumur besar, mulutnya besar dasarnya sempit, sedemikian
licin dinding batu itu laksana dipapas golok, seratus tombak
tingginya baru ada batu menonjol untuk berpijak, coba apa kau
mampu sekali loncat dapat mencapai setinggi ratusan tombak
tanpa berpijak benda apa?"
Diam2 Suma Bing melelet lidah, sahutnya: "Hal itu wanpwe
mengakui takkan mampu berbuat begitu" "Maka kukatakan
kau tidak mungkin bisa keluar!" "Lalu wanpwe..." "Kau harus
bersabar setelah satu bulan kemudian baru kau
dapat keluar dengan mudah secara selamat. Menurut apa yang
aku tahu, kau terhitung orang pertama yang dapat keluar dari
Lembah kematian ini dengan masih hidup. Dulu belum pernah
ada, kelak juga mungkin tidak akan ada!"
"Satu bulan, kenapakah?" tanya Suma Bing tidak mengerti.
"Akan kuturunkan dua jenis gerak tubuh kepadamu, setelah
kau berlatih sempurna kau boleh keluar dari sini!" "Ini..." "Suma
Bing," ujar Giok-li Lo Ci menyeringai dingin, "kalau
bukan karena hubunganku dengan Sia-sin Khong Jiang, aku tidak
akan turunkan ilmu rahasia perguruanku kepada kau. Itu berarti
kau juga tidak bakal hidup sampai sekarang, jangan harap lagi
kau dapat keluar dari sini dengan masih hidup"

"Bukan begitu maksud wanpwe. Hanya aku tidak sudi terima budi
orang lain secara gratis"
"Hm, bagus bertulang ksatria, tapi semua pengalamanmu yang
membawa berkah bagi kau ini anggap saja sebagai wahyu dari
suhumu, tadi aku pernah berkata kalau kau bukan murid Sia-sin
Kho Jiang, malah memikul tugas suci yang dibebankan kepada
dirimu, seratus Suma Bing juga harus dikubur didasar lembah ini!"
Ini memang kenyataan dan bukan ancaman atau omong kosong
melulu. Sudah tentu Suma Bing sendiri juga maklum akan hal ini.
Terlintas akan pesan suhunya lantas terpikir juga Bunga- iblis harus
dicapainya. Teringat pula orang telah menyembuhkan lukanya,
malah menolong jiwanya lagi dan menembuskan jalan darah mati
hidupnya, budi sedemikian besar ini, kalau dirinya tidak mau terima
kebaikan orang yang hendak menurunkan ilmu, bukankah terlalu
tidak mengenal budi malah.
Karena pikirannya ini, terunjuk rasa haru dan syukur, katanya:
"Budi Cianpwe yang besar ini, selama hidup ini mungkin tidak
mungkin aku dapat melunasi"
"Ah, omong kosong. Dari sekarang juga, kuturunkan dua gerak
tubuh dari Bu siang sin hoat yang dinamakan Sin-sek dan San-sek
(gerak naik dan gerik kelit). Gerak naik dapat membuat kau
melambung tinggi ratusan tombak tanpa meminjam tenaga luar,
sedang gerak kelit adalah suatu gerakan lihay sedemikian cepat
sampai dapat mengelabui pandangan musuh. Kalau kedua ilmu ini
sudah sempurna kau latih, tidak peduli betapa lihay dan tinggi
kepandaian lawanmu itu, dengan mudah kau dapat selamatkan
diri. Jalan darah mati hidupmu sudah tembus, lebih gampang lagi
mempelajari

kedua ilmu itu. Mengandal bakatmu, waktu satu bulan sudah
cukup berkelebihan."
Entah karena girang atau terharu tubuh Suma Bing sampai
gemetaran. Pengalaman yang ajaib ini seolah2 dirasakan dalam
mimpi.
Waktu menempuh perjalanan menuju ke Bu-kong-san ini,
harapannya tidak sedemikian besar. Sungguh tak sangka kiranya
bahwa keinginannya bisa terkabul, dari mengalami bencana malah
mendapat rejeki sebesar ini. Bukan saja Bunga-iblis sudah pasti
dapat diketemukan malah memperoleh dua ilmu yang tiada
taranya lagi, hal ini benar2 diluar dugaan sebelumnja.
Oleh karena itu terpaksa Suma Bing harus tinggal dalam gua
didasar lembah kematian itu selama satu bulan untuk mempelajari
dua jenis ilmu dari Bu-siang-sin-hoat.
Sang waktu berjalan sangat cepat, satu bulan dengan cepat sudah
berlalu. Dalam waktu yang pendek itu Suma Bing sudah sempurna
mempelajari gerak naik dan gerak kelit serta intisarinya.
Pada hari ketigapuluh Giok-li Lo Ci bicara sungguh2 kepada Suma
Bing:
"Nak, kudoakan tugasmu dapat kau laksanakan secara lancar,
cepat21ah kau merebut balik Pedang darah itu, untuk dipadukan
dengan Bunga-iblis, supaya dapat memperoleh ilmu digdaya yang
merajai segala ilmu silat, maka terkabullah cita2 para almarhum
yang telah mendahului kita. Sekarang kau boleh segera
berangkat!"
"Banyak terima kasih atas budi Cianpwe yang besar dan tak
ternilai ini"
"Tidak perlu sungkan2, kuturunkan ilmu perguruanku karena kau
memikul tugas perguruan, anggaplah sebagai maksud baikku
kepadanya (Sia-sin Kho Jiang). Tentang

Bunga-iblis itu, menurut pesan mendiang Suhu siapapun orang itu
yang dapat memasuki lembah kematian ini dan bermaksud hendak
minta Bunga-iblis itu, setelah dapat memenuhi syarat2 yang
ditentukan, dengan mudah dapat memperolehnya, Maka kaupun
tidak perlu banyak kuatir."
"Meskipun begitu ketentuannya, hal itu tidak akan merobah
pendirian wanpwe akan budi Cianpwe yang besar ini!"
"Marilah, biar kuantar kau keluar lembah!" Keluar dari dalam
gua, tampak keadaan dalam lembah
masih sedemikian pekat akan kabut yang tebal ber-gulung2, bagi
orang yang Lwekangnya, agak rendah pasti tidak dapat melihat
tegas dan membedakan apa yang dipandang didepannya.
Tidak lama kemudian tibalah mereka, dibawah sebuah dinding
tinggi yang sebelah atasnya agak sedikit menjorok kedepan.
Segera Giok-li Lo Ci menunjuk dan berkata:
"Terpaut lima tombak dari kaki dinding, gunakanlah gerak naik
dari Bu siang sin hoat, kau harus berputar melambung tinggi,
kira2 mencapai ketinggian seratus tombak kemudian ada sebuah
batu menonjol keluar, batu itu dapat kau gunakan untuk injakan
dan seterusnya, terpaut delapan atau sepuluh tombak pasti ada
batu2 dapat kau gunakan untuk berloncatan. Pergilah, tapi ingat,
kalau kau datang kembali, kau harus menggunakan jalan ini lagi,
kalau tidak kau takkan mampu masuk kedalam lembah. Dan
masih ada satu soal lagi yang paling penting, keadaan dalam
Lembah kematian ini jangan se-kali2 kau uarkan dikalangan
Kangouw. Awas jangan lupa!"
Setelah memberi hormat, tubuh Suma Bing segera melejit tinggi
beberapa tombak, sambil mengempos semangat dan
mengerahkan tenaga seketika ia rasakan badannya sangat enteng
bagai kapuk se-akan2 badannya melayang tanpa menggunakan
tenaga. Sekali tumitnya menutul dibatu dinding, tubuhnya terus
meluncur lagi lebih cepat menjulang keatas,
Tiraik
asih
Websi
te
http://
kangz
usi.co
m/
lompatan kali ini tidak kurang dari tigapuluh tombak tingginya dan
menurut teori pelajarannya, dia berganti napas dan berobah gaya
ditengah udara tubuhnya melengkung membuat setengah
lingkaran, dalam sekejap mata kemudian, dia sudah berputar naik
sekitar ratusan tombak.
Benar juga dilihatnya sebuah batu menonjol keluar, batu ini tidak
lebih dari tiga kaki luasnya, disini ia berhenti sebentar mengganti
napas terus terbang naik lagi tak lama kemudian kakinya sudah
menginjak puncak jurang. Ia masih ingat tempat itu adalah
dimana untuk pertama kali ia berjumpa dengan Giok-li Lo Ci.
Sudah dua bulan sejak dia datang, dan dalam jangka yang pendek
ini se-olah2 Suma Bing sudah berganti tulang dan bersalin rupa.
Bukan saja jalan darah mati hidup sudah tembus malah
memperoleh pelajaran Bu-siang-sin-hoat yang sangat ampuh lagi.
-oo0dw0oo-
Jilid
7
25. RASUL PENEMBUS DADA DIGEBAH LARI OLEH
KEHEBATAN ILMU SUMA BING.
Disini ia berdiri sebentar merenungkan apa2, terus
mengembangkan ilmu ringan tubuhnya berlarian cepat keluar
pegunungan. Selama dalam perjalanan, dia berpikir dan menimang
langkah2 selanjutnya yang harus dilakukan;
Pertama, sudah tentu harus mencari tahu dimana alamat dari
perkumpulan Jeng siong hwe untuk minta kembali Pedang darah.

Kedua mencari ibunya, entah sudah mati atau masih hidup. Sejak
kematian Iblis timur maka putuslah sumber penyelidikannya untuk
menuntut balas, kalau ibunya belum ketemu, maka dendam
kesumat ini akan selamanya tenggelam ditelan masa, selain ada
kejadian diluar dugaan, hakikatnya tak mungkin dia dapat
menyelesaikan semua urusan ini secara sempurna.
Dan yang ketiga adalah menyirapi dimana sekarang Loh Cu gi
berada.
Dengan kehebatan ilmu ringan tubuhnya, tak lama kemudian dia
sudah menginjak jalan raya dan menempuh perjalanannya yang
tiada tujuan yang tertentu.
banyak urusan yang harus dikerjakan, namun setiap pekerjaan itu
sangat sukar dan rumit, entah dari mana ia harus mulai turun
tangan.
Hari itu tengah ia melakukan perjalanan, tiba2 dilihatnya didepan
jalan sana terpaut puluhan tombak tengah berlari kencang dua
bayangan orang yang sangat dikenal, tergeraklah hatinya. begitu
mengembangkan gerak kelit dari pelajaran Bu siang Sin hoat,
sedemikian hebat dan menakjupkan gerakan itu tahu2 dia malah
sudah melampaui didepan kedua orang itu, terus membalik tubuh
menghadang ditengah jalan.
Keruan kedua orang itu berseru kaget dan lekas2 menghentikan
langkahnya, waktu ditegasi kiranya kedua orang itu bukan lain
adalah Siang Siau hun dan Tou sing to gwat Si Ban cwan si maling
bintang.
Bahwa Siang Siau hun bisa berjalan bersama Si maling bintang Si
Ban cwan, hal ini benar2 mengejutkan dan mengherankan Suma
Bing.
Setelah melihat jelas orang yang menghadang mereka ditengah
jalan itu ternyata adalah Suma Bing, seketika Siang Siau hun dan
Si Ban cwan terhenyak melongo terbelalak...

Segera Suma Bing memberi hormat kepada Si maling tua lalu
dengan riang gembira berseru menyapa: "Adik Hun!"
Wajah Siang Siau hun kelihatan agak kurus pucat, air mukanya
tengah ber-kerut2, tubuhnyapun ikut gemetar, matanya, yang
bundar jeli dan bening dengan nanap mengawasi wajah Suma
Bing, per-lahan2 airmata meleleh keluar dengan derasnya.
Keadaan ini membuatnya melengak dan tak habis herannya.
"Apakah ini bukan mimpi?" akhirnya tercetus juga ucapan Siang
Siau hun.
Lebih besar lagi rasa heran dan kejut Suma Bing, tanyanya tak
mengerti: "Adik Hun, apakah yang telah terjadi?"
"Buyung," si maling bintang akhirnya ikut bicara, suaranya
gemetar: "Apa kau belum mati?"
"Mati? Mengapa aku harus mati, apakah maksudnya ini?."
"Bukankah kau sudah terjungkal masuk Lembah kematian
oleh keroyokan dua diantara Si tiau khek?" Baru sekarang Suma
Bing sadar dan paham, sahutnya:
"Memang begitu kejadiannya, dari mana Cianpwe bisa mendapat
tahu?"
"Aku si maling tua bersama nona Siang mengejar jejakmu ke Bu
kong san, dibibir jurang lembah kematian bersua, dengan Racun
diracun, dari mulutnyalah kita ketahui bahwa kau sudah jatuh
masuk jurang. Waktu itu nona Siang hampir tidak ingin hidup
lagi..."
Suma Bing berpaling kearah Siang Siau hun, suaranya ringan
halus: "Adik Hun!"
Siang Siau hun mengeluh panjang terus menubruk kedalam
pelukan Suma Bing, katanya sesenggukkan: "Engkoh Bing,

peluklah aku erat2, biar kurasakan kehadiranmu ini, katakanlah
bahwa ini bukan impian!"
Serta merta Suma Bing lantas memeluknya dengan kencang,
kedua tangannya melingkar dipinggangnya katanya penuh haru:
"Adik Hun, tenanglah!"
Pertemuan dalam keadaan kurang wajar ini membuat Siang Siau
hun lupa diri tanpa hiraukan lagi kehadiran si maling bintang dia
terus menubruk kedalam pelukan Suma Bing. Mendengar ucapan
Suma Bing itu, seketika merah jengah selebar mukanya. ter-sipu2
ia dorong Suma Bing terus mundur tiga langkah.
Suma Bing sendiri juga kikuk dan malu2. Si maling bintang Si Ban
cwan batuk2 lalu berkata: "Cobalah kau tuturkan pengalamanmu
untuk kita dengar!"
"Waktu Wanpwe terjungkal jatuh kedalam jurang oleh pukulan
gabungan Heng si khek dan Hui bing khek, untung tiga puluh
tombak dibawah sana ada sebuah batu besar yang menonjol
keluar, maka selamatlah jiwaku." Terpaksa Suma Bing berbohong
karena ingat pesan Giok Li Lo Ci yang melarangnya membeber
rahasia keadaan Lembah kematian itu kepada orang luar.
"0, memang kalau orang baik pasti mendapat rahmat Tuhan!" puji
si maling bintang lalu katanya kepada Siang Siau hun: "Bagaimana
nona baik, aku pernah berkata bocah ini berumur panjang bukan.
Kalau waktu itu kau benar2 menerjunkan diri masuk jurang,
bukankah kau mati konyol dan penasaran!"
Tanpa merasa Siang Siau hun tertawa geli. wajahnya yang semula
penuh dirundung kesedihan kini berubah cerah dan berseri.
Mendadak si maling bintang bertanya: "Buyung, sebenarnya ada
hubungan apakah antara kau dengan Racun diracun"

"Hubungan, ada apakah?" "Kedatangan Racun diracun dibibir
jurang itu agaknya
hendak menolong kau, tapi dia terlambat setindak. Waktu nona
goblok ini menuntut balas kepadanya dia mandah saja, dihantam
tanpa memberi perlawanan sehingga muntah darah. Maka karena
menyentuh tubuhnya maka tangan nona gendeng ini keracunan
hebat, tanpa, diminta dia malah keluarkan obat pemunahnya terus
tinggal pergi..."
"Ada kejadian demikian?" "Masa aku si maling tua pernah
berbohong?" "Urusan ini sangat ganjil dan susah dijelaskan,
wanpwe
juga tidak mengerti" "Dan lagi dalam jangka sebulan lebih ini,
anak buah Bwe
hwa hwe yang mati dibawah racun tanpa bayangan tak terhitung
banyaknya. Peristiwa ini menimbulkan gelombang kegusaran dan
heboh yang susah dibendung. Menurut kabarnya pihak Bwe hwa
hwe sudah mengutus gembong2 silat kelas tinggi untuk menuntut
balas kepadanya..."
"Teka-teki yang sukar dipecahkan! Akan tetapi, wanpwe sudah
pasti akan memecahkan teka-teki ini!"
Sebuah lengking tawa yang aneh dan menggiriskan mendadak
terdengar dari kejauhan.
Suma Bing berseru kaget: "Suara tawa Racun diracun, biar
kupergi melihat!" — secepat kilat tubuhnya melenting tinggi terus
berkelebat kearah datangnya suara, dalam sekejap saja
bayangannya sudah menghilang.
Si maling bintang melelet lidah, serunya kagum: "Gerakan apakah
itu. kecepatannya benar2 susah dibayangkan. Apa mungkin dia
ketiban rejeki apa?"
Siang Siau hun juga tidak kalah heran dan kagetnya: "Lo cianpwe,
mari kita ikut melihat kesana?"

"Baik, mari!" tua dan muda ini segera berlarian kencang menuju
kearah yang sama...
Dalam pada itu, Suma Bing kembangkan ilmu dari Bu siang sin hoat
yang belum lama ini dipelajarinya, terus meloncat dengan
kecepatan penuh kearah datangnya suara, kecepatannya ini
se-olah2 meteor terbang, dalam jangka yang pendek tiga li sudah
dicapainya tiba. Didalam sebuah hutan kecil didepan sana terlihat
dua bayangan hitam putih tengah berhadapan dengan bersitegang
leher.
Si hitam itu bukan lain adalah Racun diracun, sedang yang putih
tak lain adalah Rasul penembus dada.
Bu siang sin hoat benar2 menakjubkan, Suma Bing sudah
mendesak maju sejauh tiga tombak masih belum ketahuan oleh
kedua tokoh lihay itu.
Terdengar Rasul penembus dada tengah mendesis: "Racun
diracun, kau keluarkan suara iblismu apakah kau hendak
mengundang bala bantuan?"
Suara Racun diracun tidak kalah dingin dan kaku: "Kau tidak perlu
tahu!"
"Manusia beracun, sungguh besar nyalimu, berani kau
menggunakan Pedang darah palsu untuk mengelabui Pun si cu
(aku si Rasul)?"
"Hm, Pedang darah itu adakah kau sendiri yang minta dengan
paksa, toh aku tidak memberi pertanggungan jawab akan tulen
atau palsu bukan!"
Tergerak hati Suma Bing yang sembunyi dibelakang pohon,
sungguh diluar sangkanya bahwa Pedang darah yang direbut
Rasul penembus dada dari Racun diracun tempo hari itu ternyata
adalah palsu!
Rasul penembus dada mengancam penuh kekejaman: "Kupandang
muka pemilik benda yang kau tunjukkan tempo

hari, kalau kau mau serahkan Pedang darah itu, aku tidak menarik
panjang urusan ini."
"Kalau aku menolak?" jengek Racun diracun. "Kematian bagi
kau!" "Belum tentu!" "Apa benar kau tidak mau serahkan
pedang itu?" "Pedang bertuah itu kuperoleh dari tangan Iblis
timur,
tentang tulen atau palsu, lebih baik kau minta pertanggung jawab
Iblis timur saja?"
"Iblis timur sudah mati kutembusi dadanya!" "Kalau begitu,
maaf aku tidak ikut campur dalam urusan itu
lagi." "Kau manusia beracun agaknya sebelum melihat peti mati
kau takkan menangis?" "Sembarang waktu aku bersiap untuk
gugur bersama kau." Mendadak Rasul penembus dada
perdengarkan suara tawa
yang menyedot semangat orang, serunya: "Kau sedang bermimpi,
ketahuilah betapapun berbisanya kau Racun diracun, dapat
mengapakan aku?"
Tergetar perasaan Racun diracun, batinnya, apa kedatangannya ini
sudah siap sedia?
Sementara itu, Suma Bing juga gugup dan bimbang Kalau Pedang
darah itu benar2 sebilah pedang palsu, berarti semua rencananya
akan gagal total. Iblis timur sudah mati, maka Pedang darah yang
tulen akan terpendam selamanya. Karena pikirannya ini tanpa
dapat mengendalikan perasaannya lagi, ia berkelebat keluar
Racun diracun berseru kaget, berulang ia mundur beberapa
langkah, tanyanya: "Suma Bing, kau belum mati?"

Suma Bing manggut2, "Ya. aku masih hidup!" Agaknya Rasul
penembus dada juga terperanjat.
mengandal kemampuannya ternyata masih tidak mengetahui
kedatangan orang, setelah orang muncul baru dirasakan. Dalam
ingatannya, anak muda ini tidak berkepandaian sedemikian tinggi...
Suma Bing bertanya kepada Racun diracun penuh perhatian:
"Pedang darah milik tuan itu apa benar adalah yang palsu?"
Sejenak Racun diracun ragu2, matanya menatap kearah Rasul
penembus dada lalu berkata: "Dalam hal ini boleh kau bertanya
kepada saudara ini!"
Terdengar lambaian baju berdesir terbawa angin. Siang Siau hun
bersama si maling bintang memasuki gelanggang! Begitu melihat
tokoh2 dihadapan mereka seketika berobah kaget wajah mereka.
Tentang Racun diracun tidak perlu dipersoalkan lagi. adalah Rasul
penembus dada adalah gembong misterius yang paling ditakuti
didunia persilatan. Entah bagaimana Suma Bing bisa ikut terlibat
dalam pertikaian kedua orang kosen ini.
Rasul penembus dada berpaling kearah Siang Siau hun dan si
maling bintang sambil membentak: "Enyah dari sini!" — suaranya
dingin menggiriskan pendengarnya.
Tanpa terasa Siang Siau hun dan si maling bintang tergetar dan
mundur beberapa langkah.
Suma Bing maju dua langkah suaranya berat berkata kepada
Rasul penembus dada: "Dengan bukti apa tuan berani pastikan
kalau Pedang darah itu adalah palsu?"
Kedua mata Rasul penembus dada bercahaya menatap kearah
Suma Bing, ujarnya: "Suma Bing, kau ini seumpama kutu terbang
menyambar pelita, mengantarkan kematianmu sendiri!" — sambil
berkata pergelangan tangan dibalikkan,

entah bagaimana tahu2 tangannya sudah menggenggam sebilah
cundrik yang berkilapan, lalu sambungnya lagi: "Kau harus mati
dibawah cundrik ini!"
Bergolak amarah Suma Bing, saking gusar dia malah tertawa
besar: "Tuan silahkan kau turun tangan!"
"Engkoh Bing!" teriak Siang Siau hun sambil menubruk masuk
gelanggang.
"Kembali!" bentak Rasul penembus dada, begitu sebelah tangan
dikebutkan. kontan Siang Siau hun berpekik kesakitan, tubuhnya
terpental balik seperti layang2 yang putus benangnya.
Ter-sipu2 si maling bintang bergerak maju menyambut.
Sedang Suma Bing membentak sengit terus menghantam
sekuatnya kearah Rasul penembus dada. Rasul penembus dada
ganda mendengus ejek, sebelah tangannya bergerak melingkar
terus ditarik balik, gerak gerik yang aneh ini bukan saja dengan
mudah telah punahkan kekuatan pukulan Suma Bing, malah Suma
Bing juga rasakan suatu daya tolak yang sangat kuat menyerang
tubuhnya hingga terdorong mundur tiga langkah.
Dengan berlipat ganda kekuatan Suma Bing ternyata masih belum
kuat menahan kebut sebelah tangan lawan, hal ini betul2 sangat
mengejutkan.
Agaknya Racun diracun juga tidak mau tinggal diam melejit maju
ditengah ia mengancam: "Terpaksa aku harus turun tangan!"
"Manusia beracun jangan ter-gesa2," bentak Rasul penembus dada
dingin, "Biar kubereskan yang ini dulu!" — membarengi ucapannya
Rasul penembus dada mendorong sebuah tangannya kearah Racun
diracun. Kekuatan dan kecepatan dorongannya ini boleh dikata
secepat kilat, betapa hebat tenaganya benar2 menggetarkan
semangat orang.

Sampai2 Racun diracun yang berkepandaian sedemikian tinggi juga
tidak sempat lagi untuk balas menyerang atau menyingkir. 'Blang'
Racun diracun sempoyongan setombak lebih hampir roboh,
mulutnya berpekik tertahan.
Rasul penembus dada mengayunkan cundriknya serta
mengancam: "Suma Bing, serahkan jiwamu."
Dimana cahaya kilat berkelebat, runcing cundrik itu sudah melesat
keluar, cara tusukan ini bukan saja cepat bagai kilat juga aneh,
sehingga orang yang diserang tiada kesempatan untuk berkelit
atau bersiap siaga...
Ramailah teriakan dan seruan kaget, Racun diracun. si maling
bintang dan Siang Siau hun tanpa berjanji berbareng terbang
memburu sambil lancarkan sebuah pukulan.
Hakikatnya bagaimanapun juga tiga orang ini tidak akan mampu
merintangi kecepatan Rasul penembus dada. Diterpa badai
pukulan yang ber-gulung2 dari gabungan tiga orang Rasul
penembus dada mandah saja punggungnya diserang, tubuhnya
bergoyang gontai tanpa tergeser sedikitpun.
Serasa pandangannya kabur, tahu2 Suma Bing yang berada
dihadapannya sudah menghilang, matanya ber-kilat2 menyapu
kesekelilingnya, tampak Suma Bing tengah berdiri tenang
dibelakang Rasul penembus dada. Keruan kejadian ini membuat
ketiga orang itu melongo terkejut.
Kepandaian Rasul penembus dada memang bukan olah hebat,
begitu cundriknya mengenai tempat kosong dan kehilangan
bayangan musuhnya, sebat sekali tubuhnya terus menggeser
kedudukan delapan kaki baru membalik tubuh. Sekarang dia
berhadapan lagi dengan Suma Bing.
"Suma Bing, cundrik penembus dada ini selamanya belum pernah
dilancarkan main2 yang dapat terhindar dari tusukannya terhitung
kau satu2nya ! Tapi..."
"Bagaimana"

"Keajaiban hanya muncul satu kali!" "Kenapa tidak kau coba2
lagi?" ejek Suma Bing. Rasul penembus dada menggeram
gusar, ujung cundriknya
lagi2 meluncur cepat sekali, dibarengi tangan kiri juga melancarkan
sebuah tamparan. Serangan cundrik dan tamparan itu dilancarkan
berbareng. Rasanya tokoh2 silat jaman itu takkan ada seorangpun
yang mampu bertahan, seumpama ada juga dapat dihitung dengan
jari.
Tapi sungguh ajaib, begitu Rasul penembus dada turun tangan,
bayangan musuhnya lagi2 menghilang tak keruan parasnya, malah
bertepatan dengan itu kontan ia merasa badai angin pukulan
sudah menerjang tiba dari belakangnya. Keruan bercekat hati
Rasul penembus dada, secepat kilat ia melesat sejauh dua
tombak, begitu ia memutar tubuh... eh heran bin ajaib, lagi2
gulungan angin pukulan menerpa tiba dari belakang.
Tiga orang yang menonton dipinggiran hanya melihat bayangan
Suma Bing berkelebatan, kadang2 muncul tiba2 lenyap lagi bagai
bayangan setan yang selalu membuntuti tubuh musuhnya. Gerak
tubuh semacam ini, jangan dikata melihat, mendengarpun belum
pernah.
Ber-ulang2 Rasul penembus dada berkelebatan berusaha
menghindari bayangan lawan, namun sia2 belaka, achirnya karena
kewalahan ia berhenti dan berdiri tenang, kedua tangannya dengan
gerak2 aneh membuat lingkaran2 disamping belakangnya...
Dar... dentuman yang menggelegar menggetarkan bumi, badai
angin segera mengembang keempat penjuru.
Gerak tubuh Suma Bing seketika berhenti juga. Meski gerak
tubuhnya sangat aneh dan menakjupkan, tapi karena tenaga
dalamnya terpaut terlalu jauh dibanding lawan, cukup untuk
membela diri tapi tak bakal kuat untuk menyerang musuh.

Kedua lengan Rasul penembus dada tergetar dan bergerak cepat
saling berlawanan beruntun membuat beberapa lingkar... maka
kekuatan tenaganya ini menimbulkan angin puyuh yang bergulung
saling berlawanan juga, lima tombak sekelilingnya batu pasir
beterbangan. Si maling bintang bertiga juga terdesak mundur
ber-ulang2.
Adalah Suma Bing malah seenaknya berdiri diluar lingkungan
putaran angin puyuh itu tanpa bergerak tanpa reaksi sedikitpun.
"Bu siang sin hoat!" tiba2 Rasul penembus dada berseru kejut.
Ketiga orang yang hadir juga tidak kepalang kejut dan tergetar
perasaan mereka.
Menurut kabarnya Bu siang sin hoat adalah pelajaran tunggal dari
Bu siang sin li yang sangat rahasia. Semua tokoh2 silat kosen
jaman ini mungkin sudah tiada seorang pun yang pernah melihat.
Bahwa hari ini bisa dipertunjukan oleh Suma Bing, benar2
membuat orang sukar mengerti.
Sebaliknya Suma Bing sendiri juga diam2 merasa terkejut bahwa
lawan bisa mengenal asal usul ilmu silatnya itu, ini benar2 sangat
aneh dan ganjil.
Sejenak Rasul penembus dada mematung seperti kehilangan sukma
lantas tanpa membuka suara lagi mendadak melejit tinggi terus
menghilang.
Gembong silat yang paling ditakuti ini bisa mendadak pergi, malah
membuat semua orang yang tinggal hadir melengah heran dan
bertanya2!
Karena gentar akan nama Bu siang sin li ataukah mempunyai
perhitungan lain, ini tidak dapat diketahui.
Ingatan Suma Bing selalu dibayangi oleh Pedang darah, sebab ini
sangat penting demi sukses atau gagal cita2nya untuk menuntut
balas. Maka segera ia menandaskan kepada

Racun diracun: "Pedang darah yang diperoleh Rasul penembus
dada dari tuan itu sebenarnya tulen atau palsu?"
Dingin sikap Racun diracun, "Buat apa kau tanyakan hal itu?"
"Apa tuan sudah lupa akan janji kita itu?" "Tidak!" "Lalu
bagaimana tuan hendak menepati..." "Dalam hal ini kau tidak
perlu kuatir, aku juga perlu tahu
tugasmu yang harus kau laksanakan itu apakah sudah selesai kau
lakukan?"
Si maling bintang dan Siang Siau hun bergantian memandang sini
memandang sana, hati mereka bertanya2 entah perjanjian apa
yang telah mereka ikrarkan.
Tapi waktu sorot pandangan Siang Siau hun menatap kearah
Racun diracun, sinar itu mengandung kebencian yang me-nyala2.
Mendengar pertanyaan itu, bergejolak perasaan Suma Bing
suaranya gemetar: "Aku sudah menyelesaikannya!"
"Jadi kau sudah memperoleh Bunga iblis itu?" "Bunga iblis sih
belum kudapat, tapi pemiliknya sudah
berjanji begitu aku memperoleh Pedang darah, segera dia
memberikan Bunga iblis itu."
"Siapakah orang itu?" "Maaf, siapa dia aku tidak bisa
menerangkan." "Suma Bing, dapatkah aku mempercayai
ucapanmu?" "Itu berarti tuan benar2 masih menyimpan
Pedang darah
yang tulen itu?"
"Sudah tentu!"

Suma Bing berpikir keras, lalu katanya: "Tuan hendak
menyerahkan Pedang darah itu menurut perjanjian kita atau..."
"Atau bagaimana?" "Kalau tuan dapat menyerahkan secara
perjanjian kita dulu,
aku rela menukarnya dengan segala syarat, kalau bukan, demi
memperoleh Pedang darah itu, aku tidak akan kenal kasihan..."
Racun diracun bicara dengan tenang: "Aku sudah pernah berkata
kuserahkan tanpa syarat, masa kujilat lagi ludahku, tapi..."
"Tapi apa?" "Saat ini tidak kubawa!" "Lalu kapan aku bisa
menerima?" "Kelak kalau kita bertemu lagi!" "Kapan kita
bertemu lagi?" "Sekarang sukar ditentukan, pendek kata tidak
akan terlalu
lama." Melihat sorot mata Siang Siau hun yang penuh dendam
kebencian itu, tergerak hati Suma Bing, lantas katanya kepada
Racun diracun lagi: "Setengah tahun yang lalu, tuan pernah
menggunakan Racun tanpa bayangan membunuh Siang Siau moay
dan kekasihnya, aku sudah pernah berkata supaya perhitungan itu
diselesaikan sendiri oleh nona Siang, tapi sekarang niatku itu telah
kurobah..."
"Niat apakah itu?" "Sudah pasti Nona Siang bukan
tandinganmu, maka aku
bersiap untuk mewakili dia..."
"Sekarang juga?"

"Bukan, kelak. Tapi perlu ditandaskan, Jikalau tuan tidak dapat
menyerahkan Pedang darah itu, kuharap secara terus terang tuan
katakan sekarang juga, pasti aku tidak akan memaksa."
Racun diracun mengekeh tawa: "Suma Bing, itu dua persoalan
jangan kau campur adukkan dalam satu penyelesaian. Dengan
senang hati kusambut pernyataanmu ini, Sembarang waktu aku
siap terima pengajaran di kalangan Kangouw, bolehlah legakan
hatimu?"
"Tuan sikapmu ini sungguh menggembirakan, tentang piutang kita
berdua kelak pasti aku akan memberikan pertanggungan
jawabku."
"Ah, rasanya tidak perlu, antara kita berdua tiada utang piutang
apa!"
"Sreng!" Siang Siau hun mencabut pedang sambil maju beberapa
langkah, bentaknya beringas: "Iblis laknat, sekarang tiba giliran
nonamu menuntut keadilan kepadamu."
"Nona Siang, peristiwa dulu hari itu adalah salah paham..."
"Hm, salah paham, dua jiwa manusia lantas dapat
dipertanggung jawabkan dengan kata2 salah paham itu!" "Sukar
aku menjelaskan, tapi aku minta keringanan
kuharap nona Siang dapat melulusi supaya penuntutan balas sakit
hati ini bisa diperpanjang satu tahun!"
"Tidak bisa." Alis putih si maling bintang berkerut, selanya:
"Nona baik
lulusilah!" "Mengapa?" Agaknya Suma Bing juga ingat sesuatu,
tercetus dari
mulutnya: "Adik Hun, cepat atau lambat hanya satu tahun
lulusilah!"

Siang Siau hun menatap Suma Bing dalam2 penuh arti akhirnya
pedang disarungkan lagi serta serunya jengkel: "Iblis laknat,
setahun kemudian kalau bukan kau yang mampus biar aku yang
mati!"
Dingin Racun diracun menyapu pandang ketiga orang didepannya
lalu perlahan2 memutar tubuh tinggal pergi.
Kata Siang Siau hun tidak mengerti: "Locianpwe, mengapa kau
rintangi aku?"
Si maling bintang tertawa lebar, ujarnya: "Pertama sudah pasti kau
bukan lawannya, bukankah bocah ini (Suma Bing) sudah berkata
saat ini tidak akan menuntut balas kepadanya, itu berarti dia tidak
akan turun tangan membantu kau. Mengandal Lwekang aku si
maling tua mungkin masih kuat bertahan berapa jurus, tapi kau
jangan lupa modal lawan yang terampuh yaitu — Racun. Selain
bocah ini seluruh kolong langit ini siapa yang berani memandang
rendah permainan bisanya. Kedua; dilihat sepak terjang lawan,
agaknya mengandung rahasia yang susah dipecahkan, sebelum
teka- teki ini terpecahkan adalah lebih baik kau jangan ter-buru2
turun tangan."
Mendengar nasehat yang panjang lebar ini. Siang Siau-hun
manggut2 tanpa mengeluarkan suara.
"Adik Hun, hendak kemanakah kau bersama Si cianpwe..."
"Buyung," tukas si maling bintang. "Aku si maling tua
mendapat satu kabar..." "Kabar apa?" "Dalam sebuah gua
dipuncak Siau sit hong digunung Siong
san, terkurung seorang perempuan. Menurut kabarnya sudah
dipenjarakan selama dua puluh tahun, aku si maling tua curiga..."
"Curiga apa?"

"Aku bercuriga mungkin dia adalah ibundamu yang lolos dari
puncak Kepala harimau di Tiam cong san itu!"
Melonjak keras jantung Suma Bing, "Apa betul?" tanyanya penuh
keperihan.
"Kenyataan ini sangat bertepatan. Dikatakan dalam waktu, ibumu
sudah menghilang selama enam belas tahun, hampir sama dengan
kabar 20 tahun itu. Dan lagi dalam pengeroyokan dipuncak kepala
harimau dulu ada juga anak murid Siau lim si. Mungkin waktu
ibumu menuju kesana hendak menuntut balas lantas terkurung
didalam gua. itu..."
Mata Suma Bing mendelik bagai dua butir kelereng, seluruh tubuh
bergemetaran.
Si maling bintang melanjutkan ceritanya: "Sejak kau terjungkal
kedalam jurang aku simaling tua bersama nona Siang bersiap
hendak mewakili kau melaksanakan cita2 mu yang belum terkabul
itu untuk mencari jejak ibundamu. Sungguh sangat kebetulan
seorang murid preman Siau lim si mengoceh dan membeber
rahasia ini diwaktu mabok, setelah kuselidiki dan kuanalisa, maka
kita berkeputusan hendak meluruk ke Siau lim si untuk membikin
terang rahasia itu. Dan tak tersangka dari kena bencana kau malah
mendapat rejeki, memang ini sudah menjadi kehendak Tuhan!"
"Sedemikian luhur hati Locianpwe selama hidup ini Suma Bing
akan berterima kasih!" saking terharu mata Suma Bing merah
hampir menangis.
"Eh, si maling tua hanya ingin menebus kesalahanku dulu, untuk
mencari ketenangan hidup dihari tua."
"Baiklah. Wanpwe minta diri!" "Minta
diri, hendak kemana kau?" "Ke Siau
lim si!" "Bagus, mari kita pergi
bersama..."
Tiraik
asih
Websi
te
http://
kangz
usi.co
m/
"Ini urusan wanpwe pribadi, tidak enak aku menyusahkan kalian
berdua, dan lagi besar hasratku untuk segera terbang tiba di Siau
lim si untuk menyelidiki kebenaran kabar itu."
"Sejarah mengakui Siau lim pay sebagai satu perguruan silat
terbesar yang memimpin kaum persilatan jago2 silat dalam biara
besar itu tak terhitung banyaknya, jangan kau gegabah..."
Suma Bing menjengek dingin lalu menukas ucapan si maling tua:
"Kalau orang yang dipenjarakan itu benar2 adalah Bundaku, hm,
darah para pendeta Siau lim si akan mengalir dan menyirami
seluruh puncak Siau sit hong."
Ucapan yang mengandung nafsu membunuh yang besar ini
membuat si maling tua dan Siang Siau hun bergidik seram.
26. SUMA BING TERTAWAN DIDALAM KUIL SIAU LIM SI.
"Buyung kau akan menimbulkan banjir darah ditempat suci
yang agung itu?" "Bila perlu akan kulakukan!" "Buyung, jangan
kau bersimaha raja dan membunuh tanpa
dosa" "Tanpa dosa, biarlah kenyataan membuktikan apakah
benar para pendeta Siau lim itu benar2 tidak berdosa" "Mari
berangkat, kita bisa saling bantu membantu!" "Jangan, wanpwe
ingin berangkat sendiri! Kebaikan
Cianpwe yang luhur ini, selamanya takkan kulupakan!" — lalu ia
berpaling kearah Siang Siau hun dan berkata lagi: "Adik Hun,
maafkan aku, jagalah dirimu baik2, selamat bertemu!"

Alis si maling tua berkerut, serunya lantang: "Buyung!! itu hanya
satu rekaan saja, jangan kau terlalu gagabah, orang yang
dipenjarakan itu mungkin bukan ibumu"
"Baik, Wanpwe terima nasehat ini!" suara sahutan Suma Bing ini
kedengaran sudah sangat jauh sekali.
Akhirnya tak tertahan lagi air mata Siang Siau hun meleleh deras
membasahi pipi.
"E, nona elok, buat apa kau merengek2 dan sesenggukkan.
memang begitulah tabiatnya, bukan dia memandang rendah
hubungan kita bersama. Mari kita juga berangkat mengikuti
dibelakangnya!"
Siang Siau hun manggut2, bersama si maling bintang mereka
ber-lari2 kencang mengejar dibelakang Suma Bing.
Secepat terbang Suma Bing menempuh perjalanannya menuju ke
Siau lim si, siang dan malam hampir belum pernah berhenti. Besar
harapannya bahwa wanita yang terkurung digua puncak Siau sit
hong itu adalah ibunya San hoa li Ong Fang lan. Ter-bayang2
olehnya akan wajah ibunya yang belum pernah dilihatnya. Lantas
terbayang juga calon istrinya Phoa Kin sian gadis nan ayu rupawan
bak bidadari, dia sudah mengandung, sekuntum bunga bahagia
mekar pada wajahnya, yang selama ini sayu dan redup, agaknya
dia sudah melupakan akan segala pengalamannya yang pahit getir
selama ini.
Hari itu, didepan puncak Siau sit hong muncul seorang pemuda
ganteng, bertubuh tegap gagah berwajah dingin membeku penuh
kecongkakan. Dia, bukan lain adalah Sia sin kedua Suma Bing.
Menyusuri jalanan gunung yang ber-liku2 Suma Bing tengah
menempuh perjalanannya menuju kegereja Siau lim si. Tidak lama
kemudian pintu biara yang agung itu sudah samar2 terlihat dari
kejauhan. Serta merta berdetak hati Suma Bing, ketegangan mulai
melingkupi benaknya.

Tiba2 terdengar sabda Budha yang keras menggetarkan telinga,
muncullah dua pendeta berjubah abu2 tangan mereka membekal
tongkat Hong pian jan dan menghadang ditengah jalan.
Tanpa disadari Suma Bing menghentikan langkahnya. Salah
seorang pendeta itu, sebelah tangannya dirangkap
didepan dada memberi sapa hormat lalu bertanya: "Sicu ini orang
kosen darimanakah?"
"Aku yang rendah Suma Bing!" Mendadak berubah airmuka
kedua pendeta itu, kata
pendeta yang bicara tadi: "Sia sin kedua yang dikabarkan di Bulim
itu adalah Sicu adanya?"
Suma Bing mengiakan sambil manggut2. "Ada pengajaran
apakah tuan datang ke biara kita?" "Ada urusan penting, aku
ingin berjumpa dengan Ciang bun
Hong tiang!" Lagi2 kedua pendeta itu tergetar, kata yang lain:
"Sicu
ingin bertemu dengan Hong tiang?" Suma Bing menganggukkan
kepala, "Benar!" sahutnya
tidak sabaran. "Silakan Sicu sebutkan maksud kedatanganmu, jadi
ada
alasan siau ceng melapor pada ci khek (pendeta penerima
tamu)?"
"Yang ingin kutemui hanyalah Ciang bun Hong tiang kalian,
tentang maksud kedatanganku, nanti setelah ketemu Hong tiang
kalian baru kukatakan"
"Ini merupakan peraturan biara kita, adalah Ci khek yang
menyambut tamu, apakah itu urusan kecil atau besar, baru
dilaporkan kepada pengawas atau Hong tiang"

"Peraturan biara kalian terlalu melit," jengek Suma Bing, "Silahkan
kalian berdua lapor, katakan Suma Bing ingin ketemu Hong tiang
kalian."
Rona wajah kedua pendeta itu berobah tak menentu, salah
seorang segera berkata: "Kalau Sicu tidak menerangkan maksud
kedatanganmu, maaf Siau ceng tak bisa melapor, silakan turun
gunung saja!"
Membeku wajah Suma Bing, desisnya: "Aku yang rendah minta
bertemu secara hormat, terhitung aku segan dan menghormati
partai kalian, ini sudah sangat sungkan sekali. Kalau kalian benar
berkukuh ingin aku menyebut maksud kedatanganku, maaf..."
"Bagaimana?" "Maka terpaksa aku yang rendah langsung
mencari sendiri
Ciangbun kalian." Kedua pendeta itu mundur ketakutan sambil
melintangkan
Hong pian jan... "Apa kalian mau berkelahi?" ejek Suma Bing
menghina. Salah seorang pendeta itu berseru gusar: "Tempat suci
yang agung, tidak boleh membuat kerusuhan disini, harap Sicu
suka berpikir panjang!"
"Bagus benar tempat suci yang diagungkan!" — dengus Suma
Bing sambil melangkah maju hendak menerjang.
"Sicu tidak mendengar nasehat, terpaksa Siau ceng turun
tangan!"
Dua batang Hong pian jan berseliweran bagai bayangan gunung
membawa deru angin badai yang menungkrup kearah Suma
Bing...
"Enyah kalian!" ~ begitu kedua tangan Suma Bing bergerak aneh
sekali tahu2 kedua Hong pian jan yang menyambar2 tadi sudah
dicekal di kedua tangannya. Keruan kaget kedua

pendeta jubah abu2 itu bukan kepalang, serasa semangatnya
terbang keawang2, sekuat tenaga mereka menarik berbareng,
namun sedikitpun tidak bergeming. Mendadak sejalur hawa panas
yang kuat menerjang kearah nereka melalui tongkat panjang
mereka sendiri, seketika kedua pendeta itu merasa tergetar
cekalan tangannya kontan terlepas badan mereka tersurung
sempoyongan delapan kaki jauhnya.
Suma Bing lontarkan kedua Hong pian jan itu ketanah seketika
kedua tongkat panjang itu amblas separohnya kedalam tanah, lalu
secepat terbang ia berlari keatas
"Siapa itu bernyali besar berani menerjang masuk biara, melukai
orang."
Begitu bentakan bagai geledek ini berhenti, lantas muncul seorang
pendeta tua tinggi kekar bagai sebuah menara melayang tiba
ditengah jalan, kebetulan tiba menghadang dihadapan Suma Bing.
Setelah itu beruntun muncul lagi delapan pendeta pertengahan
umur yang bertubuh kekar dan gagah perkasa.
Menghadapi situasi yang tidak menguntungkan ini mau tak mau
Suma Bing harus berpikir: Sebelum duduk perkara sebenarnya
dapat kuketahui, ada lebih baik aku tidak melukai orang, langsung
saja menerjang ke biara besar, rintangan2 ini sangat menyebalkan.
Karena pikirannya ini segera ia kembangkan gerak kelit dari
pelajaran Bu siang sin hoat, begitu berkelebat mengitari barisan
para pendeta itu terus langsung berlari kepintu besar
pesanggrahan gunung didepan sana.
Para pendeta itu hanya merasa pandangan mereka kabur lantas
tahu2 kehilangan bayangan musuhnya. Keruan kejut mereka bukan
buatan, waktu mereka berpaling kebelakang dilihatnya musuh
sudah melesat tiba diluar pintu pesanggrahan, serentak mereka
membentak be-ramai2 terus menguber dengan kencang.

Para pendeta dalam pintu pesanggrahan agaknya sudah
mendengar ribut2 ini dan sudah siap siaga, beberapa puluh
pendeta segera memberondong keluar mencegat dipintu besar
itu...
Akan tetapi bagai bayangan iblis tahu2 Suma Bing sudah
berkelebat melewati puluhan pendeta ini dan dalam sekejap mata
sudah tiba diluar pintu biara. Cara gerak tubuh itu benar2 belum
pernah ada dalam dunia persilatan.
"Sicu harap berhenti!" Seorang pendeta tua yang kurus tinggi
berdiri tegap tengah
pintu biara, matanya berkilat2 menatap wajah Suma Bing. Gesit
sekali Suma Bing menghentikan tubuhnya, dingin ia
menatap orang, tanyanya: "Siapakah Toa suhu ini?" "Pinceng Liau
Seng pengawas kelenteng ini, siapakah Sicu
ini?" "Aku yang rendah bernama Suma Bing!" "Untuk apa kau
menerjang kemari melukai orang?" "Aku yang rendah ada urusan
penting mohon bertemu
dengan Ciangbun Hong tiang kalian, murid kalian merintangi tidak
kenal aturan..."
"Perbuatan Sicu ini agaknya memandang rendah partai kita!"
Disemprot terang2an, bergolak amarah Suma Bing, desisnya
geram: "Aku yang rendah merasa sudah berlaku sangat sungkan
sekali!"
Berobah air muka Liau Seng si pengnwas kelenteng, sorot matanya
semakin tajam me-nyala2, lebih kentara akan kesempurnaan
latihan kepandaiannya.

Para pendeta yang mengejar tiba melihat pendeta pengawas sudah
keluar menguasai keributan ini, beramai2 mereka menyingkir
kesamping dan mundur teratur.
"Ada urusan apa Sicu hendak bertemu dengan Hong tiang kita?"
"Setelah ketemu Hong tiang kalian belum terlambat kujelaskan."
"Katakan kepada Pinceng juga sama saja!" "Apa Taysu berani
bertanggung jawab?" "Mungkin!" Berobah serius wajah Suma
Bing, suaranya rendah berat:
"Aku harus tahu siapakah perempuan yang kalian kurung di gua
belakang puncak ini?"
Wajah Liau Seng berobah kaku menegang dan mundur dua
tindak, tanyanya: "Darimana juntrungan ucapan Sicu ini?"
"Orang beribadat pantang berbohong, Toa suhu kau mengaku
tidak?"
"Apa maksud Sicu sebenarnya?" "Tidak apa2, hanya ingin
kutahu orang yang terkurung itu
siapa!" "Ini..." "Taysu tidak berani menjawab?" Liau Seng
bungkam, Suma Bing tertawa dingin, katanya
lagi: "Kalau Taysu tidak berani menyawab terpaksa aku minta
petunjuk Hong tiang kalian saja!" — belum habis ucapannya
tahu2 bayangannya sudah menghilang.
Bergidik seram Liau Seng Taysu, mengandal kesempurnaan
latihannya ternyata tidak mampu melihat orang menggunakan
gerak tubuh apa menghilang dari pandangannya, ini hampir

menyerupai ilmu sesat. Maka sebat luar biasa ia membalik berlari
masuk biara...
Setelah melewati Wi to tiam, didepan pekarangan Tay hiong po
tiam jauh2 sudah terdengar suara bentakan dan makian. Kiranya
pendeta penyambut tamu dan beberapa pendeta yang sedang
berdinas jaga sudah mengepung Suma Bing ditengah pekarangan
itu.
Liau Seng Taysu langsung berlari masuk kebelakang...
Terdengar Liau Ngo Taysu pendeta penyambut tamu
tengah membentak gusar: "Sicu menerjang tiba dan membuat
huru-hara dibiara kita, agaknya memandang rendah kepandaian
kaum Siau lim kita?"
"Taysu tidak mau pergi melapor, apa aku harus menerjang
langsung menuju kekamar Hong tiang?"
"Kalau Sicu masih sedemikian kurang ajar dan tak mengenal
aturan, terpaksa Pinceng turun tangan!"
"Mengandal kepandaianmu masih bukan tandinganku!" Kata2
yang terang2an menghina ini membuat Liau Ngo
Taysu dan keenam pendeta dinas itu naik pitam dan berobah air
mukanya.
"Silahkan Sicu merasakan kelihayan ilmu silat dari Siau lim!"
Serempak dengan habis suaranya pukulannya sudah
merangsang tiba. Dalam gusarnya Liau Ngo Taysu kerahkan
setaker tenaganya menggunakan ajaran tunggal Siau lim yang
terampuh yaitu pukulan Cui pi ciang, betapa keras dan hebat
pukulan ini benar2 dapat menghancur luluhkan batu yang betapa
keraspun.
Meskipun mulut Suma Bing berkata temberang, namun didalam
hati dia tidak berani memandang enteng kelihayan para pendeta
Siau lim yang sudah bersejarah tua ini, Kiu yang

sin kangpun tak ayal segera dikerahkan sampai sepuluh bagian
tenaganya...
Cui pi ciang dan Kiu yang sin kang sama2 adalah berkekuatan
tenaga keras bersifat panas.
Suara menggelegar menggetarkan bumi dan bangunan kelenteng
sekitarnya. Kontan Liau Ngo Taysu terpental jauh setombak lebih
sambil menghamburkan darah segar. Keenam pendeta dinas itu
juga tidak luput terpelanting keterjang angin badai yang
mengembang keempat penjuru.
"Liau Ngo Sute, mundurlah!" Alis putih Liau Seng Taysu
berkerut dalam, berdiri tenang
dan garang diundakan depan Tayhiong po tiam. Liau Seng Taysu
bersabda memberi hormat terus
mengundurkan diri bersama keenam pendeta berdinas itu.
Se-konyong2 suara kelintingan bergema, delapan belas
pendeta bertubuh kekar berwajah garang bengis berbaris keluar
dari kiri kanan pintu samping Toa tian, masing2 terbagi sembilan
terus berbaris jajar dikedua samping.
Diam2 Suma Bing membatin: ini pasti cap pek lohan (delapan
belas Lohan) yang kenamaan dari Siau lim itu...
Belum hilang pikirannya, menyusul berjalan keluar seorang
pendeta tua beralis putih juga terus berdiri berhadapan dengan
Liau Seng Taysu.
Peraturan Siau lim si sangat keras, meskipun terjadi urusan
penting betapa besar pun para muridnya tidak diperbolehkan
sembarangan bergerak.
Selanjutnya seorang pendeta tua yang mengenakan kasa terbuat
dari saten berwajah bersih agung per-lahan2 keluar dari ruangan
besar itu, dibelakangnya tidak kurang duapuluh pendeta tua muda
mengikutinya.

Segera Liau Seng dan pendeta yang baru datang itu membungkuk
bersabda lalu berseru lantang: "Menghadap Ciangbun yang mulia!"
"Para sute tidak perlu peradatan!" Kiranya pendeta tua yang
berkasa saten bersulam itu
bukan lain adalah Ciangbun Hong tiang Siau lim si Liau Sian
Taysu adanya.
Segera Suma Bing angkat tangan memberi hormat: "Yang mulia
apakah Ciangbun Hong tiang?"
Sikap yang dingin dan nada yang menghina ini membuat para
pendeta Siau lim yang hadir membelalak gusar.
Ciangbun Liau Sian Taysu bersabda Buddha lalu berkata:
"Memang Pinceng Liau Sian adanya, kedatangan Sicu ini aku
sudah mendapat laporan dari pengawas kelenteng..."
Tidak sabaran lagi segera Suma Bing menandaskan: "Lalu
bagaimana keputusan Ciangbun Taysu?"
"Darimana Sicu mengetahui bahwa dibelakang puncak Siau sit
hong ada terkurung seorang perempuan?"
"Ini aku tidak dapat memberi jawaban, hanya ingin kutegaskan
apakah benar ada hal itu?"
"Ya, memang ada!" Berdetak keras jantung Suma Bing,
ujarnya penuh haru:
"Kalau ada aku yang rendah mohon perkenankan untuk bertemu!"
"Apa hubungan Sicu dengan perempuan yang terkurung itu?"
"Ini..." sesaat lamanya Suma Bing tidak mampu memberi jawaban
positif. Tak mungkin dia mengatakan bahwa perempuan itu adalah
ibunya, bagaimana kalau bukan? Tiba2 terpikir sesuatu olehnya
terus sahutnya: "Aku yang rendah

harus membuktikan apakah perempuan itu adalah orang yang
kupikirkan!"
Berobah serius wajah Liau Sian, katanya sungguh2: "Kalau begitu,
hakikatnya Sicu belum tahu siapakah perempuan yang terkurung
itu?"
"Boleh dikata demikian!" "Bukankah permohonan Sicu itu
membuat keributan tanpa
aturan?" Wajah Suma Bing mengelam hitam: "Yang mulia sebagai
ketua, kata2mu penuh pertanggungan jawab, ini bukan membuat
keributan tanpa aturan!"
Keruan merah jengah wajah Liau Sian Taysu, tanyanya; "Siapakah
orang yang Sicu pikirkan itu?"
Benak Suma Bing bekerja keras: ada lebih baik tidak kukatakan,
kalau membungkah asal-usul sendiri, dan orang yang dikurung itu
sebaliknya bukan ibunya, hal ini akan membawa rintangan banyak
dalam pengejarannya kepada musuh2nya, maka segera ia
menyahut: "Hal ini susah kuterangkan, aku hanya ingin bertemu
sekali saja dengan orang itu kalau bukan orang yang kupikirkan,
segera aku minta maaf dan pergi dari sini!"
"Kita juga ada kesukaran tak dapat melulusi permohonan Sicu."
Suma Bing berusaha menahan gusar, tanyanya: "Kalau begitu
harap tanya siapakah perempuan yang dikurung itu?"
"Urusan ini menyangkut kepentingan dan rahasia partai kita, maka
tak dapat kujelaskan!"
Meluap amarah Suma Bing susah ditekan lagi, dengusnya dingin:
"Secara hormat aku mohon bertemu, kalau Ciangbunjin tidak bisa
melulusi, maka jangan salahkan aku..."

"Sicu hendak berbuat apa?" desak Liau Sian dengan nada berat
matanyapun menyorong garang me-nyala2.
"Aku akan membuktikan sendiri!" Semua pendeta yang hadir
membelalak gusar dan
mematung bagai arca tembaga, otot dijidat mereka merongkol
keluar menahan gusar, tapi dihadapan Ketua mereka sebelum
menerima perintah mereka tak berani bergerak.
Suasana semakin meruncing tegang penuh mengandung nafsu
pembunuhan.
Agaknya kepandaian dan latihan batin Liau Sian sudah sempurna,
air mukanya masih kelihatan sabar welas asih, suaranya datar:
"Mungkin Sicu takkan mampu bergerak sesuka hatimu!"
"Belum tentu!" bentak Suma Bing murka terus memutar tubuh
hendak...
Sebelum kakinya bertindak, delapan belas Lo Han yang berdiri
disamping kanan kiri itu mendadak secepat kilat menggeser
kedudukan, tahu2 Suma Bing sudah terkepung.
Suma Bing mendengus hina keras, ejeknya: "Kalian takkan
mampu merintangi aku."
Kelebat tubuhnya seringan asap tanpa bayangan laksana setan
mengambang tahu2 sudah berada diluar kurungan. Kesempatan
untuk berpikir bagi delapan belas Lo Han belum ada tahu2 sudah
kehilangan musuhnya.
"Bu siang sin hoat!" tercetus seruan dari mulut Liau Sian,
wajahnyapun berobah.
Seruan Liau Sian Taysu ini menggegerkan seluruh hadirin. Suma
Bing sendiri juga melengak heran, hanya sekali lihat saja lantas
ketua Siau lim si ini dapat menyebutkan asal usul gerak tubuhnya
itu.

Agaknya Ketua Siau lim Liau Sian Taysu sangat terpengaruh oleh
perasaannya, suaranya gemetar: "Dimana pengawas kelenteng?"
"Tecu disini!" sahut Liau Seng sambil merangkap tangan.
"Harap pengawas kelenteng perintahkan seluruh penghuni
kelenteng bersiap siaga!" "Tecu terima perintah!" "Dimana
pelaksana hukum?" Seorang pendeta tinggi tegap tampil kedepan:
"Tecu
disini!" "Silahkan Ngo tianglo keluar!" "Tecu terima perintah!"
Seketika suara lonceng bergema membumbung keangkasa,
membawa ketegangan yang meruncing bagi biara kuil yang agung
ini.
Bayangan manusia berkeliaran diluar dalam Siau lim si yang besar
itu sudah penuh terjaga ketat seumpama jaring2 si laba2
B a r u s e k a r a n g S uma B i n g m e n g i n s a f i a k a n s i t u a s i
y a n g me n e g a n g k a n i n i , h a t i n y a b e r d e t a k k e r a s ,
n a g a 2 n y a S i a u l im s i me n g e r a h k a n s e l u r u h
k e k u a t a n n y a u n t u k me n g h a d a p i d i r i n y a . K e a d a a n
b e r o b a h memb u r u k s e d emi k i a n c e p a t s e t e l a h
d i r i n y a me l a n c a r k a n p e l a j a r a n B u s i a n g s i n h o a t ,
aPeplaan mdaun nmgakntianp. .la.n gkah Liau Sian menuruni undak2, para
pendeta pelindung dibelakangnya juga tidak ketinggalan maju
mengikuti.
"Suma sicu harap suka sebutkan perguruanmu?" "Ciangbunjin
sudah tahu tapi sengaja bertanya?" balas
tanya Suma Bing dongkol.

"Yang Pinceng maksudkan adalah asal-usul Bu siang sin hoat itu?"
"Ini, maaf, tak perlu kusebutkan!" "Apa hubungan Sicu dengan
Bu siang sin li?" Suma Bing membatin; mungkin Bu siang sin li
ada
pertikaian apa dengan pihak Siau lim si. Bu siang sin li adalah
tokoh yang menggetarkan Bulim pada ratusan tahun yang lalu
peristiwa ini susah dijelaskan, maka ia menggeleng serta katanya:
"Tiada sangkut paut apa2!"
"Lalu darimana Sicu mempelajari Bu siang sin hoat itu?" "Sukar
kujelaskan!" Pada saat itulah mendadak terdengar tembang
panjang:
"Para Tianglo sudah tiba!" Lima orang pendeta tua beralis putih
panjang mengenakan
kasa merah perlahan2 keluar dari Toa tian Segera Liau Sian maju
dua langkah sedikit membungkuk
dan berseru: "Menyusahkan para Tianglo ikut hadir disini!" Serentak
kelima Tianglo bersabda Baddha sambil
membungkuk tubuh, seorang yang terdepan segera berkata:
"Kami beramai tidak berani terima hormat besar Ciangbunjin, tecu
sekalian menghadap pada Ciangbunjin!"
"Tidak berani, para Tianglo silahkan, tidak perlu banyak
peradatan!"
Sambil pejamkan mata kelima Tianglo itu memasuki gelanggang,
seorang yang terdepan tiba2 membuka matanya, dua sorot kilat
yang tajam menatap tajam wajah Suma Bing tanpa berkedip.
Tanpa mengenal gentar atau takut, Suma Bing juga pandang
lawannya lekat2.

Siau lim ngo lo sudah berusia hampir seabad selamanya tidak
gampang2 keluar setengah langkah dari Tianglo wan. Sekarang
kelima Tianglo ini keluar bersama, membuktikan betapa penting
urusan ini. Tapi Suma Bing sendiri sampai pada detik itu masih
bersikap dingin seakan tanpa ambil perhatian, sedikitpun dia tidak
tahu apa yang bakal terjadi. Ketegangan temakin meruncing.
Mendadak tanpa membuka suara Tianglo terdepan itu memutar
kedua tangannya terus disodokkan kedepan. Kekuatan pukulan yang
dilancarkan mendadak ini laksana geledek menyambar, hebat
perbawanya. Betapapun tinggi Lwekang Suma Bing rasa2 takkan
mampu balas menyerang atau bertahan, terpaksa tubuhnya
berkelebat menyingkir. Tanpa disadari ia gunakan pelajaran Bu
siang sin hoat. Setelah lancarkan pukulannya segera Tianglo itu tarik
ulang serangannya, suaranya datar berat: "Benar adalah Bu siang
sin hoat"
Pada saat itulah keempat Tianglo lainnya mendadak membuka
mata, menatap tajam kearah Suma Bing.
Kedatangan Suma Bing adalah hendak menyelidiki jejak ibunya,
tak terduga begitu ia gerakkan ilmu Bu Siang sin hoat pokok
persoalannya menjadi perhatian malah. Keruan hatinya gugup dan
dongkol dan menggelikan juga.
Tianglo yang terdepan itu berkata lagi: "Lolap tertua dari para
Tianglo ini, bergelar Hi Bu, ada beberapa pertanyaan, harap Sicu
suka menjawab secara terus terang"
"Harus kulihat dulu pertanyaan apa itu?" sahut Suma Bing
dongkol.
Wajah tua Hi Bu Taysu yang penuh keriput diliputi suatu rona
yang sukar ditebak, akhirnya berkata pelan: "Sicu murid dari
perguruan mana?"
"Sia sin Kho Jiang adalah mendiang guruku!"
"Tidak benar!"

"Apakah ucapan Taysu ini tidak terlalu dogmatis (sembarangan
memastikan)?"
"Lalu ilmu Bu siang sin hoat Sicu tadi darimana sicu pelajari?"
"Itu rahasia pribadiku mana bisa kuterangkan!!" Kelima Tianglo
dan Ciangbun Hong tiang bersama
mengunjuk rasa gusar yang tak tertahankan lagi. Kini berobah
bengis dan serius suara Hi Bu Taysu:
"Kenyataan tidak bisa didebat lagi, lebih baik Sicu bicara terusterang
saja?"
Waktu meninggalkan Lembah kematian Suma Bing sudah
bersumpah untuk tidak membeber keadaan lembah itu kepada
orang luar, sudah tentu dia tidak akan melanggar sumpahnya
sendiri. Kalau dia mau menuturkan secara terus terang,
perkembangan urusan ini mungkin berobah tidak sedemikian
menegangkan urat syaraf.
"Kalau tidak kukatakan?" "Pasti Sicu sudah maklum akan
akibatnya!" "Akibat apa, aku tidak mengerti?" "Selamanya kau
tidak akan meninggalkan Siau sit hong
lagi!" Suma Bing malah tertawa gelak2, serunya: "Toa suhu,
sebelum tujuanku terlaksana, memang aku tiada niat hendak
turun dari Siau sit hong ini!"
Betapapun sabar dan tinggi latihan batin Hi Bu Taysu tak kuat lagi
menahan rangsangan amarahnya, bentaknya bengis: "Apa
tujuanmu?"
"Ingin kulihat orang yang kalian kurung dibelakang puncak itu."

"Hm, kalau kau bermaksud menculik orang di Siau lim si, jangan
kau harap!"
Suma Bing mendengus hidung keras sekali, ejeknya: "Sekarang
terlalu pagi untuk mempersoalkan hal ini, kalau nanti aku dapat
membuktikan orang yang kalian kurung itu adalah benar orang
yang hendak kucari, hm, waktu itu..."
"Bagaimana?" "Akan terjadi banjir darah di Siau sit hong ini!"
Ancaman yang mengandung kekejaman banjir darah ini,
membuat semua pendeta yang hadir berobah air mukanya,
dimana2 terdengar geraman marah.
"Siapakah yang Sicu cari?" "Aku tidak akan memberitahu
kepada kau!" "Benar2 Sicu tidak mau menerangkan?" "Yang
perlu kukatakan sudah dikatakan, ucapanku sampai
disini, titik!" Hi Bu Taysu membalik tubuh menghadap Liau Sian
dan
bertanya: "Mohon Ciangbunjin suka mengambil keputusan?"
"Ringkus dia!" Perintah Liau Sian ini menimbulkan kebencian
Suma Bing,
timbul nafsunya membunuh serunya keras: "Cianbunjin, aku tidak
bertanggung jawab akan segala akibatnya!"
Setelah saling berpandangan sebentar, kelima Tianglo maju
per-lahan2, mengambil kedudukan Ngo heng (lima unsur) .
Ngo lo turun tangan bersama menghadapi seorang pemuda
berusia belum cukup dua puluh tahun. Bagi pihak Siau lim ini
belum pernah terjadi dalam sejarah selama beratus tahun.
Bersama itu lebih menandaskan lagi bahwa pihak Siau lim sudah
bertekad bulat hendak meringkus Suma Bing hidup- hidup.

Berkata Hi Bu Taysu lagi: "Apakah Sicu tidak perlu berpikir lagi?"
Sinar mata Suma Bing mengunjuk kecongkakan, jengeknya:
"Adalah kalian yang harus berpikir panjang!"
"Buddha selamanya welas asih adalah Sicu sendiri yang mencari
derita!"
"Hwesio tua, turun tanganlah, tidak perlu pura2 baik hati!" Hi
Bu Taysu bersabda suaranya melengking tinggi, lalu
dorongkan sebelah tangannya. Suma Bing juga angkat belah
tangannya memapak maju...
Hampir dalam waktu yang sama, empat Tianglo lainnya juga
masing2 lancarkan sebuah pukulan, rangsangan angin pukulan
melanda tiba dari sudut yang berlainan merobohkan sebuah bukit
kecil.
Tercekat hati Suma Bing, cepat2 kedua tangannya ditarik pulang,
sebat sekali ia berkelebat menghilang keluar kepungan, cara
kelitnya ini cepatnya luar biasa sampai susah diikuti oleh
pandangan mata biasa.
Betapa sempurna sudah kepandaian kelima Tianglo ini, begitu
serangan dilancarkan lantas kehilangan sasarannya, sigap sekali
mereka tarik kembali pukulan dan tenaga masing- masing, terus
melompat mundur tiga tindak.
Suma Bing ada diluar kalangan setombak jauhnya, katanya dingin:
"Dalam gebrak pertama ini aku mengalah sebagai tanda hormatku
kepada kalian."
Gerak tubuh yang menjagoi seluruh dunia persilatan ini membuat
hati para pendeta dingin dan beku, mereka kagum dan gentar.
Bahwa dengan gabungan lima Tianglo menyerang seorang muda
tanpa hasil dihadapan para anak muridnya, membuat para Tianglo
malu dan gusar.

Mendadak Hi Bu Taysu membentak gusar, tubuhnya melenting
menubruk maju lagi, kedua jari2 tangannya bagai cakar garuda,
aneh dan hebat luar biasa mencengkram kearah dada Suma Bing.
Cengkraman ini merupakan salah satu kepandaian tunggal dari
Siau lim si yang dinamakan Tay eng jiau lat, kekuatan cengkraman
ini dapat meremukkan batu menjadi bubuk.
Suma Bing berkelit terus memutar kebelakang Hi Bu Taysu sambil
membalas dengan sebuah pukulan.
Hi Bu Taysu insaf akan keampuhan inti sari Bu siang Sin hoat,
begitu cengkramannya mengenai tempat kosong, tubuhnya segera
berputar, licin bagai belut tubuhnya menggeser kesamping dua
tombak, terpaut serambut hampir saja terkena pukulan musuh.
Pada saat Hi Bu Taysu menyingkir kesamping inilah empat Tianglo
lainnya lancarkan pula masing2 sebuah pukulan.
Timbul sifat ugal2an Suma Bing, tanpa berkelit atau menyingkir,
seluruh tenaga dikerahkan kedua lengannya terus didorong
kedepan menyambut secara keras.
Dentuman hebat bagai gugur gunung membuat genteng dan debu
berhamburan memenuhi sekitar lapangan. Empat Tianglo terdesak
mundur selangkah lebar, darah bergolak dalam rongga dada
mereka. Suma Bing sendiri juga terpental delapan kaki wajahnya
pucat tanpa darah.
Bahwa Suma Bing kuat menahan gabungan serangan empat
Tianglo tanpa roboh, membuat semua hadirin membelalak kesima,
heran dan kagum.
Agaknya Ngo lo masih belum menyudahi begitu saja, tanpa ayal
mereka terus berkelebat berganti kedudukan, lagi2 Suma Bing
dikepung diantara mereka.
Ketegangan mulai melingkupi sanubari setiap hadirin sehingga
rasanya susah bernapas. Dalam hal Lwekang, sudah

tentu Suma Bing bukan tandingan Ngo tianglo. Tapi Bu siang sin
hoat merupakan ilmu ringan tubuh yang tiada taranya begitu
dikembangkan benar2 bagai bayangan malaikat yang susah
dipandang mata. Dengan sendirinya menghadapi ilmu mujijat ini,
Ngo tianglo juga insaf takkan ada pegangan bisa menang.
Alis panjang Hi Bu Taysu berdiri tegak, mulutnya membentak berat,
dilancarkan jurus Jiang hay poh liong (lautan teduh mengekang
naga). Bersamaan dengan itu empat Tianglo lainnya juga lancarkan
masing2 satu jurus yang berlainan, mereka bekerja sama sangat
rapi dan teratur, sedemikian rapat mereka mengurung sampai tidak
kelihatan sedikitpun lobang kelemahannya.
Mengandal ilmunya yang aneh dan ajaib, Suma Bing berputar dan
bermain lincah diantara kepungan dan samberan pukulan2 kelima
musuhnya, setiap ada lowongan pasti balas menyerang tanpa
sungkan. Setiap kali ia balas menyerang pasti garis penjagaan
kelima Tianglo itu goyah.
Pertempuran ini berjalan semakin sengit saling pukul dan hantam,
bayangan merekapun bergerak semakin cepat hingga susah
dibedakan lagi bentuk orangnya, hawa pukulan juga semakin deras
mengekang sekitar gelanggang pertempuran laksana angin lesus.
Dalam sekejap mata saja limapuluh jurus dengan cepat sudah
dicapai. Kalau Ngo lo semakin mengunjuk kelemahannya, maklum
tenaga mereka, sudah semakin keropos dimakan usia, adalah Suma
Bing sebaliknya bertempur semakin gagah bersemangat.
Inilah pertempuran seru yang belum pernah terjadi dan belum
pernah ada didunia persilatan. Pertempuran sengit ini membuat
semua penonton terbelalak kesima dan berdenyutan jantungnya
diliputi ketegangan.
Sebuah bentakan nyaring menggetarkan seluruh gelanggang.

'Blang' diselingi suara pekik kesakitan, salah seorang tianglo tahu2
terhuyung keluar dari kurungan, mulutnya menyemprot darah
segar. Keempat Tianglo lainnya menggeram murka, serangan
membadai semakin dipergencar, membuat ciut nyali setiap
penonton.
Seratus jurus kemudian seorang Tianglo terpental keluar lagi dari
kalangan pertempuran. Gerak tubuh Suma Bing sangat aneh dan
dapat lenyap dari pandangan mata saking cepat berkelebat, selalu
mengelak yang berat membokong yang lemah, gesit sekali selulup
timbul diantara angin pukulan musuh selicin belut.
27. ADA BAYANGAN TIADA BENTUKNYA.
Dua ratus jurus kemudian, serbuan ketiga Tianglo itu sudah
berobah dari deras menjadi lemah. Adalah sebaliknya Suma Bing
semakin gagah, selincah naga segarang harimau, setiap gerak
tangannya menjadi serangan ampuh yang melemahkan pertahanan
ketiga musuhnya, sampai akhirnya ketiga musuhnya terdesak
kerepotan dan terancam jiwanya. Agaknya tidak sampai tiga puluh
jurus lagi pasti ketiga Tianglo ini susah terhindar dari ancaman
elmaut.
Wajah Liau Sian semakin membesi kehijau2an, hatinya bergejolak
semakin tak tenang, demikian juga semua anak murid Siau lim si
semua terkesima dengan hati kebat-kebit. Kekuatan gabungan
lima Tianglo ternyata masih bukan tandingan anak muda ini,
mereka insaf dari seluruh penghuni kelenteng Suci yang
diagungkan itu agaknya susah dicari tokoh kosen yang dapat
menandingi kelihayan musuh muda ini.
Tiga hari yang lalu Rasul penembus dada juga pernah membikin
geger Siau lim si Liau Khong kepala ruang Lo han tong dan dua
muridnya gugur ditembusi dadanya.

Kedatangannya sebebas berjalan dijalan raya tanpa seorangpun
dari anak murid Siau lim si yang mampu merintangi. Sekarang si
sesat kedua Suma Bing lagi2 memporak porandakan kepungan
kelima Tianglo yang berkepandaian paling tinggi dari mereka.
Naga2nya nama kebesaran Siau lim si yang diagungkan dan sudah
bersejarah ratusan tahun ini akan runtuh dan dihapus dari catatan
sejarah.
Tiba2 Ciangbun Hong tiang melangkah maju memasuki
gelanggang...
Para anak murid Siau lim si dan para pelindung kelenteng melihat
Ciangbunjin turun tangan sendiri, beramai2 merekapun merubung
maju sehingga dalam gelanggang semakin meruncing tegang,
suasana yang mencekam hati ini membuat orang susah bernapas.
Sungguh sangat kebetulan pada saat itulah mendadak lonceng
gereja berdentang keras memekakkan telinga, lalu disusul sebuah
suara seorang petugas jaga berseru keras "Hudco telah tiba!"
Seketika semua anak murid Siau lim si mengunjuk rasa hormat dan
hidmat, be-ramai2 mereka mundur kedua belah samping dan
berdiri dengan rapi, ketiga Tianglo yang tengah bertempur juga
segera melompat keluar gelanggang menghentikan pertempuran,
berjejer bersama Ciangbun Hong tiang mereka menghadap ke Toa
tian (ruang besar),
Diam2 Suma Bing juga terkejut, entah tokoh macam apakah orang
yang disebut Hudco itu.
Tengah ia berpikir itu, tampak olehnya seorang pendeta tua kurus
kering agak bungkuk mengenakan jubah orang beribadat, muncul
dari dalam ruang sembahyang. jalannya pelan dan lemah,
sedemikian lemah gerak kakinya itu seumpama dihembus angin
juga pasti bisa roboh.

Masa pendeta tua bagai mayat hidup inikah yang disebui Hudco.
Demikian batin Suma Bing.
Segera Ciangbun Hongtiang tampil kedepan tiga langkah kedua
dengkul ditekuk sambil berseru: "Ciangbun Tecu Liau Sian
menghadap Hudco!"
"Kau sebagai pejabat Ciangbun, Lolap tidak berani terima,
silahkan!"
Kelihatannya pendeta tua kurus kering bagai Mumi ini tinggal kulit
pembungkus tulang, tapi suaranya sedemikian keras mendengung
memekakkan telinga, tampak hanya sedikit menggerakkan
tangannya saja, tubuh Liau Sian yang setengah membungkuk itu
terangkat bangkit dan mundur ketempat asalnya lagi.
Sekarang giliran kelima Tianglo yang menyembah hormat sambil
berseru: "Harap Supek terima hormat kami!"
Maka beramai2 para anak murid dari semua tingkatan beruntun
bersabda Buddha lalu berlutut dan mengunjuk hormat.
Diam2 tercekat hati Suma Bing, bahwa usia kelima Tianglo sudah
hampir seabad, adalah si pendeta tua ini kiranya seangkatan lebih
tinggi dari mereka, lebih tinggi dua tingkat dari Ciangbun Hong
tiang mereka, bukankah usianya ini sudah lebih dari seabad!
Suasana sekelilingnya sedemikian hening nyenyap penuh
mengandung keagungan.
Pelan2 si pendeta tua itu melangkah maju mendekat... Dimana
pandangan Suma Bing melihat, tanpa terasa
merinding dan menyedot hawa dingin. Ternyata cara berjalan
pendeta tua ini, kakinya mengambang tiga senti tanpa menyentuh
tanah, terang ilmu ringan tubuh yang dikembangkan ini adalah
Leng hi poh yang paling dibanggakan dan paling sukar dipelajari itu.

Kira2 terpaut dua tombak dihadapan Suma Bing baru pendeta itu
menghentikan langkahnya, kelopak mata yang meram itu juga
mendadak terbuka lebar, hanya sekali berkelebat saja lantas
meram lagi. Meski hanya sekali kedipan saja, ini cukup membuat
seluruh tubuh Suma Bing tergetar.
Mendadak pendeta tua merangkap kedua tangan didepan dada,
sambil menengadah mulutnya menggumam: "Tecu Hui Kong
melanggar pantangan dan sumpah selama enam puluh tahun,
semoga para Cousu suka memberi ampun akan pelanggaran yang
terpaksa ini!" — Habis ucapannya kedua matanya dipentang lebar
lagi, dua sinar kehijauan dari matanya menatap setajam ujung
pisau kemuka Suma Bing. Agak lama kemudian baru dia membuka
kata lagi: "Asal Siau sicu bicara secara terus terang, dapatlah!
dosa2mu dihapus."
"Tidak mungkin," sahut Suma Bing tegas. "Kalau begitu terpaksa
Lolap benar2 melanggar
pantangan?" "Silahkan!" Kedengaran suara Hui Kong melengking
tinggi bersabda
Buddha, sebelah tangannya yang kurus kering bagaikan batang
kayu itu diangkat mencengkram kearah Suma Bing dari kejauhan...
Melihat gaya serangan orang ini, terkesiap hati Suma Bing, cepat2
kedua tangan diayun, siapa tahu baru saja tangannya bergerak
tenaga dalam ternyata susah dihimpun dan dikerahkan, keruan
kagetnya tak terhingga, maka terlihat cengkraman musuh ditarik
kembali, seketika suatu daya sedot yang kuat sekali membuat
dirinya tanpa kuasa terseret kehadapan orang.
Beruntun jari2 Hui Kong menjentik lalu katanya: "Untuk sementara
waktu Lwekang Siau sicu kututup, setelah semua urusan beres
baru boleh kupulihkan lagi, kuharap kau tahu

diri!" — habis berkata ia memutar tubuh dan dalam sekejap mata
bayangannya sudah menghilang didalam ruang Toa tian.
Timbul rasa kejang dan linu kesakitan dalam tubuh Suma Bing,
dalam keadaan yang sudah terlambat ini meskipun mata melotot
dan gigi gemeretak gusar, apalagi yang dapat diperbuatnya.
Dalam pada itu para Tianglo juga segera tinggal pergi.
Terdengar Ciangbun Hong tiang berseru lantang: "Semua
bubar dan harus selalu waspada, selain pengawas kelenteng dan
para murid petugas, semua kembali ketempat masing2."
Be-ramai2 para pendeta bersabda dan memberi hormat terus
mengundurkan diri tanpa bersuara. Tinggal empat pendeta
petugas dan Liau Seng Taysu, berdiri tegak dibelakang Ciangbun
Hong tiang Liau Sian Taysu.
Liau Sian maju beberapa langkah, suaranya berat berkata:
"Sekarang sicu boleh memberitahukan maksud kedatanganmu
sebenarnya dan asal-usulmu bukan?"
"Tidak!!" sahut Suma Bing beringas. "Suco kami pernah
berkata, kalau kau mau bicara, urusan
ini habis sampai disini saja, malah Lwekangmu dapat dipulihkan
lagi."
"Aku yang rendah tidak sudi menerima budi kalian ini" Berobah
wajah Liau Sian, katanya sambil berpaling kearah
Liau Seng Taysu: "Sementara waktu Sicu ini kuserahkan kepada
Sute, antarkan dia masuk ke Ceng Sim sek (ruang perenungan),
setelah dia mau buka mulut baru kita rundingkan lagi."
Liau Seng Taysu mengiakan, bersama keempat murid petugas
mereka membungkuk mengantar kepergian Ciangbun Hong tiang.
Dua murid petugas itu lantas menggiring Suma Bing keruang
samping sebelah sana.

Apa y ang dinamak an Ceng s im sek t erny at a adalah
sebuah rumah batu yang rapat dipagar i jeruj i bes i .
Agakny a di s ini lah tempat perant i menghukum para
mur id Siau l im s i yang berdosa at au melanggar
aturan. Demik ian juga Suma Bing t er kurung dalam
CHuein Kgo nsgi msi psaedkri itnuai . m enggunakan ilmu totok yang tertinggi dan
terampuh menutup hawa murninya, sehingga lumpuhlah tenaganya
tak ubahnya seperti orang biasa. Sungguh susah dibayangkan
sampai dimanakah taraf kesempurnaan ilmu dan Lwekang Hui
Kong. Didengar dari sabda renungannya tadi, naga2nya ia sudah
selama enam puluh tahun baru keluar untuk pertama kali ini.
Benar2 tak tersangka sebelum tujuan utamanya dapat terlaksana,
malah dirinya harus tersangkut dalam lingkaran yang menyebalkan
ini. "Siapakah wanita yang terkurung di gua dibelakang puncak Siau
sit hong itu? Apakah ibunya San hoa li Ong Fang lan? Atau
perempuan lain yang berdosa besar yang memang setimpal
menerima hukumannya itu? Selama satu hari satu malam, dalam
perasaan Suma Bing se-akan2 sudah dua tahun lamanya. Laksana
seekor singa yang baru saja dimasukkan dalam kerangkengan,
selama satu hari satu malam itu sekejappun belum pernah matanya
dipejamkan, rasa gusar, benci dan dendam selalu merangsang
benaknya, sedetikpun belum pernah meninggalkan pikirannya.
"Kalau aku tidak mati, kalau aku bisa keluar, hm..." demikian
gumamnya penuh penasaran, dengusan hidung terakhir itu tidak
sukar dibayangkan itulah mewakili pelimpahan hatinya yang penuh
gelora dendam!
Sudah berulangkali Liau Seng Taysu datang membujuk, setiap kali
selalu mengundurkan diri tanpa hasil.
Pada tengah malam hari kedua, cuaca sangat gelap, angin
pegunungan menghembus kencang. Tanpa mengeluarkan suara
pintu jeruji besi rumah batu itu terbuka lalu tertutup lagi dengan
cepat, sebuah bayangan pendek tambun tapi selincah

kucing enteng sekali melayang masuk kedalam rumah batu
dimana Suma Bing berada. "Siapa itu?"
"Sssst! Buyung jangan keras2, inilah aku si maling tua!" Suma
Bing merasa kejut dan heran. Ternyata si maling
bintang Si Ban cwan juga telah menyusul tiba sampai Siau lim si,
entah menggunakan cara apa dia dapat lolos dari penjagaan yang
sedemikian ketatnya, malah dapat membuka pintu jeruji besi itu
lagi?
"Buyung mari keluar!" "Keluar?" "Eh, apa kau ingin cukur
gundul menjadi Hwesio, selama
hidup ini tinggal dalam kurungan di Siau lim si ini?" "Seorang laki2
berani datang secara terang juga harus
pergi secara terang2an pula," begitulah semprot Suma Bing
uringan2, "Mana aku Suma Bing mau pergi secara sembunyi
begitu?"
Si maling tua mendengus ejek, katanya: "Buyung, apa kau
mengharap para pendeta Siau lim ini beriring mengantarmu
keluar. Kenyataan kau sudah menjadi orang hukuman, masih
berlagak apa segala. Siau lim si tidak akan pindah tempat, apa
kelak kau tidak dapat datang lagi? Dengan menyerempet bahaya
si maling tua ini mencuri kunci dari tubuh Liau Seng Taysu untuk
menyambut kau keluar kurungan, perbuatanku ini baru pantas
disebut manusia rendah?"
Hampir saja Suma Bing tidak kuat menahan rasa gelinya ujarnya:
"Baiklah aku pasti akan datang lagi!"
"Buyung, ingat kata2ku, jangan kau main kukuh dan keras
kepala. Kalau sampai konangan, berarti kau menyulut sumbu
bencana, menyesalpun tak berguna."
"Apakah luar dalam kelenteng ini tidak ada penjagaan?"
"Sudah tentu ada!"

"Lalu Cianpwe..." "Hehehehe, julukan si maling bintang
merampok rembulan
masakah nama kosong belaka." "Tapi aku tertutuk oleh Hui Kong
Taysu hingga Lwekang ku
lenyap..." "Paling perlu kita keluar dulu, urusan belakang!" Tanpa
banyak cakap lagi si maling bintang Si Ban cwan menjinjing tubuh
Suma Bing dan dikempitnya dibawah ketiaknya, secara diam2
laksana setan keluar dari Siau lim si tanpa diketahui oleh
seorangpun jua. Sebuah bayangan langsing tahu2 muncul dari
kegelapan sebelah depan sana.
"Locianpwe, bagaimana?" tanya bayangan itu. "Mencuri ayam
menggerayangi anjing adalah modal si
maling tua yang paling diandalkan, pasti takkan salah, mari
pergi?"
Bayangan langsing yang sembunyi diluar kelenteng itu bukan lain
adalah Siang Siau hun.
"Engkoh Bing!" seru Siang Siau hun riang gembira. Mendadak
terdengar sebuah bentakan keras dan berat: "Sicu darimanakah itu
yang berkunjung kebiara kami?" — disusul enam bayangan besar
beruntun muncul dan tepat mencegat ditengah jalan mereka.
"Lari!" tiba2 si maling bintang membentak keras, tubuhnyapun
sudah melejit kedepan dengan kecepatan anak panah, dalam
sekejap saja sepuluh tombak sudah dilampauinya.
"Sicu, berhenti!" sebuah bayangan hitam lainnya lagi2 muncul dan
meluncur turun dihadapan si maling tua Si Ban cwan. Itulah
seorang pendeta tua yang membekal sebuah tongkat besi
panjang. Kedua matanya ber-kilat2 memancarkan sinar yang
menakutkan dikegelapan malam.

Disebelah belakang sana, Siang Siau hun juga sudah terkepung
oleh keenam pendeta tadi tanpa mampu meloloskan diri.
Si maling bintang tertawa dingin, tubuhnya mencelat miring
kesamping. Dibarengi sebuah bentakan keras, si pendeta tua itu
berkelebat lagi dan tahu2 sudah mencegat didepan si maling tua.
Wut langsung ia sapukan tongkat senjatanya Dari cara ia mencelat
datang mencegat dan serangannya ini dapatlah dipastikan bahwa
Lwekang si pendeta tua ini bukan olah2 hebatnya.
Karena mengempit Suma Bing gerak gerik si maling tua kurang
leluasa, tak dapat dia melayani serangan orang dengan serangan,
terpaksa ia berkelit mundur delapan kaki jauhnya.
Mendadak Suma Bing meronta serta berteriak : "Cianpwe
lepaskan aku, lekas kau pergi!"
"Buyung tak mungkin terjadi legakan hatimu, mereka takkan
melukai serambutmu."
Pendeta tua itu melintangkan tongkatnya serta berkata: "Oh,
kiranya adalah Siao Sicu yang kenamaan itu. Maaf Pinceng berlaku
kurang hormat, silahkan kembali kedalam kuil untuk berdamai!"
"Pendeta tua apa gelaranmu?" acuh tak acuh si maling tua Si Ban
cwan bertanya
"Pinceng Liau Cin!" "Baik kuturuti kemauanmu, kembalilah!" —
Benar juga
segera si maling bintang Si Ban cwan membalik tubuh menuju
kearah pintu besar kelenteng agung itu...
Saat mana Siang Siau hun masih terkepung oleh enam murid Siau
lim si keadaannya sudah terdesak dibawah angin rambutnya
sudah awut2an keringat membanjir keluar.
"Berhenti!" segera Liau Cin berseru kearah enam muridnya

Keenam pendeta tegap gagah itu segera mematuhi perintahnya
berloncatan mundur,
Sambil membenarkan letak sanggul kepalanya Siang Siau hun
mengikuti dibelakang maling bintang Si Ban cwan, menuju kearah
kelenteng.
Saat mana diluar pintu besar kelenteng itu sudah terpasang
beberapa buah tengloleng besar hingga sekitarnya terang
benderang seperti disiang hari bolong. Tampak Liau Sian
Ciangbunjin Siau lim si sudah menanti ditengah pintu.
Dibelakangnya beruntun berdiri kelima Tianglo dan pengawas
kelenteng Liau Seng dan Liau Ngo si petugas penyambut tamu dan
masih banyak lagi para murid yang bertugas jaga. Tidak
ketinggalan juga kedelapan belas Lohan juga berjajar dikedua
belah samping, suasana sangat tegang sunyi.
Setelah meletakkan Suma Bing diatas tanah, ter-sipu2 maling
bintang Si Ban cwan angkat tangan memberi hormat kearah Liau
Sian serta sapanya: "Silahkan Ciangbunjin!"
Liau Sian bersabda sambil merangkap tangan, serunya: "Malam2
Lo sicu menyelundup kedalam kelenteng malah hendak membawa
lari orang hukuman"
Tak tertahan lagi Suma Bing membentak gusar: "Tutup mulutmu.
Tuan sebagai ketua dari satu aliran besar cara bicaramu harus
kenal aturan dan bertanggung jawab. Memang aku sedikit lalai dan
kena teringkus oleh kalian, kusesalkan kepandaianku yang tidak
becus. Bagaimana bisa kau anggap aku sebagai orang hukuman
kalian untuk merendahkan derajat harga diriku?"
Setelah tertawa dingin si maling bintang Si Ban cwan ikut
menimbrung: "Partai kalian mengurung Suma Bing, malah
memunahkan ilmu silatnya lagi, dengan alasan apa kalian berani
berlaku se-wenang2?"

Sahut Liau Sian dengan nada berat: "Suma Sicu membikin onar,
melukai anak murid kami dan yang lebih penting asal usulnya
sangat mencurigakan!"
"Dalam hal apa dia mencurigakan?" "Gerak tubuh yang
dipertontonkan itu, menyangkut suatu
peristiwa penting dalam partai kami pada seabad yang lalu!"
Keterangan ini bukan saja membuat Si Ban cwan dan Siang
Siau hun tercengang heran, juga Suma Bing tidak kurang pula
kejutnya. Agaknya prasangkanya benar, soal ini menyangkut pada
Bu siang sin hoat yang dikembangkannya itu, tapi sebab yang
utama bagaimana tak dapat dia menyimpulkannya.
Karena sudah bersumpah pada Giok li Lo Ci untuk tidak
membocorkan keadaan dalam Lembah kematian, maka
pengalamannya dalam Bu kong san yang membawa berkah itu
selain dia seorang tak ada lain orang mengetahui secara jelas.
Sekilas si maling bintang Si Ban cwan melirik kearah Suma Bing,
lalu berpaling lagi kearah Liau Sian serta bertanya: "Dapatkah
kiranya Ciangbunjin menerangkan sebab musabab dari peristiwa
lama itu?"
"Peristiwa itu menyangkut rahasia partai kita. Maaf tak dapat kami
memenuhi permintaanmu itu,"
"Aku maling tua masih ada satu pertanyaan, harap suka memberi
penjelasan?"
"Silahkan Sicu katakan!" "Sia sin Kho Jiang satu diantara Bu lim
su ih itu adakah
permusuhan dengan partai kalian?" "Tidak!" "Kalau toh Lam sia
tiada permusuhan dengan partai kalian.
Ketahuilah Suma Bing adalah murid Lam sia malah pengalamannya
dalam dunia Kangouw belum cukup setahun,

bagaimana bisa, dikatakan dia tersangkut paut dengan peristiwa
lama partai kalian?"
"Maksud tujuan dan asal usul Suma Sicu ini sangat mencurigakan
tidak bisa tidak partai kami harus membikin terang urusan ini!"
"Kalau urusan ini belum jelas, mana boleh kalian menahan dan
mengurungnya secara se-mena2?"
"Justru tujuan kita adalah membikin terang urusan ini!"
"Tujuan Suma Bing mendatangi Siau sit hong ini terutama
hanya ingin membuktikan perempuan yang kalian kurung
dibelakang puncak itu, adalah orang yang tengah dicarinya.
Beginilah penjelasannya!"
"Ya, memang mungkin perempuan itu adalah orang yang tengah
dicari oleh Suma sicu itu!"
"Siapakah dia?" tanya Suma Bing terharu. "Hati Sicu sendiri
pasti sudah tahu!" Darah Suma Bing bergolak terasa dadanya
hampir meledak,
sinar matanya memancarkan kebencian yang menyala2 buas,
jikalau Lwekangnya tidak tertutup, mungkin segera ia turun
tangan melabrak musuh ini, maka sambil kertak gigi suaranya
mendesis: "Perhitungan ini aku Suma Bing harus menebusnya
berlipat ganda!"
Tanpa menghiraukan sikap Suma Bing itu, Liau Sian berpaling
kearah si maling bintang: "Omitohud, dosa, dosa... Silahkan Lo
sicu dan Li sicu (maksudnya Siang Siau hun) ini segera turun
gunung!"
"Tidak bisa!" hampir bersamaan maling tua dan Siang Siau hun
berseru.
Jawaban ketus dan kasar ini membuat semua anak murid Siau lim
si yang hadir merasa gusar, dengan penuh

kemarahan mereka melotot kearah maling tua dan Siang Siau
hun.
Kata Liau Sian Taysu kepada Liau Seng Taysu: "Harap Sute
menggusur tawanan!"
Liau Seng si pengawas kelenteng segera mengiakan lantas
menghampiri kearah Suma Bing dengan langkah lebar!
'Sreng.' Siang Siau hun mencabut keluar pedangnya. Si maling
bintang juga bergegas menghadang didepan
Suma Bing. Ketegangan semakin meruncing se-akan2 dalam
kesenyapan sebelum hujan badai bakal mendatang. Pada saat
itulah mendadak terdengar sebuah suara tawa
aneh yang mendirikan bulu roma orang mendengung ditengah
udara.
Berobah hebat air muka para jagoan dari Siau lim si, serta merta
Liau Seng juga menghentikan langkahnya.
Sebuah bayangan hitam bagai setan seenteng burung hinggap
memasuki gelanggang. Kiranya itulah seorang aneh yang
berpakaian serba hitam sampai kulit dan wajahnya juga berwarna
hitam, hanya sepasang bola matanya banyak putih daripada
hitamnya.
Se-konyong2 diantara barisan anak murid Siau lim si sana
terdengar sebuah seruan kaget: "Racun diracun!"
Tentang Racun diracun pernah mengalahkan Pak tok Tangbun Lu
baru terbatas beberapa orang saja yang mengetahui. Tapi dia
berani menggunakan julukan Racun diracun malang melintang
didunia persilatan, sehingga membuat Tangbun Lu yang selama ini
sudah merajai dalam dunia Racun akhirnya toh mandah sembunyi
diri, maka dapatlah dibayangkan betapa berbisanya manusia
beracun ini.

Kehadiran Racun diracun di Siau lim si ini benar2 diluar dugaan
Suma Bing.
Demikian juga para pendeta Siau lim si tidak kalah besar kejut
dan takutnya, entah apa maksud tujuan manusia paling beracun
ini muncul disini?
"Apakah Sicu ini yang disebut Racun diracun oleh kaum
persilatan?" tanya Liau Sian penuh kewaspadaan.
Racun diracun mengiakan, suaranya dingin menusuk telinga
membuat orang merinding karenanya.
"Ada urusan apa Sicu berkunjung kemari?" "Sudah tentu, kalau
tiada urusan penting tidak bakal aku
sudi berkunjung." "Pinceng minta penjelasan?" "Bukankah
pertanyaan Ciangbunjin ini sangat berkelebihan.
Karena urusan Sia sin kedua Suma Bing inilah aku datang!"
Berobah pucat wajah Liau Sian, para pendeta lainnya juga
sontak unjuk rasa gusar dan gentar. "Sicu khusus datang untuk
Suma Bing?" "Sedikitpun tidak salah!" "Harap sicu menerangkan
secara jelas?" Racun diracun ter-loroh2, lalu serunya: "Urusan ini
sangat
gampang, kubawa dia turun gunung!" Liau Cin Taysu tidak kuat
menahan sabar lagi, sambil
menggerakkan senjata tongkatnya ia membentak: "Sicu anggap
Siau lim tiada orang kosen?"
Racun diracun tertawa ejek: "Aku tidak peduli kesimpulan apa
yang Taysu pikirkan!" kejut dan heran merangsang benak Suma
Bing. Ternyata Racun diracun datang hendak menolong

dirinya. Sepak terjangnya selama ini sudah tentu bukan terjadi
secara kebetulan saja. Tapi, mengapa dia berbuat demikian?
Liau Sian ulapkan tangan mencegah perbuatan Liau Cin
selanjutnya, suaranya terdengar sangat berat: "Mengandal alasan
apa Sicu berani membawa orang pergi?"
Tidak kalah garangnya Racun diracun balas bertanya: "Lalu
mengandal apa pula partai kalian mengurung dan menghukum
orang lain?"
"Sebab dia berkeliaran dalam kelenteng melukai orang, dan juga
karena dia tersangkut dalam peristiwa yang sudah ter- katung2
selama seabad!"
"Peristiwa apa yang ter-katung2 itu?" tanya Racun diracun sambil
tertawa sinis.
"Peristiwa itu merupakan rahasia partai kita, harap maaf Pinceng
tidak bisa memberi keterangan!"
"Itulah bagus sekali, urusanku juga sangat penting dan terahasia
maka hendak kubawa dia pergi, maaf aku juga tidak bisa
menerangkan panjang lebar!"
Wajah Liau Sian mengelam dalam, matanya memancarkan cahaya
terang tajam, agaknya ketua Siau lim si yang diagungkan ini
benar2 sudah marah besar, perlahan dan berat dia maju tiga
langkah, suaranya bengis: "Apa Sicu berani berbuat se-mena2?"
"Sungguh menggelikan, ini mana boleh dianggap se- mena2. Kalian
meng-ada2 menimpahkan dosa untuk mengurung orang, apa ini
bukan se-mena2?"
Saking murka badan Liau Sian Taysu sampai gemetar, serunya
gusar: "Aku sangsi keinginan Sicu itu takkan dapat terkabul!"
"Belum tentu!"

Memangnya sifat Liau Cin Taysu paling kasar dan berangasan, tak
kuat lagi dia menahan gejolak amarahnya, sambil menggerung
keras tongkatnya diangkat menggunakan jurus Thay san ap ting
mengemplang kearah Racun diracun, karena gusar dan bertenaga
besar maka perbawa serangan ini bukan olah2 hebatnya angin
menderu2 bagai geledek menyambar.
Menghadapi serangan tongkat yang hebat ini Racun diracun
tenang2 saja tanpa beringser dari tempatnya, tidak menyingkir
malah diangkat sebelah tangannya untuk menyampok kearah
datangnya samberan tongkat...
'Blang' dimana terdengar suara keras ini, kontan Liau Cin Taysu
sempoyongan satu tombak lebih wajahnya pucat pias. Tongkatnya
bengkok terlepas dari tangannya.
Gebrak pertama keras lawan keras benar2 menggetarkan sanubari
seluruh hadirin.
Maklum Liau Cin Taysu setingkat dengan Ciangbun Hong tiang,
Lwekangnya boleh dikata sudah sangat tinggi dan paling
dibanggakan diantara seangkatannya, tidak kira hanya satu
gebrak saja sudah dibikin keok oleh musuh.
Betapa tinggi kepandaian Racun diracun ini benar2 mengejutkan.
Hening sejenak lantas terdengar bentakan2 gusar bagai geledek,
tampak Liau Seng dan Liau Ngo melompat maju berbareng.
Racun diracun angkat sebelah tangannya, serunya lantang: "Nanti
dulu!"
Liau Seng Taysu pengawas kelenteng dan Liau Ngo penyambut
tamu segera menghentikan langkahnya.
Dengan sorot mata tajam Racun diracun menatap kearah Liau
Sian, katanya: "Ciangbunjin, kalau tuan tidak suka

melihat terjadi banjir darah ditempat suci yang agung ini, lebih
baik kalian jangan banyak tingkah!"
"Urusan ini sangat penting dan besar artinya, partai kita rela
berkorban untuk menghadapi meski harus terjadi banjir darah."
"Tapi sekarang belum saatnya menimbulkan banjir darah!"
"Apa maksud ucapan Sicu ini?" Racun diracun menunjuk
kearah Suma Bing dan berkata:
"Kita nantikan setelah kawan ini sudah membuktikan siapakah
perempuan yang kalian kurung dibelakang puncak itu baru dapat
dipastikan apakah ada harganya kalian harus mengeluarkan darah
sebagai imbalannya."
Ucapan Racun diracun ini malah menambah ketekadan Liau Sian
Taysu untuk meringkus Suma Bing kembali, setelah bersabda lalu
dia berseru: "Demi gengsi dan peristiwa lama itu, Suma Bing harus
tetap tinggal dalam kelenteng kami, harap Ngo lo maju meringkus
bocah itu!"
Kelima Tianglo mengiakan berbareng lalu bersama-sama
melangkah maju...
Dalam waktu yang bersamaan Liau Seng Taysu dan Liau Ngo
Taysu mendesak maju lagi kearah Racun diracun.
Jidat Siang Siau hun basah oleh keringat saking tegang pedang
panjangnya juga telah dilolos pula bersiap siaga. Sedang si maling
bintang Si Ban cwan menggeser kedudukan mendekati Suma Bing
dan berdiri disampingnya.
Mendadak Racun diracun membentak keras: "Liau Sian Hwesio,
apa kau paksa aku untuk menggunakan Racunku?"
Bentakan serta ancaman yang serius ini seketika membuat para
pendeta yang hadir giris dan merinding bulu romanya. Serta merta
kelima Tianglo yang mendesak maju itu juga lantas menghentikan
tindakannya. Mereka maklum betapa

kejam dan hebatnya ancaman Racun diracun ini. Sebab racun
takkan dapat ditahan meski dengan kepandaian atau Lwekang
yang tinggi.
Dengan sorot matanya yang dingin Racun diracun menyapu
pandang keseluruh gelanggang lalu berkata lagi: "Aku masih
menghargai dan mengingat bahwa partai kalian adalah golongan
dan aliran lurus yang mengutamakan kebenaran dan keadilan,
maka tidak tega aku turun tangan kejam. Tapi jikalau kalian
memaksa, demi terlaksana maksudku aku tidak akan mengenal
kasihan menggunakan segala kekejianku. Aku percaya kalian pasti
tahu betapa besar dan jelek akibatnya? Perlu kuperingatkan sekali
lagi, dalam jangka tiga tindak pasti jiwa kalian bisa melayang,
kalau ada diantara kalian tidak percaya boleh silahkan keluar
mencoba!"
Ciangbun Taysu Liau Sian berseru dongkol: "Sicu ini ada
hubungan apa dengan Suma Bing?"
"Hubungan kami sangat kental!" Se-konyong2, terdengar
tembang parita yang mengalun
panjang dan menyusup tinggi diudara dari dalam ruang dalam.
Tembang parita dari keagamaan Buddha ini benar2 mengandung
kekuatan atau perbawa yang tiada taranya, semua pendeta yang
hadir berbareng bersabda sekali sambil merangkap tangan dan
menundukkan kepala beramai2 mereka menyingkir kesamping.
Sekarang ditengah gelanggang ketinggalan Racun diracun, Suma
Bing, si maling bintang Si Ban cwan dan Siang Siau hun empat
orang.
Menggunakan peluang ini Racun diracun berpaling kearah Si Ban
cwan dan berkata: "Tuan lekas bawa Suma Bing secepatnya
tinggalkan tempat ini, biar aku yang melayani mereka."
Alis putih si maling bintang Si Ban cwan berkerut dalam,
sahutnya: "Saat ini sudah terlambat untuk pergi!"

"Kenapa?" "Suara tembang parita tadi dinamakan Thian in sian
jiang
(irama langit), orang yang bertembang tadi Lwekangnya sudah
mencapai kesempurnaannya, pasti orang itu bukan lain adalah Hui
Kong Taysu yang diagungkan sebagai Buddha hidup oleh kaum
Siau lim si. Tua bangka ini usianya sudah hampir satu setengah
abad..."
"Masa kita harus mandah saja ditangkap dan diringkus?" seru
Siang Siau hun gugup.
"Belum tentu mereka mampu!" jengek Racun diracun. Baru
saja ucapannya selesai, tampak seorang pendeta tua
kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang sudah muncul
diambang pintu. Maka semua pendeta, segera memberi hormat
sambil menundukkan kepala.
Dalam hati Suma Bing berkata "Akan datang satu hari aku harus
tempur pendeta tua ini!"
Tanpa sadar Racun diracun mundur satu langkah lebar.
Terdengar Suma Bing berbisik kepada si maling bintang:
"Cianpwe, tiga bulan yang lalu Rasul penembus dada pernah
menerjang masuk ke Siau lim si dan membunuh Liau Khong
kepala Lohan tong dan kedua muridnya. Kedatangannya itu
sedemikian gampang dan berhasil dengan gemilang, mengapa
pendeta tua ini..."
"Waktu itu dia tidak muncul!" Dalam pada itu sepasang mata
Hui Kong Taysu tengah
menatap wajah Racun diracun lalu katanya: "Sicu ini menggunakan
ilmu make up yang dinamakan Hian goan tay hoa ih sek untuk
merobah bentuk wajah agaknya kau sealiran dengan Pek kut
Hujin?"
Tiba2 tubuh Racun diracun tergetar, baru pertama kali ini
kedoknya dibongkar terang2an dihadapan orang banyak,

sejenak ia tertegun, lalu sahutnya: "Benar, memang harus
kuakui!"
Mendengar nama Pek kut Hujin di-sebut2 berobah air muka semua
hadirin. Karena Pek kut Hujin adalah momok wanita paling ditakuti
yang sudah malang melintang pada seabad yang lalu. Siapa saja
bagi kaum persilatan yang mendengar akan namanya pasti
merinding ketakutan. Sungguh tidak nyana bahwa Racun diracun
ini kiranya sealiran juga dengan momok wanita nomor satu pada
jaman yang silam itu.
28. RELA BERKORBAN DEMI JIWA KEKASIH
Lebih2 kejut dan heran Suma Bing bukan kepalang, semua
sepak terjang dan tindak tanduk Racun diracun selama ini dan
munculnya Pek kut hujin ber-turut2 itu benar2 membuat dia tidak
habis mengerti. Sekarang boleh dikata sudah separuh dapat
diketahui, dan sebagian lagi yang belum jelas baginya adalah
mengapa Racun diracun dan Pek kut hujin selalu muncul secara
tepat pada saat2 dirinya, menghadapi mara bahaya? Ada latar
belakang apakah dibalik semua kejadian itu?
Terdengar Hui Kong Taysu bersalut lalu berkata: "Ditempat yang
agung dan sunyi ini jangan kalian berbuat dosa dan melanggar
peraturan2 ditempat ini, maka silahkan Sicu segera turun gunung
saja!"
"Jadi Locianpwe tetap berkukuh hendak menahan Suma Bing?"
desak Racun diracun.
"Benar, dia tidak boleh pergi!" "Kalau begitu terpaksa wanpwe
tak dapat menyetujui
keinginanmu itu!"

Sekilas sorot mata Hui Kong Taysu memancarkan cahaya terang
dingin, tapi sedetik itu lantas menghilang lagi, katanya: "Sekali lagi
Lolap tekankan, kuharap Sicu sekalian segera turun gunung."
Sedikitpun Racun diracun tidak mau mengalah, serunya: "Agaknya
perlu juga kuulangi pernyataanku tadi. Tidak!"
"Apa Sicu hendak memaksa Lolap melanggar pantangan?"
"Terserah!" "Yang sicu andalkan tidak lebih hanya kelihayan
racunmu
saja. Masih ada kesempatan untuk menginsafi otakmu yang sesat
itu, jangan kau menyesal sesudah kasep!"
"Nasehat Taysu ini tidak berguna bagi aku!" Entah bagaimana
Hui Kong Taysu bergerak, tiba2 tubuhnya
melayang maju berhadapan dengan Racun diracun, suaranya
berat: "Sicu tetap mengukuhi pendirianmu?"
"Kalau kalian tetap hendak menahan Suma Bing terpaksa aku
harus berjuang sampai titik darah penghabisan!"
"Sicu tidak menyesal?" "Yang harus menyesal mungkin adalah
Lo siansu sendiri!" "Untuk melindungi nama baik tempat agung
dan suci ini
terpaksa Lolap melanggar sumpah dan pantangan!" Lengan
jubahnya yang gondrong dan besar itu tiba2
dikebutkan membawa kesiur angin yang membadai sehingga
seketika itu Racun diracun kena terdesak mundur delapan kaki
jauhnya, darah bergolak dalam rongga dadanya.
"Lo siansu, terpaksa aku menggunakan racun!!" "Siancay!
Siancay! Agaknya Sicu sudah tersesat terlalu
dalam, silahkan kau unjukkan kemampuanmu!"

Pada saat itulah sekonyong2 segulung hembusan angin dingin
menderu2 sehingga api obor berkelap-kelip hampir terhembus
padam, semua hadirin gemetar dan merinding kedinginan oleh
hembusan angin yang terasa menyusup sampai ke-tulang2.
Mendadak Hui Kong Taysu mundur dua langkah terus berpaling
kearah sebuah pohon terpaut lima tombak sebelah sana dan
berseru lantang: "Tokoh kosen darimanakah yang berkunjung ke
biara kami, mengapa tidak segera unjukkan diri?"
Maka sorot pandangan semua hadirin ikut menatap kearah pohon
besar itu, namun apapun tidak terlihat oleh mereka.
Terdengar sebuah suara meringkik dingin menjawab: "Taysu, kau
mengandal ilmu Sian thian sin kang dan tidak takut menghadapi
racun. Tapi kau jangan lupa beberapa ratus jiwa para pendeta
dalam biara Siau lim si ini, mereka tidak akan kuat bertahan
menghadapi racun berbisa. Apa kau sudah membayangkan
akibatnya?"
Terdengar suaranya tapi tak terlihat orangnya, hal ini benar2
membuat semua pendeta yang hadir merinding dan gentar,
apalagi ucapan dingin yang mengandung ancaman serius itu
lebih2 menakutkan sanubari mereka.
Orang yang bicara ini sudah tentu membela kepentingan Racun
diracun, didengar dari nada ucapannya jelas bahwa dia juga
seorang wanita. Siapakah dia? Sekaligus dia dapat menyebut dasar
dari ilmu andalan Hui Kong Taysu maka sudah tentu orang itu juga
seorang tokoh kosen yang luar biasa lihay kepandaiannya.
Agaknya Hui Kong Taysu terpengaruh juga akan ancaman itu,
tanyanya gemetar: "Tokoh kosen darimanakah Sicu ini?"
"Ada bayangan tiada bentuk. Kukira Taysu pasti tahu siapakah aku
ini!"

"Sungguh tidak duga Li sicu ternyata masih sehat waalfiat!!"
"Jadi anggapan Taysu bahwa aku sudah harus mati?"
"Omitohud! Apakah maksud kunjungan Li sicu ini?" "Ketahuilah
bahwa Suma Bing tiada sangkut-pautnya
dengan peristiwa yang terbengkalai pada ratusan tahun yang lalu
itu, partai kalian tidak seharusnya mengurungnya lagi."
Jantung Suma Bing berdetak keras, matanya dengan tajam
mengawasi kearah rimba lebat yang gelap kelam itu, hatinya
ber-tanya2, namun sekian lama ia masih bingung dan tidak tahu
siapakah orang yang bicara itu.
Demikian juga semua pendeta Siau lim si termasuk Ciangbunjin
mereka berobah pucat dan kaget.
Sejenak Hui Kong Taysu merandek, lalu membuka suara lagi:
"Apakah Lolap dapat percaya ucapan Li sicu ini?"
"Taysu, terserah kau mau percaya, apa kau ingin melihat anak
muridmu menemui ajalnya secara mengenaskan?"
"Li sicu juga hendak turun tangan?" "Jikalau terpaksa apa boleh
buat?" "Jadi Li sicu memandang rendah Siau lim kita?" "Tidak
berani, latihan ilmu Taysu sudah mencapai taraf
kesempurnaan, tingkat kedudukan Taysu juga tertinggi. Maksudku
hanya untuk meredakan gelombang angkara murka yang bakal
terjadi!"
"Lalu bagaimana kalau Suma Bing tersangkut-paut dengan
peristiwa ratusan tahun itu?"
"Aku bertanggung jawab untuk membekuk dan menyerahkan
kepada Siau lim si!"
"Kuharap ucapan Li sicu ini dapat dipercaya penuh?"

"Taysu salah seorang tokoh Buddhis yang sudah sempurna,
apakah pertanyaan Taysu ini tidak berkelebihan?"
"Kalau begitu, Li sicu silahkan!" sejenak Hui Kong Taysu
memandang kearah Liau Kian terus berkelebat masuk kedalam
biara.
Maka segera Liau Sian ulapkan tangan sambil berseru "Kembali"
Dalam sekejap saja para pendeta Siau lim itu sudah menghilang
didalam biara suasana dalam rimba kembali diliputi kesunyian dan
kegelapan.
Dari dalam rimba sana terdengar pula suara yang misterius tadi:
"Suma Bing, wanita yang terkurung dibelakarg puncak Siau sit
hong itu bukan orang yang tengah kau cari, kembalilah jangan
me-nyia2kan tenagamu."
Suma Bing merasa heran dan aneh, orang sedemikian jelas akan
maksud kedatangannya. Maksud kedatangannya ke Siau lim si ini
adalah hendak mencari ibundanya, dan hal itu selain si maling
bintang dan Siang Siau hun berdua tiada orang ketiga yang
mengetahui, darimana tokoh misterius itu dapat mengetahui.
Tengah berpikir2 itu mulutnya berkata gemetar: "Harap
Locianpwe suka memperkenalkan diri!"
Suasana dalam rimba sunyi senyap tanpa terlihat gerak apa2
terang bahwa tokoh misterius itu pasti sudah pergi jauh. Siapakah
dia? Beratus pertanyaan mengganjal dalam benak Suma Bing.
Segera Racun diracun menghampiri kearah Suma Bing seraya
berkata: "Biar kubebaskan jalan darahmu yang tertutup itu!" —
tanpa menanti reaksi Suma Bing, beruntun jarinya menyentik dari
kejauhan. Seketika Suma Bing rasakan seluruh tubuhnya tergetar
sekali lantas ia merasa hawa murni dalam tubuhnya sudah
berjalan normal kembali dan tenaganya

sudah pulih seperti semula. Dengan perasaan terharu segera ia
memberi hormat kepada Racun diracun serta katanya: "Tuan, aku
Suma Bing terlalu banyak berhutang budi kepadamu."
"Tidak perlu dipersoalkan tentang utang piutang apa segala..."
"Mengapa tuan selalu berbuat baik kepada aku yang rendah ini?"
"Kelak kau akan tahu sendiri." "Kalau tidak tuan jelaskan
sungguh hatiku kurang
tentram?" "Kurasa tidak perlu dan belum tiba saatnya." "Sudah
berulangkali tuan mengatakan kepada orang bahwa
hubungan kita sangat kental dan erat sekali. Apakah itu benar?"
"Segala sesuatu terjadi tanpa dapat diduga sebelumnya, tiada
yang sempurna dan abadi, kadangkala benar, tapi kadang kala
juga salah, buat apa kau harus menanyakan sebab musabab ini?"
Suma Bing meng-geleng2 dengan hampa dan lesu, sungguh dia
tidak mengerti maksud juntrungan ucapan orang!
Tiba2 Racun diracun merogoh keluar sebuah kotak kecil panjang
dan berkata: "Suma Bing apa kau masih ingat janji kita waktu
mau berpisah tempo hari?"
"Sudah tentu masih ingat!" sahut Suma Bing kesima.
"Kalau begitu ambillah." "Tuan apa kau tidak
mengajukan syaratnya?" "Sudah kukatakan tanpa
syarat!"

Suma Bing menyambut dengan tangan gemetar. Pedang darah.
Merupakan salah sebuah benda berharga dalam kalangan
persilatan, semua kaum persilatan pasti ingin merebutnya meski
harus mengorbankan jiwanya sendiri. Tapi sekarang Racun diracun
menyerahkan kepadanya tanpa syarat. Hampir2 dia tidak percaya
akan kenyataan ini. Namun menghadapi bukti yang nyata ini mau
tak mau dia harus percaya.
Mendadak Siang Siau hun menatap tajam kearah Racun diracun,
katanya: "Kupandang muka engkoh Bing, perhitungan kita kelak
kita selesaikan lagi!"
Racun diracun mendengus dingin, sahutnya: "Sewaktu2
kunantikan." habis ucapannya bayangannya juga lantas
menghilang dikegelapan malam.
Suma Bing menghela napas panjang, ujarnya: "Sepak terjang
Racun diracun susah diraba sebelumnya!"
"Buyung." seru si maling bintang Si Ban cwan sambil
menggerak2an kepalanya yang sudah penuh ubanan: "Semua
pengalamanmu ini bukan terjadi secara kebetulan tentu jadi latar
belakang yang ganjil. Apakah bakal membawa berkah atau
bencana bagi kau susah disangka!"
"Benar, memang wanpwe juga merasa begitu! Eh, apakah
Cianpwe dapat meraba siapakah tokoh lihay yang sembunyi dalam
rimba tadi?"
"Tentang ini... dia pernah mengatakan 'ada bayangan tanpa
bentuk', tapi setahuku belum pernah kudengar ada seseorang
yang menggunakan simbol empat kata itu sebagai julukannya.
Dari nada percakapan Hui Kong Taysu dengan dia, sedikitnya,
tokoh misterius ini berkedudukan tinggi..."
"Mungkin tidak, berhubungan erat dengan Racun diracun?"
"Kemungkinan itu sangat besar!"

"Darimana dia bisa tahu maksud kedatangan wanpwe meluruk ke
Siau lim ini?"
"Teka-teki ini susah ditebak. Kecuali kita dapat membuka
kedoknya!"
"Dia mengatakan orang yang terkurung dibelakang puncak itu
bukan ibuku, dapatkah keterangannya dipercaya?"
"Dapat dipercaya, tapi kelak kau perlu membuktikannya sendiri."
"Benar, aku harus membuktikan." "Mari kita segera turun
gunung!" "Wanpwe ingin..." "Kau ingin apa?" "Aku ingin
sekarang juga membuktikan bahwa orang yang
dikurung dibelakang puncak itu siapakah sebenarnya?" Ter-sipu2
si maling bintang Si Ban cwan menggoyangkan
tangan: "Jangan!" "Kenapa?" "Pertama; saat ini kau masih bukan
tandingan Hui Kong
Taysu, kedua; Orang dalam rimba itu sudah memberitahu
kepadamu bahwa orang yang dikurung dibelakang puncak itu bukan
ibumu, kalau kau berkukuh hendak kesana membuktikan itu berarti
kau tidak mempercayai ucapannya itu, juga berarti kau menyia2kan
kebaikan orang. Dan yang terpenting sekarang kau sudah
memperoleh Pedang darah, kau harus tahu apa yang harus kau
lakukan..."
Tergerak hati Suma Bing, maka sahutnya: "Baiklah, mari kita
pergi."
Ditengah kegelapan malam, tiga bayangan manusia sekencang
angin berlarian turun dari puncak Siong san.

Pada terang tanah mereka bertiga sudah jauh meninggalkan Siong
san, dalam sebuah kota kecil mereka istirahat sebentar dan
menangsal perut terus melanjutkan perjalanan lagi. Ditengah
perjalanan itu mendadak Suma Bing ingat sesuatu lantas bertanya
kepada si maling bintang: "Cianpwe, aku ada sebuah pertanyaan?"
"Coba kau katakan!" "Apakah yang disebut 'Bu lim sam coat te'
itu?" Bu lim sam coat te adalah tiga tempat bertuah yang
mematikan bagi kaum persilatan. "Oh, konon kabarnya adalah
lembah kematian, Te po
(perkampungan bumi) dan Kui tha (menara setan). Bagaimana
keadaan dan letak ketiga tempat ini mungkin tiada seorangpun
yang jelas dan dapat memberi keterangan."
"Mengapa?" "Bagi kaum persilatan yang mendatangi ketiga
tempat
keramat itu, pasti takkan dapat hidup kembali. Lembah kematian
adalah tempat dimana kau terjungkal jatuh oleh pukulan Si tiau
khek itu. Dimanakah letak Te po itu tiada, seorangpun yang tahu.
Sedang Kui tha terletak ditengah Hek cui ouw (danau air hitam)
diperbatasan Kui ciu dan Su cwan!"
"Wanpwe berharap ada kesempatan untuk berkenalan dengan
tempat2 kramat itu."
"Ah, anak muda berdarah panas, lebih baik kau jangan
mempunyai ingatan2 yang berbahaya itu."
Suma Bing tidak bersuara lagi, namun dalam hati ia tengah
berpikir; Lembah kematian adalah tempat bersemayam Bu siang
sin li, dirinya sudah pernah pergi kesana, dan sekarang juga dia
tengah menempuh perjalanan hendak menuju ketempat.
Pengalamannya yang aneh dilembah kematian itu belum pernah
dia beberkan kepada orang lain. Tentang

Perkampungan bumi dan Menara setan diharap pada suatu ketika
dia dapat pesiar ketempat yang menakutkan itu.
Tengah mereka mengayun langkah itu, mendadak wajah Siang
Siau hun berubah pucat ketakutan dan segera menghentikan
langkahnya, kedua matanya terbelalak lebar, serunya gemetar
sambil menunjuk keatas sebuah pohon: "Engkoh Bing apakah itu?"
Suma Bing dan si maling tua menghentikan kakinya, mereka
memandang menurut arah yang ditunjuk oleh Siang Siau hun.
Maka terlihat dipinggir jalan sebelah depan sana diatas pohon
berjajar bergantungan empat mayat manusia, keempat mayat itu
bergoyang gontai dihembus angin lalu, keadaan yang seram ini
benar2 membuat merinding dan takut orang yang melihat.
Suma Bing mendengus ejek terus melesat menubruk kearah
keempat mayat gantung itu,
"Engkoh Bing." teriak Siang Siau hun, "Apa yang hendak kau
lakukan?"
"Ha, itulah Si tiau khek!" seru si maling bintang bagai tersadar dari
lamunannya, tidak mau ketinggalan segera dia juga menubruk
maju.
Memang dugaan si maling bintang tidak salah, keempat orang
gantung ini memang bukan lain adalah Si tiau khek jagoan kelas
istimewa dari Bwe hwa hwe.
Agaknya Si tiau khek memang menanti kedatangan Suma Bing.
Berbareng keempat setan gantung itu perdengarkan tawa
melengking yang menggiriskan bulu roma terus melayang turun
keatas tanah.
Melihat musuh2 besarnya ini mata Suma Bing merah membara,
wajahnya membeku diliputi nafsu membunuh yang tebal.

Terdengar Heng si khek pentolan dari Si tiau khek membuka suara
nadanya dingin: "Suma Bing, agaknya usiamu panjang sampai
sekarang kau masih hidup."
"Kalau aku sudah mati lalu siapa yang akan menyempurnakan
kalian?" desis Suma Bing dengan geram.
"Bedebah!" maki Bau bong khek. "Biar hari ini kita sobek
badanmu menjadi delapan bagian. Akan kulihat apakah kau masih
bisa hidup kembali?"
"Agaknya kau ingin mati lebih dulu, baiklah aku mulai dari kau!"
'Blum' dengan kecepatan yang susah dibayangkan pukulan Suma
Bing dengan telak menghantam Bau bong khek sehingga terpental
terbang beberapa tombak jauhnya.
Kiranya Suma Bing telah lancarkan Bu siang sin hoat mendesak
maju kehadapan Bau bong khek dan kontan memberinya sebuah
pukulan telak. Memang Bu siang sin hoat bukan olah2 hebat dan
menakjupkan, sebelum Bau bong khek melihat tegas bayangan
musuh tahu2 terasa dada dihantam sebuah godam besar hingga
jungkir balik.
Segera Heng si khek membentak gusar dan memberi aba2 kepada
saudara2nya: "Awas gerak-gerik bocah ini sangat aneh, mari kita
maju berbareng."
Serempak sambil berteriak menggeledek ketiga setan gantung
lainnya ini lancarkan pukulan2 dahsyat. Suma Bing insaf bahwa
salah seorang dari keempat musuhnya ini saja Lwekangnya lebih
tinggi dari dirinya, mana ia berani menyambuti serangan musuh
secara keras, sekali berkelebat bagai setan gentayangan tubuhnya
lenyap ditengah2 damparan dan pusaran angin pukulan
musuh2nya.
Boleh dikata baru kali ini Si tiau khek melihat ilmu kepandaian
yang menakjupkan ini, saking kaget dan gentar keringat dingin
membanjir keluar. Sungguh mereka tidak habis

mengerti dalam jangka pendek selama tiga bulan ini entah
darimana bocah ingusan ini dapat mempelajari ilmu sesat yang
mandraguna sakti dan hebat ini.
'Blang.' untuk kedua kalinya tubuh Suma Bing berkelebat maju
dan menyerang, kali ini sasarannya adalah punggung Heng si
khek, kontan tubuhnya terhuyung beberapa langkah sambil
menyemburkan darah segar.
Dalam pada itu, meskipun Bau bong khek kena terpukul terbang,
namun lukanya tidak terlalu berat, sekali melejit bangun segera ia
tiba dalam kalangan pertempuran lagi.
Sementara Suma Bing masih tenang2 berdiri ditempatnya semula,
se-olah2 belum pernah berkisar atau bergerak.
Sambil menyeka noda darah diujung bibirnya, tersipu2 Heng si
khek mengisiki ketiga saudaranya. Maka dilain saat keempat setan
gantung ini sudah berpencar lagi terus mendesak kearah Suma
Bing.
Heng si khek dan Hui bing khek yang sudah cacat buah
tangannya masing2 lancarkan sebuah pukulan tengah. Belum lagi
angin pukulannya mengenai sasarannya bayangan musuh lagi2
sudah menghilang dari pandangan mata.
Bertepatan dengan itu Bau bong khek dan Teh cian khek juga
sudah ayun tangan masing2 beruntun lancarkan serangan
membadai dari dua pinggiran.
Begitu Suma Bing berkelit dari hantaman tengah kebetulan
menyongsong kearah damparan angin pukulan yang kokoh kuat
bagai dinding ini, keruan tubuhnya tergetar jumpalitan delapan
kaki jauhnya, tanpa kuasa mulutnya menguak seperti hendak
muntah. Mendapat peluang ini, secepat kilat Heng si khek dan Hui
bing khek segera menubruk maju sambil menendang dan
menghantam dengan serangan dahsyat yang mematikan.

Untung gerak gerik Suma Bing masih sangat sebat, tersipu2 ia
berkelit kesamping. Bahwasanya Bu siang sin hoat memang sangat
lihay dan aneh, tapi kebentur musuh2 lihai yang tenaga dalamnya
terlalu tinggi, malah empat orang bergabung dan bersatu padu
bekerja sama secara rapi lagi. Dua menyerang dan dua lainnya
menjaga diri, serangan kilat dengan cara bokongan yang
mengandal kegesitan tubuhnya itu akhirnya toh kena diatasi oleh
penjagaan musuh yang rapat. Seperti yang diberitahukan Giok Li
Lo Ci kepadanya, bahwa ilmu Bu siang sin hoat cukup kelebihan
untuk menjaga diri, namun kurang memadai untuk menyerang
musuh.
Kalau yang dihadapi Suma Bing bukan tokoh lihay sebangsa Si
tiau khek ini, atau secara satu lawan satu seumpama lawan dua
orang juga keadaannya akan lebih menguntungkan.
Jikalau Si tiau khek selalu melancarkan serangan tindakan mereka
ini akan sia2, sedikitpun mereka takkan dapat menyentuh seujung
rambut Suma Bing. Sebaliknya, kalau Suma Bing turun tangan juga
tidak membawa untung bagi dirinya sendiri kekuatan gabungan Si
tiau khek, mungkin tiada seorang tokoh lihay dari kalangan
persilatan yang kuat menandingi.
Se-konyong2 Heng si khek berteriak menggeledek: "Serang!"
Tiga gelombang angin pukulan yang dingin membeku bergulung2
menerpa kearah Suma Bing dengan dahsyatnya. Seperti
yang sudah2 dengan mudah Suma Bing berkelebat pindah tempat
menghindar...
Bertepatan dengan itu terdengar sebuah seruan kaget dan
ketakutan. Tahu2 Siang Siau hun sudah kena diringkus oleh Heng
si khek, sebuah tangannya mencengkram pergelangan tangan,
sedang tangan yang lain menekan jalan darah Thian to hiat
dibatok kepalanya.

Tindakan musuh yang licik dan kejam ini benar2 diluar dugaan
Suma Bing, sungguh tidak nyana bahwa Heng si khek bisa
mengalihkan sasarannya ketubuh Siang Siau hun, sampai2 si
maling tua yang berada tak jauh disampingnya juga tak kuasa
mencegah lagi.
Dada Suma Bing hampir meledak menahan gusar, bentaknya
bengis: "Heng si khek berani kau menyentuh seujung rambutnya
saja, kuhancur leburkan tubuh kalian."
Heng s i k he k menge k eh t awa s e r am, sahut ny a .
"Buy ung , t ak b e rg una k au umb a r anc aman,
p o k ok ny a j iwa no na k e c i l i ni t e r l e t ak d iuj ung j a r i k u,
b e r ani k au b e r g e r ak , l i hat l ah d i a mat i l eb i h d ul u! "
Dalam pada itu, Bau bong khek, Hui bing khek dan Teh cin khek
sudah beruntun berdiri dibelakang Heng si khek, punggung beradu
punggung, masing2 menjaga satu jurusan. Betapapun aneh dan
lihay gerak tubuh Suma Bing, takkan mungkin dapat melancarkan
serangannya lagi.
Wajah Siang Siau hun kelihatan hijau membesi, alisnya berdiri
tegak, sedikitpun dia tak kuasa berkutik lagi.
Keadaan Suma Bing serba runyam, mata melotot gigi gemeratak
menahan gusar, ingin rasanya ia mengkeremus habis2an empat
setan gantung ini.
Sebaliknya Heng si khek sangat puas dan bangga, ujarnya:
"Suma Bing, sekarang mari kita tawar menawar jual beli ini!"
"Jual beli apa, coba katakan!" "Kau sendiri yang menggantikan
kedudukan nona ayu ini,
bagaimana?" Sungguh gusar Suma Bing tak terperikan, namun
karena
Siang Siau hun sudah cidera karena dirinya, maka sambil kertak
gigi ia menegasi: "Cara bagaimana menukarnya?"
"Kau ikut kita pergi, maka kita lepaskan nona ayu ini."

"Boleh!" "Tapi kita harus menotok jalan darahmu dulu." Tanpa
terasa Suma Bing menghela napas dalam dan
merinding tubuhnya. Mati hidupnya adalah soal kecil, setelah dirinya
kena tertotok jalan darahnya bila Si tiau khek ingkar janji tidak
melepaskan Siang Siau hun, bukankah pengorbanannya akan sia2
dan hampa. Apalagi kekejaman Si tiau khek melebihi binatang buas,
mungkin si maling tuapun tidak akan luput dari kekejaman mereka.
Karena pikirannya ini segera ia bertanya: "Kalau aku sudah
tertotok, apa kalian berani bersumpah pasti melepaskan nona
Siang dan Si cianpwe?"
Tersipu2 si maling bintang Si Ban cwan menggoyang tangan dan
berkata: "Buyung, jangan kau seret aku kedalam pertikaian ini,
maaf aku orang tua harus pergi dulu!" habis ucapannya segera
tubuhnya yang bundar cebol itu melenting tinggi menghilang
didalam rimba.
Tindakan si maling tua ini benar2 diluar dugaan Suma Bing, keruan
hatinya tambah dongkol, namun setelah dipikirkan lantas dia
paham maksud kepergian si maling tua ini. Jikalau dia tidak lekas2
menyingkir kalau terlambat mungkin takkan dapat tinggal pergi
secara masih bernyawa. Sebab hakikatnya keadaannya sekarang
dipihak yang terdesak dan tak mungkin lagi dirinya berani bermain
garang dan main kekerasan terhadap Si tiau khek. Kalau si maling
tua sudah mengundurkan diri, pasti dia dapat mencari akal dan
mencari bantuan untuk menolong dirinya.
Terdengar Heng si khek mendesak lagi: "Buyung, kau sudah ambil
kepastian belum?"
"Kau harus melepaskan dia dulu!" "Kalau kau tidak percaya
kepadaku, apa aku harus percaya
kepadamu?"

"Engkoh Bing," teriak Siang Siau hun, suaranya serak dan
menyedihkan, "Kau pergilah, asal kau selalu ingat untuk menuntut
balas bagiku, aku sudah cukup puas!"
Hati Suma Bing bagai di-iris2 pisau, bagaimana bisa dia
mengorbankan seorang gadis muda belia yang mencintai dirinya,
maka sambil menggeleng kepala dia berkata: "Tidak!"
"Engkoh Bing, apa kau ingin mati bersama Siau moay?" Dada
Suma Bing hampir meledak, kedua matanya melotot
bagai menyemburkan api tindakan Si tiau khek meringkus Siang
Siau hun sebagai sandera untuk menukar dirinya, membuat dia
patah semangat dan pasrah nasib.
"Baik, kau lepaskan dia." "Tapi, kita harus totok dulu jalan
darahmu!" "Kau lepaskan dulu, segera aku ikut kalian
berangkat." "Kalau kau berontak ditengah jalan?" "Sungguh
menggelikan, ucapan seorang laki2 bagai kuda
berlari kencang yang susah dikejar, mati hidup seseorang
tergantung ditangan Tuhan."
Setelah ragu2 dan bimbang akhirnya, Heng si khek berkata juga:
"Keparat, kali ini boleh aku percaya, tapi perlu kuberitahu, kalau
kau sampai ingkar janji, nona ayumu ini juga tidak bakal dapat
terbang jauh." — Habis berkata begitu, juga ia lepas tangan
mendorong tubuh Siang Siau hun kedepan.
Bergegas Siang siau hun memburu kehadapan Suma Bing,
ratapnya: "Engkoh Bing, mari kita pergi, biar perhitungan ini kita
tagih kelak"
"Tidak!" sahut Suma Bing dingin acuh tak acuh. "Apa, terhadap
iblis, dan setan kejam demikian kau juga
percaya?"

"Adik Hun, kau lekas pergi saja" "Kau... kau hendak ikut
mereka pergi?" "Apa boleh buat, ucapan seorang laki2 harus
ditepati!" "Apa kau tahu apa akibatnya?" "Paling banyak mati!"
Tergetar tubuh Siang Siau hun wajahnya juga lantas pucat
pasi, sambil membanting kaki ia berkata gemes: "Kecuali aku
sudah mati, selama ini aku tidak akan berpisah dengan kau!"
"Adik Hun, kau..." Suma Bing benar2 terharu dibuatnya,
terbayang dalam
otaknya kejadian dalam biara bobrok itu, waktu dirinya keracunan
bisa Pek jit kui oleh Tangbun Yu putra Racun utara, dia bersumpah
hendak menyertainya kealam baka, keadaan saat itu persis benar
dengan sikapnya ini.
"Adik Hun, jangan kau membuat aku serba salah?" "Aku sudah
berkeputusan untuk berbuat begitu." "Adik Hun, untuk
menepati janji seorang gagah, aku harus
ikut mereka menuju ke Bwe Hwa hwe..." "Aku juga ikut serta."
"Tidak mungkin!" Terdengar Heng si khek menyeringai iblis.
"Suma Bing
apakah ucapanmu masuk hitungan?" "Sudah tentu" "Kalau begitu,
silahkan kau totok sendiri jalan darahmu,
Lohu berjanji tidak akan melukai seujung rambut nona ayu ini."
"Permintaanmu ini tidak dapat kuturuti!" "Ha, kau
ingkar janji dan menjilat ludahmu sendiri?"

"Aku hanya melulusi untuk ikut kalian tapi tidak berjanji untuk
menutuk jalan darahku!"
"Tindakanmu ini cerdik juga, kalau mau ikut segeralah berangkat,
keraguanmu akan menentukan keselamatan nona ayu ini!"
"Setelah sampai pada tempat tujuan, aku hendak pergi atau lari
adalah urusanku, tapi selama dalam perjalanan, jangan kuatir aku
tidak akan meninggalkan kalian."
Empat setan gantung itu saling berpandangan lalu mengeluh,
lantas terdengar Heng si khek angkat bicara: "Buyung, kita
mempercayaimu sekali ini, adalah kau sendiri yang mengatakan
selama dalam perjalanan tidak akan merat, jikalau ditengah jalan
ada orang mencegat dan turut campur urusan ini, apakah kau
masih tetap dapat menepati janjimu?"
"Sudah tentu!" Diam2 dalam benak Suma Bing sudah
mempunyai
perhitungannya sendiri. Menggunakan kesempatan ini dia berharap
dapat
membongkar kedok Ketua Bwe hwa hwe, mengapa lawan selalu
mengejar2 jiwanya. Mengandal kelihayan ilmu gerak tubuhnya
yang baru itu dia percaya tidak gampang2 dirinya bakal dapat
dikekang oleh musuh.
"Adik Hun, harap kau dengar kataku sekali ini, lekaslah pergi,
percayalah kepadaku, tidak lama lagi pasti kita dapat bertemu
lagi!"
"Tidak!" Sikap kaku dan ketus Siang Siau hun ini, membuat
Suma
Bing serba runyam. Pada saat itulah mendadak terdengar sebuah
gelak tawa
orang yang keras memekakkan telinga. Suara tawa ini

sedemikian mendadak dan mengejutkan sehingga semua orang
yang hadir tercekat dan tergetar perasaannya.
Baru saja suara gelak tawa itu lenyap lantas terlihat seorang tua
aneh yang berjenggot panjang menjulai sampai keperutnya,
mengenakan jubah panjang yang bersulam Pat kwa didepan
dadanya, kepalanya dibungkus kain saten, tangannya membekal
sebuah kipas yang di-goyang2kan.
Kalau Suma Bing dan Siang Siau hun ter-heran2. Sebaliknya
kehadiran orang tua aneh ini malah membuat empat setan gantung
yang biasa berlaku garang dan telengas itu kuncup nyali dan
gemetar tubuhnya.
Terpaut kira2 lima tombak orang tua aneh ini menghentikan
langkahnya, kipas ditangannya terus di- goyang2kan, sikapnya acuh
tak acuh bagai seorang nabi yang tengah menikmati panorama
alam yang indah permai.
S e g e r a H e n g s i k h e k m a j u m e n y a p a :
" O r a n g t u a k o s e n d a r i m a n a k a h k a u i n i ? "
"Hahahaha, aku si orang tua yang kenamaan saja kalian tidak
tahu, masih berani berlagak sebagai tokoh dunia persilatan apa
segala!"
"Apakah kau orang tua adalah Kong kun Lojin?" "Tidak salah,
agaknya pengalamanmu luas juga!" Serta merta keempat
setan gantung itu menyurut mundur
satu langkah. Demikian juga Suma Bing dan Siang Siau hun
terbeliak
kaget dibuatnya, mimpipun mereka tidak menyangka bahwa si
orang tua aneh dihadapan mereka ini ternyata adalah Kong kun
Lojin yang dipandang sebagai malaikat penyelamat bagi aliran
putih dan dipandang sebagai Giam lo ong oleh golongan hitam.
+=============================+
Tiraik
asih
Websi
te
http://
kangz
usi.co
m/
Benarkah orang tua aneh ini adalah Kong Kun Lojin? Apakah
kedatangannya ini hendak menolong Suma Bing?
Ada latar belakang apakah dibalik tugas Si tiau khek yang hendak
meringkus Suma Bing ke Bwe Hwa Hwe?
Siapakah Ketua Bwe Hwa Hwe yang sebenarnya? untuk
pertanyaan ini silahkan Baca Jilid ke 8
-oo0dw0oo-
Jilid
8
29. LOH CU GI JEBUL ADALAH SESEPUH BWE HWA HWE.
Konon bahwa Kang-kun Lodjin ini sudah wafat pada enam
puluhan tahun yang lalu, apa mungkin berita itu adalah kabar
angin belaka?
Untuk apakah Cianpwe aneh dari kaum persilatan ini muncul
secara mendadak disini?
Sekian lama Kang kun Lojin menatap Suma Bing, lalu katanya:
"Buyung, apa kau ini yang diberi julukan Sia-sin kedua Suma Bing
murid Sia sin Kho Jiang?"
Sejenak Suma Bing melengak, lantas ter-sipu2 memberi hormat
dan menyahut: "Memang itulah wanpwe, entah Locianpwe ada
pengajaran apa?"
Kang kun Lojin me-ngelus2 jenggotnya yang panjang memutih,
seraya berkata dengan nada berat: "Buyung, apa kau tahu tentang
perjanjianku dengan Lam sia dulu kala itu?"
Suma Bing tertegun, sahutnya: "Hal itu wanpwe tidak tahu!"

Mengelam wajah Kang kun Lojin, serunya: "Apa benar Sia sin Kho
Jiang sudah meninggal dunia?"
"Itulah benar!" "Hm, janjinya seperti kentut tidak dapat
dipercaya, manusia
rendah sampah persilatan!" Mendengar orang memaki dan
menghina gurunya, sontak
berkobar hawa amarah Suma Bing, semprotnya dengan angkuh:
"Mengapa Locianpwe sedemikian menghina dan memaki guruku?"
"Buyung, coba katakan apa benar suhumu tidak memberitahukan
kepada kau tentang janji dan sumpahnya kepadaku?"
"Tidak, tapi..." "Tapi apa?" "Asal Locianpwe suka memberitahu
tentang janji dan
sumpahnya itu, biar wanpwe yang mewakili menyelesaikannya!"
"Apa kau mampu melakukannya?" "Pasti dapat, hutang guru
muridnyalah yang bayar!" "Ketahuilah utang piutang ini tidak
mudah dilunasi!" "Sebenarnya tentang piutang apakah?"
"Hutang jiwa!" Tanpa kuasa Suma Bing berjingkrak kaget.
Bagaimana
mungkin gurunya berhutang jiwa kepada Kang kun Lojin. Semasa
hidup gurunya pernah berkata bahwa orang tua aneh ini selain
ilmunya tinggi sifatnya kejam dan berpandangan sempit, juga
senang turut campur urusan orang lain. Tidak pernah gurunya
memberitahukan tentang hal2 lainnya. Malah pernah dikatakan
bahwa orang tua aneh ini sudah meninggal

dunia pada empatpuluh tahun yang lalu. Lantas bagaimana
penjelasannya tentang hutang jiwa yang dikatakannya ini?
Karena tidak mengerti segera ia bertanya : "Locianpwe sukalah
kau memberi penjelasan sekadarnya?"
Kata Kong kun Lojin serius: "Limapuluh tahun yang lalu, terbawa
oleh sifat2 jahat dan sesatnya gurumu telah membunuh keluarga
muridku sebanyak tiga jiwa. Akhirnya ia menginsafi kesalahannya
dan berjanji kepadaku setelah urusan pribadinya dapat diselesaikan
semua dia hendak menghadap kehadapanku untuk membunuh diri
menebus dosa2nya dulu!"
Keruan tergetar perasaan Suma Bing tercetus seruannya: "Apa
benar terjadi hal itu?"
"Hm, buyung, apa kau sangka aku seorang pembual? Kalau dia
tidak memberi pesan kepadamu, bukankah dia seorang rendah
yang menjilat ludahnya sendiri, tuduhan Lohu ini tidak salah
bukan?"
Semangat Suma Bing serasa terbang, tanpa kuasa tubuhnya
terhuyung tiga langkah, lalu sambil kertak gigi ia berseru tegas:
"Hutang jiwa ini biarlah wanpwe yang akan bayar!"
Pucat wajah Siang Siau hun, teriaknya kaget: "Engkoh Bing,
kau..."
Se-konyong2 Kong kun Lojin berputar menghadapi Si tiau khek
dan berkata: "Kalian boleh segera pergi dari sini."
Si tiau khek gentar menghadapi kebesaran nama Kong kun Lojin,
hati mereka kebat-kebit, namun dalam hati mereka berat untuk
tinggal pergi begitu saja, segera Heng si khek tampil kedepan
sambil unjuk hormat dan berkata: "Wanpwe berempat tengah
menjalani tugas untuk menggusur Suma Bing..."

Kong kun Lojin maju beberapa tindak sambil menggoyangkan
kipasnya, tukasnya: "Selamanya aku orang tua hanya berkata
sekali!"
"Wanpwe berempat terpaksa dan..." "Keparat, apa kalian
minta aku orang tua mengantar kalian
dengan kipasku ini?" Keruan Si tiau khek ketakutan, setelah saling
berpandangan, akhirnya mereka tinggal pergi tanpa bersuara lagi.
Sementara itu Suma Bing menjadi gugup, serunya: "Cianpwe,
harap kau suka memberi kelonggaran supaya aku pergi menepati
sebuah janji!"
"Janji apa?" "Aku sudah berjanji dengan Si tiau khek untuk ikut
mereka
menuju kemarkas besar Bwe hwa hwe!" "Apa kau ada pegangan
dapat kembali dengan masih
bernyawa?" "Ini... mungkin bisa." "Jikalau kau mengalami
bencana, lalu bagaimana kau
hendak membayar piutang suhumu dulu itu?" "Wanpwe
bersumpah pasti kembali!" "Buyung, ada berapa banyak jiwamu,
agaknya kau
memang sudah bosan hidup." Mendengar nada ucapan terakhir
ini agak ganjil, Suma Bing
menjadi naik pitam, bentaknya dengan aseran: "Siapakah tuan ini
sebenarnya?"
Maka terlihat Kong kun Lojin meraup jenggotnya dan
menanggalkan ikat kepalanya, kipasnya juga lantas dilempit sambil
tertawa ter-kekeh2: "Buyung, siapa aku?"

Suma Bing tidak kuat lagi menahan rasa geli dan meng- garuk2
kepalanya yang tidak gatal. Ternyata yang berdiri dihadapannya
ini bukan lain adalah si maling bintang.
Siang Siau hun sendiri juga tidak kuat menahan gelinya, dan
tertawa ter-pingkal2 sampai perutnya terasa mulas.
"Cianpwe bagaimana kau bisa merubah menjadi wajah Kong kun
Lojin?"
"Hehehe, Kong kun Lojin sudah meninggal dunia pada enam puluh
tahun yang lalu, dalam Bu lim yang masih mengenal wajah aslinya
kukira tiada berapa orang saja, karena terpaksa baru aku
mendapat akal yang licik ini."
"Locianpwe." seru Siang Siau hun masih memegangi perutnya,
"Agaknya kau sering bermain samaran ini, kalau tidak darimana
secepat itu kau mendapatkan perlengkapan itu."
"Budak ayu, tak perlu kau mengocok aku. Semua perlengkapan ini
kupinjam dari patung pemujaan Cukat siansing didalam biara tak
jauh didepan sana, tentang jenggot panjang ini? Hahaha, kupinjam
dari Ui Tiong itu salah satu dari Ong hou ciang jendral perang yang
termashur pada jaman Sam Kok!"
Lagi2 Siang Siau hun ter-pingkal2 tak hentinya, Suma Bing juga
merasa lega dan bersyukur.
Kata si maling bintang Si Ban cwan: "Mari kita melanjutkan
perjalanan."
Wajah Suma Bing berobah sungguh2, sahutnya: "Tidak!" "Ha,
tidak! Apa maksudmu?" "Aku seorang laki2, mana bisa aku
ingkar janji terhadap Si
tiau khek?" Seketika lenyap seri tawa Siang Siau hun kini
wajahnya
berganti penuh kesedihan.

Si maling bintang menjadi gugup, teriaknya: "Buyung Bwe hwa hwe
takkan puas sebelum merenggut jiwamu. Kepandaian Si tiau khek
mungkin masih lebih unggul dari Bu lim su ih. Toh mereka mandah
terima perintah orang lain. Maka kepergianmu ini, mana bisa kau
kembali dengan masih tetap bernyawa. Apa kau tidak berpikir
bahwa kau sendiri memikul tugas berat penuntutan balas dendam
kesumat keluarga dan suhumu, lalu kenapa kau memandang
jiwamu sedemikian murah..."
Suma Bing tertawa getir, sahutnya: "Tapi wanpwe tidak mungkin
mengingkari janji."
"Apa kau benar2 harus pergi?" "Ya, mungkin disana aku dapat
memecahkan tabir rahasia
Bwe hwa hwe mengapa selalu mengejar2 jiwa wanpwe!" "Sudah
tentu dapat kau bongkar rahasia itu, tapi kau juga
harus mengorbankan jiwamu sendiri sebagai imbalannya!" "Itu
belum tentu!" "Engkoh Bing." suara Siang Siau hun gemetar, "Apa
kau
benar2 hendak masuk kedalam jebakan musuh?" "Adik Hun,
maafkanlah kesukaranku ini, kuharap kelak
dapat bertemu lagi!" "Tidak, kau tidak boleh pergi. Engkoh Bing,
aku tak bisa
hidup tanpa kau..." Airmata Siang Siau hun akhirnya mengalir
dengan deras
membasahi kedua pipinya. Si maling bintang juga menahan
keperihan hatinya,
ujarnya: "Buyung, menuntut balas, mencari ibumu, dan mencuci
bersih nama perguruan, apa kau masih ingat akan semua tugas
itu?"

Sejenak Suma Bing tertegun mendelong, lalu sahutnya dengan
penuh tekad: "Cianpwe, tidak bisa tidak aku harus memenuhi
kepercayaan orang!"
"Hm, kepercayaan? Kalau kau dapat memenuhi kepercayaan orang,
apa kau sudah membayangkan akan akibatnya?"
Tiba2 Siang Siau hun menubruk maju memeluk Suma Bing
kencang2, serunya: "Engkoh Bing, berjanjilah kau tidak akan
pergi!"
Kulit wajah Suma Bing ber-kerut2 sebentar, secepat kilat sebuah
jarinya menutuk jalan darah Hek tiam hiat lalu per- lahan2
membaringkannya diatas tanah, lalu katanya kepada si maling
bintang: "Cianpwe, setelah aku pergi harap bebaskanlah jalan
darahnya, maaf aku minta diri!" habis berkata tubuhnya berkelebat
menghilang.
Saking gusar dan dongkol si maling bintang mem-banting2 kaki
dan melotot matanya, mulutnya mengoceh tak karuan.
"Sesat, sesat! Sifat2 sesat dari Kho Lo sia semua sudah
diturunkan kepada bocah tak genah ini..."
Dalam pada itu, belum Suma Bing mencapai jarak tiga li, benar
juga jauh2 terlihat Si tiau khek tengah berlarian balik, agaknya
mereka sudah merasa kena dikibuli bahwa Kong kun Lojin itu
sebenarnya adalah palsu. Segera ia menghentikan langkah.
Berbareng Si tiau khek mengeluarkan suara kaget dan heran,
Heng si khek tertua dari mereka segera menyeringai seram,
katanya: "Suma Bing, hampir saja kita berempat kena dikibuli,
hehehe, pintar juga si maling tua itu bermain sandiwara."
Suma Bing menjengek dingin, sahutnya: "Aku Suma Bing
selamanya menepati apa yang pernah kuucapkan, mari berangkat
bawa aku menuju ke Bwe hwa hwe!"

Ucapan Suma Bing ini agaknya diluar dugaan Si tiau khek,
sejenak mereka melengak, lalu Heng si khek membuka kata:
"Gagah benar, mari ikut!"
Lima bayangan manusia dengan kecepatan bagai angin lesus
berlarian menuju kedepan sana.
Begitulah selama sehari semalam mereka berlarian melalui alas
pegunungan dan jalan2 sempit yang jarang dilalui manusia. Pada
hari ketiga pagi2 benar tibalah mereka didepan sebuah lembah
yang sempit. Baru saja mereka menancapkan kaki, harum
kembang bunga Bwe sepoi2 dibawa angin merangsang hidung.
Setelah ber-putar2 dalam lembah sempit itu sampailah mereka
didepan sebuah rimba pohon Bwe, sedemikian lebat dan luasnya
hutan pohon Bwe ini agaknya ber-lapis2 tanpa ujung pangkalnya.
Diam2 Suma Bing membatin: Serasi benar nama Bwe hwa hwe
dengan tempat ini, apakah mungkin markas besar Bwe hwa hwe
berada didalam lembah hutan pohon Bwe ini?
Tengah Suma Bing ber-pikir2 ini terdengar Heng si khek berkata:
"Sudah sampai."
"Apa markas besar Bwe hwa hwe dibangun dalam lembah sempit
ini?"
"Tidak salah, diujung hutan pohon Bwe inilah!" Si tiau khek
berempat membuka jalan didepan, terus
memasuki hutan pohon Bwe itu, sejenak Suma Bing ragu2.
Akhirnya dia mengikuti juga sambil membusung dada dan
memasang mata dengan waspada. Justru yang mengherankan
kalau tempat ini adalah letak markas besar Bwe hwa hwe
mengapa tidak kelihatan bayangan manusia, suasana dalam hutan
ini sedemikian sunyi senyap menyeramkan.
Tidak lama kemudian setelah belak belok beberapa kali mendadak
Suma Bing kehilangan bayangan Si tiau khek, mereka menghilang
begitu saja tanpa keruan paran.

Keruan Suma Bing menjadi gugup dan terkejut, sebat sekali ia
kembangkan ilmu gerak tubuhnya selulup timbul diantara
lebat2nya pohon2 bunga Bwe, namun sekian lama dia berkeliaran
sampai keringat membanjir keluar, sekelilingnya masih gelap
pekat, hutan bunga Bwe ini agaknya tak berujung pangkal. Saking
gugup segera dia melompat keatas sebuah pohon, dimana
matanya lepas memandang empat penjuru angin adalah pohon
bunga Bwe melulu, sampai bayangan lembah sempit darimana tadi
dia masukpun sudah menghilang entah dimana.
Kiranya itulah sebuah barisan! Baru sekarang Suma Bing
tersadar bahwa dirinya telah
terjebak masuk jaringan musuh yang aneh ini, kalau tidak
mengenal inti perubahan barisan ini, seumpama berlarian ubek2an
sampai mati juga akan sia2 belaka.
Saking kewalahan akhirnya dia turun kembali dan duduk dibawah
sebuah pohon tenang2 dia berpikir mencari akal untuk meloloskan
diri dari kurungan barisan ini.
Tapi sedikitpun dia tidak kenal akan aturan barisan ini, pikir punya
pikir, otaknya semakin bebal, sungguh dia tidak habis mengerti
mengapa Si tiau khek memancingnya dan mengurung dirinya
kedalam barisan ini?
Kalau toh tempat ini sudah termasuk kekuasaan Bwe hwa hwe itu
berarti dirinya sudah menepati janjinya, mau datang atau pergi
sudah terserah kepada kehendaknya sendiri, akan tetapi dirinya tak
mungkin dapat meloloskan diri. Sang waktu berjalan dengan
cepatnya. Bagai binatang jalan yang terkurung dalam
kerangkengan, demikian juga keadaan Suma Bing, kakinya terus
melangkah tanpa arah tujuan yang menentu.
Se-konyong2 tidak jauh didepannya sana berkelebatan muncul
beberapa bayangan manusia, yang terdepan adalah seorang
pemuda berwajah culas, sekali pandang Suma Bing

lantas mengenalinya, itulah Ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong
adanya, dibelakangnya mengikuti Si tiau khek dan pelindungnya Ma
Siok ceng.
Sontak berkobar hawa amarah Suma Bing, sambil mendengus
dingin, segera ia menubruk maju.
Sebat sekali Si tiau khek berpencar dari dua jurusan masing2
ulurkan sebuah tangan melancarkan pukulan, empat gelombang
angin pukulan dingin segera memapak kedatangan Suma Bing,
kontan tubuh Suma Bing terpental balik ketempatnya.
Terdengar Ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong menyeringai iblis:
"Suma Bing, menyerah saja, seumpama kepandaianmu setinggi
langit juga percuma."
"Chiu Thong," teriak Suma Bing gusar, "Kau hendak berbuat apa
kepada diriku?"
"Tidak lama lagi kau akan tahu sendiri!" Seorang wanita ayu
molek bak bidadari muncul dengan
langkah lenggang lenggok dari belakang Chiu Thong. Serta merta
berdetak jantung Suma Bing, kecantikan
wanita setengah umur ini benar2 baru kali ini dilihatnya selama
hidup.
Chiu Thong dan anak buahnya, segera menyingkir kesamping terus
membungkuk memberi hormat dan berseru menyapa: "Menghadap
hormat kepada ibu guru."
"Jangan banyak peradatan!" Lagi2 tergetar perasaan Suma
Bing, kiranya wanita ayu
setengah umur ini adalah ibu guru dari Ketua Bwe hwa hwe Chiu
Thong. Lalu siapakah gurunya? Benar, tentu yang pernah
dikatakan oleh Ketua Bwe hwa hwe sendiri sebagai 'dia orang tua'
itulah...
"Mohon ibu guru memberi petunjuk?"

"Bawa kembali kemarkas, biar suhumu sendiri yang
menyelesaikannya!"
"Terima perintah!" seru Chiu Thong, lalu ia berpaling kepada Si
tiau khek dan berkata lagi: "Harap kalian berempat turun tangan
meringkusnya!"
Sikap dan tingkah laku Si tiau khek agaknya takut2 menghadapi
wanita setengah umur itu, berbareng mereka mengiakan. Lalu dari
jurusan yang berlainan serempak menubruk kearah Suma Bing,
delapan cakar kurus kering bagai kilat mencengkram datang.
Sekali berkelebat secara menakjupkan Suma Bing lolos dari
kurungan cengkraman bayangan cakar musuh2nya.
Gerak gerik Suma Bing yang hebat ini membuat Ketua Bwe hwa
hwe dan Ma Siok ceng berobah airmukanya.
Demikian juga wanita ayu setengah umur itu menegakkan alisnya
dan berdiri kesima.
Begitu menubruk tempat kosong gesit sekali Si tiau khek melompat
mundur lalu menerjang kembali. Ber-ulang2 Suma Bing unjuk
kegesitan tubuhnya, sambil berkelit kedua tangannya tidak tinggal
diam diayun ber-ulang2, maka Cincin iblis yang dikenakan tengah
jarinya itu segera memancarkan sinar berkilauan, ditengah seruan
kejut dan ketakutan, tali panjang dileher Bau bong khek sudah
terpapas jatuh, keruan semangatnya serasa terbang ke-awang2.
"Mundur semua!" suara perintah dengan nada yang nyaring merdu
mengandung kewibawaan yang menciutkan nyali. Bergegas Si tiau
khek melompat mundur sambil membungkuk tubuh dengan tubuh
gemetar.
Wanita ayu setengah umur maju dua langkah, dua bola matanya
yang bening indah menjalari seluruh tubuh Suma Bing.

Entah karena wanita setengah umur ini terlalu cantik rupawan,
atau kedua matanya itu mengandung kekuatan sihir. Suma Bing
yang biasanya bersikap dingin keras kepala itu kini ternyata
ter-longong2 semangatnya se-akan2 me-layang2, tanpa terasa ia
menundukkan kepala tak berani beradu pandang dengan orang.
Tiba2 Suma Bing merasa pandangannya kabur, tahu2 sebuah jari
yang putih halus dari wanita cantik itu sudah menyelonong hendak
mencengkram dadanya, dalam kagetnya serta merta timbul
reaksinya, sebat sekali kakinja menggeser lima kaki jauhnya.
Gerak tubuh kedua belah pihak sedemikian tjepat benar2 hebat
dan mengagumkan.
Dimana terlihat bayangan berkelebat, untuk kedua kalinya wanita
ayu setengah umur lancarkan serangannya kearah Suma Bing,
cara turun tangannya ini aneh dan ganas sekali jarang terlihat ilmu
semacam ini dikalangan Kangouw. Dingin perasaan Suma Bing
menghadapi serangan yang menakjupkan ini, untuk
mengandalkan gerak kelit dari Bu siang sin hoat yang sangat
ampuh itu dia selalu lolos dari marabahaya, kalau tidak diukur dari
kepandaiannya tentu dirinya takkan mampu bertahan satu jurus
saja.
Tanpa terasa wanita ayu setengah umur berseru memuji: "Ringan
tubuh yang hebat!"
Sambil berseru itu, tahu2 pergelangan tangannya digentakkan,
sebuah selendang warna merah sepanjang dua tombak tahu2
sudah dicekal ditangannya.
Melihat wanita ayu setengah umur ini mengeluarkan selendang
senjatanya segera Ketua Bwe hwa hwe dan anak buahnya
bergegas mundur sejauh tiga tombak.
Hati Suma Bing kebat kebit kurang tentram, naga2nya wanita
setengah umur ini hendak mengunjuk kepandaian aslinya.

Baru saja pikiran ini terlihat dalam otaknya, bayangan merah
berkelebat didepan matanya bagai seekor naga hidup langsung
menyapu kearah tubuhnya, tiga tombak sekitar tubuhnya
terkekang oleh kekuatan tenaga sapuan selendang merah ini.
Ciut dan merinding tubuh Suma Bing, beruntun dua kali dia berkelit
sejauh tiga tombak, kini dirinya sudah melampaui beberapa batang
pohon bunga Bwe. Se-konyong2 dia kehilangan bayangan musuh,
pada saat dia melengak heran, secarik angin dingin melesat tiba
dari arah belakangnya. Baru saja dia hendak berkelit agaknya
sudah terlambat tahu2 pinggangnya terasa linu serta merta
tubuhnya menjadi limbung dan pada saat itulah dia merasakan
pergelangan tangannya sudah dipegang oleh musuh. Terasa pula
tubuhnya tergetar lantas hilanglah seluruh tenaganya.
Wanita ayu setengah umur itu pandang wajah Suma Bing lekat2,
timbul sebuah mimik aneh pada wajahnya yang rupawan itu,
namun hanya sekejap saja lantas lenyap.
" B a w a k e m b a l i k e m a r k a s ! " S i t i a u k h e k
s e r e m p a k m e n g i a k a n , H e n g s i k h e k
s e g e r a
tampil kedepan menutuk beberapa jalan darah Suma Bing, terus
dijinjing dan dikempit dibawah ketiaknya. Mereka mengintil
dibelakang wanita setengah umur itu terus memasuki hutan lebat
sebelah sana.
Pada saat itu juga Suma Bing kehilangan kesadarannya. Waktu
Suma Bing siuman kembali, ia merasakan dirinya
berbaring didalam sebuah kamar yang dihias sedemikian mewah.
Ditengah ruang besar terdapat meja kursi besar yang terukir indah
terbuat dari kayu cendana, diatas kursi besar inilah duduk dua
orang laki2 dan perempuan. Laki2 itu berumur empatpuluhan,
berpakaian sebagai sastrawan berwajah cakap gagah. Sedang
wanita itu adalah wanita

setengah umur yang dipanggil sebagai ibu guru oleh ketua Bwe
hwa hwe itu.
"Suma Bing, bangunlah dan jawab pertanyaan!" Bergegas Suma
Bing bangkit berdiri, matanya nanap
memandang laki2 setengah umur. Seringai laki2 pertengahan
umur itu mengandung kelicikan,
lalu tanyanya: "Kau inikah murid Sia sin Kho Jiang?" "Benar!"
"Apa benar Kho lo sia sudah mati?" Suma Bing menjawab dengan
mendengus hidung. "Jadi kau sudah diangkat sebagai ahli
warisnya?" "Tidak salah!" "Selain kau apakah Kho lo sia
mempunyai murid lainnya?" Timbul rasa curiga dalam benak
Suma Bing siapakah laki2
ini? Untuk apa dia menyelidiki keadaannya sampai serumit itu?
Berulangkali Bwe hwa hwe mengejar2 dan hendak membunuh
dirinya, tentu semua itu keluar dari kehendaknya, tapi untuk
apakah?
Karena pikirannya ini, segera ia balas bertanya: "Siapakah tuan
ini?"
"Nanti kau akan dapat tahu, sekarang kau jawab dulu
pertanyaanku!"
"Aku menolak!" "Jawablah pertanyaanku!" "Untuk apa tuan
menanyakan semua itu?" "Hehehe, Suma Bing, kuharap kau
tahu diri, apa sebelum
ajal kau hendak merasakan siksaan jasmaniah yang mengerikan
itu."

Mendengar ancaman ini, berkobar darah Suma Bing matanya
menyala ber-api2, semprotnya bengis: "Siapa kau sebetulnya?"
Timbul seringai sadis pada wajah laki2 pertengahan umur,
se-olah2 tak terjadi apa2 dia berkata: "Sudah kukatakan nanti
sebentar kau akan tahu. Coba katakan pada duapuluh tahun yang
lalu selain kau seorang apakah Kho lo sia menerima murid
lainnya?"
Suma Bing semakin naik pitam, sambil menggeram gusar
tangannya diangkat terus menyerang.
"Hehehehehe..." Kedua bola mata Suma Bing melotot besar
hampir
mencelat keluar, pelan2 tangannya menjulai turun tanpa
bertenaga lagi, baru sekarang dia sadar bahwa ilmu silatnya
kiranya sudah lenyap sama sekali.
Kata laki2 pertengahan umur lagi: "Kau mau katakan tidak?"
"Tidak!" "Baik, tidak kau katakan ya sudah, sekarang biar kau
melihat tegas kepandaianku", sembari berkata per-lahan2 ia
bangkit dari tempat duduknya, dimana tangan diayun lantas
memancarlah secarik sinar merah marong melesat keluar kearah
pintu ruangan besar.
Kontan Suma Bing rasakan arus hawa panas merangsang lewat
dari samping tubuhnya. Maka terdengarlah sebuah dentuman yang
dahsyat disusul hidungnya dirangsang bau sesuatu yang hangus
terbakar, kiranya sepasang pintu besi ruangan itu sudah hangus
terbakar dalam sekejap mata tinggal setumpukan abu.
Dalam kagetnya Suma Bing berteriak: "Kiu yang sin kang."

Saking puas dan bangga laki2 pertengahan umur itu mendongak
dan tertawa gelak2: "Benar, begitulah batas kedahsyatan dari Kiu
yang sin kang. Suma Bing, untuk melatih sampai tingkatanku ini,
seumpama Kho lo sia sendiri juga harus melatihnya sampai seratus
tahun lamanya. Tentang kau? hahahahaha!"
"Siapakah kau sebenarnya?" bentak Suma Bing. "Aku? Hitung2
masih termasuk Suhengmu!" "Kau... kau... kau ini Loh Cu gi?"
"Benar, akulah Loh Cu gi!" Suma Bing terhuyung tujuh delapan
langkah, seluruh
tubuhnya berkelojotan, raut wajahnya berkerut2 kekejangan.
Tidak kuat lagi, mulutnya mengoak lebar menyemburkan darah
segar.
Sebenarnya usia Loh Cu gi sudah mencapai enam puluhan, tapi
raut wajahnya masih menunjukkan kecakapan sebagai laki2
berusia empatpuluhan yang ganteng. Dari sini dapatlah diukur
bahwa latihan Lwekangnya agaknya sudah mencapai titik
kesempurnaannya.
Kepala Suma Bing terasa men-dengung2, matanya beringas
menatap musuh besarnya ini. Dendam kesumat dan rasa
kebencian yang menyala2 merangsang dalam aliran darahnya,
ingin rasanya saat itu juga ia melimpahkan seluruh rasa
kebenciannya ini, namun tenaganya hilang, tubuhnya gemetar dan
basah kuyup oleh keringat dingin.
Loh Cu gi musuh besar yang setiap saat setiap detik selalu
terbayang dalam ingatannya ternyata adalah orang yang
memegang peranan penting dibelakang layar dari orang2 Bwe hwa
hwe ini.
Bergantian terbayang keadaan suhunya yang merana dengan
badan cacat dan akhirnya meninggal dengan mengenaskan.
Keadaan ibunya yang hampir menggila setelah

diperkosa dan harus kehilangan seorang putranya. Akhirnya
terbayang juga kematian ayahnya dibawah kepungan beratus
manusia2 kejam yang mengeroyoknya... lantas tercetus ucapan
dari mulutnya: "Loh Cu gi, binatang jalang, hendak kurobek dan
kupotong2 seluruh tubuhmu, kubakar tulang2mu dan kusebarkan
kemana2."
Loh Cu gi ganda bergelak tawa seram, serunya: "Jadi kau hendak
menuntut balas bagi Kho lo sia gurumu itu?"
"Benar, suhu meninggalkan pesan untuk mencacah jiwamu."
"Apa kau mampu?" "Jangan ter-gesa2. Kukira kau tidak
melupakan peristiwa
diatas puncak kepala harimau pada delapan belas tahun yang lalu
bukan?"
Berobah hebat wajah Loh Cu gi, tubuhnya melenting bangun dan
serunya gemetar: "Siapa kau?"
Sahut Suma Bing sambil mengertak gigi: "Akulah anak tunggal
Suma Hong, orok kecil yang kau sapu masuk jurang. Kau tidak
menyangka bukan?"
Lagi2 berobah air muka Loh Cu gi, mulutnya mengekeh tawa
ke-gila2an, nada tawanya mengandung nafsu kekejaman sadistis
yang menyeramkan.
Adalah si wanita ayu pertengahan umur itu mengunjuk rasa
heran dan penuh pertanyaan.
Suma Bing sudah angkat kedua tangannya hendak menyerang,
namun sedetik itu ia urungkan tindakannya, saat mana tenaganya
sudah lenyap, keadaannya seperti ayam jago yang tinggal tunggu
saat untuk disembeleh saja.
Sinar matanya menyapu kearah wanita ayu setengah umur itu.
Kalau bukan terjebak didalam barisan, mengandal ilmu Bu
Tiraik
asih
Websi
te
http://
kangz
usi.co
m/
siang sin hoat, cukup berkelebihan untuk menyelamatkan diri,
tentu tak mudah wanita ayu ini dapat meringkus dirinya.
"Kalau aku tidak mati pasti akan kubunuh kau juga." demikian
dalam hati Suma Bing berjanji pada dirinya sendiri.
Setelah menghentikan tawanya, Loh Cu gi berkata menyeringai:
"Suma Bing, inilah yang dikatakan Tuhan Yang Maha Kuasa selalu
mengabulkan keinginan pemujanya, kau pasrah nasib saja!"
Bayangan kematian merangsang dan melingkupi perasaan Suma
Bing. Dia insaf setelah dirinya terjatuh kedalam cengkraman Loh
Cu gi tentu tiada harapan lagi untuk hidup. Maka teriaknya penuh
kebencian: "Loh Cu gi, kau binatang jalang ini, menjadi setan juga
aku tidak mengampunimu."


Anda sedang membaca artikel tentang Cersil SD LIONG : Pedang Darah Bunga Iblis [1] dan anda bisa menemukan artikel Cersil SD LIONG : Pedang Darah Bunga Iblis [1] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cersil-sd-liong-pedang-darah-bunga.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil SD LIONG : Pedang Darah Bunga Iblis [1] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil SD LIONG : Pedang Darah Bunga Iblis [1] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil SD LIONG : Pedang Darah Bunga Iblis [1] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cersil-sd-liong-pedang-darah-bunga.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar