Cersil : Menuntut Balas - bAGIAN 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 26 Agustus 2011

cersil : Menuntut Balas
Karya : Wu Lin Qiao Zi
Diterjemahkan oleh : OKT (Oey Kim Tiang)
cetakan ulang berjudul : Pembalasan Seorang jagoan

Jilid 1. Menuntut Balas
1.1. Meninggalnya ayah tercinta
Kuil Poo Hoa Sie terletak diatas gunung Poo Hoa San
terpisah lima-puluh lie dibarat-daja dari ketjamatan Hin-kok
dalam propinsi Kangsay. Itulah sebuah kuil besar dan tua,
jang katanja dibangun di dekat achir dinasti Tjhin, didjaman
katjau dari penjerbuan bangsa Hsiungnu dan lainnja. Didalam
kuil, pendopo ketiga, jang diberi nama pendopo Leng Koet
Tian, diperantikan menjimpan abu dari pelbagai pendeta
tersebut, sedang di-depan pendopo itu, jang merupakan
pekarangan lebar, tumbuh dua buah pohon pek jang tinggi
kira-kira tigapuluh tombak dan besarnja sepelukan empat
orang, dan umurnja katanja sudah seribu tahun lebih, sedang
kajunja, kalau dibakar di pendupaan, menjiarkan bau harum..
Itulah kuil dimana Beng Liang Taysoe,seorang pendeta jang
sudah berusia tinggi, mendjalankan ibadatnja.
Dimasa mudanja ialah seorang mahasiswa jang gagal
rnemperoleh gelar sioe-tjay, hingga ia djemu terhadap ilmu
surat, tawar hatinja, hingga ia pergi pesiar, lalu digunung
Thian San, ia masuk mendjadi orang sutji, Setelah berusia
landjut, ia memilih kuilnja ini. Disamping ilmu surat, ia pandai
rnenabuh alat tetabuhan, main tjatur dan melukis gambar. la
bertubuh djangkung, dalam umur tudjuh puluh lebih, ia mirip
seorang dari usia empatpuluh, karena tubuhnja itu tidak
melengkung dan djalannja pun tegar dan. tjepat.
Pada suatu fadjar, selagi kabut belum bujar dan hudjan
gerimis, dari puntjak Bie Lek Hong didepan gunung itu,
kelihatan seorang muda berlari-lari turun, untuk mendatangi
kuil. Ia memasuki langsung pintu samping, jang memakai
merek „Geng In," artinja „Menjambut Mega," terus berlari-lari
dilorong, jang mudun ke bawah. Ia baru berhenti lari setelah
masuk kedalam kamar pendeta kepala, jang berada di
pendopo ketiga. Ia bermuka putih dan tampan„ tubuhnja

3
kekar, akan tetapi itu waktu, romannja kutjal. Ia mengangguk
kepada beberapa pendeta, jang ditemui didalam kuil itu, tetapi
ia tidak berbitjara atau merandak. Ia menjingkap kain pintu
dan bertindak masuk tanpa ragu lagi.
Beng Liang Taysoe baru sadja habis liam-keng dan lagi
duduk bersamedhi sambil merapatkan kedua matanja, waktu
ia mendengar tindakan kaki orang diluar kamarnja, ketika ia
rnembuka matanja, melihat si anak muda dengan airmukanja
diliputi kedukaan itu. Ia pun lantas mengerutkan alisnja jang
putih.
„In Gak," ia mendahului menegur, suaranja lembut, “pagipagi
begini kau telah datang dan romanmu kutjal, mungkinkah
kambu pula sakitnja ajahmu?"
Anak muda itu mendjura.
„Benar, loodjinkee," is menjahut. Ia memanggil loo-djinkee'
atau orang tua jang dihormati dan suaranja pun perlahan.
„Baru tadi penjakit ajah kumat, hanja kali ini beda daripada
biasanja. la mengeluarkan darah tak hentinja. Ajah bilang
dadanja sesak. Baru setelah makan sisa obat loodjinkee, ia
rnerasa sedikit lega. Tapi ajah bilang........”
Ia berhenti sedjenak, kedua matanja pun mendjadi merah.
“Maka itu ajah menjuruh teetjoe datang kemari untuk
memohon loodjinkee suka datang mendjenguk..’
Pendeta tua itu menghela napas.
„In Gak," katanja, „inilah hal jang tjepat atau lambat bakal
datang, jang kaupun bukan tidak mengetahuinja, tjuma ingat,
didepan ajahmu, djangan kau mengasi kentara suatu apa,
untuk mentjegah dia mendjadi bersusah hati. Dalam dua-tiga
hari ini, aku rasa, bakal tidak terdjadi sesuatu. Sekarang kau
pulanglah lebih dulu, loolap akan menjusul ..."
Dengan „loo-lap," atau pendeta jang tua, pendeta itu
membahasakan diri sendiri.
„Baik, loodjinkee," menjahut pemuda, jang dipanggiI In
Gak itu, sambil ia mendjura. Lalu dengan tjepat ia
mengundurkan diri, untuk keluar dari kuil, guna kembali ke Bie

4
Lek Hong darimana tadi ia datang. Di kaki puncak, setelah
melihat kesekitarnja tidak ada lain orang, ia mendaki dengan
berlari-lari dengan ilmu ringan tubuhnja yang mahir. Kalau
mulai naik ia menjedot hawa, setibanja di diatas puntjak ia
mengeluarkan napas. Habis itu ia berlari-lari pula menudju
kebelakang gunung. la baru berhenti sesudah sampai di
tjabang puntjak dimana ia melihat kebawah. sebuah djurang.
Tanpa sangsi lagi, ia terus berlompat turun dengan menggunai
ilmu lompat ”Tee in Tjiong” atau ”Tangga mega” suatu djurus
dari ilmu silat ”Tjit Khim Sin hoat atau ”Tudjuh ternak”. Maka
dilain saat, ia sudah berbungkuk masuk dalam sebuah guha.
„Anak In!" terdengar satu suara menanja yang lemah, ”loo
soehoe sudah datang atau belum?”
„Loo-soehoe" itu jalah panggilan jang berarti ’guru tua”
„Loosoehoe bilang ia akan menjusul, maka itu sebentar ia
akan datang,," menjahut si anak muda.
„Ah....” terdengar suara orang itu, mendengar mana pedih
hatinja pemuda itu.
Kamar dalam guha itu diterangi pelita, baunja tak sedap
untuk hidung. Kamar itu jang menjambung dengan sebuah
jang lainnja, buatan manusia. Dibagian belakang itu ada
terdapat perapian, medja, mangkuk dan lainnja perabotan
serta sekumpulan dari beberapa puluh djilid buku. Di dalam
kamar itu ada dua buah pembaringan bambu atau bale-bale
jang ditaruh berhadap-hadapan, di timur dan barat, dan jang
di barat, ditempati oleh orang jang berbitjara tadi, jang
tubuhnja memeringkuk, mukanja kurus dan perok, jang
napasnja memain pergi datang. Dia berambut dan kumis
djenggot pandjang. Ketika si anak muda bertindak masuk, .ia
mengawasi dengan sinar-matanja jang saju.
Pemuda itu berduduk disisi pembaringan.
”Ajah, bagaimana rasanja dada ajah, apa mendingan” ia
tanja. Ia menanja tetapi ia membukai kantjing badju ajah itu,
untuk menguruti perlahan.

5
Orang tua itu menghela napas, agaknja merasa sedikit
lega.
”Anak In” katanja, ”Selama beberapa tahun ini sjukur ada
kau, tetapi kaupun mendjadi menderita karenanja. Ada banjak
hal yang kau belum ketahui, jang sebegitu djauh ajahmu
simpan sadja dalam hati. Sebabnja ini jaitu aku kuatir, djikalau
aku memberitahukannja kepada kau, nanti terganggu
peladjaran silatmu, karena perhatianmu mendjadi terpetjah.
Sekarang ini aku merasa aku bagaikan pelita jang minjaknja
kering, soal berpisah dari dunia ini tinggal soal waktu sadja,
dari itu, dendaman hatiku terpaksa aku mesti mengandal
kepada kau seorang...Tentang hal ichwalku, semuanja
diketahui loo soehoe, biar loo soehoe jang nanti menuturkan
kepada kau. Kau sudah dewasa sekarang, hatiku lega,
melainkan aku menjesal, belum keburu aku membuatnja kau
membangun rumah tangga...”
Mendengar itu, si anak muda bertjutjuran air mata.
”Ajah, djangan ajah berkata begini” katanja, ”Loo soehoe
bilang...”
Belum habis kata-kata si anak muda, dalam guha itu
berkelebat satu bajangan, lantas Beng Liang taysoe berada
diantara mereka. Lekas-lekas ia berbangkit, untuk memberi
hormat.
Si orang tua bergerak, untuk berbangkit, tetapi si pendeta
mentjegah.
”Saudara Boen, rebah sadja!” katanja tertawa, ”Tidak dapat
kau sembarang bergerak. Ini, kau makanlah” Ia menjerahkan
sebutir obat pulung.
Si orang tua menjambut obat itu.
”Baiklah! Terima kasih...” katanja meringis, obatnja ia terus
telan. Ia batuk satu kali. Ia meneruskan: ”Sebenarnja tak usah
taysoe mentjapaikan hati lagi, sia-sia belaka pel Tiang Tjoen
Tan ini. Siauwtee telah memeriksa nadiku barusan, siauwtee
merasai denjutannja jang sudah tidak teratur lagi, djadi
siauwtee rasa, pertjuma umpama kata ada obat mustadjab,

6
obat itu paling djuga bisa memperpandjang djiwa dua-tiga hari
lagi...Tidaklah itu tjuma melambatkan mengi, menambah
penderitaan? Maka siauwtee pikir, lebih baiklah siauwtee pergi
siang-siang...Tjuma sebab hatiku masih menggandjal, maka
itu siauwtee menjuruh anak In minta taysoe sudi datang
kemari, untuk siauwtee meninggalkan pesan. Siauwtee
bersjukur jang untuk banjak tahun si In sudah menerima
pelbagai petundjuk dari taysoe, sajang dia belum mendjadi
murid jang resmi, tatapi mulai hari ini, siauwtee minta sukalah
taysoe menerimania sebagai- murid tay soe„supaja kemudian
taysoe mendidiknia dengan keras. Setengah tahun setelah ini,
kapan ia telah selesai diberi peladjaran menurut kitab Hian
Wan Tjin Keng, biarlah ia diidjinkan turun gunung, guna ia
mentiari sekalian musuhku, guna ia menuntut balas. Mengenai
ini, siauwtee mohon taysoe suka djuga memberi segala
petundjuk. Inilah permintaan siauwtee jang terachir, siauwtee
pertjaja taysoe tentulah suka menerimanja, bukan?"
Pendeta tua itu bersenjum.
“Untuk segala apa dibelakang hari, semua loolap akan
urus," katanja, sabar. „Sekarang ini djangan kau banjak
omong dan banjak pikir, baiklah kau tidur sadja”
Sembari berkata, ia rnenotok urat pulas orang tua itu,
maka dia lantas tak sadarkan diri, dia terus tidur.
Untuk beberapa detik, pendeta itu berdiam mengawasi
orang tua itu.
„In Gak, mari!" achirnja ia kata.
Si anak muda berdiri dimuka pembaringan, airmatanja
meleleh tak hentinja. Ia menghampirkan, untuk berdiri
disamping pendeta itu.
“In Gak, kau djangan bersusah hati," kata Beng Liang
Taysoe jang sendirinja menghela napas. „Manusia itu, seteIah
usianja seratus tahun, tak luput dari kematian, tetapi ajahmu
ini, jang dapat hidup sempurna begini, di dalam kalangan
Kang-ouw, ada berapakah jang dapat menjamakannja ?" la
hening sedjenak, ia kata pula: .„Telah berulangkali ajahmu
minta loolap mengambil kau sebagai murid, senantiasa lolap

7
menampik. Ini bukan disebabkan loolap banjak pernik, hanja
di-samping itu ada sebabnja. Didalam kuilku tidak seorang
jang mengetahui loolap mengerti ilmu silat, paling djuga
mereka menduga duga bahwa loolap berolahraga untuk
kesehatan. Djikalau loolap menerima kau sebagai murid,
dengan sendirinja mesti mengubah panggilan terhadap loolap.
Ajahmu ini banjak sekali musuhnja, djikalau kita alpa, asal
rahasia botjor, bukan sadja ajahmu bakal mengundang
datangnja musuh-musuh besar dan berbahaja, djuga itu akan
mendatangkan kesulitan tak habis-habisnja untuk kuilku. Maka
djuga loolap menolak keras. Sementara itu selama beberapa
tahun ini, kau djuga telah rnewariskan kepandaian ajahmu,
kau tinggal. mernbutuh kan latihan teriebih djauh . Kau tahu,
loolap telah melihat bakatmu jang baik, didalam hati, loo-lap
sudah menerima kau sebagai murid, rnelainkan waktunja
belum tiba. Sekarang, jalah mulai hari ini, loolap terima kau
setjara sah. Akan tetapi, masih ada satu soal jang kau mesti
perhatikan. Selandjutnja, kau tetap, berdiam disini, setiap aku
hendak memberikan peladjaran, nanti aku sendiri jang datang
kemarl Kau, kau tahu, aku larang kau datang ke kuilku, supaja
kau tidak menarik perhatian orang.
“Mengertikah kau?”
“Ja, soehoe” berkata si anak muda, jang bernama In Gak
itu. la girang bukan kepalang, ia terharu bukan main. Segera
ia pay-koei tiga kali, untuk mendjalankan kehormatan sekalian
menghaturkan terima kasihnia.
„Bangun, anak!" berkata sang guru, jang pun tertawa
girang.
Sudah semendjak tiga tahun jang lalu si anak muda
mendengar dari ajahnia bahwa Beng Liang taysoe telah
rnenjampaikan puntjaknia kemahiran ilmu silat, bahwa dia tak
ada tandingannja. Katanja, guru itu jalah muridnja Boe Wie
Siangdjin dari djurang Tjap In Gay, sedang Boe Wie Siangdjin
sendiri satu djago luar biasa pada duaratus tahun jang lalu
jang kemudian tak ketahuan kemana parannja. Menurut kata
ajahnja itu, asal dua bahagian sadja kepandaian Beng Liang

8
Taysoe dapat diwariskan, orang sudah boleh mendjagoi.
Sekarang ia mendjadi muridnja pendeta lie hay itu, bagaimana
ia mendjadi tidak sangat girang?
Beng Liang mengawasi murid itu, ia melihat kegirangan
orang tertjampur kedukaan jang hebat, maka ia kata dalam
hatinja:
„Anak ini harus dikasihani. Dengan dia menerima
kepandaianku, dia bakal mendjadi orang gagah luar biasa,
tjumalah karena nja, dunia Kang-ouw bakal terbuatnja
mendjadi gempar, maka itu baiklah, dengan pengaruh Sang
Buddha, aku akan mentjoba membataskannja ...... ..." Maka ia
kata pada muridnja itu:
„In Gak, kau turut ajahmu datang ke puntjak Bie Lek Hong
ini sedjak usiamu enam tahun, baniak hal jang kan tidak tahu..
Ajahmu ini, Tjia Boen, asalnja orang gagah dari Kwan-lok,
ilmu siiatnja ilmu silat tersendiri. Sekalipun orang kang-ouw,
tidak ada jang ketahui asal-usul-nja. Belum berusia tigapuluh
ia sudah rnendjadi djago Kwan-lok, hingga kaum Rimba
Persilatan menamakan dia Twie Hoen Poan, Si Hakim
Pengedjar Arwah. Ajahmu bertabiat keras, ia membentji
kediahatan bagaikan musuh besarnia, dari itu djikalau orang
dari kaum Djalan Hitam bertemu padanja, pasti dia
dibinasakan tanpa ampun. Bahkan orang dari golongan lurus
apabila dia bertindak diluar garis, dia dihukum djuga,
dikutungi kuping atau hidungnia atau dirusak ilmusilatrija.
Karena tangan besinja ini, ia membangkitkan amarah kedua
golongan sesat dan lurus itu hingga mereka berserikat dan
berdaja untuk menumpasnja."
In Gak memasang kuping, pelbagai rupa perasaaanja. Baru
sekarang ia mengetahui asal-usul atau hal-ichwal ajahnja itu.
Ia berdiam sadja, untuk mendengar terlebih djauh.
„Ajahmu itu tidak ketentuan tempat kediamannja," „Beng
Liang melandjuti, dia pergi kemana dia suka. Beberapa kali ia
diketemukan musuh, tetapi sebab musuh kebetulan
berdjumlah sedikit, mereka tidak berani turun tangan. Maka
itu, buat lagi beberapa tahun, ajahmu tetap dengan tabiatnja

9
itu. Pada suatu hari aku bertemu ia di kuil Ouw Yoe Sie
ditepinja sungai Kee Leng kemana ajahmu sering pesiar lantas
kita mendjadi sahabat ;Aku ketahui sifat ajahmu, sering aku
memberi nasehat padanja. Ia suka mendengar kata,
seIandjutnja ia tidak lagi bertangan besi seperti dulu-dulu. Di
tahun kedua sedjak pertemuan ajahmu menikah ibu-mu,
bersama-sama mereka tinggal disebuah kampung nelajan
ditepi sungai itu. Ia menutupi diri, ia tidak rnemperhatikan
pula urusan dunia Kang Ouw, Di tahun ketiga maka kau
dilahirkan. Menurut pantas, setelah rnenjimpan pedangnja dan
menjekap diri ajahmu boleh hidup aman dan berbahagia
hingga di.hari tuanja, siapa sangka, karma itu ada libatannja,
orang sukar meloloskan dirinja. Ketika umurmu tiga tahun,
kau turut ajahmu ke kuil rnendjenguk aku. Tiga hari lamanja
kamu tinggal didaIam kuil. Ketika itu aku melihat wadjah
ajahmu guram, aku rneng¬andjuri ia lekas pultang. Diluar
dugaan, setibanja ia di rumah ia mendapatkan ibumu telah
mati basah, rebah diatas pernbaringan dengan dadanja
bertapak tudjuh djari tangan jang hitam, terang-lah
kebinasaannja disebabkan hadjaran tangan jang liehay. Sambii
menangis, ajahmu mengurus djenazah ibumu itu, selesai itu
meninggalkan rumahnja dan pergi untuk, mentjari musuhnja,
guna mentjari balas. Pernah aku. menasehati.untuk ia
menahan untuk merawat dan mendidik padamu, hingga kau
dewasa, akan tetapi ia keras dergan niatnja itu, hingga aku
tidak. dapat mentjegah lebih djauh. Ketika itu, atas
pertolongan kakak seperguruanku, aku telah tinggal di kuilku
jang sekarang ini. Setelah aku memberikan alamatku, kita
berpisahan."
Kembali pendeta itu berhenti sedjenak, baru ia melandjuti:.
“Kasihan ajahmu itu, ia pergi dengan ia mesti
menggendong-gendong kau, hidup dalam perantauan, Tahun
lewat tahun, ia masih belum berhasil mentjari musuhnja,
musuh jang membinasakan ibumu itu, Kemudian ajahmu
beruntung mendapatkan kitab Hian Wan Tjin Keng itu. Ia
mendapatkannja di gunung Hoa San. Kitab itu memakai hurufTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
10
huruf Kak koet-boen jang sukar dibatja, ia tidak ,mengerti. Ia
ingat padaku, ia lantas berangkat ke Kang say untuk rninta
bantuanku. Didalam perdjaIanan ini, mungkin orang kenaIi
padanja, maka orang mengumpul diri, ia lantas disusul, lain
diwaktu malam ditepi telaga Tong Teng Ouw, ia diserang. la
dikerojok oleh belasan musuh jang semuanja bertopeng.
Ajahmu boleh gagah tetapi mana sanggup ia melawan begini
banjak musuh liehay, sedang ia djuga menggendong kau?
Setelah bertempur lama, ia mendapat banjak luka, antaranja
tiga totokan ditempat yang berbahaja. Sjukur ajahmu pernah
mendapat peladjaran Kim Kong Sian-kang dari aku, ia dapat
melindungi djantungnja, hingga ia tidak menemui
kematiannja. Dengan berlaku nekat, ia menoblos kepungan, ia
bersembunji dan lari siang malam, achirnja ia sampai
ditempatku. lantas aku menjembunjikan kamu diguha ini.
Ajahmu berobat, ia makan pel Tiang Tjoen Tan, tetapi itu
tjuma dapat memperpandjang usianja belasan tahun. la tidak
bisa berkelahi lagi. Lagipula setiap dua musim semi dan panas,
mesti sakitnja itu kumat. Ajahmu tahu ia tidak dapat menuntut
balas sendiri, maka. Ia mewariskan kepandaiannja kepada
kau, harapannja jalah supaja kau bisa menggantikan dia
membuat pembalasan."
Habis berkata, pendeta tua itu menghela napas.
In Gak menangis sesenggukan, airmatanja turun deras
„Sudah, muridku, tak usah kau terlalu berduka," sang guru
membudjuk, „Selang dua djam, ajahmu ini akan mendusin.
Sekarang aku hendak pulang, sebentar aku nanti kembali."
Beng Liang bertindak keluar, In Gak mengantarkan. Murid
ini melihat guru itu berlompat, gerakannja bagaikan burung
djendjang terbang melajang, sebentar sadja sang guru sudah
hilang dari hadapannja.
„Djikalau aku berhasil mewariskan separuh sadja
kepandaiannja guruku, pasti aku akan mengangkat nama
dalam dunia Rimba Persilatan," pikir ia, „Aku akan bunuh habis
semua musuh ajah dan ibuku, tidak perduli jang tjuma turutturutan
sadja!"

11
Hebat pikirannnja pemuda ini, karena dengan demikian
terta-namlah tjita-tjitanja menuntutbalas hebat. Karena ia
sangat bersakit hati ibunja dibinasakan oleh musuh, atau
musuh-musuh, jang demikian pengetiut, litjik dan kedjam, dan
ajahnja dikerojok oleh sekumpulan manusia kedji, hingga ajah
itu mesti sangat menderita sehingga sekarang ini, sedang
ajahnja itu adalah pendekar, penentang segala manusia
busuk. Ajahnja tidak bersalah.. Atau umpamakata ajahnja
keliru, itulah kekeliruan jang berupa tangan besi, disebabkan
sikapnja terlalu keras, Siapa suru si djahat tidak mengenal
peri-kemanusiaan? Bukankah pantas si djahat jang
melewatkan batas dihukum bengis?
Lima hari kemudian Tjia Boen telah meninggalkan dunia
jang fana ini. In Gak menangis menggerung-gerung, ia
berteriak-teriak meminta keadilan Thian. Ia merasa
peruntunganja buruk sekali. Semendjak usia tiga tahun, ia
hidup terlunta-lunta, senantiasa berada dalam gendongan.
Kemudian terus ia masih sesunggukan ia merasa
peruntungannja buruk sekall. Semendjak usia tiga tahun, ia
hidup terlunta-lunta, senantiasa berada dalam gendongan
ajahnja, selagi si ajah dikedjar-kedjar musuh. Belum pernah ia
hidup merdeka sebagai anak-anak lain sebajanja. la mesti
menemani ajahnja, jang tersiksa bathin dan lahirnja, tidak
pernah ia main-main, .sebaliknja ia mesti bertekun mejakini
ilmu silat.
Sekarang, sebelum dapat berdiri sebagai manusia, ia telah
ditinggalkan ajahnja, hingga selandjutnja in mesti hidup
sebatang kara hidup dengan tugasnja jang berat dan
berbahaja, hidup untuk menuntut balas!
Beng Liang Taysoe mendampingi Tjia Boen ketika djago ini
hendak menghembuskan napasnja jang terachir, sekian lama
ia membiarkan anak itu mengumbar kesedihannja, baru
kemudian ia membudjuk dan menasihatinja, untuk mereka
bersama mengurus djenazah djago tua itu, jang dikubur
dengan upatjara jang paling sederhana, dikuburkan disatu
tempat jang dipilih dibelakang gunung itu.

12
Semendjak itu, setiap mengenang ajahnja, In Gak
menjambangi kuburan ajahnja itu untuk menangis sedih
disamping kuburan untuk menabur bunga.
Disini ia memperkokoh tekadnja,untuk nanti merantau,
guna mentjari musuh-musuhmja.
Pada suatu hari Beng Liang Taysoe, sang guru, telah
datang keguha muridnja. Ia panggil muridnja kedepannja,
lantas ia kata dengan sikapnja sungguh-sungguh dan keren:
„In Gak, kau dengarl Mulai hari ini aku akan mengadjari kau
ilmu silat. Sebagai permulaan, kau akan mendapatkan
peladjaran duduk bersamedbi, akan menjalurkan
pernapasanan, untuk melatih tenaga-dalammu. Kau mesti
melatihnja setiap hari, djangan putus-putusnja djuga dasar
untuk mejakinkan ilmusilat Bie Lek Sin-Kang. Ajah mu telah
mengadjari ilmu Twie- Hoen Tek-Goat Kiarn-hoat, ilmu pedang
'rnengedjar Arwah dan Memetik RembuIan' jang terdiri dari
tudjuhpuluh-dua djurus serta pukulan Hoei Liong Tjiang atau
Tangan Naga Terbang, jang terdiri Sembilan puluh-tudjuh
djurus. Djuga kedua ilmu itu kau mesti latih terus, jangan kau
alpakan. Itulah ilmu pedang dan tangan kosong jang langka
didalam dunia persilatan dan dengan itu ajahmu telah
mengangkat namanja”
Habis berkata dan muridnia berdjandji akan mentaati pesan
gurunja ini lantas mulai dengan pengadjarannja itu.
“In Gak bersamedhi setiap pagi dan sore, ia membagi
waktunja untuk melatih ilmu silatnja. Segera ia mendapat
kenjataan, tu¬buhnja mendjadi segar luar biasa dan gerakgeriknja
mendjadi lebih gesit. Maka selandjutnja ia beladjar
lebih tekun, bahkan setiap hari, ia bersamedhi belasan kali.
SeteIah bersamedhi, lenjap segala keletihannja.
Satu bulan kemudian Beng Liang Taysoe datang keguha,
lantas ia melihat perubahan muridnja itu. Ia girang dan kagum
luar biasa. Sungguh pesat kemadjuan si murid. Karena ini, ia
lantas mulai mengadjari Bie Lek Sin-Kang, jang terdiri tjuma
dari duabelas djurus. Ia memberi petundjuk, ia mendjelaskan

13
sambil ia sendiri bersilat untuk dilihat tegas muridnja itu,
hingga muridnja dapat mendjalankannja. Disebelah bakat, In
Gak dibantu ketjerdasannja, dasarnja dan keradjinannja, djuga
keuletannja.
Berkatalah sang guru: ,,Bie Lek Sin Kang berendeng
dengan Hian Boen Kong Khie. Bedanja jalah Hian Boen Kong
Khie bersifat keras, setelah dilepaskan sukar untuk dibatalkan,
untuk ditarik pulang. Bie Lek Sin Kang tidak ada tjatjadnja
jang demikian. Saking halus dan sebatnja, Bie Lek Sin Kang
dapat dipakai melukai orang hingga sukar terlihat, sedang
berbareng, tubuh mendjadi kuat bagaikan emas atau badja
hingga sukar terlukakan. Sekarang beladjarlah kau dengan
radjin, satu bulan kemudian, aku akan datang pula."
In Gak mengangguk, ia menghaturkan terima kasih, lantas
ia mengantarkan gurunja keluar. Setelah itu, ia kembali
kedalam, akan berlatih. Seperti biasa, ia beladjar tanpa
mengenal tjapai.
Dengan tambahnja peladjaran, ia mesti membagi waktu.
Sekarang setiap fadjar, sebelum terang tanah, ia merajap naik
kepuntjak.
Bie Lek Sin-Kang tepat dipeladjarkan ditempat terbuka.
.Aneh peladjaran ini Didalam setengah bulan jang pertama, ia
tidak melihat hasilnja. Adalah selewatnja itu, baru ia merasa.
Tidak sadja tubuhnja bertambah segar, djuga rasanja ia
bernapas dan bergerak semakin leluasa. Ketika ia mentjoba
menjabat tjabang pohon jang besar dengan tangan kosong,
tjabang itu patah serentak, hingga ia mendjadi kagum bukan
main. Karena. itu, ia mendjadi makin radjin.
Ketika selang satu bulan Beng Liang datang melihat
muridnja, ia bersenjum dan mcngatakannja: „Hasil kau ini
tidak dapat ditjela. Tempat ini tidak didatangi orang, kau boleh
beladjar setiap waktu."

14
Kemudian guru ini mengadjarkan pula kedua ilmu pedang
Kim Kong Hok Houw atau Arhat Menakluki Harimau terdiri dari
tiga puluh enam djurus dan Hian thian Tjit Seng atau Tudjuh
Bintang Hian-thian terdiri dari delapan.puluh-satu djurus.
Setelah ini, guru ini guru ini datang dengan terlebih sering,
bukan lagi sehulan sekali, hanja setiap tiga atau lima hari ia
memberi peladjaran lebih tjepat dan menilik lebih sering. Ia
mengadjari djuga penggunaan sendjata rahasia dan tjaranja
untuk menanggapi atau berkelit dari serangan sendjata
sematjam itu. Disamping lweekang atau lay-kang, tenagadalam,
ia pun mengadjari gwa-kang, peladjaran-luar,
begitupun pelbagai petundjuk atau pengadjaran sampingan
lainnja.
In Gak tetap beladjar dengan radjin, ia tidak mengenal
lelah bahkan diwaktu turun hudjan ia berlatih terus, hingga
kemadjuannja luar biasa pesat. Sedangkan setiap malam
bulan purnama, dengan tentu ia menjambangi kuburan
ajahnja, untuk rnenangis dan berkata: ,,Ajah, tenangkanlah
hati ajah! Pasti. aku nanti menuntutbalas!"
Bagaikan seketjapan mata, setengah tahun sudah lewat.
Satu hari Beng Liang datang dengan membawa sedjilid buku
berkulit kulit kambing, sambil menundjuki buku itu kepada
muridnja, ia kata:
“Ini dia kitab Hian Wan Tjin Keng,jang duluhari didapat
ajahmu. Buku ini memuat peladjaran tentang djalandarah,
bagaimana harus menotoknja, bagaimana harus
membebaskanaja. Djuga perihal pengobatan terutama dengan
djarum. Karena ini, kitab ini pun dinamakan Hian Wan Sip Pat
Kay, atau Delapan belas Pengobatan Kaisar Hian Wan. Aku
akan mengadjari kau setiap hari satu fatsal, selandjutnja
terserah kepada kau untuk memahamkannja hingga kau dapat
mempergunakannja dengan sempurna. Aku pertjaja, dengan
ketjerdasanmu, tak sulit untuk kau mengatasinja."

15
In Gak terima peladjaran itu, setiap hari ia membatja dan
mengapalkannja diluar kepala. Sulit untuk ia rnengenal hurufhuruf
Kak-koet-boen, tetapi ketekunannja membuat ia berhasil
djuga. la tidak kenal tjapai, ia tidak pernah putus asa.
Beng Liang mernbantu muridnja dengan ia memberikan
seperangkat kulit manusia, entah dari mana ia dapatkannja,
dengan begitu, In Gak memperoleh kegampangan untuk
mengenal pel-bagai djalan darah. Bahkan selang tiga bulan, ia
dapat menotok djuga dengan timpukan sehelai daun atau
selembar bunga.
Sesudah murdnja madju demikian djauh, Beng Liang,
menjuruh sang murid membagi waktu, jalah setengah hari
beladjar silat setengah hari. Beladjar surat. Llmu surat perlu
untuk memperlengkapi diri, terutama untuk ilmu pengobatan,
ilmu ketabiban dipeladjari berbareng dengan ilmu ringan
tubuh.
Demikian tjara luar biasa dari guru itu untuk mendidik
muridnja.. Iimu silat diutamakan, maka ilmu silat didului baru
menjusul jang lainnja,
Selewatnja satu tahun maka Tjia in Gak telah mendjadi
seorang muda dari usia sembilan belas tahun, romannja
tampan, tubuhnja sehat dan kuat. Karena pendidikan ajahnja
dan gurunja jang sedikit bitjara„ ia mendjadi pendiam„
pikirannja tenang. Memangnja dengan tinggal didalam guha,
di atas gunung jang sunji, ia tidak pernah kenal lain orang
ketjuali ajah dan gurunja itu, tjuma beherapa pcndeta lainnja
dari kuil Poo Hoa Sie
Pada suatu hari, Beng Liang datang keguha, dan berkata
kepada muridnja; „In Gak, semua kepandaianku telah aku
wariskan kepadamu. Untukmu, jang masih kurang, jaian
latihan lebih djauh. Meski demikian, sekarang kau sudah boleh
turun gunung untuk mentjari musuh -musuhnja ajah dan
ibumu, guna kau mewudjudkan pesan ajahmu mentjari balas.

16
Tjuma satu hal aku harap dari kau, jalah kau djangan
melupakan peri-kemanusiaan, djangan kau sembarang
mennbunuh orang. Didalam hal memilih sahabat, kau mesti
berlaku teliti. Djanganlah kau terlalu berkukuh. Jang paling
penting, djangan sekali kau menjebut narna gurumu, dan Bie
Lek Sin kang djangan digunai ketjuali sangat terpaksa!'
Beng Liang seorang pendeta perantau, dia tahu akan
segala matjam orang kam kang ouw, dia kenal pelbagai partai
ilmu persilatan, dia telah menjelami sifat manusia umumnja,
maka semua itu ia djelaskan kepada muridnja ini, supaja
muridnja mengetahui dan mengingatnja baik¬-baik. Semua itu
penting untuk seorang jang mau pergi merantau. Ia terutama
memesan bagaimana murid ini harus membawa diri. Setelah
itu, ia memberikan uang duaratus tail perak serta sebilah
pedang lunak jang diberi nama Ouw Kim Djoan-kiam.
„Besok kau boleh berangkat, dan tak usah kau datang pula
kekuilku untuk pamitan," kata si guru achirnja.
Kedua matanja In Gak. penuh airmata. Sangat berat
untuknja berpisahan dari gurunja ini jang mentjintai ia tak
kalah tjinta ajahnja. Wadjah si pendeta pun mendjadi guram,
karena dia pun tak tega hati„ maka ketika dia mau berlalu, dia
mendjedjak tanah, dia berlalu dengan tjepat.
Dengan hati pedih In Gak mengawasi gurunja barlalu. Ia
pun menguatkan hatinja. la ingat ia harus mentjaribalas.
Itulah tugasnja. Maka selang sekian lama, ia mulai
membenahkan pauwhok atau buntalannja. Ia membawa apa
jang paling perlu. Malamnja, ia pergi kekuburan ajahnja, untuk
menangisinja pula, karena kali ini ia pamitan untuk waktu jang
tak berbatas.
Besoknja pagi, diwaktu berangkat, ringkas sekali buntalan
Tjia In Gak, sedang pedangnja dilibat dipinggangnja.Bukubukunja,
sedari setengah bulan jang lalu, telah diambil
gurunja, sedang piring-rnangkuk tidak ada perlunja. Tidak ada

17
benda jang ia berati, ketjuali guhanja sendiri, guha tem¬pat in
bernaung belasan tahun. Ketika ia keluar dari guhanja lantas
ia berdiri tegak menghadap kekuil Poo Hoa Sie, ia terus pay
koei, berlutut dan mengangguk hingga empat kali, tandanja ia
memberi hormat dan meminta diri dari gurunja. Diachirnja,
dengan menggertak gigi, ia berlompat, untuk terus berlari-lari,
meninggalkan guhanja itu. Ia mengangkat kepala, tidak
pernah ia menoleh pula.
Maka mulai itu hari, dunia Rimba Persilatan lantas tertutup
dengan hawa pembunuhan, oleh karena satu anak jatim-piatu,
jang hidupnja sangat menderita, hendak melakukan tugasnja
melampiaskan dendam .....
#
Tiga puluh lie lebih keselatannja puntjak Bie Lek Hong
terdapat dusun Liong kauw-hie jang mendjadi pusat
pardagangan. Di situ ada sebuah kali, jang airnja mengalir ke
Kiong Tjioe, seperdjalanan seratus enampuluh lie. Ketika In
Gak tiba di sana, kebetulan djatuh hari besar, dari tempattempat
disekitarnja, orang datang- berdujun-dujun, buat
berdagang, buat berbelandja. Maka pusat perdagangan jang
tak Iuas, jang beralasan lantai batu; sesaklah dengan kira-kira
lima ribu orang, hingga pemuda kita berdjalan berdesakdesakan
untuk mentjari sebuah kedai nasi. Suara orang pun
berisik sekali.
„Sedjak hari ini. aku mesti melakukan perdjalanan dengan
tak ada tudjuannja," In Gak berpikir selagi ia duduk mengisi
perut. „Kenapa aku tidak mau naik perahu untuk pergi
keibukota propinsi'? Dikota Lam-tjjang pastilah terdapat
orang-orang dari pelbagai kalangan dari sasterawan sampai
segala kuli, dan ular dan naga tinggal mendjadi satu.
Insoe mengatakan, untuk manjerap-njerapi musuhmusuhku,
perlu aku berkenalan dengan orang bangsa
piauwsoe atau anggauta partai persilatan.
Orang sebagai aku, pasti aku dapat memasuki umpama
suatu piauwkok. Atau aku pergi dulu kepropinsi Soe-tjoan,
untuk mendjenguk kuburan ibuku."

18
In Gak tidak menjebut gurunja dengan panggilan soehoe,
guru, hanja insoe, jang berarti guru jang telah melepas budi
banjak terhadapnja.
Setelah mengambil putusan, In Gak memanggil pelajan,
untuk menanja apa ada perahu sewaan untuk keibukota.
„Itulah gampang, siangkong," sahut si pelajan sambil
tertawa manis. „Kebetulan sekali, pamanku jang mempunjai
sebuah perahu besar hendak berangkat tengah hari ini.
Baiklah, nanti aku mengaturnja,"
Pelajan ini pergi keluar, untuk memanggil seorang desa
dengan siapa ia lantas berbitjara. orang desa itu menganggukangguk.
Jilid 1.2. Menjadi Guru Sastra di Tjin tay Piauw Kiok
”Dia inilah jang akan mengantarkan siangkong ke perahu,"
katanja kemudian.
In Gak sudah dahar tjukup, ia iantas membajar uang
makannja. Ia memberi presen pada pelajan itu. Setelah itu, ia
turut si penundjuk djalan hingga ditepi sungai, jang
merupakan pelabuan pedesaan jang ramai. Disitu terlihat
banjak perahu besar dan ketjil, terutama tampak njata tihangtihang
lajar dan lajarnja.
Si pengantar, dengan berdiri ditepian, mengasi dengar
kaokan njaring berulang-ulang. Segera dari sebuah perahu
muntjul seorang, jang terus menjahuti seraja tangannja
menggapai-gapai.
„Mari, siangkong," si pengantar mengadjak.
In Gak rnengikut. Setelah melintasi belasan perahu Iainnja,
tibalah mereka diperahu besar itu. Lantas mereka menemui
pemiliknja, seorang tua she Thio, jang ramah-tamah, jang
berkata: „Senang aku menerima kau, siangkong. Perdjalanan
ada seribu lie lebih akan tetapi kalau angin balk, kita akan
sampai diibukota dalam waktu duapuluh hari."
in Gak menghaturkan terima kasih kepada si pengantar,

19
la ikut pemilik perahu itu masuk kedalam gubuk. Perahu
besar itu terbagi dalam delapan ruangan, empat didepan,
empat dibelakang, bagian tengahnja mendjadi dapur dan
ruangan bersantap. Dan empat ruangan belakang, jang
keempat untuk kamar tidur, jang tiga terisi penuh muatan
seperti kulit, daun rokok dan lainnja hasil bumi setempat. Dari
empat ruangan depan, jang dua dipakai sendiri oleh si Thio
dan anak isterinja, jang dua lagi masih kosong. Sedangkan
dibawah lantai perahu disimpan persediaan barang makanan,
seperti beras, sajur, daging dan lainnja.
Senang In Gak melihat kamar untuknja jang terawat bersih,
setelah memeriksa, ia kembali kepada si Thio, untuk bitjara
harga sewanja, untuk membajar dimuka, kemudian habis
berbitjara sebentar, ia kembali pula kekamarnja itu, diruang
depan. Ketika kendaraan air mulai meninggalkan tepian, la
berdiri dikepala perahu, memandang djauh kesekitar sungai,
melihat burung-burung terbang dan telinganja mendengar
njanjian kawanan nelajan.
Setelah beberapa hari di atas perahu, In Gak dapat
berkenalan dengan djurumudi dan anak-buah perahu, hingga
ia mengerti pelbagai istilah bangsa mereka itu, bahkan ia bisa
djuga menggaju, menggunai gala kedjen, dan menguasai
kemudi.
Waktu senggang diatas perahu digunai In Gak sebaikbaiknja.
Djikalau ia tidak pasang omong sama si Thio atau
ngobrol sama awak perahu, ia menguntji kamar, untuk
bersamedhi. llmu samedhi itu jalah jang dinamakan Kwie Goan
Tjo-Kang. Sambil bersamedhi, berbareng ia melatih Bie Lek
Sin-Kang. Dan kapan perahu lagi berlabu, ia suka mendarat,
untuk mentjari tempat sepi, guna berlatih silat pedang dan
tangan kosong. Tak suka ia mengadjak salahsatu awak
perahu, untuk pesiar didarat. Sikapnja ini mengherankan awak
perahu, tetapi karena ia manis-budi, orang menganggapnja
itulah tabiatnja.

20
Dari Hin-kok melintasi Kiong tjioe sampai di Louw-leng-hoe,
perdjalanan ada enam ratus lie air, hari jang dilewati sudah
setengah bulan. Aliran air jalah milir tetapi kadang-kadang
mereka terganggu angin barat-laut, karena ketika itu sudah
dipermulaan buIan dua-belas. Kalau ada gangguan, angin,
sepandjang tigapuluh lie, awak perahu terpaksa mendarat dan
menarik perahunja. Sjukur In Gak tidak mempunjai urusan
penting tertentu, ia tidak djadi bergelisah karena kelambatan
itu.
Selewatnja Lou-leng-hoe, perahu-perahu berlajar bersamasama,
sedikitnja dua-puluh buah saling beruntun, hingga
diwaktu singgah, semuanja berkumpul, asapnja mengepul,
suara awaknja, ramai, sedang anak-anak bermain-main
dengan gembira dikepala perahu.
In Gak biasa hidup menjendiri digunung, gembira ia
menjaksikan anak-anak itu, maka suka ia mentjampurkan din
dengan mereka, untuk bergurau atau turut main petak.
Sebuah perahu jang mendjadi tetangganja In Gak
ditumpangi piauwsoe Lie Tay Beng, umur kira-kira
empatpuluh, orangnja ramah tamah, senang ia melihat
tingkahnja si pemuda, ia beladjar kenal. Selang tiga hari,
eratlah pergaulan mereka, lantas sering mereka saling
berkundjung, untuk memasang omong atau bersantap
barsama. In Gak dapat melajani dalam segaia hal, ketjuali ia
membungkam mengenai ilmusilat. Ia pun dandan biasa, lebih
rnirip dengan seorang peladjar.
Djuga In Gak senang bergaul sama piauwsoe ini, jang
mempeladjari gwakang„ dan agaknja telah mentjapai enam
atau tudjuh bagian latihannja. Piauwsoe banjak kenalannja,
mungkin memperoleh sesuatu keterangan jang diinginkan.
Atau sedikitnja, mendapat sahabat ada faedahnja djuga.

21
Lie Tay Beng ini sebenarnja piauwsoe dari Tjn Tay Piauw
Kiok dari Lamtjiang, ia termasuk golongan kelas dua atau tiga,
bersama isteri dan anaknja ia kembali dari Kiong-tjioe dimana
ia kematian mertuanja, pulangnja ini ia mengarnbil djalan air
karena perdjalanan darat sangat meletihkan mereka. Ialah
piauwsoe tetapi senang ia berkawan seorang pemuda lemahlembut,
selama memasang omong, suka djuga ia bitjara
tentang pekerdjaannja sebagai piauwsoe. Ia tidak menduga
sama setkali bahwa In Gak mengerti ilmusilat.
„Saudara," satu kali Tay Beng menanja, „kau mau pergi ke
ibu kota, adakah untuk mendjenguk sanak atau untuk turut
dalam udjian ilmusurat?"
,,Saudara Lie, kau aneh,“ In Gak menjahut, tertawa.
„Sekarang ini ada achir tahun ! Diachir tahun, mana ada
udjian lagi?"
Tay Beng djengah, ia likat.
„Harap kau tidak salah mengerti, saudara," katanja. „Aku
menduga kau hendak berbuat seperti segolongan peladjar,
jang suka datang siang-siang„ untuk menanti waktu sambil
beladjar untuk setengah atau satu tahun, buat mana,
sengadja mereka menjewa rumah. Dengan pergi siang-siang,
mereka tidak usah berangkat kesusu. Djadi tidak ada
maksudku untuk menggodai kau."
„Oh !" kata In Gak, jang berbalik likat sendirinja. Ia
mengerti sekarang halnja ia kurang penga laman, maka lain
kali, maulah ia berhati-hati. Ia menambahkan „Maaf, saudara
Lie, aku pun bergurau sadja. Sebenarnja aku dilarang ajahku
untuk memangku pangkat, sekarang ini ajahku sudah
meninggal dunia, aku memikir untuk mentjari pekerdjaan."
„Kalau begitu, mengapa kau tidak mengatakan dari siangsiang
?" kata si piauwsoe. „Aku bukan omong besar, luas
pergaulanku, untuk mentjarikan kau pekerdjaan, itulah
gampang. Ah, ja, aku ingat. Tiga bulan jang laiu pengurus

22
buku piauwkiok. kami telah menutup mata, ketika aku pergi,
lowongannja belum terisi, entah sekarang, djikalau kau
setudju, maukah kau untuk aku mengusulkannja ?"
In Gak berbangkit, ia rnernberi hormat.
„Saudara, lebih dulu terima kasihku !” katanja.
„Djangan saudara memakai banjak adat-peradatan !" kata
si piauwsoe. „Aku djusteru jang ha¬rus memberi alamat
padamu! Mari minum !"
Keduanja tertawa, mereka mengeringi tjawan mereka.
Ketika kendaraan mereka melewati dusun Tjiang-soe-tin,
udara memburuk, angin besar tak mau berhenti, suaranja
menderu hebat, saldju pun turun. Maka putihlah di manamana.
Tak nampak orang berkeliaran. Keadaan ini beda
dengan keadaan di Kang say Selatan dimana udara empat
musim sama sadja, selalu bagaikan musim semi.
In Gak ketarik dengan tjuatja itu, ia melongok keluar
perahu, mulutnja mengasi dengar suara bersenandung.
„Dasar kutu buku !" kata Tay Beng dalam hati.
Achir-achirnja pada tanggal 2 bulan duabelas, tibalah In
Gak di Lam-tjiang, ibukota propinsi Kangsay. Ia turut Tay
Beng mendarat. Tjin Tay Piauw Kiok berada di Yo-kee-tjiang,
tapi In Gak rnenjewa kamar dihotel didepan piauwkiok itu. Tay
Beng kata, sebelum tahun baru, tidak dapat ia lantas bitjara
sama tjong piauw-tauw, jaitu piauwsoe kepala, tentang
pekerdjaan mengurus buku itu. Tapi ia sendiri sering
berkundjung ke hotel, untuk bergaul seperti biasa.
Atau ada kalanja, Tay Beng mengadjak sahabat itu
bersantap direstoran Siong Hok Wan disamping piauw kiok,
ataupun datang kerumahnja didalam piauwkiok. Njonja Lie
manis-budi, dia memandang In Gak sebagai keponakan,
hingga si pemuda bersjukur.
Baru beberapa hari, In Gak, sudah pesiar tjukup di kota
Lam tjiang, hingga ia dapat menjaksikan tempat-tempat

23
terkenal seperti ranggon Theng Ong Kok, telaga Pek Hoa
Tjioe, kuil Ban Sioe Kiong dan lainnja. Selama itu, sering dia
bersenandung seorang diri, hingga orang mengagumi
ketenangannja, sedang sebenarnja, ia lagi menungkuli diri.
Piauwsoe kepala dari Tjin Tay Piauw Kiok she Hee-houw
nama Him, umurnja sudah enampuluh lebih. Dia keluaran Boe
Tong Pay, terhitung murid-bukan-pendeta. Dia mahir enteng
tubuh dan kedua tangannja kuat menggunai Hong-hongnouw,
jaitu busur lengkung silang. Panah ini tidak dipakai
kalau bukan terhadap musuh tangguh. Jang dia andalkan silat
tangan kosong Thay Kek Tjioe jang terdiri dari tiga puluhsembilan
djurus dan ilmu golok Liong How Toan hoen-too jang
terdiri dari enam puluh-empat djurus. Dia mempunjai dua
anak, jang laki-laki bernarna Gee umur 11 tahun dan jang
perempuan nama Wan Tin, usia 9 tahun, jang semua sudah
mulai peladjari ilmusilat. Karena ia tidak faham surat, ia
membutuhkan guru sekolah untuk anak anaknja itu, agar
keiak dikemudian hari, anak-anaknja pandai silat dan surat.
Karena ini ia penudju In Gak untuk djadi guru sekolah, tjuma
ia belum berani omong. Dengan si pemuda sudah ia bertemu
beberapa kali.
Habis Goan-siauw, jaitu pesta Tjap gouw mee, baru Lie Tay
Beng menemui Hee-houw Him, membitjarakan urusan In Gak.
Ia tidak berani bitjara langsung, ia membuang kata-kata dulu.
„Saudara Lie, Tuan Tjia masih muda mana bisa dia
diangkat djadi pemegang buku, untuk bergaul sama orang
dari segala tingkat?" kata piauwsoe tua itu, ”Baik begini sadja.
Aku memerlukan guru, buat anak-anakku, apakah Tuan Tjia
suka menerima pekerdjaan itu?"
„Tjongpiauwtauw begini baik masa dia tolak?" kata Tay
Beng, girang. Ia lantas pergi ke hotel, mentjari In Gak, untuk
menjampaikan berita serta menanjakan pendapat si pemuda.

24
In Gak terima pekerdjaan itu, untuk itu, bersama Tay Beng
menemui Heehouw Him, untuk memastikan pekerdjaan, buat
menghaturkan terima kasih. Maka dilain saat, anak-anaknja
piauw¬soe itu sudah lantas mendjalankan kehormatan kepada
gurunja dan tuan rumah membikin pesta ketjil untuk
merajakannja.
Malam itu djuga In Gak pindah ke piauwkiok dimana ia
dapat tempat dikamar tulis, hingga di lain harinja, ia sudah
lantas mulai mendjalankan tugasnja sebagai guru. Ia pun
lantas berkenalan dengan sekalian piauwsoe dan pegawai
lainnja. Mereka itu mendapatkan guru ini ramah tamah,
ketjuali suatu waktu, matanja bertjahaja tadjam.
Ada kalanja In Gak pergi ke pekarangan peranti beladjar
silat, menjaksikan si piauwsoee tua mengadjari silat kepada
kedua anaknja. Satu kali si piauwsoe tua tanja, bagaimana
peladjaran silat itu, sambil tertawa ia menjahuti bahwa ialah
"orang asing" untuk ilmu silat.
Heehouw Him dan isterinja melihat guru sekolah itu sedikit
persediaan pakaiannja, mereka membuatnja belasan
perangkat. Mereka senang dengan ini guru.
Karena itu, In Gak jang polos, memikir: „Bagaimana aku
balas kebaikan mereka ini?" Ia djuga ingat kebaikannja Lie
Tay Beng.
Lewat dua bulan, pada suatu hari In Gak melihat tuan
rumahnja beroman duka. Dia berkumpul di toa-thia, ruang
besar, mendamaikan sesuatu dengan beberapa piauwsoenja.
Ia tidak tahu apa jang dibitjarakan, untuk menjingkirkan
ketjurigaan, ia pergi mendjauhkan diri. Baru malamnja, habis
bersantap, ia pergi pada Tay Beng, untuk minta keterangan
pada piauwsoe ini.

25
"Tjongpiauwtauw lagi menghadapi kesukaran” kata
piauwsoe she Lie itu. „Tahun jang sudah, dibulan tiga,
piauwkiok kami menerima apa jang dinamakan piauw gelap,'
tiba di Ouwlam barat, dikaki bukit Kim Hong Nia, Leng-leng,
piauw itu dibegal Siang Tong Sam Ok, tiga djago djahat dari
Ouwlam Timur. Mereka itu Kioe-bwee-tiauw Ngay Hoa si
Radjawali Ekor Sembilan, Hoei Thian Gia-kang Thia Soan si
Kelabang Terbang, dan Hek Loo-han Gouw Beng, si Lohan
Hitam. Tjongpiuwtauw memohon perdamaian tetapi gagal,
mereka bentrok. Kesudahannja Gouw Beng terbinasa terkena
panah Hong-hong-nouw, Kemudian ternjata, Gouw Beng itu
muridnja Siauw-bin Boe Siang Hong It Taysoe dari kuil Tay Pie
Sie di Soetjoan. Pendeta itu, si memedi Boe Siang Tertawa,
kesohor kegalakannja untuk di Selatan, golongan sesat dan
lurus, memalui dia. Dia tersohor untuk ilmu silatnja Touw-koet
Irn Hong Tjiang. Siapa terkena tangannja, mesti mati. Dia pun
telengas. Katanja dia telah berangkat ke Barat ini, guna
menuntutbalas untuk muridnja itu. Maka djuga sekarang
tjongpiauwsoe lagi bersusah hati, Ia telah mengirim undangan
untuk meminta bantuan orang liehay."
„Tjongpiauwtauw berhati baik, mestinja dia memperoleh
kebaikan," kata In Gak. „Aku sangsi Hong It demikian liehay
seperti katamu, saudara Lie."
„Kau anak sekolah, saudara, kau tidak tahu halnja orang
Kang-ouw,"' kata Tay Beng alisnja mengkerut. „Diantara
mereka banjak sekali orang orang liehay. Orang sematjamku
banjak tetapi tidak ada artinja"
In Gak tidak membantah, ia bahkan tertawa. Tapi diamdiam
ia telah memikirkan daja guna menolongi piauwsoe tua
itu.
Beberapa hari kemudian, Heehouw Him kedatangan dua
sahabatnja, jaitu Kian-Koen-Tjioe Loei Siauw Thian si Tangan
Dunia dan Liang Gie Kiam-kek Tjie Tong Peng, si Ahli Pedang
Imyang. Loei Siauw Thian itu murid tunggal Tjin Nia It-Sioe

26
jang pada Iimapuluh tahun dulu terkenal diselatan dan utara
sungai Tiang Kang. Dia kesohor karena ilmusilatnja. Kian Koen
Tjioe, jang terdiri dari tigapuh enam djurus. Dia djarang
tandingan, dan tabiatnja pun aneh, hingga orang malui,
usianja belum empatpuluh tahun, tubuhnja kurus, matanja
tadjam. Tjie Tong Peng keluaran Heng San Pay, dia tjalon
tjiang-boen-djin, ketua partai, dia dikenal sebagai salah satu
dari empat djago pedang di Kanglam. Dalam usia lima puluh,
dia mirip seorang peladjar. Ia memelihara kumis dan djenggot
jang pandjang. Dipunggungnja terus tergendong pedangnja
jang tua. Sebenarnja, jang diundang jalah Tong Peng, Siauw
Thian turut bersama sebab kebetulan ia berada dirumah
sahabatnja itu, sedang ialah seorang perantauan.
Girang Hee-houw Him menjambut dua tetamunja itu.
Katanja sambil tertawa: „Loei Lao- tee, kau datang, maka
kakakmu jang tua ini beleh tidur dengan tenang dan senang!"
Sebaliknja daripada tertawa, Siauw Thian mengasi lihat
roman keren.
“Eh kunjuk tua, djangan kau mengangkat aku terlalu
tinggi!." katanja. „Aku kuatir, djikalau aku djatuh, nanti
pinggangku patah hingga piauwkiokmu ini tidak bakal sanggup
memelihara aku!"
Tuan rumah tetap tertawa, la mengundang kedua
tetamunja masuk.
Malam itu diadakan perdjamuan penjambutan. Sebagai
guru sekolah, In Gak diundang turut hadir. Selama itu, diamdiam
Siauw Thian sudah memperhatikan guru sekolah jang
muda ini. Ia seperti merasa kenal. Ketika ia diberitahukan,
orang she Tjia, lantas ia ingat seorang jang ia kenal, jang
semendjak sekian lama dikabarkan sudah meninggal dunia,
jalah Toan-Hoen-Poan Tjia Boen, sahahat dari gurunja, Tjin
Nia it-sioe. Sedikitnja sekali setiap tahun, Tjia Been
berkundjung kegunungnia. Ketika itu ia masih belum keluar
dari rumah perguruan, sering ia mendampingi gurunja

27
melajani orang she Tjia itu, jang umurnja belum tiga puluh
jang romannja sama dengan ini guru sekolah. Ketika ia sudah
keluar dari rumah perguruan, beberapa kali ia bertemu Tjia
Boen dalam perantauan dan Tjia Boen pernah berbuat
kebaikan terhadapnja. In Gak ini mirip Tjia Boen jang kedua,
Tentang Tjia Boen ia mendengar kabar, orang telah dikepung
musuh-musuhnja, bahwa disatu gunung telah didapatkan
majatnja dua orang, satu orang tua dan satu botjah, jang
dikenali sebagai Tjia Boen. Kalau kabar itu benar, In Gak ini
mungkin puteranja Tjia Boen itu. Karena ragu-ragu, ia djadi
semakin memperhatikan.
In Gak tahu orang sering mengawasi ia, ia heran. Ia
melajami dengan mengangguk halus bersenjum. ”Aneh Loei
Siauw Thian terus memperhatikan aku. Apakah romanku
membuka rahasiaku terhadapnja?" Ia terus bersikap tenang.
„Silakan minum?" ia mengadjak heberapa kali.
Hee-houw Him pun melihat sahabat itu rnengawasi guru
sekolahnja, dia tertawa dan kata: „Loei Laotee, djangan kau
main mengawasi Tjia Sinshe sadja. Dialah ahli surat, semua
buku dan surat-suratku dia jang urus, tulisannja pun indah
sekali!"
Siauw Thian tertawa.
„Aku pun kagum melihat Tjia Sinshe maka aku suka
mengawasinja!" sahutnja, untuk menutupi perhatiannja itu.
Tapi, ketika perdjamuan sudah ditutup dan In Gak sudah pergi
kekamarnja, ia kata pada Tong Peng dan tuan rumah: ,.Aku
lihat Tjia Sinshe itu mesti mempunjai kepandaian jang tinggi,
tjumalah ia pandai menjembunjikannja. Saudara Heehouw,
sudah lama kau mengenalnja, mengapa kau tidak mendapat
tahu? Kali ini si kera tua salah mata!"
,,Orang toh anak sekolah, ada apanja jang mentjurigakan?"
kata Hee-houw Him. „Kalau benar- seperti katamu, dia gagah,
kenapa dia kesudian djadi guru sekolah dirumahku ini?
Mungkinkah dia lagi menjingkir dari musuhnja? Kalau benar,

28
apa sudah tidak ada tempat lain? Kenapa dia djusteru memilih
piauwkiok dimana banjak orang dapat sembarang keluar
masuk? Tak takutkah dia nanti gampang kepergok?"
”Turut penglihatanku, dia memang mentjurigai," berkata
Tjie Tong Peng, „.Aku melihat matanja bersinar luar biasa,
besar pengaruhnja. Lainnja tidak. Tapi dia belum berumur
duaputuh tahun, inilah anehnja, Apa benar dia dapat
membawa diri demikian rupa? Satu hal sudah pasti, dia
mestinja orang baik-baik. Sekarang djangan kita usil dia,
mungkin dia mempunjai kesulitannja.
Siauw Thian melirik sahabatnja, dia tertawa„
„Hong It si keledai gundul datang ke Barat, biarnja dia
liehay, belum tentu dia dapat berbuat sesuatu atas diriku !” ia
berkata, ,,Apa jang aku kuatirkan dia berkawan orang liehay,
Kekuatiran ini aku dapatkan semendjak ditengah djalan.
Sekarang, dengan adanja guru sekolah itu, lenjaplah
kekuatiranku, Aku pertjaja dia dapat membantu kita! Kera tua,
untungmu bagus! Oh, kau tidak pertjaja? Suka aku bertaruh!"
Heehouw Him bersangsi, sebab ia tahu Siauw Thian gemar
bergurau. Siauw Thian sendiri diam-diam menduga, kalau In
Gak benar putera Tjia Boen dan sekarang muntjul untuk
mentjari balas, pastilah bakal datang badai, ia tidak mau
menimbulkan soal Tjia Boen, ia djuga tidak mau
mengutarakan dugaannja ini, untuk mentjegah belum apa-apa
terbit gelombang hebat dalam dunia Kang-ouw. Ia pun kuatir
kalau-kalau, karena ia banjak mulut, In Gak nanti membentji
padanja.
Tong Peng lantas berkata „Mulai besok, kalau kita bertemu
Tjia SinShe, kita mesti bersikap seperti biasa; untuk
mentjegah dia mendjadi tjuriga."
Siauw Thian tertawa, ia membungkam. Tapi mulai
besoknja, beruntun beberapa hari, ia tentu tentu pergi
kekamarnja In Gak, untuk memasang omong, hingga
selandjutnja pergaulan mereka mendjadi erat.

29
Tjin Nia It sioe tersohor ilmu silatnja tetapi dia djuga pandai
surat. Digunung Tjin Nia, dimana dia hidup menjendiri, di
dalam kamarnja, penuhiah kitab-kitabnja serta banjak gambar
lukisan. Disitu ia menghibur diri dengan pelbagai kitab dan
gambarnja itu. Loei Siauw Thian mendjadi murid tunggal, ia
terdidik sempurna, maka ia pun mengerti surat, bisa bersjair
dan menjanji, melukis, main tjatur dan main khim, tjuma
sifatnja gemar bergurau. Maka itu, dapat dia bitjara asjik dan
getol dengan In Gak hingga si anak muda sering menekan
perut karena saking djenakanja.
In Gak lantas mendapat tahu ini sahabat baru pandai silat
dan surat, bahwa disamping kedjenakaannja itu, dia ramahtamah,
tak mungkin palsu, dari itu, suka ia bersahabat
dengannja. Meski be¬gitu, ia terus membitjarakan tentang
pelbagai hal sastera, tentang ilmusilat tak sepatah kata pun
disebut-sebut.
Selagi mereka ngobrol, beberapa kali Heehouw Gee dan
Heehouw Wan Tin datang untuk minta petundjuk ilmusilat
kepada Kian Koen Tjioe, jang mereka panggil paman. Sering
Siauw Thian melajani kedua botjah. Ia memberi petundjuknja,
separuh maksudnja untuk memantjing si anak muda. Tapi In
Gak tetap tenang, bahkan satu kali, dengan roman heran, dia
berkata. ”Baru hari ini mataku terbuka! Hebat dunia kangouw,
Djadi apa kata orang dahuiu kala!”
Atau lain ka!i, ia kata: „Saudara, kepandaianmu ini belum
pernah aku memelihatnja! Kau mirip dengan Hong Djiam Kong
dan Khong Khong Djie! Dengan ini kau menantang, kau
menghukum manusia-manusia djahat, sungguh kau berbuat
banjak kebaikan !”
Walaupun orang bersikap demikian, Loei Siauw Thian
merasa: „Hebat anak muda ini. pandai sekali dia membawa
dirinja, Biar bagaimana, dia mirip naga, dia mirip harimau”

30
Dilain harinja, Siauw Thian datang pula kekamar si guru
sekolab, untuk rnemasang omong, selagi berbitjara, sengadja
ia mengulur tangannja hingga udjung badjunja tersingkap,
hingga terlihat sikutnja. Ia berbitjara sambil tertawa. Dengan
begitu ia mengasi lihat satu luka di sikutnja seperti diluar
keinginannja. Luka itu luka bekas golok, pandjangnja lima
dim.
Melihat itu, In Gak agaknja terperandjat. Atas itu, si orang
she Loei menghela napas.
Saudara, kau ingin ketahui sebabnja lukaku ini?" ia tanja.
”Inilah luka jang didapat dua puluh tahun dulu. Ketika itu
belum lama aku masuk dalam dunia Kang-ouw. Selagi lewat di
Paleng, aku membelai seorang jang diperbuat tak selajaknja,
karenanja aku bentrok dengan Siam-Lam 'Soe Hiap, empat
djago dari Siam-say Setatan. Aku dikepung berempat„ lamalama,
repot aku, lalu sikutku ini kena dibacok. Disaat djiwaku
terantjam, aku ditolong Paman Tjia Boen. Dialah jang dunia
kang-ouw kenal sebagai Twie Hoen Poan, si Hakim Pengedjar
Arwah. Dia bentji Siam Lam Soe Hiap, jang berempat
mengepung satu orang, dia menjerang. Kesudahannja, dari
empat djago itu, tiga terbinasa, satu terluka.
Kemudian ternjata merekalah murid-murid turunan ketiga
dari partai persilatan Giang Lay Pay. Jang luka itu lari pulang,
dia mengadu kepada ketua partainja. lalu dalam satu
rombongan, mereka menjerbu Paman Tjia. Maksud mereka itu
tidak kesampaian, Paman Tjia jalah sahabat guruku, darinia
pernah aku mendapat banjak kebaikan. Sedjak itu, beberapa
kali aku masih bertemu dengannja. Lalu belasan tahun
kemudan aku mendengar kabar Paman Tjia kena dikerojok
musuh-musuhnja kaum sesat dan lurus di Sam-siang. Ia
berkelahi dengan menggendong anaknja. Katanja dia terluka
dan terbinasa karenanja. Paman Tjia itu murah hatinja, tjuma
dia keras dan bengis. Sajang dia terbinasa setjara demikian
ketjewa. Dari sini pun ternjata keruwetan dunia Kang-ouw,

31
dimana peri--kebenaran dan kesesatan tak dapat dipisahkan.
Mengenai Paman itu, orang tjuma bisa menjesal dan berduka
Siauw Thian pun mendjadi lesuh„ ia menghela napas.
Diam-diam ia melirik muka orang.
Mendengar hal-ichwal ajahnja itu, airmuka In Gak berubah,
hanja sedjenak, ia kembali wadjar, tetapi meski dernikian,
perubahan itu tak lobos dari mata tadjam dari Kian Koen Tjioe,
hingga kepertjajaan dia ini mendjadi tetap enam bagian. Dia
tjuma masih heran, siapa itu orang dan botjah jang majatnja
diketemukan di gunung.
Kemudian In Gak kata, tawar: “Keruwetan kaum Kang-ouw
itu tidak dapat dimengerti olehku seorang anak sekolah, tetapi
saudara Loei, mengingat kaulah seorang gagah, jang berhati
mulia dan kaupun kenal baik Tjia Boen itu, mengapa kau tidak
mentjoba menolong membalas sakit hatinja? Dapatkah sakit
itu dibiarkan sadja tenggelam di lautan besar atau terpendam
di tanah pegunungan?”
“Saudara, tepat teguran kau ini” kata Siauw Thian, “Aku
tadinja terbenam dalam kesangsian. Siapa dapat mempertjajai
penuh kabar angin? Pula di pihak pengerojok itu, mereka
menutup rapat-rapat mulut mereka, hingga sulit untuk
menjelidikinja. Sampai sekarang ini aku sangsi Paman Tjia
mati setjara ketjewa itu, sebaliknja aku mau pertjaja, dia
masih hidup, hanja dia ada dimana tahu. Sudah belasan tahun
aku mendengar-dengar tentangnja itu…”
Matanja In Gak bertjahaja, lantas ia bersenjum.
“Djikalau begitu, saudara Loei, kau baik sekali” bilangnja.
Siauw Thian tertawa.
“Saudara belum ketahui aku orang matjam apa, nanti sadja
kau melihatnja!” katanja.
In Gak agaknja likat.
“Saudara Loei, tiada maksudku mengedjek kau. Tentang
kau, sekarang pun aku telah melihat buktinja. Untuk

32
Tjongpiauwtauw, bukankah kau memerlukan dating dari
tempat jang djauh?
Menghormati kau, aku masih tidak sanggup, mana berani
aku…”
Ia belum habis berkata, Siauw Thian sudah memegat.
”Tjukup saudara, djangan kau mengangkat-angkat aku, aku
malu sekali”
Sampai disitu, berhenti sudah pembitjaraan mereka
mengenai urusan Tjia Boen, selandjutnja mereka omong dari
lain hal, sampai orang she Loei itu meminta diri.
Berduduk seorang diri dalam kamarnja, In Gak berpikir:
”Perkataannja Siauw Thian dapat dipertjaja. Sakit hatiku ini
mana bisa aku gampang-gampang menuturkannja kepada lain
orang? Baik, aku sabar dulu.......”
Malam itu, karena pikirannja katjau, pemuda ini sukar tidur
njenjak. Karena itu, ia mendjadi berpikir keras.
”Ah, baiklah aku mengubah siasatku” pikirnja achirnja,
”Sebagai anak sekolah sulit aku mentjari keterangan, orang
menghormati tetapi berbareng pun mendjauhkannja. Tak sudi
rupanja orang bergaul erat denganku. Baik aku mengasi lihat
sedikit kepandaianku, asal aku tidak menjebutkan asal-usul
diriku, terutama djangan aku mempertontonkan ilmu silat
ajahku, agar orang tidak mengenalinja...”
Karena dapat mengambil keputusan itu, achirnja bisa djuga
ia tidur njenjak.
II
Besoknja pagi, In Gak mendusin sesudah matahari naik
tinggi. Ia heran tetapi ia tertawa sendirinja. Katanja dalam
hatinja: ”Biasanja aku tidur, suara berkelisik sadja dapat
menjadarkan aku, tetapi semalam, aku tidur njenjak sekali.
Inilah bukti pantangan untuk orang jang paham silat katjau
pikirannja.”
Selama pagi itu, habis beladjar sendiri, si Gee dan Wan Tin
tiga kali sudah datang ke kamar guru mereka, melihat sang
guru masih tidur, mereka tidak berani mengganggu, paling

33
achir mereka pergi memberitahukan ajah mereka, atas mana
ajah itu berkata:
”Benar, djangan kamu membuat berisik hingga membikin
guru kamu bangun. Biar hari ini, tak usah kamu bersekolah,
nanti aku jang memberitahukannja kepada Tjia Shinse.”
Karena itu, dengan kegirangan, dengan berdjingkrakan,
kedua botjah itu lari keluar, untuk pergi bermain.
Kapan Loei Siauw Thian mendengar halnja In Gak sampai
siang belum bangun tidur, sepasang alisnja diangkat, hatinja
terbuka. Tambahlah kepertjajaannja, atau berkuranglah
kesangsiannja, dengan satu-dua bagian. Tapi tentang ini, tidak
ada jang ketahui.
Habis In Gak membersihkan diri dan dandan, karena
melihat djam sekolah sudah lewat, ia lantas keluar seorang diri
dari piauw kiok. Ingin ia pergi keluar kota untuk mengitjipi
keindahan alam. Perlahan-lahan ia bertindak diluar pintu kota
Soen hoa-moei, matanja mengawasi daun-daun yanglioe jang
hidjau. Hawa segar, angin pun menghembus halus.
Tengah pemuda ini merasa terbuka, mendadak dari dari
djalan tikungan muntjul seekor kuda jang dilarikan keras
sekali. Dari djalan ketjil, penunggang kuda itu mengambil
djalan besar. Tabrakan tak dapat ditjegah ketjuali si pemuda
berlompat minggir.
Dalam saat keponggok itu, In Gak tidak berkelit. Sebaliknja
ia bertahan. Ia menggeraki kedua tangannja sambil
memasang kuda-kudanja, ia menangkap kaki depan sang
kuda dan mengangkatnja. Maka kuda itu lantas dengan kedua
kaki belakangnja, tak peduli itulah kuda asal Mongolia jang
besar dan kuat. Karena itu djuga penunggangnja mendjadi
terdjumpalit ke pinggir djalan, sedang kudanja, jang berontak
dan dilepaskan kaki depannja, roboh ke sawah di tepi djalan
itu. Si penunggang kuda dapat berlompat turun ke tepi djalan
besar, tetapi dia lantas mendjadi gusar sekali, dengan keras
dia menegur: ”Binatang dari mana berani menghadang

34
perdjalanan Ngay toaya? Apakah kau mau mentjari
mampusmu?”
In Gak memandang orang itu jang badjunja hitam,
potongannja ringkas, kedua alisnja buntung, hidungnja
melesak, kedua matanja merah, mulutnja lebar bagaikan
paso, hingga dia nampak bengis, apalagi tengah dia bergusar
sangat itu. Ia tidak takut, sebaliknja ia mendongkol. Kenapa ia
digusari? Kalau bukan ianja, bukankah orang bakal mampus
ditabrak kuda besar itu? Maka ia tertawa dingin dan membalas
menegur: ”Sahabat, apakah kau tidak mempunjai mata?
Kenapa kau mengaburkan kudamu begini rupa? Apakah kau
kira kau tidak bakal mengganti djiwa, apabila kau menabrak
orang mampus? Kau begini tergesa-gesa, apakah kau hendak
berbela-sungkawa?"
Mata orang itu mendelik, sinar merahnja mendjadi marong.
Dia mementang batjotnja jang Iebar: „Binatang, kau berani
kurang adjar terhadap Kioe-bwee-tiauw Ngay Toaya ? Saat
kematianmu telah tiba, botjah! Awas!"
Antjaman itu disusuli tindakan madju dan tindju meluntjur
ke dada!
Mendengar orang menjebut she dan gelarannja itu, In Gak
lantas ingat penuturan Lie Tay Bang perlhal Siang Tong Sam
Ok, tiga djago djahat dari Ouwlam. Timur. Dia sekarang
berada disini, itu artinja gurunja, jaitu Hong It Taysoe, telah
tiba. ingat bahwa orang adalah orang djahat dan maksud
kedatangannja ini djahat djuga., ia mendjadi panas hati,
hingga ia memikir untuk mernberi hadjaran kepada si djahat
jang galak ini. Demikian ketika serangan tiba, ia tidak berkelit
tapi menangkis sarnbil tertawa di¬ngin, ia melondjorkan
tangannja, untuk menjambuti. Maka dalam sekedjap sadja
nadi Ngay Hoa telah kena ditjekal, terus dipentjet, terus pula
disempar„ hingga kesakitan Kioe-bwee-tiauw„ si Radjawali
Ekor Sembilan, terpelanting djatuhnja lima tombak, tubuhnja

35
roboh terlentang, dan ketika terlentang itu, tangan kirinja
memegangi tangan kanannja, matanja dipentang lebar
dengan melongo!
In Gak bertindak menghampirkan,
„Ngay Toaya, kau kenapa?" ia menanja.
Ngay Hoa. kaget dari heran. Begitu tangannja disambuti,
dia merasa sakit sekali, belum sempat dia mengetahui apaapa,
tubuhnja sudah terpelanting, hingga dia roboh
terbanting.
Kesudahannja itu membuat tangannia itu njeri sekali. Dia
pun hampir pingsan. Maka itu, matanja mendelong. Tapi
segera dia sadar, Dia heran kenapa demikian gampang dia
dipetjundangi dia, salah satu dari djago Ouw lam! Tjelaka
kalau kedjadian ini sampai teruwar! Tak dapat dia rnenaruh
kaki lebih lama di Ouwlam itu! Ketika dia ditanja, dia
mendongkol sekali. Dengan lompatan Ikan Gabus Meletik, dia
bangun berdiri.
„Binatang, Ngay Toaya akan mengadu djiwa denganmu!"
dia 'berseru, kedua tangannja dibawa kepunggungnja, untuk
menghunus sendjatanja, jaitu tiam hoat-kwat, gegaman
peranti menotok djalan-darah, jang terbuat dart tembaga.
Sambil mengadjukan tindakannja, dia terus menjerang keatas
dan kebawah, sendjatanja itu mentjari masing-masing
djalandarah yoe-moei dan khie hay.
In Gak tertawa pula, perlahan, tubuhnja berkelit kesamping
kiri, tangan kanannja diluntjurkan.
Ngay Hoa merasa matanja seperti kabur. la melihat sesuatu
jang. berkeleban lantas kedua tangannja kesemutan, tanpa
merasa, kedua sendjatanja terlepas dari tjekalannja, kena
dirampas si anak muda. Ia kaget, hendak ia berlompat
mundur, atau tangan kiri orang mendului ia, mampir di djalan
darah tiong-hoe, hingga ia mendjerit, tubuhnja terus roboh.

36
"Ngay Toaya," kata In Gak tertawa, „dihadapanku, djangan
kau rnernpertontonkan kedjelekanmu! Dengan kepandaianmu
sekarang ini, walaupun kau beladjar lagi delapanbelas tahun,
sia-sia belaka! Kau tahu, dengan totokanku ini, kepandaianmu
telah dimusnahkan ! Didalam waktu tiga tahun, aku larang kau
menggunai tenagarnu, djikalau kau melanggar, tidak ampun
lagi, kau pasti mati! Aku lihat dua potong logam ini sudah
tidak ada gunanja, baiklah aku musnakan djuga.
Dengan menekuk kedua tangannja, In Gak rnembikin
sendjata itu melengkung seperti gelang, terus ia buang
kesawah sambil ia berkata pula: „Ngay Hoa, perlu apa kau
datang ke kota Lam-tjiang ini? Apakah keledai gundul Hong It
pun datang bersama? Apakah kau dititahkan dia pergi ke Tjin
Tay Piauw-kiok untuk mengadjukan tantangan? Djikalau
benar, tak usahlah kau tergesa-gesa begini rupa?”
Karena ditotok itu, habis sudah tenaga Ngay Hoa, peluhnja
pun mengalir keluar. la sebenarnja lagi mentjatji diri sendiri,
selagi mempunjai urusan penting, ia rewel ditengah djalan,
hingga orang mentjelakainja, hingga urusannja gagal. Tapi
sekarang, mendengar si anak muda menjebut gurunja dan
rnembuka rahasianja, ia kaget sekali. Tahulah ia bahwa Heehouw
Him sudah mangundang bala-bantuan jang liehay,
hingga ia merasa, gurunja serta dua kawannja mungkin bukan
lawan pemuda ini. Karena ini, ia mendjadi lesu.
„Tuan.„ aku benar dititahkan Hong It taysoe untuk pergi ke
Tjin Tay Piauw-kiok untuk menjampaikan tantangan, Aku
tjuma orang perintahan. Menjesal aku telah berlaku kurang
adjar terhadap kau. Sekarang aka minta sukalah kau
membebaskan aku. Aku berdjandji, selandjutnja aku akan
merubah kelakuanku, tidak nanti aku berbuat djahat lagi."
Sambil berkata, Ngay Hoa djuga mengasi lihat sinar mata
memohon ampun, Ia seperti kehilangan keangkuhannja. Tak
malu ia untuk bersikap merendah itu.

37
In Gak tidak senang, menghadapi sikap pengetjut itu.
Itulah menandakan orang benar manusia sangat djahat dan
busuk. Maka ia tertawa dingin dan berkata: „Orang she Ngay,
kau menjebut dirimu Siang Tong Sam Ok, itu sadja sudah
menandakan kedjahatanmu. Inilah jang pertama kali kau
bertemu aku, dari itu, dengan mendapat totokan sematjam ini,
aku sudah berlaku murah terhadapmu. Djikalau aku
menghadapi lain orang, pasti aku telah membunuhnja! Maka
itu, djanganlah kau mengharap. mendapat pembebasan.
Tentang kewadjibanmu mengadjukan tantangan, nanti aku
jang menjampaikan, sebab disana aku turut ambil bagian.
Serahkan suratmu padaku, kau sendiri, lekas kau kembali
pada si bangsat gundul. Pada saat jang didjandjikan, pihak
kami akan datang diwaktu jang tepat!"
Ngay Hoa putus asa. Ia merogo sakunja, mengeluarkan
surat gurunja: Sembari menjerahkan itu, ia tanja,
mendongkol: „Kau :siapa, tuan, tolong kau memberitahukan
namamu! Asal aku si orang she Ngay tidak mati, lain kali aku
akan membalas budimu inil"
„Bangsat!" teriak In Gak. „Kau masih hendak menanjakan
namaku? Kalau begitu, kau rupanja memikir mampus!"
Bentakan itu disusul dengan gerakan tubuh.
Ngay Hoa kaget sekali, ia takut bukan main. Lantas ia
memutar tubuhnja, untuk lari ngatjir, sampai kudanja pun ia
lupakan.
In Gak besenjum mengawasi orang kabur itu. la melihat
lagi kepengetjutan orang. la lantas menghampirkan kuda
djago itu, untuk dinaiki, untuk berdjalan pulang. Ditengah
djalan ia memikirkan kenapa. Ngay Hoa demikian tak punja
guna. Inilah pertempurannja jang pertama kali, hingga ia tidak
menginsjafi liehaynja salah satu djurus dari Hian Wan Sip Pat
Kay, jang barusan ia gunakan. Setelah itu, mendadak ia
menahan kudanja, ia mengeluarkan seruan tertahan. la pun
lantas merogo sakunja, rnengasi keluar suratnja Hong It

38
Taysoe. Ia pikir, alasan apa ia mesti kemukakan pada. Heehouw
Him karena ialah jang membawa surat itu. Ia merobek
sampul, untuk menarik keluar suratnja. Bunjinja itu jalah
tantangan untuk besok pagi bertempur di puntjak Bwee Nia di
See San, Gunung Barat, dan penanda-tangannja jalah Hong It
Taysoe, pendeta kepala dari kuil Tay Pie Sie di Soetjoan
Selatan, bersama Lan Tjhong Siang-Sat, jalah Taylek Koei-Ong
Tjoe Pek Pay serta Tjoei Beng Long koen Khiong Keng.
„Bagus, besok tentu bakal terdjadi suatu pertarungan
dahsjat pikirnja. „Hanja entah siapa itu Lan Tjhong Siang-Sat
dan bagai¬mana kepandaiannja
Pemuda ini lantas menduga-duga. Lan Tjhong Siang-Sat
berarti Sepasang Bintang djahat dari Lan Tjhong San. Tjoe
Pek Pay bergelar Taylek Koei-ong, Radja setan Bertenaga
Besar, maka rnungkin dia liehay tangannja. la ingat kematian
ibunja oleh tangan djahat, maka entahlah, dia ada
hubungannja sama ibunja itu atau tidak. Sedang Khiong Keng
jalah si Pengedjar Djiwa.
Tidak lama In Gak menahan kudanja, lantas ia melarikannja
pulang. Ia sudah mendapatkan alasannja. Ditengah djalan ia
membuatnja orang mengagumi romannja jang tampan,
disebabkan ia melarikan kudanja keras, hingga ia menarik
perhatian umum. Kata orang: .„Entah anak siapa dia, demikian
ganteng!...".
Ketika achirnja ia tiba dirumah, In Gak turun dari kudanja
dibelakang piauwkiok, ia minta satu pegawai mengurus
kudanja itu, ia sendiri terus masuk kedalam. Pegawai itu
heran, dia mengawasi sambil berkata didalam hatinja: „Aku
tidak sangka guru sekolah begini lemah, umpama kata tidak
dapat menjembelih ajam, dapat menunggang kuda begini
djempol! Sungguh aneh! Kalau dia djatuh, tentulah dia mati
...... .."

39
Dengan berbatuk satu kali In Gak bertindak perlahan dan
tenang. Diruangan besar ia melihat Heehouw Him tengah
berbitjara dengan Tjie Tong Peng dan Loei Siauw Thian, serta
seorang tua kate-ketjil dan kurus-kering, jang ia tidak kenal.
Begitu bertindak masuk, tuan rumah menjambut sambil
tertawa dan berkata : „Tjia Shinshe, mari aku mengadjar kau
kenal dengan seorang luar biasa!" la. Terus menundjuk si
kate-kurus itu,. untuk: menambahkan: „Inilah Thay San It Kie,
si Orang-aneh dari gunung Thay san Oh Ka Lam Tjoei Tjian, si
malaikat Ka Lam Kate.
Benar orang boen dan boe berlainan golongan tetapi
baiklah kamu saling berkenalan!" Terus ia pun
memperkenalkan Si. Guru sendiri. Kedua pihak saling memberi
horrnat.
Tjoei Tjian mengawasi si guru sekolah semendjak ia baru
muntjul. Inilah sebab baru sadja mereka membitjarakan hal
dia, jang disangka berkepandaian tinggi tapi dia rupanja
menjembunjikannja. Tapi ia tidak melihat apa-apa jang aneh.
Maka ia berpikir „Barusan mereka bertiga memudji orang
tinggi kenapa aku tidak mau mentjoba mengudji dia?" Dari itu,
ia tertawa dan kata„Tuan Tjia, barusan saudara Hee-houw
memudji tinggi kepada kau, sekarang melihat wadjahmu, tuan
benarlah naga atau burung hong diantara kita bangsa
manusia. Akulah si orang hutan, jang dungu, maka kalau
benar kata-katanja saudara Hee-houw ini, marilah kita ikat
persahabatan." Sembari berkata, ia merangkap kedua
tangannja, untuk memberi hormat. Sambil berbuat begitu, ia
mengerahkan tenaga-dalammja, untuk menolak.
In Gak lantas merasakan tolakan angin, maka tahulah
bahwa ia lagi diudji, maka lekas-lekas ia berkata merendah,
"Tjoei Loo-giesoe terlalu memudji, aku tidak berani
rnenerimanja..." Ia minggir dua tindak, tangannja diangkat,
untuk membalas hormat setjara wadjar, setelah itu ia
mengeluarkan suratnja Hong It diserahkan pada tuan rumah.

40
Tjoei Tjian kagum. Ia melihat bagaimana indah orang
menjingkir. Ia kata dalam hatinja: .„Anak. ini lintjah sekali,
djarang aku menemui orang seperti dia."
Siauw Thian mengawasi tingkahnja, orang she Tjoei itu,
hatinja berkata.: ,,Tidak perduli kau liehay, kali ini kau ketemu
batunja”
Heehouw Him menjambuti surat, membatja mana, mukanja
mendjadi putjat.
”Loei Laotee, benar seperti katamu!” katanja tjepat, hatinja
tegang, ”Hong It si bangsat gundul datang bersama Lan
Tjhong Siang sat dan ia mendjandjikan pertemuan besok pagi
di puntjak Bwee Nia di See San. Mereka bertiga sernua bangsa
telengas.”
Siauw Thian tertawa lebar.
”Kunjuk tua, kenapa kau begitu ketakutan?” katanja,
”Biarnja Siang Sat liehay, aku si orang she Loei suka
menempur mereka”
Liang Gie Kiam Kek Tjie Tong Peng, jang sabar berkata: ”Di
djaman sekarang ini,orang
jang bisa melajani. Lan Tjhong Siang Sat memang diarang
sekali. Duluhari tiuma tersiar kabar bahwa mereka pernah dua
kali kalah, jalah dari tangannja Thay Hian Tjindjin dari Ngo Bie
Pay dan Twie-Hoen-Poan Tjia Boen. Memang besok belum
tentu kita kalah, akan tetapi untuk memperoleh kemenangan
djuga masih belum ada kepastiannja. Oleb karena itu, saudara
Loei, djangan kita memandang terlalu enteng pada mereka
itu,"
Oh-Ka-Lam Tjoei Tjian tidak puas, hingga matanja.
mentjilak.
„Sajang selama duapuluh tahbun aku si tua-bangka belum
pernah mendjadjah ke Soetjoan, djikalau tidak, tidak nanti aku
mengidjinkan mereka itu bertingkah sampai sekarang ini”
katanja sengit. „Hari ini sjukur telah datang djodohnja, maka
aku si tua-bangka nanti mentjoba-tjoba mereka!"

41
Siauw Thian tahu keberangasannja Tjoei Tjian, djikalau
mereka terus membitjarakan urusan itu, si kate ini bakal naik
darahnja, maka ia berbangkit dan berkata sambil tertawa:
„Biar bagaimana djuga, besok pagi kita bakal pergi kesana,
dari itu pertjuma sekarang kita membitjarakannja pandjang
lebar. Eh, Tjia Laotee, mari kita main tjatur!"
In Gak menurut, maka berdua Siauw Thian ia. meminta
diri. Ketika ia berlalu, in mendengar Tong Peng berkata
perlahan „Tjia Sinshe itu kenapa akrab sekali dengan Loei
Hiantee?
Apakah benar katanja Loei Hiantee ini'?" la heran, hatinja
terkesiap.
Dengan lekas ia melirik Siauw Thian. Ia melihat si orang
she Loei .seperti tidak dapat mendengar perkataannja Tong
Peng itu, dia djalan terus wadjar sadja.
Sebaliknja, Siauw Thian berkata: „Tjia Laotee, heran sekali,
suratnja Hong It itu boleh djatuh di tangan kau ?"
In Gak terperandjat. Didalam hatinja, ia mentjatji : „Hantu
djahat, kau rupanja menentang aku !" Tapi ia lekas
mendjawab „Ketika tadi siauwtee berdjalan pulang„ siauwtee
bertemu seorang jang menjebut dirinja Ngay Hoa dan dia
menjerahkan surat itu padaku dengan permintaan
disampaikan kepada tjong-piauwtauw. Saudara Loei, ada
apakah jang aneh ?"
„Oh, begitu ?" kata Siauw Thian, jang mengasi dengar
suara dihidung, tandanja ia separuh pertjaja separuh tidak.
Setelah itu, mereka main tjatur dikamar In Gak. Siauw
Thian terdesak, banjak bidjinja jang dimakan, maka sambil
menolak bidji-bidjinja, ia tertawa dan berkata : „Kau liehay,
Tjia Hiantee, kau seperti dibantu malaikat. Aku sudah lama
tidak main tjatur, aku terdesak., djikalau aku melandjuti, pasti
tidak ada gunanja !"

42
In Gak tertawa, Siauw Thian mengawasi orang, Lalu
mendadak ia kata, masgul ,.Hiantee, aku minta djanganlah
kau dustai aku. Tadi lintjah sekali kau menjingkir dari
tolakannja,Tjoei Tjian, sedikit djuga kau tidak meninggalkan
bekas. Menurut penglihatanku itulah mirip ilmu kaum lwee-kee
jang dinamakan Tjian Tjong Bie Eng Sim Hoat, Hiantee, kau
menumpang didalam piauwkiok; apakah kau mempunjal
sesuatu kesulitan jang kau tengah menjimpannja?“
Sebenarnja hati In Gak bertjekat akan tetapi dapat ia
bersenjum. Ia menatap.
„Saudara Loei, matamu tadjam sekali,'' katanja. „Tentang
urusanku ini, baiklah kita menanti sampal besok atau lusa,
baru aku menuturkannja. Dibelakang hari aku pun masih
memerlukan bantuan kau."
Siauw Thian tertawa lebar.
„Hiantee," katanja, „semendjak pertama kali aku melihat
kau, sudah merasa kau mesti menjimpan kepandaian jang
Iuar biasa, sekarang ternjata dugaanku itu benar !"
Si pemuda djuga tertawa pula.
“Mana kepandaian luar biasa !" katanja „Selama beberapa
hari ini, aku tahu saudara terus menjelidiki aku, karena aku
tahu, kebisaanku beda djauh daripada kebisaan saudara, aku
memikir lebih baik aku menjembunjikan diri sadja. Aku pun
mempunjai musuh besar dan
musuhku itu banjak, aku kuatir aku nanti kena menggeprak
rumput hingga ular mendjadi kaget: Djikalau ini sampai
terdjadi; sia- sialah nanti segala usahaku, aku pasti bakal
menjesal tidak habisnja...”.
Kian Koen Tjioe menatap anak muda itu, ia mengasi lihat
roman sungguh-sungguh.
“Tjia hiantee, kau pertjaja aku!” katanja. „Aku
berpengalaman, aku tahu baik banjak orang dari kalangan
sesat dan lurus, maka untuk pembalasan sakit hatimu itu, aku
rasa dapat aku membantu kau, tentang, kau tuturkan padaku,

43
nanti aku membantu djuga dengan pikiranku. Kau tahu,
akulah seorang, djudjur dan polos, tidak dapat aku menanti
sampai besok-lusa,
Hiantee, kau bitjara sekarang, Aku berdjandji tidak nanti
aku membotjorkannja kepada orang lain”.
In Gak menatap pula, terus ia .tertawa. lebar.
Djikalau begitu , saudara Loei,” katanja, „Baik, mari kita
pergi ke rumah makan Siong Hok Wan, disana sambil
bersantap kita memasang omong melewati sang waktu
malam!"
Siauw Thian rnenepuk dengkulnja. ia tertawa pula.
„Baik !” djawabnja, ”Marilah„ aku mendjadi si tuan rumah."
Kedua-duanja benar-benar lantas berlalu dari piauwkiok,
pergi ke restoran Siong Hok Wan. Disana mereka disambut
dengan manis dan telaten oleh pelajan, jang mengenali orang
Tjin Tay Piauw Kiok. Mereka dipimpin ke medja jang terpilih,
dimana hawa hangat menjenangkan.
Siauw Thian jang memesan barang hidangan, kemudian ia
mengisikan tjawannja In Gak, lalu tjawannja sendiri.
Kemudian lagi ia mengangkat tjawannja itu.
”Laotee” katanja, bersenjum, ”Aku dapat mengenal kau,
inilah hal jang seumurku sangat menggirangkan aku.
Sekarang Laotee, paling dulu aku ingin kau memberitahukan
aku, dengan Twie Hoen Poan Tjia Boen, Pamanku itu, kau
mempunjai sangkutan persanakan atau tidak?”
Jilid 1.3 Tewasnja musuh pertama
Orang she Loei ini memanggil Paman kepada Tjia Boen
sebab Tjia Boen sahabat gurunja.
Ditanja begitu, dengan lantas matanja in Gak mendjadi
merah.
„Aku jalah anaknja," sahutnja perlahan.

44
Siauw Thian berdjingkrak bangun. memegang keras kedua
pundak orang.
“Thian ada matanja !" serunja. „Benarlah dugaanku !
Segala tjatji tidak nanti dapat mentjelakai pamanku itu !
Dimana sekarang adanja ajahmu ?"
In Gak menggeleng kepala. Ia menghela napas.
„Ajahku telah meninggal dunia," sahutnja kembali perlahan.
Orang she Loei itu bermuka guram, ia menghela napas.
„Ajahmu telah meninggal dunia, ini benarlah impian
belaka," katanja, „Sekarang, hiantee, adakah kau dalam
perdjalanan menuntutbalas menurut pesan ajahmu itu ?"'
In Gak menganguk.„Ja," sahutnja. „Hanja tugas ini sulit
untukku. Niatku jaitu berdiam didalam piauwkiok barang satu
tahun, untuk menjelidiki orang-orang pelbagai partai, untuk
rnentjari tahu musuh-musuhku, untuk aku nanti
mendatanginja satu demi satu. Sekarang aku merasa niatku
ini tidak dapat didjalankan. Tjara ini meminta waktu terlalu
lama, lebih-lebih aku bersendirian sadja: “ Saudara Loei,
dapatkah kau memikir suatu djalan jang ringkas ?"
„Memang, hiantee, berdiam di dalam piauwkiok bukan
djalan jang sempurna. Menurut aku, baiklah kau segera
merantau, masuk dalam dunia Kang-ouw, untuk membuat
nama. Setelah itu, mustahil orang tidak datang mentjari kau ?
Kalau perlu, kau boleh menjembunjikan asal-usulmu, agar
tidak ada jang ketahui kaulah anaknja Paman Boen. Djikalau
kau berbuat begini, sulitnja jalah ilmusilatmu. Orang tentu
akan mengenali itulah ilmu silat Paman Boen dan orang dapat
mentjurigai kau”
„Tentang ilmusilat, itulah tidak usah dikuatirkan," In Gak
memberi keterangan. „Biarnja ilmusilat ajahku liehay,
keliehayan itu belum ada separuh keliehayannja guruku.
Siauwtee akan tidak memperlihatkan ilmu-silat ajahku itu."

45
Siauw Thian membuka lebar matanja. Ia heran berbareng
kagum.
„Bagairnana, hiantee ?" tanjanja. „Kau telah berguru
kepada lain orang ? Dan kau bilang, kepandaian ajahmu tak
ada separuhnja kepandaian gurumu itu ? Hiantee, pasti
gurumu orang dari golongan terlebih tua. Dapatkah aku
mengetahui namanja.
In Gak menggeleng kepala, tetapi ia bersenjum.
„Aku telah mendapat pesan guruku, tidak dapat aku
memberitahukan namanja," ia kata. „Aku minta saudara tidak
buat ketjil hati."
Siauw Thian tidak gusar, ia pun tidak memaksa. Bahkan ia
tertawa.
,,Meski hiantee tidak menjebutkannja, kelak hiantee tidak
akan lolos dari mataku !" katanja. „Sekarang biarlah kita
menunda tentang itu. Aku ada memikir suatu djalan, supaja
dengan sebutir batu kau rnendapatkan beberapa ekor burung.
Duluhari itu, orang-orang jang memusuhkan ajahmu
bertjampur-baur kaum sesat dengan kaum lurus, tjuma tidak
djelas siapa-siapa adanja mereka itu, hanja menurut kabar,
disana ada orang-orang dari pihak Boe Tong Pay, Koen Loan
Pay, Hoa San Pay ketiga kaum lurus. Jang lainnja jalah Keng
Lay Pay, Sam Hoan Pay dari Honghoo, Pay Pay dari Siangkang
serta mereka jang tidak berpartai. Dengan mereka itu
hiantee boleh pura-pura bersahabat, untuk mengorek
keterangan mereka. Pilihlah mereka jang djumawa dan
berkepala besar jang dojan berkelahi. Aku pertjaja,
diantaranja mesti ada jang akan membuka mulutnja.
Bagaimana hiantee pikir ?"
„Bagus !" In Gak memudji. „Inilah aku tidak pikir. Baik, aku
akan mengambil siasat ini.” Ia berdiam sedjenak, lantas ia
kata, sungguh-sungguh: „Saudara Loei, ibuku terbinasa oleh
satu tangan djahat, dipunggungnja bertapak tudjuh

46
djaritangan, mengenai itu dapatkah saudara menundjuki aku,
siapa orang Kang-ouw jang djeridjinja tudjuh ?"
Siauw Thian berpikir.
„Tidak, hiantee, aku tidak pernah mendengar orang dengan
tudjuh djeridji itu," sahutnja. „Tapi ini pun tidak sukar.
Perlahan-lahan sadja kau mentjari tahu siapa jang liehay
djaritangannja. Aku rnenjangsikan Taylek Koei Ong Tjoe Pek
Pay. Setelah dia dihadjar ajahmu, dia tentu menjembunjikan
diri. Dialah sangat membentji ajahmu."
In Gak mengangguk.
“Biarlah !" katanja, tertawa dingin. ,,Dia itu benar musuh
ibuku atau bukan, akan aku singkirkan dia Bukankah sudah
terang dia bukannja manusia baik-baik ? Boleh apa
membinasakan satu bahaja besar untuk umum ?"
“Hebat hiantee." kata Siauw Thian. „Aku sendiri, tidak
berani aku main gila terhadap Lan Tjhong Siang-Sat.
Sekalipun Tjoei Tjian, Tjie Tong Peng dan Hee-houw Him
mengepung bertiga, masih sulit untuk mendjatuhkan dua
orang itu, maka bagaimana begitu mudah sadja kau
mengatakan hendak menjingkirkan mereka! Tapi biar
bagaimana, ada baiknja kau hendak memberikan bantuanmu.
Bagaimana sekarang kau hendak berdjalan sendiri atau turut
bersama kami?"
“Baiklah aku berdjala sendiri sebagaimana kebiasaanku,"
sahut In Gak. :,,Aku minta saudara djangan membilangi aku
bakal turut, aku hendak bekerdja dengan diam-diam."
Siauw Thian tertawa.
“Djikalau kau tidak membantu, saudara, dapat aku
menutup mulut !” katanja; Apakah hiantee kira mereka sernua
majat- majat sehingga mereka tidak melihat padamu? “Ah,
hiantee, aku ingin bitjara padamu, aku ingin minta sesuatu.
Aku rasa kita sudah mengenal baik satu sama lain maka itu,

47
sukakah djikalau kita mengangkat saudara, agar kau
rnengakui aku sebagai toako, kakakmu ?"
In Gak tertawa lebar.
aSaudara, walaupun kau tidak mengatakannja, itulah
pikiranku !" katanja. „Baiklah, mari kita mengangkat saudara
sekarang djuga !"
Pemuda ini lantas memanggil pelajan untuk minta dibelikan
hio dan lilin, untuk disitu djuga mereka memasang hio
mengangkat saudara seraja minum djuga arak jang ditjampuri
darah mereka. Habis itu mereka makan minum terus, setelah
puas baru mereka pulang dan tidur,
Besoknja pagi belum terang tanah, Heehouw Him berempat
sudah berangkat untuk memenuhi djandji. In Gak berangkat
belakangan seorang diri. Ketika ia tiba diluar kota, tjuatja
masih gelap dan masih ramai suara sang kodok, disitu tidak
ada orang jang berlalu-lintas. Maka leluasalah ia beriari-lari
dengan ilmu enteng tubuh, menguntit empat kenalannja itu.
Selagi mendekati kaki bukit Bwee Nia, tjuatja sudah
remang-remang dan Siauw Thian berempat terlihat lagi
mendaki puntjak. Untuk melombai mereka itu, In Gak
mengambil djalan dari samping. Ia pun menggunai ilmu ringan
tubuh „Lang Khong Hie Touw," atau „Menjeberang diudara,"
asal kakinja mendjedjak, tubuhnja lantas melesat djauh,
bagaikan melajang.
Bukit dipanggil Bwee nia, bukit bunga atau buah bwee„
tetapi disana tidak ada pohon bwee, hanja pohon bambu
dimana-mana bagaikan rimba besar, daunnja hidjau, memain
diantara sampokan angin, suasananja tenang dan njaman.
In Gak sampai terlebih dulu.
Ia mendapatkan sebidang tegalan rumput Iuas kira-kira
tigapuluh

48
Bak. Ia tidak melihat ada orang disitu, lantas ia pergi
kebelakang sebuah batu besar, untuk menjembunjikan diri.
Belum lama terlihat datangnja tiga orang, jang gerakannja
gesit.
„Merekalah tentu Hong It Taysoe dan Lan Tjong Siang Sat,"
duga si pemuda.
Hong It bertubuh tinggi tudjuh kaki, djubahnja merah
romannja tampan, tjurne sepasang matanja tadjam dan
bengis, memain tak hentinja, suatu tanda pendiriannja
garnpang berubah. Ia memiara kurnis-djenggot pandjang.
Sendiatanja jalah sebatang sian-thung, atau tongkat, jang
bergemerlap, jang ditaruh dipunggungnja.
Lan Tjhong Siang-Sat memakai pakaian singsat jang
serupa, jang satu beroman djelek dan bengis, mukanja perok,
terlihat otot-ototnja jang biru, matanja ketjil tetapi tadjam,
hidungnja merah dan bibirnja tebal. Sendjatanja jalah poankoan-
pit. Alatmirip pena Tiongboa, peranti menotok djalandarah.
Tubuh dan tangan¬nja lebih besar daripada kepunjaan
kebanjakan orang. Maka In Gak menduga dialah Tjoe Pek Pay.
Jang lainnja bermuka bengis, alisnja berdiri, matanja bersinar
bengis djuga, hidungrija bengkung, bibirnja sedikit terangkat
naik hingga terlihat tegas dua. buah giginja seperti tjaling.
Teranglah dia seorang jang litjin, sendjatanja jaitu sebatang
golok jang tadjam kedua mukanja.
Setelah menghentikan tindakannja, Hong It melihat
kesekitarnja, lantas dia tertawa dan kata „tempat ini indah
sekali, sungguh ini terlalu bagus untuk djadi tempat dimana si
tua-bangka Hee-houw mengubur dirinja I"
Belum berhenti suara si pendeta, disitu muntjul empat
orang lain, jang terus tertawa berkakakan.
Hong It lantas mengenali dua dari tiga kawannja Hee-houw
Him itu, jaitu Kian-koen-tjioe Loei Siauw Thian, orang Kang
ouw jang sukar dilajani, dan Liang Gie Kiam-kek Tjie Tong

49
Peng, murid kepala dari Heng San Pay. Orang jang ketiga,
jang tua dan kate-ketjil serta kurus, ia tidak kenal tetapi ia
rnenduga mesti bukan sembarang orang. Melihat mereka itu„
hatinja mendjadi tidak enak sendirinja, sebab meski ia dibantu
I.an Tjhong Siang-Sat, ia masih djeri…
Hee-houw Him mengurut djanggutnja dan tertawa. Katanja
,Aku si orang she Hee-houw jang tua datang untuk menetapi
djandji, maka itu tolong taysoe memberitahukan, taysoe
mempunjai pengadjaran apakah untukku ?".
Sepasang alis pandjang dari Hong It bergerak, dia tertawa
dingin.
“Heehouw Sie-tjoe, indah pertanjaan jang scngadja kau
mengadjukannja” katanja mendongkol„ ,.Kau sudah tahu
tetapi toh kau masih menanja! Duluhari itu benar muridku
Gouw Beng bersalah tetapi tidak seharusnja kau menurunkan
tangan djahat terhadapnja! Sedang kemarin ini, ketika
muridku jang lainnja, Ngay Hoa membawa surat, dan dia
datangnja setjara hormat, mengapa kau memusnakan ilmusilatnja
? Tidakkah keterlaluan ? Apa sekarang kau hendak
bilang ?"
Heehouw Him heran, hingga ia melengak. Surat kemarin
toh. In Gak jang rnenjerahkannja, Karena ini, ia lantas mau
menduga. In Gak itu benar-benar liehay. Ia belum
mendjawab, Siauw Thian mendahuluinja.
„Hong It, kau bitjara enak sekali !" katanja tertawa lebar.
“Gouw Beng terlalu mengandalkan kau, dia malang-rnelintang
di Ouwlam Timur, kedjahatannja telah diketahui umum,
djangan kata memangnja dia telah bersalah terhadap saudara
Hee-houw, meskipun dia tidak mengganggu, djikalau dia
bertemu orang bangsa kami, pasti sukar dia menolong
djiwanja. Pula Ngay Hoa, ketika dia menjampaikan suratnja,
dia berlaku kurangadjar sekali, rnaka dia diadjar adat oleh
seorang sahabatku ! Masih untung dia masih dikasi tinggal
hidup ! Kenapa kau masih berlaku galak begini?”

50
Hong It gusar hingga mukanja mendjadi merah-padam.
„Sudahlah !” menjelak Tjoei Beng Long-koen Khiong Keng
dari Lan Tjhong Siang-Sat.
“Urusan hari ini, tidak perduli siapa benar siapa salah, tidak
dapat diselesaikan dengan omong belaka, dari itu baiklah kita
mengadu tangan sadja, siapa jang menang dialah jang benar.
Kami berdua saudara, dari djauh kami datang ke Timur ini,
kami ingin beladjar kenal dengan orang-orang gagah dari
Tionggoan jang kami kagumi. Setelah sampai disini, dan dini
waktu, perlu apa lagi kita main mengadu lidah seperti si orang
tidak keruan ?"
„Siapa si orang tidak keruan ?" Siauw Thian membentak,
„Kamu sendiri, kamu machluk apa ? Dimataku si orang she
Loei tidak ada orang sebangsa kamu !”
Mendengar itu matanja Khiong Keng mentjilak. Memangnja
dia beroman djelek dan bengis, sekarang dia nampak
menakuti. Dengan menggeraki goloknja lantas dia menjerang
Siauw Than.
Kian Koen Tjioe mendapat namanja disebabkan
kepandaiannja bersilat dengan tangan kosong. Sebenarnja ia
mengerti ilmu pedang hanja djarang sekali ia menggunai
sendjata, akan tetapi sekarang melihat golok istimewa dari
lawan, ia menghunus djuga pedangnja. Ia tahu, musuh tjuma
rnenggertak, maka itu ia menunggu sampai udjung golok
hampir mengenai pundaknja, pundak kiri, mendadak ia
berkelit kesamping sambil terus membatjok lengan lawan itu.
Tjoei Beng Long-koen bukan sembarang orang, djikalau
tidak, tidak nanti namanja mendjadi terkenal, dari itu, meski
pedang musuh sangat tjepat, la toh dapat mengelit tangannja
itu. Berbareng dengan itu, tangan kirinja menghadjar kedada
lawan.
Sambil berseru, kembali Siauw Thian mengegos tubuhnja,
membebaskan dadanja dari tindju musuh. Sembari berkelit itu,

51
djuga mernbalas menjerang pula, membabat knarah
pinggang.
Khiong Keng terperandjat. Tidak, ia sangka lawannja
demikian gesit, Ia lantas menarik mundur tubuhnja, perutnja
pun dibikin kempes, tetapi ia terlambat sedikit,
„Bret !” maka robeklah udjung badjunja. Ia mendjadi
sangat gusar hingga ia berkaok-kaok, suaranja menjakiti
telinga. Dengan sengit ia menjerang, kali ini dengan salingsusul
hingga tiga kali, mentjari ketiga tempat berbahaja
thiamhoe-hiat, Tjiang boen-hiat, dan khie-hay-hiat. Ia
mengeluarkan ilmu silat goloknja jang ia telah latih untuk
banjak tahun, Itu pula ilmu golok jang membuatnja mendapat
nama besar.
Melihat ia didesak, Siauw Thian main mundur. Ia djuga
mendjadi gusar sekali. Habis mundur itu, ia membalas
menjerang. Ia mengeluarkan ilmu goloknja, Kioe Kiong Patkwa,
jang terdiri dari duapuluh delapan djurus.
Demikian mereka bertempur, hingga sebentar sadja sudah
melalui tigapuluh djurus.
Khiong Keng mendjadi habis sabar, segera ia menjerang
dengan tipusilat „Djie Long Hang Yauw," atau „Malaikat Dje
Long Sin menakluki siluman." Goloknja menjambar kelengan
kanan, tjepatnja luar biasa.
Menghadapi serangan berbahaja itu Siauw Thian tidak
mundur, bahkan dia mendahului madju, pedangnja meluntjur
kelengan lawan. Karena dia madju dari samping, tangan
kirinja djuga terus bekerdja, untuk menotok djalan darah hokkiat.
Tjoe Pek Pay kaget melihat gerakan Siauw Thian ini, tanpa
merasa dia berteriak, lantas tubuhnja berlompat madju, niat
membantui. Akan tetapi dia terlarnbat, totokan telah
mengenai djitu pada sasarannja, tanpa ampun lagi, Khiong
Keng roboh terkulai.

52
Tjoel Beng Long-koen tengah menjerang, sebelah kakinja
pun madju, ketika ia disambut Siauw Thian, goloknja jang
meluntjur itu terpengaruh pedang Siauw Thian. Selagi madju,
ia didahului, tak sempat ia mundur pula atau berlompat
kesamping, maka iganja mendjadi kosong, tepat totokan
mengenai samping perutnja. Begitu sakit ia merasa, segera
tubuhnja djatuh terbanting.
Tjoe Pek Pay tidak madju membantui, untuk mentjegah
kawannja bertjelaka. Sekarang ia mengangkat tubuh kawan
itu, untuk periksa lukanja.
Khiong Keng mandl peluh pada dahinja, sepasang alisnja
dikerutkan, mukanja meringis, tanda menderita kesakitan
hebat dan menahannja. Menampak demikian, Pek Pay
mendjadi panas hatinja. Dengan sorot mata gusar, ia
mengawasi Siauw Thian, sembari tertawa menjeringai, ia
kata„Tuan, tanganmu kedjam sekali', maka djikalau aku si
orang she Tjoe tidak membikin badanmu terpisah dari
kepalamu, nama Lan Tjhong Siang-Sat blarlah tenggelam
didasar laut untuk selama lamanja!"
Dimarahi begitu rupa, Siauw Thian sebaliknja tertawa.
„Nama Lan Tjhong Siang-Sat, aku si orang she Loei telah
membilangnja siang-siang bahwa sebelumnja belum pernah
aku mendengarnja” ia kata tenang. „Maka, djikalau kau tetap
barkaok-kaok seperti orang gila, apa-kah kau tidak kuatir nanti
orang mentertawainja?"
Selagi kedua orang itu berhadapan, hatinja Siauw-bin Boesiang
Hong It kebat-kebit. Sebelumnja ia memang sudah
gentar hati. Sekarang, melihat robohnja Khiong Keng, tahulah
ia jang ia tidak mempunjai harapan lagi. Dipihak musuh masih
ada Hee houw Him bertiga. Mana dapat ia melajani mereka
itu? Maka ia lantas memikir akal.
Tay-lek Koei Ong sendiri telah bangun otot-otot biru gelap
di dahinja, hingga mukanja jang djelek dan bengis mendjadi

53
bertambah bengis, sedang dari mulutnja keluar tertawa
edjekan jang menjeramkan jang tak putusnja. Ia meletaki
tubuh Khiong Keng, terus ia berdiri, tangannja sudah lantas
memegang sepasang sendjatanja jang mendjadi alat penotok
djalandarah: poankoan-pit.
“Oleh karena tuan tidak memandang mata kepada aku si
orang she Tjoe," .katanja dingin, „marilah kita mengambil
keputusan dengan tangan kita, untuk menetapkan siapa tinggi
dan siapa rendah”
Siauw Thian hendak menjambut tantangan itu ketika Oh-
Kah Lam madju seraja berkata: ,Loei Laotee, kau telah
menang satu rintasan, tidak ada halangannia untuk kau
mengalah kepadaku supaja aku si tua-bangka dapat
menggaruk-garuk tanganku jang gatal"
Siauw Thian menurut, sembarl bersenjum, dengan tenang
ia mengundurkan diri. la pun merasa, mungkin sulit ia
melajani Tjoe Pek Pay, jang mestinja lebih liehay daripada
Khiong Keng jang mendjadi adik-angkatnja dia itu.
„Orang tua, kau siapa?" Pek Pay membentak rnelihat orang
madju dengan tangan kosong. „Kenapa kau tidak menghunus
sendjatamu?"
Oh-Kah Lam, si malaikat Kah Lam Ya Kate, tertawa geli
tetapi nadanja dingin.
„Aku si orang tua she Tjoei bernama Tjian," sahutnja tawar,
“sudah sepuluh tahun belum per¬nah aku bertempur dengan
meng¬gunai sendjata. Maka biarlah dengan tangan kosong ini
aku melajani sepasang pitmu itu !"
Tjoe Pek Pay tertawa terbahak.
„Aku tidak pertjaja, orang tua, tanganmu lebih liehay
daripada tanganku!" teriaknja dan terus dia menjimpan
sendjatanja, setelah mana ia bersiap menanti, katanja: „Kita
menggunai tangan kosong melawan langan kosong, djikalau

54
didalam tigapuluh djurus aku tidak dapat mengalahkan kau,
aku si orang she Tjoe akan ngelojor pergi !”
“Bagus!" menjambut Tjoei Tjian. sembari terus ia madju
menjerang dengan kedua tangannja.
Tjoe Pek Pay tidak mundur, dia menjambut serangan itu.
Dia telah mengarahkan tenaganja, maka kesudahannja,
penjerangnja kena dibikin terpental mundur tiga tindak.
Tjoei Tjian, di sebut djuga Sun It Kies orang aneh nomor
satu dari gunung Tay San, gerakannja lintjah bagaikan ular
litjin, untuk di-tenggara ialah djago nomor satu, biasanja ia
bangga sekali akan dirinja sendiri, maka itu, kali ini ia kena
dibikin terpental mundur, murkanja bukan buatan, hingga
bangkitlah kumisnja jang ubanan. Segera ia madju pula,
kembali dengan kedua tangannja jang nampak mirip
sepa¬sang ular. Kedua tangan itu mentjari djalan darah.
Pek Pay heran melihat orang sudah-terpental mundur tanpa
kurang suatu apa, karena ini, ia tidak mau berlaku sembrono.
Lantas ia melajani dengan ilmusilatnja, jang diberi nama „Sam
Poan Im Yang Tjiang," atau Tangan Imyang, jang biasa
dikeluarkan tiga kali beruntun, menjerangnja keatas, tengah
dan bawah, datangnja kedua tangan saling susul, tak
ketentuan jang mana terlebih dulu.
Oh Kah Lam melajani terus, dengan begitu mereka
setanding sekali.
Liang Gie Kiam-kek menonton pertandingan sambil
memasang mata terhadap Hong It Taysoe, ia melihat pendeta
itu mengawasi pertempuran dengan matanja terus memain
dan wadjahnla suram lantas ia rnenghampirkan.
„Hong It Taysoe," sapanja, tertawa, „djandji pertemuan ini
di selenggarakan oleh aku, sekarang kau berdiri menganggur
sadja„ aku pikir baiklah kita pun madju ke gelanggang untuk
main-main!”

55
“Apakah kau kira aku takut kamu dari Heng San Pay?” kata
Hong It dalam hati. Ia terus tertawa dan mendjawab: “Tjie
Sie-tjoe hendak member peladjaran, tidak dapat aku si paderi
tua menampik, hanja karena kita berdua tidak bermusuhan,
bagaimana kalau kita main-main hingga hanja saling towel?”
Tjie Tong Peng tertawa. Ia mendjawab: “Aku si orang she
Tjie telah mendengar halnja ilmu tongkat Hong Loei Thung
hoat jang terdiri dari delapan puluh satu djurus, jang sangat
kesohor, maka itu tidak lain maksudku ketjuali untuk meminta
pengadjaran ilmu tongkat itu.”
Hong It tahu baik Heng San Pay mempunjai banjak orang
pandai, ia tidak ingin menanam bibit permusuhan, maka djuga
ia mengeluarkan kata-katanja itu sekarang, setelah
memperoleh djawaban, ia kata pula tertawa: “Baiklah!”
Maka itu, lekas djuga mereka bertempur, jang satu
memegang tongkat, jang lain menggunai pedang.
Siauw Thian berdiri menonton, sering-sering ia memandang
ke sekelilingnja, untuk mentjari Tjia In Gak, jang tentunja
telah menjembunjikan diri di dekat-dekat situ. Ia menduga
dimana adanja si anak muda, maka seterusnja kesana ia
memasang mata.
Di gelanggang pertama, Tjoe Pek Pay lantas mulai
bergelisah. Ia merasa sukar untuk lekas-lekas merobohkan
lawannja, sedang ia telah omong besar dengan memberi batas
waktu. Di pihak lain, ia djuga berkuatir memikirkan luka adik
angkatnja, jang tidak ada jang menolongnja. Maka mendadak
ia menjerang dengan tipu silat ‘Sam hoan to goat’ atau ‘Tiga
kali melihat rembulan’. Dengan tangan kanan ia mentjoba
menangkap tangan kiri musuh, dengan tangan kiri ia menotok
dua djalan darah yoe-boen dan im-tiam.
Menjaksikan serangan musuh itu, Tjoei Tjian mendjadi
girang.

56
Dua orang ini mempunjai masing-masing keistimewaannja,
jalah Tjoei Tjian dengan kelintjahannja dan Pek Pay dengan
kekerasannja jang luar biasa, sedang tipu silat ‘Sam hoan to
goat’ itu asalnja dari kitab persilatan Sam Poan Mo Keng dari
Pek Koet Kauw, partai agama Tulang Putih. Sebab Pek Pay ini
ada anggauta partai agama itu. Sjukur Sam Poan Mo Keng
tjuma diwariskan kepada murid utama jang kelak diangkat
mendjadi tjiangbundjin, ketua, djikalau tidak, pasti Tjoe Pek
Pay mendjadi terlebih galak.
Tjoei Tjian itu duluhari, ketika ia berada di puntjak Lok Djit
Hong di gunung Tay San, didalam sebuah guha jang
ketutupan ojot pohon rotan, telah menemui gambar-gambar
ukiran atau sebuah batu besar. Itulah ukiran ‘Leng Tjoa Tjoan
sie Tjiang’ atau ‘Gerakan tangan sang ular’. Sajang ukiran itu
sudah tidak lengkap, rupanja bekas dirusak orang jang
pertama menemuinja. Ia perhatikan itu, ia mejakinkannja:
karena gambarnja tidak lengkap, ia menambahnja sendiri.
Sekian lama ia mengandalkan sangat ilmu silatnja itu, sampai
sekarang ia menghadapi Tjoe Pek Pay, lantas ia insaf sendiri
bahwa ia masih banjak kekurangannja. Saban-sanban ia
terantjam bahaja. Demikian kali ini, ia tidak takut tetapi ia
menghadapi bahaja.
Bagaikan kilat demikian serangannja Tjoe Pek Pay. Atas itu,
Tjoei Tjian menangkis dan membebaskan lengannja dengan
kelitjinannja. Mendadak tubuh Pek Pay mentjelat tinggi,
melewati kepala orang, hingga sedetik kemudian, ia sudah
berada dibelakang musuh, sambil ia terus berseru: „Orang tua
she Tjoei, kau terdjebak!" Kata-kata itu dibarengi totokan
tangan kiri kepunggung.
Tjoei Tjian kaget bukan main, Ia tidak berdaja melihat
orang lompat melewati dirinja, dan ha¬tinja terkesiap
mendengar suara orang dibelakangnja itu. Tidak sempat ia
memutar tabuh, untuk menangkis, segera ia rnembuang

57
dirinja bergulingan dengan tipu-silat ,,Yan Tjeng Sip-pat Koen"
atau „Yan Tjeng bergelimpangan delapanbelas kali."
Atas lolosnja lawan itu, Tjoe Pek Pay tidak mengedjar,
sebaliknja dia berlompat kepada Khiong Keng, tubuh siapa ia
angkat dengan sebelah tangannja, kemudian dengan tertawa
dingin, ia kata: „Sahabat baik, kita ada bagaikan gunung
hidjau jang tak berubah dan air jang mangalir tak putusnja,
sampai kita ketemu pula dibelakang hari!" Habis itu, dengan
membawa saudaranja, ia pergi menghilang diantara
pepohonan lebat. Sama sekali ia tidak menjapa atau
mengadjak Hong It Taysoe.
Tjoei Tjian berlompat bangun untuk berdiri diam dengan
muka putjat. Ia tidak kena dihadjar roboh tetapi rintasan
barusan dapat mendjadi tanda bahwa ia telah terkalahkan,
maka itu, ia likat sendirinja.
Disana Hong It masih terus melajani Tjie Tong Peng, Tapi,
ketika si orang she Tjie melihat Lan Tjhong Siang-Sat
mengangkat kaki, ia lompat keluar gelanggang, sembari
tertawa ia kata; “tay soe, menurut pikiranku, baiklah kita
berhenti sampai disini. Baru-baru ini Hee-houw Piauwtauw:
tidak mengetahui Gouw Beng itu murid taysoe, djikalau tidak,
pasti dia akan memandang. muka taysoe dan tidak bersikap
keras demikian." Habis berkata, ia lantas mengawasi si
Pendeta.
Hong It tahu diri, ia dapat menguasai hatinja.
„Heehouw Sietjoe," ia berkataa menghadapi Heehouw Him,
„Hari ini kita belum memperoleh keputusan, akan tetapi
memandang kepada Tjie Sietjoe, baiklah untuk sementara kita
menjudahinja„ Dibelakang hari, susahlah untuk aku
mengatakannja sekarang.” Tanpa menanti djawaban, ia
memberi hormat pada Tjie Tong Peng, sembari tertawa ia
„Sie- tjoe, sampai bertemu pula!"

58
Hebat pendeta ini, habis berkata, ia mengibaskan
tangannja, kedua kakinja mendjedjak tanah, gesit luar biasa,
tubuhnja mentjelat tinggi, terapung kearah pepohonan jang
lebat. Tapi, ketika tubuhnja mau turun kedalam rimba, disana
terdengar djeritan jang keras dan menjajatkan hati.
Tong Peng semua terkedjut mereka lantas lari kerimba,
untuk melihatnja. Hong It pun, setibanja ditanah, lari
menjusul.
Kapan Tong Peng berlima sampai didalam rimba, dimana
ada sebuah batu besar jang mundjul tinggi, maka disisi itu
mereka melihat majatnja Lan Tjhong Siang-Sat. Kedua mata
Khiong Keng tertutup rapat, ia nampak mati tenang. Matanja
Tjoe Pek Pay sebaliknja meletos keluar, mulutnja terbuka dari
mulut itu keluar darah segar. Hebat adalah
Dadanja, dimana bertapak lima djari tangan, tapaknja
dalam, dan dari kelima tapak itu keluar darah hidup.
Mengerikan akan melihat majat itu.
„Eh, apakah itu?" Tjoei Tjian berseru kaget.
Diatas batu besar itu ada ukiran beberapa baris huruf„
ukirannja dalam. Orang semua mendekati, untuk membatja:
“Selama jang belakangan ini, perbuatan Lan Tjhong Siang-
Sat sangat kedjam, mereka sukar dapat ampun. Maka itu kali
ini, untuk jang kedua kali aku memuntjulkan diri, aku
mewakilkan Thian mendjalankan keadilan, Tapi Hong It, dia
keliru. Dialah orang beribadat, tidak. seharusnja dia
sembarang mernpertjajai mulut orang dan karenanja
mentjiptakan permusuhan hebat. Dia pun memangnja
tersohor busuk. Tapi kali ini, karena ditempat ini tidak barbuat
djahat lagi, suka aku memberi ampun, suka aku melepaskan
dia! Tapi ingat, aku larang dia memusuhkan pula Hee houw
Him! .Djikalau tidak maka kuil Tay Pie Sie di Soetjoan Selatan
bakal aku bikin mendjadi puing !"

59
Dibawah ada tanda-tandanja si tukang air; Twie-Hoen Poan
Tjia Boen.
Begitu melihat surat luar biasa itu serta nama pengukirnja,
Hong It Taysoe lantas putjat mukanja dan berlalu dengan
tjepat, menghilang didalam hutan bambu.
Siauw Thian tidak merasa aneh, ia menduga kepada Tjia In
Gak. Hanja diam-diam ia memudji ketjerdikannja itu adikangkat.
Pasti telah diatur, disaat kepergiannja Hong It, baru
saudara itu turun tangan, untuk membikin si pendeta
mendapat lihat kesudahannja dan serta ukiran diatas batu itu.
„Kera tua.” ia kata pada Hee houw Him, „mulai hari ini
bolehlah kau tidur dengan tenang dan njenjak! Dengan adanja
Twie Hoen Poan sebagai tulang punggungmu, pintu
piauwkiokmu bolehlah tak usah dikuntjj lagi, boleh kau dengan
aman dan selamat melandjuti usahamu !"
Akan tetapi To Pek Sin Wan menghela napas.
„Djikalau hari ini bukannja kau jang merampas
kemenangan pertama, saudara Loei, hingga musuh kena
dipengaruhi semangatnja," ia berkata, „tidak nanti Hong It
mau mengundurkan diri, hingga tak usahlah ia mengeluarkan
kepandaiannja Im Hong Touw Koet Tjiang, Tangan Angin
Djahatnja itu. Memang muntjulnja Twie Hoen Poan Tjia Boen
ada baiknja, ia membuatnja Lan Tjhong Siang-Sat tidak dapat
datang pula. Hanja aku merasa heran. Kabarnja Tjia Boen
telah menemui adjalnja di gunung Boe Kong San, adakah itu
kabar angin belaka?"
„Siapa membilang Tjia Boen sudah meninggal dunia?"
Siauw Thian tertawa , “Khabar angin itu aku tidak pertjaja!
Ada orang luar biasa mesti ada peristiwanja jang luar biasa
djuga! Dengan muntjulnja dia maka kelak kita bakal
menjaksikan pertundjukan-pertundjukan jang menarik hati!"
Liang Gin Kiam-kek Tjie Tong Peng sebaliknja masgul.

60
„Tidak salah" katanja. „Pula Heng San Pay bakal terbetot
arus mata air. Ketika terdjadi pengerejokan terhadap Twie
Haan Poan, partaiku tidak. turut mengambil bagian, hanja
kedjadiannja itu diwilajah propinsi Ouwlam,
Twie Hoen Poan bangsa keras kepala, asal dia mentjurigai
partaiku, sudah pasti sukar untuk pihakku membuka mulut."
Siauw Thian tidak memperdulikan kesulitan orang itu, ia
terus tertawa.
„Ada urusan apa djuga, sebentarlah di piauwkiok kita
membitjarakannja," kata Oh Kah Lam jang semendjak tadi
membungkam sadja.
Maka keempat kawan itu lantas turun gunung berdjalan
pulang.
Setibanja dipiauwkiok, hal utama jang Siauw Thian lakukan
jalah segera mentjari In Gak, ketika ia sampai dikamar tulis, ia
melihat si anak muda lagi mentjolet-tjolet pitnja pada bak-hie,
untuk rnenuliskan lian untuk Lie Tay Beng. Menampak
datangnja orang, ia menunda untuk berbangkit dan tertawa.
„Toako, hari ini kau banjak mengeluarkan tenaga!"
sambut¬nja.
Klan Koen Tjioe mengawasi tadjam.
„Sudah, hiantee, didepan mataku djangan kau berpurapura!"
sahutnja. ,,Perbuatanmu hari ini membuktikan kau
tjerdik sekali, perbuatanmu sangat bagus! Sudah beberapa
puluh tahun aku hidup dalam dunia Kang-ouw, aku pun
merasa aku tjerdik, tetapi aku roboh ditanganmu! Saudara,
aku sangat mengagumi kau. Aku pertjaja. asal kau
menjelenggarakan tipuku itu, dengan sebuah batu
mendapatkan banjak burung, mesti bakal timbul keruwetan
dalam dunia Rimba Persilatan. Tapi saudara, besok aku bakal
berangkat pergi, ada sesuatu jang hendak aku urus,
bagaimana dengan kau: kau hendak menemani aku atau ingin
berdiam terus dulu disini!”

61
In Gak menggeleng kepala.
„Tidak dapat aku turut kau besok,"' katanja. „Asal aku
pergi, orang akan .mentjurigai aku. Toako boleh berangkat
lebib dulu, setengah bulan kemudian, aku nanti menjusul. Aku
boleh mengadjukan alasan memohon tjuti. Toako sebutkan
sadja dimana kau bakal berada, satu hari sebetum hari raja
Toan Ngo pasti aku datang padamu."
Loei Siauw Thian mengangguk.- „Itu bagus," sahutnja.
„Baiklah, satu hari sebelum Toan Ngo, kita nanti bertemu di
Louw Kauw Kio, sebelumnja bertemu tidak dapat kita
berpisahan!"
Dengan kesetudjuan ini, Siauw Thian mengundurkan dirj.
Habis menulis lian, In Gak Iihat hari mendekati tengah hari,
maka ia lantas pergi keluar akan menemui semua orang.
Di ruang tetamu hadir banjak orang, ramai pembitjaraan
mereka. Ada datang pemimpin serta piauwsoe-piauwsoe dari
delapan piauwkiok dikota Lam-tjiang itu, mereka sudah lantas
mendengar peristiwa diatas buki Bwee Nia itu, lantas mereka
ingin mendengarnja terlebih tegas. Repot tuan rumah melajani
mereka. Selang satu djam, baru mereka bubaran.
Sesudah ruang mendjadi sepi, tuan rumah menjuiruh
menjediakan barang hidangan.
Tengah bersantap, mendadak Tjje Tong Peng menghadapi
In Gak dan kata sambil tertawa:. „Tjia Sinshe, aku tahu benar
peristiwa tadi tentulah kau telah melihatnja sendiri! Aneh,
mengapa kau pandai sekali menjembunjikan dirimu?"
In Gak tertawa.
„Aku pertjaja tuan-tuan telah melihat aku," "katanja, „tetapi
tentang diriku, maaf, ada kesulitannja untuk aku
mendjelaskan. Kepandaianku tidak berarti, aku kalah djauh
dari tuan-tuan, maka aku pikir baiklah aku menjembunjikan
diriku. Tentang peristiwa tadi, bukan sadja aku melihatnja
semua dengan tegas, bahkan aku menjaksikan djuga
bagaimana Twie-Hoen-Poan Tjia Boen tengah menghadjar Tay

62
Lek Koei Ong Tjie Pek Pay, „sajang aku terpisah djauh, hingga
aku tidak dapat mendengar pernbitjaraan mereka."
In Gak lantas melukiskan pakaian dan potongan tubuhnja
Tjia Boen. Tentu sadja itulah karangan belaka, tetapi itulah
tepat, karena orang jalah ajahnja sendiri, tentu sekali ia
mengenalnja dengan baik.
Semua orang disitu pertjaja keterangan itu ketjuali Siauw
Thian tetapi ini kakak-angkat bahkan sengadja berlagak heran
dan kagum.
„Tjia Laotee," Tjoei Thian tanja, akau pandai silat,
sebenarnja kau dari partai mana?"
„Tidak ada partaiku," sahut. In Gak menggeleng kepala.
Oh Ka Lam mengerutkan alis.
„Mana ada silat tanpa partainja?" katanja. „Kau tidak sudi
bitjara, laotee, mungkin kau tidak melihat mata padaku?"
“Memang benar tidak ada partainja.;" In Gak tertawa
„Djikalau lootjianpwee tetap tidak pertjaja, baik disebut Boe
Kek Pay sadja.'
„Boe Kek Pay?" 'katanja. „Sudah enampuluh-lima tahun
umurku, belum pernah aku mendengar nama partai itu!
Sudah. tidak perduli apa djuga, sebentar habis bersantap, Aku
minta kau bersilat barang satu-dua djurus!"
In Gak menggeleng kepala puIa.
. „Kebisaanku tidak herarti, apa jang dapat dilihat?
Daripada membikin malu diri sendiri,lebih baik aku tidak
memberi pertundjukan akan keburukanku," Ia berhenti
sedjenak „Hanja sekarang ingin aku memberitahukan
Heehouw Loo-piauwtauw, lagi setengah bulan, ingin aku minta
tjuti setengah tahun, untuk aku pergi ke Utara. untuk
menjambangi sanakku disana. Nanti bulan sebelas aku akan
kembali. Selama ini setengah tahun, akan aku adjarkan apa
jang aku bisa kepada kedua putera dan puteri Loopiauwtauw."
Heehouw Him girang sekali.

63
„Inilah jang aku minta pun tidak berani!" katanja. Lantas ia
perintah memanggil kedua anaknja, mereka itu memberi
hormat sambil menghaturkan terima kasih.
Kedua anak itu girang sekall, lantas mereka tarik tangan
guru mereka untuk diadjak pergi ke belakang.
Besoknja.Tjie Tong Peng pa¬mitan untuk pulang ke Heng
San dan Tjoei Tjian untuk pergi ke Tjauw Ouw di An-hoei akan
mendjenguk sahabatnja, sedang Loei Siauw Thian berangkat
ke Utara. Demikian mereka berpisahan.
Mulai itu waktu, Tjia In Gak mengadjari kedua murid ilmu
silat, dua rupa kepandaian jang dinamakan ,,Pek Wan Tjiang,"
ja¬itu Tangan Kera Putih, dan ‘Pat kioe Lenglong Tjioe,"
Tangan Lintjah. Untuk sementara, peladjaran surat dihentikan
dulu. Kedua anak itu berbakat balk dan radjin, selama
setengah bulan itu, mereka sudah mendapatkan kira tudjuh
bagian. Kedua peladjaran ini, jang diberikan In Gak, beda
hasilnja dari peladjaran oleh guru silat jang kebanjakan.
Lie Tay Beng djuga diwariskan ilmu silat „Thay Khek
Tjiang."
Piauwsoe ini menghela napas, katanja: „Laotee, sungguh
aku tidak sangka kau pandai silat, hingga aku, jang sering
merantau, tidak dapat melihat kau! Aku malu .."
Kemudian tiba saat keberangkatannja In Gak. Tiga hari
dimuka ia telah didjamu. Pesta dihadiri semua piauwsoe dan
pegawai piauwkiok. Ia merasakan hangatnja pesta perpisahan
itu. ia dibekali uang tigaratus tail, la menampik, tetapi
Heehouw Him memaksa, katanja: „Kau tahu, hiantee,
perdjalanan mernbutuhkan uang. Pula. kau harus ketahui,
uang satu boen bisa rnembikin matinja seorang gagah sedjati.
Kita toh tidak nanti suka berlaku sebagai si kurtjatji Djalan
Hitam, untuk pergi mentjuri? Persahabatan kita bukan
persahabatan biasa, maka itu, djangan kau tolak uang tidak
berarti ini."

64
In Gak tidak dapat menampik terus, ia mengutjap terima
kasih.
Heehouw Him bersama kedua anaknja dan Lie Tay Beng
mengantar djauhnja tigappuluh lie, lalu mereka berpisahan
dengan perasaan amat berat.
In Gak melakukan perdjalanannja dengan tetap
rnenunggang kuda jang ia rampas dari Bwee Nia, ia ketarik
dengan telaga See Ouw, maka itu, menudju ke propinsi
Tjiatkang. Dihari kedua ia tiba diketjamatan Kangsan dalam
wilajah propinsi itu. Ketika itu sudah djam dua, kota sudah
sepi. Djarang orang berlalu-lintas diluaran. Maka tindakan kaki
kudanja menerbitkan suara taktok taktok diatas batu hidjau.
Ia mendapatkan hotel didepan restoran Soe San Tjoen dimana
masih terdapat orang bersantap dengan ramai, maka habis
mengambil kamar dan tjutji muka, ia pergi ke restoran itu
untuk memesan barang makanan.
la duduk di medja jang menghadapi djalan besar. Disitu
ada belasan tetamu lainnja, jang datang terlebih dulu.
Merekalah jang tengah berpesta itu.
Tidak lama datang lagi delapan tetamu, jang romannja
bengis. Mereka memilih medja, lantas satu. diantaranja
mengeprak-ngeprak medja meminta arak dan makanannja,
hingga repotlah si pelajann jang rnenteriaki kawannja lekas
membawa arak dan barang makanan jang diminta itu.
Diam-diam In Gak memperhatikan orang jang rupanja
mendjadi kepala, jang lantas berkata dengan keras: „Aku tidak
sangka aku si Yoe Sam Hoo kena dibikin mendongkol ini
hari..”
„Sudahlah, Yoe Toako," kata seseorang. „Djangan karena
wanita kau bentrok dengan Kim-hoa Sam Kiat. Kau tahu
sendiri, tiga djago Kim-hoa bertulang punggung Kian Koen-
Tjioe Loei Siauw Thian. Kita semua tidak dapat bertahan
sekalipun lima djurus melawan dia itu

65
„Tjie Loo-sam, kau bitjara menjebalkan," kata seseorang
lainnja lagi. „Bukankah ada dibilang, siapa tidak dapat
menuntutbalas dia bukannja seorang koentjoe? Untuk apa dan
kita mengangkat nama? Biarnja Loei Siauw Thian liehay, aku
tidak pertjaja dia selihay apa jang kau katakan Yoe Toako
mahir ilmunja keras dan lunak, kenapa dia. mesti djeri
terhadap Kim-hoa Sam Kiat? Mari kita bakar sarangnja!"
Mendengar kakak-angkatnja ada di Kim-hoa, girang In
Gak.Maka ia menjesal jang ia tidak segera sampai dikota itu.
Tapi ia belum ketahui duduknja perkara Yoe Sam Hoo ini.
Maka sembari dahar, diam-diam ia memasang telinga.
„Gouw Laotee, tidak dapat kita bitjara seperti katamu ini,"
kata Sam Ho. ,.Kau ketahui sendiri, tidak sudi aku
diperrnainkan orang. Memang, mulanja jalah adah pihak kita.
Pada tudjuh hari jang lalu beberapa wanita lewat didepan
rumah kita. Kim In, adik angkatku, melihat seorang nona
tjantik, dia lantas mengatakan beberapa kata-kata sambil lalu.
Nona itu tidak senang, dia menegur. Adikku tidak gusar, dia
bahkan mendekati si nona, memainkan tangan dan kakinja.
Diluar dugaan, nona itu liehay. Adik Kim In diserang roboh
dan diperhina. Ketika mau mengangkat kaki, nona itu masuk
ke dalam rumah dan mengambil benderaku, bendera jang
bersulam burung walet emas, sambil menjatakan, untuk
mengambil pulang itu, tjarilah dia di Sam Eng Piauwkiok di
Kim hoa. Ketika itu aku tidak ada dirumah, djikalau tidak, tidak
nanti aku membiarkan mereka pergi dengan begitu sadia.
Bendera itu bendera partai, mana bisa itu dibiarkan lenjap?
Kalau nanti paytjoe menjalahkannja sungguh hebat akibatnjar
Karena itu aku mengutus Tjie Loo-sam ke Kim-boa, untuk
dengan hormat meminta nona itu diserahkan. Kim-hoa Sam
Kiat tidak bilang apa-apa, adalah Kian-Koen-Tjioe Loei Siauw
Thian jang menolak keras. Dia kata tidak bakal dipulangkan
ketjuali saudara Kim In datang sendiri menghaturkan maaf.
Kemarin ada orang kita jang kembali dari Kim hoa, dia.

66
membawa omongan katanja Loei Siauw Thian sudah pergi ke
Utara, maka hari ini aku minta Tjie Loo-sam pergi ke Kim-hoa,
melulu untuk minta pulang bendera, lainnja kita tidak
perdulikan lagi. Tjoba pikir, apakah katanja nona itu? Katanja:
'Hmm! Bukankah duluan kau telah datang kemari? Apakah
kataku terhadapmu? Suruh si orang she Kim datang kemari
untuk berlutut dan mengangguk memohon ampun, baru
benderanja aku kasi pulang! Kenapa sekarang kau datang
pula? Apakah kau memandang tidak mata pada nona kamu?
Untuk mendapat pulang bendera tidaklah begitu mudah!
Djikalau si orang she Kim tidak datang sandiri, kau datang
sepuluh kali djuga sia-sia belaka! Tjoba pikir, djikalau bendera
itu tidak demikian penting dan bersangkut paut dengan diri
dan kekajaanku, mana aku mendjadi gusarT'
„Djikalau demikian adanja„ mereka memang terlalu
menghina," kata si Gouw. „Saudara Kim telah dirobohkan,
maka sekarang, aku pikir, 'kau pergi kepada paytjoe; bilang
sadja mereka itu jang mentjari gara-gara, bahwa bendera itu
ditjuri mereka."
„Daja itu aku telah pikir djuga," kata Sam Hoo menarik
napas. „Tapi itu tidak dapat diambil. Bendera lenjap berarti
melanggar satu diantara tiga pantangan besar, Habis, mana
bisa aku hilang muka?"
Si Gouw berpikir pula, lalu ia kata: „Aku lihat begini sadja
kita bekerdja. Baru beberapa hari jang lalu kita kedatangan
dua tetamu jang kosen, jalah jang satu Song Boen Kiam-kek
Leng Hoei dari Kong Lay Pay, jang lainnja Tjit-Im-Tjioe Tjek
Thian Tjhong, jalah Long see It Pa, djago dari Long-see. Kita
gosok mereka itu hingga mereka suka membantu kita. Kimhoa
Sam Kiat orang Siauw Lim Pay, Kong Lay Pay memang
membentji Siauw Lim Pay itu, asal ada urusan sedikit sadja,
mereka bentrok. Maka itu, mustahil mereka tidak akan kena
diogok?"

67
Yoe Sam Hoo setudju.
„Djikalau mereka berdua dapat turun tangan, itulah bagus
!" katanja. „Kita tidak perIu meperdulikan lagi Loei Siauw
Thian ada di Kim-hoa atau tidak.Saudara Gouw, baik, mari kita
bekerdja menurut saranmu ini!"
Sampai disitu, mereka lantas bersantap.
In Gak sendiri menjesal mendengar Slauw Thian sudah
berangkat ke Utara. Tapi mengenai keputusannja. Yoe Sam
Hoo, ia pikir, baiklah mereka itu mengatjau. Ia lantas
membajar uang makan, terus ia pulang ke hotel. Pelajan
menjambutnja dengan manis, menjediakan teh, lalu menanja,
ia perlu apa lagi.
„Aku numpang tanja, Yoe Sam Hoo itu orang apa?"
Pelajan itu terkedjut.
„Kau orang pelantjongan, tuan, kenapa kau ketahui nama
Yoe Toaya?" tanjanja,
„Djangan takut," In Gak menghibur. „Tadi aku melihat dirumah
makan lagi menjebut-njebut dirinja. Aku menduga dia
orang berkenamaan, maka itu aku menanjakan kau."
Lega hati si pelajan. Tadinja is menjangka pemuda ini
bentrok dengan Sam Hoo. la tertawa dan kata: „Aku kira ada
urusan apa tuan menanjakan Yoe Toaya. Dialah to-tijoe,
kepala tjabang di Kang-san ini, dari partai Ngo Yan Pay dari
Tjiatkang Barat. Dia banjak orangnja, biasa dia mengganggu
penduduk baik-baik atau memeras kaum pedagang. Umpama
hotel kami ini, setiap bulan kami haru membajar tjukai
sepuluh tail perak."
Mata In Gak bersinar, hingga si pelajan terkedjut. Melihat
orang takut, ia tertawa dan kata: „Belum pernah aku dengar
halnja Ngo Yan Pay itu, Siapakah kepalanja? Dia tentu orang
liehay sekali…”
„Tuan, aku tidak tahu djelas tentang partai itu. Tidak heran
tuan tidak tahu sebab tuan adalah seorang peladjar. Paytjoe
dart Ngo Yan Pay jaitu Kim-Eng Pat-Kiam Loo Boen Kee,

68
tinggalnja di Tjeng Ouw San-tjhung. Belum pernah aku
melihat dia. Bahkan katanja, orang partainja pun sedikit jang
pernah melihatnja."
„Tjeng Ouw?" tanja In Gak, berpura-pura. „Apakah itu
sebuah telaga, jang indah ?"
„Kau keliru, tuan! Tjeng-Ouw itu sebuah dusun duapuluh lie
lebih diselatan kota ini, penduduknja beberapa ratus keluarga.
Tjeng Ouw San-tjhung itu terpernah disisi gunung."
In Gak tertawa.
„Ah., aku kira dia telaga mirip dengan See Ouw jang
kesohor di Hangtjioe!" katanja. „Nah, pergilah kau
beristirahat!"
Pelajan itu menjahuti ja dan Iantas mengundurkan diri.
In Gak merebahkan dirinja, untuk beristirahat, tetapi pada
djam tiga, ia berbangkit untuk berdandan, setelah membuka
djendela, ia berlompat keluar, untuk terus lompat naik keatas
genteng berlari-lari keselatan. Tidak lama tibalah ia di Tjeng
Ouw San-tjhung. Sebelum memasuki batas, ia melihat
kelilingan dulu, kuatir ada pendjagaan. la belum
berpengalaman tetapi telah luas pengetahuannia. Ia tabu,
pusat partai biasanja terdjaga keras, orang luar tak dapat
lantjang memasukinja. Baru setelah memeriksa ia lompat naik
keatas tembok, untuk dari sana lompat ke dalarn pekarangan.
Paling dulu ia naik atas sebuah pohon besar didalam kebun.
“Siapa?" tiba-tiba ia mende¬ngar suara dalam. la kaget, ia
berdiam.
„Ah, Lao Ouw" kau. melihat memedi!." kata seorang lain.
„Hmm,.Siapa. bilang memedi? Aku melihat tegas satu
bajangan lompat ke pohon !."
„Itulah .burung malam! Djangan takut tidak karuan! Selain
sudah malam, djuga siapa berani datang kemari untuk
menggodai harimau? Kau tentu salah mata !”
In Gak terus berdiam, matanja dipasang. la mendapatkan
pekarangan sangat Iuas, banjak pepohonannja. Rumah atau

69
sekumpulan rumah, berada disisi bukit. Dari sana mensorot
belasan tjahaja api.
Setelah mernperhatikan sekian lama, pemuda ini memetik
tiga bidji buah, terus ia lompat ke puntjak gunung-gunungan,
Sengadja ia mengasi dengar sedikit suara, guna memantjing
muntjulnja ketiga pendjaga tadi, tepat mereka baru
memperlihatkan diri, mereka ditimpuk dibikin pingsan. Maka
leluasalah ia menghampirkan rumah, untuk lompat naik
ketasnja. Ia melewati beberapa wuwungan. Dirumah dimana
ia mendengar suara orang,disitu ia mententjari pajon, untuk
menggelantungan, untuk mengintai kedalam djendela.
„Tjoe Tjindjin," terdengar seorang, „rupanja benar Twie
Hoen-Poan Tjia Boen tidak mati. Lan Tjhong Siang-Sat
demikian liehay, mustahil mereka mati tak berdaja? Maka itu,
kau haruslah berhati-hati. Aku sendiri, aku Lo Boen Kee, aku
tidak takut, sebab aku tidak bermusuh dengannja, tidak djuga
Ngo Yan Pay. Kau lain. Kau telah bekerdja sama Boe-shia Sam
Pa menurunkan tangan djahat di Pa-tong, ikut membinaakan
kawannja Tjia Boen itu dengan ratjun. Dari tiga djago dari
Boe-shia itu, dua binasa dan satu luka, kau sendiri lolos, maka
tentulah kau sangat dibentji. Sekarang dia muntjul pula, pasti
dia mendjadi terlebih liehay. Maka baiklah kau pulang ke Tong
Pek San, untuk mengekang diri."
„Lo Paytjae, kau baik hati,inilah aku tahu," kata seorang
lain. „Sudah limabelas tahun aku menjekap diri mejakinkan
kepandaianku, maka aku pertjaja, meski aku tidak bisa
melawan Tjia Boen, umpamakata aku bertemu dengannja,
pasti aku dapat menjingkirkan diriku. Baiklah kau ingat,
muntjulnja Tjia Boen ini baru kabar angin sadja!” Dan lantas
dia tertawa terbahak-bahak.
„Hebat warta dalam dunia Kang-ouw," pikir In Gak
„Demikianlah tjepat warta tersiar." Ia tidak ingat, kedjadian

70
sudah setengah bulan jang lalu, sedang dalam dunia Kangouw,
berita dapat teruwar luas dalam hanja dua-tiga hari.
Lantas In Gak membasahkan kertas djendela, untuk
melihat kedalam. la mendapatkan dua orang duduk di.atas
pembaringan. Tak sulit membedakan Lo Boen Kee dan Tjoe
Tjindjin. Boen Kee bertubuh besar dan kekar. Si imam
bermuka pandjang dan kurus, sepasang matanja tjelong,
hidungnja bengkung, bibir dan djanggutnja berkumisberdjenggot.
In Gak mengertak gigi mangetahui Tjoe Tjindjin ini salah
satu pengepung ajahnja. Ia lantas memikir tindakan apa ia
mesti ambil untuk membuat pembalasan, untuk sekalian
menambah menggemparkan dunia Kangouw. la masih
membekal sebidji buah, maka lantas menimpuk kedalam,
habis mana ia berlompat turun, Ia brsembunji dibelakang
sebuah pohon.
Tepat timpukan itu, Api didalam padam. Segera terlihat dua
bajangan berlompat keluar.
„Siapa berani main gila di Tjeng Ouw San-tjhung dari Ngo
Yan Pay?" demikian Lo Boen Kee menegur. Dialah jang
muntjul serta disusul Tjoe Tjindjin, sahabatnja itu. Dia lantas
mengawasi tadjam kesekitarnja. Tapi dia tidak melihat apaapa,
hingga dia mulai merasa heran. Djusteru dia mendengar
djeritan dibelakangnja, hingga dia mendjadi kaget. Lima
tombak dibelakangnja. itu, dia mendapatkan Tjoe djin rebah
rna.ndi darah, dadanja: berlobang lima , luka itu mirip dengan
lukanja Taylek Koei-Ong Tjoe Pek Pay. Bukan main kagetnja,
hatinja sampai berdebaran.
Djeritan Tjoe Tjindjin terdengar oleh pelbagai pendjaga,
mereka datang merubung, begitupun orang-orang dari dalam
rumah. Mereka semua tertjengang, hati mereka tjiut sendiri.
Tetapi kemudian, mereka berbisik menduga-duga.
„Baik kita tjari si pembunuh," seorang mengusulkan.

71
„Pertjuma," Boen Kee mandjawab. ,Peraturan ini dilakukan
Tayhiap Tjia Boen. Dia tidak bermusuh denganku, untuk apa
mengedjarnja? Baiklah kita mengasi kabar sadja pada muridmuridnja,
dan terserah kepada mereka, mereka mau
menuntut balas atau tidak. Menjesal peristiwa terdjadi disini,
mungkin ada orang jang bakal mentjela kita ......"
Sikap Boen Kee ini sikap membela diri. Sebenarnja tidak
senang ia bahwa orang datang ke san-tjhungnja tanpa
perkenan atau pemberitahuan dan melakukan pembunuhan
hebat itu, tetapi ia tidak mau rewel. Diluar dugaan, sikapnja ini
telah diterima ketiru oleh pihak Tong Pek San.
In Gak menanti saatnja tepat sekali. Djusteru si imam lewat
didekatnja, djusteru ia muntjul dan menjerang dengan
totokannja. Tak sempat imam itu menangkis atau berkelit,
maka punggungnja berlobang lima, mengeluarkan darah
hidup. Dia mendjerit bahna sakitnja, tubuhnja roboh, terus
djiwanja melajang. Setelah itu In Gak menghilang, pulang ke
hotelnja. Karena ia puas, ia dapat tidur njenjak hingga
besoknja ia mendusin sesudah matahari memoloskan sinarnja
didjendela kamarnja. Ia lekas dandan dan menangsal perut,
lantas ia berangkat ke Kimhoa.
Perdjalanan dari Kangsan ke Kimhoa, djauhnja kira-kira
tiga-ratus lie, dilakukan didjalan besar umum jang lebar, jang
ramai lalu-lintasnja, hingga tak hentinja terdengar kelenengan
kereta-kereta keledai dan kuda. Pula itu waktu dimusim semi
bulan ke-tiga, yang-lioe dan bunga tho sedang indahnja. In
Gak mengasi kudanja djalan perlahan, mengikuti
serombongan kereta piauwkiok jang pulang ngosong, hingga
piauwsoe dan pegawai-pegawainja berhati lega, senang
mereka memasang omong.
“Lao Tio, pagi ini diwaktu berangkat dari Kangsan, aku
mendengar kabar hebat, " berkata satu piauwsoe. „Tadi
malam pusat Ngo Yan Pay disana, jaitu Tjeng Ouw SanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
72
tjhung, telah dikatjau orang dahsjat sekali, dan katanja Ngo
Tok Tjindjin Tjoe Hian Thong dari kuil Soen Yang Koan
digunung Tong. Pek San telah dibinasakan musuhnja sedjak
tigapuluh tahun jang lampau, jaitu Twie -Hoen-Poan Tjia
Boen, Katanja, jang paling lutju, jalah orang tidak tahu
bagaimana dia diserangnja, tahu-tahu dia telah kedapatan
mati. Peristiwa itu menakutkan Lo Boen Kee. Selama jang
belakangan ini, Ngo Yan Pay sangat galak, maka orang heran
kenapa Twie Hoen Poan tidak sekalian menjingkirkan dia
........."
,,Kau benar," kata si piauw¬soe she Tie, „waktu itu pun
aku telah mendengarnja. Mungkin Tjia Tayhiap bertindak
menurut rentjananja sendiri, jang kita tidak dapat terka. Jang
heran jaitu halnja Tjia Tayhiap sendiri. Menurut katanja
pemimpin kita, Tjia Tayhiap sudah mati teraniaja di gunung
Boa Kong San tigapuluh tahun jang lalu. Mengapa sekarang
dia muntjul pula? Tentang ini baik kita tanjakan nanti
setibanja kita dirumah."
Mendengar bahwa Tjoe Tjin-djin jang ia binasakan itu
sebenarnja Ngo Tok Tjindjin Tjoe Hian Thong dari Tong Pek
San, In Gak rnerasa bahwa perbuatannja itu diluar dugaannja.
Memang semasa dipuntjak Bie Lek Hong, ia pernah
mendengar ajahnja rnembilangi halnja Ngo Tok Tjindjin
sangat djahat dan telengas, Bahwa kurbannja bukan sedikit,
bahwa dia biasa membiarkan murid-muridnja mengganas,
Djadi kebetulan sekarang ia membinasakannja. Ia merasa
tidak puas untuk tjaranja itu membunuh musuh, tetapi karena
siasatnja untuk menuntut balas, sebab orang memang djahat,
ia dapat melegakan hatinja.
Jilid 1.4 Menjelesaikan masalah Sam Eng Piauwkiok

73
„Mungkinkah mereka ini dari Sam Eng Piauw-kiok di Kimhoa
ia tanja dalam hatinja. Maka ia lantas memandang ke
kereta piauwkiok dimana ia melihat sebuah bendera ketjil
warna kuning gading, potongannja persegi tiga, ditengah
tersulam indah dan mentereng satu huruf „Tjiok" jang
didampingi masing-masing sulaman seekor singa dan Garuda.
Maka itu, tepatlah dugaannja.
„Hari belum tengah hari, kenapa aku tidak mau mampir
sadja?" pikirnja pula pemuda ini. Dan ia lantas mengambil
putusan. Begitulah ia larikan kudanja, hingga di waktu magrib
tibalah ia dikota itu.
Kim-hoa kota besar dan ramai, terkenal untuk hamnja, jang
sama kesohornja dengan babi ham kota Soan-wie di In Lam.
Didalam kota In Gak djalankan kudanja perlahan, terus ia
singgah di hotel Kong Bouw. Habis membersihkan diri, ia
lantas tanja pelajan dimana pernahnja Sam Eng Piauw-Kiok.
“Tidak djauh tuan” sahut si pelajan, “Sekeluarnja dari sini,
tuan menudju kekanan, disana ada sebuah kuil Khong Tjoe,
didepan itu jalah piauwkiok tersebut. Apakah tuan mentjari
orang?”
In Gak mengangguk. Ia lantas minta alat tulis, buat menulis
namanja. Dengan membawa itu, ia keluar dari hotel, berdjalan
perlahan kearah kanan. Benar, belum ada sehirupan teh ia
sudah tiba di depan piauwkiok itu. Empat huruf „Sam Eng
Piauw Kiok tertulis dengan air emas', suratnia keren dan
bagus. Dimuka itu ada beberapa orang duduk berbitjara dalam
rombongan. Ia mengham¬pirkan seorang tua umur limapuluh
lebih, sembari memberi hormat, sambil bersenjum ia minta
tolong dikabarkan kepada pemimpinnja hal ia mohon bertemu.
la meniabut dirinja: „Tjia In Gak dari Tjin Tay Piauw Kiok,
Lam. tjiang." la pun menjerahkan kartu namanja,

74
Orang itu berbangkii dengan tergesa-gesa, dengan hormat
ia menjambuti kartjis nama, setelah minta tetamunja suka
menanti, tjepat-tjepat ia masuk kedalam.
Tidak lama keluarlah tiga orang, satu diantaranja bertubuh
djangkung, mukanja bundar, tahajanja terang, kumis
djenggotnja pandjang, matanja tadjam, mulutnja lebar, begitu
ia melihat si anak muda, ia tertawa gembira dan berkata: ”Tjia
laotee, dari saudara Siauw Thian kami mendengar hal kau
pintar dan gagah, kami kagum sekali, maka sungguh kami
girang jang kau mengingat kami dan mau datang
berkundjung. lnilah suatu kehormatan besar untuk kami!"
Sam Eng Piauw Kiok dikepalai tiga saudara Phang, jang
mendjadi murid Siauw Lim Sie. Jang paling tua Kim Tji Sin-Eng
Phang Pek Hiong, jang kedua Pok-Thian Tiauw Phang Tiong
Kiat, dan jang ketiga Mo ln-Peng Phang Siok Tjoen. Belum
satu tahun piauwkiok mereka dibuka, mereka sudah
memperoleh nama baik, lalu selama tiga belas tahun hingga
sekarang ini, mereka mendapat kemadjuan dan aman-aman
sadja.
Mereka ramah-tamah, demikian kali ini mereka menjambut
In Giak..
„Tjia Laotee," kata Pek Hiong kemudian, ”Menurut saudara
Siauw Thian, kau melihat sendiri Tjia Tayhiap membinasakan
Lan Tjhong Siang-Sat, benarkah itu?"
Mukanja In Gak berubah merah.
„Hari itu aku mengintai," sahunja, „aku melihat Tjia Tayhiap
membinasakan musuhnja dengan djari tangan Kim Kong Tjie.
Mu¬lanja aku tidak tahu siapa Tjia tayhiap, sampai aku
melihat surat jang ditinggalkan dibatu."
Pek Hiong mengawasi tadjam, ia berkata lagi: „Baru sadja
aku dengar halnja Tjia Tayhiap telah kepropinsi Tjiatkang ini

75
dan tadi malam di Tjeng Ouw San-tjhung ia sudah
membinasakan Ngo Tjin Tjindjin Tjoe Hian Tong dari Tong Pek
San. Ia benar gagah dan tjerdas, tak ketjewa namanja
kesohor. Apakah tentang itu laotee dapat mendengar?“
„Ja, baru tadi ditengah djalan, ketika orang-orang
piauwkiok
membitjarakannja," sahut In Gak tertawa. „Aku dengar
muntjulnja Tjia Tayhiap, dunia rimba Persilatan bakal
mengalami badai!"
Sampai disitu, ketiga tuan rumah mengundang tetamunja
bersantap, In Gak tidak dapat menampik, tjuma ia menolak
duduk dikursi pertama, katanja ia masih terlalu muda.
Ketika itu dari pintu angin muntjul seorang nonta tjantik
jang bertubuh langsing.
Melihat dia, Tiong Kiat kata: „Kebetulan, Nona Lan, Mari
aku perkenalkan dengan Tjia Siauw-hiap."
Nona itu mengangguk pada In Gak, lantas dia mengambil
tempat duduknja.
In Gak membalas hormat sam¬bil bersenjum. Ia segera
merasa, nona ini sangat merdeka, hingga dia bersifat mirip
prija. Dari Pek Hiong ia lantas mendapat tahu orang she Nie
nama Wan Lan gelar Lo-sat Giok-lie dan pernah le atau ipar
dari Siok Tjoen. Karena gelaran orang itu jang ber¬arti
Raksasa Kemala, ia mau menduga si nona telengas.
Nona itu lantas menanja iparnja: „Tjiehoe, hari ini Yoe Sam
Ho dan si orang she Kim datang atau tidak?"
Ipar ilu menjahuti sambil tertawa: „Ie jang baik, tadi malam
Tjia Tayhiap telah main-main ditempat Ngo Yan Pay, mungkin
hati mereka rontok, maka itu, mana mereka mau usilan
mengurus bendera Kim Yang Leng-kie itu?”

76
Si nona mendjebi dan berkata: .,Sjukur djikalau mereka
tidak da¬tang, djikalau toh mereka datang, mereka mesti
berlutut setiap tiga tindak, baru mereka akan dapat pulang
benderanja itu!"
„Djikalau itu terdjadi, Nona Lan, pasti plauwkiok kita bakal
ditutup!" kata Pek Hiong tertawa.
„He, Phang-sie Sam Eng jang kesohor djeri terhadap Ngo
Yan Pay jang ketjil itu?"
Pek Hiong tertawa, dia tidak mendjawab, hanja dia tanja In
Gak: „Laotee, mana pauwhokmu?"
„Ditempat penginapan, dihotel Kong Bouw," sahut. si anak
muda.
„Ah. Laotee, kau terlalu! Apa¬kah piauwkiok kami tidak
tepat menerima kau?"
Lantas tanpa menanti persetudjuan In Gak, ia menjuruh
orang pegawainja mengambil pauwhok atau buntalan pakaian
tetamunja itu.
In Gak tidak menolak, la malah mengutjap terima kasih.
Sementara itu ia heran disitu tjuma ada tiga saudara Phang
serta Nona Nie, berempat ia menanja.
„Selama dua bulan ini kami tidak menerima pekerdjaan.
Pula semua piauwsoe berdiam diluar piauwkiok, tanpa ada
urusan mereka tidak sembarang datang kemari," Tiong Kiat
mengasi keterangan, .,Djikalau ada urusan, baru mereka
dipanggil."
„Oh, begitu. Aku tadinja me¬ngira disini sama dengan
piauw-kiok di Lam-tjiang, semua orang tinggal mendjadi satu."
Tiga saudara Phang bersenjurn. Tapi Pek Hiong lantas
nampak bergelisah. In Gak memperhatikan tetapi ia berdiam
sadja. Tidak demikian dengan si Nona Lan. Dia tertawa
dengan menanja: „Toako, apakah kau berduka karena besok

77
Tjit Sat Tjioe bakal datang menggeretjok? Itulah bukan urusan
penting,! Disini ada Tjia Siauwhiap, dengan mudah dia dapat
disuruh pergi !”
Kata-kata ini sebenarnja tak manis untuk In Gak.
Nona Nie ini murid Yan San Sin Nie, dia biasa dimandjai
gurunja. dia mendjadi besar kepala, tak suka dia mengalah
terhadap siapa pun, Pula tabiatnja keras, hingga suka dia
berbuat berlebihan. Ini sebabnja kenapa dia segera
mendapatkan djulukannja meski belum lama dia terdjun dalam
dunia Kang-ouw. Kali ini dia datang ke Kim-hoa ini
mendjenguk kakak dan tjiehoenja, lantas dia mendengar Loei
Siauw Thian memudji tinggi kepada in Gak, dia mendjadi tidak
puas. Setelah melihat si anak muda jang tampan, dia kagum,
tetapi karena In Gak agaknja tawar, dia penasaran. Maka
sengadja dia berkata demikian.
Ketiga saudara Phang dapat menerka hati si nona, mereka
menjesal sebab tak dapat mentjegah itu, mereka masgul. In
Gak tjerdas, ia pun dapat menduga, ia bersenjum. Akan
tetapi, ketika ia menjapu para hadirin, matanja bersinar
hingga mereka itu tak berani mengawasi dia.
„Sebenarnja Tjit Sat Tjioe orang matjam apa?" kemudian si
pemuda tanja.
Phang Pek Hiong menghela napas.
„Beginilah biasa dunia Kang-ouw," sahutnja. „Sebenarnja
aku tidak suka omong banjak. pada tiga bulan jang lalu tanpa
sengadja aku berbitjara dengan mereka itu tentang ilmu silat,
lantas kita berselisih pendapat. Saking mendongkol aku
menjebutnja mereka bukan dari pihak lurus. Mereka mendjadi
tidak senang, lantas mereka menantang. Tjit Sat Tjoe Koet Sin
murid seorang pendeta berilmu dari Tjeng Hay, dia lurus
berbareng sesat, dia susah dilajani, dari itu aku menjesal
karenanja...”

78
„Toh itu bukannja permusuhan," kata In Gak bersenjum.
„Djuga peladjaranku bukan asal lurus, aku tidak menggubris
demikian. Mungkin tabiat Koet Sin aneh tetapi aku rasa dia
tidak akan perbesar urusan salah paham itu .. .... "
„Kau tidak pertjaja!" njeletuk Nona Lan tertawa dingin,
”Lihatlah besok!"
In Gak heran. Mengapa nona ini seperti mau mengatjau
dan menentang ia. Ia toh tidak berbuat sesuatu terhadapnja?
Maka ia berkata: „Nona, aku tidak membilang dapat
mengalahkan Tjit Sat Tjioe, sebaliknja, kaulah jang
mengatakan demikian. Kau telah membikin malu Ngo Yan Pay,
kau tentu gagah-perkasa, maka, seperti katamu barusan, kau
pasti djuga mudah sadja dapat menghadjar Tjit Sat Tjioe! Aku
minta djanganlah kau menjebut-njebut aku"
Wan Lan melengak. Tidak ia sangka orang demikian sabar.
Sekarang ia menduga In Gak pasti ketahui segala sepak
terdjangnja, maka dia bersikap tawar. Sebenarnja ia
menginsafi kekeliruannja tetapi ia biasa membawa adat¬nja
itu, tidak sudi ia mengaku salah. Maka dengan mengambul, ia
berbangkit untuk terus masuk kedalam, tak sepatah kata ia
utjapkan.
In Gak tidak meladeni, ia tjuma tertawa dingin.
„Maaf, maaf," kata Pek Hiong, jang menjesal dan hatnja
tidak tenang. „Demikian memang tabiat ipar kami itu."
Siok Tjoen menjesali iparnja itu, sembari tertawa, ia kata:
„Begitulah tabiat iparku, sembrono dan aseran, biasa
berbitjara tanpa pikir lagi. Tabiatnja itu djuga jang membikin
dia sering bentrok. Sulitnja dia tidak dapat mengubahnja.
Saudara Tjia, aku minta sukalah kau memaafkan dia"
„Itulah tidak apa," sahut in Gak, jang lantas dapat
bersenjum.
Hati Pek Hiong mendjadi lega.

79
.,Saudara Tjia," katanja kemudian. „Aku rninta kau suka
tinggal beberapa hari dengan kami disini. Bukankah djandjimu
dengan saudara Loei di bulan kelima? Sebenarnja aku ingin
sekali menerima pelbagai pengadjaran dari kau."
In Gak tertawa, ia menerima tawaran itu. Ia kata:
,.Sekarang ini pun aku tengah pesiar, untuk melihat-iihat
tempat-tempat jang kenamaan, tidak ada halangannja untuk
aku berdiam disini Iebih lama sedikit. Kau baik sekall, saudara
Phang. Terima kasih untuk kebaikanmu ini. Aku tjuma minta
djangan sandara terlalu mempertjajai perkataannja saudara
Loei itu. Sebenarnja aku tidak mempunjai kepandaian apaapa,
dengan aku diangkat-angkat, aku malu dan hatiku
mendjadi tidak senang. Aku kuatir djusteru aku menjebabkan
kegagalan.”
Pek Hiong tertawa.
„Kata-katanja Kian Koen Tjioe tidak nanti salah," udjarnja.
Belum berhenti suara Pek Hiong ini, mendadak Tiong Kiat
berseru dengan tubuhnja terus berlompat pesat sekali ke tjinttjhee,
dari mana ia berlompat lebih djauh naik keatas genting.
Melihat kegesitannja itu, pantas ia didjuluki Pok Thian Tiauw,
si Radjawali Menerbangi Langit.
„Sahabat, kau masih tidak mau berdlam?" begitu terdengar
bentakan Tiong Kiat itu.
Lalu terdengar suara jang seram: „Kamu tiga saudara
Phang, kamu tak tepat menahan aku Gouw Tie dari Thian-Lam
Soe Tjiat! Baiklah kau pulang, untuk menjiapkan segala apa,
untuk saat adjalnu, supaja besok kamu tak sampai tak keburu
!”
Tiong Kiat terperandjat mendengar nama orang itu.
Ketika itu Pek Hiong bersama Siok Tjoen dan In Gak
menjusul naik. Pek Hiong pun terkedlut melihat melihat orang

80
jang bitjara dengan saudaranja itu, tapi ia lantas madju
kedepan untuk memberi hormat.
,,Kiranja Gouw tongkee dati Thian-Lam." katanja, „Gouw
Tongkee, rasanja belum pernah aku si orang she Phang
mempunjai urusan dengan kau, maka itu, apakah sekarang
tongkee dating untuk urusan lain orang?"
Dengan membahasakan: „tong kee" tuan, Pek Hiong
berlaku hormat sekali.
Gouw Tie tertawa dingin.
„Orang sematjam kau mana tepat berurusan dengan aku
!." katanja djumawa, ”Atau kalau benar demikian pastilah
siang-siang kau sudah pergi menghadap Giam Lo Ong si Radja
Acherat. Mana dapat kau hidup sampai sekarang ini? Benar,
aku si orang she Giouw datang untuk lain orang! Mulutmu
kotor, kau tidak memandang mata kami kaum tidak lurus, dari
itu Tjit Sat Tjioe telah mengundangku datang kesini, untuk
aku beladjar kenal dengan kamu kaum lurus! Malam ini
kebetulan sadja aku Iewat disini, tidak niatku mentjari garagara,
maka baiklah kita menanti sehingga besok diwaktu mana
nanti kamu bisa lihat! Maaf,. tidak dapat aku menemani kamu
lama-lama!”
Gouw Tie lantas memberi hormat, terus ia memutar tubuh,
untuk berlalu.
,,Perlahan dulu” tiba-tiba keluar suara njaring tetapi halus
dari mulut In Gak.
Gouw Tie berpaling dengan tjepat, maka ia melihat si anak
muda, seorang peladjar jang tampan, halus gerak-geriknja.
Tanpa merasa, dia tertawa:
„Anak, kau hendak bitjara apa?" dia tanja, atjuh tak atjuh.
,Tuan ketjilmu tidak puas melihat ketjongkakanmu ini ”
sahut In Gak, sekarang dalam suaranja, ”Sam Eng Piauwkiok
bukan tempat dimana datang dan pergi dengan merdeka

81
menurut sesukamu! Kau telah datang, maka kau mesti
berdiam disini”
Gouw Tie, jang menjebut diri Thian Lam Soe Tjiat, dlago
dari Thian-Lam tertawa berkakak, bukan main djumawanja:
„Botjah, dengan mengandalkan apa kau hendak menahan
aku" dia tanja, mengedjek.
In Gak menggeraki kedua tangannja.
„Mengandalkan ini!” djawabnja,
Tiga saudara Phang mendjadi bergelisah. Mereka merasa
tetamunja ini tidak tahu selatan.
Gouw Tie tertawa, terbahak pula.
„Botjah!' dia berkata, “Djikalau Giam Lo Ong menetapkan
orang mesti dibetot njawanja djam tiga, tak dapat itu ditunda
sampai djam lima! Maka djuga kau, jang harus hidup sampai
besok, disaat ini kau mentjari mampusmu, djangan kau
sesalkan aku kedjam”
Segera djago selatan ini bertindak madju, untuk menjerang
dengan tangan jang terkerahkan tenaganja.
Dilihat dari tjaranja bertindak, dia sama sekali tidak
memandang mata kepada si anak muda.
Selagi orang berdjumawa itu, In Gak menimpalinja. Atas
datangnja serangan, ia tidak berkisar dari tempatnja berdiri,
melainkan tangan kanannja jang menjambut dengan djurus
‘Twie San Tian Hay’ atau ‘Mendorong gunung, menguruk laut’.
Tangannja itu mendahului membentur dada penjerangnja.
“Buk!” demikian suara tangan beradu dengan dada dan
Gouw Tie segera terpental mundur lima tindak. Karena kakinja
mengindjak keras, genting petjah beberapa bidji.
Tiga saudara Phang heran hingga mereka melengak.
Gouw Tie kaget tidak terkira, ia merasa sakit dan malu. Dia
memandang enteng kepada lawannja, dia menggunai tenaga

82
lima bagian. Dia pertjaja, sebagai akibat serangannja, orang
akan rebah setengah bulan diatas pem¬baringan. Buktinja,
dialah, jang metal mundur.
„Binatang, hebat kau !" dia membentak, matanja melotot,
„Mari sambut lagi sebelah tanganku!" Dan ia berlompat madju
seraja menindju.
In Gak telah mengambil keputusannja. Ia hendak
menggemparkan kota Kim-hoa. Tadi ia mendongkol terhadap
lagak Wan Lan, sekarang ia djemu melihat ketjongkakan
orang she Gouw ini. Maka siang-siang ia telah menutup diri
dengan Bie Lek Sin Kang. Sedari ia membuatnja orang
terpental, ia mengawasi dengan bersenjum, tubuhnja tak
bergeming.
Tiga saudara Phang dapat melihat, kali ini Gouw Tie
menjerang dengan djurus Pek Houw Tjiang atau Tangan
Harimau putih. Untuk djurus ini orang mundur dulu baru
madju. In Gak sebaliknja berdiri tenang. Maka Siok Tjoen
lantas berseru: ”Laotee, awas!”
Sementara itu serangannja Gouw Tie sudah tiba kepada
sasarannja. In Gak menjambut tindju dengan dengan tenang,
baru mendadak ia mengerahkan tenaganja, menolak dengan
keras. Tanpa ampun tubuh Gouw Tie terlempar balik dua
tombak, roboh menggabruk diatas genting, hingga banjak
genting petjah hantjur.
”Aku menjangka Thian Lam Soe Tjiat machluk apa, kiranja
tjuma sebegini!” kata In Gak tertawa dingin.
Gouw Tie merajap bangun, kedua tangannja bengkak dan
rasanja sangat njeri. Saking malu ia mendjadi gusar sekali. Ia
kata dengan sengit: Binatang! Djangan bertingkah! Sajang aku
berlaku sembrono hingga aku terpedajakan kau! Djangan kau
bergirang, lihat besok, sang mendjangan akan terbinasa
ditangan siapa?” Setelah mengumbar kemendongkolannja itu,
terus dia berlompat turun untuk ngelojor pergi dengan tjepat.

83
”Mari” In Gak mengadjak terus ia lompat turun untuk
kembali kedalam.
Pek Hiong memberi hormat seraja berkata: „Laotee, baru
sekarang mataku terbuka. Benar-benar aku bilang, orang
dengan kepandaian sebagai kau sungguh djarang ada didalam
Rimba Persilatan djaman sekarang ini!"
Sementara itu Siok Tjoen dalam hatinja masih menjesali
Wan Lan jang tjongkak. Ia melihat In Gak halus dan bertubuh
lemah, siapa tahu, tenaga-dalamnja mahir sekali.
In Gak bermuka merah, lalu bersenjum.
,Toako, kau terlalu memudji," katanja. „Kau tidak lihat
bahwa aku sebenarnja menggunai ke-tjerdikan. Orang she
Gouw itu benar waktu dia membilang dia kurang waspada,
pertama dia me-mandang enteng padaku, kedua dia tidak
menggunai tenaga sepenuhnja. Jang kedua kali, dia
terpengaruh kegagalannja, kuda-kudanja tidak terpelihara lagi,
maka tjukup aku mcndorong padanja. Pula benar katanja
bahwa besok akan terlihat mendjangan terbinasa ditangan
siapa."
Tong Kiat tertawa.
”Bitjaramu beralasan, hiantee," katanja. benar bahwa kau
sangat merendahkan diri."
In Gak tidak melajani bitjara, ia melainkan tertawa.
Ketika itu, Wan Lan muntjul pula. Tadi dia mendongkol, dia
masuk kedalam untuk melempar diri keatas pembaringannja,
djadi tidak menjaksikan pertempuran barusan.
Dia mendengar kabar sesudah terlambat. Ketika dia
mendengar keterangan Siok Tjoen, tjiehoenja, dia
membanting kaki dan kata, menjesal: „Sajang aku tidak
tahu,kalau tidak pasti aku bunuh djahanam ini”

84
Siok Tjoen melibat orang bitjara tanpa menoleh kepada In
Gak, ia mengerti ipar ini masih mendongkol. Ia tertawa dan
kata: „Ie, kau hebat, sedikit-sedikit bitjara membunuh orang.
Kalau nanti kau menikah lalu kau bentrok dengan suamimu,
bagaimana, apa kau djuga hendak membunuhnja?"
„Tjiehoe, kau lantjang mulut!" ipar itu menegur, matanja
melotot. „Kau tidak menghormati dirimu, awas, nanti aku
membilangi entjie!" Benar, dia lantas masuk pula kedalam.
Siok Tjoen dan dua saudaranja tertawa.
Masih mereka bitjara sebentar, sampai In Gak diantar
kekamarnja didalam taman.
”Apakah hiantee senang dengan kamar ini?" Pek Hiong
tanja.
„Senang, terima kasih," sahut In Gak. Ia melihat kamar
terbagi dua, untuk kamar tidur dan kamar tulis, perabotannja
lengkap, perawatannja sempurna, Ada pot-pot bunga lan dan
koei jang harum baunja serta gambar-gambar lukisan
didinding. Pelbagai kitab pun tersedia di medja-tulis, lengkap
dengan perabot tulisnja.
Semundurnja ketiga tuan rumah, ia lantas merebahkan diri.
Ia tidak dapat lantas pulas, sebaliknja, ia memikirkan
pengalamannja semendjak turun gunung. la belum pernah
menemui tandingan jang berarti. Lan Tjhong Siang-Sat, Ngo
Tok Tjindjin, dan Gouw Tie dari Thian-Lam Soe Tjiat barusan
semuanja tersohor, tapi njatanja, kepandaian mereka tidak
berarti.
Mengenai Thian Lam Soe Tjiat, selama di Bie Lek Hong,
pernah ia mendengar dari gurunja, Beng Liang Taysoe.
Mereka itu dari partai Tjhee Liong Pay atau Naga Hidjau di
Koei-kim, kedua propinsi Kwiesay dan Koei-tjioe, memangnja
mereka kedjam, djikalau turun tangan, tak suka mereka
membiarkan musuh hidup. Karena Gouw Tie berkepandaian

85
tjuma sebegitu, ia pertjaja, tiga jang lainnja tentulah tak djauh
bedanja.
,Kalau mereka tidak mempunjai kawan lain, jang liehay,
pasti pihak kita bakal menang," pikirnja lebih djauh. „Jang
hebat adalah Nie Wan Lan, jang tabiatnja keras. Dia murid
Yan San Sin Nie. seorang bhiksuni, kenapa tindak-tanduknja
menjalahi ibadat Sang Buddha. Kenapa bhiksuni itu dapat
murid begini binal? Heran! Aku berdiam disini, baiklah aku
mendjauhkan diri dari padanja..”
Setelah itu, baru si pemuda dapat tidur, Ia mendusin
besoknja fadjar, beium tjuatia terang, terus ia duduk
bersamedhi, untuk melatih tenaga-dalamnja. Tidak lama habis
bersamedhi, tiga saudara Phang datang mengundangnja
kedepan, untuk bersantap pagi.
Wan Lan muntjul tidak lama kemudian. Dia mengenakan
pakaian hidjau tua dengan pinggiran sutera, potongannja
ringkas, mukanja memakai pupur dan yantjie tipis. Dia
memandang In Gak sambil bersenjum, maka si pemuda
membalas bersenjum djuga sambil berkata: ”Selamat pagi,
nona!”
Setelah lewat sang malam, kedjadian kemarin seperti telah
bujar lenjap.
Sambil sarapan, Pek Hiong berbitjara dari hal pemudapemuda
jang baru muntjul seperti Siauw-Pek-liong Kat Thian
Ho si Naga Putih, Thian-Kong Kiam Tong-hong Giok Koen dan
Ouw bin Mo-lek Kiang Tjong Yauw serta seorang nona, Keng
Po Sian-tjoe Lo Yauw Bwee. Beberapa tahun dulu mereka itu
menggemparkan bagian selatan dan utara dari sungai besar,
sedang sekarang, inilah si pemuda she In.
,,Sebaliknja kita, jang sudah berusia landjut, kita tidak
berguna lagi”katanja.

86
In Gak tjuma bersenjum. Sebaliknja Wan Lan, dia
mendjebi.
„Apakah artinja segala anak muda!" katanja „Kalau aku
bertemu dengan mereka itu, ingin aku tjoba-tjoba!"
Tiga saudara Phang mengerutkan alis, masgul mereka
mendengar suara si nona.
Sjukur itu waktu datang empat orang, semuanja piauwsoe
jang baru mendengar peristiwa tadi malam. In Gak melihat
mereka semua berumur lebih-kurang empat puluh tahun, jang
satunja, nampaknja baik tenaga-dalamnja, seperti terlihat
pada wadjahnja.
Tiga saudara Phang mengadjar kenal mereka itu pada In
Gak. Merekalah Say-oet-tie Lie Eng, Tjo-pek Kim-Too Ouw
Siauw Tjeng, Kauw liam-tjhio Lou Tiong Goan, dan Pat-kwatjioe
Kheng Liang. Mereka agaknja ragu-ragu melihat si
pemudalah jang tadi malam mempetjundangi Gouw Tie.
„Tjong-piauwtauw, bagaimana dengan tantangannja Tjit
Sat Tjioe ?" Kheng Liang tanja.
"Kita didjandjikan bertemu di¬lapangan Sio-kauw-thio
didalam kota," sahut Pek Hiong. „Sekarang kita mau
berangkat."
Benar-benar piauwsoe kepala ini menitah menjiapkan
sembilan ekor kuda, maka tak lama ke-mudian, berangkatlah
mereka.
Sio-kauw-thio berada disebelah barat kota, lapangannja
lebar tetapi bala dan tak terurus, sebab selama negara aman,
sudah lama lapangan itu tidak dipakai baris oleh tentara Boan.
Ketika mereka sampai, disana tidak ada orang, keadaan sunji.
Mereka lantas menambat kuda mereka disisi panggung.
„Djangan-djangan mereka tidak datang," kata Siok Tjoen
tertawa. „Tadi malam tentulah hati mereka gentar, lagipula

87
terkabar Twie-Hoen-Poan Tjia Lootjian¬pwee telah muntjul di
Kangsan. Mustahil mereka tidak pergi menjembunjikan diri?"
„Tak mungkin," kata Pek Hiong menggeleng kepala. „Tjit
Sat-Tjioe Koet Sin djumawa dan berkepala besar, dia telah
mengundang kita, mesti dia mempunjai andalan. Karena Tjia
Lootjianpwee bukan kaum lurus, Koet Sin mungkin pertjaja,
lootjianpwee tidak akan usil urusannja ini..”
Mendengar perkataan tjongpiauwtauw ini, orang berdiam.
In Gak sendiri memperhatikan lian dipanggung, jang
ukirannja banjak jang gugus, hingga surat¬nja sukar dibatja,
ia mengetok-ngetok batu sambil bersenandung.
Wan Lan melihat kelakuan pemuda itu, dia mendjebi dan
berkata kepada iparnja: „Lihat, tjiehoe, si kutu buku!"
Siok Tjoen mendelik kepada iparnja itu.
In Gak dapat mendengarsuara si nona, ia tidak mengambil
mumat, dengan tetap mengendong tangannja, ia tetap
bersenandung, nampaknja ia tenang sekali. Tapi didalam
hatinja, ia merasa djemu, kesannja tak manis terhadap si
nona.
Orang tidak berdiam lama atau dari mulut lapangan
terdengar berisiknja tindakan belasan ekor kuda, maka
semuanja menoleh. In Gak segera dapat kenjataan mereka itu
berdjumlah duabelas orang, tua dan muda, djangkung dan
kate tak tentu.
Seorang jang bertubuh kurus, mukanja putih, matanja
besar, kumis-djenggotnja lantjip mirip djenggot kambing
gunung, usianja lebih-kurang empatpuluh tahun serta
membawa golok Kim san-too, sudah lantas menghampirkan
Phang Pek Hiong untuk memberi hormat dan berkata : „Phang
Toako, siauwtee Tioe Djin Sian, siauwtee tidak bersangkutan
satu apa dengan toako tetapi lantaran toako mengatakan kami

88
bukan dari kaum lurus, sekarang kami mengadjak beberapa
kawan jang tak berpartai datang kemari untuk main-main,
tjukup asal kita saling towel. Dengan begitu kesatu kita tidak
merusak persahabatan dan kedua, supaja toako sekalian
dapat melihat kepandaian kami kaum tidak lurus”
Habis berkata dia tertawa, terbahak, suaranja tak sedap
untuk telinga.
„Saudara Tjoe," kata Phang Pek Hiong tertawa, „sebenarnja
tak usah saudara sampai menge-rahkan banjak orang, sebab
pembitjaraan kita itu hari hanja omong iseng-iseng belaka.
Tapi karena saudara sudah sampai disini; pertjuma kita bitjara
lagi banjak-banjak. Silahkan saudara memberi pengadjaran
kepada kami”
Pek Houw Seng-Koen Gouw Tie ada didalam rombongan
dengan mata tadjam ia meng¬awasi In Gak, sinarnja
membentji, begitu mendengar suaranja Pek Hiong, ia
madjukan diri, mulutnja berkata keras: „Orang she In, tadi
malam aku alpa, aku kena digigit andjing tjilik, maka
sekarang, suruhlah si andjing ketjil keluar untuk melajani aku
si orang she Gouw" Kata-kata itu ditutup dengan dihunusnja
pedangnja.
Biar bagaimana, In Gak gusar. la dimaki sebagai andjing
ketjil. Tapi belum sempat ia madju, Nona Nie telah
mendahului ia. Nona itu sudah lantas mendamprat: „Bangsat
tua, sajang tadi malam aku tidak turut hadir, djikalau tidak,
tidak nanti kau hidup sampai ini menit! Bangsat djahat
sematjammu, hari ini nonamu akan menghadjarnja supaja kau
tahu diri!"
Gouw Tie mendongkol tetapi dia tertawa mengedjek. Dia
kata:
”Aku si orang she Gouw memperoleh namaku sedjak
duapuluhtahun lalu, belum pernah aku menemui nona kurang

89
adjar sematjam kau! Djikalau kau dapat melajani pedangku
limapuluh djurus, akan aku meletaki pedangku ini, namaku
ditjoret dari dunia Kang-ouw!"
„Hmm! Aku pun belum pernah mendengar namamu!” sahut
si nona singkat. Dan ia terus menikam.
Gouw Tie berkelit kesamping, sambil berkelit tangannja
menjabet, guna membabat lengan si nona.
Wan Lan tertawa, tangannja segera ditarik pulang,
tubuhnja turut bergerak, setelah mana, ia menjerang pula, kali
ini dengan tipusilat „Hudjan-angin diseluruh djagat."
Pedangnja itu menikam dan menjambar berulang-ulang.
Gouw Tie mendongkol, terpaksa ia main mundur. Ia pun
terkedjut. Baru sekarang ia menghadapi musuh begini liehay,
orangnja muda dan bahkan seorang nona jang belum hilang
bau teteknja. Karena ini, terpaksa ia menggunai ilmu
pedangnja ,Pek Houw Sam Tjiat Kiam," ilmu pedang Harimau
Putih, untuk mendjaga pamornja.
Demikianlah, dua batang pedang berkilau-kilau, dan dua
buah tubuh bergerak-gerak bagaikan bajangan,
Semua orang menonton dengan perhatian, terutama In
Gak. Ia melihat Wan Lan tidak sabaran, si nona lantas
menggunai ilmu silat ’Mou-nie Hang Mo" atau „Muni
menaklukkan siluman,' jang mempunjai duapuluh delapan
djurus. Itulah ilmu pedang jang dijakinkan 'Yan San Sin-Nie
selama tigapuluh tahun. Wan Lan belum melatih sempurna
tetapi sudah mentjapai enam atau tudjuh bagian, maka djuga
Gouw Tie lantas terkurung sinar pedang.
,,Nona Nie pasti menang," pikir In Gak, jang terus
memperhatikan sebelas orang lainnja, da¬ri jang mana, dua
orang menarik perhatiannja. Orang jang satu sudah landjut
usianja, tubuhnja tegar, tjuma sedikit melengkung, dia
mempunjai mata besar dan hidung gedeh, kumis dan

90
djenggotnja pandjang, pakaiannja hitam. Jang luar biasa jalah
tangannja besar sekali. Ia menduga: „Dialah tentu Tjit-Sat-
Tjoe Koet Sin." Orang jang lainnja djangkung-kurus, mukanja
putih tidak ada kumisnja sepasang matanja tjelong tetapi
sinarnja tadjam. Dia selalu nampak bersenjum dan
dipunggungnja tergendol sebatang pedang. Ia tidak kenal dia
siapa maka ia tiuma menduga, orang tentunja bagus ilmu
dalamnja dan litjik sifatnja.
Wan Lan mendengar In Gak gampang sadja merobohkan
musuh, ia ingin berbuat begitu djuga. Inilah jang membuat
Gouw Tie mengeluh, Dia belum teriuka tetapi badannja
berulang-ulang kena ditegur pedang, hingga badju itu mendjai
robat-rabit. Pedang si nona pedang Tjioe Song Kiam, Es
Musim Rontok," tadjamnja luar biasa, dapat menabas kutung
segala matjam sendjata lainnja.
Achir-achirnja Gouw Tie djadi kalap, matanja mendelik,
kumisnja seperti bangun berdiri, terus dia mentjoba membalas
menjerang hebat, setelah mendesak tiga kali, dia berlompat
tinggi, sebelah tangannja diajun, hingga terlihat
menjambarnja benda berkilauan.
„Serahkan djiwamu!" Pek Houw Seng-Koen membentak
membarengi menjambarnja lima batang Pek-houw-teng, paku
Harimau Putih, sendjata rahasia jang djarang sekali
digunakan, jang dibuat dari kuningan dan pandjangnja tiga
dim. Djuga paku itu dipakaikan ratjun jang bisa meminta
djiwa.
Wan Lan melihat Gouw Tie berlompat tinggi, ia kata dalam
hatinja: „Kau tjari mampus, ja! Ia lantas menjusul seraja
menjerang dengan tipu ’Naga sakti menakluki siluman,"
membabat kedua kaki lawannja. Tapi ia kaget sekali ketika ia
mendengar musuh membentak dan sinar-sinar berkeredepan

91
menjambar kearahnja. Karena tidak sempat berkelit, terpaksa
ia menangkis.
„Djangan bentur!" mendadak terdengar teriakan tjegahan.
Menjusul itu, dua-dua Gouw Tie dan Wan Lan tertolak
mundur, terpisah lima atau enam tombak satu dari lain, dan
batang-batang paku, jang terbabat pedang, runtuh ketanah,
menjebabkan laju kuningnja rumput jang terlanggar.
Diantara mereka itu terlihat seorang pendeta dengan tubuh
jang tinggi dan besar, jang mukanja bundar dan tampan, jang
kumis dan djenggotnja pandjang sampai kedada. Dia sutji
bagaikan Sang Buddha. Lantas dia menghadapi Gouw Tie dan
berkata sambil bersenjum: „Gouw Sie-tjoe, apakah kau masih
mengenali loolap? Dulu hari kita pernah bertemu satu dengan
lain, hanja aku tidak menjangka, belum lama lewat atau
sekarang sie-tjoe telah melupakan sumpahmu terhadap Touw
Liong Kie soe?"
Gouw Tie mundur dengan terhujung. Sebenarnja ia gusar
jang serangannja itu dirintangi, tetapi ketika ia telah melihat si
pendeta, kagetnja tidak terkira, hatinja mendjadi tjiut. Ia
mengenali pendeta itu jalah Hoat Hoa Taysoe, pendeta
berilmu dari Siauw Lim Sie. la lantas ingat kedjadian duluhari,
ketika didjalan Kweisay Selatan ia membegal seorang
pembesar jang pulang berpensiun, selagi hampir ia berhasil, ia
dihalangi pendeta itu bersama Touw Liong Kie-soe jang
disebutkan itu. Ia melawan, ia menjerang tetapi Touw Liong,
Kie-soe dapat memunahkannja, hingga dialah jang sebaliknja
terluka parah. Touw Liong Kiesoe hendak menotok mati
padanja, ia minta-minta ampun: sesudah bersumpah tidak
akan menggunai lagi pakunja baru ia dibebaskan dari
kematian. Diluar dugaannja, kali ini in bertemu pula Hoat Hoa
Taysoe. Maka ditegur pendeta itu, ia mendjublak.

92
Kim-hoa Sam Kiat girang sekali, mereka segera
menghampirkan hweeshio itu, untuk menberi hormat, sebab
Hoat Hoa jalah soepee, paman guru mereka. Tapi mereka
didului Tjit Sat Tjioe Koet Sin, jang lantas menghadapi Hoat
Hoa sembari dia tertawa dingin.
”Taysoe, siapakah kau?” tegurnja, ”Kenapa kau
mentjampuri urusan kita ini?”
”Amida Budha!” memudji pendeta itu tertawa, ”Loolap jalah
seorang asing, pikiranku kosong, tubuhku tak berdebut, tidak
biasa loolap mentjampuri urusan lain orang. Tapi barusan, tak
dapat loolap menjaksikaan orang ditjelakai paku Pek houwteng,
terpaksa loolap turun tangan, Sekarang loolap mohon
kiesoe djangan mentjari musuh karena urusan ketjil, baiklah
kamu menjingkirkan bentrokan dan sebaliknja mendjadi akur
satu dengan lain."
Mendengar itu, Koet Sin ter¬tawa terbahak-bahak.
Djikalau taysoe bilang begitu, baiklah!" katanja. „Sekarang
perintahkan tiga saudara Phang bertekuk lutut, dan
mengangguk-angguk terhadap kami, untuk menghaturkan
maaf, nanti aku si orang she Koet suka menghabiskan
sangkutan kita”
Kata-kata itu membikin merah muka ketiga saudara Phang.
„Soepee," kata Tiong Kiat mengadjukan diri, ”Baiklah
urusan ini djangan soepee tjampur tahu. Kami ingin ketahui
bagaimana hebatnja kepandaian Tjit Sat Tjioe, biarlah dia
memperlihatkannja agar orang kagum dan takluk!"
Hoat Hoa masgul, alisnja berkerut. la lantas mundur tanpa
membilang satu apa.
Nona Lan memberi hormat pada pendeta itu, ia mengutjap
terima kasih. Hoat Hoa tjekal tangannja, untuk tanja ini dan
itu. Tiong Kiat memandang Koet Sin, dia tertawa dingin.

93
„Peristiwa hari ini disebabkan gara-gara Tjoe Djin Sian,
muridmu," katanja. „Aku tidak sangka dia mirip si kura-kura,
jang mengelepotkan kepalanja! Sungguh tidak tahu malu!"
Mukanja Koet Sin mendjadi merah, dia mendelik terhadap
Tiong Kiat, terus dia menoleh kepihaknja seraja memanggil:
„Djin Sian, mari! Bagaimana dengan Kim-hoa Sam Kiat ini?
Kau boleh bertindak sendiri, djangan kau membikin malu
gurumu!"
Tjoe Djin Sian madju, mukanja merah.
Tiong Kiat tertawa mengedjek, lantas dia menuding dan
kata:
„Sudah, Tjoe Djin Sian, tak usah kau mengotjeh tidak
keruan! Mari kita gunai tangan kita!"
Tjoe Djin Sian tidak bitjara lagi, ia mengeluarkan goloknja,
terus ia menjerang. Ketika Tiong Kiat mundur, tiga kali ia
menjerang saling-susul. Setelah itu, si orang she Phang
membalas, pe¬dangnia membabat kepinggang. Atas ini,
saking kaget ia lompat mundur. Ia menangkis dengan sia-sia
pedangnja terus tertekan, sulit untuk melepaskannja, hingga
ia mengeluarkan peluh dingin. Achirnja, saking terpaksa, guna
menolong djiwanja, ia mendjatuh¬kan diri, untuk bergulingan
dengan tipusilat „Keledai malas bergulingan."
Tiong Kiat tertawa dingin, kembali ia madju, untuk
menjusuli tikamannja.
Djin Sian kaget, matanja silau sinarnja pedang, pertjuma
dia hendak berkelit pula, pundak kirinja kena disontek pedang
hingga mengutjurkan darah.
Setelah itu, Tiong Kiat. tidak menjerang lebih djauh, sambil
mundur setindak, ia kata tertawa: „Dengan kepandaian
sematjam ini kau main gila menerbitkan jang tidak-tidak! Hm!
Djikalau aku tidak ingat perkenalan kita, tidak nanti aku suka
memberi ampun! Sekarang pergilah!"

94
Djin Sian menetapkan hatinja, ia memandang Tiong Kiat,
lantas dengan memegangi lukanja, ia mundur, mukanja putjat
Koet Sin gusar sekali muridnja dirobohkan dalam beberapa
djurus sadja, ia sampai berdjingkrakan, mulanja ia mau madju
sendiri, tetapi si orang djangkung kurus dan bermuka putih
disampingnja mentjegah.
„Tahan dulu saudara Koet" kata dia itu. „Nanti siauwtee
jang mentjoba lebih dulu.”
Lantas dia berlompat kedepan Tiong Kiat, gerakannja
sangat gesit. Dia menjeringai ketika dia berkata: „Barusan kau
menundjuki keliehayanmu, sekarang aku si orang Kang-ouw
tak ternama, Sin-Kiam-tjioe Shie Goan Liang, mohon
pengadjaran dari kau!"
Mendengar nama itu, terutama djulukannja Sin Kiam Tjioe,
si Pedang Sakti, Kim-hoa Sam Kiat terperandjat. Mereka tahu
orang jalah murid partai Tiam Tjhong pay jang liehay buat
kepandaiannja ilmu pedang dan tangan kosong dalam usia
empatpuluh dia kesohor kosen, gemar pipi litjin, hatinja pun
kedjam.
Aku rasa loodjie bukan tandingannja, baiklah...” kata Pek
Hiong, tapi ia tertahan, sebab In Gak lantas berkata padanja:
,Djangan kuatir, toako, aku tanggung djieko tidak kurang
suatu apa."
Pek Hiong berdiam tetapi hatinja berdebaran.
Tiong Kiat dan Goan Liang sudah lantas bertempur, sebab
tidak ada orang jang madju disana tengah. Goan Liang
aseran, Tiong Kiat pun tidak mau menjerah tanpa berdaja.
Goan Liang benar liehay, gerakannja sangat lintjah,
pedangnja berbahaja. Maka untuk melajani dia, Tiong Kiat
menggunai ilmu pedang „Tat mo Sip Sam Kiam," tiga belas

95
djurus ilmu pedang warisan Bodhidharma. Seru sekali mereka
bertanding.
Sedang tigapuluh djurus, Shie Goan Liang mendadak
tertawa pandjang dan tubuhnja melesat tinggi, lalu sambil
turun, ia membabat dengan tipusilat „Mengeprak rumput
mentjari ular."
Tiong Kiat terkedjut, ia berlompat untuk berkelit, tetapi
segera ia disusul, diserang dengan tikaman ’Ular berbisa
mentjari liangnja." Karena ia berkelit, punggungnja terantjam
tanpa ia berdaja, tak keburu ia menangkis atau berkelit lebih
djauh.
Djusteru disaat berbahaja itu, satu siulan pandjang
terdengar, tubuh In Gak nampak melesat kedepan, tangannja
terajun.
Goan Liang terkedjut mendengar siulan itu, tanpa merasa,
gerakannja mendjadi lambat. Maka selamatlah Tiong Kiat!
Sedang In Gak segera berada didepan orang she Shie ini.
Dia mendjadi gusar, segera dia menjerang ini musuh jang
baru.
„Lepas!,” berseru In Gak melihat ia disambut tikaman.
Dengan tangan kanannja jang diluntjurkan, ia mengetuk
kelengan. Tepat ketukannja ini, segera pedang lawan terlepas
dan mental delapan tombak djauhnja, seperti ular masuk
kedalam rumput tebal.
Bukan main Goan Liang merasakan tangannja njeri ketika
ia memandang muka orang, ia heran. Dia mendapatkan
seorang botjah umur delapan atau sembilanbelas tahun, jang
romannja tampan.
In Gak bersenjum.
,.Tuan didjuluki Sin Kiam Tjioe, kenapa tuan tak sanggup
bertahan untuk satu kali ketukan?" ia tanja.
Goan Liang panas hati. Ia anggap itulah sindiran untuknja.

96
„Hm!" katanja; mendongkol, Kau tidak memakai aturan
kang-ouw, sahabat! Mengapa kau membokong aku? Aku
kurang puas!"
Matanja In Gak terpentang, ia tertawa lebar.
,Kau menjebut-njebut aturan Kang-ouw, itulah aku tidak
perduli!" katanja njaring. „Aku tjuma bertindak menuruti rasa
hatiku! Asal aku merasa tidak puas, tentu aku turun tangan!
Kau ada bangsa busuk, tahu apa kau aturan Kang-ouw?
Djikalau kau tidak puas, pergi ambil pedangmu, mari kita
main-main!"
Goan Liang tertawa berkakak.
„Biar aku bodoh, aku bukan bangsa busuk!" teriaknja. ,Kau
begini muda tetapi kau tjongkak sekali, nanti aku si orang she
Shie mengadjar adat padamu!"
Habis berkata, Goan Liang lompat kaarah pedangnja, untuk
mengambil itu, terus dia berlompat balik, indah lompatannja
menurut tipusilat „Burung elang bardjumpalitan." Sekedjap
sadja dia sudah berdiri pula didepan In Gak, terus dia
menuding sambil menantang: „Hunuslah pedangmu!"
In Gak mengangkat kedua tangannja.
„Aka si orang she Tjia akan melajani tuan main-main
dengan tanganku jang berdarah-daging sadja!” katanja.
„Orang dengan kepandaian sebagai kau tak pantas, tak ada
deradjatnja membuat aku menggunai pedang!"
Bukan main mendongkolnja Goan Liang.
„Aku si orang she Shie belum pernah menemui orang
setjongkak kau!" katanja sengit, tubuhnja sampai bergemetar,
mukanja pun putjat „Baiklah, lihat pedang!"
Kata-kata itu ditutup dengan satu tikaman.

97
Goan Liang bernjali besar sebab dia murid Tiam Tjhong
Pay. satu diantara tudjuh partai besar jang kesohor ilmu
pedangnja. kemudian dari seorang pandai jang
menjembunjikan diri, dia dapat kepandajan lebih djauh hingga
ilmu pedangnja djadi bertambah liehay, sekarang dia
menghadapi orang djumawa, dia berkelahi dengan hebat,
beda daripada waktu melajani Tiong Kiat.
In Gak tidak melajani keras dengan keras. Sebaliknja,
bagaikan kupu-kupu berterbangan, ia bergerak sangat lintjah
didepan orang she Shie ini, senantiasa ia berkelit dari tikaman
atau taba¬san pedang, tidak pernah ia membalas, kalau toh ia
mengulur tangan, ia hanja ingin merampas pedang lawan
Tjepat sekali lewat sudah dua puluh djurus. Sekonjongkonjong
si anak muda tertawa dan ber¬kata: „Tuan, aku si
orang she Tjia telah beladjar kenal dengan ilmu pedangmu,
njata kepandaian tjuma sebegini! Sekarang aku si orang she
Tjia ingin memohon maaf dari kau " Lalu kata-kata itu ditutup
dengan sambaran tangan kiri kearah pedang, niatnja
dirampas. Itulah salah satu tipu dari silat Hian Wan Sip-pat
Kay.
.,Kau mau tjari mampus?” kata Goan Liang dalam hatinja.
la pertjaja orang memperbahajakan dirinja sendiri. Akan tetapi
belum ia berhenti berpikir itu, tahu-tahu udjung pedangnja
sudah didjepit lima djari tangan, maka waktu si anak muda
mengerahkan tenaganja, udjung pedang itu patah seketika,
menjusul mana djari tangan anak muda itu meluntjur terus,
menotok djalan darah tjiang-boen didada kiri. Sama sekali tak
berdajalah ia, segera ia merasai darahnja mandak, tubuhnja
terus roboh.
Dengan udjung pedang lawan masih ditangannja, In Gak
mengibas kemuka orang sambil ia menjeringai dan berkata:
„Apakah pedang ini tepat dinamakan pedang, sakti? Hm! Kau
lihat!" la mengajun tangannja, hingga pedang itu terbang

98
kearah panggung, untuk menantjap di penglari dalamnja satu
kaki.
Shie Goan-Liang berdjuluk Sin Kiam Tjioe, Ahli Pedang
Sakti, maka itu pedangnja itu, jang bernama Tjeng-kong-kiam
dipandang sebagai pedang sakti, tetapi sekarang pedang itu
kena dibikin patah dan ditimpukkan nantjap, maka
tertjenganglah semua hadirin. Orang pun heran sekali Goan
Liang dapat dirobohkan dalam dua gebrakan dan orang tidak
mengetahui ilmu silat apa itu jang digunai si pemuda.
Ilmusilat Hian Wan Sip-pat Kay itu jalah ilmu silat
berbareng ilmu ketabiban dari dua ribu tahun jang lalu, jang
telah seperti lenjap dari dunia, maka djuga, sekalipun Hoat
Hoa Taysoe dari Siauw Lim Sie, dia kena dibikin bingung
karenanja, dia pun tidak mengenalnja.
Djuga Nona Lan, jang berkepala besar, jang tak pernah
tak¬luk kepada siapapun, ikut mendjadi kagum.
Dengan menahan saklt, Shie Goan Liang merajap bangun.
Perlahan sekali dia bergerak. Terus dia mengertak gigi dan
berkata; „Aku si orang she Shie menjesal jang peladjaranku
tidak sempurna, aku menjerah kalah, hanja aku berbesar hati
aku mengundang kau datang ke Tiam Tjhong San. Aku bodoh,
tak pantas aku menggunai pedang, akan tetapi didalam
partaiku masih ada jang lainnja jang djauh melebihi aku, aku
minta sukalah kau memberi pengadjaran kepada mereka itu
Sekian, sekarang aku memohon diri."
Alis In Gak bangun, ia tertawa.
„Baru Tiam Tjhong Pay, aku tidak melihatnjal" katanja
sengadja. „Kau telah mengundang, berani aku menerimanja,
hanja sajang, tidak dapat aku pergi sekarang lantaran aku
masih mempunjai lain urusan penting. Tolong bilangi ketuamu

99
bahwa didalam waktu lima tahun akan aku pergi ke
gunungmu itu. Sekarang kau pergilah!”
Sembari berkata, dengan perlahan dengan kedua tangannja
In Gak menolak tubuh orang, atas mana Shie Goan Liang
merasa ada tenaga keras jang mendorong tubuhnja itu,
hingga ia lantas terpental, sia-sia ia mentjoba
mempertahankan diri dengan tipu berat tubuh, ia toh
terdampar lima tombak djauhnja. Ia mendjadi djeri, tanpa
berkata apa-apa lagi, ia ngelojor pergi.
Seberlalunja Goan Liang, In Gak menghadapi Koet Sin.
”Orang she Koet” ia berkata bersenjum, ”Peristiwa ini
dimulai oleh kau, maka itu tidak dapat kau berpeluk tangan
sadja tak mengurusnja”
Tjit Sat Tjioe telah melihat dirobohkannja Goan Liang, dia
djeri. Dia tahu dia tjuma gagah sedikit daripada kawannja itu.
Akan tetapi sekarang dia ditantang, dia mendjadi gusar sambil
tertawa dingin dia kata, ”Meskipun tuan sangat lihay, tidak
dapat tuan tak memandang mata kepada lain orang! Memang
urusan ini disebabkan aku, tetapi mula-mulanja adalah Kim
Hoa Sam Kiat jang terlalu djumawa, karena mereka tidak
melihat mata kepada kami kaum tidak lurus”
In Gak tertawa.
”Djadi karena urusan ketjil itu tuan membangkitkan
pertentangan golongan?” katanja, ”Tidakkah urusan itu bisa
membangkitkan pertentangan lebih hebat didalam Rimba
persilatan? Biarlah aku menjebut tentang diriku sendiri.
Sebenarnja aku djuga bukan berasal dari kalangan lurus.
Karena aku bukan kaum lurus, menurut kau, aku djadi mesti
masuk dalam golongan kamu bangsa rase dan tikus! Baiklah
kau ketahui, perselisihan mulut dapat timbul diantara kawankawan
karena sedikit kata-kata jang menjinggung, tetapi,
djikalau orang suka berpikir, perselisihan itu dapat ditiadakan

100
dengan hati dingin. Bukankah jang bengkok dapat dibikin
lempang? Seharusnja kau mengerti muridmu sendiri si bangsa
tidak keruan jang tjupat pandangannja. Karena dia tjupat, dia
dapat diberi maaf. Kenapa kau sendiri , jang dianggap
terhormat, kau berhati lemah, bertelinga tipis, hingga kau
tidak dapat membedakan jang benar dari jang tidak benar?
Inilah jang membuat aku tidak mengerti. Sebetulnja kau mesti
dihukum, akan tetapi mengingat kegelapanmu, suka aku
berlaku murah. Nah, lekas kau pergi!”
Koet Sin djago Rimba Hidjau, sudah biasa dia galak malang
melintang, tidak dapat dia menahan sabar akan hinaan itu,
maka dia djadi meluap kegusarannja.
“Binatang!” dia berteriak, “Apakah kau kira tepat kau
hendak mengasi adjaran kepada aku si orang tua?”
In Gak pun gusar. Bukan sadja nasehatnja tidak diladeni, ia
pun didamprat. Maka berubahlah air mukanja.
”Bangsat tua!” katanja bengis, ”Aku suruh kau pergi, kau
tidak mau pergi, ini artinja kau tjari mampus sendiri!”
”Belum tentu” sahut Tjit Sat Tjioe tertawa dingin. Dia lantas
menjerang dengan kedua tangannja. Dia telah memikir, kalau
serangannja gagal, hendak dia mundur. Hebat serangannja
itu. Tak pertjuma dia didjuluki Tjit Sat Tjioe, Tjit Sat itu berarti
Tudjuh bintang djahat’ Djadinja dia liehay tangannja (Tjioe).
In Gak pun telah bersiap. Ia menggunai Bie Lek Sin Kang.
Beda daripada lawannja, ia bergerak seperti tak nampak
gerakan tangannja. Nampaknja sabar sekali ia menjambut
serangan. Akan tetapi, setelah tangan kedua pihak bentrok
satu dengan lain, mendadak tubuh jang besar dari Koet Sin
terpental mundur, djumpalitan dua kali, terus roboh ditempat
sepuluh tombak lebih.

101
Semua orang kaget, lantas semua memburu. Mereka
melihat Tjit Sat Tjioe jang demikian garang, rebah terkulai
dengan mandi darah, kedua tangannja patah, napasnja empas
empis. Dia lantas diangkat kawan-kawan untuk digotong
pergi.
Maka disitu sekarang tinggal Pek Houw Seng koen Gouw
Tie seorang. Dia memandang bentji pada In Gak, lantas dia
memutar tubuhnja untuk berlompat pergi, hingga sekedjap
kemudian, dia sudah berada diluar kalangan. Hingga dengan
demikian tenanglah sang badai dan gelombang.
In Gak memandang orang berlalu, ia menghela napas,
dengan menggendong tangan, ia mengawasi langit. Tapi
segera ia dirubung orang-orang Sam Eng Piauwkiok.
Jilid 2.1. Mengobati Kioe Tjie Sin Liong
”Sie-tjoe muda” berkata Hoa Hoa bersenyum, ”Dengan
enteng sekali kau menggeraki tanganmu, apakah itu berarti
kau telah mentjapai puntjaknja kaum Budhist jang dinamakan
Boe Siang Kim kong Sian Tjiang?”
Si pemuda mengawasi pendeta itu, ia menggeleng kepala.
”Tadjam sekali mata Taysoe” katanja sabar,”Tjuma
peladjaranku ini, djikalau dibanding dengan Kim Kong Sian
Tjiang bedanja djauh sekali. Mana aku mempunjai bakat dan
djodoh untuk memperoleh itu? Djikalau taysoe sudi, suka aku
mendapat barang satu dua petundjuk dari taysoe”
”Loola ptidak mempunjai kepandaian itu,” kata Hoat Hoa
tjepat, menjangkal, ”Sekalipun ketiga tiangloo kami, mereka
tjuma mengerti permulaannja sadja. Loolap menanjakan
sebab kelihatannja kepandaian sitjoe mirip dengan Boe Siang
Kim Kong Sian Tjiang itu”

102
In Gak berdiam, ia melainkan bersenjum. Ia ingat semasa
di Poo Hoa Sie, gurunja pernah membilangi bahwa Bie Lek Sin
Kang dan Boe Siang Kim Kong Sia Tjiang itu sama-sama ilmu
kepandaian kaum Budhist, bedanja jalah Bie Lek Sin Kang
lebih hebat dan digunainja dapat sesuka hati, sebaliknja Kim
Kong Sian Tjiang itu, setelah digunai sukar untuk dibatalkan
atau ditarik pulang.
Setelah itu orang berdjalan pulang ke piauwkiok. Tiba di
rumah, Kim Hoa Sam Kiat lantas mengadakan perdjamuan
untuk merajakan kemenangan itu, hingga suara ramai mereka
kedengaran keluar, sampai ada jang mendunga piauwkiok itu
entah lagi mengadakan pesta apa. Sengadja mereka
mengadakan pesta ini untuk membikin nama si pemudda
tersiar.
Maka itu ketjuali orang dalam, ada diundang djuga
sahabat-sahabat dari pelbagai piauwkiok lainnja, antaranja
hadir Thie bin In Tiang Lee Sie Kie, piauwsoe ketua dari Tiong
Gie piauwkiok, jang dari Souwtjioe baru pulang ke Tjie-tjioe.
”Sekarang ini Rimba persilatan digemparkan dua peristiwa
besar,” kata piauwsoe itu tertawa, ”Jang siauwhiap
merobohkan Tjit Sat Tjioe Koet Sin ini. Jang lainnja jaitu
muntjulnja pula Twie Hoen Poan Tjia Boen dalam dunia kangouw.
Aku baru kembali dari Kangsouw Utara, selagi lewat di
Kho-yoe, disana Sam Tjioe Gia Kang Hok Leng Tok telah
terbinasakan Twie Hoen Poan. Hok Leng Tok jalah begal besar
jang untuk banjak tahun sudah hidup menjendiri ditepinja
telaga Kho Yoe Ouw. Pula dia mati sama seperti kematiannja
Lan Tjong Siang Sat baru-baru ini, jaitu dadanja ditembusi
djaridjari tangan jang liehay. Jang aneh pula kedua orang
terkenal itu sama-sama she Tjia, melainkan jang satu tua dan
jang lain muda!”

103
Kim tjie Sin Eng Phang Pek Hiong heran mendengar warta
itu.
”Saudara Lee, kapankah terdjadinja peristiwa itu?” ia tanja,
”Baru kemarin dulu malam terdengar Twie Hoen Poan berada
di Kangsan dimana tempat Ngo Yan Pay dia membinasakan
Ngo Tok Tjindjin dari Tong Pek San. Sungguh tak ketentuan
dimana beradanja Twie Hoen Poan itu. Mustahilkah dia telah
mengetahui siapa-siapa jang dulu hari mengerojok dia dan
sekarang dia mau membalasnja satu demi satu?”
”Itulah kedjadian empat hari jang lalu. Karena aku mesti
lekas-lekas pulang, tidak sempat aku mentjaritahu lebih djauh.
Untuk Twie Hoen Poan, dalam dua hari dari Kho-yoe pergi ke
Kangsan bukanlah soal sukar.”
Mendengar itu Lan Kang Tiauw-kek Yo Tjoen Keng, si
Pengail dari sungai Lan Kang menghela napas, katanja:
”Perdjalanan dari Kho-yoe ke Kangsan sedikitnja lima sampai
tudjuh ratus lie, tetapi itu disampaikan dalam dua hari,
sungguh luar biasa!”
In Gak djuga heran mendengar ajahnja membinasakan
Sam Tijoe Gia Kang di Kho-yoe. Ia melirik pada Lee Sie Kie,
dalam hatinja ia kata: ”Lan Tjong Siang Sat dan Ngo Tok
Tjindjin terbinasa ditanganku. Siapakah jang bekerdja di Khoyoe
itu; mesti ada lain orang jang memakai nama ajahku...Ah
mengerti aku sekarang! Itulah mesti kerdjaan saudara Loei
Siauw Thian! Mestinja Sam Tjioe Gia-kang salah seorang jang
duluhari telah mengerojok ajahku, maka saudara Loei menelad
aku, dia membinasakan manusia djahat itu seperti tjaraku!”
”Amida Budha!” terdengar Hoat Hoa memudji, ”Sepak
terdjangnja Twie Hoen Poan itu, meski ia berdiri di pihak jang
benar, menurut rasa loolap ada sedikit berlebihan, maka itu
kekalahannja di Siang-tong berpokok pada perbuatan
berlebihan itu. Inilah jang kami kaum Budhist namakan karma.

104
Sajang sekarang setelah muntjul pula, dia bertindak
melebihkan duluhari itu...Inilah balas membalas, entah sampai
kapan berachirnja ini?”
In Gak sabar tetapi ia tidak puas ajahnja dipersalahkan.
”taysoe,” katanja, ”Apakah taysoe tidak ketahui, dengan
menjingkirkan seorang djahat, orang telah menanam
sematjam djasa baik? Bukankah perbuatannja Tjia Tayhiap itu
untuk membasmi kedjahatan, untuk mengandjurkan kebaikan?
Bukankah menjingkiran kedjahatan tepat dengan pokok
tudjuan kami kaum Rimba persilatan? Apakah jang tidak
sesuai?”
Hoat Hoa bersenjum ketika ia mendjawab „Apa jang
siauwhiap bilang memang tepat dan loolap pun tidak
maksudkan tidak sesuai, tetapi loolap pikir banjak membunuh
berarti menanam bibit penderitaan dan itu djuga mentjari
pusing sendiri.”
Melihat dua orang itu bertentangan pendapat, Pat Kwa
Tjioe Kheng Liang menjelak untuk menjimpangi perhatian.
Katanja: “Tjia siauwhiap, kau telah member djandji lima tahun
akan menemui Shie Goan Liang, kapan kiranja baru kau dapat
memenuhi djandji itu?”
“Sekarang ini belum dapat aku menentukan," In Gak
djawab bersenjum. „Tetapi pasti, didalam lima tahun, aku
akan pergi ke tempatnja!"
„Tiam Tjhong Pay itu mendjadi satu diantara tudjuh ahli
pedang besar di djaman ini," berkata Yo Tjoen Teng, „diantara
mereka benar ada orang-orang jang liehay hingga mereka
biasa tak memandang mata kepada kaum Persilatan
seumumnja, dari itu baik sekali djikalau Tjia Siauwhiap dapat
melampiaskan kemendongkolan kita. Hanja aku pikir perlu
siauwhiap mentjari beberapa pembantu, sebab pergi seorang
diri kurang sempurna."

105
Mendengar itu, In Gak tertawa.
“Aku tidak mengatakan aku tidak mau mentjari kawan,"
katanja, „Tjuma aku pikir untuk urusanku sendiri buat apa aku
membawa-bawa sahabat ?"
Ketika itu Nona Nie merasa tidak puas sekali. Beberapa kali
ia mau tjampur bitjara, selalu ia gagal. Pula sikap si pemuda
terhadapnja tawar. Achirnja ia tertawa dingin.
" Tjia toako,” katanja, „tadi kau membilang Shie Goan Liang
tidak tepat menggunai pedang, habis siapakah itu jang
tjotjok?"
Mendengar pertanjaan ipar ini, Siok Tjoen bergelisah. Ia
merasa sang ipar benar-benar tidak mengenal selatan. Tapi
belum sempat ia berbuat apa-apa, In Gak sudah tertawa
lebar. Pemuda ini tidak mendjadi kurang senang.
“Aku tidak berani bilang siapa jang tepat dan siapa jang
tidak,” sahutnja, “Aku baru muntjul dalam dunia Kang-ouw,
pengalamanku belum banjak, bitjaraku kurang pandai, tjuma
sebab orang she Shie itu benar-benar mempunjai kepandaian,
maka barusan aku mengatakannja demikian. Itulah tjuma
mengenai dia seorang, melulu untuk melampiaskan
kemendongkolanku. Bitjara terus-terang, sampai saat ini
belum aku mendapatkan sendjata jang tjotjok untukku!"
Wan Lan melirik, ia berkata pula, lagu suaranja seperti bersenandung
: “Bagaimana tentang siauwmoay, apakah
siauwmoay tepat menggunai pedang? Kalau tidak, baiklah
pedang siauwmoay ini dihaturkan kepada toako, pastilah
tjotjok !"
Sengadja si nona menjebut dirinja soauw-moay.
In Gak serba salah hingga ia mendjadi likat, hingga ia tidak
dapat membuka mulutnja.

106
Siok Tjoen mendongkol sekali hampir ia menegur ie itu
dimuka umum. la paksakan diri tertawa dan kata „Ie, kita
tjuma mendengar suara kau, tak dapatkah kau bitjara sedikit
sadja !”
Wan Lan menoleh, ia melihat muka merah dari tjiehoenja
itu.
„Ah, kenapakah kau ?" katanja. „Tjia Toako sendiri tidak
membilang, apa-apa.”
Siok Tjoen menggeleng kepala, matanja mentjilak kepada
si nona, terus ia memandang In Gak, agaknja ia kewalahan.
Si pemuda melihat itu, ia tertawa. Sedang sebenarnja,
kesannja terhadap si nona tambah memburuk. Dilain pihak,
Wan Lan mulai djelus terhadap pemuda itu, karena dia
dikuasai kemandjaannja.
Sampai disitu, Hoat Hoa bitjara pula, menutur maksudnja
datang ke selatan ini, jalah mentaati titah ketuanja; untuk
pergi ke kuil Siauw Lim Hee ih di Pouw-thian guna
mendjalankan kundjungan adat kebiasaan setiap lima tahun
sekali, bahwa selagi lewat di Kim Hoa ini ia ingat keluarga
Phang jang mendjadi keponakan muridnja dengan siapa sudah
tiga puluh tahun ia tidak pernah bertemu, hanja kebetulan
sekaIi menjaksikan orang mengadu silat.
“Melihat gerak-gerik kaki tanganmu, Tjia siauwhiap” ia
menambahkan, “Kau mestinja telah mendapat peladjaran
golongan Budhist, atau djikalau gurumu bukan seorana
pendeta jang lie-hay, dia mestinja seorang jang telah
menjembunjikan diri, hidup dalam kesunjian. Loolap seorang
pendeta, tetapi loolap telah mentjoba mengutamakan
ilmusilat, rasanja loolap berhasil djuga mengarti sedikit
intisarinja, sebaliknja siauwhiap, jang masih begini muda,
telah mahir sekali silatnja, dari itu, djikalau siauwhiap suka,
sudikah kau main-main barang tiga djurus dengan loolap?”

107
Biar bagaimana In Gak taat kepada pesan gurunja, atas
adjakan si pendeta ia lantas menampik.
“Kebisaanku rendah sekali, mana berani aku
membangkitkan buah tertawaan? Lebih baik tak usahlah!”
katanja.
Belum sempat Hoat Hoa berkata pula, Wan Lan menjelak
lagi: “Tjia toako, apakah toako tidak suka memberi muka
kepada Hoat Hoa Soepee?”
In Gak memandang nona itu dingin. Ia djemu. Lantas ia
berbangkit perlahan-lahan, untuk bertindak ke lian bu-thia,
tempat latihan. Orang semua lantas mengikuti Hoat Hoa
berdjalan mendampingi anak muda itu.
Kim-hoa Sam Kiat djalan paling belakang, mereka menegur
nona Nie, tetapi dia ini mengganda bersenjum.
„Aku minta taysoe suka menaruh belas kasihan kepadaku.”
kata In Gak setibanja di gelanggang. Ia memberi hormat,
lantas ia memisahkan diri setombak hingga mereka djadi
berdiri di timur dan barat.
Hoat Hoa mengangguk, ia kata tertawa :„Loolap tjuma
ketarik hati untuk main-main, sama sekali kita bukan benarbenar
bertanding. Siauwhiap, silahkan!”
In Gak tidak banjak aturan lagi. Ia merangkap kedua
tangannja, ia memberi hormat dalam sikap ‘Lian tay pay koei’
setelah mana terus ia menjerang.
Hoat Hoa tertawa dan kata: “Baiklah, loolap lantjang
menjambut” Ia lantas berkelit, untuk terus membalas dengan
tipu silat ‘Hong kie in yong’ jaitu ‘Angin bergerak, mega
melajang-lajang’, suatu djurus dari ilmu silat ‘Tat mo Kioe Sie’,
ilmu silat simpanan S iauw Lim pay. Jang dapat mempeladjari
itu tjuma keempat tiangloo. Seperti namanja menundjuki,
semuanja terdiri dari sembilan djurus (kioe sie).

108
In Gak segera merasakan dorongannja angin, walaupun ia
melindungi diri dengan Bie Lek Sin kang, ia masih tertolak
djuga, meski begitu ia tidak segera melakukan penjerangan
membalas, ia berkelit untuk menghindarkan diri. Ia ingin
berkelit terus hingga tiga kali beruntun. Setelah itu mendadak
ia mentjelat hingga ia djadi berada di belakang si pendeta.
Belum ia memernahkan diri, Hoat Hoa sudah memutar tubuh
dibarengi serangannja pula, kali ini dengan djurus “Guntur
menggemparkan langit” jang djauh lebih hebat daripada jang
sudah itu.
Djuga kali ini pendeta itu gagal. Dia mendjadi heran —
mengherani mahirnja ilmu Tjit Khim Sin-hoat dari si anak
muda.
In Gak berdiri sambil tertawa.
,Lootjianpwee, masih ada satu djurus !" katanja manis.
Biarnja ia orang petapaan, hati Hoat Hoa mendjadi panas.
Ia malu andaikata orang mengetahui ia gagal menjerang
dengan Tat-¬mo Kioe sie. Apa nanti anggapan umum tentang
ilmusilat Siauw Lim Sie ?
“Maaf” ia lantas berkata menjusuli serangannja dengan
kedua tangan, tangan kiri dengan “Kim-kong Hang Mo”
menjerang lengan kiri si anak muda, tangan kanannja mentjari
djalan darah khie-hay, tipusilatnya jalah “Lan Hoa Tjioe”
pukulan bunga Lan Hoa. Bagaikan kilat tjepatnja, demikian
dua tangan ini menjerang, hingga orang banjak berkuatir
untuk In Gak.
Si anak muda sendiri tapinja tersenjum, tjepat luar biasa
dia mundur lima dim, melulu untuk mengelakkan diri, setelah
mana ia menjerang dengan suatu djurus Hian Wan Sip pat
Tjiang kedua djari tangannja memapaki hendak menotok
telapakan tangan si pendeta!

109
Hoa Hoa lagi menjerang, tidak dapat ia menarik pulang
serangannja itu. Pula tidak dapat ia menangkis dengan
tangannja jang lain. Maka djuga ketika kedua tangan mereka
bentrok, ia mendjadi kaget. Mendadak ia merasakan
tangannja kesemutan, mendjadi kaku, tenaganja hilang,
hingga tanpa terasa, ia terdjeru-nuk madju. Tapi sianak muda
mengadjukan kedua tangannja untuk menahan, hingga orang
dapat berdiri diam.
„Lootjianpwee, tiga djurus lewat" katanja tertawa,”Terima
kasih jang lootjianpwee telah suka mengalah."
Dimata orang banjak, mereka itu seri, akan tetapi Hoat Hoa
heran atas kepandaian anak muda itu.
,Tjia siauwhiap," katanja, “Bukan loo lap merendah tetapi
melihat kegagahan kau ini, mesti kau bakal mendjagoi Rimba
Persilatan, maka itu semoga Thian melindungi agar djanganlah
kau sampai melakukan pembunuhan, sebaliknja supaja
dapatlah kau kemadjuan terlebih djauh!"
In Gak tertawa.
„Nanti boanpwee ingat baik-baik pesan ini," kata ia, „tak
nanti boanpwee melupakannja."
Setelah itu, mereka kembali. Orang banjak memudji dan
mengatakan Hoat Hoe Taysoe telah berbuat baik sekali
terhadap sianak muda.
Kemudian perdjamuan ditutup dan semua orang bubaran.
Sore itu In Gak memberitahukan tuan rumah bahwa ia
hendak pergi ke Utara untuk menjusul Loei Siauw Thian,
kakak angkatnja itu, maka besok pagi-pagi ingin ia berangkat.
Sam Kiat mentjegah tetapi ia mendesak, hingga mereka itu
tidak dapat menahan lebih lama. Mereka pun merasa, pemuda
ini tak puas dengan Wan Lan.
IV
Besoknja pagi, seorang diri Tjia In Gak melakukan
perdjalanan pula. Ia diantar Kim-hoa Sam Kiat dan djuga Nona

110
Nie. Dia ini tampak tak puas dengan perpisahan itu—ada
sedihnja, ada penasarannja . . .
Tiba dikota Hang-tjioe jang kesohor, In Gak singgah, untuk
pesiar setengah bulan. Setelah melintasi propinsi Tjiat-kang, ia
masuk ke propinsi Kangsouw. Pada suatu hari, setelah lewat di
Tin-kang, ia sampai di Kang-taow atau Yang-tjioe, pun kota
terkenal dan ramai. Ia sampai di waktu maghrib, segera ia
melihat ramainja kota dan telinganja mendengar suara
tetabuan dan njanjian disana-sini, maka setelah menitipkan
kuda di hotel, ia pergi djalan-djalan. Disini ia menjaksikan, asal
ada uang, tak usah orang kekurangan kesenangan. Tepatlah
utjapan tua :”Dengan uang sepuluh laksa rentjeng melibat
pinggang menunggang burung djendjang pergi ke Yang-tjioe.
Selama dalam perdjalanannja ini, ia selalu berada sendirian,
tak inigin ia mentjari sembarang sahabat, bahkan di hotel pun
ia memakai nama palsu. Demikian kali ini.
Habis djalan-djalan sebentar, ia kembali ke hotel, untuk
bersantap, setelah bersantap, la langsung masuk kamarnja,
untuk rebah-rebahan, kedua matanja dirapatkan. Ia lantas
memikirkan tentang per¬djalanannja ini seorang diri. Sesudah
lewat beberapa bulan la masih tak tahu tentang musuhnja,
hingga ia mirip si buta menunggang kuda, tak tahu ia
tudjuannja. la menganggap inilah bukan tjara jang baik.
„Aku mesti mentjari kawan jang dapat diadjak berdamai "
ia kata dalam hatinja.
Maka ia ingat pula Siauw Thian, djuga jang lainnja, mereka
itu seperti berbajang di depan matanja, tak ketjuali Nona Lan
jang mendjemukan itu. Untuk menenangi diri ia bangun untuk
berduduk bersamedhi sekalian melatih diri.
Tidak lama setelah bersamedhi, In Gak ingin tidur, ketika ia
mau membuka pakalan luar, tiba-tiba telinganja mendapat
dengar rintihan perlahan serta isak tangisnja anak ketjil. Ia

111
menduga kepada orang sakit. Maka ia membuka pintu, pergi
ke kamar di depannja, darimana suara itu datang. Ia sudah
mengulur tangannja untuk mengetuk pintu, atau ia urungi itu.
Ia anggap perbuatannja itu kurang baik. Maka ia terus
menghampirkan pelajan, jang lagi duduk menjender dipintu
depan dengan matanja meram melek.
Adalah kebiasaan dihotel itu untuk menaruh pelajan
pendjaga pintu, untuk menjambut atau mengantar tetamu
jang datang atau ada keperluan pergi diwaktu malam.
Demikian pelajan ini. la Iantas berbangkit dan berdiri dengan
hormat ketika ia melihat tetamumja, terus ia menanja:
“Apakah tuan hendak berangkat di waktu begini ?”
In Gak menggojangi tangan, ia tidak mendjawab hanja
menanja siapa penghuni dikamar depan kamarnja itu.
„Oh, dia . . . ." kata pelajan itu, agaknja terperandjat.
,.Pada sepuluh hari jang lalu dia datang mengambil tempat
disini. Dialah seorang tua dengan dandanan pengemis serta
seorang botjah. Dia terluka seluruh tubuhnja, be¬gitu dia
masuk ke dalam kamar dia merebahkan diri terus dia
mendapat demam panas-dingin. Dia mempunjai sebungkus
obat bubuk, dia telan itu. Njatanja obat itu tidak menolong,
bahkan dia mendjadi terlebih pajah, hing¬ga pernah dia
pingsan. Botjah itu lari keloar, dia mentjari seorang jang
mukanja kuning. Ketika dia ini melihat orang tua itu, dia
berduka, lekas dia pergi mentjari tabib jalah Oey Pek Tong
alias Poan Sian, si Tabib Setengah Dewa. Tabib ini pandai,
banjak sekali sudah ia menolong orang.
Tapi setelah memeriksa nadi si sakit, ia menggojang
kepala, sakitnja sudah berat sekali, susah ditolong, kalau
diberi obat, paling djuga akan hidup lagi sepuluh hari atau
setengah bulan, terus ia pergi tanpa memberi obat atau surat
obatnja, tak mau ia mene¬rima uang hadiah. Madjikannja
takut orang mati dihotelnja, ia minta orang muka kuning itu
mengadjaknja pergi. Orang muka kuning itu minta si sakit

112
dibiarkan menginap disini, ia kata ia mau pergi mentjari obat.
Ia pergi dengan meninggalkan uang lima puluh tahil perak, ia
memesan sangat agar ia ditunggui. Ia sudah pergi lima atau
enam hari sampai sekarang ia belum kembali. Aku kuatir buat
keselamatan orang tua itu.
In Gak mengerutkan alis. „Maukah kau mengantar aku
kepadanja ?" ia tanja.
Pelajan itu mementang matanja, Tapi ia tertawa.
„Apakah tuan mengarti ilmu pengobatan ?" ia tanja, raguragu.
Lantas ia mengantarkan, seorang diri ia ngotjeh hampir
tak kedengaran : „Tuan muda ini mungkin kurang sehat
asabatnja, meski la mengarti ilmu tabib, mana dapat ia
melawan Oey Poan Sian ?"
Segera mereka tiba didepan kamar. Pelajan ini mengetuk
pintu sambil berkata:”Engko ketjil, buka pintu, ada jang ingin
menolong mengobati penjakit…”
Daun pintu dibuka lantas oleh satu botjah jang romannja
tampan, tjuma matanja merah dan bengul, setelah
memandang In Gak, ia kata dengan hormat: “Apakah paman
mengarti ilmu tabib? Baiklah, tjuma kita djadi membikin
berabeh pada paman. Silahkan masuk!”
In Gak kagum. Botjah itu hormat dan bisa bitjara. Ia
bertindak masuk. Ia melihat si orang tua lagi rebah di
pembaringan, napasnja mengap-mengap. Penerangan di
dalam kamar itu hanja lilin jang tinggal separuh, apinja guram,
hingga kamar dengan sendirinja nampak seram.
“Anak muda, terima kasih." kata si orang tua, lemah, ketika
ia mengetahui ada jang mendjenguknja. „Hanja sakitku ini
tidak dapat diobati dengan obat jang biasa, maka aku kuatir
membuatnja kau pusing sadja.” Lalu samar-samar nampak
agak¬ nja ia mengendalikan hatinja, jalah rasa agung diri.
In Gak menghampirkan, untuk duduk disisi orang.

113
,Lodjinkee, djangan kuatir," kata ia halus, „Setiap perantau
sukar lolos dari gangguan penjakit. Mari aku lihat penjakitmu,
rasanja aku sanggup mengobatinja.”
„Benarkah?" kata si botjah mendadak „Kalau benar, paman
aku si Tjioe Lin hendak aku memberi hormat lebih dulu kepada
kau untuk menghaturkan terima kasihku”
Benar-benar ia hendak menekuk Iutut.
In Gak mentjegah.
“Tahan dulu, saudara ketjil,” katanja tertawa, “Kau sabar.”
Lalu dengan sebelah tangan memegang lilin, ia periksa lidah si
orang tua dan memegang djuga nadi kanannja, diteruskan
pula nadi kiri. Achirnja ia berdiri dan berkata sambil tertawa:
“Meski penjakit ini berat, masih ada harapan untuk
disembuhkan. Penjakit ini disebabkan angin djahat.
Loodjinkee, kau tentu habis bertempur, kau telah menggunai
tenagamu berlebihan, lalu kau melakukan perdjalanan tjepat
hingga tak sempat kau beristirahat, hingga gangguan masuk
kedalam tubuh, sudah begitu kau terserang hawa dingin
hingga panas dan dingin mengaduk mendjadi satu. Berbareng
dengan itu kau djuga sudah makan obat. Sjukurlah, kalau
terlambat lagi beberapa hari, obat dewa djuga tidak bakal
menolong…”
“Anak muda, pemeriksaanmu tepat,” kata si orang tua,
“Bagaimana sekarang?”
In Gak mengawasi kagum. Meski penjakitnja berat, orang
tua itu tetap besar hati, ia mendjawab:”Asal loodjinkee
menahan sakit, dapat aku menjembuhkannja.”
Orang tua itu bersenjum.
“Anak muda, kau turun tanganlah!” katanja, “Aku si orang
tua jang tidak mau mampus ini rasanja masih dapat menahan
penderitaan terlebih djauh!”

114
In Gak pun tertawa, tanpa berkata-kata lagi, ia
mengeluarkan kotak kuning ketjil dari sakunja, darimana ia
mengambil sembilan batang djarum emas jang ketjil sekali,
pandjangnja empat dim, setelah ia minta si orang tua
tengkurap, lantas ia menusuk sembilan kali, di sembilan
tempat. Ia menusuk dengan tjepat dan tepat. Kalau tabib
lainnja, dia berlaku hati-hati dan perlahan.
Si orang tua merintih dan kata: “Anak muda, aku merasai
tubuhku kaku dan ngilu, inilah hebat…”
“Lawan loodjinkee!” kata In Gak tertawa, “Tak tahan berarti
penjakit tidak dapat disembuhkan. Tahan sedikit. Kalau
sebentar aku mentjabut djarumku, kau pun harus menahan
napas, kalau napasmu bujar, bakal berabeh lagi!”
“Aku tahu. Anak muda, dimana kau peladjari ilmu tabibmu
ini? Tabib atau ahli ilmu silat jang pandai menggunai djarum
aku kenal beberapa diantaranja, tetapi belum pernah aku
menemui jang sepandai kau ini. Aku pertjaja lootee,
ilmusilatmu pun mungkin mahir sekali, bukankah?”
In Gak tertawa mendengar ia sekarang dipanggil ‘loo-tee’-
adik.
“Tentang ilmusilat, aku mengerti sedikit,” katanja, “Kalau
nanti loodjinkee sudah sembuh aku ingin sekali menerima
petundjuk dari kau.”
“Hm!” orang tua itu berseru, “Kau minta petundjukku. Lootee,
itulah dapat! Aku si tua tidak sembarang menerima budi
orang, maka itu setelah kau mengobati aku, untuk kau pasti
akan ada kebaikannja!”
Mendengar begitu, In Gak berhenti tertawa.
“Loodjinkee,” katanja sungguh-sungguh, “Dalam hal
mengobati, aku mempunjai tiga pantangan? Tahukah
loodjinkee?”

115
Si orang tua merebahkan kepalanja, tetapi suara orang
membuatnja mengangkatnja.
“Laotee, aneh kata-katamu ini!” katanja, “Mana aku ketahui
ini? Tjoba bilang, apakah pantangan itu?”
In Gak tertawa. Ia mendustai orang tua itu, untuk
mengakali orang dapat melawan rasa njeri tusukan djarum.
Tanpa diadjak bitjara, si orang tua mesti menderita hebat.
Dengan banjak bitjara tanpa meras, berkuranglah
penderitaannja itu, tak usahlah dia pingsan. Ia tjerdas,
sampaipun gurunja memudjinja. Kali inipun ia mendapatkan
akal untuk mengalihkan perhatian si sakit. Tapi ia mendjawab,
katanja:
“Pantangan jang pertama jaitu aku tidak mengobati
manusia djahat.-
„Oh, begitu ?" kata si orang tua. „Itulah pantas, Tjumalah
seorang tabib tak dapat tak menolongi djiwanja orang jang
ba¬kalan mati”
„Aku jang rendah bukannja tabib, aku tak masuk hitungan
itu."
„Djawaban jang bagus ! Jang kedua?"
In Gak girang. la mendapat kenjataan orang sudah dapat
bitjara keras.
„Ialah jang diluar kelihatan sebenarnja hatinja berbahaja
dan litjik !"
„Bagus ! Itupun pantas. Yang ketiga ?”
In Gak tertawa lebar, ia berkata njaring :Aku tidak
mengobati tanpa ada kebaikan atau faedahnja”
Si orang tua tertawa lantas dia berkata njaring: “Bagus,
botjah!” Kau mengobati aku karena mengharap kebaikan!
Baiklah, lain waktu aku si orang tua akan berlaku tjerdik !”
Si botjah Tjioe Lin jang terus menerus berduka pun
tertawa. Inilah untuk pertama kali semendjak gurunja — jalab
si orang tua - menderita sakit itu.

116
In Gak tertawa. Ia telah melihat waktunja, maka ia kata :
"Loodjinkee, apakah kau sekarang djuga dapat memainkan
napasmu?”
Si orang tua itu dapat tertawa ia berkata njaring tanpa
merasakan sekarang pernapasannja bergerak lurus, tjuma
tinggal sedikit sesaknja, tapi ia girang bukan main.
“Laotee, kau liehay !" katanja. Kembali ia tertawa lebar.
In Gak segera berkata sungguh-sungguh „Loodjinkee, awas
! Aku hendak mentjabut djarum ini. Nah, siaplah untuk
menahan !"
Benar-benar anak muda ini dalam bekerdja, satu demi satu,
perlahan djarum itu ditjabut. Maka itu si orang tua mengasi
dengar rintihan perlahan. Dia merasa seluruh tubuhnja
mendjadi kaku. Ketika dia telah ditepuk tiga kali, dia
mendengar suaranja In Gak: ”Sekarang djangan menahan
napas lebih djauh”
Sambari berkata ia mengeluarkan sebutir pel Tjiang Boen
Tan dan kata: “Loodjinkee telanlah pil ini”
In Gak masih bekerdja lebih djauh. la menjuruh si orang
tua membuka badjunja, untuk ia menguruti seluruh
tubuhnnja.
Si orang tua merasakan bekerdjanja djeridji tangan pemuda
itu, jang mendatangkan hawa hangat, jang membikin
darahnja mengalir dengan beraturan, hingga mukanja mulai
bersemu dadu.
Sekira sepasangan hio, baru In Gak berhenti mengurut.
Si orang tua mengenakan pula badjunja, kedua matanja
dibuka lebar-lebar, mulutnja dipentangkan katanja keras:
“Bagus benar, botjah ! Tjaranja kau mengurut ini membuat
aku perlu beladjar pula delapan atau sepuluh tahun, tetapi kau

117
mengatakan bahwa kau meminta petundjukku! Oh Laotee,
apakah bukannja menghina aku?”
In Gak bersenjum. Lutju akan mendengar sebentar ia
dipanggil si botjah, sebentar sebentar Laotee alias si adik.
Sama sekali ia tidak mendjadi kurang puas.
„Loodjinkee, sekarang telah sembuh seluruhnja penjakitmu
didalam " ia kata. „Tinggal angin djahat jang belum tersapu
semuja. Nanti aku membuatkan kau surat obat, lantas kau
suruh pelajan pergi beli “ Ia pun minta Tjioe Lin pergi kedepan
untuk memindjam perabot tulis.
Anak itu pergi sambil berlari-lari, lekas djuga ia telah
kembali. In Gak lantas menulis resepnja.
Si orang tua menjaksikan bagaimana surat obat itu tjepat
dibuatnja ia mendjadi kagum.
In Gak tertawa. Ia menjerahkan surat obat pada Tjioe Lin
dan Tjioe Lin kembali lari keluar, untuk menjuruh pelajan
membelinja.
Sementara itu, fadjar sudah tiba. Dihotel itu, suasana djadi
berisik. Sekalian tetamu pada berkemas atau berangkat pergi,
hingga pelajan semuanja mendjadi repot, tak terketjuali
pelajan jang tadi melajani mereka. Dia sudah mandi keringat.
„Eh, engko ketjil, apakah tidak lihat aku begini repot !"
katanja, ketika Tjioe Lin minta pertolongannja. la baru
mengatakan demikian, mendadak ia awasi botjah, matanja
dibuka lebar, agaknja ia heran, lantas ia tanja : „Bagaimana ?
Tuan muda itu berhasil menolongi orang tuamu ?"
Tjioe Lin tidak sempat menjahut, ia mengangguk.
Mendengar demikian, pelajan itu menjambar obat, untuk
terus dibawa lari, tak ia perdulikan tetamu memanggilmanggilnja.
Ia lari kedalam kamar. Untuk herannja, ia
mendapatkan si orang tua lagi duduk berbitjara sambil
tertawa-tertawa dengan si anak muda. Ia berdiri mendelong.

118
„Aku si orang tua toh tidak mati, bukan?” kata orang tua itu
tertawa. „Bukankah kau merasa aneh?"
,.Ah, kau gujon, tuan….” Kata pelajan itu likat.
“Uang kelebihannja untukmu !” katanja.
“Terima kasih tuan, terima kasih!” kata si pelajan berulangulang,
“Oh kau benarlah dewa. Di kolong langit ini ada orang
jang lebih pandai daripada Oey Poan Sian, benar aneh, benar
aneh!” lantas dia lari keluar.
In Gak membiarkan orang pergi, ia memandang si orang
tua dan kata sambil tertawa: “Loodjinkee, kalau kau bukan
orang aneh rimba persilatan, kau tentu orang Kang-ouw jang
luar biasa!”
“Sebutan orang aneh Rimba Persilatan tidak sanggup aku
terima, kalau orang Kang-ouw luar biasa, mungkin tepat,”
sahut orang tua itu, “Aku si tua she Tjhong bernama Sie,
dalam Rimba Persilatan gelaranku jang ketjil jalah Kioe Tjie
Sin Liong, Laotee, pernahkah kau mendengarnja?”
In Gak terkedjut hingga tanpa merasa ia berseru: “Oh,
lootjianpwee kiranja Kioe Tjie Lootjianpwee jang mendjadi
salah satu dari Kay Pang Sam Loo!.” Ia terus menatap
tangannja orang tua itu, karena tadi ia mendapatkan djeridji
tangan orang ada sepuluh tetapi kenapa disebutnja sembilan
(kioe tjie). Ia djuga tidak sangka orang ada satu diantara Kay
Pang Sam Loo, tiga tetua dari Partai Pengemis, jang
djulukannja Kioe Tjie Sin Liong, berarti ‘Naga Sakti Sembilan
Djeridji.’
Menampak sikap orang, si orang tua menundjukkan
djeridjinja. Ia menambahkan: “Nah, Laotee, kau telah melihat
njata atau belum?”
In Gak mengawasi. Pada tangan kiri, ia melihat djeridji
tengahnja terbuat dari tembaga jang warnanja mirip dengan

119
warna kulit tangan, hingga mendjadi satu, sedang
pembuatannja bagus sekali. Ia mengangguk.
“Sebenarnja lootjianpwee, apakah telah terdjadi
terhadapmu?” ia tanja kemudian. “Maukah lootjianpwee
menuturkannja kepadaku?”
Tjhong Sie menundjuk pada Tjioe Lin si botjah, ia lantas
memberikan keterangannja : Tjioe Lin itu anaknja Tjoan In-
Tjioe Loen Thian, djago dari Yan-in. Setelah mendapat nama,
Loan Thian hidup menjendiri di tepi telaga Tong Peng Ouw di
ketjamatan Tong-peng, Shoatang. Ia ingin hidup aman dan
damai. Selama merantau ia bentrok dengan Pouw Shia Soe
Pa, empat djago dari Pouw-shia, Hoo-pak, jalah Tjhee-biansay
Yo Liang, Giam Ong Leng Tan Sioe Tjian, Tjo Siang-hoei
Yo Bouw Ho dan Tjian Tjioe Koay-wan Ouw Leng. Yoe Liang
itu, lima djari tangannja kena dibabat kutung. Lantas keempat
djago Hoo-pak itu menghilang. Tidak tahunja mereka berguru
pada seorang berilmu di gunung Tiang Pek San. Setelah turun
gunung, mereka mentjampurkan diri dalam rombongan Oey
Kie Pay, partai Bendera Kuning, ditiga propinsi Kangsouw,
Anhoei dan Ouwpak. Mereka berniat menuntutbalas. Niat ini
didengar Tjhong Nie di Iembah See-leng-kiap di Gietjiang dari
orang Oey Kie Pay. Loen Thian itu sabahatnja Tjhong Nie
maka Tjhong Nie segera pergi ke Tong-peng, buat mengasi
kisikan dan bantuan. Ketika ia tiba di Pouw-shia, ia terlambat.
Tjioe Loe Thian sudah kena dikerojok. Diwaktu menolongi,
Tjhong Sie dikepung tudjuhbelas djago Oey Kie Pay. Ia
berhasil membinasakan lima musuhdan menolongi Tjioe Lin
untuk dibawa menjingkir.Ia dikedjar. Sjukur di tengah djalan
bisa djuga ia lolos. Tiga hari tiga malam ia kabur, tanpa
minum dan makan, tubuhnja pun terluka, disepandjang djalan
ia terkena angin maka setibanja di Kang-touw, ia roboh. Disini
ia menjembunjikan diri, maka ia menjuruh Tjioe Lin pergi
mentjari Kepala Pengemis di Yang-tjioe jang bernama Tjian
Leng dan menitahkan kawan ini pergi ke Ouwpak, untuk minta

120
obat dari Liongpeng Ie-In Khioe Tjoe Beng, ia sendiri
menguati diri, menanti pertolongan itu. Maka sjukur ia
bertemu In Gak , kalau tidak, mestilah ia mati terlantar di
hotel itu.
Mendengar itu In Gak berkasihan terhadap Tjioe Lin. Ia
menggenggam kedua tangan anak itu jang nasibnja mirip
nasibnja sendiri.
„Bagus lootjianpwee dapat ini,” katanja. “Setelah dia
dewasa, dia tentu dapat menuntutbalas !"
„Hai, kembali lootjianpwee !” tegur Tjhong Sie, matanja
dibuka lebar. “djikalau kau hargai aku, panggillah aku toako.
Tentang ilmusilat, kau tentu tak beda daripada aku, laotee. Eh
ja, aku sampai lupa menanja, kau murid siapa?”
„Guruku seorang pendeta," sahut In Gak. „Karena soehoe
tidak mau menjebutkan namanja, menjesal aku tidak dapat
membilangi. Hanja nasibku sama dengan nasibnja adik Lin ini.
Tentang musuhku siapa, sampai sekarang tidak aku ketahui,
maka sekarang aku lagi mentjarinja. Aku pergi ke Utara ini
untuk menjusul kakak-angkatku dengan siapa aku telah
membuat djandji, sekalian aku mentjari musuh-musuhku itu."
Tjhong Sie mengawasi dengan mata bersinar tadjam,
lantas dia tertawa dan kata : „Sudah kita bitjara lama, masih
laotee tidak menjebut sesuatu. Laotee, sifatmu sama dengan
sifatku, maka itu umpamakata kau tidak telah tolong
mengobati aku, suka aku bersahabat dengan kau. Kau tidak
dapat menjebut nama gurumu dan siapa musuhmu, tidak apa,
aku tidak mau memaksa menanjakan. Meski begitu, harus kau
menjebut she dan namamu, dan siapa itu kakak-angkatmu.
Boleh, bukan ?"
In Gak tertawa.
“Nama siauwtee Tjia In Gak dan kakak-angkatku itu Kian,
Koen-Tjioe Loei Siauw Thian," ia mendjawab.

121
Kembali matanja Kioe Tjie Sin Liong terbuka lebar.
„Apa ?" katanja. „Kau djadinja bersahabat dengan si orang
Kang-ouw jang nakal dan berandalan itu? Ah, dibelakang hari,
kamu berdua pasti bakal mempertundjuki sandiwara jang luar
biasa ! Bagaimana kalau aku si tua tak mau mampus terhitung
satu diantara kamu?”
„Mana aku berani, laoko…” kata In Gak menampik. „Ah,
djangan bertingkah sebagai nenek-nenek !” kata Tjhong Sie.
Mendadak sikapnja mendjadi sungguh-sungguh: “Begini sadja,
aku djadi loo-toa, si tua ! Shatee, bagaimana mengenai Tjioe
Lin ini? Apakah dia ada harapan madju?”
In Gak tidak djadi tidak senang atas kelakuan Tjhong Sie
ini, jang mengangkat diri mendjadi kakak angkat paling tua
tanpa meminta persetudjuan orang. Ia bahkan senang untuk
kepolosan itu. Ia pun merasa, seorang diri ia terlalu terpentjil.
„Pandangan toako pasti tidak salah !" ia mendjawab. Ia
tertawa. Ia menggaruk-garuk kepala, katanja: “Kita mendjadi
saudara angkat, habis bagaimana orang-orangmu memanggil
aku bila mereka bertemu denganku?”
Tjioe Lin sendiri sudah lantas berlutut, memberi hormat
sambil memanggil : „Samsoesiok I" Pang¬gilan itu berarti
paman jang ketiga.
In Gak lekas memimpin bangun, ia kata tertawa „Gurumu
tidak suka banjak pernik, mengapa kau mengangguk-angguk
padaku ?"
„Sudahlah" kata Tjhong Sie tertawa. „Kau masih muda
sekali, kau sekarang mendjadi orang tertua partaiku, itulah hal
jang lain orang, walaupun dia minta, dia tidak bakal dapatkan,
maka kenapa kau pun bertingkah? Sekarang begini sadja. Kau
mau pergi ke Utara, nah kau pergilah. Aku sendiri hendak
pergi dulu kepada sahabatku Gouw Kang Hie-Sioe Teng It
Peng, aku sendiri hendak titipkan Tjioe Lin padanja, buat
beladjar silat selama tiga tahun, setelah itu, aku nanti

122
menjusul kau." Ia berhenti sebentar, akan merogo keluar
sebuah tongpay warna hitam di-mana ada ukirannja jang
indah merupakan tiga ekor naga, singa dan harimau, rupanja
seperti barang kuno, terus ia sesapkan itu ditangan In Gak,
seraja menambahkan: “Inilah koan-wie lenghoe dari Kay Pay,
terhadap benda ini sekalipun ketua jang sekarang, akan
menghormatinja. Kau bawa ini ke Utara, dimana perlu kau
tundjuki kepada setiap anggauta, kau memesan kata-kata,
maka djikalau nanti aku menjusul kesana, dapat aku mentjari
kau. Kalau perlu, kau pun boleh minta bantuan atau bekerdja
sama dengan dabang partai disetiap tempat !"
In Gak menerima baik dan menjimpan pertanda kepartaian
itu, ia kata: “Toako, kau sempat bertemu di Louw Kauw Kio
pada tanggal empat bulan lima. Itu waktu, djieko djuga bakal
tiba disana !"
„Djangan kau kuatir !" kata Tjhong Sie tertawa, „Djandji
kita berat bagaikan gunung ! Malah mungkin, sebelum kau
keluar dari propinsi Shoatang, kita akan sudah bertemu pula !"
Ketika itu pelajan muntjul dengan obat jang sudah matang,
dengan segera Tjhong Sie tjegluk itu.
“Kau masak pula” In Gak memerintah.
“Baik tuan,” djawab si pelajan, jang terus mengundurkan
diri.
In Gak lantas adjak saudara angkat itu dan muridnja pergi
ke restoran di depan. Ia tidak memesan arak, sebab Tjhong
Sie belum boleh minum air kata-kata. Untuk saudara itu, ia
minta bubur, maka djuga Kioe Tjie Sin Liong dahar tak
bernapas…”
Tjuma tiga hari mereka berkumpul, lantas mereka berpisah.
Tjhong Sie dan Tjioe Lin menudju ke Selatan , In Gak ke
Kho-yoe. Tempat itu terpisah dari Kang-touw tak lebih dari
seratus lie, mendekati maghrib, In Gak sudah sampai disana,

123
terus ia mengambil kamar di hotel Lian In, sebuah penginapan
jang ‘menjolok mata’ sebab jang tinggal disitu kebanjakan
orang Rimba Persilatan, sebagaimana nampak orang pada
membekal pelbagai sendjata. Maka pemuda ini, jang dandan
mirip peladjar diawasi dengan pandangan mata enteng.
“Tuan ada perlu apa?” tanja pelajan, jang mengantarkan
tetamunja kekamar dan terus menjediakan the. Dia berdiri
dengan hormat, kedua tangannja turun.
“Kenapa disini ada banjak orang Kang-ouw?” In Gak tanja,
“Apakah ini biasanja?”
“Tuan peladjar dan mungkin djarang bepergian,” sahut
pelajan itu, “Djadi tuan tidak tahu hal ichwal kaum Kang-ouw.
Djikalau tuan ingin ketahui, baiklah, aku akan mendjelaskan,”
Pelajan it uterus bersikap hormat, “Empat puluh lie dari kota
ini ada sebuah dusun Tjioe kee-tjhung dengan sang
tjhungtjoe, pemiliknja, jalah Liang Hoay Tayhiap, she Tjioe
nama Wie Seng, gelarnja Twie Seng Tek Goat, si Pengedjar
Bintang Pemetik Rembulan. Katanja dia sangat gagah. Kali ini
dia merajakan ulang tahunnja jang ke-60, hari pesta jaitu tiga
hari lagi. Pesta itu dibikin berbareng untuk dia mengumumkan
hendak mengundurkan diri. Untuk pestanja, dia telah
mengundang banjak tetamu. Disamping itu, ada lagi sesuatu
jang menarik perhatian. Tjioe tjhungtjoe mempunjai seorang
putri, Goat Go namanja, orangnja tjantik, ilmu silatnja tinggi,
bahkan katanja melebihkan ajahnja. Nona itu mempunjai
sepasang pedang mustika, namanja Kie Koat dan Tjeng Hong.
Karena nona Tjioe masih merdeka, di hari pesta akan
diadakan pieboe tayhwee, jaitu pertemuan persilatan, siapa
dapat mengalahkan si nona, orang itu selain akan dapat
hadiah pedang Kie Koat, dia pun akan memiliki si nona sendiri
sebagai istrinja. Hal ini menggemparkan maka djuga hotel
kami ini sekarang mendjadi ramai sekali.”
Habis berkata, pelajan itu tertawa, agaknja ia senang
sekali.

124
„Terima kasih!" kata In Gak, jang pun tertawa.
Pelajan itu tidak berdiam lebih lama lagi, sebab kebetulan
ada jang memanggilnja.
Setelah beristirahat, In Gak keluar untuk djalan-djalan. Ia
mendapatkan, dibanding dengan Kangtouw, Kho-yoe sepi
sekali, tjuma di djalan sebelah utara jang rada ramai. Disini ia
bersantap di sebuah restoran, terus ia pulang, niatnja untuk
tidur siang-siang. Di tengah djalan ia melihat seorang
pengemis berdiri di tepi djalan lagi meminta amal. Tiba-tiba ia
ingat suatu apa. Ia menghampirkan, ia menaruh uang di
tangan pengemis itu, seraja berkata dengan suara dalam:
“Loodjinkee, aku ingin bitjara dengan ketuamu, dimana adanja
dia sekarang?”
Pengemis itu hendak menghaturkan terima kasihnja, ia
terperandjat mendengar pertanjaan itu, segera ia mengawasi
tadjam, hingga untuk sekian lama itu ia berdiam sadja.
In Gak djuga mengawasi. Ia bisa mengerti kesangsian
orang. Maka tanpa ajal, ia mengasi lihat tongpaynja Kioe Tjie
Sin Liong.
Melihat itu, si pengemis terkedjut, tapi sekarang lekas
sekali sikapnja berubah tjepat ia menjahuti, suaranja hormat:
“Disini ada banjak orang, siangkong, mari turut aku jang
rendah.” Lalu ia berdjalan ke sebuah gang sempit dan gelap.
In Gak mengikuti. Gang gelap sekali, sampai susah melihat
lima djari tangan, tetapi itu tidak menjulitkan ia. Ia djalan
terus, meski pengemis itu sudah melewati gang ketjil lain.
Didepan sebuah kuil Sam Koan Bio, ia diminta menanti
sebentar, si pengemis sendiri langsung masuk.
Kuil itu tidak ada penerangannja, maka itu, didalamnja pun
gelap. Dari tjahaja bintang-bintang,
Terlihat bagian luar kuil sudah pada rusak. Ini djustru
tempat bagus untuk Kay Pay, jaitu Partai Pengemis jang
mendjadikannja markasnja.

125
-ooOOOoo-
Jilid 2.2. Tjioe Wie Seng mentjari menantu
Tidak lama muntjullah dua orang tukang minta-minta jang
djalan didepan jalah pengemis jang tadi. Jang lainnja berusia
lebih kurang lima puluh tahun, tubuhnja djangkung dan kurus.
Ia memberi hormat pada In Gak sambil menanja: “Siangkong
membawa tongpay Liong Say Houw partai kami, apakah
siangkong hendak menitahkan sesuatu?”
In Gak bersenjum. Ia tidak lantas mendjawab, hanja
menanja: “Apakah loodjinkee ketua Kay Pay disini? Aku
numpang tanja nama loodjinkee”
“Aku jang rendah Pek Boen Liang” sahut Pengemis itu,
“Tidak leluasa kita bitjara disini, silakan masuk kedalam.” Dan
ia memimpin.
Didalam, mereka memasuki pintu samping dari pendopo
untuk berduduk di kamar sebelah kanan. Disitu ada sebuah
pembaringan, sebuah medja dengan empat buah kursi.
Dapurnja kate. Segala apa tampak bersih.
“Apakah she dan nama siangkong?” pengemis tanja,
“Apakah siangkong sudi mengasi aku lihat tongpay partai kami
itu?”
Sekarang, di tempat terang In Gak dapat melihat tegas
pengemis itu, jang mukanja kuning dan berewokan dan
berdjenggot, jang sepasang matanja tadjam.
“Aku Tjia In Gak,” ia menjahut seraja terus lihatkan
tongpay-nja.
Mendengar nama itu si pengemis terperandjat hingga ia
berseru: “Ah, kiranja Tjia siauwhiap jang menggemparkan

126
kota Kim Hoa! Maaf!” meski begitu, dengan lekas, dengan
hormat ia menjambuti tongpay atau lebih tepat ‘Sin Liong Say
Houw leng’ untuk diletaki di atas medja bersama pengemis
jang satunja dia berlutut untuk memberi hormat dengan
mengangguk tiga kali, habis mana baru dia ambil kembali
untuk dikembalikan kepada si anak muda. Setelah itu ia
berkata menerangkan: “Sama sekali Sin Liong Say Houw Leng
ini ada tudjuh buah, djikalau bukan ada urusan besar dan
sangat penting, tidak pernah dikeluarkan. Di Pusat besar ada
disimpan tiga buah dan empat jang lain oleh empat orang
tianglo besar masing-masing. Pula Sin Liong Say Houw Leng
ini terdiri dari dua matjam. Jang di pusat terbuat kuningan
bian-kang sedang jang dimiliki empat tianglo dari perunggu,
dan jang siauwhiap miliki inilah satu diantaranja. Ditundjukinja
Sin Liong Say Houw Leng ini menjatakan perwakilan tiangloo,
tanda dari titah jang harus dihormati, maka itu segala perintah
boleh diberikan, perintah itu harus diturut oleh semua
anggauta. Pula ini dapat dipakai untuk menghukum siapa jang
membuat pelanggaran. Siauwhiap, aku mohon tanja, apakah
siauwhiap memiliki ini karena hadiah dari seorang tiangloo?
Pertanjaan ini tidak seharusnja diadjukan olehku, dari itu
terserah kepada siauwhiap sudi mendjawabnja atau tidak?”
In Gak tidak berkeberatan untuk mendjelaskan, maka itu ia
lantas tuturkan bagaimana ia telah berkenalan dengan Kioe
Tjie Sin Liong hingga untuk membalas budi, ia dihadiahkan
tong pay itu.
Mendengar itu, Pek Boen Liang segera menekuk lututnja
untuk memberi hormat.
“Tjia siauwhiap mengangkat saudara dengan Kioe Tjie
Tiangloo, dengan begitu siauwhiap adalah orang tertua dari
Kay Pay kami,” ia berkata, “Sekarang mohon kutanja
siauwhiap hendak memerintahkan apa, biar mesti menjerbu
api tak nanti kumenampik!”

127
In Gak memimpin bangun. “Bangun, Pek Paytauw,” katanja
sungguh-sungguh, “Mulailah kita membataskan perhubungan
kita. Kau harus ketahui, biar bagaimana, aku bukanlah
anggauta langsung dari partaimu. Dengan sikapmu ini kau
membuatnja aku sukar berbitjara.”
Boen Liang berdiri dengan kedua tangan dikasi turun, tanda
menghormat.
“Djikalau siauwhiap suka mengalah, baiklah Pek Boen Liang
bersedia menurut” katanja tetap hormat, “Sekarang ini Oey
Kie Pay mendjadi terlalu bertingkah, karena dia telah bentrok
dengan Kioe Tjie Tiangloo kami tak dapat berdiam sadja!
Baiklah, Boen Liang nanti mengumpulkan semua saudara di
wilajah Kangsouw Utara untuk menghadapi Pouwshia Soe Pa
!”
In Gak mengangguk.
“Kabarnja Oey Kie Pay baru bagun selama empat-lima
tahun ini” katanja, “Tetapi dia telah dapat mementang
pengaruhnja di tiga propinsi Kangsouw, Anhoei dan Ouwpak,
maka itu dapat diduga bahwa didalamnja ada orang-orang
jang pandai. Karena ini aku minta paytauw djangan bertindak
sembarangan. Aku sendiri jalah orang baru dalam dunia
kangouw, pengetahuanku belum banjak, djadi tentang partai
itu, aku belum tahu djelas. Mengenai ini, tentulah Kioe Tji
Tangloo telah mengaturnja baik-baik. Sekarang aku mohon
keterangan halnja Tjioe Wie Seng, dapatkah paytauw
mendjelaskan sesuatu?”
“Tjioe Wie Seng itu dari Thay Khek Pay,” Boen Liang
berkata, “Setelah masuk usia pertengahan, ia tinggal di
kampung halamannja hidup tenang sebagai guru silat, akan
tetapi ketika ia turun tangan di Kangsouw Utara, ia dapatkan
djulukannja itu ‘Liang Hoay Tayhiap’ pendekar dari Liang
Hoay. Tentang sekarang ia mengundurkan diri ada sebabnja
jang memaksa. Kira-kira tiga tahun jang lalu, Oey Kie Pay

128
telah mengundang Tjioe Wie Seng masuk dalam partainja, ia
menampik. Karena itu, perhubungan mereka djadi buruk,
sering Oey Kie Pay datang mengatjau, saban-saban mereka
kena dipukul mundur. Walaupun ada perhubungan jang buruk
itu, pada permulaan tahun ini Oey Kie Pay kembali mengirim
utusan, kali ini untuk melamar puterinja Wie Seng untuk Giok
bin Djie Long Sien It Beng, jang berdudukan sebagai ketua
Gwa Sam Tong dari Oey Kie Pay. Dialah murud Khong Tong
Pay, dia belum pernah menikah. Dia dipudji tampan dan
gagah. Tjioe Wie Seng bentji Oey Kie Pay, lamaran itu ditolak.
Masih partai itu penasaran, masih dua kali mengirim utusan
mengadjukan pula lamaran mereka. Kembali semua itu
ditolak. Achirnja Oey Kie Pay mendjadi murka dan sesumbar,
djikalau si nona Tjioe tidak dinikahkan dengan Sien It Beng,
Tjioe Kee-tjhung hendak dibikin rata dengan bumi. Untuk ini
mereka lantas memasang mata-mata disekitar Tjioe keetjhung.
Achirnja Tjioe Wie Seng mendjadi kewalahan, maka ia
lantas menjebar surat undangan untuk kaum Rimba Persilatan
menghadiri pesta ulang tahunnja jang ke-60 diwaktu mana ia
hendak menjimpan pedangnja untuk mengundurkan diri
sekalian mengadakan pertandingan silat persahabatan guna
memilih menantu, jang nanti dinikahkan dengan puterinja.
Atjara pertandingan jalah kemenangan sepuluh kali dan jang
menang itu, asal dia belum menikah, dia akan dinikahkan
dengan nona Tjioe, umpama pihak Oey Kie Pay jang menang,
si nona akan dipasangi dengan Sien It Beng. Pihak Oey Kie
Pay ketahui baik maksudnja Tjioe Wie Seng jang mengandal
keadilan Rimba Persilatan, tetapi mereka tidak takut. Mereka
pertjaja partainja mempunjai banjak orang liehay dan mereka
sekalian ingin mendjagoi diwilajah sini. Begitulah pihak Oey
Kie Pay itu menjatakan kesetudjuannja dan sekarang ini sudah
siap sedia, dari Ouwpak dan Anhoei sudah datang djagodjagonja.
Tjumalah mereka itu belum mau turun tangan
sebelum tiba sang waktu”

129
Mendengar begitu, In Gak lantas mengambil putusan untuk
membantu setjara diam-diam pada Tjioe Wie Seng, supaja
setelah berhasil, ia dapat segera mengundurkan diri.
“Djikalau begitu, terlalu Oey Kie Pay itu,” katanja, “Aku
memikir untuk membantu Tjioe Wie Seng. Apakah Pek
Paytauw dapat membantu aku? Disini ada berapakah saudara
jang ilmu silatnja dapat diandalkan?”
“Tentu, siauwhiap!” sahut Boen Liang, “Orang kita disini
jang mengerti silat tjuma dua puluh orang lebih, akan tetapi
dapat kita minta bantuan dari Liang Hoay. Asal siauwhiap suka
menggunai Sin Liong Leng, dalam satu hari mereka itu bisa
sampai disini”
In Gak sudah lantas mengeluarkan tongpaynja. Tapi Boen
Liang menggojang-gojang tangannja.
“Tak usah siauwhiap menjerahkan Sin Liong Leng” katanja,
“Tjukup asal siauwhiap mengutjapkan sepatah kata!”
In Gak mendjadi heran dan kagum. Tidak ia sangka
demikian besar pengaruhnja Sin Liong Leng itu. Dari sini
terbukti bagaimana sungguh-sungguh Kioe Tji Sin Liong
membalas budi hingga tongpay itu diserahkan padanja.
“Baiklah!” katanja kemudian, “Aku memberikan titahku!”
Pek Boen Liang lantas memerintahkan pengemis jang tua,
jang terus mengundurkan diri.
In Gak kemudian memesan, kalau Kioe Tji Sin Liong
datang, agar ia diberitahukan.
Kemudian ia pamitan, untuk pulang ke hotelnja. Oleh Pek
Boen Liang ia diantar sampai di djalan besar.
Ketika itu sudah hampir djam tiga. Selagi In Gak bertindak
memasuki pekarangan hotel, dari dalam, dari pintu hotel
rembulan, keluar tiga jang djalannja tjepat, kelihatannja
mereka sudah sinting. Tanpa dapat ditjegah, mereka

130
bertubrukan. Orang jang didepan itu mendjerit kesakitan,
waktu ia memandang, ia melihat seorang peladjar muda
mengawasi ia sambil bersenjum. Ia mendjadi gusar sekali.
“Anak tjelaka!” ia berteriak. Kau telah membentur dada Ho
Toaya hingga Ho Toaya merasa sakit, kenapa kau tidak mau
lekas matur maaf?”
“Kau aneh tuan!” sahut In Gak, tertawa dingin, “Djusteru
kaulah yang tidak mempunjai mata, djikalau aku tidak keburu
kelit, mungkin terjadi perkara djiwa! Sudah kau sinting, kau
masih kelajapan! Bukankah lebih baik kau pulang dan rebah di
pembaringanmu sebagai majat?”
“Hai kurang adjar!” berteriak orang she Ho itu jang
menjebut dirinja ‘tuan besar’ (toaya). Kau berani mengadjari
aku? Anak tjelaka, kau rebahlah!”
Kata-kata ini ditutup dengan tindjunja jang besar dan
keras.
Bagaikan kilat tjepatnja, tangan In Gak menjambar
memapaki lalu tiga djeridjinja memegang nadi orang, jang
terus dilempar hingga seketika itu djuga ‘tuan besar’ she Ho
itu terpelanting roboh delapan tindak.
Tanpa menghiraukan orang mati atau terluka, si anak muda
terus bertindak masuk.
Kedua kawannja orang she Ho itu kaget. Peristiwa itu
berdjalan tjepat sekali. Ketika mereka menghampirkan kawan
mereka, untuk dikasi bangun, mereka djadi lebih kaget lagi.
Lengan kanan kawan itu bengkak besar sekali. Tidak ajal lagi,
mereka memajang kawan itu untuk lekas menjingkir.
Ketiga orang itu buaja darat semuanja, mereka tahu
mereka telah bertemu orang liehay, takutnja bukan main,
maka itu, mereka segera mengangkat kaki.

131
Sedjumlah tetamu muntjul karena rebut-ribut, waktu
mereka menjaksikan peristiwa itu, mereka pada tertawa. Tapi
diantaranja ada djuga jang memperhatikan si anak muda.
Besoknja pagi, selagi In Gak keluar dari kamarnja, untuk
membuang air, di depan ia, diluar kamar nomor tiga, ada dua
orang tengah memasang omong, kapan mereka melihat ia,
mereka itu mengangguk dan bersenjum djuga, meski ia tidak
kenal mereka itu, ia mengambil sikapnja itu sebagaimana
lajaknja sadja. Ketika ia memutar tubuh, untuk kembali ke
kamarnja, ia melihat dua orang itu bertindak kearahnja. Tanpa
merasa, ia menunda tindakannja.
Dari dua orang itu, jang satu berumur lebih kurang empat
puluh tahun, mukanja bersemu merah, sepasang matanja
tadjam,badjunja biru, dipunggungnja ada golok Gan leng Kioesit-
too. Jang lainnja umur kira-kira lima puluh tahun, kumisnja
sudah putih semua, tubuhnja sedang, matanjapun tadjam,
badjunja abu-abu pandjang sampai di dengkul, tjelananja
sepan. Dia membekal sebatang tongkat Hoed-tjioe-koay. Dia
bermuka merah.
“Tuan hebat sekali, ilmu silatmu Kim-na-tjioe!” kata dia ini
tertawa, “Kami kaguml"
“Itulah tidak berarti," In Gak berkata merendah, „Silakan
masuk!”
Dua orang ini tidak menampik, maka dilain saat, mereka
bertiga sudah didalam kamar.
Si tua tak berlaku sungkan lagi.
,Aku si tua Hoei-in-tjioe Gouw Hong Pioe," dia
memperkenalkan diri. „Dan ini saudara Patkwa Kim-Too The
Kim Go. Tuan, kau she apa?"
„Terima kasih!" sahut In Gak, hormat. “Aku jang rendah
she Gan nama Gak."

132
Pemuda ini menganggap perlu ia mengubah she dan nama
setelah di Kim-hoa ia membuat kegemparan, ini djuga perlu
untuk menolongi Tjioe Wie Seng. Pula ia belum kenal kedua
orang she Gouw dan she The ini.
Dua orang itu saling mengawasi nampaknja mereka heran.
Nama Gan Gak itu aneh.
"Oh, Gan Siauwhiap!" kata Hong Pioe: “Didalam Oey Kie
Pay siauwhiap memangku djabatan apakah?”'
Hati In Gak bertjekat. Mungkiln orang ini salah mengenali.
,Aku bukan orang Oey Kie Pay," ia mendjawab, „Aku ini
dari Kangsay mau pergi ke Uta¬ra, kebetulan sadja aku lewat
disini dan mampir, sebab aku mendengar kabar Tjioe Tayhiap
hendak mengadakan pesta besar. Ingin aku menonton orang
pie-boe. Oey Kie Pay itu perkumpulan kenamaan. Apakah
tuan-tuan hendak mentjari salah satu orangnja?”
Mendengar itu Hong Pioe memandang Kim Go dan tertawa
lebar.
“Apa kataku?” katanja, “Begitu aku melihat, aku pertjaja
Gan siauwhiap bukan orang sebangsa mereka itu! Sekarang
baru kau pertjaja aku, laotee!”
Muka Kim Go kelihatan merah.
„Gan sianwhiap, mari kami memperkenalkan diri," kata pula
Hong Pioe, jang terus memberikan keterangannja tanpa
diminta lagi, hingga sekarang ia ketahui baik siapa adanja dua
orang ini.
Gouw Hong Pioe dan The Kim Go terkenal sekali di Kwangwa.
Mereka tinggal di Utara Charhar sebagai pemilik
peternakan „Charhar Utara." Selama belasan tahun, kuda
mereka berdjumlah empat-sampai limapuluh ribu ekor. Tjioe
Wie Seng sahabat akrab mereka: Sekarang mereka datang
kemari karena menerima undangan. Setelah bertemu dengan

133
Wie Seng mereka lantas menjewa kamar dihotel Lian In.
Sudah tudjuh hari mereka datang. Setjara diam-diam mereka
tengah manjelidiki gerak-gerik orang-orang Oey Kie Pay. Baru
sadja mereka memikir untuk kembali ke Tjioe-kee-tjhung,
mereka berkenalan dengan In Gak, jang mereka kenal sebagai
Gan Gak.
„Djikalau siauwhiap niat pergi ke Tjioe-kee-tjhung, kenapa
kita tidak mau pergi bersama?" Hong Pioe mengadjak,
“Dengan begitu kita tak usah kesepian ditengah djalan. Kami
pun mengharap bantuan siauwhiap”
In Gak berpikir, lantas ia menerima baik adjakan itu.
“Hanja aku minta djanganlah saudara-saudara terlalu tinggi
mengangkat aku” pintanja.
“Djusteru siauwhiap jang terlalu merendah,” kata Hong
Pioe tertawa, “Nanti kami merapihkan dulu pauwhok kami,
habis bersantap, baru kita berangkat”
In Gak akur, maka ia mengantar kedua sahabat baru itu
pergi keluar. Selagi Hong Pioe berdua masuk ke kamarnja, ia
terperandjat. Di depan ia, dari sebuah kamar, ia melihat
muntjulnja seorang nona jang berbadju merah jang tjantik
sekali, alisnja lentik, matanja tadjam, hidungnja bangir,
mulutnja ketjil dua baris giginja putih. Potongan mukanja jalah
potongan kwatji. Sudah pakaiannja singsat, dia pun memakai
ikat pinagang putih dimana ada tergantung pedang dengan
runtje hidjau, sedang tangannja memegang sebatang
tjambuk. Sepatunja berwarna hitam.
„Mesti dia mahir ilmu-dalamnja," pemuda ini berpikir.
Si nona dapat melihat orang memperhatikan ia, atjuh tak
atjuh, ia bersenjum, terus ia tertawa seraja terus berlalu
dengan tjepat.

134
Setelah berumur hampir dua puluh tahun itu, baru kali ini
In Gak melihat pemudi setjantik itu, saking kagum ia mendjadi
berdiri mendjublak sadja. Ia bagaikan merasa kosong begitu
lekas si nona lenjap dari pandangan matanja, dengan tidak
keruan rasa ia masuk kekamarnja.
Lekas sekali Hong Pioe dan Kim Go muntjul pula. Mereka
sudah menggembol buntalan mereka.
“Siauwhiap, uang hotel kami telah bereskan,” katanja
tertawa, “Mari kita bersantap, supaja kita bisa lekas
berangkat”
Pemuda ini bersiap tjepat, maka bertiga mereka pergi ke
rumah makan, untuk sarapan dengan begitu dilain saat,
Nampak mereka sudah mulai dengan perdjalanan mereka
menudju ke Tjioe-kee-tjhung, jang pernahnja lima puluh lie
dari kota Kho-yoe kedudukannja berdamping dengan gunung
dan sungai, gunungnja hidjau, airnja djernih, sekitarnja sunji
dan njaman.
Penduduk Tjioe-kee-tjhung, sedjumlah limaratus keluarga,
hidup bertani dan mentjari kaju, sedang rumahnja Tjioe Wie
Seng berada ditengah-tengah, besar gedungnja, lebar
pekarangannja. Dilihat sepintas lalu rumah itu merupakan
seperti separuh dusun. Sekitar rumah dikurung air, jang lebar
sepuluh tombak, dan dalamnja air setombak lebih. Terutama
di-itu waktu, terlihat beberapa tjhungteng tengah meronda. Di
tengah lian-boe-thia, jaitu lapangan berlatih, berdiri sebuah
loei tay, panggung untuk bertanding jang ditjat merah serta
sepasang liannja bertuliskan huruf-huruf air emas, bunjinja:
„Jang datang, jang pergi, semua orang gagah" dan „Semuanja
polos dan djudjur, tidak ada jang telengas dan palsu." Loeitay
itu diberi nama „Wan Yo Tay," atau panggung burung wanyo.
(Burung wanyo, jaitu bebek mandarin, lambang suami is¬teri
jang rukun).

135
Dekat samping panggung ada gubuk atau tetarap jang
bersih lengkap dengan kursi-mendja jalah peranti orang
berteduh dan menjaksikan pie-boe atau pertandingan. Ketika
itu sudah berkumpul lebih dari lima puluh tetamu kawan tuan
rumah. Ketjuali tamu, pengurus dan pelajan begitu repot, pula
ada tetamu jang membantu mengawasi orang-orang Oey Kie
Pay, untuk mengawasi mereka kalau mereka main gila.
Sebagai tetamu baru, In Gak tidak mendapat tugas apaapa,
sehingga leluasa ia melihat-lihat, seakan-akan
memperhatikan sluruh Tjioe-kee-tjhung, habis mana seorang
diri ia kembali dengan puas ke Kho-yoe untuk mengadjak Pek
Boen Liang, untuk mengatur segala apa, guna membantu
urusannja, sesudah itu ia balik pula ke Tjioe-kee-tjhung. Ia
sudah mendengar laporan dari Boen Liang, jang sudah
menjiapkan lebih daripada enampuluh djago, bahkan
diantaranja sudah ada jang turun tangan mengawasi matamatanja
Oey Kie Pay jang bersembunji di tudjuh tempat di
luar dusun.
Saat itu, lohor djam tiga, Sang Betara Surya mulai tjondong
ke barat, diantara pepohonan jang lebat dekat lauwteng Pek
lok, bagian dalam dari ranggon Tjioe Wie Seng, ada berdiri
seseorang dengan pakaian hitam terus dia nelusup masuk
taman bunga, disitu dengan sebutir batu sebesar katjang dia
menimpuk kearah lauwteng. Hasilnja tidak kedengaran apaapa
dia mendekati rumah lantas dengan lidahnja dia
membasahkan kertas djendela, untuk mengintai kedalam.
Itulah kamarnja Nona Tjioe. Ketika dia membongkar djendela,
dari sisinja dia mendengar suara tertawa dingin perlahan. Dia
terkedjut lantas dia memutar tubuh. Tapi dia tidak melihat ada
orang. Tentu sekali dia mendjadi heran. Tengah dia
memasang mata, mendadak pundaknja jang kanan terasa
kaku, tanpa dia menghendaki goloknja djatuh kelantai papan
papan lauwteng hingga terdengarlah suara berbisik.

136
Dengan satu sabetan tangan kiri, orang itu membatjok
kebelakang, terus dia lompat turun, setibanja di tanah, dia
memasang kuda-kuda dengan goloknja disiapkan. Dia melihat
ke sekitarnja. Tetapi dia tidak mendapatkan siapa djuga.
Taman itu sunji seperti semula tadi, tjuma pohon-pohon
bunga bergojang sendiri karena sampokan angin halus. Di
belakangnja dia mendapatkan bajangannja sendiri, pandjang
dan ketjil mirip gala.
“Apakah ini disebabkan hatiku terlalu bergelisah?” dia kata
dalam hatinja. Dia mendjadi ragu-ragu. “Mulanja telingaku
mendengar suara tertawa, lantas pundakku kaku…Apakah itu
bukan sebab gangguan asabab?” Dia djadi bersenjum
sendirinja. Lantas dia berpikir pula: “Aku telah mendapat
tugas tidak dapat aku pulang dengan tangan kosong, atau
selain aku bakal ditegur, orangpun akan mentertawainja.
Akulah Sam Tjioe Khong Khong Tjie Ek, si radja pentjuri.”
Oleh karena dapat memikir demikian, orang jang menjebut
dirinja “Sam Tjioe Khong ini, jalah si radja pentjuri bertangan
tiga, sudah lantas mendjedjak tanah pula, akan kembali
berlompat naik keatas lauwteng. Kesunjian taman itu
membuatnja berani sekali.
Kali ini, belum lagi dia tiba di lauwteng, baru dia terpisah
dari tanah kira lima kaki, sekonjong-konjong paha kirinja, di
djalan darah dengkul sebelah dalam, terasa terpagut sesuatu,
njerinja mendesak ke ulu hatinja, hingga tak ampun lagi,
berbareng dengan keluhannja tertahan, dia roboh terbanting,
hingga debu mengepul naik disekitarnja. Bukan main dia kaget
dan takut, sedjenak itu, tak lain ingatannja ketjuali untuk
menjingkirkan diri. Paling dulu dia terus menggulingkan
tubuhnja, dalam gerakan si “Keledai malas bergulingan” untuk
bergelindingan ke gombolan pohon bunga, untuk
menjembunjikan diri disana tanpa berkutik, tanpa bersuara.

137
Dari luar tempat ia bersembunji itu Tjie Ek lantas
mendengar suara tertawa dingin disusuli edjekan tak sedap
untuk telinga : “Bangsat dogol!” Untuk kupingnja, nada suara
itu sangat menusuk hati, hingga dia merasa terganggu seperti
kupingnja didengungkan suara njamuk.
Dia mendjadi kaget berbareng takut. Baru sekarang dia
menduga kepada seorang liehay jang mengawasi padanja.
Segera dia merajap untuk menjingkirkan diri ke samping.Dia
ingin keluar diam-diam, seperti tadi dia masuknja, tanpa
menemui orang. Setelah merasa aman, perlahan-lahan dia
berbangkit untuk menongolkan kepala dari lebatnja
pepohonan.
“Ih!” tiba-tiba dia berseru tertahan, saking kaget. Di
depannja dia melihat sepasang kaki manusia. Tubuhnja
bergidik tanpa dia merasa. Ketika dia sudah mengawasi lebih
djauh, dia melihat tubuh seorang jang tertutup djubah abuabu,
dadanja lebar, pinggangnja tjeking, sepasang tangannja
putih, sedangkan mukanja beda dari kebanjakan orang, inilah
muka dari satujat, biru gelap atau matang biru, air mukanja
dingin, alisnja lanang, sebaliknja, sinar matanja jang tadjam
sekali mendatangkan rasa membangunkan bulu roma.
Tak dapat Tjie Ek mengangkat kepala pula, hatinja
mendjadi tjiut.
“Tolong tuan, tolong membiarkan aku pergi pulang…”
katanja, tubuhnja gemetaran.
Orang itu tidak menjahut, tjuma sinar matanja jang
memain bengis.
Sam Tjioe Khong Khong bergidik, dia menggigil sendirinja.
,,Djikalau tuan tidak ada perlu apa-apa tagi, maaf, tidak
dapat aku menemani lebih lama pula, “ kata dia pula seraja
tubuhnja mentjelat, untuk naik ke tembok.

138
“Tak dapat kau lari!” kata satu suara dingin, disaat dia
berlompat tinggi tiga kaki. Mendadak dia merasa kaki
kanannja njeri dimana dia djatuh terbanting sehingga
kepalanja pusing, matanja kabur, disitu dia rebah terkulai
bagaikan tenaganja habis, terasa sakit dan ngilu seluruh
tubuhnja, sedang djidatnja mengeluarkan peluh sebesar
katjang kedele. Dia terus merintih. Di depannja, dia melihat si
orang tadi berdiri diam dengan mukanja tertawa dingin.
Tapi tak lama, orang itu memutar tubuhnja, sebelah
tangannja dibawa kemukanja. Ketika ia memutar tubuhnja
kembali, sekarang tertampaklah wadja pemuda jang tampan.
Lantas ia bertindak perlahan-perlahan, berlalu dari situ.
Tjie Ek heran dan berkuatir, sedang dia biasanja tidak kenal
takut, sebagaimana kali ini, dia menjateroni Tjioe-kee-tjhung
diwaktu lohor. Memang biasa setiap pentjuri bekerdja di waktu
malam, tetapi dia ini telah memikir, djikalau dia dating malam,
pasti pendjagaan kuat dank eras. Maka dia bekerdja siang. Dia
pandai nelusup, tanpa menemui rintangan, dia dapat masuk
kedalam taman bunga. Dia pertjaja, umpama kata dia
dipergoki, pihak pendjaga bakal menduga dialah salah satu
tetamu. Sudah sedjak beberapa hari, banjak orang dating dan
pergi, kawan dan lawan tak diketahui, tak dikenali. Sampai
sebegitu djauh, dia tak kepergok, hingga hatinja girang sekali
diluar dugaannja, disaat dia bakal berhasil, dia roboh ketjewa
dan menderita, hingga runtuhlah nama besarnja.
Malam itu ruangan Tjie-eng-thia dari rumahnja Tjioe Wie
Seng terang mirip siang hari. Wie Seng berseri-seri sambil
tertawa gembira. Disitu pun hadir Tjia In Gak bersama Gouw
Hong Pioe dan The Kim Go, serta sahabatnja dua orang ini,
jang baru tiba tadi pagi jalah Kim bian Gouw Khong Hauw Lie
Peng. Mereka berempat berdiam di podjok kanan dimana
mereka memasang omong perlahan sekali.

139
Tepat tengan orang berbitjara dengan asjik itu, seorang
tjhungteng lari masuk dengan tergopoh-gopoh terus dia
menghampirkan Tjioe Wie Seng untuk melaporkan:
“Tjhungtjoe, pendjaga keempat telah mendapatkan seorang
terluka rebah di dekat lauwteng Pek Tjin Kok, dia menjebutkan
dirinja Sam Tjioe Khong Khong Tjie Ek”
Wie Sang mengerutkan alis, „Bawa dia kemari!" la
menitahkan.
Tidak lama, Tjie Ek telah digotong masuk, diletaki dilantai.
Dia masih mengeluarkan keringat didjidatnja, sedang
pakaiannja kujup dengan peluhnja itu. Tubuhnja pun
bergemetaran, dan mukanja putjat sekali.
“Tjioe Tayhiap berlakulah murah!" kata sipentjuri liehay,
sua¬ranja lemah. „Tolong mambebaskan aku dari totokan,
nanti aku omong terus-terang."
Wie Seng heran, ia mendekati sambil menduga-duga apa
mungkin Tjie Ek datang dengan maksud buruk dan ada orang
jang telah memergokinja sekalian meroboh-nja. Ia lantas
menotok, berniat membebaskan.
„Aduh! Aduh!" Tjie Ek berteriak-teriak. Dia bukannja bebas,
dia merasakan sakit luar biasa.
Wie Sang merah mukanja, ia mengawasi melongo.
Dari antara para hadirin ada seorang tua, jang
menghampirkan Tjie Ek. Ia membalik tubuh orang untuk
menotok punggungnja tiga kali, disusul sama satu tepukan
keras. Mendadak si pentjuri mendjerit keras, dari mulutnja
menjembur reak, setelah itu dia dapat bangun berdiri, hanja
dia lesu sekali.
Si orang tua menghela napas, ia berkata : “Orang jang
telah menotok itu liehay sekali, kalau dia menotok lebih keras
sedikit sadja, djiwa orang ini bakal terbang melajang. Inilah

140
ilmu totok jang djarang ada, sudah beberapa puluh tahun aku
mentjoba mempeladjari, aku tetap tidak berhasil. Apa jang
aku bisa jalah tjuma ilmu membebaskannja."
Mendengar itu, Wie Seng menghadapi orang tua itu,
sembari tertawa ia berkata: „Sebegitu djauh jang aku ketahui,
djarang sekali kau memudji orang, baru sekarang aku
mendengar In Liong Sam Hian To Tjiok Sam berbitjara begini
rupa!"
Kapan In Gak mendengar orang itu jalah To Tjiok Sam
gelar In Liong Sam Hian, si „Na¬ga langit jang tiga kali
muntjul dimega," jang pun dikenal sebagai Kwan-gwa It Tjiat,
si orang gagah nomor satu dari wilajah Kwan-gwa, ia
memandangnja beberapa kali. Selama di Tjin Tay Piauw-kiok,
pernah ia mendengar Siauw Thian membitjarakan halnja djago
she To itu, jang katanja liehay ilmunja luar dan dalam,
kesohor ilmunja ringan tubuh terutama tangannja, jang
dinamakan Taylek Kimkong Tjiang, atau „Tangan Arhat Kuat."
Pukulannja itu, jang biasa dilakukan sambil berlompat katanja,
dapat mengenai orang dalam djarak sepuluh tombak.
“Tjie giesoe,” Wie Seng menanja, panggilannja hormat
tetapi suaranja keren, “Apa maksudmu datang ke gedungku
ini? Sukalah kau omong terus terang tidak nanti aku
sembarang bertindak terhadap dirimu.”
Tjie Ek menjeringai, dia djengah sekali.
„Aku telah dibebaskan dari totokan, tidak dapat aku tidak
membalas budi,” sahutnja. Lantas dia memberikan
keterangannja, mendengar mana para hadirin kaget bukan
main.
Partai Bendera Kuning, Oey Kie Pay, dikepalai oleh Pat Pie
Kim-kong 0e-boen Loei si Tangan Delapan sebagai paytjoe,
ketuanja. Dialah murid satu-satunja dari Shatohuoto, seorang

141
pendeta hanu dari Tibet, kepandaian siapa ia telah berhasil
mewariskan delapan sampai sembilan bagian. Dia pun tjerdik
sekali. Umurnja baru empat puluh lebih. Dia membangun
partainja baru tiga tahun, kemadjuannja sudah pesat sekali,
pengaruhnja meluas diketiga propinsi Kangsouw, Anhoei dan
Ouwpak. Besar tjita-tjitanja, dia ingin mementang
pengaruhnja itu hingga di sembilan propinsi disepandjang
sungai Tiang Kang. Selama dua tahun dulu dia sudah mulai
menelan beberapa partai ketjil di sembilan propinsi itu.
Kemudian dia menghadapi tentangan keras, lantas dia
mengubah siasat, dari keras mendjadi lunak, jalah dengan
mengambil hati orang-orang jang kosen, untuk bekerdja
sama.
Siapa tidak mau bekerdja sama, dia tjoba membikin tjelaka,
dengan dibunuh setjara menggelap atau difitnah. Demikian
Tjioe Wie Seng hendak dia tarik kedalam partainja, karena
tjhungtjoe dari Tjioe-kee-tjhung ini menentang, dia lantas
menggunai siasat. Dia sendiri sebenarnja menganggap Wie
seng masih boleh dibiarkan sadja. Jang berkeras menghendaki
ini jalah Hoe paytjoe Liat-ho-tjhee Tjin Lok, si Bintang Api
berkobar. Ia ini kata, Wie Seng kepala besar. Disamping itu ia
sebenarnja menjimpan maksud lain. Jalah ia mengintjar
sepasang pedang mestika Wie Seng, atau sedikitnja sebatang
diantaranja. Kioe Koat atau Tjeng Hong, supaja dengan
bersendjatakan pedang itu ia djadi semakin kosen. Wie Seng
pun tidak dapat ditindas dengan kekerasan sebab Oe-boen
Loei masih djeri terhadap pemerintah Boan, jang sedang
makmur dan kuatnja. Dia kuatir nanti terbit peristiwa besar
hingga dia ditindas pemerintah. Dilain pihak, dia tidak sudi
bentrok sama ketua mudanja, maka dia suka mengalah
terhadap siasatnja Tjin Lok itu.
Demikian Sien It Beng digunai sebagai alat untuk melamar
Nona Tjioe. Lantaran Wie Seng bertindak hendak
mengundurkan diri dan mengadjukan sjarat pie-boe guna

142
menntjari djodoh puterinja, mau tidak mau Tjin Lok
melakukan persediaan berbareng menggunai kekerasan
setjara diam-diam andaikata It Beng gagal. Ia menjiapkan
segala apa untuk penjerbuan . Goat Go hendak ditjulik, supaja
penjelesaian datap dilakukan setjara “lunak.” Tjie Ek telah
diberi tugasnja itu. Menurut rentjana, Tjie Ek mesti bekerdja
pada satu hari dimuka pie-boe, jaitu diwaktu malam Goat Go
mesti dibikin pulas dengan asap bius. Kalau Tjie Ek berhasil,
dia mesti memberi tanda, nanti Tjioe-kee-tjhung hendak
diantjam untuk diserbu. Kalau semua orang Tjioe-kee-tjhung
keluar untuk menangkis serbuan, Tjie Ek mesti bekerdja
terlebih djauh mentjuri kedua pedang. Di saat katjau, diduga
gedung kosong dan Tjie Ek bisa bekerdja dengan leluasa.
Setelah berhasil, pihak penjerbu bakal lekas mengundurkan
diri.
Untuk djadi penjerbu ini, dipilih musuh-musuhnja Wie Seng,
supaja Oey Kie Pay dapat mentjutji tangan. Bahkan sebaliknja
Oey Kie Pay akan memberikan djandjinja hendak membantu,
dalam waktu tiga bulan, si nona bakal dapat ditolong. Tentu
sekali, Sien It Beng jang bakal djadi penolong palsu itu, supaja
karena mengingat budinja, Goat Go suka menikah dengannja.
It Beng itu mempunjai roman tak dapat ditjela. Akan tetapi
Tjie Ek bukan bekerdja malam, dia bekerdja siang, latjur
untuknja, dia kepergok dan kena ditawan. Bahkan terpaksa
dia mesti membuka rahasia.
Semua orang kaget mendengar kebusukan Oey Kie Pay,
jang menggunai akal muslihat kedji itu. Sjukurlah ada si
penolong tidak dikenal, hingga usaha Tjie Ek dapat
digagalkan, hingga sekarang rahasia Oe-boen Loei atau Tjin
Lok terbuka.
“Sajang kau dirintangi, Tjie giesoe,” kata Wie Seng
kemudian, “Dapatkah kau mendjelaskan,bagaimana romannja
orang jang merobohkan kau itu?”

143
Dengan djengah Tjie Ek mentjeritakan semua halnja.
Wie Seng heran, matanja menjapu semua hadirin.
“Siapakah sahabat itu?” tanjanja bersenjum, “Apa ada
diantara saudara-saudara jang mengenal ia?”
Semua orang saling mengawasi. Ketika Hong Pioe
memandang In Gak, hatinja berkata: “Mungkinkah dia ini?
Tapi menurut Tjie Ek, orang itu liehay sekali, sedang dia ini
masih terlalu muda. Siapakah dia itu?”
In Gak telah menjalin pakaian, ia menduga pengusaha
ternak ini mentjurigai ia, maka sambil tertawa ia kata:
“Saudara Gouw, menurut Tjie Ek orang itu mesti seorang
gagah luar biasa, maka aku ingin sekali dapat berkenalan
dengannja”
“Aku pun sangat ingin menemui dia!” kata Hong Pioe, “Tapi
dia orang luar biasa, djikalau dia tidak memperlihatkan dirinja,
meskipun kita bertemu dengannja, sukar untuk
mengenalinja!”
Habis berkata orang she Gouw itu tertawa lebar.
In Gak mengangguk, ia tertawa, ia tidak bitjara lagi.
Lantas Wie Seng memerintahkan Tjie Ek dikurung dalam
kamar batu. Dia akan dibebaskan kapan waktunja telah tiba.
Dilain pihak, ia menitahkan pendjagaan terlebih keras dan
hati-hati.
Demikianlah, malam itu lewat dengan aman. Tapi itu
bukannja tak terdjadi sesuatu. Karena Tjie Ek tidak kembali,
Tjin Lok mengirim tiga orang untuk mentjari tahu. Tjelaka
mereka ini, dipegat seorang bertopeng dan dibikin roboh
dengan totokan, terus mereka diantar pulang ke markas
mereka.

144
Kapan sang pagi datang, Tjioe-kee-tjhung mendjadi ramai
sekali. Tetamu-tetamu datang tak putusnja. Repot orang
melakukan penjambutan dan melajani mereka semua.
Gubuk timur dipakai untuk tetamu-tetamu jang membantu
pihak tuan rumah, gubuk barat untuk semua tetamu lainnja,
jang terdiri dari orang dari segala matjam golongan. Dari
pihak Oey Kie Pay, Oe-boen Loei mengirim Tjin Lok beserta
belasan djagonja. Diantaranja terhitung Sien It Beng.
Tjioe Wie Seng dan puterinja duduk di tetarap timur,
didampingi In Liong Sam Hiap To Tjiok Sam. Mata dia ini
tadjam mengawasi ke tetarap timur. Diatas medja terletak
sepasang pedang jang sarungnja tertaburan batu merah,
sedang runtjenja sutera kuning gading.
In Gak duduk di baris pertama, di medja kedua. Bersama ia
ada rombongannja Gouw Hong Pioe. In Gak pernah bertemu
dengan Nona Tjioe, ia menganggap nona itu toapan, benar dia
tidak tjantik luar biasa tetapi toh menarik hati, hingga ia
memikir: “Entah bagaimana tabiatnja Nona Tjioe ini…” Ia
memikir demikian karena ingat Nona Wan Lan, jang lagak
lagunja memuakkan. Memangnja ia tak pernah mentjitjipi
rawatan dan kasih sajang ibunja, dari itu, mengenai wanita, ia
asing sekali.
Goat Go sebaliknja, begitu ia melihat In Gak, meresap
sudah kesannja jang baik. Pemuda itu tampan, halus gerakgeriknja.
Tapi ia tidak bisa memikirkan pemuda itu. Sekarang ia
sudah tidak bebas pula, ia bakal djadi rebutan orang banjak.
Umpama kata In Gak turut naik di panggung, ia pertjaja
pastilah dia tidak bakal sanggup melawan banjak iblis.
Selagi In Gak mengawasi ke tetarap barat, tiba-tiba hatinja
bertjekat. Disana ia melihat si nona berbadju merah, jang
lenjap dalam sekelebatan di hotelnja kemarin ini. Hampir ia
mendjerit sendirinja. Nona itu baru tiba,

145
Dia diantar masuk oleh pelajan. Dia masih memegang
tjambuknja jang hitam mengkilap, rupanja terbuat dari otot.
Begitu tiba, matanja menjapu kelilingan, baru dia berindak ke
gubuk, tindakannja tetap.
Semua hadirin, baik dari tetarap timur, maupun dari tetarap
barat, turut tertarik hatinja, semua mengawasi si nona badju
merah itu. Dia langsung menghampirkan Tjioe Wie Seng,
untuk berbisik, atas mana, tuan rumah nampak girang. Lantas
dia diundang duduk bersama Nona Tjioe dan diadjar kenal
degan To Tjiok Sam beramai.
„Gan Siauwhiap, bagaimana kau lihat nona badju merah itu
Itu?" tiba-tiba In Gak mendengar pertanjaan selagi ia
mengawasi si nona . la terperandjat, mukanja bersemu dadu.
Tahulah ia jang ia ditegur karena mengawasi orang.
“Dia tak ada tjelaannja, Gouw Tiongtjoe,” ia mendjawab,
“Apakah tiangtjoe tahu siapa nona itu?”
Hong Pioe tertawa, tetapi ia menggeleng kepala.
Ketika itu tengah hari tepat, tiba waktunja pie-boe dimulai,
maka terdengarlah pertanda, suara gembreng tiga kali, disusul
dengan letusan petasan diluar kalangan Tjioe Wie Seng dan
gadisnja terus berbangkit untuk naik di panggung Wan Yo tay.
Wie Seng bersenjum. Si nona mengenakan badju hidjau, di
pinggangnja tergantung pedangnja. Ia berdiri disisi ajahnja.
Letusan petasan disusul tempik sorak, setelah suara
mendengungnja berhenti, sirap djuga sorak-sorai.
Tjioe Tjhungtjoe mengenakan djubah sulam, kumis dan
djenggotnja jang putih pandjang sampai di dada, ia berdiri
tegak, nampaknja keren. Ia memberi hormat kearah timur dan
barat, terus ia berkata: “Hari ini hari ulang tahunku jang keenam
puluh, aku girang dan bersjukur sekali atas kundjungan

146
semua sahabatku, tak dapat aku membalas budi, maka aku
minta sudilah saudara-saudara minum dan dahar sekedarnja”
Kata-kata itu disambut tempik sorak.
“Berbareng dengan perajaan tak berarti ini, aku pun
membangun ini panggung wan Yo Tay” tuan rumah berkata
pula, “Inilah untuk anakku, jang telah berusia dewasa. Oleh
karena aku keras sekali memilihnja, sekian lama belum aku
mendapatkan menantu jang tjotjok maka itu, setelah usiaku
landjut ini, aku memikir mengadakan pertandingan diatas
panggung, guna mendapatkan djodoh anakku. Para hadirin,
siapa ingin bertanding, haraplah memperhatikan sjaratku. Dia
harus berumur tak lebih tiga puluh tahun, dia pun mesti belum
beristeri. Pertandingan dibataskan hanja sepuluh kali. Karena
inilah pertandingan persahabatan, setiap tjalon harus
bertanding hanja hingga saling sentuh sadja, djangan sampai
ada jang melewatkan batas hingga melampaui maksud sutji
dari pertandingan ini. Pula, pertandingan diadakan tjuma
selama tiga hari, selewatnja itu, aku jang rendah hendak
menjimpan pedangku. Maka, saudara-saudara, sudilah
semuanja mengerti maksudku ini. Sekian, terima kasih!”
Kembali gemuruh tempik sorak para hadirin.
Setelah suasana sirap, Wie Seng mengadjak gadisnja turun,
akan kembali ke kursi mereka di tetarap timur.
Segera terlihat naiknja dua pemuda ke atas panggung,
dengan bersendjata tombak dan golok pendek, mereka terus
bertanding. Mereka bukan orang-orang pandai tetapi senang
untuk menjaksikan pertandingan mereka.
Di kedua tetarap, para pelajan mulai menjadjikan barang
hidangan serta araknja, arak simpanan Tiok-yap-tjeng, maka
dilain saat, orang sudah mulai bersantap.
Umumnja kaum muda, jang ingin bertanding, tak tenang
hatinja. Tak tahu mereka, siapa bakal dapat memenangkan
sepuluh pertandingan. Waktu tiga hari pun tjukup lama. Di

147
hari pertama ini, orang tak bernapsu untuk segera naik ke
panggung. Maka sampai djam satu, belum ada pertandingan
jang berarti. Jang bertempur adalah pemuda-pemuda Tjioekee-
tjhung, seperti dua pemuda jang pertama itu. Mereka
hanja memulai untuk membantu meramaikan.
Akhirnja dari tetarap barat terdengar satu suara dalam :
‘Kenapa jang naik ke panggung tjuma tukang silat kembang
sadja, jang tak sedap dipandang? Buat apa mereka ini
ditondjol-tondjolkan? Entah mereka murid siapa, tetapi ada
muridnja tentu ada gurunja! Hajo kamu lekas turun, nanti aku
lemparkan kamu satu demi satu!”
Mendengar itu, kawanan sesat di barat itu pada tertawa
berkakakan.
Di timur ada orang jang mendjadi mendongkol sekali,
hingga dia lantas sudah naik ke panggung, untuk menghadap
ke barat dan berkata dengan menantang: “Sahabat, kau
sudah minum tjukup, kau sudah gegares kenjang, buat apa
kau bersuara seperti babi? Kenapa kau tidak mau muntjul
sadja?”
Dialah Ngo-pou Twie-hong piauw Lo Tek Hok.
Tantangannja disambut seorang dari barat, jang muka dan
kumisnja merah, kumisnja itu kaku, romannja bengis, matanja
pun gedeh. Dia berseru: “Binatang, hebat kau mentjatji! Aku
Siang-Kang It Sioe Pit Siauw Giam bukan sembarang orang,
maka kau sebutkanlah namamu!”
Lo Tek Hok terkedjut. Ia tahu orang she Pit itu jalah begal
tunggal kesohor di wilajah Siang Kang, mahir ilmu dalam dan
luarnja, kedjam sifatnja. Tapi ia tidak takut. Ialah murid bukan
pendeta dari Ngo Tay San, umurnja belum tiga puluh,
namanja sudah terkenal, adatnja pun tinggi. Dia menjahuti
sambil tertawa dingin: “Nama toaya jalah Lo Tek Hok. Meski
aku bukan orang berkenamaan, aku tidak dapat membiarkan
segala begal bertingkah!”

148
“Oh, kiranja kau Lo Tek Hok?” kata Pit Siauw Giam tertawa
lebar. “Kau berani menantang aku?” Mendadak, menjusul
perkataannja itu, ia menjerang dada orang, mentjari dua
djalan darah yoe-boen dan leng tiong, ia memang murid Hian
Im Hoen Boen dari bukit Lee Bo Nia di Selatan, jang terkenal
untuk ilmu silatnja, Hian Im Tjiang Lok, tangan liehay. Siapa
kena terserang ilmu itu, diluar terlihat tidak terluka, lukanja
jaitu bagian dalam patah dan petjah tulang iga dan ususnja.
Tek Hok gusar untuk serangan kedjam itu. Ia berkelit ke
kiri, lalu meneruskan, ia menggeser tubuh lebih djauh ke
belakang lawan; dari sini baru ia menjerang dengan tipu silat
Kay Pay Tjioe.
Melihat orang demikian gesit, Siauw Giam memudji dalam
hatinja. Ia berkelit kekiri, sembari berkelit, tangan kanannja
menjerang, menghadjar lengan kanan orang she Lo itu.
Tek Hok menolong tangannja itu dengan dikasi turun, ia
tidak menarik pulang, sebaliknja ia meneruskan menjerang ke
perut, habis mana dengan melenggak, kakinnja mendjedjak,
untuk berlompat mundur. Bagus gerakannja ini, bebas ia dari
bahaja, akan tetapi ia lantas mengeluarkan keringat dingin. Ia
tahu bagaimana ia terantjam bahaja barusan.
Siauw Giam djuga lompat mundur dua tindak meskipun ia
tahu bahwa ia tjuma digertak, lantas ia tertawa.
“Botjah, kau dapat lolos?” katanja seraja terus madju
menjerang pula. Ia berlompat.
Tek Hok mengerti bahaja, dia tidak mau menangkis, dia
berkelit. Tapi lantas dia didesak, diserang saling susul hingga
dia mundur ke pinggir panggung. Disini Siauw Giam
berlompat, lagi sekali ia menjerang hebat. Itulah lompatan
“Harimau melompati Sembilan gunung” atau “Houw yauw kioe
san.”
Di timur, para hadirin kaget hingga ada jang berseru.
Mereka menduga Tek Hok bakal terhadjar gepeng.

149
Kesudahannja itu, mereka melihat Siauw Giam mentjelat
mundur dua tindak, mukanja meringis, tangannja memegang
suatu barang mirip tjabang pohon. Tek Hok sendiri, selagi
orang mundur, segera berlompat turun dari panggung.
Siauw Giam tidak turut lompat turun, tetapi dia berkata
njaring: “Tikus mana jang melukai orang dengan sendjata
gelap? Tapi sebatang sumpit bambu sukar mentjelakai orang
tuamu! Djikalau kau laki-laki, kau keluarlah !” Dia belum
sempat menutup mulutnja, mendadak sebatang sumpit
menjambar ke mulutnja itu, hingga dua buah giginja tjopot
dan mengeluarkan darah, hingga dia mesti membekap
mulutnja, matanja memandang bengis kekedua tetarap.
Setelah mengetahui Siang Kang It Sioe terkena sendjata
rahasia, para hadirin heran. Siapa si penjerang jang demikian
liehay? Bukankah panggung terpisah dari mereka kira tiga
belas tombak? Bukankah biasanja orang menimpuk tjuma tiga
tombak, atau paling djauh enam-tudjuh tombak? Lebih djauh
dari itu, serangan sendjata rahasia sudah tak ada gunanja.
Kapan Hoei In Tjioe melihat sumpitnja In Gak, diam-diam ia
terkedjut. Sumpit itu tinggal sepasang sumpit setengah
potong! Maka ia kata dalam hatinja: “Pemuda ini tidak boleh
dipandang enteng ! Entah apa maksudnja dia…Dia begini
muda, dia liehay, diapun dapat menjembunjikan diri, inilah
luar biasa.
Ketika itu dari barat berlompat naik seorang anak muda
dengan pakaian hitam, di punggungnja ada sebatang pedang,
sepasang matanja tadjam. Dia memberi hormat kepada Siang
Kang It Sioe sembari tertawa dia berkata: “Pit Lootongkee,
kau telah menang satu rintasan, silakan mundur. Si penjerang
gelap, sebentar pun akan dapat diketahui, maka itu waktu
masih belum kasip untuk kau turun tangan! Aku jang rendah
Sam Tjay Toat Beng Leng Hoei dari Khong Tong Pay Barat,
maksudku bertanding untuk mendapatkan djodoh dan pedang,

150
maka itu, maukah lootongkee membantu menjempurnakan
tjita-tjitaku ini?”
Siauw Giam memang lagi serba salah, maka itu datangnja
pemuda ini kebetulan untuknja. Ia kata: “Aku tjuma mainmain,
Saudara Leng silakan kau menggantikan aku!” Habis
berkata, ia lompat turun, kembali ke tetarap barat.
V
Seturunnja Pit Siauw Giam, Leng Hoei lantas bitjara kepada
orang banjak, menuturkan maksudnja turut pie-boe, dari itu ia
menantang siapa suka melajani ia bertempur. Ia bitjara
dengan sikap tekebur.
Di tetarap timur, hadirin kebanjakan bermaksud membantu
tuan rumah, tak ada niatnja turut pie-boe, ada djuga jang
ketarik hatinja, sajang usianja sudah lewat tiga puluh atau
anaknja sudah merentet. Ada pula jang memikir pertjuma
bertempur untuk main-main sadja, sedang apabila salah
tangan, permusuhan dapat tertanam karenanja. Maka itu,
tidak ada jang mau menjambut tantangan itu.
Tidak demikian dengan tetamu-tetamu di tetarap barat.
Mereka terdiri dari banjak golongan. Di satu batas, mereka
dapat bersatu, tetapi mengenai soal perdjodohan ini, mereka
memikir masing-masing. Ada mereka jang ingin mengangkat
nama sadja, ada jang hendak mendapatkan hadiah ! Maka
djuga, madjulah satu anak muda. Sajang untuknja, baru
beberapa djurus, dia telah kena dirobohkan Leng Hoei.
Segera naik pula seorang muda lain, terus dia bergebrak
dengan Sam Tjay Toat Beng. Tengah mereka bertempur seru,
seorang pelajan pengantar nasi datang pada In Gak. Pemuda
itu lantas berkata padanja: “Tolong kau ambilkan aku sumpit,
sumpitku djatuh dan kotor."
Jilid 2.3. Lima biji catur merubuhkan penyusup
“Baik, siauwya, nanti aku ambilkan,” kata si pelajan
sembari tertawa, terus dia pergi.

151
Hong Pioe bersenjum. Dimata lain orang, biasa sadja
sumpit djatuh dan mendjadi kotor karenanja, hingga perlu
ditukar.
In Gak dapat melihat roman si orang she Gouw, lantas ia
kata perlahan: “Gouw Tiangtjioe, aku ingin bitjara sebentar,
dapatkah?”
Hong Pioe mengawasi tadjam, ia tertawa.
“Mari!” katanja.
Maka pergilah mereka berdua ke tembok belakang tetarap
itu, di podjokan.
“Sebenarnja aku tidak mempunjai urusan penting, hanja
aku merasakan sesuatu, hingga aku anggap tak dapat aku tak
mengatakannja,” berkata In Gak.
“Siauwhiap tentulah melihat apa-apa,” kata Hong Pioe,
“Silakan bitjara, aku bersedia mendengarnja.”
In Gak bersenjum, ia kata perlahan: “Hari ini djangan kasi
ada orang tetarap timur jang naik ke panggung. Aku telah
memperhatikannja, njata pihak barat berdjumlah lebih banjak
satu lipat. Umumnja mereka mengintjar pedang, djodoh hanja
jang nomor dua. Pula mereka kebanjakan orang Oey Kie Pay.
Aku menduga mereka lagi menanti waktu. Sekarang ini tidak
dapat kita sembarangan menduga kekuatan mereka. Aku pikir,
kalau terpaksa satu atau dua orang sadja jang madju, guna
mentjegah bahaja. Jang menjukarkan aku, jalah orang-orang
Oey Kie Pay jang nertjampuran dengan penghuni Tjioe-keetjhung,
hingga mereka sukar dikenali. Maka itu baiklah pedang
mustika ditukar dengan jang palsu, ditaruh di suatu tempat
sebagai umpan. Disamping itu, aku pertjaja, pihak Oey Kie Pay
tentunja tidak puas, mungkin mereka mengirim orang untuk
menolongi Tjie Ek. Bagaimana tiangtjioe berpikir?”
Hong Pioe mengangguk-angguk. Bukan main ia kagum.
Pemuda ini, selain gagah, sangat tadjam matanja dan djauh
pandangannja.

152
“Baiklah, nanti aku bitjara dengan Tjioe Tjhungtjoe.” Ia
kata. Terus ia tertawa dan menambahkan: “Siauwhiap,
barusan hebat permainanmu mematahkan sumpit mendjadi
panah tangan.”
Mukanja In Gak merah tetapi dia tertawa.
Sampai disitu pembitjaraan mereka, mereka kembali ke
tetarap. Hong Pioe terus pergi kepada tuan rumah dan si anak
muda ke medjanja.
Ketika itu Leng Hoei sudah menang tiga kali beruntun,
Nampak dia sangat girang dan puas, kedjumawaannja makin
njata. In Gak mengerutkan alis melihat lagak orang itu.
Dari barat sudah lantas muntjul seorang jang lompatannja
naik ke panggung indah sekali, tjepat dan enteng, tak ada
suaranja. Itulah lompatan “Naga hitam membalik mega” Maka
dia dapat sambutan tempik sorak dari kedua tetarap. Dialah
seorang djangkung dengan kumis mirip kambing gunung,
matanja tadjam berkilauan. Dia terus tertawa dingin dan
berkata: “Sahabat she Leng, bagus sekali ilmu silat kau Koen
Goan Tjiang-hoat! Aku Hoei Thian Kat-tjoe In Ho, beruntung
aku dapat menemui Khong Tong Barat!"
Kaget Leng Hoei mendengar nama orang itu, hingga dia
mirip ular berbisa jang mengkerat, sampai dia mundur dua
tindak.
“In Loosoe naik kemari, bukankah……” katanja.
“Ngatjo !" membentak orang tua, si Kala Menebangi Langit
„Usiaku sudah Iandjut mana aku memikir jang bukan-bukan?
Tadi tuan rumah membilang, pertandingan berbatas hanja
saling sentuh, kenapa kau barusan merobohkan dua saudara
angkatku dengan tangan telengas, hingga hamper mereka
djadi bertjatjad? Dari itu, sahabat, ingin aku mentjoba-tjoba
kepandaian kau !”
Leng Hoei djeri, itulah bisa dimengerti. Selama tudjuh atau
delapan tahun jang belakangan ini di Kwan-tiong telah muntjul

153
seorang djago jang dapat membuat lain orang sakit kepala.
Dan dialah Hoei Thian Kat-tjoe In Ho ini.Dia liehay, sepak
terdjangnja terahasia, dia pun telengas. Kalau dia bekerdja
biasa dia tidak meninggalkan kurban hidup. Sukar untuk
mentjari dia. Maka dunia rimba persilatan menjebut dia hantu.
Djulukannja jang lain jaitu Kwan tiong It koay, Siluman Kwantiong.
“In Loosoe, kau terlalu," kata Leng Hoei jang tertawa
dingin. la memberanikan hati. Ia pikir, kalau ia kalah, tentu
gurunja akan turun tangan. Ia djuga ingin metjoba sampai
dimana kepandaian orang jang disohorkan liehay dan dimalui
ini. “Bukankah kita lagi bertanding?
"Baiklah, biar kepandaianku tjetek, suka aku melajani kau!”
In Ho tertawa berkakak, matanja bertjahaja. Agaknja dia
djumawa sekali.
“Sahabat she Leng, kau berani omong besar di depan In
Ho, kau gagah !” dia kata, “Tjuma kau haruslah menimbangnimbang
dulu dirimu…”
“Tentang itu biarlah, nanti aku mentjoba dulu!” Leng Hoei
bilang dingin, “Djikalau aku kalah, itu tentu disebabkan
peladjaranku tidak sempurna, djadi tak usahlah kau
berdjumawa. In Loosoe, silahkan kau memberikan
pengadjaran padaku !”
In Ho tertawa mengedjek, tindjunja meluntjur, kakinja
dimadjukan. Itulah gerakan jang dinamakan “mengindjak
pintu hong-boen.”
Leng Hoei mendongkol sekali. Serangan sematjam itu
menandakan ketjongkakan si penjerang, bahwa lawan jang
diserang tidak dipandang mata sama sekali. Maka dengan
ilmunja Kim-na-tjioe, ilmu menangkap dari Kong Tong Pay, ia
menjambuti tangan orang.
In Ho benar-benar liehay. Mudah sekali mengelakkan
tangan lawannja, setelah mana kakinja bergerak pula, hingga

154
segera ia berada dibelakang lawan itu. Tapi ia tidak
menjerang, ketika Leng Hoei memutar tubuh, ia melesat pula.
Teranglah ia hendak mengitari musuh guna membikin musuh
pusing, hingga si lawan mirip kera jang lagi dipermainkan.
Banjak penonton jang bersorak atau tertawa, hingga
mukanja Leng Hoei mendjadi merah padam, dia mendongkol
dan malu tanpa berdaja. Djikalau dia tidak turut memutar,
setiap waktu dia bisa dihadjar musuh.
In Gak tahu betul Leng Hoei bakal kalah, ia tidak terus
memperhatikan pertandingan itu, ia lebih banjak memasang
mata ke pelbagai pendjuru, terutama terhadap si nona badju
merah. Nona itu mengawasi tadjam ke atas panggung, sabansaban
dia bersenjum ketjil, hingga Nampak tegas sudjennja
jang manis, kedua tangannja dipakai menundjang dagunja.
Agaknja ia tertarik luar biasa oleh pertandingan itu.
“Gila aku,” In Gak kata dalam hatinja, “Walau pun dia
menaruh hati padaku, selagi musuh-musuhku belum
terhukum, mana dapat aku memikirkan soal asmara?”
Demikian pemuda ini menegur dirinja sendiri, sesudah
mana, matanja diarahkan pula ke tetarap barat, mengawasi
Tjin Lok dan rombongannja. Ketua muda partai Bendera
Kuning itu saban-saban kasak-kusuk dengan kawannja,
beberapa kali tangannja menundjuk djuga kearah Liang Hoay
Tayhiap.
“Mesti dia mengandung sesuatu maksud” pikir pemuda ini,
“Djangan-djangan sebentar malam mereka akan mengulangi
siasat mereka. Mereka telah dihadjar kaum Kay Pay tanpa
mereka menjadari siapa jang menjerangnja, mereka menduga
pihak Tjioe-kee-tjhung sendiri. Kedjadian itu membikin mereka
bertambah bentji pihak Tjioe-kee-tjhung. Tjioe Wie Seng
pastilah dipandang seperti djarum dimata mereka. Aku telah
turun tangan, aku mesti turun tangan terus. Nampak Pek
Boen Liang biasa bekerdja baik, entahlah seterusnja.

155
Ketika itu pertempuran diatas panggung sudah berakhir.
Leng Hoei kena dihadjar pukulan “Mega mendung menutupi
rembulan,” dia roboh dari panggung dengan mulut
memuntahkan darah, hingga beberapa orang dari tetarap
barat keluar untuk menolongi.
In Ho tidak menantang, dia lompat turun untuk kembali ke
tempatnja.
Untuk sedjenak, berisiklah di tetarap barat itu dimana ada
suara keras dan tjatjian. Suara baru berhenti ketika terlihat
dua orang naik ke panggung untuk bertempur.
Di saat itu Gouw Hong Pioe kembali dengan tjepat, sambil
tertawa ia kata pada In Gak: “Gan siauwhiap telah aku
bekerdja menurut pesan kau. Tjioe Wie Seng memudji kau
tjerdik dan teliti!” Dan ia menudjuk djempolnja, habis mana ia
menambahkan: “Aku si orang tua djuga telah mewakilkan kau
mentjari keterangan! Nona badju merah itu..ah! Dia itu liehay
ilmu silatnja dan romannja djuga tidak dapat ditjela. Aku si
orang tua pun kagum apabila…orang muda!” Dan ia menatap
pemuda di depannja.
The Kim Go pun tertawa.
In Gak melengak.
“Gouw Tiangtjoe, kau bergurau !” katanja likat.
Hong Pioe tertawa. Tapi segera ia berkata dengan
sungguh-sungguh: “Dialah mutiara tunggal kesajangan
Tionggoan It Kiam Tio Kong Kioe. Tionggoan It Kiam liehay
ilmu silatnja dan puterinja Lian Tjoe namanja ini djuga
menggemarinja, maka kepandaiannja pasti tidak buruk. Lihat
sadja sikapnja ketika ia memegang tjambuknja waktu ia baru
datang tadi. Tionggoan It Kiam diundang Tjioe Tjhungtjoe, dia
lagi sakit, tidak dapat dia datang, maka dia mengirim puterinja
sebagai wakilnja. Nona Tio tjantik dan gagah, siapakah tidak
mengagumi dan menghormatinja? Maka djuga, aku bilang…”

156
Ia berhenti dan tertawa, “Gan siauwhiap, djangan kau
mengatakan aku si tua gila basah dan suka
bergurau…Ingatlah itu kata-kata, suatu keluarga mempunjai
seorang gadis, seribu keluarga lain meminangnja. Inilah
saatnja kamu anak-anak muda turun tangan! Anak muda
biasa berkulit tipis, bagaimana kalau aku si tua jang madju
untuk mewakilkan kau berbitjara?”
In Gak likat sekali. Ia tidak sangka Hong Pioe telah dapat
membade hantinja itu. Ia mendjadi tidak enak duduk dan
tidak enak berdiri, mukanja mendjadi merah. Akhirnja ia
paksakan tertawa dan berkata: “Kalau begitu baiklah, aku
menjerahkan kepada lootjianpwee untuk mengurusnja hingga
berhasil !” Setelah itu dengan tjepat ia pergi ke belakang, tak
ia perdulikan Hong Pioe dan Kim Go mentertawakannja.
Di dalam gedungnja Tjioe Wie Seng ini, ketjuali tempat adu
silat ini jang ramai, bagian-bagiannja jang lain semua sunji
dan senjap, meski demikian didalam taman, di air, di setiap
lorong, djuga di kamar tulis dan lauwteng, semua ditaruhkan
pendjaga. Dua atau tiga orang, dengan berombongan, djuga
djalan meronda.
Sam Tjioe Khong Khong Tjie Ek dipendjarakan dalam
rumah batu di podjok barat taman, kamar batu itu pernahnja
disamping gunung-gunung. Dia ada jang djaga, segala
keperluannja tidak dialpakan, hingga dia tidak kekurangan
makan. Tjuma dia lenjap kemerdekaannja. Demikian itu, selagi
orang berkumpul di lian boe-thia, dia sendiri duduk menjender
di pembaringannja, kedua tangannja memegangi kepalanja,
matanja memandang keluar kamar, memandang dari djendela
berdjerudji besi.
„Dasar aku jang malang," dia berpikir. „.Biasanja aku
merdeka, biasa setiap aku bekerdja satu kali, aku bisa hidup
tidur-bangun selama tiga tahun, tetapi seka¬rang, karena aku
mendengar kata-kata sahabat, lantaran aku temahai hadiah

157
lima ribu tail perak, aku telah mendjual djiwaku ! Kenapa aku
begini bodoh ? Ah, itu orang jang aku hadapi, dia liehay luar
biasa, seumurku belum pernah aku berhadapan dengan orang
liehay seperti dia! Boleh aku merasa puas roboh ditangannja .
."
Sudah umum, siapa lenjap kemerdekaannja, banjaklah
waktunja jang luang untuk berpikir, demikian si radja pentjuri
ini. Dia lantas ingat segala perbuatannja dulu-dulu. Benar dia
biasa melakukan kedjahatan, tetapi ada kalanja djuga dia
mengamal kepada orang-orang melarat. Hanja kurang lebih,
kedjahatannja masih terlebih banjak. Sekarang dia menanja,
bagaimana selandjutnja? Agaknja dia menjesal dia berduka,
tetapi dia masih bersangsi.
Di luar terali, senantiasa ada mata jang mengintai ke dalam
kamar untuk melihat, dia masih ada atau tidak, atau dia
tengah mengerdjakan apa. Karena dia berdiam sadja, dia tidak
diganggu.
Ketjuali suara djauh di lian-boe-thia, taman sunji senjap.
Kadang-kadang sadja terdengar gembreng si orang ronda,
atau tindakannja si orang ronda sendiri.
Sekonjong-konjong diatas kamar batu, terdengar suara
berkelisik. Suara itu tak dapat didengar ketjuali orang jang
telinganja lihay. Tjie Ek dapat mendengar suara itu, dia
bergerak bagaikan orang baru sadar. Segera dia melihat
nongolnja kepala di luar terali, disusul dengan ini suara
perlahan:
“Saudara Tjie atas nama hoe-pangtjoe, aku datang untuk
menolong kau”
Tjie Ek lantas mengenal sahabat itu ialah Tiat pe Djin-him
Koe Souw. Untuk sedjenak dia girang. Bukankah dia hendak
ditolongi. Tapi dilain saat, djidatnja lantas berkerut, lantas dia
menggojang kepala.

158
“Tidak dapat kau menolongi aku” katanja masgul, “Disini
aku diperlakukan baik, mereka telah berdjandji, bila sudah tiba
saatnja aku bakal dimerdekakan. Pula berbahaja untuk aku
kabur sekarang. Pendjagaan disini kuat sekali. Bukan sadja
aku, kau sendiri pun terantjam bahaja saudara. Sekarang aku
tidak mempunjai guna suatu apa, aku telah ditotok hingga
habislah tenagaku. Maka itu, saudara, djangan kau
memperbahajakan djiwamu karena aku. Baik saudara lekas
menjingkir. Pepatah membilang, untuk pembalasan waktu
sepuluh tahun masih belum kasip, maka itu, biarlah kita lihat
dibelakang hari sadja. Bukankah gunung hidjau dan air
mengalir tak berubah?”
Koe Souw tampak bersangsi. Ia berkata: “Tadi malam telah
dikirim beberapa orang kita jang dapat diandalkan, untuk
menolong kau, saudara Tjie, akan tetapi sampai sekarang ini
mereka masih belum pada kembali. Mungkinkah mereka
itupun telah kena ditawan?Saudara Tjie, apakah kau ada
dengar apa-apa mengenai mereka ini?”
Tjie Ek heran dan kaget.
“Begitu?” katanja, “Semendjak aku dikurung disini, putus
sudah perhubungan dengan dunia luar, maka aku tidak tahu
apa djuga. Djikalau begitu, saudara Koe, lekas kau menjingkir
!”
Koe Souw melihat ke sekitarnja.
“Diluar sini ada beberapa kawanku, mereka bersedia untuk
menjambut” katanja, “Mana dapat aku berlalu dengan begini
sadja? Saudara Tjie, djangan kau kena ditakut-takuti mereka.
Bukankah Tjioe-kee-tjhung ini bukannja kedung naga dan
guha harimau? Dimataku tempat ini mirip tempat boneka ajam
atau andjing? Marilah, mari aku gendong kau pergi dari sini !”
Habis berkata, Koe Souw memegang terali untuk
dipatahkan. Ia berhasil. Ternjata tangannja kuat sekali.

159
Hanjalah, ketika ia mau mematahkan besi terali jang kedua,
mendadak ia mendengar teguran, “Siapa disitu?”
Ia terkedjut, segera ia memutar tubuh, goloknja dipakai
melindungi mukanja. Ia tidak diserang, hanja didepannja,
terpisah tiga kaki, ia melihat dua orang berdiri mengawasi
padanja, orang itu berpakaian serba hitam, sepasang matanja
tadjam berpengaruh.
“Kau siapa tuan?” seorang menanja pula, suaranja keras,
“Kau lantjang masuk kemari, djikalau kau bukannja pentjuri
tentulah rampok! Lekas kau serahkan diri, djikalau kau tunggu
sampai aku turun tangan, golok dan tombak tidak ada
matanja, nanti kau mati menjesal!”
Koe Souw benar-benar berani.
“Aku Tiat-pie Djin-him Koe Souw!” sahutnja, temberang.
“Aku mau bekerdja, aku dapat datang kemana aku suka, tidak
perduli istana radja, apapula baru Tjioe kee tjhung jang ketjil
ini! Aku bilangi kau, dusun ini bakal segera hantjur lebur!
Kamu semua mirip kura-kura didalam korang! Perlu apa kamu
masih berlagak gagah?”
Orang itu tidak takut atau gusar, dia bersenjum:
“Orang she Koe, djusteru sekarang ini kaulah si kura-kura
dalam korang itu” katanja, “Apakah kau tidak pertjaja? Kau
lihat, dapatkah kau menjingkir dari sini?”
Koe Souw terperandjat, ia mundur, matanja melirik kekiri
dan kekanan.
“Andjing tjilik, kau berani berdjumawa didepan aku si orang
she Koe! Katanja, menjeringai. “Baiklah, hari ini aku
mengadjar kau kenal dengan golokku, golok Kioe-lian-hoan!”
Dua orang itu ialah Tan Boen Han dan Ouw Thian Seng,
kedua muridnja To Tjiok Sam. Mereka masih muda, mereka
tidak kenal takut. Mereka tahu Tiat Pie Djin Him jalah seorang
djahat di Yan-in, mereka tidak djeri.

160
Boen Han tertawa dan berkata: “Orang she Koe, kau biasa
melakukan kedjahatan di Yan-in, dosamu dosa tak berampun,
tuanmu memang lagi tjari kau, kebetulan hari ini kau
mengantarkan dirimu, sekalian aku mewakilkan Thian
mendjalankan keadilan!”
Kata-kata ini ditutup dengan serangan golok Gan-leng-too
dengan tipusilat “Hong-hong sam tiam tauw” jaitu Burung
Hong mengangguk tiga kali.
Koe Souw tertawa dingin, dengan sebat ia menangkis.
Sebagai kesudahan dari itu sendjata mereka bentrok, Tan
Boen Han mundur tiga tindak, goloknya hampir terlepas,
sebab tangannya kesemutan dan sakit. Sekarang ia tahu,
musuhnya kuat sekali, maka tidak mau ia melayani dengan
kekerasan.
Koe Souw lantas mengenali, ilmu golok si anak muda ilmu
goloknya To Ciok Sam, hatinya bercekat juga, akan tetapi
sudah terlanjur, ia melawan terus, bahka ia ingin lekas-lekas
merebut kemenangan, maka ia keluarkan ilmu goloknya yang
dibanggakan itu.
Tan Boen han bertempur sampai lima puluh jurus, ia tidak
berhasil mengalahkan musuh, sebaliknya ialah yang terdesak.
Kapan Ouw Thian Seng melihat itu, tanpa ragu-ragu lagi ia
maju untuk membantui saudara seperguruan itu.
Ilmu golok Koe Souw benar lihay, ia masih dapat mendesak
dua lawannya. Sampai tiba-tiba:
“Kamu berdua masih tidak mau mundur! Buat apakah kamu
memaksakan diri tidak keruan?”
Itulah satu suara keras dan bengis.
Boen Han dan Thian Seng lompat mundur, saking napasnya
bekerja keras, mereka tidak dapat lantas membuka suara,
mereka hanya heran.
Sebaliknya Tjie Ek didalam kurungannya, dia mengenali
suara orang yang membekuk dirinya.

161
Segera orang itu berkata pada Koe Souw: “Koe Souw,
mengapa kau tidak lekas meletaki senjatamu untuk menyeah
ditawan? Apakah kamu kira Ciu kee cung dapat kau datangi
sesuka hatimu?”
Koe Souw mundur tiga tindak, ia mengawasi. Maka ia
melihat seorang muka pucat tanpa darah. Ia tidak takut, ia
cuma kaget sebentar. Lantas ia berkata nyaring: “Akulah Tiatpie
Jin-him Koe Souaw! Aku sudah masuk dalam dunia Kangouw
puluhan tahun, belum pernah ada orang berani kurang
ajar terhadapku! Kau siapa? Asal kau bisa lawan golokku,
nanti aku ikat diriku!”
Orang dengan muka luar biasa itu tertawa melenggak:
“Kau masih berani bertingkah?” katanya, “Begini saja,
Jikalau kau bisa lolos dari tanganku, suka aku mengampuni
jiwamu! Sebenarnya orang jahat sebagai kau, mati pun belum
cukup untuk menebus dosamu! Sekarang kau boleh maju,
jangan sungkan-sungkan, nanti kau menyesal!”
Habis berkata, orang mirip iblis itu tertawa seram.
“Saudara Koe, lekas lari!” Tjie Ek berteriak.
Justeru si raja pencuri berteriak, justeru Koe Souw
menyerang. Dia hendak mengadu jiwa.
Begitu ia membacok, Koe Souw kehilangan musuhnya.
Tahu-tahu orang sudah tertawa dingin dibelakangnya! Ia
kaget. Tanpa menoleh lagi, ia menjejak tanah untuk
berlompat kedepan, sesudah mana baru ia memutar tubuhnya
dengan cepat.
Ia tidak dapat melihat musuhnya, selagi ia melihat kekiri
dan kanan, tiba-tiba ia mendengar pula tertawa dingin
dibelakangnya. Ia menjadi kaget tidak terkira.
Boen Han dan Thian Seng yang sudah dapat bernapas,
turut menjadi heran. Roman mereka ini dapat dilihat jago
Kang-ouw itu, dia bingung. Baru sekarang dia berkuatir. Tapi
dia mengertak gigi, bagaikan nekat dia memutar tubuh seraya

162
menyerang kebelakang. Itulah gerakan “Pohon tua terbongkar
akarnya.” Lagi-lagi, ia membacok tempat kosong.
“Haha..ha..ha..”kembali terdengar tertawa dingin,
“He..hee..he!”
Berkuatir dan penasaran, Koe Souw menyerang pula
kebelakang, kali ini ia mengulangi hingga ia membacok sambil
berputaran. Sia-sia belaka semua bacokannya itu, bahkan
tanpa merasa, kakinya menjadi lemas. Itulah pengalamannya
pertama kali, yang mengherankan ianya. Karena ini,
mendadak ia berhenti menyerang terus ia berlompat
ketembok, dengan niatnya mengangkat kaki. Bertentangan
dengan kata-katanya, ia tidak sudi ikat dirinya sendiri, ingin ia
lolos.
Belum Tiat-pie Jin him tiba ditembok, untuk lompat
melewatinya, satu bayangan sudah berkelebat, lantas
mendadak ia merasakan iganya kesemutan, hingga habislah
tenaganya, diluar keinginannya, ia roboh ngusruk sendirinya!”
Bukan hanya Boen Han dan Thian Seng yang heran, juga
beberapa orang yang lain, yang bersembunyi dilain bagian
taman itu, yang muncul karena mendengar suara orang bicara
keras dan tertawa. Begitu Koe Souw roboh, mereka lantas
kena dibikin heran. Orang tidak dikenal itu terus lompat ke
tembok untuk menghilang.
Boen Han dan Thian Seng lari menyusul, mereka lompat
naik ke tembok. Sia-sia belaka, mereka tidak dapat melihat
lagi orang itu. Sebaliknya untuk kagetnya mereka, mereka
melihat bergelimpangannya beberapa tubuh manusia di kaki
tembok pekarangan sebelah luar. Mereka tidak bisa berdiam
melengak, maka dengan bersiul mereka memanggil orangorang
ronda, untuk menggusur Koe Souw semua kedalam
kamarnya Cie Ek, kemudia sesudah memesan Thian Seng,
Boen Han lari kedepan, ke tetarap timur, guna melaporkan
kejadian barusan ini.

163
In Gak pergi tidak lama, dia sudah kembali ke mejanya,
berbicara sambil tertawa-tawa dengan Hong Piu semua.
Diatas panggung, bergantian sudah orang bertempur, naik
dan turun. Siapa yang roboh, kebanyakan dia terluka parah,
suatu bukti si cantik manis dan pedang mestika sangat besar
pengaruhnya.
Ciu Wie Seng sendiri, bersama-sama To Ciok Sam, Tio Lian
Cu dan gadisnya, juga berbicara dengan gembira. Mereka
seperti tidak memperhatikan jalannya pertandingan. Sampai
datanglah Tan Bun Han dengan laporannya itu. Semua
menjadi terperanjat.
Ciok Sam memesan muridnya, atas itu, Bun Han segera
mengundurkan diri pula.
“Siapakah dia?” kata si orang she To kemudian. Ia heran
sekali. “Dia bergerak sangat gesit, hingga tubuhnya seperti
tidak nampak. Kenapa dia tidak mau memperlihatkan dirinya?
Ingin aku menyerahkan gelaranku kepadanya. Ciu laotee,
bukankah tepat aku menghadiahkannya?”
Tio Lian Cu sebaliknya bersenyum, terus dia tertawa,
nyaring tetapi halus:
“Ingin aku melihat dia!” katanya, “Ah, dia mestinya dia itu!”
“Bagaimana, Nona Tio,” tanya Ciok Sam, “Nona kenal dia
itu? Siapakah dia?”
Nona Ciu bersenyum, ia melirik In Gak.
“Tapi aku yang muda belum berani menentukannya”
sahutnya, “Aku cuma baru menduga saja. Dia berada disekitar
kita, tak sulit untuk mencari tahu siapa dianya..”
Wie Seng berpaling In Gak, ia agaknya heran. Ia ingat
kata-katanya Hong Piu bahwa pemuda itu pandai membawa
diri. Ia sangsi. Sekarang pun ia masih bersangsi, akan tetapi ia
toh memperhatikannya.

164
In Gak sendiri terus bersenyum, ia tak perduli segala apa
yang terjadi didepan matanya. Ia kata dalam hatinya: “Mereka
boleh menvurigakan aku tetapi mereka pasti sukar
membuktikannya”
Nona mencurigai sebab orang meninggalkan mejanya,
perginya secara tenang, kembalinya cepat-cepat. Ia merasa
pemuda itu tampan seperti Phoa An, tubuhnya halus, cuma
gerak-geriknya aneh. Sedatangnya Bun Han kecurigaannya
menjadi keras.
Ketika itu dilantai di depan panggung terdengar satu suara
nyaring yang menarik perhatian umum. Disana muncul
seorang baru, yang berkata: “Ciu tayhiap, aku Cian Seng
Hoan, ingin aku mengajukan satu pertanyaan” Dia terus
menunjuk kearah Lian Cu, terus dia menyambungi: “Bukankah
nona itu pun menyerahkan diri untuk dipilihkan pasangan
diatas lui-tay ini? Dapatkah, setelah aku menangkan sepuluh
rintasan, aku memilih dia?”
Orang itu, yang menyebutkan namanya, berumur lebih
kurang tiga puluh tahun, tubuhnya jangkung, pinggangnya
bulat, punggungnya lebar. Kata-katanya itu membikin Wie
Seng tercengang, sedang si nona Tio segera mengasi lihat air
muka guram.
Sebenarnya, semenjak munculnya tadi, Lian Cu sudah
menarik perhatian para hadirin apa pula mereka yang
mengambil tempat di tetarap barat. Dengan munculnya ia, Ciu
Goat Go lantas kalah pamor. Pula Lian Cu sendiri sering-sering
ia memandang ke tetarap barat itu, tak jeri ia mengawasi
banyak mata tajam yang mengawasi padanya. Demikian Cian
Seng Hoan yang bergelar Coan In Yan cu si walet menembusi
mega. Dia gagah, sayang tabiatnya buruk, gemar ia merusak
kehormatan wanita. Maka juga, melihat nona demikian elok,
tak dapat ia menahan desakan hatinya, dia naik kepanggung
untuk mengajukan pertanyaannya itu. Dia mempunyai

165
beberapa kawan, dia telah kasak-kusuk dengan mereka itu,
yang membantu menganjurkannya.
To Ciok Sam mengerutkan alis, ia kata perlahan: “Dialah
satu manusia busuk. Dia harus diajar adat, jikalau tidak,
percuma kita menganggap kita pembela-pembela keadilan dan
pembenci kejahatan..”
Belum berhenti suaranya In Liong Sam Hian, Nona Tio
sudah bangun dari kursinya, untuk bertindak kedepan
panggung, lantas cambuknya dikerjakan menyambar orang
she Cian yang kurang ajar itu, ujung cambuknya mencari jalan
darah yu bun.
“Eh, budak, kau telengas sekali!” kataSeng Hoan tertawa,
sedang tubuhnya melesat, menjauhkan diri dari ujung
cambuk. Sebaliknya, tangannya menyambar.
Lian Cu tahu maksud orang, ia segera menarik pulang
cambuknya untuk diulangi tak kurang cepatnya, guna
sekarang menotok jalan darah khie hay.
Seng Hoan berkelit pula, habis itu, ia melesat maju untuk
merangsak, sebelah tangannya meluncur kekedua pundak si
nona, sedang dari mulutnya sembari tertawa, terdengar katakata:
“Budak, kau sangat telengas, kau seperti menghendaki
tuanmu she Cian berlaku kejam”
“Jahanam!“ si Nona membentak. Dia berkelit, lantas dia
mencambuk pula, hingga tiga kali beruntun, karena yang
pertama dan kedua kali, Seng Hoan terus berlompatan dengan
tipusilatnya “Kiem lie to cuan po” atau ikan emas lompat
jumpalitan menembusi gelombang. Dia bergerak lincah.
Celaka untuknya, si nona tidak berhenti hanya dengan
cambukan berantai tiga itu, hanya melanjutkannya, kali ini
hingga lima kali.

166
Seng Hoan repot bukan main, meski ia gesit dan lincah, ia
toh kewalahan. Ia lolos dari bahaya setelah berkelit dari
cambukan yang kelima, yang terakhir. Saking murka, dia kata
bengis:
“Budak, kau terlalu telengas! Rupanya kau hendak
membikin aku si orang she Cian berlaku kejam!”
Mukanya Lian Cu menjadi guram, tanpa membilang apaapa,
ia menyerang. Dalam mendongkolnya, ia menyerang
berulang-ulang, yang satu tidak mengenai, yang lain
menyusul, ujung cambuknya itu pun menotok.
Sekarang ini Cian Seng Hoan tidak berani lagi memandang
enteng. Ia pun mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa,
yaitu “Leng Wan Sip-pat Pian”, delapan belas jurus ilmusilat
Kera Sakti. Ia mengutamakan sepuluh jeriji tangannya yang
kuat. Inilah ilmusilat yang telah mengangkat namanya. Ia
berkelebatan disekitar si nona, seperti burung walet gesitnya,
maka tidaklah kecewa ia memperoleh julukannya Coan In
Yan-cu, si walet merah menembusi mega.
Lewat sekian lama, Seng Hoan dapat merapatkan diri, Si
nona agak repot, karena cambuknya adalah alat untuk
menyerang jauh. Baru sekarang ia menyesal tadi ia sudah
memandang tak mata kepada lawannya ini, hingga ia tak ingat
untuk menggunai pedangnya. Sekarang, untuk menghunus
pedang, ia tak diberi kesempatan.
Cian Seng Hoan mendapat lihat kerepotan nona itu, dia
tertawa.
In Gak menonton pertarungan itu dengan saban-saban
bersenyum, kapan ia melihat Nona Tio terdesak itu, diam-diam
ia mematahkan sumpitnya. Ia melakukan itu acuh tak acuh. Ia
membuat patahan setengah dim.
Hong piu melihat kelakuan orang, ia mengawasi sambil
bersenyum. In Gak melihat sikap kawan itu, mukanya
bersemu merah. Tanpa kata apa-apa, ia mengawasi ke

167
gelanggang pertempuran dua jari tangannya mendjepit
patahan sumpit. Mendadak saja, ia menyentil.
Ketika itu Lian Cu menghadapi serangan yang berbahaya,
ia menyelamatkan diri dengan lompat jumpalitan, terpisah
kesamping tiga kaki dari lawannya. Ia tidak cuma mengelit
diri. Berbareng ia juga membalas menyerang si orang she
Cian.
“Benar-benar telengas!” kata Seng Hoan sambil berkelit,
setelah mana ia merangsak, dengan sepuluh jerijinya ia
menyambar kaki si nona. Ia percaya bahwa ia bakal berhasil,
ia girang sampai ia lupa bersiaga, ia tertawa lebar.
Tapi baru saja ia tertawa satu kali, tahu-tahu ia kaget tidak
terkira, pinggangnya terasa sakit bukan main, hingga ia
dengan tertawa tertahan , ia roboh keatas tanah.
Lian Cu segera dapat memperbaiki diri. Ia melihat robohnya
lawan, ia menyangka orang adalah kurban cambuknya. Ia
lantas bertindak maju, dengan niat member labrakan. Ia
mendongkol untuk kelakuan jumawa lawannya ini. Tapi ia
menyaksikan orong roboh diam saja, ia menjadi heran. Ia
lantas membalik tubuh orang. Dari heran ia menjadi kaget.
Cepat luar biasa, napas Coan In Yan-cu sudah berhenti
dantubuhnya terasa mulai dingin.
“Heran” pikirnya, “Aku menotok jalan darah cie-gan,
mestinya dia lemas dengkulnya dan roboh terkulai, kenapa
sekarang dia mati mendadak? Ah mungkinkah ada orang
membantui aku?”
Nona itu lantas mengawasi tajam ke tanah disekitar tubuh
Seng Hoan, ia melihat patahan sumpit, lekas-lekas ia
menjumpitnya menggenggam itu dalam telapakan tangannya,
lalu dengan tindakan perlahan ia menuju ke mejanya In Gak,
ia menyerahkan potongan sumpit itu tanpa berkata, melainkan
bersenyum.

168
Di tetarap barat orang tahu Cian Hoan sudah berlaku
keterlaluan, dia melanggar pantangan besar Rimba Persilatan,
tidak ada yang mau mengajukan diri untuk membela dia.
Maka itu sunyilah pihak mereka itu, sedang di tetarap timur,
orang memang menonton dengan tidak banyak omong.
Tuan rumah lantas menitahkan orang-orangnya
menyingkirkan mayat untuk dirawat.
To Ciok Sam memegang kepala sumpit dalam telapakan
tangannya, ia menggeleng kepala, dalam hatinya ia kata: “Ini
anak muda lihay luar biasa. Potongan sumpit demikian kecil ia
dapat membikin melesat demikian cepat dan hebat. Ia
rupanya telah mencapai batas kepandaian melepas senjata
rahasia yang berupa daun. Jikalau begitu mestinya satu
oranglah orang yang tadi bekerja diluar taman.”
Lian Cu sudah duduk kembali di kursinya, dengan tertawa
perlahan, ia melirik In Gak, lantas ia berbangkit dan berkata
pada Ciu Wie Seng dan To Ciok Sam; “Jiwie loocianpwee,
maaf, boanpwee hendak mengundurkan diri” Dilain pihak,
dalam hati kecilnya ia kata: “ Kalau benar dia, sungguh
bagus!” Ketika ia berjalan sampai di pintu, ia menanya si
penjaga: “Kamar tetamu dimana? Sudikah kau mengantarkan
aku kesana?”
Pengawal itu menyuruh seorang kawannya pergi
mengantarkan.
Selagi berjalan, si nona berpikir: “Akulah seorang nona,
sekarang aku pergi kekamar orang, kalau orang
memergokinya, apa jadinya?” Ia menjadi ragu-ragu. Meski
begitu, ia Tanya pengiringnya dimana kamarnya Gan
Siauwhiap.
“Itulah kamar nomor dua diatas lauwteng” sahut si
pengantar.
Nona ini membilang terima kasih, terus ia naik ke lauwteng,
ke kamar kedua yang ditunjuki itu. Ketika ia sudah sampai

169
didepan kamar, ia mendapatkan pintunya cuma dirapatkan. Ia
mengangkat tangannya, untuk menolak. Gampang saja, daun
pintu itu menjeblak terbuka. Kamar itu sunyi tidak ada
penghuninya. Cuma ditihang pembaringantergantung
pauwhoknya In Gak. Ia menghampirkan untuk mengasi turun
pauwhok itu, terus ia membukanya. Segera matanya melihat
sepotong baju panjang hitam.
Bukankah tadi Tan Bun Han menyebutkan si orang aneh
mengenakan baju hitam?
Baju itu pun sedikit munjul, mendadak ada barang yang
jatuh dilantai. Ia lantas pungut itu. Untuk kagumnya ia
mendapatkan topeng kulit yang bagus sekali. Sekian lama ia
mengawasi, mulutnya mengasi dengar tertawa perlahan.
Kemudia ia mencoba pakai topeng itu, ia berkaca di kaca
tembaga. Ia girang sekali. Ia nampaknya lucu. Lantas ia
duduk disisi pembaringan, otaknya bekerja. Tapi tak lama,
topeng itu ia bungkus dengan baju hitam tadi, terus ia taruh
didalam bungkusan, disusunan pertama. Itulah tanda bahwa
kekamar itu ada orang yang dating dan menggeser bungkusan
itu. Diatas itu, ia meletaki sapu tangannya, serta sebutir
mutiara, yang ia baru keluarkan dari sakunya. Ia bersenyum
puas, habis itu, baru ia keluar, setelah merapatkan daun pintu,
ia pergi turun.
Ketika itu sang maghrib lagi mendatangi. Ciu Wie Seng naik
ke panggung Wan Yo Tay, untuk memberi hormat pada para
hadirin, memberitahukan bahwa piebu ditunda sampai besok.
Ia mengundang mereka bersantap malam.
“Besok pagi kita akan mulai pula,” katanya, penutupnya.
Maka dipalulah gembreng tiga kali.
Di kedua tetarap, para tetamu bersorak riuh.
Sambil bersenyum, Wie Seng turun dari panggung.

170
Segera repotlah para cungteng atau pelayan, untuk
menyajikan hidangan, untuk melayani para tetamu bersantap.
Sampai kira jam sepuluh malam, baru orang bubaran.
Ketika In Gak sampai dikamarnya, ia lantas melihat apa-apa
yang tidak beres. Kasurnya melesak, seperti bekas diduduki.
Lantas ia mengambil bungkusannya buat diperiksa. Maka ia
melihat baju hitamnya berada disebelah atas dan
mendapatkan sapu tangan wanita, pula sebutir mutiara
sebesar kacang yang menyiarkan bau harum. Diujung sapu
tangan itu ada sulaman satu huruf “Tio” yang berada atas
sulaman bunga Teratai, indah buatannya. Ia pegangi
saputangan itu, lantas ia menduga pada Lian Cu.
“Nona ini sangat cerdik” pikirnya, “Dengan lantas ia
menduga aku. Barusanpun, ia mengantarkan pulang ujung
sumpitku. Ia meninggalkan saputangan dan mutiara disini,
tentulah ini tanda terima kasihnya. Mana dapat aku menerima
ini? Tugasku menuntutbalas belum selesai, dapatkah aku
terganggu urusan semacam begini? Bisa-bisa tugasku menjadi
terintang…Apa tidak baik aku menemui dia, untuk member
penjelasan? Dengan begitu apakah sikapku tidak terlalu? Ah,
tidak, tidak dapat aku membayarnya pulang! Habis
bagaimanakah?”
Ia menjadi bingung. Ia menghela napas.
Selagi begitu, ia mendengar tindakan kaki diluar kamar.
Lekas-lekas ia sesapkan saputangan dan mutiara kedalam
sakunya. Yang dating itu Gouw Hong Piu, yang terus menolak
pintu dan berkata sambil tertawa: “Gan Siauwhiap, ketika di
Kho-yoe aku sudah tahu kau gagah, aku tidak menyangka kau
begini pandai menyimpan kepandaianmu, maka itu maafkan
aku untuk mataku yang tidak awa,” ia berkata sambil member
hormat dengan menjura.

171
In Gak mengulur tangannya, untuk mencegah, lantas Hong
Piu merasakan tenaga yang luar biasa besar, yang menolak
tubuhnya, hingga tak dapat ia membungkuk.
In Gak tertawa dan berkata: “Gouw Tiangcu, kita ada
diantara orang sendiri, harap kau tidak menggunai adat
peradatan. Aku juga tidak mengerti, siapakah itu yang kau
sebutkan?”
“Siauwhiap terlalu merendah” kata pemilik peternakan itu
tertawa, “Kau lihay, kau tetap berlagak pilon! Didalam Rimba
Persilatan, sungguh tak banyak orang sebangsa kau,
Siauwhiap, aku datang atas namanya tuan rumah dan saudara
To untuk meminta kau suka beromong-omong”
“Tiangcu, aku tidak sangka kau dapat menggunai banyak
adat peradatan” kata In Gak tertawa, “Kalau mau bicara,
marilah!” Baru ia mau bertindak keluar, atau telinganya
mendengar tindakan kaki ramai, lantas dimuka pintu kamar ia
melihat munculnya The Kim Go bersama tuan rumah dan To
Ciok Sam, juga Ciu Goat Go dan Tio Lian Cu.
“Gan Siauwhiap,” kata Ciu Wie Seng yang maju kedepan,
“Maafkan aku yang sekian lama tidak melihat kau. Kawanan
penjahat sudah mengacau rumahku ini, tapi aku tidak
mendapat tahu, syukur ada kau yang menghindarkan bahaya.
Budimu ini, tidak dapat aku balas. Barusan aku minta saudara
Gouw dating lebih dulu pada kau, aku minta maaf yang aku
datang terlambat,” lantas ia member hormat.
In Gak lekas membalas.
“Jangan, terima kasih!” katanya, menampik.
To Ciok Sam menghampirkan si anak muda, untuk
mencekal tangannya dengan keras, guna menatap tajam
wajahnya. Lantas dia tertawa tergelak.
“Sungguh seorang gagah asalnya ialah anak muda!”
katanya. “Gan Siauwhiap, siapakah gurumu? Dapatkah kau
memberitahukan?”

172
“Tak tepat loocianpwee memuji aku!” kata In Gak
merendah, “Guruku seorang pendeta perantauan, yang tak
ketahuan tempat kediamannya, bahkan aku tidak ketahui juga
nama atau gelarannya, dari itu menyesal tak dapat aku
memberitahukannya. Sebenarnya aku cuma mempelajari ilmu
melepas senjata rahasia serta sedikit akal kecerdikan, dalam
hal lainnya aku tidak mengerti apa-apa. Tentang pengacauan
di Ciu kee cung ini, ada orangnya yang telah membantu
secara diam-diam, perihal aku, kebetulan saja aku berada
disini. Maka itu, tidak berani aku menerima ucapan terima
kasih”
Ciok Sam heran.
”Sipakah itu yang membantu secara diam-diam?” ia tanya.
”Siauwhiap tentulah ketahui siapa dia..?
Muka In Gak bersemu dadu, ia menggeleng kepala.
”Aku tidak dapat melihat tegas padanya, cuma gerakannya
saja sangat gesit,” ia menyahut. ”Teranglah dia mempunyai
kepandaian yang mahir sekali”
Mendengar itu In Liong Sam Hian tertawa.
”Aku si orang tua ketahu Siauwhiap pandai sekali
menyembunyikan diri!” katanya, ”Sebenarnya dimana ada
orang seperti yang siuwhiap katakan itu?”
Mengetahui orang tidak percaya ia, In Gak tidak berdaya.
Ia kata: ”Jikalau loo-cianpwee tidak percaya, aku tidak dapat
bilang suatu apa. Hanya dapat aku bilang, dalam dua tiga hari
ini pasti bakal terjadi sesuatu yang penting, hingga setelah itu,
baru nanti loo-cianpwee percaya aku”
Ciok Sam terus menatap. Ia merasa, makin lama ia makin
menyukai anak muda di depannya ini, yang tampan dan halus
gerak-geriknya. Coba tidak Tan Bun Han menyatakan,
kepandaian orang sangat luar biasa, pasti sudah ia
menawarkan diri untuk menjadi gurunya, agar ia dapat
mewariskan semua kepandaiannya. Kemudian ia kata:
”Baiklah, aku percaya atau tidak, sang waktu yang akan

173
mengasi buktinya! Cuma, kalau itu kawanan bajingan benarbenar
berani mengacau pula..hmmm..biarlah dia nanti merasai
kelihayanku! Siauwhiap, mari kita pergi keluar, untuk menanti
kawanan bajingan itu!”
In Gak menurut, tetapi ia masih berkata:”Oey Kie Pay
berani sekali, sebentar malam haruslah kita berjaga-jaga.”
”Aku telah siap dengan penjagaanku,” Wie Seng
memberitahu, ”Malam ini, aku rasa, tidak bakal ada bahaya.
Kalau Oey Kie Pay mengirim orang, tentu untuk mencari tahu
saja keadaan kita, untuk persiapan menolong orangnya dan
mendapatkan pedang. Umpama kata mereka mau menyerbu,
itu pasti nanti dilakukan setelah pie-bu ditutup.”
In Gak mengangguk, ia tidak bilang suatu apa. Dibelakang
ia, kedua nona terdengar kasak kusuk dan tertawa perlahan
tetapi geli, hingga satu kali ia menoleh, ingin tahu kenapa
mereka tertawa. Ia mendapatkan, keempat mata mereka
tajam mengawasi padanya, tangan mereka digerak-geraki
secara menarik. Nona-nona ini sangat lincah, gembira
bagaikan anak kecil.
Ciok Sam dapat melihatgerak-gerik anak-anak muda itu, ia
bersenyum, kemudian memandang si anak muda, ia tertawa.
In Gak menjadi likat.
Tidak lama ramailah orang berbicara dan tertawa, di ruang
besar dimana mereka itu duduk berkumpul. In Gak-lah sebab
utama dari kegembiraan mereka itu. In Gak sendiri tetap
bersikap tenang dan tak banyak berbicara.
Orang berkumpul samapi sore, sampai si Puteri Malam
muncul menerangi sang gelap-petang. Angin halus
membuatnya cabang-cabang pohon bergoyang-goyang,
memain mendatangkan bayangan.
Tidak jauh dari tempatnya duduk, In Gak melihat papan
catur. Ia menghampirkan itu, ia menjumput biji-bijinya untuk

174
digenggam, lalu ia meletakannya pula, suaranya berbunyi
nyaring.
”Aku gemar main catur, entah loo-cianpwee mempunyai
kegembiraan atau tidak?” ia tanya Ciok Sam seraya ia
memandang sambil tertawa kepada jago tua itu.
”Oh, kiranya siauwhiap gemar main catur” katanya, ”Sudah
enam puluh tahun aku si orang tua main catur, selalu kalah,
tetapi biar selalu kalah, dia tetap main terus! Siauwhiap,
sukalah kau mengganda.”
”Loo-cianpwee bergurau,” In Gak kata tertawa, ”Aku baru
belajar, mana dapat mengganda?”
”Baiklah,” kata Ciok Sam sungguh-sungguh, ”Awas, jangan
kau mengalahkan aku hingga aku tidak tahu dimana harus
menaruh muka!”
In Gak tetap tertawa manis. Lantas ia duduk menghadapi
jendela.
Ciok Sam menggulung tangan bajunya, dengan tangan
kirinya ia mengurut-urut kumis dan jenggotnya. Ia
menjalankan biji-bijinya dengan teliti. Didepan ia, In Gak
bertindak sebat, dia merangsak ketengah menduduki kotakkotak
yang baik, lalu menelan beberapa biji lawannya, hingga
dia lantas menang unggul. Maka jago tua itu menjadi
mengerutkan alis untuk berpikir keras.
Kedua nona menonton di pinggiran, mereka mengeluarkan
kata-kata tak terang, lalu tangan mereka tunjuk-tunjuk
sendirinya, seperti biasanya orang luar tengah menyaksikan
orang mengadu otak itu. Dari bicara perlahan, suara mereka
menjadi membisingkan telinga.
”Dasar kamu anak-anak, kamu berisik saja!” kata Ciok Sam
kemudian, ”Awas ya, dengan kamu menggganggu aku, nanti
siapa akan membantu pada kamu!”
Lian Cu tertawa.

175
”Loo-jinkee yang kalah, kami yang muda yang disesalkan!”
dia kata, ”Memangnya siapa menghendaki bantuan loojinkee!”
Ciok Sam tertawa lebar.
”Anak, kau pandai bicara ya!” katanya, ”Aku mau lihat
nanti, kapan tiba waktunya kau membangun rumah tangga,
kau cari aku untuk memohon bantuanku atau tidak?”
Habis berkata, ia terus melirik In Gak.
Muka si nona bersemu dadu.
”Loo-jinkee, kau...” katanya tertahan. Ia sudah mengangkat
kakinya tetapi Goat Go menahan tertawa.
Wie Seng dan The Kim Go juga turut tertawa.
Agaknya mereka itu gembira sekali, sampai mereka seperti
melupakan bahwa mereka mempunyai musuh-musuh gelap.
Ciok sam penasaran, ia bekerja keras, niatnya dapat
memperbaiki kedudukannya. Lama ia berdiam untuk berpikir.
In Gak juga berdiam saja, tapi selagi lawannya mengasah
otak, tangan kanannya menjumput lima biji putih, mulutnya
menghitung: ”Satu..dua..tiga ...empat..lima!”
Ciok Sam heran, ia mengawasi.
In Gak terus berdiam, hanya kali ini ia tertawa perlahan,
tangannya terus menimpuk keluar. Gerakannya itu nampak
perlahan tetapi melesatnya biji-biji catur cepat sekali.
Menyusuli timpukan biji-biji catur itu, diluar terdengar suara
seperti orang menahan napas, disusul suara roboh barang
berat.
Hui In Ciu Wie Seng terkejut, segera dia lompat keluar
jendela. Dia lantas disusul Kim Go.
In Gak duduk tenang, ia mengawasi papan catur, seperti ia
lagi memikirkan biji-bijinya. Menampak demikian, mau atau
tidak, Ciok Sam menjadi kagum. Ia pun telah melihat tegas
timpukannya anak muda itu.

176
Lian Cu mengawasi si pemuda, ia seperti tidak
memperdulikan suara di luar itu, akan tetapi kapan ia
mendapat kenyataan dua jago catur itu terus berdiam saja, ia
habis sabar, ia membikin mulutnya monyong, tangannya terus
mengacau biji-biji catur itu.
”Kamu si tua dan si muda, bagaimana kamu masih
bergembira main catur?” katanya keras, ”Kenapa kamu tidak
mau nelihat keluar?”
Ciok Sam menolak papan caturnya.
”Eh, bocah, kau jail sekali!” katanya tertawa, ”Aku bakal
menang, kau mengacaunya! Kau berat sebelah tahu? Kalau
kau disalahkan, kau tentu berbalik menyalahkan aku!”
Lian Cu melotot kepada orang tua itu, sedang Got Go
tertawa terkekeh.
Justeru itu Wie Seng dan Kim Go sudah kembali, mereka
mengelek dan menenteng tubuhnya lima orang.
Hui In Ciu Wie Seng tertawa, ia berkata: ”Kelima bangsat
ini sudah ditanyai terang, merekalah orang-orang Oey Kie Pay.
Gan Siauwhiap, aku numpang tanya, apakah hendak diperbuat
atas diri mereka ini?”
”Segala apa terserah Ciu cungcu” sahut si anak muda,
”Mana dapat aku mewakilkannya? Aku malu..”
Wie Seng tahu, orang merendahkan diri, tetapi ia tidak mau
memaksa. Ia lantas menitahkan cungteng membawa kelima
orang itu kekamar batu, untuk dicampurkan dengan Tjie Ek
semua. Kemudian sembari tertawa ia kata: ”Gan Siauwhiap,
luar biasa lihay tanganmu! Kepandaian ini belum pernah aku
lihat, belum pernah aku mendengarnya.” Ia berhenti sebentar,
lalu ia menambahkan: ”Kami adalah orang-orang yang
mengerti silat, nama kami terkenal juga didalam rimba
persilatan, kami biasa melatih telinga dan mata kami, akan
tetapi barusan, kami tak mendengar dan tak melihat ketika

177
kelima penjahat itu datang dan naiki pohon! Sungguh kami
malu...”
Jilid 2.4. Oey Kie Pay di Kho-yoe keok
In Gak likat. Tapi ia lantas mendengar Tjiok sam tertawa.
“Tjioe Laotee,” kata djago tua itu,” kita semua, si tua tak
mau mati, kita sudah seharusnja pada mundur sekarang ini
djamannja si anak-anak muda Apakah kau tidak kenal pepatah
jang membilang, gelombang jang dibela kang mendorong
gelombang jang didepan, dan orang baru menggantikan orang
lama? Lihat sadja, selama beberapa hari ini telah terdengar
beritanja hal orang-orang muda jang gagah, jang baru muntjul
Demikian halnja si pemuda sheTjia di Kim-hoa, tanpa sepuluh
djurus dia telah menghadjar mampus pada Tiat-sat-tjioe Koet
sin, hingga dia menggemparkan dunia Kang-ouw di selatan
dan Utara sungai besar. Kalau dipikir-pikir, aku harus
menjemplungkan diri ketelaga Kho Yoe.”
Kata-kata ini membangkitkan tertawa ramai.
“Aku bitjara benar-benar, Gan siauwhiap,” kata Tjiok sam
kepada si anak muda, jang ia awasi.” Aku sudah berumur
Sembilan puluh tahun tapi belum pernah aku menjaksikan
kepandaian seperti kepandaian kau barusan. Bagaimana kalau
sekarang kau mentjoba aku didjarak sepuluh kaki?”
In Gak menggojang kedua tangannja.
“Tidak bisa, lootjianpwee, tidak bisa,” katanja tjepat.
Djanganlah lootjianpwee membuatnja aku mengasi lihat
keburukanku? Apa aku bisa jalah menghadjar benda mati,
kalau terhadap benda hidup, aku tak berguna lagi”
Tapi To Tjiok sam tidak mau mengerti, segera ia lompat
hingga lima tombak.

178
“Gan siauwhiap. dj angan kau menampik katanja,
sungguh2.” Mari kita mentjoba-tjoba, untuk berlatih. Kau
boleh gunai semua kepandaian kau, umpama kata aku terluka,
tidak apa. Djikalau kau mengalah, kau membuatnja aku tidak
puas”
Mengetahui tabiat orang, In Gak tertawa. Ia lantas
mengambil sepuluh bidji tjatur.
“Lootjianpwe, maafkan aku jang muda” katanja, jang katakatanja
ditutup dengan timpukannja, mengarah pundak kiri
djago tua itu.
Biar bagaimana, Tjiok sam terkedjut melihat datangnja bidji
tjatur itu ia lantas mengibas dengan tangan kanannja. Ia
dapat membebaskan diri tetapi bidji tjatur lewat dekat
diatasan pundaknja. Djusteru itu, In Gak sudah menimpuk
pula, kali ini bukan
dengan satu atau dua bidji hanja lima, dua didepan, tiga
dibelakang, hingga kelimanja merupakan bunga bwee. Tiga
bidji jang dibelakang itu pun datangnja saling-susul.
Melihat datangnja serangan itu, Tjiok sam menjerang
berbareng dengan dua-dua tangannja. Ia mengguai
Pekskhong-tjiang, pukulan Udara Kosong. Biasanja, hebat
anginnja serangan itu. Tapi sekali ini, kelima bidji tjatur tidak
tersapu lantas. sembari mengibas itu, djago tua ini berkelit.
Ditangannja In Gak masih ada sisa empat bidji, semua ini
segera disusuli dipakai menjerang pula. Tentu sekali, serangan
jang terachir ini tjepat luar biasa. sebab ketika, Tjiok sam
tengah menangkis dan berkelit. Maka repotlah dia atas
datangnja empat bidji tjatur itu. Terpaksa dia berkelit pula,
sambil mendjatuhkan diri. Ketika dia berbangkit bangun, dia
periksa tubuhnja, untuk mendapatkan kepastian dia bebas
atau tidak. Lalu hatinja mendjadi mentjelos, mukanja
mendjadi putjat. Dia mendapat kenjataan, udjung badjunja
jang kiri kena ditembusi sebuah bidji tjatur

179
“Tidak dapat aku sesalkan dia,” pikirnja. “Siapa suruh aku
mendesak dia mengeluarkan kepandaiannja? Djikalau dia
bersungguh-sungguh, mungkin tubuhku mendapat beberapa
liang.” Lantas ia tertawa bergelak dan berkata: “Gan
siauwhiap. hebat tanganmu, aku si orang tua, aku menjerah”
Memang djago tua ini mesti menjerah kalah. Ketjewa ia
bergelar In-liong sam-hian, atau naga jang muntjul tiga kali
didalam awan- Djulukan itu berarti ia sebat dan gesit luar
biasa, bagaikan naga memain dimega, siapa tahu, kali ini ia
runtuh.
In Gak menjesal atas perbuatannja itu, ia merangkap
tangannja memberi hormat, ia
kata: “Benar tepat djulukan lootjianpwee In-liong sam-hian
Barusan sengadja sadja lootjianpwee mengalah kepadaku,
djikalau lootjianpwee merangsak, apa aku bisa bikin?”
Mendengar itu, Tjiok sam sangat bersjukur, tapi ia kata,
tertawa: “Buat apa kau masih melindungi mukaku, Gan
siauwhiap? Disini orang semua bermata tjeli, siapakah jang
tak melihat? siauwhiap. biasanja aku tidak menjera h kepada
siapa sadja, baru sekarang terhadap kau. Aku hanja kurang
djelas mengenai satu hal. Aku mempunjai tipu silat Tay-lek
Kim-kong-tjiang, djikalau aku menggunai itu, setiap sendjata
mestinja kena tersampok balik, tubuhku tak dapat didekati,
tetapi aneh, bidji tjaturmu tak dapat terpukul mundur semua,
ada djuga jang nerobos terus?”
“Maaf, lootjianpwee, malu aku untuk mendjelaskannja,”
berkata In Gak. “Aku hanja menggunai akal. Bidji tjaturku itu
dapat dipakai menjerang setjara berputar, djadi penolakan
langsung tak dapat mentjegahnja. Barusan bidjiku menjambar
dari samping.”
Alasan ini masuk diakal, tidak dapat orang tidak pertjaja,
hanja satu hal sudah pasti, tjuma In Gak jang dapat
menjerang setjara demikian, lain orang tidak sanggup,
Entahlah kalau jang diserang bukannja To Tjiok sam. In Gak

180
telah menjembunjikan satu hal serangannja itu menurut Hianwan
Sip-pat-kay.
Seperti jang lain-lain, Goat Go dan Lian Tjoe djuga memudji
anak muda itu, jang mereka sangat kagumi, tanpa merasa,
mereka mengawasi orang dengan mereka mementang empat
mata mereka.
Tjioe Wie seng dapat melihat kelakuan puterinja. Itulah
kelakuan jang dulu-dulu belum pernah ia lihat. Ia mendjadi
terharu. ia mengasihani anak gadisnja ini, jang telah
tidak mempunjai ibu, hingga dia tidak mendapat merasai
kasih-sajang ibunja. Biasanja si nona pendiam, djarang
sesuatu terkentara pada air mukanja, tetapi kali ini, lain.
Pernah Wie seng memudjikan beberapa anak muda, jang
tampan dan mengerti baik ilmu silat, Goat Go tidak perhatikan
mereka, hatinja tak pernah tergerak, baru sekarang ia nampak
berubah, ia seperti bukan Goat Gojang dulu.
Sementara itu, disitu ada Tio Lian Tjoe. Nona ini lebih tj
antik, ilmu silatnja terlebih tinggi. Nona ini pun lebih berani,
nampak njata dia sangat memperhatikan si anak muda.
Bagaimana sekarang?
Wie seng bingung djuga. Dilain pihak lagi, ia belum tahu
keadaan si anak muda. Apakah masih merdeka?
Masih ada satu hal lain, jang lebih penting. sekarang ini
bukan saatnja bitjara perkara djodoh. Mereka lagi terantjam
bahaja dari rombongan Oey Kie Pay. Dan anaknja sendiri
tengah menghadapi urusan pieboe.
Lian Tjoe benar-benar berani. sembari tertawa ia
menghadapi In Gak dan minta diadjari ilmu melepas sendjata
rahasia, ia tak malu-malu atau likat. Melihat orang demikian
polos, In Gak malu hati untuk menolak.
“Nona hendak mempeladjari sendjata rahasia, baik sekali,
akupun tidak suka menjembunjikan apa jang aku bisa,”

181
katanja, turut tertawa. “Tjuma hendak aku mendjelaskan,
sendjata rahasia tidak dapat dipeladjari hanja satu hari atau
satu malam. Baiklah, kalau nanti urusan disini sudah selesai,
aku akan mengadjari pokoknja dulu.”
Baru si pemuda menutup mulutnja, atau Goat Gopun
madju.”Siauwhiap!” kata Nona Tjioe, “aku djuga ingin
mempelajari sendjata rahasia, dapatkah?”
In Gak heran hingga ia melengak. tapi tjuma sebentar.
“Dapat nona, dapat!” sahutnja lekas.
Hong Pioe semua tertawa.
In Gak mendengar itu, ia mendjadi likat. Ia merasa bahwa
orang mentertawai ianja.
“Nona Tio, ilmu tjambukmu tadi bagus sekali,” ia berkata,
memudji, untuk menjimpangi perhatian orang. Lian Tjoe
bersenjum.
“Oh, ja,” katanja, agaknja dia kaget, “aku lupa
menghaturkan terima kasih padamu” Dan ia lantas mendjura,
memberi hormatnja.
“Djangan, nona, djangan” InGak menampik. Ia gugup, ia
mengulur tangannja, untuk mentjegah.
Nona Tio menarik tangannja, ia menatap.
Kembali In Gak djengah, tetapi ia tertawa dan terus
berkata: “Nona, ilmu tjambukmu liehay, tjuma itu dapat
dipakai menjerang djauh, tidak untuk menjerang dekat. Aku
mempunjai satu akal untuk menutup kekurangan itu.”
Lian Tjoe djadi sangat ketarik, “Benar?” tanjanja.”Oh, kau
adjarilah aku lekas”
“Mari nona kasi aku pindjam tjambukmu,” kata In Gak. jang
masih belum sempat menarik pulang tangannja, maka ia djadi
dapat melondjorkan terus.” Mari kita keluar, nona pakai
pedang, nanti aku mengadjari kau.”
Lian Tjoe menjerahkan tjambuknja, jang terbuat dari otototot
ular. itulah tjambuk jang ia sangat sajang, jang tidak
sembarang ia kasi lain orang pegang. orang lantas pergi
keluar dimana tjahaja rembulan permai sekali.

182
Lian Tjoe dan In Gak lantas berdiri berpisah tudjuh kaki. Si
nona menaruh pedangnja didada.
“Silakan menjerang, nona,” kata in Gak. “Kau menjerang
dengan sungguh-sungguh, djangan sung kan-sungkan.”
Lian Tjoe bersenjum, didalam hatinja ia kata: “Kau nanti
lihat ilmu pedangku, Tjioe- hong Lok-yap It-djie Kiam-hoat
adjaran ajahku, jang telah menggemparkan Tionggoan, jang
belum pernah ada tandingannja, sedang aku, aku telah
mewariskannja dengan sempurna. Kau boleh liehay sekali
tetapi apa kau sanggup melajani aku?”
Lantas ia kata, perlahan “Baiklah, aku hendak mulai
menjerang”
Dan dengan mendadak, ia menikam, gerakannja bagaikan
badai menjambar. Gerakan ini tepat, tjotjok dengan ilmu
pedang itu, Tjioe- hong Lok-yap It-djie Kiam-hoat, jaitu ilmu
pedang Daun rontok karena angin musim rontok. serangan itu
menudju kepundak kiri.
In Gak tidak berkelit, ia djuga tidak menangkis, hanja ia
mendahului, dengan sangat sebat, tjambuk ditangannja
bergerak, udjungnja mentjari udjung pedang.
Lian Tjoe terkedjut. serangannja itu gagal, tjambuknja
seperti tertindih barang berat. Dengan lantas ia memutar
pedangnja, untuk dibikin lolos, buat terus dipakai menjerang
pula, ke iga kiri si anak muda.
Kembali In Gak mengasi lihat kepandaiannja. Udjung
tjambuknja menekan pula pedang si nona, orang sampai
seperti tidak mendapat lihat bagaimana dia menggeraki
tangannja.
Lian Tjoe heran, tetapi ia penasaran, maka ia melepaskan
diri, untuk menj erang terus. Ia melandjuti mengguna i ilmu
silatnja itu, jang banjak djurusnja jang beraneka. In Gak tetap
bersilat seperti bermula. Ia main tekan udjung pedang
lawannja itu.

183
Nona Tio terkedjut ketika sendjata mereka bentrok. la
merasakan tangannja kesemutan, sampai pedangnja hampir
terlepas. Tapi sekarang ia mulai mengerti ilmu silat tjambuk
pemuda itu. orang liehay disebabkan mahirnja tenaga
dalamnja.
Dari tigapuluh djurus mereka bertempur sampai limapuluh
djurus. si nona terdesak tetapi sekarang ia dapat bersenjum.
Ia melajani dengan tenang, njata si anak muda tidak mau
meroboh kannja.
“Kepandaian Gan siauwhiap hebat sekali,” kata To Tjiok
sam sesudah menonton sekian lama. “Ia bergerak lintjah
bagaikan naga dan ular. selandjutnja aku tidak berani
memandang enteng lagi kepada dunia”
Liang-hoay Tayhiap Tjioe Wie seng dan Hoei-in-tjioe Gouw
Hong pioe mengangguk. “Rupanja gurunja Gan siauwhiap
bukan sembarang orang,” kata Wie seng.
Goat Go berdiam sadja, tetapi dengan berdiam ia
memperhatikan bergerak-geraknja tjambuk In Gak. Ia merasa
puas.
“Nona Tio, awas !” mendadak terdengar suaranja si
pemuda. Inilah djurus merampas djiwa untuk merebut
kemenangan
Kata-kata itu disusul udjung tjambuk menjambar pundak
kiri si pemudi.
Lian Tjoe segera menjambut, untuk memapas tjambuk itu.
Ia bersilat dengan tipu Angin puju menjapu pohon yanglioe,
pedangnja membabat dari kanan kekiri, sinarnja pedang
berkelebat bertjahaja perak.
Tepat disaat tjambuk hampir kena dibabat, mendadak In
Gak tertawa, tubuhnja bergerak kekiri, tangannja ikut
bergerak, membebaskan tjambuk dari babatan, setelah mana,
tjambuk itu disamberkan kembali.

184
“Lepas tanganmu” ia berseru sambil ia menarik dengan
kaget.
Diluar kehendaknja, tubuh Lian Tjoe madju empat tindak,
telapakan tangannja dirasakan sakit, tidak dapat ia memegang
lebih lama pedangnja, pedang itu tertarik. terlempar djauhnja
belasan tombak, djatuh ditanah dengan menantjap.
“ Maaf, nona, aku tak sempat menahan tanganku,” kata In
Gak tertawa. Lian Tjoe mendelik kepada pemuda itu, tetapi
setelah itu, ia tertawa
In Gak berlompat kearah pedang, untuk mendjemputnja,
setelah mana, dengan sama gesitnja ia berlompat balik.
Demikian lintjah gerakannja itu, hingga kembali ia
mendatangkan kekaguman kawan-kawannja.
“Sjukur pedang ini tidak rusak” katanja kepada si nona
seraja ia menghaturkan sendjata orang itu. Dapat aku
mengembalikannja dengan baik Lian Tjoe menjambuti sambil
tertawa.
“Terima kasih,” utjapnja. Itulah penghaturan terima kasih
tidak untuk pedang belaka hanja djuga untuk pengadjaran
jang diberikan- Karena pertandingan itu merupakan latihan
peladjaran baru.
Setelah itu, mereka kembali kedalam, ketjuali Goat Go dan
Lian Tjoe. Sebab mereka berdua lantas berlatih, untuk dapat
mendjalankan dengan baik ilmu tjambuknja In Gak barusan.
Berdua mereka saling mengadjari dibagian-bagian jang
mereka ragu-ragu. “Siauwhiap. setelah urusan d isini selesai,
kemana kau hendak pergi?” tanja Tjiok Sam.
“Aku hendak pergi ke Utara, ke kota radja, untuk menetapi
djandji pertemuan sebelum harian Toan-ngo,” sahut si anak
muda.
“Bagus siauwhiap hendak pergi ke kota radja,” kata Tjiok
sam. “Setelah bertemu dengan sahabatmu itu, aku minta
dengan sangat sukalah kau mampir padaku. Rumahku tidak
terpisah djauh dari kota radja, dengan menunggang kuda,

185
siauwhiap akan sampai disana dalam dua-tiga hari. Aku
tinggal di Tjin Hong Too. Dengan tanja-tanja orang, dengan
mudah siauwhiap akan dapat mentjarinja. Ketjuali ingin dapat
memasang omong dengan kau, siauwhiap, aku pun hendak
meminta sesuatu, entah..”
“Djikalau ada titahmu, lootjianpwee, mana aku berani
membantah?” berkata si anak muda mendahului. “Setelah
bertemu dengan sahabatku itu, pasti aku akan berkundjung
kepada lootjianpwee.”
In Gak menduga permintaan itu tentu djuga urusan budi
dan penasaran dalam Rimba Persilatan, ia sendiri tengah
mentjari musuh- musuhnj a, ia boleh sekalian sadja
melakukan perantauannja. Ia pertjaja perdjalanan itu akan
membawa kebaikan untuknja. siapa tahu bila ada musuhnja
jang berdiam di Kwan-gwa?
Tjioe Wie seng berpikir mendengar To Tjiok sam memohon
bantuannja In Gak. la menerka urusan itu penting sekali.
In-liong Sam-hian sangat terkenal di Kwan-gwa, ada
siapakah jang berani mengganggu dia? pikirnja. Bukankah itu
berarti menarik-narik kumis harimau? Maka ia mengawasi
tetamunja itu.
To Tjiok sam menjangka tuan rumah mentjurigai sesuatu,
ia tertawa. “Tjupu-tjupu ini achirnja bakal petjah, tjuma
sekarang belum waktunja” katanja.
Oleh karena orang tidak suka mendjelaskan, Wie Seng
tidak mau menanjakan. Ia lantas menimbulkan pula urusan
kaum Bendera Kuning.
Gouw Hong Pioe, The Kim Go dan Tjia In Gak melajani tuan
rumah bitjara, tjuma Tjiok Sam jang berdiam sadja. In-liong
sam- hian agaknja lagi berpikir keras, untuk mengambil suatu
keputusan.
Tidak lama muntjullah Goat Go, sembari tertawa-tawa dia
berbisik pada ajahnja.

186
“Ah, anak nakal” ajah itu berseru. Ia terus berpaling kepada
In Gak dan tertawa djuga, ia kata: “Anakku dan Nona Tio
telah mejakinkan ilmu pedang dan tjambuk barusan, ada
beberapa bagian jang mereka belum djelas, dari itu mereka
ingin minta siauwhiap suka keluar sebentar untuk memberikan
petundjuk kepada mereka. sudikah siauwhiap membantu
mereka itu?”
In Gak bersenjum.”Tentu” sahutnja tjepat dan segera ia
ikut Goat Go keluar.
To Tjiok sam mementang lebar matanja, mengawasi tuan
rumah.
“Tjioe Laotee,” katanja tertawa, “Bagaimana kau lihat
sikapnja anak-anak itu? Aku kuatir mereka bakal menerbitkan
urusan berabeh, jang lebih sulit daripada
sepak-terdjangnja partai Bendera Kuning”
Wie seng mengerti apa jang dimaksudkan In- liong samhian,
ia djuga mengerti bahwa ia terantjam urusan
memusingkan kepala, akan tetapi ia merasa baiklah kalau
anak-anak itu tetap bergaul akrab, maka ia balik mengawasi
sambil bersenjum.
“Hal itu siauwtee telah melihatnja” katanja tertawa. “Tapi
anakku buruk. mana mungkin Gan siauwhiap tertarik
kepadanja? Apapula didepan anakku itu, ada Nona Tio
Bukankah anakku memikir jang tidak-tidak? Hanja kasihan si
Goat, dari ketjil ia telah kehilangan ibunja, dan selama ini
hatinjapun tertusuk hingga ia mendjadi senantiasa berduka.
Baru setelah melihat Gan siauwhiap sikapnja berubah daripada
biasanja. Dapatkah siauwtee mentjegah dia? Aku pikir baiklah
aku membiarkan sadja, agar ia mundur sendirinja nanti”.
Gouw Hong pioe menggeleng kepala.
“Terdengarnja alasan itu tepat sekali, akan tetapi
kenjataannja tidak demikian,” berkata Hoei-in-tjioe.” Mereka
bergaul akrab, tidak nanti mereka membiarkan lain orang
menjelak ditengah-tengah mereka. Itu artinja, sedikit

187
kekeliruan sadja dapat mentjiptakan peristiwa jang
menjedihkan. saudara Tjioe, tak dapat urusan dibiarkan
setjara wadjar. Menurut siauwtee, selagi kedua botjah itu
demikian akur satu dengan lain, tidakkah tjotjok apabila
mereka dinikahkan bersama? Bukankah saudara tidak
mempuniai anak laki-laki? Tjotjok sekali umpama nanti, anak
puterimu menurut she asalnja dan anak Nona Tio mengikut
she suaminja. Tidakkah ini bagus untuk kedua pihak?”
Alisnja Tjioe Wie seng terbangun. “Ja, benar, itulah bagus!”
katanja.
“Ha, kamu bitjara enak sadja” To Tjiok Sam tjampur bitjara.
“Apakah kata si orang she Tio nanti? sudikah dia menjerahkan
puterinja mendjadi kuda pasangan? Masih ada soal Gan
siauwhiap sendiri Dia sudah bertunangan atau belum?
Dapatkah dia menerima dua kawan hidup sekali gus? Inilah
soal tetapi kamu bitjara enak sadja”
Wie seng tertjengang. Memang benar Hong pioe. Maka ia
mendelong mengawasi To Tjiok sam. Tapi In-liong sam- hian
tertawa.
“Walaupun demikian, daja tak dapat tak dipikirkan,” ia
bilang. “Si orang she Tio lagi sakit, entah bagaimana dengan
penjakitnja itu. Dia memang bertabiat aneh tetapi aku tahu
benar dia biasapertjaja aku. Akupertjaja dia akan menjetudjul
Gan siauwhiap Jang masih mendjadi soal jalah puterimu
sendiri Djikalau dia mundur sendiri, soal tidak ada. Akan tetapi
aku ketahui baik tabiatmu, maka demikian djuga tentunja
puterimu, dia pastilah tidak gampang-gampang mau mundur.
Baiklah, laotee, kau serahkan urusan padaku”
Senang djuga Wie seng mendengar itu “Terima kasih”
katanja, hatinja pun mendjadi lega.
Ketika itu In Gak masuk dengan wadjah berseri-seri,
tangannja mentjekal sehelai kertas. segera dia berkata: “Gouw
Tiangtjoe, The Tayhiap. sudikah djiewie menemani aku pergi
sebentar ke Lioe sie Wan?”

188
Wie seng menduga ada urusan-“Apakah bunjinja surat itu,
siauwhiap?” ia tanja.
In Gak tidak mau membuka rahasia dirinja, dengan
perlahan-perlahan ia merobek hantjur surat ditangannja itu,
sembari tertawa ia kata: “Barusan kebetulan sadja seorang
sahabatku mengabarkan bahwa kawanan Bendera Kuning itu
telah mengundang kontjo-kontjonja berapat di Lioe sie Wan
pada sebentar malam djam empat, mungkin mereka hendak
merundingkan sesuatu jang tak baik untuk kita, oleh karena
sahabatku itu bersendirian sadja, ia mengirim surat ini padaku
meminta aku jang pergi menjelidiki aksi mereka itu.”
The Kim Go tertawa.
“Selama beberapa hari ini aku menganggur sadja, suka aku
menemani siauwhiap dan saudara Gouw, pergi kesana”
katanja. In Gak memberi hormat, ia menghaturkan terima
kasihnja.
“Silakan tiangtjoe dan tayhiap bersiap. mari kita pergi
sekarang” ia berkata. Dan ia terus meminta diri, untuk kembali
dulu kekamarnja, guna mengambil sendjatanja, tak dilupakan
topengnja.
Hong pioe dan Kim Go bersiap dengan tjepat, maka dilain
saat, bertiga mereka telah meninggalkan rumah Wie seng.
Letaknja Lioe sie Wan limabelas lie dibarat-laut Tjioe-keetjhung.
Tempat itu mempunjai pemandangan alam jang indah.
Penduduknja tjuma kira-kira tigapuluh keluarga, jang hidupnja
bertjutjuk-tanam. Ditepi kampung ada sebuah kali, jang
tepiannja berbarisan pohon-pohon yang lioe jang permai
memain diantara sampokan sang angin. Kalinja pun berlikuliku.
sunji tempat itu tetapi suasananja menjenangkan,
apapula setiap magrib disaat orang-orang tani pulang dari
sawah-ladangnja dan botjah-botjah angon bertjokol
dipunggung kerbau mereka sambil meniup seruling, atau
diwaktu pagi ajam-ajam riuh berkokok dan asap mulai
mengepul keluar dari tiap-tiap rumah.

189
Salah satu penduduk Lioe sie Wan jalah Mo Djin, turunan
seorang berpangkat dikota radja, jang pulang kedesanja
dengan membeli sawah dan kebun, tetapi sampai pada ia,
kedjajaannja telah berturun- Mo Djin tidak gemar beladjar
surat, ia lebih suka beladjar silat, untuk bertjampuran dengan
segala buaja darat, karena mana, ajahnja mati saking
berduka, hingga ia mendjadi sangat merdeka. Habis sawahladangnja
didjual, untuk hidup berpesta-pora, hingga
tinggallah rumahnja. Ia terbawa temannja, ia mendjadi
anggauta Oey Kie Pay, jang menugaskan ia membantu
mengurus tjabang di Kho-yoe. Karena kedudukannja ini, ia
bisa berbuat sewenang-wenang pada sesama penduduk.
hingga mereka itu menderita, tjuma mendongkol tetapi tak
dapat berbuat apa-apa. Berhubung perhubungan buruk Oey
Kie Pay dengan Tjioe Wie seng, rumah Mo Djin didjadikan
markas tjabang.
Demikian, tiga hari sebelum dibukanja panggung Wan-yotay,
Tjin Lok bersama limapuluh kawannja telah menempatkan
rumah Mo Djin itu, untuk mengatur sesuatu, antaranja
ditugaskannja Tjie Ek pergi mentjuri pedang dengan Tjie Ek
diantar empat kawannja, sedang ia dan jang lainnja, menanti
sambil bersembunji ditempat-tempatjang berdekatan-
Tjelakanja, dia tidak mendapat kabar apa-apa lagi dari Tjie Ek.
jang tak kembali dan tanpa ada tanda isjaratnja. Djuga lenjap
empat kawannja Tjie Ek itu. sedang malamnja, ketika dia
mengirim beberapa orangnja, untuk mentjari dan menolongi
Tjie Ek. orang-orangnja itu dihadjar In Gak ditengah djalan
dan diantar pulang dalam keadaan tertotok djalan darahnja.
Bukan main gusarnja Tjin Lok tapi ia tak berdaja.
Besoknja ia mengirim orang lagi tetapi kali ini orangorangnja
itu dilabrak orang-orang Kay Pang hingga rusak
separuhnja.
Mengerti bahwa Tjioe-kee-tjhung terlindungi orang liehay,
Tjin Lok lantas muntjul setjara berterang dimuka panggung

190
loeitay. Ia tjerdik, ia tidak sembarang bertindak. ia mengharap
bentroknja lain orang, untuk ia jang nanti menjerbu Tjoe-keetjhung,
untuk memungut hasil tanpa bekerdja berat. Karena
ketjerdikannja, ia dipertjaja Oe-boen Loei, ketuanja itu.
Tjin Lok telah memesan orang-orangnja, tanpa isjarat dari
ia, tak boleh mereka itu sembarang turun tangan- Ia terkedjut
dan heran akan menjaksikan Pit siauw Giam dan Tjian seng
Hoan terluka sendjata rahasia. Itu waktu, ia masih belum tahu
jang Koe souw dan lainnja telah kena ditawan, djikalau tidak.
kagetnja mestinja akan bukan kepalang. Tjuma ia seperti telah
mendapat pirasat, hatinja mendjadi tidak tenteram. Karena ini,
ia lantas memikir satu akal. Untuk ini ia mengadjak bekerdja
sedjumlah orang ditetarap barat, jalah orang-orang jang
bukan anggauta partainja. Demikian malam itu djam empat,
mereka berkumpul di Lioe sie Wan, untuk mengatur tjara
kerdja mereka. Apa mau, niat mereka ini diketahui kaum Kay
Pang, maka in Gak lantas dikisiki. Maka si anak muda lantas
datang menjateroni.
Diruangan besar dari rumah Mo Djin telah berkumpul Tjin
Lok semua. Api dipasang terang-terang, suasana tapinja sunji.
Disitu berkumpul kira2 delapanpuluh orang. Tepat waktunja,
Tjin Lok mengangkat bitjara.
“Semua tjianpwee dan sesama rekan” katanja, “Pasti kalian
telah mengetahui apa sebabnja sampai terdjadi Tjioe Wie
Seng hendak menutup diri dan membangun panggung Wanyo-
tay. Itulah karena dia menentang Partai kita. Kita pun, kita
telah bertekad bulat untuk mendapatkan pedangnja orang she
Tjioe itu.”
Ia menundjuk kepada Sien It Beng, untuk menjambungi:
“Inilah Giok- bin Djie-long sien It Beng, ketua dari Gwa sam
Tong kami. Ia telah ditugaskan Ketua kami untuk
mendapatkan pedang dan orang. Maka kalau besok lusa ia
naik keatas panggung, aku minta kalian suka mengalah

191
terhadapnja. Untuk bantuan kalian itu, nanti Partai kami akan
membalas budi. Bagaimana pendapat kalian?”
Selagi Tjin Lok menegasi itu diatas rumah terdengar
tertawa dingin. Ia kaget hingga air mukanja berubah. Tak
sedikit lainnja orang jang pun mendapat dengar tertawa itu.
sebat luar biasa, ia mengebut padam penerangan, terus ia
lompat keluar dari djendela, diturut oleh jang lain-lain- Tiba
diluar, ia terus berlompat keatas genteng.
Rembulan sudah dojong kebarat, sinarnja mulai guram,
tetapi diatas genteng itu, orang masih dapat melihat segala
apa dengan njata, hanjalah disitu tidak ada seorang lain
djuga, keadaan sunji. Heran Tjin Lok. Ia memikir, orang gesit
sekali.
“Hoe-paytjoe, dapatkah kau melihat sesuatu?” tanja siauwsong-
boen Teng Tjee Leng dari gunung Pek M a san- Ia
mendampingi Tjin Lok bersama-sama It-tjie sin-mo Louw
Goan Tong dari Hoa san Pay serta Houw-bin Thaypo Goe
Hoei, ketua muda dari gunung Hin An Leng di Kwan-gwa.
Tjin Lok menggeleng kepala.
“Segala kurtjatji, buat apa saudara Tjin melajaninja” kata
Goan Tong, jang tertawa dingin. “Tentulah dia sudah kabur
djauh Kalau tidak. biarlah dia rasai djeridji
Liok-im-tjie dari aku si orang she Louw”
Belum berhenti suaranja Goan Tong ini, diudjung barat
genteng itu terdengar suara tertawa tadi, hanja kali ini,
terdengarnja sangat njata.
Bagaikan kilat tjepatnja, tubuh Louw Goan Tong sudah
mentjelat madju. Dia pun membentak: “Tikus, kenapa kau
tidak mau perlihatkan dirimu?”
Dari arah barat itu terlihat satu tubuh mentjelat memapaki,
dibarengi tertawa dingin dan bentakan: “Kau turunlah”

192
It-tjie sin-mo kaget sekali. Terpaksa ia berlompat
kesamping. ia bersjukur jang ia masih dapat lolos dari
serangan orang tidak dikenal itu, jang telah memisahkan diri
kira2 sepuluh tombak. Tapi ia mendongkol. Dulu-dulu, belum
pernah ia diserang orang setjara demikian. Maka ia segera
madju pula. Akan tetapi, dengan tjepat, orang itu sudah
menghilang
Tjin Lok lantas mendapat tahu bahwa ia berada dengan
musuh ditiga pendjuru, maka bersama-sama kawannja ia
memetjah diri, untuk mendekati mereka itu. segera ia merasa
bahwa ia pun tengah dipermainkan, sebab musuh mereka
tidak dikenal itu, bagaikan bajangan, lari kesana-sini, selalu
menjingkir dari kepungan. Mereka sangat gesit.
Ketika itu diluar rumah terlihat dua bajangan tubuh jang
langsing dan lintjah, mereka dipergoki oleh pihak tuan rumah,
mereka lantas dipegat, untuk diserang. Mereka itu tidak takut,
mereka membuat perlawanan.
Kedua bajangan itu masing-masing memakai topeng hitam,
sendjata mereka sendjata jang pandjang dan lunak. d iba wah
sinar rembulan jang guram, sendjata mereka itu
bergerak-gerak bagaikan ular litjin.
Dipihak tuan rumah, empat orang telah roboh saling-susul.
Djusteru itu, diantara mereka terdengar teriakan- “Dua orang
wanita, bekuk mereka hidup, hidup”
Kedua orang itu membentak. suara mereka njaring,
mengikuti itu, mereka menj erang dengan terlebih hebat,
hingga mereka tidak dapat dirangsak. Tapi dengan begitu,
mereka tidak dapat merusak kepungan- sebaliknja, lantas
terlihat gerakan mereka mendjadi perlahan.
Diantara pengepung ada djuga jang mengupat-tjatji,
hingga suara mereka mendjadi berisik sekali.
Selagi kedua wanita itu terkurung hebat itu, mendadak
disitu muntjul satu bajangan lain, dan dengan lekas orang

193
melihat njata mukanja jang putjat dan menakuti, tak miripnja
manusia biasa, hingga hati orang mendjadi ketjil. Bajangan itu
menj erang keras, sampai lantas roboh tudjuh atau delapan
kurban-Melihat bajangan itu, kedua wanita kaget dan girang.
“Gan..” mereka berseru tetapi lantas berhenti suara
mereka. Tanpa mereka merasa, mereka dihampirkan, untuk
ditjekuk masing-masing dengan sebelah tangan orang itu,
untuk dibawa menjing kir. Tjuma dengan beberapa lompatan,
mereka sudah hilang dari depan para pengepung itu.
Kedua wanita itu. bukan lain daripada Tio Lian Tjoe dan
Tjioe Goat Go. Mereka mendapat tahu kepergian In Gak
bertiga, lantas mereka menjusul. Djikalau mereka minta ikut
dengan berterang, pasti mereka ditolak. Mereka sama-sama
membekal tjambuk. Diluar pekarangan, mereka terlihat orang
djaga, mereka dikasi lewat tapi orang itu lantas lari
mengabarkan pada Wie seng.
Gesit kedua nona itu, mereka dapat menguntit In Gak
bertiga. Mereka heran ketika tiba di Lioe sie Wan, mereka
tidak menghadapi sesuatu rintangan. Lian Tjoe mengutarakan
tjuriganja pada Goat Go. Mustahil musuh tidak membuat
pendjagaan? Lihat, entjie, apa itu? kata Goat Go, menundjuk.
sebelum ia mendjawab.
Lian Tjoe segera menoleh. Maka ia melihat, diba wah
sebuah pohon janglioe, rebah dua tubuh manusia. Kapan nona
Tio mendekati, ia mendapat kenjataan dua orang itu telah
tertotok urat gagunja. Mereka itu rebah tanpa berkutik, kedua
mata mereka dipentang lebar-lebar.
“Pasti dia jang menotoknja” kata Lian Tjoe tertawa.
“Adikku, mari kita madju terus, tak usah kita berkuatir lagi”
Goat Go menurut, maka itu, mereka madju terus.
Mereka tiba dipekarangan rumah Mo Djin disaat kawanan
oey Kie Pay itu lagi dibikin pusing oleh fn Gak bertiga, jang
sengadja bergerak-gerak mirip bajangan, untuk mengatjau

194
kawanan Bendera Kuning itu Mereka kena dipergoki, dari itu,
mereka lantas dipegat dan dikepung. Kewalahan mereka
memetjahkan kepungan.
In Gak telah memantjing Tjin Lok pergi djauh, lantas dia
lari mutar, guna menemui Hong pioe dan Kim Go, djusteru
disaat nona-nona itu lagi dikurung dan terantjam, maka ia
lantas njerbu kedalam gelanggang, untuk menolong i mereka
itu. sebenarnja ia mendongkol untuk kesembronoannja nonanona
itu, jang menempuh bahaja tanpa perlunja. Ia sendiri,
tjuma berniat mengatjau.
Ditjekal si anak muda, kedua nona itu tidak membuat
perlawanan, bahkan mereka membikin kaku tubuh mereka,
hingga gampang sekali mereka dibawa lari. segera mereka
tiba ditepi kali, djauh dari rumah Mo Djin-
“Nona-nona, hatimu besar sekali,” kata fn Gak. setelah
melepaskan tjekalannja. “Kalau terdjadi sesuatu tak diingin,
bagaimana aku dapat berbitjara dihadapan orang-tua kamu?”
“Kami datang sendiri, dapatkah kau mentjampur tahu?”
balik tanja Lian Tjoe, keras.
si nakal ini membawa kenakalannja, meski sebenarnja,
seperti Goat Go, hatinja senang dibawa berlari-lari anak muda
itu Tanpa merasa, In Gak tertawa.
“Benar-benar anak ini berandalan” pikirnja. Apa memang
tabiatnja mereka gemar mengatjau? Karena ini ia lantas ingat
Wan Lan, jang pun berandalan.
“Djikalau aku tidak mentjampur tahu, habis siapakah?” ia
mendjawab, perlahan, sambil bersenjum.
Bukannja ia gusar, Lian Tjoe tertawa lebar.
“Siapa djuga tidak berhak mengurus kami” Goat Go
berkata. “Kau tidak berhak” “Berhak?” tanja si anak muda,
masgul. “Bagaimana mestinja baru berhak?”

195
Kedua nona itu tidak mendjawab, sebaliknja, mereka
tertawa. In Gak kewalahan- setelah berpikir, ia ingat suatu
apa.
Itu waktu, Hong pioe dan Kim Go belum datang menjusul,
maka si anak muda berkata: “Nona-nona, kau tunggu disini,
aku mau menjambut saudara-saudara Gouw dan The. Djikalau
kamu tidak pergi dari sini, nanti aku mengadjari kamu suatu
kebisaan. Bagaimana, akur?”
Kedua nona itu nampak girang.
“Benarkah?” mereka tanja tjepat. “Baik, djangan kau salah
djandji, djikalau tidak, djangan salahkan kami”
“Benar, kamu djangan kuatir” djawab In Gak. Atas
djawaban itu, Lian Tjoe tertawa perlahan. In Gak pun tertawa,
tetapi dia lantas pergi. Hati si Nona Tio tergerak melihat
kegesitan pemuda itu.
“Dia benar gagah luar biasa,” pikirnja. “Entah bagaimana
perasaan dia setelah dia mendapati mutiara dan
saputanganku. oh, kau tahu, bagaimana aku mengagumi kau”
Goat Go pun berpikir serupa, matanja terus mengawasi
meski tubuh orang telah lenjap ditempat gelap.
“Dia hebat sekali, asal aku bisa mendapatkan separuh sadja
kepandaiannja, tentu aku bisa merantau dan mendjagoi dalam
dunia Kang-ouw,” demikian katanja dalam hatinja. “semoga
pengharapanku tidak kosong”
Achirnja berdua mereka menghela napas, mereka berdiri
diam saling mengawasi. Tjuma sedjenak. mereka tertawa
sendirinja. Lantas mereka duduk ditanah untuk menantikan si
anak muda jang mereka kagumi itu
Ketika In Gak tiba dirumah Mo Djin, disana Hong pioe dan
Kim Go terlihat lagi dikepung, karena musuh main mentjatji,
mereka membalasnja. fa tidak lantas menjerbu, ia lompat naik
kesebuah pohon dipinggir lamporan, tempat mendjemur
gandum.

196
Diluar dugaan, diatas pohon itu ada pendjahat jang
mendjaga. Dia melihat orang datang, dia menjerang. sjukur In
Gak awas, ia mendahului menotok. hingga orang lantas
berdiam sadja, mata dan mulutnja terbuka lebar, tubuhnja
bergojang-gojang mau djatuh.
In Gak tidak memperdulikannja lebih djauh, ia terus
memernahkan diri ia ingin menjaksikan kegagahannja Hong
pioe dan Kim Go.
Segera terdengar kata-kata mengedjek dari Tjin Lok:
“Sungguh aku tidak sangka bahwa Tuan-tuan Gouw
danThe,jang kesohor di Utara, telah datang berkundjung
kemari dengan membawa sikap bangsa kurtjatji Djikalau tuantuan
bangsa terhormat, selajaknja tuan-tuan berbitjara
dengan orang-orangku, pasti nanti aku mengatur barisan
untuk menjambutnja Liang-hoay Tayhiap mengadakan
upatjara menutup pedang dan membuka panggung
pertandingan untuk mengikat persahabatan, siapa pun dapat
datang disana, maka perbuatanmu mengatjau di Lioe sie Wan
ini pasti bukanlah maksudnja tayhiap itu sekarang kamu
bilanglah apa kehendak kamu, aku akan mengiringinja
Tempatku ini tidak dapat menerima kamu datang dan pergi
sesuka kamu”
“Orang she Tjin, djangan terkebur” kata Hong pioe tertawa
lebar. “Bukankah Lioe sie Wan bukan milikmu? Djadi aku si
orang tua, aku suka aku datang, aku suka aku pergi Mana
dapat kamu merintangi aku? Tentang maksud kedatangan
kami ini, tak usah aku djelaskan pula, kau tentunja telah
ketahui baik sekali satu hal ingin aku djelaskan, Koe souw dan
lainnja, djumlah duapuluh orang lebih, jang kamu telah utus,
tak usah kau kuatirkan-Mereka itu berada didalam Tjioe-keetjhung,
lagi dilajani kami baik sekali, nanti setelah beres
pertandingan diatas loeitay, kami akan menggotongnja keluar”

197
Untuk sedjenak, Tjin Lok melengak. Kata-kata Hong pioe
berarti orang-orangnja telah kena dibekuk. fa djadi malu dan
gusar. Akan tetapi dia tertawa terbahak.
“Sahabat baik, kamu mengantarkan diri kamu masuk dalam
djaring, maka itu marilah a si orang she Tjin djuga
menggotong kamu pergi” katanja mengedjek.
Hong pioe mengerti, pertempuran dahsjat tidak dapat
dihindarkan lagi, dan bahwa dirinja terantjam bahaja. ia heran
kenapa In Gak belum djuga datang. Kim Go djuga mengerti
bahaja, ia telah menjiapkan goloknja.
Tjin Lok habis sabar, dia mau lantas madju, tetapi seorang
didampingnja mendahului ia. Kata orang itu: “Tjin Paytjoe,
biarlah kali ini aku Ouw Tjiangjung menjambutnja” Terus ia
madju kedepan Hong Pioe, ia memberi hormat sembari
berkata: “Telah lama aku mendengar nama tuan dipeternakan
charhar Utara, sekarang kita bisa bertemu disini, aku girang
sekali, aku siauw- yauw-tjoe Ouw Tjiang, aku minta sukalah
kau memberikan pengadjaranmu “
Hong Pioe mengawasi orang itu, jang berumur lebih-kurang
empatpuluh tahun. Ia mau menduga orang mahir tenaga
dalamnja, hanja ia tidak kenal padanja. Ia tinggal di Kwangwa
bersama Kim Go, la tidak kenal orang ini jang baru
mendjagoi selama tudjuh atau delapan tahun- Tapi ia
membalas hormat, sambil ketawa ia kata: Kaulah tuan rumah,
“Tuan Ouw, silakan kau jang mulai”
Ouw Tjiang menjahuti: “Baiklah” sambil ia terus madju
menjerang kedada.
Hong, Pioe mendongkol atas kedjumawaan orang, ia
menggeser tubuhnja kekiri, selagi dengan tangan kanan ia
menangkis, dengan tangan kiri ia membalas menjerang
dengan tipu silat Dua ekor naga berebut mutiara, dua djari
tangannja meluncur kearah mata. Inilah gerakannja jang
membikin ia dapat gelarannja, Hoei-in-tjioe, si Tangan Mega
Terbang.

198
Ouw Tjiang terkedjut. Karena ditangkis, tubuhnja kena
tertolak. Maka atas datangnja serangan kemata, lekas-lekas
dia berkelit. Tapi dia tidak takut. Kembali dia menjerang pula,
tetap dengan kedua tangannja.
Kali ini Hong Pioe tidak mau mengasi hati pula. Ia telah
ketahui baik tenaga lawannja ini. ia lantas mendahului.
Dengan berlompat ia menjerang dengan kedua tangannja.
Itulah pukulan Sin-liong-tiauw-bwee, atau Naga sakti
menggojang ekor.
Dengan mengasi dengar suara “Duk..!” maka dada Ouw
Tilang kena terhadjar, tubuh nja terus roboh terkapar dan tak
bergeming lagi.
Louw Goan Tong lompat menghampirkan Ouw Tjiang,
untuk membalik tubuhnja, hingga ia melihat darah mulai
keluar dari mata, hidung, mulut dan kuping orang, jang telah
mendjadi setengah mati. Itulah berarti, umpama dia dapat
hidup, Ouw Tjiang akan ludas ilmu silatnja. Meski begitu, ia
mendjedjalkan djuga sebutir obat dimulut kawan itu. setelah
itu ia lompat kedepan Hong Pioe, untuk mengatakan dengan
dingin: “Sungguh Hoei-in-tjioe jang liehay Djikalau malam ini
kau lolos dari tangan aku it-tjie sin-mo, aku sumpah tidak sudi
mendjadi orang.”
Djulukan it-tjie sin-mo itu berarti iblis Djeridji satu.
Ketika itu, In Gak berpikir: “Dengan ini tjara, sampai kapan
pertempuran dapat diachirkan?” Kedua nona djuga tengah
menantikan. sebentar sadja fadjar datang, sang djagat bakal
djadi terang- benderang. Baiklah aku menitahkan mereka
mundur.”
Pertempuran sementara itu sudah berlangsung, Goan Tong
menj erang, Hong pioe menjambuti. orang she Gouw itu tidak
sudi diperhina. Goan Tong lantas main menotok. Ia liehay
untuk ilmu totoknja enam djeridji, jaitu Liok-im-tjie, jang dapat

199
menotok sekalipun seorang bertubuh kebal tak mempan
sendjata. siapa tertotok dia, darahnja akan djadi beku dan
mati seketika.
Tidak ada niatnja In Gak untuk menonton lebih lama. Ia
angkat tubuh kurbannja, jang sedari tadi ia masih
membiarkannja rebah diatas pohon disampingnja, lantas ia
melemparkannya djauh kearah It-tjie sin-mo.
Goan Tong sedang mau menerdjang ketika ia terkedjut
disebabkan angin menjamber,
dengan lantas ia lompat mundur tiga tindak dan matanja
dipentang lebar. ia melihat satu tubuh meluntjur kearahnja. ia
menduga kepada musuh, ia memapaki dengan kedua
tangannja. Tubuh itu kena terhadjar, terdengar suara perlahan
dari mulutnja, lantas roboh ketanah, tak berkutik lagi. Baru
sekarang Goan Tong dapat mengenali, orang itu jalah ketua
tjabang Bendera Kuning bernama KieBeng bergelar Toks tjoa
si Ular Berbisa. ia kaget hingga ia melengak.
Djusteru itu dari atas pohon terdengar suara bersiuljang
pandjang, dibarengi lompat turunnja satu orang jang
mukanja, melihatnja, membuat hati orang tjiut. Muka itu mirip
muka malaikat Pek Boe siang jang bengis dan menakuti. Tapi
tidak demikian dengan Hong Pioe dan Kim Go, mereka bahkan
girang. Mereka mengenali In Gak. hingga hati mereka
mendjadi lega.
“Siluman apa berani main gila didepan aku It-tjie sin-mo?”
Goan Tong menegur. Ia bertindak perlahan mendekati In Gak.
“Kau mesti mengganti djiwanja ketua tjabang kami” ia
mendongkol dan menjesal berbareng. Ia mendongkol sebab
tidak menjangka ada musuh bersembunji diatas pohon itu,
dan ia menjesal karena ia mesti membinasakan orang sendiri
lantaran kesembronoannja. Maka itu, habis menegur, ia lantas
madju menerdjang. Tak usah diterangkan lagi bahwa ia
mengerahkan sepuluh djari tangannja jang liehay itu.

200
Manusia bermuka aneh itu tidak mundur, tepat ketika
tangan jang kuat bakal mengenai tubuhnja, mendadak
tangannja diangkat, dipakai menjamber kelengan.
Goan Tong terkedjut, hingga ia berseru tertahan, mulutnja
dibuka lebar, matanja mentjilak. Didjidatnja lantas terlihat
peluh keluar berketel-ketel. ia berdiam sadja,
tak dapat ia bergerak.
Semua orang berdiam, semua heran dan kagum. It-tjie sinmojang
liehay dapat ditunduki hanja dalam satu gebrak Tjin
Lok tidak mendjadi terketjuali, dia berdiri mendjublak.
Si orang aneh tertawa seram.
“Djadi kaulah It-tjie sin-mo” katanja dingin. “Aku dengar
liehay sekali ilmu Liok-im-tjiejang dimilikimu Bagaimana
sekarang?”
Jilid 3.1. Penjusup-penjusup jang sial
Goan Tong berdiam, mukanja putjat. Ia gusar tanpa
berdaja. Ia mau bitjara tetapi batal. Ia anggap pertjuma ia
membuka mulut. Barusan ia tidak dibokong, bahkan ia jang
lagi menjerang setjara mendadak.
“Aku tidak sangka sekali It-tjie sin-mo jang kesohor dan
galak, sekarang ini tidak ada gunanja” kata pula manusia aneh
itu. “Tapi aku mengingat kau baru kali ini berbuat kurang
adjar terhadap aku, suka aku memberi ampun. Nah, pergilah
kau”
Kapan tjekalan pada nadinja dilepaskan, tanpa ia dapat
menahan lagi, Goan Tong mesti membiarkan tubuhnja
terhujung dan roboh tiga tombak. Ia pun mendengar tulangtulang
atau ototnja pada berbunji. Ia mendjadi kaget sekali.
Itu berarti musnalah semua kepandaian silatnja, bahwa ia
telah mendjadi satu manusia bertjatjad. Maka habis sudahlah

201
ketikanja untuk ia mentjari balas. Tidak ada lain djalan, ia
lantas ngelejor pergi
“Mari kita pergi” si orang aneh berkata kepada Hong Pioe
dan Kim Go. Ia tertawa, ia bertindak kearah kedua kawan itu.
Biar bagaimana, Tjin Lok toh gusar, hingga ia djadi berani.
Tidak bisa ia membiarkan orang pergi setjara demikian.
Mendadak ia lompat menjerang sambil ia berteriak: “Siluman,
aku akan adu djiwaku”
“Kau mentjari mampus?” si orang aneh menegur, tanpa
menoleh lagi, terus ia berkelit.
Tjin Lok menjerang tempat kosong, tangannja meluntjur
terus bersama tubuhnja. selagi begitu, tubuhnja itu lantas
ditepuk hingga ngusruk, membentur pada sebuah pohon
didepannja. Bukan main sakit kepalanja, rasanja maupetjah,
matanja pun kabur.
“Tjin Lok. aku beri ingat padamu” kata orang itu bengis.
“Selandjutnja tidak dapat kau membiarkan orang-orangmu
main gila lagi, tidak dapat mereka menimbulkan gara-gara
Djikalau tidak. It-tjie sin-mo tjontohnja”
Habis berkata, dia lantas berdjalan pergi, diturut Hong Pioe
dan Kim Go.
Dengan paksakan diri, Tjin Lok merajap bangun- Kalau
tadinja ia mendongkol sangat, sekarang otaknja mendjadi
dingin, hingga ia dapat berpikir: “Tjioe-kee-tjhung dibelai
orang liehay ini, pertjumalah segala usahaku. Tidak dapat
tidak. mestinja paytjoe sendiri datang kemari”
Karena ini, ia lantas menjuruh orangnja melepas isjarat
tanda urusan penting.
In Gak berdjalan terus, sampai ditepi kali, ia tertawa dan
kata pada kedua kawannja: “Gouw Tiangtjoe, The Tayhiap
tahukah kamu bahwa kedua botjah jang nakal telah turut
datang kemari?”
Kim Go terkedjut.

202
“Mereka datang?” serunja. “Oh benar-benar mereka
sembrono”
In Gak menundjuk kedepan, ia tertawa. “Lihat, bukankah
itu mereka itu?” tanjanja.
Hong Pioe dan Kim Go menoleh. sekarang mereka melihat,
Lian Tjoe berdua Goat Go lagi berduduk digili-gili sawah dan
berbitjara sambil tertawa-tertawa. “Ah, dua botjah itu
sungguh”
Hong Pioe berkata tanpa dapat meneruskan. Ia berpaling
pada In Gak, untuk membilang: “Gan siauwhiap. apabila kau
tidak datang, pasti kita berdua akan kehilangan djiwa kita di
Lioe sie Wan ini”
In Gak tertawa.
“Sjukur sang fadjar mendatangi, kalau tidak. tidak dapat
aku bekerdja” ia kata merendah. “Gouw Tiangtjoe, telah aku
menjaksikan kepandaian kau, maka sekarang ingin aku
menjaksikan The Tayhiap.”
“Sjukur aku tidak dapat mempertontoni kedjelekanku,
djikalau tidak. bagaimana aku malu” kata Kim Go tertawa.
Lian Tjoe dan Goat Go dikedjutkan tertawa itu, mereka
bangun berdiri.
In Gak mengadjak dua kawannja melintasi kali, untuk
menghampirkan kedua nona itu, jang sebaliknja pun lari
kepada mereka. Lantas mereka itu mengawasi si anak muda
tak perduli orang beroman menakuti, bahkan Goat Go
mendjadi berani, ia mengulur tangannja untuk meloloskan
topeng itu sembari ia kata: “Buat apa memakai topeng ini?
Bukankah ini akan membuat orang mati saking takut?”
In Gak meluntjurkan tangannja merampas pulang
topengnja itu. “Nakal” katanja.
“Ja, anak, kau terlalu” kata Hoei-in-tjioe tertawa.
“Apa jang terlalu?” kata si nona tertawa djuga.
Kembali Hong pioe tertawa. Djuga Kim Go.

203
Lian Tjoe turut tertawa, tetapi hatinja kurang gembira
Benar-benar sang fadjar lagi mendatangi. In Gak
memandang kelangit.
“Mari kita pulang” ia mengadjak.”Tjioe Tjhungtjoe pastilah
tak tidur semalam suntuk”
Lantas kelimanja berangkat dengan tjepat. Ketika mereka
tiba diperbatasan dimana ada berdjaga-djaga orang Tjioe-keetjhung,
mereka itu pada melepaskan burung dara untuk
memberi kabar kepada tjhungtjoe mereka. Maka itu setibanja
mereka dirumah, Wie seng bersama To Tjiok sam lagi duduk
menantikan. Memang mereka ini berdua tidak tidur, mereka
terus menunggu.
Goat Go nampak berduka, ia hampir menangis. Melihat
puterinja itu, jang nampak harus dikasihani, roman Wie Seng
tidak guram seperti semula. Ia gusar karena anak itu pergi
setjara diam-diam.
To Tjiok sam tertawa dan berkata: “Setelah kita mendapat
kabar kedua botjah nakal ini pergi, Tjioe Laotee mau lantas
menjusul sendiri, tetapi aku si orang tua mentjegah dengan
membilang, dengan adanja Gan siauwhiap disana, tak usahlah
kita berkuatir. Aku kata djuga, tanpa membiarkan mereka
merasai sedikit kesukaran, mereka tak akan tahu rasa.
Laginja, anak perempuan itu terlahir untuk pihak luar, baik
mereka dibiasakan pergi seorang diri Bukankah kalau nanti
mereka menikah, mereka tak dapat didjagai terus?”
Mendengar itu, Hong pioe dan Kim Go tertawa lebar, In
Gak sebaliknja bersemu dadu
mukanja. Ia kata: “Ah, lootjianpwee djail sekali”
Muka Lian Tjoe pun dadu tetapi hatinja senang. Ia kata
dalam hatinja: “Tua bangka she To ini bermata tadjam sekali?
Tjara bagaimana dia mengetahui jang Goat Go dan aku
mengagumi Gan siauwhiap? Aku harap sekalian sadja ia

204
mendajakan agar kita berdua dapat menuntut peladjaran dari
Gan siauwhiap.”
Ia lantas melirik Goat Go, ia merasa Nona Tjioe
berperasaan seperti ia sendiri,
Goat Go pun melirik pada kawannja, lantas mereka samasama
bersenjum, tetapi ia likat, ia mengeluarkan
saputangannja, untuk menutupi mulutnja. Wie seng pun
tertawa.
“To Laodjie, kau gemar bergurau” katanja. setelah itu ia
tanja Hong pioe dan Kim Go, “Bagaimana kesudahannja
dengan kepergian mereka barusan.”
Senang Hong pioe ditanja. Dengan gembira dan bernapsu,
ia tuturkan pengalaman mereka tadi di Lioe sie Wan dimana In
Gak telah mempertundjuki kegagahannja.
selama orang bitjara, bunga hatinja Lian Tjoe dan Goat Go,
hampir tak hentinja mereka mengawasi In Gak.
“Djikalau kawanan bangsat itu mau naik dipanggang
dengan menggunai siasatnja,” kata Tjiok sam tertawa,
“baiklah, nanti aku naik dan menghadjar mereka terdjungkal
dari atas panggung”
“Hebat kau, To Laodjie” kata Wie seng, tertawa. “Orang
naik kepanggung untuk merebut djodoh tetapi kau hendak
menghadjar orang”
“Bukannja begitu, saudara Tjioe, aku hanja sangat sebal
terhadap mereka” kata Tjiok
Sa m.
Pembitjaraan mereka terhenti karena muntjulnja seorang
tjhungteng, jang datang setjara tergesa-gesa, segera dia
melaporkan bahwa dari arah Lioe sie Wan tertampak isjarat
meluntjurnja kembang api lima warna.
Wie seng memberi tanda untuk orangnja itu mengundurkan
diri, habis itu ia kata sembari tertawa: “Tak lebih tak kurang,

205
lantaran merasa tak ungkulan, mereka itu meminta balabantuan,
Biarlah kita boleh nantikan mereka”
In-liong sam-hian berdiam, untuk berpikir. Lian Tjoe segera
memandang In Gak jang bersikap tenang.
“Gan siauwhiap.” sapanja,”Bukankah tadi kau
mendjandjikan akan mengadjarkan sesuatu padaku?”
“Ja, Gan siauwhiap, djangan kau menjangkal” Goat Go pun
kata, tertawa. To Tjiok Sam memandang kedua nona.
“Ha, budak-budak nakal,” katanja. “Kau menjebut-njebut
siauwhiap tidakkah itu berbau asing? Kamu seharusnja
menjebut Gan Toako, Kalau tidak. tidak nanti kau diadjari ilmu
silat”
Belum berhenti suara orang tua ini, dia sudah diserbu
nona-nona itu.
“Oh, oh..” Tjiok sam tertawa terpingkal-pingkal.
“Siauwhiap. lekas kau mengadjari mereka, nanti tulangtulangku
dipatahkan mereka ini”
Wie seng segera menegur anaknja.”Anak Goat, djangan
kurang adjar!” katanja.
Kedua nona itu berhenti, muka mereka merah.
In Gak segera datang sama tengah.
“Nona-nona, kamu ingin beladjar apa?” ia tanja.
Lian Tjoe menjing kap naik rambut didjidatnja, ia tertawa.
“Aku ingin mempeladjari kepandaianmu jang diperlihatkan
ditaman belakang, serta itu jang dipakai menangkap tangan
It-tjie sin-mo seperti katanja Gouw Lootjianpwee,” ia kata.
“Tentang adik Goat, la ingin mempeladjari apa, kau tanja
sendiri sadja kepadanja” ia tertawa pula.
“Aku? Aku ingin beladjar seperti kau, entjie” kata Goat Go
tertawa. Ketika itu, keduanja tak likat lagi. In Gak tertawa
didalam hati.
“Hm, besar sekali hati mereka ini,” pikirnja. “Kepandaian ini
ketjuali kakek guru Boe Wie siang djin dan guruku, Beng Liang
Taysoe, hampir tak ada jang dapat mempeladjarinja.”

206
Tipu silat jang pemuda ini gunai terhadap Tjie Ek dan Koe
souw berasal dari ilmu silat Hian-thian Tjit-seng-pou atau
tindakan Tudjuh Bintang Hian-thian, ilmu mana ditjiptakanBoe
Wie siang djin selama orang berilmu itu berdiam di Thian san
Utara, sedang ilmujang dipakai melajani It-tjie sin-mo ada dari
Hian-wan sip-pat-kay, im-yang Tjeng-hoan shatjaplak-tjioe,
jaitu tigapuluh-enam djurus im-yang Bulak-balik, Kedua ilmu
itu dapat berakibat buruk bila dipunjai orang jang hatinja tak
lurus, karena ini, si anak muda merasa agak sulit. fa
menguatirkan hati nona-nona itu kurang kuat, nanti mereka
bisa tersesat. Tapi ia tidak kekurangan akal, lantas ia tertawa.
“Aku telah memberi djandjiku, tidak nanti aku menjangkal,”
ia kata. “Tentang kedua matjam ilmu kepandaian jang kamu
minta, aku suka mengadjarinja, hanjalah itu sulit, ketjuali
waktunja lama, sampai lima tahun, djuga setelah dapat
dipahamkan, orang masih mesti berlatih terus, tak dapat dia
lantas keluar pintu. Maka aku lihat, baik begini sadja. Lebih
dulu aku mengadjari pokoknjapeladjaran, jang dapat segera
digunakan. Bagaimana, apakah kamu setudju?”
Kedua nona mempertjajai keterangan itu, mendengar
waktunja lima tahun, mereka mengulur keluar lidah mereka.
“Baik” kata Lian Tjoe. “Sekarang kau mengadjari aku apa
sadja jang kau rasa baik, asal nanti kau djangan melupakan
djandjimu akan mengadjari djuga itu dua matjam ilmu”
In Gak tertawa.”Peladjaran ini tak dapat didengar oleh
telinga jang keenam, maka marilah kamu turut aku” kata ia,
jang mengadjak orang pergi ketaman. Ia pun lantas meminta
diri dari Wie Seng semua.
Orang-oraag tua itu mengawasi sampai si anak-anak muda
lenjap. lalu Hong pioe mengulet dan berkata: “Satu malam
kita tidak tidur, sekarang masih ada tempo satu djam, mari
kita beristirahat dulu.”
Wie seng semua akur, maka itu, mereka mengundurkan diri

207
Setengah djam kemudian, dari luar Tjioe-kee-tjhung datang
isjarat beruntun- runtun tentang mulai datangnja sekalian
tetamu, maka Wie seng mengatur penjambutan terhadap
mereka.
Hong pioe dan Kim Go terus beristirahat, sedang In Gak,
setibanja tadi mereka ditaman, ia mulai mengadjari Lian Tjoe
dan Goat Go ilmu Kioe-kiong Tjeng-hoan im-yang-pou.
Mulanja ia bersilat sendiri, si nona-nona jang mengawasi
dengan perhatian. setiap tindakannja bertapak ditanah. ilmu
ini beda dari Hian-thian Tjit-seng-pou tetapi, dengan ini orang
dapat bertahan dari musuh kelas satu. ilmu jang kedua jalah
Pat-kioe Leng-long Tjioe- hoat, ilmu kelintjahan untuk
menangkap tangan lawan atau menotok.
Kedua nona itu tjerdas sekali, dengan tjepat mereka dapat
menjangkok. maka tak lama kemudian, In Gak membiarkan
mereka berlatih terus, ia sendiri meminta diri untuk kembali
kekamarnja.
Setibanja dalam kamarnja, pemuda ini merasa kesepian,
hingga lantas ia teringat akan tugasnja sendiri sudah setengah
tahun ia merantau ditiga propinsi, belum berhasil ia
denganpembalasannja, bahkan ia belum tahu djuga, siapasiapa
semua musuhnja dan dimana beradanja mereka itu,
karena mana tak dapat ia berdiam terlalu lama di Tjioe-keetjhung
ini. fa menghela napas, ia membuka pintu kamarnja,
untuk memanggil pelajannja, buat minta kertas dan alat
tulisnja. Maka dilain saat, selesailah ia menulis sjair dalam
mana ia melukiskan rasa hatinja, tentang tjita-tjitanja jang
belum terwudjudkan itu. Tulisannja pun indah sekali.
Ketika In Gak memanggil pelajan, Hong pioe dan Kim Go
mendengarnja, mereka bangun dari pembaringan, untuk
menghampirkan, hingga mereka menjaksikan anak muda itu
menulis sjairnja, tjepat dan indah sjairnja. Mereka telah
membatja:

208
Satu niat belum terwudjudkan,
Air mata mengalir karenanja. Menjesal, menjesali musuh,
Bagaikan air mengalir, tak kembali Menenggak air kata-kata,
Melenjapkan duka- nestapa
Bersedih, Bernjanji, semangat bergelora.
“Hebat” berkata Kim Go menghela napas, saking kagum.
“Aku tidak sangka siauwhiap dapat menjimpan diri begitu
rupa. sudah ilmu silatmu liehay, ilmu suratmu pun begini
mahir. sungguh sukar didapat lain sebagai kau”
“Djiewie mentertawakan sadja,” kata In Gak bersenjum.
“Aku tjuma lagi mempeladjari ilmu bersjair dan menulis indah,
sedang tulisanku ini lugat-legot bagaikan tjatjing, mana bagus
untuk dipandangi”
Ketika itu terdengar tindakan kaki dilantai lauwteng lantas
terlihat Lian Tjoe dan Goat Go menolak pintu bertindak masuk.
segera si Nona Tio melihat sjair itu jang terletak diatas medja,
lantas dia mendjemputnja. “Ini untuk aku” katanja. “Kau dapat
menulis jang lainnja lagi” Mukanja Goat Go bersemu dadu,
sangsi ia untuk berbitjara.
“Inilah tidak berarti,” kata In Gak tertawa. “Biarlah, lain kali
aku menulisnja pula. sekarang aku hendak tanja kamu,
bagaimana dengan latihanmu?”
“Kami ingat semua” sahut Goat Go tertawa. “Tjuma katanja
entjie Tio kau masih menjembunjikan sesuatu”
In Gak mementang matanja, melongo mengawasi nona itu.
Lian Tjoe tertawa.
“Kau, kau” katanja. “Kau tjuma mengadjari kami ilmu
tjambuk. ilmu kelintjahan, tetapi ilmu pedang masih
dihutang.”
Mendengar itu, Hong pioe tertawa tergelak.
“Lihat, Gan siauwhiap” ia kata, “dua botjah ini tamak bukan
main Mereka tak puasnja, Aku lihat, kau mestinja

209
membongkar kopormu sampai terlihat dasarnja, djikalau tidak.
tak nanti mereka mau sudah”
In Gak memang tahu Lian Tjoe nakal sekali, hanja
kenakalan jang menarik hati. Ia ingin mengudji.
“Sudah, sudah” katanja sesaat kemudian, “aku memang
tahu kamu hendak melibat aku. Untuk beladjar silat, kita harus
menunggu sampai sebentar malam. Bagaimana, kamu puas
sekarang?”
Kedua nona nakal itu saling mengawasi, mereka tertawa
sambil membekap mulut mereka. Nampaknja mereka puas.
Sementara itu terdengarlah suara lontjeng dari seluruh
Tjioe-kee-tjhung. Hong pioe terkedjut.
“Tjelaka!” ia berseru. “Djangan-djangan ada orang liehay,
jang tidak memakai aturan, jang menjerbu masuk siauwhiap.
mari kita lihat”
Tanpa memberi djawaban lagi, In Gak menurut. Maka
berlima mereka lari keluar. Mereka tidak turun lagi ditangga
lauwteng hanja masing-masing terus lompat naik kelenteng,
untuk memotong djalan ketetarap timur.
In Gak mentjelat paling dulu. segera ia melihat beberapa
orang berlompatan diudjung tembok. sekelebatan sadja,
bagaikan bajangan, mereka itu lewat. Tak nampak muka
mereka itu, tapi terlihat mereka bukannja masuk dari satu
tempat. Ia lantas mendapat tahu ada orang nelusup ketaman
belakang. segera ia mengenakan topengnja, dari mulutnja
terdengar suara edjekan.
Hong pioe berempat mendengar suara anak muda ini dan
melihat orang sudah memakai topeng, mereka menduga si
anak muda mesti ada maksudnja. “Siauwhiap. kau mentjurigai
sesuatu?” Hong pioe tanja perlahan. Pemuda itu mengangguk.
“Aku belum pasti, sahutnja. silahkan tiangtjoe berempat
pergi ke depan, aku akan menjusulnja.”

210
“Tidak bisa, aku bersama adik Goat ingin turut kau” kata
Lian Tjoe, jang memonjongkan mulutnja. Keluarlah alaman
atau kenakalannja. In Gak tidak sempat melajani nona itu.
“Baik” katanja, tjepat dan singkat, sedang tubuhnja segera
bergerak.
Lian Tjoe dan Goat Go mengikuti, sedang Hong pioe dan
Kim Go langsung menudju ke depan ke tetarap timur.
In Gak berlaku sangat gesit, dalam tempo pendek ia telah
meninggalkan kedua nona,
hingga mereka ini tidak melihat lagi bajangannja. Hingga
mereka saling mengawasi dengan muka merah dan bingung.
sebab segera mereka pun mendapat kenjataan ditempat
pendjagaan ada orang-orang jang rebah disana-sini.” Adik,”
lekas Nona Tio berseru: “Kita terlambat”
Berdua mereka menudju ke kamar batu dimana Tjie E k
dan Koe souw semua ditahan. Mereka mendapat pintu kamar
telah terpentang. Didepan pintu nampak Koe souw semua.
Tjuma Tjie Ek seorang jang menjender ditembok. matanja
melotot. Teranglah orang datang untuk menolong mereka itu
tetapi mereka keburu dapat dirintangi In Gak, lantas mereka
ditotok. Djikalau tidak demikian, pasti mereka berhasil
mengangkat kaki dari situ. Hanjalah, sebab mereka pasti tidak
dapat dibebaskan oleh lain orang, mereka sengadja
ditinggalkan disitu.
Kedua nona penasaran, mereka mentjari. Benar, disitu tak
ada satu musuh djuga. Apa jang mereka ketemukanjalah Tan
Boen Han dan Ouw Thian Seng bersama dua tetamu, jang
mulutnja terpentang, matanja terbuka, agaknja mereka lagi
sangat menderita. Teranglah mereka sudah dirobohkan
musuh.
“Bagaimana?” Lian Tjoe segera menegur Tjie Ek. bengis
sikapnja. Tjie Ek tidak dapat mendjawab, dia ketakutan,
mukanja meringis.

211
“Disini, nona” mendadak Nona Tio mendengar djawaban
dari sebelah belakangnja, hingga ia terkedjut. suara itu
perlahan tetapi tadjam untuk telinganja, suatu tanda dari
tenaga dalam jang liehay. fa lantas memutar tubuh begitupun
Goat Go. Maka mereka lantas melihat dua tombak lebih
didepan mereka, tiga orang berdiri berbaris.
Orang jang paling kiri bertubuh tinggi-besar, mukanja
berewokan, hingga melainkan nampak sepasang matanja jang
bersinar tadjam bagaikan api menjala. Dia mengenakan
djubah biru jang gerombongan. Dua jang lain berdandan
seperti imam, memakai djubah dan kopiah, mukanja bersih,
kumis dan djenggotnja pandjang terpetjah tiga, dan
dipunggungnja tergondol pedang jang beda antara dua imam
inijalah jang satu ada tapak golok dipipinja.
Melihat orang jang beroman bengis itu, Lian Tjoe terkedjut
bukan main. ia tahu orang itujalah Tjhong-sie Koay-sioe, si
orang tua aneh dari gunung Teng im dari sinkiang, jang
kedudukannja mendjadi kepala dari sip-sam-sia, tigabelas
djago sesat jang ilmu silatnja katanja luar biasa sekali, hingga
dia didjerikan kaum Rimba Persilatan. Hanjalah dia biasa
terdapat diwilajah Sinkiang sadja, paling djauh dia sampai di
Kamsiok. Soetjoan dan Inla m tiga propinsi, belum pernah ke
Kanglam. Tapi sekarang dia mendadak muntjul di Tjioe-keetjhung.
Mungkinkah dia orang undangannja partai Bendera
Kuning?
Tentang kedua imam itu, merekalah I m- yang siang-kiam,
sepasang Pedang Im- yang, jalah It Hoei dan it sioe dari Hoa
san Pay. Mereka biasanja berada berduaan, tak pernah
mereka berpisahan, sekalipun diwaktu bertempur, mereka
berduaan djuga mahir ilmu pedangnja, liehay totokan djeridji
tangannja, jang berdasarkan ilmu Liok-im Tjie-hoat. Mereka
melebihkan liehaynja soetee mereka, jaitu It-tjie sin-mo. It

212
Hoei adalah jang pipinja bertapak golok itu, hingga Lian Tjoe
lantas menduganja.
selagi si nona Tio berkuatir, Goat Go bahkan mendiadi
gusar. Ia belum tahu masuk dunia Kang-ouw, ia tidak kenal
tiga orang itu.
“Siapa kamu?” ia menegur. “Kenapa kamu lantjang
memasuki rumahku ini?”
Tjhong-sie Koay-sioe mentjorong sinar matanja, dia tertawa
dingin.
“Botjah wanita, kau tentunja anaknja Tjioe Wie seng,”
katanja. “Namaku si orang tua, tak apa djikalau orang tidak
menanjakannja, tetapi, asal aku menjebutnja, pasti kau bakal
mati karenanja Baiklah kau memberitahukan aku dimana itu
orang jang di Lioe sie Wan telah mentjelakai It-tjie sin-mo.
Aku tidak mau berbuat keterlaluan, suka aku memberi ampun
kepada djiwa kamu berdua.”
Goat Go bertambah gusar.
“Kau mau tjari orang itu, bukankah?” ia kata, menantang.
“Baik ! Kau menangkan dulu tjambuk ditanganku, baru
nonamu suka memberitahukan”
Kata-kata ini ditutup dengan gerakan tangan hingga udjung
tjambuk menjambar pundak si orang bermuka bengis itu.
“Nona tjilik, kau tjari mampusmu” tertawa Tjhong-sie Koaysioe.
Ia lantas mengangkat tangannja jang besar dan lebar,
untuk menangkap tjambuk. Akan tetapi aneh, tjambuk itu dia
lolos dari sambaran, lalu kembali menjamber, kepundak djuga.
Tjhong-sie Koay-sioe mendjadi heran. Mau atau tidak. la
berkelit, sembari berkelit itu, tangannja menjamber pula. Tapi
lagi-lagi udjung tjambuk lolos, sekarang udjung itu menjambar
kekepala.
Bukan main hera nnja Tjhong-sie Koay-sioe. inilah ia tidak
sangka sama sekali. Ia tidak mengerti kenapa ia gagal
menangkap tjambuk itu.

213
Djuga im-yang siang-kiam mendjadi heran. Mereka sudah
berpengalaman tetapi belum pernah mereka menemukan ilmu
silat tjambuk jang lintjah itu.
Tjhong-sie mendjadi penasaran, habis berkelit, ia
merangsak. kedua tangannja diadjukan setjara tjepat. Dengan
mendesak begini, dua kali ia berhasil menangkap tjambuk si
nona, akan tetapi untuk kesekian kalinja, terus-menerus ia
membuatnja lolos pula.
Bukan main malunja djago ini. Bukankah disitu ada Imyang
siang-kiam? Maka ia merangsak pula .
Sekarang ini Goat Go tak dapat berlaku lintjah lagi seperti
semula. Ia merasakan sambaran-sambaran hawa dingin, jang
membuatnja kurang leluasa bergerak. Dengan terpaksa ia
terdesak mundur, tindakannja tidak wadjar lagi.
Serangannja Tjhong-sie Koay-sioe itu jalah serangan Touwkoet
Han-hong-tjiang. Itulah hawa dingin, jang dapat meresap
ke tulang-tulang. Maka kagetlah Goat Go. ia lantas mengguna
i akal, j a la h ia menj erang dengan sekalian melepaskan
tjekalannja, hingga tjambuknja meluntjur kepada lawannja.
Tjhong-sie terkedjut. Tentu sekali ia tidak dapat
membiarkan matanja dibikin buta udjung tjambuk. Maka ia
menj ambar. Kali ini ia berhasil. Terus tjambuk itu dilempar ke
samping. Dilainpihak, serangannja itu tidak ia tunda. Ia
mendesak terus. Ia hanja merasa heran untuk ketangguhan si
nona. Belum pernah ia menemui la wan jang sanggup
bertahan lebih dari sepuluh djurus untuk runtunan
serangannja jang berhawa dingin itu akibat ilmu silatnja itu:
Touw-koet Han-hong-tjiang, pukulan Tangan Dingin ia pasti
sekali tidak ketahui, setelah mendapat pimpinan In Gak.
sekalipun waktunja singkat, nona Tjioe telah memperoleh
kemadjuan pesat.

214
Habis melepaskan tjambuknja, hal mana membuat Tjhongsie
Koay-sioe berajal djuga sedikit karena dia mesti
menangkap tjambuk dan melemparnja Goat Go terus bersilat
dengan tindakan Kioe-kiong Tjeng-hoan fm-yang-pou, jang
baru sadja ia peladjarkan, sedang tangannja memainkan
gerak-gerakan Pat-kioe Leng-long Tjioe- hoat, djuga
peladjaran baru.
Perlawanan ini membikin Tjhong-sie bertambah heran,
terutama sebab ia telah perhebat serangannja. Biasanja,
lawan bagaimana tangguh djuga, dalam djarak sepuluh
tombak. sukar lolos daripukulannja Tangan Dingin itu. Untuk
menjerang si nona, ia baru meng gunai lima bagian tenaganja,
toh ia heran sekali. setiap bakal kena diserang, tubuh si nona
berkelit lintjah, lalu bebas si nona bergerak ke kiri atau kanan,
atau sebaliknja, atau mendadak dia berada dibelakangnja,
setiap ada ketikanja, dia membalas menjerang, antaranja
dengan totokan. Atau tangannja berniat ditangkap si nona
saking tjepat bergeraknja nona ini, ia merasakan matanja
kabur. Pernah ia totok pundaknja, lantas ia merasakan pundak
itu sesemutan. Ia tangguh, ia tidak dapat ditotok sampai
roboh.
Lian Tjoe menonton kawannja bertempur itu, mulanja ia
berkuatir djuga, lalu kemudian dapat ia menetapkan hati.
Diam-diam ia bersjukur kepada In Gak. jang telah memberikan
peladjaran pada mereka, hingga sekarang Goat Go mendjadi
liehay. Disamping itu, sering-sering ia melirik kepada im-yang
siang-kiam. ia mendapati air muka orang menundjuki roman
kaget dan heran, mungkin berkuatir. Karena ini, kemudian ia
lompat ke depan mereka itu, sembari tertawa ia kata: “Imyang
siang-kiam dari Hoa san sangat kesohor, bagaimana
djikalau nonamu beladjar kenal dengan kamu?”
Air mukanja It Hoei Toodjin berubah.
“Djikalau nona ingin beladjar kenal, hunuslah pedangmu”
sahutnja heran. ia mendongkol untuk kedjumawaan si nona,

215
jang terang sangat memandang tak mata kepadanja. Ia pun
lantas menghunus pedangnja, ketika ia mengibas, pedang itu
mengeluarkan sinar berkelebatan.
Lian Tjoe mundur tiga tindak. Ia tertawa pula.
“Katanja Im- yang siang-kiam biasa madju berdua, tak
pernah terdengar madjunja sendirian sadja. Mungkinkah
tootiang berdua tidak sudi memberikan pengadjaran
kepadaku?” ia tania.
Itulah edjekan. It sioe mendjadi mendongkol, maka ia pun
menghunus pedangnja.
“It Hoei, mari kita bekuk budak ini” katanja sengit. ia terus
mendamprat nona itu.
“Belum tentu” kata si nona tertawa mengedjek. pedangnja
siap-sedia ditangannja. “Kamu madjulah, Apakah kamu
menghendaki nonamu mengalah tiga djurus?”
Tak dapat Im- yang siang Kiam menahan hatinja,
berbareng mereka lompat madju untuk terus menjerang,
masing-masing dikiri dan kanan.
Lian Tjoe tertawa. Ia bertindak dengan Kioe-kiong Tjenghoan
Im-yang-pou seperti Goat Go, maka sekedjab sadja, ia
sudah bebas dari serangan pedang dari sepasang lawannja
itu, menj usul mana, ia membalas menjerang dengan tipu silat
Liong-yauw-ie-yan, atau Naga berlompat di kedungnja.
Pedangnja itu menjambar dari bawah keatas, dengan berani ia
membentur kedua pedang lawan, hingga sendjata kedua pihak
beradu keras dan njaring suaranja.
It Hoei dan It Sioe terkedjut. Bentrokan itu membikin
pedang mereka hampir terlepas dari tjekatan, mereka pun
sampai mundur setindak
LianTioe pun heran berbareng girang. Ia menggunai satu
djurus dari Pat-kioe Leng-long Tjioe- hoat, ia tidak sangka
akibatnja demikian rupa. oleh karena ini, dalam gembiranja
karena mendapat hati, ia lantas mengulangi s erangannja,
mendesak dengan tiga serangan berantai.

216
Hati Im-yang siang-kiam berdebar. Mereka tersohor
terutama untuk ilmu silatnja pedang bersatu-padu, djarang
mereka memperoleh tandingan, tetapi sekarang mereka kena
dibikin repot oleh seorang nona tidak dikenal. Dari heran,
mereka djadi gusar. Dengan satu isj a rat, mereka madju
serentak. untuk memetjah desakan, buat mereka berbalik
merangsak.
Lian Tjoe tabah hatinja. fa tidak mau mengasikan dirinja
kena didesak. Kembali seperti Goat Go, ia menundjuk
kelintjahannja. Ia selalu berkelit dari pelbagai tikaman dahsjat
dari kedua imam, ia djuga saban-saban membalas menikam
atau menotok.
Ketika itu, dengan lewatnja sang tempo, TanBoen Han dan
Ouw Thian Seng, djuga kedua tetamunja, tanpa ketahuan,
telah ada jang menolongi, hingga mereka bebas dari totokan,
setelah mana, mereka berdiri menonton sepuluh tombak diluar
kalangan pertempuran.
Dirombongan pertama, Tjhong-sie Koay-sioe telah
menghabiskan puluhan djurus, belum djuga ia memperoleh
kemenangan. Ia heran bukan main. Belum pernah ia
menghadapi lawan begini litjin. Ia malu sendirinja sebab
sebagai seorang kenamaan, ia mesti melajani si nona
demikian lama. Djangan kata tubuhnja, udjung badju si nona
djuga tak pernah disentuh sekalipun satu kali. Kumis dan
berewoknja, mendjadi bangun berdiri saking murkanja. Telah
ia gunakan seluruhnja Touw-koet Han-hong-tjiang, hingga
kalau ia berada dekat pohon, ia membikin tjabang-tjabangnja
pada patah.
Masih Goat Go mengandalkan Kioe-kiong Tjeng-hoan Imyang-
pou, senantiasa ia membebaskan diri dari setiap
serangan djago tua itu, tjuma lama-lama ia mendjadi
bermandikan keringat. Inilah disebabkan kepandaiannja itu
baru sadja didapatkan, latihannja belum berarti.

217
Djuga Lian Tjoe bertjatjad pada latihannja, tjuma ia
menang sedikit daripada Nona Tjioe, sebab ia mempunjai
tenaga dalam lebih mahir, dengan begitu ia dapat bertahan,
terlebih lama.
Sesudah pertempuran dua rombongan itu berdjalan sekian
lama sekonjong-konjong terdengar siulan aneh dari atas
sebuah pohon besar diarah barat gelanggang itu. Djernih dan
pandjang siulan itu. Menjusul itu maka berkelebatlah satu
bajangan orang, berkelebat menghampirkan mereka.
Tiga-tiga Tjhong-sie Koay-sioe dan Im- yang siang-kiam
terperandjat. Hanja dengan mendengar sadja siulan itu,
mereka sudah mengetahui liehaynja tenaga dalam dari orang
itu. Terpaksa mereka berlompat ke luar kalangan, untuk
mengawasi orang itu. Lantas mereka mendjadi kaget. Didepan
mereka berdiri seorang dengan pakaian hitam jang mukanja
putjat-pasi seperti muka majat, sedang dari leher ke bawah,
warna kulitnja itu lain. Tak dapat dipastikan orang
mengenakan topeng atau bukan. Jang terang jalah disamping
roman menakuti, kedua mata majat hidup itu sangat tadjam
dan berpengaruh.
Sebaliknja adalah kedua nona2 apabila mereka melihat
muntjulnja si majat hidup. sebaliknja daripada takut, mereka
saling bersenjum. Mereka mengundurkan diri ke dekat
TanBoen Han beramai, dengan matanja masing-masing,
mereka mengawasi majat hidup itu, jalah In Gak. jang mereka
kenal sebagai Gan Gak.
Sebenarnja In Gak sampai disitu disaat Goat Go mulai
menempur Tjhong-sie Koay-sioe, tetapi ia ingin menjaksikan
perlawanan si nona, maka ia menjembunjikan diri.
Demikian ia melihat Nona Tjioe menggunai dengan baik
sekali ilmu silat adjarannja, hingga dia membuatnja si djago
tua mendjadi gusar sekali. Ia girang. setelah itu, ia menolongi

218
Tan Boen Han, berempat, jang ia totok bebas dengan ilmu
totok dari djauh, jang bernama Leng-khong Kay-hoat,
pembebasan Kumpul di Udara.
Empat orang itu heran atas kebebasan mereka, sebab
pertjobaan mereka sendiri sia-sia belaka. Karena mereka tidak
memperoleh djawabannja, terpaksa mereka lantas berdiri
menonton.
Tjie Ekpun heran hingga dia terbengong sadja.
Kemudian In Gak menjaksikan djuga perlawanannja Lian
Tjoe. Ia pun girang. Ia kagum terhadap kedua nona itu, jang
bisa beladjar demikian tjepat. Adalah kemudian, sesudah
melihat nona-nona itu letih, ia mengasi dengar siulannja
seraja ia lompat turun dari tempatnjas embunji.
“Bukankah tuan jang tadi malam melukai adik seperguruan
kami, It-tjie sin-mo Louw Goan Tong?” tanja Im-yang siangkiam
berbareng. “Bukankah adik kami itu tidak bermusuhan
dengan tuan, kenapa tuan demikian telengas telah lantas
membuatnja bertjatjad seumur hidupnja? Kenapa kah?”
“Hm..” djawabnja In Gak. “Adikmu itu kesohor djahat
diseluruh djagat, aku mewakilkan Thian mendjalankan
keadilan, apakah salahnja? Bahwa djiwanja masih ditinggal
hidup, tandanja aku masih memandang terhadapnja Kenapa
kamu berdua hendak membelai dia?”
It Hoei dan It sioe tidak mendjawab, sebaliknja dengan
mendadak mereka lompat menj erang. Inilah sebab mereka
telah mendapat dengar dari Tjin Lok bahwa musuh merekapun
sangat liehay. Mereka pun menggunai ilmu silat mereka jang
bernama To-hoan Im- yang Ngo-heng-kiam, atau ilmu pedang
Im- yang dan Ngo-heng jang djungkir- balik,
Ilmu pedang ini beragam, serangan benar-benar dapat
berupa djadi gertakan atau sebaliknja, atau jang satu
menjusuli jang lain. Dengan ilmu pedangnja ini, entah berapa
djago pernah mereka robohkan.

219
In Gak melihat bagaimana ilmu pedang kedua lawan itu
tidak memakai aturan tertentu, ia melajani dengan tindakan
Hian-thian Tjit-seng-pou, maka sekedjab sadja, ia lolos dari
kepungan. Ia berkata njaring: “Sungguh hebat Im- yang
siang-kiam jang kenamaan, belum apa-apa sudah lantas
mendesak lawan, Apakah ini dia kepandaian istimewa dari
kamu kaum Hoa san Pay?”
Kedua imam itu merah mukanja. Mereka heran orang dapat
lolos demikian litjin-
“Boe-liang-sioe-hoed” It Hoei memudji. “Karena ingin
menjaksikan kepandaian tuan, maka kita sengadja lantas
mengepung”
“Kalau demikian, silahkan tuan menghunus sendjatamu” Ia
menantang.
In Gak tertawa.
“Sudah banjak tahun aku tidak menggunai lagi sendjata,
baiklah aku melajani kamu bermain-main dengan tangan
kosong” ia mend jawab.
Mendapatkan djawaban itu, bukan melainkan Im-yang
siang-kiam, djuga Tjhong-sie Koay-sioe mendjadi heran,
hingga dia mengawasi dengan mata mentjorong. Im-yang
siang-kiam tidak berlaku ajal lagi, keduanja lantas madju
menjerang.
In Gak djuga tidak menahan harga pula, kembali ia
bertindak dengan Hian-thian Tjit-seng-pou. Ia senang
menggunai ilmu kelintjahan ini sebab tadi ia girang
menjaksikan Lian Tjoe dan Goat Go menggunainja setjara
baik. Ia tidak mau sembarang memperlihatkan ilmu silat
ajahnja, dari itu ia menggunai djurus-djurus dari Bie-lek sinkang
dan Hian-wan sip-pat-kay.
It Hoei dan It sioe lantas berkelahi dengan heran dan hati
gentar. sia-sia belaka mereka mentjoba menikam atau
membatjok lawannja, si lawan selalu terlolos setjara diluar

220
dugaan. In Gak sebaliknja, beberapa kali ia bersuara “Hm”
dan bersenjum.
Dalam belasan djurus, jang berdjalan dengan tjepat, tidak
sekali djuga Im-yang siang-kiam berhasil menjentuh tubuh
lawan, maka setelah itu, mereka mengubah siasat, dari
menjerang, mereka membela diri. Mendjadi tjiut sendirinja
hati mereka.
Sesudah melajani sekian lama, hingga ia mengerti baik
tjara bersilat musuh-musuhnja, setjara tiba-tiba In Gak
tertawa pandjang dan tangannja dikibaskan sebat sekali. Atas
itu terdengar dua kali djeritan kesakitan, lalu tubuh Im-yang
siang-kiam mental mundur beberapa tombak. kemudian
terlihat dengan tangan kiri mereka memegangi lengan mereka
jang kanan, muka mereka putjat-pias, peluh mereka
mengutjur. sebaliknja ditangan In Gak tertampak dua batang
pedang, jang berkilau ditjahaja matahari pagi.
It Hoei dan it sioe tahu-tahu merasa tangan mereka
disambar, lalu disempar hingga tubuh mereka terlempar dan
pedang mereka terlepas. Mereka tidak tahu jang In Gak sudah
mengguna i djurus Djit-goat-djip-hoay, atau Matahari dan
rembulan terpeluk-terangkul, suatu djurus lain dari Hian-wan
sip-pat-kay.
Djuga Tjhong-sie Koay-sioejang liehay tidak dapat melihat
kesebatannja si majat hidup, Ia tjuma merasa heran bukan
main.
Im- yang siang-kiam kena ditotok djalan darahnja keng-kie,
lantas kedua tangannja kaku dan tenaganja lenjap. tak dapat
mereka bertindak, asal mereka bergerak, terasa tulang-tulang
mereka ngilu hingga ke ulu- hati dan napas mereka sesak.
Lian Tjoe dan Goat Go saling mengawasi, mata mereka
dibuka lebar, saking heran dan kagum. Benar-benar, belum
pernah mereka menjaksikan ilmu silat demikian liehay. Dari
heran dan kagum, mereka mendjadi girang sekali.

221
In Gak lantas menggapai pada TanBoen Han dan memberi
kisikan, jalah untuk minta kawan ini pergi pada Tjioe Wie Seng
ditetarap timur, agar Wie Seng tidak meninggalkan tempat,
sebab disini ada ia bertiga kedua nona. Boen Han menurut, ia
berlalu dengan tjepat. Kemudian pemuda kita mengawasi Imyang
siang-kiam, ia tertawa, tangannja tetap memegangi
gedang orang.
“Begini sadja Im-yang siang-kiam, jang datang kemari
dengan banjak lagak” katanja. sembari berkata, ia
mengerahkan tangannja, mematahkan kedua pedang
mendjadi empat potong dan dibuang.
“Siluman tua” ia kata pada Tjhong-sie Koay-sioe, jang ia
awasi dengan tadjam, “Kau mendjadi kepala dari sip-sam-sia,
dalam Rimba Persilatan kau ternama baik, mengapa sekarang
kau membawa tingkah- laku kurtjatji, mirip dengan kawanan
tikus jang tak tahu malu?” lalu suaranja diperkeras: “Kenapa
pagi hari begini kau menjerbu kemari dan main melukakan
orang? Apakah maksudmu? Lekas kau bitjara”
Kata-kata itu tadjam dan menjakiti telinga, Tjhong-sie
Koay-sioe ternama dan djumawa, bisa dimengerti ia mendjadi
mendongkol. Ketika ia mendengar Tjin Lok memudji musuh, ia
tidakpertjaja, ia mengira Tjin Lok djeri dan kapok. ia
penasaran, maka sengadja fm-yang siang-kiam datang
menjerbu diwaktupagi. Dengan gampang telah melewati
pelbagai pendjagaan, sampai mereka dirintangi kedua nona
dan sekarang oleh ini si majat hidup, jang kepandaiannja ia
saksikan sendiri Baru sekarang ia gentar hati. Ia paksakan diri
berlaku sabar, matanja memperlihatkan sinar litjik,
“Tuan, kau begini muda tetapi kau sudah liehay sekali, kau
harus dikagumi” ia kata sambil tertawa dingin.” Aku mohon
tanja, siapakah gurumu? Mungkin dialah sahabatku dahulu
hari”

222
In Gak tertawa lebar.
“Siluman sebagai kau ingin berendeng dengan guruku?
Hm” ia mengedjek. “Sudahlah, djangan bitjara tentang
persahabatan dengan aku Kau tidak berderadjat Bukankah kau
telah mentjari aku? Nah sekarang aku berdiri didepanmu Kau
mau turun tangan atau tidak, tinggal kau bilang sadja”
Sepasang alisnja Tjhong-sie terbangun.
“Botjah, kau tidak tahu langit tinggi dan bumi tebal”
dampratnja. “Baru berkepandaian begini sadja kau sudah
berani bertingkah? Baiklah kau mengangkat kaki siang-siang,
masih ada waktu untuk kau nanti mentjoba mengangkat
namamu”
In Gak tertawa pula.
“Siluman tua, kaupunja muka atau tidak?” ia tanja, tadjam.
“Tak sudi aku mendengar kata-katamu ini Kabarnja Touw-koet
Han-hong-tjiang milikmu liehay sekali, sekarang kau boleh
tjoba itu Kita nanti lihat, kabar itu benar atau palsu”
Habislah kesabarannja Tjhong-sie Koay-sioe.
“Botjah, kau tidak tahu gelagat” teriaknja, dan terus
dengan kedua tangannja, ia menjerang dengan pukulan hawa
dinginnja jang dapat merembas ketulang-tulang. ia telah
mengerahkan tenaga sepenuhnja. Katanja hawa dingin itu,
setelah meresap kedjantung dan tak dapat obat, dalam tudjuh
hari akan merampas djiwa kurbannja. Inilah jang membuat
nama, jang membikin orang djeri.
In Gak ketahui baik siapa djago dari gunung Tengri ini,
sebab gurunja pernah memberitahukan bahwa dia kedjam
sekali, maka itu, ia ingin menjingkirkannja, djadi kebetulan
sekali, disini mereka berhadapan muka. Dari Lian Tjoepun ia
mendapat tahu, orang jalah tertua dari sip-sam-sia, si
tigabelas sesat. Maka atas datangnja serangan, ia menangkis
dengan Bie-lek sin-kang. Untuknja, ilmusilatnja ini dapat
digunai sembarang waktu. Dengan kedua tangannja, ia
menggunai djurus Liok-hap sie-mie, djurus jang kedua belas.

223
Begitu kedua pihak bentrok. begitu Tjhong-sie mengasi
dengar suara tertahan, begitu
lekas djuga tubuhnja mental enam tombak, kedua
tangannja patah, tjuma tersambung kulitnja, darahnja
mengutjur disatu tempat. Dia mempertahankan diri dengan
tubuh menggigil, dengan tadjam dia mengawasi f n Gak.
setelah mana, dia memutar tubuh, untuk berlompat pergi.
“Kau ingin kabur?” In Gak membentak. terus tubuhnja
mentjelat menjusul, ketika ia sudah dapat menjandak. tangan
kirinja menghadjar kebatok kepala, menepuk djalan darah
giok-tjim.
Tjhong-sie tidak berdaja, tak dapat dia menangkis, tak
keburu dia berkelit, begitu tertepuk kepalanja pusing,
tubuhnja terputar, terus dia roboh ditanah.
In Gak menepuk tangan, lantas ia menggapai kearah kedua
nona kawannja. sembari tertawa kegirangan, Lian Tjoe dan
Goat Go lari menghampirkan.
“Tolong kamu menitahkan orang menggotong mereka
bertiga kebawah panggung,” I n Gak berkata, dan terus
memesan. sebab ia tidak mau memperlihatkan diri, ingin ia
kembali kekamarnja untuk menjalin pakaian dulu.
“Kemana tadi kau bertiga?” Lian Tjoe menjesali alaman.
“Kalau kau tidak keburu sampai, mungkin majat kita sudah
menggeletak ditaman ini? Apakah kau sengadja senang
melihat kita roboh?”
In Gak mengganda tertawa.
“Nona-nona jang baik, djikalau aku tidak sembunji diatas
pohon itu, mana aku dapat kesempatan untuk menjaksikan
ilmu silat kamu jang indah sekali?” ia kata. Kau tahu kenapa
aku tidak dapat lantas datang kemari?”
Kedua nona itu mengawasi, ingin mereka mendapatkan
keterangan.

224
Sebenarnja ketika tadi In Gak memburu paling dulu, ia
lantas melihat dua bajangan orang melintas kearah lauwteng
Pek Tjim Kok. segera ia menduga pendjahat hendak mentjuri
kedua pedang Kie Koat danTjeng Hong. ia heran kenapa
orang djahat ketahui pedang itu disimpan dibawah tangga
lauwteng itu, sedang jang tahu tjuma beberapa orang dalam.
Karena ketjurigaan itu, ia lantas menguntit mereka.
Dimuka tangga Pek Tjim Kok. kedua bajangan itu berhenti,
untuk melihat kesekitarnja.
“Lao-djie, lekas kau bekerdja” berkata jang satu kepada
kawannja, suaranja perlahan. “Aku rasa sekarang ini semua
orang djaga musuh telah dirobohkan Tjhong-sie Koay-sioe dan
Im-yang siang-kiam. Kalau kita terlambat, dikuatir mereka
jang didepan keburu mendapat tahu.”
Atas itu, orang jang dipanggil Lao-djie itu lantas
mengeluarkan goloknja, ia djongkok didepan undakan tangga,
untuk menjongkel, sedang kawannja, dengan golok ditangan
memasang mata.
Tahulah In Gak bahwa orang ketahui tempat simpan
pedang itu disebabkan ada musuh jang bersembunji diri, jang
bertjampuran dengan orang dalam. Ia tidak mau berajal lagi,
ia mematahkan tjabang pohon didekatnja, lantas ia
menimpuk.
si Lao-djie terkedjut, dia berlompat. Goloknja djatuh
ketanah hingga bersuara njaring.
sang kawan pun kaget.
“Eh, Lao-djie, kau kenapa kah?” tegurnja.
“Setahu kenapa, mendadak lengan kananku kaku,” sahut
kawan itu, si Lao-djie. “Tahu-tahu aku berlompat sendiri”
“Mungkin karena kau djeri” kata kawan itu,”Kita berdua
pernah menempuh badai dan gelombang, kita tidak takut apa
djuga dan Tjioe-kee-tjhung ini buka nnj a kedung naga atau

225
guha harimau, apa jang mesti ditakuti? Pula kita terlindung
Tjhong-sie Lootjianpwee Hajo, lekas bekerdja”
In Gak dapat mendengar kata-kata orang itu, ia segera
berlompat kebelakang dia itu, tangannja menekan kepundak.
Dia terkejut, dia memutar tubuh, mulutnja menegur: “Siapa?”
Baru dia berkata begitu, mendadak tubuhnja roboh
Si Lao-djie terperandjat, apa pula kapan ia telah melihat
orang adalah si orang luar biasa, jang tadi malam muntjul di
Lioe sie Wan, saking takutnja, tanpa berpikir lagi, ia lompat
kesamping, berniat menjingkir kerumpun pepohonan. Ia
sebat, ia masih kalah dari si anak muda, jang mendahului
menotok padanja, maka dengan merasakan sakit sekali, dia
roboh terguling.
In Gak lompat menghampirkan, untuk menepuk bebas
djalan darahnja.
“Sahabat, aku tahu kamulah orang pemerintahan belaka”
katanja tertawa, “kamu tidak merdeka, maka itu tidak aku
membikin kamu susah asal kamu menjebutkan kenapa kamu
ketahui pedang disembunj ikan disini, dan siapa itu jang
membuka rahasia.”
Lao-djie takut.”Kami diperintahkan Hoe-paytjoe Tjin Lok,”
ia menjahut. “Tentang orang jang memberikan kisikan itu, aku
tidak tahu dia siapa, tetapi menurut keterangan dialah Khiong
Thian Yoe, seorang bertubuh kate dan kurus jang matanja
tadjam bersinar kekuning-kuningan. Aku telah bitjara, tuan,
maka tolong kau berlaku murah hati.”
Jilid 3.2. Menantu Keluarga Tjioe & Tio sekaligus
“Kamu telah bitjara, tidak nanti aku membikin susah pada
kamu,” sahut In Gak tertawa, hanja untuk dua hari ini,
terpaksa aku mesti menahan dulu kepada kamu, nanti aku
memerdekakannja “.

226
Habis berkata, In Gak menotokpula, maka dua orang itu
lantas rebah bagaikan majat. setelah itu ia mengambil kedua
pedang, untuk disembunjikan dilain tempat. Habis ini, ia
memeriksa kelilingan, untuk menotok sadar orang-orang djaga
jang dirobohkan musuh. sesudah memulangi Tjie Ek semua,
baru ia pergi menjaksikan perlawanan Goat Go dan Lian Tjoe
terhadap Tjhong-sie Koay-sioe bertiga serta menjadarkan
TanBoen Han berempat. ia baru mengasi lihat dirinja ketika
tiba saatnja menolongi kedua nona.
“Sekarang, nona Tjioe,” kata I n Gak perlahan, “Lekas kau
kembali ketetarap timur, kau minta ajahmu melihat Leng-hoeitjie
Khiong Thian Yoe, dia masih ada atau tidak. kalau ada,
lekas bekuk dia. Kau sendiri, Nona Tio, kau tunggu sebentar,
sampai Tjhong-sie Koay-sioe bertiga telah dibawa kebawah
panggung, Disana kau lihat, pihak musuh dapat melihat
selatan atau tidak.Jang penting jalah memesan mereka jang
melihat aku, agar mereka djangan membuka rahasia.
sekarang aku ingin balik dulu kekamarku untuk menukar
pakaian, sebentar kita bertemu pula.”
Begitu dia selesai berkata, begitu In Gak pergi, tjepat
lenjapnja dia.
Goat Go menurut, ia lantas pergi kedepan. Pertandingan
diatas loeitay masih belum dimulai tetapi para tetamu sudah
memenuhi kedua tetarap. suara mereka bagaikan suara
njamuk berisiknja. Ia lantas menghampirkan To Tjiok sam,
jang berkumpul bersama ajahnja dan lainnja, ia mengisiki
djago tua itu.
“Ah, kiranja binatang itu” kata Tjiok sam, alisnja berdiri,
terus dia berlompat.
Leng-hoei-tjie Khiong Thian Yoe, si Tikus Terbang,
mendjadi murid generasi ketiga dari Hoa san Pay. Dia sangat
gesit, maka itu tepat dia mendjadi pentjuri. Baru beberapa
tahun jang lalu dia masuk dalam kawanan Bendera Kuning.
Tapi sekarang ini dia berdiam di Tjioe-kee-tjhung dengan

227
nama paisu, sebagai Ong Yoe dari Ngo Bie Pay. Ia dagang,
katanja, tjuma bermaksud menjaksikan orang-orang gagah.
Tapi diam-diam ia membuat penjelidikan mengenai gera kgerik
pihak Tjioe-kee-tjhung. Kebetulan sekali ia dapat
mempergoki Tjioe Wie seng memendam pedang, maka hampir
djam dua, dia pulang ke Lioe sie Wan memberi kisikan pada
Tjin Lok, dari itu Tjin Lok segera menugaskan Lao-djie berdua
pergi mentjuri pedang itu. Ia tjerdik dan bermata tadjam, ia
melihat muntjulnja Goat Go tergesa-gesa, ia djadi bertjuriga,
maka begitu Tjiok sam bergerak. la djuga bergerak. berniat
menjingkir. Ia si Tikus Terbang, ia kalah dari si Naga Mega,
maka sebelum bisa molos, tubuhnja telah lantas kena
disambar, terus dibawa balik kedepan Tjioe Wie seng, untuk
dilemparkan.
Mukanja Tjin Lok mendjadi putjat. Dibekuknja Kh iong
Thian Yoe itu mesti berarti gagalnja usaha mentjuri pedang,
bahwa rahasia telah terbuka. Tapi ia menabahkan hati,
beberapa kali ia bersuara: “Hm..Hm…”
Tidak lama muntullah Tio Lian Tioe, ^ang wad^ahnia
berseri-seri, dibelakangnia
mengikut tiga tjhungteng jang masing2 menggendong
Tjhong-sie Koay-sioe dan Im-yang Siang-kiam, jang tubuhnja
lemas, hingga mereka bertiga dapat diletaki berbaris dengan
Khiong Thian Yoe. Mata mereka itu berempat terpentang
lebar, mulut mereka ternganga, dari mulutnia keluar ilar,
tubuh mereka tak berkutik. Ditetarap barat semua orang
kaget, sirap suara berisik mereka.
Tjioe Wie Seng berbangkit, untuk bertindak ketengah batas
antara kedua tetarap. Ia berwadjah muram, ia mengangkat
kedua tangannja, memberi hormat kepada semua hadirin.
Ketika ia bitjara, suaranja perlahan:” Aku si orang she Tjioe
mengadakan loeitay ini untuk mentjari persahabatan, untuk
merekoki djodoh anakku, maka sajang sekali pihak Oey Kie
Pay telah menganggu kami sedjak beberapa hari jang lalu,

228
sama sekali mereka tidak menghormati aturan kaum Kangouw.
Tentu sekali sulit untuk pihakku ber-djaga2 dari akalmuslihat
itu. Maka itu sekarang, selagi semua rekan Rimba
Persilatan hadir disini, aku mohon sukalah saudara2 mendjadi
saksinja. Aku ingin ketahui apa kata pihak Oey KiePay?”
Setelah berbitjara, Wie Seng pun menitahkan orangnja
membuka Tjie Ek dan semua orang tawanan lainnja, untuk
dikumpulkan didekat Tjhong-sie Koay-sioe berempat, ia sendiri
terus mengawasi tadjam kearah orang-orang Oey Kie Pay
ditetarap barat itu.
Tiin Lok bingung bukan main. Terang ia pihak jang
bersalah. Ia pun tidak mengerti kenapa Tjhong-sie Koay-sioe
dan im- yang siang-kiam, jang demikian liehay, kena terbekuk
djuga oleh musuh. Bagaimana kalau sebentar muntjul Tiie Ek
semua? Karena sangsinja, ia berdiam sadja. Tapi tak lama, ia
berlompat keluar dari tetarap. ia menghampirkan Wie Seng,
untuk menuding dan berkata keras: “Memang, itu memang
perbuatan kami kaum Oey Kie Pay Tapi ini disebabkan
kelitjikanmu Kenapa kau menggunai akal litjin? Sien Tongtjoe
kami melamar puterimu, telah beberapa kali kami mengirim
wakil, apakah itu merendahkan kamu? Kenapa kau selalu
menampik? sudah begitu, kenapa sekarang kau membangun
loeitay ini? Bukankah itu berarti kau hendak mempersulit
kami? Bukankah itu berarti penghinaan terhadap Oey Kie Pay?
Kenapa kau mengadakan peraturan demikian sukarnja itu
pertandingan mesti dimenangkan hingga sepuluh kali? Kau
tidak adil, maka djangan kau persalahkan kami”
“Oh, begitu?” kata Wie Sseng.” Menurut kau, Tjin Paytjoe,
mendjadi akulah jang tidak adil sekarang ingin aku menanja,
bagaimana aku mesti berbuat baru dinamakan adil? Aku
mentjutji telingaku untuk mendengar dengan hormat
pendjelasanmu “. Ditanja begitu, Tjin Lok berdiam. Tidak
dapat ia segera mendjawab.

229
Melihat orang berdiam sadja, Tjioe Wie Seng kata bengis:
“Tjin Pa ytjoe, djikalau kau tidak dapat memberi pendjelasan,
hari ini djangan kau harap dapat keluar dari Tjioe-kee-tjhung”
Ketika itu beberapa tjhungteng jang diperintah telah
kembali dengan menggotong belasan orang Oey Kie Pay,
dengan bergelutukan mereka diletaki ditanah berdampingan
dengan Tjhong-sie Koay-sioe bertiga. Tjuma Tjie Ek seorang
jang dapat berdjalan.
Tiin Lok berkuatir dan mendongkol bukan main. Dia
berseru: “Segala Tiioe-kee-tjhung, jang sebesar peluruh,
dapat menahan aku si orang she Tjin” Wie seng tidak gusar, ia
sebaliknja bersenjum. “Djikalau kau tidak pertjaja, kau lihat
sadja katanja.”
Ketika itu dari tetarap barat muntjul satu orang bermuka
tampan, punggungnja menggendol pedang, pakaiannja putih
dansingsat, romannja gagah, tjuma kedua matanja bersinar
tadjam dan djahat. Dia menghadapi Wie Seng untuk mendjura
dalam, terus dia kata: “Dalam urusan ini jang bersalah jalah
partai kami, mau dibuat menjesal pun sudah kasip. tetapi
karena dipihak Tjhungtjoe tidak ada kerugiannja, baiklah
Tjhungtjoe suka membikin habis sadja. Aku jang muda, Sien It
Beng, suka aku mentaati aturan bertanding diatas loeitay,
andaikata dalam sepuluh rintasan aku tidak memperoleh
kemenangan, nanti aku mengadjak kawan-kawanku berlalu
dari sini. Aku berdjandji untuk selama- lamanja tidak
mengganggu lagi pada Tjioe-kee-tjhung Bagaimana pendapat
Tjhungtjoe?”
Twie-seng Tek-goat tidak menjangka Sien It Beng bakal
berkata-kata demikian, hingga ia djadi mesti berpikir.
“Oleh karena Sien Tongtjoe suka mengaku keliru, baiklah,
aku pun tidak sudi berlaku keterlaluan,” sahutnja sesaat
kemudian “Tongtjoe, umpama kata kau tidak mempunjai
urusan, silahkan kau pergi lebih dulu. Tentang pertandingan,

230
baiklah itu tak usah dilakukan lagi. Tongtjoe tidak mempunjai
harapan untuk memperoleh kemenangan. Tentang orangorang
kaummu ini, biarlah mereka ditinggal lagi beberapa hari
disini, sampai Oe-boen Paytjoe datang sendiri kemari untuk
membereskan urusan kita, itu waktu pasti aku akan
merdekakan mereka.”
Sien It Beng berdiam, mukanja mendjadi merah. Ia serba
salah.
Tjin Lok gusar, ia kata njaring. “Sien Laotee, buat apa kau
adu bitjara dengan ini iblis tua? Lihat sadja dia sanggup
menahan kami atau tidak?”
Tjioe Wie seng tertawa tergelak. dengan mata tadjam ia
menjapu hoe-pa ytjoe Oey Kie Pay itu, kemudian ia
menundjuk kepada tubuh Tjhong-sioe Koay-sioe dan im- yang
siang-kiam, terus ia menanja: “Apakah kaupertjaja dirimu
sanggup melawan menang mereka bertiga?”
Tjin Lok mendjadi putjat mukanja. seperti It Beng, ia
mendjadi berdiam sadja.
Sjukur itu waktu datang seorang tjhungteng jang
mewartakan tibanja Oe-boen Loei, ketua dari Oey Kie Pay,
jang membuat kundjungan.
Wie Seng heran. ia tidak menjangka ketua Oey Kie Pay itu
datang demikian tjepat. ia lantas memikir untuk mengambil
sikap.
Dipihak Oey Kie Pay mereka itu girang sekali mengetahui
datangnja ketua mereka, lantas terdengar pula suara mereka
jang berisik.
Segera djuga terlihat muntjulnja Oe-boen Loei, jang diiring
belasan orang partainja. Dia bermuka persegi dan besar
telinganja, hidungnja apa jang dikatakan hidung singa dan
mulut harimau, serta sepasang matanja sangat bengis. Dia
memelihara kumis pendek. Badjunjajalah badju

231
hitampandjang dilapis mantel merah tua jang gerombongan,
tindakannja pun lebar.
Wie seng menjambut, sembari memberi hormat ia tertawa
dan kata: “Aku si orang she Tjioe tidak ketahui Oe-boen
Paytjoe datang, aku tidak dapat menjambut dari djauh-djauh,
haraplah aku dimaafkan”
Pat-pie Kim-kong Oe-boen Loei telah lantas melihat
bergeletaknja Tjhong-sie Koay-sioe beramai, air mukanja
berubah, tetapi dengan lekas ia bersenjum, ia berkata manis:”
Aku Oe-boen Loei, aku mendengar kabar Tjioe Tayhiap
merajakan hari ulang-tahun sudah selajaknja aku datang
untuk memberi selamat, akan tetapi urusan partaiku banjak
jang mesti diselesaikan, menjesal aku datang terlambat, maka
itu, aku mohon diberi maaf”
“Terima kasih, terima kasih,” kata Wie Seng. “Sebenarnja
mengundang paytjoe pun aku tidak berani”
Oe-boen Loei tertawa, tapi mendadak ia mengerutkan alis,
matanja terus menatap Tjin Lok dan Sien It Beng, sembari
menundjuk orang-orangnja jang tidak berdaja, ia tanja:
“Apakah artinja semua ini, Sien Tongtjoe?”
Muka It Beng mendjadi putjat pula, sekian lama ia tak
dapat mendjawabi
Wie seng tertawa dalam hatinja, dengan sabar ia berkata,
“Untuk menolongi orang” ia mendjawab: “Oe-boen Paytjoe,
silakan kau menanja Tjie Ek. nanti segala apa mendjadi djelas”
Ia pun menundjuk si radja pentjuri.
Tjepat bagaikan kilat, Oe-boen Loei menjambar tangan Tjie
Ek. Lekas bitjara ia menitah, bengis.
Itu waktu keadaan sipentjuri harus dikasihani. Ia telah
ditotok In Gak, benar ia sudah ditolongi To Tjiok sam, hingga
ia bisa berdjalan, akan tetapi tenaganja sudah habis, tak dapat
ia bertahan atas tjekalan bengis dari ketuanja itu. Tubuhnja
lantas bergemetaran keras. ia lantas sadja mendjelaskan

232
segala apa. Oe-boen Loei memandang bengis kepada Tjin Lok.
habis itu ia menghela napas.
“Tjioe Tayhiap.” ia terus kata pada Wie Seng, “Menjesal,
semua kedjadian ini berada diluar tahuku, tetapi walaupun
demikian, aku nanti menggunai aturan perkumpulanku untuk
menghukum bengis pada mereka ini. Hanja mengenai..” Ia
berhenti sebentar, untuk mengawasti Tjhong-sie Koay-sioe
bertiga, baru ia menambahkan: “Mengenai mereka ini, dengan
memandang mukaku, aku harap kau suka mengidjinkan aku
membawa mereka pergi, untuk dimerdekakan. Hoa san Pay itu
bukan seperti Partai kami, jang dapat berlaku murah, maka itu
ingin aku memberitahukan bahwa selandjutnja baiklah tayhiap
berhati-hati untuk pembalasannja”
Wie seng tertawa lebar.
“Oe-boen Paytjoe, aku si orang she Tjloe girang untuk
kedjudjuran kau ini” katanja. Ia lantas menundjuk pada
Tjhong-sie Koay-sioe semua, ia berkata: “Oe-boen Paytjoe
hendak mengurus mereka itu, baiklah, aku pun tidak akan
menarik pandjang lagi. Tentang Tjhong-sie Koay-sioe dan
orang-orang Hoa san Pay, apabila benar seperti kata paytjoe,
mereka hendak datang pula kemari, baiklah, pada waktunja,
aku nanti menjambutnja”
Oe-boen Loei tertawa.
“Djikalau tayhiap membilang demikian, baiklah, aku djadi
mirip si orang Kie jang menguatirkan langit roboh,” katanja. Ia
lantas membungkuk untuk membebaskan totokan atas dirinja
Tjhong-sie Koay-sioe. Tapi djago itu ditotok In Gak menurut
peladjaran Hian-wan sip-pat-kay, tak berdaja ia
membebaskannja, hingga ia mendjadi heran. Ia kata dalam
hatinja: “Dalam ilmu totok. perjakinanku ada dari banjak
tahun, aku mengerti ilmu totok pelbagai partai diseluruh
negara ini, dapat aku menotok, dapat aku membebaskannja,

233
maka aneh sekarang ini, aku gagal Apakah disini ada menjelip
keratjunan?”
Saking penasaran, ketua Oey Kie Pay mentjoba menolong
im- yang siang-kiam. Ia tetap gagal. Bahkan kedua imam itu
mendelik matanja, mengawasi ia dengan gusar sekali. Mereka
itu mengasi dengar suara tidak njata, rupanja saking sakit dan
mendongkol Mau atau tidak, dengan roman menanja, Oe-boen
Loei mengawasi Wie Seng.
“Oe-boen Paytjoe,” berkata tuan rumah, tertawa, “Mereka
ini semua telah ditotok seorang gagah jang aneh luar biasa
Kedjadian itu aku si orang she Tjioe tidak menjaksikan sendiri,
tjuma aku dengar, orang gagah aneh itu benar-benar luar
biasa. sajang aku tak bertemu dengannja, djikalau tidak. pasti
dapat aku mendjadi perantara untuk mengadakan pertemuan
diantara paytjoe dan dia”
“Apakah benar dia Lootjianpwee TjiaBoen jang katanja
telah muntjul pula dalam dunia Kang-ouw?” tanja Oe-boen
Loei. Ia menanja tetapi parasnja berubah guram. Wie Seng
menggeleng kepala, ia tertawa.
“Tjia Lootjianpwee seorang gagah, dia lagi mengurus
urusannja sendiri bekas dikerubuti orang banjak, mana dia
sempat membantu aku disini?” ia berkata. “Bukankah urusan
disini urusan remeh? Pula ini terang bukan perbuatanTjia
Lootjianpwee, karena biasanja ia bekerdja tanpa
meninggalkan sisa hidup. Menurut katanja Tjie Ek dari partai
paytjoe itu, orang itu masih berusia muda sekali.”
Oe-boen Loei mentjoba menjabarkan diri, tetapi mendengar
perkataan Wie Seng ini, ia mendongkol bukan main. Kata ia
dalam hatinja: Djikalau dibelakang aku tidak dapat membikin
kau mampus tanpa tempat kuburanmu, aku sumpah sampai
mati djuga aku tidak mau sudah. Walaupun demikian, ia dapat
tertawa.

234
“Tjioe Tayhiap. kau memudji terlalu tinggi pada orang itu”
ia kata. “Aku tidakpertjaja bahwa kau belum pernah bertemu
dengannja”
Wie seng hendak memberikan djawabannja atau Tjin Lok.
jang gusar bukan kepalang, mendahuluinja sambil berseru:
“Paytjoe, djanganlah pertjaja ini bangsat tua Tadi malam
orang aneh itu bersama-sama Hoei-in-tjioe Gouw Hong pioe
dan Pat- kwa-too The Kim Go serta itu dua nona, jang hadir
disini, telah datang ke Lioe sie Wan dimana mereka mengatjau
Mana bisa dia membilangnja tidak kenal?” Oe-boen Loei
memandang tuan rumah.
“Tjioe Tayhiap.” katanja,”Aku datang kemari untuk
menjudahi peristiwa, maka itu paling benar kau sebutlah siapa
orang itu?”
Baru berhenti pertanjaan itu, belum lagi Wie Seng
memberikan djawabannja, dari tetarap timur terdengar suara
tertawa njaring disusul dengan mentjelatnja satu tubuh, jang
bagaikan bajangan turun didepannja ketua partai Bendera
Kuning itu.
Saking herannja. Oe-boen Loei mundur dua tindak. setelah
itu ia mengawasi, hingga ia melihat seorang dengan kulit
muka seperti kulit majat berdiri didepannja laksana patung
batu. Biar ia gagah, ia toh terperandjat. Baru sedjenak
kemudian, ia tertawa dingin. “Kau siapa, tuan?” ia tanja.
“Benarkah semua orangku dirobohkan kau?”
Orang dengan muka seperti majat itu, seorang muda,
mengawasi tadjam.
“Tidak salah” dia mendjawab, dingin. “Semua itu
perbuatanku Terhadap kawanan maling seperti tikus itu, jang
tidak tahu malu, sebenarnja aku sudah berlaku sungkan
Tentang namaku, kau tidak berderadjat untuk menanjanja”
Oe-boen Loei belum berumur empatpuluh tahun tetapi dia
telah membangun Oey Kie Pay, dia mengepalai anggautaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
235
anggautanja ditiga propinsi Kangsouw, Ouwpak dan Anhoei,
jang berdjumlah dua- atau tigapuluh-ribu djiwa, maka dialah
seorang besar.
Pula, tidak biasanja dia turun tangan sendiri, kalau
sekarang dia telah datang ke Kho-yoe, itulah disebabkan
berulang kali dia menerima laporan hebat dari Tjin Lok. ketua
mudanja itu. Ketika dia tiba di Lioe sie Wan, dia diberitahukan
Tjin Lok sudah pergi ke Tjioe-kee-tjhung, maka dia lantas
menjusul. Tidak pernah dia menduga bahwa peristiwa ada
demikian hebat. Biar bagaimana, dia mesti mendjaga diri,
sebab kalau dia roboh, runtuhlah partainja. Umpama kata dia
menang, dia masih kuatir orang mengatakan dia menghina
Tjioe-kee-tjhung jang disatroni itu Dia memikir untuk
melampiaskan kemendongkolannja dilain kesempatan. Dia
tidak njana, sekarang dia dihadapkan si anak muda jang tak
dikenal, jang sikapnja demikian djumawa. Dia berlenggak.
mengasi dengar tertawanja jang menusuk telinga. “Tahukah
kau, aku ini siapa?” dia tanja.
“Aku tidak perduli kau siapa” sahut si anak muda, suaranja
dalam. “Tak lebih tak kurang, kau tentulah kepalanja
sipendjahat” Oe-boen Loei sangat gusar.
“Aku kepala pendjahat, Aku Oe-boen Loei Kau sendiri apa?
Kau berani begini kurang adjar didepanku?” dia berteriak.
“Oe-boen Loei?” si anak muda mengulangi. “Maaf, aku
tidak kenal Mungkin ini disebabkan, aku muntjul belum lama.
Ia lantas menoleh kearah tetarap barat dan menanja: Tuantuan,
Oe-boen Loei itu machluk apa? Apakah kamu tahu?”
Pertanjaan itu didjawab tertawa ramai ditetarap barat itu.
Hati Oe-boen Loei panas bukan main. Belum pernah orang
menghina dia dimuka umum seperti kali ini. Mukanja mendjadi
guram, alisnja bangun berdiri Tapi, belum lagi dia bertindak.
dia sudah didului Sien It Beng.

236
Ketua Gwa sam Tong dari Oey Kie Pay itu sangat mendelu
menjaksikan tingkah-polanja si pemuda berkulit majat, dilain
pihak ia djeri, maka itu, timbul niatnja jang busuk, jaitu diamdiam
ia menjerang dengan lima bidji sendjata rahasianja jang
berupa piauw. Kebetulan ia menjerang, kebetulan suara riuh,
maka suara menjambernja piauwnja itu saru dengan suara
berisik itu
Si anak muda bermuka majat itu benar-benar liehay,
matanja tadjam. Ia melihat ketjurangan Sien It Beng, segera
ia mengulur tangannja, untuk menjerang. Tepat pundak Giokbin
Djie-long kena terhadjar, dia lantas merengkat tubuhnja,
menggigil dan djongkok. sedang matanja mendelik, kulit
mukanja keriput. Dia seperti menderita
kesakitan hebat. Lima buah piauwnja mengenai tubuh
sasarannja tetapi kelima- limanja runtuh ketanah, orang jang
diserang tidak kurang suatu apa.
Oe-boen Loei mengerutkan alis. Belum pernah ia
menjaksikan orang dengan kepandaian seperti si anak muda,
ia tidak pernah kenal partai jang mempunjai ilmu silat
demikian liehay.
Ditetarap timur pun orang heran dan kagum, tak terketjuali
beberapa jang mengenal pemuda itu.
Habis menghadjar Sien It Beng, si anak muda dengan
dingin menatap Oe-boen Loei.
Bukan main sulitnja ketua Oey Kie Pay, jang untuk
sementara berdiri tertjengang. Tindakan apa ia mesti ambil?
Berdiam salah, berlalu salah. ia mesti mempersalahkan It
Beng, jang main tjurang itu ia sendiri, kalau dibokong, pasti ia
bertindak seperti anak muda itu.
Selagi orang berdiam itu, Wie Sseng mendjura kepada si
anak muda, ia berkata: “Tayhiap. aku bersjukur untuk
bantuanmu ini. Aku si orang she Tjioe, akan aku ingat budimu
ini. Tapi aku tinggal disini, musuhku banjak. entah bagaimana
djadinja nanti”

237
Maka si anak muda mengangkat tangannja, mentjegah
orang bitjara. ia bilang: “Djikalau mereka mau pergi, tidak
dapat aku mentjegah mereka, hanja lain ini Oe-boen Loei
Bukankah tadi, dia jang menjuruh tjhungtioe menjerahkan aku
padanja? sekarang aku ada didepannja, aku mau lihat, dia
hendak mengatakan apa Tayhiap menjebut-njebut rumahmu,
apakah itu disebabkan tayhiap kuatir pembalasan mereka
dibelakang hari? Baiklah sekarang aku beritahu, kalau mereka
mau pergi, mereka boleh pergi, hanja mesti mereka pergi
semua, berikut tjabang-tjabangnja Dan mereka mesti pergi
dari propinsi ini, tidak dapat mereka mengindjak sekalipun
dengan sebelah kaki lagi”
Darahnja Oe-boen Loei mendjadi naik,
“Tuan, kau begini djumawa, kau tentu mengandalkan
kepandaianmu, bukan?” ia kata. “Kau harus ketahui, didalam
kalangan Kang-ouw, diluar orang ada orang lainnja, diluar
langit ada langit lainnja lagi Maka itu, aku Oe-boen Loei, aku
tidak puas Oey Kie Pay memang tidak terkenal, akan tetapi
tidak dapat tjuma sebab kata-katamu ini aku mesti
membawanja pindah dari sini”
Anak muda itu tetap tertawa dingin.
“Habis apa maumu maka kau menitahkan Tjioe Tayhiap
menjerahkan aku?” ia tanja. “Aku bilang terus-terang, kau
puas atau tidak. terserah kepada kau sendiri, djikalau kau
tetap tidak puas, mari, mari kita mengadu kepandaian kita”
Oe-boen Loei tertawa, lebar. ”Aku Oe-boen Loei, tidak
pernah aku bertempur dengan boe-beng-siauw-tjoet” katanja
djumawa. ia menjebut orang Boe-beng-siauw-tjoetjaitu
serdadu ketjil jang tidak mempunjai nama.
Anak muda itu gusar.
“Apa? Berani kau memandang enteng padaku?” Lantas
sebelah tangannja melajang dimuka ketua Oey Kie Pay hingga

238
ketua itu mesti mundur lima kaki, mukanja putjat. Dia
terkedjut untuk serangan itu.
Si anak muda tapinja tidak menjerang terus, ia menahan
tangannja, tubuhnja pun tidak
bergerak. Berdiri tetap ditempatnja, ia mengasi turun
tangannja. ia bersenjum.
“Djangan takut” katanja halus. “Hari ini aku tidak bakal
melukai kau Ada lain orang jang telah bersumpah untuk
menurunkan tangan sendiri atas dirimu, djikalau aku
mendahului, bukankah orang akan menjesal seumur hidupnja?
Kau baik- baiklah dengar nasihatku, lantas kau menarik diri,
berlalu dari wilajah Kangsouw ini, djikalau tidak. dibelakang
hari kau bakal menjesal sesudah kasip”
Dibelakang Oe-boen Loei berdiri belasan kawannja, jang
sikapnja garang. Mereka itu gusar, asal diberi titah, mereka
segera akan turun tangan. Tapi Oe-boen Loei menghela
napas.
“Didalam hal-hal selama beberapa hari ini, pihakkulah jang
salah,” ia berkata, “Maka itu biar bagaimana, tidak dapat aku
menempur kau, tuan- Hanja sajang, tidak dapat aku
mengetahui she dan namamu Lain tahun, djikalau gunung
hidjau tidak berubah, nanti kita bertemu pula” ia terus
menoleh kebelakang, untuk menggapai. Maka belasan
orangnja itu madju serentak.
“Bawa mereka ini semua!” ia menitahkan- ia memandang si
anak muda dan Wie Seng untuk memberi hormat, untuk
mengutjap: “Sampai ketemu”
Tjioe Wie seng membalas hormat, ia madju dua tindak.”
Oe-boen Pangtjoe, maaf, tak dapat aku mengantar lebih
djauh,” katanja.
Sebaliknja si anak muda berkata dengan dingin: “Oe-boen
Loei, djikalau kau tidak menarik diri seperti perintahku ini
djikalau nanti kita bertemu pula, itu artinja telah tiba saat
kematianmu”

239
Sepasang alisnja ketua Oey Kie Pay itu bangun, air
mukanja mendjadi guram, akan tetapi ia tidak membilang apaapa,
ia ngelejor terus.
Masih si anak muda mengawasi punggung orang, masih
terdengar tertawa mengedjeknja atau kemudian terlihat
tubuhnja bergerak. mentjelat terapung tinggi, berlompat ke
kanan tetarap barat, maka dilainsaat, ia sudah lompat pula
melewati tembok pekarangan, akan lenjap dilain sebelah.
Menjaksikan ilmu lompat tinggi dan djauh itu, semua
hadirin dikedua tetarap berdiri tertjengang.
Baru lewat sesaat, Tjioe Wie Seng lalu memetjah kesunjian.
ia menghadap para tetamunja ditetarap barat dan berkata:
“Sekarang marilah kita mulai pula dengan pieboe diatas loeitay
Andaikata ada saudara-saudarajang menganggap peraturan
pieboe terlalu keras, silakannja mengutarakannja. Aku
memberi waktu satu djam “ Habis berkata, ia kembali
ketetarap timur.
In- liong sam-hian To Tjiok sam tertawa, ia kata pada
orang banjak: “Anak muda itu liehay sekali, ia dapat membikin
orang mundur tanpa bertanding lagi, itulah hebat, dia
sungguh mengagumkan”
Kata-kata ini merupakan isjarat untuk mereka jang
mengetahui agar mereka itu djangan membuka rahasianja si
anak muda she Gan. Beberapa orang pula tahu In Gak
mestinja liehay tetapi mereka ini tidak berani menjangka dia.
Untuk sementara ramailah orang berbitjara, sebab aneh
mundurnja Oey Kie Pay itu. Baru kemudian terlihat seorang
keluar dari tetarap berat, dia menghampirkan Wie
Sseng, untuk memberi hormat sambil berkata:” Aku jang
rendah Kim-mo-houw ong Beng, aku mewakilkan pihak barat
untuk mengutarakan sesuatu, harap Tjioe Tayhiap dapat
menerimanja.”

240
Wie seng berbangkit membalas hormat itu. “Silakan bitjara,
ong Giesoe,” katanja tertawa.
“Aku bitjara tentang batas pertandingan sepuluh kali”, kata
Ong Beng. “Tak dapatkah itu diubah mendjadi hanja tiga kali?
Djuga baiklah djangan dipakai djuga batas usia, tjukup asal
seorang tidak mempunjai isteri. Umpama usul ini tak dapat
disetudjui tayhiap. aku hendak menjarankan lainnja, jaitu
supaja puteri tayhiap sendiri jang naik kepanggung sebagai
taytjoe, siapa dapat mengalahkan taytjoe, dialah jang
mendjadi menantu tayhiap. Bagaimana?”
Mendengar itu, Wie seng tertawa lebar.
“Usul jang pertama, perihal pengurangan batas
pertandingan dan umur, masih dapat aku menjetudjui,” kata
ia, “Hanja saran anakku mendjadi taytjoe, itulah sukar untuk
dipertimbangkan. Anakku tjuma satu, dan manusia bukannja
naga atau harimau, mana dapat ia melawan begitu banjak
orang jang menantangnja? Tidakkah demikian, Ong Giesoe?”
Ong Beng hendak mendjawab, atau Hong pioe dului ia.
“Aku pikir begini sadja,” berkata pemilik peternakan ini:
“Kita djangan mengubah sjarat-sjarat pertandingan, kita ubah
itu dengan To Lootjianpwee jang mendjadi taytjoe, siapa
dapat mengalahkannja, dia mendapat orang dan pedang.
Tidakkah usul ini singkat?” Ong Beng menggojang kepala.
“Mengenai usul ini, aku tidak dapat mengambil keputusan
sendiri,” ia bilang. “Nanti aku
berdamai dulu, baru aku memberikan djawaban kami.”
Maka baliklah ia ketetarap barat.
Hong Pioe dapat membade hatinja Wie seng, maka ia turut
membuka suara. Wie seng ingin memperoleh menantu jang
tampan dan gagah, setelah melihat Gan G ak. ia lantas
penudju pemuda itu. Goat Go pun sangat mengagumi
kegagahannja si pemuda. Hanja satu kesangsiannja tjhungtioe
itujalah Gan Gak suka naik keloeitay atau tidak- asal dia mau,

241
perdjodohanpasti tak meleset lagi. Karena ini, orang she Gouw
itu mengadjukan sarannja. Ia tahu, madjunja In-liong samhian
bakal membikin banjak orang ditetarap barat itu mundur
sendirinja.
To Tjiok sam dapat membade maksudnja Hong Pioe, ia
mengawasi sahabat itu dan berkata: “Laotee, saranmu ini
berarti menutup djalan”
Ketika itu dari tetarap barat muntjul tiga orang, satu
antaranja lantas berkata pada tuan rumah: “Kami telah
membuatpembitjaraan. sebenarnja kami mengetahui
dibangunnja Wan-yo-tay ini disebabkan urusan tayhiap
dengan pihak Oey Kie Pay, maka itu, kami pun datang untuk
menonton sadja, sekarang urusan dengan Oey Kie Pay itu
sudah beres, sjukur. Mengenai perdjodohan, kami merasa
tayhiap sudah mendapatkan pilihan sendiri, dari itu, untuk
apakah kami mesti naik pula dipanggang mendjadi perintang?
oleh karena itu, kami memutuskan untuk pulang sadja.
Hanjalah nanti, dihari kegirangan, kami berbesar hati
menantikan untuk datang menggeretjok setjangkir arak”
Wie Seng mengurut djanggutnja, ia tertawa.
“Itulah pasti katanja. saudara-saudara sudi datang sendiri,
itulah bagus. Memang
untuk mengundangnja aku kuatir tak aku berkesempatan.”
Tiga orang itu tertawa, mereka memberi hormat, lantas
mereka mengundurkan diri, untuk pergi keluar. Maka jang
lain-lain, jang menanti dibawah tetarap. lantas pada
berbangkit, untuk turut berlalu.
Wie seng lekas-lekas pergi kepintu, guna mengantar
mereka itu.
Badai sebenarnja dahsjat, tetapi setelah angin lewat dan
hudjan berhenti, maka
langit djadi terang-berderang dan tenang.

242
Habis mengantar semua tetamunja, Wie seng
menghampirkan Tjiok sam dan Hong Pioe, untuk berbitjara
perlahan, setelah mana, dua sahabat ini pun mengundurkan
diri dari tetarap timur.
Ketika itu In Gak sudah merebahkan diri didalam kamarnja,
akan tetapi ia sadar, telinganja pun tadjam sekali, ia
mendengar tindakan kaki orang. ia rebah terus, tubuhnja tak
bergerak. sampai muntjullah To Tjiok sam dan Gouw Hong
Pioe, jang masuk dengan menolak pintu sendiri, tanpa
menggedur atau memanggilnja lagi. Tjiok sam tertawa lebar
menjaksikan orang tengah rebah dengan tenang itu.
“Lao-teetay, djanganlah kau berlagak pilon” katanja
gembira.”Sepak-terdjang kau barusan telah memadamkan api
berkobar-kobar, sampaipun Oe-boen Loei si tjabang atas
dapat dengan begitu sadja disuruh mengangkat kaki sungguh
kau membikin kita sangat kagum Kau tahu,” ia
menambahkan,”Tanpa memberi ketika orang merendah,
urusan loeitay djuga turut mendjadi beres karenanja.”
In- liong sam- hian lantas menuturkan hal pembitjaraan
diluar tadi.
In Gak bangun dari pembaringannja, ia mengawasi kedua
orang itu. Tjiok sam dan Hong Pioe pun mengawasi, sambil
bersenjum.”Lootjianpwee, ada apakah?” anak muda itu tanja.
“Aku si orang tua, aku mau minta setjangkir arak
kegirangan” sahut Tjiok sam.
“Aku djuga” Hong Pioe turut berkata.
“Apa? Arak kegirangan apakah itu?” si anak muda tanja.
Tjiok sam mengawasi terus, tjuma sekarang ia berhenti
tertawa.
“Lao-teetay, bagaimana, kau lihat ilmu silatnja Lian Tjoe
dan Goat Go?” ia tanja.
Ditanja begitu, muka in Gak bersemu merah.
“Ilmu silat mereka tjukup,” sahutnja.

243
Tjiok sam bertepuk tangan, dia tertawa.
“Bagus “ serunja. “Maka djadilah aku si orang perantara”
In Gak menggojangi tangan.
“Tak dapat, lootjianpwee” katanja. “Nona itu masih ada
orang-tuanja Pula aku sendiri, aku masih mesti melakukan
sesuatu, jang tak akan selesai dalam waktu jang pendek. Aku
menjesal mensia-siakan lootjianpwee” Tjiok sam tertawa pula.
“Apakah lao-teetay tidak dapat memberi muka kepada aku
si orang tua?” katanja. “Tentang orang-tua nona Tio, djangan
kau buat kuatir, aku jang akan mendjamin, Perihal urusan
kau, itu tentu bukan lain daripada urusan budi dan penasaran,
mengenai itu, aku tidak ingin merintangi kau, apa jang aku
kehendaki jalah djodoh diikat dulu, habis itu baru kau pergi
kekota radja. Rumah Nona Tio jalah didjalan Ong- hoe Toakay
di Tjhong-tjioe, tak diauh dari kota radja, maka setelah
urusan kau dikota radja itu beres, kau dapat lantas pergi ke
Tjhong-tjioe, disana aku dan nona Tio akan menantikan kau”
Mendengar itu, In Gak tertawa. ia menganggap si orang
tua djenaka.
“Lootjanpwee bitjara enak sadja” katanja.
“Gan siauwhiap. Hong Pioe turut bitjara, kau terimalah”
Sikap In Gak lantas bersungguh-sungguh, agak likat, ia
kata: “Dengan adanja lootjianpwee berdua mendjadi orang
perantara, segala apa pun dapat djadi, Hanja..” ia
menambahkan, “Aku tengah merantau, aku lagi mentjari
musuh besarku, aku tidak ingin tjita-tjitaku itu digerembengi
urusan djodoh. Aku ingin seorang diri sadja mentjari musuhku
itu. Djikalau mereka suka menerima baik keberatan ini, baru
aku suka memberikan persetudjuanku.”
Tjiok sam dan Hong Pioe heran.
“Benarkah siauwhiap mempunjai musuh?” tanja mereka
berbareng. “Siapakah musuh itu?” In Gak bersenjum, ia tidak
mendjawabi Melihat demikian, Tjiok sam tidak mendesak.

244
“Urusan gampang,” katanja kemudian- “Kedua nona-nona
itu dari keluarga baik-baik, mereka dapat diminta menanti
dirumah.”
Selesai sudah urusan djodoh itu, maka bitjara lebih djauh,
mereka memasang omong daribanjak hal lain, umpama
tentang keramaian kota Kangtouw.
“Pernah aku berdiam disana beberapa hari, sajang aku
belum dapat melihat semua,” kata in Gak.
“Tapi Kangtouw dekat, tjuma seperdjalanan satu hari,
dapat siauwhiap kembali kesana”, berkata Hong Pioe. “Dengan
pesiar lagi satu atau dua hari, kau akan menikmati segala
keindahan itu.”
In Gak menggeleng kepala.
“Sajang keras sekali keinginanku pergi ke Utara,” bilangnja.
“Sebegitu lama musuh belum dapat ditjari, satu hari pun tak
dapat aku tidur senang. Untuk pesiar, aku lakukan itu sambil
lalu sadja.”
Setelah itu, anak muda ini memberitahukan kemana ia
telah pindahkan kedua pedang Kie Koat dan Tjeng Hong.
Tidak lama, Tjiok sam dan Hong Pioe mengundurkan diri.
Setelah berada sendirian, in Gak rebah pula, otaknja
bekerdja. Berbajanglah didepan matanja segala usahanja
selama setengah tahun merantau. Ia merasakan lebih banjak
penderitaan daripada kesenangan, bahwa dunia Kang-ouw
benar-benar banjak bahajanja. Mengingat itu, ia merasa
djemu. Tapi ia mesti membalas sakit hati ajahnja, ia mesti
merantau terus
Selagi melajangi pikirannja itu, In Gak ingat Goat Go dan
Lian Tjoe. Mereka itu beda daripada Nie Wan Lan jang
berandalan. ilmu silat mereka pun baik. Maka, sebenarnja,
siapa tidak puas memperoleh isteri-isteri sebagai mereka itu?
Ia ingat djuga jang ajahnja menjesal tidak dapat menikahkan
ia, hingga sekarang ia harus menikah dengan ichtiar sendiri
Karena ini ia menjesal tidak dapat segera ia membunuh

245
musuhnja, agar ia bisa menuntun isterinja untuk tinggal
ditempatjang sunji-tenang, supaia tak usah ia merantau lebih
djauh. Mengingat ini, ia menghela napas. itulah tjita-tjita
belaka. ia masih harus mendjalankan tugas.
Lewat lagi sekian lama, pemuda ini menutup diri dengan
selimut, karena ingin beristirahat dengan tidur njenjak, ia tidak
duduk bersamedhi lagi. Ketika dilain waktu ia mendusin,
matahari sudah dojong rendah kebarat. Empat djam lamanja
ia tidur, ia berbangkit dengan pikiran lega dan merasa segar.
Tjepat-tjepat ia dandan. Ketika ia berkatja, ia melihat dirinja
tak miripnja seorang jang mengarti ilmu silat.
Lantas ia mendengar suara tertawa jang ramai tetapi
empuk. Tahulah ia kedua nona lagi mendatangi. Tiba-tiba
sadja timbul pelbagai perasaan dalam hatinja. Tapi ia dapat
menenangi diri, ia membuka pintu kamarnja untuk menjambut
mereka itu.
Lian Tjoe dan Goat Go berdjalan denganperlahan-perlahan,
terperandjat mereka waktu mendadak In Gak terlihat berdiri
didepan mereka, tangannja si anak muda digendong
kebelakang dan wadjahnja berseri-seri. Tanpa merasa, mereka
berdiri tertjengang. Lagi pula sekarang mereka melihat tegas
si anak muda djauh lebih tampan daripada hari-hari jang telah
lalu.
Hari ini, habis membersihkan tubuh, In Gak mengenakan
badju hidjau badjupakaiannja seorang peladjar, kedua
matanja bersinar terang, hidungnja bangir, giginja putih,
bibirnja dadu, sedang sebelah tangannja mentjekal sebuah
kipas. Mana dia mendjadi seorang ahli silat, dia mirip peladjar,
pikir kedua nona.
Achirnja Goat Go tertawa dan berkata: “Ajahku
mengundang Gan Kongtjoe untuk memasang omong.”
Kata-kata kongtjoe itu diutjapkan dengan terlebih lama dan
berat.
Lian Tjoe pun turut menjampaikan undangan itu.

246
Diwaktu berbitjara, kedua nona telah memberi hormat
mereka.
Mereka ini nakal dan djenaka, kata In Gak dalam hati. Toh
ia merasakan manis. Lantas ia berkata: “Sebutan Gan
Kongtjoe itu sebutan baru dan indah, aku menerima nja
dengan terpaksa. Tapi, lain kali, lebih baik kamu mengubah
panggilan kamu”
Kedua nona itu merasa bahwa mereka dipukul sindiri, maka
keduanja lantas mengawasi tadjam. Bahkan Lian Tjoe lantas
kata: “Adik, mari Aku lihat orang ini bukan orang baik-baik”
Goat Go memutar tubuh, untuk berlalu, si Nona Tio
mengikuti.
In Gak tertawa, sambil mengawasi, ia bertindak dibelakang
mereka.
Tiba diruangan dalam, disana Wie Seng berada berlima
dengan Tjiok sam, Hong Pioe, Kim Go dan Ha uw Lie Peng.
Mereka itu asjik bitjara sambil tertawa-tertawa. Ketika mereka
melihat kedua nona serta si anak muda, mereka berbangkit.
Sebuah lilin besar menerangi ruangan itu dan sepasang
gedang Kie Koat dan Tjeng Hong diletaki dikedua sisi lilin itu
In- liong sam- hian tertawa ketika ia berkata: “Gan Laotee,
dandananmu ini luar biasa, kau benarlah menantu Keluarga
Tjioe” In Gak merasai mukanja sedikit panas.
“Ah, lootjianpwee gemar bergujon,” katanja terpaksa.
Gouw Hong pioe pun lantas berkata: “Gan Siauwhiap. kami
si orang tua djuru perantara sudah selesai dengan tugas kami,
karena itu kenapa kau tidak mau lekas-lekas memberi hormat
kepada mertuamu?” Barusan pun Nona Tio sudah
mendjalankan kehormatan kepada mentuamu, jang dia angkat
sebagai ajah-angkatnja.”
Jilid 3.3. Bentrok dengan Tjeng Hong Pay

247
Mendengar itu, tanpa ajal lagi In Gak memberi hormat
pada Wie Seng. ia paykoei tiga kali.
Wie Seng senang bukan main, sembari tertawa terbahak ia
memimpin bangun mantunja itu. ia kata: “Sudah, anak. tak
usah kau mendjalankan kehormatan”
In Gak mengenakan rantai kemala dimana ada gandulannja
ikan2an dari batu permata, ikan-ikanannja indah sekali
buatannja. Itulah warisan ibunja, warisan jang buat duapuluh
tahun tak pernah berpisah daripadanja. sekarang ia
meloloskan itu, dipersembahkan kepada mentuanja sebagai
tanda matanja untukperdjodohannja.
Wie seng sebaliknja mengambil pedang Kie Koat, untuk
diserahkan pada menantunja itu.
In Gak menjambuti, tapi setelah berpikir sebentar, ia
mengembalikannya pada mentuanja.
Wie seng tertjengang, tetapi mantunja itu segera berkata:
“Aku tidak mempunjai barang lainnja, maka itu aku minta
pedang ini didjadikan tanda mataku untuk Nona Tio.”
Baru sekarang Wie Seng mengerti. ia tertawa. Lantas dua
rupa barang itu diserahkan pada Goat Go dan Lian Tjoe.
Kedua nona itu menjambuti, terus mereka mengundurkan
diri
Wie Seng tertawa, ia berkata:” Anak. sekarang telah
ditetapkan, untuk pihak
laki-laki, orang perantara jalah kedua saudara Gouw
danThe,dan untuk pihak perempuan, saudara-saudara To dan
Hauw. Maka haruslah kau menghaturkan terima kasihmu
kepada mereka.” In Gak menurut, sambil memberi hormat, ia
mengutjapkan terima kasihnja.
Kim-bian Gouw-khong Ha uw Lie Peng memegangi tangan
si anak muda, ia berkata: “Gan siauwhiap. kau muda dan

248
gagah, kau sungguh mengagumi. Aku Hauw Lie Peng, aku
dapat bertemu denganmu, aku girang bukan kepalang”
“Hauw Tayhiap tjuma memudji,” kata In Gak merendah,
setelah mana ia menghampirkan mentuanja, untuk berkata:
“Ada sesuatu jang aku hendak djelaskan. ini mengenai
kepentingan pribadi. Aku minta sukalah gakhoe dan sekalian
lootjianpwee merahasiakan, baru dapat aku menjebutnja.”
“Kita semua kaum Rimba Persilatan, kata-kata kita berat
sekali,” kata Hauw Lie Peng tertawa lebar. “Siauwhiap. kau
bitjaralah, kita pasti tidak akan membotjorkannja”
“Sebenarnja.aku she Tjia, bukannja she Gan,” In Gak
menerangkan. “Tjia In Gak jang membinasakan Tjit-sat-tjioe
Koet sin di Kim- hoa jalah aku sendiri”
Mendengar itu, orang heran- Baru sekarang mereka
mengerti. “Kenapa kah laotee mengubah shemu?” tanja Inliong
sam- hian.
“Itulah disebabkan setelah peristiwa di Kim- hoa itu, aku
menguatirkan namaku mendjadi terlalu besar dan itu dapat
mendatangkan kesulitan-kesulitan jang tidak diingin, jang bisa
menghalang-halangi usahaku selandjutnja,” sahut In Gak.
“Ketika pertama kali aku datang kemari, sebenarnja aku
hendak bekerdja diam2, sesudah mana aku akan
mengundurkan diri setjara diam2 djuga, siapa tahu ia melihat
kesekitarnja: Nona Tio telah mengetahui rahasiaku. Sjukur
melainkan gakhoe serta sekalian tjianpwee jang mendapat
tahu sepak-terdjangku ini, djikalau tidak?”
Sampai disitu djelas sudah hal dirinja In Gak. tjuma orang
masih tidak ketahui siapa musuhnja. Hal ini, Wie Seng tidak
mau menanjakan melit-melit. “Sekarang marilah kita
bersantap” ia mengadjak. Demikian orang pergi keluar.
Sedjak hari itu, In Gak pindah kamar kerumah besar.
sedjak itu hari, ia pun mengadjari silat sungguh-sungguh
kepada Goat Go dan Lian Tjoe, sebab mereka bukan lagi

249
orang luar, selain ilmu bersamedhi, guna memperkokoh
tenaga dalam, ia mengadjari djuga tipu silat Kim-kong Hok
Houw Tjiang atau Kim-kong menaklukkan harimau, serta ilmu
sendjata rahasia Boan-thian Hoe-ie say- kim-tjhie, atau
Menjiram uang emas sebagai hudjan bunga.
“Peladjarilah ini terus-menerus setiap hari, djangan
dialpakan,” dia memesan. Begitu djuga tentang peladjaran
Kioe-kiong Tjeng-hoan fm-yang-pou dan Pat-kioe Leng-longtjioe.
Itulah dua matjam ilmu silat langka dalam Rimba
Persilatan- setelah paham benar, taklah sulit untuk melajani
djago-djago kelas satu. “
Selang tiga hari kemudian, In Gak pamitan dari kedua
tunangannja, mentuanja dan sekalian kenalannja di Tjioe-keetjhung,
untuk menudju ke Utara, dimana hawa udara hangat
terlambat datangnja dibanding dengan Kang lam, selatan
maka itu pemandangan alam disini masih menarik hati. ia
melarikan kudanja keras sekali, hingga ia membuatnja seperti
terkurung dengan debu, hingga kepala dan tubuhnja, djuga
kudanja, tertutup seanteronja, tinggal matanja sadja jang
bersinar. Inilah disebahkan selama tiga hari dan dua malam, ia
kabur terus-terusan, ia tjuma singgah seperlunja. setelah
masuk wilajah propinsi Shoatang, dari Liauw-shia ia
memotong ke Tay-beng, melintasi Ham-tan, menudju ke Tjiokee-
tjhung. Tadi baru sadja ia singgah di see-hoo. Untuk tiba
di Tjio-kee-tjhung, ia mesti melalui lagi perdjalanan dua- ratus
lie lebih, sedang itu waktu, sudah lewat tengah hari. Ia
menduga diwaktu magrib ia akan sampai ditempat tudjuannja.
Karena ini, untuk minum pun ia tak menghentikan lagi
kudanja, ia terus mengasi lari dengan keras.
Mulanja In Gak memikir dari Liauw-shia melintasi
ketjamatan Tek-koan lalu kekota Tjhong-tjioe, terus ke kota
radja. Kemudian ia pikir, setibanja di kota radja dimana ia
bakal menemui Loei siauw Thian, ia perlu mampir dirumahnja

250
Tio Lian Tjoe di Tjhong-tjioe, maka itu, ia mengambil djalanan
ke Ham-tan ini. Ditengah djalan ini ia berpikir: “Entahlah, Kioetjie
sin-kay Tjhong sie akan menjusul atau tidak, akan tetapi
selagi lewat di Kho-yoe, aku telah memesan kata-kata kepada
Lu Boen Liang, supaja dia memberitahukan arah tudjuanku”
Mulai lohor, tibalah In Gak di Kho-ip. Djauh didepannja,
samar-samar ia melihat tembok kota ketjamatan itu, jang ia
taksir masih ada seperdjalanan kira2 tigapuluh lie. Maka ia
mentjambuk kudanja, mengasi kabur.
Djauh disebelah depan, In Gak melihat debu mengepul
naik, selagi mendekati telinganja pun mendengar tindakan
kaki banjak kuda, lantas ia melihat lima penunggang kuda lagi
kabur mendatangi, dari dua jang terdepan, jang satu
membawa seorang tua, sedang seorang jang lain membawa
seorang wanita jang tengah menangis sedih.
“Pasti mereka orang-orang djahat”, pikir In Gak. Maka ia
lantas menghadang ditengah djalan, tjambuknja disabarkan
kedepan.
Dua penunggang kuda itu kaget, mereka menahan kuda
mereka. Karena ini, mereka diterdjang tiga jang dibela kang,
jang tak sempat menahan kudanja masing-masing. sjukur dua
jang didepan itu tidak roboh, mereka tjuma berkaok-kaok.
Untuk sedjenak. kelima penunggang kuda itu melengak.
mata mereka, menatap. sekarang mereka melihat,
perintangnja itujalah satu penunggang kuda jang penuh debu
hampir mirip mereka sendiri.
“He, botjah, kau tjari mampusmu sendiri” achirnja salah
seorang membentak.” Apakah kau tidak mempunjai mata
hingga kau berani merintangi Lim-shia Ngo-pa? Lekas minggir”
I n Gak memang seperti ingin mentjari gara-gara, tak sudi
dia menjingkir. Pula djulukan Lim-shia Ngo-pa itu Lima djago
dari Lim-shia menarik perhatiannja.

251
“Aku tidakperduli siapa Lim-shia Ngo-pa” sahutnja, berani.
ia tertawa dingin. “Bukankah sekarang ini siang hari?
Bagaimana kamu berani mentjulik orang? Bukankah ini berarti
tak ada. lagi undang-undang negara? Djikalau kamu mau
lewat, boleh, asal kamu tinggalkan itu dua orang”
“Rupanja botjah ini orang asing” kata penunggang kuda
jang berbitjara itu. Dia terus tertawa terbahak. “Eh, apakah
kau tidak mentjari tahu siapa kami ini? Apakah kau sudah
bosen hidup? Kalau benar, botjah, kau serahkanlah djiwamu:”
Lantas dia madju, dia menghunus goloknja, untuk
membatjok.
In Gak bersenjum, sembari berkelit, ia mengulur tangan
kirinja, atas mana orang itu mendjerit setjara tiba-tiba dan
goloknja terlepas, djatuh ketanah, sedang tubuhnja dibetot,
hingga dilain saat, si wanita dapat ditolongi.
Penunggang kuda itu kaget. Dialah pentjulik, tetapi dia
sekarang kena ditjulik Dia lantas mendjerit- djerit kesakitan,
karena In Gak perkeras pentjetan tangannja itu.
Keempat penunggang kuda lainnja mendjadi terkedjut,
lantas mereka mendjadi murka, hanja karena penuh debu,
kemurkaan itu tak nampak njata pada wadjahnja. Melainkan
mata mereka jang mentjorong. In Gak mengawasi, ia tertawa
terbahak-bahak.
“Apa itu Lim-shia Ngo-pa?” ia mengedjek. “Tak lebih tak
kurang, gentong arak dan kantung nasi Lekas kamu kasi turun
orang tua itu”
Empat orang itu nampak bingung, mereka saling
mengawasi. saudara mereka telah berada ditangan orang.
Achirnja, terpaksa mereka menurunkan si orang tua.
“Sekarang tolong lepaskan kakak kami” kata jang satu.
In Gak tertawa, tjekalannja dilepaskan, maka djatuhlah
kurbannja bagaikan lajangan putus

252
“Baru ini pertama kali kamu berbuat djahat didepanku,
suka aku memberi ampun” katanja bengis. “Lain kali, djangan
kau mengharap pula sekarang tinggalkan dua ekor kudamu!”
Lim-shia Ngo-pa mati kutunja.”Baiklah,” kata mereka, jang
lantas kabur dengan lima orang naik atas tiga ekor kuda.
In Gak mempertemukan si orang tua dengan si wanita
muda, untuk menanjakan hal diri mereka. si orang tua
menangis, ia kata: “Aku ThioThianPo dari Lou-san, Hoolam,
kerdjaku djadi kuli tani, lantaran musim kemarau, aku djadi
hidup sengsara. Dengan adjak tjutjuku ini, aku mau tiari
adikku jang berdagang kuwe dikota Kho-ip. Kasihan saudaraku
itu, dia telah menutup mata pada lima tahun jang lalu dan
rumah-tangganja berantakan. Tjelaka untuk kami, kami
keputusan uang belandja. Lebih tjelaka, kami bertemu Limshia
Ngo Pa, tjutjuku ini hendak dirampas, karena aku
melawan, aku pun dibawa lari sekalian. sjukur kau menolongi,
tuan penolongku.”
I n Gak berkasihan. ia mengawasi si nona, jang rambutnia
kusut dan mukanja kotor, matanja merah dan bengul, tapi
romannja tjantik. ia lantas mengasikan sepotong emas
seharga dua tahil serta perak hantjur, ia pun kata: “Sekarang
pergi kamu menunggang kuda ini pulang ke Hoolam. Uang
emas ini untuk modal dagang ketjil-ketjil dan perak hantjur ini
buat belandja diperdjalanan.”
Thian Po sangat bersjukur, bersama tjutjunja itu ia
memberi hormat, ia menghaturkan terima kasih mereka jang
hangat.
“Sekarang lekaslah kamu pergi,” kata In Gak. Bahkan ia
mengantarkan sampai diluar kota Kho-ip dimana kakek dan
tjutjunja itu menudju kedjalan lain, ia sendiri terus menudju ke
Tjio-kee-tjhung, sebuah tempat jang ramai. Dari sini, ke utara
orang dapat menudju kekota radja, kebarat kekota Thay-goan.
ia lantas mentjari rumah penginapan, untuk paling dulu

253
membersihkan tubuh dan menjalin pakaian, kemudian ia pergi
keruang besar, untuk bersantap. Disini ia menarik perhatian
tetamu-tetamu lainnja, karena ia merupakan seorang muda
jang tampan. Ia pesan makanan, ia dahar seorang diri, sambil
ia sering melihat kelilingan. Dengan begitu ia lantas
mendapatkan dua orang dimedja kiri tengah mengawasi
padanja. Mereka itu masih muda, jang satu hitam- manis,
matanja tadjam,jang lainnja tampan, matanja tadjam djuga,
dan ada pedang dipunggangnja. Mereka itu mestinja mengerti
silat.
Masih ada dua orang lain, jang agaknja memperhatikan
anak muda ini jang satu jalah seorang tua kate gemuk. jang
telah ubanan alis dan kumisnja, jang lanang embunembunannja,
tetapi kedua tangannja besar dan bersinar
merah, sepasang matanja bertjahaja. Dia memandang sambil
bersenjum. Jang lain lagi jalah seorang nona, badjunja abuabu
dan singsat, kepalanja dilibat sabuk kuning. Ia membekal
pedang dengan runtje hidjau danpandjang tetapi romannja
berduka. Ia mengawasi tetapi segera melengos ketika sinar
matanja bentrok dengan sinar mata si pemuda.
“Pasti mereka semua orang Rimba Persilatan,” pikir In Gak.
Ia kurang pengalaman tetapi luas pengatahuannja, jang mana
membantu banjak padanja, hingga ia bukanlah seorang Kangouw
hidjau. “Mereka pasti sama dengan aku Tjuma si nona,
entah apakah kesulitannja” Karena ini ia pun mengawasi nona
itu hingga beberapa kali.
Kedua pemuda itu, djuga si orang tua dan si nona, sama
kesannja ketika mereka mendapatkan In Gakjang muda dan
tampan itu Mereka tidak dapat melihat bahwa orang mengerti
silat, maka mereka pikir: “Tjoba dia meninggalkan ilmu surat
dan mempeladjari ilmu silat, dia berbakat baik sekali”
Habis menenggak arak. kulit muka In Gak bersemu dadu,
menambah tampannja. Ia sudah lapar, ia pun berdahar

254
dengan tjepat. Ketika ia hendak berbangkit, ia melihat satu
pelajan menghampirkan si nona, menjerahkan selembar
kertas, melihat mana, muka si nona mendjadi putjat.
“Mana dia si pembawa surat?” nona itu tanja perlahan.
“Sehabisnja menjerahkan surat, dia lantas pergi,”
mendjawab si pelajan-
Nona itu mengangguk. semundurnja pelajan itu, alisnja
berkerut.
Melihat roman si nona, In Gak memikir sesuatu.
Tiba-tiba si orang tua jang kate dan gemuk itu tertawa dan
berkata: “Tak lain tak bukan tentulah kawanan tikus menghina
seorang nona jang harus dikasihani Untuk apakah berduka?
Apakah kau menjangka aku si orang tua tidak bakal
mengulurkan tangan?”
Njaring suara orang tua itu hingga semua tetamu lainnja
mengawasi ianja. ia tapinja bersikap seperti tak ada lain orang
disitu, ia minum araknja dengan merdeka, ia menggajam
makanannja dengan lahapnja.
Mendengar suara si orang tua, In Gak mengubah sikapnja.
ia batal berbangkit untuk meninggalkan medjanja. ia mau
melihat perkembangan terlebih djauh.
Segera terlihat si nona menghampirkan si orang tua, ia
memberi hormat dan berkata perlahan- “Aku tahu kau
bukanlah orang sembarangan, lotjianpwee, maka itu aku
mohon pertolonganmu. Dari djauh aku tiba disini tetapi si
djahat tidak sudi melepaskan aku”
“Kau duduk. Nona Kang,” berkata orang tua itu.”Aku tahu
kau terpaksa masuk dalam rombongan Tjeng Hong Pay. Aku
mengagumi kau jang keluar dari lumpur dengan tubuhmu
tidak kena terkotorkan- Kau tahu, tanpa aku, tidak nanti kau
dapat lolos sampai disini. Pasti aku nanti menolong kau
sampai diachirnja meski aku tahu lawanmu itu liehay.”

255
Si orang tua berkata perlahan seperti si nona, tetapi In Gak
dapat mendengar tegas. Maka ia pikir: “Baiklah aku pun
membantu nona ini. Menurut katanja Djieko Loei Siauw Thian,
dulu hari ajahku telah banjak menjingkirkan orang Tjeng Hong
Pay hingga ia djadi bermusuh dengan mereka itu, karena
mana, diantara musuh-musuh ajahku itu mesti ada orang
partai ini”
Ketika itu kedua anak muda itu pun menghampirkan si
orang tua, untuk memberi hormat sambil menanja:
“Lootjianpwee, apakah lootjianpwee bukan siong-san Ayhong-
sok Kheng soepee?”
Orang tua itu mengawasi, dia bersenjum.
“Anak muda, tjara bagaimana kau ketahui nama dan
djulukanku?” dia tanja.
Si anak muda muka hitam lekas menjahuti: “Akujang
mudajalah Kiang YauwTjong, dan ini saudara Tong-hong Glok
Koen. Sungguh beruntung kami dapat bertemu soepee disini”.
Orang tua itu nampak girang, hingga dia berdjingkrak bangun
dan matanja pun bersinar.
“Apa?” dia berseru. “Kamu djadinja si anak-anak muda dari
Ngo Bie Pay jang baru mengangkat nama selama ini? Njata
tadjam matanja Hoei Khong si tua kepala botak hingga dia
berhasil mendapatkan kamu berdua Haha-haha Inilah
kebetulan, aku memang lagi memikirkan pembantu Nona ini
lagi didesak Tjeng l Hong Pay, baiklah kamu membantu dia.”
In Gak pun girang mengetahui orang tua itu jalah Kheng I
Hong gelar Ay-hong-sok atau Tonghong Sok Kate dari gunung
Siong San- Ia ingat, semasa hidupnja ajahnja, ajah itu pernah
menjebut nama Kheng I Hong sebagai sahabat akrabnja,
sebagai saudara angkat, bahwa sebelum ia dilahirkan, orang
tua itu sudah hidup menjembunjikan diri, siapa sangka disini ia
dapat menemukannja. Tjia Boen sendiri tidak tahu, diharian ia
dikerojok, Kheng I Hong djusteru baru muntjul pula. Bahkan

256
Kheng I Hong muntjul dengan terus mentjari tahu siapa
musuh-musuhnja saudara-angkatnja itu, sedang mengenai
Tjia Boen sendiri, tak tahu dia dimana sahabatnja berada,
sahabat itu masih hidup atau sudah mati, maka dia
mentjarinja disembilan propinsi selatan dan delapan propinsi
Utara. Sekarang baru sadja Kheng I Hong habis menjelidiki
gerak-gerik partai Tjeng Hong Pay digunung Lu Liang San,
sampai dia mengetahui urusan nona she Kang itu, hingga
disepandjang djalan terus dia melindungi si nona.
In Gak pun lantas ingat siapa Kiang Yauw Tjong
danTonghong Giok Koen ini. Ketika di Kim- hoa ia mendengar
Phang Pek Hiong menjebut-njebut halnja orang-orang muda
gagah dan nama mereka ini ada diantaranja, Kiang Yauw
Tjong itu bergelar Hek mo-lek atau Koen loen Mo-lek Hitam,
dan Tonghong Giok Koen, Thian-kong-kiam si Pedang Thiankong.
“Eh, soetee, mengapa anak muda itu senantiasa
mengawasi kita?” tanja Yauw Tjong pada Giok Koen- Mereka
baru sadja merasa In Gak sering mengawaslnja.
“Dia tentu heran melihat gerak-gerik kita kaum Rimba
Persilatan” kata si soetee, adik seperguruan, sambil tertawa.
“Sinar mata dia pun tidak bertjahaja sesat, tak usah kita
memikirkannja. Memangnja dapat kita melarang orang
memandang kita?”
“Benar” kata Kheng Hong sambil menepuk medja. “Kau
tidak adil, anak Kau boleh mengawasi lain orang, kenapa
orang lain tak boleh melihat kau?” Giok Koen djengah, djuga
Yauw Tjong.
Kheng Hong sendiri, habis berkata begitu, dia melirik
tadjam pada In Gak. agaknja dia sangat ketarik hatinja,
bahkan achirnja dia tertawa, dia menepuk medja dua kali
seraja berkata seorang diri: “Kenapa dia mirip dengan dia
sangat mirip? Heran?”

257
Sampai disitu, In Gak tidak berdiam lebih lama pula. Ia
menghampirkan orang tua itu, untuk memberi hormat seraja
menanja: “Bukankah lootjianpwee Ay-hong-sok Kheng Hong?”
Kalau tadlnja ia melirik, Kheng Hong sekarang mementang
matanja. “Anak. kau siapa?” tanjanja tadjam.” Mengapa kau
kenal aku?”
In Gak bersenjum.
“Sudikah lootjianpwee turut aku sebentar, untuk aku
bitjara?” ia minta. Kheng Hong mementang pula matanja.
“Kita bangsa laki-laki, kita mempunjai urusan jang tak takut
lain orang mengetahuinja” katanja. “Apakah itu jang tak dapat
kau bitjarakan disini? Mengapa kau ingin membilanginja
dengan diam-diam?”
Muka In Gak merah, ia djengah djuga. Memang ia tahu dari
ajahnja, orang tua ini liehay mulutnja, tetapi baik hatinja.
“Ada apa-apa jang sukar aku menjebutnja disini,” ia kata,
memaksa bersenjum. “Sukakah lootjianpwee mengikut aku
sebentar?” Kheng Hong mengawasi pula, tapi ia menjerah.
“Baiklah, anak. Lain kali tak dapat” katanja. Ia menoleh
kepada Yauw Tjong berdua dan menambahkan- “Anak-anak.
kamu tunggu sebentar. Djangan pergi, aku si orang tua akan
sebera kembali”
In Gak adjak orang tua itu kekamarnja. Disini tak takut ia
ada orang mendengar pembitjaraannja. Kamarnja itu mentjil
sendirian-Kheng Hong lantas duduk diatas pembaringan
orang.
“Botjah, kau membikin aku si tua berdjalan djauh sekali”
katanja, bersenjum. “Nah, sekarang bolehlah kau membuka
tjupu-tjupumu untuk mengasi keluar obatmu dari kulit
andjing”
Didalam hatinja, In Gak tertawa. Djenaka orang tua ini,
jang kata- katanja tadjam.

258
Tapi ia tidak mau turut bergujon- Maka ia memperlihatkan
roman sungguh-sungguh. “Kheng siepee, masih ingatkah
siepee kepada Twie-hoen-poan Tjia Boen?” ia tanja.
Belum berhenti suara anak muda ini, Kheng Hong sudah
mentjelat bangun seraja tangannja menjamber kedua tangan
orang dan matanja segera menatap. didalam situ air matanja
nampak mengembeng.
“Apa?” katanja, suaranja menggetar. “Kaulah Pantas sekali
melihat sadja, aku seperti mengenalimu Dasar Thian ada
matanja” orang tua ini menangis saking girang.
In Gak terharu, ia berduka. Ia lantas menekuk kedua
kakinja didepan sahabat ajahnja itu, ia memberi hormat
sambil mengangguk-angguk.
Kali ini Kheng Hong tidak menundjuk lagi sifat djenakanja.
Ia menarik anak muda itu, untuk dirangkul. Ia menangis
terisak.
“Ajahku telah menutup mata pada tiga tahun jang lalu,” In
Gak memberitahu. Air matanja orang tua itu berlinang-linang.
“Kasihan adik angkatku itu, setelah berpisah duapuluh-satu
tahun, dia telah berpulang kelain dunia,” katanja. “Hiantit,
tjobalah kau tuturkan segala apa kepada paman jang tidak
punja guna ini”
In Gak suka meluluskan, dengan menahan kesedihannja, ia
menuturkan nasib buruk dari ibunja, hingga ajahnja merantau
mentjari balas, sampai diwilajah Sam-siang, ajahnja itu kena
dikerejok hingga mesti menjingkir ke Kangsay selatan dimana
dia ditolongi seorang pendeta jang tidak disebutkan siapa
namanja, hingga tiga tahun kemudian, ajahnja menutup mata,
sedang ia sendiri lantas beladjar silat pada pendeta jang tidak
mempunjai nama itu Boe Beng.
“Baru berselang setengah tahun sedjak aku mulai
berkelana,” In Gak kata achirnja. “Untuk usahaku ini, aku
menggunai nama palsu.”

259
Setelah mendengar semua, di balik kedukaannja, Kheng
Hong mendjadi girang sekali, hingga habis menangis, dia
tertawa lebar.
“Bagus, hiantit, kau bersemangat” dia memudji. “Kau
pertjaja, pamanmu ini pasti akan membantumu. Didalam
Tjeng Hong Pay memang ada beberapa orang jang harus
ditjurigai sudah membantu mengepung ajahmu itu, tetapi
sekarang, selagi belum ada kepastiannja, kita tidak boleh,
mengeprak rumput hingga ular djadi kaget dan kabur. Pula ini
memang bukannja urusanjang dapat kita bitjarakan dalam
sedikit waktu sadja. sang waktu masih pandjang. Baiklah lain
kali kita berbitjara pula. Diluar, beberapa botjah itu lagi
menantikan kita, mari kita menemukan mereka”
Maka baliklah mereka keluar. segera sambil menundjuk si
anak muda, Ay-hong-sok kata sambil tertawa: “Inilah anaknja
sahabatku jang telah menutup mata Dia she Gan, Gak Kamu
anak-anak muda, hajolah kamu beladjar kenal dan mengikat
persahabatan satu dengan lain”
Benar-benar mereka itu lantas beladjar kenal.
Nona dengan badju abu-abu itujalah Kang Yauw Hong.
“Nona Kang,” tanja Kheng Hong kemudian, “Dimana
kawanan tikus itu mendjandjikan pertemuan denganmu?”
Yauw Hong mengeluarkan sehelai kertas, jang ia serahkan
pada si orang tua, maka mereka melihatnja bersama-sama.
Bunjlnja itu jalah:
“urat ini dikirim kepada Hian-ie Liong- lie Kang Yauw Hong
jang telah lari merat sebentar djam tiga aku mesti datang
melaporkan diri dimarkas tjabang. Djikalau kau melanggar
perintah, kematianlah bagianmu”
Tanda-tangan dari surat itu adalah tanda tangannja
Pekshouw Hiotjoe Tjie Tjoe Beng.

260
Djadlnja, Yauw Hong bergelar si Puteri Naga Badju Hitam,
Hian-ie Liong-lie, dan hiotjoe, ketua tjabang Tjeng Hong pay
itu, jalah si Harimau Putih, Pekshouw.
Dengan roman sangat berduka, Yauw Hong berkata: ”Tjie
Tjoe Beng jalah satu diantara empat hiotjoe terkedjam darl
Tjeng Hong Pay. Dia liehay sekali. Dengan datangnja dia,
mungkin akan turut delapan belas Loo-han Totjoe serta jang
lain-lainnja, jang berdjumlah tak kurang dari empat atau
limapuluh orang. Maka itu djumlah kita mendjadi terlalu ketjil
Ini benar djuga”
Kata Kheng Hong jang mengerutkan alis. “Mana dapat
sekarang aku si tua-bangka menabuh gembreng untuk
meminta bantuan?”
Ia berduka tetapi si Tonghong sok Kate ini bitjara setjara
lutju, ia membikin orang tertawa.
In Gak berpikir. Ia lantas ingat sin-liong-say-houw-leng,
lentjana hadiah dari Tjhong sie. Ia pertjaja ia akan dapat
membantu, maka ia tanja Kheng Hong: “Siepee, kau memikir
untuk melindungi nona Kang menjingkirkan diri atau kau
berniat pergi kebukit untuk menempur mereka itu?”
Sebelum mendjawab, Kheng Hong sudah tertawa.
“Hiantit, mana dapat kita tidak menempurnja?” sahutnja.
“Tjeng Hong pay telah mengatur orang-orangnja disekitar
hotel ini. Tjoba mereka tidak melihat aku si tua bangka disini,
mungkin mereka sudah menjerbu, tidak nanti mereka mau
berlaku begini sabar.”
In Gak tertawa.
“Untuk mentjari bala-bantuan, gampang” katanja tertawa.
“Nanti aku pergi sebentar”
Kheng Hong mengerutkan alis.
“Hiantit”, katanja, tak mengerti. “Kau baru sadja sampai
disini, kaulah seorang asing, dimana kau dapat bala-bantuan?”

261
“Djangan kuatir siepee,” kata In Gak. jang tidak mau
memberi pendjelasan- “Aku akan lekas pergi dan lekas pulang,
tjuma sebentar”
Benar-benar pemuda ini lantas bertindak pergi.
Malam itu malam gelap bulan, bintang-bintang pun dj
arang, tjuma ada lenteranja rumah penginapan jang
menerangi djalanan. Adalah disebelah sana, dipusat jang
ramai, nampak tjahaja penerangan. Pusat itu djauh djuga
terpisahnja dari hotel. setelah bersangsi sebentar,In Gak
menudju kesana. Belum ada sepuluh langkah, ia telah
dihalangi seorang jang bertubuh djangkung, jang muntjul dari
sebelah depan. ia mendjadi mendongkol. ia menganggap
orang terlalu galak sudah mengganggu padanja. “Apakah kau
memegat aku, tuan?” ia tanja. si djangkung- kurus itu tertawa.
“Andjing tjilik, bukankah kau kawannja si perempuan
pemburon dan si andjing tua?” dia balik menanja, djumawa.
“Kalau benar, bagaimana?” In Gak tegaskan. “Kalau bukan,
bagaimana?”
“Kalau benar, bagus Kau harus turut aku” Mendadak dia
meluntjurkan tangan kanannja, akan menjambar lengan si
anak muda.
In Gak tidak berkelit, ia membiarkan tangannja ditjekal,
hanja ia kaget waktu ia merasakan tangan jang keras. Tangan
orang itu njata ada memakai besi. Dengan lantas ia mengutik
dua djari tangannja, atas mana si djangkung- kurus
mengeluarkan seruan kaget, sebab seluruh tubuhnja mendjadi
kaku tiba-tiba. selandjutnja dia tidak dapat bersuara lagi.
In Gak tertawa dan berkata: “Aku lihat baiklah kau
menemani aku sebentar, tuan” Lalu ia balik menuntun tangan
orang, untuk diadja k pergi. Diluar kehendaknja, si djangkung
mengikuti.
Lutju In Gak. selagi orang diam sadja, ia mengotjeh
sendirian, ia tertawa-tertawa, sebagai djuga dua kawan jang

262
lagi berdjalan sambil mengobrol disebabkan merekalah kawankawan
lama jang baru bertemu pula
Memang didjalan itu, dibagian mana sadja, ada matamatanja
Tjeng Hong Pay, dan mereka itu saban-saban melirik
atau mengawasi dengan sinar mata heran atau bertjuriga
sebab si anak muda berdjalan bersama si djangkung- kurus,
kontjo mereka.
In Gak berdjalan terus sampai disebuah gang ketjil, disitu ia
melepaskan tangannja untuk terus menepuk pundak orang
seraja ia berkata: “Aku minta sukalah kau menanti aku disini,”
sebentar sadja Lalu terus ia berdjalan dengan tjepat.
Si djangkung- kurus terus berdiri diam bagaikan patung,
karena ia telah ditotok anak
muda itu. Ia tjuma bisa mengawasi dengan bengong.
Tiba ditempat ramai, In Gak bertemu seorang pengemis
usia pertengahan. Dia bermuka dekil dan rambutnja kusut.
Dengan mengulur sebelah tangannja, dia minta uang kepada
orang-orang jang berlalu- lintas. Ia mendekati pengemis itu, ia
meluntjurkan tangannja, untuk menjesapkan sesuatu dalam
telapakan tangannja. Itulah bukan uang hanja sin-liong-sayhouw-
leng. Melihat lentjana itu, jang terbuat dari perunggu,
kaget si pengemis, dia mengawasi tadjam.
In Gak tertawa. Ia menarik pulang tangannja, akan
menjimpan lentjananja itu dalam sakunja, sambil berbuat
begitu, ia kata:
“Aku mempunjai urusan saagat penting Tolong kau
memberitahukan ketuamu, agar lantas dikirim anggautaanggauta
jang liehay kemarkas tjabang Tjeng Hong Pay diatas
bukit. Aku bentrok dengan mereka, aku mohon bantuan.
Djamnja jalah kira2 djam tiga. Pesan, sebelum aku muntjul,
djangan turun tangan dulu”
Pengemis usia pertengahan itu lantas menekuk sebelah
lututnja.

263
“Boanpwee akan turut perintah” katanja dtngan hormat. Ia
menjebut dirinja boanpwee, orang jang lebih muda tingkatnja.
Tanpa membilang apa-apa, In Gak kembali kegang tadi,
untuk menarik si djangkung- kurus, guna kembali ketempat
semula mereka bertemu. Disini ia membebaskan orang dari
totokan, dengan dingin ia kata padanja: “Dengan
kepandaianmu ini kau berani main gila didepanku? Hm
sekarang lekas bubarkan semua pendjagaanmu disekitar hotel
Geng Pin ini, lekas kasi tahu TjieBeng Tjoe si bangsat tua
bahwa sebentar djam tiga, Nona Kang bakal pergi kesarang
kamu” Lantas ia memutar tubuhna, untuk masuk terus
kedalam rumah penginapan.
Didalam, Kheng Hong semua lagi menantikan, roman
mereka tidak tenang. Melihat si anak muda, semua berpaling.
“Bagaimana dengan bala- bantuanmu, hiantit?” tanja si
orang tua, jang tapinja dapat bersenjum. Dia bitjara sambil
mengerling mata. si anak muda bersenjum.
“Beres, siepee,” sahutnja. “Djam berapa kita berangkat?”
Tonghong sok Kate tertawa lebar.
“Sekarang belum djam dua, buat apa kesusu?” sahutnja.”
Aku si orang tua masih belum minum tjukup”
In Gak mengawasi Tonghong Giok Koen beramai, ia
tertawa. Ia mau membilang orang tua itu sangat kemaruk
dengan arak. Tonghong Giok Keen pun tertawa. “Saudara
Gan, siapakah itu bala bantuanmu?” ia tanja. In Gak membuat
main matanja, ia tertawa.
“Ilmu sedjati tak disampaikan kepada enam telinga, maka
itu, setelah tiba saatnja, baru akan ketahuan” sahutnja.
Nona Kang merasa kurang enak dihati. Untuk urusannja, ia
mesti membikin orang pusing dan mungkin menghadapi
bahaja. Maka dengan sinar mata bersjukur, ia mengawasi si
anak muda.

264
In Gak bisa melihat nona itu berduka dan berkuatir, ia
tertawa terhadapnja.
“Djangan takut, nona” ia menghibur.” Malam ini bentjana
akan berubah mendjadi keselamatan”
Nona itu, bersenjum tanpa kedukaannja lenjap. Dia masih
menggeleng kepala dan menghela napas. Dia tetap
mengawasi dengan roman bersjukurnja itu. In Gak merasakan
itu, maka ia lantas menoleh kepada Tonghong Giok Keen dan
Kiang Yauw Tjong. ia kata: “Nona Kang mendapat gempuran
bathin hebat sekali, lihat, bagaimana dia sangat berduka.”
Kedua anak muda itu tjuma bersenjum. Mereka tidak mau
menggoda sahabatnja ini.
Kheng Hong sendiri terus menenggak araknja., sampai
mendadak ia menepuk-nepuk tangan, sembari tertawa ia kata:
“Anak-anak, djangan keterlaluan ja Hati-hati, nanti
pembalasan datang”
Mendengar itu, Yauw Hong likat sendirinja. Ia tahu si orang
tua telah dapat menangkap arti sinar matanja itu. Ia lantas
tunduk. Tonghong Giok Koen berdua bersenjum.
“Baik, mari kita berangkat sekarang”, kata Kheng Hong
kemudian- Ia tertawa lebar. Ia meletaki sepotong perak diatas
medja, habis mana, ia bertindak lebih dulu. In Gak semua
mengikuti tanpa banjak omong.
Ketika itu sudah djam dua. Diluar sudah djarang orang
berlalu- lintas. Ketika In Gak memasang mata, ia melihat tak
djauh dari situ ada si djangkung- kurus bersama lima
kawannja. Ia mendjadi mendongkol. Ia lantas bertindak
tjepat, lantas dengan satu lompatan, ia tiba kepada mereka
itu, tepat didepan si djangkung- kurus. sembari tertawa dingin
ia kata: “Aku lihat kau tidak kenal kapok, tuan Apakah kataku
tadi?”
Si djangkung- kurus itu waspada sekarang.

265
“Tadi aku alpa” sahutnja, keras. “Djangan kau djumawa
Aku menerima titahnja Tjie Hiotjoe untuk mendjadi penundjuk
djalan”
In Gak mengasi dengar edjekan Hm.. Mendadak tangan
kirinja, menjamber lengan orang, lalu tangan kanannja
menggaplok. menjusul itu, tangan kirinja dilepaskan sambil
didorongkan dan kaki kanannja terangkat. Tidak ampun lagi, si
djangkung itu mendjerit:” Aduh!” dan tubuhnja terpental,
membentur kelima kawannja, hingga mereka itu terhujung
dan dua antaranja turut roboh terdjengkang.
In Gak terus memandang tadjam jang tiga. Ia tertawa
dingin dan membentak mereka: Lekas kamu lari sambil
menggojang ekor kamu atau kamu telah melihat tjontoh
Ketiga orang itu djeri, dengan masing-masing menolongi
tiga kawannja, mereka lari ngatjir
Kheng Hong semua melengak. Hebat sepak-terdjangnja In
Gak. Begitu sebat, begitu djitu tangan dan kakinja, begitu
tadjam mulutnja.
Tonghong Giok Koen dan Kiang Yauw Tjong biasa
mengagumi diri sendiri. Merekalah murid- muridnj a orang
liehay, merekapun sudah berkelana. Tapi sekarang mereka
heran. Nona Kang pun mengawasi tadjam, sinar matanja
menundjuki dia kagum luar biasa. Bukankah In Gak mirip
seorang peladjar jang lemah?
Mereka berdjalan terus kebukit, jang terpisahnja dari Tjiokee-
tjhung tjuma lima belas lie disebelah timur, sedang
penduduknja tjuma kira2 empat ratus keluarga. Tempat itu
dinamakan bukit karena disana-sini ada gundukan-gundukan
tanah jang tinggi
dan sepi. Djadinja, untuk bertarung disana, tempat itu
tepat.
Kheng Hong ingin mengudji ilmu ringan tubuh dari
keponakannja itu, segera ia lari keras. sebentar sadja ia telah

266
melalui tudjuh atau delapan lle. segera ia heran dan kagum. si
anak muda dengan mudah dapat mendampinginja. Tonghong
Giok Koen dan Kiang Yauw Tjong ketinggalan setombak lebih
dan nona Kang, jang terbelakang, sengal-sengal napasnja.
Untuk menunggui si nona, Kheng Hong memperlambat larinja.
Yauw Tjong dan Giok Koen mentjekal tangan In Gak. “Saudara
Gan, hebat ilmu ringan tubuhmu” mereka memudji. In Gak
merendahkan diri sambil bersenjum.
Mereka berlari-lari terus. Angin dingin menjampok muka
mereka.
Selagi mendekati bukit, dua bajangan muntjul dari
pinggiran, lantas terdengar suara mereka jang tegas sekali:
“Apakah ada tiangloo dari Kay Pang disana?”
In Gak menduga kepada pihak Kay Pang, Partai Pengemis,
ia lantas berlompat, untuk mendahului keempat kawannja.
Ketika ia sampai didepan dua orang itu, mereka menekuk
sebelah lutut mereka seraja berkata: “Tjoe-soe Pa Kim dari
Tjio-kee-tjhung bersama muridnja, Djie Liong, menjambut
tiangloo”
In Gak lekas memimpin bangun.
“Djangan pakai adat-peradatan, Kim Tjoe-soe” katanja.
“Malam ini kau mengadjak berapa banjak saudara?”
“Duapuluh-lima orang,” menjahut Pa Kim, kedua tangannja
dikasi turun, tanda menghormat. “Mohon tanja tiangloo,
mereka hendak diatur bagaimana?”
“Kamu bersembunji sadja disekitarku,” In Gak bilang.
“Ketjuali aku keteter, djangan kamu perlihatkan diri Pengaruh
Tjeng Hong Pay besar sekali, djangan kita menimbulkan
antjaman bahaja dibelakang hari.”
Pa Kim mengangguk seraja memberikan djandjinja. In Gak
memandang Djie Liong si pengemis usia pertengahan.
“Saudara Djie, pandai kau bekerdja,” katanja. “Aku
mewakilkan Tiangloo kita memberi pudjian padamu”
“Terima kasih” berkata Djie Liong.

267
“Sekarang lekaslah kamu mengatur” In Gak berkata.
Kedua pengemis itu menekuk pula kaki mereka, lantas
mereka menghilang ditempat dari mana tadi mereka muntjul.
Kheng Hong, jang telah menjusul, mementang matanja
saking heran-
“Hebat, hiantit” katanja, kagum. “Kapannja kau mendjadi
tiangloo dari Kay pang?”
In Gak tertawa.
“Aku ini jalah tiangloo tetiron” sahutnja. “Aku tjuma
batoknja sadja”
Kheng Hong menduga, mesti ada rahasianja, ia terpaksa
menutup mulut, melainkan alisnja berkerut. Karena In Gak
sudah berlari pula, ia lantas menjusul. Demikian djuga ketiga
muda-mudi.
Segera djuga mereka tiba dikota bukit itu. Dari djendela
pelbagai rumah nampak sinar api. Lalu diantara suara ramai
terlihat muntjulnja tudjuh atau delapan orang. Diantara
mereka itu, seorang tertawa njaring dan berkata: “Kheng
Lootjianpwee, maaf TjieTjoeBeng terlambat menjambut”
Tonghong sok Kate tertawa lebar dan menjahuti: “Tjie
Hiotjoe kesohor diempat pendjuru lautan, aku si orang she
Kheng telah lama mendengarnja Aku tidak sangka, bukan
orang jang mendekati hanja djalanan, maka djuga dibukit ini
kita bertemu satu dengan lain”
“Ooh, Kheng Lootjianpwee, bagus kata-katamu ini” kata
orang she Tjie itu.
Tadinja mereka itu berada ditempat gelap. atau lantas
mereka dapat melihat tegas satu pada lain. Pihak Tjeng Hong
Pay telah menjalakan delapan buah obor besar.
Kapan TjieTjoeBeng melihat Nona Kang Yauw Hong, dia
membentak:

268
“Kang Yauw Hong, partai kita memperlakukan baik
padamu, kenapa kau minggat? Kenapa disepandjang djalan
kau melukai saudara-saudara kita? Hari ini atas titah Paytjoe
hendak aku membekuk kau, Apakah katamu?”
Yauw Hong pun gusar sekali melihat hiotjoe itu, hingga
matanja bersinar dan giginja terkertak.
“Tua-bangka djahanam” ia berteriak. “Menjesal nonamu
tidak dapat membeset kulitmu untuk gegarasi dagingmu
Kenapa kau berulang kali membudjuki Paytjoe memaksa
mengambil aku mendjadi gundiknja? Bukankah ini
kedjahanamanmu?”
Dibeber keburukannja, TjoeBeng gusar. Tetapi dia dapat
tertawa dingin, suaranja seram. Lantas menuding si nona,
menjusul mana segera terlihat muntjulnja lima- atau enam
puluh orang,jang terus melakukan pengurungan. ia kata,
suaranja dalam: “Manusia mau mampus, lihatlah saudarasamdara
ini jang akan membekuk kau untuk dibawa pulang
kegunung Djangan kau menjeret-njeret tjelaka pada sahabatsahabatmu,
baik2 sadja kau turut kami, aku tanggung
keselamatanmu”
Yauw Hong dj eri djuga melihat begitu banjak orang Tjeng
Hong Pay, mukanja mendjadi putjat. Kheng Hong tapinja
tenang-tenang sadja, bahkan dia dapat bersenjum-senjum.
Yauw Tjong pula tertawa dingin. In Gak saling memandang
dengan Giok Koen, keduanja memperlihatkan sikap
memandang enteng. Kemudian Yauw Tjong madju kedepan
TjoeBeng.
“TjieTjoeBeng, djangan kau mengandalkan djumlah jang
banjak” katanja, tertawa dingin- “Dimata tuan mudamu ini,
mereka bangsa tak berguna, Buat apa kamu banjak tingkah?
Nona Kang nona merdeka, dia tidak mendjual dirinja kepada
Tjeng Hong Pay, kenapa kamu hendak menawannja?”

269
Tjoe Beng pun tertawa dingin.
“Kau siapa, tuan?” tanjanja. Bagaimana, kau berani banjak
lagak didepanku? sengadja Yauw Tjong bersikap djumawa.
“Tuan muda mu jalah Hek mo-lek Kiang Yauw Tjong” ia
perkenalkan diri “Kau dengar njata sekarang?”
TjoeBeng terkedjut djuga.
Kabarnja dalam dunia Kang-ouw muntjul dua djago muda,
adakah mereka ini? ia kata dalam hatinja. Ia lantas
mengawasi tadjam. Ia terus tertawa kering dan berkata:
“Kiranja kau, Aku ingin beladjar kenal dengan kepandaianmu”
Hiotjoe ini mau madju atau seorang dibelakangnja berlompat
kedepannja.
“Tongtjoe, serahkan dia padaku” katanja seraja
perkenalkan diri sebagai Song KekBoen.
Ia lantas mendeliki si anak muda dan kata mengeduk:
“Orang she Kiang, malam ini tanah munujul merah ini jalah
kuburanmu”
Yauw Tjong tertawa dingin, lantas ia madju menjerang,
kedua tangannja meluntjur kearah pundak.
Kek Boen kaget. Inilah ia tidak sangka. Tapi ia bisa mundur
sambil kedua tangannja dirapatkan, untuk mengatjip tangan
penjerangnja itu.
Yauw Tjong tertawa dingin pula, kedua tangannja ditarik
pulang. Disamping itu, kaki kanannja digeser, kaki kirinja menj
usul, untuk berada d isis i lawannja, untuk dengan tangan
kirinja menindju kepunggung.
Sebat gerakan itu, sampai In Gak bersenjum memudjinja.
Tidak ketjewa pemuda she Kiang itu mendjadi murid partai
berkenamaan, bahkan djuga lekas kesohor.
Jilid 3.4. Memukul rubuh murid Soat san sin mo

270
Kek Boen menjabat tangan lawannja, tetapi dia kalah
sebat, punggungnja kena terhadjar, ketjuali merasa sakit,
matanja pun berkunang-kunang. ia berlompat, untuk menjing
kir. Tapi Yauw Tjong menjusul dia, kempolannja kena didupak.
maka sekalian sadja dia djatuh meloso tudjuh atau delapan
tombak djauhnja.
Tjie TjoeBeng terkedjut. Terlalu tjepat achirnja
pertempuran itu Song Kek Boen jalah satu diantara
delapanbelas Lohan jang berada dibawahannja golongan Lo
Han Tong. Ia tahu KekBoen telah menjampaikan tingkat enam
atau tudjuh dalam ilmu dalam dan ilmu luar. Dengan terpaksa
ia menjuruh menggotong sebawahan itu.
Lantas muntjul orang jang kedua, jang lantas
memperkenalkan diri sebagai Tek-djiauw-sin Khong Yan si
Malaikat KukuBeratjun. ia pun mendamprat Yauw Tjong
sebagai binatang tjilik,
“Baik, Khong Totjoe” kata Tjoe Beng “Berhati- hatilah!”
Khong Yan mengangguk. lantas ia madju, kedua tangannja
dibalik, hingga terlihatlah sendjatanja, itu Ngo-tok Kee-djiauwliam,
arit mirip tjeker ajam jang telah dipakaikan ratjun.
“Andjing ketjil, apa kau tidak mau mengeluarkan
sendjatamu?” tegurnja djumawa. “Malam ini kau mesti
mentjobai ratjunku jang memutuskan arwah”
Yauw Tjong gusar, tetapi waktu ia hendak menghunus
pedangnja, Giok Koen sudah berlompat kedepannja.
“Soeheng, kasilah aku jang lajani bangsat ini,” katanja.
Yauw Tjong tertawa, ia mundur.
Giok Koen menghunus pedangnja, ia ulapkan itu kedepan si
orang djumawa. Itulah tantangannja setjara membungkam,
sebab tak sudi ia banjak omong. Khong Yan mendj erit saking
gusar, ia lantas menjerang.
Giok Koen menggeser kesamping, pedangnja membabat.
Atas itu orang Tjeng Hong Pay itu pun berkelit, sesudah mana
dengan gesit dia madju pula, untuk menjerang. Sekali ini, dia

271
menjerang saling-susul, untuk mendesak. sendjatanja itu
dipakaikan ratjun, siapa terkena itu, tjelakalah ia.
Giok Koen berlaku tenang tetapi gesit. Ia putar pedangnja,
untuk membela diri. Itulah ilmu pedang Thian-kong-kiam dari
NgoBiePay. sinar hidjau daripedangnja itu berkilauan, anginnja
bagaikan menderu- deru. Maka hebatlah pertempuran mereka.
Dipihak Tjeng Hong Pay, Khong Yan memang lebih liehay
daripada Song Kek Boen.
Achirnja Giok Koen mendjadi habis sabar. Tak sudi ia
melajani terlalu lama. Mendadak ia bersiul, lantas ia
menjerang, tiga kali beruntun. ia mengarah tiga djalan darah
sin-tjiang, kie-boen dan khie-hay.
Baru sekarang Khong Ya n terkedjut. sinar pedang
menjilaukan matanja, sambaran anginnja pun dingin. Tjepattjepat
ia menutup diri dengan sepasang aritnja itu.
Giok Koen madju terus, pedangnja lantas meluntjur. sia-sia
Khong Yan menutup diri, pedang toh menjambar djuga,
hingga dia mendjerit dan mandi darah, tubuhnja roboh. Tapi
selagi roboh, ia menerbangkan aritnja ditangan kanan. Untuk
membela diri, Giok Koen mau menangkis. “Djangan..!”
berteriak Yauw Hong.”Mundur!”
Giok Koen kaget, tak sempat ia menarik pulang pedangnja,
maka kedua sendjata beradu, lantas ratjunnja arit menjambar
kearah musuh ini.
Kheng Hong melihat antjaman bahaja untuk si anak muda,
dia berseru sambil berlompat madju, kedua tangannja dipakai
menjerang dengan pukulan Udara kosong. Maka itu, ratjun
jang bagaikan pasir, meluntjur kelain arah, kearahnja
TjieTjoeBeng.
Hiotjoe itu terkedjut, ia lompat mundur, sambil berlompat,
ia pun menjerang dengan pukulan Udara Kosong itu. Maka
pasir beratjun itu berhamburan ketempat kosong. Tjoba ada

272
jang lolos dan mengenai tubuhnja, pasti tubuhnja mendjadi
hitam dalam sekedjab. Ia kaget dan bingung, takutnja bukan
main.
Giok Koen gusar sekali, maka itu ia lompat kepada Khong
Yan, untuk menikam lehernja, hingga darah merah muntjrat.
TjoeBeng menginsafi bahaja, atas tandanja, orangorangnja
semua madju mengurung siap untuk menerdjang.
Dia sendiri tertawa menghina, katanja:”Kheng Tayhiap. tak
pantas perbuatanmu ini.Takpantas kau mentjampuri urusan
orangku jang buron sedang sekarang, kau melukai dua orang
kami, dua murid dari Lo Han Tong, Baiklah kau serahkan
budak itu, supaja permusuhan dapat dibikin habis Djikalau
tidak. Hari ini aku mau lihat apa kau bisa lolos dari bukit ini?”
Kheng Hong tidak takut, dia tertawa terbahak.
“Tjie Hiotjoe, urusan didalam dunia mesti diurus orang
dalam dunia djuga” katanja. “Disini tidak ada soal anggauta
buron atau bukan Aku malu untuk Tjeng Hong Pay, karena
untuk seorang anggauta wanita, kamu datang dalam djumlah
sangat besar, Baik kau ketahui, aku hendak mentjampur tahu
urusan ini, Aku dengar liehay sekali tanganmu jang berpasir
hitam Hek-see-tjiang maka itu djikalau kau tidak puas, kau
keluarkanlah”
Tjie TjoeBeng gusar hingga tanpa mengutjap sepatah kata,
dia menjerang Ay-hong-sok si Tonghong sok Kate
Kembali Kheng Hong tertawa, hanja sekarang sambil ia
mengibas dengan tangan badjunja jang gerombongan. ia telah
mengguna i ilmu silatnja, jang diberi nama Ngo-heng-tjiang
atau Tangan Lima Logam. Mereka lantas bentrok, setjara
hebat sekali, sama-sama mereka mundur dua tindak.
Kheng Hong kagum untuk ketangguhan musuh, maka itu,
ia lantas menjerang. Dengan tangan kiri ia mengibas kekanandengan
tangan kanan ia berbareng menjerang keiga musuh.

273
TjoeBeng tertawa, tangan kirinja menangkis. Ia menggunai
djurus Burung hong menghadap kelangit. Tapi Kheng Hong
bersiasat. Dengan tangan kirinja, jang tadi dipakai
menggertak. la menjerang pula.
Inilah, tidak disangka TjoeBeng, dia kena terhadjar hingga
tubuhnja mental, tapi dia tidak roboh, maka itu, musuhnja
mendesak terus semakin seru. Dalam gusarnja, dia pun
membikin perlawanannja sama serunja
Kheng Hong tidak menjajangi tenaganja, terus-menerus ia
menjerang hebat. Maka itu, selang delapanpuluh djurus,
TjoeBeng sudah bermandikan peluh, benar dia belum
terkalahkan tetapi dia merasa bahwa tenaganja tak akan
sanggup bertahan lebih lama pula. Njata dia terdesak.
Menampak demikian, kawanan Lohan berseru, lantas
mereka madju, untuk mengerojok. semendjak tadi, mereka
mengurung dengan waspada. Lantaran madjunja mereka,
maka kira2 limapuluh kawannja, jang mengurung dari sebelah
luar, djuga sudah mempertjiut kurungannja.
Kiang Yauw Tjong dan Tong hong Giok Koen mendjadi
gusar sekali, sambil berseru, mereka madju untuk
menghadang kawanan Lohan itu.
TjieTjoeBeng mendapat hati karena madjunja kawankawannja
itu, perlawanannja mendjadi gigih, dari itu, tak
dapat Kheng Hong segera merobohkannja.
Hati Nona Kang mendjadi tidak tenteram. Tak dapat ia
berdiam sadja menjaksikan lain orang mengadu djiwa
untuknja. Maka ia menghunus pedangnja, berniat berlompat
madju.
“Tahan” berkata In Gak. jang mentjegah sambil
menggeleng kepala tetapi bersenjum.
“Berbahaja untuk kau turut madju, nona, kau dapat
menggagalkan siasatku. Djangan kuatir, musuh tak akan
dapat mentjapai maksudnja”

274
Yauw Hong berdiam, tetapi ia tetap tak tenang hati. Ia
mengawasi si anak muda. Karena orang bersenjum, ia
bersenjum djuga.
In Gak tidak turut madju disebabkan madjunja Yauw Tjong
dan Giok Koen- ia mengerti, apabila ia turun tangan, Yauw
Hong tidak ada jang lindungi. ia lantas memikirkan daja
lainnja. Ia segera memasang mata kesekelilingnja. Dengan
tjepat ia telah mendapat djalan.
“Nona Kang,” ia berkata, “Aku hendak turun tangan, kau
baik-baik djaga dirimu, djaga djangan sampai kau kena
dibokong”
Habis berkata itu, anak muda ini mengasi dengar suara
bagaikan naga mengalun lantas tubuhnja bergerak. sedjenak
sadja ia sudah masuk dalam gelanggang pertempuran.
Yauw Hong heran dan kagum, Tjuma sekelebatan, atau
orang telah lenjap dari dampingnja.
Tjie Tjoe Beng lagi hendak menjerang Kheng Hong atau
mendadak ia merasakan lengannja jang kanan mendjadi kaku,
didepan matanja berkelebat satu bajangan, bajangan dari
seorang anak muda tampan jang muntjul tiba-tiba didepannja.
Njata lengannja itu didjepit tiga djeridji si anak muda, dadanja
terus terasa sesak. mengalirnja darahnja bagaikan mandek.
Semua berhenti si anak muda jalah In Gak berseru angker.
Kheng Hong heran dan kagum. Ia telah merasakan Tjoe
Beng bakal sebera habis tenaganja, siapa tahu muntjullah si
anak muda dengan gerakanjang luar biasa itu.
Didalam hatinja ia kata: “Anak ini benar-benar manusia,
Tjia Hiantee mendapatkan anak seperti dia ini, ia boleh mati
meram”
Yauw Tjong dan Giok Koen baru sadja merobohkan empat
orang tatkala mereka melihat madjunja si anak muda, bukan
main mereka girang dan kagum. Dengan berbareng mereka
lompat mundur kesisi Yauw Hong.

275
Pertempuran berhenti dengan lantas. semua pendjahat
tertjengang.
“Tjie Tjoe Beng, kau sekarang hendak membilang apa?”
tanja In Gak pada pemimpin Tjeng Hong Pay itu. Ia tertawa
dingin.
Mukanja TjoeBeng mendjadi muram danputjat. Ia kaget
mendapatkan pemuda tidak dikenal ini demikian liehay. Ia
mengerti, rusaklah lengannja andaikata ia berontak. Tapi ia
berkepala besar.
“Aku alpa maka aku kena tertipu kau” katanja, berani. “Apa
aku mesti bilang? Tak takut aku mati, hanja sajang dirimu,
kau tidak bakal lolos dari tangan kami”
In Gak tertawa pula.
“Hm Kau djadinja mengandalkan djumlah jang banjak?”
katanja. “Baiklah..!”
Ia lantas berpaling kesamping, untuk berkata
njaring:”Ssaudara Djie Liong, dengar silahkan kamu
perlihatkan diri kamu, supaja mereka ini bisa lihat”
Suara itu disambut seruan diempat pendjuru mereka, lantas
terlihat bergeraknja duapuluh lebih bajangan orang, jang
lantas mengambil sikap mengurung rombongan Tjeng Hong
Pay itu. Melihat demikian, Tjoe Beng kaget.
“Tjie Tjoe Beng” kata In Gak tertawa mengedjek. “Ini dia,
si tjengtjorang mau menangkap tonggeret, dibelakangnja ada
si burung geredja Maka pertjuma sadja segala siasatmu”
Kata-kata ini disusuli dengan tenaga mendjepit jang
diperkeras, atas mana pemimpin Tjeng Hong Pay itu lantas
mengasi dengar d jeritan kesakitan jang hebat. Tiba-tiba sadja
ia merasa digigiti ratusan ular berbisa, jang pagutannja terasa
keulu- hatinja, membikin ia merasa gatal dan sakit luar biasa.
Diluar kehendaknja, ia mengutjurkan air mata.
“Andjing tua, dengar” In Gak membentak.”Asal kau
menerima baik dua buah sjarat, kau akan memperoleh

276
keampunan, Djikalau tidak. kau rasakanlah siksaan tudjuh hari
jang akan meminta djiwamu”
“Aku si orang she Tjie akan menerimanja, kau sebutkan
sadja tuan,” kata Tjoe Beng lemah. Ia putus asa.
“Jang pertama,” kata In Gak keren, “Mulai hari ini dan
seterusnja, tak dapat kau menjusahi lagi Nona Kang Yauw
Hong, Apa djuga jang terdjadi atas diri Nona Kang, kau jang
bertanggung-djawab, Jang kedua jalah, mulai besok, kau
mesti bubarkan markasmu disini, sepak-terdjangmu
selandjutnja tjuma berbatas dalam propinsi Shoasay sadja
Bagaimana?” setelah berkata, In Gak mengawasi sambil
tertawa, menantikan djawaban.
Tjoe Beng mati kutunja, ia mengangguk tanpa bersuara.
In Gak tertawa, ia melepaskan djepitannja, untuk dengan
tjepat menotok djalan darah tjiang-boen dari orang itu.
sembari tertawa, ia berkata: “Aku tahu kau sangat litjin, Aku
terpaksa berbuat begini. Kau telah tertotok bujar tenagamu,
maka itu selama setengah tahun, tidak dapat kau
menggunainja pula, atau kau terluka ulu- hatimu Aku telah
mengasi nasihatku ini, kau mesti turut, supaja djangan kau
menjesal sesudah kasip. Supaja djangan kau nanti sesalkan
aku Totokanku ini tidak dapat dibebaskan oleh lain orang”
la mengasi lihat roman bengis, ia kata pula: “Aku tahu kau
tidak puas, maka hendak aku mengasi kau lihat, Kau kas i
tahulah orang-orangmu untuk mereka berhati-hati”
Tjie Tjoe Beng takut bukan main, ia menarik napas
berduka. setelah ditotok itu, ia merasakan tenaganja bujar,
tangan dan kakinja semakin beku. Ia berdiam meskipun ia
sangat mendongkol. Dengan sinar mata guram, ia
memandang sekalian Lohan-nja.
Dengan sekonjong-konjong terdengar tertawa pandjang
dari In Gak, tubuhnja berkelebat, atau sekedjab, ia sudah

277
kembali ketempatnja dimana ia berdiri sambil menggendong
tangan dan wadjah berseri-seri.
“Apakah artinja ini?” pikir Tjoe Beng, heran. Ia lantas
memandang keenambelas Lohan, lantas ia mendjadi melongo.
Mereka itu terlihat berdiri diam dalam pelbagai sikap jang
berlainan. semua mata mereka mendelik, alis mereka
terbangun, tangan mereka lagi mengantjam dengan
sendjatanja masing2. Mereka benar2 mirip patung2 Lohan
dirumah-rumah sutji
Djuga Kheng Hong berempat mendjadi tertjengang. Hebat
anak muda ini.
“Tjie Tjoe Beng” kata pula in Gak, tertawa dingin, “Masih
ada satu hal jang kau mesti ingat dan djangan melupakannja.
Kalau nanti kau bertemu ketuamu, kau bilangi dia bahwa
dalam waktu dua tahun, aku bakal datang berkundjung
kegunungnja”
Kemudian, menoleh pada kawan- kawannja, pemuda ini
kata: “Djie Liong, mari kita pergi”
Lantas dia bertindak, meninggalkan semua musuh itu.
Rombongannja Djie Liong lenjap. sedang Kheng Hong
berempat mengikuti si anak muda, menghilang djuga didalam
g elap- gulita.
****
IX
Itulah bulan keempat saat daripohon atau bunga yanglioe
paling memantjing rupa-rupa perasaan manusia. Itu waktu,
dalam sebuah rumah penginapan diselatan Tjio-kee-tjhung,
dengan kedua tangan memegangi tiang pembaringan, In Gak
tengah memandang keluar djendela dimana ada sebuah
pohon yanglioe lagi tertiup angin hingga bergojang-gojang
lembut dan lemb a ran2 bunganja terbang kedalam kamar,
memenuhi lantai. Pula diwaktu pagi, langit terang dari sang
mega, warnanja biru. Anak muda itu memandangi langit, ia

278
lagi berpikir, ia lagi ngelamun- maka djuga terdengarlah suara
senandungnja.
Malam tadi, In Gak pulang kehotelnja sesudah djam empat
hampir lewat. Tak dapat ia memedjamkan mata. Disepandjang
djalan tadi, semua orang bungkam, ketjuali Yauw Hong jang
menghaturkan terima kasihnja. Kheng Hong bertiga bungkam
karena mereka berpikir keras, semua heran memikirkan ia,
sedang setibanja dihotel, setelah saling memberi selamat
malam, mereka memasuki kamar masing2.
Kiang Yauw Tjong dan Tonghong Giok Koen heran atas
kesebatan si anak muda. Dia tjuma berkelebat, lantas musuh
mendjadi bagaikan sekumpulan patung. Mereka melainkan
melihat bajangan melesat, tidak lebih. Toh mereka merasa
ilmu silat mereka sudah mahir.
Demikian djuga anggapan Ay-hong-sok jang liehay. Pada
duapuluh tahun dulu ia menemui kitab Ngo-heng Khie-kang
Tjin-koat. Itulah kitab pemahaman tenaga dalam. Mulanja ia
mau mejakinkan itu bersama Tjia Boen, adik-angkatnja.
Maksudnja ini tidak kesampaian, lantaran Tjia Boen tak keruan
parannj a. Maka ia mejakinkan sendiri, digunung siong san
dimana ia hidup menjendiri. Ia berhasil mentjiptakan pukulan
Ngo-heng-tjiang. Enam tahun kemudian ia turun gunung.
Njata ia berpisah untuk selamanja dari adik-angkatnja itu.
Lima belas tahun la manja ia berkelana. Ia niat membalas
dendam untuk adik-angkat itu tapi ia menghadapi kesulitan.
Musuh si adik-angkat banjak dan tak dikenal dan sukar
menjelidiki hal mereka itu. sampai sekarang ia bertemu
puteranja TjiaBoen dan lantas ia menjaksikan kepandaian
orang, jang liehay tak terpikirkan olehnja. Ia sangat kagum.
Belum pernah ia lihat lain orang, jang mempunjai kepandaian
serupa itu Tak tahulah ia, In Gak dari partai persilatan mana,
meskipun ia luas pengetahuannja. Pula aneh, belum berusia
duapuluh tahun, pemuda itu sudah djadi tiangloo, suatu
ketua, dari Kay Pang. Partai Pengemis itu, jang besar dan

279
berpengaruh, mempunjai aturan jang keras. Kenapa seorang
sangat muda mendjadi tiangloonja?
Untuk Kang Yauw Hong, disamping kekagumannja
terhadap In Gak. la memikirkan dirinja. Ia muda dan
sebatang- kara, tak mempunjai sanak atau kadang. setelah
bebas ini, kemana ia mesti tempatkan dirinja? Maka itu, ia
bersedih, tanpa merasa ia mengalirkan air mata.
In Gak masih lama djuga berdiam dalam kamarnja itu.
Telah ia pikir untuk lekas berangkat ke Utara tetapi
pertemuannja dengan Kheng Hong membuatnja terpaksa
menunda. Ia harap saudara-angkat ajahnja itu dapat
memberikan ia banjak keterangan mengenai ajahnja. Maka ia
mengambil ketetapan, setelah menanjakan Ay-hong-sok. baru
ia mau berangkat. ia menjesal, karena membelai Kang Yauw
Hong, ia terpaksa mempertundjuki kepandaiannja, kepandaian
jang ia ambil dari Hian-wan sip-pat-kay. Benar ia berhasil dan
si nona bebas, tapi ia seperti telah membuka rahasianja,
Achirnja ia berbangkit, untuk pergi keluar.
Baru ia mau bertindak, atau telinganja mendengar tindakan
kaki. Lekas sekali, seorang tertampak berdiri dihadapannja.
Ketika ia telah melihat orang itu, girangnja bukan buatan-
Dialah Kioe-tjie sin-kay Tjhong sie. Ia lompat untuk mentjekal
tangannja sang sahabat. Ia tertawa.
“Toako, kapannja kau tiba di Tjio-kee-tjhung ini?” ia tanja.
“Kenapa kau ketahui siauwtee tinggal disini? silakan duduk”
Dengan sinar mata tadjam, Tjhong sie mengawasi adikangkatnja
itu. Ia tertawa.
“Tak usahlah,” katanja.” Tentang perdjalanan kau ini,
hiantee, aku telah mengetahui semuanja. Lebih dulu aku
hendak memberi selamat pada mu” Mukanja In Gak mendjadi
merah, dia likat.
Tjhong si tertawa pula, terus ia melandjutkan- “Sekarang
ini Oey Kie Pay sudah keluar dari wilajah Kangsouw Utara,

280
tetapi Oe-boen Loei sangat bersakit hati, dia telah mengutus
beberapa orang liehay mentjari tahu hal kau dan gurumu,
hiantee. Dia hanja belum tahu bahwa kaulah si pemuda luar
biasa itu, Hiantee tahu, peristiwa tadi malam sudah lantas
tersiar luas. sekarang ini orang-orang Tjeng Hong Pa y sudah
ditarik mundur. sajang kau telah kesalahan menjebut terangterang
Djie Liong, hingga mereka mendapat tahu Kay Pang
membantui kau. Tjeng Hong Pay telah mengandjurkan An
Tjeng Pay menegur Kay Pang, jang dikatakan sudah
mengatjau ketenteraman disini, serta dia menanjakan halichwal
kau, hiantee. Partai An Tjeng ini besar pengaruhnja
dipelbagai propinsi Utara ini, diam-diam dia telah mendjadi
tulang punggung beberapa pangeran Boan golongan Pat- kie,
Delapan Bendera. Karena itu, tidak menguntungi untuk Kay
Pang bentrok dengannja. Aku telah mengirim Djie Liong untuk
memberikan djawaban bahwa pihak kita tidak kenal orang
jang membawa lentjana Partai kita itu, sebab kita tjuma
mengenal lentjana, tidak mengenal orang, tetapi kalau An
Tjeng Pay mau tahu djuga, dia dipersilakan mentjarinja sendiri
dikuil Thian Tjee Bio dikota Utara. Maka sekarang aku pikir,
baik hiantee seorang diri pergi kesana. An Tjeng Pay
mempunjai orang-orang liehay tetapi akupertjaja hiantee
dapat melajani mereka. Hanja mungkin disanapun ada
beberapa guru silat ternama dari Yan- in, jang akan memaksa
minta kau memberi pertundjukan. Hiantee tjerdas, tentu
hiantee ketahui sendiri bagaimana harus bertindak. Tapi,
hiantee, djangan kau salah paham terhadapku. Aku bukan
menegur atau menjesali kau. Telah aku berikan lentjana sinliong-
say-houw-leng kepadamu, kau dapat menggunainja
sesukamu, seperti jang kau rasa baik. Kali ini, aku minta kau
suka bertindak bidjaksana. Didalam An Tjeng Pay ada seorang
bernama Yang Hie Kiat. Dari dia itu, pernah tahun dulu aku
menerima budi, maka untuk membalasnja, sebaiknja
djanganlah hiantee bentrok dengan dia”

281
Belum lagi In Gak sempat berkata-kata, Tjhong sie sudah
menambahkan: “Hiantee, untuk perdjalananmu ini menuntut
balas, paling baik djangan kau berdjalan bersama-sama Ayhong-
sok Kheng Hong Kaum Rimba Persilatan ketahui dia
telah mengangkat saudara dengan ajahmu, maka pergaulan
kau dengannja dapat menjukarkan usahamu menrjari musuhmusuhmu.
sekian sadja, hiantee, sampai kita bertemu pula di
Lou Kauw Kio”
Habis berkata, Tjhong sie berlompat mundur, maka
sedjenak kemudian, dia sudah menghilang diatas genteng.
In Gak terbengong. “Hebat orang kaum Rimba Persilatan-
Urusan ketjil sadja dapat
Berekor pandj a ng. Bukankah ia tjuma menolongi orang?
Kenapa sekarang orang hendak menjaterukanja? An Tjeng Pay
terlalu” pikirnja. Ia mendjadi mendongkol. Maka ia memikir
untuk memberi rasa.
Tengah anak muda ini berpikir itu, ia mendengar pula
tindakan banjak kaki. Lantas nampak muntjulnja Kheng Hong
beramai. Mereka itu pada bersenjum. “Saudara Gan, kau
bangun pagi-pagi” kata Giok Koen tertawa.
“Sampai sekarang ini belum aku dapat tidur,” sahut In Gak.
Karena sang fadjar lantas tiba, aku terus tidak tidur lagi.”
Kheng Hong bertindak masuk. lantas ia duduk ditepi
pembaringan- Ia melirik djenaka ketika ia berkata: “Hiantit,
aku si orang tua djuga tidak dapat tidur. Aku terus memikirkan
ilmu kepandaianmu tadi malam. Dapatkah kau
memberitahukan aku, kau sebenarnja asal partai mana?”
Inilah In Gak tidak sangka. Untuk sedjenak, ia melengak,
“Hal itu, aku sendiri pun tidak mengetahui djelas,” ia
menjahut. “Ilmu kepandaian itu bukannja hal jang luar biasa,
itu tjuma berpokok pada kesebatan kaki-tangan dan ketjelian
mata, jalah menjerang selagi orang tidak bersiaga. Tjoba
pihak sana sudah siap-sedia, pasti hasilnja tak ada seperti itu”
Kheng Hong menggeleng kepala. Ia bersangsi.

282
“Tidak disangka, hiantit, kau pandai menjembunjikan diri,”
katanja, “Karena kau tidak sudi bitjara, aku si tua tidak berani
memaksa. Masih ada satu. Kau begini muda, bagaimana kau
dapat mendjadi tiangloo dari Kay Pang?”
In Gak tertawa.
“Djikalau aku bitjara siepee, kau tentunja tidakpertjaja”
sahutnja. “Pernah aku menolongi seorang pengemis tua. Dia
mau membalas budi, dia memberikan aku sebuah lentjana
seraja membilang, apabila aku dalam bahaja, aku dapat gunai
itu untuk minta bantuan kaum pengemis. Kalau pihak Kay
Pang melihat lentjana itu, mereka menganggapnja aku
sebagai seorang tiangloo partainja, sebagai wakil. Demikian
apa jang terdjadi tadi malam.”
Kheng Hong masih menggeleng kepala, tetap ia bersangsi.
“Alasan belaka” katanja.
Yauw Hong memberi hormat pada si anak muda, untuk
menghaturkan terima kasih. “Djangan!” kata In Gak lekas,
tangannja dikibaskan perlahan.
Nona Kang merasai dorongan tenaga, jang mentjegah ia
mendjura. Ia djadi mengawasi dengan sorot mata heran.
“Nona Kang, djangan gunai banjak adat-peradatan,” kata
In Gak. “Adalah keharusan kita untuk saling tolong.” Kemudian
ia memandang Yauw Tjong dan Giok Koen, untuk
meneruskan: “Saudara Kiang, saudara Tong hong Bukankah
benar untuk menolong orang hingga diachirnja?” Kedua anak
muda itu heran, mereka mengawasi.
In Gak berkata pula: “Nona Kang sudah lolos dari antjaman
Tjeng Hong Pay, tetapi tetap ia sebatang kara, ia tidak
bersanak-kadang, maka itu, aku pikir, baiklah kamu berdua
suka terus menolongi ia. Dapatkah kiranja ia dipudjikan
kepada partai kamu, supaja ia dapat berlindung dan beladjar
silat lebih djauh?”
Mendengar begitu, kedua pemuda itu tertawa.

283
“Saudara Gan, biar umpama kata kau tidak mengatakan
demikian, kami berdua sudah memikirnja,” mendjawab Yauw
Tjong. “Djikalau Nona Kang dipudjikan kepada Ban in soethay
kami, tentulah soethay sudi menerimanja. Kebetulan, soethay
pun belum mempunjai murid jang mendjadi achliwarisnja.”
Yauw Hong girang mendengar pembitjaraan itu, sampai ia
mengeluarkan air mata. Ia bersenjum, ia lantas menghaturkan
terima kasihnja.
“Ah, tjelaka betul” mendadak Ay-hong-sok berseru. “Eh,
anak-anak, kamu enak bitjara, kamu membuatnja aku si tua
kesepian”
Anak-anak muda itu terkedjut, tapi achirnja mereka
tertawa. Hebat si tua jang djenaka ini.
Baru orang berhenti tertawa, atau mereka mendengar
suara jang seperti memetjah angkasa, hingga mereka
terkedjut, lantas didepan mereka, diluar djendela, tampak tiga
orang, jang dua tua, mukanja gelap. tubuhnja kurus, badjunja
hitam.Jang satu djidat kirinja ada empat buah tai-lalatnja
warna werah.Jang ketiga jalah seorang muda tampan dengan
badju putih, sepasang alisnja pandjang, tjuma kulit mukanja
jang putih, putih kebiru-biruan, sedang matanja jang tadjam
memain tak hentinja, suatu tanda kelitjikannja. Dia terus
memandang si nona, mulutnja bersenjum. Melihat orang
muda Yauw Hong menggigil sendirinja, mukanja mendjadi
putjat.
Ay-hong-sok sebaliknja tertawa lebar, terus dia berkata:
“Aku kira siapa, tak tahunja
Thian-boen Hek-hiat siang-koay” sembari berkata itu,
dengan tangannja menolak kedepan, ia berlompat keluar dari
djendela. In Gak berempat menjusul lantas.
Pekarangan diluar djendela itu empat tombak persegi,
dengan kedua pihak berdiri masing-masing, nampaknja
mendjadi sempit.

284
Dua orang jang disebut Thian-boen Hek-hiat siang-koay itu
sepasang siluman dari Guha Hitam dari Thian-boen lompat
mundur dua tindak ketika Kheng Hong berlompat keluar itu. Di
tempatnja berdiri, mereka bersenjum.
“Orang tua she Kheng, djanganlah berpandangan tjupat
kata mereka. Belum apa-apanja, lantas kau menjerang kami
Kami bukan mentjari kau, mengerti Hutang kita jang lama,
nanti datang ketika nj a untuk dilunaskan Habis, mau apa
kamu datang kemari?” Ay-hong-sok tanja.
Si orang tua muka hitam jang bertai-lalat merah itu
tertawa.
“Orang tua she Kheng, inilah hotel” katanja. “Kau dapat
datang kemari, kami djuga Mari kita omong terus-terang Kami
datang kemari karena adjakan tuan ini Dia lantas menundjuk
si anak muda dan menambahkan: Mari aku mengadjar kenal
Inilah Pek san-sioe Lie Djie Yan, murid terpandai dari Hoan-oe
sam-tjiat soat-san Djin-mo, jang datang kemari istimewa
untuk Nona Kang Yauw Hong”
Terkesiap djuga Kheng Hong bertiga Yauw Tjong dan Giok
Koen mendengar orang muda itu muridnja soat-san Djin-mo si
Manusia Hantu dari soat san, Gunung saldju. Mereka pun
pernah dengar nama Lie Djie Yan si Peladjar Berbadju Putih
atau Pek san-sioe. Sedang soat-san Djin-mo itu kesohor gagah
semendjak tudjuh- atau delapanpuluh tahun dulu dan tingkahlakunja
berpokok pada saatnja dia lagi senang atau lagi gusar,
hingga dia tidak menghiraukan benar atau salah, siapa apes
dan bertemu padanja, malanglah nasibnja, mungkin terbinasa
djiwanja. siapa pun biasa menjing kir djauh-djauh dari ianja.
sjukur dia sangat djarang muntjul, djikalau tidak. dunia Rimba
Persilatan mestinja tidak aman.
Mengetahui siapa si anak muda, Ay-hong-sok menundjuki
sikap menghormat, tetapi Lie Djie Yan tidak menghiraukannya,
dia bahkan mengasi dengar suara dihidung, dengan mata

285
tadjam dan galak. dia tetap menatap Yauw Hong, untuk
achirnja tertawa dan berkata: “Adik Yauw, sekarang kau
sudah keluar dari Tjeng Hong Pay, maka itu dapatlah kau
mengikut kakakmu pulang ke soatsan- Kakakmu akan
memberi djaminan kepadamu, untuk selandjutnja pihak Tjeng
Hong Pay tidak akan mengganggu pula padamu”
Nona Kang berdiam. Ia sudah menduga orang bakal
mengutjapkan demikian. Melihat si nona membungkam, Lie
Djie Yan madju, tangannja diulur.
Yauw Hong menjingkir kebelakang In Gak, matanja
menatap bentji.
Ay-hong-sok gusar menghadapi sikap djumawa dan galak
serta tjeriwis dari orang she Lie itu, ia mendorong kearah dia
sambil membentak: “Botjah jang baik, bagaimana kau berani
berlaku kurang adjar dihadapanku si orang tua?”
Lie Djie Yan mengasi dengar suara dihidung, tangannja
jang dipakai menjambar Yauw Hong diputar balik, buat dipakai
menjambut dorongan orang tua. Kedua tangan itu lantas
bentrok keras, lantas terlihat si orang tua mundur setindak
dan si anak muda miring pundaknja. Itulah bukti liehaynja
tenaga dalam mereka masing-masing.
Ay-hong-sok terkedjut. Pemuda itu tangguh sekali. Ia
lantas melihat Hek hiat Siang-koay mengawasi ia sambil
tertawa dingin, suatu tanda mereka memandang hina
kepadanja. Ia mendjadi gusar.
“Baiklah, mari tjoba menjambut lagi satu kali” ia berseru
serada ia menjerang.
Lie Djie Yan tertawa dingin, ia menjambuti. Bahkan terus
sampai lima kali. Pertama kali bentrok. pundak mereka
masing-masing terangkat,
begitu jang kedua, ketiga dan keempat kali. Kelima kalinja,
Ay-hong-sok mundur empat tindak. Diluar dugaan, ia disusuli,
diserang terlebih dulu.

286
Dengan air muka bengis, Lie Djie Yan kata: “Kheng Hong,
kalau bukan tuan mudamu memandang Nona Kang, hari ini
pastilah aku hadjar mampus padamu”
“Belum tentu, sahabat “Kheng Hong tertawa lebar.
“Orang tua she Kheng” berkata Hek-hiat siang-koay jang
bertai-lalat merah, jang suaranja bernada mengedjek.
“Djikalau kau menghendaki keputusan, disana ada tempat
jang lega dimana kaki dan tangan dapat digeraki dengan
merdeka, supaja kalau kau mampus, djangan kau penasaran”
“Hm Aku si orang she Kheng aku belum waktunja mati”
kata Ay-hong-sok balik mentjemooh. “Radja Acherat
membilangi, menangkap aku itu berabeh Maka djuga lebih
baik kamulah jang pergi lebih dulu” Ia mengawasi Djie Yan,
untuk menantang: “Kau berani pergi atau tidak?”
Orang she Lle itu tertawa terbahak.
“Karena kau ingin mampus lekas-lekas, mengapa tuan
ketjilmu tidak suka pergi?” djawabnja. suaranja itu menj
eramkan, membikin orang bergidik sendirinja.
Dengan mata tadjam dan membentji, Kheng Hong
mengawasi Djie Ya n, habis mana ia berlompat melewati
tembok pekarangan. sangat gesit gerakannja itu. Ia lantas
disusul Hek-hiat siang-koay.
Lie Djie Yan berdiri tegak ditempatnja, ia mengawasi Nona
Kang sambil tersenjum. Ia benar-benar tampan dan manis.
Tjuma sinar matanja itu memain tak hentinja.
Yauw Tjong dan Giok Koen kuatir Yauw Hong nanti
diterdjang, mereka mendjagai dengan pedang mereka
terhunus.
Djie Yan mendelik terhadap anak muda itu, kembali ia
mengawasi si nona. “Adik Yauw, katanja, untukmu, aku telah
memikir banjak sekali, tak peduli bagaimana sikapmu
terhadapku, hatiku tetap ada padamu, maka djuga
selandjutnja, kemana kau pergi, kesana aku akan menjusul

287
bahkan sampai diudjung langit, baru sekarang,” habis berkata
itu, ia berlompat melewati tembok.
In Gak terus berdiam sadja. Menjaksikan kegesitan Lie Djie
Yan, ia kagum. Dilain pihak, mesti ada sebabnja kenapa Yauw
Hong agak djeri pada pemuda itu. Maka ia anggap mesti ia
turun tangan pula. Achirnja ia bersenjum. “Mari kita
menonton” katanja, mengadjak ketiga kawannja.
Berempat mereka lompat keluar. Mereka mendapatkan
sebuah tegalan luas didekat mana ada kira2 tigapuluh rumah.
Dikiri dankananada peng empang beserta rombongan bebek
dan angsanja.
Kheng Hong dan Lie Djie Yan sudah bersiap-sedia. Mereka
djalan berputaran dengan saling mengawasi tadjam, mulut
mereka bungkam. setelah empat idaran, mendadak Ay-hongsok
berseru, kedua tangannja menjerang.
Lie Djie Yan tidak menjambuti serangan itu, dia berkelit, dia
berputar terus. Baru setelah diserang pula, ia menangkis dan
melajani berkelahi. Merekalah tandingan jang setimpal. sampai
tigapuluh djurus, mereka tetap seimbang.
Sesudah menonton sekian lama itu, In Gak kata dalam
hatinja: Kheng siepee kesohor, tak dapat dirusak karena
botjah ini. ia terus kata pada Giok Koen dan Yauw Tjong:
“Saudara, tolong lindungi nona Kang. Waspadalah kepada
Hek-hiat siang-koay, agar
mereka dj angan main gila” setelah itu ia bertindak
kedalam gelanggang seraja berkata: “Kheng siepee, buat
melajani manusia djumawa ini tjukuplah aku seorang mari kasi
siauwtit jang turun tangan”
Mendengar itu, Kheng Hong lantas lompat keluar
gelanggang. Lompatannja itu jalah jang dinamakan Mengedjar
gelombang seribu lapis. Ia pertjaja si anak muda sanggup
melawan Djie Yan. Tapi ia memesan: “Hiantit, hati-hati!”

288
Melihat madjunja In Gak. hati Djie Yanpanas. Tanpa
merasa ia mendjadi djelus dan tjemburu. sebab pemuda ini,
jang tampan, selalu mendampingi Yauw Hong, hingga ia
menduga, si nona tak meladeni ia karena adanja saingan ini.
“Siapa kau?” dia tanja bengis. “Mungkinkah kau orang jang
semalam menunduki pihak Tjeng Hong Pay?”
“Tidak salah, itulah aku jang rendah” sahut In Gak tertawa.
“Tentang siapa aku, kau tak berderadjat untuk menanjanja”
“Kau terlalu djumawa” kata Djie Yan dingin. “Lebih-lebih
kau berlagak didepanku”
orang she Lie ini tahu musuh liehay, tetapi ia tetap pertjaja
kepada diri sendiri Ia masih menjangsikan apa orang tidak
menjiarkan berita setjara berlebihan tentang musuh ini, maka
ingin ia mentjobanja. sikap pendiam dari In Gak pun mau
membuatnja pertjaja orang terlalu memudji. In Gak tertawa
dingin. “Kau djuga terlalu djumawa” katanja.
“Sudah sahabat djangan mengadu mulut” Lie Djie Yan
membentak.
“Kau sambut dulu tanganku, masih ada waktu untuk
berlaku sombong” Kata-kata ini segera diachiri dengan
serangannja, jang mendatangkan sambaran angin.
In Gak berdiri tegak. sambaran angin tak mengganggunja.
Ia telah menutup diri dengan Bie-lek sin-kang.
“Heran” pikir Djie Yan. “Tak tahu ia orang mengguna i ilmu
apa.”
“Sekarang giliranmu menjambut aku” berkata in Gak
tertawa. “Aku mau lihat kau benar berderadjat atau tidak
untuk berlaku djumawa”
Kata-kata ini disusuli serangan Bek shok Kim-kong, atau
setjara diam menakluki Kim-kong. Itulah jang ketiga, dari dua
belas djurus Bie-lek sin-kang. Djuga digunakannja itu tidak
dengan sepenuh tenaga.
Lie Djie Yan bukan sembarang orang, dia pun berbakat.
Dalam usia enam tahun dia telah dibawa soat-san sin-mo naik

289
kegunung, mulai dididik ilmu silat. Dia sedikit berbuat
kedjahatan, tetapi dia ketjipratan tabiat gurunja, dan
tjatjadnja jalah sangat membawa adatnja sendiri Kalau ada
sesuatu jang dia sukai, biar bagaimana sulit, mesti dia
mendapatkannya belum dapat, belum dia mau sudah. seperti
keinginannja ini, mendapatkan Kang Yauw Hong, belum
dapat, dia belum mau berhenti. Belum lama dia berkelana,
lantas dikenal dan dia dimalui. sebab orang tahu dia muridnja
soat-san sin-mo jang ditakuti, orang pun djeri terhadap
gurunja. Disebelah itu, dia sendiri memang liehay. Karena
semua itu, menghadapi In Gak. dia mendjadi penasaran.
Lantas dia menjerang pula, sekarang sambil menatap
lawannja itu. Ia menggunai pukulan dari Tjin-san Khie-kang,
atau Menggetarkan gunung. Itulah pukulan hebat, jang dapat
meremukkan tulang.
Setelah menjerang itu, djago Soat San ini mendjadi heran.
Akibatnja jalah seperti kerbau-kerbauan tanah lempung
ketjemplung didalam laut, serangannja itu tidak
mendatangkan akibat apa-apa. sebaliknja ada angin jang
menjambar kemukanja, rasanja adem, disusul dengan tenaga
lemah menolak tubuhnja, tenaga mana lama-lama berubah
djadi kuat, makin kuat dan makin kuat. Dia mau melawan,
tetapi sudah tak keburu lagi, lantas dia seperti ditindih
gunung, kaki-tangannja kaku, mulutnja bungkam. Tubuhnja
pun tertolak mundur perlahan-lahan. Berbareng dengan itu,
dari mata, hidung, mulut, kuping dan lubang-lubang peluhnja
keluar darah tak hentinja, hiagga dia tak lagisipemuda
tampan, dia mirip hantu bermandikan darah. Pula mundurnja
itu, dari perlahan, lantas mendjadi tjepat.
Achirnja, ketika In Gak menarik pulang tangannja, maka
tubuh Djie Yan djatuh terguling ditepi empang, kepalanja
masuk kedalam air.
Hek-hiat siang-koay kaget, mereka lompat, untuk
menolongi. Mereka mendapatkan kedua mata si anak muda

290
tertutup rapat, mukanja putjat seperti kertas. Darahnja semua
telah tertjutji bersih sang air.
In Gak sangat mendongkol untuk kedjumawaan Lie Djie
Yan dan kedjahatannja terhadap Kang Yauw Hong, ia anggap
orang bakal merusak Rimba Persilatan, maka ia melajani
dengan menggunai Bie-lek sin-kang. Mulanja ia menangkis
serangan, untuk dipunahkan, lalu ia membalas. Ia menolak
terus hingga lawan itu mati-daja. Ia memang dapat
menempel, menarik dan menolak disamping menjentil dan
menindju. Dengan Bek shok Kim-kong, ia memunahkan Tjinsan
Khie-kang dari lawannja, lantas ia mendorong, dari
perlahan mendjadi keras.
Maka robohlah djago Soat sanjang terkebur itu.
Hek-hiat siang-koay mengangkat tubuh Lie Djie Yan,
mereka menolong sebisa mereka. Djie Yan tetap tak sadarkan
diri Mereka mendjadi kaget.
Si tahi lalat merah lantas mengangkat kepalanja,
mengawasi In Gak tadjam, terus ia berkata,
menjeringai:”Tuan, kau menerbitkan onar besar Aku si tua
berdua hendak mengantarkan Lie Djie Yan pulang
kegunungnja. Djikalau soat-san Djin-mo menanjakan kami,
bagaimana kami mendjawabnja?”
“Hm” djawab In Gak. “Siapa suruh kamu menjateroni orang
dan menghinanja? onar ini kamu sendiri jang mulai Apakah
kamu tidak dapat mendjawab dari hal jang sebenarnja kepada
soat-san Djin-mo?”
Orang tua itu tertawa menjeringai.
“Walaupun demikian soat-san Djin-mo bukanlah orang jang
gampang diadjak bitjara” katanja. “Ketika Lie Djie Yan, mau
berangkat kemari, kami sudah mentjegah tetapi dia memaksa”
“Sudah, djangan kau bitjara terus” In Gak memotong. “Aku
tahu kamu serba salah” sembari berkata pemuda ini
menghampirkan musuhnja, terus ia menotok didadanja.

291
“Dilain djam dia bakal mendusin,” ia kata. Untuk
sementara, habis tenaga dia, maka djangan dia menggunai
tenaganja. Dengan kepandaiannja soat-san Djin-mo, tak sulit
untuk mempulihkan dia. Tentang she dan namaku sukar untuk
aku memberitahukannja. Tapi aku mengharap kamu nanti
membawa kata-kataku: Achir-achirnja aku bakal pergi pesiar
ke Soat san”
Hek-hiat siang-koay mengeluarkan napas lega.
“Tuan, tjukup sudah kata-katamu ini,” kata jang bermuka
hitam. “Kami telah menerima budi kau tetapi dikuatir sukar
kami membalasnja.” Kemudian dia berpaling kepada Kheng
Hong, untuk berkata sambil bersenjum: “Orang tua she
Kheng, sampai bertemu pula”
Lantas dia pondong tubuh Djie Yan, dibawa pergi bersama
kawannja. In Gak lantas mengadjak semua sahabatnja
kembali kekamar. Ay-hong-sok tertawa dan berkata: “Hiantit,
aneh kepandaian kau, djangan kata sekarang ini, mungkin
didjaman dulu, orang belum pernah melihatnja”
Sebagai orang tua dan achli silat kenamaan, djuga
Tonghong Sok Kate tidak mengenal ilmu silat keponakannja
ini. In Gak tertawa, ia tidak melajani djago tua itu.
“Nona Kang,” ia tanja Yauw Hong, kepada siapa ia,
menoleh, “Dapatkah kau menuturkan apa hubunganja
diantara Lie Djie Yan dengan kau?”
Yauw Hong sangat membentji Lie Djie Yan, ia tidak
berdaja, mau ia menangis tetapi didepan banjak orang, ia
mengerasi hati, sekarang ditanja si anak muda, tak dapat ia
menahan pula, lantas ia menangis, air matanja mengutjur
deras. Dengan ini dapat ia mengudal kesengsaraan hatinja.
Baru setelah sedikit redah, baru ia bisa memberikan
keterangannja .
Nona Kang jalah gadisnja Kang Hong, seorang guru silat
jang masih rendah kepandaiannja. Tidak dapat Kang Hong

292
mengangkat nama, terpaksa ia bekerdja sebagai tjinteng
dirumahnja seorang hartawan dikampung asalnja,
diketjamatan Pengyang, shoasay.
Ia mempunjai satu tjatjad dialah gemar minum arak.
hingga ia senantiasa lupa daratan. Tapi ia berhati baik dan
djudjur, maka madjikannja, si hartawan, menghargainja. Ia
diberi dua ruangan rumah untuk ia mengadjak anak dan
isterinja tinggal bersama. Maka itu, ia bekerdja sungguhsungguh
untuk madjikannja itu. Waktu Yauw Hong masuk
umur tudjuh tahun, dia diberi peladjaran ilmu silat. sajang
kepandaiannja sendiri rendah, ia tidak bisa mendidik
anakperempuannja itu mendjadi pandai. sebaliknja Yauw
Hong, dia ketarik dengan ilmu silat, dia beladjar radjin.
Pada suatu malam, tibalah saat malang. Malam itu Kang
Hong minum banjak. diwaktu pulang kekamarnja, ia lantas
tidur njenjak sekali. Djusteru malam itu, beberapa puluh orang
djahat datang menjerbu. Mereka masuk dengan melompati
tembok pekarangan. Mereka merampok sambil membunuh.
Lima pendjahat masuk kekamar Kang Hong. Dia kaget dan
bangun. Tapi belum apa-apa, dia sudah dibatjok mati. Njonja
Kang Hong pun turut dibunuh. Yauw Hong kaget hingga ia
pingsan. Ketika ia tersadar, ia mendapatkan tubuhnja rebah d
ipembaringan. Kamar bukan lagi kamarnja.
Didepannja berdiri seorang imam tua, jang romannja luar
biasa. Imam tua itu tertawa dan menanja:” Anak. kau sudah
lapar atau belum?” Atas pertanjaan itu, ia mengangguk.
Dalam umur tudjuh tahun, Yauw Hong sudah mengerti
banjak djuga. Ia mendapat kenjataan ia berada diatas gunung
jang penuh dengan pepohonan. ia tidak menanjakan hal orang
tuanja, jang ia tahu sudah terbinasa. Ia tjuma tahu, imam itu
mesti ada hubungannja dengan ajahnja.
Seterusnja ia berdiam digunung itu bersama si imam. Baru
setelah berselang lama ia

293
ketahui, si imam bernama TjiamBeng, gelaran sutjinja Hong
LoeiToodjin, dan gunung itu pusatnja partai Tjeng Hong Pay.
Nama gunung Lu Liang san, dan keletakan markas diselat
Ouw A Tjoei. Dan Hong Loei jalah soeheng, atau kakak
seperguruan dari Tjian-tjioe siauw-hoed Pok Hong siBuddha
Tertawa seribu Tangan, paytjoe atau ketua dari Tjeng Hong
Pay. semua orang Tjeng Hong pay beroman bengis, tetapi
lama-lama, si nona biasa lagi melihat mereka itu.
Hong Loei menjukai Yauw Hong, ia mengadjari silat
sungguh-sungguh. ia menganggap Yauw Hong sebagai anak.
la minta ia dipanggil sebagai ajah-angkat. sepuluh tahun Yauw
Hong berdiam diatas gunung, sampai ia berumur tudjuhbelas.
Ialah seorang nona tjantik. Banjak orang Tjeng Hong Pay jang
ketarik padanja. Malang ada Hong Loei dan si nona sendiri
pun bagaikan mawar berduri, ia tidak ada jang berani ganggu.
Sebenarnja. Hong Loei djahat dan kedjam, tetapi dia
melindungi Yauw Hong seperti anak sendiri
Kemudian atas permintaan Pok Hong, jang disetudjui Hong
Loei, Yauw Hong dikasi pekerdjaan sebagai penulis partai,
untak mengurus surat-surat. Hong Loei tidak mentjurigai si
soetee, adik seperguruan. Karena ini, setiap Yauw Hong
berada berdekatan dengan Pok Hong. sebenarnja ternjata,
Pok Hong menggilai si nona. Yauw Hong sendiri tidak
menghiraukannja. Pernah karena urusan si nona, Pok Hong
bentrok sama Hong Loei, jang menegurnja. Masih Pok Hong
mentjoba terus membudjuki si nona. Karenanja, saking
berduka, sering Yauw Hong menangis sendirian.
Lantas pada suatu hari, selagi Yauw Hong bekerdja
dikantornja, Hong Loei datang
bersama seorang muda tampan, jang diadjar kenal
padanja. Dialah Pek san-sioe Lie Djie Yan- ia dapat kenjataan,
Djie Yan ini bukan seorang benar. Djie Yan lantas suka
mengadjak ia djalan-djalan. Digunung itu memang ada

294
tempat-tempat jang indah pemandangannya. Karena
memandang gurunja, Yauw Hong tidak menampik. Tapi satu
kali, ia dipedajakan Lie Djie Yan- selindjutnja tak suka ia
bergaul denganpemuda itu, bahkan ia takut.
Pok Hong mendapat tahu kelakuan Lie Djie Yan itu, ia
menjindirnja, Djie Yan mendongkol, ia berlalu dari Lu Liang
san. Diwaktu mau pergi ia bersumpah bahwa ia belum mau
sudah sebelum mendapatkan si nona.
Tidak lama Hong Loei djatuh sakit. Yauw Hong merawatnja
siang dan malam. Berat penjakit itu, si imam tidak mau
sembuh. Maka satu kali, Yauw Hong pegangi tangan anakpungutnja,
sembari tertawa sedih ia kata: “Anak Yauw, aku
tidak menikah, aku tidak punja turunan, tetapi aku mendapati
kau, aku seperti mempunyai anak sendiri sajang aku sakit dan
usiaku sudah landjut. Aku kuatir, kapan aku menutup mata,
kau tidak ada jang lindungi. Mungkin setelah aku mati, kau
bakal diganggu soetee-ku. Maka sekarang, sebelum aku mati,
aku mau mendajakan. Dulu hari itu, sajang aku terlambat, tak
dapat aku mendongi ajahmu. Itu pula sebabnja aku bawa kau
kegunung ini. sebenarnja, madjikan ajahmu itu mendapatkan
sebuah pedang mustika, hal itu diketahui partaiku. Lantas
saudagar itu diserbu, dia dirampok dan dibunuh serumahtangga.
Ketika aku menjusul, aku terlambat, ajah dan ibumu
sudah mati”
Yauw Hong menangis.
Hong Loei menghela napas.
“Sudah anak. djangan menangis” ia membudjuk. “Perkara
sudah terdjadi, menjesalpun sudah kasip. Aku menjesal aku
tersesat, tapi aku beruntung, aku bakal mati baik. Inilah sebab
aku tidak biasa membunuh tanpa sebab. Aku mau mengubah
tjara hidupku, pertjobaan itu sukar. Ada orang2jang
membentjiku. Adalah karena terpaksa, aku menumpang pada
Pok Hong. sudah sepuluh tahun aku tidak pernah turun

295
gunung. Mungkin orang telah melupai aku. Karena ini, aku
puas djuga”
Hong Loei berhenti sebentar baru ia melandjuti: “Aku tahu
kau ingin dapat membalas sakit hati ajah dan ibumu, tapi
sukar kau mentjari tahu siapa dia. orang pun tidak mau
memberitahukan padamu. sekarang aku beritahukan kau,
dialah Tjoei-beng Boe-siang Tong Kee Houw, tongtjoe atau
ketua tjabang di soetjoan Barat. setelah aku merawat kau, dia
dipindahkan ke soetjoan. selama sepuluh tahun, belum pernah
dia datang pula kesini. sekarang ini kepandaian kau masih
belum bisa melawan dia, maka kapan kau telah meninggalkan
Lu Liang san, kau mesti berguru pula pada guru jang pandai,
baru kau dapat menuntut balas. Tadinja aku ingin djodohkan
kau dengan Lie Djie Yan, sajang kau tidak penudju dia. Dalam
hal djodoh, aku tidak mau memaksa kau. Ini sehelai leng-kie,
bendera-titah, kau simpan baik-baik, ia menambahkan. Aku
rasa aku tidak dapat tahan sampai lusa, maka itu baiklah
besok malam kau minggat dari sini. Leng-kie ini bisa mendong
kau lolos. Kau boleh menjingkir kedjurusan kota radja.
selandjutnja terserah pada peruntunganmu”
Yauw Hong menangis sedih sekali, ia sampai pingsan.
Hong Loei berduka, ia berdiam sambil meram sadja.
Besok malam, benar keadaan Hong Loei mendjadi buruk.
beberapa kali ia pingsan. Paling belakang, setelah sadar, ia
desak Yauw Hong untuk lekas mengangkat kaki. Kali ini si
nona menurut, ia lantas menjiapkan buntalannja dan
membekal sedikit perak hantjur. Ia minggat dengan membawa
pedangnja. Ketika mau berpisah, tiga kali ia paykoei pada
imam jang mendjadi guru dan ajah-angkat itu.
Untung bagi Yauw Hong, diwaktu la minggat, ia dapat
dilihat Ay-hong-sok. Ia lantas dikuntit. Dibeberapa tempat
djagaan, ia dihalang-halangi, tetapi dengan alasan mau tjari
obat untuk Hong Loei, la dilepaskan djuga. Demikian setelah

296
terang tanah, ia sudah tiba dikaki gunung, terus ia memasuki
kota ketjamatan Lie-sek.
Dipagi hari ketiga, benarlah Hong Loei meninggalkan dunia
jang fana ini. Pok Hong heran mendapatkan nona Kang tidak
ada, ketjurigaannja lantas timbul. Ia segera memerintahkan
mentjari tahu. Kapan ia ketahui minggatnja si nona, ia
menugaskan orang menjusul dan mentjari
kepelbagaipendjuru, sekalian untuk memberitahukan pelbagai
tjabang, guna membantu mentjari. si nona mesti ditangkap
hidup, sebab dia dikuatir membuka rahasia partainja.
Didalam kota Lie-sek. habis istirahat sambil bersantap.
Yauw Hong melandjuti perdjalanannja, menudju ke Kauw-shia,
melewati Thay-goan, keluar dari Tjeng-keng, tiba di Tjio-boenselama
itu ia terus dilindungi Ay-hong-sok. sampai ia
tertjandak dan ditantang.
Menutur sampai disini, Yauw Hong menangis.
In Gak bertiga terharu.
“Sudah, Nona Kang, djangan kau berduka,”
Giok Koen menghibur. “Nanti kita mengantarkan kau pada
soesiok Ban in- setelah kau menamatkan peladjaranmu,
djangan kuatir sakit hatimu tak terbalas”
Yauw Hong mengutjap terima kasih. Ia terhibur djuga,
hatinja mendjadi lega.
“Eh, anak-anak, kamu sudah bitjara habis atau belum?”
Kheng Hong menegur. “Kamu tahu, ilarku sudah keluar”
In Gak tertawa.
“Siepee tidak tahu bahajanja arak” ia kata tertawa. “Mari
aku buktikan dengan sjair:
Kaisar Peng bertjelaka karena arak ada ratjunnja,
Lie Thay Pek ditepi sungai rusak tubuhnja,
Maka, tuan djanganlah minum air tak berbudi,
setelah mabuk hati orang tak sehat lagi

297
Kedua matanja Ay Hong sok membelalak.
“Kau tahu apa, botjah tjilik” katanja. “Kebaikannja arak
banjak sekali Nanti aku si orang tua memberitahukan kamu.
Arak itu dapat membantu s i pendekar hingga njalinja
mendjadi besar dan dapat membikin sipejadjar tambah indah
gubahan sjairnja. Aku dapat melenjapkan duka, arakpun untuk
menggadangi sang rembulan dan bunga. Ada djuga dibilang,
minum arak tak dapa sinting itulah paling menjenangi. Maka
itu bagaimana bisa dibilang arak djahat?”
Mendengar itu, semua orang tertawa.
“Benar, benar, siepee benar” kata in Gak. “Nah, mari kita
pergi kedepan untuk minum”
Jilid 4.1. Pembunuh ibunda berhasil dibasmi
Habis bersantap. hari sudah lewat tengah- hari. Kiang Yauw
Cong dan Tonghong Giok Koen mengajak Kang Yauw Hong
berangkat, maka berpisahanlah mereka dari Ay-hong-sok dan
In Gak. Nona Kang menepas air-matanya.
In Gak lantas mengatakan pada Kheng Hong bahwa ia ingin
pulang kehotelnya buat beristirahat, lantaran ia letih dan
ngantuk.
“Pergilah kau beristirahat” kata Ay-hong-sok tanpa curiga.
“Aku belum minum cukup” Ia kembali keruangan makan. In
Gak mengawasi sambil bersenyum. Seorang diri Ay-hong-sok
minum sampai matahari doyong kebarat.
“Ah, heran itu bocah” pikirnya. “Dia tidur njenyak sekali”
Lantas ia berbangkit, akan pergi kekamar orang. Ketika ia
menolak daun pintu, ia mendapatkan kamar kosong. Diatas
meja ada sehelai kertas. Ia ambil itu untuk dibaca. sekarang
baru ia ketahui bahwa ia telah ditinggal pergi In Gak
menjelaskan kenapa ia memisahkan diri, ialah lantaran Kheng

298
Hong saudara angkat dari ayahnya dan tak merdeka untuk
mereka berjalan bersama-sama . Kheng Hong menepuk meja.
“Setan cilik, kau berani menipu aku” bentaknya. Ia lantas
berangkat kearah Shoasay, untuk mencari.
In Gak meninggalkan hotel bukan buat terus berangkat, ia
hanya pindah kelain rumah penginapan yang terlebih kecil. Ia
pun menjual kudanya. Ia tahu sudah baik, kalau ia pergi
dengan menunggang kuda, ia gampang menarik perhatian
umum. Ia mau berjalan kaki serta juga memotong jalan
pegunungan.
Dihotelnya yang baru, ia lantas tidur, baru ia bangun
sesudah sore. Terus ia dandan, untuk pergi keluar. setelah
mencari keterangan, ia menuju ke Thian Cee Bio yang
letaknya di utara, diluar kota, dekat Cio-kee-chung. Pula kuil
itu berdiri mencil sendirian- Itulah sebuah kuil besar. Disitu
sangat jarang ada orang. Ia berjalan cepat. Ia memakai
topengnya. setibanya, langsung ia lompat naik kepayon, yang
tingginya tujuh atau delapan tombak. Terus ia pergi ke
pendopo.
Diatas kuil itu ada beberapa pos An Ceng Pay. Kecuali
suara angin, kuil itu sunyi. Ia sengaja melintas didepan pos.
Dengan menggunai tindakan Hian-thian Cit-seng-pou, ia
bergerak sangat gesit, tubuhnya berkelebat seperti bayangan
sampai mata penjaga pos kabur, seorang ngoceh sendirian:
“Benar-benar aku melihat hantu, Rupanya kelelawar keluar
membentur setan”
In Gak tertawa dalam hati. Ia maju terus, sampai
dipendopo besar. Disini ia mendapatkan empat orang berdiri
dimuka pendopo. Mereka membawa lentera yang
mengeluarkan sinar kuning muda, yang saban-saban
disorotkan keempat penjuru. Maka ia menjembunjikan dirinya.
Ia mendengar suara orang didalam pendopo itu. Untuk

299
mendapat dengar dan melihat dengan terang, ia mencari
tempat dimana ia bisa berdiam tanpa terpergok.
Didalampendopo itu berkumpul kira2 tigapuluh orang,
semua berduduk dibangku-bangku panjang. Dibangku kiri,
kebetulan berbicara orang yang nomor tiga, seorang tua
dengan jenggot- kumis panjang dan mukanya merah, yang
matanya tajam.
Kata dia: “Sebenarnya kita pihak An Ceng Pay tidak
bermusuhan dengan sipelajar luar biasa itu, maka itu tak
perlunya kita mencari gara-gara, tetapi kita dengan pihak
Ceng Hong Pay telah membuat janji, kalau ada musuhnya
didalam daerah kita, mesti kita membantu padanya.
Demikianlah kita mendapat permintaan dari Ceng Hong Pay
itu, hanya kali ini dari cabangnya. sebenarnya kita dapat
menolak, sebab permintaan bukan langsung dari Paycoe Pok
Hong. Sekarang kebetulan hadir seorang cianpwee dari pihak
kita, harus kita mendengar suaranya. Ialah Loocianpwee Kioesin
Soh Cian Lie.”
Dari bangku kanan, seorang tua, yang rambut dan
kumisnya sudah putih lantas berkata:”Ooh, loocianpwee itu
muncul pula? sepuluh tahun sudah ia tak pernah terlihat
dalam dunia Kang-ouw, aku kira ia telah berdiam digunung
dan tidak bakal keluar pula. Aku dengar ia liehay ilmu silatnya
terutama ilmu silat Lo- auw sat- kang. Kalau pukulan itu
mengenai tubuh, lantas ketinggalan tapak tangannya yang
hitam dan anggauta-anggauta tubuh bagian dalam lantas
rusak-hancur, sekarang ia muncul pula, mesti ia menjadi
terlebih liehay lagi”
Mendengar itu, In Gak bercekat hati. Ia berpikir: Bukankah
dia orang yang mencelakai ibuku? Kalau benar, hmm.. Tak
dapat dia lolos dari tanganku, ia mendengari terus.

300
“Benarlah Cio Loosoe banyak pendengarannya” kata orang
tua yang pertama. “Tidak kecewa Loosoe menjadi salah satu
dari Yan-san soe-lo” Ia berdiam sebentar, untuk melanjuti:
“Dalam urusan ini paycoe berniat menampik, tetapi Soh
Loocianpwee menganjurinya menerima seraya dia bersedia
melayani sipelajar aneh itu. Hanya heran, sampai disaat ini,
dia masih belum muncul”
“Mungkin dia bakal segera tiba,” berkata orang tua she Cio
itu “Hanya sipelajar aneh, dia pun masih belum datang sampai
waktu begini. Apakah boleh jadi warta yang dikirim telah tidak
sampai kepada alamatnya?”
“Hm” bersuara si orang tua muka merah dan jenggot
panjang. “Jikalau pihak Kay Pang berani main gila, aku si
orang tua nanti mengubrak-abrik sarangnya yang butut”
“Besar sekali mulutnya orang tua ini” pikir In Gak. “Kenapa
dalam Rimba Persilatan, semua orang begini jumawa?”
Belum berhenti si anak muda berpikir maka disana terlihat
seorang lari masuk kependopo besar, kepada si orang tua
muka merah itu ia memberi laporan: “Tongcoe, Soh
Loocianpwee telah tiba”
Orang tua muka merah itu mengasi dengar suara tanda
tahu, lantas dia berbangkit, untuk terus bertindak keluar.
Semua orang lainnya mengikuti. Maka dilain saat, mereka
sudah mengiringi masuk seorang tua muka keriputan.
In Gak mengawasi orang tua itu, dalam hatinya ia kata:
“Kiranya dia dijuluki Kioe-sin sebab benar-benar mukanya
mirip sekali”
Kioe-sin si Merpati sakti mengenakan baju warna biru,
kepalanya hampir lanang, tinggal hanya dua tumpuk
dipinggiran telinganya. Karena giginya dikedua pinggiran
sudah copot, dia menjadi kempot hingga mulutnya mirip patuk

301
burung dara. Sepasang matanya kecil tetapi bersinar tajam.
Nampaknya dia licin- Ditangannya dia memegang sebatang
hoencwee atau pipa panjang.
Selagi mengawasi hoencwee itu, hati In Gak bercekat,
lantas darahnya mendidih. Ia melihat tangan orang ada dua
jerijinya yang lebih.
Kioe-sin Soh Cian Lie sudah lantas duduk gembira
menghisap hoencwee, dia nampak jumawa sekali.
“Lauw Tongcoe,” dia kata pada si orang tua muka merah,
“Apakah itu bocah belum tiba?”
Belum habis perkataannya orang yang sikapnya sangat
jumawa ini, mendadak dia merasai tangannya bergetar, lantas
hoencwee ditangannya itu lenyap tanpa sayap. Begitu dia
mengangkat kepalanya, didepannya terlihat seorang muda
dengan pakaian hitam, yang mukanya beroman luar biasa.
Apa yang aneh, orang tahu-tahu sudah berada didepannya itu
serta tangannya mencekal pipa panjang kepunyaannya itu, si
orang muda yang mengawasi ia dengan tajam, dua kali
tertawa dingin, semua orang menjadi heran.
Soh Cian Lie menjadi pucat mukanya, lantas itu berubah
menjadi guram. Cuma sejenak dia memandang si anak muda,
tiba-tiba tubuhnya mencelat bangun dari bangku panjang,
sambil berlompat itu kedua tangannya menyambar kepada si
anak muda, guna merampas pulang pipa panjangnya. Dalam
heran dan murkanya, ingin ia merampas hoencweenya itu.
Belum lagi Kioe-sin sampai kepada si anak muda, tubuh si
anak muda sendiri sudah mencelat kedepannya si orang tua
dengan muka merah, dari mana ia mengawasi si Merpati sakti.
Dia menjadi kecele, tetapi sekarang dia tidak berlompat
pulang, untuk mengulangi percobaannya, hanya dia berdiri
diam, dia tertawa dingin dengan matanya menatap tajam
kepada perampas pipa panjang itu.

302
“Lauw Tongcoe,” berkata si orang muda kepada si orang
tua muka merah itu, yang dipanggil tongcoe, atau ketua
bahagian, ia bicara dengan dibikin ayal-ayalan “Ada urusan
apakah kau mengundang tuan mudamu?”
Orang tua dengan muka merah dan jenggot panjang itu
adalah ketua bahagian cabang di Cio-kee-chung dari An Ceng
Pay, dia she Lauw bernama Hay, gelarannya jalah Lauw-haykauw
si Ular naga Pengacau Laut. Ditanya si anak muda, dia
terguguh hingga dia berdiam saja.
“Apakah tuanyalah orang yang tadi malam sudah..”
tanyanya sukar.
“Tidak salah” menyahut si anak muda getas. “Tuan muda
kamu ini ialah yang tadi malam sudah menjadi musuhnya
Ceng Hong Pay. Ada sangkutan apakah urusan kita itu dengan
kamu dari An Ceng Pay?”
Lauw Hay menjadi likat sekali. Memang benar kata-kata si
anak muda, tidak ada perlunya untuk An Ceng Pay membantu
Ceng Hong Pay dalam urusan seperti itu. Hanyalah, sebagai
tongcoe, dia besar hatinya, dia dapat segera mengendalikan
diri. Maka dia tertawa lebar.
“Kau telah menerbitkan onar dalam daerah pengaruh An
Ceng Pay” bentaknya. “Kami berhak untuk mencampuri-tahu
urusan itu”
“Prak,” demikian suatu suara nyaring, dari ditepuknya meja
suci disamping si anak muda ditepuk oleh anak muda itu, yang
tertawa berkakak. nadanya mengejek. ”Angin busuk! Negara
ini negara raya, hak apa An Ceng Pay mempunyai maka kamu
berani melarang? An Ceng Pay bukannya pembesar negeri,
bahkan dialah suatu perkumpulan bangsat- bangsat yang
jahat orang she Lauw, jikalau kau masih ngaco dengan

303
kejumawaanmu maka heranlah andaikata tuan muda kau tidak
menghajar padamu”
Meja pujaan malaikat itu, lantaran ditepuk, telah
mendapatkan tanda telapakan tangan bagaikan diukir. Itulah
tanda dari tenaga dalam yang liehay. Maka itu, melihat
demikian, semua orang menjadi tercengang, hingga ada yang
menyedot hawa dingin atau menggigil sendirinya. Soh Cian Lie
sendiri berdiam sambil mengerutkan alis, tak dapat dia
mengucapkan sesuatu.
Anak muda itu menepuk dengan tenaga biasa saja, apabila
ia mengerahkan tenaganya, pastilah meja itu ringsak atau
pecah bolong dibagian yang terhajar itu.
Orang tua she Ciotadi lantas bertindak menghampirkan, ia
memberi hormat dengan merangkap kedua tangannya,
sembari tertawa ia berkata:
“Siauwhiap, mari duduk. Untuk kita berbicara dengan
perlahan-lahan. “
“Sebenarnya semua hadirin disini mengagumi padamu,
maka juga mereka datang berkumpul untuk dapat
memandang dan aku Cio Cin Thian yang tua, yang disini
membuka rumah perguruan, lantaran sangat kagum, dengan
tergesa-gesa aku datang kemari, untuk belajar kenal, untuk
bersahabat. Dalam hal ini, Lauw Tongcoe tidak dapat
dipersalahkan oleh karena dia lagi menjalankan tugas, dari itu
aku mohon siauwhiap suka memaafkannya.”
“Cio Loosoe, berat kata-katamu ini” berkata si anak muda
tertawa. “Sekarang aku cuma hendak bertanya, Lauw Tongcoe
hendak mengambil keputusan apa?”
Lauw Ha y hendak menjawab, atau Soh Cian Lie telah
mendahului dia sembari tertawa aneh, Kioe-sin berkata:
“Bocah, keputusan apa hendak diambil, kau baik menanyakan
saja aku si orang tua”

304
Si anak muda berpaling. Dengan dingin ia berkata: “Soh
Cian Lie, jangan kau terlalu mengandalkan ilmu silatmu yang
dinamakan Lo-auw sat-kang dan menganggapnya kepandaian
itu tanpa tanding. Dimata tuan muda kamu, kepandaianmu itu
tidak ada artinya, tetapi jikalau tanganmu sudah gatal, kau
tunggu dulu sampai urusanku dengan An Ceng Pay sudah
selesai, sebentar kita menc ari satu tempat sepi dimana tidak
ada lain orang, untuk kita main-main”
Cian Lie kaget, hingga hatinya terkesiap. Ilmusilatnya itu
pernah digunai hanya tiga kali, dan selama lima belas tahun
yang paling belakang belum pernah dipakai lagi. Kenapa si
anak muda mengetahuinya?
Si anak muda lantas menatap Lauw Hay, ia berdiam tetapi
la agaknya menanti jawaban, Lauw-hay-kauw juga
mengawasi, akhirnya terpaksa ia memberikan penyahutannya.
“Menurut aturan Rimba Persilatan, yang menang ialah yang
benar,” katanya, “Maka itu sekarang, tidak ada perlunya untuk
banyak omong lagi silakan pergi keluar pendopo ini, untuk aku
minta pengajaran dari kau. Umpama kata aku si orang she
Lauw tidak dapat kemenangan, maka selanjutnya, buat
selama-lamanya, partaiku tak akan mencampuri pula urusan
ini”
“Baiklah, begitu janji kita” kata si anak muda tertawa.
Lantas ia memutar tubuhnya untuk mendahului pergi keluar
pendopo.
Diluar pendopo, itu ada sebuah tempat pemujaan terbuat
dari batu lebar duapuluh tombak lebih, disitu telah dipasang
empat batang lilin besar, yang memberi penerangan luas
kepelbagai penjuru.
Lauw Hay muncul bersama delapan kawannya.Yang lainlain
berada ditempatnya

305
masing-masing. Ia merasa sulit karena pertanyaannya si
anak muda kenapa dia dari An Ceng Pay mencampuri urusan
Ceng Hong Pay. Dilain pihak. dia ingin sekali melihat
kepandaiannya Kioe-sin Soh Cian Lie.
“Siauwhiap. Silakan” ia berkata, terpaksa, sambil tertawa
dan merangkap kedua tangannya.
Si anak muda tidak lantas menyerang, ia telah mengambil
keputusannya. Tidak ingin ia menanam bibit permusuhan.
“Lauw Tongcoe,” katanya tertawa, “Karena kita tidak
bermusuhan, siapa pun terluka dalam pertempuran ini, buat
kedua pihak sama tidak baiknya, dari itu aku pikir baik kita
mengatur begini saja: kita sama-sama menggunai kegesitan
kita. Tongcoe boleh menyerang aku, selama tigapuluh jurus,
asal tongcoe dapat menowel bajuku, kaulah yang menang,
nanti aku turut kau pergi menemui pangcoe kamu yang
terhormat. Jikalau tongcoe tidak dapat menowel bajuku,
anggaplah kita seri. Bagaimana?”
“Kau terlalu jumawa” pikir Lauw Hay. “Dengan
mengandalkan latihanku limapuluh tahun, jikalau aku dalam
tempo tigapuluh jurus tidak dapat melanggar bajumu, itulah
terlalu lucu.”
Meski demikian, ia bersenyum. Ia kata: “Kaulah yang
menghendaki ini, siauwhiap. baik, aku menerimanya Kau jaga,
aku mau lantas mulai”
Si anak muda bersenyum, ia seperti tidak menghiraukan
sesuatu.
Lauw Hay segera membuktikan perkataannya. Ia
menyerang dengan dua-dua tangannya, dalam sikap Jit-goatjip-
hoay atau Matahari dan bulan terangkul. Dengan begitu ia
mengancam dari kiri dan kanan, untuk mencegah orang
berkelit kekedua samping. Ia girang sekali, sebab ia merasa
pasti akan berhasil.

306
Tepat kira2 dua dim lagi, tangannya bakal mengenai ujung
baju luar, mendadak tubuh si anak muda melesat, bagaikan
bayangan- tubuh itu menghilang, hingga kedua tangannya
beradu satu dengan lain. ia masih melihat tubuh si anak
muda, atau mendadak dia lenyap pula dari depan matanya,
Itulah ilmu ringan tubuh yang sangat mahir.
Tanpa merasa, ketua cabang An Ceng Pay ini
mengeluarkan peluh dingin. Tapi, dalam herannya, ia menjadi
penasaran, maka itu, ia lantas mengulangi serangannya.
Ketika ini pun gagal, ia mengulangi terus-terusan, sampai
belasan jurus.
Aneh anak muda itu. Tubuhnya saban-saban berkelebat,
setiap kalinya dia bebas dari serangannya. Dia gesit luar biasa.
Maka setelah belasan jurus yang dahsyat itu, ketua cabang An
Ceng Pay itu sendiri yang matanya menjadi kabur dan
kepalanya pusing
“Celaka” pikirnya Lauw-hay-kauw achirnya. Lawan bagaikan
hantu, kalau ia mencoba terus-terusan, ia bisa roboh
sendirinya saking letih. Ia lantas memikir buat menggunai
siasat berlompat. inilah tipu silat Leng-khong-pak-kie yaitu
menerkam dari udara, inilah cara yang berbahaya,yang
dipandang sebagai pantangan. Cuma dalam keadaan terpaksa,
orang suka menggunai itu. Dengan berlompat, tubuh menjadi
seperti kosong. Yang diandalkan cuma kesebatan, untuk
menang tempo. Ia berani mencoba ini sebab sianak muda
sudah berjanji tidak akan membalas. Maka mendadak ia
berhenti menyerang, dengan tajam ia mengawasi.
Si anak muda pun berdiam seraya memasang mata,
agaknya ia menduga-duga apa yang bakal dilakukan
lawannya. Justeru ia berdiam, justeru ia diserang. Sambil
berseru nyaring Lauw Hay berlompat tinggi, untuk menubruk,
kedua tangannya diulur panjang-panjang, sepuluh jarinya

307
mengancam bagaikan kuku-kuku tajam. Arahnya jalah kedua
pundak lawan.
Si anak muda tidak menjadi kaget dengan terjangan dari
udara itu, sebaliknya dia tertawa berkakak, sangat gesit
seperti tadi, dia telah berkelit, maka juga ketua cabang An
Ceng Pay itu menjadi menubruk tempat kosong. Tepat ketika
kedua kakinya menginjak tanah, ia melihat si anak muda
berdiri sambil tertawa didepannya.
Dengan gerakan yang serupa anak muda itu meloloskan
diri. Ia hanya berlompat tinggi untuk berkelit, lalu ia menyusul
turun didepan Lauw-hay-kauw, si Ular naga Pengacau Laut,
orang menjadi kagum, sorak-sorai adalah pujian mereka.
Soh Cian Lie berada diantara para hadirin, air mukanya
nampak guram.
Baru sekarang Lauw Hay merasa si anak muda bukan
sembarang orang. Ia berhenti menyerang lebih jauh, ia
memberi hormat, sembari tertawa ia kata dengan jujur:
“Tuan, kau sangat liehay, aku si orang she Lauw menyerah
kalah. sekarang juga aku meminta diri. Jikalau kau sudi,
begitu ada ketikanya harap kau sudi berkunjung ketempat
kami.”
Si anak muda tertawa.
“Lauw Tongcoe,” katanya, “Tanpa bertempur tidaklah kita
berkenalan Baiklah, lain hari aku akan berkunjung kepada
tuan.”
Lantas ia menoleh kepada Soh Cian Lie, untuk berkata
dengan nyaring. Beda daripada menghadapi Lauw Hay, kali ini
ia berlaku bengis.
“Soh Cian Lie, sekaranglah giliran kita mengambil
keputusan” demikian katanya.

308
Dengan hoencwee ditangannya, tak hentinya tangannya itu
diputar-putar.
Muka Soh Cian Lie menjadi merah-padam. Terang ia
tengah diperhina. Maka ia tertawa bergelak. untuk mengejek.
Selagi tertawa itu, tubuhnya berlompat maju, untuk menj
erang dengan dahsyat.
Si anak muda tidak menyambuti serangan- Dengan
menggeser kaki, ia berkelit. Adalah setelah berkelit ini, terus
sembari berputar ia menyerang, menotok kejalan darah siauwkok.
Jalan darah itu berada dibelakang telapakan tangan-
Dengan lantas Soh Cian Lie merasai belakang tangannya itu
kaku, saking kaget, ia lompat mundur, matanya menatap anak
muda itu, dalam hatinya ia kata: “Benar-benar aneh
gerakannya, bocah ini”
Si anak muda tidak maju menyerang, ia tertawa dan kata:
“Soh Cian Lie, mari kita mencari tempat yang sepi dimana kita
boleh melanjuti pertempuran kita, untuk mengadu jiwa, siapa
mati siapa hidup”
Belum lagi orang she Soh itu menyahuti, Lauw Hay
menyelak dengan berkata: “Jikalau tuan-tuan tidak sudi kami
melihat pertandingan kamu, baiklah, kami akan
mengundurkan diri”
“Bagus” si anak muda menyahut tertawa.
Lauw Hay benar-benar menyingkir bersama rombongannya,
hingga disitu tinggal empat batang lilinnya yang besar.
“Siluman burung merpati” si anak muda berseru dengan
nada suara berat, “Sekarang dapatlah kau menggunai ilmu
silatmu yang liehay, Lo-auw sat-kang, Tuanmu yang muda
ingin belajar kenal dengan kepandaianmu itu”
Kemurkaannya Soh Cian Lie meluap dari takarannya,
dengan sebat luar biasa, dia

309
berlompat maju, untuk menyerang. Dia benar hebat,
tubuhnya berputar sangat pesat.
Si anak muda menduga kepada ilmu silat Bie- lie Hianheng-
ciang, dengan itu orang dapat membuat tubuhnya
tampak samar2. ia tidak kenal ilmu silat itu, ia cuma pernah
mendengar. ia mendapat kenyataan, benarlah ilmu itu liehay
sekali. Untuk melayani ia bersiul panjang, tubuhnya mencelat
tinggi. Inilah jurus sin- liong soan- khong atau Naga sakti
berputaran diudara.
Perlawanan semacam itu membikin Soh Cian Lie
terperanjat, selagi berkelit, ia lantas ingat satu orang, Maka itu
begitu berkelit, ia menanya dengan bengis: “Kau pernah apa
dengan Twie-hoen-poan Cia Boen?”
Anak muda itu tertawa terbahak. Ia tengah mencoba, nyata
ia berhasil.
“Merpati siluman, matamu benar tajam” katanya. Lalu
menambahkan, dia menjadi bersikap bengis: “Tuan mudamu
ini turunan dari Twie-hoen-poan. Kau lihatlah, malam ini kau
bisa lolos atau tidak dari ilmu silatku Kauw-cap-cit-sie Hoeiliong-
ciang”
Benar-benar Soh Cian Lie kaget, hingga gentarlah hatinya.
Tapi ia tidak takut, ia lantas tertawa dingin dan berkata: “Dulu
hari itu, Twie-hoen-poan menjadi arwah berkeliaran dari aku,
maka kau, berapa tinggikah kepandaianmu hingga kau berani
bertingkah jumawa sebagai ini?”
Sekarang si anak muda telah memperoleh kepastian ia
benar lagi menghadapi musuh ayahnya, tidak mau ia bicara
pula, dengan lantas ia menyerang, tubuhnya berlompat tinggi.
Ia menggunai jurus Naga dimega menggunai kukunya.
Ilmu silat Hoei-liong-tiang dari Cia Boen itu, yang terdiri
dari sembilanpuluh-tujuh jurus (kauw-cap-cit-sie) terdiri dari
jurus-jurus yang dilakukannya sambil berlompat tinggi, jadi
tepat dengan namanya pukulan Naga Terbang (Hoei-liongTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
310
ciang). setiap kali habis berlompat, begitu menginjak tanah,
kedua kaki menjejak pula, untuk berlompat lagi, sedang kedua
tangan bergerak-gerak bagaikan kuku.
Soh Cian Lie tetap melayani dengan Bie-lie Yauw Hian
Ciang, tapi saban-saban ia mesti berdongak akan melihat
musuhnya. satu- dua kali masih tidak apa, setelah diserang
terus-menerus, ia menjadi berkuatir juga. Itulah berbahaya
untuknya. Pikirnya: “Celaka aku bisa-bisa aku terpedayakan
anak muda ini”
Begitu berpikir, ia berlompat melesat, sebab justeru ia
diserang dengan jurus Naga emas mengeluarkan kuku. Ia
bebas tetapi segumpal rambutnya kena tertarik. Ketika ia
berlompat, ia disusul si anak muda, hanya kali ini anak muda
itu tidak mengulangi serangannya, dia melainkan menatap
tajam, sikapnya memandang tak mata.
Soh Cian Lie juga mengawasi tajam, bahkan ia
memusatkan perhatiannya. sinar matanya bengis, kedua
tangannya dipentang, semua jerijinya ditekuk. Dari embunembunannya
mengepul uap putih. Mukanya yang pucat
membikin ia mirip dengan mayat yang baru dibongkar dari
liang kubur
Si anak muda lantas menduga: Dia tentu mau menggunai
Lo-auw sat-kang. Baiklah, aku pancing padanya. Ia lantas
mundur, setindak demi setindak. Kedua tangan orang she Soh
itu mengeluarkan hawa yang panas.
Terus si anak muda mundur, sampai diloneng dari tempat
pemujaan- Baru disini,
lantaran tidak ada tempat mundur lagi, ia tidak mundur
lebih jauh. Ia berdiri tegak. matanya mengawasi musuh.
Soh Cian Lie maju terus. Ia menyangka si anak muda jeri.
Ia menjeringai, hingga ia nampak bengis dan tak sedap untuk

311
dipandang. ia maju sampai ia terpisah dua tindak darisianak
muda, sekonjong-konjong kerongkongannya mengasi dengar
suara nyaring dan bengis, terus tubuhnya bergerak. untuk
dengan kedua telapakan tangannya menyerang kedada.
Si anak muda mendak dengan sebat.
Serangan Cian Lie tidak dapat ditarik pulang lagi, maka
dengan satu suara keras, loneng batu kena terhajar, sampai
muncratlah lelatu apinya. Akibatnya itu ialah berbekasnya dua
tapak tangan, diantaranya ada tapak tujuh buah jeriji. Kedua
tapak itu tampak lebih besar, suatu bukti pukulan Lo-auw satkang
itu dengan sendirinya menyebabkan kedua tangan
menjadi melar.
Si anak muda mendak bukan untuk mendak belaka.
Dengan sebat ia menggeser tubuhnya kebelakang lawan. Dari
sinilah ia melihat tapak tangan itu, hingga darahnya bagaikan
bergolak. Itulah tapak yang sama benar dengan yang terdapat
pada tubuh ibunya, maka terbuktilah, ini orang liehay ialah
musuh besarnya. sejenak itu, sinar matanya bagaikan
menyala.
Soh Cian Lie merasa bahwa bahaya mengancam ia karena
gagalnya serangan itu Dengan sendirinya ia menjejak tanah,
untuk berlompat menjauhkan diri setombak lebih, setelah
mana segera ia memutar tubuhnya, untuk bersiap andaikata
lawannya menyerang padanya. Ia melihat si anak muda tidak
berlompat hanya maju satu tindak demi satu tindak.
lantas ia mendengar pertanyaan yang berat dan seram
terdengarnya:
“Apakah kau si anjing tua yang dulu hari telah
membinasakan seorang wanita yang lemah yang tak kuat
sekalipun mengikat ayam didusun nelayan ditepi sungai Kee
Leng?”

312
Benar-benar Soh Cian Lie besar nyalinya.
“Tidak salah” dia mengaku terus-terang. Ketika itu
beruntung sekali Cia Boen si bocah telah dapat
menyembunyikan dirinya. Dia tidak melainkan memberikan
jawabannya, sambil berkata-kata itu dia terus mengerahkan
tenaganya, untuk menyerang pula dengan Lo-auw sat-kang,
pukulan dari kematiannya itu, bahkan kali ini ia menggunai
tenaga yang berlebihan- Maka itu hawa yang panas segera
menyerang si anak muda.
Si anak muda tertawa perlahan, dingin nadanya. Ia tidak
berkelit atau menangkis, ia malah menyambuti serangan yang
berbahaya itu.
Untuk terkejutnya orang she Soh itu, ia mendapatkan
serangannya itu tertolak mundur dengan keras, dan selagi ia
kaget itu, hingga ia belum sempat memikir apa-apa, ia
merasakan matanya menjadi gelap. berbareng dengan mana,
tubuhnya tergempur hebat sekali. Tidak tempo lagi, ia
terpental mundur, jatuh menimpa undakan tangga batu. Ia
mempunyai tenaga dalam yang mahir, begitu roboh, meskipun
ia mengeluarkan suara tertahan, ia dapat segera mencelat
bangun dengan gerakan ikan gabus meletik, Hanya ia
mencelat bukan untuk menghadapi pula lawannya,yang ia tadi
pandang enteng, hanya ia berniat menyingkirkan diri.
Si anak muda berlaku awas gesit luar biasa. Ia mencelat
maju, untuk menguber. Nyata ia dapat bergerak lebih pesat
lagi. Waktu ia mengulur kedua tangannya, bagaikan kilat
cepatnya, ia dapat menyamber kedua pundak Cian Lie. Maka
itu, disitu terdengarlah suara meretek yang mengakibatkan
kedua tangan Kioe-sin si Merpati sakti menjadi mereyot turun
bagaikan daun pintu terlepas engselnya.
Si anak muda tidak berhenti sampai disitu. Dengan
kesebatan luar biasa, ia menyerang pula dengan pelbagai
totokan, mengenakan sembilan jalan darah, hingga dalam

313
sekejap itu juga, Soh Cian Lie tidak dapat bergeming lagi,
jidatnya mengeteskan peluh sebesar-sebesar kacang kedele,
dan mukanya mengkerut, tandanya dia merasa nyeri tak
terhingga, sama sekali tak dapat dia mengeluarkan suaranya.
Walaupun keadaan dan roman orang demikian rupa itu, si
anak muda. sedikitpun tidak mengasi lihat roman berkasihan,
sebaliknya dengan tertawa dingin la berkata:
“Soh Cian Lie, hendak aku membuat kau mati dengan
terang dan jelas. Aku beritahu kepadamu, tuan mudamu ini
ialah turunan dari Cia Boen serangan ini ialah serangan ilmu
silat Cit-jit souw-im Toan-hoen, artinya, dalam tempo tujuh
hari jiwamu bakal dibikin putus. Walaupun malaikat turun
kedunia, kau tak nanti terbebas dari totokanku ini. Baik kau
ketahui, tuan mudamu berniat agar kau mati perlahanperlahan,
sebab tidak demikian, maka sakit hatiku ini sukar
untuk dibikin lampias”
Kata-kata ini diachirkan dengan kesebatan- Dengan hanya
satu gerakan berkelebat, lenyaplah tubuh si anak muda.
suasana pun menjadi sunji sekali, kecuali suara menjereces
perlahan dari keempat batang lilin besar yang hampir habis.
suara itu juga hanya sebentar, lantas lenyap, lantas padam
sang api, hingga tinggal nyala benang sumbuhnya. Atau dilain
saat, gelap- gulitalah seluruh kuil itu.
Jilid 4.2. Dua jurus tambahan Bie Lek Sin Kang
Matahari baru muncul ketika dijalan kecil diantara Hoo-kan
dan Jim-kioe terlihat seorang anak muda lagi berjalan dengan
tindakan perlahan. Dialah seorang pelajar yang tampan, yang
tangannya mencekal sebuah kipas, Nampaknya dia bertindak
perlahan, tetapi buktinya, sebentar saja dia sudah melintasi
tiga sampai limapuluh tombak.

314
Pemuda itu bukan lain daripada si pelajar yang luar biasa,
jalah Cia In Gak alias Gan Gak. Memang ia sengaja mengambil
jalan kecil itu untuk menuju kekota raja, lantaran ia tidak ingin
menarik perhatian umum. Ia mengambil tepian sungai Houw
To Hoo, yang menuju ke ibukota kewedanan Hoo-kan.
Jalan kecil itu menuju ke Jim-kioe, terus ke Pa-koan dan
dan Kouw-an, lalu ke Hong-tay, untuk memasuki kota raja.
Ketika tadi malam habis membunuh Soh Cian Lie, ia
kembali kehotelnya untuk mengambil buntalannya, diwaktu
fajar ia berangkat, maka beradalah ia dalam perjalanan itu
Ketika ia sudah melintasi kota Hoo-kan, ditempat duapuluh lie
lebih dimana ada pepohonan tua yang lebat, ia mendapatkan
sebuah dusun kecil. Itulah dusun Jie cap lie-pou yang menuju
ke Jim-kioe, maka itu, walaupun tempatnya kecil, lalulintasnya
ramai, tak sedikit kuda dan kereta kaum saudagar
yang mundar- mandir.
Setibanya disitu, In Gak memasuki sebuah rumah makan
yang merangkap penginapan- ia mendapatkan sudah ada
banyak juga orang duduk bersantap. Ia mencari meja yang
masih kosong. Ia lantas dilayani seorang tua yang rambut dan
kumisnya ubanan, yang mukanya kuning dan tak hentinya
batuk-batuk. sedang suaranya pun serak. Disamping itu, dia
mempunyai sepasang mata yang tajam.
“Tuan ingin dahar apa?” tanya orang tua itu ramah-tamah.
“Aku habis jalan satu malaman, aku lapar, aku dapat dahar
apa saja barang makanan yang tersedia,” sahut In Gak
tertawa. “Tak usah loojinkee susah-susah menyiapkannya.”
“Begitu? Baiklah” kata empee itu yang terus berpaling
kedalam, untuk berkata-kata dengan suaranya yang serak:
“Anak Wan, mari bawa bahpauw, poci arak dan daging
untuk seorang tetamu kita ini”

315
“Ya, yaya” menyahut satu suara halus dari dalam, suaranya
seorang nona.
“Tuan, duduklah sebentar” kata si empee tertawa kepada
tetamunya.
“Cucuku akan segera datang dengan barang makanannya,
Dia dapat menyalakan api dengan cepat”
Ia memandang tetamunya, ia bersenyum, lantas ia pergi
kekursi bambu dipinggiran tembok. untuk duduk sambil
meramkan mata, rupanya untuk beristirahat. Barusan ia masih
batuk-batuk dua kali.
Sambil berduduk. In Gak memandang kearah semua
tetamu. Rupanya mereka itu semua saudagar-saudagar hasil
bumi. Ia melihat dua tetamu usia lebih- kurang empat puluh
tahun, yang alisnya tebal, matania besar, dan pakaiannya
singsat, sedang dipunggungnya tergendol golok. Anehnya
sembari minum mereka saban-saban mengawasi si orang tua,
mereka pun memperlihatkan senyuman dingin. ia heran
hingga ia jadi bercuriga.
Mungkinkah orang tua ini orang Rimba Persilatan dan
mereka ini datang kemari
mengandung suatu maksud? ia menduga-duga. Tengah ia
berpikir itu, mendadak telinganya mendengar: “Yaya, ini
barang hidangan, yang harus dimakan panas-panas, kalau
sudah dingin, nanti tak lezat didaharnya”
Dan suara itu pun halus.
Begitu ia menoleh, In Gak melihat seorang nona umur
empat- atau lima belas tahun. Benar dia mengenakan pakaian
kain kasar, tetapi kecantikannya tak jadi lenyap karenanya.
Dipandang si anak muda, dia agaknya likat, tapi matanya yang
jeli mengawasi anak muda itu. Ditangannya ada penampan
terisi barang makanan yang masih mengepulkan asap. Hanya
sekejab, lekas dia meletaki penampannya itu, lalu dengan air

316
muka bersemu dadu, cepat-cepat dia masuk kedalam, sambil
tunduk dan bersenyum.
“Dia cantik sekali,” pikir In Gak. Tapi ia tidak dapat berpikir
lama. Telinganya lantas mendengar satu diantara dua tetamu
usia pertengahan itu berkata kepada kawannya.
“Lao Toa, aku tidak sangka sekali ini tua bangka
berpenyakitan mempunyai seorang cucu wanita demikian elok
dan manis”
“Hm Kembali penyakitmu kumat” kata sang kawan.
“Tunggulah sebentar, sampai tibanya Tong-san Jie-niauw
Kenapa mesti terburu napsu?”
In Gak heran, lantas ia bersenyum ewah. Bukankah dua
orang itu bicara dari hal si nona? Kata ia dalam hatinya: Aku
ada disini Kau lihat saja Ia menduga dua orang itu bangsa
kurcaci.
Si orang tua pun dapat mendengar kata-kata orang itu.
Mulanya ia terkejut, ia mengawasi mereka. Cuma sebentar, ia
meram pula. Tapi barusan In Gak melihat mata yang bersinar,
sedikitpun tidak ada tandanya sinar mata orang lagi sakit
sekian lama si orang tua rebah, mulanya masih terdengar
batuknya, lalu ia berdiam saja, rupanya ia sudah kepulasan.
Para tetamu bergantian melanjuti perjalanan mereka, masingmasing
setelah meletaki saja uang diatas meja.
Paling akhir, karena tidak ada tetamu yang baru, disitu
tinggal In Gak berdua dua tetamu yang mencurigai itu.
Mereka berdua minum dengan hati tak tenang, mata mereka
terus celingukan, mulut mereka mengoceh dan mengutuk.
Tidak antara lama, dari dalam terlihat lari keluarnya
seorang bocah umur kira2 tujuh tahun. Dia beroman tampan
dan manis. Kedua matanya besar dan jeli, biji matanya hitam
dan terang. Dia mendatangi sambil tak hentinya berteriakan

317
“Yaya.. Yaya” memanggil kakeknya. Menyusul dia terlihat si
nona tadi. Ketika nona itu mendapatkan si anak muda belum
pergi, dia likat, dia mengendorkan larinya.
Si orang tua dibikin mendusin oleh suara berisik cucunya,
dia membuka matanya dan memeluk cucu itu, sembari
tertawa dia berkata: “Anak Ceng, bukankah kau berbuat nakal
pula hingga kau membuatnya kakakmu gusar?”
“Tidak, yaya, anak Ceng tidak nakal” menyahut anak itu
sambil mengawasi kakeknya, mulutnya dibikin monyong.
“Ceng cuma makan sepotong bahpauw, enci gusar, dia mau
merangket tanganku Lihat yaya, bukankah encie galak? “
Orang tua itu girang, dia tertawa lebar, suaranya nyaring. si
nona lantas menghampirkan.
“Yaya, batukmu belum sembuh, mengapa kau tertawa?”
katanya, setelah mana, ia tarik si bocah.
Si empee menghela napas, lantas ia meram pula.
Dua tetamu itu agak terkejut mendengar suara tertawa si
empee. Justeru itu
dari kejauhan terdengar siulan panjang, yang mendatangi,
lalu tertampak munculnya empat orang. Mereka datang
demikian lekas, suatu tanda mereka mahir ilmu ringan tubuh.
Pula barusan, tindakan kaki mereka tidak menjebabkan
mengepulnya debu.
Melihat empat orang itu, si nona terperanjat, mukanya
menjadi pucat. Tanpa merasa, dia mundur kedekat meja In
Gak.
“Nona, mari kasikan adikmu padaku” kata si anak muda
tertawa.
Nona itu menoleh, nampaknya dia berduka, tetapi dia
menyerahkan adiknya itu seraya berkata: “Paman, paling baik
kau ajak adikku ini sembunyi didalam. Mereka itu orang-orang

318
jahat, mereka datang untuk kakekku, mungkin mereka hendak
melakukan kejahatan”
In Gak menggoyang kepala, ia tertawa.
“Jangan kuatir,” ia menghibur.” Asal nona sendiri menjaga
dirimu baik-baik”
Nona itu tertawa. Dengan sekali menggeraki tubuhnya,
segera ia berada dibelakang kursinya si orang tua. orang tua
itu sendiri terus merapatkan matanya, ia seperti tidak ketahui
adanya ancaman badai dan hujan lebat.
Empat orang itu sudah lantas berdiri berbaris didepan kursi
si orang tua terpisah hanya lima kaki, semua dengan tertawa
menyeringai mengawasi orang tua itu, tatkala si nona pergi
kebelakang kursi, air muka mereka pada berubah menjadi
guram dan bengis. Dua diantaranya mencekal keras golok
mereka, agaknya mereka takut si orang tua nanti menyerang
mereka secara tiba-tiba.
“He, Hoe Liok Koan” kemudian menegur orang yang satu,
yang tubuhnya jangkung-kurus, “Jangan kau berpura-pura
mampus. Kau ketahui aku Ho Tek Pioe, sudah lima tahun
lamanya mencari kau. Baiklah kau tahu diri sedikit, lekas kau
keluarkan kitab ilmu silat itu, dengan begitu aku masih dapat
memberi ampun kepada selembar jiwamu”
Sekonyong-konyong saja si orang tua berseru nyaring
bagaikan guntur, sembari berseru itu kedua matanya
dipentang dan tubuhnya mencelat, dengan kedua tangannya
yang diajukan kedepan, ia menyerang keempat orang itu.
Inilah tidak disangka sekali, maka mereka itu terkejut,
meskipun mereka dapat berkelit mundur, tubuh mereka toh
terhuyung.

319
Setelah itu si orang tua memisahkan diri dua tombak.
dengaa sorot mata gusar ia mengawasi Ho Tek Pioe berempat
itu.
Si nona terkejut, tetapi dia lantas bekerja, dengan
berlompat kebelakang si orang she Ho, dia menyerang.
Ho Tek Pioe mendengar suara angin dibelakangnya, ia
memutar tubuh, ia menangkis dengan kedua tangannya. si
nona cerdik dan gesit, selagi ditangkis itu, hingga tangan
mereka berdua bentrok. la meneruskan untuk berlompat
jumpalitan, dengan begitu ia turun pula dibelakang si orang
tua, kakeknya itu.
Menampak sepak-terjang si nona, si orang tua kelihatan
gusar.
“Wan-jie, mengapa kau lancang turun tangan?” dia
menegur. “Lebih baik kau melindungi Ceng-jie”
“Ya y a” menyahut si nona, air matanya mengembeng.
“Kenapa kau tidak dengar kata?” membentak pula si orang
tua, matanya menatap tajam. “Lekas”
Menyusul itu, kerongkongan orang tua ini mengasi dengar
suara serak. lalu itu disusul dengan batuk-batuk.
Nona itu terpaksa, dengan berduka ia menggeser tubuhnya
kedepan In Gak.
Si bocah,yang dipanggil Ceng-jie, tak hentinya memanggil
paman kepada In Gak dan berulang kali dia menanya ini dan
itu. In Gak sendiri, sambil mengusap-usap kepala orang dan
menyahuti secara sembarangan, setiap saat memasang mata
kepada suasana dihadapannya itu.
“Tua-bangka she Hu” terdengar pula suara kasar dari si
orang she Ho, yang tertawa terbahak-bahak. “Dulu hari itu
beruntung kau lolos dari tanganku si orang she Ho, walaupun
demikian, kau tidak lolos seluruhnya, kau telah merasai juga
liehaynya Tangan Pasir Merah dari aku sebenarnya sulit untuk
orang luput dari kematian, setelah dia terhajar tanganku, tak

320
ada obat untuk itu, tetapi kau, mahir sekali tenaga dalammu,
kau masih bisa mencari hidup sampai lima tahun. Kau hebat
sekarang kau dapat dicari olehku, sekarang apa kau hendak
bilang? Makin kau bergusar, makin lekas kau mampus Maka
janganlah kau bandel dan tak mau sadar, baik lekas kau
serahkan kitab ilmu silatmu itu. Didepan aku Tong-san Jieniauw,
cuma dengan bicara baik barulah kau mendapat
kebaikan”
Napas memburu dari si orang g tua sudah berhenti, tetapi
suara seraknya tetap tak mau hilang. Dia kata, sabar tetapi
tetap: “Ho Tek Pioe, jangan kau mengandalkan jumlahmu
yang banyak. Aku si orang tua, belum tentu aku jeri kepada
kamu”
In Gak mendengar suara parau luar biasa dari orang tua
itu, yang dipanggil Hoe Liok Koan, ia tahu itulah sebab si
orang tua telah menggunai berlebihan tenaga dalamnya.
Teranglah orang tua ini sudah bertahan terhadap pukulan
Ang-see-ciang, atau Tangan Pasir Merah, dari orang she Ho
itu, bahwa kalau tetap dia bertahan, akan ludaslah sisa
tenaganya, akan melayanglah jiwanya. Tentu sekali tidak
dapat ia menonton terus. Maka dengan perlahan ia kata pada
si nona: “Nona, kau empo si Ceng ini” sembari berkata, ia
serahkan bocah itu, menyusul mana, tangannya diarahkan
kepada dua orang yang memegang golok. Ia seperti menotok
dengan jari tangannnya.
Mendadak dua orang itu roboh terguling saling susul,
hingga robohnya itu membikin debu mengepul naik, Maka
kagetlah empat orang yang datang belakangan itu, mereka
memutar tubuh dan melihatnya dengan tercengang. semua
mata mereka lantas ditujukan tajam kepada si pemuda.
In Gak bersenyum, dengan tenang ia bertindak kedepan
Tek Pioe, dengan tenang juga, ia berkata:

321
“Aku belum mendengar tentang sebab-musabab dari
permusuhan kamu hingga kamu datang kemari untuk
memperhebat permusuhan itu, akan tetapi melihat sikap
garang dari kau musang sangat menghina seorang tua yang
lagi sakit, aku dapat merasakan pastilah kamu bukan manusia
baik-baik Maka itu tuan mudamu mempunyai satu perkataan:
Baiklah kamu tahu diri, lekas-lekas kamu menggoyang
ekormu, untuk ngeleyor pergi dari sini Ini hari, cuma inilah
kata- kata ku yang manis”
Ho Tek Pioe tercengang. Inilah ia tidak sangka dari si anak
muda tidak dikenal itu, yang ia anggap usilan dan sangat
terkebur. selagi ia berpikir, maka seorang disampingnya maju
setindak seraya mengasi dengar suaranya yang parau-nyaring:
“Binatang, kau berani mencampuri urusannya Tong-san Jieniau?
Apakah kau tidak pernah mencari tahu?”
Belum berhenti suara itu atau itu disusul dengan
gaplokanyang nyaring, maka panas dan merahlah muka orang
itu, yang menjadi bengkak-bengap. sedang dari mulutnya
keluar darah lantaran giginya tergempur.
In Gakpanas sekali, sebelum orang bicara habis, ia sudah
melayangkan sebelah tangannya, yang cepat dan mengenai
tepat, sembari menghajar itu, ia menanya: “Mencari tahu apa?
Lekas bilang?” Ia tidak memperdulikan orang menyebut
dirinya Tong-san Jie-niauw Dua Burung dari Tong san.
Hoe Liok Koan dan kedua cucunya menjadi heran dan
girang dengan berbareng. Si orang tua menjadi mendapat
harapan pula. Ia tidak sangka sekali, pemuda yang mulanya
nampak demikian halus gerak-geriknya ternyata mempunyai
kepandaian yang luar biasa. Lihat saja gerakan tangannya
yang cepat bagaikan angin itu.
Si Ceng menjadi demikian gembira, hingga dia bertepuktepuk
tangan dan berkata dengan nyaring: “Paman, hajarlah

322
mereka lebih banyak. Mereka sangat menghina kepada yaya
kami”
Orang yang digaplok itu Kioe-tauw-siauw Tam Liong, si
Kokok-beluk Kepala sembilan. Dialah salah satu dari Tong-san
Jie-niauw yang paling telengas dan licin. Dia kaget dan
kesakitan, dengan tangannya dia lantas mengusap-usap
pipinya yang bengap itu, sedang dengan matanya dia
mengawasi ketiga kawannya, maksudnya mengajaki untuk
meluruk. guna mengerojok si anak muda. Tapi Ho Tek Pioe
mengedipi mata, mencegah pihaknya lancang turun tangan.
Tek Pioe serta dua kawannya itu ragu-ragu. Mereka telah
mendengar kabar angin halnya selama yang belakangan ini,
dunia Kang-ouw sudah dibikin guncang oleh beberapa pemuda
tidak dikenal, yang dikabarkan liehay luar biasa, bahwa Rimba
Persilatan gempar karenanya. sekarang mereka menghadapi
pemuda ini, mereka mau menduga mungkinlah dia salah satu
diantaranya. Jadi Tek Pioe ingin ketahui dulu siapa guru si
anak muda.
Tapi Tam Liong panas hati, melihat kawan- kawannya
berdiam, ia lantas mengeluarkan senjatanya, sepasang poankoan-
pit, gegaman mirip alat tulis, lantas dia berseru:
“Mencari tahu apa? Mencari tahu apakah aku Kioe-tauwsiauw
Tam Liong dari Tong-san Jie-niauw dapat dipermainkan
atau tidak?”
In Gak tertawa lebar.
“Dapat dipermainkan atau tidak, tuan mudamu ini tetap
hendak mempermainkannya” ia menjawab, halus dan jenaka.”
Aku bilang padamu, jikalau hari ini kamu memikir untuk
pulang dengan tubuh utuh, itulah pikiran ngaco-belo, khayal..”
Tam Liong tidak bicara pula, dengan tiba-tiba dia maju
untuk menyerang dengan sepasang senjatanya yang liehay
itu. Itulah salah satu dari tigapuluh-enam jurus si Raja-setan

323
Ciong Hiok Menakluki iblis. Dan ketika serangannya yang
pertama gagal, ia mengulangi dengan yang kedua, terus
sampai yang keenam, selama mana ia mengarah enam jalan
darah khie-hay, pek shwee, kin-ceng, sim-jie, cie-tong dan
beng-boen. Itulah ilmu silat yang dulu hari membuat sin-piehiap
Ciong Kie dari Boe Tong Pay mengemparkan Rimba
Persilatan, hanya tidak diketahui, dari mana Tam Liong, dapat
mempelajariny a. Biasanya siapa diserang dengan tipu silat itu
dia mesti terbinasa atau sedikitnya terluka parah, sebab
diujung poan-koan-pit ada alat rahasianya, disitu tersimpan
duapuluh-empat batang jarum beracun Boen-sim-ciam. Begitu
kena racun dapat merembes keulu-hati.
Tam Liong menanti ketika akan memencet alat-rahasianya
itu. Didalam hatinya ia kata: “Kau tunggu, Kau lihat liehaynya
Tam Liong, Hm!”
In Gak tidak mau mengasi hati kapan ia mendapatkan
orang demikian kejam, selagi orang memikir untuk menggunai
senjata rahasianya, ia sudah melakukan penyerangan
membalasnya. Mendadak kedua tangannya bergerak.
“Bocah, kau cari mampusmu” kata Tam Liong dalam hati.
Ia girang bukan main. Akan tetapi ia terlambat. Berbareng
dengan niatnya memencet alatnya itu, ia merasai jantungnya
terguncang keras, lantas matanya menjadi gelap. tahu-tahu
tubuhnya terpental mundur tiga tombak dimana ia roboh
bagaikan bukit ambruk. bahkan ia lantas putus jiwa dengan
dari mulutnya keluar darah hidup.
Dengan kesebatan bagaikan kilat, in Gak maju untuk
mencekal kedua nadi musuh, membarengi mana kaki
kanannya terangkat, mendupak tubuh orang telengas itu,
selagi tubuh itu mulai mental, ia merampas kedua poan-koanpit
selagi musuh roboh terkulai, In Gak berlompat mundur.
“Ini sepasang senjata aku hadiahkan kepada kau” ia kata
pada Ceng-jie, kepada siapa ia menjerahkan poan-koan-pit.

324
“Inilah hadiah dari pamanmu kepadamu” Ceng-jie berontak
dari rangkulan kakaknya, ia menyambuti senjata itu. “Paman,
terima kasih” katanya, tertawa girang.
Dilainpihak, Tek Pioe bertiga kaget sekali. Nyata benar
kecurigaannya bahwa pemuda didepannya ini salah satu
pemuda yang digemparkan. Bukankah Tam Liong terbinasa
secara kecewa? Maka menyesallah mereka sudah turun
tangan tanpa menanti orang pergi dulu, habis mana baru
mereka menghajar si tua.
Mereka pun menjesal tidak mencurigai si anak muda
semenjak tadi mereka baru sampai. sekarang sudah terlanjur
terpaksa Tek Pioe membesarkan nyali.
“Kami Tong-san Jie-niauw, kami tidak bermusuh dengan
kau, kenapa kau
menurunkan tangan jahat?” dia menegur si anak muda.
In Gak tidak menjadi gusar, bahkan sebaliknya, ia
bersenyum.
“Apakah kau tidak dengar tadi apa katanya Tam Liong?” ia
bertanya.
“Bukankah dia menyuruh aku mencari tahu siapa dia?
Bukankah kau yang membilang bahwa dibawah tangannya
Tong-san Jie-niauw tidak bakal orang dapat lolos? Karena itu
tuan muda kamu menjadi jeri, dia terpaksa menggunai semua
tenaganya Apa celaka, dia kesalahan tangan. Maka aku mohon
sukalah kamu memaafkannya”
Baru habis berkata, si anak muda menambahkan bengis:
“Apakah kamu tidak pernah mencari tahu, dibawa h tanganku,
berapa orang jahat yang pernah dapat hidup?”
Tubuh Tek Pioe menggigil, peluhnya membasahkan
pakaiannya.
“Aku si orang she Ho ketahui aku tidak dapat melawan,
maka urusan ini baiklah ditunda,” katanya terpaksa. “Gunung

325
hijau tidak berubah, dari itu dibelakang hari kita akan bertemu
pula”
Habis berkata, tanpa menanti jawaban, Tong-san Jie-niauw
memberi tanda kepada dua kawannya, untuk mengangkat
kaki, ia sendiri segera memutar tubuhnya, akan tetapi belum
lagi ia bertindak. atau ia merasakan berkesiurnya angin, lantas
si anak muda telah berada didepannya dengan wajahnya
berseri-seri. Mereka menjadi sangat kaget, ketiganya
menyedot hawa dingin. Hebat kegesitan si anak muda.
“Tuan, mengapa kau terlalu menghina orang?” kata Tek
Pioe, yang hatinya menjadi ciut. “Kau memegat kami, apa lagi
yang kau hendak bicarakan?”
Sebelah tangannya In Gak melayang, atau pipinya orang
she Ho itu berbunyi nyaring, hingga dia lantas membekapnya.
“Kau masih berani menyebut terlalu menghina orang?:
tanya si anak muda.
“Hoe Tayhiap sudah menyembunyikan diri lima tahun
lamanya, kau masih tidak mau mengasi ampun, Kenapakah?
Dan sekarang kau bermuka begini tebal berani menegur aku?
Aku ulangi pada kau, semenjak aku muncul maka tidak ada
orang yang dapat lolos dari tangan tuan mudamu ini. Itulah
aturanku dan tidak dapat aku merusaknya sendiri. Tapi aku
masih hendak memberi muka kepada kamu sekarang lekas
kamu membunuh dirimu, supaja tak usah aku sampai turun
Tangan”
Itulah desakan hebat, maka dua kawannya Tek Pioe
menjadi kalap, dengan berbareng mereka menghunus senjata
mereka, dengan berbareng juga mereka menyerang si anak
muda.
Nona Wan menjadi sangat kaget hingga ia menjerit, tetapi
jeritannya itu disusul dengan berkontrangnya dua senjata
yang terlepas jatuh, disusul pula dengan robohnya kedua
penyerang itu, yang terus rebah melingkar bagaikan ular.

326
Selama terjadi penyerangan itu, Tek Pioe berlompat
menyingkir, dengan dua loncatan saja dia telah bisa
memisahkan diri lima tombak lebih. Akan tetapi In Gak tak
membiarkannya. Habis ia menotok roboh kedua penjerang, ia
memutar tubuh menghadapi Tong-san Jie-niauw, kedua
tangannya diluncurkan dan ditarik pulang dengan sebat.
Dengan itu ia menggunai ilmu silat Bie-lek sin-kang bahagian
menyedot. Maka tubuh Tek Pioe bagaikan tertarik. percuma
dia meronta, dia terbawa balik ketempat dimana barusan dia
berdiri, dia roboh terbanting hingga matanya kabur dan
ingatannya terbang, belum lagi ia mendusin, si anak muda
sudah menotok pinggangnya. Habis itu pemuda itu, sembari
bersenyum, bertindak menghampirkan si orang tua she Hoe.
Liok Koan tercengang, lalu ia menghela napas panjang.
Bukan main ia kagum untuk liehaynya si anak muda, sembari
menggeleng kepala ia kata seorang diri: “Benar2, gelombang
sungai Tiang Kang yang dibelakang mendampar yang didepan,
orang lama menggantikan orang baru, dan orang sudah tua
tidak ada gunanya”
Menampak si anak muda mendatangi, lekas2 ia maju
memapak. baru dua tindak. ia sudah menjura dalam seraya
berkata: “Siauwhiap. kau telah menolong i aku si orang tua,
aku sangat berterima kasih”
In Gak mengulur kedua tangannya, untuk mengasi bangun
pada orang tua itu.
“Inilah urusan sangat kecil, tak usah bicara dari hal terima
kasih,” katanya.
“Hoe Tayhiap. kau terlalu merendah”
Tapi segera ia memandang kepada enam mayat, alisnya
dikeruti, katanya: “Enam benda itu, berabeh juga untuk
mengurusnya”
“Tidak berabeh, siauwhiap” berkata Liok Kean, yang terus
merogo sakunya untuk mengeluarkan sebuah peles kecil,

327
setelah membuka tutupnya, ia menggunai kukunya mengambil
isinya, bubuk warna kuning, bubuk mana ia peluruki masuk
kedalam hidungnya enam orang jahat itu. Maka berselang
sekian lama, keenam majat itu lantas berubah menjadi cair
kuning.
Ceng-jie telah menghampirkan In Gak. dengan kedua
tangannya ia merangkul leher si anak muda.
“Jangan tidak tahu aturan” Liok Koan menegur cucunya itu,
setelah mana, ia batuk2 hingga pinggangnya melengkung,
mukanya merah, air matanya mengalir keluar. sampai
beberapa saat, baru ia dapat berdiri pula dengan lempang,
sedang Wan-jie lantas menumbuki punggungnya. Ia nampak
berduka sekali.
In Gak mengawasi orang tua itu, lalu ia berkata: “Hoe
Tayhiap, jangan bersusah hati, penyakitmu ini bukan penyakit
yang bakal dibawa mati. Aku yang muda, dapat aku
mengobatinya.”
Orang tua itu mengangkat kepalanya, ia mengawasi, lantas
ia menghela napas.
“Ketika pertama kali aku terhajar Ang-see-ciang dari Ho
Tek Pioe, lantas aku pergi minta pertolongannya Goei Peng
Lok, tabib yang dijuluki say-hoa-to dikota Ciang-peng. Aku
diberi ohat tetapi katanya cuma untuk bertahan selama enam
tahun, maka itu, siauwhiap, walaupun mempunyai obat dewa,
tak nanti kau dapat menolong aku”
In Gak tahu orang tidak percaya, ia tertawa.
“Hoe Tayhiap, janganputus asa,” ia berkata. “Nasib itu ada
ditangan kita. Umpamakata penyakit tayhiap benar penyakit
yang bakal dibawa mati, kau toh dapat membebaskan dirimu
dari siksaan”
Mendengar demikian, Liok Koan tidak menolak lebih jauh.

328
“Dengan begitu kembali aku membikin kau berabeh,
siauwhiap” katanya.
Lantas ia mengajak anak muda itu kekamarnya dimana ia
membuka bajunya.
Apabila In Gak sudah memeriksa luka, ia mengerutkan
alisnya. Luka itu dipunggung, disitu kedapatan tapak tangan
warna merah tua, kapan ia menekan itu, ia membentur kulitdaging
yang lembek sekali. Habis itu ia memeriksa kedua nadi,
yang denyutannya sangat lemah.
“Hoe Tayhiap, jangan kuatir” katanya kemudian,
bersenyum. “Masih ada harapan”
Ia ingat pada Hian-wan sip-pat-kay dalam mana ada
pelajaran tentang nadi. Kemudian ia berpaling pada Nona
Wan, sembari tertawa ia kata: “Hari ini jangan berusaha, pergi
kau menutup pintu”
Nona itu menyingkap rambutnya yang turun, dia tertawa.
“Baiklah” sahutnya sambil ia terus berlari keluar bersama
Ceng-jie.
In Gak lantas bekerja. Ia meloloskan baju dan celananya
Hoe Liok Kean, untuk terus mengurut dipelbagai bagian tubuh,
kalau perlu, ia memencet. sebat sekali ia bekerja. Hingga
darahnya si orang tua berjalan dengan lurus. selama itu,
orang tua ini menderita. Kalau panas, ia merasakan panas
sekali, dan kalau dingin, ia merasakan dingin bagaikan es.
Beberapa kali ia sampai merintih. Tapi ia bertahan.
Tidak lama Wan-jie dai Ceng-jie kembali, ketika si nona
melihat tubuh telanjang lagi tengkurap dari kakeknya, ia batal
masuk kedalam kamar. Ketika itu In Gak pun lantas menanya,
ia mempunyai alat tulis atau tidak.
Wan-jie menyahuti, terus ia pergi, akan mengambil barang
yang diminta. Ia masuk kedalam kamar sesudah In Gak
menutupi tubuh si orang tua.

329
Nona dan bocah itu masih nampak berduka. Ceng-jie
mendekat kakeknya dan menanya apa si kakek merasa
baikan.
Liok Koan tidak menyahuti, ia bahkah merintih lebih keras.
“Sudah, adik, jangan ganggu kakek” si nona bilang seraya
menarik tangan adiknya.
“Ah, encie banyak omong” kata bocah itu. “Pantas kakek
pernah bilang, entah bagaimana kalau nanti kau sudah
menikah”
I Gak tertawa. Bocah itu jenaka.
Mata Wan-jie mendelik. “Adik, jangan ngoco” tegurnya.
“Apa kau mau dihajar? “
Ia membetot tangan orang.
“Lihat, paman” kata bocah jail itu. “Encie galak sekali, Apa
paman tidak mau menghajar dia?”
In Gak tertawa. Ia tidak meladeni bicara, ia hanya menulis
surat obatnya. Kemudian sambil menyerahkan itu pada si
nona, ia kata: “Kau belikan obat ini, lantas masak menurut
aturannya.”
Nona Wan menurut, ia berlalu dengan diikuti Ceng-jie.
In Gak memeriksa pula tubuh si orang tua. Tapak
merahnya sudah berkurang. Kembali ia menguruti. Kali ini Liok
Koan tumpah-tumpah, yang keluar ialah gumpalan-gumpalan
darah mati yang sangat bau. Bersama itu berubah pula tapak
tangan, dari merah gelap menjadi merah dadu.
Tidak lama Nona Wan datang dengan obat. In Gak lantas
pakai itu untuk memborehkan ditempat yang luka. Liok Koan
menahan sakit tetapi ia masih teraduh-aduh hingga Wan-jie
meleleh air matanya dan Ceng-jie menangis saking
berkasihan.

330
Akhirnya selesai sudah In Gak mengurut. Tapak merah
dipunggung hanya tinggal berbayang. Tapi Liok Koan pingsan
karenanya. Ia lantas ditusuk dengan jarum emas didua belas
tempat, ketika ia mendusin, ia merintih pula. Ia dikasi makan
obat godokan setelah semua jarum dicabut, terus ia diselimuti.
“Sekarang, tayhiap, tidurlah untuk kira2 dua jam” In Gak
mengasi tahu. “Sebentar boleh makan obat lagi. Aku percaja
kau akan segera sembuh.”
Liok Koan mengucap terima kasih. Ia menurut, ia terus
tidur. In Gak mengajak Wan-jie dan Ceng-jie keluar, pintu
kamar ditutup.
“Ceng-jie” tanya si anak muda setelah mereka diluar,
“Apakah kau suka pamanmu mengajari kau menggunai poankoan-
pit?”
“Suka.. Suka..” menyahut bocah itu kegirangan. Ia lantas
lari kedalam, untuk mengambil senjatanya Tam Liong, yang
tadi diberikan padanya.
“Ini, paman, ini’”
Juga Wan-jie mengharap diajari silat, seperti Ceng-jie, ia
sangat memuja pemuda itu.
Baru sekarang I n Gak sempat memperhatikan poa nkoan-
pit itu, yang indah buatannya dan tepat dicekalnya. Ia
lantas menuturkan ilmu yang ia mau mengajarinya yaitu Ciong
Hiok Hok mo sha cap lak-to, setelah itu ia menjalankan itu
untuk dilihat dan diperhatikan si Ceng. Tentu sekali, ia dapat
menjalankan lain daripada Tam Liong.
Ceng-jie belajar sungguh2, berani ia menanya ini dan itu,
cepat ia ingat, hingga In Gak girang. Pemuda ini memuji orang
berotak terang. Wan-jie menyaksikan dengan perhatian.
“Nona Wan, apa kau pun suka pelajaran ini?” In Gak tanya.
“Baik kau coba”

331
Wan-jie mengangguk. Ia nyata lebih cerdas daripada
adiknya, ia bisa belajar dengan lebih cepat dan rapi. Hingga in
Gak bertambah girang.
“Kamu gemar silat, baiklah, akan aku mengajari lagi” kata
In Gak kemudian, sesudah keduanya ingat baik2 ilmu poa nkoan-
pit itu. Ia mengajari ilmu pedang Pek wan-kiam atau
Kera Putih yang sederhana, dan gerak-gerik tindakan kaki
Kioe-kiong Im- yang Ceng-hoan Pou-hoat. Ia kata, dengan
pandai ketiga ilmu silat itu, si nona dan si bocah belum dapat
menjagoi, tapi cukup untuk membela diri andaikata mereka
menghadapi jago kelas satu atau kelas dua.”
Wan-jie girang. ia mengambil pedangnya. Dengan sabar In
Gak memberikan pelajarannya.
“Sekarang berlatihlah sendiri” katanya kemudian, selang
dua jam. Ia terus masuk kekamar Liok Kean, yang sudah
mendusin-
“Siauwhiap” berkata orang tua itu tertawa, “Sekarang aku
merasakan napasku lega, aku telah menjadi seperti dua orang
yang berlainan. Budimu sangat besar, entah bagaimana aku
membalasnya”
Dengan tajam ia mengawasi anak muda itu, kemudian ia
menghela napas dan kata: “Kau masih begini muda tetapi ilmu
silatmu liehay sekali, kaulah seorang luar biasa. Coba aku
tidak melihatnya sendiri, sukar aku percaya”
In Gak tertawa.
“Nah ini, tayhiap, minum pulalah obatmu” ia kata.
Liok Koan menurut, kemudian ia merapikan pakaiannya,
untuk bertindak kepintu, hingga ia melihat kedua cucunya lagi
berlatih. Ia heran dan kagum, kemudian sembari tertawa, ia
kata: “Bagaimana beruntung kedua cucuku ini yang telah
mendapatkan pendidikan kau, siauwhiap”
Ia girang dan bersjukur.

332
“Mereka itu berbakat baik, sayang mereka tidak menemui
guru yang pandai” In Gak bilang.
“Ah,ya” kata si orang tua tiba-tiba.” Aku gila sekali. Aku
tidak tahu aturan sudah sekian lama kita bertemu, aku masih
belum menanyakan she dan namamu, siauwhiap. Maaf”
In Gak bersangsi sebentar, lantas ia perkenalkan diri
sebagai Gan Gak.
Selagi mereka berbicara, Ceng-jie berhenti bersilat, ia lari
pada kakeknya, untuk merangkul.
“Sudah baik, engkong?” tanyanya gembira. “Paman ini baik
sekali, sudah dia menolongi engkong, dia pun mengajari aku
dan encie ilmu silat, Engkong, coba tolong tanya paman, dia
suka menerima aku sebagai murid atau tidak?”
In Gak menarik bocah itu, ia buat main pipinya yang
merah-dadu.
“Dengar, anak Ceng” katanya riang. “Pamanmu suka
mengajari kau silat, tetapi sekarang aku mempunyai urusan
penting, tidak dapat aku menemani kau lama2. Aku mau
berangkat sebentar malam. Asal kau rajin berlatih, tentu
pamanmu girang.”
Mukanya Ceng- jie menjadi guram. Wan-jiepun masgul,
ingin ia bicara, selalu ia gagal. Maka keduanya terus berdiam
saja.
Liok Koanpun masgul, ia menggeleng kepala dan menghela
napas. Ia pun ingat nasib cucunya yang perempuan itu, yang
sudah berumur empatbelas tahun, sedang dihadapannya ada
seorang muda yang tampan dan gagah. Tentu sekali, tidak
berani ia sembarang membuka mulut. Maka ia masuk
kedalam, akan keluar pula dengan sejilid buku yang berkulit
kambing. Ia menyerahkan itu pada si anak muda seraya
dengan roman berduka ia berkata:
“Inilah kitab ilmu pedang karena mana bukan saja anak
dan mantu perempuanku telah terbinasa, aku si orang tua

333
sendiri hampir hilang jiwaku. Kitab ini didapatkan anakku
didalam guha dipuncak gunung Heng san. Ketika itu pun ada
datang belasan orang lain, yang mencarinya. Mereka bentrok.
Disana anak dan menantuku menemui ajalnya dan aku
terkena pukulan Ang see Ciang dari Ho Tek Pioe, syukur aku
sempat meloloskan diri. sayang sebuah pedang, yang
bernama Thay-ko-kiam, sudah kena dirampas seorang jahat
yang tidak diketahui. Tetapi dia gampang dikenali. Dia tinggi
delapan kaki, macamnya mirip labu, dan mukanya bertitik
bule.”
Ia menunjuk kedua cucunya dan menambahkan:
“Kami asal kota Lokyang, mereka ini ketolongan oleh
seorang bujang wanita, setelah aku sampai dirumah, aku
bawa mereka pergi kepada tabib di Peng-ciang untuk aku
berobat, kemudian kita tinggal bersembunji disini. Aku tidak
sangka, Tong-san Jie-niauw tidak mau melepaskan aku,
mereka menyusul kemari. Kitab ini bertuliskan huruf-huruf
Kah-koet-boen, aku tidak paham surat, percuma aku
memilikinya, dari itu baiklah aku menghadiahkan kepada
siauwhiap saja.”
In Gak menampik,
“Tak berharga untukku menerimanya” katanya.
“Jikalau kau menampik, siauwhiap, kau memandang asing
kepadaku” kata si orang tua, membujuk. “Apakah kau tidak
mengerti bahwa pedang itu harus dimiliki oleh orang yang
bijaksana?”
Mendengar demikian, anak muda itu tidak dapat menampik
terlebih jauh.
“Terima kasih” katanya. Lantas ia membalik-balik lembaran
kitab itu, atau mendadak dia berseru seorang diri. Kitab itu
ialah kitab Bie-lek sin-kang bahkan disitu ada dua jurus
lainnya, ialah Im-kek yang-seng dan Liok-hap-hoa-it jurus2
yang istimewa. Ia lantas berkata: “Ini dia rupanya yang

334
disebut peruntungan. Kitab ini kitab yang ilmu silatnya aku
pelajarkan, maka kalau kitab ini didapatkan golongan sesat,
tentu Rimba Persilatan bakal merupakan darah yang berbau
amis. Tayhiap, aku mendapat hadiah ini, tidak dapat aku
membalasnya, maka itu aku ingin mengajari ilmu tenaga
dalam, untuk menyalurkan dan menguasai pernapasan, yang
mana pasti besar faedahnya untuk tayhiap serta kedua
cucumu.”
Habis berkata begitu, tanpa menanti lagi, In Gak mengajari
kouw-koat, atau teori ilmu tenaga dalam itu. Ia pun membagi
masing-masing sebutir obatnya kepada mereka bertiga, untuk
mereka lantas menelannya, hingga mereka merasa lega dan
harum mulut mereka.
Jilid 4.3. Jie In, ya Tabib ya Pelajar
Hoe Liok Koan girang sekali, berulang kali ia menghaturkan
terima kasih.
Setelah itu, Wan Jie, yang pergi kedalam, kembali dengan
bahpauw yang masih mengepul-ngepul, melihat mana, In Gak
tertawa dan kata pada si orang tua: “Lihat, tayhiap. cucumu
pintar sekali, dia tahu yang pamannya sudah lapar”
Lalu, tanpa malu2, ia makan kuwe itu.
Si nona. tertawa, dia kata pada kakeknya: “Lihat, engkong,
Gan siauwhiap tidak lebih tua banyak daripada cucumu tetapi
dia banyak tingkahnya, orang sungkan padanya, orang
memanggil dia paman, lantas dia menjebut dirinya paman,
paman”
Habis berkata begitu, si nona bersenyum.
Liok Koan pun bersenyum, tetapi ia membungkam. Ia pikir
cucunya itu benar juga. satu kali si cucu memanggil paman,
itu berarti orang menjadi bertingkat lebih tua dan panggilan

335
itu sukar diubahnya. Dilain pihak ia tidak mengerti si cucu,
selagi ia sendiri memanggil siauwhiap. kenapa itu
membahasakan paman.
In Gak tertawa bergelak. Ia memandang mereka, ia makan
terus bahpauwnya. Ialah seorang cerdik, dapat ia membade
apa apa yang dipikir Liok Koan dan Wan-jie. Karena ini ia
masgul. Ia lantas ingat Tio Lian Coe si nakal dan Cioe Goat
Goyang lemah gemulai. Ia tertawa melulu untuk
menyembunyikan rasa hatinya itu.
Wan-jie merasa mukanya panas mendengar tertawa
kakeknya. Ia percaya kakek itu telah dapat membade hatinya.
Dalam usia empatbelas tahun, ia sudah dapat berpikir. Ia tahu
ada nona-nona umur lima- dan enambelas tahun, yang sudah
merantau. Ia sendiri, ia mesti berdiam saja didalam rumah.
Lantas ia membentur lengan Ceng-jie, justeru adik itu lagi
menyuap. hingga si adik heran.
Ia mengedipi mata dan kata: “Adik Ceng, coba pikir, kita
mengubah panggilan apa yang tepat?”
Borjah itu juga cerdik sekali. Ia lantas melirik kepada In
Gak. Mendadak dengan kedua tangannya ia sambar tangan
kanan si anak muda. Ia kata: “Coba bilang, jikalau aku
memanggil kau engko Gan- bagus tidak?”
In Gak tercengang. Ia berduka. Ia pikir: Usia mereka tak
beda jauh dengan usiaku, pantas kalau mereka memanggil
kakak. tetapi ini budak- dia mengandung maksud apakah?
Jangan-jangan. Ia takut memikirnya, maka ia berpura-pura
tertawa. Cepat ia menyahuti: “Kamu boleh memanggil apa
saja, sesukamu. Kenapa kau main putar2 dan menyuruhnya
adik Ceng?” ia tambahkan pada si nona. Wan-jie tidak
menyahuti, ia tunduk dan bersenyum.

336
Liok Koan sebaliknya tertawa lebar. Katanya: “Ah, kamu
berdua setan cilik Bagaimana kamu berani manjat cabang
yang tinggi? Siauwhiap, tak usah kau layani mereka”
Ia berhenti sebentar, cepat ia menambahkan, “Siauwhiap.
benarkah sebentar malam kau hendak berangkat pergi?
Bagaimana kalau kau nginap satu malam, besok baru kau
pergi?”
In Gak tertawa.
“Itu artinya aku mengganggu” sahutnya.
Itu artinya menerima baik permintaan, maka Ceng-jie
girang tidak kepalang, ia tertawa tak hentinya.
“Kunyuk cilik, jangan terlalu bergirang” kata In Gak
tertawa. “Habis dahar ini, aku mau pergi keluar, sebentar aku
ingin lihat, kau bersamedhi sempurna atau tidak. jikalau tidak,
awas, aku nanti hukum padamu”
Ceng- jie mengulur lidahnya, ia mementang matanya. Ia
demikian lucu hingga Wan-jie tertawa, hanya si nona mesti
lantas pergi kedalam, untuk menyiapkan barang hidangan
buat sebentar malam.
In Gak pergi keluar. Ia berjalan cepat. Ia pergi kesebuah
bukit kecil dimana ada banyak pepohonan serta selokan yang
airnya mengalir. Ia mencari tempat yang sukar terlihat lain
orang dimana segera ia mengeluarkan kitab hadiahnya Hoe
Liok Koan- untuk membuka lembarannya. Ia memeriksa
bagian sin-kang, yang terdiri dari empat belas jurus, duabelas
antaranya sama dengan ajarannya Beng Liang Taysoe,
bedanya ialah kepandaian Beng Liang itu didapat dari Boe
Beng siangjin, dan Boe Beng siangjin mendapatkannya dari
peryakinan sendiri selama beberapa puluh tahun digunung
Thian san Utara, hingga seluruhnya ada juga beberapa gerakgeriknya
yang kurang jelas untuknya. Baiklah nanti aku pulang
kegunung untuk menanya jelas pada soehoe, pikirnya.

337
Kemudian ia lantas membaca dua jurus lagi, yang masih
asing untuknya, ialah jurus- jurus Im-kek yang-seng dan Liokhap-
hoa-it. setelah dapat memahami, ia mencoba bersilat
dengan itu. Nyata ia berhasil, bahkan hasilnya sangat
menggirangkan padanya. Keras sambaran2 anginnya, sedang
beberapa buah pohon didepannya roboh karena tinjunya.
Syukur kitab ini terjatuh dalam tanganku, pikirnya
kemudian- Coba ini didapatkan oleh orang jahat, entah
bagaimana bencana yang dia bakal terbitkan
Tentu sekali, bukan main berterima kasihnya ia terhadap
Hoe Liok Koan- Ia tidak menyangka, baru ia menanam
kebaikan, segera ia memperoleh buahnya.
Habis mempelajari dua jurus itu, In Gak duduk numprah
untuk bersemadhi, guna menyedot dan mengeluarkan
napasnya. Cuma sebentaran, lantas ia merasakan
pernapasannya lega dan lenyap segera keletihannya. Maka itu,
tak bosannya ia mengulangi berlatih semua empat belas jurus
Bie-lek sin-kang itu. Berselang dua jam lantaslah ia apal sekali.
Baru setelah itu, ia simpan kitab berharga itu dan
berjalanpulang kerumahnya Liok Koan.
Begitu anak muda ini menolak daun pintu, ia mendapatkan
sang kakek dan kedua cucunya lagi duduk bersamedhi.
Dengan mengawasi sebentar saja, ia mendapat kenyataan
mereka itu sudah apal dengan pelajarannya, maka senanglah
hatinya. Ia tidak mau mengganggu mereka, ia pergi keluar
pula, untuk duduk bercokol dikursi rotan dibawah para-para
pohon beroyot, matanya jauh memandang kearah Utara.
Belum lama ia berduduk diam itu, telinganya mendengar
siulan tajam dua kali. Ia heran- Itulah siulan orang Kang-ouw.
Herannya ialah ia mendengar itu disiang hari bolong. Kenapa
ditempat demikian, didekat jalan umum, orang berani
memperdengarkan suara itu? Tapi ia tidak usah mendugaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
338
duga lama, atau lantas tertampak berkelebatnya dua
bayangan didepan para-para.
Orang yang satu ialah seorang pendeta bertubuh kekar,
jubahnya abu-abu, dipinggangnya tergendol senjatanya, sekop
Hong-pian-san, yang berwarna hitam. Dia memiliki sepasang
mata tajam dan bengis, hidungnya merah, mulutnya persegi
lebar. Dia berumur lebih- kurang limapuluh tahun. Dan orang
yang kedua, orang bukan pendeta, bermuka merah,
jenggotnya pendek. alisnya tebal, matanya besar, hidungnya
bengkang. Dia berumur hampir limapuluh.
In Gak duduk tak berkutik dikursinya, ia tidak menggubris
orang mengawasi ia dengan tajam.
“Taysoe” berkata si muka merah, “Sampai saat ini Jieniauw
masih belum kembali, mungkinkah mereka telah
berhasil dan timbul keserakahannya maka mereka lantas pergi
menjingkirkan diri?”
“Hm” menjawab sipendeta, tertawa dingin “Biarnya Jieniauw
bernyali sangat besar, tidak nanti mereka berani main
gila terhadap Hoed-ya. Pula kitab itu bertuliskan huruf-huruf
Kah-koe-boen, selainnya Hoed-ya yang mengerti, lain orang
percuma memilikinya. Disini mungkin terjadi sesuatu. Turut
katanya Jie-niauw anjing tua itu tingggal disini, maka baiklah
kita coba menanyakan keterangannya itu pelajar rudin”
“Hm” In Gak bersuara perlahan dihidungnya. Ia tetap
berdiam saja.
Muka merah setujui si pendeta yang jumawa itu, yang
berani menyebut dirinya Hoed-ya, sang Budhha. Dia lantas
menghadapi pemuda kita, untuk menanya dengan keras dan
kasar: “Eh, pelajar rudin, rumah ini rumahnya si orang she
Hoe, benarkah?”
Baru sekarang in Gak mengawasi orang dengan matanya
yang bersinar tajam, sebelah tangannya pun diangkat,
dikibaskan kepada orang itu, atas mana si muka merah

339
mundur terhuyung dua tindak. Ia berbangkit dengan ayalayalan,
ia berkata dengan tertawa dingin:
“Jikalau kau menanya orang, menanyalah dengan cara tahu
aturan. Kamu bangsa kurang ajar, tak sudi tuan muda kamu
bicara denganmu. Lekas kamu menggelinding pergi!”
Si muka merah mencoba berdiri tegak. wajahnya
bermuram-durja.
“Hm Hm” bersuara si pendeta beroman bengis itu. “Mata
Hoed-ya tak ada pasirnya, cara bagaimana kau dengan
kepandaianmu tidak berarti ini berani main gila dihadapanku?
Benar-benar kau cari mampusmu sendiri, pelajar rudin”
Belum habis suaranya pendeta itu, atau “Plok” maka
mukanya kena digaplok hingga dia menjadi kalap saking
gusar, tanpa ngoceh lagi, dia mengibas dengan bajunya yang
gerombongan, hingga si anak muda nampak seperti digulung
angin puyuh.
Pemuda kita tidak takut, dengan berani ia menyambuti
kibasan itu, untuk mencoba. Ia menggunai tenaga lima
bagian- Tangan mereka lantas bentrok. sebagai akibatnya itu,
pundak In Gak terangkat naik dan tubuh si pendeta
terhuyung. Hal ini membuat keduanya terperanjat. Itu
tandanya tenaga dalam mereka sama-sama mahir.
Menggunai ketika orang bentrok itu, si muka merah
mengangkat kakinya. Dia ingin pergi kerumahnya Liok Koan,
untuk nerobos masuk. Tindakan itu justeru yang dikuatirkan
In Gak, sebab Liok Koan bertiga lagi bersamedhi, nanti mereka
terganggu. Maka itu justera ia dikibas pula, ia tidak melawan
lagi, hanya ia berkelit, untuk terus berlompat kearah si muka.
merah, kepala siapa ia terus jambak. untuk ditarik keras,
hingga si muka merah kembali roboh dengan terbanting keras,
matanya sampai berkunang-kunang. Karena tubuhnya itu
melanggar para2 pohon, para2 itu roboh ambruk.

340
Tangguh si muka merah ini, begitu ia memegang tanah,
begitu ia lompat bangun, tetapi hatinya ciut, maka ia tidak
berani menyerang si anak muda.
Si pendeta terkeujut menyaksikan gerakan tubuh dan
tangan demikian sebat dari si pelajar rudin, didalam hatinya ia
kata: Kepandaianku ini yang disebut Tiat-sioe Keng-kang,
tenagaku kuat seribu kati, kenapa ini pelajar rudin tidak
terluka atau roboh karenanya? Aneh.. maka sembari tertawa
dingin, ia kata: “Aku tidak sangka bahwa aku, Ta y- liang Tiathoed,
dapat bertemu orang berilmu tinggi, Mari, mari, Hoedya
ingin ketahui berapa liehaynya kau”
Mendengar disebutnya gelaran orang, In Gak lantas
mendapat tahu pendeta ini ialah satu diantara sip-sam-mo
Tiga belas iblis. Pantas dia pandai ilmu silat Tiat-sioe Kengkang,
tenaga angin Tangan-baju Besi. Ia tidak takut. sambil
berlenggak ia tertawa dan kata: “Tuan kecil kau menyangka
siapa, tidak tahu kaulah si setan cilik yang jelek diantara tiga
belas iblis, si siluman tua Chong-sie masih tidak sanggup
melawan tuan kecilmu ini, cara bagaimana kau masih
mencoba mementang bacot lebar bagaikan lautan?”
Kaget Tay- liang Tiat-hoed mendengar perkataan orang ini.
ia lantas berpikir: Kabarnya Chong-sie Koay-sioe roboh
ditangan seorang muda aneh, aku mengira itulah kabar angin
belaka, yang tak ada kenyataannya, tetapi sekarang pemuda
ini mengatakan begini, mungkin dia benar. Baik aku mencoba
pula padanya, aku menggunai Tiat-sioe. Keng-kang dicampur
dengan Hian-im Tok-cie. sjukurlah apabila aku berhasil,
supaya aku tidak sampai kena digertak kabar angin itu
oleh karena memikir demikian, Tiat-hoed tidak mau banyak
omong lagi, dia cuma mengasi dengar tertawanya yang
seram, lantas dengan mendadak dia berseru nyaring dan
lompat menyerang, menyerang dengan tangan bajunya yang
lebar, berbareng dengan mana, ia pun menotok dengan jeriji

341
tengahnya, mengarah buah-susu. Ia ingin mewujudkan apa
yang ia pikir, menyerang lawan dengan jerijinya, dengan tipu
silat jeriji beracun Hian-im Tok-cie.
Serangannya pendeta ini sangat sebat dan hebat. Akan
tetapi In Gak sudah waspada. Ia tidak mau bertindak seperti
waktu ia merobohkan Chong-sie Keay-sioe dirumahnya Cioe
Wie seng. Ketika itu ia menyerang secara tiba2, hasilnya pun
cepat dan diluar dugaan-semenjak itu, ia tidak ingin
sembarang menggunai Hian-wan sip-pat-kay dan Bie-lek sinkang.
sekarang menghadapi si pendeta, ia berlaku sabar. ia
bersenyum, dengan tindakan Hian-thian Cit-seng-pou, ia
berkelit, untuk menggeser tubuh kebelakang lawan, baru
setelah itu ia menyerang kepung gung dengan jurus Hok houw
Kim-kong-ciang, tangan Arhat Menakluki Harimau, dan
tenaganya pun dikerahkan sepenuhnya.
Tay-liang Tiat-hoed sudah memikir matang, dengan
menggunai kedua kepandaiannya itu dengan berbareng, tidak
nanti sipelajar rudin dapat meloloskan diri, maka terkejutlah
ia, begitu ia menyerang, begitu lawannya lenyap dari
hadapannya. Celakanya untuknya, karena ia menyerang
hebat, tak dapat ia membatalkannya. Tengah ia kaget itu, ia
merasai gempuran pada punggungnya, seperti ia dihajar
dengan martil, hingga ia terjerunuk tiga tindak. matanya pun
berkunang-kunang. Lekas2 ia menahan dirinya, jikalau tidak,
tentulah ia roboh menubruk tanah. serangannya toh meminta
kurban, ialah tembok didepannya, hingga tembok rumahnya
Liok Koan gempur, ambruk dengan menerbitkan suara keras.
Hingga karenanya, Liok Koan bersama dua cucunya lantas
berlompat keluar.
Begitu ia melihat kakek dan cucu itu bertiga, ingatan jahat
muncul dalam hatinya si pendeta, justeru ia lagi sangat
mendongkol. Katanya dalam hatinya: Jikalau bukan karena
kau, tua bangka, tidak nanti aku kena terhajar ini pelajar
rudin, sekarang baik aku turun tangan terhadap si bocah,

342
untuk memaksa dia menyerah. Cuma dengan begini maka
Hoed-ya dan Cie-sat-sin dapat berlalu dari sini”
Cuma segebrakan itu, pendeta yang jumawa ini menjadi
kecil hatinya, hingga dia takut menempur pula si pelaujar
rudin, hingga dia merasa bahwa sulit untuknya mengangkat
kaki dari situ. Maka tanpa malu lagi, dia berniat melakukan
perbuatan yang hina itu mencekuk bocah cilik
Ceng-jie muncul dengan poan-koan-pit ditangannya. Biar
bagaimana, ia kaget dan heran atas kejadian itu ia pun jeri
ketika ia melihat roman bengis dari Tay- liang Tiat-hoed, yang
mengawasi ia secara mengancam. Maka ingin ia menjauhkan
dirinya. Ia mau mundur.
Tiat-hoed memikir cepat dan bekerja sebat. Begitu ia
memikir, begitu ia meluncurkan tangan kanannya, ia
menggeraki ujung jerijinya, guna mencekuk bocah yang diarah
itu. Tapi baru ia mengerahkan tenaganya, mendadak ia
merasakan lengannya itu sakit, lalu menjadi kaku tak
bertenaga, disusul dengan rasa nyeri sekali didadanya, sampai
ia bergemetaran. itu artinya ia telah tak dapat menggunai lagi
tenaganya. Ia kaget berbareng takut. Tahulah ia hebatnya
serangan si pelajar rudin itu Bahkan ia mau menduga, kalau ia
tidak bakal lekas mati, ia pasti akan bercacad seumur
hidupnya, hingga ludaslah kepandaian silatnya yang liehay itu.
Ia lantas menjadi berduka, sambil menghela napas, tangannya
dikasi turun, kedua matanya yang tajam dan bengis lantas
menjadi guram. Dengan menyender disisa gempuran tembok.
la berdiam dengan menjublak
Kapan si muka merah melihat munculnya Hoe Liok Koan,
dia kaget hingga mukanya menjadi pucat. Tanpa pikir panjang
lagi, ia memutar tubuh untuk berlompat pergi, buat lari
menjingkirkan diri. Si muka merah ini sebenarnya Kie Keng
gelar Cie-sat-sin si Bintang Jahat. Dialah seorang piauwsoe,
yang pernah bekerja sama Liok Koan dalam sebuah piauwkiok

343
dikota Lokyang. Dia berhati buruk. Maka dia bentrok dengan
Liok Koan- Keduanya lantas berhenti bekerja. Kemudian
pernah mereka bertemu satu dengan lain tetapi mereka bawa
seperti orang-orang tak kenal satu dengan lain- Kemudian lagi
dia mendengar dari Tong-san Jie-niauw halnya Liok Koan
terlukakan pukulan pasirMerah, dia menjadi tidak takut, dia
turut si pendeta datang menyateroni, siapa tahu, sekarang dia
melihat orang she Hoe itu, segar-bugar, dia menjadi jeri, maka
dia mau kabur. Dia maupergi, In Gak tidak mengijinkannya. si
anak muda lompat menyamber dan membawanya kembali,
kedepan Ceng-jie.
Bocah cilik itu kaget, ia menyangka ia mau dihajar, ia lantas
berkelit seraya memutar tubuh, sembari berbuat begitu, ia
menyerang dengan poan-koan-pitnya.
Cit-sat-sin ketakutan dan tidak berdaya, dadanya lantas
tertikam gegaman mirip alat tulis itu, darahnya mengalir
keluar, tubuhnya roboh, jiwanya lantas melayang pergi.
Inilah diluar sangkaannya Liok Koan. Ia menghela napas.
“Hm” ia mengasi dengar suaranya.
“Engkong” kata si cucu, menyangkal, “Dia sendiri yang
membentur poa n- koan-pitku” Kakek itu tertawa.
“Kakekmu tidak ngaco-belo” katanya. “Aku bukannya tidak
dapat melihat.” “Baiklah,” lain kali jangan kau lancang turun
tangan.”
In Gak tertawa, ia kata: “Ceng- ujie gesit dan lincah,
sekarang dia masih begitu muda, dibelakang hari dia mesti
liehay sekali, maka tak usahlah tayhiap menegur dia.”
Habis berkata, In Gak lantas bekerja, menggusur mayatnya
Cie-sat-sin dan Tiat-hoed kedalam rumah. sebab juga si
pendeta, setelah nyender sebentar ditembok. arwahnya sudah
melayang ke Dunia Barat
“Tayhiap” kata In Gak kemudian, “Aku melihat tempat ini
tak dapat ditinggali lebih lama pula. Baiklah tayhiap beramai

344
pindah dari sini. Apakah tayhiap mempunyai sanak atau
sahabat disuatu tempat lain dimana kamu dapat menumpang
bernaung?”
Liok Koan berpikir. ”Aku lihat aku cuma dapat pergi
kerumah say-hoa-to dikota Peng-ciang” katanya. “Wan- jie,
mari kita bersiap-sedia, kita harus segera berangkat.”
Nona itu menurut, bersama kakeknya ia lantas pergi
kedalam, guna menyiapkan buntalan mereka.
Syukur rumah orang she Hoe ini berada diujung gang yang
sunyi dan banyak juga pepohonannya, maka selama terjadi
peristiwa berdarah yang hebat itu, tidak ada orang lain yang
mengetahuinya, jikalau tidak. mungkin mereka menemui
kesulitan lain.
Liok Koan mempunyai dua ekor keledai, maka kedua
binatang itu dipakai untuk mereka mengangkat kaki.
In Gak tertawa ketika ia berkata: “Kamu bertiga naik atas
dua ekor keledai, inilah bagus. Nah, lekaslah kamu berangkat”
Ceng-jie mengawasi dengan matanya. Ia heran-“Gan
Toako, bagaimana dengan kau?” ia tanya si anak muda.
In Gak bersenyum.
“Toakomu dapat berjalan cepat tak kalah dengan kakinya
keledai kamu” ia menjawab. “Kamu harus ketahui, tidak dapat
kita jalan bersama.”
Ceng-jie gelisah.
“Toako, secara begini saja kau mau meninggalkan aku?”
dia tanya.
In Gak mengusap-usap kepala anak itu.
“Ceng-jie, baik-baiklah kau mendengar kakek dan
kakakmu,” ia kata, “Sabar dan kau pelajarilah dengan
sungguh2 ilmu silat yang toakomu ajari kau, Kau tahu, aku
mempunyai urusan sangat penting. Tapi jangan kuatir, dalam
tempo dua tahun, aku nanti datang kepada kamu di Pengciang.”

345
Ia merogo kesakunya, mengeluarkan sepotong emas, yang
ia serahkan kepada bocah itu, sembari ia kata: Inilah untuk
kau membeli bebuahan. Anak itu tahu diri, ia menampik,
“Terima, Ceng-jie” kata In Gak, sungguh2. “Jikalau kau
tolak. toakomu marah”
Ceng-jie menerima dengan terpaksa, ia mengucapkan
terima kasih. Tapi ia bersedih, air matanya lantas melele
keluar.
Matanya Wan-jie pun merah, sedang Liok Koan menjadi
sangat terharu.
“Nah, berangkatlah” In Gak mendesak. sebab ia pun berat
untuk berpisah.
Mau atau tidak mau, kakek dan cucu2nya itu lantas
mengeprak keledai mereka.
In Gak menanti sampai orang sudah pergi ujauh, ia lantas
menggunai kedua tangannya menggempur ambruk sisa
rumahnya Liok Koan, habis mana ia pergi meninggalkan Jie
cap lie-pou, untuk diam2 menguntit tiga orang itu ia
mengantar sampai dikota raja, baru ia memisahkan diri.
***
Pemandangan malam dijembatan Louw Kauw Kio dikota
raja adalah pemandangan alam yang indah, akan tetapi In
Gak menuju kesana diwaktu fajar, setibanya disana, sudah
terang tanah, ia lantas mendengar dan melihat berlalulintasnya
kereta2 diatas jembatan itu. Tepat ia menginjak
ujung jembatan, ia mendengar suaranya dua orang yang
tertawa dan berkata: “Sungguh sha-tee seorang yang dapat
dipercaya. Begini pagi kau telah sampai disini”
Bukan main girangnya pemuda ini kapan ia telah
mengangkat kepalanya. Kalau tadi ia baru mendengar
suaranya, sekarang ia menampak wajahnya orang yang

346
menegurnya itu ialah Kian-koen-cioe Loei Siauw Thian
bersama Kioe-cie sin-kay Chong Sie.
Segera mereka membuat pertemuan, tetapi untuk
berbicara, guna mencegah tertariknya perhatian orang lain,
mereka lantas pergi kesebuah rumah penginapan kecil di
Wan-peng. Disini barulah mereka dapat memasang omong,
paling dulu tentang perpisahan mereka.
Tiba2 In Gak tertawa dan menanya Siauw Thian: “Jieko,
kebinasaannya Sam-cioe
Gia- kang ditepi pengempang, bukankah itu hasil kerjamu
yang gilang-gemilang?”
Siauw Thian bersenyum.
“Kau terkalah” sahutnya. “Jikalau bukan aku, siapa lagi?
Setelah melakukan itu, aku berpikir. Aku berkuatir orang nanti
menggunai nama palsu dan itu dapat merugikan kau dalam
usahamu menuntut balas. Kau tahu, hiantee, setibanya dikota
raja, lantas aku membikin penyelidikan. Dulu hari itu, yang
mengeroyok Cia Peehoe berjumlah kira2 sembilan puluh
orang, diantaranya ada tiga orang Cian san Pay dari Kwangwa.
Pemimpin dari partai itu ialah Pek san it-ho Kiong Thian
Tan. Dia bukanlah seorang jahat. Baiklah, hiantee pergi ke
Khouw-kee-chung di Liauw-leng, untuk menyelidikinya. Bila
orang-orang itu dapat menyingkir jauh, kau bakal menjadi
berabeh. Menurut aku, paling baik kau menuntut balas satu
demi satu. Aku telah pikir, biarlah aku bersama toako menjadi
si tukang mencari rahasia, lalu kaulah yang turun tangan
terhadap setiap musuhmu itu. Kau akur, bukan?”
In Gak setujui pikiran itu, ia girang sekali.
“Bagaimana dengan urusan jieko sendiri?” tanyanya
kemudian.
Siauw Thian mengangguk. dia tertawa.
“Itulah bukan urusan terlalu besar” sahutnya.” Aku
mempunyai seorang sahabat karib yang bekerja menjadi
Cong-pouw-tauw dikantor Kioe-boen Teetok. dia bernama Poei

347
Kiat. Dalam menjalankan tugasnya itu, dia bersikap bengis,
maka dia dianggap sudah bersalah terhadap banyak sahabat
kaum Kang-ouw. Begitulah selama pesta ulang-tahun
kelimapuluh dari ia, ia telah kecurian seperangkat baju
lapisnya hadiah dari sepnya. Kejadian sebenarnya biasa,
pencurian itu dapat diselidiki dengan perlahan. Tapi si pencuri
berguyon hebat, dia justeru mengumumkan itu. Peristiwa itu
sudah berjalan hampir setengah tahun, Tahulah Peei Kiat
bahwa sengaja orang hendak mencemarkan dan
bukan mencuri untuk mencuri. Dia lantas menyelidikinya
sambil berbareng memohon bantuanku. siapa tahu, aku pun
pusing dengan penyelidikan itu. Baru lima bulan yang lalu,
diwilayah sam-siang, aku endusan. Poei Kiat sendiri habis
daya, hingga dia cuma dapat menarik napas panjang pendek.
tubuhnya jadi rongsok. hampir dia kehilangan pangkatnya.
setelah aku tiba disini..”
“Lantas jieko berhasil bukankah?” In Gak memotong,
tertawa.
Siauw Thian pun tertawa.
“Urusan tak ada sedemikian mudah” sahutnya. “Hanya
setibanya aku, kebetulan aku bertemu toako, jikalau tidak.
pasti aku tidak dapat bekerja licin”
In Gak melirik kepada Chong sie. “Bagaimana, toako?”
tanyanya.
Chong sie menoleh pada Siauw Thian, dia tertawa dan
berkata: “Kau bicara tidak jelas, kau dapat membuat shatee
nanti menyangka aku, lantaran mengemis saja aku masih
tidak cukup makan, bahwa aku pun mencuri barang orang”
“Ah, toako” kata In Gak. tidak puas. “Mengapa kau
menduga demikian? Apakah kau mengira aku tidak kenal baik
pada toako dan jieko?”
Chong sie tertawa, begitupun siauw Thian.

348
“Shatee, aku tidak permainkan kau” katanya. “Mari aku
menjelaskan. Tujuh hari lamanya sia-sia belaka aku membuat
penyelidikan dikota raja ini, lalu dihari kedelapan aku bertemu
toako dikuil Tang Gak Bio kemana aku pergi berjalan-jalan.
Belum sempat aku melihat toako, dia sudah lantas
menghampirkanku. Lantas toako memuji kau, shatee. Tidak
kusangka, kau pandai ilmu pengobatan. Maka aku pikir, kalau
nanti urusan shatee sudah selesai, baiklah shatee tinggal disini
selaku tabib, pasti orang-orang besar nanti berduyun-duyun
datang padamu sambil mengangkut uang yang putih seperti
salju”
“Jieko” In Gak memotong pula, hanya dia berkata sambil
tertawa, “Kenapa kau masih berguyon saja? Apakah jieko mau
aku hajar kau dengan ilmu Hoen-kin Co-koet-cioe untuk
membuatnya kau salah laku?”
Kata-kata ini disusul dengan gerakan sebelah tangan. siauw
Thian lompat mencelat.
“Aku tidak berguyon, shatee” katanya. “Baiklah nanti aku
menutur pula. Aku lantas bicara dengan toako Toako kata ia
mempunyai jalan. ia mengajak aku kemarkas Kay Pang,
disana ia minta keterangan kalau-kalau ada salah seorang
anggautanya ketahui urusan pencurian itu, sudah umumnya
dimana ada pesta disana mesti kedapatan pengemis. Demikian
malam peristiwa itu, ada tiga anggauta Kay Pangyang
mendapat lihat lima orang bagaikan bayangan melompati
tembok dan rumah, bahkan mereka itu diduga mestinya
Touw-shia Ngo-cie, ialah Lima Tikus Kotaraja. Bersama-sama
toako, aku lantas menyelidiki Ngo-cie. Mulanya mereka itu
menyangkal, saking gusar, toako meng hajar dengan pukulan
Kim-kong san-ciang, sedang aku, aku menasihatinya sambil
mengancam, apabila mereka tidak menyerahkan pakaian itu,
Tong-nie Poo-kah, tak ada tempatnya mereka dikota raja ini.
sebaliknya, aku berjanji akan tidak menarik panjang dan tidak
akan mengganggu sepak-terjang mereka. Demikian baju itu
dibayar pulang dan aku mengembalikannya kepada Poei Kiat.

349
Besoknya toako menjamu Touw-shia Ngo-cie didalam
markasnya, disana secara kebetulan kita membicarakan hal
ayahmu, shatee. Menurut Ngo-cie, jumlah pengeroyok
ayahmu itu berjumlah lebih dari sembilanpuluh orang,
diantaranya ada tiga anggauta Cian san Pay, hanya mereka
tidak tahu siapa orang itu.”
In Gak menjura kepada kakak- angkat nomor dua itu,
berulang kali ia menghaturkan terima kasih.
“Diantara saudara sendiri, mana dapat ada ucapan terima
kasih?” Siauw Thian tertawa. “Ooh, hiantee, aku lupa
menghaturkan selamat kepada kau.”
Muka In Gak menjadi merah.
“Sebelum sakit hatiku terbalas, tak dapat aku membangun
rumah-tangga” ia berkata. “Jieko, toako, sekarang juga aku
hendak berangkat, setelah menemui mentuaku, baru aku mau
pergi ke Khouw-kee-toen.”
“Apakah hiantee tidak hendak menikmati dulu keindahan
kota Pak-khia?”
Chong sie tertawa ia mendahului si anak muda berkata:
“Orang lagi kegirangan, mana dia mempunyai minat untuk
pesiar? sudahlah, mari kita berangkat”
Kembali mukanya In Gak menjadi merah. Tak berdaya ia
untuk godaan dua kakak-angkat itu. Dengan lantas katiganya
berangkat ke Chong-cioe, kerumah Keluarga Tio, dimana
mereka berkumpul dengan gembira sebab dua hari sebelum
mereka, To Ciok sam bersama Gouw Hong Pioe, The Kim Go,
Hauw Lie Peng, Tio Lian Coe dan Cioe Goat Go telah tiba
terlebih dulu.
Tio Kong Kioe belum pernah bertemu dengan bakal
menantunya, kapan ia sudah melihat roman, dan potongannya
Cia In Gak. la girang bukan main. ia lantas saja penuju dan
menyukai menantu itu dan ia bersyukur untuk peruntungan
bagus dari puterinya. Tapi ia tengah sakit mengi, tidak dapat

350
ia turun dari pembaringan untuk menyambut sekalian
tetamunya itu.
“Tua-bangka she Tio, kau belum ketahui bahwa
menantumu ini ahli ilmu pengobatan” kata Chong sie sambil
tertawa. “Aku tanggung tidak sampai lewat tiga hari, kau akan
sudah segar-bugar seperti naga dan harimau dahulu hari”
Kong Kioe heran, ia mengawasi menantunya itu.
Muka In Gak merah, ia likat, tetapi ia menghampirkan
mentuanya itu, untuk ia periksa nadinya, sembari memeriksa
ia menanyakan tentang keadaan penyakit sukar menyalurkan
napas itu, setelah mana ia membuat dua macam resep. satu
untuk dimakan, satu lagi obat luar. Dilain pihak segera ia
mengobati dengan tusukan jarum hingga sembilan kali, yang
mana dilakukan saling-susul dikedua jam ngo-sie dan jie-sie,
tengah-hari dan lohor.
Benarlah seperti katanya Chong sie si Naga sakti Sembilan
Jeriji, lewat tiga hari, Tio Kong Kioe telah sembuh dari
sakitnya yang bandel itu, hingga ia menjadi girang sekali,
sedang Lian Coe dan Goat Go girang dan bangga untuk
tunangannya itu.
Akan tetapi In Gak sendiri tidak berdiam lama dirumah
mentuanya, selang dua hari, ia meminta diri, berpisahan dari
rombongan, untuk berangkat ke Tiang Pek san, gunung yang
disebut juga Cian san.
XI
Pada suatu hari maka didusun Khouw-kee-toen di Liauwleng,
Kwan-gwa, telah datang seorang pelajar usia
pertengahan, yang lantas meminta kamar dalam sebuah hotel
kecil. Dia bicara dengan lagu-suaranya orang Kang lam.
Besoknya dia memasang merek dipintu hotel,
memberitahukan bahwa dia mengerti ilmu ketabiban serta
bersedia juga menolongi orang menulis surat dan lainnya.

351
Untuk itu dia katanya bersedia menerima uang sekedarnya.
Dia memakai nama Jie In.
Ketika orang melihat mereknya itu, rata-rata orang memuji
tak perduli mereka yang terpelajar, sebab huruf-hurufnya
bagus sekali.
Khouw-kee-toen mempunyai cuma dua jalan besar tetapi
karena letaknya dipesisir dan juga mulut gunung Cian san,
ramai keadaannya. Kaum saudagar, yang mengusahakan kulit
dan bulu ternak. juga obat-obatan jinsom dan yosom,
berpusat disitu. Karena ini, setiap rumah memakai layar yang
tebal didepan rumahnya, guna menjaga sampokan angin yang
keras serta serangan debu disebabkan ramainya lalu-lintas
kendaraan dan kuda. Angin pun menerbangkan pasir kuning
yang halus, yang tak hentinya selama empat musim.
Justeru itu waktu bulan ketujuh, musim panas akan tetapi
untuk wilajah Kwan-gwa orang tak terganggu teriknya sang
surya, maka juga seperti biasanya setiap magrib semenjak
kedatangannya, Jie In si tabib merangkap pelajar, telah pergi
kesamping kiri hotelnya dimana ada rimba pohon cemara,
dimana pun ada kali kecil beserta jembatannya, jembatan
batu. Dibawah jembatan itu, dimana air berwarna hijau, dia
berdiri menikmati keindahan alam. Disitu segala apa tenang
dan tenteram. Angin bertiup halus. Matahari sore mengasi
lihat cahajanya yang permai. Jie In menggendong kedua
tangannya, dia memandang kelangit, mulutnya bersenandung.
Atau dilain saat dia bercokol dijembatan, mengawasi air jernih
yang mengalir tak hentinya.
Dihotelnya, Jie In dikenal sebagai seorang yang manisbudi.
Ada yang memanggilnya sie-seng atau tayhoe (tabib),
Ada yang membahasakan sinshe (bapak guru). semua itu ia
terima dengan senang. saban ketemu orang tak ketinggalan
anggukannya yang halus senyumannya yang manis.

352
Pada dua hari pertama, orang-orang yang datang berobat
tidak banyak jumlahnya, setelah itu mulailah datang
perubahan. Inilah disebabkan dia tidak memandang uang.
Terhadap orang miskin, ia tidak minta bayaran, ia
menolongnya sama seperti mereka yang dapat membayar.
Terutama ialah resepnya, atau lebih benar obatnya, manjur
setiap bungkus, karena sangat tepat pemeriksaannya. Maka
itu ditempat sekitarnya sepuluh lie lantaslah terkenal Jie leseng
atau Jie sinshe.
Dengan lekas, dua bulan telah lewat.
Pada suatu hari selagi senggang, Jie In duduk bersantap
bersama tuan rumah yang usianya sudah lanjut. Tiba-tiba
diluar hotel terdengar berisiknya ringkikan kuda disusul
dengan disingkapnya gorden serta munculnya tiga orang
dengan tubuh mereka besar dan keren dan kepalanya ditutup
tudung rumput yang lebar. Seorang diantaranya, yang usianya
paling tua, lantas berkata dengan suara nyaring:
“Loociangkoei, apa benar disini ada berdiam Jie Tayhoe?”
Loo ciangkoei ialah panggilan untuk pemilik hotel dan
tayhoe, tabib. Tuan rumah itu segera berbangkit.
“Oh, kiranya Soen Tongkee” dia berkata, tertawa. “Inilah
Jie Tayhoe”
la lantas menunjuki teman bersantapnya itu. Jie In segera
berbangkit.
“Ada urusan apa tuan mencari aku?” ia menanya dengan
hormat. Dengan aku ia menjebut hak-seng murid, suatu katakata
yang merendah.
Orang she soen itu mengawasi, lantas dia tertawa
berkakak.
“Jie sinshe, kau beruntung sekali” katanya, tertawa pula.
“Cucu perempuan dari majjkan kami mendapat sakit, kau
diundang untuk tolong mengobati dia, asal kau benar pandai
dan berhasil menjembuhkannya, pastilah majikan kami bakal

353
jadi sangat girang, kau tentulah akan peroleh hadiah perak
yang putih- gemilang, hingga akan cukuplah hidupmu
seumurmu”
Habis berkata, lagi dia tertawa.
Tapi Jie In menerimanya sebaliknya. Ia kata sungguhsungguh:
“Tabib itu ada kewajibannya sendiri-sendiri. Tabib
menolong si sakit, dia miskin, dia kaya, sama saja. Jikalau aku
mesti menolong untuk uang, terima kasih, tidak sanggup aku.
Dimanakah tinggal majikan tuan itu? Nanti aku pergi sendiri
kesana”
Orang she Soen itu tidak jadi gusar. Kembali dia tertawa.
“Jie sinshe, aku tidak sangka kau bertabiat begini macam”
katanya. “Majikanku itu Kiong Thian Tan, dan julukannya Pek
san it-ho si Burung Jenjang dari gunung Pek san, dia tinggal
dipuncak Pit-kee-hong diatas gunung Tiang Pek san. Manusia
itu diketahui , pohon itu dikenal dari bayangannya, maka kau
niscayalah pernah mendengarnya. Dan aku si tongkee Soen
Kay Teng bertiga, kami sengaja datang kemari untuk
memapak kau mendaki gunung, maka juga, jikalau sinshe
mau menyusul belakangan, bagaimana dapat kau mendaki
puncak itu?”
Jie In agaknya baru tersadar.
“Oh, kiranya Kiong sancoe” katanya separuh berseru.
“Benar-benar aku beruntung sekali, Soen Tongkee, sudikah
menanti sebentar, aku hendak berkemas dulu”
Lantas ia masuk kedalam kamarnya. Tempo ia keluar pula,
ia mengenakan baju luar dari kulit dantangannya mencekal
beberapa jilid buku ketabiban yang sudah tua dan robek
disana-sini
“Benar-benar aku tidak menyangka Jie sinshe seorang
Kang-ouw sejati” kata Soen Kay Teng tertawa.

354
“Diatas gunung, angin besar dan hawa dingin, untuk kami
penggemar ilmu silat, itulah tidak berarti, tidak demikian
dengan sinshe yang tubuhnya lemah, maka jikalau sinshe
tidak memakai baju lapis, ada kemungkinan sebelum sinshe
memeriksa orang sakit, sinshe sendiri yang nanti roboh
karenanya. Jikalau itu sampai terjadi, bukankah menggelikan?”
Tuan rumah dan dua kawannya Kay Teng ini tertawa.
Jie In pun turut tertawa. Ia kata: “Untuk kami tabib
pengumbara dan sebangsanya, seperti tukang tenung, empat
penjuru lautan ialah rumah kami, jikalau hal ini aku tidak
ketahui, tak dapat aku dipanggil tabib yang biasa
merantau.Benar bukan, soe Tongkee?”
Tanpa menanti jawaban, ia melanjuti kepada tuan rumah:
“Loociangkoei, tolonglah kunci kamarku, sebentar setelah
kembali kita nanti berkumpul pula“
“Baik sinshe” sahut tuan rumah.
Soen Kay Teng lantas mengajak si tabib keluar dimana
sudah menantikan sebuah tandu yang dipikul empat orang.
Itulah tandu istimewa untuk Kwan-gwa, tandu mana mirip joli
tapi tanpa penutup, disitu orang dapat rebah menyender,
tatakannya ialah rumput yang lunak dan hangat. Melihat tandu
itu, Jie sinshe agaknya jeri.
“Aku mendaki gunung naik ini?” katanya.
Kay Teng tertawa.
“Jikalau sinshe takut, meramlah, tidak apa” katanya.
Jie In menggeleng kepala, tetapi ia toh naik ditandu
dengan roman terpaksa. Begitu ia menaruh tubuhnya, begitu
empat tukang gotongnya berseru dan bergerak.
mengangkatnya dan berjalan, cepat seperti lari.
Diatas tandu, Jie In merasai tubuhnya terumbang- ambing,
didalam hatinya ia kata: Liehay empat tukang gotong ini,

355
disebelahnya biasa, kuat kaki mereka Ia diam saja. Inilah yang
pertama kali ia naik kendaraan istimewa itu.
Soen Kay Teng bertiga menunggang kuda, mereka jalan
didepan. Belum lima lie, tiba sudah mereka dimulut gunung
Cian san dimana segera muncul seorang dengan sapanya:
“Soen Tongkee, apakah Jie sinshe sudah sampai?”
Sudah” sahut Kay Teng cepat. “Lekas wartakan ke Congtong”
“Ya” menyahut orang itu, yang segera berlalu dengan
cepat.
Kay Teng bertiga lompat turun dari kuda mereka, mereka
lompat maju kedepan. Ketika tandu Jie sinshe tiba didekatnya,
dari mulut pos jagaan terdengar mengaungnya tiga batang
anak panah nyaring,yang lantas disambut di empat penjuru
hingga suaranya menjadi ramai sekali.
Jalanan mendaki sulit, Kay Teng bertiga sering
berlompatan. Tinggal si tukangtukang
gotong. Dengan lekas pakaian mereka kujup
dengan peluh. susah atau tidak, mereka maju terus. Diatas
tandu, Jie sinshe tak hentinya mengasi dengar suara
kagetnya. Sampai ditengah jalan, disana kedapatan
pepohonan yang lebat, dimana pun terlihat adanya ular dan
lain-lain binatang alas. Disini angin meniup keras, membuat
rimba berisik sekali. saban-saban terdengar mengaungnya
panah-nyaring tetapi pelepasnya, atau lain orang tak nampak
satu jua.
Sekira perjalanan tiga jam barulah Jie In tiba diatas
gunung. Melihat jauh kedepannya, ia menampak puncak
gunung terselimutkan salju putih. Angin dingin menyampok
muka tak sudahnya.
“Soen Tongkee” si tabib memanggil, tangannya memegang
keras kedua pinggiran tandu, “Apakah masih belum sampai?
Aku bisa mati bekuh ni”

356
Kay Teng, yang berjalan didepan, menoleh sambil tertawa.
“Jie sinshe, bukankah kita telah tiba?” dia menyahut.
“Kau lihatlah kebawah sana”
Jie In memang menanya sambil dongak, mendengar
demikian, ia tunduk. maka ia melihatlah diba wah, didalam
lembah, berderet- deretnya rumah-rumah, cuma sebab
kealingan pepohonan, tidak dapat ia melihat tegas. Lembah
itu mirip paso yang lebar. Rumah itu hitung ratus atau
mungkin ribuan. Maka hebatlah Cong-tong, pusat atau markas
besar dari Cian san Pay, berada didalam situ. Memang sukar
mencarinya.
Jilid 4.4. Musuh yang sembunyi di Cian San Pay
Sekarang orang mulai jalan mudun.. Kalau mendaki lambat,
turun cepat. Maka Jie In merasa ia seperti terbang terbawa
angin. Mukanya menjadi pucat. syukur lekaslah mereka
sampai dibawah, ditanah rata. Maka dia mengeluarkan napas
lega, mukanya nampak tenang. Kay Teng tertawa mengawasi
tabib itu.
Sekarang orang berjalan berliku-liku dijalanan didalam
pohon-pohon lebat. Jie In melihat jalanan, anehnya orang
tidak ambil itu, orang bertindak disampingnya. Maka
teranglah, orang lagi melewati tempat menurut garis-garis
pat-kwa, segi delapan.
Sekeluarnya dari dalam rimba barulah orang melihat
tempat yang kosong dan luas. Dis itulah nampak rumahrumah
yang tadi terlihat samar-samar. segera terdengar
anjing menggonggong dan ayam berkokok. Dari setiap rumah
terlihat asap mengepul naik, Agaknya orang berhadapan
dengan rumah-rumah kampungan, maka siapa sangka itulah
pusat dari sebuah partai kaum Kang-ouw.

357
Kay Teng bertiga tepat jalan dimuka. Tujuh atau delapan
kali mereka main mengkol-mengkol, baru mereka itu tiba
didepan sebuah rumah besar dan keren, yang terkurung
tembok. Pintu pekarangan, yang besar dan lebar, berdaun
dua, disitu tercantel gelang pegangannya yang merupakan
kepala harimau. Pintu itu ditutup rapat, untuk masuk. orang
mengambil pintu kecil dipinggirannya. Didepan rumah terlihat
empat orang dengan golok ditangan. satu diantaranya segera
lari kedalam begitu lekas mereka itu melihat Soen Kay Teng.
Tiga kali terdengar suara gembreng, yang menyusuli
dipentangnya pintu tengah.
Jie In menduga tuan rumah menyambut ia dengan cara
hormat. Lantas ia melihat munculnya seorang tua usia
tujuhpuluh kira-kira, diikut beberapa pengiring. Mereka itu
bertindak dengan cepat.
Mengawasi si orang tua, Jie In melihat sebuah muka yang
merah, sepasang alis putih yang panjang, yang ujungnya
nempel kerambut didekat telinga, dan sepasang mata yang
tajam. Dilihat sekelebatan, dia mirip dewa panjang umur. ia
menduga kepada Pek san It-ho Kiong Thian Tan, maka ia
lantas memberi hormat sambil menjura seraya berkata: “Aku
Jie I n memohon maaf telah terlambat mengunjungi sancoe,
hingga sancoe sendiri yang keluar menyambut. Aku berdosa
harus mati”
Kiong Thian Tan tertawa lebar, matanya bersinar bagaikan
kilat menatap si tabib.
“Jie sinshe, bagus kata-katamu” ujarnya. “Cucuku sakit
berat, terpaksa aku mengundangmu. Tentulah sinshe
menderita disepanjang jalan.”
“Tidak. tidak.” kata Jie In menjura pula. “Orang sakit perlu
diobati, maka itu, tolong sancoe lekas mengajak aku melihat
cucumu yang terhormat itu.”
Thian Tan tertawa sambil mengurut kumisnya. “Silakan,” ia
mengundang, terus ia bertindak.

358
Jie In mengikuti tuan rumahnya. Ia melihat sebuah rumah
yang besar dengan pekarangan dalam yang luas. Didalam
pekarangan itu ada ditanam pohon-pohon cemara dan pek,
juga pohon koei-hoa yang bunganya berbau harum, sedang
jalannya ditaburi batu putih terbariskan pohonan tanhong.
Dibulan sembilan, daun pohon itu merah indah seperti api
marong.
Jie In langsung dipimpin kedalam sebuah kamar tulis. Ia
kagum. Tak surup kamar semacam itu dipunyai oleh orang
Kang-ouw kepala suatu perkumpulan besar. Mestinya itulah
rumahnya seorang sasterawan- Ditembok tergantung banyak
pigura gambar dan tulisan. sesudah kacung menjuguhkan teh,
tuan rumah mengundangnya masuk keperdalaman, melintasi
lorong berliku-liku, ranggon berkaca dan lainnya. Disitu
kedapatan banyak pegawai, pria dan wanita.
Akhirnya tibalah mereka dalam sebuah kamar dimana ada
seorang anak perempuan umur enam atau tujuh tahun lagi
tidur nyenyak. tubuhnya dikerebongi selimut, hingga terlihat
mukanya saja yang pucat-pias tak cahayanya.
Didalam kamar itu masih ada tiga orang lain lagi.Yang
seorang ialah satu nyonya tua dengan sepasang mata celi dan
tajam tetapi tangannya mencekal sebatang tongkat hitammengkilap
yang gagangnya berkepala burung-burungan. Yang
kedua jalah seorang njonya usia tigapuluh kira-kira, yang
romannya cantik, dan yang ketiga seorang budak umur tiga
belas tahun, yang duduk numprah diatas pembaringan. Atas
datangnya tuan rumah dan si tabib, mereka berbangkit
menyambut.
“Inilah isteriku” Thian Tan mengasi kenal. Ia menunjuk si
njonya tua. Jie In memberi hormat sambil menjura seraya
memperkenalkan diri.

359
“Inilah menantuku” kata pula Thian Tan menunjuk si
njonya muda. Lagi sekali Jie In memberi hormat sambil
menjebut.
“Sudah, sinshe, jangan pakai banyak adat-peradatan” kata
si nyonya tua tertawa. “Tolong lihatlah cucuku ini.”
Jie In menyahuti sambil ia duduk ditepi pembaringan, selagi
memeriksa nadi, beberapa kali ia menggeleng kepala. sekian
lama barulah ia berbangkit, untuk terus berkata: “Inilah bukan
penyakit berbahaya, cuma panas-dingin terkena angin jahat.
Mungkin thaythay semua menyayangi cucu, dia dikasi makan
obat kuat sebab disangka tubuhnya lemah, karena mana
angin terdesak kedalam dan menyebabkan keadaannya parah.
Coba dia dikasi obat mengusir panas, dengan lantas dia akan
sembuh cukup dengan sebungkus obat. Mungkin dia
diperbahayakan oleh tabib tolol”
Thian Tan masgul karena sakitnya sang cucu, mendengar
suaranya Jie sinshe,
hatinya lega, tetapi mendengar pula kata-kata hal si tabib
tolol, alisnya mengkerut. “Sinshe, apakah dia dapat ditolong?”
ia tanya.
“Bisa, bisa” menyahut si tabib. “Dalam tempo tiga hari,
anak ini akan sembuh.” Mendengar itu, senang hatinya tuan
rumah.
Setelah memeriksa, Jie In meminta diri untuk pergi keluar.
ia diantar kembali kekamar tulis. Ia cuma berpikir sebentar
untuk menulis surat obatnya.
“Aha, sinshe” berseru tuan rumah ketika ia menyambuti
resep dan melihat tulisannya. “Tulisanmu indah sekali, jarang
aku melihat tulisan semacam ini”
“Tulisanku justeru buruk sancoe” Jie In merendah.
Ketika itu bersama tuan rumah dan tetamunya itu ada dua
orang lain lagi, yang menemani, satu diantaranya, seorang
tua, yang turut melihat resep itu, berkata: “Benar, tulisan ini

360
sangat bagus. Tidak sembarang ahli dapat menulis seindah
ini”
Thian Tan menatap tabib didepannya, matanya bersinar. ia
sudah lantas dapat sebuah pikiran. Dengan tertawa manis, ia
kata: “Kalau anakku dapat disembuhkan, aku pasti akan
menghadiahkan kau, sinshe?”
Lantas ia menjuruh bujangnya pergi membeli obat.
Perkataannya Jie In benar. Lewat tiga hari, sembuh sudah
si nona cilik, Ia dibawa engkongnya kekamar tulis, untuk
menghaturkan terima kasih pada penolongnya.
“Terima kasih kembali?” berkata Jie In, seraya ia pondong
anak itu untuk dicium, kemudian ia menurunkannya dan kata
sambil tertawa: “Selesai sudah tugasku disini, aku memohon
diri.”
Tuan rumah tertawa.
“Masih ada sesuatu untuk mana aku mau minta tolong
pula” ia kata. “Aku harap sinshe jangan lekas pulang dulu.
sinshe pandai surat, aku ingin sinshe suka tolong mengajari
surat pada cucuku ini. suka aku membayar gaji dua ribu tail
setahunnya. sinshe tidak menampik, bukan?”
Jie In lantas melengak sebentar, lantas ia menggeyang
kepala.
“Aku beruntung dan girang atas penghargaan sancoe ini”
katanya, “Hanya sayang aku sudah terlalu biasa merantau
hingga tak dapat aku menetap lama disuatu tempat. Justeru
semasa hidupku ini, ingin aku pesiar keseluruh negara, untuk
menikmati keindahannya. Dalam hal ini maaf, aku jadi berlaku
kurang hormat”
Thian Tan mengerutkan alis.
“Jie sinshe, aku sangat menyukai orang pintar, maka itu
harap kau jangan menampik” ia membujuk. “Sinshe masih
muda, masih banyak tempomu untuk pesiar. Biarlah aku
memberi tempo tiga tahun. Kau bukan kaum persilatan, kau

361
juga bukan orang partaiku, selama tiga tahun itu suka aku
memberi kebebasan terhadapmu untuk keluar- masuk disini.
Disinipun banyak orang yang sakit, sinshe dapat sekalian
menunjuki kepandaianmu menolongi mereka, hingga kau jadi
dapat sekalian melakukan perbuatan baik dan mulia.”
Selagi berkata begitu, tuan rumah mcngasi lihat sorot mata
meminta sangat.
Jie In berpikir.
“Sancoe begini baik hati, jikalau aku menolak terus, aku
jadi tak berbudi”katanya. “Melainkan ada satu permintaanku,
yaitu aku biasa tidur tengah hari, selama itu tidak dapat orang
mengganggunya. Dapatkah sancoe menerima baik
permintaanku ini?”
Mendengar begitu, Thian Tan girang bukan main.
“Itulah perkara sangat kecil” katanya girang. “Baiklah,
kamar tulis ini dan sekitarnya sampai kebelakang aku jadikan
daerah terlarang, tanpa urusan penting siapapun tidak dapat
mengganggu sinshe”
Jie In girang. ia lantas minta ijin buat pulang dulu ke
Khouw-kee-toen, untuk mengambil semua barangnya serta
mengurus lainnya, sebab disana masih ada beberapa pasien
yang membutuhkan pertolongannya lebih jauh.
Thian Tan terima baik permintaan itu, bahkan ia
memberikan uang lima- ratus tail perak guna si tabib membeli
pakaian dan lainnya. keperluan.
Jie In pulang kehotel dimana sampai lima hari lamanya ia
bergaul erat dengan pemilik hotel, baru ia kembali kegunung,
kemarkasnya Cian san Pay yang diberi nama dusun Hoan-pek
san chung. Maka semenjak itu, kecuali diwaktu mengajar surat
kepada si nona cilik, la luang sekali temponya, yang mana ia
gunai untuk menulis dan menggambar, atau minum arak atau
jalan-jalan diluar sanchung.

362
Pek san It-ho menghargai tabib itu, ia memberikan sehelai
leng-kie atau bendera-titah yang memakai buku merah
dengan apa ia dapat keluar- masuk dengan merdeka. sebagai
orang pelajar yang lemah, ia dianggap tidak nanti pergi
menghilang dari gunung itu. Ia pun dapat seorang kacung
umur dua belas tahun, untuk mengurus segala kebutuhannya.
Pada suatu hari Nona sioe, cucunya Thian Tan itu, lari
berlompatan masuk kekamar gurunya. Ia berkuncir dua buah
yang ngacir tinggi. Begitu melihat gurunya, ia berseru:
“Sinshe, ayahku sudah pulang Dia membawa banyak
kembang gula untukku. Ayah mendengar sinshe telah
menyembuhkan aku, ia ingin sangat menemui, maka itu
marilah sinshe turut aku”
Habis berkata, ia samber baju gurunya, terus ia
menariknya. Ia gembira sekali. sambil tertawa, Jie In
mengikuti masuk keperdalaman.
Jauh-jauh telah terdengar suaranya tuan rumah, yang
berbicara sambil tertawa-tertawa, ketika ia melihat guru
cucunya, ia berbangkit menyambut dengan manis, katanya:
“Anakku, Leng Hoei, baru pulang dari Tionggoan, ketika ia
mendengar kepandaian sinshe, yang pun telah menolongi
anaknya, ingin ia menghaturkan terima kasih sendiri pada kau,
sinshe. Ini dia anakku, itu”
Memang Jie In telah melihatnya disamping Thian Tan
seorang prja usia pertengahan, yang mukanya lebar dan
telinganya besar, yang romannya gagah, dan tadi dia bicara
riang dengan si nyonya tua dan nona menantunya, maka itu ia
lantas memberi hormat pada orang yang ditunjuk itu.
Kiong Leng Hoei tertawa, ia membalas hormat dan kata:
“Jie sinshe, kami kaum Rimba Persilatan, kami tidak kenal
banyak adat-peradatan- sinshe, banyak-banyak terima kasih”

363
Jie sinshe merendah. Ia pun menanyakan kesehatannya si
nyonya tua dan si nyonya muda, setelah mana ia meminta ijin
mengundurkan diri
“Tunggu dulu, sinshe” kata tuan rumah tertawa. “Mari kita
dahar disini”
Lantas ia menjuruh budak. menyajikan barang makanan.
Jie In tidak dapat menampik, ia mengucap terima kasih.
Demikian mereka bersantap sambil memasang omong.
“Dalam perjalanan pulang dari Kanglam” berkata Leng
Hoei, “Aku mendengar kabar bahwa musuh kita dulu hari,
Hok-san Jin-sioe, telah mengundang kawan-kawan yang
katanya liehay niat datang kemari untuk mencari balas”
Tertawa Thian Tan mendengar kabar itu:
“Tidak apalah jikalau Hok-san Jie-sioe tidak datang kemari”
katanya, “Tetapi apabila benar mereka datang, tidak nanti aku
beri hati kepada mereka. Kami dari pihak Cian san Pay,
meskipun kami tergolong penjahat, kami tidak menghiraukan
harta tak keruan asal-usulnya dan kami tak melakukan
sesuatu yang tak lurus. Lain adalah Hok-san Jie-sioe,
merekalah penjahat biasa, yang tak ada kejahatan yang tak
dilakukannya. Dulu hari itupun mereka sendiri yang
mengganggu kami maka aku telah menghajar dengan Tay-lek
Koen-goan-ciang pada si tertua Wie Lin soei. Aku masih
menyayangi dia mendapat nama tak gampang, aku menghajar
dia dengan tenaga lima bagian, jikalau tidak. tidak nanti dia
dapat pulang hidup-hidup”
“Kabarnya Hok-san Jie-sioe telah meyakinkan ilmu silat
yang baru, dari itu tak dapat kita lengah” kata Leng Hoei
tertawa.
“Biarlah mereka dating” Leng Hoei berkata. Si nyonya tua
tertawa. “Kau nanti lihat berapa jauh sudah aku telah
mendapat kemajuan dengan tongkatku sian-tian Thung-hoat
yang terdiri dari duapuluh-delapan jurus”

364
Selagi berkata begitu, bangun rambut ubanan dari si
njonya tua, suatu tanda dia sangat kegirangan dan bernapsu.
“Aku tidak sangka, ibu, kau demikian bersemangat” kata
Leng Hoei girang.
Selama itu, Jie In dahar dan minum dengan anteng, ia
tidak mengambil mumat pembicaraan diantara itu anak dan
ayah-ibunya.
“Sekarang ini di Tionggoan telah terjadi dua peristiwa
menggemparkan,” kemudian Leng Hoei berkata pula “Yang
pertama halnya seorang pelajar muda yang aneh, yang tak
ketahuan she dan namanya. Katanya dia telah merobohkan
Chong-sie Koay-sioe, ketua dari sip-sam-sia, si Tigabelas
sesat, si jago tua patah dua tangannya dan tertotok musna
ilmu kepandaiannya. Berbareng dengan itu runtuh juga Hoasan
im- yang siang-kiam, karena mana Oe-boen Loei, ketua
dari Oey Kie Pay, telah mendapat malu besar, yaitu dia kena
dibekuk si pelajar aneh, hingga dia mesti membubarkan
pengaruhnya di Kangsouw Utara. Pula sipelajar aneh, dengan
bersendirian saja, sudah mengalahkan sembilanbelas ketua
cabang dari Ceng Hong Pay di Cio-kee-chung, sedang
besokannya Kioe-sin Soh Cian Lie terbinasakan ditangannya.
semua peristiwa itu sangat menggemparkan wilayah selatan
dan Utara sungai besar. Kabarnya lagi pelajar aneh itu berusia
masih sangat muda, romannya tampan dan gagah. sayang
aku tidak berkesempatan bertemu dengannya, jikalau tidak.
suka sekali aku belajar kenal dan bersahabat padanya.”
“Kalau begitu bukan kau, aku pun ingin sekali berkenalan
dengannya” kata Thian Tan tertawa. “Nah, apakah itu
peristiwa yang kedua?”
“Itulah hal yang telah menggemparkan sangat kaum Rimba
Persilatan” sahut Leng Hoei, yang kembali tertawa. “Itulah
halnya Twie-hoen-poan Cia Boen jago Hoo-lok yang katanya
sudah terbinasa digunung Boe Kong san tetapi dia sekarang
muncul pula dalam dunia Kang-ouw”

365
Thian Tan heran-
“Dia?” tanyanya. “Ah, inilah sukar dipercaya”
“Memang, aku pun sukar mempercayainya” kata si anak.
“Lim-chong siang-sat, NgoTok Cinjin dari Tong Pek san, serta
sam-cioe Gia- kang Hok Leng Tok katanya telah terbinasakan
ditangannya, tetapi tidak satu orang pernah melihat dia, cuma
tersiar beritanya bahwa Cia Boen lagi mencari tahu orangorang
yang dulu hari mengeroyok dia, untuk satu demi satu
dibalasnya”
Jago tua itu mengerutkan dahlnya, tetapi dia kata tertawa:
“Kalau hal ini dapat didengar Hoan-thian-cioe Ang Ban Thong
beramai, mungkin terjadi mereka tidak dapat tidur nyenyak
tiga hari tiga malam”
Tanpa merasa Leng Hoei melirik keluar jendela. “Apakah
Ang Toasiok masih ada di Kioe- kiong- kok?” ia tanya.
Kiong Thian Tan mengangguk.
“Ia masih ada disana” sahutnya. “Setengah tindak juga dia
tidak berani meninggalkan gunung ini. semenjak beberapa
musuhnya hendak membinasakannya, dia lari kemari untuk
bersembunyi, sampai sekarang sudah sepuluh tahun, dia terus
mengeram diri sekarang terdengar halnya Cia Boen itu,
apabila ia mendapat tahu, pasti untuk selamanya dia tidak
bakal mau berlalu dari sini. Benar dulu orang mengepung Cia
Boen secara menyamarkan diri tetapi Cia Boen itu cerdik, pasti
tak sukar untuknya membikin penyelidikan- sebenarnya
kelirulah Ang Ban Thong. Urusan bukan urus annya sendiri,
kenapa dia mencampur tangan?”
“Tentang adik seperguruannya itu, Kiang Hiong yang jahat,
yang berdosa tak berampun, bukan saja Cia Boen, apabila ia
bertemu dengan orang-orang sebangsaku, tak nanti ia dapat
lolos Kenapa dia mau menuntut balas untuk adik
seperguruannya itu? Dasar dia usilan, suka mencampuri
urusan tidak keruan, sekarang dia mencari susahnya sendiri”

366
“Tetapi, ayah, tentang Ang Toasiok, tidak dapat kau
mengatakan demikian. Adik seperguruannya terbinasakan
orang, mana dapat dia tidak menuntut balas? Kalau orang
dengar halnya, dimana dia mau menaruh mukanya?”
“Kau ngaco” kata ayah itu. “Kalau dia benar mau mencari
balas untuk adik seperguruannya, dia boleh bertindak terusterang,
secara laki-laki Kenapa dia main kerojok? Kenapa dia
main bokong? Itulah perbuatan paling hina”
Mukanya si anak muda merah. Ayahnya itu memang benar.
“Sudah, sudah” Njonya Kiong datang sama tengah. “Kamu
ayah dan anak baiklah jangan duduk berkumpul, begitu
berkumpul lantas bentrok. Kamu membikin Jie sinshe jadi
kesepian, tahu?”
Jie In lagi bicara getol dengan Sioe In, tapi ia lekas
berkata: “Tidak apa, tidak apa Tentang Rimba Persilatan, aku
tak tahu suatu apa. Chungcoe muda baru pulang, sudah
selayaklah ia anak dan ayah memasang omong. Tidak
demikian dengan aku si orang perantauan, aku hidup
sebatang kara, aku tidak berdaya”
Jie In mengatakan tepat rasa hatinya. Ia memang
bersendirian saja.
Thian Tan kuatir membuat si guru sekolah kesepian, ia
lantas menukar haluan bicara, saban-saban ia mencari jalan
untuk beromong-omong dengan tetamunya ini, syukur ia luas
pengetahuannya, sebagai orang Rimba Persilatan, dapat ia
menemani si guru, bahkan ia berbicara dengan riang hingga
beberapa kali mereka tertawa dan bertepuk tangan, sampai
akhirnya tibalah saatnya Jie In minta mengundurkan diri.
Malam itu Jie In tak tenteram hatinya, hingga tak dapat ia
tidur. Ia turun dari pembaringan, mengenakan bajunya, lalu
duduk dikursi diluar kamarnya. Hawa udara dingin sekali.
Ketika itu pun bulan kesepuluh. Apapula orang berada diatas

367
gunung. Bintang-bintang jarang tetapi sang Puteri Malam
jernih dan permai sekali, hingga didalam lembah itu, rumahrumah
dan pepohonan memain dengan bayangannya masingmasing.
semua pohon, kecuali cemara dan pek. sudah mulai
gundul, ada yang tinggal cabang-cabangnya saja. Dalam
suasana itu, Jie In terus duduk terpekur, dia bagaikan lagi
berpikir keras. Rupanya ada sesuatu yang memegang
pikirannya. sampai lewat jam empat baru ia masuk
kekamarnya, naik kepembaringannya dan tidur dengan
perlahan-lahan.
Besoknya pagi, kesulitan pikirannya Jie In seperti telah
lenyap semuanya. seperti
biasa, ia mengajari surat kepada Sioe In, habis mana ia
minum teh wangi yang disuguhkan kacungnya. seperti biasa,
ia pun bersendirian saja. Hanya hari ini mendadak ia melihat
datangnya sancoe Kiong Thian Tan dengan romannya yang
rada muram. Dengan tergesa-gesa ia berbangkit menyambut.
“Duduklah sinshe” kata Thian Tan seraya mengulapkan
tangan dan bersenyum. “Dalam dua hari ini mungkin Hok-san
Jie-sioe datang untuk mencari balas, maka itu apabila tak ada
perlunya, aku minta sukalah sinshe jangan meninggalkan
kamar tulis ini, supaja bila ada sesuatu taklah sampai kami tak
dapat melindunginya. Umpamakata ada orang yang tidak
dikenal, atau ada terdengar sesuatu, diangan sekali sinshe
memperlihatkan diri, jangan melakukan sesuatu”
Ia menunjuk pada si kacung: “Ini si Pin- jie mengerti juga
sedikit ilmu silat untuk menjaga diri, dia bolehlah diminta
melindungi sinshe.”
Muka Jie In menjadipucat.
“Nanti, nanti aku berlaku hati-hati” katanya gugup.
“Tentang diriku, harap loosancoe jangan menguatirkan apaapa”

368
“Kalau begitu, baiklah,” kata tuan rumah, yang lantas
berlalu.
Jie In melepaskan napas lega. Ia menoleh kepada Pin- jie,
yang berada dipinggir pintu, yang mengawasi ia dengan
roman jenaka. Lantas ia mengasi lihat roman sungguhsungguh.
“Kunyuk cilik, kau berani kurang ajar terhadap bapak guru
ya,” katanya, membentak tetapi perlahan- “Awas, satu hari
kau bakal tahu rasa”
Tapi kacung itu tertawa.
“Sinhe, mana berani Pin- jie kurang ajar,” katanya.”Aku
cuma tertawa sebab barusan waktu loosancoe mengatakan
bakal ada orang datang, muka sinshe menjadi sangat pucat.”
“Kunyuk cilik” Jie In membentak pula, romannya gusar.
“Barusan loosancoe bilang kau mengerti ilmu silat, coba kau
pertunjuki beberapa jurus. Aku tidak mengerti silat tetapi
dapat aku melihat kepandaianmu dapat dipakai atau tidak
seandaikata kau tak sanggup melindung aku, nanti aku
bersembunyi dikolong ranjang. Mau atau tidak?”
Kacung itu tertawa terkikik, hingga dia tampak jenaka.
“Sinshe,” katanya, perlahan, “Baru saja aku peroleh
semacam permainan, tetapi tentang ini aku minta janganlah
sinshe memberitahukan loosancoe, apabila dia mendapat
tahu, aku bisa didamprat hebat”
Habis berkata, dia mengeluarkan dari tangan bajunya tiga
panah-tangan panjang masing-masing lima dim, sembari
tertawa dia menambahkan- “Sinshe telah melihatnya, bukan?”
Sembari berkata, kacung itu lantas memasang kudakudanya,
tangan kanannya diluncurkan rata, terus mendadak
ia memutarnya. Dan “ser..” maka ketiga batang panah tangan
itu melesat menyamber boneka malaikat yang terbuat dari
kayu cendana diatas meja.

369
Jie In terlihat kaget, tetapi ia terus mengambil patung itu,
hingga ia melihat ketiga panah nancap masing-masing didada
dan kedua mata, nancapnya tiga coen kira-kira. Maka
heranlah la yang bocah itu, yang telah mempunyai tenaga
cukup besar itu.
“Bagus” si sinshe memuji. “Siapakah mengajarkan kau ini?”
Pin-jie mencabut ketiga panahnya.
“Inilah pengajarannya loohoejin diluar tahunya loosancoe,”
sahutnya tertawa.
“Kau maksudkan loothaythay?” tanya si sinshe heran-
“Loothaythay demikian liehay?”
Pin-jie tertawa terkikik pula.
Pasti sinshe tidak ketahui katanya, lucu. “Keluarga
loosancoe semuanya liehay. Umpama loohoejin, dialah Pek
hoat Kioe-tiang-po Yap Han song yang kesohor di
Kwan-gwa. sinshe bukan orang Rimba Persilatan, tapi
sinshe tentu telah mendengarnya”
Setelah berkata begitu, seperti dia mendengar suara apaapa,
si kacung lantas memasang telinganya, terus dia lari
keluar.
Sendirinya, Jie In tersenyum.
Sang siang lewat dengan cepat, sang malam sebera
menggantikan tugasnya. Dan malam itu, dibawah sinar
rembulan, segera terlihat berkelebatnya bayangan dua orang,
bagaikan burung garuda menyambar, lewat didepan kamarnya
Jie sinshe. Menyusul itu terdengarlah bentakan beberapa kali,
disusul lebih jauh dengan berisiknya bentrokan pelbagai
senjata tajam. Kembali terdengar suara orang. Lalu sang
malam sunyi seperti semula, kecuali suaranya angin
Sebaliknya, Pin Jie terlihat lari bergegas-gegas masuk
kedalam kamar tulis, terus kekamar tidurnya Jie sinshe,
dimana ia dapatkan keadaan sangat sepi. Untuk kagetnya, ia
tidak melihat si guru sekolah, hingga ia berdiri melengak.

370
Tidak lama ia tercengang itu, lantas ia lari keluar. Tapi tidak
lama, ia telah kembali bersama-sama tuan rumah yang tua
danyang muda.
“Jie sinshe” ia memanggil setelah mereka memasuki kamar
tulis.
“Ya” terdengar jawaban perlahan dan menggetar, suara
mana datangnya dari kolong pembaringan, menjusul mana
lalu tertampak munculnya kepala si guru sekolah, yang
merayap keluar dengan tubuh bergemetar.
Hampir ThianTan dan Leng Hoei tertawa, syukur mereka
dapat mencegahnya. Mereka melihat Jie sinshe bermuka hitam
dan bajunya penuh debu.
“Barusan datang dua sahabat yang membawa berita,”
berkata tuan rumah yang tua. “Diantara kita telah terbit salah
paham, kita telah bentrok sebentar karena kami
merintanginya. Mereka itu mengabarkan bahwa Hok-san Jiesioe
beramai bakal tiba malam ini. Aku tidak sangka sinshe
kena dibikin kaget karenanya.”
Jie sinshe tersenyum terpaksa.
“Aku mendengar bentrokan senjata, aku kaget, lantas aku
menyembunyikan diri,” katanya. Mendengar itu, Pin-jie
tertawa.
“Hus” Leng Hoei membentak kacung itu “Lekas ambil air
untuk sinshe mencuci muka”
Pin-jie menurut, ia lantas pergi dan kembali dengan cepat
dengan air yang diminta, tetapi dia lucu, dia masih tertawa
sendirinya.
“ Anak nakal” Leng Hoei membentak.
Jie In sudah lantas membersihkan muka dan pakaiannya,
setelah mana, kedua tuan rumah mengajaknya bicara. Tapi
tak lama, ayah dan anaknya itu mengundurkan diri pula.

371
“Sinshe,” kata Pin-jie kemudian, “Besok bakal ada
keramaian dipuncak Pit-kee-hong dibelakang sanchung ini.
Apakah sinshe mau melihatnya? Kalau mau, aku dapat
mengajak kau kesebuah tempat dari mana dapat kita
mengintai.”
“Kunyuk” guru sekolah itu membentak. Kenapa kau ajak
sancoe datang kemari? Apa sengaja kau hendak membuat aku
malu? Kau mau pergi, pergilah. Aku sendiri tidak. Apakah yang
bagus dilihat?”
Pin-jie tertawa pula, ia lantas ngelojor keluar.
“Dasar bocah” kata si guru, yang mengawasi orang berlalu.
Selanjutnya, malam itu dilewatkan dengan sunyi. Tapi
besoknya, malam jam tiga, ramailah dipuncak Pit-kee-hong.
Disana golok dan pedang berkelebatan, beradu satu dengan
lain, ditambah berisiknya teguran dan dampratan, hingga
umpama kata lembah menggetar. Lalu mendekati fajar,
loosancoe pulang dengan mandi darah, lengan kirinya
dipegangi. Dia memasuki kamar tulis. Terang dia telah terluka.
Ketika itu Jie In duduk dikursi, rupanya satu malam suntuk
ia tidak tidur. Pin-jie menggeros dengan kepalanya terletakkan
diatas meja. Melihat tuan rumah, guru sekolah ini sebera
berbangkit.
“Oh, loosancoe terluka” katanya kaget. Ia lantas menepuk
bangun pada Pin-jie.
“Inilah luka tak berarti” menyahut tuan rumah tertawa.
“Coba sinshe tolong periksa, apa terluka juga otot-otot dan
tulangnya. Mungkin aku telah mengeluarkan terlalu banyak
darah. Akupercaya, setelah makan obat, dalam waktu tiga hari
aku akan sudah sembuh. Hanya tadi, apabila tidak ada orang
membantu aku, mungkin aku roboh diujung pedangnya Hoksan
Jie-sioe, orang itu membantu secara diam-diam, tadi tak
diketahui siapa dianya”

372
Jie In segera memeriksa luka. Dia tertawa.
“Loosancoe berejeki besar dan berumur panjang, pastilah
dibantu Thian” katanya. “Luka ini tidak parah, nanti aku
memberikan obat untuk menambah tenaga dan obat luar,
tidak sampai dua hari, sancoe akan sudah sembuh”
Dan ia lantas membuat resepnya dan menitahkan Pin- jie
mengurus obatnya. setelah itu Thian Tan menuturkan jalannya
pertempuran.
Kira2 jam tiga malam, rembulan terang dan permai.
Bintang-bintang sedikit dan bergemerlapan. Diwaktu begitu,
ThianTan sudah siap. menantikan dipuncak. Ia ada bersama
Leng Hoei serta orang-orangnya, berjumlah duapuluh lebih.
Tak lama terdengarlah siulan nyaring, yang berkumandang
didalam lembah, disusul sama datangnya beberapa puluh
bayangan orang. sangat cepat datangnya mereka, dengan
lantas mereka telah tiba dipuncak.
Melihat datangnya musuh dalam jumlah besar itu, Thian
Tan terperanjat. la kata dalam hatinya: “Terang sudah Hoksan
Jie-sioe ingin membumi- ratakan Hoan-pek sanchung,
Heran orang ku yang dipasang disebelas tempat jaga kenapa
tidak satu diantaranya yang memberi pertanda? Mungkinkah
mereka telah bercelaka semua?”
Baru ia berpikir begitu atau Hok-san Jie-sioe sudah berdiri
didepannya. Dibelakang kedua musuh itu Dua orang tua dari
Gunung Hok san berbaris kawan-kawan mereka. Kumis
mereka yang putih dan panjang memain antara sampokan
angin, tangan baju mereka juga berkibaran-
Lao-toa, yang tua, Wie Lin soei, lantas tertawa dingin-
“Kiong Thian Tan, kembali kita bertemu” katanya, suaranya
jumawa. “Ketika dulu hari kita berpisah, aku telah
meninggalkan kata-kata. Kau masih ingat itu, bukan? Kata
kata itu ialah, kapan nanti persaudaraan gunung Hok san

373
munculpula dalam dunia Kang-ouw, itu artinya runtuhnya
Hoan-pek san chung”
Thian Tan tertawa berlenggak.
“Wie Lin soei, kata-katamu itu masih terdengar ditelingaku”
sahutnya, berani. “Mana dapat aku melupakan itu? Aku hanya
mengira kata-kata itu untuk menutupi malu saja, tak tahunya
benar-benar kamu telah mewujudkan sumpah mengunjungi
rumahku ini .Tapi mungkin kau lupa bahwa kau menghendaki
jiwaku seorang”
“Tutup mulut” Lin Soei membentak. “Dalam sarang yang
jatuh mana ada telur yang utuh? Jikalau malam ini kau
mengharap jiwamu lolos, itu cuma dapat terjadi seperti
mencari jarum didalam laut”
Disamping tertua Hok san Jie-sioe berdiri yang kedua,
Souw Lin siang. Dia turut bicara dengan berkata nyaring:
“Lao-toa, mana ada begitu banyak waktu untuk mengadu
mulut dengannya? Bereskan dulu mereka, baru kita bicara”
Lalu tanpa menanti jawaban lagi, dia mengulapkan
tangannya, atas mana sekalian kambratnya lantas bergerak
menyerang orang2nya Thian Tan- Diantaranya ada belasan
yang menerjang kearah sanchung.
Melihat demikian, Thian Tan terkejut. Itulah cara
membokong. Tapi, belum ia sempat mengambil tindakan, ia
pun segera diserang Hok san Jie-sloe, yang telah menghunus
pedangnya masing-masing dan maju dikiri dan kanan, pedang
mereka menikam iga kiri dan lengan kanan.
Thian Tan tertawa berkakak. sambil tertawa ia berlompat
mundur, untuk berkelit. Begitu lekas ia menggeraki sepasang
tongkat peraknya, ia pun maju guna membalas menyerang.
Hok san Jie-sioe memisah diri, lalu merapat pula. Itulah
permulaan mereka mengepung. Tak mau mereka bertempur

374
satu lawan satu. Bahkan beramai bersama semua kawan
mereka.
Thian Tan heran dan berkuatir.
“Entah dari mana, Hokssan Jie-sioe mempelajari ilmu
pedangnya ini,” pikirnya. “Mereka rjerdik, mereka merasa pasti
dengan tangan kosong sulit mereka menempur aku, sekarang
mereka menggunai senjata. Kelihatannya mereka telah
mencapai puncak kemahirannya.”
Dengan sebenarnya, pedang dua musuh itu digunai rapat
dan dahsyat sekali.
Selagi pertempuran ramai itu berjalan, di Hoan-pek
sanchung nampak berkelebatnya satu bayangan, yang
mencelat naik keatas puncak dimana bayangan itu lantas
bersembunyi diatas sebuah pohon cemara yang tua.
Kiong Thian Tan dapat melayani kedua musuhnya dengan
seimbang, hanya ruginya untuknya ia harus memikiri juga
rumahnya karena ada musuh yang menyerbu kesana. Ia tahu
isterinya liehay tetapi si isteri pun pasti repot melayani banyak
musuh. Nona mantunya mengerti silat tetapi nona mantu itu
tidak dapat diandalkan, lantaran dia lagi hamil tiga bulan-
Kalau menantu itu turun tangan- bagaimana nanti dengan
kandungannya itu? Karena ini ia menjadi bingung, hingga
tanpa merasa pedangnya Lin soei mampir dipundak kirinya,
hingga darahnya lantas mengucur keluar. ia mengertak gigi,
untuk menahan sakit. Ia lantas berkelit sambil tangan
kanannya menyerang, niatnya berlompat keluar dari kalangan-
Tapi ia kena dibarengi Lin siang, maka sikut kirinya kena
tertikam hingga ia terhuyung dua tindak.
Girang Hok-san Jie-sioe, keduanya maju berbareng
membacok musuhnya.
Dalam saat terancam itu, Kiong Thian Tan menggunai
pukulannya yang istimewa, yaitu Tay-lek Koen-goan-ciang,

375
untuk menyapu kedua lawannya. Celakalah siapa kena
terhajar pukulan itu.
Hok-san Jie-sioe celi matanya dan sebat gerakannya.
Kedua-duanya berkelit dengan cepat dengan berkelit mendak.
Maka juga terus saja mereka dapat menyerang pula kekaki
musuh.
Thian Tan terancam hebat. Tak dapat ia menangkis, tak
keburu ia berkelit. Untuk menarik pulang tangannya saja
sudah sukar. Maka ia menutup kedua matanya, untuk
menantikan kebinasaannya. Akan tetapi ia tidak merasakan
tertusuk atau tertabas, sebaliknya telinganya mendengar
kedua lawannya menjerit kaget. Dengan lekas ia membuka
matanya. Ia melihat Hok san Jie-sioe menutupi matanya
sendiri, masing-masing yang kiri dan kanan, kedua mata itu
mengeluarkan darah, seperti bekas kena senjata rahasia, terus
mereka berlompat mundur, untuk lari kabur.
Ketua Cian san Pay itu menjadi heran, ia menenangkan diri.
Ketika ia melihat musuh sudah lenyap. ia mengeluarkan
napas. Benar ia telah bebas dari bahaya tetapi dengan musuhmusuhnya
masih hidup, sampai kapan permusuhan itu dapat
dihabiskan?
Segera Thian Tan menyaksikan satu kejadian lain. satu
bayangan orang berkelebat didekatnya, diantara cahaja
rembulan ia melihat bayangan itu memegang sesuatuyang
hitam dengan apa dia menyerang kalang-kabutan kepada
kawan-kawannya Hok san Jie-sioe, hingga mereka itu pada
menjerit kesakitan, lantas semua lari serabutan untuk
menghilang.
Heran Thian Tan untuk menyaksikan, antara orangorangnya
sendiri, tidak ada satu yang kena terserang
senjatanya bayangan itu sebaliknya musuh, kebanyakan dari
mereka terhajar matanya

376
Hebat orang itu, pikirnya mengenai bayangan. Dapatkah
senjata rahasia membedakan musuh dan kawan? siapakah
dia? Dia mestinya sahabat, Ah, bagaimanakah dengan
isteriku?
Segera Thian Tan menjuruh Leng Hoei memeriksa pos
penjagaan, ia sendiri mengajak beberapa orang lari pulang. Ia
merasakan sangat sakit pada kedua lukanya,yang masih
mengeluarkan darah, sedang angin keras menyampok giris.
Dengan tangan kanannya ia memegangi tangan kirinya.
Ditengah jalan pulang, ia melihat beberapa musuh roboh
diselokan, dipinggiran pohon, diatas genteng juga. semuanya
kurban-kurban totokan, ia heran dan kagum, ia bingung. siapa
itu penolong yang liehay?
“Bawalah mereka pulang” ia memerintahkan orangorangnya,
untuk mengangkut semua musuh yang tak berdaya
itu. Ia sendiri terus lari kedalam rumah. Tiba didalam, ia heran
hingga ia tercengang. Isteri dan nona mantunya lagi duduk
memasang omong sambil tertawa-tertawa, seperti juga
dirumahnya itu tidak terjadi sesuatu.
Tapi Yap Han song kaget melihat suaminya pulang dengan
mandi darah, ia lantas berbangkit menyambut.
“ Ah, kau terluka?” tanyanya.
“Ya, tetapi tidak apa” jawab suami itu tertawa. ia lega hati.
“Semua musuh sudah dipukul mundur sekarang aku mau
menemui dulu Jie sinshe” Dan ia lantas bertindak kekamar
tulis.
Kapan Jie In telah mendengar habis ceritanya tuan rumah,
ia mengatakan berulang-ulang: “Benar-benar, naga sakti itu
terlihat kepalanya tidak ekornya Inilah mesti dipercaya”
Habis diobati, Thian Tan mengucap terima kasih, lantas ia
kembali kedalam.

377
Di kanan dari rumahnya Kiong Thian Tan ada sebuah
tangga batu yang berliku-liku, undakannya mungkin beberapa
ribu tindak. naik hingga dipinggang gunung. Di situ tumbuh
banyak pohon tua dan besar. Di situ pun ada bangunan
lauwteng atau ranggonyang berwarna merah tua, yang diberi
nama Kioe-kiong-kok. Dan malam itu, pintnnya yang timur
terlihat terbuka, dari situ keluar seorang tua dengan rambut
dan alisnnya putih semua, dengan mukanya kisutan dan kucal.
Rupanya dia telah lama sangat menderita. Dengan tangan
dipunggung, dia berdiri didepan loneng, kepalanya diangkat,
matanya mengawasi langit. sinar matanya itu guram. Di
terangnya rembulan, makin nyata nampak kucalnya itu
“Sudah sepuluh tahun” katanya seorang diri, menghela
napas panjang. “Inilah bulan dan tahun yang tidak pendek.
Kapankah aku akan melihat pula kampung halamanku? Aku
telah berbuat salah, aku terpaksa menyingkir ke Kwan-gwa ini
dimana aku mesti menumpang pada orang lain sekarang aku
menyesal, apa gunanya? sudah kasip”
Orang tua ini ialah Hoan-thian-cioe Ang Ban Thong si
Tangan Membalik Langit. Dia tinggal menyendiri dilauwteng
Kioe-kiong-kok ini sudah sebuluh tahun. Dia tinggal tanpa
berdaya, bisanya cuma tidur dan bangun dan dahar dan
ngelamun. Tidak berani dia berlalu dari tempat sembunyinya
ini. Telah lenyap tulang-tulang kejumawaannya dulu hari. Dia
telah menjadi putus asa meskipun benar kadang-kadang dia
memikir untuk hidup pula. setiap malam dia berpikir tak
keruan junterungannya. Demikian malam ini dia menggadangi
si Puteri Malam, sampai dia ingat kampung halamannya,
hingga dia mengenangkan segala lelakon hidupnya yang
sudah-sudah.
Tengah jago tua ini menjublak itu, tiba-tiba ada suara halus
berkerosek dibelakangnya. Biar bagaimana, dia ialah seorang
yang mengerti ilmu silat, telinganya masih terang, matanya

378
masih tajam. Dia tahu bahwa ada orang telah menyerangnya.
Tak kecewa dia menjadi si Tangan Membalik Langit.
Tangannya liehay sekali. Begitu memutar tubuh, begitu dia
menyerang. “Brak” demikian suara nyaring terdengar. Celaka
kedua daun pintu lauwteng, yang terhajar roboh pukulannya
itu, hingga seluruh lauwteng turut menggetar. Tapi, dia tidak
melihat setengah manusia juga. Maka dia berdiri melengak.
“Tangan yang liehay” mendadak telinganya mendengar
suara pujian yang disusuli tertawa dingin- suara itu mirip
suara nyamuk tetapi dia dapat mendengarnya tegas sekali.
Maka kagetlah dia. Dengan sebat dia lompat kedepan, setelah
mana dengan sebat dia memutar tubuh. Maka kagetlah dia,
tubuhnya menggigil.
Di depannya berdiri satu tubuh mirip bayangan hitam,
sebab orang itu tertutup kepala dan seluruh tubuhnya, sampai
dikakinya. Cuma sepasang mata yang tajam molos mencilak,
membikin siapa yang melihatnya ciut hatinya.
”Siapa kau?” dia menanya, suaranya menyatakan kagetnya.
Orang itu tertawa dingin pula.
“Ang Ban Thong” sahutnya. “Mimpi pun, kau tak akan
menyangka aku siapa” Kata-kata itu belum diucapkan habis,
atau tangannya orang itu bergerak.
Jilid 5.1 : Empat Mestika Raja Naga
Ang Ban Thong sendiri pun bergerak untuk menyerang.
Hanya untuk kagetnya dia mendapat kenyataan tubuh orang
maju dan kedua lengannya segera tercekal keras, akibatnya
yang mana dia merasakan sakit dan gatal sekali pada seluruh
tubuhnya! Celakanya terus dia tidak berdaya, hingga tinggal
air matanya yang menetes turun ke lantai lauwteng.

379
Orang tidak dikenal itu memegang dengan tiga jari dari
masing-masing tangannya, semua jari tangannya itu dipencet
dan dikendorkan bergantian.
“Sekarang kau dengar, aku akan memberitahukan kau!”
berkata pula orang itu. “Kau perlu diberitahu supaya kau mati
puas! Hendak aku Tanya kau: Dulu hari ketika orang
mengeroyok Cia Bun, kau ada satu diantaranya atau tidak?
Kau mesti omong terus terang, dengan jujur, supaya dapat
aku memberi kepuasan kepadamu!”
Mendengar pertanyaan itu, Ban Thong merasa dia seperti
mendengar Guntur. Dia lantas merasakan matanya
berkunang-kunang.
„Apa ?" tanyanya, suaranya menggetar. “Kau…..kau pernah
apa dengan Cia Bun?”
“Aku?” orang itu menyawab. “Si wilayah Sam siang pernah
kita bertemu muka! Kau pasti tidak pernah melupakannya!
Aku ialah itu bocah yang digendong di punggungnya Cia Bun!”
Bukan kepalang kagetnya Ang Ban Thong.
„Apt ?" katanya„ “Kamu jadinya tidak mati? Habis mayat
kecil di gunung Bu Kong San mayat siapa ?''
Seperti melupakan sakitnya, Ban Thong lantas berpikir.
Orang itu tertawa dingin berulang-ulang. Tak sedap tertawa
itu masuk kedalam telinga si orang she Ang.
„Benar, tuan kecil kau masih belum mati!” berkata orang
itu,
bengis. “Kau tidak menyangkanya bukan? Sekarang tuan
kecil kau dating kemari untuk menagih hutang lama! Sekarang
aku Tanya lagi padamu! Di rumah ini masih ada dua orang lain
yang pernah mengeroyok ayahku! Mereka itu tinggal di bagian
mana dari Hoan Pek San Chung ini? Disamping mereka itu,
siapa-siapa lagi yang telah turut mengepung ayahku itu? Kau
bicaralah!”

380
Pertanyaan itu hebat tetapi itu seperti juga suatu
keringanan untuk Ban Thong.
„Bencana itu tidak ada pintunya seperti juga rejeki," dia
mengoceh seorang diri, „Bencana itu dicari oleh orang yang
bersangkutan sendiri…malam ini aku menemui saatku ini, aku
cuma harus menyesalkan diriku sendiri…” Lantas dia tertawa
sedih, dia menyebutkan tentang dua orang yang ditanyakan
itu. Dia menuturkan roman, usia dan tempat sembunyi
mereka. Tentang yang lainnya, ia menunjuk lima orang Ceng
Hong Pay.
„Lainnya aku tidak tahu," katanya akhirnya, terus ia
meram, untuk menyambut kematiannya.
Orang itu menghela napas.
„Baiklah, aku menyempurnakan kau!" katanya seraya terus
ia menotok didada, maka robohlah tubuh Ang Ban Thong,
menyusul mana orang itu seperti bayangan seperti munculnya
tadi, Iantas menghilang dari lauwteng Kioe Kiong Kok itu,
lenyap diantara pepohonan yang lebat.
Besok pagi, gemparlah Hoan Pek San-chung. Telah didapat
tahu bahwa tiga orang yang menumpangi diri, telah
meninggal dunia tidak keruan paran. Merekalah Ang Ban
Thong, Ong Soei dan Lee Siang.
Lo-sancoe Kiong Thian Tan kaget dan heran, dia sendiri
Iantas pergi melihat, untuk. memeriksa. Semua mayat tidak
ada tanda lukanya, cuma ada tanda
bekas totokan. Dan kecuali pintu lauwteng Kioe Kiong Kok
yang gempur, dua kamar yang lainnya tak rusak sama sekali,
dan tak ada juga tanda-tandanya bekas orang bertarung,
sedang ketiga orang itu dikenal liehay, yang tak gampanggampang
orang merobohkannya. Maka diakhirnya tuan rumah
ini ingat akan warta yang dibawa Leng Hoei, puteranya, hal
dua peristiwa yang menggemparkan di Tionggoan.

381
“Benarkah ini perbuatannya Twie Hun Poan Cia Bun?” ia
tanya dirinya sendiri, “Rupanya dialah yang itu malam
membantui aku secara diam-diam. Sungguh hebat sepak
terjangnya!”
Thian Tan menjadi masgul. Ban Thong bertiga menumpang
padanya, sekarang mereka itu terbinasa diluar tahunya,
sebagai tuan rumah, ia harus bertanggung jawab, menurut
aturan kaum Kang Ouw, tidak dapat ia melepaskan diri. Tapi,
bagaimana ia harus bekerja ? Siapa si pembunuh gelap ?
Bagaimana kalau dia benarlah Cia Boen, yang pernah
menolongnya dari ancaman Hok San Jie Sioe ? Pasti ia tidak
dapat turun tangan terhadap Cia Boen.
Perdamaian lantas diadakan diantara ayah dan anaknya.
Masih mereka tidak berdaya. Apa yang mereka bisa lakukan
ialah mengirim beberapa orang untuk membuat penyelidikan.
Sang hari berjalan terus, cepat lewatnya. Satu bulan telah
berselang semenjak peristiwa aneh dan hebat itu atas diri Ang
Ban Thong bertiga. Sekarang ini gunung Tiang Pek San seperti
ditutupi salju, yang terbang turun berhamburan. Seluruh
gunung, seantero lembah, putih mengkilap dengan sinarnya
benda dingin itu. Kapan hawa udara telah menjadi sangat
dingin, berhenti!ah turunnya salju yang membeku. Malam itu
pun angin keras. Salju tebalnya sampai satu kaki. Sampai
matahari muncul, salju itu tak dapat lantas tersinarkan lumer.
Hawa udara jadi semakin dingin. Baru belakangan terlihat
jatuhnya tetesan-tetesan air.
Jie In dengan mengenakan baju kulitnya yang
gerombongan pergi keluar kamarnya, ia berdiri diam dengan
kedua tangannya dimasuki kedalam tangan baju. Ia melihat
jauh ke sekitarnyarnya. Ia menikmati keindahannya musim
dingin itu. Lama juga ia berdiam diluar itu, ia seperti memikir

382
sesuatu, setelah batuk-batuk dua kali, ia bertindak masuk
kekamar tulis.
„Pin Jie !" ia memanggil.
Kacung itu berada disamping rumah, sambil jongkok ia
tengah memasak teh, sekalian menghangatkan dirinya. Ketika
mendengar panggilan, ia lantas menyahuti, panjang suaranya.
„Bukankah sinshe memanggil aku ? Baik, aku lantas
datang..."
Dan ia masuk sambil membawa poci teh.
„Pin Jie," berkata si guru sekolah, "coba kau pergi melihat
loo-sancoe, ia sedang luang temponya atau tidak, jikalau dia
lagi senggang, kau undanglah ia datang kemari sebentar. Kau
bilang saja bahwa aku ada satu urusan yang hendak
dibicarakan dengannya."
Pin Jie terima titah itu, ia menyahuti dan lantas pergi
keluar.
Tidak selang lama, muncullah Thian Tan bersama
kacungnya . Ia tertawa
Ketika ia melihat guru cucunya.
„Jie Sinshe," katanya riang, “Pin Jie membilangi aku bahwa
shinse mempunyai urusan yang hendak dibicarakan, benarkah
? Urusan apakah itu ?"
„Sabenarnya aku kangen pada kampong halamanku, “ ia
menyahut, „Aku hendak minta cuti supaya aku dapat pulang
menyambangi kuburan leluhurku. Lain tahun bulan tiga pasti
aku akan kembali kemari. Bagaimana pikiran loo sancoe?”
Kiong Thian Tan pun tertawa.
“Aku kira urusan penting apa” katanya, “Biasanya saja
kalau orang kangen dengan kampong halamannya. Cuma
sekarang ini hawa udara sedang buruknya, tidak lama lagi
akan tiba saatnya salju besar menutupi gunung, jalanan
menjadi sukar dilalui. Untuk kami kaum rimba persilatan masih
tidak apa, tidak demikian dengan sinshe seorang anak

383
sekolahan…Apakah tidak lebih baik sinshe menunggu sampai
musim semi lain tahun..?”
Tanpa menanti tuan rumah berhenti bicara, Jie In berkata:
“Terima kasih untuk kebaikan loo-sancoe, aku bersyukur
sekali, hanya apa mau dikata, keras sekali niatku pulang,
jikalau mesti menunggu sampai lain tahun, tak sanggup aku.
Perihal jalanan sukar, itu tak menjadi halangan untukku, itulah
sudah biasa untuk kaum perantau."
Melihat orang demikian mendesak, Thian Tan tidak mau
mencegah lagi.
“Jikalau demikian aku tidak bisa bilang apa-apa lagi”
katanya, “Cuma aku minta sukalah sinshe menanti sampai tiga
hari lagi, supaya cucuku dapat memberi selamat jalan”
“Oh loo sancoe, tak usahlah demikian berabeh!” kata Jie In
mencegah, “Aku toh akan kembali dalam bulan ketiga lain
tahun? Toh ini bukannya perpisahan untuk selama-lamanya?
Aku anggap tak usahlah loo sancoe mengadakan perpisahan
secara demikian”
Thian Tan berbangkit, ia tertawa.
“Putusan sudah tetap, tak usah sinshe pakai banyak aturan
lagi” ia kata, lalu dengan perlahan-lahan ia bertindak keluar.
Jie In terpaksa menerima, dengan hormat ia mengantarkan
majikannya pergi.
Syukur ada kelambatan tiga hari itu maka terjadilah Jie In
dapat menolongi Kiong Thian Tan dari ancaman bahaya maut.
Beruntun dua hari telah diadakan perjamuan perpisahan,
oleh loo-sancoe, oleh nyonya ru mah,, lalu oleh Leng Hoei,
oleh isterinya tuan muda ini.
Selagi menghadiri pesta, Nyonya Leng Hoei, Jie In melihat
perut si nyonya telah menjadi besar, ia agaknya terperanjat.

384
Leng Hoei tajam matanya, ia melihat itu, hingga ia jadi heran.
la lantas tanya kenapa si sinshe kaget.
Jie In bersenyum, ia bersuara perlahan, entah apa ia
bilang. la tidak menjawab. Tentu sekali tuan muda itu jadi
semakin heran dan penasaran juga.
“Sinshe, ada apakah?” ia Tanya, suaranya keras,
“Omonglah, sinshe, kami kaum Rimba Persilatan, kami tidak
mengenal pantangan!”
Jie In tertawa.
“Siauw sancoe, kau dengar” ia menyahut akhirnya, “Suatu
soal, apabila ia tidak diperhatikan, tidak ada soalnya, tetapi
sekali diperhatikan, dia dapat mengacaukan pikiran.
Sebelumnya aku bicara, ingin aku memberi selamat kepada
loo-sancoe, bahwa pada tahun yang mendatang kau bakal
memperoleh cucu!”
Kata-kata itu menggirangkan Leng Hoei suami isteri
begitupun Thian Tan dan Yap Han Song Sioe In pun girang,
dia mengawasi gurunya.
„Anak, lain tahun kau bakal mendapat adik laki-laki!” kata
Jie In „Tidakkah kau akan girang sekali?"
„Tentu, tentu!" kata anak itu, yang terus menghampirkan
ibunya, sambil menunjuk perut ibunya yang besar ia tanya,
Ibu, apakah adikku didalam situ?”
Nyonya Leng Hoei likat tetapi ia girang, ia tertawa seperti
kedua mentuanya dan suaminya itu.
Jie In tidak menghiraukan orang tertawa riang. Ia
mengawasi Nyonya Leng Hoei
dan nanya „Siauw-hoejin, didalam bulan ini kau pernah
melakukan pertempuran atau tidak?"
Nyonya itu heran hingga tercengang. la menggeleng
kepala.

385
„Tidak," sahutnya. „.Ah, pada sepuluh hari dimuka, pernah
aku berlatih dengan suamiku. Apakah kandunganku
tergerak?”i
“Kandungan tidak tergerak hanya kedudukannya tergeser”
kata si tabib tertawa, “Kandungan bergeser artinya melahirkan
sedikit sukar. Syukur aku melihatnya, menjadi masih ada daya
memperbaikinya. Siauw sancoe, sebentar malam sukalah kau
datang kekamarku, nanti aku mengajari kau ilmu memulihkan
kandungan, setelah itu dengan makan beberapa bungkus obat
saja, siauw hujien tak usah menguatirkan apa-apa lagi”
Leng Hoei girang,
“Budimu besar sekali, sinshe," ia kata, „Aku tak dapat balas
budimu ini. Kalau nanti anakku terlahir, biarlah dia
mengangkat kau sebagai ayah pungutnya."
Jie In tertawa.
„Aku tidak mempunyai rejeki itu, siauw-sancoe," ia kata.
„Untukku cukup asal aku dapat dahar beberapa telurmerahnya
."
Belum berhenti suara guru sekolah ini atau Thian Tan
mendadak menjerit dan tubuhnya terguling kebelakang
bersama kursinya.
Jie In terkejut, mukanya pucat, tetapi segera dia melesat
ke cim chee dimana dia berlompat naik, Ketika Kiong Leng
Hoei lompat menyusul, guru sekolah itu sudah berada jauh
beberapa puluh tombak dan didepan si guru ada tiga orang
lagi berlari-lari. Mereka terlihat tegas sebab salju terang sekali.
Heran dan kaget menjadi satu dalam hati Leng Hoei.
Selama beberapa bulan ia tinggal sama guru sekolah
merangkap tabib itu, tidak ia ketahui orang sebenarnya liehay
ilmu silatnya, baru sekarang ia mengetahuinya. Ia hanya
heran kenapa guru itu menyimpan diri demikian rupa.

386
Bukankah dia tidak mengandung maksud busuk apa-apa
terhadap Hoan Pek San Chung?
Sembari berpikir, tak berhenti tuan muda ini dari larinya,
bahkan ia lari sekeras bisa untuk menyusul. Ia mendapatkan
Jie In sudah mendahului dua diantara tiga orang, dia memutar
tubuhnya untuk memegat. Ia tidak lihat bagaimana orang
turun tangan, ketika ia menyandak, dua orang itu sudah roboh
tidak berkutik, demikian juga orang yang ketiga, yang dapat
dicandak si guru sekolah.
Melihat tibanya Leng Hoei, Jie In berkata, “Aku mau lantas
pulang menolongi loo-sancoe, tolong siauw sancoe membawa
pulang mereka ini untuk mengompes keterangannya” Habis
berkata dia lantas lompat. Sekali saja dia sudah pergi tujuh
atau delapan tombak, maka dilain saat tubuhnya segera
lenyap didalam san-chung.
Kembali Leng Hoei kaget dan heran. itulah ilmu ringan
tubuh yang sangat mahir. Yang ia tahu, orang cuma dapat
lompat lima tombak. Tapi ia tidak sempat berpikir, ia lantas
bekerja.
Jie In sendiri, setibanya ia didalam rumah, ia melihat
semua orang bergelisah. Loo-sancoe telah ditotok untuk tutup
jalan darahnya oleh isterinya, dia telah dibawa masuk kedalam
kamarnya dimana dia direbahkan diatas pembaringan. Disitu
pun berkurnpul banyak anggauta Cian San Pay, yang
mendapat kabar sancoe mereka terluka, tapi ketika mereka
mau pergi menyusul si orang jahat, si guru mencegah.
“Ketiga penjahat itu sudah dapat ditotok siauw sancoe,
sebentar mereka dibawa pulang” katanya. Ia sendiri
menghampirkan Thian Tan yang rebah dengan gigi terkancing,
matanya mendelik, tubuhnya menggigil tak hentinya. Nyonya
sancoe tua nampak sangat berduka.

387
,,Jie Sinshe," kata nyonya itu, “Tidak aku melihat bahwa
kau sebenarnya seorang luar biasa. Loo sancoe telah terkena
pukulan tang pek koet Han Hong Ciang, kabarnya pukulan itu
tidak ada obatnya, benar aku telah menotok menutup jalan
darah suamiku, mungkin dia tak akan bertahan lama ...... ."
Habis berkata, tak dapat dicegah lagi, airmatanya si nyonya
tua bercucuran.
„Aku bukan orang luar biasa, loo-hoejin," kata Jie In
merendah. „Tentang sedikit luka dari loo-sancoe, janganlah
dibuat kuatir, dapat aku mengobatinya."
Ketika itu Leng Hoei sudah kembaIi, sembari tertawa, tabib
ini berkata: „Siauw-sancoe, hebat tanganmu, tak sampai
sepuluh jurus telah berhasil kau membekuk mereka bertiga!
Sungguh aku kagum!"
Leng Hoei melengak, tetapi lantas ia mengerti. „Tahulah ia
guru sekolah ini tetap tak ingin orang mengetahui dia pandai
silat, maka terpaksa ia berdiam, cuma ia bersenyum. Melihat
keadaan ayahnya, sebaliknya ia berduka dan berkuatir.
„Bagaimana lukanya ayahku?" ia tanya.
Jie In mengangguk, terus ia berbisik„Siauw-sancoe, tolong
ajak semua orang keruangan depan, dan jagalah agar mereka
tak mengetahui aku mengerti silat."
“Aku mengerti” sahut Leng Hoei. “Hanya kenapa aku tidak
dapat membebaskan totokan tiga orang itu?”
“Sebentar, sehabis menolongi loo-sancoe kita nanti bicara
pula” kata si guru, tetap berbisik.
“Baiklah, tentang ayahku, aku mengandal pada sinshe” kata
Leng Hoei, yang lantas mengajak semua orang keluar, hingga
didalam kamar tinggal Jie In bersama kedua nyonya serta Sioe

388
In. Diluar pintu berdiri satu orang, yaitu Pin Jie. Dia ini
agaknya menyesal yang selama beberapa lama tidak
mengetahui si guru sekolah demikian lihay. Maka tanpa
merasa, ia sampok kepalanya sendiri.
Berselang dua jam maka di dalam kamar terdengar tertawa
yang nyaring dari loo-sancoe Kiong Thian Tan. Itulah bukti
yang san-coe tua itu sudah sembuh. Maka habis mendengar
itu, Pin Jie Iari keluar keruangan besar untuk memberi kabar
kepada tuan mudanya.
Menyusul kaburnya si kacung, Jie In muncul untuk pulang
kekamarnya sendiri. Disini ia duduk menjublek dikursi
malasnya, agaknya ia berpikir keras.
Tidak lama gorden tersingkap, sebuah kepala orang nongol.
Hanya sebentar, kepala itu ngelepot lenyap.
“Ha, kunyuk kecil” berkata si guru sekolah. “Jikalau kau
mau masuk, masuklah, jangan diluar saja dengan lagakmu
sebagai setan! Awas nanti aku keset kulitmu!”
Pin Jie lantas muncul, ia lantas memberi hormat sehormathormatnya
kepada si guru sekolah seraya ia berkata: “Sinshe,
pandai sekali kau bersandiwara! Sungguh sinshe tega kepada
Pin Jie tidak diberikann sesuatu yang ada harganya sebagai
hadiah”
“Kunyuk cilik!” Jie In tertawa, “Beginilah lagakmu!”
“Tetapi sinshe,” kata kacung itu, “Pin Jie belum pernah
mengabaikan kau…”
“Sudahlah!” kata guru sekolah itu. “Lain tahun aku akan
datang pula, itu waktu kau pasti akan menerima sesuatu dari
aku”
Belum sempat si kacung berkata apa-apa lagi, Leng Hoei
telah datang masuk kedalam kamar Jie In, maka dia lantas
mengundurkan diri, sedang si guru sekolah lantas mengajari
sancoe muda itu caranya bagaimana harus memperbaiki

389
kandungan, setelah mana ia membuatkan tiga macam resep,
kemudian ia mengajari pula ilmu menotok bebas kepada
ketiga orang tangkapan yang membokong sancoe tua.
Leng Hoei girang sekali, setelah mengerti semua, ia berlalu
dengan cepat.
Besoknya pagi, Thian Tan bersama isterinya datang
menemui Jie In untuk menghaturkan terima kasih mereka.
“Rupanya” berkata tuan rumah kemudian tertawa, “Ketika
itu malam Hok San Jie Sioe datang, sinshe-lah yang telah
menghindarkan aku dari mara bahaya!”
Guru sekolah itu tertawa, ia tidak menyahut.
“Jikalau aku tidak keliru menerka” kata pula Thian Tan
tetap tertawa, “Kebinasaannya Ang Ban Thong bertiga
tentulah perbuatan sinshe juga, sebab mereka itulah orangorang
liehay, lain orang tidak nanti demikian gampang dapat
turun tangan atas diri mereka! Menurut anakku, sinshe sangat
liehay, langka orang dengan kepandaian yang dimiliki sinshe”
Mendadak saja Jie In menatap tajam tuan rumahnya.
“Benar, itulah perbuatanku yang rendah!” katanya, tertawa,
“Apakah loo-sancoe berniat membalaskan?”
“Jangan salah mengerti, sinshe!” kata tuan rumah itu, yang
mengulapkan tangan dan tertawa manis, “Untuk kau, urusan
bagaimana besar juga, aku bersedia bertanggungjawab! Aku
hanya heran diantara sinshe dan mereka itu sebenarnya ada
permusuhan apakah? Mungkinkah diantara sinshe dan Twie
Hoen Poan ada sesuatu hubungannya?”
Ketika itu Leng Hoei pun muncul bersama isterinya, untuk
menghaturkan terima kasih mereka.
Jie In tergerak hatinya mendengar pertanyaan tuan rumah
yang tua itu, ia tertawa tetapi sedih tertawanya.
“Tentang hubunganku dengan Twie Hoen Poan Cia tayhiap,
maaf tidak dapat aku menjelaskan sekarang ini!” sahutnya.

390
“Asal sancoe sekalian suka berjanji akan tolong
merahasiakannya, lain kali sancoe semua akan
mengetahuinya”
Tuan tumah yang tua tertawa terbahak.
“Jie sinshe, kita kenal satu dengan lain sudah sekian lama,
apakah sinshe masih tidak mempercayai Kiong Thian Tan?
Asal kau tidak menyuruhnya aku pun tidak nanti
membocorkan rahasiamu ini. Apa yang aku hendak minta ialah
sudikah kau menjadi sahabatku untuk selama-lamanya?”
Jie In menggoyang kepala.
“Aku masih terlalu muda, sebenarnya pantaslah kalau aku
menjadi keponakan sancoe” berkata ia. Dengan menjadi
‘sahabat untuk selama-lamanya’ itu Thian Tan maksudkan
pengangkatan saudara.
Thian Tan heran tetapi ia tertawa seraya bertepuk tangan.
“Kau telah berusia empat puluh lebih, sinshe, mengapa kau
mengatakan usiamu masih terlalu muda?” ia bertanya.
Jie In pun tertawa, lalu dengan tangannya ia merabah.
kebelakang telinganya, untuk menariknya, maka Iocotlah
topengnya, hingga Thian Tan suami-isteri, juga Leng Hoei dan
isterinya, melihat seorang muda yang tampan.
Leng Hoei terkejut tetapi ia maju menghampirkan.
“Kau…kau..” katanya, seperti orang gugup, “Kau bukankah
si pelajar aneh yang menggemparkan Sungai Besar Selatan
dan Utara?”
Dengan cepat Jie In mengenakan pula topengnya. Ia
tertawa tanpa menjawab.
Thian Tan heran sebentar, lantas ia tertawa lagi.

391
“Dengan begini mestilah kita menjadi saudara angkat!”
katanya, suaranya tetap, “Biarlah aku membesarkan hatiku
menyebut kau loo-teetay!”
“Loo sancoe” berkata Jie In, “Meskipun benar apa yang loosancoe
katakana tetapi sepak terjang loo-sancoe ini akan
menyulitkan kepada siauw sancoe! Aku lihat baiklah kita tetap
seperti semula..”
“Kita tetap dengan kita, biarlah Leng Hoei memanggil apa
yang ia suka!” kata tuan rumah yang tua itu, yang ngotot
dengan keputusannya itu”
Jie In tidak membilang apa-apa, tetapi ia menimbulkan
urusannya.
“Hari ini aku mau meminta diri untuk kembali ke Selatan”
demikian katanya, “Lain tahun disaat loo-sancoe menggempo
cucu, aku akan datang kemari untuk menggerecok secawan
arak kegirangan Keluarga Kiong!”
“Loo-teetay,” berkata Thian Tan, „Kau hendak pulang ke
Selatan, baiklah, kami tidak akan menahan kau, asal lain
tahun kau pasti kembali ! Baiklah loo teetay ketahui, Hoan Pek
san Chung kami ini ada seperti kepunyaan loo-teetay sendiri,
jadi kapan kau sudi datang, kapan kau datang, dan kapan kau
suka pergi, kapan kau boleh pergi!”
Sembari berkata, ketua Cian san Pay itu mengeluarkan
sebuah leng-cian, yang ia serahkan pada si anak muda seraya
ia menambahkan: “Inilah pertanda paling tinggi dan
dimuliakan dari Partai kami, asal didalam wilayah Partai,
dengan ini orang dapat lewat tanpa rintangan, serta kapan
ada ditemukan orang-orang kami yang berbuat salah, looteetay
dapat menggunai untuk menjalankan hukuman
terhadapnya, guna membersihkan Partai kami dari anggautaanggauta
yang buruk”

392
Jie In tidak berani terima leng-cian atau panah-titahan itu,
tetapi Kiong Thian Tan mendesaknya, akhirnya ia menerima
juga. Untuk itu ia menghaturkan terima kasih, karena dengan
itu telah dibuktikan yang ia diberikan kepercayaan sangat
besar.
Sampai disitu pertemuan mereka, Jie In segera berkemas,
lantas ia berangkat turun gunung dengan tetap menggunai
tandu seperti pada waktu datangnya.
Thian Tan dan Leng Hoei mengantar sampai dimulut
gunung, berat mereka mesti berpisah dengan si guru sekolah
penolong besar dari mereka, hingga mereka mesti menepas
air mata.
XII
Hari itu salju putih turun beterbangan seperti bulu angsa,
salju itu ditiup angin keras hingga bagaikan lagi menari.
Dibidang yang luas salju belaka yang tertampak. Hawa udara
sebenarnya dingin akan tetapi di jalan besar Peng-ciu-too
terlihat satu penunggang kuda lagi mengaburkan binatang
tunggangannya dengan dia seperti mendekam di punggung
kuda, dengan sebelah tangannya tak hentinya mengayun
cambuknya hingga kabur tak perduli hidung dan embunembunannya
terus mengeluarkan uap putih. Dimana dia
lewat, kuda itu meninggalkan tapaknya yang besar dan dalam.
Sesudah kabur setengah jam, penunggang kuda itu melihat
samar-samar dusun kecil didepannya. Ia menghela napas
lega, ia mengendorkan larinya kudanya. Ia menepuk-nepuk
punggung binatang itu sambil berkata: “Mungkin hari ini kita
tidak dapat tiba di San-im, maka baiklah didusun didepan itu
aku memberikanmu ketika untuk beristirahat dan makan
kenyang, besok baru kita melanjuti perjalanan kita ini.”
Kuda itu seperti mengerti perkataan majikannya, dia
menggoyang-goyang kedua kupingnya, dia meringkik perlahan

393
lalu dia menggeraki pula keempat kakinya untuk lari pula
dengan keras.
Penunggang kuda itu ialah Jie In si guru sekolah atau In
Gak kita, yang tetap menyamar sebagai seorang pelajar usia
pertengahan. Sejak meninggalkan Hoan Pek San Chung,
langsung dia menuju ke Charhar Utara, akan berdiam
ditempat peternakannya Hui In Ciu Gouh Hong Piu, setelah
tiga hari, ia melanjuti perjalanannya ke propinsi Shoasay,
Hong Piu telah memberikan ia seekor kuda jempolan, ialah
kuda yang ia tunggangi itu. Setelah melintasi Hoay-jin, ia
memikir akan tiba di San-im, siapa tahu ia terhadang salju, ia
kesasar, syukur ia bertemu serombongan saudagar yang
menunjuki ia arah San-im. Tapi ia tetap terganggu benda
putih yang dingin itu, hingga terpaksa ia mesti singgah di
dusun di sebelah depan itu dimana cuma ada kira-kira lima
puluh rumah. Ia berhenti di rumah yang ketiga, yang
kebetulan losmen adanya, mereknya An Lie.
Pegawai hotel sudah lantas muncul, karena dia mendengar
kelenengan kuda.
“Silahkan masuk, tuan, angin keras. !" dia menyambut.
Jie In menyerahkan kudanya seraya minta binatang itu
dikasi makan, habis itu ia menyingkap gordrn untuk masuk
kedalam rumah dimana ruangan dihangatkan tabunan
kotoran-kotoran binatang, yang apinya berkobar-kobar. Diatas
tabunan itu ada digantung teko besar dari tembaga, yang
airnya melonjak-lonjak naik.
Tidak lama masuklahpelayan tadi maka Jie In minta arak
dan nasi serta lauk-pauknya untuk ia dahar sendirian sambil
menenggak arak perlahan-lahan. Ia memilih sebuah meja
kosong. Ia memperhatikan setiap tetamu lainnya, yang
umumnya terdiri kaum saudagar. Segera ia tertarik
perhatiannya oleh seorang tetamu kurus, yang duduk mencil

394
di pojokan, sebab dia terus mengawasi dua saudara diarah
depannya.
Kedua saudagar itu dandan perlente, keduanya bicara
asyik, meskipun perlahan suaranya sering-sering mereka
tertawa. Mata mereka pun tajam, sikap mereka tawar ketika
mereka memandang si kurus. Maka itu Jie In menduga orang
mestinya orang Kang-ouw yang lagi menyamar.
“Mungkin bakal terjadi sesuatu,” Jie In berpikir pula.
Kedua saudagar itu gembira sekali, dari bicara perlahan,
mereka omong keras dan nyaring juga tertawanya. Selagi
begitu, gorden tersingkap angin menghembus masuk, dususul
masuknya tiga orang, yang besar tubuhnya. Mereka ini lantas
memandang kelilingan, hingga pandangan mereka tak lolos
dari si kurus dan kedua saudagar itu. Mereka lantas
menggebriki salju dipakaian mereka.
“Hawa udara dingin sekali, disini kita dapat minum untuk
melawan hawa dingin itu!” kata satu diantaranya tertawa.
“Mari!”
Dia bicara dengan lagu suara orang Hoo-lam.
Dua kawannya itu tertawa.
Ketiganya lantas duduk didekat pintu.
Si kurus, yang tubuhnya kate, mengawasi ketiga orang itu,
lantas dia tunduk, tangannya membeset bahpauwnya.
Mata Jie In melintas dari tiga orang baru itu kepada si katekurus,
didalam
Hatinya, ia kata : „Mereka bertiga dan si kurus ini orang
satu golongan, sengaja mereka berpura-pura tak kenal satu
dengan lain. Mungkin bakal terjadi lelakon yang menarik
hati..” Ketika ia memandang kedua saudagar, diam-diam ia
menggeleng kepala. Dua orang itu seperti tidak merasakan
sesuatu, tetap mereka berbicara dengan asyik.

395
Jie In memperhatikan kedua saudagar, yang usianya
masing-masing lebih kurang empat puluh tahun. Yang satu
bermuka bundar, alisnya tebal, matanya jernih, jenggotnya
pendek, tubuhnya ditutup baju kulit. Dia senantiasa
bersenyum. Dan kawannya yang mukanya panjang,
mempunyai kumis dan jenggot yang panjang yang terpecah
tiga. Dia pun mengenakan baju kulit. Selalu dia mengawasi
kawannya.
“Saudara Khoe,” berkata si muka bundar, setelah mereka
bicara pula, “Dalam usaha pegadaian ada kata-kata terkenal,
tiga tahun tidak berusaha, tiga tahun dapat hidup. Ketika dulu
hari aku menjadi kuasa rumah gadai, majikanku menghargai
aku, pendapatanku satu tahun, dapat dimakan untuk lima
tahun. Thian memberkahi aku. Pada suatu hari kami
kedatangan seorang yang mirip pemuda hartawan rudin, dia
mau menggadaikan serenceng mutiara, untuk dua puluh ribu
tail perak, untuk selamanya dia tidak mau menebusnya.
Majikanku menggoyang kepala. Aku lihat mutiara itu ada
harganya, majikanku tetap menolak. Pemuda itu mengurangi
harga satu perlimanya. Majikanku tetap menolak. Akhirnya
aku kata kalau majikanku tidak mau membeli, biarlah aku
yang membelinya. Majikanku setuju, maka jadilah aku yang
membelinya. Setelah orang itu pergi, majikanku bilang harga
mutiara itu terlalu murah, bahwa harga sebenarnya mungkin
delapan puluh sampai seratus ribu tail perak, ia tidak mau
membeli sebab mungkin asal-usulnya tidak jelas, bahwa
mungkin itulah barang dari keratin, jadi dia takut. Dia kata
padaku, karena aku berani membeli, mungkin malaikat
bintang terang datang padaku. Ketika aku masuk ke kamarku,
aku meneliti mutiara itu. Bagaimana girangku! Benar-benar
mutiara itu berharga, apapula empat diantaranya, yang besar,
yang harganya sudah sukar untuk dinilai”
Si muka panjang tertawa.
“Apakah yang kau dapatkan itu?” tanyanya.

396
“Keempat butir itu berlainan satu dari lain, warnanya
merah, ungu, biru dan putih masing-masing…”
“Saudara Lie kau belum menyebutkan khasiat atau
kebaikannya…”
“Sabar, saudaraku,” kata si Lie tertawa lebar, “Mari aku
beritahukan kau hal yang merah dulu. Itulah mutiara pemunah
racun. Siapa keracunan, tak perduli lihaynya racun itu asal dia
mengemu mutiara itu, dia sembuh seketika. Yang lainnya
dapat menolong kita dari bahaya api, air dan pengaruh sesat.
Itulah semua mutiara yang disebut Liong Kiang Su Po atau
empat mustika raja naga. Syukur orang tak tahu aku memiliki
mutiara mustika itu. “Ha..ha..ha..!”
Selagi orang itu, juga kawannya tertawa, Jie In mendengar
satu suara perlahan: “Besok kamu bakal jadi mayat kaku,
sekarang kamu masih tertawa riang..” Ia terperanjat, ia lantas
memandang kearah darimana suara datang. Kata-kata itu
diucapkan satu diantara tiga tetamu tadi.
Kedua orang itu juga dapat mendengarnya, sesaat mereka
mengerutkan dahi, tetapi lekas gembira kembali, bahkan si
muka bundar kata: “Saudara Khoe, maukah kau melihatnya?
Nanti aku keluarkan..”
“Jangan!” kata si muka bundar, yang mengulapkan tangan,
“Benda mestika mana dapat diperlihatkan ditempat terbuka?
Biar, nanti saja aku melihatnya sesudah kita tiba ditempat
tujuan..”
“Tempat apa…?” kata suara halus tadi tetapi tegas.
“Tempat ini, Yoo Kee Cip, ialah tempat akhirmu..!”
Dua saudagar itu berbicara terus, mereka agaknya tidak
mendapat dengar suara itu, yang mirip suara nyamuk.

397
Jie In memperhatikan kedua pihak. Dengan lantas ia
mengerti kedua saudagar itu mempunyai barang berharga,
dan keempat orang, si kate kurus dan tiga yang baru datang
itu, menguntitnya. Mungkin kedua saudagar liehay, empat
orang itu tidak lantas turun tangan, mereka menantikan ketika
dan mencari bantuan, dari itu Yo Kee Cip dijadikan tempat
yang terpilih untuk turun tangan.
“Entah bagaimana liehaynya kedua saudagar ini maka
mereka bernyali begini besar dan si penjahat menjadi jeri
karenanya.” Jie In berpikir.
Jilid 5.2. Perebutan Dua Buah Mestika
Justeru itu diluar terdengar ringkikan kuda. Kaget Jie In. Ia
mengenali suara kudanya. Lantas saja ia berbangkit dan lari
keluar. Baru ia menyingkap gorden, ia sudah melihat kudanya
dikurung empat orang, yang satu lagi menarik tali lesnya.
Kuda itu seperti mengenali majikannya, dia tidak mau diseret
pergi, dia meringkik seraya berjingkrakan.
Ketika itu salju sudah berhenti dan tinggal angin Barat daya
yang masih bertiup terus, dan sang mega, yang melayanglayang,
membuatnya cuaca mulai guram.
“Binatang!” membentak si pencuri kuda, yang menjadi
panas hati karena bandelnya binatang itu. Dia mengangkat
tangannya, hendak menyampok kuda itu atau mendadak
angin bersiur kearahnya terus tangannya itu tak dapat turun,
hingga dia menjadi kaget dan tercengang.
Jie In tiba tepat ketika kudanya hendak dihajar itu,
tubuhnya mencelat dengan gerakannya “Leng Khong pou hie”
atau “Tindakan kosong ditengah udara” terus tangannya
menanggapi tangan si pencuri tanpa penjahat itu sempat
melihatnya atau berkelit.

398
“Kuda yang bagus, siapa yang melihat, siapa yang
menyukainya!” ia kata sambil tertawa dingin.”Meski demikian,
jikalau kau menyukai kuda ini, harus kau tanya dulu
pemiliknya, dia suka menyerahkannya atau tidak! Mana dapat
kau berlaku sebagai tikus pencuri makanan? Adakah
perbuatanmu ini ajarannya orang tuamu yang tolol?”
Pencuri itu kaget dan malu, ia menyesali dirinya karena
kurang awas dan kurang gesit, tetapi mendengar teguran itu,
darahnya naik. Dia pun tertawa dingin dan kata dengan tajam:
“Orang tuaku ialah leluhurmu! Orangtuamu ini, asal dia
melihat barang yang disukai, dia lantas hendak mengulur
tangannya!”
Belum berhenti suara itu tetapi toh mesti mesti berhenti
sendiri. Satu gaplokan yang nyaring yang membuatnya itu. Si
pencuri kuda kesakitan tanpa bisa menjerit, lantas mukanya
menjadi bengap dan merah, bahkan beberapa buah giginya
goyah! Baru belakangan separuh merintih dia sambil
memegangi pipinya itu!
“Dan orangtuamu paling gemar menggaplok orang!” kata
Jie In tertawa. “Asal aku melihat sesuatu yang tak cocok
dengan hatiku, lantas ingin aku turun tangan! Benar demikian
bukan?”
Pencuri kuda bukan cuma bengap mukanya dan sakit
rasanya itu, juga matanya berkunang-kunang, sesaat
kemudian barulah dia menjadi sangat murka, maka sambil
berteriak dia menghunus goloknya, untuk menyerang.
“Kau cari mampus?” kata Jie In dengan seraya dia
mengajukan tangannya, untuk menanggapi tangan si
penyerang di bagian nadi.

399
Penyerang itu menjadi kaget, percuma dia mau
mengelakkan tangannya, dalam sedetik itu juga goloknya
telah kena dicekal, dan ketika tangan kiri si pemilik kuda
membarengi, tubuhnya terpental tinggi, jatuh terbanting
didepan pintu losmen, hingga tubuhnya melesak diantara
salju.
Jie In tidak berhenti sampai disitu, dengan mengerahkan
tenaganya, ia membikin golok si pencuri menjadi patah
beberapa potong, terus patahan itu ia lemparkan, kemudia ia
mengawasi ketiga penjahat lainnya sambil ia bersenyum
berseri-seri.
Tiga orang itu mendongkol, berbareng jeri hatinya karena
mereka telah menyaksikan liehaynya si pemilik kuda.
Sebenarnya tadi mereka hendak mencegah kawan mereka
mencuri kuda itu, tetapi sebelum sempat mereka mencegah
Jie In sudah keluar dan turun tangan. Lantas yang satu kata
dengan dingin:
“Benar kawanku salah akan tetapi dia tidak melukai
kudamu, mengapa kau melukai dia? Hari ini kami mempunyai
urusan, urusan ini baik dicatat saja sampai lain waktu! Baiklah
kami memberi batas tempo dua hari untuk hidupmu !”
Jie In gusar mendengar kata-kata galak itu.
“Kamu yang bersalah, kamu masih berani banyak tingkah?”
katanya dalam hati. Maka ia lantas mengibas kepada tiga
orang itu, atas mana mereka itu lantas terpelanting roboh
jauhnya beberpa tombak. Tanpa memperhatikan lagi pada
mereka, ia menuntun balik kudanya.
Apa yang kejadian itu membikin heran dan kagum
beberapa orang lain, antaranya rombongan tiga orang lainnya
serta kedua saudagar yang pakaiannya perlente itu, sebab
ketika mereka mendengar ringkikan kuda serta larinya Jie In
keluar, mereka lantas lari keluar juga untuk menyaksikan

400
karena mereka percaya mesti terjadi sesuatu yang menarik
hati untuk ditonton. Benarlah dugaan mereka, hanya
kesudahannya itu diluar dugaannya.
Satu diantara yang tiga itu kata perlahan pada kawankawannya:
“Kenapa si kunyuk kumat penyakitnya? Dia tengah
bertugas, kenapa dia menimbulkan gara-gara?”
Kedua saudagar itu tidak berkata-kata, mereka cuma saling
mengawasi saking herannya.
Si pencuri kuda pingsan karena terbanting itu, ketika dia
mendusin, dia mengawasi tiga kawan, yang berdiri
didepannya, yang memandangnya dengan sorot mata gusar.
Dia hendak mengatakan sesuatu, ketika seorang meninju
dadanya hingga dia terguling pula.
Jie In lewat disamping ketiga orang itu, ia tidak membilang
apa-apa, Cuma dari hidungnya terdengar suara : “Hm!”
Kedua saudagar itu turut masuk, untuk mendapatkan Jie In
lagi bersantap. Mereka saling pandang dan saling tertawa
pula, terus mereka pun kembali ke meja mereka.
Masih ada tetamu lainnya, rata-rata mereka mengawasi
dengan keheranan pada si pelajar usia pertengahan itu.
Sedang diluar, masih ramai suaranya kawan-kawannya si
pencuri kuda, yang masih memarahi kawannya yang
bertangan panjang itu.
Api tabunan berkobar terus, kadang-kadang terdengar
suara mereteknya.
Tak lama masuk pula tiga orang tadi. Untuk sekelebatan,
mereka memandang bergantian kepada Jie In dan si kedua
saudagar. Kedua saudagar itu berlaku tenang, tapi mereka
agaknya dapat menerka tentulah mereka bertiga lagi
menduga-duga Jie In itu kawannya atau bukan.

401
Si kate kurus, yang tadi keluar, tidak masuk pula, maka
dapatlah diduga, dia tentu pergi untuk mencari bala bantuan.
Jie In dahar dengan lahapnya, ia masih meminta daging
lagi. Diam-diam ia memperhatikan si kate kurus, yang tetap
tak muncul, maka kemudian ia ngoceh sendiri:
“Sahabat yang baik, kau menanti aku menunggu, kau
menghitung aku menghitung juga! Rupanya tak menanti
terang tanah, hanya diwaktu malam, kamu hendak turun
tangan ! Benarkah ? Apakah kamu menyangka aku tidak bakal
mengulurkan tanganku? Baiklah! Mala mini tentu tidak ada
yang akan masuk tidur..!”
Kedua saudagar itu heran, mereka mendongkol tetapi
setelah mereka berpikir sejenak, diam-diam girang hati
mereka.
Mereka menduga orang tentu bakal membantui mereka.
Maka itu, kalau tadinya mereka rada berkuatir, sekarang hati
mereka lega betul-betul.
Jie In masih terus ngoceh sendirian dengan suara tak
tandas.
Ketiga orang itu, kawan penjahat, menjadi heran. Mereka
pun dengar suaranya Jie In dan dapat menerka maksudnya
kata-kata yang samar-samar itu. Memang tadi, selagi mau
masuk kedalam, mereka telah memberi tanda dengan tangan
mereka kepada si kate kurus yang terus tidak muncul lagi itu.
Mereka heran kenapa Jie In dapat membade maksud mereka.
Mereka mau turun tangan malam itu sebab mereka tahu,
kalau mereka menanti besok sesudah memasuki kota Gan
bun-kwan, sulit usaha mereka. Gan bun-kwan masuk wilayah
Ceng Hong Pay dan mereka curiga Ceng Hong Pay nanti turun
tangan juga, kalau mereka didului, pasti rugilah mereka.
Mereka pun tahu baik, kedua saudagar itu licin sekali,
semenjak dari kotaraja mereka menguntit, saban-saban dua
orang itu dapat meloloskan diri. Mereka tidak takut kepada
kedua saudagar tapi mereka jeri terhadap si pelajar usia

402
pertengahan itu, yang kepandaiannya mereka telah saksikan
sendiri.
Lewat lagi sekian lama, para tetamu mulai bubaran. Ada
yang masuk tidur, ada yang pulang kerumahnya. Akhirnya
tinggal tiga orang itu, si saudagar dan Jie In. Seorang pelayan
menghampirkan Jie In, menanya kalau-kalau tetamu ini mau
masuk tidur.
“Kau tidak tahu, sahabat, sekarang ini pikiranku lagi
ruwet!” kata Jie In bersenyum. “Maka itu, meski aku ingin
tidur, tidak nanti aku tidur pulas. Baik kau membawakan aku
arak dan sayurannya, sebentar mungkin aku gembira dan
membuka pertunjukan sulap, umpama bagaimana
mempermainkan kunyuk atau rase! Sebentar kau boleh
membuka matamu!”
Pelayan itu menyahuti “Ya” tapi ia heran. Ia heran karena
sudah malam tetamunya masih mau main sulap.
Tiga penjahat itu kaget dalam hati. Kebetulan sekali Jie In
menggedor hati mereka. Mereka justru Chin Pak Sam Ho, atau
tiga rase dari Shoasay Utara, ialah Thong Thian Ho Cu Kwie,
Bu Eng Ho Khouw Kiat dan Bong Tok Ho Teng Giok Hay.
Justru suasana sunyi itu, di kejauhan terdengar siulan yang
nyaring dan panjang.
Jie In mengangkat kepalanya, ia tertawa dan berkata
sendirian:
“Nah temponya telah sampai! San tuan telah tiba! Kenapa
kamu berdiam saja? Aku telah menanti sekian lama! Bukankah
bakal ada pertunjukan yang menarik hati? Kenapa kamu
sengaja membuat aku menanti sia-sia belaka?”
Jie In orang Selatan, sekarang ia mengasi dengar logat
suara orang Utara, suaranya jadi kaku, janggal didengarnya.

403
Hati Chin Pak Sam Ho berdebar, lantas mereka bangun
berdiri, kepada Jie In mereka mendelik, terus mereka pergi
kabur.
Kedua saudagar itu lantas berbangkit setelah mereka
mendengar siulan itu. Untuk sejenak, mereka nampak
sungguh-sungguh, tak lagi acuh tak acuh seperti tadi.
Sebelum mereka berbuat apa-apa, dari luar mereka dengar
suara nyaring ini:
“Khu Lin! Lie Siauw Leng! Ketua kami sudah tiba, silahkan
kamu keluar untuk berbicara!”
Suara itu keras dan panjang.
Khu Lin dan Lie Siauw Leng, kedua saudagar itu, mengasi
dengar suara tertawa mereka yang dingin, lantas keduanya
lompat kearah pintu, lebih dulu keduanya menyerang gorden,
lantas menyusuli terpentangnya kain itu, keduanya lompat
keluar.
Jie In kagum menyaksikan gerak-geriknya dua orang itu.
Mereka tabah hatinya dan berpengalaman.
Khu lin dan Lie Siauw Leng menduga tepat. Ketika gorden
terpentang, mereka mendengar suara senjata rahasia, yang
mengenai gorden, setelah itu, buru-buru mereka lompat
keluar. Kembali mereka tertawa.
Jie In menyusul. Ia menduga, dua saudagar ini mesti
menghadapi lawan berat. Benar saja, diluar, antara tanah
bersalju, tertampak rombongan dari puluhan orang, yang
seperti telah mengurung Hotel Lie An.
Kedua saudagar, dengan pedang ditangan, mengawasi
sekalian musuhnya.
Diantara rombongan itu tertampak seorang tua yang
romannya bengis sekali, matanya bersinar tajam, tubuhnya
tinggi delapan kaki, dia nampak berdiri tegar seperti menara

404
besi. Menghadapi kedua saudagar, dia tertawa dengan lagu
suaranya tidak enak, kemudian dia membentak:
“Kedua sahabat, berlakulah tahu diri sedikit! Lekas kamu
serahkan ho-siu ouw serta Liong Kiong Su Po yang kamu bawa
itu! Ketahui oleh kamu, aku si orang tua masih hendak
berbuat baik kepada kamu! Jangan kamu terlalu andalkan
pelajarannya Thian Tie Tiauw Siu yang menjadi gurumu itu!
Aku si orang tua, Leng-koan Kie Sat Ang Tiang Ceng, aku tidak
memandang mata kepada gurumu itu! Lihat saja, kamu dapat
lolos dari sini atau tidak?”
“Hm, bangsat tua!” Lie Siauw Leng mendamprat, “Kau
jangan memikir yang tidak-tidak! Benda yang lain orang
dengan susah payah mendapatkannya, mana dapat itu
dengan gampang saja diserahkan kepada kamu? Baiklah,
jangan kita membuang-buang tempo, mari kita mengandalkan
kepandaian masing-masing! Apa maumu? Maju satu lawan
satu atau kau hendak main keroyok?”
Sementara itu Ang Tiang Ceng heran menyaksikan Jie In
berdiri di belakang dua saudagar itu, terpisahnya hampir lima
tombak, hatinya bekerja: Turut katanya Siu long Touw Hoan,
pelajar ini liehay tenaga dalamnya, dengan sekali bergerak
saja dia dapat melemparkan Empat tikus tetapi aku tidak
melihat tanda-tanda dari keliehayannya itu..Apa mungkin aku
keliru? Karena ini, ia berlambat menjawab tantangan.
Maka Chin Pak Sam Ho yang berdiri di belakangnya, lantas
lompat maju lalu satu diantaranya, yaitu Bu-eng Ho Khouw
Kiat, kata sembari tertawa mengejek:
“Sahabat-sahabat, janganlah kamu tidak minum arak
pemberian selamat, sebaliknya menenggak arak dendaan!
Untuk kamu kami datang tanpa menghiraukan perjalanan jauh
beribu lie! Untuk apakah? Maka kamu keluarkanlah dua
barang kamu itu, urusan beres, jikalau tidak, kami dari Hek

405
liong Pay, kami tidak mau mengerti! Penolakan kami berarti
dusun Yo Kee Cip ini tempat pekuburan kamu!”
Khu Lin tertawa dingin.
“Memang aku telah melihatnya, kamu bukan orang yang
dipelihara orang!” katanya, menghina. “Untuk urusan mala
mini, tak usah kamu menggunai lidah kamu!”
Kata-kata itu disusuli serangan kepada Bu-eng Ho Khouw
Kiat si Rase Tanpa Bayangan, yang ditikam pinggangnya.
Khouw Kiat mendapatkan julukannya itu disebabkan
kegesitannya tetapi tikaman Khu Lin membuatnya kaget,
dalam gugup dia menjejak tanah, untuk berlompat tinggi.
Syukur untuknya, pedang lewat di bawahan kakinya. Tapi
lawan tidak berhenti sampai disitu, dia ditikam pula, terus
sampai tiga kali, megarah tiga jalan darahnya: kiu-bwee, ngokie
dan ciang-bun. Baru dia bebas, atau tikaman yang
keempat sudah menyusul lagi. Syukur dia lantas dapat
membalas menyerang, hingga dia tak usah terdesak lebih
jauh.
Pedang Khu Lin kalah berat, ketika bentrok, pedang itu
mental.Senjatanya Khouw Kiat semacam tempuling long-gicie,
yang panjang dua kaki lebih. Habis menyerang yang mana
dapat digagalkan Khu Lin, dalam murkanya, dia terus
menyerang dengan senjata rahasia, yang berupa besi cagak,
yang jumlahnya dua belas buah.
Si Saudagar terancam bahaya. Karena mereka terpisahnya
dekat, ia seperti dibokong. Disaat berbahaya itu, mendadak ia
mendengar seruan di belakangnya, lantas terasa tubuhnya
ditarik mundur. Ia pun masih mendengar sambaran angin,
yang membikin senjata rahasia itu runtuh sendirinya, jatuh ke
tanah.

406
Orang yang menolongi itu ialah Jie In, tidak bekerja
kepalang tanggung. Ia melesat kepada Bu Eng Ho, tangannya
diluncurkan. Sebelum si Rase Tanpa Bayangan tahu apa-apa,
tangannya sudah kena ditangkap, cuma telinganya mendengar
tertawa mengejek disusuli kata-kata ini: “Mala mini tidak dapat
kamu menggunai senjata rahasia, atau Yo Kee Cip ini akan
menjadi tempat runtuhnya kamu kaum Hek Liong Pay.” Katakata
itu ditutup dengan samparan, sehingga Khouw Kiat
terpelanting lima tombak lebih.
Kie Leng sat Sin menyaksikan bagaimana orangnya
dihalang-halangi dan dirobohkan, dia heran sekali. Dialah satu
ahli tetapi dia tidak dapat mengenali si pelajar menggunai ilmu
silat dari partai mana. Dia pun lantas mengerti, kalau tetap
pihaknya dirintangi, maksudnya pasti tak akan tercapai.
Mendadak dia mendapat ingatan busuk. Ialah selagi Khu Lin
terbengong dan Lie Siauw Leng keheran-heranan, ia
berlompat maju, kelima tangannya yang besar, diulur kepada
kedua saudagar itu untuk dicekuk.
Kedua saudagar itu kaget, dengan berbareng mereka
menangkis dengan pedang mereka, tetapi hebat jago Hek
Liong Pay itu, jago kawanan Naga Hitam, pedang mereka
kena disampok patah, menyusul mana, serangannya dilanjuti.
Jie In melihat kedua saudagar terancam, ia mau menolongi.
Kedua rase lainnya melihat ketuanya bakal berhasil, mereka
maju untuk mencegah si pelajar. Tindakan mereka ini disusul
oleh mepat kawannya yang lain.
Melihat orang berlaku curang demikian, Jie In jadi gusar.
Untuk menghalau perintang-perintang itu, sembari berlompat
ia menyambut dengan tangan kiri dengan satu jurus dari Bie
Lek Sin Kang. Tepat tangkisannya, ia membikin enam musuh
itu terpental mundur, hingga dengan tangan kanannya, dapat

407
ia bertindak terus terhadap Ang Tiang Ceng, lima jeriji
tangannya dipakai menjambak pundak.
Ang Tiang Ceng kaget sekali. Ia merasakan pundaknya itu
terjepit jeriji-jeriji tangan yang keras, hingga matanya
kegelapan, batal menyerang kedua saudagar, ia menyampok
ke belakang, sedang kakinya menjejak untuk berlompat ke
depan.
Jie In tertawa, tangannya dilepaskan, maka itu Tiang Ceng
terpental hanya dua tombak. Kepala Hek Liong Pay ini dapat
memberatkan tubuhnya, hingga dia tak usah mental jatuh.
Khu Lin dan Siauw Leng tidak bebas seluruhnya. Karena Jie
In dirintangi enam orang, ia terlambat. Maka itu leher mereka
kena juga terlukakan sedikit hingga darahnya bercucuran.
Tanpa pertolongan itu, benar seperti katanyaTiga Rase dari
Shoasay Utara, Yo Kee Cip bakal jadi tempat dimana mereka
dikubur, sebab tangannya Kie Leng Sat Sin sangat berbahaya.
Ang Tiang Ceng segera membalik tubuhnya, matanya
mengawasi Jie In. Ia mendapatkan mata musuh ini sangat
tajam, ia heran menyaksikan tujuh orangnya roboh dalam
sekejap. Ia mengerti, ia lagi menghadapi musuh yang tidak
dapat dipandang enteng.
Ketika itu angin Utara menderu-deru, menyapu mega
hitam, maka langit menjadi terang, sang bulan yang tampak
indah diatas langit. Jagat tampak putih, segala apa tampak
tegas. Demikian tertampak orang-orang Hek Liong Pay
ditempatnya masing-masing. Diatas salju, diatas wuwungan,
diatas payon hotel.
Ang Tiang Ceng mengawasi orang-orangnya, ia merasa
puas. Hanya sedetik kemudian ia agaknya masgul. Inilah

408
sebab ia ingat liehaynya si pelajar usia pertengahan itu, yang
tidak dikenalnya.
Jie In sebaliknya memasang matanya. Ia tidak mau
bertindak sembarangan. Begitulah, ia melihat lima orang, yang
baru muncul dari ujung salju yang jauh, yang lari
menghampirkan Ang Tiang Ceng, untuk berhenti di depan
ketua Hek Liong Pay itu.
Aneh semua kelima orang ini. Mereka semua keriputan
mukanya, baju yang mereka pakai ialah baju panjang warna
abu-abu, yang besar gerombongan hingga memain tak
hentinya diantara sampokannya angin. Mereka mirip dengan
Kie Leng Sat Sin. Alis mereka lanang, hidung mereka melesak,
kulit muka mereka seperti tidak ada darahnya. Di antara
kedua bibirnya terlihat gigi tonggos putih seperti caling. Di
saat demikian, memandangi roman mereka, orang dapat
menggigil bahna seramnya.
Ang Tiang Ceng tertawa lebar dan berkata dengan nyaring:
“Sungguh aku tidak sangka juga, Liong-bun Kun Tiong telah
tertarik hatinya! Benar-benar inilah diluar dugaanku!”
“Kiranya mereka bersaudara, pantas romannya mirip
semua,” kata Jie In di dalam hatinya. Liong-bun Kun Tiong itu
berarti persaudaraan dari Liong-bun.
Kelima orang baru itu dengan serentak mengasi dengar
suara mereka yang dingin, “Ang Tong-kee! Di dalam hal ini,
tindakanmu kurang tepat! Barang-barang ada demikian langka
dan berharga, maka untuk kau memikirnya menelan sendiri,
itulah tidak dapat!”
Kedua matanya Kie Leng Sat Sin bersinar menyala, kembali
dia tertawa dan berkata, “Wilayah Shoasay Utara ini ialah
wilayah pengaruh kami kaum Hek Liong Pay, maka itu apa
yang aku orang she Ang suka lakukan, aku melakukannya!

409
Tapi kamu…hm!..kamu hendak turun tangan didalam air
keruh, kamu ingin mendapatkan barang yang tersedia,
sungguh itu bukanlah soal yang mudah dan enak untuk kamu!
Barang berharga luar biasa itu berada didalam tangannya itu
tiga orang di hadapanmu, jikalau kamu hendak
mengambilnya, kamu ambillah! Tapi harus diketahui oleh
kamu, mereka bertiga adalah tangan-tangan yang keras, maka
aku duga, baru kamu berlima, tidak gampang-gampang kamu
berhasil!”
Suara yang tajam tadi lantas terdengar pula; “Kami lima
saudara dari Liong-bun, asal kami mau turun tangan, walau
pun orang sudah lari ke neraka, masih dapat kami
membetotnya kembali! Biasanya tidak ada apa juga yang kami
tidak dapat mengurusnya! Jikalau kau hendak meminjam
golok lain orang untuk melakukan pembunuhan, bicara terus
terang, artinya kau hendak menggunai tenaga kami, oh itulah
tak dapat terjadi walaupun kau lagi bermimpi!”
Ang Tiang Ceng tertawa dingin pula: “Jangan kamu
mengira yang manusia Liong-bun Ngo Koay sudah
mengagetkan langit dan mengejutkan bumi!” katanya.
“Omong terus terang. apakah kamu dapat membikin orang
hanya terperanjat? Hm?”
Ang Tiang Ceng berlaku cerdik, ia lagi mengebor untuk
membikin panas hatinya lima saudara Liong-bun itu yang
dijulukkan Liong-bun Ngo Koay atau Lima Siluman dari Liongbun.
Ia tahu kegagahan mereka berimbang sama
kegagahannya sendiri, maka biarlah mereka itu yang
menempur lebih dulu pada orang aneh di depannya ini. Ia
sendiri memang ragu-ragu dapat mengalahkan Jie In, maka
kebetulan sekali datang lima orang ini. Ia telah memikir selagi
Jie In dilibat Liong-bun Ngo Koay, hendak ia menyerbu Khu
Lin dan Lie Siauw Leng. Ia hanya tidak memikir lebih jauh
kepada pepatah yang membilang, sang cengcorang hendak

410
menangkap sang tonggeret ada si burung gereja! Barangbarangnya
kedua saudagar itu telah menyebabkan
berkumpulnya orang-orang Kang-ouw kalangan Jalan Hitam di
dusun Yo Kee Cip itu.
Liong-bun Ngo Koay bukannya tidak dapat menangkap
maksud hatinya Ang Tiang Ceng itu hanya mereka memikir
baik mereka merampas dulu barang berharga, baru mereka
melayani ketua Hek Liong Pay itu.
Ketika itu Khu Lin dan Lie Siauw Leng sudah membalut luka
di leher mereka. Syukur luka itu tidak membahayakan. Karena
pedang mereka sudah patah dan berserakan di tanah bersalju,
terpaksa dengan tangan kosong mereka berdiri di samping Jie
In. Selagi menghampirkan, mereka mengangkat tangan
memberi hormat.
Jie In memandang mereka, ia tertawa dan berkata:
“Apakah luka tuan-tuan berdua tidak berbahaya? Jangan
kuatir, peristiwa malam ini pastilah tidak ada bahayanya, cuma
mengejutkan! Tuan-tuan baiklah berdiri di pinggiran untuk
menonton saja!”
“Terima kasih!” berkata kedua saudagar itu. Memang luka
mereka tidak berarti akan tetapi sekarang hati mereka tidak
tenteram. Di depan sana ada musuh-musuh yang tangguh.
Mereka harus mendengar si pelajar mengatakan, bahaya tidak
ada, yang ada cuma hal yang mengejutkan.
Liong-bun Ngo Koay itu galak sekali. Dengan tindakan
lebar, mereka maju hingga di depan Jie In dan kedua
saudagar itu.
Jie In berlaku sangat tabah, tenang sekali sikapnya. Ia
berdiri sambil menggendong tangan, ia memalingkan mukanya
dan berkata sambil tertawa kepada kedua saudagar itu:

411
“Saudara-saudara, tahukah kamu mala mini malam pesta
besar? Inilah malam yang sukar didapatkannya! Kecuali Hek
Liong Pay dan Liong-bun Ngo Koay, masih ada orang-orang
lainnya yang datang hadir!”
Suara itu tidak nyaring tetapi terdengar nyata dan
terdengarnya jauh hingga ke tegalan di sekitarnya.
Liong-bun Ngo Koay heran, mereka lantas berpaling.
Benarlah, mereka melihat munculnya beberapa puluh
bayangan lain, yang dengan lekas sudah datang dekat
mereka. Mau atau tidak mereka begitu pun Ang Tiang Ceng
berubah air mukanya. Orang-orang yang baru datang itu
tinggi-kate dan gemuk-kurus tubuhnya masing-masing.
“Baiklah kita nerobos pergi!” kata kedua saudagar pada Jie
In. Mereka bicara perlahan sekali, hati mereka berdebaran.
Jie In menggeleng kepala, dia tertawa.
“Meski kawanan bangsat ini besar jumlahnya, buat tempo
sejenak tidak nanti mereka dapat mengganggu kita,” katanya
tenang. “Baiklah kita menonton mereka itu saling bentrok
sendiri! Jikalau kita menyingkir, itu justeru bakal
mendatangkan bahaya…”
Dua saudagar itu bingung, mereka menghela napas.
Di sana lantas terdengar suara berisik. Itulah disebabkan
mereka itu berebut omong. Akhirnya Ang Tiang Ceng tertawa
berkakak dan berkata dengan suara nyaring: “Barang
mestikanya cuma dua rupa, tetapi sekarang ini rekan-rekan
yang datang, berikut kami dari pihak Hek Liong Pay,
berjumlah tak kurang dari seratus lebih orang, maka itu ingin
aku menanyai kamu, kalau nanti kita berhasil, bagaimana kita
membaginya?”
Seorang yang suaranya nyaring berkata: “Setelah barang
didapat, kita lantas mengadakan satu pertemuan mengadu
kepandaian, siapa yang keluar sebagai pemenang nomor satu,

412
mestika itu menjadi kepunyaannya! Sekarang ini percuma kita
saling berebutan terlebih dulu, itulah angin busuk belaka!”
“Tuan, pikiran kau ini bagus sekali!” kata Ang Tiang Ceng,
mengejek. “Sekarang aku hendak menanya, sebelum kita
mengadu kepandaian, mustika itu hendak dititipkan kepada
siapa?”
Tepat pertanyaan ini. Semua orang lantas bungkam, hingga
redalah suasana kacau itu. Justeru itu dari wuwungan losmen
terdengar suara nyaring ini: ”Jikalau itu dititipkan pada aku si
orang tua, bukankah tepat?”
Kata-kata itu segera disusul dengan lompat turunnya tiga
bayangan orang, selagi yang lainnya masih mengawasi. Jie In
telah lantas mengenali siapa mereka itu, ialah Ay Hong Sok
Kheng Hong bersama Hek Molek Kiang Yauw Cong dan Thian
Hong kiam Tonghong Giok Kun.
Mendapatkan mereka ini, pemuda ini mengerutkan alis, ia
jadi ingat kepada Kang Yauw Hong, Bagaimana dengan Nona
Kang di Ngo Bie San di tempatnya Ban In Su-thay? ia pun
merasa sulit, Tidak dapat ia segera memperkenalkan diri
kepada mereka itu.
Sesudah Kheng Hong bertiga datang mendekat, maka
berisik pulalah rombongan penjahat itu, segera terdengar satu
suara nyaring: "Lihat, apakah kedua orang itu bukannya dua
bocah dari Ngo Bie Pay? Susah-susah mereka dicari, siapa
sangka mereka justru mengantarkan diri mereka Hahaha"
orang itu tertawa bergelak, habis mana, teriihatlah majunya
dua orang dengan senjata terhunus.
"Mundur" berseru seorang dari Liong-bun Ngo Koay, yang
mengibaskan sebelah tangannya. Hebat kibasan itu, kedua
orang tadi mundur terpelanting satu tombak jauhnya hingga
muka mereka menjadi pucat.

413
"Kalau kalian mempunyai sangkutan, pergi kalian cari lain
tempat di mana kalian dapat membuat perhitungan" berkata
anggota Liong-bun Ngo Koay itu. "Malam ini kami lima
bersaudara hendak bekerja, kami larang siapa pun campur
tangan, jangan orang mengharap mengail Ikan diair keruh"
Diantara kedua orang itu, yang satu berkata keras: "Lao-su
dari Keluarga Jim, jangan kau bertingkah Nanti kau akan
menerima pembalasan Apakah kau kira pihak sana itu
makanan yang empuk? Hm"
"Hm" bersuara pula kelima Siluman dari Liong-bun, Mereka
tidak menggubrisnya, sebalik-nya, mereka mengawasi Khu Lin
dan Lie siauw Leng sambil memperdengarkan tertawa mereka
yang aneh.
Liong bun Ngo Koay baru muncul belasan tahun yang lalu,
setiap keluar mereka tentu berlima. Mereka sama-sama
telengas, kalau mereka turun tangan. tidak pernah mereka
meninggalkan orang yang masih hidup,
Kalau satu diantaranya tak dapat melayani musuh, mereka
lantas meluruk berlima sampai sebegitu jauh belum ada orang
yang dapat lolos dari ilmu silat bersatu padu dari mereka,
yang diberi nama Hong-in sip-pat Ciang, atau Delapan belas
Tangan Bencana, itulah yang menyebabkan nama mereka
tersohor dan disegani.
Daerah pengaruh mereka ialah daerah Hoo-lok. Mereka
lima saudara, she mereka ialah Jim, dan nama mereka
menuruti urutan Liong, Houw, Pa, Him dan Hong, atau naga,
harimau, macan tutul, biruang dan burung hong, Merekalah
murid- muridnya sam Cian Mo Kun dari gunung Kauw Louw
san di propinsi Kwiesay.
Segera terdengar tertawanya Jim Him, yang terus berkata
dengan dingini "Tuan-tuan, kafau kalian suka berjanji kedua
mustika itu dibagi masing-masing separuh kepada kami, suka

414
kami membantu kaliaa, membantu dari awal hingga diakhirnya
dan kami menjamin keselamatan kalian sebaliknya, terserah
kepada kalian kalian adalah orang-orang yang mengerti
selatan, kalian pasti dapat mempertimbangkan dengan baik"
Dari samping kedua saudagar she Khu dan she Lie itu
terdengar tertawa bergelak dan kata-kata nyaring: "Sunggun
aneh, Liong-bun Ngo Koay dapat mengucapkan kata-kata
manis seperti ini" itulah suaranya Ay Hong sok Kheng Hong,
yang telah menempatkan diri di dekat kedua saudagar itu.
"Anjing tua, siapa kau?"Jim Liong membentak "siapa
menghendaki kau ikut campur urusan."
suara itu keras dan tajam. Kheng Hong tertawa bergolak
pula.
"Namaku si orang tua ialah Kheng Hong" sahutnya, " kalian
tentu sudah pernah mendengar-nya Ketika aku si orang tua
mulai muncul dalam dunia Kang-ouw, kalian masih berada
dalam kandungku anjing, maka sampai sekarang ini kalian
masih belum dapat bicara seperti manusia"
Jim Liong murka bukan buatan, dia lantas mengenjot
tubuhnya melompat jauh, untuk dengan sebelah tangannya
menghajar orang yang menghinanya. Bukan main sebalnya
gerakannya itu.
Ay Hong sok menyambut dengan tertawa bergolaknya,
Kedua pundaknya lantas bergerak. Belum lagi Jim Liong tiba,
ia sudah mencelat mundur satu tombak. Dia mengawasi
dengan mata dibikin kecil, dengan roman jenaka ia berkata: "
Kabarnya kalian lima siluman biasanya menerjang bersama,
kalian pun rada bersifat iblis, maka karena sekarang kau maju
sendiri, aku si orang tua bukanlah tandinganmu. Kau harus
mengetahui sekalipun si siluman aneh Sam Cian, mereka
masih lebih muda dua tingkat dari aku"

415
Kelima siluman itu mendongkol bukan main, Di muka
umum itu, mereka sangat dihina, Benar Kheng Hong
berguyon, toh mereka merasa terejek, Maka empat siluman
lainnya lantas maju, hingga mereka jadi berdiri berbaris
dengan saudara tua mereka, lalu bersama-sama, dengan
saling susul, mereka menyerang, hingga serangan mereka itu
mendatangkan desiran angin yang keras.
Biasanya, siapa tenaga dalamnya belum mahir, terkena
serangan anginnya saja dia dapat mati karena keluarnya
darah dari mulut, hidung, mata dan lainnya lagi.
Ay Hong sok mengenali serangan itu, ia tidak takut. ia
mengandalkan pada tenaga Ngo Heng ciang kepunyaannya
sendiri, siapa tahu, hebat adalah Hong-in sip-pat CiaNg dari
kelima siluman dari Liong-bun itu, ketika ia merasa dirinya
mulai terkurung, ia mengerahkan tenaganya untuk bertahan.
ia bergerak ke arah barat, guna meloloskan diri
Di sana pun ada tenaga yang mendesaknya balik Tapi ia
tidak takut, ia mengerahkan pula tenaganya, untuk mendesak
pada Jim Liong dan Jim pa, hingga mereka berdua mundur
dua tindak. Akan tetapi, ia berhasil di sini, di sana datang
desakan lain, dari Jim Houw dan Jim Him.
Kembali ia melawan, justru itu, dari belakangnya, datang
desakan yang lainnya lagi, Karena itu, ia tidak berpikir lagi
untuk menyerang, ia hanya berpikir untuk membela diri,
Kembali ia mengerahkan tenaga dalamnya, yang telah ia latih
selama dua puluh tahun, dengan itu ia melayani musuhmusuhaya
yang tangguh itu. syukur ia lihay, kalau tidak, cepat
juga ia akan kena dirobohkan.
Selagi kelima siluman itu menempur Kheng Hong, di pihak
lain juga sudah mulai mau bergerak.
Ang Tiang Ceng melihat Liong-bun Ngo Koay ngotot
melawan Ay Hong sok. Ia percaya mereka berlima tidak dapat
memecah perhatian, maka sambil tertawa riang ia berkata:

416
"Tuan-tuan Kita orang datang ke mari untuk kedua rupa
mustika itu, oleh karena itu sudah selayaknya kita bekerja
sama Kita ini, bergabung kita beruntung, bercerai kita gagal.
Maka tindakan utama dari kita sekarang ialah lebih dulu
membereskan itu lima orang lagi di pihak sana , setelah kita
berhasil dan mendapatkan mustika mereka, baru kita
berunding bagaimana harus mengatur pembagiannya tentang
ho-siu-ouw, dapat kita membaginya dengan memotongnya,
sedang mustika lainnya, aku pikir baiklah kita menggunakan
cara undian, Bagaimana tuan-tuan?"
"Bagus" banyak suara menyatakan setuju, karena
tampaknya tidak ada cara lain yang lebih baik dari itu, Bahkan
lima orang lantas melompat ke arah Khu Lin berlima.
Tonghong Giok Kun dan Kiang Yauw Cong tertawa
menyaksikan lagak kelima orang itu, mereka lantas maju
untuk mencegat, tetapi karena mereka hanya berdua saja, ada
yang lainnya yang maju terus kepada Khu Lin, Lie siauw Leng
dan Jie In bertiga.
Ketika itu Jie In tengah berpikir la sendiri, ia tak takuti apa
pun juga, akan tetapi untuk melindungi kelima orang itu, rada
sulit. Pihak lawan terdiri dari orang-orang ternama, ia juga
tidak mau menggunakan Bie Lek sin Kang atau Hian Wan sippat
ciang, karena ia takut dikenali Kheng Hong.
Juga dengan digunakannya kedua rupa kepandaiannya itu,
ia bakal semakin dikenal, hingga ia akan jadi kurang leluasa
bergerak. Tapi la tak sempat berpikir terlalu banyak. Dua
musuh sudah lantas tiba di depannya, ia tertawa panjang, ia
menyambut mereka, ia masih belum berhenti tertawa atau
kedua musuhnya sudah terpental, pedang mereka pindah ke
dalam tangannya, hingga terus saja ia menyerahkan itu
kepada si kedua saudagar.

417
Khu Lin dan Lie siauw Leng saling mengawasi, mereka
menyambut pedang itu, tetapi mereka jengah, semenjak
pedang mereka dirusak Ang Tiang Ceng, mereka sudah
bingung, Atas datangnya musuh barusan, mereka terpaksa
hendak menyambut dengan tangan kosong, Untuk herannya
mereka. begitu si pelajar mendahutui melompat maju sambil
tertawa, orang telah berhasil merampas senjata kedua musuh
itu
Mereka juga kagum menyaksikan gerakan sangat cepat dari
si pelajar, sampai mereka seperti tidak melihatnya Mereka
merasa, sekalipun guru mereka, Thian Tie Tiauw su, si Pengail
dari telaga Thian Tie, tidak selihay pelajar ini.
Habis menyerahkan pedang,Jie In berkata sambil tertawa
pada kedua saudagar itu:
"Saudara berdua murid-muridnya Thian Tie Tiauw siu, aku
percaya lihay ilmu silat kalian, akan tetapi sekarang tuan-tuan
menghadapi musuh yang berjumlah jauh lebih besar, baiklah
tuan-tuan memikirkan jalan untuk menyelamatkan diri sendiri
saja, Terutama hadapilah musuh dengan tenang, Musuh
berjumlah besar dan tangguh, tetapi aku percaya, mereka
tidak dapat mengganggu kita dalam waktu yang pendek. Maka
aku lagi berpikir supaya kita bisa mundur dari sini dengan
tidak kurang sesuatu apa pun. Kie Leng sat sin Ang Tiang
Ceng lagi meminjam tenaga orang untuk membunuh orang,
supaya setelah kita letih, dia sendiri yang turun tangan.
Diantara musuh bukan cuma Ang Tiang Ceng dan Liongbun
Ngo Koay yang lihay, masih ada yang lainnya yang belum
memperlihatkan diri, maka kita harus tenang, jangan kita
mengobral tenaga kita."
Khu Lin dan Lie siauw Leng mengangguk seraya
mengucapkan terima kasih.
Tonghong Giok Kun dan Kiang Yauw Cong sudah
memperoleh kemenangan dalam beberapa gebrak, mereka

418
dapat menabas kutung leher seorang musuh dan membuat
cacad kaki dan tangan dua musuh lainnya, maka salju di dekat
mereka menjadi merah tersemprot darah hidup, darah mana
lantas beku sendirinya.
Di pihak Kheng Hong, pertempuran berjalan sangat hebat,
Kelima siluman itu tidak dapat menerima penghinaan sambil
bertempur mereka mengasih dengar suara mereka yang
berisik, hingga suara itu berkumandang di empat penjuru.
Mereka maju merapatkan diri, Ay Hong sok memperlihatkan
sorot mata yang bengis, setiap kali lawan merangsak. la
menyerang dengan pukulannya yang lihay, hingga selalu salah
satu lawannya terpukul mundur.
Hanya, setiap kali musuh mundur, setiap kali juga dia maju
lagi, hingga mereka terus dapat mengurung, Maka percuma ia
beraksi, ia tidak dapat memecahkan kepungan.
Jie In melihat. keadaannya si Tonghong sok Kiat, Di kepung
secara demikian, dia akhirnya bakal jadi letih dan lelah dan
akan roboh atau terbiasa karenanya Maka ia memikirkan jalan
untuk memberi pertolongan supaya kawan itu selamat
berbareng namanya tetap terhormat ia tidak mengambil waktu
lama, ia telah mendapatkan jalan yang dicarinya itu.
Demikianlah, di saat Kheng Hong menyerang, ia menyerang
dengan diam-diam.
Jim Him adalah lawan pertama yang dijadikan korban,
orang she Jim yang nomor empat itu lagi maju, dia diserang
Kheng Hong. Berbareng dengan itu Jie In pun menyerang,
menotok jalan darah sam-yang di dada nya. sambil
menyerang itu Jie In berpura - pura tenang, berbicara sambil
tertawa dengan Khu Lin dan siauw Leng.
Ketika itu Tonghong Giok Kun berdua Kiang Yauw Cong,
setelah robohnya tiga penyerangnya, terancam akan dikeroyok
enam orang lain, yang melompat maju ke arahnya.

419
Jie In melihat itu, lekas ia maju, tangannya ditolakkan ke
depan. Tepat dia berhasil menahan mereka, hingga mereka
menjadi heran.
Tanpa memperdulikan orang heran, si pelajar berkata
dengan perlahan tetapi bengis: " Kalau kalian tidak
menggunakan aturan Kang-ouw dan mau menang dengan
main keroyok. itu artinya saat kematian kalian sudah tiba. Aku
peringatkan kalian dapat berkelahi satu lawan satu, terutama
jangan kalian menggunakan senjata rahasia Tahukah kalian?"
Habis berkata Jie In mundur pula.
Keenam orang itu ialah Liang- ciu Liok sat, enam jago dari
Liang ciu, Mereka biasanya besar kepala, sekarang mereka
dicegah sipelajar, mereka jadi serba salah. Menempur mereka
jeri, mundur mereka malu. Mereka lantas saling mengawasi,
kemudian yang lima maju, yang satu mundur, Yang lima itu
mau menempur terus pada Tonghong Giok Kun, Kiang Yauw
Cong dan jie In serta Khu Lin dan Lie Siauw Leng.
Liok sat yang menghampiri Jie In tetap kecil hatinya,
tangannya yang mencekal senjata bergemetaran, melihat
mana, si pelajar tertawa dalam hatinya. Dengan cepat ia
menggerakkan tangan kanannya, menggaplok kuping drang
sambil membentak: "Apakah kau masih tidak mau mundur?
Dapatkah manusia seperti mu melayani aku?"
Jago Liang cin ini tidak berdaya, terpaksa ia mundur,
percuma ia memegang senjata. ia sekarang mesti mengusapusap
pipinya yang bengap.
Adalah empat Liok sat lainnya, yang jadi bertempur dengan
seru, Kheng Hong terus menghadapi Jim Him. Musuh ini, yang
terpukul mundur, karena dia tertotok Jie In, merasakan
punggungnya dingin. Mulanya dia tidak menghiraukannya, dia
menyangka punggungnya itu terkena angin oleh karena bajuTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
420
nya tipis, hanya sesaat kemudian, dia menjadi heran, lantas
dia menjadi kaget.
Perubahan perasaan datang dengan cepat, ialah terasakan
otot-ototnya menjadi lemas dan ngilu, tenaganya berkurang
sendirinya Jie In menotok jalan darah sam-yang, kalau dia di
totok jalan darah kin-siunya, pasti dia roboh segera.
Orang menjadi heran menyaksikan keadaan Jim Him ini,
mereka lantas menduga dia pasti terkena "tangan jahat",
tetapi tidak ada orang yang melihat serangan gelap itu.
sebaliknya, Kheng Hong yang melihat tenaga musuhnya
berkurang, menjadi girang sekali, ia menggunakan waktunya
untuk menyerang pula.
Jim Him kena terhajar, dia terpelanting lima tombak, terus
roboh, tak dapat dia bangun pula.
Dengan robohnya satu orang, runtuhlah pengepungan
persaudaraan she Jim itu. Ay Hong sok lolos, ia lantas
menerjang dengan hebat, maka sekarang ialah yang sebentarsebentar
mendesak lawannya mundur.
Jilid 5.3. Mengawal obat mestika ho-siu-ouw
"Tahan" Jim Liong berteriak ketika ia melirik kepada
adiknya yang roboh itu, tubuh siapa rebah melingkar, sedang
mulutnya memperdengarkan suara yang menyayatkan hati,
"Hari ini kami lima bersaudara mengaku kalah. Tapi ini
bukan disebabkan kami kalah darimu, Kheng Losu, melainkan
disebabkan adikku sakit mendadak Baiklah, Kheng Losu, kami
tidak menghendaki pula barang-barang mustika itu sampai
berjumpa pula"
Habis berkata, saudara tua ini lantas menghampiri adiknya,
Ketika itu, tubuh Jim Him menjadi ciut, tenaganya habis sama
sekali, hingga tubuh itu menjadi lemas dan lunak.

421
Dia pun tidak berteriak-teriak lagi, dia cuma bisa merintih
perlahan, Tanpa merasa, Jim Liong mengucurkan air mata,
juga tiga saudaranya yang lain, Berbareng dengan itu, mereka
heran atas lihaynya Kheng Hong, Tentu saja, tidak dapat
mereka berdiam lama-lama di situ Jim Him lantas dipondong,
untuk di ajak pergi menghilang.
Ay Hong sok tertawa lebar, Tapi la tertawa dengan merasa
heran, karena ia tak tahu sebabnya mengapa tubuh Jim Him
menjadi ringkas.
Pertempuran diantara keempat Liok sat dan Tonghong Giok
Kun beramai berjalan dengan seru tetapi kipa, inilah
disebabkan jago-jago Liang- ciu itu sudah ciut hatinya, Maka
setelah lewat dua puluh jurus, mereka kena dikalahkan. Liok
sat yang kedua pun berkata di dalam hatinya: "Di sini ada
sipelajar rudin, tidak ada harapan lagi untuk dapat merampas
mustika, kalau kami tidak mengangkat kaki sekarang, mau
menunggu kapan lagi?" Demikianlah, seperti Liong-bun Ngo
Koay, ia mengajak lima saudaranya menyingkir untuk pulang
ke Liang ciu.
Menyaksikan kesudahannya pertempuran itu, Ang Tiang
Ceng girang berbareng berduka. Girang sebab ia telah berhasil
menjalankan tipu dayanya, meminjam golok orang lain.
Bersusah lantaran ia sudah kepalang tanggung, seperti orang
yang menunggang harimau, sukar turun, Dalam keadaan
bingung itu, sekian lama ia berdiam saja, ia seperti tidak
melihat kaburnya Ngo Koay dan Liok sat.
Sikap Kie Leng sat sin ini membangkitkan amarahnya
Thong Thian Keng Ong Ek. si ikan Hiu dari hulu sungai Hong
Hoo serta siauwyauw Ie-su Pheng Hui, imam dari kuil Kim
Thian Koan di Lian-ciu.
Mereka dapat melihat akal muslihatnya si orang she Ang.
Pheng Hui lantas memandang tajam pada ketua Hek Liong
Pay itu, sembari memperdengarkan tertawa dingin, dia

422
berkata: "Ang Tongke, jangan kau diam-diam saja dengan
akalmu ini Kami sudah menjual jiwa kami, kau sendiri tetap
berduduk untuk menerima hasilnya Aku Pheng Hui tidak dapat
terpedayakan olehmu. Malam ini kami tidak mau turun tangan
dulu, ingin kami melihat lagak kalian kaum Hek Liong Pay.
Andaikata kau merasa tidak mempunyai guna, baiklah kau
lekas mengangkat kaki, supaya dengan begitu tak usahlah kau
mencampuri urusan kami"
"Benar, saudara Pheng benar" Ong Ek menimpali "Ang
Tongke, sungguh kau sangat tidak memandang sebelah mata
kepada saudara-saudara kaum Kang-ouw"
Ang Tiang Ceng menunduk sambil meram, mendengar
kata-kata kedua orang itu, ia mengangkat kepalanya, matanya
lantas menjadi bersinar tajam.
"Tuan-tuan, kalian mau menang sendiri" ia berkata, tertawa
dingin, " Wilayah shoasay Barat ini ialah daerah pengaruh
kami, dan juga urusan ini termasuk urusan kami, untuk mana
kami sudah berpikir masak lama-lama dan bekerja keras
sekali, kalian tahu, kami sudah menguntit hampir satu bulan.
Di sinilah, di Yo Kee Cip. kami telah bersiap-siap untuk turun
tangan, tetapi kalian, kalian hendak enak saja, kalian mau
mendapat bagian sambil duduk menganggur
kalian yang melanggar hak, kenapa sekarang kalian berani
menegur kami? Coba aku tidak ingat kepada persahabatan
lama dari kita, Yo Kee Cip ini dapat menjadi tempat
penguburan tulang-tulang kalian"
Mulanya Tiang ceng bicara perlahan, lalu makin lama makin
keras, ketika kawan-kawannya telah mendengar semua,
mereka menjadi kurang senang, tampak kemurkaan mereka
pada wajah mereka.
Muka Peng Hui dan Ong Ek menjadi merah sendirinya.
"Ang Tiang ceng" Peng Hui berseru, "Lain orang takut
padamu, aku tidak. Mari kita lihat, siapa yang nanti dikubur di
sini"

423
Kata-kata itu disusul dengan serangan kedua tangan ke
arah dada ketua Hek Liong Pay itu, angin kepalannya
menyambar lebih dulu.
BAB 13
"BAGUS" berkata Tiang Ceng tertawa dingin, tangannya
diangkat untuk dipakai menangkis, hingga tangan mereka
bentrok keras, atas mana keduanya sama-sama terpukul
mundur,
Itulah tanda mereka berdua berimbang maka Pheng Hui
lantas maju pula, guna menyerang lebih jauh, hingga Tiang
ceng mesti melayaninya.
Jie In menonton dengan otaknya dikasih bekerja, ia tahu,
itulah perbuatan Kheng Hong bertiga membikin runtuh
penjagaan orang-orang Hok Liong Pay, yang pada kena
ditotok hingga mereka berdiam bagaikan patung, cuma mata
mereka yang menyatakan kemurkaan mereka. ia tidak berpikir
lama untuk lantas bekerja, Maka ia mengisiki Khu Lin dan
Siauw Leng: "Sahabat, kawanan penjahat lagi bentrok sendiri
kita tak dapat berdiam terus di sini. Pergilah kalian mundur
perlahan-lahan ke istal, tuntunlah kuda kalian ke belakang,
untuk menyingkir nanti aku menyusul Kalau kita berdiam
lama-lama, mungkin kita sukar lolos dari sini."
Kedua saudagar itu setuju maka dengan hampir tak
terlihat, mereka main mundur.
Ketika itu Ay Hong sok mendongkol melihat Jie In bertiga
tidak memperhatikan pihaknya, hingga dia berkata dalam
hatinya: "Apakah pihakku salah? Gila betul" Karena itu, ia pun
mengajak kawannya menjauhkan diri
Pheng Hui dan Ang Tiang Ceng masih bertarung terus,
mereka sama-sama besar kepala, mereka pun sama-sama
gagah, masing-masing mengeluarkan kepandaiannya.

424
Ong Ek tidak membantu kawannya, tetapi la berpikir lain, ia
berpikir untuk merampas mustika, Maka diam-diam ia
memberi isyarat kepada kawan-kawannya, lantas ia melompat
ke arah Jie In bertiga, Belasan orang lantas menyusul dia.
Sang malam guram, si Putri Malam teraling gumpalangumpalan
mega. Karena itu, orang-orang yang bergerak di
atas salju tampak seperti sekumpulan setan saja.
Percuma Ong Ek maju, ia lantas kehilangan Jie In bertiga,
ia menjadi heran, Maka tanpa menghiraukan lagi Kheng Hong
bertiga, ia mengajak kawan-kawannya lari ke arah lain.
Kheng Hong sendiri telah melihat orang bergerak ke arah ia
dan dua kawannya, ia lantas bersiap untuk menyambut
serangan, maka heranlah ia ketika mendapat kenyataan orang
pergi ke lain arah itu, Ketika ia melihat ke sekelilingnya,
barulah ia terkejut, Jie In bertiga sudah tidak ada lagi diantara
mereka semua. Maka mengertilah ia akan sepak terjang Ong
Ek itu.
"Ke mana mereka pergi?" Ay Hong sok bertanya pada
dirinya sendiri, ia tidak tahu, ia tidak melihat orang
mengangkat kaki, Toh terpisahnya Jie In bertiga dari mereka
cuma kira-kira dua tombak. ia jadi menggelengkan kepala,
Ketika ia berpaling kepada kedua kawannya, ia, menyeringai
dan berkata: "Anak-anak. kita keliru. Kita membantu orang,
bukannya orang berterima kasih, mereka justru mabur. Buat
apa kita berdiam lebih lama lagi di sini? Perlu apa kita makan
angin saja? Tak ada faedahnya menonton orang berkelahi
Mari"
Tonghong Giok Kun dan Kiang Yauw Cong tertawa, mereka
turut menyingkir lenyap di tempat yang gelap.
Ang Tiang Ceng dan Pheng Hui, yang lagi mengotot itu
tidak tahu menghilangnya dua rombongan orang itu, mereka
masih bertempur Tiang Ceng berlega hati, ia percaya orangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
425
orangnya. Bila terjadi sesuatu, pasti ada orangnya yang
memberi laporan.
Hanya ia tidak mengetahui bahwa orang-orangnya itu
sudah dibikin menjadi boneka-boneka hidup oleh Kheng Hong.
Akhirnya orangnya Pheng Hui yang berseru: "Tongke
berdua, buat apa kalian berkelahi lebih jauh? Mereka sudah
kabur semua"
Pheng Hui terkejut Dengan satu pukulan, ia membuat Tiang
Ceng mundur satu tindak. la sendiri melompat hingga tiga
tombak. terus berkata: "orang she Ang, urusan kita masih
belum selesai, maka kau ingat saja"
Habis berkata, ia menggapai kepada kawan-kawan-nya,
lantas mereka menyingkir pergi
Tiang Ceng mengasih dengar ejekan berulang kali, saking
sengit, ia menghajar salju di depannya, hingga salju muncrat
ke tubuh dan kepalanya, ini ada baiknya, ia lekas menjadi
tenang, Angin pun membantu mendinginkan hatinya.
Ketika ia melihat ke sekeliling-nya, ia mendapatkan delapan
orangnya, yang separuh telah terluka, Tanpa merasa, ia
menarik napas panjang. ia telah kena dirobohkan.
"Pelajar berusia pertengahan itu lihay luar biasa, Ong Ek
beramai menyusul dia, mereka tentu tidak akan mendapat
hasil, mungkin mereka akan menerima pengajaran," katanya
dalam hati,
"Baiklah aku mengenal selatan..." Karena itu, ia lantas
mengurus orang-orangnya, buat terus pergi
Ketika matahari pagi mulai muncul, maka terlihatlah
wilayah yang luas yang bercahaya putih dan angin yang
menderu- deru keras, Hawa dingin melebihi hari kemarinnya.
Dijalan antara kota Gan-bun-kwan dan kecamatan Tay-koan
biasanya jarang dilalui disaat begitu, tetapi sekarang terlihat
tiga penunggang kuda dengan kuda mereka lari berlompatan

426
karena salju yang membeku mulai lumer, setiap menaruh kaki,
kaki kuda itu terus melesak Maka ketiga binatang itu sebentarsebentar
meringkik panjang
Jie In berada di punggung salah seekor kuda, ia memutar
cambuknya di atas kepalanya, beberapa kali cambuknya itu
pun dikasih berbunyi menjeter, ia tampaknya tenang, Tidak
demikian dengan Khu Lin dan Lie siauw Leng, Mereka agaknya
tegang, hingga mereka tak dapat berbicara dan tertawa
seperti waktu di Yo Kee cip tadi malam. Berulang kali mereka
berpaling ke belakang, untuk melihat ada penjahat yang
menyusulnya atau tidak
"Jangan takut, tuan-tuan" kata Jie In tertawa, "Majulah
terus dengan tenang Kalau kawanan bermuka tebal itu
menyusul, maka aku akan menuruti mereka seperti apa yang
mereka kehendaki, akan kukirim mereka kembali. Atau baiklah
aku mengantar kalian sampai di tempat tujuan kalian,
Bukankah tuan-tuan mau pergi ke Thay-goan?"
Semenjak berlalu dari Yo Kee Cip. inilah yang pertama kali
Jie In membuka pembicaraan, yang memecahkan kesunyian
diantara mereka bertiga. Khu Lin tertawa.
"Tay-hiap." ia berkata, "atas bantuanmu tadi malam, tak
usah kami menghaturkan terima kasih lagi. Kami melihat kau
bukanlah orang biasa, maka kami pasti akan disangka berlaku
palsu apabila kami menggunakan banyak peradatan, Meski
begitu, kami masih mau meminta tanya she dan nama
tayhiap. sudikah tayhiap memberitahukannya?"
Jie In tertawa lebar.
"Namaku Jie In," ia menyahut "Kau memanggil tayhiap. aku
tidak berani menerimanya. Kau panggillah sembarang saja." ia
berhenti sebentar, lalu ia tertawa pula dan ber-kata: "Tuantuan,
besar nyali kalian Kenapa kalian dapat ngobrol leluasa di
Yo Kee Cip? Kenapa kalian lancang bicara mengenai mustika
kalian? Apakah itu bukan berarti mencari bencana sendiri?"

427
Khu Lin menyeringai ia likat, "itulah terpaksa," sahutnya,
"Tak dapat kami tak berbuat demikian, sebenarnya tidak ada
empat mustika dari raja naga, yang ada cuma ho-siu-ouw."
Jie In heran.
"Coba kalian jelaskan," pintanya.
Lie Siauw Leng mewakili kawannya, ia berkata: "Duduknya
persoalan begini, Khu suheng berbicara tengah mabuk, tanpa
ia mengetahuinya ia menimbulkan ancaman bahaya. Pada tiga
bulan yang lalu, guru kami, yaitu Thian Tie Tiauw siu, telah
menjanjikan pertempuran dengan Goan Cin Cu, ketua dari
Ngo Tay Pay. Diantara mereka memang ada perselisihan
pertempuran dilakukan di bawah gunung Ngo Tay san.
Kesudahannya, Goan Cin Cu kena terhajar pundaknya dan
guru kami terluka dadanya, obat untuk luka guru kami itu
tidak lain ialah ho-siu-ouw. Mengenai obat itu syukur ada
Ceng Tim Taysu, pendeta kepala dari Ceng sian sie yang
menjadi sahabat guru kami, Ceng Tim Taysu memberi
keterangan bahwa di kota raja di rumahnya Tan Kong Pou,
menteri Kong-lok-sie, yang menjadi sahabatnya, ada dua buah
pohon ho-siu-ouw itu, yang semua telah berumur seribu
tahun.
Pada sepuluh tahun yang lalu, Ceng Tim Taysu pernah
menolong keluarga Tan dari kebinasaan maka untuk
membalas budi, Tan Kong Pou suka menghadiahkan sebuah
ho-siu-ouw. Taysu menampik, katanya sebagai seorang su-ci,
apalagi ia sudah berusia delapan puluh tahun, ia tak
membutuhkan itu, tetapi ia berjanji apabila dilain waktu ia
memerlukannya, ia akan mengirim orang untuk memintanya.
Maka taysu hendak menolong guru kami, Untuk meminta
obat itu, taysu tidak dapat pergi sendiri, hanyalah kami yang
diutus, Kepada kami diberikan serenceng mutiara sebagai
tanda bukti, Tan Kong Pou memberikan ho-siu-ouw itu. Waktu
kami mau meninggalkan kota raja, kebetulan kami bertemu
dengan seorang sahabat yang telah tak bertemu dengan kami
banyak tahun, dia mengundang kami berjamu, Di situ, selagi

428
berjamu itu, sesudah minum banyak air kata-kata, Khu suheng
memperlihatkan ho-siu-ouw dan berkata, serenceng mutiara
itu dapat dibandingkan dengan empat mustika naga.
Diluar dugaan kami, di situ ada orang Hok Liong Pay, dia
rupanya keliru mendengar maka dia pergi mengabarkan
kepada ketuanya, Ketika kami insyaf, sudah terlambat
Demikianlah di sepanjang jalan kami sebentar-sebentar
menghadapi ancaman bahaya.
Terpaksa kami menyamar menjadi saudagar. Apa pun yang
kami bilang, penjahat itu tidak mau percaya, Memang ada
empat mustika naga itu, tetapi adanya di dalam istana kaisar."
"Luka guru kami itu berbahaya," Khu Lin menyambung,
"Ceng Tim Taysu telah memberikan obatnya yang mujarab,
tetapi obat itu cuma bertahan selama lima bulan, katanya
selewatnya lima bulan, meski ada Ho-siu-ouw guru kami tak
dapat sembuh seluruhnya, maka kami perlu lekas pulang, Tapi
kami diganggu kawanan penjahat, selain menyamar kami pun
mestijalan memutar, Berita telah tersiar luas, kecuali Hek
Liong Pay, ada penjahat atau orang-orang lainnya yang
menghendaki obat itu, karena itu kami dikuntit dan dicegat
banyak musuh, Begitulah kami terancam bahaya hebat di Yo
Kee Cip. Ho-siu-ouw dapat dimakan juga oleh sembarang
orang kaum persilatan itulah sebabnya selain penjahat ada
orang-orang kaum lurus yang mengincarnya, semua ini adalah
salah kami, yang sudah berlaku sembrono, sekarang kami
bebas, tetapi ini belum berarti bebas benar-benar, perjalanan
keThay-goan masih jauh, kecuali di kiri ada gunung NgoTay
san, dikananpun ada pegunungan In Tiong san, maka kami
kuatir di tengah jalan masih akan dihadapi banyak ancaman-"
Baru sekarang Jie In mengerti ia lantas berpikir.
"Saudara-saudara, kalian benar-benar terancam bahaya,"
katanya sesaat kemudian, "Kalau kalian tetap berkuatir,
sudikah kalian menerima bantuanku? Apakah kalian dapat
mempercayai aku? Lebih baik ho-siu-ouw itu diserahkan

429
padaku, apabila betul terjadi sesaatu, nanti aku yang
menyerahkan kepada guru kalian di kuil Ceng sian sie."
Khu Lin dan siauw Leng tidak menyangsikan si pelajar,
Yang pertama lantas merogoh sakunya dan menyerahkan obat
yang dijadikan perebutan itu, Ho-siu-ouw mirip bayi, ada
tangan, ada kakinya, dan warnanya abu-abu putih.
"Harap Jie Tayhiap tidak bergurau," kata dia. "Mana dapat
kami tidak mempercayai tayhiap? Cuma inilah terlalu
memberatkan tay-hiap. Bukankah, asal tayhiap menghendaki
gampang saja kau merebutnya dari kami?"
jie In tertawa, ia meneliti obat itu, yang harum baunya,
yang mendatangkan rasa segar, sembari menyimpan itu
dalam sakunya, ia berkata: "Barang ini benar-benar sangat
menarik hati, sampai hatiku pun tergerak, sekarang begini
saja," ia menambahkan, sungguh-sungguh .
"Dalam perjalanan kita lebih jauh ini, kita harus
menggunakan akal, selanjutnya, tak perduli kita bertemu
dengan siapa saja, asal ada yang menanyakan, kalian boleh
bilang ho-siu-ouw telah kena dirampas Hek Liong Pay,
Kedustaan ini tak dapat dipertahankan, tetapi lumayan guna
merebut waktu, Aku percaya, kalau nanti rahasia bocor,
tentulah guru kalian sudah sembuh."
-00000000-
Khu Lin dan siauw Leng setuju, Mereka memuji si pelajar
cerdik sekali, sedang orang pun gagah. selama dua puluh
tahun, belum pernah mereka bertemu dengan orang pintar
dan kosen seperti ini, Meski begitu, mereka tidak berani
menanyakan asal-usul orang.
"Lagipula," Jie In memesan lagi, "Selama di tengah jalan,
kita lebih baik berpura-pura tidak kenal satu dengan yang
lain." Khu Lin dan Siauw Leng kembali setuju.

430
Baru sampai di situ mereka bicara, di belakang mereka
terdengar suara berisik yang berupa dampratan, ketika
mereka menoleh, mereka melihat belasan orang lari
mendatangi.
Di kejauhan, mereka semua tampak bagaikan bayangan,
cepat larinya mereka itu di atas salju.
Jie In tertawa dan berkata: "Hebat di kolong langit ini ada
orang-orang tak takut mampus seperti mereka itu Biarlah,
nanti aku si orang she Jie membuat mereka dapat
menyampaikan maksud hati mereka Tuan-tuan, harap kalian
menonton saja."
Kedua saudagar itu mengangguk. hati mereka pepat,
berduka dan berkuatir, Baru mereka lolos dari bahaya,
sekarang muncul yang tain, Mereka menginsyafi diri sendiri,
dan diri merekalah yang dikuatirkan.
Mereka percaya Jie In akan dapat menyampaikan obat
kepada guru mereka, tetapi, dengan berpisah dari Jie In,
bagaimana nanti mereka melindungi diri mereka sendiri?
Cepat sekali, belasan orang itu sudah sampai.
Jie In menyambut mereka itu sambil tertawa bergelak dan
cambuknya diayun hingga terdengar suara anginnya dan juga
suara menjeternya. Lalu, hebat lah kesudahannya, Dua orang
yang di paling depan lantas menjerit menyayatkan hati, tubuh
mereka terpelanting, terus roboh pingsan- Pipi kanan mereka
terluka dan darah mengalir keluar karenanya. Karena kejadian
itu, semua kawan mereka merandek.
Diantara mereka terdapat Ong Ek. Dia ini tertawa ingin, dia
berkata: "Tuan, kau siapa? Aku si orang she Ong tidak
berurusan denganmu, mengapa kau merintangi kami?"
"Tak usah kau perdulikan aku siapa" sahut Jie In,
romannya bengis, "sekarang ini, selama hidupmu, jangan kau
harapkan pula mustika naga dan ho-siu-ouw Lebih baik kalian

431
turut nasehatku, lekas kalian pulang, supaya aku tak usah
melakukan pembunuhan lagi"
Mata Ong Ek melotot, terus dia tertawa tergelak-gelak. Tak
enak mendengar tertawanya itu. Terus dia berkata nyaring:
"Aku Thong-thian-keng Ong Ek, baru pertama kali ini aku
mendengar suara terkebur seperti suaramu ini. Hm. Meski
benar kau lihay, di mataku kau tidak berarti banyak" ia lantas
berpaling ke kiri dan kanannya, mendadak dia berseru: "Maju"
Dan bergeraklah belasan orang itu.
"Kalian mencari mampus? "Jie In membentak seraya
tangannya diayun, hingga cambuknya meluncur seperti tadi,
menyusul itu terdengarlah teriakan saling susul akibat
terguling robohnya lima orang, hingga yang lainnya batal
maju, bahkan mereka itu berebut melompat mundur.
Ong Ek jadi berdiri menjublek.
Jie In tertawa, ia berkata: "Ong Ek. kau dijuluki sebagai
satu siluman dari sungai Hong Hoo, agaknya hatimu belum
mati sebelum kau melihat sungai itu" Kata-kata ini disusul
dengan diluncurkannya pula cambuk-nya, yang ujungnya
menyambar ke pundak si orang she Ong itu, si ikan Hiu.
Ong Ek kaget, tanpa berpikir lagi, dia menjejak tanah,
untuk melompat mundur dua tombak. Dia jeri melihat
robohnya tujuh kawannya barusan, Tapi belum kakinya
menginjak tanah, cambuk Jie In sudah meluncur tiba, Dia jadi
kaget dan takut, dia pun mengetahui bahwa dia tak dapat
mundur pula. Dia menjadi nekad, dia mengulurkan tangannya
untuk mencoba menangkap dan merebut cambuk itu
Cambuk Jie In tak dapat dirampas, Ujung cambuk tertarik
kembali, terus diputar lebih jauh, Maka sekarang Ong Ek
terancam iga-nya. Dia menjadi kaget sekali, hingga dia
mengeluarkan keringat dingin, secepatnya dia mendak sambil

432
terus melompat mundur, nyatanya dia kalah cepat, Ujung
cambuk lantas melilit tubuhnya.
Kaget semua kawan si ikan Hiu, beberapa diantaranya
lantas melompat maju, guna menyerang, untuk menolong.
Jie In tertawa lebar, cambuknya digentak, maka tubuh Ong
Ek terangkat naik melayang di tengah udara, sesudah mana,
cambuk itu dipakai menangkis berbagai senjata tajam, hingga
banyak senjata terlepas dari cekalan, dan telapak tangan
mereka yang memegang senjata itu terasa sakit.
Sipelajar berusia pertengahan tidak berhenti sampai di situ,
cambuknya terayun lagi, sekarang untuk menyambar tubuh
orang, maka kawanan penyerang itu, sambil mengeluarkan
teriakan tertahan- pada roboh terguling
Ong Ek baru merayap bangun atau Jie In sudah melompat
ke depannya, ia ini tersenyum. Dia penasaran, dia pun takut,
maka dengan nekad dia menyerang dengan kedua tinjunya,
tenaganya dikerahkan semuanya .
Dia sangat ingin dapat menghajar mampus perintangnya
ini. Tapi dia tak dapat mewujudkan niatnya itu, bahkan
sebaliknya, dia menjadi kaget, Tinjunya tidak mengenai
sasaran, bahkan tinjunya itu kena tertarik tenaga yang besar,
hingga tak dapat dia menariknya pulang.
"Hm"Jie In tertawa menghina, tangan kirinya melayang...
Hampir Ong Ek menjerit kesakitan. Dia tergaplok hingga
matanya berkunang-kunang dan kepalanya pusing, pipinya
pun hengap. Gaplokan itu membuat telinganya berbunyi
sekian lama.
"Apakah kau masih belum kapok? "Jie In bertanya, tertawa,
".Baiklah, kalau kau mempunyai kepandaian silat, kau
keluarkanlah semuanya"
Ong Ek berdiam dengan napas mengeros, ia mengawasi
dengan bengong, lenyap sudah kegarangannya.

433
"Kenapa kau tidak mau bicara?" tanya Jie In tertawa, "Ke
mana perginya kegaranganmu? Aku menyangka kau lihay
sekali, siapa tahu begini saja kepandaianmu Kenapa kau masih
tidak mau mengangkat kaki? Buat apa kau tetap berdiri di
depanku? Menjemukan saja" Kata-kata itu ditutup dengan
gerakan tangan kiri.
Ong Ek takut nanti kena dihajar pula, karena sekarang
hatinya sudah kuncup, ia lantas saja melompat mundur, untuk
terus lari pergi, diturut oleh kawan-kawannya. Hanya
sebentar, lenyap mereka semua, kecuali mayat kawankawannya
yang bergelimpangan di atas salju.
Khu Lin dan Siauw Leng tercengang, mereka kagum bukan
main. Mereka melihat orang cuma main-main dengan
cambuknya, siapa tahu kesudahannya demikian hebat dan
menakjubkan. Bukankah Ong Ek jago Hong Hoo Utara dan
Barat? Bukankah orang ini jauh lebih lihay dari guru mereka?
Maka malulah mereka mendua, mungkin orang she Jie ini
seorang tertua yang baru muncul pula.
Toh usia orang belum lebih dari empatpuluh tahun. Jie In
sudah melompat naik ke atas kuda-nya, ketika ia memutar
kudanya itu, kedua kawannya bersikap sangat menghormat
terhadapnya, hingga ia menjadi likat sendirinya. ia tertawa
dan berkata: "Beginikah sikap kalian? Apakah kalian tak sudi
bersahabat denganku ?"
"Di depan tayhiap mana berani kami berlaku kurang
hormat?" sahut kedua orang itu. Jie In menggelengkan
kepala.
"Aku tidak menyangka kalian menggunakan banyak aturan"
katanya. Lantas mereka berjalan bersama.
Sampai sekian lama tidak tampak siauw Yauw Ie-su, maka
diduga tentulah dia telah bertemu dengan Ong Ek dan
menjadi tidak berani datang menyusul.

434
Ketika mereka bertiga lewat di Heng-koan- cuaca berubah
guram, sebab sang mega menghalangi sang matahari itulah
tanda sang magrib lagi mendatangi hingga tak lama lagi,
langit bakal menjadi gelap.
Angin Utara menghembus keras, membuat pepohonan di
sepanjang tepi jalan tertiup doyong, Angin pun membawa
turun salju, Akhirnya turun hujan dengan tetesan-tetesannya
yang besar. Maka salju yang baru bertumpuk-tumpuk lantas
lumer, hingga di situ tampak seperti kebanjiran.
Ketiga ekor kuda itu tak usah berlompatan lagi, sekarang
semuanya dapat berlari seperti biasa, Dengan begitu mereka
melakukan perjalanan jauh lebih cepat, Tindakan kuda
menyebabkan air muncrat berhamburan hingga pakaian
mereka menjadi basah seluruh-nya. karena ditimpa salju dan
hujan, lalu muncratan air itu.
Hujan lebat hingga orang cuma bisa melihat sekitarnya
sejauh belasan tombak Jie In beda dengan kedua kawannya
itu, ia dapat melihat sampai kira-kira empat puluh tombak.
Maka ia dapat melihat mendatangnya tujuh atau delapan
orang yang semuanya memakai tudung lebar ia menduga
kepada musuh.
"Sahabat-sahabatku, di depan ada orang-orang lagi
mendatangi" ia berkata pada Khu Lin dan siauw Leng.
"Pergilah kalian maju dan berbicara seperti yang telah
dijanjikan aku akan menyusul belakangan"
Kedua kawannya itu mengangguk. dengan menjepitkan
kedua kaki mereka, mereka membuat kuda mereka masingmasing
melompat maju, untuk lari lebih cepat,Jie In
sebaliknya menahan kudanya, dalam hatinya ia berkata:
"siapakah mereka itu? Mungkinkah mereka datang untuk hosiu-
ouw? Kalau benar, dari mana mereka mengetahui Khu Lin
dan Lie Siauw Leng bakal lewat di sini? inilah rada aneh."

435
Segera ia melihat Khu Lin berdua sudah berhadapan
dengan rombongan di depan dan mereka kedua belah pihak
lagi berbicara, maka ia pun mengeprak kudanya, untuk
menyusul. selagi mendekati ia melihat tujuh imam. Ia
menduga kepada imam-imam dari Ngo Tay san.
Maka berpikirlah ia: " Kenapa bangsa imam pun kemaruk?"
ia maju terus hingga ia berada di depan kedua kawannya,
hingga imam-imam itu menjadi terbelakangi, ia lantas
berteriak "Aku kira kalian dapat kabur ke atas langit Akhirnya
kalian tercandak juga. Lekas serahkan ho-siu-ouw, dengan
begitu kita masih dapat menjadi kawan"
Di dalam hatinya, Khu Lin dan Siauw Leng tertawa, Bagus
sekali sandiwara Jie In ini. Mereka pun turut membawa
peranan mereka.
"Tuan, mengapa kau tidak percaya orang?" Khu Lin
menegur, Dia tertawa dingin, "Aku sudah bilang, kedua rupa
barangku telah dirampas Kie Leng sat sin Ang Tiang ceng dari
Hek Liong Pay Bukannya kau cari dia, kau cari kami, apa
gunanya?"
Belum Jie In menyahuti, imam yang terdepan, yang kurus
tubuhnya, tersenyum dan berkata: "Kedua sicu she Khu dan
she Lie, mana dapat kalian menghina orang dengan kedustaan
kalian ini? Kami baru saja menerima surat yang dikirim dengan
perantaraan burung dari Ang Paycu yang mengabarkan hosiu-
ouw berada di tangan kalian Tentu saja, kami percaya Ang
Pang cu itu Baiklah kalian mengerti andaikata kami
mengijinkan kalian lewat di sini, di depan sana kalian tak bakal
lolos dari pihak Ceng Hong Pay. Maka lebih baik kalian turut
kami ke Ngo Tay san. Kami cuma minta separuh dari ho-siuouw.
Bukankah itu tidak merugikan kalian? kalian dapat
tinggal selama setengah bulan di gunung kami, nanti kami
mengantarkan kalian keThay-goan. Untuk penyakit gurumu,
separuh ho-siu-ouw pun sudah cukup, Dengan begitu,

436
permusuhan gurumu dengan partai kami pun dapat
dihabiskan. Bukankah itu berarti kebaikan kedua belah pihak?"
selagi berbicara itu, si imam menatap tajam mata kedua orang
di depannya itu.
"Hm Enak saja kau bicara" Jie In menyela, Dia tertawa
dingin, "ingat, masih ada aku di sini Aku telah berlari lari
ribuan li untuk menyusul, apa aku mesti makan angin saja."
Imam itu berubah air mukanya, ia berpaling dan
mengawasi
"Siapa kau?" tanyanya bengis, "Cara bagaimana kau berani
bersikap begini kurang ajar terhadap ceng Hie cinjin?"
"Hm Hm" Jie In mengejek berulang-ulang, "Kawanan
hidung kerbau dari Ngo Tay San menjadi berandal dan tukang
membegal? Sungguh sukar dipercayai Meminta makan dari
kaum Kang-ouw, apakah itu aturannya Ngo Tay Pay? Mengapa
aturan itu tidak diumumkan diantara kaum Rimba Pcrsilatan?"
Muka ceng Hie menjadi merah padam, ia lantas menghunus
pedangnya, terus ia memasang kuda-kudanya. ia juga tertawa
dingin,
"Kau bicara besar, tuan, kau pasti mempunyai kepandaian
yang mengejutkan orang" katanya mengejek, "Sudah, jangan
kau banyak omong lagi, coba kau kalahkan aku Kalau tidak,
tak dapat aku membiarkanmu berjumawa begini"
Hujan besar masih terus turun,jubah ke-tujuh imam itu
juga kuyup semuanya, Kaki mereka terpendam air dan salju
sebatas mata kaki. Sang angin tetap menghembus dahsyat,
hingga tudung semua imam itu keras tersampok
mengeluarkan suara berisik, Suara mereka sama-sama keras,
tetapi terdengarnya perlahan.
Jilid 5.4. Hu Wan dan Hu Ceng sudah remaja

437
Jie In bercokol di atas kudanya, tangan kirinya sebentarsebentar
menyeka mukanya? ia bersikap sabar, tapi ketika ia
mendengar tantangan si imam, parasnya berubah, mendadak
ia mengayun cambuknya, sebagai kesudahannya, ada serupa
benda yang tersambar terus terbang melayang
Ceng Hie Cinjin menjadi murid kepala dari Goan Cin Cu,
ketua Ngo Tay Pay, maka dalam hal ilmu silat, kecuali gurunya
itu, tidak ada yang melebihinya, Baik tangan kosong, maupun
ilmu pedang dan senjata rahasia, ia telah dapat menguasainya
dengan baik, Karenanya, biasanya ia sangat bangga dengan
kepandaiannya itu.
Tapi sekarang, ia kena dibikin kaget, penasaran dan heran,
Tak terlihat lagi gerakan tangan orang di depan, tahu-tahu
pedangnya terbetot dan terbang, Cuma telapak tangannya
tergetar sedikit, saking murka, tanpa mengatakan apa-apa
lagi, ia menyerang Jie In dan kudanya dengan berbareng,
sambil menyerang ia bertindak maju, ingin ia dapat
membekuk orang di depannya itu.
Jie In tidak berniat melukai imam itu, ia mengetahui adanya
permusuhan diantara Thian Tie Tiauw siu dengan pihak Ngo
Tay Pay, ia tidak mau memperbesar itu, ia ingin
mengundurkan kawanan imam itu, supaya Khu Lin dan siauw
Leng dapat lewat, siapa sangka Ceng Hie berlaku demikian
telengas, maka ia menjadi kurang senang.
"Kenapa seorang imam telengas begini?" pikirnya, sambil
berpikir itu, ia gunakan cambuknya untuk menghajar kedua
tangan si penyerang.
Benar-benar Ceng Hie tidak menyangka cambuk orang
demikian lihay, ia membatalkan serangannya, ia hendak
menarik pulang kedua tangannya, akan tetapi ia kalah sebat,

438
tahu-tahu tangannya telah terlibat ujung cambuk. keras dan
sakit rasanya.
Jie In tidak mau berlaku keterlaluan, lekas-lekas ia menarik
lolos cambuknya itu, maka si imam dapat melompat mundur,
mukanya menjadi sangat pucat, syukur ada air hujan, orang
tidak melihat perubahan air mukanya itu.
"Hm" kata Jie In, "aku kira pelajaran Nao Tay Pay lihay luar
biasa, tidak tahunya cuma sebegini Ceng Hie, kau membuat
muka Ngo Tay san menjadi guram"
Baru Jie In berhenti bicara, seorang imam yang berdiri di
tengah-tengah kawannya melompat maju, Dia tampan dan
ramah tamah romannya, Demikianiah dia tersenyum dan
berkata dengan sabar: "Dalam kalangan Rimba Persilatan,
siapa menang dan siapa kalah, sudah biasa, maka mengapa
tuan menghina orang di muka umum? Tuan lihay sekali, tak
sukar untukmu menjadi seorang ketua, maka apa gunanya
sepak terjangmu ini? Tuan, kami turun gunung untuk
menolong guru kami, Kami membutuhkan ho-siu-ouw,
separuh saja Bukankah perbuatan kami ini perbuatan umum?
Kenapa tuan bersikap begini keterlaluan?"
Mendengar kata-kata orang yang sabar ini, hati Jie In
tertarik, ia tersenyum.
"Totiang, ucapanmu beralasan juga," katanya, ia pun
bersikap sabar "Cuma cara kalian ini tidak tepat, Andaikata
benar ho-siu-ouw berada di tangan mereka berdua, kalian pun
tidak boleh mencegat dan merampasnya, Menurut pantasnya
kalian mesti menyambut mereka, terus kalian mengantarkan
ke tempat tujuannya, di sana dengan memakai aturan kalian
menemui guru mereka, untuk meminta sedikit dari barang itu.
Bukankah itu pantas?"
Imam itu mengenal aturan, jawaban Jie In membuatnya
bungkam.

439
Mendadak Ceng Hie berteriak: "Tadi aku alpa, aku kena
dicurangi olehmu. Apakah kau kira kau dapat berjumawa?
Kalau aku tidak kasih rasa kepadamu lihaynya ilmu pedang
Ngo Tay Pay, aku bersumpah tidak mau menjadi manusia"
Mendengar itu Jie In tertawa geli, ia menganggap Ceng Hie
sangat terkebur, Hebat Jago Tay Pay andaikata dikemudian
hari dia mendapat ketua seperti imam ini. Maka ia berpikir ia
harus mengajar adat.
"Totiang" katanya, tertawa mengejek. "Pedangmu sudah
terbang, kau masih berani bicara besar Kalau begitu, baiklah,
mari aku belajar kenal dengan ilmu pedang partaimu"
Muka Ceng Hie menjadi merah, dia malu.
Tapi dia penasaran, Maka dia berkata: "Kami bertujuh
saudara seperguruan mempunyai semacam barisan pedang,
kalau kau dapat memecahkannya, ho-siu-ouw tak kami
kehendaki pula dan kami pun akan segera pulang ke gunung
kami Kalau kau kalah, maka..."
Jie In tertawa lebar.
"Kau menghendaki aku mengangkat kaki dari sini, bukan?"
ia melanjutkan "Baiklah, aku terima tantanganmu ini silahkan
mengatur barisanmu"
Imam yang pertama berbicara bergelisah. ia menganggap
kawannya terlalu sembrono. Bagaimana kalau mereka gagal?
Apa nanti yang terjadi dengan guru mereka, yang
membutuhkan ho-siu-ouw? ia lantas mengedipkan mata
kepada Ceng Hie, tetapi Ceng Hie berlagak pilon, dia bahkan
melompat untuk memungut pedangnya tadi, untuk segera
bersiap.
Dengan apa boleh buat imam itu menghela napas, lantas ia
bersama lima saudaranya yang lain turut bersiap. mengatur
barisan mereka.

440
Jie In dari atas kudanya menyaksikan Ceng Hie mengatur
barisannya itu berdasarkan tujuh bintang, maka tahulah ia,
itulah barisan pedang Cit Chee Kiam Tin. Di dalam hatinya ia
berkata, tak mungkin barisan itu lebih lihay dari ilmu pedang
ajaran kakek gurunya. ia lantas tertawa dan melompat turun
dari kudanya, untuk memasuki barisan imam itu.
Ketika itu angin dan hujan masih meng-gema, suaranya
berisik, Begitu Jie In datang, ketujuh imam itu menjadi
terkejut Mereka telah melihat tindakan orang yang tubuhnya
sangat ringan, karena air tak muncrat seperti biasanya diinjak
oleh seorang yang kurang mahir kepandaiannya.
Khu Lin dan Lie siauw Leng pun turut menjadi kagum,
hingga mereka berdua saling mengawasi .
Jie In mengangkat tinggi cambuknya, ia memutar tak
hentinya. " Kalian yang memulai atau aku?" tanyanya
tersenyum.
Ceng Hie tertawa menyeringai ia tidak menjawab, ia segera
bertindak, atas mana, ia diturut enam saudaranya, Dengan
begitu bergeraklah barisannya, yang terus berubah
kedudukannya, sesudah itu barulah mereka menyerang
berbareng.
Jie In ingin menyaksikan bekerjanya barisan, ia tidak lantas
berkelit, menyingkir dari ujung pedang mereka itu. ia bergerak
sangat lincah dan licin.
"Bagus" Ceng Hie memuji, menyaksikan kegesitan
lawannya, Karena itu, ia menyerang dengan lebih bengis,
begitupun keenam saudaranya.
Ketujuh imam itu mengambil kedudukannya masingmasing,
dengan begitu, mereka pun menyerang masingmasing,
dengan caranya sendiri
Setelah lewat beberapa jurus Jie In lantas dapat melihat
nyata, orang bergerak dengan tujuh kali tujuh gerakan atau

441
sama dengan empat puluh sembilan jurus, segera setelah ia
mengerti, ia bersiul keras dan panjang, ia tidak lagi hanya
main berkelit, sekarang ia mulai melakukan serangan.
Segera terjadi bentrokan Ujung cambuk hendak melibat
ketujuh pedang. Akibatnya ia menjadi terkejut.
Ujung cambuk mendapat perlawanan keras, bahkan hampir
cambuk itu terlepas dari cekalan Tapi ini membuatnya
penasaran Tanpa bersangsi lagi, ia menggunakan Bie Lek sin
Kang. Begitu tenaga tersalurkan ke ujung cam-buk. sekali lagi
cambuk itu melibat, terus di-tarik.
suara berkontrangan lantas terdengar Ketujuh pedang itu
tersambar terlepas dari tangan setiap imam, terbang tinggi,
lantas turun pula,jatuh ke air hujan yang bagaikan air bah itu,
Akan tetapi tangan kiri Jie In pun bekerja, menyambar maka
semua pedang itu kena ia genggam.
Ceng Hie semua terkejut, Meski begitu, barisan mereka
tidak lantas pecah, Mereka masih dapat mengepung dengan
rapi. Cuma sekarang mereka tidak dapat menyerang dengan
pedang.
Jie In mengerti orang belum mau menyerah, ia lantas
bertindak. Ia mengincar si imam kepala.
Sekonyong-konyong Ceng Hie terperanjat Tak tahu ia
bagaimana duduk perkaranya, mendadak sebelah tangannya
kena tercekal, lantas dia ditarik, hingga tubuhnya keluar dari
dalam barisannya, Keenam imam lainnya kaget, mereka mau
mencegah tetapi sudah terlambat.
Jie In telah menggunakan satu jurus dari Hian wan Sip-pat
Kay, cekalannya membuat si lmam merasakan tubuhnya kaku
dan ngilu, hingga meskipun dia basah kuyup dengan air hujan,
toh keringatnya mengucur keluar karena hebatnya
penderitaan tercekat tangan lawan yang kuat itu.
Tapi tak lama dia tersiksa, tiba-tiba dia merasa tangannya
bebas, sebab lawannya telah melepaskan cekalannya.

442
Dengan mata tajam Jie In menatap si imam, ia tersenyum.
Imam Ngo Tay san itu menjadi merah mukanya. "Aku
mengaku kalah " kata Ceng Hie.
"Sekarang juga kami berangkat pulang, lain kali kita
bertemu pula." ia memutar tubuhnya, lantas ia melangkah
pergi.
Keenam imam lainnya, setelah menoleh sebentar, lantas
menyusul kakak seperguruannya itu. Tajam mereka itu
mengawasi Ceng Hie, agaknya mereka mendongkol. Jie In
tidak mencegah orang berlalu, ia terus menoleh kepada Khu
Lin dan Siauw Leng.
" Kalau Ceng Hie si hidung kerbau tiba di gunungnya, dia
bakal menderita lebih jauh," katanya tertawa, "Itu telah dapat
diduga dengan melihat sikap keenam adik seperguruannya
itu."
"Siapa suruh dia berkepala batu" kata siauw Leng tertawa,
"Dia tidak dapat menyesalkan siapa pun" Kemudian ia
mendongak melihat langit, ia menambahkan "Jie Tayhiap.
hujan ini tidak bakal lekas berhenti, mari kita melanjutkan
perjalanan kita."
Jie In mengangguk. la melompat naik ke atas kudanya,
Maka mereka bertiga lantas berangkat bersama, menempuh
angin dan hujan yang lebat itu, yang membuat jalan besar
ber-lumpur dan sulit untuk dilalui.
Mereka tidak menemui rintangan lagi, kecuali berpapasan
dengan beberapa orang yang mengenakan tudung bambu dan
menggembol senjata, yang sikapnya saja mencurigakan
hingga mereka tak sudi menghiraukannya.
Demikianiah mereka tiba di Heng-koan, sesudah cuaca
gelap. Mereka terus mencari losmen-
Khu Lin dan siauw Leng tiba lebih dulu, lewat sekian lama
barulah Jie In. Mereka tetap memakai siasat tak kenal satu

443
dengan yang lain. Hanya sebab sama-sama ditimpa hujan,
paling dulu mereka memerintahkan pelayan membeli
seperangkat pakaian jadi, untuk mereka menukar pakaian
mereka yang basah itu.
Jie In mengambil sebuah kamar sendiri ia memesan
makanan, ia minta itu dibawa ke kamarnya, maka iapun dahar
seorang diri, Rupanya disebabkan kedinginan dan perut
kosong, ia bersantap dengan bernapsu, ia merasakan
hidangan itu lezat sekali.
Hujan masih belum berhenti, juga sangat dingin, maka di
luar jendela terdengarlah suara berisiknya yang tiada
putusnya.
" Kalau cuaca tetap begini, mana bisa besok aku
melanjutkan perjalanan."pikir Jie In yang melongok ke
jendela, sebenarnya ia ingin sekali lekas tiba di Thaygoan.
Habis bersantap. ia berdiri .
"Baiklah aku melongok sebentar keluar, di sana ada
sesuatu yang luar biasa atau tidak." ia berpikir pula, Terus ia
membuka pintu dan bertindak keluar.
Ia berjalan dengan perlahan, selagi lewat di depan kamar
Khu Lin dan Siauw Leng, sengaja dengan sikutnya ia
membentur pintu kamar itu hingga pintu terbuka. Tiba-tiba
saja ia menjadi heran, Kamar kedua kawannya itu kosong,
Dengan cepat ia pergi keluar, untuk mencari ke sekelilingnya
Tapi ia tidak melihat mereka itu,
"Mungkinkah diwaktu hujan begini mereka berminat
pesiar?" tanyanya pada diri sendiri "Aneh"
Ia lekas kembali ke dalam. Di dalam kamarnya ia
merasakan bau hawa yang mendesak Tadipun ia merasakan
itu, ia baru merasa lega setelah mementang pintu, ia percaya
itulah disebabkan hujan, hawa menjadi ngelekap. Karena itu,
daun jendela ia palang, untuk membukanya separuh.

444
Habis bersantap Jie In merasakan mukanya panas, setelah
tadi ia keluar, ia merasakan hawa dingin dan lembab, ia tetap
memakai topengnya, ia jadi merasa kurang enak. Maka ia
membuka topengnya itu, untuk menyusuti mukanya dengan
saputangan, hingga terlihatlah wajahnya yang asli, yang
tampan sekali
Tiba-tiba di luar jendela terdengar suara kaget atau kagum
perlahan: "Ih" saking perlahan suara itu dan terganggu suara
angin dan hujan Jie in tidak mendengarnya.
Setelah memakai pula topengnya, pemuda ini, dalam
rupanya seperti pelajar berusia pertengahan mengeluarkan
mutiara yang disimpan dalam sakunya. itulah tanda mata dari
Tio Lian cu, kekasihnya, yang diberikannya secara diam-diam
selama di rumah Ciu Wie seng. ia pegangi itu dan
mengawasinya, ia terbengong, ia terharu ketika ia ingat,
diwaktu mereka mau berpisahan di Chongciu, mata Lian cu
dan Goat Go merah disebabkan mereka itu berat untuk
berpisah.
Tiba-tiba api di dalam kamar tersirap guram, angin terasa
menyambar telinga, Di situ terdengar jatuhnya kayu ganjelan
jendela, keras jatuhnya ke lantai, setelah jendela tertutup, api
menjadi terang pula. Dalam sekejap itu, mutiara di tangan Jie
In lenyap tidak keruan paran.
Mengingat Lian cu dan Goat Go, hati Jie In terbenam,
ketika angin menyambar, ia merasa ada orang melompat
masuk, hanya ia sadar sesudah kasip. orang sudah melompat
keluar pula dan jendela tertutup digabrukkan, Lantas kamar
itu memberi harumnya yancie dan pupur.
Tahulah ia bahwa yang datang itu wanita- adanya ia hanya
merasa heran, orang tidak bermaksud jahat, ia cuma berpikir
sejenak, lantas ia membuka jendela, untuk melompat keluar.

445
Hujan sudah mulai reda sedikit, Di bawah payon terlihat
satu bayangan orang.
Sambil berseru Jie In lompat memburu. Tapi bayangan itu
sudah mendahului mencelat, memisahkan diri sejauh tujuh
atau delapan tombak.
"Bagus" ia memuji dalam hatinya, memuji entengnya tubuh
orang, sejak merantau, inilah yang pertama kali ia menemui
orang demikian gesit, Tapi ia menyusul.
sekarang ia menyaksikan kecerdasan si bayangan, yang
berlari-lari sebentar ke timur sebentar ke barat, hingga tak
dapat dia tercandak, Atau kadang-kadang dia bersembunyi,
untuk kemudian memperlihatkan diri sendiri
Dengan main petak secara demikian, Jie In akhirnya
terpancing sampai disebuah rumah besar di dekat tembok
kota, Karena orang menghilang ke dalam rumah, ia menjadi
sangsi. ia berpikir: "Masuk atau jangan? Kenapa aku dibawa
ke mari?"
Baru setelah itu, ia mengambil putusan buat mencari tahu,
Maka dengan berhati-hati, ia melompat turun dari atas
genteng, ia menghampiri jendela sebuah kamar di dalam
mana ada cahaya api. ia lantas memasang telinga, Di dalam
situ ada tiga atau empat orang tengah berbicara.
"Dua makhluk itu mampus" terdengar suara seseorang,
"Mereka justru mengambil kamar hotel yang dibuka tong-cu,
hingga tanpa merasa mereka kena dibekuk. inilah selaron
menubruk api sendiri, mengantarkan kematiannya"
Jie In terkejut, bukankah yang tertangkap itu kedua
sahabatnya? ia memasang telinga lebih jauh.
Seorang lain tertawa dingin dan berkata: "Kau jangan puas
tidak keruan. Masih ada kabar buruk. Barusan aku mendengar,
katanya ditubuh kedua orang itu tidak terdapat ho-siu-ouw
berusia seribu tahun itu serta mustikanya si raja naga, cuma
terdapat serenceng mutiara yang biasa dimiliki keledai botak.

446
Gui Tongcu gusar karenanya, Kedua orang itu dikompes,
Mereka bilang kedua rupa barangnya telah dirampas Ang
Tiang Ceng dari Hek Liong pay.
Tongcu tidak percaya pengakuan itu sebab tongcu justru
mendapat kabar- kilat katanya Ang Tiang Ceng, Pheng Hui,
ong Ek. Liong- bun Nao Koay serta murid-murid Ngo Tay san,
semua pulang dengan tangan kosong, Kedua barang itu
lenyap. bukankah aneh?"
Jie In mendapat kepastian dua orang yang tertawan itu
benar Khu Lin dan Lie Siauw Leng, ia menjadi heran
memikirkan wanita yang memancingnya ini, Apakah maksud ia
itu? Jadi ia bukan hanya digoda.
"Apakah mungkin," berkata orang yang ketiga, "mereka itu
menggunakan akal seperti caranya orang mengirim piauw
gelap. yaitu diam-diam barang itu sudah dikirim lebih dahulu?"
"Belum tentu" kata orang yang kedua. "setibanya kedua
orang itu, mereka disusul seorang pelajar rudin berusia
pertengahan Ketujuh imam Ngo Tay san roboh di tangan
pelajar itu, Katanya si pelajar sangat lihay, cuma dia belum
ketahuan asal-usulnya, Menurut ketujuh imam itu, si pelajar
mengakui diri sebagai begal tunggal, Anehnya belum pernah
kita mendengar tentang dia. Yang lebih aneh lagi, dia berani
turun tangan dalam daerah pengaruh kita Ceng Hong Pay.
Tanpa bernyali besar dan lihay, siapa berani berbuat seperti
dia? Karena itu Gui Tongcu tidak lantas turun tangan, ia
hendak menanti sampai jam tiga nanti, untuk membikin dia
roboh dengan hio pulas, untuk membekuk dan
mengompesnya "
Mendongkol Jie In. jadi ia hendak ditawan dengan akal
busuk. ia menganggap hina perbuatan Ceng Hong Pay. Musuh
ayahnya berada dalam Ceng Hong Pay, juga musuh Kang
Yauw Hong. sekarang timbul persoalan Khu Lin dan Lie Siauw
Leng Maka ingin ia turun tangan. Lantas ia menyentil kertas
jendela, terus ia sembunyi dipojokan.




Anda sedang membaca artikel tentang Cersil : Menuntut Balas - bAGIAN 1 dan anda bisa menemukan artikel Cersil : Menuntut Balas - bAGIAN 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cersil-menuntut-balas-bagian-1.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil : Menuntut Balas - bAGIAN 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil : Menuntut Balas - bAGIAN 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil : Menuntut Balas - bAGIAN 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cersil-menuntut-balas-bagian-1.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar