Cerita Silat Cersil Cin Tung : Badik Buntung [2]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 25 Agustus 2011

Cerita Silat Cersil Cin Tung : Badik Buntung [2] lanjutan posting badik buntung 1


Dalam melancarkan serangannya ini Situa Pelita sudah matang dalam perhitungan, melihat aksi
lawannya ini, selicin belut tahu-tahu ia menyergap ke belakang orang, sembari lancarkan pukulan
dahsyat juga, sasarannya adalah punggung Kiu-yu-mo-lo.
Lima puluh tahun yang lalu nama Kiu-yu-mo-lo sudah cukup menggetarkan berbagai kalangan
persilatan, sudah tentu ia punya bekal kepandaian yang lihay, masa mandah saja diserang oleh
Situa Pelita, tidak kalah gesitnya tubuhnya berputar, lagi-lagi telapak tangannya kanan sudah
memapak menangkis pula.
Situa Pelita menjadi gusar, batinnya, “Masa kekuatan pukulan dua telapak tanganku tidak kuasa
melawan sebuah pukulan tanganmu?” seiring dengan pikirannya, serempak kedua telapak
tangannya menghantam dengan kekerasan tujuannya hendak memukul mundur Kiu-yu-mo-lo.
Namun Kiu-yu-mo-lo sendiri juga tahu bahwa lawannya ini tidak boleh dipandang ringan, masa
begitu goblok ia mau menempuh bahaya, jurus permainannya ini tidak lain hanyalah pancingan
belaka, gerak geriknya serba guna bisa kosong dapat diisi juga. Begitu Situa Pelita mendesak
maju, cepat sekali ia menarik tangannya kanan, berbareng tubuhnya berputar terbang, beruntung
kedua kepalan tangannya menggenjot bergantian kepada Situa Pelita.
Melihat lawan bermain begitu lincah dan berbuat licik, mendadak mencebak dengan pukulan
berisi menjadi kosong, keruan bukan kepalang kejut Situa Pelita, tak kalah sebatnya ia
berloncatan, sambil mainkan pukulannya secara gencar, namun usahanya sia-sia untuk
membendung arus tenaga pukulan lawan, akhirnya terpaksa ia harus menyembut dengan
kekerasan.
Dengan menyeringai dingin Kiu-yu-mo-lo kerahkan tenaganya, Situa Pelita menyambut dengan
tergesa-gesa, begitu kedua pukulan saling beradu, seketika ia rasakan segulung hawa dingin
meresap ke dalam telapak tangannya terus merembas masuk ke dalam badan melalui sendi2
tulang dan urat nadinya.
Sudah tentu tersirap kaget Situa Pelita, cepat ia empos semangat dan kerahkan hawa murni
untuk menutup semua jalan darahnya, namun demikian tak urung mukanya sudah pucat pasi tak
enak dipandang.
Kiu-yu-mo-lo terkekeh-kekeh mengumbar rasa puas yang tak terhingga, tubuhnya mencelat
naik dan menerjang kembali dengan pukulan hebat yang mendampar laksana hujan topan
diprahara mengincar kepala Situa Pelita.
Situa Pelita insyaf bahwa dirinya sudah terluka dalam yang cukup parah, mana berani ia
melawan dan mengulur waktu lagi, dasar Ginkangnya memang hebat luar biasa, seenteng asap
badannya melambung tinggi terus terbang laksana burung camar melarikan diri sipat kuping.
Karena menguatirkan keadaan Sutouw Ci-ko, maka Kiu-yu-mo-lo segan mengejar, cepat ia
putar balik, dilihatnya Sutouw Ci-ko masih berdiri menjublek disana tanpa bersuara, begitu tenang
dan agaknya sangat asjik menonton pertempuran yang hebat tadi sehingga tidak ingin tinggal
pergi.
Diam-diam Kiu-yu-mo-lo mengucapkan syukur dalam hati, bila Sutouw Ci-ko mau lari, waktu
Situa Pelita baru datang tadi mestinya ia punya cukup waktu untuk melarikan diri, bagaimana juga
ia tidak akan mampu mengejar, apalagi tentu Situa Pelita akan melibatkan dirinya dan merintangi
dirinya mengejar. Walaupun ia tidak takut menghadapi Situa Pelita, namun tak perlu disangsikan
lagi pasti Sutouw Ci-ko sudah berkesempatan menghilang. Sekarang kenyataan dia tetap berdiri
disitu, jelas sudah rela mengikuti dirinya.

Sebetulnya Sutouw Ci-ko punya perhitungannya sendiri, bila mau lari sejak tadi memang ia
sudah lolos, tapi apakah ia boleh lari? Bukankah dia harus menuntut balas, betapapun tak bisa
membiarkan Kiu-yu-mo-lo bebas keluntang-keluntung kemana dia suka. Menurut hematnya
dengan kekuatan gabungan gurunya dan Hwi-king Lojin pasti dapat mengalahkan Kiu-yu-mo-lo,
namun setelah menyaksikan pertempuran yang seru tadi, diam-diam bercekat hatinya, dengan
membekal luka dalam yang cukup parah ternyata Kiu-yu-mo-lo masih kuasa mengalahkan Situa
Pelita.
Tengah ia tenggelam dalam renungarunya, terdengar Kiu-yu-mo-lo berseru, “Mari berangkat!”
Waktu Sutouw Ci-ko angkat kepala, tahu-tahu Kiu-yu-mo-lo sudah mengepitnya terus dibawa
lari, perjalanan kali ini ditempuh dengan cepat, selama tiga jam Sutouw Ci-ko hanya pejamkan
mata, terasa angin menderu keras dipinggir telinganya. yang terpikir dalam benaknya hanyalah
Hun Thian-hi, entah bagaimana keadaannya, masih hidup atau sudah mati.
Entah sudah berapa lama lagi, akhirnya Kiu-yu-mo-lo berhenti dan menurunkan Sutouw Ci-ko
katanya, “Istirahat dulu sebentar!”
Sutouw Ci-ko membuka mata, ia pandang keadaan sekelilingnya, ternyata mereka berada di
atas sebuah bukit, rumput hijau nan subur seperti permadani terbentang luas tak berujung
pangkal, di sebelah sana hanya terdapat beberapa buah pohon yang jarang tersebar diberbagai
tempat.
Tanpa bersuara Sutouw Ci-ko duduk menggelendot di atas sebuah pohon kecil, otaknya berpikir
membayangkan Gurunya, Hwi-king-ouw dan Hun Thian-hi.
Dengan cermat Kiu-yu-mo-lo pandang Sutouw Ci-ko, lama kelamaan hatinya menjadi ketarik
pada gadis ini, Sutouw Ci-ko sudah meninggalkan kesan mendalam bagi sanubarinya. Menurut
ketenaran namanya, andaikata Sutouw Ci-ko berhasil menunjukkan Buah ajaib, jiwanya juga tidak
akan selamat dari tangannya yang sudah lama berlepotan darah. Ia heran dan bertanya-tanya,
kenapa Sutouw Ci-ko tidak melarikan diri. Ia heran apa yang tengah dipikirkan Sutouw Ci-ko?
Apakah dia selalu terkenang akan adiknya? Maka bertanyalah ia, “Tok-sim-sin-mo jauh lebih
telengas dari aku, adikmu itu mungkin tidak terlepas dari kekejamannya.
“Berkat buah ajaib pasti aku dapat menyembuhkan luka-luka dalamku, tatkala itu pasti aku
bantu kau menuntut balas, ingin aku angkat kau sebagai muridku ….”
Sutouw Ci-ko tetap bungkam dan tidak bergerak, Kiu-yu-mo-lo menjadi rada gemas, katanya,
“Bagaimana,” selamanya aku belum ketarik pada seseorang apa kau tidak senang dan sudi
menjadi muridku?”
Melihat Sutouw Ci-ko tidak memberi reaksi, Kiu-yu-mo-lo menjadi dongkol, desisnya,
“Bagaimana? selamanya aku belum pernah penujui orang, sekarang kuangkat kau menjadi
muridku apa kau tidak kegirangan?”
Sutouw Ci-ko mengerling, katanya sesaat kemudian, “Kalau bukan karena adikku itu, aku tiada
minat untuk hidup lagi, bila benar-benar dia telah meninggal, apa pula artinya aku hidup merana?”
“Jadi kau tidak ingin hidup?” jengek Kiu-yu-mo-lo tertawa kering, “Lima puluh tahun lamanya
aku dikurung di dalam Jian-hud-tong oleh Ka-yap Cuncia, tapi aku ingin hidup, sebaliknya di alam
bebas begini kau ingin mati.”

Sutouw Ci-ko menunduk tak bicara lagi. Kata Kiu-yu-mo-lo lebih lanjut, “Apa betul orang itu
adalah adikmu? Dari nada dan rasa prihatinmu kulihat bukan melulu antara kakak beradik saja
hubungan kalian.”
Tergetar sanubari Sutouw Ci-ko, pelan-pelan ia mendongak memandang langit nan cerah
membiru, ia membatin, “Apa betul? Mati hidup Hun Thian-hi kau jadikan pegangan mati hidupmu,
hubungan ini memang melampaui hubungan antar kakak beradik.”
“Apa betul dia adalah adik kandungmu?” desak Kiu-yu-mo-lo dengan sinis.
“Kau tidak perlu urus soal ini, itu adalah urusanku sendiri.” senggak Sutouw Ci-ko gemas.
Kiu-yu-mo-lo terkekeh-kekeh dingin, ejeknya, “Sekarang kau pikirkan dia. juga tak berguna, dia
tentu sudah mampus, jenazahnya saja kau tak mampu melihat dan menemukan lagi. Maka
turutlah nasehatku, kelak aku akan bantu kau menuntut balas, kalau tidak, huh, aku kuatir jiwamu
sendiripun kau tak mampu menjaganya.”
Sutouw Ci-ko tertawa tawar acuh tak acuh, diam-diam ia tengah terpekur apakah perlu ia harus
menggantungkan mati hidup dirinya kepada keselamatan Hun Thian-hi.
Terdengar Kiu-yu-mo-lo mendengus dan berkata, “Mari melanjutkan perjalanan lagi!” tanpa
menanti Sutouw Ci-ko membuka suara, sekali jinjing terus dikempitnya dibawa lari bagai terbang.
Tanpa terasa tiga hari telah berlalu, dengan menjinjing tubuh Sutouw Ci-ko, hari itu Kiu-yu-molo
sudah tiba di pesisir danau kaca terbang, keadaan Hui-king-ouw hening tentram, di pinggir
danau tumbuh sebarisan pohon-pohon bunga Bwe yang rindang, di sebelah timur dan barat kedua
tepi danau tampak dibangun sebuah gubuk dari anyaman daun-daun welingi.
Sampai disini baru Kiu-yu-mo-lo merasa lega dan menghela napas panjang, setelah
menurunkan Sutouw Ci-ko ia berkata, “Sudah tiba di Hwi-king-ouw, dimana tempat buah ajaib,
lekas bawa aku kesana!”
Dari kejauhan Sutouw Ci-ko mendelong mengawasi gubuk sebelah timur, hatinya kebat-kebit
dan segan, meski sejak kecil ia dibesarkan oleh gurunya, namun betapapun ia sudah diusir dari
perguruan, apakah ada muka ia menemui gurunya lagi.
“Ajo, lekas!” desak Kiu-yu-mo-lo gegetun.
Sesaat Sutouw Ci-ko menjadi sangsi, teringat olehnya kata-kata Hun Thian-hi terhadap dirinya
tempo hari, tanpa merasa pelan-pelan ia menggerakkan langkahnya menuju ke arah gubuk itu.
Melihat Sutouw Ci-ko menuju ke arah gubuk itu, timbul rasa curiga Kiu-yu-mo-lo, tanyanya,
“Kemana kau!”
“Gubuk itu adalah tempat tinggalku, sudah lama aku berdiam disana.”
“Maksudmu kau tinggal dalam gubuk itu menjaga buah ajaib itu?”
Dengan sangsi Sutouw Ci-ko manggut, kakinya melangkah terus.
Orang yang tinggal dalam gubuk sudah mendengar percakapan dan kedatangan mereka,
tampak pintu terbuka keluarlah seorang perempuan pertengahan umur, begitu melihat Sutouw Ciko
berubah air mukanya, putar tubuh terus masuk ke dalam gubuk lagi.

Melihat gelagat yang ganjil ini Kiu-yu-mo-lo menyeringai dingin, tanyanya, “Siapa dia? Akal
busuk apa yang tengah kau rancang?”
Sekilas tadi Sutouw Ci-ko sudah melihat gurunya Pek-bwe Siancu Tang Siau-hong, namun
gurunya tak mau peduli lagi pada dirinya, saking duka air mata mengembeng di kelopak matanya,
otak menjadi bebal sehingga ia tidak hiraukan pertanyaan Kiu-yu-mo-lo.
“Jangan kau main gila dengan aku,” demikian kata Kiu-yu-mo-lo, “aku tidak gampang bisa kau
tipu!” — lalu sebelah tangannya mencengkeram jalan darah di pundak kiri Sutouw Ci-ko, katanya
pula, “Selama ini aku tidak membuat kau menderita, ketahuilah belum pernah selama hidup aku
memberi kelonggaran kepada tawananku.” — lalu ia terkekeh-kekeh begitu kelima jarinya
mencengkeram semakin keras, seketika Sutouw Ci-ko rasakan seluruh badan lemas lunglai tak
bertenaga lagi, tanpa kuasa ia meloso roboh di tanah.
Pintu gubuk terbuka lagi, tampak Pet-bwe Siancu dengan muka merengut membesi dingin
membentak seraya menuding, “Hentikan! Siapa bernyali besar berani bertingkah di danau kaca
terbang!”
Kiu-yu-mo-lo terkial-kial dingin, tangannya melepas Sutouw Ci-ko, tiba-tiba tubuhnya melejit
terbang secepat kilat tahu-tahu sudah berada dihadapan Tang Siau-hong, sembari menyeringai
dingin ia mendesis, “Lima puluh tahun aku tidak muncul di Kangouw, kiranya tiada seorangpun
yang kenal lagi kepada aku.”
Sebenar-benarnya Tang Siau-hong tahu siapakah sebetulnya Kiu-yu-mo-lo itu, serta melihat
keadaan Sutouw Ci-ko yang mengenaskan rebah di tanah, hatinya menjadi gusar, semprotnya,
“Kenapa begitu kejam kau aniaja anak kecil.”
Kiu-yu-mo-lo tertawa aneh, dulu golongan hitam atau putih bila mendengar namanya saja
mesti lari terbirit2 ketakutan, namun sekarang tiada seorang pun yang memberi muka kepadanya,
semakin pikir semakin jengkel, pikirnya; Kalau aku tidak memberi tanda mata apa-apa, tentu
kalian tidak akan ingat siapa aku ini.
Tiba-tiba secepat kilat kedua telapak tangannya berkiblat terus menghantam ke arah Tang
Siau-hong.
Berdiri alis Tang Siau-hong, meski pun Sutouw Ci-ko sudah diusir dari perguruan, namun rasa
kasih sayangnya terhadap gadis remaja yang diasuhnya sejak kecil masih tetap kental, sudah
tentu ia tidak tinggal diam melihat orang menganiaja Sutouw Ci-ko begitu rupa, dengan murka ia
pun menggerakkan kedua tangannya memukul ke arah Kiu-yu-mo-lo. Sedetik sebelum kedua
pukulan lawan saling bentur, sekonyong-konyong ia merasakan firasat jelek, segesit tupai
melompat enteng sekali ia jejakkan kakinya jumpalitan mundur ke belakang. Terdengar Kiu-yumo-
lo terloroh-loroh menggila, kedua telapak tangannya ditarikan semakin cepat dan melancarkan
serangan yang gencar. Untuk sesaat Tang Siau-hong yang belum sempat pernahkan diri menjadi
kelabakan dan terdesak di bawah angin, sedikitpun ia tidak mampu balas menyerang.
Pada saat itulah pintu gubuk disebelah utara sana terbuka, melangkah keluar seorang kakek
tua, yaitu Hwi-king Lojin adanya. melihat pertempuran yang gawat ini, segera tubuhnya mencelat
terbang, ditengah udara ia bersuit panjang melengking tinggi, seenteng burung walet tubuhnya
beirlari terbang melewati permukaan air danau terus menerjang ke arah Kiu-yu-mo-lo.
Melihat Hwi-king Lojin menyerang datang, bertambah murka hati Kiu-yu-mo-lo. Dia insaf bahwa
dirinya terluka dalaim yang cukup parah, kalau satu lawan satu jelas ia lebih unggul dan pasti
menang, namun melawan keroyokan dua orang ia menjadi mati kutu, terang tenaganya bakal
terkuras habis untuk membela diri saja.

Sebat sekali kakinya melangkah berputar, selicin belut selincah kera ia berloncatan mencari
posisi penyerangan dari berbagai penjuru, bertempur main petak melawan kedua lawannya.
Semakin tempur diam-diam Hwi-king Lojin bertambah kejut, kecuali Bu-bing Loni belum pernah
ia menemukan musuh sehebat dan setangguh seperti nenek rejot ini. Segera ia membuka suara
bertanya kepada Tang Siau-hong, “Siau-moay! Siapa dia, ini?”
“Kiu-yu-mo-lo!” sahut Tang Siau-hong singkat.
Terperanjat Hwi-king Lojin serunya, “Bangkotan tua renta ini ternyata merajap keluar lagi dari
liang kuburnya!”
Kiu-yu-mo-lo berteriak melengking saking gusar mendengar olok2 orang, kedua telapak
tangannya bergerak seperti kupu2 lincah menari di atas kuntum bunga. Tapi kepandaian Hwi-king
Lojin dan Tang Siau-hong tidaklah lemah, apalagi lwekang Hwi-king Lojin jauh lebih tinggi dari
Tang Siau-hong, dengan gabungan kekuatan mereka, untuk waktu dekat mereka berhasil
mendesak Kiu-yu-mo-lo di bawah angin.
Kiu-yu-mo-lo berkaok2 dengan beringas seperti kesetanan gerak-geriknya seperti serigala
kelaparan yang ingin menelan bulat2 lawannya, namun sedemikian jauh ia terdesak dan tak
mampu menempati posisi yang lebih menguntungkan. Sekejap saja ratusan jurus sudah berlalu,
Kiu-yu-mo-lo insaf bahwa bertempur terus tidak akan menguntungkan dirinya, tiba-tiba tubuhnya
mencelat mumbul, beruntun ia tepukan telapak tangannya berantai empat lima kali, waktu Hwiking
dan Tang Siau-hong menyambut pukulannya, sigap sekali tubuhnya melayang jauh terus
meluncur turun disamping Sutouw Ci-ko, sekali raih ia cengkeram tengkuk Sutouw Ci-ko.
Tercekat hati Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong mereka menjadi keder dan kuatir atas
keselamatan Sutouw Ci-ko, sesaat mereka berdiri melongo tak berani bertindak lebih lanjut.
Kiu-yu-mo-lo menyeringai iblis, desisnya, “Ketahuilah hari ini aku sedikit terluka, maka
kuhentikan saja pertempuran sampai disini.”
Dengan mengalirkan air mata Sutouw Ci-ko berteriak kepada Hwi-king Lojin dan Tang Siauhong:
“Suhu, Supek, jangan kalian hiraukan aku, bunuh saja iblis laknat ini!”
Kiu-yu-mo-lo menjadi geram, dengan jengkel tangan kanannya bergerak, beruntum ia tutuk
beberapa tempat jalan darah penting ditubuh Sutouw Ci-ko. Kontan Sutouw Ci-ko mengeluh
panjang terus jatuh pingsan.
Kejut dan perih perasaan Tang Siau-hong, baru saja ia hendak memburu maju, namun sorot
panjangan Kiu-yu-mo-lo yang tajam bengis mengancam itu mengurungkan niatnya.
Sebetulnya ia sudah sangat benci dan tidak mau gubris lagi Sutouw Ci-ko, seumpama Sutouw
Ci-ko mati ia pun takkan bersedih, dasar sifat manusia memang bijaksana dan luhur, melihat anak
asuhannya sejak kecil kena siksa dan menderita ia menjadi terpukul perasaannya dan menjadi
gugup akan keselamatannya.
Terdengar Kiu-yu-mo-lo mendengus ejek, “Kalau kalian ingin dia tetap hidup hanya ada satu
cara untuk menolong jiwanya. Lekas serahkan Kiu-thian-cu-ko kepadaku!”
“Apa?” seru Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong berbareng.

“Bagaimana! Tidak mau serahkan?” desak Kiu-yu-mo-lo mengancam.
Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong mengeluh dalam hati, namun apa daya, terpaksa mereka
saling pandang saja tanpa buka suara, dalam hati masing-masing sedang berpikir cara bagaimana
mencari akal untuk mengatasi situasi tegang ini.
“Jiwa bocah ini sebagai tumbal dari buah ajaib itu terserah cara bagaimana kalian hendak
menyelesaikan jual-beli ini.”
Setelah merenung sesaat lamanya, Tang Siau-hong buka bicara, “Apakah yang kau maksudkan
Kiu-thian-cu-ko?”
“Benar-benar!” dengus Kiu-yu-mo-lo, cahaya matanya memancar terang, “Muridmu ini
membawa aku kemari, tentu kau juga tahu dimana jejak buah ajaib itu!”
Hati Tang Siau-hong menjadi rada marah dan sesalkan tindakan Sutouw Ci-ko yang ceroboh
dan brutal itu, hidungnya mandah mendengus tanpa buka suara lagi.
Segera Hwi-king Lojin menalangi, setelah tertawa kering ia berkata, “Gurunya pun tidak tahu
dimana buah ajaib itu berada, justru karena dia tidak mau beritahu kepada gurunya maka gurunya
ini mengusirnya dari perguruan. kalau mau tanya, silakan tanya kepadanya saja!”
Mereka maklum bahwa maksud tujuan kedatangan Kiu-yu-mo-lo adalah buah ajaib itu, maka
segala tanggung jawab urusan ini ditumplekkan kepada Sutouw Ci-ko, demi mencapai tujuan dan
hasratnya tentu Kiu-yu-mo-lo takkan mencelakai jiwa Sutouw Ci-ko.
Dengan memicingkan mata Kiu-yu-mo-lo pandang air muka kedua musuh tua ini ganti-berganti
dengan cermat, diam-diam hatinya mengumpat caci akan kelicikan akal Sutouw Ci-ko, serta merta
terbayang olehnya waktu Tang Siau-hong pertama kali melihat Sutouw Ci-ko tadi sikapnya
memang kurang senang dan tak mau gubris padanya. Sejenak ia berpikir, lalu berkata, “Baik!
Sementara ini aku percaya akan obrolan kalian, akan kuperas keterangannya.” — selesai berkata
ia memutar tubuh hendak tinggal pergi.
“Nanti dulu!” teriak Tang Siau-hong, melihat orang hendak membawa Sutouw Ci-ko ia menjadi
gugup.
“Kenapa?” tanya Kiu-yu-mo-lo sambil berpaling, “Apa kalian hendak menahan aku?” —
wajahnya mengunjuk senyum sinis yang menyebalkan.
Hwi-king segera memberi aba-aba kepada Tang Siau-hong serempak mereka bergerak pencar
kedua arah cepat sekali mereka mencari kedudukan menggencet Kiu-yu-mo-lo di tengah antara
mereka.
Kiu-yu-mo-lo menyeringai dingin, ujarnya, “Kalian sangka aku takut, kalau kalian tidak mau
lepas aku, terpaksa kita harus gugur bersama, atau kalian sudah tidak hiraukan lagi mati hidup
bocah ini?”
Hwi-king rada sangsi, katanya, “Kalau kulepas kau, apakah jiwanya masih bisa hidup?”
“Itu terserah kepada sikapnya selanjutnya!” jengek Kiu-yu-mo-lo dingin.
“Serbagai murid murtad aku tidak mengharapkan dia lagi,” demikian kata Tang Siau-hong
tanpa emosi, “Tapi kami pun tidak bisa melepas kau membuat keonaran di kalangan Kangouw.”

Berubah air muka Kiu-yu-mo-lo, kalau Tang Siau-hong berdua tidak mementingkan jiwa Sutouw
Ci-ko dirinya betul-betul bisa konyol di tempat ini.
Dengan tertawa dingin segera ia berkata, “Kau sangka aku takut kepada kamu berdua?” di
mulut ia bicara garang, hakikatnya hatinya sangat membenci Sutouw Ci-ko, diam-diam ia
menerawang mencari akal cara bagaimana harus meloloskan diri, kalau Sutouw Ci-ko tidak tahu
tempat dimana beradanya buah ajaib itu, sungguh ingin rasanya ia bunuh bocah kurang ajar ini.
Mulut Tang Siau-hong memang mengancam dengan angkernya, namun iapun ragu-ragu untuk
bertindak Jikalau Sutouw Ci-ko tidak berteriak supaya mereka tidak hiraukan jiwanya lagi, mungkin
sekarang ia sudah bertindak demi kepentingan kaum persilatan umumnya, namun situasi sekarang
sudah membuatnya serba sulit.
Melihat kedua lawannya tidak bergerak, diam-diam timbul rasa curiganya, pikirnya, “Bukankah
kalian juga tidak tega melihat kematian Sitouw Ci-ko? Sama saja mereka pun ingin mendapatkan
buah ajaib itu!”
Sejak mula Kiu-yu-mo-lo hanya memikirkan kepentingan pribadinya untuk memperoleh buah
ajaib itu, mimpipun ia tidak mengira bahwa sejak permulaan ia sudah masuk perangkap Sutouw
Ci-ko.
Sekonyong-konyong timbul sebuah pikiran dalam benaknya; Sekarang aku sedang kepepet,
kalau mereka ngotot menahan aku, aku pun tak mampu meloloskan diri, sepucuk buah ajaib itu
berbuah enam butir, hanya perlu sebutir saja aku sudah cukup, lebih baik kuajak mereka
kompromi saja. Sutouw Ci-ko berada di tanganku, masa mereka tidak mau terima saran baikku ini.
Tengah ia berpikir2, tiba-tiba tampak sesosok bayangan orang melambung tiba, begitu
menginjak tanah baru terlihat tegas, itulah seorang laki-laki tua bermuka putih tanpa jenggot,
begitu melihat kedatangan orang ini bermula Kiu-yu-mo-lo sangat kejut dan heran, namun dalam
kilas lain hatinya menjadi kegirangan. Karena orang tua ini bukan lain adalah Pek-kut-sin-mo Pek
Si-kiat yang juga telah menghilang selama lima puluh tahun itu, entah cara bagaimana pula ia
berhasil lolos dari belenggu.
“Samte!” teriak Kiu-yu-mo-lo kegirangan, “Kau pun datang kesini! Lekas bantu aku.”
Bukan kepalang kejut Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong, Pek-kut-sin-mo juga meluruk datang.
Si-gwa-sam-mo malang melintang dan sudah menghilang sejak lima puluh tahun yang lalu dari
dunia persilatan, sungguh tak duga hari ini bakal muncul dua diantara tiga, ini benar-benar sangat
mengejutkan dan menakutkan.
Kedatangan Pek-kut-sin-mo seketika lebih menyempitkan kedudukan mereka berdua, mungkin
untuk mati pun tidak akan bisa dengan jasad tetap utuh. Meski ajal betapa pun harus turun
tangan lebih dulu, serempak mereka membentak bersama terus menyerang ke arah Kiu-yu-mo-lo.
Kiu-yu-mo-lo terkekeh-kekeh. Mendapat bantuan Pek-kut-sin-mo umpama musuh ditamboh dua
lagi iapun tak perlu takut, pelan-pelan ia letakkan Sutouw Ci-ko di atas tanah, gesit sekali ia
menggerakkan kedua kepelannya menyambut serbuan musuh….
Sedikit bergerak tubuh Pek-kut-sin-mo melesat masuk ke dalam kalangan pertempuran, dimana
kedua kepelannya bergerak seketika segulung uap putih dari kekuatan angin pukulannya
menyampok mundur Hwi-king dan Tang Siau-hong.

Serasa arwah sudah keluar badan kejut Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong, insaf mereka
bahwa diri sendiri bukan lawan musuh, sebat sekali mereka melompat mundur rada jauh, namun
begitu mereka segan untuk melarikan diri.
Kiu-yu-mo-lo terloroh-loroh kering, katanya kepada Pek-kut-sin-mo, “Samte! Pek-kut-sinkangmu
jauh lebih maju dari lima puluh tahun yang lalu!”
Kedengaran oleh Pek-kut-sin-mo akan pujian orang yang mengandung rasa kekecutan hatinya
maksud tujuannya kemari bukan melulu untuk itu, segera ia buka bicara, “Ji-ci! Apakah bocah ini
bernama Sutouw Ci-ko?”
Berubah serius air muka Kiu-yu-mo-lo, sekilas ia menyapu ke arah Hwi-king berdua lalu
menjawab, “Benar-benar! Dia tahu dimana buah ajaib berada, kalau ketemu boleh kami bagi dua
sama rata dengan kau.”
“Ji-ci terluka di dalam bukan?” tanya Pek Si-kiat dingin
Kiu-yu-mo-lo tersenyum ewa.
Melihat Kiu-yu-mo-lo dan Pek-kut-sin-mo main debat sendiri sudah tentu Hwi-king Lojin dan
Tang Siau-hong menjadi senggang dan tidak mau tinggal pergi saja, betapa pun Sitouw Ci-ko
harus ditolong.
Sebagai kawan lama sudah tentu Pek Si-kiat tahu tabiat dan karakter Kiu-yu-mo-lo, dengan
mendengus ia berkata, “Kalau tidak aku tidak mau turut campur pertikaian kalian”
Dengan sendirinya Kiu-yu-mo-lo juga tahu bahwa Pek-kut-sin-mo selamanya berlaku kejam dan
telengas terhadap orang luar, diantara mereka bertiga hanya dia yang berhati jujur dan lapang
dada, entahlah kenapa hari ini sikapnya begitu, akhirnya ia membuka suara, “Samte! Apa hendak
kau kangkangi sendiri?”
Pek-kut-sin-mo bergelak tawa, serunya, “Ketahuilah Sutouw Ci-ko tidak tahu menahu tentang
buah ajaib itu. yang terang aku mendapat perintah dari Ka-yap Cuncia kemari, untuk menolong
Sutouw Ci-ko juga untuk minta kembali Hian-thian-pit-kip.”
Laksana geledek mengguntur dipinggir telinganya Kiu-yu-mo-lo melonjak kaget, tiba-tiba ia
melengking tinggi seraya melemparkan tubuh Sutouw Ci-ko ke tengah udara begitu keras
lemparannya sampai badan Sutouw Ci-ko melambung tinggi dan jauh, berbareng ia sendiri lantas
melenting jauh melarikan diri.
Kuatir diketahui oleh Pek-kut-sin-mo maka waktu melontarkan tubuh Sutouw Ci-ko ia tidak
berani membuat cedera ditubuhnya.
Keruan bukan kepalang gusar Pek Si-kiat. Ia insaf bahwa Hwi-king dan Tang Siau-hong tidak
akan mampu menolong Sutouw Ci-ko. terpaksa ia melejit tinggi menolong jiwa Sutouw Ci-ko.
Mendengar Pek-kut-sin-mo diutus oleh Ka-yap Cuncia, Hwi-king dan Tang Siau-hong menjadi
girang, serempak mereka bergerak bersama Tang Siau-hong memburu ke arah Sutouw Ci-ko
sedang Hwi-king Lojin mengejar dan merintangi jalan mundur Kiu-yu-mo-lo.
Dilain pihak Kiu-yu-mo-lo tahu bahwa dirinya bukan tandingan Pek-kut-sin-mo, maka begitu
melejit jauh terus lari sipat kuping, waktu Hwi-king Lojin mengejar tiba di belakang dan
menyerang dengan sebuah pukulan tangan. ia mandah saja kena hantaman sampai muntah

darah, mulutnya berteriak kesakitan, suaranya serak dan panjang sampai bergema dialam
pegunungan, namun kakinya bergerak lebih cepat lagi, sebentar saja ia sudah menghilang.
Waktu Pek-kut-sin-mo berhasil menolong Sutouw Ci-ko, sementara Kiu-yu-mo-lo pun sudah lari
jauh, dengan gegetun ia membanting kaki, sungguh ia sangat menyesal terburu nafsu membuka
mulut. Tapi nasi sudah menjadi bubur, menyesal pun sudah kasep.
Dengan mendelong Tang Siau-hong mengawasi Sutouw Ci-ko ditangan Pek-kut-sin-mo, ia tidak
berani maju memapah. Setelah berkeluh kesah sendiri baru Pek Si-kiat teringat akan Sutouw Ci-ko
yang dipondongnya itu, cepat-cepat ia membebaskan tutukan jalan darah Sutouw Ci-ko.
Pelan-pelan Sutouw Ci-ko membuka mata, setelah celingukan kekanan kiri, tiba-tiba merangkak
bangun terus berlutut dihadapan Tang Siau-hong, serunya sesenggukan, “Suhu!”
“Siapa Suhumu?” jawab Tang Siau-hong ketus.
Tangis Sutouw Ci-ko semakin jadi, terdengar Pek Si-kiat bertanya, “Apa yang telah terjadi, coba
tuturkan kepada aku!”
Kesannya sangat baik terhadap Hun Thian-hi, melihat keadaan Sutouw Ci-ko yang bersedih ini
tak tertahan lagi lantas mengajukan pertanyaan. Sutouw Ci-ko angkat kepala, dia tahu bahwa
orang tua irnilah yang tadi membebaskan tutukan jalan darahnya, melihat sikap kaku dan kukuh
Tang Siau-hong terpaksa ia menjawab pertanyaan Pek Si-kiat, “Te-rima kasih pada Cianpwe telah
menolong jiwaku.”
Pek Si-kiat menyengir dengan girang, seolah-olah baru pertama kali inilah selama hidup ia
pernah berbuat kebaikan, sekarang baru pertama pula ada orang menyatakan terima kasih
kepadanya. Setelah mengawasi Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong lalu ia berkata tertawa, “Bocah
ini baik dan cantik rupawan lagi, untuk urusan apa kalian tidak mau kenal dia lagi?”
Tahu bahwa Pek-kut-sin-mo diutus oleh Ka-yap, Tang Siau-hong mengira bahwa Pek-kut-sinmo
tentu sudah kembali kejalan lurus, terpaksa ia membungkuk serta menyahut, “Cianpwe tidak
tahu, sekarang ia sudah menyeleweng….”
Pek Si-kiat merengut dan rada gusar, katanya, “Mungkinkah Ka-yap Taysu menyusuh aku
menolong seorang jahat? Jika kau tidak mau, biar dia ikut aku saja!”
Segera Sutouw Ci-ko menyembah lagi kepada Tang Siau-hong. selanya, “Suhu tidak sudi aku
kembali, sebetulnya aku belum pernah melakukan kejahatan apa, di dunia ini aku sudah
sebatangkara, aku tidak ingin hidup lebih lama lagi, mohon Subu suka mengakui aku sebagai
murid sebelum ajal ini.” — Sampai kata-kata terakhir suaranya hampir lenyap oleh sengguk tangis
dan air mata yang membanjir sedih.
“Apa,” teriak Pek Si-kiat keras, “Hun Thian-hi mohon Ka-yap Cuncia supaya aku menolong kau,
kenapa kau ingin mati pula?”
“Apa?” Sutouw Ci-ko juga berjingkrak kegirangan, “Apa benar-benar dia?”
Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong beradu pandang, dalam hati mereka berpikir, “Bagaimana
bisa terlibat pula dengan Hun Thian-hi!”
“Benar-benar,” jawab Pek Si-kiat, “Dia selamat dan ikut bersama Ka-yap Cuncia diangkat
sebagai murid angkat, diberi pelajaran Pan-yok-hian-kang dan Wi-thian-cit-ciat-sek, mungkin
dalam satu setengah tahun ini kau tidak bisa bertemu dengan dia.”

Saking kegirangan suara, Sutouw Ci-ko sampai gemetar, katanya tersekat, “Aku….aku mengira
dia
tentu sudah mati!” — Sekarang dia menangis karena kegirangan.
Mendengar semua kejadian ini melulu karena tujuan dan kemauan Ka-yap Cuncia. Apalagi Hun
Thian-hi yang berjuluk Leng-bin-nio-sin itu juga telah diangkat menjadi muridnya. Ka-yap adalah
tokoh teragung nomor satu pada ratusan tahun yang lalu, sungguh tak nyana beliau masih hidup,
setiap ucapannya lebih mempertebal kepercayaan dirinya sendiri, hanya kejadian ini benar-benar
diluar dugaan.
Sesaat melongo akhirnya Tang Siau-hong bertanya, “Cara bagaimana kau berkenalan dengan
Hun Thian-hi?”
Dengan mengembeng air mata, Sutouw Ci-ko menjawab sambil tersenyum senang, “Dia
terhitung adik angkatku!”
Dengan tajam Tang Siau-hong menatap Sutouw Ci-ko, dalam hati membatin, “Melihat
gelagatnya
bukan melulu hubungan antar kakak beradik …. tapi masih ada Bun Cu-giok lagi, ai, memang
sudah ditakdirkan kiranya!”
Terdengar Sutouw Ci-ko berkata lagi, “Bermula dia berangkat kemari bersama aku, dia
mendapat tugas dari majikan Ngo-hong-lau untuk menemui Hwi-king Supek!”
“Kakak misanku?” seru Hwi-king Lojin terkejut, “Dimana beliau sekarang?”
Sutouw Ci-ko beragu sebentar, lalu menjawab, “Beliau tidak suka orang lain tahu alamatnya.
Beliau memberi sebatang Hwi-hong-siau kepada Thian-hi, tapi waktu sampai di Giok-bun-koan
kami bentrok dengan seorang tuan yang bernama Situa Pelita, dia melarang kami kemari!”
Hwi-king Lojin tidak tanya lebih lanjut, dengan rawan ia menghela napas.
Dengan tertawa berseri Pek Si-kiat pandang Sutouw Ci-ko sungguh girang dan berterima kasih
pula Sutouw Ci-ko, katanya, “Dapatkah aku mengetahui nama Cianpwe yang mulia!”
“Akulah Pek-kut-sin-mo!” jawab Pek Si-kiat sambil tertawa lebar.
Sutouw Ci-ko melengak kaget, rada lama kemudian baru berkata, “jangan kau gertak orang,
aku tidak takut.”
Pek Si-kiat terbahak-bahak, serunya, “Hampir saja Hun Thian-hi mampus ditanganku, sungguh
kamu berdua bernasib mujur, terjeblos ke dalam Sip-kut-tam tidak mati, kalau orang lain, sudah
mati konyol tanpa bekas lagi.”
Sutouw Ci-ko menenangkan hatinya lalu bertanya, “Sekarang dimanakah Hun Thian-hi?”
“Aku juga tidak tahu, cuma hari ini kiu-yu-mo-lo berhasil lolos membawa serta Hian-thian-pitkip,
kelak tentu menimbulkan banyak bencana, Ka-yap Taysu menugaskan banyak urusan yang
perlu kulaksanakan. Aku betul-betul ketarik kepada kau, lain waktu aku pasti datang menjenguk
kau kemari.”

Sutouw Ci-ko berjingkrak kegirangan, tanyanya, “Kapan kau akan datang?”
“Tidak perlu kuatir untuk menemukan kau? Kau tak usah gelisah!” — demikian kata Pek Si-kiat
seraya melambaikan tangan terus berlari pergi dengan cepat.
Pelan-pelan Sutouw Ci-ko membalik badan, dengan penuh rasa kasih sayang Tang Siau-hong
mengelus rambutnya serta berkata, “Nak, mungkin aku terlalu terburu nafsu salahkan kau.”
Sutouw Ci-ko menubruk ke dalam pelukan Tang Siau-hong dan menangis gerung-gerung.
“E, eh, kenapa ni? Kukira kau bukan bocah lagi, lima tahun sudah, masa sikapmu masih aleman
seperti kanak-kanak” demikian goda Tang Siau-hong.
Sutouw Ci-ko angkat kepala seraya membasut air matanya, pelan mereka menggeser menuju
ke dalam gubug sambil berpelukan, saat itu sinar matahari sudah tergantung tinggi ditengah
cakrawala.
Waktu mereka memandang sekelilingnya, ternyata Hwi-king Lojin sudah tinggal pergi diamdiam,
Tang Siau-hong berdua menjadi geli dan saling pandang.
Ooo)*(ooO
Waktu sinar cahaya sang surja mulai menongol keluar dari peraduannya menyorot sebuah
tebing tinggi ratusan tombak, cuaca masih terlalu pagi, tebing itu terlalu tinggi dan lurus lempang,
seperti dipapas dengan kapak atau senjata tajam lainnya.
Dibawa tebing sebelah sana pelan-pelan mendatangi seorang pemuda cakap ganteng,
pendatang ini bukan lain adalah Hun Thian-hi, setelah sampai di bawah tebing ia mendongak
meneliti tebing tinggi ini. Jikalau dapat melampaui tebing tinggi maka di dalam sana adalah
sebuah negara kuno yang terasing dari dunia luar di daerah selatan ini yaitu Thian-bi-kok seperti
yang dikatakan oleh Ka-yap Cuncia itu.
Menurut pesan Ka-yap Cuncia ia harus memanjat tebing tinggi ini dan menyelundup masuk
kenegeri kuno bernama Thian-bi-kok ini.
Setelah meneliti sekian lamanya diam-diam Thian-hi mengerut alis, tebing setinggi ratusan
tombak begini cara bagaimana bisa masuk kesana, entah cara bagaimana orang yang menemukan
negara kecil itu bisa masuk kesana.
Pelan ia berjalan menyusuri kaki tebing mencari jalan. Tiba-tiba dilihatnya disebuah lekukkan
diujung tebing sana ada sebaris retakan batu, garis retak ini sudah penuh ditumbuhi lumut sangat
licin susah untuk tempat berpegang atau berpijak, boleh dikata sulit sekali untuk dapat memanjat
ke atas.
Sekian lama ia berpikir mencari akal, akhirnya dilolos keluar seruling dipinggangnya, diam-diam
ia kerahkan tenaga murni sekali tusuk ternyata mudah sekali serulingnya amblas ke dalam batu
tebing. keruan girangnya bukan kepalang, lekas ia keluarkan pula kutungan serulingnya sendiri,
tusuk demi tusuk bergantian dengan gegamannya ia mulai merambat ke atas. Entah berapa lama
kemudian dengan susah payah akhirnya ia berhasil mencapai puncak tebing juga, namun terasa
kaki linu pinggang pegal, telapak tangan pun lecet. Dengan menghela napas lega ia berpaling
memandang kebawah, tebing sedemikian tinggi, setapak demi setapak ia berhasil manjat ke atas,
hampir ia tidak percaya akan kenyataan ini.

Setelah beristirahat seperlunya pelan-pelan ia mulai beranjak masuk ke dalam sebuah lembah,
di dalam lembah tumbuh hutan lebat, tiada kelihatan jejak manusia seorangpun.
Dengan hati-hati Thian-hi menyusuri hutan lebat ini terus maju ke depan. entah berapa lama
kemudian, akhirnya pohon-pohon mulai jarang tibalah ia diujung hutan, lapat-lapat dikejauhan
sana kelihatan perumahan orang, ladang sawah nan subur, lebih jauh di depan sana samar-samar
kelihatan bentuk sebuah kota.
Bab 14
Dengan saksama Hun Thian-hi memandang ke depan nan jauh sana, dalam hati ia
menerawang, betapapun aku harus melihat-lihat situasi dan keadaan kota di depan itu. Begitulah
melalui gili2 sawah ia terus maju ke depan, langsung menuju kekota. Tak lama kemudian ia sudah
tiba diambang pintu kota, tamtak orang berlalu lalang dengan ramainya, kiranya itulah sebuah
kota yang cukup besar. Sambil celingukan kekanan kiri seperti orang desa yang pertama kali
masuk kota Hun Thian-hi maju terus ke depan melihat-lihat keadaan kota kuno yang terasing dari
dunia luar ini.
Tiba-tiba dilihat orang-orang yang berlalu lalang dikejauhan menjadi ribut dan berlari-lari
minggir kedua samping jalan, tampak sebarisan sepasukan seragam hijau membedal kudanya
mendatangi bagai terbang. Cepat-cepat Thian-hi juga ikut menyingkir kepinggir, namun sekilas
dilihatnya tak jauh di depan sana seorang anak kecil tengah berlari ditengah jalan, tanpa banyak
pikir lagi segera ia memburu maju menarik bocah kecil itu, namun saat mana juga barisan berkuda
itupun sudah tiba, baru saja Thian-hi hendak gunakan Ginkangnya untuk melesat berkelit,
mendadak teringat akan pesan Ka-yap Cuncia, supaya orang lain tidak tahu bahwa dia seorang
persilatan, orang-orang yang berkerumun disekitar jalanan itu menjadi menjerit ngeri dan gempar,
tak ampun lagi Thian-hi keterjang ke depan, meminjam daya terjangan ini ia menggelundung
kesamping sambil mengempit bocah itu.
Kuda itu lantas berdiri dengan kedua kaki belakangnya sambil bebenger panjang.
penunggangnya tak kuasa mengendalikan kudanya lagi terus lompat turun. terpaksa rombongan
berkuda itu harus berhenti semua.
Dari pinggir jalan sebelah sana memburu seorang gadis dengan muka pucat, katanya kepada
Hun Thian-hi. “Banyak terima kasih akan pertolonganmu!” sekali tarik ia terus bopong bocah itu
terus bawa lari dan menghilang dipagar manusia yang menonton dipinggir jalan.
Belum lagi Thian-hi sempat inenjawab, tiba-tiba didengarnya sebuah bentakan caci maki,
segulung angin menerpa tiba mengarah mukanya, baru saja ia hendak berkelit tapi kuatir
diketahui ia bisa main silat terpaksa pura-pura terhujung mundur dan tepat sekali terhindar dari
serangan keras yang mengarah mukanya. Melihat lecutannya tidak mengenai sasarannya, orang
itu semakin marah, maju setapak ia ayun pula cambuknya menghajar kepada Thian-hi.
Thian-hi tak berani, menghindar lagi, sekali ia berkelit tentu bisa mengunjuk kepandaiannya
silat, dia pun tak berani mengerahkan tenaga untuk melawan sekali kena pecut, kontan terasa
kulitnya pedas dan kesakitan, waktu matanya melirik baju yang dipakainya sudah kojak2 kena
pecutan, kulithja pun membekas segaris merah darah,
Mendapat hasil orang itu semakin bernafsu, lagi-lagi pecutnya terayun tinggi, Thian-hi menjadi
berangan, namun apa boleh buat betapapun ia tidak boleh mengunjuk kepandaiannya silat,
terpaksa mandah saja kena lecut sampai babak belur.

Sambil menghajar orang itu memaki, “Bocah keparat. Besar nyalimu berani menghalangi
perjalanan rombongan dari istana, sudah bosan hidup ya?” — sembari maki pecutnya sekali lagi
melecat dengan keras. Baru saja ia hendak meneruskan hajarannya, dari kejauhan tiba-tiba
seseorang berteriak mencegah, “Hentikanlah!”
Dari luar kota sana mendatangi serombongan pasukan berkuda, penunggangnya mengenakan
seragam Busu, Pemimpinnya yang terdepan adalah seorang laki-laki berperawakan tinggi besar
berusia pertengahan, laki-laki tegap ini bertanya, “Apakah Tan Siangkok ada?”
Begitu melihat laki-laki pertengahan umur ini orang itu berubah air mukanya, cepat ia turunkan
tangannya, sahutnya, “Ma-ciangkun, orang ini berani menghadang ditengah jalan, terpaksa harus
kuhajar. Joli Siangya sebentar lagi bakal tiba.”
Thian-hi angkat kepala mengamati laki-laki pertengahan yang dipanggil Ma-ciangkun itu,
tampak mukanya kereng sikapnya gagah, kedua biji matanya berkilat terang, naga-naganya
membekal Lwekang yang cukup tinggi juga.
Ma-ciangkun itu mengamati Hun Thian-hi sebentar lalu berkata, “Kalau begitu jangan sampai
mengejutkan Siangkok, orang ini biar kubawa pergi dia berani menghadang jalan, dihajar dua kali
lecutan juga sudah cukup, bagaimana menurut maksudmu?”
Cepat orang itu membungkuk, sahutnya, “Cukup hanya sekecap kata saja Ma-ciangkun boleh
bawa orang ini.”
Ma-ciangkun manggut kepala lalu mengulapkan tangan ke belakang, seorang bawahannya
segera menuntun seekor kuda diberikan kepada Thian-hi, lalu katanya kepada Hun-hian-hi, “Mau
kau ikut aku!”
“Terima kasih akan pertolongan Ma-ciangkun!” sahut Thian-hi sambil menekuk dengkul kirinya.
Agaknya Ma-ciangkun itu sudah biasa mendengar pernyataan terima kasih, cukup ia goyang
tangan saja terus membedal kudanya ke depan. Sebetulnya Thian hi tidak mau ikut, namun
melihat sikap Ma-ciangkun terpaksa ia naik ke atas kuda. Punggungnya ada dua jalur berdarah
bekas kena cambukan tadi, semua orang dikedua pinggir jalan yang menonton menjadi bergidik
dan mengelus dada, Thian-hi sendiri juga menjadi kikuk dan malu ditonton begitu banyak orang.
Setelah melewati beberapa jalan raja dan membelok kesebuah gang besar tibalah mereka di
depan sebuah gedung mentereng, Ma-ciangkun segera melompat turun dari atas kuda, para Busu
pengawalnya segera mertuntun kudanya masuk. Dengan langkah tegap dan cepat ia berjalan
masuk naik undakan batu hijau, sikapnya sungguh gagah dan penuh wibawa.
Hun Thian-hi tidak tahu orang macam apakah Ma-ciangkun ini namun melihat sikapnya yang
gagah dan perwira serta pakaiannya yang serba lengkap dengan pangkat militernya, tentu
seorang pejabat tinggi pemerintahan, setelah turun dari kudanya ia berdiri menjublek tak tahu
harus berbuat apa.
Setelah beranjak diundakan batu baru Ma-ciangkun seperti teringat kepadanya, segera ia
merandek dan berpaling serta menggapai tangan, lalu berjalan masuk lagi.
Melihat orang memanggil dirinya dengan ragu-ragu akhirnya Thian-hi ikut beranjak masuk,
setelah melewati pintu besar tibalah mereka disebuah ruang besar, Ma-ciangkun itu menanggalkan
jubah perangnya seraya bertanya kepada Thian-hi, “Siapa namamu?”

Thian-hi menjadi sangsi sesaat lamanya, menyebut nama aslinya pun tidak seorang pun yang
bakal mengetahui, segera ia menjawab, “Aku bernama Hun Thian-hi!”
Ma-ciangkun manggut-manggut, ujarnya, “Sepak terjangmu dari kejauhan tadi sudah kulihat,
kau cukup berani, dengan keadaanmu yang lemah itu kau berani menolong orang, sungguh tidak
tahu diri. jikalau bukan karena bernasib baik sejak tadi kau sudah mampus.”
“Terima kasih akan budi pertolongan Ma-ciangkun!” segera Hun Thian-hi menjura.
Kelihatan Ma-ciangkun merasa simpatik terhadapnya, dengan tertawa ia berkata lagi, “Tak
perlu ditaruh dalam hati. Kulihat kau seorang sekolahan bukan?”
Tujuan Hun Thian-hi justeru hendak menutupi keadaan dirinya yang sebenar-benarnya, segera
ia manggut-manggut serta menjawab dengan hormat, “Benar, benar, aku seorang pelajar!”
Ma-ciangkun tertawa-tawa ujarnya, “Kulihat usiamu masih terlalu muda, apalagi seorang
pelajar yang punya keberanian yang pantas dipuji, sungguh sukar didapat, sungguh aku ketarik
kepada kau, adakah famili lain dirumahmu?”
“Ajah bundaku sudah lama wafat, hanya aku sebatangkara!”
“Itulah baik,” ujar Ma-ciangkun sesaat berpikir, “Kalau kau sudi, aku punya seorang putra,
apakah kau mau jadi gurunya?”
Sungguh girang dan senang Thian-hi sukar dilukiskan. sungguh tak nyana olehnya baru
pertama kali ia datang lantas mendapat tempat menetap yang cukup aman dan selamat, setelah
terlongong sebentar ia menyaJhut, “Terima kasih kepada Ma-ciangkun!”
“Sejak hari ini juga kau kuangkat menjadi guru anakku dan menempati bilik sebelah barat sana.
Aku bernama Ma Bong-hwi, lekas kau pergi ganti pakaian dan menemui aku diruang belakang.” —
Selesai bicara terus tinggal pergi ke dalam.
Seorang pelayan segera membawa Thian-hi kesebuah kamar pakaian untuk mengganti bajunya
yang sudah butut dan kojak2 tadi. tak lama kemudian ia sudah beranjak menuju keruang dalam.
Gedung panglima besar ini kiranya cukup mentereng dan megah, segala perabotnya serba
mewah, seorang pelayan menuntunnya menelusuri serambi panjang yang belak-belok ditanam
bunga, lalu memasuki sebuah bangunan besar yang terdiri dari sebuah ruangan besar. Tampak Ma
Bong-hwi sudah menunggu disana bersanding seorang wanita pertengahan umur.
Selamanya Thian-hi belum pernah menghadapi keadaan serba megah dan angker ini, begitu
memasuki kamar besar itu sikapnya menjadi prihatin dan kikuk, dengan laku hormat segera ia
memberi hormat kepada Ma Bong-hwi dan wanita pertengahan umur itu.
Disamping perempuan itu berdiri seorang laki-laki berusia 12-an, begitu melihat Hun Thian-hi
masuk segera berpaling dan bertanya kepada Ma Bong-hwi, “Ajah, apakah dia ini bakal guruku?”
Ma Bong-hwi manggut-manggut sambil berseri tawa, segera ia silakan Thian-hi duduk.
Tahu Thian-hi bahwa bocah laki-laki ini adalah bakal muridnya itu tanpa merasa ia awasi bocah
ini dengan seksama, bocah ini cukup tampan dan jenaka, lincah lagi berani, sepasang biji matanya
bundar bening mengawasi Hun Thian-hi tanpa berkedip, kelihatannya sangat nakal.

Segera Ma Bong-hwi memperkenalkan Hun Thian-hi, bocah itu bernama Siau-hou, Perempuan
pertengahan umur itu adalah istrinya.
Ma Siau-hou meninggalkan ibunya, maju mendekati ke depan Hun Thian-hi lalu berputar
mengelilingi Thjan-hi seperti memeriksa sesuatu barang yang menarik perhatiannya. Hun Thian-hi
menjadi jengah dan risi. Dalam hati ia membatin; ‘bocah ini cukup nakal, mungkin rada sukar
mengatasinya.’
Segera Ma Bong-hwi mengucapkan kata-kata sapa-sapi sekadarnya serta menjelaskan keadaan
dirinya. dengan patuh Thian-hi mengiakan saja. Akhirnya Ma Bong-hwi surah seorang pelayan
mengantar Bun Thian-hi pergi memeriksa kamar dan ruang bukunya.
Di dalam kamar buku ini terletak sebuah harpa, terdapat sebuah meja tulis juga serta beberapa
buah kursi, keadaan kamar tidurpun serba lengkap dan nyaman. Dengan menghela napas panjang
pelan-pelan ia duduk di atas sebuah kursi, pelayan itu segera minta diri terus keluar pintu.
Diam-diam Thian-hi merasa was-was dan hampir tidak percaya akan pengalaman sendiri,
sungguh suatu pengalaman yang cukup aneh dan menggetarkan sanubarinya.
Tengah ya melayangkan pikirannya, mendadak terdengar derap langkah lirih tengah
mendatangi, diam-diam ia terkejut, namun ia cukup waspada untuk tidak mengunjuk kepandaian
silatnya, terpaksa ia pura-pura tidak dengar saja.
Tak lama kemudian derap langkah lirih itu sudah sampai di depan pintunya, dengan acuh tak
acuh Thian-hi pura-pura tidak dengar, di dalam kamar ia berjalan bolak-balik menggendong
tangan membelakangi pintu kamar.
Sesaat kemudian baru ia memutar tubuh, tampak orang itu adalah putra Ma Bong-hwi yang
bernama Ma Siau-hou itu, dia tengah longak-longok ke dalam. Begitu Thian-hi putar tubuh dan
melihat dia, bocah itu menjadi kaget dan mengkeret sembunyi dibalik pintu, sesaat kemudian baru
berani berjalan keluar.
Dengan tersenyum Hun Thian-hi segera menyapa, “Ada urusan apa Siau-hou? Kemarilah!”
Pelan-pelan Ma Siau-hou berjalan masuk, dengan terlongong ia awasi Thian-hi, sesaat
kemudian baru buka suara, katanya, “Hun-losu (pak guru), aku datang untuk merundingkan suatu
hal dengan kau!”
“Ada urusan apa boleh silakan silakan saja!”
“Aku tidak ingin membaca buku. dan kau pun tak usah ajarkan aku membaca?”
“Lalu apa yang hendak kau pelajari?”
“Kau bawa sebatang seruling, kau ajarkan aku meniup seruling saja, belajar membaca aku tidak
suka!”
Thian-hi merenung sesaat baru menjawab, “Kau mau belajar meniup seruling pun boleh, asal
kau sudah belajar membaca lalu kuajarkan kau meniup seruling!”
“Tidak mau! Aku tidak punya begitu banyak tempo. Waktu yang lain aku harus berlatih silat”
Thian-hi menjadi serba sulit, bocah ini sungguh sukar dilayani, akhirnya ia mengada2 saja,
“Waktu terlalu panjang untuk belajar, aku bisa mengatur waktumu secukupnya.”

Ma Siau-hou miringkan kepala berpikir. tanpa bicara lagi segera ia berlari keluar. Diam-diam
Thian-hi mengerut kening, entah cara bagaimana ia harus menghadapi kebinalan bocah ini.
Tak lama kemudian cuaca sudah mulai gelap, setelah makan malam Thian-hi teringat akan Withian-
cit-ciat-sek pemberian Ka-yap Cuncia itu, sembunyi di dalam kamar tidurnya pelan-pelan ia
keluarkan buku itu dan dibaca di bawah penerangan pelita. Omslag buku tipis itu terbuat dari sutra
halus, dengan saksama ia periksa dari halaman ke halaman terakhir, buku itu melulu memuat
gambar2 manusia dalam berbagai bentuk dengan keterangan huruf yang cekak saja. Seluruhnya
ada tujuh jurus gerak pedang serta empat posisi duduk. Keempat posisi duduk ini kelihatan rada
baru, mungkin tambahan belum lama berselang. Diam-diam Thian-hi membatin mungkin inilah
posisi duduk pelajaran dari ilmu Pan-yok-hian-kang,
Dengan saksama Thian-hi memeriksa dan mempelajari ajaran Wi-thian-cit-ciat-sek yang
menggetarkan kolong langit ini, sesaat ia menjadi melongo, beruntun ia membalik lembar demi
lembar, ternyata ketujuh gambar jurus ilmu pedang itu semuanya sama dan persis benar-benar.
Keruan bukan main kejut hatinya, setelah diteliti dari sebarisan huruf2 kecil yang memberi
keterangan itu baru ia paham duduk perkara sebenar-benarnya, tampak di baris paling depan ada
sebuah pernyataan yang cukup serius, huruf2 itu berbunyi; Perhatian: Tanpa mempelajari Panyok-
hian-kang, takkan dapat menyilami intisari Wi-thian-cit-ciat-sek.”
Baru sekarang Thian-hi dapat menghela napas berlega hati, segera ia tutup buku itu, rada lama
kemudian baru ia buka pula, setelah sampai halaman terakhir ia amat-amati posisi2 duduk itu
dengan seksama, dibawahnya ada kalimat yang memberi penjelasan dan keterangan prakteknya
dengan sempurna.
Perlahan-lahan ia mendongak sambil menepekur sesaat kemudian baru mendadak seperti
teringat memahami, sekali lagi ia meneliti keempat posisi duduk itu, lalu memadamkan pelita,
duduk bersila mulai memusatkan pikiran dan berlatih.
Di luar dugaan latihannya berhasil dengan baik, hawa murni dapat dituntun berputar
selingkaran dalam tubuhnya, waktu ia membuka mata terasa badannya enteng segar dan nyaman,
keruan girang hatinya bukan buatan, memandang keluar jendela, kelihatan cuaca sudah terang
tanah.
Segera ia bangun dan berjalan keluar, dengan langkah ringan ia memasuki taman bunga.
Mendadak didengarnya suara orang mendatangi, sekilas saja lantas ia tahu itulah Ma Bong-hwi
beserta anaknya, mereka tengah mendatangi ke arahnya. Thian-hi berpaling ke kanan kiri, jelas
tiada tempat untuk sembunyi terpaksa pura-pura tidak tahu dan tidak dengar saja terus
berlenggang ke depan sambil menikmati bunga2 yang mekar segar.
Sebentar saja Ma Bong-hwi dengan Ma Siau-hou sudah mendekat, begitu melihat Hun Thian-hi,
Hun Thian-hi segera menyapa lebih dulu, “Ma-ciangkun! Selamat pagi!”
Ma Bok-hwi juga berseri tawa, sahutnya, “Kau juga bangun pagi2 benar-benar, matahari belum
lagi terbit kau sudah berada disini. Apakah semalam tidurmu nyenyak?”
Belum lagi Thian-hi sempat menjawab, dari samping Siau-hou sudah menyela dengan suara
keras, “Kenapa ayah perlu tanya lagi, tentu dia mengatakan tidur nyenyak sekali.”
“Hus, bocah kecil sembarangan omong!” segera Ma Bong-hwi membentak anaknya.
Thian-hi mandah tertawa tawar saja tanpa bersuara.

Siau-hou berkata lagi, “Ajah! Pak guru pintar meniup seruling, suruh dia mengajar aku. Aku
tidak mau belajar membaca.”
Ma Bong-hwi pelototi Siau-hou lalu berkata kepada Hun Thian-hi, “Kau bawa sebatang seruling,
tentu kau pandai meniupnya, kalau ada tempo tiada halangannya kau ajarkan Siau-hou.”
Hun Thian-hi tersenyum, jawabnya, “Seruling ini kuperoleh dari seorang Cianpwe sebagai tanda
kenangan. Aku sendiri tidak begitu baik meniupnya, digantung disini juga sebagai perhiasan saja!”
“Pak, guru!” seru Siau-hou sambil berlari ke depan Hun Thian-hi, “bolehkah pinjam lihat
serulingmu ini?”
Hun Thian-hi tanggalkan serulingnya lalu diberikan kepada Siau-hou, dengan saksama Siau-hou
membolak-balik dengan semaunya, katanya, “Bagus sekali Bolehkah kuperlihatkan kepada bibiku?”
“Siau-hou,” segera Ma Bong-hwi membentak, “lekas kembalikan, mana boleh begitu nakal.”
Dengan cemberut dan monyongkan mulut Ma Siau-hou angsurkan kembali seruling itu kepada
Thian-hi.
Ma Bong-hwi berkata lagi, “Aku akan berlatih silat kesana dengan Siau-hou, silakan kau jalanjalan
dalam taman bunga ini.”
Thian-hi manggut sambil mengiakan. mengantar Ma Bong-hwi dan putranya pergi jauh dengan
pandangan mendelong, dalam hati ia membatin; ‘bocah ini sungguh binal dan susah dilayani.’
Hun Thian-hi tak punya selera jalan-jalan lagi, setelah berputar rada jauh lalu kembah ke
kamarnya. Setelah makan pagi, tampak Ma Siau-hou berlari datang, tangannya menjinjing
sebatang seruling kehitaman terbuat dari besi.
Begitu masuk pintu Ma Siau-hou lantas berlari duduk di atas sebuah kursi bundar katanya
tertawa kepada Thian-hi, “Kau boleh mulai ajarkan aku meniup seruling. Baru saja kutemukan.
seruling ini!”
Hun Thian-hi mengerut kening, katanya, “Baik! Lagu apa yang suka kau pelajari?”
Ma Siau-hou berpikir sambil miringkan kepalanya, pikir punya pikir akhirnya ia berkata, “Aku
juga tidak tahu, lagu apa yang sering dipetik oleh bibi.” Berhenti sebentar lalu melanjutkan sambil
loncat berdiri, “Kau tunggu sebentar, ada sejilid buku musik, biar kuambil kemari.” Habis berkata
lalu berlari-lari pergi.
Thian-hi jadi berpikir cara bagaimana baru ia berhasil memberi pelajaran kepada Ma Siau-hou,
tak lama kemudian Ma Siau-hou memburu tiba pula serta berseru kepada Thian-hi, “Coba lihat,
kubawa kemari!”
Begitu melihat buku yang dibawa Ma Siau-hou itu kontan berubah air muka Hun Thian-hi. Buku
musik yang tipis dan sudah tua itu di atas sampulnya ada tertera tulisan yang berbunyi, “Tayseng-
ci-lao.” (Lagu sempurna abadi).
Hun Thian-hi adalah murid Lam-siau (seruling selatan), aliran Lam-siau dapat menggetarkan
Bulim lantaran ilmu pelajaran Thian-liong-cit-sek dan Siau-im-pit-hiat, terutama pelajaran menutuk
jalan darah menggunakan gelombang irama serulingnya ini, sudah tentu hasil pelajaran yang
sempurna ini membuat Hun Thian-hi tambah luas dan dalam mengenai pengetahuan musik, waktu
mulai terjun kedunia persilatan ia sudah menggemparkan Kangouw karena berhasil menutuk

roboh begitu banyak gembong silat ternama, namun sejak itu tiada kesempatan menggunakan
lagi, sebab setiap musuh yang dijumpai belakangan Lwekangnya semua cukup tinggi dan lebih
lihay dari kemampuannya.
Dari penuturan gurunya ia tahu bahwa waktu kakek gurunya masih hidup, hanya karena dapat
mencangkok sebagian dari “Tay-seng-ci-lao” ini sehingga ia cukup malang melintang menjagoi
Kangouw. Tapi sejak kakek mojang meninggal pelajaran ini tidak diturunkan kepada gurunya,
sekarang, Tay-seng-ci-lou ternyata muncul di tempat ini. Betapa ia takkan kejut dan heran.
Sebelumnya ia tidak pernah perhatikan siapakah bibi Siau-hou itu tapi sekarang membuatnya
was-was dan waspada, gedung besar ini kiranya juga menyembunyikan seorang tokoh aneh,
semula ia menyangka dirinya bisa aman dan tentram sembunyi di tempat ini, ah sungguh
menggelikan.
Sebentar ia mem-balik-balik, airmukanya semakin pucat, cepat ia berkata dengan nada rendah,
“Siau-hou! Kau tak boleh ambil buku ini, lekas kembalikan!”
Baru saja suaranya lenyap, muncullah seorang gadis diambang pintu kamarnya, begitu Siauhou
menoleh lantas berdiri dan berteriak, “Bibi!”
Gadis itu tanpa buka bicara, cepat-cepat ia meraih buku Tay-seng-ci-lao itu lalu bergegas keluar
lagi dengan terburu-buru.
Gadis itu pergi datang begitu cepat, sehingga Thian-hi tak berhasil memperhatikan wajahnya,
yang jelas ia mengenakan pakaian serba hijau mulus, perawakannya langsing menggiurkan, selain
itu tiada apa yang dapat disimpulkan. Namun untuk sekilas saja cukup membuat jantung Thian-hi
mendebur keras, diam-diam ia mengeluh celaka, kalau darinya pura-pura tidak tahu masih
mending, tadi ia suruh Siau-hou mengembalikan, kalau ucapannya ini didengar oleh bibinya itu,
wah, bukankah membongkar jejaknya sendiri.
Sesaat kemudian baru pikirannya tenang kembali, dilihatnya Siau-hou masih menjublek diam,
akhirnya ia angkat kepala berkata kepada Thian-hi, “Selamanya bibi belum pernah bersikap begitu
kasar terhadap Siau-hou, buku itu telah direbutnya kembali.”
Hati Thian-hi semakin gelisah, lebih jelas lagi ucapan Siau-hou, bahwa bibinya itu tentu sudah
mengetahui kedok aslinya. Pikir punya pikir akhirnya ia keluarkan serulingnya, katanya, “Kau ingin
belajar meniup seruling? Tapi kau harus tahu, untuk meniup seruling sebelunnnya kau harus
belajar teorinya dulu, dan untuk mempelajari teori ini kau harus belajar membaca pula, semakin
pintar membaca, cara meniup serulingnya pun semakin bagus.”
Habis berkata ia angKat serulingnya, mulai meniup sebuah lagu kanak-kanak yang sangat
popular di Kang-lam, yaitu lagu ‘dendang jenaka’, iramanya mengalun lincah dan merdu, sekian
lama Siau-hou sampai terpesona mendengarkan.
Mendadak Thian-hi menghentikan lagunya serta berkata, “Siau-hou kau suka lagu ini? Apa kau
mau belajar?
Saking girangnya Ma Siau-hou manggut-manggut sekuat tenaganya. Hun Thian-hi ada ganjalan
hati, maka segera ia mengakhiri sampai disitu saja, katanya, “Untuk belajar meniup kau harus
belajar membaca dulu hari ini cukup sekian saja. Besok boleh dimulai!”
Ma Siau-hou lari pergi berloncatan, diam-diam ia berpikir, aku harus belajar lebih pandai
meniup seruling dari guru.

Thian-hi jadi tersenyum geli, tahu ia bahwa Siau-hou sekarang sudah punya kegemaran,
apalagi sudah punya kepercayaan terhadap dirinya, mau dengar kata nasehatnya lagi. Entahlah
apakah bibinya itu bakal membongkar rahasianya tidak.
Duduk seorang diri di dalam kamar ia menjadi bebal dan gundah. Diam-diam terpikir oleh
Thian-hi, “Orang macam apakah sebenar-benarnya bibi Siau-hou itu.”
Begitulah sampai lohor, keadaan masih tetap sunyi aman, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Thian-hi sendiri menjadi tidak sabar lagi segera keluar dari kamar bukunya terus berjalan keluar
gedung. Maksudnya. hendak jalan-jalan dan melihat-lihat keadaan kota besar ini, tempo hari ia
belum sempat menyaksikan keramaian kota seluruhnya.
Para Centing banyak yang sudah mengenal dirinya, maka dengan leluasa ia dapat keluar
gedung. Setelah berada diluar pintu gerbang Thian-hi. menyelusuri jalan be«ar terus berlenggang
ke depan, dilihatnya didua sisi jalan semua adalah bangunan gedung besar dan mentereng, naganaganya
jalan ini merupakan komplek perumahan para pejabat tinggi pemerintah setempat.
Thian-hi berjalan terus sambil menikmati pemandangan beraneka warna dari bangunan gedung
yang banyak ragam dan modelnya, tapi sebegitu banyak keadaan disini tidak ubahnya seperti
keadaan kota2 besar di Tionggoan, boleh dikata tiada perbedaannya yang menyolok.
Thian-hi berlenggang terus ke depan, dari depan sana berjalan pelan-pelan mendatangi seekor
kuda putih yang ditunggangi seorang pemuda ganteng mengenakan jubah sutra yang serba
perlente. Tangannya pelan-pelan mengayun dan mempermainkan pecut pendek, wajahnya berseri
tawa riang gembira, mungkin hatinya sedang senang.
Dimana kudanya lewat orang-orang yang berlalu lalang di jalan segera menyingkir memberi
jalan, sedapat mungkin menyingkir jauh, seolah-olah ada sesuatu di atas pemuda itu yang
menakutkan.
Thian-hi sendiri menjadi heran, dengan seksama ia perhatikan Kongcu jubah sutra itu,
wajahnya kelihatan tersenyum simpul, mulutnya bersiul-siul riang, entah kenapa orang itu
menyingkir ketakutan.
Sementara itu tunggangan Kongcu jubah sutra itu sudah mendekat, sekilas dilihatnya Hun
Thian-hi berdiri di tengah jalan tiada niat menyingkir, kontan wajahnya cemberut dan kurang
senang,
segera ia menghentikan kudanya, baru Thian-hi tersentak sadar, tersipu-sipu ia menyingkir ke
pinggir jalan, dalam hati ia membatin, “Sekali2 aku tidak boleh membuat keributan disini!”
Kongcu itu tersenyum lagi, baru saja hendak tinggal pergi, mendadak dilihatnya sebatang
seruling putih gading yang tergantung di pinggang Thian-hi itu, segera ia berseru, “Hai, berhenti,
kemari kau!”
Hun Thiah-hi melengak, tak tahu dimana ia telah membuat salah terhadap Kongcu ini, setelah
membalik tubuh ia berdiri di tempatnya mengawasi Kongcu perlente itu.
“Apa kau tidak kenal aku sebagai putra kesayangan dari Sianghu (istana) yang bernama Tan
Goan-mo?” demikian tanya Kongcu itu uring-uringan.
Hun Thian-ki kaget tersipu-sipu ia membungkuk sambil menyapa, “Kongcu! kau baik, entah
untuk apa kau panggil aku?”

Tan Goan-mo mendengus hidung, ujarnya, “Ternyata kau kenal aku juga, kenapa tadi tidak
menyapa lebih dulu, apa aku dulu yang harus menyapa kepada kau?” Apa kerjamu disini.”
Thian-hi tidak ingin membuat perkara, segera ia minta maaf. Anggapannya dengan minta maaf
tentu urusan menjadi beres, diluar tahunya bukan saja urusan selesai sampai disitu malah hampir
saja merembet kepada Ma Bong-hwi. Sayang tadi ia tidak mengatakan bahwa dirinya sebagai guru
sekolahan di gedung kediaman Ma-ciangkun, tentu selanjutnya tiada perkara apa lagi.
“Baru sekarang kau minta maaf demikian jengek Tan Goan-mo, “Kau berani kurang ajar kepada
aku, maka serahkan seruling di pinggangmu itu sebagai penebus dosamu.”
Thian-hi semakin tertegun bingung, sahutnya, “Mana boleh jadi!”
Berubah air muka Tan Goan-mo, teriaknya, “Apa? Tidak boleh? Mari kau ikut aku ke gedung
balai kota!”
Diam-diam timbul hawa amarah Thian-hi, tapi setelah dipikir lebih lanjut segera ia berkata,
“Tan-kongcu, seruling ini adalah tanda mata yang diberikan oleh seorang Cianpwe mana boleh
diberikan kepada orang lain! Kalau Kongcu ingin memiliki seruling kelak tentu kucarikan sebatang
yang lain yang lebih bagus lagi!”
“Bedebah!” maki Tan Goan-mo dengan murka, “Tar!” cambuknya melecut mengenai dagu
Thian-hi, Thian-hi menjadi gemas dan membatin; kenapa keluarga dari Sianghu begitu brutal dan
bersimaharaja!
Sementara itu pecut Tang Goan-mo sudah menyamber tiba lagi, cepat-cepat Thian-hi
melangkah mundur menghindar.
“Berani kau berkelit?” maki Tar Goan-mo lebih murka, lagi-lagi pecutnya terayun menghajar
kepada Thian-hi.
Sudah tentu Thian-hi tidak mau dihajar semena-mena, ia berhasil menghindar lagi. Keruan
semakin berkobar amarah Tan Goan-mo. Dari sebelah belakang mendatangi pula seekor kuda,
Tan Goan-mo segera berpaling dan berteriak, “Hoan Kim-pa! Mari kau bantu menghajar bocah
kurangajar ini!”
Waktu Thian-hi angkat kepala, dilihatnya pendatang ini adalah seorang laki-laki besar bermuka
hitam mengenakan pakaian warna hijau, mendengar teriakan Tan Goan-mo segera ia melompat
turun katanya kepada Tan Goan-mo, “Kongcu, siiakan kau lihat saja!” — sambil menenteng
cambuknya yang besar dan panjang ia mendekati Thian-hi.
Bercekat hati Thian-hi, kelihatannya laki-laki ini bukan orang biasa, agaknya membeka!
kepandaian silat yang cukup lumajan, pakaiannya sederhana dan preman, mungkin bukan orang
dari istana atau anggota Busu.
Sambil menyeringai sadis Hoan Kim-pa mengayun cambuknya, Tar! Tar! langsung ia memecut
ke arah Thian-hi. Sudah tentu Thian-hi tidak rela dihajar begitu saja, cepat ia mundur ke belakang
dua langkah dengan pura-pura terhujung, untung bisa terhindar.
Namun ayunan cambuk Hoan Kim-pa tidak berhenti, lagi-lagi ia melangkah maju, beruntung ia
memecut lagi dua kali. Kedua serangan pecut terakhir ini sebetulnya sudah tak mungkin dihindari
lagi.

Betapa murka hati Thian-hi, namun terdesak oleh keadaan, apa boleh buat ia berusaha mundur
lagi selangkah, ia berhasil menghindari pecutan pertama, sedang pecutan kedua dengan telak
mengenai pundaknya, kontan bajunya sobek, pundaknya pun berdarah. Hampir Thian-hi tak kuasa
menahan gelora amarah hatinya, cara turun tangan Hoan Kim-pa ini sungguh sangat kejam dan
keji, bila ada kesempatan pasti kubalas penasaran ini.
Hoan Kim-pa menyeringai semakin kejam, ia mendesak lebih dekat lagi. Sekonyong-konyong
terdengar suara kelintingan yang riuh dan congklang kuda yang ramai tengah mendatangi.
Seketika berubah air muka Tan Goan-mo, cepat ia ulurkan tangannya, segera Hoan Kim-pa
menurunkan cambuknya.
Sebuah kereta kencana yang terukir indah ditarik enam ekor kuda putih berlari kencang
mendatangi, yang mengendalikan kereta ternyata adalah seorang gadis rupawan berbaju merah,
begitu cepat keretanya mendatangi, melihat keramaian ini segera ia berseru heran dan
menghentikan kereta, meski dengan cekatan ia berhasil menghentikan kudanya tak urung
kudanya sudah melampaui ke depan tiga tombak jauhnya, segera ia putar keretanya mendekat ke
arah mereka bertiga.
Tersipu-sipu Tan Goan-mo maju menyapa dengan hormat, “Tuan putri! apa kau baik?”
Ganti berganti Tuan putri mengawasi mereka bertiga lalu bertanya kepada Tan Goan-mo, “Apa
yang telah terjadi disini?”
Tan Goan-mo tersenyum, sahutnya, “Orang ini punya sebatang seruling pualam semu merah,
aku ingin membelinya untuk dipersembahkan kepada Tuan putri, tapi orang ini tidak mau menjual”
Sementara itu, Hun Thian-hi juga sudah mengamati Tuan putri itu, matanya begitu bening dan
jeli, sungguh seorang putri remaja yang cantik rupawan, begitu mahir ia mengendalikan
keretanya, mungkin sudah biasa, demikian ia membatin.
Di lain pihak Tuan putri juga tengah mengawasi Thian-hi, katanya kepada Goan-mo, “Jika dia
tidak suka jual ya sudah, apa kau telah memukul dia?”
Tan Goan-mo berpaling ke arah Thian-hi dengan mata mendelik gusar, lalu menjawab
pertanyaan Tuan putri dengan tertawa, “Seruling pualam semu merah itu sungguh baik sekali,
bukankah Tuan putri paling gemar warna merah. Maka aku ingin membelinya untuk Tuan putri.”
Mulut Tuan putri mengiakan dengan lirih, lalu berkata kepada Thian-hi, “Seruling pualam semu
merah milikmu itu bolehkah kupinjam lihat sebentar?”
Hun Thian-hi bersangsi sebentar, lalu menanggalkan serulingnya diangsurkan kepada Tuan
putri. Dengan seksama Tuan putri perhatikan seruling itu, kelihatannya sangat ketarik, ia
mendongak ke arah Thian-hi, melihat sikap Thian-hi yang wajar tiada maksud hendak berikan
kepada dirinya, ia menjadi kecewa, apa boleh buat akhirnya ia kembalikan kepada Thian-hi.
Dengan kedua tangannya Thian-hi menerima kembali serulingnya, Tuan putri lantas tanya pula,
“Kau bisa memiliki seruling sebagus ini, tentu bukan sembarangan orang, dimana kau tinggal
sekarang?”
Sejenak beragu Thian-hi lantas menjawab, “Aku tinggal di gedung Ma-ciangkun.”
“Di gedung Ma-ciangkun?” tanya Tuan putri menegas.

Thian-hi manggut-manggut. Dari belakang sana mendatang sepasukan pengawal yang
mengenakan mantel serba merah. Tuan putri berpaling seraya berkata, “Aku harus segera pulang,
kalian tidak perlu bertengkar lagi.”
Selesai berkata ia ayun pecutnya membedal kuda keretanya kencang-kencang. Rombongan
pengawal merah itu segera mengejar di belakangnya.
Dengan murka Tan Goan-mo pandang Hun Thian-hi, dengusnya dingin, “Kiranya warga dari
Ma-ciangkun, tak heran berani bertingkah terhadap aku Tan Goan-mo!” — lalu ia ulapkan tangan
bersama Hoan Kim-pa naik kuda tinggal pergi, kejap lain mereka sudah menghilang di pengkolan
jalan.
Setelah Tan Goan-mo tak kelihatan, Thian-hi masih berdiri menjublek, hatinya berpikir anggota
keluarga dari Sianghu kenapa begitu telengas dan bertingkah kasar. Mungkin negeri ini tidak
begitu makmur dan aman sentosa. Tapi entahlah Siangkok (perdana menteri) seorang baik atau
orang jahat kejam.
Hilang selera jalan-jalannya tadi, segera ia jalan pulang, ditengah jalan teringat pula akan bibi
Siau-hou yang serba misterius itu, entah bagaimana keadaannya sekarang, sebetulnya orang
macam apakah dia, Tay-seng-ci-lau kenapa bisa berada di tangannya. Demikian Thian-hi
bertanya-tanya dalam hati.
Sekembali Thian-hi di gedung Ma-ciangkun, sampai petang mendatang keadaan masih tetap
tenang dan tiada terjadi apa-apa, lambat laun Thian-hi baru merasa tentram. Malam itu, ia
mengulang lagi pelajarah Pan-yok-hian-kang.
Hari kedua baru ia mulai ajarkan Siau-hou meniup seruling dan membaca buku. Sebagai murid
tunggal Lam-siau, Lam-siau sebagai keturunan aliran kenamaan pula di daerah Kanglam, seluruh
kepandaian sastra dan ilmu silatnya sudah diturunkan semua kepada Thian-hi. Untuk mengajar
kepada Siau-hou adalah soal sepele bagi Thian-hi…. Apalagi Siau-hou sangat ketarik dan punya
minat besar mempelajari Seruling, sudah tentu segala petunjuk dan nasehatnya dipatuhi.
Sang waktu berjalan dengan cepat tanpa terasa, tahu-tahu tiga bulan sudah lewat, waktu
pertama kali datang, beruntun terjadi dua perkara, sejak itu ia tidak berani keluar pintu lagi,
dengan tekun ia memperdalam pelajaran Pan-yok-hian-kang. Agaknya kerjaan Ma Bong-hwi juga
sangat banyak dan sibuk, jarang mereka bertemu muka. Selama itu belum pernah ada
kesempatan ia melihat bibi Siau-hou, waktu yang cukup lama ini sudah mempererat hubungannya
dengan Siau-hou semakin intim.
Tiga bulan telah lewat, diam-diam Thian-hi berpikir; sudah tiga bulan aku mempelajari Pan-yokhian-
kang, kalau sekarang aku mulai mempelajari Wi-thian-cit-ciat-sek, kukira tiada halangannya.
Setelah hari menjadi gelap ia mulai mem-balik-balik buku pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek. Dari jurus
pertama secara seksama ia perhatikan ganti berganti sampai jurus ketujuh, setelah selesai diamdiam
bercekat sanubarinya. Tiga bulan yang lalu waktu ia melihat ketujuh jurus itu kelihatannya
serupa dan tiada perbedaannya, namun sekarang terasa jauh berlainan sama sekali. Ketujuh jurus
ini hanya terpaut beberapa mili saja, namun di dalam pergerakan pedang yang hanya beberapa
mili dalam waktu singkat itu, ternyata tersembunyi kekuatan yang luar biasa besarnya.
Diam-diam kejut dan girang pula hatinya, dengan penuh perhatian ia menekuni dan
mempelajari dengan hati-hati, namun sedemikian jauh ia masih kurang paham cara bagaimana ia
harus menggunakan tenaga besar yang tersembunyi itu Begitulah dilihat lalu dipikir, dipikir dan
diperiksa lagi dengan seksama, tanpa merasa ia habiskan waktu semalam suntuk tanpa membawa
hasil.

Malam kedua ia menyelami pelajaran Wi-thian-ci-ciat-sek lagi kira-kira sampai tengah malam,
terasa sesuatu keganjilan olehnya, mendadak diluar diatap rumah sana ia mendengar lambaian
ujung baju orang berjalan malam. Thian-hi terkejut, timbullah kewaspadaannya, cepat ia
padamkan pelita dan menyimpan buku Wi-thian-cit-ciat-sek ke dalam bajunya, dengan tenang ia
duduk menanti dan mendengarkan dengan cermat.
Orang itu berjalan berputar-putar di atas genteng, tahu Thian-hi bahwa orang ini pasti bukan
lewat jalan saja, terang sengaja sedang mencari tahu atau main selidik, entah siapa dan darimana
dia bernyali besar berani meluruk ke gedung Panglima besar. sedikit mengempos napas ringan
sekali Thian-hi melayang keluar dari jendela terus berkelebat sembunyi di bawah atap.
Selepas pandangannya yang cukup tajam pada malam hari, kelihatan orang itu masih terpaut
puluhan tombak disebelah sana, rupanya tidak begitu tegas, hanya kelihatan muka sampingnya
mengenakan pakaian serba hitam legam, ia berdiri sekian lama, seolah-olah sedang berpikir apaapa.
Diam Thian-hi membatin, “Sungguh besar nyali orang ini, di atas gedung Panglima besar masih
berani berdiri main terang-terangan, seolah-olah sangat ceroboh dan takabur.”
Setelah berhenti sekian lamanya, orang itu berputar-putar lagi di atas genteng. Cepat Thian-hi
mengkeret mepet tambok.
Seperti tiada orang lain saja orang itu berkelebat melompat turun ditaman bunga, ternyata
berdiri anteng tak bergerak lagi. Sejenak kemudian terdengar ia menghela napas panjang, naik ke
atas genteng hendak tinggal pergi. Thian-hi masih ingat akan peringatan Ka-yap Cuncia ia tidak
berani mengejar, baru saja ia hendak tinggal masuk kembali ke kamarnya, dari dalam rumah
samping sana terdengar seseorang berkata, “Hai, kenapa tinggal pergi!”
Jelas terdengar oleh Thian-hi bahwa itulah suara Ma Bong-hwi.
Kejap lain tampak Ma Bong-hwi melompat naik ke atas genteng sambil menenteng pedang,
pakaiannya ringkas, katanya kepada orang itu, “Kau sengaja kemari hendak bertemu mengapa
mau pergi?”
Orang itu pandang Ma Bong-hwi seraya bertanya, “Apakah aku berhadapan dengan Maciangkun?”
“Benar-benar! Siapa kau? Ada urusan apa malam2 kemari?” demikian tanya Ma Bong-hwi.
“Aku yang rendah Hou Cong-ceng!” sahut orang itu, “Entah apakah Ciangkun masih ingat?”
“0, kiranya kau!” sahut Ma-ciangkun.
“Ma-ciangkun bertindak terlalu jujur dan tegas dalam segala urusan, sehingga menimbulkan
sirik orang. Ada orang mengutus aku kemari untuk membunuh Ciangkun, untuk selanjutnya harap
Ciangkun suka hati-hati, aku harus segera pulang.”
Diam-diam Thian-hi mengeluh kiranya orang memang sengaja hendak mengunjukkan jejak
sendiri, namun sedemikian jauh dirinya tidak dapat mengetahui.
“Nanti dulu!” terdengar Ma Bong-hwi menahan, “Coba kau beri keterangan lebih jelas!”
Hou Cong-ceng rada sangsi, akhirnya berkata, “Maaf, aku tak bisa banyak bicara, dulu
Ciangkun pernah tanam budi terhadap aku, maka aku tidak peduli keselamatan sendiri memberi

kisikan kepada Ciangkun, bila diketahui orang lain, tentu jiwaku terancam bahaya, sekarang juga
aku harus mengundurkan diri.” Habis berkata terus berlari pergi.
Ma Bong-hwi terlongong di atas genteng, sekian lama ia tidak bergerak, agaknya otaknya
sedang diperas untuk memikirkan persoalan rumit ini, rada lama kemudian baru ia turun ke dalam
taman dan berjalan masuk ke dalam rumah.
Baru saja Thian-hi hendak kembali ke kamarnya, sekilas dilihatnya di para2 bunga sebelah kiri
sana
mendekam sebuah bayangan orang, bercepat hatinya, tadi Hou Cong-ceng bilang bahwa dia
menyerempet bahaya kemari memberi kisikan, dan takut diketahui orang lain. Ternyata sejak tadi
orang ini sudah mencuri dengar disitu, dengan seksama Thian-hi perhalikan orang itu, tampak
pelan-pelan ia menggeremet keluar dari rumpun bunga Seruni hendak melarikan diri.
Segera Thian-hi paham duduk perkara sebenar-benarnya. Insaf ia kalau orang ini sampai dapat
lolos dengan selamat, pasti jiwa Hou Cong-ceng terancann bahaya, entah siapa yang mengutus
dia menyelundup kemari.
Thian-hi ingin bertindak, tapi tidak leluasa untuk mengunjukkan diri, akhirnya ia meremas
pecah genteng menjadi sebuah batu kecil, dengan kedua jarinya menyelentik ringan mengarah
belakang kepafa orang itu. Kontan terdengar orang itu berteriak kesakitan.
Cepat Thian-hi kembali ke dalam kamarnya, terdengar suara Ma Bong-hwi berteriak, “Siapa!”
Lalu disusul dengusannya lagi, “Lari kemana kau?”
Terdengar senjata berdentang beradu, beberapa jurus kemudian terdengar pula orang itu
menjerit. Tahu Thiau-hi bahwa orang itu sudah kena dibunuh oleh Ma Bong-hwi, dengan lega
iapun berbaring untuk istirahat.
Hari kedua air muka Ma Bong-hwi tampak kecut, begitu melihat Thian-hi. Siau-hou lantas
mengoceh, katanya, “Guru! Semalann rumah kita kebobolan pencuri, apa kau tahu?”
Thian-hi menggeleng pura-pura terperanjat, serunya, “Apa benar-benar?”
Siau-hou, manggut-manggut dengan sungguh, katanya, “Kau tak tahu, orang itu adalah
seorang anak buah ayah sendiri, tapi sudah dibunuh oleh ayah. Jikalau aku belum tidur, wah pasti
hebat tontonan ini.”
Thian-hi tertawa-tawa, ujarnya, “Kau masih kecil, jangan turut campur urusan orang tua, lebih
baik kau pelajari isi buku yang sangat bermanfaat ini!”
Dengan lucu Siau-hou pandang Thian-hi, sambil tertawa cengar-cengir, lalu goyang2 kepala,
seolah-olah ada banyak urusan jauh ia lebih tahu, dari Thian-hi, seumpama dituturkan belum
tentu Thian-hi paham. Sudah tentu Thian-hi makfum akan maksud Siau-hou, namun iapun tak
banyak bicara lagi, seperti biasa ia ajarkan Siau-hou meniup seruling dan membaca buku.
Malam itu Hun Thian-hi mengulangi latihan Wi-thian-cit-ciat-sek, sedemikian jauh dapatlah
diselami perbedaan dari ketujuh jurus permainan pedang, dengan pejamkan mata ia menepekur
berusaha memecahkan inti rahasianya, setiap gerak perubahan ketujuh jurus ilmu pedang ini satu
sama lain berbeda dan berlainan arah dan sasaran, tenaga yang dilontarkan pun juga berlainan,
dengan tangannya ia bergerak-gerak menirukan dalam gambar, namun terasa kurang leluasa,
lantas terpikir olehnya untuk mencoba dan mempraktekkan latihan ini dengan pedang sungguhan.

Selain Badik buntung Thian-hi tidak membekal senjata tajam apapun, kecuali menggunakan
serulingnya, namun di tempat sempit begini mana mungkin, bila sampai konangan orang lain dan
dlketahui dirinya bisa main silat tentu berabe dan terbukalah kedoknya.
Tapi intisari dan kehebatan dari ilmu pedang ini harus dipraktekkan atau harus latihan
menggunakan pedang, baru bisa diselami. Akhirnya ia bangkit menyimpan Kiamboh Wi-thian-citciat-
sek, lalu berjalan keluar ketaman, ia tahu di tempat sepi paling ujung belakang sana ada
sebuah gunungan palsu, sebidang tanah datar di belakang gunung palsu inilah yang paling sepi
dan tidak pernah diinjak kaki manusia.
Secara diam-diam Thian-hi menuju kesana, setelah celingukan kesekitarnya dan jelas tak ada
orang
lain, hatinya rada lega dan gembira, namun hatinya. masih merasa kuatir, segera ia berjalan
memutar memeriksa keadaan sekitarnya baru kembali lagi ke belakang gunungan palsu itu. Pelanpelan
ditanggalkan serulingnya, segera ia pasang kuda-kuda dan mulai bergaja, namun terasa
seruling di tangannya ini kurang cocok dipakai sebagai gaman pedang. Ia mengerut kening,
batinnya, “Kenapa aku harus takut dan beragu menggunakan alat senjata, atau akan batal berlatih
Wi-thian-cit-ciat-sek saja!’
Kejap lain ia sudah menghimpun tenaga dan pusatkan semangat, tiba-tiba tubuhnya mencelat
mumbul, tubuhnya berputar setengah lingkaran ditengah udara, dimana tangan kanannya
bergerak jurus pertama dari Wi-thian-cit-ciat-sek mulai dikembangkan, waktu serulingnya menutuk
keluar, segulung hawa tenaga semi merah kontan memberondong keluar dari batang seruling itu
melesat ke depan, namun hanya sekejap mata saja lantas sirna.
Sebetulnya Thian-hi bermaksud melanjutkan gerak susulannya, namun tenaganya sudah tak
kuasa lagi menyambung, terpaksa ia meluncur turun ke tanah, duduk di atas gunungan palsu, ia
berpikir dan menyelaminya dengan seksama. Tak lama kemudian ia mempraktekkan sekali lagi,
begitulah secara tak mengenal lelah ia ulangi terus permainan jurus pertama ini sampai akhirnya
ia paham sendiri dan dapat diapalkan diluar kepala., hatinya rada gembira, untuk gerak yang
terakhir ia sudah berhasil mengendalikan tenaga kekuatan jurus pedang itu sesuka hatinya.
Tatkala itu hari sudah mulai terang, terpaksa Hun Thian-hi menghentikan latihannya. Meski
semalaman tidak tidur dan berlatih dengan capek lelah lagi, dasar latihan Pan-yok-hian-kangnya
sudah kuat, pernah menelan buah ajaib lagi, maka Lwekangnya boleh dikata sudah sangat tinggi
jarang tandingan, biasanya cukup cuma semadi beberapa waktu saja sudah cukup, dan tidak perlu
tidur lagi.
Setelah mendongak melihat cuaca, dengan memejamkan mata ia mengingat kembali
permainan jurus pertama ini, untuk selanjutnya ia melatih Thian-liong-cit-sek, tak lupa ia berlatih
juga Gin-ho-sam-sek yang diajarkan oleh Soat-san-su-gou itu. Gin-ho-sam-sek sekarang boleh
dikata sudah mendarah daging, bisa dilancarkan sesuka hatinya secara mudah. Begitu pula Thianliong-
cit-sek lebih apal lagi.
Setelah langit semakin terang cepat-cepat Thian-hi kembali ke dalam kamarnya untuk istirahat.
Keesokan harinya setelah pulang dari piket tampak air muka Ma Bong-hwi sangat murung, Hun
Thian-hi menjadi curiga, namun tidak leluasa menanyakan karena persoalan pribadinya, apalagi
dirinya berusaha menyembunyikan keadaan sebenar-benarnya, mana boleh banyak turut campur
urus perkara orang lain. Dalam hati ia hanya menerka2 bahwa mungkin Ma Bong-hwi menghadapi
urusan yang tidak menyenangkan hati.
Pikir punya pikir, akhirnya Thian-hi berkeputusan untuk tinggal diam berpeluk tangan saja.

Malamnya setelah duduk samadi berlatih Pan-yok-hian-kang, menjadi kebiasaan untuk hari2
selanjutnya ia mulai tenggelam dalam memikirkan pemecahan rahasia inti jurus-jurus Wi-thjan-citciat-
sek. Semalam suntuk ia bersusah payah tanpa hasil m mahami jurus kedua.
Setelah makan pagi, seperti biasa Siau-hou datang belajar, namun kali ini tidak membawa
Seruling besinya. Begitu masuk Siau-hou lantas berkata, “Pak guruku! ayahku panggil kau, ada
urusan hendak dibicarakan dengan kau!”
Hun Thian-hi rada melengak, selama ini Ma Bong-hwi belum pernah ajak dirinya bicara,
sekarang diluar dugaan memanggil aku, entah ada urusan apa, menguntungkan atau merugikan
dirinya.
Ia berpikir sebentar lalu berkata kepada Siau-hou, “Siau-hou! Apa kau tahu untuk urusan apa?”
Siau-hou menggeleng, katanya, “Aku tidak tahu.”. Tapi segera ia merendahkan suara dan
menambahi dengan sungguh-sungguh, “Tapi aku tahu, tentu soal yang sangat penting.”
Sangsi dan lebih curiga lagi Hun Thian-hi, sebetulnya untuk urusan penting apakah. Selamanya
Ma Bong-hwi anggap dirinya sebagai penolong jiwa dirinya diluar dugaan hari ini dia sudi mencari
dirinya, sungguh sulit diduga dan diraba juntrungnya.
Akhirnya ia manggut-manggut, “Baiklah. segera aku datang!”
Siau-hou segera berlari pergi. Setelah dipikir2 ia tidak bisa ambil kesimpulan positip, terpaksa ia
beranjak keluar. Begitu tiba di ruang belakang, kelihatan Ma Bong-hwi sudah menanti disana,
begitu melihat Hun Thian-hi masuk segera ia bangkit berdiri seraya berkata tertawa, “Losu! Apa
kau baik?”
“Selamat pagi, Ma-ciangkun!” segera Thian-hi menyapa dan memberi hormat. “Ma-ciangkun
hari ini tidak keluar, entah untuk urusan apakah Ma-ciangkun mengundang aku?” ~Lahirnya ia
berlaku tenang, tapi batinnya kebat-kebit, entah mengapa Ma Bong-hwi hari ini berlaku sangat
sungkan dan ramah terhadap dirinya.
Ma Bong-hwi tertawa kikuk serta berkata lembut, “Sudah tiga bulan Losu berada disini,
selamanya Siau-hou sangat nakal tak mau dengar nasehat, berkat didikan Losu sekarang dia mau
mendengar katamu. Sebagai seorang tua selamanya tidak pernah aku mengurusnya, terhadap
Losu juga terlalu bebas tanpa sungkan-sungkan lagi.”
“Ah, ucapan Ma-ciangkun membuat aku menjadi risi, Ma-ciangkun adalah tuan penolongku,
apalagi berkat Ma-ciangkun sudi menerima aku berteduh disini, sehingga aku tak terlantar, Hun
Thian-hi sangat berterima kasih tak terhingga.” sekilas matanya melirik, ternyata ruang besar ini
menjadi begitu sunyi karena tiada orang lain, jelas para pelayan sudah diperintahkan
mengundurkan diri semua, hal ini lebih mempertebal kecurigaan Thian-hi.
“Ternyata Losu suka berkelakar.” demikian ujar Ma Bong-hwi tertawa, “Akulah yang terlalu
ceroboh, adik kandungku justru menyalahkan kelalaianku ini, selalu mengagulkan diri sebagai tuan
penolongmu, sebetulnya…. ai!”
Melonjak jantung Thian-hi, adik kandungnya (perempuan), bukankah berarti bibi Siau-hou.
kalau begitu tentang dirinya bisa main silat sudah dapat diketahui olehnya? Terpikir sampai disini
tanpa merasa keringat dingin telah membasahi sekujur badannya.

Thian-hi menjadi tergagap tak bisa bicara, terang dia tak bisa menyangkal dan tidak bakal
mengakui, kalau menyangkal bahwa dirinya bisa main silat, ucapan Ma Bong-hwi tadi tidak atau
belum secara langsung ditujukan kepada dirinya, jelas malah akan memperlihatkan kedoknya
sendiri, tapi kalau ia tidak bersuara berarti membenar-benarkan.
Akhirnya Thian-hi buka suara dengan menyengir, “Ma-ciang-kun, aku tidak paham apa yang
kau maksudkan.”
“Adikku pernah berkata, tidak seharusnya aku bersikap terlalu dingin terhadap kau. Apakah
Losu sesalkan perbuatanku ini?”
“Ucapan Ma-ciangkun terlalu berat untuk kuterima, sikap Ma-ciangkun sangat baik terhadapku.
Hun Thian-hi merasa sangat berhutang budi dan entah kapan dapat membalas kebaikan ini.”
Ma Bong-hwi berkata, “Aku tengah dihadapi sebuah perkara yang sangat menyulitkan
kedudukanku, adikku bilang supaya aku minta bantuan kepada Sian-seng, katanya kecuali
Sianseng tiada orang lain yang bisa membereskan. Aku harap Siangseng suka bantu kepada
kesukaranku ini.”
Berubah air muka Thian-hi, katanya, “Tenagaku pasti sangat terbatas, aku kuatir akan
mengecewakan harapan Ciangkun belaka.” — diam-diam ia mengeluh dalam hati, entah cara
bagaimana ia harus mengambil sikap, kalau tahu bakal terjadi kejadian hari ini, lebih baik siangsiang
aku tinggal pergi saja, soalnya ia terlalu kemaruk akan keselamatan diri sendiri sehing-ga
sekarang sulit membebaskan diri dari pertanggungan jawab ini.
“Selamanya adikku tidak bicara sembarangan, dia beritahu kepada aku bahwa Siangseng
adalah seorang kosen yang menyembunyikan diri. Bila aku punya kesukaran selalu dialah yang
bantu aku membereskan kesulitanku, setiap ucapannya selalu tepat tak pernah salah.”
“Ma-ciangkun terlalu memuji, Hun Thian-hi mana terhitung seorang tckoh aneh apa segala, ini
betul-betul suatu hal yang menggelikan belaka”
“Malam tempo hari bukankah Siangseng juga telah menanam budi kepada aku, jika tiada
mendapat bantuan Sianseng tentu mata2 yang menyelundup itu tak bisa diringkus dan
dibereskan.”
Mendengar lebih lanjut Thian-hi semakin menjublek ditempatnya, mulutnya terkancing rapat
tak kuasa bicara lagi. Ternyata siang-siang jejaknya sudah dapat dilihat oleh orang, perbuatannya
tempo hari menurut anggapannya sudah sangat tersembunyi, tak konangan juga. Kalau begitu
perihal dirinya bisa main silat jelas sudah diketahui oleh mereka, entahlah waktu aku latihan ilmu
pedang apakah juga sudah diintip oleh mereka.
Thian-hi menjadi serba salah, tak tahu bagaimana ia harus bertindak, akhirnya ia berkata
dengan hambar, “Ma-ciangkun! Apa katamu? Aku tidak mengerti!”
Dengan kecewa Ma Bong-hwi pandang dia, akhirnya menghela napas rawan, ujarnya, “Apakah
Sianseng betul-betul tidak sudi membantu?”
Lambat laun Hun Thian-hi tertunduk, hatinya menjadi gundah, sepihak ia pernah mendapat
pertolongan orang, sebagai seorang gagah apakah ia mandah saja melihat kesulitan orang,
sungguh malu rasanya bila dirinya berpeluk tangan melihat orang ketimpa malang.
Terdengar Ma Bong-hwi berkata lagi, “Adikku menyangka bila aku mau mohon bantuan, tentu
Sian-seng suka membantu. Kukira dugaannya sekali ini meleset.”

Tersentak sanubari Thian-hi. Katanya, “Bila aku dapat, sekuat tenagaku aku suka membantu.”
Setelah memberi jawaban ini baru ia sadar, kenapa tadi aku selalu menghindari, sebetulnya Ma
Bong-hwi mengalami kesukaran apa aku toh belum menanyakan jelas, bila sudah jelas duduk
perkaranya, kan lebih gampang untuk menolaknya.
“Apa betul!” Ma Bong-hwi berteriak kegirangan.
Thian-hi manggut-manggut, tanyanya, “Mengenai soal apakah, harap Ma-ciangkun suka
jelaskan.”
“Asal Siangseng suka membantu tanggung urusan ini bisa dibikin terang.” demikian kata Ma
Bong-hwi berseri tawa.
Kedengarannya Ma Bong-hwi sudah anggap bahwa Thian-hi pasti mau membantu, keruan
Thian-hi rada gugup, cepat ia menambahi, “Ma-ciangkun, tenagaku seorang sangat terbatas….”
Baru sampai disini ucapannya, mendadak terdengar suara “tring” yang nyaring dari kamar
sebelah, itulah suara petikan sinar harpa yang nyaring merdu, begitu mendengar suara petikan
harpa ini seketika berubah air muka Thian-hi.
Diam-diam Thian-hi mengeluh dalam hati, bibi Siau-hou itu pasti hendak menggunakan Tayseng-
ci-lau (lagu sempurna abadi) untuk mendesak dirinya mengunjukan ilmu silatnya. Baru saja
terkilas pikirannya ini, petikan gelombang suara harpa kedua sudah kedengaran lagi, kali ini lebih
kuat, tajam dan melengking menusuk telinga, kontan melonjak hati Thian-hi.
Thian-hi tengah mencari akal cara bagaimana baru dia bisa tidak mengunjukkan kepandaian
silatnya, sebuah pikiran berkelebat secepat kilat dalam benaknya, hanya satu cara saja, meskipun
hasil cara ini sangat minim terpaksa harus dicoba dulu.
Segera ia menanggalkan serulingnya terus ditempelkan dibibirnya, dengan pejamkan mata ia
mulai meniup serulingnya, tujuannya berusaha membendung gema suara harpa. Tapi Tay-seng-cilau
merupakan buah karja seorang ahli yang sangat lihay, setiap petikan suara harpa mengetuk
sanubarinya seperti dadanya dipukul godam. Apalagi dengan cara dari dalam keluar, bukan dari
luar ke dalam yang rada mudah ditangkis. Lambat laun Thian-hi kepayahan akhirnya tak kuasa
meniup serulingnya lagi, bila dia tidak membekal ilmu sakti macam Pan-yok-hian-kang, mungkin
sejak tadi jantung di hatinya sudah hancur lebur.
Dengan putus asa Thian-hi pandang Ma Bong-hwi, kelihatan orang berdiri seenaknya sambil
menggendong tangan, seperti menikmati musik yang mengasjikkan.
Kongsun Hong guru Thian-hi pernah menuturkan, bahwa Tay-seng-ci-lau punya keanehan yang
mujijad, dapat dilancarkan sesuka orang yang melagukan, tanpa dapat mengganggu atau
memcelakai orang lain, namun kekuatannya sungguh luar biasa dan sulit dibayangkan.
Tak kuat mendengar irama petikan harpa, terpaksa Thian-hi kerahkan Pan-yok-hian-kang untuk
melindungi jantungnya, segera ia duduk bersila dan samadi, seketika terasa irama harpa itu kena
terusir dari dalam badannya, pikirannya yang kalut dan gundah tadi pun lantas tersapu bersih.
Agaknya irama harpa juga tidak mau mengalah, beruntun ia merubah nada dan berganti lagu,
mulailah lagu Sempurna abadi dikembangkan lebih lengkap. Tapi setelah Thian-hi berhasil samadi
menggunakan Pan-yok-hian-kang, bukan saja tidak kena diganggu usik, malah dengan cermat ia
bisa meng-ingat2 irama lagu Tay-seng-ci-lau yang hebat ini.

Sambil mengingat lagu, diam-diam hatinya merasa heran, orang yang memetik harpa ini
kelihatan tidak bisa ilmu silat, alangkah lucu dan anehnya, begitu pintar orang dapat mengetahui
segala seluk beluknya, namun sedikit pun ia tidak bisa main silat, ini benar-benar aneh bin ajaib.
Atau mungkin dia sengaja mengalah atau hendak memberi muka kepadanya? Atau sengaja ia
hendak menyembunyikan kepandaian silatnya? Tay-seng-ci-lau merupakan lagu tiada taranya
yang dapat mencabut jiwa hanya dalam lintasan petikan senar harpa saja, tapi orang ini tidak
pandai silat, kejadian ini betapapun sangat mengejutkan.
Tiba-tiba irama harpa berhenti. Thian-hi juga lantas menyedot hawa sejuk, Ma Bong-hwi segera
maju menghampiri serta berkata, “Ternyata Sianseng benar-benar seorang tokoh aneh, aku biasa
mengagulkan diri sebagai orang kosen, tapi sungguh diluar dugaan Sianseng adalah lebih kosen
lagi. Begitu lama menyembunyikan diri di rumah kita tanpa diketahui.”
Dengan murung Thian-hi bangkit berdiri, secara tak sengaja ia sudah melanggar pantangan Kayap
Cuncia. Jikalau…. bilamana berita beradanya ia disini sampai tersiar ke Tionggoan, mungkin
sebuah tragedi yang menimbulkan banjir darah bakal terjadi.
Bab 15
Melihat sikap murung Thian-hi Ma Bong-hwi menjadi heran. Dari kamar sebelah berjalan keluar
seorang gadis, waktu Thian-hi angkat kepala seketika ia berdiri kesima, gadis ini begitu canck
rupawan lagi, seumpama dibanddng dengan Ham Gwat juga tidak kalah ayunya. Kalau mimik
wajah Ham Gwat selalu kaku dingin tanpa expresi sebaliknya gadis di depannya ini bermuka
merah jengah laksana buah Tho yang sedang masak. Melihat Thian-hi memandang kesima pada
dirinya, tersipu-sipu ia menunduk malu.
Mendadak Thian-hi sadar akan sikapnya. yang kurang hormat, cepat-cepat ia menundukkan
kepala.
Ma Bong-hwi bergelak tawa, ganti berganti ia pandang mereka berdua, katanya, “Inilah adikku
Ma Gwat-sian!”
Gwat-sian berarti dewi bulan.
Dengan tertawa malu-malu Ma Gwat-sian bersuara, “Laguku tadi tentu mengotori pendengaran
Sianseng belaka.”
“Petikan harpa Ma-siocia mungkin tiada bandingannya dikolong langit ini,” demikian puji Thianhi.
“Sebagai orang biasa, dapat mendengar irama dewa sungguh bahagia selama hidup ini.”
Ma Gwat-sian tersenyum lebar.
Thian-hi menghela napas, katanya, “Kita hanya bertiga disini, selanjutnya akupun tidak perlu
menyembunyikan diri lagi. tapi aku sudah berjanji kepada orang supaya orang lain tidak tahu
bahwa aku pandai main silat. Harap kalian suka merahasiakan.”
“Soal yang kuhadapi ini betapapun harus Sianseng bantu membereskan,” demikian mohon Ma
Bong-hwi sekali lagi, “Mengandal iimu silat Sianseng, tanggung segampang membalikkan tangan
saja. Sudah tentu kita tidak akan membuka rahasia Sianseng pandai main silat. Persoalan itu
sendiri pun juga tetap dapat dirahasiakan.”

Ma Gwat-sian pandang Thian-hi dengan rasa menyesal dan minta maaf, Thian-hi maklum dan
manggut-manggut. Ma Bong-hwi menjadi kegirangan, segera ia menceritakan sebuah peristiwa
besar yang sangat mengejutkan.
Kata Ma Bong-hwi, “Belakangan ini gudang istana sering kebobolan. setiap kehilangan benda
pusaka, tentu terlebih dulu mendapat pemberitahuan, namun siapakah pencurinya selama ini sulit
dapat meringkusnya. Tan-siangkok memberi lapor kepada sang Baginda bahwa aku dapat
membongkar perkara pencurian ini. Tapi kemaren telah hilang pula sebuah pusaka, kali ini yang
dicuri adalah cap kerajaan.”
“Oo,” Thian-hi mengiakan lalu bertanya, “Biasanya bagaimana hubungan Ma-ciangkun dengan
Tan-siangkok? Entah bagaimana pula karakternya?”
“Bicara terus terang,” ujar Ma Bong-hui sembari menghela napas, “kesanku terlalu jelek
kepadanya, dia terlalu mengumbar putra dan para centengnya. dia sangat benci kepadaku katanya
aku terlalu suka banyak urusan, mencampuri sepak terjang keluarganya.”
Hun Thian-hi merenung sesaat kemudian lalu bertanya lagi, “Bagaimana karakter Tansiangkok?”
Ma Bong-hui pandang Thian-hi dengan perasaan heran, mengapa dia tidak mengetahui, setelah
beragu akhirnya ia berkata, “Umumnya masyarakat berkesan terlalu buruk terhadap dia. Dia
memegang tampuk pimpinan dan kekuasaan negara, kecuali Ing-ciang-kun Thian-seng dan aku,
seluruh kerabat diistana raja boleh dikata hampir seluruhnya menjadi penyanjungnya.”
“Toako,” tiba-tiba Ma Gwat-sian menyela, “Apa kau melupakan Toh-ciatsu?”
“Benar, benar,” ujar Ma Bong-hwi tersenyum, “Kenapa aku melupakan dia, Toh-ciat-su justru
menjadi lawan Tan-siangkok yang sembabat, setiap kali Tan-siangkok menjalani kesalahan pasti
dialah pertama kali yang tampil ke depan mencercahnya.”
Thian-hi manggut-manggut, samar-samar ia dapat meraba bahwa urusan ini tentu punya
sangkut paut dengan Tan-siangkok, kenapa pula Tan-siangkok menunjuk kepada Ma Bong-hwi?
Segera ia bertanya, “Siapakah sebetulnya yang berkuasa digudang istana?”
“Seluruh istana dalam kekuasaan komandan Gi-lim-kun. yang menjabat komandan Gi-lim-kun
adalah adik kandung Ing-ciangkun, sekarang sudah dipecat dari jabatannya, sebagai gantinya
akulah yang diangkat sebagai komandan Gi-lim-kun sementara.”
“Menurut maksud Toakoku hendak mohon kau suka menjabat sebagai wakil komandan Gi-limkun
membantu dia menyelidiki peristiwa ini.” demikian Ma Gwat-sian menimbrung.
Berubah air muka Thian-hi, katanya, “Masa aku mampu. kukuatir….”
“Kau boleh gunakan nama palsu,” sela Ma Gwat-sian tersenyum penuh arti. “Apalagi
dandananmu sekarang sebagai pelajar kutu buku, bila berganti mengenakan pakaian seragam,
tanggung takkan ada seorang pun yang mengenal kau lagi.”
Hun Thian-hi hendak menolak, segera Ma Gwat-sian maju dua langkah, dengan suara lirih dan
kalem ia berbisik di pinggir telinga Thian-hi, “Kau baru datang dari Tionggoan, ya bukan?”
Waktu Ma Gwat-sian maju mendekat, kontan Thian-hi mencium bau harum semerbak, namun
serta mendengar bisikannya, suara yang lirih itu bagi pendengarannya bagai suara guntur
menggelegar dipinggir telinganya, keruan kagetnya bukan kepalang.

Kontan Thian-hi merasa kepalanya seperti dikemplang dengan godam, pandangannya gelap
dan pusing, secara reflek mulutnya bertanya, “Apa?”
“Siaumoay!” seru Ma Bong-hwi sambil mengerut kening. “Apa yang kau katakan?”
Ma Gwat-sian mundur selangkah seraya menjawab, “Tidak apa-apa.”
Otak Hun Thian-hi masih terasa butek, sungguh ia heran cara bagaimana Ma Gwat-sian dapat
mengetahui rahasianya, kelihatannya dia tidak bisa main silat, soalnya dirinya pernah menelan
buah ajaib serta melatih ilmu sakti macam Pan-yok-sin-kang sehingga tanpa disadari telah
membongkar kepandaian sendiri sebagai ahli Lwekang yang tangguh, apakah ilmu silat Ma Gwatsian
jauh lebih tinggi dari kemampuan sendiri serta telah mencapai puncak kesempurnaannya
sehingga dapat menyembunyikan kepandaiannya itu?
Karena terkaannya ini serta merta ia awasi Ma Gwat-sian, dengan seksama ia pandang dan
amati muka dan badan orang dengan cermat. Melihat sikap Thian-hi ini. sudah tentu Ma Gwat-sian
menjadi malu jengah dan lekas-lekas menunduk.
Dengan bergelak tawa keras Ma Bong-hwi menepuk pundak Hun Thian-hi. Keruan Thian-hi
tersentak kaget, kontan ia sadar akan kelakuannya yang kurang pantas, cepat ia tenangkan hati
serta jantungnya yang berdebur keras. Dalam sekilas itu, ia gagal dalam selidikannya.
“Lote,” ujar Ma Bong-hwi, “Betapa pun kau harus membantu aku mengatasi persoalan ini.”
“Ma-ciangkun!” seru Thian-hi sambil menyengir.
“Selanjutnya harap kau tidak panggil aku Ma-ciangkun lagi,” demikian pinta Ma Bong-hwi, “Bila
kau suka pandang mukaku, silakan kau panggil Ma-toako saja kepada aku.”
“Ah. rasanya kurang enak, bukankah kau adalah….”
“Kalau begitu kau pandang rendah pribadiku?” kaata Ma Bong-hwi mengerut kening.
Apa boleh buat terpaksa Thian-hi berkata, “Matoako, apaan ucapanmu ini, mana bisa jadi?”
Ma Bong-hwi tertawa girang. Sementara itu Ma Gwat-sian angkat kepala serta berkata, “Kalau
begitu untuk selanjutnya aku pun harus panggil kau Hun-toako. Apa boleh?”
“Kenapa tidak boleh? Aku merasa beruntuhg malah.”
Ma Gwat-sian Tertawa lebar, katanya, “Kata-kataku tadi tiada seorang lainpun yang tahu,
legakan saja hatimu!”
Hun Thian-hi tidak enak untuk menjawab. Seolah-olah Ma Gwat-sian tidak memberi
kesempatan pada Thiani-hi untuk membual, namun entah bagaimana ia bisa tahu. Namun urusan
sudah sedemikian lanjut, terpaksa mengikuti perkembangan selanjutnya.
Kata Ma Bong-hwi, “Untuk mengejar kembali cap kerajaan itu, terpaksa harus minta bantuan
kau Lote!”
Apa boleh buat Thian-hi hanya menyengir saja, urusan sudah demikian lanjut, terpaksa harus
terjun dalam persoalan rumit ini. Kalau hanya urusan pencurian ini melulu, kiranya aku dapat
mengatasi. Demikian pikirnya.

“Pencuri itu teiah meninggalkan sepucuk surat, katanya hari ini dia hendak mengambil Ce-kimcu
(mutiara merah mas), asal Lote mau tampilkan diri, tentu pencuri itu dapat dibekuk.” demikian
Ma Bong-hwi memberi keterangan.
Hun Thian-hi tertawa pahit, katanya, “Kalau begitu, terpaksa aku membantu sekuat tenagaku.”
Setelah makan malam, Thian-hi mengenakan seperangkat pakaian dinas kemiliteran, dalam
kamarnya ia menanti kedatangan Ma Bong-hwi, terasa olehnya gerak-geriknya menjadi kurang
bebas dan badan sangat gerah, maklum pakaian perang jaman itu terbuat dari bahan tebal yang
tidak mempan senjata, saking kepanasan Thian-hi melangkah keluar ke taman bunga.
Waktu sampai di rumpun bunga, tampak olehnya Ma Gwat-sian sedang berdiri disana, sesaat ia
menjadi melengak. dalam hali ia membatin; ’selamanya Ma Gwat-sian jarang keluar kamar dan
belum pernah selama ini melihat dia jalan-jalan di taman bunga, entah kenapa hari ini toh berada
disini.’
Waktu Thian-hi mendekat Ma Gwat-sian berpaling sembari tertawa manis, katanya, “Aku tahu
kau pasti akan kemari, sejak tadi sudah kutunggu kau disini!”
Diam-diam Thian-hi sangsi dan curiga, entah ada omongan apa yang hendak disampaikan Ma
Gwat-sian kepadanya, tidak bicara di dalam rumah sebaliknya menunggu di kebon, setelah
melengak ia baru bertanya, “Adakah urusan luar biasa yang perlu dirundingkan?”
“Banyak perkataan yang tidak bisa kuucapkan di hadapan engkohku, umpama kukatakan dia
pun takkan mau percaya. Terus terang aku merasa curiga kepada Ing-ciangkun!”
Hun Thian-hi merasa diluar dugaan, mulutnya mengiakan, lalu katanya dengan pandangan
kejut dan heran, “Menurut dugaanmu….”
Ma Gwat-sian geleng-geleng kepala sambil tertawa, katanya, “Pencurian ini bukan perbuatan
Ing-ciangkun. Dia bertempat tinggal di Thian-seng, biasanya ia sangat benci dan mencercah Tansiangkok
lebih hebat dari engkohku, untuk urusan rumit ini secara logis seharusnya dialah yang
diserahi tugas untuk membongkar perkara besar ini! Tapi diluar dugaan justru engkohkulah yang
dia tunjuk.”
“Jadi menurut anggapanmu bahwa Ing-ciangkun hakikatnya adalah sekomplotan dengan Tansiangkok?”
“Belum pasti, tapi ada kemungkinan. Menurut anggapanku Tan-siangkok sangat ambisius,
sedemikian jauh dia sedang berusaha hendak menjodohkan tuan putri dengan putra
kesayangannya, tujuannya supaya kelak dapat mewarisi kedudukan sang raja. Jikalau usahanya ini
gagal, aku kuatir dia bakal mata gelap dan melakukan perbuatan terkutuk, jikalau hanya
kehilangan satu dua barang berharga rasanya tidak perlu kau sendiri mesti ikut tampil ke depan.”
“Sebetulnya kepandaian silatku juga cuma cakar kucing melulu, tak perlu diagulkan.”
“Mengenal ilmu silat, aku bukan bidangnya, tapi bagi seseorang yang mampu bertahan dari
Tay-seng-ci-lau, ilmu silatnya tentu sudah mencapai tingkatan yang cukup sempurna. Meskipun
aku tidak mengerti ilmu silat, tapi semua ini aku mendapat tahu dari cerita guruku.”
Diam-diam heran hati Thian-hi, orang macam apakah guru Ma Gwat-sian itu, tak perlu
disangsikan lagi pasti seorang tokoh kosen yang lihay.

Tengah ia terpekur, terdengarlah derap langkah kaki berat tengah mendatangi. Cepat Ma Gwatsian
berkata, “Itulah engkohku datang, selamat jumpa nanti!” habis berkata ia terus menyelinap
diantara rumpun bunga dan menghilang.
Dengan termenung Thian-hi terpekur, sementara itu Ma Bong-hwi sudah mendatangi, segera
Thian-hi membalik tubuh, kelihatan Ma Bong-hwi tercengang, katanya tertawa, “Hampir saja aku
tidak mengenalmu lagi, dandananmu ini sungguh cukup ganteng dan perwira, tampan sekali
sebagai panglima muda!”
Hun Thian-hi mandah tertawa saja tanpa membuka suara.
“Mari sekarang juga kita masuk ke istana!” demikian ajak Ma Bong-hwi.
Thian-hi manggut-manggut, dengan langkah lebar mereka taerderap keluar dari gedung
panglima besar. Diluar pintu sudah siap dua ekor kuda, cepat mereka naik kuda terus dicongklang
pelan-pelan menuju ke pintu selatan, setelah berada di luar pintu selepas pandang ke depan nan
jauh sana, kira-kira lima li jauhnya tampak sebentuk kota besar pula, bentuk kota di depan itu
lebih besar, lebih megah, diantara kedua belah pintu gerbangnya yang menjulang tinggi adalah
sejalur jalan batu mengkilap yang lebar dan bersih,
Thian-hi berpikir pasti itulah Thian-seng adanya.
Letak Thian-seng membelakangi pegunungan yang menghijau dan diselubungi mega nan
mengembang, pemandangannya sungguh menakjupkan.
Kata Ma Bong-hwi kepada Thian-hi, “Adikku itu sangat mengagulkan kau, selamanya belum
pernah ia merasa kagum dan memuji seseorang.”
Hun Thian-hi tersenyum simpul, katanya, “Sebetulnya tiada suatu keistimewaan atas diriku,
kalau dia betul-betul memuji aku, sungguh lebih disesalkan.”
“Setiap ucapannya selamanya tidak pernah meleset, sejak kecil ia diangkat murid oleh seorang
tokoh aneh yang menyembunyikan diri. Berturut-turut aku mengalami berbagai kesukaran semua
adalah dia yang bantu aku mengatasi dan membereskannya! Siapakah gurunya tiada seorangpun
yang tahu kecuali dia sendiri.”
Tengah mengobrol tanpa terasa mereka sudah tiba di Thian-seng, mereka langsung keprak
kuda mencongklang ke dalam kota. Belum jauh mereka berjalan dari depan sana mendatangi
seorang panglima pertengahan umur yang memimpin serombongan orang berkuda, masih rada
jauh lantas Ma Bong-hwi memberitahu kepada Thian-hi, “Pendatang ini adalah Ing Si-kiat Ingciangkun….”
Setelah dekat dengan berseri tawa Ing Si-kiat maju menyapa, “Ma-ciangkun baru datang, dosa
adikku itu, melulu mengandal tenaga Ma-ciangkun untuk menolongnya!”
“Ah, Ing-ciangkun terlalu sungkan,” ujar Ma Bong-hwi. Betapapun masih mohon bantuan Ingciangkun
juga.!”
Ing Si-kiat tertawa-tawa, katanya, “Aku akan memberi perintah kepada mereka supaya
menutup pintu empat gerbang rapat2. tiada seorang pun diperbolehkan keluar masuk!” — Lalu ia
berpaling memandang Hun Thian-hi serta katanya, “Yang ini adalah….”

“Benar-benar, aku masih belum memperkenalkan kalian. Inilah adik angkatku! Dia bernama….”
sampai disini ia merandek sebentar lalu meneruskan “Tio Kun-Kah ini aku hanya bawa dia untuk
berdinas, dia kuangkat sebagai wakilku.”
Bergegas Hun Thian-hi menjura serta menyapa, “Ing-ciangkun! Selamat bertemu!”
Sekilas Ing-ciangkun melirik ke arah Hun Thian-hi; seolah-olah ia tidak pandang orang sebelah
matanya, katanya tertawa, “Selama ini aku masih belum tahu bahwa Ma-ciangkun ternyata punya
seorang adik angkat, Saudara Tio Kun masih muda belia serta gagah lagi, kelak tentu punya
harapan besar yang tak terukur!”
Dengan tertawa-tawa Hun Thian-hi menjura serta merendahkan diri dan main sungkan, diamdiam
ia perhatikan wajah serta tingkah laku Ing Si-kiat. Terasa olehnya bahwa sikap Ing Si-kiat
kelihatan merasa curiga terhadap dirinya.
“Tak heran Ing-ciangkun tidak mengetahui,” demikian jawab Ma Bong-hwi memberi
keterangan, “baru hari ini aku angkat saudara dengan dia, adik angkatku ini jauh lebih kuat dan
pintar dari aku, untuk mengatasi peristiwa ini aku sangat mengandalkan tenaganya.”
Sekali lagi Ing Si-kiat perhatian Hun Thian-hi. lalu berkata, “Kalau begitu urusan adikku itu juga
mohon bantuan pada. Tio-huciangkun untuk membantu.”
Cepat Hun Thian-hi menyahut, “Ing-ciangkun menggoda saja. saudaraku ini memang suka
omong, sebenar-benarnya kemampuanku mana dapat membantu, selanjutnya masih harap Ingciangkun
suka memberi petunjuk….”
“Kalian masih punya urusan penting, aku Ing Si-kiat minta diri dulu, semoga kalian sukses
dalam tugas.”
Berbareng Thian-hi berdua angkat tangan memberi hormat terus melanjutkan menuju ke istana
raja. Tak lama kemudian mereka sudah tiba dibelakang. setelah turun dari atas kuda, waktu
Thian-hi angkat kepala, tampak istana raja ini sedemikian tinggi megah dan mewah sekali, hanya
undakan batu pualamnya saja begitu lebar dan panjang tak kurang dari delapan puluh tingkat,
sambil berjajar dan menyoreng pedang Thian-hi berdua beranjak ke atas.
Gerbang istana terjaga ketat oleh pasukan Gi-lim-kun, begitu melihat kedatangan Ma Bong-hwi
berdua, bergegas mereka maju memberi hormat, menunjuk Thian-hi Ma Bong-hwi berkata pada
mereka, “Inilah Tio-ciangkun, selanjutnya kalian juga harus dengar petunjuknya!”
Serempak para Gi-Lim-kun itu mengiakan sambil menjura, selanjutnya mereka maju lebih jauh
ke dalam istana, setiap pelosok istana terjaga ketat, beberapa grup pasukan berlalu lalang
meronda, bersama Thian-hi Ma Bong-hwi mengadakan pemeriksaan dan meronda keberbagai
pelosok lalu kembali ke tempat semula.
Ce-kim-cu yang diincar pencuri itu terporotkan di atas belandar besar beberapa meter dari
bawah, dibawahnya terjaga kuat oleh pasukan Gi-lim-kun. Begitulah Thian-hi berdua ikut berjaga
dengan waspada sambil mengobrol sekadarnya menunggu waktu. hingga tanpa terasa tahu-tahu
sudah tengah malam keadaan tetap sunyi hening tiada kejadian apa-apa.
Kira-kira dua jam kemudian, keadaan masih tenang dan aman tentram, Ce-kim-cu jelas masih
terpancang, disana dengan memancarkan sinarnya yang cemerlang kelap kelip.
Tatkala itu cuaca sudah hampir terang tanah, Ma Bong-hwi mendengus hidung; segera ia
melolos pedang dan bersiap waspada. Para pasukan Gi-lim-kun juga segera mempersiapkan diri

masing-masing, sementara, pasukan panah pun sudah memancang anak panah di atas busur
tinggal menunggu perintah.
Sementara Hun Thian-hi juga merasa was-was dan kebat kebit, dengan penjagaan begitu ketat
bagaimanapun si pencuri itu takkan dapat membawa lari Ce-kim-cu. Sebentar lagi ufuk timur
sudah mulai bersemu kuning, keadaan masih tetap tenang dan aman. Sekelilingnya hening
senyap, mereka tinggal menugggu saat gelap berganti terang tanah saja.
Sekonyong-konyong seorang anggota Gi-lim-kun tergopoh2 lari keluar dari dalam istana terus
maju kehadapan Ma Bong-hwi serta melapor, “Lapor Ma-ciangkun! Sang Baginda minta Ciangkun
segera menghadap!”
Ma Bong-hwi pandang kanan kirinya, lalu bertanya pada anggota Gi-lim-kun itu, “Baginda ada
bilang apa tidak?”
“Tidak!” sahut orang itu sambil membungkuk.
Timbul rasa curiga Ma Bong-hwi. namun disini masih ada Hun Thian-hi dan tak perlu kuatir
segera ia masukkan pedang ke dalam kerangkanya serta berseru, “Baik, segera aku menghadap!”
— Lalu dengan langkah lebar ia beranjak masuk.
Namun baru dua tiga langkah Ma Bong-hwi berjalan orang itu berkata pula, “Baginda juga
minta Tio-ciangkun menghadap bersama.”
Semakin tebal curiga Ma Bong-hwi segera ia membalik serta berseru, “Tio-ciangkun, junjungan
belum tahu akan dia!” mendadak ia menggeram serta menghardik, “Siapa kau?”
Cepat orang itu menjura, serta berkata, “Tadi baru saja sang Baginda bangun, mendengar
bahwa Ce-kim-cu tidak hilang lantas menanyakan Ciangkun, tahu bahwa Ciangkun bersama Tiociangkun
menjaga bersama, beliau perintahkan hamba kemari mengundang Ciangkun berdua!”
Ma Bong-hwi menjengek, hatinya dirundung kecurigaan, saat ini hari belum lagi terang tanah,
pencuri itu masih punya cukup waktu untuk bekerja, bagaimana mungkin dirinya tinggal pergi.
Tapi benar-benar atau palsu sulit diketahui, mana bisa memberi keputusah begitu cepat, dengan
seksama ia awasi orang itu lalu bertanya, “Siapa namamu?”
Badan orang itu kelihatan bergetar namun segera menjawab lantang, “Hamba Li Gun!”
Ma Bong-hwi mendehem, lalu berkata kepada Thian-hi, “Lebih baik kau tetap tinggal disini, biar
aku masuk dulu!” — Selesai berkata dengan langkak lebar ia menuju keistana.
Melihat keputusan Ma Bong-hwi yang tegas itu, Li Gun menjadi gugup, dengan mendelong ia
awasi punggung Ma Bong-hwi yang hampir menghilang disebelah dalam…. segera ia berdiri dan
membalik tubuh serta melolos pedang, tiba ia berteriak kejut, “Hai, dimana Ce-kim-cu?”
Semua hadirin menjadi berjingkrak kaget, serentak mereka angkat kepala memandang ke atas
belandar, Hun Thian-hi sendiri juga angkat kepala, hatinya rada bercekat, batinnya, “Jika dalam
sekejap ini Ce-kim-cu benar-benar hilang, memang harus diakui bahwa kepandaian pencuri itu
entah betapa tingginya?”
Waktu ia angkat kepala benar-benar juga Ce-kim-cu sudah hilang tanpa juntrungan, keruan
bukan kepalang kagetnya, dikolong langit ini mana mungkin ada tokoh kosen begitu lihay ilmu
silatnya, ia percaya pada diri sendiri seumpama pencuri itu seorang tokoh lihay pun, kesiur angin

lambaian bajunya tentu dapat ditangkap oleh ketajaman kupingnya, namun kenyataan Ce-kim-cu
sudah lenyap dalam waktu sesingkat itu.
Para pasukan Gi-lim-kun menjadi gempar serempak mereka mengacungkan pedang dan
mempersiapkan panah. Hun Thian-hi segera berseru dengan suara kereng, “Semua jangan ribut!”
Dengan tajam ia menyapu pandang kesekitarnya. hatinya dirundung curiga yang tebal, tanpa
disadari timbullah perasaan congkak dan tinggi hati, sungguh ia merasa penasaran telah
dipermaiankan begitu rupa, dengan keras ia membuka suara, “Dimana Li Gun?”
Orang-orang sekelilingnya saling pandang dan celingkukan, tiada seorang pun yang menjawab.
Semakin memuncak rasa gusar Thian-hi, serunya, “Siapa diantara kalian yang kenal Li Gun?”
Dengan seksama ia sapu pandang setiap raut muka orang disekitarnya, tiada seorang pun yang
memberi jawaban.
Keruan semakin gugup dan gelisah hati Thian-hi, baru sekarang dia betul-betul kebentur pada
seorang tokoh kosen yang benar-benar lihay, baru saja ia bernat melompat naik untuk memeriksa,
kelihatan Ma Bong-hwi sudah memburu keluar. Begitu melihat keadaan yang kalut ini kontan ia
merasa firasat yang jelek.
Sungguh menyesal dan malu lagi, cepat Thian-hi maju menjura serta berkata, “Sungguh aku
tidak becus, Ce-kim-cu telah hilang dalam sekejap ini. Li Gun pun melarikan diri disaat terjadi
keributan.”
Sesaat Ma Bong-hwi menjublek ditempatnya, akhirnya, ia menggoyangkan tangan sambil
berkata, “Tak dapat salahkan kau, seharusnya aku tahu bahwa Baginda tidak mungkin
mengundang aku tapi aku terburu nafsu hendak membongkar permaian licik ini, sehingga tanpa
sadar terjebak ke dalam tipu muslihatnya”
Sungguh pedih perasaan Thian-hi, katanya, “Aku ingin memeriksa ke atas sana, akan kulihat
cara bagaimana Ce-kim-cu itu telah lenyap!”
Ma Bong-hwi manggut-manggut, ujarnya, “Kali ini Ce-kim-cu hilang secara misterius, bolehlah
kau naik kesana memeriksanya!”
Thian-hi membungkuk tubuh sambil mundur dua langkah, ia berlaku hati-hati supaya tidak
mempertunjukkan kepandaian aslinya, sedikit menekuk dengkul kakinya segera menjejak tanah
terus merambat naik melalui tiang belandar yang besar itu. Begitu tiba di atas belandar dengan
seksama. ia memeriksa kekanan kiri. tiba-tiba hidungnya mengendus bau amis yang aneh, selain
itu tiada sesuatu yang dapat diketemukan sebagai sumber penyelidikan.
Dengan cermat ia periksa terus sekitar belandar besar yang dapat untuk bersembunyi manusia
namun jejak atau telapak kaki orang pun tidak diketemukan. Kecuali orang itu bisa terbang dan
lari pergi, kalau tidak tentu dapat kepergok.
Disebuah sudut belandar sebelah sana ia menemukan secarik kertas yang bertuliskan beberapa
huruf yang menyolok, tulisan itu berbunyi, “Besok malam, kuambil Giok-hud!”
Dengan ringan Thian-hi melompat turun? langsung ia angsurkan secarik kertas itu kepada Ma
Bong-hwi. lalu berdiri menunduk tanpa buka suara.

Setelah membaca tulisan itu, dengan menghela napas Ma Bong-hwi berkata, “Ternyata ada
orang berani menyelundup masuk ke dalam pasukan Gi-lim-kun, sungguh besar nyali orang itu.”
Selamanya Thian-hi belum pernah mendapat malu dihadapan umum, orang lain biasanya
menyanjung puji dirinya, dengan berbagai daya upaya mohon dirinya membantu dan mengundang
dirinya kemari ikut menanggulangi peristiwa pencurian misterius ini, tapi kenyataan barang yang
dilindungi itu tetap hilang juga. malah sebuah sumber penyelidikan macam Li Gun juga sampai
berhasil lolos, betapa malu dirinya. Seharusnya begitu Ce-kim-cu lenyap aku segera harus
meringkus Li Gun, tapi orang itu toh berhasil merat juga.
Sekian lama mereka berdiri berhadapan tanpa bersuara, tak lama kemudian cuaca sudah terang
benderang. Ma Bong-hwi berkata, “Thian-hi, kau bukan pembesar dinas secara resmi, boleh
silakan kau menyingkir dulu ke kamar sebelah, bila Baginda mengundang kau baru kau
menghadap.”
Tak lama kemudian terdengar derap langkah ribut, disusul lonceng istana berdentang keras
suaranya menggema diangkasa, seketika seluruh istana menjadi hening lelap.
Setelah para pembesar menghadap dan melakukan upacara kehormatan terdengarlah Ma
Bong-hwi tampil ke depan dan memberi laporan, “Hamba tidak becus bekerja. Ce-kim-cu telah
hilang lagi, harap Baginda suka memberi hukuman setimpal!”
Kedengarannya sang raja sangat murka, dengan menggeram ia berseru, “Apa pula yang
diincarnya nanti malam? sia-sia belaka aku memberi makan kalian para pembesar tinggi, entah
mengapa seorang maling kecil saja tidak becus menangkapnya.”
Setelah berludah dengan sebal ia melanjutkan, “Istana raja buat lalu lalang maling sesuka
hatinya, barang berharga satu persatu telah dicurinya, apakah tiada seorang pun diantara kalian
yang mampu berbakti kepada kerajaan?”
Sebuah suara serak dan bernada rendah segera menyahut, “Harap junjungan tidak marah,
urusan ini tidak bisa semua menyalahkan Ma-ciangkun, paling tidak Lojen (hamba) juga ikut
bersalah.”
Dalam hati Thian-hi membatin pembicara ini tentu Tan-siangkok adanya, bila dia mau
menghasut atau mencelakai jiwa Ma Bong-hwi adalah sekarang kesempatan yang paling baik,
entah apa sebetulnya maksud hatinya, ternyata dia tampil ke depan melindungi Ma Bong-hwi.
Dengan gusar sang raja mendengus, lalu katanya, “Tan-siangkok, kaulah yang menjadi
sandaran Ma Bong-hwi, sudah tentu kau pun bersalah.”
Terdengar Ing Si-kiat juga ikut menimbrung, “Harap Baginda suka mempertimbangkan kembali,
Ma-ciangkun seorang cerdik pandai, hanya karena sedikit kecerobohannya sehingga Ce-kim-cu
telah hilang, kalau malam ini orang itu berani datang lagi pasti dapat dibekuknya.”
Sebuah suara tua dan rendah yang lain ikut bicara, “Hamba juga berani menjadi sandaran Maciangkun!”
“Toh-ciatsu, kau pun mau melindungi dia!” demikian tanya sang raja.
Akhirnya Tan-siangkok bicara lagi, “Lojen berani tanggung sekali lagi, Ma-ciangkun seorang
pembesar yang mengetahui kepentingan tugasnya, aku percaya malam ini tidak bakal kehilangan
barang lagi. Seumpama benar-benar hilang lagi, Lojen rela meletakkan jabatan, dan seluruh
keluarga Ma-ciangkun boleh dipenggal kepalanya sebagai penebus dosa!”

Bercekat hati Thian-hi, diam-diam ia kertak gigi, batinnya, “Tipu daya yang keji dan culas
sekali. Kiranya kau mengatur tipu daya secara begitu licik, semula kusangka kau bertujuan baik
ingin membantu meringankan bebas orang, kiranya bertujuan menumpas habis seluruh keluarga
Ma-ciangkun.”
Kedengarannya sang raja juga merasa diluar dugaan, katanya lantang, “Apa? Begitu besar
kepercayaan Tan-siangkok kepada Ma-ciangkun?”
“Menurut hemat Lojen, Ma-ciangkun pasti dapat menunaikan tugasnya dengan sempurna.”
“Baiklah, kegagalan hari ini tidak perlu kutarik panjang lagi.”
Bersama para pembesar yang lain Ma Bong-hwi berlutut. serta nyatakan terima kasih akan
pengampunan lalu mengundurkan diri. Dengan lesu dan putus semangat Ma Bong-hwi memasuki
kamar dimana Hun Thian-hi tengah menunggu.
Thian-hi bangkit berdiri serta berkata penuh menyesal, “Ma-ciangkun, akulah yang salah
sehingga kau yang ketimpa akibatnya.”
Ma Bong-hwi goyang2 tangan dengan lesu, sebelumnya ia sangat percaya akan kemampuan
Hun Thian-hi, namun kenyataan Ce-kim-cu telah hilang, sumber penyelidikan yang utama pun
sampai lolos, ini yang menjadikan kekecewaan hatinya.
Sungguh rawan dan pedih perasaan Thian-hi melihat sikap orang, betapa pun malam ini Giokhud
(patung Budha) tidak boleh hilang pula. Demikian Thian-hi bertekad.
Kata Ma Bong-hwi, “Hari ini kita tak usah pulang, nanti akan kuutus seorang memberi tahu
rumah.
Sementara menunggu waktu kau holeh jalan-jalan sambil memeriksa keadaan sekitarnya
supaya apal akan situasi nanti malam, tapi jangan sekali2 kau menuju ke istana dalam.”
Thian-hi manggut mengiakan, Ma Bong-hwi lantas tinggal pergi ke arah lain. Duduk di atas
kursi Thianhi merasa kesepian akhirnya ia bangkit dan jalan-jalan, pikirannya masih diliputi
keheranan, sungguh tidak masuk diakal, cara bagaimana pencuri itu dapat bekerja begitu rapi dan
cepat membawa kabur Ce-kim-cu tanpa diketahui, begitulah sambil berjalan otaknya terus
bekerja, tanpa merasa kakinya melangkah ke dalam sebuah taman bunga.
Pada jaman ini orang yang dapat mengambil Ce-kim-cu dan tanpa diketahui olehnya jumlahnya
dapat dihitung dengan jari, apakah mungkin pencuri itu seorang tokoh kosen aneh yang
berkepandaian tiada taranya? Kalau benar-benar, masakah dia sudi melakukan perbuatan tercela
begini. Bagi seorang berkepandaian tinggi tak mungkin mau melakukan perbuatan bangsa kurcaci.
Begitulah pikirannya terus bergelombang tak tentram, mendadak kupingnya mendengar suara
seruan kaget yang perlahan, Thian-hi berjingkrak kaget, waktu angkat kepala tampak Tuan putri
tahu-tahu sudah berdiri tak jauh di depannya.
Keruan gugup dan gelisah hatinya, tahu dia tanpa disadari dirinya sudah melanggar larangan
memasuki istana dalam, cepat ia membungkuk tubuh memberi hormat, serunya, “Tuan putri! Kau
baik, karena pikiran kalut hamba sampai melanggar larangan masuk kemari, harap tuan putri tidak
marah.”
Tuan putri mendengus katanya, “Apakah kau wakil komandan Gi-lim-kun?”

Tersipu-sipu Thian-hi mengiakan sambil menjura.
“Kenapa kau berani memasuki daerah terlarang?” semprot tuan putri dengan merengut.
Thian-hi menjadi tergagap, “Baru kemaren hamba ikut Ma-ciangkun kemari, apalagi benakku
sedang gundah memikirkan tugas yang berat ini, sehingga tanpa sadar masuk kemari!”
“Kemaren?” tanya tuan putri menegas sambil mengerut kening, “Baru kemaren kau masuk
istana?”
Thian-hi manggut-manggut.
“Tapi kulihat mukamu seperti sudah kukenal, seperti pernah kulihat kau dimana, apa kau tidak
bohongi aku?”
Saat itu dua petugas ronda dalam lewat, begitu melihat Hun Thian-hi, mereka saling pandang
terus maju menyembah kepada tuan putri, “Harap tuan putri memberi ampun, karena kelalaian
kami sehingga orang ini masuk kemari, biarlah kami yang mengusirnya keluar!-’
“Tidak perlu, akulah yang memanggilnya kemari waktu dia lewat disana, tiada urusan kamu
disini, hayo pergi!”
Kedua peronda itu saling pandang, sahutnya, “Tapi….”
“Tapi apa lagi! Ajo lekas enyah jangan cerewet!”
Kedua peronda itu menjadi gemetar dan apa boleh buat terpaksa mereka mengundurkan diri.
Tuan putri menepekur sekian saat, lalu berkata lagi, “Sungguh sebal kenapa tidak bisa kuingat,
eh, kenapa kau tunduk saja, coba angkat kepalamu supaya kulihat lebih tegas.”
Thian-hi angkat kepala, tampak tuan putri mengenakan pakaian serba putih, yang dikenakan ini
adalah pakaian kebesaran dalam istana, jauh berlainan dengan sikapnya tempo hari di atas kereta.
Dibelakangnya mengintil dua dayang, dengan pakaian yang panjang melambai ini tuan putri terasa
lebih agung dan cantik, sehingga Thian-hi tak berani metmandang ke depan.
Setelah mengamati sekian lamanya, mendadak tuan putri bertepuk dan berseru tertawa,
“Benar-benar! Kini kuingat, bukankah kau tinggal digedung Ma-ciang-kun?”
Terperanjat hati Thian-hi, tak duga ingatan tuan putri ternyata begitu tajam, kejadian tempo
hari sudah sekian lamanya, malah sekarang dirinya sudah ganti pakaian. kiranya masih tak
berhasil mengelabui sepasang biji matanya yang bening dan jeli itu.
Apa boleh buat Thian-hi menjura, “Tempo hari hamba terlalu kurang hormat, sampai lupa
nyatakan terima kasih akan pertolongan tuan putri.”
Kelihatannya tuan putri sangat senang, katanya tertawa lebar, “Sungguh hampir tak kukenal,
tempo hari dandananmu sebagai pelajar kutu buku, sekarang sebagai wakil komandan Gi-lim-kun,
ai, sungguh aneh!”
Thian-hi menjadi geli oleh banyolan tuan putri.

Kata tuan putri lagi, “Tempo hari putra Tan-siangkok menghajar kau dengan pecut, kenapa kau
tidak mau melawan? O. ja, dimana serulingmu itu? Apa kau bawa kemari?”
Thian-hi tertawa-tawa, keadaan dirinya lebih jelas lagi dibelejeti, sungguh tajam dan lihay
benar-benar tuan putri ini, ia geleng kepala untuk jawaban.
“Ada omongan hendak kukatakan kepada kau, mari kau ikut aku! Kesana, ke gardu itu!” Lalu ia
mendahului menuju kesebuah gardu yang terdekat.
Thian-hi mengekor di belakang tuan putri memasuki gardu itu, tuan putri ulapkan tangan suruh
Thian-hi duduk, Thian-hi geleng kepala, tuan putri berkata dengan tersenyum, “Kusuruh kau
duduk. takut apa kau? Duduklah!”
Terpaksa Thian-hi menduduki sebuah kursi, dengan seksama tuan putri meng-amat-amatinya,
Thian-hi menjadi risi dan kikuk, tuan putri terkikih geli, katanya, “Kiranya kau begitu pemalu,
orang lain takkan menduga kau sebagai wakii komandan Gi-lim-kun, apakah kau pandai main
silat?”
Bergejolak hati Thian-hi, mendengar suara tawa tuan putri pikirannya lantas melayang
mengenangkan keadaan di Tionggoan, seolah-olah ia merasa orang yang berada di depannya ini
adalah Sutouw Ci-ko, wataknya memang periang seperti watak Sutouw Ci-ko, entah bagaimana
dan dimanakah Sutouw Ci-ko sekarang.
Tuan putri mendesiskan mulut, ujarnya, “Sedang kutanya kau! Apa yang sedang kau pikirkan?”
Thian-hi tersentak kaget, sahutnya dengan rikuh, “Apa yang tuan putri tanyakan? Aku tidak
jelas mendengar!”
Tuan putri menjadi kurang senang, katanya, “Bagaimana kau ini, aku bicara dengan kau
kenapa menjadi linglug, kukatakan cabutlah pedangmu, aku ingin bertanding pedang dengan
kau.”
Thian-hi tersentak kaget sampai bangkit dari tempat duduknya, serunya: .Tuan putri, mana
boleh jadi!”
Tuan putri dan kedua dayang dibelakangnya menjadi terkekeh geli, Thian-hi sendiri semakin
tersipu-sipu tak tahu apa lagi yang harus dilakukannya. Tuan putri segera berkata. “Jangan
bersitegang leher, aku hanya menggertakmu saja, sebetulnya. umpama Ma-ciangkun sendiri
kemari dia pun bukan menjadi tandinganku!”
Baru saja Thian-hi dapat menghela napas lega, serta merta ia lantas mengerut kening
mendengar bualan tuan putri, dengan cermat diam-diam ia amat-amati tuan putri, kelihatan raut
mukanya bundar telor, pipinya bersemu merah laksana buah tho, biji matanya bening sejernih air,
dengan tajam orangpun senang menatap dirinya, cepat-cepat ia alihkan pandangan matanya.
sekilas ini terasa olehnya bahwa tuan putri ternyata begitu elok dan rupawan, sampai ia tidak
berani memandang lebih lama lagi.
“Belakangan ini aku pun suka meniup seruling, apakah kau sudi mengajarkan aku?” demikian
ujar tuan putri.
“Mana aku berani mengajarkan kepada tuan putri!” tersipu-sipu Thian-hi mengiakan.
Tuan putri tak hiraukan ucapan Thian-hi dari dalam lengan bajunya ia mengeluarkan seruling
terus diangsurkan kepada Thian-hi sembari berkata, “Coba kau periksa bagaimana seruling ini?”

Terpaksa Thian-hi menerima seruling itu, tampak seruling ini begitu mulus dan bening laksana
terbuat dari kaca, waktu dipegang terasa hangat, seluruh batangnya terukir sembilan naga
bergulat seperti sedang bermain di tengah angkasa, kelihatannya jauh lebih bagus dari seruling
miliknya itu.
Tuan putri tertawa bangga, ujarnya, “Bagaimana? Tidak kalah bukan dibanding serulingmu?”
Thian-hi tersenyum, katanya, “Seruling tuan putri ini jauh lebih bagus dari serulingku!”
Tuan putri berkata, “Coba kau tiup sebuah lagu untuk kudengar!”
Thian-hi melengak, tanyanya, “Sekarang juga?”’
Tuan putri manggut-manggut. “Ya, sekarang juga!”
Thian-hi menjadi bimbang, katanya, “Tiupan serulingku tidak begitu mahir, semoga tidak
menjadi buah tertawaan tuan putri.”
Tuan putri manggut-manggut, dengan mendelong ia perhatikan Thian-hi serta menanti.
Pelan-pelan Thian-hi angkat seruling kedekat mulutnya, sejenak ia berpikir lalu mulai memup
seruling melagukan sebuah irama yang halus mengalun pelan, itulah lagu ‘indahnya alam’, nada
lagunya rendah dan datar mengembang laksana mega berlalu seumpama air mengalir terus
mengalun tak putus2.
Sedemikian merdu dan mempesonakan irama seruling lagu Indahnya alam ini sehingga Tuan
putri dan kedua dayangnya terlongong kesima, sekian lama setelah lagu selesai ditiup baru Tuan
putri menghirup hawa segar, katanya, “Selamanya belum pernah kudengar irama seruling
sedemikian bagus, sungguh enak dan menyegarkan badan, seharusnya kau menjadi guru musik
saja.”
Thian-hi tertawa-tawa, ujarnya, “Tiupan serulingku masih kurang sempurna, tak perlu
dibanggakan.
Sebetulnya Ma-ciangkun….” sebetulnya ia hendak menyinggung soal Ma Gwat-sian, tapi serta
dipikir menjadi kurang enak rasanya, maka segera ia urungkan.
“Kau cukup pintar dalam ilmu silat dan sastra, aku menjadi kurang paham dari mana Maciangkun
dapat mencari orang sepandai kau ini.”
“Tuan putri terlalu memuji, sebenar-benarnya bisaku juga sangat terbatas!”
“Apakah kau mau sering kemari menemani aku?”
“Apa?” tanya Thian-hi melongo.
“Maksudku, tiupan serulingmu begitu bagus, selanjutnya seringlah datang mengajarkan kepada
aku!”
Hun Thian-hi tersenyum getir, sahutnya, “Aku kuatir tidak mungkin!”
“Apa kau tidak sudi?”

Thian-hi serba sulit tak tahu cara bagaimana harus menjawab, terpaksa ia meng-ada2 saja
katanya, “Tuan putri juga tahu, tadi aku sudah gagal dalam tugas pertama, kehilangan Ce-kim-cu
merupakan kelalaianku, sehingga Ma-ciangkunlah yang ketimpa akibatnya, hatiku….”
“Tak perlu kau takut menghadapi urusan itu, biar aku yang mintakan ampun kepada ayah
baginda bagi kau dan Ma-ciangkun, ayah baginda tentu melulusi!”
“Sekali2 tuan putri tidak boleh berbuat demikian. Hatiku akan lebih menyesal lagi, kebaikan
tuan putri sungguh Huh Thian-hi menyatakan banyak terima kasih.”
Dengan tajam tuan putri pandang Hun Thian-hi, katanya, “Kau ini sungguh sombong, kebaikan
lain orang sedikit pun kau tidak mau terima, untung aku ini seorang tuan putri, kalau tidak betapa
kau akan lebih sombong lagi.”
Thian-hi menjadi tergagap dan tak kuasa menjawab lagi, diam-diam ia membatin dalam hati,
apakah begitu watakku, demikian ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah sikapku ini betul?
Tuan putri tertawa, ujarnya, “Bila Giok-hud sampai hilang pula nanti malam, apakah kau
hendak berpeluk tangan saja melihat seluruh keluarga Ma-ciangkun dipenggal kepalanya?”
Thian-hi terlongong diam, sesaat kemudian baru menjawab, “Terima kasih tuan putri!”
“Hari ini cukup sekian saja, mungkin ayah baginda mencari aku, aku harus segera pulang, kau
sendiri juga lekas keluar dari tempat ini!” — habis berkata lalu balik masuk ke dalam sebentar saja
bayangan punggungnya menghilang dibalik rumpun kembang.
Diam-diam bergejolak perasaan Thian-hi, sungguh ia merasa sangat terima kasih dan haru,
tuan putri ternyata seorang budiman yang baik hati, tapi sayangnya ia dilahirkan dalam kalangan
bangsawan, mungkin dia tidak menyadari betapa culas hati manusia yang sedang saling berebutan
kekuasaan harta dan kedudukan.
Tanpa merasa ia menghela napas rawan, sekonyong-konyong ia merasa tangannya masih
memegang sebuah benda apa, waktu menunduk kiranya seruling itu masih belum sempat ia
kembalikan kepada tuan putri. Keruan ia menjadi bingung dan menjublek sekian lama, tak
mungkin ia mengejar ke dalam terpaksa dalam kesempatan lain saja baru bisa dikembalikan.
Thian-hi tak berani tinggal terlalu lama di tempat terlarang ini, sambil menyimpan seruling ke
dalam bajunya bergegas ia lari keluar dari taman bunga, Waktu sampai di bilangan istana luar
tampak Ma Bong-hwi tengah ubek2an mencari dirinya, melihat kedatangannya cepat ia bertanya,
“Thian-hi, kemana kau, sukar mencari kau!”
“Maaf toako, secara tidak sadar aku melanggar masuk kebun, tadi bicara sebentar dengan tuan
putri!”
“Kau ketemu dengan tuan putri?” Ma Bong-hwi menegas dengan terbelalak.
Thian-hi manggut-manggut. Ma Bong-hwi menghela napas panjang, ujarnya, “Untung kau
masih bisa keluar lagi. Selanjutnya jangan sembarang terobosan!”
Thian-hi mengiakan.
Selanjutnya mereka berdua pergi istirahat untuk menghimpun semangat supaya nanti malam
lebih segar menjaga Giok-hud (patung Budha). Thian-hi duduk samadi di atas dipan dalam sebuah
kamar khusus yang disediakan untuk dirinya, dalam kesunyian ini ia dapat melatih Pan-yok-hianTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kang. Tanpa merasa waktu ia selesai dalam latihannya cuaca sudah gelap, pelita juga suaah
dinyalakan, bergegas ia keluar menemui Ma Bong-hwi, tampak muka orang kejut dan
semangatnya lojo, terang ia tidak bisa tidur.
Ma Bong-hwi masuk ke dalam istana mengeluarkan Giok-hud, tampak Patung Budha ini tinggi
tiga inci seluruh patung ini mengkilap bening terbuat dari pualam pilihan, betul-betul merupakan
barang antik yang tak ternilai harganya.
Ma Bong-hwi segera suruh anak buahnya memasang tangga dan perintahkan supaya patung
Budha ini ditaruh di atas belandar…. Mendadak Thian-hi tersentak oleh sebuah pemikiran lain,
cepat ia berkata, “Ma-ciangkun! Siapa yang mengusulkan supaya patung ini diletakkan di atas
belandar?”
“Ing-ciangkun yang mengusulkan, menurut hematku memang tepat diletakkan disana, apakah
kurang tepat tempat itu?”
Tergerak hati Thian-hi, teringat olehnya akan kecurigaan Ma Gwat-sian yang mengatakan kalau
Ing-ciangkun ini kurang dapat dipercaya, segera ia buka suara, “Hari ini lebih baik kita tidak
meletakkan patung ini di atas belandar, coba sekali ini diletakkan di lantai saja!”
Semula Ma Bong-hwi beragu, akhirnya setuju juga meletakkan patung Budha itu di atas lantai,
ternyata malam itu berlalu dengan tenang dan aman tanpa terjadi suatu apa.
Hari kedua semua tercengang dan kejut2 heran. Ma Bong-hwi sendiri juga merasa heran dan
takjup. Memang Ce-kim-cu itu hilangnya secara misterius. Apakah belandar besar itu yang kurang
beres? Bagaimana mungkin pencuri itu datang pergi begitu cepat tanpa suara lagi seakan-akan
bisa menyulap Ce-kim-cu itu masuk ke dalam kantongnya sendiri Sungguh aneh!
Thian-hi sendiri sudah curiga sejak mula bahwa di atas belandar itu tentu ada rahasianya.
Mengandal taraf kepandaian Lwekangnya, betapapun pencuri itu takkan dapat lolos dari
pengawasan begitu saja, kecuali pencuri itu sebelumnya memang sudah sembunyi di atas
belandar, bila sembunyi di atas memang orang di bawah tak dapat melihat, waktu perhatian
semua orang di bawah sedang terpencar gampang saja ia mengambilnya, namun orangnya masih
sembunyi di sana, tanpa dapat meninggalkan tempat sembunyinya itu, kalau tidak, tiada alasan
tanpa perbuatannya itu bisa konangan oleh begitu banyak orang.
Tapi analisa ini pun tidak mungkin terjadi, bila orang itu tetap sembunyi di atas, siang hari lebih
tak mungkin bisa lari, masa dalam sehari semalam dia bisa tahan lapar dan dahaga sembunyi
terus di atas belandar? Hal ini terang tidak mungkin.
Hari kedua pagi2 benar-benar, serta mendengar patung Budha tidak hilang sungguh girang
sang Baginda bukan main, tapi segera iapun keluarkan perintahnya, memberi jangka waktu
sepuluh hari untuk mengejar kembali barang-barang mestika yang hilang itu.
Apa boleh buat Ma Bong-hwi terpaksa mengiakan saja. Betapapun karena patung Budha tidak
sampai hilang perasaannya yang tertekan rada kendor dan berlega hati. Setelah mengundurkan
diri cepat bersama Thian-hi ia pulang ke gedungnya di Bi-seng.
Belum lagi sampai di rumah, seluruh anggota keluarganya sudah mendengar berita gembira ini
semua berbondong keluar menyambut. Mereka dielu2kan memasuki rumah, setelah basa basi
sekadarnya, Ma Bong-hwi lantas masuk istirahat, Thian-hi tahu beruntun beberapa malam dia
tidak tidur maka iapun cepat kembali ke kamar bukunya.

Seorang- diri ia termenung dalam kamarnya memikirkan cara bagaimana sebenar-benarnya
pencuri itu mengambil Ce-kim-cu, sekian lama ia tidak berhasil memecahkan persoalan ini. Kecuali
belandar besar itu ada rahasianya yang tersembunyi.
Tengah ia terpekur, Ma Gwat-sian datang bertandang. cepat Thian-hi menyilahkan duduk,
sekadarnya mereka bicara urusan biasa, akhirnya pembicaraan mereka beralih ke persoalan
pencurian barang-barang mestika itu. Thian-hi menceritakan pengalamannya cara bagaimana Cekim-
cu itu hilang dalam sekejap mata kepada Ma Gwat-sian.
Ma Gwat-sian berpikir sekian lamanya, akhirnya ia bertanya, “Menurut sangkamu di atas
belandar itu dapat bersembunyi si pencuri itu bukan?”
“Itu hanya suatu kemungkinan saja!”
“Apa pula kemungkinan yang lain?”
“Kemungkinan lain perbuatan ini bukan dilakukan oleh manusia!”
“Hun-toako, jika aku harus memilih satu diantara kedua kemungkinan itu, aku memilih
kemungkinan kedua. Istana raja bukan kediaman pribadi seseorang, betapapun takkan ada
kesempatan bagi seseorang membuat tempat-tempat rahasia di belandar istana, kemungkinan
kedua hanyalah kesimpulan dalam perkataan saja,”
Setelah mendengar ucapan Ma Gwat-sian seketika ia berjingkrak bangun, teringat olehnya akan
bau amis yang aneh itu, ja, benar-benar, itu bukan perbuatan manusia, tapi adalah….
Semula ia tidak perhatikan bau amis yang aneh itu, sekarang setelah diingat, terasa olehnya
bau semacam itu dulu ia pernah menciumnya sekali, itulah pada saat ia mempelajari jurus
pencacat langit pelenyap bumi di dalam gua ular yang dlajarkan oleh Ang-hwat-lo-mo itu. Ja, bau
amis itu adalah bau yang keluar dari badan ular.
Sambil menepuk kepalanya Thian-hi berseru kegirangan, “Sekarang aku tahu sebab musabab
menghilangnya barang mestika itu!”
Ma Gwat-sian tersenyum manis, ujarnya, “Perbuatan ular, ya bukan!”
Terkeaima Thian-hi memandangi muka Ma Gwat-sian, orang begitu yakin akan kesimpulannya,
sudah tentu Thian-hi terkejut akan kecerdikan gadis rupawan yang lemah ini, atau sebetulnya
memang dia membekal kepandaian silat yang tiada taranya?
Sedikitpun ia tidak berani menyangkal dugaan Ma Gwat-sian. Ma Gwat-sian sendiri pernah
mengatakan bahwa dia tidak pandai main silat, namun kecerdikan yang luar biasa ini serta
keyakinannya yang teguh ini benar-benar sangat mengagumkan.
“Jikalau bukan perbuatan orang, sudah pasti perbuatan binatang, binatang lain yang bisa
merambat ke atas belandar dan tanpa diketahui oleh orang, apalagi punya gerak gerik yang gesit
dan cekatan kecuali ular tiada binatang lainnya lagi. Orang itu dapat mengendalikan ular untuk
mencuri mestika itu tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, jelas bahwa orang ini pasti seorang
kosen juga, jangan kau pandang remeh dia.”
Thian-hi manggut-manggut, sungguh ia takjup akan kecerdikan Ma Gwat-sian, setiap
perkataannya seolah-olah dikatakan seperti dia sendiri yang menghadapi perkara itu, atau lebih
jelas lagi seperti ia sendiri yang melakoni. Dihadapan Ma Gwat-sian ia merasa betapa bodoh
dirinya ini.

Ma Gwat-sian menunduk menghindari pandangan Thian-hi, sambungnya, “Untuk
mengendalikan ular gampang, tapi mengendalikan secara diam-diam tanpa bersuara justru sangat
sukar. Aku harus istirahat, kudoakan semoga kau sukses malam nanti.” -habis berkata terus dia
keluar mengundurkan diri.
Thian-hi bangkit mengantar orang sampai diambang pintu. sekian lama ia termenung2 lagi, lalu
mulai pula dengan latihan Pan-yok-hian-kangnya, tak lupa iapun menyelami pelajaran Wi-thian-citciat-
sek. Sang waktu berjalan sangat cepat, tahu-tahu hari sudah menjelang magrib setelah
makan malam bersama Ma Bong-hwi mereka berangkat lagi menunaikan tugas diistana.
Malam ini Thian-hi mengusulkan lagi kepada Ma Bong-hwi supaya patung Budha pualam itu
diletakan di atas belandar saja.
“Bukankah di bawah lebih gampang dijaga dan diawasi?”
“Tapi tujuan kita adalah hendak menancing pencuri itu datang baru bisa menangkapnya, kalau
di bawah dia tak mau datang bagaimana kita bisa meringkusnya!”
Ma Bong-hwi rada kuatir patung Budha itu bisa menghilang secara misterius lagi, namun
Baginda memerintahkan dirinya dalam jangka sepuluh hari harus mengejar pulang mestika yang
tercuri, cara menunggu lobang untuk menangkap kelinci bukanlah cara yang baik untuk
menyelesaikan perkara pencurian ini, adalah lebih baik memancing pencuri itu datang sendiri lebih
tepat, karena pikiran ini segera ia manggut-manggut dan menyuruh anak bUahnya meletakkan
patung Budha itu ke atas belandar.
Hakikatnya Thian-hi tidak memberi tahu jalan pikirannya kepada Ma Bong-hwi, namun dia
sudah punya pegangan, hanya dia meraba-raba, entah ular macam apakah yang begitu lihay
dapat bekerja secerdik manusia sampai sekarang dia belum mendapat akal cara bagaimana ia
harus mengatasi ular lihay ini.
Akhirnya ia berkata pada Ma Bong-hwi, “Ma-ciangkun menjaga bagian bawah, biar aku
mengawasi bagian atas!”
Ma Bong-hwi manggut-manggut. Malam ini Thian-hi menghimpun seluruh semangat dan
mencurahkan seluruh perhatiannya dengan waspada menanti kedatangan simaling, diam-diam
dalam hati ia sudah bertekad harus dapat meringkusnya, seperti kegagalan semula pihak lawan
tentu menggunakan cara licik untuk memencar perhatian seluruh penjaga itu lalu melepas ularnya
untuk bekerja dengan cepat, akan kulihat cara apa yang dia gunakan malam ini.
Tengah ia bepikir, suasana hening dan sunyi tiba-tiba terdengar seseorang berseru, “Baginda
datang!”
Baginda benar-benar muncul dihadapan mereka keruan semua orang tersentak kaget dan
tersipu-sipu menyembah memberi hormat, Baginda menyapu pandang kepada mereka lalu
berkata, “Ma-ciangkun mengundang aku kemari ada urusan apa?”
Ma Bong-hwi melongo. Sementara Thian-hi mengeluh dalam hati, cepat ia mendongak, dalam
waktu sekejap itu benar-benar juga patung Budha sudan lenyap, hanya tampak selarik cahaya
bergerak lantas lenyap. Sebat luar biasa ia jejakkan kaki mencelat naik ke atas.
Perbuatan Thian-hi ini sungguh sangat mengejutkan sang Baginda, ia tersurut dua langkah,
sementara itu Ma Bong-hwi sedang menjawab, “Hamba sekalian tiada pernah mengundang
Baginda. Terang kita telah kena tipu lagi!”

Begitu tiba di atas belandar Thian-hi melihat seekor ular hitam panjang empat kaki tengah
melata cepat sekali ke depan sana sambil menggigit patung Buddha itu, gerak geriknya begitu
gesit secepat angin, sekejap saja sudah tiba di ambang sebuah lobang dan hampir menghilang.
Tanpa ayal segera Thian-hi sambitkan pedang ditangannya, tepat sekali menancap di depan
lobang itu sehingga jalan lari siular kebuntu, cepat sekali ia ulur tangan mencengkeram keleher
ular terpaut tujuh senti dari bawah kepala ular, dimana terletak kelemahannya.
Melihat jalan lari sudah putus, ular itu agaknya tahu bahaya tengah mengancam cepat
buntutnya melingkar terus melecut naik menyerang jalan darah pergelangan Thian-hi.
Disebelah bawah Ma Bong-hwi sudah perintahkan seluruh pintu ditutup rapat dan dijaga ketat
mulai mengadakan penggeledahan.
Sudah tentu Thian-hi tidak gampang kena diserang oleh siular, tangannya membalik berbareng
jarinya menyelentik tepat sekali menjentik ujung ekor siular, ular itu berteriak kesakitan, tapi
mulutnya tetap menggondol patung Buddha itu tak mau meletakkan, gesit sekali mendadak
hendak menerobos keluar. Ketiga jari tangan Thian-hi lantas mencengkeram ke tempat kelemahan
siular di bawah kepalanya, cara kerjanya cepat dan telak, apalagi dia sudah bertekad hendak
menangkap ular lihay ini.
Tapi disaat ia berhasil, mendadak dari belangkangnya terasa menyerang datang sejalur angin
kencang menerjang ke arah jalan darah Ling-tai-hiat dipunggungnya, keruan kejut hati Thian-hi,
tangkas sekali ia membalikkan telapak tangannya yang lain menyampok ke belakang, seekor ular
putih telak sekali kena ditamparnya sampai jatuh di atas belandar tak bergerak lagi.
Ular hitam itu lari lagi ke depan, namun mana bisa lolos dari kesigapan tangan Thian-hi, sekali
berkelebat ia mengejar maju dan tepat sekali berhasil menggencet kelemahannya di bawah
kepalanya, ular itu dipaksa mengeluarkan patung Budha, lalu sambil menjinjing patung Buddha itu
Thian-hi melompat turun ke-bawah.
Cepat Thian-hi maju menghadap kepada Baginda memberi lapor, “Pencurinya adalah seekor
ular, sudah berhasil hamba ringkus, di atas belandar masih terdapat seekor ular putih yang lain
juga berhasil kupukul mampus!”
Baginda berseri tawa, ujarnya, “Jasa Hun-ciangkun sungguh tidak kecil, ilmu silatnya juga hebat
sekali, Yim (aku) berkeputusan untuk memberi anugerah dan pahala kepada kau.”
Tuan putri mengikik tawa dan melangkah maju, katanya, “Ilmu silatmu ternyata begitu lihay.
Sungguh aku tidak mengira kaulah orangnya yang naik ke atas belandar!”
Hun Thian-hi merangkak bangun.
Dengan heran sang Baginda bertanya kepada tuan putri, “Jadi kalian sudah kenal?”
“Ya,” sahut tuan putri, “Belum lama berselang aku udah pernah melihat dia, kemarin pagi
akupun baru teromong2 dengan dia!”
Sang Baginda melenggong. Thian-hi berkata, “Pemelihara ular ini pasti berada di dalam istana
juga, ular ini belum mati, harap sang Baginda menyingkir, aku mau melepasnya untuk mencari
pemiliknya.”

Sang Baginda rada sangsi, akhirnya berkata, “Aku sudah berada disini tak perlu menyingkir lagi.
Aku ingin ikut menyaksikan!”
Apa boleh buat Thian-hi lantas melepas ular hitam tu. Ular itu merambat cepat sekali berputarputar
di dalam istana lalu melata keluar, begitu cepat dan gesit sekali gerak geriknya, namun
selama itu Thian-li membuntuti di belakangnya dengan ketat.
Setelah melewati sebuah serambi panjang mereka memasuki sebuah taman, kesanalah ular
hitam itu menuju terus menuju ke sebuah gunung2an palsu, untung Thian-hi bergerak sangat
cepat sebelum si ular menyusup masuk ke dalam sebuah lubang di bawah gunung2an palsu itu ia
berhasil menawannya pula. Sementara itu sang Baginda, tuan putri dan banyak orang lagi pun
telah tiba. Segera sang Baginda memberi perintah, “Panggil orang untuk mengeduk gunung2an
palsu ini, apakah barang-barang yang hilang tu berada di sana.”
Tak lama kemudian beberapa orang telah datang lalu mencangkul dan menggali lobang itu,
setelah gunung2an itu roboh tampak di bawahnya situ memang terpendam barang-barang
mestika yang hilang itu.
Baginda jadi berpikir, katanya tertawa, “Siapakah pemelihara ular ini sulit diketahui dalam
waktu singkat ini, bunuh saja ular itu habis perkara!”
Apa boleh buat, terpaksa Thian-hi melaksanakan perintah raja. Tapi dia tahu bahwa belakangan
hari kejadian ini pasti bakal menimbulkan bibit bencana yang lebih besar.
Bab 16
Tatkala itu cuaca sudah gelap gulita. Baginda suruh Thian-hi besok pagi harus masuk piket dan
memberi lapor selengkapnya. Setelah itu ia lantas tinggal pergi bersama tuan putri.
Ma Bong-hwi tertawa puas, katanya kepada Thian-hi, “Kalau Lote ingin mencapai kedudukan
yang lebih tinggi besok pagilah saatnya. Kejadian hari ini sungguh diluar dugaanku, kiranya hanya
seekor ularlah yang membuat gara-gara. Kalau bukan atas tindakanmu yang cepat sungguh aku
tidak berani membayangkan akibatnya.”
Hun Thian-hi tertawa tawar. katanya., “Inipun berkat adikmu yang beritahu kepada aku!”
Ma Bong-hwi melengak, katanya tertawa, “Dia lagi, Dia tidak beritahu kepada aku, kini
memberitahu kepada kau malah.” dengan cengar-cengir pandang Thian-hi.
Thian-hi kehabisan kata-kata untuk menjawab. Begitulah segera mereka keluar dan pulang
bersama. Sepanjang jalan diam-diam Thian-hi ambil keputusan, ia sudah penujui gunung
gemunung yang tinggi dan luas di belakang Thian-seng itu. Ingin dia mencari suatu tempat disana
untuk mengasingkan diri sementara.
Begitu tiba di gedung Ciangkun, sudah tentu terjadi keramaian dengan sambutan yang meriah
sekali. Tengah malam itu juga diam-diam Thian-hi sudah mempersiapkan diri, setelah ganti
pakaian ia menulis sepucuk surat diletakkan di atas meja, diamat-amati kedua batang seruling itu
lalu disimpan ke dalam butalannya, gesit sekali ia melompat keluar dari jendela terus tinggal pergi.
Begitu tiba di luar ia terus memasuki taman bunga belum berapa langkah ia berjalan tiba-tiba ia
menjublek di tempatnya, kelihatan Ma Gwat-sian tengah berdiri disana menantikan dirinya.

Kata Ma Gwat-sian tertawa, “Hun-toako! Aku tahu kau pasti akan tinggal pergi, maka sejak tadi
ku-tunggu kau disini.
Thian-hi menunduk tanpa buka suara, segala gerak geriknya ternyata sudah di dalam
perhitungan Ma Gwat-sian.
“Mari kau ikut aku,” ajak Ma Gwat-sian, “Ada beberapa patah kata hendak kuucapkan kepada
kau.”
Hun Thian-hi menguntit di belakangnya, Ma Gwat-sian mencari sebuah batu hijau besar lalu
duduk di sana. Diapun suruh Thian-hi duduk di sebelahnya, setelah rada sangsi Thian-hi duduk
juga di sampingnya. Kata Ma Gwat-sian, “Guruku beritahu kepada aku, katanya jika kau mau
menyembunyikan jejak dan asal usulmu, ada lebih baik kau sembunyi di dalam kota besar saja.
Kau punya harapan untuk menjabat sebagai komandan Gi-lim-kun. Tapi bila kau berkukuh hendak
pergi, cara menghilangmu yang mendadak ini malah akan menimbulkan prasangka.”
Thian-hi menjublek tanpa bicara, otaknya tengah berpikir.
Kata Ma Gwat-sian pula, “Watakmu rada congkak, tapi bila kau sudi menjabat pangkat, orang
lain tidak akan mengira ada seorang tokoh kosen menyembunyikan diri sebagai pejabat tinggi
pemerintahan. Sebaliknya kalau kau tinggalkan pangkat dan kedudukan ini, justru bakal
membongkar rahasiamu sendiri.”
Thian-hi juga menginsyafi hal itu, katanya, “Jadi maksudmu supaya aku tetap tinggal saja?”
Ma Gwat-sian tertawa. ujarnya, “Itupun menurut omongan guruku, aku hanya menyampaikan
saja kepada kau!”
Heran dan ketarik hati Thian-hi, tanyanya, “Sebenar-benarnya siapakah gurumu itu? apa boleh
beri tahu padaku?”
“Kau tak usah kuatir akan hal itu! Guruku tidak akan mencelakai kau!”
Hun Thian-hi tak enak untuk bertanya lebih lanjut, terpikir olehnya ucapan Ma Gwat-sian tadi
memang cukup masuk di akal, tiada halangannya ia menurutkan nasehat itu, tanyanya, “Apakah
kau tahu asal usulku sejelasnya?”
“Juga tidak! Tempo hari guruku pernah berjalan-jalan sampai dipinggir tebing curam itu,
dilihatnya sebarisan lobang2 kecil, tahu ia bahwa pasti ada seseorang Tionggoan yang telah
menyelundup masuk kenegeri ini, dan akupun menemukan kau pula, dan kaupun menggunakan
seruling, maka tahulah aku bahwa pasti kau datang dari Tionggoan, tidak salah bukan rekaanku?.”
Dengan cermat Thian-hi pandang sepasang biji mata Ma Gwat-sian yang jeli bening berkilat,
wajahnya begitu halus elok bak umpama sang dewi dari rembulan, serta merta kepalanya
manggut-manggut. diam-diam bercekat hatinya, kiranya tanpa disadari aku telah meninggalkan
jejak waktu menyelundup masuk ke Thian-bi-kok ini.
Kata Ma Gwat-sian lagi, “Orang yang mengetahui nama Tay-seng-ci-lau sedikit sekali
jumlahnya, yang bisa menyelami intisarinya jarang pula terdapat. Sebaliknya begitu kau melihat
Tay-seng-ci-lau dengan gugup lantas suruh Siau-hou mengembalikan, dapatlah diselami bahwa
kau pasti sudah paham akan Tay-seng-ci-lau itu, malah hatimu juga baik dan lurus!”
Diam-diam mengeluh hati Thian-hi, setiap tujuan gerak-geriknya seolah-olah telah dipaparkan
secara jelas dihadapan Ma Gwat-sian.

“Pada malam itu, ada seseorang datang menyatroni engkohku, setelah orang itu pergi salah
seorang pengawal telah dibunuh oleh engkohku. Tapi pengawal itu mengeluarkan suara lebih
dulu, sebetulnya tiada alasannya dia berteriak kecuali ada seseorang yang memaksanya begitu.
Dan lagi dalam gedung kita ini tiada orang lain kecuali kau!”
Thian-hi bungkam seribu busa, tak kuasa ia mendebat. menunduk saja tanpa bersuara.
Ma Gwat-sian tersenyum. ujarnya, “Itu melulu analisaku yang cukup cermat belaka. untung
benar-benar semuanya. Guruku sudah menghapus jejak yang kau tinggalkan itu, kau tak usah
kuatir.”
“Gurumu itu pasti seorang aneh yang kosen, aku tiada jodoh untuk menghadap menyatakan
terima kasih kepada beliau, harap kau suka mewakili aku menyatakan hormat dan sembah
sujudku.”
“Kenapa begitu sungkan, sekarang apa kau pasti hendak pergi? Atau tetap tinggal disini?”
Thian-hi beragu dan tak bersuara.
“Menurut aku, aku harap kau tetap tinggal disini. urusan disini belum selesai, masih banyak hal
yang harus kuminta bantuanmu.
Akhirnya tanpa bersuara Thian-hi manggut-manggut setuju.
Benar-benar juga besok paginya Thian-hi diangkat menjadi Bu-wi Ciangkun, kedudukannya
sebagai komandan Gi-lim-kun.
Setelah lewat lohor, tuan putri minta Thian-hi menyiapkan kereta, dia ingin mengendalikan
kereta pergi pesiar. minta Thian-hi sebagai pengiringnya. Terpaksa Thian-hi turuti permintaannya,
tak lupa iapun menyiapkan tunggangannya.
Tak lama kemudian tuan putri sudah berdandan mengenakan seperangkat pakaian ketat serba
merah langsung naik ke atas kereta, katanya kepada Hun Thian-hi, “Kau harus hati-hati menguntit
dibelakangku jangan sampai ketinggalan!” Selesai berkata kudanya segera dibedal dengan
kencang.
Thian-hi membawa empat orang pengikut. Begitu enam ekor penarik kereta tuan putri
membedal kencang bersama pengikutnya Thian-hi segera menyusul. Setelah keluar dari pintu
selatan mereka berputar-putar mengelilingi kota tiga putaran lalu luruS menuju ke selatan.
Menginsafi tugasnya yang berat Thian-hi tidak berani lena dengan kencang iapun mengikuti
dibelakang. keenam ekor kuda penarik kereta, adalah kuda pilihan, keruan keempat pengikutnya
itu jauh ketinggalan dibelakang. Hun Thian-hi sendiri juga ketinggalan beberapa tombak
dibelakang.
Entah berapa jauh dan berapa lama mereka seolah-olah berlomba, akhirnya tuan putri
memperlambat lari keretanya. Lambat laun Hun Thian-hi dapat mengejar dekat, sambil
memandang ke arahnya tuan putri tersenyum geli. sambil membetulkan letak rambutnya ia
berkata, “Selamanya belum pernah ada orang mampu mengejar aku sedemikian dekat!”
Setelah dekat Thian-hi merogoh keluar seruling batu Giok putih itu dikembalikan kepada tuan
putri. katanya, “Tempo hari tuan putri lupa membawa kembali seruling ini, harap tuan putri suka
terima kembali.”

“Tidak usah. kuberikan kepadamu!” Thian-hi melengak, tuan putri berkata lagi, “Sebetulnya aku
tidak bisa meniup seruling kau ambil saja!”
“Aku sendiri sudah punya, harap tuan putri suka terima kembali.”
“Kenapa?” tanya tuan putri kurang senang. “Apa kau tidak sudi menerima pemberianku?
Serulingmu sendiri itu justru sangat baik, kalau kau ingin kembalikan, boleh ditukar dengan
milikmu itu saja!”
Thian-hi menjadi serba sulit. katanya, “Sebetulnya serulingku itu harus dipersembahkan kepada
tuan putri, soalnya seruling Itu pemberian seorang Cianpwe sebagai kenang2an tak boleh hilang!”
Tuan putri mendengus hidung, waktu berpaling dilihatnya keempat pengikut itu sudah kelihatan
bayangannya, pecutnya segera terayun “tar!” keenam kuda penarik kereta itu segera
mencongklang lagi seperti kesetanan. Terpaksa Thian-hi menyimpan seruling dan mengejar lagi.
Kali ini tuan putri membelokkan keretanya memasuki hutan pegunungan, keretanya menjadi
bergoyang2 seperti menari2 di atas pegunungan yang belukar dan tidak rata itu. Thian-hi menjadi
kuatir, betapa pun baiknya tuan putri dapat mengendalikan kereta. namun dijalanan yang tidak
rata ini bukanlah mustahil nanti bisa terjadi sesuatu diluar diluar dugaan.
Dengan sekuat tenaga dan segala daya upaya Thian-hi berusaha mengejar, namun tunggangan
sendiri kalah kalau dibanding keenam kuda pilihan penarik kereta itu, jarak mereka tetap beberapa
tombak. Mendadak didengarnya Tuan putri menjerit2 ketakutan, Thian-hi terkejut dan membedal
maju. tampak keenam kuda itu berdiri berbareng dan menjadi beringas liar ketakutan,
Kiranya tak jauh disebelah depan sana tampak dua ekor beruang besar tengah mendatangi
pelan-pelan, tuan putri menjadi pucat ketakutan. Thian-hi sangat kalut, cepat ia lonmpat turun
seraya melolos pedangnya. lalu memburu ke depan mencegat di depan kedua biruang besar itu.
“Tio Gun” teriak tuan putri. “Lekas kembali, seorang diri mana kau mampu melawan!”
Terlihat oleh Thian-hi kedua biruang ini jauh lebih besar dan tinggi dari tubuhnya sendiri, tinggi
kepalanya hanya sebatas pinggang kedua ekor biruang itu. Diam-diam ia heran dan kejut akan
kebesaran kedua ekor biruang ini, namun mana Thian-hi gentar menghadapi kedua binatang ini.
Katanya tertawa, “Tuan putri tak perlu takut, hari ini anggap saja kita berburu biruang.”
Melihat Thian-hi berani maju sambil menenteng pedang, kedua ekor biruang itu seperti merasa
heran dan saling pandang, sambil mengaum keras serempak menubruk ke arah Thiani-hi.
Thian-hi juga membentak keras, badannya berkelit menyingkir ke samping, seluruh tenaga
dikerahkan ditangan kanan begitu sebat gerak geriknya, begitu berada disamping kiri salah seekor
biruang itu. kontan pedangnya lantas bekerja menusuk ambles seluruh batang pedangnya ke
dalam lambungnya.
Biruang itu menggerung kesakitan dan murka. seekor yang lain segera mengulur sebelah
tangannya mengemplang kekepala Thian-hi. Thian-hi berusaha menutupi kepandaian sendiri,
sambil menarik pedangnya ia melompat berkelit lagi rada jauh, dari kejauhan ini segera ia ayun
pedangnya, laksana anak panah selarik sinar pedangnya meluncur ke depan dan ambles
seluruhnya kedada biruang yang lain itu.

Meski terluka berat kedua biruang itu masih belum mati, namun sebelum ajal mereka pantang
menyerah, berbareng menggerung keras terus menubruk maju lagi dengan cakar terpentang!
Tatkala itu jarak mereka semakin dekat, keruan tuan putri menjerjt ketakutan. dilihat pula oleh
Thian-hi keenam ekor kuda itu tak jauh disebelah sana, sedikit beragu kedua ekor biruang itu
sudah menyerbu datang. tanpa banyak pikir lagi mulut Thian-hi bersuit nyaring, Pan-yok-hiankang
yang dilatihnya selama beberapa lama ini segera digunakan. seenaknya saja ia menepuk ke
depan. kontan kedua ekor biruang yang tinggi besar itu diterpa gelombang tenaga pukulan yang
dahsyat sehingga terpental tiga tombak jauhnya, rebah tak berkutik lagi.
Sekian lama Thian-hi berdiri menjublek. hatinya sungguh sangat menyesal, tidak seharusnya ia
melancarkan Pan-yok-hian-kang, bagi seseorang yang punya landasan pelajaran silat, begitu
melihat seluruh isi perut kedua biruang ini hancur luluh pasti mereka bakal tahu bahwa keduanya
terpukul mati oleh sebuah pukulan tenaga dalam yang sangat hebat.
Tengah ia tenggelam dalam pikirannya. tiba-tiba terasa sebuah tangan meraba pundaknya,
kontan ia tersadar dari lamunannya. tampak tuan putri berdiri di depannya, kelihatannya ia sangat
takut sehingga seluruh tubuhnya lemas lunglai hampir roboh.
Serta merta Thian-hi harus memajangnya katanya: Tuan putri tak perlu takut lagi!”
Saking lemas tubuh tuan putri lantas menggelencut ke dalam pelukan Thian-hi. katanya, “Disini
tiada orang lain, tak usah kau panggil aku tuan putri, aku bernama Ih-gi!”
Tergetar hati Thian-hi, cepat ia memajangnya berdiri. katanya, “Tuan putri! Biruang itu sudah
mampus, silakan tuan putri berdiri, tak usah takut!”
Setelah berdiri tegak dengan berang tuan putri pandang Thian-hi, katanya, “Apa kau tidak suka
kepada aku?”
Merah jengah dan panas muka Thian-hi, jawabnya tergagap, “Tuan putri berbadan agung
berkedudukan tinggi. mana bisa aku….”
“Bukankah kau sendiri sekarang sebagai panglima tinggi yang pegang kekuasaan. masa kau
tidak berani menyukai aku?”
Thian-hi menghela napas, katanya, “Tuan putri kau dan aku baru bertemu beberapa kali, mana
bisa membicarakan soal ini.”
Tuan putri cemberut dan kurang senang, tanyanya. “Kudengar Ma-ciangkun punya seorang
adik perempuan, apa benar-benar?”
“Benar-benar, tapi apa sangkut pautnya dengan kau?”
Tuan putri menjengek tanyanya, “Apakah kau pernah bertemu dengan dia”
Thian-hi manggut-manggut.
“Sejak lama sudah kudengar bahwa dia punya seorang adik perempuan yang sangat cantik,
tapi selamanya belum pernah keluar pintu, tiada seorang pun yang pernah melihat dia, banyak
orang mengajukan lamaran semuanya gagal, dia cantik bukan?”
Bicara sampai disini tuan putri menjadi rawan, pelan-pelan ia menunduk. dilain saat ia angkat
kepala dan bertanya tegas, “Jangan kau bohongi aku. Sebetulnya kau suka aku atau suka dia.”

Thian-hi terlongong sekian lamanya, dilihatnya sikap tuan putri begitu murung dan sedih
sungguh sangat kasihan, setelah menarik napas, ia berkata, “Kejadian di dunia ini siapa yang
berani mengira sebelumnya!”
Sungguh dia tidak mengira setelah berada di Thian-bi-kok ini dia harus menghadapi berbagai
kesulitan ini.
Angkat kapala dilihatnya tuan putri masih menantikan jawabannya, terpaksa ia berkata, “Tuan
putri! Menurut hemadku, tidak lebih kita sebagai sahabat yang baru berkenalan saja!”
Tuan putri membalikkan tubuh dengan jengkel langsung ia naik ke atas kereta. Thian-hi
memburu datang serunya berteriak, “Tuan putri tak boleh menuju ke dalam sana.”
Tak usah kau urus aku!” semprot tuan putri gusar Keretanya dilarikan lagi ke depan dengan
cepat,
Thian-hi menjadi gugup dan berteriak-teriak, terpaksa ia memburu dengan kencang. untung
jalanan disebelah depan sangat jelek lari kereta menjadi lambat, Thian-hi bisa mengejar semakin
dekat. Akhirnya kereta berhenti juga karena jalan terlalu sempit. Thian-hi lantas tampil ke depan
serta berkata, “Tuan putri. mari putar haluan saja!”
“Tidak mau. Kau temani aku disini, orang lain takkan mampu mencari kemari.” Begitulah tuan
putri merengek2.
Thian-hi angkat pundak tanpa bersuara.
Begitulah mereka berdiri tanpa bersuara, sejenak kemudian tuan putri membuka suara, “Hatiku
kesal, coba kau tiup serulingmu untuk menghibur hatiku.”
Apa boleh buat Thian-hi keluarkan serulingnya. di lain saat irama yang merdu mengasjikkan
mengalun merdu di alam pegunungan yang sunyi, dengan asjik dan menjublek tuan putri
mendengarkan tanpa merasa air mata mengalir membasahi pipinya yang putih molek, setelah
lagunya habis, ia lantas berkata sesenggukkan, “Kenapa kau bersikap dingin terhadap aku?”
Thian-hi tidak tahu cara bagaimana harus menjawab. sesaat kemudian baru ia bersuara, “Citacita
dan tujuan hidup kita berlainan, kau dan aku bukan manusia dalam satu tingkatan.”
Tuan putri terlongong memandang Thian-hi katanya, “Yang kuinginkan hanyalah kau. Apabila
kau megejar kedudukan pangkat dan harta, semuanya dapat kuberikan kepada kau, apakah kau
menyangsikan kemampuanku?”
Thian-hi tersenyum, ujarnya, “Banyak kejadian di alam fana ini yang belum diketabui oleh tuan
putri, tak pernah terpikir olehku untuk mengejar pangkat dan harta, yang terang memang tuan
putri bersikap sangat baik terhadap aku. sungguh aku harus nyatakan banyak terima kasih,
menurut pendapatku tuan putri tak lain karena terburu oleh perasaan belaka, dulu aku juga
pernah mengalami hal demikian.’
“Bukan begitu jalan pikiranku, kau pandai silat dan pintar sastra lagi, apalagi watakmu cukup
baik dan lurus, tidak seperti putra Tan-siangkok itu, sikapnya takabur dan licik. Kau punya bakat
sebagai pemimpin, calon suamiku kelak pasti dapat mewarisi kedudukan raja. menurut pilihanku
kaulah yang paling tepat!”
Thian-hi tertawa getir, katanya, “Kelak kau akan tahu sendiri bahwa justru aku orang yang
paling tidak tepat.”

Tuan putri menunduk menepekur, beberapa lamanya tak bersuara lagi.
“Tuan putri,” panggil Thian-hi pelan-pelan, “aku bicara menurut kenyataan.” — suaranya begitu
lirih hampir kupingnya sendiri juga tak dapat mendengar.
Mereka menjadi menjublek di tempat masing-masing tanpa bersuara sampai sekian lamanya.
Akhirnya Thian-hi yang membuka kesunyian lagi, “Cuaca hampir gelap, kita harus lekas pulang!”
Dengan menunduk tuan putri memutar keretanya kembali, dia biarkan saja keenam kuda putih
itu berjalan pelan-pelan, kedua biji matanya lempang mengawasi depan tanpa berkesip, seolaholah
tenggelam dalam pemikiran yang tiada berujung pangkal.
Dengan menunggang kuda Thian-hi berjalan disisi kereta, dari samping terlihat olehnya rambut
tuan putri yang terurai dihembus angin memanjang, ujung matanya basah oleh air mata. Sambil
menghela napas ia menunduk tak berani melihat lagi.
Begitulah dengan legak-legok kereta itu akhirnya sampai juga di jalan raja, jauh di ufuk barat
sana sang surja sudah hampir tenggelam. Keempat anggota Gi-lim-kun itu dengan gelisah masih
menanti diluar hutan.
Setelah tiba di istana, Thian-hi rasakan seluruh badannya capai, setelah makan malam ia terus
masuk kamar berlatih. Pan-yok-hian-kang. Tapi sekian lama ia menjadi gundah karena pikirannya
tak bisa tenteram. Akhirnya dengan kesal ia berjalan keluar dan mondar-mandir di serambi
panjang lalu meronda ke berbagai pos penjagaan, tampak rombongan demi rombongan pasukan
Gi-lim-kun mondar mandir meronda, tanpa tujuan kakinya melenggong sampai ufuk timur mulai
terang.
Hari kedua dari istana dalam didapat kabar bahwa tuan putri rebah di tempat tidur tak bisa
bangun, jatuh sakit. Diam-diam Thian-hi menghela napas.
Setelah piket, Ma Bong-hwi mengundangnya Thian-hi kerumahnya, tapi Thian-hi takut bertemu
dengan Ma Gwat-sian, menggunakan alasan kerena repot di istana, ia menolak ajakan itu. Tak
lupa ia menanyai alamat tempat tinggal Tan-siangkok, Ma Bong-hwi rada sangsi, namun akhirnya
memberi tahu juga.
Diam-diam Thian-hi sudah berkeputusan untuk menyatroni gedung kediaman Tan-siangkok
untuk membuat penyelidikan, orang macam apakah sebenar-benarnya Tan-siangkok itu, setelah
segala urusan disini dapat dibereskan lebih baik akupun harus segera membebaskan diri dari
segala kerepotan.
Baru saja cuaca menjadi gelap Thian-hi lantas salin pakaian hitam yang ketat. Gedung
kediaman Tan-siangkok juga berada di Thian-seng ini, segera ia beranjak menuju ke gedung Tansiangkok.
Tak lama kemudian ia sudah tiba diambang pintu gedung Tan-siangkok, setelah
celingukan tak melihat bayangan orang, sekali berkelebat enteng sekali ia lompat naik ke atas
tembok lalu melejit lebih tinggi ke atas wuwungan. Pelan-pelan ia menggeremet maju terus loncat
turun ke sebuah taman bunga. Baru saja kakinya menyentuh tanah, di dalam keremangan malam
terdengar seseorang bicara, “Tan Su! Hari sudah gelap! Lekas lepaskan anjing!”
Terkejut Thian-hi, sebat sekali tubuhnya melejit tinggi hinggap di atap rumah. Dengan seksama
ia awasi keadaan sekelilingnya, didapatinya gedung Tan-siangkok ini jauh lebih besar dan megah
dibanding gedung Ma-ciangkun, empat penjuru dikelilingi tembok tinggi dan pohon-pohon rindang
dan tanam2an kembang. Di lain saat terlihat oleh Thian-hi bayangan hitam besar2 berlari-lari kian
kemari, Thian-hi dapat melihat tegas itulah anjing2 besar sebangsa serigala yang buas.

Baru saja ia berniat maju lebih lanjut ke dalam, tiba-tiba pintu besar terbuka, dari luar masuk
seseorang. Diam-diam bercekat hati Thian-hi, karena dilihatnya orang yang baru datang ini tak
lain tak bukan adalah Ing-ciangkun Ing Si-kiat.
Thian-hi berpikir, ternyata benar-benar orang ini tidak bisa dipercaya, malam2 dia kemari tentu
punya intrik dengan Tan-siangkok. Tidak salah kecurigaan Ma Gwat-sian terhadapnya.
Tampak Ing Si-kiat menggunakan pakaian preman, Tan-siangkok sendiri menyongsong keluar
menyambut tamunya ini, setelah sekedar sapa sapi mereka masuk bersama. Diam-diam Thian-hi
menguntit mereka dari atas genting.
Mereka memasuki sebuah ruang besar, empat penjuru ruang besar itu terjaga ketat, dengan
hati-hati Than-hi berkelebat keluar terus sembunyi di bawah pajon untuk mencuri dengar.
Terdengar Tan-siangkok bertanya kepada Ing Sikiat, “Apakah Ing-ciangkun tahu asal usul Tio
Gun itu?”
Ing Si-kiat menjawab, “Ma Bong-hwi cukup percaya kepada aku, namun soal ini dia tidak
pernah beritahu kepada aku, aku sendiri juga tidak enak menanyakan!”
Diam-diam hati Thian-hi, pikirnya; Ing Si-kiat ternyata sedang menyelidiki asal usulku terang
memang sekongkol dengan Tan-siangkok. Tapi entah apa yang sedang hendak mereka lakukan.
Tan-siangkok mengerutkan alis, katanya, “Tio Gun itu memang cukup menyebalkan, ilmu
silatnya benar-benar hebat, Baginda kelihatannya sangat sayang dan bangga kepadanya.
Sebetulnya Komandan Gi-lim-kun dijabat oleh adikmu, kini berada di tangannya, kukira urusan
akan lebih menyulitkan kita!”
Bercekat hati Thian-hi, batinnya, “Ternyata mereka hendak berontak, tak heran Ma Gwat-sian
bilang kecuali peristiwa kehilangan barang-barang mestika itu, Thian-bi-kok ini masih punya
bencana lain yang bakal terjadi.”
“Entah bagaimana dengan putramu itu” terdengar Ing Si-kiat bertanya….
Tan-siangkok mendengus, sahutnya, “Dia kurang becus, tuan putri melirik pun tidak mau
melihat dia!”
“Menurut berita yang kuperoleh dari Gi-lim-kun, katanya tuan putri sangat simpatik terhadap
Tio Gun, apalagi sebelum ini mereka sudah pernah berjumpa.”
“Apa benar-benar?” Tan-siangkok menegas.
Ing Si-kiat manggut-manggut.
Thian-hi menjadi was-was, ternyata diantara anggota pasukan Gi-lim-kun itu ada mata2 pihak
musuh, tak heran orang itu tempo hari begitu leluasa melenyapkan dirinya. Memang pejabat
komandan Gi-lim-kun yang terdahulu adalah adik kandung Ing Si-kiat, maka tak perlu dibuat
heran bahwa diantara mereka masih ada terdapat bawahan kepercayaannya. Setelah kembali
nanti aku harus mengadakan razia dan pembaharuan di dalam tubuh Gi-lim-kun.
Tan-siangkok berjalan mondar-mandir, katanya, “Tio Gun ini lebih menakutkan dari Ma Bonghwi,
bagaimana juga orang ini harus dilenyapkan.”

“Kelihatannya Baginda juga semakin ceroboh, mengangkat orang tanpa tahu asal usul orang
itu, hanya mengandal kesenangan hati belaka.”
Tan-siangkok mendengus dua kali, katanya, “Apakah dia tidak mencari tahu siapakah dalang
pencurian barang-barang mestika itu?” — pada perkataannya penuh rasa cemooh dan
membanggakan diri sendiri. Merandek sejenak lalu melanjutkan, “Tuan putri justru sangat teliti
dan cermat, Goan-mo anakku itu kiranya tidak memenuhi seleranya! Jah, apa boleh buat!”
“Kalau Tio Gun disingkirkan kukira putramu masih punya harapan. Angkat dia sebagai
komandan Gi-lim-kun, tanggung kelak ia bakal menonjol diantara rekan2nya.”
Tan-siangkok berhenti lalu mendongak memandang atap rumah, di lain saat ia mondar-mandir
lagi, katanya: .,Toh-ciatsu situa renta itu tak perlu ditakuti, dulu hanya Ma Bong-hwi seorang, dia
pegang kekuasaan militer, sekarang tambah lagi seorang Tio Gun.”
“Sepak terjang Tio Gun selama ini rada mencurigakan, entah darimana Ma Bong-hwi
menemukan bocah keparat itu.”
Tan-siangkok berhenti lagi memandang Ing Si-kiat. katanya, “Jika tiada Ma Bong-hwi dan tak
ada Tio Gun pula, apa pula yang hendak kau lakukan?”
Ing Si-kiat tertawa, sahutnya, “Meskipun Ma-ciangkun berdinas luar, tapi kekuatan tentaranya
jauh lebih kuat dari aku, apalagi bala tentaranya juga jauh lebih terlatih, melulu Tio Gun dan
ratusan pasukan Gi-lim-kun tak perlu dibuat takut.”
“Jikalau tiada mereka berdua, pasti Toh-ciatsu takkan berani banyak bacot. Tatkala itu putraku
bakal dapat menumpas huru-hara dan mendirikan jasa dan memperoleh pahala, jikalau kita
melamar putrinya, Baginda tak bisa tidak mesti menerima pinangan ini.”
Thian-hi semakin jelas akan duduk perkara sebenar-benarnya. Kiranya Tan-siangkok sedang
berusaha supaya putranya menikah dengan tuan putranya menikah dengan tuan putri, supaya
kelak dapat mewarisi kedudukan raja, dengan jalan yang licik tapi cukup nyata ini tentu tiada
seorangpun yang tidak akan tunduk.
Ing Si-kiat tertawa, katanya, “Baginda raja tentu akan setuju!”
Tan-siangkok juga tertawa senang, ujarnya, “Kali ini tidak mungkin menggunakan ular lagi. Tak
kukira Tio Gun itu pandai menangkap ular!”
Ing Si-kiat berpikir sekian lama, katanya, “Bagaimana menurut pendapat Tan-siangkok?”
Tan-siangkok menyeringai sinis, dari atas rak buku diambilnya alat2 tulis terus menulis apa-apa
di atas telapak tangannya. Melihat huruf2 itu Ing Si-kiat tertawa, katanya, “Akupun punya maksud
demikian.” — terdengar gelak tawa mereka yang keras kumandang.
Thian-hi tidak tahu apa yang tengah mereka lakukan, tapi samar-samar ia dapat meraba tentu
mereka merencanakan sesuatu yang bertujuan jahat, entah tipu daya jahat apa lagi yang sedang
mereka rancang.
Terdengar Ing Si-kiat berkata, “Cara ini dapat membabat rumput sampai ke-akar2nya, cukup
kita hadapi Tio Gun itu dengan cara yang lebih hati-hati saja!”

Tan-siangkok bergelak tawa, ujarnya, “Untuk pelaksanaannya kuharap Ing-ciangkun membantu
sekedarnya.”
“Ah, kenapa Tan-siangkok begitu sungkan? Untuk pelaksanaan rencana ini harap Tan-siangkok
memikirkan lebih matang.”
“Urusan jangan terlambat, pukul besi mumpung masih panas, Tio Gun baru saja diangkat
menjadi panglima, kesempatan inilah yang paling baik untuk melaksanakan rencana itu.”
“Menurut maksud Tan-siangkok….”
“Besok saja!”
“Besokpun baik, tapi kalau rencana kali ini gagal belakang hari tentu bakal menimbulkan bibit
bencana.”
“Besoklah saatnya pembukaan dasar. masa kita tidak berlaku hati-hati. Bagaimana menurut
pendapat Ing-ciangkun mengenai pasukan yang berada di Bi-seng itu?”
“Yang aku kuatirkan hanyalah Ma Bong-hwi seorang, orang lain sedikit pun tidak kupandang
sebelah mataku.”
Lalu mereka bergelak tawa sambil berjabatan tangan. Ing Si-kiat lalu bangkit dan minta diri,
katanya, “Sekarang aku minta diri, rencana kerja di dalam seluruhnya tanggung jawab Tansiangkok,
mengenai penjagaan diluar akulah yang akan mengatur.”
Tan-siangkok bangkit mengantar tamu, sahutnya, “Aku tak menahanmu lebih lama lagi, waktu
terlalu mendesak, harap Ing-ciangkun banyak membantu….”
Ing Si-kiat tertawa sambil manggut-manggut, mereka berjajar keluar pintu. Thian-hi berkelebat
di atas wuwungan, dilihatnya Tan-siangkok mengantar Ing Si-kiat sampai di pintu luar.
Thian-hi menghirup napas panjang, setelah meneliti keadaan sekelilingnya, sebat sekali
tubuhnya melesat terbang keluar dari lingkungan Gedung Tan-siangkok ini, terdengar anjing di
bawah meng-gonggong2 bersahutan Terpaksa Thian-hi mendekam di atas pojokan atap tanpa
berani bergerak, seluruh gedung menjadi ribut dan ramai, tak lama kemudian baru kembali
menjadi sunyi.
Sementara itu hati Thian-hi masih menerawang, entah tipu daya apa yang sedang
direncanakan oleh kedua orang itu, dalam pada itu ringan sekali kakinya melangkah bagai terbang
berlari menuju keistana raja.
Dari kejauhan tampak istana yang megah menjulang tinggi, tanpa terasa terbayang olehnya
muka tuan putri yang sedih menangis, pelan-pelan ia menghela napas.
Begitu sampai diistana Thian-hi langsung kembali ke kamarnya. Ternyata Ma Bong-hwi sedang
menunggu disana.
Begitu melihat Thian-hi pulang segera Ma Bong-hwi memapak maju serta tanyanya, “Lote, kau
menyelidik ke gedung Siangkok bukan?”
Thian-hi tidak menduga hari sudah begitu malam namun Ma Bong-hwi masih berada di
tempatnya, sebagai jawaban ia manggut-manggut saja

“Lote,” kata Ma Bong-hwi, “Bukan aku suka cerewet sebetulnya tindakanmu ini terlalu bahaya,
di dalam gedung Tan-siangkok ada memelihara ratusan anjing2 galak, sekali jejakmu konangan.
pasti kau bakal menghadapi banyak rintangan.”
“Ucapan Toako memang benar-benar, malam2 Toako kemari entah ada urusan apa?”
“Bukan keperluanku adikku yang mengundang kau kesana, ada omongan yang perlu dikatakan
kepada kau.”
Berdetak jantung Thian-hi, Ma Gwat-sian mencari aku? Malah ada urusan lagi. kelihatannya
urusan yang cukup genting!
Thian-hi terlongong. Ma Bong-hwi mendesak, “Marilah sekarang juga berangkat, dalam istana
tiada pekerjaan penting, malam ini kau menginap dirumahku saja,”
Apa boleh buat Thian-hi segera ganti pakaian, setelah memberi pesan kepada anak buahnya
bersama Ma Bong-hwi naik kuda terus berangkat.
Tiba dipintu gerbang kota, kebetulan bersua dengan Ing-ciangkun. Begitu melihat mereka
berdua Ing Si-kiat segera maju menyapa, “Kiranya saudara Ma dan Tio-lote! Hendak kemana
kalian?”
“Ternyata Ing-ciangkun, Ing-ciangkun selalu berdinas ronda sungguh tidak mengenal lelah,
kami hendak pulang kerumah Ma-ciangkun.”
“Tentu kalian punya urusan penting! Silakan!” segera ia perintahkan membuka pintu. Cepat
Thian-hi berdua mencohgklang kuda keluar. Langsung mereKa menuju ke Bi-seng. ditengah jalan
Ma Bong-hwi menutur bahwa Siau-hou sangat kangen bertemu dengan Thian-hi. Thian-hi tertawa
senang, setelah sampai langsung mereka masuk keruang belakang.
Thian-hi segera menyampaikan salam kepada Ma-hujin serta, menjumpai Siau-hou. Tak lama
kemudian tampak Ma Gwat-sian juga keluar. Setelah bercakap-cakap sekadarnya Ma Bong-hwi
dan istrinya minta diri sambil menyeret Siau-hou masuk ke dalam.
Ma Gwat-sian unjuk senyuman manis, Thian-hi membalas dengan senyuman pula.
Kata Thian-hi, “Kudengar katanya kau punya urusan dengan aku, apa benar-benar?”
“Benar-benar. mungkin bagi kau cukup penting, sebab guruku sudah tahu sebab musabab kau
sembunyi dinegara kecil ini, tak lain untuk menghindari bencana bukan?”
Terkejut Thian-hi, berubah air mukanya, katanya tersekat, “Gurumu….”
“Beberapa hari yang lalu guruku baru pulang dari perjalanannya ke Tionggoan, beliau rada
kurang percaya akan sepak terjangmu dulu, beliau berkata kau bukan orang macam itu. Tetapi
kenyataan kau sembunyi di tempat ini!’
“Adakah orang lain pula yang mengetahui?”
“Kau tak usah gelisah.” ujar Ma Gwat-sian, “Hanya guruku dan aku saja yang tahu. Menurut
guruku hanya ingin mencari tahu dulu, apakah berita itu dapat dipercaya.”

Thian-hi mandah tertawa ewa, seolah-olah ia mendapat firasat apa-apa sampai pada tahap
sekarang agaknya aku tidak usah pedulikan segala tetek bengek lagi. katanya, “Adakah gurumu
membicarakan keadaan di Tionggoan?”
Sekian lama Ma Gwat-sian pandang Thian-hi lalu katanya tertawa, “Situasi di Tionggoan sangat
kalut, katanya banyak gembong-gembong iblis bermunculan membuat huru hara…. Tiada seorang
toKoh kosen dari aliran lurus yang mampu mengatasi gelombang huru hara ini.”
Thian-hi manggut dengan maklum, tahu ia bahwa Kiu-yu-mo-lo sudah lolos, tentu dia bakal
menimbulkan keonaran, entah apakah Tok-sim-sin-mo juga sudah berhasil lolos, kalau dihiturg
waktunya, perjanjian Soat-san-su-gou dengan Bu-bing Loni bakal habis waktunya, entah apakah
beliau bisa mencari dirinya di tempat ini.
“Apakah kau masih punya sanak kadang di Tionggoan?” demikian Ma Gwat-sian main selidik.
“Guruku masih hidup, aku punya seorang taci angkat, entah bagaimana keadaan mereka.”
Ma Gwat-sian menunduk, sesaat kemudian bertanya, “Orang lain adakah yang membuat
hatimu rindu padanya?”
“Memang banyak orang di Tionggoan menyangka aku ini sesuai dengan berita yang tersebar
luas itu, namun banyak pula orang-orang yang menanam budi kepada aku, selamanya hatiku
terkenang dan berterima kasih kepada mereka.” demikian Thian-hi berdiplomasi.
Ma Gwat-sian tertawa, katanya, “Thian-bi-kok ini selamanya melarang orang asing
menyelundup kemari, memang orang luar tidak akan mampu datang kemari. Kalau kau diketahui
datang dari Tionggoan pasti kau akan mengalami kesulitan.”
“Terima kasih akan peringatanmu ini, aku pun terpaksa datang kemari….”
“Asal guruku tidak membuka rahasia ini. selamanya tidak akan ada orang tahu.”
“Kukira tidak lama lagi aku harus meninggalkan tempat ini, kedatanganku ini tidak punya
perhitungan untuk menetap selamanya disini.”
Ma Gwat-sian rada melengak, katanya, “Benar-benar kau hendak pergi?”
“Ya, aku tidak bisa menetap terlalu lama disini. Banyak urusan yang harus kukerjakan di
Tionggoan, tak bisa aku menyembunyikan diri saja disini.”
“Apa kau tidak takut? Apakah kau unggulan melawan mereka?”
“Seumpama tidak unggulan aku juga harus pulang ke sana.”
“Kau tak usah kuatir,” ujar Ma Gwat-sian lirih, “Aku bisa minta guruku bantu kau, asal beliau
mau, kau tentu tak perlu kuatir lagi. Ketahuilah gunung gemunung di belakang Thian-seng yang
bernama Thian-ting itu, banyak bersemajam orang-orang aneh, guruku adalah orang aneh
diantara orang-orang aneh itu.”
“Ada kalanya suatu urusan yang tidak bisa diselesaikan dengan bantuan orang luar, apalagi
gurumu sekarang sedang menyelidiki keadaanku, betapapun tak mungkin membantu, untuk
kebaikan ini, aku terima setulus hati.”

“Sekarang kau tak usah gelisah, segalanya akulah yang mengatur, guruku tidak akan bertindak
terhadap kau.”
“Terima kasih akan kebaikanmu ini.” ujar Thian-hi tertawa dibuat-buat.
“Tak perlu sungkan, bagaimana keadaanmu di istana?”
“Cukup baik!”
“Tadi pagi engkohku mengundang kau kemari, kenapa kau tak mau datang?”
“Aku baru saja terima jabatan, disana ada urusan pula maka tiada senggang kemari.”
“Hun-toako,” ujar Ma Gwat-sian menunduk, suaranya lirih, “Aku merasa….seolah-olah kau
segan bertemu dengan aku!.”
“Tak ada kejadian itu!” cepat Thian-hi menyahut gugup.
“Kau tak usah kelabui aku,” ujar Ma Gwat-sian lirih, “aku sudah tahu! Tapi aku tidak tahu
kenapa kau tak sudi bertemu dengan aku!”
“Mana ada kejadian begitu, hubungan kami seperti saudara sekandung, mana bisa aku tak sudi
bertemu dengan kau!”
Ma Gwat-sian angkat kepaja mengawasi Thian-hi dengan seksama, katanya, “Coba beritahu
aku apakah karena urusan tuan putri, kemarin siang kau keluar pesiar bersama tuan putri,
pulangnya air muka tuan putri rada berbeda dengan keadaan biasanya, hari ini kudengar kabar dia
jatuh sakit lagi! Kenapa?”
Sungguh gugup dan gelisah hati Thian-hi, kata-kata Ma Gwat-sian memang tepat dan sulit
untuk dielakkan, terpaksa ia menjawab, “Tiada kenapa, di atas gunung kami berjumpa dengan
dua ekor biruang yang tinggi besar, dia ketakutan tapi biruang itu berhasil kubunuh.”
“Kukira bukan itu sebabnya, aku tahu watak tuan putri, tak mungkin karena gangguan kedua
ekor biruang itu lantas menjadi murung, kedua ekor biruang itu tak perlu dibuat heran, semestinya
dia perintahkan orang untuk mengangkutnya pulang serta memberikan pujian muluk2 kepada kau,
tapi semua ini tak pernah terjadi.”
“Tapi kami memang benar-benar disergap oleh kedua ekor biruang itu.” Thian-hi meng-ada2
membela diri.
“Jadi kau sudah mengakui bukan karena kedua ekor biruang itu sehingga tuan putri bersikap
dingin dan murung. Pasti ada kejadian lain yang lebih penting lagi, kalau tidak tak mungkin dia
begitu sedih sampai jatuh sakit!”
“Tuan putri adalah putri tunggal Baginda, kelak dialah yang bakal mewarisi kedudukan
ayahnya, ada omongan yang tidak bisa ku utarakan.”
“Beritahu kepadaku,” tiba-tiba Ma Gwat-sian menyela, “Apakah dia. jatuh hati kepada kau?”
Bergetar tubuh Thian-hi, kepalanya terangkat ia mengamati Ma Gwat-sian, katanya, “Kenapa
kau bisa memikirkan ke arah itu?”

“Betul bukan?” ujar Ma Gwat-sian bangkit berdiri sambil tertawa-tawa, “Kudengar dari
engkohku katanya kau pernah bertemu dengan dia dalam istana, tentu sikapnya sangat simpatik
terhadap kau. Kau jauh lebih kuat dan baik dibanding putra Tan-siangkok. Kau dapat menduduki
jabatanmu sekarang sebagai Komandan Gi-lim-kun kukira dia punya andil yang cukup besar.”
Thian-hi menjadi sebal, segera ia mengalihkan pembicaraan, katanya, “Tadi baru saja aku
menyelidiki ke gedung Tan-siangkok. Disana kulihat Ing-ciangkun sedang mengadakan
perundingan rahasia.”
“0,” Ma Gwat-sian mengiakan, katanya, “Mereka sedang berunding cara bagaimana untuk
menghadapi kalian bukan?”
“Akhirnya Tan-siangkok menulis entah apa di atas telapak tangannya, dia tidak membacakan,
jadi akupun tidak tahu apa sebenar-benarnya rencana mereka.” — lalu secara singkat jelas ia
menceritakan pengalamannya kepada Ma Gwat-sian.
Ma Gwat-sian berpikir, katanya, “Kelihatannya mereka sudah mempersiapkan segalanya,
menggunakan kekuatan tentara lagi untuk menghadapi kau dan engkohku. Tentu besok mereka
akan mengadakan Hong-bun-yam (perjamuan) mengundang kalian berdua.”
Thian-hi juga berpikir demikian, namun ia bertanya, “Tapi kenapa menggunakan cara halus dan
mempersiapkan kekuatan lagi?”
“Untuk perjamuan itu kukira mereka sudah mempersiapkan arak beracun, sepihak
menggunakan tipu daya yang licik. dipihak lain sudah mempersiapkan bala tentara, bila rencana
licik terbongkar mereka menggunaKan kekuatan pasukannya untuk menumpas kamu.”
“Kiranya begitu!” ujar Thian-hi bingung.
“Tidak bisa tidak kalian harus hadir dalam perjamuan itu, kalau tidak pergi berarti kalian sudah
secara terang-terangan berdiri dipihak yang berlawanan. Apa-lagi Ing-ciangkun juga pasti hadir,
mungkin pula Toh-ciatsu juga diundang, kalau kalian pergi jangan sekali2 minum arak.
Thian-hi manggut-manggut. katanya, “Mereka menyiapkan tentara, cara bagaimana
mengatasinya?”
“Urusan itu aku tidak tahu dan bukan bidangku, silakan kau tanya engkohku saja. Perjamuan
besok malum itu sangat penting. merupakan titik tolak dari segala keselamatan negara, jangan
sekali2 dihadapi secara serampangan. Selamanya engkohku anggap Ing Si-kiat sebagai sahabat
lama, Ing Si-kiat tidak akan mencelakai jiwanya, tepat pada waktunya harap kau suka menjaga
dan melindungi dia!”
“Sudah tentu aku akan berusaha sekuat tenaga dan kemampuanku betapapun aku pasti
melindungi engkohmu,”
“Tuan putri jatuh sakit, bagaimana menurut maksudmu?”
Melihat Ma Gwat-sian menyinggung persoalan itu pula. Thian-hi tertawa, sahutnya, “Mati atau
hidup besok malam susah diketahui, kenapa membicarakan urusan itu!”
Ma Gwat-sian tersenyum, ujarnya, “Sekarang sudah larut malam, pergilah tidur, besok kau
harus menghadiri Hong-bun-yam itu!” — habis berkata segera ia mengundurkan diri.

Thian-hi berdiri mengantar Ma Gwat-sian, setelah menyendiri terasa hatinya hambar entah
berapa lama ia menjublek ditempatnya. mendadak terbayang raut wajah Ham Gwat, lalu
terbayang pula akan Su Giok-lan, tak lama lagi teringatlah kepada Sutouw Ci-ko, demikian juga
bentuk wajah Ka-yap Cuncia yang welas asih itu terbayang dalam benaknya. Kemana pula jejak
Lam-siau Kongsun Hong sang guru berbudi berkelebat juga dalam otaknya.
Tak lama kemudian didengarnya. langkah kaki mendekat, tampak Ma Bong-hwi mendatangi,
Thian-hi tersentak dari lamunannya, kata Ma Bong-hwi tertawa, “Tadi Gwat-sian sudah
menjelaskan seluruhnya kepada aku sungguh aku hampir tak mau percaya!”
“Tiada jeleknya Toako percaya untuk kali ini. Jikalau Tan-siangkok benar-benar mengadakan
Hong-bun-yam itu, bagaimana Toako hendak menghadapinya?”
“Mengandal Ing Si-kiat, aku tidak perlu takut, kekuatan pasukannya jauh lebih lemah dari aku.
jikalau tidak pulang pada waktu yang ditentukan. diapun takkan bisa hidup lebih lama lagi!”
“Toako hendak menggunakan kekerasan atau cara halus?”
“Gwat-sian minta aku tidak membocorkan rahasia ini. selamanya aku patuh akan nasehatnya.
Demikian juga untuk hal ini, kau sendiri bagaimana pendapatmu?”
“Jika berada dalam gedung Tan-siangkok, bila musuh kuat dan pihak kita lemah, tindakan yang
utama adalah kita harus berdaya untuk meloloskan diri, setelah lolos baru kita pikirkan cara
menghadapinya!”
Ma Bong-hwi tenggelam dalam pikirannya, katanya, “Sedianya aku sudah siap menghantamnya
untuk hancur bersama, sekarang aku menjadi beragu malah, rasanya tiada harganya hancur
bersama mereka, apakah kau punya cara untuk meloloskan diri itu!”
“BUat kita tidak minum arak beracun mereka tidak akan mampu berbuat apa-apa atas diri kita.
Kalau tepat pada waktunya kita belum keluar dari gedung Tan-siangkok, akan kuutus seseorang
menggunakan perintah raja untuk menarik mundur kita berdua secara kilat. Bila mereka sedikit
lena tentu akan terjebak ke dalam tipu daya ini.”
“Ini merupakan salah satu cara. Lebih baik kita bekerja menurut gelagat!”
Begitulah setelah bercakap-cakap sekadarnya. mereka masuk istirahat. Thian-hi mulai berlatih
dan samadi di dalam kamarnya. Ka-yap Cuncia menyuruh aku kemari untuk terlatih Wi-thian-citciat-
sek, sekarang tiga bulan sudah berselang, sedikit pun aku belum memperoleh hasil,
Tionggoan sudah semakin kemelut, bagaimana aku bisa hidup tentram disini.
Lalu dikeluarkan buku pelajaran Wi-thian-citciat-sek, dengan seksama ia memeriksa dan
meneliti meski pun dalam kamarnya. petang gelap, namun gambar2 Wi-thian-cit-ciat-sek itu dapat
dilihat dan dibacanya secara jelas, otaknya bekerja. Tahu-tahu cuaca sudah mulai terang. Pagi2
benar-benar Ma Bong-hwi sudah bangun, Thian-hi pun menyimpan Wi-thian-cit-cia-sek lalu
berangkat ke Thian-seng.
Sebagai komandan Gi-lim-kun yang berkuasa di istana Thian-hi tidak perlu piket setiap pagi,
setelah upacara berakhir. Tan-siangkok melangkah masuk ke dalam kamar kerja Thian-hi sembari
berseri tawa, katanya, “Tio-ciangkun. Tio-ciangkun seorang panglima yang gagah perwira,
merupakan panglima tinggi yang paling muda dan berani dalam sejarah Thian bi-kok kita, hari ini
aku mengadakan perjamuan untuk merajakan pengangkatan Bu-wi Ciangkun, kuundang pula para
pembesar istana. harap kau sendiri tidak menampik untuk hadir dalam perjamuan nanti malam.”

Cepat Thian-hi menjawab, “Siauciang baru saja berkedudukan di istana, Tan-siangkok begitu
tinggi menghargai kami, sungguh kami tidak berani terima.”
Sementara itu Ing Si-kiat juga ikut melangkah maju, katanya, “Tio-lote merupakan tunas
harapan bangsa kita, Tan-siangkok dan aku sering berdebat seru sampai kepala panas, namun
betapapun kita merupakan satu rumpun, satu keluarga dalam satu negara. Malam nanti aku pun
bersedia hadir, demikian juga Ma-ciangkun. sedang Toh-ciatsu menolak. maklum dia sudah tua
dan berpenyakitan lagi. Banyak pula pembesar lain yang akan hadir semua. Harap Tio-ciangkun
tidak menolak.”
Thian-hi tahu, katanya, “Para pembesar semua adalah angkatan yang lebih tua, kalau aku tidak
hadir berarti aku tidak tahu penghargaan, baiklah nanti aku hadir, sebelumnya kunyatakan banyak
terima kasih terlebih dulu kepada Tan-siangkok.”
Tan-siangkok tertawa lebar, katanya, “Tio-ciangkun merupakan tunas harapan kita semua,
masih begitu muda sudah menjabat kedudukan begitu tinggi, kelak pasti punya harapan lebih
tinggi dari kita semua. Tak usah sungkan-sungkan!” lalu dengan berseri tawa bersama Ing Si-kiat
mengundurkan diri.
Ma Bong-hwi lantas melangkah masuk, Thian-hi tersenyum penuh arti, kata Ma Bong-hwi,
“Sungguh tak nyana, ternyata seperti dugaan semula. Baik aku pulang dulu menyiapkan segala
sesuatunya!”
Thian-hi mengantar Ma Bong-hwi sampai di ambang pintu, tak lama kemudian datang seorang
Thaykam memberi lapor bahwa Baginda raja mengundangnya untuk bicara.
Diam-diam bergejolak hati Thian-hi, entah ada urusan apa Baginda mengundang dirinya,
tersama Thaykam itu ia ikut masuk ke dalam istana.
Setelah menyembah kepada Baginda raja, tampak olehnya sang raja sedang murung dan
bersedih. katanya, “Setelah pergi bersama kau tuan putri lantas jatuh sakit tanpa mau bicara,
sebetulnya apa ang telah kalian alami?”
Bercekat hati Thian-hi, sesaat ia menjadi bingung, akhirrja menjawab, “Mungkin hamba yang
kurang becus menjaga tuan putri sehingga beliau ketakutan, kami disergap dua ekor biruang
besar di atas gunung, mungkin saking takut itulah sehingga beliau jatuh sakit.”
Baginda goyang2 tangan, ujarnya, “Tidak mungkin, nyali tuan putri tidak sekecil seperti apa
yang kau katakan, tak mungkin hanya karena urusan sekecil ini menjadi ketakutan dan sakit.
Sejak kecil dia jarang sakit, menurut tabib katanya punya janggalan hati, itulah sakit rindu,
sebetulnya apa yang telah kalian alami lagi?”
“Hamba tidak tahu sebetulnya tiada kejadian lain yang luar biasa.”
Baginda menarik muka, katanya rada gusar, “Apa! Kau tak mau bicara?”
“Apakah tuan putri sekarang sudah siuman?”
“Dia baik-baik saja, hanya tidak mau berkata atau bersuara, selalu terlongong-longong
ngelamun, coba kau bicara terus terang, aku tidak akan salahkan kau.”
“Apakah Baginda dapat mengijjnkan hamba bertemu dengan tuan putri?”

“Kau….” Baginda melengak. Mendadak ia seperti tersadar, dengan seksama ia amat-amati
Thian-hi, sesaat kemudian berkata, “Berapa umurmu sekarang?”
“Hamba berusia dua puluh satu!”
“Apakah kau sudah punya calon jodoh?”
Tergetar jantung Thian-hi, setelah terlongong ia menjawab, “Belum!”
Baginda manggut-manggut tak bicara lagi. Thian-hi pun tidak bersuara lagi, hatinya menjadi
gelisah, pertanyaan Baginda ini merupakan suatu pernyataan yang paling dikuatirkan untuk
diterima. Diam-diam ia berdoa semoga tuan putri dapat menyelami perasaannya.
“Sekarang aku tahu, kau boleh keluar. Urusan ini aku tidak salahkan kau.”
Thian-hi menyembah lalu mundur, sungguh ia tidak bisa melukiskan bagaimana perasaan
hatinya saat itu.
Baru saja cuaca menjadi gelap Tan-siangkok sudah mengirim utusan mengundangnya, sejak
siang Thian-hi sudah berpesan seperlunya kepada anak buahnya, segera ia naik kuda terus
berangkat bersama utusan itu. Gedung Tan-siangkok dihias begitu indah dan megah, ramai luar
biasa, ratusan pembesar2 militer dan sipil sudah hadir, ruang yang besar itu menjadi penuh sesak.
Tak lama kemudian Ma Bong-hwi juga sudah datang, banyak pembesar mengelilingi Thian-hi,
Thian-hi menjadi keripuhan berbagai pertanyaan dan sanjung puji yang berkelebihan, kepala
menjadi pusing, namun dengan tersenyum sedapat mungkin ia layani mereka.
Tan-siangkok menyeruak orang-orang yang merubung itu terus mendekati Thian-hi, katanya,
“Kedatangan Tio-ciangkun sungguh merupakan suatu kehormatan bagi aku orang tua ini.”
“Demi permintaan Siangkok Tayjin, mana Siau-ciang berani tidak hadir. Siangkok Tayjin
mengadakan perjamuan bagi diriku, sungguh membuat aku malu dan terima kasih, budi kebaikan
Siangkok ini sungguh sulit aku membalasnya.”
Tan-siangkok bergelak tawa, ujarnya, “Tio-ciang-kun masih muda ganteng lagi, setiap orang
akan kagum dan memujimu, kalau punya gadis perawan sungguh ingin rasanya kau kuambil
mantu.”
Seluruh hadirin ikut bergelak tawa akan kelakar ini, Thian-hi sendiri menjadi kikuk, diam-diam
hatinya rada dongkol. Tak lupa Tan-siangkok pun sekedar basa basi dengan Ma Bong-hwi,
akhirnya mereka dipersilahkan duduk di kursi teratas. Tan-siangkok sendiri duduk di sebelah kanan
Thian-hi, di sebelah yang lain duduk Ma Bong-hwi.
Setelah seluruh hadirin menempati tempat duduknya masing-masing, tampak serombongan
gadis2 aju membawa poci arak dan cawan berbondong-bondong tersebar ke seluruh ruangan
menyuguhkan hidangan pertama.
Segera Thian-hi berdiri dan berkata kepada Tan-siangkok, “Siangkok, maaf aku tidak bisa
minum arak!”
Tan-siangkok lekas bangun berdiri pula, katanya, “Kenapa Tio-tiiangkun begitu sungkan,
apakah sengaja hendak membuat aku serba runyam!”
“Sebetulnyalah aku pernah berjanji di hadapan ibunda sebelum beliau ajal, selamanya tidak
akan minum arak.” begitulah Thian-hi kemukakan alasannya.

Tan-siangkok menjadi kewalahan, matanya melirik ke arah Ing Si-kiat, segera Ing Si-kiat
bangun serta bertanya kepada Thian-hi, “Waktu ibundamu wafat entah berapa umur Tiociangkun?”
Thian-hi merandek, jawabnya, “Kira-kira empat belas tahun!”
“Nah tatkala itu Tio-ciangkun masih bocah kecil, sudah tentu ibunda Tiong-ciangkun melarang
minum arak, sekarang Tio-ciangkun naik pangkat mendirikan pahala, usia sudah dewasa!”
“Tapi ibundaku….”
“Bagaimana kalau Baginda yang menganugrahi secawan arak?” tanya Ing Si-kiat mendesak.
Thian-hi menjadi bungkam, sebetulnya sengaja ia mengada2 menggunakan pesan ibunya untuk
menolak, tapi pertanyaan Ing Si-kia+ ini membuatnya serba sulit, tidak bisa tidak ia harus minum,
sesaat ia bingung dan berdiri terlongong.
Lekas Ma Bong-hwi bangkit serta menalangi. ujarnya, “Tan-siangkok, Ing-ciangkun sudahlah
kenapa begitu bersitegang leher. Apalagi aku dan Tio-lote sudah melulusi permintaan adikku untuk
tidak minum arak.”
Sesaat Ing Si-kiat tampak melongo, katanya, “Kenapa? Apa Ma-ciangkun juga tidak sudi minum
arak?”
“Pesan adikku tidak bisa tidak harus kupatuhi. Bukankah Ing-ciangkun juga tahu hal ini.”
Apa boleh buat Ing Si-kiat menyeringai sinis. Selamanya Ma Bong-hwi sangat mematuhi setiap
patah kata adiknya memang sudah diketahuinya dengan jelas. Sekarang Ma Bong-hwi bicara
secara gamblang, diapun menjadi kewalahan.
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, segera Tan-siangkok berkata, “Kenapa Maciangkun
tidak sudi minum arakku, apakah curiga dan merasa sirik terhadapku?”
“Ah, Siangkok berkelakar saja!”
“Biasanya aku tak senang mengurus segala urusan tetek bengek dalam keluarga, sehingga
putra anjingku itu suka bersimaharaja di luaran. Tapi hari ini secara langsung biarlah aku mohon
maaf sebesar2nya kepada Ma ciangkun di hadapan sekian orang-orang gagah, apakah Maciangkun
masih tidak sudi mencicipi arakku?”
Melihat orang sudah naik pitam Ma Bong-hwi mandah tersenyum saja, ujarnya, “Mana aku
membenci dan sirik terhadap Siangkok, soalnya aku terpaksa.”
Tan-siangkok memberi isyarat dengan kedipan mata, seorang gadis pelayan segera menuang
arak, tanpa banyak cincong lagi Tan-siangkok segera menyamber cawan arak di hadapan Thian-hi
dan Ma Bong-hwi terus ditenggak habis. Para pembesar militer atau sipil lainnya beramai ikut
angkat cawan dan tenggak habis arak masing-masing.
Tan-siangkok suruh kedua gadis pelayan yang lain menuang lagi dua cawan arak
dipersembahkan kepada Thian-hi dan Ma Bong-hwi. Melihat tingkah laku Tan-siangkok ini semakin
besar curiga Ma Bong-hwi, timbul kewaspadaannya, namun dalam hati ia berpikir: ‘mungkin Thianhi
dan adikku yang banyak curiga, belum lagi mereka jelas duduk perkaranya, mana mereka tahu
bahwa arak ini mengandung racun! Sebaliknya bagi pandangan Thian-hi kelakuan Tan-siangkok

itu malah mempertegas akan keyakinannya atas kelicikan orang. Untuk dirinya tiada halangan ia
minum arak itu, karena Lwekangnya jauh mencukupi untuk menolak segala racun, tapi bagaimana
dangan Ma Bong-hwi, bila dia ikut minum bukan berarti aku pun menyelakai jiwanya?’
Tan-siangkok tertawa lebar katanya sambil angkat cawan, “Para hadirin sekalian, marilah kita
minum menyampaikan selamat kepada Tio-ciangkun.” — lalu ia angsurkan cawannya ke depan
Hun Thian-hi.
Thian-hi pun angkat sebelah tangan, katanya, “Terima kasih akan kebaikan Tan-siangkok,
baiklah dengan tangan kosong ini kuterima pemberian arak ini.” seperti orang menenggak arak
tangannya terangkat ke depan mulutnya lalu mendongak.
Melihat Thian-hi dan Ma Bong-hwi mengukuh tidak mau minum arak, Tan-siangkok dan Ing Sikiat
saling pandang sebentar. Dengan sebuah lirikan beringas Tan-siangkok memberi isyarat,
kedua gadis pelayan itu segera digusur ke belakang.
Bertaut alis Thian-hi, tak tahu ia apa yang akan diperbuat atas kedua gadis pelayan itu. Tapi
dalam hati ia berkata; ‘akan kulihat bagaimana kau akan bertingkah, betapapun hari ini aku
pantang minum setitik arak pun.’
Tak lama kemudian dua laki-laki menyanggah dua nampan perak maju menghadap ke hadapan
Tan-siangkok, di atas nampan perak itu jelas terletak dua kepala kedua gadis pelayan tadi. Saking
terperanjat Thian-hi sampai berjingkrak bangun.
Tan-siangkok berkata, “Kedua pelayan tidak becus tadi sudah kubunuh dan sekarang
kupersembahkan kepada kalian!”
Ma Bong-hwi juga berubah pucat air mukanya.
Dari samping suara Ing-ciangkun berkata lantang, “Tan-siangkok terlalu banyak minum!”
Dengan mengunjuk senyum lebar, Tan-siangkok menggapai dua pelayan lain yang membawa
poci dan cawan pula.
Bab 17
Terkejut hati Thian-hi, kelihatan tangan kedua gadis pelayan itu gemetar dan ketakutan, begitu
dekat salah seorang menuang arak di depan Thian-hi serta berkata bergidik, “Tio-cjangkun!
Silakan minum arak!”
Karena takut dan gemetar arak banyak tumpah di atas meja. Tan-siangkok mandah tersenyum
manis, matanya melirik congkak menyapu pandang ke sekelilingnya. Dua laki-laki berseragam
hijau segera maju menyeret gadis itu, cepat gadis itu berlutut di hadapan Thian-hi serta meratap,
“Tio-ciangkun, tolonglah jiwaku!”
“Nanti dulu!” Thian-hi berjingkrak bangun. matanya menyapu ke seluruh hadirin.
Sikap Tan-siangkok acuh tak acuh, duduk dengan angkernya. Keruan bukan kepalang gusar
Thian-hi. Serunya, “Siangkok Tayjin, apakah boleh pandang mukaku, ampuni jiwanya?”
Tan-siangkok tertawa, katanya, “Apakah Tio-ciangkun benar-benar tidak mau memberi muka?”

Pandangan Hun Thian-hi menyapu keadaan sekelilingnya.
Ing Si-kiat segera bangkit seraya berkata, “Sungguh Tio-ciangkun membuat Tan-siangkok serta
runyam dan kena malu!”
Dilihat oleh Thian-hi air muka Ma Bong-hwi yang geram, seperti tidak tahan sabar lagi, dengan
lirikan matanya ia mencegah orang berbuat gegabah, lalu katanya tersenyum kepada Tansiangkok,
“Kalau Siangkok memaksa terpaksa tak dapat kutolak lagi, namun Ma-ciangkun terang
tak bisa minum, biarlah aku yang mewakili saja, bagaimana menurut pendapat Siangkok?”
Baru saja Tan-siangkok hendak bicara, Ing Si-kiat keburu mendahului, katanya, “Begitupun
baik, ucapan adik perempuan Ma-ciangkun seolah-olah lebih tinggi dari perintah raja bagi dia,
maka Tan-siangko kpun tak perlu memaksanya lagi.”
Sekaligus Thian-hi tenggak habis dua cawan arak, begitu masuk perut terasa perutnya seperti
dibakar, terang itulah arak beracun yang sangat jahat, heran dia kenapa tadi Tan-siangkok bisa
minum, mungkinkah mereka sudah minum obat pemunah sebelumnya.
Melihat sikap Thian-hi yang masih berdiri tegak tanpa bergeming dengan gagah, diam-diam
terkejut hati Ing Si-kiat dan Tan-siangkok, serta merta mereka saling berpandangan.
Menurut perhitungan Ing Si-kiat dia terlalu tinggi menilai ilmu silat Hun Thian-hi, melihat orang
rela mewakili Ma Bong-hwi minum arak, dalam hati ia membatin; hanya meringkus Thian-hi
seorangpun bolehlah, soal Ma Bong-hwi gampang saja dihadapi dengan pasukan pendam yang
sudah dipersiapkan diluar. Siapa kira setelah Hun Thian-hi minum arak itu sedikitpun ia tidak
kurang suatu apa.
Keruan kejut dan gentar hatinya, mungkinkan arak beracun itu tidak mujarab lagi khasiatnya?
Bergegas Tan-siangkok berdiri minta diri ke belakang untuk tukar pakaian, karena gemetar Ing
Si-kiat berlaku kurang hati-hati tangannya menyenggol jatuh sebuah cawan arak. Ma Bong-hwi
melonjak bangun sambil meraba pedangnya, dia siap menghadapi segala kemungkinan. Tapi
kenyataan keadaan tetap tenang tiada terjadi apa-apa. Dengan tajam matanya menyelidik ke
empat penjuru, akhirnya berhenti di muka Ing Si-kiat, katanya tertawa tawar, “Ing-ciangkun
menjatuhkan cawan membuat aku kaget!”
Sudah tentu Ing Si-kiat yang paling kaget dan pucat mukanya, bagaimana mungkin pasukan
sebanyak lima ratus orang yang telah dipersiapkan diluar itu satupun tiada yang muncul, apakah
telah terjadi sesuatu di luar dugaan?”
Dasar licik, sebentar saja dia dapat mengendalikan perasaannya, dengan tersenyum simpul ia
berkata, “Minumku juga terlalu banyak, sebuah cawan saja sampai tak kuasa kupegang.”
Ma Bong-hwi mandah tertawa ejek, hatinyapun heran dan bertanya-tanya, kenapa suasana
masih demikian tenang, sampai dimana tingkat kepandaian ilmu silat Ing Si-kiat ia tahu jelas,
takkan mungkin sebuah cawan saja tak kuasa memegangnya, apalagi arak yang diminumnya tidak
banyak, tak mungkin kena mabuk, tapi kenyataan pasukan terpendam itupun tidak muncul.
Begitulah hatinya bertanya-tanya, dia pun heran apakah arak yang diminum itu beracun? Tansiangkok
sendiri tidak kurang suatu apa, demikian juga Hun Than-hi tetap segar bugar, sungguh
hatinya bingung dan tak mengerti.
Demikian juga hati Thian-hi dirundung rasa heran yang sama, kenapa pasukan pendam yang
dipersiapkan itu tidak muncul menyerbu. Tengah ia bertanya-tanya dalam hati, tampak seseorang

pengawal yang mengenakan seragam Busu serba merah muncul langsung menghadap ke depan
Thian-hi, “Lapor komandan, sekarang juga Baginda raja ingin bertemu dengan Komandan dan Maciangkun,
diperintahkan untuk segera menghadap!”
Thian-hi bersama Ma Bong-hwi lantas berdiri, katanya kepada Ing Si-kiat, “Perintah Baginda
memanggil, terpaksa kami tak bisa tinggal lebih lanjut, harap Ing-ciangkun mewakili kami mohon
diri kepada Tan-siangkok.”
Habis berkata angkat tangan menjura lalu melangkah lebar keluar, dengan hambar dan
terlongong Ing Si-kiat berdiri di tempatnya, sesaat lamanya mulutnya terbungkam tak kuasa
bicara…. Bagaimana ia harus bertindak selanjutnya, mau menahan orang terang dirinya tidak
mampu, kalau membiarkan mereka berdua pulang, bak umpama membiarkan harimau kembali
kesarangnya. Kejadian hari ini betapa pun harus dirahasiakan. Bila besok pagi waktu piket
dihadapan Baginda Ma Bong-hwi membeber intrik kejahatan ini, Tan-siangkok sendiripun takkan
terhindar dari bencana….
Begitulah waktu ia mendongak lagi, Thian-hi berdua sudah pergi jauh, tersipu-sipu ia memburu
keluar dan memeriksa ke empat penjuru, tampak olehnya kelima ratus tentara pendamnya yang
bersenjata lengkap itu semua rebah di tanah, sebagai seorang ahli silat sekali pandang saja lantas
dia tahu duduk perkaranya, ternyata seluruh pasukan pendamnya telah tertutuk jalan darah
penidurnya, keruan kejut dan murka pula hatinya, darimana datangnya tokoh kosen yang telah
menggagalkan rencananya, merobohkan lima ratus pasukan pendamnya tanpa mengeluarkan
sedikit suarapun, sungguh lihay dan tinggi kepandaian tokoh silat itu.
Sekonyong-konyong tersentak sanubarinya, pikirnya mungkinkah semua ini hasil berpuatan Buwi
Ciangkun Tio Gun itu? Sekujur badannya menjadi basah oleh keringat dingin, arak beracun
dipandangnya minuman nikmat yang menyegarkan badan, betapa tinggi lwekangnya sungguh tak
berani dibayangkan. Semakin pikir Ing Si-kiat menjadi semakin takut, mengandal ilmu silat Hun
Thian-hi yang begitu menakjupkan itu, bila mau memenggal kepala mereka rasanya segampang
mengambil barang di dalam kantong bajunya sendiri.
Sementara itu, begitu keluar dari gedung Tan-siangkok langsung Thian-hi berdua naik kuda
terus dibedal ke depan cepat-cepat, setelah di perjalanan, Thian-hi ulapkan tangan, lari kuda
diperlambat, segera ia kerahkan tenaga mendesak arak beracun itu keluar dari perutnya. Begitu
arak itu menyemprot di tanah, rumput sekitarnya yang kecipratan arak itu kontan menjadi kuning
terbakar.
Diam-diam bercekat hati Ma Bong-hwi, begitu jahat arak beracun ini, namun lebih kagum lagi
akan kekuatan Thian-hi yang bisa bertahan lama mengendom arak beracun dalam perutnya.
Setelah mengeluarkan arak beracun, badan Thian-hi terasa lemas dan kesal, batinnya; jahat
benar-benar arak beracun ini.
Melihat keadaan temannya itu Ma Bong-hwi segera berkata, “Lote, lebih baik malam ini kau
menginap dirumahku saja!”
Thian-hi tertawa-tawa, katanya, “Badanku masih cukup kuat, mungkin Baginda ada urusan
dengan aku, aku harus berada di tempat tugasku.”
Begitulah akhirnya mereka berpisah ditengah jalan, Thian-hi langsung pulang keistana. Dalam
hati selalu ia heran dan bertanya-tanya kenapa pasukan pendam Ing Si-kiat tidak muncul. Begitu
memasuki kamarnya, tampak di atas mejanya terletak secarik kertas. dimana tertulis, “Besok
tengah malam, bertemu dipuncak Thian-ting datanglah dan jangan membangkang!” — surat ini
tidak dibubuhi tanda tangan, hanya tergambar sepasang pedang.

Berkerut alis Thian-hi. pikirnya, aku belum ada kenalan di tempat ini, darimana orang ini bisa
mengundang aku untuk bertemu muka, tanda sepasang pedang ini entah apa pula maksudnya,
mungkin merupakan julukan seseorang.
Begitulan hati Thian-hi menjadi gundah, mau pergi atau tidak. kalau orang itu bisa keluar
masuk dalam istana dan meninggalkan secarik kertas ini di atas meja, ilmu silatnya tentu tidak
lemah, tapi apa tujuannya dia mengundang aku?
Tengah Thian-hi terpekur, seorang Gi-lim-kun beranjak masuk, lapornya, “Baginda minta Tiociangkun
segera menghadap diistana!”
Thian-hi rada melengak, sembari menyimpan kertas itu ia mengiakan terus melangkah tersipusipu
menuju keistana raja.
Setelah Thian-hi melakukan sembah sujudnya segera Baginda berkata kepadanya, “Apa kau
tahu cara bagaimana sehingga kau dapat memangku jabatan Komandan Gi-lim-kun ini.”
Berdetak jantung Thian-hi, sahutnya, “Sebetulnya hamba masih banyak kekurangan, semua itu
berkat budi dan anugrah Baginda raja.”
Baginda menggeleng pelan-pelan, ujarnya, “Tidak! Menurut maksudku semula hendak kuangkat
kau sebagai wakil Ma Bong-hwi, namun tuan putri sangat simpatik terhadap kau, katanya jabatan
komandan Gi-lim-kun masih kosong, kaulah yang paling cocok mendudukinya!”
Thian-hi bungkam, Ma Gwat-sian ternyata menebak betul. Kiranya memang maksud hati tuan
putri yang mencalonkan dirinya pada kedudukan sekarang ini.
Dengan lesu Baginda menghela napas, katanya, “Apa kau tahu kenapa aku tidak mengusut
lebih lanjut perkara hilangnya benda-benda mestika itu?”
“Hamba tidak tahu!”
“Begitu melihat situasi dan keadaan selama ini lantas aku maklum, tujuan orang itu bukan
melulu mencuri barang-barang mestika itu, para pembesar dalam lingkungan istana saling
berebutan pegang kuasa, aku menjadi pusing dan tak mau urus mereka lagi!” — Selesai bicara, ia
menunduk dengan lemas lunglai. hatinya tampak sangat sedih dan murung.
Sungguh haru dan tergugah perasaan Thian-hi, Baginda raja ini kiranya bukanlah raja lalim
yang begitu ceroboh seperti dugaan mereka semula. Bagi seorang raja, ternyata setiap hari setiap
saat dirundung kerisauan hati yang memuncak. Memang kalau dia mengusut perkara ini labjh
lanjut, pasti selurah negara bakal terjadi keonaran besar.
Terdengar Baginda berkata lagi, “Tuan putri adalah anakku satu-satunya, aku mengharap dia
baik, tanpa dia mau bilang akupun tahu perasaannya. Selamanya dia pasti dapat memperoleh
barang apa saja yang diinginkan, ternyata sekarang dia tidak sudi mendesak dan memaksa pada
kau, aku sendiri aku pun tidak akan paksa kau. kalau mungkin saja, kuharap kau tidak menyianyiakan
harapannya yang suci.”
Thian-hi tunduk semakin dalam tanpa buka suara.
Setelah menghela napas. Baginda berkata pula, “Cara bicaraku ini tiada perbedaan antara raja
atau pembesar lagi, aku bicara sebagai orang tuanya!”

“Baginda,” kata Thian-hi sambil angkat kepala, “Apakah kau tahu asal usulku?”
Dengan seksama Baginda pandang mata Thian-hi. katanya, “Aku sendiri kurang jelas, tapi aku
tahu bahwa kau adik angkat Ma Bong-hwi, dan yang terpenting aku percaya penuh kepada kau!”
“Nama asliku bukan Tio Gun, yang benar-benar aku bernama Hun Thian-hi, aku juga bukan
rakjat dari Thian-bi-kok ini, aku menyelundup datang dari Tionggoan.”
Terkejut Baginda, “Apa?” serunya berjingkrak bangun.
Thian-hi menunduk lagi, sahutnya, “Aku tahu akibat apa setelah aku menjelaskan asal usulku,
tapi sekarang aku terpaksa harus bicara terus terang. tak lama lagi aku harus kembali ke
Tionggoan.”
Baginda pandang Thian-hi lekat-lekat, sesaat lamanya bungkam dan duduk kembali, katanya,
“Kau cukup jujur. Bagi orang yang menyelundup ke Thian-bi-kok ini hukumannya adalah penggal
kepala, betapa pun tinggi kepandaian silatmu, puncak Thian-ting sana tidak kurang tokoh-tokoh
kosen yang mampu meringkus kau. Rahasia ini hanya aku saja yang tahu, jangan kau katakan
kepada orang lain!”
“Terima kasih akan budi dan keluhuran Baginda!”
“Dikala kita bersemajam bersama, aku tidak mau kau bicara begitu rupa, aku simpatik akan
sikapmu yang perwira dan pambekmu yang tinggi. Kuduga tuan putri pasti ketarik juga akan
sifat2mu ini!”
Thian-hi tidak bicara, dalam hati ia sangat bersyukur akan kemurahan hati Baginda. Sejenak
merandek, Baginda meneruskan, “Sebelum kau pulang meninggalkan kami, apakah kau sudi tetap
tinggal di istana saja?”
“Dengan senang hati hamba akan tetap tinggal dan menunaikan tugas sekuat tenaga.”
“Apa kau mau bertemu dengan tuan putri?”
Thian-hi sangsi sebentar, akhirnya manggut-manggut.
Baginda segera bangkit membawa Thian-hi masuk ke istana keputrian. waktu mereka
memasuki sebuah kamar tidur yang besar, para dayang segera menyingkir minggir serta memberi
sembah hormat. Di tengah sebelah pojok dinding sana terletak sebuah ranjang, disanalah tuan
putri rebah, wajahnya kelihatan pucat dan rada kurus, kedua biji matanya terpejam, kelihatannya
sedang tidur nyenyak.
Baginda menghela napas ringan, ujarnya, “Dia tidur nyenyak, mari kembali keluar saja!”
Mendadak tuan putri membuka biji matanya, sekilas pandang dilihatnya Thian-hi berada di situ
dengan kaget tersipu-sipu ia berusaha bangun duduk dengan sikut menahan badannya, kedua
matanya terbelalak besar, serunya, “Kau….”
Cepat Thian-hi membungkuk memberi hormat, sapanya, “Tio Gun memberi hormat pada tuan
putri, semoga tuan putri lekas sembuh dan sehat walafiat!”
Baginda bergegas maju mendekat, sekian lama tuan putri terlongong memandangi Thian-hi,
akhirnya dengan rasa hambar ia lepaskan topangan tangannya, badannya rebah lagi dengan lesu.

Thian-hi menunduk, diam-diam dalam hatinya ia mencercah diri sendiri, “Apakah harus aku
kemari menemui dia? Tetapi tinggal di istana belum tentu lantas benar-benar, pengalaman yang
kuhadapi di Thian-bi-kok ini sungguh belum pernah terbayangkan sebelumnya.”
Sementara itu Baginda sudah dipinggir ranjang, tuan putri masih terlongong bungkam, Baginda
menjadi rawan dan menghela napas, ujarnya, “Ih-ji….jangan kau membuat aku bersedih hati!”
Kelopak mata tuan putri mengembeng air mata, sesaat kemudian baru bersuara dengan
sesenggukkan, “Hanya hatiku saja yang rasanya kurang enak, sebentar saja tentu sudah baik, aku
tidak apa-apa, ayah tidak perlu bersedih!”
“Dia memang benar-benar, tak lama lagi dia akan segera kembali ke Tionggoan, untuk kau dia
kurang cocok!”
Tuan putri termangu-mangu, sesaat lamanya baru tersenyum dan berkata, “Aku tidak akan
salahkan dia!”
Dengan mengembeng air mata Baginda manggut-manggut, katanya, “Aku hanya punya
seorang putri, kau tahu aku tidak bisa kehilangan kau!”
Thian-hi tahu dirinya tidak enak tinggal terlalu lama di tempat itu, secara diam-diam ia mundur
keluar terus kembali ke tempatnya sendiri. Dalam hati ia berpikir Wi-thian-cit-ciat-sek belum lagi
sempurna, bagaimana juga aku jangan menyia-nyiakan waktu untuk berlatih, maka malam itu
semalam suntuk ia tekun dan lebih giat mempelajari Wi-thian-cit-cit-sek.
Hari kedua setelah selesai piket Ma Bong-hwi datang, Thian-hi lantas bertanya soal tanda
sepasang pedang itu merupakan julukan siapa?
Dengan heran Ma Bong-hwi berkata, “Apa Thian-bi-siang-kiam juga tidak kau kenal?”
Melihat sikap Ma Bong-hwi ini bercekat hati Thian-hi, mungkin Thian-bi-siang-kiam itu
merupakan tokoh aneh yang berkepandaian sangat tinggi, namun sediki tpun aku tidak tahu,
jangan sampai aku memperlihatkan kebodohanku ini. Maka segera ia menjawab tak acuh,
“Selamanya aku tidak tahu akan seluk beluk hal ini!”
Ma Bong-hwi mengawasinya dengan pandangan tidak percaya, serunya, “Apa! Jadi mereka
mencari dirimu?”
Thian-hi mandah tertawa-tawa tanpa bersuara lagi. “Ini bukan soal main-main, mereka berdua
mengasingkan diri di Thian-ting, kecuali urusan yang sangat besar selamanya mereka segan turut
campur menguruS segala tetek bengek, bila benar-benar mereka mencari kau, jelas kau bakal
menemui kesulitan, bila urusan baik itulah tak menjadi soal, kalau urusan buruk, kukuatir….”
“Tiada apa-apa, aku hanya bertanya sambil lalu saja,” tukas Thian-hi.
Ma Bong-hwi tidak percaya, katanya, “Dalam istana tiada tugas yang penting, mari kau ikut
pulang ke rumahku, hanya adikku saja yang rasanya dapat mengorek keteranganmu, terhadap
aku agaknya kau tidak sudi bicara blak2-an!”
Thian-hi menampik dengan alasan, namun Ma Bong-hwi memaksa dan menariknya keluar, apa
boleh buat terpaksa Thian-hi ikut pergi.

Setelah sampai di rumahnya Ma Bong-hwi suruh Thian-hi duduk menunggu di ruang tamu,
tersipu-sipu ia masuk memanggil Ma Gwat-sian, tak lama kemudian tampak mereka keluar sambil
bicara.
Melihat Ma Gwat-sian keluar Thian-hi lantas bangkit dan menyapa, “Toa-moaycu, kau baik?”
Ma Gwat-sian tersenyum, katanya sambil duduk, “Apakah Thian-bi-siang-kiam mencari kau?”
Dengan kikuk Thian-hi manggut-manggut, seolah-olah dihadapan Ma Gwat-sian sedikit pun ia
tidak berani membual, daya pikir dan analisa Ma Gwat-sian membuat dia sulit untuk bohong di
hadapannya.
Ma Gwat-sian tertawa geli, Ma Bong-hwi segera menyeletuk, “Nah apa aku bilang? Setiap kali
kau bertemu dia seperti tikus melihat kucing!”
Benak Thian-hi dan Ma Gwat-sian bergetar bersama, sekilas mereka saling beradu pandang,
otaknya lantas membayangkan pikiran sendiri, tanpa bersuara.
Akhirnya Ma Gwat-sian tertawa, katanya, “Menurut dugaanku mungkin karena kedua biruang
itulah sebabnya!”
“Biruang?”
“Apakah yang sedang kalian perbincangkan, apa boleh dijelaskan kepada aku?” Ma Bong-hwi
menukas.
“Soal ini tak ada sangkut paut dengan kau, maka kaupun tidak perlu banyak tanya!” sahut Ma
Gwat-sian.
Ma Bong-hwi menghela napas, ujarnya, “Begitulah aku yang menjadi engkoh ini, setiap urusan
selalu harus dengar ucapan adik! Baiklah aku menyingkir saja supaya tidak mengganggu keasjikan
kalian bicara!” ia bangkit terus tinggal pergi sambil tertawa lebar.
Merah jengah selebar muka Ma Gwat-sian, katanya tersenyum manis, “Sebagai seorang pejabat
tinggi engkohku bicara terlalu bebas!”
Thian-hi juga tertawa, katanya, “Mungkin sekedar kelakarnya saja untuk menyenangkan hati
belaka!”
Sejenak mereka berdiam diri, lalu Ma Gwat-sian berkata, “Apakah benar-benar kau gunakan
tenaga dalam untuk memukul mati kedua biruang itu!”
Thian-hi manggut-manggut. Tatkala itu dia sudah punya pikiran bila hal ini diketahui orang lain
pasti bakal menimbulkan buntut perkara yang menyulitkan dirinya, sayang waktu itu dia tidak
memendam saja kedua ekor biruang itu, sekarang menyesalpun sudah kasep.
Kata Ma Gwat-sian, “Thian-bi-siang-kiam pasti sudah tahu bahwa orang yang membunuh kedua
ekor biruang itu tentu kau adanya. Lwekang mereka sangat tinggi, mungkin kau bukan tandingan
mereka. Tapi sebagai Bu-wi Ciangkun tentu mereka tidak berani berlaku kasar terhadapmu, yang
penting hanya mencari tahu asal usul perguruanmu saja.”
Thian-hi tenggelam dalam pikirannya, tanyanya, “Orang macam apakah sebenar-benarnya
Thian-bi-siang-kiam itu?”

“Kalau kau tidak tahu bila ketemu mereka mungkin lantas dapat diketahui asal usulmu, bahwa
kau
bukan warga Thian-bi-kok asli, dalam wilajah Thian-bi-kok ini tua muda laki perempuan tiada
seorang pun yang tidak kenal akan kebesaran nama Thian-bi-siang-kiam!”
Bercekat hati Thian-hi; ‘untung hari ini aku kemari, kalau tidak kesulitan bakal lebih besar
kuhadapi!’
Setelah merandek Ma Gwat-sian melanjutkan, “Mereka bernama Giok-hou-sian dan Pek-bi-siu.
Sepuluh tahun yang lalu, dari Tionggoan ada serombongan gembong-gembong iblis yang
menyelundup kemari segera mereka yang tampil ke depan membunuh seluruh gembong-gembong
iblis itu. Maka seluruh rakjak Thian-bi-kok tiada yang tidak kenal ketenaran mereka.”
Thian-hi lantas membatin, “Thian-bi-siang-kiam ini pasti bertangan gapah dan kejam, yang
jelas ilmu silat mereka pasti sangat lihay!”
Sekian lamanya mereka tenggelam lagi ke alam pikiran masing-masing, akhirnya Ma Gwat-sian
menunduk serta bicara kalem, “Hun-toako, apakah benar-benar kau rada takut terhadapku seperti
yang dikatakan oleh engkohku itu? Terhadap urusan orang lain aku dapat meraba dan
memberikan pandanganku, namun serta menghadapi urusan yang melibatkan diriku sendiri, hatiku
menjadi bingung dan kehilangan akal sehatku!”
Thian-hi tertawa, katanya, “Sebetulnya aku sangat kagum pada kau, kau benar-benar seorang
cerdik pandai!”
“Kata Ma Gwat-sian, “Guruku sudah pergi lagi, entah kapan beliau baru akan pulang. Bila beliau
ada disini, mungkin aku bisa minta pertolongannya. Bolek dikatakan guruku merupakan tokoh
paling aneh di seluruh negeri kecil ini, ada beliau yang tampil ke depan, urusan sebesar
gunungpun akan dibikin beres segampang membalikkan tangan.”
Thian-hi tertawa seraya menyatakan terima kasih, katanya, “Ini menyangkut urusanku sendiri
tak enak kalau gurumu ikut campur, apalagi gurumu sedang pergi, mungkin sedang menyelidiki
persoalanku di Tionggoan!”
Ma Gwat-sian mengawasi Thian-hi lekat-lekat, katanya, “Guruku menyuruh aku jangan terlalu
dekat dengan kau, katanya waktu berada di Tionggoan kau dijuluki Leng-bin-mo-sin, sedang kau
sendiri kau memang berwatak tinggi hati ya bukan?”
“Benar-benar,” Thian-hi mengakui, “Dikala gurumu pulang, saat itulah bencana bakal menimpa
diriku. Sebelum kemari guruku pemah berpesan supaya aku tidak menunjukkan ilmu silatku, atau
sebaliknya aku bakal ketimpa bahaya besar!”
“Kalau begitu jadi gurumu juga seorang tokoh aneh yang tinggi kepandaiannya, apalagi cara
bagaimana beliau bisa mengetahui adanya tempat terasing ini?”
Thian-hi geleng-geleng kepala sembari tertawa tanpa buka suara.
“Ketahuilah guruku seorang yang cukup bijaksana dan mengenal aturan, bila kau tidak
melakukan perbuatan yang tercela kau tidak perlu takut terhaday beliau, dia tidak akan
sembarangan turun tangan tanpa alasan, apalagi….apalagi aku bisa mohon pengampunan pada
beliau.”

“Aku sendiri tidak merasa takut, sudah sering aku kebentur urusan yang menyulitkan diriku,
aku sendiri juga bisa mengakui akan julukan Leng-bin-mo-sin itu, julukan ini memang cukup
menakutkan bukan?”
Ma Gwat-sian termangu-mangu, agak lama kemudian mendadak bertanya, “Hun-toako, apa kau
sudi beritahu lebih banyak tentang dirimu kepada aku?”
Thian-hi beragu sesaat lamanya, ujarnya, “Sekarang aku belum bisa bicara, bila kukatakan
seakan-akan memberi bahan kepada kau untuk minta pengampunan terhadap gurumu, lebih baik
setelah gurumu memberitahu kepada kau baru akan kujelaskan, begitu lebih jelas lebih baik!”
“Selalu aku merasa sikapmu terlalu congkak, apa kau merasa akan hal ini?”
“Selamanya aku pantang meminta2 kepada orang lain, pernah aku mengalami pahit getir yang
mengenaskan, toh aku tidak pernah mendapat simpatik dan belas kasihan orang lain!” — teringat
olehnya peristiwa di Giok-bun-koan dimana dia berhadapan secara langsung dengan Situa Pelita,
yang dia minta dan pengampunan bukan untuk dirinya, tapi demi hidup Sutouw Ci-ko, saudari
angkatnya itu!
“Aku tahu akan watakmu ini! Cara bagaimana kau akan menghadapi Thian-bi-siang-kiam nanti
malam?”
“Aku sendiri belum tahu apa tujuan mereka mencari aku, mana bisa aku ambil kepastian?”
“Watak mereka juga sangat takabur dan tinggi hati, kecuali guruku selamanya tidak mau
tunduk pada orang lain, mereka tentu akan menanyakan perguruanmu, dan kau tentu sulit untuk
menerangkan. Urusan ini tentu sulit diselesaikan secara damai.”
“Kalau begitu aku menjadi tak berminat untuk kesana!”
“Kau harus pergi, kalau tidak mereka tentu akan mencari kau. Dengan kehadiranmu disana
malah mempelihatkan jiwa ksatriamu, kau bisa membawa sikapmu yang sombong tapi jangan
keterlaluan, atau mereka tidak akan memberi angin kepada kau, jiwa mereka rada sempit!”
“Terima Kasih akan nasehatmu ini, tiba pada waktunya tentu akan berbuat seperti apa yang
kau katakan!”
“Aku pernah dengar kau mengajar meniup seruling kepada Siau-hou, tiupan seruling yang
merdu itupun pernah kudengar juga, namun kau belum pernah mempelajari intisari keindahan
seninya. Bila kau mempelajari Tay-seng-ci-lau segala persoalan tentu bisa dibereskan.”
Thian-hi tertawa-tawa tanpa bersuara.
Ma Gwat-sian melanjutkan, “Guruku pantang pandangan subjektif, kesan beliau akan sepak
terjangmu selama berada di Thian-bi-kok ini sangat baik, namun soal urusanmu di Tionggoan rada
kurang dapat menerimanya, bila kesannya terhadapmu baik mungkin beliau bisa menurunkan ilmu
Tay-seng-ci-lau kepada kau, pada waktu itu kau akan menjadi seorang tokoh tanpa tandingan di
seluruh jagad!”
“Beliau belum lagi pulang, dari mana kau bisa tahu? Jangan kecewa dan berputus asa!”
“Bahwasanya kau sendiri juga paham akan persoalan inj, kenapa kau ngapusi dirimu?”

Kecut perasaan Ma Gwat-sian, dengan mendelu ia menundukkan kepala. Sebetulnya dia sendiri
tahu akibat apa yang bakal terjadi, namun sungguh aneh dan heran kenapa selalu ia berpikiranke
arah yang baik, menurut anggapannya Hun Thian-hi pasti bisa merubah haluan dari sesat
menuju kejalan benar-benar, sehingga dia mau sembunyi di tempat ini. Bila gurunya pulang dan
mengetahui liku2 hidupnya tentu Hun Thian-hi bakal mendapat hukuman yang setimpal apakah
adil sikap dan keputusan demikian ini?
Lama dan lama sekali Ma Gwat-sian menepekur. tiada memperoleh jawaban cara bagaimana ia
harus membantu Hun Thian-hi, kecuali ia turunkan ilmu Tay-seng-ci-lau kepadanya, tapi dia tidak
berani, karena bila dia mengajarkan ilmu hebat itu akan membuat gurunya lebih murka lagi,
mungkin Hun Thian-hi akan menerima akibat yang lebih berat.
Entah berapa lama mereka berdiam diri, tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. Tahutahu
Ma Bong-hwi berjalan mendatangi. serunya, “Kalian sudah selesai bicara belum?”
Hun Thian-hi tersipu-sipu bangun, Ma Siau-hou memburu kehadapannya, serunya, “Guru!
Jangan kau pulang keistana lagi, lebih baik tinggal dirumahku saja, ajarkan aku meniup seruling!”
“Siau-hou sendiri bisa belajar! Aku tiada tempo lagi, kelak bila ada waktu pelan-pelan kuajarkan
kepada kau!”
“Siau-hou selalu terkenang pada kau, tahu bahwa kau pun pandai main silat, diapun ingin
berguru kepadamu!” demikian ujar Ma Bong-hwi.
“Guru,” seru Ma Siau-hou mendongak. “Kapan kau tinggal lagi dirumah kami?”
Hun Thian-hi tertawa, sulit untuk memberi jawaban.
“Siau-hou,” kata Ma Bong-hwi. “Gurumu sangat repot. lekas kau masuk membantu ibumu!”
Siau-hou menarik tangan Thian-hi dan tak mau pergi, sesaat ia celingukan memandang Ma
Gwat-sian, lalu katanya nakal, “Aku tahu!”
“Bocah kecil Kau tahu apa?” tanya Ma Bong-hwi.
Ma Siau-hou berlari masuk, serunya, “Ajah berkata pada ibu katanya pak guru sedang
berkencan dengan Bibi. mungkin pak guru hendak menikah dengan bibi. setelah menikah tentu
pindah tinggal disini!”
Keruan merah malu muka Ma Gwat-sian, demikian juga Thjan-hi menjadi kikuk dan geli. Ma
Bong-hwi segera membentak dan suruh anaknya pergi.
Ma Gwat-sian lantas minta diri kembali ke kamarnya. Thian-hi juga minta diri kepada Ma Bonghwi.
Setiap kali ia selalu mendapatkan Thian-hi bicara dengan Gwat-sian di belakang orang lain,
diam-diam ia girang hatinya, pikirnya: ‘kelak Thian-hi pasti bakal menjadi iparku.’
Cuaca sudah gelap, dengan tetap mengenakan pakaian seragam kebesaran Thian-hi naik kuda
terus dicongklang menuju ke Thian-ting. Sepanjang jalan hatinya menerawang cara untuk
menghadapi mereka, supaya urusan ini tidak berlarut dan membawa akibat yang buruk, terpikir
pula olehnya bahwa sebelum guru Ma Gwat-sian pulang ia harus sudah menyelesaikan pelajaran
Wi-thian-cit-ciat-sek, seumpama terjadi sesuatu diluar dugaan, dengan mudah ia bisa tinggal pergi
dengan cepat.

Tak lama kemudian ia sudah tiba dipegunungan Thian-ting. langsung ia bedal kudanya manjat
ke atas, alam pegunungan gelap gulita, pekik burung malam sebangsa kokok-beluk saling
bersahutan membuat suasana sunyi di pegunungan bertambah seram.
Jalan pegunungan semakin lelak lekuk, akhirnya kudanya tak kuasa lagi berjalan, terpaksa
Thian-hi tinggalkan kudanya, meski pun latihan Lwekang Thian-hi belum mencapai puncak
kesempurnaan, namun boleh dikata sudah cukup ampuh dan hebat.
Segera ia empos semangat dan menarik napas, cukup mengerahkan lima bagian tenaganya.
tubuhnya lantas meluncur naik laksana roket menembus angkasa, ringan sekali setiap kakinya
menutul tanah badannya lantas mumbul pesat kepuncak gunung. Setiba dipuncak tertinggi
keadaan hening lelap, tiada kelihatan bayangan seorang pun, angin malam di atas pegunungan
mengbembus kencang menderu dipinggir telinga, namun sebagai seorang ahli silat yang
berkepandaian tinggi sedikitpun Thian-hi tidak terganggu oleh keadaan alam yang ribut ini.
Tak lama ia menanti sambil celingak-celinguk tampak di bawah sana dua titik putih kecii sedang
meluncur mendatangi dengan pesat. Tahu dia itulah Thian-bi-siang-kiam. Sejap lain Thian-bisiang-
kiam sudah hinggap di pucak gunung. Sambil tersenyum lebar Thian-hi awasi mereka satu
persatu.
Kelihatan kedua pendatang ini orang-orang yang berpakaian aneh dan sudah lanjut usia, yang
satu rambut dan jenggotnya sudah ubanan namun seorang yang lain rada lucu, rambut dan
jenggotnya ternyata tetap menghitam, punggung mereka memanggul pedang panjang, sekali
pandang saja lantas dapat diketahui yang berambut ubanan itulah Pek-bi-siu dan seorang lain
sudah tentu Giok-hou-sian adanya.
Sementara itu dengan seksama mereka berdua juga tengah mengamati Thian-hi, segera Thianhi
maju selangkah serta menjura, sapanya, “Wanpwe Tio Gun, sesuai dengan Undangan kedua
Cianpwe kemari, entah ada petunjuk apakah para Cianpwe?”
Pek-bi-siu tertawa, katanya, “Hanya ketarik dan heran saja kita mengundang Tio-ciangkun
kemari, ada beberapa omongan ingin kami tanyakan kepada Tio-ciangkun.”
Giok-hou-sian menimbrung bicara, “Dalam Thian-bi-kok mendadak muncul seorang tokoh kosen
yang lihay, kami merasa sangat heran dan kejut, maka kami merasa ketarik!”
“Sebetulnyalah Wanpwe bukan seorang kosen apa segala, ilmu silat aku hanya belajar secara
sambil lalu dan cakar kucing belaka, bila Cianpwe berdua begitu memuji, sungguh Wanpwe
merasa sangat malu!” demikian Thian-hi merendah.
Pek-bi-siu tertawa lebar, kelihatannya ia simpatik akan sikap Thian-hi yang merendah diri dan
tahu tata kehormatan, katanya, “Tio-ciangkun, setelah melihat biruang yang kau bunuh dengan
pukulanmu itu, meskipun harus kau tambahi dengan sebuah tusukan pedang lagi, namun
Lwekangmu yang hebat itu sungguh jarang kami lihat selama ini. Entahlah apakah Tio-ciangkun
sudi beritahu kepada kami siapakah gurumu yang mulia?”
Thian-hi tersenyum, sahutnya, “Sebetulnya tusukan pedangku itulah yang tepat mengenai
sasarannya, tiada yang perlu dibanggakan.”’
Melihat Thian-hi bicara menyimpang tidak mau menyinggung gurunya, Giok-hou-sian tidak
sabar dan mendesak, “Siapakah sebenar-benarnya guru Tio-ciangkun….”
“0,” Thian-hi seperti tersentak sadar, sahutnya, “Pelajaranku ini kuperoleh dari sebuah buku
saja!”

“Jadi Tio-ciangkun belajar sendiri?” tanya Pek bi-siu menegas.
Sudah tentu Thian-hi tak leluasa menyebut nama gurunya Lam-siau atau menyinggung
kebesaran Ka-yap Cuncia terpaksa ia manggut-manggut membenar-benarkan.
Terangkat alis Giok-hou-sian, tampak mukanya merengut berang, katanya, “Dinilai dari usiamu
mungkinkah kau belajar sendiri dapat memperoleh tingkat kepandaian yang begitu tinggi?”
“Secara kebetulan aku memperoleh rejeki, aku pernah memakan Kiu-thian-cu-ko!”
Thian-bi-siang-kiam saling pandang, tanya Pek-bi-siu, “Di tempat mana kau dapat?”
Thian-hi beragu sesaat lamanya, tahu dia bahwa jawaban kali ini tidak boleh ngelantur. sambil
tertawa ia berkata, “Apakah Cianpwe berdua harus mengetahui?”
Pek-bi-siu mendengus, jengeknya, “Di dalam wilajah Thian-bi-kok ini, bila di tempat mana ada
tumbuh buah ajaib seperti yang kau katakan itu, masa ada keserapatan giliranmu?”
Bercekat hati Thian-hi, namun lahirnya tetap tenang dan tersenyum simpul, katanya, “Dengan
alasan apa Cianpwe berdua berani begitu yakin? Rejeki yang berjodoh tiada punya sangkut paut
dengan tinggi rendah kepandaian seseorang!”
Diam-diam curiga dan sangsi pula hati Pek-bi-siu dan Giok-hou-sian, namun dalam batin
mereka mengakui akan kebenar-benaran kata-kata Thian-hi ini.
Kata Giok-hou-sian, “Soalnya kau main sembunyi2, tak berani bicara terang-terangan supaya
diketahui oleh kami berdua?”
“Soalnya kenapa pula aku harus beritahu kepada kalian?” demikian Thian-hi tak mau kalah
debat, “Selamanya aku belum saling kenal dengan kalian, kalian pun baru saja tahu adanya
seseorang macam aku ini, apakah seseorang yang punya sekedar kepandaian silat harus kalian
periksa dan diselidiki asal usulnya?”
Giok-hou-sian menjadi murka oleh debat Thian-hi yang beralasan itu. dengan menggeram ia
melangkah setindak, jengeknya, “Tajam benar-benar mulutmu, kami mengajukan pertanyaan,
selamanya tiada seorang pun yang berani tidak menjawab!”
Thian-hi pura-pura melengak dan angkat pundak keheranan, serunya, “Kalian adalah tokoh
kosen dari aliran lurus bukan? Kenapa berkata demikian, aku tiada punya permusuhan atau sakit
hati dengan kalian, kenapa pula aku harus menjawab setiap pertanyaan kalian?”
“Sahabat kecil,” Pek-bi-siu cukup licin, ia mengubah sikap dan merubah suasana yang semakin
tegang ini. “Maksudmu bila ada permusuhan atau ada hutang budi baru boleh mengajukan tanya
jawab?”
Thian-hi melenggong, tak tahu ia apakah Pek-bi-siu ada permusuhan atau pernah menanam
budi terhadap dirinya, dalam hati bertanya-tanya, namun lahirnya tetap bersenyum, jawabnya,
“Boleh dikata begitulah!”
“Kami Thian-bi-siang-kiam tiada sebab takkan mengajukan pertanyaan kepada kau, sebelum ini
kamipun pernah sekedar membantu kau mengerjakan urusan kecil saja. Ketahuilah lima ratus
pasukan pendam digedung Siangkok yang bersenjata lengkap itu, semua berhasjl kami tutuk jalan
darah penidurnya. Anggaplah perbuatan kami ini sebagai budi kecil belaka!” — habis berkata PekTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
bi-siu tertawa lantang. seolah-olah ia sangat bangga akan buah karyanya itu, bahwa sebenarbenarnyalah
Thian-hi harus mengetahiii bahwa Thian-bi-siang-kiam bukan golongan tingkat
rendah yang boleh diajak main-main.
Baru sekarang Thian-hi sadar, “Kiranya adalah perbuatan kalian”
“Bagi kami kejadian itu tidak perlu dibanggakan. tapi sekarang kau boleh menjawab pertanyaan
kami bukan?” demikian desak Pek-bi-siu.
“Kiranya Cianpwe berdualah yang turun tangan, “Kemaren aku heran kenapa pasukan pendam
itu seperti mati kutu, kalau begitu aku harus ucapkan banyak terima kasih pada kalian!”
“Kami sudah menerimanya dan tidak perlu disinggung lagi,” kata Pek-bi-siu, “yang penting kau
harus menjawab pertanyaan yang kuajukan tadi.”
Thian-hi tahu kalau dirinya menjelaskan urusan bakal semakin runyam, Thian-bi-siang-kiam
sudah puluhan tahun menetap di Thian-bi-kok, tempat mana saja yang tidak diketahui oleh
mereka, maka katanya, “Seharusnya aku menjelaskan. Soalnya aku pernah berjanji kepada
seseorang supaya tidak membocorkan rahasia tempat itu, harap Cianpwe berdua maklum dan
memberi maaf!”
Giok-hou-sian mendengus, jengeknya, “Jelas kau hanya membual belaka! Menurut aku asalusulmu
kurang jelas, mungkin kau datang dari Tionggoan, betul tidak?”
Bercekat hati Thian-hi, sahutnya tertawa, “Cianpwe main menuduh karena aku tidak sudi
menjelaskan dimana aku menemukan buah ajaib itu?”
Giok-hou-sian semakin berang, sebaliknya Pek-bi-siu tertawa, katanya, “Kalau begitu cobalah
kau sebutkan nama orang yang melarang padamu itu!”
“Aku tidak tahu siapa namanya, diapun tak mau menerangkan padaku!”
“Usiamu masih muda, tapi berani membual hendak menipu kami berdua,” demikian jengek
Giok-hou-sian, “masa ada urusan begitu gampang, dia yang kasihkan kau atau kau sendiri yang
memperoleh buah ajaib itu?” .
Jelas kelihatan oleh Thian-hi bahwa Pek-bi-siu dan Giok-hou-sian ini masing-masing berwajah
warna merah dan putih, karena diberondong oleh pertanyaan terus ia menjadi jengkel, sahutnya
dingin, “Apakah Cianpwe berdua anggap pernah menanam budi lantas mendesakku sedemikian
rupa? Kenapa sikap kalian begitu kasar dan kurang terhormat? “
Pek-bi-siu merengut membesi, katanya kereng, “Soalnya karena asal usulmu yang tidak jelas
jangan kau sangka ilmu silatmu sudah lihay, usiamu masih begitu muda berani memandang
rendah orang lain!”
“Jika kalian tiada urusan lain lagi, maaf, aku mohon diri saja, tugas di istana menjadi bebanku,
tidak bisa aku meninggalkan dinas terlalu lama!”
Tiba-tiba Giok-hou-sian terloroh-loroh dingin panjang, serunya, “Baru hari ini aku melihat ada
seseorang berani bersikap begitu kurang ajar terhadap kami, ingin aku melihat betapa lihay bocah
macammu yang belajar sendiri tanpa bimbingan guru ini!”
“Cianpwe tidak berhasil memeras dan mengorek keterangan, lantas hendak menggunakan
kekerasan adu kepandaian?”

“Sungguh besar nyalimu, tapi dengan sikapmu yang jumawa terhadap angkatan tua, sudah
seharusnya kami berdua mengajar adat terhadapmu, tapi kau tak perlu takut. kami tidak akan
mengeroyok kau seorang!”
Mendengar orang hendak menghajar adat pada dirinya, Thian-hi insaf bahwa hari ini sulit
terhindar bentrok, betapapun sanubari Thian-hi tidak mau turun tangan, terutama ia tidak suka
memperlihatkan ilmu silat aslinya. Dengan tertawa tawar ia berkata, “Satu lawan satu boleh! Satu
lawan dua pun tidak menjadi halangan.”
“Bocah sombong!” teriak Giok-hou-sian menyeringai dingin, “bila kami tidak menghajar adat
padamu, kau tidak akan tahu betapa tingginya langit dan tebalnya bumi, mari aku saja yang
menjajal kepandaianmu, dalam dua puluh jurus bila kau tidak terkalahkan. pasti kami berdua tidak
akan mempersulit lagi kepada kau!”
Girang hati Thian-hi, memang kata-kata inilah yang hendak dipancingnya dari mereka, serunya
tertawa besar, “Sikap dan pembawaan yang gagah ini sungguh tidak malu kalian diangkat menjadi
Thian-bi-siang-kiam!” lalu pelan-pelan ia melolos pedang serta katanya lagi, “Mari silakan Cianpwe
mulai dulu!”
Walaupun Giok-hou-sian tahu bahwa dirinya sudah tertipu oleh pancingan Thian-hi, serta
melihat tantangan Thian-hi yang mengumpak itu, hatinya menjadi girang juga. Pelan-pelan iapun
mengeluarkan pedangnya, katanya, “Mari kau saja yang mulai serang!”
Thian-hi angkat kedua tangannya sedikit menjura lalu dari kejauhan menyodokkan pedangnya
ke depan lalu ditariknya kembali dan berdiri tegak tak bergerak lagi.
Melihat Hun Thian-hi tidak sudi diberi hati dan tidak mau mengalah jengkel hati Giok-hou-sian,
tanpa banyak cingcong lagi, tahu-tahu pedangnya melesat miring, segulung angin pedang yang
menderu tajam kontan menerpa ke arah Thian-hi.
Diam-diam Thian-hi sudah ambil keputusan, ia tidak mau banyak urusan lagi, asal dirinya sudah
menyambut dua puluh jurus serangan musuh berarti urusan dapat selesai begitu saja. Maka
pedang panjangnya terangkat naik sedikit dengan jurus Tam-lian-hun-in-hap ujung pedangnya
memapak maju, begitu permainan pedangnya dikembangkan, segulung bayangan pedang yang
kelabu memutih berkembang melebar di sekitar tubuhnya, membendung serangan pedang Giokhou-
sian.
Tujuan serangan Giok-hou-sian . ini adalah hendak menjajaki sampai dimana Lwekang Hun
Thian-hi, serta serangan pedangnya dilancarkan, tahu-tahu kekuatan tusukan pedangnya ternyata
sirna dan amblas di tengah jalan, hakikatnya dia gagal menjajaki betapa tinggi atau rendah
Lwekang Thian-hi, sekali lagi pedang terputar membuat sebuah bundaran melancarkan tipu Hohgsa-
liu-co (pasir angin mengalir), kontan berkembanglah gugusan bayangan pedang yang kemilau
merangsak dari berbagai penjuru menyerang kepada Thian-hi.
Melihat jurus serangan Giok-hou-sian yang aneh dan lihay ini, terkejut hati Thian-hi, serta
merta hatinya sedikit gentar, demikian juga permainan jurus pedangnya menjadi merandek dan
sedikit lamban, bahwasanya sejak mulai ia tidak kerahkan seluruh Lwekangnya, begitu kedua
pedang masing-masing saling bentrok, kontan ia tergetar mundur dua langkah.
Mendapat hasil Giok-hou-sian tidak memberi hati, kaki melangkah maju pedang bergerak pula
melancarkan serangannya yang lebih gencar. Kali ini Thian-hi lancarkan jurus lain dari Gin-ho-samsek
yaitu Gelombang perak mengalun berderai, bayangan sinar pedangnya sekokoh gunung tegak
memunahkan seluruh rangsekan Giok-hou-sian yang hebat itu.

Penjagaan Thian-hi begitu rapat begitu kokoh kuat, sedikitpun Giok-hou-sian tidak bisa lihat
atau menyelami jurus permainan apa yang digunakan oleh Thian-hi, demikian juga ia merasa jurus
permainan pedang Thian hi sangat aneh, tanpa terasa ia berseru memuji, “Kepandaian yang
hebat!” Pedangnya bergerak dan menyerang lagi lebih sengit.
Menurut perkiraannya semula, sejurus ia dapat menjebol bendungan lawan jurus-jurus
selanjutnya pasti gampang mengocar-kacirkan pertahanan lawan, tak nyana perubaban permainan
Thian-hi ternyata begitu cepat dan cekatan. meskipun rangsekannya cukup cepat, namun
sekarang tidak mampu lagi mendesak mundur Thian-hi meski hanya setengah tindak saja.
Sekejap saja sepuluh jurus telah lewat. Sungguh kejut dan gusar pula hati Giok-hou-sian,
selama ini Thian-hi melulu gunakan kedua jurus permainannya itu saja. sehingga serangannya
yang lihay dan hebat itu selalu kandas ditengah jalan. Semula ia beranggapan betapa tinggi
kedudukan Thian-bi-siang-kiam dan betapa tenar namanya di Thian-bi-kok, menghadapi bocah
macam Hun Thian-hi ini meskipun dengan perjanjian dua puluh jurus, rasanya sudah berkelebihan
dan sudah menurunkan derajatnya sendiri, maka selama puluhan jurus ini ia tidak mengerahkan
seluruh tenaga dan kemampuannya.
Separo dari perjanjian sudah dilewati, serangannya selalu kandas pula ditengah jalan, bila tidak
kerahkan segala kemampuan lagi, mungkin dirinya bakal terjungal ditangan seorang bocah muda
yang dianggap masih berbau pupuk ini.
Karena kekuatiran hatinya inilah serta merta kerahkan Lwekang di atas batang pedangnya.
Diiringi dengan kegesitan gerak tubuhnya yang lincah, pedang panjangnya berkelebat melayang
seperti bianglala kelap-kelip, kemilau sinar pedangnya berputar terbang mengelilingi Thian-hi
dengan rangsekan membadai.
Kontan Thian-hi rasakan empat penjuru sekelilingnya bertamhah gencetan tenaga yang besar
sekali, karena kuatir dapat dilihat dan diketahui seluk beluknya Thian-hi tidak berani kerahkan
kekuatannya, namun ia insaf bila dirinya tidak menyambut serangan musuh, mau tidak mau,
akhirnya dirinya mesti terdesak untuk mengerahkan Lwekangnya. Sebat sekali ia mengegos
miring, kakinya menjejak tanah tubuhnya lantas melayang naik keudara, dengan menukik turun
inilah ujung pedangnya menutul kebawah dengan jurus Hun-liong-pian-yu salah satu jurus terlihay
dari Thian-liong-cit-sek, yang diarah adalah ubun-ubunnya kepala Giok-hou-sian.
Melihat Thian-hi mulai lancarkan serangan balasan Giok-hou-sian lebih waspada dan bersikap
hati-hati, tanpa berani ayal sedikitpun ia kerahkan seluruh kekuatannya untuk melawan serangan
musuh. Ujung pedangnya teracung tinggi lalu berputar membabat dan membacok serabutan,
Sejak mula pertempuran Thian-hi tidak mau kerahkan Lwekangnya, sudah tentu dia punya
perhitungan permainan pedangnya. melihat rangsekan balasan lawan pedangnya diputar turun
naik merabu dengan berbagai tipu serangan gertak sambel saja, sedikit mengancam musuh terus
ditarik pulang kembali tanpa benar-benar hendak melukai lawan.
Giok-hou-sian gusar mencak-mencak, lima enam belas jurus sudah berlalu, sedemikian jauh ia
masih belum berhasil menjajaki sampai dimana tinggi atau rendah Lwekang Hun Thian-hi. Tibatiba
ia bersuit nyaring panjang, pedangnya berubah memainkan jurus Hou-tiong-jit-gwat,
Serangan pedang ini dilancarkan dengan penuh variasi yang menakjubkan, dikata satu jurus
sebetulnya mengandung perubahan yang tidak terhitung banyaknya, bayangan pedang seperti
sebuah poci pendek bundar saja menungkup ke atas kepala Thian-hi.

Melihat itu bukan kepalang kaget Giok-hou-sian, serentak secara reflek ia lancarkan tiga jurus
kembangan berantai untuk merintangi luncuran serangan balasan Thian-hi itu. Namun ia tidak
berhasil menahan terjangan musuh. Dua puluh jurus pun tepat telah berakhir. Dilain saat Hun
Thian-hi sudah jumpalitan hinggap di tanah, segera ia rangkap tangan serta menjura, katanya,
“Atas kemurahan hati Cianpwe. Wanpwe sudah menandingi dua puluh jurus!”
Betapa pedih dan pilu hati Giok-hou-sian, anggapannya semula sepuluh jurus saja Thian-hi
tidak akan mampu bertahan, tapi sekarang dua puluh jurus mampu ditandingi, malah dirinya
sendiri yang terdesak dipihak yang runyam. tanpa merasa ia goyang2 tangan dengan rawan.
Kun Thian-hi menjadi girang, sangkanya urusan sudah selesai sampai disitu saja, baru saja ia
niat tinggal pergi, tiba-tiba Pek-bi-siu membentak, “Nanti dulu!” — dengan kejut dan heran Thianhi
berpaling memandang Pek-bi-siu.
Kata Pek-bi-siu tertawa sinis, “Dimulut kau berkata sungkan, namun sepak terjang dan tingkah
lakumu sangat takabur, kau memakai seragam militer, mengenakan mantel panjang lagi, dan yang
lebih menjengkelkan kau tidak mau terima kebaikan orang lain!”
“Jadi maksudmu hendak menahan aku lagi?” demikian batin Thian-hi, namun lahirnya ia
berkata, “Cianpwe! Sebetulnya Wanpwe terpaksa, kalau tidak mengenakan seragam ini, mana aku
bisa pulang masuk kota!”
Pek-bi-siu menyeringai, ujarnya, “Itu bukan soal, yang jelas kulihat aliran silatmu dari
Tionggoan, untuk hal ini kau harus memberi keterangan sejelasnya, ketahuilah selamanya Thianbi-
kok tidak akan membiarkan orang Tionggoan menyelundup kemari!”
Bercekat hati Thian-hi, namun lahirnya tetap tenang, sahutnya, “Kalau Cianpwe menuduh
demikian aku pun tidak bisa main debat, tapi ingin aku tanya, uraiannya ilmu silat tiada perbedaan
dengan garis yang tegas, entah apa yang disebut aliran Tionggoan atau golongan Thian-bi”
“Permainanmu ada beberapa jurus yang aneh, ada beberapa jurus pula seperti pernah kulihat
entah dimana, tapi yang pasti bahwa dalam wilajah Thian-bi-kok tidak ada jurus permainan silat
seperti itu.” demikian jengek Pek-bi-siu dingin.
Dalam pada itu Giok-hou-sian tengah menjublek, kelihatannya iapun dibuat keheranan,
meskipun mereka melarang orang-orang Tionggoan kemari, tapi dulu sering mereka ke
Tionggoan. Diapun merasa walau pun permainan silat Thian-hi rada aneh, samar-samar seperti
pernah dilihatnya.
“Bagaimana! Kau datang dari Tionggoan bukan?” desak Pek-bi-siu.
Belum lagi Thian-hi menjawab, mendadak Giok-hou-sian berseru keras, “Tadi waktu kau balas
menyerang aku apa namanya jurus itu?”
Berdetak jantung Thian-hi, jurus itu adalah Han-liong-pian-yu, Ilmu Thian-liong-cit-sek memang
hebat, tidak sedikit kaum Kangouw yang pernah melihat dan tahu akan kehebatannya. Dari nada
seruan Giok-hou-sian ini kelihatan memang dia pernah menyaksikan ilmu ini.
Sejenak ia merandek lalu jawabnya, “Jurus kesebelasankah yang kau maksudkan?”
Mendadak Giok-hou-sian berkata lagi, “Dulu pernah aku melihat ada orang menggunakan jurus
permainanmu ini!”

Thian-hi tertawa geli, ujarnya, “Permainan silat yang sama di seluruh dunia ini tidak terhitung
banyaknya, jurus permainanku itu belum rampung seluruhnya, masa kau tahu apa betul jurus
yang kau maksudkan tadi?”
“Siapapun yang datang dari Tionggoan harus diberantas lenyap!” seru Pek-bi-siu, “Sebelum
kami jelas duduknya perkara, bila kau mengaku terus terang, kami akan beri jalan hidup padamu,
paling-paling hanya larang kau pamerkan ilmu silatmu selamanya menetap di Thian-bi-kok. Tapi
setelah dapat kami selidiki jelas, kematianlah jalan yang harus kau tempuh.”
Sudah tentu Thian-hi tidak sudi pilih satu diantara kedua cara yang ditunjuk ini, ia gelenggeleng
kepala katanya, “Aku tidak mau main debat dan bertengkar dengan Cianpwe berdua.
Kenyataan aku sudah bertahan sebanyak dua puluh jurus sesuai dengan janji kalian sendiri aku
harus pulang, apakah Cianpwe berdua hendak menjilat ludah sendiri?”
Melihat sikap Thian-hi begitu tenang, namun kata-katanya selalu menghindari pertanyaan
langsung Pek-bi-siu menjadi dongkol, katanya mendengus, “Kuanjurkan bicaralah terus terang!”
Selama ini memang Thian-hi sengaja men-cari2 alasan, tapipun tidak berani membual secara
langsung. katanya tertawa, “Silakan kalian menyelidiki saja, sekarang mungkin Baginda sedang
mencari aku, aku harus cepat pulang.”
“Pek-bi!” tiba-tiba Giok-hou-sian berteriak. “Pernahkah kau dengar Thian-liong-cit-sek dari
Tionggoan?” — dengan seringai sinis ia tatap tajam muka Thian-hi.
Bercekat hati Thian-hi, bila orang tahu akan nama Thian-liong-cit-sek, terang mereka bisa tahu
akan nama-nama jurus permainannya tadi.
Pek-bi-siu manggut-manggut, sahutnya, “Ya, sekarang aku ingat lagi!”
Dengan lekat Giok-hou-sian awasi Thian-hi, katanya pelan, “Kiranya kau sealiran dengan Lamsiau,
apakah kau tidak mau mengaku?” — seringainya lebih seram.
Thian-hi tersenyum, sahutnya, “Kapan Cianpwe pernah dengar nama Lam-siau?”
Giok-hou-sian menggerung gusar, serunya, “Lam-siau Kongsun Thoan! Apakah dia ayahmu?”
Mendengar nama Kongsun Thoan, itulah nama Sucou Thian-hi, atau ayah Kongsun Hong,
Thian-hi tertawa, sahutnya, “Selamanya Thian-liong-cit-sek tidak diturunkan kepada orang luar!”
“Apakah nama Tio Gun itu bukan nama aslimu?” desak Giok-hou-sian.
Belum lagi Thian-hi membuka mulut, Pek-bi-siu bergelak tawa panjang, katanya, “Darimana
bisa kau tahu sedemikian banyak, urusan Bulim di Tionggoan ada berapa banyak orang di Thianbi-
kok ini yang mengetahui? Thian-liong-cit-sek tidak diturunkan orang luar, baru sekarang aku
tahu dari mulutmu, dari mana kau bisa tahu begitu jelas? Apakah kau masih tidak berani mengaku
bahwa kau datang dari Tionggoan?” sampai disini mendadak mereka mencelat berpencar kekanan
kiri mengepung Thian-hi dari depan dan belakang.
Thian-hi insaf tidak mungkin mengelabuhi lagi, terpaksa katanya tertawa, “Buat apa kalian
begitu bersitegang leher, apakah kalian takut menghadapi aku seorang?”
“Sepuluh tahun yang lalu dari Tionggoan ada meluruk kemari delapan orang, mereka dapat
merambat naik ke Thian-bi-kok sudah tentu bukan tokoh silat kelas kambing, namun mereka
berhasil kami bunuh seluruhnya, masa sekarang kami takut menghadapi kau seorang! Tapi kau

bisa menetap disini begitu lama tanpa konangan kedok aslimu, sekarang malah menjabat
kedudukan Komandan Gi-lim-kun lagi, kau betul cukup licin!”
Sesaat Thian-hi menjadi mati kutu tidak tahu harus menjawab apa. ujarnya, “Banyak orang
yang sudah tahu, melulu kalian saja yang ketinggalan!”
Pek-bi-siu menggerung murka, semprotnya, “Tapi kamilah yang tidak akan beri ampun
padamu.”
Sembari berkata telapak tangannya menyelonong maju menepuk kepunggung Thian-hi.
Caranya turun tangan cepat dan ganas, kekuatannyapun bukan olah-olah katanya.
Melihat Pek-bi-siu turun tangan, terpaksa Thian-hi harus mengadu jiwa, namun pertarungan ini
menang atau kalah untuk selanjutnya terang dirinya tidak akan bisa menetap lama lagi diwilajah
ini. Kecuali ia bunuh kedua orang ini supaya tutup mulut dan rahasia tidak diketahui umum!
Seiring dengan jalan pikirannya ini, ia membalik sebuah tangannya menyambut pukulan orang,
menggunakan daya pental kekuatan benturan pukulan itu tubuhnya mencelat terbang kesamping
terus berkelebat menyingkir, maksudnya mau tinggal merat saja.
Dilain pihak Giok-hou-sian sudah bersiaga diluar gelanggang sudah tentu ia tidak mandah
membiarkan Thian-hi melarikan diri begitu saja, segera tubuhnya mencelat terbang, sebelah
tangannya menindih ke atas kepala Thian-hi dengan pukulan berat.
Cepat-cepat Thian-hi menyedot hawa, sekonyong-konyong badannya terbang jumpalitan
ditengah udara, badannya mumbul lebih tinggi. lolos dari serangan lawan.
Pek-bi-siu menjadi murka serunya, “Jangan harap hari ini kau dapat lolos?”
Sembari mengancam tubuhnya ikut melesat tinggi mengejar, kedua telapak tangannya
didorong keluar memukul dari jarak jauh dengan setaker tenaganya.
Begitu mendengar kesiur angin pukulan musuh yang dahsyat ini terkejut Thian-hi. Kepandaian
Pek-bi-siu memang tidak rendah, kecuali Si-gwa-sam-mo, mungkin tokoh-tokoh macam Situa
Pelita pun tidak akan lebih ungkulan dibanding mereka berdua ini.
Untung Thian-hi membekal latihan Pan-yok-hian-kang, Lwekangnya maju pesat berlipat ganda
Untuk menang dari keroyokan kedua orang ini memang tidak mudah, kalau untuk meloloskan diri
saja cukup berkelebihan segampang membalikkan telapak tangan.
Begitu melihat serangan dahsyat yang menerpa tiba ini, Thian-hi memutar balik kedua telapak
tangannya terjulur maju, kekuatan Pan-jok-hian-kang terkerahkan penuh, memukul balik ke arah
serangan musuh.
Pek-bi-siu menjadi geram, pikirnya, “Bukankah kau cari mati ini?” Kontan ia kerahkan seluruh
kekuatannya terus memapak maju secara kekerasan.
“Blang!” kekuatan pukulan sama bentur ditengah udara, menimbulkan gelombang angin yang
menderu laksana angin topan, batu pasir beterbangan. Tampak tubuh Thian-hi terpental terbang
ke belakang, sementara Pek-bi-siu melorot jatuh mentah-mentah terus sempoyongan beberapa
langkah, setelah berdiri tegak mulut terpentang terus menyemprotkan darah segar.
Masih untung baginya karena Thian-hi rada memberi kelonggaran padanya, kalau tidak
mungkin luka-luka yang dideritanya bakal lebih berat. Melihat Pek-bi-siu kalah dan terluka,

sungguh kejut dan heran pula Giok-hou-sian, cukup sekali pukul pemuda yang masih bau pupuk
bawang ini berhasil melukai Pek-bi-siu, lwekang sendiri setingkat lebih rendah dari saudaranya
jelas diri sendiri jauh bukan lawannya.
Namun betapapun ia tidak rela membiarkan Thian-hi tinggal pergi begitu saja. dengan
menghardik keras ia terbang mengejar, namun jaraknya sudah setengah li ketinggalan oleh Thianhi,
tampak tubuh Thian-hi melesat turun seperti meteor jatuh secepat kilat. Sungguh murka bukan
kepalang hatinya, namun apa yang dapat dilakukan?
Sungguh Thian-hi merasa girang bukan kepalang. siapa nyana sekali pukul ia berhasil membuat
Pek-bi-siu terluka parah, kini dapat membebaskan diri lagi dari kecokan mereka, namun demikian
hatinya rada was-was pula, mungkin musuh terlalu pandang ringan dirinya, selanjutnya
bagaimana untuk menghadapi kericuhan ini?
Thian-bi-siang-kiam jelas sudah mengetahui bahwa dirinya datang dari Tionggoan, soal ini
bakal menimbulkan keonaran di seluruh negeri kecil ini, mungkin tiada tempat berpijak lagi dalam
wilajah Thian-bi-kok bagi dirinya.
Tengah pikirannya melayang, sementara kakinya masih berlari kencang secepat anak panah.
sekonyong-konyong dari kejauhan terdengar petikan irama kecapi. Kontan berubah air muka
Thian-hi, itulah irama kekal abadi, tempo hari ia pernah dengar lagu ini, namun orang yang
memetik harpa kali ini jauh lebih pandai iramanya juga lebih mantap, jelas bukan petikan Ma
Gwat-sian, jika bukan Ma Gwat-sian tentu gurunyalah yang sudah kembali. Dan yang lebih
menguatirkan justru Wi-thian-cit-ciat-sek belum lagi sempurna dilatih olehnya.
Bab 18
Irama harpa semakin tegas dan kumandang dialam pegunungan nan sunyi ini, tenaga Thian-hi
masih belum bujar, ia masih cukup bertahan. sambil kertak gigi dan menyedot napas, tubuhnya
meluncur turun semakin pesat. Hampir tiba pada tunggangannya, dia sudah tidak kuat bertahan
lagi…. Dia insaf bila menerjang terus kebawah pasti seluruh isi perutnya bakal hancur lebur oleh
tekanan dahsyat irama harpa itu.
Pemetik harpa itu menggunakan irama getar yang paling dahsyat seolah-olah dia tahu bahwa
dirinya masih berusaha lari, kedengaran suara harpa semakin tegang dan membawa hawa
membunuh yang tebal.
Akhirnya Thian-hi tidak kuat lagi, pelan-pelan ia duduk bersila menentramkan pikiran
memusatkan semangat, Pan-yok-hian-kang dikerahkan untuk membendung serangan dari luar
pelan-pelan ia berhasil menghimpun seluruh hawa murni dipusarnya. lambat laun tenanglah hati
dan pikirannya. Tapi dia tidak berani sembarangan bergerak.
Sementara itu Giok-hou-sian tidak berputus asa. meski ketinggalan ia nekad mengejar terus,
sekonyong-konyong didengarnya suara harpa keruan girang bukan main, tahu dia bahwa tokoh
aneh yang tertinggi di Thian-bi-kok sudah muncul dan turun tangan, seumpama kepandaian
Thian-hi setinggi langit juga jangan harap dapat lolos lagi. Begitulah dengan kencang ia mengejar
kebawah, tampak Thian-hi masih berlari seperti sipat kuping. diam-diam tengetar hatinya, betapa
tinggi Lwekang Hun Thian-hi ini, bila aku sendiri jelas tidak kuat bertahan lagi. Akhirnya dilihatnya
Hun Thian-hi berhenti dan duduk bersila. Giok-hou-sian menjadi girang cepat ia memburu datang,
waktu tiba. disamping Thian-hi, dilihatnya Thian-hi samadi dengan tenangnya. Kagum dan memuji

dalam hati, usianya masih begini muda sudah membekai Lwekang sehebat itu, ada berapa banyak
tokoh di dunia ini yang dapat memadainya! Sesaat lamanya ia berdiri menjublek di tempat itu, tak
tahu apa yang harus dilakukan.
Begitu Thian-hi mengerahkan Pan-yok-hian-kang, irama harpa menjadi kalem, tekanan sedikit
ringan perasaannya juga rada enteng. Hatinya senang. diam-diam ia membacn; Pan-yok-hiankang
latihanku ini ternyata begini sakti mandra guna, kiranya irama kekal abadi yang hebat itu
juga tidak mampu menyerang masuk melukai diriku lagi.
Sementara itu, lagu kekal abadi masih terus berkembang mengalun tinggi laksana awan berlalu
seperti gelombang berderai, bak umpama air sungai mengalir terjun kebawah. Begitulah lagu nan
merdu ini meresap pelan-pelan ke bawah, sekonyong-konyong Thian-hi merasakan sesuatu
keganjilan, kiranya irama harpa di dalam keadaan yang tidak terasa olehnya telah meresap masuk
mengeram dalam badannya, baru saja ia hendak laksanakan rontaan terakhir, tiba-tiba irama
harpa berhenti putus, kontan seluruh jalan darah tubuhnya seperti tertutuk oleh Jiong-jiu-hoat
tanpa dapat berkutik lagi. Kesadaran Thian-hi masih segar bugar, tahu dia bahwa dirinya sudah
tamat, tanpa kusadari ternyata aku telah teringkus begitu gampang.
Tak lama kemudian badan Thian-hi tergetar, lantas ia rasakan tekanan badannya menjadi
enteng, seluruh jalan darah yang tertutuk bebas seluruhnya, waktu ia buka mata dan celingukan,
tampak dirinya masih berada di tengah hutan, di sebelah kiri sana terdapat sebuah pohon besar di
bawah pohon terdapat pula sebuah batu besar, di atas batu besar ini duduk tenang seorang Nikoh
pertengahan umur, Thian-bi-siang-kiam tampak berdiri tegak menjulurkan tangan dikedua
sampingnya.
Pelan-pelan Thian-hi bangkit berdiri, dengan cermat ia awasi Nikoh itu, tampak wajahnya bersih
dan welas asih, mengenakan jubah hijau mulus, dipangkuannya terletak sebuah harpa kuno
sikapnya serius dan sungguh-sungguh.
Tahu Thian-hi bahwa Nikoh ini pasti guru Ma Gwat-sian adanya, lekas-lekas ia menjura serta
menyapa, “Wanpwe Hun Thian-hi, menghadap pada Cianpwe.”
Thian-bi-siang-kiam saling berpandangan. Nikoh pertengahan itu mengamati Thian-hi lekatlekat,
ujarnya, “Urusanmu aku tahu jelas sekali.”
Thian-hi mandah tertawa-tawar saja, dalam hati ia membatin, “Apa benar-benar kau tahu
seluruhnya?”
Terdengar Nikoh itu menyambung lagi, “Mungkin kau pun tahu, bahwa aku adalah guru Gwatsian.”
Thian-hi manggut-manggut, sahutnya, “Aku sudah tahu!”
Kata Nikoh itu lagi, “Sejak kau menetap di Thian-bi-kok, selama ini belum pernah melakukan
perbuatan tercela, jika boleh dikata malah melakukan pekerjaan baik. Aku tidak peduli sepak
terjangmu waktu kau berada di Tionggoan dulu, berdiri pihak Thian-bi-kok sini, bolehlah aku
melanggar larangan biasanya, kau harus segera meninggalkan Thian-bi-kok.”
Thian-hi tercengang, ia berdiri bingung tak bersuara. Pek-bi-siu menjadi gugup, selanya, “Mana
boleh begitu, setiap orang luar yang menginjak kakinya di Thian-bi-kok tidak boleh dilepas
pulang.”
Nikoh itu tidak hiraukan protes Pek-bi-siu, kata-katanya tetap tertuju kepada Hun Thian-hi,
“Sekarang juga kuperintahkan kau meninggalkan Thian-bi-kok!”

Thian-hi serba bingung dan gundah, ia tenggelam dalam pikirannya, akhirnya ia mendongak
kata-kata Ka-yap Cuncia seperti terkiang di pinggir telinganya, “Sebelum Wi-thian-cit-ciat-sek
sempurna kau latih, kularang kau meninggalkan Thian-bi-kok.” — sejak mula datang ia sudah
melanggar salah satu pantangan Ka-yap Cuncia, memperlihatkan kepandaian silatnya, sekarang
mana boleh mengingkari pula pesan beliau?
Dengan tajam Nikoh itu pandang muka Thian-hi, dia tidak bisa meraba kemana jalan pikiran
Thian-hi yang kebingungan itu.
Akhirnya Thian-hi menunduk sambil tertawa, katanya, “Wanpwe ada sebuah permintaan, entah
apakah Cianpwe bisa memberi persetujuan!”
Hati si Nikoh menjadi rada berang, selamanya tiada seorang pun yang berani melanggar setiap
patah katanya, sekarang apa pula yang diatur Hun Thian-hi ini. ingin aku mendengar apa yang
akan dikatakan olehnya, maka tanyanya, “Coba kau katakan!”
Kata Hun Thian-hi, “Waktu Wanpwe hendak kemari, aku pernah berjanji pada seseorang untuk
mematuhi dua buah pesannya. Pesannya yang pertama tidak mungkin tertolong lagi, urusan yang
kedua ya itu bahwa aku harus tinggal lagi selama sepuluh hari baru bisa menyelesaikan pesannya
yang kedua. Apakah Cianpwe suka memberi ijin supaya aku menetap sepuluh hari lagi disini?”
Timbul amarah si Nikoh, alisnya terangkat tinggi, sahutnya tegas, “Tidak bisa!”
Diam-diam Giok-hou-sian dan Pek-bi-siu mengumpat dalam hati, begitu besar nyali Thian-hi
main tawar menawar untuk tinggal lagi sepuluh hari disini.
Thian-hi menunduk lagi menepekur, akhirnya ia berkata pula, “Lima haripun bolehlah, dapatkah
Cianpwe melulusi?”
Nikoh itu duduk tak bergerak dengan angkernya, dingin-dingin ia awasi Thian-hi, katanya, “Kau
sangka aku tidak berani bunuh kau?”
Thian-hi tersenyum kecut, katanya, “Tiga hari juga bolehlah!”
Nikoh itu bergegas bangun, matanya mendelik dan membara gusar mengandung hawa
membunuh, dengan tajam ia pandang Hun Thian-hi. Tapi tanpa mengenal takut Thian-hi pun
balas pandang dia. Terketuk sanubari si Nikoh, begitu tinggi kepandaian silat Hun Thian-hi, belum
pernah ia ketemukan lawan yang begitu lihay, kelihatannya juga begitu tawar hati dan
perasaannya, kelihatannya sedikit pun ia tidak gentar bila aku membunuhnya.
Lama dan lama sekali ia pandang orang lekat-lekat, akhirnya dia tak kuasa turun tangan Waktu
pertama datang dulu Thian-hi tidak mau unjuk kepandaian silatnya, sampai mandah dihajar orang
dengan pecut dan dihina, namun justru karena hubungannya dengan Ma Gwat-sian, akhirnya ia
terdesak dan memperlihatkan kepandaiannya yang sejati. Hari ini dia kena tertawan dan terjadi
peristiwa yang tidak enak ini, betapapun dirinya harus ikut mempertanggung jawabkan akibatnya.
Akhirnya ia duduk lagi pelan-pelan, katanya, “Urusan apakah itu, coba kau tuturkan pada aku,
biar aku yang bantu kau menyelesaikan.”
“Terima kasih Cianpwe,” ujar Thian-hi tersenyum, “urusan ini harus kukerjakan sendiri orang
lain tidak akan bisa membantu!”
“Apa yang hendak kau kerjakan, beritahu aku, biar kupertimbangkan.”

“Maaf Wanpwe tidak bisa memberitahu!”
Melihat kekukuhan Thian-hi, Thian-bi-siang-kiam menjadi gegetun, pikirnya, “Bila aku, sejak
tadi sudah kubunuh kau!”
Nikoh itu merenung sesaat lamanya, akhirnya berkata, “Kali ini aku baru pulang dari Tionggoan,
banyak kudengar persoalanmu, sebetulnya aku harus bunuh kau, namun ada sebuah urusan
menurut aku latar belakangnya masih belum jelas dan tidak bisa kupercaya demikian saja, maka
kuputuskan hanya mengusirmu keluar dari Thian-bi-kok. Sebab lain karena kulihat selama disini
kau tidak punya maksud-maksud jelek, malah pernah melakukan tugas dengan baik!”
Sampai disini ia pandang Thian-hi lagi lalu sambungnya, “Kudengar katanya kau kejam dan
telengas, seluruh golongan dan aliran Kangouw di Tionggoan semua ingin meringkus dan
membekuk kau, tapi hanya pihak Siau-lim-pay saja yang tidak ikut campur, akhirnya karena sepak
terjangmu terlalu mengumbar nafsu dan kelewatan, terpaksa Siau-lim-pay baru ikut bergabung,
tapi soal itu jauh lebih kecil dibanding kau membunuh Ciangbunjin Bu-tong-pay. Kalau semula
Siau-lim-pay tidak turut campur, maka persoalan belakangan seharusnya juga tidak usah turun
tangan, kenyataan toh mereka ikut meng-uber-uber kau. Akhirnya seluruh kaum persilatan disana
mulai menguber jejakmu, kemanapun kau pergi selalu dikuntit, terpaksa kau menyelundup ke
Thian-bi-kok dan sembunyi disini.”
Berhenti Sebentar, ia pandang Thian-hi lagi, lalu sambungnya, “Tapi setengah bulan kemudian,
pihak Siau-lim mengundurkan diri pula.”
Thian-hi menjadi heran dan bertanya-tanya, Siau-lim Ciangbun Te-coat Taysu sendiri memimpin
pengejaran itu dan mengurung dirinya dengan Sutouw Ci-ko di Jian-hud-tong, bagaimana mungkin
bisa mengundurkan diri! Mungkinkah Ka-jap Cuncia sendiri sudah mengunjukkan diri? Tidak
mungkin, bila Ka-yap Cun-cia mau bicara sekejap saja bukan saja pihak Siau-lim. Seluruh kaum
Kangouw tiada yang tidak akan mendengar nasehatnya. Ini betul-betul hal yang sangat ganjil.
pikir punya pikir tanpa merasa mulutnya lantas menggumam, “Ini tidak mungkin!”
Dengan heran si Nikoh pandang Thian-hi, katanya, “Konon kabarnya Te-coat Taysu terluka
parah, baru pihak Siau-lim mundur, tapi tidak mungkin, karena Te-coat sudah lama terluka,
hampir luka-luka parahnya sembuh baru pihak mereka mengundurkan diri.”
Thian-hi tertunduk menepekur tanpa buka suara.
Kata si Nikoh itu lagi, “Maka aku bertindak tidak berdasarkan sepak terjangmu di Tionggoan,
yang jelas tingkah lakumu disini tidak jelek pernah mendharma-baktikan kemampuanmu demi
keselamatan, negara ini lagi, maka keputusanku cukup mengusirmu keluar! Ini cukup bijaksana.”
Thian-hi tertawa geli, seperti mentertawakan kelakuannya selama ini.
“Aku sudah bicara panjang lebar, apakah kau maklum maksud juntrunganku?” tanya si Nikoh.
Thian-hi tahu, maksud si Nikoh adalah supaya dirinya lekas meninggalkan tempat ini, katanya
tawar, “Tidak! Paling sedikit aku harus tinggal tiga hari lagi!”
Kau hendak mohon Gwat-sian mintakan ampun bagi kau?” jengek si Nikoh.
Hun Thian-hi tertawa-tawa, sahutnya, “Bila begitu, buat apa melulu tiga hari saja?”

Si Nikoh menghela napas, sedemikian kukuh dan teguh pendirian Thian-hi, membuat ia merasa
kewalahan, akhirnya dia manggut-manggut, katanya, “Baiklah! Kuijinkan kau menetap lagi tiga
hari saja!”
Tersipu-sipu Thian-hi menjura dengan senang. serunya, “Terima kasih Cianpwe!”
Si Nikon mengulapkan tangannya ujarnya, “Kau pergilah!”
Cepat Thian-hi lari ke kudanya terus dicemplak cepat kebawah gunung langsung pulang ke
istana.
Si NikOh terlongong memandangi punggung Thian-hi yang semakin menjauh, mantel merah
yang melambai-lambai terhembus angin di belakang punggungnya membuat pikirannya
membayangkan adegan yang baru saja terjadi. setiap gerak gerik Hun Thian-hi sedemikian tegas
dan punya wibawa yang besar. Sikapnya angkuh dalam keadaan yang gawat tadi sedikit pun tidak
kelihatan menjadi gugup atau gentar. sungguh sukar didapat orang macam ini!
Dari lahirnya yang bersikap sopan dan halus, tiada seorang pun yang bakal menduga bahwa dia
diberi julukan sebagai Leng-bin-mo-sin (hati iblis muka dingin).
Dalam pada itu setelah tiba di dalam kota, langsung Thian-hi mengadakan perondaan
kesekeliling kota. setelah memberi petunjuk-petunjuk seperlunya kepada bawahannya, langsung ia
pulang ke kamarnya terus mengunci pintu, mulailah ia memperdalaan pelajaran Wi-thian-cit-ciatsek.
Seluruh pikiran dan semangatnya dipusatkan untuk menyelami pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek,
dalam jangka tiga hari ia harus berhasil mencangkok seluruh pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek ini.
supaya dapat meninggalkan Thian-bi-kok dengan bekal ilmu yang mencukupi untuk membela dan
menjaga diri.
Sebelumnya dia sudah memberi pesan kepada anak buahnya. siapapun dan ada perlu apa juga
dilarang mengganggu dirinya, seumpama sang Baginda ingin bertemu juga harus ditolak.
Tanpa tidur dan tidak mengenal istirahat seluruh perhatian Thian-hi ditumplekkan pada
pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek itu, dia sendiri tidak tahu berapa hari dan berapa lama ia sudah
menyekap diri dalam kamarnya ini. yang jelas bahwa lambat laun ia sudah berhasil menyelami Withian-
cit-ciat-sek lebih dalam lebih sempurna, terasa olehnya semakin hebat dan ampuh intisari
pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek yang sakti dan digdaya
Pada saat itu ia tengah tenggelam dalam memecahhkan sejurus permainan. sebatang pedang
terpegang
ditangnnya sedang mempraktekkan pelajaran menurut apa yang tercatat di atas buku.
Mendadak diluar ada orang menggedor pintu, “blang” tahu-tahu pintu kamarnya diterjang terbuka.
Begitu cahaya matahari menyorot masuk menerangi kamarnya baru Thian-hi tersentak sadar.
Tampak seseeorang anggota Gi-lim-kun menerjang masuk. teriaknya, “Ing-ciangkun
memberontak!” habis berkata lalu menjerit ngeri dan roboh tak berkutik lagi.
Terkesiap hati Thian-hi, tampak ditubuh Gi-lim-kun itu tergubat seekor ular panjang tiga kaki.
Seluruh istana ribut kalang kabut. Lekas Thian-hi menerjang keluar sambil menenteng pedangnya,
begitu tiba di luar dilihatnya dimana-mana dalam istana ini ular besar kecil melata, para anggota
Gi-lim-kun menjadi panik dan lari serabutan dengan ketakutan, pintu gerbang Utama sudah

tertutup, namun dari luar pintu digedor dan diterjang dengan keras, mungkin tak lama lagi bakal
dijebol rusak.
Sungguh Thian-hi tidak mengira situasi berubah begitu gawat, mulutnya bersuit panjang,
serentak dengan kegesitan gerak tubuhnya pedang ditangannya bekerja lincah laksana bianglala
beterbangan ke-mana-mana, setiap kali sinar pedangnya melesat ular di badan para Gi-lim-kun itu
dibabatnya kutung semua. Sekaligus ia memutar tubuh seraya mengayun pedangnya, ular-ular
yang memenuhi lantai menjadi ketakutan dan lari serabutan, sekejap saja ia berhasil membunuh
separoh diantaranya.
Seluruh anggota Gi-lim-kun berjingkrak kegirangan begitu melihat Thian-hi muncul dengan
memperlihatkan perbawa ilmu silatnya, bangkitlah semangat dan keberanian mereka, serentak
mereka angkat senjata serta menyerbu ke pintu gerbang untuk berjaga-jaga dan menahan
serbuan dari luar bila pintu gerbang benar-benar kena dijebol.
“Dimana baginda?” tiba-tiba Thian-hi berseru keras.
“Baginda masih berada di istana!” sahut salah orang Gi-lim-kun yang terdekat.
Selayang pandang Thian-hi menyapu keadaan sekelilingnya, situasi gawat tadi sudah dapat
diatasi, kekacauan sendiri diantara para anggota Gi-lim-kun karena serangan ular-ular tadi sudah
mereda. Beban yang paling dikuatirkan melulu keselamatan Baginda raja dan tuan putri, lekaslekas
ia memburu masuk ke-istana dalam, tampak Baginda raja tengah mengalangi di depan tuan
putri menghadapi seekor ular besar yang melata mendekat, ular ini cukup besar dan panjang
setombak lebih.
Muka Baginda tampak pucat kehijauan, seluruh mukanya penuh keringat dingin. Cepat Thian-hi
memburu maju seraya membentak, sekali ayun tangan kanan, pedangnya panjang segera melesat
ke depan secepat kilat, telak sekali menancap amblas di bawah leher, siular kontan roboh dan
binasa….
Bergegas Thian-hi maju memberi hormat serta serunya, “Hun Thian-hi terlambat datang
menolong membuat Baginda kena kejut!”
Baginda raja terlongong ditempatnya, sesaat kemudian baru bisa bicara, “Darimana kau
datang?”
Karena apa Ing-ciangkun angkat senjata memberontak?” tanya Hun Thian-hi cepat.
Baginda menghela napas, katanya, “Karena Tan-siangkok gagal melamar tuan putri untuk
putranya, segera Ing-ciangkun kerahkan bala tentaranya menawan Ma-ciangkun, sekarang sedang
pimpin anak buahnya untuk menggedor pintu gerbang istana.”
Kejut dan gugup pula hati Thian-hi, Ma Bong-hwi telah ditawan berarti bala bantuan dari luar
sudah tak mungkin diharapkan lagi karena memikirkan keadaan yang lebih gawat diluar istana
segera ia berkata, “Harap Baginda ikut hamba keluar supaya dapat melindungi dari segala
kemungkinan” Habis berkata bergegas ia melangkah keluar.
Tanpa bicara lagi Baginda dan Titan putri mengintil dibelakangnya. Setiba diluar tampak masih
banyak ular dimana-mana, seluruh kekuatan Gi-lim-kun dikerahkan untuk menahan gedoran pintu
gerbang Istana, sebagian diantarania dikerahkan untuk menyapu ular-ular yang menjijikkan itu.

Sungguh geram hati Thian-hi bukan main. Tan-siangkok berani menggunakan ular untuk
menyerbu dan mengacau, kontan ia putar pedangnya, sebentar saja seluruhnya dapat dibinasakan
oleh pedang Hun Thian-hi.
Lalu ia kumpulkan seluruh pasukan Gi-lim-kun, jumlah seluruhnya cuma seratus dua puluh
orang, perusuh di luar semakin gencar menggedor pintu.
Segera Hun Thian-hi mengertak gigi, katanya kepada Baginda, “Keadaan semakin gawat. kita
tidak bisa bertahan melulu disini dengan kekuatan yang kecil ini. Harap Baginda beramai ikut
menyerbu keluar kepungan, kalau bisa terjang sampai ke Bi-seng tentu keadaan jauh lebih baik.”
Sesaat Baginda terlongong dan sangsi katanya, “Mana boleh begitu. tentu mereka sudah
menutup seluruh pintu kota!”
“Tidak usah takut, hamba punya kemampuan untuk menerjang keluar.” Segera ia perintahkan
anak buahnya mempersiapkan kuda. tak lama kemudian seluruh keperluan telah dipersiapkan.
Sementara itu pintu gerbang istana yang kokoh tebal itu pun telah retak. Thian-hi suruh seluruh
anggota Gi-lim-kun naik kuda, mempersiapkan anak panah, sedang tuan putri mengendalikan
kereta membawa Baginda didalamnya. Dalam pada itu Thian-hi pun sudah membawa seluruh
keperluannya dan siap di atas kudanya pula. Kebetulan saat itu juga pintu gerbang telah bobol
dan terbuka lebar, pasukan pemberontak segera berbondong-bondong menyerbu masuk sambil
berteriak-teriak.
Thian-hi memberi aba-aba untuk lepas anak panah. seketika hujan panah menyambut serbuan
para pemberontak, kontan sebagian besar diantaranya roboh mati, sisanya yang masih hidup
menjadi ketakutan dan mundur keluar.
Hun Thian-hi memberi aba-aba pula, semua lemparkan anak panah dan menjinjing tombak, di
bawah pimpinan Thian-hi sambil melindungi kereta tuan putri terus menerjang keluar. Pasukan
pemberontak tidak menduga akan serbuan Thian-hi beramai, dimana pedangnya terputar. kontan
sinar pedangnya merobohkan banyak perintangnya. Tiada seorangpun yang mampu bertahan.
“Tio Gun!” lapat-lapat terdengar oleh Thian-hi seruan kaget seseorang dikejauhan. Sekali
dengar lantas Thian-hi dapat mengenali suara Ing Si-kiat, namun keadaan cukup genting tiada
kesempatan membuat perhitungan dengannya, kudanya dicongklang ke depan terus menuju pintu
utara….
“Lekas perintahkan tutup seluruh pintu kota!” Ing Si-kiat berteriak memberi perintah.
Namun keburu pasukan Gi-lim-kun sudah menerjang keluar, melihat kegagahan Hun Thian-hi
pasukan pemberontak menjadi gentar mana kuat menahan serbuan mereka. Tak lama kemudian
mereka berhasil menerjang tiba di pintu utara, pasukan yang menjaga di atas pintu gerbang
segera lepaskan anak panah menyambut kedatangan mereka. Sungguh gusar Thian-hi bukan
kepalang, tubuhnya melambung maju ke tengah udara, kedua telapak tangannya mengerahkan
Pan-yok-hian-kang. Seluruh anak panah kena disampoknya runtuh, para Gi-lim-kun di belakangnya
serempak melontarkan tombak2, sebagian besar pasukan pemberontak di atas gerbang pada
terjungkal roboh binasa tertembus tombak.
Di lain kejap Hun Thian-hi telah mencelat mumbul lagi ke tengah udara, seluruh kekuatannya
dikerahkan lagi di kedua tangannya, “blang!” pintu kota yang tebal dan kuat itu kena dipukulnya
roboh berantakan, pasukan mereka segera berbondong-bondong menerjang keluar, sebentar saja
mereka berhasil menempuh ke Bi-seng.

Setiba di Bi-seng, tampak oleh Thian-hi jauh di belakang sana debu mengepul tinggi, tahu dia
bahwa Ing Si-kiat membawa pasukan pemberontak mengejar kemari. Tanpa ayal Thian-hi bawa
pasukannya memasuki Bi-seng serta perintahkan tutup pintu rapat. Thian-hi memeriksa kekuatan
pasukannya, ternyata hanya delapan tunggangan saja yang roboh binasa kena panah musuh.
Panglima tentara yang menjaga di kota Bi-seng segera memburu turun memberi sembah hormat
kepada Baginda raja
Thian-hi tahu sebentar lagi pasti Ing Si-kiat memburu tiba…. segera ia memberi petunjuk pada
pasukannya serta menyuruh bawahannya mengantar Baginda dan tuan putri ke rumah gedung
Ma-ciangkun. Seluruh pasukan Gi-lim-kun dikerahkan di atas pintu kota. Tak lama kemudian Ing
Si-kiat sudah tiba dengan pasukannya, teriak Ing Si-kiat kepada Hun Thian-hi, “Tio Gun, lekas
buka pintu, saudara angkatmu Ma Bong-hwi berada di tanganku, berani kau tidak buka pintu
kubunuh dia!”
“Ing Si-kiat,” seru Hun Thian-hi tertawa, “Awas kau! Saudara angkatku di tanganmu mungkin
aku rada kuatir akan keselamatannya, bila kau bunuh dia, aku bisa bikin kau mati tidak ingin hidup
pun sukar, kau tahu akan kemampuanku ini!”
Ing Si-kiat menjublek di atas kuda, secara langsung tadi ia melihat sendiri betapa tinggi dan
lihay ilmu silat Hun Thian-hi, hatinya memang rada gentar dan was-was, biasanya ia rada takut
menghadapi Ma Bong-hwi, namun sekarang justru Hun Thian-hi yang paling ditakuti. Dua hari
mendatang ini tidak kelihatan bayangan Hun Thian-hi, inilah kesempatan baik sesuai dengan
intriknya dengan Tan-siangkok, mengancam Baginda raja dengan pasukan pemberontak untuk
meminang tuan putri atas putranya. Pikirnya sekali gebrak pasti berhasil, tak nyana sebelum
rencananya berhasil tahu-tahu Hun Thian-hi menerjang keluar sambil melindungi Baginda dari
istana, semakin besar takut hatinya menghadapi Hun Thian-hi.
Mendengar ancaman Hun Thian-hi semakin ciut nyalinya, bila dia bunuh Ma Bong-hwi jelas
jiwanya sendiri juga tidak akan hidup lama. Ia insaf untuk menyerbu dan menggempur Bi-seng
bak umpama mimpi di siang hari bolong, bila Hun Thian-hi betul membuka pintu lebar-lebarpun
belum tentu dia berani menerjang masuk.
Terpaksa dia harus berpikir, lebih baik kembali saja untuk berunding dengan Tan-siangkok,
akhirnya tanpa banyak omong lagi ia tarik pasukannya kembali.
Thian-hi mendongak melihat cuaca, matahari sudah tinggi di tengah cakrawala, sudah lewat
lohor, ini berarti bahwa dirinya sudah dua hari dua malam mengunci diri di dalam kamarnya
mempelajari ilmu pedangnya. Malam nanti ia harus meninggalkan negeri ini, namun urusan disini
belum lagi dapat diatasi, cara bagaimanakah baiknya? Badannya terasa letih, dilihatnya panglima
wakil Ma Bong-hwi sudah tiba, segera ia serah terimakan penjagaan pada mereka terus
mengundurkan diri pulang ke gedung Ma-ciangkun.
Begitu masuk ke dalam tampak Baginda raja, tuan putri semua hadir disitu ditemani istri Ma
Bong-hwi, Ma Siau-hou dan Ma Gwat-sian. Muka mereka semua mengunjuk rasa kuatir dan lesu.
Begitu Hun Thian-hi melangkah masuk, pandangan semua orang terhadapnya rada berlainan.
Setelah memberi hormat ala kadarnya, segera Baginda bertanya, padanya, “Apakah Ing-ciangkun
sudah menarik tentaranya?”
“Untuk sementara waktu dia mengundurkan diri, tapi Ma-ciangkun berada ditangannya, kitapun
tidak bisa terlalu mendesaknya!”
Baginda manggut-manggut, tanyanya, “Bagaimana menurut pendapat Tio-ciangkun?”

Thian-hi menunduk, sahutnya, “Kejadian ini timbul karena hamba melalaikan tugas, hamba rela
seorang diri menyerbu ke Thian-seng untuk menolong Ma-ciangkun, soal yang lain kukira cukup
gampang untuk diatasi.”
“Mana boleh begitu,” teriak tuan putri, “kau sediri sudah sangat letih, mana boleh seorang diri
ke sana!”
Sekilas Ma Gwat-sian pandang tuan putri lalu menundukkan kepala.
Hun Thian-hi menunduk tanpa bicara, memang dia sudah merasa cukup letih dan lesu, dua hari
ini ia terlalu tekun mempelajari Wi-thian-cit-ciat-sek, teringat olehnya Thian-bi-siang-kiam,
terbayang akan guru Ma Gwat-sian, ia heran kenapa mereka begitu acuh tak acuh terhadap
kemelut di negeri sendiri ini.
Terdengar Baginda berkata, “Untuk sementara kuduga Ing Si-kiat tidak berani bertindak
terhadap Ma-ciangkun, kau memang sudah letih, pergilah istirahat dulu. Soal ini tak kesusu
diselesaikan!”
Hun Thian-hi tertawa getir, sampai pada detik ini temponya tinggal beberapa jam lagi,
bagaimana dirinya tidak akan gugup, sambil mendongak ia berkata, “Bagi hamba soal ini sangat
penting dan genting. sekarang juga hamba harus berangkat.”
Baginda menghela napas tanpa bersuara lagi. Dengan langkah lebar Hun Thian-hi segera
beranjak keluar.
“Tio-ciangkun!” tiba-tiba Ma Gwat-sian berseri.
Langkah Hun Thian-hi merandek dan berputar mengawasi Ma Gwat-sian.
Kata Ma Gwat-sian: ….Kemaren Suhu kemari, tanpa diberitahu aku pun sudah tahu
Permintaanmu! Kau tidak perlu kesusu pergilah istirahat!”
Terbayang oleh Thian-hi akan kata-kata si Nikoh itu, “Kau ingin Gwat-sian minta ampuh bagi
kau?”
Ia menjadi geli dan berkata, “Tidak apa-apa, aku tidak seletih seperti yang kalian bayangkan!”
segera ia memutar tubuh terus berlari pergi.
Setelah melihat bayangan Hun Thian-hi menghilang diluar Ma Gwat-sian menunduk, Dengan
lekat tuan putri mengawasi dirinya.
Setelah keluar dari gedung Ma-ciangkun, seorang diri Hun Thian-hi menuju ke arah Thian-seng.
Sekonyong-konyong didengarnya sebuah suara yang sangat dikenalnya dari ufuk sebelah utara
nan jauh sana, sejenak ia terlongong, dilihatnya di sebelah utara sana seekor burung dewasa
tengah menukik turun ke arah utara kota Bi-seng, itulah letak dimana tebing curam itu berada,
hatinya semakin tegang, kiranya Bu-bing Loni telah mengejar tiba sampai disini, dihitung2
waktunya, memang jangka perjanjian setahun sudah tiba diambang mata.
Baru sekarang Thian-hi sadar, kenapa Thian-bi-siang-kiam dan guru Ma Gwat-sian tidak muncul
selama ini, terasa olehnya sang waktu semakin mendesak segera ia keprak kudanya dilarikan
sekencang mengejar angin, sekejap saja tibalah dia di Thian-seng, pintu gerbangnya yang
diterjang jebol masih belum sempat diperbaiki maka dengan gampang saja Thian-hi terus
menerjang masuk, para tentara yang berjaga menjadi takut dan lari cerai berai berkaok2.

Thian-hi tahu dimana Ing Si-kiat berada maka langsung ia keprak kudanya membelok ke arah
kiri, dari depan ia dipapaki sebarisan tentara yang membawa tameng dan tombak terus menerjang
dan mencegat dihadapannya, namun tanpa gentar sedikit pun Thian-hi menerjang dengan
kudanya. Belum lagi dekat mendadak dari depan sana Thian-hi dihujani anak panah yang tidak
terhitung banyaknya. Cukup dengan sepasang tangan sambil mengerahkan Pan-yok-thian-kang
seluruh anak panah itu kena disampoknya jatuh, sementara kudanya masih mencongklang pesat
ke depan langsung menuju ke gedung Siangkok.
Sepanjang jalan ini dirinya disongsong oleh ke-lompok2 tentara yang bersenjata lengkap
berusaha merintangi dan mencegat Thian-hi. namun dengan kehebatan tenaga dan ilmu saktinya,
Thian-hi dapat membikin seluruh perintangnya bercerai berai, pontang panting tak bangun lagi.
Waktu hampir sampai digedung Siangkok. tiba-tiba didengarnya lengking suara seruling bambu
yang mengalun halus, bertepatan dengan itu, dari pintu besar Siangkok berbondong-bondong
menyerbu keluar banyak sekali ular besar kecil dari berbagai jenis.
Thian-hi menggeram gusar, ia berpaling dan mengawasi dangan tajam. tampak di atas sebuah
pohon tinggi di dalam halaman gedung Siangkok ada seorang berpakaian baju putih sembunyi
disana sambil meniup seruling bambu itu.
Dengan membekal ilmu sakti mana Thian-hi takut menghadapi ular-ular ini, tapi terhadap si
orang yang meniup seruling bambu mengendalikan ular-ular itulah ia benci sekali, sekali menyedot
napas, tiba-tiba tubuhnya mencelat mumbul ke tengah udara secepat kilat terbang menerjang ke
arah si orang baju putih di atas pohon itu.
Orang baju patih itu terkejut dan menjadi ketakutan. cepat ia diumpalitan turun dan hinggap di
atas tanah, maksudnya hendak melarikan diri. Tapi sementara itu Thian-hi sudah melampaui
tembok tinggi pagar gedung Siangkok, dari ketinggian ia menukik seraya menepuk sebelah
tangannya kebawah, kontan si orang baju putih menjerit ngeri dan muntah darah. tubuhnya
terguling dan tidak bergerak lagi.
Luncuran tubuh Thian-hi terus menerjang ke dalam, langsung menuju keruang besar belakang,
baru saja kakinya melangkah masuk lantas dirinya dihujani anak panah pula, cepat Thian-hi
tarikan sepasang telapak tangannya, untuk melindungi. tubuh, karena rintangan ini serta merta
dirinya menjadi terhalang sebentar.
Sebuah suara lantas berkaok dari dalam, “Tio Gun! Kularang kau masuk, kalau tidak jiwa
saudara angkatmu she Ma ini akan lenyap!” suara ancaman ini terdengar gemetar.
Waktu Thian-hi melihat ke dalam. tampak dua baris tentara berpanah siap dibusur menghadap
kepintu, sedang Tan-siangkok dan Ing Si-kiat kelihatan berdiri sebelah samping, Ing Si-kiat sendiri
juga menentang busur menjujuhkan ujung panahnya kepunggung Ma Bong-hwi, asal ia lepaskan
panahnya itu. kontan jiwa Ma Bong-hwi pasti melayang.
Thian-hi menjadi bingung, sesaat ia merandek sambil melolos keluar pedangnya, hatinya
bekerja cepat menerawang tindakan selanjutnya.
Dengan mendelik Ing Si-kiat berseru, “Lekas keluar, kalau tidak jiwa Ma Bong-hwi menjadi
jaminan!”
“Thian-hi!” teriak Ma Bong-hwi “Jangan kau hiraukan aku, bila dia bunuh aku, kaupun bunuh
dia menuntutkan balas sakit hatiku.”
Ing Si-kiat menjengek, seringainya, “Ma Bong-hwi, apakah kau rela mati konyol? Keluargamu
sedang menanti kedatanganmu!”

“Ing Si-kiat!” teriak Hun Thian-hi lantang, “Berani kau mencabut seujung rambutnya saja, akan
kubuat kau mati konyol lebih seram dan lebih mengenaskan!”
Bercekat hati Ing Si-kiat, nyalinya menjadi ciut saking gentar kakinya rada lemas dan mundur
selangkah, kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Thian-hi, kontan ia ayun pedangnya, selarik
sinar terang segera melesat ke depan. Tepat pada waktu itu anak panah dibusur Ing Si-kiat juga
menjepret ke punggung Ma Bong-hwi, tujuan Ing Si-kiat menamatkan jiwa Ma Bong-hwi namun
pedang Thian-hi secara tepat berhasil mengutungi anak panahnya di tengah jalan.
Seiring dengan ayunan tangan melemparkan pedangnya Thian-hi melesat seperti burung elang
menubruk maju, barisan pemanah segera menyongsong dirinya dengan puluhan anak panah yang
diberondongkan kepada dirinya, namun secara mudah Thian-hi berhasil meruntuhkan semua anak
panah dengan pukulan saktinya, melihat kesaktian Thian-hi para pemanah itu menjadi ketakutan
dan lari sipat kuping.
Terlihat oleh Thian-hi Ing Si-kiat juga terbirit2 lari ke dalam, namun didapatinya Ma Bong-hwi
rebah di lantai, tiada tempo ia mengejar Ing Si-kiat, cepat atau lambat pasti durjana itu bakal
dihukum setimpal, maka cepat ia membuka melenggu Ma Bong-hwi serta menolongnya bangun,
dijemputnya sebatang pedang diserahkan kepadanya.
Dengan malu dan penuh sesal Ma Bong-hwi berkata, “Lote! Untung kaulah adanya, bila aku
sendiri tidak tahu apa yang harus kulakukan!”
“Toako tidak usah main sungkan lagi, yang penting kita harus cepat menerjang Keluar!”
Begitulah sambil menenteng pedang mereka menerjang keluar, melihat Thian-hi begitu gagah,
keluar masuk begitu gampang seolah-olah rintangan yang dihadapi dianggap rumput yang
gampang diinjak2 para tentara yang berjaga di luar menjadi kuncup nyalinya, apalagi Ma Bong-hwi
sudah lolos maka mereka tidak berani maju merintangi. Setelah berhasil merebut dua ekor kuda
mereka langsung mencongklang keluar kota langsung menuju ke Bi-seng.
Begitu memasuki Bi-seng, seluruh rakjat dan pasukan di sana menyambut mereka dengan
sorak sorai yang gegap gumpita. Ma Bong-hwi sedikit kikuk, langsung mereka menuju ke gedung
kediamannya.
Begitu masuk di dalam, Baginda segera menyongsong keluar, betapa girang hatinya sungguh
sukar dilukiskan, sampai tidak bisa berkata-kata.
Segera Ma Bong-hwi sembah hormat, serunya, “Hamba terlalu tidak becus sampai terjatuh di
tangan Ing Si-kiat, hampir saja membuat malapetaka bagi seluruh negeri, harap Baginda suka
memberi hukuman yang setimpal.”
Baginda tertawa, ujarnya, “Soal ini sulit diduga sebelumnya, kau bisa selamat dan situasi sudah
dapat diatasi, tidak perlu kau salahkan diri sendiri lagi!” — lalu ia berpaling dan berkata pada Hun
Thian-hi, “Tio-ciangkun sungguh gagah perwira, tentu kau sudah banyak capai.”
Hun Thian-hi tertawa, sahutnya, “Sekarang Ma-ciangkun sudah pulang dengan selamat, segala
sesuatunya pasti dapat dibereskan. Hamba masih ada sedikit urusan, mohon ijin untuk keluar
sebentar!”
Tuan putri menjadi gugup, serunya, “Kau sudah begitu letih, ada urusan apa lagi, apakah tidak
bisa besok saja?”

“Urusan ini sangat penting, aku sendiri merasa sudah terlambat, bila segera tidak kususul
kesana, entah apa akibatnya nanti!”
“Jadi maksud Tio-ciangkun sekarang juga hendak berangkat?” sela Ma Gwat-sian gelisah.
“Belum tahu,” sahut Thian-hi, ia tahu orang salah paham, maka sambungnya, “Tapi gurumu
pasti juga disana, bila itu benar-benar selanjutnya aku tidak akan kembali lagi.”
“Apa!” teriak Tuan putri gugup, “Kau hendak pulang ke Tionggoan?”
Ma Bong-hwi berjingkrak kaget, teriaknya, “Apa! Thian-hi! Kau….”
Hun Thian-hi tersenyum lebar, katanya, “Terdesak oleh keadaan, sekarang juga aku harus
pergi!” lalu ia menjura memberi hormat kepada seluruh hadirin, cepat-cepat terus berlari keluar.
Baginda sendiri merasa diluar dugaan, namun tiada alasan ia mencegah pemberangkatan
orang, terpaksa ia berteriak, “Tio-ciangkun, bila kau sudi, Thian-bi-kok selamanya menyambut
kedatanganmu dengan tangan terbuka!”
Thian-si melambaikan tangan serta nyatakan terima kasih, setelah segala barang-barangnya
diamhil langsung ia melayang cepat keluar. Seluruh penghuni kota Bi-seng berbondong-bondong
keluar mengantar pemberangkatan Thian-hi.
Thian-hi sudah siap untuk meningalkan tempat ini, namun selama empat bulan ia menetap di
Thian-bi-kok kesannya terlalu mendalam, ia menjadi berat untuk meninggalkan negeri kecil ini.
Tapi serta teringat kejadian yang bakal terjadi di tebing tinggi sana, kakinya menjadi semakin
cepat melangkah. langsung ia menuju ke utara keluar lewat pintu utara. Para penjaga di atas
benteng kota menjadi heran, tak tahu mereka kemana Hun Thian-hi hendak pergi.
Waktu Thian-hi mendongak tampak burung dewata itu masih terbang berputar-putar di atas
tebing curam itu, berdebuk jantung Thian-hi, gebrak perkelahian kali ini pasti sangat seru dan
sengit, sampai lama ternyata masih belum ada kepastian siapa lebih unggul atau asor. Tengah ia
berpikir2 dan melangkah lebih cepat, tiba-tiba burung dewata itu terbang di atas kepalanya,
berputar dua kali. Waktu Thian-hi mendongak, tampak Siau Hong tengah bercokol di atas
punggung burung dewata itu, baru saja ia hendak berteriak memanggil, burung dewata itu sudah
menukik turun hinggap di tanah. Di lain saat Siau Hong sudah muncul di depan matanya, kedua
biji matanya yang bundar besar terkesima mengawasi dirinya.
“Siau Hong!” panggil Thian-hi tertawa.
Siau Hong berkata kaget, “Tak nyana kau berada disini. kenapa kau berdandan demikian?”
.”Mencari aku bukan?” tanya Thian-hi tertawa
Siau Hong tertawa, katanya, “Bersama Siocia kami mencarimu ke-mana-mana, kelihatannya
puncak tebing ini rada aneh, baru saja kami turun lantas kepergok dengan seorang Nikoh dan dua
orang kakek. Kontan mereka lantas bertempur begitu sengit.”
Tersentak jantung Thian-hi, batinnya, “Kiranya Ham Gwat juga telah datang.” sembari tertawa
ia berkata pula, “Akupun tengah menuju ke sana!”
“Apa!” teriak Siau Hong kejut, “Kau mau mengantar kematianmu?”

Thian-hi mandah tersenyum tanpa buka bicara lagi, secepat terbang mereka melayang menuju
ke arah tebing itu. Melihat Thian-hi lari begitu cepat seperti tidak menggunakan tenaga sedikitpun,
batin Siau Hong menjadi heran dan bertanya-tanya, segera ia kerahkan tenaganya untuk adu
kekuatan lari cepat.
Lwekang Thian-hi saat itu boleh dikata sudah mencapai tingkat kaki melangkah berjalan di
udara, langkah kakinya itu sudah bergerak paling lamban. Tapi bagi Siau Hong masih terlalu
cepat, keruan bercekat hatinya, sungguh ia heran akan ilmu silat Hun Thian-hi yang maju begitu
pesat.
Waktu mereka tiba di pinggir tebing, sementara itu dengan pedang tunggalnya Ham Gwat
tengah menghadapi keroyokan Pek-bi-siu dan Giok-hou-sian, pedang Ham Gwat bergerak begitu
lincah dan gesit sekali mendesak kedua musuhnya, Pek-bi-siu sudah kerahkan seluruh tenaga dan
bojong keluar seluruh kemampuan, namun kepandaian mereka memang kalah setingkat,
betapapun mereka berusaha tetap terdesak di bawah angin. Sebaliknya seperti menari
mendemonstrasikan gaya permainan pedangnya yang indah gemulai, Ham Gwat bergerak lamban
dan seenaknya saja.
Diam-diam Thian-hi menjadi kagum akan Lwekang Ham Gwat yang tinggi dan hebat ini, selama
ini belum pernah lihat Ham Gwat bertempur lawan orang, kini sekali dia turun tangan. melihat
permainan pedangnya itu, hatinya menjadi mencelos dan mengeluh dalam hati.
Dalam pada itu, dengan lirikan matanya Ham Gwat pun sudah melihat kehadiran Thian-hi,
dilihatnya pakaian Thian-hi yang aneh itu, pandangan sinar matanya mengunjuk rasa heran dan
tak mengerti, namun hanya sekejap saja lantas pulih seperti sediakala, kaku dingin tak
berperasaan.
Dilihat oleh Thian-hi si Nikoh menggembol kecapinya menonton di pinggiran…. Diam-diam ia
turut kuatir akan keselamatan Ham Gwat, begitu lagu irama abadi dikembangkan, mungkin dia
tidak akan kuat bertahan.
Sementara itu, kedudukan Ham Gwat jelas dipihak yang menang, setiap jurus gerak pedangnya
pasti membawa kesiur angin yang menderu keras merangsak kepada kedua musuhnya. Meski
bergabung namun Thian-bi-siang-kiam dibikin pontang panting menjaga diri keadaannya begitu
runyam, sungguh mereka tidak akan menduga bahwa hari ini mereka bakal terjungkal di bawah
tekanan sebatang pedang seorang gadis muda belia.
“Kau sudah datang!” terdengar si Nikoh menyapa kepada Hun Thian-hi.
Segera Thian-hi menjura, sahutnya, “Gadis ini datang mencari aku, harap Cianpwe melepasnya
pulang, kami akan segera berangkat bersama!”
“Tidak boleh!” sahut si Niko;i dingin, “Jangan asal sebagai murid Bu-bing Loni lantas dia berani
main terobosan di Thian-bi-kok, seumpama Bu-bing Loni sendiri pun tidak kuijinkan.”
Sudah tentu Ham Gwat juga dengar percakapan mereka, namun sinar matanya seperti tidak
menunjukkan perubahan perasaan hatinya, sikapnya masih tetap dingin dan kaku.
“Cianpwe perhitungan ini biarlah aku saja yang menyelesaikan bagaimana?” tanya Thian-hi.
“Kau?” dengus si Nikoh geram, “Keselamatanmu sendiri belum kau urus mau mohonkan ampun
bagi orang lain?”

Dari samping Siau Hong segera menimbrung bicara, “Buat apa kau bicara padanya, yang jelas
Siocia berada di atas angin, suruh mereka berlutut kepada Siocia belum tentu Siocia sudi memberi
ampun!”
Kelihatan amarah si Nikoh mulai memuncak, dengan tajam ia menyapu pandang ke tengah
gelanggang, memang Thian-bi-siang-kiam sudah semakin payah dan tidak kuat bertahan lagi.
Segera ia gerakkan tangan kanannya ke arah Thian-hi sedang mulutnya berkata, “Kau sendiri urus
dirimu, jangan cerewet dan turut campur urusan orang lain!”
Begitu mendengar suara kecapi kelihatan Ham Gwat juga tahu akan kelihayan musuh, cepat
pedangnya menyabet balik menyongsong ke arah datangnya suara kecapi.
Thian-bi-siang-kiam berdua menjadi terkejut, cepat mereka jumpalitan mundur ke belakang.
Melihat permainan pedang Ham Gwat begitu lihay, dengan sebatang pedangnya ia mampu
menangkis dan membendung serangan irama kecapinya, diam-diam si Nikoh bercekat, ia percaya
bahwa lagu kekal abadi merupakan ilmu yang tiada taranya di alam maja pada ini, segera
kesepuluh jarinya bergerak lincah memetik snar bergantian, melagukan Tay-seng-ci-lau.
Thian-hi sendiri menjadi kejut dan was-was, cara pertempuran macam ini baru pertama kali ini
dilihatnya, Hui-sim-kiam-hoat memang belum pernah mendapat tandingan yang setimpal, namun
Tay-seng-ci-lau pun sama hebatnya tiada yang kedua di seluruh kolong langit ini.
Setiap petikan irama kecapi si Nikoh tentu dapat disampok atau ditangkis oleh pedang Ham
Gwat, pedang yang bergerak lincah dan hebat di tangannya itu setiap saat selalu memancarkan
cahaya pedang yang putih’kemilau dari desakan tenaga dalamnya yang hebat untuk membendung
rangsakan irama Tay-seng-ci-lau.
Lambat laun lagu Tay-seng-ci-lau semakin keras dan cepat, lapat-lapat terasa adanya nafsu
membunuh yang mulai menghayati serangan irama lagunya. Akhirnya Ham-Gwat meletakkan
pedangnya di tanah dan dia sendiri duduk bersila seperti orang semadi.
Kedua belah pihak bertahan sekian lamanya, saling serang menyerang, sekonyong-konyong
irama harpa si Nikoh berubah. jari jemarinya sekarang memetik lagu Le-liong-jut-cui seluruh
lwekangnya dikerahkan melalui irama lagu ini untuk menyerang kepada Ham Gwat.
Raut muka Ham Gwat semakin pucat dan berkeringat, kelihaiannya sudah tidak kuat lagi.
Tahu bahwa Ham Gwat sudah terdesak segera Siau Hong berseru kepada Hun Thian-hi, “Lekas
kau tolong Siocia kami!”
Hun Thian-hi insaf bila Ham Gwat tetap bertahan dan melawan mati-matian akhirnya pasti
bakal terluka dalam yang teramat parah, atau mungkin seluruh perutnya hancur dan sungsang
sumbel sampai menemui ajalnya dengan mengenaskan.
Thian-hi tidak berayal lagi, sembari berkelebat ia meloloskan pedang. kontan ia lancarkan jurus
pertama dari ilmu Wi-thian-cit-ciat-sek yang bernama Thian-wi-te-tong (bumi bergerak langit
berputar), pedangnya terangkat tinggi ke depan seperti tidak bergerak. namun dalam gerak
terpaut beberapa mili saja itu sudah kerahkan seluruh Lwekangnya di atas ujung pedang. Setabir
sinar perak kemilau dari batang pedang melesat keluar menggetar balikkan tenaga serangan si
Nikoh melalui irama lagunya yang hebat itu.

Biji mata Ham Gwat rada terbuka mengawasi Thian-hi, sedikitpun ia tidak merasa heran atau
aneh. seolah-olah ia sudah tahu bahwa Thian-hi membekali ilmu yang teramat sakti ini.
Sebaliknya Siau Honglah yang kegirangan seperti putus lotre beberapa juta, teriaknya, “Siocia!
Lihatlah Hun-siangkong, ilmu pedangnya ternyata begitu lihay. ilmu pedang Suthay kiranya juga
hanya begitu saja!”
Adalah si Nikoh itu yang bercekat, dua hari saja Thian-hi menyekap diri, namun ilmu pedangnya
ternyata sudah maju melompat beberapa kali lipat hebatnya. Ternyata ia mampu menggunakan
hawa pedang untuk menyerang musuh, sejak dulu ia pernah dengar mengenai penggunaan hawa
pedang untuk menyerang musuh dan belum pernah menyaksikan sendiri. Sekarang dengan mata
kepalanya sendiri ia saksikan seorang pemuda berusia likuran dapat menggunakan ilmu sakti yang
tiada taranya itu justru untuk melawan dirinya, keruan kejutnya bukan main.
“Hun-siangkong!” teriak Siau Hong pula dari samping, “Ilmu pedang apakah yang kau mainkan
ini! Kenapa batang pedangmu sedikitpun tidak bergerak!”
Mendengar seruan Siau Hong ini, bertambah besar kejut si Nikoh, kenapa aku begitu gegabah.
segera ia hentikan petikan harpanya serta berkata kepada Thian-hi, “Adakah yang kau gunakan ini
Wi-thian-cit-ciat-sek?”
Thian-hi rada tercengang. Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan ilmu sakti yang sudah putus turunan
sel ma beberapa ratus tahun lamanya. Latihan dirinya pun belum sempuma paling-paling baru
mencapai 80%, namun sekali dirinya menggunakan ilmu ini lantas dapat dikenali asal usulnya.
Mendengar akan nama Wi-thian-cit-ciat-sek, meski raut wajah Ham Gwat selalu kaku dingin ini
tak urung sinar matanya memancarkan cahaya terang yang sangat aneh, kelihatannya heran.
kaget dan aneh namun juga mengandung rasa kurang percaya. tapi juga sangat kegirangan,
akhirnya seperti rada kecewa pula. Perubahan pancaran sinar matanya ini terjadi dalam kilasan
waktu saja, tiada seorangpun yang tahu.
Thian-hi merenung sebentar, dia ragu-ragu untuk menerangkan dihadapan Siau Hong dan Ham
Gwat karena mereka adalah murid dan pembantu Bu-bing Loni, apalagi Wi-thian-cit-ciat-sek belum
lagi sempurna dilatih olehnya, bila mereka memberitahu rahasia ini kepada Bu-bing Loni, mungkin
jiwanya bakal terancam bahaya, Namun sesaat ia bersangsi akhirnya ia manggut-manggut sambil
mengiakan.
“Darimana kau pelajari ilmu ini?” tanya si Nikoh.
Hun Thian-hi awasi si Nikoh, dia guru Ma Gwat-sian, tidak seharusnya aku bohong padanya,
katanya, “Ka-yap Cuncia yang menganugerahkan kepada aku!”
“Beliau!” teriak si Nikoh dengan kejut.
Diam-diam Thian-hi curiga, dari nada teriaknya kelihatannya ia cukup kenal siapa itu Ka-yap
Cuncia.
Akhirnya si Nikoh menghela napas panjang, tanyanya, “Siapa kau sebenar-benarnya?”
“Aku sebagai murid angkatnya!”
“Beliaukah yang suruh kau kemari?”

Thian-hi manggut-manggut, sahutnya, “Benar-benar, Taysu memberi pesan supaya aku tidak
menonjolkan ilmu silat sebelum Wi-thian-cit-ciat-sek kulatih sempurna dilarang meninggalkan
tempat ini.”
“Kalau begitu akulah yang salah. Seharusnya aku tidak membocorkan rahasiamu kepada Gwatsian.
Apakah Wi-thian-cit-ciat-sek sudah kau latih sempurna seluruhnya?”
Thian-hi geleng kepala, sahutnya, “Belum seluruhnya, soalnya terjadi huru-hara dalam negara
tadi sehingga latihanku tertunda beberapa bagian!”
“Aku bernama Po-ci,” si Nikoh memperkenalkan dirinya. “Bila jumpa dengan gurumu, tolong
sampaikan salamku pada beliau. Apakah kau tidak mau tinggal lagi beberapa lama?”
“Tidak perlu lagi, sekarang juga aku sudah siap untuk berangkat!”
“Terpaksa aku tidak menahanmu lagi, kelak bila kau memerlukan tenagaku akan kubantu
sekuat tenaga!” demikian ujar si Nikoh, lalu sambungnya, “Sekarang bolehlah kalian berangkat
bersama!” habis berkata bersama Pek-bi-siu dan Giok-hou-sian mereka tinggal pergi.
Dengan suara lirih Siau Hong bertanya pada Thiani-hi, “Benar-benarkah kau murid Ka-yap
Cuncia?”
Thian-hi tertawa kikuk, katanya, “Belum terhitung muridnya, yang benar-benar memang dia
serahkan ilmu Wi-thiat-cit-ciat-sek kepada aku, dianggapnya aku sebagai murid angkat belaka.”
Siau Hong meleletkan lidahnya, katanya, “Tak heran ilmu psdangmu begitu lihay, hampir lebih
tinggi dari kepandaian Suthay!”
Thian-hi tertawa tawar. Katanya, “Sunggun menyesal pesan beliau tiada satupun bisa
kulaksanakan dengan baik.”
“Kau hendak tinggalkan tempat ini. maksudmu hendak pulang ke Tionggoan?”
“Aku sendiri masih bingung apa yang harus kulakukan, yang jelas aku memang harus
meninggalkan tempat ini!”
“Belum pernah kulihat orang setolol kau. kemana dirinya hendak pergi kok tidak tahu, menurut
perasaanku sikap dan watakmu sudah jauh lebih baik daripada waktu pertama kali aku jumpa
dengan kau dulu!’
Thian-hi mandah tersenyum saja. ia berpaling memandang ke arah Ham Gwat, saat mana Ham
Gwat sedang bangkit berdiri, katanya, “Jikalau aku adalah kau, sebelum Wi-thian-cit-ciat-sek
sempurna kulatih aku tidak akan tinggal” pergi!”
Wajah Ham Gwat memang tetap kaku dan dingin. namun sinar matanya memancarkan cahaya
jernih dan kalem yang melimpah dari kemurnian hatinya. Hati Thian-hi menjadi hangat, katanya,
“Terimakasih, pasti akan kusempurnakan!”
Ham Gwat menunduk ujarnya, “Sekarang Tionggoan sudah di bawah cengkeraman Tok-simsin-
mo. Sejak ia lolos dari Jian-hud-tong mengandal kepandaiannya yang hebat ia berhasil
menundukkan Partai Merah dan mengusir Partai Putih keluar perbatasan, Jian-hud-tong dibangun
sebagai sarang pangkalannya. Guruku tidak mau saling bentrok padanya maka mengumbar saja
perbuatannya. yang bersimaharaja itu.”

Thian-hi rada kaget akan perkembangan situasi yang tidak diduga ini. tanyanya cepat, “Lalu
bagaimana dengan Kiu-yu-mo-lo dan Pek-kut-sin-mo?”
“Soal mereka aku tidak tahu! Mengandal ilmu kepandaianmu sekarang. seorang diri
menghadapi gerombolan Tok-sim-sin-mo itu masih jauh dari cukup Ketahuilah anak buahnya
semua adalah gembong-gembong iblis yang sudah lama mengasingkan diri dan kenamaan,
berkepandaian tinggi lagi.” *
“Terimakasih akan penjelasanmu ini!”
“Kedatanganku hari ini sebenar-benarnya mencari kau, untuk menyeretmu kehadapan guruku.
tapi tadi kau menolong jiwaku, sekarang aku harus pulang, biarlah lain kesempatan saja kubalas
kebaikan badimu ini!”
“Nanti dulu!” seru Thian-hi tergesa-gesa.
“Aku tahu, maksud baikmu, mungkin tidak berguna lagi, tapi aku terima maksud baikmu ini!”
lalu bersama Siau Hong ia naik ke atas panggung burung dewata dan terbang tinggi menghilang.
Thian-hi terlongong dipinggir tebing, baru pertama kali ini sejak kenal dulu ia langsung
berhadapan dan bicara dengan Ham Gwat, apa yang terasa sekarang olehnya bahwa Ham Gwat
ternyata begitu lemah lembut, berperasaan halus dan simpatik, jauh berlainan dengan kesannya
dulu yang kaku dingin dan congkak itu. Waktu bicara tadi kelihatan rasa simpatiknya terhadap
dirinya. ia prihatin akan keselamatan dirinya.
Pikir punya pikir, akhirnya hatinya menjadi mencelos, bukankah Ham Gwat masih anggap
dirinya sebagai musuh besarnya. Begitulah Thian-hi menjublek dipinggir tebing, perasaannya
panas dingin bergantian, akhirnya pelan-pelan ia memutar tubuh hendak tinggal pergi. Mendadak
ia merasa segulung angin keras menerpa datang dari belakang, keruan kejut Thian-hi begitu
mendengar kesiur angin ini lantas ia tahu bahwa yang datang ini pasti seorang tokoh silat yang
berkepandaian tinggi, bukan saja tokoh malah seorang kosen lagi.
Lincah sekali kakinya bergerak pindah kedudukan seraya memutar balik. sekali pandang tanpa
terasa ia menjadi berjingkrak kegirangan, kiranya pendatang ini bukan lain adalah Pek-kut-sin-mo
Pek Si-kiat adanya.
“Paman Pek!” teriak Thian-hi kegirangan.
Pek Si-kiat tertawa lebar, katanya, “Ka-yap Taysu berpesan supaya aku kemari menjemput kau
pulang, apa kau tahu kenapa beliau antar kau ke tempat ini?”
“Disini aku tidak akan direcoki orang lain.”
“Bukan begitu, Ka-yap Taysu tahu betapapun kau akan menggunakan ilmu silatmu, karena kau
manusia, manusia punya hati dan dapat berpikir, betapapun kau tidak akan dapat
menyembunyikan kepandaian silatmu.”
Thian-hi terlongong, katanya, “Jadi buat apa Ka-yap Taysu menyuruh aku kemari?”
“Tiada maksudnya yang tertentu, yang utama dia hendak melatih kesabaranmu, beliau
menjelaskan kepadaku supaya aku menerangkan pula kepada kau, ilmu silatmu baik sekali, kau
punya keberanian dan ketekunan melakukan segala sesuatu yang harus kau kerjakan, yang
kurang ialah bahWa kau jarang menggunakan otakmu untuk beipikir!”

Terlihat oleh Thian-hi dibalik senyum Pek Si-kiat itu samar-samar terbayang kekuatiran yang
mencekam hatinya. ia menjadi heran dan bertanya-tanya, namun bila Pek Si-kiat tidak
menjelaskan iapun tidak enak menanyakan. Dalam hati ia membatin, “Orang lain selalu memuji
aku pintar kenapa Ka-yap Cuncia mengatakan aku masih kurang cerdik?”
“Beliau berkata selamanya kau bertindak tanpa memikirkan akibatnya, sepak terjangmu
membabi buta dan serampangan. Dan sekarang kau sudah rela tunduk kepada orang lain, setiap
tindak tandukmu tidak akan gegabah dan ceroboh lagi. itulah kesabaran yang melandasi
sanubarimu dan itulah kecerdikan hanya sabar dan bijaksana baru akan timbul akal cerdikmu!”
“Paman Pek. kenapa guru tidak langsung menjelaskan saja kepada aku?”
Pek Si-kiat menghela napas rawan, ujarnya, “Beliau sudah lama mangkat!”
Thian-hi terlongong-longong sedih, dia menunduk berdoa.
Selanjutnya Pek Si-kiat memberi gambaran situasi kalangan Kangouw di Tionggoan, selama ini
ia menjelajahi jejak Kiu-yu-mo-lo tanpa berhasil. Tok-sim-sin-mo sudah lama lolos, untuk kesekian
kalinya ia main bersimaharaja di Kangouw. Karena menghilangnya Thian-hi sekian lamanya
berbagai aliran dan golongan yang meng-uber-uber dirinya itu sekarang menjadi putus asa dan
tawar. Apalagi Tok-sim-sin-mo malang melintang membuat huru hara dimana-mana.
Memang berbagai aliran dan golongan dari kaum lurus beberapa kali niat bergabung
menghantam Tok-sim-sin-mo, dasar licik dan banyak kaki tangannya, pihak Tok-sim-sin-mo selalu
dapat bertindak lebih cepat menumpas para aliran lurus itu, lambat laun kekuatan aliran besar
kecil dari Bulim menjadi lemah dan tidak berdaya lagi. Melulu Siau-lim-pay saja yang masih tetap
jaya, berdiri tegak tanpa tergoyahkan. Soalnya mereka jarang turut campur urusan dunia
persilatan, pihak Tok-sim-sin-mo sendiri juga segan mencari gara-gara terhadap mereka, yang
jelas karena Thian-cwan dan Te-coat kedua Taysu yang teragung dari pihak Siau-lim masih sehat
kuat, betapapun Tok-sim-sin-mo harus berpikir dua belas kali untuk memancing kerusuhan
terhadap pihak yang paling kuat ini.
Bab 19
Begitulah sambil bercakap-cakap Thian-hi berdua menempuh perjalanan, terlihat oleh Thian-hi
wajah Pek Si-kiat dirundung hawa kekuatiran yang melesukan hati, beberapa kali ia niat bertanya
namun selalu urung.
Diam-diam heran Thian-hi, akhirnya tak tertahan ia bertanya, “Paman Pek, apa pula yang perlu
kau katakan?”
Pek Si-kiat beragu sebentar, katanya, “Hun-hiantit, ingin kutanya kau, Wi-thian-cit-ciat-sek
sudah sempurna kau latih belum?”
Mendengar orang menanyakan soal itu, berdetak jantung Thian-hi, tahu dia bahwa urusan pasti
rada janggal, atau pasti terjadi sesuatu yang menyulitkan, soalnya Pek Si-kiat masih kuatir bila Withian-
cit-ciat-seknya belum sempurna sulit untuk mengatasi soal ini, maka dia tidak berani
membuka mulut.
Dari sikap dan raut muka Pek Si-kiat dapat diraba bahwa persoalan ini tentu sangat penting dan
genting, katanya, “Yang lain tidak berani kukatakan, melulu menghadapi Tok-sim-sin-mo kiranya
cukup berlebihan!”

“Apa benar-benar?” Pek Si-kiat menegas dengan muka kegirangan. “Hian-tit, ada sesuatu hal
yang harus kau sesalkan terhadapku, harap kau suka memaafkan!”
“Soal apakah sebenar-benarnya, harap paman suka menjelaskan?”
“Kalau dibicarkan sungguh memalukan, aku kehilangan taci angkatmu Sutouw Ciko!”
“Apa?” tanya Thian-hi berjingkrak.
“Ka-yap Taysu menyuruh aku menunggu sampai burung dewata muncul, bila kau turun segera
kami harus langsung pulang ke Tionggoan, bila kau tidak turun, sepuluh hari kemudian aku harus
naik ke atas tebing menyambut kau. Tapi aku kehilangan Sutouw Ci-ko terpaksa aku memburu ke
atas.”
Thian-hi menenangkan hati, katanya, “Paman tahu cara bagaimana menghilangnya?”
“Diculik oleh Tok-sim-sin-mo!”
“Bukanlah Ci-ko tidak punya permusuhan apa dengan mereka.”
“Benar-benar, tapi Ci-ko bersama aku. kubawa dia mengembara di Kangouw, entah bagaimana
akhirnya Tok-sim tahu bahwa aku juga sudah lolos, berulang kali ia mengutus anak buahnya
mencari aku minta aku masuk menjadi anggota gerombolan mereka, namun dengan tegas
kutolak, siapa kira dia malah menculik Ci-ko sebagai sandera.”
Thian-hi menjadi gugup, katanya, “Entah bagaimana pula keadaan Ci-ko?”
“Dia minta aku menjadi anggota dan diangkat sebagai Wakil Pangcu, sudah tentu dia tidak
berani siksa atau mempersulit Ci-ko, namun bila terlalu lama kurasa kurang leluasa juga. Aku tahu
tenagaku bukan lawan Tok-sim, jalan yang terbaik hanya mencari kau. Bila Wi-thian-cit-ciat-sek
sudah sempurna kau latih, apa pula yang perlu ditakuti?”
Thian-hi sudah melulusi permintaan Ham Gwat untuk menyempurnakan dulu latihan Wi-thiancit-
ciat-sek di Thia-bi-kok ini baru pulang ke Tionggoan. Tapi kejadian ini terpaksa harus merubah
pula keputusannya, bgaimana juga ia harus segera menyusul kesana untuk menolong Sutow Ci-ko
meski ilmu pedangnya belum sempurna. Karena itu terpaksa Thian-hi harus menyelusuri pula
jejak2 berdarah di kalangan Kangouw, dan seluruh dunia persilatan bakal gempar pula karena
Thian-hi muncul pula di Kangouw, yang jelas dia harus langsung berhadapan dengan para
gmbong2 iblis yang lihay dan jahat itu.
Dunia persilatan bakal bergelombang dan tiada ketenteraman hidup lagi.
Justru karena Wi-thian-cit-ciat-sek belum lagi sempurna latihannya, Thian-hi sendiripun harus
menempuh mara bahaya yang selalu mengancam jiwanya.
Begitulah bersama Pek Si-kiat mereka melakukan perjalanan cepat siang malam untuk
menolong Sutouw Ci-ko dari cengkeraman sarang iblis.
Hari menjelang magrib. sang surja sudah hampir terbenam diutuk barat, cahayanya nan kuning
keemasan terang benderang menerangi jagat raja, di atas tanah tandus yang berdebu ke arah
timur tampak bayangan dua ekor kuda yang memanjang ke depan. di atas kuda ini masing-masing
bercokol Hun Thian-hi dan Pek Si-kiat.

Hun Thian-hi sekarang mengenakan jubah panjang seperti pakaian sastrawan umumnya. Sudah
beberapa hari ini mereka menempuh perjalanan jauh dengan tidak mengenal lelah. tujuan utama
adalah Jian-hud-tong.
Menurut perhitungan Pek Si-kiat, ia mengharap sebelum Sutouw Ci-ko berhasil digondol pulang
masuk ke Jian-hud-tong mereka harus mencegatnya dulu ditengah jalan, menurut situasi dan
keadaan menolong Sutouw Ci-ko dari cengkeraman musuh.
Lambat laun cuaca menjadi gelap, seluruh jagat raja ini dicekam kesunyian dan kegelapan tabir
malam. Mendadak Hun Thian-hi menarik tali kendali serta berkata kepada Pek Si-kiat, “Paman Pek,
ada orang mendatangi dari depan!”
Pek Si-kiat kaget, tahu ia orang yang dimaksud oleh Thian-hi ini tentu seorang tokoh luar biasa,
maka cepat iapun menghentikan lari kudanya, dengan cermat ia pandang ke depan. Benar-benar
juga tak lama kemudian dilihatnya seorang mendatangi. kiranya pendatang ini adalah Bing-tiongmo-
tho (siiblis bungkuk dari Bing-tiong) Sukong Ko.
Sejak Si-gwa-sam-mo kena dibelenggu dan disekam di dalam Jian-hud-tong oleh Ka-yap
Cuncia, Sukong Ko tahu diri, ia mengundurkan diri dari percaturan dunia persilatan. Kini setelah Sigwa-
sam-mo lolos dari hukuman, tujuan yang utama adalah menggabung seluruh kekuatan
golongan hitam untuk menyelidik dan mencari tahu soal mati hidup Ka-yap Cuncia yang ditakuti
itu.
Disamping itu keadaan yang cukup menguntungkan bagi golongan mereka pula sehingga
mereka dapat melebarkan sayap dan kekuasaannya ke-mana-mana, karena pihak aliran lurus
sedang merosot semangat dan tercerai berai. Oleh karena itulah Bing-tiong-mo-tho Sukong Ko
berani menampilkan diri pula dalam gelanggang adu kekuatan antar golongan sesat melawan
aliran lurus ini.
Sudah tentu Pek Si-kiat tahu dan mengenal pribadi Sukong Ko ini melihat munculnya orang ini,
ia insaf bahwa Tok-sim-sin-mo pasti sudah bertindak lebih cepat dari dugaan mereka, tentu
kedatangan Sukong Ko ini tanpa sebab dan tujuan.
Bagaikan angin lesus Bing-tiong-mo-tho Sukong Ko mendatangi kehadapan mereka, setelah
menyapu pandang sebentar ia berkata tertawa kepada Pek Si-kiat, “Pek-heng! Pho-toako
mengutusku kemari untuk menyilahkan kau kesana!”
Thian-hi tidak tahu siapakah Bing-tiong-mo-tho ini. ia heran dan terkejut akan kehebatan
kepandaian orang yang tinggi, dengan cermat ia amati orang, lalu tanyanya kepada Pek Si-kiat,
“Paman Pek! Siapakah orang ini?”
Pek Si-kiat mendengus lirih, sahutnya, “Mo-tho-cu! (iblis bungkuk).”
Selama hidup Sukong Ko paling benci dan sirik bila ada orang memanggilnya si Bungkuk,
mendengar kata-kata Pek Si-kiat, kontan berubah airmukanya, katanya, “Pek-heng! Ketahuilah
kedatangan Sukong Ko hari ini bertujuan baik dan menguntungkan bagi kau, jangan kau sangka
aku gentar menghadapi kau, sekarang aku menjalankan tugas engkohmu untuk mengundangmu
kesana, kau sangka Sukong Ko sudi meminta2 sesuatu terhadap kau!”
Thian-hi belum pernah dengar nama Sukong Ko, namun dari ilmu silat orang dari sikapnya yang
kaku serta punya hubungan erat dengan Pek Si-kiat lagi, ia kira orang sebagai salah satu
gembong-gembong iblis yang telah mengundurkan diri dan sekarang muncul pula di Kangouw.

Pek Si-kiat menyeringai dingin, jengeknya, “Dimana Sutouw Ci-ko sekarang? Lekas kau
bebaskan dia!”
Sukong Ko pun tidak kalah dingin, dengusnya, “Bila kau masuk anggota, jabatan wakil Pangcu
jelas dapat kau duduki, kenapa pula kau terburu nafsu, bukan aku tidak tahu perangaimu, kenapa
kau tidak mau bekerja sama dengan kita? Apakah kau tidak lagi ingin menuntut balas pada Ka-yap
Cuncia yang telah mengurung kalian sekian lamanya?”
“Tutup mulutmu!” hardik Pek Si-kiat. hatinya marah sekali.
Bercekat hati Sukong Ko, betapapun hatinya masih gentar menghadapi Pek Si-kiat, meskipun.
sebagai salah seorang gembong iblis yang jahat dan berkepandaian tinggi, namun bila dibanjng
dengan Si-gwa-sam-mo rasanya masih kalah jauh beberapa tingkat. Membayangkan sepak terjang
Pek Si-kiat dulu, sungguh hatinya jadi mengkirik dan beku darahnya. Tak tahu dia kenapa Pek Sikiat
melepaskan diri dari hubunngan eratnya dengan Tok-sim-sin-mo. Pek Si-kiat dapat
mengendalikan diri, ia tahu tak boleh membawa sikapnya yang keras dan ketus, soalnya Sutouw
Ci-ko masih berada ditangan mereka, yang dikuatirkan justru adalah keselamatan Sutouw Ci-ko.
Dengan memincingkan mata ia pandang muka Sukong Ko lalu katanya pelan-pelan, “Kau pulang
dan suruh Pho Cu-gi kemari bicara langsung dengan aku!”
Dengan heran dan bertanya-tanya Sukong Ko pandang Pek Si-kiat, ia menjadi melengak akan
perubahan
sikap Pek Si-kiat yang mendadak dapat mengendalikan hawa marahnya ini. Sebentar kemudian
ia menyeringai dingin, katanya, “Pek-heng! Apapun yang kau inginkan bakal dikabulkan. Jangan
kau lupa bahwa Sutouw Ci-ko sudah dibawa masuk ke Jian-hud-tong. Lima puluh tahun sudah
menjelang, apakah kau masih takut dan gentar menghadapi Ka-yap si Hwesio tua itu?”
Memang Sukong Ko pernah dengar bahwa Ka-yap Cuncia belum wafat, namun dia tidak tahu
bahwa Pek Si-kiat sekarang sudah berubah haluan, dari tersesat sudah kembali kejalan lurus.
Malah mendapat kebebasan langsung dari Ka-yap Cuncia sendiri. Sekarang Ka-yap Cuncia sudah
ajal, namun sikap Pek Si-kiat ini dianggapnya masih takut menghadapi Ka-yap seperti dulu.
Pek Si-kiat angkat alis, katanya mendengus lirih, “Aku tak sudi banyak mulut pada kau, aku
ingin bicara berhadapan dengan Pho Cu-gi. Dimana dia sekarang?”
“Pek-heng!” sindir Sukong Ko. “Kau tak perlu takut pada Ka-yap lagi, meskipun Pan-yok-hiankangnya
itu merupakan kepandaian tunggal yang tiada taranya, namun kita sudah punya cara
yang paling sempurna untuk mengatasi ilmunya ini!”
Pek Si-kiat semakin murka, semprotnya, “Dimana Pho Cu-gi sekarang?”
Sukong Ko sengaja menghindari pertanyaan ini, matanya melirik ke arah Thian-hi lalu bertanya
pula kepada Pek Si-kiat, “Konon kabarnya Pek-heng menempuh perjalanan bersama seorang yang
bernama Hun Thian-hi, apakah benar-benar bocah ini adanya?”
Pek Si-kiat menyeringai, ejeknya, “Apakah Pho Cu-gi tidak sudi menemui aku? Atau takut
melihat aku?”
Sukong Ko tertawa sinis, sahutnya, “Kau bersaudara dengan dia sekian lamanya. masa tidak
tahu tabiatnya? Emangnya dia pernah takut pada siapa? Bila tidak mendapat persetujuannya aku
sendirilah yang tidak sudi kemari menemui kau, sekarang kaulah yang perlu menemui beliau,
terpaksa akulah yang menunjukkan jalan, tapi jangan kau lupakan tabiatnya!”

Pek Si-kiat mendengus hidung, jengeknya, “Dia pun bukan tidak tahu akan watakku, masa
perlu kau orang luar ikut campur dalam urusan ini. Cukup asal kau bawa aku kepadanya saja!”
“Kalau begitu, akupun tidak akan merintangi perjalananmu sekarang dia berada di Jian-huttong,
mari ku antar kesana!” — habis berkata sebelah tangannya diayun ke belakang, seekor
burung dara segera dilepaskan terbang cepat ke arah barat-laut. Pek Si-kiat cukup melirik saja,
dengan kaku ia awasi Sukong Ko.
“Sekarang aku sudah memberi lapor, tidak bisa tidak kau harus datang ke sana!”
“Kau kira aku takut berhadapan dengan dia?”
Sukong Ko mandah menyeringai dingin, segera ia putar kudanya terus dilarikan dengan cepat.
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat Cersil Cin Tung : Badik Buntung [2] dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat Cersil Cin Tung : Badik Buntung [2] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cerita-silat-cersil-cin-tung-badik_25.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat Cersil Cin Tung : Badik Buntung [2] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat Cersil Cin Tung : Badik Buntung [2] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat Cersil Cin Tung : Badik Buntung [2] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cerita-silat-cersil-cin-tung-badik_25.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar