cersil : Pedang Golok Yg Menggetarkan 6 - boe beng tjoe

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 25 Agustus 2011

cersil : Pedang Golok Yg Menggetarkan 6 - boe beng tjoe

JILID 14
Tetap kelima orang itu terkurung sinar pedang. Diantara mereka,
Siang Put Tong yang paling bingung. Dia maju dengan maksud
untuk menonjolkan kepandaiannya, sebaliknya dia gagal dan kecele,
bahkan dia segera dia menjadi kuatir sekali. Buat membalas
menyerang, dia tidak memperoleh kesempatan- Seperti empat
kawannya, dia cuma mampu menangkis dan berkelit, terus dia
dibuat repot oleh lawannya.
"Saudara ouw, bagaimana kau lihat ilmu pedang bocah ini?"
kemudian Put Tong mengambil kesempatan menanya ouw Bwee
siTua Terbang. Dia menggunakan ilmu saluran suara "Toan Im Jip
bit." sama dengan "Toan Im cie- sut". Mulutnya berkelemik tetapi
tanpa suaranya, sebab suara itu cuma dapat didengar oleh orang
yang diajak bicara, orang yang mengerti ilmu saluran itu.
"Inilah ilmu pedang yang luar biasa, yang aku tidak tahu apa
namanya. Seumurku belum pernah aku melihatnya," sahut ouw
Bwee.
orang she ouw ini dapat berbicara, walaupun dia repot dan
agaknya terancam ujung pedang Siauw Pek. Sebab, meskipun
serangan si anak muda senantiasa mengancam tetapi belum pernah
diteruskan menikam lawan hingga terluka.
"Secara begini, kita akan menghadapi bahaya?" kata Put Tong
pula. "Kenapa kita tidak mau menerjang bahaya guna meloloskan
diri kita?"
"Kalau saudara Siang mau mencoba, mari kita bekerja sama."
"Baiklah saudara Ouw. Dengan perisaimu, kau kekang
pedangnya, nanti aku hajar dia dengan lm Hong Touw Put ciang,
untuk melukai dia."
"Im Hong Touw Put ciang" ialah pukulan tangan kosong, dengan
angin tinjunya. Nama tipu silat itu berarti "Angin jahat
menembuskan tulang".
ouw Bwee menyetujui ajakan itu sebab ia ingat Siauw Pek
tentunya sangat membencinya dan menghendaki jiwanya, dari itu,
baik ia mencoba menempuh bahaya, siapa tahu ia bisa meloloskan
diri dari ancaman maut.
Segera juga orang nekad ini menggerakkan perisainya untuk
memecah kurungan sinat pedang, guna membuka jalan-
Siang Put Tong sudah bersiap sedia. Pedangnya dari tangan
kanan segera dipindahkan ke tangan kiri. Lalu ia mengerahkan
tenaga dalam menyalurkan ketangan kanan itu.
Untuk sejenak. Siauw Pek merasa pedangnya tertahan, tetapi
dilain detik, la sudah dapat menguasai pula. Ia mendesak. memaksa
semua lawan tak dapat merangsek.
ouw Bwee kaget. Baru saja dia berhasil mendesak. tapi dia
segera terkekang kembali, sinar pedang berkelebatan didepan
matanya, mengecilkan hatinya.
"celaka" dia berseru tertahan- Ujung pedang meluncur ketangan
kirinya, lolos dari tangkisan perisai. Guna menolong diri, dia mundur
sambil melepaskan perisainya, hingga tiatpay itu jatuh kelantai
Sedang siauw Pek hampir melukai lengan lawan itu, tapi tiba-tiba
ujung pedangnya langsung mengancam Siang Put Tong. Ketua Thay
Im Bun terkejut. Dia telah bersiap sedia tetapi diapun gugup, Dalam
gugupnya dia menerjang dengan im Hong Touw Kut ciang.
Tanpa dapat dicegah lagi, ujung pedang berkenalan denganjari
tangan- Kalahkah sang jeriji-jeriji manis yang terkutung seketika dan
darahnya lalu mengucur keluar. Kaget dan nyeri, Siang Put Tong
berlompat mundur.
Tapi juga Siauw Pek terganggu serangan tinju angin dari
lawannya yang liehay itu, siuran angin membuat tubuhnya
menggigil hingga dengan begitu gerakan pedangnya sedikit ayal.
Kim ciong Toojin bersama ouw Bwee dan dua saudara Mamelihat
kelambatan sianak muda serentak mereka lompat mundur, keluar
dari medan laga itu.
siauw Pek melihat orang mundur, ia tidak mengejar. Diam-diam
ia mengerahkan tenaga dalamnya, pedangnyapun sudah ditarik
kembali. Ia berkata dingin: "Seratus lebih jiwa Pek Ho Po telah
terbinasa, buat itu aku siorang she coh akan membayar hutang
darah dengan darah. Akan tetapi, aku tidak mau sembrono
membunuh, lebih dahulu aku hendak mengadakan penyelidikan
yang seksama. Aku hanya hendak menghabiskan jiwa mereka yang
menjadi kepala atau biang keladi, satu demi satu. Malam ini aku
cuma mau memperlihatkan kepandaianku, aku hendak meminjam
mulut kamu untuk memperkenalkan namaku "
Sudah terlanjut, anak muda ini tidak mau menyembunyikan diri
lagi. Habis berkata, iapun memasukkan pedangnya kedalam
sarungnya, segera ia memutar tubuh, buat mengeloyor pergi.
Tidak ada orang yang berani untuk menghalang-halangi pemuda
itu.
siang Put Tong mengerahkan tenaga dalamnya, guna
menghentikan keluarnya darah, dengan mendelong ia mengawasi
belakang sianak muda, mulutnya berkata seorang diri:
"Jikalau bocah ini tidak dimampuskan maka pastilah pula Sungai
Telaga akan menjadi tidak aman-"
Ma Goan Hok sebaliknya menghela napas panjang dan berkata:
"Aku telah berpengalaman puluhan tahun tetapi belum pernah aku
mengalami kekecewaan sebagai hari ini. Kita beramai tetapi kita
tidak mampu menahan seorang bocah. Jikalau peristiwa ini sampai
tersiar luas, masihkah kita mempunyai muka menaruh kaki didalam
Rimba Persilatan ?"
ouw Bwee dengan lesu menjemput tamengnya katanya masgul :
"Didalam pertempuran ini, semua kita tidak berhasil merebut
kemenangan sekalipun setengah jurus, apa bila kejadian ini sampai
tersiar, memang nama baik kita bakal rusak sendirinya..."
Mendadak si Tua Terbang menutup mulutnya tak disengaja ia
melihat si nona berbaju hijau.
oleh karena IHui Siu merandak bicara dan menatap kesuatu arah,
dengan sendirinya mata lain-lain hadirin menjurus kearah yang
serupa semua bersatu hati, mungkin si nonalah yang bakal menebus
kekalahan mereka ini. Ma Goan Hok menghela napas perlahan.
"Saudara Siang, bagaimana lukamu ?" tanyanya.
siang Put Tong bertindak untuk memungut jari manisnya yang
menggeletak dilantai, untuk dimasukkan kedalam sakunya.
"cuma terkutung sebuah jari tangannya, tidak apa," sahutnya.
Kim ciong Toojin merobek ujung jubahnya, dengan itu dia
membalut luka ditangannya. Dia menghibur diri dengan berkata:
"Kalah atau menang adalah hal lumrah, tuan-tuan baik jangan
berduka karena kesudahan pertempuran ini..."
ouw Bwee mengalihkan pandangannya. Ia mengawasi muka cio
Tiat Eng.
"Aku dengar bahwa cit Seng Hwee paling pandai menyimpan
rahasia," katanya, "cit Seng Hwee yang menjadi nomor satu
diantara tiga Hwee, maka aku tidak sangka sama sekali bahwa
seorang musuh diakui sebagai anggotanya, bahkan dia diajak masuk
kedalam Hok Siu Po ini, terang sudah bahwa cerita diluar itu tak
dapat dipercaya."
Jago ini mendongkol karena kelalaiannya, maka ia melampiaskan
itu kepada cio Tiat Eng, sengaja dia menghina cit Seng Hwee.
Belum lagi Tiat Eng menunjukkan sesuatu sikap. ruangan telah
tertawa nyaring halus dari sinona berbaju hijau, tiba tiba dia
menjadi mendongkol. Ejekan ouwBwee memang membuatnya
terasa tertikam. Maka sekarang dia alihkan perasaan tak senangnya
terhadap sinona.
"Apakah yang kau tertawakan ?" dia menegur.
Nona itu berhenti tertawa. Dia tidak tersenyum lagi. Bahkan
cepat sekali. Wajahnya menjadi dingin bagaikan es.
"Kau orang cit Seng Hwee apakah jabatanmu ?" ia menegur.
"Akulah Heng Tong Tong cu," Tiat Eng jawab.
Mengetahui orang menjadi hengtong tong-cu kepala penegak
hukum nona itu berkata dengan keren : " Dengan memandang
kepada Thei bin Losat dan cit Seng Sin Kiam, aku beri ampun
kepadamu dari kematian, maka ayolah kau gaplok mukamu dua kali
Dengan itu kau menebus dosa kepadaku buat kata-katamu tadi "
cit Seng Sin-kiam, Pedang Sakti TUjuh Bintang, yang disebutkan
sinona adalah ketua dari cit Seng Hwee, perkumpulan Tujuh Bintang
itu. Dia membangun perkumpulan itu dengan mengandalkan
senjatanya, yang berupa pedang. Dan Thie-bin Lo-sat, si Raksasa
Bermuka Besi, adalah isterinya ketua cit Seng Hwee itu. Ilmu silat si
nyonya lebih unggul dari pada ilmu silat suaminya. Dia berwajah
dingin berhati es, berhati keras bagaikan batu dan besi. Karenanya
dia memperoleh julukannya itu. Dia ditakuti dan dihormati anggotaanggotanya
melebihi ketuanya. Tiat Eng heran ia melengak.
"Kau kenal ketua kami?" dia bertanya.
Nona itu tidak menjawab hanya berkata: "Jikalau aku tidak
pandang suami isteri itu, sekalipun kau tidak mampus, akan aku
beset kulitmu " suaranya dingin dan bengis sekali. Tiat Eng panas
hati. Ia merasa terhina. Mereka toh berada diantara banyak orang.
"Ketua kami suami istri sangat terkenal, di kolong langit ini, tidak
ada yang tidak mengetahuinya " katanya keras, suaranya dingin.
"Sekalipun kau dapat menyebut nama ketua kami itu, belum tentu
kau kenal mereka pribadi " Sinona tertawa dingin pula. Ia tidak mau
melayani bicara.
"Jikalau kau tidak hendak menampar muka sendiri, aku yang
akan lakukan " katanya mengancam.
Semua hadirin melongo. orang tidak kenal nona itu. orang heran
atas kesombongan dan kegarangannya itu.
Karena pedagak hukum cit Seng Hwee itu terdiam, sinona segera
tertawa pula: "Aku hendak menambah hukumanmu menjadi dua
lipat dua tamparan menjadi empat tamparan"
Serentak dengan ucapan itu, sekonyong-konyong tubuh sinona
mencelat maju kepada Tiat Eng, kedua tangannyapun dipentang,
sebelum hengtong tong cu tahu apa-apa, terdengar sudah suara
kelepak kelepok yang nyaring
Tiat Eng gelagapan, hendak dia menangkis sudah terlambat.
Tentu saja, tak mampu dia balas menyerang.
Semua mata diarahkan kepada penegak hukum cit Seng Hwee
itu, yang mukanya kontan menjadi merah bengap. sedangkan dari
mulutnya mengalir darah segar. Semua orang terperanjat dan
heran-
"Saudara Siang, kenalkah kau siapa wanita ini ?" Ma Goan Hok
berbisik pada Put Tong.
"Tidak," sahut orang yang ditanya.
"Bukankah dia datang bersama-sama saudara?" Put Tong
menyeringai likat.
"Kami bertemu ditengah jalan, maka itu kami berjalan bersama
sama..."
Si nona memandang semua orang, habis itu dia berkata, tetap
dengan dingin: "sebatang Kiu Heng cie Kiam telah menggemparkan
dunia Kang ouw, membuat hantu-hantu tidak tenang hatinya. Kamu
semua menjelajahi ke timur dan kebarat, keselatan dan keutara
untuk mencari pedang itu. sayang sedang dia berada di antara
kamu, kamu tidak tahu..." Tiba-tiba ouw Bwee menepuk pahanya.
"Nona benar" katanya. "Pemilik Kiu Heng cie Kiam itu pastilah
sibocah coh Siauw Pek tadi"
"Kau menerka dia?" tanya sinona. "Apakah buktinya ?"
"Dahulu," ouw Bwee menerangkan, " empat hwee, tiga bun, dua
pang bersama-sama sembilan partai besar sudah bergabung
menyerbu Pek Ho Po dan telah membinasakan orang orang keluarga
coh seratus jiwa lebih, tentu sekali bagi keluarga itu, itulah sakit hati
yang besar sekali, dendam yang tak dapat dilupakannya. Sekarang
coh Siauw Pek muncul, dia menggunakan Kiu Heng cie Kiam dia
main melakukan pembunuhan tidakkah terkaanku ini tepat?"
Beda dari tadi-tadinya, si nona berbaju hijau itu tertawa.
"Jadi menurut kau, tepat orang menggunakan ciu Heng cie Kiam
itu?" tanya.
"Tepat jikalau sipemilik pedang benar coh Siauw Pek adanya."
Selama itu Tiat Eng berdiam saja, ia gusar tetapi ia tidak berani
bertindak sembrono, ia cuma meraba-raba kedua belah pipinya
yang bengkak dan masih meninggalkan rasa nyeri. Ia tidak tahu
siapa nona itu.
Segera terdengar pula suaranya sinona: "Tuan tuan, kamu
percaya turunan keluarga coh masih hidup dan juga telah memakai
pedang maut itu membuat dunia Rimba Persilatan menjadi tidak
tenang tentram, sampai orang ketakutan setiap saat, kenapa kamu
tidak dari dulu berdaya untuk menghadapinya?"^
"Kau benar, nona," berkata ouw Bwee "Memang setelah kita
ketahui siapa pemilik pedang maut itu, sudah selayaknya kita
berdaya untuk menentangnya."
"coh Siauw Pek lihay, kita bukanlah lawannya," Kim ciong Toojin
turut bicara, "maka itu pintoo pikir baiklah lekas-lekas memberi
kabar kepada semua partai, untuk mengundang mereka berkumpul,
buat kita bekerja sama menentang musuh. Seharusnya kita dapat
dengan satu gerak saja membinasakannya, guna melenyapkan
ancaman petaka dibelakang hari..."
"Air yang jatuh tidak dapat menghilangkan dahaga yang sedang
diderita," berkata Ma Goan Hok. "Lagi juga coh Siauw Pek berada
disini, sembarang waktu dia dapat datang pula, jikalau kita menanti
datangnya kawan kawan, kita membutuhkan waktu sedikitnya tiga
bulan- selama itu, mungkin dia sudah pergi jauh, atau kita keburu
mati ditangan Kiu Heng cie Kiam."
Siang Put Tong berpikir. "Aku ada akal," katanya.
"Apakah itu ?" tanya Ma Goan Hok bernapsu. Tuan rumah ini
sangat menghawatirkan coh siauw Pek nanti keburu datang lagi
hingga Hok Siu Po bisa dihancurkan dia itu.
"Siauw Pek lihay, akan tetapi menurut penglihatanku, dia kurang
pengalaman, maka itu kita mengirim kepelbagai tempat, untuk
menghadapi rumah-rumah penginapan, asal ketahuan dia singgah
disuatu penginapan atau bersantap kita dapat meracuni dia,"
demikian Put Tong mengutarakan pikirannya .
"Akal yang bagus, saudara Siang Dasar seorang ketua partai "
Goan Hok memuji.
"Bagaimana jikalau dia tidak singgah dipenginapan tapi dia
mondok ditempat terbuka atau didalam rumah suci ?" tanya sinona.
"Ya, benar juga" kata Goan Hok.
"Bagaimana sekarang?"
"Mungkin dia tidak bermalam tetapi apakah dia tidak bersantap?"
"ini benar juga," kata Goan Hok. yang cuma bisa nimbrung.
"Memang dia mesti makan dan minum. Soalnya sekarang cara
bagaimana kita bisa mendekati dia..." ouw Bwee batuk-batuk.
"Aku ada mempunyai satu pendapat, entah dapat dipakai atau
tidak." ujarnya.
"Silakan jelaskan, saudara Ouw," Goan Hok menganjurkan-
"Siapa cepat pandangan, dia bukan seorang kuncu," kata ouw
Bwee. "Siapa tidak kejam dia bukan seorang laki laki sejati, jikalau
coh Siauw Pek tidak disingkirkan dalam dunia ini kaum Kang ouw
tidak bakal merasai hari hari yang aman, bahkan Hok Siu Po kamu
ini, saudara Ma, bakal jadi sasaran yang pertama " Hati Goan Hok
berCekat. Dia terkejut.
"Itu aku tahu," katanya "Memang siang-siang aku telah
menerkanya. Nah, saudara ouw, silahkan kau utarakan tipu dayamu
itu"
"Pikiranku ini adalah sebagai tambahan pikiran saudara Siang,"
ouw Bwee menjelaskan-"Sebaiknya Hok siu Po memilih sejumlah
orangnya, pria dan wanita, yang cerdik dan pandai bekerja, guna
mengintai coh Siauw Pek dan menyelidiki dimana dia mondok, tetapi
kita harus jaga jangan sampai menimbulkan kecurigaannya. Setelah
itu kita kirim seorang yang gagah, untuk pergi berkenalan
dengannya dan berusaha mendapatkan kepercayaannya. Tentu saja
orang kita itu mesti menyamar, umpama sebagai seorang yang
bercacat..." Selagi berkata kata itu, ouw Bwee melihat kesekitarnya.
Tiba tiba ia berhenti bicara.
" Kemudian?" Goan Hok tanya. ouw Bee mengawasi tuan rumah.
"Saudara Mamari, aku bisiki," katanya.
Majikan dari Hok Siu Po menghampiri, untuk mendekatkan
telinganya. Begitu si Tua Terbang sudah berbisik, dia mengangguk
angguk. "Bagus, saudara ouw Aku akan segera perintahkan
orangku," katanya.
"Pek Ho Po telah muncul ahli warisnya, bahkan sangat gagah,"
berkata Kim ciong Toojin, "karena itu perlu aku lekas pulang guna
memberitahukan kepada ketua . Nah, disini aku memohon diri "
Imam ini segera merangkap kedua belah tangannya didepan
dadanya, memberi hormat pada para hadirin, setelah itu, tanpa
menanti kata kata siapapun, dia memutar tubuh berangkat pergi.
"Baik baik dijalan, tootiang" kata Ma Goan Hok seraya membalas
hormat. "Maaf kami tak dapat mengantar "
"Tak berani pintoo memberabekan poCu " kata si imam yang
sudah sampai diluar ruang. Si nona baju hijau mengawasi lenyapnya
si imam, terus dia menghela nafas.
" Wajah imam itu sangat suram, kalau dia tidak mampus,
sedikitnya selapis kulitnya bakal copot..." katanya.
Ma Goan Hok tidak menghiraukan kata kata si nona, dia
memandang Siang Put Tong, terus kepada Nyonya Uh. Kemudan
berkata "Sebenarnya aku hendak mengurus para kurban ini, siapa
tahu, mendadak telah terjadi peristiwa ini, terpaksa aku harus
merubah rencanaku..."
" Itu sudah selayaknya, saudara Ma," berkata ouw Bwee.
"Memang sekarang ini tindakan yang pertama ialah mencari tahu
tentang coh Siauw Pek." ia menoleh mengawasi kedua peti mati dan
mayat mayat, lalu ia menyambungi : "Semua jenazah itu baiklah
dipindahkan dulu..."
Ma Goan Hok mengangguk, ia menggapai, maka salah seorang
datang menghampiri. ia berbisik pada orang itu, yang terus
mengangguk angguk dan mengundurkan diri.
Tidak lama muncullah beberapa puluh orang yang terus bekerja
mengangkut pergi semua mayat berikut kedua peti mati, hingga
ruang itu menjadi lega.
ouw Bwee melihat kesekitarnya, lalu tiba-tiba dia terperanjat dan
berseru: "Eh, manakah sinona berbaju hijau?" Semua orang kaget,
mereka menjadi heran-Memang nona tadi sudah lenyap dari
ruangan.
"Disini terdapat banyak orang tetapi dia bisa pergi tanpa
ketahuan..." kata siang Put Tong yang juga turut merasa sedih.
Kata kata itu terputuskan oleh satu suara keras dari robohnya
satu manusia, hingga orang menjadi terperanjat dan heran, lebih
lebih ketika semua hadirin sudah melihat bahwa yang roboh itu ialah
Nio cupeng,hu hoat, pelindung undang undang, dari cit Seng Hwee.
cio Tiat Eng kaget dan mendongkol. Dia menghampirkan cu
Heng, yang dia sambar lengan kanannya dan menegur: "Kau
tahu..." Tapi baru dia berkata sampai disitu, mendadak dia
melepaskan cekalannya, mukanya menjadi pucat, separuh mencelat,
dia mundur tiga langkah. Dia mendelong mengawasi tubuh orang.
Hadirin lainnya pun segera menjadi heran dan kaget sebagai
tongcu itu. Karena mereka segera melihat bahwa didada cu Peng
nancap sebatang pedang bahkan itulah Kiu Heng cie Kiam pedang
sakit hati
Ketika itu napas cu Peng sudah berhenti berjalan.
Hati semua hadirin terguncang keras, juga saling mengawasi...
"Teranglah sipenjahat ciu Heng cie Kiam berada diantara kita "
kata Ma Goan Hok kemudian-
"Dia demikian liehay, terang kita bukanlah lawannya," berkata
ouw Bwee. "Dia berada di sini, dan turun tangan, lalu dia berlalu,
semua itu diluar tahu kita bersama Sanggupkah kita mendandingi
dia?" Siang Put Tong menoleh kepada Tiat Eng.
"Saudara, tahukah kau sudah berapa lama matinya bawahanmu
ini ?" tanyanya.
"Sungguh memalukan-.." sahut orang yang ditanya, menggeleng
kepala, "aku tidak tahu..."
"Bagus kalau begitu " kata Put Tong kemudian "Didalam waktu
yang pendek akan kita ketahui siapa Kiu Heng cie Kiam itu "
"Siapakah dia ?" tanya Goan Hok heran-
"Mudah untuk mengetahuinya" menjawab ketua Thay Im Bun itu.
"Kita disini terdiri dari tiga rombongan. Yang pertama coh Siauw Pek
serta dua orang kawannya. Dua yang lainnya ialah Kim ciong Toojin
dan si nona berbaju hijau yang tidak dikenal itu. Diantara mereka
bertiga pasti ada salah satu si pemilik pedang maut "
"Kalau Kim ciong Toojin, tak mungkin," berkata ouw Bwee
"Dialah kenalanku sejak beberapa puluh tahun dan tadi pun dia
telah menempur coh Siauw Pek. coh Siauw Pek bertiga sudah pergi
sekian lama. Menurut aku, baik Siauw Pek dan Kim ciong Toojin
tidak dapat dicurigai. Sekarang tinggallah si nona baju hijau
seorang."
"Selama disini nona itu tidak pernah mendekat cupeng..." berkata
Goan ciu.
Tiat Eng berpikir sejenak. dia berkata: "Itulah betul. Seingatku,
nona itu selalu berada dekatku sejarak satu tombak. Mungkinkah dia
dapat menyerang dari jarak jauh? Mustahil dia demikian liehay. Tapi
biar bagaimana, aku percaya pembunuh itu pasti yang berada
didalam ruang ini."
"Kalau coh Siauw Pek bukan dan si nona juga bukan," berkata
Siang Put Tong, "kecurigaan jadi jatuh atas diri Kim ciong Toojin-.."
"Tuan-tuan, kata kata kalian semua beralasan," berkata Ma Goan
Hok. "tapa akupun mempunyai suatu pikiran- Rasanya si pembunuh
masih ada didalam ruang ini..."
Kembali semua hadirin terperanjat. Segera mereka masing
masing saling melirik dan hati mereka semua berdenyut karena
kekhawatiran- Semua takut menjadi sasaran pedang maut itu.
Ruang besar itu menjadi sunyi sekali.
"Terkaan saudara Ma beralasan," berkata Siang Put Tong, "Kiu
Heng cie Kiam turun tangan didepan mata kita, tikamannya telak
sekali. Kalau dia tidak berada dekat Nlo cu Peng, mana bisa dia
menyerang demikian rupa? Tapi coh Siauw Pek dan si nona berbaju
hijau tidak dapat dituduh. Habis, siapakah Bukankah yang paling
dapat dicurigai hanya Kim ciong Toojin? Atau kalau semua hadirin
disangsikan, yang terutama ialah cio Tiat Eng..."
"Aku?" tanya Tiat Eng terkejut.
"Benar Kau berada paling dekat dengan cu Peng, kalau kau turun
tangan, lain orang tak akan dapat lihat..."
" omong kosong" bentak tongcu itu. Dia tertawa hambar.
"Jangan salah mengerti, saudara cio," kata Put Tong. "Aku cuma
mengatakan orang yang dapat dicurigai, bukan aku menuduh kau
sebagai si pembunuh." Tiat Eng masih tidak puas.
"Bagaimana jikalau aku menuduh kau, Siang ciang bun?" dia
tanya. "Boleh saja Memang akupun termasuk salah seorang yang
harus dicurigai "
Menjawab begitu, ketua Thay Im Bun itu segera berpaling
kepada nyonya Uh. Dia hanya bersangsi sejenak. lalu dia
melanjutkan: "Melihat keadaan maka Nyonya Uh adalah orang
kedua yang harus turut dicurigai..."
Nyonya yang tengah mengenakan pakaian berkabung itu
memandang ketua Thay Im Bun itu. Ia heran dan mendongkol. Tapi
ia masih dapat mengendalikan diri.
"Apa katamu?" tanyanya, menegaskan-
"Aku cuma tengah memahami si pemilik pedang maut," sahut Put
Tong.
"Lalu apakah sangkut pautnya dia dengan aku?" suara si nyonya
tawar sekali.
"Nlo cu Peng terbinasakan didalam ruang ini, dihadapan kita,
karena itu, siapapun disini dapat dicurigai," Put Tong menjelaskan"
Sudahlah," ouw Bwe menyela. "Sekarang ini tindakan kita yang
paling utama ialah membicarakan soal untuk menghadapi coh Siauw
Pek dan kedua mencari pembunuhnya Nlo cu Peng..."
"Bukankah aku justru tengah memikirkannya" balik bertanya Put
Tong.
"Aku hanya tidak mengerti cara kerjamu, Siang ciangbun," kata
ouw Bwee.
"Emas tulen pastilah tidak takut api, saudara ouw, berkata siang
Put Tong terus terang, kau juga terhitung orang yang dapat
dicurigai."
"Aku?" kata si Tua Terbang, mengejek. "Tak pernah aku berkisar
dari tempatku berdiri ini dan aku juga orang yang pertama
menempur coh Siauw Pek."
"Soalnya segalanya masih gelap..." Put Tong membela terhadap
anggapannya sendiri. ia terus mengawasi dua saudara Madan
menyambung i: "Kamu juga dapat giliran, saudara saudara."
Ma Goan Hok tertawa terbahak.
"Mungkinkah kami bersaudara sudi mencari kesulitan kami
sendiri?" kata dia.
"Siapa juga dapat dicurigai, karenanya kamu pun tak terkecuali.
Put Tong berkata pula. Sudah tentu diantara kamu berdua, sang
adik yang harus lebih dicurigakan-.."
"Jadi akulah yang paling dicurigai?" Ma Goan Siu tegaskan- Dia
gusar. Siang Put Tong tertawa.
" Itulah karena kau berdiri disitu dan kau lebih mudah bergerak
dibanding dengan kakimu," Put Tong menjelaskan-
"Saudara Siang, harap kau jangan sembarang membuka mulut ini
bukan sebuah lelucon Kalau hal ini tersiar luas, bagaimana harus
mencegahnya ?"
Put Tong tertawa pula.
"Inilah pendapat kakakmu sendiri, saudara. Dia yang
mengatakan bahwa semua hadirin di sini bisa dicurigai si pemilik
pedang maut "
"Kiranya, saudara, kau menyangka kami " kata GOan Siu.
"Tentang kata kataku ini benar atau salah, tinggal harus
dipikirkan saja. Menurut aku, rasanya tak sulit buat mencari
sipenjahat..."
"oh ya, akupun mendapat suatu pikiran-.." berkata ouw Bwee
tiba tiba.
"Apakah itu, saudara ouw?" tanya Put Tong. "Tolong kau
jelaskan."
"Belum pernah kau kekantor cabang cit Seng Hwee," si Tua
Terbang menjelaskan, "tetapi aku merasa, penjagaan disana
tentunya keras sekali..."
"Benar," menyela nyonya Uh. "sepuluh lie disekitar markas ada
dipasang penjagaan yang dirahasiakan, seandainya ada orang
memasuki wilayah kami itu, segera gerak gerikn dapat diketahui."
"Kalau begitu, nyatalah pemikiranku bertambah kemungkinan
kebenarannya..."
"Saudara, lekas sedikit memberikan penjelasanmu," Ma Goan
Hok mendesak.
"Coh Siauw Pek dan si nona baju hijau dapat dicurigai," kata ouw
Bwee, "demikian juga kita. Karena itu, mengapakah Nio Cu Peng
tidak dapat menjadi pembunuh dirinya sendiri."
"Kau maksudkan dia membunuh diri?" tanya Goan Hok.
"Benar Mungkin dia telah kena dibeli dan berkhianat terhadap
partainya..."
" Habis kenapakah dia bunuh diri?" tanya Put Tong.
"Mungkin dia takut rahasianya terbuka. Atau mungkin Kiu Heng
Cie Kiam sudah mempunyai seorang pengganti didalam cit Seng
Hwee."
"Saudara ouw, hati-hati kalau bicara" tegur Tiat Eng, " kata- kata
mu ini mengenai nama baik partai kami, ini tak patut kami terima "
Mendengar semua pembicaraan itu, Ma Goan Hok menghela
napas berduka.
" Kelihatannya tetap kita tak akan berhasil mencari si penjahat,"
katanya, "sikap saling curiga-mencurigai bukanlah suatu cara yang
baik untuk menyelesaikan soal ini."
" Kakakku telah menyiapkan meja santapan diruang barat, tuantuan
mari kita makan dulu," berkata Ma Goan Siu, menyela.
"Bagaimana kalau kita berbicara sembar bersantap?"
"Begitupun baik" kata Put Tong. Terima kasih.
Ma Goan Hok lalu mengundang para tetamunya itu. Ia berjalan
didepan, diikuti ouw Bewe Goan Siu dan Tiat Eng beserta lainnya.
Put Tong jalan paling belakang.
Ruang barat itu adalah sebuah halaman yang ditanami banyak
pohon bunga, temboknya biru. Ruang itu terpisah dari bangunan
lainnya.
"Nah, tuan-tuan disini kita dapat berbicara dengan bebas," kata
Goan Hok setelah dia mempersilahkan para tetamunya mengambil
tempat duduk. Put Tong merasa heran.
"Kenapa dilain tempat kita tidak bisa bicara tetapi disini dapat
dengan leluasa ?" tanyanya.
"Karena tempat ini dikurung dengan pesawat pesawat rahasia,"
Goan Hok menjelaskan- "orang luar tidak dapat mendekati kita
hingga semua pembicaraan tidak akan bocor."
Mulai minum, Put Tong mengeringkan tiga buah cawan- Mulanya
dia diam saja, setelah menegak air kata kata itu, baru dia berkata.
"Coh Siauw Pek sebagai turunan keluarga Coh sudah tidak dapat
disangkal lagi, sebab dia telah mengaku sendirinya. Tentang
kegagahannya, kita juga telah menyaksikan sendiri. Dia pula tidak
dapat dituduh sebagai pemilik pedang maut itu. Maka sekarang kita
harus menyelidiki lain orang.. ^" Ia menatap wajah semua tetamu,
setelah itu baru ia meneruskan: "pemilik pedang maut itu luar biasa.
Dia menamakan pedangnya secara aneh dan gerak geriknyapun
sangat rahasia. Melihat dari kurban- kurbannya, terang dia tidak
memilih partai, dia bagaikan memusuhi semua pay, bun, hwee dan
pang Sekarang, saudara saudara, coba pikirkan, kecuali Pek Ho bun,
apakah ada pernah ada sebuah partai lain yang telah dibasmi oleh
kaum Rimba Persilatan kita ?"
"Aku ingat sesuatu. Mungkin ada hubungannya dengan soal kita
ini " Itulah kata kata Hui Siu ouw Bwee si tua terbang.
"Tolong jelaskan, saudara ouw," Ma Goan Hok minta-
"Apakah saudara-saudara pernah dengar nama Thian San Sam
Cian?" bertanya ouw Bwee.
"Thian San Sam Cian- artinya si Tiga Cacat dari (gunung) Thian
San"
"Pernah aku mendengarnya. Dahulu merekalah jago jago rimba
persilatan yang kenamaan untuk wilayah Tiong goan-"
"Betul " ouw Bwee membenarkan. " Ketika aku sedang menuju
kemari, aku dengar kabar halnya Thian San Sam Cian sudah
memasuki Tiong goan dan maksud kedatangannya guna melakukan
pembalasan sakit hati sebab dahulu orang telah mengusirnya dari
Tiong goan-" Semua orang terkejut, paras mereka berubah.
"Saudara, darimana kau peroleh berita itu?" tanya Goan Hok.
wajahnya pucat.
"Aku mendengarnya sewaktu aku berada di lauwteng Hong Ho
Lauw. Ketika itu aku tidak menaruh perhatian- Baru sekarang,
setelah saudara siang menyebutnya, aku jadi ingat kembali."
Suasana diruang perjamuan itu menjadi tegang. Ruang sunyi
tetapi setiap orang berpikir keras, lebih lebih Ma Goan Hok.
Kini, baiklah kita mengikuti dahulu coh Siauw Pek bertiga.
Pemuda itu meninggalkan Hok Siu po sebab dia terlukakan pukulan
angin Im Hong Touw Kut ciang. Ia tahu tak dapat ia berkelahi
terlalu lama, maka ia mengajak kedua saudaranya mengangkat kaki.
Sambil berlari lari, ia mempertahankan diri dengan mengerahkan
tenaga dalamnya untuk mencegah lukanya menjalar. Ia lari cepat
sekali sampai oey Eng dan Kho Kong hampir tidak dapat
mengejarnya, hingga mereka ini heran menyaksikan ia dapat lari
begitu keras. Lewat kira kira dua puluh lie, mendadak tubuh Siauw
Pek limbung.
Kho Kong terkejut, segera dia lompat guna menyambut. Tapi dia
gagal, ketuanya itu telah roboh terguling. Dia lalu berjongkok sambil
mencekal tangan Siauw Pek. Tetapi tiba tiba dia menjadi kaget pula.
Tangan ketua itu dingin seperti es. oey Eng pun memburu.
"Bagaimana, adik?" ia tanya Kho Kong.
"Berat lukanya," Kho Kong menjawab. "Tangannya dingin sekali."
oey Eng berkuatir tetapi ia tak sebingung kawannya. Ia
mengangkat tubuh siauw Pek sambil berkata: "Jangan bingung,
orang baik diberkahi Tuhan Mari kita cari pondokan dahulu, baru
kita berusaha mengobatinya. Kelihatannya pengaruh Hok Siu po di
daerah ini besar sekali, kita harus menyingkir dari mereka."
Kho Kong setujui kakak ini. "Mari " katanya.
Berdua mereka berlari lari, menuju kearah barat dimana nampak
sebuah rimba. Mereka tiba disana selang setengah jam. Itulah
sebuah rimba besar dan lebat, yang berada dibelakang sebuah
gunung.
"Inilah tempat baik untuk kita berlindung," kata oey Eng setelah
memasuki rimba dan melihat kesekitarnya. Tak mudah orang
melihat mereka. "Tapi luka toako mungkin perlu pertolongan tabib,"
kata Kho Kong. oey Eng mengangguk.
"Mari kita cari dahulu tempat beristirahat," katanya seraya terus
bertindak maju.
Lewat sepuluh tombak, mereka sukar maju lebih jauh, karena
lebatnya pohon dan tebalnya rumput.
"Mari aku membuka jalan " kata Kho Kong. Mereka perlu maju
lebih jauh.
oey Eng mengangguk.
Kho Kong menghunus pedang Siauw Pek.
"Jangan " oey Eng mencegah. "Dengan membabat pepohonan,
memang kita mudah masuk lebih jauh, tetapi itu akan memudahkan
orang lain pula untuk mengetahui jejak kita."
"Habis bagaimana, kakak ?"
"Lebih baik gunakan saja kedua tanganmu."
Kho Kong menurut, ia berjalan dimuka, saban saban ia
mementang tangannya kekiri dan kekanan, membuka jalan- Lagi
tujuh atau delapan tombak. mereka sampai dibawah sebuah pohon
jie yang besar dan banyak cabangnya serta daunnya lebat.
Dibawahnya tumbuh rumput rumput tebal. Maka setelah meratakan
rumput itu, segera tubuh Siauw Pek diturunkan, untuk ditidurkan-
"Kita beristirahat disini saja," berkata oey Eng.
Kho Kong mengangguk, ia mengangkat kepalanya.
"Lihat cabang lebat itu," katanya. "Disana kita dapat berdiam..."
oey Eng berdongak. Benar, ia melihat banyak cabang besar
malang melintang hingga berupa balai balai.
"Kalau perlu, dapat kita berdiam diatas," katanya.
"Bagaimana dengan luka toako?" Kho Kong tanya kemudian-
"Aku tidak mengerti tentang obat obatan, terserah kepada kau saja,
jieko."
"Jieko" ialah kakak yang nomor dua.
"Jangan kuatir. Tenaga dalam toako mahir sekali, luka ini tidak
akan membahayakannya. Toako pingsan disebabkan terlalu letih."
Berkata begitu, oey Eng meraba nadi kiri ketuanya. Tiba-tiba ia
terkejut. Kalau tadi ia nampak tenang, sekarang wajahnya tegang.
Kho Kong dapat melihat perubahan mukanya.
"Bagaimana, berbahayakah, Jieko?" tanyanya buru-buru.
"Denyutan nadinya lemah. Tak sanggup aku meringankannya..."
"Habis bagaimana jieko pikir?"
"Kau tunggu disini, aku mau pergi ke desa yang terdekat, buat
mencari tabib."
"Kalau begitu, pergilah cepatan " oey Eng mengangguk.
"Mari kita pindahkan dahulu toako keatas pohon."
Kho Kong setuju. Dia mendahului memanjat keatas untuk
mengatur tempat. Beberapa potong batang dipotongi, diseling dan
diikat. Tak lama kemudian, diatas pohon itu sudah terdapat
semacam balai balai. Tabuh Siauw Pek segera diikat dengan sabuk,
separuh ditarik dan didorong, ia dibawa naik keatas, direbahkan
diatas balai balai istimewa itu.
"Sekarang jagalah toako baik baik, aku hendak pergi," pesan oey
Eng, yang terus melompat turun, akan keluar dari rimba, buat
menuju ke dusun yang paling dekat.
Kho Kong mendampingi ketuanya dengan bajuhnya, ia kerobongi
tubuh ketua itu, yang masih belum sadarkan diri juga. ia sangat
bingung. Maka ia duduk termenung saja. Setelah lewat beberapa
lama, mendadak terdengar suara yang nyaring.
Kho Kong heran, ia menoleh. Maka ia melihat seekor burung,
yang tidak dikenalnya, terbang melintasi cabang cabang dan
berhenti di bawah pohon jie itu. Bulu burung itu berwarna dan
mengkilat, dia menghampiri sebuah pohon dengan bunga warna
ungu, dipatuknya dua tangkai bunga, terus dia terbang pergi pula.
"Entah pohon kembang apa itu?" si anak muda berpikir.
"Mengapa burung itu mencarinya dari jauh dan ditempat hebat
begini?"
Saking herannya, Kho Kong berlompat turun- Dipetiknya satu
tangkai, lalu diciumnya. Ia tidak membaui apa apa. Kemudian timbul
keinginannya untuk menggigit, buat merasai sarinya. Tetapi belum
sampai kemulutnya, tiba tiba ia ingat: "Kalau bunga ini beracun,
bukankah aku akan mati konyol? Buatku tidak apa tetapi bagaimana
dengan toako, siapa akan menungguinya?" Karenanya, ia batal
menggigit kembang itu, dan ia terus memasukkannya ke dalam
sakunya.
Dilain detik, timbul pula herannya anak muda ini. ia bertanya
tanya, apa perlunya burung itu memetik hanya bunga itu saja?
Kenapa tidak lain bunga? Karena ini, ia petik pula beberapa tangkai,
lalu dimasukkannya kesakunya, baru ia melompat lagi naik keatas
pohon.
Mengawasi ketuanya, Kho Kong menjadi semakin bingung, Maka
ketua itu menjadi semakin pucat, tangan dan kakinya dingin. juga
nafasnya, jalannya semakin perlahan-
Ketika itu, tak diketahui anak muda ini sudah jam berapa. Dahan
dahan menutupi cahaya matahari. Apa yang ia tahu ialah cuaca
makin guram. Sangat ia mengharapkan kembalinya oey Eng. Sulit
untuknya menenangkan hati. ia merasakan lama seperti sudah
berhari hari dan bulanan...
Akhirnya Kho Kong mendengar suara tindakan kaki orang berlari
lari, segera ia menoleh dan memasang mata. ia melihat seorang
dengan dandanan sebagai petani sedang lari mendatang. Petani itu
menggendong seorang lain dipunggungnya. ia terkejut dan heran-
Segera ia bertanya tanya sendiri, apa perlunya orang itu lari
kedalam rimba? Sangat pesat lagi seorang itu, selagi ia masih
menerka nerka, orang telah tiba dibawah pohon-
"Adikku, bagaimana sakitnya toako?" demikian ia mendengar
orang itu menanya.
Hanya sedetik, hilanglah keheranannya Kho Kong. Ia mengenali
suara oey Eng. Dengan hati lega, ia melompat turun- Dilihatnya
orang yang digendong itu, ternyata adalah seorang tua. Walaupun
digendong, dia rupanya capai sekali, hingga napasnya memburu.
"Nampak keadaan toako makin parah," sahutnya kemudian, "Aku
justru lagi bingung. Syukur kau kembali" oey Eng membuka
tudungnya.
"Lekas kau naik dan menurunkan sabuk. mari kita ke atas." Kho
Kong menurut, ia lari berlompat naik.
Sesaat kemudian, orang tua itu sudah berada diatas pohon,
duduk disisi Siauw Pek. masih saja ia tersengal sengal. Baru
sesudah hilang letihnya, ia meraba nadi si anak muda. Lalu ia
menggeleng geleng kepala. Katanya, "keadaannya terlalu parah,
tidak dapat aku menolongnya..."
Kho Kong terkejut, hatinya sedih sekali dan bingung^
"Apakah katamu?" tanyanya, keras. "Kakakku tak dapat ditolong
lagi?"
"Aku tidak berkata dia tak dapat ditolong, tetapi akulah yang
tidak sanggup," sahut orang tua itu.
"Jangan takut, tuan," kata oey Eng. "Kau coba saja. Kalau kau
gagal, kami tidak akan minta ganti jiwa dari kau..."
"Aku percaya kamu tidak akan menyesali atau menggusari aku,
hanya..."
"Biar bagaimana, tuan, cobalah," oey Eng meminta, "katanya kau
tabib pandai sekali. Percayalah, jikalau kau berhasil, kami akan
memberi hadiah besar kepadamu "
"Aku tidak mengharapkan hadiah," kata tabib itu. "Baiklah akan
kucoba, tetapi tak dapat aku memastikannya." Kho Kong tidak
sabar.
"Luka begini saja kau tidak mampu obati, buat apa kau menjadi
tabib ?" tegurnya. Tabib itu terkejut, dia jeri hingga tubuhnya
bergentar.
"Akan aku coba..." katanya pula.
"Mustahil kau tidak tahu dia terluka karena apa?" tanya Kho
Kong. "Mungkin dia terkena angin jahat."
"Omong kosng Tenaga dalam kakakku mahir, mana mungkin dia
dapat terlukakan angin." Tabib itu melengak.
"Sudah, adikku," menyela oey Eng, menghela napas "jangan
bikin dia takut. Bagaimana dia bisa mengobati?"
Tabib itu mulai memeriksa nadi Siauw Pek.
"Nampaknya dia benar terkena angin," katanya kemudian-
"Mungkin ada hawa jahat di dalam perutnya..."
"Dapatakah tuan menolongnya?" oey Eng tanya.
"Sebaiknya dia harus mengeluarkan banyak peluh, supaya hawa
jahat diperutnya itu turut keluar, sesudah itu baru dia makan obat
kuat."
"Bukankah itu berarti memakan banyak waktu ?" tanya Kho
Kong.
"Menurut pengalamanku, demikianlah. Dia perlu waktu satu hari
satu malam, setelah itu dengan melihat keadaannya, kita berikan
obat. Aku tidak mengetahui ilmu silat, maka itu aku bicara menurut
ilmu pengobatan belaka."
oey Eng percaya orang bicara dengan sejujurnya.
"TUan," tanyanya, "tahukah kau kalau disekitar tempat ini ada
lain tabib yang pandai? Aku maksud tabib yang mengerti ilmu luka
terpukul?" orang tua itu berpikir.
"Tabib tidak ada, tetapi ada seorang pendeta yang mengerti ilmu
obat obatan yang mungkin melebihi aku," sahutnya. "Dia tinggal
dari sini jauhnya tiga puluh lie lebih."
"Jangan bicara soal kemungkinan" kata Kho Kong. "Katakan saja,
dia sanggup atau tidak."
"Sebenarnya aku mengetahui tentang dia pada belasan tahun
yang lampau," kata tabib itu. " Waktu itu aku diundang mengobati
seseorang yang mendapat sakit mendadak. Kami telah melewati
rumah penginapan, sudah begitu, kebetulan turun hujan besar.
Kami mampir dikuil yang terletak disebuah tegalan-.."
Tabib ini batuk batuk. baru ia melanjutkan kata katanya: "Kuil itu
sudah tua dan rusak disana sini, penghuninya juga cuma seorang
pendeta yang sudah berusia lanjut sekali. Dia memberi kami kamar
ditempat sebelah barat."
Kho Kong tidak sabaran mendengar orang bercerita lambat
sekali, mau dia menegur, baiknya oey Eng dapat mencegahnya.
Terpaksa dia menahan diri.
Tabib itu melirik sianak muda, dia melanjutkan- "Kira kira jam
tiga lewat, hujan turun semakin besar, angin menderu deru, dan
guntur berbunyi tak hentinya, diseling halilintar saling menyambar
berkedapan- orang yang menjemput aku sudah tidur nyenyak.
Gangguan guntur membuatku sukar memejamkan mata. Aku pergi
kejendela, untuk melongok sebentar.Justru itu, aku melihat sesuatu
yang luar biasa."
"Apakah itu?" tanya Kho Kong. "Lekas jelaskan. Kau mengulur
waktu ya?"
"oh, tidak..." sahut tabib itu. Dia menyusut peluh didahinya
"Selagi aku melongok itu, kilat berkelebat, maka aku melihat
seseorang yang (tidak jelas). Ditangannya memegang senjata
tajam. Hujan lebat sekali, aku tidak dapat melihat tegas. Akupun
kaget. Tapi si orang perempuan mengenakan pakaian putih,
bajunya yang penuh darah membuatnya terlihat lebih nyata..."
"Apa? seorang perempuan?" oey Eng memotong.
"Merekalah seorang pria dan seorang wanita. Wanita itu riapriapan
rambutnya, nampaknya menakutkan- Si pria memondong
wanita itu tetapi kelihatannya lukanya jauh lebih parah. Menurut
penglihatanku waktu itu, mereka itu perlu segera dibalut, supaya
darahnya dapat dicegah keluarnya. Maka aku memikir buat
membukakan mereka pintu, untuk mengajak masuk.Justru itu aku
segera melihat sipendeta tua, yang matanya picak sebelah, sudah
berdiri menantikan ditangga didepan pendopo..."
"Jadi pendeta itulah yang telah menolong mengobati kedua
orang itu?"
Ketika itu aku mendengar wanita itu berkata, "Loo siansu,
tolonglah..." lalu dia bersama si pria roboh ditangga itu. Pendeta itu
menghela napas, dia mengangkat pria dan wanita itu untuk dibawa
masuk."
"Loo siansu" adalah panggilan untuk seorang pendeta tua yang
dianggap suci dan berilmu.
"Kemudian?"
"Selanjutnya aku tidak tahu, sebab aku tidak melihat mereka
lagi."
" Kau tidak melihat, kenapa kau tahu pendeta itu telah
menyembuhkan kedua orang itu?" tanya Kho Kong.
"Aku hanya menerka. Peristiwa itu mengagetkan aku. Malam itu
aku tidak dapat tidur pulas. Besoknya, setelah terang tanah dan
hujan angin berhenti, aku lalu pamitan pulang. Selama itu tidak ada
sesuatu yang terlihat dan mencurigakan atau luar biasa, semuanya
tenang tenang saja."
"Apakah alasan dari terkaanmu itu?"
"Aku memikir si pendeta orang yang baik hati, jikalau dua orang
itu tidak tertolong dan mati, pastilah si pendeta akan mengurus dan
mengubur mayat mereka itu. Tapi ketika itu di luar dan sekitarnya,
aku tidak melihat kuburan atau tanah yang bekas digali dan
ditumpuk lagi."
"Tahukah kau, apa namanya kuil itu?" tanya oey Eng.
"Mulanya aku tidak memperhatikan, satu kali aku menoleh
kebelakang, baru aku melihat namanya, yaitu Siauw Thian ong sie."
"Siauw Thian ong sie..." oey Eng mengulang perlahan- Lalu dia
menegaskan: "Apakah kau tidak salah ingat?"
"Tidak."
"Kira kira apakah si pendeta masih berada dikullnya itu atau
tidak?"
"Ini aku tidak tahu pasti. Peristiwa telah berselang sepuluh
tahun- Kuil itupun berada ditempat sepi dan sudah tua sekali. juga
si pendeta telah berusia lanjut."
oey Eng masih menanya dimana letak kuil itu, setelah itu dia
mendukung si tabib untuk dibawa turun- Segera ia memesan-
"Tuan, jikalau kau ingin selamat berumah tangga, aku minta
janganlah kau menyebut nyebut halnya kami telah mengundang kau
datang kemari untuk mengobati orang " Kata kata itu berupa
peringatan keras.
"Aku tahu," sahut si tabib.
"Baiklah Sekarang sudah tidak ada apa apa lagi, mari aku antar
kau keluar dari rimba ini."
Kho Kong heran saudaranya begitu mempercayai si tabib. Ia
anggap itulah tindakan gegabah. Tapi ia tidak berkata apa apa.
Hanya setelah saudara itu sudah kembali, ia memperlihatkan rupa
tidak puas. Katanya: "Kalau terjadi sesuatu atas diri toako, aku akan
adujiwaku, akan aku bakar Hok Siu Po "
oey Eng tahu kawannya gelisah, ia tidak mempedulikan, ia hanya
meraba dada Siauw Pek. Ketia itu masih tak sadarkan dirinya, tetapi
jantungnya masih berdenyutan-
"Sabar, saudaraku," katanya kemudian- "Percuma kau bingung
tidak keruan..."
"Kau benar, tetapi aku bingung sebab memikirkan bagaimana
kita harus menolong toako. Baru saja kau biarkan tabib itu pergi..."
"Tabib itu tabib umum, bukan tabib luka, dia tak dapat menolong
kita."
"Kalau begitu, bagaimana sekarang? Apakah kita membiarkan
saja toako menderita?"
"Kita pergi ke Siauw Thian ong Sie "
"Sudah lewat sepuluh tahun, apakah si pendeta masih ada?"
"Kita coba saja. Mungkin pendeta itu seorang jago Rimba
Persilatan yang sudah mengundurkan diri, maka dia tinggal menyepi
di sana."
"Kalau begitu, mari kita pergi sekarang. Kita tak boleh menyia
nyiakan waktu."
"Kita tak dapat pergi sekarang. Ada kemungkinan pihak Hok Siu
Po lagi mencari kita..."
"Habis bagaimana?"
"Kita tunggu sampai nanti malam. Semoha Thian melindungi kita"
Mau tidak mau, terpaksa Kho Kong menurut kata oey Eng.
"Sekalipun kita jalan diwaktu malam, siapa tahu kalau kita bertemu
dengan orang Hok Siu Po..." Kho Kong berpikir, kata kata kakak itu
benar, terus ia duduk bersemedi.
oey Eng pun beristirahat, walaupun pikirannya tidak tenang.
Berat rasanya akan menantikan datangnya sang sore.
Bagaikan merayap. sang cuaca mulai guram dan gelap.
Dengan menyabarkan diri, oey Eng menantikan sang waktu.
Akhirnya, ia memondong tubuh Siauw Pek, dibawa berlompat turun-
Kho Kong turut turun juga.
"Saudaraku, kau ikatkan tubuh toako pada punggungku," kata
kakak yang nomor dua itu. Kho Kong menurut, ia bekerja cepat.
"Mari" mengajak Oey Eng. ia melihat arah, lalu ia mulai berjalan,
untuk menuju kekuil Thian ong sie, kepada Kho Kong ia berpesan:
"Jikalau kita bertemu orang Hok Siu po, kita memisah diri, lalu kita
bertemu di Siauw Thian ong Sie. Andaikata di dalam waktu satu hari
aku tidak tiba disana, tak sudah kau cari aku..."
" Kenapa, kakak?" tanya Kho Kong heran.
"Itu berarti aku menghadapi bahaya. Selanjutnya, adikku
berusahalah sendiri..."
"Tidak" kata Kho Kong, tapi dia bingung.
"Kita sudah sehidup semati, bila kakak berdua mendapat bahaya,
tidak dapat aku hidup sendiri..."
oey Eng tahu tabiat adik itu, ia tidak mau bicara lagi. "sudahlah"
katanya.
Kho Kong maju kedepan, melewati saudaranya. ia menyiapkan
sepasang pitanya.
Meskipun hari telah malam, tetapi demi keamanan, dua orang ini
mengambil jalan kecil, karena ini, mereka jadi memakan waktu lebih
lama. Selang dua jam, baru mereka sampai di kuil yang dituju itu,
yang mudah dicari sebab letaknya mencil di tengah tegalan sepi.
Di depan pintu peka rangan tumbuh dua buah pohon pek yang
besar. Kho Kong mau segera mengtuk pintu, tapi kakaknya
mencegah.
"Kita masuk dengan melompati tembok," bisik saudara ini.
Bahkan ia mendahului, melompat naik, untuk terus lompat turun
kesebelah dalam. Kho Kong menyusul.
"Jika si pendeta benar liehay, bukankah perbuatan kita ini tidak
pantas sekali?" katanya.
"Jika dia tidak sudi menemui orang, bukankah percuma kita
datang kemari?" oey Eng menjawab. "Kita berbuat begini karena
terpaksa."
Kuil itu dinamakan Siauw thian ong Sie. "Siauw" berarti kecil,
tetapi kuilnya cukup besar. Dilihat dari luar, di dalamnya mungkin
ada belasan kamarnya. Bagaimana kita cari pendeta picak itu?"
tanya Kho Kong.
"Datangi saja setiap kamar," sahut oey Eng.
Tiba tiba keduanya mendengar satu suara yang berat:
"Amidabuddha Siecu berdua berkenan mengunjungi kuil kami, ada
apakah pengajaran siecu?"
oey Eng dan saudaranya terkejut. Serentak mereka berpaling.
Sejarak beberapa belas tombak mereka melihat sesosok tubuh
manusia. Kho Kong maju mendekati, ketika ia melihat mata orang
buta sebelah, tiba tiba dia tertawa.
"Nampaknya kau girang sekali, siecu Apakah yang kau
tertawakan?" tanya sosok tubuh itu, setelah dia menghela napas
perlahan-
"Itulah karena boanpwee girang dapat bertemu dengan
loocianpwee," menjawab Kho Kong "karena dengan begini menjadi
terbukti kami tak sia sia belaka datang kemari."
Si sembrono ini masih ingat akan bicara dengan memakai aturan,
menyebut dirinya "boanpwee", tingkat muda, dan memanggil si
pendeta "loocianpwee", tingkat tua. ini disebabkan setelah dapat
melihat lebih nyata, ia mendapatkan imam picak itu berwajah
tenang dan agung.
oey Eng cepat menghampiri, sambil memberi hormat, ia berkata:
"Loosiansu, kami memohon pertolonganmu. . . " Pendeta itu
mengawasi.
"Apakah dia sakit parah?" tanyanya. Dia melihat Siauw Pek.
"Kakakku ini mahir tenaga dalamya, tak mudah dia sakit,"
berkata Kho Kong. "Dia sebenarnya mendapat luka didalam..."
Agaknya si pendeta heran. Bergantian dia menatap kedua
tamunya.
"Kita tidak kenal satu sama lain, kenapa siecu berdua dapat
mencariku disini?" tanyanya kemudian"
Kami mendapat petunjuk seorang loocianpwee," menjawab oey
Eng. "Karena itu dengan lancang kami datang berkunjung. Kami
mohon dengan sangat supaya loosiansu sudi menolong saudara
kami ini."
"Tahukah kamu siapa loo ceng ini?" tanya si pendeta. Dia
menyebut dirinya "loo-ceng", si pendeta tua. inilah karena dia telah
berusia lanjut. Umumnya seorang pendeta membahasakan dirinya
"pin-ceng". si pendeta miskin.
"Kami belum tahu nama atau gelaran loosiansu."
"Kamu belum tahu atau tak mau menyebutnya?"
"Sebenarnya belum tahu. Ketika loocianpwee yang memberitahu
kami menyuruh kami datang kemari, dia tidak menyebut nama
loosiansu."
Pendeta bermata satu itu mengangkat kepalanya, memandang
langit yang gelap. sambil mendongak dia berkata seorang diri:
"Kamu telah datang, tak dapat loo ceng merusak nama Sang Budha
dengan menolak kamu."
"Terima kasih, loosiansu," kata oey Eng. Ia menjura pula. "Kami
sangat bersyukur."
"Jikalau loosiansu dapat menolong kakakku ini, bersedia aku
menjadi muridmu," kata si sembrono tanpa pikir masak masak lagi.
Pendeta itu tertawa.
"Loo ceng sudah tua, sudah lama aku tidak menerima murid
lagi," katanya. ia menoleh pada oey Eng sambil menambahkan.
"Mari masuk kedalam "
oey Eng mengikut, Kho Kong menyusul.
Mereka melewati toa-tian, pendopo besar, memasuki sebuah
kamar.
Pendopo itu diterangi oleh sebuah pelita. Maka terlihatlah sebuah
kamar yang sangat sederhana. DiSitu hanya terdapat sebuah
pembaringan kayu, sebuah poutoan, dan buku (Poutoan ialah alasan
se-orang pendeta berlutut atau duduk be(halaman ini hilang
separo)"
"Memang saudaraku habis berkelahi, sesudah lewat lama, baru
lukanya bekerja."
"Dia muda tetapi tenaga dalamnya mahir begini, sungguh
langka." kata si pendeta kagum. " Itulah sebabnya kenapa dia dapat
bertahan lama, coba dia keburu menjalankan pernapasannya,
mungkin dia tak sehebat ini..."
Mendengar itu, Oey Eng dan Kho Kong terkejut, bahkan sampai
membuat pelita ditangan Kho Kong terlepas jatuh, tapi dia masih
sempat berkata: "Kalau loosiansu tidak dapat menolong dalam dunia
tidak ada orang lainnya."
JILID 15
Pelita itu tidak jatuh ketanah, dengan lincah si pendeta telah
menyambutnya.
"Benarkah tidak ada harapan buat saudaraku ini?" tanya Oey Eng
amat khawatir.
"Tak dapat loo ceng memastikan," kata si pendeta. "Lihat saja
dahulu."
"Tolonglah, loosiansu, kami sangat bersyukur." kata Oey Eng,
yang air matanya sudah meleleh keluar.
"Kami bertiga bersaudara angkat tetapi kami seperti saudara
kandung," kata Kho Kong, "maka itu, kalau loosiansu menolong
kakakku, loosiansu seperti menolong kami bertiga. Itu berarti
loosiansu menolong tiga jiwa..."
"Akan loo-ceng coba," berkata pendeta itu, "cuma karena
lukanya parah sekali, mungkin loo- ceng tidak berdaya..."
" Dalam hal ini loosiansu memerlukan obat apakah?" tanya Oey
Eng khawatir. Pendeta itu menghela napas.
"Dia terluka parah karena serangan angin yang beracun,
walaupun demikian, dia masih dapat ditolong," katanya. "Yang sulit
jalan bahan obatnya. Obatku masih kurang dua macam."
"Obat apakah itu, loosiansu?" tanya Oey Eng.
" Itulah obat-obatan yang sulit dicarinya."
"Tolong loosiansu sebutkan namanya..."
"Sebenarnya tak ada gunanya menyebut itu. Tapi, baiklah aku
memberitahukan juga." Ia menghela napas ia memandang kepada
Siauw Pek. Ketika ia melanjutkan, ia berkata perlahan sekali: "Siecu
ini adalah seorang yang langka yang pernah kulihat. Untuk belajar
silat dia berbakat sangat baik, sayang dia dibatasi oleh umurnya.
Andaikata dia dapat hidup lagi dua puluh tahun, pasti dia akan jadi
jago nomor satu ."
"Dia memerlukan obat apa, loosiansu?" tanya Kho Kong. "Tolong
sebutkan nanti kami berdua pergi mencarinya."
"Mungkin sudah terlambat. Looceng mempunyai semacam pil,
tapi ini cuma bisa memperpanjang umurnya lagi tujuh hari Selama
tujuh hari itu, kemana kita harus mencari obatnya ?"
" Loosiansu, tolong sebutkan dulu nama obatnya." Oey Eng
minta.
"Yang satu bunga cie-yam-hoa," pendeta itu menerangkan
akhirnya. "obat itu termasuk zat api, khasiatnya untuk mengusir
hawa dingin yang beracun."
"cie yam hoa?" kata Kho Kong terkejut, hatinya tergerak.
"Bagaimanakah macamya bunga itu?"
"Bunga itu mirip kembang melati, warnanya ungu tua. Tempat
dan waktu tumbuhnya tidak ketentuan. Itulah yang menyulitkan"
"Bukankah itu bunga yang aku lihat didalam rimba?" kata Kho
Kong didalam hati. Karena ia segera ingat bunga yang dipetik
burung tak dikenal itu. Lekas ia bertanya:
"Bunga itu berbau atau tidak?" Pendeta itu menggelengkan
kepala.
"Tidak ada baunya. inilah yang menyebabkan orang tidak
memperhatikannya."
"Apakah burung menyukai bunga cie yam hoa itu?"
"Ya. Sebenarnya, dalam halnya membaui bunga, manusia dan
burung tak dapat disamakan." Kho Kong segera merogoh sakunya,
mengeluarkan dua tangkai bunga petikannya. "Loosiansu, bukankah
ini bunga yang loosiansu maksudkan?" ia bertanya. Pendeta itu
mengawasi bunga tersebut, lalu mendadak dia melompat
berjingkrak.
"Tidak salah Tidak Inilah cie yam hoa " serunya. " Inilah obat
utama untuk mengusir racun Dari mana kau mendapatkannya ?"
Berkata begitu, pendeta itu menatap si anak muda.
"Nanti, loosiansu," menjawab Kho Kong, "setelah loosiansu
menyembuhkan kakakku, akan boanpwee antar loosiansu pergi
memetik bunga ini." Dengan perlahan, pendeta itu duduk. Nampak
dia sangat berlega hati.
"Amida Buddha pujinya. "Sudah empat puluh tahun looceng
melatih diri, kenapa looceng masih belum sanggup menyingkirkan
ketamakanku?..." Oey Eng heran melihat sikap orang suci ini.
" celaka kalau pendeta ini tak sudi menolong toako..." pikirnya.
Maka ia segera menanya: " Loosiansu telah mendapatkan cie yam
hoa, bukankah kakakku itu sudah dapat segera ditolong?"
"Sekarang tinggal kekurangan obat yang satu lagi..." sahut
pendeta itu.
"Apakah itu, loosiansu?" tanya Kho Kong. Si pendeta
menatapnya^
"obat itu bukannya tak ada tempat dan waktu mekarnya seperti
cie yam hoa," sahut dia, " walaupun demikian, tak mudah
mencarinya..."
Oey Eng berpikir: "Dia bicara tak keruan, mungkin masih ada
harapan-" Lalu ia berkata "Loosiansu, tolonglah menunjukkan kami
sebuah jalan-.."
"Itulah," sahut pendeta, "ikan tambera emas yang usianya sudah
tiga ratus tahun keatas..."
Oey Eng melengak. begitu juga Kho Kong.
"Ikan yang besar mudah dicari tetapi yang setua itu..." katanya.
"Bagaimana kita dapat mengenalinya?"
"Bangsa ikan itu ada tiga belas macam, yang dibutuhkan ialah
ekor keemas emasan," pendeta menegaskan-
"Seingatku, semua ikan emas merah ekornya..." pikir Oey Eng. Ia
berdiam.
Pendeta itu dapat menerka pikiran orang- Ia segera memberi
keterangan- "Yang aku butuhkan ialah yang ekornya keemas
emasan itu, ikan mana makin tua umurnya makin tegas warna
emasnya. Namanya yang benar ialah kim sian lie atau kim Bwee lie."
"Boanpwee sukar mengenalinya," Oey Eng akui.
"Memang juga paling sukar mengenalinya..."
"Tapi, loosiansu," kata Kho Kong bingung, "apakah dengan cie
yam hoa saja masih tidak cukup untuk menyembuhkan kakakku?"
Pendeta itu berdiam, matanya dipejamkan- Ia seperti tidak
mendengar.
Kho Kong mendongkol. Katanya dalam hati: "Eh, pendeta
bangkotan, kau main gila, ya kalau kau tidak tolong kakakku, awas
jiwamu " Ia mengangkat tangannya, untuk diluncurkan
Oey Eng menyambar lengan saudara itu sembari berkata dengan
saluran Toan Im Sie sut: "Hati hati, pendeta ini liehay sekali Jangan
kau cari penyakit "
Daging di pipi pendeta itu berdenyutan, ia membuka matanya,
terus ia berkata: "Kamu mendapatkan cie yam hoa, itu berarti jiwa
kamu tidak bakal hilang. Mengenai ikan tambera, dapat aku
tunjukkan satu jalan, kamu akan berhasil mendapatkannya atau
tidak-itu terserah kepada untung kamu sendiri."
"Tunjukkanlah jalan itu, loo-siansu," Oey Eng minta.
"camkanlah tuan tuan, looceng cuma mengatakan satu kali.
Selanjutnya terserah kepada kamu, kamu mengerti atau
tidak.Jangan kamu banyak bertanya, tak akan aku bicara lagi "
"Inilah gila" seru Kho Kong didalam hati. "Mana ada aturan
macam begini?"
Sisembrono ini mau menanya, tetapi sipendeta mendahului.
Katanya: "Empat puluh lie dari sini, disebelah utara sana, ada dua
buah pohon murbei yang tua. Kamu lewati kedua pohon itu.
Selewatnya jalanan yang penuh rumput dan teduh itu, akan terlihat
sebuah jalan kecil..."
Kho Kong batuk-batuk, hingga dia memutus perkataan sipendeta
tua.
"Telah aku katakan, jangan banyak tanya kepadaku"
memperingatkan pendeta itu. "Kalau tidak. lebih baik kau pergi dari
sini " Suara itu bengis dan berwibawa, Kho Kong bungkam.
"Setelah kamu jalan kira kira satu jam, disana kamu akan
menemui sebidang tanah berkarang," sipendeta melanjutkan "Disitu
terdapan sebuah rumah gubuk. Ingat, biar bagaimana penghuni
rumah itu mencaci dan menghina kamu, jangan kamu pedulikan,
jangan kamu bentrok dengannya. Lewat dari situ sekarang enam
atau tujuh lie, kamu akan sampai disebuah bukit. Dipuncaknya
ditengah-tengah itu ada sebuah pengempang luas lima tombak
persegi. Didalam peng empang itu dipelihara dua ekor ikan tambera
emas itu, kamu ambillah satu ekor, jangan lebih "
Oey Eng heran. Pikirnya: "Aneh pendeta ini Tidakkah dengan
begitu kita sudah akan bentrok dengan orang? Kenapa dia tidak
mau menjelaskan segalanya?"
Mata sipendeta bergerak. dia berkata pula: "Sang waktu sudah
mendesak. lekas kamu pergi"
Oey Eng segera memberi hormat dan berkata: "Baiklah, loo
siansu, boanpwee berangkat sekarang. Harap loo siansu tolong jaga
kakakku ini."
"Sebisaku akan aku jaga dia," kata si pendeta.
"Dengan janji loo siansu ini, matipun aku ikhlas" kata Oey Eng,
yang terus memutar tubuhnya dan berangkat.
Kho Kong masih mau menanya, tetapi karena saudaranya sudah
pergi, dia segera menyusul. Dia mau pergi bersama, Oey Eng pun
tidak mencegah.
Mereka ambil arah seperti ditunjukkan sipendeta. Selang empat
puluh lie, benar mereka melihat dua buah pohon murbai. Lewat dari
situ, tampak sebuah gunung. Diantara kedua pohon lihat tapak kaki,
bekas orang berlalu lintas.Jadi itulah jalanan orang.
"Ah, masa bodoh, bencana atau keselamatan-" pikir Oey Eng,
yang terus bertindak untuk lewat dijalanan diantara pepohonan itu.
Kho Kong tidak sabaran, dia mendahului kakaknya.
Ketika itu sudah jam delapan atau sembilan.
Dengan tidak mengenal lelah, kedua saudara itu mendaki
gunung.
Benar seperti petunjuk si pendeta tua, mereka menemukan
sebuah gubuk yang seperti menghadang jalan maju mereka. Rumah
itu rumah gubuk tetapi berpintu kayu, pintunya besar. Tak tampak
orang diluar atau depan rumah itu. Selagi mereka mau melewatinya,
tiba tiba mereka mendengar teguran, yang datang dari dalam
rumah. Itulah suara seorang perempuan tua. "Tuan tuan, kamu
mau apa?"
"Kami lagi berpesiar," sahut Oey Eng, mendusta. Ia terpaksa
membohong.
"Benarkah, tuan tuan?" terdengar pula suara itu, yang mana
diiring dengan tawa hambar. "Sungguhkah kamu lagi pesiar?"
Tiba tiba Oey Eng ingat pesan si pendeta, agar jangan melayani
penghuni rumah. Maka ia tarik tangan Kho Kong, buat diajak
berjalan terus. Mereka lari mengelilingi gunung itu. Setelah
selintasan, jalan sudah tidak ada. Itulah sebuah tempat belukar,
banyak rumpurnya, batunya berserakan. Mereka berlari terus naik
keatas... Angin bertiup sejuk. rasanya sangat nyaman-Kembali
benar petunjuk si pendeta.
Segera tampak sebuah peng empang luas lima enam tombak
persegi. Ditepian barat peng empang itu terdapat sebuah rumah
batu. Ditepi empang ada sebuah perahu kecil, yang ditambat pada
sebuah pohon cemara.
Kho Kong lari kearah rumah. Ia melihat pintu tertutup dan
terkunci dengan rantai besi. Rupanya penghuni rumah sedang
bepergian. Lalu ia mengawasi empang. Air dalam tidak ada tiga
kaki, hingga nampak dasarnya. Ada terdapat banyak ikan aneh
aneh, yang ia belum pernah lihat tadinya.
Oey Eng mengajak saudaranya menaiki perahu, untuk
mendayung ketengah, buat mencari si ikan tambera emas. Tak
sempat mereka menikmati keindahan peng empang itu.
Di sebelah timur, disana air dalam, terlihat seekor ikan yang
tubuhnya merah yang ekornya bersinar kuning emas, panjangnya
sekaki lebih. Ikan itu terlihat sebab dia kebetulan nimbul dan
nenggak.
Hati Oey Eng tegang. Ia girang berbareng khawatir. Garang
sebab melihat ikan itu. Khawatir karena ia percaya ikan mestinya
gesit dan sukar untuk ditangkap. Diam diam dia berdoa: "Semoga
Thian melindungi toako " Habis itu ia mengulur tangannya masuk
kedalam air, untuk menangkap ikan itu. Diluar dugaan ikan itu diam
saja waktu ditangkap.
Diburitan perahu ada beberapa buah tahang kecil, Kho Kong
ambil sebuah, buat tempat ikan itu.
"Kita pakai saja tahang ini," katanya.
Oey Eng setuju. Perahu mereka kepinggirkan. Ia melihat
kesekitarnya, katanya. "Mudah mudahan tidak ada musuh gelap
didalam rumah itu."
Lekas sekali perahu mereka sudah sampai ditepian Oey Eng
segera menambatnya. Lantas ia berbisik pada saudaranya: "Kau
bawa ikan, aku membuka jalan- Kalau ada musuh, aku yang akan
menghadang, lekaslah lari pulang ke Siauw Thian ong sie, supaya
kau dapat menyerahkan ikan ini "
Kho Kong mengangguk. "Aku mengerti," katanya.
Mereka mendarat. Oey Eng menghunus pedang. Ia bagaikan
mendapat firasat bakal bertempur hebat.
Segera mereka sudah mendekati rumah gubuk tadi.
Tiba tiba terdengar suara menyapa dari dalam rumah: "Bagus, ya
Kamu mencari ikannya si tak mau mampus itu Kenapa kamu tak
mau memberitahukan maksud kamu padaku supaya akupun dapat
menangkap beberapa ekor?"
Oey Eng berbisik pada saudaranya. "Asal dia muncul, akan aku
tempur dia, buat mengulur waktu, kau sendiri, segera kau kabur
jangan pedulikan aku lagi "
Habis berbisik itu, anak muda ini menjawab teguran dari dalam
itu: "Sayang kami tidak tahu bahwa loocianpwee juga gemar ikan,
kalau tidak tentu sekalian kami menangkapkan beberapa ekor."
"Kamu mencuri berapa ekor ikannya si tak mau mampus itu?"
tanya lagi suara dari dalam gubuk itu.
" Itulah seorang perempuan, pikir Oey Eng. "Mungkinkah
hubungan dia erat dengan penghuni rumah batu itu, si pemilik ikan-
Aku mesti berhati hati."
Maka ia menjawab. "Boanpwee cuma mengambil satu ekor?"
" Kenapa cuma seekor?"
"Seekorpun sudah cukup Jika aku mengambil lebih, itulah buat
keuntungan diri pribadi, karenanya merugikan orang lain-"
Tidak segera ada jawaban, sebaliknya terdengar suara roda
kereta. Kiranya dari dalam gubuk muncul sebuah kereta diatas
mana duduk seorang wanita tua yang rambutnya beruban yang
memain di antara tiupan angin, sedang sebelah tangannya
mencekal sepotong tongkat. Muka nenek itu pucat, pertanda bahwa
sudah lama dia tak tersinarkan matahari^
"Mari" nenek itu mengulapkan tongkatnya. "coba aku lihat ikan
itu"
Diam diam Oey Eng berbicara dengan Toan Im cie sut pada
adiknya: "Perhatikan aku dik. Asal aku menempur dia, kau molos
dan kabur" Kho Kong memberikan janjinya.
Keduanya bertindak maju mendekati si nyonya tua^
Nyonya itu mengulur kepalanya. Kho Kong pun mengangsurkan
tahang ikannya. Kata nenek itu: "Ikan itu berharga mahal... tak
bagus buat ditonton-.."
Kho Kong kata di dalam hatinya: "Ikan itu untuk menolong
kakakku Siapa yang hendak membuatnya main main ?"
Oey Eng berdiri disisi adiknya, bersiap sedia kalau kalau sinenek
turun tangan-
Nenek itu menghela napas. Ia berkata perlahan: "Apakah
perbuatan kamu ini adalah petunjuk si pendeta tua?"
"Apakah looelanpwee maksudkan loosiansu itu?" Oey Eng
bertanya, sebenarnya ia terperanjat. Kembali si nyonya tua
menghela napas.
"Jangan kamu mencurigai aku," katanya seraya memutar
keretanya, buat masuk kembali kedalam gubuknya.
Heran dua saudara itu. Sinenek tidak merintangi mereka.
Segera Oey Eng memberi hormat kearah gubuk seraya berkata:
"Kami telah menerima budi loocianpwee, apabila ada kesempatan
kami akan membalasnya." Habis berkata, tanpa menanti jawaban, ia
mengajak Kho Kong lari, ia melindunginya.
Dua saudara itu lari terus-terusan, sampai di Siauw Thian ong
sie. Didalam kuil mereka mendapatkan s ipendeta tua tengah duduk
berdiri seperti semula tadi.
Oey Eng menghampiri, sambil membungkuk ia berkata: "Loo
siansu, syukur kami tidak menyia nyiakan petunjuk loosiansu. Telah
kami dapatkan ikan emas itu."
Sipendeta membuka matanya perlahan lahan-"Mari kasih aku
lihat" Agaknya ia ragu ragu Kho Kong mengangsurkan tahang
ikannya.
"Silahkan periksa, loosiansu." Pendeta itu mengawasi beberapa
lama.
"Tidak salah," katanya. Terus ia mengawasi dua orang itu.
Katanya: "Sekarang kami pergi keluar, ketempat yang tinggi. Kamu
memasang mata kesegala penjuru. Asal kamu melihat ada orang
asing datang, lekas beritahu padaku." Oey Eng dan Kho Kong
menerima perintah itu.
"Agaknya hati sipendeta tegang," Kho Kong membisiki
saudaranya. "Mungkin itu ada hubungannya dengan ikan emas itu."
"Mungkin sinenek dapat menduga loo siansu apalagi sipemilik
ikan..."
"Kalau ikan sudah dimasak dan dikasih makan pada toako, dia
datang pun tak ada gunanya."
Sementara itu mereka sudah berjaga-jaga. Mendadak dari
kejauhan tampak debu mengepul naik.
"Hai" teriak Oey Eng, kaget. "Orang itu lari cepat luar biasa. Mari
kita pegat dia, merintanginya masuk kedalam kuil"
Berkata begitu, pemuda ini lari kebelakang sebuah pohon, untuk
bersembunyi. Kho Kong sembunyi disebuah pohon lain-
Yang datang itu adalah seorang penunggang kuda dan kudanya
berbulu putih mulus. Pantas dia datangnya cepat dan meninggalkan
debu mengepul di belakangnya. Kedua mata kuda itu bercahaya
merah.
Penunggang kudanya membuat Oey Eng dan Kho Kong heran-
Dia adalah seorang nona berbaju hijau, yang dandanannya ringkas.
Sekarang ini dia itu menjalankan kudanya perlahan-lahan, menuju
kebelakang kuil. Oey Eng batuk-batuk. terus ia muncul, untuk
menghadang. Sinona menarik tali kudanya, membuat kudanya itu
berhenti bertindak.
"Siapakah kau?" tegur nona itu tawar. "Tidak keruan- keruan kau
memegat aku?"
"Kau benar, akan tetapi tak dapat aku membiarkan kau masuk
kedalam kota," pikir Oey Eng.
"Kau bisa menggagalkan pengobatan kakakku" ia tahu ia berada
dipihak salah, maka ia batuk batuk lagi, baru ia bertanya: "Kau dari
mana nona? Nona datang ketempat belukar ini, siapa yang nona
cari?"
Sepasang alis si nona terbangun. Agaknya dia mendongkol tetapi
dia menyabarkan diri. Maka dia mengawasi si anak muda seraya
bertanya: "Apakah kuil itu yang dipanggil Siauw Thian ong Sie?"
"Benar," jawab Oey Eng. Hanya sejenak. dia menyesal. Dia salah
omong. Mulanya wajah si nona dingin sekali, tapi setelah itu,
mendadak dia tertawa. "Apakah kau dari Siauw Thian ong Sie?"
Oey Eng bingung juga. Tidak dapat ia menerka hati si nona.
Tawa si nona agaknya menunjukkan dia tidak bermaksud jahat.
"Jikalau aku seorang Siauw Thian ong sie, bagaimana?" ia balik
bertanya. Si nona tertawa pula.
"Saudara, kau memanggil apakah kepada Kouw Heng Taysu?"
Oey Eng berpikir pula, cepat: "Kiranya loosiansu bergelar Kouw
Heng Taysu... Agaknya dia ini menghormati pendeta bermata satu
itu. Tapi baiklah aku dustakan dia. ingin aku lihat sikapnya..."
Maka ia bertanya: "Nona she apa?"
"Aku Thio Giok Yauw," si nona menjawab, menyebutkan she dan
namanya sekali. "Aku menerima perintah ayah bundaku untuk
mengunjungi Kouw Heng Taysu. Aku minta saudara suka tolong
mengabarkan kepada taysu tentang kedatanganku ini. Lebih dahulu
aku mengucapkan terima kasih."
"oh, kiranya nona Thio. Maaf, maaf " kata Oey Eng.
"Maukah saudara memberitahukan nama saudara pada adikmu
ini?" si nona balik bertanya. Buat membahasakan diri "aku" itu, ia
menyebutnya "adik".
"Aku Oey Eng," sahut si anak muda.
"Terima kasih, saudara Oey. Sekarang tolong saudara sampaikan
kepada taysu, katakan bahwa adikmu datang dari tempat seribu lie,
mohon taysu sudi menerima aku."
Oey Eng berpikir cepat: "Loosiansu lagi mengobati kakak, baiklah
aku memperlambat waktu..." Maka ia segera mengernyitkan alisnya
dan katanya masgul: "Sayang nona datang tak tepat waktunya..."
" Kenapa?" si nona tanya. Dia heran"
ini waktunya taysu bersemadhi. Tak berani aku
mengganggunya." Nampak si nona cerdas, rupanya ia memikirkan
sesuatu. "Mohon tanya, saudara Oey, kau pernah apa dengan Kouw
Heng Taysu?"
Oey Eng sadar bahwa ia telah salah omong. Lekas lekas ia
membenarkannya.
"Aku pernah ditolong taysu dari lukaku yang parah hingga jiwaku
tertolong, maka itu, bersedia aku bekerja menjadi penunggu
pintunya." Nona itu tertawa.
"oh, kiranya begitu " katanya. "Sayang di dalam usiaku masih
muda tak berkesempatan adikmu menemui taysu. pernah adikmu
mendengar ceritera ayah bundaku halnya taysu sangat pandai
mengobati, bagaikan dia dapat menghidupkan orang yang telah
mati."
"Memang" kata Oey Eng, mengikuti lagu bicara orang. " ilmu
pengobatan taysu adalah yang nomor satu didalam dunia Rimba
Persilatan "
"Dahulu itu ayah bundaku pernah ditolong Kouw Heng Taysu," si
nona berkata pula, "maka juga kedatanganku sekarang ini adalah
untuk menghaturkan terima kasih kepada taysu. Adikmu membawa
sesuatau bingkisan yang tidak berharga..."
Oey Eng berpikir keras. Si nona sangat cerdik, mudah dia
bercuriga. Maka ia harus bicara dari hal yang masuk diakaL
"Menurut apa yang aku tahu," katanya kemudian, "Taysu biasa
tak suka menerima bingkisan-"
"Taysu bukannya sembarang orang, maka itu, tak berani kami
menghaturkan bingkisan yang berupa barang biasa saja," kata pula
si nona. ia tetap bicara sabar dan ramah, terus ia menyebut dirinya
adik yang kecil. Dengan sendirinya hati Oey eng tertarik.
"Bingkisan apa itu yang kau bawa, nona?" tanyanya.
"ayah bundaku mendapatkan tiga macam obat istimewa, hari itu
sengaja adikmu diperintah datang kemrai untuk menyampaikannya."
jawab si nona. ia hening sejenak. terus ia menambahkan:
"Sebenarnya ayah bundaku sendiri yang hendak membawa obat
obatan ini akan tetapi sayang ayah mendapat halangan- Selagi ayah
mencari obat itu, ayah bertemu ular berbisa yang menjagai pohon
obat itu dan kena dipagut, karenanya terpaksa ayah mesti berobat
dan berdiam dirumah untuk sekalian beristirahat. Begitulah adikmu
sendiri yang ditugaskan membawa obat itu."
Oey Eng mendongak melihat langit. ia malu di dalam hati.
Selagi orang berdiam, Nona Thio bertanya pula: "Numpang
tanya, saudara Oey, masih berapa lama lagi taysu bersemadhi ?"
Oey Eng mengawasi nona itu. Dialah seorang nona yang cantik
manis, bahkan sangat menarik hati. Tak berani ia mengawasi lamalama,
lekas-lekas ia berpaling kelain arah. Tetapi didalam hatinya, ia
memuji kecantikannya itu...
Selama berbicara tadi, belum pernah sipemuda memperhatikan
wajahnya si pemudi. Sejak tadi ia menganggap nona berbaju hijau
itu elok tapi tak disangka setelah memandang sejenak itu, ia tahu,
bahwa dia sangat menggiurkan hati. Sampai ia lupa menjawab
pertanyaannya
Selagi menanti jawaban, tiba tiba si nona menghela napas.
"Saudara Oey, maaf," katanya pula. "Hampir aku lupa pesan
ayah bundaku..."
Diam diam Oey Eng terperanjat.
"Apakah itu, nona ?"
"Ketika aku berangkat dari rumah, ayah dan ibu memesan
adikmu," sahut sinona. "Adikmu diberi ingat supaya kapan tengah
bicara dengan orang lain mesti adikmu membawa diri baik baik dan
jangan sembarangan saja, karena adikmu mudah tertawa."
" Itulah pesan yang benar sekali," kata Oey Eng.
" Hanya sayang," kata pula sinona, "tertawa bagiku adalah
semacam penyakit, sukar adikmu merobahnya. Tanpa merasa
adikmu suka tertawa sendiri..."
"ayah bunda memesan dengan maksud baik baiklah kalau nona
dengar dan turuti pesan itu."
"Kalau begitu, berpalinglah kelain arah, adikmu akan tidak
tertawa pula" kata sinona.
Oey Eng menurut, ia menoleh kelain arah, tubuhnya sendiri tak
bergerak. "Eh, eh, kau belum menjawab adikmu " menegur si nona.
"Nona menanya apakah?" balik tanya Oey Eng, dan menanya
begitu, dia kembali menoleh, memandang nona itu, ia bagaikan lupa
dirinya.
Sinona tertawa geli, hanya sebentar, ia berdiam pula. Nampak ia
seperti lagi mengekang dirinya. Dengan roman sungguh sungguh ia
tanya: "Adikmu tanya, kapan Kouw Heng Taysu akan menyudahi
semedhinya ?"
"Masih lama," sahut Oey Eng. Baik nona menantikan saja.
"Baiklah," kata nona itu. Adikmu tidak mempunyai urusan lain,
tak apa adikmu menunggu sampai setengah harian atau
semalaman- Dan ia kemudian duduk bersila bagaikan orang tengah
bersemadhi. Hati Oey Eng lega juga.
"Buat sementara, dapat aku mencegah dia masuk," pikirnya.
"Hanya entah sampai kapan taysu selesai dengan pengobatannya
terhadap toako..." Memang pendeta itu tidak memberikan batas
waktu kepadanya.
Kho Kong ditempat sembunyinya terus berdiam saja, akan tetapi
ia melihat dan mendengar semua. Ia girang sebab kakaknya yang
nomor dua itu dapat mempermainkan sinona. Pikirnya: "Kalau aku
yang menggantikan jieko pasti aku gagal melayani sinona itu
berbicara, atau kita mesti telah berkelahi..."
Dia berpikir begitu, sebab hatinya lega, tanpa merasa pemuda ini
menggeser tubuh kakinya bertindak mundur.
Nona Thio liehay sekali, dia mendengar orang berkeresek,
kemudian dengan perlahan sekali ia berkata kepada Oey Eng :
"Saudara Oey, dibelakang kita, disebelah kiri, sejauh setombak
lebih, mungkin ada orang." Oey Eng terperanjat didalam hati.
"Sungguh liehay nona ini," pikirnya. "Selain mendengar gerak
gerik orang, iapun dapat menerka jaraknya.Jikalau begitu, aku
bukanlah lawannya..."
Kembali sinona berkata dengan perlahan: " orang itu sudah
bergerak maju kearah kuil apakah perlu adikmu turun tangan untuk
membekuknya ?"
Perlahan suara sinona tetapi nadanya sangat jelas. Bingung juga
si pemuda.
"Tak usah, nona," ia mencegah. "Orang itu seperti aku, tinggal
sama-sama didalam kuil Siauw Thian ong Sie ini."
"Jikalau adikmu tidak memandang, tak nanti adikmu menantikan
sampai dia mengundurkan diri," berkata si nona, "kalau tidak. tidak
nanti adikmu bicaa dahulu dengan kau, saudara Oey." Mendadak
diam-diam sejenak. kemudian meneruskan : "Eh, ini agak aneh "
Kembali Oey Eng terkejut didalam hati.
"cerdik, pikirnya. Nona ini luar biasa cerdiknya Aku mesti
waspada. Maka ia berpura-pura menanya: "Apakah katamu, nona ?"
"Sebenarnya adikmu telah diberitahukan ayah bundaku." berkata
nona itu, menjawab pertanyaannya, bahwa didalam kuil ini, Kouw
Heng Taysu tinggal seorang diri saja, dia tidak mempunyai murid
atau pegawai tukang masak akan tetapi kenyataannya sekarang
lain, selain saudara kiranya masih ada orang lain lagi, aku percaya
kata-kata ayah bundaku itu, maka itu dengan adanya orang lain
lagi, tidak anehkah itu ?"
Berkata begitu, nona itu menatap tajam si pemuda. Matanya
bersinar berwibawa
Oey Eng dapat mengendalikan dirinya. Ia berlaku tenang.
"Ayah bundamu itu benar, nona, mereka tidak berdusta," kata ia.
"Akupun bicara dengan sebenarnya."
Kedua mata si nona memain-
" Dapatkah kau menjelaskan kata-katamu ini?" tanya dia.
"Bila ayah bunda nona datang ke Thian ong Sie, aku tidak tahu,"
menjawab Oey Eng, "aku hanya menerka bahwa itu mestinya telah
terjadi pada tahun yang telah berlalu. Nona Thio hendak
mengucapkan sesuatu, lalu batal.
"Benar-benar nona ini sangat cerdik," pikir Oey Eng. ia melihat
orang urung bicara.
"Dahulu tak ada orang yang kuketahui Kouw Heng Taysu
berdiam didalam kuilnya ini," ia melanjutkan, "cuma beberapa jago
Rimba Persilatan saja yang mendapat tahu. Umum cuma tahu kuil
ini sepi dan tua, didalam satu tahun cuma beberapa gelintir orang
saja yang datang bersujut kemari."
Si nona menyela: "Bukankah sekarang telah datang banyak
orang ?"
"oh, nona yang liehay," pikirpula Oey Eng. Rupanya dari banyak
kata-kataku ini dia melihat suatu cela, ia menyambung: " Lewat
beberapa tahun, entah bagaimana jalannya, kemudian orang
ketahui bahwa taysu bersemayam disini, karena itu ada kalanya
datang orang-orang yang terluka untuk minta tolong diobati. Tidak
dapat tidak taysu menolong apabila ia melihat orang terancam
bahaya maut, begitulah nama dan perbuatan taysu jadi tersiar luas
hingga kejadianlah Siauw Thian Ong Sie yang biasanya sunyi senyap
sering dikunjungi orang. Apakah orang itu pegawai kuil ini.
" Didalam kuil ini, kecuali taysu serta aku, masih ada dua orang
lainnya lagi." Oey Eng terpaksa memberi keterangan untuk
melenyapkan kecurigaan orang. "sekarang silahkan nona menanti
sebentar, aku hendak masuk kedalam kuil untuk melihat dahulu,
nanti aku datang pula memberi tahukan kepada nona."
"Baik, saudara Oey. Adikmu akan menantikan disini," sahut nona
itu. Nampak ia sangat polos sekali.
"Aku akan masuk dan lekas keluar lagi," kata Oey Eng, yang
terus memutar tubuh buat berjalan pergi. Sembari berjalan hatinya
berpikir: "Pada saat ini, entah bagaimana luka toako. Rasanya sang
waktu sudah lewat cukup lama."
Setibanya di Houwtian, ruang dalam, Oey Eng melihat Siauw Pek
seorang diri. ketua itu tengah duduk bersemadhi, kedua matanya
ditutup rapat. Kho Kong menjagai ketuanya dengan berdiri berjagajaga
dipintu. "Adikku, mana loosiansu?" ia bertanya. Kho Kong
mengawasi kakak nomor dua itu.
"Bukankah jieko gembira berbicara dengan sinona?" tanyanya
tanpa menjawab pertanyaan orang itu.
"Hus, jangan bergurau " kata Oey Eng. "Lekas beritahu aku,
mana loosiansu ?"
"Loosiansu pergi kedapur. Ia minta aku berdiam disini menjaga
toako."
Oey Eng berpikir, karena si nona datang dari tempat yang jauh,
perlu ia mewartakan kepada Kouw Heng Taysu, karena itu, lekas ia
pergi kedalam. Tiba didapur, ia tidak melihat sipendeta. Sebaliknya
diatas daput, ia mendapatkan sehelai kertas kuning yang ada
tulisannya. Ia heran tetapi lekas ia membaca.
" Didalam kwali ini ada masakan ikan, setelah dimakan, pengaruh
obat cie-yam-hoa segera akan bekerja, guna menyingkirkan racun
didalam tubuh sahabatmu. Mengandaikan tenaga dalamnya,
didalam tempo tiga hari dia akan sembuh kembali seperti sedia kala,
akan tetapi selama tiga hari itu, tak dapat ia melakukan
pertempuran, juga tak boleh dia bergusar. Loo ceng menyukai
kesepian dan ketenangan, karena tempat ini telah diketahui oleh
kami, hendak kucari lain tempat lagi."
Surat itu tanpa tanda tangan, tidak menyebut tempat tujuan
sipendeta.
(hal 38-39 tidak ada, langsung ke hal.40)^ dan hanya
meninggalkan surat ini..."
"Begini saja," kata Siauw Pek, "sebab sinona bukannya musuh,
tidak dapat kita membohong terhadapnya. Kitalah laki laki sejati,
tidak dapat kita mendustai dan menghina seorang wanita, perlu kita
bicarakan terus terang kepadanya."
"Nona itu sangat cerdas, memang sulit buat mendustainya."
"Toako, buat apa pusing pusing ?" kata Kho Kong. "Loosiansu
telah pergi, kenapa kita tidak mau pergi juga ?" Siauw Pek
menggelengkan kepala.
"Tak dapat," katanya. Jikalau kita tinggal dia pergi, kita bakal
dicaci maki orang dan juga kita menggagalkan urusan dia..."
"Kalau kita ketemukan dia dan dia tidak mau percaya keterangan
kita, apakah itu juga tidak memusingkan kita ?" tanya Kho Kong.
"Sudahlah," kata Oey Eng akhirnya. "Sha tee, kau pergi bersama
toako, kau melindunginya. Urusan disini serahkan kepadaku "
"Tidak bisa " berkata siauw Pek. Jikalau kau gagal, aku bisa
berkelahi dengan nona itu. Mana dapat kau ditinggalkan seorang diri
?"
"Andaikata toako ada bersama disini, toako pun tidak akan bisa
berbuat apa-apa," Oey Eng kata pula, "surat loosiansu menjelaskan
didalam tempo tiga hari, toako tidak boleh melakukan pertempuran
dan bergusar. Bukankah dengan berdiamnya toako disini, toako jadi
menambah bebanku ?"
"Jieko benar" kata Kho Kong, "toako harus pergi dari sini."
"Nah, shatee lekas kau antar toako " kata Oey Eng pada
saudaranya yang muda itu. Biar aku berdiam seorang diri disini,
akan aku layani dia dengan melihat selatan- Tersendirian saja, aku
jadi merdeka."
Siauw Pek dapat mengerti. "Baiklah " katanya akhirnya^
"Jieko. kepergian kita tanpa tujuan," berkata Kho Kong, "maka
itu, dimana ada tikungan, di situ aku akan memberikan pertanda,
supaya kau mudah menyusul kami."
Siauw Pek mengawasi Oey Eng, ia mengjela napas/
"Semuanya karena itu," katanya masgul. "Toako tidak dapat
disesalkan," kata Oey Eng.
"Nah, baiklah, harap kau berhati hati " kata siauw Pek akhirnya,
lalu ia bangkit, untuk berangkat pergi.
Kho Kong mengintil dibelakang ketuanya itu.
Oey Eng menanti sampai kedua saudara itu tak nampak. baru ia
bertindak kebelakang kuil. Ia mendapatkan Nona Thio masih duduk
bersila, menantikannya.
"Nona Thio" ia memanggil. Ia batuk batuk. untuk memberi
isyarat. ^
"Apakah Kouh IHeng Taysu sudah selesai bersemedhi?" demikian
suara si nona yang pertama tama. Dia tidak menjawab hanya
bertanya.
"Taysu sudah pergi mengunjungi sahabatnya, dia tidak ada
didalam kuil", sahut Oey Eng.
Nona itu melengak.
"Kemanakah dia pergi ?" dia tanya.
"Tak tahu, nona, Aku tidak menanyakan kepadanya."
"Kapankah dia akan kembali?" si nona tanya lagi.
"Entahlah. Ada kalanya dia pulang dalam satu hari, ada kalanya
juga dia tak pulang berhari hari."
sekonyong konyong nona itu berlompat melewati si anak muda,
untuk lari kedalam kuil.
Oey Eng tidak kaget, ia tidak khawatir. Pikirnya: "sekarang ini kuil
tentu sudah kosong." Ia tidak mau pergi menyingkir, hanya ia
mengikuti nona itu. Tiba di depan pintu, mendadak si nona
berpaling.
"Saudara Oey," katanya, tanyanya, "adikmu hendak masuk
kedalam kuil untuk melihat lihat dapatkah kau memberi ijin."
"Silahkan masuk nona" menjawab si pemuda. Tak ada perlunya
lagi buat ia menghalangi atau menghambat pemuda itu.
Thio Giok Yauw bertindak kedalam pendopo ia melihat
kelilingnya. "Biasanya Kouw Heng Taysu bersemedhi di kamar yang
mana?" ia tanya.
Oey Eng melengak. itulah pertanyaan sulit untuknya. Sejak
bertemu si pendeta, selalu mereka berada didalam ruang itu. Ia
tidak tahu kamar si orang sucu Tapi ia tidak dapat tidak manjawab.
" Kamar Taysu ialah kamar diruang dalam," demikian sahutnya
cepat.
Glok Yauw berdiam, ia berjalan berputar didalam kuil itu.
Akhirnya ia kembali ke ruangan tadi, pendopo besar.
"Mana dia kamarmu, saudara Oey," dia tanya
"Biasanya aku tidur dimana aku suka."
"Sekarang ini apa saudara mau tetap berdiam disini menantikan
pulangnya taysu?" si nona tanya pula. Oey Eng mengangguk.
"Ya," sahutnya/
Mendadak saja nona itu tertawa dingin dan berbareng tangan
kanannya meluncur menangkap lengan si anak muda.
Syukur buat Oey Eng, ia selalu siap sedia. Ketika sambaran tiba,
ia berkelit, tangannya ditarik.
Melihat serangannya gagal, nona itu menyusul menyerang
dengan tangan kirinya. Oey Eng berkelit pula.
"Nona" ia berseru. "^ona, kenapa kau menyerang aku?"
"Aku tak takut kau kabur" berkata nona itu. Tapi dia mundur dua
tindak. Ia berkata lagi: "Apakah kau sangka aku bocah usia tiga
tahun? Hitung hitunglah mataku buta, telah keliru aku
menganggapmu sebagai orang baik-baik" Oey Eng heran-
" Entah dari mana ia ketahui rahasiaku..." pikirnya. Tapi ia lekas
berkata, perlahan: "Kau kenapa nona? Apakah artinya kata-katamu
ini? Tolong nona jelaskan-"
" Inilah sebuah kuil tidak besar," kata sinona "Kau berkata bahwa
kau berdiam disini, mana kamarmu?" berkata begitu, tiba tiba suara
si nona menjadi keras, wajahnyapun berubah keren. Tegurnya:
"Siapa kau sebenarnya? Apakah hubunganmu dengan Kouw Heng
Taysu? bicaralah terus terang, jikalau kau main gila, jangan kau
sesalkan aku"
Oey Eng tidak menjawab, hanya dia berkata "Nona, ketika ayah
bundamu menyuruh kau datang kemari, tentunya mereka telah
memberi tahukan bagaimana macamnya pendeta tua itu?"
"Tentu Tentu aku mengetahuinya"
"Bagus nona Kau tentu mencurigai aku bahwa aku tidak kenal
pendeta suci itu. Baik, akan aku lukiskan-"
"Nah, coba kau katakanlah" kata nona itu.
"Kouw Heng Taysu sudah berusia tinggi dan matanya buta
sebelah benar tidak?"
Alisnya si nona terbangun.
"Tidak salah. Dia tentu kenal Kouw Heng Taysu..." pikirnya.
"Kouw Heng Taysu sangat menyukai ketenangan maka juga dia
memilih kuil mencil dan sunyi. Akan tetapi selama ini ia mendapat
tahu bahwa ada orang Rimba Persilatan yang mengetahui dia
tinggal disini, maka itu pernah ia mengatakan padaku bahwa tempat
ini sudah tidak cocok lagi untuknya, bahwa sewaktu waktu ia akan
pindah kelain tempat..."
"Kau sudah tahu bahwa taysu telah pergi kenapa kau tidak
memberitahukan aku dari tadi?" menegur nona itu.
"Tapi nona, selagi kita bicara itu, dengan sebenarnya aku tidak
tahu bahwa taysu sudah pergi."
"Kalau begitu, satu jam dimuka, dia masih berada di dalam kuil?"
"Benar. Taysu lebih tak kerasan sebab sudah pernah terjadi
tengah ia bersemedhi ada tamu tamu berkunjung hingga ibadahnya
itu terganggu. Adalah biasa bagiku setiap kali taysu bersemedi, aku
pergi meninggalkannya, buat berdiam diluar, untuk memberi
keterangan andaikata ada datang tamu tamu, guna mencegah ada
orang yang sembrono masuk dan mengganggunya. Tadik belum
lama aku keluar dari kamar, aku bertemu dengan kau, nona. Ketika
itu taysu masih berada didalam. Begitulah aku berbicara dengan
nona, jadi bukan sengaja hendak merintang imu." Glok Yauw
menghela napas.
"Aku tidak menyalahkan kau," katanya. Ia diam sejenak,
kemudian menanya: "Tengah kita bicara tadi, ada orang yang
mengundurkan diri kedalam kuil, ketika aku hendak menawannya,
kau mencegah saudara Oey, Kemanakah perginya dia itu?"
Oey Eng berpura berpikir.
"Mungkin dia ikut Kouw Heng Taysu."
"Bagaimanakah ilmu silat Kouw Heng Taysu."
"Di hadapanku loo siansu belum pernah mempertunjukkan ilmu
silatnya. Menurut apa yang aku tahu, mestinya taysu lihay sekali,
ilmu silatnya telah mencapai puncak kesempurnaan. "
"Memang ayahku pernah mengatakan bahwa Kouw Heng Taysu
adalah seorang pendeta ya berilmu tinggi. Dilihat dari sikapnya,
teranglah dia tak sudi menerima aku..."
"Entahlah, aku tak tahu."
"Selama kau tinggal disini, pernahkah kau melihat tamu wanita?"
"Belum pernah."
"Ada pendeta berilmu yang tak sudi menerima tamu wanita,
benarkah itu?"
"Tentang ini loosiansu belum pernah bicara denganku."
"Darijauh aku datang, aku tidak bertemu taysu, menyesal sekali,"
berkata sinona.
" Ini dia yang dibilang datangnya gembira, pulang lesu. Sekarang
aku minta pertolongan kau.Jikalau nanti kau bertemu dengan taysu,
katakan bahwa aku, Thio Giok Yauw, jikalau aku bukannya
memandang ayah bundaku, pasti sekali kuil ini kubakar ludes" Oey
Eng terperanjat. Ia melihat muka si nona itu. Wajah sinona merah
padam.
"Dia datang dari tempat jauh, tidak aneh dia kecewa," pikirnya.
"Tentu dia mempunyai ilmu silat yang tinggi, lebih baik aku yang
mengalah saja..."
Maka dari itu ia berdiam diri.
Kembali si nona berkata^ "Eh, orang she Oey, Kouw Heng Taysu
sudi ketempat kau disini, kau tentunya dapat perlakuan yang tidak
dapat dicela, bukan?" Sekarang sinona tak lagi memanggil "Saudara
Oey" dan suaranyapun keras.
" Demikianlah, nona." menyahut Oey Eng
Ia mendongkol juga sebab nona itu bersikap kasar, baik terhadap
Kouw Heng Taysu, maupun terhadapnya sendiri. "Aku belum
diterima sebagai murid, akan tetapi aku telah banyak petunjuk dari
dia, dari itu diantara kami sudah ada kaitan guru dan murid"
"Itulah bagus" berseru si nona yang mendadak mengajukan diri
dan menyerang Oey Eng terkejut, ia melompat mundur. Sukur ia
terus bersiaga^
"Nona" katanya. "kalau nona mau bicara, bicaralah baik baik..."
Glok Yauw tidak memperdulikan, kembali ia menyerah. Kali ini ia
menggunakan kedua tangannya dan ujung jarinya mencari sasaran
secara hebat.
Diserang berulang ulang, terdesak maka terpaksa, ia menangkis
.Justru karena ini, mereka jadi bertarung. Segera ia merasa bahwa
ia menghadapi lawan yang liehay. si nona benar hebat.
Lekas juga, duapuluh jurus telah berlalu. Itulah karena gencarnya
si nona melakukan serangan-
"Ilmu silatmu tidak dapat dicela," berkata si nona dingin. Lalu ia
memperlancar serangannya, membuat lawannya repot.
Oey Eng terdesak. sibuh ia membela diri hingga sulit buatnya
melakukan serangan balasan- Maka juga, lagi beberapa jurus,
tangan kanannya telah kena tertotok. Sasaran itu ialah jalan darah
thian coan, maka seketika juga, tangan kanannya itu tak dapat
digunakan lagi.
Masih Thio Giok Yauw merangsek terus.
Dengan hanya tangan kiri, Oey Eng tidak berdaya lagi. Baru tiga
jurus, kembali ia kena ditotok. sampai dua kali saling susul, pertama
jalan darah hiap pek dilengan kiri, dan kedua jalan darah pou lung
didadanya.
Baharu setelah itu, si nona menghentikan perkelahian- Katanya
dingin: "Karena menjadi orang yang disayangi Kouw Heng Taysu,
aku lampiaskan kemendongkolanku terhadapmu ayah bundaku
pernah ditolong pendeta itu, itulah satu soaL sekarang dia menghina
aku, inilah soal lain Karena dia tak sudi menemui aku, obat yang aku
bawa ini tak sudi aku serahkan kepadanya. Dan kau, jikalau kau
mendendam sakit hati, kau boleh cari aku untuk membuat
perhitungan"
Habis berkata begitu, si nona berlompat mundur, untuk terus
membalikkan tubuh dan pergi melenyapkan diri.
Si anak muda melongo melihat orang mengangkat kaki. Ia
masgul dan mendongkol.
" celaka kau, Oey Eng" katanya didalam hati. "Kaulah laki laki
tapi kau roboh ditangkap seorang wanita Belum tiga puluh jurus
Dengan begini, dapatkah kau memasuki dunia Sungai Telaga?
Dapatkah kau disebut seorang gagah?"
Letih dan berduka, pemuda ini menjatuhkan diri untuk duduk
dilantai. Ia mencoba mengatur pernapasannya. Ia menyesal tidak
mengerti ilmu tenaga dalam yang dapat menyembuhkan totokan,
kedua lengannya tidak dapat digunakan lagi, meski ia masih bisa
berjalan, tetapi ia mirip seorang lumpuh.
Belum lama ia duduk berdiam itu, tiba tiba Oey Eng dikejutkan
suara yang keras: "Bagus ya, hweesio bangkotan. Selagi aku tidak
ada dirumah, kau curi ikanku. Jikalau kau tidak memberikan
keadilan kepadaku, aku akan bakar hangus kuil Siauw Thian ong
Siemu
"Hweeshio" ialah pendeta.
Oey Eng terkejut sekali. Ini dia yang dibilang, satu ombak belum
tenang, lain gelombang telah datang" karena kedua tangannya tidak
berdaya, terpaksa ia berdiam saja, bahkan ia pejamkan kedua
matanya dan menyenderkan tubuhnya, untuk berpura pura tidur.
Hanya diam diam, ia mengintai.
Suara bengis itu dikeluarkan oleh seorang yang berusia kira kira
enam puluh tahun dengan jenggotnya putih turun kedadanya. Dia
mengenakan kopiah putih serta jubah hitam, sebelah tangannya
mencekal joran, yaitu bambu pancing, punggungnya menggendol
jala. Dengan kedua mata terbuka lebar dan bijinya seperti terputar,
tampak dia gusar sekali. Tak berani Oey Eng mengintai terus, buru
buru ia merapatkan matanya.
Orang tua itu melihat si anak muda, ia menggerakkan jorannya,
maka meluncurlah tali pancingnya, terus pancingnya menyantel di
baju orang didada.
"Hai bocah, lekas bangun" teriak dia. "Jangan kau buat darahku
bergolak naik. Nanti dengan pancingku ini aku lempar kau keluar
pendopo ini" Oey Eng khawatir sekali. Tak dapat ia melawan"
Loo tiang, ada apakah ?" ia bertanya, sabar.
"Lotiang" ialah panggilan untuk orang tua.
Nelayan tua itu menghentak pancingnya, meloloskan
cantelannya. "Kemana pergi si hweesio tua bangka?" tanya dia
keras.
"Pendeta yang mana, lootiang?" Oey Eng balik bertanya. Ia
belagak pilon. Gusar orang berbaju hitam itu.
"Aku maksudkan hweesio tua dari Siauw Thian ong Sie ini"
bentaknya. "Jikalau kau tidak kenal dia, bocah, kenapa kau berada
disini?"
"Lootiang, aku adalah seorang yang tengah membuat
perjalanan," Oey Eng mendusta. "Karena letihku, aku singgah disini.
Apes untukku, kebetulan aku bertemu seorang nona kasar, dengan
tidak ada sebab musababnya dia telah menyerang aku hingga kami
jadi berkelahi..."
"Bagaimanakah kesudahannya?" tanya si kakek. tertarik. "Kau
kalah atau menang?"
"Kalah..." sahut Oey Eng, mukanya merah. Dia malu.
"Seorang laki laki kalah dengan seorang perempuan, alangkah
memalukan " seru orang tua itu.
"Aku kalah pandai, habis, apa daya..." Oey Eng mengakui.
sepasang alis putih pengail itu terbangun-
"Eh, bocah, kalau kau kalah, apakah kau tidak mampu lari?"
tanya dia. "Hm Sudah keok, lantas tidor molor disini Sungguh tak
ada guna"
Muka si pemuda menjadi bertambah merah, dia malu sekali.
Tapi, terpaksa dia menutup mulut...
Si orang tua tiba tiba nampak seperti dia ingat sesuatu. Dengan
cepat dia menanya: "Aku si orang tua bukannya orang yang dapat
dipermainkan Lekas kau bilang anak perempuan itu mengenakan
pakaian macam apa?"
"Baju hijau," sahut Oey Eng. "Dia cantik sekali..."
"Tidak salah tidak salah" kata si orang tua berbaju hitam itu.
"Tadi selagi mendatangi kemari, aku bertemu seorang bocah wanita
berbaju hijau. maka kau, bocah, kau nyata tidak ngaco belo" Oey
Eng terus berdiam. Ia tetap jengah.
Si orang bagaikan sudah lupa dengan maksud kedatangannya,
dia mengawasi si anak muda, sembari menggeleng geleng kepaia,
dia berkata sabar. "Nah, bocah, kau harus dengar nasihatku. Ingat,
kalau kelak dibelakang hari kau menikah, jangan kau menikah
dengan wanita yang terlalu cantik "
Mendengar itu, diam diam Oey Eng merasa geli. Pikirnya,
"Mungkin tua bangka ini pernah merasai hebatnya seorang wanita
cantik,.."
"Eh, tahukah kau she dan namanya anak perempuan tadi itu?"
kemudian si oarng tua menanya, romannya bersungguh-sungguh.
Oey Eng mengangguk.
"Bagus " seru orang tua ini. "Aku akan ajarkan kau beberapa
jurus ilmu silat, habis itu kau pergi cari dia. buat menghajarnya,
buat kau membalas sakit hati " Oey Eng heran, dia mendelong
mengawasi orang tua itu.
Si orang tua betul aneh. Dia berkata dan berbuat. Dia
meletakkan jorannya dan berkata "Bangunlah Mari pelajari beberapa
jurusku!"
Dengan merasa sangat malu, Oey Eng kata perlahan- "Aku telah
ditotok anak perempuan itu..."
Si orang tua menghampiri, ia menatap tajam, setelah itu, ia
menepuk nepuk tubuh orang, kemudian dia berkata: "Aku telah
menciptakan semacam ilmu silat yang terdiri dari sembilan jurus,
namanya Kiu ciauw ciang hoat. Asal kau bisa mewariskan separuh
saja ilmuku ini, sudah cukup dan jika nanti kau bertemu pula bocah
berbaju hijau itu, pasti akan dapat mengalahkannya"
Pemuda ini telah tahu benar ilmu silat si nona, ia menyaksikan
kata kata orang tua ini. Pikirnya: " Walaupun aku dapat mewariskan
semua sembilan jurusmu, belum tentu aku akan berhasil
memenangkan nona itu..."
orang tua itu segera membuktikan kata katanya. Tak peduli
orang mau menerima pelajarannya atau tidak. Segera ia memasang
kuda kudanya. Berkata dia: "Sekarang loohu akan memberi kau lihat
jurus jurusku, kau ingat baik-baik, setelah itu, kau menelan "
orang tua aneh ini sekarang membahasakan dirinya "loohu", aku
si orang tua. Habis itu, dengan sangat perlahan, dia mulai dengan
pelbagai gerakannya.
Oey Eng mengawasi. Begitu orang mulai, perhatiannya segera
menjadi tertarik. Ia terus memasang mata.
Nampak sungguh sungguh orang tua itu memberikan
pelajarannya. Semua gerakannya terlihat nyata dan benar benar
luar biasa. Seminuman teh lamanya, selesai sudah pelajaran ilmu
silat itu.
"Sungguh luar biasa" Oey Eng memuji tanpa merasa. Si orang
tua berbaju hitam tertawa.
"Agaknya kau berpengetahuan juga, anak" katanya.
"Lootiang terlalu memuji," berkata Oey Eng merendah.
Berkata lagi orang tua itu: "Kalau aku melakukan sesuatu, tak
sudi aku banyak tingkah sekarang, bocah, jika kau ingin
mempelajarinya, lekas kau mengingat ilmu silatku tadi"
Oey Eng senang sekali, ia segera bersilat, dengan kedua
tangannya sudah sembuh, ia bisa bergerak dengan leluasa. Ia
mengingat ingat sembilan jurus orang tua itu, yang juga saban
saban memberikan petunjuknya.
Kiu ciauw ciang hoat banyak perubahannya setelah lewat kira
kira satu jam, adik Siauw Pek baru bisa menjalankan empat jurus.
Si orang tua tidak sabaran. Dia menyambar jorannya dan
berkata: "Bocah, kamu bebal, aku tidak mau mengajari kau lebih
lama pula" Dan segera dia memutar tubuhnya, untuk mengangkat
kaki berlari pergi
"Loocianpwee, tunggu" berseru ^ianak muda bingung.
"Loocianpwee, aku masih ingin bicara"
orang tua itu menghentikan tindakannya. Dia berpaling. "Apakah
itu? Lekas bicara"
"Boanpwee bersyukur telah diajarkan ilmu silat, tetapi boanpwee
masih belum mengetahui she dan nama loocianpwee..." kata Oey
Eng.
"Buat apakah kau menanyakan she dan namaku? Aku toh tak
mau mengajari sebagai muridku"
"Boanpwee tahu diriku bebal, sukar buatku diterima sebagai
murid, akan tetapi budinya loocianpwee ini besar sekali, tidak dapat
boanpwee tidak dapat ketahui?" kata Oey Eng pula.
"Tak mau aku memberitahukan she dan namaku kepadamu" si
orang tua memutuskan- "Lain kali, jikalau kau bertemu pula dengan
bocah berbaju hijau, kau tampar dia dua kali. Dengan begitu kau
telah tak menyia nyiakan pengajaran ilmu silatku ini"
Habis berkata begitu, orang tua itu membalikkan tubuh, untuk
berlari pergi, dan sebentar saja ia sudah menghilang dari
pandangan-
Oey Eng menyesal. Dengan merangkapkan kedua tangannya, ia
memberi hormat dari jauh kepada orang tua itu, sedang mulutnya
berkata perlahan- " Dengan jalan ini boanpwee mengantarkan
loocianpwee pergi" Ia tahu, sia sia belaka ia menyusul orang tua
yang gerak geriknya sangat pesat itu.
Pada saat Oey Eng membalik tubuhnya, tiba tiba ia mendengar
suara siorang tua: "Tidak usah banyak peradatan, nak. Cukup asal
kau ingat aku siorang tua"
Itulah suara yang dikeluarkan dengan ilmu saluran jauh. Oey Eng
sangat berterima kasih. Kembali ia mengagumi guru yang tidak
dimintanya ini. ia girang karena didalam kesusahan ia memperoleh
tambahan pelajaran ilmu silat. Kalau bukan ia sendiri yang
mengalami, sulit ia percaya peristiwanya itu.
Akhirnya, setelah menghela napas perlahan untuk melegakan
hatinya, pemuda ini bertindak meninggalkan kuil Siauw Thian Ong
Sie itu. Belum ia jalan jauh, segera ia melihat Kho Kong berlari lari
kearahnya, dan dari jauh jauh, saudara muda itu sudah berteriak:
"Jie ko, toako tak tenang hati maka dia menyuruh aku menyusul kau
"
JILID 16
"Bagaimana dengan lukanya toako?" Oey Eng bertanya.
" Hebat ilmu pengobatan si pendeta tua itu" berkata Kho Kong
dengan penuh kekaguman-"Toako telah sembuh seluruhnya.
Sekarang toako tengah duduk bersemadi. Jieko, kenapa baru
sekarang kau meninggalkan kuil? Membuat toako berkuatir saja."
"Ada sebabnya kelambatanku ini, dik. Aku mengalami sesuatu
yang aneh, yang mirip bagai mimpi. Toako baru sembuh, mari kita
lekas pergi kepadanya, supaya dia jangan mengharap harap kita.
Sebentar aku akan tuturkan kepadamu." Kho Kong setuju. Maka
berdua mereka berlari lari.
Kho Kong lari didepan- Ia ajak saudaranya memasuki rimba
lebat. Di dalam situ tampak Siauw pek sedang duduk beristirahat.
Ketua itu rupanya mendengar suara tindakan kaki, ia membuka
matanya. Maka ia segera melihat kedua saudara itu.
"Saudaraku tak ada kesulitan apa apa bukan?" tanyanya.
"Ada yang mengagetkan tapi tidak berbahaya..." sahut Oey Eng,
yang tanpa menanti sampai ditanya lagi, sudah menuturkan
pengalamannya semenjak dia menghambat Thio Giok Yauw, hingga
sinona menotoknya, sampai akhirnya si nelayan tua datang
menolongnya serta mengajari ilmu silat kepadanya. Senang hatinya
Siauw Pek, ia tersenyum.
"Di dalam dunia Kang ouw memang banyak orang bertabiat
aneh," katanya. "Aku percaya ilmu silat orang berbaju hitam itu
bukan sembarangan ilmu silat."
"Memang," kata Oey Eng. "Sayang aku bebal, tak ingat aku
seluruhnya sembilan jurus itu..."
"Habis berapa jurus yang kau ingat?" tanya Kho Kong.
"cuma empat"
"Tentunya kau belum beristirahat, mengasolah disini," kata Siauw
Pek kemudian, "nanti malam kita lanjutkan perjalanan kita."
"Jika luka toako belum sembuh seluruhnya dapat kita singgah
disini satu atau dua hari," kata Oey Eng. Siauw Pek tersenyum.
"Jangan kuatir, aku sudah sembuh seluruhnya sediakala,"
katanya. Sekonyong konyong Kho Kong berjingkrak.
"Mari lekas kita pergi" serunya tiba tiba.
Siauw Pek dan Oey Eng heran, hingga keduanya tercengang.
"Ada apa, adikku?" tanya Oey Eng.
"cie-yam-hoa" berseru Kho Kong. "Cie yam hoa".
Tak tahu Siauw Pek apa itu cie yam hoa. Oey Eng tahu tetapi ia
tidak kesusu seperti si saudara muda.
Setelah tenang, Kho Kong berkata: " Karena Cie yam hoa dapat
mengusir racun, mari kita ambil lebihan, kalau nanti kita ketemu
orang yang memerlukan dapat kita menolong dia. Tentang Ikan
emasnya, kita boleh ambil sembarangan saja."
"Mana dapat kita pakai Ikan emas sembarangan saja?" kata Oey
Eng. "Tentang cie yam hoa, itu memang bunga manjur, bolehlah
kita petik lebihan-"
"Apakah itu cie yam hoa?" tanya Siauw Pek, yang masih belum
mengerti.
"Itulah semacam bunga ungu tua," berkata Kho Kong, yang
segera memberikan keterangannya secara panjang lebar.
"Kalau begitu, benar itulah obat yang berharga," kata Siauw Pek
setelah ia mengerti duduk persoalannya.
"Mari kita pergi mengambilnya." Tapi Oey Eng tertawa.
"Buat apa terburu buru?" katanya. "Kita tunggu sampai toako
beristirahat cukup,"
Siauw Pek dan Kho Kong menurut, maka mereka duduk
beristirahat pula beberapa lama, baru mereka pergi kerimba dimana
tumbuh pohon cie yam hoa itu.
Setelah mereka tiba ditempat tujuan, Kho Kong lalu berjingkrak.
matanya melotot, wajahnya merah, agaknya dia gusar sekali^
" Kurang ajar " dampratnya. Dia terlalu Dia mengambil dengan
sekalian mencabut juga akarnya
Itulah sebab pohon cie yam hoa sudah tidak ada dan tanahnya
terbongkar.
"Hei, kau mencaci siapa?" tanya Oey Eng.
"Aku mencaci orang yang mencabut pohon cie yam hoa ini."
"Sudah, jangan kau memaki pula. Mungkin dialah Kouw Heng
Taysu."
"Benda aneh tidak dapat diambil sembarangan orang," berkata
Siauw Pek, "kita sudah ketinggalan, sudahlah."
Oey Eng beranggapan demikian. "Sekarang tinggal soal Kiu Heng
Cie Kiam itu," kata dia, kembali kepada soal pedang maut itu.
"Nampak orang sudah mencurigai kita, karena itu kita harus berhati
hati."
"Ya, itulah soal sulit," kata Siauw Pek setelah berpikir sejenak.
"Tak dapatkah kita menyamar, untuk mengelabui mata orang?"
Kho Kong usulkan-
"Menyamar memang baik, cuma bagaimanakah caranya?" kata
Siauw Pek.
"Kalau segalanya sulit, memang sukar kita berjalan walaupun
hanya satu tindak..." kata Kho Kong, si tidak sabaran.
"Kau benar, sha tee," berkata Oey Eng. "Tanpa sebab musabab
orang menuduh kita, itulah terlalu Dengan begitu maka semua
orang Kang ouw memandang kita sebagai musuh musuhnya oleh
karena mereka agaknya tidak lagi mengenal perikemanusiaan, aku
pikir, baiklah kita juga jangan memikir lagi tentang welas asih. Ah,
sungguh, didalam dunia ini ternyata ada lebih banyak orang busuk
daripada orang baik baik "
Siauw Pek bagaikan terpengaruh oleh kata kata kedua saudara
itu, ia berjalan mondar mandiri matanya bersinar tajam.
Oey Eng mengawasi ketua itu. samar samar ia melihat sinar
kekerasan pada wajah sang ketua, sedangkan matanya
mengeluarkan sorot kebencian. Diam diam ia heran, pikirnya: "oh,
kalau saja saudaraku ini mengambil tindakan telengas, tentulah
bakal terjadi petaka pembunuhan yang hebat sekali. Karena ini ia
menjadi menyesal telah mengeluarkan kata katanya tadi. Kata
katanya itu bagaikan membangunkan darah si pemuda.
Setelah mondar mandir itu, Siauw Pek menghentikan
tindakannya. Sekarang ia menengadah kelangit. Berselang sesaat, ia
menghela napas perlahan- Hampir serentak dengan itu, lenyap sorot
matanya yang bengis itu.
" Keluarga ku telah kehilangan seratus jiwa lebih," katanya
kemudian, "mengenai itu musuh musuhku ialah orang orang dari
sembilan partai besar serta sembilan partai lainnya, jadi dapat
dianggap. semua orang Rimba Persilatan... Mustahilkah satu Coh
Siauw Pek membinasakan semua orang Rimba Persilatan itu?"
Berpikir demikian, anak muda ini mengawasi kedua saudara
angkatnya. Lalu ia menyambungi: "Jangan kira aku tidak
mempunyai kemampuan itu, andaikata aku sanggup, tidak nanti
akupun jadi begitu sembrono melakukannya"
"Toako benar," berkata Oey Eng, sungguh sungguh. "Kita cuma
mempunyai musuh musuh langsung, tak dapat kita
menyerambetkan semua orang Rimba Persilatan-"
Siauw Pek mengulapkan tangannya, mencegah adiknya bicara
terus. Walaupun demikian, ia tidak membuka mulutnya, hanya dia
berdiri diam, matanya mendelong kesatu arah. Teranglah bahwa ia
sedang berpikir keras.
Kho Kong heran menyaksikan gerak gerik kakak itu, ingin ia
menegur, untuk menanya, tapi mendadak ia dikagetkan oleh
bentakan si kakak. "Siapa di situ ?"
Dari belakang sebuah pohon besar terdengar tawa yang dingin,
disusul dengan jawabannya ini:
"Aku" Menyusul itu muncullah seorang nona dengan baju hijau.
"Thio Giok Yauw" seru Oey Eng, terkejut.
"Engkau benar " berkata nona itu. "Kau telah terbebas dari
totokanku. Kau membebaskannya sendiri atau ada lain orang yang
menolongmu ?"
Oey Eng mengawasi. Ia melihat orang bersikap sungguh
sungguh. Segera ia ingat kata kata si tua berbaju hitam. orang tua
itu mengajari ilmu silat istimewa untuk melayani nona ini, untuk
menggaploknya
" orang tua itu telah mengajari aku silat, dapatkah aku tidak
mendengar kata katanya?" pikirnya lebih jauh. "Jikalau aku tidak
bertemu pula dengan nona ini, tidak apa, siapa tahu, sekarang dia
muncul disini... Bukankah itu berarti dia mengantarkan dirinya
sendiri ?"
Meskipun demikian, pemuda ini ragu ragu, tak dapat dia
mengambil keputusan.
Nona Thio berdiam beberapa lama, ia menantikan jawaban
pemuda itu, tetapi karena orang membungkam, hatinya menjadi
panas, timbullah kegusarannya.
"Hai, anak muda" tegurnya: "Diluar kau nampak jujur, didalam
hatimu, sebenarnya kau licik. Tak dapat tidak. aku harus menghajar
adat kepadamu"
Kata kata ini disusul dengan tindakannya. Si nona berlompat
maju. Karena Oey Eng berada dibelakang Kho Kong, ia melewati si
pemuda sembrono, tiba disisi dia itu, segera tangan kanannya
melayang
Tapi Siauw Pek yang celi matanya, sebab gerakannya. Dia
meluncurkan sebuah tangannya memapaki tangan si nona sambil
menanya: "Nona, sudah lama kau kau datang kemari?"
Si nona tidak menjawab hanya dia membentak: "Minggir kau"
inilah sebab dia mendongkol ada orang yang merintangi sepak
terjangnya, hingga gagal maksud hatinya menghajar Oey Eng. Dan
dalam mendongkolnya itu, terus ia menerjang Siauw Pek, beruntun
sampai tiga kali, berbareng dengan pukulan yang terakhir,
tangan kanannya juga menotok kearah Oey Eng
Pemuda itu menyedot napasnya, ia mundur setindak. Karena
didesak itu, ia jadi berpikir: "Tidak dapat tidak. mesti aku tempur
dia. Tanpa menempur, mana dapat aku menggaploknya "
Siauw Pek sementara itu heran menyaksikan si nona gesit sekali.
"Dia liehay, tidak dapat aku memandangnya rendah," pikirnya.
Dan, ia tak bersedia diserang terus terusan, segera ia membalas
menyerang.
Thio Giok Ya uw tidak pandang mata pada anak muda itu, ia
cuma hendak memukul orang mundur, supaya ia bisa langsung
menyerang Oey Eng, siapa tahu, ia justru diserang. Ia pun
terperanjat. Diluar dugaannya, pemuda ini lihay. sampai ia terdesak
mundur. Saking herannya menatap wajah anak muda itu.
"Ilmu silatmu tak dapat dicela" katanya hambar. Siauw Pek
membalas menatap. tetapi ia tenang tenang saja.
"Sudah lamakah nona datang?" ia mengulangi pertanyaannya.
"Ya, aku telah lama datang," sahut sinona akhirnya. "Memang
kenapa?"
Sejenak Siauw Pek berpikir keras. Tak ingin ia bermusuhan
dengan nona itu. Karena tak ada sebabnya. Ia tak mau menambah
musuh tidak karuan, apa pula musuh yang tangguh. Jika toh ia
mesti turun tangan nona ini mesti dibunuh, guna mengurangi
musuh musuhnya.
Si nona berpikir seperti si pemuda. Hanya dia memikirkan hal
lain- Dia menerka nerka, diantara bertiga pemuda ini, dia inilah yang
rupanya terliehaynya.
"Maka itu, perlu aku menaklukkan dia dahulu dua yang lainnya
mudah," demikian pikirnya terlebih jauh. "Setelah merobohkan
mereka, baru aku mengorek keterangan dari mulut mereka kemana
atau dimana adanya Kouw Heng Taysu..." Dia hanya tahu, ketuanya
liehay, akan mudah saja si ketua merobohkan si nona hingga tak
usahlah ia turun tangan untuk memberi bantuannya. Maka ia
berdiam saja, menonton-..
oleh karena kedua pihak sama sama menggunakan otaknya,
untuk sejenak itu, mereka sama sama bungkam. Adalah si nona,
yang lebih lekas tersadar. Dia bahkan segera menyerang Siauw Pek.
Dia menggunakan tipu silat "Angin putuh meniup pohon yang liu
yang lemah".
Siauw Pek mengeluarkan tangan kirinya, menolak serangan itu.
Ia menggunakan tipu silat "Menggaris bumi membuat batas".
Dengan begitu gagallah serangan si nona. Menyusul itu, ia
menyambar tangan nona itu. Selagi bergerak itu, ia ragu ragu, ia
harus menurunkan tangan jahat atau tidak...
Nona Thio memutar tangan kanannya, untuk membebaskan diri.
Selagi berputar itu, ia meneruskan menotok nadi si pemuda. Itulah
serangan sebat dan diluar dugaan. Siauw Pek terkejut.
" Inilah Tan Cie Sin Kang yang liehay " serunya. "Tan Cie Sin
Kang" ialah ilmu totok "sebuah jari tangan- Ia tahu dan kenal ilmu
itu sebab selama dididik Cie Tong, guru itu telah menceritakan
padanya banyak tentang pelbagai ilmu silat. Sambil mengelit tangan
kanannya itu, untuk membuat lawan repot.
Kembali gagal serangan sinona. Ketika tangannya tersentuh
tangan si anak muda, ia terkejut, ia heran-
"Dia ini liehay, liehay juga tenaga dalamnya," pikirnya. Karena
memikir demikian, ia lalu berwaspada. Ia mencoba merangsak.
Tanpa bersangsi pula, Siauw Pek melayani nona itu, dengan
cepat lawan cepat.
Beberapa jurus dilewatkan tanpa ada kesudahannya, suatu saat
mendadak si nona melompat mundur, kemudian menghunus
pedangnya yang tergembok di punggungnya.
" Dengan tangan kosong saja kita tidak memperoleh keputusan,"
katanya, dingin. "Mungkin, sekalipun sampai seratus jurus, akan
tetapi tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Sedangkan
aku tidak mempunyai banyak waktu luang, maka marilah kita
mengambil keputusan dengan ilmu pedang Setujukah kau?"
"Ah, kau cari susahmu sendiri, nona," kata Siauw Pek didalam
hatinya. Ia lalu menjawab: "Bersedia aku menemani kau main main,
nona" lalu ia pun menarik keluar pedangnya.
Thio Giok Yauw memberi isyarat, kemudian ia menikam. Ia
sombong, hingga ia menggunakan tindakan yang diluar batas. Ia
mengangkat kaki bergerak dengan apa yang dinamakan "Menginjak
Garis Istana Tengah."
"Sungguh dia takabur" pikir Siauw Pek. "Jikalau dia tidak diberi
pelajaran, sukar untuk menundukkan kesombongannya Pula,
dengan melayaninya dengan wajar, entah berapa banyak waktu
mesti aku gunakan-.."
Karena itu, begitu berkelit kesamping, segera ia membalas
menikam. Ia menerka nona itu bakal berkelit. Tapi dugaannya ini
melesat. Sebaliknya, Giok Yauw memutar pedangnya demikian rupa,
untuk dipakai menangkis tikaman itu. Maka beradulah kedua
pedang, dengan keras sekali, hingga selagi suara nyaring
mendengung, tangan mereka masing masing bergetar keras. Maka
sama sama terkejutlah mereka.
"Hm" Siauw Pek memperdengarkan suara dingin. "Sungguh satu
cara yang kasar "
Mengetahui si nona berbaju hijau itu liehay, tidak ayal lagi, Siauw
Pek Kiam hoat, ilmu pedang maha kasih. Ia melakukan pula
penyerangan-
Si nona panas hati. Katanya menantang: "Kalau cara keras, habis
bagaimana ?" Kata kata itu diikuti dengan tangkisannyadan
penyerangnya membalas yang hebat.
Oey Eng dan Kho Kong menjadi kagum berbareng khawatir,
mereka menonton dengan separuh mendelong. Pertarungan itu
menjadi seru sekali.
Sambil bertempur, Siauw Pek heran. Ia tidak kenal ilmu pedang
si nona. Bagaimana keras juga orang menyerang, dapat ia melayani
dengan seksama. Ia selalu bersikap tenang.
Thio Giok Yauw menjadi pihak menyerang dan mendesak.
Dengan cepat ia sudah menikam dan menebas tiga puluh enam kali,
tapi semua itu tidak ada hasilnya. Lawan dapat menangkis atau
mengelit. Agaknya mudah saja lawan itu membebaskan dirinya.
Dari kagum, Thio Giok Yauw menjadi terkejut. Inilah karena si
anak muda mulai melakukan penyerangan membalas, bahkan luar
biasa cepat ia telah kena terkurung sinar pedang pemuda itu. Sia sia
belaka ia mencoba meloloskan diri. Ia hanya bisa menangkis dan
berkelit, lain tidak. Dari kaget ia menjadi bingung, dari bingung ia
menjadi khawatir. Ia mendongkol dan berduka sebab tetap ia tidak
bisa membebaskan dirinya.
Saking khawatir dan bingung, tanpa terasa air matanya meleleh
keluar.
Siauw Pek bermata jeli, ia melihat lawannya menangis, ia
menjadi heran, hingga lekas lekas ia menghentikan
penyerangannya.
"Eh, nona, kenapa kau menangis?" tanyanya.
"Aku benci kepadamu" bentak si nona gusar.
"Apakah itu disebabkan ilmu pedangku lebih liehay daripada ilmu
pedangmu, nona?" menegaskan si anak muda.
"Biarnya kau lebih liehay, tak lebih tak kurang, kau cuma melukai
aku" kata nona itu, "Aku tidak takut mati"
Siauw Pek bertambah heran. "Habis, kenapakah kau menangis?"
"Aku mendongkol karena kau, memang tak mau menangkan"
teriak si nona. "Kau sengaja mempermainkan aku Siapakah yang
sudi menerima belas kasihan darimu?"
Siauw Pek heran. ia menyerang dengan menuruti jalannya ilmu
silatnya. Tak pernah ia memikir hendak mempermainkan lawannya
itu. "Aku tidak berniat mempermainkan kau, nona." katanya.
"Beberapa kali kau memperoleh kesempatan tetapi saban saban
kau mengegoskan pedangmu," berkata si nona "Apakah namanya
itu kalau bukan sengaja?"
Mendengar kata kata itu, Kho Kong yang semenjak tadi
menonton saja, menyela: "Toako kami seorang gagah perkasa,
seorang yang berhati mulia mana mau dia memikir melukai kamu
bangsa perempuan? Hmm Apakah tak tepat untuknya jikalau ia
menaruh belas kasihan atas dirimu? oh, sungguh orang tak tahu diri
"
Gusar Thio Giok Yauw mendengar kata kata orang itu. Mendadak
ia melompat mencelat kepada pemuda itu sambil meluncurkan
tangan kirinya cepat sekali.
Kho Kong melihat serangan datang, ia tidak berkelit, cuma ia
mengangkat tangan kanannya, untuk menangkis.
Diluar sangkaan, Giok Yauw memutar tangan kirinya itu,
meloloskannya dari tangkisan si anak muda, lalu sambil memutar ia
melanjutkan pula. Maka: "Plok" demikian terdengar. Maka
gelagapanlah anak muda itu, sebab pipi kirinya telah kena tergaplok
keras sekali, rasanya nyeri
Setelah menyerang dengan berhasil itu, Giok Yauw melompat
mundur pula, kalau tadi dia menangis dan air matanyapun belum
lenyap dari pipinya, mendadak dia tertawa geli " Hi hi hi!! Inilah
ajaran untukmu, buat ngaco belomu "
Bukan kepalang murkanya Kho Kong, sembari berteriak. ia
lompat menerjang.
"Budak bau Akan aku adu jiwa denganmu " teriaknya.
Melihat saudara itu maju, Siauw Pek lompat menghadang.
Saudara bukannya lawan nona yang jauh lebih liehay dan
agaknyapun telengas
"Sha tee, jangan sembrono" katanya. "Nanti aku yang
membalaskan sakit hatimu"
Saudara ini tahu diri, ia mundur.
Dengan pedangnya, Siauw Pek menuding si nona.
"Nona, kau terlalu" katanya. " Kenapa kau lancang menghajar
orang? Jikalau kau tidak memberikan keadilanmu, jangan harap kau
nanti dapat berlalu dari sini "
Kedua mata jeli si nona berputar.
"Dengan bertangan kosong, kita seri " berkata dia. "Hanya
dengan pedang, aku kalah setingkat. Bagaimana kalau sekarang kita
mencoba dengan senjata rahasia ?"
Bingung juga Siauw Pek. Pikirnya: "Aku belajar silat tetapi tidak
pernah mempelajari senjata rahasia, kalau aku menolak nona ini, itu
seperti menunjukkan kelemahanku, sebaliknya apabila aku
menerima baik, tak ada peganganku... Bagaimana?" Si nona
mengawasi tajam. Dia menerka hati lawan-
"Takutkah kau?" tanyanya, tertawa dingin. Alis pemuda itu
terbangun-
"Bagaimana caranya kita mengadu kepandaian?"
"Ah, mengadu senjata rahasia saja kau tidak tahu" nona itu
mengejek. "Sungguh tolol bagaimana jikalau kita bertanding bunpie,
yaitu secara lunak?"
"Secara lunak bagaimanakah?" Siauw Pek tegaskan.
"Pertandingan bunpie sangat sederhana " berkata nona itu.
"Begini. Kita berdua berdiri berhadapan, terpisahnya satu dengan
lain satu tombak lima kaki. Kalau yang satu menyerang dengan
senjata rahasianya, yang lain berkelit. Kita membatasi menyerang
sampai sepuluh kali. Siapa yang kena diserang, dialah yang kalah.
Umpamakan kita menggunakan bu-pie, yaitu cara keras, lain lagi.
dengan Bu pie tidak mengenal batas, siapa terhajar dahulu, dia
yang kalah Jikalau kau jeri, sudahlah, tak usah kita mengadu
senjata rahasia "
"Walaupun aku belum pernah mempelajari senjata rahasia,
bersedia aku menemaki kau, nona," kata Siauw Pek. "Cuma..."
"Cuma apakah ?" si nona memotong.
"Aku tidak membekal senjata rahasia. Lalu bagaimanakah ?" Thio
Giok Yauw tertawa manis.
"Tidak apa" katanya. " Dapat aku meminjamkan kau "
Kemudian nona aneh itu merogoh sakunya, mengeluarkan
segenggam gin lian cie, yaitu senjata rahasia yang mirip biji teratai.
ia menghitung sepuluh biji, terus ia lemparkan pada si anak muda.
"Sambut ini" katanya. "inilah gin lian cie, semacam senjata
rahasia yang termudah asal kau bertenanga dan dapat menimpuk
dengan jitu, cukup sudah "
Siauw Pek menyambut senjata rahasia itu "biji teratai perak"
demikian artinya gin lian cie, tetapi sebenarnya terbuat dari besi.
Didalam hatinya dia berkata: "inilah cara bertanding yang aneh.
Masa senjata rahasia dipinjamkan orang?" Diam diam ia tertawa
dalam hati.
Segera terdengar suaranya si nona. "Oleh karena kau tidak
pernah mempelajari senjata rahasia seperti katamu, silahkan kau
yang mulai."
"Akulah laki laki sejati " kata Siauw Pek "Tak pantas aku
menyerang lebih dulu" Nona itu tertawa.
"Jikalau aku yang menyerang lebih dulu maka kau akan
kehilangan kesempatanmu " katanya.
Si anak muda menggelengkan kepala.
"Sekalipun aku terlukakan, tak nanti aku mengalahkanmu "
katanya.
"Baiklah kalau begitu" kata sinona. "Karena kau berkeras tidak
mau mengalah dari aku, mari kita menggunakan cara cangkriman:
siapa yang menerka jitu, dia yang turun tangan lebih dahulu "
"Nah, begitu baru adil Bagaimanakah caranya?" Bagaimana, aku
yang menyarahkan atau kau?"
"Kau saja, nona," kata Siauw Pek setelah berpikir sejenak.
"Dapat aku yang menyarankan tetapi tak dapat kau tentang" kata
nona itu, yang aneh dan nakal tabiatnya.
"Apa saja yang aku sebutkan itulah dia caranya" Siauw Pek
mengernyitkan keningnya.
"Baiklah, terserah kepadamu, nona" katanya akhirnya.
Thio Giok Yauw menyingkap memebereskan rambutnya dikedua
belah pipinya. Kembali ia tertawa manis.
"Nah, tebaklah, berapa usiaku?" demikian tanyanya. Siauw Pek
tercengang.
"Inilah cara yang aneh," pikirnya. "Secara begini tentu sekali
dialah yang menang" Tapi ia tak dapat menentang. Maka ia lalu
menatap nona itu, akan menerka nerka usia gadis itu.
"Menurut penglihatanku, nona, kau baru berusia delapan belas
tahun," katanya. Giok Yauw tertawa manis sekali. Dia melirik secara
menggiurkan-
"Hayo tebaklah, kau menerka tepat atau tidak" katanya.
Siauw Pek heran- Gadis ini jail sekali.
"Tentulah terkaanku tidak tepat," sahutnya. "Umpamakan aku
menebak jitu, jikalau nona tidak sudi mengaku, sia-sia saja
terkaanku itu..." Nona itu tersenyum.
"Terkaanmu tak salah sedikit juga" katanya. "Nah, kau
menyeranglah lebih dahulu" Berkata begitu, dia bertindak mundur
sampai setombak lebih untuk berdiri tegak. "Hayo, sekarang kau
boleh mulai menyerang aku"
Siauw Pek memegang dua biji gian lian cie ditangan kanannya
"Hati-hati nona" katanya seraya terus menyerang, hingga kedua
biji teratai besi itu memperdengarkan suara angin bersuing. ia
belum pernah mempelajari ilmu menggunakan senjata rahasia tetapi
karena mahir tenaga dalamnya, serangannya itu pesat dan tepat. Ia
mengincar jalan arah ceng hiat didua bahu sinona.
Baru saja anak muda ini menggerakkan tangannya, si nona
sudah berkelit. Dia mengegos tubuh dengan tenang. Dia seperti
juga sudah tahu inceran lawan-Siauw Pek mengerutkan alisnya.
Kembali ia menyerang dengan dua biji teratai.
"Cara timpukanmu tidak tepat" berkata sinona nyaring sambil dia
berkelit pula. Diapun tertawa.
Tiba tiba hati sipemuda tergerak. Segera ia menyiapkan tiga biji.
Ia menggunakan tangan kanannya. Mulanya ia menyerang dengan
dua biji, ketika ia melihat tubuh sinona bergerak ia menyusuli
dengan biji yang ketiga.
Beruntun dua kali. Nona Thio mengelitkan dirinya. Serangan
luput mengenai sasarannya.
"Kali ini kau memperoleh kemajuan" kata nona itu memuji, "kau
harus berhati-hati, kau sudah menggunakan tujuh biji, hingga
tinggal lagi tiga buah gin liancie. Asal kau gagal lagi maka kaulah
yang terhitung kalah"
Siauw Pek berpikir: "Setiap kali aku menyerang, dia mendahului
berkelit, dia seperti sudah menerka sasaranku, kalau begini,
teranglah bahwa aku bakal kalah." Nona itu mendadak tertawa.
"Apakah kau sudi aku mengajari kau bagaimana caranya
menyerang ?" dia tanya. Kembali Siauw Pek heran, aneh nona ini
Tapi dia beradat tinggi.
"Tak usah kau mengajari aku, nona," katanya tawar. "Andaikan
aku tidak dapat menyerang jitu terhadapmu, kau sendiri belum
tentu akan berhasil menyerangku"
Membarengi kata-katanya itu, Siauw Pek menyerang pula dengan
sisa semua biji teratai besinya itu.
Thio Giok Yauw mendongak. menekuk tubuhnya kebelakang,
membiarkan lewat ketiga senjata gelap itu.
Siauw Pek kecewa melihat semua serangannya gagal. Tapi
dengan begini dia menjadi insaf betapa pentingnya senjata rahasia,
hingga ia memikir, perlu ia mempelajarinya apabila telah datang
kesempatannya. Giok Yauw berdiri pula dengan tegak. Dia tertawa.
"Berhati hatilah kau!! Sekarang giliranku."
Siauw Pek menanti, bersiap sedia. "Silahkan, nona" katanya.
Kedua mata si nona memain, dia mengawasi, otaknya bekerja.
"Tentang kepandaianku menggunakan senjata rahasia, tak berani
aku menyebutnya menjagoi dunia Rimba Persilatan," katanya
sebelum mulai menyerang, "akan tetapi mereka yang dapat
menandingi aku, jumlahnya tidak banyak. maka itu andaikata kau
kena terhajar, dan menjadi kalah karenanya, itulah tidak aneh."
"Dia banyak bicara, dia mau mengacaukan pemusatan pikiranku,"
kata Siauw Pek didalam hati. Lalu ia berkata: "Tidak apa nona, kau
mulailah "
"Awas " berseru nona itu seraya dia mengayun tangannya. Maka
dua sinar berkilauan meluncur pesat kearah sianak muda.
" Inilah serangan tidak aneh," pikir Siauw Pek yang melihat tegas
melesatnya gin lian cie. Ia mengegos tubuhnya kesamping.
"Serangan pertama ini dinamakan Dua Dewa Membuka Jalan,
inilah yang paling mudah dikelit," berkata si nona. "Yang akan
menyusul ialah tipu Lulus Ujian, inilah rada sulit, hati hatilah."
Berbareng dengan peringatan itu, tiga biji senjata rahasia
menyambar Siauw Pek. Ketiga gin lian cie itu bersikap mengurung,
sukar buat mengegos tubuh, terpaksa si anak muda berkelit dengan
berlompat nyamping. Tapi, baru saja ia berhenti berkelit, lain
senjata sudah datang pula, suara anginnya terdengar nyata. Ia
kaget lekas lekas ia menggeser tubuh kekiri. Akan tetapi, baru ia
mengegos, lain serangan tiba pula. Hebatnya serangan paling susul
itu, repot si anak muda meng elitnya.
Segera terdengar tawa sinona, nyaring dan riang, disusul dengan
kata-katanya:
"inilah tiga biji yang terakhir, yang paling sukar dihindari jikalau
kau berhasil meloloskan diri dari serangan ini, kita jadi seri, tidak
ada yang menang, tidak ada yang kalah "
"Mudah mudahan saja" kata Siauw Pek di dalam hati. Ia tidak
menjawab nona itu.
Thio Giok Yauw menggerakkan tangannya dengan perlahan.
Rupanya sengaja ia memperlihatkan serangannya itu. Siauw Pek
melihat ia tertawa didalam hati. Ia percaya mudah akan ia
membebaskan diri. Tapi justru ia berpikir begitu, terjadilah hal diluar
dugaannya
Saling susul meluncurlah ketiga gin liancie, tetapi yang
terbelakang demikian pesat hingga dia menyusul yang didepannya,
melanggarnya mental. Masih dia meluncur terus, untuk membentur
yang terdepan. Kali ini, ketiga biji teratai besi itu meluncur
berbareng sama pesatnya terbagi dalam tiga jurusan-
Menyaksikan itu, hati Siauw Pek terperanjat. Nyatalah terkaannya
meleset jauh, iapun menjadi repot. Lekas ia berkelit kekanan, tetapi
tidak urung sebiji teratai mengenai bahunya
Nona Thio bertindak maju dengan tindakan perlahan, wajahnya
tersungging senyuman, dengan manis ia berkata: "Mencoba ilmu
silat bertangan kosong, kita tidak kalah dan tidak menang, mengadu
pedang aku kalah satu tingkat, tetapi dalam halnya senjata rahasia,
kaulah yang kalah. Maka itu diakhirinya, kita membagi rata, kita seri
"
Siauw Pek merasai bahunya sedikit nyeri, tetapi ia tidak
menghiraukan, ia hanya mengkhawatirkan orang nanti ketahui
tentang dirinya. Tiga belas tahun ia hidup terlunta lunta, setiap
tahun tambah pengalaman dan pengetahuannya. Sekarang ia
memunculkan diri buat sementara, tak ingin ia dikenal umum. Inilah
untuk mencegah musuhnya meluruk mengepungnya.Jikalau itu
sampai terjadi, sulit bagi dia untuk menyelidiki siapa musuh yang
sebenarnya. Karena itu, bagaimana ia harus bersikap terhadap nona
ini? Apakah ia mesti membinasakannya, guna menyumbat mulutnya
? Selagai sinona mendatangi, anak muda ini mengawasi tajam.
"Nona," sapany, "aku ingin mengajukan satu pertanyaan kepada
kau tetapi aku mengharap kau suka menjawab dengan sejujurnya."
Sinona bertindak dengan sikap sungguh sungguh, ditanya begitu
rupa, dia heran dan tercengang. Dia balik menatap. "Apakah itu ?"
tanyanya.
"Apakah nona ketahui she dan namaku ?" Nona itu menggeleng
kepala.
"Aku tidak tahu, sebenarnya siapakah kau?" Sianak muda
bernapas lega.
"Syukur," katanya. "Nona, silahkan-"
Giok Yauw heran- Pikirnya: " orang ini aneh. Kadang-kadang
sikapnya tegang kadang-kadang biasa, mesti ada sebab
musababnya. Hm Mungkinkah dia hendak menggertak aku ? Kalau
begitu, akupun menggertaknya."
Sejak masih kecil nona ini biasa dimanjkana sesudah besar, dia
bisa membawa kehendak
(hal.38-39 tidak ada)"
Berjalan didepan, Siauw Pek mendahului masuk kedalam kuil itu
Itulah rumah suci dengan hanya dua kamarnya. Mereka menuju
kedepan meja pujaan, untuk duduk disitu.
Oey Eng teliti, begitu masuk ia segera keluar lagi, untuk melihat
sekitarnya, terutama untuk mengawasi kearah dari mana tadi
mereka datang. Ia kuaitr nanti ada orang yang menyusulnya. Baru
setelah itu, ia kembali kedalam.
"Agaknya kota Gak yang kacau sekali," katanya perlahan. "Kiu
Heng cie Kiam bergerak seperti apa yang dikatakan naga sakti yang
terlihat kepalanya tapi tidak ekornya. Dia pula bersikap sangat
keras, dia menemui siapa, dia membunuh siapa. Terang itulah
akibatnya saling balas membalas. Mungkin dia memusuhi seluruh
Rimba Persilatan-"
"Kau benar, jieko," berkata Kho Kong. "Mungkin dialah seorang
yang baru keluar dari rumah perguruan, yang hendak membuat
nama. Dengan Kiu IHeng cie Kiam dia mengagetkan dan
menggemparkan dunia Kang ouw."
"Kalau dia hanya hendak mengangkat nama kenapa dia
mengambil jalan yang begitu?" kata Oey Eng. " Dengan cara ini, dia
mendatangkan banyak musuh."
siauw Pek berbangkit, ia berjalan mondar mandir. Seorang diri ia
menggumam: "Mungkinkah didalam dunia ini masih ada satu orang
lain yang pengalamannya pahit getir sama dengan pengalamanku,
ialah dia bertanggung jawab untuk hutang darah yang melumurkan
seluruh tubuh ?"
Didalam kegelapan dan kesunyian sang malam itu, tiba tiba
mereka mendengar derap kaki kuda yang sedang mendatangi.
"Ada orang " kata si anak muda.
Oey Eng getap sekali, dia berlompat bangun lari keluar pintu. Dia
menerka nerka, apa Thio Giok Yauw yang datang...
Diarah selatan mulai tampak sesosok tubuh hitam gelap. pesat
datangnya. Nampak orang lagi menuju kekuil itu.
Bertepatan dengan itu, datang pulalah suara derap kuda dari
arah timur dan utara. Menerka dari suaranya, sedikitnya mereka itu
lima orang penunggang kuda. Lekas lekas Oey Eng kembali kedalam
untuk memberitahukan Siauw Pek dan Kho Kong.
"Bisajadi... itulah si budak perempuan she Thio yang penasaran
karena dikalahkan oleh toako," kata Kho Kong. "Jika tidak mau
melayani dia, mari kita sembunyi"
"Takkan keburu" kata Oey Eng. Benar orang itu telah ada dimuka
kuil. "Kita sembunyi di kolong meja", berkata Siauw Pek. Bertiga
mereka menghampiri meja, akan mendekam di kolongnya.
Baru mereka bersembunyi, dua orang telah masuk kependopo.
Mereka berbaju hitam dan jalannya berendeng.
"Cap it long, apakah kau telah periksa sekitar sini?" tanya orang
sebelah kiri.
"Sudah Telah satu hari aku menggunakan waktu." menjawablah
orang yang ditanya itu, yang mengaku adik itu. "Kuil ini terpencil di
tempat belukar, empat lima mil di sekitarnya tak ada rumah orang."
"bagus Mari kita bersihkan dahulu kuil ini"
" Tidak usah kau capai capai diri, kiu ko, telah aku bersihkan."
kata cap itu long anggota yang kesebelas. Sedangkan kawannya itu,
yang ia panggil kiu ko, adalah kakaknya yang kesembilan- Lalu dia
menyalakan api, untuk menyulut lilin di atas meja, sehingga seluruh
pendopo menjadi terang.
Diatas meja itu terdapat empat buah lilin sebesar lengan- Tadi
Siauw Pek bertiga tidak memperhatikannya. Bertiga mereka
mendekam terus, syukur meja itu besar, cukup tempat itu luang
buat mereka bersembunyi.
"Sepak terjang kita menarik perhatiannya kaum Rimba
Persilatan," berkata cap it long tertawa. "Telah ada gerakannya
keempat bun, tiga hwee dan dua pang, demikian juga sembilan pay
besar, dan mereka kabarnya sudah mengirim orang orang mereka
datang kemari."
"Ya, hal kabarnya sudah ada, tinggal kenyataannya nanti," kata si
kiu ko. "Malam ini Kiam cu memanggil kita berkumpul disini,
mungkin ada urusan besar dan penting..."
Belum sirap suara orang ini, dua orang lain tampak memasuki
kuil. Berpakaian sama hitam serupa, di punggung mereka tergendol
pedang dan di pinggang kirinya tergantung sebuah kantung rumput
yang besar, entah apa isinya.
"Su ko Ngo ko " memanggil cap it long setelah dia menoleh. Su
ko ialah kakak keempat dan ngoko kakak kelima.
Kedua orang berbaju hitam tertawa. Yang satunya berkata:
"Selama hari hari yang belakangan ini saudara cap it long
senantiasa mendampingi Kiam cu, tahukah kau apa maksudnya kali
ini Kiam cu memanggil kita berkumpul ? Apakah ada suatu urusan
besar?" cap it long tertawa.
"Bukankah saudara saudara sudah ketahui tabiat Kiam cu ?" dia
membaliki. "Kendati ada urusan bagaimana besar juga, tidak nanti
Kiam cu memberitahukan kepadaku."
Ketika itu terdengar pula derap kuda, lalu muncullah empat orang
lainnya. Mereka itu pun berdandan serba hitam.
siauw Pek berpikir: "Mereka semua berseragam serupa, gerak
gerik mereka berahasia. Mereka pula agaknya berkepandaian tinggi.
Entah apa maksud mereka berkumpul disini. Siapakah itu yang
dipanggil Kiam cu? Tentulah Kiam cu tua n pedang dimaksudkan
ketua mereka..."
Selagi si anak muda berpikir, lagi lagi terdengar derap kuda.
Seorang muda, yang juga berbaju hitam, masuk secara terburuburu
terus ia berkata dengan suara dalam : "Saudara saudara, mari
menyambut kiam-cu telah tiba"
siauw Pek mengawasi pemuda itu. Ia melihat jumlah mereka
sekarang menjadi sembilan orang. Mereka itu segera mengatur diri,
berbaris rapi dalam satu barisan, tangan mereka diangkat tinggi
keatas kepala mereka, semua bersikap tegak dan hormat. Segera
terdengar suara mereka: "Kami menyambut Kiamcu yang maha
agung"
siauw Pek memandang kearah pintu, maka ia segera melihat
orang yang dipanggil Kiam cu itu, yang telah lantas muncul. Dialah
seorang nona dengan pakaian serba hitam dan pinggangnya
terlibatkan sehelai angkin, atau ikat pinggang warna merah. Dia
bertindak dengan perlahan- Wajahnya tidak terlihat tegas, karena
mukanya tertutup sebuah topeng yang aneh berntuknya.
Nona berbaju hitam itu diiring dua orang budak perempuan yang
masing masing usianya tujuh atau delapan belas tahun, semua
mengenakan pakaian warna hijau dengan pedang pedang
tergemblok dipinggang mereka. Mereka semua cantik manis.
Si nona berbaju hitam mengulapkan tangannya, yang
terselubungkan sarung tangan warna hitam juga. Katanya: "Tak
usah banyak adat peradatan" Suaranya halus dan merdu.
Barisan penyambut itu menyahut, segera mereka menurunkan
tangan mereka, terus mereka memecah diri dalam dua barisancampak
mereka hormat dan jeri...
Si nona berbaju hitam itu, yang disebut kiamcu, bertindak
menghampiri meja. Disitu ia memutar tubuhnya, memandang
kesembilan orangnya.
Segera siauw Pek mendengar pula suara yang merdu: "Toa-long,
jie-long dan sam- long masih belum tiba, mungkin mereka
menghadapi sesuatu rintangan-.."
Nona itu mengawasi juga si pemuda berbaju hitam, dia
menambahkan : "ca jie long, apakah kau telah memberi kabar
kepada mereka itu?"
"Sudah" sahut si pemuda berseragam hitam itu.
"Mereka itu tak menepati waktu, tak usah kita menantikannya."
berkata si kiamcu, kali ini suaranya dingin.
Sembilan orang itu lalu merangkapkan tangan mereka, tanda
menghunjukkan hormat pula. Lalu satu diantaranya, yang pertama
dibarisan kiri, berkata:
"Su long melapor Didalam waktu lima hari murid sudah
menggunakan tiga batang Kiu Heng cie Kiam membinasakan tiga
orang Rimba Persilatan "
Dengan " murid", su long membahasakan dirinya sendiri. "Su
long" ialah anggota yang keempat. Dialah yang dipanggil si suko
tadi.
"Tahukah kau tentang diri mereka itu?" tanya Hek Ie Kiam cu, si
kiamcu berbaju hitam itu.
"Yang satu yaitu murid Siauw Lim Sie bukan pendeta, dan yang
dua ialah orang orang dari Hok siu Po."
"Apakah mereka mati seketika ditempat?"
" Kecuali murid Siauw Lim Sie itu, yang dua mati ditempat."
"Bagus" berkata si kiamcu seraya mengulapkan tangannya.
"G.Ing Kun, catat jasa s u long "
Nona baju hijau yang dikiri budak pengiring itu mengyahuti, terus
dia mengluarkan sejilid buku hitam, untuk menggores satu kali,
mencatat jasa su long itu.
"Ngo long melapor " terdengar satu suara lain. "Didalam waktu
lima hari murid telah menggunakan sebatang Kiu Heng Cie Kiam
membinasakan tongcu dari Cit Seng Hwee."
"kau tak berjasa dan tak bersalah," kata si kiamcu.
Menyusul itu datang laporan liong long, cit long dan pat long,
anggota anggota keenam ketujuh dan kedelapan- Mereka juga tidak
berjasa tidak berdosa.
Lalu datang giliran laporan kiu long, anggota kesembilan-
Didalam waktu lima hari dia telah membinasakan tujuh orang liehay
kaum Rimba Persilatan, maka dia berjasa dan memperoleh tiga
goresan-
Cap it long dan capji long, yang bertugas menyampaikan
pengumuman rapat itu, tidak berjasa dan juga tidak bersalah.
Kini tinggal seorang anggota lagi. Dialah sip long, anggota yang
kesepuluh. Dia berdiri diam dengan kepala tunduk, tak bergerak.
"Eh sip long, kenapa kau berdiam saja...?" tegur si kiamcu,
perlahan-Anggota yang ditegur itu memberi hormat.
"Selama lima hari, murid tak berhasil membinasakan seorang
juga, maka itu murid tidak dapat memberi laporan," sahutnya,
suaranya dalam.
"Kalau begitu tahukah kau telah melakukan pelanggaran apa?"
"Murid tahu. Terserah Kiamcu menegurnya"
"Kau harus dikutungi sebuah jari tanganmu" kata si kiamcu. "Tapi
inilah kesalahanmu yang pertama kali, kau dapat diberi ampun,
hanya lain kali kau mesti berbuat jasa untuk menebusnya"
"Terima kasih, kiamcu. Murid sangat bersyukur sekali "
Tepat waktu itu dari luar terdengar tindakan kaki berat tetapi
cepat.
Kedua budak berbaju hijau itu getap sekali. Hampir berbareng
mereka itu mengibaskan tangan kiri mereka, memadamkan api lilin
kemudian tangan kanan mereka menghunus pedangnya masing
masing.
Kesembilan pria berseragam hitam pula segera berpencar,
melakukan persiapan pertarungan-
Didalam gelap itu, Siauw Pek memasang mata dan telinga. Ia
tahu, si kiamcu tak bergerak.
Dilain pihak. dari luar segera tampak berkelebat sesosok
bayangan hitam.
Pat long dan kiu long bersembunyi dibelakang pintu, merekalah
yang paling terdahulu menyambut dengan serangan mereka,
dengan tikaman- Pedang mereka berkilauanorang
yang menerobos masuk itu liehay. Dia melihat cahaya dan
dengar siuran anginnya pedang, dengan cepat dia menangkis,
hingga ketiga batang pedang beradu satu dengan lain dan
menerbitkan suara nyaring.
"Tahan- terdengar seruan si Kiamcu. " Orang sendiri"
Ketika itu, yang lain lain pun segera mendapat tahu bahwa orang
itu adalah kawan sendiri, maka semua segera menyimpan
senjatanya masing masing. "Shako" menyapa cap it long.
"Benar aku Apakah Kiamcu telah datang?" jawab orang itu seraya
balik bertanya.
"Punco disini" si kiamcu mendahului menjawab. Dia
membahasakan dirinya punco. Orang yang baru datang itu
menyimpan pedangnya.
"Sam long melapor..." katanya.
"Kenapa kau tidak menepati panggilan berapat?" si kiamcu
memotong.
"Murid berangkat tepat untuk berapat akan tetapi ditengah jalan
murid mendengar berita yang penting," sahut anggota itu, "karena
itu murid datang terlambat. Mohon dimaafkan-.."
"Apakah berita penting itu?" si kiamcu menegasi.
"Sebenarnya murid mengintai beberapa jago Rimba Persilatan,
niat murid untuk turun tangan pada waktunya, tetapi justru dari
mulut mereka itu murid mendengar berita bahwa ketua siauw Lim
Pay sudah datang ke Lam Gak secara diam diam..." Lam Gak ialah
gunung Heng San di ouwlam.
Agaknya hati si kiamcu tergerak, hingga terdengar dia berseru
tertahan- "oh ..."
Lalu dia bertanya: "Masih ada siapakah lagi?"
"Berbareng juga ketua ketua dari Bu Tong pay, Ngo Bie pay dan
Khong Tong Pay telah berangkat ke lam Gak. melakukan pertemuan
dengan ketua siauw Lim Pay itu, hanya entah untuk urusan apa..."
Kiamcu itu tertawa hambar.
"Katanya saja mereka ketua ketua partai partai besar yang lurus
tetapi perbuatan mereka sebenarnya tak dapat dilihat diterang
matahari" katanya. "Manakah toa-long dan jie-long?"
"Kedua saudara itu dengan menyamar sudah berangkat ke Lam
Gak." menjawab sam long. "Murid sengaja pulang untuk memberi
laporan sekalian minta petunjuk." Hek-ie kiamcu berdiam sejenak.
"Bagus" katanya kemudian "Jikalau kita bisa membinasakan satu
saja diantara ketua ketua keempat partai besar itu, perbuatan kita
pasti menggemparkan dunia Kang ouw Dengan begitu, hasil kita
jauh lebih menang daripada kita membunuh sepuluh atau seratus
murid mereka Sekarang segera kamu menyalin pakaian dan
berangkat ke Lam Gak buat sementara di sepanjang jalan jangan
kamu menggunakan Kiu Heng Cie Kiam, supaya kita jangan seperti
menggeprak rumput membuat ular kaget dan kabur, agar mereka
itu tidak curiga."
Anggota-anggota yang berbaris dikir dan kanan itu serempak
menjawab, serempak juga mereka memberi hormat, terus mereka
lari keluar, maka sesaat kemudian terdengarlah suara derap kuda
mereka.
Dalam sekejap. pendopo kuil kembali pada ketenangannnya. Di
situ tinggal hek ie kiamcu bersama dua orang budaknya.
Sejenak kemudian terdengar pula suara halus dari kiamcu itu:
"Ging CUn, coba kau pergi keluar Lihat mereka sudah pergi atau
belum"
suara itu beda jauh sekali dengan suaranya yang tawar tapi
keren tadi.
Budak yang dikiri menyahut, terus dia lari keluar. Dia kembali
beberapa saat kemudian dan melaporkan bahwa semmua kiam su,
ialah orang orang berseragam hitam itu, sudah tak nampak
sekalipun bayangannya. Kiamcu itu menghela napas.
"Bagus" katanya, kembali perlahan. "Mari kita berangkat"
"Budak hendak melapor," berkata Ging Kun, "Toa kong dan kiu
long sudah berjasa besar, lagi hanya satu jasa lainnya, maka
mereka akan sudah memenuhi syarat nona yang menjanjikan
hadiah kepada mereka itu. Kata kata nona menjadi peraturan dan
kedua belas kiam supun telah mendengarnya, maka itu apabila telah
tiba saatnya hadiah belum diberikan, budak kuatir mereka kecewa
dan mungkin sulit untuk memuat mereka mentaati perintah..."
Siauw Pek mendengar kata kata itu. Ia heran. Apakah ada soal
lainnya? Kenapa budak ini memperingatkan ketuanya itu secera
demikian rupa? Aturan keras kalau hadiah telah dijanjikan, sudah
selayaknya hadiah itu diberikan. Pelanggaran toh menerima
hukuman.
"Apakah cuma toa long dan kiu long berdua yang telah berbuat
sembilan jasa?" terdengar si ketua menanya budaknya.
"Benar mereka berdua," sahut Ging Cun, "Di belakang mereka jie
long dan sam long lagi menyusul dengan pesat. Mereka ini masing
masing sudah membuat delapan jasa." Kiamcu itu menghela napas
perlahan-
"Harap saja didalam perjalanan ke Heng san ini dua toa long dan
kiu long menemui ajalnya ditangannya ketua empat partai itu,"
katanya, masgul.
"Dengan demikian maka akan bebaslah aku dari kesulitan-"
"Toa long dan kiu long liehay.Jie long dan sam long hanya
setingkat dibawah mereka itu," berkata Ging Cun, "kalau keempat
mereka mengalami sesuatu, sukar kita mencari ganti untuk
mereka."
"Pandangan budak beda daripada pandangan kakak Ging Kun,"
berkata budak disebelah kanan- Baru sekarang dia membuka
mulutnya. "Budak mau bicara mengenai si- long. Dia pendiam
sekali, kenyataannya dia ketinggalan oleh lain-lain kiamsu. Tapi
menurut penglihatanku, dia mempunyai ilmu silat yang mahir sekali.
Sekarang ini dia cuma terhalang pelbagai aturan- Diantara dua belas
kiamsu, dialah yang terlihay."
"Sip long itu," berkata Ging Cun, "semenjak dia turut nona,
belum pernah membuat jasa apa juga, bahkan sebaliknya, pernah
dua kali membuat pelanggaran- Coba nona tidak berbelas kasihan,
yang telah memberikan keampunan kepadanya, mungkin dia telah
kehilangan beberapa buah jeriji tangannya .Jikalau dia benar
mempunyai kepandaian tinggi, apakah dia tidak meyayangi jari
tangannya itu?" Nona yang dikanan itu tertawa.
"Kata kata kakak beralasan juga," katanya, "cuma pandangan
kakak dapat ditunjukkan melulu kepada orang yang kebanyakan,
tidak untuk menilai sip long. Sip long tidak dapat dilihat semudah
yang lain lainnya."
"Gim ciU" si kiamcu menyela. "Kita bertiga namanya saja majikan
dan budak-budak, sebenarnya kita melebihkan saudara kandung
sendiri. Sekarang aku hendak bertanya kepada kau: Kau bilang siplong
pendiam dan liehay, apakah itu cuma perasaan saja atau
karena kenyataan, ada buktinya?"
"Tanpa bukti tidak nanti budak sembarangan bicara," sahut
budak yang dipanggil Gim ciu itu.
"Kalau benar katamu itu, bicaralah" siketua menganjurkan, mari
kita lihat dan pahamkan bersama.
"Dua hari yang lalu budak menerima perintah pergi ke Hok Siu Po
untuk melihat gerak g erik disana," berkata Gim ciu. "Budak pergi ke
sana bersama sip- long. Nona toh ingat ini?"
"Ya aku menyuruh kau pergi dengan menyamar, supaya kau
dapat menyelundup masuk dan bercampur dengan orang orang Hok
Siu Po."
"Disana budak berhasil mencuri seperangkat pakaian bujang,
maka budak lalu menyamar." Gim Ciu bercerita lebih jauh. Dengan
begitu budak menjadi bebas untuk masuk keruang dalam. Budak
mau membuat penyelidikan sambil memikirkan daya mengacau,
untuk mengalutkan mereka."
Kiamcu memotong: "Adakah ini hubungannya dengan sip- long?"
"Ya. Sip-long pun berhasil mencuri seperangkat pakaian pegawai
Hok Siu Po, maka bersama sama kami menyelundup masuk. siplong
memesan budak. katanya, apabila kita kepergok dan kena
terkurung, budak harus lari menyingkir kearah barat laut."
"Itu toh tidak luar biasa?" G.Ing CUn menyela.
"Sabar kakak. aku belum bicara habis," berkata Gim Ciu. "Nona
telah mengajari ilmu menyamar menyalin kulit muka, ilmu itu
sungguh yang nomor satu didalam dunia Rimba Persilatan dijaman
kita ini, akan tetapi di Hok Siu Po, penyamaran saja belum cukup
walaupun aku sangat berhati-hati. Kedua karena Hok Siu Po licin
luar biasa, mereka sangat teliti. Nyatanya disana budak-budak dan
pegawai, semua ada tanda rahasianya. Begitu budak masuk
keruang dalam, segera budak kena dipergoki seorang perempuan."
"Seorang dengan kepandaian sebagai kau, adikku, bukankah
sangat mudah untuk merobohkan seorang wanita?" tanya Ging Cun-
"Kenapa kau tidak segera membunuhnya?"
"Kakak. jikalau kau tidak memandang musuh terlalu rendah,
tentu kau telah menaksir aku terlalu tinggi," kata Gim Ciu. "Setelah
aku tahu rahasiaku telah terbuka, aku segera turun tangan
menyerangnya. Aku mengharap dengan satu gebrak saja dia roboh,
tapi diluar dugaanku, budak itu ternyata liehay. Tak berhasil aku
menjatuhkannya. Aku telah menimpa dia dengan jarum beracun cui
tok Hui ciam, terus aku menerjang, tapi dia bisa menyelamatkan
diri, dia bisa menangkis aku. Maka kita bergebrak sampai lima jurus
tanpa aku berhasil merebut kemenangan. Rupanya budak itu tidak
ungkulan dapat menjatuhkana dia berlaku cerdik, lalu dia berteriak
teriak, hingga seisi rumah menjadi terkejut, dan segera belasan
orang menyerbu kedalam. Mereka semua bersenjata tetapi
nampaknya mereka ingin menangkap aku hidup hidup,..
"Apakah sip- long datang menolongmu?" kiam cu bertanya.
"Benar aku terancam bahaya itu, tiba-tiba sip long muncul. Entah
dia bergerak cara bagaimana, didalam sekejap. separuh
pengurungku telah roboh. Maka dengan mudah dia dapat
mengajakku menerobos kepungan dan kabur."
"Begitu?" kiam cu heran"
Sip long sudah menyamar tapi budak mengenalinya."
"Apakah kemudian kau pernah menanyakan hal itu kepadanya?"
tanya Ging Kun-
"Ya, akan tetapi dia menyangkal."
"Aneh" Kata Kiamcu. "Kalau benar dia sip long, kenapa dia tak
mengakui?"
"Walaupun dia menyangkal. budak percaya betul itulah dia.
Begitulah, dua kali budak pernah menegaskan kepadanya. Yang
pertama kali, dia tetap menyangkal. Yang kedua kali dia tidak
menjawab akan tetapi dia tertawa"
"Jikalau begitu, dia mencurigai" kata kiamcu itu sungguhsungguh.
JILID 17
"Sulit untuk memastikannya, nona. Memang sip long pendiam
akan tetapi dia tidak berontak atau berkhianat. Mungkin ada suatu
sebab lainnya, entah apa itu..."
"Jikalau kau tidak keliru mengenali, adikku selanjutnya perlu kita
berhati hati," Geng cun peringatkan-Kiamcu menghela napas.
"Gim ciu, kuharap bantuanmu untuk menyelidiki dia. Bersama
sama Geng cun, aku akan berlagak pilon, supaya dia tidak curiga."
"Baiklah, nona. Aku harap didalam waktu satu bulan, dapat aku
mengetahi rahasia sip long itu."
"Semua kiamsu sudah berangkat lama, sekarang baiklah kitapun
pergi," berkata Geng cun kemudian-
"Aku harap. dengan kepergian ke Lam Gak ini, pihak kita akan
berhasil membekuk salah seorang ketua empat partai besar itu,"
kata sang nona
"Sungguh sombong " pikir Siauw pek. "Mudahkah akan
membekuk ketua sebuah partai?"
Segera terdengar tindakan kaki perlahan, maka kiamcu itu
bersama kedua orang budaknya sudah berjalan keluar dari kuil itu.
Menanti sampai mereka itu telah pergi jauh barulah Siauw Pek
mendahului keluar dari tempatnya. Ia mengulur tangannya, untuk
melempangkan tubuh yang telah mendekam sekian lamanya.
"Dimana mana kaum Rimba Persilatan sibuk mencari Kiu Heng
cie Kiam, diluar dugaan, kitalah yang menemukannya," kata ketua
ini perlahan-
Belum lagi Oey Eng atau Kho Kong menyahuti, tiba tiba mereka
mendengar suara yang nyaring halus diluar kuil: "lnilah dia Inilah
dianya "
Siauw Pek tercengang. Ketika ia menoleh ia melihat dimuka pintu
menghadang seorang budak perempuan yang berbaju hijau.
Romanya nampak gusar.
"Rupanya mereka telah ketahui kita bersembunyi tetapi mereka
tidak mau segera memergoki." kata Oey Eng, berbisik. Siauw Pek
memberi hormat. "Nona..." sapanya.
"Jangan bicara tentang persahabatan" berkata nona itu, dingin.
"Lekas kamu habiskan jiwa kamu Apakah kamu hendak menanti
hingga aku yang turun tangan?"
"Nona, kita tidak bermusuh satu sama lain..."
"Tak usah banyak bicara " kata pula nona itu ketus. "Dikolong
langit ini, semua orang Rimba Persilatan adalah musuh musuh
kiamcu kami, maka itu, meski kita tidak bermusuhan tidak dapat aku
melepaskan kamu. Kamu telah bersembunyi atau mengumpet
dikolong meja dan telah mencuri dengar semua perkataan kami,
kamu telah melihat gerak gerik kami Bagian kamu ialah kematian "
Melihat sinona bersikap keras itu Siauw Pek tertawa hambar.
"Aku tidak mau bentrok dengan kamu, nona," katanya sabar.
"Jikalau kau menganggap aku jeri, itulah keliru."
Kho Kong gusar sekali, hampir dia melompat menerjang nona itu,
baiknya pada saat hatinya panas itu, mendadak ia ingat peristiwa
dengan Thio Giok Yauw didalam rimba hingga ia menderita. Dia
melihat sinona ini bersikap tenang tetapi keras sama seperti nona
Thio itu.
Dengan sinar mata tajam, nona ini menatap Siauw Pek.
"Kau sombong ya?" katanya. "Rupanya kau berkepandaian
tinggi"
Berkata begitu, lalu bertindak maju.
" Lekas mundur " Siauw Pek berkata pada dua saudaranya. Ia
melihat gerak gerik si nona.
Kho Kong dan Oey Eng heran- Mereka melihat sinona bertindak
perlahan benar sikapnya dingin, tetapi dia tak nampak seperti
musuh. Pikir mereka: "Kalau nona ini tidak pandai ilmu silatnya,
tentu dia mempunyai suatu kepandaian lain..." Keduanya mundur
kepojok pendopo.
Kira-kira tiga atau empat kakijauhnya dari Siauw Pek, sinona baju
hijau menghentikan tindakannya.
" Kelihatannya, diantara kamu bertiga, kaulah ketuanya..."
katanya agak sabar.
"Bukan," Siauw Pek merendahkan diri. "Nona terlalu memuji"
segera nona itu tertawa, dingin.
"Membunuh ular menghajar kepalanya, membekuk penjahat
meringkus rajanya" berkata dia.
" Kaulah, kepala diantara kalian bertiga, waspadalah."
Kata kata itu diakhiri dengan digerakkannya tangan kanannya
dari mana lalu melesat sebuah sinar putih bagaikan lilat,
menyambar secara membabat. Oey Eng terkejut.
"Tidak disangka dia begini gesit" katanya didalam hati. Siauw Pek
pun kaget tapi dia sempat lompat berkelit.
"Pantas kau sombong" kata sinona. "Kau benar liehay" Kembali
nona itu maju mendekati.
siauw Pek bersiap sedia. Inilah sebab tadi si nona mengeluarkan
pedangnya secara luar biasa cepat itu. Ia menghunus pedangnya,
untuk dilintangkan didepan dadanya.
Tiba didepan siauw Pek tiga kaki, nona itu mendadak
membungkuk, pedangnya terus meluncur menikam.
siauw Pek tidak menangkis, dia hanya memutar pedangnya
mengurung tubuhnya. Karena ia menyerang, dengan sendirinya
pedang mereka berdua beradu, hingga menerbitkan suara yang
nyaring mendadak nona itu berlompat mundur, terus sampai diluar
pintu, kemudian dengan satu lompatan, hilang lenyaplah dia
dimalam yang gelap petang itu
"Toako, apakah dia terluka?" tanya Oey Eng. Dia heran orang
mundur secara begitu rupa.
"Dia tidak terluka. Dia cuma kalah tenaga dalam. Karena dia
menyerang terlalu keras, dia kena tergempur sendirinya."
"Hebat cara menghunus pedang nona itu," kata Kho Kong.
"Jarang aku melihat kepandaian seperti itu. Apakah toako mengenali
ilmu silatnya itu ilmu dari partai mana ?" coh Siauw Pek
menggoyangkan kepala.
"Guruku pernah bercerita tentang pelbagai macam ilmu pedang
tetapi tidak ada yang mengenali ilmu pedang nona ini."
" Entah siapa kiamcu berbaju hitam itu," kata Oey Eng menarik
napas. "Rupanya dia bermusuh dengan semua partai persilatan
dikolong langit ini."
"Mungkin," kata Siauw Pek setelah berpikir sejenak. " Entahlah
tentang riwayat mereka, yang sudah pasti mereka terahasia. Kiamcu
itu, yang bertubuh langsing, mestinya dia cantik, maka aneh,
kenapa dia sengaja mengenakan topeng tidak karuan itu."
Berkata begitu, mendadak ia ingat sesuatu. lekas lekas ia
memasukkan pedangnya kedalam sarungnya sambil berkata: "Mari
lekas kita berlalu dari sini "
Oey Eng dan Kho Kong seperti mendapatkan serupa perasaan,
maka begitu ketuanya mengangkat kaki, mereka lalu menyusul.
"Biar aku jalan didepan" kata Siauw Pek, berhati hatilah "
Bertiga mereka lari sampai empat atau lima mil, baru mereka
memperlahan tindakan kaki mereka.
"Budak tadi belum kalah," kata Siauw Pek, "dia kabur untuk
minta bantuan, jikalau mereka keburu datang, kita tak dapa
mengelakkan suatu pertempuran hebat. Budaknya saja sudah begitu
liehay, apalagi nonanya."
"Kau benar, toako," berkata Oey Eng. "aku lihat, sepak terjang
kiamcu itu hampir mirip dengan tujuan toako."
siauw Pek terdiam, akan tetapi hatinya berguncang. Sekian lama,
baru dia dapat menenangkannya. Kata ia: "Mungkin didalam dunia
Kang ouw ini ada terlalu banyak orang yang mendendam sakit hati,
sedangkan perkeadilan kaum Rimba Persilatan agaknya sedang
goyang. Siapa lemah, dia dimakan, maka timbullah peristiwa
peristiwa tidak adil Jikalau aku berhasil maka aku hendak
menegakkan keadilan, untuk menerbitkan dunia Rimba Persilatan,
atau sekurang kurangnya buat mencoba mengurangi malapetaka."
"Luhur cita citamu, toako." kata Kho Kong. "Suka aku membantu
kau sekuat tenagaku, rela aku mengorbankan jiwaku " Dia berhenti
sejenak. lalu menambahkan : "Kiamcu itu berpikiran luar biasa
Bagaimana dia dapat menimbulkan Kiu Heng cie Kiam, pedang sakit
hati itu hingga Rimba Persilatan menjadi gempar karenanya? Toako,
apakah kau tidak memikir buat menyebut suatu nama untuk tindak
tanduk kita ini?"
"Apakah yang kau pikir?"
"Shatee benar juga," berkata Oey Eng. "Hek-ie kiamcu
menciptakan Kiu Heng cie Kiam, dia membuat dunia gempar dan
gentar."
"Sebenarnya melihat urusanku, akulah yang paling tepat
memakai nama Kiu Heng cie Kiam itu," berkata Siauw Pek. "Tapi
tiba tiba dia telah mendahuluinya."
"Bagaimana jikalau toako memakai nama ceng Gie Cie Too,"
tanya Oey Eng, yang memberi saran- "Tidakkah nama itu berimbang
dengan Kiu Heng cie Kiam? Dia pedang, kita golok. dari namanya
kita telah bagus."
ceng Gie Cie Too, berarti Golok Keadilan, nama itu lebih luka
artinya daripada Kiu Heng cie Kiam, pedang sakit hati.
"ceng Gie Too Itulah bagus" seru Kho Kong. "Mari kita mencari
bengkel besi, untuk membuat golok pendek yang diukirkan empat
hurup itu. Pedang dan golok. sungguh sepadan "
Siauw Pek terdesak dia setujui nama itu.
Kemudian, mereka melanjutkan perjalanan mereka, untuk
mencari pandai besi, guna membuat goloknya. Tujuannya ialah Lam
Gak. Mereka menyamar, tetapi tetap mereka berlaku waspada,
supaya orang tidak mencurigai mereka. Mereka pula menukar cara,
yaitu siang singgah, malam jalan-
Pada suatu hari, tanpa ada yang mempergoki, mereka sampai di
wilayah Lam Gak. gunung selatan, yang nama aslinya ialah Heng
San. Mereka pergi ke Lam Gak sie, yang terpisah tidak begitujauh
lagi dari gunung itu.
"orang orang dari partai Siauw Limpay, Bu Tong pay dan lainnya
tentu sudah berkumpul di liong san." berkata Oey Eng, "karena itu,
kita tidak boleh berlaku sembarangan, Disekitar gunung tentulah
ada penjagaan yang rapi. Aku pikir lebih baik kita singgah dahulu
dirumah penginapan, buat beristirahat sekalian memusyawarahkan
bagaimana tindakan kita selanjutnya Kita harus memikir daya yang
sempurnya."
siauw Pek berdiam. Dia berpikir keras. Ada sesuatu yang terlintas
dibenak otaknya. Dia bagaikan tidak mendengar kata katanya sang
kawan- Bahkan dia terus menggumam.
Oey Eng dan Kho Kong melihat dan mendengar, tetapi kata kata
ketua itu tidak tegas, hingga tak tahu mereka apa yang
diucapkannya itu.
"Nampak toako memikirkan sesuatu, sampai semangatnya seperti
meninggalkannya," kata Kho Kong. "Baik kita jangan menegurnya."
Oey Eng setuu, tetapi ia tidakjawab adik itu, ia hanya terus
mengawasi ketuanya.
"Tak boleh" mendadak Siauw Pek berkata seorang diri. Ia
bagaikan tersadar. "Tak dapat kita memaju langsung ke Lam Gak.
Lebih dahulu kita cari pondokan-.."
Oey Eng tersenyum. Ternyata benar bahwa toako itu tidak
mendengar kata katanya tadi. Ia tetap tidak mau menegur, ia juga
tidak banyak bicara lagi. Ia memutar tubuh, buat membuka jalan.
Tatkala itu fajar baru tiba, cuaca masih remang remang,
kebanyakan rumah penginapan masih belum membuka pintunya.
Meski begitu, Oey Eng toh mencari sebuah, yang letaknya ditempat
yang rada sepi. Ia mengetuk pintu, sesudah masuk kedalam, ia lalu
minta disediakan barang makanan buat sarapan pagi. Satu malam
mereka berjalan terus tanpa mengisi perut.
Siauw Pek duduk sambil tunduk otaknya masih tetap bekerja.
Kho Kong habis sabar.
"Toako, kau sedang pikirkan apa?" tegurnya kemudian-
Oey Eng berkata: "Toako, kalau kau memikirkan sesuatu, mari
kita utarakan, supaya kita dapat membicarakannya bersama."
Ketua itu menatap kedua saudaranya. Dia tertawa. "Bukankah
selama didalam kuil itu kita mendengar kata-katanya hek-ie kiam cu
tentang keempat ketua partai besar hendak mengadakan
pertemuan di Lam gak sini?" Tanyanya.
"Benar," sahut Kho Kong.
"Apakah saudaraku ingat partai-partai manakah itu "
"Itulah Siauw Limpay, Bu Tong pay Khong Tong pay dan Ngo Bie
pay."
"Benar Sekarang aku ingat keterangan almarhum ayahku bahwa
di puncak Yan In hong digunung Pek Ma San telah terbinasa ketua
ketua dari keempat partai besar itu, bahwa kebinasaan mereka telah
menerbitkan gelombang dalam dunia sungai telaga, kemudian entah
bagaimana jalannya, telah tersiar berita luas yang mengatakan
kebinasaan mereka itu karena dianiaya ayahku. Maka kejadianlah
kesembilan partai besar bergabung dengan empat bun, tiga hwee
dan dua pang, menyerbu Pek IHoPo hingga musnalah keluargaku.
Dan sekarang, kenapa ketua yang baru dari keempat partai besar
itu berkumpul ditempat ini?"
"Benar. Ada sesuatu yang mencurigakan dari hal berkumpulnya
mereka semua itu," berkata Oey Eng.
"Mungkinkah tindakan mereka tersebut ada hubungannya
dengan peristiwa lama itu?"
"Kita telah tiba disini, mesti kita cari mereka" Kho Kong turut
bicara, "kita tak usah takut bahwa kita akan bentrok dengan mereka
itu"
"Menurut aku tak perlu kita bentrok dengan mereka," kata Siauw
Pek "paling tidak kita dapat bercampur gaul, sedikitnya berada
didekat mereka untuk mendengar sebab musababnya, atau duduk
perkaranya dari peristiwa dahulu itu."
"Mungkin inilah sulit."
"Memang sulit, tetapi apa daya lainnya ?"
"Aku ada akal," kata Kho Kong.
"Kau tidak sabaran, saudara, tetapi kadang kadang kau teliti.
Nah, apakah pikiranmu itu?"
"Kita berdaya menjadi pengikutnya keempat ketua partai-partai
itu."
"Inilah sukar, kau harus ingat, pengikut mereka pasti terdiri dari
para muridnya yang liehay."
"Jikalau bisa kita menyamar jadi murid murid keempat partai,
untuk membikin partai yang satu menyangka kitalah murid partai
yang lain, demikian sebaliknya. Walaupun mereka samua curiga
tetapi mereka tentu tidak berani menanyakan satu pada lain." Siauw
Pek setuju.
"Tapi sekarang, toako," berkata Oey Eng "paling dahulu kita
mencari keterangan apa mereka telah tiba di Lam Gak ini dan
dimana mereka mondoknya, Gunung Lam Gak luas beberapa mil
dan puncaknya banyak sekali begitupun lembahnya. Tak mungkin
kita mendatangi setiap puncak dan lembah."
"Ya, ini benar juga," kata Siauw Pek, yang mengernyit kening,
"pula ada baiknya apabila kita dapat mencari tempat singgah dua
belas anggotanya hek-ie kiam cu."
"Ada lagi yang aneh," Kho Kong campur bicara pula. "Merekalah
ketua-ketua partai, kenapa mereka bukan membuat pertemuan
digunungnya masing-masing tapi di daerah pegunungan ini yang
terbuka buat umum? Gunung ini toh tidak ada hubungannya dengan
mereka semua ?"
Siauw Pek mengangguk. Adik itu benar.
" Itu pula satu soal," katanya, "Itupun perlu kita cari tahu."
"Mungkin urusan itu penting sekali maka juga ketua empat partai
itu memilih gunung Lam Gak ini, maksudnya supaya orang-orang
dalam mereka, yang berkedudukan tinggi, tidak mengetahui sepak
terjang mereka ini." Siauw Pek melihat kelangit rumah.
"sekarang ini kita tetapkan dahulu akan mencari tempat singgah
mereka" katanya.
"Kalau begitu, mari kita beristirahat." berkata Oey Eng. "Besok
kita menyamar, terus kita pergi kegunung untuk memasang mata
dibagian yang penting, mungkin kita tetlah mendahului hek ie
kiamcu. Syukur apabila kita dapat melihat mereka itu." Siauw Pek
akur, terus ia mengajak kedua saudara itu masih tidur.
Satu malam lewat. Besoknya pagi-pagi, setelah bersantap dan
berdandan, segera mereka berangkat. Dalam waktu setengah hari,
tiba sudah mereka di kaki gunung Lam Gak. dibawah puncak utama.
Mereka memperhatikan sekitarnya, untuk menjanjikan tanda-tanda,
kemudian mereka berpisah ketiga arah.
siauw Pek menyamar sebagai seorang pemotong kayu, pedang
dan goloknya disembunyikan dalam seikat rumput dan digendong di
punggungnya. Ia mengambil tempat disebuah jalan cagak. yang
mempunyai dua jalan kecil, satu untuk naik ke puncak. satu pula
buat menuju lembah. Bebannya diletakkan disisi sebuah batu besar.
Ia sendiri duduk bersandar dibatu itu, berlagak seperti tengah
mengaso. Satu jam sudah dia menanti, tak ada seorang juga yang
lewat disitu. Hampir ia habis sabar, tapi tiba tiba ia melihat seorang
muncul dari balik tikungan jalanorang
itu berusia kira-kira empat puluh tahun- Dia memikul kayu,
jalannya cepat. Didekan Siauw Pek, mendadak dia berhenti dan
mengawasi, lalu menyapa: "Kau tentu orang yang baru pindah
kemari, sebelumnya tidak pernah aku melihat kau."
"Ya, aku pindah belum lama," sahut Siauw Pek. Ia khawatir
penyamarannya nanti diketahui. Diam-diam dia mengawasi, untuk
mencari tahu orang mengerti silat atau tidak.
Orang itu tertawa.
"Tak salah terkaanku Apa ini yang pertama kali kau mencari kayu
?" Siauw Pek mengangguk. kemudian ia mohon petunjuk orang itu.
Situkang kayu menarik napas. "Sekarang sulit," katanya. "Dulu
banyak juga pencari kayu disini, sekarang tinggal aku sendiri. Bagus
kau datang, kau dapat jadi kawanku."
" Kenapa kau tinggal sendirian, saudara?" tanya siauw Pek. Ia
pikir sesuatu. Apa itu disebabkan jalan sukar dan gunungnya tinggi.
Tukang kayu itu menggeleng kepala. Dia menunjuk lembah.
"Selewatnya tikungan itu, disitu terdapat banyak pohon cemara
tua dan lainnya, yang kayunya bagus untuk kayu bakar," katanya,
"memotong kayu disitu, sebentar saja kita dapat satu pikul."
"Sekarang bagaimana? Apakah pohonnya sudah habis
disebabkan banyak orang yang mengambil kayu?" Siauw Pek tanya.
Tukang kayu mengisi pipanya, dia menyulut dan menyedot.
"Bukan," sahutnya. " Lembah itu luas seratus mil lebih, kayunya
banyak. tak akan habis puluhan tahun-.." Siauw Pek heran-
"Habis, apakah sebabnya ?" dia bertanya. Tukang kayu itu
menatap.
"Untung saudara belum memasuki lembah itu," katanya. "Kalau
kau pergi kesana, tentulah sekarang kita tidak dapat berbicara
seperti ini..."
" Kenapakah begitu, saudara?" Siauw Pek menegaskan.
"Sejak kira kira setengah tahun yang lalu, lembah itu kedatangan
dua ekor binatang aneh," menerangkan tukang kayu itu. "Binatang
itu tinggi dan besar seperti manusia, larinya cepat seperti terbang.
Pernah mereka melukai belasan tukang kayu. Karena itu, orang
takut pergi kesana."
"Pantas tak ada orang lewat disini..." pikir Siauw Pek. Lalu ia
bertanya: "Tapi kau, saudara, kenapa kau tidak takut ?"
"Mulanya aku takut, belakangan tidak..."
"Apakah sebabnya?"
"Pada suatu hari habis minum arak. aku pergi kebelakang
gunung sana," berkata tukang kayu itu. "Ketika itu aku setengah
mabuk. Aku tidak menemukan sesuatu, perlahan lahan aku jadi
berani. Aku masih lebih jauh. Hari lewat hari, aku terus pergi
kesana, bahkan masuk lebih dalam. Selama empat bulan lebih, aku
tetap tidak melihat binatang aneh itu. Aku menyangka kedua
binatang berdiam saja didalam, tidak pergi keluar."
"Mungkinkah mereka sudah meninggalkan gunung ini."
"Aku juga menduga demikian, pernah aku mengajak beberapa
kawan untuk pergi mencari tahu tetapi tidak ada yang berani
menemani aku. Aku sendirian saja takut menempuh bahaya. Nah,
saudara, mari kita berjalan bersama"
"Silahkan saudara berangkat lebih dahulu. Aku hendak
menantikan seorang teman."
"Teman ?" kata tukang kayu itu heran- Dia menatap Siauw Pek,
lalu dia pergi. Siauw Pek mengawasi orang berlalu, terus ia
memandang kelembah.
"Kalau benar ada dua makhluk berbahaya itu, perlu aku
menyingkirkannya," pikirnya, "Mereka membahayakan dan
menyusahkan semua orang..." Begitu berpikir, segera pemuda itu
menuju ke lembah senjatanya disiapkan-Benarlah, dilembah itu
terdapat hutan cemara.
Siauw Pek masuk lebih jauh sampai seratus tombak lebih. Ia
tetap tidak menemukan sesuatu maka ia makin percaya kedua
binatang galak itu sudah pindah gunung.
Tengah Siauw Pek berpikir, tiba tiba ia mendengar suara orang.
Ia heran, segera ia menyembunyikan diri didalam semak semak
yang lebat.
Beberapa tombak jauhnya, dua orang muncul dari balik pohonpohon
cemara. Mereka itu berjalan berendeng. Yang dikiri, usianya
kira kira tiga puluh tahun, berpakaian hijau seluruhnya dan
mukanya pucat. Dia menyandang sebilah pedang. Yang dikanan
berumur lima puluh tahun lebih, kumisnya putih, bajunya hitam, dia
tidak membawa senjata.
"Katanya ketua-ketua empat partai Siauw Lim, Bu Tong, Kho
Tong dan Ngo Bie hendak mengadakan pertemuan di Lam Gak ini,
entah untuk urusan apakah itu?" kata orang yang muda, si serba
hijau.
"Urusan mereka tak ada sangkut pautnya dengan kita," sahut si
orang tua. "Entah apa sebabnya, hweecu kita sangat
memperhatikannya dan memerintahkan untuk mencari tahu tempat
rapat mereka itu. Inilah kerjaan sulit. Empat partai besar itu banyak
muridnya. juga adalah satu larangan besar buat satu partai
menyelidiki lain partai, bisa bisa terbit perselisihan karenanya . . . "
"Hweecu" ialah ketua hwee partai.
"Biasanya hweecu bekerja dengan teliti, mungkin ia telah
memikir suatu jalan yang sempurna."
Berdua mereka berbicara sambil berjalan terus, hingga suara
mereka lenyap.
"Kalau begini, rupanya disini telah ada orang Rimba Persilatan,"
pikir Siauw Pek. "Mereka muncul dari dalam lembah, mungkin
mereka telah memindahkan pusatnya kemari. Mereka menyebut
hweecu, entah hwee yang mana yang berada disini..."
Sambil keluar dari tempatnya sembunyi, siauw Pek berpikir terus:
"si tukang kayu tadi bicara dari hal binatang aneh, mungkin itulah
binatang palsu, ialah orang hwee ini yang menyamar. Tak perlu aku
masuk lebih dalam, baik aku pergi melihat Oey Eng berdua..."
Selagi pemuda ini berjalan, terdengar suara bentakan dingin-
"Berhenti" Ia terkejut, segera ia menoleh. Maka ia melihat
seorang tua dengan tubuh kurus kerung, matanya juling, alisnya
tebal, hingga romannya jadi luar biasa sekali. Dia pula berkumis
putih. Pakaiannya hitam seluruhnya. Dia berdiri sejarak tujuh
delapan tombak.
"orang ini liehay ilmu ringan tubuhnya," pikir Siauw Pek. "Kapan
dia datang ? Kenapa aku tidak tahu ?" Tapi ia bersikap tenang,
segera ia bertanya : "Lootiang, ada urusan apakah ?"
Mata orang itu bersinar tajam^
"Kau berdandan begini macam, kau pula membawa senjata
tajam, dandananmu tidak seragam" katanya, nadanya tetap dingin.
"Mungkinkah kau seorang murid yang baru keluar dari rumah
penguruanmu ? Heran, kenapa gurumu menugaskan kau sebagai
seorang mata mata?"
Sejenak. siauw Pek melihat tubuhnya sendiri. Pakaiannnya
terbuat dari kain kasar, dikanan dikiri ada pedangnya:
"Aku bukannya mata mata," ia menyahut, sabar. "Secara tak
sengaja aku tiba disini." orang itu mendadak tertawa, suaranya tak
sedap didengarnya.
"Tahukah kau siapa loohu?" tanyanya. Dia menyebut dirinya "loohu"
siorang tua^
"Tidak." sahut sianak muda.
"Apakah kau pernah mendengar suara tawa loohu ini?" tanyanya
pula. Ia tertawa pula dua kali^ kering dan tak sedap.
Siauw Pek tidak kenal tawa itu, yang hampir mirip suara dua ekor
katak lagi berkelahi.
"Mungkin dia seorang yang terkenal dan tawanya ini seperti
lambang untuk mengenalnya. Sayang pengalamanku kurang luas",
pikirinya. orang tua itu merasa heran. Sianak muda itu tidak
menjawab pertanyaan itu.
"Loohu saja kau tidak dapat menerka" kata orang tua itu, kembali
ia tertawa dingin. " Inilah bukti betapa untuk dunia Kang ouw" Dari
keroman bengis, orang tua itu tampak sabar.
"Apakah kau dari Siauw Pek ?" kemudian dia tanya lagi.
"Bukan," Siauw Pek menjawab.
"Kalau bukan, apakah kau dari sembilan partai lainnya ?"
"juga bukan."
orang tua itu berpikir lekas. "Dia masih hijau tapi agaknya dia
tahu tentang pelbagai partai. Apakah ia berpura pura ? Dia aneh.
Tak dapat aku terpedayakan dia " Maka dia bertanya pula. "Kau
bukan orang partai, tapi kau tentu mempunyai asal usul. Siapakah
gurumu?"
Siauw Pek pun berpikir cepat, "Tadi dia bengis, sekarang dia
lunak. mesti ada sebabnya. Tak dapat aku dijebak dia " Maka ia
menjawab perlahan. "Saudara lama guruku mundur dari dunia Kang
ouw, kalau aku sebut namanya mungkin lootiang tidak tahu, maka
itu lebih baik aku tidak memberitahukan."
Tak disangka, dia bicara merendah, tapi sebaliknya, dia justru
menimbulkan kecurigaan- orang tua itu lalu bertindak menghampiri
dan terus meluncurkan tangan kanannya guna menjambak. Tapi,
terpisah satu kaki dari tubuh lawan, tangannya itu dihentikan-
Diam diam Siauw Pek sudah meraba gagang pedangnya, bersiap
untuk melawan-
Wajah orang tua kurus kering itu menunjukkan kesangsian- Ia
heran orang demikian berani. Ia pula tidak mengenal anak muda ini.
Setelah hening sejenak itu, ia bertanya. "Kenalkah kau dengan
gerakan tanganku ini ?"
Siauw Pek cuma belajar silat pedang dan golok. ilmu silat tangan
kosong ia tidak kenal kalau toh ia bisa menggunakan tinju atau jari
tangannya, itulah semua gerak gerik pedang dan golok. Maka itu,
ditanya demikian rupa ia menjawab, "Aku tidak kenal."
"Kiranya kau tidak tahu apa artinya liehay " kata si orang tua,
yang tertawa dingin. "Berusan aku menyangka kaulah seorang yang
memandang kematian bagaikan orang mau pergi pulang..."
Siauw Pek melihat tangan orang belum ditarik kembali. Ia
berkata. "Andaikan kau menyerang dengan tanganmu, apakah yang
harus ditakutkan ?"
"oh, bocah tak tahu mampus atau hidup " seru si orang tua
gusar. "Jikalau loohu hendak mengambil jiwamu, sudah sedari tadi
kau hilang jiwa ditanganku ini " Siauw Pek tertawa hambar.
"Lootiang, kau sombong " katanya. "Sungguh aku tidak mengerti,
tanganmu ini bagaimana dapat membuatku binasa " si orang tua
bertambah gusar.
"Benar benarkah kau hendak mencobanya?" tanyanya.
"Baik cobalah " sahut si anak muda.
orang tua itu hendak menyerang, akan tetapi, melihat orang
demikian tenang, ia menjadi heran sekali. Maka ia mencoba
menguasai diri untuk berlaku sabar. Katanya: "Bocah, lihat tanganku
ini, yang akan mengancam dua belas jalan darahmu. Tahukah kau
aku hendak menyerang jalan darah yang mana?"
"Semua jalan darahpun boleh" menjawablah Siauw Pek gagah.
orang tua itu bertambah heran.
"Kalau aku mengincar tetapi lalu merubah tujuan ditengah jalan,
dapatkah kau melindungi dirimu ?" tanya dia "Bukankah kau hanya
menanti buat menerima binasa ?"
"Asal aku menggerakkan pedang ku satu jurus, aku akan dapat
menutup dua belas jalan darahku" kata Siauw Pek. "Berbareng
dengan itu, akupun akan memaksamu menarik kembali tanganmu
dan mundur"
"Begitu?" kata siorang tua, heran- "Aku tahu tentang ilmu
pedang Bu Tong pay dan Kun Lun pay, mereka dapat menyerang
dan membela diri, tetapi aku belum pernah dengar tentang jurus
yang kau sebutkan itu, apa lagi dengan satu jurus kau juga
berbareng bisa menutup ilmu silatku yang bernama Ngo Kwie Souw
Hun" Ilmu silat orang tua itu berarti "Lima setan merenggut sukma".
"Mengenai ilmu pedang kedua partai yang lootiang sebutkan itu,
itulah dikarenakan mereka mempunyai kelemahannya masing
masing" berkata Siauw Pek. "Dan, sebaliknya ilmu silatmu ini,
lootiang, aku lihat tak ada kesulitannya buat memecahkannya."
Kembali kecurigaan si orang tua bertambah. orang sangat tenang
bicaranya dan lancar.
"Melihat sikapnya ini dan mendengar kata katanya, mungkin dia
benar," pikirnya. "Dia aneh, dia seperti masih hijau, tapi juga
bagaikan sudah berpengalaman banyak. Dia tidak mau menyebut
asal usulnya, dia juga bicara besar. Rupanya, jikalau aku tidak
mempertunjukkan kepandaianku, dia tentu tidak akan terpaksa
memperlihatkan diri asalnya..."
Karena memikir begini, orang tua itu lalu berseru: "Hati hatilah
kau" dan lima jari tangan kanannya segera bekerja
Siauw Pek telah siap sedia. Ia mundur satu tindak. untuk
menghunus pedangnya. Kemudian diputarkan, guna melindungi
tubuhnya. Maka benarlah, seperti apa yang dikatakannya, tubuhnya
segera terjaga seluruhnya.
Itulah salah satu jurus dari Tay Pei Kiam hoat, Ilmu Pedang
Mahakasih, yang diberi nama "Siang Im Liauw Jiauw", Mega Indah
Melilit Berputaran-.
orang tua itu menghentikan serangan dengan mendesak. dia
mengawasi si anak muda.
"Ilmu pedang yang liehay" serunya. "Sepuluh tahun aku
menyiksa diriku mempelajari ilmu silatku ini, aku percaya tidak ada
orang Kang ouw yang bisa memecahkannya, siapa tahu, justru aku
gunakan pada pertama kali ini, segera dapat ditundukkan" Berkata
begitu, orang tua ini nampak kecele dan masgul sekali. Dia berduka.
"Apakah yang dibuat menyesal dan berduka?" pikir Siauw Pek.
"Aku toh tidak melukaimu?" Tapi karena orang berputus asa, ia lalu
berkata: "Tak usah kau berduka, lootiang, mungkin ilmu pedangku
ini memang istimewa guna mematahkan ilmu silatmu.."
"Ah... sudah, saudara kecil, tidak usah kau menghibur aku," kata
orang tua itu, yang lalu memutar tubuhnya, dan berlalu dengan
tindakan lesu.
"orang tua ini tampaknya jahat tetapi ternyata baik," pikir Siauw
Pek. "Tadipun dia menyerangku secara berhati hati, seperti dia
khawatir akan melukai aku..." Memikir demikian, dengan segera dia
memasukkan pedangnya kedalam sarung dan lompat menyua
"Lootiang, tunggu" ia memanggil. Iapun lalu memberi hormat. orang
tua itu menghentikan tindakannya, dia memutar tubuh.
"Ada apa, saudara kecil?" tanyanya. Kali ini suaranya sungkan.
"Maat, lootiang, aku ingin bertanya," kata si anak muda: "Sudah
lamakah lootiang berdiam digunung ini?"
"Lama, kira kira sepuluh tahun" sahut si orang tua itu.
"Sudah sepuluh tahun?" ulang sianak muda.
"Yah, benar" orang tua itu memastikan- "Dalalm sepuluh tahun
itu, siang, malam aku melatih Ngo Kwie Souw Hun, tetapi aku tidak
menyangka, ilmu yang aku kira istimewa itu, sekarang kena
dipecahkan olehmu, saudara kecil. oh, rupanya aku harus menyekap
diriku sepuluh tahun lagi didalam gua, untuk berlatih lebih jauh,
baru aku dapat muncul pula di dunia Kang ouw..."
Berkata begitu, mata si orang tua bersinar tajam.
"Lootiang," kata pula si anak muda, "karena lootiang telah
menyekap diri sepuluh tahun, pastilah lootiang bukannya anggota
dari empat bun, tiga hwee dan dua pang..."
"Bukan, bukan Selama sebelum berdiam di sini, loohu biasa
mengembara seorang diri saja."
"Tadi ada dua orang lewat disini, apakah mereka itu murid murid
lootiang?"
"Loohu tidak punya murid."
"Lootiang, sudah sepuluh tahun lootiang hidup menyendiri,
kenapa lootiang masih tidak dapat menghilangkan pikiran untuk
mendapatkan nama besar? Pula barusan, lootiang bukannya kalah."
orang tua itu menarik napas. Katanya: "Dulu, sebelum loohu
hidup menyendiri, pernah loohu dikalahkan jago jago Bu Tong pay
dan Kun Lunpay, maka itu loohu lalu mempelajari ilmu guna
memecahkan ilmu pedang kedua partai itu, untuk mencuci bersih
malu itu, tetapi sekarang, belum lagi loohu meninggalkan lembah
ini, loohu telah dikalahkan olehmu, saudara kecil. Maka aku percaya,
selama sepuluh tahun yang lalu itu, mungkin kedua musuhku juga
sudah melatih dirinya lebih jauh hingga mereka mendapat kemajuan
besar." orang tua itu berhenti sebentar, kembali dia menghela
napas.
"Ah, rupa rupanya, harapanku untuk mencuci malu itu tak bakal
terwujud," katanya pula. "Karena aku tidak dapat mencuci malu itu,
bagaimana aku punya muka buat muncul lagi di dalam dunia Kang
ouw? Lebih baik aku terus menyekap diriku dilembah ini, sampai aku
akhiri hidupku didalam gua."
"Maaf, lootiang, aku masih hendak menanya satu kali lagi," Siauw
Pek berkata pula. "Kenapa lootiang bentrok dan bertempur dengan
dua orang jago Bu Tong dan Kun Lunpay itu?"
Lagi lagi orang tua itu menarik napas.
"Baiklah," jawabnya. "Walaupun loohu kalah dari kau, saudara
kecil, loohu toh mengagumimu, maka hari ini, aku hendak
melampiaskan rasa penasaran yang telah terpendam lama didalam
dadaku. Mungkin, kalau bukan sekarang ini, tidak ada waktu lainnya
bagiku melepaskan rahasiaku yang pepat ini."
ia menengadah kelangit, memandang awan biru yang luas tak
berbatas. Kembali ia menarik napas panjang, baru ia melanjutkan
kata katanya: "Itulah peristiwa yang menggemparkan pada belasan
tahun yang lampau. Seluruh Pek Ho Po termusnahkan didalam
waktu satu malam..."
Mendengar sampai disitu, dada Siauw Pek bergolak. darahnya
mendidih, hampir dia tidak sanggup mempertahankan diri.
Tubuhnya mendadak limbung, hingga ia mesti mundur lima enam
tindak. baru ia bisa berdiri tegak.
Si orang tua heran menyaksikan keadaanpemuda didepannya itu,
hingga ia tercengang mengawasinya .
"Kau kenapakah, saudara kecil," tanyanya.
Terpaksa Siauw Pek mendusta, sahutnya: "Aku mempunyai
penyakit jantung, yang suka kumat seketika, sebentar kumat, lalu
sembuh pula. Harap lootiang tak usah menguatirkan aku."
orang tua itu menatap. ia mengawasi beberapa lama, matanya
bersinar tajam.
"Aku lihat, saudara kecil, kau tidak mirip orang yang suka
menderita sakit," katanya. Dia tetap merasa heran.
"Inilah penyakit ringan, yang tidak berarti. Silahkan lootiang
bicara terus."
orang tua itu menurut. Dia menyambungi: "Ketika itu, orang
orang yang ikut ambil bagian didalam penyerbuan, hampir terdiri
dari semua partai besar, sebab disamping sembilan pay terhitung
juga empat bun, tiga hwee dan dua pang. Karena itu walaupun
setiap orang Pek Ho Bun liehay ilmu silatnya, sukar untuk mereka
melakukan perlawanannya . . . "
"Pek Ho Bun cuma sebuah partai kecil, kenapa dia bermusuh
dengan delapan belas partai besar itu dan sampai mesti diludaskan
juga?"
"Itulah karena ketua Pek Ho Bun, yaitu coh Kam Pek adalah
seorang gagah yang luar biasa. Dia bersemangat, dia pandai
bergaul. Dia menerima banyak murid hingga partainya lalu naik
nama, hampir menyaingi sembilan partai besar lainnya. Tapi
penyerbuan disebabkan sebuah peristiwa dipuncak Yan in Hong di
gunung Pek Masan- Disana ketua ketua dari empat partai besar,
yaitu Siauw Limpay, Bu Tong pay, Khong Tong pay dan Ngo Biepay,
kedapatan terbinasakan secara rahasia. Menurut kabar, serentak
dengan itu terbinasa juga orang orang liehay dari Kun Lunpay dan
Hoa Sanpay serta keempat bun, ketiga hwee dan kedua pang itu.
Peristiwa itu mengejutkan dan menguatirkan dunia Rimba Persilatan
semuanya. Pihak partai partai itu lalu mengirim orang keempat
penjuru angin untuk mencari si pembunuh. Kemudian, entah apa
sebabnya kesalahan dilontarkan kepada Pek HoBun, sehingga
akhirnya terjadilah penyerbuan yang menggemparkan itu, yang
maha dahsyat."
"Didalam sembilan partai besar itu mesti ada orang orang yang
sadar dan cerdas, mungkinkah mereka itu main hantam kromo saja,
membiarkan seratus jiwa manusia tanpa pilih bulu lagi?"
"Menurut kabar," si orang tua melanjutkan, "ketika peristiwa
pembunuhan ganas itu terjadi, orang mendapatkan coh Kam Pek
dan istrinya muncul dipuncak yang bercelaka itu. Kabar itu didapat
dari murid murid pelbagai partai itu, tentang kenyataannya, loohu
tidak tahu suatu apa, bahkan sampai sekarang ini, mungkin tidak
ada jalan untuk mencari tahu duduk persoalan yang sebenarnya.
orang umumnya percaya habis kabar itu, akan tetapi loohu bersama
dua orang rekanku bertanggapan lain-Justru itulah maka loohu
bentrok dengan dua orang jago Bu Tong pay dan Kun Lunpay dan
kena dilukai mereka itu."
Siauw Pek memberi hormat kepada orang tua itu, sambil
memberi hormat, ia berkata: "Locianpwee, perbuatan locianpwee itu
ialah yang dibilang umum mabuk arak. sendiri insaf sadar. Didalam
kekuatan itu, locianpwee sadar sendiri, bahkan locianpwee berani
mengajukan diri menentang pendapat umum itu. Locianpwee,
boanpwee kagum sekali terhadap locianpwee Nah, sudahkah
locianpwee memberi tahukan, siapa kedua rekan yang sadar dan
mulia itu, supaya apabila diwaktu lain boanpwee bertemu dengan
mereka dapat boanpwee menghaturkan hormatku?"
orang tua itu merasa heran akan sikap orang pemuda ini, akan
tetapi dia tidak menanyakan sesuatu, dia hanya menjawab: "orang
yang satu itu ialah Hie Sian cian Peng Dewa ikan. Dia sangat gemar
ikan, maka dia suka merantau mencari pelbagai macam ikan,
sebelum dapat, dia belum merasa puas. Yang lainnya ialah Tiat Tan
Kiam kek Thio Hong Hong si Nyali Besi, jago Kang ouw yang
kenamaan- Guna menangkap seekor ikan, cian Pen sudah pergi jauh
ke Lam Hay, dan Thio Hong Hong pergi karena sakit isterinya,
selanjutnya, karena loohu mengundurkan diri, loohu tidak tahu
menahu lagi, loohu tidak mendengar tentang mereka itu."
Wajah Siauw Pek guram, tetapi dia memberi hormat pula sambil
berkata: "Loelanpwee harap maaf buat perbuatanku tak pantas tadi.
Boanpwee tidak tahu bahwa looelanpwee adalah seorang gagah
perkasa dan mulia."
orang tua itu heran, katanya didalam hati: "Aku yang memaksa
kau turun tangan, kenapa kau yang minta maaf?"
Sementara itu, Siauw Pek bingung sendirinya. Katanya didalam
hati: "Bagaimana aku dapat mencegah orang tua ini menyekap pula
dirinya didalam gua?"
Sementara si orang tua, habis bercerita, segera bertindak
kedalam rimba. Dia mau mewujudkan keputusan buat menyekap
diri lebih jauh.
"Eh, loocianpwee Loocianpwee mau pergi kemanakah?" tanya
Siauw Pek. menyusul.
" Loohu mau kembali ke gua ku" sahut orang tua itu.
"Loocianpwee, telah lama kita berbicara, boanpwee masih belum
ketahui she dan nama loocianpwee," berkata Siauw Pek si anak
muda yang masih memikirkan jalan untuk mencegah maksud orang.
"Panglima yang kalah perang, dia tidak dapat dikatakan gagah,"
berkata orang tua itu, "maka itu lebih baik aku tidak menyebutkan
she dan namaku " Kembali ia memutar tubuh untuk berlalu kedalam
rimba.
"Loocianpwee" kata si anak muda, bingung. "Loocianpwee
bukannya kalah Kenapa loocianpwee begini tawar hati?"
orang tua itu menoleh, katanya sungguh sungguh: "Sepuluh
tahun aku mempelajari ilmu silatku, aku percaya, dengan itu dapat
aku muncul pula didalam dunia Kang ouw, siapa tahu ilmuku itu
dapat kau pecahkan, saudara kecil Mana aku ada muka untuk
muncul pula?"
Siauw Pek melihat wajah orang guram, ia merasa sulit buat
menghibur pula. Karena itu, mendadak ia tertawa hambar. Katanya:
"Loocianpwee mau kembali keguamu, untuk mati di dalam lembah,
buat berkawan dengan segala rumput dan pohon kayu, itulah satu
soal, tetapi rupanya loocianpwee tidak ingat, warisan apa yang
loocianpwee bakal tinggalkan karena loocianpwee mengambil
keputusan cepat ini Tahukah loocianpwee bahwa Rimba Persilatan
bakal mengalami malapetaka yang hebat?" orang tua itu heran, dia
menjadi tidak senang.
"Ancaman bencana apakah itu?" tanyanya gusar.
"Menurut apa yang boanpwee ketahui, selama ini sudah timbul
gelombang baru dunia Kang ouw telah diliputi hawa pembunuhan
besar besaran- Dan semua itu adalah akibat bicara iseng iseng
loocianpwee dahulu"
"Apakah itu?" tanya siorang tua. Dia makin heran.
" Delapan belas partai besar mengatakan kebinasaan ketua
empat partai adalah perbuatan coh Kam Pek suami istri," Siauw Pek
memberikan keterangan, "mereka itu mungkin benar. Tetapi
loocianpwee mengatakan sebaliknya. Inilah bukti loocianpwee
berani dan mulia. Tapi loocianpwee pendapatmu itu menentang
semua partai itu, inilah bibit perselisihan- Kalau nanti loocianpwe
muncul pula, bukankah loocianpwee akan dibenci suara terbanyak?
Apakah itu bukan berarti warisan bencana?"
"Memang itulah anggapanku, walaupun aku tak dapat
memberikan buktinya," berkata si orang tua, "Biar bagaimana
didalam hati, tetap ada kecurigaan. Hal itu tak dapat dibantah pihak
Bu Tong dan Kun Lun, hingga karenanya mereka jadi membenci dan
menyerang aku."
"Tahukah loocianpwee bahwa sekarang ini telah muncul satu
rombongan baru yang menentang kedelapan belas partai itu?"
Siauw Pek bertanya. "Pemimpin rombongan itu adalah seorang yang
masih dalam rahasia." Hati orang tua itu tertarik.
"oh, begitu?" katanya. "Itulah aku tak tahu."
"Aku bicara sejujurnya, loocianpwee. Rombongan itu adalah
suatu kenyataan- Mereka telah membuat lambang merupakan
sebuah pedang pendek yang diukirkan empat huruf "Kiu Heng cie
Kiam" artinya pedang sakit hati. Telah tak sedikit orang Kang ouw
yang terbinasa diujung pedang pendek itu." orang tua itu diam
berpikir.
"Tapi apa sangkut pautnya mereka denganku?" dia bertanya.
"Rombongan itu membunuh tanpa merampas barang milik atau
menculik kaum wanita," Siauw Pek menjelaskan lebih jauh. "Karena
itu dunia Kang ouw merasa mereka adalah turunan dari keluarga
coh. Katanya turunan coh Kam Pek itu telah mendapat guru yang
liehay, yang mengajarinya ilmu silat, maka dia sekarang muncul
didunia Kang ouw guna menuntut balas sakit hati coh Kee Po"
"Peristiwa coh Kee Po adalah peristiwa penasaran paling besar
dalam dunia ini Kalau benar coh Kam Pek masih ada turunannya,
putra atau putrinya, itulah bukti thian ada matanya."
"Peristiwa sudah berlalu belasan tahun yang lampau," kata Siauw
Pek pula, "andaikata coh Kam Pek mempunyai turunan, nampaknya
sulit buat mencari tahu duduk soal yang sebenarnya, maka itu
loocianpwee, kau gagah perkasa, aku juga tidak takuti orang yang
berjumlah banyak itu, sudah selayaknya kau muncul lagi dalam
dunia Kang ouw, buat menjelaskan anggapanmu itu, guna mencari
bukti yang kuat, guna dihadapkan semua orang Rimba Persilatan,
agar mereka ketahui duduk peristiwanya. Denganjalan itu saja
penasaran dan sakit hati keluarga coh dapat dilampiaskan-
Bukankah itu akan memuaskan loocianpwee?"
si orang tua berpikir keras, dia menatap anak muda itu.
Siauw Pek berhenti sebentar, lalu dia menambahkan: " Umpama
rombongan baru itu bukan turunan keluarga coh, bahwa mereka
bekerja untuk meminjam nama saja, buat mewujudkan maksud
mereka, juga loocianpwee dapat menganjurkan mereka buat
membubarkan diri atau mereka itu dianjurkan membela keadilan,
buat membela pihak keluarga coh, supaya pada akhirnya nanti,
penasaran kaluarga itu dapat dilenyapkan- Loocianpwee, biar
bagaimana, tak dapat loocianpwee berpeluk tangan saja
membiarkan peristiwa berlarut larut dengan ada kemungkinan
menjadi hebat"
Kedua mata sicrang tua bersinar tajam, kembali dia menatap si
anak muda.
"Sebenarnya, siapakah kau?" tanya dia heran. "Kenapa aku
sangat memperhatikan urusan keluarga coh itu?"
Ditanya begitu, mendadak Siauw Pek memperlihatkan roman
sungguh sungguh. Tapi sebelum menjawab, ia sudah menunduk
untuk memberi hormatnya, kemudian barulah ia berkata: "Untuk
ayah bundaku loocianpwee telah mendendam rasa tak puas dan
sudi tinggal menyendiri didalam lembah ini belasan tahun, oleh
karena itu jikalau aku tidak memberitahukan asal usul diriku yang
sebenarnya, takpuas hatiku." Wajah orang tua itu memperlihatkan
roman sangat heran. Kembali dia menatap.
"Jadi kaulah keturunan keluarga coh itu?" ia menegaskan-
"Boanpwee bernama coh Siauw Pek." berkata Siauw Pek,
menjawab. "coh Kam Pek yang mengandung dendam hebat itu ialah
ayahku almarhum."
"Ah, aku tidak percaya" kata orang tua itu.
"Boanpweelah keturunan keluarga Coh itu, jikalau boanpwee
mendusta, biarlah Thian membinasakan dan bumi memusnahkannya
" berkata Siauw Pek sungguh sungguh. orang tua itu menarik napas
panjang.
"ohJadi kau datang kemari untuk mencari loohu?" tanyanya.
"Sebenarnya boanpwee datang kemari untuk menyelidiki gerak
gerik ketua ketua dari Siauw Limpay, Bu Tong Pay dan Khong Tong
Pay, yang katanya hendak berapat disini," si anak muda
menerangkan dengan terus terang, "adalah sangat diluar dugaan,
boanpwee dapat bertemu dengan loocianpwee."
"Apa ? Ketua keempat itu mau berapat di sini?" tanya si orang
tua itu heran-
"Benar"
"Sungguh aneh "
"juga kebetulan saja boanpwee mendengar hal mereka itu mau
berkumpul digunung Lam Gak ini. Belum banyak orang Kang ouw
yang mengetahuinya."
"Mereka masing masing mempunyai pusatnya, kenapa mereka
mau datang kemari? Aneh "
"Locianpwee," siauw Pek memotong. Kembali ia memberi
hormat. "Tentang diri boanpwee, telah boanpwee jelaskan, maka
sekarang boanpwee hendak bertanya, sudikah loocianpwee
memberitahukan she dan nama loocianpwee ?" orang tua itu
menghela napas.
"Mungkin sekali orang kang ouw telah melupakan loohu..."
sahutnya perlahan- Ia diam sejenak. lalu tertawa perlahan- Katanya:
"Gelombang sungai Tiang Kang yang dibelakang mendorong
gelombang yang didepan, begitupun manusia, angakatan muda
memenangkan angkatan lama Loohu mengira penasaran keluarga
coh bakal terpendam buat selama lamanya tak ada jalan untuk
memecahkan rahasianya, tak disangka keluarga itu mempunyai
turunan sebagai kau, anak. turunan yang gagah perkasa"
"Loocianpwee terlalu memuji boanpwee," katanya merendah.
orang tua itu tertawa.
"Selama hidupku, sangat jarang aku memuji orang " katanya,
"Kalau aku memuji, mesti ada sebabnya, dan dengan sesungguh
hati. Entah dari siapa kau mendapat kepandaian ini maka didalam
usia begini muda telah begini liehay ilmu silatmu ?"
Untuk sejenak Siauw Pek bersangsi, tetapi akhirnya ia menyahut:
"Dengan sebenarnya tak berani boanpwee mendustai loocianpwee.
orang yang mengajari boanpwee ilmu pedang ialah orang yang
disebut Kian-kut It Kiam Kie..."
Mata orang tua itu terbuka lebar, sinarnya berkilauan. "Apa?"
selanya. "Apakah kau maksudkan Kie Tong?"
"Benar, itulah guru boanpwee," sahut Siauw Pek hormat. orang
tua berpakaian hitam itu tertawa tergelak.
"Jikalau begitu tidaklah heran bila hanya dengan sejurus ilmu
pedangmu kau dapat memecahkan ilmu silatku yang telah kulatih
dengan susah payah selama sepuluh tahun..." Ia menyebut nama
ilmu silatnya itu: "Ngo Kwie Souw IHun". Ia batuk batuk perlahan.
Kemudian ia menambahkan: "Semasa Kie Tong bergerak dalam
dunia Kang ouw dahulu itu, dia memperoleh sebutan Thian Hee Tee
It Kiam, yaitu ahli pedang nomor satu dikolong langit ini. Dengan
pedangnya itu entah ia telah mengalahkan berapa banyak jago
Rimba Persilatan, sebaliknya, belum pernah ia melukai lawan
lawannya. Maka juga, ia memperoleh sebutan lain, yaitu Thian kiam,
si Pedang Keadilan- Sebutan itu berarti, luhur ilmu pedangnya itu
luhur setinggi langit. Arti yang lain ialah ia sangat bijaksana, sangat
berperikemanusiaan. "
Senang siauw Pek mendengar kata kata orang tua itu, akan
tetapi, ia masih belum puas, pikirnya: "Telah aku beritahukan she
dan namaku serta riwayatku, tetapi kau, kenapa kau belum juga
menyebutkan she dan namamu ?" Walaupun ia memikir demikian, ia
toh lekas lekas mengatakan: "Tidak salah ilmu pedang guruku itu
juga dinamakan Tay pie Kiam hoat, yang mengandung maksud
sangat mencinta, maha kasih."
Hati orang tua itu terbuka. Tak lagi ia pepat dan berputus asa
seperti semula. Maka ia dapat tertawa lebar. Ia lalu berkata gembira
" Kaulah muridnya Kie Tong, dengan ilmu pedangmu kau dapat
mengalahkan ilmu silatku, itulah tidak aneh, sudah sepantasnya kau
menang. Dengan begitu, aku kalah tanpa menyesal."
"Boanpwee telah memberitahukan segala apa tentang diriku,"
kata Siauw Pek kemudian "maka itu sekarang boanpwee mengharap
loocianpwee menyingkirkan minat loocianpwee yang ingin
menyekap diri pula didalam gua."
"Apakah kau menghendaki loohu muncul lagi dalam dunia Kang
ouw?" tanya orang tua itu. "Apakah kau ingin loohu membantu
mengadakan penyelidikan tentang peristiwa keluargamu pada tiga
belas tahun yang lampau itu "
"Benar," sahut Siauw Pek mengangguk. orang tua itu tertawa
pula.
"Baik, Loohu menerima baik permintaanmu ini cuma urusan ini
sangat besar dan ada hubungannya satu dengan lain, hingga
mungkin terjadi banyak sekali orang yang bakal terbinasakan- oleh
karena itu, saudara kecil. aku hendak menjelaskan dahulu
kepadamu : Kau cuma harus binasakan biang keladi jangan kau
membunuh sembarang orang."
"Baik loocianpwee, suka boanpwee memberikan janji Memang
boanpwee cuma mau cari si biang keladi, lainnya tidak "
"Semenjak jaman purbakala, saudara kecil," sicrang tua berkata
pula, "tidak ada lain orang yang mempunyai musuh sebagai kau
Sebab musuh kau selain sembilan partai besar ada juga sembilan
partai lainnya jadinya didalam lima kaum Kang ouw ada empat
musuh musuhmu Kau benar mewariskan ilmu pedang Kie Tong
tetapi seorang diri, tak mungkin tenagamu cukup. Maka itu kauperlu
mengumpulkan banyak orang, guna membangun satu golongan
sendiri"
Siauw Pek agak ragu ragu.
"Dalam hal ini loohu akan bantu kau," berkata orang tua itu
"Akan aku undan seorang gagah, buat membantu kau membangun
usahamu itu. cuma orang itu bertabiat sangat aneh, walaupun kau
liehay, belum tentu dia suka membantumu, kau harus sabar luar
biasa, sebagaimana dijaman dahulu Lauw pie terpaksa tiga kali
menyambangi rumah gubuk untuk mengundang cukat Liang."
"Asal boanpwee bisa mencuci sakit hati ayahbundaku, jangankan
baru tiga kali, delapan atau sepuluh kalipun boanpwee bersedia,"
berkata Siauw Pek. orang tua itu tertawa.
"Bagus saudara kecil, bila kau mempunyai kesabaran begitu."
katanya gembira. "Loohu percaya bahwa penasaran keluargamu
akan dapat dilampiaskan"
Siauw Pek tidak berkata apa apa tetapi lagi lagi ia memberi
hormat. Ia merangkap kedua tangannya dan menjura.
"Loocianpwee sudi membantu boanpwee, boanpwee sangat
bersyukur," katanya. "Apakah sekarang loocianpwee sudi
memberitahukan she dan nama loocianpwee kepadaku ?"
ornag tua itu tidak segera menjawab, hanya dia berkata :
"Didalam dunia Rimba Persilatan tidak ada besar atau kecil, tua atau
muda siapa yang bijaksana dialah yang termulia, demikian pun kita,
walaupun loohu berusia jauh lebih tua daripada kau, saudara kecil,
dalam hal ilmu silat kau jauh melebihi aku, oleh karena itu
selanjutnya baiklah kita bergaul sebagai kakak beradik saja."
"Itulah tak berani boanpwee terima," kata siauw Pek.
"Kita telah bersatu hati, jangan kau sungkan- kata orang tua itu.
"oleh karena loocianpwee mendesak. baiklah " sahut sianak
muda akhirnya. "Jikalau boanpwee tetap menolak. itulah berarti kita
orang luar." orang tua itu tersenyum puas.
"Sewaktu saudaramu belum mengundurkan diri," berkata ia
kemudian, "didalam dunia Sungai Telaga, saudaramu ini mempunyai
juga namanya yang kecil. Kaum Rimba Persilatan memanggil aku
Seng Supoan Ban Liang^"
"Seng SuPoan" adalah julukan, artinya "Hakim penuntut Hidup
Mati". Kembali Siauw Pek memberi hormat.
"oh, kiranya kakak Ban " katanya puas.
Ban Liang lalu berkata pula : "Tabiatku aneh Aku benci kejahatan
seperti aku benci musuhku, kalau aku turun tangan, aku biasa
berlaku telangas. Karena itu orang Rimba Persilatan mengatakan
aku berkedudukan antara sibenar dan si sesat, bila bertindak, aku
hanya menuruti rasa hatiku, girang atau murka."
"Menurutku, saudara justru jujur dan polos"
Ban Liang menepuk pahanya, dia menunjukkan jempolnya.
"Saudara kecil. tabiatmu sama dengan tabiatku si orang she Ban
" katanya.
"Kembali loocianpwee memuji terlalu tinggi " berkata si anak
muda.
Ban Liang tersenyum.
"orang Rimba Persilatan mengatakan aku antara sadar dan sesat,
itulah karena sifatku terlalu keras," kata dia pula. "Selama hidupku
aku telah banyak membunuh orang akan tetapi aku percaya betul
belum pernah aku membunuh orang baik-baik, Ada orang-orang
Rimba Persilatan yang romannya baik dan murah hati serta gemar
mengamal, guna memperoleh nama akan tetapi diam-diam tak
kejahatan yang mereka tak lakukan- Aku dinamakan si aneh itulah
sebab aku telah membunuh terlalu banyak manusia-manusia palsu
itu "
"Loocianpwee, boanpwee sangat mengagumi loocianpwee "
"Kau memuji saja"
Siauw Pek melihat langit.
" Loocianpwee, tahukah kau bahwa sekarang ini tengah diadakan
permusyawaratan didalam gunung Lam Gak ini ?" dia bertanya.
"Baru saja loohu keluar, segala apa belum loohu tahu."
"Boanpwee maksudkan ketua keempat partai besar. Entah
mengapa mereka mengulangi kejadian seperti belasan tahun dahulu
itu " Ban Liang berpikir.
JILID 18
"oh, begitu ?"
"Benar. Boanpwee telah memperoleh berita yang jelas sekali."
"Tahukah kau dimana tempat rapat mereka itu ?"
"cuma di Gunung Lam Gak ini, tempatnya yang tepat, entahlah."
"Banyak tempat yang baik di Gunung ini, semuanya loohu
ketahui. Mungkin disalah satu antaranya."
Tiba tiba Siauw pek ingat hal dua orang tadi.
"Loocianpwee, apakah loocianpwee mempunyai murid ?"
tandanya berbisik. Ban Liang menggeleng kepala. "Tidak, aku
tinggal sendirian disini."
"Jikalau begitu, tempat kediaman loocianpwee, sisinya telah
orang duduki," kata siauw Pek yang terus menuturkan segala apa
yang ia dengar dan lihat. orang tua itu tersenyum.
"Tidak kusangka Lam Gak yang biasanya sunyi senyap sekarang
menjadi ramai sekali " ujarnya, "syukur tempatku sangat
tersembunyi, biar disini ada orang lain, tak mudah mereka
menemukannya, sekarang mari kita pergi ke tempatku itu, untuk
beristirahat, nanti aku menyiapkan segala apa, untuk ku turut kau
pergi mencari tempat rapatnya ketua-ketua keempat partai besar itu
sekalian kau menikmati keindahan pemandangan alam disini."
"Boanpwee masih mempunyai dua orang kawan, nanti boanpwee
panggil mereka datang kemari untuk memberi hormat kepada
loocianpwee," kata Siauw Pek.
"Baik, akan loohu tungguh disini "
siauw Pek lalu lari pergi mencari Oey Eng dan Kho Kong. Ia dapat
menemukan mereka itu ditempat yang dijanjikan-
"Saudara saudara, mari ikut aku menemui seorang jago bu-lim
angkatan tua."
"Siapakah dia ?" tanya Oey Eng.
" Kenalan baru."
"Apakah toako telah perkenalkan diri asalmu kepadanya ?"
"Ya, loocianpwee itu pernah membela Pek Ho Po karena itu dia
sampai dilukai jago-jago BuTong dan Kun Lun- Karena lukanya itu,
dia hidup menyendiri. Dia dapat dianggap sebagai sahabat dan
penolong keluargaku. Dia tahu banyak tentang urusan dahulu, kalau
tidak, tidak nanti dia mau ikut campur lagi." Oey Eng teliti, dia
berdiam, tidak demikian dengan Kho Kong.
"Kalau dia mencurigakan, kita bunuh saja" kata si sembrono ini.
siauw Pek dan Oey Eng tidak melayani bicara. Saudara muda itu
memang biasa menuruti adat saja, cuma kadang kadang dia sadar
dan sabar. Lalu ketiganya berangkat. Siauw Pek jalan didepan. Ban
Liang berada ditempatnya.
"Inilah Ban Loocianpwee," siauw Pek memperkenaikan. "Lekas
kamu beri hormat "
Oey Eng memberi hormat sambil menjura dalam. Ia turut kata
kata ketuanya. Dimata dia siorang tua tak mirip orang yang baik
hati.
Ban Liang sebaliknya mengawasi tajam kedua pemuda itu.
"Dapatkah mereka berdua dipercaya ?" tanyanya kepada Siauw
Pek.
Lekas-lekas Siauw Pek memberitahukan: "Inilah dua saudara
angkatku. Kami telah berjanji akan sehidup semati. Mereka kenal
baik asal usulku."
"Bagus, ya. kau mencurigai kami " kata Kho Kong nyaring.
"Sebenarnya kami justru masih menyangsikan kau, loocianpwee " Si
sembrono ini bicara blak-blakan-
Ban Liang tidak menjadi gusar, bahkan sebaliknya, dia tertawa
lebar.
"Bagus Kau lihat saja nanti " katanya. "Selama hidupku aku selalu
berbuat baik, aku biasa membantu si lemah menindas si kuat,
selama itu hampir tak ada orang Rimba Persilatan yang memuji aku
tapi aku tidak menghiraukannya Sekarang, setelah hampir tiba
saatnya aku masuk kedalam liang kubur, aku akan muncul pula,
mesti aku melakukan sesuatu yang menggemparkan " Dia tertawa
pula, terus dia menengadah, dan akhirnya menambahkan : "Selama
beberapa puluh tahun yang terakhir ini, diantara pelbagai peristiwa,
peristiwa Coh Kee Po adalah yang paling hebat, jikalau aku dapat
mencuci bersih penasaran itu, puas hidupku, matipun aku rela "
Kembali si tua itu tertawa, suatu tanda dia gembira sekali. Siauw
Pek memberi hormat pada jago tua itu.
" Loocianpwee baik sekali " katanya. " Loocianpwee, terimalah
hormatku "
"Tak usah kau berterima kasih padaku," berkata orang tua itu.
"Meski aku bekerja untuk keluargamu tetapi sebenarnya untuk peri
keadilan, untuk peri- kemanusiaan " Kho Kong melihat langit.
"Sang malam bakal lekas tiba," katanya. "sekarang kita masih
belum tahu tempat berapat pihak empat partai itu, aku kuatir nanti
lenyap kesempatan kita..."
"Benar," kata si jago tua. "Aku kenal hampir semua bagian
gunung ini, marilah kita mencari, mungkin tak sukar menemukan
tempat musyawarah mereka itu"
"Loocianpwee telah lama tinggal disini, tahukah loocianpwee
kalau kalau disini berdiam seseorang atau suatu rombongan ?"
"Sampai sebegitu jauh, tidak-" sahut Ban Liang. "Entahlah kalau
yang baru datang." Kho Kong mengawasi orang tua itu, sekarang
dia berkesan baik,
"Kita harus waspada dan berhati hati," Ban Liang memberitahu.
"Andaikata ada rombongan yang berdiam disini, sebaiknya jangan
kita bentrok dengannya kecuali terpaksa."
"Loocianpwee benar," Oey Eng setuju.
"Sekarang," kata Ban Liang pula, "kiranya perlu segera mencari
tahu tempat musyawarah keempat partai. Menurut dugaanku,
mereka berapat mengenai urusan Pek Ho Po..." Oey Eng
mengangguk.
"Kapankah loocianpwee hendak bertindak ?" tanyanya.
"sekarang juga Setujukah kamu ?"
"Kami selalu bersedia," kata Oey Eng. Ban Liang tersenyum, lalu
ia berangkat.
Inilah tidak disangka Oey Eng, yang segera menyusul,
demikianpun kedua kawannya.
Mereka berlari lari mendaki, sijago tua selalu berada didepan.
Sesampainya mereka diatas puncak. magrib pun tiba.
Ban Liang memandang kesekitarnya, lalu ia menunjuk kesatu
arah.
"Jikalau terkaanku tidak meleset, mereka tentu berkumpul
disana, dipuncak Ciong Gan Hong itu" katanya sejenak kemudian-
"Apakah dasar alasan locianpwee ?"
"Puncak itu tinggi, curam dan sulit didaki .Jalan naik cuma
sebuah jalan kecil, maka jalan itu mudah untuk dijaga. Buat
merundingkan soal rahasia, Ciong Gan Hong paling tepat."
"Andaikata mereka tidak berada disana?" tanya Kho Kong.
"Mungkin di lembah Wan Ciu Kan."
"Jika begitu, sekarang mari kita pergi ke Ciong Gan Hong
dahulu," mengajak Siauw Pek.
"Baik, marilah " berkata Ban Liang. "jalanan berbahaya, berhati
hatilah " Kembali jago tua ini jalan di muka.
Jalan mendaki, benar benar meminta tenaga dan kewaspadaan,
karena sulitnya, karena cuacapun sudah guram. Dan pula Ciong Gan
Hong terpisah jauh, walau tampaknya dekat.
Selang satu jam lebih, barulah mereka sampai dikaki puncak. Oey
Eng dan Kho Kong bernapas sengal sengal dan bermandikan peluh,
Ban Liang dan Siauw Pek lumayan saja.
"Kuat sampai dijalan kecil untuk mendaki itu, kita perlu jalan lagi
kira kira tiga lie." berkata Ban Liang, "maka itu baik kita beristirahat
dahulu sebentar."
"Kalau benar empat ketua partai itu berada diatas puncak.
mungkin kita bakal melakukan pertempuran," berkata Kho Kong, "
karena itu perlu juga kita mengaso sebentar disini."
Ban Liang merasa letih jua, ia lantas mendahului duduk
bersemadhi.
Kira kita satu jam lamanya rombongan ini beristirahat, kemudian
mereka mulai pula dengan perjalanan mereka. Sekarang mereka
mendapat tenaga baru. Tak berapa lama, tiba sudah mereka dijalan
kecil yang ditunjuk itu.
"Loohu akan jalan di muka, kamu bertiga berhati hatilah," pesan
sijago tua, yang mulai mendaki jalan kecil itu. "Usahakah supaya
kita jangan menerbitkan suara suara." Siauw Pek bertiga
memberikan janjinya.
Puncak Ciong Gan Hong tinggi beberapa ratus tombak, empat
penjurunya berupa seperti tembok dan berlumut juga, sukar orang
mendakinya kalau tidak ada jalan kecil itu.
Jalan kira kira baru setengah, mendadak Ban Liang berhenti maju
lebih jauh, terus dia melompat kesisi, untuk bersembunyi dibalik
sebuah batu besar.
Melihat itu, Siauw Pek turut berhenti seraya memberikan isyarat
kepada kedua saudaranya, untuk mereka juga berdiam, setelah
mana ia mengawasi tajam kearah depan-Cahaya bintang
membantunya. Sejauh delapan tombak. dibawah pohon cemara, di
atas sebuah batu yang besar, tampak seorang pendeta lagi duduk
bersila. Dia mengenakan jubah abu abu, didepannya terletak
senjatanya, sebatang tongkat yang berkilauan"
Benarlah disini," pikir si pemuda ini, yang terus menghampiri
Ban Liang. Ia berbisik :
"Rupanya pendeta dari siauw Lim Sie..."
"Benar, dia menjaga disini, itu artinya tak ada jalan lain- Untuk
sembunyipun sukar."
"Habis bagaimana?"
"Kita harus sergap dia agar sekali pukul dia terbinasa. Ditangan
begitu kita baru bisa mencegah dia memberi isyarat kepada kawan
kawannya..."
Siauw Pek berpikir. Melihat jaraknya itu, pendeta itu tak dapat
diserang sekalipun dengan senjata rahasia.
"Apakah kau pandai menggunakan senjata rahasia ?" tanya Ban
Liang, yang melihat ke sekitarnya.
Siauw Pek menggeleng kepala. Tiba-tiba ia ingat Thio Giok Yauw,
yang liehay senjata rahasianya.
"Jikalau begitu, terpaksa aku mesti turun tangan," kata Ban
Liang. "Dengan jalan Pek Houw Kang, akan aku dekati dia. Aku
pergi dari sebelah kiri sana. Kalau aku memberi tanda, kau segera
berupaya menarik perhatiannya supaya dapat aku membokongnya."
Siauw Pek melihat kesebelah kiri. Tebing licin sekali.
"Mana bisa loocianpwee yang pergi ke sana," kata ia, "baiklah
aku saja."
Ban Liang tidak dapat menjawab, kesatu, ia tidak bisa membuka
suara keras, kedua tak dapat ia menyusul dan menarik tubuhnya. Ia
segera bersiap sedia. Dikeluarkannya dua biji Cu-ngoteng, senjata
rahasianya.
Walau percobaan itu berbahaya, Siauw Pek tidak menghiraukan-
Ia lagi bekerja guna menuntut balas ayah bunda dan semua
keluarganya. Kalau ia terpergok sebelum ia datang cukup dekat,
sungguh berbahaya...
Pemuda ini juga mengerti Pek Houw Kang, Ilmu Cecak. yaitu
semacam ilmu untuk jalan merayap di tembok. Semacam ilmu yang
membutuhkan tenaga dalam yang mahir.
Pendeta itu duduk bersila dengan mata meram dan tubuh tak
bergerak. ketika Siauw Pek berhasil melewatinya, dia masih berdiam
terus. Si anak muda heran- Pada saat ia hendak menyerang, tiba
tiba ia merobah pikirannya. Inilah disebabkan kecurigaannya.
Kenapa pendeta itu berdiam terus sedang mestinya dia liehay ?
Biar bagaimana, Siauw Pek tidak dapat membuang waktu. Batal
menyerang dengan serangan maut, ia berlompat untuk menotok kin
keng hiat, jalan darah pendeta itu. Tepat serangan itu, segera tubuh
si pendeta roboh.
Justru itu, sadarlah Siauw Pek kenapa si pendeta mirip patung.
Ternyata dia sudah tidak mempunyai tenaga perlawanan-
Maka dia menyambar jubahnya, untuk menahan roboh tubuhnya
itu. Ban Lian bertiga melihat berhasilnya kawan itu, lalu ia lari
menghampiri.
Siauw Pek menaruh tangannya dihidung orang itu, ia merasai
jalannya napas perlahan. Ia tahu, orang telah ada yang mendahului
menotoknya. Ban Liang menunjukkan jempolnya.
"Saudara yang baik, aku si tua sangat kagum terhadapmu,"
pujinya.
"Inilah bukan jasaku, locianpwee," kata Siauw Pek terus terang.
"Dia telah ditotok orang lain-"
Orang tua itu melengak.
"Apa? Ada orang yang telah menotoknya?" tanyanya, matanya
membelalak.
"Benar" si anak muda mengangguk.
"Siapa yang demikian liehay?" Ban Liang menggumam. "Kalau
begini, telah ada orang lihay yang mendahului kita mendaki puncak
ini."
"Boanpweepun memikir demikian-" Ban Liang berpikir.
"Baik kita cocokkan lagi dia ditempatnya, baru kita mendaki
terus," kata dia.
Siauw Pek setuju. Mereka lalu bekerja. Kemudian si anak muda
berkata: "Mari boanpwee yang jalan didepan"
Sesudah melalui tiga atau empat puluh tombak. jalanan kecil
yang sempit itu telah sampai diujungnya, memperlihatkan sebuah
lembah yang lebar, yang tanahnya batu karang datar. Siauw Pek
menghunus pedangnya, baru ia melompat ketanah datar itu.
Menyender pada batu gunung yang berupa tembok. tampak dua
orang toosu, atau imam, kaum Too Kauw. Yang dikiri tengah
memegang gagang pedang, yang dikanan sudah mencabut
sebagian dari pedangnya. Angim malam membuat jubah mereka
bergerak gerak. akan tetapi tubuh mereka diam seperti patung. Ban
Lian lompat mendekati, untuk mengawasi.
"Mereka ini juga korban totokan," katanya. " Entah siapa orang
gagah itu.jangan jangan kalau nanti kita dipuncak. disana sudah
terjadi pertarungan yang seru sekali."
Siauw Pek juga berpikir. Ia berkhayal : Jangan jangan akan
terulang peristiwa seperti tigabelas tahun yang lampau, yang
menyebabkan musnahnya Pek Ho Po. Pikirnya lebih jauh. Kali ini
mungkin akulah yang memegang peranan-.."
Ban Liang, yang luas pengalamannya, melihat anak muda
berpikir. Ia segera kata perlahan, "Jangan banyak pikir saudara kecil
Keempat partai sudah berpengalaman, mestinya mereka telah
mengatur persiapan yang ketat, biar orang liehay sekali tak mungkin
dalam waktu singkat dia dapat membinasakan keempat partai
belum tahu ada orang yang sudah menyelundup masuk..." Siauw
Pek mengangguk.
Ban Liang mengawasi kedua imam, ia berkata. "Baik kita pakai
jubahnya itu, untuk dapat bercampur baur dengan mereka..."
Siauw Pek setuju, bahkan ia terus turun tangan, akan membuka
jubah kedua imam itu, untuk berdua Ban Liang memakainya. Maka,
melihat dua orang kawan itu Oey Eng dan Kho Kong tersenyum.
"Sayang cuma ada dua perangkat," kata Oey Eng.
"Tapi kita hanya hendak membuat penyelidikan," berkata Ban
Liang. "Bagaimana kalau tuan tuan berdua menjaga jalan mundur
kali ini?"
Kho Kong tidak setuju dia hendak membantah, tapi Oey Eng
mendahuluinya. Katanya: "Loocianpwee benar. Baiklah, kami akan
menanti disini." Kho Kong membungkam terus. Ia menahan
kemendongkolannya
Kali ini sijago tua yang maju di muka, Siauw Pek mengikutinya.
Mereka berjalan dengan menggunakan ilmu ringan tubuh, sama
sekali mereka tidak memperdengarkan suara sesuatu. Setelah
mendekati puncak. mereka tambah waspada. Sambil bersembunyi
dibelakang batu besar, mereka memasang mata.
Puncak Ciong Gan Hong rata, tanahnya berumput, luasnya sekira
satu hektar. sekitarnya pohon cemara melulu. Disana sini terdapat
batu batu yang bentuknya aneh. Ditengah tengah puncak dibangun
sebuah tenda atau kemah dimana tampak cahaya api.
Setelah melihat sekitarnya itu, Siauw Pek melompat kepada
sebuah pohon cemara, untuk menjambret cabangnya, dan
menyembunyikan diri diantara dahan dahannya yang lebat. Dari
yang jauh ini, ia bisa melihat kebawah, ke arah tenda.
Sejauh tiga tombak dari pohon cemara itu, dari belakang sebuah
batu besar telihat munculnya seorang imam dengan pedang
dipinggangnya. Dia melompat naik keatas batu, untuk memasang
mata. Mungkin dia mendengar suara angin dari gerakan sipemuda
itu tadi.
"Berbahaya," pikir Siauw Pek. "Ada kemungkinan dia dapat
melihat Ban loocianpwee," Maka ia lalu bersiap sedia, asal kawannya
terpergok. hendak ia mendahului turun tangan-Terpaksa ia mesti
membokong dan membunuh guna menutup mulut lawan, agar
kedatangan mereka tidak diketahui.
Sementara itu Ban Liang pun telah mendengar suara sepatu, ia
memutar tubuh, untuk berlompat, guna menyembunyikan diri
disebuah pohon. Siauw Pek melihat gerak gerik kawan itu, ia
kagum. " Dasar orang Kang ouw berpengalaman" ia memuji.
Dari atas batu, si imam melompat turun, untuk jalan dijalan kecil.
ia tidak jalan terus hanya ia belok kearah barat.
siauw Pek mengawasi, ia beragu untuk turun tangan- ia belum
tahu pihak partai partai besar itu terdiri dari berapa banyak jago.
Selagi ia ragu ragu itu, si imam sudah lenyap...
Sambil mengawasi tenda, Siauw Pek ingat akan kebinasaan hebat
dan menyedihkan dari ayah bunda dan saudaranya, tiba tiba
darahnya bergolak.
"Aku telah tiba disini, mana dapat aku berlalu dengan tangan
kosong ? peduli apa aku dengan ancaman bahaya ?"
Maka ia melompat turun dari atas pohon untuk bertindak kearah
tenda. ia telah mendapat pikiran buat menyelundup masuk kedalam
kemah itu. ia sudah mendekat lagi dua tombak. Tidak ada orang
yang muncul dan merintanginya.
Kemah itu lebar satu tombak persegi. Kain tendanya tebal,
hingga orang tak dapat melihat kedalam kecuali sinar apinya yang
menyelinap keluar.
Dengan tindakan berhati hati siauw Pek mengelilingi kemah itu.
Masih juga ia tidak menemukan orang. Sedangkan si imam, yang
tadi melakukan pengawasan, entah telah pergi kemana. Melihat
demikian, dengan berani si anak muda menuju ke muka kemah.
Lagi dua tindak akan dapat ia menyingkap pintu kemah. ia berdiri
beberapa lama, lalu ia maju satu tindak lagi, tangan kirinyapun
diluncurkan, guna menyingkap pintu kemah, akan tetapi mendadak
telinganya itu mendengar suaranya Seng Supoan.
"Ada orang Lekas menyingkir" Tanpa berpikir lagi, ia melompat
mundur, untuk terus bersembunyi dibelakang sebuah batu besar.
Lekas sekali, dua bayangan orang berkelebat terus lenyap.
lenyap naik keatas puncak.
siauw Pek heran- Ia berpikir keras. Tapi tidak ada kesempatan
buatnya berpikir lama. Dua sosok bayangan itu, yang agaknya
berpakaian serba hitam, dengan segera menghampiri kemah. Baru
sekarang terlihat bahwa pakaian mereka berdua berlainan, hanya
dipunggung mereka tergendol pedang. Tiga tindak dari kemah,
mendadak mereka itu berhenti, untuk berdiri tegak. Mungkin
mereka itu bercuriga, sebab suasana yang agak kurang tepat...
Hanya sejenak kemudian, orang yang dikiri nampak kehabisan
sabar. Dia menghunus pedangnya, dengan tangan kirinya dia
menyingkap pintu kemah untuk segera bertindak masuk ked
alamnya.
siauw Pek bukan penghuni kemah akan tetapi menyaksikan gerak
gerik orang itu, ia mearsa tegang sendirinya. ia terus memasang
mata. ingin ia ketahui ada gerakan apa dari dalam kemah itu.
Dari dalam kemah terdengar dua kali suara seperti saling
membentur, perlahan sekali, lalu sunyi pula. orang yang masuk
kedalam itu bagaikan batu yang dilemparkan kedalam laut.
orang yang diluar, yang tadi berdiri disebelah kanan, mencabut
pedang, untuk melindungi dadanya. Meski demikian, dia berdiri tak
bergeming.
Angin gunung, yang datang meniup, menggoyahkan pintu tenda.
Angin itu menembus ke dalam, maka terlihatlah, sinar api didalam
kemah itu yang bergoyang goyang. Itulah api dari sebuah lilin
besar. Api itu bagaikan sebentar padam sebentar nyala...
Dengan sangat berhati hati, Siauw Pek tindak ke kemah. ia
memilih tempat dari mana ia bisa mengintai kedalam kemah itu. Ada
terdapat sebuah meja kayu. Diatas itulah lilin besar itu menyala.
Disitu tak nampak si baju hitam yang baru saja masuk kedalamnya.
orang yang diluar masih menantikannya sejenak lagi, mendadak
dia memutar tubuhnya, untuk meninggalkan kemah buat pergi turun
dari puncak
"Dia takut, dia pengecut, sampai kawannya dia tinggal pergi,"
pikir Siauw Pek. Lalu ia mengangkat kepalanya, menengadah langit,
mengawasi bintang bintang. Kemudian ia menghela napas perlahan-
Tiba tiba ia terkejut sendirinya karena mendadak ia ingat, tak
mungkinkah kemah ini suatu jebakan belaka ? Apakah pendeta dan
imam tadi itu bukan sengaja ditotok. untuk dijadikan semacam
umpan, guna mengelabuhi orang yang datang menyatroni kemah
itu ? Tapi, siapakah yang berada didalamnya ? Kenapa dia tidak
nampak ? Dimanakah dia sembunyi. Atau, apakah mereka ketua
ketua dari keempat partai partai besar itu ? Ataukah dialah orang
gagah istimewa yang ditugaskan berdiam didalam kemah ? Dan
imam tadi, kemanakah perginya dia ?
Selagi bercuriga dan menerka nerka itu hati Siauw Pek berkobar.
Itulah api sakit hati hebat. Kata hati itu : "Tidak dapat dengan begini
saja aku mundur dari puncak ini Sekalipun mereka mengatur
perangkap. mesti aku masuk dan melihatnya "
Karena berpikir demikian, semangatnya menyala- nyala, segera
Siauw Pek menghunus pedangnya, lalu dengan tindakan lebar, ia
menuju kekemah. Setelah berada dlmulut tenda, la meluncurkan
pedangnya, guna menyontek pintu kemah itu
Mendadak lilin didalam kemah itu padam, hingga sekejap itu,
gelap petanglah kemah itu Akan tetapi berbareng dengan padamnya
api, samar-samar Siauw Pek melihat bahwa dikedua sisi kemah ada
duduk bergerombol beberapa orang. Sang gelap gulita membuat
segala sesuatu tak terlihat lagi.
Api lilin itu bagaikan padam ditiup angin karena terpentang
tersonteknya pintu kemah. Dari dalam tidak terdengar suatu suara
juga. Keadaan tetap sunyi senyap. "Mesti ada bersembunyi orang
yang liehay." Siauw Pek terus menerka.
Selagi kesunyian tetap menguasai kemah, Siauw Pek segera
memperdengarkan suaranya yang tinggi : "Aku yang rendah
mendengar kabar bahwa ketua-ketua dari empat pay besar telah
datang berkumpul di Gunung Lam Gak ini, karena itu dengan
sengaja aku datang berkunjung Tuan-tuan, mengapa kamu bersikap
secara rahasia begini ? Apakah ini suatu cara untuk tuan rumah
menyambut tamunya ?"
Siasat Siauw Pek berhasil. Dari dalam kemah segera terdengar
suara yang dalam: "Siapakah kau, tuan? Apakah tuan ada
hubungannya dengan Kiu Heng cie Kiam ?"
"Aku yang rendah adalah seorang tak ternama dalam dunia Kang
ouw," menjawab sianak muda, "andaikata aku memberitahukan
namaku tuan-tuan pasti tak akan mengenalnya. Bukankah lebih baik
untukku tidak memberitahukannya ?"
Kembali datang suara dalam dari dalam kemah itu, hanya
sekarang suaranya seorang lain : "Diatas puncak Ciong Gan Hong ini
telah tersebar orang-orang liehay, maka setelah kau lancang datang
kemari kegedung Naga kegua Harimau bagianmu adalah manda
untuk diringkus Kenapa kau tidak lekas lekas meletakkan senjatamu
? Apakah kau hendak menanti sampai kami yang turun tangan ?"
Suara itu dingin akan tetapi Siauw Pek tidak jeri.
"Aku telah datang kemari, sewajarnya aku tidak takut" sahutnya.
"Buat meletakkan senjataku, itulah harapan sia-sia belaka darimu "
Kembali suara dari dalam kemah, suara yang parau : "Kau
menoleh kebelakang, setelah itu kau boleh memikir untuk
menentukan sikapmu "
Siauw Pek berpaling dengan cepat. Maka ia melihat
kebelakangnya, sejauh tujuh kaki, berdiri tujuh orang, yang entah
kapan munculnya, yang dua adalah pendeta-pendeta yang
mencekal tongkat, yang tiga imam-imam dengan pedang
ditangannya masing-masing. Yang dua lagi bukan orang-orang
beribadat, mereka ini juga memegang senjata. Tujuh orang itu
mengambil sikap mengurung ditiga penjuru.
"Ya, aku telah melihat" kata Siauw Pek kemudian, suaranyapun
tawar.
"Kau telah melihat tetapi masih tidak mau melemparkan
pedangmu " kata si suara parau, "Mungkinkah kau memikir untuk
mampus ?"
Mendadak Siauw Pek mendongak sambil memperdengarkan
suara bagaikan mendesir, terus ia berkata: "Jikalau ada salah
seorang tuan yang percaya dirinya sanggup merampas pedang di
tanganku ini, silahkan dia keluar. Jikalau kami memikir buat aku
sendiri yang melemparkan pedangku ini, itulah sia sia belaka, tak
guna membuka mulut dan menggoyang lidah "
"Sungguh keras kepala" seru suara dari dalam kemah.
Sementara itu Siauw Pek sudah memikir untuk mencoba pedang
atau goloknya, guna menunjukkan kewibawaan gurunya. Maka ia
berkata : "Aku telah datang kemari, maka buatku hidup atau mati
sudah tak kupikirkan lagi "
"Amida Buddha " terdengar puji dari dalam kemah terahasia itu. "
Walaupun kami menjunjung peri kemanusiaan akan tetapi kami
tidak dapat memberi ampun kepada orang yang memegang golok
jagal, oleh karena siecu enggan meletakkan senjatamu, baiklah,
loolap bersedia akan mengiringi kehendakmu"
Siauw Pek tidak menghiraukan suara itu.
"Sebenarnya, siapakah kau?" tanyanya dingin.
"Loolap adalah It Tie dari Siauw Lim Pay" sahut suara dari dalam
kemah itu.
"Jadi kaulah si pendeta kepala dari siauw Lim Sle ?" Siauw Pek
menegasi.
Siauw Lim Sie adalah pusat Siauw Lim Pay (Sie adalah kuil, dan
Pay partai)
Nama siauw Lim Pay sangat terkenal dan dijunjung dalam dunia
Kang ouw, kalau ada seorang pendeta Siauw Limi sie yang
mengembara, umum menghormatinya dan memanggilnya "tay-su",
guru besar. Tetapi Siauw Pek menyebutnya pendeta (hweesio atau
hoosiang), itulah tanda tidak hormat. Maka pendeta yang disebelah
kiri menjadi gusar, segera dia membentak : "Manusia sombong
Bagaimana kau berani menghina ketua kami " Lalu dengan
tongkatnya dia menyerang.
Siauw Pek telah mencekal pedangnya, ia menangkis serangan
itu, membuat tongkat itu terpental.
"Aku belum bicara habis" bentaknya. "Jikalau kau hendak
berkelahi, tunggu sampai aku selesai bicara, masih belum
terlambat."
Ketika itu terdengar suara It Tie: "Benar, pinceng adalah ketua
dari Siauw Lim Pay "
"Pinceng" adalah sebutan umum dari bangsa pendeta untuk
membahasakan dirinya sendiri. " Loolap" biasa dipakai oleh pendeta
yang telah lanjut usianya.
Lalu terdengar suara dingin semula : " orang ini sangat sombong,
dia tak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, baiklah tooheng
jangan melayani dia mengadu lidah "
Siauw Pek tidak puas dengan kata-kata orang itu, akan tetapi ia
masih dapat berlaku sabar, maka ia berkata : "Aku tidak peduli
kamu telah menyembunyikan beberapa banyak orang liehay diatas
puncak Ciong Gan Hong ini, aku bersedia untuk melayaninya, cuma
sebelum aku turun tangan, aku hendak bertanya jelas dulu perihal
diri kamu semua Nah, siapakah kau ?"
"Pinto adalah Gouw In Cu ketua Bu Tong Pay " sahut suara
dingin tadi.
"Pintoo" adalah sebutan umum untuk kaum imam
membahasakan dirinya, seperti "pinceng" atau " loolap" untuk para
pendeta penganut Sang Buddha.
"Apakah ketua Ngo Bie Pay berada disini?" Siauw Pek tanya pula.
"Apakah gelarnya ?"
Segera terdengar suara yang parau: "Pinceng ialah Hoat Ceng"
Menyusul itu terdengar satu suara lain: "Loohu Siang Hin ketua
dari Khong Tong Pay"
Lalu terdengar pula suara It Tie, "Kami telah berada disini.
Sekaranglah giliran siecu memperkenalkan dirimu "
Siauw Pek berdiam sejenak. lalu dia menyahut dalam- "buat
sementara ini, maaf, belum dapat aku yang rendah menyebut she
dan namaku "
"Siecu kecil, kau pandai main rahasia " It Tie menegur. "Tidakkah
caramu ini jenaka dan mendatangkan buat tertawaan ?"
Siauw Pek memperdengarkan tawa dingin. Ia berkata pula:
"Suatu rahasia Rimba Persilatan dahulu hari telah membuat tuantuan
senantiasa khawatir, bagaimanakah rasanya itu selama
bertahun tahun ?"
Sekian lama kemah sunyi, baru kemudian terdengar suara Gouw
In Cu: "Sebenarnya, siapakah kau? Jikalau kau tetap tidak sudi
memberitahukan she dan namamu, jikalau kau masih main rahasia
rahasiaan, jangan kau sesalkan bahwa kami berlaku telangas"
Rupa rupanya, untuk mengeluarkan kata kata itu, keempat ketua
partai itu sudah bermupakat terlebih dahulu.
Dada Siauw Pek terasa panas, rasa sakit hati bagaikan terus
membakarnya. Kembali ia memperdengarkan desis yang agak lama,
lalu ia berkata: "Kamu mempunyai cara kejam apa jua, silahkan
keluarkan, supaya dapat aku memberi hajaran kepada kami semua
kawanan bisul yang mengandung nanah "
Rupanya hebat kata kata ini, yang membangkitkan hawa amarah,
maka dari dalam kemah segera keluar perintah nyaring: "Baik Nah,
kamu bergeraklah "
Pendeta yang dikiri tadi sudah beberapa lama menahan sabar,
begitu dia mendengar perintah itu, segera dia melompat maju
sambil menyerang dengan tongkatnya. Begitu kuat dia
menggunakan tenaganya, tongkat itu sampai memperdengarkan
suara anginnya. Dialah yang tadi tersampok tongkatnya oleh
pedang si anak muda.
Dengan sebatnya Siauw Pek menangkis, membuat tongkat orang
mental balik kembali
Itulah sebuah tangkisan ilmu pedang Tay pie Kiam hoat dari Kie
Tong, yang digunakan si anak muda secara sempurna. Setelah itu,
beda dari semula tadi, kali ini Siauw Pek membalas menyerang.
Pendeta itu terkejut, dia melompat mundur. Tiga imam turut
mundur juga disebabkan herannya atas serangan itu. Hanyalah
pendeta yang satu lagi justru maju dengan serangannya.
Siauw Pek tertawa dingin, ia berkata: " Kiranya orang orang
sembilan partai besar cuma pandai main keroyok " berkata begitu,
ia menangkis, lalu terus dia menyerang, menusuk lengan kanan si
pendeta
Sampai disitu, bertiga mereka bertempur. Kedua pendeta dapat
bekerja sama, dan Siauw Pek berhasil melayaninya, bahkan sering
ia membuat lawannya mundur.
Cepat juga kedua pendeta itu terkurung sinar pedang, kecuali
menangkis dan berkelit, tak berdayalah mereka. Hal itu
membuatkan heran ketiga imam serta dua kawan lainnya, orang
orang bukan pendeta maupun imam itu.
Yang amat mengherankan yaitu walaupun Siauw Pek nampak
dapat mencelakakan kedua lawannya, toh sering ia tidak
menggunakan kesempatannya itu untuk merobohkan musuh, ia
justru membebaskannya Pula, makin lama semakin lincah.
Lewat sepuluh jurus lebih mendadak kedua pendeta itu
melompat keluar kalangan, wajah mereka guram, terus dengan
perlahan mereka berkata: "Kami bukanlah lawan siecu, terima kasih
atas budi kebaikanmu"
Siauw Pek pun segera berhenti, ia tidak berkata apa apa.
"Sekarang giliran kami mohon pengajaran" berkata seorang
diantara ketiga imam usia setengah umur itu.
"Silahkan, ketiga tuan tuan" Siauw Pek menyambut.
Ketiga imam segera mengambil tempat di tiga penjuru, terus
yang disebelah timur mulai dengan tikaman pedangnya. Maka
segera mulailah pula pertempuran main kepung itu.
Siauw Pek tidak beristirahat lagi. Ia terus bersilat sama lincahnya
seperti tadi.
Ketiga imam yang telah menonton tadi mereka berlaku gesit dan
waspada. Segera juga mereka heran dibuatnya. Setiap kali mereka
menikam, setiap kali pedang mereka kena disampok terpental.
Mereka melihat lowongan tetapi tidak berhasil menyerang lowongan
itu. Pemuda itu awas dan licin sekali, dan pedangnya sangat sebat.
Ketiga imam dapat bekerja sama seperti kedua pendeta tadi,
rapat kepungan mereka. Mulanya Siauw Pek repot, tetapi selang
lima jurus ia dapat menguasai pula gerakan gerakannya. Ketika
sampai jurus kesepuluh, ketiga imam segera terkurung sinar
pedang, tak berdayalah mereka. Akan tetapi aneh si lawan yang
muda ini, selalu tidak mau menggunakan kesempatannya untuk
melukai lawan lawannya. cara berkelahinya tenang tetapi sebat
seperti ia melayani kedua pendeta tadi.
Begitu memasuki jurus belasan, imam yang ditimur itu melompat
keluar dari kalangan-Sembari menyimpan pedangnya, dia
menyerukan dua kawannya: " Kedua suheng, jangan berkelahi
terus. Walaupun kita belajar lagi sepuluh tahun, kita bukanlah lawan
pemuda ini"
Maka berhenti jugalah kedua imam lainnya. Setelah menyimpan
pedang, mereka memberi hormat pada Siauw Pek seraya berkata:
"Siecu liehay, kami bukan tandinganmu"
"Ketiga totiang cuma mengalah saja." sahut si anak muda.
Didalam hati, ia merasa heran bahwa juga lawan lawan ini mundur
teratur. Ia cuma merasa bahwa ia bersilat menuruti ajaran gurunya,
melakukan setiap jurus dari ilmu pedang Maha Kasih.
Imam yang ditimur itu berkata pula: "Kami bertiga telah melatih
diri dalam ilmu menyerang serentak. kami telah menghadapi lawan
tak sedikit, akan tetapi belum pernah kami menemui yang seperti
siecu, maka itu, kami rela menyerah kalah, menyerah dengan
setulusnya."
Siauw Pek berkesan baik terhadap ketiga imam itu. Ia membalas
hormat seraya bertanya: "Tootiang, adakah tootiang bertiga murid
murid Bu Tong Pay?"
Ketiga imam saling melirik, yang ditimur menjawab: "Benar,
siecu. Rupanya siecu mengenali kami dari gerak gerik ilmu pedang
kami."
Siauw Pek tidak menjawab, hanya di dalam hatinya ia berkata:
"Bukan. Andaikata kamu dari Kun Lun Pay, aku toh percaya juga."
Inilah benar. Selama lima tahun, pemuda itu cuma mendalami
ilmu pedang dan golok, tentang ilmu silatnya lain lain partai, ia tidak
tahu menahu.
Sampai disitu terdengar salah satu dari dua orang yang imam
bukan dan pendeta bukan itu berkata "Kedua taysu dari Siauw Lim
Sie dan ketiga tootiang dari Bu Tong Pay telah kalah dari pedang
siecu, maka kami berdua saudara tak selayaknya kami mengajukan
tantangan, akan tetapi kalau kami mengaku kalah sebelumnya
bertempur, kami tidak puas..."
"bagus" sambut Siauw Pek. "Jika tuan tuan berdua tidak puas,
silahkan coba coba"
"Kami bukanlah lawan tuan, hanya kami kecewa bila tidak main
dengan tuan yang berkepandaian tinggi itu," berkata pula orang itu
yang terus maju sambil mengangkat goloknya.
"Tuan tuan, tunggu sebentar" Siauw Pek mencegah. "Aku ingin
bicara dahulu."
"Apakah pengajaranmu itu, tuan? Kami bersedia mendengarnya."
orang itu batal menyerang.
"Apakah tuan tuan terhitung anggota kesembilan partai besar?"
orang itu mengangguk. Dia menunjuk kepada kawannya
"Bersama kakak Leng ini kamilah orang orang Khong Tong Pay."
Siauw Pek memandang kearah kemah, ia berkata: " Karena aku
menyangsikan sesuatu, sengaja aku datang kepuncak ini, maksudku
ingin menanyakan kalau kalau ketua dari keempat partai Siauw Lim,
Bu Tong, Ngo Bie dan Khong Tong Pay telah hadir semua disini.
Adakah mereka semua didalam kemah itu?"
"Tidak salah, ketua kami ada dikemah."
"Kalau ketua Khong Tong ada, tentu ada juga ketua ketua dari
ketiga partai lainnya," pikir Siauw Pek, yang terus: "Rupanya tuan
tuan bertugas menjaga kemah ini, karenanya apabila aku tidak
mengalahkanmu, pasti kamu tidak akan mengijinkan aku masuk
kedalam kemah. Nah, silahkan" Orang itu mengangguk.
"Kami akan maju berdua bersama, diharap siecu bersedia." kata
orang Khong Tong Pay. Dia maju saking terpaksa, sebab dia sedang
menjalankan tugas. Tanpa bertempur dahulu, tak layak mereka
mengalah. Terus dia menyerang.
siauw Pek menyambut. Setelah menang dua kali hatinya menjadi
semakin mantap. ia merasakan bagaimana hebatnya ong Too Kiu
Kiam ilmu pedangnya Kie Tong itu.
Keuda lawan itu bersenjatakan golok Gan leng too, mereka maju
dari depan dan belakang berbareng.
siauw Pek menangkis dengan gerakan satu jurus, dari depan
diteruskan kebelakang, setelah itu ia mendesak.
Dua jago Khong Tong itu membuat perlawanan keras, mereka
menangkis dan menyerang, merekapun mencoba merangsak. akan
tetapi Siauw Pek merintangi setiap serangan mereka. setelah lima
jurus, ia mulai mendesak orang akhirnya tak berdaya sama sekali,
maka akhrinya, serentak keduanya lompat mundur.
"Tuan, ilmu pedangmu liehay, kami mengaku kalah," kata orang
yang pertama bicara tadi.
Siauw Pek berhenti bersilat.
"Tuan tuan mengaku kalah, itu artinya kita tidak bertempur
terus," katanya.
Ketiga rombongan itu tidak dapat menangkap arti kata kata si
anak muda, hampir serentak mereka berkata: "Kami patuh terhadap
aturan kaum Kang ouw, karena kami sudah tidak sanggup melawan
lebih jauh, sendirinya kami tidak akan berkelahi pula."
"Baiklah kalau begitu " berkata siauw Pek. "Sekarang silahkan
tuan2 mundur beberapa tindak, aku ingin bertemu dengan ketuaketua
kamu untuk berbicara"
Kedua pendeta, ketiga imam, dan kedua orang Khong Tong itu
berdiri menjublak, tak tahu mereka harus berbuat bagaimana.
siauw Pek tidak menanti jawaban, dengan pedang melintang
didepan dadanya, ia memutar tubuh kearah kemah, lalu berkata:
"para ketua, aku yang rendah mempunyai urusan, aku mohon
bertemu, tetapi jikalau permohonanku ini ditolak. maaf, jangan
sesaikan aku, hendak aku masuk dengan cara paksa "
Dari dalam kemah terdengar suara yang berat tadi: "Kau dapat
mengalahkan murid murid kami, itulah menandakan ilmu silatmu
yang liehay, yang didalam dunia Kang ouw langka sekali. Gurumu
tentulah seorang yang sangat ternama, maka kau sebutkan dahulu
she dan nama gurumu itu, baru kami suka menerimamu."
Terhadap ketua ketua keempat partai itu, Siauw Pek berkesan
buruk sekali, dia membenci, maka itu dia menjawab dengan dingin.
"Kami mau menemui aku, kamu melihat, kalau kamu tidka suka toh
kita pasti berhadapan juga Buat sementara ini tak dapat aku
perkenaikan guruku"
Dari dalam kemah keluar kata-kata dingin ini "Kau sangat tidak
tahu aturan Kelak pintoo akan pergi mencari gurumu itu untuk
memberi pengajaran kepadanya " Siauw Pek gusar.
"Apakah kau Gouw In Cu?" tanyanya keras.
"Tenaga ingatanmu kuat sekali, memang itulah pintoo" sahut
suara dari dalam kemah.
" orang semacam kau mau bicara besar dapatkah ?" kata si anak
muda mengejek.
Terdengarlah suara yang parau tadi. "Siecu bicara tekebur sekali
Untuk dunia Kang Ouw, inilah sangat langka"
Siauw Pek segera bertindak kearah kemah, tindakannya
perlahan- Ia waspada.
"Aku yang rendah hendak memasuki kemah, maka kalau tuan
tuan hendak menurunkan tangan beracun, silahkan" katanya secara
menantang.
Suara parau tadi terdengar pula: "Siecu begini kepala batu, maka
janganlah siecu menyesaikan kami apabila turun tangan tanpa
kasihan lagi "
siauw Pek memasang telinga. Ia percaya yang bicara itu Hoat
Ceng dari Ngo Bie Pay.
Ia berhati hati. Tiba tiba didepan pintu kemah, ia bersiap dengan
pedangnya. Ia meluncurkannya dengan perlahan- Ia insaf bahwa
ketua ketua partai mesti liehay sekali, sedangkan didalam kemah
mungkin juga ada bersembunyi orang orang lainnya, pada saat
ujung pedangnya menyentuh tenda, mendadak api didalam padam.
ia lalu menggertak gigi, segera menyontek mementang tenda,
kakinya bertindak maju, masuk kedalamnya.
Tiba tiba ada serangan angin keras yang datangnya dari satu
pojok. Siauw Pek hendak menyerang tapi ragu ragu. Maka lekas
lekas dikerahkannya tenaga dalamnya untuk menutup jalan
darahnya. Dan tolakan angin itu segera mengenai dada dan
perutnya.
Menyusul itu dari dalam kemah terdengar tawa dingin dan kata
kata, "ini cuma sebuah peringatan saja. Jikalau kau tetap masih
tidak tahu maju atau mundur, itu artinya kau mencari mati sendiri"
siauw Pek merasai perutnya nyeri dan matanyapun berkunang
kunang. Ia mundur lima tindak. untuk berdiri tegak. untuk
mengeluarkan napas. Segera ia berkata: "cuma sebegini saja Masih
belum apa-apa"
Jago muda ini telah melindungi dirinya dengan ilmu tenaga dalam
ajaran Kie Tong. Guru itu tahu muridnya bakal keluar dari Bu Yu Kok
maka ia telah mengajari ilmu itu untuk menjaga diri, supaya murid
itu tidak terserang bagian bagian tubuhnya yang lemah. Demikian
kali ini, si murid tidak bercelaka karena serangan itu.
Penyerang didalam kemah itu heran bahwa si anak muda dapat
bicara demikian sebaliknya dia menyerang itu. Karenanya, dia
berdiam saja. Kesempatan ini digunakan Siauw Pek untuk
meluruskan pernapasannya, memperkokoh tenaga dalamnya yang
baru saja tergempur itu.
Lewat beberapa lama maka terdengarlah suara It Tie Taysu. "Kau
dapat menerima pukulan angin Siauw thian Cheepek khong Ciang
dariku, itulah pertanyaan bahwa kau liehay sekali. Rupanya kaulah
manusia luar biasa. Apakah kau ada hubungannya dengan Kiu Heng
Cie Kiam ?"
"SiauwThian Cheepek kong ciang" ialah pukulan angin "Bintang
Kecil".
Siauw Pek mengerahkan tenaga dalamnya. Dadanya terasa
masih nyeri sedikit, tetapi seluruh tubuhnya sehat seperti sediakala,
hatinya lega. Atas pertanyaan sipendeta, ia menjawab, "Aku tidak
mempunyai hubungan dengannya."
"Jikalau kau tidak punya hubungan dengan kiu heng cie kiam,
apa maksudmu malam malam datang ke Ciong Gan Hong ini?"
tanya Gouw In Cu.
"Aku hendak menemui ketua keempat partai " sahut Siauw Pek
dingin. "Hendak aku tanyakan suatu peristiwa Rimba Persilatan-"
Didepan kemah terdengar suara tak tegas, mungkin mereka itu
sedang berunding.
" Kenapa tuan ketahui kami berkumpul disini?" kemudian
terdengar suaranya Goue In Cu.
"Didalam dunia ini ada banyak rahasia yang dianggapnya
disimpan secara hati hati tetapi tanpa merasa bocor sendirinya"
sahut sianak muda.
"Demikian juga kamu"
"Kau hendak mencari tahu peristiwa Rimba Persilatan apa?"
tanya Hoat Ceng Taysu.
"Sebelumnya aku ketemu muka dengan keempat ketua, tak mau
aku menyebutkannya." Kembali hening.
" Kenapakah?" kemudian datang pertanyaan pertanda heran-
"Sebelum aku membuktikan tentang diri keempat ketua, lalu aku
mengatakan sesuatu, bukankah itu berarti membuka rahasia? Itulah
tak ada faedahnya."
"Jadi dengan sungguh2 siecu hendak bertemu muka dengan
kami?"
"Tidak salah Andaikata keempat ketua tak sudi menemui aku aku
akan paksa masuk ke dalam kemah ini "
"Baiklah, kami akan menyingkir dari kebiasaan kami, untuk
menemui kau. Tapi ingat, apabila kau bicara hal hal dusta, puncak
ini adalah tempat kuburanmu "
Siauw Pek menahan panas hatinya, juga kedukaannya, ia tertawa
lama, setelah itu barulah ia berkata keras : "Jikalau kamu adalah
ketua-ketua dari keempat partai besar maka malam ini pasti bakal
terjadi suatu pertempuran mati hidup. Andaikata aku tak berhasil
membunuhmu, kamupun tentu tak akan melepaskan aku "
Segera setelah jawaban ini, didalam kemah terlihat api menyala
pula, disusul dengan suara It Tie Taysu: "Silahkan masuk. siecu "
Siauw Pek memasukkan pedangnya kedalam sarung, ia
menyingkap tenda, terus ia bertindak masuk. segera dilihatnya dua
orang pendeta, seorang imam serta seorang dengan dandanan
biasa, lagi duduk bersama, sedangkan disisi mereka rebah beberapa
tubuh dengan seragam hitam. Didalam sekejap. sianak muda
mengenali orang-orang Klu Heng cie Kiam.
Dihadapan keempat ketua partai itu ada sepotong batu rata,
diatas itu terletak sepasang lilin besar, yang apinya menerangi
seluruh kemah itu.
Pendeta yang duduk bersila disebelah kiri, bermuka persegi lebar,
beralis tebal, dengan jubah warna kuning, merangkap kedua belah
tangannya dan berkata: " Loolap It Tie dari Siauw Lim-sie."
Disisi ketua siauw lim-pay ini, seorang imam setengah umur,
segera menyambung: "Pinto Gouw In Cu."
"Pinceng IHoat Ceng ketua Ngo Bie-pay," berkata orang yang
ketiga, seorang pendeta denganjubah abu-abu.
"Aku yang rendah ialah Shie Siang Hin dari Khong Tong-pay,"
berkata orang yang keempat, yang janggutnya panjang, berpakaian
jubah hijau. Siauw Pek menatap keempat orang itu.
"Maaf, aku yang muda tak memberi hormat" katanya. Gouw In
Cu mengerutkan keningnya.
"sekarang tuan kuharap kau menyebut she dan namamu "
katanya.
"Tak usah menanyakan she dan namaku " sahut Siauw Pek
tenang, "sebentar juga tuan-tuan akan ketahui sendiri."
"Kalau begitu, siecu silahkan bicara" berkata It Tie, "peristiwa
apa itu yang siecu hendak tanyakan ?"
Siauw Pek menguatkan hati, menahan dadanya yang bergolak. Ia
tidak menjawab, hanya bertanya: "Bukankah tuan berempat belum
lama menjadi ketua-ketua partai ?"
"Mustahilkah pertanyaanmu ini ada hubungannya dengan
peristiwa yang hendak kau tanyakan itu?" tanya pula Shie Siang Hin
heran-
"Pasti ada!" jawab Siauw Pek. "Aku mencari tahu peristiwa di pek
hopo dimana didalam satu malam saja seratus lebih jiwa
penghuninya mati terbinasakan"
Keempat ketua itu semua duduk terpekur. Itulah pertanyaan
yang tidak pernah sangka.
"Kau punya hubungan apa dengan keluarga coh ?" kemudian
tanya Gouw In Cu, yang tersadar paling dulu, "apakah maksudmu
menanyakan peristiwa itu?"
Hoat ceng Taysu turut bicara. Katanya: "Kau telah berani
mendekati puncak Ciong Gan Hong ini, seorang diri kau berani
memasuki kemah kami, mestinya dari siang siang kau sudah bersiap
sedia. Karena itu sebenarnya tak usah kau memegang rahasia
tentang she dan nama serta asal usulmu lagi "
Tidak ada halangannya untuk memberitahukan kami, kata Siauw
Pek akhirnya. "Aku yang rendah she Coh bernama Siauw Pek "
"Coh Siauw Pek?" It Tie mengulangi, "kau pastilah turunan
keluarga Coh."
"Tidak salah," sahut sianak muda, keren, kemudian, "dari
sembilan pay besar bersama emapt bun, tiga hwee dan dua pang,
semua turut di dalam penyerbuan atas Coh Kee Po itu, membasmi
keluarga Coh, maka itu aku hendak mencari siapa yang bersangkut
paut itu untuk mereka mengganti jiwa
"Hubungan apa kau dengan coh Kam Pek ?" Gouw in cu tanya.
"Ayahku almarhum "
Imam dari bu-tong-pay itu mengangguk.
"Kami telah menanya cukup," katanya. "Nah, tuan, kau ingin
bicara apa lagi ?"
"Peristiwa hebat Coh Keepo itu terjadi disebabkan urusan ketua
kamu masing-masing," berkata Siauw Pek, "ialah ketua kalian ada
yang binasakan secara tiba-tiba Benarkah itu?"
"Benar" sahut It Tie. "Dikolong langit ini, semua orang
mengetahuinya"
" Dahulu itu ketua kalian terbunuh, kenapa kamu justru
mencurigai pihak Coh Kee po?" tanya Siauw Pek.
"Hal itu disebabkan ketika itu, yaitu sebelum ketua kami
terbunuh, ayahmu kedapatan muncul dipuncak gunung itu. Hal ini
sudah tersiar luas, kau tentunya telah ketahui juga, bukan ?"
"Aku tahu. Tapi aku tidak percaya soalnya demikian sederhana"
Air muka It Tie Taysu berubah.
"Andaikata kami tuturkan segala galanya dengan jelas, kau toh
tidak akan mampu menghidupkan pula almarhum ayahmu itu,"
katanya, yang terus memandang Gouw in Cu, setelah mana, dia
kata: "Sekarang katakan: Kau akan meletakkan sendiri senjatamu
dan manda untuk diringkus atau kau hendak bertempur dahulu?"
Tiba tiba saja hati siauw Pek menjadi tenang. Maka ia tertawa
hambar dan berkata sabar: "Sang hari masih banyak. taysu, buat
taysu terburu nafsu. Aku telah datang kemari, walaupun taysu ingin
mengusirku, aku sendiri tak berminat untuk lekas lekas pergi"
Sambil berkata begitu, sama tenangnya, si anak muda kemudian
berbudak.
Melihat sikap orang muda itu, keempat ketua partai menjadi
kagum. Sendirinya mereka menjadi terlambat untuk turun tangan-
Bahkan Hoat Ceng Taysu menghela napas. Katanya : "Kau masih
hendak bicara apa lagi. Silahkan.... Melihat keberanianmu ini, pantas
kau diberi kematian secara terang jelas, supaya kau tak menyesal
dan penasaran" Siauw Pek juga menghela napas. ia melegakan
hatinya.
"Mungkin juga malam ini, turunan satu satunya dari Pek HoBun
bakal mengubur tulang tulangnya dipuncak Ciong Gan Hong ini "
katanya. "Jikalau itu sampai terjadi, aku hanya akan menyesalkan
kepandaianku sendiri yang belum sempurna dan aku akan mati
tanpa penjelasan- Hanyalah karena kesangsian didalam hatiku
belum terpecahkan, kalau aku mati, tak dapat aku mati meram"
"Baik bicaralah" kata Gouw in ciu.
"Tuan tuan berempat menjadi ketua ketua dari partai besar yang
berkenamaan dan dihormati kaum Kang ouw, aku percaya kamu tak
mendusta untuk membohongi aku. Kesangsianku itu adalah ini:
Katanya pada tiga belas tahun yang lampau itu ketua ketua kamu
telah terbunuh oleh ayahku almarhum. Dapatkah tuan tuan
memberikan bukti dari tuduhan tuan tuan itu? Jikalau tuan tuan
sanggup, maka tak usah tuan tuan turun tangan, aku sendiri akan
menghabiskan jiwaku di depan tuan tuan sekarang juga "
"Jangan bicara sembarang, siecu," berkata Gouw in Cu. "Kata
katamu ini sangat berat"
"Tetapi Coh Siauw Pek bakal wujudkan apa yang dia ucapkan" si
anak muda memastikan-"Tootiang jangan kuatir aku menyangkal.
Hanya jikalau tuan tuan tidak dapat memberi bukti, bagaimana tuan
tuan akan bertindak terhadap diri tuan tuan sendiri?"
"Anak inilah urusan besar " berkata shie Siang Hin. "orang
dengan kedudukan sebagai aku tidak dapat sembarang menerima
baik kata katamu ini. Tapi aku berjanji bahwa aku akan bersungguh
sungguh memecahkan kesangsianmu itu. Hanya, sebelum aku
memberi keterangan, hendak aku menanyakan dahulu sesuatu
kepadamu."
"syaratmu ini tidak adil Tapi, mengingat keadaan sekarang,
baiklah aku terima "
Shie Siang Hin batuk batuk.
"Pada lima tahun dahulu," katanya, " kaukah orang yang telah
menyeberangi jembatan Seng Su Kio?"
"Tidak salah, itulah aku"
"Didalam dunia Kang ouw ada cerita bahwa pada beberapa puluh
tahun yang lampau dua orang jago Rimba Persilatan, ong Kiam dan
Pa Too, semuanya sudah hidup menyendiri diseberang Seng Su Kio
itu. Benarkah itu? Apakah sampai sekarang mereka masih hidup?"
"Ya, kedua orang tua itu masih sehat walafiat"
Gouw in Cu dan ketiga rekannya kaget sekali, sampai mereka
merasa seperti dada mereka telah digedor orang. Mereka berdiam
beberapa lama, kemudian Hoat Ceng Taysu dapat membuka
mulutnya lagi.
"Apakah kau telah berhasil menemui mereka itu?" tanya ketua
Ngo Biepay itu.
siauw Pek berpikir cepat. "Kedua guruku itu sudah lama
mengundurkan diri dari dunia Kang Ouw akan tetapi nama besarnya
masih berpengaruh sekali, masih menggetarkan Rimba Persilatan-
Kalau sekarang aku bicara terus terang tentang mereka, aku
percaya tidak akan ada bahaya, bahkan ada faedahnya."
Maka ia menjawab. "Benar Aku telah menemukannya"
"ong Kiam dan Pa Too demikian tersohor, tidak disangka sangka
sesudah lewat beberapa puluh tahun sekarang ada orang yang
mewarisi ilmu kepandaiannya dan bahkan akhirnya itu telah muncul
didalam dunia Kang ouw."
"Jikalau tidak keliru hitung," It Tie turut bicara, "sudah lima tahun
siecu tinggal di seberang Seng Su Kio itu."
"Benar Aku yang rendah telah tinggal dilembah Bu Yu Kok selama
lima kali musim dingin dan musim panas." Shie Siang Hin batuk
batuk perlahan"
Waktu lima tahun itu," katanya, "buat seorang yang
mempelajari ilmu silat bukanlah di waktu yang lama tetapi juga
bukan waktu yang amat pendek. Entahlah tuan, apakah kau telah
berhasil mewarisi seluruh kepandaian kedua locianpwee itu ?"
Dengan cepat si anak muda berpikir^ "Hal ini tidak dapat
diberitahukan sejelas jelasnya". ia menjawab. "Kepandaian kedua
loocianpwee adalah luas dan dalam bagaikan lautan dengan
kebaikan hatinya itu, aku telah diberikan keleluasaan belajar sebaik
tenagaku sanggup, karenanya, sulit untuk mengatakan berapa
banyak aku telah mendapatkannya . "
It Tie Taysu berempat saling mengawasi, semuanya berdiam.
Kembali kemah menjadi sunyi.
Siauw Pek batuk batuk memecahkan kesunyian itu.
"Pertanyaan tuan tuan telah aku jawab," demikian katanya,
"maka sekarang telah tiba waktunya buat tuan tuan memberi
keterangan kepadaku, supaya kesangsianku dapat dilenyapkan "
Gouw in Cu adalah yang memberikan jawaban- Kata dia,
"Almarhum ketua kami itu telah mengundang sembilan partai besar
serta pemimpin2 dari empat bun, tiga hwee dua pang untuk
bermusyawarah dipuncak Yan In Hong, maksudnya ialah untuk
melenyapkan segala permusuhan dan perselisihan didalam Rimba
Persilatan- Itulah cita-cita yang besar dan luhur. Akan tetapi ketika
itu ayahmu, tuan, karena urusan pribadi, sudah menurunkan
tangan-.."
"Bagaimanakah dapat dikatakan ayahku yang telah menurunkan
tangan?" tanya siauw Pek.
"Soal itu kami semua sedang menyelidikinya. Tatkala itu, kecuali
ayah dan ibumu, tidak ada lain orang dipuncak Yan in Hong itu."
"Andaikata ayahku kebetulan berada disana, itu belum pasti
menjadi bukti bahwa dialah yang melakukan-.."
"Jikalau bukan ayah bundamu, tuan, dapatkah kau menunjukkan
penjahat yang asli" Shie siang Hin bertanya. Ditanya begitu, Siauw
Pek melengak.
"Kalian adalah ketua ketua partai partai besar, kenapa kau
bersikap mau menang sendiri?" tanyanya kemudian- "Jikalau aku
sudah tahu, tidak perlu aku datang mencari kamu puncak Ciong Gan
Hong ini,"
"Siecu, apakah kau telah selesai bicara?" tanya Gouw in Cu.
"Belum." sahut si anak muda.
"Baik, kami berempat akan bersabar menantikan beberapa detik
lagi. Siecu apa pun yang kau hendak bicarakan, silahkan"
JILID 19
Hati Siauwpek panas pula, akan tetapi ia mencoba
menyabarkannya. Katanya, "Kedua partai siauw Lim dan Bu Tong
menganggap dirinya sebagai gunung tay san dan bintang pak tauw
dari rimba persilatan dan ketua ketuanya adalah orang orang
dengan kepandaian silat luar biasa, maka itu andaikata kepandaian
ayah bundaku melebihi daripada kepandaian mereka itu, tidak
kemungkinan juga didalam waktu yang singkat itu, ayah-bundaku
mampu membinasakan keempat ketuamu itu. Inilah kecurigaan,
yang menimbulkan kesangsian. Dengan satu kali melihat saja, orang
pasti mengerti. Tapi kamu tuan tuan, bukan kami memikir mencari
si pembunuh, kamu justru bergabung dengan partai lainnya dan
pergi menyerbu Pek Ho Po, disana kamu membasmi seluruh
keluarga dan penghuni, tak perduli tua atau muda, wanita atau anak
anak. Semua tak ada yang tinggal hidup Tuan tuan, kenapakah
hatimu demikian kejam?"
Kata kata anak muda ini terputus secara tiba tiba. Dari luar
kemah terdengar suara bentakan tanda kemurkaan-Couw In Cu
menatap sianak muda, alisnya berkerut. "Siecu kau datang seorang
diri atau dengan kawan?" tanya dia.
siauw Pek menjawab, hanya dia berkata dingin: "Tuan tuan
berempat tidak sanggup menunjuk bukti, maka itu janganlah kamu
menyesalkan aku,jikalau aku bertindak keras" Shie Siang Hin
tertawa dingin.
"Diatas puncak ini kurasa tidak ada tempat dimana kau dapat
berbuat sesukamu" serunya.
Kata kata jago Khong Tong Pay ini diputuskan suara berisik
teriakan dari kegusaran-
"Rupa rupanya orang sedang bertempur," pikir Siauw Pek,
"Mungkinkah Seng supoan telah kena dipergoki?" Karena itu ingin ia
keluar untuk melihat.
Keempat ketua saling melirik, lalu mereka saling bergerak. Maka
dalam sekejap. si anak muda telah terkurung.
Siauw Pek mendongkol telah diperlakukan demikian-"Kamu
semua ketua ketua partai " teriaknya.
"Sekarang kamu main keroyok. Awas, nanti orang orang gagah
dikolong langit mentertawakanmu"
"Dari antara kami berempat, kau pilih siapa saja kau suka"
berkata Gouw In cu. "Kau pasti bukan lawan kami, buat apa kami
mengeroyokmu? Kami hanyalah bertugas menyingkirkan bencana
kaum Kang ouw, dari itu, siapapun tidak dapat ketinggalan
menurunkan tangan, jadi didalam hal ini tidak dapat ada sebutan
main keroyok" Siauw Pek tertawa dingin.
"Hutang darah ayah bunda membuat orang tak dapat hidup
bersama di dunia" katanya. " Lambat laun, pertempuran toh mesti
terjadi" Maka ia menghunus pedangnya untuk bersiap. Belum lagi ia
maju, tiba tiba Gouw IN CU berempat sudah mengibaskan tangan
baju mereka, membuat sambaran angin yang keras.
siauw Pek terkejut, syukur ia tidak gugup, Cepat cepat ia berdiri
tegak. tenaga dalamnya dikerahkah untuk bertahan-
Hanya sebentar, lenyap sudah serangan tenaga dalam itu. Gouw
in cu berempat saling memandang, merekapun tersenyum
sesamanya. Inilah sebab mereka melihat wajahnya sianak muda
mirip orang jeri.
"Amidabuddha" It Tie memuji muji.
"Siecu, silahkan lemparkan pedangmu untuk mengaku kalah"
"Seorang laki laki mati hidupnya sudah ditakdirkan" menjawab
Siauw Pek gagah. "Jika aku Coh Siauw Pek malam ini tidak mampu
membalaskan sakit hati ayah bundaku, guna melampiaskan
penasaran seratus lebih orang Coh Kee Po, lebih baik aku mati di
medan laga dipuncak ini" Shie Siang Hin tertawa.
"Kau boleh mempunyai keinginan mati tapi kami tidak
mempunyai ingatan untuk membunuhmu" katanya.
"Asal kau meletakkan pedangmu dan mengaku kalah, kau bebas
untuk pergi meninggalkan puncak ini"
Siauw Pek tertawa dingin-
"sebelum jelas soal binasanya ayah-bundaku, aku tidak akan
membunuh orang" katanya.
"Tak kecil mulutmu, siecu" Gouw In cu mengejek sambil tertawa
tawar.
"Itulah sebabnya aku tidak mau melakukan pembalasan secara
membabi buta, agar orang yang tak bersalah tak sampai korban"
"Sayang keinginanmu itu takan tercapai" kata Gouw In Cu.
siauw Pek mendongkol. Dia berkata keras "Tak perduli kamu sudi
dengar atau tidak, aku hendak bicara sampai habis, untuk
mengeluarkan apa yang kupikir, kalau tidak, tak nanti aku
mengangkat kaki dari sini"
Ketika itu suara berisik diluar bertambah tambah, karena
sekarang terdengar juga suara dari bentroknya senjata senjata
tajam. Diam diam Siauw Pek melirik keempat ketua partai itu.
Nampaknya mereka tenang tenang saja, seolah tidak menghiraukan
suara berisik itu, rupanya mereka merasa pasti bahwa pihaknya
yang pasti menang.
"Baik, bicaralah" kata It Ti kemudian. "Kami akan sabar menanti
dan mendengarmu Cuma..."
"Cuma apa?"
"Cuma hendak loolap memberitahukan satu hal kepadamu
Walaupun kata katamu sempurna dan beralasan, hati kami semua
sukar untuk digerakkan, dan kau tak dapat diberi kebebasan lari
turun gunung" Coh Siauw Pek tertawa dingin.
"Apakah kamu sangka turunan Keluarga Coh sudi memohon
belas kasihan orang Kamu boleh legakan hatimu. Aku Coh Siauw
Pek, kalau aku tidak mati dipuncak gunung ini, dengan menganga
Ikan pedang ditanganku, pasti aku akan bisa membolos
pengepungan kamu ini"
"Benar" kata Gouw In Cu. "Dipuncak ini ada disembunyikan
empat puluh orang murid keempat partai, mereka ini dapat disebut
kurungan."
"sebelum aku selesai bicara, tuan tuan baik jangan bicara dulu"
"Saudara saudara, mari kita dengar kata kata dia" It Tie kata
pada ketiga rekannya.
Gouw In cu tertawa.
"Coh Siauw Pek. sebaiknya kau ringkas akan kata katamu."
ejeknya.
siauw Pek menatap empat ketua itu, lalu dia berkata,
melanjutkan keterangannya: " Kenapa ayah bundaku dikejar kejar
dan dibinasakan oleh orang orang Rimba Persilatan seumumnya
mungkin ada sebabnya, tetapi alasan kalian adalah sebab ayahku
telah membinasakan cara menggelap ketua kamu masing masing.
Aku tak percaya ayahku jadi pembunuh gelap itu, sebaliknya aku
percaya ayahku hanya jadi sasaran saja"
Anak muda ini menghela napas panjang. Dia melanjutkan- "Tuan
tuan tentu ketahui sebabnya itu tetapi, tuan tuan tak sudi
menjelaskan"
It Tie memandang Gouw In cu, ingin ia bicara, tetapi Siauw Pek
melanjutkan pula: "Kalau malam ini aku terbinasa ditanganmu,
habis sudah turunan keluarga Coh, jadi tidak usah tuan tuan
pikirkan pula pembalasan di belakang hari Tapi kalau malam ini tuan
tuanlah yang binasa di tanganku, maka tuan tuan juga, seperti
ayahku, menjadi sasaran"
hoat Ceng Taysu mengernyitkan alisnya. Dia hendak bicara,
tetapi dibatalkan sendiri, dia lalu batuk batu, terus berdiam.
"Ayahku pasti bukan siorang yang bersalah kaum Rimba
Persilatan berjumlah beberapa ratus kelompok, kenapa justru
keluargaku yang dijadikan sasaran?"
It Tie Taysu mengangguk perlahan, tanda dia menyetujui kata
kata itu. Akan tetapi, dia juga tidak mau bicara.
Maka Siauw Pek menyambungi: "Kalau malam ini aku sampai
membinasakan salah seorang murid kamu, siapa saja, pasti urusan
ini tidak ada jalannya untuk diselesaikan secara damai lagi. Tuan
tuan menjadi ketua ketua partai, tuan tuan cerdas, tentu tuan tuan
mengerti, apabila kita bertempur sampai darah mesti dikucurkan,
selanjutnya kita berada dijalan buntu. Maka itu, tuan tuan, baiklah
kamu memikir pula" Shie Siang Hin batuk batuk perlahan
"Anak. apakah sedang mengajari aku sicrang tua?" tanya dia.
"Aku bicara setulus hatiku. Aku tahu penasaran harus
dilampiaskan, tapi tak ingin aku merembet rembet orang yang
taksalah dosa sebab itu memperdalam permusuhan, karena itu satu
kali bertindak salah, kacaulah semua tak ada yang dapat ditolong
lagi. Kalau ada orangmu yang terbinasa, pasti orang orang kamu,
bahkan kamu sendiri, bakal menjelajah dunia akan mencari Coh
Siauw Pek, buat menuntut balas. Mungkin senjataku ampuh tetapi
jumlah kamu banyak sekali, tidak dapat aku membunuh habis.
Bukankah itu bakal sesuatu petaka besar? Itulah yang coh Siauw
Pek tidak kehendaki"
Kata Hoat Ceng dingin "Jikalau begitu, malam ini mesti kami
bunuh kau, supaya dengan begitu kami dapat membuat rimba
persilatan aman dan damai "
"Aku hendak cari si pembunuh yang asli, kenapa tuan tuan tidak
setuju dan tidak sudi bekerja sama."
"Si penjahat adalah Coh Kam Pek suami isteri, mereka sudah
terbunuh mati, bahkan mereka merembet rembet seluruh anggota
Pek Ho Bun yang tidak bersalah dosa. Sakit hati kami sudah
terbalaskan, yang lolos cuma kau seorang, tuan Malam ini kau
mengantarkan dirimu sendiri, inilah kehendak Thian supaya kamu,
Keluarga Coh habis semuanya "
"Kami disini mengatur perangkap buat menghadapi pihak Ciu
Heng Cie Kiam, siapa tahu siecu sendiri telah datang kemari" kata It
Cie.
"Tampaknya tanpa pertempuran, sukar buatku turun dari puncak
ini " kata Siauw Pek.
"Memang " kata Gouw in cu. " Untuk menyingkirkan satu
pertempuran hebat, jalannya cuma satu yaitu tuan mengaku kalah,
tuan meletakkan pedangmu, untuk manda dibelenggu."
"Seandainya kita tidak setuju?"
"Jikalau kau percaya, kau bakal dapat menerobos keluar dari
kemah ini, kami tak akan menghalang halanginya "jawab Shie Siang
Hin. Siauw Pek mengulapkan pedangnya.
"Baik" katanya. "Tuan tuan begini memaksa kepadaku, jalanku
satu satunya ialah menerima baik pengajaran kamu "
Tepat didetik itu, diluar terdengar suara tertahan, seperti ada
orang yang terlukakan parah. Mendengar hebatnya bentrokan
pelbagai senjata, Siauw Pek menerka bahwa pertempuran tengah
berjalan seru sekali.
Ketika itu Gouw It Cu dan Shie Siang Hin telah menempatkan diri
diarah timur selatan dan barat selatan, dan It Tie Taysu bersama
Hoat Ceng Taysu diarah timur utara dan barat utara, dengan
demikian, mereka bersikap mengurung.
Menghadapi keempat ketua partai, hati siauw Pek ragu ragu juga
dibuatnya, akan tetapi kapan ia ingat dendam kesumatnya,
semangatnya terbangun pula, kepercayaannya ditumpahkan kepada
ilmu pedangnya. Sejenak itu, ia menjadi tenang sekali. Hanya tadi,
didalam sedetik, hatinya sangat tegang.
"Sekarang kamu boleh mulai " berkata si anak muda setelah ia
mengangkat tangannya perlahan lahan, akan memutar pedangnya
untuk dibawa kedepan dadanya.
It Tie berempat diam diam terperanjat. Mereka heran- Baru saja
wajah anak muda tampak tegang, tapi sekarang dia tenang luar
biasa.
"Apakah benar benar dia telah mewarisi kepandaian Kie Tong?"
ketua Siauw Lim Pay itu tanya didalam hati.
"Cepat kamu mulai" berkata pula Siauw Pek setelah menanti
beberapa detik tetapi keempat lawan itu masih berdiam saja. Ia
kurang pengalaman, mau tidak mau ia merasa heran atas sikap
orang itu. Ia tidak tahu bahwa seorang mengherani caranya
membawa pedang kedadanya itu.
Mengingat akan keadaannya sendiri, Siauw Pek tidak dapat
bersabar lebih lama lagi.
"Jikalau kalian tidak mau memulai, baiklah, akan aku mulai"
katanya. Dan ia menikam Gouw In Cu.
Gouw In Cu tertawa dingin, dia menggeser tubuh kesisi,
tangannya segera menyampok.
Tadi Siauw Pek telah belajar kenal dengan tenaga dalamnya yang
mahir dari keempat ketua partai itu, tanpa menanti pedangnya kena
dihajar, ia meneruskan menyabet kepada Shie Sian Hin-
Jago Khong Tong Pay itu memperdengarkan suara ejekan- "Hm"
Serentak dengan menggeser tubuh, dengan sebelah tangan ia
menyampok pedang lawan, dengan tangan yang lain ia meninju
Kembali Siauw Pek menyingkir, setelah itu sambil memutar
tubuh, langsung ia menikam Hoat Ceng Taysu.
Hebat tinju Shie Siang Hin itu, yang tidak mengenai sasarannya.
It Tie kuatir tendanya rusak. lekas lekas ia menahan anginnya
serangan rekan itu.
Hoat Ceng memuji melihat gerakan si anak muda. Tapi pedang
terus menikam kepadanya, maka dengan sebat ia bertindak. Ia
menekan Shie Siang Hin. Sambil menangkis, ia menyerang. ia
mencoba mencekal pergelangan tangan si anak muda yang
memegang pedang itu.
Siauw Pek menarik kembali pedangnya, dengan ia
menyelamatkan tangannya. Tapi ia tidak berhenti, segera ia
menabas kepada It Tie atas mana pendeta Siauw Lim Sie itu
mundur seraya menolak dengan kedua tangannya, tangan bajunya
terkibaskan-
Hebat tenaga dalam ketua Siauw Lim Pay ini yang menguasai
Tiat Sie Sin kang, ilmu Tangan baju Besi, salah satu dari tujuh puluh
dua kepandaian istimewa dari partainya. Kebutan tangan bajunya
itu berat sekali. Dengan begitu ia mengharap lawannya akan
tertolak mundur.
Tetapi Siauw Pek telah berhati hati, dia dapat mengegos dari
tangkisan yang berbareng berupa serangan itu. Maka celakalah kain
tenda dibelakangnya, kain tenda itu jebol, kemahnya bergoyang
keras
Diam diam si anak muda terkejut. Segera ia mengulangi
tikamannya kepada pendeta siauw Lim Sie itu.
Melihat demikian, it Tie juga mengulangi serangannya. Tapi ia
lebih dahulu merasai desiran angin pedangnya hingga ia menjadi
kaget, lekas lekas ia berkelit kekiri, sedangkan sebelah tangannya
dipakai menyerang pula.
Kembali Siauw Pek kaget. Ia merasai angin menyerang
pedangnya, hingga ia merasakan bagaikan gelombang mendampar
dadanya. Tapi serangannya sendiri juga tidak gagal, walaupun
gerakan pedangnya menjadi sedikit lambat. Ujung jubah It Tie telah
kena tertusuk berlubang
Siauw Pek memiliki tenaga dalam yang terlatih baik, ia juga
sudah bersiap sedia, akan tetapi gempuran Tiat Sin kang dari It Tie
membuatnya menderita juga. saat itu darahnya bergolak. kepalanya
pusing, dengan tubuh limbung ia mundur dua tindak. sedangkan
napasnya memburu. ia sadar, maka lekas lekas ia menumbuk
kepalanya beberapa kali, guna mencoba menghilangkan pusingnya
itu.
Gouw In Cu melihat orang mundur itu, otaknya segera berpikir:
"Rupanya dia terluka didalam, kalau sekarang aku tidak mau
merampas jiwanya, sebentar akan hilang kesempatanku" Maka
segera ia menggerakkan tangan kanannya.
Justru dia terancam serangan dari ketua Bu Tong Pay itu,
mendadak Siauw Pek memutar pedangnya, diikuti dengan
terputarnya juga tubuhnya, menyusul mana, cepat sekali, tubuhnya
itu mencelat tinggi, menoblok kelangit kemah It Tie berempat
tercengang. itulah diluar dugaan mereka. "Sayang Sayang" seru
Gouw In cu menyesal. "Sayang aku terlambat, kalau tidak. pasti dia
tidak akan lolos" Shie Siang Hin menghela napas.
"Kita mengepung berempat, dia toh tak dapat dikekang, kalau hal
ini tersiar dalam dunia Kang ouw, adakah muka kita untuk melihat
orang banyak ?" katanya masgul.
"Nyata dia telah memperoleh ilmu pedang yang mahir sekali,"
Hoat Ceng mengakui.
It Tie juga berkata, dengan sungguh sungguh: "Jikalau dia
mempunyai pengalaman cukup, dengan pedangnya saja, dapat dia
keluar dari kemah kita ini."
"Pintoo lihat memang gerakan pedangnya itu luar biasa sekali,"
kata Gouw in cupula.
" Gerakan itu beda dengan gerakan pelbagai ilmu pedang yang
pernah kulihat. Kecuali ilmu pedang Kie Tong, semua yang lainnya
pernah kusaksikan."
"Jadi tooheng maksudkan ilmu pedang dia benar ilmu pedang Kie
Tong?" Hoat Ceng bertanya.
"Tidak salah Itulah yang telah kuduga dan kuatirkan-.."
"Tooheng, cobalah kau menjelaskan penglihatanmu ini," Shie
Siang Hin minta.
"Apakah saudara saudara melihat golok pemuda itu?" balik tanya
Gouw In Cu. Hoat Ceng melengak.
"Apakah saudara menyangka golok itu golok Hoan Uh it Too
Siang Go?" ia bertanya.
"Didalam dunia Kang ouw telah tersiar ceritera tentang Thian
Kiam dan Pa Too, yang telah berhasil melintasi jembatan maut Seng
su Kio," berkata ketua Bu Tong pay itu. Jikalau halnya Thian Kiam
Kie Tong itu benar, maka juga halnya Pa Too Siang Go pasti
bukannya dusta .Jikalau Kie Tong dapat menurunkan ilmu
pedangnya, kenapakah Siang Go tidak dapat mewariskan goloknya?
ilmu pedang Kie Tong mengutamakan pembelaan diri, tidak
demikian dengan ilmu golok Siang Go..."
Shie Siang Hin mengernyitkan kening. Katanya: "Kalau begitu,
apabila sekarang kita membiarkan anak muda itu berlalu dari Ciong
Gan Hong, bukankah itu berarti kita melepaskan harimau galak
turun gunung?"
"Benar" berkata It Tie. "Mungkin hari ini adalah kesempatan
satu-satunya bagi kita menyingkir dia dari dunia..."
"Pintoo tidak mengerti," berkata Gouw In Cu. "Terang terang dia
telah terhajar Tiat Siu Sin-kang saudara It Tie, kenapakah dia masih
dapat menyingkirkan diri? Bukankah dia telah terluka?"
"Inilah yang membuatku heran," It Tie mengakui.
"Sekarang ini baiklah kita jangan menghiraukan pula kedudukan
atau nama baik kita," berkata Hoat Ceng Taysu. "Mari kita
mengejarnya, untuk membinasakannya"
"Aku memikir lain," berkata Shie siang Hin-
"Apakah itu, saudara?" tanya Gouw In Cu.
"Diluar, pertempuran rupanya sedang berlangsung dengan seru,"
berkata ketua Khong Tong Pay itu, "Dengan melihat dari lamanya
pertempuran itu, dapat diduga bahwa lawan datang dalam jumlah
yang tak sedikit dan juga mereka berkepandaian tinggi. Mereka itu
pasti dari angkatan muda. Pantaskah kita berempat melayani
mereka itu? Apakah kata kata khalayak ramai apabila mereka
mendengar perihal sepak terjang kita ini? Dapatkah kita
menerimanya? Maka itu aku pikir, daripada kita membasmi mereka,
lebih baik kita membiarkannya lolos turun gunung. Kita keempat
partai, pengaruh kita besar, jumlah murid kita banyak, apakah yang
kita kuatirkan? Kenapa kita mesti bertindak sembarangan?
Bukankah tak sukar buat mengambil jiwa mereka itu? Kenapa
terburu seperti sekarang ini ?" It Tie dan Gouw In Cu bungkam.
"Kau benar juga, saudara" kemudian kata pendeta dari siauw Lim
Sie itu. "Tak perduli bagaimana gagahnya Coh Siauw Pek, dengan
seorang diri saja, tak berdaya dia menentang kita. pula peristiwa
Coh Kee Po itu bersangkut paut dengan semua partai lainnya, maka
juga, mereka bakal kena terembet rembet. Sekarang ini Coh Siauw
Pek sendiri masih belum jelas mengenai duduk peristiwanya, kalau
dia bicara, siapakah yang mau percaya?..."
Baru saja pendeta ini berhenti bicara, tiba-tiba dari luar terdengar
jeritan kesakitan yang hebat.
Gouw In Cu mendekati pintu kemah untuk menyingkapnya dan
melongok keluar. Maka ia melihat tujuh atau delapan orang dengan
berpakaian hitam tengah bertempur dengan murid murid keempat
partai. Nampaknya pada kedua pihak telah jatuh beberapa korban.
Didalam pertempuran itu, Siauw Pek tidak nampak.
Sebenarnya baru saja ketika si anak muda molos dari atas
kemah, ia segera melihat satu pertarungan diantara orang orang
berseragam hitam dengan para pengikut keempat partai. Delapan
atau sembilan orang berseragam hitam, yang menggunakan topeng,
terkurung beberapa puluh orang. Ia terluka di dalam tetapi ia dapat
menahan diri, pikirannya tetap sadar. Ia ketahui, rombongan dari
dua belas kiam long, pengikut pengikut Hek Ie Kiamcu. Walaupun ia
berniat membantu mereka, namun ia tidak berdaya, sebab ia sendiri
mesti segera beristirahat guna memulihkan kesehatannya. Maka ia
menyingkir dengan jalan memutar. Apa mau, dua orang murid
Siauw Lim Sie sudah melihatnya dan mereka itu segera mengejar.
Ia cuma memikir soal menyingkir, dan tidak mendapat lihat dua
orang pendeta itu.
Dengan tiba tiba seorang pendeta yang bertubuh tinggi besar,
menyerang si anak muda dengan hong piang san, senjatanya yang
berat itu. Anak muda itu tidak tahu tibanya pembokongan. Ia tidak
melihat dan mendengar, suara beradunya pelbagai senjata juta
membisingkan telinga.
Tepat si anak muda terancam bahaya, mendadak Ban Liang
muncul didekatnya. Jago tua itu turun tangan bagaikan kilat.
Dengan tangan kiri dia menyerang dengan seragan angin, dengan
tangan kanan dia menyambar, menjambak lawan-Hanya dengan
satu kali gebrak saja, robohlah pendeta itu.
Hweeslo yang kedua tercengang menyaksikan kawannya roboh
seketika, justru itu iapun tidak sempat berdaya ketika Ban Liang
menyerangnya, menjambret dengan Ngo Kwie Souw Kun ciu.
Sebenarnya ia masih mencoba melawan dengan goloknya tapi ia
kalah sebat, begitu dadanya tersentuh, segera ia berteriak tertahan
dan roboh.
Ban Liang sendiri heran menyaksikan hasilnya itu. Itulah bukti
bahwa ilmu silatnya liehay.Jadi tidak sia sia ia memahamkan
ilmunya itu, yang tadinya gagal sewaktu melawan Siauw Pek.
Setelah merobohkan kedua lawan itu, Ban Liang menoleh kepada
sianak muda. Ia terperanjat. Ia melihat tubuh anak muda itu
limbung tapi ia masih lari terus turun gunung. Ia menduga tentulah
si pemuda telah dapat luka. Tidak bersangsi lagi, ia lari menyusul.
"Saudara, saudara" teriaknya, " apakah kau terluka ?"
Sekarang Siauw Pek dapat mendengar suara orang, ia mengenali
si jago tua. "Ya, aku terluka didalam," sahutnya. Ia berhenti lari dan
menoleh.
"Jikalau kau terluka, jangan bergerak," Ban Liang berkata. "Mari
aku gendong kau, kita lekas-lekas menyingkir dari sini "
Berkata begitu, tanpa menanti jawaban, jago tua itu menyambar
tubuh sianak muda, lalu digendong, terus dibawa lari.
Ketika itu ada beberapa murid Siauw Lim dan Bu Tong yang
berlari-lari mengejar, cepat lari mereka menyusul kita.
Ban Liang kuat dan bisa lari cepat, tetapi ketika itu ia terlambat.
Ini disebabkan ia mesti menggendong Siauw Pek jalannya sukar dan
berbahaya, perlahan lahan ia mulai tersusul.
Sampai di batu besar dimana tadi Oey Eng dan Kho Kong
bersembunyi, jago tua ini terkejut. Ia tidak melihat munculnya
kedua kawan itu.
"Kemana perginya mereka?" ia tanya dirinya sendiri. "Apakah
benar disebabkan usianya yang muda dan kurangnya pengalaman
maka mereka pergi meninggalkan tempat penting ini?"
Selagi berpikir, tiba-tiba jago tua ini dikejutkan oleh munculnya
empat orang dari samping batu besar. Merekalah dua orang
pendeta dan dua orang imam, yang segera menghadang ditengah
jalan"
Celaka" jago tua itu mengeluh. Ia lalu menotok dua jalan darah
siauw Pek. Hal ini perlu, guna mencegah sianak muda meronta.
Jalan itu sempit, sudah ada empat orang merintangi didepan,
dibelaakng tampak lari mendatanginya, kawan-kawan dari pendeta
dan imam itu. "Mesti aku mengadu jiwa" pikirnya. Maka ia berhenti
lari.
Pengejar itu terdiri dari empat pendeta dan empat imam, mereka
berhenti mengejar, rupanya merasa jeri juga.
Ban Liang melihat kekiri dan kanan, ia menyedot napas panjang.
Dari empat penghadang itu seorang pendeta lalu berkata dingin
"Siecu telah buntu jalan, masih siecu tidak sudi menyerah, apakah
siecu masih memikir buat menerobos kabur?"
Ban Lian masih tetap berdiam. Ia cuma memasang mata tajam
kepada sekalian musuh itu. Berapa kali teguran si pendeta diulangi,
ia berpura-pura tuli.
Pihak pengejar juga sudah mengambil posisi sendiri-sendiri,
dengan tindakan perlahan mereka maju menghampiri. Ban Liang
melihat gerak gerik mereka itu. Dengan berhati hati ia menyangkol
tubuh Siauw Pek. Ia menggunakan tangan kirinya. Maka dengan
tangan kanan, ia bersedia untuk menyerang.
Disaat yang sangat tegang itu, dari belakang batu besar
dibelakang keempat dan imam pencegat itu mendadak muncul
sesosok tubuh orang, yang terus berlompat maju sambil terdengar
seruannya yang perlahan tetapi bernada nyaring: "Minggir "
Keempat orang itu terkejut, semuanya segera berpaling
kebelakang, akan tetapi mereka terlambat. Tahu-tahu mereka sudah
kena tertotok hingga habislah daya mereka
Ban Liang sudah siap sedia, diapun tabah dan cerdik, dia gesit
sekali, menyaksikan kejadian itu, tanpa ragu ragu sedikit juga, dia
berlompat maju, untuk naik keatas batu karang yang besar itu.
Pendeta yang dikanan menyaksikan kejadian itu, dia tabah,
dengan segera dia menyampok Ban Liang dengan senjatanya yang
mirip sekop itu. Sebaliknya, si imam telah berlompat jago tua itu
membarengi menyerang kearahnya.
Diserang si pendeta, Ban Liang terancam bahaya. Terpaksa ia
mengulur tangannya, guna menyambuti ujung senjata .Justeru itu
orang yang menyerang musuh-musuhnya tadi itu telah mendahului
mengulur tangannya untuk menangkap sekop. sembari berbuat
begitu, terdengar suaranya perlahan: "Saudara lekas menyingkir
terus, aku akan tahan musuh ini "
Jago tua itu sempat menoleh akan melihat penolong tidak dikenal
itu. Ia melihat seorang dengan baju hijau serta kepalanya dan
mukanya terbungkus dengan pita hijau. Hingga hanya tampak
sepasang matanya yang tajam. Ia heran, hingga ia berkata dalam
hati: "Siapakah orang ini? Mengapa aku tidak kenal dia? Kenapa dia
datang membantu kami "
Walaupun dia berpikir demikian, Ban Liang toh lari terus turun
gunung dengan mengikuti jalan kecil satu-satunya itu.
Dibelakangnya ia mendengar suara nyaring dari beradunya alat alat
senjata. Ia tidak menghiraukan itu, ia lari terus, baru setelah sampai
dikaki puncak. Ia berhenti berlari, untuk segera menotok bebas
pada Siauw Pek
Sianak muda menghela napas. Tadi ia ditotok bukan untuk
dipingsankan, hanya agar ia tak dapat bergerak. Maka ia tahu
tentang bantuan si orang serba hijau itu.
"Apakah orang itu sahabat locianpwee?" ia bertanya kepada Ban
Liang. orang tua itu menggeleng kepala.
"Aku tidak kenal dengannya."
"Heran," kata Siauw Pek menarik napas lega, "kenapa dia
menolong kita ?"
"Mesti ada sebabnya yang belum kita ketahui. Tapi saudara,
dapatkah kau berjalan? Tak dapat kita berdiam lama-lama disini."
Siauw Pek berpikir sejenak. baru ia menjawab: "Lebih baik kita
cari tempat didekat-dekat sini, perlu aku beristirahat dulu. Kita perlu
mencari dua saudara angkatku yang entah telah pergi kemana." Ban
Liang mengerutkan alis.
"Dipuncak ini ada banyak orang liehay, ini berbahaya," katanya.
"Mereka juga menjaga jalan kecil itu dapatkah kedua saudara itu
meloloskan diri ?"
Darah Siauw Pek bergolak. Ia khawatirkan Oey Eng dan Kho
Kong. Ia mengendalikan hatinya, hingga air matanya meleleh
keluar. Ia mengertak gigi
"Mereka berdua rela mengikuti aku, kami bagaikan saudara
saudara kandung, mana dapat aku meninggalkan mereka?" katanya,
berduka. "Jikalau mereka sampai mendapat celaka."
"Jangan terlalu berduka, saudara kecil," Ban Liang menghibur. "
Usia ku telah tinggi, pengalamanku banyak sekali. Kau harus
menginsafi kata kata yang mengatakan, seorang panglima sukar
luput kematian dimedan laga. Selama beberapa puluh tahun, entah
berapa banyak korban orang yang pernah kulihat. Saudara kecil
yang terpenting sekarang ialah tempat tenang dan selamat untuk
kau beristirahat, supaya kau lekas sembuh."
"Andaikata mereka sudah mati, perlu mayat mereka dicari, untuk
dirawat." kata sianak muda, yang masih memberati saudara
angkatnya.
Ketika itu terdengar suara angin sarser, suara ujung baju
berdebaran. Kemudian nampak seorang berbaju hijau lari
mendatangi. Kedua mata orang itu nampak bersinar tajam. Lekas
sekali dia sudah datang dekat, bahkan dia segera berkata perlahan:
"Kedua kawanmu telah kutolong. Disini kita tak boleh berdiam lebih
lama pula. Mari ikut aku" Dan dia mendahului lari pergi.
Dari atas puncak masih terdengar suara pertempuran serta
seruan seruan-Siauw Pek tidak banyak omong lagi, ia turut lari.
Agaknya si baju hijau kenal baik keadaan tempat itu. Dia lari
cepat dijalan yang banyak tikungannya didalam lembah itu, setelah
tujuh atau delapan lie, baru dia berhenti, lalu dengan menunjuk
kesatu arah, dia berkata: "Di belakang sana ada gua, beristirahatlah
kamu disana, aku sendiri ingin melihat kalau kalau ada orang yang
mengejar kita."
Lalu tanpa menanti jawaban, ia pergi pula berlari lari. Siauw Pek
mengawasi belakang orang itu.
"Jikalau tidak ada dia, mungkin sulit buat turun gunung,"
katanya.
"Nampaknya dia menolong kita bukan secara kebetulan, lebih
banyak dikarenakan ada niatnya," berkata Ban Liang. "Disini mesti
ada sebabnya..."
Siauw Pek sementara itu masih menghawatirkan Oey Eng dan
Kho Kong. "Mari kita melihat gua itu dulu," ia mengajak. Lalu ia
bertindak maju. Ban Liang mengikuti.
selewatnya tikungan, benar terlihat sebuah gua. Mereka
menghampiri. "Saudara Oey Saudara Kho" sianak muda berseru tak
sabar.
"Apakah toako disana?" terdengar suara dari dalam gua, lalu
muncullah dua orang ialah Oey Eng dan Kho Kong, yang jalannya
perlahan-
Melihat tindakan kaki kedua orang itu siauw Pek tahu bahwa
mereka terluka. Maka ia lari menghampiri, untuk terus mencekal
keras tangan mereka masing masing.
"Apakah luka kamu parah?" ketua ini tanya prihatin- Tapi justru
itu, tiba tiba tubuhnya sendiri limbung hendak jatuh, sebab
mendadak saja matanya kegelapan-Ban Liang mengulur tangannya,
menyambar tubuh kawan itu.
"Apakah toako terluka didalam?" tanya Kho Kong kaget.
Ban Liang mengangguk. tetapi dia berkata: "Tak apa. Habis
terlukakan dia belum sempat beristirahat sebaliknya dia mesti berlari
lari keras, terutama karena dia memikiri dan sangat menguatirkan
kamu, dua saudara kecil. Dia jadi pingsan karena kegirangan yang
sangat melihatmu."
Berkata begitu, jagoan ini memondong tubuh sianak muda
dibawa masuk kedalam gua.
Itulah gua yang tidak luas tapi dalamnya bersih bekas diberesi.
Maka tubuh Siauw Pek bisa segera dibaringkan. Ketika Ban Liang
hendak memberikan bantuan dengan tenaganya, tiba-tiba anak
muda itu telah berlompat bangun-"Toako luka di..." tanya Kho Kong.
Ban Liang memotong. "sekarang bukan saatnya banyak bicara,
kamu bertiga perlu beristirahat. Ada kemungkinan keempat partai,
atau orang orangnya, dapat menyusul kita kemari."
"Tuan tuan tak usah kuatir," terdengar suara dari luar gua.
"Telah kusingkirkan segala tanda tanda bekas kita."
Sembari berkata begitu, orang diluar itu bertindak masuk dengan
tenang. "Siapakah kau, tuan?" Siauw Pek paling dahulu menanya.
"Benar kata saudara Ban ini," orang itu berkata tanpa menjawab
dahulu, "tuan tuan bertiga perlu beristirahat. Sebentar kita bicara.
Masih ada waktu." Ban Liang terperanjat mendengar orang
menyebut shenya.
"Sudah puluhan tahun aku mengundurkan diri, kenapa tuan
mengetahui sheku?" tanyanya.
"Selama saudara Ban Liang berkecimpung di dalam dunia Kang
ouw, namamu terkenal sekali," berkata orang itu. "Bagaimana aku
bisa tidak mendengarnya?" Jago tua itu bertambah heran-
"Sebenarnya, siapakah kau, tuan?" dia tanya pula.
"Guna kesehatan ketiga saudara ini tak dapat kita membuang
waktu," berkata orang itu. "Aku akan berdiam disini, untuk
menemani, sebentar kita bicara pula." Walaupun dia heran, Ban
Liang terpaksa menutup mulut.
siauw Pek sudah duduk bersila, untuk menyalurkan
pernapasannya, hingga dilain saat dia sudah masuk dalam suasana
"bong ngo cie keng" yaitu lupa akan diri sendiri. Ketika kemudian ia
tersadar langit sudah terang, sinar matahari telah menerobos masuk
kedalam gua, hingga segala sesuatu tampak nyata.
Si orang berbaju hijau melihat pemuda itu sadar dan membuka
matanya.
"Kau sudah selesai bersemadhi, saudara Coh?" tanyanya.
Agaknya Siauw Pek terperanjat. Dia menatap.
"Siapakah kau, tuan?" tanyanya kemudian kepada penolongnya
itu.
Sebelum menjawab, si baju hijau mengangkat dahulu sebelah
tangannya kekepalanya, untuk menyingkirkan cita hijau yang
membungkus kepala dan mukanya, maka segera tampak sebelah
batok kepala yang gundul tak berambut. Karena dialah seorang
pendeta.
"Apakah siecu kecil masih mengenali loolap?". dia balik bertanya.
Siauw Pek terkejut. Dia heran.
"Kau pendeta dari Siauw Lim Sie?" tanya dia.
Pendeta itu mengangguk.
"Loolap ialah Su Kay," sahutnya.
"Aku ingat sekarang. Kita pernah bertemu diJie Sie wan-"
"Benar."
Ban Liang tertawa dingin.
"Aku mengira siapa, tak tahunya salah seorang dari Su Tay kim
kong," berarti "empat Kim kong yang besar", yang berkenamaan,
dari kuil Siauw Lim Sie, dan "kim kong" berarti "pelindung kuil".
Su Kay bersikap tenang, tiada tanda sedikitpun yang
menunjukkan bahwa dia gusar atau mendongkol. ia tertawa tawar
dan berkata: "Kiranya saudara Ban masih ingat kepada loolap."
Siauw Pek menghela napas.
"Taysu telah mendong kami, kami sangat bersyukur," katanya.
"Sekarang harap Taysu tidak ragu-ragu lagi. Ada pengajaran apa
dari Taysu untuk kami, taysu sebutkan saja" Pendeta itu menghela
napas.
"Sebelum kita bicara, ingin loolap menerangkan sesuatu dahulu,"
ujarnya. "Loolap datang ke Lam Gak seorang diri, diluar tahu semua
murid Siauw Lim Sie, bahkan juga diluar tahu keluarga kami. Dan
pertolonganku ini terhadap siecu berempat, itu dilakukan tanpa
maksud menagih pembalasan budi"
Masih Ban Liang tidak puas. Katanya tetap dingin: "Kalau orang
Siauw Lim Sie besar pengaruhnya, oleh dunia Rimba Persilatan
kamu dipandang sebagai partai besar yang paling utama, maka itu
andaikata dibelakang hari taysu tidak turun tangan sebagai musuh
kami, sikap taysu itu tidak akan merugikan Siauw Lim pay."
"Amidabudha" pujinya. "Terhadap siecu sekalian, loolap tidak
memikir apa juga maksud licik atau kurang baik Apa yang
kukehendaki ialah pemecahan wajar dari peristiwa Rimba Persilatan-
.."
"Peristiwa apakah itu taysu?" tanya Siauw Pek.
"Ah" pendeta itu mengeluh, "Itu mengenai peristiwa hebat dan
menyedihkan dari coh Kee Po..."
" Kenapakah hal itu tidak taysu tanyakan kepada ketua taysu
sendiri?" dia tanya.
"Pertanyaan yang tepat sekali" berkata pendeta itu, masgul.
Kembali ia menghela napas "Peristiwa itu adalah suatu perbuatan
pihak Siauw Lim Sie perbuatan sembrono yang semenjak dahulu
belum pernah terjadi walaupun hanya satu kali saja. oleh karena itu,
sudah delapan tahun loolap belum pernah pulang kekuilku."
Siauw Pek bertambah heran. "Kenapa begitu taysu?" tanyanya
pula. Sinar matanya Su Kay memancar.
"Peristiwa Coh Kee Po adalah peristiwa luar biasa kaum Rimba
Persilatan-" katanya pula. " Loolap tahu didalam peristiwa itu mesti
ada urusan fitnah dan aniaya akan tetapi sampai detik ini, loolap
masih belum berhasil mencapai duduk hal yang sebenarnya. Ah
buat peristiwa itu loolap telah merantau bertahun tahun Sebetulnya
loolap merasa kecurigaan makin tebal sibiang keladi tetap tak
diketahui siapa adanya."
"Jikalau benar Pek Ho Bun terfitnah dan menjadi tipu daya keji,"
berkata Siauw Pek, "aku percaya bahwa ketua partai taysu mesti
salah seorang biang keladinya. Benarkah?"
Su Kay berpikir sejenak. baru ia menjawab: "Aturan Siauw Lim
pay sangat keras, ketuanya sangat besar kuasa dan
kewibawaannya, karena itu loolap tidak berani, sembarangan
menerka."
Ban Liang tetap merasa tidak puas, tetap dengan dingin dia
berkata pula: "Dahulu itu sebelum penyerbuan terhadap Coh Kee
Po, aku siorang tua adalah orang yang menentangnya, coba waktu
itu taysu membantuku dengan mengucapkan sepatah dua patah
kata, mungkin peristiwa itu tak sampai terjadi "
" Ketika itu kemarahan umum sedang memuncak. loolap pun
tidak mempunyai bukti apa andaikan loolap bicara, apakah hasilnya
?"
"Taysu," Siauw Pek menyela, "tak peduli taysu bicara setulusnya
atau tidak. tetapi karena kata kata taysu, aku Coh Siauw Pek
bersyukur tak habisnya kepada taysu."
" Dengan sebenarnya loolap tidak mengharap nama, sikapku ini
cuma disebabkan merasa menyesal karena peristiwa Pek Hopo itu
tetap gelap. sedangkan dilain pihak. nama baik partai kami
tersangkut didalamnya. Maka itu tidak dapat loolap berdiam saja."
"Aku mengerti kau, taysu, aku mengucap terima kasih kepada
taysu." kata Siauw Pek.
"selama beberapa tahun itu kau membuat penyelidikan, mustahil
kau tak dapat mengetahui barang sedikit juga ?" tanya Ban Liang.
"Ada juga loolap beroleh tetapi sangat samar samar dan
bertentangan satu dengan lain karenanya, tak dapat itu dijadikan
bukti."
"Taysu," Ban Liang mendesak. " andaikata besok lusa taysu
memperoleh keterangan, tetapi ternyata partai taysu bersangkut
paut, apakah tindakan atau sikap taysu nanti?"
Su Kay bagaikan sudah menerka pertanyaan ini, dia menjawab
dengan cepat: "Jikalau berhasil didapat bukti bahwa benar ada
orang Siauw Lim Pay yang tersangkut dalam peristiwa busuk itu
maka para tiang loo partai kami pastilah akan memberikan
keputusan yang adil"
Mendengar begitu, Ban Liang berkata didalam hatinya: "Dilihat
dari wajahnya, pendeta ini nampak bukan bangsa pendusta..."
"Taysu," Siauw Pek berkata pula, "sekarang ini taysu membantu
kami, itu artinya taysu menetang partai taysu sendiri, kalau
kemudian rahasia ini diketahui pihak partai taysu, bukankah taysu
jadi sudah berdosa berkhianat kepada partai?" Pendeta itu
menghela napas berduka.
" Loolap menentang tindakan partai sendiri. Memang itu tidak
dibenarkan oleh peraturan partai," katanya, masgul. "Andaikata
perbuatanku ini tidak diketahui oleh partai kami, toh kelak
dibelakang hari, akan loolap beritahukan sendiri kepada partai kami
untuk menerima hukuman-.."
"Taysu begini jujur, pantas taysu memperoleh sebutan pendeta
yang luhur " Siauw Pek memuji. "Hanya taysu, masih ada satu hal
lagi yang aku belum mengerti."
"Apakah itu, sicu? Sebutkanlah"
"Taysu sadar tapi taysu toh bekerja bersama pihakku, taysu
seperti menentang peraturan partai sendiri. Taysu, kenapakah taysu
berbuat begini?"
"Itulah karena loolap patuh kepada cita cita agama kami.
Bukankah Sang Buddha bekerja untuk manusia seumurnya, sampai
dia memotong dagingnya untuk memelihara burung elang?jikalau
bukan kita sendiri yang masuk keneraka, siapakah lagi? Didalam
dunia ini, pembunuhan yang selalu berserakan, maka itu jikalau
loolap bisa mengurangi bencana Rimba Persilatan, biarpun tubuhku
hancur lebur, loolap tidak menyesal."
Siauw Pek menjadi sangat kagum. Ia bangkit, untuk memberi
hormat sambil menjura kepada pendeta agung dihadapannya itu.
"Siauw Lim Sie diakui sebagai pemimpin Rimba Persilatan wilayah
Tionggoan," katanya, "jikalau setiap jamannya ada ketua ketuanya
orang semacam taysu ini, pastilah Siauw Lim sie dapat
mendamaikan pelbagai macam perselisihan-"
Oey Eng dan Kho Kong turut mengagumi pendeta ini, mereka
meneladani ketuanya memebri hormat. Bahkan Ban Liang, yang tadi
menyangsikan kejujurannya, turut memberi hormat juga. Su Kay
merangkapkan kedua belah tangannya.
"Tidak berani loolap menerima kehormatan besar ini," katanya,
merendah. " Loolap tidak mempunyai kebijaksanaan apa juga."
"Kata kata Taysu membuat aku si orang she Ban sadar," berkata
jago tua itu, "Aku memang telah menduga, peristiwa pek hopo itu
mesti ada sebabnya yang tersembunyi, bahwa seratus lebih jiwa
anggota pek ho bun itu terbinasa karena mereka menggantikan lain
orang yang sebenarnya harus menjadi sasaran?" Su kay
menengadah langit. Ia menghela napas.
" Ketika dahulu itu jago jago dari delapan belas partai menyerbu
pek hopo," katanya, "walaupun loolap tidak turut didalam
penyerbuan akan tetapi loolap hadir bersama, loolap telah
menyaksikan dengan mata sendiri peristiwa hebat dan menyedihkan
itu. Tak tega loolap menyaksikan darah bercucuran- Sementara itu
loolap juga menyaksikan kegagahan orang orang pek ho bun-
Katakan terus terang, dalam hal ilmu silat, pek ho bun belum
sanggup menandingi pelbagai partai besar itu. Maka juga sungguh
loolap sukar percaya bahwa orang pek ho bun, sebagai Coh Kam
Pek dapat sekali binasakan empat ketua partai besar itu."
Berkata sampai disitu, pendeta ini merangkap kedua tangannya,
dia memuji Sang Budha, setelah itu, baru ia menambahkan kata
katanya: "Tentang lain orang, loolap tidak tahu. Loolap cuma mau
bicara tentang diri loolap sendiri. Loolap sudah mempelajari semua
tiga belas macam ilmu silat istimewa dari Siauw Lim pay, loolap bisa
melihat, salah satu ilmu yang mana saja dapat digunakan untuk
membunuh orang she Coh itu. Tidak peduli Coh pocu kan ilmu apa
juga, tak nanti dia sanggup bertahan menggunakan buat satu
serangan saja dari Su Hong Suheng, kakak seperguruanku itu..."
"Taysu," tanya Siauw Pek heran- "Pek Ho Bun tidak mempunyai
kekuatan akan menentang pelbagai partai besar, habis, kenapakah
dia disingkirkan dan dimusnahkan?"
" Ini justru yang membuat loolap tidak mengerti. Loolap curiga
tetapi itu hanya kecurigaan belaka. Dan kecurigaanku itu bertambah
lama bertambah keras..."
"Mungkinkah taysu pernah memikirkan dan menduga-duganya?"
Ban Liang tanya.
"Selama tiga bulan yang terakhir, pernah loolap memikirkannya,
loolap melihat kemungkinan akan tetapi pada saat terakhir, semua
kemungkinan buyar sendirinya, sebab tidak ada bukti kenyataannya"
"Sudikah taysu mengutarakan itu, supaya kami mengetahui, agar
pikiran kami terbuka karenanya?" Ban Liang minta.
"Yang pertama ialah loolap menduga kepada soal memindahkan
atau menimpahkan hawa amarah kepada lain orang. coh Kam Pek
suami istri muncul dipuncak Yan in Hong di Pek Masan justru disaat
kematian keempat ketua partai itu, lalu mereka dicurigai. Keempat
partai tidak dapat mencari sipembunuh, wajar saja karena sedang
murka, kemurkaan itu dilimpahkan kepada Coh Kam Pek suami istri.
Begitu terkaan loolap. begitu loolap mendapat terkaan lain, lalu
mereka ingin sekali. Untuk membalas sakit hati itu, kenapa keempat
partai tidak mau bekerja sendiri. Asal salah satu partai mengutus
orangnya yang liehay, tak sukar buat membinasakan coh Kam Pek
suami istri Nah, kenapa keempat partai lalu mengundang kelima
partai lainnya serta juga keempat bun, ketiga hwee dan kedua
pang, untuk menyerbu bersama sama?" Ban Liang mengangguk.
"Benar," katanya. "Meski ketua keempat partai itu dapat memikir
bahwa dengan sendiri saja salah satu diantara mereka bisa
menumpas Coh Kam Pek suami istri."
"Yang kedua adalah terkaan bahwa Pek ho bun kena fitnah."
"Ini juga berada didalam terkaanku," kata Ban Liang pula.
Su Kay tertawa kecele.
"juga terkaan ini runtuh sendirinya "
Ban Liang heran- Ia berkata: "Coh Kam Pek suami istri tidak
mampu membinasakan keempat ketua partai itu tetapi coh Kee Po
termusnahkan, kalau mereka tidak terfitnah, mungkinkah masih ada
sebab lainnya lagi?"
"Loolap dan saudara Ban dapat memikir demikian, mustahil orang
yang bersangkutan itu tidak?" kata Su Kay, yang terus menoleh
kepada Siauw Pek. "Maka itu Loolap memikir pada suatu sebab lain,
siecu, apakah siecu masih ingat tempat dimana pertama kali kita
bertemu ?"
"DiJie sie wan, ditempat loocianpwee Lauw Hay cu," sahut si
anak muda.
"Benar. Ketika itu loolap datang terlambat maka Lauw sie cu
roboh sebagai kurban serangan gelap. Betapa sukar loolap
membuat penyelidikan, barulah loolap dapatkan sumber itu tetapi
toh ketinggalan satu tindak. Habislah usahaku beberapa tahun..."
Siauw Pek menghela napas. Ia berduka sangat mengingat
kematian orang tua yang cacat matanya itu.
" Kejadian itu membuatku sangat menyesal," katanya. " Lantaran
kurang pengalaman, aku gagal melindungi Lauw Hay cu. Sampai
sekarang hatiku masih tidak tenang..."
"Ketika itu kalau siecu percaya kepadaku, dengan bekerja sama,
mungkin kita berhasil mencari titik melik. sekarang... ah Tapi loolap
tidak sesalkan siecu. Siecu sedang sangat bergusar, memang sulit
buat siecu mempercayai aku..."
"Taysu," tanya Ban Liang, "apakah taysu ketahui bahwa
mengenai peristiwa Pek Ho Po itu ada dua orang yang kepandaian
ilmu silatnya mahir sekali yang juga merasa penasaran sekali?"
"Apakah Ban siecu maksudkan Hie sian serta Tiat Tan Kiamkek
Thio Hong Hong?"
"Benar."
Alisnya sipendeta berkerut menandakan dia berduka.
"Setelah penyelidikanku sekian lama, terkaanku semakin doyong
kepada seseorang yang lihay, hanyalah siapa orang itu, loolap masih
belum tahu. Loolap baru menerka saja. Mestinya orang itu
mempunyai cita cita besar."
"begitulah. Kecuali menerbitkan peristiwa Coh Kee Po, dia itu
mau bergerak didalam dunia Kang ouw..."
"Jadi kemusnahan Pek Ho Po ada hubungannya dengan cita cita
orang itu ? Pernahkah taysu menduga dia itu orang macam apa ?
Dan siapakah dia ?"
"Justru itulah yang sulit."
Berkata begitu, pendeta ini menatap pula sianak muda.
Didalam Siauw Lim Sie bukan cuma loolap seorang saja yang
penasaran atas peristiwa Coh Kee Po, katanya menyambungi.
"Jadi masih ada orang yang berpendirian sama dengan taysu?"
Ban Liang tanya.
"Betul Merekalah orang-orang yang kedudukannya setingkat
denganku. Satu diantaranya buat sekarang ini adalah seorang
tiangloo yang paling dihormati didalam Siauw Lim Sie kami. Tapi
juga didalam kalangan Bu Tong dan Kun Lunpay ada yang turut
merasa penasaran atas kematian orang-orang Pek Ho Bun itu, kalau
mereka itu juga berdiam saja, sebabnya sama. Mereka masih belum
jelas akan duduk peristiwanya, mereka tak berdaya dalam
penyelidikan mereka. Maka itu loolap. ia memandang keatas, lagilagi
ia menarik napas panjang. ingin ku mendapatkan cara kerja
sama yang sungguh sungguh dari siecu."
"Ayah bundaku bukan si pembunuh, inilah sudah jelas," pikir
Siauw Pek, "sekarang tinggal duduk perkaranya..."
"Sejak beberapa ratus tahun belum pernah ada orang jahat yang
begini liehay," Su Kay menambahi. "Dia sangat licin dan terahasia
bertahun-tahun aku memikirkannya, tak pernah aku berhasil.
Dengan begini, dia juga mempermainkan kesembilan partai besar.
Aku jadi memikir andaikata Coh Kam Pek suami istri hidup pula,
mungkin merekapun tak mengerti."
"Sampai begitu, taysu?" tanya Ban Liang.
" demikianlah anggapanku sampai saat ini."
Mendengar sampai disitu, tiba-tiba Siauw Pek ingat keterangan
kedua kakaknya. ini adalah kejadian pada lima tahun dulu, sebelum
dia menyeberangi Seng Su Kio, selagi mereka berlindung dari
serangan angin dan hujan- Kata kakak-kakakku itu bahwa ibunya
satu kali menerima sepucuk surat, setelah mana seorang diri ibunya
segera berangkat ke Pek ma San lalu ayahnya pergi menyusul.
Hingga akhirnya terjadilah ayah bunda itu dituduh sebagai
pembunuh keempat ketua partai. anehnya hidupnya, ayah seperti
menyebut urusan ibunya itu. Lewat beberapa tahun, sikap aneh
ayah itu, sekarang ia seperti diingatkan oleh pendeta ini. Maka ia
jadi bertambah bingung. Semua berdiam, menyebabkan gua itu
sunyi senyap.
Lewat beberapa lama, Su Kay yang memecahkan kesunyian.
Mulanya dia menarik napas panjang, lalu ia berkata pada si anak
muda: "Coh Siecu, loolap ingin bicara sedikit dengan siecu, harap
siecu memberikan jawaban yang sebenarnya."
"Silahkan taysu ?"
sekarang Siauw Pek tidak menyangsikan lagi si pendeta. "Barubaru
ini, siecu, apakah yang kau peroleh dari Lauw Hay cu?"
"Tidak apa apa. Aku tiba terlambat, hingga ada orang lain yang
mendahului mengambil barang barang titipan ayah."
"Tahukah siecu barang apakah itu ?"
"Tidak."
"Siecu minta barang itu dari Lauw Hay cu, apakah itu
dikarenakan pesan ayah bunda siecu."
"Benar."
"Ketika pertama kali loolap mengetahui hal Lauw Hay su, hati
loolap gembira. Loolap mendapat perasaan bahwa rahasia gelap
beberapa tahun itu bakal dapat dipecahkan- Hanya belakangan
loolap merasa, mungkin titipan itu tidak penting."
"Pesan ayahku itu bukan sembarangan pesan," kata Siauw Pek.
"Menurut aku, pesan itu penting. Ya, barang itu barang berharga "
"Mari dengar kata kataku, siecu."
"silahkan taysu."
"Lauw Hay cu tinggal diJie sie wan selama beberapa tahun, dia
selamat saja. Tapi justru siecu datang, dia ada yang membinasakan-
Apakah artinya itu ? Pasti siecu dapat menerka "
"Taysu menghargai aku terlalu tinggi. Aku justru tidak mengerti "
"Nampaknya urusan kebetulan, kenyataannya tidaklah demikian-
Menurut dugaanku, sejak semula Lauw Hay cu sudah berada
dibawah pengawasan orang, cuma sampai sebegitu jauh orang tidak
berani lancang membunuhnya."
"Memang, tak mungkin hal itu ada sedemikian kebetulan.
Mustahil, begitu aku datang, mereka lalu datang juga."
Berpikir demikian, tiba-tiba muka si anak muda menjadi pucat. Ia
menghela napas. "Orang yang mengambil barang titipan itu,"
katanya, "siapakah dia ?"
"Siecu," tanya Su Kay, "apakah ayah dan ibu siecu benar-benar
meninggal dunia ?"
"Ya, jawab Siauw Pek, "aku melihatnya sendiri. Banyak jago yang
mengepungnya "
"Apakah siecu mempunyai saudara laki laki ?"
"Ada, seorang kakak. buat membela aku, saudaraku itu
menghadang didepan jembatan Seng Su Kio dimana dia berkelahi
hingga mati."
"Mungkin siecu mempunyai saudari, kakak atau adik ?"
Ditanya tentang saudarinya, hati Siauw Pek bercekat. Pikirnya:
"Aku tidak melihat kakakku itu mati atau hidup." Tapi dia menjawab
: "Aku mempunyai saudara tua, hanya aku tidak melihat dia roboh
atau binasa. ilmu silat saudariku itu lemah, mungkin sembilan
bagian dia telah terkena tangan jahat."
"Inilah satu soal gantung Jikalau tidak ada yang menolongnya
pasti dia sudah mati, apabila sebaliknya, itulah lain-"
"Itu benar, taysu."
Tiba-tiba Ban Liang tampak heran- Katanya, "Satu hal adalah
aneh orang telah mengetahui bahwa ditangan Lauw Hay cu
tersimpan suatu titipan, atau suatu barang bukti, kenapa orang
tidak segera membunuhnya hanya membiarkan dia hidup selama
beberapa tahun ? Apakah maksudnya itu ?"
"Itulah soal yang loolap ingin selidiki. Ada kemungkinan dia
membiarkan Lauw Haycu hidup terus supaya orang bercacad mata
itu dapat dijadikan umpan pemancing. Atau mungkin juga Lauw
Haycu tidak mau membuka rahasia."
"Masih ada satu soal lain," kata Ban Liang pula. "Kenapa taysu
menyangsikan barang titipan itu tidak penting, tidak ada perlunya ?"
" Loolap tidak mengatakan barang itu tidak penting, hanya loolap
mengatakan mungkin barang itu tidak penting, hingga kalau itu
berhasil kita dapatkan tapi masih belum bisa dipakai memecahkan
persoalan peristiwa Coh Kee Po." Berkata begitu, pendeta ini
menghela napas.
"Biarlah loolap bicara terus terang," dia menambahkan sesaat
kemudian- "Mungkin barang itu dijadikan umpan oleh si orang
dibelakang layar itu Dia sengaja mengaturnya demikian-"
"Ini masuk diakal," kata Ban Liang mengangguk.
"Loolap hendak mengatakan pula," Su Kay berkata lebih jauh:
"Mungkin kesembilan partai besar, atau anggotanya,
menyembunyikan rahasia. Atau Coh Kam Pek. sebelum
kebinasaannya, sudah mengetahui bahwa orang orang yang
mengepungnya bukan orang dibelakang layar yang menjadi biang
keladi itu..." Siauw Pek heran-
" Kenapa taysu dapat memikir begini ?" tanyanya.
"Jikalau dia tahu, kenapa dia tidak mau memberitahukan she dan
nama musuhnya itu ?"
"Ya, itu benar Jikalau sebelumnya Coh Pocu mati dia
memberitahukan she dan nama si orang jahat, tak sudah kita capai
hati seperti sekarang ini "
Anda sedang membaca artikel tentang cersil : Pedang Golok Yg Menggetarkan 6 - boe beng tjoe dan anda bisa menemukan artikel cersil : Pedang Golok Yg Menggetarkan 6 - boe beng tjoe ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cersil-pedang-golok-yg-menggetarkan-6.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel cersil : Pedang Golok Yg Menggetarkan 6 - boe beng tjoe ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link cersil : Pedang Golok Yg Menggetarkan 6 - boe beng tjoe sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post cersil : Pedang Golok Yg Menggetarkan 6 - boe beng tjoe with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cersil-pedang-golok-yg-menggetarkan-6.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar