Cerita Silat CERSIL OKT : Pedang DARAH BUNGA IBLIS [Lanjutannya]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 25 Agustus 2011

CERSIL OKT : Pedang DARAH BUNGA IBLIS [Lanjutannya Cerita Silat OKT Pedang darah Bunga IBLIS]

seorang wanita dari semula sampai akhir selamanya akan setia
kepada suaminya, tapi entah bagaimana aku harus memberikan
pertanggungan jawabku kepada Te po atau seluruh penghuni
perkampungan ini. Tapi Engkoh Bing, aku tetap masih menepati
janjiku semula kepada kau, tiga hari lagi kau pasti dapat berada
lagi dikalangan Kangouw, tentang selanjutnya..." tak kuasa ia
melanjutkan kata2nya, airmata semakin deras meleleh keluar.
Sepasang kemanten baru yang bahagia seharusnya merasa riang
gembira, ini merupakan saat yang paling menggembirakan selama
hidup ini, adalah sebaliknya mereka lewatkan saat2 yang bahagia itu
digenangi airmata yang memilukan hati.
Tengah mereka ber-cakap2 inilah mendadak terdengar suara
seorang dayang berkata: "Lapor Kiongcu, Coh yu hu pit tengah
menanti kedatangan Hu ma diluar ruangan istirahat!"
"Sudah tahu, segera kita datang!" Alis Suma Bing berkerut
dalam, katanya: "Mau pergi kau
pergilah sendiri, aku tiada minat bertemu dengan mereka."
"Engkoh Bing, tidak dapat tidak kau harus temui mereka."
"Tidak!" "Engkoh Bing, kedudukan Coh yu hu pit ini hanya lebih
rendah dibawah ayah baginda, kalau dia minta bertemu, pasti ada
urusan apa2 yang sangat penting, harap kau suka menyusahkan
diri sebentar untuk bertemu dengan mereka!" — wajahnya
mengunjuk rasa memohon yang harus dikasihani.
Apa boleh buat terpaksa Suma Bing mengangguk juga. Dibimbing
dan diiringi serombongan para dayang2 be-ramai2 mereka
menuju ruang istirahat yang terletak disebelah kamar mereka.

Dua orang tua yang masing2 tangan kiri kanan mereka membekal
lencana gading mengenakan pakaian kebesaran lengkap sudah
menanti ditengah ruang istirahat ini.
"Coh hu Si Kong teng. Yu pit Ciu Goan tiong menghadap Hu ma dan
Kiongcu!" kedua orang tua ini berbareng memperkenalkan diri
sambil membungkuk hormat!"
Sikap Suma Bing tetap dingin, tangan diulapkan dan berkata:
"Kalian tidak perlu banyak peradatan, ada kepentingan apakah?"
Co hu Si Kong teng berkata dengan sikap serius: "Kami dapat
perintah dari Te kun untuk mempersembahkan arak kepada Hu
ma!"
"Memberi arak?" - dengan penuh keheranan dan tak mengerti
Suma Bing melirik kearah Pit Yau ang.
Pit Yau ang berkata lirih: "Nyatakan terima kasih akan pemberian
arak ini!"
Sekian lama Suma Bing ragu2, akhirnya berkata ogah2an:
"Terima kasih!"
Dia tidak tahu persoalan apalagi tentang pemberian arak ini,
pikirnya, apa mungkin ada muslihat apalagi?
Yu pit Ciu Goan tiong segera mengeluarkan sebuah cangkir kecil
yang terbuat dari batu giok dari balik jubahnya yang besar
kedodoran, serta sebuah poci kecil berwarna putih kehijau2an,
dengan hati2 dan penuh hormat dituangkannya secangkir penuh,
lalu Coh hu Si Kong teng maju mempersembahkan dengan kedua
tangannya seraya berkata: "Hu ma silahkan minum!"
Suma Bing menyambuti dan melihat isi dari cangkir itu seketika
berobah airmukanya. Arak apa ini yang terang adalah darah kental
dengan warna merahnya yang menyolok mata, tanpa sadar
bergidik tubuhnya.

Sebaliknya Pit Yau ang malah mengunjuk rasa girang luar biasa,
katanya lemah lembut: "Pemberian dari orang tua tidak bisa
ditolak. Engkoh Bing, lekaslah minum!"
Suma Bing menjadi nekad sekali tenggak ia habiskan isi cangkir
itu. Siapa tahu begitu masuk tenggorokan, arak itu terasa dingin
dan berbau wangi, beruntun tiga cangkir ia habiskan sehingga
seluruh isi poci kecil itu kering.
Coh hu Yu pit berseru berbareng: "Selamat Hu ma." sambil
membungkuk hormat segera mereka mengundurkan diri.
Tidak lama setelah Coh hu Yu pit keluar, Suma Bing lantas
rasakan kepalanya berat, pandangannya kabur, terasa dimana
tempat dia berpijak berputar jungkir balik, diam2 ia mengeluh
celaka pasti aku terjebak pula dalam tipu muslihat mereka. Maka
tanpa banyak pikir lagi segera dia membentak keras: "Bangsat
rendah, kubunuh kau!" tangannya sudah terangkat memukul
kearah Pit Yau ang, namun baru saja tenaganya dikerahkan,
kepalanya terasa berat dan kakinya lemas kontan dia roboh
terkapar tak ingat diri.
Entah sudah berselang berapa lama, pelan2 Suma Bing siuman dari
tidurnya, didapatinya dirinya rebah diatas ranjang gading dalam
kamarnya. Terlihat Pit Yau ang tengah bertopang dagu duduk
diatas kursi, entah apa yang tengah direnungkan.
Diam2 Suma Bing juga tengah berpikir dan mengenang kembali
akan pemberian arak dari Te kun itu lantas dirinya jatuh mabuk.
Masak sedemikian besar khasiat tiga cangkir arak itu, seketika
membuat dirinya mabuk dan jatuh pingsan?
Pelan2 dicobanya mengerahkan tenaga murni dalam tubuh, begitu
dikerahkan sungguh kejutnya tidak kepalang, jantungnya berdetak
sangat keras. Terasa hawa murninya penuh padat bergelora
ber-gulung2 bagai gelombang badai, sehingga terasa tubuhnya
ringan bagai terapung ditengah udara.

Apakah yang telah terjadi, bagaimana bisa Lwekangnya mendadak
tambah dalam satu kali lipat lebih? Sekian lama dia ter-longong2
mematung rebah dipembaringan, kedua matanya melotot kesima
memandang langit2, perasaannya hampa semangatnya lesu. Apa
mungkin ini hasil khasiat dari arak berwarna merah darah itu...
"Adik Ang!" Ter-sipu2 Pit Yau ang bangkit berdiri terus ber-lari2
kecil
mendekati pembaringan, matanya tajam penuh kasih mesra
memandang Suma Bing, tanyanya: "Engkoh Bing, kau sudah
bangun, ada apakah?"
"Aku... agaknya merasa..." "Merasa apa?" "Tenaga dalamku
maju berlipat ganda!" Pit Yau ang lantas unjuk senyum berseri,
katanya: "Engkoh
Bing, silahkan kau coba2 tembusi jalan darah mati hidupmu!"
"Apa jalan darah mati hidup?" seru Suma Bing berjingkrak
kaget. "Benar, coba2 adakah gejala2 yang aneh?" Suma Bing
masih tidak mengerti namun dia menurut
mengerahkan tenaga murni terus disalurkan keseluruh tubuh,
begitu satu putaran sudah selesai, tanpa terasa dia menjerit
kaget: "Jalan darah mati hidupku sudah tembus?"
"Tidak salah." "Bagaimana sebenarnya..." "Ayah baginda
memberikan tiga cangkir Te liong po hiat
kepadamu, apa kau sudah lupa?" Suma Bing berjingkrak bangun
dari atas pembaringan,
kagetnya belum hilang: "Apa Te liong po hiat? (darah pusaka
naga bumi)"

"Benar, dalam perkampungan bumi ada sebuah sumber alam yang
keluar dari nadi bumi dinamakan Te liong atau naga bumi, setiap
bulan pada malam terang bulan dari sumber nadi ini menetes
keluar setitik getah berwarna merah darah, maka itu dinamakan
darah pusaka naga bumi!"
"Setiap bulan hanya satu titik saja?" "Ya, setiap bulan hanya
keluar setitik saja!" Hampir2 Suma Bing tidak percaya akan
pendengaran
kupingnya, ini benar2 suatu keajaiban dalam dunia, maka katanya
penuh haru: "Jadi aku sudah minum sebanyak tiga..."
"Tiga cangkir darah pusaka, itu sudah disimpan selama enam
puluh tahun!"
"O, mengapa ayahmu mau menghadiahkan barang pusaka yang
tak ternilai itu untuk..."
Wajah Pit Yau ang berobah sungguh: "Ini juga merupakan
undang2 dari Te po!"
"Undang2 lagi? Aku tidak paham!" "Sebab kau adalah ahli
waris raja yang akan datang, maka
dalam waktu dekat tenaga dalammu harus segera disempurnakan!"
Pucat wajah Suma Bing, sungguh dia menyesal telah minum tiga
cangkir arak itu, kalau tahu demikian halnya tidak bakal dia mau
minum darah pusaka naga bumi itu. Berbagai tugas berat menuntut
balas tengah mengikat dirinya. Mati hidup ibundanya juga belum
diketahui, masa depan selanjutnya susah diraba, mana mungkin...
Karena pikirannya ini berkatalah dia dengan lesu: "Tapi aku
belum setuju untuk menjadi ahli waris Raja bumi kalian..."
Pit Yau ang menarik muka, katanya: "Engkoh Bing, upacara
menurut undang2 kakek moyang sudah berlaku dan tak mungkin
dirobah lagi. Kalau kau berkukuh tidak mau terima

aliran Te po ini mungkin untuk selanjutnya juga akan ludas, tapi
aku sudah berjanji sebelumnya, kau tak usah kuatir aku
menggunakan segala daya upaya untuk membujuk dan
menahanmu disini, setelah besok hari, kalau memang aku tidak
bisa membujuk ayah Baginda supaya kau diluluskan keluar
perkampungan, aku... tetap akan mengantarmu keluar. Tentang
akibatnya, ai, engkoh Bing, kuharap selalu kau ingat seorang
sengsara yang pernah tidur semalam dengan kau!" suaranya sedih
memilukan.
Suma Bing juga merasa sesak tenggorokannya, katanya penuh
penyesalan: "Adik Ang, maafkan aku, aku terpaksa berbuat
demikian!"
"Aku paham, tidak perlu maaf apa segala, agaknya kita berjodoh
dalam khayalan belaka, nasib manusia tidak bisa ditentang!"
"Adik Ang, kalau aku mengabaikan seorang istri, aku lebih tidak
berbudi, dendam perguruan dan sakit hati orang tua kalau tidak
kubalaskan lebih2 aku tidak berbakti, cinta kasihmu adik Ang, akan
kukenang dalam lubuk hatiku sepanjang masa!"
Didalam Perkampungan bumi tidak kenal perbedaan siang dan
malam, selalu terang benderang, setiap kali berganti pelita atau
menambah minyak lampu itu menandakan hari kedua mulai
mendatang.
Begitulah dalam kamar tidurnya Suma Bing tengah berjalan mondar
mandir tidak tenang, hatinya berdebar tidak tentram menanti
jawaban dari Pit Yau ang. Apakah ia dapat membujuk ayahnya
supaya dirinya keluar dan muncul lagi di Kangouw? Kalau dia
membangkang dan berani ambil resiko mengantarkan dirinya
keluar, apakah yang bakal dialaminya? Setelah dirinya bebas
dikalangan Kangouw, apakah Te po mandah saja membiarkan
dirinya bebas berkelana? Tidak dapat disangkal lagi bahwa dirinya
sudah ada ikatan sebagai

suami istri dengan Pit Yau ang, tidakkah perbuatannya ini
keterlaluan?
Te kun sendiri pernah mengatakan hendak mengatur sedemikian
rupa terhadap Phoa Kin sian, cara bagaimana dia bisa mengatur
sesempurna mungkin? Tengah pikirannya me- layang2 terlihat Pit
Yau ang bergegas mendatangi, mimik wajahnya menunjukkan
urusan tidak menyenangkan seperti apa yang diharapkan
sebelumnya!
"Bagaimana adik Ang?" "Ayah tidak mengijinkan!" "Tidak
diijinkan!" "Dia orang tua berkata, setelah kau dapat
mempelajari
seluruh kepandaian tunggal dari Te po baru boleh dirundingkan
apakah kau boleh keluar atau tidak!"
Dingin perasaan Suma Bing. Wajah Pit Yau ang penuh
kesedihan, airmata berlinang
dikelopak matanya, katanya lagi: "Engkoh Bing, biar kuantar kau
keluar!"
"Kau..." "Ya, terpaksa aku membangkang pada ayah baginda,
habis
tiada cara lain yang lebih sempurna." 'Ucapan membangkang
kepada orang tua' benar2 membuat
Suma Bing ragu2 dan terpukul batinnya. Pit Yau ang sudah
melakukan tanggung jawab sebagai seorang istri kepada
suaminya, masa sedikitpun dirinya tiada rasa cinta kasih antara
suami istri. Untuk dirinya tidak kepalang tanggung dia berani
membangkang kepada orang tua, sebaliknya dirinya tidak
memikirkan untuk menghindarkan segala akibat buruk yang bakal
terjadi. Tak peduli cara bagaimana mereka telah menikah,
hakikatnya dia sudah menjadi istrinya, betapa luhur dan bajik hati
istrinya, benar2 diluar dugaannya.

Begitulah akhirnya dia berkata: "Adik Ang, aku tidak bisa
mem-bawa2 kau, biarlah aku langsung berhadapan dengan Te
kun untuk mohon..."
"Kalau begitu selamanya kau takkan dapat keluar lagi, kata2 ayah
selamanya keras sekokoh gunung tak dapat diganggu gugat, dia
takkan merobah maksudnya semula."
"Tapi setelah aku pergi, kau akan..." "Engkoh Bing, kau dapat
berkata demikian, hatiku sudah
terhibur. Sekarang gantilah pakaianmu yang semula, biar kuantar
kau keluar dari jalan rahasia!"
Bahwasanya memang tidak bisa tidak Suma Bing harus keluar lagi
dikalangan Kangouw berbagai tugas suci tengah menunggu
penyelesaiannya. Maka pada saat2 sebelum berpisah ini baru dia
sadar, sebenarnya bahwa hatinya juga mencintai Pit Yau ang. Sejak
mengetahui seluk beluk duduk perkara sesungguhnya, rasa
gusarnya sudah lenyap seluruhnya, dan kini berganti suatu
perasaan berat dan menderita, pukulan batin yang kontras.
Tapi dia tidak bisa tidak harus berpisah, sebab lebih banyak
atasan yang harus memisahkan dengan istrinya ini.
Pit Yau ang mengeluarkan pakaian asal Suma Bing terus
diangsurkan kepadanya, lalu membantunya berganti dan katanya:
"Engkoh Bing, apa kau benci aku?"
Suma Bing menjawab sungguh: "Memang begitulah sebelum ini.
Tapi sekarang tidak!"
"Kau tidak membenci aku?" "Malah aku harus berterima kasih
akan bantuanmu ini, ini
takkan terjadi pada wanita umumnya."
"Kuharap kau tetap ingat kepadaku..." "Aku
pasti!"

Tanpa terasa dipeluknya Pit Yau ang, bibir bertemu bibir mereka
berciuman dengan gairahnya. Selama tiga hari setelah mereka
menikah baru sekali inilah mereka sama2 merasakan kenikmatan
dan kemesraan yang takkan terlupakan lagi.
Tapi bagi Pit Yau ang ciuman ini merupakan ciuman perpisahan
yang sedih dan meluluhkan hatinya. Sebab saat itu juga sang
suami harus meninggalkan dirinya.
Tangan bergandeng tangan mereka sudah melewati berbagai
penjagaan ketat dari tempat2 terlarang, lahirnya mereka
ber-cakap2 dan bersendau gurau bersenang hati, tapi batin mereka
sangat tertekan. Tidak lama kemudian mereka tiba disebuah kamar
buku yang penuh rak2 yang berjajar.
Pit Yau ang langsung ulurkan sebuah tangan menekan salah
sebuah buku yang ber-jajar2 itu, seketika rak buku itu bergeser
mundur dan terluanglah sebuah pintu.
Tanpa membuka suara Suma Bing mengintil terus dibelakang Pit Yau
ang, mereka terus memasuki sebuah lorong panjang yang belak
belok, melewati undakan yang menanjak naik me-lingkar2 semakin
tinggi, kira2 sepeminuman teh kemudian baru mereka sampai
diujung lorong. Begitu menggerakkan alat2 rahasianya, diatas lorong
itu segera terbuka sebuah lobang sebesar dua kaki persegi. Sekali
loncat Pit Yau ang melesat keluar. Bergegas Suma Bing juga ikut
loncat keluar, seketika ia berdiri mematung kesima.
Ternyata tempat dimana mereka berada sekarang ini adalah
didalam ruang sembahyang sebuah kelenteng yang bobrok dan
tidak terurus lagi, dan lobang itu tepat berada dibawah patung
pemujaan yang kini sudah bergeser kesamping.
Suma Bing menjadi heran, tanyanya: "Apa disini tiada orang
jaga?"
"Tidak, jalan rahasia ini hanya para Tongcu dan pejabat lebih tinggi
saja yang mengetahui, selamanya jarang

digunakan, maka tidak gampang diketemukan. Apalagi tempat ini
berada dialas pegunungan yang jarang didatangi manusia!"
"Jadi perkampungan bumi dibangun dibawah tanah?" "Tidak
salah, didalam bumi!" "Bagi kaum persilatan, dipandangnya
Te po sebagai tekateki!"
"Ini tidak dapat menyalahkan mereka, selamanya
perkampungan kita jarang turut campur dalam segala pertikaian
didunia persilatan. Seumpama petugas kita kelana di kalangan
Kangouw juga tidak pernah memperkenalkan diri, maka yang
mengetahui boleh dikata sangat jarang!"
Pada saat itulah, sebuah suara berat dan kereng mendadak
terdengar dibelakang mereka: "Budak kurang ajar, sungguh besar
nyalimu!"
Kontan berobah pucat wajah Pit Yau ang, beruntun mundur tiga
langkah, matanya ketakutan memandang kearah pintu kelenteng.
Suma Bing juga cepat2 membalik tubuh dan memandang kedepan,
tidak terasa semangatnya juga serasa terbang. Entah kapan
datangnya ternyata Te kun sudah berdiri diambang pintu, sinar
matanya memancarkan kegusaran yang me-nyala2.
Ter-sipu2 Pit Yau ang menekuk lutut menyembah, mulutnya
berseru: "Ayah!"
Agaknya Te kun benar2 murka sekali, serunya: "Budak, apakah
maksudmu sebetulnya, berani terang2an melanggar pantangan
undang2 perkampungan, juga berani mendurhakai orang tua?"
"Yah, anak terpaksa berbuat begini..."
"Maksudmu dia menekan kau?"

Sinar mata Te kun bagai kilat menyapu kearah Suma Bing, tanpa
terasa bergidik Suma Bing dipandang sedemikian rupa.
Pit Yau ang menjawab gemetar: "Dia tidak menekan anak!"
"Jadi ini keluar dari tujuanmu sendiri?" "Anak pernah melulusi
mengantar dia keluar di kalangan
Kangouw untuk menyelesaikan tugas sucinya menuntut balas bagi
perguruan dan orang tuanya!"
Wajah Te kun semakin membesi: "Bagaimana bunyi undang2
ketiga?"
Seketika pucat pasi wajah Pit Yau ang, pekiknya menyedihkan:
"Ayah!"
"Katakan, bagaimana bunyi peraturan ketiga?" "Apa ayah
tidak mengingat hubungan ayah dan anak lagi?" "Peraturan
tidak boleh dilanggar!"
34 KANG KUN LOJIN BERKISAH.
Suma Bing menjadi serba salah dan runyam keadaannya,
tidak enak pula dia turut campur bicara. Wajah Pit Yau ang yang
pucat pasi itu mendadak berubah
merah membara mengandung tekad yang besar, sekilas ia lirik
Suma Bing, lalu berkata sepatah demi sepatah: "Peraturan ketiga
berbunyi: Barang siapa sengaja melanggar harus dihukum mati!"
Tiba2 gemetar tubuh Suma Bing, apa Te kun sudah tidak peduli
lagi akan hubungan antara ayah dan anak dan benar2 hendak
menghukum Pit Yau ang menurut undang2 dari Te po. Kalau ini
sampai terjadi, pangkal dari semua peristiwa ini

adalah karena dia yang menjadi biang keladi, mana bisa dirinya
tinggal berpeluk tangan saja.
Dengan nada suara yang mendebarkan orang Te kun berkata:
"Kau sudah tahu itulah baik..."
"Yah, anak ada satu permintaan!" "Katakan!" "Anak rela dihukum
karena batas2 undang2
perkampungan, tapi aku harap ayah dapat melepaskan Suma
Bing, meskipun mati anak juga sangat berterima kasih..."
"Tidak mungkin terjadi!" Suma Bing melangkah setindak,
jengeknya dingin: "Akulah
yang memaksanya berbuat demikian." Te kun menggeser tubuh
menghadapi Suma Bing, sinar
matanya mencorong setajam ujung pedang, bentaknya bengis:
"Kau yang paksa dia?"
"Tidak salah!" "Cara bagaimana kau paksa dia?" "Mengandal
kekuatanku!" "Tutup mulut, berani kau berbohong
dihadapanku?" "Apa yang kau anggap aku berbohong?" Te kun
mendengus lalu berkata: "Tentang ilmu silat kau
masih terpaut sangat jauh dibanding budak kurangajar ini, setelah
kau minum Te liong po hiat, meskipun tenaga dalammu bertambah
berlipat ganda, tapi latihan dan kepandaian sejati kau masih bukan
tandingannya. Berani kau membual hendak menipu aku, dengan
kemampuanmu pasti tidak mungkin menundukkan dia, apalagi
jalan rahasia ini penuh jebakan dan alat2 rahasia, dimana2
dipasang peluit tanda bahaya, kalau dia tidak sengaja hendak
membangkang,

seumpama tumbuh sayap juga jangan harap kau dapat terbang
keluar!"
Saking malu merah padam wajah Suma Bing bantahnya: "Lalu Te
kun hendak apa?"
"Kedudukanmu saat ini sudah jadi salah satu dari kerabat
perkampungan bumi, kalian berdua harus menjalani hukuman
yang sama."
Suma Bing mengertak gigi, semprotnya: "Aku yang rendah
sekarang hendak menentang"
"Sekali lagi kau berani mengatakan 'aku yang rendah' biar Pun te
kun (aku sang raja) membunuhmu lebih dulu!"
"Aku yang..." "Bedebah!" dibarengi bentakan makian ini, Te
kun langsung
memukul kearah Suma Bing. Tercekat hati Suma Bing, baru saja
tangannya diangkat... "Ayah!" ditengah pekikan yang memilukan
ini secepat kilat
mendadak Pit Yau ang melesat menghadang dan memapak
kearah angin pukulan Te kun.
Perbuatan nekad ini benar2 diluar dugaan siapapun. Dalam
gusarnya Te kun melancarkan pukulan sepenuh tenaga mana
mungkin dapat ditarik kembali.
'Blang!' terdengar pekik kesakitan yang menusuk telinga tubuh Pit
Yau ang yang ramping itu kontan terbang jauh keluar halaman
kelenteng.
Tampak sebuah bayangan berkelebat, ternyata Suma Bing
gunakan gerak kelit dari Bu siang sin hoat, sekali berkelebat tiba
diluar kelenteng dan tepat menyambuti tubuh Pit Yau ang yang
hampir terbanting keras ditanah.
"Gerak tubuh yang hebat!"

Seorang tua berpakaian sebagai pertapa tiba-tiba muncul bagai
bayangan setan!
"Engkoh Bing," panggil Pit Yau ang lantas mulutnya menguak
menyemprotkan darah segar, orangnya juga segera jatuh pingsan.
Hati Suma Bing seperti di-sayat2, tubuhnya bergetar dan hampir
mengejang.
"Pit lote, begitu tega kau turun tangan terhadap anakmu sendiri?"
Waktu Suma Bing berpaling, terlihat seorang tua berjenggot
panjang menjulai sampai diperutnya, mengenakan baju bersulam
patkwa, kepalanya diikat kain sutera, di tangannya menggenggam
sebuah kipas, sikapnya angker laksana seorang pertapa sakti siapa
berdiri lima kaki dibelakangnya.
Seruan memuji bernada kagum tadi agaknya keluar dari mulut
orang tua ini. Sebab seluruh perhatiannya ditujukan kepada Pit
Yau ang, maka dia tidak hiraukan seruan tadi. Dilihat dari cara
orang berpakaian dan sikapnya ini diam2 benak Suma Bing tidak
tentram.
Siapa dia? Te kun raja yang dipertuan agung dari Te po ternyata
dipanggilnya saja sebagai Lote (adik tua).
Saat mana rona wajah Te kun tidak menentu susah diselami, dia
berdiri mematung tanpa mampu buka suara.
Pikiran Suma Bing berkelebat cepat, batinnya, apa mungkin dia
ini? Teringat olehnya waktu dulu si maling bintang Si Ban cwan
menyamar menjadi Kang kun Lojin menggebah lari Si tiau khek
itu.
Konon kabarnya bahwa Kang kun Lojin sudah meninggal dunia
pada empat puluh tahun yang lalu, tapi bentuk wajah dan cara
berpakaian orang tua ini benar2 serupa dan persis benar dengan
penyamaran si maling bintang dulu. Apa

mungkin kabar di kalangan Kangouw itu adalah bohong belaka,
dan ternyata si orang tua ini masih sehat waalfiat hidup didunia
ini? Karena pikirannya ini, tercetus seruan mulutnya: "Apakah
nama julukan Lo cianpwe adalah Kang kun Lojin?"
Orang tua berjenggot putih itu bergelak tawa sekian lamanya, lalu
ujarnya: "Buyung, pengalamanmu luas juga!"
Sebaliknya Suma Bing malah tertegun, tidak terduga olehnya
bahwa orang tua ini ternyata betul2 adalah Kang kun Lojin yang
sangat kenamaan diseluruh dunia.
Situasi ketegangan mulai mereda setelah Kang kun Lojin
mendadak muncul.
Dengan tajam Kang kun Lojin pandang Pit Yau ang yang rebah
dalam pelukan Suma Bing, lalu alis dikerutkan katanya kepada Te
kun: "Lote, apakah yang telah terjadi?"
Te kun menghela napas panjang, sahutnya: "Loko (saudara tua),
dia inilah menantu dan ahli waris raja Suma Bing yang terpilih
menurut undang2 tradisi kita!"
"Tepat, berbakat dan bertulang bagus, pandanganmu benar2
hebat!"
"Budak itu sendirilah yang memilihnya!" "O, jeli dan tajam
benar pandangan budak ini!" Agaknya Te kun enggan
mempersoalkan semua apa yang
sudah terjadi dihadapan Suma Bing, maka lantas digunakan ilmu
Coan im jip bit bercerita kepada Kang kun Lojin yang terakhir baru
dia berkata keras: "Loko urusan ini biarlah kuserahkan kepadamu
bagaimana?"
Kang kun Lojin menggoyang2 kipas, katanya: "Aku juga ada
sedikit urusan dengan engkoh kecil ini. Baiklah, biarlah urusan ini
engkoh tuamu ini yang tanggung."

"Kalau begitu terima kasih!" "Tidak perlu, bawalah budak kecil
itu pulang, lukanya tidak
ringan!" Dari samping Suma Bing semakin keheranan, agaknya
dengan beberapa patah kata saja Kang kun Lojin sudah dapat
membujuk Te kun.
Kang kun Lojin maju memayang tubuh Pit Yau ang dengan sebuah
tangannya dia raba pernapasannya sebentar lalu diserahkan
kepada Te kun, berputar lalu menghadap Suma Bing, katanya:
"Buyung, aku orang tua tidak memaksa kau, kalau kau rela,
berlutut dan minta maaflah kepada mertuamu!"
Selamanya sifat Suma Bing sangat angkuh dari pembawaan lahir,
sebenarnya hatinya hendak membangkang, tapi karena budi Pit
Yau ang terhadapnya sedemikian besar serta memandang muka
Kang kun Lojin maka terpaksa dia menurut berlutut dan berseru:
"Harap Te kun suka memberi ampun!"
Dia tidak mau menyebut 'Gak tio' atau mertua dan menyebut diri
pribadi sebagai siau say atau menantu. Terang bahwa permintaan
maafnya ini adalah sangat terpaksa.
Te kun ulapkan sebelah tangan dan berseru: "Sudahlah, bangun!"
Kang kun Lojin mengebutkan kipasnya dan berkata: "Buyung, mari
kita pergi!"
Habis berkata ringan sekali tubuhnya melayang keluar kelenteng.
Penuh keheranan dan tak mengerti Suma Bing kesima memandang
bayangan punggung Kang kun Lojin. Lalu dipandangnya Pit Yau
ang yang masih pingsan itu lekat2, sekali berkelebat tubuhnya juga
melenting keluar kelenteng.

Kelenteng bobrok ini dibangun diatas gundukan tanah gundul
dilamping sebuah gunung, empat penjuru adalah semak belukar,
tempat ini benar2 sangat liar dan sunyi tersembunyi.
Kang kun Lojin sudah menanti diluar kelenteng tangannya
menunjuk kepuncak sebelah kiri sana serta berkata: "Buyung mari
kita kepuncak gunung itu untuk bicara!"
Suma Bing manggut2 tanpa bersuara. Dua bayangan secepat
kilat terbang menuju kepuncak
gunung yang ditunjuk tadi. Dengan kehebatan ilmu ringan tubuh
mereka dalam sekejap saja mereka sudah tiba di puncak gunung
itu. Ternyata puncak ini merupakan puncak tertinggi dari puncak2
tetangga sekelilingnya.
Mereka mencari duduk diatas sebuah batu. Suma Bing
membuka mulut lebih dulu: "Entah Locianpwe
ada petunjuk apa?" Sambil me-ngelus2 jenggotnya, Kang kun
Lojin berkata
sungguh: "Buyung, apa kau tahu mengapa orang tua reyot seperti
aku yang sudah lama mengasingkan diri ini, mau muncul lagi
didunia Kangouw?"
"Hal ini wanpwe tidak tahu!" "Karena masih ada sebuah angan2
yang belum terlaksana!" "Angan-angan?" "Benar, inilah buah
yang kutanam secara tidak sengaja,
sehingga sampai sekarang masih belum bisa dibikin terang,
terpaksa maka aku harus berkelana lagi di Kangouw untuk
menyelesaikan urusan itu. Ini boleh dikata suatu akibat, aku
orang tua bukan dari agama Buddha, tapi mengenai hukum sebab
dan akibat atau juga dinamakan hukum karma hitung2 sekarang
aku sudah mulai melek dan dapat menyelaminya!"

Suma Bing manggut2 hampa, entah mengapa dia tidak tahu orang
tua dihadapannya ini kok berbicara persoalan sebab musabab
dengan dirinya.
Setelah merandek sebentar lantas Kang kun Lojin melanjutkan:
"Buyung, apa kau sudi melakukan sesuatu untuk aku orang tua?"
Suma Bing melengak heran, tanyanya: "Urusan apakah yang harus
wanpwe lakukan?"
"Menyelesaikan sebab dan akibat ini!" "Coba Locianpwe
terangkan!" "Itulah tentang hilangnya Bu siang po liok dari Siau
lim sie!" Suma Bing melonjak kaget, serunya: "Bu siang po
liok?" "Sedikitpun tidak salah!" "Ini... wanpwe masih belum
jelas!" "Buyung, dihadapanku jangan kau pura2 main tidak
tahu
dan main sembunyi." "Apakah yang Locianpwe maksudkan?"
"Yang kumaksudkan adalah Bu siang po liok itu?" "Hakekatnya
memang wanpwe tidak mengetahui!" Mata Kang kun Lojin
dipentang lebar, sorot matanya nanap
mengawasi wajah Suma Bing, sampai sekian lama tidak berkedip,
agaknya tengah menyelami hati kecilnya, lama dan lama kemudian
baru dia pejamkan mata dan berkata: "Apa benar2 kau tidak tahu
menahu tentang persoalan ini?"
"Memang aku tidak tahu!" jawab Suma Bing sejujurnya. Kang
kun Lojin manggut2, seperti menggumam ia berkata
seorang diri: "Ai, mungkin peristiwa itu belum pernah dia tuturkan
kepada anak muridnya..."

Dari Bu siang po liok empat huruf ini sedikit banyak Suma Bing
sudah dapat menebak persoalannya, maka tercetus pertanyaan dari
mulutnya: "Siapakah yang Locianpwe maksudkan?"
Mendadak Kang kun Lojin berkata penuh haru: "Buyung
bagaimanapun juga, urusan ini hanya kau seorang yang dapat
menyelesaikan, sudah tentu, harus kulihat apakah kau rela
melakukannya!"
"Mengapa Locianpwe tidak jelaskan lebih terang?" Kang kun
Lojin mendongak kelangit, janggut panjangnya
bertebaran dihembus angin pegunungan, katanya dengan suara
rendah: "Buyung, dengarkanlah sebuah cerita pada seabad yang
lalu..."
Suma Bing mengangguk dengan bersemangat, dia maklum bahwa
cerita itu pasti mengenai suatu kejadian rahasia di Bulim, mungkin
ada sedikit atau banyak dirinya tersangkut didalamnya akibat dari
ekor peristiwa itu.
Kedua mata Kang kun Lojin mendelong mengawasi langit,
mulailah dia bercerita: "Seabad yang lalu, didunia persilatan
muncul tiga muda mudi yang berkepandaian sangat tinggi dan
malang melintang tiada tandingan, mereka dinamakan Bu lim sam
ki. Sebenarnya Sam ki berpencar dan kenamaan didaerah
masing2. Dalam suatu kesempatan yang tidak disengaja Sam ki
bertemu tanpa berjanji sebelumnya. Sungguh diluar dugaan
bahwa salah satu dari Sam ki atau tiga aneh itu ternyata adalah
seorang perempuan yang cantik..."
Sampai disini tidak tahan lagi segera Suma Bing ajukan
pertanyaan: "Setelah Sam ki kenamaan, apa dalam dunia,
persilatan masih belum ada yang tahu bahwa salah satu dari
mereka adalah perempuan?"
"Kau berkata benar, sebelum Sam ki bertemu memang betul2
tiada seorang jua yang tahu, sebab biasanya dia menyamar
sebagai pemuda!"

"Waktu dua yang lain mengetahui bahwa seorang yang lain
ternyata adalah perempuan, mulailah mereka berlomba hendak
mengambil hatinya maka terjadilah percintaan segitiga yang
merisaukan. Kedua pemuda itu sama2 ganteng dan cakapnya, ilmu
silatnya juga sudah sempurna. Maka perempuan itu susah
mengambil keputusan positip diantara mereka berdua. Maka
akhirnya kedua pemuda itu mengadakan perundingan rahasia untuk
menyelesaikan urusan secara jantan dengan pertempuran adu silat,
bagi yang kalah harus bersumpah untuk tidak muncul lagi didunia
persilatan selama hidup ini...
"Waktu pertempuran berjalan dengan seru, masing2 bertempur
mati2an untuk merobohkan lawannya, tiada salah satu pihak yang
mau mengalah, hampir saja waktu mereka bakal gugur bersama,
mendadak perempuan itu muncul dan menghentikan pertempuran
berdarah itu akhirnya perempuan itu mengajukan cara2 bijaksana
untuk menyelesaikan pertikaian ini..."
"Cara apakah itu?" "Perempuan itu berharap dapat melatih
semacam ilmu
gerak tubuh yang hebat tiada taranya, untuk menambal
kekurangannya sebagai perempuan. Menurut kabarnya bahwa
dalam perpustakaan rahasia dikuil Siau lim si ada sejilid buku yang
dinamakan Bu siang po liok, buku ini khusus mencatat tentang
ilmu gerak tubuh yang diharapkan itu. Karena arti dalam buku
catatan itu sangat dalam dan susah dimengerti, maka sampai
pemiliknya sendiri yaitu para padri Siau lim si juga tiada seorang
juga yang mampu mempelajari, sudah berabad lamanya tiada
orang yang sempurna mempelajari ilmu ini. Justru perempuan itu
minta kedua pemuda itu menuju ke Siau lim si untuk mencuri buku
pelajaran itu, siapa mendapatkan lebih dulu, dia rela menjadi
istrinya untuk se- lama2nya...
"Lalu bagaimana akhirnya?" tanya Suma Bing ketarik
benar.

Agaknya Kang kun Lojin harus memeras keringat untuk mengenang
lagi cerita masa silam itu, setelah berhenti sekian lamanya baru dia
menyambung lagi: "Karena 'cinta' kedua pemuda itu rela dan tega
melakukan perbuatan rendah yang paling dipandang hina oleh
kaum persilatan, mereka menyamar dan mengenakan kedok,
masing2 menggunakan caranya sendiri menuju ke Siau lim si..."
"Akhirnya salah satu diantara mereka mendapat hasil?"
"Memang, salah satu diantara mereka berhasil dengan
gemilang, tapi salah seorang yang lain bukan saja tidak berhasil
malah terkepung dan mendapat luka berat dibawah keroyokan
padri2 Siau lim sie, walaupun akhirnya dapat melarikan diri tapi
sejak itu dia menjadi tanpa daksa alias cacat seumur hidup!"
Sudah tentu pemuda yang berhasil itu dengan perempuan..."
"Kau dengar saja ceritaku. Waktu pemuda yang berhasil itu
mengetahui bahwa saingannya itu sampai terluka berat dan
menjadi tanpa daksa, hatinya turut berduka dan menyesal, dia
merubah tujuannya yang semula, bukan saja ia menyesal akan
perbuatannya yang gila2an dan hina dina ini, disamping itu dia
juga tidak puas akan sikap dan tindakan perempuan itu yang
menggunakan cara demikian keji untuk menguji mereka. Maka
diberikan Bu siang po liok yang berhasil dicurinya itu kepada
pemuda saingannya yang cacat itu, terus tinggal pergi dan tidak
pernah muncul lagi..."
Tanpa terasa Suma Bing memuji kagum: "Sungguh mengagumkan
sikap gagah dan kebajikan hati pemuda itu."
"Ya, tapi waktu dia mengambil kepastian ini betapa pahit getir dan
berduka hatinya"
"Selanjutnya bagaimana?"

"Sudah tentu pemuda cacat itu menikah dengan perempuan itu.
Mereka mengundurkan diri untuk mempelajari isi dari pelajaran Bu
siang po liok itu. Maka sejak itu kalangan Kangouw kehilangan jejak
Bu lim sam ki, lambat laun ketenaran nama Bu lim sam ki menjadi
luntur dan hilang dilupakan orang ditelan masa..."
Baru sekarang Suma Bing paham, pasti perempuan diantara Bu lim
sam ki itu adalah Bu siang sin li itu. Maka tidak heran waktu dirinya
meluruk ke Siau lim si hendak mencari ibunya tanpa sengaja ia
pertunjukkan Bu siang sin hoat, para pendeta Siau lim si itu lantas
hendak meringkus dan mengompresnya, mereka menuduh dirinya
ada tersangkut paut dengan peristiwa ter-katung2 tanpa
penyelesaian pada ratusan tahun yang lalu, ternyata semua ini ada
latar belakang yang belum dimengerti oleh dirinya.
Kang kun Lojin merendahkan kepalanya, kedua matanya menatap
tajam kearah Suma Bing, katanya: "Setelah pemuda dan
perempuan itu menikah, setahun kemudian lahirlah seorang anak
perempuan. Tidak lama setelah anak itu lahir, terjadi perpecahan
diantara suami istri itu lantas masing2 berpisah hidup sendiri2. Dan
selanjutnya lantas muncul didunia persilatan seorang perempuan
yang misterius dia menyebut dirinya sebagai Bu siang sin li..."
"Selama puluhan tahun tidak henti2nya pihak Siau lim si mengutus
para jagoan silatnya untuk mengejar dan mencari jejak Bu siang
sin li, mereka berharap dapat merebut kembali buku pelajaran
yang paling berharga itu. Tapi, Bu siang sin li sendiri sudah
merupakan teka teki, munculnya dikalangan Kangouw hanya
merupakan bayangan belaka."
Tergerak kesadaran Suma Bing, tanyanya mencari tahu: "Jadi
karena urusan ini maka Locianpwe merasa menyesal dan
mengganjal dalam sanubari?"
"Ya, memang begitulah!"

"Kalau begitu pasti Locianpwe adalah salah satu dari Bu lim sam
ki itu, yaitu pemuda yang berhasil mendapatkan buku Bu siang po
liok itu?"
Mata Kangkun Lojin memancarkan sinar aneh, sahutnya penuh
haru: "Sedikitpun tidak salah, memang akulah orang tua adanya!"
"Lalu bagaimana wanpwe harus membantu?" "Apa sangkut
pautmu dengan Bu siang sin li?" "Tiada sangkut paut apa2."
sahut Suma Bing tertegun. "Lalu Bu siang sin hoatmu itu kau
pelajari darimana?" "Ini, mungkin karena jodoh secara kebetulan
aku
memperoleh pelajaran ini!" "Siapa orang itu?" Mengingat
sumpahnya kepada Giok li Lo Ci, terpaksa dia
menjawab: "Dalam hal ini maaf wanpwe tidak bisa menerangkan!"
Agaknya Kangkun Lojin sangat terpengaruh oleh perasaannya
sendiri, tiba2 ia bergegas berdiri, katanya keras: "Buyung, katakan
alasanmu?"
Suma Bing juga bangkit berdiri, sikapnya ragu2 dan serba susah,
sahutnya: "Locianpwe, wanpwe pernah bersumpah untuk tidak
menceritakan persoalan ini kepada siapapun"
"Tapi, terhadap aku orang tua..." "Sungguh aku sangat
menyesai!" "Apa kau betul2 bukan anak murid Bu siang sin li"
"Hal ini dapat wanpwe jawab sejujurnya, bukan!" Janggut
panjang Kangkun Lojin ber-gerak2, perasaan
harunya masih belum lenyap katanya menegasi: "Jadi
jelasnya

kau menolak membantu aku orang tua untuk menyelesaikan
urusan ini?"
"Wanpwe tidak akan mampu melakukannya." "Baiklah, coba
katakan dimana Bu siang sin li
mengasingkan diri?" "Ini..." sebetulnya Suma Bing hendak
mengatakan bahwa
Bu siang sin li sudah meninggal dunia pada sepuluh tahun yang
lalu, tapi teringat akan sumpahnya akhirnya ia telan kembali
maksudnya.
"Bagaimana?" "Maaf wanpwe tidak dapat memberitahu!"
"Kenapa?" "Karena sumpah!" "Buyung, kau harus beritahu
kepada aku orang tua!" seru
Kangkun Lojin gugup sambil mencengkram pergelangan tangan
Suma Bing, begitu jarinya mengerahkan tenaga seketika Suma
Bing rasakan tubuhnya lemah lunglai, hawa murni dalam tubuhnya
buyar lenyap.
"Buyung, katakan!" "Wanpwe takkan menurut!" Jari2 Kangkun
Lojin mencengkram semakin keras,
gertaknya bengis: "Katakan!" Suma Bing rasakan seolah2 tulang2
dan seluruh nadinya
sungsang sumbel dan terlepas dari ruas2nya, hawa murni susah
dihimpun, keringat dingin sebesar kacang merembes keluar. Tapi
dasar wataknya memang keras kepala, sedikitpun dia tidak
kerutkan alis atau mengeluh kesakitan, malah katanya menjengek
dingin: "Apa Locianpwe memaksa wanpwe melanggar sumpah dan
kepercayaan?"

"Mengingat akan nama kebesaranku, pasti Bu siang sin li tidak
akan salahkan kau."
"Tidak mungkin terjadi." "Kau... harus katakan dimana alamat
Bu siang sin li?" "Tidak!" "Kau ingin mati?" Suma Bing
mendengus ejek, katanya: "Kalau Locianpwe
beranggapan begitu, silahkan turun tangan, aku Suma Bing tidak
akan mengerut alis."
Akhirnya Kangkun Lojin menghela napas panjang dan melepaskan
cengkramannya, sikapnya lesu dan tidak bersemangat, tangannya
diulapkan seraya berkata: "Kau boleh pergi."
Kini ganti Suma Bing sendiri merasa tidak enak dan risi, hitung2 ia
adalah seorang Cianpwe angkatan tua, malah dari cerita itu
dapatlah dinilai sepak terjang orang tua ini sangat gagah perwira,
hatinya sangat mengaguminya. Tapi seorang laki2 harus menepati
janji dan sumpahnya mana dia boleh menjilat ludahnya sendiri
akan sumpahnya kepada Giok li Lo Ci dan membocorkan rahasia
lembah kematian, maka berkatalah ia sejujurnya: "Locianpwe,
meskipun wanpwe tidak dapat sepenuhnya membantu, tapi dalam
batas2 tertentu dimana wanpwe dapat melakukan, mungkin kelak
aku bisa memberikan jawabanku!"
"Buyung, kau pergilah!" Suma Bing membungkuk hormat terus
memutar tubuh lari
turun gunung, hatinya terasa seperti kehilangan sesuatu.
Mendadak terpikirkan suatu akal dalam benaknya, diam2 ia
manggut2 girang.
Pikirnya saat ini memang dirinya tengah akan menuju ke Lembah
kematian, mengandal Pedang darah dia hendak minta

Bunga iblis. Jikalau Kangkun Lojin menguntit dirinya dan
menemukan rahasia lembah kematian itu, ini tidak terhitung
dirinya melanggar sumpah. Tapi dengan kedudukan dan ketenaran
nama Kangkun Lojin, apa dia bakal berbuat begitu?
Memang besar hasratnya hendak melakukan sesuatu untuk
membantu kesukaran orang tua ini, namun hakikatnya kenyataan
ini tidak mengijinkan ia berbuat begitu.
Pengalamannya kali ini se-akan2 dialami dalam mimpi belaka.
Bahwa dirinya bisa terpilih sebagai ahli waris Raja didalam
perkampungan bumi benar2 suatu hal yang aneh diluar tahunya.
Ber-hari2 kemudian tibalah dia dijalan raya, setelah mencari tahu
baru diketahui tempat dimana sekarang dia berada kira2 terpaut
ribuan li jauhnya dari tempat pertempuran waktu melawan Rasul
penembus dada dulu, diam2 ia melelet lidah.
Setelah menimang2 bergegas dia mengambil jalan yang langsung
menuju ke Bu kong san. Membekal Pedang darah untuk mohon
Bunga iblis, ini bukan saja tujuan utama yang tengah di-impi2kan,
juga merupakan pesan terakhir dari Gurunya Sia sin Kho Jiang
sebelum ajal, dan yang lebih tepat boleh dikatakan sebagai cita2
yang belum terlaksana oleh ayahnya yaitu Su hay yu hiap Suma
Hong.
Setelah Pedang darah dan Bunga iblis dapat disatu padukan pasti
dirinya dapat mempelajari ilmu yang tiada taranya, kelak pastilah
terkabul cita2nya untuk menuntut balas dendam perguruan dan
sakit hati orang tua pasti dapat dihimpas. Lantas dari sini terpikir
juga akan ibundanya San hoat li Ong Fan lan yang belum diketahui
mati hidupnya. Jikalau ibundanya belum ketemu, maka para
musuhnya yang dulu kala ikut mengeroyok ayahnya pasti susah
diselidiki jejaknya.
Sumber berita yang paling utama dapat diandalkan hanya Iblis
timur seorang, namun Iblis timur sudah mati dibawah

cundrik Rasul penembus dada. Dan orang kedua adalah Loh Cu gi.
Tapi saat ini mungkin dirinya masih bukan tandingannya Loh Cu
gi. Apalagi Loh Cu gi belum tentu mau memberi keterangan
siapa2 saja yang ikut serta dalam pengeroyokan dan perebutan
Pedang darah itu, ini merupakan suatu soal juga.
Teringat akan Loh Cu gi, mendidih darahnya, murid murtad
perguruan, algojo pembunuh ayahnya, bajingan besar yang
memperkosa ibundanya, rasanya hanya dibunuh saja manusia
durhaka ini masih belum dapat melunasi kejahatan yang sudah
diperbuatnya.
Tengah kakinya melangkah, tiba2 teringat olehnya akan tiga
cangkir darah pusaka naga bumi yang telah diminumnya itu,
menurut kata Pit Yau ang Lwekangnya sekarang sudah bertambah
dalam seumpama berlatih enam puluh tahun. Jikalau menurut
Lwekangnya sekarang dikombinasikan sebagai landasan dari ilmu
Kiu yang sin kang entah dapat mencapai tingkat keberapa, apakah
dapat menandingi latihan Loh Cu gi?
Otaknya bekerja matanya pun menjelajah keempat penjuru,
tampak rimba lebat disebelah depan sana membelakangi sebuah
bukit kecil, maka segera ia putar haluan menuju kepinggir bukit,
disitu ia hendak mencari suatu tempat tersembunyi, untuk melebur
kekuatan dari darah pusaka naga bumi kedalam Kiu yang sin kang.
Tidak lama kemudian tibalah dia diluar rimba lebat itu, sekian lama
dia belak belok menerobos semak belukar didapatinya dibawah
bukit sebelah sana terdapat sebuah gua, pikirnya, tempat ini sangat
tersembunyi tentu tiada sembarangan orang dapat menerobos
datang mengganggu.
Sekali berkelebat tubuhnya melesat kearah mulut gua. Mendadak
Suma Bing menjerit kaget dan menghentikan luncuran tubuhnya,
matanya mendelong mengawasi lepotan darah yang berceceran
menjurus kedalam gua.

Darah manusia ataukah darah binatang? Dilihat dari warnanya,
darah yang berlepotan diatas tanah
ini pasti belum lama ini saja. Se-konyong2 terdengar suara napas
ngos2an dari dalam
gua diselingi keluhan kesakitan yang luar biasa, karena ditekan
maka suara itu hampir tidak terdengar.
Itulah suara manusia! Pasti seseorang terluka berat didalam gua
ini, begitulah setelah me-nimbang2, kakinya melangkah maju dan
berseru keras kearah gua: "Sahabat manakah yang berada
didalam gua?"
Suara keluhan dan napas memburu itu seketika berhenti, tapi
tanpa terdengar reaksi apa2.
Sekali lagi Suma Bing berseru: "Siapa itu yang didalam?"
"Siapakah yang diluar?" terdengar suara penyahutan yang
lirih tapi nyaring. Tanpa terasa Suma Bing melengak, ternyata
orang didalam
itu adalah seorang perempuan. Entah bagaimana dia terluka
didalam gua di tengah2 hutan belukar begini? Maka serunya lagi
lebih lantang: "Agaknya nona terluka berat?"
"Tidak!" "Tidak? Bukankah kau tadi mengeluh kesakitan dan
darah..." "Aku..." "Kau bagaimana?" "Tidak... apa2, silahkan kau
menyingkir." Karena tertarik dan ingin tahu, Suma Bing
berkeputusan
hendak mengetahui kejadian sebenarnya secara jelas, alisnya
dikerutkan, katanya: "Dapatkah kiranya aku yang rendah
menyumbangkan tenagaku?"

Ber-kali2 terdengar pula suara keluhan dan gerengan sakit yang
tertahan, se-akan2 dia sangat menderita menahan rasa sakitnya
itu. Maka lebih besar rasa curiga Suma Bing, lantas serunya sekali
lagi: "Sudah terang kalau nona terluka berat, mungkin cayhe
dapat membantu?"
Suara perempuan itu terdengar agak mendongkol: "Ketahuilah...
bukan... terluka. Kau! Mengapa begitu cerewet... bertanya saja?"
Suaranya lemah menggagap ter-putus2, ini menandakan suara
hatinya bertentangan dengan keadaannya, tapi mengapa dia
menolak bantuan orang lain? Ini tentu ada latar belakangnya yang
mencurigakan?
Orang itu adalah seorang perempuan, sudah tentu Suma Bing
tidak bisa memaksa harus berbuat bagaimana. Walaupun hatinya
penuh tanda tanya, tapi apa boleh buat. Maka pikirnya, kalau kau
menolak bantuanku, baiklah aku tinggal pergi saja!
Baru saja ia hendak mengundurkan diri, tiba2 suara perempuan itu
balik bertanya: "Siapakah tuan ini?"
"Cayhe Suma Bing!" "Apa? Jadi kau adalah Suma Siau hiap
yang kenamaan itu?" "Tidak berani aku terima puji
sanjunganmu yang berlebihan
itu, memang itulah Cayhe." "Kalau begitu..." "Nona siapa?" "Aku
bernama... Thong Ping..." lalu disusul suara keluhan
dan gerengan yang menghebat. Alis Suma Bing dikerutkan
semakin dalam, tak tertahan lagi
ia bertanya: "Apakah nona terluka berat?"
"Ti... dak..."

"Lalu apakah yang terjadi?" "Aku... aku..." "Kau kenapa?"
"Aku... aduh..." "Bolehkah cayhe masuk untuk memeriksa?"
"Jangan... sekali2 kau... jangan masuk... aduh!" Suma Bing
menjadi serba susah dan garuk2 kepala. Entah
perempuan yang mengaku bernama Thong Ping ini tengah
bermain sandiwara apa.
"Sebenarnya nona kenapa?" "Tidak... apa!" "Kalau nona
memang ada kesukaran yang sulit untuk
dibantu, terpaksa cayhe minta diri..." "Tidak... Suma Siau hiap,
kau... jangan pergi!" "Tapi nona harus menjelaskan yang
sebenarnya kepada..." "Aduh... Suma Siau hiap... harap kau...
menunggu sebentar
diluar... aku... aduh!" lagi2 terdengar suara pekik kesakitan lebih
keras,
sedemikian menusuk hati suara kesakitan itu sehingga mendirikan
bulu roma.
Terpaksa Suma Bing berdiri diluar gua dengan bingung
keadaannya serba runyam.
Se-konyong2 terdengar suara tangis bayi yang nyaring dari dalam
gua.
Seketika merinding seluruh tubuh Suma Bing. Ternyata
perempuan bernama Thong Ping ini bersembunyi dalam gua untuk
melahirkan. Lalu dia minta dirinya menunggu sebentar untuk apa?
Ya, betul, mungkin dia akan minta dirinya panggil dokter dan beli
obat, atau mungkin...

35. RACUN DIRACUN MANUSIA LAKNAT.
Sepeminuman teh kemudian baru terdengar suara Thong
Ping yang lemah tak bertenaga: "Suma Siau hiap silahkan kau
masuk!"
Sekarang Suma Bing menjadi ragu2 malah, tapi akhirnya
mengeraskan kepala dia memasuki gua itu.
Diujung gua sebelah sana, tampak seorang wanita duduk
menggelendot didinding batu, rambutnya awut2an, tangannya
mengemban seorang orok yang baru lahir.
Satu tombak dihadapan perempuan itu Suma Bing menghentikan
langkahnya, wajahnya merah jengah, katanya: "Nona Thong
bagaimana bisa..."
Thong Ping angkat kepala, sebelah tangannya menyingkap rambut
yang menutupi mukanya, terlihatlah wajahnya yang pucat tapi ayu
menggiurkan, katanya lemah: "Suma Siangkong, ada satu urusan
hendak kuminta bantuanmu?"
"Silahkan katakan!" Sepasang mata Thong Ping yang jeli itu
mendadak
memancarkan cahaya dingin yang menakutkan, katanya sambil
kertak gigi: "Aku minta kau membunuh seorang!"
"Membunuh orang??!" Jantung Suma Bing me-lonjak2 keras,
serta merta dia
mundur selangkah. "Benar, membunuh seorang, tidak, dia bukan
terhitung
manusia, seekor binatang yang kejam dengan kedok manusia!"
"Siapa dia?"

"Ayah dari orok celaka ini." Lagi2 Suma Bing terkejut, tanyanya
berjingkrak: "Apa, kau
ingin aku membunuh suamimu?" Air mata meleleh dengan
derasnya dikelopak mata Thong
Ping katanya sesenggukan: "Dia bukan suamiku, kita belum
pernah menikah, dia hanya mempermainkan aku..."
"Siapakah dia?" "Racun diracun!" "Siapa?" "Racun diracun!"
Suma Bing bagai mendengar geledek dipinggir telinganya
tanpa kuasa tubuhnya terhuyung hampir roboh. Sungguh tidak
kira Racun di racun bisa mempermainkan seorang perempuan
yang tidak berdosa. Memang sepak terjang Racun diracun susah
dijajaki, sudah beberapa kali dia menanam budi atas dirinya,
malah tanpa syarat mengembalikan Pedang darah kepada dirinya.
Menurut apa yang dikatakan Hui Kong Taysu dari Siau lim si
bahwa Racun diracun ternyata adalah sealiran dengan Pek Kut
Hujin, sedang Pek Kut Hujin juga sudah berulangkali memberi
bantuan yang tidak ternilai kepada dirinya. Haruskah dia melulusi
permintaan Thong Ping. Tapi, perbuatan Racun diracun kali ini
benar2 mendirikan bulu roma.
Kata Thong Ping membesut airmata: "Suma Siau hiap apa kau
kenal Racun diracun?"
"Begitulah seorang manusia aneh dengan seluruh badan hitam
legam, manusia paling beracun diseluruh dunia!"
"Itu bukan wajahnya yang asli."
"O!"

"Dia berkepandaian suatu tenaga dalam yang dapat merubah
bentuk wajahnya dalam sekejap mata..."
Diam2 Suma Bing manggut2, memang dia pernah dengar akan
ilmu Kun goan tay hoat ih sek suatu ilmu yang paling susah
dipelajari.
Kata Thong Ping lagi: "Wajah aslinya walaupun tidak begitu
ganteng tapi juga cukup gagah, siapa tahu, dia... hatinya jahat
melebihi serigala."
"Dia menelantarkan nona?" Air mata, meleleh lagi lebih deras
kata Thong Ping dengan
nada kebencian yang ber-limpah2: "Dia menipu cintaku menodai
tubuhku, waktu aku sadar kalau aku sudah mengandung dan minta
supaya segera kita menikah, dia..."
"Dia bagaimana?" "Dia berkata bahwa aku bukan calon istri
yang diangan2kan
dia minta aku melupakan dia..." Suma Bing ikut gusar dibuatnya,
dengusnya: "Lalu dia
menelantarkan nona?" "Tidak sampai disitu saja!" "Masih ada
ekornya?" "Akhirnya kejadian ini diketahui oleh ibuku, kontan dia
dicaci maki. Dalam gusar dan malunya, ternyata..." "Bagaimana?"
"Dia bunuh ibuku menggunakan racun tanpa bayangan!"
Bercerita sampai disini Thong Ping tak kuat menahan duka
dan keperihan hatinya, seketika ia muntah darah. "Keparat kejam
yang harus dibunuh!" teriak Suma Bing
dengan gemesnya.

Terbayang juga kematian adik Siang Siau hun dengan Li Bun siang
yang juga dibunuh oleh Racun diracun yang menggunakan Racun
tanpa bayangan juga, memang Racun diracun harus ditumpas dan
dilenyapkan dari alam semesta ini.
Tapi, teringat pula akan hutang budinya yang belum sempat
terbalas, seketika dingin perasaan hatinya.
Agaknya Thong Ping ini sangat teliti dan cermat sekali, dia sudah
melihat kesukaran2 yang bakal dialami Suma Bing maka katanya
lagi: "Suma Siau hiap, kalau kau ada kesukaran, permohonanku
itu anggaplah omong kosong saja!"
Suma Bing berpikir cepat, manusia yang tidak berperikemanusiaan
ini mana boleh dibiarkan tinggal hidup didunia ini, budi dan dendam
harus dibedakan, melenyapkan kejahatan adalah tugas utama bagi
kaum ksatria, maka sahutnya sambil kertak gigi: "Nona Thong,
baiklah aku akan bunuh dia"
Tubuh Thong Ping mendadak membungkuk maju mendekam diatas
tanah dan berkata: "Suma Siangkong, harap terimalah hormatku
ini!"
"Tidak... tidak... mana boleh begitu!" Suma Bing mencak2
menyingkir, karena tidak leluasa dia
membimbing bangun maka dia minggir kesamping. Thong Ping
duduk seperti semula, katanya sambil tertawa
pahit: "Suma Siau hiap, konon kabarnya bahwa Siau hiap tidak
takut akan segala racun berbisa. Maka selain kau seorang Siau
hiap, mungkin tiada seorangpun dalam Bu lim yang dapat
membunuh Racun diracun. Memang Tuhan maha adil, dia
mengutus Siau hiap kemari..."
Kata Suma Bing menegaskan: "Nona Thong, pasti aku dapat
menyelesaikan urusan ini."

"Siau hiap walaupun harus mati aku Thong Ping juga sangat
berterima kasih akan budimu ini"
"Nona jangan berkata demikian, manusia jahat berhati binatang
seperti dia itu, siapapun wajib melenyapkannya."
Thong Ping sesenggukkan lagi, ujarnya: "Siau hiap semua sudah
kusampaikan, silahkan berangkat"
Alis Suma Bing berkerut, hatinya tidak tega tinggal pergi begitu
saja, katanya: "Nona bagaimana dengan kalian ibu beranak?"
"Kami ibu beranak? hahahahaha..." "Nona kau..." Thong Ping
menghentikan tawanya, katanya: "Suma Siau
hiap, apa kau beranggapan aku Thong Ping masih ada harganya
tetap hidup?"
Tanpa terasa bergidik tubuh Suma Bing: "Nona, yang sudah lalu
anggaplah sebuah mimpi yang paling buruk dilupakan sajalah."
"Ini, dapatkah dilupakan?" "Tapi nona, masih ada bayi ini..."
"Hehehe... hihihi... bayi, anak celaka ini biar kubunuh saja
dengan tanganku sendiri!" nada ucapannya sedemikian seram
dan menyayat hati, mendirikan bulu roma.
Ber-ulang2 Suma Bing bergidik seram, katanya penuh haru:
"Nona, sebuas2 macan dia takkan menelan anaknya sendiri jelek2
dia adalah anak yang kau lahirkan?"
Thong Ping agak tercengang. lalu katanya menggigit gigi: "Dia
anak haram!"
"Kau salah nona Thong, anak ini tidak berdosa, dosa orang tua
mana dapat kau limpahkan ketubuh orok kecil yang baru lahir
ini."

Pada saat itulah mendadak sang bayi itu menangis dengan
kerasnya, se-olah2 dia tengah meronta dan menentang akan
nasib jeleknya yang bakal dihadapinya.
Dengan berlinang airmata Thong Ping menggumam: "Anak ini
tidak berdosa?"
Suma Bing manggut2, katanya: "Nona Thong bagaimana juga dia
adalah anak yang kau lahirkan, kau adalah ibu dari bayi ini!"
Thong Ping menunduk lekat2 mengawasi bayi dalam buaiannya,
sinar matanya memancarkan cahaya cerlang cemerlang yang aneh,
sedemikian tenang dan welas asih sedikit juga tidak mengandung
kebencian lagi, itulah cinta ibunda pertanda dari kemajuan
perikemanusiaan.
Diam2 Suma Bing menghela napas lega, tanyanya: "Nona Thong
masih ada kerabat siapa lagi dalam rumahmu?"
"Masih ada adik laki2 yang masih belum dewasa!" "Lebih baik
nona pulang saja, kalau bundamu sudah
meninggal secara mengenaskan, janganlah adikmu sampai
terlunta2 dan hidup sengsara!"
Mendengar bujukan yang menusuk hati ini seketika
menggerung2lah tangis Thong Ping.
Suma Bing diam saja tanpa suara membiarkan orang menangis
sepuas2nya. Memang dia perlu menangis perlu akan mencuci
bersih segala dukacita dan keputusasaannya, melampiaskan
kesedihan dan kedongkolan hatinya. Lama dan lama kemudian
baru Thong Ping menghentikan tangisnya.
"Nona Thong dimanakah kau tinggal?" "Aku tinggal di Thong
keh kip jalan Kip bwe nomor dua
dalam wilayah Su cwan!" "Baiklah, nona Thong sekarang aku
minta diri, kelak kalau
ada kesempatan pasti aku mampir kerumahmu!"

"Siau hiap, terima kasih akan keluhuran budimu ini..." "Ini tidak
terhitung budi apa segala, nona terlalu berat
berkata!" "Kata2 emas Siau hiap tadi menyadarkan kesesatan
pikiranku, itu berarti kau telah menolong jiwa kita ibu beranak..."
"Nona jangan kau berkata demikian, harap jagalah dirimu dan
anakmu baik2, cayhe minta diri."
Habis berkata segera ia mengundurkan diri keluar gua sebetulnya
tujuannya semula adalah hendak mencari suatu tempat untuk
melebur Kiu yang sin kang dengan tenaga barunya, sungguh tidak
diduga disini ia menghadapi kejadian yang paling menyedihkan
dalam dunia ini. Sekian lama dia termangu memandang mulut gua,
lalu menghela napas panjang, batinnya: 'Seorang wanita yang
harus dikasihani.'
Sekali melejit, secepat terbang dia berlari menuju kepuncak bukit
dibelakang rimba sebelah sana. Dia harus segera mencari suatu
tempat untuk berlatih diri. Beruntun dia lewati tiga puncak bukit,
namun sebegitu jauh belum menemukan tempat yang strategis
untuk latihannya, diam2 hatinya mulai gugup.
Karena latihan Kiu yang sin kang ini paling mudah Cap hwe ji mo
atau tersesat, sedikitpun tidak boleh sampai terganggu. Begitulah
setelah celingukan kesana kesini, dilihatnya tidak jauh disebelah
bawah sana terdapat sebuah selokan tersembunyi, bangkitlah
semangatnya.
Selokan ini jauh dibawah sana kira2 sedalam ratusan tombak,
seumpama jagoan kelas satu dari kalangan Kang ouw juga sukar
dapat turun kesana, sejenak setelah diukur2 segera ia
kembangkan ilmu gerak naik dari Bu siang sin kang, tubuhnya
sedemikian enteng bagai daun melayang pelan2 menurun, tidak
lama kemudian dengan ringannya kakinya menginjak tanah
didasar selokan sempit itu. Dipilihnya sebuah

batu cadas besar yang menonjol keluar seperti sayap seekor
burung, mulailah dia berlatih diri.
Te liong po hiat atau darah pusaka naga bumi itu betul2 mustajab
dan mandraguna sedikit saja ia kerahkan tenaga hawa murni
dalam tubuhnya segera bergejolak dengan kerasnya bagai sumber
air yang ber-gulung2 menyemprot keluar. Menurut teori pelajaran
Kiu yang sin kang pelan2 dia tuntun hawa murni itu meresap
masuk kedalam pusar dan mulai dilebur dan digodok bersama.
Kira2 setengah hari kemudian, seluruh tubuhnya sudah tertutup
oleh kabut tebal yang berwarna merah menyolok mata, hawa
panas ber-gulung2 melingkupi lima tombak sekitarnya.
Pada saat itulah sebuah bayangan manusia bagai bayangan
malaikat saja melayang tiba menghampiri kedekat Suma Bing.
Sudah sedemikian dekat tapi sedikit juga Suma Bing tidak
mengetahui, latihannya sedang mencapai titik terakhir.
"Ha, Kiu yang sin kang!" mendadak bayangan itu berpekik
ke-gila2an.
Kontan buyar dan hilang kabut merah itu lalu disusul jeritan yang
menyayat hati. Seketika Suma Bing roboh terkapar tanpa
bergerak, dari panca indranya mengalir darah segar dengan
derasnya.
Bayangan itu agaknya juga sangat kaget, sekali lagi dia berseru
kejut: "Tersesat!"
Untung Lwekang Suma Bing sudah mencapai kesempurnaannya
apalagi jalan darah mati hidup sudah tembus, cepat2 ia tutup sendiri
jalan2 darah penting untuk merintangi darah berputar dan
menerjang balik. Walaupun demikian tidak urung separuh badannya
sudah kaku tak dapat bergerak lagi.

Mimpi juga dia tidak mengira bahwa diselokan dibawah jurang
begini bakal ada orang lain yang datang kemari.
Waktu dia pentang matanya memandang, terlihat tiga tombak
disebelah sana berdiri seorang pemuda yang berwajah putih
ganteng, matanya mendelong mengawasi dirinya.
Dia insaf karena seruan kaget yang mendadak tadi sehingga
membuat latihannya tersesat, meskipun dia dapat segera
mencegah akan akibat yang lebih mengenaskan sehingga jiwanya
tertolong dari kematian, tidak urung separuh tubuhnya sudah
menjadi cacat, ini sudah terang menjadi kenyataan. Betapa sedih
dan pilu hatinya beratus kali lebih sengsara dari kematian.
Seandainya lantas mati malah akan beres dan tidak bikin kapiran,
paling celaka kini badannya mati separuh malah harus menghadapi
lagi kenyataan hidup dengan pahit getir ini, benar2 lebih baik mati
daripada hidup menderita begini. Seketika airmata ber-linang2,
hatinya seperti di-sayat2 dukanya luar biasa. Hampir saja dia
melupakan biang keladi atau durjana yang menyebabkan semua
kecelakaan ini.
Pemuda itu berkerut alis, lalu membuka mulut: "Karena
keteledoran cayhe sehingga saudara tersesat dalam latihan,
sungguh aku sangat menyesal dan beribu2 maaf!"
Suma Bing melotot beringas mengawasi pemuda itu, katanya:
"Sekarang aku sudah celaka, cukup dengan minta maaf saja
pertanggungan jawabmu?"
Sikap pemuda itu acuh tak acuh, sahutnya: "Lalu saudara maunya
bagaimana?"
Darah semakin merangsang dijantung Suma Bing, gusarnya bukan
kepalang, serunya gemetar: "Sebenarnya ada permusuhan atau
dendam apa aku dengan kau?"
"Permusuhan atau dendam sakit hati sih tidak ada"

"Kau juga seorang persilatan, masa pengetahuan umum yang
cetek begini saja tidak tahu?"
"Tadi sudah kukatakan keteledoran yang tidak disengaja."
"Gampang dan ogah2an benar sikapmu ini?" Si pemuda
menarik muka, katanya mendesis: "Seumpama
memang aku sengaja mencelakai kau, kenapa harus diributkan?"
Hampir meledak jantung Suma Bing, ingin benar rasanya sekali
pukul dia hancurkan pemuda kurangajar ini, namun badannya
sudah tidak mampu bergerak terpaksa dia kertak gigi: "Karena
kata2mu itu kau setimpal untuk dibunuh!"
"Siapa berani membunuh aku? Siapa bisa membunuh aku?
Hahahahaha!"
"Dengan perbuatanmu ini, cepat atau lambat pasti ada orang yang
bakal membunuhmu!"
"Kau ingin mati?" "Kau berani?" Si pemuda tertawa
menyeringai, ejeknya: "Membunuh
orang terhitung apa, apa perlu dipersoalkan berani atau tidak
berani apa segala. Ketahuilah, tanpa menggerakkan tangan aku
dapat..."
"Bagaimana?" "Eh, kau... yang kau latih tadi adalah Kiu yang
sin kang,
bukankah kau ini yang bernama Suma Bing?" Suma Bing tertegun,
tanyanya: "Kalau benar kau mau
apa?" Berubah air muka si pemuda, suaranya gemetar: "Benar
kau adalah Suma Bing?"
"Tidak salah!"

"Wah ini benar2 celaka!" Suma Bing menjadi melengak heran,
entah apa maksudnya
dengan ucapan celakanya itu, maka tanyanya tak mengerti:
"Apanya yang celaka?"
Agaknya kaget si pemuda masih belum hilang, matanya termangu
dan mulutnya menggumam: "Kesalahan sudah sudah terjadi, ini...
bagaimanakah baiknya?"
Suma Bing tambah tidak paham, suaranya semakin gemetar:
"Siapakah kau ini?"
"Aku? Lebih baik jangan kau tanyakan, mungkin akan datang
suatu hari kau bisa tahu. Suma Bing, selamanya aku membunuh
orang tanpa banyak pikir, tapi terhadap kau aku tak bisa turun
tangan. Mengenai urusan kali ini benar2 aku sangat menyesal dan
minta maaf. Kira2 satu jam lagi pasti ada orang datang, aku harus
segera pergi!"
Habis suaranya tubuhnya melesat terbang dalam sekejap mata
saja bayangannya sudah menghilang, kecepatan gerak tubuhnya
itu benar2 sangat menakjubkan.
Suma Bing termangu memandangi bayangan orang menghilang
dari penglihatannya, sepatah katapun tidak mampu diucapkan lagi.
Sifat pemuda itu bukan saja kejam juga licik banyak tipu
muslihatnya, ini dapat didengar dari nada perkataannya.
Dia mengatakan satu jam lagi bakal datang seseorang, orang
macam apakah yang bakal tiba? Latihannya sudah tersesat,
separuh tubuhnya juga sudah mati kaku, seumpama orang datang
apalagi gunanya.
Badan Suma Bing serasa lemas tak bertenaga, begitu mata
dipejamkan, bayangan pengalaman lalu segera berkelebatan
dalam benaknya, diantaranya rasa dendam sakit hati, cinta,
menuntut balas dan budi kebaikan para kawan, seumpama

ujung pedang menusuk ulu hatinya, 'Kalau aku tidak mati, aku
harus membunuhnya!' demikian ia bertekad dalam hati.
Tiba2 dia tertawa keras menggila dengan suara serak, kegelapan
dan keputus-asaan tanpa berujung pangkal mulai mendatang
melingkupi dirinya, dapatkah dirinya sembuh lagi seperti sedia
kala? Ini benar2 merupakan angan2 kosong dalam impian belaka,
bahwa dia masih helum mati karena latihannya ini tersesat sudah
merupakan untung yang paling besar.
Tengah pikirannya me-layang2 ini, sebuah bayangan berkelebat
lagi didepan matanya.
Kiranya pemuda licik itu lagi yang muncul. Waktu pandangan
Suma Bing beradu pandang dengan
sinar mata si pemuda yang berjelalatan tak henti2nya itu, tanpa
terasa dia bergidik gemetar, dia pergi dan kembali lagi, pasti ada
maksud2 jahat apalagi yang hendak diperbuatnya.
Si pemuda menyeringai dingin, katanya: "Suma Bing, aku teringat
sesuatu..."
"Sesuatu apa?" bentak Suma Bing bengis. "Bukankah Pedang
darah berada ditanganmu?" Suma Bing semakin murka dan
berputus asa, kiranya dia
kembali lagi karena ingin merebut Pedang darah dari tangannya.
Setelah mengalami berbagai rintangan baru Pedang darah ini
diserahkan oleh Racun diracun kepadanya, jikalau hilang lagi,
semua angan2nya bakal kandas seluruhnya. Memang keadaan
dirinya sekarang ini mana mungkin dapat melindungi Pedang darah
itu sehingga tidak sampai terebut oleh lawan.
Tentang Pedang darah berada ditangannya, selain pihak Bwe hwa
hwe tiada orang lain yang tahu. Apa mungkin pemuda licik ini
adalah dari pihak Bwe hwa hwe?

Kalau dia memang benar dari Bwe hwa hwe mengapa tidak
segera mencabut jiwanya? Ini tidak benar. Lalu bagaimana bisa
dia mengetahui kalau dirinya menyimpan Pedang darah?
Pelan2 si pemuda mendekat kehadapan Suma Bing, tangan
diulurkan dan katanya: "Suma Bing, serahkan kepadaku!"
"Siapakah kau sebenarnya?" "Aku, tiada halangannya
kuberitahu, aku bernama Phoa Cu
giok!" "Phoa Cu giok?" "Benar!" Rasa kebencian yang me-luap2
merangsang hati Suma
Bing, serunya beringas: "Phoa Cu giok, akan datang satu hari
kubeset dan kucacah tubuhmu."
Phoa Cu giok ganda menyeringai, katanya tertawa: "Selama
hidupmu kau takkan mampu berbuat apa2, tapi, meskipun
mulutmu kurangajar, aku tetap segan membunuh kau. Kau sendiri
tahu, setelah latihanmu tersesat kau tidak akan dapat hidup lama
lagi!"
Suma Bing menjerit kalap seperti orang gila, darah menyemprot
dari mulutnya.
Phoa Cu giok maju lagi dua langkah, secepat kilat ia cengkram
tangan Suma Bing yang masih dapat bergerak, sedang tangan
yang lain mencengkram kebaju didepan dadanya. 'Bret!' sebilah
pedang kecil sepanjang satu kaki sudah berada ditangan Phoa Cu
giok. Duka dan gusar merangsang bersamaan, kontan Suma Bing
jatuh pingsan.
Entah sudah berselang berapa lamanya, akhirnya Suma Bing baru
tersadar. Perasaan pertama yang dirasakannya adalah se-akan2
dirinya berada dipelukan seseorang, bau wangi juga segera
merangsang hidung, dipinggir telinganya

terdengar sebuah suara halus mesra tengah memanggil dirinya:
"Engkoh Bing, engkoh Bing!"
Waktu dia membuka mata keruan kejutnya luar biasa,
dihadapannya berdiri bibinya Ong Fong jui, ternyata dirinya rebah
dipangkuan istrinya Phoa Kin sian.
Mereka guru dan murid bisa muncul ditempat itu benar2 diluar
sangkanya. Pertama kali melihat keluarga terdekat setelah
mengalami bencana, tak urung Suma Bing yang terkenal berhati
baja dan keras kepala juga akhirnya mengucurkan air mata.
"Nak," ujar Ong Fong jui sambil mengerutkan alis dalam2, "Kau
tersesat dalam latihanmu?"
"Ya, begitulah!" "Bagaimana ini bisa terjadi?" "Kalau diceritakan
sangat panjang!" "Ceritakanlah pelan2!" Dengan sapu tangan
sutra Phoa Kin sian membesut
keringat diatas jidat Suma Bing, sehingga terasa kasih mesra
yang menghangatkan badannya.
"Bi, aku... dapatkah aku sembuh kembali?" "Nak, bibimu akan
sekuat tenaga membantumu sembuh
kembali, sekarang ceritakanlah pengalamanmu sampai keadaanmu
jadi sedemikian rupa!"
Maka mulailah Suma Bing bercerita sejak dari mereka berpisah
tempo hari, ditengah jalan bersua dengan Rasul penembus dada
dan tertolong oleh pihak Perkampungan bumi dimana dia
dicalonkan sebagai ahli waris raja mereka begitulah dari mula
sampai akhir ia ceritakan dengan ringkas dan jelas. Selanjutnya,
dia mendongak memandang Phoa Kin sian dan berkata: "Adik Sian,
aku berbuat salah terhadapmu!"

Sahut Phoa Kin sian lemah lembut: "Ini tidak bisa salahkan kau!"
Ong Fong jui menghela napas ringan, katanya: "Nak,
pengalamanmu didalam Te po aku dan Kin sian sudah
mengetahui!"
"Apa, bibi Jui sudah tahu? Darimana bibi bisa tahu?" "Tengah
hari yang lalu aku sudah bertemu dengan
Kangkun Lojin!" Suma Bing terperanjat: "Apa bibi Jui kenal
dengan Kangkun
Lojin?" "Tidak kenal, sudah lama kudengar ketenarannya!"
"Bagaimana bisa..." "Mata telinga pihak Te po sangat awas dan
jeli, siang2
mereka sudah tahu hubunganmu dengan Kin sian. Adalah Sim
tong Tongcu Song Liep hong dari perkampungan bumi itulah yang
menuntun orang tua itu menemui aku!"
Baru sekarang Suma Bing paham, kiranya waktu diluar jalan
rahasia itu, tugas yang diserahkan kepada Kangkun Lojin oleh Te
kun itu ternyata adalah soal ini.
Ujar Ong Fong jui lagi: "Kangkun Lojin mendapat pesan dari Te
kun, untuk merembukkan tentang persoalanmu masuk warga
dalam perkampungan bumi, aku sudah melulusi mereka."
Suma Bing melengak: "Bibi sudah melulusi!" "Kayu sudah
menjadi perahu, apalagi Kangkun Lojin sendiri
yang ikut campur, terpaksa aku harus setuju!" "Tapi bagaimana
adik Sian..." "Kin sian paham dan maklum akan keadaanmu, ini
tiada
persoalan baginya!"

"Tapi aku... selalu merasa tidak tentram bibi Jui, aku..."
"Kenapa?" "Aku berkeputusan untuk tidak kembali lagi ke Te
po!" "Tidak bisa, cara memilih menantu sudah merupakan
tradisi
bagi mereka, peraturan ini sudah menjadikan undang2 tetap
dikalangan Kangouw. Apalagi kau dengan Pit Yau ang sudah
melangsungkan upacara pernikahan secara resmi, bagaimana
rasa tanggung jawabmu kepadanya?"
Sampai sekarang Suma Bing masih rada dongkol dan jengkel,
sahutnya: "Mereka menipu aku!"
"Nak, kau tidak bisa berkata demikian!" "Lalu adik Sian?"
"Sudah tentu dia ikut kau ke Te po!" "Ini..." "Kin sian sendiri
sudah setuju!" Suma Bing memandang istrinya dengan penuh
penyesalan
yang tak terhingga, betapa resah perasaan hatinya susah
dikatakan.
Sebenarnya cinta itu sangat egois, adalah sebaliknya bagi Phoa Kin
sian waktu mengetahui suaminya terjatuh kedalam pelukan
perempuan lain, bukan saja tidak mengunjuk perasaan cemburu,
malah sinar wajahnya mengunjuk rasa girang berseri, ini benar2
susah dimengerti.
Ong Fong jui mengalihkan pokok pembicaraan: "Nak, kau masih
belum menceritakan bagaimana kau bisa tiba ditempat selokan
yang tersembunyi ini."
Lagi2 Suma Bing harus dipaksa mengenang kenyataan yang
menyedihkan itu, katanya penuh kebencian: "Tit ji (keponakan)
diberi minum tiga cangkir darah pusaka naga bumi. Aku ingin
melebur tenaga baru ini kedalam ilmu Kiu

yang sin kang, maka akhirnya kupilih tempat selokan yang
tersembunyi ini untuk berlatih, sungguh tak terduga ditengah
jalan aku mendapat gangguan..."
"Siapakah yang mengganggu kau?" tanya Phoa Kin Sian terharu.
Sebaliknya Ong Fong jui segera mendengus dingin: "Tiada orang
lain pasti dia."
Suma Bing menjadi keheranan, naga2nya si pemuda yang
mengaku bernama Phoa Cu giok ada hubungan erat dengan Ong
Fong jui guru dan murid. Kalau tidak sebelum pergi Phoa Cu giok
juga tidak bakal mengatakan satu jam kemudian pasti ada orang
datang, maka pura2 tidak tahu dia bertanya: "Bibi Jui, siapakah
dia?"
Mendadak tubuh Phoa Kin sian menggigil gemetar. Suma Bing
terbaring dalam pangkuannya sudah tentu dia merasa akan hal
ini, tanpa terasa tergerak hatinya.
Sejenak Ong Fong jui ragu2, lantas balas bertanya: "Apa kau tahu
siapa dia?"
"Dia mengaku dirinya bernama Phoa Cu giok!" "Hm, dia adalah
adik kandung Kin sian, juga adik iparmu!" Keruan Suma Bing
terperanjat, tidak diketahuinya bahwa
Cu giok ternyata adalah adik istrinya, bagaimana dia harus
membalas perhitungan ini?
Pada saat itu mendadak Phoa Kin sian melelehkan airmata dengan
derasnya. Panjang2 Suma Bing menghela napas katanya: "Adik
Sian, jangan kau berduka karena peristiwa ini, mungkin dia tidak
sengaja, aku... tidak salahkan dia."
"Engkoh Bing kau tidak tahu, kelak... ai, mungkin pada suatu hari
akan kuberitahukan kepada kau!"
"Apa?"

"Sekarang tidak bisa kukatakan!" "Sebenarnya apakah yang
telah terjadi?" "Ai? Mungkin aku berbuat salah, tapi sudah
terlambat!" Wajah Ong Fong jui berubah serius, katanya: "Kin
sian
harus cari dia kembali." Tercetus ucapan Suma Bing: "Dia juga
membawa Pedang
d a r a h k u ! " P h o a K i n s i a n me r e b a h k a n S uma B i n g
d i a t a s t a n a h , t e r u s
berjingkrak bangun serunya gemetar: "Apa dia membawa Pedang
darah?"
Suma Bing mengiakan. Airmuka Ong Fong jui juga berobah
marah, serunya geram:
"Ada kejadian begitu, anak itu sudah tidak dapat ditolong lagi!"
Wajah Phoa Kin sian penuh airmata, katanya penuh duka: "Suhu,
engkoh Bing kuserahkan kepadamu, aku..."
"Kau kenapa?" "Bagaimanapun aku harus mencarinya kembali,
sedikitnya
Pedang darah itu harus diminta pulang!" habis berkata tubuhnya
terus melejit terbang menghilang.
"Adik Sian!" "Kin sian!" Ong Fong jui dan Suma Bing berseru
berbareng, tapi Phoa
Kin sian bagai tidak mendengar, pada lain kejap bayangannya
sudah menghilang dikejauhan sana. Terang kalau keadaannya
saat itu sangat berduka dan sedih luar biasa...
Suma Bing menyesal dan menghela napas, katanya: "Hm,
kejadian ini benar2 diluar dugaan"

Wajah Ong Fong jui membesi kehijauan, suaranya mengandung
kebencian: "Phoa Cu giok banyak berbuat jahat dan bertabiat
rendah, akan datang suatu hari dia termakan akan buah
perbuatannya ini, malah mungkin bisa mencelakai cicinya sekalian!"
"Bibi Jui, Phoa Cu giok juga menjadi muridmu?" "Ya,
kupandang muka Phoa Kin sian maka kuterima dia
menjadi murid. Siapa tahu diluar bagus tapi busuk didalam kalau
dia tidak bisa merubah tabiatnya ini, tidak dapat tidak aku harus
menghukumnya menurut undang2 perguruan!"
"O, bibi Jui, bagaimana kau bersama Kin Sian bisa datang
diselokan yang tersembunyi ini?"
"Disinilah tempat aku menetap." "Tempat sepi ditengah alas
pegunungan ini?" "Tak lama lagi kau pasti dapat tahu,
sekarang lebih baik
kita kembali ketempat kediamanku dulu!" sambil berkata ia jinjing
tubuh Suma Bing terus berlari bagai terbang kearah selokan yang
lebih dalam sana, sekejap saja mereka tiba didepan sebuah gua.
Tanpa banyak pikir langsung Ong Fong jui terus menerobos
masuk. Gua ini sedemikian bersih dan nyaman sedikitpun tak
terlihat ada kotoran, ruangan dalam gua itu selebar tiga tombak
persegi, meskipun kecil namun dihias sedemikian rupa bagai
kamar seorang putri raja.
Langsung Ong Fong jui membaringkan Suma Bing diatas sebuah
dipan yang lengkap dengan kasur dan bantal guling.
Menyapu pandang keadaan ruangan ini berkatalah Suma Bing:
"Bibi Jui, disinikah tempat kediamanmu?"
"Bukan, ini hanya tempatku bersemadi." "Bibi Jui, mengenai
kabar ibunda..." Rona wajah Ong Fong jui berubah tak
menentu, katanya:
"Nak, sejak kuketahui riwayat hidupmu, setiap saat setiap
Tiraik
asih
Websi
te
http://
kangz
usi.co
m/
waktu selalu aku berusaha mencari... Sekarang jangan kita
perbincangkan soal itu, biar kuperiksa dulu lukamu itu."
"Dapatkah badanku sembuh kembali?" "Sekarang belum bisa
ditentukan, tapi, nak, aku akan
berusaha sekuat tenaga!" Sambil berkata tangannya diulur
menekan dan memeriksa
nadi jalan darah Suma Bing yang sebelah tubuhnya sudah tak
dapat bergerak lagi. Lama dan lama sekali tanpa bersuara.
Suma Bing menjadi risau dan tak sabar: "Bagaimana bibi Jui,
masih dapat ditolong?"
Ong Fong jui terpekur dalam se-olah2 tengah memikirkan
persoalan besar yang susah dipecahkan, begitulah dia berdiam diri
tanpa menyahuti pertanyaan Suma Bing. Kira2 setengah harian
kemudian baru dia menepuk dipinggir ranjang, dan berkata
seperti menggumam: "Terpaksa begitulah!"
Suma Bing tertegun, tanyanya: "Bibi Jui, lebih baik bagaimana?"
"Biar aku menempuh bahaya!" "Menempuh bahaya?" "Benar,
menggunakan tenaga murniku diaduk bersama
dengan Kan goan kay hiat sip meh tay hoat, untuk menjebol jalan
darahmu yang buntu karena latihanmu yang tersesat itu. Selain
dengan cara ini tiada cara lain yang lebih sempurna. Ingat, setelah
tenagamu pulih kembali, kalau melihat keadaanku sangat janggal
jangan kau gugup dan takut, kau harus tenang dan pindahkan saja
aku dikamar dalam disebelah gua ini..."
36.
TABI
B
KEN
AMA
AN
PEK
CHI

"Terletak dimanakah kamar dalam itu?" tanya Suma Bing penuh
was2.
"Kau geser dipan ini tiga senti kekanan, pintu kamar dalam itu
akan membuka sendiri, kalau digeser lima senti kekiri dia akan
menutup sendiri pula..."
"Kenapa ini..." "Dengar, setelah kau pindahkan aku dikamar
sebelah, kau
harus segera keluar dari selokan ini pergilah ke Yok ong bio di
Seng toh. kepada Pek Chio Lojin kepala dari biara itu, mintalah
sebutir Hoan hun tan. Dalam jangka waktu sepuluh hari kau sudah
harus kembali disini, masukkan Hoan hun tan itu kedalam
mulutku, lalu dengan Kiu yang sin kang kau bantu bekerjanya obat
itu, mungkin aku bisa selamat tanpa kurang suatu apa..."
Suma Bing berkuatir: "Untuk aku bibi Jui hendak menempuh
bahaya?"
"Mana bisa aku melihat kau mati setelah cacat begini?" "Masa
tiada jalan lain?" "Tidak ada!" "Biarpun mati aku juga tidak
setuju!" "Omong kosong, kau sudah lupa dendam dan, sakit
hatimu,
masih berapa banyak kebahagiaan orang lain tergantung diatas
tubuhmu, mana boleh kau pandang kematian begitu ringan!"
Suma Bing semakin berduka, airmata mulai meleleh keluar,
katanya: "Tapi kau bibi Jui..."
"Asal dalam sepuluh hari kau bisa mendapatkan Hoan hun tan,
aku tidak bakal mati."
"Kalau terjadi sesuatu..." "Serahkan saja
nasib kita kepada Tuhan!"

"Tidak!" Wajah Ong Fong jui berobah kaku membengis:
"Jangan
kau membawa adatmu sendiri." "Bibi, jangan, jangan kau..."
"Jangan bergerak, sekarang mulai!" Beruntun Ong Fong jui
memukul se-keras2nya diduabelas
jalan darah suma Bing, lalu duduk bersila disamping Suma Bing,
kedua tangannya menekan jalan darah Bing bun dan Thian leng,
maka arus hawa hangat mulai disalurkan.
Bagaimana juga Suma Bing tidak rela Ong Fong jui menempuh
bahaya demi jiwanya namun dia tak kuasa melawan dan
mendebat, terpaksa dia mandah saja menerima pengobatan.
Sedemikian keras dan derasnya arus hawa hangat itu mengalir
bagai banjir air bah terus menerjang dan menjebol segala apa saja
yang merintang didepannya demikian juga semua jalan darah
Suma Bing yang buntu bobol pertahanannya.
Setelah menjebol tiga jalan darah besar, karena benturan hawa
hangat ini terlalu keras tak tahan lagi Suma Bing jatuh pingsan.
Waktu dia siuman kembali terasa jalan darahnya sudah normal
dan berjalan seperti biasa, hawa murninya penuh sesak bergairah,
ternyata semua tenaga murninya sudah terbaur didalam Kiu yang
sin kang, dalam berpikir2 itu gelombang panas masih mengalir
deras dalam tubuhnya.
Waktu pandang bibinya disamping, tampak wajahnya pucat pias,
tubuhnya rebah kaku tanpa bergerak, waktu diraba
pernapasannya sudah berhenti, kaki tangan juga sudah dingin,
tinggal jantungnya saja yang masih sedikit berdetak.
Betapa perih perasaan Suma Bing kala itu, sungguh dia tidak
berani membayangkan, kalau bibinya meninggal karena dirinya...

Mematuhi pesan bibinya dia geser dipan itu kekanan, mendadak
dinding sebelah kiri terbuka sebuah pintu, dimana terlihat sebuah
kamar lagi lebih besar dan lebih mentereng, tanpa banyak pikir
segera ia pindah tubuh bibinya kekamar dalam ini dan direbahkan
diatas ranjang lalu mulutnya menggumam: "Bibi, dalam sepuluh
hari, seumpama harus mengorbankan jiwa juga obat itu pasti
dapat kubawa kembali!"
Memandang awan yang terapung bebas ditengah udara hatinya
terasa kecut dan sedih. Sejak dirinya berkelana semua tugas yang
harus dikerjakan satupun belum ada yang membawa hasil. Entah
kapan tugas suci dan angan2nya bisa terkabul.
Perjalanan kali ini sebetulnya hendak menuju ke Lembah
kematian, dengan Pedang darah minta Bunga lblis, besar
harapannya dapat melatih ilmu sakti yang tiada taranya, supaya
leluasa dia menuntut balas, untuk menyumbangkan tenaganya
juga bagi kepentingan dan kesejahteraan kaum persilatan. Akan
tetapi, kenyataan semua berlawanan dengan kekendaknya, selalu
terjadi rintangan2 yang menjengkelkan ini, bukan saja dia
kehilangan Pedang darah, malah jiwa sendiri juga hampir
melayang.
Saking marah istri tercinta lari mengejar adiknya yang tidak
berbakti dan banyak melakukan kejahatan, entah bagaimana
keadaannya sekarang?
Sekian lama dia terpekur mengenangkan pengalamannya yang
pahit getir itu, baru akhirnya dia tersadar akan tugas barunya ini,
menuju ke Seng toh minta sebutir Hoan hun tan di Yok ong bio.
Begitu Bu siang sin hoat dikembangkan seenteng burung dia
terbang keluar dari solokan terus menuju jalan raya langsung
menuju ke Seng toh.
Tidak jauh diluar kota Seng toh terdapat sebuah bukit kecil, diatas
bukit ini, dibangun sebuah biara yang kini sudah rusak dan bobrok
tidak terurus. Ditengah belandar diatas pintu

terpancang sebuah papan besar yang bercat merah dan sudah
luntur, samar2 diatas papan ini tertulis 'Yok ong bio' tiga huruf
besar warna kuning.
Waktu matahari sudah doyong kebarat, burung gagak mulai
cecowetan kembali kesarangnya, didepan Yok ong bio ini
mendatangi seorang pemuda berwajah dingin kaku.
Dia bukan lain adalah Suma Bing yang datang hendak minta
sebutir obat.
Berdiri diluar biara Suma Bing termangu dan ber-tanya2 dalam
hati, biara ini sudah bobrok tidak terurus masa ada orang yang
mau datang bersembahyang disini, mungkinkah ada orang mau
mengurus biara bobrok ini?
Tapi ucapan bibinya pasti tidak salah, kedatangannya ini adalah
minta bantuan orang tidak boleh berlaku sembrono dan kurang
adat, maka dari tempatnya dia berseru kearah dalam. "Apakah
ada orang didalam, aku Suma Bing minta bertemu!" beruntun
tigakali ia berseru tanpa ada penyahutan.
Dingin perasaan Suma Bing, setelah bimbang segera ia berkelebat
memasuki pintu biara.
Biara ini tidak begitu besar, hanya terdapat sebuah ruang
sembahyang dan dua emperan samping yang memanjang
kebelakang. Rumput alang2 dipekarangan sudah setinggi pinggang
orang, malah undakan batu juga sudah berlumut, suara burung
gagak yang riuh rendah menambah keseraman keadaan
sekelilingnya.
Hati Suma Bing kebat-kebit dan berdetak keras, naga2nya
perjalanannya ini menemui kegagalan lagi, sebab agaknya biara
ini tanpa penghuni. Kalau perjalanannya ini benar2 gagal tamatlah
riwayat hidup bibinya. Tengah berpikir itu tubuhnya melesat
menuju ruang tengah tempat sembahyang, begitu tiba melihat
apa yang terpancang didepan matanya, seketika dia menyedot
hawa dingin, tanpa terasa dia mundur satu langkah besar,
badannya gemetar dan merinding.

Ditengah ruang sembahyang ini terletak sebuah peti mati warna
merah, didepan meja peti mati ini tersulut sebuah pelita minyak,
sinar pelita yang redup ber-goyang2 hampir padam terhembus
angin lalu, beberapa batang hio masih tersumat. Waktu
pandangannya menjelajah keringat dingin membanjir keluar,
ternyata didepan peti mati itu menjulai kertas putih yang
bertuliskan: Layon ketua biara Pek chio Lojin.
Habis sudah segala pengharapannya. Ternyata bahwa Pek chio
Lojin sudah mati.
Menghadapi layon Pek chio Lojin ini Suma Bing berdiri mematung
seperti orang linglung yang sakit ingatan, terpikir olehnya akibat
yang menakutkan, bibinya bakal tertidur terus untuk se-lama2nya.
Se-konyong2 timbul sepercik harapan dalam keputus- asaannya,
dilihat dari pelita dan hio yang terpasang itu, ini membuktikan
bahwa masih ada orang lain dalam biara ini, mungkin anak murid
Pek chio Lojin, meskipun Pek chio Lojin sudah meninggal,
obat2annya tentu masih tersimpan dan masih ada harapan dirinya
bisa memperolehnya.
"Adakah orang didalam?" dia berteriak lantang. "Siapa itu?"
Sebuah suara dingin mendadak terdengar dari samping
sebelah sana. Girang hati Suma Bing, dimana pandangannya
menyapu, terlihat dipintu samping pojok sana pelan2 berjalan
seorang gadis jelita berpakaian serba hitam.
Suma Bing tertegun, gadis ini berpakaian sedemikian mentereng,
wajahnya ayu jelita, keadaan ini sangat kontras dengan situasi
yang tengah dihadapinya ini.
Mata gadis baju hitam itu dipentang lebar menatap kearah Suma
Bing, tiba2 berobah airmukanya, serunya kaget.
"Tuan adalah Sia sin kedua?"

Suma Bing melengak, sebat sekali ia melesat masuk keruang
tengah, diam2 ia heran darimana dia bisa mengetahui dirinya,
terdengar mulutnya menyahut: "Benar, itulah cayhe harap tanya
nama nona yang harum?"
Nona serba hitam ini mengerut alis, biji matanya berputar2,
jawabnya: "Aku bernama Siau ling!"
"Siau ling!" "Ya, kenapa?" "Apa nona tidak punya she?" "Siapa
bilang aku tidak punya she?" "Minta, bertanya..." "Aku tidak
ingin memberitahu!" Suma Bing tertawa kecut, sikapnya rada
risi entah apa yang
harus dikatakan. Nona serba hitam itu berkata lagi: "Untuk apa
tuan datang
kemari?" "Mengunjungi seorang Cianpwe." "Siapa?" "Pek chio
Lojin!" "Apa kau tidak melihat peti mati ini?" "Sudah lihat, harap
tanya apa hubungan nona dengan Pek
chio Lojin?" "Mendiang guruku." Berjingkrak girang hati Suma
Bing, namun lahirnya tetap
bersikap dingin, katanya: "Sungguh tidak terduga gurumu sudah
mangkat?"

Sepasang mata jeli nona serba hitam ini ber-putar2 menatap
kepada Suma Bing, tanyanya: "Maksud kedatangan tuan..."
"Cayhe ingin minta sebutir Hoan hun tan kepada Pek chio
Cianpwe!"
"Hoan hun tan?" Suma Bing mengiakan. "Darimana kau tahu
kalau mendiang suhu ada membikin
Hoan hun tan?" "Ini... cayhe hanya menerima pesan orang lain."
"Pesan dari siapa?" "Bibiku Ong Fong jui!" "Untuk apa?" Mau tak
mau Suma Bing harus berpikir, sudah tentu dia
tidak bisa memberi penjelasan se-terang2nya, maka samar2 saja
dia menjawab: "Untuk menolong orang!"
"Tapi suhu sudah meninggal!" "Dapatkah kiranya nona
memberi satu butir saja?" "Setelah mengalami jerih payah
selama hidup suhu hanya
membuat tiga butir Hoan hun tan, obat ini dipandang barang
berharga dalam Bu lim..."
"Maksud nona..." "Selamanya kita belum berkenalan,
mengandal ucapanmu
dapatkah aku lantas memberikan Hoan hun tan peninggalan suhu
yang sangat berharga itu?"
Sikap Suma Bing berobah sungguh2: "Tiada halangannya Nona
mengajukan syarat penggantian!"
"Syarat?"

"Begitulah!" "Dapatkah syarat yang kuajukan kau kerjakan?"
"Coba saja nona sebutkan?" "Diganti dengan batok kepalamu,
bagaimana syarat ini?" "Dengan batok kepalaku untuk
mengganti sebutir Hoan hun
tan?" "Kau sendiri mengatakan aku boleh mengajukan syarat
sesuka hatiku." Sekian lama Suma Bing bimbang dan serba salah,
namun
demi menolong jiwa bibinya, akhirnya dia menjadi nekad, katanya:
"Apakah nona sedang bergurau?"
"Suma Bing, kau ingin minta Hoan hun tan, ini juga berkelakar
bukan?"
Suma Bing benar2 nekad, sahutnya: "Baik, aku setuju!" Sedikit
berobah rona wajah gadis serba hitam ini, agaknya
jawaban tegas Suma Bing ini benar2 diluar sangkanya, tanpa
terasa tercetus seruannya: "Kau setuju?"
"Aku setuju, tapi..." "Tapi apa?" "Kusertai sebuah permintaan!"
"Permintaan ana?" "Kepala cayhe ini setengah tahun kemudian
baru bisa
kupersembahkan!" "Mengapa?" "Masih banyak urusan yang harus
cayhe selesaikan!" Nona serba hitam mendengus, katanya dingin:
"Kalau aku
tidak setuju!"

Suma Bing tertegun dan mundur selangkah, katanya terharu:
"Tabib pandai harus mengobati, obat mujarab untuk menolong
orang, bukan untuk membunuh orang?"
"Hm, jadi kau menyesal dan menarik balik ucapanmu?" "Cayhe
tidak bermaksud demikian!" "Kalau begitu ketahuilah, begitu
aku sudah serahkan Hoan
hun tan itu kau harus segera serahkan kepalamu." "Nona
memaksa keterlaluan!" "Kalau kau beranggapan syarat ini terlalu
kejam. Kau tidak
perlu adakan jual-beli ini?" "Cayhe sudah bertekad harus
mendapatkan Hoan hun tan
itu!" "Bagaimana tuan harus mendapatkan?" Sejenak ragu2, lantas
Suma Bing berkata dengan nada
tegas: "Aku minta dengan hormat, kalau terpaksa yah apa boleh
buat!"
"Itu berarti tuan hendak menggunakan kekerasan?" "Bila
memang terpaksa apapun akibatnya akan kulakoni!" Tatkala itu
sang surya sudah silam kebarat, sang malam
sudah mulai mendatang, keadaan sekelilingnya sudah mulai gelap
remang2.
Mendadak terlihat si gadis baju hitam berubah air mukanya
tubuhnya menggeser maju mendekati layon, matanya mendelong
mengawasi keluar dengan ketakutan.
Suma Bing heran dan tak mengerti dibuatnya menurut arah
pandangan si gadis baju hitam dia melihat seketika bergejolak
darahnya seakan jantungnya hampir pecah, hawa membunuh
menyelubungi wajahnya. Kiranya diatas belandar sebelah barat
sana berdiri seorang berpakaian serba putih dengan kedok kepala
putih pula, sebilah cundrik merah darah

tergambar didepan dadanya, dia bukan lain adalah Rasul
penembus dada.
Mata Rasul penembus dada bersinar tajam menyapu keadaan
ruang sembahyang lalu perdengarkan suara lengkingnya yang
menyedot sukma orang: "Pek chio anjing tua, keluarlah serahkan
jiwamu!"
"Tuan orang kosen darimana?" tanya gadis baju hitam itu
gemetar.
"Akulah Rasul penembus dada!" "Ada permusuhan apakah kau
dengan mendiang guruku?" "Kau tiada harganya bertanya,
suruh anjing tua itu
menggelinding keluar!" "Suhu sudah meninggal dunia!" "Apa
anjing tua sudah mati?" "Tuan bicaralah kenal sopan santun!"
"Cara bagaimana dia mati?" "Sakit keras!" "Hahahaha... Mati sakit?
Pek chio Lojin seorang tabib
kenamaan yang pandai pengobatan, mana bisa dia mati karena
sakit?"
"Kalau memang sudah ajal, betapapun mustajap obat dewa juga
tidak mungkin dapat menyembuhkan orang sakit. Seumpama Hoa
toh (tabib kenamaan pada jaman Sam kok) sendiri juga tidak bisa
hidup sepanjang masa."
"Kau ini muridnya!" "Benar, akulah muridnya!"
"Jenazahnya berada didalam peti mati itu?"
"Ya."

"Bongkar kembali!" "Tidak mungkin!" seru gadis baju hitam
beringas. "Terpaksa aku sendiri turun tangan!" hilang suaranya
tiba
pula tubuhnya, bagai bayangan malaikat secepat kilat dia
melayang tiba didalam ruang sembahyang.
Sementara itu Suma Bing sendiri sudah tidak kuat menahan sabar,
serta mendengar ucapan orang, pikirnya, 'aku sendiri malah tidak
berpikir sampai disitu, mungkin Pek chio Lojin memang pura2
mati, mengapa aku tidak menonton saja mengikuti suasana.'
Karena pikirannya ini segera ia melejit mundur menyingkir lima
kaki.
Sekilas Rasul penembus dada pandang Suma Bing dengan sorot
mata yang me-nyala2, lalu mengalihkan pandangannya kepeti
mati itu. Tiba2 sebelah tangannya diangkat mengarah kepeti mati
itu dan berseru dingin: "Lebih baik kau tahu diri dan buka peti
mati itu?"
Gadis berbaju hitam menggigit gigi sambil mendengus: "Orang
mati dendamnya himpas, apa kau hendak merusak jenazahnya?"
"Sedikitpun tidak salah!" "Kau berani?" Rasul penembus dada
menyeringai seram: "Kau tidak akan
mampu merintangi aku!" Dibarengi sebuah bentakan nyaring
tangannya diayun
memukul kearah gadis baju hitam, pukulannya ini betul2 hebat
dan menakjubkan, diam2 Suma Bing melelet lidah melihat
kelihayan serangan ini. Kontan gadis baju hitam itu terpental
mundur terdesak sampai mepet dinding.
'Blang!' dimana terlihat kayu hancur ber-keping2 begitu peti itu
hancur terlihat sesosok mayat rebah didalam peti mati itu,

itulah seorang tua ubanan yang berbadan kurus kering bagai
kayu.
"Iblis laknat, biar nonamu adu jiwa dengan kau!" Gadis baju
hitam menubruk maju sambil melancarkan
sembilan kali pukulan berantai yang menggila. Sekaligus sembilan
pukulan ini dilancarkan perbawanya bagai gelombang badai dan
kilat menyambar. Dibawah serangan lawan yang nekad ini Rasul
penembus dada terdesak mundur lima langkah.
"Kau cari mati!" bentak Rasul penembus dada. Sambil membentak
beruntun ia balas menyerang tiga hantaman. Memangnya
kepandaian gadis baju hitam ini kalah jauh, lagi2 ia terdesak
mundur ber-ulang2.
Dimana terlihat sinar putih berkelebat, tahu2 Rasul penembus dada
sudah mencekal sebilah cundrik yang kemilau bersinar dingin.
Tampak kedua tangan gadis baju hitam bergantian diayun,
seketika berhamburan kabut warna hitam melayang tiba
mengurung Rasul penembus dada.
Tapi sebelum kedua tangan gadis baju hitam berhenti bergerak
terdengar dia berpekik kesakitan terus roboh terkapar tanpa
bergerak lagi.
Kiranya kabut hitam itu adalah pasir beracun yang disambitkan.
Sungguh bukan olah2 hebat kepandaian Rasul penembus dada,
sebelum pasir2 beracun itu mengenai tubuhnya, sebat sekali
tubuhnya berkelebat keluar dari kurungan taburan pasir beracun
lawan lalu sekaligus dia kirim sebuah tutukan menutuk jalan darah
gadis baju hitam. Kepandaian, seperti ini benar2 sangat
mengejutkan.
Suma Bing ter-longong2 memandangi peti mati yang sudah pecah
berantakan itu. Terbayang olehnya sewaktu dirinya untuk pertama
kali terjun didunia persilatan. Mendapat

perintah gurunya untuk membunuh Bu lim sip yu. Keadaan waktu
berada di Ngo ou pang persis benar seperti hari ini. Kala itu
dirinya juga tidak percaya kalau Ngo ou pangcu Coh Pin sudah
mati dengan kukuh dia minta peti mati dibuka kembali untuk
diperiksa. Sekarang bukan saja Rasul penembus dada sudah
memecah peti mati juga akan merusak jenazah itu.
Bersamaan waktu gadis baju hitam roboh terkapar. Rasul
penembus dada langsung berkelebat tiba dipinggir peti mati,
dimana cundriknya yang kemilauan sudah terangkat.
Benak Suma Bing berputar cepat, tak peduli Pek chio Lojin benar2
mati atau pura2 mati. Yang benar dirinya hendak minta obat
kepada orang, Rasul penembus dada ini juga merupakan musuh
besarnya, mana bisa dibiarkan saja...
Karena pikirannya ini gesit sekali tubuhnya mendesak maju
mendekati Rasul penembus dada, bentaknya sinis: "Letakkan
cundrik itu!"
Rasul penembus dada melotot gusar kearah Suma Bing sambil
membanting kaki, tanpa terasa dia turunkan cundrik yang sudah
terangkat tinggi itu, katanya: "Suma Bing, kau hendak berbuat
apa?"
"Membuat perhitungan!" "Nanti setelah kerjaanku selesai,
seumpama kau tidak
mencari aku, malah aku akan mencarimu!" "Tidak kuizinkan kau
menyentuh jenazah itu." "Tidak boleh? Apa kau bisa?" "Silahkan
kau coba2." Rasul penembus dada mendesis geram, sinar tajam
berkelebat cundrik ditangannya itu tahu2 sudah menyelonong
mengarah ulu hati Suma Bing. Cara tusukan ini benar secepat
kilat dan aneh sekali. Suma Bing insaf dirinya tak bakal dapat

melawan tusukan maut ini, gesit sekali badannya melayang
berkelit, kalau tidak mengandal kehebatan Bu siang sin hoat,
sudah siang2 cundrik musuh itu sudah bersarang didadanya.
Memang sudah terhindar dan selamat dari serangan maut itu.
Tapi tak urung jantungnya berdetak keras, keringat dingin
membasahi jidatnya.
Baru saja Suma Bing berkelebat menyingkir. Mendadak Rasul
penembus dada membalik tubuh, cundriknya lagi2 menusuk
kearah peti mati!
"Cari mati!" Suma Bing membentak sengit, segulung angin
pukulan bagai gugur gunung langsung menerjang tiba, sejak dia
minum Darah pusaka naga bumi, betapa tinggi dan dalam
kekuatan tenaga dalamnya, sukar dicari tandingan di Bu lim.
Rasul penembus dada membalik sebuah tangan untuk menangkis.
Ternyata kali ini dia tidak kuat bertahan, beruntun mundur lima
tindak.
Mendapat peluang ini cepat2 Suma Bing mendesak maju
merintang didepan peti mati.
Pada saat itulah kebetulan gadis baju hitam kebetulan berdiri,
tanpa buka suara tangannya diangkat terus menghantam
kepunggung Rasul penembus dada.
"Menyingkir!" Lalu disusul seruan kejut yang ketakutan. Dengan
kecepatan bagai kilat Rasul penembus dada
membalik tangan menangkis lalu disusul cundriknya berkelebat
menusuk. Gadis baju hitam itu tak mampu lagi menyingkir. Baju
didepan dadanya seketika dedel dowel, buah dadanya yang putih
montok itu membal keluar, sambil berseru kaget cepat2 kedua
tangan disilangkan didepan dada untuk menutup sambil mundur
sampai dipojokan.
Kontan merah jengah wajah Suma Bing melihat adegan yang lucu
menggelikan ini.

"Cundrik penembus dada hanya khusus untuk membunuh para
durjana, kau tidak tercatat dalam daftar, maka kuampuni
jiwamu!"
Gadis baju hitam tidak berani banyak tingkah dan bercuit lagi.
Tanpa terasa tergerak hati Suma Bing, apa maksud dengan daftar
yang tercatat itu? Naga2nya Jeng siong hwe mengutus Rasul
penembus dada membunuh dan menimbulkan banjir darah
dikalangan Kangouw merupakan kejadian yang sudah
direncanakan terlebih dulu. Mungkin mereka membunuh karena
menuntut balas, atau mungkin juga ada latar belakang lainnya.
Tapi tak peduli bagaimana, hari ini dirinya harus merintangi
perbuatan keji Rasul penembus dada. Kalau tidak jikalau Hoan hun
tan tidak bisa diperoleh bukanlah berarti jiwa bibinya Ong Fong jui
akan melayang. Maka hardiknya keras: "Rasul penembus dada,
perhitungan kita selesaikan dalam pertemuan selanjutnya.
Sekarang silahkan kau menggelinding pergi!"
Rasul penembus dada ganda mendengus ejek: "Suma Bing, kau
sedang bermimpi!"
"Kau enyah tidak?" "Kau hendak menjual jiwamu untuk Pek
chio Lojin?" "Kalau benar kau mau apa?" "Apa hubunganmu
dengan setan tua itu?" "Kau tidak perlu tahu!" "O, mungkin
kau ketarik dengan muridnya ini?" "Kau kentut apa?" "Suma
Bing, jiwamu hanya sementara saja kutitipkan diatas
badanmu. Cundrik penembus dada setiap saat bisa melobangi
dadamu. Ketahuilah diatas daftar pencabutan jiwa namamu masih
tercantum dan belum kucoret!"

Suma Bing menggerung gusar, semprotnya: "Meski cundrikmu itu
tajam, takkan mempan menusuk dadaku!"
"Boleh kau tunggu saja!" "Sekarang aku ingin kau enyah!"
"Suma Bing, jiwamu sendiri belum tentu bisa selamat,
masih banyak lagak menjual jiwa bagi kepentingan orang lain?"
"Belum tentu!" "Coba kau berpaling!" Suma Bing agak terkejut,
waktu ia berpaling seketika
merinding bulu tengkuknya, diarah dekat pintu biara sebelah luar
berjajar berdiri empat orang serba putih dan berkedok putih pula,
jubah didepan dada mereka bergambarkan sebuah cundrik merah
darah.
Benar2 Suma Bing merinding dibuatnya, sungguh diluar
sangkanya dalam waktu bersamaan ini sekaligus muncul lima
Rasul penembus dada.
Jikalau kepandaian dan Lwekang kelima Rasul penembus dada ini
sama tinggi dan lihaynya, hari ini mungkin dirinya susah menang,
kalau untuk merat saja tidak menjadi soal, tapi untuk melindungi
Pek chio Lojin guru dan murid agaknya tidak gampang.
Tapi pembawaan wataknya yang keras dan sifat2 sesat gurunya
yang sudah menular dan berdarah daging itu membuat dia tidak
tahu apa artinya mundur, sekilas ia menyapu pandang para
musuhnya, wajahnya membeku dingin tanpa mengunjuk reaksi,
jengeknya dingin: "Mengandal kekuatan kalian berlima?"
"Masa belum cukup untuk mengantar kematianmu?"
"Mari segera dimulai!"

Rasul penembus dada yang berhadapan dengan Suma Bing itu
ulapkan tangan, segera empat rasul lainnya yang berdiri diambang
pintu serentak menubruk kearah Suma Bing sambil kirim serangan
gabungan, empat gelombang badai pukulan menerpa mengurung
seluruh tubuh Suma Bing.
Suma Bing insaf kalau dirinya berkelit menyingkir meninggalkan
peti mati ini, pasti Rasul yang seorang itu menggunakan peluang ini
untuk turun tangan. Maka terpaksa dia tetap berdiri ditempatnya
dan kerahkan tenaga dikedua belah tangan untuk menyambut
serangan tenaga gabungan empat musuhnya secara keras.
Dar... ditengah benturan yang menggeledek ini, terjadilah hujan
abu dan pecahan genteng berhamburan, seluruh bangunan
kelenteng itu tergetar ber-goyang2 hampir ambruk. Kalau Suma
Bing masih berdiri tanpa bergeming dengan muka pucat,
sebaliknya keempat musuhnya itu tergetar mundur sempoyongan.
Sementara itu gadis baju hitam sudah membetulkan letak
pakaiannya, dengan sorot mata yang susah dijajaki dia tengah
mengawasi Suma Bing.
Begitu dapat berdiri tegak lagi keempat Rasul itu segera
merangsang maju lagi lebih hebat dari jurusan yang berlainan,
masing2 lancarkan sebuah pukulan lagi.
Seketika terlihat bayangan pukulan berkelebat bagai bentuk
gunung, perbawanya bagai gelombang lautan yang tidak kenal
putus. Sedemikian keras dan deras samberan angin pukulan itu
seumpama keserempet saja pasti kulit manusia bisa terkupas,
bukan saja perlawanan Suma Bing ini sangat aneh dan ajaib
kecepatan bergerak juga bagai kilat. Seluruh tokoh silat pada masa
itu yang kuat bertahan dari kepungan empat Rasul sekaligus
mungkin dapat dihitung dengan jari.
Pertempuran para tokoh silat yang berkepandaian sempurna, kalah
menang hanya tergantung dalam waktu

sedetik saja, hampir boleh dikata tiada kesempatan untuk berpikir.
Tanpa sadar terpaksa Suma Bing gunakan gerak kelit dari ilmu Bu
siang sin hoat berkelebat keluar dari kepungan para musuhnya,
dan hampir dalam waktu yang bersamaan Rasul penembus dada
yang membekal cundrik terhunus itu dengan kecepatan kilat terus
menubruk maju kearah peti mati.
Suma Bing berpekik kalap: "Berani kau!" Seluruh kekuatan
dihimpun untuk melancarkan pukulan Kiu
yang sin kang yang dahsyat. Sejak minum darah pusaka naga
bumi, dan sudah
membaurkan kekuatan tambahan ini kedalam Kiu yang sin kang,
perbawa kekuatan pukulan Kiu yang sin kangnya sekarang sudah
berlipat ganda lebih hebat dari sebelumnya. Meskipun belum bisa
mencapai tingkatan Loh Cu gi yang dapat sekali pukul membumi
hanguskan benda tapi juga sudah sangat mengejutkan.
Gelombang panas bagai lahar gunung berapi segera menggulung
tiba, kecepatannya juga sangat mengejutkan.
Terdengar jerit panjang yang mengerikan, tampak Rasul
penembus dada terbang sejauh satu tombak lebih, kedok putih
yang menutup mukanya berobah warna darah.
Belum lenyap suara jeritan pertama disusul lagi jeritan kedua, kini
Suma Bing sendiri yang terpental terbang kebelakang menumbuk
dinding, dan 'Bum' tubuhnya melorot jatuh lagi dikaki tembok.
Yang turun tangan membokong Suma Bing ini bukan lain adalah
keempat Rasul lainnya itu.
Sambil menggigit bibir Suma Bing merangkak bangun, ujung
bibirnya berlepotan darah segar, baju depan dadanya juga basah
kuyup oleh darah.

Melihat keadaan Suma Bing ini, keempat Rasul itu agak gugup dan
kesima, mereka mundur ketakutan.
Wajah Suma Bing sedemikian pucat menakutkan, sorot matanya
memancar buas menggiriskan bulu roma, dengan langkah lebar
dia menghampiri kearah peti mati, lalu berputar menghadapi
keempat Rasul itu lagi.
Agaknya keempat Rasul itu sesaat terpengaruh oleh sorot mata
dan sikap gagah Suma Bing, mereka berdiri terlongong tanpa
bergerak lagi.
Rasul yang terpukul oleh hantaman Suma Bing saat itu juga sudah
terhuyung bangun, tangannya masih tetap menggenggam
cundriknya itu, sorot matanya menembus keluar dari balik kedoknya
menatap wajah Suma Bing, keadaan ini benar2 membuat merinding
bagi yang menyaksikan.
Walaupun malam semakin larut, keadaan sekelilingnya hitam
pekat, tapi bagi mereka tokoh2 silat kelas tinggi, kegelapan malam
tidak menjadi halangan, mereka masih tetap dapat melihat seperti
disiang hari.
Sementara gelanggang pertempuran hening senyap, tapi
mengandung nafsu membunuh yang me-luap2 dan setiap saat
dapat meledak.
Agaknya Rasul yang mencekal cundrik itu adalah kepala dari
kawanan Rasul itu, sedang empat yang lain hanya pembantunya
saja.
"Maju!" Rasul yang mencekal cundrik itu memberi aba2, keempat
Rasul lainnya bagai tersadar dari lamunannya, serempak mereka
maju mendesak.
Saat mana Suma Bing juga menghimpun kekuatannya pada
kedua lengannya siap menghadapi setiap serangan.
Setelah maju beberapa langkah, berbareng keempat Rasul itu
lancarkan sebuah pukulan.

-oo0dw0oo-
Jilid 10
37. LIMA RASUL DIBIKIN KEOK SEKALIGUS.
Bagai bayangan setan tubuh Suma Bing berkelebat
memutar kebelakang keempat Rasul itu, kedua tangan tiba2
diayun berbareng.
'Blang', disertai sebuah seruan tertahan, satu diantara keempat
Rasul itu terbang jauh keluar pintu kelenteng. Bertepatan dengan
itu sebilah cundrik yang berkilau dingin tahu2 sudah mengancam
didepan dada Suma Bing.
Keruan kaget Suma Bing bukan alang kepalang, begitu tangan
digentakkan, Cincin iblis yang dikenakan ditengah jari kontan
memancarkan sinar mencorong 'Creng' kontan Suma Bing tergetar
sempoyongan, Rasul yang membekal senjata itu juga terhuyung
beberapa langkah. Ketiga Rasul yang lain juga pada saat itu
menyerang tiba pula.
Bu siang sin hoat benar2 sakti mandraguna, begitu tubuhnya
limbung karena benturan keras tadi, kakinya lantas menggeser
selicin belut berganti tempat, dimana kekuatan tenaga dipusatkan
ditangan kanan, lagi2 cahaya sinar Cincin iblis mencorong lebih
tajam terus disapukan kearah ketiga Rasul yang menyerang tiba.
Kaget ketiga Rasul itu bukan alang kepalang serasa arwah mereka
terbang meninggalkan badan, cepat2 mereka menjejakkan kaki
melejit jauh menyingkir.
Kini Suma Bing kembali berdiri tegak didepan peti mati lagi,
sikapnya garang dan siap siaga.

Pada saat itulah Rasul yang terpental keluar pintu kelenteng itu
agaknya lukanya tidak terlalu berat, kini melangkah masuk lagi
kedalam ruangan ini. Kelima Rasul berdiri dalam posisi lima
penjuru, Suma Bing terkepung ditengah.
Sekian lama kedua belah pihak sama berdiri mematung siap siaga
menunggu serangan musuhnya.
Setengah jam telah berlalu, keadaan tetap sunyi tanpa seorang jua
bersuara. Akhirnya Suma Bing sendiri berlaku kurang sabar.
Dimana sinar Cincin iblisnya menyapu datang. Dua Rasul yang
berdiri dihadapannya segera melejit menyingkir kebelakang. Tapi
sebelum cahaya Cincinnya mengenai sasarannya mendadak tubuh
Suma Bing membalik terus kirim sebuah hantaman dahsyat
kebelakang dengan kekuatan Kiu yang sin kang, gerak kecepatan
tubuhnya benar2 mempesonakan sampai susah diikuti oleh
pandangan mata.
Betapapun tinggi kepandaian Rasul penembus dada, juga susah
menghadapi rangsangan yang datang secara mendadak ini.
Kontan terdengar dua lolong jeritan panjang, satu diantara Rasul
yang menerjang tiba lebih dulu kontan roboh terkapar, sedang yang
lain terpental jungkir balik setombak lebih, kedok dimukanya basah
oleh air darah, agaknya lukanya tidak ringan. Bentakan2 nyaring
memekak telinga, tiga Rasul lainnya menubruk maju berbareng
sambil lancarkan serangan berantai, jurus dan tipu serangannya
sangat aneh menakjubkan se-akan2 air sungai mengalir deras
tanpa putus- putus.
Keruan Suma Bing kebingungan dan gugup mencak2, beruntun
empat kali tubuhnya berputar sambil menangkis, baru tubuhnya
dapat berdiri tegak lagi.

Cara turun tangan ketiga Rasul itu adalah menggunakan gerak
cepat, jurus dan tipu serangannya sedemikian gencar dan rapat
bagai hujan derasnya. Sehingga tiada sempat Suma Bing
menggunakan Cincin iblis dan melancarkan pukulan Kiu yang
sinkang.
Dalam sekejap mata tiga puluh jurus telah berlalu. Tadi
berulangkali Suma Bing lancarkan Kiu yang sinkang
dan Cincin iblis tenaga murninya banyak terkuras keluar, meskipun
jalan darah mati hidupnya sudah tembus, tenaga dalamnya tidak
mengenal putus. Tapi bagaimana juga musuh terlalu tangguh
untuk menghadapinya ia harus kerahkan setaker tenaganya, maka
dengan cepat tenaga murninya semakin susut, keadaannya
semakin payah dan terdesak dibawah angin.
Sebaliknya ketiga Rasul penembus dada itu lebih gencar lagi
menyerang secara mati2an, ditengah berkesiurnya angin pukulan
diselingi juga sinar berkeredep dari cahaya cundrik yang
menciutkan nyali orang, perbawa dan kekuatan gabungan mereka
bertiga ini benar2 mengagumkan.
Memangnya kelenteng itu sudah tua dan reyot, apalagi angin
pukulan sedemikian deras sehingga atapnya bergetar, genteng
dan debu berterbangan tak henti2nya. Agaknya kalau kedua belah
pihak yang bertempur tiada seorangpun yang mau menghentikan
pertempuran ini, tanggung tak lama lagi kelenteng reyot ini pasti
ambruk sama sekali.
Bagi Suma Bing yang kedatangannya memang ada maksud
tertentu, sudah tentu tidak bakal mau mundur atau mengalah.
Terdengar sebuah bentakan menggeledek, kontan terlihat salah
satu dari ketiga Rasul itu terjengkang mundur sambil muntah
darah.
Dalam waktu yang bersamaan, cundrik Rasul penembus dada juga
menyobek kulit lengan Suma Bing sehingga terluka panjang, darah
membanjir keluar dengan derasnya. Maka

wajahnya yang semula sudah tegang penuh nafsu membunuh kini
tambah pucat menakutkan, napasnya juga mulai memburu.
Suma Bing insaf mara bahaya selalu mengancamnya, dia harus
secepat mungkin mengakhiri pertempuran ini, kalau tidak entah
bagaimana akhirnya susah dibayangkan. Karena ketetapan hatinya
ini, tenaganya dikerahkan seluruh sambil kertak gigi beruntun dia
lancarkan sembilan kali pukulan berantai.
Begitu sembilan pukulan ini dilancarkan habis tepat sekali satu
diantara Rasul pengeroyok itu dengan telak kena terpukul roboh
terjungkal tak bisa bergerak lagi.
Karena pengerahan tenaga yang ber-lebih2an ini, seketika Suma
Bing rasakan pandangannya ber-kunang2, kepala terasa berat
sebaliknya tubuhnya enteng bagai terapung ditengah udara.
Demikian juga keadaan Rasul penembus dada yang membekal
cundrik itu, napasnya juga ngos2an, dadanya turun naik dengan
keras.
Sekarang tinggal Suma Bing dengan Rasul penembus dada yang
pegang cundrik saja masih berhadapan seperti dua ayam jago
yang sudah kehabisan tenaga saling pentelengan tanpa bergerak
lagi.
Agak lama kemudian baru Suma Bing membuka mulut dengan
suara gemetar: "Hari ini akan kubuat kalian berlima menggeletak
tak bernyawa lagi dalam kelenteng bobrok ini."
Rasul penembus dada menyeringai sinis: "Suma Bing, cundrikku ini
juga dapat menembus ulu hatimu!"
Lantas terdengar pula suara bentakan dan teriakan yang simpang
siur mereka berkutet dan bertempur lagi dengan sengitnya. Tapi
sudah tidak sehebat tadi sebab kedua belah pihak sudah sama2
kehabisan tenaga, mereka hanya bergerak

dan meronta demi kemenangan terakhir saja. Bukti dan kenyataan
sudah jelas, akhirnya mereka berdua pasti akan sama2 gugur dan
tamat riwayatnya.
Pada saat itulah mendadak terdengar sebuah bentakan nyaring:
"Berhenti!"
Tanpa diminta kedua kalinya serta merta mereka berhenti
bertempur. Masing2 mundur dua langkah sambil pentelengan
dengan mata membara gusar.
Ternyata gadis baju hitam itu kini tampil lagi kedepan, alisnya
dikerutkan dalam2, matanya mendelik buas penuh nafsu
membunuh.
Baru sekarang Suma Bing berkesempatan menghela napas lega.
Dia maklum dengan terluka berat pasti kelima Rasul penembus
dada tidak bakal berani mengumbar keganasannya lagi. Pasti gadis
baju hitam ini berkecukupan untuk menghadapi mereka. Maka
segera ia mengundurkan diri kesamping, diam2 ia kerahkan tenaga
untuk berobat diri.
Sorot mata gadis baju hitam menyapu pandang kepada empat
Rasul yang terluka berat, lalu beralih menatap kearah Rasul
penembus dada yang mencekal cundrik itu katanya: "Kalian
mendapat perintah dari siapa untuk mengambil jiwa suhuku?"
"Dari ketua Jeng siong hwe!" sahut Rasul penembus dada.
"Siapakah ketua kalian?" "Kau tidak perlu tahu!" "Ada
permusuhan dan dendam apa dengan guruku?" "Tidak perlu
kujelaskan." Gadis baju hitam mengacungkan sebelah
tangannya,
ancamnya: "Ini segenggam pasir beracun yang dinamakan Cui
hun soa. Segenggam ini kukira cukup untuk menamatkan riwayat
kalian berlima bukan?"

"Mungkin, tapi kau sendiri juga tidak akan tetap hidup!" Gadis
baju hitam menurunkan tangan, ujarnya: "Sekarang
ini aku tidak akan berbuat begitu. Sebab suhu memang benar
sudah meninggal, orangnya mati permusuhan himpas. Hanya aku
ada sedikit permohonan, jangan kalian merusak jenazahnya!"
"Tidak mungkin!" seringai Rasul penembus dada dingin. Gadis
baju hitam naik pitam teriaknya: "Orangnya sudah
mati, jenazahnya juga tidak kau lepaskan!" "Ya, cundrik ini harus
menembusi dadanya dulu!" "Kujelaskan sekali lagi, suhuku betul2
sudah meninggal!" "Mati atau hidup sama saja!" "Kalau begitu
jangan kalian sesalkan cara turun tanganku
terlalu kejam!" "Silahkan sesuka hatimu kau turun tangan, tapi
kau sudah
tiada kesempatan lagi!" "Omong kosong!" Tiba2 badan gadis baju
hitam melejit mundur setombak
lebih, tangannya sudah terangkat tinggi, siang2 tangannya sudah
menggenggam pasir beracun tinggal menaburkan saja...
Rasul penembus dada ganda mendengus dingin tanpa bergerak
dan membuka suara.
Namun mendadak gadis baju hitam menurunkan tangannya pula,
ujarnya: "Kalian pergilah!"
Rasul penembus dada juga masukkan cundrik kedalam balik
bajunya, suaranya sedingin es: "Inilah kesempatan, kenapa tidak
kau turun tangan, untuk selanjutnya, selamanya kau takkan ada
kesempatan lagi?"

Rona wajah gadis baju hitam berobah bergantian, timbul lagi
nafsunya membunuh, namun secepat itu pula terus menghilang,
katanya dengan suara tawar: "Silahkan kalian pergi!"
Sekilas Rasul penembus dada melirik kearah Suma Bing yang
tengah bersemedi, lalu berkata kepada gadis baju hitam:
"Beritahu kepada gurumu, soal cundrik ini menembusi dada
tinggal tunggu waktu saja, dia tidak akan dapat lolos!"
Berobah hebat air muka gadis baju hitam, serunya gemetar: "Dia
sudah mati!"
"Mati? Pek chio Lojin pandai meramu obat yang aneh2, pura2 mati
hanya dapat mengelabui orang saja!"
Habis berkata beruntun ia menutuk dan menepuk beberapa jalan
darah ditubuh keempat Rasul lainnya, satu persatu mereka berdiri
terus beriring berjalan keluar.
Kaki gadis baju hitam maju selangkah agaknya hendak merintangi
kepergian mereka, tapi dia urung bersuara. Dia maklum seumpama
membunuh kelima Rasul ini juga tidak bakal dapat membereskan
persoalan ini. Mereka hanyalah petugas yang menjalankan perintah
orang lain saja. Orang dibelakang layar itulah yang lebih kejam
menakutkan, bersama itu dia juga insaf bahwa Lwekang Rasul
penembus dada, meskipun sudah terluka berat, mungkin dirinya
masih bukan tandingannya, maka akhirnya dia ambil kepastian
untuk tidak turun tangan.
Bayangan kelima Rasul itu akhirnya menghilang ditengah kabut
malam.
Gadis baju hitam menyumat sisa lilin didepan meja sembahyang.
Air muka Suma Bing pelan2 mulai bersemu merah, itulah pertanda
bahwa tenaganya sudah mulai pulih kembali.

Diam2 gadis baju hitam menggeremet kebelakang Suma Bing,
sebuah tangannya sudah menekan jalan darah besar Thian leng
hiat.
Mimpi juga Suma Bing tidak menduga bahwa bayangan kematian
sudah mengulur tangan kepadanya.
Rona wajah gadis baju hitam ini be-robah2 susah diraba, entah
apa yang tengah diterawangi. Dia tengah berpikir haruskah dia
turun tangan membunuhnya. Tangannya agak gemetar, hatinya
bimbang untuk mengerahkan tenaga.
Pada saat itulah mendadak Suma Bing membuka matanya,
melihat suasana yang sepi ini tanpa terasa dia berseru heran:
"Eh!"
Cepat2 gadis baju hitam menarik tangannya. Suma Bing juga
sudah merasa, badannya berkelebat terus
membalik, serunya kejut: "Ternyata kau, dimana mereka?" "Sudah
pergi!" "Sebenarnya gurumu..." "Lebih baik tuan jangan
menanyakan hal itu lagi!" "Baik kita kembali pada persoalan
pertama, aku mohon
diberi sebutir Hoan hun tan!" "Karena kau mati2an melindungi
jenazah guruku, biarlah
kuberi sebutir, tapi..." "Bagaimana?" Bola mata gadis baju hitam
ber-putar2, memancarkan
cahaya aneh, lama kemudian baru dia bersuara: "Ada syaratnya!"
"Syarat apa? Syarat yang tadi kau ajukan..."
"Bukan!" "Syarat apa?" Suma Bing menegas.

Agaknya gadis baju hitam ingat sesuatu, maka sambil manggut2
dia berkata: "Aku berhak menunda dulu syarat yang bakal
kuajukan itu!"
"Menunda?" "Benar, asal kau ingat bahwa kau masih hutang
satu syarat
kepadaku sudah cukup. Mungkin suatu waktu kelak bisa kuajukan,
tapi... juga mungkin tidak kuajukan..."
"Ini! Mengapa begitu?" "Sudah tentu ada alasanku!" Suma
Bing tak habis mengerti, orang hendak menunda hak
pengajuan syarat yang hendak diajukan, kemana tujuannya susah
diraba. Tapi bila diingat waktu dirinya pertama kali memasuki
biara ini, orang mengajukan penggantian dengan kepalanya,
dengan tegas dirinya sudah setuju, mati saja tidak ditakuti,
apalagi syarat lainnya. Maka segera ia mengangguk: "Baik aku
setuju!"
"Tapi perlu kutandaskan, bila kelak syarat itu kuajukan, lalu tuan
tidak menepati janji..."
"Nona terlalu berkuatir, aku yang rendah bukan manusia macam
itu!"
"Aku percaya kau, ambillah!" Lalu dari balik bajunya
dikeluarkan sebuah botol kecil yang
terbuat dari porselin terus diangsurkan kepada Suma Bing.
Tangan Suma Bing gemetar menyambuti botol kecil itu.
Legalah hatinya, kalau obat ini sudah ditangannya maka jiwa
bibinya Ong Fong jui tidak perlu dikuatirkan lagi.
"Cayhe minta diri!" "Silahkan!" Begitu keluar dari Yok ong bio
malam itu juga Suma Bing
berlarian kencang, ingin rasanya tumbuh sayap dan segera

tiba diselokan yang belum diketahui namanya itu untuk menolong
bibinya.
Hari kedua tengah hari, Suma Bing sudah menempuh sejauh lima
ratusan li, karena perut terlalu lapar terpaksa dia memasuki sebuah
kota hendak menangsel perut. Baru saja sampai diujung jalanan,
sebuah bayangan dengan cepat memapak datang terdengar pula
suara yang sangat dikenalnya: "Buyung, sudah lama benar kucari
kau!"
Cepat2 Suma Bing menghentikan larinya, waktu angkat kepala
kiranya yang mendatangi ini adalah si maling bintang Si Ban cwan,
cepat2 ia memberi hormat: "Cianpwe apa baik2 saja selama
berpisah?"
"Masih baik, belum mati. Buyung, sungguh tak duga kau bisa lolos
dari Bwe hwa hwe dengan tetap masih bernyawa."
"Cianpwe, musuh besar sudah kutemukan jejaknya!" "Siapa?"
"Loh Cu gi!" "Loh Cu gi?" seru si maling bintang penuh
keharuan. "Benar!" "Kau sudah menuntut balas?" "Belum,
hampir saja jiwaku melayang ditangannya!" "Dimana dia
berada?" "Bwe hwa hwe!" "Dia juga..." "Dia adalah sesepuh
atau tulang punggung dari Bwe hwa
hwe. Chiu Thong ketua mereka itu adalah muridnya."
"O, dia kenal kau tidak?" "Aku sendiri yang
memperkenalkan asal-usulku!"

"Masa dia mau melepasmu begitu saja?" "Tidak, dalam penjara
bawah tanah, kebetulan aku
bertemu dengan Tiang un Suseng Poh Jiang, dialah yang
membantu aku lolos dari kurungan!"
"Lalu bagaimana dengan Tiang un Suseng?" Mengelam air
muka Suma Bing, ujarnya sedih: "Dia sudah
mati, bersama suciku Sim giok sia!" "Benar2 terjadi demikian?"
"Suci Sim Giok sia meninggal karena diperas, sedang Tiang
un Suseng hanya mengikuti jejaknya saja. Kalau tidak dengan
gampang dia dapat lolos dari penjara itu. Hm, hutang darah itu
kelak biar kubalaskan secara total!"
"Loh Cu gi pernah merebut kedudukan jago silat kelas satu,
Lwekangnya tentu..."
"Yang lain aku tidak tahu, yang jelas Kiu yang sinkang telah
dilatihnya sampai sempurna, lebih tinggi dari dugaan suhu
semula. Sekali pukul dia dapat membumi hanguskan benda
sasarannya!"
Berobah wajah keriput si maling tua, katanya: "Sekali pukul
membumi hanguskan benda sasarannya, siapa pula tokoh yang
kuat melawannya, buyung, selain..."
"Selain apa?" "Dapat kau mempelajari ilmu sakti yang
tersembunyi
didalam Pedang darah dan Bunga iblis itu!" "Tapi..."
"Bagaimana?" "Pedang darah telah hilang!" "Apa, Pedang
darah kau hilangkan?" "Ya, tapi masih ada harapan dapat
diminta kembali!"

"Siapakah orang yang mengambil?" "Phoa Cu giok!" "Belum
pernah kudengar nama itu!" "Ai, dia adalah adik kandung Phoa
Kin sian!" Maka berceritalah Suma Bing akan pengalamannya
dalam
latihannya yang sesat karena terganggu, dan kini tengah
menjalankan tugas minta obat di Yok ong bio. Si maling tua Si Ban
cwan meng-geleng2 sambil menghela napas panjang.
Suma Bing tertawa kikuk, katanya: "Cianpwe, mari kita tangsel
perut dulu baru bicara lagi bagaimana?"
"Bagus sekali, buyung, memang ada omongan yang perlu
kuberitahukan kepadamu, untuk tidak mengurangi selera makan
kita, setelah perut kenyang baru kita perbincangkan lagi."
Begitulah mereka memasuki kota terus mencari rumah makan,
kebetulan tak jauh disebelah depan sana ada sebuah rumah arak
Tiau yu kip, langsung mereka masuk dan mencari tempat duduk
terus pesan makanan dan minuman.
Saat itu kebetulan tiba tengah hari para pengunjung sangat
banyak yang makan minum suasana menjadi ramai dan gaduh.
Tengah makan minum, tak kuat Suma Bing menahan sabar lagi,
tanyanya: "Cianpwe, nona Siang Siau hun..."
Si maling tua membalik mata, ujarnya: "Dia pulang kerumahnya.
Dia salahkan aku tidak mencegah kau menepati janjimu ke Bwe
hwa hwe!"
"Ada lebih baik dia pulang kerumah, betapa berbahayanya
berkelana di Kangouw."
"Siapa tahu apa benar dia pulang kerumah."
Suma Bing terkejut, serunya: "Mengapa?"

"Ada kemungkinan dia pergi mencari kau!" "Mencari aku? Wah
celaka, markas Bwe hwa hwe bagai
sarang naga dan gua harimau." "Ini hanya dugaan saja, aku
sudah mencari tahu susah
payah, tapi tiada kabar beritanya." Tanpa terasa tenggelam dan
berat perasaan Suma Bing,
hatinya risau dan gundah. Siang Siau hun adalah perempuan yang
berhati kukuh dan berpendirian teguh, mungkin dia bisa
melakukan hal2 yang bodoh, maka katanya: "Jadi untuk persoalan
ini maka Cianpwe mencari wanpwe?"
"Tidak, masih ada urusan lain." "Urusan apa?" "Mari kita bicara
diluar." Bergegas mereka tinggalkan rumah arak itu terus
berlarian
keluar kota, setelah ditempat yang agak sepi baru si maling tua
bicara dengan nada berat tertekan: "Buyung, kau kenal seorang
gadis yang bernama Ting Hoan?"
Sebuah wajah ayu dan jelita segera terbayang dalam benak Suma
Bing.
"Ya, aku kenal dia." sahut Suma Bing. "Dia minta aku si maling
tua menyampaikan berita
kepadamu." "Berita apa?" "Dia minta aku si maling tua membawa
kabar untuk kau!" "Kabar apa?" "Dia ingin melihatmu untuk yang
terakhir." Suma Bing berjingkrak kaget, tanyanya gemetar: "Yang
terakhir, apakah maksudnya?"

"Dia sudah hampir mati, tapi sebelum ajal ini dia ingin benar
bertemu dengan kau!"
"Dia, sudah hampir mati?" "Benar, sudah kempas-kempis
tinggal menunggu waktu
saja!" "Kenapa terjadi demikian?" "Setelah bertemu kau akan tahu
segala2nya." "Dimana dia sekarang berada?" "Kira2 limapuluh li
dari sini ada sebuah kampung bernama
Sam keh cheng. Didalam gubuk reyot disamping jembatan batu
merah itulah dia berada"
"Baik, segera aku berangkat..." "Nanti dulu!" "Cianpwe masih
ada pesan apa?" "Tadi kau berkata kau tersesat waktu berlatih.
Apakah
bibimu yang menembusi jalan darah setengah tubuhmu yang
terbuntu itu?"
"Begitulah!" "Apa kau tahu asal usul perguruannya?" "Ini... aku
tidak begitu jelas." "Aneh!" "Apakah Cianpwe ada menemukan
sesuatu?" "Dalam dunia persilatan, entah sudah berapa tokoh2
silat
kosen yang mati atau cacat karena tersesat dalam latihannya itu.
Maka kalau tersesat dalam latihan dipandang sebagai jalan buntu
yang membawa maut. Dia dapat dan kuat menggunakan tenaga
murni dalam tubuhnya untuk menjebol dan menembusi jalan
darahmu yang tertutup. Bukan saja Lwekangnya itu sangat tinggi
juga sangat ajaib. Aku si maling

tua curiga pasti dia adalah satu murid gembong persilatan yang
kenamaan pada ratusan tahun yang lalu."
"Siapa?" "Yang mengenal ilmu Kan guan kay hiat sip meh tay
hoat,
boleh dikata hanya satu aliran ini saja tiada keduanya!" "Siapakah
sebenarnya?" Si maling tua Si Ban cwan berkerut alis, ujarnya:
"Masing2
aliran dan golongan dalam dunia persilatan ada peraturan dan
pantangannya. Lebih baik kelak kau tanyakan sendiri."
Apa boleh buat Suma Bing manggut2. Memang selama ini belum
pernah terpikirkan untuk menanyakan asal usul perguruan bibinya.
Malah tidak terpikirkan juga olehnya bahwa Phoa Kin sian adalah
istrinya, sebelum ini yang diketahui hanyalah bahwa dia adalah
murid bibinya saja.
"Cianpwe masih ada pesan apalagi?" "Tidak ada, kau pergilah.
O, ya..." "Harap katakan!" "Maling tua ini sudah menyirapi
kemana2, tapi kabar berita
tentang ibumu masih belum dapat kuperoleh. Mengenai
perempuan yang terkurung dibelakang puncak Siau lim itu aku
masih tetap bercuriga..."
Suma Bing memandang penuh rasa terima kasih kepada maling
tua katanya: "Kelak wanpwe pasti akan kembali ke Siau lim si
untuk membuka tabir rahasia ini untuk berita ibunda sampai
Cianpwe susah payah kian kemari, wanpwe menyatakan banyak2
terjma kasih!"
"Tidak menjadi soal, ini kan kerelaan dari maling tua ini. Kau
pergilah!"
"Selamat bertemu!"

Dengan rasa kesal dan kuatir Suma Bing berlarian menuju tempat
yang ditunjuk oleh si maling tua. Satu jam kemudian tibalah dia
didepan sebuah gubuk reyot dipinggir jembatan batu merah.
Gubuk ini terbagi dalam tiga susun bilik, sebuah pintu dan tiada
jendela, keadaannya sangat jorok dan bobrok sekali agaknya
sudah lama tidak ditinggali manusia. Entah bagaimana Ting Hoan
bisa menetap ditempat semacam ini?
Eh, bukankah si maling tua mengatakan dia sudah kempas kempis
tinggal menunggu ajal. Mungkin mendadak dia terserang penyakit
berat atau telah mengalami apa2? Berpikir sampai disini tanpa
terasa bergidik dan merinding tubuhnya.
Waktu kakinya melangkah kedalam, hidungnya segera diserang
oleh bau apek yang menyesakkan dada. Suma Bing menahan
napas dan memandang kearah dalam sebelah kiri sana. Kosong
melompong, lalu berputar memandang kearah kanan. Dipojokan
kamar dalam sana mendekam dan melingkar sebuah benda warna
putih, apa mungkin dia adanya? Mulai berdebar keras jantung
Suma Bing. Waktu dia mendekati, memang tidak salah, itulah
seorang perempuan yang berpakaian warna putih.
"Kau... kau adalah... nona Ting?" Tubuh orang berbaju putih itu
bergerak, tapi tidak
mengeluarkan suara. "Apakah kau adalah adik Hoan?" "Siapa?"
suara lemah dan lembut sekali hampir tidak
terdengar. "Akulah Suma Bing." seru Suma Bing agak keras.
Bergetar tubuh orang baju putih itu bergegas membalik
tubuh menghadap atas...
"Oh, kau..."

Beruntun Suma Bing mundur tiga langkah, kaki tangan terasa
dingin. Tidak salah lagi memang dia adalah Ting Hoan. Gadis
rupawan yang berwajah cemerlang itu sekarang telah berobah
menjadi sedemikian pucat kurus dan peyot, sinar matanya redup,
tapi mengandung perasaan kebencian yang ber-limpah2,
membuat bergidik dan berdiri bulu roma orang.
"Kau... akhirnya kau datang? Benar... kah kau ini?" Suma Bing
maju lagi terus membungkuk disampingnya,
katanya gemetar: "Adik Hoan, inilah aku, Suma Bing!" "Ini...
bukan mimpi?" "Ya, ini kenyataan, aku, akulah Suma Bing, aku
memburu
tiba setelah mendengar kabar dari Si cianpwe si maling bintang!"
Ting Hoan pejamkan kedua matanya sambil menenangkan gejolak
hatinya, napasnya mulai teratur, sesudah sekian lamanya kedua
matanya dipentang lagi, agaknya semangatnya sudah pulih
sebagian besar.
"Engkoh Bing, bolehkah aku... memanggil demikian?" "Adik
Hoan, asal kau suka!" Wajah pucat dan kurus keropos dari Ting
Hoan
menampilkan rasa girang dan tersenyum simpul, katanya: "Engkoh
Bing, sejak pertama kali melihatmu, aku... berjanji dalam hati, aku
tidak minta balas cintamu, asal aku mencintai kau... sudah cukup!"
"Adik Hoan, aku... sangat mencintaimu, tapi, beban yang kupikul
terlalu berat!"
"Engkoh Bing, aku tidak perlu mendengar penjelasanmu. Aku
sudah merasa girang dan puas dalam waktu sebelum ajal ini kau
dapat berada disampingku. Ini sebetulnya hanyalah khayalanku
belaka, tapi sekarang menjadi kenyataan!"

Tenggorokan Suma Bing menjadi tersumbat, sekuatnya ia
menahan mengalirnya airmata. Terbayang dalam ingatannya
waktu pertama kali dirinya menunaikan tugas yang diserahkan
gurunya, kalau bukan Ting Hoan membangkang perintah gurunya,
pasti jiwanya sudah lama melayang...
"Adik Hoan, kau terserang penyakit atau..." "Aku?
Hahahaha..." meski suara tawanya lemah dan rendah
tapi mengandung kedukaan dan nestapa yang tak terperikan. "Adik
Hoan," tergetar suara Suma Bing, "Sebetulnya
apakah yang telah terjadi?"
38. GUGURNYA SEKUNTUM BUNGA AYU
Ting Hoan menghentikan tawanya, wajahnya berganti
serius, katanya sambil mengertak gigi: "Engkoh Bing, sebetulnya
aku malu bertemu dengan... kau, tapi, sebaliknya aku juga
mengharap betul bertemu dengan kau. Kalau tidak aku tidak akan
bisa mati... meram."
"Adik Hoan, kau..." "Engkoh Bing, aku... aku telah diperkosa
orang..." Bergolak darah Suma Bing, "Siapa?" tanyanya gusar.
Tutur Ting Hoan: "Iblis itu menodai aku karena aku telah
menyebut... namamu, dengan tutukan berat dia hendak mencabut
nyawaku, tapi... aku tidak segera mati, aku hidup lagi selama tiga
hari,... sekarang, sebab... aku ingin bertemu sekali lagi dengan
kau!"
Tanpa terasa meleleh keluar air mata Suma Bing, serunya beringas:
"Siapa dia, akan kubeset dan kuremukkan tubuhnya?"
"Dia... adalah..."

"Siapa?" "Racun diracun!" "Apa, Racun diracun?" "Be... nar!"
Kontan pandangan Suma Bing terasa gelap, dadanya
hampir meledak saking gusar. Dengan Racun tanpa bayangan
Racun diracun sudah membunuh adik Siang Siau hun dan Li Bun
siang. Juga memelet Thong Ping sehingga perempuan malang ini
melahirkan anak diluar perkawinan, malah membunuh juga ibunda
Thong Ping. Sekarang lagi seorang telah dinodainya, malah orang
yang malang ini adalah kekasihnya lagi.
"Kalau tidak kuhancur leburkan tubuh manusia laknat itu, aku
bersumpah tidak akan menjadi manusia!" Begitulah Suma Bing
menggerung dan memaki kalangkabut dan mengertak gigi untuk
melampiaskan kedongkolan hatinya.
"Engkoh... Bing..." Dari warna pucat pasi air muka Ting Hoan
mulai berobah
menjadi bersemu kuning ke-abu2an. Dengkul Suma Bing tertekuk
dan memeluknya kencang2.
Bibir Ting Hoan ber-gerak2, matanya juga ber-kedip2, entah apa
yang hendak diucapkan, namun suaranya tidak terdengar.
"Adik Hoan!" keluh Suma Bing sesenggukan, tubuhnya mulai
merinding, ia menyadari apa yang bakal terjadi. Se- konyong2
teringat Hoan hun tan yang digembol ditubuhnya, mungkin jiwa
kekasihnya ini masih bisa ditolong dengan obat mujarab itu.
Wajah Ting Hoan berobah ke-biru2an dan unjuk senyuman yang
terakhir, lantas kepalanya teklok kesamping, nyawanya
meninggalkan badan kasarnya.

Tak tertahan lagi air mata Suma Bing meleleh semakin deras,
sebutir demi sebutir menetes diatas wajah Ting Hoan yang sudah
mulai membeku. Waktu hidupnya dia tidak pernah memberikan apa
yang diharapkan, kini setelah orang mati, hanya air matalah yang
diberikan sebagai pengantar keberangkatan jiwanya kealam baka.
"Ia sudah mati, mati dibawah cengkraman setan iblis!" demikian
Suma Bing menggumam.
Satu jam kemudian, tak jauh dari letak jembatan batu merah itu
dibangun sebuah kuburan baru. Batu nisan didepan kuburan
digores dengan jari bertuliskan: "Kasihan bunga jelita dipetik
gugur, tinggal daku hidup merana didunia fana." tulisan ini tanpa
nama dan she serta tanda tangan, diatas kuburan terletak
seonggok bunga-bunga liar. Tampak seorang berdiri menunduk
dan terpekur nglamun, berdiri tegak mematung.
Dia bukan lain adalah Sia sin kedua Suma Bing yang baru saja
ditinggalkan kekasihnya yang tercinta.
Se-konyong2, terdengar sebuah panggilan dingin: "Suma Bing!"
Suma Bing tergugah dari rasa kepedihan hati oleh panggilan dingin
ini, pelan2 dia membalik tubuh, begitu matanya melihat siapa yang
berada didepannya ini, kontan dia bergelak tawa menggila,
nadanya penuh mengandung kepedihan hati dan nafsu membunuh
untuk pelampiasan yang menyeluruh.
Ternyata orang yang baru muncul ini tak lain tak bukan adalah
Racun diracun.
Kedatangan Racun diracun ini bagi Suma Bing seumpama Tuhan
memberikan restunya kepada pemohonnya. Belum dingin jenazah
Ting Hoan dikebumikan, kalau dirinya membunuh iblis laknat ini
didepan kuburan, benar2 suatu hal yang sangat menyenangkan.

Bola mata Racun diracun yang banyak putih dari hitamnya itu
mengunjuk rasa heran tak mengerti. Hardiknya dingin: "Tutup
mulut!"
Suma Bing menghentikan tawanya, wajahnya dirundung
kekejaman membunuh yang buas matanya me-nyala2 menatap
lawannya.
Dengan nada tidak mengerti Racun diracun bertanya: "Suma Bing,
apa yang kau tertawakan?"
Rasa kebencian semakin merangsang benak Suma Bing, geramnya
gemetar: "Aku girang bahwa kedatanganmu ini sangat kebetulan!"
"Apa maksudmu?" "Kedatanganmu ini meringankan aku, jadi
tidak perlu jauh2
mencarimu kian-kemari". "Mencari aku, untuk urusan apa?" "Apa
tuan kenal seorang perempuan yang bernama Thong
Ping?" "Thong Ping?" "Benar, dia bernama Thong Ping!" "Belum
pernah kudengar
nama ini." "Tuan benar2 tidak ingat atau..." "Suma Bing, apa
maksudmu ini?" "Tidak apa, dia minta aku melakukan sesuatu!"
"Terangkanlah secara jelas!" Sebelum bicara Suma Bing
mendengus keras2: "Racun
diracun, cocok dan serasi benar nama julukanmu ini, sungguh
kejam, telengas tak mengenal peri kemanusiaan..."
Sejenak Racun diracun melengak, lalu semprotnya gusar: "Suma
Bing, berkatalah secara terus terang?"

"Bukankah ini sudah jelas. Thong Ping minta padaku untuk
menagih sesuatu kepadamu!"
"Siapakah Thong Ping itu?" "Kau tidak berani mengakui?"
"Suma Bing, perlu kutandaskan sekali lagi, bicaralah yang
terang!" Sekian lama Suma Bing memandang nanap kepada
musuhnya ini sambil menggigit gigi, desisnya: "Tuan sendiri yang
minta aku berkata terus terang, baiklah, kau dengar. Setelah kau
memelet cinta Thong Ping lantas kau menodai tubuhnya
selanjutnya kau buang dan tinggal pergi begitu saja, malah lebih
durhaka lagi kau bunuh ibunya, kau... inikah manusia?"
Saking kaget mendengar tuduhan yang berat ini, Racun diracun
terhuyung tiga tindak, suaranya gemetar: "Apa yang kau
katakan?"
Suma Bing maju dua langkah, serunya: "Sekarang Thong Ping
telah melahirkan anakmu!"
"Anak?" "Ya, seorang bayi perempuan!" "Anak? dia... dia..."
Racun diracun mengeluh dengan sedihnya, mulutnya
kemak-kemik entah apa yang diucapkan, seluruh tubuhnya
bergemetaran.
"Kau tidak akan menyangkalnya lagi bukan?" "Aku... tidak
menyangkal... tidak..." Suma Bing mendesak maju lagi
selangkah serta ujarnya:
"Maka aku melulusi dia untuk menagih sesuatu kepadamu!"
"Sesuatu... apa?"

"Jiwamu!" "Ha! Suma Bing... kau... jangan..." Dirangsang rasa
kebencian yang ber-limpah2 Suma Bing
tidak memperhatikan sikap dan mimik Racun diracun yang luar
biasa aneh dari kebiasaannya.
"Dengar, masih ada..." "Masih ada apa?" Setelah melirik kearah
gundukan tanah
kuburan yang meninggi itu, wajah Suma Bing berkerut mengejang
dengan penuh kepedihan, desisnya serak: "Racun diracun, kukira
kau sudah tahu siapakah yang berbaring dibawah gundukan tanah
ini?" "Siapa?"
Sepatah demi sepatah Suma Bing berkata: "Ting Hoan yang telah
kau perkosa!" "Ting... Hoan?"
"Ya, Ting Hoan. Gurunya Pek hoat sian nio mungkin takut
menghadapi racunmu, tapi ketahuilah, yang menagih jiwanya
adalah aku Suma Bing."
Racun diracun mengeluh panjang dengan sedih menyayatkan hati,
tiba2 tubuhnya melenting tinggi terus tinggal pergi...
"Lari kemana kau!" Betapa mujijat Bu siang sin hoat itu, dalam
suara bentakan
yang keras itu, tahu2 Suma Bing sudah berkelebat menghadang
didepannya sambil mengayunkan tangan. Kontan Racun diracun
terhuyung dan sempoyongan sepuluh langkah lebih.
"Kau hendak pergi begitu saja?" "Suma Bing, apa yang hendak
kau lakukan?" "Hendak kuhancur leburkan tubuhmu, untuk
melampiaskan
dendam korbanmu yang mati penasaran."

"Kau... berani pastikan bahwa semua itu adalah perbuatanku?"
Suma Bing menjengek gusar: "Apa mungkin bukan kau?"
Seakan tergugah oleh suatu hal, Racun diracun terlongong
sejenak naga2nya ada apa-apa yang tengah dipikirkan, tak lama
kemudian mendadak dia menghela napas dan berkata: "Suma
Bing, saat ini tidak leluasa aku memberi penjelasan..."
"Ada apa lagi yang perlu dijelaskan?" "Aku ada satu
permintaan..." "Katakan!" "Setengah tahun lagi kuberikan
pertanggungan jawabku
kepadamu!" "Tidak bisa, hari ini juga didepan kuburan Ting Hoan
harus
kuselesaikan urusan ini!" "Suma Bing, kau jangan terlalu
memaksa." "Sehari lebih panjang umurmu, akan lebih menambah
penasaran orang yang menjadi korbanmu!" "Suma Bing, jangan
kau terlalu takabur!" "Bagaimana?" "Menjangan bakal mati
ditangan siapa masih susah
ditentukan!" Sambil mengacungkan tangannya Suma Bing
membentak:
"Mari kau coba2!" "Nanti dulu!" "Masih ada pesan apalagi yang
perlu kau sampaikan?" "Yang kau andalkan tidak lebih hanyalah
kemujijatan Bu
siang sin hoat dan tidak mempan racun, paling2 ditambah lagi
dengan Lwekangmu yang baru dilebur itu, benar bukan? Tapi
jangan kau lupa betapa hebat Racun diracun bukanlah omong
kosong belaka."

Berdetak jantung Suma Bing, darimana Racun diracun bisa
mengetahui dirinya ketambahan Lwekang baru? Peristiwa dirinya
minum darah naga pusaka diperkampungan bumi, selain bibinya
Ong Fong jui dan istrinya Phoa Kin sian, belum pernah dirinya
ceritakan kepada lain orang. Sudah tentu tidak bisa karena
beberapa patah kata itu lantas dia dilepas begitu saja. Maka
serunya penuh kemurkaan: "Racun diracun kalau hari ini aku Suma
Bing tidak mencincang tubuhmu menjadi perkedel, aku
bensumpah tidak akan menjadi manusia!"
"Suma Bing, kau ini binatang yang berdarah dingin!" "Apa, aku
binatang berdarah dingin. Memangnya kau
adalah binatang berdarah panas?" "Aku Racun diracun jangan kau
anggap takut kepadamu.
Seumpama tiada menanam budi kepadamu, tapi hubungan
sekedarnya yang tak berarti masih ada. Sedemikian kukuh dan
keras kepala kau ini, kenapa kau tidak terima permohonanku
untuk menunda urusan ini sampai setengah tahun lagi."
Serta-merta Suma Bing mundur dua langkah, ucapan orang tepat
menusuk lubuk hatinya. Memang, musuhnya ini pernah beberapa
kali mengulur tangan menolong jiwanya, malah secara jantan mau
menyerahkan Pedang darah tanpa syarat. Semua ini adalah
kenyataan yang tak mungkin dihapus dan tidak bisa dilupakan.
Mungkinkah dirinya turun tangan mencabut jiwanya?
Sumpahnya kepada Thong Ping, dendam sakit hati Ting
Hoan, dapatkah hapus dan impas begitu saja? Sesaat mulut Suma
Bing tersumbat tak bisa memberi jawaban.
Perasaan Racun diracun agak tenang, katanya: "Suma Bing,
urusan didunia ini kadang2 susah diselami dan dipahami dengan
pikiran sehat. Lebih baik kau berpikir tenang sedikit."
"Jadi maksud tuan dalam peristiwa ini masih ada latar
belakangnya?"

"Mungkin sekali!" "Peristiwa diluar perikemanusiaan ini bukan
kau yang
melakukan?" "Aku tidak mengakui. Tapi juga tidak menyangkal
tuduhanmu itu" "Bagaimana maksud jawabanmu ini?" "Setengah
tahun kemudian, akan kuberikan pertanggungan
jawabku. Hutang jiwa bayar jiwa, hutang darah bayar darah!"
"Kenapa harus ditunda sampai setengah tahun?" "Suma Bing,
kalau saat ini juga aku minta kau segera mati,
apakah kau tidak merasa berat karena banyak hal2 yang belum
kau laksanakan?"
Suma Bing mendengus dingin, jengeknya: "Kau ingin aku mati?"
"Kau sangka aku tidak sanggup?" "Marilah dicoba!"
"Ketahuilah, walaupun rumput ular yang kau telan itu dapat
memunahkan kadar racun umumnya, tapi tidak dapat
memunahkan racun dalam racun, apa kau tidak percaya?"
"Racun dalam racun?" "Benar, selama aku berkecimpung didunia
persilatan bellum pernah kugunakan, kalau kau memang memaksa
ya kau akan tahu sendiri apa akibatnya!"
"Adalah kau sendiri yang menimbulkan pertikaian ini." "Kau
mengancam aku?" Ujar Suma Bing dengan angkuhnya:
"Silahkan kau sebarkan
racunmu itu, aku pandang sepele saja!" Racun diracun
menyeringai dingin, katanya: "Sekarang
boleh kau coba2 menyalurkan hawa mumimu!"

Keruan bergidik dan dingin perasaan Suma Bing, dalam keadaan
yang tidak berasa ini apa mungkin lawan sudah tebarkan racunnya
yang lihay itu? Karena pikirannya ini, tiba2 ia menyedot napas
panjang terus menyalurkan hawa murni dari pusarnya. Benar juga
Yang kiau dan Im kiau dua nadi besar ada tanda2 mulai mengerat,
sedang empat dari delapan jalan darah besar juga sudah buntu.
Kejutnya ini benar2 bukan kepalang, kiranya ucapan Racun
diracun bukan main2 belaka betul2 dirinya sudah terkena racun
berbisa lawan. Tapi kapan dan bagaimanakah lawan menyebarkan
racunnya itu?
"Bagaimana?" desak Racun diracun. Timbul sifat2 angkuh dan
kesesatan turunan gurunya
dalam benak Suma Bing, katanya nekad: "Seumpama aku mati
karena racunmu ini kumat, terlebih dulu aku harus membunuh kau
manusia laknat ini!"
"Saat ini kau tak mungkin dapat melakukan!" Cepat2 Suma
Bing menyalurkan Kiu yang sin kang, baru
saja tenaganya timbul lantas dia merasakan adanya banyak
rintangan dijalan darahnya banyak yang sudah buntu. Kecut
perasaannya, keringat dingin membanjir keluar, sambil
membanting kaki serunya: "Baik, kita bertemu pada lain
kesempatan!"
"Nanti dulu, kau telanlah dulu obat pemunah ini!" "Tidak perlu"
Jantung Suma Bing berdetak semakin keras, tapi
bagaimana bisa ia menerima obat pemunah musuhnya? "Kalau
begitu kau tidak akan dapat pergi jauh!" Racun diracun menghela
napas lalu berkata lagi: "Suma
Bing, aku menggunakan racun hanya untuk mengambil
kesempatan membuatmu kepepet saja, tiada maksudku hendak
mengambil jiwamu. Hendak kutanya kepadamu, hari2

yang lalu sedikit banyak bukankah kita mengikat persahabatan
yang erat?"
"Ya, memang hal itu boleh kuakui." "Maka pandanglah
persahabatan kita itu, terimalah obat
pemunah ini!" "Tidak!" "Sebelum sepuluh li kau akan mati
keracunan!" Suma Bing menyeringai sedih, ujarnya: "Itu urusanku
sendiri!" "Suma Bing, seorang laki2 harus dapat secara tegas
membedakan antara budi dan dendam. Persahabatan kita dulu
adalah satu soal. Sekarang kau menuntut balas untuk orang lain
juga lain soal lagi, jangan kau campur adukan kedua persoalan itu
menjadi satu, sudah kukatakan dan sekarang kutegaskan sekali
lagi, setengah tahun kemudian akan kuberikan pertanggungan
jawabku kepadamu supaya kau puas."
Suma Bing menjadi bimbang, dia ragu2 bukan karena tergerak oleh
bujukan orang atau takut mati, adalah dia teringat akan sakit hati
ayahnya dan dendam kebencian ibundanya dan dendam kesumat
perguruan. Dan sekarang yang terpenting adalah menolong jiwa
bibinya yang tergenggam dalam tangannya, dia harus secepat
mungkin mengantar tiba Hoan hun tan. Aku tidak boleh mati,
demikian hatinya berteriak.
Kata Racun diracun lagi: "Suma Bing, menurut apa yang kutahu,
istrimu Phoa kin sian setengah tahun lagi bakal melahirkan,
mungkin sekali dia akan mengalami kesukaran, apakah kau tidak
memikirkan akan masa depan keturunanmu?"
Tanpa terasa tergerak sanubari Suma Bing, Racun diracun
mengatakan Phoa Kin sian mungkin mengalami kesukaran,

darimana dia mengetahui? Kesukaran apakah itu? Darimana pula
dia tahu bahwa Phoa Kin sian tengah mengandung dan bakal
melahirkan. Karena pikirannya ini, tanyanya heran: "Apa, tuan
katakan istriku bakal mengalami kesukaran?"
"Benar!" "Kesukaran apa?" "Kelak kau akan tahu sendiri, kau
takkan percaya
mendengar penjelasanku." "Darimana tuan mengetahui hal itu?"
"Ini tidak perlu kau tanyakan, pendek kata hal itu adalah
kenyataan." Risau dan gundah perasaan Suma Bing, hatinya
penuh
tanda tanya. Kalau orang tidak mau mengatakan, tidak mungkin
dia memaksa orang bicara. Namun naga2nya ucapannya itu
sungguh2 dan boleh dipercaya. Tiada perlunya Racun diracun
membual dan membuat sensasi. Satu hal yang mengherankan
adalah darimana dia tahu bakal terjadinya peristiwa yang susah
diketahui orang sebelumnya ini?
Tapi sifat angkuh dan keras kepala Suma Bing membuat dia tidak
suka tunduk dihadapan orang lain, sahutnya dingin: "Terima kasih
akan petunjukmu ini, selamat bertemu."
"Benar2 kau hendak pergi?" "Sudah tentu, sebab sekarang aku
tidak mampu lagi
melenyapkan jiwamu!" "Kau tidak takut mati?" "Apa yang perlu
ditakutkan, yang kutakuti adalah susah
membedakan antara budi dan dendam, ini akan mengganjal dalam
hati dan menyesal seumur hidup!" habis berkata dia putar tubuh
menghadapi kuburan Ting Hoan dan berkata penuh haru: "Adik
Hoan, kau nantikanlah, waktunya tidak akan terlalu lama." sekali
melejit tubuhnya sudah berlarian

ditengah jalan raya. Dibelakangnya terdengar suara helaan napas
sedih Racun diracun.
Suma Bing ber-lari2 kencang, hatinya ber-tanya2 dan tak habis
mengerti akan sepak terjang Racun diracun selama ini terhadap
dirinya, betul2 susah diduga.
Perkataan Racun diracun terkiang lagi ditelinganya: "Sebelum
sepuluh li kau akan mati keracunan!" — Benar juga baru lima li
kemudian hawa murninya mulai luber kepala terasa berat,
kecepatan larinya semakin lamban, sampai akhirnya gerak geriknya
tak ubah seperti orang biasa yang tidak pandai bermain silat. 'Apa
memang sudah suratan takdir aku Suma Bing harus mati
keracunan?' — demikian ia bertanya pada dirinya sendiri, timbul
rasa sedih yang mencekam sanubarinya.
'Apa aku harus menerima pengobatannya. Tapi aku hendak
membunuhnya!' — begitulah sambil berpikir2 itu tak terasa dia
sudah berjalan lagi sejauh tiga li. Mendadak tubuhnya terhuyung
pandangan mata ber-kunang2, kakinya berhenti melangkah,
tubuhnya limbung hampir roboh. Bayangan kematian sontak
melingkupi sanubarinya. Benar, memang tidak kanti sejauh sepuluh
li dirinya dapat berjalan.
Berkat rumput ular dari pemberian Si gwa Lojin dirinya kebal akan
segala racun, sungguh tak duga ternyata masih tidak kuat
bertahan akan bisa racun dalam racun yang ditebarkan oleh Racun
diracun.
Pikirannya mulai kabur dan melayang, tanpa kuasa tubuhnya
limbung terhuyung terus roboh terlentang...
Mendadak samar2 terasa olehnya tubuhnya ada rebah dalam
pelukan seseorang, sebuah suara terkiang dalam telinganya:
"Engkoh Bing, kuatkan semangatmu!"
Begitu mendengar suara itu tahulah Suma Bing siapakah orang
yang bicara itu, benar juga bangkit semangatnya, katanya
gemetar: "Adik Sian, kaukah itu?"

"Ya, akulah!" "Aku... aku sudah payah!" "Kau, kenapakah kau
ini?" "Aku telah keracunan!" "Apa kau keracunan?" "Benar."
"Siapa yang meracun kau?" "Racun diracun!" "Rebahlah biar
kuperiksa. Engkoh Bing, sungguh kebetulan,
dulu tanpa sengaja aku beroleh sebutir Tan tiong tan dari seorang
tua tak bernama, khasiatnya dapat menyembuhkan penyakit dan
segala bisa..."
"Adik Sian, racun dalam racun bukan sembarang bisa, rumput ular
juga tidak mempan lagi, apalagi..."
"Coba saja kau telan dulu." — sambil berkata dari dalam bajunya
ia merogoh keluar sebuah peles kecil warna hijau, begitu tutup
peles itu dibuka bau wangi segera merangsang hidung, seketika
membuat pikiran segar dan semangat bangkit hati juga terasa
lapang. Katanya lemah lembut: "Engkoh Bing, coba telanlah ini!"
Tanpa bersuara Suma Bing pandang istrinya lekat2 penuh kasih
mesra, mulutnya dipentang terus telan obat pemberiannya itu. Saat
itu terasa bahagia tak terhingga dalam benaknya, sebelum ajal ini
dirinya rebah dalam pangkuan istrinya tercinta. Alangkah indah
hidup manusia ini. Matanya dipejamkan menikmati kehangatan
pelukan sang istri. Seumpama Tan tiong tan tidak mujarab, namun
dapat mati dipelukan istri tercinta rasanya juga cukup puas dan
terhibur.
"Engkoh Bing, kerahkan tenaga mengeluarkan racun."

Suma Bing menurut, sebelumnya ia hilangkan segala pikiran lalu
pelan2 mulai kerahkan hawa murninya...
Dalam saat2 genting inilah dari kejauhan terdengar berkesiur angin
baju dan derap langkah kaki beberapa orang tengah mendatangi
kearah mereka dengan cepat, dilain saat beberapa bayangan
manusia meluncur turun tiga tombak dihadapan mereka.
Waktu Phoa Kin sian melihat para pendatang ini, seketika berobah
air mukanya. Kiranya mereka tak lain adalah Si tiau khek. Suma
Bing tengah rebah dalam pangkuannya dan menyalurkan tenaga
untuk mengusir racun dalam tubuhnya, tak mungkin dia melepas
diri untuk menghadapi mereka, seumpama mereka turun tangan
pasti mereka suami istri bakal mengantar jiwa secara konyol.
Air muka Si tiau khek yang membeku bagai setan hidup itu tanpa
menunjukkan mimik yang susah diraba, sorot matanya
memancarkan sinar kehijauan yang menyeramkan, tali yang
terikat dileher mereka menjulur turun didepan dada, keadaan ini
benar2 menggiriskan.
Sambil berpaling kearah ketiga kawannya Heng si khek berkata:
"Inilah kesempatan baik yang diberikan oleh Tuhan."
Hui bing khek menggerakkan tangan tunggalnya sambil
terkekeh2, ujarnya: "Lotoa, ingin yang hidup atau yang mati?"
"Sudah tentu lebih baik masih hidup, Losi, ringkus mereka!"
Tenggorokan Teh ciam khek ber-kerok2 mengiakan, terus
angkat langkah maju... Sudah tentu gugup dan gelisah Phoa Kin
sian bukan main,
keringat membanjir membasahi tubuh. Begitu melihat Teh ciam
khek mendatangi serasa kabur sukmanya. Dia tidak dapat
bergerak dan tidak boleh membentak merintangi orang, kalau
sedikit saja Suma Bing terganggu, maka akibatnya susah
dibayangkan. Dalam keadaan yang terpaksa ini diambilnya

sebutir batu dipinggir tubuhnya terus disambitkan kearah Teh
ciam khek.
Teh ciam khek menyeringai tawa iblis, serunya: "Nyonya manis,
apa2an kau jual lagak dihadapanku, berani main sambit2an
dengan batu!" — tengah berkata itu dia ulurkan tangan untuk
menyambuti batu yang melayang tiba.
Mendadak terdengar Teh ciam khek berpekik panjang mengerikan
terus roboh terlentang.
Keruan kaget ketiga setan gantung lainnya bukan alang kepalang,
mereka sama2 berseru heran, tanpa berjanji menubruk maju
berbareng.
"Jangan sentuh, racun!" terdengar Heng si khek berseru gemetar.
Wajah membeku bagai setan hidup dari Hui bing khek dan Bao
bong khek seketika berobah ketakutan, berbareng mereka
menyurut mundur.
Sekian lama Heng si khek mengawasi Phoa Kin sian penuh
dendam, lalu serunya: "Maju berbareng, gunakan pukulan jarak
jauh, kalau tidak bisa hidup biar mati juga tidak menjadi soal!"
Serempak ketiga setan gantung ini maju dari tiga jurusan, pelan2
tangan masing2 sudah diangkat, dalam detik2 yang tegang
mencekam hati ini. Hati Phoa Kin sian semakin tenggelam dan
pasrah pada nasib saja.
Se-konyong2 terdengar sebuah bentakan nyaring: "Berhenti!"
Ketiga setan gantung sama2 melengak heran, tanpa terasa
mereka menghentikan langkah terus berpaling kebelakang.
Tampak seorang nyonya muda yang cantik rupawan dengan
wajah membeku dingin tengah berdiri setombak dibelakang
mereka.

Betapa hebat kepandaian ketiga setan gantung ini, toh masih
belum mengetahui ada musuh yang mengintip gerak gerik mereka,
maka sudah terang kalau kepandaian pendatang ini bukan olah2
lihaynya.
Dengan penuh keheranan Phoa Kin sian mengawasi nyonya muda
yang datang tanpa diundang ini.
Heng si khek menjengek dingin, tanyanya: "Siapa kau?" Sorot
mata nyonya muda itu menatap kearah Suma Bing,
tapi mulutnya menyahuti: "Kau belum berharga menanyakan
namaku!"
Kontan timbul nafsu keji ketiga setan gantung, Bao bong khek
terloroh2, serunya sinis: "Nyonya busuk besar benar mulutmu itu!"
Berobah gusar wajah nyonya muda itu mendengar makian 'nyonya
busuk' itu, timbul juga nafsu membunuh yang membayang
mukanya, matanya mendelik memancarkan sinar dingin. Tanpa
terasa Bao bong khek bergidik seram dan mundur selangkah.
Terdengar nyonya muda itu mendesis berat: "Karena ucapanmu ini
kau pantas dihukum mati!"
Masih suaranya itu terdengar, tanpa terlihat bagaimana ia
bergerak, tahu2 tubuhnya sudah melejit tiba dihadapan Bao bong
khek, kelima jarinya yang lencir dan runcing2 memutih bagai kilat
mencengkram tiba, cara cengkraman ini benar2 aneh dan belum
pernah terlihat selama ini.
Betapa tinggi kepandaian Bau bong khek, kiranya juga tidak
mampu berkelit atau menyingkir, maka dilain saat terdengar
jeritan yang menyeramkan diselingi suara kejut tertahan.
Serasi benar kematian Bau bong khek dengan nama julukannya
ini, kepalanya pecah otaknya berhamburan keluar, tubuhnya roboh
tanpa bernyawa lagi.

Betapa kaget Heng si khek dan Hui bing khek serasa arwahnya
terbang ke-awang2. Kepandaian nyonya muda ini benar2 lihay dan
dan jarang terlihat atau terdengar dalam dunia persilatan. Tapi
betapapun nama Si tiau khek sudah kenamaan akan kekejian dan
kekejamannya, kini dua diantara empat setan gantung itu sudah
tamat riwayatnya, mana mereka mau tinggal diam dan mandah
saja disembelih.
Maka sambil mengacungkan tangan yang tinggal sebelah itu Hui
bing khek menubruk nekad kearah nyonya muda itu. Dalam waktu
yang bersamaan Heng si khek juga menubruk kearah Suma Bing
suami istri...
"Berani mati!" — dimana terlihat nyonya muda itu menggertak
nyaring sambil memutar sebelah tangannya, kontan Hui bing khek
dihantam terpental balik, jeritan kesakitan memecah kesunyian,
lantas disusul sebuah bayangan manusia terbang mumbul beberapa
tombak terus terbanting mampus diatas tanah.
Demikian sebat dan gesit luar biasa gerak gerik nyonya muda itu,
begitu melancarkan serangannya terus dia memutar tubuh,
seketika terhiburlah hatinya dan menghela napas lega. Tampak
Suma Bing telah berdiri dengan kerengnya, wajahnya diseliputi
hawa membunuh, sedang Heng si khek terlihat rebah tak bergerak
lagi dikejauhan sana.
Ternyata waktu Heng si khek menubruk tiba hendak membokong
kebetulan Suma Bing siuman dari latihannya yang telah sempurna
dan pulih lagi tenaganya, begitu melihat ada bayangan orang
menubruk tiba tanpa banyak bicara lagi, Kiu yang sin kang
dikerahkan sepuluh bagian terus dihantamkan keluar. Mimpi juga
Heng si khek tidak menduga akan serangan balasan dari Suma
Bing, kontan isi perut dan dadanya rontok berantakan tanpa dapat
membela diri tubuhnya terbanting mampus.
Sinar mata Suma Bing menyapu pandang kearah nyonya muda itu
serunya penuh kepedihan: "Kaukah ini?"

Nyonya muda mengangguk sayu, sahutnya: "Ya, akulah Engkoh
Bing!"
Nyonya muda yang berwajah ayu cemerlang ini bukan lain adalah
putri Perkampungan bumi yaitu Pit Yau ang.
"Siapa dia?" senggak Phoa Kin sian dingin. Suma Bing unjuk
tertawa kecut, katanya: "Adik Sian, dialah
Pit Yau ang!" "O!" seru Phoa Kin sian terperanjat, ter-sipu2 ia
maju
mendekat sambil berseru riang: "Oh, adikku!" Pit Yau ang
melengak, tanyanya: "Kau..." "Akulah Phoa Kin sian!" "O, cici,
terimalah hormat adikmu!" sambil berkata dia
membungkuk tubuh memberi hormat. Ter-sipu2 Phoa Kin sian
menarik tangannya serta berseru: "Jangan dik, tidak perlu banyak
peradatan!"
Mendelu dan terpukul batin Suma Bing. Meskipun lahirnya sikap
Phoa Kin sian dingin dan kaku, namun hakikatnya dia adalah
seorang perempuan yang polos dan welas asih, buktinya terhadap
Pit Yau ang sedikitpun tidak merasa iri atau cemburu dan jelus.
Sudah tentu Pit Yau ang sendiri juga merasa terhibur dan lega
sekali, kedudukannya saat itu tidak lebih hanya gundik Suma Bing
saja. Memang sikap dan tingkah laku Phoa Kin sian ini benar2
diluar dugaannya.
Sekilas Suma Bing menyapu pandang tiga mayat diatas tanah terus
berseru kejut: "Wah, Hui bing khek telah melarikan diri."
Phoa Kin sian dan Pit Yau ang berbareng celingukan keempat
penjuru, benar juga memang bayangan Hui bing khek sudah
menghilang tanpa jejak.
Tiraik
asih
Websi
te
http://
kangz
usi.co
m/
Waktu pandangan Suma Bing bentrok dengan mayat Teh ciam
khek, ia berseru kejut: "Dia ini mati karena keracunan?"
Wajah Phoa Kin sian sedikit berobah. Pit Yau ang melirik
kearah Phoa Kin sian dan menyahut:
"Dia ini mati ditangan cici?" Berkerut alis Suma Bing, tanyanya:
"Adik Sian, kau juga
pintar menggunakan racun?" Phoa Kin sian tertawa kikuk,
katanya: "Ya, tidak begitu
mahir, karena terpaksa dan terdesak baru aku turun tangan!"
Berputar cepat pikiran Suma Bing, dirinya terkena Racun
dalam racun yang disebarkan Racun diracun, kebetulan dia
mempunyai Tan tiang tan untuk memunahkan. Sekarang diketahui
pula bahwa dia juga pandai menggunakan racun, hal ini mustahil
dan kurang masuk akal. Bersama ini lantas terlintas ucapan si
maling bintang Si Ban cwan tentang bibinya Ong Fong jui dan
Phoa Kin sian, katanya bahwa asal-usul perguruan mereka ada
sedikit mencurigakan. Tapi karena mengingat pantangan dan
peraturan dunia persilatan dia tidak mau menjelaskan secara
terang, sekarang lebih baik dia menanyakan secara langsung
kepada istrinya, maka tercetus pertanyaannya: "Adik Sian, aku ada
satu soal hendak bertanya padamu!"
39.
GAN
DAR
WA
MER
AH
DUT
A
DAR
I
MEN
ARA
IBLI
S.
"Tentang urusan apa?" "Tentang asal-usul perguruanmu!"
Phoa Kin sian bersikap serba susah dan tertawa pahit,
katanya: "Engkoh Bing, maaf Siau moay tidak bisa beritahukan
kepadamu!"

"Mengapa?" "Karena peraturan perguruan, sangat keras!"
Suma Bing menghela napas, ujarnya: "Kalau demikian, aku
tidak memaksa kau!" Habis berkata lalu dia berpaling kearah Pit
Yau ang dan
berkata: "Adik Ang, kenapa kau tinggalkan Perkampungan
Bumi..."
"Perkampungan Bumi? Hahahahahahaha..." Terdengar suara
gelak tawa yang keras dan berat sampai
menggetarkan telinga. Kontan tergetar perasaan ketiga orang ini.
Ditengah suara
gelak tawa itu tampak seorang tua gagah kereng mengenakan
jubah merah, pelan2 menghampiri kearah mereka bertiga.
"Tuan ini orang kosen darimana?" tanya Suma Bing dingin!
Orang tua jubah merah seakan tidak mendengar, langsung
dia berlenggang sampai didepan mereka kira2 berjarak satu
tombak baru menghentikan langkahnya, kedua matanya bagai
mata elang memancarkan sinar terang menatap tajam kearah Pit
Yau ang.
Melihat kelakuan orang tua yang kurang ajar ini, bangkitlah
kemarahan Suma Bing bentaknya keras: "Hei, tuan tidak tuli
bukan?"
Pelan2 baru orang tua jubah merah ini mengalihkan
pandangannya, tanyanya: "Buyung, kau ini gembar-gembor
terhadap siapa?"
"Terhadap kau!" "Buyung seperti kau ini memanggil aku
dengan sebutan
tuan?" "Karena kupandang kau seorang
laki2!"

Mata elang si orang tua jubah merah melotot besar, memancarkan
cahaya kehijauan yang berjelalatan, katanya sambil tertawa
kering: "Siapa namamu?"
"Suma Bing!" "Dari perguruan mana?" "Tiada perlu kuberitahu
kepada tuan!" "Kau inikah buyung yang kenamaan dikalangan
Kangouw
sebagai Sia sin kedua?" "Itulah cayhe adanya!" "Kedua anak jelita
ini apamu?" "Istriku!" "Heehe, besar keberuntunganmu, sayang
mujur tapi
kurang abadi!" Suma Bing mendengus dingin, semprotnya: "Tuan
apa
maksudmu itu?" "Kau tetap memanggil Lohu sebagai tuan?"
"Bagaimana anggapan tuan aku harus memanggil?" "Locianpwe!"
"Kau tidak sembabat!" "Kenapa?" "Pokoknya tidak sembabat!"
"Hm, kau pintar membual dan pintar putar lidah!" "Dalam Bulim
mengutamakan keluhuran dan budi pekerti,
tiada perbedaan antara tua dan muda." "Buyung agaknya kau
terlalu fanatik akan kekuatan ilmu
silatmu?"

"Ini juga kurang benar, silat atau kekuatan tidak lepas dari
pengertian kebajikan".
"Jadi anggapanmu aku ini tidak pandai silat juga kurang
bijaksana?"
"Tepat sekali, terhadap kedua pengertian itu sedikitpun tuan tidak
menonjolkan bahwa tuan sudah paham dan tuan sebagai seorang
tua yang harus dijunjung puji!"
"Nanti sebentar akan Lohu tunjukkan kepada kalian." lalu dia
berputar menghadapi Pit Yau ang, tanyanya: "Pit Gi itu apamu?"
"Orang tuaku!" "Bagus sekali, kau ikut Lohu saja, aku tidak
perlu kuatir lagi
Pit Gi bakal mengeram diri terus seperti bulus." "Kau ini
mengoceh apa?" semprot Pit Yau ang marah. "Budak, berani kau
berkata kurang ajar?" "Akan kumaki kau ini orang tua tidak tahu
mampus..." "Cari mati!" "Belum tentu?" Pit Yau ang tidak tahu
ada permusuhan apa antara orang
tua jubah merah ini dengan ayahnya, namun kata2 'mengeram diri
sebagai bulus' benar2 menusuk dalam pendengarannya. Baru saja
selesai perkataannya, kelima jarinya dipentang terus mencengkram
kearah batok kepala si orang tua jubah merah.
Kedua mata orang tua jubah merah melotot keluar bagai
kelereng, sedikitpun dia tidak bergerak atau berkelit.
Tadi sekali cengkram dengan mudah sadja Pit Yau ang
mencengkram mati Bau bong khek salah satu dari empat setan
gantung yang kenamaan, maka dapatlah diukur betapa hebat
serangan cengkraman ini. Begitu melihat orang tua

jubah merah tidak menyingkir dan tidak bergerak, segera ia
tambah tenaganya berlipat ganda pada kelima jari2 tangannya
langsung mengarah batok kepala orang.
Sudah dalam dugaan bahwa orang tua jubah merah ini bakal
pecah dan tercengkram hancur batok kepalanya.
Tapi lantas terdengar seruan kaget tertahan, tampak Pit Yau ang
mundur terhuyung beberapa langkah, wajahnya menunjukkan
keheranan. Karena waktu tangannya menyentuh batok kepala
orang, yang terasa tangannya mencengkram selapis besi baja
yang kokoh kuat, karena terlalu besar tenaga yang dia gunakan
untuk mencengkram, sampai tangan sendiri yang terasa tergetar
linu.
Keruan bukan kepalang kejut Suma Bing dan Phoa Kin sian.
Entah darimana asal-usul orang tua jubah merah ini.
Sedemikian hebat dan tinggi kepandaiannya sampai berani
terang2an mandah dicengkram batok kepalanya tanpa kena
cidera sedikitpun jua.
Orang tua jubah merah menyeringai puas, katanya: "Budak kecil,
kau masih terpaut sangat jauh, cengkramanmu ini hanya
menggaruk2 gatal diatas kepalaku, lebih baik kau menurut saja
ikut Lohu pergi, atau kau ingin Lohu turun tangan?"
Sudah kejut dirangsang amarah lagi, saking dongkol sampai tubuh
Pit Yau ang gemetar, bentaknya: "Siapa kau sebenarnya?"
Orang tua jubah merah ngakak dingin, serunya: "Setelah melihat
ini pasti kau akan tahu."
Baru saja lenyap suaranya entah cara bagaimana dia bergerak
tahu2 pergelangan tangan Pit Yau ang sudah digenggam keras
olehnya. Gerak tubuh dan cara turun tangan yang begitu aneh
benar2 luar biasa dan tiada bandingannya.
"Tangan setan!" tanpa terasa tercetus seruan kaget dari mulut
Phoa Kin sian.

Orang tua jubah merah manggut2: "Terhitung kau yang luas
pengalaman!"
"Kalau tidak salah dugaanku." kata Phoa Kin sian bersikap
sungguh2, "Tuan pasti adalah Ang go ngo tang salah satu dari Kui
tha siang go bukan?"
"Tepat sekali memang itulah Lohu adanya" Tergetar perasaan
Suma Bing, tidak nyana, bahwa si orang
tua jubah merah ini ternyata adalah anak buah Kui tha itu salah
satu tempat keramat yang disegani oleh kaum persilatan. Entah
ada permusuhan atau pertikaian apakah antara Kui tha(menara
iblis) dan Perkampungan bumi? Atau mungkin antara Ang go ngo
tang dengan raja bumi yaitu Pit Gi mempunyai ganjelan hati
pribadi?
Dilihat cara orang turun tangan, agaknya ilmu silat Kui tha juga
sangat mengejutkan dan tidak kalah hebatnya.
Namun Pit Yau ang adalah istrinya, mana bisa dirinya berpeluk
tangan tinggal diam, maka segera dia tampil kedepan dan berseru,
mengancam: "Lepaskan dia!"
Ang go ngo tang atau gandarwa merah Ngo Tang mengekeh iblis,
serunya: "Buyung, ringan benar ucapanmu!"
Desis Suma Bing dengan geramnya: "Tuan hendak berbuat apa
kepada dia?"
"Tersangkut-paut apa dengan kau buyung kecil ini?" "Dia
adalah istriku, kenapa tiada sangkut-pautnya dengan
aku?" "Lalu kau buyung kecil ini hendak apa?" "Lepaskan dia!"
Sebagai putri kesayangan Perkampungan bumi, selama
hidup baru pertama kali ini Pit Yau ang merasa dihina dan
direndahkan, betapa malu dan gusarnya, namun karena jalan

darah sendiri dicengkram oleh lawan, tenaga untuk bergerak saja
tidak ada, saking gugup dan gelisah keringat membanjir keluar
membasahi tubuh.
Terdengar si gandarwa merah Ngo Tang menjengek acuh tak
acuh: "Buyung, kalau kau adalah suaminya, tentu kau adalah
salah satu anggota dari Perkampungan bumi juga, baiklah
kupinjam mulutmu untuk memberi kabar kepada Pit Gi, katakan
kepadanya; dalam satu bulan dia harus tiba ditelaga hitam dalam
perbatasan Kui ciu dan Sucwan, untuk menyelesaikan urusan
lama. Dalam jangka sebulan ini kujamin keselamatan putrimasnya
ini, selewatnya..."
"Selewatnya satu bulan bagaimana?" "Keselamatannya susah
diramalkan!" Suma Bing tertawa hambar, serunya: "Aku minta
kau
lepaskan dia!" "Mengandal kau masih belum mampu!" "Baiklah biar
kucoba!" ditengah suara bentakannya
secepat kilat ia turun tangan, langsung kirim sebuah pukulan
mengarah dada si gandarwa merah ini.
'Blang.' kontan gandarwa malah Ngo Tang tergetar mundur tiga
langkah. Terdengar dia malah bergelak tawa, serunya: "Buyung,
hebat juga tenaga dalammu, tapi masih belum mampu
mengapakan Lohu?"
Berobah airmuka Suma Bing, kecut perasaan hatinya, secara
keras, si gandarwa merah mandah digenjot dadanya, ternyata
tanpa kurang suatu apa. Betapa dahsyat himpunan kekuatan
tenaga dalamnya ini, kenyataan si gandarwa merah ini hanya
tergetar mundur tiga langkah. Naga2nya memang dirinya bukan
tandingan orang, tapi mana ia mau menyudahi begitu saja. Maka
begitu mengerahkan hawa murninya, terus disalurkan kearah jari
tengah tangan kanan, kontan cincin iblisnya memancarkan cahaya
terang menyilaukan mata.

Agaknya gandarwa merah ini insaf akan kekuatan cincin iblis yang
hebat itu, air mukanya sedikit berubah tegang.
Wajah Suma Bing penuh diselimuti kekejaman, seringainya
dingin: "Kau lepas tangan tidak?"
"Tidak!" "Kalau tidak kukremus kau hidup-hidup!" "Kau tidak
akan mampu!" "Lihat saja nanti!" dimana sorot cahaya cincin
Iblisnya
berkelebat, tenggorokan gandarwa merah Ngo Tang yang diincar.
Gandarwa merah mengelak kesamping, sambil bergerak itu, tubuh
Pit Yau ang dibawa berputar untuk memapaki cahaya serangan
cincin iblis...
Diam2 Suma Bing mengumpat dan mencaci kelicikan lawan,
ter-sipu2 ia harus mendoyong tubuh sambil menekuk lengan
tangannya sehingga sorot cahaya cincin iblis mencong kesamping,
terpaut serambut hampir saja Pit Yau ang kena terlukakan.
Dalam saat itulah seumpama berkelebatnya sinar kilat, secara
diam2 Phoa Kin sian mengayunkan sebelah tangannya tanpa
mengeluarkan suara menghantam kearah gandarwa merah Ngo
Tang. Serangan bokongan secara tiba2 ini betapa tinggi dan kosen
kepandaian orang yang diserang juga susah menghindari diri
lagi...
Dimana terlihat bayangan merah berkelebat, tahu2 gandarwa
merah Ngo Tang bagai bayangan setan, sudah menggeser tempat
sejauh satu tombak lebih, lalu seringainya sambil berpaling.
"Mengandal hasil latihanmu ini masih kurang cukup sempurna."
Bukan saja serangannya gagal malah diejek lagi, keruan gusar
dan malu Phoa Kin sian bukan buatan, wajahnya sampai

pucat dan gemetar. Betapa cepat cara gandarwa merah ini
menghadapi reaksi bokongan musuh sungguh sangat mengejutkan.
Sekali membanting kaki, tiba2 bayangan Suma Bing menghilang...
"Bu siang sin hoat!" terdengar gandarwa merah berseru kaget.
Tiba2 badannya berputar cepat seperti gangsingan...
"Lepaskan dia!" tahu2 sebelah tangan Suma Bing sudah
mencengkeram jalan darah Kian kin hiat sebelah kanan. Tapi
betapa kaget dan herannya sungguh susah dilukiskan. Ternyata
dimana tangannya menyentuh ternyata badan orang sedemikian
keras bagai besi baja, keruan ia tertegun. Dan pada detik2 ia
tertegun itulah, gandarwa merah Ngo Tang sudah berkelebat
selicin belut lolos dari cengkeramannya.
Keruan gemes dan dongkol Suma Bing bukan main. Tampak
gandarwa merah Ngo Tang mengunjuk rasa kejut2
heran, katanya: "Buyung, sabar sebentar, Lohu ada sedikit
omongan!"
"Lekas katakan!" "Benar2 kau adalah murid Sia sin Kho Jiang?"
"Apa perlunya aku membual?" "Lalu darimana kau peroleh
pelajaran Bu siang sin hoat
tadi?" "Darimana, kau juga tidak perlu tahu!" "Buyung, kuharap
kau suka bicara secara terus terang,
jangan kau nanti menyesal sudah terlambat!"
"Menyesal, apa maksudmu?" "Apa hubunganmu
dengan Bu siang Hujin?"

Suma Bing me-nimang2, apakah musuh gentar dan takut
menghadapi ketenaran nama Bu siang Hujin, atau ada sebab lain?
Maka sahutnya sinis: "Tiada sangkut-paut apa2!" "Lalu Bu
siang sin hoat yang kau kembangkan tadi kau
pelajari darimana?" "Tidak perlu kuberitahukan kepadamu!" Wajah
tua gandarwa merah berkerut membesi, katanya
sungguh2 dengan nada berat: "Benar2 tiada sangkut-paut apa2?"
"Tidak salah!" "Bagus sekali. Masih tetap seperti yang
kukatakan tadi, beri
kabar kepada Pit Gi dalam satu bulan dia harus tiba di Telaga air
hitam untuk menyelesaikan urusan lama dan mengambil pulang
putri kesayangannya ini. Selewatnya satu bulan, segala akibatnya
susahlah dikatakan sekarang!" habis berkata sambil mengempit
Pit Yau ang, tubuhnya berkelebat sepuluh tombak lebih jauhnya.
"Lari kemana kau!" Betapa sakti Bu siang sin hoat sambil
membentak gusar itu,
tubuh Suma Bing sudah berkelebat mencegat dihadapan orang.
Gandarwa merah mengekeh gila2an, serunya: "Buyung, kalau kau
tidak rela dia segera mati, lebih baik kau tahu diri." sambil berkata
sebelah tangannya yang lain menekan jalan darah Tay yang hiat di
pelipis Pit Yau-ang, lalu ancamnya lagi: "Hanya dengan tenaga jari
Lohu..."
"Kau berani!" "Bukan soal berani atau
tidak berani!"

"Ingin kutanya, kau ini tengah menjalankan tugas atau sedang..."
"Ya, Lohu tengah menjalankan tugas!" "Menerima tugas dari
siapa?" "Majikan dari Menara iblis!" "Ada pertikaian apa antara
Menara iblis dengan
Perkampungan bumi?" "Bocah kecil seperti kau tidak perlu tahu."
"Justru aku ingin bertanya!" "Lohu juga tidak akan beritahu
kepada kau." Saking murka kepala Suma Bing sampai menguap,
ingin
rasanya sekali keremus telan musuh ini bulat2. Tapi bagaimanapun
dia tidak bisa sembarangan turun tangan, karena Lwekang sendiri
masih kalah jauh dengan musuh. Maka mulutnya saja yang dapat
bekerja, ejeknya: "Ngo Tang, betapa tenar dan besar nama
majikan menara iblis kalian, sungguh tak nyana bisa menyuruh
anakbuahnya melakukan perbuatan rendah yang memalukan ini?"
Wajah gandarwa merah mengelam biru, sahutnya sinis. "Habis
kalau tidak begini, Pit Gi selamanya akan mengeram diri seperti
bulus..."
"Kentut!" "Keparat kau memaki siapa?" "Memaki kau, kau mau
apa?" "Kau cari mati!" orangnya bergerak mengikuti hilangnya
suara makiannya, dengan kecepatan yang paling cepat, langsung
ia mencengkram kedada Suma Bing, serangan cengkraman ini
bukan saja aneh, lihay juga sangat ajaib jarang terlihat sebelum
ini. Seumpama tokoh silat kosen juga susah dapat menghindar
diri...

Tapi hanya sekali menggeser kaki dan berkelebat menghilang
dengan mudah Suma Bing melepas diri dari ancaman musuh.
Sudah tentu kalau tidak mengandal keampuhan Bu siang sin hoat,
tak mungkin Suma Bing mampu meluputkan diri dari serangan
cengkraman setan ini.
Gandarwa merah menyeringai seram, ujarnya: "Buyung, kalau kau
mau menerangkan dimana letak Perkampungan bumi berada,
segera Lohu melepas dia!"
Selama diringkus oleh musuh itu, sampai detik itu belum pernah
Pit Yau ang membuka mulut. Sekarang mendadak dia bersuara:
"Engkoh Bing, biarkan saja, dia takkan dapat berjalan sejauh lima
li!"
Tanpa terasa Suma Bing melengak sendiri, entah apa maksud
perkataan istrinya ini, apa mungkin...
Gandarwa merah ter-loroh2 sikapnya sangat angkuh, katanya:
"Justru Lohu tidak percaya akan bualanmu!"
Pada saat itulah sebuah suara serak dingin yang keras menyahut:
"Bualannya ini kau harus percaya betul!"
Begitu mendengar penyahutan ini, semua orang terperanjat, waktu
memandang kearah datangnya suara. Tampak seorang tua yang
memegang kipas, dengan ikat kepala sutra dan jubah panjang
bergambar patkwa didepan dadanya, sikapnya tak ubahnya seperti
malaikat dewata. Entah kapan kedatangannya, tahu2 sudah berdiri
terpaut dua tombak dari mereka.
Begitu melihat orang tua ini, bergegas Suma Bing maju memapak
terus membungkuk tubuh memberi hormat sambil sapanya:
"Menghadap pada Locianpwe!"
Cepat2 Phoa Kin sian juga maju turut memberi hormat.
Ternyata si pendatang ini tak lain tak bukan adalah Kang
kun Lojin yang kenamaan itu.

Kata Kang kun Lojin sambil menunjuk Phoa Kin sian: "Dia ini..."
"Istriku!" sahut Suma Bing cepat. Sekian lama Kang kun Lojin
mengamat2i Phoa Kin Sian,
wajah tuanya mendadak mengelam dalam sambil geleng2 kepala.
Gerak geriknya ini membuat Suma Bing tidak habis mengerti.
Adalah Phoa Kin sian sendiri juga berpaling kearah lain sambil
tunduk terpekur.
Baru saja Suma Bing hendak membuka mulut bertanya,
terdengarlah sebuah suara halus lirih seperti bunyi nyamuk
terkiang dalam telinganya: "Buyung, Lohu ada sedikit paham ilmu
meramal. Dalam jangka seratus hari ini istrimu bakal tertimpa
suatu bencana, maka ber-hati2 dan waspadalah!"
Berobah airmuka Suma Bing. Seorang aneh dan kenamaan seperti
Kang kun Lojin pada jamannya dulu, sudi menggunakan ilmu coan
im jip bit untuk memperingati dirinya, sudah tentu bukan bualan
belaka. Entah mala petaka apakah yang bakal menimpa diri Phoa
Kin sian, sebab saat ini dia tengah mengandung, kalau ada kejadian
apa2, bukankah... Karena batinnya ini tanpa terasa tubuhnya
bergidik dan merinding.
Pandangan Kang kun Lojin beralih menyapu kepada gandarwa
merah Ngo Tang, katanya: "Lepaskan dia!"
Kata2nya ini seolah2 mengandung suatu kekuatan yang tidak
terbendung, gandarwa merah Ngo Tang mundur ketakutan,
hilanglah sikap angkuh dan kegarangannya tadi, sahutnya
tergagap: "Apakah cianpwe ini yang bernama Kang kun Lojin?"
"Hm, tepat sekali!" Lagi2 berobah airmuka gandarwa merah,
kata Ngo Tang:
"Wanpwe menerima tugas dan terpaksa..."
"Kau lepaskan dia dulu!"

"Baiklah!" Segera Gandarwaa merah melepaskan Pit Yau ang.
Karena sedikit teledor maka Pit Yau ang sampai teringkus
oleh lawan, gemes dan dongkol benar hatinya. Maka begitu
dirinya dilepas tanpa tanggung2 lagi segera tangannya diayun
terus menggablok membalik. 'Plak' kontan gandarwa merah
terhuyung lima langkah sambil meringis kesakitan.
"Siau ang kau mundur!" seru Kang kun Lojin sambil mengulapkan
tangan.
Ter-sipu2 Pit Yau ang mengundurkan diri kesamping Suma Bing.
Wajah Kang kun Lojin berobah serius, katanya kepada gandarwa
merah Ngo Tang: "Aku orang tua bekerja selamanya tidak
kepalang tanggung, dalam jangka sebulan. Pit Gi pasti menepati
janjinya pergi ke Telaga air hitam. Sekarang kau boleh pergi!"
Tanpa banyak bercuit lagi, segera gandarwa merah melejit tinggi
terus menghilang.
Alis Pit Yau ang berkerut dalam, katanya: "Paman, sebenarnya ada
pertikaian apakah antara ayah dengan majikan Menara iblis?"
Sahut Kang kun Lojin sambil mengipas2: "Tentang itu kau tanya
sendiri kepada ayahmu."
"Selamanya tidak pernah dengar dia menyinggung tentang urusan
ini?"
"Sudah tentu tidak semua urusan terus bercerita kepada kau.
Sekarang segera kau kembali ke Perkampungan bumi, suruh
ayahmu dalam sebulan ini menepati janji. Kalau aku orang tua
sudah mewakilinya berkata, janji ini tidak dapat tidak harus,
ditepati.
"Akan tetapi..."

"Bagaimana, berat meninggalkan suami mudamu ini?" "Tua2
keladi, semakin tua semakin jadi!" semprot Pit Yau
ang dengan muka merah dan malu. Suma Bing sendiri juga
merasa mukanya panas. Kata Kangkun Lojin sungguh2: "Kalau
majikan Menara iblis
mengutus orang untuk meringkus kau buat memaksa ayahmu
keluar, pasti urusan ini bukan sembarang urusan, kau harus
segera kembali, supaya dia bisa bersiap sebelumnya!"
"Biar Titli mengutus orang memberi kabar..." "Tidak boleh,
sekarang juga kau harus pulang sendiri." Keadaan Pit Yau ang
serba susah dipandangnya Kangkun
Lojin dengan sorot tanda tanya, lalu berpaling kearah Suma Bing,
katanya: "Engkoh Bing, kapan kau akan pulang kampung?"
Suma Bing tertawa kecut, sahutnya: "Aku...?" "Masa kau..."
"Urusanku belum selesai, kapan aku kembali susah
ditentukan." sambil berkata sorot matanya melirik kearah Phoa Kin
sian, selalu dia merasa mengganjal dalam hati, lirikan selayang
pandang ini mengandung rasa penyesalan yang dalam. Sebaliknya
Phoa Kin sian mengunjuk tertawa tawar saja.
Pit Yau ang menghampiri kearah Phoa Kin sian dan berkata: "Cici,
kau sudah berjanji hendak menetap bersama Engkoh Bing di
perkampungan bumi bukan?"
"Ya, dulu aku pernah berjanji!" "Sekarang saja kau berangkat
dulu bersama aku?" "Jangan, masih ada urusan pribadiku yang
belum selesai
kukerjakan."

"Urusan pribadi apa?" "Saat ini tidak leluasa kuberitahukan
kepadamu, tapi ada
sebuah pertanyaan hendak kutanya kepada kau..." "Silahkan cici
katakan." "Apa kau benar2 cinta dia?" "Ini... apa maksud cici?"
"Jawablah menurut isi hatimu." "Ya, memang aku cinta dia, malah
perkawinan kita sudah
direstui oleh orang tuaku." "Harap selalu ingatlah perkataanku ini,
berilah bahagia
kepada dia." Pit Yau ang mengunjuk rasa tak mengerti dan
termangu
heran, katanya: "Cici, mengapa kau berkata demikian?" "Kelak kau
akan paham!" Alis Suma Bing berkerut semakin dalam, ucapan
atau
kisikan Kangkun Lojin tadi membuatnya risau dan was2. Pikirnya,
apa benar2 dalam jangka seratus hari ini Phoa Kin sian bakal
tertimpa malapetaka? Ini benar2 menakutkan cara yang sempurna
untuk mengatasinya adalah segera dirinya mengantar tiba Hoan
hun tan kedalam solokan untuk menolong bibinya Ong Fong jui,
lalu secara diam2 memberi kisikan kepada bibinya supaya
mengawasinya selalu tanpa berpisah selangkahpun juga.
Karena pikirannya ini hatinya sedikit terhibur dan dada terasa
lapang.
Terdengar Kangkun Lojin mendesak lagi: "Siau ang, kau segera
berangkat!"
Dengan penuh rasa berat Pit Yau ang ambil berpisah kepada
mereka bertiga terus berlari menghilang dikejauhan sana.

Kangkun Lojin kebutkan lengan bajunya serta berkata: "Aku orang
tua juga harus pergi. Buyung, selamat bertemu!"
"Selamat bertemu!" Begitu habis ucapannya bayangan Kangkun
Lojin juga
lantas menghilang. Suma Bing terlongong memandangi Phoa Kin
sian, hatinya
penuh diliputi kuatir dan ketakutan. Kata Phoa Kin sian sambil
mengulum senyum: "Engkoh
Bing, kenapa kau pandang aku demikian?" "Oh, tidak apa2." Sudah
tentu dia tidak akan memberitahukan kisikan
Kangkun Lojin kepada Phoa Kin sian. "Agaknya kau ada urusan
apa2 yang mengganjal hatimu?" "Adik Sian, jejak adikmu..."
Berobah gelap air muka Phoa Kin sian, sahutnya lesu:
"Belum ketemu!" Tanpa terasa tenggelam juga perasaan Suma
Bing. Pedang
darah dibawa lari oleh Phoa Cu giok ini benar2 mempengaruhi
segala rencananya. Tapi orang itu adalah adik iparnya sendiri, dia
hanya dapat mengeluh dalam hati, maka katanya apa boleh buat:
"Cari saja pelan2, tak perlu tergesa2."
"Tidak, engkoh Bing, aku harus terus mencarinya sampai
ketemu."
"Urusan ini biarlah serahkan saja kepadaku..." "Tidak
mungkin..." "Kenapa tidak mungkin?" "Dia seorang kukuh yang
senang membawa adatnya
sendiri, aku tidak suka terjadi hal2 yang jelek akibatnya."
"Kau tidak perlu kuatir, aku pasti..."

"Sudah kukatakan tidak mungkin!" "Tapi keadaanmu saat ini
tidak leluasa banyak bergerak!" "Kenapa?" "Sebab kau...
sedang mengandung dan tak lama lagi bakal
melahirkan!" Ucapan Suma Bing ini setengah benar, tujuan Suma
Bing
adalah supaya dia tidak berkelana seorang diri, karena dia kuatir
ramalan Kangkun Lojin bisa menjadi kenyataan, itulah sangat
menakutkan.
Kata Phoa Kin sian tawar: "Itu tidak menjadi soal, toh bukan
hendak bertempur mati2an."
"Tapi aku tidak izinkan kau berbuat begitu!" Merah mata Phoa
Kin sian, air mata sudah berlinang
dikelopak matanya, ujarnya sedih: "Engkoh Bing, aku hanya punya
seorang adik yang nakal dan tak genah ini, menurut pesan ayah
dan bunda aku harus menjaga dan melindunginya. Mungkin ini
kesalahanku, akulah yang terlalu memanjakan sehingga dia
menyeleweng dan tersesat. Kalau aku tidak mencarinya kembali,
pasti dia bakal melakukan sesuatu hal yang siapapun tidak berani
membayangkan akibatnya..."
"Mari kita pulang dulu menilik bibi Jui!" "Dia, kenapakah Suhu?"
"Untuk menyembuhkan luka dalamku karena tersesat
dalam latihan, saat ini masih dalam keadaan pingsan!" "Oh, lalu..."
"Aku sudah dapat memohon sebutir Hoan hun tan, kau
tidak perlu kuatir." "Syukurlah, mari
cepat pulang!"

Berbareng mereka berlarian melanjutkan perjalanan menuju
kesolokan yang tidak bernama itu.
Hati Suma Bing masih merasa was2 dan kuatir, dia tidak tahu
apakah Hoan hun tan ini benar2 manjur atau tidak. Kalau tidak
manjur, bukankah bibinya bakal tertidur untuk selama2nya.
Hari itu, Suma Bing suami istri sudah tiba didepan solokan dimana
sembilan hari yang lalu Suma Bing pergi mencari obat.
Segera Suma Bing me-nekuk2 jari menghitung, lalu katanya: "Adik
Sian, bahaya betul, hari ini kebetulan adalah tepat hari kesepuluh!"
Baru saja selesai ucapannya, mendadak dari empat penjuru
bermunculan beberapa bayangan manusia. Orang terdepan yang
memimpin rombongan pendatang tidak diundang ini tak lain
adalah ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong dan perempuan setengah
umur yang cantik molek bersama Loh Cu gi itu.
Kontan timbul nafsu membunuh Suma Bing, dia mereka dalam
hati, kalau toh perempuan molek ini sudah mengunjuk diri, pasti
Loh Cu gi sendiri juga turut hadir disini, dendam dan sakit hati
mulai bergolak dalam darahnya yang mulai deras mengalir. Diam2
ia merogoh kantong dan mengeluarkan Hoan hun tan terus
diserahkan kepada Phoa Kin sian, serta katanya: "Adik Sian, segera
kau menyingkir, bibi rebah diatas pembaringan kamar dalam, lebih
penting kau pergi menolong jiwanya!"
"Lalu kau bagaimana?" "Hendak kubunuh semua para kurcaci
rendah ini!" "Kita bersama ganyang mereka dulu baru masuk
kedalam!" "Jangan, segala urusan susah diramalkan, jangan
kau main
kelakar dengan jiwa bibi. Hari ini adalah hari terakhir."
"Apa kau cukup kuat menghadapi mereka?"

"Mereka sudah mendesak tiba, lekas kau pergi. Jangan sampai
diketahui rahasia dalam solokan dibawah sana."
"Hm, kalau ada orang berani masuk kesolokan sana, berarti
mereka mencari mati!"
"Adik Sian lekas pergi!" Phoa Kin sian ulurkan tangan
menyambuti Hoan hun tan
terus melejit tinggi berlari keluar... "Lari kemana?" ditengah suara
bentakan yang riuh rendah,
empat orang jagoan dari Bwe hwa hwe maju mencegat jalan
larinya.
"Cari mati!" terdengar Suma Bing juga menghardik keras terus
berkelebat maju.
Belum sempat Suma Bing turun tangan empat jagoan Bwe hwa
hwe yang mencegat jalan keluar Phoa Kin sian itu baru saja terpaut
setombak didepan Phoa Kin sian, mendadak melolong tinggi terus
roboh kelejetan, jiwanya lantas melayang.
Tanpa terasa Suma Bing sendiri juga tertegun heran, cepat2 ia
hentikan langkahnya.
Maka terdengarlah seruan kejut dan kaget saling susul dari empat
penjuru:
"Ha racun!" "Awas sundel ini menebarkan racun!" Dalam
keributan itulah sekejap mata saja Phoa Kin Sian
sudah lolos keluar dari kepungan. Keadaan yang diluar dugaan
ini, benar2 membuat ciut dan
gentar nyali setiap jagoan dari Bwe hwa hwe. Mendadak Suma
Bing memutar tubuh menghadap kearah
Ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong dan perempuan cantik itu.
Wajahnya membeku diliputi hawa membunuh. Musuh2nya

yang mengepung diempat penjuru mulai mendesak maju, tiga
orang satu kelompok, dua orang satu iringan. Tercekat hati Suma
Bing, terang lawan agaknya tengah mengatur satu barisan untuk
mengepung dirinya.
Terdengar Ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong tertawa menyeringai,
ujarnya: "Suma Bing, kau menyerah saja untuk diringkus!"
Suma Bing mendengus, jengeknya: "Chiu Thong, hari ini kau pasti
mati!"
Baru saja suaranya lenyap, tahu2 tubuhnya sudah berkelebat tiba
didepan ketua Bwe hwa hwe itu, terus kirim sebuah pukulan
mengarah dada...
Gerak-geriknya ini adalah menggunakan ilmu Bu siang sin hoat,
kecepatannya susah diikuti oleh pandangan mata, tapi begitu
tangannya menyerang mendadak ia kehilangan bayangan
musuhnya. Malah pada saat itu juga ia rasakan beberapa jalur
angin pukulan melanda tiba dari berbagai jurusan menyerang
dirinya, benar2 hebat angin pukulan gabungan ini, kontan Suma
Bing terpental balik ketempat asalnya lagi.
--ooo0dw0ooo--
40. BWE HWA HWE KONTRA PERKAMPUNGAN BUMI.
Sungguh kejut Suma Bing bukan kepalang, terang dirinya
sudah terkepung dalam barisan, barisan apa yang diatur oleh
musuhnya dia juga tidak tahu.
Terdengar perempuan cantik itu tertawa genit, serunya: "Suma
Bing, kau benar2 hebat dapat lolos dari kurungan

penjara bawah tanah. Tapi hari ini seumpama kau tumbuh sayap
juga jangan harap dapat terbang keluar."
Suma Bing mengertak keras: "Siluman rase, aku ingin jiwamu!"
Kiu yang sin kang dikerahkan sampai sepuluh bagian terus
dihantamkan keluar. Sejak minum darah pusaka naga bumi.
Lwekangnya sudah tambah berlipat ganda, maka diantara angin
pukulannya itu samar2 sudah mengandung berkelebatnya sinar
merah.
Sedikit bergoyang badan perempuan cantik setengah umur itu
tahu2 sudah menggeser kedudukan. Maka pukulan Suma Bing
yang mengejutkan ini mengenai tempat kosong lagi.
Kata ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong dengan nada mengancam:
"Suma Bing, kalau kau ingin melawan itulah mimpi belaka, kau
seorang laki2 harus tahu diri dan pasrah nasib saja, jikalau barisan
ini kugerakkan, kau Sia sin kedua tidak lebih seperti anjing yang
bergulingan diatas tanah saja."
Hampir meledak dada Suma Bing, bukan saja karena diejek dan
dihina, adalah kedua kali pukulannya yang mengenai tempat
kosong tadi menurunkan semangat tempurnya. Disinilah baru ia
sadari sebelum mengetahui seluk beluk barisan ini janganlah
sembarangan bergerak, itu akan sia2 dan menghabiskan tenaga
saja. Maka dia menahan gusar dan menekan perasaan, matanya
tajam dan memasang kuping bersiaga mencari kesempatan untuk
lolos.
Perempuan cantik setengah umur itu berseri girang, katanya
kepada Chiu Thong: "Thongji, gerakkan barisan, supaya tidak
membawa buntut dikelak kemudian hari..."
Ketua Bwe hwa hwe sedikit mengangguk terus angkat sebelah
tangan memberi aba2...
Dalam sekejap itu bayangan orang terus berkelebatan, angin
pukulan juga terus bergulung dan menerjang tiba dari

empat penjuru seperti angin lesus, suara benturan yang
menggelegar tak henti2nya sehingga memekakkan telinga, angin
pukulan yang dahsyat seumpama gugur gunung terus melanda
bergantian menerjang ketengah dari berbagai penjuru terus
menebar dan berputar balik lagi...
Betapapun Suma Bing sudah menggunakan seluruh kekuatannya
untuk melindungi tubuh, bagaimana juga susah mengendalikan
badan sendiri, tubuhnya tergoyang gontai dan sempoyongan
kekanan kiri terbawa arus angin pukulan yang mengekang dari
luar. Kekuatan pukulan sendiri juga amblas ditelan gelombang
pukulan gabungan para musuhnya tanpa meninggalkan jejak.
Dalam keadaan demikian, betapa tinggi juga Lwekangnya, pasti
takkan kuat bertahan selama sepeminuman teh, pada saat itu mau
tak mau dia harus mandah menyerah dan diringkus saja. Sungguh
dia sangat menyesal, sebetulnya dia sudah harus bergerak sebelum
lawan sempat atau sempurna mengatur barisannya, tapi sekarang
sudah terlambat, sesal kemudian tak berguna.
Sang waktu sedetik menuju kesemenit terus berjalan tanpa
menanti. Keadaan Suma Bing sudah semakin payah, karena
tenaga tidak dapat mengimbangi kekerasan hatinya, tubuhnya
terus bergulingan mengikuti arus angin pukulan yang keras
ber-gulung2. Keadaan ini sangat berbahaya, sungguh dia tidak
berani membayangkan kalau dirinya sudah kehabisan tenaga dan
mandah diringkus oleh musuh. Loh Cu gi adalah musuh
bebuyutannya, kalau dirinya terjatuh ditangan orang2 Bwe hwa
hwe, kematian hanyalah bagiannya.
Pada saat itulah, mendadak terdengar berbagai seruan kejut dan
pekik kesakitan, barisan yang mengepung itu menjadi ribut dan
kocar kacir, kekuatan angin pukulan yang mengekang dirinya juga
susut sebagian besar.
Suma Bing menenangkan pikiran dan menghimpun semangat, kini
dengan gampang saja dia dapat menerjang keluar dari kepungan
barisan musuh, waktu matanya

menyapu kesekelilingnya, tampak dua orang berseragam hijau
dan berpuluh orang hitam tengah bertempur seru melawan para
jagoan Bwe hwa hwe.
Terutama kedua orang seragam hijau itu, bagai banteng ketaton
dan harimau kelaparan, cara bertempurnya hebat luar biasa,
dimana terlihat tangan bergerak dan kaki menendang lantas
terdengar seruan kesakitan. Maka dalam sekejap mata saja mayat
bergelimpangan diatas tanah, jumlahnya tidak kurang dari
duapuluh lebih.
Sekali pandang Suma Bing sudah jelas bahwa mereka ini tak lain
adalah anak buah dari Perkampungan bumi. Kedua orang
seragam hijau itu tidak lain adalah Sim tong Tongcu Song Liep
hong dan Bu tong Tongcu Pau Bing sam.
Bahwa Sim dan Bu dua Tongcu datang tepat pada waktunya
memecahkan barisan dan menolong jiwanya, hal ini benar2 diluar
dugaan Suma Bing.
Betapa gusar dan murka perempuan cantik setengah umur itu dan
Chiu Thong kelihatan pada mimik wajahnya yang merah padam,
susahlah dilukiskan betapa geram hati mereka. Maka terdengar
Chiu Thong membentak keras: "Berhenti!"
Gelanggang pertempuran seketika sunyi senyap. Menggunakan
kesempatan ini, segera Sim dan Bu dua
Tongcu maju menghadap Suma Bing sambil memberi hormat:
"Sim tong Tongcu Song Liep hong menghadap Huma!"
"Bu tong Tongcu Pau Bing san menghadap Huma!" Berkerut alis
Suma Bing, katanya acuh tak acuh:
"Sudahlah!" "Terima kasih kepada Huma!" "Kalian
berdua sejak kini panggil saja namaku..." "Hamba
tidak berani."

Semua jagoan Bwe hwa hwe dari sang Ketua sampai anak
buahnya sama pandang memandang, sungguh tidak nyana bahwa
Sia sin kedua ternyata sudah menjadi Huma (menantu raja) hal ini
sebelumnya tidak diketahui oleh mereka.
Segera Bu tong Tongcu Pau Bing sam maju sambil membungkuk
tubuh serta berseru: "Harap Huma memberi petunjuk bagaimana
kita harus bertindak!"
Sorot mata Suma Bing yang mengandung nyala kebencian
menyapu keseluruh gelanggang lalu serunya: "Harap kalian
pimpin semua anak buahmu menjaga empat penjuru, jangan
lepaskan satu orangpun."
"Terima perintah!" Tiba2 perempuan cantik setengah umur
mendesak maju
kearah Song Liep hong serta tanyanya: "Tuan ini dari aliran atau
golongan mana?"
Sebelum menjawab Song Liep hong memandang dulu Suma
Bing...
Segera Suma Bing yang menyanggah: "Jangan banyak mulut
ladeni dia, jalankan perintah!"
"Baik!" Begitu kedua Tongcu ini keluarkan perintahnya, semua
anak buahnya yang berseragam hitam segera berpencar keempat
penjuru mengepung diluar barisan. Jadi situasi dalam gelanggang
kini berobah, pihak Bwe hwa hwe yang semula mengepung kini
berganti dikepung.
Sorot pandangan dingin Suma Bing menatap Ketua Bwe hwa hwe
tajam2, desisnya: "Chiu Thong, biar kusempurnakan kau dulu!"
Tanpa terasa Ketua Bwe hwa hwe mundur satu langkah. Segera
lima jagoannya melejit tiba menghadang dihadapannya untuk
melindungi sang Ketua.

Pelan tapi pasti selangkah demi selangkah Suma Bing mendesak
maju, mimik wajahnya semakin gelap dirundung kekejaman yang
buas. Situasi sangat tegang mencekam hati.
"Minggir!" disertai gertakan nyaring ini, mendadak Suma Bing
menggerakkan kedua tangannya, dengan kekuatan himpunan
Lwekangnya sekarang, betapa dahsyat pukulannya ini susahlah
diukur. Maka dimana angin pukulannya melanda, kontan terdengar
jerit dan pekik kesakitan saling susul, tiga bayangan manusia
terpental terbang sedang dua yang lain ter-guling2 dengan muntah
darah.
Bola mata Ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong merah membara,
sambil mengertak keras ia menerjang maju sambil menyerang
dengan satu pukulan. Pukulannya ini sungguh hebat dan aneh
sekali, jarang terlihat dalam dunia persilatan gaya serangan
semacam ini.
Tanpa berkelit atau menyingkir, Suma Bing malah memutar kedua
tangannya terus memapak pukulan lawan secara kekerasan.
Keruan kaget Ketua Bwe hwa hwe bukan kepalang, serta merta
gerak geriknya menjadi lamban dan ragu-ragu.
Sementara itu sambil tertawa ejek tangan kanan Suma Bing
bergerak melintang terus menyelonong menjojoh dada musuh,
baru saja serangannya ini sampai ditengah jalan disusul pula oleh
serangan tangan kiri, kecepatannya bagai kilat berkelebat. Tersipu2
Ketua Bwe hwa hwe menjejakkan kaki melejit menyingkir. Dalam
waktu yang bersamaan ini, dari sebelah belakang perempuan cantik
setengah umur itu juga melancarkan serangan membokong
punggung Suma Bing.
Mendadak Suma Bing kembangkan ilmu gerak kelit dari ilmu Bu
siang sin hoat, tubuhnya berputar dan menggeser kedudukan
selicin belut, maka tahu2 bayangannya sudah menghilang, terus
terdengar dua kali seruan kaget dan kesakitan. Perempuan cantik
setengah umur bersama Ketua Bwe hwa hwe sama terhuyung
mundur, wajah mereka pucat

pias, terang mereka sudah terluka dalam yang bukan ringan oleh
pukulan Suma Bing.
"Chiu Thong, kau rebahlah!" ditengah suara hardikan yang keras
ini, terdengar pula lolong kesakitan, tampak ketua Bwe hwa hwe
terhuyung limbung hampir roboh sambil muntah darah, tapi
akhirnya meloso diatas tanah.
Tujuh bayangan manusia serempak berkelebat merintang
didepannya.
"Kalian cari mati!" Kiu yang sin kang menerbitkan gelombang
dahsyat seumpama lahar gunung berapi menerpa kearah tujuh
musuhnya yang berani coba2 merintangi. Maka terdengar pula jerit
dan pekik menyayatkan hati saling susul, ketujuh tubuh manusia
itu juga lantas beterbangan sungsang sumbel keempat penjuru.
Bertepatan dengan saat itulah, mendadak terlihat selarik sinar
merah disertai suara mendesis langsung meluncur kearah Suma
Bing.
Se-konyong2 bayangan Suma Bing menghilang dan berputar
secepat angin lesus, tahu2 dia sudah menggeser kedudukan tiga
tombak jauhnya dari tempat ia berdiri semula.
Sambil melambaikan angkin merahnya perempuan cantik setengah
umur itu menatap kearah Suma Bing dengan pandangan ber-api2.
Kiranya selarik sinar merah tadi bukan lain adalah kain ikat
pinggangnya itu yang dibuat senjata untuk menyerang Suma Bing.
Kalau tidak mengandalkan kesaktian Bu siang sin hoat, sungguh
sulit bagi Suma Bing dapat lolos dari serangan senjata lemas ini.
Maka sambil mengempit Ketua Bwe hwa hwe, berkatalah
perempuan cantik setengah umur suaranya gemetar: "Suma Bing,
selamat bertemu!"
Keras2 Suma Bing menjengek hidung, ejeknya: "Kau masih
hendak lari?"

Sekali menjejakkan kaki perempuan setengah umur itu melejit
jauh terus berlari keluar membobol kepungan...
"Kembali!" sekali berkelebat tahu2 Suma Bing sudah mencegat
didepannya terus menghantam kearah musuhnya. Kontan dengan
telak perempuan setengah umur itu terpental mundur bebeberapa
langkah.
Maka para jagoan Bwe hwa hwe lainnya beramai2 berlarian keluar
hendak menyelamatkan jiwa sendiri. Tapi mereka tercegat dan
dirintangi oleh anak buah Perkampungan bumi yang sudah
mengepung mereka.
Dalam keadaan yang terpaksa dan terdesak ini, maka berkatalah
perempuan cantik setengah umur itu: "Suma Bing, apa yang
hendak kau perbuat?"
"Aku ingin jiwa kalian!" ancaman yang mengandung keanyiran
darah ini benar2 menggiriskan semua pendengarnya.
Terang Ketua Bwe hwa hwe sudah terluka parah, perempuan
setengah umur ini juga tidak ringan lukanya, mana dia kuat
bertahan, ditambah para anak buah Perkampungan bumi juga
bukan sembarangan jagoan silat, pula mereka sudah berjaga
diempat penjuru. Bagi Suma Bing untuk menyapu habis seluruh
jagoan Bwe hwa hwe bukanlah suatu hal yang sukar seumpama
membalik tangan saja gampangnya.
Setelah menyapu pandang keseluruh gelanggang, berserulah Suma
Bing: "Awas, aku hendak turun tangan."
Peringatannya ini berarti dimulainya pembunuhan besar2- an,
keruan semua jagoan Bwe hwa hwe bergidik ketakutan.
Pada waktu itulah se-konyong2 sebuah bayangan orang meluncur
tiba memasuki gelanggang.
Waktu pandangan Suma Bing menatap kearah bayangan yang
baru tiba ini, tanpa terasa tergetar hatinya.

Ternyata pendatang baru ini bukan lain adalah gadis serba hitam
yang pernah bersua didalam gedung kelenteng bobrok di Sengtoh
tempo hari, yaitu murid Pek chio Lojin yang mengaku bernama
Siau ling.
Sambil mengerling tajam berkatalah gadis serba hitam itu dengan
dingin: "Suma Bing, kita bertemu lagi?"
Suma Bing manggut2, sahutnya: "Benar, kedatangan nona ini..."
"Suma Bing, apa kau masih ingat janji kita tempo hari?" Suma
Bing tertegun, sahutnya: "Tentu masih ingat!" "Kau masih
utang satu syarat kepadaku, ya benar!" "Ya." "Kalau begitu,
sekarang juga nonamu hendak menagih
hutangmu itu!" "Sekarang?" "Ya, sekarang juga!" "Dapatkah nona
memberi kelonggaran supaya aku dapat
menyelesaikan urusanku disini dulu?" "Tidak bisa!" Suma Bing
serba salah dan tak habis mengerti. Naga2nya
kedatangan gadis seragam hitam yang tepat pada waktunya ini
bukan secara kebetulan belaka. Tapi untuk memohon sebutir Hoan
hun tan dirinya pernah melulusi satu syarat apapun juga sebagai
penggantian, seorang laki2 harus menepati apa yang pernah
diucapkan, mana boleh ingkar janji, maka katanya sambil kertak
gigi: "Baik, katakanlah!"
Gadis serba hitam menyeringai sinis, ujarnya: "Suma Bing sebelum
kuajukan syaratku ini perlu kiranya aku memperkenalkan diri!"
"Bukankah, kau murid Pek chio Lojin?"

"Benar sih benar, tapi yang kumaksud adalah asal usulku!"
"Cayhe tidak ingin mengetahui riwayat hidup nona, lebih
baik..." "Kau perlu dan harus mengetahui!" "Mengapa?" "Supaya
kau dapat mati dengan meram!" Suma Bing tertawa hambar
ujarnya: "Kata2 seorang laki2
sejati pasti dapat dipercaya, berani bersumpah pasti berani mati,
cayhe tidak akan menyesal."
"Ya, nanti setelah aku memperkenalkan siapa diriku, kau takkan
berani berkata demikian!"
"Kalau begitu silahkan katakan!" "Aku bernama Loh Siau ling!"
Suma Bing melengak tanyanya: "Kau she Loh?" "Benar, inilah
ibuku bernama Ang siu li Ting Yan!" sambil
berkata ia menunjuk perempuan setengah umur itu. Keruan
berobah airmuka Suma Bing, suaranya tergetar:
"Dia adalah ibumu?" "Tidak salah!" "Jadi kau ini adalah putri Loh
Cu gi?" "Tepat sekali!" Saking geram timbul nafsu membunuh
Suma Bing, desisnya
bengis: "Aku harus membunuhmu". Loh Siau ling mengekeh
dingin, jengeknya: "Suma Bing,
bayar dulu syarat yang kuajukan ini!" Mimpi juga Suma Bing tidak
menyangka bahwa gadis serba
hitam ini ternyata adalah putri Loh Cu gi musuh

bebuyutannya, maka katanya lagi: "Aku harus membunuh kau!"
"Suma Bing, kau ini seorang ksatria?" "Kenapa bukan?" "Apakah
ucapanmu dapat dipercaya" "Tentu!" "Kalau begitu dengar dulu
syarat yang harus kuajukan." Apa boleh buat, Suma Bing
mengertak gigi serunya:
"Katakan!" Kata Loh Siau ling mengulum senyum: "Syaratku ini
sangat
gampang, kau tutuk sendiri jalan darah mematikan!" Saking kaget
Suma Bing terhuyung tiga langkah, serunya
gusar: "Tidak mungkin!" Loh Siau ling menjengek dingin,
umpatnya: "Suma Bing,
jadi ucapanmu dulu itu adalah kentut belaka?" Bayangan kematian
membuat seluruh tubuh Suma Bing
merinding bergidik. Kalau dirinya harus menutuk sendiri jalan darah
yang mencacatkan badan, bukankah berarti juga menghendaki
jiwanya, malah mungkin akibatnya lebih mengenaskan dari
kematian.
Baru sekarang ia sadar telah tertipu dan masuk perangkap lawan,
namun menyesal juga sudah kasep. Apakah dia harus menepati
janjinya dengan syarat yang kejam ini? Bukankah menjadi
makanan empuk dan enak bagi musuh besarnya ini? Sakit hati
orang tua! Dendam perguruan, semua ini merangsang benaknya.
Setelah di-pikir2, lalu dia berkata: "Janjiku pasti dapat kutepati, tapi
setelah kamu sekalian sudah menjadi mayat baru bisa
kulaksanakan!"
Loh Siau ling membentak bengis: "Suma Bing, tidak malukah kau
berkata demikian, jikalau aku tidak menjelaskan

asal-usulku, jikalau waktu di Yok ong bio aku mengajukan syarat
yang sama ini, apakah kau ragu2 dan bimbang? Apakah kau bakal
mengeluarkan perkataanmu tadi?"
Cep kelakep, Suma Bing bungkam seribu basa tidak dapat
menjawab. Memang waktu di Yok ong bio dulu, kalau Loh Siau
ling mengajukan syaratnya ini pasti tanpa ragu2 dia menerima
syaratnya itu, sebab dia ingin sebutir Hoan hun tan untuk
menolong jiwa bibinya Ong Fong jui, sebab dia tidak ingin bibinya
mati karena dirinya.
Tapi, hakikatnya adalah dia tidak rela mati begitu saja ditangan
putri musuh besarnya! Namun ini adalah pilihan keputusan antara
mati atau hidup, juga merupakan perbedaan batas antara sumpah
dan ingkar janji. Keadaan gelanggang seketika sunyi hening,
namun masih dilingkupi suasana tegang dan hawa pembunuhan.
Terdengar Loh Siau ling berkata lagi: "Suma Bing, kalau kau
hendak menjilat ludahmu sendiri, katakan saja, nonamu ini tidak
akan peduli lagi!"
Di b awah g e n c e t a n a n t a r a d e nd am k e s uma t d a n r a s a
k e b e n c i a n y a ng me l u a p 2 , h amp i r s a j a S uma B i n g
t e r t e k a n me ng g i l a , s e r u ny a g e r am s amb i l
me n g e r t a k g i g i : " Su n g g u h me n g g e l i k a n , a k u S uma
B i n g s e o r an g l a k i 2 ma s a h a r u s i ng k a r j a n j i t e r ha d ap
s "Keaolarua bnegg itpue, rseegmerpaulaahn t!u"ru n tangan, tutuklah jalan darah
pencacatmu!"
Lagi2 Suma Bing terhuyung mundur satu langkah... Mendadak
diantara kelompok jagoan Bwe hwa hwe
terdengar seruan kaget dan ketakutan be-ramai2 mereka menyiak
kedua samping, maka terbentang sebuah jalanan. Tampak seorang
orang aneh yang seluruh tubuh berwarna hitam tengah melangkah
memasuki gelanggang sambil berlenggang, dia tak lain tak bukan
adalah Racun diracun.

Serta merta Suma Bing menelan setengguk ludah. Lagi2 seorang
musuh yang harus dia bunuh telah datang.
Begitu memasuki gelanggang, dengan sorot pandangan dingin
Racun diracun menyapu pandang keseluruh gelanggang, lalu
berkata kepada Loh Siau ling: "Kau ini yang menginginkan Suma
Bing menutuk sendiri jalan darah pencacat tubuhnya?"
"Memang begitulah kejadiannya!" sahut Loh Siau ling sambil
manggut2.
"Mengapa?" "Mengajukan syarat!" "Syarat apa?" "Ini bukan
urusanmu tuan!" "Belum tentu!" "Jadi tuan juga ingin
menangguk diair keruh?" "Harus kulihat dulu, ini urusan apa
dan untuk kepentingan
apa?" Sepasang bola mata Loh Siau ling yang bening cemerlang
berputar, lalu katanya: "Ini aku boleh beritahu kepadamu. Suma
Bing mohon sebutir Hoan hun tan kepadaku, dia sendiri yang
minta supaya aku mengeluarkan syarat apapun untuk mengganti
obatku itu..."
"Maka syarat nona itu adalah menyuruh dia menutuk jalan darah
sendiri supaya cacat tubuhnya?"
"Tidak salah!" "Bukankah keinginanmu ini terlalu kejam?"
"Suma Bing boleh mengingkari janji atau tidak setuju
dengan syaratku yang kuajukan kalau dia merasa itu terlalu
kejam, telengas atau keji!"

Semprot Suma Bing dengan geramnya: "Kau jangan banyak mulut
untuk mengekang aku, tidak nanti aku Suma Bing ingkar janji
terhadap kau!" Lalu dia berpaling menghadapi Racun diracun,
serunya: "Urusan cayhe ini harap tuan jangan turut campur!"
Racun diracun menjengek dingin, ejeknya: "Suma Bing, benar2
kau ingin mati?"
Sikap Suma Bing tetap angkuh dingin, sahutnya: "Urusanku tidak
perlu tuan turut kuatir!"
Racun diracun mengekeh panjang, katanya: "Suma Bing, sakit hati
orang tuamu belum kau balas, dendam perguruan juga belum kau
himpas. Kalau sekarang kau membawa adatmu sendiri, kau akan
menjadi seorang berdosa sepanjang masa, seorang anak yang
tidak berbakti dan tidak mengenal kebajikan!"
Mendengar tegoran yang menusuk hati ini, tergetar seluruh tubuh
Suma Bing, jidatnya basah oleh keringat, bukan dia tidak tahu,
adalah karena terbawa oleh sifat angkuh dan keras kepalanya
membuat dia malu untuk ingkar janji seumpama jiwa sendiri harus
melayang juga harus dilakoni.
Sementara itu perempuan cantik setengah umur itu tengah
menghimpun tenaga dengan tekun untuk mengobati luka parah
Chiu Thong. Semua jagoan Bwe hwa hwe tengah mengunjuk sorot
mata yang penuh pengharapan menatap kearah Loh Siau ling.
Tanpa menghiraukan Suma Bing lagi, Racun diracun membalik
menghadapi Loh Siau ling, tanyanya: "Siapa namamu?"
"Aku bernama Loh Siau ling!" "Ada permusuhan atau dendam
sakit hati apa antara kau
dengan Suma Bing?" agaknya Racun diracun belum mengetahui
bahwa Loh Siau ling ini adalah putrinya Loh Cu gi.

Loh Siau ling merasa sebal, katanya tak sabar: "Tuan benar2
hendak turut campur?"
"Boleh dikata demikian!" "Jadi tuan hendak membantu Suma
Bing untuk
mengingkari sumpahnya?" "Ini belum tentu, apa kau tahu
akibatnya setelah kau
mengajukan syaratmu itu?" "Akibat apa?" "Bwe hwa hwe akan
hancur dalam sekejap mata!" "Huh, mengandal kau tuan, apa
mampu?" "Kau tahu siapa2 yang menjaga diluar lingkungan itu?"
"Siapa?" balas tanya Loh Siau ling acuh tak acuh. "Sim dan Bu dua
Tongcu serta anak buahnya dari
Perkampungan bumi." Mendengar keterangan ini, semua anak
buah dari Bwe hwa
hwe terperanjat dan gentar sungguh tidak mereka sangka bahwa
musuh yang mengepung diluar itu ternyata adalah anak buah
Perkampungan bumi yang merupakan salah satu tempat keramat
dan ditakuti oleh kaum persilatan itu.
Demikian juga air muka Loh Siau ling berobah tegang, tanpa
terasa dia mundur dua langkah, sorot matanya menyapu pandang
kearah anak buah Perkampungan bumi serta serunya: "Apa
benar?"
Mulut Racun diracun ber-kecap2 mengejek, katanya: "Loh Siau
ling, terus terang kuberitahu. Suma Bing adalah Huma dari Te po,
juga menjadi calon utama dari majikan Te po yang akan datang,
maka cobalah kau berbuat menurut keinginan hatimu."
Wajah Loh Siau ling be-robah2 pucat dan kehijauan. Tujuannya
hendak melenyapkan Suma Bing adalah untuk

menghilangkan perintang jalan bagi tujuan besar ayahnya. Akan
tetapi kekuatan Te po merupakan lawan ampuh yang susah diatasi
bagi Bwe hwa hwe. Maka dalam keadaan yang mendesak ini
pikirannya menjadi butek dan kehilangan pedoman arah tujuan.
"Loh Siau ling," kata Racun diracun pula, "Apa kau tahu tempat
apakah ini?"
Loh Siau ling tertegun, tanyanya: "Tempat apa?" "Daerah
terlarang dalam kekuasaan Racun diracun!" "Daerah
terlarang?" "Sedikitpun tidak salah!" Loh Siau ling tidak ambil
peduli, sahutnya dingin: "Kalau
daerah terlarang kau mau apa?" "Yang melanggar daerahku
terlarang harus mati!" Kala itu Ang siu li Ting Yan sudah selesai
mengobati luka
parah ketua Bwe hwa hwe mereka sama2 bangkit berdiri. Air
muka Loh Siau ling berobah membeku, tantangnya:
"Tuan sangka dengan racunmu itu kau lantas dapat malang
melintang tanpa tandingan?"
Racun diracun mengakak tawa, serunya: "Aku tahu kau adalah
murid tabib sakti Pek chio Lojin yang kenamaan itu. Tapi perlu
kujelaskan, mengandal kemampuan obat pemunahnya Pek chio
Lojin, pasti takkan dapat mengatasi bisaku yang bernama Racun
dalam racun! Kalau kau tidak percaya boleh silahkan dicoba!"
"Racun dalam racun?" gemetar suara Loh Siau ling. "Tidak salah
Racun didalam racun!" Suma Bing sendiri juga tidak ketinggalan
berobah
wajahnya, dia sendiri sudah pernah merasakan kelihayan bisa
yang bernama Racun dalam racun itu. Jikalau Phoa Kin sian

tidak menolongnya dengan obat Tan tiong tan, pasti dirinya
sudah melayang jiwanya.
"Lalu apa maksud tujuan tuan?" bentak Loh Siau ling nekad.
"Semua hadirin dalam gelanggang ini sudah terkena racun
didalam racun termasuk kau sendiri, tidak percaya coba kau
empos pernapasan!"
Loh Siau ling adalah murid Pek chio Lojin seorang tabib kenamaan
yang pandai dan paham pengobatan. Begitu dia mencoba
bernapas terasa memang dirinya telah terkena racun berbisa,
dilihatnya semua anak buahnya juga mengunjuk rasa kejut dan
ketakutan, terang mereka juga sudah terkena bisa racun, nyata
bahwa ancaman Racun diracun bukan main2 belaka.
Ter-sipu2 dirogohnya keluar beberapa butir obat pemunah racun
terus ditelannya, setelah sekian lama dia memeriksa, benar juga
kiranya obatnya ini tidak mujarab dan tak berguna melawan bisa
Racun dalam racun. Baru sekarang dia benar2 terperanjat dan
takut, maka bentaknya dengan bengis: "Tuan apa maksudmu
sebenarnya?"
Pelan dan tegas berkatalah Racun diracun: "Semua orang yang
memasuki daerahku terlarang harus dihukum mati, ini sudah
merupakan undang2. Tapi hari ini baiklah aku melanggar
kebiasaanku itu..."
"Kalau tuan melanggar pantangan sendiri pasti disertai syarat
bukan?" tanya Ketua Bwe hwa hwe dengan perasaan haru.
"Tidak salah, kau ini pintar juga!" "Syarat apa?" Racun diracun
tetap menghadapi Loh Siau ling, ujarnya:
"Gampang sekali, kau batalkan syarat yang kau ajukan kepada
Suma Bing. Maka aku tidak akan menarik panjang urusan ini,

segera kuberikan obat pemunahnya, maka kalian harus segera
menggelinding pergi.
"Tidak mungkin terjadi!" "Racunku itu dikolong langit ini tiada
seorangpun yang
mampu memunahkan. Maka semua yang telah terkena racunku ini
dalam setengah jam saja bakal bergelimpangan mati."
Kata2nya ini diucapkan dengan enteng dan seenaknya saja, tapi
dalam pendengaran para jagoan Bwe hwa hwe, se-olah2 perintah
dari Giam lo ong, semua pucat dan gemetar saking ketakutan.
Terdengar Ang siu li Ting Yan ikut bicara: "Apa tuan berani
bertanggung jawab kita semua dapat keluar semua dengan
selamat?"
"Sudah tentu!" "Kalau begitu, anak Ling, lulusilah!" Namun
pada saat itulah mendadak Suma Bing menyelak
dengan suara menggeledek: "Racun diracun, cayhe tidak sudi
menerima budimu ini!"
"Suma Bing, agaknya kau takut menghadapi kenyataan ini.
Memang aku berhutang jiwa beberapa orang terhadap kau, tapi
siang2 sudah kukatakan ini merupakan dua hal yang tersendiri
jangan kau campur baurkan. Suma Bing jangan kau salah sangka
bahwa aku bakal menanam budi untuk menebus dosa2ku yang
tertunggak itu atau minta pengampunan kepadamu. Bukti
menyatakan kalau aku ingin kau segera mati segampang
membalikkan tangan. Akan tetapi, sudah kukatakan setengah tahun
lagi aku akan memberikan pertanggungan jawabku kepada kau,
mengapa tidak kau nantikan setengah tahun lagi, urusan hari ini
adalah..."

"Aku belum pernah melulusi kau menanti setengah tahun lamanya!"
demikian tiba2 tukas Suma Bing dengan angkuhnya.
"Jadi kau sekarang juga hendak turun tangan?" "Ada
kemungkinan!" "Suma Bing kau ini binatang berdarah dingin!"
"Ketahuilah aku tidak sudi menerima kebaikanmu!" "Kau takut
akan hati nuranimu sendiri yang bakal tidak
tentram?" "Tidak peduli bagaimana juga aku tidak setuju!" "Jadi
kau sudah bertekad hendak mati?" "Itu urusanku sendiri!" "Tapi
saat ini kau berada didaerahku yang terlarang diinjak
orang luar, akulah tuan rumah disini, apa yang senang kuperbuat
pasti kulakukan, siapapun tiada hak merintangi, kau sudah
mengerti?"
Bukan main heran Suma Bing dibawah solokan didepan sana
adalah tempat mengasingkan diri bibinya Ong Fong jui dan
muridnya Phoa Kin sian. Tapi dengan tandas Racun diracun
berulang2 mengatakan bahwa daerah sekitar sini adalah
daerahnya yang terlarang. Tentu ada hal2 yang mencurigakan?
Betapa kejam dan telengas sifat Racun diracun ini, tulang belulang
kekasihnya Ting Hoan masih belum dingin. Mengapa pula dia
mengambil resiko sedemikian besar untuk membantu dirinya?
Menurut apa yang pernah dikatakan Goan Hi Taysu dari Siau lim si
bahwa dia sealiran dengan Pek kut Hujin malah mungkin adalah
muridnya. Sudah ber-ulang kali mereka guru dan murid ulurkan
tangan menolong jiwanya dan menanam budi pada dirinya.
Sekarang ini juga dalam saat2 dirinya menghadapi mara bahaya
dia muncul lagi, Mengapa?

Karena dia memperkosa dan membunuh Ting Hoan. Karena
mempermainkan Thong Ping yang tidak berdosa dan membunuh
ibundanya. Maka dia bersumpah hendak menumpas manusia laknat
ini! Tapi berbagai kenyataan sudah membuktikan sudah beberapa
kali dia menolong jiwanya. Ini juga kenyataan yang tidak mungkin
disangkal lagi. Antara dendam kesumat dan budi kebajikan
membuat dia tertekan dalam kepedihan, sanubarinya menjerit dan
mengeluh.
Sepak terjang Racun diracun ini benar2 hebat, apalagi kalau
dipikirkan secara sehat agaknya sangat mustahil.
--ooo0dw0ooo--
Jilid 11
41 MASA DEPAN YANG HAMPA DAN SURAM.
Setelah memikirkan timbal balik untung ruginya, segera Loh
Siau ling berkata lantang dan tegas: "Racun diracun, baiklah aku
menyetujui jual beli ini!"
"Kita sudah saling tukar, maka antara kau dengan Suma Bing
sudah tidak ada utang piutang lagi?"
"Baiklah." "Ini adalah obat pemunah, ambillah, setelah tiga li
dari sini
baru kalian telan, bagikan setiap orang satu butir, jumlahnya
tepat dan tidak kurang!" — Lantas dilontarkan sebuah botol kecil
kearah Loh Siau ling.
Enteng sekali Loh Siau ling ulurkan tangan menyambuti terus
berpaling kearah perempuan cantik setengah umur seraya
berkata: "Mah, mari kita pergi!"

Maka terlihat bayangan orang berkelebat dalam sekejap mata saja
semua jagoan anak buah Bwe hwa hwe berloncatan menghilang
dari pandangan mata...
Tampak Sim tong Tongcu Song Liep hong, anak buah dari
Perkampungan Bumi ter-sipu2 tampil kedepan menghadap Suma
Bing serta berseru: "Harap Huma memberi petunjuk!"
Suma Bing menghela napas panjang2, dan berkata: "Biarkan
mereka pergi, setelah itu kalian juga boleh pulang!"
"Hamba menerima perintah dari Te kun, untuk menyertai dan
melindungi Huma!"
"Tidak perlu lagi, kalian boleh pergi!" "Ini..." Melotot mata
Suma Bing, semprotnya: "Aku ingin kalian
pergi!" "Baik", sahut Song Liep hong sambil membungkuk tubuh
mengundurkan diri. Tak lama kemudian semua orang sudah pergi,
keadaan
gelanggang menjadi sepi tinggal Racun diracun berhadapan
dengan Suma Bing, mereka tenggelam dalam pikiran masing2
tanpa buka suara sekian lamanya.
Akhirnya Racun diracun membuka kesunyian, katanya: "Suma
Bing, kau anggap sepak terjangku tadi sangat menyinggung
perasaan dan harga dirimu bukan?"
Kata2 ini langsung menusuk kelubuk hati Suma Bing, semangatnya
menjadi lesu, katanya masgul: "Mengapa tuan berbuat demikian?"
"Aku tidak ingin melihat kau mati secara konyol dan penasaran!"
"Mengapa?" "Kelak kau
akan paham!"

"Apa benar daerah ini adalah tempat terlarang tuan?" "Ini...
hehe, hanya menggertak supaya mereka pergi!" "Silahkan tuan
juga pergi!" "Kau tidak ingin bicara dengan aku?" Terlintas
hawa membunuh pada air muka Suma Bing,
desisnya dingin: "Pertemuan yang akan datang mungkin aku
harus membunuhmu!"
Tawar2 saja Racun diracun berkata: "Terserah apa yang hendak
kau perbuat, asal kau mampu melakukan!"
"Dan lagi, cayhe masih dapat membedakan antara budi dan
dendam, memang hutangku terlalu banyak kepadamu, nanti
setelah semua urusan pribadiku selesai kukerjakan, biarlah aku
menebus hutangku itu dengan kematian jiwaku!"
"Untuk ini rasanya tidak perlu!" "Silahkan, tuan boleh pergi!"
Sambil bersuit melengking tinggi laksana jeritan setan,
tiba2 tubuh Racun diracun melayang jauh terus menghilang. Suma
Bing termangu memandangi bayangan manusia
misterius yang menakutkan itu menghilang dari pandangan
matanya, entah bagaimana perasaan hatinya. Kawankah?
Musuhkah? Berbudi atau berdosa? Tak dapat dia membedakan dan
menganalisa termasuk orang macam apakah Racun diracun ini.
Tapi bagaimanapun juga, dasar keinginannya hendak
membunuhnya takkan goyah atau berubah.
Ia telah menerima budi dan kebaikan seorang lain, ingin benar dia
membalas budi atau kebaikan orang itu. Tapi alasan lain yang lebih
kuat, mau tak mau mengharuskan dia membunuh orang yang
menanam budi ini, perasaan dan perang batin yang kontras ini,
sungguh sangat menyedihkan dan menekan jiwanya. Apalagi bagi
seorang yang jelas dapat membedakan antara budi dan dendam
atau kejahatan,

kekontrasan ini akan lebih mendalam. Begitu juga keadaan Suma
Bing pada waktu itu, berada dalam kekontrasan yang mencekam
sanubarinya.
Mendadak ia tergugah dari lamunannya, teringat olehnya keadaan
bibinya yang masih sangat kritis didalam solokan, dan istrinya
Phoa Kin sian sedang pergi menolongnya. Entah Hoan hun tan
yang diperolehnya itu ada manjur atau tidak? Dalam berpikir itu,
kakinya segera ber-lari2 mengembangkan ilmu ringan tubuhnya
terus melayang bagai terbang masuk kedalam solokan yang
curam itu.
Kira2 ratusan tombak kemudian, terdengar olehnya suara
bentakan dan makian yang riuh rendah dari balik rimba sebelah
depan sana. Tanpa terasa tergerak benak Suma Bing. Tempat ini
tidak jauh dari solokan tak bernama itu, siapakah yang tengah
bertempur disini. Sedikit merandek, terus dia putar haluan dan
berlari kearah datangnya suara bentakan.
Semakin dekat suara bentakan dan pertarungan semakin nyata
dan jelas. Kiranya disebuah rimba yang membelakangi sebuah
kaki bukit, samar2 terlihat berkelebatnya bayangan beberapa
orang.
Begitu mengencangkan kaki, seenteng burung walet tubuhnya
terbang menerobos hutan terus hinggap dipinggir gelanggang
pertempuran. Waktu melihat tegas siapa2 yang tengah bertempur
itu, seketika mendidih darah panasnya. Tampak dua orang Rasul
penembus dada tengah bertempur seru dan sengit melawan Phoa
Kin sian kakak beradik, malah masih ada dua Rasul lainnya yang
berdiri menonton dipinggiran.
Phoa Kin sian kakak beradik tengah mati2an melawan seorang
Rasul penembus dada, keadaannya sudah terdesak dibawah angin,
tidak lama lagi pasti keduanya dapat dikalahkan oleh musuh2nya
ini.

Terdengar salah seorang Rasul yang menonton dipinggiran itu
berseru mengancam: "Phoa Cu giok, serahkan Pedang darah
kepada kami, supaya kuampuni jiwa anjingmu itu!"
Seketika berkobar semangat Suma Bing, naga2nya Pedang darah
masih berada ditangan Phoa Cu giok. Maka segera ia tampil
kedepan seraya menghardik: "Berhenti!"
Bentakan yang keras bagai geledek ini kontan menggetarkan
perasaan mereka yang tengah bertempur. Serta merta mereka
menghentikan pertempuran.
Wajah Suma Bing membeku bagai es, sorot matanya
memancarkan sinar kebuasan yang mengandung nafsu
membunuh, selangkah demi selangkah kakinya bertindak maju
memasuki gelanggang.
"Sia Sin kedua!" tercetus seruan kaget berbareng pada keempat
Rasul penembus dada.
Begitu memasuki gelanggang pertama2 yang diperhatikan oleh
Suma Bing adalah Phoa Kin sian, tanyanya penuh kuatir: "Adik
Sian bagaimana keadaanmu. Bagaimana pula keadaan bibi..."
"Aku tidak apa2. Suhu sudah siuman, tapi keadaannya masih
sangat lemah, saat ini tengah bersamadi memulihkan tenaga!"
"O," sahut Suma Bing terhibur lega. Lantas pandangannya
menatap kearah Phoa Cu giok, katanya dengan nada rendah
berat: "Cu giok, yang sudah lalu tidak perlu dipersoalkan lagi.
Sekarang kembalikan Pedang darah itu kepadaku!"
"Adik Giok." sambung Phoa Kin sian, suaranya gemetar:
"Keluarkanlah!"
Dengan rasa kikuk dan malu sambil melirik kepada Suma Bing,
akhirnya Phoa Cu giok merogoh keluar Pedang darah dari dalam
kantongnya...

Dimana terlihat bayangan berkelebatan, mendadak keempat Rasul
penembus dada berbareng menubruk maju. Dua diantaranya
menerjang kearah Suma Bing, sedang dua yang lain menyerang
kepada Phoa Cu giok dan Phoa Kin sian. Maka angin pukulan bagai
gelombang badai segera menerjang tiba dengan dahsyatnya.
Timbul kemurkaan Suma Bing, sambil menggertak keras kedua
tangannya bergerak sambil mengerahkan seluruh kekuatannya
untuk menyongsong serbuan musuh.
Terdengar dentuman dahsyat yang memekakkan telinga. Kedua
Rasul yang menerjang kearah Suma Bing terpental balik dengan
jungkir balik, namun Suma Bing sendiri juga tidak dapat berdiri
tegak, beruntun kakinya terhuyung lima tindak.
"Pedang darah!" tiba2 terdengar seruan kaget dan kuatir Phoa Cu
giok.
Maka terlihat sebuah bayangan orang melesat keluar dari
gelanggang pertempuran terus berlari dengan kencang sekali.
Tanpa banyak pikir lagi, segera Suma Bing kembangkan ilmu Bu
siang sin hoat, bagai bayangan setan iblis, tahu2 dia sudah
menghadang didepan bayangan yang lari tadi, begitu tangan kiri
bergerak membabat, tangan kanan juga ikut membalik terus
mencengkram kedepan. Berkelebat sambil menyerang sungguh
kecepatannya susah diukur seumpama kilat menyambar.
Terdengar seruan tertahan, lantas terlihat bayangan itu limbung
sempoyongan beberapa langkah. Dari perawakannya dapat
diketahui, bahwa yang merebut Pedang darah itu adalah pentolan
dari keempat Rasul itu. Tiga bayangan yang lain lagi sudah
menubruk tiba lagi dengan kecepatan bagai bintang meluncur.
Pandangan Suma Bing menatap tajam Rasul yang berada
dihadapannya, tiba2 kedua tangannya bergerak ber-putar2

terus disodokkan kedepan dengan kekuatan Kiu yang sin kang.
Bau terbakar dan hawa panas segera merangsang kedepan bagai
gelombang badai gurun sahara. Kontan ketiga bayangan orang itu
berloncatan minggir menyelamatkan diri.
"Serahkan!" desis Suma Bing sambil mendesak maju dua langkah
kearah Rasul penembus dada, wajahnya membesi diliputi hawa
pembunuhan.
Tiba2 selarik sinar terang yang menyilaukan mata meluncur
memapak kedatangan Suma Bing, kiranya itulah cundrik Rasul
penembus dada yang disambitkan langsung mengancam dadanya.
Sambil menggeram gusar Suma Bing mengelak kesamping sambil
mengirim sebuah pukulan. Ternyata kepandaian Rasul penembus
dada juga bukan olah2 hebatnya, hanya dalam waktu sedetik itu
saja tiba2 tubuhnya juga sudah berkelit sejauh lima tombak.
"Seumpama tumbuh sayap juga jangan harap kau dapat lari!"
belum habis suara Suma Bing, tahu2 dia sudah berada dihadapan
lawan lagi, terus beruntun kirim lima serangan berantai yang
dahsyat. Maka terlihat Rasul penembus dada terhuyung mundur
sambil mulutnya menguak, terlihat kerudung putihnya itu kini
berobah berwarna merah.
Pedang darah bagi Suma Bing adalah sangat penting, lebih
penting dari jiwa sendiri, bagaimana juga harus direbut kembali,
maka bentaknya bengis: "Kau mau serahkan tidak?"
"Suma Bing," seru Rasul penembus dada gemetar, "Kau akan mati
tanpa tempat liang kubur yang layak."
"Serahkan!" "Tidak bisa!" "Jadi kau ingin mati!" — sambil
membentak, Kiu yang sin
kang sudah dilancarkan menyerang lagi. 'Blang!' terdengar Rasul
penembus dada mengeluh
tertahan, tubuhnya pelan2 jatuh terkulai.

Disamping sana keadaan Phoa Kin sian dan adiknya juga dalam
bahaya, mereka juga kewalahan menghadapi Rasul yang
berkepandaian lihay diatas mereka, berulang kali mereka sudah
terpukul dengan telak sehingga muntah darah, tinggal tunggu
waktu saja mereka berdua bakal roboh tanpa nyawa lagi.
Sementara itu Suma Bing sudah mengulur tangan hendak
mencengkram pinggang Rasul yang telah roboh itu...
Tiba2 sejalur angin kencang terasa menyerang punggung Suma
Bing. Terpaksa Suma Bing harus miringkan tubuh sambil balas
menyerang sekuatnya. Betapa cepat serangan bokongan ini maka
Suma Bing juga harus melayani sama cepat, tapi toh tidak kuasa
berkelit.
'Bum!' karena getaran yang kuat ini, Suma Bing sampai terpental
sempoyongan.
Menggunakan peluang ini, Rasul yang membokong ini gesit sekali
melejit tiba terus meraup Pedang darah yang berada dipinggang
kawannya terus loncat jauh hendak lari...
Bola mata Suma Bing merah membara, kedua tangannya diayun
bergantian, gelombang panas yang dahsyat segera mendera maju
ditengah udara, dibarengi tubuhnya juga ikut melesat maju
mencegat jalan lari musuh. Kontan Rasul yang lari itu terpukul
balik oleh angin pukulannya itu. Dirangsang nafsu membunuh,
serangan Suma Bing semakin deras dan dahsyat, lagi2 dua kali
pukulan dilancarkan untuk merobohkan musuhnya.
Maka terdengarlah lolong panjang yang menyayatkan hati
memecah kesunyian dalam rimba raya. Tampak Rasul penembus
dada itu terbang me-layang2 dan terbanting keras dua tombak
jauhnya. Pedang darah yang dipegangnya juga terlempar jauh dari
cekalan tangannya.

Sebat sekali Suma Bing meraup Pedang darah itu terus
dimasukkan kedalam kantong bajunya, baru sekarang dia dapat
menghela napas panjang yang melegakan. Sekali lagi tubuhnya
berkelebat, tahu2 dia sudah tiba ditempatnya semula dimana Rasul
penembus dada yang lain rebah tak berkutik lagi, terus
mencengkram mukanya...
Begitu kedok dimuka Rasul penembus dada tertanggalkan, tanpa
terasa Suma Bing berteriak kejut sambil mundur dua langkah.
Kiranya Rasul penembus dada yang kenamaan dan sangat
disegani diseluruh Kangouw itu ternyata adalah seorang gadis
rupawan yang cantik jelita.
Keruan hal ini benar2 sangat mengejutkan dan diluar dugaan
Suma Bing.
Dua pasangan lain yang tengah bertempur juga lantas berhenti
sendirinya tanpa diminta, mereka maju mendekat.
Pimpinan dari keempat Rasul itu kini sudah pelan2 merayap
bangun, darah masih meleleh dari ujung bibirnya, katanya
ber-api2 penuh kebencian: "Suma Bing, kalau kau mau segeralah
bunuh aku. Kalau tidak akan datang satu hari aku membunuhmu!"
Setelah Pedang darah dapat direbut kembali, lapang dan legalah
hati Suma Bing, apalagi setelah diketahui kalau lawan ini ternyata
seorang gadis rupawan, nafsu membunuhnya telah menghilang
tanpa bekas. Mendengar ancaman orang ini, segera ia bergelak
tertawa, ujarnya: "Mengandal ucapanmu ini, biarlah kulepaskan
kalian pergi. Kalau ingin membalas dendam, se-waktu2 aku
nantikan kedatangan kalian di kalangan Kangouw!"
"Kau jangan menyesal?" "Omong
kosong yang menggelikan!"

Maka tiga Rasul yang lain memayang salah seorang Rasul yang
terluka paling berat terus tinggal pergi tanpa banyak mulut lagi.
Suma Bing berpaling kearah Phoa Kin sian kakak beradik,
tanyanya: "Adik Sian, apa kau tahu perkumpulan apakah Jeng
siong hwe itu?"
"Aku tidak tahu. Tapi kekejaman dan banjir darah yang ditimbulkan
oleh Jeng siong hwe kini benar2 telah menimbulkan gelombang
kemarahan kaum persilatan!"
"Diukur dari kepandaian keempat Rasul ini, dapatlah dipastikan
pemimpin dari Jeng siong hwe itu pasti seorang misterius yang
sangat menakutkan!"
"Itu sudah dapat dibayangkan!" "Kenapa Cu giok bisa bersua
dengan keempat Rasul
penembus dada..." Phoa Cu giok tunduk ke-malu2an. Agaknya
Phoa Kin sian sangat terhibur, juga sangat
menderita, katanya: "Dengan membawa Pedang darah Cu giok
merana di kalangan Kangouw, hampir saja dia dipukul mati oleh
Kangkun Lojin. Untung dia mau bicara secara jujur, sehingga
Kangkun Lojin mengampuni jiwanya dan memerintahkan dia
mengembalikan Pedang darah itu. Tak terduga ditengah jalan
bertemu dengan Rasul penembus dada, dengan kepandaian mereka
yang aneh itu dilihatnya Cu giok menyimpan Pedang itu, maka
mereka terus mengejar dan menguntit sampai disini. Kalau
kebetulan kau tidak muncul, susahlah dibayangkan akibatnya!"
Se-konyong2 Suma Bing ingat sesuatu, tanyanya: "Adik Sian,
kuingat kau pintar menggunakan racun?"
"Kenapa?" balas tanya Phoa Kin sian, wajahnya berubah.

"Kenapa kau tidak gunakan racunmu itu menghadapi Rasul
penembus dada?"
"Kejadian ini sungguh sangat ganjil. Ternyata kali ini para Rasul
itu tidak takut lagi menghadapi racunku!"
"Ada kejadian begitu?" "Kalau tidak buat apa kau
memperingatkan!" "Marilah kita kembali kedalam lembah
solokan itu?" "Kau tidak perlu kesana lagi!" Suma Bing
melengak, tanyanya: "Mengapa?" "Suhu yang menyuruh
begitu!" "Tapi aku harus menilik keadaan bibi!" "Tidak perlu
lagi, paling lama satu bulan dia sudah akan
sembuh kembali!" "Kenapa dia tidak izinkan aku pergi melihatnya
lagi?" "Mana aku tahu!" Suma Bing membatin dan menimbang,
menurut kisikan
Kangkun Lojin bahwa Phoa Kin sian bakal mengalami bencana,
menurut niatnya ia hendak minta bantuan bibinya untuk menjaga
istrinya ini. Tak terduga bibinya tidak ingin menemui dirinya lagi,
urusan ini agaknya harus berlarut berkepanjangan...
"Engkoh Bing." kata Phoa Kin sian lembut. "Agaknya kau ada
omongan yang hendak kau katakan."
"Ya, memang kau menerka betul!" "Apa
yang hendak kau katakan?" "Aku ada
satu permintaan kepadamu!"
"Katakanlah!"

"Aku minta sukalah kau dalam jangka seratus hari ini tidak
meninggalkan tempat tinggalmu ini barang selangkahpun juga?"
Phoa Kin sian heran dan tak mengerti, tanyanya: "Mengapa?"
"Kelak biar kuberitahu kepadamu!" Kata Phoa Kin sian
berpaling kearah Phoa Cu giok: "Dik,
kau kembalilah dulu!" Phoa Cu giok mengiakan terus memutar
tubuh tinggal
pergi. "Engkoh Bing," kata Phoa Kin sian, "Katakanlah kenapa?"
Suma Bing menjadi serba susah, tidak mungkin dia
menutur apa yang bakal menimpa istrinya sehingga menambah
beban penderitaan batinnya. Oleh karena pikiran ini maka ia
menyahut putar haluan: "Sebab kau tak lama bakal menjadi ibu,
jangan banyak bergerak sehingga melelahkan badanmu!"
Phoa Kin sian mengulum senyum bahagia, tapi secepat itu tawanya
lantas menghilang, tanyanya: "Mengapa harus dibatasi dalam
seratus hari. Aku bakal... melahirkan... setelah seratus hari lagi?"
"Sudah tentu ada alasannya, tidak peduli bagaimana nanti, dalam
seratus hari ini aku pasti datang menjenguk kau!"
"Baiklah, aku lulusi permintaanmu ini." "Nah, inilah baru istriku
yang baik!" Phoa Kin sian tersenyum malu, tangannya
mencubit sambil
mencemooh: "Cerewet!" "Masa
perkataanku tadi salah!"

Mendadak Phoa Kin sian menutup kedua matanya, terus
membentang kedua lengannya dan berkata: "Engkoh Bing,
ciumlah aku!"
Sikapnya ini benar2 diluar dugaan Suma Bing. Sifat Phoa Kin sian
selamanya putih bersih dan dingin kaku. Pernikahan mereka juga
terjadi dalam peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Tatkala itu
kalau bukan karena terkena tutukan jari Hian bu cui yang ci dari si
mawar beracun Ma Siok ceng, itu pelindung Bwe hwa hwe yang
terkenal cabul, tentu Phoa Kin sian tidak bakal kehilangan
kesuciannya, maka mereka tidak mungkin bisa menjadi suami istri.
Walaupun sekarang dia sudah resmi menjadi istrinya. Tapi
kehendak yang merangsang minta dicium ini benar2 baru pertama
kali ini terjadi. Namun bagaimana juga mereka berdua adalah
suami istri. Maka setelah tertegun sejenak, Suma Bing lantas
memeluknya kencang2 sambil mencium dengan mesra.
Phoa Kin sian tenggelam dalam rangsangan penuh nafsu, timbul
suatu perasaan tak menentu dibenak mereka, tatkala itu, se-akan2
sang waktu sudah berhenti, selain terasa getaran jantung dan
dengusan napas serta isapan yang menggelora, segalanya
se-olah2 sudah tidak hidup dan berada lagi.
Lama dan lama sekali baru kedua suami istri ini sadar dari
kenyataan ini. Serta merta Suma Bing merasa sesuatu keanehan
yang menakutkan sanubarinya. Peringatan Racun diracun serta
kisikan Kangkun Lojin itu, laksana duri yang tidak berbekas
me-nusuk2 hati kecilnya sehingga membuatnya tidak tenang
berdiri dan tidak enak duduk.
"Engkoh Bing," ujar Phoa Kin sian penuh kasih mesra, "Kau
merasa diluar dugaan bukan?"
"Ini... ah, tidak!"

"Kau mengelabui aku. Dari air mukamu dapat kulihat kau
berbohong!"
"Apa pikirmu mungkin demikian. Kau adalah istriku..." "Engkoh
Bing, aku selalu merasa segala sesuatu didunia ini
dapat terjadi diluar sangka, tiada yang abadi dan kekal. Terutama
bagi kaum persilatan, yang hidup dan terjun dikilatan ujung
senjata, dengan bekal permusuhan dan dendam sakit hati. Siapa
akan tahu malapetaka apa bakal menimpa dirinya secara
mendadak."
Suma Bing bergidik, memang ini kenyataan, tapi juga pertanda
alamat benih petaka.
"Adik Sian, mengapa timbul pikiranmu yang tidak genah itu?"
"Masa kau tidak mengakui akan kemungkinan ini?" "Memang
harus kuakui, tapi pasti ini tercetus dalam
perasaan batinmu!" "Benar, engkoh Bing. Pikiran semacam ini
sudah lama
timbul sejak perkawinan kita dulu, selalu berputar dan mengganjal
dalam pikiranku."
"Adik Sian, dapatkah kau tidak berpikiran begitu? Kenapa tidak kau
pikirkan kelak dan masa depan kita, pikirkanlah tunas muda yang
bakal lahirkan itu..." Mendadak kata2 Suma Bing terputus sampai
disitu. 'Masa depan' kedua kata ini membuatnya bergidik, teringat
olehnya akan janjinya kepada Racun diracun — "...kelak bila
bertemu lagi, aku pasti membunuhmu, tapi hutang budiku terlalu
banyak, biarlah aku membayar budimu itu dengan kematianku..."
Pertemuan yang bakal datang itu, betapa menakutkan. Kalau
begitu dapatkah dirinya menanggung dan menyangkal akan
pandangan Phoa Kin sian yang masuk akal itu.
"Adik Sian, kita tidak perlu me-nerka2 kejadian apa yang bakal
terjadi dimasa depan, paling perlu kita tinjau masa kini!"

"Sekarang ini? Engkoh Bing, apa yang telah diberikan kepada kita
sekarang? Namanya saja kita sebagai suami istri, tapi tiada waktu
untuk kita hidup berdampingan secara kasih mesra, kau ketimur
aku kebarat, masing2 berkelana demi kepentingan sendiri..."
Suma Bing tertawa ewa, ujarnya: "Adik Sian, memang akulah yang
salah, nanti setelah semua sakit hati dan dendamku sudah
terhimpas beres, pasti kutambal kekuranganku..."
"Engkoh Bing, kita setali tiga uang, tapi..." "Kenapa?" "Apa yang
bakal terjadi kelak, siapapun susah
meramalkan!" "Adik Sian, mengapa kau melulu mengatakan kata2
yang
tidak baik saja?" "Tidak, engkoh Bing, se-olah2 aku merasa mala
petaka
selalu menyertai disampingku..." Perasaan Suma Bing semakin
tenggelam, dipeluknya
istrinya erat2 serta katanya: "Adik Sian, aku tidak akan
meninggalkanmu!"
"Tidak, jangan engkoh Bing, kau sendiri tahu ini tidak mungkin
terjadi!"
"Tapi aku rela meninggalkan semua itu!" "Kau salah, jangan
kau mengingkari arti terbesar dalam
jiwa hidupmu ini. Keluarga, perguruan dan beban yang kau pikul
itu, adalah satu2nya tujuan terakhir yang harus kau laksanakan!"
"Adik Sian, cintaku kepadamu bukan termasuk..."
"Aku maklum, kau berangkatlah!"

Suma Bing lepaskan pelukannya terus mundur dua langkah,
tanyanya: "Kau ingin aku pergi?"
"Sudah tentu, apa kau hendak selalu mengeram disini?" "Tapi..."
"Engkoh Bing, Pedang darah sudah kembali pada
pemiliknya, kau harus menyelesaikan rencana dan mengejar
cita-citamu..."
Tergetar perasaan Suma Bing, bangkitlah semangat jantannya,
membekal Pedang darah memohon Bunga iblis untuk melatih ilmu
tiada taranya didunia ini, supaya dapat menuntut balas. Karena
pikirannya ini maka katanya murung: "Adik Sian, aku akan selalu
berterima kasih akan cinta murnimu yang suci ini!"
Phoa Kin sian berseri, serunya: "Engkoh Bing jagalah dirimu
baik2!"
"Adik Sian, ingat apa yang kau luluskan padaku. Dalam jangka
seratus hari jangan kau tingggalkan tempat kediamanmu ini."
"Pasti selalu kuingat!" "Kau juga harus hati2 dan baik2
menjaga diri!" Phoa Kin sian mengiakan. Begitulah setelah
berpelukan dan
berciuman pula lantas mereka berpisah tanpa banyak kata lagi.
Begitu bayangan Suma Bing menghilang, dua titik air mata
mengalir membasahi kedua pipi Phoa Kin sian. Mengapa dia
menangis? Berat meninggalkan Suma Bing? atau...
Baik kini kita mengikuti perjalanan Suma Bing yang meninggalkan
istrinya dengan perasaan duka nestapa, langsung ia menuju ke
Lembah kematian.

Memang letak Lembah kematian sangat curam dan misterius, bagi
siapa yang berani memasuki hanya kematianlah bagiannya. Namun
bagi Suma Bing tempat yang kramat dan ditakuti ini dianggap
seperti tempat datar yang lurus saja, dicarinya jalan dimana dulu
dia bersua dengan Giok li Lo Ci terus mengembangkan Bu siang sin
hoat meluncur turun.
"Nak, akhirnya kau tiba juga!" Waktu pandangan Suma Bing
menyapu sekitarnya, tampak
Giok li Lo Ci sudah berdiri tegak didepan gua, maka ter-sipu2 ia
merangkap tangan memberi hormat serta sapanya: "Wanpwe
menghadap Cianpwe!"
"Tidak perlu, mari ikut aku!" Tak lama kemudian tibalah mereka
diruang tempat
pengobatan tempo hari, setelah mencari tempat duduk, lalu Giok
li Lo Ci membuka mulut: "Nak, kau sudah memperoleh Pedang
darah?"
Suma Bing mengiakan dan dirogohnya keluar Pedang darah,
dengan kedua tangannya terus dipersembahkan, ternyata kedua
tangannya itu agak gemetar, betapa haru dan senang hatinya saat
itu, bahwa impian selama ini bakal menjadi kenyataan bagaimana
dia tidak akan terharu dan gembira.
Setelah menyambuti Pedang darah, sekian lama Giok li Lo Ci
mengamat2i dan memeriksa, lalu katanya sambil manggut2: "Nak,
sungguh besar rejekimu, kudoakan setelah kau dapat mempelajari
ilmu mujijat itu, kau dapat mendharma baktikan kepandaianmu ini
kepada sesama hidup yang tertindas."
"Terima kasih akan nasehat Cianpwe!" "Membekal Pedang
darah adalah syarat pertama. Sekarang
dengarlah syarat yang kedua!"

"Akan wanpwe perhatikan!" "Setelah keluar dari pintu ini
berputar kekanan disitu ada
sebuah kamar batu, dengan tenaga murnimu sendiri kau
tembusilah jalan darah mati hidupmu..."
Suma Bing tercengang, katanya: "Jalan darah mati hidup wanpwe
sudah tembus!"
"Apa, jalan darah mati hidupmu sudah tembus?"
42. GIOK CI SIN KANG MENUNJUKKAN KEAMPUHANNYA
"Benar, agaknya Cianpwe sudah lupa, waktu wanpwe
terjatuh kedalam lembah ini dulu seiring waktu menyembuhkan luka
dalam wanpwe. Cianpwe sudah..."
Sampai disini mendadak dia menelan kembali kata2 selanjutnya,
timbul rasa heran dan pertanyaan dalam benaknya. Dia masih
ingat bahwa Giok li Lo Ci memang pernah memberi bantuan
menembuskan jalan darah mati hidupnya. Namun waktu berada di
Perkampungan bumi, setelah minum darah pusaka naga bumi,
sekali lagi jalan darah mati hidupnya juga telah ditembuskan. Ini
benar2 kejadian yang susah dibayangkan apa...
Giok li Lo Ci juga terkejut, katanya: "Waktu kutembuskan jalan
darah mati hidupmu dulu hanya meliputi dua nadi Jim dan Tiok
saja, semua hanya tertembuskan limapuluh empat, masih
ketinggalan satu jalan darah yang susah dibobol, jadi belum
berhasil...
Baru sekarang Suma Bing paham, waktu dalam perkampungan
bumi pasti jalan darah terakhir itu yang telah ditembusi, maka
segera katanya: "Wanpwe pernah ketiban

rejeki, mungkin jalan darah yang tertinggal itulah yang telah
dibobolkan."
"Coba biar kuperiksa!" setelah mengulur tangan dan memeriksa
berkata pula Giok li Lo Ci: "Benar, dua puluh lima jalan darah besar
Jim meh dan tiga puluh jalan darah besar Tiok meh sudah tembus
semuanya. Nak, sungguh kau beruntung, segala rejeki numplek
diatas dirimu. Benar2 kejadian yang jarang terjadi dalam dunia
persilatan!"
"Harap tanya apakah syarat yang ketiga itu?" "Nanti kita
bicarakan lagi, sekarang mari kau ikut aku!" Suma Bing
menurut saja mengikuti dibelakang Giok li Lo Ci,
keluar dari kamar batu itu sampailah mereka disebuah lorong
yang panjang, tak lama kemudian mereka tiba pula disebuah
kamar batu yang agak kecil meliputi satu tombak persegi,
menunjuk sebuah meja batu, berkatalah Giok li Lo Ci: "Inilah
disini!"
Begitu melihat apa yang terletak diatas meja batu itu tanpa terasa
merinding bulu kuduk Suma Bing. Ternyata diatas meja batu itu
terletak sebuah kerangka sebuah kepala manusia yang besar luar
biasa, ditengah batok kepala itu merekah pecah mengeluarkan
hawa dingin yang menyeramkan.
"Tjianpwe, inikah..." "Betul! Inilah Bunga iblis, kembang yang
menggetarkan
seluruh Bulim!" "Ini... kerangka batok kepala ini?" "Coba kau maju
melihat!" Dengan takut2 dan was-was Suma Bing maju mendekati
meja batu, waktu tangan diulurkan terasa dingin menembus
badan. Ternyata bahwa kerangka batok kepala ini adalah terbuat
dari batu Giok yang dipahat, tengahnya kosong dan atasnya
berlobang.

"Cianpwe tengkorak ini terbuat dari batu Giok?" "Benar!"
"Harap tanya..." "Sekarang kau tubleskan Pedang darah
kedalam lobang
diatas batok kepala itu, lalu kau sirami dengan setalang air ini..."
"Ini..." "Kau tidak perlu banyak tanya, inilah menurut pesan
terakhir suhu sebelum ajal. Aku sendiri juga tidak mengetahui
seluk beluknya."
Dengan ragu2 Suma Bing memasukkan ujung Pedang darah secara
pelan2 dan hati2 kedalam lobang diatas kerangka tengkorak itu,
lalu diangkatnya talang emas yang berada dipinggiran...
Terdengar Giok li Lo Ci berkata lagi: "Gunakan tangan dan setetes
demi setetes siramkan kelobang itu!" — habis berkata terus putar
badan tinggal pergi.
Suma Bing menahan gelora hatinya, pelan2 dengan telapak
tangannya menciduk air terus pelan2 dituang keatas lobang yang
ditancapi pedang itu. Dimana air itu mengenai badan Pedang
lantas berobah warna merah darah lalu mengalir memasuki lobang
tengkorak. Satu jam sudah berlalu tanpa menunjukkan sesuatu
perobahan.
Dua jam sudah berlalu pula, tanpa menunjukkan reaksi apapun
juga. Suma Bing mulai gelisah, Tiga jam kemudian setalang air
sudah habis semuanya. Suma Bing benar2 sudah risau dan
gundah sekali.
Se-konyong2 lobang diatas kerangka tengkorak itu melebar dan
terus merekah semakin lebar. Darah Suma Bing terasa mengalir
deras, jantungnya berdetak keras. Lobang itu semakin lebar dan
semakin besar, sebuah benda berbentuk

seperti sekuntum bunga pelan2 muncul keluar. Suma Bing
menahan napas, matanya tidak berkedip menatap kearah benda
aneh itu dengan penuh ketegangan, sehingga seluruh tubuhnya
basah kuyup oleh keringat.
Kuntum bunga itu setelah naik setinggi satu kaki tiba2 berhenti
dan tidak bergerak terus mekar sebesar mangkok. Maka
terlihatlah sekuntum bunga putih seperti batu giok yang
kemilauan dan se-olah2 tembus akan cahaya.
Tanpa tertahan lagi Suma Bing berteriak kegirangan: "Bunga iblis!"
— tubuhnya bergemetaran, ini benar suatu keajaiban yang jarang
terlihat dan pernah terdengar.
Tiba2, muncullah Giok li Lo Ci dalam ruangan itu, suaranya
gemetar penuh perasaan: "Betapa besar dunia ini segala
keanehan tak terhitung banyaknya. Nak, terhitung aku orang tua
juga dapat membuka mata."
Ter-sipu2 Suma Bing maju memberi hormat serta katanya: "Budi
Cianpwe ini selamanya takkan kulupakan!"
"Ini memang sudah menjadi rejekimu, budi apa segala yang
kuberikan kepadamu!"
"Harap Cianpwe suka memberi petunjuk selanjutnya!" "Lihatlah
kelopak kuntum bunga ini, semua terbagi dalam
sembilan kelopak, setiap kelopaknya tertera huruf, baiklah kau
baca dan selami sendiri pelajaran ilmu yang tiada taranya ini."
Bermula Suma Bing tidak ambil perhatian. Baru sekarang
diperhatikannya memang benar diatas kelopak bunga itu banyak
tertulis huruf kecil yang rapat dan padat. Satu diantaranya
bertuliskan empat huruf yang sangat besar berbunyi: "Giok ci sin
kang."
Tak tertahan Suma Bing membaca keempat huruf itu keras2.

K a t a G i o k l i L o C i p e l a n : " N a k , mema n g k a u s a j a
y a n g b e r j o d o h , a k u t i d a k b i s a t u r u t c amp u r ,
b i a r l a h k a u b e l a j a r d a n me n y e l ami p e l a j a r a n i t u
d i r u a n g a n i n i s a j a , k e p e r l u a nmu s e - h a r i 2 a k u
d a p a t me n y Suma Bing sangaetd tei arhkaarun d aunn bteurtke rikmaau k!a"s ih, sahutnya dengan
hormat: "Terimakasih akan bantuan Cianpwe yang tak ternilai ini."
Diam2 tanpa bersuara Giok li Lo Ci terus mengundurkan diri
keluar ruangan.
Suma Bing mulai memusatkan segala pikiran dan semangatnya,
setelah pikiran terasa jernih baru mulailah dia membaca dan
menyelami pelajaran Giok ci sin kang itu.
Pelajaran Giok ci sin kang ini meliputi dua tahap, pertama melatih
pernapasan, selain itu adalah tiga jurus pelajaran silat. Jurus
pertama bernama Bi cu hong bong (mayapada remang2), jurus
kedua Che ih to cwan (bintang bergeser jumpalitan), ketiga adalah
Kay thian pit te (membuka langit menutup bumi).
Betapa luas dan dalam pelajaran ketiga jurus ilmu silat ini, tidak
mudah untuk dipahami dalam waktu singkat. Namun dipandang
sekadarnya kekuatannya pasti hebat dan luar biasa seumpama
dapat mengejutkan langit menggetarkan bumi.
Sang waktu terus berlalu tanpa terasa. Suma Bing tekun belajar
dan belajar sampai lupa waktu dan lupa akan diri sendiri. Waktu
semua pelajaran sudah selesai dan berhasil dia pahami dan selami
seluruhnya, baru Giok li Lo Ci muncul lagi.
"Nak, kuberikan selamat setinggi2nya kepadamu, ternyata kau
berhasil mempelajari ilmu mujijat yang tiada taranya ini."
"Semua ini berkat bantuan Cianpwe yang menyempurnakan!"
"Pedang darah itu boleh kau bawa serta, tapi Bunga iblis biar
tertinggal disini!"

Suma Bing mengiakan terus mencabut keluar Pedang darah.
Sungguh aneh dan ajaib, tiba2 kuntum bunga Giok itu mengkeret
terus kembali masuk kedalam kerangka tengkorak itu, sekarang
telah pulih seperti sedia kala lagi. Suma Bing berdua merasa
takjup dan kagum akan kepintaran orang si pembuat dan pengatur
semua ini.
Setelah tiba didalam ruangan batu semula yang besar itu
berkatalah Suma Bing: "Cianpwe masih ada petunjuk apa?"
"Masih ada dua tugas yang harus kau lakukan!" "Harap tanya
tugas apakah itu?" "Pertama, kau harus kembalikan Bu siang
po liok kepada
pihak Siau lim!" "Bu siang po liok? (buku pelajaran Bu siang
sinkang)" "Tidak salah, buku ini memang milik Siau lim, sudah
ratusan tahun lamanya dikangkangi oleh Suhu, sebab musabab
kejadian ini, aku tidak dapat beritahukan kepadamu!"
Diam2 Suma Bing berkata dalam hati: 'Tidak kau katakan aku juga
sudah tahu Kangkun Lojin sudah menuturkan kepadaku
sejelasnya.' Maka segera katanya tawar: "Wanpwe juga tidak ingin
tahu!"
"Masih ada satu hal yang harus kau ingat. Kau sudah mempelajari
gerak naik dan kelit dari ilmu Bu siang sin hoat, maksudku dulu
hanya untuk membantu kau keluar dari lembah ini supaya dapat
merebut pulang Pedang darah. Setelah keluar dari lembah nanti,
kau harus melupakan se- akar2nya, jangan sekali2 kau
kembangkan ilmu itu dihadapan orang lain atau kau turunkan
kepada orang. Sebab ini merupakan ilmu pelajaran Siau lim yang
tidak sembarangan diturunkan kepada anak muridnya. Apalagi kau
bukan murid Siau lim si, maka lebih tidak boleh lagi kau unjukkan
kepada orang luar. Ini adalah pesan terakhir yang wanti2 sudah

diberitahu Suhu sebelum meninggal. Apa kau dapat mematuhi
pantangan keras ini?"
"Pasti dapat kulakukan!" — dimulut Suma Bing berkata demikian,
namun dalam hati sebaliknya dia berpikir, setelah aku dapat
mempelajari Giok ci sin kang dan ilmu khikang (pernapasan) yang
tiada taranya itu, meskipun Bu siang sin hoat itu sangat sakti dan
ampuh, tapi kalau dibandingkan masih terpaut sangat jauh bagai
bumi dan langit.
Wajah keriput Giok li Lo Ci menunjukkan kesungguhan hati,
ujarnya: "Buku catatan ini jangan sampai jatuh atau hilang tercuri
orang. Kau harus secepatnya mengantarkan ke Siau lim si dan
harus langsung kau serahkan sendiri kepada Ciangbun Hong
tiang. Supaya peristiwa seabad yang ter-katung2 itu ada
penyelesaiannya yang menyeluruh".
"Wanpwe pasti dapat membereskan!" "Dan syarat yang
terakhir, kau harus mencari tahu mati
atau hidup jejak seseorang!" "Siapa?" "Li Hui!" "Seorang wanita?"
"Benar, dia adalah anak tunggal dari mendiang Suhu Bu
siang sin li, umurnya lebih lanjut dari usiaku!" Suma Bing
mengiakan dengan suara keheranan! "Jejaknya menghilang sejak
duapuluh tahun yang lalu, mati
hidupnya masih belum diketahui." "Baiklah, wanpwe pasti akan
menyirapi dengan tekun dan
sekuat tenaga." "Kalau sudah ketemu mintalah
jawabannya!" "Jikalau Li Hui Cianpwe itu..."

"Maksudmu kalau dia sudah meninggal dunia?" "Ya begitulah!"
"Tulislah kabar dukanya itu diatas secarik kertas dan
lemparkan masuk lembah!" "Wanpwe sudah maklum." "Baiklah
segera kau boleh berangkat!" "Berapa lamakah wanpwe berdiam
dalam lembah ini?" "Tiga bulan!" Suma Bing berjingkrak kaget,
teriaknya: "Sudah tiga
bulan?" "Sedikitpun tidak salah!" Seketika risau gundah dan
gugup hati Suma Bing. Sungguh
tak terduga dalam sekejap ini ternyata dirinya sudah tiga bulan
berada dalam lembah kematian ini, teringat akan janji terhadap
istrinya Phoa Kin sian hanya seratus hari bagaimana juga segera ia
harus berangkat pulang menemuinya. Karena jangka seratus hari
sudah diambang pintu masihkah dia sehat waalfiat tanpa kurang
suatu apa? Karena pikirannya ini badannya sampai basah oleh
keringat dingin.
Giok li Lo Ci mengeluarkan sebuah bungkusan kain merah dan
berkata: "Inilah buku catatan yang bernama Bu siang po liok itu,
kau harus hati2 dan waspada menjaganya."
"Akan wanpwe perhatikan betul!" "Ingat bagaimana juga kau
harus menyirapi mati hidup Li
Hui!" "Wanpwe akan bekerja sekuat tenaga!"
"Bagus, sekarang kau boleh pergi!"

"Kalau begitu, wanpwe minta diri!" setelah membungkuk memberi
hormat terus berputar dan berjalan keluar meninggalkan gua...
"Eh, kembali sebentar!" Suma Bing melengak sambil memutar
tubuh, tanyanya:
"Cianpwe masih ada pesan apa?" Wajah keriputan Giok li Lo Ci
penuh mengunjuk kepedihan
yang tak terhingga, ujarnya: "Persembahkan sekuntum bunga
dan bakarkan kertas didepan kuburan gurumu untukku!"
Puluhan tahun sudah berselang, namun Giok li Lo Ci belum
melupakan kekasihnya Sia sin Kho Jiang yang sangat dicintainya.
Suma Bing mengangguk hikmad, sahutnya: "Pasti akan wanpwe
lakukan!"
"Pergilah!" Suma Bing memutar tubuh lagi terus langsung
keluar dari
g u a b a t u i t u . P i k i r n y a s e t e l a h m e n g h a d a p i
l a m p i n g g u n u n g s e t i n g g i r a t u s a n t o m b a k i t u :
" K a l a u G i o k l i L o C i s u d a h b e r p e s a n s u p a y a
s e t e l a h m e n i n g g a l k a n t e m p a t i n i a k u t i d a k
m e n g e m b a n g k a n l a g i i l m u B u s i a n g s i n h o a t .
M e n g a p a a k u t i d a k m e n c o b a s a j a i l m u
p e l a j a r a n p e r n a p a s a n d a r i G i o k c i s i n k a n g
y a n g b a r u k u p e l a j a r i i t u . A k a n k u l i h a t m a n a
y a n g l e b i h s a k t i d a n a m p u h .
Segera ia menghimpun semangat dan mengerahkan tenaga, hawa
murninya berputar cepat dalam tubuhnya, mendadak kakinya
menjejak tanah lantas tubuhnya melejit tinggi...
Terasa tubuhnya sekarang seenteng asap, sekali enjot lima puluh
tombak sudah dicapainya. Belum luncuran tubuhnya merandek ia
sudah berganti napas dan merobah gaya sehingga tubuhnya terus
mumbul dan naik semakin tinggi. Dalam sekejap mata saja tahu2
dirinya sudah menancapkan

kakinya diatas batu cadas yang menyelonong keluar itu. Betapa
girang hatinya sungguh sukar dilukiskan. Agaknya pelajaran
pernapasan yang baru dipelajari ini kalau dibanding ilmu gerak
naik dan kelit dari Bu siang sin hoat masih setingkat lebih tinggi.
Karena sudah kangen betul dan menguatirkan keadaan Phoa Kin
sian, maka tanpa berayal lagi tanpa membuang waktu dia terus
ber-lari2 kencang secepat bintang meluncur turun gunung.
Tengah ia ber-lari2 kencang itulah mendadak terdengar sebuah
suara memanggil dibelakangnya: "Buyung, berhenti sebentar!"
Tanpa terasa tergerak hati Suma Bing, saat mana dia tengah
mengerahkan seluruh tenaga untuk mengembangkan ilmunya,
betapa cepat larinya itu seumpama roket meluncur. Bagi kaum
persilatan umumnya, mungkin bayangannya saja tidak bakal dapat
melihat jelas. Adalah suara itu dapat mengintil kencang
dibelakangnya, betapa hebat dan tinggi kepandaian orang ini
sungguh sangat mengagumkan.
Maka tanpa terasa segera ia hentikan kakinya, begitu melihat
orangnya, legalah hatinya, ter-sipu2 Suma Bing maju menyapa
hormat: "Locianpwe ada petunjuk apakah?"
Kangkun Lojin meng-goyang2kan kipas sambil mengurut
jenggotnya yang panjang menjulai didepan dadanya, tanyanya:
"Buyung, kau keluar dari Lembah kematian?"
Suma Bing tertegun, sahutnya: "Benar!" "Apakah Bu siang sin li
berada didalam lembah itu?" "Ini..." "Aku tidak memaksa
kesukaranmu lohu sudah menanti
selama tiga bulan diluar lembah ini. Sungguh menggirangkan
kemajuanmu sedemikian pesat. Dari gerak gerik badanmu tadi,
sungguh Lohu susah dapat dibandingkan lagi!"

"Locianpwe terlalu memuji!" "Tidak ini kenyataan!" "Wanpwe
ada satu hal hendak kuberitahukan kepada
Locianpwe!" "Tentang urusan apa?" "Tentang Bu siang po liok..."
Tanpa menanti habis ucapan Suma Bing, Kangkun Lojin
sudah menyeletuk: "Bagaimana?" "Buku itu sekarang berada
ditangan wanpwe!" "O, bagaimana ini bisa terjadi?" "Wanpwe
mendapat perintah untuk mengembalikan
kepihak Siau lim!" Meski sudah mencapai latihan selama seratus
tahun tak
urung Kangkun Lojin masih terbawa oleh perasaan haru juga,
katanya gemetar: "Buyung, apa ini betul?"
"Mana wanpwe berani ngapusi kepada Cianpwe!" "Bagus,
bagus sekali! Terlaksanalah angan2 Lohu didunia
fana ini. Buyung..." "Locianpwe!" "Apa kau masih ingat cerita
yang kuberitahukan kepadamu
itu?" "Masih ingat betul!" "Lohu sudah tidak lama lagi tinggal
didunia fana ini, aku
harus menceritakan semua kenyataan itu kepadamu." "Dengan
senang hati wanpwe akan mendengar penuh
perhatian." "Nama asli Lohu adalah Buyung
Ceng!" "Buyung cianpwe!"

"Nama asli Bu siang sin li adalah Lin Ji lan, seorang pelaku lain
dari cerita itu bernama Li It sim!"
"Li It sim?" Berpikirlah Suma Bing, menurut pesan Giok li Lo Ci
dirinya harus mencari seorang wanita yang bernama Li Hui, tidak
perlu disangsikan lagi bahwa Li Hui ini pasti anak dari Li It sim
dan Lin Ji lan itu.
"Kalau Li It sim masih hidup, usianya tentu juga sudah mencapai
seratus tahun lebih. Kalau kelak kau bertemu dengan orang ini,
boleh kau beritahu segala kejadian terakhir ini kepada dia. Dan
katakan pula bahwa Lohu tengah menanti kedatangannya
ditempat perpisahan dulu!"
Suma Bing mengiakan. "Buyung masa depanmu gilang
gemilang, waspada dan
hati21ah, Lohu pergi!" — habis berkata lengan bajunya yang
gondrong dikebutkan tahu2 tubuhnya sudah menghilang.
Sekian lama Suma Bing termangu ditengah jalan, batinnya: 'Tokoh
aneh yang luar biasa ini sungguh baik hati dan tekun benar.
Sungguh tidak sangka dia mengintil dibelakangku. Dengan sabar
selama tiga bulan dia menanti diluar lembah kematian!' tak lama
kemudian Suma Bing sudah mengayun langkah melanjutkan
perjalanannya.
Pada waktu tengah hari tibalah Suma Bing diluar solokan
kediaman Phoa Kin sian dengan Suhunya. Jantungnya terasa mulai
berdetak keras, selamat atau mautkah yang bakal dihadapi susah
diterka sebelumnya.
Mendadak pemandangan yang menggiriskan hati dan mendirikan
bulu roma terbentang dihadapannya. Sekitar pinggiran solokan
sebelah sana bergelimpangan beberapa mayat manusia. Darah
yang membeku dan berobah warna itu merupakan perpaduan
pandangan yang lebih menyeramkan. Tangan kaki tersebar
di-mana2, kepala, biji mata atau isi perut orang berceceran disana
sini, sungguh keadaan ini sangat mengerikan.

Suma Bing sendiri juga merasa merinding dan bergidik, naga2nya
dalam solokan ini telah tertimpa bencana dahsyat. Keselamatan
Phoa Kin sian guru dan murid, membuat hatinya terasa hendak
melonjak keluar. Akhirnya didapatinya beberapa tanda tertentu
diatas beberapa mayat itu, tanpa terasa tercetus seruan kagetnya:
"Semua adalah anak buah Bwe hwa hwe!"
Kalau diluar solokan penuh diliputi bau anyir darah, entah
bagaimana keadaan dan pemandangan didalam solokan sana?
Sambil berpikir tanpa ayal tubuhnya segera berkelebat melayang
turun kedalam solokan sana seenteng daon melayang.
Selepas pandang, hatinya semakin kebat-kebit. Dalam selokan
di-mana2 terlihat tumbuh2an yang terbakar hangus atau sudah
menjadi abu. Tidak perlu disangsikan lagi pasti dalam solokan ini
pernah terjadi kebakaran besar. Bergegas ia berlari kearah gua.
Begitu tiba seketika dia berdiri termangu, sedikitpun tidak kentara
lagi adanya bekas2 pintu gua, sekarang menjadi rapat seperti
dinding batu semua.
Kemanakah mereka? Ketimpa bencana, atau... Tidak mungkin
gua batu ini tertutup dan menghilang tanpa
sebab, sudah terang kalau ditutup secara paksa oleh orang.
Ditutup sendiri oleh Phoa Kin sian guru dan murid atau disumpal
dari luar. ini susah dibedakan.
Inikah bukti dari ramalan Kangkun Lojin? Sesaat dia menjadi
bingung harus mundur atau terus maju.
Kepandaian Phoa Kin sian dengan gurunya dia tahu betul,
seumpama mengalami serangan mendadak dari luar juga tidak
sukar bagi mereka untuk mengundurkan diri dengan selamat. Tapi
yang membuatnya kuatir adalah Phoa Kin sian tengah mengandung
dan hampir melahirkan. Karena kekuatirannya inilah maka dengan
teliti ia memeriksa setiap jengkal tanah dalam solokan itu. Besar
harapannya dapat

menemukan sesuatu, tapi juga mengharap tidak menemukan
apa2. Ramalan Kangkun Lojin itu benar2 membuat dia bergidik.
Setengah harian sudah ia putar kayun dan membungkuk2, tiada
diketemukan benda2 milik Phoa Kin sian dan gurunya atau
jenazah mereka berdua. Seumpama yang melepas api ini adalah
perbuatan orang2 Bwe hwa hwe, maka mayat2 yang
bergelimpangan diluar solokan itu pasti adalah buah karya dari
Phoa Kin sian kakak beradik dan dibantu oleh bibinya. Tapi
kemana mereka sekarang?
Apakah maksud tujuan perbuatan Bwe hwa hwe ini? Meskipun
ditengah hari bolong, namun suasana dalam solokan ini menjadi
sedemikian seram dan menakutkan. Dalam keputus asaannya
Suma Bing sudah bersiap hendak tinggal pergi keluar solokan.
Baru saja niat ini timbul dalam benaknya, se-konyong2 terdengar
suara tawa yang mengekeh dingin, lantas terdengar sebuah suara
berkata: "Suma Bing, sudah lama kutunggu kedatanganmu."
Berdebar jantung Suma Bing, waktu dia berpaling, kontan
darahnya mendidih, matanya melotot dan airmukanya membeku
penuh nafsu membunuh.
Dihadapannya berdiri musuh besar bebuyutannya yaitu Loh Cu gi,
dan dibelakangnya mengiringi anak buahnya, jumlahnya tidak
kurang dari lima puluh orang.
Dari murka Suma Bing menjadi tertawa besar serunya: "Loh Cu gi,
ternyata semua ini adalah hasil karyamu!"
Loh Cu gi menjengek dingin, ujarnya: "Buyung keparat, kau
menyerah dan pasrah nasib saja."
Suma Bing maju dua langkah, katanya sambil kertak gigi: "Loh Cu
gi, agaknya Tuhan membantu akan kebenaran, seharusnya kau
sendiri yang terima binasa saja!"

"Bocah keparat, cuma sedikit mengangkat tangan saja, aku dapat
membuat seluruh tubuhmu hancur lebur menjadi abu!"
"Kau ini sedang bermimpi!" "Masih ada satu soal hendak
kutanya padamu, apakah kau
benar2 keturunan Suma Hong?" "Tak usah disangsikan lagi."
"Kalau begitu, kau memang harus mampus!" Disertai
bentakannya mendadak secarik sinar merah yang
menyilaukan melesat menerjang kearah Suma Bing, betapa cepat
cara turun tangannya ini betul2 sangat mengejutkan. Inilah puncak
kesempurnaan ilmu Kiu yang sin kang, kekuatannya dapat
melumerkan benda2 keras dan dapat membumi hanguskan benda2
yang mudah terbakar.
Sebat sekali Suma Bing berkelebat menyingkir. Loh Cu gi
perdengarkan jengekan dingin, bagai bayangan
yang selalu mengikuti bentuknya. lagi2 dia lancarkan sebuah
pukulan, kecepatan merobah serangannya sungguh susah dicari
tandingan, cahaya sinar pukulannya, melebar dan melingkupi
udara sekitar tubuhnya. Memang Suma Bing kalah latihan dan
kalah ulet, sampai akhirnya tiada tempat luang lagi untuk selalu
bermain kelit. Dalam gugupnya serta merta ilmu Giok ci sin kang
timbul dan dilancarkan menyertai isi hatinya.
Dentuman keras yang menggetarkan bumi menggoncangkan semua
hadirin. Tampak Suma Bing tersurut tiga langkah dan berdiri tegak
lagi dengan angkernya tanpa kurang suatu apa, sekelilingnya diliputi
kabut asap yang bergulung gulung.
Sungguh kejut Loh Cu gi bukan kepalang, betapa hebat dan tinggi
kepandaian tokoh silat siapapun, takkan mungkin kuat menahan
kedahsyatan pukulan Kiu yang sin kang, seumpama besi baja juga
pasti lumer. Tapi sebaliknya Suma

Bing masih tetap segar bugar tanpa kurang suatu apa setelah
menyambuti pukulannya.
Semua tokoh2 silat dibelakang Loh Cu gi juga berobah pucat pias.
Begitu melancarkan kemurnian ilmu Giok ci sin kang, ternyata kuat
bertahan melawan pukulan Kiu yang sin kang musuh, bertambah
besar tekad hati Suma Bing, ia maju selangkah lantas bentaknya
keras: "Loh Cu gi, akan kucincang dan kuhancur leburkan manusia
laknat seperti kau ini!"
Tanpa sadar Loh Cu gi mundur selangkah dengan gentar. Pada
saat itulah tiba2 lima orang tua berkelebat maju dari belakang Loh
Cu gi terus membungkuk berbareng serta berkata: "Hamba
beramai menunggu perintah!"
Loh Cu gi manggut2, tubuhnya melejit mundur sejauh delapan
tombak.
Kelima orang tua ini matanya ber-kilat2, terang kalau latihan
Lwekang mereka sudah mencapai titik kesempurnaannya, berdiri
setengah lingkaran mereka menghadapi Suma Bing dan mulai
bergerak siap untuk menyerang...
Terdengar bentakan dan hardikan yang riuh rendah, lima jalur
angin pukulan serempak bergulung menerpa kearah Suma Bing.
Suma Bing menggigit gigi kencang2, airmukanya membesi hitam
dirundung sifat kebuasan, tubuhnya berdiri tegak dan gagah
perwira laksana malaikat elmaut tanpa bergerak. Begitu diterpa
kelima jalur angin pukulan itu, Suma Bing hanya terdorong
mundur tiga tindak.
Bahwa gabungan pukulan kelima orang tua yang berkepandaian
tinggi ternyata dipandang sebagai pukulan anak2. Betapa hebat
dan tinggi kepandaian Suma Bing ini kiranya tiada tandingannya
lagi didunia ini. Seketika kelima

orang tua itu berdiri kesima dan termangu tanpa bergerak, timbul
rasa gentar dan ketakutan dalam benak masing2.
Disaat kelima orang tua itu kesima tanpa bergerak itulah, tiba2
tangan Suma Bing bergerak melintang dan berputar.
Dilancarkannya jurus pertama dari ilmu Giok ci sin kang yang baru
dipelajarinya itu, yaitu Bi cu hong bong (mayapada remang2).
Dimana gelombang badai melanda, tanah merekah dan batu hancur
lebur, pohon dan rumput berterbangan. Lima tombak sekitar
gelanggang menjadi gegap gempita, terdengarlah beberapa kali
jerit dan lolong panjang yang menyayatkan hati memecah
kesunyian udara.
Tampak tubuh kelima orang tua itu hancur lebur dan tercerai berai
kemana2 meliputi arena sepuluh tombak lebih.
Suma Bing sendiri juga terkejut dan kesima melihat hasil kekuatan
ilmu Giok ci sin kang ini, kedahsyatannya sungguh diluar taksiran
sebelumnya.
Semua jagoan Bwe hwa hwe yang hadir juga bukan main takut
dan arwahnya terasa hampir melayang meninggalkan badan
kasar.
Saat mana Loh Cu gi sudah mundur sejauh lima tombak lebih,
wajahnya menunjukkan kejut dan keheranan, matanya terlongong
memandangi Suma Bing, sungguh susah dibayangkan darimanakah
Suma Bing dapat mempelajari ilmu digdaya yang sakti mandraguna
seperti ini hanya dalam jangka tiga bulan saja?
Suma Bing maju beberapa langkah lagi. "Loh Cu gi, serahkan
nyawamu!" tiba2 dia menggertak keras, tubuhnyapun sudah
melesat tiba dihadapan Loh Cu gi terpaut tiga tombak jauhnya.
"Buyung, jangan terlalu takabur!" — selarik sinar merah kemilau
mendesis menerjang kearah Suma Bing. Sekali ini

agaknya Loh Cu gi sudah kerahkan seluruh kekuatan Kiu yang sin
kang yang dipandang sebagai ilmu yang tiada bandingannya
didunia ini.
Suma Bing juga menggerung keras, dengkulnya sedikit ditekuk,
tangannya bergerak melancarkan jurus Mayapada remang2 itu
tadi untuk menyongsong serangan lawan.
Begitu dua ilmu sakti saling berhantam terbitlah guntur yang
menggelegar, saking dahsyat benturan ini sampai bumi
pegunungan sekitarnya terasa bergetar laksana gempa bumi.
Karena benturan dahsyat ini Suma Bing terpental balik dan
terhuyung delapan langkah baru bisa berdiri tegak lagi. Sebaliknya
Loh Cu gi juga mencelat mundur tiga tombak jauhnya, air
mukanya pucat pasi, darah meleleh keluar dari ujung bibirnya.
Tokoh nomor satu pada empat belas tahun yang lalu ternyata
tidak kuat menahan gebrak pertama serangan Suma Bing. Malah
puluhan jago2 Bwe hwa hwe yang terdekat juga terpental
sungsang sumbel dan jungkir balik keempat penjuru.
Maka tanpa bersuara lagi, mendadak Loh Cu gi membalik tubuh
terus melesat terbang memasuki hutan rimba sebelah sana. Maka
semua anak buah Bwe hwa hwe yang masih ketinggalan hidup
be-ramai2 melenting mencawat ekor coba melarikan diri.
"Mau lari kemana?" Suma Bing menghardik keras sekali, tubuhnya
juga melenting maju memburu dengan kencang. Namun rimba itu
sedemikian lebat didalam bawah jurang lagi maka dalam sekejap
mata saja bayangan Loh Cu gi sudah menghilang tanpa bekas.
Saking gusar kepala Suma Bing sampai menguap, dada juga
hampir meledak, tahu dia akan sia2 ia terus mengejar, maka
begitu memutar balik ganti para kunyuk yang ketakutan itulah
yang menjadi korban demi pelampiasan kedongkolan hatinya.
Maka dimana2 timbul pekik dan jerit kesakitan yang menyayatkan
hati. Mungkin hanya seorang dari sepuluh orang yang dapat
menyelamatkan diri,

selebihnya sudah menjadi setan gentayangan dibawah tangan
Suma Bing.
Setelah mengumbar kedongkolan hatinya dengan berpesta pora
dengan pembunuhan yang keji itu, baru Suma Bing merasa puas
dan menghentikan sepak terjang selanjutnya, gumamnya sambil
kertak gigi: "Kalau aku tidak menimbulkan banjir darah di Bwe
hwa hwe, aku bersumpah tidak menjadi manusia!"
Suasana sekelilingnya sunyi senyap se-olah2 tiada insan lagi yang
masih tetap hidup didunia fana ini. Sekuat tenaga Suma Bing
menekan gejolak hatinya, serta menerawangi tindakan
selanjutnya. Langsung meluruk ke markas besar Bwe hwa hwe
atau mencari dulu jejak istri dan bibinya?
Dimanakah kiranya sekarang ibunya berada? Kalau ibunya belum
ketemu sukar untuk dapat mengetahui siapa2 saja yang menjadi
musuh besar keluarganya. Apa lebih baik mengantar dan
mengembalikan Bu siang po liok ke Siau lim si?
Setelah berpikir dan ditimang sekian lamanya, akhirnya dia ambil
keputusan untuk pergi dulu ke gereja Siau lim. Perempuan yang
terkurung dibelakang puncak Siau sit hong itulah yang masih
membuat hatinya kurang tentram, dia curiga mungkin perempuan
itu adalah ibundanya yang telah hilang itu. Maka tujuannya ini
boleh dikata sekali tepuk dua lalat.
Meskipun Pek kut Hujin pernah memperingatkan, bahwa
perempuan itu bukan orang yang tengah dicarinya, tapi ia harus
membuktikan sendiri kenyataan ini, untuk membuka ganjalan
hatinya selama ini.
Sekarang ilmu sakti sudah sempurna dipelajarinya, setahap demi
setahap dia bakal dapat menyelesaikan dendam permusuhannya
dengan para musuh besarnya, ini tinggal tunggu waktu saja.

Begitulah tanpa ayal lagi Suma Bing langsung berayun menuju ke
Siong san Siau lim.
Hari itu dia sudah beranjak dijalan raya yang menuju kewilayah Ho
lam, menurut perhitungannya lima hari lagi dia pasti sudah tiba
diatas gunung Siong san itu.
Betapa tinggi ilmu ringan tubuh Suma Bing saat itu, luncuran
tubuhnya seumpama bintang terbang. Se-konyong2 terlihat
didepan sana ada setitik putih tengah berlari kencang, semakin
lama titik putih itu tersusul dan semakin besar. Setelah membelok
sebuah tikungan bayangan putih itu melesat memasuki hutan lebat
dipinggir jalan sebelah kanan.
Sejak memperoleh ilmu Giok ci sin kang, pandangan mata Suma
Bing semakin jeli dan tajam luar biasa. Hanya sekali pandang saja
diketahuinya bahwa bayangan putih itu tidak lain adalah Rasul
penembus dada tokoh yang paling ditakuti kaum persilatan masa
itu.
43. SETELAH DITOLONG MALAH MENTUNG.
Kalau Rasul penembus dada muncul dengan gerak gerik
yang mencurigakan ini pasti ada tujuan yang tertentu. Mungkin
disinilah markas atau sarang Jeng siong hwe itu berada atau
mungkin juga...
Begitu membelok haluan dia juga mengikuti menerjang masuk
kedalam hutan lebat itu.
Dengan kepandaiannya saat itu yang sangat sakti dan
menakjupkan, meskipun gerak gerik Rasul penembus dada sangat
cekatan dan gesit sekali selulup timbul diantara dahan2 pohon,
tapi sebegitu jauh masih tak lepas dari pandangan matanya.

Dia sengaja mengendorkan langkahnya untuk mengintil terus
dibelakangnya. Betapa tinggi kepandaian Rasul penembus dada toh
sejauh itu belum mengetahui bahwa dirinya dikuntit orang.
Setelah melewati hutan lebat ini, didepan sana terlihat melintang
sebuah anak sungai yang lima tombak lebarnya, diantara
keremangan dan himpitan dahan dan daun pohon samar2 terlihat
bangunan sebuah gubuk. Tanpa sangsi dan takut2 Rasul
penembus dada langsung terbang melewati anak sungai itu terus
melesat kearah gubuk bambu itu.
Bukan kepalang heran Suma Bing, buat apa Rasul penembus dada
mendatangi sebuah gubuk reyot yang dibangun ditengah hutan
belukar begini? Mungkinkah...
Tengah ia ber-pikir2, terdengar Rasul penembus dada sudah
perdengarkan tawa dinginnya dan membuka suara kearah gubuk
bambu itu: "Pek chio Lojin, apa kau minta tuanmu ini masuk
kedalam gubuk untuk menyilahkan kau keluar?"
Begitu mendengar nama Pek chio Lojin, berdetak jantung Suma
Bing. Teringat olehnya waktu dirinya mohon sebutir Hoan hun tan
di Yo kong bio dulu, layon jenazah Pek chio Lojin terang terletak
diruang tengah sembahyang. Apa mungkin seperti apa yang
dikatakan oleh Rasul penembus dada dulu bahwa dia hanya pura2
mati untuk mengelabui?
Untuk apa dan kenapa Rasul penembus dada mati2an mengejar
dan tidak melepaskan Pek chio Lojin? Terbawa oleh keinginan
tahunya dengan gerak raga yang cepat luar biasa, seenteng daun
ia melayang melewati anak sungai itu terus menyelinap dan
sembunyi dirumpun bunga yang terletak disamping gubuk bambu.
Terdengar pintu gubuk bambu berkereyotan terbuka. Begitu pintu
gubuk terpentang berjalan keluar seorang tua ubanan yang
bertubuh tegap dan penuh semangat.

"Tua bangka!" maki Rasul penembus dada dengan sikap angkuh
dan dingin, "waktu di Yok ong bio untung kau dapat lolos, tapi
dapat menghindari yang pertama takkan dapat lolos untuk yang
kedua. Semua orang yang terdaftar dalam buku catatan, siapapun
takkan dapat menyelamatkan diri!"
Wajah Pek chio Lojin menampilkan rasa kaget dan ketakutan,
katanya gemetar: "Lohu sudah lama tidak mencampuri urusan
dunia, kenapa perkumpulan kalian tetap tidak melepas Lohu?"
"Enak benar kau berkata tiada turut campur urusan dunia.
Ketahuilah, cundrik yang kemilau tajam ini selamanya belum
pernah membunuh seorang tanpa berdosa!"
Pek chio Lojin tersurut selangkah, semprotnya bengis: "Ada
permusuhan apa Lohu dengan perkumpulan kalian?"
Rasul penembus dada menjengek dingin: "Sudah tentu akan
kubuatmu mati secara tulus ikhlas!" sambil berkata itu, sinar
cundrik ditangannya berkelebat, tahu2 ia sudah mendesak tiba
dihadapan Pek chio Lojin sejarak jamahan tangan.
Pek chio Lojin tertawa getir, katanya: "Rasul penembus dada,
waktu cundrikmu menembus dadaku, juga saat ajalmu sudah
tiba."
Rasul penembus dada tertawa gelak2, ejeknya tanpa mengacuhkan
ancaman lawan: "Tua bangka, kau pintar meramu rumput obat2an,
paham betul akan sifat2 pengobatan juga pandai menggunakan
racun. Tapi ketahuilah, kau akan sia2, hanya racunmu yang tidak
berarti itu, kau mampu mengapakan aku apa?"
Berobah pucat wajah Pek chio Lojin, tubuhnya gemetaran,
keringat dingin membanjir keluar.
Tiba2 mulut Rasul penembus dada kemak kemik entah apa yang
dikatakan.

Seketika rambut Pek chio Lojin berdiri tegak, airmukanya semakin
pucat sampai raganya juga terhuyung limbung, serta serunya
tergagap: "Kau... kau... kau ini..."
"Kau akan mati tanpa penasaran!" seru Rasul penembus dada
sambil mengayun cundrik.
"Stop!" mendadak pada saat itu juga terdengar sebuah bentakan
nyaring, diiringi suara bentakan ini, tampak seorang pemuda
berwajah cakap ganteng dengan airmuka kaku dingin muncul dari
rumpun bunga bagai bayangan setan saja.
Dia tak lain tak bukan adalah Sia sin kedua Suma Bing adanya.
Saking terkejut Rasul penembus dada mundur tiga tindak,
serunya gemetar: "Lagi2 kau!"
"Benar, inilah cayhe adanya!" sahut Suma Bing tawar. "Suma
Bing, apa kehendakmu?" Nama Suma Bing ini agaknya
membuat Pek chio Lojin
tergetar dan melongo. Setelah melirik kearah Pek chio Lojin
berkatalah Suma Bing:
"Tidak apa2, hari ini aku tidak izinkan kau membunuh orang!"
"Suma Bing, berulangkali kau merintangi dan menentang
sepak terjangku, apa kau tahu apa akibatnya nanti?"
"Bagaimana?" "Cundrik ini akan menembus dadamu!" "Hehehe,
meski cundrikmu sangat tajam, mungkin tidak
mempan menembusi dadaku!" "Ya, nanti kita buktikan!" "Selalu
cayhe nantikan, tapi sekarang kusilahkan kau
segera menggelinding pergi?" "Suma Bing, kau sangka aku
tidak kuasa membunuhmu?"

"Memang kenyataan kau tidak mampu!" Rasul penembus dada
menggerung gusar, sinar cundriknya
berkelebat bagai kilat langsung menusuk keulu hati Suma Bing.
Tapi Suma Bing bergerak lebih cepat berkelit kesamping sambil
bentaknya: "Kau sendiri yang cari mati?"
Begitu serangannya gagal, mendadak Rasul penembus dada
membalik tubuh terus menusuk kearah Pek chio Lojin.
Perbuatan Rasul penembus dada ini benar diluar dugaan Suma
Bing, dalam gugupnya mendadak ia lancarkan pukulan jarak jauh.
'Blang' disertai pekik kesakitan, tampak Rasul penembus dada
sempoyongan dua tombak jauhnya.
Darah segar mengalir deras dari dada Pek chio Lojin, tubuhnya
limbung hampir roboh. Agaknya pukulan Suma Bing tadi telah
menolong jiwanya, sehingga tusukan Rasul penembus dada tidak
menamatkan jiwanya.
Mata Suma Bing melotot ber-api2 menatap wajah dibalik kedok
Rasul penembus dada, desisnya: "Kali ini kuampuni jiwamu, lekas
menggelinding pergi!"
Insaf kalau bukan tandingan Suma Bing lagi, maka setelah
membanting kaki dengan gemesnya, Rasul penembus dada
mencelat jauh terus menghilang.
Saat mana Pek chio Lojin sudah menutup jalan darah seperlunya,
lalu katanya gemetar: "Sudah dua kali Suma siau hiap mengulur
tangan menolong jiwa Lohu, sungguh terima kasih Lohu tak
terhingga."
Sebetulnya Suma Bing sendiri juga tidak tahu mengapa dia turun
tangan menolong jiwa Pek chio Lojin. Mungkin karena rasa
dendamnya kepada Rasul penembus dada belum lenyap.

Dia tahu kalau Rasul penembus dada tengah menuntut balas, tapi
akhirnya toh dia turun tangan juga.
Dulu walaupun dirinya pernah memperoleh sebutir Hoan hun tan,
namun dirinya sudah membelanya mati2an dari renggutan elmaut
ancaman Rasul penembus dada, sehingga layon Pek chio Lojin
tidak sampai hancur berantakan.
Loh Siau ling itu murid perempuan Pek chio Lojin adalah putri
musuh besarnya Loh Cu gi. Kalau Racun diracun tidak muncul
tepat pada waktunya, terang dirinya sudah konyol dibawah
penggantian syarat yang diajukan oleh Loh Siau ling. Kalau
dikatakan budi dan dendam kedua belah pihak sudah sama hapus
dan himpas, sudah tiada hutang piutang lagi.
Oleh karena pikirannya ini, maka dengan tawar ia menyahut:
"Tidak perlu terima kasih apa segala, cayhe tidak sengaja hendak
menolong jiwamu!"
Ujar Pek chio Lojin dengan perasaan haru: "Tapi kenyataan tetap
kenyataan tak mungkin dihapus dan diakui!"
Segera Suma Bing angkat tangan serta ambil berpisah: "Cayhe
minta diri!"
Se-konyong2 terdengar keluhan panjang lantas terlihat Pek chio
Lojin roboh terkapar.
Terperanjat Suma Bing, pikirnya: 'agaknya lukanya itu tidak ringan
kalau sudah mau menolong jangan kepalang tanggung, biar
kupayang masuk kedalam gubuk, mati atau hidup terserah kepada
nasibnya sendiri.'
Maka bergegas ia maju mendukung tubuh Pek chio Lojin terus
dibawa masuk gubuk. Keadaan dalam gubuk sangat sederhana,
hanya terdapat sebuah meja kursi dan sebuah lemari dan sebuah
dipan. Keadaan ruang sebelah dalam sana tidak diketahui karena
tertutup kain yang menjulai panjang diatas pintu. Sedikit ragu2
lantas Pek chio Lojin direbahkan diatas dipan itu.

Baru saja ia hendak meletakkan tubuh yang dibopongnya itu, tiba2
terasa jalan darah Bing bun hiat kesemutan. Hatinya tercekat dan
sebelum suaranya keluar tubuhnya sudah terkapar jatuh lemas.
Pek chio Lojin melompat bangun sambil bergelak tawa kegila2an.
Mimpi juga Suma Bing tidak menyangka Pek chio Lojin bakal
membalas kebaikannya dengan tipu muslihat keji ini. Karena tidak
mengira dan ber-jaga2 waktu sadar namun sudah terlambat,
karena jalan darah sendiri sudah tertutuk oleh lawan.
Meskipun Giok ci sin kang merupakan ilmu digdaya yang tiada
taranya yang dapat melindungi jiwa raganya, tapi sebelum pikiran
bekerja ilmu ini takkan dapat bergerak sendiri. Demikian juga
keadaan sekali ini, belum pikiran siaganya timbul tahu2 sudah
tertutuk maka bagaimanapun lihay dan ampuh ilmunya itu saat ini
toh tidak berguna lagi, begitu kena tertutuk keadaannya tak
ubahnya seperti manusia umumnya.
Kain panjang yang menjulai itu tersingkap, keluarlah seorang gadis
cantik rupawan serba hitam dengan langkahnya yang ringan dan
berlenggang. Dia bukan lain adalah Loh Siau ling. Putri musuh
bebuyutannya.
Hampir meledak dada Suma Bing, ingin rasanya membeset dan
mencincang kedua orang tua muda dihadapannya ini. Tapi karena
jalan darah sudah tertutuk, memaki atau gembar- gembor juga
tidak berguna. Dia insaf keadaannya ini sangat kritis, sudah terang
kalau Pek chio Lojin ini adalah komplotan dari pihak Bwe hwa hwe,
kebaikan hatinya tadi berarti mengantar badan sendiri kemulut
harimau, keruan sangat kebetulan bagi mereka.
Maka diam2 ia kerahkan ilmu saktinya untuk coba2 membobol
sendiri jalan darah yang tertutuk itu.

Sekilas Loh Siau ling melirik kearah Suma Bing serta jengeknya
dingin: "Gwakong (kakek), sungguh membuat aku gugup
setengah mati. Untung ada makanan empuk ini yang menyibakkan
kesialanmu!"
Walaupun Suma Bing tertutuk tidak dapat bergerak, namun
pendengarannya masih terang. Panggilan Gwakong itu
membuktikan bahwa ibu Loh Siau ling yaitu Ang siu li Ting Yan
pasti adalah anak perempuan Pek chio Lojin ini.
Pek chio Lojin bergelak tertawa, ujarnya: "Ini benar2 suatu
kebetulan yang sangat kebetulan."
"Bagaimana keadaan luka Gwakong?" "Hanya luka luar saja,
dalam dua hari pasti sudah sembuh." "Lantas bocah ini
bagaimana?" "Lenyapkan ilmu silatnya dan bawa kembali
kemarkas
besar!" "Melenyapkan ilmu silatnya?" "Sudah tentu, kalau tidak
siapa berani membawa2 harimau
galak ini!" "Bukankah dibunuh saja lebih beres?" "Eeee, jangan!"
"Kenapa?" "Hehehehehe, ketahuilah kedudukan bocah ini sangat
penting dia adalah Huma dari Te po itu salah satu tempat kramat
yang paling disegani, harga dirinya tidak dibawah benda2 pusaka
dunia persilatan..."
"Aku tidak mengerti!" "Lingji," ujar Pek chio Lojin bergelak
tertawa sambil
mengurut janggutnya, "Apa kau tahu tokoh macam apakah
mertua bocah ini atau majikan dari Te po itu?"

"Aku tidak tahu!" Pikiran Suma Bing tetap terpusat dalam
pengerahan tenaga
untuk menjebol jalan darah yang tertutuk. Terdengar Pek chio
Lojin berkata riang gembira: "Anak
Ling, dia bernama Pit Gi!" "Pit Gi? Memangnya kenapa?" "Tokoh
silat nomor satu pada pertandingan silat dipuncak
Hoa san yang pertama!" "O! Jadi ayah adalah tokoh silat nomor
satu pada aduan
silat yang kedua, ini juga tidak..." "Anak Ling, kau ini orang kecil
tapi pambekmu besar. Apa
kau kira gampang memperoleh julukan tokoh silat nomor satu
diseluruh jagad ini. Berapa banyak orang yang mengimpikan
mendapat julukan yang diagungkan ini."
"Apakah tokoh silat nomor satu diseluruh jagad lantas benar2
tiada tandingannya diseluruh dunia?"
"Ini juga belum tentu. Orang pandai masih ada yang lebih pandai,
gunung tinggi ada yang lebih tinggi lagi. Begitu juga tokoh silat
nomor satu diseluruh jagad, hanya diukur dari keadaan waktu itu
pada tokoh2 silat yang ikut bertanding saja, lantas dari
pertandingan itu keluarlah sang juara..."
"Hal ini ada sangkut paut apa dengan Suma Bing?" "Sudah
tentu ada hubungannya. Konon waktu Pit Gi dulu
merebut kedudukan korsi pertama yang teragung dalam kalangan
persilatan, itu adalah karena mengandalkan Kiu im sin kang. Kalau
kita menggunakan Suma Bing sebagai sandera dan minta, dia
mengeluarkan Kiu im sin kang sebagai imbalannya, lalu digabung
dengan Kiu yang sinkang ayahmu. Begitu negatif dan positif
bergabung dapat melatih sebuah ilmu yang dinamakan Bu khek sin
kang. Seluruh jagad raya ini takkan ada orang yang berani
menandingi!"

"Apa benar?" "Masa kakekmu mau ngapusi kau?" "Darimana
kau bisa tahu bahwa majikan Te po itu adalah
tokoh nomor satu yang terdahulu itu?" "Julukan Pit Gi adalah Kiu
im Suseng. Waktu dia menduduki
tokoh pertama dulu semua orang jelas mengetahui, hanya mereka
tidak tahu bahwa dia ternyata adalah majikan dari Te po.
Kebetulan Gandarwa merah Ngo Tang, anak buah dari Menara
setan mendapat tugas untuk pergi menantang kepada Pit Gi,
maka berita ini baru tersebar diseluruh Kangouw, kalau tidak
teka-teki ini takkan ada yang dapat memecahkan."
"O, kiranya begitu!" "Urusan ini sangat penting jangan
di-tunda2 lagi, lenyapkan
dulu ilmu silatnya!" Habis ucapannya tangannya diulur hendak
menutuk jalan darah dibawah perut Suma Bing.
"Eh, benda apakah ini?" tiba2 ia berseru heran. Usaha Suma
Bing sudah hampir mencapai hasil, begitu
melihat Pek chio Lojin hendak melenyapkan ilmu silatnya lalu
merogoh keluar buntalan merahnya, keruan kaget dan serasa
semangatnya melayang keluar, karena tak dapat bergerak
terpaksa dia diam saja.
"Apakah itu?" tanya Loh Siau ling cepat. Pelan2 Pek chio Lojin
membuka buntalan merah itu, lalu
diambilnya sejilid buku kecil yang agak tipis. Begitu melihat judul
diatas sampulnya, kontan dia tertawa gelak2 bagai mendapat lotre
jutaan.
"Gwakong, apakah itu sebenarnya?" "Bu siang po liok,
hahahahaha... Ilmu gerak tubuh paling
hebat diseluruh jagad ini entah bagaimana bisa terdapat ditubuh
bocah ini?"

"Coba kulihat!" seru Loh Siau ling terus maju merebut... Pada
saat itulah kebetulan jalan darah Suma Bing sudah
bobol semua terus mendadak mencelat bangun langsung
mencengkram kearah Bu siang po liok itu.
Terdengar dua seruan kaget dan tertahan, Loh Siau ling dan Pek
chio Lojin lari lintang pukang keluar gubuk.
Begitu cengkramannya luput, Suma Bing juga ikut melesat keluar.
Sungguh bencinya kepada Pek chio Lojin luar biasa, tanpa banyak
suara lagi dengan jurus Mayapada remang2 langsung ia
menyerang Pek chio Lojin.
Dimana gelombang badai menerjang tiba menimbulkan angin ribut
yang gegap gempita, tampak raga Pek chio Lojin terbang
me-layang2 diselingi jeritannya yang menyayatkan hati, terus
terbanting keras diatas tanah, kira2 sejauh sepuluh tombak sana.
Loh Siau ling sendiri juga terpental sempoyongan jungkir balik.
Mata Suma Bing menatap tajam kearah Loh Siau ling, pintanya:
"Kembalikan!"
Wajah Loh Siau ling pucat pasi, jantungnya berdetak keras
hampir melonjak keluar, mundur ketakutan tanyanya gemetar:
"Kau bunuh Gwakongku?"
"Gwakongmu?" dengus Suma Bing penuh kebencian, "Hehehe,
ketahuilah, dari ayahmu sampai seluruh anak buah dan
keluarganya akan kutumpas habis se-akar2nya!"
"Suma Bing," seru Loh Siau ling bengis. "Ada dendam dan sakit
hati apakah kau dengan ayahku?"
"Dendam sedalam lautan, kebencian setinggi gunung. Sekarang
kau dulu yang harus kubunuh!"
"Jangan bergerak!"

Loh Siau ling berteriak tinggi sambil mengacungkan Bu siang po
liok serta ancamnya lagi: "Suma Bing, berani kau bergerak, biar
kuremas hancur bukumu ini!"
Suma Bing terkesiap, kalau lawan benar2 menghancurkan buku
itu, bagaimana kelak dia memberi laporan kepada Giok li Lo Ci,
dan bagaimana pula dia harus memberi pertanggungan jawab
kepada pihak Siau lim? Inilah buku catatan ilmu warisan yang
sangat berharga dari partai Siau lim!
Loh Siau ling melihat akan kekejutan Suma Bing, tahu dia bahwa
tindakan dan ancamannya ternyata membawa hasil, maka katanya
lagi sambil tersenyum ejek: "Suma Bing, sekarang kau boleh pergi.
Kalau kau memang seorang jantan datanglah kemarkas besar Bwe
hwa hwe untuk mengambilnya. Seumpama kau berani
menggunakan kekerasan pasti kuhancurkan dulu Bu siang po liok
ini!"
"Kau berani?" "Kenapa tidak berani?" "Berani kau merusak buku
itu, akan kubuat tubuhmu
hancur lebur menjadi abu!" Pada saat itulah tiba2 melayang turun
sebuah bayangan
hitam, kiranya seorang pemuda ganteng. "Kau..." tercetus seruan
kejut dan heran dari mulut Suma
Bing. Pemuda ganteng yang tak diundang ini tidak lain adalah
adik ipar Suma Bing yaitu Phoa Cu giok. Kedatangannya yang
mendadak ini benar2 mengejutkan Suma Bing.
"Engkoh Giok!" terdengar Loh Siau ling memanggil dengan
mesranya.
Keruan Suma Bing melengak heran, agaknya Loh Siau ling ini
adalah kekasih Phoa Cu giok, ini benar diluar tahunya.

Sekilas Phoa Cu giok memandang Suma Bing, lalu berputar
menghadapi Loh Siau ling dan berkata: "Adik Ling, ada kejadian
apakah?"
"Dia hendak membunuh aku!" "Bunuh kau, mengapa?"
"Katanya dia bermusuhan dengan ayahku, itu kakekku
telah dibunuhnya!" Suma Bing tidak tahan lagi, tanyanya: "Cu
giok, dimana
Suhu dan toacimu?" "Aku tidak tahu?" sahut Cu giok tertegun.
"Apa kau tidak tahu?" "Bukankah didalam lembah?" "Hm, disana
sekarang sudah menjadi tumpukan puing,
itulah karya dari Bwe hwa hwe!" Berobah hebat airmuka Phoa Cu
giok. "Engkoh Giok, kau, kenal dia?" tanya Loh Siau ling heran.
"Dia adalah cihuku (suami kakak)!" "Apa Suma Bing adalah
cihumu?" Suma Bing menatap Phoa Cu giok dan berkata berat:
"Suruh dia mengembalikan buku itu kepadaku!" "Buku, buku apa?"
"Bu siang po liok. Kudapat titipan dari orang untuk
dikembalikan ke Siau lim si!" "Bu siang po liok, benda berharga
dunia persilatan!" Rona wajah Phoa Cu giok berobah tak
menentu, akhirnya ia
berpaling kearah Loh Siau ling dan serunya: "Kembalikan kepada
dia!"
"Tidak mungkin!"

"Kau tidak dengar kataku?" "Nanti dia akan membunuh aku!"
"Ada aku disini tidak nanti dia membunuh kau!" Menggunakan
kesempatan percakapan mereka inilah bagai
b a y a n g a n i b l i s s a j a S u m a B i n g
b e r k e l e b a t m a j u l a l u m e n c e n g k r a m
s e c e p a t k i l a t , t e r u s b e r k e l e b a t
l a g i k e m b a l i k e t e m p a t a s a l n y a . B u
s i a n g p o l i o k s e k a r a n g s u d a h
k e m b a l i d a l a m g e n g g a m a n n y a ,
b e t a p a c e p a t d a n s e b a t
g e r a k a n n y a b e n a r 2 s a n g a t
m e n g e j u t k a n .
Untuk membunuh Loh Siau ling sekarang bagi Suma Bing
segampang membalikkan tangan. Tapi dia menjadi ragu2 dan
bimbang, karena dia adalah bakal atau calon istri Phoa Cu giok adik
iparnya, tak mungkin dia turun tangan, seumpama tidak
membunuhnya, kejengkelan hatinya ini rasanya sukar terlampias.
Dengan rasa kejut dan curiga bertanyalah Phoa Cu giok kepada
Suma Bing: "Cihu, menurut katamu cici dan suhu telah hilang?"
Suma Bing mengiakan. "Benarkah dalam lembah sana sudah
terbumi hangus
menjadi tumpukan puing?" "Kau kira aku berdusta?" "Perbuatan
dari Bwe hwa hwe?" "Benar, malah pernah kutempur Loh Cu gi
didalam lembah
itu, sayang dia dapat meloloskan diri." Terlintas bayangan nafsu
membunuh diwajah Phoa Cu giok,
namun mimiknya ini tidak kentara dilahirnya. Katanya sambil
mendekat kearah Loh Siau ling: "Adik Ling, cici dan Suhuku telah
hilang, karena perbuatan ayahmu serta anak buahnya!"

Sahut Loh Siau ling lesu berduka: "Itu bukan urusanku, apalagi
kau sendiri tidak pernah memperkenalkan asal- usulmu, siapa
tahu..."
"Setiap orang yang menyakiti hati Phoa Cu giok harus kubalas?"
"Engkoh Giok, kau..." "Adik Ling, tubuhmu sudah menjadi
milikku, sudah tentu
kau tak mungkin lari menikah dengan orang lain, hidup atau mati
jadi setan juga kau sudah menjadi keluarga Phoa, coba katakan
betul tidak?"
Loh Siau ling mundur ketakutan, tanyanya: "Engkoh Giok, untuk
apa kau berkata demikian? Kau masih menyangsikan cintaku
kepadamu?"
"Tidak, aku tahu kau sangat mencintai aku!" "Lalu kau..."
"Mendadak aku sadar bahwa aku tidak mungkin mencintai
kau lagi!" Pucat wajah jelita Loh Siau ling, desisnya gemetar: "Kau
tidak cinta aku lagi?" "Benar, bukan tidak cinta, tapi tidak mungkin
mencintai
kau!" "Engkoh Giok, aku..." dua butir airmata meleleh membasahi
pipinya yang putih halus ke-merah2an, agaknya cintanya terhadap
Phoa Cu giok memang sangat dalam.
Phoa Cu giok masih tetap tenang tanpa berobah nada ia berkata
lagi: "Adik Ling, kau jangan salahkah aku?"
"Aku... engkoh Giok, aku cinta kepadamu! Perbuatan ayah yang
durhaka itu jangan kau timpahkan kepadaku..."
"Siapa menyuruh kau menjadi putrinya?"

"Kau... apa yang hendak kau lakukan?" Membesi raut muka
Phoa Cu giok, geramnya: "Aku harus
membunuhmu!" Ucapan ini membuat Suma Bing melonjak kaget,
terus
teriaknya: "Cu giok, jangan sembrono..." Tapi sudah terlambat,
belum lenyap seruan Suma Bing,
sudah terdengar jeritan panjang yang mengerikan memecah
kesunyian udara.
Phoa Cu giok benar2 tega membunuh kekasihnya sendiri, ini
benar2 kejadian yang susah dapat dipercaya.
Sedemian cakap dan ganteng pemuda ini, tidak nyana berhati
kejam telengas dan buas melebihi binatang, sedemikian tega dia
turun tangan jahat kepada kekasihnya.
Suma Bing sendiri sampai merinding dan berdiri bulu kuduknya,
serunya gemetar: "Phoa Cu giok, kau betul2 membunuhnya?"
Phoa Cu giok tenang2 seperti tak terjadi apa2, sahutnya acuh tak
acuh: "Aku Phoa Cu giok pasti membalas setiap perbuatan orang
yang menyakiti hatiku. Kejadian ini harus kau salahkan ayahnya!"
"Tapi dia adalah kekasihmu?" "Kekasih lantas terhitung apa,
sedemikian besar dunia ini
dimana2 aku dapat memetik bunga yang harum!" Bergidik dan
merinding seluruh tubuh Suma Bing. Baru
pertama kali ini ditemuinya seorang yang kejam tidak mengenal
kasihan ini, apalagi seorang pemuda yang cakap dan belum
berusia dua puluh.
"Phoa Cu giok, kau terlalu kejam!" "Suma Bing, terpaksa kau
kuakui sebagai cihu, harap
bicaralah sungkan sedikit!"

Keruan timbul kemurkaan Suma Bing, bukan karena menyayangi
kematian Loh Siau ling, sebab Loh Siau ling adalah putri musuh
besarnya, adalah karena sepak terjang dan perbuatan Phoa Cu giok
yang keji tidak mengenal peri kemanusiaan itulah menimbulkan
rasa tidak puasnya, maka sahutnya dingin: "Kau tidak mau
mengakui bahwa perbuatanmu ini mendekati perbuatan yang
sadis?"
"Hal itu memang belum pernah kupikirkan, aku hanya memikirkan
keselamatan cici dan Suhu saja!"
"Tapi kan belum tentu mereka benar2 sudah meninggal bukan?"
"Tidak peduli bagaimana, pendeknya dia memang setimpal
menerima kematiannya!"
"Phoa Cu giok, perbuatanmu inilah yang setimpal harus dibunuh!"
Phoa Cu giok menyeringai sinis, ujarnya: "Suma Bing jangan kau
takabur akan kepandaianmu, jikalau tidak kupandang muka cici..."
"Kau mau apa?" "Kau juga harus kubunuh!" Hampir meledak
dada Suma Bing, saking marah dia malah
tertawa, serunya: "Cobalah kau turun tangan." "Kau sangka aku
tidak berani?" sambil menggerang
langsung ia menggenjot kedada Suma Bing, baru sampai ditengah
jalan pukulannya mendadak bergetar menjadi bayangan beberapa
buah kepelan seakan bunga salju yang me-layang2 ditengah udara
terus mengurung dua belas jalan darah penting bagian atas tubuh
Suma Bing. Pukulan ini boleh dikata sangat aneh dan ganas sekali.

Sungguh gusar Suma Bing bukan kepalang, tanpa berayal iapun
himpun kekuatan Kiu yang sin kang sampai sepuluh bagian untuk
menyongsong pukulan musuh.
Maka terdengarlah gerungan tertahan, tampak Phoa Cu giok
tergentak terbang dua tombak lebih, ujung bibirnya meleleh darah
segar.
Suma Bing menjadi tertegun, pikirnya, agaknya pukulanku terlalu
berat?
Wajah Phoa Cu giok penuh diliputi rasa kebencian yang ber-api2,
sorot matanya buas, hardiknya bengis: "Suma Bing, jangan kau
sesalkan aku turun tangan kejam..."
Pada waktu yang tepat itulah mendadak terdengar sebuah
bentakan nyaring: "Cu giok, berani kau kurangajar kepada
cihumu!"
Begitu lenyap suara itu, meluncurlah sebuah bayangan dihadapan
mereka. Pendatang ini bukan lain adalah bibi Suma Bing Ong Fong
jui adanya.
Dengan kejut dan rasa takut2 Phoa Cu giok mundur dua langkah
terus bertekuk lutut, sapanya: "Suhu terimalah hormatku!"
Dingin2 saja Ong Fong jui melotot kearahnya, ujarnya: "Cu giok,
lagi2 kau berani lari keluar. Inilah yang terakhir kuperingatkan
kepadamu, jikalau kau berani berbuat jahat menyebar bencana
dimana2, pasti kuhukum menurut peraturan perguruan nomor
satu!"
"Ampun Suhu, anak Giok sudah insaf akan dosanya!" Baru
sekarang Suma Bing berkesempatan maju memberi
hormat serta sapanya: "Bibi kau baik2 saja!" "Bing tit, apakah
yang telah terjadi?" Segera Suma Bing menceritakan secara
ringkas jelas.
Sehingga Ong Fong jui gusar bukan kepalang, semprotnya

kepada Phoa Cu giok: "Cu giok, memang kau setimpal untuk
dibunuh. Mengingat pesan terakhir ayah ibumu maka cicimu
sangat menyayang dan mengeloni kau. Akan datang suatu hari
pasti cicimu akan celaka ditanganmu sendiri."
Phoa Cu giok tunduk diam saja tanpa berani bergerak. Kata
Suma Bing: "Bibi, apakah Kin sian selamat?" "Dia baik2 saja,
kenapakah kau tanyakan dia?" "Ini... tidak apa2 hanya bertanya
saja, dimanakah dia
sekarang?" "Ubek2an kemana2 mencari bocah durhaka ini, ai, dia
sungguh kasihan... dia seorang yang welas asih!" "Waktu Titji
kembali kedalam lembah, kutemui..." "Karena curiga kau
sembunyi didalam lembah, maka Bwe
hwa hwe melepas api membakar lembah untuk memaksa kau
keluar!"
"O!" demikian seru Suma Bing, baru sekarang ia tahu duduk
perkara sebenarnya.
"Bing tit, agaknya Lwekangmu..." "Titji sudah mencapai hasil
mempelajari ilmu yang tertera
didalam Pedang darah dan Bunga iblis!" "Ah, apa benar, sungguh
menggirangkan dan kuberi
selamat kepadamu. Bagaimana jejak ibumu dan musuh besarmu?"
"Ini... masih belum ketemu!" "Kau harus berusaha sekuat
tenaga untuk menyirapi
keadaan ibumu, kalau tidak para musuh yang turut dalam
pengeroyokan di puncak kepala harimau itu susah dapat kau
selidiki!"
"Benar!"

"Aku juga akan membantu sekuat tenaga mencari." "Terima
kasih akan bantuan bibi!" "Sekarang kemana kau hendak pergi?"
"Aku diutus seorang Cianpwe untuk menyelesaikan
pertikaian ratusan tahun yang lalu digereja Siau lim!" "Pertikaian
apakah itu?" "Untuk mengembalikan Bu siang po liok kepunyaan
Siau lim
yang hilang pada ratusan tahun yang lalu!" "O, kalau begitu kau
harus segera berangkat!" Setelah berpisah dengan bibinya, Suma
Bing menyusuri
jalan raya terus melanjutkan perjalanan menuju ke Siau lim si.
Hari itu, pagi2 benar sebelum sang surya mengunjukkan
diri dari peraduannya. Didepan pesanggrahan gereja Siau lim
muncullah seorang pemuda yang bertubuh tegap garang dengan
sikap kaku dingin dan angkuh. Dia bukan lain adalah Suma Bing.
Terbayang olehnya peristiwa yang terdahulu waktu dirinya
teringkus dan dikurung didalam gereja agung ini. Maka
tersimpullah dalam benaknya suatu tekad yang melebihi batas...
"Tuan darimanakah itu sepagi ini sudah berkunjung ke biara kita,
silahkan berhenti."
Disusul muncul dua pendeta yang beralis tebal ditengah jalan
yang menuju keatas gunung.
"Cayhe Suma Bing, berkunjung untuk kedua kalinya." Setelah
melihat tegas siapa yang datang ini, kedua pendeta
itu mundur ketakutan, salah seorang pendeta memberanikan diri
bertanya: "Ada keperluan apa Sicu berkunjung?"
Tiraik
asih
Websi
te
http://
kangz
usi.co
m/
"Laporkan kepada Ciangbun kalian bahwa aku Suma Bing ada
urusan penting mohon bertemu!"
"Harap Sicu suka menanti sebentar!" kedua pendeta itu terus
berlari bagai terbang. Tak lama kemudian seorang pendeta tua
yang berwajah bersih dan angker melayang tiba diluar pintu
pesanggrahan luar itu.
Sekali pandang tahulah Suma Bing, pendeta yang mendatangi ini
bukan lain adalah Liau Ngo Hwesio, segera ia angkat tangan
menyapa: "Selamat bertemu Taysu!"
44.
SUM
A
BIN
G
MEN
GAL
AHK
AN
HUI
KON
G
TAYS
U
Liau Ngo bersabda Buddha, lalu berkata dengan suara
gemerantang: "Suma sicu berkunjung pula kebiara kita, tentu ada
keperluan bukan?"
"Kalau tiada urusan takkan berkunjung ketempat suci, sudah tentu
cayhe ada urusan sangat penting!"
"Harap tanya..." "Setelah bertemu dengan Ciangbun kalian
pasti akan cayhe
terangkan!" Pelajaran dan pengalaman yang terdahulu membuat
Liau
Ngo serba salah mengambil keputusan, setelah bimbang sekian
lamanya akhirnya dia berkata: "Kenapa sicu tidak terangkan
sekalian maksud kedatanganmu, supaya Pinceng ada alasan
memberi laporan!"
Sahut Suma Bing dingin: "Sebelum bertemu dengan Ciangbun
kalian, maaf aku tidak akan menerangkan!"
"Kalau begitu terpaksa pinceng menolak permintaan sicu, harap
sicu..."

"Cayhe minta bertemu secara hormat, lebih baik Taysu jangan
mempersukar, kalau tidak..." nada Suma Bing mengancam.
"Kau mau apa?" "Aku bisa langsung pergi menemui Ciangbun
kalian tak
usah Taysu pergi melapor." Berobah airmuka Liau Ngo, sabdanya:
"Omitohud. sicu
terlalu memandang rendah Siau lim kita..." "Kau sendiri yang
mengatakan begitu!" "Biara kita adalah tempat suci yang agung,
harap sicu
berpikir sebelum bertindak!" "Sudah kukatakan ada urusan
penting baru aku datang
kemari!" "Silahkan terangkan maksudmu itu?" "Belum tiba
saatnya!" "Kalau begitu Pinceng tak dapat menyetujui!" "Maka
jangan kau salahkan aku berlaku kurang hormat,
awas aku akan menerjang masuk!" Dari belakang Liau Ngo
serempak muncul delapan pendeta
yang rata2 berusia pertengahan membekal pentungan, berdiri
jajar diluar pintu pesanggrahan.
Suma Bing mendengus dingin, katanya menegasi: "Taysu aku
tiada minat turun tangan. Kalau kalian masih tidak mengalah dan
memaksa cayhe turun tangan, segala akibatnya harus kalian
sendiri yang bertanggung jawab?"
Liau Ngo si penyambut tamu bergetar hatinya, ujarnya tersendat:
"Sicu tidak mengingat pelajaran yang terdahulu?"
Maksud ucapan Liau Ngo ini hendak memperingati Suma Bing,
bahwa dia dulu sudah pernah diringkus oleh Hui Kong

Taysu dalam satu gebrakan, dan dikurung dikamar Ceng sim sek,
peristiwa itu merupakan noda hitam bagi Suma Bing.
Justru ini sangat menusuk perasaan dan gengsi Suma Bing,
timbullah sifat ugal2annya, serunya sambil bergelak tertawa:
"Taysu, setiap waktu aku juga selalu ingat peristiwa yang
memalukan itu!"
Liau Ngo tertegun, tanyanya: "Jadi maksud kedatangan sicu ini
adalah untuk..."
Suma Bing menukas kata2 orang: "Aku tidak sabar menanti lagi?"
"Kalau sicu tidak mau menerangkan maksud kedatanganmu, maka
Pinceng tidak akan menyambut secara hormat!"
"Kalau begitu silahkan kalian minggir!" Wajah Liau Ngo
berobah tegang, matanya melotot gusar
dan bersiaga, serempak kedelapan pendeta berpentung itu juga
mengayunkan senjatanya. Agaknya bila Suma Bing benar2 hendak
menerjang dengan kekerasan, pasti mereka akan turun tangan
mengeroyok.
Suma Bing ganda mendengus ejek, tantangnya: "Kalian
menantang berkelahi?"
Bentak Liau Ngo dengan bengisnya: "Ditempat yang kramat dan
agung ini jangan kau main lagak dan bertingkah!"
Memang Suma Bing sengaja hendak menuntut balas kekalahannya
tempo hari untuk menjunjung pulang gengsinya, tapi tiada
maksudnya hendak melukai orang. Maka diam2 ia kerahkan
kekuatan Giok ci sin kang untuk melindungi badan, mulutnya
berejek menghina: "Aku tidak percaya akan obrolanmu!" sambil
berkata bergegas ia angkat langkah terus menerjang maju.

Sambil bersabda Buddha Liau Ngo angkat sebelah tangannya terus
mengepruk.
Tanpa berkelit atau menyingkir Suma Bing seakan2 tidak merasa
dan melihat serangan lawan ini. 'Blang,' dentuman yang keras ini
malah membuat tubuh Liau Ngo membal balik menumbuk pintu
pesanggrahan, tangannya seperti memukul diatas besi baja yang
keras luar biasa sehingga telapak tangannya kesakitan sendiri.
Menggunakan peluang inilah tiba2 Suma Bing berkelebat
menghilang terus berlenggang menuju keatas gunung. Terdengar
bentakan dan makian yang riuh rendah, delapan senjata pentungan
berbareng meluruk mengepruk keatas kepalanya. Betapa hebat
serangan gabungan ini sampai menerbitkan angin badai yang
menderu2. Diiringi jerit dan pekik kesakitan terlihat beberapa
bayangan orang jumpalitan terbang keempat penjuru, kiranya
kedelapan pendeta Siau lim itu semuanya terpental sungsang
sumbel bergelindingan diatas tanah.
Tanpa pedulikan lawan2nya lagi, Suma Bing terus berlenggang
menuju kebiara besar.
Mendengung suara sabda Buddha, tahu2 lima pendeta tua beralis
putih sudah mencegat diluar pintu biara. Mereka bukan lain
adalah Siau lim ngo lo.
Ter-sipu2 Suma Bing angkat tangan sambil sapanya: "Taysu
sekalian apa baik2 saja selama berpisah?"
Kelima Tianglo mengunjuk kejut2 gusar, sahut Hi Bu Taysu tertua
diantara mereka: "Apa sicu hendak memainkan peranan cerita
yang sudah lalu itu?"
"Cerita seperti dulu itu tidak bakal terulang lagi!" sahut Suma Bing
dengan ketus.
"Harap kau terangkan maksud kedatanganmu?"

"Mohon bertemu dengan Ciangbun kalian Liau Sian Taysu ada
keperluan penting!"
"Terangkan sejelasnya?" "Ini sudah cukup terang!" Pada saat
itulah Liau Ngo dengan delapan muridnya,
menyusul tiba dengan napas ngos2an, mukanya penuh keringat
dan kotoran.
Hi Bu Taysu mengerut alis, semprotnya: "Sicu menggunakan
kekerasan melukai orang"
"Cayhe belum turun tangan, Taysu boleh tanyakan kepada
mereka?"
Mata Hi Bu Taysu menatap tajam kearah Liau Ngo. Liau Ngo
menunduk malu dan berkata: "Tecu tergetar oleh
ilmu pelindung badan, tapi tidak terluka." "Kalian boleh mundur!"
Liau Ngo bersama delapan muridnya merangkap tangan
terus mengundurkan diri. Air muka kelima Tianglo semakin
mengelam mengunjuk
kekuatiran, setelah memandang pada keempat kawannya segera
Hi Bu Taysu maju berkata: "Kalau Sicu tidak terangkan maksud
kedatanganmu, Lolap sekalian tidak akan memberi izin."
"Cayhe tidak boleh masuk kedalam biara?" "Ya, begitulah!"
"Apa kalian mampu merintangi cayhe?" "Sicu keterlaluan
memandang rendah kita!" Memang Suma Bing mempunyai
maksud tertentu, sengaja
dia memancing kemarahan kelima Tianglo ini untuk
mencari

gara2, maka serunya sambil tertawa dingin: "Baiklah aku akan
menerjang masuk!"
Dulu Suma Bing sudah pernah membuat ribut di Siau lim si sampai
dimana kepandaian dan Lwekang Suma Bing kelima Tianglo sudah
dapat menjajaki. Sudah tentu, mereka tidak bakal menyangka
dalam jangka yang tidak lama ini ternyata Suma Bing sudah
berganti rupa dengan berbagai pengalaman yang menguntungkan
dirinya. Betapa tinggi Lwekangnya sekarang mungkin dalam jaman
ini sudah tiada tandingannya.
Pada saat Suma Bing melangkah maju itulah, kelima Tianglo
berbareng bersabda terus masing2 mendorong sebelah tangannya.
Gabungan tenaga pukulan kelima Tianglo ini sudah tentu bukan
olah2 hebat dan dahsyatnya.
Suma Bing juga tidak berani ayal2an, kedua tangan diputar terus
disodokkan kedepan untuk menyambut secara keras, yang
digunakan adalah tenaga Kiu yang sin kang sampai sepuluh
bagian kekuatannya.
Bersamaan dengan terdengar geledek mengguntur, terlihat
kelima Tianglo tersurut mundur beberapa langkah.
Menggunakan peluang inilah bagai bayangan setan saja, tubuh
Suma Bing menyelinap segesit belut memasuki ruangan Tay hiong
po tian, dalam sekejap mata tibalah dia dipelataran depan Tay
hiong po tian itu.
Suara genta ber-talu2, sekali lagi Siau lim si berkancah didalam
kegemparan yang menegangkan hati. Semua anak murid Siau lim
si menjadi ribut dan keluar merubung disekitar pelataran yang
luas itu. Semua mengunjuk kaget dan rasa ketakutan.
Wajah Suma Bing membeku dingin, raganya tegak sekokoh
pohon besar sikapnya garang, dengan pandangan menantang
kearah Tay hiong po tian.

Ditengah bertalunya suara genta itulah dari dalam Tay hiong po
tian beriring berjalan keluar Liau Sian Taysu Cianbun Hong tiang
dari Siau lim si. Dibelakangnya mengikuti Liau Seng pengawas
kelenteng dan Liau Ngo si penerima tamu, dan yang paling akhir
adalah delapanbelas murid pelindung.
Bertepatan dengan itu, kelima Tianglo juga kebetulan telah
menyusul tiba dan berdiri jajar dipinggiran sebelah kanan.
Suma Bing maju beberapa langkah serta memberi hormat dan
sapanya: "Ciangbunjin selamat bertemu."
Ciangbun Liau Sian merangkap tangan dan bersabda, katanya:
"Untuk kedua kalinya Sicu membikin onar dikelenteng kami, apakah
tujuanmu?"
"Cayhe minta bertemu secara hormat, darimana bisa dikatakan
membikin onar!"
"Silahkan kau terangkan maksud kedatanganmu!" "Cayhe ada
tiga urusan penting yang harus diselesaikan!" "Silahkan
terangkan satu persatu!" "Yang pertama: setelah memperoleh
budi kebaikan Hui
Kong Taysu dari kuil kalian tempo hari, setiap saat tidak cayhe
lupakan barang sedetikpun jua, sekarang aku datang untuk minta
pengajaran lagi!"
Ucapan Suma Bing yang menantang secara terang2an ini
membuat seluruh hadirin kaget dan berobah air mukanya.
Maklum bahwa Hui Kong Taysu adalah Hudco (kakek guru) dari
Ciangbun Hongtiang yang sekarang. Dipandang sebagai pendeta
sakti yang tidak boleh dibuat permainan oleh semua generasi tua
dan muda. Sungguh tidak nyana Sia sin kedua Suma Bing
ternyata berani terang gamblang menantang untuk berkelahi.

Berobah gusar air muka Ciangbun Liau Sian, serunya lantang:
"Sicu kau terlalu takabur, Pun hong tiang (aku) tidak dapat
mengabulkan permintaan ini?"
Suma Bing kerahkan tenaga didalam pusatnya terus menggunakan
suara gelombang panjang berserulah lantang kearah dalam sana:
"Suma Bing kaum keroco Bulim tengah menunggu dan minta
pengajaran dari Hui Kong Taysu!"
Keruan semua anak murid Siau lim si mengunjuk rasa gusar yang
berlimpah2 karena sikap Suma Bing yang congkak ini, entah
berapa banyak sorot mata yang melotot murka menatap kearah
dirinya. Sampai Ciangbun Hongtiang dan para pendeta
seangkatannya juga tidak ketinggalan merasa gusar bukan
kepalang.
Tiba2 terdengar seruan yang kumandang dari ruang sebelah sana:
"Hudco tiba!"
Meskipun sebetulnya Suma Bing bertekad dan penuh kepercayaan
pada diri sendiri, tapi tak urung juga merasa kebat-kebit. Dia
sendiri belum berani memastikan, apakah dengan bekal
Lwekangnya sekarang sudah dapat menandingi Pendeta sakti ini.
Jikalau kena terkalahkan lagi, maka ketenarannya bakal lenyap
tanpa berbekas lagi.
Sebetulnya ini hanya pandangan sepihak saja Tokoh sakti siapa
lagi dalam Bulim ini yang dapat atau ada harganya bisa mengukur
kepandaian dengan Hui Kong Taysu, seumpama terkalahkan juga
tidak perlu diambil malu.
Suasana menjadi sedemikian hening walaupun beratus orang turut
hadir. Semua berdiri hikmat sambil meluruskan kedua tangannya.
Serempak Ciangbun Hongtiang menyingkir kesamping sambil
merangkap tangan serta bersabda Buddha.

Tampak seorang pendeta tua yang bertubuh kurus kering tinggal
kulit pembungkus tulang sambil pejamkan mata pelan2 beranjak
keluar dari ruang sebelah dalam sana.
Walaupun sikap Suma Bing angkuh dan congkak, tapi masih tidak
berani berlaku kurang hormat, segera ia membungkuk dalam serta
serunya: "Wanpwe Suma Bing menghadap kepada Taysu yang
mulia."
"Jangan banyak peradatan!" seru Hui Kong, kedua matanya tiba2
dipentang, sorot matanya yang dingin tajam menatap Suma Bing.
Serta merta Suma Bing bergidik mundur satu tindak. "Tempo
hari Lolap terbawa oleh nafsu sehingga menanam
akibat ini. Kuharap sukalah Siau sicu menghapus bersih sebab
dan akibat ini!"
"Tidak berani, wanpwe memberanikan diri untuk minta pengajaran
sebanyak tiga jurus kepada Taysu!"
Timbul keributan diantara hadirin. Tempo hari sekali gebrak dengan
mudah saja Hui Kong Taysu lantas meringkus Suma Bing. Tapi
ternyata sekarang Suma Bing berani minta bertanding sebanyak
tiga jurus, ini benar2 sangat mengejutkan dan hampir susah
dipercaya.
Kelopak mata Hui Kong dipejamkan lalu dipentang lagi, ujarnya:
"Pasti Siau sicu telah melatih suatu ilmu yang digdaya?"
"Tidak berani, hanya sedikit hasil saja!" "Siau sicu,
silahkan mulai!" "Silahkan Taysu!" "Mana bisa Lolap
turun tangan dulu?" "Kalau begitu maaf wanpwe
berlaku kurang hormat."

Seluruh gelanggang sunyi senyap seumpama jarum jatuh juga
pasti terdengar, semua anak murid Siau lim se-olah2 sudah
berhenti bernapas.
Suma Bing mulai menggerakkan tangan membuat bundaran, jurus
pertama dari Giok ci sin kang yaitu Mayapada remang2 mulai
dilancarkan.
Hui Kong Taysu merupakan ahli dalam gelanggang silat yang sakti
luar biasa sudah tentu dia juga tahu baik buruknya sesuatu ilmu,
maka cepat2 ia kerahkan Sian thian sin kang untuk balas
menyerang.
Dua ilmu sakti yang tiada taranya kontan saling gempur sehingga
menimbulkan benturan menggeledek bagai gunung longsor,
sehingga seluruh gelanggang diliputi kabut hitam gelap, genteng
dan atap rumah sekelilingnya juga tergetar pecah, malah para
pendeta yang berdiri didepan juga sempoyongan jatuh bangun
kemana-mana.
Gebrakan pertama yang mengejutkan ini baru pertama kali ini
terjadi dalam lembaran sejarah Siau lim si.
Waktu kabut menghilang dan keadaan menjadi terang, tampak
jarak antara Suma Bing dengan Hu Kong Taysu kini semakin jauh
kira2 enam tombak.
Semua anak2 murid Siau lim terlongong2 heran, seakan2 mereka
berdiri mematung tanpa semangat.
Setelah istirahat dan menormalkan jalan darahnya berkata pula
Suma Bing: "Taysu harap sambutlah jurus kedua!" — sambil
berkata kakinya dijejakkan melompat maju empat tombak
memperpendek jarak antara mereka.
Wajah tirus Hui Kong yang kurus kering itu mendadak mengunjuk
mimik yang aneh, mendengar seruan Suma Bing ini hanya
manggut2 saja.
Mulailah Suma Bing lancarkan jurus kedua yaitu Ih che to cwan
(bintang berpindah jungkir balik). Tampaklah berbagai

bayangan pukulan berkelebatan, susah diraba mana pukulan asli
atau pukulan gertakan, semua bergerak dari segala jurusan yang
diarah juga tempat2 vital yang tidak menentu.
Hui Kong Taysu juga mulai menggerakkan kedua jubah
tangannya, sehingga timbullah kekuatan hebat tidak kentara yang
melindungi seluruh tubuh...
'Blang!' tampak tubuh Hui Kong tergetar mundur selangkah lebar,
mimik aneh pada wajahnya itu seketika buyar.
Ternyata jurus Ih che to cwan ini dapat menembus pertahanan
kekuatan dinding tak kentara dari ilmu sakti Hui Kong dan malah
mengenainya.
Hui Kong Taysu dijunjung sebagai Hudco merupakan lambang
tertinggi bagi tingkatan perguruan Siau lim si, adalah satu2nya,
tokoh silat nomor wahid bagi Siau lim selama dua ratusan tahun
terakhir ini. Sungguh tidak nyana dalam dua gebrak saja
sedemikian mudah dapat dikalahkan oleh seorang angkatan muda
yang berusia lebih dari 20 tahun. Hal ini benar2 merupakan
tamparan pedas bagi semua anak murid Siau lim sehingga mereka
berdiri terlongong dengan sedih, memang betapa pedih dan duka
hati mereka susahlah dilukiskan dengan kata2.
Meskipun watak dan sifat pembawaan Suma Bing sangat angkuh
dan keras kepala, tapi lubuk hatinya sangat bijaksana dan jujur.
Setelah mengandal Giok ci sin kang dapat mengalahkan pendeta
sakti nomor wahid dari seluruh jagad ini, hati kecilnya malah
merasa rikuh dan kurang tentram. Maka segera ia membungkuk
hormat serta berkata: "Harap Taysu suka memaafkan kekurang
ajaran wanpwe ini!"
Sungguh tidak malu Hui Kong Taysu dipandang Pendeta teragung
dan sakti, lahirnya tetap tenang dan wajar, setelah bersabda
berkatalah ia: "Bagi umat Buddhis paling mempercaya akan adanya
sebab dan akibat, atau hukum karma. Orang yang menanam
kacang akan memperoleh

kacang, demikian juga orang yang menanam semangka dia juga
akan memperoleh semangka. Siau sicu adalah tunas harapan bagi
kaum persilatan, harap kembangkanlah kebijaksanaan dan cinta
kasih, bertakwa kepada Tuhan berdharma bakti kepada sesama
umatnya, ini akan membawa bahagia dan keberuntungan bagi
kaum persilatan!"
Sahut Suma Bing dengan hikmatnya: "Wanpwe pasti akan patuh
akan petuah berharga dari Taysu tadi!"
Tanpa bicara lagi, segera Hui Kong memutar tubuh terus tinggal
pergi dan menghilang diruangan dalam sana.
Rona wajah Siau lim Ciangbun Liau Sian Taysu berobah tak
menentu, dengan tindakan lebar ia melangkah ketengah pelataran
dan serunya: "Siau sicu, harap katakanlah urusanmu kedua?"
Airmuka Suma Bing berubah serius, katanya: "Aku ingin tahu
siapakah perempuan yang kalian kurung dibelakang puncak itu?"
"Ini... Pinceng tidak bisa menjawab!" "Kuharap Ciangbunjin suka
menghindari kesukaran,
terangkan saja secara jelas!" "Urusan ini menyangkut peristiwa
rahasia perguruan kita,
harap Siau sicu jangan memaksa kesukaran orang lain!" Wajah
Suma Bing semakin mengelam, katanya: "Cayhe
sudah bertekad, harus mengetahui!" "Mengapa Siau sicu harus
mengetahui?" "Untuk membuktikan apakah benar perempuan itu
adalah
orang yang tengah kucari!" "Siapakah yang
tengah Siau sicu cari?" "Seorang
perempuan!" "Perempuan?"

"Tidak salah!" "Perempuan macam apakah?" Setelah
ditimang2, akhirnya berkatalah Suma Bing: "San
hoa li Ong Fang lan yang telah menghilang pada lima belas tahun
yang lalu!"
Wajah Siau lim Ciangbun berobah lega, katanya: "Omitohud,
biarlah Pinceng beritahu kepada Sicu, bahwa perempuan yang
terkurung dibelakang puncak itu bukan orang yang kau cari."
Dingin perasaan Suma Bing, katanya menegasi: "Dapatkah cayhe
percaya?"
"Omitohud, sebagai kepala dari suatu perguruan, masa Pinceng
mengobral omongan."
Timbul perasaan duka yang susah dibendung dalam benak Suma
Bing, satu2nya harapan yang dinantikan sekian lama ternyata
buyar dalam sekejap ini. Sedemikian besar dunia ini kemana pula
ia harus mencari jejak ibundanya?
Kalau jejak dan keadaan ibundanya masih merupakan teka- teki,
sebagai seorang putranya betapa dapat tenang dan lega hatinya,
apalagi para musuh besarnya selain Iblis timur yang telah mati,
Loh Cu gi beruntung dapat meloloskan diri. Dan selain mereka
berdua dirinya tidak tahu apa2! Selain ibunya sendiri tiada orang
kedua yang dapat menyebut siapa2 lagi musuh2nya yang turut
dalam peristiwa berdarah dulu itu.
Terdengar Siau lim Ciangbun berkata lagi: "Siau sicu masih ada
urusan ketiga bukan?"
Suma Bing menenangkan pikiran, lalu katanya: "Tentang peristiwa
ratusan tahun yang ter-katung2 itu!"
Kata2nya ini membuat seluruh hadirin dari Ciangbunjin sampai
anak muridnya yang terkecil tidak ketinggalan tergetar kaget,
mereka memasang kuping penuh perhatian.

"Maksud Siau sicu adalah..." "Aku diutus untuk mewakili
menyelesaikan peristiwa
ratusan tahun yang terjadi didalam kuil kalian itu!" Mata Siau lim
Ciangbun berkedip2 penuh keharuan,
tanyanya: "Mewakili siapa??" "Pesan terakhir dari Bu siang Hujin!"
"0, bagaimana cara penyelesaiannya?" "Cayhe mengantar pulang
Bu siang po liok. Bersama itu
kami nyatakan bahwa Bu siang sin hoat sejak saat ini tidak akan
berkembang lagi dikalangan Kangouw!" — setelah berkata
dirogohnya keluar buntalan merah itu dari dalam bajunya.
Berulang kali Siau lim Ciangbun bersabda sambil merangkap tangan
dan menunduk meram, lalu dengan kedua tangannya yang tampak
gemetar menyambuti buntalan merah itu terus dibukanya untuk
diperiksa sekian lamanya, katanya: "Pinceng mewakili perguruan
Siau lim menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga
kepada Sicu."
"Terima kasih kembali!" Siau lim Ciangbun berpaling kearah
Liau Seng dan berkata:
"Harap Sute pergi melepas perempuan yang terkurung dibelakang
puncak itu!"
"Terima tugas!" seru Liau Seng sambil merangkap tangan, lalu
mengundurkan diri.
Tergerak hati Suma Bing, selalu Siau lim Ciangbun menandaskan
bahwa perempuan yang terkurung dibelakang puncak itu
menyangkut peristiwa rahasia perguruan mereka. Lantas mengapa
sekarang mendadak diperintahkan untuk dilepas, ini benar2 susah
dimengerti.

Agaknya Siau lim Ciangbun sudah mengetahui isi hati Suma Bing,
katanya: "Siau sicu, perempuan yang terkurung dibelakang puncak
itu bernama Li Hui..."
Tergetar hebat perasaan Suma Bing, serunya keras: "Li Hui?"
"Benar." "Putri Bu siang sin li?" "Tidak salah, untuk mencari
kembali Po liok yang hilang itu,
terpaksa kita kurung dia sekian lama." Suma Bing menghela napas
panjang yang melegakan,
katanya: "Bukankah tindakan ini terlalu tidak bijaksana?" Merah
wajah Siau lim Ciangbun, katanya: "Menurut
undang2 kelenteng kita, perempuan tidak diperbolehkan
menginjak pintu biara ini. Harap Siau sicu suka menanti didepan
pintu pesanggrahan sana saja!"
"Kalau begitu baiklah cayhe minta diri." Setelah memberi hormat
Suma Bing terus mengundurkan diri. Setelah tiba diluar pintu
pesanggrahan Suma Bing berdiri tenang menanti kedatangan Li
Hui orang yang ditugaskan oleh Giok li Lo Ci harus diketemukan.
Terhitung perjalanannya kali ini tidak sia2, dapat menyelesaikan
tiga urusan sekaligus.
Tidak lama ia berdiam diri tampak sebuah bayangan terbang
mendatangi dengan cepat sekali, begitu tiba terlihat itulah seorang
nenek yang berambut uban.
Cepat2 Suma Bing berseru lantang: "Apakah yang mendatangi ini
adalah Li Hui Cianpwe?"
Nenek tua itu menghentikan langkahnya, sinar matanya tajam
mengawasi Suma Bing, lalu tanyanya: "Kau ini Sia sin kedua Suma
Bing?"
"Itulah wanpwe adanya!"

"Ibuku yang mengutus kau untuk menyelesaikan pertikaian ini!"
Berpikir Suma Bing, Li Hui sudah terkurung selama duapuluh
tahun, dia masih belum tahu kalau Bu siang sin li sudah wafat, ada
lebih baik minta dia pulang kelembah biarlah Giok li Lo Ci yang
menceritakan secara langsung kepada dia. Oleh karena pikirannya
ini secara samar2 saja ia menyahut: "Benar!"
Kata Li Hui gemes: "Begitu tega ibu membiarkan aku terkurung
disini selama duapuluh tahun lamanya."
"Ini... wanpwe tidak tahu menahu!" "Lalu darimana pula kau
ketahui bahwa akulah yang
terkurung dibelakang puncak itu" "Wanpwe disuruh
mengembalikan buku yang hilang itu,
adalah pihak Siau lim sendiri yang memberitahu kepada wanpwe!"
"Jadi kau bukan khusus datang untuk menolong aku?"
"Begitulah, hitung2 secara kebetulan saja, tapi..." "Tapi apa?"
"Wanpwe sudah melulusi kepada Lo Ci Cianpwe untuk
menyirapi dan menyelidiki jejak Li Cianpwe..." "Apakah sumoayku
itu baik2 saja?" "Dalam keadaan sehat
waalfiat!" "Lembah kematian adalah tempat buntu, selamanya
belum
ada orang pernah keluar masuk, darimana kau dapat..." "Ini juga
terjadi secara kebetulan, kelak pasti Locianpwe
dapat menceritakan kepada Li Cianpwe!" Li Hui manggut, katanya:
"Kau pergilah!" — lalu dia
beranjak dulu menuju kedalam pesanggrahan.

Keruan Suma Bing melengak heran. Menurut aturan Siau lim
perempuan dilarang masuk ke biara suci itu. Kalau dia benar2
menerjang masuk tentu akan menimbulkan keonaran yang
berkepanjangan. Betapa hebat kepandaian Hui Kong Taysu, kalau
sampai dia tertawan dan dikurung lagi, susahlah dibayangkan
akibatnya, maka segera ia maju merintangi serta katanya:
"Cianpwe hendak menuju kemana?"
Li Hui mendengus dingin, katanya: "Selama duapuluh tahun aku
disekap dalam gua yang gelap, perhitungan ini harus kuhimpas!"
"Pihak Siau lim sendiri juga terpaksa melakukan tindakan yang
kurang bijaksana ini!" "Kau pergilah!" "Wanpwe tidak bisa pergi!"
"Kenapa?"
"Wanpwe pernah berkata setelah menemukan Li Cianpwe, aku
harus segera membawa Cianpwe pulang kembali kedalam
lembah!"
"Kalau aku tidak mau kembali?" Suma Bing tersenyum kikuk,
ujarnya: "Pertikaian antara
Siau lim dengan Lembah kematian sudah hapus. Ada lebih baik
Cianpwe segera, kembali kelembah saja!"
"Kau hendak merintangi aku?" "Tidak berani aku merintangi,
hanya membujuk saja!" "Kau tidak terima perintah untuk
mengekang gerak gerikku
bukan?" Apa boleh buat, terpaksa Suma Bing berlaku terus
terang:
"Memang tidak!" Mengelam wajah keriput Li Hui, semprotnya:
"Kalau tidak
kupandang kau bekerja demi kepentingan ibu, pasti tidak
kuampuni kau!"
Suma Bing berpikir: meskipun usianya sudah lanjut tapi tabiatnya
tetap kasar dan suka membawa adatnya sendiri,

maka sahutnya dingin: "Wanpwe menerima pesan dari orang,
bagaimana juga..."
"Suma Bing, kau ini cerewet, jangan salahkan aku berlaku kejam
nanti?"
"Wanpwe tidak peduli!" "Sungguh katamu ini?" "Sudah tentu
sungguh2" Sambil menggeram gusar Li Hui mengayun sebelah
tangan
terus menggenjot kedada Suma Bing. Serangan ini bukan saja
secepat kilat, juga perbawanya sangat hebat serta mengandung
banyak perobahan. Dari gebrak pertama ini dapatlah dinilai bahwa
kepandaian ini masih setingkat lebih atas dari kepandaian kelima
Tianglo Siau lim.
Suma Bing kerahkan Giok ci sin kang untuk melindungi badan,
dengan tenang ia berdiri tanpa menyingkir atau berkelit.
'Blang.' dada Suma Bing kena digenjot dengan keras, badannya
tergoyang gontai. Wajahnya sedikit berobah. Sebaliknya Li Hui
terpental mundur ber-ulang2 karena tolakan tenaga pukulannya
sendiri. Sungguh kejutnya bukan kepalang. Kehebatan Lwekang
bocah tunas muda ini benar2 diluar persangkaannya.
Suma Bing berkata tawar: "Harap Cianpwe segera pulang
kelembah!"
Lama dan lama sekali Li Hui terlongong memandangi Suma Bing,
mulutnya mengerang lirih terus berkelebat menghilang dari
pandangan mata.
Suma Bing menghela napas lega, terhitung ia sudah menunaikan
tugas yang dipasrahi oleh Giok li Lo Ci. Tapi disamping itu hatinya
juga duka dan masgul, bahwa ternyata perempuan yang terkurung
dibelakang puncak itu kiranya

adalah Li Hui dan bukan ibunya yaitu San hoa li Ong Fang lan
yang sangat diharapkan itu.
Pikirnya, ibunya adalah perempuan yang paling merana dan harus
dikasihani. Bukan saja suami sudah meninggal, kehilangan anak
dan mendapat malu lagi, malapetaka yang sukar dapat tertahan
bagi orang lain ini, semua menumpuk keatas tubuhnya.
Berpikir dan berpikir, lama kelamaan ia tenggelam dalam
kedukaan yang merawan hati tanpa terasa airmata meleleh deras
dikedua pipinya.
Se-konyong2 terdengar sebuah suara serak yang sudah sangat
dikenalnya: "Buyung, kaki si maling tua ini sudah hampir patah,
tapi kiranya tidak sia2 menemukan kau disini!" Yang datang ini
bukan lain adalah si maling bintang Si Ban cwan.
Sejenak Suma Bing tertegun, lantas serunya: "Cianpwe tengah
mencari aku?"
"Buat apa aku jauh2 kemari kalau tidak mencari kau?"
"Darimana Cianpwe mengetahui kalau wanpwe berada di
Siau lim si?" "Diberitahu oleh bibimu!" "0, ada urusan apakah?"
"Sudah tentu ada soal penting!" "Urusan apa?" "Bapak mertuamu
dikabarkan sudah terkuburkan di Telaga
air hitam." Keruan kejut Suma Bing bukan buatan tanyanya
gemetar:
"Majikan perkampungan bumi?" "Apa kau masih
mempunyai bapak mertua lain?"

"Dia... bagaimana ini bisa terjadi?" "Seorang diri dia pergi
menepati janji undangan Majikan
Menara iblis dan disana dia mendapat kecelakaan!" "Betapa hebat
kepandaian Te kun itu masa tidak dapat
meloloskan diri?" "Buyung aku si maling tua hanya memberi kabar
kepadamu. Sebagai Huma atau calon majikan Perkampungan bumi
yang akan datang ini. Kalau Te kun sudah mati, jadi kaulah
sekarang yang menjadi penggantinya. Dalam jangka sepuluh hari
ini, seluruh kekuatan Perkampungan bumi hendak diboyong keluar
untuk membalas dendam bagi Te kun mereka. Selama empat hari
empat malam aku mengencangkan kaki berlari kesini. Sekarang
tinggal enam hari lagi, kau harus mengejar waktu menyusul ke
Telaga air hitam yang terletak diperbatasan Sucwan. Pertempuran
kali ini menyangkut jaya atau runtuhnya Perkampungan bumi, kau...
apakah kau tidak menyusul kesana?"
-oo0dw0oo-
Jilid 12
45. SUMA BING MENYONGSONG BAHAYA.
"Sudah pasti wanpwe harus segera berangkat untuk
menyelesaikan persoalan ini!" "Kalau begitu segeralah berangkat,
supaya secepatnya kau
tiba disana. Aku si maling tua masih banyak urusan lain, kelak
kita bertemu lagi!" habis bicara terus tinggal pergi.

Hati Suma Bing menjadi gundah dan kurang tentram, sungguh
diluar sangkanya bahwa Te kun bisa terjungkal ditangan majikan
Menara iblis.
Sebenarnya dia ketarik menjadi warga Perkampungan bumi bukan
atas kehendaknya sendiri. Tapi nasi sudah menjadi bubur, malah
bibi dan istrinya Phoa Kin sian juga tidak banyak cakap dalam
persoalan ini, sudah tentu ia menyerah saja kepada nasib yang
sudah menjadi suratan takdir.
Sebagai menantu dan calon penggantinya memang seharusnya dia
menuntut balas bagi kematian Te kun.
Disamping itu, menurut undang2 Te po, dia adalah majikan dari
perkampungan bumi yang akan datang, sudah tentu menjadi
kewajibannya pula untuk menunaikan tugas mulia ini.
Kepandaian Te kun sudah sedemikian tinggi dan hebat, namun toh
masih terkalahkan dan tertimpa bencana di Menara iblis. Jikalau
istrinya Pit Yau ang sendiri yang memimpin anak buahnya pergi
menuntut balas, dapatlah dibayangkan akan akibatnya. Sambil
berpikir itu kakinya terus tancap gas beranjak dengan cepatnya
turun dari puncak Siau sit hong langsung kejalan raya yang
menuju keselatan.
Telaga air hitam terletak diperbatasan antara Sucwan dengan Kui
ciu, luas telaga ini kira2 seratusan li, memang serasi nama dan
kenyataannya, air telaga ini hitam legam bagai arang, malah
mengandung racun lagi, tak peduli manusia atau binatang begitu
tersentuh oleh air telaga ini pasti akan mati keracunan. Karena
itulah maka dipandang sebagai salah satu tempat kiamat yang
disegani didunia persilatan. Sepuluh li sekitar telaga ini tiada jejak
manusia atau binatang.
Menara iblis, itulah sebuah bangunan tinggi yang bersusun dua
belas tingkat berwarna cat hitam pula, berdiri dengan megah dan
angkernya ditengah danau.

Pada suatu hari, ditepi telaga air hitam yang sangat ditakuti
sebagai tempat bertuah bagi kaum persilatan itu, muncullah
sebuah bayangan orang, dia bukan lain adalah Suma Bing yang
telah menyusul tiba dari Siauw lim si.
Menghadapi telaga dan menara serba aneh dan seram ini tanpa
terasa timbul perasaan mengkirik dan merinding. Memang Menara
iblis, nama ini sesuai dan cocok benar dengan keadaannya, bagi
siapa saja yang melihat pasti timbul perasaan seram dan takutnya.
Sungguh mengherankan jejak para kerabat dari Perkampungan
bumi kok tidak kelihatan. Menurut berita yang dibawa oleh si maling
tua, kedatangannya ini justru tepat pada waktunya, namun
sepanjang jalan bayangan atau jejak orang2 dari Perkampungan
bumi sedikitpun tidak terlihat, ini betul2 membuat orang tidak
mengerti.
Apakah semua orang2 Perkampungan bumi sudah tertumpas habis,
tapi sekitar sini tiada gejala2 yang mencurigakan yang dapat
membuktikan akan rekaan hatinya ini. Atau mungkin orang2
Perkampungan bumi itu sudah mengundurkan waktu untuk meluruk
datang. Tapi bagaimanapun juga kini dirinya sudah tiba disini,
biarlah seorang diri aku tandangi mereka untuk menuntut balas bagi
kematian Te kun.
Baru saja ia berpikir sampai disitu, tiba2 terdengar sebuah lengking
tinggi bagai jeritan setan, belum lenyap suara lengking jeritan ini
lantas disusul empat penjuru sekelilingnya terdengar pula suitan
panjang yang saling bersahutan. Sungguh keadaan ini sangat
mencekam hati dan mendirikan bulu roma.
Suma Bing celingukan kian kemari, namun tak terlihat adanya
bayangan orang.
Mendadak terdengar gelombang air tersiak, dimana ombak telaga
bergulung2, terlihat muncul sebuah benda putih yang

lonjong, waktu ditegasi kiranya itulah sebuah peti mati berwarna
putih bersih.
Tanpa terasa berdiri bulu kuduk Suma Bing, bagaimana mungkin
dari tengah telaga muncul sebuah peti mati? Ombak air hitam itu
terus bergulung2 satu demi satu bermunculan peti mati yang
serupa bentuk dan warnanya, jumlahnya tidak kurang dari
duapuluh buah. Semua peti mati itu seumpama sampan kecil yang
melaju pesat, tengah meluncur kearah tepian.
Suma Bing ber-pikir2, naga2nya anak buah Menara iblis semua,
sembunyi didalam peti mati itu. Dan peti mati ini pasti peralatan
untuk mereka keluar masuk dari dalam air.
Benar juga, kenyataan memang seperti dugaannya. Begitu peti2
mati itu menepi ke pantai tutup2 peti lantas menjeplak dan
duapuluh lebih bayangan manusia serempak berloncatan keluar
terus berlari kehadapan Suma Bing.
Suma Bing berdiri tegak dengan angkuhnya sekokoh gunung,
sikapnya tenang dan garang menunggu perobahan apa yang bakal
terjadi.
Setelah jaraknya agak dekat dengan Suma Bing, mereka berdiri
berkeliling membentuk sebuah lingkaran dihadapan Suma Bing.
Satu diantaranya yang terdepan adalah seorang tua yang bermuka
tirus bermulut monyong dan berdagu panjang, dengan kedua
matanya yang berjelalatan seperti mata tikus itu, mengamat2i
Suma Bing sekian lamanya, lalu serunya: "Buyung kau inikah Sia
sin kedua Suma Bing yang kenamaan didaerah dataran tengah
itu?"
Dingin Suma Bing menyapu pandang kearah mereka, lalu
sahutnya: "Tidak salah!"
"Kau ini pula yang menjadi Huma dari Te po?"
"Tepat sekali!" "Untuk apa kau datang kemari?"

"Untuk melihat tampang majikan dari Menara iblis."
"Hehehehe, buyung, kau belum berharga untuk itu!" Suma
Bing mendengus keras, jengeknya: "Majikan menara
iblis itu terhitung barang apa?" Semua anak buah Menara iblis
tersentak kaget dan
berubah air muka mereka mendengar hinaan Suma Bing ini. Si
orang tua pemimpin itu perdengarkan kekeh tawanya
yang menusuk telinga, katanya: "Buyung, agaknya kau datang
untuk mencari kematian?"
"Dengar!" hardik Suma Bing dingin, "Suruh majikan kalian keluar
menemui aku?"
"Tidak sudi!" "Sekali lagi kau berani menolak, kubunuh kau?"
"Buyung, kau tidak berharga menemui majikan kami. Beringas
wajah Suma Bing, ancamnya sambil maju
setindak: "Kaulah orang pertama dari Menara iblis yang harus
mampus!"
Seiring dengan ancamannya ini Suma Bing pelan2 angkat kedua
tangannya terus didorong kemuka. Kontan terlihat si orang tua
pemimpin itu melolong tinggi, tubuhnya melayang jauh kecebur
kedalam danau.
Berbareng dengan serangan Suma Bing itu, berpuluh jalur angin
pukulan juga telah melanda tiba kearah Suma Bing, sedemikian
dahsyat pukulan2 ini disertai bunyi guntur yang menggetarkan
bumi.
Memang kedatangan Suma Bing untuk menuntut balas sudah
tentu cara turun tangannya juga tidak mengenal kasihan lagi,
begitu jurus Mayapada remang2 dilancarkan, terbitlah angin badai,
bumi terguncang dan alam sekelilingnya menjadi gelap remang2.
Ditengah gemuruhnya angin badai itu

terdengar jerit dan pekik yang menyayatkan hati. Duapuluh lebih
anak buah Menara iblis semua melayang jiwanya dalam satu
gebrak saja.
Mayat2 bergelimpangan dimana2 dengan tubuh yang tidak
lengkap lagi. Keadaan ini benar2 sangat seram menakutkan.
Pada saat itulah sebuah suara dingin yang serak gemetar
terdengar berkata: "Suma Bing, kejam benar perbuatanmu ini!"
Terkejut Suma Bing, waktu berpaling dilihatnya tiga tombak
disebelah sana sudah berdiri tiga orang. Yang ditengah adalah
seorang perempuan pertengahan umur yang bersolek dan tidak
kalah cantik dari gadis2 muda yang rupawan. Kedua sampingnya
masing2 berdiri dua orang tua berjubah hitam dan yang lain
berjubah merah.
Yang berjubah merah itu bukan lain adalah Gandarwa merah Ngo
Tang. Pastilah sudah yang berjubah hitam itu adalah Gandarwa
hitam adanya. Lalu siapakah perempuan ditengah itu?
Enam sorot mata yang berapi2 mendelik menatap Suma Bing.
Gandarwa merah tampil kedepan serta katanya sinis: "Suma Bing,
tidak peduli apa maksud kedatanganmu, berani semena2 kau
turun tangan membunuh para jagoan anak buahku, maka jangan
harap kau dapat meninggalkan Telaga air hitam ini dengan tetap
bernyawa."
Suma Bing ganda tertawa ejek: "Legakan hatimu, sebelum
tujuanku terkabul, aku pasti takkan pergi!"
"Apa tujuanmu?" "Bagaimana cara kematian Pit Gi majikan dari
Perkampungan bumi?" "Mati? Siapa
yang mengatakan?"

Suma Bing melengak, tanyanya menegas: "Masa dia belum
meninggal?"
Tiba2 perempuan ditengah itu membuka suara, senggaknya dingin:
"Benar, dia belum mati, tapi dia juga tidak boleh hidup bebas."
"Apa2an ucapanmu ini?" "Dia hanya boleh hidup ditempat ini,
sekali berani beranjak
keluar kematianlah bagiannya!" "Dimana dia sekarang?" "Dimana
dia kau tidak perlu tahu!" Suma Bing mendesak maju, desisnya:
"Jikalau sampai
terjadi sesuatu yang mengancam keselamatan majikan
Perkampungan bumi, hm..."
"Kau mau apa?" "Akan kuratakan Menara Iblis!" "Hahahahaha,
buyung hijau yang tidak tahu tingginya
langit dan tebalnya bumi, besar mulut dan takabur!" "Tuankah
yang menjadi majikan Menara iblis?" "Benar!" "Bagus sekali,
kuharap segera kau lepaskan majikan
Perkampungan bumi!" "Buyung enak benar kau berkata?" "Lalu
apa maksud kalian sebenarnya?" "Pit Gi pantas untuk dihukum
mati, tapi aku tidak tega
turun tangan, hanya kukurungnya saja seumur hidup!" Sejenak
Suma Bing berpikir, lantas serunya: "Mohon tanya
ada permusuhan apakah antara majikan Perkampungan bumi
dengan kau?"

"Anak muda seperti kau belum berharga menanyakan soal ini!"
"Apakah urusan rahasia yang tidak boleh diketahui orang lain?"
Berobah rona wajah majikan Menara iblis, bentaknya lirih:
"Mulutmu kotor dan kurang ajar, ringkus dia!"
"Terima perintah!" Demikian Gandarwa merah mengiakan.
Memang jarak
mereka terpaut paling dekat, begitu lenyap suaranya tahu2 cakar
setannya sudah mencengkram tiba menyerang Suma Bing, cara
dan kecepatan serangan ini benar2 menakjupkan.
Begitu mendengar perintah lawan, pikiran Suma Bing lantas
bersiaga, serta merta Giok ci sin kang lantas timbul melindungi
badannya.
Cengkraman Gandarwa merah meraih pundak kiri Suma Bing,
begitu jarinya dikerahkan mencengkram seketika ia rasakan
sesuatu yang ganjil...
"Pergilah kau!" tiba2 Suma Bing menggertak sambil menyodok
dengan sikutnya.
'Buk' sambil mengerang dan menguak menyemprotkan darah
segar Gandarwa merah terhuyung puluhan langkah, tubuhnya juga
limbung hampir roboh.
Sungguh mimpi juga Gandarwa merah tidak menyangka, dalam
jangka tiga bulan saja musuh kecilnya ini sudah berganti orang
dengan Lwekangnya yang luar biasa.
Hampir dalam waktu yang bersamaan ketika Gandarwa merah
terhuyung mundur sambil muntah darah itu. Gandarwa hitam juga
sudah bergerak secepat kilat sambil lancarkan pukulannya,
kecepatannya juga tidak kalah hebat, sungguh mengejutkan.

Karena sudah tidak mungkin lagi berkelit. Suma Bing menjadi
nekad, dan mandah saja menerima pukulan keras ini.
Benturan keras membuat tubuh Suma Bing tersurut tiga langkah,
sedang Gandarwa hitam sendiri juga terpental mundur dua
langkah lebar, wajahnya membesi hitam dan mengunjuk kekejutan
yang tak terperikan.
Gandarwa merah hitam sudah sangat tenar dan kenamaan
dikalangan Kangouw, susah dicari tandingan yang kuat melawan
mereka berdua, siapa nyana bagi Suma Bing mereka tidak lebih
laksana kutu yang menyambar api mencari gebuk sendiri.
Segera majikan Menara iblis mengulapkan tangan serta
perintahnya: "Kalian mundur!"
Dengan wajah merah jengah Gandarwa hitam segera
mengundurkan diri.
Sementara itu Gandarwa merah tengah duduk samadi
mengerahkan tenaga untuk berobat diri.
Setelah menyuruh Gandarwa hitam mundur, berkatalah majikan
Menara iblis dingin: "Suma Bing, hebat juga kepandaianmu, tapi
jikalau kau berpikir untuk pergi dengan nyawa tetap hidup, kau
tengah bermimpi!"
Suma Bing menjengek hina, sahutnya acuh tak acuh: "Aku percaya
kepada kemampuanku sendiri bahwa tiada seorang juga yang
mampu merintangi aku. Tapi, maksud kedatanganku ini hanya ingin
mengetahui apakah majikan Perkampungan bumi benar2 mati atau
masih hidup. Sebelum terlaksana keinginanku, takkan kutinggalkan
tempat ini!"
"Kau akan susah menjaga diri!"
"Belum tentu!" "Jadi kau tidak
percaya?" "Sudah tentu tidak
percaya?"

"Baiklah kau coba ini!" seiring dengan lenyap suaranya tahu2
tubuhnya sudah melejit tiba dihadapan Suma Bing langsung
mengirim sebuah serangan.
Seketika Suma Bing merasa seluruh tubuhnya tergetar hebat,
dalam waktu yang bersamaan terasa ada empat tempat
ditubuhnya yang sekaligus kena terserang sehingga darah bergolak
dirongga dadanya sampai badannya terhuyung hampir roboh.
Belum dia dapat berdiri tegak dan berganti napas, jurus serangan
kedua musuh sudah merangsang tiba pula, sungguh kecepatannya
luar biasa. Jurus kedua ini telah mengenai enam jalan darah
mematikan didepan dada Suma Bing. Jikalau tidak mengandal
keampuhan Giok ci sin kang yang melindungi badan, pasti saat itu
tubuhnya sudah terkapar menggeletak tanpa bernyawa diatas
tanah. Kepandaian semacam ini, baru pertama kali ini Suma Bing
merasakan.
Sambil menggerung tertahan Suma Bing tersurut lagi beberapa
langkah, darah segar sudah menerjang ketenggorokkannya hampir
saja tersemprot keluar.
Dilain pihak Majikan Menara iblis sendiri juga bukan kepalang
kejutnya. Dia percaya dengan dua jurus serangannya ini takkan ada
seorang tokoh silat siapapun yang kuat bertahan. Tapi sekarang
kenyataan Suma Bing bukan saja kuat bertahan malah agaknya
tidak kurang suatu apa. Keruan ia terlongong.
Dalam detik2 inilah mendadak Suma Bing menghardik keras:
"Diberi tidak membalas, itulah kurang hormat!" Secepat kilat jurus
Mayapada remang2 dilancarkan. Dimana gelombang badai
menerjang tiba lima tombak sekitarnya menjadi gelap dan
menggetar.
Majikan Menara iblis ternyata tidak kuasa bertahan diterpa angin
kencang yang membadai ini, beruntun terhuyung empat

tombak jauhnya wajahnya mengunjuk rasa kejut dan heran tidak
percaya.
Begitu mendapat angin, Suma Bing tidak sia2kan kesempatan ini,
jurus Ih sing to cwan lantas diberondong keluar juga.
Agaknya Majikan Menara iblis gentar menghadapi serangan
dahsyat ini, tubuhnya melejit tinggi dan hinggap diatas sebuah
peti mati yang terapung diatas air.
Saat mana Gandarwa merah juga sudah berdiri dan melompat
menyingkir bersama Gandarwa hitam.
Suma Bing bertengger dipinggir danau, airmukanya merah diliputi
nafsu membunuh katanya menegasi: "Aku tekankan sekali lagi,
harap kau suka melepas orang?"
Majikan Menara iblis mengejek dingin: "Tidak bisa!" "Apa kau
tidak bayangkan akibatnya?" "Coba kau lihat dulu!" Waktu
Suma Bing berpaling, tanpa terasa ia menyedot
hawa dingin, tampak berpuluh2 orang pemanah yang sudah siap
dengan senjatanya mengepung bundar dibelakangnya, busur
sudah ditarik tinggal tunggu perintah saja.
Waktu ia menoleh lagi. Majikan Menara iblis dan Gandarwa merah
hitam sudah menyingkir jauh ketengah telaga sejauh puluhan
tombak.
Bahwasanya kalau ilmu ringan tubuh sudah dilatih sempurna dapat
terbang atau berjalan diatas gelombang air, tapi jikalau disuruh
berhenti tanpa bergerak dipermukaan air, ini sangat ganjil dan tak
mungkin terjadi. Tapi kenyataan didepan matanya ini betul2
membuat jantungnya berdetak keras.

Suara majikan Menara iblis terdengar dari permukaan telaga sana:
"Suma Bing, sekali kuberi aba2, sekejap saja kau akan mati
dengan tubuh penuh ditaburi anak panah!"
"Itu berarti kau juga membawa keruntuhan hebat luar biasa bagi
Menara iblis!" demikian balas ancam Suma Bing.
"Kematian sudah didepan mata masih berani keras mulut?"
"Silahkan tuan memberi perintah!" Dimulut Suma Bing berkata
demikian, sebenarnya hatinya
gugup setengah mati tengah mencari akal untuk mengatasi.
Sudah tentu dengan keampuhan Lwekangnya sekarang, hanya
anak2 panah saja tidak akan dapat mengapakan dia.
Tanpa berayal lagi majikan Menara iblis mengayun lengan bajunya
yang melambai2 dibawa angin lalu. Kontan anak panah bersuitan
bagai hujan derasnya, semua meluncur kearah Suma Bing.
Perbawa serangan ini benar2 mengejutkan dan menyedot
semangat orang.
Suma Bing kerahkan seluruh kekuatan Giok ci sin kang untuk
melindungi badan, semua anak panah begitu mendekat
ketubuhnya semua terpental balik tanpa melukai seujung rambut.
Tiba2 tubuh Suma Bing melejit terus menubruk ketengah2 para
pemanah itu. Pembunuhan besar2an seperti membabat rumput
saja terbentang dihadapan sang majikan. Suara jerit dan pekik
kesakitan yang menyayat hati terdengar saling susul, sungguh
ngeri dan mendirikan bulu roma.
"Stop!" terdengar majikan Menara iblis membentak keras sambil
melompat kedaratan lagi.
Tanpa terasa Suma Bing menghentikan perbuatannya. Hanya
dalam sekejap itu mayat sudah bertumpuk dan bergelimpangan
dimana2, jumlahnya tidak kurang dari limapuluh orang jiwa mereka
melayang semua.

Gigi majikan Menara iblis gemeretak saking murka, gerungnya:
"Suma Bing, benar2 kau ingin menjual jiwamu untuk kepentingan
Pit Gi?"
"Dianggap begitu juga boleh!" "Kalau begitu baiklah kuberi
tahu, sekarang Pit Gi terkurung
dipuncak tertinggi dari Menara iblis itu, kalau kau punya
kepandaian silahkan naik kesana untuk menolongnya."
"Alah, apa sukarnya?" jengek Suma Bing dengan sombongnya.
"Ya, silahkan coba!" habis berkata bagai terbang berloncatan
menginjak gelombang majikan Menara iblis menghilang didalam
menara hitam itu.
Para pemanah yang masih ketinggalan hidup juga secara diam2
tanpa bersuara sudah lenyap tanpa meninggalkan jejak.
Tak lama kemudian semua peti mati yang terapung diatas air itu
juga lenyap menghilang.
Menghadapi air telaga yang hitam legam dan memandang jauh
Menara iblis yang berdiri tegak bagai jin ditengah danau itu, Suma
Bing tenggelam dalam pikirannya.
Walaupun air danau mengandung bisa jahat, tapi dia tidak perlu
kuatir karena dirinya pernah menelan rumput ular. Meskipun
permukaan danau ini sangat luas, namun mengandal
kepandaiannya saat itu, untuk terbang beranjak diatas permukaan
air bukanlah soal sukar baginya. Justru yang tengah diragukan
adalah karena Menara iblis itu dijajarkan sebagai salah satu tempat
kramat yang bertuah bagi kaum persilatan, sudah pasti didalam
menara itu dipasang berbagai jebakan yang dapat mengancam
jiwanya. Dilain pihak seumpama bapak mertuanya dapat lolos dari
menara iblis itu, dapatkah selamat tiba diatas daratan. Karena
mungkin ditengah perjalanan diatas air itu mereka bakal

dicegat dan diserang mati2an oleh musuh, akibat dari kenekadan
musuh inilah yang harus dipertimbangkan.
Tapi dalam situasi yang sekarang ini, selain maju tiada alasan
untuk mundur. Tentang kenapa orang2 Perkampungan bumi
sampai saat itu masih belum terlihat bayangannya ini juga
membuat hatinya risau.
Tiba2 otaknya mendapat suatu ilham yang membuat terang
hatinya. Baru sekarang dia sadar mengapa Majikan Menara iblis
serta Gandarwa merah dan hitam bisa dengan antengnya berdiri
dipermukaan air. Maka dicarinya dua lembar papan kayu selebar
telapak tangan terus diikat dibawah sepatunya.
Waktu ia melompat turun kedalam air, eh benar juga ternyata
anteng dan ringan sekali. Begitu Giok ci sin kang dipusatkan,
seketika terasa badannya seenteng daon, secepat burung walet
terbang terus melesat kearah Menara iblis itu.
Sebentar saja tibalah dia didepan pintu Menara iblis. Kiranya
bangunan Menara iblis ini melingkupi tanah seluas puluhan
tombak, selain Menaranya yang tegak meninggi sekelilingnya
masih ada tanah pelataran kosong.
Memandangi Menara iblis didepannya ini, tanpa terasa ciut nyali
Suma Bing, seluruh bangunan Menara ini terbuat dari besi baja,
selain dua pintu besi yang terpasang ditingkat paling bawah,
lapisan selanjutnya sampai paling puncak tiada pintu atau jendela
sebuahpun, se-akan2 berbentuk seperti keong.
Diatas pintu besi besar itu terpancang papan besi yang bertuliskan
'Menara Iblis'.
Sejenak Suma Bing ragu2, lalu dengan langkah lebar mendekat
kedepan pintu, waktu tangannya mendorong ternyata tidak
bergeming, maka ia mundur tiga langkah, kedua tangannya
menghimpun seluruh tenaganya terus dihantamkan kearah pintu
besi itu.

Dentuman keras menggelegar membuat seluruh bangunan
Menara itu tergetar. Pintu besi itu terpentang lebar bertepatan
dengan itu hujan anak panah memberondong keluar.
Tercekat hati Suma Bing, sebat sekali kakinya menggeser
kesamping delapan kaki, untung bisa terhindar dari serangan keji
ini.
Setelah menenangkan gejolak hatinya, sambil melintangkan kedua
tangan didepan dada gesit sekali ia melompat masuk kedalam
Menara iblis.
Terdengar suara kereyat kereyot, pintu besi Menara iblis itu mulai
menutup sendiri. Keadaan dalam menara seketika gelap gulita
sampai lima jari sendiri tidak terlihat.
Betapapun tinggi dan hebat kepandaian Suma Bing, dalam
keadaan sekarang ini tak urung hatinya kebat-kebit dan was2
juga.
Sekian lama kedua matanya dipejamkan, lalu dibuka kembali,
samar2 pemandangan dihadapannya mulai jelas, dimana sorot
matanya memandang mendadak ia menjerit kaget dan melompat
mundur.
Tampak ber-puluh2 kerangka tengkorak yang lengkap berdiri
berjajar membelakangi dinding, sikapnya mengancam dengan
menjulurkan kedua tangannya kedepan siap hendak menubruk
mangsanya.
Perasaan dingin timbul diatas tengkuknya terus menjalar
keseluruh tubuh. Seram dan menakutkan benar sehingga tanpa
terasa telapak tangan Suma Bing basah oleh keringat.
Tiba2 suara ringkik jeritan setan terdengar saling bersahutan
menusuk telinga. Semua kerangka itu mendadak bergerak2 dan
mulai bertindak maju dengan langkah kaku terus merubung kearah
dirinya.
Keruan Suma Bing merasa arwahnya terbang ke-awang2, keringat
dingin ber-ketes2 membasahi tubuh.

'Trap, trap!' irama tulang2 yang bergeser diatas tanah menambah
keseraman suasana yang menakutkan. Kerangka sudah tentu
tidak akan bisa bergerak, tidak perlu disangsikan pasti semua ini
ada peralatan yang mengendalikan.
Suma Bing mengheningkan cipta menenangkan gejolak hatinya,
tiba2 tangannya terayun terus memukul kedepan. Kontan beberapa
kerangka yang berada didepan tersapu roboh berantakan
menumbuk dinding. Suara tulang2 yang tercerai berai menumbuk
dinding terdengar riuh rendah, asap putih kehijauan ber-gulung2
dari tulang2 yang hancur ber- keping2 itu. Kerangka lain yang tidak
terserang masih tetap melangkah kaku mendekat kearahnya
dengan sikap mengancam.
Bahwa pukulannya dapat merobohkan beberapa kerangka itu, ini
menambah keberanian Suma Bing. Sambil menggereng keras dia
menggerak2kan kedua tangannya sambil memutar badan sekaligus
Suma Bing serang semua kerangka yang mengelilingi dirinya. Maka
dalam sekejap saja kerangka2 itu menjadi setumpukan tulang2
kering yang hancur berantakan berserakan dimana2. Tapi asap
putih kehijauan yang menguap dari dalam tulang2 yang hancur itu
bertambah lebat memenuhi ruangan. Kabut putih ini mengeluarkan
bau harum yang dapat memabukkan orang.
Suma Bing merasa kepala pening dan badan terasa enteng, tahu
dia bahwa kabut putih ini ternyata mengandung racun jahat.
Cepat2 ia kerahkan hawa murni dalam tubuhnya untuk
membendung serangan hawa beracun ini.
Untung dia pernah menelan rumput ular yang berkhasiat menolak
segala bisa, kalau tidak tanggung sejak tadi ia sudah terkapar
roboh tanpa bernyawa lagi.
Waktu angkat kepala memandang keatas, lapis kedua kira2
setinggi dua tombak, tampak undakan atau tangga untuk naik
keatas. Hanya disebelah kanan sana terbuka sebuah lobang

kecil kira2 lima kaki, lobang kecil inilah agaknya menjadi pintu
penghubung untuk menerobos masuk ketingkat dua itu.
Dengan adanya pengalaman yang berbahaya pada tingkat
permulaan ini, sudah pasti pada tingkat kedua juga tidak bakal
selamat begitu saja, mungkin bahaya yang mengancam lebih
menakutkan dan lebih seram.
Sekian lama Suma Bing mengamat2i lobang kecil itu, tiba2 ia
menghantam kearah lobang bundar itu, terus tubuhnya ikut
melejit kesamping...
'Blum!' terdengar dentuman menggelegar, sebuah papan baja
bundar sebesar lobang diatasnya itu meluncur mengemplang
keatas kepalanya, untung dia cepat menyingkir sehingga papan
baja itu jatuh diatas tanah menggetarkan seluruh bangunan
Menara iblis, dari sini dapatlah dibayangkan betapa berat papan
besi baja itu.
Kalau secara ceroboh tadi Suma Bing terus meloncat keatas
hendak menerobos naik, pasti tubuhnya akan tertindih hancur
lebur menjadi perkedel.
Sekian lama Suma Bing kesima dan menelan air liur sambil
melelet lidah.
Tapi bagaimana juga karena Majikan Perkampungan bumi
terkurung dipuncak menara ini, seumpama gunung golok dan
wajan minyak mendidih juga harus dihadapi dan diterjang terus.
Begitulah setelah hatinya tenang dan semangatnya pulih kembali,
beruntun tangannya bergerak memukul tiga kali, setelah dilihatnya
tiada reaksi apa2 baru kakinya dijejakkan, tubuhnya terus melejit
keatas menerobos lobang bundar itu.
Pada saat tubuh Suma Bing baru saja muncul diambang lobang
kecil itu, segulung angin pukulan laksana gugur gunung sudah
menerjang tiba mengarah tubuh Suma Bing. Kesempatan untuk
berpikir saja belum ada tahu2 badan Suma Bing sudah terpental
jauh menumbuk dinding besi baja.
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/
'Blang', tubuhnya terpental balik lagi terus terkapar diatas tanah,
terasa kepalanya pusing tujuh keliling, mata ber- kunang2.
Waktu ditegasi terlihat seorang perempuan berpakaian serba hitam
dengan rambut terurai panjang tengah berdiri membelakangi dirinya.
Jadi yang membokong dengan pukulan tadi terang adalah perbuatan
perempuan ini. Timbullah hawa amarahnya bentaknya: "Berputarlah
untuk terima kematianmu!"
"Terima kematian? Hahahahahahaha..." Nada kata dan
tertawanya hakikatnya bukan suara yang
keluar dari mulut makhluk berjiwa, sedemikian dingin kaku seram
dan aneh menakutkan.
46. MENEBUS CINTA.
Tanpa terasa berdiri bulu kuduk Suma Bing, gertaknya
sekali lagi: "Aku tidak ingin membunuhmu dari belakang!"
"Membunuh aku? Apa kau mampu?" "Segampang membalikkan
tangan!" "Huh, kau sedang bermimpi?" "Baik, lihatlah ini!" diiringi
bentakan kedua tangannya
sudah bergerak... Namun sebelum tenaga terkerahkan keluar,
mendadak
terasa papan besi dimana dia berpijak bergerak terus berputar,
semakin berputar semakin cepat. Kontan pandangannya menjadi
kabur dan kepala terasa berat dan pening. Diam2 hatinya
mengeluh, kalau berputar terus seperti

ini tak sampai sepeminuman teh pasti dirinya akan roboh secara
konyol.
Suara dingin yang menusuk telinga itu mendadak terdengar lagi:
"Suma Bing, bagi yang berani memasuki Menara iblis, selain
menjadi setan tiada jalan lain untuk hidup".
Pecah nyali Suma Bing, tapi apa yang dapat diperbuatnya, dalam
keadaan tubuh turut berputar seperti gangsingan itu, darah mulai
bergolak dirongga dadanya. Apakah harus mandah saja terima
kematian?
Biasanya orang yang terdesak dalam bahaya bisa timbul akal
sehatnya, demikian juga mendadak Suma Bing mendapat ilham
cara bagaimana dia harus menyelamatkan diri. Tiba2 tubuhnya
meluncur tinggi terus bergantungan diatas atap loteng tingkat
ketiga se-olah2 seekor kelelawar besar.
Terdengar sebuah seruan kejut, besi berputar itu juga segera
berhenti. Perempuan aneh bagai setan itu masih tetap berdiri
ditempatnya.
Suma Bing melayang turun terus mencengkram kearah lawan...
Selicin belut perempuan itu berkelit kesamping terus membalik
badan.
Napas Suma Bing hampir berhenti dan serta merta mundur
berulang2. Sungguh dia tidak dapat membedakan apakah makhluk
dihadapannya ini manusia atau setan. Seumur hidupnya belum
pernah dilihatnya makhluk seaneh ini. Panca indra perempuan ini
tidak lengkap, wajahnya penuh goresan luka dan daging yang
menonjol2 matanya tinggal satu dan miring kesamping, hidungnya
bolong plong dan mulutnya meringis kelihatan dua baris giginya
yang memutih menyeramkan...
"Kau ini manusia atau setan?" "Terserah apa
yang hendak kau katakan!"

Suma Bing menjadi nekad dan bertekad, katanya: "Tak peduli kau
ini manusia atau setan, yang terang kau memang harus mampus!"
Ih sing to cwan(bintang bergeser jumpalitan) yaitu jurus kedua
dari Giok ci sin kang dengan kecepatan yang susah diukur
dilancarkan untuk menyerang.
Jurus Ih sing to cwan inilah yang telah mengalahkan Hui Kong
Taysu, si padri agung dari Siau lim si yang diabdikan sebagai
Hudco. Betapa dahsyat kekuatannya dapatlah dibayangkan. Apalagi
sekarang dilancarkan didalam ruang menara yang luasnya hanya
empat tombak saja, hampir setiap senti peluang yang kosong
sudah terlingkup dalam kekuatan pukulan Suma Bing ini.
Baru saja perempuan aneh tadi hendak menggerakkan alat
rahasianya, tapi sudah terlambat. Terdengar keluhan tertahan
lantas badan perempuan itu limbung kebelakang terus terkapar
roboh tak bergerak lagi.
Suma Bing menyeringai dingin, sekali cengkram dengan mudah
saja ia jinjing tubuh orang terus mendongak memandang ketingkat
ketiga, dia bersiap menggunakan perempuan yang terluka berat ini
sebagai perintis jalan menerobos lobang kecil yang menuju
ketingkat tiga itu. Memang perbuatannya ini agak kejam. Tapi
bagaimana juga perempuan jelek rupa ini harus dikorbankan
menjadi makanan bagi alat2 rahasia yang dipasang ditingkat ketiga
itu.
Pada saat itulah mendadak sebuah nada dingin kaku berkata
gugup: "Suma Bing, letakkan dia!"
Sebat sekali Suma Bing memutar tubuh, dilihatnya majikan
Menara iblis sudah berdiri dihadapannya.
"Letakkan dia!" seru majikan Menara iblis pula. Suma Bing
mendengus ejek, katanya: "Kau anggap
sedemikian gampang?"

"Lalu kau mau apa?" "Kuharap dia membuka jalan untuk naik
ketingkat ketiga
itu!" "Tidak mungkin!" "Tidak mungkin? Kalau kau bilang tidak
lantas benar tidak?" Berulangkali wajah majikan Menara iblis
ber-ganti2 tak
menentu, desisnya dingin: "Suma Bing, dia sudah terluka berat
sekali..."
"Memang, tapi justru cayhe baru saja terhindar dari ancaman
elmaut!"
"Letakkan dia!" "Tidak bisa." "Kalau sampai terjadi apa2, awas,
tubuhmu pasti hancur
lebur!" "Kalau kau anggap kau bisa berbuat begitu, silahkan
lakukan, aku anggap sepele!" "Suma Bing, menara ini dibangun
dengan besi baja, selain
lobang hawa tiada pintu atau jendela. Seumpama kau dapat
menerobos sampai ketingkat teratas, juga hanya kematian saja
bagimu, jangan harap kau dapat tinggal pergi dengan masih
bernyawa!"
"Itukan urusanku sendiri nanti!" "Jadi kau sudah bersiap
mengantar nyawamu didalam
menara ini?" "Belum tentu, masih terlalu pagi untuk menentukan
itu!" Sikap gugup dan nada ucapan majikan Menara iblis yang
lunak ini benar2 membuat Suma Bing ter-heran2. Kenapa
sedemikian besar perhatian majikan Menara iblis ini terhadap
perempuan jelek yang sudah setengah mampus ini?

"Suma Bing, lepaskan dia, biar kululusi kau naik terus tingkat
teratas dengan selamat."
Suma Bing me-nimang2 mati hidup Tekun masih belum diketahui
daripada menerjang secara sembrono, lebih baik menyetujui
permintaan orang saja. Orang ini adalah ketua dari suatu aliran
yang ditakuti, sudah tentu tidak akan ingkar janji, maka segera
katanya dingin: "Apa benar majikan Perkampungan bumi terkurung
dipuncak sana?"
"Benar!" "Apa benar dia belum mati?" "Pertanyaanmu ini
berlebihan." "Baik, aku setuju dengan permintaanmu itu!" lalu
dilemparkan perempuan jelek itu kearah majikan Menara iblis.
Ter-sipu2 majikan Menara iblis maju menyambut terus
memeriksa lukanya, lalu mengusap wajahnya. Pandangan Suma
Bing serasa kabur, matanya terbelalak.
Ternyata perempuan jelek menyerupai setan itu adalah
penyamaran dari seorang gadis yang cantik rupawan. Kiranya dia
mengenakan kedok muka untuk me-nakut2i orang. Baru sekarang
dia paham, gadis ayu ini pasti ada hubungan sangat erat dengan
majikan Menara iblis, mungkin juga anaknya, kalau tidak mana
mungkin dia begitu gugup dan perhatian malah mau mengalah
mengajukan syarat tukar menukar.
Sekian lama majikan Menara iblis memeriksa dengan teliti,
akhirnya pandangannya beringas dan membentak bengis: "Suma
Bing, kalau lukanya sampai tak dapat ditolong akan kubalas
dengan tindakan keji yang paling kejam!"
Nada ucapannya mengandung ancaman serius yang berlimpah2.
Acuh tak acuh Suma Bing menyahut: "Kalau kau mampu
melaksanakan ancaman itu cayhe takkan berkerut alis!"

"Baik, semua alat rahasia kini sudah kututup semua, silahkan kau
naik keatas!"
Sejenak Suma Bing bimbang, lalu melejit menerobos lobang bundar
diatasnya. Benar juga tanpa rintangan yang membahayakan dalam
sekejap saja, dia sudah tiba ditingkat kesebelas. Setingkat lagi
adalah yang terakhir, itulah tempat dimana Te kun sekarang
tengah dikurung.
Seperti yang sudah2, hanya lobang bundar sebesar kakilah
satu2nya, penghubung antara tingkat demi tingkat itu. Perasaan
Suma Bing mulai tegang. Dia ingin berteriak memanggil, tapi
setelah dipikir2, akhirnya dia urung membuka suara, sekali kakinya
mengenjot tanah, tubuhnya terus menerobos lewat dan tiba
ditingkat teratas.
"Siapa itu?" Terdengar sebuah bentakan nyaring serak. Sekali
dengar lantas Suma Bing tahu itulah bentakan yang keluar dari
mulut Te kun sendiri.
Suma Bing menyapu pandang kesekelilingnya, melihat apa yang
terpajang dihadapannya seketika ia terlongong2.
Sampai lupa memberi jawaban! Itulah sebuah ruang atau
kamar yang dihias sedemikian
indah dan mewah seumpama kamar penganten, sinar mutiara
berkilauan menerangi seluruh kamar itu. Tampak Te kun tengah
duduk tegap diatas sebuah korsi malas. Wajahnya mengunjuk rasa
kejut, matanya kesima memandangi Suma Bing.
Ini bukan kamar tahanan, jadi terang bahwa Te kun juga bukan
ditahan. Pasti ada hal2 apa yang mencurigakan?
Konon bahwa seorang diri Te kun meluruk datang menepati janji
dan terkubur didasar Telaga air hitam. Tapi kenyataan dia masih
segar bugar? Ada pula yang mengatakan Te kun terkurung
dipuncak Menara iblis, namun kenyataan ini juga berlawanan
dengan berita yang dikabarkan?

Adalah majikan Menara iblis ternyata adalah perempuan setengah
umur yang masih cantik molek, mungkinkah disini letak
persoalannya?
Otaknya sampai terasa berdenyutan memikirkan persoalan ini.
Akhirnya Te kun Pit Gi membuka suara: "Menantuku, untuk apa
kau kemari?"
Suaranya sudah tidak berat dan berwibawa seperti waktu masih
berada di Perkampungan bumi, tak ubahnya seperti orang tua
biasa yang tengah bicara dengan menantunya.
Sesaat Suma Bing tertegun, lalu sahutnya sambil membungkuk
hormat: "Siau say(menantu) menghadap Te kun!"
"Sudahlah, coba katakan mengapa kau datang kemari?"
"Menurut kabar bahwa Te kun sudah terkubur di Telaga air
hitam. Seluruh kekuatan Perkampungan bumi akan diboyong
kemari untuk menuntut balas. Maka jauh2 Siau say menyusul
tiba, tapi..."
"Kenyataan tidak seperti apa yang dikabarkan?" "Ya, benar!"
"Kabar kematian itu memang aku sendiri yang suruh orang
menguarkan!" "Kenapa?" tanya Suma Bing tersentak kaget.
Agaknya Raja bumi sudah berobah sangat tua dalam
sekejap mata ini, katanya sambil menghela napas: "Selama hidup
ini aku sudah berkeputusan untuk tidak kembali lagi ke
Perkampungan bumi atau muncul didunia persilatan!"
Lebih heran dan tak mengerti, dalam ingatan Suma Bing betapa
garang dan besar wibawa Raja bumi tempo hari

sungguh tidak nyana hari ini bisa bicara demikian lunak dan
lembek, ini benar2 susah dapat dipercaya.
Berkata pula Te kun Pit Gi: "Kau merasa diluar dugaan bukan?"
"Ya." "Sudah kebancut kau datang kemari, terpaksa harus
kututurkan duduk perkara sebenarnya. Tapi, kau harus ingat satu
hal..."
"Harap jelaskan?" "Duduk perkara peristiwa ini hanya kuijinkan
kau sendiri
yang tahu, selamanya jangan kau bocorkan kepada siapapun
juga!"
"Terhadap adik Ang juga tidak boleh?" Terbayang rasa duka
pada wajah Raja bumi, sahutnya:
"Dia boleh dikecualikan, tapi juga harus tiba saatnya yang tepat
baru boleh kau beritahu kepadanya."
"Yang dimaksud tiba saatnya adalah..." "Sedikitnya setelah
duapuluh tahun kemudian." "Duapuluh tahun kemudian?"
"Bersama itu, kau juga harus tahu benar bahwa aku sudah
mati." "Ini..." "Inilah perintahku yang pertama dan yang terakhir
kepadamu, kau harus patuh!" "Tapi Perkampungan bumi tiada
yang memimpin..." "Kaulah calon penggantinya." Berobah airmuka
Suma Bing, sungguh dia tidak berani
membayangkan masa depannya, sebab dia masih berhutang budi
terhadap Racun diracun, namun dia juga harus

membunuh Racun diracun. Dia sendiri pernah berkata akan
menebus budi orang dengan kematiannya, untuk membuktikan
kejantanannya bahwa dia dapat membedakan antara budi dan
dendam.
Baru saja pikiran Suma Bing melayang2, terdengar Raja bumi
berkata lagi: "Menantuku, kau tahu mengapa aku berbuat
demikian?"
"Siau say tidak paham!" "Untuk menebus cinta!" "Menebus
cinta? Apakah artinya?" Berobah nada ucapan Raja bumi,
sedemikian berat serak
dan merawan hati: "Dulu, aku menelantarkan seorang perempuan.
Sekarang, dengan sisa hidupku ini aku harus menebus kesalahanku
itu kepadanya!"
"Siapakah dia?" "Majikan Menara iblis!" "O!" Tergetar seluruh
tubuh Suma Bing. Mimpi juga tidak nyana
bahwa urusan ini ternyata ber-liku2 sedemikian jauh. Bahwa dua
majikan dari Perkampungan bumi dan Menara iblis yang sangat
disegani itu kiranya adalah sepasang kekasih, tapi dia salah
berpikir...
"Dia adalah istriku sah, kita mempunyai seorang anak perempuan,
lebih tua dua tahun dari Yau ang. Dia bernama Yau cu!"
"O!" tercetus seruan kaget dari mulut Suma Bing. Teringat olehnya
gadis molek yang terluka berat oleh pukulannya ditingkat kedua
tadi, pastilah dia itu Pit Yau cu adanya. Dia adalah toaci dari
istrinya kedua Pit Yau ang, entah bagaimana keadaannya.

"Apa kau tahu siapakah aku ini dulu?" Terbayang oleh Suma
Bing percakapan Pek chio Lojin dan
muridnya, segera ia manggut2 dan sahutnya: "Tahu!" "Tahu!
darimana kau tahu?" "Dengar dari percakapan orang!" "Coba
katakan yang kau tahu!" "Kiu im Suseng adalah tokoh silat nomor
satu diseluruh
jagad ini pada pertandingan silat pertama dipuncak Hoa san..."
"Ya, kau benar. Sejak aku menggondol gelar jago nomor satu
seluruh jagad yang kosong itu, pengalamanku hampir sama
dengan nasibmu itu!"
"Sama dengan nasibku?" "Ya, sama benar, seperti kau menjadi
duplikatku!" "Terpilih sebagai huma oleh Perkampungan bumi?"
"Semua benar, dalam keadaan yang tidak merdeka aku
dinikahkan dengan ibu Yau ang. Sejak itu aku menduduki jabatan
sebagai Raja bumi. Sedang ibu Yau ang sejak melahirkan Yau ang
terus meninggal dunia. Dan bertepatan dengan waktu aku terpilih
sebagai calon Huma di perkampungan bumi, Yau cu ibu beranak
mendadak menghilang, kemana2 aku telah mencari tanpa hasil.
Tak nyana takdirlah yang menentukan, kiranya dia telah menjadi
majikan dari Menara iblis ini!" habis berkata ia menghela napas
panjang dengan lesu!
Suma Bing manggut2, ujarnya: "Sekarang aku paham!" Pada
saat itulah sebuah bayangan mendadak muncul bagai
bayangan setan. Terlihat bayangan itu tengah membopong
bayangan orang lain. Mereka bukan lain adalah majikan Menara
iblis ibu beranak.

Air muka majikan Menara iblis membesi kaku, matanya
menyorotkan kemarahan yang ber-api2.
Melihat gelagatnya, ciut nyali Suma Bing, perasaannya ikut
tenggelam dan mendelu mungkin Pit Yau cu sudah meninggal?
Terdengar Te kun berjingkrak kaget, serunya: "Dia... Yau cu
kenapa?"
"Dia sudah mati!" sahut majikan Menara iblis penuh kebencian.
Te kun melompat bangun serunya gemetar: "Apa katamu?"
"Cuji sudah mati?" "Bagaimana bisa mati?" "Menantumu yang
bagus itulah yang turun tangan!" Bergetar seluruh tubuh Te
kun, dua kilat matanya menatap
tajam ke wajah Suma Bing lama dan lama kemudian baru tercetus
pertanyaannya: "Kau yang membunuh dia?"
Suma Bing menggigit gigi, sahutnya: "Benar, sebelum ini kita
masing2 adalah musuh besar yang harus menentukan mati atau
hidup!"
Te kun maju memayang tubuh Yau cu, dua titik air mata meleleh
keluar menetes di wajahnya yang pucat pias tanpa darah.
Ancam majikan Menara iblis gemetar: "Suma Bing, sudah
kukatakan akan kuhancur leburkan tubuhmu menjadi perkedel!"
Serta merta Suma Bing mundur selangkah! Suara Te kun
terdengar sangat sedih: "Istriku, dia tidak
sengaja..."

Mata majikan Menara iblis semakin me-nyala2, semprotnya
beringas: "Kau berani merintangi aku menuntut balas anak
gadisku?"
Sementara itu Te kun tengah memeriksa denyut jantung anak
gadisnya, mendadak dia berseru kegirangan: "Nadi besarnya
masih belum putus..."
"Aku tahu, tapi seumpama tabib Hoa tho(tabib kenamaan pada
jaman Sam kok) hidup lagi juga jangan harap dapat
menyembuhkan dia!"
Mendengar ini, Suma Bing berseru girang, tanyanya gugup: "Apa
betul nadi besarnya belum putus?"
"Betul." sahut majikan Menara iblis mengertak gigi, "delapan nadi
diseluruh tubuhnya sudah hampir musnah, meskipun..."
"Bisa ditolong." "Apa, bisa ditolong?" Te kun dan majikan
Menara iblis berseru kejut berbareng. Suma Bing mengusap
keringat yang membasahi jidatnya,
serta katanya: "Ilmu Kiu yang sin kang yang Siau say pelajari
dapat menolongnya!"
Majikan Menara iblis masih kurang terima, jengeknya: "Suma Bing,
kau menolong dia untuk menolong jiwamu sendiri!"
Watak Suma Bing juga keras dan congkak, hampir saja kemarahan
hatinya meledak namun karena berhadapan langsung dengan Te
kun sedapat mungkin ia tahan kemarahannya, sahutnya dingin:
"Aku menolongnya karena aku kenal budi pekerti, bukan untuk
menolong diriku sendiri."
Te kun Pit Gi meletakkan Pit Yau cu diatas ranjang lalu katanya:
"Menantuku, lekaslah kau menolongnya!"

Setelah menenangkan hatinya dan menghimpun semangat, Suma
Bing maju mendekati ranjang, secepat terbang tangannya bergerak
menutuk berbagai jalan darah besar, lalu mencopot sepatu naik
dan duduk diatas ranjang. Kiu yang sin kang mulai dikerahkan
melalui tangan yang menekan batok kepala terus disalurkan, hawa
murni yang positip bersifat panas terus membanjir masuk...
Sepeminuman teh kemudian, badan Suma Bing basah kuyup bagai
kehujanan, wajahnya pucat pasi. Sebaliknya Pit Yau cu bernapas
teratur, darahnya sudah berjalan normal airmukanya juga sudah
bersemu merah.
Tanpa berkesip Te kun dan majikan Menara iblis mengawasi
keadaan anaknya.
Setengah jam telah berlalu lagi, terdengar Pit Yau cu mulai
mengerang lirih Pit Yau cu membuka mata dan pelan2 bangkit
berduduk, begitu melihat Suma Bing yang tengah bersamadi
diatas ranjang, sambil menggerung gusar terus angkat tangan
mengepruk kebatok kepala Suma Bing...
"Jangan Cuji!" cegah Te kun sambil menyambar pergelangan
tangannya serta katanya pula: "Kejadian ini akibat salah paham,
untuk menolong kau dia sudah kehilangan banyak hawa murni. Kau
turunlah beristirahat!"
Pit Yau cu menarik pulang tangannya, setelah melerok sekali lagi
kearah Suma Bing terus putar badan dan menghilang dipintu
rahasia.
Waktu Suma Bing selesai dengan samadinya, itu sudah berselang
satu jam kemudian dihadapannya tinggal Te kun seorang saja.
Kata Te kun dengan sedihnya: "Menantuku, tugas berat
Perkampungan bumi selanjutnya kini terjatuh diatas pundakmu?"

"Siau say akan junjung tinggi pengharapan Gak tio(bapak mertua)
yang mulia!"
"Bagus sekali, masih ada lagi, kuharap kau perlakukan Angji
baik2..."
"Pasti aku bisa." "Jagalah dirimu baik2, sekarang boleh kau
pergi. Ingat dan
jangan lupa pesanku tadi." "Siau say ingat betul, sekarang juga
minta diri!" Setelah membungkuk dan memberi hormat langsung
Suma
Bing turun dari Menara iblis. Kini pintu besar Menara iblis sudah
terbuka lebar, hanya sekarang tidak tampak bayangan seorang
jua. Seperti datangnya tadi dia menyebrangi danau dan kembali
tiba didarat.
Memandang kearah Menara iblis dikejauhan sana, hatinya terasa
hampa dan masgul, Sang junjungan yang agung majikan
Perkampungan bumi kenamaan dan ditakuti akhirnya harus
menghabiskan sisa hidupnya ditempat pengasingan. Tapi, sudah
seharusnya ia merasa tentram dan puas, seperti apa yang
dikatakan sendiri tengah menebus cintanya yang tertunggak.
Baru sekaranglah diinsafi pula olehnya bahwa semua kejadian dan
peristiwa dikalangan Kangouw ternyata serba- serbi dan tiada
sesuatu yang selalu abadi.
Sekonyong2 terdengar derap langkah kaki yang ramai tengah
mendatangi dari kejauhan sana, disusul berkelebat beberapa
bayangan manusia tengah melayang tiba bagai bintang terbang.
Betapa jeli pandangan Suma Bing sekarang, dari kejauhan sudah
dilihatnya bahwa mereka itu bukan lain adalah anak buah dari
perkampungan bumi. Yang mengepalai dan terdepan adalah
istrinya sendiri yaitu Pit Yau ang bersama Coh hu dan Yu pit dua
perdana menterinya, dan dibelakangnya lagi

adalah para Tongcu dan semua petugas hukum serta para
kerabatnya, jumlahnya tidak kurang dari dua ratusan orang.
Ditengah ramainya suara kaget bayangan orang2 itu melayang tiba
semua.
Pit Yau ang berjingkrak kegirangan diluar dugaan serunya:
"Engkoh Bing, tak terduga kau telah tiba lebih dulu!"
Suma Bing tertawa ewa, sahutnya: "Adik Ang, semua anak
buahmu sudah kau kerahkan datang semua?"
"Ya, hanya tinggal beberapa orang saja untuk menjaga rumah."
Coh hu Yu pit segera maju menghadap dan menyembah:
"Menghadap Huma!"
Cepat2 Suma Bing goyang2 tangan, katanya: "Kalian bangun tak
perlu banyak peradatan."
Lalu beramai2 para Tongcu dan semua kerabatnya bergiliran maju
dan menyembah.
Sambil melayani semua anak buah Perkampungan bumi, otak
Suma Bing bekerja keras, dengan alasan apakah dia harus
mencegah supaya Pit Yau ang tidak berkukuh untuk menuntut
balas? Semua anak buah Perkampungan bumi tengah berkabung
dan geram hatinya, mereka meluruk datang dengan hati panas
yang me-luap2 untuk membalas dendam, bara api tengah
ber-kobar2 disetiap sanubari mereka.
Setelah dipikirkan secara mendalam, Suma Bing ambil keputusan,
untuk perintah Te kun yang terakhir itu, terpaksa dia harus berlaku
keras dan tegas untuk berbohong.
Mata Pit Yau ang mengembeng airmata, ujarnya sedih merawan
hati: "Engkoh Bing, sekarang kaulah yang memimpin untuk
bertindak...
"Aku yang memimpin?"

"Sudah lajim dan jamak sekali bukan, masa kau..." "Urusan ini
sudah selesai sebagian..." "Apa?" "Apa kau tidak melihat
mayat2 dipinggir telaga dan noda2
darah itu? Semua sorot mata beralih mengikuti tempat yang
ditunjuk
Suma Bing. Lalu kembali lagi menatap kearah Suma Bing. Tanya
Pit Yau ang heran dan tak mengerti: "Engkoh Bing,
apakah yang telah terjadi?" "Aku sudah menuntut balas bagi Te
kun!" "Kau..." "Ya Menara iblis sudah kucuci bersih dengan banjir
darah!" Semua anak buah Perkampungan bumi mengunjuk rasa
kagum dan kaget luar biasa. Dengan tenaga seorang saja dapat
mencuci bersih seluruh kekuatan Menara iblis, ini benar2 susah
dibayangkan dengan akal pikiran sehat.
Tapi, kenyataan ini terucapkan dari mulut Huma sendiri, siapa
yang berani tidak percaya.
"Engkoh Bing," ujar Pit Yau ang pilu. "Lalu bagaimana dengan
jenazah ayahku?"
Suma Bing tidak menduga bakal mendapat pertanyaan ini,
seketika ia terhenyak ditempatnya tanpa mampu menjawab. Tapi
akhirnya tersimpul suatu akal dalam benaknya, sahutnya:
"Jenazahnya tenggelam didasar danau hari itu juga waktu dia
datang kemari."
"Tenggelam didasar danau?" Pit Yau ang mengeluh panjang terus
berlutut dan menyembah kearah danau, pecahlah tangisnya
ter-gerung2.

Tidak ketinggalan semua anak buah Perkampungan Bumi
serempak juga berlutut dan menyembah kearah danau sebagai
penghormatan terakhir kepada Te kun almarhum.
Sebagai Huma sudah tentu tidak bisa tidak Suma Bing harus
menunjukkan teladan, terpaksa dia juga berlutut dan menyembah
disamping Pit Yau ang.
Suasana seketika menjadi sunyi menyedihkan diliputi isak tangis
berkabung yang merawan hati. Tapi keadaan sebenarnya hanya
Suma Bing seoranglah yang jelas mengetahui.
Agak lama kemudian baru Suma Bing bimbing Pit Yau ang bangkit
berdiri dan membujuk supaya menghentikan tangisnya. Semua
berdiri dan mengheningkan cipta kearah Menara iblis yang berada
ditengah danau sana.
Tiba2 Pit Yau ang membanting kaki, serunya geram: "Engkoh
Bing, menara itu harus kita hancurkan."
Tercekat hati Suma Bing, sahutnya gugup: "Adik Ang, menurut
hematku, kita sudahi saja sampai disini..."
"Kenapa?" "Air danau hitam ini mengandung racun yang
sangat jahat,
bagi siapa yang terkena pasti segera mati. Aku sudah menebus
hutang darah Te kun, kalau ada pula tindakan apa2, sedikitnya
harus mengorbankan tenaga dan mungkin malah jiwa!"
"Sejak semula kenapa tidak kau runtuhkan saja menara itu?"
"Itu tak mungkin terjadi!" "Kenapa tak mungkin?" "Menara itu
dibangun dengan lapisan papan2 besi baja,
mana gampang untuk merusaknya!"

"Lantas kita mandah saja terima nasib ini?" "Adik Ang, Menara
Iblis sudah mengorbankan apa yang
harus dia korbankan. Pasti Te kun dapat meram dialam baka."
Namun kecintaan Pit Yau ang terhadap ayahnya sangat
dalam, sekian lama dia masih meributkan ini itu serta bertangisan
sekian lamanya pula. Sehingga membuat Suma Bing jengkel tapi
juga tak tega. Namun bagaimana juga dia tidak bakal berani
membangkang akan perintah Te kun itu, untuk mengatakan duduk
perkara sebenarnya.
Coh hu Si Kong teng, Yu pit Ciu Ing tiong berbareng maju
menghadap sambil membungkuk tubuh: "Hamba berdua minta
sedikit petunjuk?"
"Silahkan katakan!" Kata Coh hu hormat: "Perkampungan kita
tidak bisa tanpa
pimpinan, harap Huma segera kembali kedalam kampung untuk
menduduki jabatan Te kun ini?"
Suma Bing tertegun, sahutnya: "Te kun baru saja wafat, urusan ini
harus dirundingkan lagi seratus hari kemudian. Apalagi urusan
pribadiku dikalangan Kangouw masih belum selesai. Sekali aku
menduduki jabatanku, nama dan kedudukanku akan membuat
penghambat belaka. Bagaimana menurut pendapat kalian berdua?"
lalu dia berpaling kearah Pit Yau ang dan katanya pula: "Adik Ang,
kau jelas mengetahui keadaanku yang serba sulit ini. Semua urusan
dikampung sementara biarlah kau yang urus dan pimpin maukah?"
Sesaat Pit Yau ang ragu2, akhirnya manggut2 setuju. Sekilas
Coh hu dan Yu pit saling berpandangan, lalu
membungkuk dan berseru lagi: "Menurut perintah Huma!" terus
mengundurkan diri.
Suma Bing menghela napas lega, ujarnya: "Adik Ang, perintahkan
segera kembali!"

"Lalu kau bagaimana?" "Kuharap kau dapat memaafkan aku.
Segera aku harus
kembali ke Tionggoan untuk menuntut balas kepada musuh2ku!"
"Kau tidak mengiring..." bicara setengah terus ditelan kembali.
Suma Bing tertawa ringan, bujuknya: "Adik Ang, hari2 yang akan
datang masih panjang."
Mata Pit Yau ang merah dan berlinang air mata, katanya:
"Baiklah, engkoh Bing, jagalah dirimu baik2!"
"Aku pasti dapat, kau juga hati2 dan jagalah kesehatanmu!"
Sekian lama dipandangnya Pit Yau ang lekat2, diam2 benak Suma
Bing mengeluh, sungguh dia tidak berani membayangkan masa
depannya, janjinya terhadap Racun diracun merupakan ketentuan
dari nasibnya kelak.
Demi dendam dan demi kesejahteraan kaum persilatan dia harus
membunuh Racun diracun.
Dan untuk menebus budi kebaikan Racun diracun yang
berulangkali menolong jiwanya, hanya dengan kematianlah dapat
melunasi hutang budinya ini.
Demikianlah dengan rasa pilu dan masgul dia ambil berpisah
dengan istri keduanya Pit Yau ang terus beranjak cepat menuju ke
Tionggoan.
Dendam kesumat dan kebencian sudah semakin deras berderap
dalam aliran darahnya. Tujuannya yang pertama kali ini adalah
menangkap hidup2 Loh Cu gi dan menumpas habis seluruh Bwe
hwa hwe dengan banjir darah.
Dua jam kemudian dia sudah menempuh perjalanan sejauh dua
ratusan li.

Tengah berlari kencang itulah, mendadak dilihatnya tiga orang
Tosu tengah berdiri jajar dibawah sebuah pohon besar dipinggir
jalan.
Saking heran dan ingin tahu, segera Suma Bing menghentikan
langkahnya.
Ketiga Tosu ini masing2 mengenakan seragam jubah panjang
berwarna abu2 kehitaman.
Suma Bing melengak. Dari jubah seragam yang aneh ini dia tahu
bahwa ketiga Tosu ini adalah anak murid Bu tong pay yang
sangat kenamaan dengan ilmu pedangnya yaitu Bu tong sam siu.
Bu tong sam siu tidak bergerak juga tidak membuka suara,
mereka berdiri tegak bagai tiga buah patung hidup.
Suma Bing semakin heran dan besar hasratnya ingin tahu. Entah
untuk keperluan apa Bu tong sam siu ini datang keperbatasan
yang belukar ini? Tapi mereka sedemikian angkuh tanpa menyapa
sekedarnya, buat apa pula dirinya mencari penyakit. Setelah
dipikir2, kakinya diangkat hendak tinggal pergi...
Mendadak dilihatnya jubah didepan dada Bu tong sam siu itu
bersemu merah darah!
Keruan hatinya terperanjat, sebat sekali tubuhnya berkelebat tiba
dihadapan Bu tong sam siu. Waktu ditegasi merindinglah tubuhnya.
Kiranya ketiganya sudah menjadi mayat dan kaku tanpa roboh. Bu
tong sam siu mati bersamaan dipinggir jalan, ini betul2 sangat
mengejutkan dan susah dipahami.
Dilihat dari noda darah yang masih merembes keluar, agaknya
kematian mereka terjadi belum lama ini. Setelah diteliti sekian
lamanya tanpa terasa tercetus seruan kaget dari mulutnya: "Rasul
penembus dada!"
Ternyata dada ketiga Tosu dari Bu tong pay ini masing2 berlobang
karena tusukan cundrik. Cara2 pembunuhan
Tiraik
asih
Websi
te
http://
kangz
usi.co
m/
semacam ini, selain perbuatan Rasul penembus dada tiada
keduanya lagi.
Betapa tenar dan kenamaan Bu tong sam siu ini, kenapa bisa mati
ditangan Rasul penembus dada.
Perkumpulan macam apakah Jeng siong hwe sebenarnya? Apa
tujuannya menyebar maut dengan pembunuhan sadis yang
menakutkan itu? Tokoh macam apakah Ketua mereka?
Waktu pertamakali dirinya bertemu dengan Rasul penembus dada,
orang pernah menyangka bahwa dirinya adalah sekomplotan
dengan Loh Cu gi. Maka, naga2nya bahwa Loh Cu gi, juga pasti
adalah salah satu sasaran yang harus dibunuh pula oleh pihak Jeng
siong hwe. Kalau sampai Loh Cu gi diketahui oleh Rasul penembus
dada sebagai sesepuh atau pemegang peranan belakang layar Bwe
hwa hwe. Bukankah jerih payah sekian lama ini bakal menjadi sia2
belaka?
47. IBU SUMA BING ADALAH KETUA JENG SIONG HWE
Berpikir sampai disini, semakin besar hasratnya untuk
segera meluruk kemarkas besar Bwe hwa hwe, supaya sakit
hatinya dapat segera terbalas.
Namun ber-turut2 lain pikiran segera merangsang juga dalam
benaknya. Itulah persoalan tentang barisan pohon2 bunga Bwe
itu. Barisan inilah merupakan perintang utama sebagai
penghambat untuk terlaksananya cita2nya untuk menuntut balas.
Kalau tidak dapat memecahkan barisan pohon2 bunga
Bwe ini, bagaimana juga dirinya tidak bakal dapat memasuki
markas besar musuh. Alis tebalnya berkerut semakin dalam.

Pada saat itulah, se-konyong2 terdengar sebuah suara memanggil:
"Suma Bing, selamat bertemu."
Terperanjat Suma Bing, dimana pandangannya menyapu,
dilihatnya sebuah bayangan putih melayang tiba bagai bayangan
setan tahu2 sudah tiba dihadapannya. Pendatang ini tak lain tak
bukan adalah Rasul penembus dada.
Agaknya setelah membunuh Bu tong sam siu Rasul penembus
dada masih belum pergi jauh. Sinar mata Suma Bing berkilat
menyapu lawan, katanya dingin: "Bu tong sam siu ini adalah kau
yang membunuh?"
"Tidak salah!" "Untuk kejahatan apa mereka harus dibunuh?"
"Sudah tentu ada alasannya untuk dibunuh!" "Alasan apa?
Coba katakan!" "Ini tidak menyangkut urusanmu!" "Kalau
aku mau mengurus?" "Kau tidak akan mampu mengurus!"
Berkobar marah Suma Bing, dengusnya berat: "Aku tidak
percaya tidak dapat mengurus." Rasul penembus dada
menyeringai dingin: "Suma Bing,
keselamatanmu sendiri susah diramalkan, masih berani banyak
tingkah dan membela orang yang sudah mati?"
Suma Bing maju dua langkah, tantangnya: "Dalam dua gebrak
kalau kau masih tetap hidup, untuk selanjutnya biarlah aku tidak
bernama Suma Bing."
Tanpa sadar Rasul penembus dada mundur selangkah lebar,
desisnya: "Mungkin kau tiada kesempatan turun tangan!"
"Hm, biar kau rasakan..."

"Nanti dulu!" "Masih hendak kentut apalagi kau?" "Suma Bing
bicaralah sopan sedikit!" Panas rasa wajah Suma Bing, baru
sekarang disadari
bahwa musuhnya ini adalah seorang perempuan, memang
ucapannya tadi terlalu kasar. Maka tanyanya mendesak: "Ada
omongan apalagi, lekas katakan?"
"Ketua kami ingin bertemu dengan kau!" Suma Bing
melengak, tanyanya menegasi: "Ingin ketemu
aku?" "Tidak salah!" "Untuk apa?" "Kau takut?" Semprot
Suma Bing dengan sombongnya: "Selamanya aku
tidak kenal apa artinya takut!" Rasul penembus dada keluarkan
suara tawa ringan,
jengeknya: "Tuan terlalu besar mulut!" "Apa kau tidak terima?"
dengus Suma Bing. "Setelah bertemu dengan ketua kita, baru
kau akan kenal
apa yang dinamakan takut!" Suma Bing berludah menghina.
"Sekarang mari kau ikut aku!" "Baik, tunjukkan jalan!" Suma
Bing mengintil dibelakang Rasul penembus dada,
sepanjang jalan mereka berlari secepat terbang. Tidak lama
kemudian tibalah mereka di-tengah2 sebuah selat sempit dimana
tersebar batu2 runcing bagai hutan batu. Tiba2 Rasul penembus
dada menghentikan langkah sembari berkata:

"Sudah sampai!" Suma Bing menyapu pandang keempat
penjuru, tanyanya:
"Disinikah markas besar Jeng siong hwe kalian?" "Jangan
banyak cerewet, nanti sebentar kau akan tahu!" Pada waktu
itulah tiba2 muncul seorang gadis serba putih
yang membekal sebilah pedang merah darah, serta serunya
nyaring: "Suci sudah kembali!"
"Dimana suhu berada?" "Berada didalam kamarnya!"
"Segera laporkan kepada Suhu, bahwa Suma Bing sudah
tiba!" "O!" gadis itu mengunjuk rasa kejut dan mengerling
kearah
Suma Bing, sekejap saja bayangannya sudah menghilang dibalik
batu.
Tiba2 berkatalah Rasul penembus dada: "Suma Bing, konon
kabarnya dalam dua gebrak kau dapat mengalahkan Hui Kong
Taysu yang dipandang sebagai Hudco oleh Siau lim si. Apakah hal
ini benar?"
Suma Bing membatin, kabar yang tersiar dikalangan Kangouw
sedemikian cepat, tak tahunya kabar ini sudah sampai di
perbatasan yang sepi dan belukar ini. Otak berpikir mulutnya
menyahut pelan:
"Benar, memang begitulah halnya!" "Kepandaian yang kau
lancarkan pasti bukan asli dari
pelajaran Lam sia." "Ini... memangnya
kenapa?" "Kau ketiban rejeki?"
"Rasanya aku tidak perlu jawab."

Gadis serba putih itu muncul kembali, katanya: "Suci, menurut
perintah Suhu, harus langsung dibawa ke Hiat tham(panggung
berdarah)."
Berdetak jantung Suma Bing. Panggung darah, suatu nama yang
menusuk telinga. Berulangkali dirinya bermusuhan dengan Jeng
siong hwe, entah cara bagaimana mereka hendak menghadapi
dirinya nanti...
Belum hilang pikirannya, tampak Rasul penembus dada sudah
bertindak seraya ajaknya: "Mari ikut aku."
Batin Suma Bing, mengandal apa yang telah dipelajarinya, masa
perlu takut2 lagi. Maka dengan tenang dan angkernya dia
mengikuti dibelakang orang.
Batu2 runcing itu sedemikian banyak bagaikan hutan, setelah
selulup timbul dan belak belok kekanan kiri, se-akan2 mereka
tengah berada didalam suatu barisan yang menyesatkan saja.
Tak lama kemudian mendadak pemandangan didepannya
berubah. Didepannya sekarang muncul sebuah panggung batu
putih setinggi lima tombak. Didepan panggung batu ini terdapat
sebuah papan batu yang dipasang melintang diatas papan batu ini
bertuliskan dua huruf besar warna merah darah Hiat tham.
Dibelakang papan batu bertuliskan Panggung darah ini adalah
undakan batu yang menjurus keatas sampai puncak panggung.
Melihat suasana dan keadaan ini, tanpa terasa Suma Bing
menyedot hawa dingin.
Kira2 setombak terpaut dari panggung batu itu Rasul penembus
dada menghentikan langkahnya.
Segera terlihat dua baris wanita serba putih pelan2 keluar dari
dua samping panggung darah terus berbaris rapi di kedua
samping, mereka berdiri tegak dengan hikmad.

Terlihat sebuah bayangan bergerak diatas panggung, lantas
terdengar dua kali suara 'Tang, tang!' suara lonceng dari atas
panggung ini sangat nyaring, menambah seram suasana yang
mencekam sanubari ini.
"Silahkan naik panggung!" Rasul penembus dada menyilahkan.
Sedikit bimbang lantas Suma Bing beranjak diatas undakan
dengan mengangkat dada.
Rasul penembus dada mengikuti dibelakangnya. Begitu tiba
diatas panggung, langsung ia berhadapan
dengan sebuah kursi batu. Kursi batu ini sudah berubah warna dan
berlepotan noda2 hitam, sekali pandang dapatlah diketahui itulah
bekas2 noda2 darah yang bertumpuk sampai sekian lamanya.
Ditengah panggung terletak sebuah meja batu panjang,
dibelakang meja ini duduk diatas kursi kebesaran seorang
mengenakan cadar serta pakaian serba putih. Sebelas Rasul
penembus dada lainnya mengelilingi dibelakangnya.
Setelah membungkuk dan memberi hormat kepada orang
ditengah yang mengenakan cadar itu lantas Rasul penembus dada
mengundurkan diri bergabung dengan sebelas teman lainnya
tanpa bersuara.
Dengan angkuh serta membusung dada Suma Bing menghadapi
orang serba putih ditengah itu.
Sorot mata si orang serba putih ini bagai tajam pedang menatap
tajam kewajah Suma Bing tanpa berkesip. Dari sinar matanya
yang ber-kilat2 ini dapatlah diukur bahwa orang serba putih ini
Lwekangnya sudah mencapai taraf yang sangat mengejutkan.
Tidak tertahan lagi, Suma Bing membuka suara lebih dulu:
"Tuankah ketua Jeng siong hwe?"

"Tidak salah!" suaranya dingin dan melengking menusuk telinga,
ini menandakan bahwa ketua Jeng siong hwe ini ternyata adalah
perempuan juga.
Sungguh tidak nyana bahwa sebuah perkumpulan rahasia seperti
Jeng siong hwe yang menggetarkan seluruh dunia persilatan
ternyata diketuai oleh seorang perempuan.
"Ada petunjuk apakah tuan mengundang cayhe kemari?"
Dengan nada suara yang menyedot semangat orang
berkatalah ketua Jeng siong hwe: "Suma Bing, apa betul kau
murid Lam sia?"
"Tak usah disangsikan lagi!" sahut Suma Bing sambil
mengacungkan cincin iblis yang dipakai dijari manisnya.
"Apa hubunganmu dengan Loh Cu gi?" Mengungkit nama Loh
Cu gi membuat darah Suma Bing
mendidih dengusnya dengan penuh kebencian: "Untuk apa tuan
Ketua menanyakan hal ini?"
"Sudah tentu ada keperluanku!" "Kalau dikatakan kita terhitung
sebagai kakak adik
seperguruan!" Berkelebat sorot kebuasan dimata ketua Jeng
siong hwe
yang secepat itu pula terus menghilang, tanyanya menegasi:
"Kalian adalah kakak adik seperguruan?"
"Tidak salah!" "Dimana sekarang Loh Cu gi berada?" "Untuk
apa tuan Ketua ingin mengetahui jejaknya?" "Kenapa kau
tidak perlu tahu. Jawab saja pertanyaan yang
kuajukan!" nada perkataannya seakan tengah mengompres
pesakitan. Keruan timbul watak sombong Suma Bing.
"Tuan ketua sedang mengompres keteranganku?"

"Boleh dikata demikian!" "Ingat cayhe bukan menjadi
pesakitan disini?" "Suma Bing, sekarang kau sudah termasuk
pesakitanku
tahu!" Saking gusar Suma Bing malah tertawa, serunya: "Kau
seorang ketua, obrolanmu..." "Tutup mulut! Suma Bing.
Meskipun kau seorang Huma dari
Perkampungan bumi, itu tidak menjadi soal, biar aku bicara terus
terang padamu, namamu sudah tercatat dalam daftar kami."
"Hahahaha..." "Kau mau bicara tidak?" Setelah mengakak
kegilaan, berserulah Suma Bing: "Tidak!" "Ringkus dia!" tiba2
ketua Jeng siong hwe membentak
memberi perintahnya. Dua orang serba putih mengiakan terus
melesat kearah Suma Bing.
"Cari mati!" Suma Bing menggertak keras. Namun baru saja
badannya bergerak tiba2 terasa kakinya kencang, beberapa
borgolan tahu2 sudah membelenggu seluruh kakinya dalam
sekejap mata. Alat rahasia semacam ini sungguh praktis dan lihay
sekali membuat orang susah berjaga2 sebelumnya.
Bagai harimau masuk perangkap, Suma Bing menggembor keras
sambil meronta sekuat2nya namun sedikitpun kakinya tidak dapat
digerakkan lagi, maka dapatlah dimengerti bahwa alat2 rahasia
semacam ini memang khusus dibuat secara istimewa.
Dalam pada itu, kedua orang serba putih itu sudah mendesak tiba
dihadapan Suma Bing terus ulur tangan menutuk...

Meskipun kedua kakinya terbelenggu tanpa dapat bergeming,
namun kedua tangannya masih bebas bergerak, menyongsong
kedatangan kedua musuh ini langsung dia lancarkan pukulan Kiu
yang sin kang. Dalam kemampuannya saat itu apalagi tengah
dirangsang gusar, betapa dahsyat kekuatan pukulannya ini
susahlah diukur.
Terdengar jeritan panjang yang menyayatkan hati, kedua orang
serba putih itu kontan terbang jauh melayang jatuh kebawah
panggung.
Ketua Jeng siong hwe menggeram gusar, tangannya menggablok
diatas kursinya, tempat dimana Suma Bing berdiri mendadak
merekah kontan tubuhnya terus membrosot turun sampai sebatas
pinggang baru berhenti, dan secepat itu pula batu yang merekah
tadi sudah merangkap lagi sehingga separuh tubuhnya terjepit.
Dengan keadaan seperti ini hilanglah kemampuannya untuk
melawan.
Mata Suma Bing mendelik hampir melotot keluar, desisnya sambil
mengertak gigi: "Jikalau aku Suma Bing tidak sampai mati. Anjing
dan ayam diseluruh Jeng siong hwe sini tidak akan ketinggalan
hidup."
Ketua Jeng siong hwe juga tidak mau kalah wibawa, jengeknya
sinis: "Tapi sayang kau sudah pasti mati."
"Perbuatan rendah seperti kalian ini termasuk..." "Menghadapi
binatang semacam kau ini, apa perlu
mempersoalkan kejujuran dan kebajikan?" Darah hampir
menyemprot dari mulut Suma Bing, sekuat
tenaga dia telan kembali, semprotnya: "Keganasan Jeng siong
hwe kalian, bukankah lebih kejam
dan buas dari binatang alas..." "Tutup mulut, cundrik tajam kami
selamanya belum pernah
membunuh manusia tanpa dosa!"

"Bohong!" "Suma Bing, katakan dimana jejak Loh Cu gi, nanti
kami
beri pengampunan kepadamu." "Tidak sudi!" "Kau akan sudi!"
lantas terdengar suara mencicit dari
samberan angin tutukan jari tangan yang melesat kearah Suma
Bing.
Tergetar seluruh tubuh Suma Bing, terasa hawa murni dalam
tubuhnya mulai lumer dan meluber, darah mengalir terbalik,
seketika terasa kesakitan luar biasa dalam tubuhnya se-akan2
dirambati ribuan semut, se-olah2 pula dibeset hidup2, siksaan ini
benar2 sangat berat dan menderita.
Memang inilah cara kompres yang paling kejam dan berat didunia
ini. Meskipun tubuh terbuat dari tulang besi dan otot kawat juga
akhirnya tidak kuat bertahan.
Saking kesakitan gigi Suma Bing hampir copot dari gusinya
sehingga berdarah, keringat dingin berceceran, sekuat tenaga ia
bertahan, mengeluhpun tidak.
"Suma Bing, mau katakan tidak?" "Ti... dak." "Akan kulihat
sampai kapan kau kuat bertahan?" "Ku... bunuh..." akhirnya ia
jatuh pingsan. Waktu jalan darah Thian in hiat bergetar, ia
siuman
kembali, rasa nyeri yang menyusup sampai ketulang sumsum
datang bergelombang menyiksa dirinya.
"Suma Bing, katakan nanti kuberi keringanan!"
"Tidak... bisa!" ia jatuh pingsan untuk kedua kalinya.

Tidak lama kemudian dia siuman lagi, lama kelamaan tubuhnya
semakin terasa linu dan semakin membeku, otot diatas jidatnya
sudah merongkol keluar segede kacang hijau.
Sikap ketua Jeng siong hwe tetap sinis dan dingin: "Suma Bing,
katakan?"
"Tidak..." "Kalau kau tidak mau katakan, baiklah aku tidak
memaksa
lagi. Asal Loh Cu gi masih hidup, akan datang suatu hari dapat
kutemukan. Sekarang kau adalah sesajen pertama dipanggung
berdarah ini setelah penggantian majikan disini!"
Ucapannya ini terdengar sedemikian menggiriskan membuat orang
mengkirik.
Ternyata Suma Bing akan dijadikan korban persembahan atau
sesajen diatas panggung berdarah itu.
"Siapkan sembahyangan!" Begitu perintah ketua Jeng siong
hwe ini dikeluarkan,
suasana menjadi semakin tegang dan menyesakkan napas.
Sepuluh orang berpakaian serba putih ber-sama2 bekerja
mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan.
Arwah Suma Bing serasa copot dari raganya, naga2nya memang
sudah nasibnya hari ini tiba ajalnya ditangan ketua Jeng siong
hwe.
Kedua orang seragam putih itu menyeret tubuh Suma Bing terus
dibaringkan diatas meja batu panjang yang terletak ditengah
panggung itu. Kaki tangannya dipentang keempat penjuru dan
diborgol dengan kuat. Begitu sebuah tombol ditekan mendadak
meja panjang itu bergerak dan menegak menghadap ketengah
dimana Ketua Jeng siong hwe tengah duduk dengan angkernya.
Dengan membekal cundrik yang berkilau2an dan diangkat tinggi
diatas kepalanya. Rasul penembus dada berdiri tegak

dihadapan Suma Bing, sikapnya mengancam. Para seragam putih
lainnya berpencar dan berdiri tegak diempat penjuru.
Setelah terkena tutukan angin jari yang aneh dan ketua Jeng siong
hwe itu. Suma Bing merasakan hawa murninya semakin terkuras
keluar, maka ilmu saktinya sukar dikerahkan untuk melindungi
badan, sedikitpun tak kuasa lagi melawan atau berontak, terpaksa
mandah saja menerima entah nasib apa yang bakal menimpa
dirinya. Saking putus asa matanya dipejamkan. Saat mana hanya
malaikat elmaut saja yang selalu terbayang dan melingkupi
sanubarinya, hatinya terasa kosong melompong. Dengan tenang
tanpa bergerak dinantikannya cundrik musuh yang berkilauan itu
menembusi ulu hatinya.
Sampai mati dia juga tidak akan mengerti mengapa namanya bisa
termasuk dalam daftar buku hitam musuh. Satu hal yang
dimengerti alasannya hanyalah karena dirinya seperguruan dengan
Loh Cu gi.
Sedang Loh Cu gi adalah sasaran terpenting bagi Jeng siong hwe,
sehingga dirinya kena tersangkut dan terseret dalam pengalaman
yang menggetirkan ini...
Terdengar suara ketua Jeng siong hwe dingin menusuk telinga:
"Jalankan hukuman!"
'Bret!' kontan Suma Bing merasa dadanya silir dingin, kiranya baju
didepan dadanya sudah tersobek seluruhnya.
"Tahan dulu!" tiba2 ketua Jeng siong hwe berseru kejut, suaranya
panik dan tergetar penuh kejut serta keheranan.
Mata Suma Bing ber-kilat2 menatap kearah ketua Jeng siong hwe.
Kata ketua Jeng siong hwe gemetar: "Suma Bing, siapakah ayah
ibumu?"
Suma Bing menyangka bahwa dirinya sudah pasti bakal mati,
sungguh tak terduga mendadak ketua Jeng siong hwe

berobah haluan dan menghentikan pelaksanaan hukuman,
menanyakan asal-usul dirinya lagi. Kejadian ini sungguh sangat
janggal dan mencurigakan. Meski berada diambang jurang
kematian namun dasar wataknya memang angkuh dan keras
kepala, maka sahutnya dingin: "Apa maksudmu ini?"
"Kutanya riwayat hidupmu." "Riwayat hidup? Agaknya tidak
perlu kuberitahu
kepadamu?" "Suma Bing, jalur bekas luka diulu hatimu itu...?"
Sejenak Suma Bing melengak lantas melonjak keraslah
jantungnya. Darimana dia tahu tentang bekas luka tusukan diulu
hatinya ini, apa mungkin... Tubuhnya gemetar! Terbayang tragedi
seperti apa yang pernah diceritakan oleh si maling bintang Si Ban
cwan dulu itu.
Tubuh ketua Jeng siong hwe gemetar semakin keras, tanyanya
lagi: "Suma Bing, katakan, bekas luka diulu hatimu itu?"
"Kau... Siapakah kau?" tanya Suma Bing. "Aku yang bertanya
kepadamu!" "Aku yang rendah Suma Bing!" "Aku sudah
tahu. Apa benar kau she Suma?" "Kau sangka aku
membual?" "Siapa ayahmu?" Suma Bing mengertak gigi
sahutnya: "Su hay yu hiap Suma
Hong!" Mendadak ketua Jeng siong hwe melonjak bangun sekali
berkelebat tahu2 tubuhnya sudah melesat tiba dihadapan Suma
Bing, tanyanya gemetar: "Siapa katamu?"
"Suma Hong!"

"Tidak salah?" "Malu aku meng-aku2 orang lain sebagai
bapakku!" Ketua Jeng siong hwe tersurut dua langkah lebar,
gumamnya: "Tidak mungkin! Betulkah dia? Dia... sudah terang
tak dapat tertolong lagi... oh tidak mungkin..."
Tanpa terasa jantung Suma Bing berdebur keras, dari perkataan
orang, agaknya telah menemukan apa2. Apa mungkin orang
dihadapannya ini adalah... Sungguh dia tidak berani
membayangkan bahwa apa yang tengah dihadapinya ini adalah
kenyataan.
Maka dengan nada menyelidik ia bertanya: "Apa tuan ketua kenal
dengan ayahku Suma Hong?"
"Bukan saja kenal. Aku adalah..." "Adalah apa?" "Apa kau
benar2 putra Suma Hong?" "Sedikitpun tidak salah." "Tapi
Suma Hong sudah meninggal dunia pada limabelas
tahun yang lalu..." "Benar, ayahku mati karena dikeroyok sekian
banyak
sampah2 persilatan!" "Kau benar adalah..." "Waktu itu cayhe
terluka berat dan hampir mati, karena
tidak tega melihat putranya hidup menderita maka ibunda
menusuk ulu hatiku dengan sebuah cundrik. Malah tubuhku
akhirnya ditendang masuk jurang oleh musuh besar yang laknat
itu. Memang Tuhan Maha Kuasa beruntung aku tertolong..."
Tubuh ketua Jeng siong hwe hampir roboh, tanyanya tersendat
gemetar: "Darimana kau ketahui riwayatmu ini?"

"Tatkala peristiwa tragis itu terjadi, kebetulan ada seorang yang
mengintip!"
"O, jadi kau sudah jelas dan mengetahui semua peristiwa itu?"
"Ya, menurut cerita orang itu!" Tiba2 ketua Jeng siong hwe
ulapkan tangannya
memerintahkan semua anak buahnya menyingkir. Sambil
membungkuk hormat serta mengiakan semua orang2 seragam
putih itu serentak turun dari atas panggung berdarah itu terus
menghilang dibalik tikungan sana.
Suma Bing tak berani memikirkan akan kenyataan yang tengah
dihadapinya ini. Semua kejadian yang datang secara mendadak
dan aneh ini sungguh terasakan seumpama dialam mimpi saja.
Sampai saat mana dia sudah dapat menerka siapakah orang
dihadapannya ini, tinggal menunggu waktu dan pernyataan saja.
Pelan2 ketua Jeng siong hwe menanggalkan cadar yang menutupi
mukanya, terlihat sebuah wajah yang halus putih dan cantik
rupawan dibasahi airmata. Katanya sesenggukan. "Nak, kau tahu
siapa aku ini?"
"Ibu!" keluh Suma Bing dengan sedihnya. Airmata membanjir
keluar dengan derasnya. Sungguh mimpi juga dia tidak nyana
bahwa ketua Jeng siong hwe ini ternyata adalah ibundanya, yaitu
San hoa li Ong Fang lan yang dirindukan siang dan malam. Sejak
dapat berpikir dalam ingatannya tiada terbayang bentuk wajah
ibundanya. Namun dari bentuk wajah dan raganya Ong Fong jui
dapat diperkirakan keadaan ibunya. Dan ternyata bahwa
perkiraannya tidak berbeda jauh dengan keadaan ibundanya yang
sebenarnya.
Sambil berkeluh panjang San hoa li Ong Fang lan menubruk maju
terus mencopoti borgol yang mengekang

Suma Bing terus memeluknya kencang sambil menangis gerung2.
"Nak, apakah ini bukan dalam mimpi?"
"Bu, bukan mimpi, inilah kenyataan! Sudah lama sekali aku
mencari kau orang tua!"
"Nak, beritahukan pengalamanmu sekian tahun ini?" Sambil
mencucurkan airmata, Suma Bing menceritakan
keadaan dalam jurang dibawah puncak kepala harimau itu, secara
kebetulan dirinya tertolong oleh gurunya Sia sin Kho Jiang, sampai
pertemuan mereka ibu dan anak ini.
Bercerita pada saat2 yang menyedihkan, ibu dan anak tanpa terasa
saling berpelukan sambil menangis tanpa tertahan.
Setelah ceritanya habis, baru Suma Bing menyinggung tentang
permusuhannya dengan Bwe hwa hwe...
Begitu mendengar anaknya menyinggung Loh Cu gi itu musuh
bebuyutan, berobah airmuka ketua Jeng siong hwe geramnya
sambil mengertak gigi: "Jadi Loh Cu gilah yang menjadi sesepuh
dan tulang punggung dari Bwe hwa hwe?"
Suma Bing mengiakan. "Aku bersumpah harus mencacah dan
menghancur
leburkan tubuhnya.” "Bu, urusan ini biarlah berikan kepadaku
saja. Bukan saja
Loh Cu gi itu adalah musuh besar keluarga kita, dia juga seorang
murid murtad yang mendurhakai guru. Menurut pesan suhu aku
harus mencuci bersih nama baik perguruan dan menuntut balas
sakit hatinya. Maka biarlah kedua urusan ini kulaksanakan
bersama."
"Nak, memang Tuhan yang Maha Kuasa selalu memberkahi
umatnya yang saleh, sungguh tidak nyana secara aneh kau dapat
tetap hidup. Malah ketiban rejeki besar dan dapat mempelajari
ilmu digdaya yang tiada taranya lagi. Memang

benar, hutang darah ini seharusnya kaulah yang menagih. Dialam
baka tentu ayahmu dapat istirahat dengan tentram dan meram!
Hanya aku ini..."
"Kau kenapa bu?" Ketua Jeng siong hwe tertawa getir,
sahutnya: "Nak, tiada
muka aku bertemu lagi dengan orang dikolong langit ini, lebih2
malu rasanya berjumpa dengan ayahmu dialam baka..." berkata
sampai disitu suara tawanya berganti menjadi sesenggukkan.
Sudah tentu Suma Bing maklum akan maksud perkataan ibunya.
Siapa dapat menduga Loh Cu gi si binatang buas berkedok
manusia itu dapat memerankan tragedi yang dapat menyayatkan
hati dalam dunia fana ini.
Maka katanya dengan suara sember: "Bu, sebabnya sampai kau
mengeluarkan pengorbanan sedemikian besar adalah untuk anak.
Aku percaya pasti ayah tahu dan memaklumi keadaanmu yang
terdesak itu..."
"Nak, dulu itu memang salah ibumu!" "Tidak, bu, kau tidak
salah kau terdesak oleh keadaan.
Kalau kau berkata demikian maka tiada tempat lagi bagi anakmu
ini berpijak."
"Sudah nak, tak perlu kita perbincangkan persoalan itu lagi.
Ibumu masih tetap hidup sampai sekarang setelah ternoda,
hanyalah karena aku hendak menuntut balas..."
"Bagaimana ibu sampai bisa menjadi ketua Jeng siong hwe ini?"
"Apakah kau pernah dengar julukan Ceng gi ci sin?" Suma
Bing tertegun, katanya: "Malaikat keadilan? Tokoh
kenamaan yang ditakuti dan dipandang sebagai malaikat dunia
persilatan oleh aliran hitam dan putih pada enampuluh tahun yang
lalu itu?"

"Benar, dia orang tualah yang menjadi ketua Panggung berdarah
ini!"
"Ketua Panggung berdarah?" "Tujuan dia orang tua
membangun Panggung berdarah ini
adalah untuk menghukum para durjana dan penjahat2 besar di
kalangan Kangouw yang memang setimpal menerima
hukumannya, dengan darah para hukuman itulah panggung ini
dibangun. Supaya dunia bisa aman tentram tanpa kejahatan..."
"Limabelas tahun yang lalu, secara kebetulan ibumu menemukan
buku catatannya yang tertinggal, dimana tertera pelajaran ilmu
silat. Maka kuangkat diriku sebagai murid ahliwarisnya..."
"Lalu asal-mula nama Jeng siong hwe ini..." Wajah San hoa li
Ong Fang lan mendadak berobah penuh
kebencian, katanya sambil kertak gigi: "Nak, nama Jeng siong
hwe hanyalah suatu simbol yang kenyataan saja!"
"Simbol yang kenyataan?" "Ya, tujuannya hanyalah untuk
menuntut balas!" "Kenapa harus menggunakan nama itu
untuk menuntut
balas?" "Nak, pedang pendek yang menusuk ulu hatimu dulu,
adalah cundrik yang selalu menembusi dada musuh2 besar itu.
Untuk memperingati kematianmu karena kebencian yang
ber-limpah2, aku bersumpah menggunakan cundrik ini untuk
menembusi dada setiap musuh besar kita itu!"
Air mata meleleh dengan derasnya, baru sekarang Suma Bing
paham, jebul apa yang dinamakan sebagai daftar catatan itu
kiranya adalah daftar nama2 para musuh besar keluarganya. Jadi
para tokoh2 silat yang sudah mati tertembus

ulu hatinya oleh cundrik Rasul penembus dada itu ternyata adalah
musuh2 besar yang sudah terdaftar dalam buku itu.
"Nak, mari kita bicara didalam saja!" Suma Bing mengusap air
matanya sambil manggut2. Saat
mana sifat2 gagah dan kegarangannya sudah lenyap terbawa
angin. Dihadapan ibunya seperti orok kecil saja ia mandah
dituntun jalan.
Setelah turun dari panggung berdarah, tibalah mereka disebuah
lorong yang belak belok dan tak lama kemudian tibalah dalam
sebuah rumah kuno yang dibangun dengan batu. Empat orang
perempuan seragam putih segera muncul dari balik pintu sebelah
sana terus berdiri jajar dengan hormatnya.
Menunjuk kearah Suma Bing berkatalah San hoa li Ong Fang lan:
"Inilah tuan muda!"
Serentak keempat perempuan seragam hitam itu membungkuk
hormat sambil memanggil: "Tuan muda!"
Suma Bing manggut2, entah sengaja atau tidak sorot matanya
menyapu satu diantaranya. Gadis itu bukan lain adalah Rasul
penembus dada yang pernah dibuka kedoknya oleh Suma Bing.
San hoa li Ong Fang lan tertawa tawar, katanya: "Nak, kukira
kalian sudah berkenalan dia adalah pemimpin dari dua belas rasul
itu, bernama Ih Yan chiu!"
Ih Yan chiu pimpinan Rasul penembus dada menunduk kepala
dengan malu2. Siapa akan menduga seorang gadis ayu rupawan
yang lemah lembut ini jebul adalah Rasul penembus dada yang
ditakuti dan disegani oleh kaum persilatan.
"Kalian boleh mundur." kata San hoa li kepada keempat rasul,
"Pindahkan meja perjamuan keruangan dalam, Yan chiu antarkan
tuan muda pergi mandi dan salin pakaian."

Ih Yan chiu mengiakan lalu mempersilahkan Suma Bing ikut
kebelakang. Sebetulnya Suma Bing segan dan tak mau dilayani
oleh Ih Yan chiu ini, tapi rasanya tak enak menolak kebaikan
ibunya, maka terpaksa dia ikut pergi.
Puluhan batang lilin besar dipasang dalam ruang tengah yang
besar dan angker dengan perabotnya yang serba antik itu. Dimana
di tengah2 ruangan itu sudah tersedia meja perjamuan dengan
segala masakan yang lezat2. Tampak San hoa li sedang duduk
berhadapan dengan Suma Bing, mereka sedang makan minum.
Disamping berdiri Ih Yan chiu yang melayani. Mungkin karena
terlalu berduka atau karena terlalu gembira sehingga ibu beranak
ini kehilangan selera untuk menelan makanan yang serba mewah
itu.
"Nak, ini seperti dalam alam mimpi saja..." "Benar, bu,
sebuah impian yang kenyataan!" "Nak, hari ini ibumu merasa
sangat puas. Bukan saja kau
sudah dewasa malah sudah berumah tangga lagi. Malah sudah
melaksanakan impian ayahmu dulu yaitu mempelajari ilmu yang
tertera didalam Pedang darah dan Bunga iblis..."
"Bu sejak kini lebih baik nama Jeng siong hwe ini kita hapus saja!"
"Kenapa?" "Sejak saat ini menuntut balas sudah merupakan
tugas
yang harus dibebankan kepadaku!" "Baik, nak!" sahut San hoa li,
lalu berpaling kearah Ih Yan
chiu dan katanya: "Ambilkan cundrik itu kemari!" Ih Yan chiu
mengiakan sambil membungkuk hormat terus
mengundurkan diri. Tak lama kemudian dibekalnya sebuah pedang
pendek kecil yang berkilauan, dengan kedua tangannya dia
letakkan diatas meja, masih ada sejilid buku kecil yang tipis juga
dikeluarkan.

San hoa li Ong Fan lan mengambil cundrik itu, matanya berlinang
air mata, katanya: "Nak, cundrik ini kuserahkan kepadamu. Ingat,
selain para musuh besar, kularang kau membunuh orang tanpa
berdosa!"
Ter-sipu2 Suma Bing bangkit terus berlutut, dengan kedua
tangannya dia menerima cundrik itu serta ujarnya gemetar: "Anak
akan selalu ingat peringatan ibu!"
"Kau bangunlah!" "Terima kasih ibu!" "Buku kecil ini adalah
daftar catatan. Nama2 yang tertera
didalam buku ini adalah para durjana yang ikut mengeroyok
ayahmu dulu. Diantaranya yang sudah tercoret dengan potlot
merah sudah menjadi mayat!"
48. BU KHEK PAY DIAMBANG KEHANCURAN
”Anak pasti akan melanjutkan tugas penuntutan balas ini!"
"Nanti sebentar biar kuturunkan ilmu ciptaanku cara2
menggunakan cundrik ini!" Suma Bing manggut2 dengan girang.
"Ibumu mendoakan supaya kau sukses dalam tugasmu!" "Bu
dikala tugas penuntutan balas ini sudah selesai semua,
pasti anak akan selalu mendampingi kau orang tua..." sampai
setengah ucapannya segera ditelan kembali selarik arus dingin
menjalar keseluruh tubuhnya sehingga hatinya dingin membeku.
Teringat olehnya janjinya kepada Racun diracun.
Namun agaknya ibunya tidak memperhatikan mimik wajahnya yang
berubah ini. Katanya tertawa getir:

"Nak, segala ucapan semacam itu terlalu pagi untuk dikatakan, kau
adalah majikan dari Perkampungan bumi, sedang ibumu adalah
ahli waris dari aliran Panggung berdarah ini, dan juga, ai..."
agaknya masih banyak kata2 yang hendak diucapkan, namun tidak
kuasa dicurahkan keluar.
Lahirnya Suma Bing bersikap tenang dan wajar, tapi hakikatnya
jantungnya tengah berdebar dan hatinya mengeluh, sungguh dia
tidak berani membayangkan masa depan... Sepasang ibu beranak
yang masih ketinggalan hidup setelah mengalami berbagai
kesengsaraan duniawi, masing2 menyimpan isi hati yang tak boleh
diketahui orang luar.
Suasana gembira akan pertemuan yang meriangkan hati ini,
tenggelam dalam titik kesedihan yang membekukan hati. Tapi,
masing2 berusaha untuk menahan ketenangan dalam lahir. Kalau
San hoa li selalu ingat dan menahan malu dan hinaan untuk hidup
dan menuntut balas bagi kematian suaminya. Adegan dimana
dirinya ternoda seumpama seekor ular berbisa yang senantiasa
menggerogoti hatinya. Dalam diluar dugaan setelah bersua kembali
dengan anaknya malah semangatnya melempem. Dia merasa
dengan tubuh yang sudah ternoda ini rasanya malu untuk bertemu
dengan suaminya dialam baka. Lebih malu lagi bertemu dengan
putranya, inilah cacat kesedihannya. Meskipun sebagai majikan
atau pimpinan dari Panggung berdarah. Namun kedudukan ini
takkan dapat membuka belenggu yang menekan hatinya.
Demikian juga keadaan Suma Bing dalam rangsangan berbagai
bayangan yang kontras. Satu pihak dia harus menunjukkan wibawa
sebagai seorang gagah yang menjunjung tinggi keadilan dan dapat
membedakan antara budi dan dendam, melaksanakan dan
menepati janjinya terhadap Racun diracun, dipihak lain dia juga
harus berbakti kepada orang tua, sebagai anak yang kenal
kebajikan. Sebaliknya sebagai kaum persilatan, dalam sesuatu
keadaan

yang memaksa, dia rela dan lebih baik tidak berbakti daripada
badan hancur dan nama berantakan dikalangan Kangouw.
Ganjalan hati inilah yang tidak kuasa diutarakan, betapa pedih dan
susah hatinya kiranya tidak kalah dalamnya seperti keadaan
ibundanya.
Tiga hari kemudian dengan berlinang airmata Suma Bing ambil
berpisah dengan ibunya dan mulai lagi kelana dikalangan
Kangouw. Nama2 para musuh2 besar yang tercatat dalam buku
daftar itu sudah hapal diluar kepala. Loh Cu gi adalah nama yang
tercatat nomor satu.
Rintangan terbesar yang menghalangi usahanya adalah barisan
pohon bunga Bwe yang mengelilingi markas besar Bwe hwa hwe
itu, jikalau tidak dapat memecahkan barisan itu atau paham inti
letak rahasia barisan itu susah baginya untuk mencari musuh
besarnya itu. Benaknya tengah berpikir, siapakah kiranya dalam
dunia ini yang paham dan pintar ilmu mengenai barisan yang aneh
itu? Begitulah berpikir sambil berjalan, tiba2 dilihatnya dikejauhan
sana terlihat sebuah bangunan benteng yang mengelilingi sebuah
perkampungan.
Diatas benteng itu terpancang tiga huruf besar warna emas yang
berbunyi: 'Bu khek po'. "Bu khek po!" gumam Suma Bing, seketika
timbul darah panas menjalar keseluruh tubuhnya. Bu khek po
adalah tempat berdirinya aliran Bu khek bun. Bu khek siang lo dua
tokoh kenamaan dari aliran ini sangat tenar dan disegani
dikalangan Kangouw. Bukankah Bu khek siang lo ini tercatat
sebagai nomor enam dan tujuh dalam buku daftar ibunya.
Serta merta Suma Bing mengelus2 cundrik yang digembol
dipinggangnya, ujung bibirnya mengulum senyum dingin, dengan
langkah lebar dia mendatangi pintu gerbang benteng
perkampungan itu. Pintu besar yang terbuat dari besi baja ini
tertutup rapat.
Setelah tiba diambang pintu berserulah Suma Bing lantang:
"Adakah orang didalam?" Beruntun dua kali dia menggembor

tanpa penyahutan. Keruan Suma Bing merasa sangat heran, betapa
besar dan kenamaan tempat dan aliran dari berdirinya golongan Bu
khek po ini, mengapa seorang penjaga pintu saja tiada terlihat, ini
benar2 suatu kejanggalan yang mengherankan.
Setelah menanti sekian lama tanpa adanya reaksi apa2, akhirnya
dia maju dan mengetuk pintu dengan kerasnya. Tak kira begitu
terdorong oleh ketukannya pintu besar itu terbuka sendirinya.
Ternyata pintu ini hanya ditutup begitu saja tanpa dikunci. Waktu
Suma Bing beranjak masuk dan dimana pandangannya menyapu,
tanpa terasa tercekat hatinya.
Didalam pintu sebelah sana tampak dua orang seragam hitam
rebah dalam genangan darah yang sudah hampir membeku,
agaknya kematian mereka ini terjadi belum lama berselang.
Kejadian ini sungguh aneh, siapakah yang berani main bunuh di Bu
khek po ini? Alisnya berkerut semakin dalam, akhirnya dengan
kesebatan luar biasa tubuhnya melesat masuk kedalam pintu sana.
"Siapa itu?" terdengar bentakan saling susul, tahu2 empat orang
Laki2 yang membekal pedang sudah berjajar menghadang dijalan
masuk.
Mendengar tegoran ini Suma Bing menghentikan langkah begitu
melihat keempat orang penghadangnya, semakin geram hatinya
timbul sifat buas dalam benaknya.
Keempat orang ini mengenakan seragam yang didepan dadanya,
tersulam bunga bwe warna putih, ini merupakan pertanda
siapakah mereka adanya. Salah satu yang berdiri ditengah
mengayun2 pedang dan membentak kasar: "Bocah keparat siapa
kau sebutkan namamu?"
Tanpa menyahut Suma Bing maju dua tindak, rona wajahnya
penuh diselubungi hawa membunuh yang tebal.
Tiba2 satu diantara keempat erang itu berseru gemetar: "Kau,
kau ini Suma Bing?"

Mendengar nama Suma Bing, pucat ketakutanlah ketiga kawannya
itu bagai melihat hantu disiang hari bolong. Tanpa terasa mereka
menyurut mundur.
Sebagai Huma dari Perkampungan bumi dalam dua gebrakan
mengalahkan Hui Kong Taysu yang dipandang sebagai padri
teragung bagi Siau lim si berita ini sudah tersebar luas dikalangan
Kangouw, boleh dikata tua muda besar kecil semua sudah dengar
dan tahu tentang peristiwa besar itu. Apalagi empat kaum keroco
Bwe hwa hwe ini betapa mereka tidak ketakutan serasa arwah
sudah meninggalkan badan. Jadi sudah terang kalau pihak Bwe
hwa hwelah yang meluruk dan merupakan duri bencana bagi pihak
Bu khek po. Ini betul2 diluar prasangka Suma Bing.
Setelah saling berpandangan, mendadak keempat orang itu terus
memutar tubuh dan lari terbirit2 bagai dikejar hantu.
"Jangan bergerak!" suara bentakan ini seolah2 mempunyai
wibawa besar se-akan2 kaki mereka tumbuh akar sehingga
terpaku ditempat masing2.
Suma Bing sudah mengayun tangan tinggal mengerahkan tenaga
memukul mampus keempat laki2 didepannya ini, namun tiba2
tergeraklah hatinya, pikirnya lebih baik jangan membuat gaduh
dan mengejutkan orang lain, dilihat dulu bagaimana keadaan
didalam perkampungan sana. Karena pikirannya ini, tangan yang
sudah terangkat itu ditarik kembali, begitu melejit enteng sekali
bagai burung walet tubuhnya terbang lewat diatas kepala keempat
orang laki2 itu.
Dikala bayangan Suma Bing menghilang dibalik barisan para2
puluhan tombak didepan sana, baru terdengar suara 'blak, bluk'
keempat laki2 itu roboh terkapar dan melayang jiwanya tanpa
mengeluarkan suara.
Lingkungan benteng perkampungan Bu khek po ini ternyata sekian
luasnya. Ratusan tombak kemudian baru terlihat bangunan rumah2,
sepanjang perjalanan mayat

bergelimpangan di-mana2, diantaranya ada anak murid dari
perbentengan dan ada juga anak buah Bwe hwa hwe.
Menyusuri sebuah jalanan batu hijau yang diapit pohon2 siong dan
pek, terbentanglah sebuah lapangan yang luas disebelah depan
sana. Dipinggir lapangan sudah tertumpuk tujuh mayat, dan
terlihat pula dua kelompok manusia tengah berhadapan.
Kelompok pertama dari pihak Bu khek bun, jumlahnya tidak
kurang empat limapuluhan orang.
Sedang kelompok kedua dari Bwe hwa hwe, jumlahnya lebih kecil
tidak lebih dari duapuluh orang. Saat mana seorang tua berjubah
merah bersulam sekuntum bunga Bwe tengah berdebat seru
menghadapi seorang lelaki pertengahan umur yang berpakaian
perlente... Dari cara berpakaiannya itu dapatlah diketahui bahwa
orang tua jubah merah itu adalah salah satu dari pelindung Bwe
hwa hwe. Sedang laki2 perlente itu pasti pejabat Ciangbunjin yang
sekarang dari Bu khek bun yaitu Bu khek chiu Tio Ling wa adanya.
Terdengar orang tua jubah merah tengah ter-gelak2, serta
serunya: "Ciangbunjin, ucapanku sudah habis, sebenarnya
bagaimana pendapatmu?"
Wajah Bu khek chiu Tio Ling wa mengunjuk rasa gusar,
semprotnya: "Sebagai pejabat Ciangbunjin, kepalaku boleh putus,
darahku boleh mengalir, aku tak sudi menjadi pengkhianat dari
perguruanku!"
"Hm, Ciangbunjin, berpikirlah secara jantan?" "Persoalan
sudah terang dan tak perlu diperdebatkan lagi!" "Jadi kau rela
melihat Bu khek po terjadi banjir darah?" "Selamanya aku
tidak takut diancam!" "Aku menerima tugas kalau tujuan
belum terlaksana,
akan..."

"Akan apa?" "Bu khek po harus dicuci bersih dengan darah
kalian"
ancaman serius ini membuat semua anak murid Bu khek bun
berobah airmukanya, malah yang berdarah panas sudah
menggeram gusar dan hendak melabrak musuh2 tak diundang
pembuat bencana ini.
Bu khek Ciangbunjin Bu khek chiu Tio Ling wa sendiri juga sampai
mundur selangkah, geramnya mengertak gigi: "Perbuatan kalian
dari Bwe hwa hwe ini, akan menambah kebencian masyarakat
seumpama Tuhan juga tidak akan memberi ampun terhadap
kedholiman kalian ini. Hari saat2 runtuhnya Bwe hwa hwe sudah
diambang pintu. Perguruan kita rela hancur lebur sebagai batu giok
yang suci murni daripada pecah berantakan sebagai genteng yang
tak berharga."
Orang tua jubah merah ganda mendengus ejek, jengeknya:
"Ciangbunjin, nasib Bwe hwa hwe kelak, kau tak perlu banyak
urus. Sebaliknya saat2 runtuhnya perguruan kalian sudah tiba
didepan mata!"
Pada saat itulah sekonyong2 seorang laki2 seragam hitam bergegas
memasuki gelanggang terus memberi lapor dengan muka
ketakutan: "Lapor kepada Hu hoat, semua penjaga gelap yang kita
tanam diempat penjuru mengalami bencana..."
"Apa?" tanya si orang tua jubah merah dengan kejut. "Semua
penjaga gelap yang kita sebar disepanjang jalanan
telah musnah sama sekali. Semua mati karena tertutuk jalan darah
kematian mereka oleh tutukan jari dengan tenaga Lwekeh yang
hebat sekali. Siapakah orang yang turun tangan belum diketahui
jejaknya."
Semua hadirin tergetar dan terperanjat akan perobahan luar biasa
yang terjadi mendadak ini.

Bagi pihak Bu khek po, mereka heran dan terkejut. Bagi Bwe hwa
hwe selain kejut juga merasa gentar dan mulai dirundung
ketakutan.
Siapa dan termasuk tokoh macam apakah orang yang turun
tangan itu?
Tidak kurang empat puluh orang anak buah Bwe hwa we yang
disebar secara gelap diempat penjuru, kini tanpa bersuara, semua
sudah menggeletak menjadi mayat, ini benar2 sangat mengejutkan
dan susah dapat dipercaya.
Mata si orang tua jubah merah menyorotkan sorot gusar dan
buas, katanya dengan nada berat: "Chi dan Tan dua Tongcu
dengar perintah!"
Dua orang berseragam abu2 melesat keluar serunya berbareng:
"Tecu disini?"
"Silahkan kalian berdua pergi memeriksa!" "Terima perintah!"
sebat sekali mereka sudah berlari pergi
meninggalkan gelanggang. "Ciangbunjin, kuberi peringatan yang
terakhir. Harap
segera serahkan Hui jui san (kipas pualam hijau), kalau tidak
segera kukeluarkan perintah untuk menghancurkan seluruh Bu
khek po ini!"
"Tidak bisa!" teriak Bu khek chiu Tio Ling wa dengan sengitnya.
Mendadak dua jeritan yang melolong tinggi menusuk pendengaran
jauh2 terdengar dengan jelas sekali.
Kontan berobah airmuka semua anak buah Bwe hwa hwe.
Kenyataan ini sudah jelas bahwa Chi dan Tan kedua Tongcu itu
pasti sudah menemui ajalnya mengikuti para penjaga gelap yang
disebar dimana2 itu.
Mata si orang tua jubah merah melotot besar bagai dua kelereng
yang hampir mencotot keluar. Otot dijidatnya juga

merongkol keluar. Sesaat dia mati kutu tak tahu apa yang harus
diperbuat selanjutnya.
Sementara itu pihak Bu khek po termasuk Bu hek chiu sendiri
mengunjuk rasa heran tak mengerti, entah siapakah yang telah
membantu secara menggelap ini?
Terdengar kesiur angin yang keras dua bayangan orang bagai
burung raksasa melayang jatuh
ketengah gelanggang. Kontan berjingkrak girang dan gegap
gempitalah sorak sorai pihak Bu khek po.
Kedua bayangan itu kiranya adalah dua orang tua yang sudah
beruban dan berjenggot panjang sebatas dada.
Seketika berseru giranglah Bu khek chiu Tio Ling wa, sapanya
sambil unjuk hormat: "Para Susiok baik2 saja selama ini!"
"Ciangbunjin juga baik!" sahut kedua orang tua berbareng.
Lalu mereka berputar menghadap kelompok pihak Bwe hwa
hwe, empat sorot mata yang ber-kilat2 menatap tajam kearah
lawan tanpa berkesip.
Si orang tua jubah merah acuh tak acuh membuka suara:
"Kiranya Bu khek siang lo."
Bu khek siang lo mendengus gusar, semprotnya dengan nada
yang menyedot semangat:
"Kam Peng cun, sungguh tak duga kau sekarang telah menjadi
pelindung dari Bwe hwa hwe, pantas kau berani main lagak dan
menyebar maut ke-mana2 malah turun tangan keji terhadap anak
murid kami. Hehehe, orang she Kam, kau hendak berbuat apa
terhadap perguruan kami?"
Sahut Kam Peng cun dengan kalem tanpa berobah air mukanya:
"Terlebih dahulu perlu aku bertanya, para penjaga gelap sebanyak
empat puluh orang dengan kedua Tongcu kami, apakah kalian
berdua yang membunuh mereka?"

Siang lo sama2 melengak, sahut salah seorang: "Lohu berdua
baru saja tiba!"
"Benar bukan kalian yang turun tangan?" Kam Peng cun
menegasi.
"Bukan, sebaliknya para murid dari Bu khek bun yang melayang
jiwanya itu, hutang darah ini kau orang she Kam..."
"Ingat catatlah dalam perhitungan dengan Bwe hwa hwe!"
"Orang she Kam, kau sangka Bwe hwa hwe lantas bisa
menutupi matahari dengan sebelah tangan?" "Cayhe tidak perlu
banyak debat!" "Lalu apa maksudmu?" "Aku menerima tugas
untuk minta pinjam Kipas pualam
hijau dari perguruan kalian." "Hahahahahaha!" Bu khek siang lo
perdengarkan gelak
tawa yang serak memekakkan telinga. Kam Peng cun Hu hoat
jubah merah menggereng gusar,
makinya: "Ada apa kalian tertawa?" Setelah menghentikan
tawanya, berobah kereng wajah
Siang lo, bentaknya: "Kipas pualam hijau adalah benda pusaka
pelindung perguruan kita, kecuali perguruan kita sudah musnah
dari muka bumi ini, kalau tidak..."
"Kalau tidak dipinjamkan kepada kita kipas pualam hijau itu,"
demikian Kam Peng cun menukas dan menyambung, "Bukan saja
nama kalian harus tersapu dari dunia persilatan, malah Bu khek
po ini juga harus menjadi tumpukan puing!"
Saking marah Bu khek siang lo berjingkrak2, wajahnya berobah
hijau dan seluruh tubuh gemetaran. Malah seorang yang agak
muda berdarah panas tanpa kuasa menahan gelora hatinya lagi
terus merangsang maju sambil menyerang kearah

si jubah merah Kam Peng cun betapa hebat dan keji serangan ini
benar2 hebat luar biasa.
Kam Peng cun menepuk kedua tangan terus mendorong maju
menyongsong serangan lawan. Begitu tangan kedua belah pihak
saling bentur, terdengarlah suara 'plak, plok' tiga kali. Kontan salah
satu Siang lo itu tergetar mundur dua tindak. Ini menunjukkan
bahwa Lwekang Kam Peng cun masih berada diatas Siang lo.
Sebagai tokoh tertinggi dari perguruannya, ternyata Siang lo bukan
menjadi tandingan seorang Hu hoat seperti Kam Peng cun saja,
maka dapatlah dibayangkan akibat dari pertempuran besar2an
yang akan datang ini.
Semua anak murid Bu khek bun termasuk Ciangbunjin sendiri
berobah pucat dan kecut hatinya. Dalam pada itu, kalau lahirnya
saja Kam Peng cun bersikap tenang dan acuh tak acuh, namun
hatinya risau dan jantungnya berdebur keras.
Orang yang turun tangan secara gelap itu merupakan ancaman
terbesar bagi kedudukannya. Berpuluh jagoan kelas tinggi semua
mampus tanpa karuan paran, malah sampai orang yang memberi
aba2 juga tidak ada. Maka dapatlah diukur betapa tinggi ilmu silat
orang yang turun tangan itu, sungguh ngeri dan menakutkan.
Tak terpikirkan olehnya siapakah orangnya yang berani terang2an
main propokasi terhadap Bwe hwa hwe, malah sudah turun
tangan secara keji pula? Setelah di-pikir2, segera ia berpaling dan
perintahnya kepada seorang seragam hitam: "Ban hiangcu,
lepaskan tanda bantuan!"
Orang yang diperintah mengiakan, selarik sinar merah melesat
tinggi ketengah angkasa terus meledak keras dan berhamburanlah
bunga2 api yang berbentuk seperti bunga Bwe besar.

Bu khek chiu Tio Ling wa, juga segera angkat sebelah tangan,
berpuluh anak muridnya segera berpencar kedua samping siap
siaga sambil menyoreng senjata.
Sekilas Bu khek siang lo berpaling kearah Ciangbunjin mereka, lalu
keduanya maju bersama menerjang kearah musuh. Pelindung
jubah merah Kam Peng cun membentak keras memberi aba2
untuk mulai melabrak musuh. Sedang dia sendiri mendahului
memapak kedatangan Bu khek siang lo.
Puluhan anak buahnya juga tidak mau ketinggalan terus
merangsak maju dan menyerbu musuh mati2an. Dimana2
terdengar suara bentakan diiringi suara jerit kesakitan yang riuh
rendah.
Terjadilah pertempuran serabutan yang besar, jiwa manusia
seumpama rumput dibabat habis2an, mayat mulai bergelimpangan.
Para jagoan Bwe hwa hwe yang diikut sertakan dalam penyerbuan
adalah para Hiangcu keatas, mereka adalah tokoh2 silat pilihan
yang berkepandaian tinggi, setiap turun tangan tanpa sungkan2
lagi, maka dalam sekejap itu dapatlah dibedakan pihak mana lebih
kuat dan asor.
Meskipun para murid Bu khek bun bertempur membekal rasa gusar
yang me-luap2 serta bertempur dengan gigihnya, apa mau
kepandaian sendiri lebih rendah dari musuh bagaimana besar
tekad dan semangatnyapun toh satu persatu kena dirobohkan.
Terlebih lihay dan hebat adalah pertempuran antara Kam Peng cun
melawan Bu khek siang lo. Sedang seorang tua jubah merah
sebagai pejabat pelindung lainnya melawan Tio Ling wa. Hanya
dalam beberapa gebrak saja Bu khek chiu sudah terdesak hebat
dibawah angin, setindak demi setindak terus mundur, setiap saat
menghadapi bahaya. Jerit menyayatkan hati terus saling susul
terdengar menusuk telinga.

Gemboran pertempuran dan denting senjata beradu telah
memenuhi seluruh perbentengan Bu khek po. Tidak sampai
setengah jam, pihak Bu khek bun sudah jatuh korban hampir
separonya. Sungguh menggiriskan pembunuhan besar2an ini.
Se-konyong2 terdengar jeritan tertahan, tampak Ciangbunjin Bu
khek chiu Tio Ling wa menyemprotkan darah segar, tubuhnya juga
limbung hampir roboh.
Salah seorang dari Bu khek siang lo bergegas meninggalkan Kam
Peng cun terus menubruk tiba merintangi didepan Bu khek chiu
sembari menyambuti serangan pelindung jubah merah lainnya ini.
Tinggal Siang lo yang seorang itu menghadapi Kam Peng cun,
hanya dalam tiga gebrak saja dirinya sudah terdesak pontang
panting tanpa mampu balas menyerang lagi. Sampai saat itu
kenyataan membuktikan bahwa Bu khek bun terang susah
terhindar dari keruntuhan total.
Dalam saat2 yang menentukan itulah, sekonyong2 terdengar
sebuah hardikan keras yang lantang:
"Semua berhenti!" suara ini tidak begitu besar tapi dapat menutupi
semua keributan yang bergelombang rendah itu, sehingga semua
orang yang tengah bertempur merasa tergetar hatinya, kuping
juga serasa ditusuk jarum. Tanpa terasa kedua belah pihak
menghentikan pertempuran ini...
Sebuah bayangan seenteng kapuk melayang tiba memasuki
gelanggang. Pendatang ini adalah seorang pemuda yang cakap
ganteng seumpama Arjuna hidup kembali. Tapi diantara kerut
alisnya itu terkandung hawa membunuh yang tebal.
Wajah tua pelindung jubah merah itu seketika pucat pasi,
gumamnya gemetar: "Sia sin kedua Suma Bing!"
Kedatangan Suma Bing ini seumpama malaikat elmaut bagi pihak
Bwe hwa hwe, keruan ciut dan gentar nyali mereka.

Sebaliknya pihak Bu khek po merasa takjup, heran dan kejut
sampai terlongong. Meskipun diberi julukan sebagai Sia sin kedua,
tapi ketenaran dan kepandaian Suma Bing sekarang, rasanya lebih
tinggi dan lebih agung dari gurunya yang sudah wafat yaitu Lam
sia Kho Jiang.
Kehadiran Suma Bing diluar sangka ini benar2 mengejutkan dan
diluar dugaan kedua belah pihak. Tanpa diterangkan lagi sudah
jelas, bahwa para penjaga gelap yang ditanam dimana2 oleh Bwe
hwa hwe itu pastilah telah dibabat habis oleh Suma Bing.
Memang hanya Suma Bing saja yang mampu melakukan
pekerjaan besar yang berat itu.
Serta merta para anak buah Bwe hwa hwe menggeremet dan
saling mepet.
Wajah Suma Bing membeku bagai es kedua matanya mencorong
berkilat bagai bintang kejora dimalam hari, menyinarkan cahaya
dingin yang menyilaukan mata. Setelah menyapu pandang kearah
Bu khek siang lo, terus berpaling menghadapi semua jagoan Bwe
hwa hwe.
Kam Peng cun si pelindung jubah merah sebagai pemimpin dalam
penyerbuan ini. Tak dapat tidak dia harus menghadapi kenyataan
yang serius ini, terpaksa mengeraskan kepala dia tampil kedepan:
"Apakah tuan ini Sia sin kedua?"
Suma Bing menggereng dingin sebagai jawaban. "Apa maksud
tuan datang kemari?" "Membunuh orang!" dua patah kata
yang gampang
diucapkan ini keluar dari mulut Suma Bing, betapa besar
wibawanya seumpama lonceng kematian bagi anak buah Bwe hwa
hwe, bayangan kematian melingkupi sanubari setiap hadirin.
Pelindung jubah merah Kam Peng cun menyedot hawa dingin dan
mundur dua langkah, sudah tahu namun dia

sengaja bertanya: "Jadi kedatangan tuan khusus hendak
membunuh?"
"Tidak salah!" "Siapa yang hendak kau bunuh?" "Semua
orang yang mengenakan pertanda dari Bhe hwa
hwe." Keruan terasa terbang arwah semua anak buah Bwe hwa
hwe, semua gemetar ketakutan. Pelindung jubah merah Kam
Peng cun celingukan kian
kemari, pandangannya menyapu keempat penjuru. Besar
harapannya bala bantuan segera tiba, namun dia putus asa karena
yang sangat diharapkan itu tidak kunjung datang juga. Akhirnya
dipandangnya Suma Bing, nadanya mulai lembek: "Lohu beramai
toh tiada permusuhan dengan tuan bukan?"
"Memang tidak! Sayang kalian mau menjadi anak buah Bwe hwa
hwe!"
"Tapi tuan tidak bisa turun tangan keji terhadap setiap orang?"
Sikap Suma Bing tetap angkuh dan dingin, jengeknya: "Justru aku
harus bunuh kalian semua, seluruh penghuni Bwe hwa hwe
termasuk ayam dan anjing tidak akan ketinggalan hidup!"
Hawa pembunuhan semakin tebal, suasana ini laksana sesaat
sebelum datangnya hari kiamat, membuat semua orang susah
bernapas dan gemetar!"
Jidat pelindung jubah merah Kam Peng cun berkeringat dingin,
suaranya sember: "Suma Bing, lalu tindakan apa yang hendak kau
perbuat?"
Suma Bing maju beberapa langkah, sikapnya tetap dingin: "Tak
usah banyak mulut, kamu sekalian hendak bunuh diri atau..."

"Maju!" Dibarengi dengan bentakan aba2 ini, Kam Peng cun
mendahului menerjang maju, sekali ayun kepelan langsung ia
mengepruk kebatok kepala Suma Bing. Disusul para anak buahnya
juga beramai2 menubruk maju merangsek dengan sengitnya,
bayangan pukulan ber-lapis2 bagai bayangan gunung, angin
berkesiur kencang seperti angin lesus seumpama taufan yang
menyerang mendadak di gurun pasir.
Sambil mengertak gigi dan menggerung keras, jurus Bi cu hong
bong dilancarkan.
Suara lolong dan pekik kesakitan memecah udara, dimana
gelombang badai menerpa dan mengembang, tampak puluhan
bayangan manusia melayang keempat penjuru sejauh puluhan
tombak. Sebagian yang lain juga ter-guling2 porak poranda
sampai tiga tombak jauhnya.
Hanya sekali gebrak saja, duapuluhan tokoh2 silat lihay itu sudah
bergelimpangan diatas tanah tanpa bergerak, kalau tidak
melayang jiwanya juga pasti terluka berat. Kepandaian semacam
ini betul2 belum pernah terlihat dan sungguh menakjupkan.
Semua kerabat Bu khek po termasuk Bu khek siang lo semua
terlongo heran dan melelet lidah.
Agaknya kepandaian pelindung jubah merah Kam Peng cun dan
seorang kawannya berkepandaian lain dari yang lain, mereka
terluka paling ringan dan masih dapat bergerak lincah, tanpa
mengeluarkan suara lagi mereka berdua sama2 melejit keluar
gelanggang hendak lari...
"Lari kemana kamu?" Suma Bing menghardik keras sambil
berkelebat mengejar, bagai bayangan yang mengikuti bentuk,
tubuhnya melesat pesat sekali. Jurus Bi cu hong bong lagi2
dilancarkan dari tengah udara menungkrup kearah kedua
pelindung jubah merah itu.

Dua gulung bayangan merah terpental tinggi ketengah udara
sambil perdengarkan jeritan yang menusuk hati. Sedemikian hebat
pukulan Suma Bing ini sehingga tubuh mereka melayang jauh
masuk kedalam hutan diluar gelanggang sana.
Ditengah udara Suma Bing jumpalitan dan menginjak tanah
ditempatnya semula. Dengan pandangan tajam dipandangnya
para anak buah Bwe hwa hwe yang terluka dan masih ketinggalan
hidup.
Mayat dan darah bercecer menyadarkan sanubarinya yang baik
dan bijaksana, nafsu dan rasa kebenciannya ber-angsur2 lenyap,
akhirnya tangannya diulapkan serta berseru:
"Menggelinding pergi! Tapi jangan sekali2 kembali ke Bwe hwa
hwe, kalau tidak nasib yang sama akan menimpa kalian lagi pada
suatu hari kelak!"
Para jagoan Bwe hwa hwe yang masih ketinggalan hidup bagai
lolos dari pintu elmaut, tanpa diperintah lagi segera mereka
angkat kaki dan serabutan lari ter-birit2.
Sekian lama Suma Bing memandangi mayat2 yang bergelimpangan
hasil karyanya itu, lalu per-lahan2 membalik tubuh...
Se-konyong2 terdengar kesiur angin yang membawa suara
lambaian baju, tiga bayangan orang seenteng burung kepinis
melayang tiba memasuki gelanggang!
"Tuan kejam benar perbuatanmu, keterlaluan kau memandang
rendah pihak Bwe hwa hwe kita?"
Suma Bing membalik tubuh lagi. Dihadapannya kini berdiri tiga
orang pemuda seragam putih yang bersulam kembang Bwe besar,
mereka memandang gusar kearah dirinya. Timbul pula hawa
amarah Suma Bing yang sudah hampir padam tadi, alisnya
dikerutkan dalam, jengeknya:
"Kalian memburu tiba untuk mengantar kematian?"

Salah satu pemuda serba putih itu mencibir bibir dan melotot
gusar, sanggahnya:
"Kita datang untuk mengantar keberangkatanmu!" "Mengandal
kalian tiga kurcaci ini rasanya kurang
berharga!" Gesit sekali ketiga pemuda itu menggeser kedudukan
menjadi formasi segitiga mengelilingi Suma Bing. Dilihat dari
gerak tubuh mereka, agaknya Lwekang mereka masih berada
diatas para pelindung jubah merah tadi, tidak heran mereka
berani takabur membuka mulut besar.
Setelah saling berpandangan sebentar tanpa membuka suara lagi
serentak mereka mengangkat tangan bersiap hendak menyerang.
Amarah Suma Bing semakin terangsang wajahnya semakin
membesi dirundung nafsu kekejian, dia tahu dari gaya ketiga
pemuda ini bahwa mereka tengah menghimpun kekuatan hendak
melancarkan ilmu Kiu yang sinkang. Kiu yang sinkang merupakan
pelajaran tunggal dari Lam sia Kho Jiang.
Tapi sekarang terunjuk pada ketiga pemuda ini, betapa tidak
membuat hatinya terbakar dan mendidih darahnya, desisnya sinis:
"Rupanya kalian bertiga menjadi murid Loh Cu gi?" Berobah
wajah ketiga pemuda itu. "Kalau benar kau mau
apa?" sanggah salah satu diantaranya. Suma Bing merogoh
kedalam baju lalu pelan2 diacungkan
keatas, tampak sebilah cundrik yang berkilauan sudah digenggam
ditangannya.
"Cundrik penembus dada!" terdengar ketiga pemuda dan para
kerabat dari Bu khek bun berseru kejut.
Sungguh tak terduga bahwa Sia sin kedua Suma Bing ternyata
menyandang cundrik penembus dada yang sangat

ditakuti oleh kalangan hitam dan putih. Apakah mungkin Rasul
penembus dada yang selama ini muncul dan malang melintang
menyebar maut itu adalah duplikatnya Suma Bing?
Ketiga pemuda itu serentak menggertak keras masing2 luncurkan
sebuah pukulannya. Ternyata angin pukulan mereka mengandung
sinar merah yang berkelebat bagai kilat. Ini menandakan bahwa
latihan Kiu yang sinkang ketiga pemuda ini sudah mencapai suatu
taraf yang dapat dibanggakan.
Serta merta karena pikiran siaganya bekerja, ilmu Giok ci sinkang
sudah terkerahkan melindungi seluruh tubuh Suma Bing. Maka
terdengarlah suara 'Blang, blung' tiga kali sedemikian keras suara
dentuman pukulan ini sehingga menggetarkan seluruh gelanggang.
Suma Bing hanya menggeliat tubuh, sebaliknya ketiga pemuda itu
masing2 mundur selangkah lebar. Kontan pucat pasi ketiga
pemuda itu, kegarangannya tadi seketika lenyap dan kuncuplah
nyalinya, mimik wajah mereka dari beringas marah berganti
menjadi tegang ketakutan.
-oo0dw0oo-
Jilid 13 49. AJAL BU KHEK
SIANG LO
Sebetulnya ketiga pemuda itu percaya benar akan kekuatan
gabungan pukulan mereka, bahwa dikolong langit ini takkan ada
tokoh lihay siapapun yang kuat melawan keampuhan Kiu yang
sinkang.
Tapi kenyataan bahwa Lwekang Suma Bing jauh diluar perkiraan
mereka sendiri.

Mendadak bayangan Suma Bing berkelebat tubuhnya menubruk
kearah salah satu pemuda itu, dimana terlihat sinar kilat
berkelebat. Kontan terdengar lolong panjang kesakitan yang
menggetarkan sanubari seluruh hadirin. 'Blang', raga pemuda baju
putih itu terbanting keras terkapar diatas tanah, darah menyembur
bagai air ledeng dari dadanya.
Hampir dalam waktu yang bersamaan, dua jalur angin pukulan
yang dahsyat menerjang tiba mengarah punggung Suma Bing.
Keruan Suma Bing terpental kedepan menubruk angin, namun
secepat itu pula tubuhnya sudah memutar balik, dan hanya sekali
berkelebat lagi2 tubuhnya sudah kembali ketempat asalnya tadi,
sorot matanya dingin menggiriskan menatap kearah seorang
pemuda baju putih yang lain.
Pucat pasi wajah kedua pemuda baju putih yang masih
ketinggalan hidup ini, serta merta mereka saling mepet dan
mundur setindak demi setindak.
Sungguh kecepatan gerak tubuh Suma Bing susah diikuti oleh
pandangan mata, secepat tubuhnya bergerak secepat itu pula
terdengar pekik kesakitan yang menyayatkan hati, pancuran darah
membasahi bumi, lagi2 salah seorang dari kedua pemuda itu
sudah ajal ditembusi dadanya.
Tiga diantara pemuda baju putih itu kini tinggal seorang yang
masih ketinggalan hidup. Keruan serasa terbang arwahnya, insaf
kalau dirinya juga bakal tidak mungkin menyelamatkan diri, namun
betapapun daya kekuatan untuk hidup masih merangsang
benaknya sehingga dia harus meronta dan berontak dari kekangan
elmaut kematian ini. Setelah menghimpun seluruh kekuatannya,
bukan lari malah dia menubruk kearah Suma Bing dengan nekad.
Terdengarlah suara 'blang, blung' yang keras dalam sekejap mata
beruntun Suma Bing mandah digenjot dan dihantam sebanyak lima
kali, tubuhnya hanya mundur tiga tindak.

Sebaliknya si pemuda merasakan kedua tangannya terasa hampir
patah, sakitnya bukan buatan, ia berdiri termangu bagai patung.
Maka dengan mudah saja cundrik yang tajam berkilauan itu
menusuk amblas kedalam dadanya malah terus menembus sampai
kepunggungnya. Sebuah jeritan panjang memecah kesunyian,
darah menyembur keluar lagi tubuhnya terkapar tanpa bergerak
lagi.
Suma Bing menyimpan kembali cundriknya, terus angkat langkah
menghampiri kearah rombongan Bu khek bun. Sejauh satu
tombak baru ia berhenti melangkah.
Bagai tersadar dari lamunannya cepat2 Bu khek chiu Tio Leng wa
tampil kedepan sambil angkat tangan serta, katanya: "Saudara ini
terimalah hormat serta pernyataan terima kasih kami!"
Tawar2 saja Suma Bing berkata: "Ciangbunjin jangan banyak
peradatan."
"Terima kasih banyak akan bantuan Siauhiap yang sangat
berharga ini!"
"Ah, tidak perlu sungkan2!" "Kalau tiada Siauhiap membantu
tepat pada waktunya,
susahlah dibayangkan akibatnya." "Sudah cayhe katakan tidak
perlu sungkan2, kubunuh
semua kurcaci Bwe hwa hwe itu bukan lantaran hendak menalangi
ancaman bahaya perguruan kalian."
Semua anak murid Bu khek bun mengunjuk rasa heran dan kaget.
Segera Bu khek siang lo tampil kedepan sembari angkat tangan,
ujarnya: "Lohu kakak beradik mewakili sekalian anak murid kita
menyampaikan banyak terima kasih!"
Suma Bing ganda mendengus ejek, sorot matanya yang
mengandung kebencian menatap kearah kedua orang tua ini.

Keruan berobah airmuka Siang lo, tanpa sadar mereka mundur
selangkah lebar saking gentar.
B u k h e k c h i u T i o L e n g w a m e r a s a k a n
k e g a n j i l a n s u a s a n a y a n g m e n g u a t i r k a n
i n i , c e p a t 2 i a m a j u s a m a t e n g a h d a n
b e r k a t a s a m b i l m e m b e r i h o r m a t :
" S i a u h i a p s i l a h k a n i s t i r a h a t d i d a l a m
s a m b i l m e n i k m a t i s e k e d a r m i n u m a n t e h ! "
"Terima kasih akan kebaikanmu ini!" "Siauhiap..." "Ketahuilah
bahwa kedatanganku ini mempunyai satu
tujuan!" "Harap tanya..." "Kedatanganku diperguruan kalian ini
untuk menagih
perhitungan lama!" "Perhitungan lama?" "Tepat sekali!" "Aku
kurang paham apa yang Siauhiap maksudkan?" Sorot pandangan
Suma Bing melirik kearah Bu khek siang
lo, katanya: "Kurasa Siang lo kalian sudah paham apa yang
kumaksudkan."
Memang Bu khek siang lo sudah menduga akan urusan apa, wajah
tuanya kontan berubah pucat kebiru2an terus berubah pucat
memutih, salah seorang tua itu tampil kedepan serta katanya
penuh keharuan: "Kau ini..."
Sepatah demi sepatah Suma Bing berkata: "Keturunan Su hay yu
hiap Suma Hong!"
"Oh!" Siang lo berseru kejut berbareng dan mundur tiga langkah
tubuhnya bergemetaran hebat sekali.
"Kalian berdua sudah paham?" desak Suma Bing menyeringai.

"Siauhiap". seru Bu khek chiu Tio Leng wa gugup. "Kalau ada
urusan baiklah dirundingkan per-lahan2!"
Suma Bing ulapkan tangan, katanya: "Ciangbunjin, lebih baik kau
tidak turut campur dalam urusan ini!"
Mulut Bu khek chiu Tio Leng wa bagai disumbat tanpa kuasa
membuka mulut lagi. Sedang anak muridnya semua melongo dan
saling pandang, mereka tidak tahu peristiwa apakah yang pernah
terjadi.
Setelah menghela napas panjang, Siang lo sama2 angkat sebelah
tangan terus menghantam kebatok kepalanya sendiri.
Sigap sekali Suma Bing tudingkan jarinya, kontan dua jalur angin
telunjuknya mencicit melesat kedepan. Terdengar Sianglo
mengeluh tertahan, tangan masing2 yang sudah terangkat tinggi
itu kini tergantung lemas tanpa mampu bergerak lagi.
Tertua dari Sianglo mendelik gusar semprotnya: "Suma Bing,
apa2an maksudmu ini?"
Tanpa banyak cakap lagi, Suma Bing melolos keluar cundrik
penembus dada.
"Suma Bing, bagimu membunuh orang segampang kau
menganggukkan kepala. Memang dulu Lohu berdua pernah
berbuat salah, tapi masa belum cukup kita menebus dengan
kematian?"
Wajah Suma Bing membeku dingin, katanya: "Semua orang yang
turut mengeroyok dan menganiaya ayahku dulu tiada seorangpun
yang boleh luput dari hukuman yang serupa."
" K a u t e r l a l u k e j a m . . . " " K a l i a n m e n y e s a l
s e t e l a h t e r l a m b a t ? " T e r s i p u 2 B u k h e k c h i u
T i o L e n g w a m a j u s a m a t e n g a h ,
katanya gugup: "Siauhiap..."

Tanpa berpaling Suma Bing ulapkan sebelah tangan, kontan Bu
khek chiu terhuyung mundur.
Bu khek sianglo menjerit dengan penuh kepedihan: "Sebab dan
akibat saling berbalasan, Suma Bing, silahkan kau turun tangan!"
Pada saat itulah tiba2 terdengar sebuah bentakan nyaring dari
kejauhan sana: "Suma Bing, berani benar kau!"
Suma Bing terperanjat, tanpa terasa tangannya diturunkan
kembali, matanya berkilat memandang kearah datangnya suara.
Begitu melihat tegas, kontan tubuhnya merinding dan berdiri bulu
kuduknya, matanya kesima mulutnya melongo.
Seorang gadis serba putih melayang datang seperti Dewi yang
melayang tiba dari kahyangan.
Dia adalah Ting Hoan? Tapi sebuah pikiran lain segera
menghapus perasaannya
dalam kenyataan ini. Sebab Ting Hoan sudah meninggal setelah
diperkosa oleh Racun diracun, malah dia sendiri yang turun tangan
mengubur jenazahnya, orang yang sudah mati sudah tentu takkan
hidup lagi.
Tapi kenyataan yang datang ini memang Ting Hoan adanya. Dia
meng-ucek2 mata, dan melihat lagi lebih tegas, memang tidak
salah, Ting Hoan adanya.
Betapa besar rasa kejut hatinya susah diuraikan dengan kata2,
tubuhnya limbung tiga langkah. Apa mungkin Ting Hoan benar2
hidup kembali? Kenyataan ini lantas menghancurkan segala pikiran.
Dalam pada itu, gadis serba putih itu sudah berdiri tegak diatas
tanah, matanya menyapu keseluruh gelanggang, per- tama2
dipandangnya Bu khek sianglo penuh perhatian. Lalu berpaling
kearah Bu khek chiu Tio Leng wa serta panggilnya: "Ayah!"

Bu khek chiu Tio Leng wa berjingkrak kegirangan serunya: "Anak
Siok, kau...sungguh tepat kedatanganmu..."
Percakapan ini membuktikan bahwa gadis serba putih ini bukan
Ting Hoan adanya. Ini benar2 sangat aneh dan ganjil, sungguh
tak terduga dikolong langit ini ternyata ada dua orang yang mirip
sedemikian rupa bagai pinang dibelah dua.
Gadis serba putih ini merengut gusar, jengeknya dingin: "Suma
Bing, apa yang hendak kau lakukan?"
"Siapa kau ini?" "Nonamu ini Tio Keh siok, putri tunggal Bu
khek Ciangbun,
sudah jelas belum?" "Kalau begitu, dengarlah biar jelas,
kedatangan cayhe ini
untuk menuntut balas." "Menuntut balas?" Suma Bing mengiakan.
"Siapa yang bermusuhan dengan kau?" "Bu khek sianglo!"
"Susiokco!" seru Tio Keh siok lirih sambil memandang
kearah Bu khek sianglo. Rasa duka dan ketakutan Bu khek sianglo
masih belum
hilang, berbareng mereka manggut2. Sekilas Tio Keh siok
memandang kearah Sianglo penuh
tanda tanya dan tak mengerti lalu berputar menghadapi Suma
Bing, katanya: "Kau menjadi anak buah dari Jeng siong hwe."
Suma Bing angkat cundrik ditangannya tinggi2, serunya lantang:
"Dalam dunia persilatan hakikatnya tiada kumpulan yang
dinamakan Jeng siong hwe apa segala?"
"Lalu Rasul penembus dada yang muncul itu...?" "Rasanya
tidak perlu aku memberi penjelasan kepadamu."

"Suma Bing, susiokcoku berdua ada permusuhan apa dengan
kau?"
Suma Bing menggigit gigi: "Dendam setinggi langit sedalam
lautan!"
Lagi2 Tio Keh siok melirik kearah Sianglo, dia mengharap
pembuktian dari mulut Sianglo sendiri.
Akhirnya salah satu Sianglo itu membuka mulut juga: "Suma Bing,
peristiwa dipuncak kepala harimau pada limabelas tahun yang lalu,
antara hitam dan putih yang ikut serta dalam pengeroyokan tidak
kurang dari ratusan orang jumlahnya. Tahukah kau siapakah
sebenarnya yang turun tangan secara langsung kepada ayahmu Su
hay yu hiap Suma Hong?"
Sorot mata Suma Bing memancarkan kebuasan, desisnya bengis:
"Ayahku terbunuh karena keroyokan kalian bangsa sampah
persilatan!"
"Kau jangan menuduh se-mena2 tanpa bukti!" "Tuan hadir
tidak dalam peristiwa itu?" "Ya, kami hadir tapi sebagai
penonton saja!" "Hm, pembual nomor satu. Tuan ikut turun
tangan tidak?" "Ini..." "Jangan ini itu, hutang jiwa bayar jiwa,
hutang darah bayar
darah..." Tio Keh siok maju beberapa langkah merintangi didepan
Sianglo, jengeknya dingin: "Suma Bing, cundrik ditanganmu itu
entah sudah berlepotan darah berapa banyak tokoh2 silat, masa
sebanyak itu masih kurang dapat menghimpas jiwa ayahmu
seorang. Balas membalas tiada habisnya, kiranya sudah saatnya
kau hentikan kekejaman yang mengalirkan banyak darah dan jiwa
ini?"

"Sesudah tiba saatnya pasti akan berhenti, kalau para kurcaci
yang tidak tahu malu dari sampah persilatan itu sudah tertumpas
habis."
"Jadi tekadmu hendak membunuh habis mereka semua sampai ke
akar2nya?"
"Bukan sampai ke akar2nya. Seorang anak harus membalaskan
dendam ayahnya, ini sudah jamak dan adil bukan?"
"Tapi kurasa hari ini kau pasti akan kecewa!" "Jadi nona hendak
merintangi tindakanku?" "Tidak salah!" "Apakah kau mampu?"
"Mari kau coba2?" Suma Bing berkata dengan nada berat:
"Nona Tio,
perguruan Bu khek bun belum pernah melakukan kejahatan besar
dalam Bulim, maka aku tidak mau melukai atau membunuh orang
yang tidak berdosa..."
"Suma Bing lebih baik kau silahkan pergi saja!" "Tidak
mungkin!" "Kalau begitu janganlah kau ber-pura2 welas asih
dan
berbuat bajik, kau sangka pasti dapat berhasil?" Keras2 Suma
Bing mendengus, ancamnya: "Bagus sekali,
aku Suma Bing tidak keberatan untuk menambah banyak
pembunuhan!" sembari berkata tubuhnya mendadak bergerak
memutar setengah lingkaran melewati tubuh Tio Keh siok terus
menerjang kearah Sianglo, berkelebat sambil menyerang, sungguh
kecepatan gerak tubuhnya ini bagai kilat menyambar.

"Berani kau!" terdengar sebuah bentakan nyaring diiringi
gelombang angin pukulan menerjang kearah Suma Bing,
kekuatannya bagai gugur gunung dan geledek menggetar.
Dentuman keras bagai bom meledak ini membuat tubuh Suma
Bing terpental balik ketempat asalnya. Sedang Tio Keh siok sendiri
juga bersamaan terpental balik terkena daya tolakan luar biasa
sehingga terhuyung beberapa langkah.
Kedua belah pihak sama kaget dan melengak akan kekuatan lawan
masing-masing.
Diam2 tercekat hati Suma Bing, bahwa kepandaian lawan ternyata
hebat luar biasa diluar perhitungannya. Serangan tadi bukan olah2
dahsyat kekuatannya sungguh susah diukur. Sedang Tio Keh siok
sendiri juga tidak kalah kejutnya, ternyata hanya mengandal
kesaktian tenaga pelindung badan musuh cukup membuat dirinya
terpental balik tanpa terkendali. Kalau bergebrak sungguh,
bukankah lebih hebat menakutkan. Tapi dalam keadaan dan situasi
sekarang ini, tiada tempat baginya untuk mengundurkan diri, sebab
bagaimana juga ia tidak tega melihat kedua Susiokconya tewas di
ujung cundrik musuh.
Sebenarnya Bu khek sianglo bukan penjahat dari aliran hitam,
justru karena temaha dan loba saja sehingga berbuat tindakan
yang sesungguhnya sangat memalukan perguruan, menyesal juga
sudah kasep. Kini mereka termangu bagai patung di tempatnya.
Bu khek chiu Tio Leng hwa membanting kaki sembari meremas2
kedua tangannya dengan sedih. Sebagai pejabat ketua dari satu
aliran, dia tidak tahu kalau dalam perguruannya ada anggota tertua
yang ikut dalam komplotan memperebutkan benda pusaka orang
lain, ini merupakan suatu penghinaan dan pengrusakan nama baik
perguruan. Sudah tentu dia tidak kuasa untuk merintangi musuh
untuk menuntut balas. Tapi hakikatnya memang tak mungkin dan
tak kuasa dirinya merintangi. Sebaliknya dalam batin dia juga

tidak rela untuk mencegah putrinya turun tangan mencampuri
urusan ini, yang diharapkan satu2nya hanyalah kemungkinan
timbulnya suatu keanehan yang ajaib...
Para anak murid yang lain lebih2 tak dapat berbuat apa2, bagian
mereka hanya menonton sambil melongo saja. Memang cara Suma
Bing turun tangan membereskan seluruh anak buah Bwe hwa hwe
tadi sungguh menciutkan nyali mereka.
Amarah Suma Bing semakin memuncak, sambil menggerung keras,
sekali lagi tubuhnya melejit langsung menubruk kearah Sianglo lagi.
Tio Keh siok menggertak geram, secepat kilat dikirimkannya sejurus
serangan yang aneh bin ajaib...
Siang2 Suma Bing sudah mempunyai perhitungan, ditengah jalan
mendadak ia rubah permainan silatnya, jurus Mayapada remang2
kontan diberondong keluar secepat kilat.
Timbullah pemandangan yang mengerikan dan mengejutkan semua
orang dalam gelanggang batu beterbangan pasir dan debu
bergulung menari2 ditengah udara, tanah tergetar merekah, saking
hebat angin badai yang timbul ini seakan geledek menyambar
menggoncangkan seluruh mayapada.
Hampir dalam waktu yang bersamaan terdengar dua kali jeritan
panjang yang mengerikan menusuk pendengaran telinga.
Setelah angin dan badai berhenti keadaan sudah menjadi terang
lagi, tampak Bu khek sianglo sudah rebah diatas tanah dalam
genangan air darah, dada mereka masing2 berlobang dan
mengalirkan darah dengan derasnya.
Maka beramai2 Bu khek chiu Tio Leng wa dan anak muridnya
memburu maju kearah kedua jenazah itu.

Sementara itu, dengan kalem Suma bing tengah memasukkan
cundriknya kedalam baju.
Tio Keh siok memekik nyaring terus menubruk kearah Suma Bing.
Sebat sekali Suma Bing melejit mundur sejauh delapan kaki,
serunya tanpa emosi: "Nona Tio, aku tidak ingin membunuh kau!"
"Tapi akulah yang ingin membunuh kau!" desis Tio Keh siok penuh
kebencian. Seiring dengan habis suaranya, tubuhnya yang ramping
semampai itu melejit maju lagi sambil mengayun sebelah
tangannya, berpetalah gambar pukulan tangan yang menderu
membawa kesiur angin keras melengking terus bergulung
menungkrup keseluruh tubuh Suma Bing.
Suma Bing terkejut melihat kehebatan serangan ini, sungguh susah
diukur dan ganjil benar serangan ini, sedemikian keji tiada
bandingannya di kolong langit ini. Seluruh sudut kedudukan dirinya
semua terancam dalam jurus serangan musuh ini, sedikitpun tak
terlihat lobang kelemahannya sehingga membuat orang tak tahu
cara bagaimana dirinya harus membela diri atau menyingkir.
Sungguh dia tidak mengerti, bahwa Lwekang Tio Keh siok ternyata
jauh diatas Bu khek sianglo, malah hakikatnya kepandaiannya ini
bukan pelajaran dari Bu khek bun mereka sendiri?
Waktu tiada memberi tempo untuk dia banyak berpikir, terpaksa
dengan jurus Mayapada remang2 lagi dia balas menyerang untuk
menandingi serangan musuh.
Angin badai saling tumbuk dan saling terjang dengan dahsyatnya
menimbulkan dentuman keras yang menggetarkan seluruh langit
dan bumi.

Seketika Suma Bing merasa darah dan pernapasannya sesak dan
mengembang, tapi tubuhnya masih kuat berdiri tegak tanpa
bergeming.
Sebaliknya Tio Keh siok terhuyung mundur lima langkah,
wajahnya berobah pucat.
Yang benar2 terkejut sebenarnya adalah Suma Bing sendiri. Pernah
secara gampang saja dalam dua jurus dia mengalahkan Hudco dari
Siau lim si Hui Kong Taysu, tapi nona jelita yang masih muda dan
berusia tidak lebih dari dua puluh tahun ini ternyata kuat dan
mampu menahan jurus serangannya tanpa kurang suatu apa, ini
benar2 luar biasa.
Setelah melancarkan pernapasannya kembali Tio Keh siok
melompat maju lagi, wajah membesi, kedua tangannya bergerak
bergantian terus dikebutkan keluar.
Jangan kira hanya gerak kebutan saja kelihatannya enteng dan
biasa saja, namun sebenarnya mengandung kekuatan dalam yang
tidak kentara, betapa besar kekuatannya ini benar2 sangat
mengejutkan.
Suma Bing merasa tiba2 dirinya dilingkupi gelombang kekuatan
bagai gugur gunung yang meluruk semua kearah tubuhnya. Maka
pikirnya, biar kucoba betapa besar kemampuanmu. Karena pikiran
siaganya ini, Giok ci sinkang terkerahkan sampai sepuluh bagian
tenaganya terus menyelubungi seluruh tubuhnya.
Melihat sikap lawannya yang acuh tak acuh dan ogah2an
se-akan2 tak terjadi apa2 semakin geram hati Tiok Keh siok,
kekuatan tenaga pukulannya ditambah dan dipergencar terus
diberondong semakin dahsyat. Dentuman yang menggelegar
membuat hawa udara lima tombak sekelilingnya pepat dan
berputar membumbung tinggi seperti angin lesus.
Para hadirin yang menonton termasuk Bu khek chiu sendiri sampai
tidak kuat berdiri lagi, mereka terdesak mundur sempoyongan,
malah ada yang jungkir balik terguling.

Suma Bing masih berhadapan dengan Tio Keh siok tanpa bergerak,
hati masing2 maklum, salah satu pihak menyerang dengan seluruh
himpunan tenaganya, sedang yang lain mandah diserang secara
kekerasan, kalau dibandingkan anak kecil juga segera dapat
membedakan siapa kuat siapa asor.
"Nona sudah saatnya kau menghentikan sepak terjangmu ini?"
"Suma Bing," teriak Tio Keh siok beringas "Kecuali kau
memberikan keadilan!"
"Apa keadilan?" "Apakah kematian kedua Susiokcoku itu lantas
sia2
belaka?" "Memang setimpal kematian mereka." "Tutup mulut,
kalau nonamu ini tidak membunuhmu, aku
bersumpah tidak menjadi manusia." "Apakah kau mampu?"
"Serahkan jiwamu!" seiring dengan gertakan nyaring ini,
untuk ketiga kalinya Tio Keh siok lancarkan serangan jurus ketiga,
jari dan telapak tangan bergerak berbareng, sedemikian aneh dan
hebatnya cara geraknya ini sehingga semua tempat2 vital yang
mematikan ditubuh lawan semua dalam ancaman renggutannya.
Sedemikian jauh Suma Bing terus mengalah, tapi dalam keadaan
yang terdesak ini akhirnya hatinya berpikir, kalau aku tetap
mengalah terus kapan akhir urusan disini. Maka dia juga
membarengi membentak keras: "Rebahlah!" jurus kedua dari Giok
ci sinkang yaitu Bintang berpindah jumpalitan dilancarkan.
Benar juga seperti apa yang diteriakkan Suma Bing, terdengar
keluhan tertahan seperti orang hampir muntah,

kontan Tio Keh siok terpental jatuh dan rebah diatas tanah,
mulutnya terpentang dan muntahlah darah segar.
Semua kerabat dari perguruan Bu khek bun menjerit kaget, "Anak
Siok!" pekik Tio Leng wa sambil memburu maju.
Pada saat itu juga Tio Keh siok meronta dan merangkak bangun
berdiri, dengan nadanya yang menggiriskan ia berkata: "Suma
Bing, bunuhlah aku?"
"Aku tidak ingin membunuh kau." "Kelak kau akan menyesal!"
"Selamanya aku tidak kenal menyesal." "Ingat, akan datang
suatu hari pasti aku akan
membunuhmu." Nada ancaman ini penuh rasa kebencian yang
meluap2.
Tanpa terasa Suma Bing sampai bergidik seram, tapi dimulut dia
masih bersikap congkak: "Selalu cayhe nantikan saat itu!"
Kakinya menjejak tanah, tubuhnya terus terbang berlari keluar
dari Bu khek po.
Sejak berhasil dan mencapai sukses dalam mempelajari Giok ci
sinkang. Dalam satu jurus saja Loh Cu gi kena dikalahkan dan
ngacir terbirit-birit membawa luka. Hui Kong Taysu pendeta agung
dari Siau lim si dalam dua jurus kemudian mengaku kalah.
Sebaliknya Tio Keh siok seorang gadis muda belia yang belum
cukup berusia dua puluh ternyata kuat bertahan sebanyak tiga
jurus serangannya, betapa tidak mengejutkan.
Siapa dan tokoh macam apakah yang mampu memberi pelajaran
sedemikian hebat kepada seorang gadis kecil?
Setelah tiba diluar perbentengan musuh, Suma Bing menghela
napas panjang. Baru pertama kali ini dia secara terang atas
namanya sendiri menuntut balas, yang digunakan juga cundrik
yang dulu pernah digunakan ibunya untuk

melepaskan penderitaan dirinya maka ditusuknyalah ulu hatinya.
Terkenang akan penderitaan selama ini. Sekarang terasalah
enteng beban dirinya, hatinya berseri girang.
Sekarang tujuannya yang utama adalah markas besar Bwe hwa
hwe. Barisan pohon Bwe yang aneh itulah merupakan ganjalan
paling berat dalam batinnya, sampai saat itu, masih belum
terpikirkan cara2 pemecahannya untuk memasuki barisan aneh itu.
Tapi bagaimanapun juga keinginan hendak menuntut balas selalu
merangsang jiwanya sehingga mendorongnya segera harus tiba
dimarkas besar Bwe hwa hwe.
Betapa banyak para jagoan silat dari Bwe hwa hwe, namun
demikian dalam anggapannya mereka tidak lebih hanya kaum
keroco yang tidak perlu diambil perhatian, membunuh mereka
segampang membalikkan tangan baginya. Mencuci bersih seluruh
Bwe hwa hwe dengan darah mereka sendiri, ingatan yang seram
dan menakutkan ini selalu merasuk dan merangsang benaknya.
Untuk mempercepat tiba ditempat tujuan, Suma Bing kerahkan
seluruh tenaga untuk berlari bagai terbang. Tengah mengayun
langkah itulah tiba2 dilihat sebuah bayangan hitam tengah
mendatangi dari arah depan sana dengan tidak kalah cepatnya.
Ketajaman pandangan Suma Bing sekarang luar biasa, sekilas
pandang saja dia sudah mengenal siapakah yang tengah
mendatangi itu. Segera ia hentikan langkahnya dan mencegat
ditengah jalan gertaknya keras: "Berhenti!"
Sambil berseru kaget bayangan hitam itu segera berhenti.
Mata Suma Bing mencorongkan sorot kebuasan, menyapu
pandang kearah musuh, berkatalah dingin: "Racun diracun, tak
duga kita bertemu disini!"
Memang benar yang baru datang ini adalah Racun diracun, tampak
matanya yang banyak putih dari hitamnya itu

berjelalatan, serta sahutnya angkuh: "Suma Bing, kau hendak
apa?"
"Kukira kau masih belum lupa perkataanku sebelum kita berpisah
dulu bukan?"
"Coba kau katakan sekali lagi?" "Aku hendak membunuhmu!"
"Suma Bing," desis Racun diracun gemetar, "Sudah
kukatakan setengah tahun lagi akan kubereskan sendiri pertikaian
kita itu!"
"Aku sudah tidak sabar lagi!" "Jadi kau hendak turun tangan
sekarang juga?" "Memang begitulah yang kuinginkan." "Suma
Bing sebenarnya aku juga bisa melenyapkan jiwamu
dalam sekejap mata." "Menggunakan racunmu?" "Memang itulah
bekal dan modalku, lebih baik kalau kau
sudah tahu!" Berkelebat cepat pikiran Suma Bing, jikalau dia
lancarkan
sekuat tenaga salah satu dari jurus kepandaian Giok ci sinkang,
sudah pasti Racun diracun tiada kesempatan untuk bertahan
apalagi balas menyerang.
"Racun diracun," kata Suma Bing dengan nada berat, "Dendam
dan budi masih dapat kubedakan, hutang budiku kepadamu,
biarlah kubalas dengan jiwa ragaku, mengenai kau tak dapat tidak
kau harus kulenyapkan dari bumi ini."
"Suma Bing sedemikian kukuh dan besar tekadmu sampai tidak
memberi sedikit kelonggaran?"
Suaranya tergetar sedih.

Suma Bing menggigit gigi. Kedua tangannya mulai bergerak
terangkat naik, Giok ci sinkang sudah terkerahkan sampai
puncaknya yaitu dua belas bagian hawa murninya.
Pada saat kritis itulah mendadak terdengar sebuah suara yang
sudah agak dikenalnya: "Suma Bing, kau tidak boleh
membunuhnya!"
Suma Bing menoleh kearah datangnya suara, seketika tubuhnya
merinding seram, tampak samar2 diatas puncak sebuah pohon
besar dipinggir sana terlihat seperangkat kerangka memutih yang
terbungkus kain sutera putih pula me-lambai2 ditiup angin. Serta
merta Suma Bing membatin: "Pek Kut Hujin."
Maka segera ia hentikan tindakan selanjutnya terus memberi
hormat sembari berkata: "Cianpwe ada pengajaran apa?"
Berkatalah Pek Kut Hujin dengan irama yang menusuk telinga:
"Kau tidak boleh melukainya."
Berkerut alis Suma Bing, tanyanya: "Apakah Cianpwe sudah tahu
sepak terjang muridmu yang laknat ini?"
50. SESAL KEMUDIAN TAK BERGUNA.
"Aku sudah tahu!" Mendadak Racun diracun berlutut diatas
tanah serta
menyembah berulang2, serta mengeluh menyedihkan: "Suhu!"
suara panggilan ini seakan bukan keluar dari mulut Racun diracun,
hal ini membuat Suma Bing tertegun, namun sudah tiada tempo
untuknya banyak berpikir panjang.
"Kalau Cianpwe sudah tahu perbuatan jahat diluar perikemanusiaan
muridmu ini, mengapa..."

"Jadi maksudmu kau anggap aku sengaja hendak melindungi dan
mengeloni muridku?"
"Memang begitulah pikiran wanpwe sebenarnya!" "Lalu kau
hendak berbuat apa?" "Aku hendak menuntut balas bagi yang
sudah mati dan
melampiaskan dendam yang masih hidup." "Sesuatu keluarga
mempunyai peraturan keluarga sendiri
demikian juga suatu aliran mempunyai aturannya sendiri, aku
orang tua sudah pasti mempunyai caraku sendiri untuk
membereskan persoalan ini?"
"Cara bagaimana Locianpwe hendak membereskan persoalan ini?"
"Dalam persoalan ini kau sudah tidak boleh turut campur."
"Maaf kalau wanpwe berlaku kurangajar..." "Kenapa?"
"Agaknya Locianpwe sudah terlambat untuk bertindak!" Nada
ucapan Pek Kut Hujin terdengar marah, serunya:
"Masa kau berani dihadapanku membunuh dia?" Suma Bing
menggigit gigi, sahutnya lantang: "Cayhe
terpaksa harus melakukan!" Dingin dan menusuk benar suara
tawa Pek Kut Hujin,
katanya: "Suma Bing, dalam masa sekarang ini, tiada seorang
tokoh silat siapapun yang berani berkata demikian kepadaku."
Ini memang kenyataan, nama Pek Kut Hujin sudah menggetarkan
dan menggoncangkan seluruh Kangouw pada ratusan tahun yang
lalu, sampai pendeta agung dari Siau lim Hui Kong Taysu sendiri
juga mesti mengalah dan memberi muka padanya, apalagi tokoh2
lainnya.

Tapi, sifat pembawaannya yang angkuh dan keras kepala pula
turunan dari sifat2 Lam sia yang agak sesat menjadikan wataknya
semakin ugal2an tidak mengenal apa artinya takut dan mundur,
semprotnya menantang: "Wanpwe tidak gentar diancam!"
"Suma Bing kau jangan berlagak dan banyak tingkah karena ilmu
saktimu itu!"
"Bukan wanpwe hendak memamerkan ilmu saktiku, aku hanya
melakukan apa yang harus kuperbuat."
"Sekali lagi kuperingatkan kepadamu, jikalau kau melukainya, kau
akan menyesal seumur hidup!"
"Apa Cianpwe bertekad hendak merintangi?" "Sudah tentu!"
"Aku tidak perdulikan akan segala akibatnya!" Sementara itu
Racun diracun sudah bangkit dan berteriak
gemetar: "Suhu, tecu sudah berkeputusan rela untuk
mengorbankan segala apa yang perlu kukorbankan!"
"Apakah kau sudah bayangkan akibatnya?" "Sudah tecu
pikirkan!" "Tapi aku tidak mengizinkan!" Suma Bing tidak
paham maksud percakapan mereka guru
dan murid. Pada saat itu yang ia pikir adalah rangsangan darah
panasnya untuk melenyapkan makhluk aneh dihadapannya ini.
Kalau tidak bagaimana ia harus memberikan pertanggungan jawab
kepada Thong Ping dan Ting Hoan yang sudah berada dialam baka.
Sekonyong2 sebuah bayangan bayangan langsing terbang
mendatangi dengan gesitnya tanpa mengeluarkan suara terus
menubruk kearah Racun diracun.

Kejadian ini benar2 diluar dugaan, seketika Suma Bing tertegun
mematung.
'Blang!' disertai keluhan kesakitan sangat tampak Racun diracun
terhuyung beberapa langkah, hampir saja roboh terkapar.
Setelah melihat orang yang baru mendatangi ini tercetuslah
seruan kaget dari mulut Suma Bing: "Adik Hun, kaukah itu."
Memang bayangan langsing yang baru mendatangi ini adalah
kekasih pertama Suma Bing yaitu Siang Siau Hun adanya.
Wajah Siang Siau Hun diliputi rasa kebencian yang meluap2,
mendengar panggilan Suma Bing dia hanya mendehem sekali,
kedua matanya dengan nanar mengawasi Racun diracun.
Berkelebat sebuah bayangan putih yang melayang tiba didepan
matanya.
Suma Bing berteriak kaget, kontan jurus Mayapada remang2
dilancarkan sekuatnya.
Ditengah gelombang badai yang bergulung2 itu, tampak bayangan
putih itu kena terpental sampai tiga tombak jauhnya. Jurus
serangannya merupakan gerakan reflek dan kesigapannya. Karena
begitu bayangan putih berkelebat tahulah dia bahwa Pek Kut Hujin
sudah bertindak memasuki gelanggang. Untuk membela diri dan
untuk melindungi Siang Siau Hun, maka tanpa pikir lagi kontan dia
lancarkan serangannya.
"Auh..." terdengar pekik yang menyayatkan hati, Racun diracun
sempoyongan lagi, akhirnya tak kuat berdiri dan roboh telentang
diatas tanah.
Hal ini malah membuat Siang Siau Hun tertegun bengong.
Mengapa Racun diracun tidak membela diri atau balas menyerang,
tidak mengerahkan tenaga murninya, juga tidak

menyebar racunnya? Jelas dia mengetahui bahwa kepandaian dan
lwekang Racun diracun jauh berada diatas kemampuannya.
Dirangsang nafsu untuk menuntut balas tanpa banyak pikir akan
segala akibatnya, mati2an dia turun tangan, sebenarnya kecil
harapannya dapat berhasil, namun kenyataan tidak seperti
perhitungan semula, ternyata sedemikian gampang dirinya berhasil
melukai musuh. Karena kesima sampai lupa untuk bertindak lagi...
Suma Bing sendiri juga bukan main heran dan kagetnya, sikap
Racun diracun kali ini benar2 sangat ganjil.
Sementara itu Pek Kut Hujin sudah melayang tiba pula disisi tubuh
Racun diracun, suaranya hampir menjerit sedih: "Muridku, tidak
setimpal kau mengeluarkan pengorbanan sedemikian besar. Kau...
kau..."
Mendadak tubuh Racun diracun berkelejetan dua kali. Terjadilah
suatu keanehan, kulit seluruh tubuh yang semula warna hitam itu
kini perlahan2 berobah. Menjadi kuning dan berobah pula menjadi
putih...
"Ah...!" Suma Bing menjerit keras, dan sempoyongan mundur
puluhan langkah, kedua matanya melotot hampir mencelat keluar.
Phoa Kin sian. Itulah istrinya Phoa Kin sian. Mimpi juga dia tidak
mengira bahwa Racun diracun ternyata adalah duplikatnya Phoa
Kin sian.
Pucat pias wajah Siang Siau hun, tubuhnya menggigil keras
sekali.
Sementara itu. Pek Kut Hujin itu juga mulai berobah, bentuk
wajah yang seram menakutkan tadi seolah2 kena sihir telah
berobah menjadi bentuk asalnya.
Dia bukan lain adalah Ong Fong jui, bibinya.

Suma Bing menggigil semakin keras sehingga tubuhnya terasa
dingin membeku. Hampir2 dia tidak mempercayai kenyataan yang
dihadapinya ini.
Dengan wajah diliputi kesedihan dan suaranya yang pilu berkatalah
Ong Fong jui: "Keponakanku, kau harus bertanggung jawab akan
tragedi ini, dua jiwa manusia telah dikorbankan. Seorang adalah
istrimu sedang yang lain adalah anakmu yang bakal lahir."
Hitam gelap pandangan Suma Bing, tubuhnya limbung hampir
roboh. Keringat dingin deras mengalir dari atas jidatnya. Sesaat
terasa seperti dunia kiamat sudah tiba diambang pintu, juga
seperti pesakitan yang mendadak mendengar keputusan hukum
mati baginya, otaknya terasa kosong melompong.
Siang Siau hun membanting2 kaki sambil menggenggam kedua
tangan erat2, teriaknya mengeluh: "Oh Tuhan. Apakah yang telah
kuperbuat?"
Wajah Ong Fong jui sudah basah oleh airmata, katanya
sesenggukkan: "Nona Siang, ini bukan salahmu sudah sepatutnya
kau menuntut balas bagi adikmu. Durjana yang meracun dan
membunuh adikmu serta Li Bun siang sebenarnya adalah adik Kin
sian sendiri. Karena pesan ayah bundanya sebelum ajal, dia
mewakili adiknya mengorbankan dirinya..."
Berkatalah Siang Siau hun menghadap Suma Bing: "Engkoh Bing,
selamanya aku akan menyesal terhadap kau... aku..."
Kala itu Suma Bing berdiri kesima seperti patung, biji matanya
tidak bergerak. Apa yang dikatakan Siang Siau hun ini sudah tentu
dia tidak mendengar.
Siang Siau hun menjerit sesenggukkan terus berlari pergi sambil
menutup mukanya.

Suasana menjadi hening sekian lamanya diliputi kesedihan dan
kepiluan hati.
Lama dan lama kemudian baru Suma Bing dapat membuka mulut
bertanya: "Bibi dia... masihkah dapat ditolong?"
Ong Fong jui menggeleng kepala penuh putus asa, sahutnya sedih:
"Tak bisa ditolong lagi"
"Tak bisa ditolong? Oh Tuhan...!" "Dia tengah mengandung tua
dan hampir melahirkan,
terkena pukulan berat dan terluka parah masihkah ada harapan
untuk tetap hidup"
Suma Bing menjerit sambil menubruk maju, kedua kakinya
menjadi lemas dan terus jatuh berlutut diatas tanah.
Muka Phoa Kin sian memutih seperti kertas, jubah panjang dan
celananya sudah basah kuyup tergenang air darah. Gugur!
Kandungannya telah gugur!
Semangatnya semakin runtuh, hatinya terasa juga tengah
meneteskan darah. Apakah dosa istrinya? Kini dia telah meninggal!
Apapula dosa anak yang belum lahir itu, dia juga ikut menemui
ajalnya! Dia berteriak2 dan menggumam entah apa yang
terucapkan yang terdengar hanya samar2 saja: "Akulah
pembunuhnya, aku adalah... pembunuh... aku..."
"Keponakanku," bujuk Ong Fong jui pilu. "Tak berguna kau
salahkan diri sendiri, kita berada dipinggir jalan raya, marilah
dipindah kesuatu tempat lain!"
Suma Bing manggut2 seperti patung, tanpa hiraukan noda2 darah,
dipayangnya tubuh Phoa Kin sian terus dibawa kedalam sebuah
hutan dan mencari sebuah tempat yang rindang dibawah sebuah
pohon besar terus dibaringkan kembali.
Jarak yang dekat tidak lebih dari puluhan tombak ini baginya terasa
seperti dibebani ribuan kati beratnya. Kesedihan yang berkelebihan
membuat hatinya lemah,

semangatnya runtuh, langkahnya sedemikian berat, dan perlahan.
Melihat lakunya ini Ong Fong jui menggeleng kepala tanpa
bersuara.
Bagai sadar impiannya, berkatalah Suma Bing: "Bibi, dia masih
dapat ditolong?"
"Apa, dapat ditolong?" "Seumpama tenaga murniku akan
terkuras habis biarlah
dengan Kiu yang sinkang..." "Ai... keponakanku, isi dalam
perutnya sudah jungkir balik,
kandungannya juga sudah gugur, seumpama tabib dewa juga
takkan kuasa menolongnya"
"Tapi... dia tidak boleh mati, jangan, aku harus membuatnya hidup
kembali..."
"Keponakanku, tenangkanlah pikiranmu." Setelah menyeka
airmatanya, secepat kilat Ong Fong jui
ulurkan telunjuknya beruntun jarinya menutuk duapuluh lebih
jalan darah besar, lalu dengan sebuah gaplokan yang keras dia
memukul jalan darah Khi hay, lalu dengan telapak tangannya
menekan dijalan darah Thian toh, mulailah hawa murninya sendiri
disalurkan gelombang demi gelombang.
Sebentar saja wajah Phoa Kin sian mulai bersemu merah,
dadanya juga mulai bergerak naik turun secara teratur, tak lama
kemudian tiba2 ia membuka mata.
Baru sekarang airmata Suma Bing membanjir keluar suaranya
sedih dan tersenggak: "Adik Sian, kau... Mengapa kau berbuat
demikian?"
Agaknya Phoa Kin sian tengah meronta menahan sakit bibirnya
bergerak2 sekian lama baru terdengar suaranya yang lirih seperti
bunyi nyamuk: "Engkoh Bing, aku... tidak salahkan kau..."

"Tidak, adik Sian, kau harus membenci dan mengutukku...
katakanlah kau benci padaku..."
"Engkoh Bing, sungguh aku menyesal... tidak melahirkan... anak
untuk kau..."
"Oh aku... akulah algojonya, akulah yang membunuh anakku,
membunuh istriku...!"
"Engkoh Bing, ... jangan kau salahkan diri dan mereras diri, inilah
takdir!"
"Takdir? Tidak, inilah tragedi buatan manusia!" Suma Bing
mengelus2 rambut istrinya, airmata terus
mengalir dengan deras. Kata Ong Fong jui dengan suara serak:
"Kin sian, kau
sudah lakukan perbuatan yang paling goblok dikolong langit ini,
mengapa kau tidak mau dengar nasehatku..."
Sepasang mata Phoa Kin sian yang redup dan guram berkedip2,
ujarnya sedih: "Suhu, kau... pandang aku sebagai putrimu sendiri,
budimu yang luhur setinggi gunung dan setebal bumi ini terpaksa
dalam penitisan yang akan datang baru dapat kubalas!"
"Adik Sian." tanya Suma Bing, "Mengapa kau... tidak siang2
terangkan asal-usulmu?"
"Aku... tidak boleh..." "Mengapa?" "Pertama; peraturan...
perguruan. Kedua: ... sebelum ayah
bunda meninggal, mereka serahkan Cu giok kepadaku... dia
melakukan kejahatan diluar perikemanusiaan... semua ini adalah
kesalahanku, aku... harus menebus dosanya itu, dengan
pengharapan dia... merobah diri dan kembali kejalan yang
benar..."
"Phoa Cu giok!!" gumam Suma Bing sambil kertak gigi.

Seumpama saat itu Phoa Cu giok berada dihadapannya pasti
tanpa pikir lagi dia akan dibunuhnya.
Agak lama Phoa Kin sian pejamkan matanya, lalu dengan susah
payah dipentangkan lagi, serta katanya semakin lemah.
"Engkoh Bing... kuharap kau meluluskan satu permintaanku..."
"Coba katakanlah?" "Apakah kau dapat mengampuni... Cu
giok?" "Ini...!" terbayang nafsu membunuh yang tebal diwajah
Suma Bing. Kata Phoa Kin sian pula dengan sekuat tenaga:
"Engkoh
Bing, tiada... lain permintaanku hanya... inilah satu2nya
pengharapanku, lulusilah... mengampuni jiwanya... bantu dan
bimbinglah dia kearah jalan yang benar, meskipun mati..."
"Tidak adik Sian... aku tidak bisa membiarkan kau... tidak,
seumpama mesti mengorbankan jiwaku aku juga harus
berusaha..."
Airmuka Phoa Kin sian berobah merah, napasnya mendadak
memburu dan batuk2.
Tangan Ong Fong jui yang menempel dijalan darah Thian toh itu
juga kelihatan gemetar, keringat membanjir dengan derasnya
membasahi tubuh.
"Engkoh Bing," kata Phoa Kin sian pula suaranya lirih hampir tak
terdengar, "Lu... lusilah permintaanku!"
Suma Bing merenggut rambut sambil kertak gigi, sahutnya
terpaksa: "Baiklah, aku penuhi permintaanmu yang terakhir ini..."
Warna merah dimuka Phoa Kin sian menghilang dan kembali pucat
pasi, tapi ujung bibirnya tersungging senyum

dikulum, kepalanya tekluk kesamping mangkatlah arwahnya
kealam baka.
Dengan lesu dan perih Ong Fong jui menarik pulang tangannya:
"Dia sudah meninggal!"
Suma Bing berteriak menggila: "Adik Sian!" terus menubruk
jenazah Phoa Kin sian. Seketika terasa pandangannya gelap dan
bumi berputar jungkir balik, pikirannya kosong melompong.
Mendadak Suma Bing meloncat bangun, sesaat ia pandang wajah
pucat jenasah Phoa Kin sian, tiba2 angkat sebelah tangannya
terus mengepruk keatas batok kepalanya sendiri.
"Gila kau!" hardik Ong Fong jui keras, secepat kilat ia bergerak
mencengkram kencang pergelangan tangannya terus berkata lagi:
"Suma Bing, apa kau ingin membuatnya mati tidak meram. Apa
yang hendak kau lakukan? Tugas berat menuntut balas belum
terlaksana, pesan terakhir gurumu hendak kau ingkari. Beginilah
kelakuan seorang gagah!"
"Bibi," gumam Suma Bing, "Betapa aku dapat mengampuni diriku
sendiri?"
"Keponakanku yang baik. Hubunganku dengan Kin sian sebagai
guru dan murid, tapi hakikatnya seperti anak kandungku sendiri.
Perih dan kesedihan hatiku rasanya tidak kalah beratnya dari kau.
Tapi semua ini dapatlah ditarik kembali oleh kekuatan manusia.
Semua ini sudah menjadi suratan takdir!"
"Ya bibi, aku akan menyesal dan merana sepanjang hidupku ini!"
Sebuah gundukan tanah dari sebuah kuburan baru muncul
diantara alingan pohon2 lebat dalam rimba itu. Dimana diatas
sebuah batu nisan yang sederhana tertuliskan beberapa huruf
yang berbunyi: "Kuburan Kin sian istri Suma Bing yang tercinta"
dibawah sebelah kiri tertanda nama Suma Bing.

Tampak Suma Bing berendeng bersama Ong Fong jui didepan
kuburan, mereka berdiri mematung tanpa bergerak dan
mengheningkan cipta.
Agak lama kemudian baru Ong Fong jui buka suara memilukan:
"Keponakanku yang sudah pergi biarlah pergi, yang mati takkan
dapat hidup kembali. Marilah kita tinggal pergi!"
"Tidak!" "Kau..." "Aku hendak mendampingi kuburan Kin sian
selama seratus
hari, sebagai curahan rasa cinta kasih sebagai suami istri!" "Kau
mempunyai maksud yang suci dan mulia itu sudah
cukup. Janganlah kau memeras diri merusak kesehatanmu
sendiri."
"Bibi, kurasa dengan berbuat begitu dapatlah memperingan
beban tekanan batinku!"
"Ai, apa boleh buat, baiklah. Aku harus segera mencari durjana
Phoa Cu giok itu, harus cepat2 kucegah supaya dia tidak
memperbanyak melakukan kejahatannya."
"Bi, silahkan aku tidak bisa mengantar!" "Ada yang masih harus
kuberitahu kepadamu. Pek Kut
Hujin adalah guruku, dia sudah meninggal dunia pada duapuluh
tahun yang lalu, akulah yang menjadi murid ahli warisnya."
"O!" "Kau sudah paham?" "Ya, bibi,
tentang ibunda..." "Ibumu
bagaimana?" "Aku sudah dapat
menemukan dia!"

"Ha! Apa benar?" teriak Ong Fong jui kegirangan dan haru.
Kata Suma Bing lagi: "Dia menjadi ketua dari Jeng siong
hwe yang menggetarkan kalangan Kangouw itu. Tapi sebenarnya
dia adalah majikan dari Panggung berdarah!"
Saking kaget Ong Fong jui undur selangkah, suaranya gemetar:
"Sungguh diluar dugaan, lalu dimana sekarang cici berada?"
Secara ringkas jelas Suma Bing menuturkan dimana letak
daripada Panggung berdarah itu.
Ong Fong jui manggut2, katanya: "Tuhan sungguh maha
pengasih, keponakanku tentang para musuh besarmu...!"
"Aku sudah mempunyai catatan nama2 mereka, Loh Cu gi adalah
biangkeladinya!"
Menyinggung nama Loh Cu gi seketika timbul nafsu kekejaman
Suma Bing.
"Keponakanku apa kau masih ingat pada Pek chio Lojin?" "Ya,
dengan tanganku sendiri telah kubunuh dia!" "Apakah kau
pernah dengar tentang Pek bin mo ong (raja
iblis seratus muka)?" "Raja iblis seratus muka?" "Benar, gembong
aliran hitam yang kejam dan telengas,
ilmu kepandaian riasnya tiada keduanya di kolong langit ini.
Kepandaian Lwekangnya juga malang melintang dalam dunia
persilatan. Dia adalah Suheng dari Pek chio Lojin!"
"Memangnya kenapa?" "Konon kabarnya Bwe hwa hwe baru2
ini mengundang dan
mengangkat seorang Maha pelindung. Orang itu mungkin adalah
raja iblis ini."
"Masa betul?"

"Sudah sekian lama raja iblis ini tidak muncul dikalangan
Kangouw, belakangan ini katanya ada orang yang melihat
jejaknya!"
"Kalau dia secara terang berani membantu kejahatan menyebar
maut, pasti keponakan takkan melepas dia."
"Raja iblis ini sangat cerdik dan licik serta licin sekali, kau harus
waspada hati2 menjaga diri."
"Terima kasih akan petunjuk bibi ini!" "Lalu tentang barisan
pohon bunga Bwe yang aneh diluar
markas besar Bwe hwa hwe itu apakah kau sudah..." "Justru hal
inilah yang membuat keponakan serba susah!" "Ini... coba kau
pergi menemui Si gwa sianjin dan minta
petunjuk padanya mungkin dia bisa membantu kau!" Terbangun
semangat Suma Bing, katanya: "Si gwa sianjin
juga mahir tentang ilmu barisan yang aneh2 itu?" "Diantara
tokoh2 Bulim sekarang ini termasuk dia yang
paling kuat dan pandai!" "Apa selain dia tiada lain orang lagi?"
"Ada, tapi..." "Mengapa?" "Mungkin dia sudah meninggal dunia.
Jikalau ada dia
persoalan ini pasti dapat dipecahkan seumpama membalik tangan
gampangnya."
"Siapakah dia?" "Ih lwe siu ki
khek Li It sim!" "Li It sim?"
"Benar, apa, kau..."

"Aku pernah dengar Kang Kun Lojin menyinggung tentang
namanya."
"Apakah orang tua itu masih dalam dunia fana ini?" "Entahlah"
"Lebih baik kau khusus mencari dan menemui Si gwa
sianjin saja." "Baiklah." "Aku hendak pergi, jagalah dirimu baik2!"
setelah menghela
napas panjang Ong Fong jui melayang pergi dan menghilang.
Berdamping batu nisan Suma Bing duduk terpekur
tenggelam dalam kenangan lama yang menyedihkan. Begitulah
tanpa terasa sang surya muncul dari
peraduannya, dan tahu2 sang surya sudah tenggelam lagi kearah
barat, hari berganti hari dengan cepatnya tanpa terasa.
-oo0dw0oo- Pada suatu tengah hari kira2 satu bulan
kemudian. Suma
Bing baru saja kembali dari kota yang berdekatan untuk membeli
ransum kering. Waktu mendekati kuburan dari hembusan angin
yang sepoi2 tercium olehnya bau harum wangi dari terpasangnya
dupa dan terbakarnya kertas sembahyang.
Siapa yang datang dipusara Phoa Kin sian untuk sembahyang dan
membakar kertas.
Tergerak hati Suma Bing mengempos semangat mengerahkan
tenaga maka dengan enteng sekali tanpa bersuara ia berputar
memasuki hutan.
Tampak didepan kuburan seorang tengah berlutut dan
menyembah dia bukan lain adalah Phoa Cu giok manusia berhati
serigala.

Seketika timbul amarah Suma Bing, saking menahan gusar
napasnya sampai memburu. Setindak demi setindak ia
menghampiri maju, matanya melotot merah buas...
Phoa Cu giok tetap berlutut dan tubuhnya tampak gemetar
kiranya dia tengah menangis menghadapi kuburan cicinya.
Kira2 sejauh satu tombak Suma Bing hentikan langkahnya. "Phoa
Cu giok!" hardiknya lantang dan dingin.
Phoa Cu giok bangun berdiri terus memutar menghadap Suma
Bing sinar matanya redup dan semangatnya layu, sekian lama
baru keluar suaranya: "Cihu!"
"Phoa Cu giok, kau tahu kenapa cicimu sampai mati?" "Karena
perbuatanku yang durjanalah sebabnya?" "Kau sudah tahu,
baik sekali. Sekarang gunakanlah racun
atau jurus2 keji apapun juga terserah kau, mari kau serang aku,
jikalau tidak kau tidak akan mempunyai kesempatan. Lekas turun
tangan, seranglah aku...!"
"Cihu..." "Phoa Cu giok hendak kuhancur leburkan tubuhmu
yang
kotor itu!" Sikap Phoa Cu giok tetap lesu dan menelaah saja
kekasaran
sikap Suma Bing, kedua matanya tampak membengkak merah,
berkatalah ia dengan tenang: "Cihu, aku insaf bahwa dosaku besar
dan harus dihukum mati, silahkan kau saja yang turun tangan,
tiada apa2 yang perlu kukatakan lagi"
Suma Bing malah tertegun dibuatnya menghadapi sikap orang
yang aneh dan pasrah nasib ini, tapi hawa amarahnya masih
merangsang dengan hebatnya, desisnya, mengertak gigi: "Phoa
Cu giok, dengan Racun tanpa bayangan kau meracuni Siang Siau
moay dan Li Bun siang, sebaliknya kakakmulah yang menjadi
kambing hitamnya. Kau ngapusi dan memperkosa Thong Ping
gadis suci yang tak berdosa

malah setelah kedokmu terbongkar kau meracun dan membunuh
ibunya juga. Sekarang dia sudah melahirkan seorang anak
perempuan, tapi dia mohon kepadaku untuk membunuh kau..."
Wajah Phoa Cu giok berkerut2 gemetar, agaknya tengah
menahan gejolak hatinya.
Sejenak berhenti lalu Suma Bing melanjutkan lagi: "Kau juga
memperkosa dan membunuh murid Pek hoat Sian nio Ting Hoan,
dia adalah sahabat karibku..."
"Cihu..." "Kau manusia berhati binatang, cicimulah yang
menjadi
kambing hitamnya untuk menebus semua kejahatan dan
dosa2mu!"
"Cihu, biarlah aku mati ditanganmu sendiri, gunakanlah cara
kejam yang paling telengas..."
Habis berkata dia, menundukkan kepala, sekarang dia, benar2
sudah insaf dan bertobat namun semua ini sudah terlambat.
"Pandanglah aku!" hardik Suma Bing keras, kedua matanya
melotot besar hampir meneteskan air darah.
Terpaksa Phoa Cu giok angkat kepalanya pula, wajahnya penuh
diliputi kekesalan sedikitpun tak terbayang rasa takut akan
bayangan kematian, airmata mengalir tanpa hentinya membasahi
kedua pipinya. Ini bukan sikap atau tingkah laku yang dibuat2,
inilah jiwa tersesat yang hidup kembali kejalan terang dan lurus.
Dengan beringas Suma Bing ayun kepalannya terus menghantam
mengarah batok kepala Phoa Cu giok. Pada saat kepalannya
terpaut setengah kaki diatas kepala Phoa Cu giok, tiba2 Suma Bing
menghentikan gerakannya, dia tak bisa turun tangan terhadapnya.
Teringat dia akan pesan Phoa Kin sian sebelum ajal.

"...Ampuni dia... tuntunlah kejalan benar menjadi manusia
kembali..."
Apakah tindakannya ini tidak membuat istrinya putus harapan dan
kecewa di alam baka? Memang ingin dan rasanya harus dia
membunuh manusia laknat ini menjadi hancur lebur, tapi pesan
istrinya sebelum ajal membuat dia tak kuasa turun tangan.
Akhirnya sambil mendengus keras2 dia tarik kembali tangannya.
Phoa Cu giok tetap bersikap tak acuh, katanya agak diluar
dugaan: "Kenapa cihu tidak jadi turun tangan?"
"Aku sudah melulusi cicimu untuk tidak membunuh kau." ujar
Suma Bing gegetun, "Phoa Cu giok, dia menjadi korban demi
menebus dosa2 mu, sebelum ajal dia masih selalu ingat pada kau,
dia mintakan ampun bagi kau, kau... inikah manusia?"
Mendadak Phoa Cu giok menubruk kedepan batu nisan dan
berlutut sambil menangis meng-gerung2, kepalanya diadu dengan
tanah, serunya sesambatan: "Cici, memang dosaku besar, aku
tidak memohon pengampunanmu, hanya kuminta kau tahu bahwa
adikmu yang jahat dan rendah melebihi binatang ini sekarang
sudah insaf, aku bertobat... cici... apa kau dengar?... Oh, semua
ini sudah terlambat!"
Jari tangannya yang gemetar mendadak menusuk mengarah jalan
darah Thay yang hiat dipelipis sebelah kanannya.
"Berhenti!" Suma Bing menggertak keras, secepat kilat jarinya
menutuk dari kejauhan, sejalur angin kencang tepat sekali
menutuk jalan darah Ji ti, seketika tangan Phoa Cu giok itu lemas
semampai.
"Kau ingin mati juga sudah terlambat, seharusnya kau mati
sebelum cicimu menemui ajalnya. Sekarang dia sudah mati,

dia ingin kau tetap hidup untuk menyambung keturunan
keluargamu."
Pelan2 Phoa Cu giok berdiri, pelipisnya merembes air darah karena
tusukan jarinya tadi, keadaannya sungguh sangat mengerikan,
mulutnya mendesis seperti orang menggumam: "Yang harus mati
tidak mati, yang tidak seharusnya mati malah mati. Masih adakah
derajatku untuk tetap hidup?"
Amarah Suma Bing yang membara mulai mereda dan hampir
padam, dia sudah mau kembali kejalan yang benar dan lurus,
apalagi yang dapat dikatakan?
"Phoa Cu giok, untuk kau Thong Ping sudah melahirkan seorang
orok mungil, itulah keturunan keluarga Phoa kalian. Dan lagi
terhadap Thong Ping kau harus memberikan ketertiban hidup
selanjutnya!"
Phoa Cu giok manggut2 tanpa bersuara. Katanya kepada Phoa
Cu giok lagi: "Kau boleh pergi,
kuharap kau jangan membuat cicimu mengandung penasaran
dialam baka, baik2lah menelaah nasihat2 baik untuk petunjuk
hidup yang benar dan lapang!"
"Cihu, aku pasti menurut segala nasehatmu!" "Baiklah kau
boleh pergi!" Sekali lagi Phoa Cu giok berlutut dan menyembah
didepan
pusara cicinya, sekian lama dia mengheningkan cipta lalu berdiri
dan tinggal pergi sambil berlenggot.
Memandang bayangan punggung orang, Suma Bing menghela
napas panjang, entah bagaimana perasaan hatinya.
Tanpa terasa ia mengulangi kata2 yang diucapkan oleh Phoa Cu
giok tadi 'Yang harus mati tidak mati, yang tidak seharusnya mati,
malah mati.'

Sekonyong-konyong sebuah suara yang bernada dingin sebagai
ejekan menyambung perkataannya: "Ya, memang kau seharusnya
mampus!"
Suma Bing terkejut sigap sekali ia memutar tubuh memandang
kearah datangnya suara, tampak seorang buntak tua berjenggot
panjang sebatas dada dan beruban tahu2 sudah mendatangi
didepannya sejauh tiga tombak. Dia bukan lain adalah si maling
bintang Si Ban cwan.
Cepat2 Suma Bing angkat tangan memberi hormat, serta
sapanya: "Cianpwe baik2 saja selama berpisah ini!"
Mulut si maling bintang Si Ban cwan ber-kecek2 dingin,
dengusnya: "Buyung, sungguh tidak kira ternyata begitulah
pribadimu, hm, aku si maling tua agaknya sudah picak..."
Suma Bing melengak heran, tanyanya: "Apa maksud ucapan
Cianpwe ini?"
Mata si maling bintang memancarkan sorot ber-api2, semprotnya
beringas: "Buyung, ternyata setelah dapat mempelajari ilmu sakti,
kau gunakan untuk kejahatan diluar perikemanusiaan."
Tahu2 dimaki, dicercah dan dituduh sebagai manusia durjana,
keruan Suma Bing berjingkrak kaget dan terheran2, tanyanya
pula: "Tuduhan Cianpwe ini mengenai hal apa?"
"Buyung, diseluruh jagad ini tiada kepandaian yang tiada
tandingannya, se-tinggi2 gunung ada yang lebih tinggi, sepandai2
orang ada orang lain yang lebih pandai, bukan karena
mempunyai sebuah kepandaian sakti lantas tiada lawan diseluruh
penjuru angin. Berbuat jahat dan malang melintang menyebar
elmaut, memang manusia punya bisa tapi Tuhanlah yang
berkuasa, kelak kau pasti akan menerima pembalasan yang
setimpal."
"Cianpwe, kenapa kau bicara ngelantur, aku kurang jelas?"
"Aku si maling tua inginkan jiwamu, apa ini belum jelas?"

Saking kaget Suma Bing tersurut dua langkah, hampir2 dia tidak
percaya akan pendengaran kupingnya, suaranya gelagapan:
"Cianpwe hendak membunuh aku?"
"Ya, aku tahu si maling tua ini bukan lawanmu, tapi untuk
membalas sakit hati kawan tuaku, terpaksa aku harus jual jiwaku
ini." habis berkata langkahnya berat beranjak maju, rambut dan
jenggotnya yang memutih berdiri tegak dan beterbangan
dihembus angin, wajah tuanya merah padam diselubungi hawa
membunuh.
"Apa ini bukan kelakar belaka?" "Hm, kelakar..." "Sedikitnya
Cianpwe harus mengemukakan alasanmu
bukan?"
51. ULAR SAKTI PENGHISAP DARAH.
"Alasan? Bu khek bun adalah aliran putih yang menjunjung
tinggi keadilan, siapa duga dengan cara keji demikian kau
menumpas seluruh penghuni Bu khek po, buyung masihkah kau
berperikemanusiaan?"
Baru sekarang Suma Bing paham duduk perkaranya, kiranya
tentang perihal dirinya menuntut balas di Bu Khek po tempo hari,
maka si maling bintang ini meluruk datang membuat perhitungan
kepada dirinya. Entah ada hubungan apakah antara mereka. Tapi
kan secara terang gamblang dirinya menuntut balas kepada Bu
khek sianglo...
Maka sahutnya dengan tenang: "Cianpwe, terpaksa wanpwe harus
berbuat begitu!"
"Jadi menurut hematmu kau harus berbuat begitu?"

"Ya, tak perlu banyak mulut lagi, selama hidup ini meskipun si
maling tua ini belum pernah melakukan kejahatan dan berbuat
dosa, tapi juga belum pernah menyebar kebajikan, sekarang
diambang kematian karena usia tua ini, baik juga melakukan
pembasmian demi kesejahteraan kaum persilatan!"
Kata2 membasmi sangat menusuk telinga dan perasaan Suma
Bing, jikalau tidak memandang hubungan yang terdahulu, siang2
dia sudah turun tangan menampar mulut orang.
Si maling bintang Si Ban cwan maju lagi semakin dekat, kini jarak
kedua belah pihak kurang dari dua tombak.
Apa boleh buat karena didesak sedemikian rupa, akhirnya Suma
Bing nekad: "Tegasnya Cianpwe benar-benar hendak turun
tangan!"
"Sudah tentu!" "Kuharap Cianpwe suka berpikir dua kali sebelum
bertindak?" "Sudah lama si maling tua ini memikirkan secara
masak
akan segala akibatnya!" "Tapi aku tidak ingin melukai Cianpwe!"
"Buyung, sebaliknya bagi aku si maling tua, hari ini
bagaimana juga kau harus kulenyapkan." Membaralah sifat
pembawaan Suma Bing, saking dongkol
keluar juga jengekannya: "Mungkin tujuan tuan takkan dapat
terlaksana!"
"Kurcaci, marilah coba ini!" demikian gertak si maling tua Si Ban
cwan sambil menubruk maju, habis suaranya serangannyapun
sudah merangsang tiba.
Suma Bing tetap tenang dan diam saja berdiri tegak tanpa
bergerak, mengandal kekebalan ilmu pelindung badannya, si
maling tua ini takkan mampu melukai seujung rambutnya.

Tak terduga begitu melesat tiba dihadapan Suma Bing si maling
tua membatalkan serangannya, sedemikian dekat jarak mereka
sekali ulur tangan saja cukup meranggeh lawannya. Mendadak si
maling tua malah bergelak tawa gila2an, tapi suara tawanya tidak
seperti suara tawa umumnya, agaknya si maling tua ini sudah
terbawa oleh perasaan hatinya, rasa sedih dan jengkel
dilampiaskan dengan tawanya ini...
Tanpa terasa giris perasaan Suma Bing, susah diterka apakah
yang tengah dimainkan oleh si maling tua yang terkenal susah
dilayani dan diajak berembuk ini.
Mendadak sebuah bentakan keras terdengar dari sebelah samping
sana: "Maling tua jangan!"
Disusul bayangan beberapa orang berdatangan memasuki
gelanggang.
Heran dan kaget Suma Bing dibuatnya, yang muncul ini adalah
istrinya Pit Yau ang beserta semua kerabat dari Perkampungan
bumi, diantaranya terdapat juga Coh yu Hu pit serta Teng Tiong
cwan dan lain2. Sedang yang membentak merintangi tadi adalah
Coh hu Si Kong teng.
Dengan pandangan rasa kuatir dan takut2 Pit Yau ang berempat
mengawasi si maling bintang.
Suma Bing semakin tidak mengerti... "Maling tua." kata Si
Kong teng tertekan: "Apa faedahnya
kau berbuat begitu?" Si maling bintang hentikan tawanya, setelah
menyapu
pandang kearah mereka berempat jengeknya dingin: "Keputusan si
maling tua ini selamanya harus terlaksana!"
"Jadi kau si maling tua ini bersedia gugur bersama?" tanya Yu pit
Ciu Eng tiong.
"Benar!" "Kau
ini..."

"Untuk melenyapkan bencana di kalangan persilatan!"
Tergerak hati Suma Bing, apa artinya dengan ucapan gugur
bersama tadi, apa... belum lenyap pikirannya, mendadak dilihatnya
si maling tua menggenggam sesuatu benda ditangan kanannya,
entah barang apa yang disembunyikan itu. Kini dia paham,
mengenai ilmu silat sudah pasti si maling tua takkan mampu
melukai dirinya, sedemikian lantang dia sesumbar hendak
melenyapkan dirinya pasti ada apa2nya dibelakang perkataannya
ini.
Turun tangan atau tidak? Dia menjadi ragu2. Kalau saat itu
mendadak dia menyerang pasti si maling tua takkan luput dari
kematian, tapi agaknya hatinya kurang tega.
Agaknya si maling tua dapat mengerti isi hati Suma Bing,
jengeknya sambil menyeringai: "Buyung, kau turun tangan atau
tidak sama saja pasti mati. Jiwa tua si maling tua ini sudah
kutaruhkan. Kau tahu apa yang kugenggam ditanganku ini?
Ketahuilah, sekali aku lepas tangan Sip hiat leng kong (ular sakti
penghisap darah) ini, seumpama kau tumbuh sayap juga takkan
dapat lolos. Buyung meski kau ada kesempatan membunuh aku,
tapi kau tiada kesempatan lagi untuk terhindar dari kejaran ular
sakti penghisap darah ini..."
Berdiri bulu kuduk Suma Bing, sungguh diluar sangkanya bahwa si
maling tua menggunakan binatang aneh yang dikabarkan sebagai
penghisap darah itu untuk menghadapi dirinya.
Selama ratusan tahun sukar dicari seekor saja ular sakti penghisap
darah ini. Ular semacam ini merupakan raja ular diantara ular,
badannya kebal senjata tajam, besarnya hanya sebesar jari manis,
ditengah tubuhnya tumbuh sepasang sayap sehingga dia dapat
terbang dengan pesat sekali, begitu membaui darah manusia,
segera dia memecah kulit terus mengerong kedalam tubuh orang
dan masuk kedalam jalan darah, sambil menyedot darah sembari
dimuntahkan kembali sampai orang itu darahnya dihisap habis dan
mati.

Wajah Pit Yau ang pucat ketakutan bersemu kehijauan, takut dan
gugup merangsang benaknya, teriaknya tersendat: "Si cianpwe,
aku adalah istrinya..."
"Lohu sudah tahu!" "Bolehkah Siau li bicara beberapa patah kata
dulu?" "Silahkan!" "Cianpwe menggunakan cara sedemikian keji
untuk
menghadapi dia, pasti mempunyai alasan yang kuat?" "Sudah
tentu!" "Wanpwe minta penjelasan?" "Menggunakan cundrik
penembus dada dia membunuh Bu
Khek sianglo, ini demi menuntut balas, hal itu dapat dimaklumi.
Tapi tidak semestinya dia membanjirkan darah dan membabat
seluruh Bu khek po seakar2nya sampai ayam dan itik juga tidak
ketinggalan telah dibunuhnya semua. Malah yang paling
keterlaluan dengan kekerasan dia merebut Kipas batu pualam."
Keterangan ini membuat Suma Bing melonjak kaget, darimana soal
ini harus dijelaskan, serunya menegasi: "Apa membanjirkan darah
di Bu khek po?"
"Masa kau berani menyangkal?" bentak si maling bintang
beringas.
"Memang, aku menyangkal!" "Bu khek Ciangbun sendiri yang
mengatakan kepadaku
sebelum ajal, ini bukti yang paling kuat kau takkan luput dari
tuntutan keadilan ini!"
"Ingin kutanya, kapan peristiwa itu terjadi?"
"Setengah bulan yang lalu!" "Setengah bulan
yang lalu?"

Si maling bintang membenarkan dan menegaskan sekali lagi.
Legalah hati Suma Bing, ujarnya: "Aku mendampingi pusara disini
sudah satu bulan lebih, setindak juga belum pernah tinggal pergi."
"Siapa yang menjadi saksi bahwa kau belum pernah tinggal pergi
setindakpun?" desak si maling bintang.
"Ini..." "Buyung, mungkin dijagad ini ada dua Suma Bing?"
Sebuah bayangan berkelebat mendatangi pula, itulah
seorang perempuan pertengahan umur yang bersolek berkelebihan,
dia bukan lain adalah Ong Fong jui bibinya Suma Bing.
Semua hadirin tertegun dibuatnya. "Bibi!" seru Suma Bing
kegirangan. Napas Ong Fong jui agak memburu, wajahnya
agak kumal
dan sedikit pucat, sekilas ia menyapu pandang keseluruh hadirin
lalu matanya melotot kearah Suma Bing dan berkata: "Anak Bing,
apakah kau sudah gila?"
Berobah airmuka Suma Bing, sahutnya: "Aku..." "Secara
kekerasan kau merebut Ce giok pe yap benda
pusaka pelindung perguruan Ngo bi pay malah kau lukai dan
bunuh Ong Tionglo salah satu dari ketiga pelindung mereka."
Suma Bing merasa adanya sesuatu keganjilan dalam urusan ini,
sangkalnya gemetar: "Bibi, aku belum pernah berbuat demikian!"
"Kau tidak" desak Ong Fong jui mengangkat alis. "Ya, selama
sebulan lebih, setindakpun aku belum pernah
pergi dari sini!"

"Apa benar?" "Tiada perlunya keponakan berbohong, apa kau
juga
berpendapat keponakanmu bisa berbuat hal2 yang demikian itu?"
"Engkoh Bing." sela Pit Yau ang dengan wajah berobah, suaranya
juga gugup: "Katamu selama satu bulan kau tidak meninggalkan
tempat ini?"
Dirangsang berbagai pertanyaan ini Suma Bing menjadi pusing
tujuh keliling, sahutnya keras saking jengkel: "Tidak salah!"
"Kau... benarkah..." "Adik Ang, apa artinya ini?" "Duapuluh hari
yang lalu bukankah kau kembali ke
Perkampungan..." Pit Yau ang menyangka karena untuk
menghindari tuntutan
yang mendesak ini baru dia mengeluarkan kata2 seperti diatas
tadi, maka perkataannya hanya diucapkan setengah2 saja untuk
mengawasi reaksinya.
Lain halnya dengan Suma Bing, memang hatinya putih bersih dan
tiada ganjalan apa2, begitu mendengar perkataan Pit Yau ang
yang diucapkan setengah2 ini, lantas dia merasakan kalau
persoalan ini pasti ada latar belakangnya. Kejadian ini terjadi
mendadak dan semua menimpa keatas bahunya, ini pasti bukan
terjadi secara kebetulan saja. Maka dengan mendelikkan mata ia
bertanya: "Adik Ang, apa yang kau katakan?"
"Aku..." "Katakan!" "Duapuluh hari yang lalu, bukankah kau
pernah kembali ke
Perkampungan secara ter-gesa2 untuk mengambil Kiu im
cinkeng..."

"Kiu im cinkeng?" "Ha, kau..." "Demi Allah setindakpun aku
belum pernah meninggalkan
tempat ini!" Semua hadirin berobah airmukanya. Si maling bintang
Si Ban cwan mundur beberapa langkah
serunya terheran2: "Buyung, jadi bukan kau yang membabat
habis seluruh penghuni Bu khek po?"
"Cianpwe, masa kau tidak percaya kepadaku?" "Aneh..." "Pasti
ada seseorang yang menyamar seperti bentukku
untuk menyebar kejahatan ini." "Ya, selain ini tiada keterangan lain
yang dapat
menjelaskan. Tapi siapakah dia? Dan apa maksud tujuannya?"
Mendadak Ong Fong jui membentak keras: "Siapa itu main
sembunyi2!" tubuhnya juga lantas melenting dengan kecepatan
bagai kilat keluar hutan.
"Bujung," ujar si maling bintang penuh penyesalan, "aku si maling
tua terlalu sembrono."
Suma Bing tertawa, sahutnya: "Cianpwe tak usah gelisah dan
jangan pikirkan lagi hal ini, yang sudah lalu tak perlu dipersoalkan
lagi."
Pit Yau ang tampil kehadapan Suma Bing, suaranya gugup,
gelisah: "Engkoh Bing, buku Kiu im cin keng itu adalah kepunyaan
ayah..."
Kata Suma Bing dengan gemas: "Adik Ang, aku akan mencarinya
kembali sekuat tenaga, orang yang menyaru sebagai aku itu, aku
bersumpah akan menghancur leburkan!"
"Eh, engkoh Bing, pusara ini..."

"Phoa Kin sian telah meninggal," kata Suma Bing pilu, "sebab
kematiannya biarlah kelak kuceritakan kepadamu!"
Meskipun pernikahan Pit Yau ang dengan Suma Bing dirayakan
dengan peraturan adat istiadat yang resmi, tapi kalau diselami secara
mendalam hakikatnya Phoa Kin sian adalah istri pertama yang sah,
jadi mau tak mau Pit Yau ang hanya sebagai istri kedua. Setelah
mengetahui saingannya itu telah meninggal, entah bagaimana
perasaan hatinya susahlah diutarakan. Maka ter-sipu2 ia maju
kedepan kuburan dan berlutut memberi penghormatan terachir serta
mengheningkan cipta sekian lamanya baru berdiri lagi.
Suma Bing berpikir bolak-balik, serunya tegas: "Sebetulnya aku
hendak mendampingi pusara ini selama seratus hari, dengan
adanya kejadian diluar dugaan ini, terpaksa kubatalkan janjiku
kepada almarhum!"
"Engkoh Bing, aku..." "Adik Ang, lebih baik kau kembali saja ke
Perkampungan!" "Aku ingin ikut kau..." "Adik Ang, untuk
mencegah kejadian yang terjadi seperti
ini, lebih baik kau pulang saja." Perkataan ini membuat tergetar
perasaan Pit Yau ang,
terpaksa dia manggut2. Mendadak Suma Bing teringat sesuatu,
sikapnya serius:
"Adik Ang, letak Perkampungan kita sedemikian rahasia, orang
yang menyamar sebagai aku itu bagaimana bisa masuk?"
Komisaris luar Teng Tiong cwan tiba2 bertekuk lutut dan menyahut
tersenggak: "Lapor Huma, karena kesalahan hamba yang ceroboh
tanpa penelitian yang seksama, maka kusuruh seorang Hiangcu
untuk mengundang serigala itu masuk kedalam rumah..."
"Coba kau tuturkan secara jelas!"

"Anak buah hamba Toan Bu jiang Hiangcu bergilir piket untuk
memeriksa daerah sekitar seratusan li, secara tiba2 dia ketemu
dengan orang yang menyamar sebagai Huma itu, kita tak dapat
menduga antara tulen dan palsu, maka diundang masuk..."
"Aku sudah paham!" kata Suma Bing terus berputar menghadap
Pit Yau ang katanya pula: "Adik Ang, selanjutnya bagaimana?"
Kata Pit Yau ang penasaran: "Bajingan itu pura2 sedang sakit
selesma, hingga suaranya berobah serak. Karena tak menduga
sehingga aku kurang periksa dan terjebak kedalam tipu dayanya.
Begitu ketemu dia lantas menanyakan Kiu im cinkeng katanya ada
keperluan yang sangat mendesak. Lalu cepat2 dia pergi lagi
membawa Kiu im cinkeng, setelah kejadian itu aku baru sadar dan
merasa adanya hal2 yang ganjil, maka buru2 aku keluar menyusul
kau untuk menanyakan kebenaran ini!"
Komisaris luar Teng Tiong cwan tampil kedepan lagi dan berkata:
"Anak buah hamba Toan Hiangcu bertugas secara lalai, nanti
setelah kembali pasti akan dihukum secara setimpal sesuai
dengan peraturan dan undang2 kita. Tentang hamba sendiri
harap Huma suka jatuhi hukuman yang setimpal juga."
Suma Bing mengulap tangan, katanya: "Teng congkoan silahkan
bangun, kejadian ini terjadi diluar dugaan, kesalahan bukan
terletak pada kau seorang, sejak kini tidak perlu dipersoalkan lagi,
hanya untuk selanjutnya kalian harus hati2 dan waspada!"
"Terima kasih akan kemurahan hati Huma!" "Adik Ang, kau
dan mereka bertiga segeralah pulang!" "Tapi kau hanya
seorang diri mana bisa aku lega hati..." "Kau tidak perlu
banyak kuatir tentang diriku."

"Biar kutugaskan Sim tong serta tiga orang Hiangcu untuk
menjadi pengawalmu..."
"Ini juga tidak perlu!" "Aku hanya tugaskan mereka mengikuti
secara diam2,
kalau perlu mereka bisa memberi kabar kepada kita" Tak enak
Suma Bing selalu menolak kebaikan istrinya,
terpaksa dia manggut2: "Begitu juga baik." "Engkoh Bing jagalah
dirimu baik2, setelah segalanya
selesai segeralah kembali." "Aku pasti kembali, Adik Ang kau juga
hati2!" "Hamba beramai menghaturkan selamat berpisah!" Coh yu
hu pit dan Teng Tiong cwan berbareng membungkuk memberi
hormat.
Suma Bing sedikit membungkuk sebagai balasan serta katanya:
"kalian tak perlu banyak peradatan!"
Dengan rasa berat yang menekan, Pit Yau ang ambil berpisah.
Dengan nada berat si maling bintang Si Ban cwan berkata kepada
Suma Bing: "Buyung, menghadapi tipu muslihat yang rendah ini
kau mempunyai perhitungan yang bagaimana?"
"Terutama harus menangkap pentolannya dulu." "Menurut
anggapanmu siapakah orangnya yang telah
berbuat semua ini?" "Saat ini susah dikatakan!" "Eh, kenapa
bibimu pergi lantas tidak kembali lagi?" Sejenak Suma Bing
melengak, lantas sahutnya: "Mungkin
mengejar musuh!" Dimulut dia berkata demikian, namun dalam
batin ia
berpikir: bibi sudah mewarisi seluruh kepandaian Pek kut

Hujin, betapa tinggi kepandaiannya, susah dicari tandingan
didalam Bulim, keselamatannya tak perlu dikuatirkan.
Kata si maling bintang lagi: "Ciangbunjin Bu khek bun yang
terdahulu adalah sahabat karibku yang paling kental, perguruannya
tertimpa bencana sedemikian mengenaskan, dapatlah atau tegakah
aku menggendong tangan menonton saja..."
Baru sekarang Suma Bing paham mengapa si maling tua tadi
mentang2 dan sesumbar hendak menuntut balas tanpa
memikirkan resikonya malah rela untuk gugur bersama. Mendadak
teringat olehnya waktu dirinya membunuh Bu khek Sianglo tempo
hari, gadis remaja bernama Tio Keh siok itu, kepandaiannya jarang
dicari tandingannya diBulim. Masa orang yang menyamar sebagai
dirinya itu berkepandaian sampai puncak yang tertinggi, kalau
tidak masa sedemikian gampang dia membabat habis seluruh Bu
khek po?
Sebelum dirinya datang, pihak Bwe hwa hwe juga telah meluruk
kesana dan sesumbar hendak menumpas habis seluruh Bu khek
po, tujuannya yang utama adalah Kipas batu pualam itu. Sedang si
durjana yang menyamar sebagai dirinya itu, telah merebut Kipas
pualam itu juga, kedua belah pihak ini bertujuan sama, semua
untuk mendapatkan Kipas pualam itu. Apakah bukan perbuatan
orang yang diutus oleh pihak Bwe hwa hwe?
Tapi darimana datang tokoh silat sedemikian lihay dari Bwe hwa
hwe? Seumpama Loh Cu gi sendiri Lwekangnya juga tidak unggul
banyak dibanding Tio Keh siok. Dalam jangka satu bulan,
Perkampungan bumi kehilangan Kiu im cinkeng, Ce giok pe yap
benda pusaka pelindung perguruan Ngo bi pay juga direbut orang,
ini benar2 suatu berita yang menggemparkan, juga merupakan
suatu tipu daya yang menakutkan.
Untuk memecahkan tabir rahasia ini, pertama2 harus menemukan
dulu orang yang menyamar sebagai dirinya itu.

Siapakah dia? Karena pikirannya dengan gelisah ia pandang si
maling bintang serta tanyanya: "Cianpwe, ada beberapa
pertanyaan aku minta petunjukmu?"
"Coba kau katakan!" "Kipas pualam dan daon giok ungu itu
dikatakan sebagai
mestika pelindung perguruan mereka, dimanakah letak
kemujijatannya?"
"Konon kabarnya. Kipas pualam dari Bu khek po dan daon Giok
ungu dari Ngo bi pay itu adalah benda2 mestika yang jarang
didapat didunia ini, Kipas itu dibuat dari batu pualam yang sudah
berusia laksaan tahun, sedang daon giok ungu itu dibuat dari batu
giok hangat yang diukir berusia laksaan tahun juga. Jikalau kedua
kipas dan daon ini digabung timbullah antara hawa negatif dan
positip lalu dua hawa ini dapat membantu seseorang tokoh silat
untuk menembus jalan darah mati dan hidup, sehingga bisa
mencapai titik paling sempurna!"
Suma Bing manggut2 paham. "Ada pertanyaan lain?" "Dalam
Bulim masa ini, siapakah kiranya yang paling
pandai dalam ilmu rias?" "Ini... terutama dari aliran Pek Kut Hujin
yang mempunyai
ilmu Hian goan tay hoat ih sek!" Diam2 Suma Bing mengangguk,
lalu katanya lagi: "Menurut
apa yang cayhe ketahui, ilmu Hoan goan tay hoat ih sek hanya
dapat merobah bentuk badan sendiri tapi tak dapat untuk
menyamai bentuk rupa orang lain..."
"Ya, memang begitulah!"
"Adakah tokoh yang lain?"

"Sin liong kay Ho Heng salah satu tertua Tianglo dari Kaypang
adalah seorang ahli dalam bidang ini".
"Sin liong kay Ho Heng? Tiada orang lain lagi?" "Agaknya tidak
ada lagi yang perlu diketengahkan!" Alis Suma Bing mengerut
semakin dalam, dua sumber yang
dikatakan si maling bintang ini agaknya kurang tepat dan tak
mungkin terjadi. Betapa tenar dan mulia Kaypang Tianglo itu
sudah tentu dia takkan mau melakukan perbuatan rendah yang
terkutuk itu. Sedang aliran dari Pek Kut Hujin, adalah bibinya Ong
Fong jui dan muridnya, mereka tidak perlu dikuatirkan dan tak
perlu dicurigai lantas tanyanya lagi: "Apa benar2 tidak ada yang
lain?"
Sekian lama si maling bintang pejamkan mata berpikir, tiba2 dia
membuka mata dan berkata ragu2: "Ada sih ada, tapi..."
"Tapi kenapa?" "Iblis itu sudah puluhan tahun yang lalu tidak
muncul di
Kangouw..." Tergerak hati Suma Bing, tercetus seruan dari
mulutnya:
"Pek bin mo ong?" "Tidak salah!" "Benar tentu dia!" teriak Suma
Bing berjingkrak. "Apa benar dia?" "Tak perlu disangsikan lagi!"
"Buyung, dengan alasan apa kau berani memastikan?" Suma Bing
berdiam diri, dia tengah tenggelam dalam
pemikiran untuk menyusun rasa kecurigaannya yang mengalutkan
pemikirannya. Menurut apa yang dikatakan bibinya tempo hari
katanya bahwa Pek bin mo ong sudah muncul lagi didunia
persilatan, mungkin dia inikah yang

diangkat sebagai Maha pelindung oleh pihak Bwe hwa hwe.
Sedang Pek Chio Lojin sendiri juga pernah mengatakan, bahwa
gabungan antara Kiu im cinkeng dengan Kiu yang sinkang dapat
melatih suatu ilmu digdaya yaitu Bu khek sinkang.
Sesepuh atau tulang punggung dari Bwe hwa hwe adalah Loh Cu
gi, siapa telah dapat melatih Kiu yang sinkang sampai tingkat
kedua belas, kalau dia mengincar dan ingin mendapatkan pula Kiu
im cinkeng adalah jamak dan tak perlu dibuat heran.
Pek chio Lojin adalah ayah mertua Loh Cu gi. Sedang Raja iblis
seratus muka adalah Suheng Pek chio Lojin, menurut sumber dari
aliran ini, mungkin analisanya ini takkan salah dan luput.
Dirinya adalah musuh bebuyutan dari Bwe hwa hwe, kalau pihak
musuh menyamar dirinya untuk menyebar maut berbuat kejahatan
ini berarti satu kali panah mendapat dua ekor burung, bukan saja
tujuan dapat tercapai, malah mendatangkan musuh menimpakan
bencana ini kepada dirinya.
Tak tertahan lagi, ia membuka kata: "Tepat pasti perbuatan raja
iblis itulah!"
"Buyung." ujar si maling bintang gelisah, "coba terangkan secara
ringkas!"
Secara ringkas Suma Bing terangkan analisanya tadi, ber- ulang2
si maling tua membanting kaki dan menggaruk kepala: "Buyung,
ini mungkin terjadi, mungkin terjadi!"
"Cayhe masih ada sedikit kecurigaan." "Tentang apa?" "Bu
khek Ciangbun Tio Leng wa mempunyai seorang anak
perempuan bernama Tio Keh siok..."

"Ya, memangnya kenapa?" "Kepandaiannya tidak lemah!"
"Budak itu semasa kecilnya ketemu rejeki, dia bukan
terhitung anak murid Bu khek bun lagi, tapi asal-usul
perguruannya kurang jelas, setiap tahun jarang pulang untuk
menilik orang tuanya. Waktu peristiwa yang mengenaskan itu
terjadi kebetulan dia tengah pergi keluar!"
"O, tidak heran, kalau tidak dengan kelihayan kepandaiannya pasti
sedikitnya dia dapat mencegah atau merintangi ketelengasan
musuh!"
"Ini sudah kehendak Allah, dan tak perlu penjelasan lagi, Buyung,
dia... Cara bagaimana Phoa Kin sian bisa meninggal?"
Sekali lagi Suma Bing harus menghadapi kenyataan yang
merenggut hati dan menyedihkan ini, sambil menahan airmata,
secara ringkas ia bercerita.
Si maling bintang menggeleng2 kepala sambil berdiam diri,
gumamnya: "Takdir!"
Suma Bing ganda tertawa pahit. Kata si maling bintang
sungguh2: "Buyung, bagaimana
tindakanmu selanjutnya?" "Mencabut rumput sampai
seakar2nya!" "Bwe hwa hwe maksudmu?" "Tepat sekali!"
"Dapatkah kau memasuki barisan pohon bunga Bwe itu?" "Cayhe
sudah mempunyai perhitungan, sekarang juga aku
harus mengerjakan satu urusan besar!" "Urusan besar apa?" "Aku
hendak menyambangi Si gwa sianjin, akan kuminta
petunjuk tentang cara pemecahan barisan itu!"

"Kalau begitu, biarlah kita berpisah lagi melakukan kerjaan
masing2!"
"Cianpwe silahkan!" Tubuh si maling tua yang tambun
bergolek seperti mentok
berjalan, sebentar saja tubuhnya yang bundar itu sudah
menghilang dibalik hutan sana.
Menghadapi pusara Phoa Kin sian Suma Bing mengheningkan cipta
dan memanjatkan doa serta ambil berpisah, air mata meleleh deras
tanpa terasa.
Setiap tiga tindak pasti dia menoleh dan berat untuk tinggal pergi,
tapi toh akhirnya dia pergi juga sambil membekal hatinya yang
sudah hancur luluh. Gundukan tanah itu memendam istri serta
anaknya yang belum lahir.
Tidak jauh dari letak kuburan itu, diluar rimba sebelah sana adalah
jalan raya. Kuda yang membedal keras dan para kaum persilatan
yang melesat lewat dari sampingnya secepat terbang, lambat laun
membangunkan semangatnya yang sudah lesu sekian lama ini
sadarlah dia dari kesedihan yang mencekam sanubarinya, tanpa
terasa gerak kakinya juga semakin cepat dan akhirnya dia berlari
dengan pesatnya.
Bu eng san, sesuai dengan namanya atau gunung tanpa
bayangan, untung tempo hari Suma Bing pernah datang satu kali,
sedikit banyak dia sudah apal akan jalanan yang harus
ditempuhnya, tanpa banyak memakan waktu ia langsung menuju
ketempat tujuan.
Tidak lama kemudian tibalah dia dilereng gunung dipinggir sebuah
batu besar yang berbentuk lancip. Disinilah letak tempo hari dia
bertanding dengan Si gwa sianjin. Tempat yang lebih tinggi
sebelah depan sana dia belum pernah datang. Kini dia menjadi
ragu2, haruskah dia terus menerjang keatas?
Karena keraguannya ini segera dia gunakan ilmu gelombang suara
memancar ribuan li, dia salurkan seluruh

hawa murninya terus berseru lantang kearah puncak: "Si gwa
Cianpwe, cayhe Suma Bing ada sedikit persoalan ingin bertemu!"
Sudah ber-kali2 ia ber-kaok2 tanpa reaksi atau penyahutan.
Beruntun lima kali dia menggembor sangat keras, setelah dinanti
selama sepeminuman teh dan masih tanpa reaksi, timbullah rasa
heran dan curiganya. Sifat Si gwa sianjin sangat ganjil dan suka
menyendiri. Bagaimana juga dia takkan mau meninggalkan tempat
pertapaannya ini, tapi mengapa keadaan tetap sunyi senyap tanpa
reaksi apa? Apa mungkin orang tua aneh ini tidak mau menemui
orang yang belum dikenalnya? Atau... sekian lama dia ragu2 dan
bimbang, akhirnya diambil keputusan untuk langsung meluruk
keatas saja.
Kabut dipuncak lebih tebal, keadaannya sangat gelap pekat, tapi
Suma Bing sekarang lain dengan Suma Bing tempo hari waktu
pertama kali datang, kejelian matanya dapat memandang sejauh
sepuluh tombak. Tak lama kemudian tibalah dia diatas sebidang
tanah datar, pemandangan disini lain dari yang lain, dihadapannya
berdiri tiga bangunan rumah gubuk, kira2 tiga tombak diluar
rumah gubuk itu berserulah Suma Bing lantang: "Suma Bing
mohon bertemu dengan Cianpwe!"
Sungguh aneh masih tetap tiada penyahutan. Tanpa terasa
merinding tubuh Suma Bing jikalau si orang tua itu tinggal pergi
entah kemana, tentu telah terjadi sesuatu...
Dengan rasa was2 dia pandangi ketiga bangunan gubuk itu, kedua
pintunya hanya dirapatkan saja sehingga ber- gerak2 keluar masuk
dihembus angin pegunungan mengeluarkan suara kereyat-kereyot,
suara ini menimbulkan suasana giris dan seram.
Akhirnya dengan memberanikan diri dia beranjak maju mendorong
pintu terus melangkah masuk, dimana

pandangannya menyapu, tanpa terasa dia berseru kejut heran.
Tampak seorang tua berambut ubanan yang mengenakan jubah
kuning, dengan tenang dan kerengnya, duduk diatas sebuah
bale2, dia bukan lain adalah Si gwa sianjin yang ingin ditemuinya.
Tersipu2 Suma Bing membungkuk tubuh memberi hormat serta
sapanya: "Cayhe sembrono menerjang masuk kemari, harap
Cianpwe suka memaafkan!"
Sepasang bola mata Si gwa sianjin yang berkilat2 itu memancar
memandang Suma Bing tanpa berkesip, lama kemudian baru dia
mengeluarkan suara dengan ogah2an: "Buyung kau inikah Sia sin
kedua Suma Bing?"
Pertanyaan ini membuat hati Suma Bing melonjak kaget, bukan
untuk pertama kali orang tua ini pernah bertemu dengan dirinya,
bagaimana bisa mengeluarkan pertanyaan seperti ini, apalagi nada
suara itu agaknya berlainan, cuma yang terang bahwa orang itu
memang Si gwa sianjin adanya...
Maka sambil mengerut alis ia menyahut: "Agaknya Cianpwe
seorang pelupa, bukankah dulu cayhe pernah datang mohon
sebatang rumput ular, masa..."
"0, lantas apa, maksud kedatanganmu kali ini?" Suma Bing
semakin tertegun heran, suara ini benar2 bukan
keluar dari mulut Si gwa sianjin yang masih dalam ingatannya.
Maka dengan seksama penuh, rasa kecurigaan ia tatap wajah Si
gwa sianjin, hatinya tengah berpikir keras.
Terdengar Si gwa sianjin berkata dingin: "Suma Bing tempat
kediaman Lohu ini selamanya dilarang siapapun sembarangan
terobosan disini?"
Mendadak Suma Bing mendapat satu akal, cepat2 ia angkat tangan
sembari berkata: "Cianpwe harap sukalah kau memberi lagi sedikit
rumput ular itu..."

Si gwa sianjin mengekeh tawa ejek, serunya: "Buyung rumput ular
adalah barang berharga yang tidak ternilai, darimana aku punya
begitu banyak untuk diberikan kepada bocah seperti kau ini yang
serakah."
Penyahutan ini seketika menghilangkan rasa kecurigaan Suma
Bing, katanya pula memutar: "Sebetulnya cayhe masih ada satu
urusan minta petunjuk!"
"Coba katakan!" "Urusan ini mengenai Bwe lim ki tin (barisan
hutan bunga
Bwe yang aneh)..." "Apa?" "Barisan hutan pohon Bwe!"
"Selamanya belum pernah Lohu dengar tentang barisan
semacam itu!" Suma Bing bungkam menelan ludah, memang
dirinya
sendiri yang menamakan barisan itu sebagai Bwe lim ki tin. Sebab
Bwe hwa hwe menggunakan pohon2 Bwe itu untuk membentuk
barisan, hakikatnya dia sendiri tidak mengetahui barisan apakah ini
namanya, cuma sembarangan saja dia namakan Bwe lim ki tin,
kini setelah diberondong pertanyaan dia sendiri menjadi geli, maka
segera ia menambahkan: "Barisan ini terbentuk dari pohon2 bunga
Bwe secara..."
"Lantas kau sendiri yang menamakan begitu?" "Ya, begitulah!"
"Berapa banyak perobahan semua barisan dikolong langit
ini takkan dapat meninggalkan dari sumbernya semula. Semua
tidak akan lepas dari Ngo heng, Im dan yang atau aturan2 Kiu
kong pat kwa, hanya caranya saja yang penuh variasi dari sang
pencipta sendiri. Lohu sendiri belum pernah melihat barisan macam
apakah itu, sudah tentu tidak dapat memecahkan barisan apakah
itu?"

52 NENEK KEJAM YANG DOYAN MEMBUNUH.
Suma Bing menjadi serba susah, namun dia belum putus
asa, desaknya lagi: "Cianpwe sudilah kiranya ikut wanpwe turun
gunung..."
"Buyung, sudah puluhan tahun lohu belum pernah meninggalkan
gunung ini!"
"Dapatkah dibuat kecualian?" "Tidak mungkin!" "Cayhe rela
mengorbankan apa saja sebagai penggantian
atas jerih payah ini!" "Penghargaan?" "Benar, dengan syarat
apapun untuk saling tukar!" "Lohu tiada niat untuk
memperebutkan nama lagi, dan tak
mau mohon kepada orang lain!" "Apa cianpwe tak sudi membantu
kesukaran ini?" "Benar!" Dingin perasaan Suma Bing, katanya apa
boleh buat:
"Kalau begitu cayhe minta diri." merangkap tangan terus
membalik tubuh hendak pergi.
"Nanti dulu!" "Cianpwe masih ada pertanyaan?" "Mendadak
timbul niatku untuk berkenalan dengan Bwe lim
ki tin seperti yang kau sebutkan itu!" Diam2 Suma Bing
membatin: 'orang aneh bertabiat aneh
pula.' Cepat2 ia memberi hormat lagi serta ujarnya: "Cayhe
mengucapkan banyak terima kasih!"

"Tidak perlu, masih terlalu pagi kau menyatakan terima kasihmu.
Kan lohu belum pasti mau memberitahukan cara bagaimana untuk
memecahkan barisan itu!"
Suma Bing menjadi gopoh dan mangkel dalam hati, namun apa
boleh buat, ujarnya: "Terserah apa yang cianpwe kehendaki,
kapan kita berangkat?"
"Sekarang!" "Kalau begitu, silahkan!" Se-konyong2 terdengar
sebuah seruan yang nyaring
melengking: "Losuheng(kakak tua)!" Mendengar suara ini tergerak
hati Suma Bing, suara ini
agaknya pernah didengarnya entah dimana. Sebuah bayangan
putih berkelebat, tahu2 dalam gubuk itu sudah bertambah
seorang gadis serba putih yang cantik rupawan bak bidadari.
Dia bukan lain adalah Tio Keh siok itu putri Bu-khek Ciangbun Bu
khek chiu Tio Leng wa.
Tanpa tertahan Suma Bing berseru kejut. Tibanya Tio Keh siok ini
benar diluar dugaannya, sedang panggilan kakak tua itu ternyata
ditujukan kepada Si gwa sianjin, ini lebih mengejutkan hatinya.
Kalau Tio Keh siok dengan Si gwa sianjin ternyata adalah Suheng
moay ini benar2 susah dapat dipercaya. Paling banyak usia Tio
Keh siok baru duapuluh tahun, sedang Si gwa sianjin sedikitnya
juga sudah mencapai tujuhpuluh tahun, bagaimana bisa mereka
belajar dalam satu perguruan? Tokoh macam apa pula guru
mereka itu?
"Losuheng!" sekali lagi Tio Keh siok memanggil. Sorot mata Si
gwa sianjin berjelalatan tidak tenang samar2
saja ia mendehem. Waktu pandangan Tio Keh siok menyapu
kearah Suma
Bing, kontan dia tersentak kaget bagai disengat kala,

wajahnya segera berobah beringas dan merah padam, makinya
sambil tuding Suma Bing: "Suma Bing, akan kubeset kulitmu dan
kuhancurkan tubuhmu!"
Suma Bing menyeringai dingin sahutnya: "Menuntut balas bagi Bu
Khek sianglo?"
Tio Keh siok mendelik semakin buas, teriaknya: "Suma Bing, kau
ini seekor anjing yang rendah, sedemikian kejam kau
menggunakan tanganmu memusnahkan seluruh Bu Khek po!"
Suma Bing sudah paham apa yang dimaksud oleh lawan sahutnya
dingin: "Nona Tio, sudikah kau dengar beberapa patah
perkataanku?"
"Tidak sudi, aku hanya hendak membunuhmu!" "Hal itu
mungkin susah terlaksana!" Sambil menggerung keras Tio Keh
siok melesat maju
menggerakkan tangan secepat kilat, pukulannya mengurung
seluruh tubuh Suma Bing. Kekuatan pukulan ini bukan olah2
dahsyatnya, apalagi dilancarkan dalam nafsu kebencian yang
me-nyala2.
Suma Bing berkelebat sebat sekali bagai belut, dengan lincah dan
tepat serta indah sekali ia hindarkan diri dari serangan lawan
berbareng tubuhnya melesat keluar sampai diluar gubuk. Tio Keh
siok memekik gusar sambil mengejar keluar pintu.
Yang mengherankan ternyata Si gwa sianjin masih tetap duduk
ditempatnya tanpa bergerak atau bergeming, serta tidak juga
mengeluarkan suara.
Sedemikian dahsyat dan hebat pertempuran dua tokoh silat tinggi
yang sudah mencapai kesempurnaan kepandaiannya. Suma Bing
bermaksud memberi penjelasan secara terang, maka dia tidak mau
melukai lawan, maka setiap jurus gerak serangannya pasti
mempunyai perhitungannya sendiri.

Sebaliknya bagi Tio Keh siok, bukan saja kepandaiannya memang
sudah sempurna, apalagi lawan melancarkan serangannya dengan
gencar serta sengit, maka tak heran Suma Bing mencak2 dan
terdesak dibawah angin.
Dalam sekejap mata saja, dua belah pihak sudah melangsungkan
gebrak yang kedua puluh jurus lebih. Sampai akhirnya mau tak
mau Suma Bing harus berpikir, kalau dirinya tidak memberikan
sedikit hajaran kepada lawan, tak mungkin dia dapat membuat
lawannya tunduk. Hubungannya dengan Si gwa sianjin sebagai
kakak adik seperguruan, kalau terjadi sesuatu hal yang tidak
diinginkan mungkin bisa membawa akibat jelek bagi tujuan
kedatangannya ini. Karena pikirannya ini segera ia membentak:
"Nona Tio, berhenti aku ada perkataan hendak kukatakan!"
Sikap Tio Keh siok mendengar tapi acuh tak acuh, malah
serangannya semakin dipergencar, perbawa akibat dari
serangannya ini benar2 laksana geledek menggelegar.
Sambil melayani setiap serangan musuh. Suma Bing masih
sempat berkata lagi: "Kalau kau tidak mau berhenti, jangan
salahkan aku berbuat dosa padamu!"
"Suma Bing!" desis Tio Keh siok menggertak gigi, "kalau bukan
kau yang mati biar aku yang mati!"
Suma Bing mejadi dongkol dan gemas, terpaksa akhirnya ia
lancarkan jurus kedua dari Giok ci sinkang yaitu bintang berpindah
jungkir balik.
Kontan terdengar suara keluhan seperti orang hampir muntah,
terlihat Tio Keh siok terhuyung puluhan langkah jauhnya,
tubuhnya limbung hampir roboh, mulutnya yang kecil melelehkan
darah segar, wajahnya yang memang membesi gusar berobah
semakin menakutkan.
Terbayang rasa menyesal diwajah Suma Bing, serunya gugup:
"Nona Tio, cayhe membunuh Bu khek sianglo adalah untuk
menuntut balas sakit hati orang tuaku, perhitungan ini

dapat kuakui. Tentang peristiwa yang menggemparkan Kangouw
dengan terjadinya pembunuhan besar2an dan habis- habisan di Bu
khek po serta peristiwa di Ngo bi san dll. Perlu kutegaskan sekali
lagi aku menolak dan menyangkal tuduhan itu."
Tio Keh siok mendelik gusar dan menatap Suma Bing dengan
kebencian: "Kau menyangkal? Hm..."
"Ada seseorang yang menyamar sebagai aku menyebar maut dan
melakukan kejahatan, sekarang cayhe sendiri tengah menyelidiki
akan peristiwa ini, entah siapakah kiranya durjana itu...?"
"Ah, omong kosong!" Berobah airmuka Suma Bing, sahutnya:
"Keteranganku
sampai disini saja, terserah kau mau percaya tidak?" Rona wajah
Tio Keh siok tidak menentu, otaknya tengah
menerawangi tindak apa yang harus dia lakukan selanjutnya,
lama kemudian baru dia membuka suara lagi: "Apakah bentuk
tubuh seseorang juga dapat dipalsukan?"
"Betapa besar dunia ini, tidak sedikit orang pandai dan yang ahli
dalam bidang ini!"
"Bagaimana tentang ilmu silatnya?" "Ilmu silat?" "Benar, dalam
dunia Kangouw selain aliran dari Lam sia
Kho Jiang, ada siapa lagi yang pandai menggunakan Kiu yang
sinkang?"
Tanpa terasa tergetar dan berdebar keras jantung Suma Bing
serunya kaget: "Maksud nona bahwa semua korban itu adalah
karena terkena pukulan Kiu yang sinkang?"
Tio Keh siok mengiakan sambil bertolak pinggang.

Mendadak Suma Bing membanting kaki, serta merta mulutnya
berseru: "Pasti dia!"
"Dia siapa?" Suma bing tidak menjawab dendam dan kebencian
bergelora dan tengah mengalir deras dalam darah panasnya tidak
perlu disangsikan lagi bahwa semua peristiwa ini pasti adalah
perbuatan Loh Cu gi atau orang lain suruhannya. Dia sudah
menurunkan ilmu Kiu yang sinkang kepada para anak buahnya,
ketiga pemuda yang dibunuhnya di Bu khek po tempo hari sebagai
bukti yang nyata. Bukankah mereka bertiga dapat atau mampu
melancarkan ilmu dari ajaran Kiu yang sinkang...
"Siapakah dia?" desak Tio Keh siok lagi. Kejadian ini
merupakan penghinaan dan menjelekkan nama
perguruannya, sudah tentu sukar baginya untuk membuka mulut
memberi keterangan secara jelas, terpaksa dia mengalihkan bahan
pembicaraan: "Apakah nona kenal dengan si maling bintang Si Ban
cwan?"
"Dia sebagai sahabat kental dari kakekku!" "Asal mula
peristiwa ini dia mengetahui paling jelas, kalau
ada kesempatan silahkan nona langsung tanyakan kepadanya!"
"Kenapa tidak kau katakan sendiri?" "Aku mempunyai
kesukaran yang susah kuucapkan!" "Suma Bing mengandal
ucapanmu yang ngelantur dan
tanpa bukti dan saksi ini, lantas kau hendak menghindari
tanggung jawabmu?"
"Lalu apa kehendak nona sebenarnya?" Tepat saat itu
mendadak dari dalam gubuk itu terdengar
jeritan serak yang menyayatkan hati. Tio Keh siok dan
Suma

Bing terkejut bersama, berbareng mereka berpaling, ternyata
bayangan Si gwa sianjin sudah menghilang dari dalam gubuk.
Sebentar Suma Bing mengerutkan alis, lantas dia juga ikut
terbang masuk ke dalam gubuk. Terdengar dari bilik sebelah
samping jeritan Tio Keh siok yang menyedihkan: "Losuheng,
losuheng...!"
Sedikit berpikir tanpa ayal lagi segera Suma Bing juga menerobos
kebilik sebelah kiri itu, sekali pandang seketika ia tertegun
ditempatnya.
Tampak Si gwa sianjin menggeletak celentang diatas sebuah dipan
dalam bilik itu, badannya berlepotan penuh darah, keadaan
kematiannya sangat ngeri dan menyedihkan.
Siapakah yang dapat turun tangan sebegitu cepat dalam waktu
yang singkat ini, sedemikian gampang dia membunuh seorang
aneh yang tidak kemaruk harta dan nama didunia fana?
Kepandaian silat Si gwa sianjin sendiri bukan olah2 lihaynya, maka
dapatlah dibayangkan algojo kejam itu pasti berkepandaian yang
susah diukur tingginya? Terang dia tadi duduk tenang diruang
depan itu, bagaimana mendadak kedapatan telah mati konyol
diatas dipan dalam bilik sebelah samping ini?
"Ganjil sekali!" Suma Bing berkata seperti tengah menggumam,
dengan langkah lebar dia mendekati tempat tidur...
Sambil mengusap air mata, Tio Keh siok bertanya: "Apanya yang
ganjil?"
Tanpa menjawab terlebih dulu Suma Bing memeriksa jenazah
dengan seksama, lalu serunya ter-buru2: "Kejar jangan sampai si
algojo itu lolos!"
Sekali melesat tubuhnya melompat keluar dari jendela.

Tampak alam disekitar dirinya hitam kelam diliputi kabut putih,
sepuluh tombak diluar pandangannya keadaan semakin kelam dan
remang, tanpa terasa dia menghela napas, ujarnya: "Sayang,
dalam suasana demikian, sepuluh orang juga gampang saja
melarikan diri dengan selamat!"
"Apakah yang telah terjadi?" tanya Tio Keh siok keheranan dan
tak mengerti.
"Si pembunuh itu telah lolos!" "Apa kau melihat si pembunuh
itu?" "Tidak!" "Lalu apa maksud perkataanmu tadi?"
"Suhengmu sudah meninggal kira2 setengah harian..."
"Setengah harian? Apa betul?" "Betul, jenazah itu sudah dingin
kaku, darahnya juga sudah
membeku, kulitnya juga sudah berubah kehitaman semua ini
sudah cukup membuktikan."
Tergetar seluruh tubuh Tio Keh siok beruntun dia mundur tiga
langkah, katanya gemetar: "Lalu orang didalam ruang tengah
tadi...?"
"Dialah pembunuhnya!" Lagi2 Tio Keh siok mundur dua
langkah, air mukanya
berobah, serunya penuh haru: "Dia bukan losuhengku..." "Palsu!"
"Jadi kau sudah tahu sebelumnya?" "Tidak, sekarang baru aku
tahu!" "Mengapa?" "Waktu tadi cayhe tiba kemari, lantas aku
merasa sikap dan
nada perkataan suhengmu agak ganjil, tapi aku tidak
berani

memastikan, selanjutnya kau lantas datang, begitulah duduk
penjelasannya!"
"Siapakah dia?" "Menurut hemadku, pastilah ini perbuatan dari
Pek bin mo
ong yang pandai merias diri dan malang melintang di Bulim itu.
Jadi yang memalsu cayhe membabat habis Bu khek po dan
melakukan kejahatan di Ngo bi san dan ngapusi..." sampai disini ia
telan kembali perkataannya, sebab dia merasa tidak semestinya...
menceritakan juga tentang hilangnya Kiu im cinkeng. Maka setelah
merandek sejenak lantas dia menyambung lagi: "Mungkin semua
peristiwa itu dilakukan oleh satu orang!"
Tio Keh siok berkata dengan curiga dan tak percaya: "Bukankah
Raja iblis seratus muka itu sudah lama tidak muncul dalam Bulim?"
"Memang, tapi sekarang dia muncul lagi!" "Apa maksudnya dia
berbuat begitu?" "Membabat habis Bu khek po adalah untuk
Kipas pualam,
sedang di Ngo bi san tujuannya adalah hendak merebut Ce giok
pe yap..."
"Lalu mengapa pula dia membunuh suhengku juga?" "Karena
dia paham pelajaran tentang ilmu barisan!" "Kiranya kau
sudah tahu semuanya?" tanyanya Tio Keh siok
sambil memandang Suma Bing penuh kekaguman. "Ini hanja
sedikit analisaku menurut keadaan!" "Aku ingin mendengar
penjelasanmu?" "Kalau kipas pualam dan daon giok ungu itu
digabung,
dalam waktu yang singkat dapat membuat seseorang memperoleh
tenaga dalam yang tiada taranya... Tentang tujuannya membunuh
suhengmu adalah supaya rintang utama

dari barisan pohon2 bunga Bwe diluar markas besar Bwe hwa
hwe tetap utuh!"
"Bwe hwa hwe?" "Ya, sebuah perkumpulan yang berambisi
hendak
menguasai dunia persilatan!" "Raja iblis ini mungkin adalah Maha
pelindung yang baru
saja diangkat belum lama ini. Tapi, ini hanya merupakan dugaan
saja, bagaimana duduk persoalan sebenarnya, perlu pembuktian
dengan kenyataan yang harus kita selidiki secara mendalam!"
Sekian lama Tio Keh siok bungkam akhirnya berkata menggertak
gigi: "Bwe hwa hwe, pasti aku dapat menyelidikinya!"
Memandang kearah Tio Keh siok Suma Bing membuka mulut
hendak berkata apa2 namun ditelannya kembali. Kalau dia
seperguruan dengan Si gwa sianjin, pasti dia ini juga paham intisari
pelajaran tentang segala barisan. Sekarang Si gwa sianjin sudah
wafat, maka perjalanannya ini gagal total, kalau minta petunjuk
kepadanya berat rasanya untuk mengucapkan. Bukankah setengah
jam yang lalu mereka adalah musuh bebuyutan yang harus
menentukan mati dan hidup.
Tio Keh siok balas pandang Suma Bing dan berkata: "Untuk apa
tuan datang kemari?"
"Untuk menyambangi suhengmu!" "Untuk apa?" "Ada
persoalan hendak minta petunjuknya, kini dia sudah
menemui ajalnya maka tak perlu disinggung lagi. Hanya aku agak
heran, suhengmu pandai dan paham akan segala pelajaran barisan
mengapa ditempat kediamannya ini tidak dipasang perangkap
semacam itu?"

"Seorang aneh kelakuannya juga aneh, dia anggap tiada rasa
tamak untuk memperebutkan segala kemewahan duniawi, maka
dia segan mengatur barisan jebakan!"
Suma Bing mengiakan dan manggut2 paham. "Sekarang tuan
boleh pergi!" Sebetulnya ingin rasanya Suma Bing hendak
menanyakan
asal-usul perguruan orang, dasar sifat pembawaannya yang dingin
dan congkak setelah mendengar pengusiran orang secara halus
ini, dia manggut2 serta menyahut: "Kalau begitu baiklah aku minta
diri."
"Dan tentang..." "Tentang apa?" "Tentang kematian kedua
susiokcoku, baiklah perhitungan
ini kita batalkan!" Suma Bing terharu dibuatnya, agaknya Tio Keh
siok juga
seorang gadis yang berpandangan obyektif dan tahu aturan maka
ujarnya sopan: "Sungguh cayhe sangat menyesal. Tapi memang
terpaksa aku harus melakukannya!"
"Sudahlah, silahkan!" Sudah dua kali Suma Bing diusir secara
halus sudah tentu
tiada muka dia terus tinggal ditempat itu, maka tanpa banyak
kata lagi dia terus melesat turun gunung.
Begitulah tengah ia berlarian pesat, samar2 terlihat olehnya
sebuah bayangan berkelebat dikejauhan sana bergerak cepat
ditengah lautan kabut. Tergerak hatinya, batinnya: 'Bukan mustahil
dia ini orangnya!' karena pikirannya ini gerak tubuhnya dipercepat,
maka secepat burung terbang dia mengejar dengan kencangnya.
Gerak tubuh bayangan itu tidak lemah, teraling oleh kepekatan
kabut lagi, serta keadaan alam pegunungan itu sangat berbahaya
dan penuh semak belukar pula, maka

bayangan itu kadang2 terlihat dan kadang2 menghilang.
Sedemikian kencang Suma Bing mengejar namun sebegitu jauh
masih belum dapat menyusulnya.
Satu jam kemudian mereka sudah keluar dari lingkungan lautan
kabut. Kini bayangan misterius itu sudah menghilang dan tak
terlihat lagi.
Berdiri diatas sebuah puncak bukit, sungguh hati Suma Bing
merasa sangat menyesal dan mashgul.
Dia curiga kalau bayangan itu adalah Raja iblis seratus muka orang
yang membunuh Si gwa sianjin. Atau mungkin juga orang yang
memalsukan dirinya untuk melakukan berbagai kejahatan yang
menggemparkan dunia persilatan itu. Kalau bisul jahat ini tidak
lekas2 dilenyapkan, akibatnya susahlah dibayangkan. Karena
tekadnya yang besar, sepasang matanya mencorong tajam
menyapu keempat penjuru.
Se-konyong2 jeritan beberapa orang yang mengerikan memecah
kesunyian alam pegunungan. Terkejut Suma Bing dibuatnya,
dialam pegunungan yang belukar ini darimana datangnya suara
jeritan itu? Terdengar dua kali jeritan lagi samar2 terbawa angin.
Didengar dari datangnya suara agaknya berada dibalik bukit
dimana dia berada.
Suma Bing jejakkan kedua kakinya, seenteng burung walet
tubuhnya melesat turun menuju kebukit sebuah belakang sana.
Sesampai dibawah bukit, tepat didepannya terbentang sebuah
mulut selat yang sempit, beberapa mayat manusia tampak
bergelimpangan tergenang dalam cairan darah.
Sekilas pandang lantas Suma Bing mengenal mereka adalah para
anak buah Bwe hwa hwe, semua berjumlah tujuh orang, cara
kematian ketujuh orang ini semua sama, yaitu hancur lebur batok
kepalanya, sungguh sangat mengerikan.
Sungguh aneh, siapakah yang membunuh mereka, sedemikian
kejam cara dia membunuh? Para anak buah

jagoan Bwe hwa hwe untuk apa datang diatas pegunungan yang
jarang dijajaki manusia ini?
Waktu dia angkat kepala memandang kemulut selat, tergetar
seluruh tubuhnya, merinding dan berdiri pula bulu kuduknya,
beruntun mundur tiga langkah.
Tampak seorang nenek berhidung betet berpipi tepos dan
bermuka lebar tengah duduk angker diatas sebuah batu besar
yang mencegat dijalanan masuk kedalam selat sempit itu, kedua
mata nenek tua beruban ini seakan mata burung hantu yang
memancar dimalam hari memancarkan sinar kehijauan, dengan
tajam dan mengancam tengah menatap Suma Bing.
Tak perlu disangsikan lagi, orang yang membunuh para jagoan
dari Bwe hwa hwe itu pastilah si nenek tua ini.
Tanpa membuka mulut si nenek aneh itu angkat telapak
tangannya yang kurus kering itu diarahkan kepada Suma Bing
terus pelan2 ditarik mundur.
Dalam kejut dan herannya Suma Bing mendadak merasa sesuatu
kekuatan daya sedot yang besar sekali tengah menarik dirinya
maju kedepan. Jarak kedua belah pihak kira2 empat tombak, tapi
lawan dapat mengeluarkan tenaga daya sedot sedemikian besar ini
benar2 sangat mengejutkan.
Dalam keadaan yang tidak bersiaga, Suma Bing terseret oleh daya
sedot itu sampai sempoyongan maju beberapa langkah, maka
cepat2 ia kerahkan hawa murninya serta sekuatnya menahan
tubuh sendiri. Tenaga daya sedot itu semakin lama semakin kuat.
Suma Bing kerahkan kekuatan Giok ci sinkang, pelan2 tenaga
murninya tersebar keseluruh tubuh terus saling bertahan dan
bentrok dengan tenaga daya sedot itu.
Seketika pandangan mata si nenek aneh mengunjuk rasa heran
dan kejut, sekarang dia menggunakan kedua tangannya terus
ditarik mundur sehingga rambutnya yang ubanan berdiri

tegak, maka keadaannya yang ganjil semakin aneh dan lucu lagi
seram menakutkan.
Kini Suma Bing sudah bersiaga daya pertahanannya sekokoh
gunung, wajahnya yang membesi mengunjuk kehampaan.
Tiba2 si nenek aneh itu menarik kedua tangannya, suaranya
terdengar serak kasar seperti suara burung kokok beluk: "Setan
kecil ada isinya juga, tapi kau harus mati."
Perkataan tanpa juntrungannya ini membuat Suma Bing melengak
sambil garuk2 kepala, begitu ketemu orang lantas hendak
membunuh, inilah kejadian aneh yang belum pernah didengarnya,
apakah dia seorang kuntilanak yang kehilangan kesadarannya?
Tengah berpikir ini pandangannya menyapu keempat penjuru,
tanpa terasa tenggelam dan membeku perasaan hatinya, tampak
dimana2 terserak tulang2 putih manusia, ada kerangka yang masih
lengkap ada pula yang sudah berantakan tak genah.
Maka sahutnya tertawa ejek: "Apa aku pasti mati?" "Benar!"
"Mengapa?" "Bagi siapa yang melihat aku dia harus mampus!"
Suma Bing mengekeh dingin, serunya: "Belum pernah
kudengar kejadian seaneh ini." Bola mata si nenek aneh
memancarkan sinar kehijauan,
tanpa berkedip dia pandang Suma Bing dengan perasaan gusar
dan kebencian yang me-luap2. Biasanya bagi mereka yang
bermusuhan besar baru terunjuk sikap garang seperti itu. Namun
lain halnya dengan si nenek aneh ini, ternyata dengan sikap dan
pandangan yang mengancam itu dia

pandang Suma Bing, benar2 sangat aneh dan susah dipercaya.
Suma Bing sendiri juga melongo heran. Si nenek aneh tertawa
ter-serok2, seringainya dingin:
"Setan kecil, kulanggar kebiasaanku untuk memberi kesempatan
kau meninggalkan namamu..."
"Melanggar kebiasaan? Kebiasaanmu itu tak perlu kau langgar, aku
tidak sudi meninggalkan namaku!"
"Setan kecil, kau tidak tahu kebaikan!" "Memangnya kau bisa
apa?" "Jadi kau ingin menjadi tulang2 kering tanpa nama?"
Suma Bing geli dan jengkel dibuatnya, ejeknya tak acuh:
"Cayhe masih belum ingin mati!" "Tapi kau sudah pasti harus
mati!" "Kalau begitu ingin aku minta pengajaran, entah siapakah
tokoh kosen ini?" "Setan kecil, jangan banyak cerewet!" "Sayang
sekali!" "Apa yang sayang?" "Engkau tidak mau menyebut nama
atau gelaranmu, kalau
kau mati bukankah juga menjadi tulang2 kering yang tidak
bernama seperti mereka2 itu."
Tenggorokan si nenek aneh berkerok2 mengeluarkan suara aneh
yang keras, rambutnya yang ubanan seperti perak berdiri tegak
semua teriaknya beringas: "Setan kecil, terhitung kaulah yang
sudah pernah melihat wajahku dalam waktu yang paling panjang
sekarang serahkanlah jiwamu!" belum lenyap suaranya tubuhnya
mendadak melejit maju kedepan Suma Bing terus ulur tangan
mencengkram dada.

Cara cengkramnya ini benar2 hebat luar biasa kiranya tiada
tandingan diseluruh kolong langit ini. Sampai Suma Bing sendiri
yang berkepandaian sedemikian tinggi juga tidak mampu berkelit
lagi. Keruan kejutnya bukan kepalang, tanpa disadari tubuhnya
bergerak secara reflek menggeser kedudukan kesamping setombak
lebih.
Tanpa disadarinya dia menggunakan gerak Bu siang sin hoat
untuk menyingkir dari cengkraman lawan, setelah itu lantas dia
menyesal. Dia pernah bersumpah pada Giok li Lo Ci selamanya
takkan menggunakan gerak tubuh ini, juga kepada pihak Siau lim
si dia pernah berjanji untuk mengubur ilmu ini dari sanubarinya,
untuk selamanya takkan muncul, dikalangan Kangouw, sungguh
tidak nyana dalam keadaan yang kepepet dan tanpa sadar dia
telah menggunakan ilmu yang digdaya itu.
Melihat cengkramannya mengenai tempat kosong, si nenek aneh
mengeluarkan seruan kejut, tapi tangannya masih tetap bergerak
secepat kilat, tahu2 cengkraman jurus kedua sudah merangsang
tiba pula.
Lwekang Suma Bing setiap saat timbul menurut kesigapan
perasaannya, dalam waktu yang pendek Giok ci sinkang sudah
menyelubungi seluruh tubuhnya, telapak tangannya bergerak
miring seperti membacok memapak cengkraman musuh.
Memang Giok ci sinkang sakti mandraguna, waktu cengkraman si
nenek aneh merangsang tiba terpaut tiga senti diatas kepala Suma
Bing, mendadak tertolak kembali oleh tenaga kuat yang merintangi
tenaga serangannya.
Hanya dalam waktu yang pendek itulah bacokan telapak tangan
Suma Bing juga sudah memapas tiba didepan dada musuh.
Kepandaian si nenek aneh ini memang luar biasa sekali, kalau dia
teruskan cengkramannya pasti dirinya juga akan konyol. Maka
gesit sekali dia tekuk sikutnya kebawah untuk

menangkis. 'Blang!' bacokan telapak tangan Suma Bing telak sekali
membentur sikut lawan. Terdengar si nenek aneh memekik
kesakitan, cepat2 ia mundur tiga langkah.
Suma Bing sendiri juga terkejut melihat kekuatan musuh, agaknya
inilah musuh paling tangguh selama dia kelana didunia persilatan.
Mendadak si nenek aneh berteriak nyaring: "Tidak benar!"
Suma Bing tertegun dan melongo. Sorot si nenek ubanan
memancarkan kemurkaan, makinya
sambil menuding Suma Bing: "Setan kecil, tadi kau melancarkan Bu
siang sin hoat bukan?"
Suma Bing menjadi serba salah, harus mengakui atau tidak,
seperti diketahui secara ceroboh tanpa sengaja dia lancarkan ilmu
yang sudah pernah dijanjikan untuk tak diunjukkan lagi
dikalangan Kangouw. Kini telah ditunjuk secara terang2an oleh
lawan tak heran dia maju mundur dan bimbang dibuatnya.
"Katakan setan kecil!" teriak si nenek beruban sambil berjingkrak
seperti orang gila.
Naiklah hawa amarah Suma Bing, sahutnya dingin: "Kalau benar
kau mau apa?"
Si nenek beruban melangkah setindak, geramnya sambil
menggigit gigi: "Kiong Ji lan si budak rendah itu termasuk
apamu?"
Suma Bing tersentak kaget sampai mundur dua langkah, matanya
kesima memandangi si nenek aneh. Dari Kang Kun Lojin diketahui
bahwa Kiong Ji lan adalah nama asli dari Bu siang sin li. Bu siang
sin li adalah tokoh aneh yang sangat disegani pada ratusan tahun
yang lampau, kini secara se- mena2 dimaki sebagai budak rendah
oleh lawan, ini benar2 sangat keterlaluan dan luar biasa. Dari sini
dapatlah diperkirakan kalau si nenek aneh ini pasti juga bukan
tokoh

sembarangan, mungkin tingkatannya juga tidak rendah. Tapi
siapakah dia ini?
Agaknya si nenek aneh ini terpengaruh oleh perasaannya kulit
mukanya yang kurus tepos tinggal pembungkus tulang itu
bergerak dan gemetar, raganya juga tergetar. Keadaan ini
membuat Suma Bing semakin heran dan tak habis mengerti.
Sekian lama bibir si nenek ber-gerak2 baru akhirnya terdengar
suaranya berkata: "Katakan setan kecil!"
"Apa yang harus kukatakan?" balas tanya Suma Bing. "Kiong Ji
lan si budak busuk itu apamu?" "Maksudmu Bu siang sin li
Locianpwe?" "Cis, Locianpwe apa segala, budak rendah..."
Suma Bing pernah menerima ilmu digdaya dari Bunga iblis
yang diwarisi oleh Bu siang sin li, dalam hatinya merasa sangat
kagum dan hormat kepada cianpwe aneh yang sudah lama
mangkat itu. Tatkala mendengar makian lawan dia menjadi gusar
dan merasa ikut terhina, sahutnya dingin kaku: "Kau sudah tua
dan jangan sembarangan membuka mulut memaki orang lain,
untuk selanjutnya kuharap kau bicara mengenal sopan santun!"
"Setan kecil, berani kau memberi kuliah pada aku orang tua?"
"Jikalau kau tua tapi tidak mengenal penghargaan, seumpama
tinggi tingkatanmu apa pula faedahnya?"
"Setan kecil, sebetulnya kau ini apanya?" "Apapun
bukan." "Hah, lalu Bu siang sin hoat itu darimana kau
pelajari?" "Kiranya hal itu tidak menyangkut
persoalanmu!" "Aku orang tua harus menanyakan secara
jelas."

Otak Suma Bing harus bekerja keras, batinnya, lebih baik kukorek
keterangan yang lebih jelas dari mulutnya, siapa tahu persoalan itu
merupakan rahasia terpendam dalam sejarah dunia persilatan yang
sangat berharga. Maka segera ia menyahut dengan suara berat:
"Apa kau benar2 ingin mengetahui?"
"Sudah tentu!" "Terlebih dulu kuminta kau mau bicara secara
terang, nanti
biar kututurkan dan kubeberkan secara terang gamblang." "Setan
kecil, kau tidak setimpal untuk menanyakan urusan
pribadiku!" "Kalau begitu aku juga keberatan memberi tahu!"
"Kau ingin mampus?" "Tidak gampang kau hendak membunuh
aku!" Agaknya si nenek beruban hampir saja hendak mengumbar
nafsu amarahnya, namun sikapnya berobah menjadi lunak lagi,
serunya uring2an: "Setan kecil, karena dialah maka selama
puluhan tahun ini kedua tanganku selalu berlepotan darah!"
Suma Bing mengerut kening, tanyanya: "Jadi kau membunuh
karena Bu siang Locianpwe?"
Si nenek manggut2 sambil mengiakan. "Kenapa?" "Karena dia
telah membuat aku merana selama hidupku
ini!"
________________________________________________
___________________________________

Apa alasannya sehingga si nenek berani berkata begitu? Siapakah
si nenek ini, mengapa pula dia berlaku begitu kejam?
Mengapa dia memegat dijalan masuk kedalam selat sempit itu,
ada apa dan siapakah yang berada didalam sana?
Dalam usahanya menuntut balas, Suma Bing harus menghadapi
berbagai jebakan dan rintangan malah dia harus berkecamuk dalam
pertempuran dibawah keroyokan gembong2 silat lihay dari pihak
Bwe hwa hwe langsung dibawah komando Loh Cu gi sendiri!
0oodwoo0
Jilid 14 53 CINTA ABADI SEORANG NENEK
PEYOT.
Perkataannya ini membuat jantung Suma Bing berdebar
keras, tanyanya: "Mohon dijelaskan!" "Perkataanku habis sampai
disini!" "Kalau begitu harap diketahui bahwa cayhe dengan Bu
siang Locianpwe hanya ada sedikit jodoh." "Jodoh, apa
artinya?" "Aku pernah menerima kebaikan dari dia orang
tua!" "Kau bukan muridnya?" "Bukan!" "Dapatkah
dipercaya omonganmu ini?" "Terserah kepada cianpwe!"
"Lalu dimana dia sekarang?"

"Ini..." "Hm, dia membuat aku merana selama hidup ini, aku
harus
membalas, aku harus menghadapinya secara langsung." "Itu tidak
mungkin!" "Kenapa?" "Sebab dia orang tua sudah lama wafat."
Mendadak si nenek aneh itu membanting kaki, sambil
menggerung gusar: "Dia sudah mati." Suma Bing mengiakan.
"Dia... sudah mati? Tidak, dia tak boleh mati, dia harus
mati ditanganku, dia... setan kecil, dimana dia dikubur... dia..."
"Masa cianpwe hendak menuntut balas terhadap orang
yang sudah meninggal?" "Benar, kuhancur leburkan tulang
belulangnya dulu, baru
membabat keturunannya." "Baiklah aku tidak akan membuka
mulut lagi." "Setan kecil, tiada tempatmu turut bicara disini..."
Dingin perasaan Suma Bing, serunya: "Orangnya mati
permusuhanpun himpas." "Katakan, dimana dia dikubur?" "Aku
tidak akan memberi tahu." "Kau berani?" "Bukan soal berani atau
tidak, kan sudah cayhe katakan
tidak akan memberitahu!" "Kau ingin mati?" "Mengandal
kepandaianmu kau belum mampu mencabut
nyawaku!"

"Lihat serangan!" diiringi ancamannya ini serangannya juga lantas
merangsang maju, seketika gelombang angin puyuh bagai gugur
gunung menerpa keras ber-gulung2 kearah Suma Bing.
Ter-sipu2 Suma Bing angkat tangan untuk menangkis. Dentuman
keras menggetar bumi membuat si nenek aneh itu terpental
mundur tiga tindak, sedang Suma Bing hanya limbung bergoyang
gontai, namun kakinya sedikitpun tidak bergeser.
"Setan kecil, kau..." "Aku kenapa?" "Kau murid siapa?" "Tak
dapat kuberitahu!" Si nenek aneh beruban ber-teriak2 gusar
sambil menyerang
lagi, tampak dalam kedua tangannya bergerak diayun itu
berpetalah bayangan delapan belas telapak tangannya bersama itu
semua menungkrup kearah delapan belas jalan darah penting
ditubuh musuh. Jurus serangan semacam ini benar2 belum pernah
dengar dan lihat.
Sudah tentu Suma Bing tidak berani berlaku gegabah, tidak kalah
sigapnya jurus bintang berpindah jungkir balik, jurus kedua dari
Giok ci sinkang juga segera diberondong keluar untuk menandingi
serangan musuh. Karena tidak mampu memunahkan serangan
musuh yang hebat dan ajaib itu maka terpaksa dia menyerang
untuk balas menyerang.
Mendadak si nenek aneh menarik pulang serangannya ditengah
jalan, gesit sekali tubuhnya terus melesat kesamping sejauh
setombak lebih, mulutnya juga berseru heran.
Reaksi Suma Bing sendiri juga tidak kalah sigap, melihat lawan
batal menyerang diapun mengendorkan tenaga, dan membatalkan
serangan balasannya.

Sekarang sinar mata si nenek aneh memancarkan cahaya yang
aneh, dengan tajam dia menatap Suma Bing, tapi sinar matanya
ini tidak seperti tadi yang beringas dan ber-api2, malah suaranya
kini terdengar kalem dan sabar: "Buyung agaknya terpaksa aku
harus melanggar sumpahku!"
Sikap Suma Bing tetap dingin angkuh, tanyanya: "Melanggar
sumpah apa?"
"Mendadak aku tidak ingin membunuh kau lagi." Diam2 Suma
Bing tertawa geli, pintar juga nenek aneh ini
mengikuti arah angin memutar haluan, terang dia takkan bisa
menghadapi dirinya, sebaliknya mengatakan melanggar sumpah
apa segala, diapun segan menyindirnya, hanya sikapnya tetap
angkuh katanya: "Itupun kenapa?"
"Pertama cara bersilatmu kentara kau bukan murid budak rendah
itu."
"Lalu ada apa lagi?" "Kedua, mungkin kau dapat membantu
aku melaksanakan
satu cita2!" Bukan terkejut sebaliknya Suma Bing merasa aneh
tanyanya: "Cita2 apa?" "Aku tidak akan minta kepadamu secara
cuma2!" "Cayhe sendiri juga belum tentu setuju!" "Hm, orang
paling sombong yang pernah kulihat selama
seabad ini." "Ah, terlalu dipuji2." "Buyung, cobalah kau pandang
kedalam selat sempit itu." Dengan heran Suma Bing memandang
menurut apa yang
diminta, tampak selat sempit itu hanya selebar puluhan tombak,
kedua sampingnya adalah dinding batu yang terjal seperti dipapasi
dengan senjata tajam, sedemikian tinggi

kedua lamping ini sehingga menembus langit, keadaannya sangat
sunyi dan gelap menyeramkan apapun tidak kelihatan.
"Sudah lihat belum?" "Melihat apa ?" "Lihatlah mulut lembah
itu." Sekarang Suma Bing memandang lebih seksama, memang
dimulut lembah itu muncul dan merintang ditengah jalan sebuah
batu cadas besar persegi setinggi dua tombak lebih dibelakang
batu besar ini terserak tidak teratur banyak sekali batu2 runcing
yang sekilas pandang saja tiada sesuatu yang kelihatan aneh.
"Bagaimana?" "Maksudmu batu besar itu? Adakah guna
faedahnya?" "Sudah enampuluh tahun lebih batu itu
menghalangi aku
masuk kedalam lembah!" Sudah tentu Suma Bing semakin heran
dan tak mengerti,
sambil garuk2 kepala. Meskipun batu itu besar dan tepat berada
ditengah, namun lembah itu lebar sepuluh tombak jadi masih
banyak tempat luang yang tidak terintang untuk keluar masuk,
orang akan menyangka perkataannya itu bukan keluar dari mulut
seorang yang berotak waras.
Melihat sikap Suma Bing yang ragu2, si nenek menegasi:
"Buyung, kau tidak percaya?"
"Memang susah untuk dipercaya!" "Lebih baik kau pergi
mencobanya!" "Mencoba bagaimana?" "Coba kau dapat
melewati batu besar itu sejauh sepuluh
langkah tidak?"

Melihat sikap orang yang sungguh, timbul keinginan Suma Bing
batinnya, 'bukan mustahil memang ada sesuatu keganjilan didalam
sana, biarlah kucoba.'
Cepat sekali dia berlari badannya melenting kearah mulut lembah
itu, baru saja ia mengitar kebelakang batu besar itu, pandangan
didepannya mendadak berobah terlihat batu2 aneh bermunculan
dan berserakan bagai hutan, jalan diantara empitan batu2 itu
berliku2 tidak menentu, dihembus angin sepoi2 lagi sehingga
terasa dingin menembus tulang, bila dia berpaling melihat
kebelakang, tanpa terasa berjingkrak kaget, pemandangan
dibelakangnya juga sama saja batu aneh dan jaluran jalan yang
sempit belak-belok ber-lapis2 susah dibedakan mana timur barat
atau selatan.
Ini merupakan sebuah barisan. Baru sekarang dia percaya akan
perkataan si nenek aneh ternyata bukan bualan belaka sekali
melejit Suma Bing lompat keatas sebuah batu runcing yang agak
tinggi, pemandangan dari ketinggian ini ter-lihat remang2 gelap
tanpa terlihat ujung pangkalnya.
Mendadak sebuah suara terkiang dipinggir telinganya: "Buyung,
jangan banyak bergerak, biar kutolong kau keluar dari sini!"
Terasa lengannya kenceng dicengkram seolah2 tubuhnya dijinjing
ketengah udara, tahu2 dimana pandangannya kembali terang
ternyata dirinya sudah tiba pula diluar mulut selat lagi.
Pemandangan didepannya tidak berobah tetap batu besar itu yang
terlihat merintangi jalan.
"Bagaimana Buyung?" tanya si nenek aneh setelah duduk kembali
dibatu tempatnya tadi.
"Itu merupakan sebuah barisan?" "Ya," sahut si nenek sambil
manggut2. "Siapakah yang membangun?" "Orang yang
selalu kuingat selama enam puluh tahun itu."

"Siapa?" "Aku tidak senang menyebut namanya!" "Dengan
cianpwe adalah..." "Musuh bebuyutan!" "Dia menetap dalam
lembah ini?" "Benar, sudah selama enampuluh tahun aku
menunggunya
diluar sini..." "Enampuluh tahun lebih?" tanya Suma Bing
terperanjat,
"Barisan itulah yang merintangi cianpwe sehingga tidak bisa
masuk kedalam lembah sana?"
Si nenek ganda manggut2 sebagai penyahutan. "Pernahkah dia
muncul?" "Pernah!" "Lalu kenapa cianpwe tidak segera
menyelesaikan secara
berhadapan?" "Itu terjadi sebelum enampuluh tahun yang lalu," si
nenek
menjelaskan dengan uring2an dan penuh kebencian. "Waktu
pertama kali aku datang kemari dia pernah keluar katanya jikalau
aku dapat memecahkan barisannya itu dan masuk kedalam sana,
dia mandah terima perintah apa saja dan pasrah nasibnya
ditanganku. Sejak saat itu, lantas dia tidak pernah muncul lagi
sampai sekarang!"
Diam2 Suma Bing melelet lidah, entah ada permusuhan apakah si
nenek tua ini dengan penghuni dalam lembah itu, sedemikian
berat dan rela dia mau menunggunya diluar lembah ini selama
enampuluh tahun tanpa bosan2. Kalau dia memaki Bu siang sin li
sebagai budak busuk, terang kalau usia dan tingkatannya pasti
tidak berbeda seberapa. Itu berarti bahwa usianya pasti juga
sudah seabad lebih.

Dari nada perkataannya, antara si nenek tua ini dengan Bu siang
sin li agaknya ada ganjalan hati atau permusuhan lama. Tapi
siapa pula orang yang menghuni didalam lembah itu.
Mengapa dia sampai sedemikian sabar menunggunya selama
puluhan tahun? Kalau barisan aneh itu merintangi dan dia sendiri
tidak mampu memecahkan bukankah seumur hidup dia menunggu
disini juga akan sia2?
Akhirnya pikiran Suma Bing melayang dan terkenang akan Sucinya
Sim Giok sia bukankah karena "cinta" sehingga Sucinya itu
menderita dan sengsara selama tigapuluh tahun, sehingga
mengubur seluruh masa remajanya. Akhirnya meskipun dapat
mencapai cita2nya yang terakhir dan dapat terlaksana pertemuan
kembali dengan Tiang un Suseng. Sayang nasib dan kodrat ilahi
telah menuntun dan mengatur perjalanan hidup mereka
selanjutnya. Sepasang kekasih yang dimabuk cinta ini akhirnya
harus menemui ajalnya, didalam penjara bawah tanah Bwe hwa
hwe.
Lantas terbayang juga akan sumpah setia Giok li Lo Ci kepada
suhunya, sedemikian besar rasa cintanya kepada suhunya
sehingga lupa waktu lupa segalanya sampai usia sendiri sudah
lanjut masih tanpa disadari.
Wanita aneh tua, dihadapannya ini bukan mustahil juga seorang
yang menjadi korban akan kegagalan cintanya?
Maka tak tertahan lagi segera ia bertanya: "Penghuni dalam
lembah itu apakah seorang pria?"
Bermula sikap si nenek menjadi lesu dan mashgul, namun lantas
berkobar pula perasaan bencinya, desisnya rendah: "Buyung kau
berkata benar!"
"Orang dalam lembah itu berhubungan sangat erat dengan
cianpwe?"
"Ya erat sekali sampai aku bersumpah harus membunuhnya baru
lega hatiku."

Tubuh Suma Bing gemetar dan bergidik, kalau terkaannya tidak
salah, pasti rasa benci yang berlebihan ini timbul karena cintanya
bertepuk sebelah tangan.
"Lalu kenapa cianpwe harus selalu membunuh orang?" "Aku
benci seluruh lelaki diseluruh kolong langit ini!" "Kenapa?"
tanya Suma Bing berjingkat. "Buyung, sudah terlalu banyak
kau bertanya!" "Hanya karena benci maka cianpwe membunuh
orang?" "Benar, itu juga terbatas ratusan li dalam lingkungan
selat
ini. Jikalau ada orang berani menerjang masuk, hanya ada satu
jalan bagi dia, yaitu mati!"
"Bukankah perbuatan ini terlalu kejam?" "Kejam? Hahaha..."
Gelak tawa yang menggila ini seakan tangisan setan
dimalam hari, seumpama lolong srigala ditengah malam, membuat
orang mengkirik seram.
Agak lama kemudian baru tawanya yang memilukan itu berhenti
dan katanya lagi: "Secara mentah jiwa hidupku selama ini dikubur
hidup2, seorang gadis jelita, dia harus hidup merana dalam jurang
kesedihan sehingga menjadi seorang nenek2 tua yang bongkok
dan tinggal kulit pembungkus tulang ini, apakah ini tidak terlalu
kejam?"
"Ini..." Suma Bing kehilangan kata2nya, bukankah dirinya sendiri
juga tengah terombang-ambing dalam dendam dan budi. Berhenti
sebentar lantas dia melanjutkan memutar haluan: "Lalu apa yang
cianpwe tunggu sampai sekarang?"
"Memecahkan barisan dan masuk kedalam!"
"Tapi..."

"Hahahaha... puluhan tahun yang sudah terbuang ternyata tidak
sia2, telah kutunggu2 saatnya seperti ini, akhirnya Tuhan telah
mengirim kau datang kemari!"
Diam2 terkejut Suma Bing, tanyanya heran: "Apa maksud
perkataan cianpwe ini?"
"Kau dapat membantu aku memecahkan barisan itu!"
"Sedikitpun aku tidak paham akan segala barisan?" "Itu tidak
menjadi soal!" "Sungguh aku tidak paham?" "Kulihat dari cara
turun tanganmu tadi, agaknya kau
melatih suatu ilmu sakti semacam Sian thian bu khek sinkang yang
peranti untuk melindungi badan, kalau kau dapat menggunakan
ilmu saktimu itu untuk memecahkan batu besar itu, barisan itu
akan hancur total tanpa kita menyentuhnya lagi. Kau sudah
paham?"
Baru sekarang Suma Bing sadar, ternyata si nenek tua ini hendak
meminjam tenaganya atau ilmu Giok ci sinkangnya untuk
menghancurkan batu besar itu. Maka katanya menyindir: "Kiranya
cianpwe juga seorang welas asih!"
"Memangnya kenapa?" "Apakah cianpwe berpendapat kalau aku
pasti mau
membantu?" Si nenek tua berjingkrak berdiri, semprotnya gusar:
"Apa
bocah jadah kau tidak mau membantu?" Sahut Suma Bing tawar:
"Tiada alasannya aku harus
membantu kau memecahkan barisan itu supaya kau dapat leluasa
membunuh orang."
"Berani kau menentang aku" teriak si nenek dengan murkanya.

Sekilas Suma Bing menyapu pandang lawan dingin, lalu katanya
ogah2an: "Ini bukan soal berani atau takut?"
"Kubunuh setan cilik seperti kau ini!" "Tidak segampang
perkataan yang kau ucapkan?" Saking murka badan si nenek
sampai gemetar, rambutnya
yang ubanan juga riap2an sepasang matanya memancarkan
cahaya yang menakutkan.
Namun sikap Suma Bing tetap tenang seolah2 tidak melihat,
katanya: "Maaf cayhe minta diri."
"Setan kecil, seumpama tumbuh sayap juga kau takkan dapat
lolos!"
"Apakah perkataan cianpwe ini tidak keterlaluan?" Se-konyong2
sebuah bayangan putih bagai awan
mengembang laksana air mengalir enteng sekali tanpa suara
melayang tiba.
Diam2 tercekat hati Suma Bing melihat bayangan orang yang
sudah dikenalnya ini. Sesaat dia berpikir, bayangan putih itupun
telah melayang tiba. Tanpa kuasa Suma Bing berseru kejut:
"Kau!"
Memang yang mendatangi ini bukan lain adalah Tio Keh siok,
putri Bu khek ciangbun atau adik seperguruan dari Si gwa sianjin.
Entah untuk apa Tio Keh siok muncul disini.
Aneh sikap si nenek tua sedikitpun dia tidak memberikan reaksi
akan kedatangan Tio Keh siok ini, acuh tak acuh tanpa mengerling
matapun jua.
Agaknya Tio Keh siok sendiri juga heran melihat kehadiran Suma
Bing ditempat ini. Dengan penuh tanda tanya ia pandang Suma
Bing dan berseru: "Kau!"
"Apakah nona Tio sudah selesai mengurus jenazah Suhengmu?"

"Bagaimana bisa kau..." baru setengah perkataannya, matanya
lantas mengerling kearah si nenek aneh, seketika ia telan kembali
perkataan selanjutnya.
Maka terdengar si nenek mendengus se-keras2nya sambil
menggerung.
Setelah memandang Suma Bing keheranan dan ber-tanya2
akhirnya Tio Keh siok berkelebat melesat memasuki selat sempit
itu, sebat sekali dia sudah memutar kebelakang batu besar itu
lantas tubuhnya terbang menghilang. Kecepatan gerak tubuhnya
itu benar2 luar biasa seumpama setan melayang dibawa angin
lalu.
Suma Bing terhenyak dan terpekur ditempatnya. Kalau Tio Keh siok
dapat masuk keselat itu sedemikian gampang tanpa rintangan,
pasti dia adalah murid orang dalam selat itu, dia memanggil Si gwa
sianjin sebagai Losuheng, kalau diukur dari usia Si gwa sianjin,
maka usia orang dalam selat itu sedikitnya sudah seabad, dan
rekaannya ini agaknya memang sedikit mendekati kenyataan,
justru yang mengherankan kalau penghuni lembah itu sudah
selama enam puluh tahun tidak pernah keluar meninggalkan
tempat kediamannya lalu darimana dia bisa peroleh seorang murid
wanita yang masih sedemikian muda?
Si gwa sianjin termashur akan ilmu barisannya, maka dapatlah
diperkirakan kalau penghuni lembah itu pasti juga seorang ahli
dalam bidang ini. Maka timbullah sedikit harapan dalam benaknya.
"Buyung," terdengar si nenek aneh berkata mendesis, "Kau kenal
dengan budak kecil itu?"
"Ya, pernah bertemu beberapa kali!" "Hm," entah apa maksud
suara dehemannya ini, Suma Bing
tidak sudi banyak memikirkan, malah lantas tanyanya ingin tahu:
"Dia juga orang dari lembah itu?"

"Benar!" "Murid penghuni lembah itu? Bukankah penghuni
lembah
itu sudah mengasingkan diri selama enam puluh tahun tak pernah
keluar, darimana dia dapat memperoleh murid semuda itu?"
"Sepuluh tahun yang lalu, budak kecil itu masih merupakan orok
kecil yang mungil, dia diculik seorang penjahat dan dibawa lari
lewat daerah ini, penculik itu telah kubunuh dan budak kecil itu
lantas dibawa masuk kedalam lembah oleh murid terbesar
penghuni lembah itu, dan selanjutnya lantas dirawat sampai
besar..."
"O, tidak heran..." "Apanya yang tidak heran?" "Agaknya
cianpwe tidak bersikap bermusuhan terhadap
dia!" "Sudah kukatakan aku hanya membenci kaum pria!" "Boleh
dikata cianpwe pernah menanam budi karena
menolong jiwanya bukan?" "Omong kosong, selamanya aku tidak
pernah menanam
budi pada orang lain. Sudah suratan takdir yang mengatur cara
hidupnya!"
Suma Bing membatin, watak si nenek aneh ini mungkin tidak lebih
sesat dan lebih ganjil dari sifat2 gurunya Lam sia!
Bola mata si nenek aneh berputar, agaknya dia teringat sesuatu,
serunya: "Buyung, kau mau membantu aku memecahkan barisan
itu bukan?"
"Cayhe tidak pernah mengatakan demikian!" Tiba2 terdengar
derap langkah orang banyak disertai suara
ribut percakapan orang tengah mendatangi semakin dekat.

Si nenek aneh berubah membalikkan mata, katanya berbisik:
"Buyung, ada orang datang!"
"Memangnya kenapa?" "Kau jangan se-kali2 berani melanggar
ketentuanku,
sekarang kau minggir kesamping!" Lebih baik aku menonton saja
cara bagaimana dia hendak
menghadapi orang2 yang baru datang itu, demikian pikir Suma
Bing, maka sambil mengiakan ia minggir kesamping mengumpat
dibelakang sebuah batu besar.
Si nenek aneh masih tetap duduk diatas batu besar dimulut selat
itu tanpa bergerak. Warna pakaiannya hampir sama dengan warna
batu yang diduduki, ditambah sekelilingnya ditumbuhi rumput dan
dedaonan yang agak lebat dan tumbuh subur, kalau tidak maju
mendekat memang sukar dapat dibedakan dan dapat melihat
tegas.
Derap langkah dan suara percakapan orang2 itu semakin keras
dan sudah dekat didalam hutan sebelah sana. Terdengar sebuah
suara serak berat tengah berkata: "Lapor kepada Hu
hoat(pelindung), dimulut selat itulah Hu hiangcu beramai menemui
ajalnya."
Terdengar pula sebuah jawaban yang bernada dingin kaku: "Apa
kalian benar2 melihat sendiri kalau mereka mampus ditangan
seorang nenek tua renta?"
"Ya, ketujuh rekan itu semua meninggal dalam sekejap saja!"
"Kenapa kalian tidak maju membantu?" "Ini... hamba memang
berdosa, sebab dilihat situasi waktu
itu jikalau kita maju juga seumpama kutu menerjang api saja.
Sedang tugas penting hamba beramai hanyalah mencari jejak Sia
sin kedua!"

"Hm, baik, justru Lohu tidak percaya akan semua kejadian ini,
biar kuselidiki sendiri secara seksama..."
Seketika timbul amarah dan nafsu membunuh Suma Bing yang
bersembunyi dibelakang batu itu. Kiranya para kurcaci dari Bwe
hwa hwe ini tengah mencari jejaknya sehingga sampai disini.
Agaknya setiap gerak geriknya selalu menjadi incaran dan dalam
pengawasan ketat pihak musuh.
Terdengar suara serak berat itu berkata lagi: "Lapor Hu hoat..."
"Ada apa lagi?" Menurut pendapat hamba yang bodoh ini, lebih
baik kita
nantikan dulu kedatangan Thay siang hu hoat (maha pelindung)..."
"Tak usah, Lohu mempunyai perhitungan sendiri." Tanpa
terasa melonjak keras jantung Suma Bing, Maha
pelindung yang dikatakan pihak lawan itu entah tepat atau tidak
dengan rekaannya yaitu Pek bin mo ong atau raja iblis seratus
muka itu. Jikalau benar, terhitung raja iblis ini memang sudah
ditakdirkan untuk mampus hari ini. Tengah benak berpikir ini,
terlihat sebuah bayangan orang muncul dari balik rimba sebelah
sana, pelan2 tengah menghampiri kemulut lembah!
Begitu melihat tegas orang yang mendatangi ini Suma Bing
berjingkrak kaget. Kiranya orang yang mendatangi ini bukan lain
adalah Hui bing khek itu sisa dari empat setan gantung yang
masih ketinggalan hidup, dia merupakan pelindung atau kaki
tangan terpercaya dari Loh Cu gi musuh besarnya nomor satu.
Menggunakan ilmu Coan im jip bit cepat2 ia mengisiki kepada si
nenek aneh beruban: "Cianpwe, orang yang mendatangi ini adalah
musuh besarku, cayhe hendak turun tangan membunuhnya?"

"Tidak bisa, jangan kau melanggar perundang2ku!" "Aku tidak
perduli segala peraturan tetek bengek!" "Buyung berani..."
Pada saat itu juga Hui bing khek sudah melihat si nenek
beruban, seketika ia menghentikan langkahnya serta tertawa
menyeringai dan katanya: "Tokoh kosen siapakah ini?"
Sikap si nenek ogah2an tanpa membuka suara menjawab, tiba2
kedua tangannya diangkat lalu pelan2 ditarik kembali...
Baru sekarang Hui bing khek merasakan keadaan ganjil yang tidak
menguntungkan dirinya, ter-sipu2 ia memutar tubuh, namun
sudah terlambat, suatu daya tenaga sedot yang maha kuat tiba2
menyeret tubuhnya kembali.
Pada saat itulah Suma Bing juga sudah bertindak, sebelah
tangannya diayun, sejalur gelombang kekuatan hawa yang kuat
menerjang tiba di-tengah2 antara kedua orang itu. 'Bum!'
terdengar ledakan dahsyat, kontan Hui bing khek terjungkal
jungkir balik namun lantas dia merasa bebas dari kekangan
tenaga daya sedot itu.
"Setan kecil, berani kau!" terdengar si nenek beruban berteriak
gusar.
Hui bing khek mengira diam2 ada seorang tokoh telah membantu
menyelamatkan jiwanya, maka tanpa ayal lagi secepat kilat ia
menjejakkan kedua kakinya terus melesat jauh kembali kedalam
hutan. Tapi tiba2 'blang' dia memekik kaget tubuhnya yang tengah
melayang ditengah udara itu terpental balik lagi dan jatuh diatas
tanah, waktu dia melihat tegas, tanpa terasa dia berseru
ketakutan: "Sia sin kedua!"
Pelan2 Suma Bing merogoh keluar cundrik penembus dada serta
desisnya mengancam: "Hui bing khek serahkanlah jiwamu!"

Serasa terbang arwah Hui bing khek saking ketakutan tanpa
berani bercuit lagi dia terus melesat kesebelah samping sana
hendak melarikan diri...
Sebuah teriakan panjang yang menyayatkan hati memecah
kesunyian alam sekelilingnya. Tubuh Hui bing khek terbanting
mampus diatas tanah tanpa berkutik lagi, dadanya berlobang
tertembus cundrik tajam sampai kepunggungnya, darah mengalir
ber-limpah2!
Dalam waktu yang bersamaan dalam hutan yang berjarak
puluhan tombak sana terdengar pula suara seruan kejut dan
ketakutan yang riuh rendah.
Sebuah bayangan abu2 berkelebat melewati samping Suma Bing
langsung melesat kedalam hutan sebelah sana.
Tersirap darah Suma Bing, tanpa berayal ia juga melesat
menyusul...
Belum dia tiba terdengarlah jeritan saling susul yang menggiriskan
bulu roma. Waktu Suma Bing menginjakkan kaki diatas tanah,
dihadapannya sudah bergelimpangan ber-puluh2 mayat yang
pecah dan hancur batok kepalanya, keadaan mereka sangat
menggenaskan.
Si nenek aneh beruban mengulapkan tangan serta katanya: "Mari
kembali, kita rundingkan urusan yang penting itu!"
Terhadap Bwe hwa hwe dari Loh Cu gi sampai semua anak buah
atau kamrat2nya benci Suma Bing meresap sampai ketulang
sumsumnya. Maka dia tidak anggap perbuatan atau cara turun
tangan si nenek aneh ini terlalu kejam. Tanpa buka suara dia ikuti
si nenek aneh kembali kemulut lembah lagi. Namun dalam
benaknya masih terganjal satu pertanyaan yaitu tentang Maha
pelindung seperti yang dikatakan oleh para korban tadi.
Seperti diketahui, kalau dugaan bibinya Ong Fong jui tidak salah,
yang diangkat sebagai Maha pelindung itu pasti bukan

lain adalah Raja iblis seratus muka yang menyamar dirinya
menyebar maut dan melakukan kejahatan. Kalau ini betul
bagaimana juga dia takkan melepas durjana laknat ini begitu saja.
Bersama itu suatu keraguan juga tengah terbenam menusuk
sanubarinya, yaitu bila Kiu im cinkeng benar2 sudah terjatuh
ketangan Loh Cu gi, sedang latihan Kiu yang sinkang Loh Cu gi
sudah mencapai puncak kesempurnaannya, maka bila ditambah
lagi dengan Kiu im cinkeng, tanpa memerlukan banyak waktu lagi
pasti dia dapat menyempurnakan diri melatih Thay khek sinkang,
sampai saat itu seumpama dirinya berhadapan untuk menuntut
balas pasti menghadapi banyak rintangan.
Saat ini tugas yang terpenting baginya adalah berdaya upaya
untuk mencari cara supaya dapat memecahkan barisan pohon
bunga Bwe itu, kalau ini bisa terlaksana untuk menuntut balas dan
menyapu bersih musuh tidak terlalu sukar.
Lain halnya dalam pemikiran si nenek aneh ini agaknya
perhatiannya tengah tercurahkan untuk memecahkan batu besar
yang merintangi dimulut lembah itu, maka katanya mendesak:
"Buyung, bagaimana jawabanmu?"
Otak Suma Bing harus bekerja keras, jikalau membantu
memecahkan barisan itu, tujuan si nenek masuk kedalam untuk
membunuh orang demi melampiaskan dendam dan penasarannya
selama enampuluh tahun, hakikatnya tidak ada jalan damai.
Sebaliknya dia juga sangat memerlukan petunjuk dari penghuni
lembah ini untuk dapat memecahkan Bwe lim ki tin, demi
kepentingannya ini sudah tentu tidak mungkin dia membantu si
nenek untuk memecahkan barisan dalam mulut lembah itu.
Setelah diterawangi secara masak baru dia menjawab: "Maaf aku
tidak mungkin bisa membantu!"
-oo0dw0ooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
54. HWE HUN KOAY HUD MAHA PELINDUNG BWE HWA
HWE
"Benar2 kau tidak mau?" "Tidak mungkin!" Sigap sekali si
nenek beruban berjingkrak bangun namun
akhirnya meloso duduk lagi dengan lesu katanya mashgul:
"Buyung, aku tidak akan menyia2kan budi bantuanmu ini."
Hati Suma Bing tidak tergerak oleh bujukan yang mengharukan ini,
malah jawabnya: "Bagaimana juga aku tidak sudi membantu orang
secara se-mena2!"
"Buyung, mari kita persoalkan untung ruginya!" "Dengan
syarat maksudmu?" "Benar, silahkan kau ajukan syaratmu!"
Tergerak hati Suma Bing, katanya: "Syarat yang kuajukan,
apa benar cianpwe pasti dapat mematuhi?" Hampir saja si nenek
mengumbar kemarahannya, tapi
sekuat mungkin dia tekan dan bersabar, apa boleh buat akhirnya
ia berkata: "Buyung, baiklah coba kau katakan."
"Aku tidak berminat untuk mengajukan!" "Setan keparat, kau
pembual besar yang bermulut kosong!" "Kenapa harus
kukatakan, toh cianpwe takkan mampu
melaksanakan!" "Setan kecil, kalau tidak kau katakan darimana
kau tahu
kalau aku tidak mampu."
"Kenyataan memang begitu."

"Kenyataan apa?" "Cianpwe terintang oleh barisan dalam mulut
lembah itu
sehingga tidak dapat masuk selama enam puluh tahun, ini sudah
menyatakan..."
"Menyatakan bahwa Lwekangku tidak becus?" "Bukan!" "Lalu
apa?" "Syarat yang hendak kukatakan juga mengenai ilmu
tentang barisan yang aneh2." "Ini..." "Maka kukatakan kalau
cianpwe takkan mampu
melaksanakan." "Eh, aku ada akal." "Ada akal apa?" ”Penghuni
lembah ini adalah seorang ahli dalam bidang itu,
kalau kau dapat membantu aku masuk kedalam lembah, maka
boleh kuperintahkan penghuni lembah itu untuk memberi petunjuk
tentang persoalanmu itu."
"Bukankah tujuan cianpwe masuk kedalam untuk membunuh
orang?"
"Memang tidak salah, tapi penghuni lembah itu sendiri pernah
berkata kalau aku mampu memecahkan barisan itu dan masuk
kedalam, maka dia rela dan tunduk menerima segala perintahku
tanpa berani membangkang."
"Termasuk juga akan jiwa mati hidupnya?"
"Sudah tentu." "Tapi aku tidak sudi berbuat
serendah itu." "Apa?"

"Cayhe membantu kau membunuh dia, lalu dari dia mendapat
petunjuk untuk kebaikanku, dapatlah aku melakukan perbuatan
yang rendah begitu?"
Agaknya si nenek beruban sudah tak kuat lagi menahan
amarahnya setelah dikocok pulang pergi oleh Suma Bing, dengan
beringas pelan2 dia bangkit berdiri, sorot matanya memancarkan
kebuasan.
Pada saat itulah tiba2 terdengar gelak tawa aneh yang melengking
tinggi, menusuk telinga dan menyedot semangat orang.
Mengandal keampuhan Lwekang Suma Bing saat itu ternyata juga
terpengaruh sampai darah terasa bergolak menyesakkan dada,
jantungnya berdebar keras, jelas pendatang baru ini agaknya
bukan tokoh sembarang tokoh.
Si nenek beruban sendiri juga terpengaruh dan tersedot oleh
suara tawa itu sehingga memandang kedepan tanpa berkedip.
Begitu lenyap suara tawa itu disusul segulung bayangan merah
secepat kilat terjun tiba dari tengah udara.
Waktu Suma Bing menegasi, serta merta giris dan dingin
perasaan hatinya.
Kiranya pendatang baru ini adalah seorang laki2 yang berbadan
tinggi besar mengenakan jubah merah marong, rambut dan
jenggotnya juga merah malah kedua bola matanya juga
memancarkan sinar merah, seluruh tubuhnya dari atas sampai
bawah serba merah, raut wajahnya seram dan menakutkan lagi.
Terdengar si nenek beruban berseru kejut lalu tegornya: "Kau ini
Hwe hun koay hud bukan?"
"Tidak salah!"

Sambil menjawab Hwe hun koay hud mundur setindak, agaknya
dia terkejut karena tidak mengenal siapakah si nenek beruban ini,
sebaliknya lawan sekali buka mulut lantas dapat menyebut nama
julukannya.
Suma Bing sendiri juga melengak, Hwe hun koay hud, nama ini
sangat asing baginya.
Akhirnya terdengar Hwe hun koay hud berkata tergagap: "Kau
ini..."
"Tidak kenal ya sudah." sahut si nenek beruban dengan sikap
angkuh.
Sepasang mata aneh Hwe hun koay hud tengah menyapu dan
menatap kearah Suma Bing, seringainya dingin: "Buyung, kau
inikah calon majikan Perkampungan bumi yang bernama Suma
Bing?"
Si nenek aneh beruban terperanjat, setelah mendengar asal-usul
Suma Bing.
Terdengar Suma Bing tengah menyahut dingin: "Benar." Hwe
hun koay hud ter-loroh2, serunya: "Bagus sekali." Tergerak
hati Suma Bing, tanyanya: "Apanya yang bagus
tuan?" "Bedebah, kau panggil aku dengan sebutan tuan?" "Ini
terhitung kupandang kau cukup tinggi." "Ha, keparat, Lohu sudah
hidup seratus tahun lebih, tak
duga hanya dipanggil sebagai tuan oleh bocah hijau berbau tetek
ibumu..."
"Kalau tuan merasa ini kurang tepat, tak usah kau banyak mulut."
Dimulut Suma Bing bersikap angkuh, sebenarnya hatinya juga
terkejut dan kebat-kebit, ternyata orang aneh serba merah ini juga
sudah berusia seabad lebih, tidak heran sekali

bertemu si nenek aneh beruban itu lantas kenal asal-usulnya,
yang mengherankan dan merupakan pertanyaan darimana dia
dapat mengetahui nama dan asal-usul dirinya.
Sorot mata Hwe hun koay hud yang merah marong itu
berjelalatan, dengan nanap dan tajam dia awasi Suma Bing sekian
lama lalu katanya: "Buyung, kau tahu maksud kedatangan lohu
kemari?"
Acuh tak acuh Suma Bing menyahut: "Kedatangan tuan kemari
lantaran aku?"
"Tepat sekali!" "Harap tanya..." "Untuk mencabut nyawamu!"
Membesi wajah Suma Bing, dengusnya dingin: "Lantaran
aku tuan kemari?" "Sudah tentu!" "Coba katakan." "Kau tahu apa
kedudukan aku orang tua saat ini?" "Kalau tidak tuan katakan
sendiri, siapa dapat tahu?" "Akulah Maha pelindung dari Bwe hwa
hwe, sudah jelas?" Suma Bing melonjak kaget sampai mundur
tiga langkah,
bukan karena takut namun karena anggapannya yang dinamakan
sebagai Maha pelindung dari Bwe hwa hwe itu pasti dijabat oleh
Raja iblis seratus muka. Tapi sekarang kenyataan menghancurkan
semua kepastiannya. Tentang Perkampungan bumi kehilangan
buku berharga, Ngo bi juga kehilangan pusaka pelindung
perguruan, malah Bu khek po terjadi banjir darah, apakah semua
ini ada sangkut pautnya dengan Bwe hwa hwe sekarang lantas
menjadi teka teki lagi.

Terdengar si nenek aneh menyeringai seram dan berdesis: "Hwe
hun lo koay, tidak gampang kau hendak membunuhnya?"
"Kenapa, apa kau hendak mencampuri?" "Mungkin!" "Nenek
keropos, kau sendiri sukar menyelamatkan diri,
bukankah puluhan anak buah Bwe hwa hwe semua mampus
ditanganmu?"
"Hehehehe, Hwe hun lokoay, kau sendiri sudah tiba disini,
terhitung kau sendiri juga harus mengikuti jejak mereka!"
"Baik, nanti setelah kubereskan bocah keparat ini, baru aku
menyelesaikan perhitungan kita."
Suma Bing melangkah lebar kembali ketempat asalnya, wajahnya
membeku diselimuti kekejaman, nadanya berat tertekan:
"Kedatangan tuan ini atas perintah Loh Cu gi?"
"Wah, bocah keparat kurangajar. Seharusnya kau katakan aku
diundang oleh Loh Cu gi kemari, tahu!"
"Mengandal perkataanmu ini, kau setimpal untuk mampus!"
"Keparat, besar benar monyongmu itu." "Kenyataan akan
membuktikan perkataanku ini." Saking gusar sambil
menggerung Hwe hun koay hud lantas
angkat tangan mengepruk kebatok kepala Suma Bing, serangan ini
bukan saja hebat dan dahsyat kekuatannya juga tipunya lain dari
yang lain.
Siang2 Suma Bing sudah mengerahkan Giok ci sinkang sampai
tingkat kesepuluh bagian tenaganya, tanpa menggeser kedudukan
kepala hanya dimiringkan sedikit berbareng sebelah tangannya
diangkat lurus kedepan untuk menangkis.
'Plak' terdengar benturan keras dari beradunya telapak tangan
kedua orang, masing2 tergetar mundur satu langkah.

Diam2 tercekat hati Suma Bing, dari gebrak pertama itu dapatlah
dia mengukur kiranya Lwekang musuh tidak lebih rendah dari
dirinya.
Adalah Hwe hun koay hud juga bukan kepalang kejutnya,
musuhnya ini seorang muda yang belum penuh berusia
duapuluhan bukan saja kuat menandangi latihannya selama
seratus tahun, malah kesudahannya seri tanpa ada pihak yang
unggul atau asor.
Sementara itu, Suma Bing mengerahkan tenaga lagi meningkatkan
pertahanannya satu bagian lagi...
Sebentar melengak, lantas Hwe hun koay hud melancarkan lagi
serangannya sebanyak tiga jurus berantai. Setiap jurusnya
merupakan ilmu yang jarang terlihat dan keampuhannya boleh
dibanggakan.
Suma Bing tidak berani ayal kedua tangannya juga bergerak tidak
kalah cepatnya untuk menangkis dan memunahkan serangan
musuh.
"Bagus." diluar dugaan si nenek beruban berteriak memuji keras.
Tiba2 Hwe hun koay hud mundur lima kaki, jubah merahnya yang
besar gondrong melembung besar, pelan2 kedua tangannya
diangkat lapang didepan dada.
"Buyung, awas menghadapi ilmu Hong lui sin lo yang lihay!"
terdengar si nenek berseru memperingati.
Tercekat hati Suma Bing. Giok ci sinkang terkerahkan sampai
tingkat keduabelas, siap menghadapi segala kemungkinan.
Pelan2 Hwe hun koay hud menarik lalu menyurung pelan kedua
tangannya kedepan, seketika angin ribut diselingi geledek
menggelegar...

Kontan Suma Bing merasakan dirinya diterpa suatu gelombang
kekuatan yang tidak kentara menindih keseluruh tubuhnya, cepat2
ia ayun kedua tangannya terus dipukulkan kedepan.
Ledakan dahsyat disertai badai dan suara geledek menyambar
membuat pasir batu dan tanah beterbangan membumbung tinggi
keangkasa, gelanggang menjadi kelam diselubungi kabut hitam
dari berhamburannya debu. Saking hebat ledakan ini sampai
menimbulkan pantulan suara sekian lama diempat penjuru alam
pegunungan. Keadaan macam ini se-olah2 dunia sudah hampir
kiamat.
Darah bergolak dirongga dada Suma Bing, kakinya sampai amblas
setengah kaki kedalam tanah.
Sedang Hwe hun koay hud juga telah tersurut mundur ketempat
asalnya berjarak setombak.
Si nenek beruban terkesima memandangi Suma Bing, agaknya dia
terpesona akan gebrak pertandingan yang hebat seumpama
memecahkan bumi menggegerkan langit ini.
Se-konyong2 segulung awan merah melenting tinggi terus
menghilang dalam rimba.
"Lari kemana kau!" Suma Bing membentak beringas, secepat anak
panah dia terus berlari mengejar masuk kedalam hutan, tapi
bayangan Hwe hun koay hud sudah menghilang tanpa kerana.
Diam2 Suma Bing mengumpat caci dan menyumpah2: "Hari ini
kau dapat merat, besok kau takkan dapat lolos." tak lama
kemudian dia sudah kembali kehadapan si nenek aneh.
Kata si nenek aneh beruban penuh kekaguman: "Buyung, tidak
kira Hwe hun koay hud ternyata tidak kuat menahan sekali
pukulanmu?"
"Sayang dia dapat melarikan diri!" ujar Suma Bing penasaran.

"Apa kau benar2 ingin mencabut jiwanya yang sudah tua itu?"
"Akan kukremus tubuhnya." "Untuk balas dendam?" "Boleh
dikata demikian!" "Bagaimana bisa setan tua itu sampai
bermusuhan dengan
kau?" "Dia sebagai Maha pelindung musuh besarku, bukankah
kedatangannya itu lantaran aku!" "O," si nenek aneh tercengang.
"Orang macam apakah Hwe hun koay hud ini?" "Masa kau belum
pernah dengar?" "Belum!" "Kira2 delapan puluh tahun yang lalu,
partai Siau lim si
muncul seorang murid murtad dan durhaka, dia itulah orangnya!"
"Apa pihak Siau lim si tidak ambil tindakan terhadap dia?"
"Bukan tidak diambil tindakan, adalah kewalahan
menghadapinya. Dia mencuri sejilid buku Hong lui keng, dengan
latihannya selama setengah abad dia berhasil meyakinkan Hong lui
sin lo. Sedemikian ampuh ilmu silat ini sampai tiga tokoh terlihay
dari Siau lim si yang kenamaan dengan julukan Siau lim sam cun
yaitu Hui Kong, Hui Gong dan Hui Bing juga terkalahkan dalam
mengeroyok dia orang..."
Teringat oleh Suma Bing akan Hui Kong Taysu yang dipandang
sebagai Buddha hidup oleh Siau lim si ternyata adalah salah satu
dari Siau lim sam cun itu. Sampai sekarang Hui Kong Taysu masih
hidup, kalau pihak mereka mendengar kabar akan munculnya lagi
murid durhaka dari tingkatan atas

ini, entah cara bagaimana mereka hendak menghadapinya?
Kiranya ini merupakan noda hitam bagi lembaran sejarah jayanya
Siau lim sejak partai ini didirikan beratus tahun yang lalu.
"Selanjutnya," demikian si nenek melanjutkan penuturannya,
"Seluruh kekuatan Siau lim sudah diboyong keluar untuk mengepung
dan mengeroyok manusia laknat ini, entah berapa banyak korban
berjatuhan dari anak murid Siau lim, tapi akhirnya toh dia masih
dapat melarikan diri dan sejak saat itu terus menghilang entah
kemana. Peristiwa ini dulu pernah menggegerkan seluruh dunia
persilatan."
"Peristiwa itu masih ter-katung2 sampai sekarang?" "Buyung,
kita bicarakan soal kita yang penting. Bagaimana
dengan syarat yang ku ajukan tadi?" "Tak mungkin aku melulusi."
"Bedebah, benar2 kau tidak mau lakukan?" "Tidak!" "Berani kau
katakan sekali lagi?" "Tidak!" "Baik, lihat ini!" sambil berseru
berbareng dia menubruk
dari atas batu besar tempat duduknya kearah Suma Bing,
serangan kedua tangannya sangat gencar dan bergerak secepat
kitiran. Suma Bing juga tidak mau kalah wibawa, dengan penuh
semangat dia layani setiap jurus serangan pihak lawan. Maka
terjadilah pertempuran hebat yang jarang terjadi selama ini,
sehingga batu dan pasir beterbangan membumbung tinggi
keangkasa. Dalam sekejap mata saja tiga puluh jurus telah berlalu,
si nenek aneh menyerang semakin gencar seperti orang kalap,
jurus serangannya adalah tipu2 yang mematikan, keruan Suma
Bing yang tiada niat melukai lawannya menjadi keripuhan dan
mencak2 terdesak mundur. Akhirnya terpaksa dia menjadi nekad,
jurus Bintang berpindah

jungkir balik dilandasi seluruh kekuatan tenaganya dilancarkan
keluar secepat kilat.
Terdengar si nenek menguak keras hampir muntah tubuhnya
terhempas dan terpelanting mundur sempoyongan delapan kaki.
Menggunakan kesempatan peluang ini tanpa ayal lagi Suma Bing
jejakkan kedua kakinya terus melesat kearah mulut lembah.
Dia berkesimpulan barisan yang dibentuk oleh penghuni lembah
itu adalah untuk mencegah atau tegasnya merintangi si nenek
masuk kedalam. Jikalau dirinya mohon bertemu secara hormat
mungkin dilulusi siapa tahu, sebab tekadnya untuk memecahkan
barisan Bwe lim ki tin itu rasanya lebih penting dari segala urusan.
Mendadak terdengar si nenek beruban berteriak di belakangnya:
"Budak, cegat dia!"
Mendengar ini Suma Bing malah melengak heran, entah apa yang
disuruh si nenek untuk mencegat dirinya, tanpa terasa cepat2 dia
hentikan langkahnya.
Maka dilain saat sebuah bayangan putih meluncur tiba
menghadang didepannya, lalu disusul bayangan beberapa orang
lagi juga merintangi ditengah jalan.
Begitu melihat orang terdepan yang mencegat dihadapannya ini,
tercekat hati Suma Bing, ter-sipu2 ia berlutut menyembah sambil
berseru: "Bu, kaukah yang datang!"
Betul juga yang baru datang ini ternyata adalah San Hoa li Ong
Fang lan adanya.
Terang ibundanya menjadi ahli waris dari Bu lim ci sin dan
menjadi majikan Panggung berdarah. Bagaimana mendadak
sekarang muncul disini malah dipanggil sebagai budak oleh si
nenek aneh beruban itu, ini benar2 kejadian yang luar biasa.

Agaknya San hoa li Ong Fang lan sendiri juga ter-heran2
tanyanya: "Nak, bagaimana kau bisa berada disini?"
"Bu, kau..." "Kudengar kau menimbulkan banjir darah di Bu
khek po,
merebut Kipas pualam dan menerjang ke Ngo bi san dan melukai
tiga pelindungnya dan lima Tianglo mereka untuk mengangkangi
Ce giok pe yap..."
"Karena peristiwa inikah maka ibu keluar dari pesanggrahan?"
"Ya, nak, perbuatanmu itu..." "Apa ibu juga beranggapan anak
dapat berbuat begitu
rupa?" "Tapi kenyataan..." "Itu bukan kenyataan yang berbukti!"
"Bukan kenyataan?" "Ada seseorang yang menyamar sebagai aku
telah
melakukan semua itu." "O, siapakah dia?" "Saat ini masih belum
ketahuan, anak tengah
menyelidikinya secara seksama." Agaknya San hoa li merasa
sangat diluar dugaan, katanya
sambil menggandeng tangan Suma Bing: "Kalau begitu kau
bangunlah nak."
Suma Bing berdiri. Segera empat pengikut dibelakang dirinya
membungkuk memberi hormat sambil menyapa: "Menghadap pada
majikan muda!"
Suma Bing balas manggut2 serta merta dia berpaling memandang
kearah si nenek aneh lalu katanya berbisik: "Dia orang..."

Wajah San hoa li Ong Fan lan sedikit berobah, cepat dia melesat
maju kedepan terus berlutut dan menyembah dengan hikmatnya
didepan si nenek, keempat pengikutnya juga turut berlutut dan
menyembah.
Si nenek aneh ulapkan tangan serta serunya: "Bangunlah, tak
perlu peradatan."
Keruan Suma Bing melongo dan ter-heran2 dibuatnya betapa
janggal keadaan ini benar2 susah dilukiskan, setelah terlongong
sekian lamanya diapun maju mendekat.
Segera San hoa li Ong Fang lan menggape tangan serta katanya:
"Nak, ayo menghadap Sukohco!"
Kontan Suma Bing terhenyak ditempatnya... Salah satu dari
empat gadis seragam putih itu, yaitu yang
menjadi pentolan dari Rasul penembus dada yang bernama Ih Yan
chiu segera berkata berbisik: "Tuan muda, kau sudah dengar!"
Suma Bing tergagap bagai sadar dari mimpi, cepat2 ia tampil
kedepan terus berlutut, serunya: "Menghadap pada Sukohco!"
"Sudahlah bangun!" Pelan2 Suma Bing bangkit berdiri, teringat
pengalamannya
selama ini tanpa terasa merah padam seluruh mukanya, sikapnya
risi dan kikuk.
Si nenek sendiri juga merasa serba salah dan keheranan
memandang San hoa li Ong Fang lan dia berkata: "Apa jadi dia ini
anakmu?"
"Benar, Sukoh!" "Kenapa kau tidak pernah bilang?" "Memang ini
kecerobohanku, harap Sukoh suka
memaafkan."

Si nenek termenung sekian lamanya, mendadak dia mengulap
tangan dan berkata: "Kalian boleh pergi."
San hoa li Ong Fang lan berkata penuh hormat: "Apakah anak
kurangajar ini telah berbuat salah terhadap Sukoh?"
"Tidak tahu tidak berdosa, lekas kalian pergi." San hoa li
menatap tajam kearah Suma Bing, agaknya dia
ber-tanya2 akan semua kejadian yang baru saja berlangsung,
sinar matanya penuh tanda tanya.
Suma Bing berpikir dalam waktu dekat begini bagaimana dirinya
harus memberikan penjelasan kepada ibunya, cepat2 dia berputar
menghadap si nenek lantas berkata: "Mohon kau orang tua
segera memberikan perintah."
Si nenek aneh beruban mendengus dingin: "Tidak perlu lagi,
pergilah!"
Suma Bing melongo, katanya lagi: "Bukankah Sukohco ingin..."
"Sekarang tidak perlu!" "Mohon bertanya, kenapa?" "Urusan
aku orang tua tidak perlu kalian dari tingkatan
rendah turut campur." "Tapi..." Sebetulnya dia hendak
mengatakan; bukankah kau tergesagesa
ingin memecahkan barisan itu dan masuk kedalam lembah?
Setelah sampai diujung bibir terasa perkataannya ini kurang
hormat maka ditelannya kembali.
Agaknya San hoa li ada sedikit paham setelah mendengar
percakapan tadi, katanya menyela: "Sukoh ada urusan apakah
yang memerlukan tenaga anak Bing?"
"Tidak perlu lagi!" sentak si nenek uring2an sambil
menggoyangkan tangan, "Cepat kalian pergi saja."

Tentang asal usul atau riwayat ayahbundanya sendiri Suma Bing
sedikitpun tidak tahu, bahwa si nenek beruban ini mendadak bisa
menjadi Sukohconya benar2 mimpi juga tak terduga olehnya.
Sungguh dia sangat menyesal waktu melihat keadaan rupa si
nenek waktu bertemu untuk pertama kalinya tadi. Dalam
pertimbangannya sebab daripada Sukohconya rela dan sudi
menunggu dan merana selama enam puluhan tahun pasti tidak
lepas dari persoalan 'cinta'. Sekarang setelah diketahui duduk
tingkatannya sudah tentu dia tidak sudi minta bantuan pada
angkatan mudanya. Persoalan bak teka-teki ini mungkin ibunya
mengetahui, tapi dihadapan Sukohconya tak enak pula dia
menanyakannya.
Mengenai usia Sukohconya mungkin sudah melebihi seratus tahun.
Tiada orang yang takkan mati dalam dunia ini, meski betapa tinggi
dan dalam latihan semadinya paling banyak bisa hidup lebih lama
dan kuat puluhan tahun dari orang biasa. Kalau dia sendiri tidak
mampu memecahkan barisan itu dengan kemampuannya sendiri,
akhirnya juga pasti meninggal dunia diluar mulut lembah itu.
Sekarang kalau dia mau membantu si nenek yang menakutkan dan
harus dikasihani ini menghancurkan batu besar itu, bagaimanakah
akibatnya?
Dia masuk kedalam lembah adalah untuk membunuh orang, tak
perduli apa sebab musababnya yang terang sebuah tragedi bakal
terjadi. Dapatkah dibenarkan perbuatannya?
Sorot mata ibunya yang gelisah gugup dan penuh tanda tanya
melerok lagi kearah dirinya.
Dalam situasi sekarang ini mau tak mau dia harus mengambil
suatu keputusan. Mungkin karena malu akan kedudukannya yang
tinggi maka si nenek segan membuka mulut, tapi sebetulnya
sanubarinya benar2 ingin dirinya membantu untuk menyelesaikan
cita2nya yang tertunggak sampai puluhan tahun?

Setelah dipertimbangkan dengan tegas dia berkata kepada
ibunya: "Bu, Sukohco minta aku menghancurkan batu besar
dimulut lembah itu untuk memecahkan barisan didalamnya."
San hoa li Ong Fang lan menjadi tegang, sahutnya tergagap: "O,
nak..."
"Cepat kalian menggelinding pergi!" teriak si nenek aneh
berjingkrak gusar.
Ter-sipu2 San hoa li Ong Fan lan berlutut dan berseru: "Sukoh,
mohon dimaafkan kalau perkataan Tecu ini kurangajar, apakah
faedahnya Sukoh menunggu selama ini?"
Daging diwajah si nenek ber-kerut2 dan gemetar, katanya sedih:
"Budak, bangunlah."
"Sukoh setuju?" tanya San hoa li Ong Fang lan sambil bangkit
berdiri.
"Tidak!" nadanya sudah agak lembek tidak seketus semula.
"Sukoh, Tecu mewarisi kepandaian Unsu adalah karena
jodoh. Mungkin Unsu tidak akan menduga setelah beliau
meninggal puluhan tahun bisa mendapat seorang murid seperti
aku. Sekarang aku juga ada jodoh dapat menemukan Sukoh yang
masih sehat waalfiat meskipun sudah tua, meskipun aku sebagai
Sutit hakikatnya seperti murid sendiri juga, maka Tecu
memberanikan diri berlaku kurangajar, harap Sukoh berpikir
panjang."
Suma Bing melengak mendengar perkataan ibunya itu. Naga2nya
si nenek ini pasti ada hubungan saudara sepupu dengan majikan
Panggung berdarah yaitu Bu lim ci sin. Didengar dari nada
perkataan ibunya, kiranya setelah dia mendapat buku pelajaran
ilmu silat peninggalan Bu lim ci sin baru dia bersua dengan
Sukohnya ini. Kejadian dalam dunia ini memang serba-serbi dan
susah diduga sebelumnya.

Hanya belum diketahui siapakah nama julukan si nenek beruban
ini, yang terang pasti dia juga salah seorang tokoh silat nomor
wahid pada jaman mudanya dulu.
Karena desakan pikirannya ini, tanpa terasa mulutnya bertanya:
"Sutitsun mohon bertanya nama julukan Sukohco!"
Sekian lama si nenek aneh beruban ragu, akhirnya berkata
dingin2: "Hian thian ceng li!"
Suma Bing mundur tiga langkah saking kaget, wajahnya juga
berubah. Dia pernah dengar dari penuturan Suhunya Sia sin Kho
Jiang, tentang Hian thian ceng li ini sebetulnya seorang gadis
cantik rupawan pada puluhan tahun yang lalu, kecantikannya
pernah menggegerkan dunia persilatan dan banyak pemuda yang
ter-gila2 olehnya, bukan saja cantik malah kepandaian silatnya
juga bukan olah2 tinggi dan lihay. Sungguh tidak nyana si nenek
tua kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang yang reyot ini
ternyata adalah Hian thian ceng li dulu yang serba pandai dalam
ilmu silat dan sastra.
"Sukoh." terdengar San hoa li berkata pula, "Setelah cita2mu
dapat terkabul, Tecu mohon kau orang tua suka kembali lagi ke
Panggung berdarah, supaya Tecu dapat melayani..."
Mendadak Hian thian ceng li ter-loroh2 keras seperti orang gila,
serunya: "Budak, kalau cita2ku terkabul, buat apa aku terus
merana didunia fana ini!"
"Sukoh, kau..." "Ai!" helaan nafas yang menyedihkan ini
sungguh
memilukan hati. Suma Bing sendiri juga ikut mendelu, dia tidak
paham apa
yang dipersoalkan tentang cita2. Namun dalam pandangannya
Hian thian ceng li si makhluk aneh yang tua renta ini kini berobah
menjadi seorang tua yang harus dikasihani. Waktu hanya terpaut
satu jam saja, namun anggapannya sudah

berobah sama sekali, timbul keinginannya sekarang untuk
mendharma baktikan sedikit tenaganya untuk seorang angkatan
tua yang benar2 memerlukan bantuan sebelum mangkat.
Terdengar San hoa li berkata dengan nada berat dan sungguh:
"Anak Bing, dapatkah kau melakukan?"
Suma Bing tercengang, sahutnya: "Bu, melakukan apa?"
"Menghancurkan batu besar itu?" "Aku percaya aku dapat!"
"Baik, lekaslah kau bekerja!" Hian thian ceng li tetap
membungkam, agaknya dia setuju. Suma Bing manggut2 terus
melangkah kedepan mulut
lembah. Kira2 terpaut dua tombak didepan batu besar itu Suma
Bing berhenti. Hatinya kebat kebit tidak tentram, namun saat itu
sudah tiada tempo baginya untuk memikirkan apakah tindakannya
ini benar atau salah. Pelan2 kedua tangan terangkat didepan dada,
Giok ci sinkang sudah terkerahkan sampai puncaknya.
"Buyung, nanti dulu!" tiba2 Hian thian ceng li berseru mencegah.
Serta merta Suma Bing menunda gerakannya, dalam pada itu Hian
thian ceng li sudah melompat tiba disebelah sampingnya, sedang
ibunya berserta empat pengikutnya masih tetap berdiri
ditempatnya semula.
"Sukohco masih ada petunjuk apa?" "Buyung, kau masih ingat
permintaanmu tadi?" "Ini..." "Aku dapat minta penghuni lembah
itu nanti memberi
petunjuk memecahkan persoalanmu."

Sifat pembawaan Suma Bing yang terkeram dalam sanubarinya
tiba2 berontak, sahutnya menggeleng dengan angkuhnya: "Tidak
perlu lagi!"
"Kenapa?" "Masih banyak para ahli lain yang dapat membantu
aku
dalam bidang itu." "Mengapa harus sedemikian susah payah?"
"Tesun (cucu murid) membantu Sukohco menghancurkan
batu dan memecahkan barisan, sebaliknya tujuan Sukohco adalah
untuk menuntut balas. Memang Tesun tidak berbakti, kalau aku
masih minta petunjuk dan bantuannya bukankah ini menambah
dosa yang tak terampunkan dalam lembaran sejarah dunia
persilatan!"
Berobah airmuka, Hian thian ceng li, agak lama kemudian baru
dia berkata: "Kau memang benar, sekarang kau boleh pergi!"
"Tidak!" sahut Suma Bing menggeleng kepala. "Apa yang
hendak kau lakukan?" "Berbuat menurut perintah ibunda!" "Aku
tidak mengizinkan!" "Terpaksa Tesun berlaku kurangajar!"
habis ucapannya
sebat sekali ia memutar tubuh kedua tangannya terus terayun
sekalian...
"Jangan!" teriak Hian thian ceng li keras berusaha, mencegah.
Namun kedua tangan Suma Bing sudah keburu dipukulkan keluar.
Dentuman menggelegar menggetarkan bumi pegunungan dalam
selat itu seakan gugur gunung menggelegar sekian lamanya, batu
dan debu berhamburan se-olah2 bumi merekah

dan laut tumpah, ternyata setelah suasana mereda tampak batu
cadas sebesar gajah raksasa itu telah hancur lebur menjadi
setumpukan debu kerikil yang bergugus tinggi.
Melihat ini tubuh si nenek tampak gemetar dan bergidik, kedua
matanya memancarkan cahaya tajam ber-kilat2 memandang
kemulut lembah tanpa berkesip, lama dan lama kemudian
mendadak dia mengakak tinggi seperti orang kehilangan semangat.
Pada saat itulah sebuah bayangan putih langsing meluncur tiba
dari mulut lembah sebelah dalam sana, sekejap mata saja dia
sudah dihadapan mereka. Dia bukan lain adalah Tio Keh siok
yang belum lama berselang masuk kedalam lembah.
Setelah kakinya menginjak tanah sepasang mata Tio Keh siok
setajam ujung pedang menatap kearah Suma Bing dengan nanap.
Tanpa terasa Suma Bing merinding dipandang begitu rupa, sinar
mata yang mengandung rasa kebencian yang ber-api2 itu takkan
terlupakan selama hidup ini, kontan terasa olehnya suatu
keganjilan dalam kejadian ini.
-oo0dw0oo-
55. SI KAKEK TUA PENGHUNI LEMBAH.
Per-lahan2 pandangan Tio Keh siok beralih kearah Hian
thian ceng li, sedikit menekuk lutut dia memberi hormat serta
ujarnya dingin: "Locianpwe, Suhu tengah menantimu didalam
lembah."
"Suruh dia keluar menemui aku." "Kesehatan Suhu terganggu
dan tidak leluasa untuk
bergerak."

"Hm, tidak leluasa apa segala?" "Kenapa Locianpwe mendesak
orang sedemikian rupa?" "Budak setan, berani kau kurangajar
terhadap aku?" Membesi wajah Tio Keh siok, desisnya geram:
"Locianpwe,
Suhu telah menantimu dengan segala perlengkapan!" "Apa, dia
hendak turun tangan dan mengingkari janjinya?" "Suhu sudah
mandi dan ganti pakaian, dengan tenang dia
tengah menantikan dewa kematian mencabut nyawanya, tapi..."
"Tapi apa?" "Ada satu hal yang belum dapat kumengerti!" "Coba
katakan!" "Apa hubungan Suma Bing dengan Locianpwe?"
"Sutitsun (cucu murid keponakan)." "Apakah Locianpwe ada
melulusi untuk melindunginya..." "Tutup mulutmu..." Hian thian
ceng li menggerung keras saking murka
rambutnya yang ubanan itu sampai berdiri, tanpa kuasa tubuhnya
terhuyung dua langkah.
Tanpa takut2 Tio Keh siok terus berkata dengan dongkol:
"Sebelumnya Wanpwe sudah dengar, jikalau Suhu ada terjadi
apa2, Wanpwe bersumpah untuk membalaskan sakit hati ini. Kalau
Cianpwe tidak ingin menimbulkan bencana dikemudian hari
silahkan sekarang juga turun tangan melenyapkan Wanpwe
sekalian!"
Hati Suma Bing sedih dan perih sekali, dia maklum bahwa
tindakannya ini salah, namun seumpama naik harimau susah
turun, tak mungkin dia membiarkan Sukohconya mendapat

malu dan serba susah, maka senggaknya dingin: "Nona Tio, selalu
cayhe nantikan pembalasanmu!"
Tio Keh siok melirik kearah Suma Bing dengan benci dan
kemarahan yang me-luap2, makinya: "Suma Bing, aku takkan
melepas kau!"
Mendadak terdengar sebuah suara berat serak berkata: "Anak
Siok, mundur, jangan kurangajar!"
Dari belakang tumpukan puing2 batu sana muncullah bayangan
seseorang yang membelok turun terus hinggap diatas tanah.
Bayangan yang mendadak muncul ini kiranya adalah seorang tua
yang rambut serta jenggot dan kumisnya sudah beruban semua,
wajahnya penuh kerutan, sinar matanya redup agaknya
mengandung kesedihan yang ber-limpah2. Begitu menginjak tanah
langsung terus duduk ditanah tanpa bergerak.
Sekali lagi Tio Keh siok menyapu pandang semua hadirin dengan
gemes terus mundur dibelakang orang tua itu serta panggilnya:
"Suhu!"
Kalau tadi beringas dan mentang2, sekarang Hian thian ceng li
sebaliknya terbungkam seribu basa, tubuhnya gemetar semakin
keras.
Dengan penuh keanehan Suma Bing pandang orang tua ubanan
ini, batinnya pasti dialah penghuni lembah yang dikatakan oleh
Sukohco itu.
Seperti orang tua umumnya yang loyo penghuni lembah ini duduk
diatas tanah dengan sikapnya yang lesu, tiada sesuatu yang
mengejutkan malah sepasang sinar matanya juga guram, sikapnya
dingin dan tenang menatap kearah Hian thian ceng li tanpa
membuka suara.
Tokoh macam apakah sebenarnya Penghuni lembah ini?

Setelah hening sekian lamanya akhirnya Hian thian ceng li
membuka kesunyian katanya: "Ada apa lagi yang perlu kau
katakan?"
Berkatalah penghuni lembah dengan berat dan tersendat: "Kau
dan aku kan sudah menjadi tua bangka yang dekat masuk liang
kubur..."
"Omong kosong, yang kumaksudkan adalah janjimu dulu!"
"Silahkan apa yang hendak kau perbuat, aku menurut
saja." ”Masih ada urusan apa lagi yang perlu kau sampaikan
kepada muridmu?" "Urusan terakhir?" "Benar, hari ini juga kau
harus kubunuh!" Sekilas sepasang mata penghuni lembah
memancarkan
cahaya terang lantas menghilang lagi, katanya tenang: "Silahkan
kau turun tangan!"
"Sampai mati juga kau tidak menyesal?" teriak Hian thian ceng li
kalap.
Penghuni lembah bergelak tawa, ujarnya: "Menyesal? Apanya yang
perlu disesalkan? Orang hidup bagai mimpi, setelah sadar dari
tidur, semuanya juga lantas hilang..."
"Sedemikian kejam dan keji kau menghancurleburkan impian
orang lain?"
"Mimpi itu timbul dari hati..." "Dasar kau tanpa
perikemanusiaan!" "Terserah bagaimana kau hendak berkata.
Sekarang biarlah
aku menebus dengan jiwaku, masa masih belum cukup?" "Li It
sim," Hian thian ceng li menggeram sambil mengertak
gigi, "Setelah kubunuh tetap juga kubenci kepadamu!"

Nama Li It sim itu menggetarkan sanubari Suma Bing, teringat
olehnya akan cerita yang dikisahkan oleh Kang Kun Lojin itu.
Sungguh tidak nyana dia masih hidup.
Li It sim yang berjuluk Hwe soh ki khek adalah suami Bu siang sin
li, atau ayah kandung Li Hui perempuan yang terkurung selama
dua puluh tahun dibelakang puncak Siau lim si itu.
Tidak perlu disangsikan lagi persoalannya dengan Hian thian ceng li
ini pastilah menyangkut tentang asmara muda mudi pada masa
remaja mereka dulu. Memang soal cinta merupakan persoalan yang
susah diselesaikan, sampai sekarang tua yang peyot berusia
seratus tahun lebih juga masih terbawa dalam pertikaian yang
menyedihkan ini.
Begitulah karena pikirannya ini bahna heran tanpa terasa
mulutnya berseru kejut: "Bu lim sam ki!"
Seruan kagetnya ini menggetarkan seluruh hadirin. Terutama Li It
sim dan Hian thian ceng li sendiri merasa heran dan terperanjat,
darimana Suma Bing bisa mengetahui asal usul riwayat si orang tua
ini. Sedang sebaliknya. San hoa li Ong Fang lan terkejut karena
mendengar akan kebesaran nama Bu lim sam ki itu.
Sorot mata Li It sim bercahaya terang, katanya haru: "Buyung,
apa yang kau katakan?"
Suma Bing membungkuk dan menyahut hormat: "Bukankah
Locianpwe salah satu dari Bu lim sam ki yang berjuluk Hwe soh ki
khek?"
"Darimana buyung semuda kau ini bisa tahu?" "Apakah Cianpwe
masih ingat kepada Buyung Ceng
Locianpwe?" Tiba2 Hian thian ceng li menyelak bicara: "Kang Kun
Lojin?" "Ya, benar," sahut Suma Bing manggut2.

Mendadak Hwe soh ki khek Li It sim bangkit berdiri. Hampir
saja Suma Bing berseru kaget, baru sekarang dia
melihat tegas bahwa Li It sim ini ternyata cacat sebelah kakinya
hanya tinggal satu. Maka terbayang dalam benaknya cerita yang
dikisahkan Kang Kun Lojin itu. Demi memperoleh cinta kasih Bu
siang sin li, dengan menempuh bahaya besar dia menyelundup ke
Siau lim si untuk mencuri Bu siang po liok itu, karena konangan
akhirnya dia terkepung dan terluka parah malah menjadi invalid
untuk se-lama2nya.
"Buyung," ujar Li Itsim, suaranya tersenggak dalam tenggorokan,
"Kau kenal pada Kang Kun Lojin?"
Suma Bing membenarkan. "Dia... masih hidup dalam dunia
fana ini?" "Dia orang tua masih sehat walafiat!" "O, adakah dia
pernah menyebut tentang diriku..." "Dia pernah menuturkan
kepadaku!" "Semua cerita itu?" "Ini... ya benar, beruntung
Wanpwe ada kesempatan untuk
mendengarkan!" "Ada hal lain apa lagi yang dia katakan tidak?"
”Dia pernah berkata dan berpesan jikalau Wanpwe bertemu
dengan Locianpwe, dia minta aku menyampaikan dia ingin
bertemu kembali ditempat perpisahan dulu."
"Tapi sudah tidak mungkin!" ujar Li It sim hampir berbisik
suaranya tertekan.
Suma Bing melenggong, tanyanya: "Mohon tanya kenapa tidak
mungkin?"

Tanpa menjawab pandangan Li It sim beralih kearah Hian thian
ceng li. Baru sekarang Suma Bing paham akan duduknya perkara,
dia manggut2.
Rona wajah Hian thian ceng li ber-ubah2 beberapa kali, akhirnya
tekadnya sudah bulat dan berkata tegas: "Li It sim, tidak
keterlaluan bukan bila kau kubunuh?"
"Mungkin begitu!" "Mungkin apa maksudmu?" "Hanya itulah
yang dapat kukatakan!" Sekali melejit Hian thian ceng li
melesat dihadapan Li It
sim, sedemikian dekat jarak mereka sekali jamah saja cukup
untuk merenggut jiwanya.
Per-lahan2 Hwe soh ki khek Li It sim duduk kembali diatas tanah,
sikapnya tenang dan pasrah nasib.
Tangan yang kurus kering dari Hian thian ceng li pelan2 diangkat
tinggi... suasana menjadi sedemikian tegang mencekam hati, suatu
tragedi yang menyedihkan bakal terjadi dihadapan kita.
Tampak tubuh Tio Keh siok bergerak bersiaga... Kata Hwe soh
ki khek dengan tenang: "Anak Siok, kau
mundur dan lagi kau harus ingat, selamanya jangan kau bersikap
hendak menuntut balas apa segala."
"Suhu, kau..." "Minggir, ini perintah!" Apa boleh buat Tio Keh
siok mundur beberapa langkah
sambil menggigit gigi dua butir airmata meleleh membasahi
pipinya.
Betapa perih dan sedih hati Suma Bing susah dilukiskan dengan
kata2, jikalau dirinya tidak menghancurkan batu besar itu, tragedi
yang mengenaskan ini tidak bakal terjadi. Adalah

sekarang menyesalpun sudah kasep, memang hakekatnya dia
sendiri juga tidak akan mampu dan kuasa untuk merintangi akan
terjadi tragedi yang bakal terjadi ini sebab Hian thian ceng li
adalah Sukohconya.
Tanpa terasa pandangan matanya beralih kearah ibunya San hoa
li Ong Fang lan, sorot matanya seakan2 tengah berkata apakah
aku telah bekerja salah?
Tangan Hian thian ceng li yang sudah terangkat tinggi gemetar
semakin hebat, lama dan lama sekali tak kuasa dipukulkan.
Untuk detik seperti sekarang inilah maka dia rela menunggu
dengan sabar tekun diluar lembah selama enampuluh tahun,
karena dia (Li It sim) pula maka dia menyebar maut dan banyak
membunuh orang2 yang tidak berdosa, sehingga kedua tangannya
berlepotan darah tokoh2 persilatan yang mati penasaran. Namun
setelah detik yang dinantikan ini sudah diambang mata, dia sendiri
agaknya tak kuasa turun tangan. Mengapa?
"Li It sim, betul2 kau rela mati?" terdengar Hian thian ceng li
berkata pilu.
"Ya, benar!" "Tiada omongan apalagi yang perlu kau
ucapkan?" "Yang sudah lalu biarlah tenggelam, dan yang akan
datang
buat apa disesalkan!" "Hanya kalimat itu saja?" "Jikalau... ai!"
Mendadak Hian thian ceng li berpaling dan berkata kepada
San hoa li Ong Fang lan: "Kalian menyingkir dari sini!" Wajah San
hoa li Ong Fang lan berubah tegang, serunya
kuatir: "Sukoh, kau..."

"Lekas minggir!" San Hoa li tak berani banyak bercuit lagi,
sambil menggape
kepada Suma Bing dia berseru: "Anak Bing, mari pergi!" Suma
Bing tak kuat lagi menahan perasaan dukanya,
teriaknya penuh haru dan menyesal: "Li locianpwe, Wanpwe akan
merasa menyesal seumur hidup ini!"
Sepasang mata Hwe soh ki khek dipentang berkilat, nadanya berat
serak: "Buyung, jangan kau mereras diri. Lohu tidak salahkan kau,
malah aku harus menyatakan terimakasih akan berita dari kawan
tuaku itu!"
Tanpa bersuara Suma Bing mengikuti dibelakang ibunya beserta
keempat gadis serba putih itu. Kira2 ratusan tombak kemudian
baru mereka menghentikan langkah.
Tanpa membuang waktu lagi segera Suma Bing bertanya: "Bu,
sebenarnya karena persoalan apakah sehingga Li locianpwe dan
Sukohco sampai bermusuhan?"
"Karena cinta!" "Mereka adalah..." "Duduk perkara yang jelas
aku kurang terang, mungkin
pada masa remajanya dulu Sukohcomu terlalu ter-gila2 mencintai
Li locianpwe itu, sayang dia bertepuk sebelah tangan,akhirnya dari
cinta timbullah rasa benci!"
"Mereka sudah berusia sedemikian lanjut, kenapa..." "Nak,
sejak dahulu kala sampai sekarang, ada berapa
manusia yang dapat melepaskan diri dari belenggu cinta asmara?"
"Bu, sebetulnya aku hendak minta petunjuk kepada Li locianpwe
tentang..."
"Tentang urusan apa?" "Mengenai sebentuk
barisan yang aneh."

"Lantas bagaimana?" "Diluar lingkungan markas besar Bwe
hwa hwe dibangun
sebuah barisan aneh sebagai tedeng aling2nya yang kokoh
ampuh!"
"Kenapa dalam kesempatan tadi kau tidak mau bilang?" "Dalam
keadaan yang begitu, mana ada muka aku
membuka mulut." "Kau masih ada kesempatan!" "Kesempatan
apa?" "Menurut hematku Sukohcomu tidak akan tega turun
tangan membunuhnya." "Kukira tidak begitu, betapa besar sikap
kebencian Sukohco
tadi!" "Nak, masih ada sesuatu yang belum dapat kau selami,
cobalah sekarang kau bercerita tentang pengalamanmu selama
ini!"
Suma Bing bercerita tentang pengalaman menuntut balas di Bu
khek po, cara bagaimana istri tercinta Phoa Kin sian meninggal
dan mengenai orang lain memalsukan dirinya menimbulkan
banyak bencana diberbagai tempat.
Kata San hoa li sambil menghela napas: "Nak, kau harus belajar
dan dapat menghadapi nasibmu yang sudah tersurat dalam takdir,
sebagai seorang persilatan selama hidupmu ini kau harus berani
dan tabah menghadapi gelombang hidup yang tidak menentu dan
banyak bahayanya ini. Agaknya perlu aku perintahkan Ih Yan chiu
dan sebelas Rasul lainnya untuk membantu kau!"
"Bu, jangan!" "Nak, ini tidak akan mempengaruhi hasratmu
untuk
menuntut balas seorang diri."

"Tapi anak berharap dapat bekerja seorang diri." "Nak, kau
jangan kukuh dan keras kepala, inilah maksud
baik ibumu, jangan kau menampik lagi, mereka hanya akan selalu
membuntuti gerak gerikmu secara diam2, mungkin dalam suatu
keadaan yang mendesak tenaga mereka sangat berguna bagi
kau."
Terdesak oleh kebaikan ibunya, terpaksa Suma Bing mengangguk
setuju.
Mendadak San hoa li berpaling kearah hutan sebelah sana dan
berseru nyaring: "Sahabat darimana itu, harap keluar untuk
bertemu."
Benar juga beruntun dua kali berkelebat sebuah bayangan, tahu2
sudah hinggap dihadapan mereka.
Jantung Suma Bing ber-debar2, teriaknya gugup: "Nona Tio."
Yang datang ini memang adalah Tio Keh siok murid Hwe soh ki
khek Li It sim.
"Nona Tio apa yang telah terjadi?" tanya San hoa li gelisah dan
tegang.
Agaknya Tio Keh siok sudah kehilangan perasaan gusar dan
bencinya, sikapnya kalem katanya sambil bersoja: "Sungguh tak
nyana Cianpwe kiranya adalah ahli waris dari Panggung berdarah,
harap terimalah hormat Wanpwe."
"Nona jangan banyak peradatan, tentang Suhumu..."
"Mereka sudah pergi." "Siapa yang pergi?" "Suhu dan
Hian thian ceng li sudah pergi semua." "Bagaimana
akhir keadaan disana?"

"Kedua orang itu sudah mendapat kata sepakat, sekarang suhu
pergi menuju tempat perjanjiannya dengan Kang kun Lojin
Buyung Ceng untuk bertemu, dia bersumpah untuk tidak
mengunjukkan diri lagi selama hidup ini. Tentang Hian thian ceng
li Locianpwe entahlah dia pergi kemana"
"Bagus, penyelesaian begini sungguh membuat hatiku puas!"
Kata Tio Keh siok kepada Suma Bing: "Tuan ingin mengetahui cara
pemecahan barisan yang melindungi markas besar Bwe hwa hwe
itu bukan?"
Suma Bing tercengang, lantas dia paham pasti Sukohconya tidak
lupa akan janjinya dan mengajukan persoalannya ini kepada Hwe
soh ki khek, maka segera sahutnya: "Benar memang begitulah."
"Pernah satu kali secara kebetulan aku sudah berkenalan dengan
barisan itu. Menurut teorinya barisan itu termasuk yang
dinamakan Im yang ngo heng tin."
Kening Suma Bing berkerut dalam, untuk membalas dendam
ayahnya dengan tangannya sendiri dia telah membunuh Bu khek
sianglo yang menjadi Susiokco Tio Keh siok, malah melukai Tio Keh
siok pula. Besar anggapannya kalau lawan pasti membencinya
sampai ketulang sumsum, haruskah dirinya menerima kebaikan ini
dari dia? Meskipun saat ini dia betul2 ingin mengetahui cara
pemecahan barisan itu. Tapi dia tidak mengharap mendapat
keterangan dari mulutnya. Karena pikirannya ini dengan berat dia
berkata: "Nona, hendak memberitahu kepada cayhe..."
"Aku mendapat perintah Suhu untuk menyampaikan saja." sela
Tio Keh siok dingin, "Ini bukan maksudku sendiri, harap tuan
maklum akan hal ini."
"Jikalau nona tidak sudi memberitahu, boleh tak usah dikatakan."

"Hm, tuan aku hanya menyampaikan penjelasan Suhu, ini juga
berarti melaksanakan perintah beliau yang terakhir. Aku tak kuasa
dan tuan juga harus dengar."
Suma Bing menjadi serba susah dibuatnya. Kata Tio Keh siok
selanjutnya: "Im yang ngo heng tin
termasuk barisan luar dari perguruan sesat yang aneh, barisan ini
merupakan kombinasi dari dua unsur barisan yang berlawanan,
susah untuk dapat diselami, tapi gampang untuk dipecahkan, asal
mengerahkan tujuh tenaga orang yang bekerjasama, sekali gebrak
saja pasti barisan ini akan berantakan..."
"Satu orang saja tak dapat mengatasi?" "Bisa keluar masuk
tanpa rintangan, tapi susah untuk
memecahkan. Ketujuh orang itu harus melalui pintu tengah terus
menerobos kepusatnya, lalu begini..." selanjutnya dia berjongkok
dan mengambil ranting kayu untuk menggambar dan memberi
penjelasan men-coret2 diatas tanah.
Dasar otak Suma Bing memang encer, sekali lihat dan dengar saja
cukup dapat dipahami, segera ia memberi salam dan berkata:
"Cayhe menyatakan banyak terima kasih."
"Mana aku berani terima, selamat bertemu!" habis berkata sedikit
membungkuk kearah San hoa li terus melejit jauh menghilang
dibalik pohon.
"Nak," kata San hoa li serius, "Ibumu percaya akan kekuatan
Lwekangmu, pasti kau dapat melaksanakan pembalasan dendam
ini, harap jagalah dirimu baik2, aku pergi."
Suma Bing berat untuk berpisah, katanya tersenggak: "Bu, kapan
aku baru dapat bertemu pula dengan kau orang tua?"
"Kapan2 saja pasti kita dapat bertemu kembali."
"Bu, kuatkanlah imanmu, aku pergi!"

Begitulah setelah keluar dari alas pegunungan Suma Bing
langsung meluncur ke markas besar Bwe hwa hwe, semakin cepat
kakinya bergerak, semakin berkobar rasa dendamnya, terbayang
akan saat2 pembalasan dendam ini, darah musuh besar akan
mengalir keluar rasanya belum puas dan belum terlampias
sebelum terjadi banjir darah di Bwe hwa hwe.
Dia lupa waktu lupa perutnya yang kosong dan lupa akan
badannya yang capek lelah, terus berlaju cepat menuju markas
besar musuh yang misterius itu.
Hari itu dia tengah meluncur secepat anak panah melesat dari
busurnya. Tiba2 sebuah bayangan seorang perempuan yang
rasanya sangat dikenalnya berkelebat dikejauhan sana. Disaat
mereka bertemu pandang setelah dekat, kedua belah pihak
berseru kejut berbareng, dan sama2 menghentikan kakinya.
Perempuan ini bukan lain adalah Thong ping yang diperkosa oleh
Racun diracun sehingga melahirkan didalam gua itu.
Sesaat Suma Bing merasa serba salah dan kikuk, sebab dia tak
bisa melaksanakan janjinya terhadap Thong Ping untuk
membunuh Racun diracun atau duplikat dari Phoa Cu giok.
Thong Ping sedikit menekuk tubuh dan memberi salam: "Suma
Siauhiap, tidak nyana ditempat ini bisa bertemu dengan kau!"
Terpaksa Suma Bing keraskan kepala dan menebalkan muka
berkata: "Nona Thong, aku..."
Wajah Thong Ping tampak agak kurus dan pucat, tanyanya
gelisah: "Ada apa?"
"Nona Thong, cayhe sangat menyesal!" kata Suma Bing masgul.
"Kenapa?" "Tak tahu bagaimana aku harus memberi
penjelasan."

"Maksud Suma Siauhiap tentang Racun diracun..." "Ya, terpaksa
cayhe harus ingkar janji dan menelan
ludahku sendiri..." Thong Ping menghela napas sedih dan
merawan hati,
katanya: "Suma Siauhiap, aku heran dan curiga mengapa aku
masih hidup sampai sekarang?"
Suma Bing gelagapan tak dapat bicara, dia pernah melulusi Thong
Ping untuk membunuh Phoa Cu giok, namun dia tidak
melaksanakan sumpahnya itu, sekarang dia tidak mengerti
bagaimana dia harus mengambil sikap untuk membujuk kepada
orang yang sangat dikasihani ini.
Thong Ping menyambung lagi: "Baru sekarang aku sadar ternyata
imanku sedemikian lemah, aku telah kehilangan keberanian untuk
menghadapi kematian, tapi rela dan mandah ditimpa kemalangan
dan penderitaan hidup yang sengsara ini, mengapa...?"
Suma Bing merasa hati kecilnya perih seperti di-tusuk2 jarum,
karena ingkar janji dia merasa sangat sedih suaranya berkata
rendah: "Nona Thong, aku tidak perlu mohon kau memaafkan, tapi
selamanya aku akan merasa menyesal terhadapmu."
"Suma Siauhiap tidak perlu kau bersikap demikian." "Nona
Thong, seorang laki2 sejati harus dapat menepati
janjinya, tapi aku..." "Aku tahu, karena kau terdesak oleh
keadaan!" Suma Bing berjingkrak kaget: "Apa, kau sudah
tahu?" Thong Ping manggut2. "Darimana kau..."

"Dia sendiri yang mengatakan kepadaku!" wajah Thong Ping
semakin pucat, sekuat mungkin dia menahan mengalirnya air mata,
namun akhirnya dia sesenggukkan juga.
"Dia, siapa?" "Phoa Cu giok!" "Dia... berani menemui nona?"
Air mata meleleh di kedua pipinya yang pias, ujar Thong
Ping sambil sesenggukkan: "Dia datang dan bertobat dihadapanku,
dia minta aku turun tangan membunuhnya. Aku maklum bahwa
rasa kebencianku ini selama hidupku ini takkan mungkin dapat
terhimpas lagi. Anaknya diberi nama Phoa Ki, dengan nama ini dia
berharap kelakuan bejat ayahnya ini tidak menurun kepada
anaknya. Diapun sudah menerangkan semua sejujurnya, Siauhiap,
selamanya aku akan membenci dia, tapi... aku sangat sayang
kepada anakku!"
Bagai terlepas dari belenggu yang mengekang dirinya Suma Bing
menghela napas lega ujarnya: "Nona Thong, sungguh kau seorang
yang bijaksana dan baik, Yang Maha Kuasa sungguh kurang adil,
mengapa segala sengsara dan derita hidup ini semua ditimpahkan
kepada seorang wanita lemah seperti kau ini!"
"Siauhiap," kata Thong Ping sambil mengusap air matanya, "Yang
sudah lalu biarlah pergi, jangan sampai semua peristiwa sedih ini
mengganjal dalam sanubarimu."
"Nona Thong, tiada apa lagi yang dapat kuucapkan, selain aku
merasa menyesal dan minta maaf kepadamu!"
"Ai!" keluhan yang merawan ini melimpahkan semua penderitaan
dan kemalangannya.
"Nona, kau jadi membunuhnya?" "Aku... tatkala itu rasanya
ingin benar tapi bagaimanapun
juga aku tidak tega turun tangan."

"O, seharusnya memang dia setimpal dihukum mati..." "Aku
harus merasa malu karena tak berbakti kepada ibu
dialam baka." "Kemana dia sekarang?" "Dia sudah pergi entah
kemana!" "Hanya begitu saja pertanggungan jawabnya
terhadapmu?" "Sebelum pergi, dia berkata kelak dia akan
mengatur
bertanggungan jawabnya serta berharap melakukan kerjaan besar
yang dapat membawa kesejahteraan bagi kaum persilatan
khususnya dan bagi masyarakat umumnya untuk menebus segala
dosa2nya dan untuk menghibur arwah cicinya yang berada dialam
baka."
"Demikian juga pengharapanku supaya dia bisa hidup kembali
menjadi manusia yang berguna, kalau tidak..."
"Bagaimana?" "Nona Thong, kalau kudapati perbuatannya tidak
sesuai
dengan kemanisan mulutnya itu, pasti aku akan bertindak tanpa
kepalang tanggung!"
"Gubukku yang reyot tidak jauh dari sini, harap Siauhiap..."
"Sungguh menyesal, aku ada urusan sangat penting yang
harus segera kuselesaikan, biarlah kita berpisah untuk sementara
waktu!"
Setelah berpisah dengan Thong Ping, suma Bing melanjutkan
perjalanan semakin cepat. Memang segala sesuatu kejadian didunia
ini sulit diduga sebelumnya. Sebetulnya dia tengah kuatir cara
bagaimana dia harus memberi penjelasan kepada Thong Ping,
siapa duga kejadian ternyata demikian akhirnya.
Beberapa hari kemudian diluar barisan pohon bunga Bwe didalam
lembah sempit dimana Markas besar Bwe hwa hwe

berada, datanglah seorang pemuda cakap ganteng yang berwajah
dingin membeku dan diselubungi hawa membunuh yang tebal.
Dia tak lain tak bukan adalah Sia sin kedua Suma Bing atau calon
majikan Perkampungan bumi yang dipandang sebagai tempat
kramat oleh kaum persilatan.
Tiba didepan barisan pohon Bwe darah Suma Bing bergolak
semakin keras, nafsu kekejaman yang sadis terbayang pada
wajahnya. Hutan pohon Bwe dihadapannya sekarang sudah tidak
menjadikan rintangan berarti lagi bagi dirinya...
Setelah menyapu pandang situasi atau keadaan barisan yang
dinamakan Im yang ngo heng tin dia perdengarkan suara
dinginnya ber-ulang2 terus melejit cepat sekali menerobos masuk
dari pintu tengah langsung menuju...
Mendadak tubuhnya yang melambung tinggi itu terpental balik
dan meluncur turun diatas tanah, jantungnya terasa menciut
se-akan2 seluruh tubuhnya membeku.
Diatas sebuah pohon Bwe yang tinggi besar terpancang sebuah
mayat manusia, mulutnya terpentang dan giginya meringis, kedua
matanya melotot keluar, kaki tangannya terpentang lebar, telapak
tangan dan kaki serta ditengah dadanya menonjol keluar pentolan
paku sebesar buah kelengkeng, jadi tubuhnya ini terpantek diatas
pohon. Darah yang membeku berwarna hitam, mengalir dari sang
korban terus membasahi seluruh pohon dan membasahi seluruh
tanah dibawahnya, keadaan ini sungguh menusuk hati dan seram
menakutkan.
Mayat yang menggenaskan ini tak lain adalah jenazah si maling
bintang Si Ban cwan dari wajah sang korban yang berkerut dan
menakutkan itu agaknya dia hidup2 dipantek diatas pohon hingga
meninggal, kematiannya ini kira2 terjadi satu hari yang lalu.

Sedemikian seram dan mengenaskan cara kematian si maling
bintang, malah mati dipantek didepan barisan pohon pelindung
markas besar Bwe hwa hwe, siapapun takkan dapat menduga
akan peristiwa yang mengharukan ini si maling bintang terkenal
akan kebijaksanaannya dan jujur serta suka mengulur tangan
membantu kesukaran yang lain. Demi membantu Suma Bing
mencapai cita2nya menuntut balas sakit hati orang tua serta
gurunya telah menjalin hubungan erat dan kental dengan Suma
Bing.
Melihat keadaan dan cara kematian orang yang dianggap sangat
berbudi ini kedua mata Suma Bing sampai merah padam hampir
melelehkan air darah, tubuhnya kejang dan tangan mengepal
keras ingin rasanya sekali hantam dia bikin mampus para
musuhnya.
Untuk menghadapi si maling bintang Si Ban cwan tidak segan2
Bwe hwa hwe menggunakan cara kejam dan telengas menghabisi
jiwanya. Terang karena si maling bintang secara terang gamblang
membantu usaha Suma Bing mencapai angan2nya dan ini berarti
juga secara terbuka bermusuhan dengan pihak Bwe hwa hwe.
Suma Bing menggerakkan langkahnya yang berat mendekati
jenazah diatas pohon. Dua butir air mata tanpa terasa meleleh
keluar membasahi raut mukanya yang membesi kehijauan.
Diulurkan sebelah tangannya menyentuh jenazah itu, segulung
bayangan putih tiba2 melesat kencang meluncur mengarah
mukanya.
Sigap sekali ia miringkan kepalanya sambil ulur tangan menjepit
benda yang meluncur tiba itu dengan kedua jarinya. Kontan dia
berjingkat kaget karena yang meluncur tiba itu kiranya bukan
senjata rahasia tapi ternyata adalah segulungan kertas. Sejenak
dia melengak lalu mundur dua langkah celingukkan kian kemari
tidak tampak olehnya bayangan seorangpun jua.

Waktu gulungan kertas itu dibuka, dimana terlihat empat huruf
besar yang berbunyi 'Jangan sentuh mayat ini!' Ditulis dengan
arang dan agaknya ditulis secara ter-gesa2 sehingga tulisannya
agak corat coret.
Apakah maksudnya ini? Siapakah yang mengirim gulungan kertas
ini? Sekarang dirinya telah memasuki pintu tengah, namun tidak
terlihat bayangan seorangpun, ini sudah merupakan suatu
kejanggalan yang harus diperhatikan. Tapi mengandal kekuatan
ilmunya nyalinya menjadi besar, sedikitpun tidak gentar
menghadapi segala bahaya lagi.
Gulungan kertas itu menyadarkan semangat dari kesedihan,
perasaan indran keenamnya mengetuk hati memberitahukan,
bahwa bukan mustahil pihak Bwe hwa hwe sudah mengatur tipu
daya hendak menjebak dirinya. Tapi siapakah orang yang memberi
peringatan ini? Kenapa tidak boleh menyentuh mayat ini? Sekian
lama dia bimbang dan ragu, akhirnya pandangannya menatap
kearah jenazah si maling bintang yang tak enak dipandang mata.
Tidak, aku harus mengubur jenazahnya dulu. Demikian dalam hati
ia berkata, terus melangkah maju dua langkah dan mengulur
tangan...
Se-konyong2 terdengar kesiur angin dari melambainya baju yang
terbawa terbang diselingi derap langkah yang ramai. Terpaksa
Suma Bing harus menarik kembali tangannya terus memutar
tubuh bersiaga. Terlihat olehnya bayangan puluhan orang
berkelebatan meluncur tiba dihadapannya.
Dua diantaranya yang paling gesit sigap sekali melangkah maju
kehadapannya berjarak tiga tombak terus membungkuk dan
berseru lantang: "Hamba beramai menghadap Huma."
Para pendatang ini kiranya adalah para kerabat dari
Perkampungan bumi dibawah pimpinan Sim dan Bu dua Tongcu.

Suma Bing sedikit mengangguk dan bertanya heran: "Kalian..."
Sim tong Tongcu Song Lip Hong segera tampil kedepan dan lapor
dengan hormat: "Hamba beramai begitu menerima kabar bahwa
ternyata Huma seorang diri telah meluruk kemarkas besar Bwe
hwa hwe, maka bergegas kami menyusul tiba untuk terima tugas!"
"Ini..." "Harap Huma suka mundur dahulu, hamba ada pesan
yang
perlu disampaikan!" Suma Bing mengiakan dan mundur sejauh
lima tombak
diikuti kedua Tongcu itu. -oo-dw-oo-
5 6 . S U M A B I N G M E N A W A N K E T U A
B W E - H W A - H W E .
Dengan sikap serius berkatalah Bu-tong Pan Bing-say:
“Menurut laporan mata2 yang hamba sebar, ternyata belakangan
ini Bwe-hwa-hwe telah mengundang berbagai gembong2 penjahat
dari aliran hitam yang sudah lama tidak pernah muncul.
Diantaranya Hwe-hun-koay-hud juga telah diundangnya datang
dan diangkat sebagai Maha pelindung mereka...................."
“Selain itu masih ada Lam-hay-si-niu, Tiang-pek-siang-pan.
Tok-jiau Kho Wan, dan Ngo-tay-tok-hok Thauto dan lain2. Mereka
sudah menggabungkan diri kepihak Bwe-hwa hwe"
Terpancar sinar kemarahan pada kedua mata Suma Bing,
desisnyai: “Lamhay-si-niu (empat camar dari Lam-hay) juga
menggabungkan diri kepihak Bwe-hwa-hwe?"

“Benar!" “Bagus sekali!" Sim dan Bu kedua Tongcu menjadi
melengak heran, entah
apa yang dimaksud "bagus" oleh Suma Bing ini mereka tidak
tahu.
Tanya Suma Bing selanjutnya: „Bagaimana keadaan di
perkampungan ?''
“Sejak Huma samaran itu datang dan menipu Kiu-im-cin- keng,
sampai sekarang tiada terjadi apa2 lagi!" demikian jawab Sim-tong
Song Lip-hong.
“Baik, sekarang kalian boleh pimpin anak buahmu tinggalkan
tempait ini."
“Huma........” “Kedatanganku ini untuk menuntut balas, aku
tidak ingin
ada lain orang turut campur" “Namun hamba beramai menerima
perintah dari Kiong-
Hu........" “Tidak perlu lagi......" “Huma, jenazah jatas pohon
itu........" ”Jenazah simaling bintang Si Ban-cwan!" kata Suma Bing
sambil kertak gigi. “Ah, tidak mungkin jadi!” ”Kenapa tidak
mungkin?" ”Dua hari yang lalu kita pernah bertemu dengan si
maling
bintang. Katanya dia terburu2 hendak menuju ke Ngo-san untuk
menjelaskan kesalah pahaman Huma!!"
“Apa betul?" “Tidak
akan salah!"

“Bukan mustahil dia tertawan setelah berpisah dengan
kalian..............."
“Bagaimana juga si-maling bintang berkepandaian tinggi banyak
pula akal muslihatnya, tak mungkin sedemikian gampang dia kena
tertawan?"
“Lalu bagaimana dengan jenazah yang terpancang di pohon ini?"
“Hamba merasa sangat ganjil!" “Aku harus segera mengubur
jenazah ini!" “Biarlah hamba beramai yang mengerjakan."
Segera Sim-tong Song Lip-hong melangkah lebar
menghampiri kearah jenazah si maling bintang yang terpantek
diatas pohon itu
“Nanti dulu Song Tongcu!" “Huma masih ada perintah apa
lagi?" “Ada orang mengirim surat memberi peringatan, Katanya
jangan menyentuh jenazah itu!" Song Lip-hong berjingkat,
tanyanya menegas: ”Jangan
menyentuh mayat?" “Apa mungkin merupakan jebakan...."
“Hamba ada akal untuk mencobanya!" “Cara bagaimana
mencobanya?" ”Tadi kami menawan dua orang peronda, biarlah
aku suruh
kedua peronda, itu yang menurunkan mayat itu, kalau ada
jebakan apa2 pasti segera dapat kita bongkar'"
“Baiklah laksanakan caramu itu!" Song Lip-hong segera
berpaling sambil memberi isyarat
dengan tangannya, dua orang anak buahnya segera berlari
keacaih semak belukar sebelah sana, tidak lama kemudian

mereka sudah kembali sambil menggusur dua orang anak buah
Bwe-hwa-hwe.
”Lepaskan!" menurut perintah kedua laki2 tegap itu segera
melepas tali yang mengikat kedua tangan tawanannya yang
ditelikung kebelakang itu.
Dengan sinis Song Lip-hong menatap kedua peronda musuh ini
sambil berkata hambar: ”Kalian berdua kuberi tugas menurunkan
jenazah yang terpantek diatas pohon besar itu, setelah itu kamu
boleh pergi, tapi ingat jangan sekali-kali kamu berani bermain
lagak, meskipun berada didaerahmu sendiri, kamu takkan ada,
kesempatan untuk bertingkah " Setelah saling berpandangan
kedua anak buah Bwe-hwa-hwe itu terus berlari maju
Song Lip-hong dan Pau Bing-sian mengikuti maju dikanan kiri
berjarak tiga tombak.
Suma Bing juga tidak mau ketinggalan...... Agaknya kedua
peronda musuh itu insaf tiada harapan
untuk hidup lebih lama lagi, sekian lama mereka takut2 dan saling
pandang dengan hampa dan putus asa, akhirnya mendekati pohon
besar itu, mulailah mereka mencabuti paku yeng amblas diatas
badan jenazah itu........
Sebuah dentuman yamg menggelegar menggetarkan bumi
Disertai teriakan yang mengerikan. Cepat sekali kejadian yang tak
terduga ini, begitu suara sudah sirap dan keadaan menjadi terang
kembali, tampak pohon besar Itu sudah toboh dan hancur
berantakan, dahan dan daon pohon beterbangan ke- mana2.
Kedua peronda Bwe-hwa-hwe itu bersama jenazah si malihg
bintang bayangannya saja sudah tidak kelihatan lagi, tubuh
mereka hancur luluh tanpa meninggal kan bekas.
Tersirap darah Suma Bing, giginya sampai ber-kerot2 saking
gusar.

Sim dan Bu kedua Tongcu segera maju mendekat dengan badan
yang kotor oleh runtuhan debu, suaranya gemetar haru. “Huma
tidak kurang suatu apa?"
Suma Bing mengangguk, dalam hati ia membatin; ”jikalau tiada
orang memperingati aku dengan gulungan kertas tadi, mungkin
aku sudah cecel duel tak berujud manusia lagi. Tipu muslihat
jebakan ini benar2 keji, sungguh kasian si maling bintang .setelah
mati sampai jenazahnya juga tidak dapat dikubur malah hancur
lebur.
Baru saja pikirannya lenyap, tampak seiringan orang tengah
bergegas berjalan keluar dari hutan pohon Bwe sebelah dalam
sana, mereka mendatangi dengan cepat.
”Siap Bertempur!" terdengar Pau Bing-sam memberi aba2 kepada
seluruh anak buahnya
Empat puluh para kerabat Perkampungan bumi serentak
mengiakan berbareng, sebat sekali mereka berpencar membentuk
sebuah lingkaran setengah bundar, siap siaga menghadapi
pertempuran.
Suma Bing berpaling dan berkata angkuh: “Kalian tidak perlu
turun tangan."
Para pendatang itu kira2 berjumlah lima puluh orang dipimpin
seorang pemuda yang gagah tegap, dia bukan lain adalah ketua
Bwe-hwa-hwe sendiri Chiu Thong.
Begitu mendekat lantas sorot mata ketua Bwe-hwa-hwe menyapu
pandang sekelilingnya seketika dia berseru kejut terus angkat
sebelah tangan dan memberi perintah: "Berhenti, cepat laporkan
kejadian disini kepada dia orang tua!"
Muka Suma Bing merah padam dan membesi diliput hawa sadis,
matanya menyala dan melotot besar menatap ketua
Bwe-hwa-hwe dan anak buahnya.
Semua rombongan dari Bwe-hwa-hwe yang baru muncul ini
semua mengunjuk rasa kejut dan terkesima. Bahwa-sanya SiaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sin Kedua tidak mampus dan hancur lebur karena ledakan tadi, ini
benar2 diluar perhitungan mereka.
Tiba2 ketua Bwe-hwa-hwe menggerung gusar dan membentak
berat: "Dimana Go-hiangcu berada?"
“Hamba ada disini!" terdengar sebuah sahutan, lantas muncul
sebuah bayangan dari antara kelompok dibelakang sana maju
menghadap sambil menekuk lutut.
Begitu melihat orang yang dipanggil sebagai Go-hiangcu ini,
seketika berdetak keras jantung Suma Bing, sebab bentuk tubuh
ini agaknya sudah sangat dikenal olehnya.
Terdengar ketua Bwe-hwa-hwe bertanya gugup: “Apa yang telah
terjadi disini?"
Go-hiangcu menyahut hormat: “Setengah jam yang lalu,
mendadak Racun diracun muncul, semua saudara yang menjaga di
pos2 terdepan telah meninggal semua keracunan".
Sungguh kejut Suma Bing bukan kepalang, Racun di racun adalah
duplikat istrinya Phoa Kin-sian dan Phoa Cu-Sok Sekarang istrinya
tercinta sudah meninggal, maka orang yang dikatakan sebagai
Racun di Racun itu pasti bukan lain adalah penyamaran Phoa
Cu-giok adanya.
Tapi mengapa Phoa Cu-giok berbuat begitu? Tak heran demikian
lelusa dirinya masuk kedalam sini, ternyata semua penjaga2 pos
sudah mampus keracunan semua, lantas teringat olehnya orang
yang memperingati dengan gulungan kertas itu, apakah itu
perpuatan Phoa Cu-giok? Menurut penuturan Thong Ping. sebelum
Phoa Cu-giok pergi dia pernah berkata hendak melakukan kerja
bakti untuk menebus dosa dan untuk menghibur arwah kakaknya
yang berada dialam baka, apakah inilah yang dia maksudkan
dengan kerja bakti itu.

Dalam pada itu, terdengar ketua Bwe-hwa-hwe mendengus
keras, semprotnya "Go-hiang-cu, lalu kenapa kau sendiri tidak
keracunan ?"
”Kebetulan hamba sedang bergerak meronda, beruntung hamba
lolos dari lobang jarum!"
“Kenapa kau tidak bunyikan pertanda bahaya?" “Belum sempat
karena Sia-sin kedua Suma Bing sudah
keburu tiba, maka..............." “Baiklah, kau mundur!" “Terima
kasih!" Go-hiangcu berdiri sambil putar tubuh
menghadap kearah rombongan Suma Bing, sekilas mata melirik
terus mengundurkan diri
Suma Bing menjadi melongo dan kecele, bentuk tubuh Go- hiangcu
yang sangat dikenalnya ini ternyata adaiah seorang laki2 yang
berwajah kuning seperti orang penyakitan, selamanya belum
pernah dilihat dan dikenal orang macam ini.
Ketua Bwe hiwa-hwe mengangkat kedua tangannya keatas,
semua anak buahnya segera berpencar kedua samping dan
berbaris rapi, meluangkan sebuah jalan diantara mereka,
Pelan dan berat langkah Suma Bing maju berderap di atas tanah,
jarak mereka dari delapan tombak mendekat menjadi tiga tombak
jauhnya.
Tiba2 ketua Bwe-hwa-hwe merangkap tangan memberi hormat
dan menyapa:
“Menghadap kepada Susiok." Semula Suma Bing melengak dan
kejut, serta merta ia
menghentikan langkahnya. Namun di lain saat lantas dia paham,
maka sahutnya menjengek: "Chiu Thong, apa katamu?"
“Menghadap kepada Susiok!"

“Siapa yang menjadi Susiokmu?" “Selain kau Sisiok, masa
masih ada orang lain!" Suma Bing bergelak tertawa, ujarnya:
”Chiu Thong, Loh
Cu-gi menghina guru dan mendurhakai perguruan kematiannya
masih belum setimpal untuk menebus dosanya....."
Heran sikap ketua Bwe-hwa-hwe ternyata tetap kalem dan sabar,
sahutnya: ”Sebetulnya Suhu hanya terfitnah saja, peristiwa
itu........................."
”Tutup mulutmu!" bentak Suma Bing murka, "Apa kau tahu
maksud kedatanganku hari ini?"
”Harap Susiok suka menerangkan." “Mencuci bersih seluruh
Bwe-hwa-hwe!" Rona Wajah ketua Bwe-hwa-hwe berubah tak
menentu
katanya lagi: "Suhu segera akan tiba, nanti dia akan menerangkan
sendiri kepada Susiok."
Suma Bing mengertak gigi, desisnya: "Chiu Thong, di mulai dari
kau untuk membuka pesta darah ini!" — habis berkata ringan
sekali sebuah tangannya diayun memukul kedepan.
Dimana gelombang angin badai menerpa tiba, terdengar Ketua
Bwe-hwa-hwe mengeluh tertahan sambil sempoyongan setombak
lebih, serunya lantang: „Untuk membuktikan kebersihan hatinya
Suhu telah mengusung jenazah Suco kemari."
Hampir pecah jantung Suma Bing, tubuhnya berkelejotan seperti
orang sakit ayan. suaranya gemetar: ”Apa yang kau katakan?"
”Jenazah Suco sekarang sudah berada didalam markas, tubuhnya
sudah direndam obat anti pembusuk. Sebentar lagi pasti Susiok
dapat lihat sendiri."

Tubuh Suma Bing limbung, pandangan terasa gelap hampir saja
dia terjungkal jatuh. Mimpi juga dia tidak menyangka bahwa
jenazah Suhunya Sia-sin Khong Jiang telah terjatuh ditangan Loh
Cu-gi, manusia jahat berhati serigala ini, entah mengandung
maksud muslihat apa lagi?
Dendam dan sakit hati yang ber-limpah2 hampir membuatnya gila.
Sebat sekali selicin belut tiba2 dia turun tangan secepat kilat.
Dimana terdengar jerit tertahan, tahu2 ketua Bwe-hwa-hwe sudah
tercengkram pergelangan tangannya tanpa mampu berkelit atau
menghindar diri. Para kerabat dari perkampungan bumi tanpa
bersuara serentak maju kedepan tiga tombak.
Berubah pucat airmuka ketua Bwe hwa-hwe, matanya menunnjuk
rasa ketakutan yang luar biasa, suaranya sember gemetar:
„Susiok........"
”Sekali lagi kau berani sembarangan mengoceh,"' demikian ancam
Suma Bing sambil kertak gigi, „Biar kubeset tubuh-mu hidup2!"
Se-konyong2 dari dalam hutan sebelah sana lamat2 terdengar
sebuah seruan yang saling bersahutan: ”Sesepuh tiba!"
Maka beramai2 para jagoan anak buah Bwe-hwa-hwe yang berjajar
itu membungkuk sembilanpuluh derajat tanda penghormatan akan
kedatangan sesepuhnya
Kedua mata. Suma Bing ber-kilat2 melotot besar mengawasi tajam
kearah hutan sebelah dalam sana. Tampak serombongan orang
tengah mendatangi, orang terdepan ternyata bukan lain adalah
Loh Cu-gi musuh besarnya.
Dibelakang Loh Cu-gi mengintil pula Hwe-hun-koay-hud yang di
angkat sebagai Maha pelindung itu. dan rombongan yang terakhir
adalah sepuluhan lebih orang2 tua yang berwajah bengis.

Sekejap saja mereka sudah datang mendekat. Tampak Loh Cu-gi
sedikit mengernyitkan kening, katanya dingin „Suma Bing,
lepaskan dia!"
Darah Suma Bing mendidih dan bergolak semakin cepat otot
dijidatnya merongkol keluar, rasa kebencian yang me- luap2
membuat wajahnya merah padam, sungguh keadaannya ini dapat
memibuat hati orang gentar, desisnya dengan bengis: ”Loh Cu-gi.
hari ajalmu sudah tiba!" sambil menggeram ini tanpa merasa kedua
tangannya niencengkram semakin keras. Kontan terdengar jerit
kesakitan yang menggetarkan seluruh hadirin. Ternyata
pergelangan tangan ketua Bwe-hwa-hwe sudah tercengkram
hancur.
”Suma Bing." bentak Loh Cu-gi gusar, ”berani kau melukai dia."
”Ada apanya yang tidak berani." jengek Suma Bing ,”biar dia
menjsdi contoh untuk kamu lihat!" dimana terlihat sinar dingin
berkelebat, cundrik penembus dada tahu2 sudah digenggam
ditangannya.
Keringat sebesar kacang membasahi jidat ketua Bwe hwa- hwe
Chiu Thong, tubuhnya lemas semampai, wajahnya ber- kerut2 dan
pucat pasi kehilangan kewibawaannya seperti seekor domba
dibawah cengkraman seekor singa matanya memancarkan rasa
belas kasihan mengerling kearah Suhunya Loh Cu-gi.
”Apa hubungannya bocah keparat Ini dengan Rasul penembus
dada yang dikabarkan itu?'' demikian tanya seorang Thauto
berwajah seperti singa dengan sebuah matanya saja.
Loh Cu-gi melenggong, sahutnya: ”Saat ini masih belum
diketahui"
Hwe-hun koay-hud juga menggerung gusar, makinya :Buyung,
berani kau menyentuh seujung rambutnya ketua saja, selain kau
bocah kapiran ini juga akan kami bakar dan kita babat semua
penghuninya sebagai pembalasan."

Perkampungan bumi sebagai salah satu tempat kramat yang ditakuti
kaum persilatan, meskipun sang Te-kun sudah pergi, namun
mengandal kekuatan jago2 yang lihay2 ditambah letak
pembawaannya yang tersembunyi serta peraturan dan penjagaannya
yang ketat untuk menghancurkannya, memang gampang dikatakan
seperti dalarn mimpi.
Suma Bing mendengus acuh tak acuh: „Hwe-hun Lokoay,
kematian sudah didepan mata masih berani pentang mulut
sembarangan mengoceh. Sekarang tontonlah cara aku turun
tangan!'' — Sinar terang berkelebat cundrik penembus dada itu
sudah diayun mengarah keulu hati ketua Bwe-hwa-hwe.
Meskipun rombongan pihak Loh Cu-gi itu kebanyakan adalah
gembong2 iblis yang kenamaan dan berkepandaian tinggi, tapi
siapapun takkan ada yang mampu menolong Chiu Thong yang
sudah terancam dibawah runcing senjata, mereka hanya mampu
berseru kaget dan berubah airmuka.
”Suma Bing,” cepat2 Loh Cu-gi berseru gugup. ”Kau akan
menyesal se umur hidup!''
Ucapannya ini ternyata membuat Suma Bing melengak dan
menghentikan tindakannya, sehingga cundrik ditangannya
tertunda ditengah jalan.
Segera Loh Cu-gi melanjutkan berkata: ”Suma Bing, jenazah suhu
berada disini, apakah kau hendak melihatnya?”
Hampir meledak dada Suma Bing, teriaknya beringas. ”Loh Cu-gi,
mulutmu yang kotor itu sudah tidak berharga untuk memanggil
"Suhu" lagi".
”Suma Bing. kau lepas dia dulu, marilah kita bicara”
”Tidak mungkin!'' ”Jangan kau menyesal nanti?"
”Tidak ada yang perlu disesalkan-"

”Berani kau buruh dia, biar aku hancurkan juga jenazah
Kho-lo-sia!"
”Binatang kau berani?” bentak Suma Bing, Loh Cu-gi
menyeringai iblis, ujarnya dingin: ”Boleh kau
coba, nanti juga boleh kau lihat, aku berani atau tidak!” lalu dia
memberi tanda kebelakangnya
Maka terlihat empat laki2 bertubuh tinggi tegap dengan otot2nya
yang merongkol keluar menggotong keluar sebuah peti mati terus
diletakkan dihadapan Loh Cu-gi.
”Suma Bing, peti mati ini terbuat dari kaca yang tembus cahaya,
cobalah maju dan lihat biar tegas, apakah tulen atau palsu!"
Kedua bola mata Suma Bing sudah merah membara, tubuhnya
gemetar dan berkeringat- Dia makfum manusia seperti Loh Cu-gi
yang bersifat, kejam melebihi binatang, kalau sudah berani
mencelakai Suhunya semasa masih hidup, tentu berani juga
menghancurkan jenazahnya sesudah mati.
Mengandal kekuatan Kiu-yang-sin-kang yang terlatih olehnya
sekarang, jarak tiga tombak masih gampang baginya untuk
menghancurkan peti itu segampang membalikkan tangan.
Hakikatnya sekarang dia harus berusaha cara bagaimana dia harus
menyelamatkan jenazah Suhunya ini, dan lagi apakah jenazah
didalam peti itu betul2 tulen atail palsu belaka!
Setelah direnungkan sekian lama, sambil mengempit ketua
Bwe-hwa-hwe dia melompat maju sampai dimuka peti mati
Memang pet i mat i dibuat dar i k aca yang tembus
cahaya, sekal i pandang saja jelas ter l ihat jenazah
yang rebah di dalamnya memang bukan lain adalah
guruny a Sia- s in Kho J iang adanya, wajahnya ter l ihat
tenang bagai mas ih hidup seper t i sedang t idur
nyenyak

Air mata tanpa merasa deras meleleh keluar. Sia-sin Kho Jiang telah
membuatnya hidup kembali dari lembah kematian, dari umur tiga
tahun dirinya dibesarkan dan dididik. betapa besar budinya ini
seumpama langit tingginya dan sedalam lautan, mana bisa dirinya
tinggal diam melihat jenazah gurunya akan dihancurkan. Terang
situasi tidak menguntungkan, didalam pengawasan sekian banyak
gembong2 iblis yang laknat ini, sulit dikatakan dapatkah dirinya tetap
melindungi peti mati ini tanpa kurang suatu apa.
Terdengar Loh Cu-gi berkata lagi: “Suma Bing. lepaskan dia!"
Dalam keadaan yang mendesak ini mau tak mau Suma Bing harus
berpikir panjang, sahutnya: "Boleh, tapi kau harus serahkan dulu
peti mati ini kepada pihak kami!"
“Kau sangka kamu mampu berbuat begitu?" „Kalau begitu kau
lihat dan gusurlah jenazah Chiu Thong
Ini dulu." „Suma Bing kau salah perhitungan, Chiu Thong adalah
muridku, meskipun menjabat sebagai ketua, seumpama dia harus
berkorban demi kepentingan perkumpulan, pengorbanannya itu
harus dibanggakan malah!"
“Jadi kau rela membiarkan dia mati lebih dulu?" “Kalau perlu
apa boleh buat, ada banyak orang yang tak
terhitung jumlahnya akan mengiring jenazahnya ke liang kubur
termasuk kau sendiri dan jenazah Kho-lo-sia!"
Hampir meledak dada Suma Bing, desisnya: "Loh Cu-gi, kaukah
manusia?"
”Aku tidak peduli apa yang kau katakan."
”Lalu apa kehendakmu?"

Loh Cu-gi menyeringai iblis, ujarnya: “Gampang sekali bukan, Chiu
Thong harus kau bebaskan, baru kita perbincangkan syaratnya."
Jalan darah dan sendi2 tulang Suma Bing berkeretokan rasanya
hampir meledak. Sedemikian besar semangatnya dengan bekal
dendam kesumat yang me-nyala2 untuk menuntut balas, tak duga
setelah tiba diambang pintu, ternyata terjadi hal2 yang diluar
prasangka sebelumnya. Bukan saja tubuh si maling bintang hancur
lebur, sekarang jenazah Suhunya juga dijadikan tanggungan untuk
mendesak dan menjepit dirinya. Seumpama tidak menghiraukan
jenazah Suhunya, segera dia dapat melepas tangan mulai turunkan
tangan jahatnya membunuh para musuhnya serta antek2nya. Tapi
dapatkah dia berbuat demikian? Akhirnya apa boleh buat dia
lepaskan ketua Bwe-hwa-hwe Chiu Thong.
Pergelangan tangan Chiu Thong sudah hancur, sakitnya bukan
kepalang, setelah dilepas badannya menjadi lemas dan segera
diusung kedalam oleh beberapa anak buahnya.
Loh Cu-gi menyeringai dingin ber-ulang2 dengan puas, ujarnya:
“Suma Bing, sekarang marilah kita persoalkan perhitungan
kita........... "
“Coba katakan." “Sudah tentu kau ingin benar membawa
pergi jenazah Kholo-
sia ini untuk dikubur, benar tidak?" “Binatang, kau manusia
yang lebih rendah dari binatang,
katakan kehendakmu!" „Suma Bing, bicaralah kenal aturan,
syaratku gampangi
dipenuhi dan sangat adil sekali, diantara kau dan aku terbentang
sebuah jurang kesumat yang sangat dalam, hanya satu diantara
kita yang boleh hidup di dunia fana ini, kau tidak akan menyangkal
ucapanku ini bukan?"
“Tepat sekali!"

“Jikalau kau dapat bersumpah untuk selamanya tidak mencari
perkara lagi kepada Bwe-hwa-hwe. Maka jenazah Suhu ini dapat
segera kau bawa pergi........
“Tidak mungkin, Loh Cu-gi!" ”Kau dengar dulu perkataanku,
tiga hari lagi, mari kita
berjanji untuk bertanding satu lawan satu, mati atau hidup
mengandal kemampuan kita masing2, bagaimana?"
Suma Bing mendengus dingin, jengeknya: “Loh Cu-gi, jangan kau
berani main licik dan akal busuk. Aku sudah bersumpah dan
sesumbar hendak membuat banjir darah di Bwe-hwa-hwe,
mengandal kemampuanmu yang rendah itu, jangan harap kau
kuat bertanding melawan aku secara kesatria."
”Suma Bing, jangan kau bicara terlalu takabur, menjangan bakal
mampus ditangan siapa sulit ditentukan. Tujuanku yang utama
adalah untuk menyelesaikan sakit hati dan dendam kesumat, mati
hidup tidak perlu dihiraukan lagi, asal kau mau menyetujui untuk
selamanya tidak mencari perkara lagi kepada Bwe-hwa-hwe!"
”Loh Cu-gi sungguh pintar dan rapi benar rencanamu ini". “Kau
tidak setuju?" “Ya, tidak." Loh Cu-gi berpaling kesamping dan
menunjuk orang2
disampingnya lantas berkata: "Suma Bing, lihatlah biar tegas.
Inilah Hwe-hun-koay-hud Maha pelindung perkumpulan kita,
Ngotai-tok-bok Thauto, Tiang-pek-siang-hoan, Cakar beracun Kho
Wan dan mereka itu adalah Lam-hay-si-niu, bagaimana
kepandaian kawan2 seangkatan ini pasti kau juga sudah pernah
dengar. Ditambah aku sendiri, jikalau kita bergabung dan serentak
menyerangmu, kau kuat bertahan berapa gebrak?"

Sepasang mata Suma Bing ber-ki!at2 penuh dendam menyapu
pandang kearah Lam-hay-si-niu. Sebetutnya dia tengah merasa
serba susah karena keempat tokoh yang tercatat dalam buku
daftar hitamnya jauh berdiam di Lam-hay, untuk menuntut balas
tentu sulit. Siapa tahu sekarang mereka malah datang sendiri dan
menggabungkan diri kedalam Bwe- hwa-hwe, ini boleh dikata,
Tuhan selalu menuruti permintaan umatnya-
Maka segera ia menjengek dingin: “Tak peduli siapapun yang sudi
diperbudak oleh Bwe hwa-hwe semua akan ku- sempurnakan!''
Kata2 yang takabur dan angkuh ini membuat para gembong2 iblis
Ytu naik pitam dan menggerung gusar.
Sebaliknya Loh Cu-gi acuh tak acuh, katanya: “Suma Bing, kau
sudah ambil kepastian belum?"
”Ya, akan kutumpas dan kucuci bersih seluruh Bwe-hwa- hwe!"
”Tanpa memikirkan segala akibatnya?" tanya Loh Cu-gi sambil
angkat kedua- tangannya serta ancamnya sungguh: ”Bagaimana
pendapatmu, apakah sekali pukulanku ini cukup untuk
menghancurkan petimati itu?"
Dingin sanubari Suma Bing. Seumpama kepandaiannya setinggi
langit juga tak mungkin dirinya dapat menyelamatkan jenazah
Suhunya dari kepungan sekian banyak gembong iblis yang lihay
dan tinggi kepandaiannya. Apalagi latihan Kiu-yang- sin-kang Loh
Cu-gi sudah mencapai kesempurnaannya, sekali pukul saja dapat
melumerkan besi baja. Kini dia berdiri tidak jauh dari peti mati itu,
untuk membumi hanguskan dan menghancurkan peti itu boleh
dikata sangat gampang membalikkan tangan saja. Meskipun
akhirnya dirinya dapat membabat habis seluruh musuh2nya ini.
bagaimana juga dia akan menyesal karena toh jenazah Suhunya
sudah rusak.

Sebaliknya kalau menerima usul lawan, hatinya berat dan tidak
rela..
Sesaat itu, hatinya gundah dan susah mengambil kepastian
saking gugup dan gelisah dia menggigit gigi sehingga berbunyi
ber-kerot2
Loh Cu-gi mendesak terus tanpa memberi hati: “Suma Bing, semua
akibat dari keputusan ini terletak dari kebijaksanaanmu''
Pandangan Suma Bing kesima memandangi peti mati mana,
Suhunya terbaring, terbayang akan masa lalu pedih dan berat rasa
hatinya
Agaknya Loh Cm-gi dapat meraba isi hatinya ini, serunya sambil
mengekeh dingin: ”Pada tengah hari tiga hari kemudian,
kunantikan kedatanganmu diluar lembah, saat itu baru kita
tentukan lagi dimana kita harus bertempur, bagaimana?"
Suma Bing membanting kaki keras, sahutnya terpaksa “Balk. tapi
ada sedikit syarat"
”Katakan" ”Para durjana yang ikut dalam perisitiwa berdarah
dipuncak
kepala harimau dulu. tak peduli apa kedudukannya, aku harus
memberantas mereka semua."
Setelah merenung sekian lama, baru Loh Cu-gi menyahut:
”Baiklah!"
”Kalau begitu bolehlah kau hidup lebih panjang tiga hari lagi."
”Nanti dulu, kau harus bersumpah untuk selamanya tidak mencari
perkara pada Bwe-hwa-hwe!"
”Perkataan seorang kesatria berat laksana gunung, buat apa
me-rengek2 harus sumpah apa segala seperti kaum lemah?"

”Terhitung kau licik, kau boleh membawa jenazah Itu, tapi, peti
mati itu harus kau tinggalkan"
”Loh Cu-gi. dialam baka pasti Suhu juga akan menolak mengubur
jenazahnya dengan menggunakan peti rnatimu. Legakan hatimu.
Seumpama tidak kau katakan, aku Suma- Bing juga tidak sudi
membawa peti matimu.'
Loh Cu-gi ter-loreh2 tanpa membuka suara lagi dia terus memberi
aba2 pada semua anak buahnya, beriring mereka segera tinggal
pergi.
Demi menyelamatkan jenazah Suhunya, Suma Bing tidak sayang
untuk menerima segala hinaan yang terbesar. Dia berlutut didepan
peti mati dan menggumam bersabda: "Suhu semasa hidup kau
larang aku panggil suhu, setelah berada di alam baka harap kau
terima panggilan ku ini. Tecu sungguh tidak berbakti sehingga
membuat kau tidak tentram setelah meninggal, setelah
penguburan selesai nanti, aku bersumpah untuk menunaikan
perintahmu mencuci bersih nama baik perguruan, akan kuhancur
leburkan murid murtad itu ” selesai sembahyang, pelan2 bangkit
berdiri terus maju hendak membuka.....
”Huma, nanti dulu!” demikian cegah Bu-tong Pau Bing Kiam
dengan gugup.
”Kenapa ?” tanya Suma Bing sambil menarik pulang tangannya
”Tentu Huma belum melupakan kehancuran jenazah si maling
bintang si Ban-cwan tadi!”
Suma Bing berjingkat kaget, serunya: ”Menurut Pangcengcu
peristiwa itu bisa terulang lagi?”
”Kemungkinan sangat besar!"
”Masa.....
Tiraik
asih
Websi
te
http://
kangz
usi.co
m/
Sim Tong Seng Liphong membungkuk hormat serta berkata:
”Harap Huma mundur dulu!"
“Maksud Seng Tongcu......" “Biarlah hamba yang membuka peti
ini'' Suma Bing tersenyum, ujarnya: ”Tak ada alasan untuk
kamu yang menempuh bahaya. silakan kalian mundur!" Sahut
Sim-tong Song Lip-hong dengan serius: ”Betapa
tinggi dan luhur kedudukan Huma, mana boleh sembarangan
bekerja dan menempuh bahaya, ini memang sudah menjadi tugas
yang harus hamba lakukan"
Tengah perdebatan ini. Se-konyong2 sebuah bayarngan hitam
melesat tiba secepat kilat terus meluncur dihadapan mereka,
itulah seorang berbentuk tinggi lencir dan seluruh tubuhnya serba
hitam seperti arang-
”Racun di racun!'' tanpa merasa Sim-tong Song Lip-hong berseru
kejut.
-o0o- Benarkah peti mati itu merupakan jebakan? Mengapa
'Racun di racun duplikat Phoa Cu-giok ini muncul lagi? Dapatkah
Suma Bing memberantas semua musuh2
besarnya? Tak urung dia sendiri hampir mengorbankan jiwanya
dalam cengkramian Irama seruling seorang tokoh lihay yang
berjuluk Dewi irama iblis.
Siapakah Dewi irama iblis ini ?
-oo0dw0oo-
Jilid ke-15. 57. IRAMA
SERULING IBLIS

Suma Bing sendiri sudah tahu siapakah orang yang datang itu,
maka jengeknya: ”Phoa Cu........"
“Cepat mundur!" Racun diracun segera menukas perkataan Suma
Bing, dengan gugup, ”Lekas!" serunya lagi.
Terhadap Phoa Cu-giok boleh dikata Suma Bing sudah
membencinya sampai ketulang sungsumnya, meskipun karena
janjinya terhadap istrinrya almarhum sehingga dia tidak
membunuhnya, namun rasa kebenciannya masih me-luap2, maka
segera katanya dengan nada rendah: “Apa maksudmu?"'
Dalam pada itu tampak lagi beberapa bayangan berkelebatan dari
hutan sebelah dalam sana.......
Racun diracun menjadi gugup dan gelisah, serunya pula sambil
membanting kaki: ”Lekas mundur, nanti terlambat!" Suma Bing
menjadi ciuriga dan insaf mungkin ada gejala2 apa lagi, maka
dengan penuh tanda tanya ia tatap Racun diracun lalu sekali
berkelebat mundur lima tombak. Demikian juga Sim dan Bu dua
Tongcu juga ikut mundur. Secepat kilat tiba2 Racun diracun
mengayun tangannya
Terus memukul kearah peti mati dari kejauhan............ Melihat
ini keruan Suma Bing berjingkrak gusar: ”Berani
kau!" Sebuah ledakan dahsyat menggelegar menggetarkan bumi
nan langit, debu membubung tinggi keangkasa sehingga alam
sekelilingnya seketika menjadi gelap, tercium bau belirang.
Lapat2 terdengar suara Racun diracun dari kejauhan: ”Cihu,
jenazah simaling bintang dan Suhumu adalah palsu belaka!"
Suma Bing tergetar mundur dan kesima. Palsu, apakah artinya ini?
Waktu keadaan merajadi terang kembali, bayangan Racun diracun
sudah menghilang, sedang peti mati Itu juga telah hancur lebur
tanpa bekas

Keringat dingin membasahi seluruh tubuh Suma Bing. kurang lebih
dua jam lamanya sudah dua kali dia terhindar dari malapetaka
yang mengancam jiwanya ini.
Dia tengah merenungi perkataan Phoa Cu-giok tentang kepalsuan
dari kedua jenazah itu. Bukankah bentuk tubuh simaling bintang
dan gurunya lain dari bentuk tubuh manusia umumnya, sekali
pandang saja lantas, dapat tahu, lantas bagaimana cara
menjeiaskan tentang 'palsu' itu? Apakah mungkin Bwe-hwa-hwe
betul2 dapat mencari penggantinya Yang palsu untuk membuat
jebakan yang keji ini?
Mendadak sepecik sinar terang berkelebat diotaknya, teringat
olehnya tentang penyamaran orang atas dirinya itu
“Raja iblis seratus muka!" diam2 hatinya berseru. Dia berani
memastikan kalau Raja iblis seratus muka ini pasti berada di
Bwe-hwa-hwe, dengan kepandaian khusus yang lihay serta,
keahliannya dalam ilmu penyamaran Itu, tidak sukar baginya
mencari bentuk tubuh orang lain yang hampir sama untuk diolah
dan dirias untuk memalsu si maling bintang serta gurunya
Tapi sebuah pikiran lainnya, segera menghapus analisanya ini.
Betapa sukar dan rumit serta terahasia, tempat gua Suhu nya itu,
malah dia sendiri yang menyumbat mulut gua itu setelah Suhunya
meninggal. Seumpama betul Loh Cu-gi dapat menemukan tempat
itu, jarak yang sedemikian jauh serta kematian Suhunyapun sudah
sekian lamanya masakan jenazahnya belum membusuk dan rusak.
meskipun telah diberi obat anti pembusuk, itu juga terjadi setelah
diusung keluar, tak mungkin tetap dapat membuat mukanya
sedemikian hidup seperti sedang tidur saja.
Karena pemikirannya, ini seketika terbangun semangatnya dan
berkobarnya semangat ini bergolak pula darahnya dan timbul
nafsunya untuk membunuh

Ucapan Bu-tong Pau Bin-sam menyadarkan dirinya dari lamunan:
”Huma, kita sudah terkepung!”
Selayang pandang Suma Bing menyapu pandang sekitarnya,
tampak rombongan Loh Cu-gi sudah mendatang sampai di
hadapannya, empat penjuru sudah terkepung oleh ber-lapis2
tembok manusia, semua adalah anak buah Bwe- hwa-hwe,
jumlahnya tidak kurang dari limaratus orang.
Para kerabat Perkampungan bumi Yang berjumlah empat puluh
orang itu segera menyebar menghadap kearah musuh, menanti
perintah untuk bergerak.
Suma Bing harus cepat2 menerawangi situasi yang dihadapi ini,
cepat dia ambil keputusan, lantas katanya terhadap kedua Tongcu
itu: ”Kalian harus memimpin semua anakbuahmu untuk berusaha
menerjang keluar kepungan''
Bu-tong Pau Binsan mengunjuk rasa berat, sahutnya: ”Huma,
hamba Sekalian......" ”Ini perintahku!" Sim dan Bu dua Tongcu
saling pandang sekali, lalu
sahutnya. berbareng: „Terima perintah." Pada saat itu juga
terdengar bentakan dan teriakan yang
gegap gempita, kiranya para anak buah Bwe-hwa-hwe itu telah
mulai bergerak menyerang, seketika terdengarlah berdentingnya
senjata beradu serta angin yang ribut dan jeritan kesakitan bagi
yang luka, darah mulai mengalir dan membanjir diatas tanah
Suma Bing mendesak maju sambil bentaknya bengis: „Loh Cu-gi,
jebakanmu yang hina dan rendah itu kiranya sia2 juga."
Sebuah bayangan meraih berkelebat, tahu2 Hwe hun-koay- hui
sudah merebut maju dihadapan Loh Cu-gi, sambil terkekeh tawa
dia berkata: ”Buyung, kau sangka kau takkan mati ?”

Suma Bing mendengus ejek: ”Hwe-hun Lokoay, hari itu kau dapat
lari. tapi harini tumbuh sayappun kau takkan dapat merat lagi."
”Bedebah, serahkan jiwamu." sambil menggerung keras segulung
badai yang dahsyat bagai gugur gunung segera melanda kearah
Suma Bing terdengar geledek menggelegar dan disertai angin ribut
yang memekakkan telinga. Sekali turun tangan tanpa kepalang
tanggung dia lancarkan kepandaian andalannya yaitu Liong-lui-in-lo
Serta merta terpusatkan perhatian Suma Bing, Giok-ci-sin- kang
terkerahkan sampai dua belas bagian tenaganya tanpa berkelit atau
menyingkir, dia juga lancarkan pukulannya. Dentuman keras
memecah kesunyian angkasa, saking dahsyat benturan kekuatan ini
sampai hawa yang sangat panas menerjang keempat penjuru.
Kontan Hwe-hu Lokoay tersentak mundur tiga langkah
Mendapat angin Suma Bing tidak me-nyia2kan kesempatan ini,
bagai bayangan setan saja tubuhnya melejit maju secepat kilat dia
susulkan juga jurus Mayapada remang-remang Debu dan pasir
bergulung seperti terjadi hujan badai ditengah gurun pasir, tampak
Hwe-hun-koay hud terbang menyingkir tiga tombak jauhnya baru
untung2an terhindar dari pukulan dahsyat yang dapat
memecahkan bumi mengejutkan langit ini.
Terdengar berdentingnya suara senjata gelang beradu, disusul dua
bayangan berkelebat menubruk maju kearah Suma Bing dari
kanan kiri. Kali ini yang turun tangan adalah Tiang-pek-siang-hoan
dua gembong penjahat dari utara.
Kedua gembong penjahat ini kenamaan akan senjatanya yang
berupa gelang bundar yang besar, maka dapatlah dibayangkan
kepandaian mereka akan senjata aneh lain dari yang lain ini pasti
bukan olah2 hebatnya. Tampak bayangan bundar gelang
berkelebatan ber-lapis2 sehingga memenuhi angkasa, sedikitpun
tidak terlihat lobang kelemahannya

sungguh perbawa serangan gabungan mereka ini laksana geledek
dan kilat menyamber.
Suma Bing paham pertempuran hari ini merupakan pertempuran
mati hidup yang menentukan, sudah pasti pihak lawan bertarung
dengan cara keroyokan untuk menghadap dirinya. Sedang para
gembong penjahat yang dihadapi ini rata2 adalah tokoh2 silat yang
lihay dan kenamaan, merobohkan atau membunuh salah satu
diantara mereka berarti mengurangi beban dalam pertempuran
yang harus dihadapinya ini.
Karena kesiagaannya inilah maka kedua tangan diayun
mengerahkan seluruh tenaganya kedua tangan dipentang ke
kanan kiri sambil memutar bundar terus didorong keluar.
Kontan bayangan sinar gelang musuh yang ber-lapis2 hendak
menindih tiba itu tenggelam dilanda arus gelombang angin
pukulan Suma Bing yang hebat ini, tampak Tiang-lek- siang-hoan
sendiri juga terpental sempoyongan berapa tindak.
Menggunakan peluang yang pendek inilah, secepat kilat mendadak
Suma Bing bergerak dengan kecepatan yang susah diukur
menubruk ke arah musuh yang berada di sebelah kanan.
Jeritan yang menyayatkan hati menelan segala keributan di
sekelilingnya sehingga mengagetkan pihak yang sedang
bertempur. Kiranya salah satu dari Tiang-pek-siang-hoan itu sudah
terpukul mabur sejauh tiga tombak dan terkapar diatas tanah
tanpa bergerak lagi. Boleh dikata hampir dalam waktu yang
bersamaan dimana terdengar jeritan panjang itu, salah seorang
sisa Tiang-pek-siang-hoan itu juga terpental sungsal sumbel
sampai lima tombak jauhnya.
Hanya dua gebrak saja cukup untuk melenyapkan dua lembong
penjahat besar yang kenamaan, kepandaian se- liacam ini benar2
belum pernah terlihat selama seratus tahun ini.

Begitu dapat merobohkan Tiang-pek-siang-hoan, tanpa berhenti
sedikitpun tubuh Suma Bing langsung melesat kearah Loh Cu-gi.
Terdengar gerungan gusar yang keras, lagi2 Hwe-hun- koay-hud
melancarkan serangannya dari sebelah samping. kontan tubuh
Suma Bing yang tengah meluncur kedepan itu tertolak ke samping
delapan kaki Dan belum lagi ia sempat berdiri tegak dan bernapas,
secarik sinar merah yang membawa hawa panas menungkrup tiba
puia kearah dirinya. Kiranya Loh Cu-gi bermain licik menggunakan
kesenpatan ini untuk turut membokong dan menyerang.
Mengandal keampuhan dan kesaktian Giok-ci-sin-kang untuk
melindungi badan, sedikitpun Suma Bing tidak terluka atau kurang
suatu apa karena serangan Kiu-yang-sin-kang Loh Cu-gi ini, namun
tak urung badannya juga terpental setombak lebih. Rumput dan
dedaunan dimana tadi dia berpijak kini sudah terbakar hangus dan
mengepulkan asap tebal betapa hebat Kiu-yang-sin-kang itu
dapatlah dibayangkan.
Terlihat bayangan berkelebatan lagi, Ngo-tai-tok-ho- Thauto,
sicakar beracun Kho Wan dan Empat burung camar dari Lam-hay
berbareng menubruk maju meluruk kearah Suma Bing.
Sorot mata Suma Bing memancarkan sinar kehijauan yang
menakutkan, hanya sejurus Mayapada remang2 saja cukup
membuat keenam musuhnya tertolak balik tanpa mampu
mengendalikan badan sendiri, disusul jurus Bintang berpindah
jungkir balik yang diarah adalah Ngo-tai-tok-bal Thayto. Kontan
terdengar pula pekik yang mengerikan nyata si Thauto mata satu
dari Ngo-tay-san ini menyemburkan darah segar sambil terhuyung
mundur terus jatuh duduk diatas tanah tanpa dapat bergerak lagi.
“Brak." telak sekali sebuah pukulan sicakar beracun juga telah
menghantam punggung Suma Bing dengan keras nya. Seketika si
cakar beracun terpental balik tiga langkah karena

tolakan ilmu pelindung badan Suma Bing, sedang yang terpukul
sampai terdorong kedepan tujuh langkah.
”Setan kecil, robohlah kau." sambil memaki ini Hwe hun- koay-hud
mengajukan telapak tangannya segede kipas itu memapak dada
Suma Bing yang terdorong sempoyongai itu.
Dalam keadaan yang kritis ini, terpaksa Suma Bing menggerakkan
tangan untuk menangkis, cara perlawanannya ini dilakukan
ter-gesa2, maka kekuatannya juga sangat lemah kurang separo
dari kekuatan tenaga biasanya. Sedang musuh sebaliknya
mengerahkan seluruh kekuatannya. Dimana terdengar beradunya
tangan masing2 diselingi deheman keras seperti orang muntah2,
Suma Bing terpental jungkir balik setombak lebih. Belum lagi
tubuhnya menginjak tanah, empat jalur angin pukulan sudah
menerjang pula datang, keruan tubuh Suma Bing lagiL bergulingan
diataa tanah sebagai bola sampai dua tombak jauhnya. Untung
ilmu saktinya melindungi badan, kalau tidak seumpama tidak mati
juga,pasti sudah terluka parah
Begitulah segesit kera, begitu badan menyentuh tanah tubuhnya
lantas melejit bangun berdiri. Beruntun terkena pukulan telak yang
keras dan berat, namun tanpa kurang suatu apa, keruan para
gembong2 penjahat itu terkesima dan giris serta gentar dibuatnya.
Pertempuran diluar gelanggang sebelah sana, saat itu sudah terjadi
banjir darah dan, tertumpuklah gunung jenazah manusia, bunuh
membunuh masih terus terjadi tanpa mengenal kasihan seperti
srigala kelaparan atau banteng ketaton, senjata beradu dan
jerit-kesakitan terus terdengar saling susul.
Suma Bing prihatin akan keselamatan para kerabat dari
Perkampungan bumi, waktu matanya melirik tergetarlah hatinya,
ternyata dalam gelanggang pertempuran sana kini sudah
bertambah dengan para gadis berkerudung serba putih,

kiranya duabelas Rasul penembus dada utusan ibundanya itu
sekarang juga telah terjun dalam pertempuran sengit itu.
Sambil memekik panjang Lam-hay-si-niu menyamber tiba pula
sambil lancarkan serangannya.
Sambil kertak gigi Suma Bing lancarkan jurus Membuka langit
menutup bumi salah satu jurus dari ilmu Giok-ci-sin- kang yang
paling hebat. Supaya dapat sekali serang menamatkan para musiih
yiamg tercatat dalam buku daftar hitam itu maka untuk pertama
kali ini dia lancarkan ilmunya yang paling ampuh ini.
Empat bayangan manusia laksana layang2 yang putus benangnya
meluncur tinggi ketengah angkasa terus melayang jauh entah
kemana
Yang celaka dan konyol adalah Thanto simatai satu. dari
Ngo-tay-san itu. karena terluka parah tadi dia duduk ditanah
tanpa mampu bergerak lagi, kini tergulung pula oleh kekuatan
angin pukulan Suma Bing yang dahsyat bagai gugur gunung ini
tubuhnya terguling2 sambil menyemburkan darah terus tak
bergerak lagi
Baru pertama kali Suma Bing lancarkan pukulan Membuka langit
menutup bumi yang terampuh ini, betapa dahsyat dan perbawa
ilmu ini sungguh luar biasa, saking kejut dia tampak berdiri
kesima tak bergerak-gerak
Waktu suasana menjadi sepi dan tenang kembali, bayangan Loh
Cu-gi, Hwe-hun-koay-hud dan sicakar beracun Kho Wan sudah
menghilang tanpa kerana.
Dalam pada itu pertempuran diluar gelanggang juga sudah
mereda, suara gaduh tadi sudah sirap, anak buah Bwe-hwa- hwe
sudah lari terbirit2 tanpa memperdulikan kawan2nya yang menjadi
korban dan tertumpuk d'imana2-
Salah seorang gadis berkedok serba putih itu menghampiri
kedepan Suma Bing memberi hormat serta sapanya:

”Menghadap tuan muda!'' — dia bukan lain adalah Ih Yan- chiu
pemiimpin dari dua belas Rasul penembus dada. Maka beruntun
sebelas Rasul lainnya juga maju satu persatu memberi hormat-
Suma. Bing manggut2 membalas hormat, katanya: ”Terima kasih
akan bantuan kalian"
“Ah, tuan muda terlalu sungkan, hamba beramal hanya bekerja
menurut perintah majikan.”
Tidak ketinggalan Sim dan Bu dua Tongcu juga maju sambil
membungkuk hormat katanya: „Hamba berdua menunggu
perintah"
Suma Bing menyapu pandang kesekelilingnya. lalu tanya nya:
„Bagaimana keadaan para saudara dari Perkampungan bumi ?"
Lapor Sim-tong Song Lip-hong: ”Lima orang terluka parah,
duabelas luka ringan, sedang yang meninggal ada sembilan
orang!''
Suma Bing mengunjuk rasa sedih dan prihatin, ujarnya: „Kuburkan
yang meninggal, yang terluka Segera diobati, setelah itu kalian
boleh segera pergi."
Tanpa berani berciut kedua Tongcu itu mengundurkan diri sambil
membungkuk tubuh.
Lalu Suma Bing berpaling kearah Ih Yan-chiu dan berkata:
”Nona Ih beramai juga boleh segera meninggalkan tempat
ini!" habis berkata tanpa menanti reaksi terus putar tubuh melesat
masuk kedalam hutan barisan itu.
Sejak mendapat petunjulk dari Tio Keh-siok itu murid Hwasoh-
ki-khek, mengenai inti perobahan atau rahasia barisan Imyarg-
ngo-hengtin ini Suma Bing sudah apal diluar kepala, maka
tanpa takut atau sangsi2 lagi dia terus menerobos masuk tanpa
rintangan- Setelah sekian lama dia beranjak,

mendadak terasa keadaan sekelilingnya, sangat asing dan lain
dari petunjuk yang diberikan kepadanya.
Karena keraguannya ini cepat2 dia, hentikan kakinya, dengan
nanap dia awasi keadaan sekitarnya. Seputarnya. terdapat banyak
dahari pohon Bwe besar yang malang melintang diselingi
tumpukan batu2 yang membumbung tinggi. Tahu2 dia sudah
terlalu dalam terjebak dalam barisan Perasaan benci dan dendam
segera merangsang dalam benaknya,. Sungguh mimpi juga dia
tidak menyangka bahwa. Tio Keh-siok ternyata bisa Bertindak
sedemikian jauh memberi keterangan palsu.
Begitulah dalam keadaan yaaig mendesak ini terpaksa dia harus
berlaku tenang dan menerawang sekali lagi pada waktu pertama
kakinya melangkah masuk tadi serta kedudukan-nya sekarang.
Tapi semakin dipikirkan terasa semakin rumit dan
membingungkan semakin putar malah semakin kacau balau,
dimana timur atau selatan susah dibedakan lagi
Gelisah dan gusar membuat Sifat2 gilanya kambuh, mengarah satu
sasaran dengan sekuat tenaga dia menghantam ke-depan, besar
harapannya dapat membuka sebuah jalan hidup dalam kurungan
ini. Demikianlah setiap kali tangannya ter ayun pohon2 dan baru2
itu berterbangan sampai porak peronda. namun tenaganya ini sia2
saja akhlinya saking lelah dia berhenti sendiri-
Mendadak terdengar suara Loh Cu-gi di sebelah samping sana
yang mencemoohkan : „Suma Bing, semua dendam dan sakit hati
Selanjutnrya akan berakhir sampai disini."
Saking gusar kepala Suma Bing sampai menguap, pandangannya
menyapu kearah datangnya suara, namun tak terlihat bayangan
manusia
Terdengar suara itu berkata lagi:.”Suma Bing. mengingat kita
masih seperguruan, biarlah kubuat kau mati dengan badan utuh."

Bentak Suma Bing sambil mengertak gigi: ”Loh Cu gi, kalau
berani keluarlah:"
”Suma Bing, kau sangka aku sudi bergelut mati2an melawan kau?
Hahaha. kau salah"
”Loh Cu-gi. kau anjing hina dina. yang paling rendah!'' ”Bocah
keparat, maki dan udallah ludahmu, inilah saat2
terakhir bagimu.' Se-konyong2 lapat2 terdengar suara irama
seruling yang
sangat merdu dari hutan sebelah dalam sana. Suma Bing
terkesima heran, darimana terdengar irama seruling ini?
Sedemikian merdu irama seruling ini bagai suara pancuran air di
alas pegunungan seperti gema suara didalam lembah nan sunyi
laksana angin sepoi2 menghembus daon2 pohon, tanpa merasa
membuat pendengarnya tenggelam dalam lamunan yang
menyegarkan badan, rasa penasaran dan dendam sakit hati yang
merangsang dengan kBinginan membunuh se-akan2 tersedot
hilang oleh irama yang mempersonakan ini.
Tiba2 irama seruling berubah sedemikian halus panjang dan mesra,
se-olah2 sepasang kekasih yang tengah sayang2an di tengah
malam dengan saling berbisik sehingga menimbulkan rangsangan
nafsu yang menggelora, lapat2 terbayang sang kekasih tengah
me-nari2 lemah gemulai dengan selendang sutranya yang panjang
terurai, sungguh mempersonakan dan menakjupkan sekali. Tanpa
merasa Suma Bing terlongong seperti orang mabuk, kupingnya
panas dan jantungnya berdebur keras, timbullah suatu keinginan
yang susah dibendung lagi.
Bagaimanapun kesadaran Suma Bing masih belum lenyap
seluruhnya, lapat2 terasa olehnya suara seruling ini sangat aneh
dan janggal, karena sedikit kesadaran ini tersentaklah hati
nuraninya, cepat2 dia kerahkan ilmunya untuk menenangkan
gejolak hatinya. Irama seruling masih terus

bergelombang sambung menyambung dengan iramanya yang
menyedot semangat dan sukma orang. Lambat laun Suma Bing
merasa semakin gelisah, perhatiannya susah dipusatkan karena
gangguan ini, hatinya keri seperti di-kili2, ter-nyata usahanya sia2.
Maka akhirnya dia meramkan mata mulutnya kemak kemik
menghapalkan pelajaran Giok-ci-sing- kang...........................
„Brak", mendadak Suma Bing merasa tubuhnya tergetar hebat
sehingga ter-huyung2, diam2 ia mengeluh: „Celaka!"
Waktu dia membuka mata di hadapannya berdiri tiga bayangan
orang. Seorang diantaranya adalah Loh Cu-gi musuh besarnya
seorang lagi adalah Maha pelindung Bwe- hwa-hwe,
Hwe-hun-koay-hud. Sedang yang terakhir adalah seorang gadis
ayu jelita bak bidadari yang mengenakan selendang panjang untuk
menutupi seluruh tubuhnya, kulitnya putih halus, wajahnya
se-akan2 tertawa penuh mengandung arti, ditangannya menyekal
sebatang seruling batu giok.
Sekilas Suma Bing pandang ketiga orang ini, lantas secepat kilat
dia bergerak memukul kearah Loh Cu-gi.
Loh Cu-gi ganda tertawa ewa, menghadapi serangan Suma Bing
yang dahsyat ini sikapnya tetap angin2an. "Blang,'' dengan telak
pukulan Suma Bing ini mengenai dada musuh. Bukan saja Loh
Cu-gi tidak kurang suatu apa, malah berubah air mukanya pun
tidak, sebaliknya Suma Bing sendiri malah tergetar mundur dan
jatuh duduk di atas tanah.
„Hahahahahaha....................." Loh Cu-gi bergelak tertawa
panjang ke-gila2an saking puas.
Bergegas Suma Bing melompat bangun, seketika dia merasa
se-olah2 dirinya telah terjatuh kedalam jurang yang dalam dan air
danau yang dingin, kaki tangannya dingin membeku, hatinya
mengkeret, kedua kakinya hampir tak kuat lagi menyanggah berat
tubuhnya. Baru sekarang dia sadar dan merasakan bahwa
mendadak ternyata tenaga da-lamnya

lenyap seluruhnya, hawa murninya susah dipusatkan lagi. Betapa
perih hatinya ini beribu kali lebih sedih dari kematian. Siapa kan
menduga dalam keadaan begini dirinya terjatuh kedalam tangan
musuh besarnya ini.
Sambil tertawa Loh Cu-gi bertanya kepada gadis yang membawa
seruling itu: "Jikalau bukan karena irama seruling iblis Siancu
(dewi), mungkin bocah ini susah dibekuk."
Sepasang bola mata sigadis pelirak pelirik sambil menatap Suma
Bing, mulutnya menyahut halus: „Dia kuat mendengarkan tiga
gelombang irama iblis, kekuatan pemusatan hatinya itu sungguh
harus dipuji."
Terdengar Hwe-hun-koay-hud juga turut bicara: „Entah ada
hubungan apa antara bocah keparat ini dengan Hian-thianceng-
li itu?"
Berubah wajah Loh Cu-gi, sahutnya: „Susah diketahui." Gadis
itu juga tersentak kaget, tanyanya sambil tersenyum
simpul: "Hian-thian-ceng-li yang mana?" Agaknya tulang2
Hwe-hun-koay-hud sudah lemas,
wajahnya berseri tawa dengan mulut terpentang lebar, sahutnya:
„Dewi kan sudah tahu pura2 tanya saja?. Masa di dunia ini ada dua
Hian-thian-ceng-li?"
”oh ini sungguh susah dipercaya, dia masih belum mati?"
„Jikalau bukan karena mengejar bocah ini dan secara
kebetulan bertemu aku sendiri juga tidak tahu kalau dia masih
hidup!"
„Kukira kalian masih ingat majikan panggung berdarah Bulim-
ci-sin bukan. Kalau mau dikata Hian-thian-ceng-li masih hidup,
mungkin juga Bu-lim-ci-sin juga masih hidup, seumpama bocah
ini........................" bicara sampai disini dia merandek, matanya
melirik tajam kearah Suma Bing, lalu sambungnya lagi: „Benar2 ada
hubungan dengan Hian-thian- ceng-li, kita harus hati2 untuk
bertindak!"

Loh Cu-gi manggut2, ujarnya: „Siancu, Cayhe sudah ada rencana
lain."
Suma Bing heran dan tak habis mengerti, tokoh macam apakah
sigadis membekal seruling ini, dilihat usianya belum cukup dua
puluh, tapi toh Loh Cu-gi membahasakan diri-nya Cayhe
sedemikian merendah diri, sedang Hwe-hun-koay-hud juga sudah
berusia seabad tapi toh juga berlaku sedemikian hormat
kepadanya.
Tengah dia ber-pikir2 ini, terdengar Hwe-hun-koay-hud tertawa
keras, katanya: "Kenapa tidak tanyakan langsung kepada bocah
ini?"
Loh Cu-gi menyeringai dingin, katanya: „Cayhe mempunyai cara
tersendiri, silakan Jiwi kembali untuk istirahat!"
Sigadis tertawa genit, ujarnya: „Mendadak aku merasa ketarik
kepada bocah ini....................."
Sekilas airmukt Loh Cu-gi berubah, dasar licik secepat itu pula
sudah kembali seperti biasa, katanya: ”Ucapari Siancu ini.... ”
„Ingin kulihat cara bagaimana sesepuh ketua hendak
menghukumnya hal ini tidak menjadi halangan bukan?"
”Tentu tidak, tentu tidak!'' demikian sahut Loh Cu-gi sambil
mcnyeringai, lalu berpaling kepada Hwe-hun-koay-hud katanya.:
”Silakan Thay-siang Huhoat kembali dulu, jikalau ada terjadi apa2
isupaya dapat memberi bantuan seperlunya."
Hwe-hun-koay-hud mengiakan terus memutar tubuh dan
melangkah pergi.
Dalam pada itu berulang kali Suma Bing sudah berusaha
menggunakan hawa murni dalam tubuhnya untuk menjebol jalan
darahnya yang tertutup, namun dia kewalahan- Cara memutus
urat dan menutup nadi ini benar2 lihay aneh dan keji benar,
sehingga tenaga murni dalam tubuhnya menjadi bocor dan susah
dihimpun lagi.

„Siancu silakan!" demikian ujar Loh Cu-gi sambil mengempit Suma
Bing-
Sekuat tenaga Suin.a Bing coba berontak, tapi perbuatannya ini sia2
saja seperti cacing kepanasan- Tanpa, merasa dia mengeluh:
„Tamatlah riwayatku!"
Tak lama kemudian mereka sampai didepan sebuah gundukan
tanah tinggi, dengan ujung kakinya Loh Cu-gi menginjak sebuah
tombol, mendadak gundukan tanah itu terbelah kedua samping
dan terbukalah sebuah pintu terowongan. Tampak undakan batu
menjurus turun kebawah dan serong kesamping.
Sambil tetap mengempit Suma Bing Loh Cu-gi mendahului masuk,
Sigadis membawa seruling itu rnengintil dibelakang- nya Pintu
dibelakang mereka tahu2 sudah menutup sendiri.
Ternyata keadaan dalami terowongan ini terang benderang seperti
disiang hari bolong. Setelah habis menuruni undakan batu kira2
berjalan maju kedepan sepuluhan tombak mereka sampai
disebuah ruang dibawah tanah yang terbuat dari batu2 gunung.
Perabot dalam ruang ini sangat sederhana, hanya terdapat sebuah
kursi dan sebuah dipan kayu. Agaknya memang ini merupakan
sebuah kamar tahanan istimewa yang khusus dibuat untuk
mengurung tawanan
Setelah menutuk lagi beberapa jalan darah penting ditubuh Suma.
Bing. "Bum', sekali lempar tubuh Suma Bing dibuang keatas
tanah, terus dia sendiri duduk diatas kursi itu. baru dia
menyilakan sigadis: „Menyusahkan Siancu saja, harap duduk saja
diatas dipan kayu ini!"
Hampir meledak dada Suma Bing saking menahan gusar, tapi saat
itu untuk bergerak saja dirinya tidak mampu, terpaksa dengan
sepasang matanya yang merah membara ber api2 dia melotot
kepada Loh Cu-gi-
Tanpa ragu2 Loh Cu-gi maju mendekat pertama2 cincin iblis yang
berada dijari tengah Suma Bing ditanggalkan, baru

dia menggeledah cundrik penembus dada. dan Pedang berdarah
Yang disimpan diikat pinggangnya-
Bola mata Suma Bing hampir mencelat keluar sampai bibir matanya
pecah dan mengaurkan air darah, sikapnya yang penuh kebencian
yang meluap-luap ini benar2 dapat menggiriskan bulu roma.
„Pedang beidarah!" tiba2 terdengar sigadis membawa seruling itu
berseru kejut-
„Tidak salah'' sahut Loh Cu-gi dengan tersenyum puas, „benda
pusaka yang paling diincer oleh kaum persilatan.''
„Dapatkah aku melihatnya untuk membuka mataku?''
„Ini......silakan Siancu ambil dan melihatnya biar puas!"
lantas dia angsurkan pedang berdarah itu kepada gadis membawa
seruling itu.
Sambil me-nimang2 dan mengelus2 Pedang darah sigadis
bertanya: „Entah dimana letak kasiat Pedang berdarah ini?''
Loh Cu-gi nada bimbang, namun akhirnya berkata: ”Konon
kabarnya selain Pedang berdarah ini masih ada sekuntum Bunga
iblis, bila Pedang darah dan bunga-iblis disatu padukan dapat
memperoleh kepandaian sakti yang tiada bandingannya didunia ini.
Ini menurut cerita orang entah tentang kebenarannya'
”Benda macam apakah Bunga-iblis itu?" ”Hal itu aku sendiri
tidak dapat menerangkan. Dengan
pengalaman Siancu yang luas saja masih belum tahu, apalagi
Cayhe tak perlu dikatakan lagi-"
“Kita kembali kepersoalan penting ini, cara bagaimana kau
hendak mengompres dia?"
-oo-dwooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
58. MO IN SIANCU JATUH CINTA KEPADA SUMA
BING
”Bagaimana kalau menurut pendapat Siancu?'' ”Bukankah
tuan tadi mengatakan ada rencanamu senj- “Menurut
pendapatku lebih baik kita punahkan dulu ilmu
Silatnya.-" Suma Bing menggerung murka, mulutnya
menyemprotkan
darah segar, bentaknya beringas: “Loh Cu-gi, dalam hidup ku tak
dapat mengkremus tubuhmu, setelah mati aku akan menjadi setan
gentay3angan mengejar sukmamu!"
Loh Cu-gi menyeringai sadis. Gadis membawa seruling
mengerutkan alis, katanya: „Apatidak
sayang?" „Sayang?'' balas tanya Loh Cu-gi heran dan
terperanjat „Kalau kepandaian silatnya dipunahkan betul2 harus
disayangkan' ”Tapi kalau diumbar begitu saja bukankah sangat
menakutkan?Y" „Apa tuan tidak memikirkan akibatnya?" ”Akibat
apa?" ”Suma Bing adalah Huma dari Perkampungan bumi,
mempunyai sangkut-paut dengan Pek-kut Hujin, Ketua Jeng.
kang-hwe dan Bu-lim-ci-sin mungkin juga ada hubungan”
”Kekuatiran Siancu terlalu besar, asal jiwanya, masih hidup,
cukup untuk menggertak mereka mundur teratur”
”Menggunakan dia sebagai sandera maksudmu?"
”Sementara terpaksa begitu!"

”Selanjutnya bagaimana ?'' „Siancu. setahun kemudian,
bukannya aku berani besar
mulut, dalam dunia persilatan ini tiada seorangpun yang perlu
ditakuti lagi-''
”Bagaimana kalau kita gunakan dan manfaatkan tenaganya”
„Hal itu tidak mungkin." ”Agaknya kau lupa satu hal- Bukankah
istrimu itu adalah
putri Pek-chio Lojin tentu dia dapat memberi tahu cara nya
kepada tuan!"
Agaknya Loh Cu-gi sadar dan ingat sesuatu, tanyanya ”Maksud
Siancu menggunakan I-sing-hoan?"
”Benar, Sebutir I-sing-hoan cukup membuat dia lupa se gala2nya
dan setulusnya menjadi budakmu seumur hidup.'"
“Cayhe tidak berani menyerempet bahaya .ini!” ”Kenapa ?"
”Kuatirku kalau terjadi sesuatu diluar dugaanku, bukankah
tokoh2 dibelakangnya itu tak dapat dipandang enteng." Sigadis
membawa seruling tertawa geli, ujarnya: ”Apakah
tuan pernah mencurigai asal usul ilmu silatnya yang hebat itu?"
Agaknya Loh Cu-gi tergetar kaget oleh pertanyaan ini. sahutnya:
“Siancu ada pendapat apa?''
Terlihat bibir sigadis membawa seruling itu kemak kernylt,
agaknya tengah berkata, menggunakan ilmu Thoan-in-jip-bit
kepada Loh Cu-gi. Rona wajah Loh Cu-gi berubah ber-gantian,
akhirnya tampak dia berkakakan. Serunya: “Sungguh tidak
merendahkan pamor julukan Mo-in Siancu (Dewi irama iblis),
sungguh aku merasa kagum dan takluk"

Dengan sendirinya Suma Bing lantas membatin: „O, kira- nya dia
bernama Mo-in Siancu sebelumnya. belum pernah terdengar nama
julukan ini, entah rencana apa lagi yang tengah diaturnya
bersama Loh Cu-gi."
Terdengar Dewi irama iblis tertawa terkikik, ujarnya: „Kalau
kenyataan tepat seperti dugaan, tuan sendirilah yang harus
memberi putusan."
”Baiklah, aku menurut pendapat Siancu.” ”Dalam Waktu tiga
jam, pasti aku memberi laporan yang
memuaskan'' „Sungguh mencapaikan Siancu saja, sebelumnya
Cayhe
ucapkan terima kasih.''' Habis berkata Loh Cu-gi mendekati
dinding lalu menekan
sebuah batu, segera terbuka sebuah pintu rahasia disampingnya,
setelah menoleh memandang Suma Bing, terus melangkah lebar
kesebelah, pintu itupun menutup kembali
Begitu pintu itu tertutup segera Suma Bing merasa hidung.nya.
mencium bau harum, ternyata Mo-in Siancu mendekat dan
membebaskan jalan darahnya yang tertutuk.
Suma Bing merangkak bangun dengan sikapnya yang garang.
”Silakan duduk!" kata Mo-in Siancu tersenyum simpul, suaranya
merdu menarik.
”Tidak perlu." dengus Suma Bing kaku. ”Suma Bing duduklah
jangan keras kepala, itu tidak akan
menguntungkan bagimu." sambil berkata tangannya yang putih
halus menekan pundak Suma Bing sehingga dia terduduk diatas
kursi Loh Cu-gi tadi.
Meskipun jalan darahnya sudah bebas, namun urat dan nadinya
yang tertutup masih belum bebas, tenaga, untuk berontak atau
melawan saja tak adaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Tindak tanduk Dewi irama iblis ini sungguh sangat genit dan
menggiurkan, sayang benak Suma Bing diliputi kebencian dan
dendam kesumat, sedikitpun dia tidak terpengaruh oleh godaan
yang dapat merangsang dan membangkitkan sifat ke- laki2annya.,
seumpama, tenaga dalamnya masih tetap seperti sedia kala, pasti
tanpa banyak pikir lagi dia sudah turun tangan membunuhnya.
Kata Dewi irama iblis dengan nadanya yang menyedot sukma.:
„Suma Bing, berkata setulus hati aku tidak tega. melihat kau
hancur lebur'
“Mo-in Siangu', semprot Suma Bing dongkol, „Kalau ada omongan
bicaralah secara gamblang, jangan main diplomasi apa segala."
„Sikapmu ini benar2 takabur dan sombong luar biasa." Demikian
ujar Mo-in Siancu mendadak sikapnya berubah serius, “Suma Bing,
jikalau kau ingin mati, seratus jiwa mu juga sudah melayang
semua."
Suma Bing melotot gusar, katanya gemes: „Ingin rasanya
kuhantam mampus kau ini."
Mo-in Siancu malah terkekeh-kekeh, katanya: „Suma Bing. kau
sendin apa kau masih ingin hidup?"
Suma Bing melengak lantas terpikir olehnya mungkin lawan
tengah menjebak dirinya lagi, maka lantas sahutnya acuh tak
acuh: „Mati atau hidup tidak kukuatirkan lagi"
“Aku bicara sungguh!'" ”Ingin kudengar rencana apa saja yang
tengah kau atur
untuk menjebak aku?"' „Rencanaku adalah menolongmu keluar
elmaut." ”Hahahahaha, aku Suma Bing bukan bocah berumur tiga
tahun, tahu!" ”Suma Bing kau betul2 tidak
penyaya?"

”Tidak percaya! Ingin aku tahu untuk apa kau hendak
menyelamatkan aku?"
“Masa kau tidak tahu?" „Tidak!" „Baiklah kuberi tahu,
sebab......"' „Sebab apa?" Dengan lengan bajunya Mo-in Siancu
menutup mulut dan
tertawa genit, sahutnya: ”Sebab aku cinta padamu-" Betapapun
dingin dan kaku sikap Suma Bing tak urung
menjadi merah jengah mukanya, baru sekarang dia, berhadapan
dergan seorang gadis cantik jelita yang bebas dan berani, sesaat
mulutnya seperti tersuimbal tak mengeluarkan suara.
”Ai, katakanlah, mengapa kau diam saja.'' bola matanya yang jeli
dan bening itu pelerak pelerok genit dan mesra
„Mo-in Siancu kau tidak tahu malu, coba, katakan maksudmu
sebenarnya, aku Suma Bing tidak suka menikmati tingkahmu yang
manis ini"
„Aku cinta padamu aku hendak menolongmu." „Terima kasih
akan kebaikanmu ini" “Suma. Bing, baiklah aku bicara terus
terang kepadamu.
Jikalau bukan serentetan bujukanku, saat ini kau sudah menjadi
seorang invalid- Loh Cu-gi tidak akan memberi ampun padamu,
aku mengatakan kepadanya untuk menggunakan pengaruh nama
serulingku untuk mengekang semangatmu dan mengorek asal usul
ilmu silatmu yang lihay itu. Kalau dugaanku tidak meleset pasti kau
sudah memperoleh Bunga- iblis bukan.?"

Ber-debar2 jantung Suma Bing, sungguh lihay gadis ini, tepat
benar dugaannya kalau menurut apa Yang dikatakan ini, agaknya
ucapannya tadi boleh dipercaya, tapi........
Kata Mo-in Siancu selanjutnya: „Loh Cu-gi licik dan banyak akal
muslihatnya untuk menghadapi kau dia sudah mengatur sepuluh
langkah biji caturnya seumpama, kepandaianmu setinggi langit juga
jangan harap dapat lolos dari kekangannya- Dua jenazah palsu itu
tidak membuat tubuhmu hancur lebur, Irama seruling iblisku ini,
baru langkah ketiga, terserah kau mau pencaya."
Tidak mau tidak Suma Bing harus percaya. tapi apakah maksud
tujuan orang benar2 seperti yang dikatakan itu? mungkin rnundur
itu untuk maju, biarlah dengan kenyataan saja untuk membuktikan,
tapi apakah rencananya selanjutnya? Sesaat hatinya risau dan sulit
mengambil kepuasan.
Kata Mo-in Siancu lagi: ”Suma Bing, kau percaya tidak terserah,
sekarang biarlah kutolong dulu meninggalkan tempat ini. Hanya
perlu kujelaskan terlebih dulu, aku sendiri tak mampu membuka
urat nadimu yang tertutup itu......"
Sampai disini keteguhan hati Suma Bing semakin goyah
sebenarnya ia tidak sudi menerima budi seorang gadis tapi dia
harus hidup terus untuk menuntut balas inilah harapannya
sekarang yang terbesar- Kalau dia dapat lolos dari kurungan
elmaut ini, boleh dikata memang merupakan suatu kejadian ganjil-
Setelah direnungkan sekian lamanya. Tiba2 la berkata: ”Entah
siapa nama nona yang harum?"
Mo-in Siancu tersentak kaget dan girang diluar dugaan, sahutnya:
”Aku bernama Phui Kiau-nio.''
„Nona ada pegangan dapat menyelamatkan diriku?"
„Tentu!"'

„Sebelumnya, perlu kuterangkan bahwa aku tidak mungkin
menerima uluran cintamu"
”Apa, kau........" ”Aku tidak mungkin cinta kepada nona, jikalau
nona terasa
putus asa, boleh silakan tak usah urus diriku." Berubah airmuka
Mo-in Siancu, sekian lama dia terlolong
memandangi Suma Bing, lalu katanya: ”Suma Bing takk duga aku
Phui Kiau-nio......ah sudahlah, memang salahku sendiri Yang
terlalu gampang mengudal perasaan- Tapi aku tidak akan
merubah maksudku-"
”Aku tidak bermaksud untuk memaksa kau,' Kata Suma Bing rada
risi dan kikuk.
Tiba2 terdengar derap langkah kaki yang agak lirih dar| kamar
sebelah
Segera Mo-in Sancu berkata berbisik; ”Ada orang datang
berbuatlah seperti kau sudah kehilangan semangat." — habis
berkata serulingnya diangkat kedekat bibirnya terus terdenga lah
irama seruling yang halus merdu.
Tiba2 terbuka sebuah pintu rahasia didinding sebelah sana
seorang perempuan setengah umur bergegas masuk Dia bukan
lain adakah istri Loh Cu-gi Ang-siu-li Ting Yan-
Kedatangan Ang-siu-li Ting Yan tanpa diundang ini benar2
mengejutkan Suma Bing dan Mo-in Siancu.
Mo-in Siancu menarik serulingnya lalu berkata tersenyum simpul :
„Ada urusan apakah Hujin berkunjung kemari!”
Alis Ang-siu-li Ting Yan berkerut dalam, sekilas dia me-lerok
kearah Suma Bing dengan gemes. lalu katanya, kepada Mo-in
Siancu: „Harap Siancu memaafkan kelancanganku
„Mana berani, Hujin ada keperluan apa?"

„Ada beberapa patah kata hendak kutanyakan kepada bocah ini,''
Mo-in Siancu mengerut kening, katanya ragu2: ”Menurut pesan
Sesepuh ketua.......... Hujin sendiri pasti sudah tahu akan aturan
itu bukan?"
Terpaksa Ang-siu-li, mengunjuk senyum kecut. Katanya
mendesak: „Aku hanya ingin tanya berapa patah,
„Kalau begitu silakan hujin tanya dia!' Ang-siu-li Ting Yan
beranjak kedepan Suma Bing bentaknya
bengis: “Suma Bing, aku hendak tanya padamu!" Suma Bing
terrsentak seperti bangun tidur sahutnya „Apa,
ada apa kau........'" ”Jawab pertanyaanku........" „Apa yang harus
kujawab?" “Cara bagaimana kematian putriku Loh Siau-ling?"
Bercekat hati Suma Bing, Loh Siau-ling sebenarnya dipukul
ma t i o l e h P h o a Cu - g i o k , t a p i s e ump ama P h o a
Cu - g i o k t i d a k memb u n u h n y a j u g a p a s t i d i r i n y a
y a n g a k a n memb u n u h g a d i s i t u k a r e n a d i a a d a l a h
p u t r i mu s u h b e s a r n y a - K a r e n a p i k i r a n n y a i n i
s e g e r a s a h u t n y a d i n g i n : ”Di p u k u l mamp u s
b a g a ima n a ? ”
„Kau yang membunuhnya?'' desis Ang-siu-li Ting Yan beringas.
“Akan kuhancur leburkan tubuhmu ini." sambil membentak,
sepuluh jari2nya yang runcing itu terus mencengkeram kebatok
kepala Suma Bing.
Tenaga Suma Bing sudah punah, terpaksa dia mandah saja
terima nasib dan menunggu ajal.
Mendadak sebuah suara yang dingin menjengek: “Hu jin, katamu
kau hanya ingin bertanya berapa patah kata eaja."

Tanpa kuasa Ang-siu-li Ting Yan menarik balik tangan-nya, tapi
lantas diayun lagi sambil berteriak penuh kebencian: “Aku hendak
membalas sakit hati putriku"
Ringan sekali Mo-in Siancu berkelebat maju terus mengulur
seruling diatas kepala Suma Bing, katanya Berat : ”Hujin,
seumpama hendak menuntut balas juga tidak perlu ter- gesa2!"
”Siancu." kata Ang-siu-li Ting Yan lesu, ”Maaf akan kecerobohanku
ini”
”Ah, Hujin terlalu sungkan, silakan kembali dulu." Sebuah
derap langkah yang berat lapat2 terdengar
mendatangi. Berubah airmuka Mo-in Siancu. Ang-siu-ll sendiri juga
mengunjuk rasa tegang, katanya: “Mungkin suamiku datang!"
Sekali loncat Mo-in Siancu tiba dipinggir pintu rahasia.begitu ujung
kakinya menginjak diatas tanah, pintu rahasia itu segera tertutup,
lalu ujung jarinya menekan sebuah batu diatas dinding, terbukalah
sebuah lobang sebesar kepalan tangan.
Karena kecerobohan Ang-siu-li setelah masuk lupa, menekan
tombol rahasia, pintu supaya tertutup lagi, hakikatnya mereka
takkan mungkin mendengar kedatangan orang ini, jikalau benar
Loh Cu-gi yang datang, situasi dalam ruang tahanan ini pasti
berubah
Mo-in Siancu mendekatkan mukanya kelobang kecil untuk
mengalingi pandangan sipendatang, lalu serunya dengan garang:
„Siapa yang datang itu?"
Terdengar sebuah suara yang dapat dikenal menyahut: „Siancu,
ini Cayhe!"
“Sesepuh ketua? Ada petunjuk apakah?"
”Apakah istriku ada.

„Ya memang Hujin pernah datang tapi sudah pergi lagi Sekarang
aku tengah bekerja menurut rencana, dan sudah mencapai taraf
yang sangat memuaskan Harap tuan kembali dulu ke Lengsiu-tiam
menanti kabar baik ini"
Keadaan kembali menjadi sunyi senyap, agaknya Loh Cu gi sudah
percaya dan sudah kembali.
Sambil menutup kembali lobang kecil itu Mo-in Siancu menyeka
keringat diatas jidatnya. tanpa terasa tercetus kata2nya: „Sungguh
berbahaya, jikalau secara diam2 tanpa bersuara dia masuk kemari,
pasti terbongkarlah kelemahan kita '
Seketika Ang-siu-li Cng Yan mengunjuk rasa kejut dia heran serta
curiga, tanyanya: „Apa kata Siancu?''
Karena lena Mo-in Siancu sampai lupa bahwa Ang-siu-li Ting Yan
masih berada dalam ruangan itu, kata2nya tadi sebenarnya
ditujukan kepada Suma Bing, maka begitu pertanyaan diajukan
baru dia tersedar akan kecerobohanhya, tapi dasar pintar dan
cerdik dengan tenang dia menerangkan: ”Hujin, aku masih ada
urusan penting yang harus kukerjakan, tentang kenapa, pasti
suamimu nanti dapat memberi penjelasan 'kepada Hujin Sekarang
silakan Hujin menyingkir dulu bagaimana?"
Agaknya Ang-siu-li ada pengertian sambil manggut2 dia
menyahut: “Maaf akan gangguanku ini," — setelah melirik kearah
Suma Bing dengan benci terus dia memutar tubuh..
Sebuah jeritan keras yang mengerikan terdengar dibarengi
dengan muncratnya air darah keempat penijuru. Kontan raga
Ang-siu-li Ting Yan terkapar roboh diatas tanah
Kiranya dengan cara kilat tanpa kepalang tanggung Mo-in Siancu
telah menyerang dan membunuh Ang-siu-li Ting Yan-
Suma Bing merinding dan kaget, serunya: Nona membunuh dia?"

Seakan tidak terjadi apa2 Mo-in Siancu ter-tawa2: ”Terpaksa harus
dibunuh untuk menutup mulutnya."
„Mengapa?" ”Jikalau dia sampai keluar dari kamar rahasia ini,
Kita tidak
ada waktu lagi untuk meninggalkah tempat ini." ”Kenapa pula
begitu ?” „Tadi tanpa sadar aku telah kelepasan omong. dia sudah
merasa cunga. sedang Loh Cu gi juga sedang mencari dia, dengan
kecerdikan Loh Cu-gi pasti dia dapat menerka sesuatu peristiwa
yang bakal terjadi, saat ini tenagamu hilang seluruhnya. ini
menambah kesukaran untuk lolos dari sini?"
Sampai sekarang baru Suma Bing paham akan duduknya perkara,
lambat laun hilanglah rasa curiganya terhadap Mo-in Siancu.
Kata Mo-in Siancu: „Mari sekarang juga kita harus pergi."
Sebetulnya Suma Bing sudah pasrah nasib bahwa riwayat
nya pasti tamat, siapa nyana. Situasi ternyata berubah sedemikian
cepat, sudah tentu hatinya merasa terharu, maka katanya: ”Untuk
selamanya pasti Cayhe tidak akan melupakan budi kecintaan
nona-'
”Sekarang tidak perlu banyak berkata, yang penting kita harus
segera keluar" — lalu dia menekan dinding sebelah kanan sana,
terbukalah sebuah pintu rahasiai lain. ”Mari berangkat!" — katanya
terus masuk lebih dulu kedalam pintu rahasia itu. Suma Bing
mengikuti dibelakangnya Kiranya diluar pintu rahasia itu adalah
sebuah lorong bawah tanah yang sangat panjang dan tera,sa
dingin lembab.
Lorong iny agaknya tak berujung pangkal, kadang2 tinggi kadang2
menurun rendah- Karena tenaganya lumpuh penglihatan Suma
Bing banyak berkurang didalam lorong ini gelap gulita sampai lima
jari sendiri juga tidak kelihatan, sambil menggeremet dan me-raba2
serta mendengarkan

derap langkah Mo-in Siancu dia berjalan sehingga sebegitu lama
meieka masih belum pergi jauh.
Akhimya Mo in Siancu menjadi tidak sabar, katanya ”Berjalan cara
demikian, sedikitnya kita harus membuang waktu setengah jam
baru dapat keluar dari lorong ini- Kalau sampai kenangan oleh Loh
Cu-gi, celakalah kita, berdua, seumpama tumbuh sayap juga
jangan harap dapat lolos."
Dengan ilmu saktinya yang digdaya kepandaian Suma Bing tanpa
tandingan, kini keadaan dirinya malah membuat susah orang lain
saja. berapa perih dan duka hatinya susahlah ia uraikan dengan
kata2, maka katanya risi: ”Kalau begitu silakan nona tanggal pergi
saja tak usah urus diriku lagi."
„Apa tinggal pergi? Suma Bing. kalau bukan karena kau masa aku
sudi menyerempet bahaya ini."
„Maaf akan kata2ku yang menyinggung tadi. hanya......''
„Sudahlah tak perlu banyak mulut, mari kau ikut aku'' tanpa
menunggu persetujuan Suma Bing lengannya terus di cekal
kencang lantas diseret dan sedikit dijinjing lari kedepan dengan
cepatnya-
Sepeminuman teh kemudian jalanan lorong itu terus menanjak
keatas kira2 ratusan tombak tinggmya, akhirnya sampailah mereka
diujung lorong terus Mo-in Siancu menekan alat rahasia sejalur
sinar matahari tiba2 mencorong masuk kedalam. Sesaat Suma
Bing tak kuasa membuka mata.-
Mo-in Siancu menghela napas panjang, tangan yang mengempit
Suma Bing masih belum dilepaskan. Keruan Suma Bing menjadi
malu dan kikuk, tanyanya: „Siancu, tempat apakah ini ?'
„Panggung hukuman." „Panggung
hukuman, apa artinya?"

„Tempat Bwe-hwa-hwe melaksanakan hukuman. Coba kau lihat
biar tegas, di kanan kiri itu merupakan sebuah garis batu dinding
yang hanya cukup lewat satu orang, di belakang dinding itu adalah
sebuah jurang yang dalam tak kelihatan dasarnya. Setiap kali
Bwe-hwa-hwe melaksanakan hukuman cukup sekali dorong saja
menyurung sipenyakitan kedalam jurang sana menjadi beres dan
tidak meninggalkan jejak!"
Suma Bing bergidik seperti kedinginan, katanya: "Marilah kita
cepat pergi."
„Nanti sebentar, aku sedang berpikir siapakah yang mampu
membuka urat nadimu yaHg tertutup itu. Selama belum terbuka
kau akan menjadi seorang invalid.'"
Suma Bing mendengus dengan gemes, lalu menghela napas dan
ujarnya: "Tak peduli aku harus mengorbankan apa segala, aku
harus berikhtiar membukanya."
„Suma Bing, memberanikan diri kupanggil kau sebagai adik.
Sekarang aku teringat seorang yang mungkin dapat membantu
kita."
„Siapa?" „Tay-mo-tho-ih!" „Dimanakah Tay-mo-tho-ih (tabib
bungkuk padang pasir)
sekarang berada?" “Diluar perbatasan!" „Sedemikian jauh,
dengan keadaanku ini masa kuat
menempuh perjalanan jauh." „Habis tiada jalan lain, kepandaian
semacam itu merupakan
kebanggaan Loh Cu-gi sendiri, sudah tentu dia takkan sudi
membukakan untuk kau!"
Bergolaklah darah panas Suma Bing, desisnya penuh dendam:
„Kalau aku tidak memberantas Bwe-hwa-hwe sampai se-akar2nya,
jangan namakan aku Suma Bing."

Tanya Mo-in Siancu sungguh2: „Sebenarnya ada permusuhan
apakah kau dengan Loh Cu-gi?"
Pada saat itulah mendadak terdengar sebuah gelak tertawa
panjang yang menusuk telinga. Berubah air muka Mo-in Siancu,
serunya gugup: „Celaka, cepat kita pergi!"
Tampak beberapa bayangan orang telah muncul diatas tembok
batu itu.
Seakan terbang semangat Suma Bing, dilihat dari keadaan dan
situasi, untuk menerobos keluar agaknya sesukar naik ke langit.
Betapapun tinggi Lwekang Mo-in Siancu juga takkan mampu
membawa kabur seorang yang telah kehilangan tenaganya.
Dalam pada itu bayangan2 beberapa orang telah melesat tiba dan
turun diatas tanah. Orang yang terdepan adalah Loh Cu-gi sendiri,
di belakangnya mengintil ketua Bwe-hwa-hwe Chiu Thong dan
Hwe-hun-koay-hud serta sicakar beracun Kho Wan. Sekejap saja
mereka sudah berdiri tiga tombak di hadapan Mo-in Siancu.
Loh Cu-gi menyeringai seram, ujarnya: „Siancu, kau tidak sengaja
bukan?"
Mo-in Siancu menyahut dingin: „Memang kusengaja, kau mau
apa?"
Wajah Loh Cu-gi membayang hawa kebuasan yang sadis,
semprotnya: ,.Siancu akan menyesal sesudah kasep."
Kata Suma Bing sambil menarik baju Mo-in Siancu: „Cici, silakan
kau tinggal pergi jangan pedulikan aku lagi."
„Jangan omong kosong," kata Mo-in Siancu tanpa berpaling, „Dik,
kalau terpaksa biarlah aku mendampingimu selamanya."
Suma Bing tergetar seperti kesetrom aliran listrik, baru beberapa
jam saja mereka berkenalan, namun orang sudi

berkorban untuk dirinya sampai sehidup semati. Katanya penuh
keharuan yang melimpah: „Cici, kau tiada harganya berbuat
begitu".
„Dik, mungkin inilah yang dinamakan jodoh yang membawa dosa,
tapi saat ini tak perlu kita risaukan tentang mati atau hidup!"
Loh Cu-gi ter-loroh2 panjang, ujarnya: „Suma Bing, kuperingatkan
sebelum kau mati, robahlah cara panggilan-mu, dia cukup menjadi
nenekmu tahu!"
Suma Bing berjingkat kaget, tak heran Loh Cu-gi dan sekalian
gembong2 penjahat itu sedemikian menaruh hormat dan tunduk
padanya; tapi lahirnya dia kelihatan masih sedemikian muda tidak
lebih dari dua puluhan tahun!
Mo-in Siancu melintangkan serulingnya, tantangnya: "Loh Cu-gi,
apa yang hendak kau lakukan?"
Dengan nada yang menakutkan Loh Cu-gi berkata: "Siancu, apa
istriku harus mati secara penasaran? Tidak bukan?!"
„O, jadi kau hendak menuntut balas bagi dia." „Hutang jiwa
bayar jiwa, inikan sudah umum dan jamak!" „Jangan kau main
gertak terhadap aku. Sudahkah kau
bayangkan akibat dari irama seruling iblisku?" „Siancu kau takkan
ada kesempatan merampungkan
sebuah lagumu saja?" Lahirnya Mo-in Siancu berlaku tenang,
sebenarnya hatinya
risau dan kebat-kebit, dia sendiri paham kesempatan untuk menang
sangat mendesak. Mengandal kepandaian Loh bertiga, sedikitnya
kuat bertahan sampai lima gelombang irama serulingnya. Meskipun
kelima gelombang irama iblis-nya ini dapat dilancarkan dalam waktu
yang pendek sependek2nya, namun waktu yang sekian pendek ini
juga sudah cukup berkelebihan untuk ketiga orang ini melancarkan

pukulannya untuk menyerang dirinya. Kalau hendak meloloskan diri
saja tenaganya cukup berkelebihan, tapi bagaimana dengan Suma
Bing? Bukankah dia sudah berjanji hendak mendampinginya selalu.
Sudah tentu Suma Bing juga sudah dapat menerawangi situasi
yang tegang dan akibatnya, maka katanya kepada Mo- in Siancu:
„Cici, lulusilah sebuah permintaanku."
„Urusan apa?" „Kuharap kau dapat sekuatnya meloloskan diri
sendiri." „Tidak dik, sudah kukatakan..........................." „Cici,
kalau kau tidak mau melulusi, aku akan mati tidak
meram!" „Tidak mungkin." „Cici kalau kau dapat membawakan
kabar untukku,
seumpama harus mati aku akan mati dengan lega dan puas."
„Pesan apa yang hendak kau katakan?" Karena jalan darah
tertutup maka tak mungkin Suma Bing
dapat melancarkan ilmu Thoan-im-jip-bit, terpaksa dia berkata
berbisik: „Belum lama berselang, yang ikut pertempuran sengit
diluar markas besar itu diantaranya ada dua belas gadis
serba putih. Kumohon kau beritakan keadaanku ini kepada salah
satu diantara mereka."
Loh Cu-gi bergerak tertawa, serunya: „Siancu” tiada waktu lagi,
kalau masih ada omongan apa silakan katakan Kalam perjalanan
menuju ke neraka saja."
Mo-in Siancu bersikap tak acuh dan pura2 tidak mendengar, hanya
matanya tetap menatap tajam kearah lawan, namun mulutnya
berkata kepada Suma Bing: "Dik, apa kabar berita ini sangat
penting?"

„Sudah tentu, ini menyangkut cita2ku yang belum
terlaksana..........................."
,Dik, mungkin kita masih ada kesempatan untuk lolos!..."
”Agaknya tak mungkin. Ada lebih baik menggunakan
kesempatan ini hendak kuberkata sepatah kata kepadamu. Selama
hidup ini aku akan menyesal dan berhutang budi kepadamu".
Mereka berdua bukan terhitung sepasang kekasih, sebab biasanya
cinta itu harus berpadu antara dua insan yang berlawanan.
Bahwasanya Suma Bing tidak menerima curahan cinta orang,
sebaliknya secara sepihak Mo-in Siancu mencurahkan seluruh
cintanya. Pertemuan mereka yang aneh dan kebetulan itu, mungkin
akan membawa akibat yang menyedihkan, agaknya hal ini tak
mungkin dihindari lagi. Saat itu, memang banyak sekali omongan
yang hendak dicurahkan, namun situasi yang mendesak ini
terpaksa biarlah selama terpendam dalam sanubari masing2.
Suara Suma Bing terdengar gemetar, katanya lagi: „Ci-ci,
dapatkah kau menyampaikan beritaku itu?"
Nada perkataan Mo-in Siancu seberat laksaan kati: „Dik, untuk
harapanmu itulah aku harus tetap hidup."
„Cici, selamanya aku berterima kasih kepadamu." „Dik masa
kau masih sedemikian kikir untuk mengatakan?" Tanpa merasa
ragu Suma Bing bergoyang gontai hampir
roboh, suaranya gemetar : „Aku............... suka pada......... kau!"
Dalam pada itu, Loh Cu-gi, Hwe-hun-koay-hud dan si cakar beracun
Kho Wan sudah mencari kedudukan mengepung mereka, jarak
mereka kini tinggal setombak lebih. Jikalau ketiga gembong silat
lihay ini serentak melancarkan serangannya yang celaka lebih dulu
pasti Suma Bing adanya.

Sepasang mata Mo-in Siancu memancarkan sinar kebencian,
seruling batu giok diangkat melintang didepan dadanya.
Suma Bing berteriak dengan garangnya: „Loh Cu-gi, ingin rasanya
kukremas tubuhmu, saat itu kelak pasti akan terlaksana."
Loh Cu-gi mendengus ejek: „Bedebah, tak mungkin tiba hari itu."
— habis ucapannya, bagai singa mengaum keras dia memberi
aba2 : „Maju !"
Badai angin pukulan yang dahsyat ini serempak mener-jang kearah
mereka berdua dengan hebatnya. Mengayun dan menggerakkan
serulingnya Mo-in Siancu kerahkan seluruh tenaganya untuk
memapak serangan gabungan tiga musuhnya.
Ditengah suara benturan menggelegar ini, kontan Mo-in Siancu
tersurut mundur lima langkah. Sedang Suma Bing yang berada di
belakangnya tergulung terbang ke tengah udara setinggi tiga
tombak meluncur jatuh dan terbanting keras. Namun sambil
menggigit gigi dia merangkak bangun.
Loh Cu-gi menyeringai sadis, sebelah tangannya pelan2
diangkat...........................
„Kiu-yang-sin-kang!" tanpa merasa Suma Bing berteriak kejut.
Tepat pada waktu itu juga sejalur sinar merah melesat keluar
secepat kilat, dalam waktu yang bersamaan, gesit dan selicin belut
Mo-in Siancu menyeret Suma Bing melesat menyingkir setombak
lebih.
Suara seruling iblis Mo-in Siancu sudah mulai ditiup. Tiga bayangan
manusia dengan kecepatan kilat sekaligus menubruk kearahnya.
Sambil tetap meniup serulingnya, Mo-in Siancu sigap sekali
memutar sebuah tangannya terus didorong ke depan. Dan secara
kebetulan Loh Cu-gi bertiga yang

meluncur datang tepat memapak kearah angin pukulan serangan
Mo-in Siancu ini. Saking dahsyat angin pukulan ini, kontan mereka
bertiga tertolak turun dan mengin-jak tanah, sedang Mo-in Siancu
sendiri juga terhuyung- huyung.................................
Irama seruling mendadak melengking tinggi, se-olah2 laksaan
tentara serentak menyerbu maju. Sicakar beracun yang
Lwekangnya agak rendah seketika pucat pasi, keringat dingin
membasahi jidatnya. Para anak buah Bwe-hwa-hwe yang
mengepung diluar gelanggang pertempuran juga mulai kacau
balau.
Loh Cu-gi dan Hwe-hun-koay-hud sendiri juga bercekat hatinya,
kalau Mo-in Siancu dibiarkan terus meniup serulingnya pasti
mereka berdua juga susah dapat melawan, demikian batin mereka
bersama dalam hati. Sambil menggerung keras, serentak mereka
bergerak menghantam dengan seluruh kekuatan tenaganya.
Terdengar jeritan panjang yang mengerikan, tampak tubuh Suma
Bing ber-putar2 terbang ketengah udara terus melesat jatuh
kedalam jurang yang dalam sana. Irama seruling seketika sirap
dan berganti suara pekik gugup dan ketakutan, sebat sekali Mo-in
Siancu meluncur menyambar ke arah tubuh Suma Bing, tapi sudah
terlambat......
Bagai bintang jatuh Suma Bing sudah meluncur jauh ketengah
jurang sana, hanya tertinggal suaranya yang menjerit panjang
bergema ditengah udara. Hancur luluh sanubari Mo-in Siancu,
saking duka dia menjadi gusar dan mengamuk, serulingnya
digerakkan berpetakan sinar berkeredep terus menubruk balik
kearah musuh2nya dengan kalap.
Terdesak dan kaget karena kehebatan serangan seruling yang
mengacam jiwa ini, terpaksa Loh Cu-gi dan Hwe-hun- koay-hud
melompat mundur. Celaka adalah sicakar beracun, sedikit berlaku
lena, baru saja tubuhnya bergerak sinar

seruling sudah menungkrup keatas kepalanya. Dimana terdengarjeritan
keras, kontan batok kepala si cakar beracun hancur lebur
dan tamatlah riwayatnya.
"Sundel, terimalah kematianmu!" sambil menghardik Loh Cu-gi
sudah memutar balik secepat angin lesus sambil kirim pukulannya
ke arah Mo-in Siancu.
Memang Mo-in Siancu sudah bertekad untuk gugur bersama,
serulingnya diputar sekencang kitiran terus menubruk maju juga
melawan dengan kekerasan pula. Dalam seke-jap mata saja,
mereka sudah serang-menyerang sebanyak enam gebrak, tenaga
kekuatannya seimbang.
Tiba2 sinar merah merangsang masuk ke dalam gelanggang
pertempuran, kiranya Hwe-hun-koay-hud juga tidak mau
ketinggalan turut mengerubut, keruan situasi pertempuran seketika
berubah. Sepuluh jurus kemudian Mo-in Siancu sudah terdesak
mundur tanpa mampu balas menye- rang lagi, ber-ulang2
menghadapi detik2 berbahaya, dilihat dari keadaannya yang
mengenaskan ini, mungkin dalam lima gebrak lagi pasti jiwanya
bisa melayang dibawah kerubutan dua gembong iblis jahat ini.
-ooo0dw0ooo-
59. RAJA IBLIS SERATUS MUKA MENOLONG SUMA BING
Sedikit mengendorkan serangannya, Loh Cu-gi menyeringai
iblis: "Phui Kiau-nio. aku harus namakan kau dewi atau
sundel. Kiu-yang-sin-kang cukup dapat membumi hanguskan
tubuhmu, namun cara demikian terlalu murah untuk kau, tahukah
kau cara bagaimana aku akan menghadapimu?
Hahahaha.............................."

Rambut Mo-in Siancu awut2an, wajahnya berkeringat dan pucat
pias, napasnya juga kempas-kempis.
Setelah merandek sejenak Loh Cu-gi berkata lagi: "Sundel,
sedemikian cantik jelita wajah dan tubuhmu menggiurkan kalau
kuhancurkan sungguh sangat sayang, nanti setelah kau kehabisan
tenaga, baru kututuk urat nadimu untuk memunahkan seluruh ilmu
silatmu. Hehe, dengan ke- molekanmu ini, biarlah para anak
buahku menikmati ha- rumnya bunga secara bergilir didalam
kamar..............."
„Tutup mulutmu!" Mo-in Siancu berteriak beringas, matanya
mendelik besar, seruling ditangannya bergerak semakin gencar dan
ganas, tapi seumpama semut didalam kuali kekuatannya juga
hampir terkuras habis, tingkahnya ini malah menjadi buah
tertawaan Hwe-hun-koay-hud.
"Roboh!" serentak Hwe-hun-koay-hud lancarkan delapan kali
pukulan berantai, geledek dan bayu menggelegar dan berhempas
kencang, perbawa serangan ini sungguh menakjupkan. Kontan
Mo-in Siancu pentang mulutnya darah segar segera menyemprot
bagai anak panah, sedang tubuhnya juga terhuyung lima tindak,
terus roboh celentang diatas tanah. Seruling ditangannya terbang
terpental jatuh ke dalam jurang.
„Ah, sayang sekali!" tanpa merasa Loh Cu-gi berseru kejut.
Pada saat yang bersamaan itulah para anak buah Bwehwa-
hwe yang berada diatas dinding batu sebelah sana tiba2
menjadi gaduh, lalu disusul terdengar jerit dan pekik kesakitan
dan ketakutan, satu per satu mereka terjungkal jatuh dari atas.
„Apa yang terjadi?" — Ketua Bwe-hwa-hwe Chiu Thong berseru
kejut terus melesat memburu tiba ke tempat itu.
Laksana seekor burung raksasa merah Hwe-hun-koay-hud juga
tidak ketinggalan memburu maju ke arah tempat itu.

Loh Cu-gi sendiri tak urung juga berubah pucat air mukanya.
Tampak sebuah bayangan hitam lencir tengah melayang keluar
dari jalan rahasia sebelah samping dan ringan sekali bayangan itu
meluncur tiba di tengah ge- langang.
„Racun diracun!" — hardik Loh Cu-gi murka. Sinar merah melesat,
kontan Kiu-yang-sin-kang dilancarkan untuk menyerang.
Sungguh lihay dan indah gerak gerik Racun diracun, tubuhnya
jumpalitan ke arah kiri begitu kaki menyentuh tanah terus berputar
balik pula ke tempat asalnya. Berbareng dengan gerak tangannya,
bau harum segera terbawa angin merangsang ke arah Loh Cu-gi.
Seketika Loh Cu-gi merasa mata ber-kunang2, kepala terasa berat.
Diam2 dia mengeluh dalam hati: „Racun!" cepat2 dengan hawa
murninya dia tutup panca indranya terus berputar ke seluruh sendi
dan urat nadi, berbareng tubuhnya melesat ke tempat yang
berlawanan dengan hembus angin lalu.
Pada saat Loh Cu-gi melesat menyingkir itulah, tiba2 Racun
diracun menjinjing Mo-in Siancu yang rebah diatas tanah itu,
terus berlari ke arah yang berlawanan.
Maka anak buah Bwe-hwa-hwe yang menjaga di bagian tugu
sebelah sana be-ramai2 keluar mencegat dan merintangi jalan
larinya.
Begitu tangan Racun diracun bergerak mengebut, beberapa orang
yang memapak paling depan kontan menjerit roboh, tujuh lobang
indranya mengalirkan darah hitam. Keruan yang masih ketinggalan
hidup serasa terbang ar-wahnya, cepat2 mereka menyingkir
kesamping memberi luang bagi jalan Racun diracun. Maka dengan
gamang saja Racun diracun terbang menghilang dalam se-fejap
mata.

Waktu Hwe-hun-koay-hud beramal menyusul tiba dari arah Yang
lain, keadaan sudah sunyi senyap, mana pula tampak bayangan
Racun diracun.
Memangnya Racun diracun sendiri paham bahwa mengandal ilmu
silat tak mungkin dirinya kuat bertahan menghadapi Loh Cu-gi dan
Hwe-hun-koay-hud, maka secara mendadak dia membokong
dengan racunnya yang hebat itu terus menghilang tanpa jejak.
Setelah berlarian sepuluh li lebih baru dia mencari sebuah gua dan
meletakkan Mo-in Siancu diatas tanah. Sebetulnya luka Mo-in
Siancu tidak sedemikian berat sampai tidak bisa bergerak atau
tidak bisa berjalan. Bahwasanya dia hanya pura2 pingsan untuk
mencari kesempatan meloloskan diri. Suma Bing sudah terjatuh
kedalam jurang, tak mungkin jiwanya bisa hidup. Dia masih ingat
akan pesan Suma Bing yang minta mengirimkan kabar, dan lagi
sakit hatinya ini betapapun dia harus membalas juga.
Baru saja Racun diracun meletakkan tubuhnya, dia lantas
bergegas bangun berdiri hal ini malah membuat Racun diracun
berjingkrak kaget.
Sudah tentu Racun diracun ini adalah duplikat Phoa cu- giok.
„Kau mikah Racun diracun?" segera tanya Mo-in Siancu dengan
heran.
Phoa Cu-giok mengiakan. Kalau dulu mendengar cara Mo-in
Siancu bertanya yang
kasar begitu pasti Phoa Cu-giok tidak sudi menjawab malah
mungkin membunuhnya. Sekarang lain halnya dengan Phoa
Cu-giok tempo hari, dan lagi dia sudah tahu jelas asal-usul orang
maka dia tidak ambil dalam hati.
Tanya Mo-in Siancu lagi: „Kenapa kau menolong aku?"
„Karena Suma Bing !" „Kenapa pula dengan Suma Bing?"

„Sebab Cianpwe pernah menolong Suma Bing, maka terpaksa
Wanpwe harus menyerempet bahaya turun tangan."
„Apa hubunganmu dengan Suma Bing?" „Hubungan kita sangat
erat, maaf aku tidak dapat
menjelaskan." Mata Mo-in Siancu berlinang air mata, katanya pilu:
”Dia
sudah meninggal." „Wanpwe akan menuntut balas bagi dia." „Aku
juga pasti menuntut balas untuknya, tapi, aku harus
mengerjakan sesuatu.................." „Dia ada permintaan apa
kepada Cianpwe?" „Ini..................dia minta aku menyampaikan
pesannya." Racun diracun berpaling ke mulut gua dengan gelisah,
tanyanya: "Luka Cianpwe..............." „Tidak menjadi soal!" „Kalau
begitu Wanpwe minta diri!" habis berkatayya
memberi hormat terus berlari keluar gua. Dengan pandangan
yang tak habis mengerti Mo-in Siancu
memandangi bayangan orang menghilang di kejauhan sana,
entah bagaimana perasaan hatinya susah dibayangkan.
Sampai disini marilah kita ikuti keadaan Suma Bing yang meluncur
jatuh kedalam jurang, tubuhnya meluncur semakin cepat,
mendadak dia merasa seluruh tubuhnya terge tar hebat seperti
menumbuk sesuatu, saking kesakitan dia kehilangan
kesadarannya. Rasa sakicang nyeri membuat dia tersedar lagi dari
pingsannya.
„Eee, kiranya masih hidup!" terdengar sebuah suara yang serak
dan berat.

Waktu Suma Bing membuka mata per-tama2 yang terlihat olehnya
adalah seorang tua berambut uban yang buta sepasang matanya,
orang tua ini duduk bersila di hadapannya, sedang dirinya tengah
rebah diantara tumpukan tulang- belulang manusia.
Sedikit bergerak miring saja kontan dia merasa seluruh tubuh
kesakitan luar biasa se-akan2 tulang2 ruasnya copot hampir saja
dia jatuh pingsan lagi.
„Sungguh ajaib!" terdengar si orang tua buta itu berseru heran.
Setelah kesadaran Suma Bing pulih seluruhnya dengan tajam ia
awasi si orang tua buta duduk bersila di hadapannya ini, seketika
mulutnya melompong keheranan tak dapat bicara. Dari tempat
sedemikian tinggi dirinya jatuh namun tidak mati, ini sudah suatu
keajaiban, yang lebih aneh didalam jurang ini ternyata masih
tinggal seorang hidup, lebih diluar dugaan lagi. Kata pula si orang
tua buta: „Kudengar dari suaramu agaknya kau ini seorang bocah
cilik ya?"
Suma Bing mengiakan, lalu bertanya: „Bagaimana Cian-pwe bisa
tinggal ditempat seperti ini?"
„Tinggal ditempat ini ? Hahahaha..................” Nada
tertawanya seperti orang gila yang menangis,
sedemikian keras suaranya sehingga kuping Suma Bing hampir
pecah. Batinnya, latihan tenaga dalam orang tua ini agaknya tidak
lemah, maka segera tanyanya lagi: „Entah siapakah nama
Cianpwe yang mulia?"
Balas tanya si orang tua tanpa mempeduli pertanyaan ima Bing:
„Buyung, bagaimana kau sampai terjatuh ke dalam jurang ini?"
”Terpukul jatuh kemari!" „Kau ini termasuk anak
buah dari bagian mana?"

„Aku...............Cayhe bukan anak buah Bwe-hwa-hwe !" ”Lalu
kenapa bisa...................” ”Aku terjebak !" ”Kau terjatuh kesini
dan tidak mati ini sudah aneh, hampir
saja lohu............" ”Hampir kenapa?" ”Kusangka kau sebagai
hidangan lezat !"tanpa merasa
Suma Bing merinding, apa mungkin orang ini makan daging
manusia untuk melewatkan hidupnya dalam jurang ini? Serta merta
pandangannya menyapu kesekelilingnya. Didapatinya jurang ini
berbentuk lurus seperti sebuah sumur, luasnya tidak lebih hanya
setengah hektar, tulang2 putih bertumpuk di mana2, keadaan yang
remang2 menambah suasana menggiriskan dan seram
menakutkan. Baru sekarang Suma Bing merasakan hawa apek dan
hampir saja dia muntah2 saking nek dan mual.
„Orang yang kelaparan tak memilih segala makanan lagi kau
tahu?"
Lalu terdengar tenggorokan berbunyi agaknya tengah menelan air
liur, lalu katanya lagi mendesis: „Buyung, Lohu............" sepasang
tangannya yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang
meraba keatas tubuh Suma Bing Serasa terbang semangat Suma
Bing, luka dalamnya sangat berat ditambah luka2 luar apalagi jalan
darah dan urat nadinya tertutup, sehingga tenaga untuk berontak
atau meronta saja tak kuasa sampai membalik tubuh saja juga
tidak bisa. Hanya terasakan suatu perasaan ketakutan yang
mencekam hatinya, darah juga seolah berhenti mengalir, makinya
gemetar: „Tua bangsat, berani kau!"
Si orang tua se-olah2 tidak mendengar, kedua tangannya terus
me-raba2 dan memijat-mijat di seluruh tubuh Suma

Bing, mendadak dia menarik balik tangannya sambil berseru
kejut: „Buyung, tidak heran kau tidak sampai mati!”
Suma Bing menghela napas lega, tanyanya: „Apa kata Cianpwe ?"
„Ajaib, aneh bin ajaib !" „Ajaib? Apanya yang ajaib?'
”Memang Lwekangmu sangat tinggi tentu jarang tandingan
didalam Bu-lim. Urat nadimu tertutuk oleh cara memutuk nadi dan
menutup hawa murni, dan oleh karena inilah malah melindungi
jalan darah jantungmu yang terpenting, hingga dari ketinggian
sekian ini kau tidak mampus terpelanting"
Jantung Suma Bing berdebur keras, tak tersangka sekali raba
siorang tua buta aneh ini sekalligus dapat mengetahui bahwa urat
nadinya tertutuk buntu, agaknya orang tua ini. bukan tokoh
sembarang tokoh. Sekuntum bunga harapan ketika tumbuh dalam
hati kecilnya yang sudah putus asa Kalau orang tua ini
mengetahui seluk beluk tentang menutup urat nadi tentu juga
paham cara membukanya
Tapi siapakah dan tokoh macam apakah siorang tua Ini? Kenapa
dia terjatuh juga didalam jurang ini sehingga menjadi cacat?
Puncak dari atas jurang ini adalah merupakan Panggung Hukuman
Bwe-hwa-hwe, bukan mustahil dia salah satu pesakitan yang
dijatuhi hukuman......
„Buyung, apa kau masih ingin hidup?'" mendadak siorang tua
bertanya
Suma Bing tersentak kaget: „Apa maksud ucapan Cianpwe ini?"
“Kalau kau masih ingin hidup, Lohu dapat membuka urat nadimu
yang buntu, tapi........"
„Apa syaratnya?"

„Mungkin tak urung Mau juga harus mati, ketahuilah dinding
jurang yang curam setinggi ratusan tombak ini, seumpama kera
juga jangan harap dapat manjat naik."
„Hal itu Wanpwe dapat mencobanya!" serunya Suma Bing girang
dan terharu.
„Baiklah, mari biar Lohu bebaskan penderitaanmu ini." sambil
berkata segera jarinya bergerak menutuk dengan cepat.
Begitu hawa murni dalam tubuh Suma Bing terbuka, terasa hawa
murni seperti air dalam bendungan yang bobol melanda keluar
bagai air bah. Dalam sekejap saja mengalir dan memenuhi seluruh
tubuh, rasa kesakitan yang menyiksa badan sekian lama seketika
hilang seluruhnya, tergegas dia bangkit berdiri
Kata siorang tua buta sambil menarik balik jari2nya. ”Buyung,
kau harus berobat " Suma Bing menurut, segera dia duduk
diatas tanah dan
mengheningkan cipta mengerahkan tenaga mengobati luka
dalamnya- Kiu-yang-sin-kang dan Giok-ci-sin-kang adalah dua
unsur ilmu silat yang tiada bandingannya dijagat ini. Tak sampai
setengah jam kemudian semangat dan kesegaran tubuhnya sudah
pulih seluruhnya, kesegaran badannya juga bertambah lipat
ganda, begitu sepasang matanya dipentang. seluruh keadaan
dalam jurang itu dapat dilihatnya dengan jelas. Pemanaangan
semacam ini sungguh sangat seram dan mengerikan, dimana2
terlihat mayat2 bergelimpangan tiada tempat luang.
Terdengar siorang tua buta berseru memuji: „Buyung, hebat benar
Lwekangmu.''
Segera Suma Bing membungkuk memberi hormat: „Sungguh tak
ternilai besarnya budi Cianpwe ini, adakah keperluan yang harus
wanpwe lakukan?"

“Buyung, apa kau ada pegangan dapat terbang keluar dan jurang
sumur ini?''
„Mungkin tidak terlalu sulit!'' „Bagus, susah payahku tidak sia2,
matipun aku dapat
merarn!" „Sudah tentu Wanpwe akan berusaha menolong
Cianpwe
keluar dari tempat ini......'" “Tidak perlu lagi!" „Tidak perlu?
Cianpwe...." „Sepasang mata Lohu sudah buta, urat nadi kakiku
juga
sudah putus, masa ada muka aku muncul lagi dimuka umum?''
Suma Bing terperanjat, tanyanya: “Apa Cianpwe
teraniaya........" Rambut ubanan siorang tua buta mendadak
berdiri tegak,
giginya berkerot gusar, desisnya: “Buyung. kuminta kau
melakukan sesuatu untukku!"'
„Wanpwe wajib melakukan!" ”Bagus, kau harus menuntut
balas untukku!" „Harap tanya siapakah musuh itu......'"
„Mengandal Lwekangmu sekarang cukup berlebihan,
sungguh Tuhan maha pengasih!" „Siapakah musuh besar Cianpwe
itu?" ”Dia termasuk murid keponakanku. Dengan jarum emas
kedua mata Lohu ini ditusuk hingga picak (buta), urat nadi kakiku
juga dipotong terus diterjunkan kedalam jurang sini, sampai
sekarang sudah tujuh hari lamanya, siapa-nyana ditempat seperti
neraka ini aku bisa bersua dengan bocah seperti kau-"'
„Siapa dan apakah nama julukan orang itu?"

„Sesepuh ketua Bwe-hwa-hwe Loh Cu-gi''' Bercekat hati Suma
Bing, tanyanya gemetar: ”Loh Cu-gi ?” „Ya, kau sendiri sampai
terjatuh kemari tentu juga....” ”Siapakah nama Cianpwe.?”
“Akulah Pek-bin-mo-ong” Suma Bing berjingkrak mundur saking
kaget seperti
disamber geledek- Siapa nyana orang tua buta dan cacat kedua
kakinya ini kiranya adalah Raja iblis seratus muka yang sangat
diharap2kan untuk dilenyapkan- Agaknya Pek-bin-mo- ong
merasakan keganjilan sikap Suma Bing yang mendadak berubah,
tanyanya heran: „Buyung, ada apakah?"
Dalam waktu singkat Suma Bing tak kuasa menjawab, orang tua
ini adalah musuh besarnya, tapi juga penolong jiwanya.
„Eh, ada apakah?" tanya Pek-bin-mo-ong sekali lagi. Kata
Suma Bing dingin: „Menyamar sebagai Sia-sin kedua
Suma Bing, menipu Kiu-im-cin-keng dari Perkampungan bumi,
mencuci bersih dengan darah seluruh Bu-khek-po, merampas Kipas
pualam dan membunuh tiga Tianglo serta lima pelindung partai
Ngo-bi-pay, merebut Ce-giok-pe-yap dan membunuh
Si-gwa-sian-jin......'"
Mendadak Pek-bin-mo-ong bangkit berdiri, tapi karena kedua
kakinya sudah cacat dia jatuh terduduk lagi, serunya kejut:
„Buyung, kau tahu semua?"
„Sudah tentu aku tahu, karena akulah Suma Bing tulen!'" Badan
Pek-bin-mo-ong limbung hampir roboh, wajah tuanya bergemetar
ber-kerut2, saking terharu mulutnya menggumam entah apa yang
diucapkan
Untuk melenyapkan Pek-bin-mo-ong sekarang ini bagi Suma Bing
segampang membalikkan tangan, tapi orang tua ini tadi telah
menolong jiwanya. berarti dirinya berhutang budi,

apalagi sekarang dia sudah menjadi seorang tua yang buta dan
cacat. Mimpi juga dia tidak menduga bakal bertemu dengan
musuh besar yang selalu dicarinya di dalam jurang seperti neraka
ini.
Kata Pek-.bin-mo-ong dengan lesu dan patah semangat: ”Jalan
Tuhan itu memang lurus ke-mana-2 juga akhirnya bertemu, Suma
Bing, bolehlah kau turun tangan"
Lama dan lama kemudian baru Suma Bing menghela napas dan
berkata: „Dendam dan budi saling himpas, berarti diantara kita
sudah tiada utang-piutang lagi- Tapi seperti yang pernah
kuucapkan tadi, betapapun, aku tetap akan membawamu keluar
dan tempat ini?'
”Suma Bing, mengandal ucapanmu ini, baiklah Lohu mendoakan
supaya daun jatuh kembali keakarnya, Lohu sudah bertekad untuk
tetap tinggal disini selamanya."
Suma Bing merasa seriba kikuk dan tak enak, bagaimana juga
jiwanya ini telah tertolong oleh orang tua cacat ini, maka katanya:
„Tuan benar2 sudah bertekad demikian?"
„Suma Bing, usia Lohu sudah hampir seabad apalagi yang perlu
diberatkan, Lohu seorang yang dekat dengan liang kubur, namun
aku masih ingin mengetahui suatu rahasia."
”Tentang apakah Itu?" „Apa benar kau telah memperoleh
Pedang darah dan Bun
g a - i b l i s ? " T e r g e r a k h a t i S u m a B i n g ,
s e t e l a h m e n g i a i k a n d i a b a l a s
bertanya: “Bendai2 pusaka yang telah tuan peroleh itu apakah
semua terjatuh ketangan Loh Cu-gi?"
Sekian lama Pek-bin mo-ong merenung, lalu ujarnya kalem:
„Betapa jaya dan tenar nama Lohu selama ini sudah malang
melintang melakukan berbagai pekerjaan besar, siapa nyana
dalam usia yang sudah lanjut- ini malah terjungkal ditangan Loh
Cu-gi binatang itu. Mungkin inilah yang dinamakan hukum

alam. Memang Kipas pualam dan Daun giok ungu telah berada
ditangan manusia serigala itu."
„Lalu Kiu-im-cin-keng dimana?'' Tubuh Pek-bin-mo-ong
gemetar semakin keras, wajahnya
juga berkerut2, desisnya dengan penuh kebencian: „Karena soal
buku itulah maka mata Lohu dibutakan serta diputus urat nadi
kedua kakiku ini, terus diterjunkan kedalam jurang ini.''
Sampai disini dia menelan ludah lalu melanjutkan penuturannya:
„Besar tekad Loh Cu-gi hendak mempersatukan Kiu-im cin-keng
dengan Kiu-yang-sin-kang supaya dapat terlatih ilmu kombinasi
yang dinamakan Bu-khek-sin-kang Hehe, manusia berusaha.
Tuhanlah yang menentukan, setelah Lohu memperoleh
Kiu-im-cin-keng itu tak lama kemudian telah hilang lagi........"
Keruan bercekat hati Suma Bing, Kiu-im-cin-keng adalah benda
peninggalan leluhur dari Perkampungan bumi yang paling
berharga dan tak ternilai, hatinya menjadi gugup dan bertanya:
„Siapakah yang telah memperolehnya?"
„Pek-kut Bujin!" Suma Bing menghela napas lega, Pek-kut Hujin
adalah
duplikat penyamaran bibinya, kalau buku itu terjatuh ketangannya
seperti juga dirinya sendiri yang telah merebutnya
kembali.
Kata Pek-bin-mo-ong lagi: „Loh Cu-gi menyangka Lohu sengajia
hendak mengangkangi Kiu-im-cin-keng itu, maka tak segan2 dia
turun tangan keji terhadapku''
Diam2 Suma Bing memaki dalam hati: “Bangsat durjana yg.
kejam telengas!"
Pek-bin-mo-ong adalah Suheng dari mertuanya Pek-chio Lojin,
sedemikian tega dia turun tangan.

Tiba2 dari tumpukan tulang2 sebelah sana menonjol keluar sebuah
benda putih yang berkilauan. Segera Suma Bing maju mendekat
dan memungutnya. Seketika hatinya dingin dan berkeringat
Seluruh tubuhnya Itulah seruling batu giok milik Mo-in Siancu,
kalau seruling ini terjatuh kesini pasti keselamatannya juga dalam
bahaya.
Karena batinnya ini dia merasa tak dapat mengabaikan waktu
yang sangat berharga meskipun hanya sedetik jua, cepat2 dia
kembali kedepan Pek-bin-mo-ong dan katanya: “Tuan, setulus hati
aku berkata, tetap aku ingin berdaya untuk membawa tuan keluar
dari tempat yang mengenaskan ini.''
”Kuucapkan banyak terima kasih dan kuterima kebaikan mu ini,
tapi tak usahlah!"
Melihat orang tua ini berkukuh Suma, Bing tidak enak terlalu
memaksa maka katanya: „Kalau begitu Cayhe segera akan pergi !"
„Ya, nanti dulu. Lohu masih hendak berkata: Loh Cu-gi sudah
memiliki semua kedok penyamaranku, binatang itu sangat licik tan
telengas, kau harus selalu meningkatkan kewaspadaanmu jangan
lena sedetikpun!''
„Terima kasih akan petunjuk ini!'' ujar Suma Bing terus memutar
badan. ......
'Brak" terdengar sebuah suara lalu disusul benda berat yang jatuh
ketanah.
Waktu Suma Bing berpaling, seketika dia terkesima ditempatnya
Kiranya Pek-bin-mo-ong telah bunuh diri dengan memukul hancur
batok kepalanya sendiri.
Setelah ragu2 rekian lama lalu dia mengeduk tanah didasar jurang
itu untuk memendam jenazahnya dan membangun sebuah batu
nisan yang bertuliskan: „Tempat istirahat Pek- bin-mo-ong" enam
huruf dengan ukiran jari tangannya.

Setelah semuanya selesai baru dia mulai menjelajah seluruh dasar
jurang itu, agaknya selain dirinya tiada orang lain yang baru
terjatuh kedalam jurang ini, maka dia mendongak mengawasi
dinding jurang yang curam, menurut taksirannya tingginya ada
duaratusan tombak- Tempat ketinggian seperti ini bagi kaum
persilatan umumnya sudah sangat melampaui kemampuan dari
seseorang yang betapa hebatpun ilmu silatnya Tapi lain halnya bagi
Suma Bing yang membekal ilmu sakti mandraguna, betapapun dia
akan berdaya mencapai kepuncak.
Begitulah sambil bersuit panjang tubuhnya mendadak melejit tinggi
ketengah udara, sekali meluncur lima puluh tombak telah
dicapainya, begitu daya luncurannya hampir habis cepat2 ujung
kakinya menutul dinding batu, maka tubuhnya melenting lagi lebih
tinggi ditengah udara dia berjumpalitan dengan gayanya yang
sangat indah terus membalik lagi mendekat dinding dan sekali
tutul tubuhnya melesat lagi tiga puluhan tombak, setelah tiga
empat kali jumpalitan dalam sekejap mata saja tubuhnya sudah
meluncur turun dan hinggap diatas Panggung hukuman.
Tatkala itu sang surya sudah tenggelam di peraduannya, sang
malam mulai mendatang keadaan bumi alam ini mulai remang2.
Darah dan mayat masih bergelimpangan di mana2 menambah
suasana bertambah seram dengan bau anyir darah lagi.
Mendadak Suma Bing bergelak tawa, tawa yang penuh
mengandung hawa membunuh dan ejekan, dia tengah me- ngejek
dan menertawakan hari kiamat Bwe-hwa-hwe telah mendatang
diambang pintu, dia merasa menang dan puas bahwa berulang
kali dia sudah lolos dari bolang jarum, secara aneh dan ajaib dia
hidup kembali dari elmaut ke-matian ?
Lalu dia memeriksa setiap jenazah yang bergelimpangan dan
girang, karena dia tidak menemukan jenazah Mo-in Siancu.

Sebat sekali tubuhnya meluncur tinggi kepuncak sebelah kiri sana
ditempat inilah dia dan Mo-in Siancu lolos dari kepungan dalam
ruang bawah tanah itu, pintu rahasia itu kini telah hilang dan
susah diketemukan lagi. Baru saja dia sampai di atas lantas
terlihat olehnya di kejauhan sana bara api yang me-nyala2 tinggi
menembus angkasa, malah lapat2 terdengar pula teriak dan
seruan gegap gumpita agaknya sebelah sana tengah terjadi
pertempuran sengit.
Sungguh kejut dan heran dia dibuatnya, karena tempat kebakaran
itu adalah Markas besar Bwe-hwa-hwe. Siapakah yang telah dapat
memecahkan barisan Im-yang-ngo-heng-tin dan melepas api di
markas besar Bwe-hwa-hwe ini? Dari gemuruhnya teriakan
pertempuran dapat dipastikan bahwa orang yang menyerbu
datang itu jumlahnya amat banyak.
Tiada waktu lagi buat Suma Bing merenungkan tindakan apa yang
perlu dilakukan. Dia harus cepat2 bertindak supaya tidak
kehilangan kesempatan untuk menuntut balas.
Setelah mencari arah tujuannya secepat anak panah tubuhnya
melesat ke arah bangunan gedung2 yang tengah dimakan api itu.
Semakin dekat suara pertempuran semakin jelas, jerit dan pekik
yang mengerikan terdengar dimana2. Api berkorbar semakin besar
dan mengganas semakin hebat.
Beberapa bayangan manusia memapak kedatangan Suma Bing,
sekilas didapati jubah para pendatang ini bersulam Bunga Bwe
besar, maka tanpa banyak mulut lagi, sekali tangan diayun para
pendatang itu disapu jungkir balik. Daya luncuran tubuhnya terus
laju semakin cepat, waktu suara jeritan para korbannya itu
terdengar tubuhnya sudah meluncur jauh sampai di gelanggang
pertempuran.
Darah mulai membanjir di tanah, mayat bergelimpangan dan
bertumpuk di mana2, bayangan berkelebatan, sinar ber- keredep
dari kilauan senjata yang tertimpa sinar api seperti bintang2
me-nan2 di angkasa.

Tanpa bersuara Suma Bing tiba di pinggir gelanggang
pertempuran, dia harus meneropong dulu situasi pertempuran ini.
Per-tama2 dilihatnya diantara berkelebatnya bayangan
pertempuran itu ada beberapa bayangan seragam putih yang
selulup timbul, itulah dua belas Rasul penembus dada. Malah dia
melihat pula Coh-yu-hu-pit dari Perkampungan bumi, agaknya
tidak sedikit pula para kerabat dari Perkampungan bumi yang ikut
meluruk datang, justru yang mengherankan diantara sedemikian
banyak orang yang ikut bertempur tidak sedikit pula terdapat
orang2 dari golongan suci.
Terdengar suara terkekeh tawa orang laksana gembreng berbunyi,
Suma Bing memandang ke arah datangnya suara, matanya menjadi
terbelalak. Terlihat olehnya Siau-lim-ngo-lo tengah mengepung
ketat Hwe-hun-koay-hud, ternyata mengandal tenaga gabungan
Ngo-lo masih terdesak sedemikian hebat sehingga mereka harus
ber-putar2 seperti sedang menari, sejuraspun mereka tidak mampu
balas menye- rang. Akhirnya dia menjadi paham, bukankah
Hwe-hun-koay- hud adalah murid murtad dari Siau-lim-si?
Nafsu kekejian Suma Bing semakin tebal, sekali meluncur langsung
dia menubruk masuk kedalam gelanggang pertempuran. Kontan
dimana tangan dan kakinya bergerak segera terdengar lolong
kesakitan dan jerit kematian saling susul. Bayangan manusia saling
roboh bergantian, darah dan anggota tubuh yang tidak lengkap lagi
beterbangan keempat penjuru. Kini sorot mata semua orang tertuju
kearah Suma Bing. Maka gegap gumpitalah seruan kegirangan:
"Tuan muda!" — „Huma" — „Suma Siauhiap !" - „Siau-sicu !"
Mata Suma Bing merah membara seperti kesetanan, kaki
tangannya terus bergerak seperti harimau mengamuk diantara
gerombolan kambing, siapa saja yang berada di hada-pannya pasti
roboh tanpa ampun. Demikianlah tubuhnya selulup timbul di
tengah gelanggang pertempuran, dari barat ke timur dari selatan
ke utara dimana dia lewat darah dan daging

manusia pasti cecel dowel beterbangan di selingi jeritan yang
memekakkan telinga. Yang membuat hatinya heran yalah
sedemikian jauh dia masih belum melihat bayangan Loh Cu-gi
musuh besar utama yang harus mampus.
Se-konyong2 terdengar gelak tawa yang menusuk telinga diselingi
seruan tertahan seperti orang muntah2. kiranya Siau- lim-ngo-lo
masing2 sudah menyemburkan darah segar Kan serentak terkapar
diatas tanah.
Sekali melenting Suma Bing meluncur menubruk kearah itu:
"Minggir!" demikian hardiknya, suaranya tidak keras tapi
menggetarkan semangat setiap hadirin. Hwe-hun-koay-hud
mendelik terbelalak, serunya kejut:
”Bedebah, kau tidak..............." Sebelum habis ucapannya
kedua tangan Suma Bing sudah
nenghantam tiba membawa kekuatan bagai gugur gunung terus
merangsang keatas tubuhnya.
Selicin belut Hwe-hun-koay-hud menggeser delapan kaki ke
samping. Bagai orang gila yang kesurupan laksana ba-angan yang
selalu mengikuti bentuknya Suma Bing terus nenyerbu dengan
hebatnya, sekaligus dilancarkan delapan lelas kali pukulan.
„Brak,' diselingi dengus yang aneh seperti babi hendak
disembeleh, kontan tubuh Hwe-hun-koay-hud ter-huyung2 sambil
muntahkan darah segar.
„Serahkan jiwamu !" — dengan gerak kilat sekali cengkeram tahu2
Suma Bing sudah menyekal pergelangan tagan lawan dan sekali gus
tangan yang lain diangkat megepruk keatas kepala. Mendadak dia
teringat sesuatu dan cepat2 menarik balik tangannya, lantas
berpaling dan menggape kepada tertua dari Siau-lim-ngo-lo,
serunya: „Taysu, mari kuserahkan kepadamu!" Habis berkata
tubuhnya terus berkelebat menghilang.

Sambil bersabda Budha Ngo-lo segera menubruk maju meringkus
murid murta yang jahat itu. Sebuah bentakan yang nyaring dan
sangat dikenal terdengar dari pojokan yang agak gelap sana.
Sebat sekali Suma Bing melejit ke arah datangnya suara. Dimana
terlibat dua orang tengah bertempur sengit, pihak musuh adalah
ketua Bwe-hwa-hwe Chiu Thong sedang lawannya adalah seorang
perempuan yang bukan lain adalah istrinya, yaitu putri dari
perkampungan Bumi Pit Yau-ang.
„Adik Ang, minggirlah !" „Engkoh Bing, kaukah itu !" teriak Fit
Yau-ang kegirangan
sambil menyurut mundur. Begitu melihat Suma Bing muncul
serasa terbang arwah
ketua Bwe-hwa-hwe Chiu Thong, begitu memutar tubuh terus
hendak lari.
„Lari kemana kau?." bagai bayangan setan Suma Bing berkelebat
menyegat kehadapan Chiu Thong terus mencengkeram dada lawan.
"Blang!" telak sekali pukulan Chiu Thong yang dahsyat menghunjam
di dada Suma Bing, namun kontan dia tertolak sempoyongan oleh
tenaga sakti pelindung badan Suma Bing, tangannya sakit seperti
tulang-nya hancur lebur, sedikit lena dan kesima, tangan Suma Bing
sudah menyengkeram dadanya terus dijinjing tinggi...
Serentak pada saat itu juga delapan sinar berkilau dari ujung
pedang menusuk dan membabat tiba- Pit Yau-ang menghardik
keras terus menubruk maju mehalangi sera-ngan yang
membokong ini, dimana lengan bajunya dikebut-kan sekaligus
empat batang pedang terpental serong ke samping, sedang empat
bilah pedang lainnya tak urung masih tetap menyelonong ke
punggung Suma Bing.
Sudahlah tentu Suma Bing tidak mandah saja dilobangi tubuhnya
begttu tangan lainnya membalik dan diayun, jeritan yang ngeri
dari empat orang yang bersamaan menambah ribut suasana yang
memang gaduh itu. Mereka terpental terbang

jauh dan entah bagaimana nasibnya, hal ini membuat Pit Yauang
tergetar kaget dan kesima.
Wajah ketua Bwe-hwa-hwe Chiu Thong pucat pasi, tubuhnya
gemetar dan lemas seperti tidak bertulang lagi.
Dimana Loh Tiu-gi berada?" — tanya Suma Bing beringas gusar
“Tidak tahu!" terdengar suara dari mulut Chiu Thong yang
gemetar.
Sambil kertak gigi, sekali tarik dan betot Suma Bing tanggalkan
lengan kiri Chiu Thong dari badannya. Keruan Chiu Thong
memekik kesakitan seperti babi hendak disembeleh, wajahnya
mengkeret dan ber-kerut2 saking menahan sakit.
-oo0dw0oo-
60. BWE-HWA-HWE HANCUR LEBUR.
Wajah Suma Bing sudah berubah hitam membesi. sepasang
matanya memancar jalang seperti serigala yang kesetanan,
tanyanya lagi: „Katakan tidak?"
Saking kesakitan Chiu Thong menjadi nekad dan membandel,
„Tidak !" suaranya serak lirih.
„Bagus !' — tanpa kepalang tanggung telapak tangan Suma Bing
mengepruk batok kepala musuh bebuyutan ini, sambil menjerit
seram Chiu Thong terkapar di tanah, badannya hancur lebur
menjadi bergedel.
”Engkoh Bing, aku............aku terlalu girang, sungguh tidak
nyana..............." dua butir air mata mengalir membasahi pipinya,
dia menangis saking gembira,
”Adik Ang, segala persoalan nanti kita bicarakan lagi, sekarang aku
harus menemukan Loh Cu-gi !" tanpa

memperdulikan istrinya lagi dia terus berlari keluar gelanggang
pertempuran. Suma Bing sudah menjelajah keempat penjuru
dimana dia lalu dan melihat anak buah musuh semua dibunuhnya
tanpa ampun. Se-konyong2 sebuah bayangan memapak datang
dan berseru gugup: „Suma Bing, lekas ikut aku!
Sebenarnya Suma Bing sudah bersiaga hendak menyerang serta
mendengar suara orang sedikit melengak dia tarik kembal1
tenaganya, bentuk tubuh orang ini memang sangat dikenalnya.
Waktu pertama kali dirinya menerjang masuk ke dalam barisan
Im-yang-ngo-heng-tin tempo hari, justru laki2 berwajah kuning
seperti berpenyakitan ini juga pernah muncul, hanya wajahnya saja
sedikit pun tidak terkesan dalam sanubarinya. Untuk apa dia minta
dirinya mengikuti dia ? Demikian singkat dia membatin, laki2
berwajah kuning itu sudah melesat sejauh puluhan tombak,
gerakan tubuhnya ternyata sedemikian lincah dan tangkas sekali,
Maka tanpa ayal segera Suma Bing angkat kaki mengejar dengan
kencang, sekejap mata kemudian mereka tiba,diluar hutan pohon
Bwe, sekali berkelebat bayangan laki2 berwajah kuning itu lantas
menghilang entah kemana.
Di dalam hutan sebelah sana terdengar angin pukulan yang
membumbung tinggi, debu dan kerikil bergulung ke tengah
angkasa. Suma Bing melihat keganjilan ini dan mulai waspada,
diam2 dengan langkah ringan dia maju mendekat memasuki
hutan.
Tampak seorang laki2 kekar berjambang bauk tengah bertempur
sengit dikeroyok dua perempuan. Suma Bing heran dan
terperanjat. karena kedua perempuan itu bukan lain adalah
bibinya Ong Fong-jui dan Tio Keh-siok. Mengandal Lwekang dan
kepandaian Ong Fong-jui dan Tio Keh-siok ternyata tidak mampu
merobohkan laki2 berewok itu, malah mereka lebih banyak
menjaga diri dari pada menyerang.

Sekilas Tiok Keh-siok melirik melihat kehadiran Suma Bing, segera
dia berseru kejut: „Suma Bing. kau itu?"
Ong Fong-jui juga tergetar kaget mendengar seruan Tio Keh-siok
itu sehingga gerak geriknya menjadi sedikit lamban. Sepasang
mata laki2 brewok itu memancarkan siar aneh dan ketakutan,
menggunakan peluang ini segera dia melesat terbang melarikan
diri.
”Cegat dia." teriak Ong Fong-jui keras dan gugup Namun
gerak tubuh laki2 berewok itu ternyata secepat kilat
hanya sekali berkelebat saja lantas hilang. Waktu Suma Bing sadar
dan memburu dengan kencang
sekaligus dia berlari sejauh ratusan tombak namun bayangan
orang sudah tidak terlihat lagi.
Dilain saat Ong Fong-jui dan Tio Keh-siok juga sudah mengejar
tiba. Kata Ong Fong-ju gegetun: „Kalau tahu begini, siang2 aku
harus sudah menggunakan racun'.''
“Siapakah dia sebenarnya?'' tanya Suma Bing heran dan tak
mengerti-
„Dia itu Loh Cu-gi," sahut Ong Fong-jui gemes. Berubah
airmuka Suma Bing sambil menggerung keras
kakinya sudah melangkah...... „Anak Bing," cegah Ong Fong-jui
sambil menggape, „Kau
takkan dapat mengejar dia, alat rahasia Bwe-hwa-hwe tersebar
di-mana2, jalan gelap dan jebakan malang-melintang disana-sini."
Sambil mengertak gigi Suma Bing berkata : ”Masa bisa kita harus
membiarkan dia lolos ?”
”tentu tidak, namun kita harus menghadapinya dengan
perhitungan yang masak ”

Sampai disini tiba2 Thio Keh-Siok menyela bicara : ”Bukankah kau
...kau..sudah.....”
„Ya, aku terjebak dalam barisan dan tertawan oleh musuh,
akhirnya aku terpukul masuk kedalam jurang........."
„Semua itu kita sudah tahu.'' ’ ”O, kalian tahu darimana?'"
„Kita dikisiki seorang lelaki yang tidak diketahui namanya"
Suma Bing garuk2 kepala penuh tanda tanya, apa mungkin
Mo-in Siancu tidak mati dan menyampaikan pesannyai itu, maka
tanyanya gelisah: „Yang mengisiki kalian itu seorang perempuan?''
”Bukan, seorang laki2 berwajah kuning- Kau kenal dia?" Suma
Bing menggeleng kepala. Bayangan Go-hiangcuseperti
sangat dikenalnya itu terbayang dalam benaknya dia
semakin heran, bukankah orang itu pula tadi yang memancingnya
ketempait ini- Tapi bukankah dia seorang pangcu dari
Bwe-hwa-hwe ini benar2 membuat orang susah menduga dan sulit
dimengerti
Agaknya Ong Fong-jui ingin cepat2 mengetahui pengalaman Suma
Bing, desaknya: ”Coba ceriterakan pengalamanmu bel;akangan ini ”
”Untung aku tidak mati terbanting didalam jurang ialah diluar
dugaan aku bertemu dengan seseorang!"
“Orang macam apakah itu?" ”Dialah Raja iblis seratus muka
yang menolong jiwaku” ”Dimana sekarang Pek-bin-mo-ong itu
berada?'' tanya Tio
leh-siok berlinang airmata. Suma Bing menjawab
tenang: „Sudah maiti.'"

„Apa mati? Kau yang membunuhnya." bentak Tiok Keh-Siok
beringas-
„Bukan! Dia mati bunuh diri." Agaknya Tio Keh-siok tidak
puas sebelum dapat menuntut
balas sejak kematian Suhengnya Si-gwa-sian-jin, maka desaknya
sambil mengerut kening-; ”Suma Bing. kau sendiri tahu betapa
jahat dan kejam sepak terjang Raja iblis ini- Mengapa kau biarkan
dia membunuh diri. Hm, aku paham sekarang, karena dia telah
menolong jiwamu bukan? Bunuh diri? Dapatkah dipercaya?"
”Nona Tio jangan kau terangsang oleh emosi, kalau kau berada
didalam kedudukan seperti aku, pasti kau sendiri juga, tidak tega
turun tangan. Ketahuilah dia sendiri juga menjadi alat orang lain,
setelah menunaikan tugasnya dia dibokong dan dicelakai sehingga
matanya buta dan kedua kakinya, cacat........'
”Dimanakah jenazahnya?''' ”Didalam jurang dibelakang
panggung hukuman dalam
markas besar Bwa-hwa-hwe, nona bisa pergi kesana membuktikan
sendiri-"
”Sudah pasti aku mesti kesana," geram Tio Keh-siok meng- gigit
gigi- „Akan kuhancurkan dan kubuang kemana2 anggota
tubuhnya."
”Pangkal mula dari semua, permusuhan ini. algojonya adalah Loh
Cu-gi, sedang para anak buah Bwe-hwa-hwe itu cuma pelaksana
saja''
„Setelah pertempuran kali ini." demikian sela Ong Feng-jui, „Boleh
dikata pihak Bwe-hwa-hwe sudah hancur luluh dan porak
peronda."
Bangunan gedung markas besar yang megah itu sudah terbakar
habis, pertempuran juga sampai titik penghabisan,

namun masih terdengar beberapa kali jerit dan seruan yang
mengerikan
Tiba2 sebuah bayangan orang kecil bundar dan tromok melayang
dan nieluncur tiba teriaknya keras: Buyung, sungguh besar dan
panjang jiwamu."
Sipendatang ini bukan lain adalah simaling bintang Si Ban- cwan.
Suma Bing terperanjat, serunya: ,,Cianpwe, kau ----” ”Hehe,
kau heran kenapa aku simaling- tua tidak hancur
meledak bukan ?" „Itu hanya jebakan saja, Cayhe sudah
mendapat tahu dari
peringatan Phoa Cu-giok, dan sekarang sudah terbukti” “Phoa
Cu-giok?” sela Ong Fong-ji “Kau bertemu dengan
dia?" “Ya, dia muncul dengan bentuk Racun diracun, sekejap saja
sampai tak sempat untuk blcara barang sekejap jua!" ”Ai, semoga
dia tidak mengecewakan pengorbanan cicirya” Simaling bintang Si
Ban-cwan menggape kepada Suma Bing
dan berkata: „Buyung, mari ikut Lohu menunaikan tugas penting
!"
„Tugas penting?" “Ikut saja tidak akan salah, kalau ada
omongan nanti kita
bicarakan lagi-" — tengah berkata mendadak dia ingat sesuatu
lalu sambungnya lagi: „Simaling bintang ini kiranya tidak
mengecewakan hidupnya, jual beli kami ini ternyata paling lancar.”
Kalau Ong Foiag-jui dan Tio Keh-siok mengunjuk rasa girang,
sebaliknya Suma Bing garuk2 kepala keheranan.
Setelah me-rogoh2 saku didalam bajunya, siimaling bintang
angsurkan kedua tangan kehadapan Ong Fong-jui serta

katanya : “Daun giok ungu ini harap tolong disampaikan kepada
It-hu-cu ketua Ngo-bi-pay" — lalu dia angsurkan sebuah benda
lain kepada Tio Keh-siok, katanya: ”Kipas pualam ini kembali
kepada pemiliknya lagi--'
Tio Keh-siok menerima dengan kedua tangannya sambil memberi
hormat, ujarnya: “Terima kasih Cianpwe!"
Simaling tua mengangkat alisnya yang sudah memutih, serunya: :
“Ah, kerjaan gampang saja jangan ambil dalam hati!" — Lalu ia
lempar dua jilid buku kecil kearah Suma Bing, serunya: „Buyung.
sambutlah Kyu-im-cin-keng ini."
Suma Bing sampai terbelalak, hampir dia tidak penyaya kalau
semua ini kenyataan
Kata Ong Fong-jui setengah memuji: „Maling bintang perampok
rembulan, nama ini kiranya tidak omong kosong belaka."
Simaling bintang berseri tawa, ujarnya: „Semua nya juga berkat
bantuan dari dalam".
Suma Bing melengak heran, tanyanya: „Bantuan dari dalam,
siapa?"
“Go Hiangcu, laki2 muka kuning itu, kau pernah melihat bukan!"
“Lagi2 orang muka kuning itu?” ”Buyung, waktu sudah sangat
mendesak, kalau ada urusan
minta saja disampaikan, sebab kita tiada tempo untuk kembali
lagi dalam waktu singkalt!"
Suma Bing melenggang mengawasi simaling bintang, hatinya tak
mengerti dan penuh tanda tanya. Akhirnya simaling bintang tidak
sabaran lagi, katanya, sambil membanting kaki: „Lekas, buyung,
kalau tidak kau akan menyesal sesudah kasep."

Suma Bing manggut2, lalu berpaling menghadap Ong Fong- jui.
katanya: “Bibi, harap sampaikan kepada Pit Yau-ang, setelah
semua urusan disini selesai mintalah dia pimpin anak buahnya
kembali ke Perkampungan bumi, demikian juga para gadis
pengikut ibunda"
Ong- Fong-jui mengiakan lalu mengawasi simaling bintang
tanyanya: ”Cianpwe sebetulnya terjadi apalagi?”
Simaling bintang tertawa, misterius, ujarnya: “Kelak kalian akan
tahu. rahasia alam saat ini tidak boleh dibocorkan."
”Cianpwe,” ujar Suma Bing gelisah," Loh Cu-gi itu sempat
meloloskan diri”
„Buyung, ikut aku saja tidak akan salah' — tanpa menanti jawaban
ia terus seret tangan Suma Bing lantas berlari kencang masuk
kedalam hutan.
Setelah belak belok kekanan kiri tak lama kemudian mereka.
Sudah keluar dari lingkungan barisan Im-yang-ngo- heng-tin.
Suma Bing menurut saja diseret sekian lama dengan keheranan
hatinya risau dan gelisah Seperti mencari sesuatu simaling bintang
celingukan kesana-sini, lalu kata nya pasti: “Ke arah sini mari!"
Sekarang Suma Bing mengintil dibelakangnya terus berlari
kencang. Meskipun kepandaian simaling bintang terpaut jauh
dibanding dengan Suma Bing, namun ilmu ringan tubuhnya
ternyata hebat sekali. begitu dikembangkan tubuhnya melesat
bagai meteor terbang
Sepanjang jalan setiap kali sampai dipersimpangan jalan, simaling
bintang tentu membungkuk tubuh entah memeriksa apa. Waktu
sang malami berganti pagi, mereka sudah, berlari sampai ratusan
li lebih. Simaling bintang menunjuk sebuah kota Yang terlihat tak
jauh didepan sana, katanya: „Buyung, mari kita masuk kota
tangsel perut dulu, bagaimana juga mereka tidak bakal dapat
lari!"

Suma Bing sendiri tidak tahu apa yang dimaksud tidak bakal lari,
dengan hampa dia mengiakan.
Setelah masuk kota langsung mereka, memasuki sebuah rumah
makan yang bernama Ko-siu-lau terus pesan makanan dan
minuman
Setelah meneguk secangkir arak simaling bintang berkata: ”Ayo
gares semua, jangan melamun saja, kita harus memburu waktu!"
Sambil makan bertanyalah Surna Bing: „Cianpwe, bagaimanakah
kejadiannya semalam?"
“Semua terjadi secara kebetulan. Sebetulnya aku simaling tua
menuju ke Ngo-bi-san untuk memberi penjelasan tentang
penyamaran orang atas dirimu itu- Ternyata sigundul dari Ngo-bi
It-hu-cu seorang yang bijaksana dan gampang di-ajak bicara,
kiranya dia mau memberi muka kepada simaling itua ini, mencoret
perhitungan dalam haitinya atas dirimu itu”
“Untuk kepentinganku sampai Cianpwe susah payah, Wan- pwe
ucapkan terima kasih!”
“Tidak perlu, setelah aku turun gunung, ternyata It-hu-cu pimpin
tigapuluh anak muridnya yang berkepandaian tinggi menceburkan
diri dalam kalangan Kangouw untuk menyelidiki jejak
Pek-bin-mo-ong. Kebetulan pihak Siau-lim juga mendapat kabar
a'ran munculnya kembali Hwe-hun-koay-hud simurid murtad
didalam Bwe-hwa-hwe, maka dibawah pimpinan Ngo-lo mereka
hendak membekuk murid durhaka ini, tanpa berjanji sebelumnya
dua rombongan ini lantas bergabung menjadi satu”
“Sedang bibimu dan perkampungan bumi berturut2 juga mendapat
kisikan dari seseorang. Peristiwa Bwe-hwa-hwe memasang
jebakan untuk melenyapkan jiwamu juga sudah mereka ketahui,
maka buru2 mereka menyusul tiba pula. Akhirnya mereka
mendapat kabar lagi katanya, kau terjebak dan tertawan musuh,
waktu mereka tengah memikirkan cara

bagaimana harus menolong dirimu, kebetulan rombongan Siau-lim
dan Ngo-bi telah tiba dan paling menggirangkan Tio Keh-siok
sigadis jelita itu juga ikut datang Dibawah petunjuk Tio Keh-sioklah
maka dengan mudah mereka. menerjang masuk kedalam barisan
Im-yang-ngo-heng-tin. Peristiwa, selanjutnya kau sudah melihat
sendiri!"
”Siapakah orang yang memberi kisikan itu?" ”Go-hiangcu dari
Bwe-hwa-hwe, laki2 muka kuning itu!" ”Apa tujuannya dia
membantu kita?" ”Siapa tahu!" Pertanyaan ini mengganjal
dalam sanubari Suma Bing,
apakah tujuan dan maksud perbuatan Go-hiangcu ini ? Selama ini
Mo-in Siancu tidak muncul, agaknya dia mengalami bencana
Tutur simaling bintang lebih lanjut: “Laki2 muka kuning itu
memberikan padaku sebuah peta rahasia, dan sebelum-nya dia
sudah merusak beberapa alat rahasia sehingga dengan gampang
saja aku memperoleh benda2 pusaka yang telah dikangkangi oleh
Loh Cu-gi"
Suma Bing manggut2 tanpa bersuara, namun hatinya tengah
membatin, entah dapat atau tidak Cincin iblis dan Pedang darah
kelak dapat direbut kembali, Cincin iblis terang berada ditangan
Loh Cu-gi sedang Pedang darah berada ditangan Mo-in Siancu.
Apalagi kalau Mo-in Siancu meng di mi bencana, maka jejak
Pedang darah itu susah dicari. Begitulah sambil makan dan
ber-cakap2, setelah perut merasa kenyang terus mereka
melanjutkan perjalanan lagi.
Saking tak tertahan akhirnya Suma Bing bertanya „Cian- pwe
sebetulnya kita ini tengah mengejar siapa?"
„Siapa lagi kalau bukan Loh Cu-gi si durjana itu,"

Jawaban simaling bintang diluar dugaan Suma Bing, tanyanya
menegas: "Loh Cu-gi? Apa Cianpwe sudah tahu kemana dia pergi?"
„Ada orang yang menunjukkan jalan. Tapi aku sendiri juga belum
tahu asal-usul orang ini !"
„Apa mungkin laki2 muka kuning lagi ?" „Tebakkanmu betul !"
Dalam ber-cakap2 itu mereka tiba di persimpangan jalan
lagi, lagi2 simaling bintang mem-bungkuk2 dan celingukkan kian
kemari. Sekali ini Suma Bing turut memperhatikan dan
menemukan apa2, matanya mengikuti gerak-gerik si maling
bintang yang saat itu telah berhenti di pinggir jalan di hadapannya
tampak jajaran batu yang ber-bentuk bunga Bwe, maka tanyanya:
„Inikah yang kau cari?"
„Terhitung kau cerdik, batu besar di depan bentuk bunga Bwe ini
menunjukkan arahnya, mari jalan"
Berkobar semangat Suma Bing. Waktu tengah hari mereka
membelok menuju jalanan kecil di alas pegunungan, tak lama
kemudian mereka tiba di depan sebuah selat kecil. Di mulut selat
mereka dapati lagi batu2 yang berben-tuk bunga Bwe hanya kalini
kurang sebutir batu yang menunccukkan arah itu
Kata simaling bintang dengan nada berat dan perihatin: "Kita
sudah tiba ditempat tujuan."
„Didalam lembah ini?" „Begitulah menurut petunjuk rahasia
ini." Rasa dendam dan sakit hati merangsang deras dalam
aliran
darah Suma Bing, ujung bibirnya menyinggung senyum ejek yang
sinis, dan di belakang senyum sinis inilah tersembunyi sifat
kebuasan dengan hawa membunuh yang sadis. Betapa sudah dia
mengharapkan waktu yang sekian lama di- nanti2kan ini.

Batu berserakan tak teratur didalam mulut lembah, pohon2 besar
juga tidak kurang banyaknya menambah seram suasana yang
sunyi ini. Setelah saling berpandangan Suma Bing dan simaling
bintang mengembangkan ilmu ringan tubuh terus melesat ke
dalam lembah.
Mendadak di hadapan sana berkelebat sebuah bayangan terus
menghilang. Gerak Suma Bing secepat kilat, sekali loncat tubuhnya
melenting keras terus menubruk tiba. Agaknya kepandaian orang
itu juga tidak lemah, sekali melayang Lima tombak dengan mudah
dicapainya terus menghilang kebalik batu.
Sudah tentu Suma Bing tidak rela kehilangan jejak musuh, bagai
bayangan setan tubuhnya melenting ketengah udara dari
ketinggian inilah dia bergerak setengah lingkaran terus menubruk
turun, dimana jarinya ditekuk dan ditutukkan melesatlah angin
tusukkan jarinya itu. Kontan terdengar jeritan keras, bayangan itu
jumpalitan dua kali terus roboh diantara himpitan batu.
Waktu Suma Bing hinggap diatas tanah langsung dia jinjing tubuh
musuh ini. Sementara itu simaling bintang juga sudah menyusul
tiba. Kiranya bayangan itu adalah seorang pemuda berwajah halus
cakap mengenakan seragam hitam yang tersulam bunga Bwe di
depan dadanya, gambar putih bunga Bwe itu kini sudah
berlepotan darah!
„Dimana Loh Cu-gi sembunyi? Katakan !" Suma Bing mengancam
dengan bengisnya.
Tiba2 pemuda seragam hitam itu mengulur jarinya menusuk ke
pelipisnya sendiri, Suma Bing sudah tidak keburu mencegah
perbuatan yang nekad ini.
Simaling bintang menggeleng kepala, ujarnya: „Agaknya kunyuk
ini adalah pengawal pribadi Loh Cu-gi sendiri."
Suma Bing mendengus dongkol, terus melemparkan clyena- ah
pemuda itu, katanya: "Loh Cu-gi pasti sembunyi di sekitar

sini, dan pasti mereka suaah bersiaga mendengar teriakan yang
keras tadi. Mari kita harus bergerak cepat."
Sepuluh tombak kemudian sebuah bayangan berkelebat
menghilang lagi. Begitu mengembangkan ginkang masing2 Suma
Bing dan simaling bintang berloncatan gesit selincah kera diatas
ujung2 batu tanpa mengeluarkan sedikit suara, ketangkasan dan
kemahiran yang menakjubkan ini benar2 harus dipuji.
Tatkala itu, ditengahi dinding lembah ada beberapa sorot mata
tengah mengmati Suma Bing dan simaling bintang yang tengah
berlari lewat.
Itulah sebuah gua yang besar, atau boleh dikatakan sebuah
ruangan besar di dalam tanah dikatakan ruangan karena perhiasan
dan perabot dalam gua ini sedemikian mewah, mulut atau pintu
ruangan ini tertutup oleh alingan batu2 runcing, jadi sebelum
dekat tidak gampang dicari atau diketemukan.
Di tengah ruangan seorang tua ubanan mengenakan jubah
panjang warna hijau tengah duduk dengan angker di atas korsi
kebesaran, kedua sampingnya berdiri tegak tidak kurang lima
puluh anak buahnya yang paling setia, tua muda dan tinggi
rendah tak teratur.
Seorang laki2 seragam hitam bergegas lari masuk terus berlutut di
depan orang tua ubanan itu, serunya: "Lapor sesepuh, musuh
sudah menerobos sampai dasar lembah."
„Sudah tahu, mundur !" Sepasang mata orang tua ubanan ini
memancarkan sorot
terang yang menakutkan pandangannya menyapu seluruh para
jagoannya yang berdiri tegak itu, suaranya terdengar dingin
menciutkan nyali: "Aneh, Suma Bing si bocah keparat dan simaling
bintang cara bagaimana bisa mengejar sampai disini, hanya
terpaut langkah depan dan belakang."

Keadaan sunyi mencekam hati, tiada seorang yang bersuara
menjawab.
Berhenti sebentar suara orang tua ubanan semakin dingin
mengancam : „Diantara kita sendiri pasti ada pengkhianat yang
menjadi mata2 musuh !" sambil berkata pandangannya menyapu
selidik semua hadirin, agaknya dari mereka ini ia hendak
mendapatkan siapakah yang telah murtad dan mendurhakai
perkumpulan.
Suasana sedemikian hening lelap seumpama jarum jatuh juga bisa
terdengar, hampir semua orang dapat mendengarkan jalan
pernapasannya masing2. Pandangan yang tajam satu per satu
menatap wajah semua orang, terakhir berhenti diwajah laki2
bermuka kuning, sikap laki2 muka kuning tetap tenang tanpa
berubah air mukanya, namun tak urung sinar matanya mengunjuk
rasa takut.
Perkataan orang tua ubanan sepatah demi sepatah seta- jam
ujung golok: "Go-hiang-cu, apakah kau adanya?"
Seluruh pandangan semua orang seketika tertuju ke arah laki2
muka kuning yang dipanggil Go-hiangcu itu. Segera laki2 muka
kuning menekuk sebuah lututnya sambil berseru lantang: „Harap
sesepuh suka periksa biar betul!"
Orang tua ubanan menyeringai, tanyanya tajam: "Gohiangcu,
waktu kau masuk menjadi anggota, apakah kau pernah
baca sepuluh undang2 peraturan besar kita?"
Go-hiangcu mengiakan. „Apa bunyi nomor tiga?" „Segala
perintah sesepuh harus dijunjung tinggi melampaui
segalanya, semua anak murid harus tunduk dan patuh akan
perintah ini !"
„Bagus, kalau begitu kau bereskan sendiri jiwamu !"

laki2 muka kuning berjingkrak berdiri sambil angkat kepala serta
mundur berapa langkah. suaranya gemetar membela diri: „Hamba
ada melanggar pantangan apa?'"
„Lebih baik aku salah membunuh seratus dari pada melepas
seorang, ini perintah !"
Laki2 muka kuning mundur lagi beberapa langkah. Dari mulut
gua terdengar suara jerit kesakitan yang rendah
dan berat, sebuah bayangan orang merangkak bergelindingan
masuk kedalam, perkataannya tersenggak di tenggorokannya:
„Lapor sesepuh, musuh............" belum habis ucapannya, dua
bayangan orang sudah berkelebat masuk ke dalam ruangan, yang
datang ini bukan lain adalah Suma Bing dan simaling bintang.
Mendadak orang tua ubanan bergegas bangun sambil menghardik
keras: "Serang dengan sekuat tenaga !"
Seketika terdengar gerungan dan bentakan riuh rendah, angin
pukulan ber-gulung2 menerpa ke arah pintu ruangan besar.
Suma Bing berteriak keras : „Serahkan jiwa kalian !" — Membuka
langit menutup bumi jurus ketiga dari Giok-ci-sin- kang
dilancarkan dengan hebatnya. Gempuran yang dah-syat membuat
seluruh ruangan tergetar hebat sehingga terasa tergunjang
ganjing. Keadaan dalam ruangan sungguh sangat mengenaskan
darah dan daging manusia yang cecel dowel beterbangan keempat
panjuru, tiga puluhan musuh yang lihay2 tiada satupun yang
masih ketinggalan hidup dengan tubuh yang masih utuh. Dua
puluhan orang yang masih hidup juga sudah terkesima dan
banyak yang terluka pula, mereka berdiri kesima bagai patung.
Sepasang mata Suma Bing ber- kilat2 menyapu pandang keempat
penjuru. dia mencari jejak Loh Cu-gi.

„Serang !" — tiba2 orang tua ubanan itu memberi aba2 lagi.
Puluhan jago2 yang masih hidup itu setelah melengak dan
tertegun terus serempak menyerbu ke arah pintu.
Terdengar simaling bintang berseru gelisah: „Buyung, an- jing
tua ubanan itulah!"
Tergerak hati Suma Bing, kedua tangan dipentang dan bergerak
sebat sekali sambil melesat masuk ke dalam. Di mana terdengar
jeritan dan teriakan puluhan orang telah melayang jiwanya
ditangan Suma Bing.
Mendadak terdengar sebuah suara berkata: 'Loh Cu-gi
menyerahlah saja !"
Tanpa merasa Suma Bing terhenyak ditempatnya, orang yang
membuka mulut ini bukan lain adalah Go-hiangcu yang berwajah
kuning itu.
Pada saat dia terlongong inilah orang tua ubanan ber- gerak turun
tangan sekali raih dia cengkram tengkuk laki2 muka kuning lantas
mundur mepet ke dinding !
Sementara itu, simaling bintang tengah berkelahi dengan sengit
melawan anak buah Bwe-hwa-hwe.
Baru sekarang Suma Bing dibikin terang segalanya, matanya
mendelik besar menatap orang tua ubanan itu, desis- nya: "Loh
Cu-gi, hari akhirmu sudah tiba, gunakanlah darahmu untuk
menebus dosa2mu !"
Orang tua ubanan perdengarkan gelak tawa yang menusuk
telinga, ditengah tawanya, pelan2 dia tanggalkan kedok di
mukanya, tampaklah sebuah muka pertengahan umur yang cakap
namun mengandung kekejaman yang sadis. Tidak salah dia bukan
lain adalah sesepuh Bwe-hwa-hwe Loh Cu-gi adanya.
Wajah Suma Bing membesi hitam mengandung hawa membunuh
yang tebal menakutkan, matanya memancarkan sorot kebencian
yang menciutkan nyali, katanya sambil maju

setindak: "Loh Cu-gi, kau harus bersedia menerima pembalasan
dari segala perbuatanmu."
Wajah Loh Cu-gi gemetar, gigitnya ber-kerot2. tiba2 dia ulur
jarinya menutuk beberapa jalan darah diatas tubuh laki2 muka
kuning. Ditengah keluhan yang mengerikan terjadilah suatu
keanehan, seketika air muka laki2 kuning itu berubah hebat,
dalam sekejap mata saja telah berubah menjadi wajah seorang
pemuda yang cakap halus.
"Phoa Cu-giok !" teriak Suma Bing kaget. Tanpa merasa dia
mundur beberapa langkah, mimpi juga
dia tidak sangka bahwa laki2 muka kuning yang dipanggil Gohiangcu
ini ternyata adalah penyamaran Phoa Cu-giok, rahasia
teka-teki sekian lama ini kini telah terbongkar seluruhnya. Terang
dengan menyamar dan menyelundup ke dalam Bwe- hwa-hwe
maksud Phoa Cu-giok adalah hendak membantu usaha Suma Bing.
Apakah perbuatan inilah yang dia katakan kepada Thong Ping
dengan istilah kerja bhakti yang mengandung arti demi
kesejahteraan masyarakat ?
Sementara itu pertempuran dipintu besar sana sudah selesai,
simaling bintang dengan mudah telah membereskan Semua
musuh2nya.
Mendadak Phoa Cu-giok tertawa hambar dan berteriak serak:
“Cihu, lekas turun tangan, jangan pedulikan aku!"
”Cu-giok", ujar Suma Bing penuh haru, ”Kenapa kau harus
menyiiksa diri?"'
Bola-mata Loh Cu-gi berputar, mendadak dia menggembor keras:
”Keparat, sambutlah!" sambil bersuara dia angkat tubuh Phoa
Cu-giok terus dilempar kearah Suma Bing.
Terpaksa Suma Bing ulur tangan untuk menyambuti tubuh adik
iparnya ini.

Menggunakan peluang inilah cepait2 Loh Cu-gi menekan alat
rahasia didindmg belakangnya terus menyelinap masuk dan
menghilang.
Dari samping simaling bintang memburu tiba merebut tubuh Phoa
Cu-g}ok sambil berkata : „Berikan padaku!"
Phoa Cu-giok berteriak tertekan: ”Jangan kejar, tunggulah
dimulut lembah......"
Suma Bing lepas tangan terus melenting keluar gua secepat kylat
dia ber-lari2 menuju kemulut selat, dimana dia mencari sebuah
tempat untuk menyembunyikan diri dan menanti dengan sabar
dan waspada. Lahirnya dia berlaku tenang, namun hati kecilnya.
bergejolak keras- Betulkah Loh Cu-gi bakal muncul dimulut selat
ini seperti yang dikatakan Phoa Cu- giok tadi? Apa mungkin ruang
batu itu hanya mempunyai sebuah jalan rahasia yang menembus
keluar dimulut selat ini? Kalau kali ini sampai dia merat dan
melarikan diri lagi, untuk mencarinya lagi pasti sulit dan berabe.
Se-konyong2, jantung Suma Bing berdetak semakin keras. Sebuah
batu besar yang terletak lima tombak dari tempat
persembunyiannya itu tiba2 bergerak2 terus pelan2 menggeser
kesamping, muncullah sebuah lobang kecil kira2 lima kaki persegi,
dari dalam melesat keluar bayangan seseorang. Bayangan mi bukan
lain adalah Loh Cu-gi adanya.
Begitu keluar dari dalam lobang baru saja dia celingukan dan
hendak bergerak. Tiba2 Suma Bing sudah bangkit menyerbu
sambil memibentak lantang: „Loh Cu-gi. sudah lama tuan mudamu
menunggu kau disini."
Loh Cu-gi berjingkrak kaget dan tersurat mundur, wajahnya
berubah ketakutan, namun matanya memancarkan sorot kebencian
yang me-luap2. Tokoh lihay yang pernah menduduki kursi tertinggi
dian kaum persilatan dengan sebutan tokoh silat nomor satu
diseluruh jagat pada

pertandingan kedua dipuncak Hoa-san, kini mulai ketakutan
seperti anjing kepepecang mengkeret mencawat ekor.
Sementara itu Suma Bing sudah melejit tiba dihadapan Loh Cu-gi
untuk mencegah dia melarikan diri. Sekelebatan wajah Loh Cu.gi
berubah ungu membeku, tanpa mengeluarkan suara lagi, kedua
tangannya diangkat terus rnendorong kedepan. Sinar merah yang
mencorong terang kontan meluncur kedepan. Sekali serangan ini
dia sudah himpun seluruh kekuatan Kiu-yang-sin-kang yang sudah
dilatihnya sempurna.
Suma Bing melompat mundur setombak lebih, menyingkir dari
serangan dahsyat, matanya dengan tajam mengawasi gerak gerik
musuh- Begitu serangannya mengenal tempat kosong. Loh Cu-gi
lantas meloncat mundur sekuatnya kebelakang.
„Lari kemana!" — hal ini sudah menjadi dugaan Suma Bing. maka
siang2 dia sudah siaga- Bagai gerakan setan gentayangan Suma
Bing berputar terus melejit kearah musuh jurus Bintang menggeser
jumpalitan terus diberondong keluar secepat kilat.
Dalam gebrak keras lawan keras ini, Loh Cu-gi tersurut mundur
lima langkah. Tanpa memberi hati, pukulan Suma Bing merangsak
dengan derasnya secara berantai. Seketika terbitlah angin lesus
yang membumbung tinggi ketengah angkasa- Dibawah rangsakan
Suma Bing yang keras dan hebat ini, Loh Cu-gi menjadi mati kutu
dan tak mampu lagi balas menyerang. Saking bernafsu, sekaligus
Suma Bmg lancarkan sepuluh jurus empatpuluh delapan pukulan
Saking kewalahan akhirnya terpaksa Loh Cu-gi menggunakan cincin
iblis yang direbutnya dari Suma Bing tempo hari. Seperti diketahui
Cincin iblis adalah benda pusaka yang jarang digunakan milik
Lam-sia, betapa kuat dan hebat perbawa sorot sinarnya yang
mencorong terang, dalam jarak tiga tombak ketajaman dan
keampuhan sorot sinar-nya tidak

kalah oleh sembarangan senjata tajam. Mengandal kekuatan
latihan Loh Cu-gi sudah tentu perbawanya lain dari yang lain.
Suma Bing juga sudah kerahkan seluruh kekuatan Giok-ci- sin-kang
untuk berkutat pertempuran sengit berebut antara mati dan hidup
terbentang dialam pegunungan yang semak belukar, betapa hebat
dan seru pertempuran ini cukup mengejutkan margasatwa dihutan
sekelilingnyia. Kedua belah pihak telah kerahkan setaker tenaga
masing2- tipu lawan tipu, licik lawan licik, setiap jurus tipu
serangan mereka mengandung kekuatan dahsyat yang mematikan.
Lima puluh jurus! Seratus jurus dan dua ratus jurus kemudian
pancaran sinar cincin iblis Loh Cu-gi semakin guram-
Maklumlah dalam mempergunakan cincin iblis sebagai alat senjata
harus mengerahkan hawa murni sebagai landasan kekuatannya,
kekuatan dan perbawa sinar cincin iblis ini tergantung dari
panjang dan kerasnya tenaga murni si- pemakai. Sekejap mata
lima puluh jurus telah berlalu lagi- Serangan Suma, Bing bukan
lemah malah semakin gencar dan semangat Sebaliknya Loh Cu-gi
semakin payah dan terdesak terus sampai kempas kempis.
-ooo0dw0ooo-
61. SABDA BUDHA MENGAKHIRI CERITA INI.
Dua bayangan orang muncul dari balik batu dalam mulut
selat sana. Mereka bukan lain adalah simaling bintang yang
menggendong Phoa Cugiok yang terluka berat.
Se-konyong2 terdengar Suma Bing menggembor keras: ”Roboh!" —
sambil kerahkan seluruh tenaganya, dllaiicarkannya jurus Membuka
langit menutup bumi.
Kontan Loh Cu-gi memekik seram, tubuhnya jungkir balik
tergulung oleh angin badai pukulan Suma Bing, demikian

hebat pukulan ini. sampai tubuhnya melayang tiga tombak
jauhnya, mulut menyemburkan darah dan "Blang" dengan
kerasnya terbanting diatas tanah.
Gembong penjahat nomor wahid dari kaum persilatan ternyata
sedemikian tinggi dan dalam Lwekangnya, begitu menyentuh
tanah bergegas dia 'bangkit kembali.
”Roboh!" lagi2 terdengar hardikan lebih keras, tangan Suma Bing
bergerak miring menjojoh tepat kedada lawan. Loh Cu-gi
menyemburkan darah dan terhuyung mundur, akhirnya ia jatuh
terduduk tanpa bergeming lagi
Suma Bing angkat langkah maju mendekat, wajahnya diliputi
kemenangan dan kekejian, desisnya sambil mengertak gigi: “Loh
Cu-gi, hukum alam tak memberi ampun bagimu."
Suara Loh Cu-gi melengking bagai teriak setan, yang setan batuk:
„Bocah keparat, kau puas sudah?"
”Tentu- nanti setelah saat ini sudah lewat."' Loh Cu-gi melolong
sedih, tangannya diangkat terus
mengepruk kebatok kepalanya sendiri. Sigap sekali jari2 Suma
Bing rnenyelentik, dua jalur angin
keras melesat keluar. Terdengar keluhan yang memualkan, tangan
Loh Cu-gi yang sudah terayun itu seketika lemas semampai, dilain
saat sebelah tangannya juga sudah tertutuk lemas.
„Loh Cu-gi, sedemikian gampang kau hendak mengakhiri
dosa2mu ?”
„Keparat, apa yang hendak kau perbuat atas diriku?" ”Akan
kubikin darahmu habis setetes demi setetes, supaya
jiwamu amblas sedetik demi sedetik." Loh Cu-gi berteriak
beringas, tubuhnya mendadak meronta
bangun, tapi baru setengah jalan sudah roboh lagi serta
menyemburkan darah lagi

Suma Bing maju selangkah mencengkram dadanya terus dijinjing
tinggi2 Sebuah lolong yang mengerikan, memecah kesunyian
alam. pegunungan, lengan kanan Loh Cu-gi yang mengenakan
Cincin Iblis telah dibetot putus dari badannya seperti membetot
pupu ayam saja. Inilah pertunjuk an yang paling seram kejam dan
mengerikan.
Dari jari yang sudah putus lengannya itu Suma Bing menanggalkan
Cincin iblis miliknya, lalu dia menutuk pundak Loh Cu-i mencegah
mengalirnya darah yang sangat deras
Nadanya seram menakutkan: „Loh Cu-gi kau menghina dan
mencelakai guru serta, mendurhakai leluhur, lenganmu ini
terhitung sekedar sebagai penebus dosa kepada perguruan”
Tubuh Loh Cu-gi berkelejotan, wajahnya pucat pasi tanpa darah.
Teriakan yang menggetarkan sanubari dan menyedot semangat
terdengar lagi, lengan kiri. Loh Cu-gi telah dipuntir putus pula dan
pundaknya.
„Dengar, kau mencelakai Suci Sim Giok-sia, membunuh Tiang-un
Suseng Pho Jiang menyebar kejahatan dan, menyebar maut
dikalangan Kangouw, dimana2 menimbulkan gelombang
pertengkaran dan keributan, kematianmu ini masih belum Cukup
untuk menebus segala dosa2mu itu, biarlah lenganmu ini sebagai
barang tangggungan”
Kalau dadanya tidak dicengkeram oleh Suma Bing, pasti Loh Cu-gi
tidak kuat lagi berdiri sekian lama
Sekarang Suma Bing merogoh saku dalam baju orang darimana
dikeluarkan sebilah senjata tajam yang berkilau memancarkan
sinar dingin, jengeknya: ”Sungguh tak diduga kaupun tidak
melupakan membawa cundrik Penembus Dada ini ”
Sambil berkata pelan2 tangannya telah diangkat dan serunya
dengan nada dingin: "Loh Cu-gi, hutang darah di puncak kepala
harimau dulu, sekarang..”

„Nanti dulu anak Bing!" mendengar seruan ini tubuh Suma Bing
gemetar, tanpa merasa dia lepaskan pegangannya.
Tubuh Loh Cu-gi limbung dan terhuyung mundur terus roboh
tercelentang.
Seorang perempuan setengah umur yang cantik dengan Wajahnya
yang membesi beku entah kapan tahu2 sudah ada dibelakang
Suma Bing
Begitu membalik tubuh Suma Bing segera berlutut dan menjerit
dengan, sedih : ”Bu” tak tertahan lagi airmata mengalir deras.
”Nak bangunlah ayahmu pasti tahu di alam baka selanjutnya dia
bisa tentram dan meram istirahat disana”
Setelah berkata cundrlk penebus dada ditangan Suma Bing
dimintanya lalu beranjak kedepan Loh Cu-gi, bentaknya geram:
”Orang she Loh apa kau masih ingat akan cundrik ini, seharusnya
kau sudah harus ingat akan hari yang pasti akan datang ini ”
Tergetar tubuh Loh Cu-gi, matanya dimeramkan Pelan2
San-hon-li Ong fan-lan menggerakkan cundriknya.
cundrik penembus dada dengan telak menusuk ke dada Loh Cu-gi.
Tak terdengar jeritan sakit, hanya dengusan putus napas yang
terdengar seperti keluar dari dalam bumi-
Kala jiwa dari seorang gembong sudah padam, ambisi dan
ketamakan yang hendak menguasai seluruh dunia persilatan juga
ikut lenyap, perkumpulan Bwe-hwa-hwe yang menggetarkan Bulim
juga terhapus dari catatan sejarah dunia persilatan.
Simaling bintang dan phoa ciu-giok terkesima tanpa berbicara
menonton adegan yang seram dan mengerikan ini.

Tanpa mencabut kembali cundriknya dia memutar tubuh seluruh
tubuh berkeringat dan menggigil. Wajahnya tenang dan wajar
seperti murid sang Budha yang saleh.
”Bu” panggil Suma Bing senggugukkan ”Nak." ujar San-hon-li
Ong Fang-lan sambil menepuk
pudaknya, suaranya tenang : ”Baiklah jaga dirimu, Ibu
mendoakan kebahagianmu."
Tergetar perasaan Suma Bing. Katanya: ”Bu' sejak saat ini anak
akan selalu mendampingi kau.”
”Tidak nak, kau mempunyai jalan hidupmu sendiri kuharap kau
berani menyelusuri jalan itu, sampai ujung pangkalnya. Ibu
mengucap selamat bertemu kembali....”
Suma Bing menggerung nangis seperti anak kecil, ujarnya sedih:
„Bu, kau........"
Ong Fan-lan tersenyum pahit, menyela perkataan Suma Bing:
“Nak, kau sudah besar dan dewasa, sudah tentu kau harus
memahami maksud ibumu. Ibumu adalah seorang Yang sudah
berdosa, dosa ini akan kubawa masuk keliang kubur. Sebelum
nyawaku ini sampai titik penghabisan, aku ingin dengan tenang
merenungi dan menebus dosa ini- Nak, selamat bertemu, jangan
terlalu banyak kata, ibu maklum isi hatimu .........."
Habis berkata dengan ringan seakan mengembang laksana awan
tubuhnya melayang pergi........
„Bu!" pekik Suma Bing dengan sedihnya. Ingin dia mengejar dan
baru saja badannya bergerak, sebuah bayangan tahu2 sudah
menghadang dihadapannya.
Dia bukan lain adalah simaling bintang Si Ban-cwan yang sejak
tadi menonton diam di pinggir. Dia memanggil diluar kebiasaan,
katanya serius: „Suma Bing, kau tidak boleh......"

”Cianpwe, apanya yang tidak boleh?" senggak Suma Byng sambil
sesenggukan.
„Ya, ikutlah ibumu pergi, kalau kau tidak ingin lagi bertemu
dengan ibumu kelak."
“Ini, kenapa?" „Pasti kau belum lupa bahwa ibumu dulu pernah
ternoda
oleh Loh Cu-gi, hal itu merupakan noda hitam yang tak dapat
dihapus dalam sanubarinya dan takkan terlupakan selama
hidupnya. Jangan kau memaksa dia. kalau tidak kau dapat
membayangkan akibatnya.”
Baru sekarang Suma Bing tersedar dan bercekat hatinya, katanya:
„Terima kasih akan petunjuk Cianpwe ini."
”Kuucapkan selamat akan usahamu yang berhasil menuntut balas
ini"
”Bantuan Cianpwe yang besar dan berharga itu selamanya
Wanpwe takkan melupakan."
”Urusan kecil simaling bintang bekerja hanya untuk menentramkan
hati kecilnya. tak perlu banyak dipersoalkan Setelah segala urusan
selesai apakah kau hendak kembali ke Perkampungan bumi?"
“Wanpwe masih ada satu urusan yang belum, selesai.'"
”Urusan apa?" „Masih ada seorang musuh besar yang ikut
pengeroyokan
dalam peristiwa dipuncak kepala harimau itu belum kucabut
nyawanya"
„Siapa?" „Thi-koan-im Lim Siang-hiang !" „Dia juga ikut?"
seru simaling bintang terkejut mendelik. „Apa kau tahu
dimana sekarang Thi-koan-im berada?"

”Apa Cianpwe tahu jejaknya?" ”Secara kebetulan saja Lohu
ketahui, siluman yang jaya
dan malang melintang dulu, kini sudah menjadi pemeluk agama
yang saleh"
„Apa. jadi dia sudah mencukur gundul menjadi pendeta?"
„Tidak salah!'" ”Dapatkah Cianrwe memberi petunjuk, dia
berada....” „Dia berada di Pek-jio-gay Yok-cu-am. Jauhnya
kira2 tiga
hari perjalanan." „Terima kasih akan petunjuk ini" ”Cihu!"
panggilan yang serak dan lemah berat ini membuat
Suma Bing tersentak kaget, hampir saja dia lupa bahwa
dihadapannya masih ada Phoa Cu-giok, pemuda yang sudah insaf
akan kejahatan2 yang telah diperbuatnya dulu. Jikalau Phoa
Cu-giok tidak menyamar dan menyelundup kedalam
Bwe-hwa-hwe, pasti tidak sedemikian gampang dan lancar dia
dapat menunaikan tugasnya dalsm menuntut balas ini.
Maka segera dia maju bertanya : ”Cu-giok. bagaimana lukamu?"
Phoa Cu-giok tertawa getir, ujarnya: „Lwekangku sudah punah
seluruhnya"
”Apa, jadi Loh Cu-gi telah melenyapkan seluruh kepandaianmu ?"
„Ya, waktu dia. melemparkan tubuhku, sebelumnya telah
menutuk jalan darahku"
Saking gegetun Suma Bing menggigit gigi sampai berkereyotan.
katanya sungguh2: „Cu-giok, penderitaanmu ini oleh karena aku,
selain aku merasa menyesal aku bersumpah akan membantumu
sekuat tenaga untuk memulihkan Lwekangmu lagi."

„Cihu, tidak perlu lagi......" “Kenapa?" „Orang macamku ini,
seharusnya siang2 sudah mati!'' ”Cu-giok, orang lang sudah
insaf masih dapat diampuni,
dialami baka pasti cici mersa terhibur dan meram. " ”Budi cici
terhadapku, mati seratus kali juga. belum
menampilli seperseribu kebaikannya." ”Cu-giok, yang sudah silam
tak perlu disinggung lagi.” „Cihu, hanya untuk menebus dosa2ku
itulah maka aku
menyelundup kedalam Bwe-hwa-hwe, kupikir, kalau cici tahu
dialam baka, pasti dia senang melihat sumbangsihku ini sebetulnya
aku dapat menggunakan racun. tapi bila teringat kau harus
menuntut balas dan membunuh dengan tanganmu sendiri........"
Suma Bing terharu, tenggorokannya tersumbat dan hidung terasa
kecut, hampir saja dia mengalirkan airmata lagi-
Entah apa yang tengah dipikirkan Phoa Cu-giok terlongong2
mendongak memandangi langit lama dan lama kemudian batu
bersuara pula: „Cihu, kuminta kau mengiringi aku pergi Su-cwan
barat kerumah keluarga Thong Ping!"
”Betul, kau harus pergi melihat Thong Ping serta putrinya. dia
seorang wanita yang welas asih dan budiman, pasti dia dapat
memaafkan segala kesalahanmu dulu"
”Semoga begitu," sahut Cu-giok sambil tunduk, ”Cihu mari kita
berangkat."
Suma Bing berpikir sebentar lalu sahutnya: “Baiklah!' lalu dia
berputar mencabut cundrik penembus dada dari ulu hati Loh Cu-gi
setelah menyeka noda darah terus diselipkan dipinggangnya,
dengan tajam dia awasi jenazah Loh Cugi dan katanya: ”Loh Cu-gi.
serigala dan binatang alas akan membereskan badanmu yang
kotor ini."

Simaling bintang meng-geleng2 sambil menghela napas panjang
ujarnya getol: ”Suma Bing selamat bertemu kelak, Lohu juga
harus pergi."
Sumo Bing merasa berat berpisah, katanya: „Cianpwe hati2lah
sepanjang jalan, kalau ada senggang harap mampir dan
berkumgul di Perkampungan bumi."
Tanpa bersuara lagi, simaling bintang menggerakkan tubuhnya
yang tromok bundar seperti bola, sekejap saja bayangannya sudah
hilang dari pandangan mata.
Dua hari kemudian Phoa Cu-giok serta Suma Bing sudah sampai
diatas sebuah bukit kecil diluar perkampungan Thong- keh-kip di
Sucwan barat.
Kiranya bukit ini merupakan pekuburan bagi keluarga
perkampungan Thong-keh-kip itu, sambil mengerut kening Suma
Bing bertanya: „Cu-giok, apa yang hendak kau lakukan disini,
bukankah hendak menilik Thong Ping......."
Segera Phoa Cu-giok menunjuk sebuah kuburan yang agak besar
dan berkata: „Cihu inilah tempat istirahat ibu mertuaku."
Suma Bing melenggong, hatinya giris. „Cihu, terima kasih akan
kesudianmu berkunjung kemari
sejauh ini. Aku ada satu permintaan harap kau suka memberi
muka kepadaku !"
„Permintaan apa?" ”Thong Ping seorang yang harus dikasihani,
putrinya juga
masih bayi, kuharap kau suka membantu mengawasi, kuminta
kau suka memberi kabar kepada guruku.........."
Suma Bing kuatir, tanyanya gugup: ”Apa maksudmu ini?''
„Phoa Cu-giok seorang yang paling berdosa di dunia ini
masi ada muka aku hidup terus......... "

”Cu-giok, janganlah kau mensia2kan pengharapan cicimu, dan
yang terpenting pertanggungan jawabmu kepada Thong Ping ibu
beranak.........."
”Cihu. sedikit kesalahanku sehingga aku membunuh ibu mertua
pasti Thong Ping selamanya tidak akan memberi ampun kepadaku,
memang hakikatnya juga tidak bisa dimaafkan. Beruntung keluarga
Phoa sudah ada kuturunan. arwah cici pasti tidak menyesal lagi.''
”Cu-giok, janganlah kau lakukan perbuatan bodoh ini." ”Cihu,
terhadap kau, aku juga menyesal dan bertobat,
biarlah aku mati untuk menebus kesalahanku itu!"
„Cu-giok..........................." „Aku akan minta pengampunan dulu
kepada ibu
mertua................. " sambil berkata dia menubruk maju terus
terkapar di depan kuburan.
Suma Bing merasa kaki tangannya membeku linu, keringat dingin
membasahi tubuh, mimpi juga tidak terduga olehnya Phoa Cu-giok
benar2 senekad ini, waktu diraba denyut nadinya ternyata napasnya
sudah berhenti, selain menggunakan racun. dia tak berhasil mencari
pangkal kematian Phoa Cu-giok yang sedemikian cepatnya.
„Mungkin dia yang benar, dosanya terlalu besar, seumpama hidup
terus juga akan sengsara dan menderita seumur hidup. Ah,
sungguh kasihan Thong Ping dan anaknya." Demikian Suma Bing
menggumam sendiri. Manusia itu tetap manusia, dia rnempunyai
perasaan dan mempunyai pikiran, tak tertahan lagi Suma Bing
mencucurkan air mata tanda ikut berduka cita.
Phoa Cu-giok pernah berkata kelak akan memberikan
pertanggungan jawabnya kepada Thong Ping, inikah
pertanggungan jawabnya?

Pada saat itulah sebuah bayangan tengah berlari terbang
mendatangi, dia bukan lain adalah Thong Ping istri Phoa Cu- giok
yang ditinggal pergi.
”Surna Siauhiap!" „O, nona Thong !"
„Dia...................................." „Dia sudah mati," kata Suma
Bing pilu, "Dia membunuh diri
untuk menebus kesalahannya dan minta pengampunan terhadap
ibumu."
Wajah Thong Ping berubah pucat, sambil menjerit panjang dia
menubruk jenazah Phoa Cu-giok terus menangis menggerung2.
Lama dan lama kemudian baru Thong Ping menghentikan
tangisnya.
Baru sekarang Suma Bing ada kesempatan membuka mulut:
"Nona Thong, aku tahu kau tetap mencintainya, tapi, memang
hanya itulah jalan satu2nya yang harus dia tempuh."
Thong Ping berusaha menekan perasaannya, sambil menyeka air
mata dia berkata: „Suma Siauhiap apa yang dapat kukatakan. Dia
adalah kekasihku, ayah dari anakku, tapi dialah musuh besarku
yang membunuh ibuku !"
„Nona, biarlah sang waktu menghanyutkan semua ini, biar rasa
kebencianrnu ikut terkubur karena kematiannya, berikanlah rasa
cintamu dan alihkan kepada anakmu serta
keturunannya.......................
„Benar, aku pasti dapat!" „Sebelum ajal dia berpesan supaya
aku mengawasi hidup
kalian dan memberi bimbingan kepada putrinya. Dia adalah adik
iparku sudah tentu tugas ini harus kupikul juga. Sekarang aku
masih ada urusan penting menanti penyelesaian, setelah

semua urusan dapat kubereskan pasti aku kembali kesini untuk
mengatur hidup kalian ibu beranak selan-jutnya."
„Suma Siauhiap. budimu ini kutanam dalam sanubariku, aku hidup
tentram dan senang ditempat ini, tak usah........."
„Itu kelak kita bicarakan lagi, sekarang yang terpenting urus dulu
jenazah Cu-giok."
„Biarlah nanti aku yang mengurus penguburannya. Suma Siauhiap
masih ada urusan silakan kau melaksanakan tugasmu."
Agak lama Suma Bing menimbang, akhirnya berkata: „Kalau begitu
terpaksa aku berangkat dulu. Dalam setengah bulan pasti aku
sudah kembali kemari."
„Silakan Siauhiap!" Dengan rasa berat Suma Bing
meninggalkan Thong Ping
langsung menuju ke Pek-jio-gay. Menurut keterangan si maling
bintang, Thi-koan-im Lim Siang-hiang telah mencukur rambut
menjadi pendeta di biara Yok-cuam di bukit gajah putih. Inilah
musuh terakhir yang harus dibunuhnya juga.
Bukit gajah putih menjulang tinggi di selatan sungai Tiangkang,
dinamakan bukit gajah putih karena bentuknya seperti gajah juga
batu2nya berwarna putih seperti seekor gajah yang sedang
mendekam. Di puncak bukit di dalam hutan rimbu itu letak biara
Yok-cu-am yang berdinding merah dan berbenteng batu putih.
Tatkala itu sang surya baru saja muncul dari peraduan-nya, kabut
masih tebal dipuncak bukit, namun sepagi itu didepan pintu biara
Yok-cu-am datanglah seorang pemuda berwajah ganteng bermuka
dingin membesi tanpa emosi. Tidak perlu banyak kata., pendeknya
pemuda ini bukan lain adalah Suma Bing yang meluruk tiba hendak
menuntut balas-Tiba2 terdengar gema genta ber-talu2, lantas
terdengar ke-lintingan serta sabda Budha dan mantram yang halus
merdu, suasana

yang tentram dan tenang mi menghilangkan segala perasaan kesal
dan hawa nafsu. Demikian juga Suma Bing terlongong sekian lama
tenggelam dalam renungannya, hilang lenyap segala
kemurkaannya.
Tapi bagaimana juga, tekadnya hendak menuntut balas tak dapat
digoyahkan bergegas dia melangkah kedepan pintu terus
mengetok pintu biara dengan gelang tembaga-
Setelah terdengar derap langkah ringan dari sebelah dalam, baru
dia tarik kembali tangannya- Dilain saat pintu biara terpentang
mengeluarkan suara, berkereyotan, seorang nikoh muda belia
berdiri diambang pintu, begitu melihat wajah sang tamu. kontan
berubah airmukanya, saking kejut sampai dia mundur berapa
langkah, cepat2 kedua tangan jrangkapkan terus bersabda,:
”Omitohur selamat pagi Sicu. harap maaf bahwa biara kita tidak
menerima tamu pria.. . ..." sampai ditengah jalan tiba2 suaranya
terhenti. Dua pasang mata saling tatap dengan tajam. wajah
masing2 berubah ber- ulang2.
Suma Bing berkeluh dengan sedihnya: ”Adik Hun!" Kiranya nikoh
muda belia ini bukan lain adalah Siang Siau hun yang telah lari
pergi setelah melukai Phoi Kin-sian tempo hari- Bahwa ternyata
akhirnya Siang Siau-hun mencukur rambut dan menjadi pendeta
dibiara Yok-cu-am ini. mimpi juga tidak tersangka oleh Suma Bing.
Siang Siau-hun menundukkan kepala, suaranya hampir tak
terdengar: „Pinni berjuluk Liau In!"
Perih rasa hati kecil Suma Bing seperti ditusuk2 jarum,
pengalaman yang lalu segera terbayang didepan mata. Siang
Siau-hun adalah kekasihnya yang pertama. Didalam kuil bobrok
itulah mereka bercuman dan mengikat janji pertama kalinya,
secara terang2an dia pernah melimpahkan perasaan seorang gadis
remaja yang baru tumbuh dewasa, dia pernah berjanji untuk
sehidup semati sampai akhir jaman......

Waktu dirinya keracunan Pek-jit-kui oleh racun berbisa Tangbun Yu,
Siang Siau-hun juga pernah bersumpah untuk menyertainya keliang
kubur. Tatkala jiwanya sudah tergantung dibibir jurang kematian,
juga Siang Siau-hun pernah rela mempersembahkan segala miliknya
termasuk kesuciannya.
Semua pengalaman yang lalu satu persatu terbayang di- depan
matanya. akhirnya Suma Bing menghela napas dan ujarnya: ”Adik
Hun, kenapa kau........"
”Pinni sudah menjadi seorang pendeta, harap sicu memanggil
gelaranku saja." Inilah ucapan yang dikatakan dari mulut
kekasihnya yang pernah bersumpah sehidup semati. Bagi yang
sudah mensucikan diri. apa benar segala sesuatu miliknya harus
ikut dikuburkan? Akhirnya Suma Bing tertawa, tawa yang getir,
tawa ejekan bagi hidup mana yang harus mengilami penderitaan
gelombang
”Adik Hun kematian Pho-Kin-sian bukan karena kesalahanmu. buat
apa kau sedemikian tega menyiksa dirimu, kenapa kau memilih
jalan ini? Adik Hun. ini bukan perbuatan .- seorang cerdik. . .”
Kepala Siang Siau-hun ditundukkan semakin rendah, jubahnya
yang gondrong dan tebal tampak gemetar berdesir.
Dengan sedih Suma Bing menelan air liur, katanya pula. “Adik
Hun apakah semua ini sudah terlambat?"
Mendadak Siang Siau-hun angkat kepala sepasang matanya
berlinang airmata namun sskapnya tenang dan serius, ujarnya
sesenggukan: „Sicu, Pinni sudah bertekad menjadi murid sang
Buddha yang saleh untuk menghimpas segala dosa dan akibat.
Harap Sicu tidak menanam dosa lagi diatas tubuhku- "
Perasaan Suma Bing semakin dingin sampai jantungnya terasa
membeku, ujarnya sambil tersenyum ewa: “Adik Hun, semua
kejadian dalam dunia ini memang sulit ditentukan

sebelumnya, tiada sesuatu yang abadi dalam dunia fana ini,
memang kaulah yang benar, aku minta maaf......"
“Omitohud! Kedatangan Sicu ini adalah....'' Bercekat hati Suma
Bing. segera, tekad lain melenyapkan segala keraguanrrya. katanya
dengan nada berat: ”Apakah gurumu ada didalam?'
„Tengah sembahyang pagi!' „Apakah julukan gurumu sebelum
menjadi pendeta adalah
Thi-koan-im Lim Siang-hia,ng?" ”Benar, jadi kedatangan Sicu ini
adalah hendak menuntut
balas pada peristiwa delapanbelas tahun yang lalu itu?” Tergetar
seluruh tubuh Suma Bing, sahutnya mengertak
gigi: „Benar!" „Karena insaf dan menyesal sebab perbuatan2 dosa
pada
masa yang lalu, maka beliau masuk menjadi murid sang Budha.
Pernah berapa kali beliau mengatakan selalu menunggu
kedatangan Sicu ini !''
Lagi2 Suma Bing tergetar kaget hatinya merasa sesuatu yang
susah dikatakan. Baru sekarang terpikirkan olehnya. bagi kaum
persilatan hidupnya selalu dilembari bayangan pedang dan warna
darah, apakah sepakterjangnya sendiri tidak keterlaluan. Hanya
karena kematian ayahnya seorang, entah sudah berapa banyak
jiwa dan darah mengalir karenanya.
Tapi pikiran ini hanya, berkelebat sebentar saja dalam benaknya.
Dendam masih menjaiari seluruh tekad bajanya maka dengan
pandangan menyesal dia pandang Liau In sebentar lalu melangkah
masuk kedalam biara.
Bangunan biaran ini tidak besar, hanya terdapat sebuah ruang
sembahyang di tengah yang saat itu penuh diselubungi asap dupa
yang ber-gulung2 ke tengah angkasa. Penerangan api lilin
berkelap-kelip, denting kelintingan masih terdengar nyaring
diselingi suara mantram yang berirama halus. Tampak

seorang nikoh setengah baya mengenakan jubah yang terbuat
dari kain ungu kasar tengah berlutut diatas kasur bundar,
sikapnya tenang angker.
Suma Bing terhenyak ditempatnya, suasana yang tenang angker
dan damai ini menyebabkan tekadnya yang besar membekal hawa
membunuh tak kuasa lagi diungkat keluar. Nikoh tua itu
meneruskan tembang mantramnya tanpa mempedulikan keadaan
sekitarnya.
B e r g e g a s L i a u I n j u g a I k u t m a s u k k e
d a l a m r u a n g s e m b a h y a n g i n i , d i a
b e r d i r i t e g a k h i d m a t d i p i n g g i r a n ,
w a j a h n y a w a j a r t a n p a e m o s i s e p e r t i
s e b u a h p a t u n g b a t u .
„Apa dengan tingkahnya yang bertakwah ini lantas nikoh tua ini
dapat menghapus hutang darahnya?"
Karena pikirannya ini timbullah nafsu membunuh Suma Bing,
kepala diangkat dia merogoh keluar cundrik penembus dada yang
terselip di ikat pinggangnya.
Bersamaan dengan itu, nikoh tua juga kebetulan selesai
menjalankan sembahyangannya, setelah menutup kitab suci
per-lahan2 dia bangkit dari kasur bundar itu lalu berputar
menghadapi Suma Bing, sikapnya wajar dan tenang. Katanya
dengan nada halus dan damai: „Agaknya Siau-sicu ini adalah
keturunan Suma Hong Sicu bukan?"
„Benar !" „Dulu karena ketamakan Pinni sehingga menanam
akibat
ini, seperti apa yang dikatakan; menanam kat yang mendapat kat
yang menanam semangka mendapat semangka, pelajaran kita
mengutamakan adanya hukum karma dan ada sebab pasti ada
akibat. Maka silakan Siau-sicu segera turun tangan !"
Habis berkata dia duduk kembali diatas kasur bundar itu, dari
mula sampai akhir wajahnya tidak menunjukkan emosi apa-apa.

Enteng sekali Suma Bing melejit kehadapan nikoh tua ini, cundrik
ditangannya sudah diayun tinggal menusukkan ke ulu hati nikoh
tua ini. Sikap nikoh tua ini agaknya acuh tak acuh sampai alisnya
juga tidak bergerak.
Waktu ujung cundrik Suma Bing terpaut satu senti di depan ulu
hati nikoh tua terasa tangannya mulai gemetar, rona wajahnya
sukar ditentukan perobahannya
Bagi seorang tua yang sudah insaf dan rela bertobat di hadapan
Tuhan, betapapun dia tiada keberanian lagi menusukkan
senjatanya ke tubuh orang. Mendadak dia menjadi lemah mungkin
pula sekarang dia sendiri juga sadar dan insaf bahwa dosa yang
ditanamnya juga terlalu berat, meskipun tujuannya itu adalah
menuntut balas, tapi semua ini tidak akan terampunkan dan
menyalahi wet Tuhan? Wajahnya semakin guram hilanglah angkara
murka yang menyesatkan pikirannya.
Dia keluarkan buku daftar catatan terus dibakar dengan api lilin,
sekejap saja buku itu telah habis terbakar menjadi abu, setelah
menghela napas panjang dia berpaling kepada Liau In serta
katanya: “Adik Hun, inilah untuk penghabisan kali aku
memanggilmu, sekarang aku pergi!"
Muka Liau In gemetar, sikapnya tidak tenang lagi, sedekian pucat
menakutkan, mulutnya sudah bergerak namun ditelannya kembali,
sampai terakhir baru tercetus suaranya yang lirih: „Maaf Pinni
tidak mengantar !"
Suma Bing merasa hatinya kosong dan hampa, pelan2 dia berjalan
keluar, langkahnya terasa sedikit limbung. Setelah berada diluar
biara, dari puncak bukit dipandang-nya air sungai Tiangkang yang
mengalir bergelombang, mendadak tangannya terayun dia lempar
cundrik penembus dada itu kedalam sungai dan sebentar saja
lenyap ditelan ombak, kini semua sudah berakhir dan tammat !

„Dik !" pada saat itulah mendadak terdengar helaan napas sedih
di belakangnya.
Suma Bing terperanjat dan berpaling ke belakang, hampir saja dia
tidak percaya akan pandangannya, entah kapan tahu2 Mo-in
Siancu Phoa Kiau-nio sudah berdiri di belakangnya, justru yang
mengherankan kini wajahnya sudah kehilangan sifat2 genitnya
yang menggiurkan itu. Suma Bing berseru penuh haru : "Cici !"
„Dik, pertemuan kita ini memang jodoh. namun hampir saja aku
berdosa karena pertemuan ini. Ketahuilah aku seorang perempuan
yang sudah lanjut usia, karena sebutir buah saja sehingga aku
tetap kelihatan remaja. Biarlah pertemuan kita akhiri sampai disini.
Pengurus biara ini adalah Sumoayku. Sejak saat ini dikalangan
Kangouw selamanya tidak akan terdengar nama Mo-in Siancu lagi."
sampai disini dia merandek lalu mengeluarkan sebuah benda serta
katanya lagi: „Inilah Pedang darah, kukembalikan kepadamu."
Suma Bing menyambuti sambil mengangsurkan seruling batu giok
juga, katanya: „Cici seruling ini juga milikmu silakan kau ambil
kembali."
„Dik simpanlah saja sebagai kenang2an, aku tak perlu
menggunakan lagi."
Dari dalam biara masih terdengar tembang mantram yang halus
tenang dan damai.
Sambil mengangguk dan tersenyum simpul, pelan2 Mo-in Siancu
mengundurkan diri.
Dia tidak mengucapkan selamat berpisah. Mulut Suma Bing
menggumam entah apa yang diucap-kan.
Di lain saat dia sudah ber-lari2 kencang turun dari bukit gajah
putih.
T A M M A T
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat CERSIL OKT : Pedang DARAH BUNGA IBLIS [Lanjutannya] dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat CERSIL OKT : Pedang DARAH BUNGA IBLIS [Lanjutannya] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cerita-silat-cersil-okt-pedang-darah.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat CERSIL OKT : Pedang DARAH BUNGA IBLIS [Lanjutannya] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat CERSIL OKT : Pedang DARAH BUNGA IBLIS [Lanjutannya] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat CERSIL OKT : Pedang DARAH BUNGA IBLIS [Lanjutannya] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cerita-silat-cersil-okt-pedang-darah.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar