Cerita Silat Cersil Cin Tung : Badik Buntung [4]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 25 Agustus 2011

Cerita Silat Cersil Cin Tung : Badik Buntung [4] lanjutan Cerita Silat Cersil Cin Tung : Badik Buntung [3]


Dengan gusar Tok-sim-sin-mo terkekeh dua kali, ujarnya, “Bicara terus terang tindakkanmu ini
hanya cuma merintangi aku supaya Ni-hay-ki-tin tidak terjatuh ketanganku bukan!”
Ia merendek sebentar, ujung mulutnya Menyungging senyum sinis lalu menyapu pandang ganti
berganti antara Hun Thian-hi dan Pek-tok Lojin, katanya, “Tudiuanku hari ini adalah untuk
menemukan Ni-hay-ki-tin itu, jikalau aku bisa memperoleh Ni-hay-ki-tin apa pula yang perlu
kutakuti terhadap kalian. Jikalau sebaliknya akupun sudah insaf sulit untuk dapat bercokol
selamanya di Bulim. harapanku terlalu kecil. Maka aku harus menahan Coh Jian-jo berdua disini,
kalian berdua boleh silakan pergi.”
“Enak benar-benar kau putar bacot, ketahuilah seluruh manusia dikolong langit ini tidak akan
mandah membiarkan kau melaksanakan angan2mu yang gila itu.”
“Sekarang aku bisa memberi kelonggaran dengan langkahku yang terakhir. cucu Coh Jian-jo ini
boleh kau bawa serta, tapi aku tidak akan mengalah lagi, coba kau pikir2 dulu!”
Hun Thian-hi maklum setelah mengalah dan memberi kelonggaran sedemikan banyak,
betapapun Tok-sim-sin-mo tidak akan sudi mundur lagi, lalu bagaimana ia harus bertindak
selanjutnya?
“Hun-siauhiap!” seru Coh Jian-jo biji matanya berkilat-kilat, “Sudah kau setujui saja, aku tidak
akan membocorkan rahasia Ni-hay-ki-tin itu kepadanya!”
Hun Thian-hi menunduk, hatinya merasa hambar, ia tahu bahwa penyelesaian inilah yang
paling sempurna bagi mereka berdua, iapun yakin bahwa Coh Jjan-jo tidak bakal membocorkan’
Ni-hay-ki-tin kepada Tok-sim-sin-mo, tapi bila ia harus tinggal pergi begini saja, betapapun hatinya
tidak tenteram.
Waktu ia menunduk sorot mata Coh Siau-ceng justru bentrok dengan pandangannya, sinar
matanya penuh mengandung permohonan, meski ia tidak bicara, tapi rasanya ia memohon supaya
Hun Thian-hi cepat bertindak.
Hun Thian-hi masih beragu sesaat lamanya, akhirnya ia angkat kepala ke arah Tok-sim-sin-mo.
“Bagaimana?” tanya Tok-sim-sin-mo dengan pandangan dingin.
“Apa boleh buat akhirnya Hun Thian-hi manggut-manggut, baru saja ia manggut lantas ia
merasakan suasana yang ganjil, dilihatnya sorot mata Tok-sim-sin-mo begitu terpengaruh oleh
perasaan hatinya, apakah dia mempunyai muslihat keji? Atau mungkin dia punya pegangan untuk
mengompes Coh Jian-jo supaya membocorkan rahasia Ni-hay-ki-tin itu? Dengan nanar ia pandang
Tok-sim-sin-mo.
Tampak biji mata Tok-sim-sin-mo mengunjuk sinar aneh dan kejut. secara tiba-tiba pula Hun
Thian-hi merasa ada seseorang telah berada diambang pintu kamar. sigap sekali ia membalikkan
tubuh.
Muncul sebuah bentuk manusia yang sangat dikenalnya. hatinya berdetak keras. orang ini
muncul disini secara mendadak. keruan hatinya sangat kaget.
Jang lebih terkejut justru Tok-sim-sin-mo. ia berdiri melongo dan mematung tanpa bergerak.
otaknya sedang diperas untuk mencari daya untuk menghadapi situasi yang berkembang lebih
lanjut ini.

Waktu Hun Thian-hi membalik tubuh menengok ke belakang tanpa merasa iapun ikut terkejut.
yang datang ini ternyata bukan lain adalah Mo-bin Suseng, atau mungkin pula Hwesio jenaka,
karena bentuk dan wajahnya mirip benar-benar dengan Ngo-sing alias Siau-bin-mo-in yang telah
meninggal belum lama berselang.
Tok-sim-sin-mo tidak tahu siapakah orang yang baru datang ini, cuma sudah jelas bahwa orang
adalah musuh dan bukan kawan, otaknya bekerja cepat, diam-diam ia mencari akal untuk
menghadapi perkembangan yang tak terduga ini.
Mendadak Ham Gwat dan Su Giok-lan juga ikut muncul. Sebenar-benarnya hati Hun Thian-hi
teramat kejut dan heran sekali, ia tahu bahwa Mo-bin Suseng berada di sekitar Jian-hud-tong,
selama ini belum pernah muncul lagi, maka sembilan puluh persen dapatlah diyakinkan bahwa
manusia cebol tambun ini adalah Mo-bin Suseng adanya. Tapi setelah melihat Han Gwat dan Su
Giok-lan ikut muncul, baru ia sadar bahwa orang ini tentu Hwesio jenaka adanya, keruan hatinya
sangat senang dan mantep.
Kalau pikiran dan hati Hun Thian-hi menjadi tenang dan mantap sebaliknya Tok-sim-sin-mo
semakin gentar ketakutan, Su Giok-lan dan Ham Gwat sama adalah murid Bu-bing Loni, entah
apakah maksudnya mereka muncul di tempat dan diwaktu yang genting ini, dirinya terluka cukup
parah, musuh berada di sekelilingnya lagi, dengan ditambah mereka berdua keadaan dirinya
semakin terjepit dan lebih berbahaya.
Sekilas melihat situasi dalam kamar lantas Ham Gwat dapat merasakan keadaan yang
menyulitkan. Tapi dengan kedatangan bala bantuan mereka berdua posisi Hun Thian-hi sekarang
menjadi lebih menguntungkan, cuma Tok-sim-sin-mo terang semakin kukuh menggunakan Coh
Jian-jo dan cucunya sebagai sandera untuk mengancam mereka.
Su Giok-lan bergerak hendak bertindak, cepat Ham Gwat menarik tangannya, diam-diam
Hwesio jenakapun sudah hampir bertindak, tapi melihat isyarat Ham Gwat lantas ia maklum
kemana juntrungannya, ia batalkan niatnya.
Dengan sikap dan raut wajahnya yang memang dingin Ham Gwat maju selangkah, ia berdiri
tegak dan tak bicara, sedikit banyak ia sudah paham akan situasi dalam gelanggang, namun dalam
sesingkat ini ia belum berani mengambil keputusan, apalagi bagaimana duduk perkara sebenarbenarnya
ia belum jelas, maka lebih baik bersikap diam untuk menumpas segala pergerakan,
biarlah salah satu pihak diantara kedua belah pihak ini bicara baru dirinya ikut menimbrung dan
bersiap cara bagaimana ikut terjun dalam persengketaan ini.
Tok-sim-sin-mo sendiripun seorang yang cerdik pandai, sedikit menerawang lantas ia tahu
diantara tiga orang pendatang baru ini, adalah Ham Gwat yang menjadi pentolannya, otaknya
terus bekerja mencari akal untuk memecahkan situasi yang Semakin menjepit dirinya. Tapi
sebetulnya apa yang hendak dilakukan oleh Su Giok-lan? Dimana pendirian dan kemana tujuan
mereka? Inilah pertanyaan yang ingin diketahui.
Setelah meneliti sebentar, lantas ia buka bicara kepada Ham Gwat, “Apakah kalian kemari
untuk menolong Hun Thian-hi?” — dengan cermat ia awasi air muka Ham Gwat. dengan
pancingannya ini ia ingin mengetahui dimana pendirian Ham Gwat, bila Ham Gwat benar-benar
hendak menolong Hun Thian-hi, maka kedudukannya jelas berlawanan dengan dirinya, maka
dengan adanya Coh Jian-jo berdua sebagai sandera ia harus cepat-cepat berlindung keluar. Bila
mereka punya tujuan lain, maka perlulah ia berpikir lebih lanjut bagaimana ia harus menghadapi
mereka pula.
Memang muka Ham Gwat selalu kaku dingin tanpa expresi, laksana kilat otaknya berputar
menerawang, pertanyaan Tok-sim-sin-mo adalah pancingan untuk mengetahui tujuan kedatangan

mereka bertiga, otaknya dengan cermat memikirkan berbagai jawaban dan berbagai akibatnya
pula, bila dia menjawab begini, bagaimana pula akibatnya?
Semua berkelebat cepat sekali dalam benaknya, ia harus mencari suatu jawaban yang cukup
diplomatis supaya Tok-sim-sin-mo tidak tahu bahwa kedatangannya tidak punya maksud tertentu.
Terpikir olehnya segala peristiwa dan kejadian sejak Su Giok-lan meninggalkan Jian-hud-tong
ini, maka pelan-pelan ia lantas berkata, “Kudengar katanya serangka Badik buntung terjatuh di
tangan Ling-lam-kiam-ciang, kuluruk kemari untuk memintanya kembali!”
Tok-sim-sin-mo menggeram dalam mulut, otaknya pun bekerja keras mempertimbangkan
kebenar-benaran jawaban Ham Gwat ini, benar-benarkah Ham Gwat kemari karena serangka
Badik buntung? Masa tujuannya pun hendak mendapatkan Ni-hay-ki-tin itu? Segera ia dapat
meneguhkan jawabannya yang terakhir ini, maka dengan menyeringai ia bertanya, “Apakah
gurumu yang suruh kau kemari?”
Sejak tadi Ham Gwat sudah meraba. Mungkin sejak Su Giok-lan meninggalkan Jian-hud-tong,
Tok-sim-sin-mo pun kebetulan sampai kembali di Jian-hu-tong, dan menemukan Badik buntung
berada ditangan Coh Jian-jo. Maka dengan situasi yang dihadapi sekarang, jelas sekali yang paling
diberati oleh Tok-sim-sin-mo melulu adalah Coh Jian-jo seorang yang harus tetap tinggal. soalnya
cuma dia seorang yang mengetahui rahasia dalam Badik buntung itu, jikalau bisa mendapatkan Nihay-
ki-tin, tak perlu lagi ia takut menentang seluruh kaum persilatan di dunia ini.
Agaknya rekaannya sebagian besar tepat, segera ia memikirkan tindakan lebih lanjut, cara
bagaimana kedatangan mereka bertiga bisa membawa manfaat yang paling mengesankan.
Ham Gwat menyambung pula dengan suara kalem, “Banyak bertanya tiada manfaat bagi kau.
Guruku tidak datang tapi kau harus tahu, sekarang aku minta orang dan minta serangka pedang
itu dari tanganmu, apa yang akan kau lakukan dan bagaimana akibatnya, kukira kau sudah
maklum!”
Memang keadaan semakin runyam dan menyulitkan bagi Tok-sim-sin-mo. Tujuan Ham Gwat
bukan menolong Hun Thian-hi, tapi justru demi Coh Jian-jo pula, ia insaf sangat fatal akibatnya
bila main keras dengan Ham Gwat, tapi bagaimana juga ia tidak rela menyerahkan Coh Jian-jo
apalagi serangka Badik buntung itu, lalu bagaimana baiknya? Otaknya harus diperas dan bekerja
keras untuk memecahkan situasi yang serba kontras bagi dirinya ini.
Untuk mengulur waktu segera ia meng-ada2 bertanya kepada Ham Gwat, tapi tangannya
menuding
Hwesio jenaka, “Entah siapakah”
Hwesio jenaka meringis lebar, serunya, “Jangan kau bertanya siapa aku, aku toh tidak utang
apa-apa pada kau, lebih penting kau lekas jawab pertanyaan penting tadi, apa yang hendak kau
lakukan hayo lekas jawab!”
Tiba-tiba tergerak hati Tok-sim-sin-mo, mereka bertiga tidak sejalan dengan Hun Thian-hi, tapi
tujuan mereka sehaluan sama hendak menolong Coh Jian-jo, kenapa tidak kuadu domba mereka
dulu, setelah mereka berhantam sampai keletihan, keadaan selanjutnya bukankah jauh sangat
menguntungkan bagi diriku? Segera ia angkat bicara, “Soalnya aku sudah terluka parah, terjepit
pula oleh Hun Thian-hi, aku tak kuasa ambil keputusanku sendiri, kalau kau ingin jawaban silakan
kau tanya dia, bila ia setuju, aku pun tak perlu banyak bacot lagi!”

Terpikir olehnya bahwa Bu-bing Loni merupakan musuh kebujutan Hun Thian-hi, betapapun tak
mungkin menyerahkan Coh Jian-jo kepada Ham Gwat soalnya permainanku semula sudah salah
langkah sehingga seluruh percaturan ini kalang kabut, seolah-olah aku terjerambab masuk ke
dalam jebakan yang kugali sendiri.
Dalam pada itu Hun Thian-hi tersenyum tawar, katanya, “Terima kasih akan kebaikanmu untuk
menyerahkan Coh Jian-jo kepadaku, tapi entahlah kau memang bertujuan baik ataukah cuma tipu
daya belaka!”
“Jangan kau kira dengan kata-katamu ini kau hendak membakar kemarahan orang, orang lain
tidak berpikiran begitu goblok seperti otakmu yang tumpul itu!”
Ham Gwat segera menimbrung, serunya, “Persetan dengan pertikaian kalian, yang terang Coh
Jian-jo dan serangka Badik buntung harus segera diserahkan kepadaku!”
“Tapi harini aku tak kuasa lagi!” demikian ujar Tok-sim-sin-mo, lalu ia berdiri minggir
kesamping serta melepas tangan Coh Jian-jo, dalam hati diam-diam ia bersorak, ingin ia saksikan
Hun Thian-hi dan Ham Gwat dua generasi muda yang sama-sama tokoh kelas wahid, yang satu
ahli waris Hui-sim-kiam-hoat yang hebat, dan yang lain adalah ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek,
biarlah mereka sama bertanding mengadu kepandaian, ingin aku menyaksikan siapakah sebenarbenarnya
lebih unggul dan asor.
Setelah ia lepas tangan dan menjauhkan diri ia ulapkan tangan menyuruh Bing-tiong-mo-tho
memecah diri kedua samping. Ham Gwat lantas melangkah masuk ke dalam kamar sekarang dia
berhadapan dengan Hun Thian-hi, pandangan mereka sama berkilat memancarkan sorot aneh
yang menakjupkan.
Pandangan Hun Thian-hi langsung mengawasi Ham Gwat, dilihatnya orang begitu agung,
sederhana dan cukup berwibawa, selamanya belum pernah ia mengawasi orang secara langsung
begitu jelas dan cermat, laksana sebuah patung dewi yang membuat ia bertekuk lutut dan
memujanya.
Mereka berdiri mematung sekian lamanya tak bergerak dan sama bersikap aneh, masingmasing
melayangkan pikirannya kembali ke alam yang sudah silam. Lambat laun Tok-sim-sin-mo
melihat keganjilan sikap mereka, timbul kecuriagannya, namun cuma sekilas saja karena ia
menyangka kedua belah pihak tak berani memandang enteng musuh. keadaan mana sering dilihat
sebelum pertempuran sengit antara dua tokoh tingkat tinggi berlangsung. Sungguh diluar tahunya
bahwa diantara mereka sebenar-benarnya sudah terjalin tali asmara yang semakin mendalam dan
terikat semakin kencang.
Sesaat lamanya baru terdengar Ham Gwat membuka suara dingin, “Sekarang Coh Jian-jo
berada di tanganmu, apa kau mau kata?”
Perasaan Hun Thian-hi menjadi hambar, dia tidak tahu apa yang terpikir oleh Ham Gwat, sebab
ia tahu keadaan Tok-sim-sin-mo cukup kepepet dan hanya dapat bergerak dalam lingkungan yang
terbatas, kalau tidak mungkin sejak tadi ia sudah keluar melarikan diri.
Melihat keraguan sikap Hun Thian-hi, Ham Gwat menjengek dingin, katanya, “Apa pula yang
perlu kau katakan?”
Thian-hi tahu Ham Gwat terlalu jauh dan panjang menilai persoalan disini, tapi ia segan
menghalangi maksud dan segala sesuatu yang telah dipikirkan oleh Ham Gwat, maka dengan
tertawa tawar ia berkata, “Ni-hay-ki-tin merupakan incaran setiap insan manusia, umpama Bu-bing
Loni sendiri datang pun aku tidak takut, masa aku gentar menghadapi kau!”

“Aku belum pernah belajar kenal Wi-thian-cit-ciat-sek marilah kita buktikan apakah Hui-simkian-
hwat lebih unggul atau wi-thian-cit-ciat-sek lebih hebat!”
Hati Tok-sim-sin-mo menjadi mendelu dan keheranan, nada tanya jawab kedua orang agaknya
ngelantur semakin jauh dari persoalan, tanya jawab mereka kedengarannya memang saling
mengancam, tapi jelas sekali menyimpang dari adat dan kebiasaan sepak terjang mereka pada
umumnya. Terutama watak Thian-hi berbeda dengan biasanya, jika menurut rekaannya, Hun
Thian-hi pasti tidak akan mengalah dan memberi angin pada lawannya, malah bukan mustahil
minta kembali sekalian Badik buntung dari Ham Gwat. Tapi apa yang disaksikan sekarang jauh
menyimpang dari dugaannya yang sebenar-benarnya.
Sekilas Thian-hi melirik ke sekitarnya, dilihatnya sorot mata Tok-sim-sin-mo yang tajam, sedang
mengawasi mereka, ia tahu bahwa pandangan orang hendak menembus isi hati atau sikapnya,
tapi perkembangan selanjutnya membuat hatinya semakin tabah, memang ia ingin benar-benar
Tok-sim-sin-mo mengumbar adatnya bila perlu memancing kemarahannya malah.
Ham Gwat sendiri juga merasa was-was, bila sandiwara mereka berdua kali ini sampai
konangan oleh Tok-sian-sin-mo pasiti akan terjadi pertempuran sengit secara terbuka.
Terdengar Hun Thian-hi tiba-tiba bergelak tawa lantang, “Kalau kita berdua berhantam. disini
bukankah menguntungkan Tok-sim-sin-mo malah?”
Diam-diam Tok-sim-sin-mo mengumpat dalam hati, secara tidak langsung ucapan Thian-hi
memutar balik mengadu domba antara dirinya dengan Ham Gwat. dan memang itulah tujuan Toksim-
sin-mo, terpaksa ia menjengek dengan gusar, “Apa kau takut?”
Ham Gwat tahu bahwa maksud Thian-hi mendesak supaya Tok-sim-sin-mo memberi peluang
pada mereka untuk bertempur keluar gua. Ia diam-diam saja, biji matanya berputar mengawasi
To-sim-sin-mo.
Bercekat hati Tok-sim-sin-mo, ia menjadi gentar bila Ham Gwat sampai berbalik memusuhi
dirinya,
Dalam Jian-hud-tong di mana-mana tempat banyak dipasang berbagai alat rahasia yang bisa
menembus kesegala penjuru, cuma kamar batu tempat tahanan Coh Jian-jo inilah yang terkecuali,
bila disini dipasang pula pintu2 rahasia tentu sejak lama Coh Jian-jo sudah merat menghilang.
“Jikalau kalian kurang lega,” demikian kata Tok-sim-sin-mo, “Mari kuantar kalian keluar,
lapangan diluar gua sana cukup besar.”
“Sepanjang jalan ini ada terpasang berbagai alat2 dan pintu rahasia, cara bagaimana kita harus
berjaga-jaga dari akal licikmu?” demikian jengek Thian-hi
Tok-sim-sin-mo tertawa panjang, ujarnya, “Kalian mengharap berhantam diluar gua, tapi tidak
berani keluar, apakah kau punya cara lain yang lebih sempurna?”
“Benar-benar,” sahut Thian-hi lantang, “Kau ingin kami bertarung maka kau sendiri pun perlu
mempertaruhkan dirimu sebagai sandera, marilah kau saja yang melindungi kita beramai sampai
di luar gua?”
Usul Thian-hi ini cukup pelit, bila dirinya tidak mau menandakan bahwa dirinya tidak tulus hati,
bila sebaliknya menyetujui seakan-akan sengaja hendak mengadu mereka bertempur mati-matian,
apalagi sekarang dirinya di bawah belenggu Thian-hi, siapa tahu peristiwa apa pula yang bakal

terjadi selanjutnya? Akibatnya itulah yang menyulitkan untuk dipikirkan, dengan terlongong ia
menepekur, ia menemui kesulitan untuk menjawab.
‘Kau takut apa?” ejek Thian-hi, “Bila aku mau bertindak terhadap kau sejak tadi aku sudah
turun tangan, seumpama sekarang aku bertindak pada kau apa pula yang dapat kau lakukan?”
Ucapan Thian-hi memang bukan bualan, bila Thian-hi sekarang turan tangan. Ham Gwat pasti
tinggal berpeluk tangan menjadi penonton saja. Sesaat ia terbungkam.
Adalah hati Ham Gwat bercekat malah, baru sekarang ia menyadari bahwa kamar batu ini
ternyata tiada terpasang alat2 rahasia, jadi sejak tadi bahwasanya Tok-sim-sin-mo sudah menjadi
bulus yang terkurung di dalam gentong, hampir saja tadi dirinya melepasnya keluar,
Berkilat biji mata Tok-sim-sin-mo, ia semakin merasa situasi semakin buruk dan tidak
menguntungkan bagi dirinya. Ia insaf bila Ham Gwat dan Thian-hi sampai bergabung mengeroyok
dirinya, jelas jiwanya takkan tertolong lagi, lapat-lapat teraba olehnya bahwa permusuhan antara
Ham Gwat dengan Thian-hi tidaklah begitu mendalam seperti yang dia bayangkan sebelumnya.
malah secara tidak langsung kelihatannya ada terjalin perjanjian yang tidak mengikat diantara
mereka berdua.
Sekarang dia insaf cara mengadu domba kepada kedua lawannya ini terang tiada membawa
manfaat, akhirnya ia tertawa lebar. katanya kepada Hun Thian-hi, “Begitupun baiklah. kalian sama
adalah keturunan dari aliran kenamaan, Bu-bing Loni selamanya tidak pernah menjilat ludahnya
sendiri. Lam-siau pun merupakan tokoh pendekar yang budiman, untuk sementara ini baiklah
terpaksa aku mempercayai ucapan kalian sekali ini!”
Semula Thian-hi yakin bahwa Tok-sim-sin-mo tidak akan menyetujuj usulnya itu, diluar dugaan
ia telah setuju, mau tak mau hatinya berdegup dan melengak, diam-diam iapun kagum akan
perubahan sikap Tok-sim-sin-mo yang pintar melihat angin memutar haluan dengan cara memuji
guru mereka menjadi seperti dipantek supaya tidak berbuat curang.
Sebaliknya Ham Gwat yang cerdik dan cermat itu dapat menangkap kemana juntrungan
maksud Tok-sim-sin-mo, ia merasa lebih baik ia membekuk Tok-sim-sin-mo walaupun kehilangan
kepercaan, ini lebih penting, segera ia mengerling ke arah Su Giok-lan, dengan sebuah kedipan ia
beri tanda padanya supaya siap menghadapi musuh.
Pelan-pelan Su Giok-lan melolos pedang dari punggungnya, dengan menyoreng pedang ia
berdiri siaga.
Tok-sim-sin-mo menjadi tegang, terasa olehnya keadaan yang rada ganjil ini, segera ia
mengajukan pertanyaan kepada Ham Gwat, “Bagaimana pendapatmu terhadap usulnya?”
“Usul kami sama supaya secepatnya membunuh kau. Bila kami biarkan umurmu
berkepanjangan menimbulkan bencara di Kangouw, bukankah dosa2 kami yang patut diberi
hukuman berat!”
Baru sekarang Tok-sim-sin-mo mendadak tersadar akan sikap berlainan dan luar biasa dari
Thian-hi dan Ham Gwat, kontan ia bergelak tawa, ia berpaling ke arah Bing-tiong-mo-tho dan
kawan2nya, anak buahnya itu kira-kira cukup kuat untuk menghadapi Hun Thian-hi dan Ham Gwat
berdua, bila memang bukan tandingannya terpaksa menerjang keluar saja meloloskan diri.
Beruntun ia menengadah tertawa kering dua kali, serunya, “Kalian selalu mengagulkan diri
sebagai kaum pendekar yang pegang janji dan kebenar-benaran, kiranya sedemikian rendah
sampai sifat2 keadilan kebijaksanaan pun kalian injak2 menjiiat ludah sendiri, perbuatan dan

kelakuan kalian sungguh hina dan memalukan, bahwasanya kalian sekomplotan kenapa main tipu
dan pura-pura bermusuhan dihadapanku?”
Ia menyeringai dingin, lalu sambungnya pula, “Tahukah kalian? Inilah penipuan!”
Dari samping Hun Thian-hi menyela, “Tidak boleh kehilangan kepercayaan demi untuk
memperkosa kebenar-benaran atau keadilan, sejak jaman dulu kala soal ini sudah menjadikan
ajaran yang tersurat di dalam setiap ejaan buku. Demikianlah keadaan sekarang, tidak boleh
karena kehilangan kepercaan lantas kami melepas kau, apalagi bila sampai kau mengganas dan
menimbulkan banyak malapetaka di Kangouw!”
Tok-sim-sin-mo tertawa panjang, ia insaf bahwa Ham Gwat dan Hun Thian-hi akan bergabung
menumpas dirinya, sungguh dia sangat menyesal, kenapa tadi ia melepas Coh Jian-jo dan
cucunya, harapan untuk hidup menjadi semakin kecil.
Tiba-tiba biji matanya memancarkan sinar tajam menghijau seperti mata binatang jalang yang
kelaparan, hanya menerjang dengan kekerasan jalan satu-satunya yang harus ditempuh, asal
dapat keluar dari kamar batu ini, diluar sana sekali tangannya bergerak mengerahkan alat2
rahasianya, dalam sekejap saja ia akan dapat meloloskan diri bersama seluruh anak buahnya.
Sejenak Tok-sim-sin-mo berpikir, tiba-tiba tangannya kanan diulapkan. Serempak Bing-tiongmo-
tho, Biau-biau-cu, Lam-bing-it-hiong dan lain-lain menggerakkan senjata masing-masing
menyerbu ke arah Ham Gwat.
Ham Gwat tahu Tok-sim-sin-mo sudah kepepet orang pasti menerjang keluar dengan
kekerasan, sedang tenaga dalam sendiri belum pulih seluruhnya, sembari melolos keluar
pedangnya kakinya menyurut selangkah. ia berdiri jajar bersama Su Giok-lan, dua jalur sinar
pedangnya memetakkan segundukan cahaya gemerdek yang rapat tak tertembuskan
membendung terjangan para musuhnya.
Hwesio jenaka segera menyingkir kesamping, sambil menggendong tangan ia menonton saja
sambil berseri tawa.
Hun Thian-hi juga tahu Tok-sim-sin-mo pasti akan menjadi nekad dan berontak, Ham Gwat
berdua pasti akan menghadapi banyak kesulitan dikeroyok para musuhnya, sejak tadi ia sudah
bersiap, begitu Lam-bing-it-hiong melolos pedang, bersamaan waktunya seruling jadenya segera
menutuk dan mengetuk kepunggung Lam-bing-it-hiong dan lain-lain.
Sementara itu Tok-sim-sin-mo sudah memperhitungkan, bahwa Hun Thian-hi pasti tidak tinggal
diam, begitu melihat Thian-hi bergerak iapun cepat bertindak, langsung ia menyergap ke arah Coh
Jian-jo berdua.
Thian-hi tahu bahwa Coh Jian-jo berdua berada dalam lindungan Pek-tok Lojin ia percaya
dengan kepandaian Pek-tok Lojin akan mampu mengatasi Tok sim-sin-mo maka ia diam-diam saja
tanpa menghiraukan lawan, sebaliknya serulingnya dimainkan secepat kilat menyerang Bing-tiongho-
tho dan lain-lain dari belakang.
Adalah diluar perhitungannya bahwa Tok-sim-sin-mo sendiri juga punya pengangan yang cukup
mantep, kalau tidak sekali2 ia tidak akan mengambil banyak resiko menempuh bahaya besar
melaksanakan niatnya.
Begitu ia menerjang ke arah Coh Jian-jo, Pek-tok Lojin lantas menyeringai dingin, pikirnya aku
belum lagi mencari kau malah kau sudah meluruk datang sendiri, sungguh kebetulan malah.

Gesit sekali ia bergerak melancarkan ilmu pukulannya yang beracun dikombinasikan dengan
langkah kakinya yang aneh gentayangan, tahu-tahu telapak tangannya sudah menyelonong tiba di
depan dada musuh, sekali tepuk pasti dapat menamatkan jiwa musuh besarnya ini.
Tiba-tiba Tok-sim-sin-mo tertawa dingin, di saat telapak tangan Pek-tok Lojin hampir saja
mengenai sasarannya sekonyong-konyong selarik sinar putih kemilau melesat datang langsung
menusuk ke tenggorokan Pek-tok Lojin.
Keruan bukan kepalang kaget Pek-tok Lojin, bila telapak tangannya diteruskan menepuk ke
dada musuh, Tok-sim-sin-mo jelas bakal mampus, tapi dirinya sendiri juga pasti menjadi korban
tusukan pedang lawan, sudah tentu ia tidak mengira bahwa Tok-sim-sin-mo masih punya
simpanan sebilah pedang tajam, secara reflek cepat luar biasa ia mencelat mundur, batal
menyerang sekaligus menyelamatkan diri.
Begitu ia mundur cukup setindak saja Tok-sim-sin-mo sudah melintangkan pedang pendeknya
dileher Coh Jian-jo, sembari tertawa besar ia berseru, “Semua berhenti!”
Waktu ia berpaling pergolakan angin samberan senjata mereka yang bertempurpun sudah
mereda, tapi kesudahan pertempuran itu sungguh sangat mengejutkan hatinya. Tampak Lambing-
it-hiong dan lain-lain sudah kena tertutuk oleh seruling Hun Thian-hi, mereka berdiri kaku
mematung.
Sedetik dalam waktu yang bersamaan dari hasil seruling Thian-hi menutuk para musuhnya
mendadak ia mendengar seruan Tok-sim-sin-mo waktu ia membalik tubuh, iapun dibikin kaget,
diam-diam ia gegetun kenapa tadi terlalu mengentengkan penilaiannya pada lawan, sekarang
menyesal pun sudah kasep, Coh Jian-jo terjatuh pula ke tangan Tok-sim-sin-mo.
Coh Jian-jo memejamkan mata tak bergerak atau bersuara. Pedang pendek Tok-sim-sin-mo
mengancam tenggorokannya, nalurinya merasa bahwa pedang Pek-bong-kiam bikinannya yang
paling dibanggakan sekarang ternyata dibuat mengancam jiwa penciptanya sendiri, betapa pedih
hatinya sungguh seperti diiris-iris pisau.
“Bagus!” seru Thian-hi terlongong, “Sungguh aku kagum akan kecerdikanmu, baiklah hari ini
kami mengampuni jiwamu sekali ini!”
“Ya, Coh Jian-jo berada ditanganku, apa yang kuperintah pada kalian harus segera
dilaksanakan, kalau tidak bagaimana akibatnya kukira kalian cukup paham!”
“Benar-benarkah ucapanmu itu? Meski Coh Jian-jo berada di tanganmu, tapi apa yang berani
kau lakukan terhadapnya?”
“Bebaskan tutukan jalan darah anak buahku!” seru Tok-sim-sin-mo, nadanya meninggi dan
dingin.
Perang batin sedang bergejolak dalam benak Hun Thjan-hi, ia berdiri tegak mengawasi Toksim-
sin-mo kelihatannya tekanan Tok-sim-sum-mo bisa berhasil dengan gemilang, bila aku tidak
menuruti perintahnya mungkin jiwa Coh Jian-jo bisa terancam atau piaing ringan mendapat
siksaan yang cukup membuatnya menderita, apakah yang harus dilakukan? Mengorbankan Coh
Jian-jo atau menuruti perintah Tok-sim-sin-mo yang berarti bertekuk lutut padanya?
Tok-sim-sin-mo menyeringai sadis, bentaknya. “Bagaimana kau tidak patuh?”
Dalam hati Thian-hi masih rada bimbang, serunya mendengus, “Apa yang berani kau lakukan
pada Cih Jian-jo silakan kau laksanakan. Tapi sekali kau salah bertindak awaslah kau, seumpama

harus mengorbankan dia seorang kita tidak akan memberi ampun kepada kau…. Kau harus tahu
semakin keji dan telengas cara turun tanganmu mungkin kau sendiri nanti pun tidak akan tahan
menerima pembalasannya!”
Tok-sim-sin-mo mengertak gigi, baru saja ia siap bertindaj mendadak terkilas dalam pikirannya
bahwa betapapun seluruh jerih payahnya ini akhirnya bakal sia-sia, Hun Thian-hi cukup hebat,
betapa pun ia tidak mau mengalah sehingga ia mati kutu, Memang ia tidak akan berani bertindak
apa-apa kepada Coh Jian-jo, akhirnya ia mengalah dengan penuh kekecewaan, serunya, “Baiklah,
kalian minggir. mari kuantar keluar sampai dipintu Jian-hud-tong, nanti kuserahkan dia kepada
kalian!” — Besar harapannya sepanjang menuju keluar gua sana, banyak kesempatan dapat
digunakan untuk mengubah keadaannya yang terdesak ini menjadi orang yang dipihak unggul.
Thian-hi tahu bahwa perjalanan ini teramat berbahaya, namun kecuali cara ini tiada
penyelesaian yang lebih baik. Betapapun Tok-sim-sin-mo tidak akan sudi mengalah pula. Tapi jika
ia menyetujui prakasa ini. lalu cara bagaimana ia harus bersikap dan berjaga-jaga dari segala
kemungkinan? Dasar Tok-sim-sin-mo memang seorang licik dan licin yang sulit dihadapi, apalagi
Coh Jian-jo berada ditangannya lagi, maka dia akan lebih pongah dan takabur, untuk menghindari
segala tipu muslihatnya sungguh sulit sekali.
Terpaksa akhirnya ia manggut-manggut, “Baik! Tapi jangan kau main curang, kalau tidak kau
tidak akan bakal lolos dalam lima tindak cukup lima langkah aku dapat membereskan jiwamu
dengan seluruh tubuhmu hancur lebur!”
Tok-sim-sin-mo menyeringai leoar, hatinya melonjak kegirangan, ia pernah melihat kepandaian
silat Hun Thian-hi, naga-naganya memang rada lebih unggul dari kemampuannya, tapi alat2
rahasia dalam Jian-hud-tong ini teramat banyak dan sulit diraba, betapa pun tinggi ilmu silatnya,
juga sulit mengembangkan dengan sempurna. Lima langkah? Hanya tiga langkah saja dirinya
dapat menghilang, kenapa harus lima langkah?
Sampai berpikir2 dalam hati diam-diam ia tertawa geli, sungguh senang dan bersorak hatinya,
tak perlu disangsikan bahwa kali ini ia bakal gagal lagi, menang atau kalah merupakan babak yang
menentukan, maka jangan sekali2 menyia-nyiakan kesempatan ini, Begitulah sembari tertawa
dingin Tok-sim-sin-mo beranjak keluar sambil menyeret Coh Jian-jo. Rona wajah Coh Jian-jo yang
sedih dan lesu mendadak lenyap sama sekali, biji matanya memancarkan cahaya berkilat yang
terang, terunjuk keteguhan hati pada air mukanya, ia mandah saja diseret oleh Tok-sim-sin-mo
keluar dari kamar batu itu.
Sebelum berangkat Hun Thian-hi melirik ke arah Bing-tiong mo-tho dan lain-lain, sesaat ia
kehilangan akal, mereka sama adalah tokoh-tokoh tingkat tinggi, kalau dilepas bakal menambah
beban kalau tidak dilepas tak bisa digusur keluar, sesaat ia menjadi kebingungan.
Kebetulan Pek-tok Lojin maju mendekat, berturut-turut ia amat-amati orang-orang itu lalu satu
persatu membuka tutukan jalan darah mereka. Semula Hun Thian-hi rada terperanjat, tapi karena
Pek-tok Lojin yang melakukan ia tahu pasti perbuatannya punya alasannya sendiri.
Setelah dapat bebas Lam-bing-it-hiong dan lain-lain tanpa kuasa sama bergidik dan gemetar.
hati semua orang sama mendelu. mereka tahu bahwa Pek-tok Lojin sudah menaruh racun pada
tubuh mereka, entah kapan racun itu bakal kumat dan tibalah ajal mereka.
Pek-tok Lojin merupakan tokoh tertinggi dan terlihay dari Pek-tok-bun. cara buatan dan
permainannya dalam menggunakan racun punya kepandaian khusus yang amat lihay, bagi korban
yang kena racunnya sulit dapat diobati sendiri.

Sudah tentu Tak-sim-sin-mo samgat gusar, namun ia dapat berpikir panjang, nanti bila dapat
membekuk Hun Tnian-hi dan lain-lain, pertama-tama ia harus menekan Pek-tok Lojin untuk
menyerahkan obat pemunahnya.
Setelah mengerjain para korbannya Pek-tok Lojin lantas berkata, “Sekarang kalian sudah
terkena racunku, dimana kusimpan obat pemunahnya tiada seorang pun yang tahu.” — Habis
berkata ia tertawa dingin.
Kejadian ini merupakan suatu tekanan pula bagi sepak terjang Tok-sim-sin-mo selanjutnya,
soalnya orang-orang ini masih sangat diperlukan tenaganya untuk menghadapi Ang-hwat-lo-mo
kelak, tapi urusan sudah lanjut maka ia harus dapat bertindak secara tepat dan tegas. Begitulah
segera ia berseru, “Marilah kita berangkat!”
Sambil menenteng serulingnya Hun Thian-hi memburu dibelakangnya, Su Giok-lan
menggandeng Coh Siau-ceng berada dibelakangnya, sedang Lam-bing-it-hiong dan lain-lain
berada ditengah, sedang Ham Gwat berada dipaling belakang.
Begitu berada diluar kamar. Coh Jian-jo lantas bersuara, “Hun-sauhiap hati-hatilah, di depan
sebelah kiri ada sabuah pintu rahasia, malah ada jebakannya pula!”
Mendengar peringatan ini lekas-lekas Hun Thian-hi melangkah dua tindak lebih dekat, sudah
tentu Tok-sim-sin-mo gusar bukan main, tapi apa yang dapat ia perbuat pada Coh Jian-jo. Tibatiba
ia menghentikan langkahnya. dan menyeringai kepada Coh Jian-jo. Sungguh diluar dugaannya
bahwa Coh Jian-jo dapat menunjuk tempat-tempat rahasia itu sedemikian’hapal dengan cara yang
sepele lagi kalau keadaan ini berlangsung lebih lanjut, mana dirinya dapat menjebak dan
meringkus Hun Thian-hi dan lain-lain. Kecuali menggunakan akal licik lainnya, begitulah otaknya
berputar memikirkan cara yang lebih bagus dan lebih licik.
Dari belakang Hun Thian-hi mengejek, “Jangan kau mengatur tipu dayamu yang lain, aku
berani bertaruh kau tidak akan mendapat keuntungan apa-apa, mungkin malah mempercepat
keruntuhan cita-citamu yang gila2an itu!”
Sebagai seorang ahli bangunan dengan kepandaian tehniknya yang luar biasa, adalah mustahil
kalau mau mengelabui Coh Jian-jo akan segala peralatan rahasia di dalam Jian-hud-tiong ini, tapi
justru Tok-sim-sin-mo harus mencari akal cara bagaimana ia harus menghilangkan duri yang
merupakan ancaman langsung bagi tindakan dirinya selanjutnya. Sedikit berpikir akhirnya ia seret
pula Coh Jian-jo melanjutkan ke depan.
Sepanjang jalan ini sering Coh Jian-jo memberi peringatan dimana ada dipasang alat2 rahasia,
tapi kelihatannya Tok-sim-sin-mo sudah tidak terpengaruh akan hal-hal ini, ia terus gusur Coh
Jian-jo dengan pelan-pelan.
Lambat laun tekanan batin Hun Thian-hi semakin kendor, dengan adanya Coh Jian-jo disitu
menjadi banyak lega dan tidak perlu kuatir lagi akan segala lintangan alat2 rahasia itu.
Berselang agak lama perjalanan itu terus dilanjutkan dengan situasi yang sama Hun Thian-hi
semakin lega tapi mendadak Coh Jian-jo berseru keheranan, seakan-akan ia menemukan sesuatu
keganjilan yang menarik perhatiannya. Thian-hi menjadi tegang mendengar seruannya itu, cepat
ia mendekat dua langkah.
Terdengar Coh Jian-jo berkata, “Sepanjang jalan ini bukankah tadi sudah pernah kita lalui?”
“Apakah kau tidak salah lihat, Jian-hud-tong ini seperti istana sesat di belakang sana, cara
bangunannya sangat mirip dan serupa!”

Dalam percakapan itu mereka beranjak terus ke depan, Hun Thian-hi menjadi was-was, sebagai
seorang ahli pasti Coh Jian-jo punya alasan mengucapkan kata-katanya. Tapi Tok-sim-sin-mo tidak
peduli apa yang terpikir oleh Hun Thian-hi, ia seret terus Coh Jian-jo ke depan.
Memang Coh Jian-jo punya pandangannya sendiri. ia tahu siapapun meski ia seorang ahli dalam
bidangnya, tak mungkin dapat menciptakan dua barang yang sangat mirip bentuk dan rupanya.
Sekarang Tok-simsin-mo berputar-putar dalam gua yang rumit dan menyeramkan ini, entah
apakah tujuannya.
Sementara Tok-sim-sin-mo sendiri belum tahu bahwa akal liciknya ini sudah diraba oleh Coh
Jian-jo tapi dia harus bertindak secepat mungkin sebelum Hun Thian-hi dan lain-lain tahu kemana
tujuannya lantas melaksanakan tindakan selanjutnya itulah yang bakal menjadi kunci penentuan.
Tiba-tiba ia menyeret Coh Jian-jo melangkah lebih cepat mencapai sebuah serambi panjang
tiba di sebuah pengkolan lalu secepat kilat menyusup ke dalam belokan itu.
Ham Gwat lebih dulu dapat meraba permainan licik Tok-sim-sin-mo ini. Orang sengaja
membawa mereka putar kayun sehingga ketegangan semakin mengendor dan perhatianpun tidak
terhimpun lagi. lalu dengan caranya yang kilat ia berkelebat menghilang ke dalam jalan rahasia.
Tangkas sekali tubuh Ham Gwat. Tiba-tiba melambung tinggi terus menukik turun menubruk ke
arah Tok-sim-sin-mo.
Tetapapun Tok-sim-sin-mo merupakan seorang yang licik dan licin punya pengalaman luas,
langkah permainan ini sudah dipersiapkan begitu rapi dan sulit diketahui sebelumnya, begitu cepat
ia bergerak sampai Coh Jian-jo tidak sempat berteriak, tahu-tahu badannya ikut terseret masuk ke
jalan rahasia itu.
Cepat sekali jalan rahasia itu sudah tertutup kembali, sedikit terlambat sedetik Ham Gwat sudah
tercegat di depan pintu, pedangnya panjang membacok di atas pintu batu yang keras itu,
sehingga memercikkan lelatu api.
Sesaat semua orang sama berdiri terlongong, Ham Gwat menghela napas dengan kecewa, Hun
Thian-hi sendiri yang paling menyesal akan kelalaiannya, otaknya diperas dengan keras
memikirkan cara meloloskan diri, tiba-tiba ia dapat firasat betapa berbahayanya mereka tetap
tinggal di tempat itu, segera ia berseru, “lekas! Kita tinggalkan tempat ini dulu!”
Tapi Lam-bing-it-hiong dan kawan2nya tegap berdiri tak bergerak, melihat Tok-sim-sin-mo
dapat lolos, terang Hun Thian-hi terjatuh pula dalam belenggu majikannya, harapan mereka untuk
hidup lebih besar, asal mereka tidak mau pergi, apa yang Hun Thian-hi dapat perbuat pada
mereka, bagaimana juga Hun Thian-hi masih memerlukan lindungan mereka.
Hun Thian-hi menjadi gemes dan gegetun, ia paham akan situasi yang berbahaya ini bakal
digunakan Tok-sim-sin-mo untuk mengatur tipu daya yang lebih keji sekali ia menggerakkan alat2
rahasianya, mereka pasti menjadi korbannya yang pertama.
Maka Lam-bing-it-hiong dan lain tidak boleh ketinggalan, segera ia mengancam, “Hayo jalan!
Kalau tidak kubunuh kalian, kalian sudah kena racun, masa dapat hidup berapa lama lagi!”
“Justru karena tidak dapat hidup lebih lama lantas kau berani berbuat apa terhadap kami, bila
kami mati kau pun bakal modar dengan tiada tempat kubur kalian!” demikian jengek Bing-tiongmo-
tho.

Sekilas Ham Gwat pandang Siang Bu-ki dan lain-lain, lalu berkata tawar, “Biar mereka tinggal
disini, mari kita tinggal pergi saja!”
Sesaat Hun Thian-hi beragu, akhirnya ia manggut-manggut bersama Pek-tok Lojin dan lain-lain
mereka maju ke depan. Ia insaf sebagai manusia durjana Tok-sim-sin-mo tidak akan melepas
mereka hanya karena Bing-ting-mo-tho dan lain-lain berada bersama mereka. Sebagai musuh
besar rasanya. Tok-sim-sin-mo tidak akan lega sebelum mereka sama dilenyapkan.
Baru saja mereka mulai bergerak, tiba-tiba diempat penjuru sekelilingnya terdengar suara
gemuruh, tampak dua lembar papan batu tebal pelan-pelan maju menghimpit dari dua samping
mereka, jadi mereka terkurung di tengah lorong gelap itu.
Hun Thian-hi tertegun, menurut perkiraannya setiap lembar papan batu ini paling ringan ada
ribuan kati beratnya, tenaga manusia tidak akan mungkin kuasa menjebolnya keluar. Jelas mereka
terkurung rapat dan tinggal menunggu waktu untuk ajal belaka. Untung Tok-sim-sin-mo masih
memerlukan tenaga Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain, sehingga mereka masih punya. setitik
harapan. kalau dapat bertindak secepat-cepat dan tepat mungkin nanti ada kesempatan untuk
meloloskan diri meskipun cuma satu atau dua diantara mereka.
Selama itu Hwesio jenaka tinggal berdiri diam menggendong tangan. Melihat orang teringat
oleh Hun Thian-hi akan Siau-bin-mo-in, serta merta hatinya terharu dan pedih rasanya.
Semua orang sama melayangkan alam pikirannya masing-masing, tapi mereka sama pula harus
meronta untuk hidup sebelum ajal mendatang.
Lapat-lapat terdengar gema gelak tawa Tok-sim-sin-mo yang menggila kesenangan dalam gua
sebelah dalam sana, begitu lantang dan bergelombang suara tawa itu, bagi pendengaran Hun
Thian-hi sangat menusuk perasaan.
Dari tempat yang agaknya sangat jauh itu Tok-sim-sin-mo berteriak, “Bagaimana, sebenarbenarnyalah
siapa yang menang dan siapa yang kalah?” suara begitu bangga dan mendengung,
“Syarat apa yang hendak kau ajukan, lekas katakan!” Lalu terdengar pula tawanya terbahakbahak.
Dengan pandangan dingin Thian-hi pandang Bing-tieng-mo-tho dan lain, katanya, “Lepaskan
kami keluar nanti kami serahkan anak buahmu ini.”
Tok-sim-sin-mo tergelak-gelak menggila, serunya, “Begitu saja.”
Thian-hi menjadi gusar, serunya, “Cukup begitu saja, hanya itulah syarat yang dapat
kuajukan!”
“Kalau hanya itu syaratmu aku tidak bisa terima, kau kan paham, akupun ingin ajukan syaratku
yang tidak boleh dibantah lagi, kau, Ham Gwat dan Pek-tok bertiga tetap tinggal disana, tiga
orang yang lain boleh silakan pergi untuk mengganti jiwa mereka!”
“Jadi syarat yang kuajukan tidak dipertimbangkan sama sekali.”
“Jangan kau tekan aku dengan alasan seenak udel-mu sendiri, sekarang kaulah yang meminta2
kepadaku, tidak menjadi soal bagi aku sembarang waktu dapat ku turun tangan tanpa pedulikan
mati hidup mereka! coba kau berpikir kembali!”
“Kaum persilatan bukan melulu beberapa orang seperti kami ini, seumpama kami mati semua,
bulu sayapmu juga bakal dipreteli, akibat ini teramat fatal bagi kau sendiri ingat Ang-hwat-lo-mo

akan semudah membalikKan tangan menumpas kau serakang. Kau memutar balik persoalan, coba
kau pikir lebih lanjut adalah kepentinganku terhadapmu? Cobalah kau pikirkan dengan seksama!”
Gelak tawa Tok-sim-sin-mo terdengar semakin menjauh dan akhirnya sirna tiada terdengar
suaranya pula. Sementara dua papan batu dikiri kanan itu pelan-pelan pula bergerak menggeser
ke tengah menggencet mereka.
Bercekat hati Thian-hi. kelihatannya Tok-sim-sin-mo punya pegangan yang sudah matang,
pertanyaan Thian-hi ia jawab dengan reaksi yang kenyataan ini, kelihatannya sedikitpun ia tidak
ragu-ragu lagi mengambil keputusannya.
Semula Bing-tiong-mo-tho dan kawan2nya memang mengemban setitik harapan, tapi dalam
keadaan yang sudah gawat dan kenyataan ini, mau tak mau mereka menjadi mencelos hatinya.
ternyata Tok-sim-sin-mo begitu tega membuang mereka seumpama membuang sampah, dan
yang lebih celaka mereka bakal ikut menjadi korban keganasannya bersama musuh2nya.
Hwesio dienaka yang jarang buka bicara itu, tiba-tiba berseru kepada Tok-sim-sin-mo, “Tadi
kau hendak melepas aku keluar, apakah kau tahu siapa aku sebenar-benarnya, begitu rendah kau
menilai diriku?”
Dari jauh terdengar jawaban Tok-sim-sin-mo, “Persetan siapa kau, setelah kubereskan kau
siapa kau adanya tak berguna lagi!”
Berkilat-kilat mata Hwesio jenaka, serunya, “Akulah saudara Lam Im!”
Agaknya Tok-sim-sin-mo tersentak kaget. kedua papan batu itu segera berhenti” bergerak,
sebenar-benarnya ia hanya ingin menggertak dan menakut2i Hun Thian-hi dan lain-lain, demi
mendegar ucapan Hwesio jenaka, segera ia berhenti menggerakkan alat2 rahasianya.
Hatinya berpikir2, apakah benar-benar? Benar-benarkah Lam Im punya saudara? Ia jelas sekali
akan watak dan tabiat Lam Im, bila smpai membikin dia gusar, urusan pasti sulit diselesaikan,
cuma soalnya apakah benar-benar Lam Im punya saudara sedikitpun ia tidak tahu, maka ia pun
tidak berani segera mengambii kepastian.
Hwesio jenaka mengunjuk seri kegirangan. waktu pertama kali melihat tampang Pek-tok Lojin
lantas ia pernah mimikirkan ke arah itu, orang yang dapat mengulupas kulit manusia dengan cara
yang begitu rapi dan bagus mungkin hanya Sin-jiu-mo-ih Lam Im seorang. Kalau benar-benar dia,
betapapun Tok-sim-sin-mo pasti merasa segan turun tangan kepadanya.
Begitu Hwesio jenaka buka bicara lantas Hun Thian-hi maklum kemana juntrungannya. dikolong
langit ini mungkin memang hanya Sin-jiu-mo-ih seorang yang dapat mengoperasi muka orang
dengan begitu sempurnanya.
Adalah Tok-sim-sin-mo ragu-ragu dan bimbang, raut wajah dan bentuk tubuh Hwesio jenaka
jauh berbeda dengan Lam Im, apalagi sesudah keadaan mendesak baru Hwesio jenaka
mengajukan persoalan ini, kemana juntrungannya, sungguh mencurigakan.
Tapi iapun heran dari mana Hwesio jenaka kenal akan Lam Im, pikirannya; bila hal ini sampai
tersiar luas dikalangan Kangouw, pasti besar akibatnya, sebentar ia berpikir lalu serunya kepada
Hwesio jenaka, “Seumpama benar-benar kau adik kandungnya pun tak berguna, ketahuilah dia
sudah meninggal!”

Hwesio jenaka melengak, tapi bukan kesana tujuannya, segera ia menyahut tertawa, “Aku
hanya ingin tahu siapakah orangnya yang begitu pintar dapat mencari jenazah Giok-yap Cinjin,
setelah sekian lama aku mereka-reka baru sekarang kuteringat pada beliau!”
Tok-sim-sin-mo tertawa dingin., ia insyaf akan akibatnya terlalu fatal bila hal ini sampai
diketahul orang luar kalau sampai geger pasti Lam Im tidak mau keluar pula membantu dirinya.
Begitu hwesio jenaka selesai mengucapkan kata-katanya. papan batu itu pelan-pelan bergerak
lagi, bercekat hati Hwesio jenaka, serunya, “Kenapa begitu sempit pikiranmu, bila kau ketemu dia
harap bertanya kepadanya bahwa orang yang ingin dia cari sekarang sudah datang, nama
gelaranku adalah Ceng Gwat!”
Tek-sim-sin-mo berjingkrak mundur saking kaget, matanya terbelalak, ucapan Hwesio jenaka
terakhir ini bukan main-main, Ceng Gwat adalah murid Siau-bin-kim-hud yang berhubungan kental
dengan Lam Im! Tapi dalam keadaan yang kontras ini ia tak bisa banyak pikir lagi, ia harus tetap
bertindak menurut keputusan terakhir, cuma Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain cukup disayangkan.
Dinding batu itu bergerak terus semakin dekat hati semua orang sudah sama diliputi pikiran
gelap dan bayangan kematian, mereka insaf bahwa dewa elmaut sudah dekat dan siap mencabut
nyawa mereka bersama.
Sekonyong-konyong, sebuah batu bergeser disebelah samping depan sana dan terbukalah
sebuah lobang yang cukup besar, tampak Pek Si-kiat seperti melayang turun dari kajangan bagai
dewa penyelamat saja layaknya berdiri diambang lobang besar itu,
Hun Thian-hi sampai tersurut kaget, dilain saat ia berjingkrak kegirangan, sebenar-benarnya ia
sudah siap begitu dinding batu itu bergerak semakin dekat Ia hendak kerahkan seluruh kekuatan
gabungan semua orang untuk berontak bersama, apakah dinding batu setebal itu mampu
bertahan terhadap pukulan bersama dari sepuluh lebih tokoh-tokoh kelas wahid.
Pek Si-kiat segera menggapai tangan ke arah Hun Thian-hi, bergegas Thian-hi seret Ham Gwat
dan lain-lain memburu kelorong rahasia sebelah sana, katanya sembari berlari. “Paman Pek,
kenapa kau mendadak muncul disini?”
Pek Si-kiat tertawa, ujarnya, “Empat puluh tahun lamanya aku bersemajam dalam gua ini,
daerah mana saja sudah pernah kujelajahi!”
Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain jadi serba runyam. Untung segera Pek Si-kiat berkata, “Aku
jauh lebih mendalami sifat Tok-sim. Kalian harus sadar, sesuatu yang bergabung demi
kepentingan pribadi akhirnya pasti akan bujar pula karena kepentingan itu pula. Dan ini
kenyataan, disaat dia tidak lagi meimerlukan tenaga kalian, atau dia tidak akan ragu-ragu lagi
untuk meninggalkan kalian tetap hidup!”
Dalam pad itu begitu Tok-sim-sin-mo menggerakkan alat2 rahasianya lantas tinggal pergi, tapi
meski ia sudah tak hadir di tempat itu, ia tahu bahwa urusan sudah menyimpang atau telah terjadi
sesuatu perubahan. yang jelas bahwa Hun Thian-hi dan lain-lain sudah berhasil meloloskan diri
dan menghilang dilorong yang lain. Keruan kejut dan murka pula hatinya, siapakah orang yang
datang menolong, begitu pintar dia mampu menolong keluar Hun Thian-hi dan lain-lain.
Sementara itu Pek Si-kiat membawa Thian-hi dan lain-lain menyusuri lorong2 panjang yang
belak belok, dia jauh lebih apal akan segala seluk beluk lorong2 itu dari Tok-sim-sin-mo. Ia tahu
bahwa Tok-sim-sin-mo pasti juga sudah tahu bahwa seseorang telah datang membebaskan para
tawanannya, mungkin tindakan selanjutnya segera bakal terjadi, sejenak ia menerawang
sekelilingnya, lalu berkata, “Menyelusuri sepanjang lorong ini bila tidak terjadi suatu perubahan

kita bakal tiba diluar gua, Thian-hi harus cepat putar balik bersama aku untuk mengejar Tok-simsin-
mo. kalau terlambat, mungkin dia sudah menghilang!”
Thian-hi merasa diluar dugaan akan tekad Pek Si-kiat yang teguh itu. Apakah dia akan menurut
usul orang, samar-samar ia merasa rada berat untuk meninggalkan sesuatu tapi mau tak mau
harus segera mengintil di belakang Pek Si-kiat, beberapa langkah kemudian ia berpaling
memandang ke arah Ham Gwat wajah orang kelihatan tetap dingin kaku, sedikitpun tidak
memperlihatkan perasaan hatinya. Mencelos hati Thian-hi, cepat ia memburu di belakang Pek Sikiat.
Pek Si-kiat juga tahu akan tindak tanduknya, tapi saat ini lebih penting dari persoalan asmara
muda mudi, segera ia bawa Hun Thian-hi menyusup kesebuah jalan rahasia disebelah samping.
Beberapa kejap kemudian, Pek Si-kiat membalik tubuh dan berkata lirih kepada Hun Thian-hi,
“Perlahan-lahan sedikit. kalau tidak salah dia semestinya berada disekitar sini!”
Perasaan Hun Thian-hi menjadi tegang, berulang kali Tok-sim-sin-mo dapat berinisiatif
mengambil kedudukan yang menguntungkan dari posisi yang terdesak, ini merupakan hal yang
tidak terlalu enteng dan mudah, mau tak mau ia harus memuji dan kagum akan kecerdikan
otaknya, kini ia harus berhadapan pUla, dengan Tok-sim-sin-mo lawannya yang setimpal, sedang
Ling-lam-kiam-ciang berada ditangannya pula, bukan saja ia harus berhadapan secara kekerasan
bila perlu iapun harus mengadu kecerdikan otak dan kepintaran.
Dengan seksama Pek Si-kiat meneliti keadaan sekelilingnya, iapun merasa bahwa musuhnya
sulit dihadapi, kalau tidak ia tidak perlu minta bantuan Hun Thian-hi.
Pek Si-kiat sendiri juga merasa was-was apakah Tok-sim-sin-mo dapat mengetahui akan
kedatangannya, yang jelas dia pasti sudah tahu bahwa Jian-hud-tong telah kedatangan seseorang
tamu yang tak diundang, malah bisa menggunakan alat2 rahasia dalam gua ini untuk menolong
para tawanannya, entahlah dimanakah Tok-sim sekarang berada.
Sebelum melihat jejak dan orangnya Pek Si-kiat sulit menentukan dimana kedudukan Tok-simsin-
mo sekarang, ia tidak perlu takut Tok-sim-sin-mo bakal menggunakan alat2 rahasia dalam gua
mengurung dirinya, soalnya seluk-beluk mengenai alat2 rahasia dalam gua ini ia jauh lebin matang
dari Tok-sim-sin-mo sendiri malah mungkin lebih jelas dan menyeluruh, tapi bagaimana juga ia
harus berjaga-jaga dari segala muslihat musuh, seumpama Tok-sim-sin-mo menyergap dengan
caranya yang licik, bukan mustahil dalam kalapnya ia gunakan segala daya upayanya untuk
menyerang mereka kalau itu terjadi mereka bisa terdesak dalam bahaya.
Setelah menyelusuri sebuah serambi panjang, mendadak terdengar jengekan dingin dari
tempat yang gelap disebelah sana, mereka berpaling bersama, tampak sepasang biji mata yang
terang kemilau berkelap kelip di kegelapan sana, Tok-sim-sin-mo beranjak keluar dari sebuah jalan
rahasia yang lain katanya, “Jite! Sungguh tak kuduga Kau adanya. Ternyata kau jauh lebih apal
keadaan seluruh Jian-hud-tong ini dari aku!”
“Benar-benar atau tidak, kau sendiri paham,” sahut Pek Si-kiat masam, “Empat puluh tahun
lamanya kita tersekam bersama dalam gua ini, kalau kau dibelenggu tak mampu bergerak
sebaliknya aku dapat bebas bergerak kemana aku suka, sudah tentu aku jauh lebih jelas segala
seluk beluk dalam gua ini.”
“Marilah sekarang kita bicara secara gamblang, segala peralatan dalam gua ini aku tidak
sepaham kau, untuk melawan kau, jangan kata dua lawan satu, apalagi aku sudah terluka, satu
lawan satu diantara kalianpun aku bukan tandingan lagi. Tapi perlu kuingatkan Coh Jian-jo masih

berada di tanganku, kalau kau ingin dia tetap hidup kalian harus dengar ucapanku, aku masih
mampu untuk melaksanakan rencanaku yang terakhir!”
Thian-hi ikut beragu, ia rasakan juga situasi sekarang yang menyulitkan, secara gamblang Toksim-
sin-mo gunakan Coh Jian-jo untuk menekan dan mengancam mereka, terpaksa ia ikut bicara,
“Kau punya permintaan apa silakan katakan saja.”
“Yang terang aku tidak akan bebaskan dia sebelum Ni-hay-ki-tin dapat kucapai. Tatkala itu aku
pasti punya caraku sendiri untuk meloloskan diri!”
“Menanti kau memperoleh Ni-hay-ki-tin? Bukankah terlalu ngelantur dan jauh persoalannya?
Seumpama kau tidak mampu memperoleh Ni-hay-ki-tin itu lalu bagaimana?”
“Coh Jian-jo tidak akan kubebaskan. Begitulah keputusanku!”
“Syarat yang kau tawarkan ini terlalu tinggi, begitu besar hasratmu untuk mendapatkan Ni-hayki-
tin, tapi kenyataan kau tidak akan mungkin memperolehnya!”
“Kau kan belum tahu akan kemampuanku!”
“Bilamana kau mampu mencapainya, sejak lama orang lainpun sudah mengambilnya. Bukti
menunjukkan selama sepuluh tahun Pek-tok Lojin masuk kesana, akhirnya ia kembali dengan
bertangan kosong, agaknya kau menilai urusan ini menurut pandanganmu yang sempit, ketahuilah
banyak aral rintangan yang tidak mungkin dapat kau jebol atau dapat kau atasi menurut akal
sesatmu yang cupat itu. Jikalau kau mengukuhi pendapatmu, betapapun kami tidak akan tinggal
diam!”
Bab 29
“Ucapanku cukup sampai disini saja. Terserah apa yang hendak kalian lakukan!”
“Begitu pun baiklah,” ujar Hun Thian-hi sambil mengeluarkan seruling jadenya, “sebelum kau
lepas kan Coh Jian-jo, kau pun takkan kulepaskan, Ingin kulihat apa yang berani kau perbuat atas
dirinya.”
“Begitupun baik, akupun tidak perlu takut apa yang bakal kau lakukan terhadap diriku,
memangnya kalau tidak bisa memperoleh Ni-hay-ki-tin aku sudah bertekad untuk mati. Tapi kau
perlu berpikir dua belas kali, seumpama kau yang melakukan hal-hal itu dapatkah kau mengambil
keuntungan? Jiwa Coh Jian-jo masih tergenggam dalam tanganku.” Habis berkata ia mandah
bergelak tawa dengan sikap acuh tak acuh.
Hun Thian-hi jadi mati kutu. kalau orang sudah pasrah pada nasib dan menyerah dengan cara
demikian, apa pula yang dapat aku perbuat atas dirinya, tapi bukan mustahil ia hanya pura-pura….
Hanya sebuah kemungkinan saja untuk menghadapi sikap Tok-sim-sin-mo ini, tapi betapapun ia
tidak bisa mempertaruhkan jiwa Coh Jian-jo dalam langkah-langkah perhitungannya yang
berbahaya ini, dia perlu menyelidiki dan main sandiwara pula seumpama Tok-sim-san-mo memang
berpura-pura muka belum terlambat ia bertindak selanjutnya. Sebaliknya bila tindak tanduknya ini
memang kenyataan tiada soal kali ini ia membahayakan jiwanya. Biarlah situasi lebih matang dan
jalan lebih lapang bagi dia, tapi menurut anggapannya adalah sebaliknya bagi dirinya.

Sejenak menerawang Thian-hi lantas bertanya pada Tok-sim-sin-mo, “Apakah kau tahu benarbenar
bahwa Ni-hay-ki-tin berada di dalam sana?”
“Memang aku belum tahu pasti, tapi itu soal waktu saja bila kutanyakan pasti segera dapat
kuketahui. Ingat Coh Jian-jo pasti tahu, menurut Pek-tok katanya berada di dalam sana, tapi itu
menurut. dugaan belaka, aku justru tidak sepaham akan pendapatnya itu, mana mungkin Ni-hayki-
tin berada dalam Jian-hud-tong ini?”
“Apakah kau sudah pasti bahwa Coh Jian-jo benar-benar mengetahui rahasia Ni-hay-ki-tin itu,
mengandal apa dia bisa tahu?”
Tok-sim-sin-mo menyerihgai lebar, katanya, “Rahasia Ni-hay-ki-tin adalah rahasia turun
temurun dari kakek mojangnya, masa perlu disangsikan lagi?”
Hun Thian-hi tertawa, ujarnya, “Belum tentu bukan? Warisan keluarganya cuma Badik buntung,
yang dia ketahui melulu bahwa tempat rahasia penyimpanan harta benda itu tersembunyi di dalam
serangka pedang, sebelum dia berhasil mengeluarkan gambar rahasia itu dari serangka pedang itu
takkan seorangpun yang dapat tahu!”
Tok-sim-sin-mo mendengus tanpa bicara, diapun tidak bisa menyangkal akan kebenar-benaran
analisa Thian-hi ini, jikalau tiada gambar petanya, ia percaya Coh Jian-jo sendiri juga tidak akan
mampu menunjukkan tempatnya.
Kata Hun Thian-hi pula, “Katamu tadi setelah berhasil mendapatkan Ni-hay-ki-tin kau punya
caramu sendiri untuk meloloskan diri, jadi jelasnya seorang diri cukup kau dapat bekerja, kenapa
pula Coh Jian-jo harus menyertai kau?”
“Pendek kata begitulah syarat yang kuajukan, terserah kau setuju atau tidak.”
“Tapi kau harus berpikir dua belas kali, perbuatanmu ini tidak bakal mendatangkan keuntungan
bagi kedua belah fihak, malah mungkin ada manfaat bagi kau, bagaimanapun aku tidak setuju!”
ToK-sim-sin-mo mengawasi sekelilingnya lalu berkata pula” “Kalau begitu tiada kompromi lagi,
silakan kalian maju aku tidak akan mundur setapakpun juga!”
Berkilat biji mata Hun Thian-hi, ia tahu bahwa sikap Tok-simsin-mo ini hanya pura-pura belaka,
aku harus bertindak secara cermat dan mencobanya secara untung2an. Sudah lama Tok-sim-sinmo
mengatur segala sesuatunya dalam rencana mendapatkan Ni-hay-ki-tin, betapapun ia tidak
akan nekad dan rela rencananya sampai gagal, jalan satu-satunya aku mau mencoba dengan main
gertak saja.
“Kalau begitu apa boleh buat, demikian ujar Hun Thian-hi sambil menggeser kakinya
melangkah kehadapan Tok-sim-sin-mo, sementara itu mulutnya bicara lebih lanjut, “Kalau begitu
seumpama kami setuju juga tiada gunanya, sebaliknya bila kami berhasil meringkus kau, buat Coh
Jian jo pasti lebih melegakan” .
“Umpama kalian bisa menawan aku. Coh Jian-jo pasti segera mampus!”
Thian-hi tertawa lebar, katanya, “Kalau itu benar-benar maka cara kematianmu bakal lebih
mengenakan, tidak percaya marilah kita coba!”
Tok-sim-sin-mo berdiri tegak dan siaga, biji matanya lekati mengawasi gerak gerik Hun Thanhi.
Sementara itu Hun Thian-hi sudah melolos seruling jadenya, sesaat lamanya mereka beradu
pandang tanpa bergerak.

Pek Si-kiat mundur selangkah kesamping, ia tahu menghadapi orang macam Tok-sim-sin-mo
harus menabahkan hati dan berani bertindak dengan segala resiko, dengan mundur selangkah ia
memberi peluang pada mereka berdua untuk mengadu kekuatan, disamping itu sengaja iapun
ingin mepet dinding untuk mengendalikan alat2 rahasia supaya dapat merintangi Tok-sim-sin-mo
melarikan diri.
Sekilas Tok-sim-sin-mo melirik kesamping, lambat laun timbul rasa gentar dalam sanubarinya,
jelas ia sudah punya langkah-langkah yang sempurna untuk jalan mundurnya, diam-diam ia
menerawang apakah perlu ia main gertak dan main ancam terhadap musuhnya, kalau langkah itu
bisa mempermudah dirinya mencapai tujuannya paling tidak bisa mengurangi tekanan batin yang
terasa gentar dan takut ini.
Pikir punya pikir akhirnya ia berkata, “Jikalau Coh Jian-jo mau bantu aku memperoleh gambar
peta rahasia Ni-hay-ki-tin serta sudah dapat kuselami, tiada halangannya kulepas dia.”’
“Begitu sederhana? Apa kau tidak kuatir tempat rahasia itupun dapat kita ketahui? Bukankah
kau memperoleh saingan malah?”
“Itu, urasanku sendiri. kenapa kau kuatir malah. Aku punya caraku sendiri untuk mengetahui
pul rahasia gambar peta, kukira tidak semudah seperti kalian duga!”
“BaiKlah, aku tidak perlu kuatir lagi. Tapi aku masih sangsi cara bagaimana kau dapat
menemukan Ni-hay-ki-tin itu seorang diri? Bila berita ini sampai bocor, bukan saja kami berdua,
mungkin para tokoh-tokoh persilatan semua bakal meluruk datang mengikuti jejakmu. Tatkala itu
cara bagaimana kau akan menghadapi mereka?”
Memangnya Tok-sim-sin-mo sudah merasa jeri terhadap Hun Thian-hi, serta mendengar
ucapan Thian-hi mau tak mau ia merasa kuatir pula. Bukan tidak beralasan ucapan Hun Thian-hi
yang mengandung kebenar-benaran ini.
Kata Hun Thian-hi pula, “Hendaklah Pek-tok Lo-jin dijadikan contoh, sepuluh tahun ia meluruk
masuk ke dalam Jian-hud-tong dan istana sesat baru bisa keluar, sekarang masih berusaha untuk
keluar. Dengan berani menempuh bahaya tentu diapun punya pegangan dan yakin akan tekadnya.
Siapa tahu bahwa Ni-hay-ki-tin benar-benar berada di Jian-hud-tong, kalau itu benar-benar
bukankah banyak menghemat tenaga dan pikiran malah.”’
Dengan sorot mata yang mengandung pertanyaan dan curiga Tok-sim-sin-mo pandang Thian-hi
lekat-lekat, ia jadi sangsi kenapa Hun Thian-hi begitu baik hati mau memberri saran dan jalan
sempurna kepada dirinya, mau tidak mau ia harus meningkatkan kewaspadaan, bagaimana juga
Thian-hi merupakan musuh besarnya yang utama. pikir punya pikir akhirnya ia mendengus,
mulutnya bicara tawar, “Betulkah begitu?”
“Jangan kau terlalu curiga terhadapku,” demikian Thian-hi tersenyum, “Kuharap urusan ini lekas
selesai supaya tidak membawa buntut yang berkepanjangan dan membawa manfaat bagi dua
belah pihak. Apalagi aku percaya umpama kau tahu jelas dimana letak simpanan Ni-hay-ki-tin itu
belum tentu kau mampu mengambilnya.
“Berani kau berkata begitu, lalu bagaimana menurut maksudmu? Adakah cara lain yang lebih
sem purna?”
Sebelum menjawab Thian-hi berpaling ke arah Pek Si-kiat seraya mengedipkan matanya, ia
memberi isyarat supaya Pek Si-kiat memperhatikan segala gerak gerik Tok-sim-sin-mo, lalu ia
berpaling kemuka pula dan berkata kepada Tok-sim-sin-mo, “Aku punya usul. Silakan kau bawa

Coh Jian-jo kemari, bila kau yang tanya belum tentu dia sudi memberi tahu, sebaliknya, bila kami
yang mengajukan pertanyaan mungkin dia mau menjelaskan, sesudah itu kita berunding lebih
lanjut. Seumpama Ni-hay-ki-tin benar-benar berada di dalam Jian-hud-tong ini, urusan menjadi
lebih mudah, kau lari masuk pun kami tidak akan berani mengejar. Sebaliknya seandainya tidak
berada dalam Jian-hud-tong kita pun boleh mencari jalan lainnya yang lebih sempurna!”
Mendengar uraian ini Tok-sim-sin-mo beranggapan bahwa Hun Thian-hi teramat goblok dan
ceroboh, urusan selanjutnya bakal lebih menguntungkan bagi dirinya. Maka sambil menyeringai
dingin baru saja badannya bergerak mendadak hati kecilnya merasakan bahwa urusan tidaklah
begitu gampang, masakan benar-benar Hun Thian-hi begitu baik hati memberi kelonggaran
kepada dirinya, bukankah perbuatannya ini demi keselamatan Coh Jian-jo. Bilamana urusan belum
mencapai titik penyelesaiannya lantas mempertemukan mereka sama Coh Jian-jo, situasi pasti
akan semakin menyulitkan dirinya. Serta terpikir hal ini ia merandek dan putar balik, wajahnya
mengulum senyum dingin, naga-naganya ia bersyukur bahwa dirinya belum sampa, kena tipu.
Tapi tanpa disadarinya perbuatannya ini justru telah memperlihatkan tanda2 yang mencurigakan,
cuma tidak diketahui olehnya.
Selama itu Pek Si-kiat selalu mengawasi gerak gerik Tok-sim-sin-mo, begitu orang bergerak
hendak memutar tubuh ia lebih memperhatikan, meskipun badan Tok-sim-sin-mo belum
seluruhnya berputar tapi sudah membalik sebagian besar, di bawah pengawasan Pek Si-kiat
dapatlah diketahui kemana tujuan pandangan kedua biji matanya, serta merta lantas tersimpul
dalam benaknya, bukan mustahil disanalah Coh Jian-jo disembunyikan. Bukankah tadi dia
mengatakan bahwa Coh Jian-jo ada disekitar sini.
Agak lama Tok-sim-sin-mo mandah menyeringai dingin tanpa bicara, matanya mengawasi
Thian-hi Sekian lamanya baru berkata, “Usulmu tadi tidak dapat kulaksanakan, biar aku sendiri
yang tanya padanya.” Tita2 Hun Thian-hi memberi tanda kepada Pek Si-kat, serempak mereka
bergerak bersama, Pek Si-kiat langsung terbang miring kesamping berbareng kedua telapak
tangannya memukul ke arah dinding samping, kontan dinding batu itu pecah berhamburan dan
munculah dua pintu dari dua kamar kurungan. Benar-benar juga Coh Jian-dio ada di dalam salah
satu kamar itu.
Sementara dalam waktu yang sama Hun Thian-hi menubruk ke arah Tok-sim-sin-mo sambil
berusaha mencegat jalan mundurnya.
Begitu melihat Hun Thian-hi memberi tanda kepada Pek Si-kiat lantas ToK-sim-sin-mo
mendapat firasat jelek. seketika dilihatnya Pek Si-kiat mencelat terbang menerjang ke arah kamar
tahanan Coh Jian-jo, keruan kejutnya bukan kepalang, tahu dia bahwa urusan semakin mendesak
dan tidak mungkin tertolong lagi, hari ini dirinya kena dikalahkan dan gagal total, terpaksa harus
lari untuk menyelamatkan diri.
Maka tanpa ayal iapun bergerak teramat gesit dan cepat, kedua telapak tangan bergerak kedua
jurusan, tangan kanan menghantam ke arah Thian-hi merintangi tubrukan lawan, sedang sebelah
tangan yang lain menggempur dinding di sebelah belakangnya membuka sebuah jalan rahasia
terus melesat masuk dan menghilang.
Tanpa banyak pikir Hun Thian-hi menerjang masuk mengejar, demikian juga Pek Si-kiat tak
mau ketinggalan, mereka. mengejar dengan kencang. Diam-diam bercekat hati Pek Si-kiat, Toksim-
sin-mo lari ke arah lorong2 sempit dibagian gua paling belakang dimana merupakan jalanjalan
yang paling rumit dan penuh terpasang alat rahasia, bila Tok-sim-sin-mo sampai mencapai
daerah itu untuk membekuknya tentu sukar sekali .
Begitulah kejar mengejar berlangsung sekian lamanya, mereka keluar masuk lorong2 panjang
mengejar Tok-sim-sin-mo. Meski Pek Si-kiat jauh lebih apal jalan-jalan lorong itu, soalnya gerakTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
gerik Tok-sim-sin-mo sulit diduga sebelumnya, kemana ia hendak menuju, maka jarak mereka
bertahan sekian jauhnya, kelihatan bayangannya. tapi tak kuasa meringkusnya.
Sembari lari kencang seperti dikejar setan diam-diam Tok-sim-sin-mo berpikir, “Pek Si-kiat
bersama Hun Thian-hi mengejar terus seperti bayangan tubuh sendiri, betapapun akhirnya dirinya
takkan kuasa lolos, kalau hal ini berlangsung lama, luka dalamnya bisa kambuh dan semakin
berat, beberapa kejap lagi pasti dirinya akan kehabisan tenaga dan terima dibekuk saja.” Begitulah
sembari lari ia mencari akal cara bagaimana ia harus meloloskan diri.
Namun Hun Thian-hi berdua sudah semakin dekat, jarak mereka tinggal sepuluh tombak,
keruan kejut dan gugup pula hatinya, tiba-tiba tergerak hatinya biji matanyapun berkilat terang,
mendadak ia membelok memasuki sebuah lorong rahasia.
Hun Thian-hi berdua terus mengejar masuk ke sana. Jalanan dalam lorong itu menjurus ke arah
tempat yang semakin rendah dan lembab, jadi semakin lama semakin menurun. Tok-sim-sin-mo
tidak hiraukan keadaan sekelilingnya, ia lari terus turun kebawah. Sebaliknya Hun Thian-hi berdua
menjadi kaget, lorong jalan ini justru yang menjurus ke arah istana sesat itu. Bila Tok-sim-sin-mo
sampai menerjang masuk kesana, betapapun mereka berdua tidak akan mampu mencapainya.
Cepat ia menyedot napas tiba-tiba tubuhnya melayang seringan asap secepat anak panah melesat
ke depan.
Tok-sim-sin-mo sendiri juga insaf bila ingin hidup satu-satunya jalan hanyalah masuk ke dalam
istana sesat, Thian-hi berdua takkan berani mengejar kesana. Kalau Pek-tok Lojin sepuluh tahun
tidak mampus di sana, kenapa aku harus takut? Apalagi aku menggembol serangka Badik
buntung, Ni-hay-ki-tin pasti dapat kutemukan, demikian pikirnya.
Dalam pada itu suara, pernapasan Hun Thian-hi seakan terdengar begitu dekat jbelakangnya,
cepat ia mengempol semangat dan menyedot napas dalam-dalam. tubuhnya segere melejit tinggi
terus meluncur turun laksana meteor jatuh langsung melayang masuk ke dalam istana sesat.
Hampir saja Hun Thian-hi sudah dapat menyandak tinggal kurang sejangkauan tangan, namun
Tok-sim-sin-mo berhasil pula meloloskan diri dari kejarannya, sungguh hatinya teramat menyesal
tak terperikan.
Dalam detik lain Pek Si-kiat juga sudah mengejar datang, sejenak ia terlongong. lalu katanya
kepada Hun Tnian-hi, “Sudahlah! Mari kami pulang. Jalan selanjutnya tiada pintu. untuk dapat
kembali, tak usah dikejar ke dalam sana!”
Pelan-pelan Hun Thian-hi manggut-manggut, bersama Pek Si-kiat ia putar balik ke tempat
semula dimana Coh Jian-jo masih menunggu. Setelah dapat bergerak bebas Coh Jian-jo bertanya,
“Kemana Tok-sim-sin-mo? lari masuk ke dalam istana sesat bukan?”
Perlahan-lahan Thian-hi manggut sebagai jawaban, lalu katanya, “Apakah Coh-cianpwe tahu
bahwa Ni-hay-ki-tin benar-benar berada di dalam istana sesat sana? Atau mungkin merupakan
lagenda belaka?”
“Sebenar-benarnyalah bahwa Ni-hay-ki-tin memang berada, di dalam istana sesat itu,”
demikian ujar Coh Jian-jo kalem, “Tapi mungkin tiada seorang pun yang bakal mampu
menjangkaunya. Demikian juga Tok-sim-sun-mo akan sia-sia masuk kesana!”
“Kenapa begitu?” tanya Thian-hi tidak mengerti.
Coh Jian-jo menghela napas panjang seraya menggeleng kepala, agaknya ia segan bicara,
sesaat setelah merenung baru ia buka suara pula, “Istana sesat memang punya sangkut paut yang

sangat erat dengan leluhurku. Dulu kala pernah terjadi gelombang pertikaian dalam dunia
Kangouw, seorang-orang gembong iblis yang berkepandaian tinggi entah dari mana dapat
memperoleh sejilid buku Ni-hay-pit-kip, kemudian kepandaian silatnya teramat tinggi dan sukar
diukur, tiada seorangpun tokoh-tokoh persilatan dalam Bu-lim yang menjadi tandingannya, entah
berapa banyak yang sudah menjadi korban keganasannya. Tapi akhirnya, ia insaf dan sadar akan
kelalimannya. ingin ia membakar Ni-hay-pit-kip itu, tapi merasa sayang dan eman2. Belakangan ia
memperoleh suatu ilham, bersama seluruh benda-benda mestika koleksinya yang tak ternilai itu ia
suruh leluhurku membuat istana sesat itu. seluruh miliknya ia pendam dan simpan di dalam istana
sesat itu, harapannya supaya segaia milik yang bakal ditinggalkan itu akan selalu terpendam dan
tidak bisa muncul pula dialam semesta ini.” sampai disini ia menghela napas, lalu menunduk diam,
sesaat kemudian baru melanjutkan pula, “Tapi tak lupa ia meninggalkan sebuah peta bergambar
yang teramat rahasia.”
Thian-hi maklum kemana arah tujuan ucapan Coh Jian-jo ini. Kalau tokoh lihay itu tidak suka
mewariskan seluruh miliknya kepada generasi mendatang, jadi leluhur Coh Jian-jo itulah yang
secara sembunyi dan terahasia mewariskan gambar peta itu, maka tidaklah heran jika Coh Jian-jo
sukar membuka mulut.
Sekali lagi Coh Jian-jo menghela napas, ujarnya, “Menurut ajaran dan pesan leluhur kami turun
temurun supaya jangan timbul sifat tamak dan mengincar Ni-hay-ki-tin itu, malah dilarang pula
untuk membicarakannya.
Pek Si-kiat tertawa tawar, timbrungnya, “Kalau begitu Ni-hay-ki-tin akan lebih memincut
perhatian khalayak ramai. Kalau toh dia menyimpannya di dalam istana sesat dan tidak
menghancurkan benda-benda itu, ini berarti bahwa dia sengaja memang hendak mewariskan
kepada generasi mendatang.”
Coh Dian-jo tertawa getir. ujarnya, “Biarlah aku bicara terus terang saja, Leluhurku itu memang
akhirnya timbul sifat tamaknya, dengan nekad ia masuk ke dalam istana sesat itu hendak
mengambilnya keluar, tapi sekali masuk selamanya tidak pernah keluar lagi. Putranya
menunggunya sampai sepuluh tahun dan diapun menyusul masuk kesana, setelah kembali
saketika pun ia tidak bicara dan tidak pernah menyinggung persoalan ini. Gambar peta itu ia
simpan ke dalam kerangka Badik buntung itu, dan untuk selanjutnya persoalan Ni-hay-ki-tin ini
menjadi terpendam dan dilupakan orang. dan untuk selanjutnya pula beliau menegakkan undang2
keluarga itu.”
Pek Si-kiat tak bicara lagi. Sebaliknya Hun Thian-hi membatin, “urusan ini rada ganjl, istana
sesat yang dibangunnya sendiri kenapa setelah dia masuk kesana tidak bisa keluar pula, entah
peristiwa apa yang telah terjadi?”
Begitulah dengan langkah tenang dan mantap mereka beranjak keluar beriringan. Dari saku
bajunya Pek Si-kiat merogoh keluar buntalan kantong obat diangsurkan kepada Hun Thian-hi,
katanya, “Obat pemunahnya semua dapat kurampas!”
Sebenar-benarnya hati Thian-hi juga sedang memikirkan obat pemunah racun ini, ia merasa
sangat kebetulan serta ujarnya tertawa, “Untuk selanjutnya hakikatnya Tok-sim-sin-imo tidak akan
punya pegangan untuk mengancam dan menekan kami. Lam-bing-it-hiong dan lain-lain
selanjutnya juga bisa merubah haluan kejalan lurus. Persengketaan Bu-lim utk selanjutnya
mencapai titik penyelesaiannya, semoga selanjutnya semua orang dapat hidup sejahtera dan
sentosa!”
Tak lama kemudian mereka sudah tiba diambang mulut gua, Ham Gwat dan lain-lain sedang
menunggu dengan hati kebat kebit. Begitu mereka keluar Coh Siau-ceng lantas berpekik
kegirangan dan memburu maju ke dalam pelukan Coh Jian-jo, mereka menangis berpelukan.

Sekilas Thian-hi pandang Ham Gwat lalu menghampiri ke arah Hwesio jenaka, katanya
tergagap, “Siau-suhu….” tak kuasa ia melanjutkan kata-katanya, kepala tertunduk.
Berkilat biji mata Hwesio jenaka, katanya tertawa lebar, “Tak perlu diungkat lagi, soal itu aku
sudah tahu seluruhnya. Sebab musahabab persoalan ini kelak kau akan tahu jelas. Bila kau
ketemu Ah-lam Cuncia, beliau bisa memberi penjelasan kepadamu hal-hal yang ingin kau ketahui,
sekarang jangan kau risaukan persoalan ini.”
Thian-hi tidak paham akan kata-kata Hwesio jenaka.
Dalam pada itu, Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain maju ke depan Hun Thian-hi serta kata
mereka, “Sekakarang kami sudah sadar, untuk selanjutnya kami tidak akan turun gunung dan
berkecimpung di Kang-ouw. Hun-siauhiap kami mohon diri!”
“Ah kenapa para Ciaupwe begitu sungkan!” cepat Thian-hi menyahut
Lam-bing-it-hiong berkata sambil menghela napas, “Kelak bila Hun-siauhiap memerlukan
tenaga kami silakan panggil saja, kami pasti bantu sekuat tenaga, Hun-siauhiap tidak usah rikuh!”
“Memang tidak lama lagi mungkin aku perlu bantuan kalian, biarlah lain waktu kita bicara lagi,
bila ada waktu aku pasti bertandang ke tempat Cianpwe masing-masing.”
Be-ramai-ramai Lam-bing-it-hiong dan lain-lain lantas ambil berpisah.
Sekarang ganti Ham Gwat yang maju kehadapan Hun Thian-hi katanya perlahan, “Hunsiauhiap.
Gwat-sian sudah berangkat pulang ke Thian-bi-kok!”
Thian-hi jadi melongo, tahu dia bahwa Ham Gwat pasti sudah bertemu dan bicara dengan
Gwat-sian, dan yang jelas bahwa hubungan mereka adalah begitu intim.
Melihat sikap Thian-hi itu Ham Gwat melanjutkan berkata, “Dia adalah adik angkatku, kuharap
kau tidak me~nyia-nyiakan cintanya. Bagaimana keadaannya kau kan sudah jelas, sekarang juga
kau harus cepat menyusul kesana.”
Sekian lama Thian-hi terlongong, bicara menurut sanubarinya memang ia harus segera
menyusul ke selatan, apalagi jiwa hidup Ma Gwat-sian tinggal tiga bulan lagi, betapapun ia tidak
tega meninggalkan kesan buruk kepada gadis remaja yang lemah lembut. Soalnya adalah katakata
ini terucapkan oleh Ham Gwat maka kepentingan ini menjadi lain pula artinya, seolah-olah ia
dibayangi kekuatiran lain, bahwa dia tidak sepantasnya melakukan hal itu,
Mendadak terasa olehnya bilamana ia melakukan hal ini, berarti dia telah menipu Ma Gwat-sian,
dapatkah dibenar-benarkan kelakuanku ini. Begitulah perang bathin berkecamuk dalam benaknya,
entahlah sesaat ia sulit mengambil kepastian.
Kata Ham Gwat lagi, “Kuharap kau segera Berangkat, tapi bila kau tidak sudi menyusul kesana
akupun tidak memaksa, tapi dapatkah kau mempertanggung jawabkan kepada sanubarimu?”
Thian-hi mengertak gigi, ia menunduk penuh penderitaan batin, bayangan Gwat-sian selalu
terbayang dalam benaknya. Tapi sekarang dia menghadapi Ham Gwat. sedang Ham Gwat minta
dia segera pergi, bila benar-benar dia melaksanakan kehendaknya, entah bagaimana akibatnya
kelak. Tak berani ia memikirkan lebih lanjut, apalagi kedengarannya Ham Gwat menggunakan
nada yang ganjil bicara padanya. serta merta timbul rasa sungkan dalam hatinya untuk menampik

permintaannya itu, tapi ia tidak kuasa menampilkan rasa hatinya itu dengan kata-kata, seolah-olah
dadanya menjadi sesak dan sulit terlampias.
Dengan lekat Ham Gwat pandang Thian-hi agaknya iapun dapat memaklumi perasaan Thian-hi,
pelan-pelan ia menambahkan, “Ajahku pergi mencari ibuku, sengaja kukemari memberitahu akan
hal ini!” lalu ia menunduk serta sambungnya, suaranya lebih lirih, “Kecuali itu aku tiada cara lain
untuk mengatasi persoalan ini! Gwat-sian adalah anak angkat ayah, hubungan kami sangat baik,
aku tidak tega melihat ia pulang dengan hati yang hancur dan putus asa, ini akan membawa
akibat yang lebih fatal bagi kesehatan badannya yang lemah itu.”
Thian-hi menjadi haru, katanya angkat kepala, “Biarlah kuajak dia kembali, nanti kubawa ke
Bu-lu-si untuk mencari kalian bagaimana?”
Ham Gwat manggut-manggut dengan tersenyum.
Thian-hi berdiri kesima, matanya mengawasi Ham Gwat tanpa bicara, sejak ia melihat Ham
Gwat dulu selamanya belum pernah melihat orang unjuk tawanya. Baru pertama kali ini ia melihat
senyum dan tawa orang. Senyum laksana sekuntum bunga mekar berpeta di wajahnya nan aju
elok, hatinya menjadi hangat dan terhibur, segala kerisauan hatinya seketika tersapu lenyap.
Dikejap lain senyum Ham Gwat hilang dan matanya mengawasi tajam memancarkan sorot
aneh, seketika Thian-hi seperti dibuat sadar, mukanya menjadi panas, katanya cepat, “Sekarang
juga aku berangkat menyusul ke Thian-bi-kok!”
“Hun-toako,” segera Su Giok-lan maju menghampiri, “Aku sudah pergi ke tempat Suhu dan
lain-lain, malah ayahku juga berada disana. Bersama Ham Gwat Cici kami menuju ke Bu-la-si lalu
membawa ibunya tinggal di Jian-hong-kok, kau langsung kesana saja menunggu kami!”
Thian-hi manggut-manggut, tanyanya, “Apakah Suhu dan lain-lain baik-baik saja?”
“Mereka ada berpesan setelah ketemu kau supaya kau tidak usah kuatir pada mereka malah
keadaanmu yang serba sulit ini harus hati-hati.”
Thian-hi manggut-manggut.
“Untuk menyusul ke selatan pasti sulit dapat menemukan jejak mereka, dan belum tentu bisa
kecandak, lebih baik kau naik burung dewata saja lebih cepat.” demikian usul Giok-lan.
Thian-hi mengiakan sambil tertawa.
Su Giok-lan segera memanggil burung dewata, cepat Thian-hi naik ike atas punggungnya terus
ambil berpisah sama Ham Gwat dan lain-lain, kejap lain burung dewata sudah pentang sayap dan
langsung terbang ke arah selatan.
Begitulah selama satu hari satu malam Thian-hi diajak bertamasya di atas udara, hari itu
burung dewata menukik turun dan masuk ke dalam hutan mencari buah2an, menurut perhitungan
Thian-hi dimana. sekarang dia berada sudah termasuk wilajah Thian-tom, tak lama lagi pasti ia
dapat menyusul Ma Gwat-sian. Thian-hi duduk di bawah sebuah pohon rindang untuk istirahat.
Begitulah tengah ia menepekur mengawasi awan yang berbondong-bondong di atas langit,
mendadak sebuah suara lirih berkeresek di belakangnya.

Sebagai seorang persilatan lantas Thian-hi tahu bahwa seorang tokoh lihay telah muncul
berada di belakangnya, ia pura-pura duduk tenang, pikirnya; ‘dalam hutan belukar begini tokohtokoh
persilatan macam apakah yang muncul disini.’
Suara keresekan itu semakin dekat dan jelas, tak tahan lagi secepat kilat Thian-hi mencelat
berputar, tubuhnya melayang ke depan, waktu ia berdiri menginjak tanah dalam jarak setombak
lebih badannya sudah berputar ke arah hutan.
Terdengarlah gelak tawa yang menggila, tampak Ang-hwat-lo-mo muncul dari dalam hutan.
Bercekat hati Thian-hi, pikirnya, “Keparat kenapa ketemu dia lagi, apakah dia memang sedang
menguntit aku? Tidak mungkin!” — alisnya segera terangkat tinggi, jengeknya, “Kukira siapa,
ternyata kau!”
Thian-hi heran waktu di Siong-san Ang-hwat-lo-mo mengadu domba sebelum melarikan diri
kenapa sekarang berani muncul pula di hadapannya, pasti dia punya pegangan untuk menghadapi
dirinya. Serta merta Thian-hi meningkatkan kewaspadaannya.
Setelah puas dengan gelak tawanya, Ang-hwat-lo-mo membuka kata, “Aku tahu kau pasti
datang, maka kutunggu kau disini!”
Thian-hi tatap orang dengan pandangan curiga, ia tidak percaya bahwa Ang-hwat-lo-mo bisa
tahu bahwa dirinya bakal datang, sesaat kemudian baru ia membuka kata pula, “Begitukah? Aku
sendiri tidak tahu sebelumnya bahwa aku akan kemari.”
“Sebaliknya aku tahu pasti bahwa kau akan datang,” demikian ujar Ang-hwat-lo-mo, “Demi Ma
Gwat-sian masakah kau tidak kemari?” lalu ia menyeringai dengan sinis.
Tersentak sanubari Thian-hi, serta merta terasa olehnya bahwa Ma Gwat-sian pasti sudah
mengalami kesulitan, kalau tidak mustahil Ang-hwat-lo-mo bisa menyinggung dan mengetahui
persoalan ini, sedapat mungkin ia kendalikan gejolak hatinya, sesaat baru berkata, “Ma Gwat-sian
yang kau maksudkan? Sekarang aku sedang mencarinya!”
“Selamanya aku teramat kagum dan simpatik terhadap kau, Dalam keadaan yang terpaksa baru
aku ambil sikap yang bermusuhan dengan kau. Seperti peristiwa di Siong-san tempo hari,
kenyataan mendesak aku untuk berbuat menurut tuntutan nuraniku. Kalau tidak masa aku suka
bersikap berlawanan dengan kalian!”
Mendengar orang tidak mau menyinggung persoalan Ma Gwat-sian hati Hun Thian-hi menjadi
gundah, namun ia pendam dalam batin, supaya Ang-hwat-lo-mo tidak bersikap terlalu takabur dan
main paksa terhadap dirinya.
Dengan tawar ia berkata, “Apa gunanya kau kagum atau simpatik terhadapku. yang terang
justru aku sangat benci padamu, terutama sepak terjangmu terlalu memualkan.” Dengan
cercahannya ini ia berusaha memancing kemarahan Ang-hwat-lo-mo supaya orang suka
memberitahu sampai dimana keadaan bahaya yang dialami Ma Gwat-sian. Dengan demikian ia
bisa mempersiapkan diri mencari daya untuk menolongnya.
Tapi Ang-hwat-lo-mo adalah seorang yang licik dan pintar juga, ia mandah tertawa tawar saja,
ujarnya, “Meski kau membenci aku, tapi ada kalanya kau harus bekerja sama dengan aku, betul
tidak?”
“Bisa saja kau berkesimpulan begitu, tapi mungkin pula selamanya aku tidak akan sudi
kerjasama dengan kau!”

“Jangan kau bicara begitu pasti. kerja sama yang kumaksudkan bukan dalam arti yang
sesungguhnya, adalah kau yang harus melaksanakan sesuatu kepentingan untukku.” — lalu ia
angkat pundak dan melebarkan tangannya, sambungnya, “Anak muda jangan mengumbar adat,
sesuatu peristiwa kadang kala terjadi diluar dugaan, maka jangan kau terlalu yakin akan dirimu,
benar-benar tidak?”
Hun Thian-hi mendengus tanpa bersuara.
“Bukankah kau sedang mencari Ma Gwat-sian? Aku dapat mempertemukan kau dengan dia,
baiklah kujanjikan besok pagi2 di Bik-hiat-kok terletak di depan yang tak jauh sana boleh kau ke
sana untuk menemuinya.” — habis berkata ia tersenyum penuh arti, tubuhnya mendadak
berkelebat dan berlari pergi sekencang angin.
Thian-hi melenggong, akibat ini sudah sejak tadi terpikir olehnya, namun mau tak mau ia
berkuatir juga bahwa Ma Gwat-sian terjatuh ke tangan Ang-hwat-lo-mo.
Meski ilmu silat Ang-hwat-lo-mo menurut ukuran Thian-hi sekarang tidak begitu tinggi, namun
dia lebih sukar dilayani dan lebih licin dari Tok-sim-sin-mo, bukan saja lebih pintar dia pun jauh
lebih sabar dan tahan uji, benar-benar sulit untuk menghadapi persoalan rumit ini….
Pikiran Thian-hi semakin gundah dan kusut, berbagai persoalan sama menumpuk di dalam
benaknya, bagaimana karakter Ang-hwat-lo-mo ia paham benar-benar, dialah manusia telengas
dan kejam. mampu melaksanakan segala kekejian tanpa pandang bulu dan tidak hiraukan
akibatnya, entah rencana apakah jaug hendak diatur oleh Ang-hwat-lo-mo untuk menyambut
kedatangannya di Bik-hiat-kok besok pagi.
Apakah aku pantang kesana? Tidak mungkin, Ma-Gwat-sian berada di tangan Ang-hwat-lo-mo
entah akibat apa yang bakal menimpa dirinya.
Begitulah Thian-hi merenung dan berpiklr bolak-balik, terasa bahwa selama ia belajar silat
kepada gurunya dan terjun di dunia persilatan belum pernah ia hidup sehari pun dalam
ketenangan, setiap waktu selalu menghadapi berbagai ancaman dan kesulitan yang melibatkan diri
sehingga selalu terancam elmaut, dan yang lebih celaka bahwa setiap persoalan itu semua
memeras keringat dan daya pikirnya sehingga akhirnya tentu tele2 kehabisan tenaga.
Mendadak terdengar suara lirih dibelakangnya, bercekat hati Thian-hi, pengalaman mengetuk
nalarnya bahwa disebelah belakang ada seorang tokoh persilatan kelas wahid, suara lirih itu
adalah pertanda orang memberitahu kepada dirinya akan kehadirannya.
Hati-hati sekali Thian-hi berpaling ke belakang, sesosok bayangan abu-abu mencelat tinggi
terus menerobos masuk ke dalam hutan laksana segulung asap, gerakannya begitu gesit dan
seenteng burung walet.
Melihat gerak-gerik orang Thian-hi menjadi ragu-ragu entah pendatang ini kawan atau lawan,
yang terang ia memberi tanda supaya dirinya mengejar kesana, sedikit berpikir tanpa ayal segera
ia melejit terbang-mengejar dengan kencang pula.
Kepandaian silat bayangan abu-abu itu ternyata cukup hebat, kejar mengejar ini tetap
berlangsung dalam jarak antara beberapa tombak, meski lari mereka cukup pesat tapi Thian-hi
tahu bahwa orang belum menggunakan seluruh tenaganya, yang terang memang ia sengaja
memancing supaya Thian-hi mengikuti jejaknya.

Dalam kejap lain mereka sudah menempuh jarak lima li lebih, bayangan orang itu mendadak
menyelinap hilang ke dalam hutan disebelah depan. Diam-diam Thian-hi merasa heran, kalau toh
orang itu memancing dirinya kemari kenapa dia menyembunyikan diri tidak mau memberi
petunjuk seperlunya? Adakah persoalan lainnya?
Karena pikirannya serta merta timbul kecurigaannya larinya pun diperlambat, namun ia maju
terus sampai tiba di depan hutan, keadaan sekelilingnya hening lelap tak kelihatan lagi jejak orang
itu.”
Tanpa sangsi sedikitpun Thian-hi langsung menerobos masuk ke dalam hutan, di atas sebuah
dahan terlihat olehnya tergantung secarik kertas, Thian-hi lantas meraihnya, tampak kertas itu
tertulis demikian, “Tidak begitu menakutkan seperti yang dihebohkan.” Tulisan ini tiada tanda
tangan dan juga tidak dibubuhi nama terang, Thian-hi mandah tertawa tawar saja lalu
melempitnya dan disimpan di dalam sakunya sementara matanya menjelajah kesekitarnya.
Disebelah kanan diujung hutan sana tampak sebuah aliran sungai yang mengalir keluar. Tahutahu
jantungnya berdetak dan menjadi tegang, karena secara mendadak didapatinya bahwa
sekarang dirinya sudah tiba diambang mulut Bik-hiat-kok yang dijanjikan Ang-hwat-lo-mo itu
dalam mengejar bayangan abu-abu tadi. Entah Ang-hwat-lo-mo sudah tahu belum akan
kedatangannya ini. Baru saja pikiran ini berkelebat dalam benaknya, ternyata Ang-hwat-lo-mo
tiba-tiba muncul dimulut lembah darah kemala.
Ang-hwat-lo-mo tertawa-tawa, serunya, “Agaknya kau terburu nafsu, kujanjikan kau datang
besok pagi, ternyata malam2 begini kau sudah meluruk kemari, apakah kau tidak merasa terlalu
berbahaya?”
Thian-hi terpikir, “Menemui Ma Gwat-sian lebih pagi agak baik, apalagi Ang-hwat-lo-mo tentu
belum selesai mengatur tipu muslihatnya, siapa tahu aku dapat mengambil sekedar keuntungan”
— maka Thian-hi lantas berkata, “Dapatkah sekarang juga aku menemui dia?”
“Kenapa tidak boleh?” ujar Ang-hwat-lo-mo, “Mari ikut aku!” -Lalu ia bawa Hun Thian-hi masuk
ke dalam lembah.
Sambil berjalan Ang-hwat-lo-mo berkata dengan tertawa, “Dulu tiga puluh enam tokoh-tokoh
Bulim dari kelas wahid yang masuk kemari tiada seorang pun yang ketinggalan hidup. Maka
lembah ini lantas dinamakan Bik-hiat.kok (lembah darah kemala), setiap langkah dalam lembah ini
merupakan pertaruhan jiwa bagi setiap manusia, maka kau harus berlaku hati-hati, kalau tidak
dapat kau masuk takkan mampu keluar pula”
Sikapnya wajar dan tertawa-tawa, sedikitpun tidak unjuk permusuhan.
Diam-diam Thian-hi meningkatkan kewaspadaannya, kalau Ang-hwat-lo-mo berani
membeberkan rahasia ini tentu dia sendiri punya pegangan untuk mengatasi keadaan, bagaimana
watak dan karakter Ang-hwat-lo-mo ia tahu. meskipun bicara ilmu silat dia belum memadai ToKsim-
sin-mo tapi daya pikirannya jauh lebih luas dan cermat serta jauh lebih licik dan licin dari Toksim-
sin-mo, maka tidaklah tanggung2 bila kaum persilatan mengangkatnya sebagai tokoh sesat
nomor satu dikolong langit ini pada jamannya dulu.
Begitu berada di dalam semakin jauh, Thian-hi lantas celingukan kian kemari empat penjuru
sekelilingnya membentang rumput-rumput kemilau hijau pupus, kelihatan segar dan hidup subur.
sedikitpun tiada kelihatan bercahaya, jauh di depan ditengah-tengah lembah sana lapat-lapat
kelihatan sebentuk bangunan rumah batu.

Setelah dekat Ang-hwat-lo-mo berkata, “Ma Gwat-sian dan gurunya tinggal dalam rumah batu
itu, kau boleh masuk menemui mereka.” — Dalam berkata-kata ini biji matanya menyorotkan sinar
kilat yang tajam, katanya pula, “Sudah beberapa kali selalu aku gagal dalam tanganmu. selama
hidup ini boleh dikata belum pernah aku kena dikalahkan secara total, kuharap kali ini aku bisa
sukses.”
Thian-hi tersenyum tawar. ujarnya, “Kau akan gagal atau bakal sukses secara kenyataan akan
segera kau ketahui. Kenapa pula kau risaukan antara gagal dan sukses ini?”
Ang-hwat-lo-mo mandah tertawa lebar tak bersuara. segera ia mengundurkan diri.
D
engan cermat Thian-hi jelajahkan pandangannya keempat penjuru, tak dilihatnya dimana ada
tersembunyi jebakan yang berbahaya atau bisa mengancam jiwanya. tapi Ang-hwat-lo-mo tidak
akan menipu dirinya. Pikir punya pikir akhirnya ia melangkah ke depan, matanya dengan seksama
menyapu keadaan sekelilingnya.
Baru puluhan langkah Thian-hi ke depan, mendadak ia melihat suatu yang sangat mengejutkan
hatinya. didapatinya sekarang bahwa rumput-rumput kemilau hijau pupus yang dinamakan rumput
kemala ini sebenar-benarnyalah bukan rumput sembarang rumput, bagaikan ular-ular kecil
ternyata kakinya sekarang sudah kena gubat oleh rumput disekitar kakinya.
Hati Thian-hi rada bercekat. namun mengandal kepandaiannya ia tidak perlu jeri terhadap
rumput ular ini, sekali menyedot hawa ya kerahkan hawa murni terus disalurkan kekedua kakinya,
semakin gubat rumput-rumput ular itu semakin kencang, begitu tenaga Thjan-hi dikerahkan
mendadak ia menggentak keras, anggapnya dengan sekali sendal cukup dapat memutus
hancurkan rumput-rumput ular itu, tapi kenyataan jauh diluar perhitungannya, rumput-rumput itu
cuma mengendor sebentar lalu menggubat lagi lebih kencang.
Baru sekarang Thian-hi benar-benar terkejut. seumpama rumput-rumput ini dibuat dari besi
juga pasti putus oleh gentakan tenaganya yang hebat itu, tapi kenyataan sedikitpun tidak goyah,
tidaklah berkelebihan bila hatinya terperanjat.
Baru saja Thian-hi merasa kewalahan. suatu kejadian lain yang lebih mengejutkan muncul pula.
Dari sela-sela rumput-rumput ular itu mendadak berbondong-bondong keluar banyak sekali labalaba
putih kehijauan yang mengeluarkan sinar kemilau, warna dari laba-laba ini hampir sama
dengan warna rumput ular sehingga Thian-hi semula tidak melihat karena kurang memperhatikan,
maka munculnya laba-laba yang sekian banyak ini mau tak mau membuat hati Thian-hi mencelos
dan panik ketakutan….
Waktu Thian-hi berpaling ke arah sekelilingnya, di atas rumput-rumput kemilau itu tampak
bermunculan laba-laba yang tak terhitung banyaknya, yang lebih mengejutkan bahwa setiap labalaba
itu sebesar telapak tangan manusia, sekali pandang saja cukup menyedot nyali orang.
Thian-hi maklum bahwa laba-laba ini tentu mengandung racun yang teramat berbahaya, kedua
kakinya sudah dibelit tak mampu berkutik, ia jadi kurang leluasa untuk menghadapi serangan labalaba
ini.
Mendadak laba-laba itu terbang menyerang secara serempak, semua meluruk ke arah badan
Thian-hi seperti binatang serigala yang kelaparan untuk gegares mangsanya.
Thian-hi jadi mengkirik, tanpa ayal seruling jadenya segera diputar secepat kitiran, dimana
sapuan tenaga murninya melandai, banyak sekali laba-laba kehijauan yang tersapu jatuh, tapi

serangan laba-laba ini tidak kenal putus asa, roboh satu bangkit dua sehingga mau tak mau Thianhi
terpaksa melancarkan jurus-jurus Wi-thian-cit-ciat-sek, dimana serulingnya teracung miring
terus bergerak sedikit saja hawa udara lantas bergolak dan berputar-putar di sekitar badannya,
tiada seekorpun dari laba-laba hijau itu yang niampu mendekat ke arah badannya.
Tangan bekerja otak Thian-hipun bekerja dengan cepat, tak tahu cara bagaimana ia harus
menghadapi dan mengatasi kesulitannya ini, Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan jurus ilmu pedang
tingkat tinggi, setiap kali dilancarkan pasti hanyak menguras tenaga dalam, dia takkan mampu
bertahan terus sekian lamanya, bila gerak-geriknya sedikit lamban, kontan lantas ia merasakan
betapa ancaman laba-laba hijau ini terhadap jiwa raganya.
Sekejap saja setengah jam sudah berlalu, mendadak terpikir oleh Thian-hi cara bagaimana Ma
Gwat-sian dan gurunya bisa dikurung orang di dalam lembah ini? Lalu siapakah yang membangun
gubuk batu itu? Tentu ada jalan rahasia lain yang dapat menembus ke gubuk batu itu dengan
aman, atau ada cara lain pula untuk mengatasi rumput-rumput ular dan laba-laba berbisa ini,
Begitulah pikiran Thian-hi menjelajah mencari daya untuk menghadapi kesulitan yang
dihadapinya, yang paling penting adalah ia harus menolong dirinya sendiri keluar dari ancaman
bahaya ini. Sungguh ia rada menyesal kenapa tadi tidak dipikirkan dulu secara cermat baru
menerjang ke dalam lembah ini, maka cara satu-satunya untuk menyelamatkan diri ia harus
secepatnya mundur dan keluar dari lembah.
Pikiran Thian-hi semakin gundah, mendadak serulingnya bergerak semakin gencar dari
bertahan sekarang ia ganti menyerang. serombongan laba-laba yang terbang menyerang sekaligus
kena disapunya hancur luluh, dimana serulingnya bergerak lebih lanjut berturut-turut tiga jurus
berantai menggasak seluruh laba-laba yang serabutan menerjang ke arah dirinya, sedikit peluang
saja lantas serulingnya menukik kebawah berputar menggores ke arah rumput-rumput ular yang
membelit kedua kakinya.
Kontan rumput-rumput ular itu lantas mengendor dan layu, meringkel kebawah, Thian-hi tidak
mengira bahwa usaha untung2an ini justru membawa hasil di luar dugaan, keruan betapa girang
hatinya, seiring dengan muluthja bersuit panjang, kakinya lantas dijejakkan, badanpun
melambung tinggi terbang keluar dari arena rumput-rumput ular yang berbahaya ini.
Suasana lembah menjadi hening dan lelap kembali, begitu kehilangan sasaran laba-laba hijau
itu lantas sama menyelinap masuk pula ke dalam rumput-rumput ular. Dengan cermat Thian-hi
masih dapat melihat dengan jelas bahwa di bawah sela-sela rumput-rumput itu ada sembunyi
entah berapa banyak laba-laba hijau beracun.
Rumput yang tadi kena diketok dan menjadi layu sekarang sudah tumbuh segar dan berdiri
tegak pula bergoyang2 terhembus angin seperti tak terjadi apa-apa.
Thian-hi celingukan sekian saat menerawang keadaan lembah ini, bila tidak melalui mulut
lembah
mungkin belakang lembah ada jalan, ancaman rumput-rumput ular ini pasti jauh lebih ringan,
bukan saja mengurangi kesulitan juga menyingkat waktu.
Pikir punya pikir Thian-hi tidak memperoleh kesimpulan yang lebih baik, maka setelah
dipertimbangkan segera ia melesat ke depan langsung menuju ke puncak gunung.
Baru saja kakinya menginjak puncak gunung, ia tersentak kaget pula, sedemikian luas puncak
ini tapi selayang pandang dimana-mana terdapat ular besar kecil berkelompok2, sedemikian luas
dan rapatnya sehingga setiap tindak kakinya harus menginjak ular-ular itu, dengan serulingnya

Thian-hi menjungkit beberapa ekor ular di sekitar kakinya, tak lupa ia berpikir lagi mencari jalan
lain.
Kenyataan terpapar di hadapannya, keadaan puncak gunung tidak lebih baik dari dalam lembah
sana, apalagi ini baru dimulai, apakah nanti masih ada rintangan lain yang jauh lebih berbahaya
belum dapat diperhitungkan.
Heran Thian-hi kenapa dalam lembah ini bisa terdapat begitu banyak binatang2 berbisa. Baru
saja Thian-hi berpikir2 tiba-tiba rombongan ular di depannya sama lari serabutan sembunyi masuk
ke dalam lobang atau sela-sela batu, dimana pandangan Thian-hi tertuju tampak di depannya
sana muncul seekor ular yang berbentuk sangat aneh, ular ini panjang lima enam kaki, badannya
panjang dan lencir, kepalanya gepeng dan besar melebar, sekilas pandang seperti sebentuk
papan, kulitnya berwarna kuning luju.
Begitu muncul ular aneh ini langsung legat-legot menghampiri ke arah Thian-hi. Thian-hi belum
pernah melihat ular aneh macam ini. diam-diam ia meningkatkan kewaspadaann, sedikitpun tak
berani lena.
Ular aneh itu melata semakin dekat, Thian-hi menggerakkan seruling jadenya berputar satu
lingkaran ditengah udara lalu mengetuk ditengah kepala diantara kedua matanya. Pikir Thian-hi
setiap makluk dalam dunia ini pasti punya kelemahan ditengah diantara kedua matanya, kecuali
berkelit kalau tidak pasti lawan harus mundur menghindar.
Tapi ular aneh itu mengebaskan ekornya, sedikit bergerak saja badannya lantas melejit ke atas
terus melesat ke depan langsung menerjang ke arah Thian-hi, badannya yang panjang itu
membelesut lewat di bawah ketukan seruling jade Thian-hi terpaut serambut saja.
Thian-hi tidak menduga bahwa ular aneh ini mampu meluputkan diri sedemikian gampang dari
serangannya, malah menggunakan kesempatan itu pula balas menyerang, kelihatannya gerakgerikhja
memang lamban dan tidak pandang sebelah mata pada Thian-hi, tapi sebenarbenarnyalah
ular ini begitu lincah dan seperti punya bekal yang cukup sempurna untuk
menghadapi Hun Thian-hi.
Thian-hi menjadi sengit, sedikitpun ia tidak mau unjuk kelemahan, beruntun serulingnya
menutuk dan menyapu, tahu-tahu ujung serulingnya menegak ke atas menjojoh perut si ular aneh
itu, pikirnya kali ini cara bagaimana kau hendak menghindar. Agaknya ular aneh itu cukup
waspada, tiba-tiba badannya menggeliat, entah bagaimana mudah sekali ia meluputkan diri lalu
tubuhnya melenting ke depan, mulutnya terpentang mematuk ketenggorokan Thian-hi.
Thian-hi tahu bahwa serangan serulingnya Ini pasti tidak akan membawa hasil, tapi sedetik ia
mendapat peluang disaat siular menekuk tubuh dan sedikit bergerak lamban Itu tangan kirinya
dirangkapkan dan ketiga jarinya menyanggah ke atas hendak mencengkeram leher siular.
Ular aneh melejit ke tengah udara dan menyerang tenggorokannya, kelihatan ia sudah tidak
akan mampu berkelit dari cengkeraman tiga jari Thianhi, namun secara mendadak badannya
menggetar dengan ekornya menyapu turun ke depan, langsung menepuk dan menangkis tiga jari
tangan kirl Thian-hi itu.
Posisi Thian-hi lebih menguntungkan, dengan mendapat angin mana dia mau menyia-nyiakan
kesempatan ini, cepat ia tarik tangannya kiri, berbareng seruling ditangan kanan juga ditarik balik
serempak kaki pun mundur selangkah, dengan mundur selangkah ini dia menjadi lebih leluasa
mengetukan pula serulingnya ke atas kepala siular yang diarah adalah ditengah kedua matanya
pula.

Agaknya siular juga dapat meraba cara serangan Thian-hi ini tidak meuggunakan jurus tipunya
dengan sungguh-sungguh, kuatir menghadapi perobahan serangan yang lebih rumit ia tidak berani
sembarangan menyerbu pula, cepat ia menarik diri meluncur mundur dan jatuh di atas tanah.
Thian-hi sama-sama mundur bersama siular aneh, dua belah pihak sama dapat menjelajahi
kekuatan dan kemampuan lawannya, untuk selanjutnya mereka menjadi berhati-hati untuk
melancarkan serangannya lebih duiu.
Setelah berada di tanah ular aneh itu berputar kayun seperti jalan-jalan, sikapnya wajar dan
acuh tak acuh seperti tidak terjadi suatu apa. Thian-hi tahu dia sedang mencari siasat untuk
melakukan penyerangan lebih lanjut…. Demikian juga Thian-hi harus berpikir mencari jalan cara2
mengatasinya. Sebagai seorang tokoh kosen dari dunia persilatan, sebagai ahli waris Wi-thian-ciciat-
sek pula, masa tidak mampu mengatasi seekor ular belaka.
Tapi cara bagaimana baru serangannya bisa telak mengenai sasarannya? Berbagai bayangan
berkelebat dalam benaknya, tapi semua cara yang tersimpul itu tiada satupun yang menyocoki
seleranya.
Sekonyong-konyong ular aneh itu menerjang pula dengan lejitan tubuhnya yang lebih keras,
yang diserang adalah pergelangan tangan Hun Thian-hi. Terpaksa Thian-hi menekan pergelangan
berbareng serulingnya mengetuk pula kebatok kepala lawan…. ia tahu bahwa serangan balasan ini
tidak akan mengenai sasarannya.
Benar-benar juga siular menggerakan kepalanya mendak kebawah terus menerjang ke depan
dengan nekad, agaknya ia tidak hiraukan keselamatan diri sendiri, yang terang mulutnya
terpentang hendak menggigit pergelangan tangan kanan Thian-hi.
Mendadak timbul rasa curiga Thian-hi akan gerak-gerik siular aneh ini, sunguh sukar dipercaya
seekor ular berbisa yang ganas bisa melakukan serangan yang begitu ceroboh, kecuali dia sendiri
punya rencana lain lebih lanjut, betapapun sulit untuk melaksanakan pertempuran adu kekuatan
secara keras, bilamana Thian-hi cukup dengan sejurus dapat memukul mundur siular, lalu
merangsak lebih lanjut dengan gencar, pasti ia dapat mengambil posisi yang sangat
menguntungkan.
Tapi kenyataan menghambat jalan pikiran Thian-hi untuk menerawang keadaan dirinya, gesit
sekali serulingnya melintang miring lalu menyapu keras dari samping ke atas.
Kebetulan siular menggerakan ekornya, lincah sekali mendadak ia berhasil membelit batang
seruling Thian-hi, seiring dengan itu badannya lantas meneguk, laksana ujung anak panah yang
melesat. dari busurnya mulutnya yang bertaring runcing itu melesat ketenggorokan Thian-hi.
Keruan Thian-hi terkejut setengah mati, untuk menyelamatkan diri terpaksa ia harus melempar
serulingnya. Tapi ia insaf bila serulingnya lepas dari tangannya pasti dirinya bakal kalah total.
Maka bagaimana juga ia harus berusaha tanpa membuang-buang waktu untuk melepaskan
serulingnya, mendadak ia menggentakan serulingnya dengan sepenuh tenaga, pikirnya hendak
menggetar lepas belitan ekor siular aneh dari batang serulingnya
Siular aneh hanya gemetar sedikit oleh getaran tenaga dalam Thian-hi, tapi belitan ekornya
tetap kencang dan tak sampai tergetar jatuh, tahu-tahu malah kepalanya menegak kembali
dengan mulut terpentang lebar, yang diarah tetap adalah tenggorokan.
Saat mana kebetulan tangan kiri Thian-hi sudah terangkat ke atas, langsung kedua jarinya
secepat kilat lantas menyelentik ke arah batok kepala siular.

Betapa sulit siular mendapat kesempatan ini, sudah tentu ia tidak menyia-nyiakan begitu saja,
tapi selentikan jari Thian-hi yang hebat ini mau tak harus dihindari kalau tidak mau konyol.
Terpaksa mulutnya berdesis gusar dan memiringkan kepala meluputkan diri.
Namun dengan berkelit ini ia menjadi kehilangan kesempatan yang paling baik tadi, begitu jarijari
Thian-hi menjelentik keluar langsung ketiga jarinya menyongsong seiring dengan gerakan
lanjutan tangannya mencengkeram tempat terlemah yang terletak tujuh senti di bawah kepala
siular. Apa boleh buat siular harus membatalkan rencananya mematuk tenggorokan Thian-hi,
begitu menundukkan kepala menyusuri batang seruling lawan taringnya yang tajam mengancam
jari-jari Thian-hi yang menggenggam seruling.
Thian-hi menjadi serba sulit, ia tahu keadaan memaksa ia harus melepaskan serulingnya,
namun bagaimana juga ia tidak rela membuang serulingnya begitu saja, sekonyong-konyong ia
mengempos hawa murni dalam pusarnya, mulut lantas bersuit panjang dan nyaring melengking,
serulingnya lantas diayun dan dilempar ke tengah udara laksana roket menjulang tinggi ke
angkasa.
Waktu ia melontarkan serulingnya ini diam-diam ia kerahkan Lwekangnya dibatang serulingnya
untuk menggetar lukai siular aneh, pikirnya meski tidak sampai menggetar lepas dan menjatuhkan
sang musuh, paling tidak pasti tergetar luka parah.
Seruling itu menjulang tinggi seperti hampir lenyap ditelan mega, setelah mencapai tick
ketinggian akhirnia menukik balik meluncur turun lebih pesat. Belum lagi seruling itu jatuh di
tanah, sekonyong-konyong siular aneh itu melenting miring menerjang ke arah Thian-hi, yang
diarah lagi-lagi adalah tenggorokannya.
SunggUih takjup dan jeri pula hati Thian-hi, sungguh diluar dugaannya bahwa siular aneh ini
begitu lihay jauh lebih hebat dari perhitungannya semula, bukan saja tidak terluka oleh getaran
tenaga dalamnya, malah masih mampu balas menyerang lagi dengan gerakan yang begitu lincah.
Tapi tidak diketahui olehnya bahwa sebenar-benarnyalah siular seperti sibisu menelan biji
teratai yang pahit getir. menderita tapi tak kuasa bicara, begitu ia dibawa naik turun oleh lontaran
seruling yang sangat tinggi itu kalau ia tidak segera melepaskan gubatannya di atas batang
seruling dan hanya menggunakan ekornya mennggantol. kalau tidak entah bagaimana kesudahan
dirinya saat itu, meski demikian tak urung iapun tak kuasa menahan diri lagi. Begitu meluncur
turun dengan kegusaran yang berlimpah2 kontan ia serang Thian-hi lebih ganas.
Thian-hi sudah bersiap, cepat ia kerahkan Pan-yok-hianJ-kang mendorong kedua telapak
tangannya menyongsong ke depan. siular aneh kena dipukul terpental kesamping. Begitu jatuh di
tanah gesit sekali siular legal-legot berputar mengelilingi Thian-hi.
Posisi Thiar-hi semakin sulit lambat-laun ia terdesak di bawah angin, jelas melihat serulingnya
jatuh disebelah sampingnya. tapi ia tidak berani membongkok badan menjemputnya, sementara
siular aneh itu dengan garang mengancam dirinya.
Setelah ular aneh mengitari Thian-hi satu putaran, tanpa gentar sedikitpun pelan-pelan ia maju
mendekat dari arah depan Thian-hi. Dengan tanpa membekal senjata untuk menang adalah
mustahil bagi Thian-hi. Apalagi ular aneh ini cukup cerdik dan cekatan, sukar dihadapi lagi, soalnya
keadaan memaksa sehingga ia harus menguras tenaga untuk mempertahankan diri belaka.
Disamping itu otak Thian-hi pun diperas untuk mencari jalan keluar, kesempatan satu-satunya
supaya dapat mengambil kemenangan dengan sekali serang secara telak mengenai tempat
kelemahan siular, soalnya dengan bersenjata saja ia tidak mampu menang, apalagi sekarang

bertangan kosong mana mungkin melaksanakan keinginannya ini, teorinya gampang namun
prakteknya sulit.
Tiba-tiba terbayang oleh Thian-hi adegan di dalam Jian-hud-tong waktu ia ketemu Pek-tok Lojin
dan Siau-pek-mo dengan Ling-coa-pounya yang lihay itu, bilamana iapun bisa Ling-coa-pou,
adalah sangat tepat untuk menghapi ular aneh ini.
Maka terbayanglah akan garak-gerik Pek-tok Lojin waktu menyerbu dirinya dengan gerak
langkah yang aneh itu, soalnya waktu itu ia terlalu tegang sehingga tidak terlalu menaruh
perhatian sehingga ingatannya sekarang rada samar-samar. Sementara itu si ular aneh
dihadapannya ini secepot kilat sudah merangsak datang pula.
Tanpa punya kesempatan berpikir lagi. tersipu-sipu Thian-hi ayun telapak tangannya menampar
ke arah siular. Badan siular melengkung lalu melenting laksana pegas yang keras, badannya
melengkung ditengah udara berputar ke belakang terus mematuk kepunggung Thain-hi.
Sekonyong-konyong terbayang oleh Thian-hi akan serangan Siau-pek-mmo waktu ia menerjang
keluar dari dalam gua dengan jelas sekali, tanpa ayal segera kakinya menggeliat kesamping,
berbareng tubuhnya membelesut kepinggir, gerak geriknya seperti Ling-coa (ular sakti) dalam
jarak serambut saja ia berhasil menghindari pagutan siular yang lihay dan berbisa ini, bersama itu
dua jari tangan kanannya laksana jepitan besi mengarah tujuh senti di bawah lehernya.
Agaknya ular aneh ini tidak menduga bahwa Thianhi bisa melancarkan langkah aneh. seketika
ia mundur dengan jeri. Cukup sejurus saja Thian-hi mendapat hasil diluar dugaannya, situasi
menjadi banyak berubah, mengandal ingatannya ia gunakan pula Ling-coa-pou mendesak maju
lebih lanjut.
Agaknya ular aneh ini mengenal juga Ling-coa-pou dan jeri, begitu Thian-hi semakin dekat tibatiba
ia berteriak ketakutan terus mundur ke belakang kira-kira satu tombak jauhnya lalu melingkar
dan menegakkan kepala siap bertahan, tak berani pula ia sembarangan bergerak. kalau tadi
bersikap acuh tak acuh adalah sekarang kelihatan sangat tegang dan ketakutan.
Melihat si ular membentuk pertahanan yang agaknya cukup kuat Thian-hi juga tidak berani
sembarang menyerang. Ia tahu lawan menggunakan ketenangan untuk mengatasi pergerakan,
apalagi kesan-nya mengenai Ling-coa-pou samar-samar dan yang dilan-carkan tadi tidak lebih
cuma kulitnya saja, bila ia bergerak terlalu banyak seandainya menunjukkan lobang kelemahan
sendiri pasti celaka akibatnya nanti!
Bab 30
Karena kekuatirannya. ini maka Thian-hi tidak maju lebih lanjut, pelan-pelan ia membungkuk
menjemput serulingnya. Dengan nanar ular aneh itu mengawasi Thian-hi sambil memainkan
lidahnya, setelah mengalami kekalahan tak berani ia menerjang pula dengan nekad. Ia tak tahu
apakah tingkah laku Thian-hi ini merupakan pancingan belaka, bila pertahanan dirinya kendor dan
Thian-hi lantas menyerang pasti runyam akibatnya. Maka ia mendelong saja mengawasi Thian-hi
menjemput serulingnya, tak bergerak dan tak berani menyerang pula.
Setelah seruling berada di tangan, Thian-hi melirik ke arah si ular, dia tak bisa terlalu lama
berada di tempat ini, Ma Gwat-sian yang terkurung di dalam lembah sana perlu segera
ditolongnya, maka ia harus cepat-cepat menerjang masuk.

Tengah ia berpikir2 mendadak dari jauh sana terdengar lengking suara panjang, ular aneh itu
seketika menegakkan badannya tinggi2, kepalanya celingak-celinguk, seperti tengah
mendengarkan apa.
Beruntun suara lengking itu semakin dekat dan keras, si ular menjadi bersitegang leher, cepatcepat
ia putar balik ke arah datangnya semula dan merajap cepat sekali sekejap saja sudah
menghilang dari pandangan mata.
Thian-hi terheran-heran, sesaat ia menjadi kesengsam dan lupa melancarkan serangan,
sementara itu si ular aneh sudah pergi dengan cepat.
Thian-hi bertanya-tanya dalam hati; ‘peristiwa apakah yang telah terjadi disana, kenapa begitu
tegang, ia celingukan ke empat penjuru, sedemikian banyak ular yang tersebar dimana-mana itu
sekarang sudah lenyap sama sekali.
Baru saja Thian-hi berniat memburu ke arah depan, sekonyong-konyong hidungnya dirangsang
bau harum semerbak terbawa angin, bau harum ini begitu merangsang membuat ia seperti hampir
mabuk, disadari oleh Thian-hi bahwa mungkin disekitar sini terdapat sesuatu rumput sakti yang
sudah tiba saatnya masak.
Waktu Thian-hi berpaling memandang kebawah lembah, kejadian yang lebih aneh seketika
terbentang di depan matanya, dimana bau harum itu tersiar terbawa angin, rumput-rumput ular di
bawah sana seketika menjadi lemas dan rebah semua.
Thian-hi heran dan bertanya-tanya, cepat ia melayang turun begitu berada di dalam lembah
didapati semua rumput-rumput ular itu seperti lumpuh sama sekali, tak bergerak lagi rebah
dengan lemas lunglai. Demikian juga laba-laba hijau itu semua sama menggeletak seperti sudah
mati semua.
Semakin besar rasa heran Thian-hi, entah benda apakah yang dapat. menundukkan rumput
dan laba-laba berbisa ini? Begitu lihay, sedikit merandek cepat ia melayang masuk ke dalam
lembah sebelah dalam sana terus menerjang ke arah gubuk batu itu.
Belum lagi ia mencapai gubuk batu itu, di tengah jalan sekonyong-konyong didengarnya suara
aneh di sebelah depan samping, tiba-tiba seekor laba-laba warna merah darah merangkak keluar
dari sela-sela rumput lebat, sepasang matanya yang besar dengan garang menatap ke arah Thianhi.
Kejut Thian-hi bukan kepalang, selamanya belum pernah dilihatnya makhluk aneh sebesar ini,
serta merta ia menyurut mundur dengan gentar.
Laba-laba yang teramat besar seperti gantang merangkak maju ke arah Thian-hi, kelihatannya
sembarang waktu ia sudah siap menyerang. Dengan menenteng serulingnya Thian-hi siap
waspada, segala gerak-gerik si laba-laba besar ini tak lepas dari pandangan matanya.
Setelah maju dua langkah pula laba-laba merah besar itu mendadak mencelat menubruk,
ditengah udara mulutnya lantas menyemburkan gelagasi warna merah yang bertaburan seperti
hendak menggubat seluruh badan Thian-hi.
Thian-hi mendengus hidung, gesit sekali ia melompat menyingkir, sambil mengertak gigi
serulingnya ia jojohkan menutuk kelambung laba-laba yang gendut besar. Sementara Laba-laba
besar itu meluncur turun hinggap di belakang Thian-hi, bersama gelagasinya yang disemburkan
semakin banyak berusaha mengepung Thian-hi.

Terpaksa Thian-hi melejit ke atas. Agaknya si laba-laba merah ini sudah tahu bahwa Thian-hi
tentu akan menghindar dengan jalan mencelat ke atas, cepat iapun melejit tinggi pula,
gelagasinya laksana jala bertaburan di tengah angkasa menungkrup ke badan Thian-hi.
Thian-hi sudah waspada bila ia tidak cepat-cepat lolos dari kepungan, gebrak selanjutnya tentu
lebih sukar untuk menerjang keluar dari kepungan gelagasi ini, jelas pula bahwa gelagasi itu pasti
mengandung racun yang teramat jahat, sedikit mengenai kulit badannya jiwa pasti melayang.
Tanpa ragu-ragu mulutnya menggertak nyaring, serempak serulingnya ditaburkan dengan jurus
Bangau terbang menembus awan mega, selarik sinar putih kemilau menembus tinggi menerjang
ke berbagai penjuru, sementara itu hawa murni Thian-hi pun sudah dikerahkan untuk melindungi
badannya yang turut menerjang pula.
Seketika hawa udara bergolak seperti terjadi angin ribut, laba-laba merah itu kena terpental
mundur terdesak oleh kehebatan kekuatan permainan tenaga Thian-hi. Thian-hi jadi mendapat
kesempatan terbang melesat keluar, di tengah udara ia jumpalitan setengah lingkaran terus
terbang lurus ke depan.
Laba-laba merah itu mengeluarkan jerit aneh, kelihatan badannya kembang kempis, secepat
kilat tiba-tiba melesat maju, gelagasi menyembur pula dari mulutnya merintangi jalan mundur
Thian-hi.
Bau harum itu semakin tebal memenuhi udara dalam lembah agaknya laba-laba merah itu
terpengaruh oleh bau harum ini, serangannya semakin gencar, seolah-olah ia ingin menelan
Thian-hi bulat2.
Karena kena dihalangi terpaksa Thian-hi putar balik melawan lagi. Sementara laba-laba merah
sudah melejit tiba pula dihadapan Thian-hi, badannya seperti gentong, terutama perutnya semakin
membesar menyedot gelagasi ke dalam perutnya, matanya yang besar madelik ke arah Thian-hi.
Dalam keadaan genting dan saling bertahan ini tiba-tiba kuping Thiah-hi mendengar gelak tawa
yang nyaring, tampak Ang-hwat-lo-mo tengah lari mendatangi bagai terbang.
Diam-diam Thian-hi meningkatkan kewaspadaan, benar-benar diluar dugaannya bahwa Anghwat-
lo-mo bakal muncul pula dalam situasi yang gawat ini, entah apakah maksud tujuannya,
kalau dia bersikap memusuhi dirinya tentu sulit dihadapi bagaimana pun aku harus lebih hati-hati.
Demikian batinnya.
Sambil bergelak tawa Ang-hwat-lo-mo berseru ke arah Thian-hi, “Sungguh beruntung kau,
tepat kedatanganmu!”
Tergerak hati Thian-hi, tahu dia bahwa dalam lembah ini pasti terdapat sesuatu rahasia yang
tersembunyi, mungkin Ang-hwat menyusul datang karena mengendus bau harum itu, dapatlah
diterka kemana tujuan kedatangannya ini. pasti karena sesuatu benda mestika itulah.
Adalah sebaliknya tujuan dirinya bukan kesana. tujuannya hanyalah ingin menolong Ma-Gwatsian
yang terkurung di dalam gubuk batu itu, sejenak ia merenung lalu katanya kepada Ang-hwatlo-
mo, “Dengan cara apa laba-laba merah ini dapat ditaklukkan?”
Ang-hwat-lo-mo menggeram, serunya, “Tiga puluh tokoh-tokoh Kangouw dulu semua sama
menemui ajal oleh keganasannya, menurut hemadku tiada sesuatu benda yang kuasa
menundukkan binatang ini.”

Sekilas laba-laba merah melirik ke arah Ang-hwat-lo-mo, badannya sudah bergerak hendak
menyerang tapi diurungkan.
Thian-hi tahu bahwa Ang-hwat-lo-mo pasti membual belaka, kalau benar-benar kata-katanya
kenapa pula dia harus muncul pula disini? Jelas bahwa diapun punya tujuan tertentu, sedang
dirinya cuma diperalat belaka.
Kata Ang-hwat-lo-mo, “Ma Gwat-sian berada di dalam gubuk batu itu, coba kau pikir kenapa dia
bisa. masuk kesana. dari sini mungkin kau dapat menyimpulkan sesuatu.”
Thian-hi tidak tahu maksud kata-kata Ang-hwat-lo-mo dia bungkam tak bersuara lagi. Dalam
hati ia menerawang cara bagaimana ia harus bertindak lebih lanjut.
Tahu-tahu sesosok bayangan manusia meluncur turun pula dalam lembah, sedikit
mengerlingkan mata hati
Thian-hi lantas bercekat, pendatang baru ini bukan lain adalah Bok-pak-it-koay (sianeh dari
gurun utara) yang dulu berebutan buah ajaib dengan Hwesio jenaka. Lama tak ketemu tak duga
beliau mendadak muncul di tempat ini, entah apa pula tujuannya kemari.
Begitu menginjak tanah Bok-pak-it-koay menyapu pandang ke arah Thian-hi berdua, ujung
mulutnya mengulum senyum sinis, agaknya ia tidak pandang sebelah mata mereka berdua.
Ang-hwat-lo-mo mendelik ke arah. Bok-pak-it-koay, hatinya rada gusar dan kejut, diam-diam ia
kagum akan kepandaian orang yang dengan cepat dapat mendengar kabar ini lantas meluruk
datang, agaknya kedatangannya ini memang punya tujuan tertentu, dari rona wajahnya dapatlah
diandalkan bahwa dia punya cara untuk mengatasi laba-laba merah ini. Dugaannya ini bukanlah
tidak beralasan karena sebenar-benarnya Bok-pak-it-koay juga kenal dirinya kalau tidak punya
andalan tidak mungkin ia bersikap begitu memandang rendah dirinya.
Dasar licik dengan tertawa cengar-cengir ia menyapa lebih dulu, “Tak duga kaupun menyusul
datang!”
Dengan sikap congkak dan menengadah Bok-pak-it-koay melirik ke arahnya, ia menggendong
tangan tanpa mengeluarkan suara, anggap tak mendengar sapaan Ang-hwat-lo-mO.
Sudan tentu bukan kepalang terbakar hati Ang-hwat-lo-mo tak nyana bahwa Bok-pak-it-koay
begitu congkak berani memandang rendah dirinya, hampir saja ia sudah tak kuasa menahan
gejolak amarahnya hendak melabrak Bok-pak-it-koay, tapi niatnya ia urungkan karena. ia berpikir,
“Kenapa aku begitu goblok mencari perkara padanya. Lebih baik kutonton saja cara bagaimana ia
menghadapi laba-laba merah itu, bila ia berhasil membunuhnya, belum terlambat aku turun
tangan kepadanya. Seumpama ia tidak kuasa melawan laba-laba merah itupun tiada jeleknya
bagiku.”
Dalam pada itu Bok-pak-it-koay sudah menghampiri dekat ke arah laba-laba merah itu.
Agaknya laba-laba merah menjadi murka, ia delikkan matanya semakin besar. kakinya bergerakgerak
siap menyerang. Kelihatannya Bok-pak-it-koay tidak gugup dan tidak gentar, agaknya ia
yakin benar-benar akan kepandaiannya, kakinya beranjak semakin dekat.
Tiba-tiba laba-laba merah menubruk maju dengan kecepatan kilat, mulutnya menyemburkan
gelagasi warna merah yang bertaburan laksana benang sutra, seluruhnya beterbangan menggubat
keseluruh badan Bok-pak-it-koay.

Mulut Bok-pak-it-koay mengeluarkan suara aneh, nadanya rendah dan serak, tiba-tiba
tubuhnya melambung tinggi ke tengah udara lantas berputar satu lingkaran terus melesat
melampaui atas kepala laba-laba merah, dan berlari bagai terbang ke arah lembah yang sebelah
dalam sana.
Agaknya laba-laba merah sudah siaga, seperti sudah tahu bahwa Bok-pa-it-koay bakal
bertindak begitu licik menerobos lewat dari penjagaannya, maka begitu serangan luput, badannya
lantas berputar terbang mengejar dengan kencang, puluhan jalur gelagasi laksana rantai
disemburkan menungkrup ke badan Bok-pak-it-koay.
Mulut Bok-pak-it-koay menggerang rendah, tangan kanannya diayun seketika bertaburanlah
bubuk-bubuk putih laksana kabut pagi menerpa ke arah laba-laba merah.
Agaknya laba-laba merah sangat takut dan terkejut, cepat-cepat ia mencelat mundur sejauh
mungkin.
Sementara Bok-pak-it-koay merandek sejenak, ia berpaling ke arah Ang-hwat-lo-mo dan Hun
Thian-hi sambil unjuk seringai dingin lalu berlari bagai terbang ke dalam lembah.
Belum lagi Bok-pak-it-koay memutar tubuh Ang-hwat-lo-mo juga sudah melejit dengan
kecepatan bagai anak panah meluncur ke depan langsung menerjang dengan pukulan berat ke
punggung Bok-pak-it-koay.
Bok-pak-it-koay menggertak gusar, tanpa membalik tubuh dengan kaki masih berlari ke depan
sebelah telapak tangannya menepuk ke belakang. Ia tahu seorang lawan Ang-hwat-lo-mo saja
sudah terlalu berat baginya, apalagi ada Hun Thian-hi pula jelas dirinya bukan tandingan, saat
mana obat bubuknya masih berhamburan semakin luas di tengah udara, laba-laba merah pasti
tidak akan berani sembarangan bergerak, jikalau mereka berdua bergabung mengeroyok dirinya,
tentu usaha yang sudah diatur dan direncanakan sempurna bakal gagal total.
Di lain pihak, begitu melihat dua belah sudah bergebrak Thian-hi tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini, dua harimau saling cakar justru merupakan kesempatan dirinya untuk menerobos
kesana, kalau daya kekuatan bubuk obat itu sudah punah laba-laba merah itu tentu akan
menerjang lagi merintangi mereka, dengan kekuatan mereka bertiga juga belum tentu mampu
membunuhnya, demikian terpikir dalam benak Thian-hi laksana kilat tiba-tiba badannya
melambung ke tengah udara terus menerobos ke depan.
Dalam pada itu dengan sebelah tepukan tangan ke belakang Bok-pak-it-koay meminjam tenaga
benturan yang kuat itu tiba-tiba badannya jumpalitan ke arah sebelah depan dalam jarak yang
lebih jauh lagi. Tapi serta dilihatnya pula Hun Thian-hi juga tengah menerobos ke dalam sana, ia
sangka tujuan orang sama dengan kemauannya, saking gugup segera ia gentayangan mencegat
di depan Thian-hi.
Ang-hwat-lo-mo menyeringai, sudah tentu iapun ingin berkesempatan menerjang masuk dulu
kelembah, tapi ia cukup licik bila ia menerjang langsung ia harus menghadapi rintangan dua orang
di depannya, ini akan memakan banyak waktu dan tenaga, setelah berpikir sebentar tiba-tiba ia
menubruk maju kedua telapak tangannya berbareng menepuk ke jalan darah mematikan di
punggung Thian-hi.
Gesit laksana kera Thian-hi menggenjot dan menendang mundur Bok-pat-it-koay lalu
menggeser kaki dua langkah kesamping dengan sedikit memutar tubuh, ia tahu bahwa dirinya
sudah terkepung dan sedang digasak dari dua jurusan depan dan belakang, tanpa sempat
berpikir, dua tangannya berkembang kedua arah yang berlawanan, masing-masing menangkis
serangan Bok-pak-it-koay dan hantaman Ang-hwat-lo-mo. Begitu tenaga tiga belah pihak saling

bentur badan Thian-hi lantas mencelat terbang menghindari benturan telak yang mungkin bisa
menghancur leburkan isi perutnya, untung ia cukup cerdik. dengan pukulan gabungan musuh
yang berlawanan ini ia malah berhasil lolos dan terhindar dari elmaut.
Tak nyana bahwa pukulan telapak tangan Ang-hwat-lo-mo tadi juga cuma gertakan sambel
belaka, begitu tenaga pukulannya kebentur oleh perlawanan Thian-hi, orangnya pun sudah mental
ke atas seperti kena pegas meluncur lempang ke depan, dilain kejap kakinya sudah berlari-lari
kencang ke dalam lembah.
Sedikit kurang siaga Bok-pat-it-koay menjadi mencak-mencak gusar bahwa Ang-hwat-lo-mo
berhasil menerjang masuk ke dalam sana, dengan menghardik keras ia mengejar dengan
kencang.
Adalah dengan tipu pukulannya tadi Ang-hwat-lo-mo berhasil masuk ke dalam sudah tentu
girangnya bukan main, tanpa hiraukan Bok-pak-it-koay dan lain-lain, ia percepat gerak kakinya,
anggapannya tentu kali ini ia bakal berhasil mencapai harapan.
Diluar tahunya burung dewata tiba-tiba muncul di atas udara, setelah pekik burung
berkumandang ditengah udara semakin dekat, tiba-tiba kelihatan pula Bu-bing Loni meluncur
turun, tepat ia menghadang di depan Ang-hwat-lo-mo.
Begitu melihat Bu-bing Loni muncul disini, bercekat hati Thian-hi.
Adalah Ang-hwat-lo-mo lebih kejut dan gusar pula, diam-diam ia mengumpat dalam hati, “Lagilagi
tua renta ini kemari, setiap usahaku yang hampir berhasil selalu dihalangi olehnya!” namun
Bu-bing Loni jauh sukar dihadapi maka ia hentikan kakinya tak berani sembarangan bertindak.
Bu-bing menyeringai lebar, katanya, “Kalian bertiga sama ingin mendapatkan Jian-lian-hok-ling
itu bukan? Aku kuatir tiada seorang pun diantara kalian bertiga yang membabat untuk
memperolehnya!”
“Jadi Suthay juga mau ikut merebut?” demikian jengek Ang-hwat-lo-mo.
Dengan hambar Bu-bing pandang mereka bertiga, ujarnya, “Setelah aku berada disini, kalian
harus cepat-cepat keluar dari Bik-hiat-kok ini, tiada keperluan yang harus kalian kerjakan disini.”
Sambil menahan rasa amarah yang bergejolak dalam dada, Ang-hwat-lo-mo tertawa dibuatbuat.
jengeknya, “Mampukah Suthay seorang diri menghadapi makhluk aneh itu?”
“Urusanku tak perlu orang luar ikut campur.” demikian sentak Bu-bing Loni.
Meski Bok-pak-it-koay pernah dengar ketenaran nama Bu-bing Loni, tapi melihat sikap dan
tindak-tanduknya tidak merupakan pambek seorang tokoh persilatan nomor satu apalagi wataknya
begini congkak dan takabur, hatinya menjadi terbakar gusar, ejeknya menantang, “Kau ingin
memonopoli sendiri, coba kau hadapi aku lebih dulu.”
“Siapa kau?” tanya Bu-bing.
Rasa gusar Bok-pak-it-koay men-jadi2, nada pertanyaan Bu-bing Loni terdengar begitu hina
dan memandang rendah dirinya, betapapun sabar hatinya tak kuasa lagi ia mengendalikan diri,
serunya bergelak tawa, “Siapa aku? Aku adalah aku, jangan harap kau dapat memonopoli Jianlian-
hok-ling itu. Agaknya kau sedang berangan2 kosong!”
Berjangkit alis Bu-bing Loni, matanya beringas memancarkan nafsu membunuh.

Hati Bok-pak-it-koay menjadi ciut, tapi kekuatan lain menyanggah dirinya untuk memberanikan
diri melawan Bu-bing Loni lebih lanjut, katanya dingin, “Laba-laba merah segera bakal menerjang
datang pula, ingin kulihat cara bagaimana kau dapat merobohkannya!”
Bu-bing Loni mandah melirik saja, memang Laba-laba merah saat itu sudah mulai bergerak
menghampiri ke arah mereka berempat.
Sekilas pandang saja Bu-bing Loni lantas tersenyum dingin. jengeknya, “Kau sangka cuma kau
saja yang mampu menunjukkan dia?” — pelan-pelan ia malah menghampiri ke arah laba-laba
merah itu.
Bok-pak-it-koay menggendong tangan, dengan acuh tak acuh ia perhatikan Bu-bing Loni
bertindak, ingin dia melihat cara apa yang digunakan Bu-bing Loni untuk membekuk laba-laba
merah yang jahat itu.
Begitu Bu-bing Loni muncul hati Ang-hwat-lo-mo menjadi jeri, tapi ia dapat berpikir dengan
kekuatan gabungan tiga orang masa gentar menghadapi Bu-bing Loni. Terutama Wi-thian-cit-ciatsek
menurut anggapannya tidak bakal kalah dibanding ilmu pedang Bu-bing yang Lihay itu….
apalagi Ang-hwat berdua membantu dari samping tentu tidak sulit mengalahkan Bu-bing seorang.
Tapi bila perlu saja mereka tiga orang bergabung mengeroyoknya, tiga buah pihak sama-sama
adalah musuh kebujutan, bukan mustahil bila masing-masing ingin mencari keuntungan sendiri2.
Adalah jalan pikiran Hun Thian-hi lain pula, yang terpikir olehnya hanyalah cara bagaimana
supaya dia dapat menerjang masuk ke dalam gubuk batu itu untuk membuktikan apakah benarbenar
Ma Gwat-sian beserta gurunya ada di dalam sana. Entah cara bagaimana mereka berdua
bila digelandang masuk ke dalam sana, bagaimana Ang-hwat-lo-mo bisa keluar masuk mengantar
mereka, justru sekarang dirinya tidak kuasa masuk ke dalam lembah.
Dalam pada itu laba-laba merah itu sudah maju semakin dekat ke arah Bu-bing Loni. Bu-bing
Loni berdiri diam siap siaga, bahwasanya ia sendiri pun tidak berani memandang rendah musuh
binatangnya ini, kalau toh dirinya sudan datang dan bersikap takabur adalah aib bila ia mundur
dan tak kuasa melawan.
Agaknya laba-laba merah itu juga merasa bahwa musuh yang dihadapi kali ini rada kuat dan
merupakan lawan berat, sedikit pun ia tidak berani ceroboh, segala tindakan harus diperhitungkan
lebih dulu.
Pancaran biji mata Bu-bing Loni semakin tajam dengan lekat ia perhatikan setiap gerak-gerik
kedelapan kaki2 panjang laba-laba merah itu, pelan-pelan setapak demi setapak ia menggeser
maju lebih dekat.
Dalam jarak kira-kira setombak lebih laba-laba merah menghentikan langkahnya, agaknya ia
belum pernah melihat seorang manusia yang berani menantang dirinya, sesaat seperti ragu-ragu
apakah musuh dihadapannya ini punya andalan untuk mengalahkan dirinya ataukah merupakan
gertak sambel belaka. Demikian ia bertanya-tanya dalam hati.
Lambat dan pasti ujung mulut Bu-bing mengulum senyum dingin. Tiba-tiba laba-laba merah
merangkapkan seluruh kaki2nya kontan badannya yang segede gantang itu mencelat terbang,
ditengah udara kakinya berkembang pula langsung menubruk kebatok kepala Bu-bing Loni.
Bu-bing menggerakkan badan tanpa menggeser kaki seolah-olah ia bergaja hendak berkelit
kesebelah kiri,laba-laba merah lantas menyemburkan gelagasinya ke sebelah kiri, tapi secepat itu

pula Bu-bing Loni merubah arah kekanan seperti hendak menghindar, laba-laba merah lagi-lagi
menyemburkan gelagasinya membendung jalan mundur Bu-bing Loni, beberapa kali Bu-bing
bergerak ke berbagai arah selalu dirintangi atau dicegat oleh gelagasi, suatu ketika mendadak ia
melesat langsung menubruk ke arah laba-laba merah itu.
Berulang kali laba-laba merah menyemburkan gelagasinya untuk merintangi Bu-bing melarikan
diri, kini mendadak melihat Bu-bing menubruk langsung ke arah dirinya, agaknya ia tercengang,
tanpa sempat banyak pikir iapun mencelat maju menyongsong ke arah Bu-bing Loni.
Ditengah jalan tangan kiri Bu-bing Loni merogoh ke dalam lengan bajunya, selarik sinar hijau
kemilau berkelebat tiba-tiba Badik buntung melesat keluar dari timpukan tangannya langsung
meluncur ke arah tengah-tengah diantara kedua mata laba-laba merah, sementara tangan kanan
Bu-bing sendiri juga memutar pedang panjang, gelombang hawa pedangnya sekaligus menangkis
dan memental balikkan seluruh gelagasi yang membendung dirinya hingga ia sempat mencelat
keluar.
Sambitan Badik buntung Bu-bing Loni adalah begitu telak dan cepat luar biasa, belum lagi labalaba
merah menyadar dan tidak sempat berkelit, lagi kontan Badik buntung amblas seluruhnya
ditengah kedua matanya, seketika ia menjerit keras dan aneh, lambat laun badainya menjadi
lemas dan roboh mati.
Setelah mencelat keluar dan berdiri tegak Bu-bing Loni unjuk tawa dingin yang sangat bangga.
Sebenar-benarnyalah hatinya pun kebat-kebit, caranya menghadapi laba-laba merah memang
teramat berbahaya sekali, seumpama sambitannya tadi tidak mengenai sasarannya, pasti seluruh
tubuhnya bakal terlibat gelagasi yang beracun itu, ini berarti jiwanya tidak akan tertolong lagi.
Melihat Bu-bing sudah mengunjuk kepandaiannya sejati membunuh laba-laba merah, tengkuk
Bok-pak-it-koay jadi berkeringat dingin. Betapa lihay dan tinggi kepandaian Bu-bing Loni,
mengandal kemampuan sendiri masa kuasa melawannya?
Dasar licik dan berpengalaman luas Ang-hwat-lo-mo dapat meraba kemana jalan pikiran Bokpak-
it-koay. ia tahu bila ia bantu Bok-pak-it-koay menghadapi Bu-bing tentu orang akan berhutang
budi pada dirinya, tapi yang penting sekarang dengan cara, apa pula sampai Hun Thian-hi sudi
berpihak pada mereka,
Sekilas ia melirik Thian-hi otaknya mendapat akal, lalu katanya tawar pada Bu-bing Loni,
“Bukankah yang kau gunakan tadi Badik buntung?”
Tujuan Ang-hwat-lo-mo adalah mengadu domba antara Hun Thian-hi dengan Bu-bing Loni, bila
mereka sudah saling berhantam baru dirinya ikut terjun ke dalam gelanggang, begitulah
rencananya.
Saat mana Bu-bing sedang mendelik ke arah Bok-pak-it-koay, tiba-tiba mendengar pertanyaan
Ang-hwat-lo-mo, sebagai kawakan Kangouw masa ia tidak tahu kemana juntrungan pertanyaan
ini, dengan geram ia pandang Ang-hwat-lo-mo dengan tajam.
Sudah tentu Hun Thian-hi sendiri juga maklum akan maksud Ang-hwat-lo-mo, ia cuma
tersenyum belaka tanpa bersuara. Laba-laba merah sudah mampus, bila Bu-bing Loni saling
gebrak melawan Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay, tentu dirinya berkesempatan menerobos
kesana.
Maka terdengarlah Bu-bing Loni mengancam, “Kuperintahkan kalian segera keluar dari lembah
ini!”

Melihat Hun Thian-hi tidak menunjukkan reaksi apa atas adu dombanya, sedang Bu-bing sudah
unjuk gigi. dengan tertawa tawar ia bertanya kepada Hun Thian-hi, “Apakah kau sudi keluar?”
Dengan kalem Thian-hi tertawa, ia tahu bahwa Ang-hwat-lo-mo sedang mendorong dirinya
terjun ke dalam pertikaian ini, demi tujuannya sudah tentu ia tidak sudi keluar, namun bila ia
bicara secara langsung, bukankah berarti ia berdiri dipihak Ang-hwat-lo-mo? Tadi ia sudah melihat
gerak gerik Bu-bing Loni sudah tidak begitu gesit dan tangkas seperti dulu waktu bertempur
melawan laba-laba merah, sahutnya tertawa, “Lihat keadaannya dulu!”
Diam-diam Ang-hwat-lo-mo mengumpat Thian-hi akan jawabannya yang licin ini, hidungnya
mendengus, lalu serunya kepada Bu-bing Loni, “Benar-benar, kami akan bertindak setelah melihat
situasi selanjutnya!”
Thian-hi jadi dongkol, dengan jawaban Ang-hwat-lo-mo ini berarti dirinya sudah diseret
kepihaknya secara paksa.
Bu-bing Loni menyapu pandang mereka bertiga, ia insyaf bahwa luka dalamnya belum lagi
sembuh, tujuan kali ini merebut Jian-lian-hok-ling justru untuk mengobati luka-luka dalamnya ini,
sudah tentu dalam keadaan sekarang ia tidak ingin bersikap bermusuhan dengan Thian-hi yang
merupakan lawan paling berat, bila mereka tiga musuh bergabung betapapun dirinya bukan
tandingan.
Sebentar ia berpikir lalu katanya dingin kepada Ang-hwat-lo-mo, “Baik! Akan kulihat cara
bagaimana kau bertindak menurut situasi. Sekarang kau mau keluar tidak?”
Ang-hwat-lo-mo menyeringai, ujarnya, “Masa sekarang?” — lalu ia berpaling ke arah Hun
Thian-hi. Ia tahu bahwa Bu-bing Loni bertujuan membereskan mereka satu persatu.
Tidak menanti Ang-hwat-lo-mo banyak bacot, Bu-bing bertindak lebih cepat mengambil posisi
yang menguntungkan, tanyanya kepada Hun Thian-hi, “Aku ada sebuah urusan hendak
kuselesaikan dengan kau, kau boleh tetap tinggal, setelah mereka berdua pergi baru kita
bicarakan!”
Bercekat hati Ang-hwat-lo-mo, ia tahu bahwa Bu-bing sedang memelet Thian-hi ke pihaknya,
bila Thian-hi sampai akur dan kerja sama dengan Bu-bing Loni, maka mereka berdua pasti
menghadapi rintangan terbesar untuk keluar dari lembah ini. Ia dapat memastikan kemungkinan
ini karena tujuan Bu-bing Loni dan Hun Thian-hi berbeda, bila sampai mereka saling
mengutarakan tujuan masing-masing, bukan mustahil mereka bisa bersekongkol.
Namun masih ada setitik harapan, yaitu bahwa Hun Thian-hi dengan Bu-bing Loni adalah
musuh kebujutan, tak perlu disangsikan bahwa Hun Thian-hi tentu tidak mengharap Bu-bing bisa
memperoleh Jian-lian-hok-ling itu, demikian juga Bu-bing tidak akan membiarkan Hun Thian-hi
mencapai tujuannya, hanya selisih paham inilah yang dapat membuat mereka berdua saling
bermusuhan.
Cepat Ang-hwat-lo-mo berkata kepada Thian-hi dan Bu-bing Loni, “Kepandaian silat kalian
terpaut tidak banyak, siapa yang dapat memperoleh Jian-lian-hok-ling itu kelak pasti dapat
menjagoi Kangouw sebagai tokoh Bu-lim nomor satu yang tiada tandingannya?”
Bu-bing Loni mendengus ringan. Jikalau Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay tidak hadir disini,
ia tidak perlu kuatir menghadapi Hun Thian-hi, dengan adu domba Ang-hwat-lo-mo ini ia menjadi
sukar membuka suara lebih lanjut….

Setelah berpikir Hun Thian-hi lantas menimbrung dengan suara tawar, “Tujuanku ke Bik-hiatkok
ini bukan karena Jian-lian-hok-ling. Aku cuma ingin menolong orang belaka!” — ia tahu bila ia
turut campur merebutkan Jian-lian-hok-ling jelas ia tidak punya harapan, tujuan semula adalah
menolong Ma Gwat-sian, kenapa pula harus ikut campur urusan tetek bengek?
Bu-bing rada tercengang mendengar penjelasan Thian-hi, dengan lekat ia pandang rona wajah
Thian-hi agaknya ucapannya memang sungguh-sungguh, hatinya menjadi girang, namum ucapan
Thian-hi ini tidak bisa dipercaya seratus persen, bagaimana juga ia harus hati-hati dan berjaga,
sesaat setelah ia berkata, “Itu tidak menjadi soal….”
Tanpa menanti orang bicara habis tiba-tiba Ang-hwat-lo-mo menukas, “Tidak menjadi soal?
Belum tentu
ia insyaf bila, situasi berkembang terus demikian tentu tidak menguntungkan bagi dirinya,
terpaksa harus mengubah keadaan, betapapun Hun Thian-hi harus diadu domba supaya
menempur Bu-bing Loni.
Melihat Ang-hwat-lo-mo begitu berani menukas kata-katanya, malah nada ucapannya mengejek
dan menyindir, serta merta menegak tinggi kedua alisnya, sorot matanya juga lantas beringas.
Dengan sikap kasar dan tukasan kata-katanya terhadap Bu-bing Loni ini, sudah tentu Anghwat-
lo-mo sudah punya ancang2 dan pegangan, maka ia berkata lebih lanjut, “Jangan kau
tergesa-gesa. Bagaimana juga Hun Thian-hi harus masuk ke dalam lembah, memang tujuannya
hendak menolong orang, tapi siapa dapat menduga bahwa dia tidak akan mengincar Jian-lian-hokling
itu? Bila sekarang kau hendak main paksa terhadap kami kurasa tidak gampang terlaksana.
Hun Thian-hi masih berada disini, dia tidak akan begitu goblok, bukan mustahil kau nanti bakal
menghadapi gebrak terakhir yang menentukan nasibmu!”
Bu-bing termakan oleh profokasi Ang-hwat-lo-mo, sesuai dengan perkataan Ang-hwat tidak
mungkin ia menyampingkan Hun Thian-hi untuk menghadapi Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-itkoay.
Benaknya lantas bekerja, terpikir olehnya cara yang sempurna bagi kedua belah pihak yaitu;
‘kecuali dapat memastikan bahwa Hun Thian-hi benar-benar tidak mengincar Jian-lian-hok-ling,
urusan selanjutnya gampang diselesaikan.’
Setelah dipikir bolak balik akhirnya Bu-bing bertanya kepada Thian-hi, “Siapa yang terkurung di
dalam rumah batu itu?”
Thian-hi tahu maksud pertanyaan Bu-bing ini, bicara sejujurnya sebenar-benarnya ia tidak rela
membiarkan Bu-bing Loni merebut Jian-lian-hok-ling itu, tapi situasi dapat membenar-benarkan
cuma dia saja yang ada harapan, jawahnya, “Seorang kawan!”
Sebelum angkat bicara lagi Bu-bing menatap Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay katanya
kepada Hun Thian-hi, “Marilah kuiringi kau masuk kesana, setelah kau tolong keluar kawanmu itu
kau harus segera keluar dari Bok-hiat-kok, tak kuijinkan kau ikut andil dalam perebutan ini, apakah
kau setuju?”
“Begitupun baiklah!” sahut Thian-hi tersenyum.
Sudah tentu Ang-hwat-lo-mo menjadi gugup mencak-mencak, naga-naganya Thian-hi tidak
ambil perhatian bila Bu-bing memperoleh Jian-lian-hok-ling itu, malah setuju kerjasama dengan
Bu-bing Loni, bila ini benar-benar terlaksana, pihak dirinya dengan Bok-pak-it-koay bakal terjepit
dan takkan tertolong lagi, entahlah bila muncul suatu kejadian ajaib. Situasi sudah terbalik, apakah
memang sudah nasib dirinya hari ini bakal terjungkal.

Adalah hati Bu-bing menjadi senang, harapannya segera bakal terkabul, bila luka-luka
dalamnya sembuh, ditambah Lwekangnya maju berlipat ganda, masa gentar menghadapi Hun
Thian-hi. Setelah ia lirik ke arah Ang-hwat-lo-mo lalu ia ajak Thian-hi masuk ke dalam gubuk batu
itu.
Sudah tentu Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay tidak mau tinggal diam, setelah saling beradu
pandang, cepat mereka maju mengejar di belakang mereka, cepat atau lambat hal ini bakal
terjadi, kenapa harus bimbang dan takut?
Tak lama kemudian mereka sudah berada di dalam gubuk batu itu, namun gubuk batu itu
kosong melompong, sesaat Thian-hi mendelong, tiba-tiba ia berpaling mengawasi Ang-hwat-lo-mo
sambil memicingkan matanya.
Ang-hwat-lo-mo sendiri rada diluar dugaan, agaknya heran bagaimana mungkin kedua orang
kurungannya itu bisa lenyap tanpa bekas. Tiba-tiba tergerak hatinya, ujarnya tertawa,
“Bagaimana? Ketemu tidak?”
Geram dan dogkol hati Thian-hi, katanya menyeringai, “Ang-hwat, jangan kau main bacot dan
ngelantur. Dimana mereka kau sembunyikan?”
“Urusan ini kita kesampingkan dulu,” demikian ujar Ang-hwat, main ulur waktu, “Mari kita
selesaikan dulu urusan Jian-lian-hok-ling itu.”
“Apa-apaan maksudmu ini?” sentak Hun Thian-hi berang.
Bu-bing Loni tersenyum ejek, ia tahu Ang-hwat-lo-mo sedang berusaha menarik Thian-hi
kepihaknya, betapapun ia tidak akan tinggal diam, kalah atau menang gebrakan kali inilah yang
bakal menentukan. Tapi Hun Thian-hi cuma ingin menolong orang yang terkurung disini tanpa
perduli dengan Jian-lian-hok-ling, adakah ia punya akal supaya Thian-hi tidak memihak kepada
Ang-hwat-lo-mo?
Waktu matanya mengerling tiba-tiba dilihatnya diujung dinding sana ditempel secarik kertas.
Tiba-tiba terbayang oleh Bu-bing akan sikap Ang-hwat-lo-mo tadi, tahu dia bahwa urusan tidaklah
sederhana begitu saja, jelas kedua orang itu memang tadi ada disini, tapi sekarang sudah pergi,
hal ini mungkin Ang-hwat-lo-mo sendiri juga belum tahu. Maka ia bertanya kerada Ang-hwat,
“Maksudmu mereka berdua tidak berada di dalam gubuk batu ini?”
“Sudah tentu tidak disana.” demikian sahut Ang-hwat sambil bergelak tawa, “Bila ada matamu
kan tidak lamur masa tidak melihat mereka berada disitu.”
“Waktu masih berada di mulut lembah tadi apakah kau tahu bila mereka sudah tidak lagi
berada di dalam gubuk ini?” demikian jengek Bu-bing Loni.
“Begitukah anggapanmu?” seru Ang-hwat masih bergelak tawa, “Bila benar-benar mereka ada
di dalam lembah, cara bagaimana bisa pergi meninggalkan tempat ini?”
“Jadi maksudmu bahwa hakikatnya mereka tidak pernah terkurung di dalam gubuk ini?”
demikian Bu-bing Loni menegas.
Ang-hwat-lo-mo merasakan betapa genting urusan ini, ia maklum bahwa Bu-bing pasti
menemukan sesuatu bukti di dalam gubuk itu, sudah tentu ia sudah membayangkan bagaimana
akibatnya nanti.

Maka dengan tajam biji matanyapun main selidik ke dalam ruangan gubuk sana, ingin dia tahu
benda apakah yang telah ditemukan oleh Bu-bing.
Thian-hi sendiri juga sudah berpikir ke arah itu, bila Gwat-sian dan gurunya tidak terkurung di
dalam gubuk ini, adalah mustahil Ang-hwat-lo-mo berani memancing dirinya untuk datang kemari,
dan urusan tidak bakal berlarut-larut sampai sekarang.
Sorot mata mereka berbareng ketumbuk pada secarik kertas yang tertempel didinding itu.
Begitu melihat secarik kertas itu, tanpa ayal Ang-hwat-lo-mo lantas mencelat maju, bila ia
dapatkan kertas itu, cukup untuk menekan dan mengancam Hun Thian-hi pula.
“Jangan bergerak!” Bu-bing Loni menghardik rendah seraya melolos pedang.
Apa boleh buat Ang-hwat-lo-mo harus berlaku nekad. ditengah jalan pedangnya pun
dikeluarkan langsung menyongsong ke arah tabasan pedang Bu-bing dari arah samping,
sementara tubuhnya tiba-tiba melambung tinggi, dengan kekerasan ia coba terjang kesana.
Pedang Bu-bing Loni ditaburkan sekencang kitiran, tiba-tiba ujung pedangnya menyelonong
keluar langsung menusuk ke depan mengarah tenggorokan Ang-hwat-lo-mo.
Karena serangan gencar yang mematikan ini Ang-hwat-lo-mo terdesak mundur berulang-ulang,
sungguh hatinya teramat kejut dan ciut bahwa sekali turun tangan Bu-bing tidak tanggung2
melancarkan ilmu pedangnya yang ganas untuk merangsak dirinya, taburan sinar dan hawa
pedang yang menyamber dingin membuat semangatnya seolah-olah tersedot kaluar dari badan
kasarnya.
Selama itu Hun Thian-hi masih berdiri tenang menonton Bu-bing Loni melabrak Ang-hwat-lomo,
tiba-tiba tergerak hatinya, terpikir olehnya bukan mustahil kertas itu tertulis sesuatu hal yang
tidak boleh diketahui orang lain. Maka tanpa ayal cepat ia lantas bertindak. seruling jade teracung
miring, Wi-thian-cit-ciat-sek ia lancarkan dengan segala kemampuannya. serempak ia serang Bubing
Loni berdua.
Sudah tentu Bu-bing menjadi gentar, tak disangka olehnya bahwa Thian-hi bakal menyergap
dirinya, apalagi disaat ia tumplek seluruh tenaga untuk merangsak Ang-hwat-lo-mo, tak sempat
menangkis terpaksa ia berkelit ke arah samping kiri.
Tujuan serangan Thian-hi ini memang hendak mendesak Bu-bing menyingkir rada jauh dari
tempat kertas itu. maka sekali lompat Thian-hi berhasil meraih kertas itu, sekilas pandang ia
dapati tulisan di atas kertas itu berbunyi sebagai berikut, “Untuk mengetahui jejak kedua
perempuan ini, datanglah ke pesisir Ni-hay di Thian-lam!” — tulisan ini tidak dibubuhi tanda
tangan atau nama terang, qaja tulisanaja sama dengan tulisen yang ia baca diluar hutan tadi.
Thian-hi berdiri terlongong. otaknya jadi berpikir, siapakah sebenar-benarnya orang ini? Sejak
kecil ia dibesarkan di Thian-lam tak diketahui olehnya tokoh siapakah yang punya kepandaian silat
sedemikian tinggi dapat menolong keluar dua orang dari Bik-hiat-kok, kejadian, ini benar-benar
suatu hal yang luar biasa. entah apa pula kepentingannya ia menghendaki aku menyusul kesana?
Melihat Hun Thian-hi berhasil merebut kertas itu Bu-bing membanting kaki, baru saja ia hendak
membuka mulut. tiba-tiba rona wajahnya berubah, agaknya ia sedang dirundung sesuatu
kesulitan.
Dilain pihak Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay juga sama berdiri diam. rona wajah mereka
bertiga mengunjuk mimik yang berlainan, ada yang gusar ada yang rada keheranan tercampur
aduk.

Adalah Hun Thian-hi sendiri mengerutkan kening, sekonyong-konyong ia seperti sadar peristiwa
apa yang telah terjadi, hawa harum yang mengembang luas ditengah udara lambat laun sudah
sirna. segera teringat olehnya kejadian apa pula yang bakal terjadi. Baru sampai disini jalan pikiran
Thian-hi, tiba-tiba Bu-bing Loni, Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay sama menyerbu ke arah
dirinya, tujuan mereka sama hendak merebut kertas rampasannya, cepat Thian-hi gosokkan kedua
telapak tangannya, kontan kertas itu remuk berhamburan, berbareng kakinya menjejak tanah
tubuhnya mencelat mundur berulang-ulang.
“Hun Thian-hi!” seru Bu-bing Loni dengan geram, “Besar benar-benar nyalimu, berani kau
berlawanan dengan aku, apa yang tertulis di atas kertas itu?”
Thian-hi tersenyum sinis tak bersuara, tahu dia bahwa Ma Gwat-sian dan gurunya sudah
tertolong orang, dan tuan penolong itu, sekaligus telah mencangking Jian-Lian-hok-ling sekalian.
Tiba-tiba terpikir sesuatu olehnya, katanya, “Kalau kita terlalu lama tinggal di tempat ini, mungkin
takkan dapat keluar pula dari sini!”
Sudah tentu Ang-hwat-lo-mo dan lain juga maklum akan hal ini, tapi Bu-bing Loni menjengek
dingin, “Aku tidak menjadi soal, burung dewata akan cepat membawaku terbang keluar, tak usah
kau kuatir lagi keselamatanku.”
Ang-hwat-lo-mo bergelak tawa, serunya, “Suthay! Kalau begitu maaf kami berdua harus
mundur lebih dulu, kami nantikan Suthay dimulut lembah untuk berundingkan caranya untuk
menyelesaikan hal ini.” — habis kata-katanya cepat mereka lantas berlari-lari kencang kemulut
lembah.
Mendengar kata-kata Ang-hwat-lo-mo Bu-bing tahu kemana juntrungannya. cepat ia berseru,
“Nanti dulu! Maksudmu kalian hendak mengejar orang itu?”
“Suthay dapat menyelamatkan diri menunggang burung dewata, apakah kau ingin kita
menunggu ajal secara konyol?”’
Betapapun Bu-bing Loni tidak suka orang lain mendahului dirinya mengejar orang itu, maka
dengan mendengus ia berkata pada, Thian-hi, “Kau harus ikut kami kesana, setelah tiba diluar Bikhiat-
kok biar Kami membuat perhitungan dengan kau!”
“Apakah Suthay tidak merasa tindakanmu ini terlalu berbahaya? Hun Thian-hi merupakan lawan
yang tidak gampang diatasi, seumpama terjadi sesuatu diluar dugaan apa pula yang dapat kau
perbuat?”
“Itu urusanku dan aku yang bertanggung-jawab. Kau tak usah cerewet!” begitulah semprot Bubing.
Begitulah akhirnya Ang-hwat mengalah bergegas mereka barlari keluar dari Bik-hiat-kok.
sepanjang jalan ini kelihatan laba-laba hijau dan rumput-rumput ular sudah mulai bergerakgerak….
terlambat sedikit lagi pasti sulit untuk keluar.
Begitu tiba diambang mulut lembah Bu-bing Loni. Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay sama
menghadang ditengah jalan, tanya Bulbing kepada Hun Thian-hi, “Siapakah orang yang
meninggalkan catatan kertas itu?”
Bila Bu-bing menunggang burung dewata mengejar tuan penolong itu pasti bisa kecandak dan
orang itu belum tentu mampu meloloskan diri, maka Thian-hi menyahut tertawa, “Akupun tidak
tahu, tulisan kertas itu tidak tertanda penulisnya!”

Bu-bing mencak-mencak gusar. ia tahu dengan menunggang burung dewata ia mampu
mengejar, tapi kalau niatnya ini sampai kentara, pasti tiga orang lawannya ini berusaha merintangi
dan menyerang dirinya, kesempatan untuk tinggal pergi pun tiada lagi.
Akhirnya ia bertanya pula dengan suara rada kalem, “Sebenar-benarnya apa yang tertulis di
atas kertas itu?”
Thian-hi sengaja main ulur waktu, sahutnya tertawa, “Aku tahu, tapi tak sudi kukatakan.
Bukankah kau bisa mengejar naik burungmu?” ia mendongak memandang kelangit tampak burung
dewata terbang berputar-putar ditengah udara.
Semakin berkobar amarah Bu-bing Loni, menurut perhitungannya semula memang disaat
mereka tiga orang tidak siaga ia hendak mencelat naik ke punggung burung dewata, tapi setelah
dibeber terang-terangan oleh Thian-hi kesempatan ini menjadi hilang.
Akhirnya Bu-bing berkepastian hendak berlaku nekad, bagaimana juga ia harus berhasil
merebut Jian-lian-hok-ling itu, waktu tidak boleh berlarut-larut lagi.
Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay juga sudah menaruh perhatian, mereka tahu bahwa
harapan untuk memperoleh Jian-lian-hok-ling adalah kosong belaka, namun merekapun tidak rela
bila Bu-bing
Loni yang bakal mendapatkan, serempak mereka melolos pedang, rona wajah mereka
memperlihatkan tekad yang besar untuk merintangi Bu-bing Loni supaya tiada kesempatan tinggal
pergi naik burung dewata.
Bu-bing mundur kesamping bersiaga, posisi dirinya menjadi serba sulit, namun lahirnya ia
berlaku tenang dan mengulum senyum dingin.
Kata Ang-hwat-lo-mo sembari tertawa, “Bu-bing Suthay, bila kau benar-benar hendak tinggal
pergi, bukankah kau terlalu memandang rendah kami bertiga?”
Bu-hing mendengus sambil mengertak gigi, mau tak mau ia harus berkeputusan menempur tiga
musuhnya bersama, asal dia dapat mencapai punggung burung dewata, segala urusan ini pasti tak
perlu direwes lagi.
Ia tahu ketika itu burung dewata sedang terbang rendah berputar di atas kepalanya cepat ia
bergaja hendak mencelat naik. Serentak Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay sama
menggerakkan pedangnya, yang satu membabat perut yang lain menusuk dada, kilauan tabir
pedangnya sangat menyolok mata, serangan dua pedang yang hebat ini mandah dianggap enteng
oleh Bu-bing Loni, yang menjadi perhatiannya paling utama cuma Hun Thian-hi melulu, melihat
Hun Thian-hi tidak turut menyerang, hatinya menjadi rada hambar dan seperti kecewa, soalnya ia
tidak tahu kapan Thian-hi baru akan bertindak menghalangi perjalanannya.
Sedikit ia beragu sementara serangan pedang kedua musuhnya menyerang tiba terpaksa Bubing
tidak berani anggap enteng, dimana pedangnya panjang berputar lalu disendal keluar
segulung hawa pedang yang berkilauan kontan menindih ke depan, sekaligus memunahkan
rangsakan kedua pedang musuhnya. Sementara mendapat peluang ini tubuhnya mendadak
melambung tinggi terus meluncur ke arah punggung burung dewata
Tiba-tiba dalam waktu yang sama Hun Thian-hi juga melejit ke atas, serulingnya teracungacung
ke atas melancarkan jurus Wi-thian-cit-ciat-sek, ia serang punggung dan lengan kiri Bu-bing
untuk merintangi orang melarikan diri.

Bu-bing Loni menggerung murka, pedang panjangnya membalik dengan setaker tenaganya
menyongsong ke arah gelombang tenaga pancaran dari Wi-thian-cit-ciat-sek yang hebat itu.
Baru saja ujung pedangnya saling sentuh di tengah jalan, kontan Bu-bing merasa aneh dan
kejut bukan main, bahwa tingkat latihan Wi-thian-cit-ciat-sek dan Lwekang Hun Thian-hi sekarang
benar-benar diluar perkiraannya semula. Kekuatan Wi-thian cit-ciat-sek laksana angin lesus yang
bergelombang tinggi sukar ditembus, hampir saja pergelangan tangannya yang memegang
pedang tergetar lepas dari tangannya.
Tak berani berayal lagi Bu-bing cepat merubah permainan pedangnya, beruntun ia lancarkan
tiga rangkaian ilmu pedangnya yang paling diagulkan, sinar pedangnya bagai lembayung
memancarkan sinar kemilau menggasak ke arah muka Hun Thian-hi.
Tiba-tiba Hun Thian-hi jadi heran, kelihatannya Bu-bing Loni tidak mampu lagi melancarkan
serangannya yang hebat ini dengan landasan tenaga dalamnya yang kuat itu, tapi waktu terlalu
mendesak untuk ia banyak pikir, harapan satu-satunya cuma ingin merintangi perjalanan Bu-bing
Loni belaka.
Cepat ia pun merubah permainan serulingnya dengan jurus Tam-lian-hun-in-hap salah satu
jurus dari ilmu pedang Gin-ho-sam-sek ajaran Soat-san-su-gou yang ampuh sekali untuk
mengurung dan membendung jalan keluarnya.
Diluar dugaan seiring dengan perubahan permainannya ini, tiba-tiba pedang panjang Bu-bing
melesat terbang dan berhasil membobol keluar, sedikit terlambat saja pertahanan Hun Thian-hi
menjadi pecah, sehingga Bu-bing Loni berkesempatan mencelat terbang ke atas dan tepat sekali
hinggap di punggung burung dewata, kejap lain ia sudah menghilang di tengah udara.
Ang-hwat-lo-mo dan Bok-pak-it-koay jadi berdiri melongo, semula mereka beranggapan bahwa
Hun Thian-hi cukup berkelebihan untuk merintangi Bu-bing Loni, sungguh diluar dugaan akhirnya
toh Bu-bing berhasil lolos.
Bagi Hun Thian-hi sendiri juga tidak menyangka begini kesudahan usahanya, begitu tubuhnya
meluncur turun dan menyentuh tanah, dalam hati ia sudah berkeputusan untuk tetap
menghadang perjalanan Bu-bing Loni, maka tanpa ayal cepat ia berlari-lari kencang melesat keluar
lembah.
Ang-hwat-lo-mo insaf tiada manfaatnya ia merintangi cepat ia menyingkir kesamping. Tapi
justru Bok-pat-it-koay berteriak dan mengejar di belakangnya, “Hun Thian-hi tunggu dulu, ada
suatu hal hendak kuberitahukan kepada kau!”
Thian-hi sudah berhasil melampaui mereka di sebelah depan, ia tidak perlu kuatir apa lagi,
terpaksa ia hentikan langkahnya, tanyanya, “Ada urusan apa lagi?”
Ang-hwat-lo-mo awasi Bok-pak-it-koay dengan pandang heran tak mengerti, entah urusan apa
yang dimaksud dengan Bok-pak-it-koay untuk menahan Hun Thian-hi.
Kata Bok-pak-it-koay, “Tujuanku merebut Jian-Lian-kok-ling bukan untuk kepentingan sendiri,
soalnya ada orang lain membutuhkan, tapi Jian-lian-hok-ling sekarang sudah lenyap gara-gara
kalian!” sampai disini ia menyapu pandang Hun Thian-hi dan Ang-hwat-lo-mo lalu sambungnya,
“Selanjutnya mungkin beliau bisa mencari perkara pada kalian, maka hati-hatilah!” — habis
berkata ia berkelebat lari ke arah timur sana.
“Nanti dulu!” teriak Ang-hwat-lo-mo menyusul.

Bok-pak-it-koay berhenti dan membalikan badan ke arah Ang-hwat-lo-mo.
Ang-hwat-lo-mo beranjak mendekati, Bok-pat-it-koay menjadi tidak sabar, serunya, “Ada
omongan lekas katakan, berani maju lagi kutinggal pergi aku tidak akan gampang kau tipu.”
Ang-hwat-lo-mo ingin tahu siapa yang dimaksud oleh Bok-pak-it-koay itu, sangkanya bila ia
dapat membekuk Bok-pak-it-koay tentu orang itu tidak akan mampu berbuat apa-apa atas dirinya,
tapi sekarang terpaksa ia harus berhenti, tanyanya, “Siapa orang yang kau katakan tadi?” — ia
tahu Bok-pak-it-koay bukan sembarang tokoh persilatan yang bernama kosong, kalau toh dia
dikendalikan orang lain pasti orang itu teramat lihay.
Sebelum membuka suara Bok-pak-it-koay menyeringai tawa sinis, ujarnya, “Kukatakan juga
tidak menjadi soal, beliau adalah Sin-jiu-mo-ih!” kali ini ia benar-benar berlari pergi tanpa
rintangan.
Rada bercekat benak Thian-hi, sepak terjang Sin-jiu-mo-ih pernah ia saksikan sendiri, bilamana
ia mau menimbulkan gelombang persengketaan di dunia persilatan, mungkin kalangan Kangouw
bakal geger dan tiada seorang tokoh pun yang mampu mengatasinya.
Sesaat lamanya Ang-hwat-lo-mo terlongong ditempatnya, ia tahu siapa Sin-jiu-mo-ih dan apa
pula kerjanya, dengan hambar ia mendongak keangkasa, akhirnya ia tersenyum pahit dan berkata
pada Hun Thian-hi, “Sudah puluhan tahun aku berkecimpung dalam Kangouw, tapi tahun2 terakhir
ini sering terjungkal dan gagal total, selamanya aku belum pernah dikalahkan sekian kalinya!” ia
tertawa pula dengan hambar.
“Kenapa kau begitu berputus asa. Bila tadi kau tidak masuk ke dalam lembah sana kau tidak
akan mengalami segala pahit getir ini.” demikian ujar Thian-hi.
Sesaat merenung Ang-hwat-lo-mo berkata pula tawar, “Yahhhhh! Mungkin tidak seharusnya
aku muncul kembali dalam dunia ramai ini!” ia tenggelam lagi dalam alam pikirannya, lalu
tambahnya tertawa, “Tapi kenyataan aku sudah naik kemari!” ~lalu ia berpaling ke arah Thian-hi
serta katanya, “Selamat bertemu dilain kesempatan!” — ia tinggal pergi dengan langkah goyang
gontai.
Membayangi punggung Ang-hwat-lo-mo yang menghilang dikejauhan sana. tiba-tiba terasa
sesuatu keanehan dalam benak Thian-hi, terasa olehnya bahwa Ang-hwat-lo-mo ini membekal
suatu sifat atau watak manusia yang ganjil dan istimewa. Meski berulang kali dirinya hampir
menjadi korban akan keganasannya, namun ia tidak pernah merasa dendam terhadap Ang-hwat,
Thian hi sendiri juga heran akan perasaan hatinya dan sulit untuk memberi jawaban akan
pertanyaan diri sendiri…. Mungkin dalam sesuatu hal ada titik persamaan atas dirinya dengan Anghwat-
lo-mo ini.
Begitulah Thian-hi melayangkan pikirannya dengan berdiri terlongong. Tak lama kemudian
sudah berlari-lari di dalam hutan langsung menuju dimana ia berpisah dengan burung dewata.
Setelah tiba tampak burung dewata sedang berbaring di atas rumput, segera ia naik kepunggung
burung dewata terus terbang ke atas langit.
Burung dewata terbang berputar mengitari sekeliling lembah berbahaya itu, namun tiada
sesuatu yang mencurigakan, tiada kelihatan jejak orang dari Ni-hay itu, juga tidak kelihatan
bayangan Bu-bing Loni, Diam-diam ia merasa heran, akhirnya terpaksa ia turun lagi kebumi.

Sesaat Thi-hi menjadi bingung, apakah harus menyusul ke Ni-hay? Atau mengerjakan apa lagi,
kalau sekarang juga langsung menyusul ke Ni-hay mungkin Ni-hay Lojin itu belum sampai disana,
lalu apa yang harus diperbuat dalam waktu senggang ini?
Waktu ia berdiri kebingungan tiba-tiba sesosok tubuh manusia getajangan menerobos keluar
dari dalam hutan, muka orang ini berlepotan darah segar. puluhan langkah kemudian tak tahan
lagi ia tersungkur jatuh ke depan.
Begitu melihat keadaan orang itu lantas Thian-hi berjingkrak kaget seperti disengat kala,
sungguh tak duga bahwa dia bakal menghadapi peristiwa yang menggiriskan ini, karena orang
yang terluka parah ini bukan lain adalah Ang-hwat-lo-mo yang baru belum lama berpisah.
Cepat ia memburu maju, tampak Ang-hwat-lo-mo rebah celentang, raut mukanya sudah tak
dikenal lagi, mulutnya terlihat kemak-kemik tapi suaranya samar-samar tak jelas.
Jantung Thian-hi kebat-kebit dan badan gemetar saking seram, entah siapakah orang yang
sampai hati melukainya sampai sedemikian rupa, Ang-hwat-lo-mo bukan tokoh sembarang tokoh,
tapi kenyataan ia telah dilukai berat sekali, bukanlah tidak beralasan rasa kejut dan keheranan
Thian-hi
Sedang ia berpikir2 ini sementara Ang-hwat-lo-mo sudah tidak bergerak lagi, jiwanya telah
melayang.
Hun Thian-hi terlongong mengawasi jazat Ang-hwat-lo-mo, hatinya kosong entah betapa
perasaan hatinya, kejadian berubah begini cepat, sehingga ia sulit mempersiapkan diri untuk
menanggung akibatnya.
Tiba-tiba terdengar kesiur angin serta lambaian baju orang. Thian-hi sadar bahwa telah
kedatangan seorang musuh yang kuat, tanpa berani angkat kepala, ia mencelat mundur lempang
ke belakang.
Tampak seorang tua yang mengenakan jubah putih tengah berdiri tenang diluar hutan sebelah
sana, orang tua ini angkat kepala menghadap kelangit, mulutnya terdengar menggumam,
“Setindak terlambat aku jadi kehilangan Jian-lian-hok-ling!”
Menghadapi orang tua berjubah putih ini Thian-hi merasakan hatinya tertekan berat,
tenggorokannya menjadi sesak, ia duga bahwa orang tua ini pasti Sin-jiu-mo-ih Lam In yang telah
membunuh Ang-hwat-lo-mo.
Naga-naganya kepandaian silatnya tidak begitu hebat tapi kenyataan Ang-hwat-lo-mo sudah
ajal ditangannya dalam waktu yang begitu singkat, mungkin dia punya suatu ilmu luar biasa yang
ganas sekali, maka aku harus lebih hati-hati.
Seorang diri Sin-jiu-mo-ih menggumam lalu dengan sikap acuh tak acuh Lam In mengerling ke
arah Thian-hi, tanyanya, “Apakah kau ini yang bernama Hun Thian-hi?”
Pelan-pelan Thian-hi manggut-manggut.
Terdengar Sin-jiu-mo-ih Lam In tertawa kering dua kali, katanya sambil menunjuk jenazah Anghwat-
lo-mo, “Kau lihat dia? Dia sudah mati bukan?”
Dengan was-was Thian-hi pandang orang lekat-lekat. entah apa yang hendak dia perbuat atas
dirinya.

Terdengar Sin-jiu-mo-ih Lam In berkata pula, “Kau sedikit lebih pintar dari dia, kalau tidak kau
pun sudah mampus sejak tadi. Aku rada takabur sehingga dia masih kuasa lari puluhan langkah
baru roboh sampai disini.”
Bergidik badan Thian-hi, tengkuknya jadi merinding, diam-diam ia bersyukur bahwa jiwanya
telah lolos dari lobang elmaut, untung Ang-hwat-lo-mo gentayangan puluhan langkah kemudian
baru roboh, jika dirinya tadi memburu maju memajang tubuhnya pasti jiwanya pun sudah celaka
dikerjain oleh Tabib iblis bertangan sakti Lam In ini.
Dalam pada itu tabib sakti bertangan sakti Lam In berkata pula, “Betapa pun kau tidak akan
lolos dari tanganku, segera kau pun bakal terkapar di tanah tanpa jiwa.” — sampai disini tiba-tiba
biji matanya memancarkan sinar hijau berkilat seperti mata srigala kelaparan yang haus darah.
Thian-hi menenangkan hati, katanya, “Mengandal apa kau berani bicara begitu pasti? Kejadian
selanjutnya tidaklah bakal berakhir seperti apa yang kau bayangkan.”
“Coba kau lihat. Apakah Ang-hwat benar-benar sudah mati?” seringai Lam In.
Thian-hi tertegun, entah apa tujuan Lam In mengucapkan kata-katanya ini.
Lalu terdengar Lam In tertawa dingin, katanya, “Salah dugaanmu!” — sembari berkata ia
mengeluarkan sebuah buntalan kertas dari buntalan kertas ini ia menjemput dua butir pil warna
hitam terus membungkuk tubuh dijejalkan kemulut Ang-hwat.
Sebetulnya Thian-hi hendak maju mencegah, namun kuatir Lam In sengaja mengatur tipu daya
ia tidak berani semharangan maju, terpaksa ia saksikan saja setiap gerak gerik Sin-jiu-mo-ih Lam
In yang aneh ini.
Sebenar-benarnya Ang-hwat-lo-mo memang sudah meninggal, tapi saat mana kelihatan mulai
bergerak-gerak, Thian-hi tersentak mundur lalu berdiri dengan kesima, hampir ia tidak mau
percaya akan pandangan matanya. Ternyata Lam In mampu menghidupkan orang setelah jiwanya
melayang.
Pelan-pelan Sin-jiu-mo-ih Lam In berkata kepada Ang-hwat-lo-mo, “Kau majulah, bereskan
manusia kerdil itu!”
Lagaknya Ang-hwat-lo-mo sudah kena dipengaruh kata-kata Sin-jiu-mo-ih, pelan-pelan ia
berdiri dan terus melangkah maju ke arah Thian-hi dengan kaku.
Bahwasanya hati Thian-hi gentar setengah mati. namun sedapat mungkin ia berlaku tenang,
dengan sikap acuh tak acuh ia menatap ke arah Ang-hwat-lo-mo yang sedang menghampiri
dirinya, pelan-pelan ia berkata kepada Lam In, “Gertak sambelmu ini hanya cukup menakuti bocah
kecil belaka, beranikah kau menempur aku?”
Sin-jiu-mo-ih menggerung gusar, tahu dia bahwa tipu muslihatnya gagal, maka sekali
mengayunkan tangan, jazat Ang-hwat-lo-mo kontan roboh terbanting di tanah, serunya dingin,
“Tapi seluruh kejadian ini benar-benar berada diluar dugaanmu bukan?”
Bab 31
Semangat dan nyali Thian-hi semakin besar, dengan tak kalah dinginnya iapun balas
menjengek, “Begitukah sangkamu? Yang terdahulu memang aku merasa diluar dugaan, tapi untuk
selanjutnya justru kau sendirilah yang bakal merasa diluar dugaan!”

Sin-jiu-mo-ih mengunjuk tawa sinisnya, tangannya mengulap ke belakang, dari dalam hutan
pelan-pelan berjalan keluar seseorang, sekali pandang mencelos hati Thian-hi, yang muncul ini
bukan lain adalah salah satu dari Si-gwa-sam-mo yaitu Kiu-yu-mo-lo.
Berkatalah sin-jiu-mo-ih kepada Kiu-yu-mo-lo, “Ajo bantu aku membekuk Hun Thian-hi itu!” —
cepat Kiu-yu-mo-lo berkelekat maju terus menubruk ke arah Thian-hi.
Jang membuat Thian-hi terkejut adalah bahwa Kiu-yu-mo-lo sudah sadar dan tergugah
imannya dari sesat kejalan terang, tapi sekarang muncul di tempat ini, pasti dia telah dikerjain
oleh tabib sakti bertangan jail ini.
Begitu Kiu-yu-mo-lo melesat tiba Thian-hi lantas mencelat menyingkir, kelihatannya kepandaian
Kiu-yu-mo-lo sudah jauh lebih maju, setelah terhindar segera ia berteriak kepada Lam In,
“Berhenti dulu!”
Sin-jiu-mo-ih rada bimbang, tapi akhirnya ia berseru kepada Kiu-yu-mo-lo, “Tahan sebentar.
Coba dengar apa yang hendak dia ucapkan!”
Kata Hun Thian-hi, “Bahwasanya apakah tujuanmu coba bicara terus terang saja, mungkin
persoalan ini masih bisa kita rundingkan, jikalau kau keras kepala ingin main kekerasan, aku bisa
naik burung dewata tinggal pergi, apa yang mampu kau perbuat atas diriku?”
“Tujuan apa? Tujuanku adalah Jian lian-hok-ling itu, jikalau kau bisa menyerahkan sekarang
aku tidak ambil panjang urusan ini. Kalau tidak meski kau bisa naik burung dewata, aku berani
bertaruh kau tidak akan mampu lari dari tanganku.”
“Kalau begitu marilah kami coba-coba!” demikian tantang Thian-hi sambil tertawa tawar, lenyap
suaranya tiba-tiba ia melejit naik kepunggung burung dewata, burung itu segera pentang sayap
terbang keudara.
Sin-jiu-mo-ih terkekeh-kekeh dingin, mendadak sepuluh jarinya terkembang, puluhan ekor
burung-burung kecil berbulu hijau seketika beterbangan, bau obat yang tebal segera beterbangan
di tengah udara dari badan burung-burung hijau kecil itu, kontan terdengar burung dewata
memekik panjang, sayapnya terpentang menggelepar tapi tak mampu terbang ke tengah udara,
kelihatannya seperti berat sekali tak mampu lagi membawa badannya.
“Bagaimana, percaya tidak?” demikian jengek Sin-jiu-mo-ih sambil menyeringai dingin.
Bercekat hati Thian-hi, seruling jade seketika dilolos keluar badan pun cepat melambung tinggi
terus diputar sambil meluncur ke atas, sekaligus ia serang puluhan burung-burung kecil berbulu
hijau yang terbang teramat gesit, tujuannya hendak memukul roboh sekali hantam.
Tapi Sin-jiu-mo-ih ternyata tidak tinggal diam, lagi-lagi ia tertawa panjang, badannya melejit
tinggi laksana seekor burung rajawali langsung menerjang ke arah Hun Thian-hi.
Sebagai tokoh kelas wahid pada jaman ini sudah tentu Thian-hi tidak gentar menghadapi segala
permainan Sin-jiu-mo-ih, terdengar ia mendengus dingin, serulingnya ditukikkan miring turun ia
lancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek, segulung sinar putih kemilau segera menyongsong kedatangan
Sin-jiu-mo-ih
Berani menghadapi Hun Thian-hi yang terkenal hebat dan lihay ini, sudah tentu Sin-jiu-mo-ih
Lam Im punya bekal yang cukup berkelebihan untuk mengatasi serangan lawan, tampak begitu ia

meluncur tiba Hun Thian-hi sudah merobah jurus permainannya untuk menyerang dirinya, tangkas
sekali ditengah udara sebelah kakinya menjejak sebelah kaki yang lain, seenteng asap badannya
tiba-tiba melambung lebih tinggi lagi menghindari serangan musuh.
Sudah tentu Thian-hi pun tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini, jikalau sekarang ia tidak
segera turun tangan, babak selanjutnya belum tentu bisa memperoleh kesempatan sebaik ini.
Tanpa ayal iapun layangkan tubuhnya menerjang lebih tinggi mengejar pula dengan rangsakan
yang lebih dahsyat.
Tiba-tiba Sin-jiu mo-ih mengebutkan sepasang lengan bajunya yang panjang lebar, bubuk obat
warna putih seketika beterbangan di tengah udara, dan yang lebih hebat seluruhnya menerjang ke
arah kepala Thian-hi.
Sudah tentu bukan kepalang kejut Thian-hi melihat permainan licik musuh, cepat serulingnya
digentakkan serta dibolang-balingkan di depan tubuhnya, syukur ia berhasil menghalau bubuk
obat itu dengan kekuatan tenaga dalamnya, gebrak selanjutnya ia menjadi jeri mengejar pula,
cepat ia lorotkan tubuhnya meluncur turun ke tanah. Meski ia cukup cekatan tak urung ada
sebagian bubuk obat yang berhasil tersedot ke dalam hidungnya, kontan ia rasakkan dadanya
sesak dan mulut menjadi mual hendak muntah2, yang lebih celaka lagi kepala terasa pusing dan
pandangan berkunang-kunang.
Thian-hi insaf bahwa ia sudah menyedot racun, cepat ia loncat pula ke belakang keluar dari
lingkupan bubuk-bubuk putih itu, terus berdiri tegak mengempos semangat dan tak berani
sembarangan bergerak.
Terdengar Sin-jiu-mo-ih tertawa menggila ditengah taburan bubuk obatnya yang beracun,
badannya segera menukik turun secepat burung elang menerkam anak ajam langsung menepuk
ke batok kepala Hun Thian-hi dengan kedua telapak tangannya.
Meski Thian-hi cuma menyedot sedikit saja bubuk obat itu, tapi ia sendiri maklum bahwa ia
sudah keracunan cukup berat, sebisanya ia mengerahkan serulingnya ke atas memunahkan
rangsakan Sin-jiu-mo-ih Lam Im yang sangat berbahaya itu.
Sementara Sin-jiu-mo-ih sendiri juga teramat heran, bagaimana mungkin Hun Thian-hi tidak
segera roboh mampus setelah menyedot obat beracunnya yang sangat jahat, setelah mencelat
mundur sejenak ia berpikir lalu katanya dingin, “Tiada gunanya, meski kau pernah menelan buah
ajaib, sama saja kau bakal mampus ditanganku!” — lalu ia terbahak-bahak lagi lebih menggila.
Dengan berhasilnya Thian-hi menghalau rangsakan Lam Im yang mematikan itu, kepala Thianhi
pun terasa semakin berat pikirannya mulai kabur, setiap perkataan Lam Im seakan-akan sebuah
pukulan godam yang mengetok batok kepalanya sehingga kepalanya terasa hampir pecah.
Selesai berkata segera Lam Im mendesak maju pula kepada Thian-hi, ingin rasanya sekali
hantam ia bikin lawan kecilnya ini mampus seketika, adalah setimpal hukuman ini bagi Thian-hi
karena dialah yang telah menggagalkan usahanya dalam memperoleh Jian-lian-hok-ling itu.
Pandangan Thian-hi kepada Lam In yang berada di depannya semakin kabur, tahu dia bahwa
sembilan bagian dari sepuluh jiwa raganya sudah tercengkeram di tangan Lam Im, bayangan
beberapa raut wajah yang sangat dikenalnya berkelebatan dalam benaknya, terasa olehnya
betapa penderitaan seseorang dalam mendekati ajalnya, banyak alasannya untuk
memperjuangkan hidupnya karena banyak urusan yang belum selesai ditunaikan, dan lagi segan
dan berat rasanya meninggal dunia fana yang membawa banyak kenangan bagi sanubarinya,
suatu pemikiran yang cukup dapat menghibur hatinya cuma bila ia benar-benar mati, meski ia

belum berhasil menunaikan tugasnya tapi tiada seorang pun dalam dunia ini yang bakal
menanggung sengsara karena dirinya.
Dengan menyeringai sadis Lam Im menghampiri pula ke arah Thian-hi, didapatinya sekarang
dengan pasti bahwa Hun Thian-hi sudah kehilangan daya pertahanan terhadap serangannya.
Sekonyong-konyong ditengah udara kumandang sebuah teriakan, “Lam Im nanti dulu!”
Sin-jiu-mo-ih terkejut, sekilas ia melengak, dalam jaman ini orang yang berani gembar-gembor
memanggil namanya cuma beberapa orang yang bisa dihitung dengan jari, sedang para sahabat
karibnya yang aneh2 banyak yang sudah wafat, tak terpikir olehnya siapakah orang ini yang
berani meneriakan namanya secara langsung, cepat ia menengadah melihat ke atas udara.
Thian-hi sendiri juga tersentak sadar mendengar teriakan ini, timbul setitik harapan dalam
sanubarinya, dengan susah payah ia coba angkat kepala mendongak ke atas angkasa.
Seekor burung rajawali yang besar berbulu emas pelan-pelan menukik turun dan hinggap
dimuka bumi, kiranya pindatang ini adalah murid Thay-si Lojin. keruan kejut dan girang pula
hatinya. Thay-si lojin merupakan seorang tokoh yang berjiwa luhur dan berwatak aneh
berkepandaian tinggi pula, maka muridnya itu pasti bukan sembarang tokoh pula, sekarang dia
berani muncul dalam keadaan yang gawat ini. maka harapan hidup jiwanya semakin besar, dari
teriakan atau panggilan tadi dapatlah diduga bahwa beliau pasti kenal akan Sin-jiu-mo-im Lam Im.
Begitu melihat siapa pendatang ini, tergetar benak Sui-jiu-mo-ih Lam Im, cepat ia memapak
maju lalu menjura serta sapanya hormat, “Kiranya kau orang tua yang datang, Lam Im tidak tahu
harap maaf bila kurang hormat!”
Melihat kelakuan orang semakin lega sanubari Thian-hi, tingkat kedudukan Thay-si Lojin di
Bulim teramat tinggi dan cukup diagungkan tiada yang tidak mengindahkan ketenaran namanya,
dilihat gelagatnya mereka saling berkenalan, maka tiada sesuatu pula yang perlu dikuatirkan
dirinya.
Terdengar si orang tua berkata pada Lam Im sambil tertawa, “Selama berpisah apakah kau
baik-baik saja?”
Lam Im menundukkan kepala tidak bersuara. Gurunya Sin-chiu-ih-sing adalah keponakan Thaysi
Lojin, beliau banyak mendapat bimbingan dan asuhan sangat berharga dari tokoh agung ini,
demikian juga dirinya tidak sedikit mendapat petunjuk dan bimbingan dari Thay-si Lojin.
Orang tua itu tertawa. ujarnya, “Ilmu ketabiban adalah untuk menolong jiwa orang, sekali2
pantang digunakan, untuk mencelakai jiwa manusia, ketahuilah hukum karma, sesuatu yang
pernah kau perbuat kelak akan menimpa pula akan dirimu.”
Karena berlega hati pertahanan Thian-hi semakin kendor dan akhirnya tidak tertahan lagi,
kepalanya semakin berat, tampak bayangan si orang tua, dan Sin-jiu-lo-jin sama semakin kabur
dan beterbangan di depan matanya, beberapa kali ia melihat Sin-jiu-mo-ih membuka mulut
hendak bicara tapi suaranya tidak terdengar, pelan-pelan kepalanya tertunduk dan kaki menjadi
lemas pula setelah sempoyongan akhirnya ia meloso jatuh dan tidak ingat diri.
***
Entah berapa lama berselang, akhirnya Thian-hi pelan-pelan siuman dari pulasnya, tatkala itu
cuaca sudah gelap gulita, bintang-bintang beterbaran dicakrawala yang cerah cemerlang, sesaat

kemudian ia celingukan kian kemari, sekelilingnya kosong melompong tiada sesuatu pun yang
menarik pandangan matanya.
Thian-hi menjadi keheranan, masih jelas dalam ingatannya ia pernah kena racun yang sangat
jahat. kebetulan si orang tua datang menolong jiwanya, tapi apa yang telah terjadi selanjutnya ia
tidak tahu.
Pelan-pelan ia bangkit berdiri, terlihat serulingnya menggeletak di tanah sebelah kakinya,
pelan-pelan dijemputnya senjatanya itu, tampak pada batang serulingnya itu tertempel secarik
kertas, dimana tertulis, “Lam Im sudah kubawa pergi, lekas menyusul ke Ni-hay!”
Thian-hi tahu bahwa orang tua itulah yang meninggalkan pesan ini, sejenak ia terlongong, lalu
menjelajahkan pandangannya kesekelilingnya. tampak burung dewata masih mendekam di bawah
pohon sana, cepat ia menghampiri terus naik ke atas punggungnya dan terbang langsung menuju
keselatan, ke Ni-hay.
Waktu terang tanah Thian-hi sudah sampai di Ni-hay dan turun di pesisir yang berpasir halus, ia
periksa keadaan sekelilingnya, dalam hati ia bertanya-tanya siapakah sebenar-benarnya yang
mengundangku kemari kenapa si orang tua juga menyuruhku kemari juga? Sekarang aku sudah
tiba di tempat tujuan jelas tidak akan salah kaprah, kenapa takut-takut lagi, orang yang
mengundang aku pasti akan muncul menemui aku sendiri.
Ia ulapkan tangannya menyuruh burung dewatanya menyingkir pergi, seorang diri ia beranjak
dipesisir Ni-hay yang tak berujung pangkal.
Sekonyong-konyong terdengar sebuah suitan panjang dari sebuah kapel yang terdapat
dipinggir sebelah atas yang dibangun di atas batu karang dipinggir laut sebelah depan. sana,
Thian-hi menghentikan langkahnya, dalam waktu sepagi ini, masa mungkin ada orang berkunjung
ke tempat ini. jelas pasti orang yang mengundang aku itulah yang memanggil diriku.
Dengan cermat Thian-hi mengawasi ke arah kapel di depan sana, sekarang ganti terdengar
suara gelak tawa yang lantang, tapi arah suaranya sudah berganti tempat disetelah sana.
Thian-hi jadi mengerutkan kening, sabenar-benarnya orang macam apakah yang mengundang
aku kemari? Demikian ia bertanya-tanya dalam hati, kenapa begini humor dan suka berkelakar
agaknya, entah bagaimana aku bersikap nanti setelah ketemu dengan beliau.
Tampak sebuah sosok bayangan abu-abu berkelebat keluar dari kapel itu lalu berlari-lari
kencang menyelusuri pesisir yang berpasir.
Cepat Thian-hi melompat mengejar, dari kejauhan ia berteriak, “Cianpwe harap tunggu
sebentar!”
Agaknya orang itu tidak peduli atau mungkin anggap tidak dengar akan teriakan Thian-hi,
langkah kakinya malah dipercepat. Apa boleh buat terpaksa Thian-hi kerahkan tenaganya
mengejar lebih pesat pula.
Bayangan abu-abu itu melesat secepat kjlat menuju ke arah sebuah kapel lain disebelah depan
sana, sekali berkelebat tiba-tiba bayangannya lenyap dibailk kapel itu.
Thian-hi langsung mengejar masuk, setiba ia di dalam kapel didapati keadaan kosong
melompong tiada jejak manusia, mau tak mau ia mengerutkan alis. hatinya menjadi gelisah dan
cukup kesal, tapi agaknya orang sengaja main sembunyi2 dan kelakar padanya.

Thian-hi jelajahkan pandangannya mengawasi kesegala pelosok kapel yang tidak begitu besar
ini, tapi sungguh ia tidak habis mengerti kemana orang itu bisa sembunyi dengan mengelabui
matanya, saking kewalahan ia berdiri mematung diam saja, sesaat kemudian ia baru bersuara,
“Untuk keperluan apakah sebenar-benarnya Cianpwe mengundang Wanpwe kemari, kenapa tidak
mau unjuk diri untuk bicara?”
Baru saja habis ia berkata, mendadak terlihat sesosok bayangan melesat terbang dari puncak
kapel terus melesat keluar jauh sana. Cepat Thian-hi melesat keluar kapel belum jauh ia mengejar
tiba-tiba tampak orang itu membalikkan tangan, tampak ia melemparkan segulung benda kecil
warna putih melesat pesat ke arah mukanya.
Sekali raih Thian-hi berhasil menangkap, kiranya itulah segulung kertas, waktu ia angkat kepala
lagi tampak bayangan itu sudah menghilang pula dibalik kapel di depan sana, cepat Thian-hi
membuka lempitan kertas itu, dimana ada tertulis, “Bahwasanya kita tidak pernah mengundang
kau kemari!”
Saking dongkol Thian-hi menjublek ditempatnya, sesaat ia sukar berkata-kata. Gerakkan tubuh
orang itu sungguh teramat pesat, ia insyaf bahwa dirinya tidak akan lebih unggul dan berhasil
menyandaknya, tapi apakah dia mudah dipermainkan demikian saja? Tidak! Betapapun aku harus
mencari dan mengejar sampai orang itu muncul, bila orang mau unjukan diri segala urusan pasti
bisa diselesaikan.
Karena pikirannya ini cepat Thian-hi melesat pula ke kapel disebelah depan sana. Baru saja
kakinya bergerak tampak pula olehnya sebuah bayangan abu-abu yang lain melesat keluar dari
kapel semula terbang pesat ke arah jurusan lain.
Thian-hi jadi melengak heran, pikirnya, “Kiranya bukan melulu seorang saja, tak heran dalam
tulisan itu ia menyebut “kita”, naga-naganya sedikitnya mereka berjumlah dua orang!”
Ia tidak hiraukan bayangan yang bergerak belakang ini, langsung ia menyusul ke Kapel yang
ada di sebelah depan sana. Baru saja kakinya tiba di ambang pintu secarik kertas melayang jatuh
dari langit2 kapel, sekali raih Thian-hi mengambilnya, keadaan kapel kosong melompong tiada
jejak manusia.
Gesit sekali Thian-hi jejakkan kakinya melompat mundur keluar kapel, waktu ia baca tulisan
dalam kertas itu seketika darah bergolak di rongga dadanya, saking marah ia mematung
ditempatnya sambil kertak gigi, kiranya tulisan itu berbunyi, “Bujung kau terlambat datang, aku
tinggal pergi, jangan kau marah lho!”
Sesaat lamanya Thian-hi masih terlongong li tempatnya, ia pikir aku terhitung seorang tokoh
kelas wahid juga, sungguh tidak nyana di tempat sejauh ini aku dipermainkan orang, sukar
dipercaya ada orang yang mampu lolos dari pengamatan sepasang matanya yang jeli.
Akhirnya ia bersuara ke arah kapel di depannya itu, “Cianpwe harap jangan main sembunyi
lagi…. aku tahu bahwa kau orang tua masih belum meninggalkan kapel ini, harap suka unjukkan
diri untuk bicara dengan Wanpwe!”
Tidak terdengar penyahutan. Thian-hi berkata lagi, “Cianpwe jangan permainkan aku lagi,
kepandaian silat Cianpwe sungguh membuatku kagum dan takluk benar-benar, silakan kalian
keluar saja!”
Maka terdengarlah sebuah suara tawa dari dalam kapel itu, berkatalah sebuah suara serak yang
bernada rendah, “Bujung macammu ini kiranya cerdik juga, tapi aku orang tua tidak gampang
kena kau tipu!”

Berdiri diluar kapel Thian-hi menyahut tertawa, “Akupun tidak akan kena dikelabuhi lagi, cukup
aku berdiri diluar sini, kecuali kau melarikan diri. kalau tidak betapa pun kau akan muncul juga!”
Sesaat lamanya suasana menjadi sunyi, kemudian terdengar sebuah dengusan hidung, suara
serak itu berkata pula, “Untuk apa kau bujung ini selalu menguntit aku? Kerjaan penting tidak kau
selesaikan, sehari2an kau melakukan pekerjaan tak genah!”
Diam-diam Thian-hi lantas membatin, “Entah siapa yang bekerja gegabah, usiamu sudah
sedemikian lanjut, tapi bersikap edan2an tak tahu adat. sekarang kau menegur aku malah” —
dalam hati ia membatin begini, tapi mulutnya berkata lain, “Jadi maksud Cianpwe supaya aku
lekas-lekas meninggalkan tempat ini?”
“Benar-benar!” suara serak itu menyahut, “usiamu masih semuda itu tapi sehari2an mengejar2
perempuan, tidak tahu malu, hayo lekas pulang!”
Thian-hi jadi menyengir, ia garuk2 kepalanya yang tidak gatal, teguran orang tidak masuk
alasan, sejenak ia berpikir lalu serunya, “Kalau begitu baiklah Wanpwe segera pulang, harap
Cianpwe suka capaikan diri merawat mereka berdua.” — ia siap melangkah pergi.
“Hai nanti dulu!” suara serak itu berteriak tinggi….
Sebenar-benarnya Thian-hi cuma pura-pura belaka, mendengar teriakan itu, ia putar balik lagi,
katanya, “Ada urusan apa lagi? Cianpwe?”
Kedengarannya orang itu menjadi gugup, katanya, “Masa mau tinggal pergi begitu saja!”
“Habis apa yang harus Wanpwe lakukan?” demikian sahut Thian-hi, “Cianpwe tidak mau unjuk
diri untuk bicara, terpaksa tinggal pergi saja, urusan boleh kita bicarakan lagi lain kesempatan!”
Orang itu mendengus, katanya, “Jangan kau gunakan alasan itu untuk main ancam terhadap
aku ya!”
“Sedikitpun Wanpwe tidak berpikiran begitu,” demikian Thian-hi berdiplomasi sambil tertawa,
“soalnya aku menurut kehendak Cianpwe supaya aku lekas pulang bukan!”
Baru saja ia selesai bicara mendadak didengarnya kesiur lambaian baju dibelakangnya,
luncurannya sedemikian pesat jarang ditemui selama ini. Sebat sekali ia berkelebat menyingkir.
Tahu-tahu seorang tua yang berbadan kurus kecil sudah muncul dihadapannya.
Mulut orang tua kurus kecil ini mengeluarkan suara aneh, lalu berkata ke arah kapel, “Lotoa,
bocah ini rada aneh sedikit, pukulanku kiranya berhasil dihindari olehnya.”
Orang didalam. kapel itu mendengus, dilain kejap tampak sesosok bayangan melayang turun
bentuk orang tua ini hampir sama dengan orang tua yang terdahulu, cuma raut mukanya tampak
sedikit lebih gemuk dan lebih tua. Sejenak ia mengawasi Thian-hi lalu ia tanya, “Naga-naganya
kau memang punya banyak kepandaian tulen, hari ini akan kupaksa kau membojong seluruh
kepintaranmu itu.”
Mendadak Thian-hi ingat secara reflek tadi ia sudah gunakan langkah Ling-coa-pou untuk
meluputkan diri dari sergapan si orang tua kurus kecil ini, tidak perlu dibuat heran bila mereka
menjadi takjup dan ingin menjajal kepandaiannya. Cepat ia menjura serta berkata, “Wanpwe Hun
Thian-hi, harap tanya nama mulia Cianpwe berdua!”

Orang tua yang rada gemuk menjadi kurang sabar, katanya, “Aku bernama Goan Tiong, dia
bernama Goan Liang, orang menyebut kami Ni-hay-siang-kiam, sudah cukup bukan, mari sekarang
kau boleh unjuk sejurus dua gebrak kepandaianmu.”
Dari samping Goan Liang ikut menyela, “Toako main sungkan apa segala? Makin sungkan
kepalanya semakin besar, justru aku tidak percaya kepandaian sejati apa yang dia miliki, biar
kujajal dia lagi betapa tinggi kepandaian bocah keparat ini.”
Sembari berkata kakinya sudah melangkah ke depan, keruan Thian-hi merasa kaget, melihat
gerak gerik kedua orang tua yang begitu gesit dan tangkas tadi, Thian-hi tahu bahwa dirinya
bukan tandingan mereka berdua, cepat ia melangkah mundur serta berteriak, “Nanti dulu!”
Goan Liang menghentikan kakinya, tanyanya, “Masih mau ngobrol apa lagi kau?”
Melihat sikap kasar orang Thian-hi jadi gemas dan dongkol, tapi apa boleh buat, sejenak ia
merandek lalu katanya, “Cara ini kurang adil! Kalian menindas bocah kecil, berdua main keroyok
lagi, apakah kalian tidak takut ditertawakan orang, Ni-hay-siang-kiam yang kenamaan kok
mengeroyok bocah kecil?” ~sebenar-benarnyalah baru hari ini ia pertama kali mendengar nama
Ni-hay-siang-kiam ini.
Cepat Goan Tiong mencegah Goan Liang, “Loji jangan main kasar. Ucapan bujung ini memang
benar-benar, masa begitu gampang kau hendak menjatuhkan pamor kita selama puluhan tahun?”
Terpaksa Goan Liang mundur pula ke tempatnya semula.
Kata Hun Thian-hi, “Cianpwe berdua mengundang aku kemari entah ada keperluan apa?”
“Konon kabarnya kau bakal menjadi jagoan nomor satu di seluruh kolong langit ini, apalagi
sebagai ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, maka kuundang kau kemari untuk belajar kenal!”
“Kalau hanya untuk keperluan itu, tidak perlulah dilanjutkan persoalan ini, bagaimana ilmu
silatku Cianpwe berdua tadi sudah menyaksikan, terpaut terlalu jauh dibanding kalian berdua,
kabar angin kenapa harus dipercaya!”
Goan Tiong menggeleng kepala, “Belum tentu begitu, bukan mustahil hal itu bisa kenyataan.”
Thian-hi tertawa besar, “Wah, aku terlalu diagulkan, tapi tokoh-tokoh silat yang berkepandaian
tinggi dalam dunia ini jumlahnya laksana bintang-bintang yang tersebar, di cakrawala, siapa yang
berani mengagulkan diri sebagai jago nomor satu?”
Goan Tiong berdua melengak, sesaat mulut mereka terkancing.
Kata Goan Liang, “Tapi toh pasti ada yang nomor satu bukan, apakah kau sendiri tidak berani
mengakui?”
Thian-hi menggeleng kepala, ujarnya, “Soal ini tidak bisa dibicarakan secara khusus, ilmu
teramat luas dan tergantung dari orang-orang yang mempelajarinya, seperti pepatah ada berkata
ada gunung yang lebih tinggi dari gunung yang lain, orang pintar ada pula orang lain yang
melebihi kepintarannya, sulit untuk menentukan nomor satu itu dengan suatu kepastian dalam
teori belaka”
“Jite.” sela Goan Tiong, “ucapannya memang benar-benar, sudah jangan main debat lagi, yang
terang kami akan menjajal sampai dimana tingkat kepandaiannya, kenapa melantur segala”

“Ya benar-benar, kenapa aku menjadi linglung!” ujar Goan Liang tertawa geli sendiri.
Maka berkatalah Hun Thian-hi, “Kalau Cianpwe berdua sudah berketetapan, akupun tidak bisa
mengelak lagi, cuma bila bertarung secara keras lawan keras bukan mustahil salah satu pihak bisa
terluka dan hal ini akan merugikan nama Cianpwe berdua, maka kuharap Cianpwe berdua suka
mencari cara lain yang lebih sempurna!”
Goan Tiong bergelak-gelak, serunya, “Kau hendak main gertak untuk mempersukar kami
berdua? Betapa pun kami tidak akan dapat kau kelabui, bukankah tadi kau katakan pelajaran ilmu
tergantung bakat dan ketekunan orang yang mempelajarinya? Kepandaian apa yang paling kau
banggakan silakan pamor pada kami, bila kami berdua memang tidak ungkulan, kami rela
mengaku kalah, cara ini kukira cukup menguntungkan bagi kau!”
Thian-hi tertawa-ewa, ujarnya, “Tapi tiada sesuatu pelajaran yang boleh kubanggakan!”
Goan Tiong menarik muka, katanya bersungut, “Jangan kau pungkir lagi, kalau tidak aku tidak
akan main sungkan-sungkan lagi pada kau!”
Apa boleh buat akhirnya Thian-hi berkata, “Bicara mengenai ilmu kebanggaanku, sebenarbenarnyalah
tiada satupun yang kumiliki, tapi Cianpwe mendesakku begini rupa, terpaksa
kuanggap segala pelajaran yang kumiliki itu sebagai ilmu bekalku, lalu bagaimana baiknya?”
“Sombong benar-benar kau,” semprot Goan Liang, “Cobalah nanti kau pamer segala
kemampuanku itu, apakah kami berdua mampu melayani kau. Bagaimana cukup puas belum!”
Hun Thian-hi tertawa lebar, memang kesanalah tujuannya semula, untuk gebrak2 yang akan
datang betapapun ia pantang menyerah, jika sampai kalah, bila Ni-hay-siang-kiam dua bangkotan
aneh ini mengajukan persoalan2 pelit, pasti dirinya menjadi semakin runyam.
Sejenak Thian-hi berpikir lalu ia berkata, “Guruku diberi julukan Seruling selatan, seperti apa
yang kalian lihat aku pun menggunakan seruling sebagai senjata, maka aku lebih peka dalam
pengetahuanku mengenai nada atau ritme musik, sekarang cobalah kalian dengarkan irama lagu
serulingku ini!”
Goan Tiong tertawa besar. serunya, “Sejak lama kudengar huhwa Seruling selatan punya
kepandaian khusus menggunakan irama serulingnya untuk menundukkan musuhnya, dengan
irama seruling menutuk jalan darah sangat kenamaan di dunia persilatan. fsungguh tak duga hari
ini kami memperoleh kesempatan untuk menikmati kepandaian yang tiada taranya ini!”
Thian-hi tertawa-tawa, kesepuluh jarinya sudah mulai bergerak pada posisi masing-masing di
atas lobang batang seruling itu, pelan-pelan ia lekatkan di depan bibirnya, dengan cermat ia
pandang kedua orang di depannya.
“Silakan tiup saja,” demikian ujar Goan Tiong dan Goan Liang bersama, “Jangan kau kuatir
kami tidak akan kuat bertahan.”
Sebetulnya Thian-hi punya perhitungan atau rencananya sendiri, melihat sikap orang ia maklum
bahwa kedua orang ini tentu sudah menelan Jian-lian-hok-ling itu, kalau tidak masa berani mereka
begitu takabur, agaknya untuk menang dan mengalahkan kedua musuhnya ini teramat sulit sekali.
Tapi bagaimana juga ia harus mencobanya. mengandal lwekang betapapun aku tidak rela kena
dikalahkan tanpa diuji sebelumnya meski aku harus dikeroyok dua.
Dalam kejap lain irama serulingnya sudah mengembang ditengah udara, suaranya lembut
rendah dan merdu sekali irama musik ini kedengaran kalem tapi sebenar-benarnya sekaligus

Thian-hi sudah melagukan Ngo-im-ho-bing (paduan lima nada), sedemikian merdu dan
mengasjikkan sekali mengili hati seperti aliran sungai mengalir gemercik lembut, pendengarnya
pasti teralun ke dalam alam inilah yang mempesonakan.
Gioan Tiong dan Goan Liang berdua diam-diam menjadi heran, sebagai murid Lam-siau adalah
jamak bila Thian-hi punya kepandaian yang tinggi dan mendalam dalam ilmu serulingnya ini dan
kepandaian ini tentu juga merupakan ilmu khusus yang dipelajarinya sejak kecil tapi kenapa
rasanya begini longgar dan cetek saja pengetahuannya dalam bidang ilmu musik ini. Tapi meski
punya pikiran memandang ringan betapapun mereka selalu siap waspada, soalnya ini baru
merupakan gebrak permulaan.
Irama seruling masih mengembang terus dan nadanya semakin meninggi lalu mengalun turun
pula menyelusuri dataran rendah melebar kesegala penjuru, sekelilingnya seolah-olah sudah
diramaikan oleh kicauan irama berbagai bunyi kicauan burung, baru sekarang Goan Tiong dan
Goan Liang mulai terkejut dan terkesiap hanya kiranya Thian-hi memang cukup cerdik memancing
pendengarannya terjebak ke dalam khayalan pikirannya, sedikit kurang hati-hati celakalah mereka,
cepat mereka mulai mengerahkan hawa murni dan tenaga untuk bertahan.
Tanpa disadari oleh mereka bahwa irama lagu yang dikerahkan dengan kekuatan hawa murni
yang hebat itu bahwasanya sudah merasuk ke dalam hatinya, begitu mereka mengerahkan tenaga
untuk melawan, kontan irama seruling lantas menerjang seperti gelombang laut yang mendampar
batu-batu karang tidak berkeputusan. nada lagunya juga semakin tinggi dan cepat, suara kicauan
burung yang mengasjikkan dan bau kembang yang menyejukkan badan telah lenyap, kini berganti
auman binatang buas yang saling berpaduan dengan rupa rendah, laksana ratusan kuda berderap
langkah dengan lari kencang.
Lambat laun Goan Tiong dan Goan Liang mengunjuk kepayahan, jidatnya basah oleh keringat,
betapa kuat mereka mengerahkan pertahanan namun karena dasarnya semula kurang kuat dan
keterjang pula dari luar dan dalam. sehingga pertahanan yang terjepit itu lama kelamaan semakin
kendor dan hampir bobol sama sekali, jelas mereka sudah tidak kuat lagi mempertahankan diri….
Biji mata Thian-hi berkilat-kilat, tiba-tiba bibirnya bergerak irama serulingnya melambung tinggi,
seolah-olah membawa semangat kedua lawannya naik ke atas awan mengembang ditengah
angkasa lalu dibantingnya jatuh pula ke tanah, begitulah berulang kali diombang ambingkan turun
naik seperti sebuah sampan kecil dihempas naik turunkan dalam gelombang samudra yang
mengamuk.
Goan Tiong sudah tak kuasa lagi mengendalikan diri, cepat ia membuka mulut lebar-lebar dan
menggembor sekeras-kerasnya, demikian juga Goan Liang tidak mau ketinggalan, mulutnya pun
mengeluarkan pekik tinggi yang nyaring, kedua suara mereka berpadu sejajar melawan irama
seruling yang sedang mengamuk seperti angin puyuh ditengah padang pasir. Begitu dua macam
suara saling bentrok, irama seruling Thian-hi rada kena terdesak, keruan Thian-hi kaget, tahu
bahwa bila dilanjutkan cuma membuang-buang tenaga dan belum tentu bisa menang, ia turunkan
serulingnya dan seketika lenyaplah irama lagu yang mengamuk dan memistik hati itu.
Sambil membasut keringat di jidatnya Goan Tiong tertawa dibuat-buat, katanya, “Gebrakan ini
jelas kau tidak mampu mengalahkan kami, coba kau masih punya kepandaian apa lagi, silakan
boyong keluar!”
Hun Thian-hi tertawa tawar, katanya, “Irama serulingku tak dapat menang, kepandaian lain apa
lagi yang aku miliki?”

“Tidak menjadi soal? bukankah kau tadi mengatakan setiap ilmu yang kau bekali merupakan
kepandaian yang sama-sama kau banggakan?” demikian olok Goan Tiong. “Cobalah belum tentu
kau bakal kalah.”
Terpikir oleh Thian-hi suatu cara untuk memperoleh kemenangan, namun dalam mulut ia masih
merendah, katanya, “Mengandal kepandaian Wanpwe yang masih begini cetlk mana berani aku
bertanding lebih lanjut dengan Cianpwe berdiua?”
Goan Tiong menjadi senang, katanya tertawa lebar, “Kenapa main sungkan-sungkan, bukankah
kau ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek? Cobalah dengan ilmu ini? Konon ilmu ini cuma merupakan
sejurus tunggal yang teramat lihay dikalangan persilatan, hayo beri kesempetan pada kami berdua
untuk menyaksikannya.”
“Adanya perintah dari orang yang lebih tua, aku yang lebih muda harus patuh dan menurut
saja. sebelumnyalah meski Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan jurus tunggal yang tiada taranya di
seluruh kolong langit ini, dalam pembawaan Wanpwe yang kurang becus ini, pasti bukan apa-apa
bagi Cianpwe berdua.”-demikian Thian-hi masih merendah diri.
Karena diagul2kan Goan Tiong dan Goan Liang menjadi kesenangan. serunya tertawa besar,
“Masa ija. marilah dicoba-coba!”
Pelan-pelan Thian-hi mengacungkan serulingnya. serunya, “Awas Cianpwe! Wanpwe akan
mulai.”
“Dengan tertawa Goan Tiong dan Goan Liang membuka tangan, maksudnya supaya Thian-hi
mulai saja tak usah kuatir pada mereka, terang sikap mereka ini memandang rendah.
Mereka tetap bertangan kosong, diam-diam Thian-hi mengupat dalam hati. karena jelas sekali
orang terlalu memancang rendah pada Wi-thian-cit-ciat-sek, hal ini malah membuatnya kuatir, tak
enak rasanya mengerahkan seluruh kemampuannya. Tapi dalam keadaan terdesak begini mau tak
mau ia harus melancarkan jurus-jurus ilmunya itu, maka begitu jejakkan kakinya badannya
melambung ke tengah udara dan berputar setehgah lingkaran, serulingnya menutul kesamping
terus ditukikkan kebawah, itulah jurus Wi-thian-cit-ciat-sek salah satu dari kembangan variasinya,
segulung tenaga dahsyat kontan menerjang ke arah Goan Tiong berdua.
Goan Tiong dan Goan Liang berdiri jajar, serempak menekuk dengkul, gerak gerik mereka
serasi benar-benar, sama-sama mendorong kedua telapak tangan ke depan menyongsong
rangsakan Thian-hi.
Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan jurus tunggal yang tiada taranya dikolong langit, masa dapat
digempur dan dipunahkan begitu gampang oleh Ni-hay-siang-kiam cukup dengan songsongan
empat pukulan telapak tangan belaka, tujuh jalur tenaga dahsyat berputar dan saling silang
bergantian berputar menyampok balik gelombang pukulan mereka berdua, malah jauh
berkelebihan tenaga yang mendampar itu terus menerpa ke arah mereka berdua.
Seketika dada kedua orang seperti dipukul godam, saking kejutnya serempak mereka melompat
mundur, begitu berdiri tegak pula tangan masing-masing sudah menghunus pedang.
Sebenar-benarnia Thian-hi sendiri tidak melancarkan serangannya sepenuh hati, apalagi sikap
kedua lawannya terlalu memandang enteng, apa boleh buat terpaksa ia kendorkan tenaga
serangannya, tapi saat mana Ni-hay-siang-Kiam sudah keburu melolos pedang, cuma Thian-hi
sudah menarik serangan lebih lanjut maka ia batalkan rangsakan selanjutnya.

Goan liong dan Goan Liang saling pandang, kata Goan Tiong, “Kenapa kau mundur dan
batalkan seranganmu?”
Hun Thian-hi tertawa, sahutnya, “Tenaga Wanpwe kurang kuat tak kuasa meneruskan lagi.”
Ia tahu bila ia mengatakan dirinya sudah menang kedua lawannya ini pasti tidak terima,
betapapun harus dicoba sekali lagi, kini mereka sudah menghunus pedang, ada lebih baik aku
mundur setapak, siapa tahu dengan caraku ini aku bakal memperoleh keuntungan.
Dengan memicingkan mata Goan Liang mengawasi Hun Thian-hi, katanya, “Tapi jikalau kau
kalah. jangan harap kami suka menyerahkan kedua orang itu kepada kau!”
Hun Thian-hi tertawa, katanya, “Sudah tentu aku maklum. tapi tidak mudah aku mengambil
kemenangan!”
Goan Tiong dan Goan Liang sama adalah tokoh-tokoh silat kelas tinggi. sudah tentu mereka
tahu kemana jutrungan ucapan Thian-hi. soalnya mereka sudah kebiasaan bersikap sombong dan
takabur, mana bisa mereka mau mandah menyerah?
“Bagaimana?” kata Goan Tiong, “Silakan kau coba sekali lagi!”
Hun Thian-hi sudah tahu bahwa kedua musuhnya pasti akan mendesaknya, ia mandah tertawa
ewa, sahutnya, “Tak perlulah, coba-coba juga sama saja, bila Cianpwe berdua suka memberi
kelonggaran Wanpwe punya suatu cara, tapi entahlah Cianpwe berdua apa setuju?”
“Cobalah kau sebutkan caramu itu!” seru Goan Tiong berdua.
Hun Thian-hi girang, bila dua lawannya ini setuju kemenangan jelas bakal dicapainya,
betapapun usul yang akan diajukan ini sulit untuk ditampik oleh kedua lawan tuanya ini. Maka ia
menambahkan, “Tapi usulku ini agaknya rada kurang menguntungkan bagi Cianpwe berdua.”
Goan Tiong dan Goan Liang beradu pandang, terpaksa mereka kertak gigi, sahutnya, “Baiklah
silakan kau sebutkan, sebetulnya cara baik apa?”
Hun Thian-hi berpikir sebentar, ia berpendapat mengandal ilmu silat ia tidak mampu
mengalahkan kedua lawannya, tapi ia harus mencari suatu akal untuk menundukkan mereka,
akhirnya ia berkata, “Aku ada beberapa persoalan yang sulit dipecahkan. entah apakah Cianpwe
berdua suka memberi petunjuk?”
Lagi-lagi Goan Tiong berdua beradu pandang, kata Goan Tiong, “Maksudmu kau hendak
menguji kami dengan persoalanmu itu untuk menentukan menang kalah?”’
“Bukan begitu maksudku seluruhnya, cuma aku ingin tahu beberapa persoalan, dengan
pengalaman dan pengetahuan Cianpwe berdua yang luas. tentu kalian dapat memberi penjelasan
padaku!”
Alis Goan Tiong bertaut, ia merenung sekian lamanya, tidak bisa tidak ia harus menyetujui
permohonan Thian-hi ini. cuma persoalan apakah yang hendak Thian-hi tanyakan? Ini sulit
diketahui, bila perlu nanti setelah kami menang secara kebesaran jiwa kami serahkan Ma Gwatsian
dan gurunya kepada Hun Thian-hi, betapapun aku tidak boleh kalah. Sejenak ia berpikir apa
boleh buat terpaksa ia manggut-manggut, katanya, “Baik, tapi harus ada batasnya, kau hanya
boleh mengajukan tiga pertanyaan!”

Thian-hi manggut-manggut, dengan mengajukan cara ini sudah tentu dia sudah punya
persiapan, setelah berpikir sebentar ia lantas berkata, “Ingin aku tahu cara bagaimana Ma Gwatsian
diantarkan masuk dan cara bagaimana pula keluar dari lembah itu?”
Goan Tiong menyengir girang, sejak tadi hatinya kebat-kebit, entah pertanyaan apa yang
hendak diajukan oleh Hun Thian-hi? Sekarang mendengar pertanyaan yang sepele ini ia menjadi
geli dan berlega hati, bahwasanya mereka paling jelas mengenai hal ini, kalau tidak masa begitu
gampang mereka bisa mendapatkan Jian-lian-hok-ling itu?
“Masa hal yang sepele itu tidak dimengerti! Dimana terdapat Jian-lian-kok-ling itu disekitarnya
pasti terdapat pula Laba-laba darah, laba-laba darah ini setiap setengah bulan pasti tertidur.
Tatkala Cian-lian-hok-ling itu hampir matang baunya yang harum tersuar luas dan memabukkan,
kebetulan pula laba-laba merah itu sedang tertidur, kesempatan inilah digunakan Ang-hwat untuk
memasukan Ma Gwat-sian berdua kesana, begitulah kejadiannya! Soal cara bagaimana kami
menolong mereka keluar, hal ini jauh lebih gampang lagi, kami turun dari belakang gunung,
bukanlah seperti menjinjing kantong saja kami mengeluarkan mereka?”’
Thian-hi manggut-manggut sambil tersenyum, tanyanya pula, “Masih ada sebuah pertanyaan,
yaitu mengenai kuda hijau, apakah Cianpwe berdua tahu soal ini?”
Goan Tiong berdua beradu pandang lagi, tampak rona wajah mereka rada berubah, kata Goan
Tiong pada Hun Thian-hi, “Apa maksudmu mengajukan pertanyaan ini kepada kami?”
Rada kaget juga Thian-hi mendapat pertanyaan balasan ini, sangkanya kedua orang ini pasti
tidak tahu, dikolong langit ini masa benar-benar ada kuda warna hijau, pasti obrolan Siau-bin-moim
saja sebelum ajal, atau mungkin Jing-san-khek itu sengaja hendak mempersukar Siau-bin-moim,
seumpama memang benar-benar ada kejadian ini, tidak mungkin sekali ia ajukan
pertanyaannya lantas tepat pada orang yang berkepentingan.
Dari perubahan air muka kedua orang ini agaknya mereka pasti tahu seluk beluk kuda hijau itu,
malah persoalan ini agaknya cukup penting, kalau tidak masa mereka kelihatan bersikap waspada
dan hati-hati.
Dalam hati ia terkejut namun lahirnya tetap tenang-tenang saja, katanya pula sambil tertawa,
“Aku cuma dengar dikolong langit ini ada seekor kuda hijau, kukira Cianpwe pasti tahu akan
kebenar-benaran ini maka kuajukan pertanyaan ini, sebenar-benarnya aku tiada punya maksud
apa-apa!”
Goan Tiong menarik muka, katanya dengan sungguh-sungguh, “Apakah benar-benar dan dapat
dipercaya ucapanmu ini?”
Thian-hi tidak tahu apa hubungan atau sangkut paut kedua orang ini dengan Kuda hijau itu,
maka iapun tidak berani memberitahu apa yang dia ketahui. dari cerita Siau-bin-mo-im, katanya,
“Berani sumpah bahwa aku memang tidak tahu bila Cianpwe berdua ada mengetahui soal kuda
hijau itu!”
“Urusan ini bukan persoalan sembarangan, dikolong langit cuma beberapa orang saja yang
tahu perihal kuda hijau itu, dari mana kau kisa tahu, lekas kau jelaskan padaku.”
Thian-hi menjadi ragu-ragu, entah mengapa begitu penting dan kelihatannya sangat gawat
perihal kuda hijau itu, sebetulnya akulah yang mengajukan persoalan ini kepada mereka, sekarang
berbalik menjadi aku yang diperas keteranganku, serta merta ia menjadi kecewa dan menyesal,
cuma mencari kesulitan sendiri saja.

Sudah tentu iapun segan menjelaskan keseluruhannya, katanya, “Bagaimana keadaan
sesungguhnya aku tidak tahu jelas, aku tidak bisa sembarangan omong!”
Goan Tiong mendengus, sebaliknya Goan Liang lantas bertanya, “Kalau begitu, percakapanmu
ini bisa disimpulkan bahwa persoalan ini menjadi tidak begitu penting menurut penilaianmu
semula!”
Hun Tliian-hi manggut-manggut, katanya, “Boleh dikata begitulah, tak tahu aku kenapa
Cianpwe berdua kelihatannya menjadi tegang, sudah tentu aku menjadi segan untuk meneruskan
persoalan ini!”
Tanya Goan Tiong lagi, “Persoalan lain aku tidak peduli, tapi bila kau mendapatkan kuda hijau
itu. cara bagaimana kau hendak mengurusnya?”
Thian-hi harus hati-hati, ia tahu bahwa Goan Tiong berdua sedang menyelidik dan mengorek isi
hatinya, nanti akan diketahui olehnya dimana pendirian kedua belah pihak. ia harus berpikir lebih
cermat perlukah ia menjelaskan, bila ia terus terang bukan mustahil mereka akan bersikap
bermusuhan terhadap dirinya,
kalau hal ini sampai terjadi bukan saja perihal kuda hijau itu tidak berhasil dikorek, Ma Gwatsian
dan gurunya pun tidak akan dapat diketemukan atau mungkin pula tidak akan diserahkan
pada dirinya.
Thian-hi harus termenung sekian lamanya, Goan Tiong menjadi tidak sabar, desaknya, “Mau
tidak kau menjelaskan terserah pada kau, tapi bila tidak kau jelaskan Ma Gwat-sian berdua tidak
akan kami serahkan kepada kau!” — berhenti sebentar ia melirik memberi isyarat kepada Goan
Liang lalu sambungnya, “CobaJah kau pikir lebih matang, tiga hari lagi kau boleh datang kemari!”
lalu mereka bergerak hendak tinggal pergi.
“Hai, nanti dulu!” teriak Thian-hi membantu maju.
“Apa sekarang juga kau hendak bikin penyelesaian? Begitupun baik!”
Kata Hun Thian-hi, “Ketahuilah bahwa Ma Gwat-sian dan gurunya pernah menolong jiwaku,
mereka tidak punya sangkut-paut dengan persoalan ini, boleh kujelaskan cuma setelah
kuterangkan, Cianpwe berdua harus berjanji mau melepas mereka keluar!”
Goan Tiong berpikir sebentar lalu manggut-manggut ujarnya, “Begitupun baiklah!”
Pelan-pelan Hun Thian-hi menghela napas, terasa olehnya bahwa urusan tidak bakal bisa lancar
menurut dugaannya semula, maka katanya, “Soal kuda hijau itu, aku mendapat tahu dari
penuturan Siau-bin-mo-im!”
Goan Tiong menggeram sambil membanting kaki dengusnya, “Siau-bin-mo-im?”
Thian-hi menjadi kurang senang melihat sikap orang yang kurang simpatik, kenapa pula
dengan Siau-bin-mo-im? Kenapa pula kelihatannya kau memandang rendah dan menghina
pribadinya?
“Beliau teringat akan perihal kuda hijau itu,” demikian Thian-hi melanjutkan, “sebelum ajal
beliau ada pesan padaku supaya menanyakan hal ini kepada Jing-san-khek, tapi aku harus
memperoleh Kuda hijau itu lebih dulu, kalau tidak Jing-san-khek tidak akan mau memberi tahu
padaku.”

“Agaknya kau salah lihat, orang itu adalah Mo-bin Suseng bukan Siau-bin-mo-im,” demikian
Goan Tiong menjelaskan dengan sikap dingin, “Kecuali Mo-bin Suseng tiada orang kedua yang
mau membeberkan rahasia ini kepada orang luar!”
Thian-hi terkejut, namun lahirnya tenang tertawa-tawa, katanya, “Mereka tiga bersaudara
berbentuk sama, kuyakin bahwa beliau Siau-bin-mo-im adanya!”
Goan Tiong menjengek bibir, sindirnya sinis, “Anggapmu aku tidak tahu? Ketahuilah cuma Mobin
Suseng seorang saja yang tahu perihal ini, Hwesio jenaka dan Siau-bin-mo-im sama sekali
tidak tahu menahu soal ini!”
Thian-hi tertegun, sungguh tak nyana bahwa urusan bisa berubah begini besar, soalnya ia
sendiri tidak bisa membedakan mana Siau-bin-mo-im atau Mo-bin Suseng tulen. Betapapun ia
tidak percaya manusia tambun pendek yang meregang jiwa itu adalah Mo-bin Suseng, dengan
mata kepalanya sendiri ia saksikan Siau-bin-mo-im mangkat, begitu juga seperti bayangan setan
tahu-tahu Ah-lam Cuncia sudah muncul dihadapannya lalu menghilang pula dengan langkah
seenteng asap mengembang, beliau membawa jenazah Siau-bin-mo-im, mana mungkin orang itu
adalah Mo-bing Suseng!
Tengah Thian-hi tenggelam dalam keraguannya, terdengar Goan Tiong berkata dingin, “Apapun
alasanmu tidak berguna lagi, kalau toh kau sudah datang kemari karena pesan Mo-bin Suseng itu
marilah kita bicara terus terang saja, kuda hijau memang berada di tempat kami, maka silakan
bicara terus terang pula padaku saja!”
“Hun Thian-hi semakin melenggong, katanya tertawa, “Moh-bin Suseng adalah musuh besar
yang membunuh ayahku, mana sudi aku mendapat pesannya, harap Cianpwe berdua tidak salah
paham!”
Goan Liang segera menibrung, “Berani dia membocorkan perihal ini kepada orang luar, malah
berpura-pura dan bermuka2 begitu mirip sekali, tapi ketahuilah kami berdua tidak begitu gampang
dapat dikelabui dan ditipu mentah-mentah. Gurunya I-lwe-tok-kun kan berada disini juga, dia
sendiri tidak berani datang kemari justru kaulah yang diutusnya kesini!”
Tak habis heran Thian-hi, dalam hati ia bertanya-tanya kenapa Goan Tiong berdua begitu
kukuh berpendapat bahwa orang yang memberi tahu perihal itu kepadanya adalah Mo-bin Suseng
adanya, malah menuduh dirinya adalah utusan Mo-bin Suseng pula, begitulah pikir punya pikir
semakin besar tanda tanya yang mengganjal sanubarinya, seluruh persoalan ini benar-benar luar
biasa.
“Kalau kau benar-benar ingin minta kuda hijau itu boleh kami berikan kepada kau, cuma asal
kau sendiri punya akal dan mampu bekerja sendiri! Mari kau ikut kami.” — lalu mereka
mendahului beranjak lari ke arah depan sana.
Tanpa banyak pikir Thian-hi segera mengintil di belakang mereka, pikirnya, Ah-lam Cuncia
agaknya sudah sehat kembali, matanya sudah melihat dan ilmu silatnya sudah pulih kembali,
pastilah tiada sesuatu keperluan apa-apa lagi, aku sendiri tidak punya kepentingan atas kuda hijau
itu, cuma Ma Gwat-sian masih berada ditangan mereka, terpaksa aku harus ikut kemanapun
mereka menuju,
Begitulah dengan berlari-lari kencang Ni-hay-siang-kiam membawa Hun Thian-hi masuk ke
pedalaman terus manjat ke atas gunung, tak lama kemudian mereka sudah beranjak di dalam
hutan-hutan yang lebat di dalam pegunungan yang tinggi dan terjal.

Segala rintangan tidak menjadi penghalang yang berarti bagi mereka, mereka terus berlari
bagai terbang, setiba disebuah tikungan tiba-tiba Goan Tiong berdua berhenti dan berpaling ke
belakang, sekejap saja tahu-tahu Hun Thian-hi juga sudah meluncur turun di belakang mereka,
sejenak mereka beradu pandang, mata mereka sama memancarkan sorot terang yang
membayangkan rasa kejut hati mereka.
Cepat Hun Thian-hi pun menghentikan luncuran tubuhnya, katanya kepada Goan Tiong,
“Tujuanku cuma minta Ma Gwat-sian bisa dikembalikan secepatnya, tiada niatku mencari garagara
soal kuda hijau apa segala!”
“Kenapa? Apa kau jadi ketakutan?” demikian jengek Goan Tiong dingin.
Thian-hi tertawa2, ujarnya, “Selamanya aku tidak gampang dipancing atau dibuat marah, aku
menjadi heran kenapa Cianpwe berdua agaknya hendak mempersukar diriku hanya karena soal
kuda hijau itu?”
Kalau aku tidak gampang terpengaruh oleh keadaan itulah baik”, demikian Goan Liang
menyeletuk, “sebaliknya aku menjadi bersedih bagi temanmu itu, bukankah kau sendiri
mengatakan sudah menyanggupi untuk mengurus persoalan ini menurut pesannya, kenapa
sekarang kau harus berhenti ditengah jalan dengan hampa!”
“Ah, memang mungkin aku yang salah. Cuma ilmu silat Ah-lam Cuncia sudah pulih kembali, jadi
agak nya tidak perlu aku bersusah payah lagi,” demikian Hun Thian-hi coba membela diri dengan
alasannya
Tak duga Goan Tiong menggeram sambil menjebir bibir dengan sinis, katanya, “Dapatlah
seseorang yang pernah menelan Ban-lian-ceng bisa sembuh kembali? Dalam hal ini bocah
berumur tiga tahun pun jangan harap dapat kau apusi. Apalagi bila ilmu silatnya sudah pulih betulbetul,
kenapa pula muridnya harus berpesan kepada kau sebelum ajal.”
Thian-hi jadi terbungkam, ia sendiri juga bingung dan sulit meraba kemana juntrungan
persoalan ini, mau tidak mau keyakinan hatinya menjadi goyah, memang ia jadi bingung
bagaimana harus beri penjelasan lebih lanjut. Tersimpul olehnya cara penjelasan paling baik yaitu
diakui bahwa orang yang berpesan sebelum ajalnya itu benar-benar adalah Mo-bin Suseng bukan
Siau-bin-mo-im, tapi apakah mungkin hal ini terjadi? Ia tenggelam dalam renungannya.
Terdengar Goan Tiong berkata dingin, “Penjelasan paling baik bagi kau adalah bahwa orang itu
bukan Siau-bin-mo-im, tapi Mo-bin Suseng adanya. Gurunya berada di tangan kami betapapun ia
tidak akan berani membocorkan rahasia ini, kalau tidak gurunya bakal mengalami derita dan
ancaman elmaut.”
Bercekat hati Thian-hi, mukanya menjadi masam, batinnya jadi benar-benarlah orang itu adalah
Mo-bin Suseng adanya, hatinya menjadi mendelu dan entah pahit entah getir atau ia harus
bergirang, sesaat lamanya ia jadi sukar merasakan perasaan hatinya.
Goan Tiong mendengus keras-keras lalu menarik Goan Liang berlari pula menuju ke sebuah
perkampungan dan terus lari masuk.
Keruan Thian-hi jadi gugup cepat ia mengejar, teriaknya, “Nanti dulu Cianpwe, omonganmu
belum selesai.”
“Sekarang tak perlu banyak bicara lagi, marilah kau ikut!” Goan Tiong berseru tertawa.

Tatkala itu cuaca baru saja terang tanah, jalan menuju ke perkampungan masih sepi tak
kelihatan ada bayangan manusia, laksana dikejar setan saja mereka bertiga beriringan melesat lari
ke dalam perkampungan itu. Dalam kejap lain mereka sudah tiba di sebuah kebon kembang yang
teramat luas.
Thian-hi loncat ke atas tembok, tampak taman kembang ini kira-kira seluas beberapa li, dalam
kebon kembang ini terdapat berbagai aneka ragam kembang yang indah dan gunung2an besar
kecil serta jembangan yang tersebar dimana-mana. Begitu berada di dalam taman kembang ini
bayangan Ni-hay-sian-kiam lantas lenyap.
Thian-hi jadi dongkol, kenapa kedua orang itu tidak tahu aturan, entah apa sangkut pautnya
kedua orang ini dengan kuda hijau itu, lagaknya mereka tidak sudi menyerahkan kuda hijau itu
kepada Jeng-san-khek, inilah kejadian yang aneh dan amat mengherankan hatinya.
Dari ketinggian tempatnya berdiri terlihat di depan rada jauh sana terdapat sebuah bangunan
gedung yang tinggi megah, sekitarnya dikelilingi pohon-pohon pendek dan bunga2 yang sedang
mekar saling berlomba memperlihatkan keindahannya. Pasti mereka menuju ke sana itulah,
demikian pikir Thian-hi, dua orang itu paling suka menonjolkan diri dan suka jaga gengsi,
betapapun segan untuk melarikan diri, apalagi ilmu silat mereka sudah sedemikian lihay tentu
takkan terjadi hal-hal seperti dugaannya ini.
Thian-hi rada was-was untuk bertindak ke dalam, kuatirnya dalam kebon ini ada dipasang alat2
rahasia untuk menjebak orang, terpaksa ia melolos serulingnya sekali enjot tubuh enteng sekali
kakinya hinggap di tanah. Baru saja ia berdiri tegak, tiba-tiba Goan Tiong menerobos keluar dari
belakang sebuah gunung2an menghadang di hadapan Thian-hi sambil menghunus pedang,
katanya dingin, “Kami berdua cuma ingin merintangi kau, bilamana kau berhasil menerjang masuk
ke dalam gedung itu, segala urusan bisa segera diselesaikan.”
Lagi-lagi Thian-hi kaget dibuatnya, Goan Tiong muncul lagi begitu cepat dan tak terduga-duga,
bila tadi ia langsung menyerang pasti aku terdesak di bawah angin, sekarang ia menghadapiku
dengan persyaratannya ini, sebagai ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, meski mereka pernah menelan
Jian-liang-hok-ling, agaknya sulit untuk mencapai kemenangan, tapi kalau cuma menerjang ke
sebelah dalam mencapai pintu gedung itu rasanya tidak terlalu sukar.
Tanpa bicara lagi Thian-hi acungkan serulingnya, sementara kakinya beranjak mendekat,
langsung ia menerjang dengan tutukan kedada Goan Tiong. Sangkanya dengan mengajukan
syaratnya itu tentu Goan Tiong akan mati-matian merintangi dirinya, tak nyana bukan saja
menangkis atau melawan ternyata Goan Tiong berkelit mundur lalu lenyap dibalik gunung2an
batu.
Thian-hi tidak hiraukan kemana Goan Tiong melenyapkan diri, ia berlari kencang menerjang
terus ke depan. Tapi belum berapa langkah ia maju. tahu-tahu Goan Tiong dan Goan Liang telah
muncul pula mencegat jalannya, dua batang pedang menyamber bersilang dari kanan kiri
membabat keleher Hun Thian-hi, serangan ini cukup ganas dan lihay sekali.
Tergerak hati Thian-hi, kenapa aku tidak main gertak saja terhadap mereka yang maju dan
menyergap bersama ini, meminjam tenaga mereka untuk jumpalitan menerjang ke arah depan
malah?
Seiring dengan pikirannya ini, serulingnya cepat ditutukkan ke depan menangkis tepat pada
persilangan kedua pedang lawan. Tak duga baru saja serulingnya menyetuh kedua senjata musuh
kontan ia rasakan segulung tenaga besar menerjang ke arah badannya seketika ia terpental
mundur dan mencelat tinggi sampai terlempar keluar tembok.

Cepat Thian-hi menyedot hawa, mengendalikan badan memberatkan tubuh, waktu meluncur
tubuh tepat kakinya berhasil hinggap di atas tembok, waktu ia angkat kepala pula bayangan Goan
Tiong dan Goan Liang sudah menghilang tanpa bekas.
Berkerut alis Thian-hi, tiba-tiba ia berlari-lari kencang sekali di atas tembok yang memagari
kebon kembang yang luas itu, tak lupa kedua matanya yang jeli mengawasi ke dalam kebon,
apakah bayangan Goan Tiong dan Goan Liang ada kelihatan, tapi sedemikian jauh ia tak berhasil
melihat bayangan apapun kecuali kembang2 dan pepohonan yang hidup subur, sekali berkelebat
Thian-hi mencari posisi lain dari tempatnya yang baru ini ia coba menerjang ke dalam. Tapi baru
saja ia mencapai tanah, tahu-tahu Goan Tiong dan Goan Liang sudah muncul pula terus
menyerang dengan pedang masing-masing.
Thian-hi tercengang kaget, sungguh tak duga bahwa gerak kedua orang ini sedemikian tangkas
dan cepat, apalagi seolah-olah sudah tahu sebelumnya dirinya bakal menubruk dari jurusan mana
dan di tempat itu pula mereka sudah menanti. Betapapun sekali ini aku harus menjajal sampai
dimana kepandaian mereka, demikian pikirnya, seruling teracung tinggi miring, pelan-pelan ia
kerahkan kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek.
Bab 32
Kelihatannya Goan Tiong berdua bersikap acuh tak acuh, pedang mereka tetap bergerak
menyilang dari kanan kiri, bergerak cepat dan lambat maju mundur langsung menyongsong ke
ujung seruling jade lawan.
Baru saja Hun Thian,hi lancarkan serangan serulingnya, mendadak terasa gelombang tenaga
yang lunak dan kuat mengurung dirinya dari berbagai penjuru, meski kekuatan Wi-thian-cit-ciatseknya
sanggup menggugurkan gunung membelah bumi juga seketika menjadi sukar
dikembangkan lebih lanjut, begitu tenaga sendiri menjadi bujar badannya lantas membal balik dan
terpental mundur ke atas tembok lagi, sedemikian hebat tenaga lontaran ini sehingga ia
bergoyang gontai di atas tembok hampir terlempar keluar.
Hatinya mencelos, selama ia melancarkan Wa-thian-cit-ciat-sek belum pernah ketemu
tandingan sedemikim tangguh, nyata bahwa Wi-thian-cit-ciat-sek sedikitpun tidak mampu
menunjukkan perbawanya.
Sungguh tidak habis heran hatinya, apakah mungkin tenaga yang dikerahkan telah salah
salurannija? Ataukah jurus permainannya yang kurang sempurna? Terbayang olehnya waktu
pertama kali dirinya terjun kegelanggang percaturan dunda persilatan, Ang-hwat-lo-mo cuma
mengajar sejurus Pencacat langit pelenyap bumi, mengandal Lwekang sendiri pada waktu itu,
kenyataan jurus itu dapat menambah sepuluh lipat tenaganya sendiri. Apalagi Wi-thian-cit-ciat-sek
merupakan ilmu pedang tiada taranya yang tiada bandingannya, masa lebih asor dibanding
Pencacat langit pelenyap bumi? Sebaliknya kalau benar-benar cara penggunaannya. tak mungkin
dirinya sedemikian gampang dipermainkan lawan, yang terang dalam sekejap ia akan dapat
angkat nama dan menggegerkan seluruh dunia persilatan. Begitulah pikir punya pikir tak terasa ia
berdiri berjublek di atas tembok,
Akhirnya pandangannya meneliti keadaan sekitar kebon kembang itu, lambat laun didapatinya
sesuatu yang ganjil dari tumbuhan bunga itu, kiranya setiap tanaman kembang dan pepohonan
yang satu sama lain mempunyai letak yang persis dan jarak yang tertentu teratur rapi sekali.
terang itulah bentuk dari sebuah barisan.

Hatinya jadi was-was bahwa kebon kembang inipun ternyata diatur dengan bentuk sebuah
barisan, kalau tidak. tidak mungkin Goan Tiong dan Goan Liang dapat bergerak sedemikian lincah
dan cepat sekali dalam waktu yang sedemikian singkat pula. Thian,hi insaf untuk menerjang
masuk dan menembus langsung ke gedung besar itu adalah sesukar memanjat langit, apa lagi bila
ia teringat pengalamannya di dalam Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin dulu, ia jadi jeri untuk
sembarangan beranjak ke dalam.
Terpaksa ia putar kayun mengelilingi pagar tembok. Diam-diam ia mencari akal cara
bagaimana. untuk menjebol barisan ini, tapi hakikatnya ia tidak akan memperoleh kunci
pemecahannya karena ia sendiri tidak tahu segala seluk beluk mengenai barisan apakah yang
dihadapinya ini. Saking gemes lalu terpikir olehnya, “Bila Ham Gwat ada disini perkembangan
selanjutnya tentu gampang diatasi, bukankah Ham Gwat juga bisa menyelami intisari dari rahasia
barisan Thay-si-ciang-soat-lian,mo-tin?” semakin dipikir hatinya menjadi gundah, berbagai pikiran
menggejolak dalam becaknya, akhirnya ia menghirup napas dalam-dalam menghilangkan segala
pikiran yang membutakan otaknya, dengan seksama ia mulai lagi meneliti keadaan dan kedudukan
posisi barisan yang aneh ini.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan abu-abu berkelebat diujung pandangan matanya,
sesosok bayangan itu melayang turun dari tengah udara seringan daun melayang jatuh ke tanah
dan akhirnya hinggap di atas tembok disebelahnya.
Waktu menegas lihat seketika hatinya menjadi girang2 kejut, karena pendatang ini bukan lain
adalah Ah-lam Cuncia adanya. Sungguh tak kira bahwa Ah-lam Cuncia bisa muncul dalam saat dan
keadaan yang sulit ini. ini benar-benar suatu hal yang mengejutkan dan menggirangkan pula
hatinya. Tapi untuk tujuan apa pula Ah-lam datang kemari?
Sambil tersenyum lebar Ah-lam Cuncia menyapa dulu kepada Hun Thian-hi, “Hun-sicu apa baikbaik
saja selama berpisah?”’
Cepat-cepat Hun Thian-hi menjura hormat serta tanyanya, “Entah untuk apakah Taysu datang
kemari?”
Ah-lam Cuncia menyapu pandang keadaan kebon kembang di dalam tembok lalu tertawa,
katanya, “Hun-sicu sampai meluruk kemari apakah karena persoalan kuda hijau itu?” — dengan
tawa berseri ia pandang muka Hun Thian-hi.
Dari nada pertanyaan Ah-lam Cuncia, Hun Thian-hi bisa menarik kesimpulan bahwa beliau pun
karena urusan itu pula sehingga datang kemari, keruan hatinya rada terhibur, sebagai Suheng dari
Ka-yap Cuncia, sebagai angkatan tua yang aneh dan serba misterius bagi dunia persilatan. pasti
beliau dengan gampang saja dapat memecahkan rahasia barisan kembang yang rumit ini.
mengandal kepandaiannya, tidak perlu takut lagi menghadapi Goan Tiong berdua.
Belum lagi Hun Thian-hi angkat bicara, keburu Ah-lam Cuncia berkata lagi, “Jikalau Hun-sicu
kemari juga karena kuda hijau, maka Loceng menganjurkan supaya Hun-sicu lekas pulang saja!”
“Semula tujuan Wanpwe bukan kuda hijau itu, hendak menolong Ma Gwat-sian. Tapi sekarang
urusan sudah menjadi berkepanjangan, mau tak mau kedua urusan ini harus kuselesaikan
sekalian!” — lalu ia jelaskan asal mula kejadian ini sampai keadaan yang menyulitkan ini.
Ah-lam Cuncia berpikir sekian lamanya, ujarnya, “Sebab musabab kuda hijau itu terlalu panjang
dan rumit untuk dijelaskan. Mo-bin Suseng memang terlalu membawa adatnya sendiri, bekerja
tanpa perhitungan sehingga terjadilah keadaan yang menyulitkan ini.”

Berdetak jantung Thian-hi mendengar ucapan orang, ditariknya suatu kesimpulan pula bahwa
orang yang telah terbunuh oleh pukulannya tempo hari memang benar-benar adalah Mo-bin
Suseng bukan Siau-bin-mo-im seperti yang diduganya semula.
Agaknya Ah-lam Cuncia dapat meraba alam p kiran Thian-hi, dengan tertawa welas asih ia
berkata, “Orarg yang mati itu memang Mo-bin Suseng adanya, sekarang dia sudah ajal maka budi
dan dendam sudah himpas sama sekali.”’
Tak tahu Thian-hi bagaimana perasaan hatinya saat itu, Mo-bin Suseng adalah musuh besar
pembunuh ayahnya, ternyata musuh besar sudah mampus oleh tangannya sendiri, bukankah itu
berarti bahwa dia sudah berhasil menuntut balas? Sebenar-benarnyalah ia tidak terpengaruh akan
perasaan haru atau senang, selama ia kelana di Kangouw, cita-citanya cuma menuntut balas bagi
kematian ayahnya, sampai ke ujung langit pun Mo-bin Suseng akan dikejar sampai berhasil
dibunuhnya, tapi selama itu muka asli dan bagaimana bentuk Mo-bin Suseng itu belum pernah
dilihat atau diketahuinya, namun sekarang mendadak diketahui bahwa sebenar-benarnyalah Mobin
Suseng sejak beberapa saat lamanya sudah mampus di tangannya sendiri.
Dengan perasaan kosong ia termangu-mangu mengawasi Ah-lam Cuncia, seolah-olah bentuk
atau raut muka Mo-bin Suseng sudah tidak berkesan lagi dalam ingatannya, dengan keheranan ia
bertanya pada sanubarinya sendiri, “Apakah cita-citaku sudah terkabul?”— sedikit pun ia tidak
merasakan hal ini!
“Kau masih punya banyak tugas harus kau kerjakan, banyak pula harapan yang harus kau kejar
demi masa depanmu, apakah hidupmu ini melulu cuma demi menuntut balas saja. Kalau demikian
saja pandangan dan pendapatmu, rasanya terlalu kecil kau menilai norma2 hidup manusia ini….
Apa pula yang perlu kau kejar dan kau capai, kukira hanya kau sendiri yang tahu!”
Hun Thian-hi tertunduk, ia bertanya pada dirinya sendiri, “Apakah aku hidup demi menuntut
balas dendam? Rasanya bukan, dan masa itu sudah silam, kalau tidak tiada manfaatnya aku hidup
lebih lanjut dalam dunia ini!”
Sekarang ia mulai menyelusuri kembali pengalamannya selama ia terjun ke gelanggang
percaturan dunia persilatan, segala sepak terjangnya memang bukan melulu untuk mengejar
musuh dan menuntut balas dendam. Mo-bin Suseng sudah mampus sediki tpun tidak terasa
senang dalam hatinya, bukan saja tidak gembira iapun tidak merasa bahwa ia sudah menang dan
berhasil menunaikan tugas.
Kata Ah-lam Cuncia lagi, “Kau harus tahu, Mo-bin Suseng bukan seorang durjana yang teramat
jahat, jangan kau pandang rendah martabatnya. Pesannya sebelum ajal semua ia curahkan dari
lubuk hatinya yang paling dalam dan itu benar-benar, tiada terkandung maksud-maksud jahat.
Hwesio jenaka dan Siau-bin-mo-im tentu tidak akan salahkan kau, bahwasanya memang Mo-bin
Suseng yang berbuat kesalahan, ia melakukan perbuatan yang sebenar-benarnya tak perlu ia
lakukan!”
Hun Thian-hi tersenyum, katanya, “Sekarang sedikitpun Wanpwe tidak punya angan2 untuk
menuntut balas apa segala, cuma masih tersekam suatu perasaan aneh, tapi aku sendiri tidak
dapat mengatakan perasaan aneh apakah itu!”
“Itu tidak perlu dibuat heran,” ujar Ah-lam Cuncia, “adalah jamak kejadian itu bagi manusia.
Dikala seseorang mengejar sesuatu benda umpamanya, sangkanya setelah ia memperoleh benda
itu pasti hatinya akan puas dan kegirangan. Jikalau Mo-bin Suseng sekarang muncul di
hadapanmu, dan dia belum lagi meninggal, pasti kau tidak akan hiraukan nasehat atau bujukan
orang lain dan melabraknya mati-matian, setelah kau berhasil mencapai kemenangan maka kau
sendiri tidak akan merasakan kemenangan itu, tak lain sama seperti biasa saja.”

Thian-hi bungkam dan merenung, memang begitulah keadaannya sekarang, tanyanya kepada
Ah-lam Cuncia, “Taysu, lalu bagaimana aku harus menempatkan diri supaya tidak terbelenggu
oleh semua itu?”
“Jangan ceroboh dan jangan serampangan bertindak setelah kau memperoleh hasil!” demikian
ujar Ah-lam Cuncia sambil merangkap tangan di depan dada.
Tersadar benak Thian-hi, cepat ia menjura, serunya, “Terima kasih akan petunjuk Taysu.”
Sesaat lamanya mereka berdiam diri, akhirnya Ah-lam membuka suara pula, “Ni-hay-siang-kiam
punya hubungan yang sangat mendalam dengan Jing-san-khek, ada beberapa persoalan adalah
urusan intern rumah tangga mereka, kita sebagai orang luar tidak perlu turut campur, begitu juga
soal kuda hijau itu tidak perlu kau terlalu mendesak pada mereka, Tapi Ma Gwat-sian dan gurunya
adalah ahli waris dari Tay-seng-ci-kou, kau harus menolong mereka keluar, tapi rasanya Ni-haysiang-
kiam tidak begitu gampang mau menyerahkan mereka padamu!”
“Taysu apakah kau punya cara memasuki barisan ini?”
“Aku juga punya hubungan erat sekali dengan pencipta barisan ini, biarlah kucoba-coba, tapi
belum tentu aku bisa berhasil.”
Timbul setitik harapan dalam benak Thian-hi, bahwa ucapan Ah-lam jelas memberi tahu bahwa
beliau mampu memecahkan barisan ini, cuma kami berdua sama masuk kesana ataukah dia
sendiri yang akan menjebolnya.
Rada lama Ah-lam Cuncia meneliti keadaan barisan kembang ini, raut mukanya semakin kelam,
Hun Thian-hi menjadi heran, tapi ia sungkan untuk bertanya, dalam hati ia bertanya-tanya entah
hubungan apa adanya pencipta barisan ini dengan Ah-lam Cuncia.
Tak lama kemudian terdengar Ah-lam Cuncia berkata, “Mari kuberi petunjuk, coba kau masuk
ke dalam barisan.”
Thian-hi rada kaget dibuatnya, pikirnya, “Bahwasanya aku tidak tahu menahu tentang seluk
beluk barisan ini, beberapa patah kata-katamu biia dibanding kedatangan Goan Liang berdua
rasanya terpaut antara bumi dan langit, bukankah sia-sia saja aku masuk ke dalam barisan sana,
sekali kena dirintangi, masa aku mampu melarikan diri!”
Ah-lam dapat melihat sikap ragu-ragu Hun Thian-hi, ia jadi geli dan berkata, “Kau dengar dulu
petunjukku! Coba kau lihat!”
Sembari berkata ia menunjuk ke arah sebuah pohon kenari lalu tambahnya, “Kau boleh menuju
ke arah pohon kenari itu, setelah di bawah pohon kekiri tiga kekanan dua dan terus kau tempuh
cara yang sama, dengan mudah kau bisa masuk dan menerobos keluar dari barisan!”
Thian-hi memandang ke arah pohon kenari itu, disekitar pohon sana terdapat banyak sekali
batu gunung-gunungan dan liku2 aliran sungai kecil yang serba rumit, selayang pandang lantas
menimbulkan kejerihan hatinya. Tapi justru Ah-lam Cuncia menghendaki dirinya menerobos ke
tempat yang paling rumit itu, serta merta semakin ciut nyalinya, tapi perintah Ah-lam Cuncia tidak
bisa tidak harus dituruti dan anjuran orang pasti tidak akan salah, jalan itu pasti benar-benar dan
tidak perlu disangsi lagi.
Cuma masih terkandung kesangsian dalam benaknya, apakah mungkin barisan kembang yang
sangat rumit ini dapat begitu gampang dipecahkan?. Segera Thian-hi melayang turun di bawah

pohon kenari itu, ternyata Goan Tiong dan Goan Liong tidak muncul mencegat jalan lagi, mau tak
mau terhiburlah hatinya. Tanpa ayal lagi Thian-hi melangkah lebih jauh ke depan pohon kenari,
dan belum lagi ia beranjak lebih lanjut tiba-tiba Goan Tiong berdua muncul mengadang di
depannya sambil menyoreng pedang. Menghadapi gunung2an batu yang berserakan tidak genak
dan kilauan batang pedang yang menyilaukan mata, serta merta hati Thian-hi menjadi keder,
kalau ia nekad maju lebih lanjut entah apa yang akan diperbuat oleh Goan Tiong berdua, tapi
pesan Ah-lam Cuncia harus dipatuhi dan itu berarti bahwa dia harus maju lebih lanjut.
Tiba-tiba tergerak hatinya sebat sekali ia melejit enteng beberapa inci di atas tanah, laksana air
menglir bagai awan mengembang badannya melayang seringan asap berkelebat ke arah kiri terus
membelok kekanan pula dengan luncuran yang cepat seperti membresut lewat di atas salju.
Tepat disaat Thian-hi bergerak Goan Tiong dan Goan Liang juga menggerakan kedua
pedangnya menyilang ke arah yang berlawanan, terus menerjang ke depan, tapi Thian-hi keburu
sudah melesat menyingkir sehingga daya serangan mereka menjadi susut, maka dalam detik lain
Hun Thian-hi sudah berhasil menerobos lewat dari kilauan samberan pedang mereka terus
meluncur lagi ke arah kiri tapi saat itu ia sudah berada di belakang mereka.
Sudah tentu Goan Tiong berdua merasa diluar dugaan, selamanya belum pernah mereka
mengalami kejadian begini aneh, sejenak mereka melengak dilain saat mulut mereka membentak2
dan berkaok mencaci maki.
Kedatangan Ah-lam Cuncia sebetulnya sudah diketahui oleh mereka, percakapan Hun Thian-hi
berdua juga sudah mereka dengar dengan cermat, cuma mereka jadi semakin heran dan kaget
bahwa Ah-lam bisa begitu cepat memberi petunjuk ke arah pintu hidup dari barisan yang rumit ini,
tapi betapa pun mereka tidak mau percaya dengan langkah tiga kanan dua kiri orang akan
berhasil menerjang masuk dan bebas tanpa kena rintangan ke dalam barisan.
Begitu permainan langkahnya yang aneh membawa hasil seketika berkobar semangat Thian-hi,
semakin besar pula keyakinan hatinya, begitulah ia bergerak lebih lanjut menuruti petunjuk yang
didengarnya tadi, dilain saat ia sudah masuk semakin dalam ke dalam barisan, bayangan Goan
Tiong berdua kadang-kadang kelihatan di lain saat sudah lenyap pula di sebelah belakangnya,
selama itu mereka masih mengejar terus dengan kencang rangsakan pedang mereka tetap
bersilang kekanan kiri dan membabat bergantian, tapi dalam jarak cuma serambut saja selalu
Thian-hi dapat meluputkan diri dari aambaran pedang yang ganas ini. Tanpa hiraukan dua orang
pengejar dibelakangnya Thian-hi lari sipat kuping menuju ke arah gedung besar.
Bahwa serangan mereka berulang kali selalu gagal mau tak mau membuat Ni-hay-siang-kiam
menjadi uring-uringan dan mencelos hatinya, sungguh tidak pernah terpikir oleh mereka bahwa
dengan kerja sama ilmu pedang mereka yang begitu serasi masih belum mampu mencapai
sasarannya, cukup dengan langkah tiga kiri dan kanan koq dapat mengobrak abrik barisan
kembang ini.
“Hai, berhenti dulu!” akhirnya Goan Tiong berteriak.
Sekarang Thian-hi sudah tidak takut dan percaya benar-benar akan kemampuannya, maka
segera ia menghentikan langkahnya, dengan tersenyum penuh arti ia pandang kedua orang tua
kurus kecil ini.
Dengan mendelik Ni-hay-siang-kiam sama melotot kepada Thian-hi, lalu Goan Tiong berpaling
ke arah Ah-lam Cuncia. dan bertanya, “Siapakah kau sebenar-benarnya, dari mana kau dapat tahu
rahasia dari barisan ini?”

Ah-lam Cuncia tersenyum manis, ujarnya, “Lo-ceng Ah-lam, tentang barisan ini sejak kecil
memang pernah kupelajari!”
Goan Tiong menjengek bibir, ejeknya, “Kau bergelar Ah-lam Cuncia aku sudah tahu, cuma aku
ingin tahu asal usulmu yang sebenar-benarnya. Ketahuilah bahwa barisan ini diciptakan oleh Huisim
Sin-ni dari Ngo-bi-pay, kalau mau dikata kau sejak kecil sudah kenal akan barisan ini,
bukanlah kau sengaja hendak meng-olok2 kami. Mungkin hanya beberapa orang saja yang kenal
barisan ini di seluruh kolong langit ini….”
Ah-lam tetap tersenyum lebar, ujarnya, “Sebagai orang beribadat aku tidak suka membual,
adalah benar-benar sejak kecil aku sudah pernah mempelajari barisan ini, karena aku kenal dan
bersahabat kental dengan penciptanya, apakah hal ini perlu dibuat heran?”
“Kau kenal dengan pencipta barisan ini sejak kecil?” jengek Goan Tiong tidak percaya, jelas ia
sudah mulai marah dan dongkol.
“Bila sedikit kujelaskan mungkin kau mau percaya,” demikian tutur Ah-lam Cuncia, “Sebetulnya
kamu berdua pun sejak kecil sudah kukenal.” sampai disini ia tertawa lebar penuh arti. Adalah
Thian-hi menjadi semakin keheranan. Benar-benarkah Ah-lam Cuncia punya hubungan yang
begitu kental pula dengan Ni-hay-siang-kiam? Kalau hal ini benar-benar, buat apa lagi ia susah2
bertempur menghabiskan tenaga dan waktu?
Goan Tiong melenggong, bahwasanya ia tidak percaya akan ucapan Ah-lam Cuncia. Namun
jelas bahwa Ah-lam Cuncia memang merupakan seorang beribadat yang agung dan mencapai
tingkat yang tinggi, semua nasehat dan petuahnya terhadap Hun Thian-hi tadi seakan-akan masih
terkiang juga dipinggir telinganya, sungguh ia merasa tunduk dan patuh benar-benar akan
petunjuknya itu, apalagi sikap Ah-lam sekarang adalah begitu serius begitu sungguh-sungguh,
sedikit pun tiada kelihatan berpura-pura atau bermuka2, hati kecilnya menjadi goyah dan terketuk,
mau tak mau ia harus percaya pada ucapan Ah-lam Cuncia.
Setelah merenung, akhirnya Goan Tiong berkata, “Siapakan kau sebenar-benarnya, coba kau
jelaskan mungkin aku memang tahu siapakah kau adanya!”
“Waktu mudaku pernah aku bersikap teramat baik terhadap seorang teman perempuan,
demikian juga dia sangat baik terhadapku, sampai kami pernah bersumpah sehidup semati. Tapi
suatu ketika aku harus keluar pintu masuk perguruan, sekali pergi sampai dua puluh tahun
lamanya baru aku bisa kembali, tapi perempuan itu ternyata sudah meninggal sekian lamanya.”
Goan Tiong mendengarkan dengan cermat, ucapan Ah-lam Cuncia ini kedengarannya memang
sangat sepele, secara cekak aos saja mengisahkan pengalamannya dulu, namun hal ini sudah
cukup melimpahkan perasaan hatinya. Sekarang Goan Tiong sudah dapat mereka siapakah orang
dihadapannya ini.
Goan Tiong masih termangu-mangu, baru saja ia hendak membuka mulut, Goan Liong sudah
keburu berseru lantang, “Jadi kaulah Ing Su-hing dari keluarga Ing itu!”
“Benar-benar,” Ah-lam Cuncia manggut-manggut, “Akulah Ing Su-hing adanya!”
Goan Liong tertawa ejek, katanya, “Kukira siapa yang begitu apal dan dapat memecahkan
barisan ini, ternyata kaulah orangnya!” nadanya kedengarannya mengundang rasa penasaran dan
amarah yang berlimpah2.

Jantung Hun Thian-hi berdebar semakin keras mengikuti perkembangan yang semakin gawat
ini, semula ia mengira bahwa Ah-lam Cuncia bakal berbesanan dengan Goan Tiong berdua, tak
nyana ternyata adalah dua keluarga yang saling bermusuhan.
“Urusan sudah berlalu sekian lamanya, meski kesalahanku itu tidak disengaja, tapi kenyataan
sudah terjadi, aku yakin diapun tidak akan menyalahkan aku.”
Muka Goan Liong merah padam, “Apa?” teriaknya gusar, “Kau bicara seenak udelmu sendiri,
kalau toh kau sudah punya janji sepuluh tahun kenapa harus terlambat sepuluh tahun pula baru
kembali, dan yang terang kami tidak pernah melihat kau pula, mana kami tahu apakah benarbenar
kau pernah pulang tidak?”
Ah-lam Cuncia tersenyum tanpa bersuara.
Bujuk Goan Tiong dengan suara kalem pada Goan Liang, “Jite jangan begitu kasar, betapa pun
dia adalah angkatan tua kita, kenapa kau mengumbar adat saja, apakah kau sudah melupakan
pesan bibi yang terakhir sebelum ajal?”
Goan Liong mendengus, sahutnya, “Justru watakku memang tidak sealim bibi!”
Biji mata Ah-lam Cuncia kelihatan berkilat m-mancarkan sinar terang. Hun Thian-hi
mengawasinya diam-diam, ia tahu dari sorot mata Ah-lam Cuncia dapatlah diketahui bahwa
perasaannya sedang bergejolak, kelihatan pula sikapnya yang tenang berusaha menekan dan
mengendalikan perasaannya sendiri, dapat pula terasakan dari mimik wajahnya betapa derita
sanubarinya,
Thian-hi menjadi heran, kenapa sinar pancaran biji mata Ah-lam Cuncia menyorotkan cahaya
gelap dan kabur, hal ini terlalu janggal bagi seorang tokoh silat macam Ah-lam Cuncia yang sudah
punya dasar Lwekang yang kokoh dan dalam, sungguh ia tidak mengerti.
Goan Tiong tidak hiraukan Goan Liang lagi, katanya pada Ah-lam Cuncia, “Semua itu adalah
kejadian yang sudah lampau, tidak perlu kami singgung dan ungkap2 lagi, yang terang diantara
kita tiada sesuatu hubungan yang mengikat, cuma ingin aku tanya pada kau, untuk apa pula kau
sekarang datang kemari? Apakah mau memusuhi kami berdua?”
“Ah-lam Cuncia tertawa, ujarnya, “Sebenar-benarnyalah aku tiada maksud demikian….”
“Kalau tidak bermaksud demikian boleh silahkan kau pergi secepatnya,” demikian tukas Goan
Liong yang aseran, “kalau tidak kami tidak akan bersikap sungkan-sungkan lagi terhadap kau,
kami sama ratakan kau terhadap orang-orang lain yang menjadi musuh kami!”
“Goan Tiong,” ujar Ah-lam Cuncia, “tidak patut kau bersikap begitu kasar, bila bibimu masih
hidup beliau tidak akan membiarkan kau begini pongah. Ma Gwat-sian dan gurunya adalah ahli
waris dari Tay-seng-ci-lou, mana boleh kau menyekap mereka? Untuk urusan inilah aku meluruk
kemari!”
Goan Liong tetap bandel, dengan ejek dingin ia bertanya, “Konon kabarnya kau terkena bisa
Ban-lian-ceng (muda abadi), kau berusaha mendapatkan kuda hijau untuk menemui Jeng-sankhek
mohon petunjuk dan pengobatannya untuk menyambung jiwamu?”
“Kenapa begitu dipastikan?” sahut Ah-lam Cuncia tertawa getir, “Apakah Jing-san-khek benarbenar
mampu memunahkan bisa Ban-lian-ceng itu? Kau harus tahu bahwa racun itu sudah enam
puluh tahun mengeram dalam tubuhku!”

Goan Liong mengejek pula, “Aku tidak percaya, siapa tahu apa yang terpikir dalam benakmu!”
“Apa?” Goan Tiong berteriak kejut, “sudah enam puluh tahun lamanya kau terkena bisa Banlian-
ceng itu?”
Segera Goan Liangpun merasakan sesuatu yang tidak beres, tanpa merasa ia bergidik dan
merinding sendiri, sudah enam puluh tahun lamanya, jadi hal ini terjadi sepuluh tahun sebelum
bibinya wafat, jadi jelaslah bukan Ah-lam Cuncia yang tidak menepati janji soalnya karena dia
sudah keracunan Ban-lian-ceng itulah.
“Ya. sudah enam puluh tahun,” Ah-lam Cuncia menjelaskan lebih lanjut, “Kalian tahu sejak
dilahirkan aku sudah diambil murid oleh perguruan Thay-i-sin-ceng, tapi sampai dua puluh tahun
kemudian baru aku diangkat sebagai murid secara resmi, maka meskipun Ka-yap terhitung lebih
lama masuk perguruan, tapi dia terhitung menjadi suteku. Enam puluh tahun yang lalu karena
persoalan dengan Sin-chiu-mo-kay itu, sehingga Suhu mangkat dan saat itu pula aku terkena bisa
Ban-lian-ceng itu!” — ia coba tersenyum lagi, tapi mimik wajahnya kelihatan masam dan gelap.
Agaknya Goan Liang menjadi haru dan terketuk hatinya, sikapnya tidak sekasar tadi, katanya,
“Paling tidak seharusnya kau kembali atau memberi kabar!”
Ah-lam Cun-cia memejamkan mata, ujarnya, “Sebelumnya aku tidak menduga urusan bakal
berlarut sampai sedemikian jauh, sebelum Suhu mangkat beliau mencukur gundul kepalaku dan
minta aku berpikir masak2, tapi aku sudah berkeputusan dan aku berpendapat cuma jalan inilah
yang harus kutempuh demi bibi kalian berdua, bahwasanya racun Ban-lian-ceng dalam tubuhku
sudah mulai bekerja, jangan kata berjalan, bergerak saja aku tidak mampu, mana aku bisa
kembali kesini.”
Goan Tiong dan Goan Liang tertunduk, akhirnya Goan Tiong menutur, “Setiap saat bibi selalu
menanti dan meng-harap2 kedatanganmu, tapi para kerabat dalam keluarganya dan guru bibi
yaitu Hui-sim Sinni dari Ngo-bi mendesaknya untuk menikah dengan Jing-san-khek!”
Ah-lam memejamkan mata, ia bungkam saja!
Goan Tiong tahu bahwa Ah-lam Cuncia tentu ingin tahu pula keadaan bibinya Ceng-i Siancu
waktu itu, tuturnya lebih lanjut, “Tapi bibi menolak mentah-mentah, entah berapa lama berselang
desakan dan ancaman datang berulang-ulang, hampir saja beliau mau bunuh diri karena putus
asa!” — sampai disini Goan-liong tertawa getir, lalu sambungnya, “Kau juga tahu, Jing-san-khek
merupakan tokoh yang kenamaan dan disegani dalam Bulim pada masa itu, sedang kabar
beritamu tiada seolah-olah tenggelam dalam lautan, meski kau sebagai murid Thay-i-sin-ceng, tapi
kabar yang tersiar diluar mengatakan bahwa kalian guru dan murid sudah gugur bersama. Dan
bila kau benar-benar sudah mati maka calon satu-satunya tinggal Jing-san-khek seorang!”
Ah-lam menengadah, terlongong memandang angkasa tanpa bersuara.
“Akhirnya,” Goan Tiong meneruskan, “Orang tuanya berkeputusan menjodohkan bibi dengan
Jeng-san-khek, akibatnya….” sampai disini Goan Tiong tertawa menyengir, suaranya sedih dan
pilu, “Bibi meninggal dengan merana!”
Mata Ah-lam Cuncia berkedip2 mengembeng air mata, Hun Thian-hi juga ikut bersedih.
Setelah batuk2 Goan Tiong melanjutkan, “Sejak kecil bibi paling sayang pada kami berdua,
kami benci kepada kau, bila kami tahu kaulah Ah-lam adanya, sejak lama dulu tentu kami sudah
mencarimu. Masih ada seorang lagi yaitu Jing-san-khek, dia mendesak begitu keterlaluan, bila dia

seorang Kuncu seorang sastrawan, punya sikap dan pambek sebagai seorang yang terpelajar, bibi
tidak akan meninggal begitu menyedihkan!”
Ah-lam berdiri diam dan mendengarkan cerita Goan Tiong, orang menyangka dirinya tidak tahu
kejadian itu, sebetulnyalah apa yang dia ketahui jauh lebih banyak lebih jelas dari apa yang
diketahui oleh Goan Tiong berdua. Dia tahu kenapa Jing-san-khek begitu kukuh, dan iapun tahu
cara kematian Ceng-i Siancu serta sebab musababnya, dan semua kejadian ini pernah membuat
hatinya haru, gegetun dan pilu.
“Sekarang baru aku tahu bahwa kau tidak salah,” demikian Goan Tiong menyambung, “tapi
kuda hijau adalah satu-satunya benda peninggalan bibi, malah kau pula yang memberikan
kepadanya, betapapun kami tidak rela memberikan kepada Jeng-san-khek, kecuali kau sendiri
yang punya maksud demikian!”
Ah-lam Cuncia menghela napas panjang, katanya sambil menunduk, “Apa kalian tahu kenapa
hari ini aku kemari?” — ia menghela napas pula lalu sambungnya, “Jeng-san-khek diapun akan
kemari!”
Goan Tiong dan Goan Liang menggeram bersama, serunya, “Dia juga datang kemari!”
Kata Ah-lam pelan-pelan, “Walaupun dia pernah berbuat salah, bagaimana juga dia termasuk
tokoh dari kalangan lurus, aku ada omongan yang hendak kusampaikan padanya, aku harap kalian
suka memberi hak kuasa kepadaku untuk kali ini.”
Goan Tiong bungkam saja pikirannya bekerja. Hun Thian-hi menyangka kali ini pasti Goan
Tiong suka memberi muka dan melulusi, tak nyana dengan tegas ia menggeleng dan sahutnya,
“Uhtuk urusan lain boleh saja, untuk urusan ini aku tidak setuju!”
Thian-hi melengak, tak diketahui olehnya alasan apa Goan Tiong tidak setuju, tapi kenyataan
memang begitu.
“Bagaimana juga beliau adalah bibi kami berdua,” demikian Goan Tiong menjelaskan,
“Sebagian tanggung jawab urusan ini perlu pertimbangan kami pula, maka keputusannya kami
juga perlu tahu, mana boleh kau sendiri yang pegang kuasa.”
“Segala urusan yang kalian tahu, akupun tahu semua,” demikian ujar Ah-lam Cuncia, “Memang
Jing-san-khek salah, tapi urusan sudah lampau sedemikian lamanya, sang waktu sudah cukup
berkelebihan memberi hukuman padanya, apalagi dia pun sudah sangat menyesal!”
“Sekarang tak perlu kami persoalkan hal ini, nanti kita bicarakan lagi bila dia sudah tiba. Bila
kau dapat menyelesaikan dengan sempurna, sudah semestinya aku memberikan persetujuan
kami!”
Ah-lam tidak banyak kata lagi, pelan-pelan ia menghela napas.
Pada saat itulah tampak sesosok bayangan hijau muncul di kejauhan sana, meluncur
berlompatan dengan enteng bagaikan burung bangau, sekejap saja tahu-tahu sudah mendekat.
Tampak oleh Thian-hi pendatang ini mengenakan jubah hijau, tahu ia bahwa orang ini pasti
Jing-san-khek adanya, usia Jeng-san-khek agaknya sudah lanjut, rambut dikepalanya serta alis
dan jenggotnya sudah ubanan, sorot matanya juga guram, orang yang tidak mengenalnya tidak
akan mau percaya bahwa orang tua yang kelihatan lemah ini ternyata adalah Jing-san-khek, tokoh
aneh nomor satu dari Bulim di daerah selatan.

Begitu Jeng-san-khek hinggap di atas tembok ganti berganti ia pandang para hadirin lalu
berhenti pada muka Ah-lam Cuncia.
Ah-lam Cuncia juga tidak bersuara. sesaat kemudian mereka berdua sama-sama lompat turun
terus langsung menuju ke dalam gedung besar itu….
Hun Thian-hi bersama Goan Tiong dan Goan Liang sama mengintil di belakang mereka.
Seolah-olah tidak menemui rintangan apapun Ah-lam Cuncia dan Jeng-san,khek beranjak ke
depan dengan lenggang kangkung dengan mudah dalam waktu singkat mereka sudah tiba di
dalam gedung dan terus masuk ke dalam. Dengan cara tiga kiri dua kanan menurut petunjuk itu
Hun Thian-hi pun berhasil sampai masuk ke dalam gedung besar itu.
Ah-lam Cuncia berdua langsung memasuki sebuah pendopo yang amat luas. kira-kira empat
lima puluh meter persegi luasnya, mereka duduk berhadapan ditengah-tengah pendopo, sama
memejamkan mata tanpa bergerak dan membuka suara.
Dalam kejap lain Goan Tiong dan Goan Liang juga sudah tiba di dalam pendopo itu. mereka
mencari duduk disebelah kiri dan kanan-
Jang paling dikuatirkan Hun Thian-hi cuma keselamatan Ma Gwat-sian dan gurunya, tengah ia
celinguk, kebeulan Ma Gwat-sian bersama gurunya sedang melongok ke dalam pendopo ini dari
sebuah pintu disebelah pojokan sana.
Sudah tentu girang Thian-hi bukan main, bergegas ia bangkit terus menghampiri ke arah sana,
begitu melihat Hun Thian-hi kelihatannya Ma Gwat-sian sangat kaget, sesaat ia melenggong lalu
menyurut mundur dengan tersipu-sipu. Poci menyingkir kesamping mengawasi Ma Gwat-sian
tanpa bersuara.
Sambil tunduk Ma Gwat-sian mundur pelan-pelan. Cepat Hun Thian-hi menjura hormat kepada
Poci, tanpa menanti balasan hormat orang lekas-lekas ia memburu ke arah Ma Gwat-sian,
panggilnya lirih tertahan:
“Gwat-sian!”
“Ada urusan apa kau mencari aku?” akhirnya Ma Gwat-sian berhenti dan bertanya.
Sekejap itu Thian-hi tak kuasa bicara, terpaksa meng-ada2, “Jeng-san-khek dan Ah-lam Cuncia
sama-sama berada di dalam sana, marilah kita masuk kesana dulu?”
Ma Gwat-sian kelihatannya rada bimbang, namun akhirnya manggut-manggut, beriring mereka
lantas masuk kependopo dan duduk mengelilingi mereka berempat, selama ini Ma Gwat-sian selalu
menundukkan kepala.
Dalam waktu dekat ini Thian-hi harus menyampingkan urusannya ingin ia tahu bagaimana
perkembangan urusan Jeng-san-khek dengan Ah-lam serta Goan Tiong dan Goan Liang.
Kira-kira seperminum teh kemudian baru Jeng-san-khek membuka mata dan berkata kepada
Ah-lam Cuncia, “Sudah lama sekali aku mencari kau sampai yang terakhir ini baru kudengar
tentang kabar beritamu.”
Pelan-pelan Ah-lam juga membuka mata, sahutnya, “Aku tahu kau sedang mencari aku, kalau
tidak masa aku bisa mengundang kau, untuk berkumpul disini!”

“Kalau begitu berarti hubungan persahabatan kami sudah sejak lama berselang….”’
Ah-lam tersenyium manis, tidak berkata-kata lagi.
Kata Jeng-san-khek lagi, “Urusan tempo duiu sungguh aku merasa bersalah kepada kau!”
Ah-lam Cuncia tertawa wajar, ujarnya, “Itu urusan yang sudah lampau, kenapa disinggung lagi
sekarang? Urusan yang sudah lampau. tak perlu diungkat2 lagi.”
“Itu hanya pendapatmu sendiri,” tiba-tiba Goan Tiong menyela, “Adalah kami bersaudara justru
akan memperpanjang persoalan itu, betapa pun kami tidak rela peristiwa itu menjadi silam ditelan
sang waktu.”
Jeng-san-khek tertawa getir, katanya, “Sekarang akupun tidak mampu memutar balik
kenyataan, jika kalian merasa tidak senang terhadapku! boleh aku pasrah diri pada kalian terserah
bagaimana kalian hendak bertindak atas diriku!”
“Marilah kita berdua coba membicarakan urusan kita dulu”“ demikian, ajak Ah-lam.
Goan Tiong berjingkrak bangun sambil mengebut lengan bajunya, serunya gusar, “Kalau urusan
dulu kalian anggap himpas dan selesai sampai disini saja, aku tidak mau terima, bagaimana juga
pembicaraan kalian nanti jangan sekali2 menyinggung tentang permohonan sesuatu kepada
kami!”
Ah-lam Cuncia dan Jeng-san-khek sama-sama pejamkan mata tak bersuara lagi.
Sebetulnya Goan Tiong dan Goan Liang sudah sama berdiri dan berniat tinggal pergi, tapi entah
teringat sesuatu atua akhirnya mereka batal dan duduk kembali.
Jeng-san-khek angkat kepala memandang Ah-lam Cuncia, katanya, “Kabarnya kau terkena
racun Ban-lian-ceng, semula aku belum tahu bahwa Ah-lam adalah duplikatmu, seharusnya sejak
dulu kau datang mencariku, urusan tentu tidak berlarut sampai sekarang.”
Ah-lam Cuncia cuma tersenyum saja tak menjawab.
Setelah menarik napas Jeng-san-khek berkata pula perlahan-lahan, “Tapi aku sendiri juga ada
salah, seharusnya aku tahu kecuali kau seorang di seluruh kolong langit ini tiada setorang pun
yang pantas terkena racun Ban-lian-ceng itu!”
Ah-lam tertawa-tawa, ujarnya, “Agaknya kau terhanyut oleh perasaanmu sendiri.”
Jeng-san-khek manggut-manggut, katanya, “Kita sudah sama tua. tulang dan urat2 kita sudah
kaku sudah tiba saatnya sinar guram dan minyak habis.”
Ah-lam Cuncia tidak bicara, ia sudah tahu kemana harus menempatkan diri, namun sedikitpun
ia tidak takut atau gentar, ia anggap kematian seperti pulang ke tempat asal, kalau bisa istirahat
dengan tentram dan aman itulah memang kehendaknya.
Thian-hi semakin bingung dibuatnya, jelas kedua orang ini saling bermusuhan dalam asmara,
tapi dalam nada bercakap-cakap kok seperti sahabat lama yang sudah lama tidak jumpa. Waktu ia
melirik dilihatnya Ma Gwat-sian sudah angkat kepala, dengan penuh perhatian ia mendengar
percakapan orang, tapi begitu Thian-hi melirik ke arahnya seakan-akan ia mempunyai indra
keenam lekas-lekas ia pejamkan mata menunduk kepala.

Selama itu Poci diam saja mengawasi kedua anak muda ini, akhirnya iapun memejamkan mata
sambil menghela napas dalam-dalam.
Berselang agak lama kemudian terdengar Jeng-san-khek membuka kesunyian, katanya, “Kau
masih ada urusan apa yang perlu kubantu kerjakan?”
Pelan-pelan Ah-lam Cuncia berpaling kepada Hun Thian-hi, katanya kepada Jeng-san-khek,
“Bocah ini adalah ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, bagaimana menurut penilaianmu?”
Dengan seksama Jeng-san-khek mengamati Thian-hi, katanya kalem, “Cukup bagus, tulang
muda berbakat baik merupakan tunas harapan masa mendatang, tapi Wi-thian-cit-ciat-sek
merupakan ilmu pedang dari aliran Lwekeh yang paling tinggi dan dalam, entahlah apakah dia
mampu menyelami intisari dari kemujijatan ilmu itu? Kalau tidak tak berguna ia pelajari ilmu
pedang yang tiada taranya itu!”
Kata Ah-lam Cuncia kepada Hun Thian-hi, “Hun-sicu sudikah kiranya kau tunjukan ilmu pedang
Wi-thian-cit-ciat-sek itu, supaya Jeng-san-khek Cianpwe memberi penilaian dan petunjuk yang
berharga!”
Thian-hi maklum bahwa Ah-lam memang hendak memupuk dirinya, tanpa diminta lagi segera
ia bangkit lalu menjura terus mundur beberapa tindak sambil melolos seruling jadenya.
Goan Tiong dan Goab Liang sama mendengus dan menjebir bibir, mereka tidak bicara, tapi dari
sikap mereka ini kelihatan bahwa mereka merasa tidak senang akan tingkah laku Hun Thian-hi.
Setelah mengkonsentrasikan pikiran dan semangat pelan-pelan tumit kaki Thian-hi terangkat
naik lalu turun lagi, sementara serulingnya sudah teracung miring, maka dilain kejap tubuhnya
sudah melambung ke tengah udara berbareng seruling ditangannya bergetar dalam pergeseran
antara jarak yang cuma beberapa mili itu lantas kekuatan dari jurus Wi thian-clt-ciat-sek ini sudah
melandai keluar dengan dahsyatnya, dari batang seruling jade itu memancarkan cahaya gemilang
yang berkilauan seperti kabut perak menerpa ke arah depan, hawa dalam pendopo seketika
seperti bergolak, terdengarlah suara gemericik dari desiran deru angin yang hebat itu.
Wi-thian-cit-ciat-sek ini cukup dilancarkan dalam waktu sekejap, dikala Thian-hi meluncur tiba
di tanah iapun sudah merubah gaya dan berdiri pula seperti semula. Goan Tiong berdua diamdiam
bercekat dalam hati, Wi-thian-cit-ciat-sek yang dipamerkan Hun Thian-hi ini benar-benar
tidak boleh dipandang rendah, dengan daya kekuatannya yang begitu dahsyat jelas satu persatu
mereka tidak akan kuasa melawan, meski bergabung pun belum tentu dapat menyambut
gelombang tenaga yang begitu dahsyat.
Setelah Thian-hi berhenti Jeng-san-khek termenung sebentar, tanya Ah-lam Cuncia,
“Bagaimana menurut penilaianmu akan latihan Wi-thian-cit-ciat-seknya?”
Jeng-san-khek menyahut tawar, “Tidak lebih cuma dapat menggertak orang belaka, tiada
manfaaatnya yang dapat diketengahkan!”
Hun Thian-hi menjadi melongo, pikirnya seumpapama Jeng-san-khek tidak memberi pujian
tidak mungkin beliau mencercah dan menilai sedemikian rendah akan latihan Wi-thian-cit-ciat-sek
yang dapat ia lakukan dengan sempurna sekali, sedemikian memalukan cuma dikatakan peranti
menggertak orang, sudah tentu terketuk perasaannya, dengan terlongong ia pandang Jeng-sankhek,
ingin ia mendapat teguran lebih lanjut.

Agaknya Goan Tiong dan Goan Liang juga merasa terpukul oleh kritikan Jeng-san-khek,
sombong dan takabur benar-benar kau ini, jurus pedang yang begitu dahsyat laksana gugur
gunung koq dikatakan permainan untuk menggertak orang belaka, demikian batin mereka.
Ma Gwat-sian pun angkat kepala memandang ke arah Jeng-san-khek dengan penuh tanda
tanya.
Demikian juga Poci punya perasaan yang sama. Pelan-pelan Jeng-san-khek pandang semua
hadirin satu persatu lalu berhenti pada muka Ah-lam Cuncia. dilihatnya rona wajah Ah-lam tiada
menunjukkan perubahan apa-apa, mimiknya tetap wajar, kelihatannya ia sudah tahu apa yang
bakal diucapkan tadi. mau tak mau, ia merasa kagum dan memuji akan ketenangan orang.
Dari balik punggungnya ia turunkan sebilah pedang bersama serangkanya, lalu berkata pada
Hun Thian-hi, “Mungkin kau tidak percaya, namun boleh dicoba, silahkan kau gunakan serulingmu
menyerang sekuatmu kepadaku!”
Semula Thian-hi rada bimbang tapi terpikir olehnya, kalau orang berkata demikian tentu punya
maksud-maksud tertentu dan hal ini tentu ada manfaatnya yang cukup bernilai, orang tentu punya
pegangan sehingga tidak kuatir apa-apa, begitulah pelan-pelan ia angkat pula serulingnya, begitu
tenaga disalurkan langsung ia menyerang kepada Jeng-san-khek.
Belum lagi getaran serulingnya yang berpindah tempat dalam jarak beberapa mili itu sebanyak
tujuh kali, ujung pedang Jeng-san-khek sudah menutul tiba yang diarah adalah ketiak sebelah
kanan, mulut Thian-hi bersuit panjang tubuhnya mencelat naik ke tengah udara, berbareng ia
kembangkan lebih lanjut jurus Wi-thian-cit-ciat-sek yang hebat itu menungkrup ke atas batok
kepala Jeng-san-khek.
Sebelum seruling Hun Thian-hi sempurna melancarkan serangannya, tiba-tiba Jeng-san-khek
menarik balik pedangnya, keruan Hun Thian-hi melengak, tak duga olehnya bahwa tusukan
pedang lawan cuma gertakan sambel belaka. Tapi serulingnya sudah kebacut melancarkan Withian-
cit-ciat-sek, tenaga sudah dikerahkan sampai puncaknya, maka terlihat Jing-san-khek lagilagi
menggerakkan pedangnya, beruntun tiga macam gerakan ia melancarkan tiga ilmu pedang
yang sangat dahsyat mengancing dan menutup jalan luncuran seruling lawan, seketika Hun Thianhi
mati kutu dan tidak mampu menyelesaikan permainan Wi-thian-ciat-seknya karena tenaga
dalamnya seolah-olah membentur jalan buntu tak mampu dikerahkan pula.
Setelah berdiri tegak sekian lamanya ia menjublek di tempatnya, sebaliknya Jing-san-khek
duduk tenang seperti tak terjadi apa-apa, pedang panjangnya melintang di atas pangkuannya,
tanpa mengeluarkan banyak tenaga dan tanpa menggerakkan tubuhnya dengan cara yang
sederhana dan mudah sekali ia sudah memecahkan jurus Wi-thian-cit-ciat-sek yang ampuh,
sirnalah perbawa kekuatannya yang teramat dahsyat itu.
Hun Thian-hi sendiri baru sekarang menyadari bahwa Wi-thian-cit-ciat-sek yang dilancarkan
tadi masih terdapat lobang kelemahannya, cuma ia sendiri tidak tahu dimana letak kelemahannya
sendiri, adalah sebaliknya Jing-san-khek dapat sekali serang mengarah titik kelemahannya sendiri
untuk mematikan ilmu yang tiada taranya ini.
Goan Tiong dan Goan Liang juga terlongong, mereka sudah saksikan sendiri betapa dahsyat
permainan Hun Thian-hi yang hebat tadi, namun akhirnya toh gagal juga ditengah jalan karena
tidak mampu lagi melansir tenaga dalamnya untuk menyambung kekuatan pondasi yang
diperlukan dalam melancarkan ilmu pedang yang tiada taranya ini.
Terdengar Jing-san-khek membuka suara, katanya kepada Hun Thian-hi, “Tahukah kau dimana
letak kelemahan sendiri?”

Hun Thian-hi tenggelam dalam pikirannya, tiba ia berlutut dan menyembah, serunya, “Harap
Cianpwe suka memberi petunjuk!”
Sekilas Jing-san-khek melirik ke arah Ah-lam Cuncia lalu berkata pula kepada Hun Thian-hi,
“Coba kutanya dulu, jurus apakah yang kau lancarkan tadi?”
Hun Thian-hi jadi bingung, entah apa maksud Jing-san-khek menanyakan hal ini, tapi ia
menyahut, “Wanpwe menggunakan jurus Wi-thian-cit-ciat-sek bukan?”
“Masa benar-benar?” balas tanya Jing-san-khek, “Benar-benarkah kau tadi melancarkan Withian-
cit-ciat-sek?”
Thian-hi tertegun, ia tidak tahu kemana juntrungan kata-kata Jing-san-khek.
Kata Jing-san-khek, “Dikala kau melancarkan permainanmu itu apakah tidak pernah terpikir
olehmu jurus permainan apakah Wi-thian-cit-ciat-sek itu? Itulah jurus ilmu pedang, mana boleh
kau gunakan dalam permainan serulingmu, maka daya kekuatannya paling sedikit menjadi
berkurang lima puluh persen!”
Hun Thian-hi mendengarkan dengan cermat, akhirnya ia jadi sadar bahwa pedang dan seruling
merupakan dua macam senjata yang berlainan bentuk dan berlainan pula guna dan manfaatnya,
apalagi dalam penggunaan pada ilmu tingkat tinggi dari aliran Lwekeh yang teramat dalam,
betapapun kurang mencocoki selera, terutama Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan ilmu pedang yang
tiada taranya, memang Wi-thian-cit-ciat-sek diciptakan khusus dalam permainan dengan senjata
pedang.
Berkatalah Jing-san-khek lebih lanjut, “Bukan itu saja inti-sarinya, kaupun harus tahu, setiap
kau melancarkan seranganmu tujuannya adalah menyerang musuh. Kalau kau lancarkan
permainanmu secara serampangan dan tanpa dilandasi keyakinan yang besar lebih baik kau
berpeluk tangan saja jangan bergerak mandah digorok lehermu. Bagi tokoh silat tingkat tinggi
setiap melancarkan permainan tipu-tipu silatnya sekali tidak mengenai sasarannya, pasti harus
pula memikirkan akibat dari kegagalan serangan itu, resikonya teramat besar sekali, ini merupakan
pantangan paling besar dan lagi dikala kau lancarkan tipu-tipu silatmu kau harus dapat membuat
suatu tekanan paling besar bagi musuhmu untuk merasakan bahwa seranganmu itu merupakan
maut bagi jiwa musuhmu baru kau dihitung berhasil.”
Hun Thian-hi insaf bahwa segala kegagalannya selama ini karena permainan ilmu pedangnya
tidak sempurna sesuai dengan dua persoalan yang jang ditunjuk tadi, sekarang baru ia sadari
bahwa ia terlalu gegabah dalam melancarkan tipu silatnya, demikian juga latihannya memang
belum cukup matang benar-benar.
Tiba-tiba Jing-san-khek angsurkan pedangnya panjang kepada Hun Thian-hi serta berkata,
“Kulihat kau belum punya pedang, pedang ini sudah lama s-kali menyertai aku, sekarang
kuberikan kepada kau, kuharap kau menyimpannya baik-baik!”
Dengan hidmat Thian-hi maju menerima serta menyatakan terima kasih pada Jing-san-khek.
Kata Jing-san-khek, “Sebetulnya pengetahuanku dalam ilmu silat juga sangat cetek, sebaliknya
ilmu silatmu memang sudah mencapai titik kesempurnaannya, sudah tiba saatnya kau dapat
mencapai puncak tertinggi yang cukup gemilang, tapi jurus permainanmu harus dapat kau
mainkan dalam sekali gebrak permainan jangan dipetel2 dan jangan diberikan terlalu banyak
variasi!”

Maka terbayanglah oleh Thian-hi akan jurus-jurus permainan Wi-thian-cit-ciat-sek itu, jurus
demi jurus Wi-thian-cit-ciat-sek ia renungkan secermat-cermatnya, akhirnya parasnya menjadi
terang dan berseri kegirangan.
Setelah bicara sedemikian panjang lebar kelihatannya Jing-san-khek menjadi kelelahan, pelanpelan
ia pejamkan mata dan duduk diam pula.
Demikian juga sejak tadi Ah-lan Cuncia sudah pejamkan matanya, mereka duduk berhadapan
pula, sambil menenteng pedangnya Thian-hi kembali ke tempat duduknya semula.
“Adakah urusan lain yang perlu kubantu?” agak lama kemudian Jeng-san-khek membuka
kesunyian pula.
Ah-lam Cuncia tersenyum, katanya, “Apakah kau tahu tentang Tay-seng-ci-lou?”
Jing-san-khek berpaling ke arah Ma Gwat-sian dan gurunya, katanya, “Apakah kedua orang ini
ahli waris dari Tay-seng-ci-lou?” — sejenak ia menggeleng kepala lalu sambungnya, “Sekali ini aku
tidak mampu membantu, psnyaMt Liok-im-ciat-tin itu sudah tidak mungkin dapat diobati lagi!”
Tergetar badan Thian-hi. waktu Ah-lam menunjuk Ma Gwat-sian ia sudah tahu kemana maksud
pembicaraan ini, ternyata Jing-san-khek sendiri juga tidak mampu menolong seketika ia menjadi
terlongong hampa.
Dengan sorot mata yang penuh kejut dan ngeri Ma Gwat-sian angkat kepala, ia sendiri tahu
bahwa badannya dihinggapi suatu penyakit, cuma tidak terpikir olehnya bahwa Liok-im-ciat-tin
kalau itu benar-benar berarti jiwanija tinggal hidup ratusan hari lagi. Sungguh ia tidak pernah
membayangkan bahwa kenyataan ternyata lebih kejam dan lebih mengerikan dari apa yang
pernah dibayangkan.
Poci Berdiri juga hampir berjingkrak bangun saking kaget waktu mendengar Jing-san-khek
membeber rahasia ini, soal penyakit itu Ma Gwat-sian sendiri tidak tahu mana boleh rahasia ini
dibeber secara terus terang?
Sekejap itu Jing-san-khek juga merasakan akan keganjilan ini, ia menjadi menyesal dan haru.
tapi ia sudah kebacut buka mulut betapapun tak mungkin ditarik kembali.
Ma Gwat-sian merasa sorot mata semua orang sedang tertuju kepada dirinya. sekonyongkonyong
benaknya merasa kepedihan yang tak terbendung lagi, timbullah kekerasan jiwanya
dalam menghadapi pukulan batin yang amat berat ini, pelan-pelan ia bangkit berdiri lalu keluar
pintu.
Bercekat hati Hun Thian-hi, ia berpaling ke arah Poci lalu bergegas bangkit mengejar ke arah
Ma Gwat-sian.
Ma Gwat-sian tahu bahwa Hun Thian-hi telah mengejar tiba. tapi ia tidak berpaling, kakinya
melangkah terus dengan langkah halus dan cepat.
Ah-lam Cuncia pandang Jing-san-khek sambil menghela napas panjang, ia menunduk lalu
geleng-geleng kepala lagi, sekecap pun ia tidak bersuara lagi.
Gwat-sian!” sepu Thian-hi lirih diibelakangnya.
“Ada apa kau kemari?” tanya Ma Gwat-sian.

Dalam lubuk hatinya yang dalam ia merasa bahwa pandangan semua orang memancarkan rasa
iba dan kasihan terhadap nasibnya. tapi ia tidak mau menerima segala rasa kasihan atau sayang,
termasuk pula Hun Thian-hi.
“Gwat-sian, jangan kau bersikap begitu terhadapku, bukankah hubungan kami baik-baik saja?
Kenapa, kau berubah sedemikian cepat?”
Badan Ma Gwat-sian gemetar, agaknya ia menahan perasaan hatinya, namun air mata tak
tertahan lagi meleleh keluar, katanya, sesenggukan, “Kalau tidak ada urusan jangan kau ganggu,
aku tidak suka ada orang mengganggu usikku sekarang!”
“Sudah sering dan banyak kali kau pernah bantu aku, sungguh aku sangat terima kasih dan
sayang pada kau, apalagi dengan engkohmu akupun bersahabat baik, aku tahu kau akan paham
akan diriku!”
Ma Gwat-sian tahu ucapan Thian-hi menyinggung tentang hubungannya dengan Ham Gwat,
setelah diam sebentar ia berkata dingin, “Aku tidak perlu rasa ibamu, soal engkohku itu urusan
kalian berdua tiada sangkut paut dengan aku. Kalau kau suka menuruti permintaanku, harap cepat
kau tinggalkan aku seorang diri, aku hendak mencari tempat yang sunyi dan tenang untuk
menenteramkan hatiku!”
Ma Gwat-sian sendiri tidak tahu kenapa ia bisa punya keyakinan untuk melawan segala
kehendak orang lain, dalam kesimpulannya, betapapun baik dan besar cinta Hun Thian-hi
terhadapnya, semua itu tidak lebih karena dilandasi rasa kasihan belaka, sebaliknya ia sendiri
menyadari bahwa ia tidak perlu akan segala2nya itu.
“Gwat-sian!” berselang agak lama baru Hun Thian-hi berkata pula setelah berpikir secara
masak, “Aku dapat memaklumi perasaammu sekarang, tapi tahukah kau betapa perasaanku pula?
Bagaimana jalan pikiranku mengenai dirimu? Banyak sekali isi hatiku yang perlu kulimpahkan
kepada kau!”
Ma Gwat-sian menunduk diam, hati kecilnya memang mengharap apa yang hendak dikatakan
Hun Thiani-hi, apakah sebenar-benarnya isi hatinya!
“Marilah bicara diisebelah sana saja!” demikian ajak Hun Thian-hi, lalu mereka duduk di bawah
sebuah pohon yang rindang.
Sekian lama mereka membungkam diri, agaknya Hun Thian-hi sedang memusatkan pikiran,
akhirnya ia tertawa-tawa katanya, “Menurut hemadku bila seseorang ingin mengerjakan pekerjaan
yang dia cita-citakan, mengucapkan kata-kata yang ingin dia limpahkan, meski apapun akibatnya
sanubarinya pasti bakal menjadi terang dan tentram.”
Ma Gwat-sian menunduk diam, tangannya mempermainkan ujung bajunya.
Berhenti sebentar Thian-hi melanjutkan pula, “Kedatanganku di Thian-bi-kok adalah atas
perintah Ka-yap Cuncia, semula aku diharuskan menyembunyikan diri, apalagi mengenai
kepandaian ilmu silat harus dirahasiakan.” Sampai disini ia tertawa lalu sambungnya, “Hal ini kau
sendiri juga sudah tahu! Sampai terakhir baru aku sadar kenapa Ka-yap Cuncia menyuruh aku
sembunyi di Thian-bi-kok, kenapa pula melarang aku menggunakan ilmu silat! Tujuannya adalah
supaya aku bisa melatih kesabaran dan tahan uji! Disana. waktu pertama kali aku melihat kau,
seolah-olah seperti melihat bidadari dalam sekelebatan saja, namun cukup sekilas melihat bentuk
tubuhmu saja kesannya teramat mendalam dilubuk hatiku. sampai sekarang masih segar dalam
ingatanku betapa perasaan hatiku tatkala itu kau muncul secara tidak terduga?. memhuat aku
rada takut dan was-was, sebab kukenal kau sebagai ahli waris dari Tay-seng-ci-lou, sehingga

seolah-olah aku merasa berdosa besar, disamping ada pula perasaan aneh yang menyekam dalam
sanubariKU, besar hasratku melihat paras wajahmu yang asli, sebetulnya siapakah kau adanya
yang menjaj ahliwaris Tay-seng-ci-lou ini! Sebagai murid Lam-siau betapa besar hasratku untuk
mengetahui rahasia ini.”
Alam pikiran Ma Gwat-sian terbawa kembali oleh uraian Hun Thian-hi pada masa pertemuan
mereka pertama kali dulu, waktu itu. Ia-pun rada gelisah dan Kaget bahwa seseorang telah
mengenal akan Tay-seng-ci-lou. Terasakan oleh Ma Gwat-sian perasaan apa yang terkandung dari
ucapan Thian-hi dari nada kata-katanya ini, sejak mula memang Hun Thian-hi sudah sangat
mengharap berkenalan dengan dirinya, dan ini adalah jamak.
“Akhirnya? aku bisa berhadapan muka dengan kau!” demikian sambung Hun Thian-hi.
“Biasanya aku tidak pernah berbohong, sebenar-benarnyalah sekali pandang lantas hati kecilku
tertarik amat kepadamu, tapi kau pun tahu bahwa lama sebelum pertemuan kita aku sudah bersua
dengan Ham Gwat, aku tidak suka perasaan hatiku tercerai berai, besar harapanku supaya dia
mempunyai masa depan yang cukup gemilang! Tatkala itu sungguh aku merasa hampa dan
terombang ambing oleh keadaan. Ham Gwat adalah murid Bu-bing Loni, apalagi dia menyangka
akulah musuh besar pembunuh ayahnya, kalau aku ingin mengikat persshabatan dengan dia
adalah mustahil. Tahukah kau pernah aku ingin melimpahkan perasaan macam itu kepada kau.
cuma soalnya kau sendiri tidak menghendaki hal ini!”
Ma Gwat-sian yang berdiam sejak tadi kelihatannya seperti terkejut. memang jatungnya
berdebar-debar, ia tahu dan maklum akan perasaan Thian-hi pada waktu dulu, cuma ia tidak
pernah menyangka bila seseorang terlebih dulu sudah mengetuk kalbunya. Dulu ia sangat bangga,
pada pribadinya sendiri, anggapannya Thian-hi tidak akan mungkin bisa punya teman yang setaraf
lebih unggul dari segala kepintaran dan kecerdikan otaknya, maka sikapnya waktu itu cuma acuh
tak acuh tanpa ambil sedikitpun perhatian khusus dalam persoalan ini, tidak pernah ia
memperhatikan atau melimpahkan pikirannya pada perasaan Hun Thian-hi ini. Masa2 itu ia sangat
bangga dan terlalu jumawa menghadapi Hun Thian-hi, karena ia menganggap bahwa Hun Thian-hi
akan menetap selama hidupnya di Thian-bi-kok, tapi setelah ia sadar bahwa kenyataan tidak
seperti apa yang pernah ia bayangkan semula, segalanya sudah kebacut dan terlambat, tak
mungkin dirubah pula.
Uraian Hun Thian-hi pelan-pelan dan cukup terang, perasaan Ma Gwat-sian semakin tertekan
dan menyesal sekali, bilamana waktu itu ia tidak bersikap tahan harga, akan menghadapinya
dengan sikap yang simpatik, sejak lama ia sudah menang dalam kompetisi yang jujur ini.
Tapi sekarang hidup jiwanya cuma tinggal ratusan hari lagi, kenapa aku berpikir muluk2
ataukah memang jalan yang kutempuh ini sebenar-benarnya tidak salah. pikir punya pikir ia jadi
tertawa ewa, katanya, “Tiada, sesuatu yang perlu diperbincangkan pula, kejadian selanjutnya aku
jelas mengetahui. demikian juga persoalanmu aku tahu juga, dalam berbagai bidang memang
Ham Gwat tiici mempunyai ciri2 yang jauh lebih kuat dan menang dari aku, kau harus mencari
dia!”
Thian-hi tidak menanggapi langsung ucapan Ma Gwat-sian ini, cuma ia menambahkan. “Apa
yang kukatakan adalah limpahan dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku tidak perlu main
sembunyi dan menutup-nutupii hal ini, aku harap kau bisa memahami diriku!”
“Apakah Ham Gwat Cici yang menyuruhmu mengajak aku kembali?” tanya Ma Gwat-sian.
Hun Thian-hi manggut-manggut sambil mengiakan.
“Kalau begitu baiklah aku ikut kau pulang!” — sekarang hatinya sudah longgar rada terhibur
dan

cukup puas. Betapapun Hun Thian-hi pernah mencurahkan perhatiannya terhadap diriku,
sebelum ajal aku harus melaksanakan sesuatu demi kepentingan Hun Thian-hi dan ia pasti suka
dan rela menerima uluran bantuan ini.
Kejut2 girang pula hati Hun Thian-hi, sungguh diluar dugaan bahwa Ma Gwat-sian suka kembali
ikut dirinya, sesaat ia terlongong mengawasi paras Ma Gwat-sian nan elok rupawan, tak tahu apa
pula yang harus dia ucapkan.
Dalam kejap lain mereka sudah masuk kembali ke dalam pendopo, tampak Jing-san-khek dan
Ah-lam Cuncia. masih bersimpuh berhadapan. Setelah mereka duduk kembali, Jing-san-khek
membuka mata serta berkata kepada Ah-lam Cuncia, “Kau tidak punya urusan lain, kini tiba
giliranku minta bantuan kau!”
Sahut Ah-lam Cuncia sambil membuka mata, “Kalau urusanmu itu menyangkut paut diriku,
sudah tentu aku suka membantu sekuat kemampuanku.”
“Sudah tertu sangat erat sangkut pautnya dengan kau!” ujar Jing-san-khek tersenyum.
“Sebelum ajal Ceng-i Siancu sudah membakar seluruh benda-benda peninggalannya, cuma
kuda hijau itu yang masih ketinggalan, tapi sekarang sudah bukan menjadi milikku lagi, aku tidak
punya hak akan binatang itu,” demikian Ah-lam Cuncia memberi penjelasan lebih dulu.
Bab 33
Jing-san-khek tertawa seraya manggut-manggut, ujarnya, “Cuma di tempat inilah baru aku bisa
mendapatkan kuda hijau itu.”
“Tapi cuma akulah yang berhak memutuskan persoalan ini,” demikian sela Goan Tiong.
Jing-san-khek meliriknya tanpa bicara, akhirnya ia berkata, “Tahukah kau kenapa aku harus
memperoleh kuda hijau itu? Pernahkah kau pikirkan sebab musababnya?”
GoaK Tiong geleng-geleng kepala, sahutnya tegas, “Aku tidak peduli apa alasannya, selamanya
aku tidak akan sudi menyerahkannya kepada kau!”
“Kuda itu sangat mahir dan teramat cerdik,” demikian ujar Jing-san-khek, “Setelah bibimu
bunuh diri jazatnya dibawa menghilang oleh kuda hijau, kalau kita bisa mendapat petunjuknya,
mungkin bibimu tidak sampai meninggal!”
Hoan Tiong mendengus, jengeknya, “Sejak lama sudah kutahu akan polahmu ini, sebelum ajal
bibi ada berpesan bahwa dilarang seseorang pun yang melihat jazatnya, sudah tentu tiada
kekecualian pada dirimu untuk diperbolehkan menemukannya.”
Jing-san-khek kewalahan, ujarnya, “Tapi jikalau dapat menemukan dia, semakin cepat semakin
baik, mungkin bisa tertolong hidup kembali!”
“Jelas sekarang tidak mungkin lagi,” demikian jengek Goan Tiong pula, “Kami sendiri tidak rela
menyerahkan kuda hijau itu kepada kau!”

Pelan-pelan Jing-san-khek berkata, “Jangan kau anggap kuda hijau itu seperti kuda umumnya,
aku sudah merasa curiga mungkin bibimu masih belum meninggal sunguh2, sekarang sudah
sembuh dan hidup mengasingkan diri.”
Muka Goan Tiong menjadi masam katanya, “Agaknya kau terlalu kukuh pada hasratmu ini,
baiklah biar kutunjukan kepadamu supaya kau tidak banyak rewel lagi.”
Cepat-cepat ia bangkit lalu melangkah kepinggir tembok sebelah samping sana menarik sebuah
daun pintu besar, maka terlihatlah seekor kuda hijau sedang bertengger di dalam petak kecil itu,
kuda hijau ini sudah lama sekali mati.
Beruhah pucat paras Jing-san-khek, mulutnya mengumam, “Tiada harapan lagi! Kalau ini
menjadi kenyataan segala sesuatunya tiada harapan lagi!”
Goan Tiong mandah mendengus lalu duduk kembali pada tempatnya semula.
Badan Jing-san-khek tampak gemetar, keringat dingin membasahi selebar mukanya, ia duduk
diam
terlongong, sinar matanya semakin guram. Pelan-pelan ia menunduk sambil berkata, “Selama
ini aku masih
yakin bahwa dia belum meninggal, kalau dia masih hidup, tapi….”
“Segala perubahan kejadian dalam dunia ini tak mungkin dapat diraba lebih dulu oleh tangan
manusia, urusan inipun tidak perlu dibuat duka!” demikian ujar Ah-lam Cuncia.
Jing-san-khek tersenyum ewa, pelan-pelan ia menggeleng kepala, sesaat baru bicara pula, “Aku
selalu berdoa, kuharap dia belum meninggal! Atau ingin aku bertemu sekali lagi, ini sudah cukup
menghibur sanubariku, tapi sekarang sudah menjadi hampa” — pelan-pelan ia pejamkan mata.
Ah-lam Cuncia menghela napas ringan, keduanya menunduk diam.
Goan Tiong dan Hun Thian-hi serta yang lain-lain juga bersimpuh diam saja, tunggu punya
tunggu sekian lamanya tiada tampak perubahan apa-apa, akhirnya Goan Tiong berdua merasa
urusan rada ganjil, cepat mereka maju mendekat meraba badan mereka, ternyata sudah kaku
mulai dingin, jelas mereka sudah mangkat bersama!
Hun Thian-hi berjingkrak bangun saking kaget, ia menjublek ditempatnya, urusan terjadi diluar
dugaan, sungguh ia tidak habis mengerti kenapa kedua orang angkatan tua ini meninggal begitu
saja,
Sebenar-benarnyalah hal ini itidak perlu dibuat heran, soalnya mereka berdua sudah berusia
amat lanjut, selama ini mereka menguatkan diri untuk bertahan, terutama Ah-lam Cuncia yang
terkena racun Ban-lian-ceng, betapapun ia tidak mungkin bisa hidup lebih lama lagi, kalau toh ilmu
silatnya mendadak pulih lagi itu tidak lain karena tunjangan dari kekuatan batinnya, meminjam
kekuatan Lwekang dan latihan ilmunya selama puluhan tahun untuk memperpanjang hidupnya
belaka.
Demikian juga Jing-san-khek sudah puluhan tahun duduk diam tidak bergerak dan tidak bicara.
pikirannya sudah linglung, seperti orang setengah gila, sekarang kena pukulan batin yang besar ini
sudah tentu tak kuat memepertahankan diri lagi, syukurlah ia meninggal dengan tenang.

Goan Tiong Goan Liang sama menghela napas gegetun, sungguh tidak kira Jing-san-khek bakal
meninggal dengan cara yang demikian ini, setelah Jing-san-khek tiada baru mereka mau percaya
pada ucapannya tadi, sayang sudah terlambat menyesal pun sudah kasep.
Hun Thian-hi saling berpandangan dengan Ma Gwat-sian dan Poci tanpa bersuara, kejadian ini
benar-benar sangat mendadak dan diluar dugaan.
Selesai mengurus penguburan jenazah kedua tokoh angkatan tua ini, Hun Thian-hi bertiga lalu
menempuh perjalanan menuju ke Tionggoan pula.
Sungguh betapa besar hati Thian-hi, segala urusan yang harus dikerjakan boleh dikata sudah
diselesaikan semua dengan sempurna kalau hari2 selanjutnya tiada kejadian lain, sejak saat ini ia
bisa kembali ke tempat istirahat gurunya untuk hidup tentram dan bahagia.
Berhari2 mereka menempuh perjalanan yang jauh ini, semakin dekat perasaan mereka semakin
longgar, tapi diluar tahu mereka bahwa kejadian yang mengejutkan justru sudah menanti
kedatangan mereka, dan saat itu sudah mulai berlangsung.
Kejadian yang selalu dikhawatirkan dalam benak Hun Thian-hi ternyata betul-betul menjadi
kenyataan. Secara kebetulan ia menemukan jejak Tok-sim-sin-mo yang disangkanya sudah mati di
dalam istana sesat itu, bukan saja durjana ini belum mati malah sekarang meluruk datang! Sudah
sekian lama ia menguntit mereka bertiga, kadang-kadang kelihatan tapi cepat-cepat menghilang
pula.
Meski Hun Thian-hi melihat jejak Tok-sim-sin-mo tapi cuma sekelebatan saja lantas menghilang
lagi, selamanya belum pernah berhenti pada titik yang tertentu pula jaraknya cukup jauh, Hun
Thian-hi menjadi was-was, entahlah apa pula tujuan Tok-sim-sin-mo, sebelum ia tahu maksud hati
orang ia tidak berani sembarangan bergerak, apa lagi mengejar dan membekuknya, siapa tahu
bila orang sengaja memancing dirinya meninggalkan dua orang seperjalanan di bawah
perlindungannya ini.
Tiga hari sudah berlalu tetapi masih belum dapat kepastian jejak Tok-sim-sin-mo yang sebenarbenarnya,
curiga dan was-was pula hati Thian-hi, cara bagaimana Tok-sim-sin-mo dapat lolos
keluar dengan selamat, apakah ia sudah memperoleh Ni-hay-ki-tin itu?
Hari keempat pagi2 benar-benar mereka sudah melanjutkan perjalanan, Ma Gwat-sian merasa
adanya gejala2 yang tidak wajar, memang ia tidak terlalu persoalkan Tok-sim-sin-mo tapi ia
melihat tindak tanduk Thian-hi yang tidak tentram. ia maklum dan menyadari bahwa sesuatu
kejadian yang luar biasa bakal mereka hadapi. kalau tidak Thian-hi tidak akan mengunjuk tingkah
laku yang kurang wajar.
Sepanjang jalan Thian-hi selalu celingukan kekanan kiri. Tok-sim-sin-mo sudah menemukan Nihay-
ki-tin atau tidak ia harus bersiap dan waspada mendiaga sergapannya.
Benar-benar juga dugaannya, sekonyong-konyong dari arah hutan sebelah depan sana
terdengar gelak tawa yang menggila lantang menusuk telinga, hati Thian-hi jadi tegang beberapa
hari lamanya Tok-sim-sin-mo belum berani mengunjuk diri berhadapan langsung dengan mereka,
sekarang dia berani mengunjukkan diri dengan sikap yang begitu takabur tentu sebelumnya
mempunyai persiapan yang cukup matang, pertempuran seru tidak bisa dihindari lagi.
Melihat Hun Thian-hi menjadi tegang, biji mata berkilat mendelik Ma Gwat-sian jadi heran,
tanyanya, “Siapa yang datang?”
“Tok-sim-sin-mo!” sahut Thian-hi singkat sambjl tersenyum.

“Tak asah kuatir.” Poci ikut menimbrung, “Bila kita bertiga selalu bersama dia tidak akan berani
turun tangan. mari lanjutkan perjalanan, coba dia berani berbuat apa!”
Thian-hi manggut-manggut membenar-benarkan, mereka maju lebih lanjut Tak seberapa jauh
kemudian dari dalam hutan melangkah enteng sesosok bayangan orang. tahu-tahu Tok-sim-sinmo
sudah muncul dihadapan mereka bertiga tanpa mengunjuk rasa takut sedikitpun, sepasang biji
matanya yang berkilat dingin memutih seperti mata dracula. mendelik ke arah mereka. mulutnya
mengulum senyum sinis.
Bahwa Tok-sim-sin-mo berani muncul dan berhadapan secara terang-terangan membuat
kekuatiran Thian-hi himpas sebagian besar, soalnya bukan karena gentar menghadapi ilmu silat
orang, cuma sepak terjang lawan yang banyak menggunakan akal muslihat licik dan licin itulah
yang perlu ditakuti.
Tatkala mana mereka sudah mencapai sebuah belokan, daerah itu dikeliliingi hutan bambu,
hembusan angin pagi yang cukup keras membuat daun-daun bambu mengeluarkan suara
geresekan menambah ketegangan hati semakin memuncak.
Dilain kejap terdengar Tok-sim-sin-mo menyeringai tawa, katanya, “Jangan kau berusaha
melarikan diri dan kau tidak akan mampu lolos dari pengawasanku. Kalau toh aku berani
menghadapimu secara berhadapan tentu aku punya cara untuk menghadapi kau!”
Hun Thian-hi bersikap tenang, ujarnya pelan, “Sudah lama kutahu akan jejakmu, kalau aku
takut masak berani melanjutkan perjalanan ini!”
“Kalian sama mengira aku sudah terkurung di dalam istana sesat dan tak mungkin dapat keluar
lagi, tapi kenyataan sekarang aku sudah muncul dihadapanmu, hatimu takut bukan!”
“Takut? Haha, walau aku tidak tahu cara bagaimana kau dapat keluar dari istana sesat, maka
dapatlah disimpulkan bahwa hakikatnya kau tidak masuk ke dalam istana sesat itu sungguhsungguh
ja, bukan?”
“Terserah bagaimana kau ambil kesimpulan yang terang segala dugaanmu meleset sama sekali,
ketahuilah gambar peta yang berada di dalam serangka Badik buntung sudah dapat kukeluarkan!”
Mau tidak mau terkejut juga hati Thian-hi. ia menyangsikan kebenar-benaran obrolan orang.
Ujung mulut Tok-sim-sin-mo mengunjUk senyum dikulum yang penuh arti, tiba-tiba ia melesat
mundur beberapa meter jauhnya serta berkata, “Kalian harus hati-hati, dalam jangka sepuluh li di
depan sana kau akan takluk terhadap kelihayanku.” Selesai memberi ancaman ia unjuk tawa
misterius lalu berkelebat terbang menghilang jdalam hutan bambu.
Bergejolak hati Thian-hi. sesaat lamanya ia menjublek ditempatnya.
“Thian-hi Toako.” setelah menanti sekian lamanya akhirnya Ma Gwat-sian menegurnya,
“Menurut hematku lebih baik kami pulang ke Thian-bi-kok saja lebih baik.”
Thian-hi tersentak sadar, namun serta mendengar ucapan Ma Gwat-sian ia tertegun pula.
pikirannya sedang kacau dalam waktu singkat ia belum dapat menangkap juntrungan kata-kata
orang, secara spontan ia bertanya, “Kenapa?”
“Apa kau tadi tidak dengar? Tok-sim-sinmo sendiri tidak punya pegangan dapat mengalahkan
kau. tapi dia pasti menggunakan akal muslihatnya yang jahat, aku cuma menjadi beban beratmu

belaka, lebih baik pulang ke Thian-bi-kok saja, kukira jalan ini sempurna daripada menambah rasa
kuatirmu.”
Thian-hi jadi geli mendengar alasan Ma Gwat-sian ini, katanya, “Gwat.sian. kau tidak perlu
kuatir, aku percaya aku cukup berkelebihan menghadapi Tok-sim. Kalian pun tahu setelah
mendapat petunjuk langsung dari Jing-san-khek Cianpwe Wi-thian-cit-ciat-sek latihanku sudah
setapak lebih maju!”
Demikian Hun Thian-hi menghibur, karena dia sendiripun ingin lekas-lekas kembali keutara
dengan tertawa lalu menambahkan, “Marilah lekas jalan. Jangan takut pada ancamannya!”
Justru tanpa disadari dengan melanjutkan perjalanan ini malah dia mengalami berbagai
rintangan dan kesulitan, hampir saja Ma Gwat-sian menemui ajalnya ditangan Tok-sim-sin-mo.
sedang dia sendiripun menghadapi persoalan lain yang cukup rumit pula.
Poci sendiri sependapat dengan Hun Thian-hi, mengandal kehebatan ilmu silat Hun Thian-hi
kenapa gentar menghadapi Tok-sim-sin-mo, bila mereka selalu bersama tak perlu takut
menghadapi akal licik musuh.
Mereka maju lebih lanjut, dimulut Thian-hi memang takabur dan ini cuma untuk menghibur Ma
Gwat-sian, sebenar-benarnyalah hati kecilnya tidak berani memandang ringan Tok-sim-sin-mo.
Beberapa jauh kemudian mendadak puluhan batang bambu melintang berserakan ditengah
jalan merintangi perjalanan mereka. Thian-hi menggeram rendah, diam-diam ia mengumpat akan
perbuatan rendah Tok-sim-sin-mo ini, sebagai tokoh yang kenamaan di Bulim kiranya membuat
permainan rendah yang memalukan ini.
Setelah dekat ia berhenti dan memeriksa sekelilingnya. empat penjuru sekitarnya sunyi senyap
tak kelihatan sesuatu yang bergerak.
Sekonyong-konyong desiran angin lirih menerjang kepunggungnya dari sebelah belakang,
siang-siang Thian-hi sudah waspada sigap sekali ia membalikkan badan di atas tunggangan
berbareng sebelah tangannya menyimpok ke belakang.
Terdengar tawa, aneh yang lantang, tampak selembar daun bambu melayang jatuh di atas
tanah, berkilat tajam biji mata Hun Thian-hi, sekejap saja gelak tawa itu lenyap tak keruan
parannya. Thian-hi mendengus ejek, hatinya gusar namun ia harus berlaku hati-hati supaya tidak
terjebak oleh muslihat Tok-sim-sin-mo, akhirnya ia melompat turun menyingkirkan bambu2 yang
berserakan ditengah jalan itu.
Hun Thian-hi sudah berada di atas punggung kuda, otaknya juga sedang menerawang, tak
habis herannya tujuan apa yang sedang diperbuat Tok-sim-sih-mo, paling-paling ia cuma bisa
menerka2 bahwa Tok-sim-sin-mo pasti belum mendapatkan Ni-hay-ki-tin itu dan tujuan kali ini
semata2 cuma hendak mengelabui dirinya dan membalas dendam belaka.
Ma Gwat-sian tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Thian-hi. cuma ia maklum tujuan Tok-simsin-
mo membuat rintangan dan tipu muslihat ini hanya untuk memancing kemarahan Hun Thianhi,
meski sekarang Hun Thian-hi belum dibuat gusar tapi bukan mustahil lama kelamaan ia akan
marah juga, jelas sekali dari raut mukanya yang gemas dan gegetun bahwa dia merasa penasaran
akan tingkah polah musuh.
Sejak kecil Hun Thian-hi diasuh dan dibimbing oleh Lam-siau Kongsun Hong, dididik untuk
berbuat jujur dan bajik, cuma dasar pembawaan sifatnya keras kepala dan tinggi hati, kalau

sekarang dia, cuma seorang diri tentu Tok-sim-sin-mo sudah dilabraknya habis2an, soalnya ia
mengutirkan keselamatan Ma Gwat-sian dan Poci.
Beberapa li kemudian lagi-lagi mereka dihalangi oleh dahan2 pohon yang malang melintang
ditengah jalan, berjengkit alis Thian-hi, hawa amarah sudah mulai terbakar dalam rongga
dadanya, laknat benar-benar Tok-sim-sin-mo itu anggapnya aku bisa dipermainkan dengan
permainan liciknya ini? Ingin aku tahu betapa tinggi ilmu silat yang kau miliki.
Setelah meneliti keadaan dengan luncuran lempang ke depan ia lompat turun dari
tunggangannya sekali kakinya menyapu ke arah dahan2 pohon, yang malang melintang
bertumpukan itu. Kontan semua aral rintang itu kena disapu bersih. Dan tepat saat itu pula
tampak Tok-sim-sin-mo meluncur keluar dari hutan sebelah kiri sana. Setelah berdiri ia unjuk
senyum lebar kepada Hun Thian-hi, senyum yang menganduug ejekan dan memandang rendah
dan hina.
Tok-sim-sin-mo terkekeh dua kali lalu serunya, “Hebat, kepandaian cakar ajam begitu tidak
lebih cuma pertunjukan pasaran belaka. Sudah kukatakan dalam jarak sepuluh li, sekarang kan
belum sampai menempuh setengahnya!”
“Kepintaran apa yang kau miliki silakan pamer dihadapanku permainan mengelabui anak2
macam ini juga kau tunjukkan dihadapanku, sungguh memalukan!” demikian jengek Thian-hi.
“Hahahaha. jangan kau takabur!” ejek Tok-sim-sin-mo sambil terbahak-bahak, “Agaknya kau
salah menilai tumpukan bambu dan dahan2 pohon yang berserakan itu- ketahuilah jangan kau
harap bisa lewat jarak sepuluh li ini dengan leluasa!”
“Aku tidak takut menghadapi segala muslihatmu, silakan kau atur segala tipu dan akal
busukmu, bambu dan dahan2 pohon ini tidak berarti menghalangi aku! Jangan kau bermimpi
disiang hari bolong!”
Tok-sim-sin-mo terloroh-loroh. sekali berkelebat ia menghilang pula ke dalam hutan.
Hun Thian-hi naik ke atas kudanya pula, maka Gwat-sian lantas berkata, “Thian-hi Toako, kau
harus lebih hati-hati, jangan kau pandang rendah Tok-sim-sin-mo yang busuk itu, sepak
terjangnya, teramat licik, bukankah dulu kau pun pernah menghadapinya?”
Memang Thian-hi tidak berani gegabah, waktu di Jian-hud-tong tempo hari kalau Pek Si-kiat
tidak keburu datang mungkin ia sudah lama ajal disana. teringat pengalaman yang lalu ia lebih
meningkatkan kewaspadaan, pahit getir di dalam gua seribu Budha merupakan pelajaran yang
sangat berkesan dalam sanubarinya, kalau dulu ia menghadapi berbagai alat rahasia yang serba
rumit kenapa sekarang aku harus takut, sekali aku kena digertak akibatnya pasti fatal. Maka
dengan tertawa ia berkata, “Gwat-sian jangan gentar, kalau kau tidak berpisah dengan aku dia
tidak akan dapat berbuat apa-apa!”
Girang hati Ma Gwat-sian. ujarnya, “Benar-benar kau tidak berpisah lagi dengan aku!” — bila
Thian-hi tidak meninggalkan mereka berdua seratus persen keselamatan mereka pasti terjamin.
Hun Thian-hi mengiakan sambil manggut-manggut, mereka melanjutkan perjalanan tanpa
bicara lagi.
Sementara itu, mereka sudah menempuh sejauh tujuh delapan li. hutan bambu dikiri kanan
mereka

jang tumbuh subur dengan daun-daunnya yang hijau mulus kini berganti dengan bambu kuning
ke-merah2an. diam-diam bercekat hati Thian-hi, sungguh tak diketahui olehnya bahwa di tempat
ini ada tumbuh bambu kuning, sepanjang jalan ini mereka dapat menempuh sejauh ini dengan
sejamat, bukan mustahil dalam hutan bambu kuning inilah Tok-sim-sin-mo sudah mengatur
muslihatnya.
Thian-hi dibesarkan di daerah Thian-lam, ia tahu bambu kuning jarang didapat di daerah
selatan, bambu kuning yang umumnya tumbuh dilaut kidul jauh lebih kuat dan keras punya daya
pegas yang lebih besar pula dibanding bambu umumnya, sedemikian kerasnya tidak mudah
dibacok kutung oleh alat senjata umumnya.
Beberapa kejap kemudian mereka sudah jauh menjelajah di dalam hutan bambu kuning itu.
lagi-lagi mereka dihalangi oleh batang2 bambu yang malang melintang ditengah jalan dari kanan
kiri, tapi batangan bambu kali ini tidak berserakan dan bertumpukan di tanah tapi sama meliuk ke
tengah jalan dari kedua pinggir jalan.
Thian-hi mandah tersenyum ejek, segala muslihatmu; jangan harap dapat menghalangi
perjalananku? Segera ia keprak kudanya menerjang ke depan, ia maklum akan kekuatan bambu
kuning ini tapi ia percaya akan kepandaian sendiri, masa menyingkirkan bambu2 yang sepele ini
tidak mampu, demikian batinnya.
Kuatir Tok-sim-sin-mo ada mengatur muslihat lain. Poci dan Ma Gwat-sian juga keprak kudanya
mengintil di belakang Thian-hi. Baru saja Thian-hi kerahkan tenaga hendak memukul ke depan
dengan kekuatan hantamannya menjjngkirkan bambu2 itu, tiba-tiba kuda tunggangannya
meringkik keras, keruan kagetnya bukan kepalang, belum lagi ia menyadari apa yang sudah
terjadi, kuda tunggangan Ma Gwat-sian dan Poci juga sama meringkik kesakitan terus roboh
terjungkal, sudah tentu lebih kejut pula hatinya.
Tanpa menghiraukan segalanya tersipu-sipu Thian-hi memburu maju menolong Ma Gwat-sian.
Maka terdengarlah gelak tawa yang lantang kumandang di dalam hutan, entah kapan Tok-sim-sinmo
sudah muncul pula dipinggir hutan.
Dengan teliti Thian-hi memeriksa ketiga kuda tunggangan mereka, kiranya masing-masing
kakinya kena tertusuk duri2 yang amat tajam dan runcing, keruan bukan kepalang amarahnya,
tiba-tiba ia jejakkan kakinya terus menerjang ke arah Tok-sim-sin-mo.
Kalau gerakan Thian-hi gesit tapi kaki Tok-sim. sin-mo pun tidak kalah cepatnya. menghilang ke
dalam hutan. Hun Thian-hi meragu. kejar atau tidak, kalau kejar kuatirnya kena dipancing dan
terjebak muslihat musuh. tapi kalau tidak membekuk Tok-sim-sin-mo rasa penasarannya tidaklah
terlampias.
Rasa benci terhadap Tok-sim-sin-mo sampai ketulang sungsumnya, Tok-sim-sin-mo cuma
seorang diri, kalau aku dapat selalu mengamati geral geriknya’masa mampu dia menjebak aku,
apalagi kepandaian silat Poci juga sebagian besar sudah pulih kembali, agaknya ia cukup kuat
bertahan beberapa kejap melawan Tok-sim-sin-mo. Dengan dasar pertimbangan ini Thian-hi tidak
bimbang lagi, secepat kilat badannya melenting laksana anak panah menerjang ke dalam hutan.
Baru saja ia masuk tampak disebelah kirinya berkelebat sebuah bayangan terus menghilang,
Thian-hi tercengang, tiba-tiba sejalur angin keras menerjang ke arah dirinya, kiranya sebatang
bambu yang meliuk sekarang membal lembang ke atas dan tepat menyapu kedua kaki Hun Thianhi.
Untung Thian-hi cukup waspada sambil menggantak, kedua telapak tangannya. menepuk
bersama dengan dilandasi kekuatan Pan-yok-hian-kang, alhasil usahanya dan malah menimbulkan

samberan angin keras yang memberondong ke arah dirinya dari berbagai penjuru, kiranya banyak
bambu2 yang membal bagaikan pegas sama bergoyang gontai menyabat ke arah dirinya
bergantian. Thian-hi insaf bahwa dirinya sudah terjebak masuk ke dalam tipu daya, Tok-sim-sinmo
yang licin. sungguh ia menyesal kenapa begitu gegabah sembarangan bertindak sampai kena
dipermainkan.
Hun Thian-hi menggembor sekeras-kerasnya, kaki tangannya bergerak bersama, menghantam
dan menendang balik semua bambu2 yang menyerang dirinya, tapi ia merasakan betapa besar
daya pegas bambu2 kuning yang besar2 itu, kiranya tidak lebih rendah dari kekuatan. pukulan
seorang tokoh silat kelas tinggi.
Begitu terpental mundur bambu2 itu semakin keras pula daya pegasnya membal kembali, ciut
nyali Thian-hi, diam-diam ia mengumpat akan kebodohannya sendiri, kalau ia main kekerasan
dirinya bakal mati konyol kehabisan tenaga, apalagi bambu kuning disekitarnya tumbuh subur dan
rapat sekali tiada jalan untuk lolos keluar. Dalam keadaan tidak berdaya kedua telapak tangannya
bekerja lebih lanjut untuk menjaga diri. jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri cuma
memberantas kutung semua bambu2 kuning ini. Maka teringat olehrja akan pedang pemberian
Jing-san-khek, tanpa ayal cepat ia melolos keluar. dimana cahaya merah melambung tinggi terus
membabat silang turun naik bambu2 kuning sekelilingnya sama rontok berhamburan….
Girang dan terpesona pula Thian-hi dibuatnya, sungguh ia tidak nyana pedang pemberian Jingsan-
khek itu merupakan sebilah pedang pusaka. waktu ia memunduk meng-amat-amati batang
pedang didapati dua huruf yang terbunyi “Cu-hong” (pelangi darah).
Tiada waktu ia membuang waktu memeriksa pedangnya lagi, sebat sekali ia meleaat keluar
memburu ke tempat semula. Dari jarak yang cukup jauh tepat dilihat Tok-sim-sin-mno sedang
berlari sipat kuping, di bawah ketiaknya masing-masing mengempit satu orang. Keruan bukan
kepalang gugup Thian-hi, sambil menggertak dan bersuit panjang laksana burung bangau
badannya terbang mengejar.
Tok-sim-sin-mo terkial-kial, serunya sambil berpaling, “Kau mengaku kalah tidak? Tiada
gunanya kau kejar aku, kuanjurkan kau pulang saja, atau datanglah ke Jian-hud-tong untuk
mengambil dua orang ini!”
Kejut dan teramat gusar hati Thian-hi, gugup lagi, bagaimana ia harus menjelaskan duduk
persoalannya kepada ham Gwat bahwa Ma Gwat-sian sampai tertawan oleh Tok-sim-sin-mo
sikeparat itu. Nada ucapan TOk-sim-sin-mo cukup mengancam kalau aku mengejar jejaknya
keselamatan Ma Gwat-sian bisa terancam bahaya, setelah ragu-ragu sebentar ia bertekad untuk
mengejar lebih lanjut.
Dalam pada itu bayangan Tok-sim-sin-mo sedang menerobos kian kemari diantara tumbuhan
bambu yang lebat itu, dengan ketajaman pedangnya Thian-hi membabat kekanan kiri, sementara
kakinya terus menerjang ke depan memburu ke arah Tok-sim-sin-mo, tapi setelah ia berhasil
membabat segala rintangannya sementara itu bayangan Tok-sim-sin-mo sudah menghilang,
sesaat ia jadi menjublek lemas putus asa.
Bagaimana ia harus bertindak selanjutnya? Kalau tadi ia tidak meninggalkan Ma Gwat-sian
berdua tentu mereka tidak sampai dibekuk musuh, baru sekarang ia menyesal, tapi sudah kasep.
Bagaimana ia harus menceriterakan hal ini kepada Ham Gwat?
Sungguh ia menjadi kehilangan akal sehatnya.
Dengan penuh putus asa akhirnya ia melenggong keluar hutan. Tiba-tiba pandangannya seperti
kabur, entah kapan tahu-tahu dihadapannya berdiri seorang Nikoh pertengahan umur.

Nikoh ini mengenakan jubah hijau kelam, wajahnya putih halus, tangan kanannya menggembol
sebuah kebutan, kedua biji matanya hitam kelam dan putih jenuh, tapi dalam penglihatannya
selayang pandang seperti samar-samar, Thian-hi seperti merasa seolah-olah ia menghadapi
seorang manusia suci dari luar dunia.
Thian-hi tertegun, serta merta ia merasa bahwa telah muncul seorang orang aneh, orang ini
muncul dalam kejap yang tidak bisa dirasakan, jelas ilmu silatnya tentu sudah mencapai tingkat
yang tidak bisa diukur lagi, tapi entah siapa yang membekal ilmu silat yang begitu tinggi,
selamanya belum pernah ia dengar adanya seseorang tokoh kosen macam Ini.
Pendatang ini entah kawan atau lawan, demikian ia meraba-raba, kalau kawan itulah untung,
kalau musuh tidak berani ia membayangkan akibat apa yang akan dihadapinya.
Dengan segala ketenangan hatinya ia masukan pula pedangnya ke dalam karangkanya. Dengan
mendelong Nikoh itu mengawasi pedangnya, pelan-pelan lalu berkata, “Kedua kawanmu kena
diculik orang, apakah kau perlu bantuan untuk menolong mereka?”
Berdetak jantung Thian-hi, sejenak ia berpikir, tiba-tiba terasa bahwa kedatangan si Nikoh
terlalu aneh dan mendadak, urusan apakah begitu gampang diselesaikan karena keraguannya ini
cepat ia menjura hormat serta sahutnya, “Entah siapakah nama Cian-pwe yang mulia?”
Nikoh itu menggeleng kepala, sahutnya kalem, “Aku sedang tanya kau, masih ada urusan
penting yang harus segera kuselesaikan, siapa namaku kau tidak perlu tahu dan tiada sangkutpautnya
dengan kau!”
Siapa Nikoh ini Thian-hi tidak tahu, tapi jelas ilmu silatnya tinggi luar biasa, belum pernah ia
menyaksikan kepandaian begitu hebat, mengandal Ginkangnya yang diperlihatkan tadi sungguh
hatinya takjub dan kagum sekali, apa yang harus ia lakukan sekarang?
Kata si Nikoh pula, “Kalau mereka tidak ditolong mungkin jiwa mereka terancam oleh
kekejamam Tok-sim-sin-mo, jelas tujuannya akan tercapai karena kau harus menyusul ke Jianhud-
tong!”
Thian-hi mengakui kebenar-benaran kata-kata si Nikoh, kalau ia terlambat datang
menolongnya, bila mereka mati, masa ada muka ia memenuhi Ham Gwat kelak?
Tapi….mendadak terpikir olehnya, dari nada ucapan si Nikoh jelas ia tidak membantuku secara
gratis, mungkin iapun akan mengajukan syarat imbalannya. Maka dengan lantang ia bertanya,
“Entah Cianpwe ada petunjuk apa lagi?”
“Agaknya kau dapat memaklumi maksud hatiku.” demikian ujar si Nikoh, “permintaanku
mungkin sulit dapat kau setujui, tapi hal itu ada manfaatnya bagi kau!”
“Silahkan Cianpwe katakan saja, biar Wanpwe mempertimbangkan!”
“Tiada yang perlu kau pertimbangkan! Mau atau tidak kau harus mematuhi pesanku,
mengandal kemampuanmu sekarang kau belum berdaya menolong mereka berdua!”
Thian-hi jadi kurang senang, ucapan si Nikoh rada meragukan kemampuannya, ini berarti
merendahkan gengsinya seolah-olah tidak memandang sebelah mata kepada dirinya, meski ilmu
silatnya setinggi langit, tidak sepantasnya ia begitu menghina orang.

“Apa yang sedang kau pikirkan aku tahu,” demikian kata si Nikoh pula, “Mungkin kau tidak
terima, marilah kita coba-coba. cabutlah pedangmu, seranglah aku tiga jurus, aku tidak akan
melawan, jikalau kaki tanganku sampai bergerak anggaplah aku yang kalah, maka secara sukarela
tanpa syarat aku membebaskan kedua temanmu. kalau sebaliknya maka kau harus patuh pada
perintahku!”
“Seumpama kepandaianmu setinggi langit masa kuasa menandingi tiga jurus seranganku tanpa
menggerakkan kaki tangan, Nikoh ini sungguh jenaka main kelakar dengan aku.” demikian batin
Hun Thian-hi.
“Hayo lekas, waktu sangat mendesak!” si Nikoh mendesak tidak sabaran.
Thian-hi melolos pedang lalu menjura serta katanya, “Kalau begitu maaf Wanpwe akan berlaku
kurang ajar!”
Nikoh pertengahan umur manggut-manggut, sambil tersenyum ia memberi tanda supaya
Thian-hi mulai menyerang.
Thian-hi menghirup hawa segar, kakinya melangkah ringan mengitari si Nikoh satu putaran,
dari nada ucapan si Nikoh tadi agaknya ia cukup mampu untuk menang, mungkin si Nikoh tadi
sudah menyaksikan permainan silatku maka berani besar mulut tapi sekali-kali aku pantang jual
lagak, betapa pun aku harus hati-hati bertindak.
Tampak Cu-hong-kiam mulai bergerak. dengan jurus Liu-si-jian-tiu (benang sutra beribu utas),
cahaya merah sinar pedangnya mentiung seperti lembayung terus menerjang ke arah si Nikoh.
Diam-diam Thian-hi berpikir; ‘ingin kulihat tanpa menggerakan kaki tangan cara bagaimana kau
menghadapi jurus pedangku ini!’
Pandangan si Nikoh mengikuti gerak Cu-hong-kiam ditangan Thian-hi, begitu pedang
menyambar tiba entah dengan gerakan apa tiba-tiba seringan angin tubuhnya melayang naik
mundur ke belakang, benar-benar juga kaki tangannya sedikitpun tidak bergerak.
Terkejut Thian-hi dibuatnya, cepat ia menubruk maju, jurus pedangnya dirobah dengan tipu Sibiau-
liau-loan (sutra terbang dahan liu berantakan), sinar pedangnya silang menyilang simpang
siur tak menentu arah, merangsak begitu cepat dari berbagai arah ketubuh si Nikoh.
Si Nikoh kelihatannya seperti tidak punya berat badan, seenteng asap dapat melayang naik
turun di tengah udara, seiring dengan kiblatan sinar pedang Hun Thian-hi badannya ikut
terombang ambing selulup timbul, jelas jurus kedua inipun tidak mampu menyentuh ujung
bajunya. Apa boleh buat Hun Thian-hi menarik pedang menghentikan serangan selanjutnya.
Sementara Nikoh itu juga melayang turun dihadapannya.
Heran dan tidak habis mengerti Thian-hi dibuatnya meski kedUa jurus rangsakkannya dapat
dilancarkan sekaligus dalam gerakan berantai, jadi baru terhitung satu jurus, tapi sisa dua jurus
selanjutnya jurUs permainan apa pula yang perlu dilancarkan? Ginkang Nikoh ini sungguh luar
biasa bagusnya, begitu hebat sampai sukar dibayangkan keindahannya.
Bagaimana jurus selanjutnya? Agaknya Nikoh itu juga tenggelam pikirannya, agaknya ia sedang
mereka-reka jurus permainan apa yang hendak dilancarkan Hun Thian-hi, bagaimana pula ia harus
menghadapinya.
Setelah direnungkan akhirnya Hun Thian-hi tersenyum lebar, pedangnya digerakkan lagi, kali ini
ia gunakan jurus pertama dari ilmu pedang Gin-ho-sam-sek yaitu Tam-lian-hun-in-hap, cahaya
merah yang menyolok mata beterbangan membentuk gugusan gunung yang memuncak semakin

runcing, nyata sinar pedangnya mulai membabat dan menusuk dari arah atas dan bawah
bergantian, batinnya; ‘kali ini dapatkah badan si Nikoh berkelebat mundur menghindar, sementara
tajam pedang Hun Thian-hi sudah menindih turun dari atas, naga-naganya si Nikoh seperti sudah
menduga Hun Thian-hi bakal menggunakan permainan pedangnya ini, secepat kilat ia melesat
mundur, sebelum sinar pedang Hun Thian-hi menukik turun. siang-siang ia sudah berhasil
meloloskan diri dan menghindar kesamping.
Lagi-lagi Thian-hi takjup dan terkesima dibuatnya, sungguh diluar dugaannya bahwa gerakgerik
si Nikoh begitu sigap dan cekatan, begitu cepat sampai ia tidak mampu melayani permainan
orang, sekian lama ia menjublek lalu pelan-pelan membalik badan.
Nikoh itu manggut-manggut lagi, agaknya ia menyuruh Thian-hi meneruskah serangannya
terakhir.
Inilah jurus terakhir, kalah atau menang jurus inilah yang bakal menentukan, dua jurus yang
terdahulu ia telah gagal, kegagalan ini banyak mempengaruhi semangat tempur Thian-hi,
keyakinannya mencapai kemenangan menjadi gugur dan lenyap sama sekali, dalam keputusasaannya
ini teringatlah akan Wi-thian-cit-ciat-sek, cuma Wi-thian-cit-ciat-sek lah satu-satunya
harapan untuk mencapai kemenangan itu. Begitulah ia berkeputusan, soalnya cara lain sudah
buntu.
Setelah pikirannya mantap Thian-hi menggentakkan tangan kanan, pedang teracung miring ke
atas terus bergerak menyerang ke arah si Nikoh, Kelihatannya Si Nikoh sudah siap siaga dan
punya pegangan mengatasi serangan hebat ini, melihat serangan pedang Wi-thian-cit-ciat-sek.
Thian-hi melandai tiba, sedikit pun tidak menjadi gugup, sekarang ia tidak bergerak juga tidak
berusaha berkelit atau menghindar dengan tajam matanya mengikuti gerak ujung pedang
ditangan Thian-hi.
Hati Thian-hi jadi bimbang, tapi seranggan pedang sudah dilancarkan tak mungkin dibatalkan,
dalam kejap itu ujung pedangnya sudah mengancam tubuh si Nikoh malah sudah menyentuh
jubah hijau orang,
Berbagai pertimbangan berkelebat dalam benak Thian-hi, kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek belum
lagi ia kerahkan, kalau itu terjadi betapapun tinggi ilmu silat si Nikoh jiwanya tentu amblas.
Begitulah hatinya ragu-ragu dan gerak tangannya pun jadi kendor, kenapa si Nikoh tidak mau
berkelit? Apakah dia tidak mengenal jurus yang dilancarkan ini adalah Wi-thian-cit-ciat-sek yang
hebat ini?
Keraguan ini melintas cepat di dalam benaknya, sang waktu tidak memberi kesempatan bagi
Thian-hi untuk banyak pikir, serta merta secara reflek ia menarik mundur ujung pedangnya.
Biji mata si Nikoh memancarkan sorot yang aneh dengan suara datar ia bertanya, “Kenapa kau
menarik pedang membatalkan seranganmu?”
“Kau tidak berkelit aku tidak tega untuk melanjutkan seranganku!” demikian jawab Thian-hi,
suaranya datar rendah.
Mata si Nikoh memancarkan cahaya aneh yang sulit dijajaki juntrungannya, suaranya tetap
tawar, katanya, “Tapi kau sudah melancarkan tiga jurus serangan. Kau sudah kalah!”
Memang Thian-hi sudah melancarkan tiga jurus serangan, meski serangan terakhir ia batalkan
sendiri, tapi sudah masuk hitungan juga, terpaksa ia menyahut, “Silakan Cianpwe katakan perintah
apa yang harus kulaksanakan!”

Si Nikoh manggut-manggut, ujarnya, “Tidak malu kau sebagai ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek,
sekarang akan ketolong mereka, tapi setelah berhasil kuselamatkan mereka ikut aku! Hal ini akan
lebih baik dan tiada jeleknya!” — habis kata-katanya lenyap pula bayangannya, sekali mencelat ia
menghilang ke dalam hutan.
Thian-hi terlongong-longong, sekian lamanya ia termenung-menung, tak tahu dia bagaimana
perasaan hatinya saat itu, ia tidak bisa menyangkal kebenar-benaran ini, kalau si Nikoh membawa
Ma Gwat-sian pergi tentu dia punya akal untuk menyembuhkan penyakitnya itu, cuma ia tidak
tahu siapakah sebenar-benarnya Nikoh itu?
Akhirnya ia menghela napas gegetun, Nikoh itu pasti dari kalangan lurus, hal ini tidak perlu
disangsikan, namun kapan baru dia bisa bertemu lagi dengan Ma Gwat-sian? Sekarang apa pula
yang harus dikerjakan? Setelah dipikir2 akhirnya ia berkeputusan untuk meluruk ke Jian-hud-tong
untuk menyelidiki apakah Ma Gwat-sian berdua benar-benar sudah tertolong keluar. Meski ia harus
menerjang sarang harimau dan gua naga, apalagi Tok-sim-sin-mo belum lagi mampus, Badik
buntung pun masih berada di tangannya.
Tengah ia terombang-ambing dalam pikiran, sekonyong-konyong didengarnya suara
percakapan yang lirih tapi berisi, dapatlah diraba bahwa pendatang ini pasti tokoh kaum Bulim.
Bergegas ia melejit menyembunyikan diri. di dalam hutan, dalam hati ia berpikir2 siapakah yang
sedang mendatangi.
Tak lama kemudian dari arah depan sana mendatangi dua orang, begitu melihat jelas kedua
pendatang itu, Thian-hi melengak heran, kiranya mereka bukan lain adalah Bun Cu-giok beserta
gurunya, sungguh tidak habis mengerti untuk apa Bun Cu-giok meluruk kemari dari barat daya
yang berjarak begitu jauh.
Paras Bun Cu-giok dan Ce-hun Totiang tampak kecut, agaknya ada sesuatu peristiwa yang
mengganggu pikiran mereka, diam-diam Thian-hi heran, entah kejadian apa pula yang telah
mereka alami. Ce-hun Totiang sebagai tokoh kosen angkatan Bulim yang kenamaan, entah kenapa
raut wajahnya kok mengunjuk rasa duka dan masam.
Thian-hi diam saja mengawasi kedua orang ini semakin dekat, pikirnya setelah mereka lewat
segera ia hendak menyusul ke Jian-hud-tong.
Mendadak didengarnya Ce-hun Totiang menghela napas panjang, katanya kepada Bun Cu-giok,
“Kalau Hun-siauhiap ada disini tentu lebih baik, mengandal ilmu silatnya, urusan ini pasti dapat
diselesaikan dengan mudah,” habis berkata ia berkeluh kesah lagi.
Terdengar Bun Cu-giok ikut bicara, “Belum tentu dia sudi membantu kita, mungkin dia
mambenci kami setengah mati!”
“Cu-giok, jiwamu tertalu sempit Hun-siauhiap bukan orang macam itu!”
Thian-hi mendengarkan percakapan mereka, ia sedang mempertimbangkan diri, perlukah ia
keluar mengunjukkan diri, sementara itu Ce-hun Totiang dan Bun Cu-giok sudah semakin dekat.
Akhirnya Thian-hi ambil putusan, serunya, “Totiang tunggu sebentar!”
Rupanya Ce-hun Totiang tidak mengira di tempat itu ada orang, cepat ia memutar tubuh serta
berteriak tanya, “Siapakah itu?” — tapi serta melihat yang muncul adalah Thian-hi ia jadi
kememek, akhirnya ia berseru kegirangan, “Kau!”, namun begitu teringat peristiwa dulu yang
memalukan itu ia jadi menyesal dan menunduk, rasanya ingin ia menyembunyikan mukanya.

Thian-hi cepat maju sapanya kepada Bun Cu-giok, “Cu-giok, bagaimana keadaanmu selama
berpisah?” — lalu ia pun bertanya kepada Ce-hun Totiang, “Kudengar Totiang mencariku untuk
sesuatu urusan, entah untuk keperluan apakah?”
Muka Ce-hun berubah serius, katanya tegas, “Sungguh Pinto tidak mengira bakal bertemu Hunsiauhiap
di tempat ini, sungguh kebetulan!”, sebetulnya ia rikuh untuk menjelaskan cuma urusan
sudah ketelanjur terpaksa ia harus memberi penjelasan, “Sudah lama kami guru dan murid ingin
mohon ampun akan dosa2 yang lalu, tapi selama ini belum ketemu dengan Hun-siauhiap!”
Thian-hi menjadi rikuh sendiri, sahutnya tertawa ewa, “Kejadian dulu cuma karena kesalahan
paham belaka tak usah diungkat2 lagi, apalagi dulu akupun pernah mendapat pertolongan jiwa
dari Cu-giok ke-beberapa kali, budi pertolongan inipun belum semua kubalas!”
Sungguh malu dan menyesal pula hati Bun Cu-giok serta mendengar ucapan Thian-hi ini….
Perbuatan dirinya yang terakhir begitu tercela dan hina, bukan saja tidak dinista malah orang
bicara begitu sungkan, maka dengan penuh haru dan menyesal ia berkata, “Hun-siauhiap bicara
sungkan, betapa hina dina aku Bun Cu-giok ini, cuma aku harap Hun-siau-hiap suka memaafkan!
Betapa cupat dan sempit jiwaku, tapi kau tak dendam akan kesalahanku yang memalukan itu,
sungguh aku Bun Cu-giok berhutang budi dan banyak terima kasih!”
“Saudara Cu-giok main kelakar saja, soalnya dulu terdesak oleh keadaan tidak bisa aku bekerja
menurut situasi, mana bisa menyalahkan kau!”
Lalu Hun Thian-hi bertanya lebih lanjut kepada Ce-hun Totiang, “Totiang sebenar-benarnya
apakah yang telah terjadi, bolehkah beri penjelasan kepada Wanpwe?”
Ce-hun Totiang menghela napas, ujarnya, “Dikata soal besar ya besar, dianggap soal kecil yang
sepele. Ciok Yan kena diculik orang, Hoan-hu popo juga terluka oleh orang itu.”
“O,” seru Thian-hi heran, tanyanya pula, “Siapa penculiknya?”
“Kalau orang lain sih mending, soalnya penculik itu adalah Bian-hok Lojin (situa kelelawar)”,
Thian-hi bercekat, serunya kejut, “Situa kelelawar maksudmu!” — sungguh ia tidak menduga,
karena si tua Kelelawar merupakan tokoh aneh yang disegani pula di Bulim, seorang diri ia
menempati sebuah gedung besar, tiada seorangpun yang pernah melihat ia keluar dari sarangnya,
tapi tiada seorangpun juga yang berani memasUki gedungnya itu, orang yang pernah masuk
kesana, tiada seorangpun yang bisa keluar dengan selamat. Cuma tiada seorangpun kaum
persilatan yang menanam permusuhan atau berhutang budi terhadapnya, maka ia tidak menduga
orang yang disegani dan diindahkan ini justru telah menculik seorang gadis remaja.
“Bagaimana bisa terjadi hal ini?”’ tanya Thian-hi minta penjelasan.
Pelan-pelan Ce-hun Totiang menggeleng kepala, katanya, “Aku sendiri juga kurang jelas, sudah
sekian lamanya Hoan-hu popo belum sadar waktu peristiwa ini terjadi kebetulan kami tidak ada
dirumah!”
Tidak habis heran Thian-hi kenapa situa Kelelawar meluruk jauh kegurun utara, melukai berat
Hoan-hu popo serta menculik Ciok Yan. Tempat tinggal situa Kelelawar tidak jauh dari sini setelah
berpikir masak segera ia berkata, “Mari kuiringi Cianpwe meluruk kesarangnya!”

Tanpa minta bantuannya Hun Thian-hi sudah menyatakan diri bersedia ikut mengurus
persoalan ini, keruan bukan kepalang senang dan haru hatinya. ujarnya, “Kalau begitu bikin susah
Siauhiap saja!”
“Marilah kita berangkat!” demikian ajak Hun Thian-hi, lantas ia mendahului lari ke arah
tenggara.
Sebelum cuaca menjadi gelap mereka sudah tiba diluar sebidang hutan lebat, Hun Thian-hi
menghentikan langkahnya seraya membalik badan, katanya, “Sarang situa Kelelawar berada di
dalam hutan inikah!” — langsung mereka menerobos masuk hutan berapa jauh di hadapan
mereka berdiri tegak sebuah gedung menjulang tinggi keangkasa, bangunan yang sudah setengah
rusak tidak terpelihara berdiri dikegelapan malam seolah-olah seperti bayang2 jin raksasa.
Selayang pandang seluruh rumah sudah hampir terbungkus oleh tanaman rotan yang
merambat subur ke-mana-mana, suasana sunyi senyap seperti tiada kehidupan insan manusia,
mungkin selama ratusan tahun gedung ini tidak pernah dihuni manusia.
Melihat keadaan yang seram ini mau tak mau hati Thian-hi menjadi tegang, selama puluhan
tahun tiada seorang pun yang tahu orang macam apakah yang tinggal di dalam gedung raksasa
yang bobrok ini, jelasnya seorang tua berusia lanjut, Tidak seorang pun yang tahu betapa tinggi
ilmu silat situa Kelelawar itu. Karena siapa saja yang pernah masuk ke dalam gedung tiada yang
bisa keluar dengan masih bernyawa.
Ce-hun Totiang dan Bun Cu-giok sampai tidak berani bernapas keras-keras, mereka berdiri
diam di belakang Hun Thian-hi, jantung mereka berdebar keras menanti perkembangan yang
bakal terjadi.
Akhirnya Hun Thian-hi membuka suara, “Mari kita masuk bersama!”
Ce-hun manggut-manggut, sambil menggandeng Bun Cu-giok pelan-pelan mereka memasuki
gedung besar itu. Sepasang mata Hun Thian-hi dengan tajam meneliti setiap tempat yang
mencurigakan, tapi keadaan sekelilingnya hening lelap, mereka maju lebih lanjut sampai diambang
pintu.
Setelah dekat di ambang pintu Thian-hi memburu dua langkah ke depan. kedua telapak
tangannya mengerahkan tenaga mendorong pelan-pelan ke arah pintu besar itu baru saja kedua
daun pintunya terbuka sebagian segulung angin dingin dan gerombolan kelelawar yang tidak
terhitung banyaknya beterbangan menerjang keluar….
Thian-hi bertiga dibuat terkejut oleh keributan suara dari kelelawar besar2 yang berbau amis
dan busuk, hampir saja arwah mereka copot dari badan kasarnya. mereka tahu bahwa situa
kelelawar pasti sudah mengetahui jejak kedatangan mereka.
Dengan membesarkan hati Ce-hun Totiang mendahului melangkah masuk. dengan seksama ia
amat-amati keadaan gedung besar itu, lalu berpaling bertanya kepada Hun Thian-hi, “Entah
bagaimana keadaan dalam gedung sana, maksud Hun-siauhiap kita langsung terjang ke dalam
saja atau mengundang situa kelelawar keluar?”
“Maksud Cianpwe….”
“Menurut hematku keadaan di dalam kita tidak jelas. kalau masuk kesana mungkin terjebak,
lebih baik kita pancing situa kelelawar keluar saja!”
Thian-hi manggut-manggut sahutnya, “Cuma apakah ia sudi keluar!”

Cepat Ce-hun Totiang menarik napas lalu berseru lantang ke arah gedung, “Pinto Ce-hun, dari
jauh sengaja memburu datang harap penghuni gedung ini suka keluar untuk bicara!” — karena ia
mengerahkan Lwekang suaranya mengguntur seperti gema genta yang bertalu2, sengaja ia
hendak menunjuk kepandaian Lwekangnya untuk memancing situa kelelawar keluar.
Tapi setelah gema suaranya sirap, dari dalam gedung tidak terdengar reaksi apa-apa. Ce-hun,
menggeram dongkol. teriaknya pula, “Kalau toh berani menculik orang, kenapa main sembunyi2.
silakan keluar berhadapan!”
Sebuah tawa dingin yang menusuk kuping mandengung dari dalam gedung, keruan Thian-hi
bertiga berjingkrak kaget dibuatnya, terdengar orang dalam gedung berseru, “Kalau kau bernyali
besar, silakan masuk saja!”
Ce-hun Totiang menjadi gusar. sambil menggerung murka ia siap menerjang ke dalam. Buruburu
Thian-hi berseru mencegah, “Totiang, nanti dulu!”
Dari suara tawa dingin, yang menusuk kuping itu Thian-hi tahu bahwa Lwekang situa kelelawar
setingkat lebih tinggi dari kepandaian Ce-hun Totiang, apalagi musuh di tempat gelap, kalau
secara serampangan Ce-hun Totiang meluruk ke dalam mungkin kena dikerjain musuh.
Ce-hun Totiang membatalkan niatnya. tanyanya, “Ada urusan apa lagi Hun-siauhiap?”
“Musuh di tempat gelap kita jadi makanan empuk. Sangat berbahaya kalau kita langsung
menerjang masuk tanpa perhitungan, menurut pendapat Wanpwe lebih baik Totiang dan saudara
Cu-giok tunggu diluar saja, biar aku masuk membuat penyelidikan dulu!”
Ce-hun Totiang maklum akan tujuan Thian-hi. Iapun tahu situa Kelelawar bukan sembarangan
tokoh yang dapat dibuat main-main, dengan tertawa tawar ia, berkata, “Seharusnya kami patuh
pada petunjuk Hun-siauniap, tapi soal ini adalah urusan kami dua orang mana bisa membiarkan
Hun-siauhiap masuk seorang diri menempuh ancaman elmaut, sebaliknya silakan Hun-siauhiap
yang tunggu diluar saja, biar aku sama Cu-giok yang masuk ke dalam.”
Hun Thian-hi terbungkam, ia maklum sebagai tokoh kosen yang kenamaan di Bulim adalah aib
bagi Ce-hun untuk membiarkan orang lain berkorban demi kepencngan sendiri sedang jiwa sendiri
berat dikorbankan. Meski kepandaian sendiri tidak becus betapa pun cdak boleh kehilangan gengsi
sebagai laki-laki sejati. meski harus menempuh bahaya sampai jiwa melayang, betapapun ia
pantang mundur.
“kalau begitu maksud Totiang sebetulnya Wanpwe tidak bisa menolak,” demikian kata Thian-hi
setelah berpikir, “Soalnya kita datang bersama, ada lebih baik kita masuk bersama pula,
bagaimana pendapat Totiang?”
“Begitupun baik”, sahut Ce-hun Totiang manggut-manggut. Ia maklum cuma bersama Cu Giok
menempuh bahaya ini, harapan untuk menang dan berhasil sangat kecil.
Agaknya gedung besar ini berlapis2, mereka dihadang pula oleh sebuah pintu besar yang
tertutup rapat. Ce-hun Totiang meng-usap2 pintu itu, alisnya terangkat tinggi, mendadak ia
menghardik keras, kakinya rada menyurut mundur tenaga dikerahkan pada kedua telapaknya
terus mendorong ke depan, “blang” daun pintu yang tebal dan berat seketika semplak dan terbang
terpental jauh kena hantaman Ce-hun Totiang yang hebat itu, begitu jatuh di dalam pendopo
mengeluarkan suara gedubrakan.

Seketika suasana dalam pendopo menjadi ribut, kelelawar yang tidak terhitung banyaknya
segera terbang keluar serabutan, cepat mereka mundur tiga langkah, berselang agak lama baru
kelelawar terbang keluar semuanya, keadaan pendopo hening lelap lagi.
Ce-hun mendengus hidung. dengan langkah lebar ia mendahului bertindak masuk. Namun baru
saja setindak ia maju agaknya Ce-hun menghadapi sergapan yang mendadak, tubuhnya kelihatan
mencelat berkelit berbareng tangan kanannya mencakar ke depan sedang tangan kiri merogoh
gagang pedang sendiri, tapi belum lagi pedang sempat terlolos ia sudah keburu melompat
mundur.
Kejut dan tegang puia Thian-hi dibuatnya, cepat ia memburu maju. Tampak tangan kiri Ce-hun
mendekap pundak kanannya, bersuara dengan suara berat, “Awas dalam rumah ada yang
membokong! Lihay sekalj!” — suaranya kedengaran gemetar dan jeri.
Thian-hi merasa kaget, pundak kanan Ce-hun seperti terkena oleh senjata tajam, mengandal
Lwekang Ce-hun Totiang ternyata kena disergap sebelum ia maju lebih lanjut, cukup segebrak
saja sudah terluka, apalagi pedang sendiri belum sempat pula dilolos. maka dapatlah dibayangkan
musuh dalam rumah ini pasti tokoh lihay yang kuat, mau tidak mau ia harus meningkatkan
kewaspadaan.
Dalam pada itu Bun Cu-giok juga memburu maju, cepat Hun Thian-hi berseru, “Saudara, Cugiok!
Kau tolong obati gurumu dulu, biar aku yang coba-coba, akan kulihat apa yang terdapat di
dalam sana!”
Terpaksa Bun Cu-giok mengiakan. Ce-hun Totiang menambahi pesannya dengan suara
tertekan, “Hun-siauhiap, hati-hati1ah!”
Sekilas Thian-hi periksa dua samping daun pintu. lalu pelan-pelan maju ke dalam. Dan baru
saja langkah kaki Thian-hi yang pertama masuk diambang pintu, tiba-tiba dari depan belakang dan
sebelah kiri tiga jurusan terasa samberan tajam dari senjata pedang menusuk dan membabat
secepat kilat ke arahnya. secara reflek ia berkelit ke arah kanan, berbareng tangan kanan
membalik hendak melolos pedang. Sekonyong-konyong ia merasa juga sebatang pedang tahutahu
sudah menyentuh punggungnya tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, ujung pedang ini
bukan menusuk maju, sebaliknya ia sendiri yang membiarkan punggumg menggelendot ke
belakang, berarti sengaja membiarkan punggungnya tertusuk pedang.
Thian-hi terkejut namun ia cukup cekatan, sekejap mata ia sudah paham kenapa dalam
segebrak saja Ce-hun Totiang sudah terjungkal oleh musuh, waktu tidak memberi kesempatan
untuk banyak pikir lagi. harapan satu-satunya dalam keadaan yang kepepet dan gawat ini ia harus
berhasil meluputkan diri dari tusukan pedang ini.
Dalam keadaan waktu sependek ini tiada kesempatan bagi Thian-hi untuk berpikir lebih cermat,
tak perlu disangsikan bahwa tusukan pedang dibelakangnya ini jelas sekali akan menusuk
punggungnya lebih dulu dari pada samberan pedang dari tiga jurusan yang lajn. sebat sekali ia
miringkan tubuhnya, tapi kejadian selanjutnya sungguh sangat mengejutkan hatinya, kiranya
tusukan pedang disebelah belakang cuma gertakan belaka, sedikit pun pedang itu tidak bergerak
sesuai dugaannya.
Baru sekarang Thian-hi menyadari dirinya telah ditipu mentah-mentah. tepat pada saat itulah
serangan dari tiga jurusan sudah bergabung tiba mencapai satu titik penyerangan yang hebat
sekali menusuk kedadanya sebelah kiri, begitu kuat dan deras sekali tusukan pedang ini sampai
batang pedangnya mendengung mengeluarkan deru angin yang keras.

Tak sempat Thian-hi mengeluarkan pedang, gesit sekali ia mendakkan tubuh sambil miring
kebawah berbareng kaki menjejak tanah melesat miring kesamping, dalam jarak cuma serambut
beruntung ia dapat terhindar dari serangan telak yang berbahaya itu. samentara ditengah jalan
tubuhnya berputar setengah lingkaran, begitu kakinya mencapai tanah, sementara pedang sudah
terlolos terus menusuk miring dari samaping ke arah musuh.
Dari kegelapan terdengar orang itu berseru memuji, “Kepandaian yang hebat!”
Dimana sinar merah berkelebat Cu-hong-kiam sudah menukik turun menusuk tiba, agaknya
orang itu tahu diri. tak berani melawan lekas-lekas ia memutar tubuh teruS lari terbirit2 ke arah
tangga loteng.
Begitu menemukan jejak musuh sudah tentu Thian-hi tidak membiarkan musuh melarikan diri
cepat ia membentak keras, “Lari kemana kau!” seiring dengan suara badannya mencelat terbang
di belakang orang.
Terpaksa orang itu membalik tubuh sambil lancarkan serangan pedang yang cukup ganas,
laksana kepala ular mematuk langsung menusuk kedada Hun Thian-hi.
Tergerak hati Thian-hi, dalam hati ia sudah berkepastian betapapun orang ini jangan sampai
lolos, keadaan dalam ruang pendopo sangat gelap, waktu orang ini membalik tubuh, Thian-hi
dapat melihat jelas perawakan dan muka asli dari orang yang membokong ini. Orang ini kira-kira
berusia lima puluhan, perawakannya tinggi besar, raut mukanya tumbuh jambang bauk yang lekat
biji matanya berkilat terang.
Pedang Thian-hi juga kebetulan menusuk ke depan terus dipuntir kesamping, tapi orang tua itu
agaknya juga seorang ahli pedang, terdengar hidungnya mendengus, cepat ia menarik mundur
pedangnya seraya mencelat kesamping, serunya, “Lebih penting kau rawatlah dulu kawan2mu
itu!” — selesai berkata terus melesat naik dan menghilang.
Thian-hi terkejut, mungkinkah dalam gedung ini masih ada orang lain? Karena kuatir cepat ia
lari keluar, tampak Bun Cu-giok dan Ce-hun masih berdiri ditempatnya, ia jadi melengak, batinnya,
aku kena ditipu pula oleh orang itu, hatinya jadi gemas dan dongkol.
Bun Cu-giok bersama Ce-hun Totiang melangkah masuk, kata Ce-hun Totiang, “Siauhiap apa
sudah melihat Bian-hok Lojin?”
“Cuma kulihat seorang tua, entah siapa dia, dia lari ke atas loteng, ilmu silatnya tidak rendah!”
“Tak nyana Bian-hok Lojin serasi dengan nama. Kelelawar tidak punya nyali dan penakut,
melihat orang lantas lari atau main bokong tidak berani berhadapan secara langsung.”
Thian-hi sendiri sedang bertanya-tanya kenapa tanpa bertempur sampai menang atau kalah si
orang tua itu lantas merat, apakah dia memang kerjanya membokong dan mencelakai jiwa orang
dengan akal licik? Rasanya tidak mungkin, didengar dari lengking tawanya yang menusuk
pendengaran tadi, tokoh Bulim yang mampu mengalahkan dia rasanya boleh dihitung dengan jari,
mana bisa dia mengandal akal liciknya dengan berbagai jebakan mengalahkan musuh!
Soalnya orang tadi belum gebrak sungguh-sungguh dengan dirinya, apakah dia benar-benar
Bian-hok Lojin belum ada kepastian.
Kata Bun Cu-giok kepada Ce-hun Totiang, “Biar aku naik kesana memeriksa, sebenar-benarnya
apa yang sedang dia lakukan!”

Ce-hun menghela napas, ia geleng kepala, katanya, “Tidak perlu, tak berguna meski kau
ketemukan dia.” lalu ia berpikir sebentar dan berseru keras ke dalam rumah, “Bian-hok Lojin,
kalau kau tidak berani keluar, kita akan membakar habis seisi gedungmu ini!”
Terdengar tawa ejek dari dalam rumah, sahutnya, “Boleh kau coba-coba, kalian bertiga jangan
harap bisa keluar dengan masih hidup.”
“Kenapa kan main sembunyi dan longak-longok tak berani berhadapan.” ejek Ce-hun.
Jawab orang dalam rumah itu, “Orang yang pernah datang kemari selamanya tiada seorang
pun yang keluar dengan masih hidup, harapan hidup kalian bertiga sudah nihil, kenapa putar
bacot selalu, menyebalkan!”
Thian-hi jadi getol, serunya, “Kau anggap gampang menghabisi jiwa kami bertiga, soalnya kami
terpaksa harus meluruk kemari, urusan gampang diselesaikan asal kau lepaskan nona Ciok Yan,
kami bertiga segera keluar dari sini.”
Keadaan sunyi senyap, tak terdengar penyahutan. Bertaut alis Thian-hi, katanya, “Harap kalian
tunggu disini, biar aku naik melihatnya!” -sekali lejit tubuhnya terbang lempang ke atas, baru saja
sampai di tengah jalan, tahu-tahu ujung sebilah pedang panjang sudah menutuk dekat di depan
mukanya mengarah tengah-tengah kedua alisnya.
Thian-hi menyedot napas lalu bersuit nyaring, di tengah udara badannya berputar jumpalitan,
sementara pedangnya ikut berputar menyelonong keluar miring menyampok turun terus memapas
naik membabat ke tubuh Bian-hok Lojin.
Agaknya Bian-hok Lojin juga tidak sungkan-sungkan lagi. sengaja ia hendak jajal Lwekang dan
kepandaian Thian-hi yang sejati, begitu kedua batang pedang saling sentuh miring, yang satu
masih terapung ditengah udara, sedang yang lain berdiri tegak di atas papan loteng dengan cara
yang cukup aneh ini mereka sudah saling mengadu kekuatan dalam.
Terdengar Bian-hok Lojin berseru heran, pikirnya, “bocah ini terlalu takabur, badan masih
terapung di tengah udara berani beradu kekuatan dengan Lohu.
Soalnya ia tidak tahu bahwa Thian-hi adalah ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, cara adu kekuatan
macam ini benar-benar si orang tua minta gebuk dan harus diberi hajaran, seumpama Bu-bing
Loni disini dia pun tidak akan berani mengadu kekuatan secara kekerasan begini, apalagi Bian-hok
Lojin, meski Lwekangnya tidak lemah, namun mana dia kuasa bertahan diri menghadapi
kedahsyatan tenaga Wi-thian-cit-ciat-sek yang tiada taranya ini.
Bab 34
Begitu Bian-hok Lojin menyendal pedangnya, sementara Hun Thian-hi masih belum kerahkan
tenaga pendamnya, sehingga seluruh tubuhnya ikut terangkat naik. Agaknya Bian-hok Lojin
sangat bangga, ia sudah kerahkan seluruh tenaganya untuk menjungkir balikkan tubuh Thian-hi
berbareng kirim sebuah tusukan dengan getaran pedangnya yang dahsyat untuk mencelakai jiwa
Hun Thian-hi.
Thian-hi sudah meraba jalan pikiran Bian-hok Lojin, tapi ia pun segan mengerahkan kekuatan
Wi-thian-cit-ciat-sek untuk menggetar balikkan kekuatan lawan supaya membinasakan jiwanya,
seluruh batang pedangnya sudah gemetar dan melengkung, seluruh batang Cu-hong-kiam

memancarkan cahaya merah dadu, itulah pertanda bahwa kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek sudah
dikembangkan menggempur lang-sung ke arah Bian-hok Lojin.
Sekonyong-konyong Bian-hok Lojin merasa segulung tenaga besar laksana gugur gunung
meluruk ke arah dirinya dari berbagai jurusan yang berlawanan, keruan kejutnya bukan kepalang,
baru sekarang ia menyadari kejadian apa yang bakal terjadi akan keselamatan jiwanya.
Hawa pedang segera bergolak ditengah udara, tanpa kuasa pedang panjang kena tersedot dan
terpental terbang ke tengah udara, terdengarlah suara gemeratak batang pedang itu tergempur
putus berantakan ditengah udara menjadi beberapa potong, sementara tubuhnya juga terdorong
pontang-panting oleh terjangan tenaga besar yang melandai.
Belum lagi Bian-hok Lojin sempat berdiri dan bernapas Cu-hong-kiam di tangan Thian-hi sudah
membabat tiba mengarah tenggorokannya. Tampak mata Bian-hok Lojin memancarkan rasa kejut
dan ketakutan, tapi dalam kejap lain mendadak ujung mulutnya mengulum senyum kegirangan
pula.
Thian-hi jadi melengak, bersama itu terasa angin dingin menyampok tiba dari belakangnya,
sigap sekali ia menggeser kaki seraya memutar tubuh, ternyata Ce-hun Totiang tengah meluncur
datang, keruan ia jadi kaget, ia sadar dirinya telah tertipu lagi, waktu ia membalik lagi sementara
Bian-hok Lojin sudah terbang keluar rumah seraya tertawa gelak-gelak. Thian-hi menghardik
keras, badannya mencelat mengejar.
Disaat badan Bian-hok Lojin melayang turun kebetulan Bun Cu-giok sedang memburu datang,
ditengah gelak tawanya Bian-hok Lojin mengebutkan lengan bajunya, jaraknya dengan Bun Cugiok
kira-kira setombak lebih, kontan Bun Cu-giok tergetar sempoyongan oleh tenaga kebutan
lengan baju orang, dalam kejap lain si orang tua sudah menghilang pula di dalam rumah.
Bagai terbang Hun Thian-hi mengejar dengan ketat, tapi ia tidak berhasil menyandak
musuhnya, begitu mengejar masuk ke dalam rumah, keadaan gelap gulita, jejak Bian-hok Lojin
sudah menghilang. Mau tak mau ia memuji dalam hati, mimpi juga tak terduga olehnya dikala Cehun
Totiang mengejar datang malah dia mengunjuk senyum dikulum, daya pikiran dan
ketenangan hatinya yang besar ini sungguh harus dipuji, serta merta ia menghela napas gegetun.
Kejap lain Ce-hun Totiang juga telah tiba, dengan geregetan ia berkata, “Saking gugup Pinto
sampai berbuat ceroboh, usaha Siauhiap yang mendekati hasil gemilang menjadi berantakan oleh
kecerobohanku!” -saking sesal ia banting kaki.
“Totiang tidak perlu salahkan diri sendiri, aku sendiripun belum tentu dapat berhasil
mengalahkan dia, cuma ia salah perhitungan mau jajal adu kekuatan sehingga kena kecundang,
kecerdikan otaknya betapa pun sangat mengagumkan, meski ia berhasil lolos pun tidak perlu
dibuat getun, yang terang dia masih berada di dalam gedung ini! Cepat atau lambat kita akan
menemukan dia pula!”
Hari sudah terang tanah, Hun Thian-hi bertiga semalam suntuk ubek2an menjelajahi segala
pelosok gedung besar itu tanpa menemukan jelak Bian-hok Lojin, mereka jadi gemes dongkol,
kalau Bian-hok Lojin sengaja menyembunyikan diri tidak mau keluar, mereka tidak mampu berbuat
apa-apa.
Sinar matahari menerangi semua pelosok gedung itu, kata Hun Thian-hi kepada Ce-hun
Totiang, “Cuaca terang benderang, kita bisa melihat dan memeriksa.lebih teliti, aku akan periksa
sekali lagi, aku tidak percaya masa dia menyembunyikan diri tanpa bisa diketemukan.”

Ce-hun Totiang insaf dirinya sudah terluka, ilmu silat Bun Cu-giok terpaut jauh sekali dibanding
Thian-hi, mereka cuma bakal merupakan beban saja, maka ia mengangguk setuju, katanya,
“Kalau begitu menyulitkan Siauhiap saja, Siauhiap harus hati-hati jangan sampai dijebak!”
Thian-hi manggut-manggut, di lain saat ia sudah mulai pencariannya dengan teliti. Di bawah
penerangan sinar matahari, keadaan dalam gedung bobrok jelas sekali, kelihatannya seperti sudah
ratusan tahun tidak pernah dihuni atau diperbaiki lagi, banyak tempat yang sudah keropos dan
mulai gugur.
Thian-hi memasuki sebuah serambi panjang dari serentetan kamar2 yang terdiri dari papan,
sekian lama Thian-hi ubek2an dalam rumah papan ini tanpa menemukan sesuatu yang
mencurigakan, lambat laun hatinya menjadi kecewa dan putus asa. Baru saja ia bergerak hendak
kembali keluar, tiba-tiba didengarnya suara keresekan yang lirih sekali. Thian-hi terkejut, cepat ia
membalikkan tubuh, dilihatnya si tua Kelelawar sedang berdiri di belakangnya.
Mengawasi orang tua di hadapannya Hun Thian-hi melongo dibuatnya, ia heran kenapa selama
ini dirinya ubek2an Bian-hok Lojin sengaja menyembunyikan diri, sebaliknya kini muncul secara
mendadak membuat kaget orang saja.
Sekian lama mereka beradu pandang tanpa bergerak dan tidak bersuara, akhirnya Thian-hi jadi
rikuh sendiri, katanya sambil menatap tajam si orang tua di depannya, “Kau harus segera
membebaskan Nona Ciok Yan!”
Pandangan Bian-hok Lojin dingin tanpa perasaan, sahutnya, “Kaukah Hun Thian-hi yang mulai
menanjak namanya di Kangouw akhir2 ini?”
“Ya, aku yang rendah memang Hun Thian-hi.”
“Bagus, memang tidak bernama kosong. semalam hampir saja aku terjungkal dalam tanganmu
karena kurang hati-hati. Ternyata kau adalah ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek!”
“Kalau kau tahu itulah baik,” sahut Thian-hi dengan nada mengancam, suaranya berat, “Kau
bukan kaum keroco yang tidak bernama, kenapa tanpa sebab menculik bini orang!”
“Tiga puluh tahun lamanya belum pernah aku melakukan perbuatan yang mengotori nama dan
mendurhakai sanubariku. Meski sudah ratusan manusia yang binasa di tanganku, tapi mereka mati
bukan tanpa sebab atau alasan yang cukup setimpal.”
“Kalau begitu mohon keteranganmu, apa alasan dan tujuanmu kau menculik nona Ciok Yan?”
“Ciok Yan? Hahaha, siapa yang bernama Ciok Yan hakikatnya aku tidak tahu, tiga puluh tahun
lamanya aku belum pernah meninggalkan gedung ini setapakpun, orang yang kukerjain tiada
seorang pun yang masih ketinggalan hidup dari mana aku menculik orang? Kau sedang kelakar
agaknya!”
“Apa benar-benar?” tanya Thian-hi terkejut.
“Memangnya aku orang yang suka ngobrol?” jengek Bian-hok Lojin kurang senang.
Waktu Thian-hi kebingungan, tiba-tiba didengarnya derap langkah mendatangi dari sebelah
belakang, tahu ia bahwa Ce-hun Totiang dan Bun Cu-giok sudah menyusul tiba. Setelah
mendengar percakapan mereka.

Timbul pertanyaan dalam benak Thian-hi, ia berpaling hendak bertanya, tapi dilihatnya Ce-hun
Totiang sudah menerjang masuk langsung menubruk ke arah Bian-hok Lojin.
“Totiang nanti dulu!” teriak Thian-hi.
Baru saja suaranya lenyap lantas dilihatnya air muka Ce-hun Totiang rada ganjil, kontan ia
mendapat firasat jelek, seolah-olah sesuatu peristiwa bakal terjadi, cepat ia memutar tubuh lagi,
tapi dalam sekejap itu bayangan Bian-hok Lojin sudah lenyap tak keruan parah.
Ce-hun Totiang melesat kesamping menghindari rintangan sebelah tangan Thian-hi terus
menggempur dinding papan disebelah depan sana. “Blum!” seluruh rumah menjadi hureg hampir
ambruk, debu beterbangan memenuhi seluruh rumah. Tapi dinding papan yang kena pukulan itu
sedikitpun tidak bergeming ambrol.
Bercekat hati Thian-hi, ia tahu dikala Ce-hun Totiang menerjang masuk ke dalam rumah ini
kebetulan melihat Bian-hok Lojin melarikan diri kebalik dinding papan ini, maka ia mengejar
datang sambil mengirim pukulan, tak terduga gerak gerik Bian-hok Lojin jauh lebih cekatan.
Tidak heran sekian lama tadi ia mencari ubek2kan tanpa menemukan jejak Bian-hok Lojin,
kiranya rumah ini ada dipasang alat rahasia. Tapi yang peniting sekarang bukan cepat-cepat
menyusul atau menemukan jejak musuh, ia harus mencari tahu dulu duduk perkara yang sebenarbenarnya.
Maka tanyanya kepada Ce-hun Totiang, “Cian-pwe, tadi Bian-hok Lojin sudah bicara dengan
Wanpwe, ada berbagai persoalan aku mohon penjelasan secara terperinci!”
Bian-hok Lojin berhasil lari, hati Ce-hun jadi gegetun dan kecewa, kini mendengar pertanyaan
Thian-hi lagi, ia jadi terkejut dan tegang, entah untuk persoalan apa. Dengan penuh tanda tanya
ia pandang Thian-hi, katanya, “Ada urusan apa silakan Siau-hiap bicara saja?”
“Totiang, aku ingin ketegasan, apakah benar-benar nona Ciok diculik oleh Bian-hok Lojin?”
Agaknya Ce-hun tidak menduga Thian-hi bakal mengajukan pertanyaan ini, dengan kurang
mengerti ia balas bertanya, “Benar-benar! Adakah sesuatu yang kurang beres?”
“Dari mana Totiang bisa tahu bahwa penculik itu adalah Bian-hok Lojin?”
Ce-hun Totiang merasa urusan kurang beres, nada pertanyaan Thian-hi sudah mempertegas
dugaannya bahwa peristiwa ini jauh menyimpang dari dugaan semula, sejenak ia berpikir lalu
sahutnya, “Kami mendapat tahu dari penuturan Hoan-hu popo sebelum pingsan!”
“Tadi Bian-hok Lojin berkata padaku, hakikatnya ia tidak tahu siapakah nona Ciok itu, ia tidak
pernah menculik orang. Tiga puluh tahun lamanya belum pernah ia meninggalkan gedung ini
setapak pun.”
Ce-hun Totiang melengak, sekian lama terlongong tak bicara.
Sebaliknya Bun Cu-giok menjadi gusar dan uring-uringan, teriaknya, “Dia bohong!”
“Cu-giok!” cegah Ce-hun, matanya menatap tajam pada Bun Cu-giok.
Bun Cu-giok menjadi lemas dan tertunduk, air mata mengalir membasahi pipinya.

“Wanpwe sendiri masih kabur akan duduk persoalan ini yang sebenar-benarnya, tapi dari raut
mukanya waktu bicara aku yakin dia tidak membual, tapi bagaimana juga kupikir pasti urusan ini
ada sangkut pautnya dengan dia. Jejak nona Ciok tentu dapat kita temukan dari keterangannya,
untuk ini kalian tidak usah kuatir!”
“Sungguh aku tidak menduga urusan bisa berlarut dan ruwet, aku cuma mengharap dapat
menemukan Ciok Yan saja!”
“Lebih baik Totiang dan saudara Cu-giok tetap diluar saja, biar aku sendiri mencari Bian-hok
Lojin.
“Tidak” sahut Ce-hun tegas, “ini adalah lurusan perguruan kami, membikin Siauhiap ikut
bercapai lelah kami sudah rikuh dan tak enak hati, kalau Siauhiap boleh meski ilmu silat kami
terlalu rendah. kami ingin ikut menerjang ke dalam lebih lanjut!”
“Kenapa Totiang bicara begitu sungkan, aku cuma kuatir luka-luka Totiang yang perlu
perawatan, gerak-gerik kurang leluasa lagi, kalau Totiang memang ingin meluruk ke dalam itulah
memang amat baik!”
Thian-hi melolos Cu-hong-kiam, tenaga dikerahkan terus menusuk ke dalam dinding papan,
begitu ditekan pada ujung pedang pelan-pelan lalu menggores telak, pedangnya menusuk masuk
seketika Thian-hi dibuat terkejut heran, rumah papan ini kelihatannya sudah keropos dan hampir
roboh kenyataan masih sedemikian kokoh dan kuat serta keras sekali dindingnya, mengandal
ketajaman Cu-hong-kiam sudah mengerahkan setaker tenaganya lagi, hampir saja pedangnya
tidak berhasil menusuk masuk.
Dimana ia gerakkan tangannya, Cu-hong-kiam menggores sebuah lingkaran bundar sebesar
mulut sumur akhirnya dengan sedikit tenaga sendalaan seketika papan yang tergores bundar itu
jatuh di tanah mengeluarkan suara kerontangan yang nyaring, kiranya itulah papan hitam yang
terbuat dari logam keras. Thian-hi melengak heran, waktu diraba tangannya menyentuh dinding
keras yang dingin, kiranya terbuat dari papan besi, tak heran pukulan Ce-hun Totiang yang
dahsyat tadi tidak membuatnya cebol berantakkan.
Dilain kejap satu persatu mereka sudah masuk melewati lobang bundar itu, Thian-hi berada
paling depan sambil jalan ia celingukan ke kanan kiri, kiranya dalam lobang ini ada ruangan lain,
terdapat tiga terowongan bersilang yang menembus ke tempat lain entah kemana!
Thian-hi meneliti sekitarnya lalu memilih jalan tengah, didapati oleh Ce-hun dan Cu-giok bahwa
sepanjang jalan lorong ini dibuat dari dinding besi semua, hati mereka jadi gundah dan was-was,
selama mereka masuk ke dalam rumah gedung ini, Ban-hok Lojin selalu main bokong dan
bertahan, belum pernah melancarkan serangan yang sesungguhnya kepada mereka, entah si
orang tua apa benar-benar mempunyai kepandaian sejati.
Jalan punya jalan mendadak Bian-hok Lojin muncul lagi disebuah tikungan tak jauh di depan
sana, matanya berapi-api memandang ke arah mereka. desisnya geram, “Berani kalian meluruk
sedemikian jauh kesini!”
Bun Cu-giok menghardik keras terus menerjang ke arah musuh.
Thian-hi tidak menduga Bun Cu-giok berlaku begitu gegabah, raihan tangannya luput,
sementara Ce-hun Totiang juga berseru, “Cu-giok!”
Tapi Bun Cu-giok sudah seperti serigala kelaparan terus menubruk dengan kalap, Thian-hi
mengeluh celaka, sebat sekali ia melompat maju mengejar, Bian-hok Lojin mandah tersenyum

dingin, kedua telapak tangannya dikembangkan lalu ditepukkan pula bersama, segulung tenaga
kontan menyongsong kedada Bun Cu-giok.
Keruan bukan kepalang kaget Bun Cu-giok, dengan menggembor sekeras-kerasnya ia dorong
kedua telapak tangan balas menyerang. Thian-hi jadi keripukan lekas-lekas sebelah tangannya
mengebas berbareng tangan kanan bergerak miring memotong ke depan, sekaligus ia punahkan
terjangan dua tenaga yang bakal saling bentur, sementara tubuhnya ikut menubruk maju pula,
tapi dalam kejap itu pula setelah ia berdiri tegak bayangan Bian-hok Lojin sudah lenyap entah
kemana.
Bun Cu-giok menjublek kesima, Ce-hun mengejar tiba, katanya menghela napas ringan, “Hunsiauhiap
untung kau keburu menolong! Bikin susah kau pula!”-lalu ia geleng-geleng kepala.
“Tak menjadi soal, mari kita kejar ke depan!” sahut Thian-hi sambil mendahului lari ke depan.
Sesal dan haru pula Bun Cu-giok dibuatnya, sanubarinya terketuk dan hampa, sesaat ia
terlongong tak bersuara. Urusan mengenai keselamatan istrinya, bukan saja ia main gagah2an,
celakanya bukan saja tidak berhasil malah lebih malu lagi, Bian-hok Lojin berkesempatan
melarikan diri pula.
Entah berapa panjang mereka menyelusuri lorong gelap tiba-tiba di depan sana tampak cahaya
terang, sebuah gedung besar yang lain bentuknya tiba-tiba menjulang tinggi dihadapan. mereka,
Hun Thian-hi menghentikan langkah, hati-hati ia maju beberapa langkah, seraya melongok ke
dalam. gedung yang terbuka lebar, seketika ia berjingkrak kaget dibuatnya.
Seorang orang tua berambut uban tengah duduk samadi ditengah pendopo dalam gedung itu,
tangan kanannya menyekal sebilah pedang panjang, dimana tangan kanannya bergerak ke atas,
beruntun ia obat-abitkan pedangnya ditengah udara sebanyak puluhan jurus dengan tipu-tipu
yang aneh dan menakjupkan, setiap kilasan sinar pedangnya mengeluarkan deru angin yang
santer tanda betapa besar tenaga tabasan pedang itu, begitu cepat puluhan jurus itu dilancarkan,
tahu-tahu dalam kejap lain sudah ditarik kembali, terlihat mukanya berseri-seri tawa, lalu
menghela napas pula.
Terkejut dan bertanya-tanya benak Thian-hi, di tempat yang tersembunyi ini sungguh tidak kira
ia menjumpai seorang ahli pedang yang begitu lihay, entah siapakah si orang tua berambut uban
ini, kepandaian Lwekangnya yang hebat itu kiranya tidak di bawah kemampuan Bian-hok Lojin!
Terutama permainan ilmu pedangnya yang aneh dan sulit diraba alirannya itu sungguh
menakjupkan.
Berulang kali si orang tua mengulangi latihannya, akhirnya ia letakkan pedangnya di
pangkuannya lalu memejamkan mata.
Tiba-tiba Bian-hok Lojin muncul dari pintu sebelah samping sana, katanya sambil memandang
ke arah mereka, “Kalian sudah berani kemari, kenapa tidak keluar unjukan diri?”
Thian-hi rada ragu-ragu, akhirnya melangkah keluar dan masuk ke dalam gedung itu.
Si orang tua beruban membuka mata mengamati Thian-hi, katanya kalem, “Apa maksud kalian
datang kemari?” — mendadak sorot matanya berubah setajam ujung pisau.
Dari samping segera Bian-hok Lojin menanggapi dengan tersenyum ejek, “Untuk apa? Pasti
untuk barang-barang itulah. Bocah itu mengagulkan diri sebagai ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek,
anggapnya ia tanpa tandingan dikolong langit, berani main terjang di tempat terlarang ini, masih
pura-pura gunakan alasan menuduh aku menculik orangnya!”

“Bohong!” tak tahan lagi Bun Cu-giok membentak gusar. semprotnya, “Terang kau yang
menculik isteriku. masih pura-pura mungkir. Kami menyusul dari tempat jauh di gurun utara
kemari, masa kami kau anggap kelakar belaka?”
“Kalian menyusul dari gurun utara?” si orang tua beruban menegas dengan penuh perhatian.
“Silakan kau tanya dia saja!” sahut Bun Cu-giok sambil menuding Bian-hok Lojin.
“Begitu?” seringai Bian-hok Lojin, “Baik, tak peduli kalian sengaja meluruk kemari atau cuma
kebetulan tidak menjadi soal, yang terang kalian sudah sampai disini, demi Suhengku ini, jangan
harap kahan bertiga bisa keluar dengan nyawa masih hidup!”
“Sute!” ujar si orang tua beruban, “kali ini tidak perlu kau bersitegang leher, kalau rekaanku
tidak meleset, tuduhan mereka memang cukup beralasan!”
“Apa!” teriak Bian-hok Lojin, “Suheng jadi kau anggap akulah yang menculik gadis itu?”
“Bukan begitu,” sahut si orang tua beruban sambil geleng kepala, “Gadis itu memang diculik
orang kalau rabaanku benar-benar, tamu agung dari gurun besar tentu sudah menyelundup ke
dalam gedung kita ini!”
Mendengar uraian si orang tua beruban bercekat hati Ce-hun, teringat olehnya; ‘mungkinkah si
orang tua beruban ini adalah Sin-heng-siu Pek Kong-liang dari gurun besar yang kenamaan itu?
Menurut berita yang pernah didengarnya dulu Sin-heng-siu Pek Kong-liang dari gurun besar
merupakan jago silat nomor satu dari luar perbatasan pada jamannia dulu, tapi karena ia memiliki
sebilah senjata pusaka yang menjadi incaran dari berbagai golongan sesat akhirnya ia dikepung
dan dikeroyok puluhan musuhnya, sejak itu jejaknya menghilang peristiwa ini sudah terjadi
puluhan tahun yang lalu, tak kira, hari ini ia bersua di tempat ini.’
Baru saja suara si orang tua beruban lenyap, orang laki-laki pertengahan umur yang
mengenakan pakaian sastrawan tiba-tiba muncul dari balik gedung sebelah lain, tangan kirinya
mengempit Ciok Yan yang sedang dicari ubek2an itu.
Seketika Bian-hok Lojin menggeram gusar, serentak ia melolos pedang.
Bun Cu-giok juga sudah bergerak hendak melabrak kepada laki-laki pertengahan umur itu.
Keburu sastrawan itu berkata, “Bocah gendeng, istrimu berada ditanganku, terima kasih
kuucapkan kau telah bantu aku mendatangkan seorang pembantu yang berkepandaian tinggi!”
“Cay Siu!” ujar si orang tua beruban dengan nada rendah, “Akhirnya kau datang juga!”
Ce-hun Totiang sendiri sudah lama bersemajam di daerah gurun utara, bagitu mendengar
nama ‘Cay Siu’ disebut seketika berubah air mukanya. Cay Siu, Leng-bin-siu-su Cay Siu. Dulu Cay
Siu dan Pek Kong-liang merupakan dua tokoh tandingan yang paling lihay dari kalangan putih dan
hitam, masing-masing tidak mencocoki satu sama lain, mereka sudah bentrok berulang kali, kaum
persilatan umumnya mengira mereka sudah sama-sama mati, tak kira ke-dua2nya muncul
bersama di tempat ini.
Terdengar Leng-bin-siu-su Cay Siu tertawa sinis, sahutnya, “Benar-benar! Dulu aku ikut keroyok
kau, untung kau dapat melarikan diri dan belum modar sampai sekarang…. Hari ini kebetulan
hadir pula ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek disini, maka Kiam~hoan-kiam-boh milikmu itu harus kau
serahkan kepadaku!”

Mencelos hati Thian-hi, sungguh licik dan ganas pula hati sastrawan bermuka dingin ini. cara
kerjanya cukup keji pula, dengan meringkus Ciok Yan, sebagai sandera ia mengancam kami
bertiga untuk beKerja bagi kepentingannya.
Dengan penuh kebanggaan Leng-bin-siu-su angkit alis…. katanya kepada Hun Thian-hi,
“Bagaimana? kalian bertiga bantu aku, setelah Kiam-hoan-kiam-boh itu dapat kurebut, gadis ini
segera kubebaskan!”
“Cay Siu, sungguh picik dan rendah amat perbuatanmu ini!” demikian maki si orang tua.
“Picik dan rendah?” Leng-bin-siu-su menyeringai sadis, “Saudara Pek yang mulia apakah tidak
keterlaluan kau maki aku! Ini kan cuma suatu usaha demi mencapai tujuan belaka.”
“Kau bicara begitu pengecut dan hina.” demikian timbrung Thian-hi. jengeknya lebih lanjut,
“Kau bukan tandingannya bukan?”
“Siapa tahu mana yang lebih unggul?” demikian sahut Cay Siu dengan seringainya, “Mungkin
kau belum pernah dengar nama besarku, lihatlah sepasang kaki Sin-heng-siu Pek Kong-liang
sudah buntung, mengandal apa dia berani turun tangan dengan aku. sayang seorang diri aku tidak
bisa membagi tubuh untuk melawan dua musuh!”
“Sedemikian sombong kau mengandal lidahmu, seolah-olah mereka berdua sudah menjadi
mangsa makan perutmu. Apakah kau tahu sudikah kami bantu kau?”
Cay Siu pandang Hun Thian-hi lekat-lekat, katanya tawar, “Kau berani tidak tunduk pada
perintahku.”
“Pikiranmu terlalu jenaka, kalau kejadian bisa terjadi menurut jalan pikiranmu, jangan karena
kau menawan orang kami sebagai sandera lantas mau main perintah dan dapat menguasai Bulim,
kalau begitu anggapanimu kenapa pula kau harus merebut Kim-hoan-kiam-boh itu?”
Berubah paras putih Cay Siu. tapi sekilas saja wajahnya berubah wajar pula, serunya, “Apapun
yang kau katakan tidak berguna lagi, kalau hari ini kau tidak bisa merebut Kim-hoa-kiam-boh itu,
gadis ini bakal mampus dihadapan kalian!”
Amarah Bun Cu-giok kelihatannya sudah sukar berunding lagi, berulang kali ia sudah bergerak
hendak melabrak musuh, tapi selalu dapat ditekan oleh Ce-hun Totiang, sebenar-benarnyalah
jantung Ce-hun Totiang juga kebat-kebit, bila Hum Thian-hi tidak mampu menghadapi persoalan
yang gawat ini, jiwa Ciok Yan pasti celaka, bagaimana juga mereka tidak mungkin bantu Cay Siu.
tapi juga serba sulit untuk menggunakan kekerasan.
“Jangan kau main gertak! Kami tidak perlu gentar!” sahut Thian-hi dengan suara tawar, diamdiam
ia sudah menerawang situasi yang terjepit ini, terpikir olehnya suatu cara yang cukup
sempurna, ia harus berusaha untuk mengendalikan situasi menjadi lebih tenang.
Dalam berkata-kata diam-diam ia sudah kerahkan Pan-yok-hian-kang, tiba-tiba sebelah
tangannya mencomot kedinding yang keras itu, dimana jari jemarinya mencengkeram dinding besi
yang keras itu seketika menjadi remuk berhamburan, seperti meremas lempung saja, disusul ia
gosokkan kedua telapak tangannya, secomiot besi ditangannya itu hancur lebur menjadi bubuk
besi.
Cay Siu dan lain-lain berubah pucat melihat demontrasi kekuatan yang hebat sekali, tiada
seorang pun yang hadir menyangka bahwa Thian-hi membekali ilmu sakti yang tiada taranya ini.

Thian-hi menenangkan hati dan mengatur pernapasan sebentar lalu berkata kepada Leng-binsiu-
su Cay Siu, “Jangan kau lupa, akulah ahli waris dari Wi-thian-cit-ciat-sek.”
Tambah terkejut Cay Siu dibuatnya, nada Thian-hi secara tidak langsung balas mengancam
padannya, betapapun ia tidak mandah diancam semena-mena, mengandal Lwekang Thian-hi yang
mengejutkan itu, ditambah permainan pedang Wi-thian-cit-ciat-sek yang sakti pula, para hadirin
tiada seorangpun yang menjadi tandingannya, menang atau kalah jelas tergenggam ditangannya.
Cay Siu berusaha mengendalikan rasa Kejut dan takutnya, dengan tertawa dibuat-buat ia
berkata, “Pembantu yang kuperlukan justru orang macam kau yang punya kepandaian tinggi,
kalau kau yang menghadapi orang tua she Pek itu, persoalan pasti tidak akan berbuntut panjang.”
“Jadi ada persoalan kalau menghadapi kau?”
“Kau berani!” bentak Cay Siu dengan muka pucat.
“Darimana kau tahu aku tidak berani. Hari ini terhitung kau masuk ke dalam jala dan
menempuh jalan buntu, seluruh hadirin kalau bekerja sama, meski ditambah lagi seorang Lengbin-
siu-su juga bakal mampus dibuatnya!”
Semakin pucat muka Cay Siu, ancamnya, “Sedikit kau berani bergerak, jiwa Ciok Yan segera
kutamatkan!”
“Eh, kenapa sih kau Leng-bin-siu-su! Sudah ketakutan ya?” demikian sindir Bian-hok Lojin,
“Sayang sampai hari ini luka-lukamu dulu baru sembuh, tapi begitu muncul lantas ketemu
batunya.”
“Urusan masa begitu gampang sesuai dengan bacotmu,” demikian balas jengek Cay Siu,
“Persoalan Kim-hoan-kiam-boh itu hari ini harus dibikin penyelesaian.” -lalu ia berpaling ke arah
Thian-hi dan sambungnya, “Sekarang juga kau harus turun tangan atau jiwa Ciok Yan segera
kubikin tamat!”
Meski terkejut Thian-hi masih bisa berlaku tenang, sahutnya tertawa wajar, “Cukup sedetik saja
jiwanya melayang, maka jiwamu juga segera akan menyusul ke akhirat. Cobalah kau pikir sekali
lagi lebih masak, terserah bagaimana keputusanmu nanti!”
Selamanya belum pernah Leng-bin-siu-su Cay Siu dibikin terdesak serba runyam begini, hatinya
menjadi gundah pikirnya, “Apakah bantuan yang kupancing kemari dengan daya upaya yang
memeras keringat ini menjadi hampa sama sekali?” — lalu terpikir pula, “Dengan jerih payah
kuculik gadis ini, apakah harus kuserahkan kembali begitu saja? Tidak mungkin terjadi!” — pikir
punya pikir gengsinya merasa terpukul, ia tidak percaya Hun Thian-hi punya nyali begitu besar,
cepat ia angkat sebelah tangannya serta mengancam kepada Hun Thian-hi, “Apapun yang kau
ucapkan tiada gunanya lagi, orang ini berada di tanganku, hidup atau mati akulah yang
menentukan, sebelum aku menghitung sampai sepuluh kalau kau tidak turun tangan menggasak
bangsat she Pek itu, akan kuhabisi jiwanya!” lalu ia mulai menghitung, “Satu…. dua…. tiga….”
Thian-hi tidak menduga Cay Siu berani memilih jalan keras, kalau ancamannya ini berani
dilaksanakan, pihak sendiri menjadi terdesak malah, biji matanya dipicingkan ia mencari akal, jalan
satu-satunya yang harus ditempuh adalah menolong dulu Ciok Yan dari belenggu Cay Siu, urusan
lain gampang diselesaikan.
Kalau Hun Thian-hi kebat-kebit, adalah Bian-hok Lojin lebih gelisah, mendadak ia bersuit
panjang, “sreng!” pedangnya terlolos keluar badannya lantas mencelat naik ke tengah udara,

dimana sinar pedangnya terayun ia membacok dan menusuk, sekaligus ia lancarkan tiga serangan
pedang yang hebat kepada Leng-bin-siu-su.
Leng-bin-siu-su tertawa gelak-gelak, dimana tangannya membalik sebat sekali iapun sudah
melolos pedangnya terus mencelat terbang pula memapak ditengah udara.
Bian-hok Lojin berada di sebelah atas menyerang dengan musuh. Hun Thian-hi merasa takjup
juga melihat permainan pedang kedua musuh yang sallng seiang itu, begitu lincah dan cukup
ganas pula, selayang pandang sukar dinilai siapa lebih unggul dan asor.
Tapi posisi Bian-hok Lojin lebih menguntungkan karena menyerang dari sebeiah atas, sehingga
gebrak pertama ini sama kuat, jadi kalau dinilai secara wajar, dengan posisi yang lebih
menguntungkan tapi ia tidak berhasil berada di atas angin, ini berarti ia sudah kalah seurat.
Kejap lain mereka sudah melompat mundur dan hinggap di tanah pula. Tanpa menanti Bianhok
Lojin menyerang lebih lanjut Leng-bin-siu-su membentak ke arah Hun Thian-hi, “Lekas turun
tangan, kau dengar tidak?”
“Begitu saja kau menghendaki aku turun tangan?” Thian-hi balas bertanya dengan suara datar,
“Gampang saja bagi aku, cuma setelah mendapatkah Kim-hoan-kiam-boh itu lalu bagaimanaa
penyelesaiannya? Kau inginkan Kiam-boh Wi-thian-cit-ciat-sek sekalian?”
Sementara itu Bian-hok Lojin sudah melabrak pula kepada Leng-bin-siu-su, ia tahu persoalan ini
tidak gampang diselesaikan, dalam waktu singkat ini tak mungkin tersimpul cara penyelesaian
yang sempurna oleh Thian-hi.
Melihat Bian-hok Lojin menerjang pula, Leng-bin-siu-su menjadi gusar, bentaknya, “Orang tua
keparat, ingin modar kau!” — pedang panjangnya mendadak berputar memuntir laksana
lembayung yang melingkar2 dengan cahaya yang menyala, “trang!” cukup sekali gentak ia berhasil
menggetar lepas pedang panjang Bian-hok Lojin dan menancap di atas belandar.
Si orang tua berubah tertawa dingin, selanya, “Selama tiga puluh tahun ini kiranya kau tidak
buang-buang waktu, jurus Hwi-hong-kian-jit (lembayung terbang menggulung matahari) yang
merupakan kebanggaanmu ini kiranya berhasil kau latih dengan sempurna!”
Leng-bin-siu-su menyeringai bangga, sindirnya dengan sinis kepada Bian-hok Lojin,
“Bagaimana, masih ingin coba-coba?”
Diam-diam terkejut juga Hun Thian-hi melihat permainan pedang dengan jurus Hwi-hong-kianjit
yang hebat itu.
Kali ini Leng-bin-siu-su menghadapi Hun Thian-hi pula, katanya, “Jangan kau kira Wi-thiancit~
ciat-sekmu itu cukup berharga dan menjadi rebutan semua insan persilatan, ketahuilah meski
ilmu pedangmu itu tinggi dan hebat, Kim-hoan-kiam-boh ini pun bukan kepalang lihaynya. Kimhoan
itu sendiri dapat mengobati segala racun. kau kira aku sudi mengincar Wi-thian-cit-ciatsekmu
itu?”
Thian-hi tertawa besar, ujamja, “Siapa tahu obrolanmu ini benar-benar atau tidak, Wi-thian-citciat-
sek merupakan pelajaran pedang tingkat tinggi yang tiada bandingannya, masa kau rela
kehilangan kesempatan yang baik ini?”
“Sudah diangan cerewet.” sentak Leng-bin-siu-su, “Apa yang kuperintahkan harus kau lakukan,
kalau tidak diangan kau salahkan aku tidak sungkan-sungkan lagi!”

Thian-hi menjadi naik darah, ancamnya, “Berani kau menyentuh seujung rambutnya akan
segera kubuat badanmu dedel dowel.” — Gagah dan penuh wibawa pula kata-katanya yang
tandas itu, pelan-pelan ia pun sudah melolos Cu-hong-kiam.
Mimpi pun Lengbin-siu-su tidak mengira reaksi Hun Thian-hi begitu ketus, melihat sikap Thianhi
yang berapi-api, sesaat ia jadi kesima. dan mematung sekian saat, mau tidak mau ia harus
berpikir kembali dua belas kali menghadapi sikap keras Hun Thian-hi ini, bila ia sembarangan
bergerak bukan mustahil jiwanya bakal segera melayang di bawah ujung pedang Hun Thian-hi!
Sin-heng-siu Pek Kong-liang memperdengarkan gelak tawa yang terkial-kial, serunya kepada
Hun Thian-hi, “Hun-siauhiap harap kendalikan dulu amarahmu!”
Leng-bin-siu-su berkesempatan mengendalikan ketenangannya…. dengan kebencian yang
meluap-luap dia main ancam lagi, “Aku tidak percaya kau tidak akan tunduk padaku, jikalau Ciok
Yan mampus, cara bagaimana kau ada muka bertemu dengan orang-orang gagah di seluruh
kolong langit?”
Thian-hi pun tidak mau kalah gertak, dengan lantang ia balas menyindir, “Aku cuma, merasa
kalau aku bantu kau merebut Kim-hoan-kiam-boh itu, cara bagaimana aku harus memberi keadilan
terhadap seluruh manusia dikolong langit ini!”
Sin-heng-siu Pek Kong-liang menghela napas panjang, katanya kepada Hun Thian-hi, “Siauhiap
sambutlah ini!” — Berbareng ia sambitkan tangan kanannya, dua butir bola emas sebesar telur
angsa melesat terbang dari telapak tangannya langsung terbang ke arah Thian-hi.
Semula Thian-hi tercengang, namun dalam sekilas itu lantas ia paham tentu bola emas yang
ingin direbut Leng-bin-siu-su itulah, cepat ia ulur tangan kirinya meraih ketangah udara.
Terdengar Leng-bin-siu-su menggertak gusar, tiba-tiba tubuhnya mencelat secepat kilat
menubruk ke arah Thian-hi, berbareng pedang panjangnya menusuk dan menyontek kebawah
ketiak kiri Hun Thian-hi.
Begitu memgulurkan tangan kiri Thian-hi berhasil menyambut kedua bola emas itu, berbareng
ia rasakan angin tajam sudah menerpa tiba, keruan bercekat hatinya secara reflek kedua kakinya
menggeser kedudukan melesat kesamping, tepat ia meluputkan diri dari tusukan pedang musuh
yang sangat ganas.
Sudah tentu Leng-bin-siu-su tidak menyia-nyiakan kesempatan yang bagus dalam inisiatif
penyerangan ini, lagi-lagi pedang panjangnya bergerak lebih lanjut, begitu membalik sinar
pedangnya memetakan kuntum demi kuntum titik sinar kemilau yang merabu keseluruh badan
Hun Thian-hi tujuannya hendak merebut bola emas yang digenggam ditangan kiri Thian-hi.
Terdengar Bian-hok Lojin menggertak nyaring, sebat sekali ia meluruk pula ke dalam
gelanggang pertempuran, kedua telapak tangannya menggablok dan menghantam dari dua
jurusan.
Baru saja Thian-hi berhasil menghindari tabasan pedang Leng-bin-siu-su, jurus kedua serangan
lawan tahu-tahu sudah menggasak tiba pula, serangan jurus kedua ini jauh lebih keji ganas dan
mematikan.
Amarah Hun Thian-hi sudah berkobar, terdengar ia menggeram murka, laksana kilat mendadak
badannya melambung tinggi ke tengah angkasa, disaat tubuhnya melesat keataa kaki kanannya
menendang ke arah pergelangan tangan Leng-bin-siu-su. jurus ini dia lancarkan kepada musuh

sehingga pihak lawan berbalik terdesak harus membela diri lebih dulu. Sementara kaki kirinya pun
tidak tinggal diam mendepak kemuka orang.
Cukup dengan menekuk dengkul dan menundukkan kepala Leng-bin-siu-su menghindari
mukanya dari tendangan kaki lawan, berbareng pedangnya diputar untuk membabat kedua kaki
Thian-hi.
Hun Thian-hi sudah memperhitungkan jurus balasan Leng-bin-siu-su ini, sejak tadi ia sudah
siaga. sementara pedang ditangannya pun tidak tinggal diam, laksana seutas sabuk panjang tibatiba
pedangnya menukik turun menyapu kemuka Leng-bin-siu-su pula, maka terdengarlah
lengking panjang laksana pekik naga, kontan pedang panjang Leng-bin-siu-su kena dipapas
kutung menjadi dua potong, dimana lembayung merah melandai tiba pula, tersipu-sipu Leng-binsiu-
su jejakkan kedua kakinya mencelat mundur sejauh mungkin. meski selamat tak urung
mukanya pucat pias, terang ia sudah jeri.
Dalam pada itu serangan Bian-hok Lojin kebetulan sudah menghantam tiba pula dari sebelah
belakang. menghadapi serangan bokongan yang dahsyat dari arah belakang ini Leng-bin-Siu-su
memutar badan secepat gangsingan terus menerobos miring Ke arah kiri, untung ia berhasil
menerobos lewat dari gencetan kilasan ujung pedang dan samberan pukulan telapak tangan.
Meski jiwanya selamat, ujung pedang Thian-hi toh berhasil memapas kutung lengan bajunya.
Dalam pada itu. menyusul Leng-bin-siu-su menjejakkan kedua kakinya menjulang tinggi
kebetulan mencapai pedang Bian-hok Lojin yang menancap di atas belandar, waktu ia meluncur
turun lagi sambil menenteng pedang kebetulan ia hinggap pula ditempatnya semula…. Dengan
beringas ia awasi Thian-hi.
Serangan, jotos dan samberan pedang ketiga lawan ini terjadi dalam waktu yang teramat
singkat Bun Cu-giok dan Ce-hun Totiang yang menonton disamping sampai berkeringat dingin dan
berdebur jantungnya, baru pertama kali seumur hidup mereka menyaksikan pertempuran yang
begitu dahsyat begitu mempesonakan dan tegang.
Si-heng-siu Pek Kong-liang sijago kawakan dari gurun utara pun sulit menekan perasaan
hatinya yang tegang dan takjup, alisnya yang putih bertaut dalam. Adalah Bian-hok Lojin mau
tidak mau harus mengakui kelihayan dan takjup pada Leng-bin-siu-Su yang berhasil meluputkan
diri dari gencetan dua pukulan tingan dan sejurus serangan pedang yang hebat itu, setelah
berputar-putar menjauh dan berdiri tegak lagi dengan waspada ia awasi Leng-bin-siu-su, berjagajaga
menghadapi sergapan balasan musuh yang jahat ini.
Sementara Hun Thian-hi juga sudah meluncur turun, tak urung hatinya heran dan terperanjat
juga, jurus pedangnya tadi meski lanjutan dari permainannya yang berhasil memapas kutung
pedang lawan, tapi perbawanya bukan olah-olah hebatnya. Dari hasil adu kepandaian segebrak ini
Thian-hi dapat menilai bahwa kepandaian Lengbin-siu-su agaknya tidak di bawah Tok-sim-sin-mo,
Bahwa sergapannya tidak membawa hasil malah jiwa yang hampir saja dikorbankan, sunggun
membuat Leng-bin-siu-su giusar tak terperikan. Saking marah mukanya sampai pucat bersemu
hijau dan berdiri mematung. Ia harus memeras otak cara, bagaimana menghadapi Hun Thian-hi
lebih lanjut.
Sin-heng-siu Pek Kong-liang berkata kalem kepada Leng-bin-siu-su Cay Siu, “Kau tidak perlu
menyebul jenggot mendelikkan mata, diantara kita tiada seorang pun yang menjadi tandingannya,
menurut pendapatku kau terima takluk saja!”
Leng-bin-isau-su Cay Siu menyeringai ejek, belum sempat ia membuka suara Pek Kong-liang
sudah berkata pula, “Aku punya cara penyelesaian yang lebih menguntungkan bagi kau, bukankah

kau pandang rendah diriku? Sekarang tibalah giliran kita untuk menyelesaikan urusan ini sendiri,
kita tentukan satu babak pertempuran, pihak yang menang boleh mengambil Kim-hoankiam-boh
itu bagaimana pendapatmu?”
Leng-bin-siu-su menyeringai iblis, katanya sambil menetap tadiam ke arah Pek Kong-liang, “Kau
bukan berkelakar bukan!” — Agaknya ia belum yakin akan kebenar-benaran kata-kata Pek Kongliang.
Pek Kong-liang tertawa besar, ujarnya, “Kapan kau pernah melihat aku guyon-guyon, bicara
terus terang mengandal kepandaian permainan pedangmu yang tidak berarti itu, tidak kupandang
sebelah mataku, hayolah maju, kau tak usah kuatir!”
“Jangan kau menyesal dan pungkir janji ya?” Leng-bin-siu-su menegas.
“Pelajaran ilmu dari bola emas itu sudah tercetak dalam otakku, kenapa aku harus takut pada
kau. Besarkan nyalimu, cuma aku kuatir kaulah nanti yang bakal terjungkal!”
Mau tak mau termakan juga kata-kata Pek Kong-liang oleh Cay Siu. pikirnya, “Bola emas itu
sudah tiga puluh tahun digembol olehnya, bukan mustahil dia sudah apal diluar kepala seluruh
pelajaran silat itu. Aku harus waspada!”
Menganalisa situasi yang dihadapi sekarang, pihak Hun Thian-hi jelas tidak kena digertak,
kedua kaki Pek Kong-liang sudah cacat, seumpama ilmu silatnya maju berlipat ganda, perbawanya
juga pasti banyak berkurang. Apalagi dirinya pun tidak pernah berhenti berlatih selama tiga puluh
tahun terakhir ini, meskipun karena luka-lukanya dulu sehingga latihannya belum mencapai titik
kesempurnaannya, tapi ia yakin bahwa hasil yang dicapainya pun cukup hebat, menghadapi
seorang lawan yang cacat sepasang kakinya kiranya cukup berkelebihan bekal ilmu silatnya,
dengan keyakinan yang teguh ini berlipat ganda pula keberaniannya!.
Sambil menengadah Leng-bin-siu-su bergelak tawa. serunya, “Begitupun baik, urusan kami biar
kami berdua yang menyelesaikan sendiri, tak perlu orang lain ikut campur dalam penyelesaian
urusan ini. Kau sudah mempelajari ilmu dalam bola emas itu, begitupun tiada jeleknya, supaya
orang tidak menyebar kabar angin mengatakan aku menghina seorang yang sudah buntung
kakinya.” — Lalu ia, tertawa lebih keras lagi.
Mendengar Leng-bin-siu-su bernada menghina, tak tahan bergelora amarah Pek Kong-liang,
sambil mengeluarkan pedangnya ia menantang, “Jangan cerewet! Silakan mulai!”
Leng-bin-siu-su terkial-kial, tawanya semakin menggila bernada dingin mengandung pada
menghina, Ciok Yan yang dikempit ditangan kirinya tidak mau dilepaskan, begitu pedang
panjangnya bergerak langsung ia menyerang kepada Pek Kong-liang.
Diam-diam Hun Thian-hi kuatir bagi keselamatan Pek Kong-liang. tadi ia sudah mengukur
sampai dimana tingkat kepandaian Leng-bin-siu-su, Sin-heng-su Pek Kong-liang sudah buntung
kedua kakinya. untuk menghadapi rangsakan pedang lawan yang begitu hebat rasanya tidaklah
mudah. Gebrak yang menentukan menang dan kalah, pertaruhan jiwa antara hidup dan mati ini.
sulitlah dibayangkan bagaimana kesudahannya nanti.
Dengan segala kekuatan dan kemampuannya Leng-bin-siu-su mulai lancarkan serangan
pedangnya. tapi Sin-heng-su Pek Kong-liang mandah tertawa ejek, “Cay Siu, jangan kau takabur!”
Sikap Leng-bin-siu-su tidak berubah hakikatnya ia anggap tidak dengar cemoohan lawan,
pedang panjangnya malah bergerak semakin kencang dengan serbuan yang mematikan, menusuk

menabas dan menggores dengan berbagai kembangan yang rumit, terakhir ujung pedangnya
menyelonong keluar menusuk diantara kedua mata, Pek Kong-liang.
Sin-heng-siu Pek Kong-liang cukup menegakkan pedangnya terus digentak kesamping, tapi
pedang Cay Siu tidak berhenti sampai disitu, beruntun ia ganti pula dengan empat lima jurus tipu
pedang yang lihay dan licik, namun semua serangannya menjadi kandas ditengah jalan dipatahkan
oleh perlawanan Pek Kong-liang yang mainkan pedangnya tidak kalah lihay dan hebatnya,
akhirnya ia jadi gugup dan kaget juga. Sungguh ia tidak nyana setelah kedua kakinya cacat Sinheng-
siu masih membekal Lwekang yang begitu tinggi, perbawa ilmu pedangnya jauh lebih hebat
dibanding masa mudanya dulu, rasanya malah setingkat lebih tinggi.
Giris hati Leng-bin-siu-su, pedang panjangnya tidak bergerak selincah tadi, sekarang ia amat
hati-hati pada setiap gerak pedangnya, setiap kali ia mengganti posisi dan kedudukan pedang
panjang baru pelan-pelan ditusukkan, setiap tusukan dan tabasan pedangnya selalu mengarah
tempat penting yang mematikan ditubuh Sin-heng-siu Pek Kong-liang.
Hun Thian-hi menonton dengan cermat. Beberapa gebrak kemudian baru hatinya jadi tentram,
didapatinya bahwa kepandaian silat Sin-heng-siu Pek Kong-liang dari gurun besar itu tidak kalah
hebatnya dari Leng-sin-siu-su Cay Siu. Dalam hal ilmu pedang dan Lwekang malah setingkat lebih
tinggi, terutama permainan ilmu pedangnya yang begitu ketat, rapat dan hebat itu terang Lengbin-
siu-su tidak mungkin dapat menyamai.
Tanpa bergerak dari tempat duduknya Sin-heng-siu Pek Kong-liang menggerakkan pedangnya
melawan musuh, sekejap mata ratusan jurus sudah lewat, tiba-tiba tergerak hatinya, sambil
bersuit nyaring panjang sebeiah telapak tangan kirinya menepuk tanah, kontan badannya melejit
mumbul ke tengah udara, laksana bintang meteor langsung menubruk ke arah Leng-bin-siu-su,
pedang panjang ditangannya tergetar memetakan berlapis2 sinar pedang yang berkembang
melebar laksana sapu jagat. Kiranya ia sudah kembangkan jurus Pat-hong-hong-hi (hujan angin
didelapan penjuru angin) dari pelajaran Kim-hoan-kiam-boh itu.
Lapisan sinar pedangnya semakin melebar besar laksana jala berkilauan menyilaukan mata, lalu
merangsak bersama dari delapan penjuru angin ke arah Leng-bin-siu-su.
Tercekat hati Leng-bin-siu-su, untung pengalaman tempurnya sudah matang, dalam keadaan
yang kurang waspada dan tidak bersiap ini, seluruh tubuhnya sudah terkenang oleh jurus Pathong-
hong-hi. Apa boleh buat demi keselamatan jiwa sendiri secara licik ia lemparkan tubuh Ciok
Yan ke tengah udara.
Dengan seksama Hun Thian-hi menonton dipinggir gelanggang, begitu tubuh Ciok Yan
terlempar ke tengah udara, laksana naga meluncur tangkas sekali ia melesat terbang mengejar
sekali raih tepat ia dapat mengempit tubuh orang.
Dengan akal liciknya ini memang Leng-bin-siu-su berhasil menyelamatkan jiwanya.
Sementara Thian-hi langsung menyerahkan Ciok Yan yang ditolongnya kepada Bun Cu-giok,
cepat Cu-giok membuka jalan darahnya serta mengurut urat2nya, melancarkan darah yang
tersumbat sekian lamanya….
Kuatir melukai orang lain waktu lawan dengan akal licik melemparkan tubuh orang bagi umpan
pedangnya, syukur Sin-heng-siu cukup cekatan dan waspada pula, luar biasa cepatnya ia tarik
balik dan batalkan seluruh kembangan serangannya lalu melayang balik kembali ke tempat
duduknya semula. Diam-diam girang hatinya, baru pertama kali ini ia mengembangkan pelajaran
baru yang dipelajari dari Kim-hoan-kiam-boh, nyata hasilnya luar biasa sekali, cukup sejurus
dengan mudah ia sudah memaksa Leng-bin-siu-su melemparkan Ciok-Yan.

Setelah berdiri tegak dengan nanar Leng-bin-siu-su mengawasi Sin-heng-siu, sungguh ia tidak
habis berpikir ternyata begitu gampang ia terjungkal di bawah tekanan pedang lawannya yang
buntung ini, semakin dipikir semakin berkobar amarahnya, geram sekali ia membentak, “Pek-lothau,
tak nyana selama tiga puluh tahun ini kiranya kau sudah menggembleng diri, pelajaran Kimhoan-
kiam-boh itu terhitung sudah dapat kau curi belajar sebagian.”
Sin-heng-siu tertawa besar, ujarnya, “Jangan sungkan! Ilmu kebanggaanmu sendiri belum lagi
kau kembangkan, kenapa begitu cepat mengaku asor?”
“Jangan kau takabur”, semprot Leng-bin-siu-su, “lihat saja nanti, aku masih berkelebihan dapat
membereskan kau!” — ia insaf bahwa posisinya sudah mulai terdesak di bawah angin, Ciok Yan
yang tadi dijadikan sandera kini sudah tertolong oleh Hun Thian-hi, harapan satu-satunya
sekarang ia harus berhasil mengalahkan Pek Kong-liang, kalau tidak tiada jalan hidup bagi dirinya.
Dalam pada itu Ciok Yan sudah pelan-pelan siuman, betapa girang ia melihat dirinya di dalam
pelukan suaminya, BUn Cu-giok.
Dipihak lain, Leng-bin-siu-su sudah tak sabar lagi, dengan memekik seperti kesetanan
pedangnya dibolang balingkan mengeluarkan deru angin yang ribut, dengan kepandaian
permainan pedangnya yang hebat ia menyerbu pula kepada Sin-heng-siu Pek Kong-liang, Gebrak
kedua ini ia betul-betul sudah kerahkan segala tenaga dan kemampuannya, bertekad untuk
mengadu jiwa sampai titik darah penghabisan.
Cukup sejurus ilmunya yang hebat tadi Sin-heng-siu memperoleh kemenangan, keyakinan
hatinya semakin teguh, menghadapi rabuan pedang lawan ia mencelat naik keudara lagi, tak
ketinggalan pedangnya pun berkelebat menyongsohg kemuka Leng-bin-siu-su.
Leng-bin-siu-su sudah bertekad untuk gugur bersama, begitu Sin-heng-siu maju memapak
justru sesuai dengan keinginannya, terdengar ia terkekeh dingin, seluruh tenaga dikerahkan di
atas pedangnya, tanpa mau kalah wibawa iapun songsongkan pedangnya ke depan.
Dua batang pedang saling bentrok ditengah udara, terdengarlah suara nyaring yang menusuk
telinga bergema sekian lamanya, dua belah pihak mengerahkan setaker tenaga, kesudahannya
tetap sama kuat. Sekonyong-konyong sebelum tubuh meluncur turun Sin-heng-Kiu percepat gerak
pedangnya memberondong dengan serangan pedang yang cukup dahsyat, yang terlihay justru
tiga jurus tabasan pedang terakhir yang mengarah muka tenggorokan dan dada Leng-bin-siu-su.
Semula Leng-bin-siu-su tidak mengira begitu dua pedang saling bentrok, Sin-heng-siu purapura
menarik pedang dan meluncur turun, disaat ia tercengang itulah mendadak Pek Kong-liang
sudah lancarkan tiga serangan pedangnya. Tiada tempo bagi Leng-bin-siu-su untuk memeras otak,
sambil kertak gigi sebisa mungkin ia ayunkan pedangnya dengan jurus Hwi-hong-kian-jit, inilah
jurus pedang kebanggaannya yang dilancarkan dengan tenaga besar dilandasi terbakarnya rongga
dadanya, cuma satu harapannya berusaha menangkis atau menyelamatkan jiwa dari tabasan
pedang Pek-Kong-liang yang hebat itu.
Sebetulnya posisinya jauh lebih menguntungkan bagi Sin-heng-siu, sayang ditengah jalan ia
ragu-ragu, kalau tidak tentu pedangnya sudah berhasil mencopot kepala Leng-bin-siu-su dari
badannya.
Cuma sedikit merandek itulah kedua pedang paling bentrok lagi, tapi suaranya tidak senyaring
tadi, sebaliknya malah terdengar suara “cras, cras!” lalu didengarnya pula gerungan mereka
seperti babi disembelih.

Kiranya jurus Hwi-hong-kian-jit Leng-bin-siu-su betapa pun tidak kuasa menandingi ilmu
pedang lawan, keruan kejut hatinya bukan main, Lwenkang Sin-heng-siu bahwasanya sudah jauh
melompat lebih tinggi dibanding beberapa tahun yang lalu, keruan bercekat sanubarinya. Tapi
dasar licik sekilas dilihatnya kedua kaki Sin-heng-siu yang buntung itu. kontan ia mengulum
senyum dingin diujung mulutnya. Bentrokan kedua pedang lawan sama-sama tidak mau
mengalah, agaknya Sin-heng-siu juga sudah terhanyut dalam mengejar kemenangan, semangat
diempos hawa murni dikerahkan tenaga dalam pun kontan melandai keluar. Sekali tekan kebawah
ia bikin badan Leng-bin-siu-su terdesak turun kebawah.
Tapi Leng-bin-siu-su sendiri sudah nekad dan melawan sekuat tenaga, ia insaf bila gebrak ini
kalah, untuk meloloskan diri dengan selamat tidaklah mudah, mau tidak mau ia harus berusaha
mati-matian.
Karena sama-sama mau menang, kedua belah pihak sudah mempertaruhkan jiwa masingmasing,
Hun Thian-hi yang menonton diluar gelanggang jadi kebat kebit dan kuatir, jikalau
lintasan selanjutnya Sin-heng-siu Pek Kong-liang tidak berhasil memperbaiki posisinya yang lebih
unggul, alhasil ia sendiri yang bakal terjungkal kalah, apalagi kedua kakinya sudah buntung,
bagaimana juga ia tidak akan kuasa bertahan lama.
Sudah tentu Pek Kong-liang sendiri juga sudah menginsafi kelemahannya ini, hatinya pun
semakin gelisah, menurut perhitungannya saat itu ia pasti sudah berhasil mengalahkan Leng-binsiu-
su, kenyataan sukar sekali diluar perhitungan.
Dia sudah tidak mampu bertahan lebih lama lagi, pedang panjang ditangan kanannya
ditekankan sekuat tenaga, lalu ia mengirup hawa mengganti napas, baru ia berusaha menarik
pulang pedangnya, lalu disusul dengan melancarkan tipu Kim-in-ho-tong (bayangan emas
berkelebatan) menggasak musuhnya. Tak nyana Leng-bin-siu-su sudah dapat meraba jalan
pikirannya sekuat tenaga ia pun kerahkan tenaganya mendempel pedang lawan dan tidak
dilepaskan sehingga lawan tak berkesempatan membebaskan diri merubah posisinya.
Dalam perang batin dan pikiran ini Leng-bin-siu-su terang berada di atas angin, serta merta ia
mengumbar rasa hatinya dengan tertawa panjang, pedang panjangnya masih bertahan
sekuat2nya, sedikitpun ia tidak beri kesempatan Sin-heng-siu- Pek Kong-liang menghirup napas.
Semakin gundah hati Pek Kong-liang, sekali kurang hati-hati atau lena jikalau sampai kena
dikalahkan lawan, bagaimana baiknya nanti? Apakah secara rela menyerahkan Kim-hoan-kiam-boh
kepada Leng-bin-siu-su yang jahat ini? Tidak mungkin terjadi! Dalam keadaan bertahan adu
kekuatan tenaga dalam ini, meski ia membekali tipu pedang yang beraneka ragam dan lihay juga
tidak berguna lagi.
Leng-bin-siu-su juga maklum dirinya tidak akan mampu balas menyerang, tapi ia pun tidak
akan membiarkan Pek Hong-liang melepasKan diri, begitulah kedua musuh ini saling berkutat,
kalau posisi begini berlangsung terus jelas pihak sendiri yang bakal menang. Beberapa saat sudah
berselang, Pek Kong-liang jelas tidak kuasa lagi mempertahankan diri, otaknya diperas akhirnya
tersimpul suatu cara, kecuali cara yang nekad ini ia tidak bakal memperoleh kemenangan.
Setelah mantap tiba-tiba ia dorongkan pedangnya ke depan dengan sisa tenaganya, Leng-binsiu-
su mandah menyeringai dingin, tanpa menanti Leng-bin-siu-su Cay Siu menduga-duga atau
menyimpulkan pikiran lain, Sin-heng-siu Pek Kong-liang melanjutkan usahanya supaya orang
menyangka bahwa dirinya berusaha meloloskan diri, secara tiba-tiba telapak tangan kirinya
secepat kilat menggablok kebawah ketiak Leng-bin-siu-su, serangan kali ini ia lancarkan dengan
seluruh sisa tenaganya.

Mimpi juga Leng-bin-siu-su tidak menyangka bahwa Pek Kong-liang bakal berani menyerang
dirinya dengan menempuh resiko besar. Keruan ia terkejut, tapi bagaimana juga ia pantang
mundur, sekali ia tersurut mundur jelas dirinya pasti terjungkal, tapi bagaimana kalau tidak
menyurut mundur meluputkan diri? Tiada tempo berkelebihan memberi kesempatan otaknya
berpikir, dalam kejap yang hampir sama telapak tangan kirinya juga balas menggempur
kelambung Pek Kong-liang, terpaksa ia harus menempuh cara adu jiwa. Kalau Pek Kong-liang
masih sayang pada jiwanya sendiri pasti ia lekas-lekas batalkan serangannya.
Terdengar Pek Kong-liang menggerung pendek, ia insaf bila ia batalkan serangannya pasti ia
kalah, jelas Kim-hoan-kiam-boh harus terjatuh ketangan Leng-bin-siu-su, akibat apa yang bakal
terjadi sungguh ia tidak berani bayangkan.
Ia cukup bijaksana untuk memilih akibat yang berat dari pada yang ringan, demi kepentingan
ribuan jiwa manusia ia rela mengorbankan jiwa sendiri, cepat ia kerahkan hawa pelindung badan
menjaga tubuhnya, sementara telapak tangan kiri bukan saja tidak ditarik balik tidak kendor malah
dipercepat dan kekuatan pun dilipat gandakan.
Mata Leng-bin-siu-su memancarkan rasa takut dan jeri, sungguh ia tidak nyana bahwa
akibatnya bakal begini fatal, apa boleh buat terpaksa ia harus menyambut dengan kekerasannya.
Maka terdengar pula dua suara menguak yang keras seperti hampir muntah2, seketika bayangan
dua orang terpental jauh lepas kedua jurusan, seluruh hadirin sama terkejut, tiada seorang pun
menyangka pertempuran adu jiwa ini bakal berakibat begitu parah, sesaat saking kesima mereka
jadi lupa memburu maju memberi pertolongan.
Luka yang diderita Leng-bin-siu-su jauh lebih parah, terbanting lagi dengan keras di atas tanah,
kontan ia semaput tak sadarkan diri.
Pek Kong-liang sendiri juga muntah darah, setelah mengatur pernapasannya ia berkata
tertawa, “Untung aku tidak sampai kalah!” habis berkata ia menyemburkan darah lagi, selanjutnya
ia pejamkan mata istirahat.
Dengan menggeram Bian-hok Lojin memburu maju ke arah Leng-bin-siu-su, kaki sudah
terangkat hendak menginjak hancur batok kepala Cay Siu.
Bab 35
Keburu Pek-kong-liang membuka mata, cepat ia berseru mencegah, “Sute, jangan lakukan.”
“Suheng!” seru Bian-hok Lojin, “Apakah perbuatan jahatnya masih kurang, kalau tidak dibunuh
kelak bakal menimbulkan bencana lagi, mana boleh dia tetap hidup!”
Sementara itu, Leng-bin-siu-su sudah siuman dari pingsannya, sekian saat ia menggape2
berusaha hendak merajap bangun, tapi ia sudah tidak kuasa bergerak lagi.
Hun Thian-hi tidak tega, katanya kepada Bian-hok Lojin, “Lukanya sangat parah, tinggalkan
saja jiwanya!”
Sementara itu, Leng-bin-siu-su sudah berhasil merajap duduk, dengan gusar ia mendelik
teriaknya serak, “Berani kalian melepas aku, kelak tunggulah pembalasanku!”
“Kau ingin menuntut balas? Besar benar-benar tekadmu, mengandal kau sekarang masa kau
mampu!” demikian cemooh Bian-hok Lojin.

“Jangan kau takabur, jangan cuma kau ditambah sepuluh orang pun aku tidak gentar terhadap
kau, soalnya aku kurang hati-hati sehingga terluka!” demikian maki Leng-bin-siu-su dengan
amarah yang meluap-luap.
Mendengar ucapan orang Thian-hi tahu bahwa Leng-bin-siu-su tengah menggunakan akal
pancingan supaya Bian-hok Lojin melepas dirinya. Tapi kelihatannya Bian-hok Lojin bukan kaum
kroco, dengan tertawa panjang ia berkata, “Tiada gunanya kau membakar hatiku, ketahuilah aku
punya caraku untuk menyelesaikan jiwamu!” habis berkata tubuhnya melejit maju kedua jari
tengahnya terangkap telak sekali menutuk jalan darah Sam-kiau-hiat, Leng-bin-siu-su berusaha
menghindar tapi apa daya tenaga sudah lemas kontan ia mengeluarkan suara menguak mulut
terpentang menyemburkan darah segar.
Thian-hi terkejut, perbuatan Bian-hok Lojin cukup keji, tutukannya itu sekaligus memunahkan
ilmu silat dan memecahkan tenaga dalamnya, selanjutnya Leng-bin-siu-su menjadi orang cacat
dan tidak akan bisa mengganas pula. Sekuat tenaga ia berusaha merangkak bangun terus
mengelojor pergi tanpa berani banyak cingcong lagi.
Sampai tahap sekarang urusan menjadi beres, hati Hun Thian-hi menjadi lega ia kembalikan
pula bola mas itu serta katanya, “Urusan sudah selesai. Karena terpaksa kami menerobos ke
tempat terlarang ini, harap Lo-cianpwe suka memberi maaf. Sekarang kami mohon diri.”
Bian-hok Lojin menyambuti bola mas itu serta ujarnya, “Sudah, urusan tak perlu diungkat
kembali. Selama tiga puluh tahun tiada seorang pun yang tinggal hidup bila berani masuk ke
dalam gedung ini. Dan kalian pun tidak punya maksud jahat terhadap bola mas ini, bolehkah
kalian silakan saja.”
Tiba-tiba Pek Kong-liang membuka mata, teriaknya, “Saudara-saudara, tunggu sebentar!”
“Cianpwe ada petunjuk apa?” tanya Hun Thian-hi membalik.
“Terhitung aku sudah ketemu dengan ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, kelak pasti kau dapat
mengembangkan ilmu pedang tiada taranya ini dan menjagoi seluruh Kangouw, untuk itu kau
harus menandingi Hui-sim-kiam-hoat Bu-bing Loni, kuharap kau tidat sampai kalah.”
“Terima kasih akan petuah Cianpwe!” segera Thian-hi menjura hormat.
Pek Kong-liang manggut-manggut lalu pejamkan mata pula.
Setelah pamitan Thian-hi berempat segera keluar dari gedung kayu itu langsung melanjutkan
perjalanan ke arah timur. Belum jauh mereka menempuh perjalanan, terdengar pekik suara
burung kumandang di angkasa, tampak seekor burung dewata terbang menukik ke arah mereka.
Thian-hi jadi kebat-kebit dan girang pula, entah Ham Gwat atau Bu-bing Loni yang datang.
Kejap lain burung dewata sudah meluncur turun, sekilas pandang dilihat oleh Thian-hi, Bu-bing
Lonilah yang bercokol di punggung burung dewata itu, suatu perasaan aneh yang menghantui
sanubarinya timbul dalam benaknya. Wibawa Bu-bing Loni betapa pun masih berpengaruh dalam
hatinya.
Sambil menyeringai dingin Bu-bing Loni menatap Hun Thian-hi tanpa bersuara. Dengan berani
Thian-hi pun balas menatap dengan tajam. “Akhirnya kita ketemu pula.” akhirnya Bu-bing
membuka kesunyian. Lalu ia menyapu pandang Ce-hun bertiga.

“Benar, benar,” sahut Thian-hi sinis, “Sayang tempo hari kau tidak berhasil mendapatkan Jianlian-
hok-ling itu, sungguh sangat disesalkan.”
Sebetulnya Bu-bing sendiri juga rada gentar menghadapi Hun Thian-hi yang merupakan musuh
paling tangguh satu-satunya pada masa itu. Ia insaf bahwa tingkat kepandaian silatnya tidak
terpaut jauh dibanding kepandaian Hun Thian-hi sekarang. Dia harus bekerja cepat melenyapkan
musuh besar ini sebelum orang tumbuh sayap dan unjuk gigi, dengan segala cara yang dapat ia
gunakan.
Maka Bu-bing Loni tertawa dingin, katanya, “Tidak menjadi soal. Sekarang tibalah saatnya
untuk menentukan siapa menang dan siapa asor.”
“Tepat, kiranya hampir tiba saatnya untuk penentuan itu,” demikian tantang Thian-hi sambil
mengerut kening, “Aku harus membalas sakit hati para Cianpwe dari Soat-san, dan kau sudah
cukup malang-melintang selama empat puluh tahun dengan ilmu pedangmu, hari ini aku harus
jajal sampai dimana kehebatan ilmu pedangmu itu.” lalu dilolos pedang di punggungnya.
Begitu melihat pedang yang dipegang tangan Thian-hi, berkilat pandangan Bu-bing,
seringainya, “Ternyata kau sudah ganti senjata menggunakan pedang, malah sebilah pedang
pusaka.”
“Jangan cerewet!” sentak Thian-hi gusar, “keluarkan pedangmu!”
Diluar dugaan Bu-bing tidak keluarkan pedangnya, mulutnya malah menjengek dingin, “Kenapa
ke-susu, aku sendiri tidak tergesa-gesa, apa pula yang kau ributkan?”
“Aku tidak biasa membunuh orang yang tidak bersenjata.”
Berkobar amarah Bu-bing Loni mendengar cemooh orang, selamanya belum pernah ada
manusia berani begitu kurang ajar terhadap dirinya, pelan-pelan ia sudah lolos pedangnya, tapi
baru separo ia urungkan niatnya, katanya, “Dalam sepuluh hari ini kunanti kedatanganmu di Jianhud-
tong!” — tanpa bicara lagi ia naik ke punggung burung dewata terus terbang pergi.
Thian-hi tertegun, mulutnya menggumam, “Sepuluh hari kemudian di Jian-hud-tong!” tak perlu
disangsikan lagi bahwa Bu-bing sudah sekongkol dengan Tok-sim-sin-mo untuk menghadapi
dirinya, mau tak mau bergejolak pikirannya.
Tengah ia menjublek di tempatnya, mendadak dari dalam hutan di depan sana muncul seorang
gadis, pandangan Thian-hi menjadi terang, ia tersentak kaget dan berteriak girang, yang muncul
ini bukan lain adalah Ham Gwat yang selalu dikenangnya itu. Sungguh tidak habis heran hatinya,
bahwa Ham Gwat tiba-tiba muncul di tempat itu. Cepat ia berlari maju memapak.
Sekian lama mereka berpandangan, akhirnya Ham Gwat membuka suara, “Bukankah kau sudah
menemukan mereka? Dimana mereka sekarang?”
Thian-hi tahu maksud pertanyaan orang, cepat ia menjawab, “Mereka telah ditolong seorang
Cianpwe aneh yang berkepandaian tinggi.”
“Siapa dia?”
“Beliau tidak mau menjelaskan….”

Ham Gwat terbungkam sekian lamanya, akhirnya berkata, “Ucapan Bu-bing tadi kudengar
semua, sepuluh hari kemudian, kau harus menghadapi bahaya yang paling besar selama hidupmu
ini.”
Hun Thian-hi manggut-manggut. Tanyanya, “Apakah paman dan bibi baik?”
Muka Ham Gwat jadi masam, lekas ia berpaling muka, sesaat baru terdengar jawabannya,
“Mereka ditawan oleh Tok-sim-sin-mo dan Bu-bing Loni.”
Mencelos hati Thian-hi, perkembangan ini sungguh diluar dugaannya. Sekian lama mereka
sama menjublek tak bersuara.
Ce-hun Totiang bertiga juga mendengar kabar jelek ini, mereka sama ikut merasakan tekanan
batin yang berat ini. Siapa akan menduga Bu-bing Loni yang congkak dan tinggi hati itu ternyata
sudi merendahkan derajatnya bersekongkol dengan orang orang lain.
“Marilah sekarang juga kita susul ke Jian-hud-tong.” demikian ajak Thian-hi nekad.
Ham Gwat menggeleng kepala, sahutnya, “Meluruk secara serampangan takkan ada gunanya.”
Thian-hi angkat pundak. Urusan berlarut semakin ruwet sulit ditanggulangi, ia jadi termenung
memikirkan daya upaya.
Sekonyong-konyong didengarnya langkah kaki yang lirih, Thian-hi terkejut cepat ia putar tubuh
terlihat dari dalam hutan berjalan keluar dua Hwesio tua.
Begitu melihat kedua Hwesio ini tiba-tiba Ciok Yan memburu ke depan seraya berteriak
kegirangan, “Ajah! Kemana saja kau selama ini.”
Kedua Hwesio ini bukan lain adalah Go-cu Taysu dan Ciok Hou-bu, melihat Ciok Yan memburu
tiba tersipu-sipu Ciok Hou-bu berkelit kesamping sambil bersabda buddha dan merangkap tangan.
Ciok Yan lantas menubruk dan memeluk kedua kaki Ciok Hou-bu serta menangis sejadi2nya.
Sementara Ciok Hou-bu sedang bicara dengan putri dan menantunya Bun Ciu-giok.
Segera Thian-hi berdua unjuk hormat kepada Go-cu Taysu.
“Jangan sungkan,” cegah Go-cu, “Bisa jumpa dengan tunas muda yang gagah perwira sungguh
Lolap sangat senang.”
Sudah lama Hun Thian-hi kenal nama Go-cu Taysu, baru sekarang ia sempat bertemu, tampak
orang berperawakan kurus kecil, tapi sepasang matanya bersinar terang, jidatnya sudah berkeriut,
selintas pandang orang akan menaruh hormat dan segan pada padri. yang kenamaan ini.
Berkatalah Go-cu taysu, “Agaknya kalian punya jdoh dengan kalangan agama kami, baru
pertama kali ini aku berkesempatan ketemu, sebetulnyalah sejak lama sudah kenal.”
Thian-hi merendah, katanya, “Wanpwe pun sudah lama mendengar kebesaran nama Taysu dan
ingin bertemu, sayang tidak berjodoh, beruntung hari ini bisa ketemu disini, harap Cianpwe Sudi
memberi petunjuk!”
Go-cu menghela napas, ujarnya, “Bu-bing Loni dan Tok-sim-sin-mo ada intrik dan melakukan
perbuatan kotor yang terkutuk, mereka bertekad mendapatkan Ni-hay-ki-tin, ayah bunda Ham-sicu
ini juga ditawan dijadikan sandera dikurung di dalam istana sesat, mereka perlu segera diberi
pertolongan….”

Berubah pucat paras Ham Gwat, tubuhnya terhujung hampir roboh. Cepat Hun Thian-hi
memapah tubuhnya. Ham Gwat menenangkan pikiran dan membesarkan hati, ia berdiri tegak
pula.
Go-cu Taysu berkata lebih lanjut, “Tak berguna sekarang kalian meluruk kesana, yang penting
kalian harus lekas-lekas melaksanakan urusan lain yang lebih penting. Sebab Bu-bing dan Toksim-
sin-mo sudah mendapatkan gambar peta dari rahasia Ni-hay-ki-tin itu, cuma belum dapat
memecahkan inti rahasianya, kalau tidak tentu Ni-hay-ki-tin sejak lama sudah berada di tangan
mereka, keadaan pasti lebih runyam dan tak tertolong lagi.”
“Apakah Cianpwe punya cara untuk mengatasi?” tanya Hun Thian-hi.
“Sekarang kalian harus memohon bantuan pada seseorang, bila beliau suka memberi petunjuk,
urusan betapa sulit pun akan dapat dipecahkan.”
Hati Ham Gwat sedang gundah dan gelisah, ia hampir tidak percaya ada seseorang bisa
mengatasi persoalan rumit ini sedemikian gampang.
Agaknya Go-cu merasakan kesangsian Ham Gwat ini, ia tertawa, ujarnya, “Kusebut seseorang,
mungkin kalian tidak akan mau percaya.”
“Siapa dia?” tanya Thian-hi.
“I-lwe-tok-kun!”
“Dia?” teriak Hun Thian-hi tercengang.
Memang ia tidak menyangka bila Go-cu bisa menyebut I-lwe-tok-kun, itu gembong sesat nomor
satu pada jamannya dulu.
Go-cu manggut-manggut, katanya tersenyum, “Sedikit orang yang tahu bahwa dia sudah lama
lolos keluar, malah sekarang sedang mawas diri dan mengasingkan diri di suatu tempat
tersembunyi.”
“Betulkah dia?” Thian-hi menegas.
“Kau tahu siapa dia sebenar-benarnya?” Go-cu melanjutkan, “Dia adalah majikan dari Jian-hudtong
pada empat puluh tahun yang lampau, setelah dia terkalahkan oleh Ka-yap Cuncia dia masih
menetap di dalam Jian-hud-tong itu. Banyak tempat gang orang lain belum pernah mencapainya
ia sudah pernah pergi kesana, kuduga kepandaian ilmu silatnya yang tinggi itupun ia peroleh di
tempat itu. Sebab dia tidak punya perguruan, menurut hemadku, mungkin dia pun pernah
menjelajahi istana sesat itu…. Tempat pengasingannya tidak jauh dari tempat ini,” demikian Go-cu
menambahkan, “Aku bisa ajak kalian kesana, tapi dia menderita luka dalam yang tak mungkin
disembuhkan lagi, belum tentu beliau suka membantu kesukaran kalian ini.”
Hun Thian-hi menepekur, I-lwe-tok-kun adalah guru Mo-bin Suseng, muridnya terbunuh
olehnya entah bagaimana sikapnya nanti terhadap aku. Tapi dalam keadaan kepepet ini cuma
akulah yang harus mohon bantuan padanya, terpaksa ku-coba-coba saja.”
Go-cu Taysu membawa Thian-hi berdua menyelinap ke dalam hutan yang semakin lebat,
setelah melampaui sebidang tanah lapang di pengkolan sebelah hutan terdapat sebuah mulut gua
yang teramat besar. Kata Go-cu Taysu pada Thian-hi berdua, “I-lwe-tok-kun menetap di dalam

gua besar itu, bekerjalah menurut gelagat, semoga kalian berhasil, Lolap mohon diri” — lalu ia
putar balik mengajak Ciok Hong-hu, Ce-hun Totiang, Bun Cu-giok dan Ciok Yan pergi.
Thian-hi berdua terus maju sampai diambang gua, kata Thian-hi, “Nona Ham Gwat, silakan kau
tunggu disini, biar aku saja yang masuk?”
“Apakah tidak lebih baik kita masuk bersama?” usul Ham Gwat dengan suara lembut.
Thian-hi tidak berani menyatakan apa-apa, terpaksa manggut-manggut.
Pelan-pelan mereka langsung masuk, setelah berjalan beberapa kejap terasa bahwa gua ini
sangat panjang, mengandal ketajaman mata mereka tidak kelihatan sampai dimana ujung pangkal
dari gua besar ini. Semakin ke dalam gua semakin gelap, jantung Thian-hi jadi kebat-kebit dan
tegang.
Beberapa kejap kemudian terasa dari langit2 gua ada air menetes jatuh, jalan yang diinjak pun
berlumut sangat licin. Keadaan gelap dan hening membuat hati mereka rada heran. Gua ini begini
panjang lalu dimana I-lwe-tok-kun bersemajam, untungnya jalan gua ini cuma satu, kalau
bercabang dua atau tiga entah kemana mereka harus mencari.
Sekonyong-konyong dilihatnya dari sebelah dalam sana berkelebat dua sosok bayangan hitam
menubruk datang ke arah mereka. Hun Thian-hi terperanjat, secara reflek ia tarik Ham Gwat ke
belakangnya, sebelah tangannya cepat mengeluarkan pedang.
Begitu menubruk dekat tanpa bersuara kedua bayangan itu lantas menyerang dengan kedua
telapak tangan masing-masing. Hun Thian-hi menegakkan badan, kakinya memasang kuda-kuda
yang kokoh, pedangnya teracung miring ke depan atas, sekali putar dan babat beruntun ia
punahkan serangan kedua musuhnya yang hebat.
Tapi kedua musuh beruntun lancarkan puluhan pukulan, agaknya mereka hendak mendesak
Thian-hi berdua mundur keluar gua, maka serangan mereka tidak mengarah tempat-tempat
penting yang mamatikan.
Pedang Thian-hi beterbangan, setiap kali gerakan pedangnya selalu berhasil memunahkan daya
pukulan musuh. Diam-diam hatinya menjadi heran dan girang pula, batinnya, “Entah siapa kedua
orang ini, sedemikian ampuh dan tinggi Lwekang mereka.”
Melihat Thian-hi berdiri tak tergoyahkan, kedua penyerangnya itu semakin gugup, salah
seorang sembari menyerang tiba-tiba bersuara. rendah tertahan, “Keluar!”
Begitu mendengar suara itu Hun Thian-hi tertegun, pikirnya, “Suara yang amat kukenal!” —
serta merta gerak pedangnya diperlambat kontan ia terdesak mundur satu tindak.
Tanpa memberi kesempatan banyak pikir terdengar seorang yang lain juga membentak rendah
tertahan, “Tidak mau mendengar kita ya?”
Tergetar hati Thian-hi, sekarang baru ia sadar, “Ternyata kedua orang ini adalah Hwesio jenaka
dan Siau-bin-mo-in, mengapa nada ucapan mereka begitu ketus dan begitu serius. Apakah terjadi
sesuatu peristiwa yang luar biasa? Kalau tidak masa begitu tegang.”
Karena pikirannya ini tanpa ayal cepat ia tarik Hum Gwat, laksana meteor jatuh ia berlari
terbang mundur kemulut gua.

Hwesio jenaka seorang saja yang mengejar sampai diluar gua, mukanya sudah kehilangan
senyum tawanya yang selalu berseri lucu itu, dengan nada sedih ia bertanya, “Untuk apa kau
datang kemari?”
Melihat sikap Hwesio jenaka ini heran Thian-hi dibuatnya, katanya tertawa, “Siausuhu, apakah
I-lwe-tok-kun benar-benar ada di dalam gua!”
Hwesio jenaka tersentak, matanya menatap tajam, sahutnya, “Benar-benar, darimana kau bisa
tahu!”
“Wanpwe ada urusan yang mendesak mohon petunjuknya.”
“Kau ada urusan apa?” tanya Hwesio jenaka penuh tanda tanya.
Terpaksa Hun Thian-hi menceritakan kejadian belakangan ini, ia jelaskan pula maksud
kedatangannya, iapun jelaskan sudah bertemu dan mendapat petunjuk dari Go cu Taysu.
“Sudah tidak mungkin!” sahut Hwesio jenaka sesaat kemudian. “Kalian terlambat tiba.”
Thian-hi terkejut, teriaknya, “Apa! Datang terlambat? Maksudmu beliau sudah meninggal?”
Hwesio jenaka menepekur, ia geleng-geleng kepala tanpa bicara.
Thian-hi girang timbul setitik harapan, “Asal orang belum ajal saja.” demikian batinnya.
Setelah menghela napas Hwesio jenaka berkata, “Keadaannya seperti orang sudah mati,
sekarang dia sudah gila, betapapun panjang usianya, takkan kuasa hidup beberapa hari lagi.”
Hun Thian-hi tertegun, katanya, “Siau suhu….”
“Aku tahu maksudmu,” demikian tukas Hwesio jenaka, “Kau masih ingin bertemu dengan
beliau?”
Thian-hi manggut-manggut, tambahnya, “Urusian ini sangat penting, betapa pun aku harus
bertemu dengan beliau.”
“Bukan aku tidak mengijinkan, yang benar-benar dia sudah tidak bisa membedakan orang, kami
bersaudara pun dilarang mendekat, apalagi kalian.”
“Bagaimana juga aku mengharap bisa menemui beliau sebentar saja.”
“Baiklah. Tapi harapannya terlalu kecil, mengandal kalian tentu, tidak mudah terluka
ditangannya, tapi harus berhati-hati,” kembali ia bawa Hun Thian-hi berdua masuk ke dalam gua.
Tak berapa lama mereka sudah tiba diujung gua. Dimana Siau-bin-mo-in sedang berjaga
diambang pintu sebuah kamar batu, melihat Hwesio jenaka membawa Hun Thian-hi dan Ham
Gwat ia mengerutkan alis, tapi tidak bicara.
Hwesio jenaka berbisik-bisik dengan Siau-bin-mo-in, lalu Hwesio jenaka berbisik pula dipinggir
telinga Thian-hi, “Tok-kun sedang tidur, mari kuajak masuk, kalian harus hati-hati.”
Hum Thian-hi berdua dibawa masuk ke dalam kamar batu itu, lalu ia mengundurkan diri keluar.

Begitu berada di dalam kamar batu Hun Thian-hi merasa hawanya sangat lembab, dinding
sekelilingnya ada mengalir air, dari celah-celah sebelah depan sana ada lobang kecil selarik sinar
menyorot masuk sehingga keadaan kamar batu rada terang.
Ditengah membelakangi dinding sana terdapat sebuah dipan batu, dimana duduk bersila
seorang tua kurus kering, kedua matanya terpejam, suara napasnya terlalu berat.
Hun Thian-hi membatin orang inikah I-lwe-tok-kun, sekian saat ia amat-amati orang tua di
hadapannya ini. Kedua biji matanya sudah cekung, mukanya pucat berpenyakitan, tak serupa
sabagai seorang gembong iblis yang sangat ditakuti, yang terang tak lain sebagai kakek tua renta
yang sudah loyo, berpenyakitan lagi, serta merta ia menghela napas. Bersama Ham Gwat, Thian-hi
berdiri diam ditengah-tengah kamar.
Suasana hening lelap cuma tetesan air yang tak-tik saja yang terdengar, tak lama kemudian
cahaya matahari yang remakin dojong menyinari muka I-lwe-tok-kun, tiba-tiba terdengar
tenggorokannya bersuara lirih, pelan-pelan ia mulai membuka mata.
Hati Thian-hi dan Ham Gwat menjadi tegang, entah bagaimana sikap 1-lwe-tok-kun serta
melihat kehadiran mereka di dalam kamar ini? Menyerang atau mencaci maki mereka? Sungguh
mereka tidak berani membayangkan akibatnya, dengan rasa tegang mereka awasi gerak-gerik Ilwe-
tok-kun.
Begitu membuka mata, I-lwe-tok-kun seperti tidak melihat mereka, dengan pandangan redup ia
menyapu keadaan sekelilingnya baru akhirnya pandangannya jatuh pada wajah mereka. Semula
matanya mengunjuk rasa heran dan tak mengerti, mendadak sorot matanya berubah beringas dan
mendelik tajam laksana ujung senjata menghunjam ke ulu hati mereka.
Akhirnya tercetus pertanyaannya, “Kalian untuk apa datang kemari?”
Hun Thian-hi jadi melenggong, bukankah tadi Hwesio jenaka mengatakan I-lwe-tok-kun sudah
gila? Kenapa bisa mengajukan pertanyaan yang genah ini.
Desak I-lwe-tok-kun pula, “Siapa kalian adanya?”
Melihat sikap orang yang kalem dan sadar, Hun Thian-hi tidak beragu lagi, cepat ia menyahut,
“Wanpwe Hun Thian-hi bersama Ham Gwat, ada sesuatu urusan mohon petunjuk Cianpwe.”
I-lwe-tok-kun termangu sekian lama, pelan-pelan berkata, “Kau bernama Hun Thian-hi? Kaukah
murid Ka-yap Cuncia itu?”
“Memang Wanpwe adanya.”
I-lwe-tok-kun menghela napas lalu menunduk, tak lama kemudian ia bersuara pula, “Jadi kau
benar-benar adalah murid Ka-yap Cuncia, kalau begitu ada urusan apa silakan katakan saja.”
Hun Thian-hi semakin mendapat hati dan tabah, katanya, “Konon kabarnya Cianpwe dulu
pernah menetap di dalam Jian-hud-tong, apakah kabar ini benar-benar?”
Perlahan-lahan I-lwe-tok-kun manggut-manggut.
“Ada sebuah urusan mohon Cianpwe suka bantu memecahkan. Sekarang Tok-sim-sin-mo dan
Bu-bing Loni ada sekongkol dan menjadikan Jian-hud-tong sebagai markas mereka. Kami mohon
petunjuk mengenai rahasia dari istana sesat itu. Cianpwe lama berdiam disana tentu sudah apal
mengenai segala seluk beluk disana, harap suka memberi penjelasan.”

Terbayang senyum lebar dimuka I-lwe-tok-kun, katanya kalem, “Aku tahu aku bakal segera
mati, aku kuatir tak mampu lagi bantu kalian.”
Hun Thian-hi terbungkam dan termangu tak bicara.
“Tentu kau tidak mau percaya, ya bukan?” ujar I-lwe-tok-kun tertawa ringan, “Tapi aku sendiri
punya perhitunganku, dalam sepuluh hari ini, baru sekarang aku sadar dan pulih ingatanku!” ia
mendehem dan manggut-manggut lalu sambungnya, “Aku tahu ini cuma pertanda bahwa ajalku
sudah semakin dekat.”
Thian-hi berdua masih bungkam tak bergerak. “Kau tidak perlu kubantu lagi,” demikian I-lwetok-
kun melanjutkan, “Dalam kolong langit sekarang kecuali aku mungkin tiada orang kedua yang
pernah menjelajah istana sesat.”
“Dapatkah Cianpwe memberi petunjuk tentang cara keluar masuknya istana sesat itu.”
“Tidak! Apakah Tok-sim-sin-mo punya cara keluar masuk.” ia tertawa-tawa, lalu sambungnya,
“Siapa tahu jalan masuk ke dalam istana sesat, dia bakal mampus seketika….”
Thian-hi tercengang tanpa bicara, tak terpikir olehnya kenapa I-lwe-tok-kun mengatakan
begitu.
“Mungkin kau tidak percaya,” I-lwe-tok-kun melanjutkan, “Sebelum ajal biarlah kuberi tahu
pada kau. Dulu aku sudah berdaya upaya menghabiskan tenaga dan memeras otak untuk masuk
ke dalam istana sesat, Kupikir di dalam istana sesat itu pasti ada dipendam harta benda yang tak
ternilai dan tak terhitung banyaknya, kalau tidak masa orang sudi membangun Istana sesat di
tempat itu.
Tapi setelah aku berada di dalam istana sesat kudapati tempat itu merupakan daerah mati,
mungkin memang ada harta terpendam, tapi dibagian lebih dalam ada tersebar luas hawa beracun
yang teramat jahat. Aku dijuluki Tok-kun, aku berani membanggakan diri segala racun pernah
kuperoleh, tapi kalau dibanding hawa beracun disana bedanya antara langit dan bumi, sedikit
kulitmu tersentuh hawa beracun itu, seketika kau akan mampus dan cara kematianmu adalah
sedemikian mengerikan!”
Sampai disini I-lwe-tok-kun tertawa-tawa lagi, katanya lebih lanjut, “Maka tadi kukatakan tak
usah kau urus dan bercapek lelah mengenai istana sesat itu, tak usah kuatir Tok-sim-sin-mo
berbuat apa-apa, sekali dia berani menerjang masuk kesana, kematian akan menunggunya.”
“Banyak terima kasih akan petunjuk Cianpwe!” tersipu-sipu Thian-hi menjura.
“Sampai tahap sekarang ini baiklah kuberitahu kepada kau,” demikian I-lwe-tok-kun
menambahkan, “Sebelum melakukan sesuatu sebelumnya harus dipikir biar masak, jangan kau
menyesal sesudah kasep, itu tidak berguna!”
Bercekat hati Thian-hi, ia tunduk diam mendengar petuah ini, banyak akibat dari perbuatannya
yang harus disesalkan.
“Dulu,” demikian, ujar I-lwe-tok-kun sambil mengawasi muka mereka, “Aku malang melintang
bersimaharaja anggapku akulah yang paling berkuasa melebihi raja. tapi kenyataan toh aku
dikalah-kan oleh Ka-yap Cuncia. Sampai sekarang meski aku ingjn berjuang dan mencapai puncak
kedigjayaan itu akhirnya toh mampus juga.”

“Cianpwe sekarang sudah insaf dan menyesal, bukankah ini suatu hal baik?” tanya Thian-hi.
“Orang purba mengatakan, tahu salah dapat memperbaiki, betapa bahagia dan bijaksananya ini
memang tidak salah, tapi jauh lebih baik kalau kau tidak berbuat kesalahan itu bukan? Cuma
orang purba itu pun tidak menyadari bahwa nyawa, atau hidup manusia itu ada batasnya, adanya
batas nyawa itu tidak mungkin ada batas penyesalan….”
Thian-hi merenungkan petuah I-lwe-tok-kun yang mengandung arti yang dalam ini, ini
merupakan suatu kritik yang mendalam pula bagi dirinya, jiwa mannsia memang cukup pendek
dan terbatas, nyawa itu serdiri tidak akan membiarkan manusia berbuat penyesalan yang tiada
batasnya, disadari olehnya apa pula yang harus segera dikerjakan sekarang, dia tidak boleh main
lambat-lambat dan ragu-ragu lagi.
Selama itu Ham Gwat diam saja, iapun tenggelam dalam pikirannya, banyak yang dapat ia
simpulkan dari percakapan ini, dan pendapatannya justru yang paling banyak.
“Aku sudah letih,” tiba-tiba I-lwe-tok-kun mengeluh, “kalian boleh segera keluar!” — pelanpelan
ia pejamkan mata.
Waktu Hun Thian-hi dan Ham Gwat keluar Hwesio jenaka sudah menyongsongnya diambang
pintu, katanya tertawa, “Sungguh beruntung nasib kalian.” lalu, ia menghela napas serta ujarnya
pula, “Dengan memejamkan mata, tentu Tok-kun tidak akan membuka mata lagi selamanya.”
Hun Thian-hi manggut-manggut, ia maklum kemana juntrungan ucapan orang.
“Tujuan kalian sudah tercapai, mungkin kalian masih ada urusan lain, maaf, kami tidak
mengantar kalian.”
Segera Hun Thian-hi nyatakan terima kasih terus keluar bersama Ham Gwat. Tanpa membuang
waktu Hun Thian-hi dan Ham Gwat langsung menempuh perjalanan menuju ke Jian-hud-tong.
Sepandiang jalan itu mereka jarang bicara.
Suatu ketika mereka kepergok dengan sebuah bayangan orang, tiba-tiba Hun Thian-hi
berjingkrak kegirangan dan memapak maju. Ternyata dilihatnya Sutouw Ci-ko muncul di tempat
itu.
“Sutouw cici bagaimana kau datang!” teriaknya.
“Ya, aku datang bersama Gihu (ajah angkat), tapi beliau ada urusan nanti akan menyusul,
kemari,” lalu ia berpaling mengamati Ham Gwat, katanya berseri tawa. “Bukankah ini nona Ham
Gwat! Sungguh cantik sekali, tak heran adik Hun terpincut kepada kau,” demikian godanya.
Ham Gwat tertunduk ke-malu-maluan, katanya lirih, “Cici tentu nona Sutouw adanya!”
Melihat muka dan sikap Ham Gwat yang murung itu Sutouw Ci-ko hertanya kepada Thian-hi,
“Eh. kenapakah kalian, kok tidak bicara.”
Setelah bersua dengan Sutouw Ci-ko perasaan Hun Thian-hi rada ringan, sahutnya tortawa,
“Tidak apa-apa, cuma ayah bunda nona Ham Gwat kena tertawan oleh Tok-sim-sin-mo dan Bubing
Loni.”
“O, Sungguh maaf,” Sutouw Ci-ko tersipu-sipu minta maaf, “Aku tidak tahu ada kejadian ini.”
“Ci-ko cici!” Ham Gwat berkata sambil memandang ke arah Thian-hi.

Sutouw Ci-ko maklum maka segera ia berkata,, “Adik Thian-hi, coba kau menyingkir, kami
hendak bicara”
Apa boleh buat terpaksa Hum Thian-hi menyingkir rada jauh.
“Ci-ko cici.” ujar Ham Gwat setelah Thian,-hi menyingkir, “Boleh aku panggil begitu?”
“Sungguh aku senang mendapat adik secantik kau, entah siapa yang bakal beruntung dapat
mempersunting putri secantik bidadari ini!”
Ham Gwat tertunduk malu, ujarnya pula, “Ci-ko cici, apakah kau merasa seolah-olah aku tidak
punya perasaan?”
Bercekat hati Sutouw Ci-ko, tapi ia tertawa dibuat-buat, sahutnya, “Adik Ham Gwat, kenapa kau
berpikiran begitu? Sedikit pun aku tidak punya perasaan begitu.”
Dengan nanar Ham Gwat pandang rona wajah Sutouw Ci-ko, sesaat ujung mulutnya
maengulum senyum manis, katanya pelan-pelan, “Perjalanan ke Jian-hud-tong ini, sungguh aku
sangat kuatir bagi keselamatan Thian-hi. Dia harus bertempur untuk menentukan mati atau hidup
melawan Bu-bing Loni, sedang ayah bundaku tertawan pula oleh mereka, menurut pendapatmu
bagaimana aku harus bertindak!”
Haru dan tersentuh sanubari Sutouw Ci-ko serta. mendengar curahan hati Ham Gwat yang
penuh membawa perasaan hatinya. Terdengar Ham Gwat melanjutkan, “Kau tahu, dia terlalu
ceroboh. gugup dan lalai lagi, bila sampai tertipu tak berani aku membayangkan akibatnya.”
“Kau tak usah kuatir.” Sutouw Ci-ko coba menghibur, “Bukankah kau selalu mendampinginya?
Aku dan Gihu juga akan kesana, kau tidak perlu kuatir!”
“Tapi dia akan berpencar dengan kita, bagaimana baiknya.”
“Itu tergantung pada kau, asal kau dapat mengendalikan dia, kutanggung tidak akan ada
persoalan” demikian ujar Sutouw Ci-ko sambil tertawa penuh arti. “Aku tahu sanubarimu penuh
mengandung perasaan, tapi tak pernah kau tunjukkan dilahirmu. Hubunganmu dengan Thian-hi
terasa sangat asing bagi dia, kalau kau bisa mengumbar sedikit perasaanmu aku percaya Thian-hi
akan menyetujui segala perintahmu. Aku dapat menyelami isi hatinya, kalau huhungan kalian
sudah erat dan terbuka hati kalian bisa saling mengisi, dia akan tanya padamu apa yang harus dia
lakukan, yakinlah akan hal ini!”
“Memang Thian-hi rada jerih terhadap kau,” demikian Sutouw Ci-ko melanjutkan. “Tapi cuma
kaulah yang kuasa mengendalikan dia, hal ini tak perlu disangsikan.”
“Aku kuatir aku tidak punya wibawa begitu besar,” timbrung Ham Gwat tertawa.
“Dihadapan orang lain biasanya Thian-hi terlalu bebas dan berani, tapi dihadapanmu seperti
bicara pun tak berani keras. Kukira sejak mula kalian sudah sama-sama canggung dan risi
sehingga sikap kalian sama-sama kurang wajar.”
Ham Gwat menjadi geli. Dalam hati ia mengakui akan kebenar-benaran ini, kini setelah
ganjalan hati ini terbuka ia menjadi paham dan lapanglah dadanya, katanya, “Untuk selanjutnya
kukira tidak akan terjadi pula!”

“Itulah baik. Aku salut pada kalian!” demikian ujar Sutouw Ci-ko, lalu ia berpaling ke arah hutan
serta berteriak, “Thian-hi, keluarlah!”
Tapi berulang kali ia berkaok2 tanpa mendapat penyahutan, hati mereka menjadi tegang dan
bertanya-tanya. Lekas mereka memburu ke dalam hutan, keadaan disitu sunyi dan melompong,
agaknya Thian-hi sudah tinggal pergi lebih dulu.
Sekilas pandangan Ham Gwat menjelajah sekitarnya dilihatnya sebaris tulisan didahan pohon
yang berbunyi, “Paman Pek menghadapi bahaya, aku pergi menolong.”
Mereka maklum setalah berhasil menolong Pek Si-kiat tentu Thian-hi langsung menyusul ke
Jian-hud-tong, maka mereka pun tidak banyak kata lagi, buru-buru mereka melanjutkan
perjalanan.
Ooo)*(ooO
Melihat Ham Gwat berdua mau bicara segera Thian-hi menyingkir ke dalam hutan, tengah ia
keisengan tiba-tiba dilihatnya tiga sosok bayangan orang berlari kencang saling kejar di kejauhan,
jelas terlihat olehnya orang yang dikejar itu adalah Pek Si-kiat, sedang dua orang pengejarnya
adalah Ciang-ho-it-koay dan Ce-han-it-ki.
Cepat ia menulis beberapa patah kata di atas pohon terus lari mengejar dengan kencang, Kirakira
sepul”uh li kemudian baru ia melihat tiga bayangan di depan, segera ia kerahkan tenaganya
mengejar lebih pesat. Untung tiba-tiba dilihatnya ketiga orang yang saling kejar itu mendadak
sama berhenti, sementara laksana terbang Hun Thian-hi sudah menyandak dekat, cuma sebelum
tahu duduk persoalannya ia tak mau muncul unjukkan diri, lekas ia melesat naik kepuncak sebuah
pohon lebat dan sembunyi disitu.
Diam-diam heran dan bertanya-tanya benak Thian-hi, entah karena urusan apa ketiga tokoh
kelas tinggi ini saling kejar. Tampak Pek Si-kiat membelakangi sebuah pohon besar menghadapi
kedua pengejarnya, katanya, “Aku sudah bersabar, tapi kalian mendesak begini rupa, apa maksud
kalian?”
“Pek Si-kiat jangan banyak bacot lagi, persoalan empat puluh tahun yang lalu masa pura-pura
kau lupakan?” demikian jengek Ce-han-it-ki’
“Benar-benar, memang dulu tidak sedikit aku membunuh orang. tapi sekarang aku sudah sadar
dan insaf, apa kalian masih mendesak sedemikian rupa?”’
“Menyesal dan sadar apa?” demikian jengek Ciang-ho-it-koay, “Dengan menyesal dan sadar
lantas cukup kau tebus jiwa orang-orang yang kau bunuh itu?”
“Jadi maksud kalian aku Pek Si-kiat harus menembus dengan jiwaku?”
“Dulu Pek-kut-sin-kangmu menggetarkan Bulim biar hari ini aku mencoba pukulan saktimu itu,”
demikian Ciang-ho-it-koay tampil ke depan terus menyerahg dengan kedua telapak tangannya.
Pek Si-kiat. melejit mundur menghindar. Kalau dua lawan satu terang ia bukan tandingan, maka ia
harus berusaha mencari kesempatan melarikan diri, segera ia kerahkan delapan kekuatan Pek-kutsin-
kang balas menggempur.
Begitu dua pukulan saling bentur, hawa bergolak debu dan pasir beterbangan memenuhi
angkasa, kedua belah pihak sama tergetar mundur lima kaki.

Begitu tersentak mundur Ciang-ho-it-koay segesit kera sudah melompat maju pula seraya kirim
lagi tamparan maut. Sementara itu Pek Si-kiat berdiri tegak, ia sudah siap menghadapi rangsakan
musuh lebih lanjut, tapi ia cukup cerdik untuk memancing kelengahan musuh, tiba-tiba ia melejit
mundur lagi, Ciang-ho-it-koay menjadi gemas. tanpa. menghiraukan seruan Ce-han-it-ki ia
mengejar maju seraya menjengek, “Iblis tulang putih hayo jangan lari!”’
Kini persiapan Pek Si-kiat sudah sempurna, tanpa berkelit lagi ia songsongkan pukulan telapak
tangan dengan dilandasi kekuatan Pek-kut-sin-kang. Waktu mendengar peringatan Ce-han-it-ki,
paling tidak Ciang-ho-it-koay sudah waspada, begitu melihat lawan menyongsong pukulannya ia
berusaha mengijak. hakikatnya sikap Pek Si-kiat ini tidak pandang sebelah mata dirinya, berani dia
menyongsong gempuran pukulannya cuma dengan sebelah tangannya saja. Seketika berkobar
amarahnya sambil kerahkan seluruh tenaganya, kedua telapak tangan menggempur ke arah Pek
Si-kiat.
Diluar tahunya siang-siang Pek Si-kiat sudah memperhitungkan dengan masak, begitu melihat
lawan menggempur dengan kekerasan, cepat ia tarik pukulannya seraya berkelit kesamping.
Memang Ciang-ho-it-koay menduga Pek Si-kiat tidak akan berani melawan secara kekerasan,
begitu melihat lawan berkelit, tiba-tiba ia memutar setengah lingkaran berbareng kedua
tangannya menyapu miring terus menggempur pula kehadapan Pek Si-kiat.
Mimpi pun Pek Si-kiat tidak menduga bahwa lawan bisa tergerak begitu cepat dan tangkas, tak
sempat berkelit atau merubah permainan, terpaksa ia angkat tangan menangkis dengan sisa
tenaga yang masih terkerahkan.
Suara gemuruh seketika menyentak mundur kedua pihak dua tindak ke belakang. Secara
langsung dapatlah dinilai dalam adu kekuatan pukulan ini, bahwa Pek Ki-kiat setingkat lebih tinggi
dari kepandaian Ciang-ho-it-koay, karena hasilnya seri, pada hal Pek Si-kiat cuma menggunakan
sisa tenaga yang masih terkerahkan.
“Lwekang yang hebat,” derdengar Ce-han-it-ki memuji, “Cukat Lote! biar kucoba-coba
kepandaian sejati Iblis tulang putih ini!”
Ciang-ho-it-koay maklum bahwa diri sendiri bukan tandingan orang, segera ia mengundurkan
diri.
Melihat Ce-han-it-ki tampil ke depan, bercekat hati Pek Si-kiat, ia maklum kepandaian orang
jauh lebih tinggi dari Ciang-ho-it-koay, mau tak mau ia harus mengempos semangat dan
meningkatkan kewaspadaan.
Dalam pada itu Ce-han-it-ki sudah saling berhadapan, seperti dua jago aduan mereka saling
pandang tak berani sembarangan bergerak, mereka menanti kesempatan yang paling baik untuk
turun tangan. Sekonyong-konyong Ce-han-it-ki bergerak dulu, kakinya melangkah miring ke depan
menduduki posisi yang menguntungkan terus menggempur berhadapan ke arah Pek Si-kiat
Mencelot hati Pek Si-kiat. Cara Ce-han-it-ki menyerang ini entah mengunakan tipu silat apa.
Karena itu dia tidak berani gegabah sedikit angkat kedua tangannya cukup mebendung gempuran
tenaga lawan, sementara sebelah kakinya menyurut selangkah.
Tak duga gerakan Ce-han-it-ki ini merupakan pancingan belaka, melihat Pek Si-kiat tidak berani
balas menyerang, ia tertawa panjang, cepat sekali permainan pukulannya berubah, ia
kembangkan Nu-hun-ciang-hoat (pukulan comot awan), gambaran telapak tangan berkelebatan
menerbitkan gelombang angin yang menderu keras, jari-jari kedua telapak tangannya bagai cakar
burung mencomot ketubuh Pek Si-kiat.

Karena inisiatif penyerangan didahului lawan, kontan Pek Si-kat terdesak di bawah angin dan
mati kutu, Pek-kut-ciang sulit dikembangkan lagi, paling-paling cukup untuk membela diri saja.
Namun demikian ia kuat bertahan sampai ratusan jurus, sementara kedudukan Ce-han-it-ki
semakin unggul, permainan pukulan telapak tangannya semakin ganas dan deras.
Dalam pengalaman bertempur untung Pek Si-kiat jauh lebih matang dari Ce-han-it-ki, detikdetik
permulaan tadi lantas ia menginsafi kedudukannya yang kejepit ini, tanpa balas menyerang
ia menjaga diri dengan rapat. Tapi setiap kali lawan mengunjuk setitik lobang kelemahan pasti ia
menyergap dengan rangsakan yang cukup membuat lawan kelabakan.
Kira-kira dua ratusan jurus mereka saling hantam, Pek Si-kiat jadi mengerutkan kening,
sebaliknya Ce-han-it-ki semakin bernafsu. Mendadak Pek Si-kiat mengendorkan pukulan
tangannya, Ce-han-it-ki segera menerjang dengan sebelah pukulan tangan, gesit sekali Pek Si-kiat
miringkan tubuh sambil balas menggempur.
Sudah tentu Ce-han-it-ki tidak sudi gugur bersama, terpaksa ia sampokan sebelah tangan
menangkis, “blang!” dua musuh sama-sama tersurut mundur, sekarang mereka berdiri
berhadapan lagi.
Sekonyong-konyong eesosok bayangan orang meluncur turun dan hinggap ditengah
gelanggang. Kedua belah pihak sama kaget
Melihat Hun Thian-hi, Ce-han-it-ki semakin beringas, desisnya, “Apa kau ingin membela Pek Sikiat?”
Hun Thian-hi manggut-manggut, sahutnya, “Aku cuma menuntut keadilan saja, harap Cianpwe
tidak terbawa oleh perasaan hati.”
“Pek Si-kiat dulu terlalu banyak membunuh orang, berani kau menghadapi kemarahan kaum
Bu-lim?”
“Lain dulu lain sekarang, kenyataan sekarang ia tidak pernah membunuh orang.”
“Hun Thian-hi,” sela Ciang-ho-it-koay, “Persoalan Giok-yan Cinjin belum beres, berani kau
bertingkah disini?”
“Kukira Cianpwe masih belum pikun. seseorang yang berlatih ilmu Lwekang dari aliran murni
macam tokoh Giok-yap Cinjin apakah mungkin bisa tersesat latihannya?”
Ciang-ho-it-koay jadi melengak, ia cuma percaya obrolan orang dan belum pernah memikirkan
secara cermat. Kini baru ia jelas duduk persoalannya, jadi kematian Giok-yap memang bukan
perbuatan Hun Thian-hi. Seketika ia bungkam seribu basa.
“Sekarang kita tidak mempersoalkan kematian Giok-yap. Kami menagih hutang jiwa Pek Si-kiat
pada empat puluh tahun yang lalu.” Ce-han-it-ki mengembalikan persoalan semula.
“Bagaimana kejadian empat puluh tahun yang lalu aku tidak tahu. Memang kudengar sepak
terjang Si-gwa-sam-mo dulu terlalu ganas dan telengas. Tapi paman Pek sekarang sudah sadar
dan bertobat, malah Ka-yap Cuncia sendiri yang membebaskan beliau. Masakah empat puluh
tahun kemudian, hari ini kalian masih mengungkat2 urusan lama dan mendesak sedemikian rupa.”
Demikian debat Hun Thian-hi.

“Baiklah, kami tidak usah menuntut balas pula padanya,” demikian ujar Ce-han-it-ki menjadi
sabar kembali, “Tapi seperti katamu tadi kau harus memberi keadilan bagi keluarga kami yang
dibunuh olehnya, bagaimana penyeleaaiannya?”
“Bagaimana menurut pendapat Cianpwe?” dasar cerdik Hun Thian-hi kembalikan persoalan ini
supaya orang jawab sendiri.
Ce-han-it-ki tidak menduga bahwa Hun Thian-hi mengembalikan peraoalan ini pada dirinya
diam-diam ia mengumpat dalam hati, sekian lama ia berpikir dan tak kuasa mengambil kepastian.
Tiba-tiba Ciang-ho-it-koay menimbrung dari samping, “Dalam jangka tiga bulan suruh dia
datang kegunung Tiang-pek langsung minta maaf kepada kami.”
Hun Thi-hi tertegun. Pek Si-kiat pun menjadi marah, sungguh ia tidak ingat lagi siapa yang ia
bunuh sehingga kedua orang ini menuntut balas pada dirinya, sekarang suruh aku datang ke
Tiang-pek-san minta ampun pada mereka. Mana bisa jadi, hampir saja ia mengumbar amarahnya
pula, tapi sekilas pikir, ia mengakui kesalahan terletak dipihak sendiri, mana boleh bekerja
menurut adat sendiri.
Bahwasanya kaum persilatan yang terjungkal jatuh pamor sudah umum dan biasa terjadi, tapi
kalau minta orang minta ampun kerumah orang belum pernah terjadi. Kedengarannya
pembicaraan mereka cukup ramah dan tanpa syarat apa-apa lagi, tapi pelaksanaannya bagi Pek
Si-kiat justru sangat berat.
Thian-hi maklum akan hal ini, ia, jadi bingung dan sulit ambil kepastian, seumpama dia sendiri
pun belum pasti mau, tapi soalnya sekarang kalau ditolak mentah-mentah pertempuran sengit
tentu berulang kembali, dan ini tidak ia kehendaki.
Pek Si-kiat sendiri menjublek ditempatnya, terbayang penghidupan empat puluh tahun di dalam
gua yang sunyi, kumandang nasehat dan petuah Ka-yap Cuncia dipinggir kupingnya, ia pun sudah
berjanji tidak akan membunuh orang lagi. Sekilas dilihatnya sikap kebingungan Hun Thian-hi, tibatiba
ia merasa persoalan adalah kesalahanku asal aku mengangguk kepala, segalanya menjadi
beres, kalau dulu aku membunuh keluarga mereka, tuntutannya cuma mohon ampun belaka,
imbalan ini terlalu ringan bagi dirinya. Mendadak ia bersuara, “Baik! Kululusi syarat kalian ini.”’
Keruan Hun Thian-hi bertiga menjadi terkejut. Ce-han-it-ki dan Ciang-ho-it-koay sama heran
dan tak mengerti, mimpi juga mereka tidak menduga Pek Si-kiat begitu polos menerima syarat
yang mereka ajukan. Kenyataan sudah mereka hadapi, sesaat menjadi bungkam. Mengandal
kedudukan Pek Si-kiat di Bulim, kata-kata yang sudah diucapkan tidak bakal dijilat kembali, apalagi
ada Hun Thian-hi menjadi saksi, untuk menyesalpun sudah kasep.
“Kalau begitu, baiklah kami mohon diri, Kutunggu kedatanganmu.” demikian ujar Ce-han-it-ki
lalu mendahului berlari pergi.
Setelah bayangan kedua orang ini menghilang tak tertahan lagi, Hun Thian-hi berseru haru,
“Paman Pek!”
Pek Si-kiat tersenyum, ujarnya, “Untung kaulah yang datang, kalau tidak entah bagaimana
akibatnya tadi Kau sudah ketemu Sutouw Ci-ko belum?”
“Tadi memang aku bersama mereka, tapi melihat paman Sedang dikejar mereka maka kususul
kemari lebih dulu.”
“Mereka? Siapa saja yang kau maksudkan?”

“Sekarang Ci-ko bersama nona Ham Gwat Kemungkinan mereka langsung menuju ke Jian-hudtong!”
“Agaknya hubunganmu dengan Ham Gwat sudah lebih akrab. marilah kita pun menyusul
kesana.” Demikian ajak Pek Si-kiat. sambil berjalan ia menambahkan, “Kulihat kalian memang
jodoh yang setimpal. ini soal besar yang menentukan hari depanmu. Nona Ham Gwat adalah gadis
yang baik, berkobar perasaan di dalam sanuharinya, soalnya sejak kecil ia, dibimbing Bu-bing
dalam suasana dingin dan mengikuti watak gurunya, sebetulnyalah riwayat hidupnya. harus
dikasihani, maka perasaan hatinya sulit ia limpahkan dengan kata-kata.”
Hun Thian-hi tertunduk, ia renungkan setiap kata Pek Si-kiat yang banyak membawa manfaat
besar bagi diranya.
“Kau dapat memahami maksudnya tidak?” tanya Pek Si-kiat
“Kurang begitu paham!” sahut Thian-hi terus terang.
“Sedikitnya.” Pek Si-kiat memberi petunjuk, “Setiap kali berhadapan dengan dia kau tidak boleh
terlalu canggung dan kikuk, bawalah kewajaran dalam hubungan kalian. Kalau tidak perasaan
dingin di dalam sanubarinya itu tidak akan luber, perasaan hatinya pun sulit dilimpahkan.”
Sementara Hun Thian-hi merenungkan kata-katanya, Pek Si-kiat menamhahkan, “Yang
terpenting belum kututurkan kukira kau masih teringat akan Sin-jiu-mo-ih Lam In bukan?”
Bercekat hati Thian-hi, sesaat ia tertegun, ia sendiri pernah saksikan sepak terjang tabib iblis
bertangan sakti itu, adakah terjadi sesuatu diluar dugaan? Demikian ia bertanya-tanya dalam hati.
“Persoalan tidak terletak pada Lam In itu sendiri, sekarang dia berada di tempat Kim-eng Lojin,
orang tua pemelihara burung rajawali mas besar itu.”
“Jadi maksudmu tentang obat2an ciptaannya yang menjadi persoalan?”
Pek Si-kiat manggut-manggut, katanya, “Dulu Sin-jiu-mo-in pernah berjanji akan memberi
bubuk obat Kiu-li-san, orang yang dicekoki obat ini akan kehilangan akal sehatnya, dia patuh
segala perintah orang yang memberi obat beracun ini. Waktu dia pulang kerumah ternyata bahwa
bubuk obat itu sudah jcuri oleh Tok-sim-sin-mo”
“Dengan hasil obat curiannya ini, Tok-sim-sin-mo yang berhasil lolos itu meracun Bing-tiongmo,
tho. Lam-bing-it-hiong dan lain-lain kaki tangannya dulu. Apalagi sekarang dia telah berintrik
dengan Bu-bing Loni maka kekuatannya berlipat lebih besar.”
Bab 36
Thian-hi semakin terkejut, melawan Bu-bing saja sudah berat ditambah orang-orang yang
dicekoki racun kena dipengaruhi itu, semakin sulit lagi dilawan
“Kini dia lebih apal lagi keadaan dalam Jian-hud-tong, aku kuatir sulit untuk membekuk dan
mengatasi mereka. Cuma untung dari Lam In sendiri atas prasaran Kim-eng Lojin aku mendapat
obat pemunah racun Kiu-li-san itu.”
Thian-hi jadi berjingkrak girang, “Obat pemunah macam apakah?” tanyanya.

“Berupa bubuk juga. Cukup ditebarkan saja, sekali mereka mengendus bau obat yang harum
itu seketika mereka akan sadar, dan tidak terkendali lagi oleh Tok-sim-sin-mo.”
“Kalau begitu kita tidak perlu gentar menghadapi bangsat laknat itu.”
“Tapi obat itu cuma sebungkus, sebungkus ini harus sekaligus dapat mengobati sekian banyak
orang. Untuk meramunya lagi waktunya terang tidak keburu lagi.”
Thian-hi terbungkam kuatir, ia terlongong sekian saat.
“Kau simpanlah obat ini,’ ujar Pek Si-kiat menyerahkan sebungkus obat, “jelas dia akan
menghadapimu sekuat tenaganya.”
Thian-hi sambuti bungkusan obat itu, ujarnya, “Sebungkus ini lebih baik kubagi menjadi dua
saja.” — lalu ia membuka bungkusan itu dan dibagi menjadi dua lalu dibungkus lagi, sebungkus
yang lain ia berikan kepada. Pek Si-kiat.
“Nak, marilah percepat, mungkin Ci-ko dan Han Gwat sudah tiba disana.” demikian ajak Pek Sikiat.
Thian-hi mengiakan, mereka langsung menuju ke Jian-hud-tong.
Waktu terang tanah Sotouw Ci-ko dan Ham Gwat sudah tiba diambang mulut gua seribu
buddha. Sekian lama mereka berdiri menjublek susah ambil ketetapan. Akhirnya Sutouw Ci-ko
berkata, “Adik Ham Gwat, kita terjang ke dalam atau menunggu kedatangan Hun Thian-hi.”
“Entah Thian-hi sudah tiba atau belum, mungkin sudah tiba dan langsung menerjang masuk
maka kita pun tak perlu beragu lagi. Cuma untuk menjaga segala kemungkinan, lebih baik kita
tinggalkan beberapa patah kata disini, umpama mereka terlambat segera bisa menerjang masuk.”
Sutouw Ci-ko manggut-manggut, dengan ujung pedang ia menggores beberapa huruf dibatang
pohon. Tiba-tiba di belakang mereka terdengar suara dingin.
Waktu berpaling seketika berubah air muka mereka, yang datang ini kiranya bukan lain Bu-bing
Loni adanya, dengan dingin ia menatap muka Ham Gwat.
Dengan dingin dan takabur Ham Gwat balas tatap Bu-bing Loni, saat mana sedikitpun ia tidak
lagi merasa gentar menghadapi Bu-bing. Setelah dia jelas mengetahui riwayat hidupnya sendiri,
lebih besar pula rasa bencinya terhadap Bu-bing musuh ayah bundanya.
Hawa amarah bergejolak dirongga dadanya menggantikan perasaan takutnya. Semula Bu-bing
tidak percaya bahwa Ham Gwat berani bersikap begitu garang dan kurang ajar terhadap dirinya.
‘Ham Gwat,’ jengeknya dingin, “Setelah berhadapan, kau masih berani melawan aku?”
“Jangan toh melawan melihat kau, melihat musuh besarku, aku benci kau ketulang
sungsummu, ingin rasanya kusayat dagingmu kubeset kulitmu.” sembari berkata ia melolos
pedang.
Bu-bing menyeringai sadis, ia tahu Ham Gwat sudah terlalu benci padanya, Ham Gwat harus
dilenyapkan dulu dari depan hidungnya, maka iapun melolos pedang, ejeknya, “Permainan
pedangmu hasil ajaranku, kau berani melawan gurumu, agaknya kau sedang mimpi!”
Ham Gwat mandah menyeringai dingin, setindak demi setindak ia menghampiri kehadapan Bubing
Loni…. Sutouw Ci-ko menjadi Kuatir, murid mana bisa menang melawan guru, situasi

membuat hatinya menjadi tabah, rasa takutnya terhadap Bu-bing sudah lenyap, pelan-pelan iapun
keluarkan pedangnya ikut mendesak maju.
Ham Gwat tahu juga akan tindakan Sutouw Ci-ko ini, cepat ia mencegah tanpa menoleh, “Ci-ko
cici kau mundur saja, aku punya cara menghadapi dia!”
Sutouw Ci-ko tertegun, sambil menyoreng pedang ia berdiri disamping.
“Apa kemampuanmu kau berani melawan aku.” demikian cemooh Bu-bing. Sementara
pedangnya sudah terangkat lempang pelan-pelan menuding ke arah Ham Gwat
Langkah Ham Gwat tak berhenti, kedua biji matanya sedingin es menatap Bu-bing, dalam hati
ia sedang menerawang cara menghadapi musuh besar ini. Rasa gusar sudah menghayati
keberaniannya.
Adalah Bu-bing sendiri sebaliknya menjadi bersitegang leher, pandangan Ham Gwat yang dingin
setajam sembilu menusuk sanubarinya, bertambah besar rasa jerinya.
Tiba-tiba Ham Gwat tersenyum sinis, badannya pun melejit ke depan, pedangnya panjang
menyampok miring terus menutul bergantian. sekaligus ia menutuk jalan darah Thay-yang-hiat
dikedua pelipis Bu-bing Loni.
Mencelos hati Bu-bing, tipu serangan ini bukan dia yang mengajarkan, bukan pula pelajaran
dari ibu kandung Ham Gwat. Ong Ging-sia, belum pernah ia melihat jurus serangan aneh ini,
begitu ganas dan cepat sekali, keruan bertambah kebat-kebit hatinya, serta merta meningkatkan
perhatiannya. Mungkinkah Ham Gwat mendapatkan hasil kemujijadan? Kalau tidak dari mana ia
peroleh jurus aneh ini.
Tidak berani balas menyerang ia cuma gerakan pedangnya memunahkan serangan Ham Gwat
ini ditengah jalan Benar-benar diluar tahunya, bahwa serangan pedang aneh yang dilancarkan
seenaknya ini justru membawa pukulan batin yang teramat besar bagi Bu-bing Loni, hampir saja
karena rasa curiganya itu Bu-bing sudah hendak berlari masuk ke dalam gua.
Sebelum kedua batang pedang saling bentur, Ham Gwat memuntir pedangnya, seketika
bianglala berkelebat melambung, dengan jurus permainan Hui-sim-kian-hoat ia menyerang secara
ganas kepada Bu-bing. Melihat Ham Gwat tidak melancarkan jurus aneh lagi, rada lega hati Bubing,
tapi hatinya sudah tertekan dan dihantui oleh kekuatiran sendiri, ia jadi was-was bila Ham
Gwat melancarkan jurus pedang aneh, maka ia tidak berani balas menyerang setaker tenaganya.
Dengan permainan pedang yang sama, mereka serang menyerang tak berkeputusan, tahu-tahu
seratus jurus sudah lewat. Baru sekarang ia sadar bahwa jurus permulaan dari permainan pedang
Ham Gwat tadi melulu cuma gertakan belaka, terang dirinya kena tipu belaka. Keruan ia naik
darah, dari berjaga kini ia balas menyerang dengan gencar, seketika Ham Gwat terdesak
kerepotan di bawah angin.
Tapi Haa Gwat sudah tidak merasa takut lagi terhadan Bu-bing, bahwasanya Lwekangnya
sekarang terpaut tidak terlalu jauh dibanding Bu-bing, apalagi permainan pedang Bu-bing pun
dipahami pula, dalam seratus jurus betapa pun ia tidak akan terkalahkan, asal Bu-bing tidak
melancarkan Lian-hoan-sam sek, jurus berantai terakhir yang paling hebat.
Dari bertahan sekarang Bu-bing berinisiatif menyerang, hawa pedangnya berkembang melebar
melingkupi gelanggang pertempuran, tapi Ham Gwat tumplek seluruh perhatian dan semangatnya
melayani setiap rangsakan lawan, sedemikian rapat dan hati-hati ia menghadapi lawan sehingga
musuh tak berikesempatan menyelinap membokong atau mencari lobang kelemahannya.

Jurup demi jurus terus berlalu, lama kelamaan Bu-bing jadi uring-uringan dan dongkol, masa
murid didiknya sendiri ia tidak mampu membereskan, ini merupakan pukulan batin dan kejadian
yang sangat memalukan…. Soalnya Ham Gwat bermain semakin mantap sehingga ia tidak kuasa
berbuat apa-apa lagi.
Semakin lama serangan Bu-bing semakin gencar, nafsunya membunuh semakin berkobar pula,
tidak melabrak dengan kesengitan tiba-tiba ia menarik mundur pedangnya malah dan terus
menyurut mundur.
Ham Gwat juga melintangkan pedang mundur beberapa tindak, ia tidak mengejar lebih lanjut.
Permainan ilmu pedang Bu-bing sedemikian sampurna, Lwekangnya pun tinggi setingkat di atas
kemampuannya, cuma berjaga membela diri saja ia sudah kepayahan, mana ia berani maju
mengejar.
Setelah mundur sampai jarak yang tertentu Bu-bing berhenti dan mengawasi Ham Gwat
dengan rasa kebencian yang meluap-luap, hawa membunuhnya sudah menghantui sanubarinya,
sorot matanya berubah beringas buas seperti mata serigala kelaparan. Dia sudah berkeputusan
untuk menggunakan ilmu pedang Lian-hoan-sam-sek yang menjadi permainan pedang rahasia
pribadinya, besar tekadnya melenyapkan jiwa Ham Gwat seketika itu juga.
Pedang panjang sudah terangkat pelan-pelan, sekonyong-konyong tergerak hatinya, dengan
menuruti kemauan hati melulu ia merasa betapa goblok dirinya ini, bukankah masih ada musuh
besar yang paling tangguh macam Hun Thian-hi belum lagi sempat kulenyapkan. Bukankah Ham
Gwat merupakan bahan sandera yang paling bermanfaat? Kenapa aku tidak meringkus Ham Gwat
untuk kujadikan kaki tangan dan alat melawan musuh. Dengan berbagai akal akhirnya berhasil
menawan ayah bunda Ham Gwat kesini, dan sekarang tibalah saatnya mereka dimanfaatkan….
Karena pikirannya ini. Bu-bing mengurungkan niatnya, pedang ditarik kembali, tiba-tiba ujung
mulutnya mengulum senyum licik, tanpa bersuara tiba-tiba ia membalik dan lari ke dalam Jianhud-
tong.
Heran dan tak habis mengerti Ham Gwat dibuatnya. Tadi ia lihat Bu-bing sudah
mengkonsentrasikan diri untuk melancarkan Lian-hoan-sam-sek dengan setaker tenaganya,
pertarungan yang bisa bikin dirinya kalah dan konyol daripada menang ternyata batal dan terhenti.
Keruan bukan kepalang rasa lega dan syukurnya. Pelan-pelan iapun simpan kembali pedangnya,
pandangannya menjadi kosong mengawasi mulut gua di mana tadi Bu-bing menghilang, hatinya
tengah menerawang tindakan Bu-bing untuk selanjutnya.
Sudah lentu segala sepak terjang dan tindak tanduk Bu-bing tidak lepas dari pengawasannya
karena sekian tahun ia hidup berduaan dengan Bu-bing, maka watak dan perangai orang sedikit
banyak sudah diselami olehnya. Setelah menyadari tindakan apa yang akan dilakukan oleh Bu-bing
Loni, ia jadi termenung dan menekan perasaannya, terpikir olehnya, “apa yang harus kulakukan
sekarang? Masuk ke Jian-hud-tong? Apa yang bakal terjadi di dalam nanti sebelumnya sudah
dapat ia bayangkan, sampai ia. menjadi ragu-ragu terhadap diri sendiri apakah aku punya
keberanian itu? Tapi bisakah aku tidak usah masuk?’
“Marilah kita masuk!” dari samping Sutouw Ci-ko mengajak.
Setelah direnungkan akhirnya Ham Gwat berkepastian, ia manggut-manggut, dengan kalem
mereka melangkah masuk ke dalam Jian-hud-tong.

Tak berapa jauh mereka masuk, tahu-tahu mereka dihadapi sebuah jalan bercabang, mereka
jadi bingung jalan mana harus mereka tempuh. Disaat Ham Gwat berdua sangsi itulah mendadak
Ham Gwat memutar tubuh dengan sebat. sesosok bayangan tahu-tahu sudah mengindap dekat di
belakang mereka, begitu Ham Gwat bergerak orang itu lantas menubruk dengan kecepatan kilat
seraya menghantamkan kedua telapak tangannya.
Ham Gwat mendengus berat, serta merta pedang panjangnya berkelebat menyontek miring
terus ditegakkan ke atas menusuk dada lawan. Nyata gerak gerik sipembokong ini sebat luar
biasa. ditengah jalan mendadak ia jumpalitan mencelat mundur, disaat yang sama berbareng
bayangan hitam yang lain sudah menyergap datang pula dari sebelah samping.
Dikala mendesak mundur penyergap pertama tadi sekilas pandang Ham Gwat sudah dapat
melihat orang itu adadah Bing-tiong-mo-tho Sukong Ko, hatinya bercekat, dalam hati ia membatin
bukankah dia sudah berjanji kepada Thian-hi untuk menyembunyikan diri tidak terjun kedunia
Kangouw pula? Kenapa sekarang kembali ke Jian-hud-tong?
Waktu ia membalik tubuh dan menangkis sergapan musuh kedua dari samping lagi-lagi
bertambah besar kejutnya, mereka adalah gembong-gembong iblis yang pernah berjanji pada
Thian-hi untuk mengasingkan diri.
Bing-tiong-mo-tho dan kawan2nya merupakan tokoh-tokoh tingkat tinggi, begitu terdesak
mundur tangkas sekali mereka sudah merangsak maju pula. Terpaksa Ham Gwat tidak pandang
bulu, sambil menghardik nyaring sebelah tangan kiri menarik Sutouw Ci-ko berbareng pedang
ditangan kanan berkelebat laksana lembayung memancarkan cahaya merah dadu, dengan sejurus
Wi-thian-tong-te (menjungkir langjt menggetar bumi), ia lancarkan serangan pedang yang dahsyat
untuk membela diri. sekaligus ia berhasil mendesak kedua musuhnya mundur pula, selintas
kesempatan mereka berhasil membelakangi dinding, dengan cermat mereka siap menghadapi
situasi di depan mata.
Bing-tiong-mo-tho membawa dua kawan, mereka mengepung dan merangsak dari tiga jurusan,
sementara itu mereka tengah berhenti menghimpun tenaga dan mengatur napas untuk
melancarkan serangan gelombang kedua.
Saking uring-uringan cepat Ham Gwat menghardik, “Tahan! Bukankah kalian dulu pernah
berjanji tidak akan terjun kedunia persilatan lagi?”
Tapi ketiga orang itu tidak hiraukan segala ocehan Ham Gwat, pelan-pelan mereka sudah
angkat tangan, berbareng melancarkan gempuran ke arah Ham Gwat dan Sutouw Ci-ko.
Mencelos hati Ham Gwat, tak sempat banyak pikir, gelombang dahsyat laksana gugur gunung
dari gempuran gabungan ketiga musuh sudah melandai tiba, menghadapi rangsakan tenaga
raksasa ini Ham Gwat tidak berani menyambut secara keras, sambil menggeret Sutouw Ci-ko,
laksana seenteng asap terbawa angin. tahu-tahu mereka melayang menyingkir sebelum gempuran
dahsyat musuh tiba, begitu badan melejit terbang mereka mencari tempat berpijak di dalam
lorong gua sebelah lain.
Gerak-gerik ketiga musuh juga tak kalah gesitnya, serempak mereka memutar dan memburu
maju, enam pasang mata mendelik ke arah Ham Gwat berdua.
Begitu melihat sinar mata ketiga orang ini baru bercekat hati Ham Gwat, sorot mata mereka
guram dan kaku seperti orang mati, lapat-lapat sanubarinya menyadari sesuatu keganjilan yang
sudah menjadi kenyataan, tak heran mereka tidak mau hiraukan seruannya, kiranya mereka sudah
sama dikerjain oleh Tok-sim-sin-mo.

Sementara itu ketiga musuh sudan menghampiri dekat, pikiran Ham Gwat bekerja cepat, kedua
matanya yang jeli dan tajam menerawang keadaan sekelilingnya. sambil menarik Sutouw Ci-ko ia
berkata, “Cici! Mari cari tempat lain untuk memghadapi mereka.” — sembari bersuara badan
mereka pun sudah melambung tinggi melesat masuk ke dalam sebuah mulut gua disebelah atas
dipojok Sana.
Cepat Sutouw Ci-ko ditarik ke belakangnya, dengan sebilah pedang ia rintangi ketiga musuh
yang mengejar datang. Di tempat yang sangat sempit ini Bing-tiong-mo-tho bertiga menjaj mati
kutu, apalagi mulut gua itu cukup tiba untuk lewat satu orang saja, tak mungkin mereka bisa
merangsak bersama pula.
Meskipun Bing-tiong-mo-tho bertiga sama tokoh-tokoh kosen, tapi kepandaian Ham Gwat
rasanya tidak lebih asor dari mereka, apalagi dengan bersenjatakan pedang, dalam sekejap saja ia
mampu mentaburkan batang pedangnya laksana kitiran membentuk gugusan sinar pedang
laksana gunung kokohnya, maka dengan tenang dan mantap tanpa takut sedikitpun selalu ia
berhasil menghalau setiap gempuran mereka bertiga.
Sekejap saja saking cepat pertarungan mereka, seratus jurus sudah berlalu. Ham Gwat lantas
berkata kepada Sutouw Ci-ko, “Cici! Kau mundur dulu, segera kususul kau!”
Sutouw Ci-ko insaf kehadirannya di tempat itu menjadi penghalang dan mengganggu
konsentrasi permainan Ham Gwat melulu, cepat ia manggut mengiakan terus mundur ke
belakang.
Setelan berjaga sekian lamanya dan dirasa temponya sudah mencukupi, pedangnya mendadak
menggelegak getar, hawa pedang lantas luber kesekelilingnya, sekaligus ia gempur ketiga
musuhnya tersurut mundur berulang-ulang, mendapat kesempatan ini gesit sekali ia memutar
tubuh dan berlari ke sebelah dalam.
Sudah tentu Bing,tiong-mo-tho bertiga tidak rela melepaskan Ham Gwat berdua. mereka
mengejar dengan ketat. Sekian saat Ham Gwat berlari-lari akhirnya ia tiba dimulut gua sebelah
sana, tapi seketika ia tersentak menjublek ditempatnya. Kiranya Bu-bing Loni sudah menunggu
disebelah depan sambil menyeringai iblis. Sutouw Ci-ko meringkuk dibawan kakinya.
Tanpa dipikir Ham Gwat lantas maklum apa yang telah terjadi, sudah tentu parasnya berubah
merah padam, dengan sengit segera ia labrak dengan seluruh tenaganya, pedangnya
memancarkan kuntum sinar pedang yang berkelompok2 sama menggempur ke arah Bu-bing.
Bu-bing kelihatan beringas, ujung kaki kanannya tiba-tiba diangkat serta mengancam dijalan
darah kematian dikepala Sutouw Ci-ko, serunya dengan gusar, “Jangan bergerak!” — lalu ia
tertawa dingin beberapa kali. Relung hati Ham Gwat laksana kena dipukui godam, kalau ia turun
tangan paling banyak cuma berhasil mendesak mundur Bu-bing, tapi jiwa Sutouw Ci-ko bakal
melayang dengan mengenaskan di bawah injakan kakinya….
Serta merta ia menghentikan gerak tubuhnya, serta mundur dua langkah, pedang semampai
turun dengan lemas, dengan putus asa. ia menghela napas. Dalam pada itu Bing-tiong-mo-tho
bertiga sudah mengejar tiba pula dibelakangnya, serentak mereka menghentikan kaki karena
bentakan Bu-bing Loni.
Tanpa berpaling Ham Gwat sudah tahu bahwa tiga pengejarnya sudah menyandak tiba. dalam
keadaan ke depan tiada jalan dan belakang ada pengejar datang, Ham Gwat menjadi tenang
malah. Otaknya diperas untuk mencari jalan meloloskan diri, ia sudah dapat meraba perbuatan
Bu-bing ini pasti ada latar belakang yang tertentu. tujuannya bukan hendak membunuh dirinya.

Sambil tersenyum sinis Bu-bing Loni berkata, “Sekarang apa pula yang dapat aku katakan?”
Dalam waktu dekat Ham Gwat menjadi serba sulit. di belakang ada tiga musuh tangguh,
tempatnya pun sempit. di depan ia cuma menghadapi Bu-bing yang tidak membekal senjata untuk
menerjang keluar mungkin bisa berhasil cuma Sutouw Ci-ko yang meringkuk di bawah Bu-bing
itulah yang menjadi kekuatirannya.
Tujuan Bu-bing hendak memperalat Ham Gwat. sudah tentu ia tidak menghendaki orang
mampus saat ini juga. jikalau mau dengan sergapan dari dua jurusan, tambah seorang Ham Gwat
lagipun jangan harap dapat lari keluar. Cuma ia sudah mengenal karakter Ham Gwat, orang tidak
akan begitu mudah dikekang, bukan mustahil dalam keadaan yang kepepet ia terima bunuh diri
saja.
“Ham Gwat!” Bu-bing menyeringai pula, “Sekarang masih dapat kuampuni jiwamu, dimana Hun
Thian-hi sekarang?”
Mendengar ucapan Bu-bing Loni, tekanan perasaan Ham Gwat menjadi kendor, asal Hun Thianhi
keburu datang situasi bakal berubah dengan cepat. Akal yang menguntungkan satu-satunya
bagi dirinya yaitu mengulur waktu, setelah melihat tulisan yang ditinggalkan di atas pohon sekejap
saja Hun Thian-hi pasti dapat menyusul tiba.
Tapi dilahirnya sengaja ia mengunjuk rasa keheranan, tanyanya kepada Bu-bing, “Kau dapat
mengampuni aku?”
Kini ganti Bu-bing merasa diluar dugaan, ia tahu perangai Ham Gwat maka bukan kepalang
herannya setelah mendengar pertanyaan Ham Gwat ini. Kalau menurut biasanya, tentu dengan
sikap dingin dan menantang ia balas mengejek dirinya.
Sambil mendengus ia berpikir, “Mungkin setelah bertemu dengan sanak kadangnya,
perangainya sudah berubah. Masa ada manusia yang benar-benar tidak takut menghadapi
kematian?” demikian pikir Bu-bing, maka cemoohnya. “Jadi kau sudah takut mati?”
Pertanyaan Bu-bing ini justru menepati tujuan Ham Gwat. ia jadi berkesempatan melantur lebih
jauh, “Apakah begitu anggapanmu?” — ia pun balas menyeringai.
“Ya, orang yang ikut bersama aku tiada yang takut mati, namun sekali dia berpisah dengan
aku,
selalu kalian akan dikejar2 rasa ketakutan itu.” demjkian jengeknya.
Memang siapa saja yang pernah hidup bersama Bu-bing apalagi sejak kecil ia sudah biasa
melihat adegan2 seram yang lebih menakutkan dari kematian, dalam ini Ham Gwat memaklumi
kata-katanya, karena dia sendiri pernah menyaksikan betapa kejam Bu-bing menyiksa korbannya,
tidak begitu gampang mereka mencari kematian.
Terbayang senyum manis diparas Ham Gwat, katanya tawar. “Orang yang hidup bersamamu
tidak akan merasa bahwa hidup di dunia banyak kejadian yang bisa meninggalkan kesan
mendalam dalam sanubarinya, lain pula bagi mereka yang hidup bebas, justru mereka terbenam
dalam kenangan indah yang selalu akan menghayati lubuk hati mereka.”
“Jadi menurut katamu, kau ini merasa berkesan dan berat pula bagi kehidupan manusia di
dunia fana ini? Tapi kau harus ingat bahwa aku mampu membuatmu melenyapkan segala
kenangan dan kesan yang mendalam itu.”

Berubah air muka Ham Gwat, entah tindakan apa yang akan dilakukan Bu-bing atas dirinya. Bubing
terkenal berhati culas dan kejam, perbuatan2 kejinya itu sudah menjadi kebiasaan bagi
tontonan.
Dasar cerdik Ham Gwat tidak mau kalah adu mulut, ejeknya, “Aku kuatir justru kau sendirilah
yang tidak akan sempat lagi mengenang masa silammu. Ketahuilah Wi-thian-cit-ciat-sek latihan
Hun Thian-hi sudah sempurna. dan kau tidak akan lama tinggal hidup dalam dunia ini.”
“Betulkah begitu? Tadi sudah kutanyakan jejaknya bukan? Dimana dia sekarang?”
“Dimana masa kau belum tahu? Sejak tadi dia sudah masuk! Tuh dibelakangmu!”
Tanpa sadar Bu-bing melengak dibuatnya, mengandal kepandiaian Thian-hi sekarang
kemungkinan dia sudah berada dibelakangnya tanpa diketahui, seketika dingin perasaan hatinya.
Tanpa bersuara Ham Gwat gunakan kesempatan yang balk ini, mendadak laksana anak panah
melesat ia berkelebat ke arah samping Bu-bing Loni.
Dikala Bu-bing sadar telah kena tipu, ia menghardik dengan amarah yang berapi-api, kedua
telapak tangannya menepuk melintang menempiling kepala dan membabat kepinggang. Ham
Gwat juga menggembor keras, pedang panjangnya tergetar mendengung ujung pedangnya
menusuk telak kedua biji mata Bu-bing Loni. Apa boleh buat terpaksa Bu-bing urungkan serangan
tangannya, ia membela diri lebih dulu untuk menyelamatkan kedua matanya, sementara tubuh
Ham Gwat sudah berkelebat pergi menyingkir jauh.
Tapi baru saja kakinya menginjak tanah. Bu-bing sudah membentak keras, “Ham Gwat, apakah
kau tidak hiraukan ayah bundamu lagi?”
Ham Gwat jadi tertegun. niatnya hendak menyingkir dulu baru mencari daya menolong Sutouw
Ci-ko. Namun ayah bundanya memang berada dicengkeraman musuh, mendengar ancaman itu
mau tidak mau ia harus berhenti dan lekas berpaling. Tampak Ong Ging-sia dan Kiang Tiong-bing
sedang berdiri disebelah sana, mereka sama mengawasi dirinya.
Tiba-tiba tergerak hati Ham Gwat, ia insaf bila ia tetap tinggal disitu keadaannya pasti semakun
runyam, cepat ia bergerak hendak tinggal pergi pula. Tak duga tiba-tiba didengarnya suara Ong
Ging-sia membentak, “Gwat-ji, Jangan pergi!”
Lagi-lagi Ham Gwat tertegun, karena kesangsiannya ini, sementara itu Bu-bing sudah
berkesempatan mencegat jalan larinya pula, sedang Bing-tiong-mo-tho bertiga pun sudah
mengepung dirinya juga.
Sekilas Ham Gwat melirik ke arah ayah bundanya. ia tahu bahwa mereka tentu sudah dicekoki
obat beracun dan mendengar perintah Bu-bing, maka ia menyurut mundur terus, akhirnya
membelakangi dinding, keempat musuhnya pun mendesak maju dari berbagai penjuru.
Sekonyong-konyong ia merasa seluruh tenaganya seperti terkuras habis, tak tertahan lagi air mata
mengalir keluar.
Kata Bu-bing dengan sikap dingin, “Ajah bundamu berada disini, akan kulihat bagaimana kau
bersikap!”
Ong Ging-sia maju beberapa langkah, ujarnya, “Mana boleh kau begitu kasar terhadap bibimu,
semakin besar kau menjadi tidak genah, kenapa kau tidak mau dengar nasehatnya.”
Didapati oleh Ham Gawt sinar mata Ong Ging-sia dan Kiang Tiong-bing sama pudar tak
bercahaya, mimik wajahnya pun kaku tanpa ada perubahan apa-apa.

Mata Bu-bing menyorotkan perasaan senang dan seperti puas akan kemenangan, tapi merasa
dengki pula akan hubungan cinta kasih dan kasih sayang Ong Ging-sia terhadap Ham Gwat,
tampak matanya mendelik dan alis terangkat. Ong Ging-sia segera maju sambil mengulurkan
sebuah bungkusan kepada Ham Gwat, katanya, “Telanlah sebungkus obat ini!”
Tanpa disadari Ham Gwat menyamputi bungkus obat itu dan lantas hendak ditelannya.
Mendadak terlintas diujung matanya sorot mata Bu-bing yang memancarkan cahaya terang,
seketika ia menjadi sadar, batinnya, “Mana boleh aku menelan obat macam ini, kalau aku menelan
obat ini bagaimana nanti kalau Hun Thian-hi juga datang? — Tatkala itu mereka pasti memperalat
diriku untuk menekan atau memancing Hun Thian-hi, atau mungkin pula sebelum Hun Thian-hi
bersua dengan Bu-bing sudah keburu mampus ditangan mereka.” Karena terpikir sampai disitu
segera ia angkat kepala, dengan tajam ia menyapu pandang kesekelilingnya.
Melihat sikap kesangsian Ham Gwat ini, cepat Bu-bing mendesaknya, “Perintah ibumu berani
juga kau bangkang?”
Begitu meneliti keadaan sekelilingnya, Ham Gwat sudah menyadari keadaannya yang serba
terjepit ini, mana ia mau menelan obat itu, mendadak ia ayun tangan kiri menghamburkan obat
Kiu-li-san itu ke arah Bu-bing.
Mimpi juga Bu-bing tidak menyangka Ham Gwat berani berlaku senekad itu, sebat sekali ia
melejit menyingkir sembari membentak gusar, “Ham Gwat! Jangan kau salahkan aku bertindak
tidak sungkan-sungkan lagi terhadap kau!”
Dengan tenang Ham Gwat berdiri ditempatnya tanpa bersuara.
Sambil menggeram Bu-bing mengeluarkan sebungkus obat lagi diangsurkan kepada Ham Gwat,
katanya, “Kau kan paham, jiwa beberapa orang ini tergenggam ditanganku, kalau kau tidak
menelan obat ini…. Hm! Apa akibatnya kukira kau tentu paham.”
“Jadi kau memang sengaja mau menekan dan mengancam aku?”
“Benar-benar! Memang aku mengancam kau, berani kau tidak dengar perintahku.”
“Tujuanmu setelah aku menelan obat itu untuk menghadapi Hun Thian-hi bukan?”
“Begitulah, sekarang tergantung kau mau menelan tidak. Jangan kau lupa, jiwa ayah bundamu
tergenggam ditanganku.” — sambil menyeringai penuh arti ia angsurkan pula bungkus obat itu.
Bertaut alis Ham Gwat. Menghadapi persoalan antara mati dan hidup, maka ia harus cepat
ambil keputusan, karena kalau dia menolak jiwa Ong Ging-sia dan Kiang Tiong-bing bakal tamat.
Sebaliknya kalau dia menelan obat itu belum tentu Hun Thian-hi bisa terjebak dan melayang
jiwanya, pikir punya pikir akhirnya ia memilih yang ringan dari pada akibat yang berat, pelan-pelan
akhirnya ia angsurkan tangan menyambuti Kiu-li-san itu.
Bu-bing menyeringai lebar penuh kemenangan, bagaimana juga toh akhirnya Ham Gwat tunduk
pada dirinya.
Tepat pada saat itulah dinding sebelah kiri mendadak mengeluarkan suara gemuruh dan
terbukalah sebuah pintu besar, sesosok bayangan manusia sambil membawa suitan panjang
melayang keluar, selarik cahaya merah terbang menyerang ke arah Bu-bing Loni.

Kejut Bu-bing seperti disengat kala, tanpa sempat mengendalikan yang lain, sebat sekali ia
berusaha berkelebat menyingkir. Kedatangan Hun Thian-hi ini membawa kesiur angin berbau
harum wangi yang cepat sekali memenuhi seluruh ruang gua itu.
Begitu melihat Hun Thian-hi benar-benar keburu tiba, saking girang dan diluar dugaan Ham
Gwat sampai berjingkrak kegirangan dan berteriak, “Thian-hi!” ia berteriak secara reflek diluar
kesadarannya, saking senang air mata sampai meleleh keluar.
Begitu Hun Thian-hi menginjak tanah, Bu-bing lantas menyeringai dingin, kedatangan Thian-hi
ini bukankah masuk perangkap sendiri? Cepat tangan kanannya melolos pedang sementara
matanya menoleh ke arah Bing-tiong-mo-tho maksudnya hendak memberi aba-aba, tapi seketika
itu berubah air mukanya, terlihat olehnya Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain kelihatannya sudah
sadar dan sedang termangu keheranan ditempatnya.
Cepat Hun Thian-hi berkata kepada Ham Gwat, “Cepat kau antar dulu paman dan bibi keluar
gua. Mereka baru saja siuman tentu masih letih dan lemas.”
Bertambah girang hati Ham Gwat, sungguh tidak terkirakan olehnya, begitu Thian-hi muncul
sekaligus telah memunahkan obat beracun yang menyesatkan pikiran mereka, segera ia
mengiakan.
Sementara itu Ong Ging-sia dan Kiang Tiong-bing memang sudah siuman, begitu melihat Ham
Gwat, berbareng mereka berseru, “Nak….!”
Ham Gwat menubruk maju, bertiga mereka saling berpelukan.
Dalam pada itu Bing-tiong-mo-tho bertiga juga tengah termangu, agaknya mereka sedang
berpikir cara bagaimana mereka bisa berada di tempat itu.
Sudah tentu Bu-bing berjingkrak gusar, mendadak ia membanting kaki, secepat kilat badannya
melejit terbang menuju ke arah Sutouw Ci-ko yang meringkuk di tanah.
Hun Thian-hi menggertak panjang, semula ia tidak perhatikan Sutouw Ci-ko, saking gugup
sekali raup ia lantas timpukan serulingnya, berbareng ia tutul kakinya melejit ke arah Sutouw Ci-ko
pula. Serulingnya bersuit nyaring terbang mengarah punggung Bu-bing. Terpaksa Bu-bing harus
menyelamatkan diri lebih dulu dengan memiringkan tubuh dan menggeser ke kiri sembari
menyampokkan pedangnya ke belakang memukul jatuh seruling itu.
Tapi karena sedikit ayal ini Hun Thian-hi sudah keburu hinggap disamping Sutouw Ci-ko,
sekaligus ia mengulur tangan membebaskan tutukan jalan darah Sutouw Ci-ko terus ditariknya
mundur ke arah Ham Gwat beramai.
Dengan pandangan beringas yang meluap-luap gusarnya Bu-bing mendelik ke arah mereka.
Tanpa membuang waktu lagi. tiba-tiba ia melompat maju pedang diputar sekaligus ia lancarkan
tiga gelombang serangan pedang kepada Hun Thian-hi.
Thian-hi tidak berani gegabah, ia insaf Lwekang sendiri setingkat lebih rendah dibanding lawan,
betapa pun ia harus melawan sekuat tenaga. Tanpa ayal ia pun gerakkan pedangnya dengan
permainan Gin-ho-sam-sek setabir cahaya merah bergulung-gulung melingkupi seluruh tubuhnya,
ia pusatkan seluruh perhatian dan semangat menghadapi musuh tangguh ini.
Bu-bing Loni terkial-kial panjang, dimana pedangnya diputar laksana naga terbang selulup
timbul mempermainkan bola ditengah mega, seiring dengan berkelebatnya badan, yang selalu
naik turun itu. ia gempur Hun Thian-hi dari berbagai penjuru.

“Lekas mundur!” teriak Hun Thian-hi. Ia menyadari keadaan yang gawat ini maka ia balas
melancarkan tiga serangan pedang yang dilandasi kekuatan tenaga dalamnya.
Ham Gwat juga menyadari situasi yang krisis ini, dengan penuh perhatian segera ia berteriak,
“Thian-hi kau sendiripun harus hati-hati!” lalu bersama Sutouw Ci-ko mereka melindungi Ong
Ging-sia berdua mundur keluar gua.
Begitu mendengar seruan yang penuh rasa kasih sayang dan prihatin itu, hangat dan sjur hati
Thian-hi, seketika terbangkit berlipat ganda semangat dan tenaganya, dimana pedangnya
berkelebat cahaya yang terpancar dari batang pedang semakin menyala, Bu-bing menjadi
kewalahan juga menghadapi tekadnya yang besar ini.
Kini gelanggang adu kepandaian tinggal Bu-bing dan Thian-hi berdua, betapapun Bu-bing tidak
akan melepas Hun Thian-hi lagi, ia sudah berkeputusan melancarkan Lian-hoan-sam-sek, ilmu
pedang yang dibanggakan dan paling diandalkan.
Tiba-tiba bayangan mereka terpental mundur berpencar…. Saat itu juga tiba-tiba dari sebelah
kiri yang dekat sekali berkumandang suara gelak tawa yang memekak kuping, di lain saat Pek Sikiat
sudah meluncur tiba di gelanggang pertempuran.
Keruan Bulbing kaget bukan main, pihak lawan kedatangan bala bantuan, sedang Tok-sim-sinmo
dan kaki tangannya berada di gua belakang menyelidiki keadaan istana sesat, dengan seorang
diri meski ia tidak takut tapi untuk mengalahkan kedua tokoh tangguh ini terang tidak mungkin,
maka tak berguna ia tinggal terlalu lama di tempat itu, Cepat ia putar tubuh terus lari sipat kuping
ke dalam sana.
Sementara itu Pek Si-kiat sudah meluncur tiba disamping Thian-hi, cepat ia berseru, “Lekas
kejar, dalam jarak sepemanahan kita harus menyandaknya.”
Semula Thian-hi tiada niat mengejar, tapi mendengar seruan Pek Si-kiat ini ia menjadi
berkeputusan untuk menyelesaikan persoalan ini secepat mungkin. Laksana luncuran meteor di
bawah petunjuk Pek Si-kiat mereka mengejar melalui jalan-jalan lain yang lebih pendek, setelah
berputar dan keluar masuk beberapa tikungan di dalam lorong gelap benar-benar juga Bu-bing
terlihat tidak jauh disebelah depan.
“Berhenti!” Hun Thian-hi membentak terus melompat tinggi menubruk disebelah belakang
seraya tabaskan pedangnya. Tiba-tiba Bu-bing pun berhenti seraya membalik dan menusukan
pedangnya juga, cukup sejurus serangan balasan ia patahkan serangan lawan dan desak mundur
Hun Thian-hi, jengeknya, “Kau kira aku takut terhadap kalian….”
Tanpa banyak bacot Thian-hi menerjang maju pula dengan sejurus Hun-liong-pian-yu, Bu-bing
mandah tersenyum ejek, pedangnya melintang kesamping terus memutar balik beruntun ia balas
menyerang dengan tiga tabasan berantai, ketiga serangan pedang ini sama mengarah tempat
mematikan ditubuh Thian-hi. Thian-hi didesak untuk menyelamatkan diri lebih dulu.
Dalam pada itu Pek Si-kiat juga sudah menerjang tiba, sambil menggembor seperti auman
singa kedua kepelannya menggenjot bergantian, dengan sepuluh bagian tenaganya ia lancarkan
pukulan Pek-kut-sin-ciang.
Bu-bing mandah menyeringai seram, pedangnya dipuntir dan disampokkan kesamping,
sekaligus dengan gerakan sambungan ia berhasil memunahkan rangsakan gelombang pukulan Pek
Si-kiat.

Di saat Pek Si-kiat kesima keheranan itulah, Bu-bing sudah menyambung gerakan pedangnya,
Beruntun ia lancarkan Lian-hoan-sam-sek, tampak bibirnya menjebir bersuit panjang menambah
perbawa gerakan pedangnya, dimana badannya terapung selarik sinar pedang laksana sabuk putih
yang panjang sambung-menyambung berputar-putar mengandung tenaga dahsyat yang bisa
menggempur hancur gunung menerjang ke arah Thian-hi berdua.
Terkesiap darah Thian-hi, ia tak sempat melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek, sebisa gerakan
tangan Cu-hong-kiam ditangan kanan menggunakan jurus Gin-ho-sam-sek jurus kedua dan ketiga
yang punya daya pertahanan kuat dan rapat itu berkembang luas melingkupi seluruh ruang gua
itu.
Larikan cahaya putih laksana bianglala yang menyolok mata sementara itu sudah menukik
turun langsung menembus ke dalam hawa pedang yang bercahaya merah itu. Dimana ketajaman
pedang yang kemilau itu menyelonong maju, hawa pedang Cu-hong-kiam kena terpecah kedua
arah dan akhirnya tak kuasa lagi bertahan.
Hun Thian-hi sudah mengerahkan seluruh tenaganya, tapi toh tak kuasa melawan serangan
dahsyat musuh. Begitu cahaya kemilau membacok turun ujung pedang Bu-bing Loni sudah tiba di
atas kepalanya. Disaat ia pejamkan matanya menunggu ajal tiba-tiba Pek Si-kiat menggembor
keras, dengan Pek-kut-sin-kang ia menghantam sekuatnya ke arah lambung musuh.
Pukulan ini merupakan serangan yang mematikan, terpaksa Bu-bing harus berkelit dan tenaga
pukulan itu menjadi mengenai batang pedangnya, oleh benturan tenaga dahsyat ini pedangnya
kena tersampuk miring kesamping. Keruan bukan kepalang senang Thian-hi, pedang panjangnya
terayun naik menangkis rangsakan pedang Bu-bing yang hampir saja menembus kepundaknya.
Begitu saling bentur, lelatu api cuma meletik sedikit, ini membuktikan bahwa dua belah pihak
sudah sama kehabisan tenaga, mereka tidak kuasa lagi menggunakan keampuhan Lwekang
masing-masing untuk adu kekuatan.
Dilain saat tiga pihak sama mencelat mundur pula. Jidat Hun Thian-hi sudah berkeringat,
keadaannya sudah sangat payah. Demikian juga Bu-bing merasa dada mual cuma ia pura-pura
menenangkan hati. Keadaan Pek Si-kiat jauh lebih mending. Tapi masih berdiri mematung tak
berani bergerak.
Setengah jam kemudian, tenaga masing-masing sudah dihimpun pulih sebagian besar, Thian-hi
berkeputusan menggunakan Wi-thian-cit-ciat-sek untuk menempur Bu-bing. Bu-bing Loni juga
menginsyafi bila Wi-thian-cit-ciat-sek Thian-hi sudah dilatih sempurna belum tentu ia bisa
mengambil kemenangan, apalagi dipihak lawan masih ada Pek Si-kiat seorang, te-paksa ia
menantang, “Hun Thian-hi! Berani kau bertempur satu lawan satu menentukan kemenangan.”
Mendengar tantangan Bu-bing Loni, Thian-hi menghentikan gaya permulaan dari permainan
pedangnya yang sudah dipersiapkan hendak dilancarkan.
Sebaliknya Pek Si-kiat yang cukup berpengalaman terpaksa tertawa gelak-gelak, cemoohnya,
“Sekarang pihak kami dua melawan kau seorang. Sebaliknya berapa banyak pihakmu tadi kau
mengeroyok Ham Gwat seorang?”
“Ham Gwat maksudmu?” seringai Bu-bing, “Aku sendiri sudah lebih dari cukup untuk
membekuknya, buat apa harus orang lain, mereka cuma merintangi dia melarikan diri saja….”
“Kau mengancam dan menekan dia menelan obat beracun, apakah ini yang dikuatirkan dia
melarikan diri?” demikian jengek Hun Thian-hi.

Mendelik mata Bu-bing, serunya, “Kalian maju bersama pun aku tidak gentar, hayo kenapa
bermuka2 saja. silakan turun tangan.”
Hun Thian-hl menjadi sengit, ucapan Bu-bing telah membakar sifat congkaknya, segera ia
berpaling katanya kepada Pek Si-kiat, “Paman Pek! Kau jaga disamping biar kutempur Bu-bing
seorang diri”
“Jangan!” dengan tegas Pek Si-kiat menggeleng kepala, ia tahu bahwa satu lawan satu Hun
Thian-hi masih belum tandingan Bu-bing Loni, “Sekarang belum bisa! Kau harus waspada akan
tipunya mengulur waktu menanti bala bantuan. Bagaimana kalau Tok-sim-sin-mo keburu tiba?”
Bu-bing terkekeh-kekeh panjang sembari menabaskan pedangnya memutus pembicaraan
mereka. sekali turun tangan pedangnya bergerak terpencar kedua jurusan sekaligus dalam
segebrak ia menyerang kedua jurusan, seketika mereka berkutet lagi, serang menyerang dengan
sengit dan gegap gempita.
Sekejap saja seratus jurus telah berlalu, selama itu Bu-bing belum melihat Tok-sim-sin-mo
muncul, akhirnya ia tidak sabaran lagi, batang pedangnya menjungkit naik terus membabat miring
dari atas kebawah, Thian-hi berdua kena terdesak mundur, Bu-bing membalik tubuh terus lari pula
kegua sebelah belakang.
Sudah tentu Pek Si-kiat dan Hun Thian-hi juga maklum kemana jalan pikiran Bu-bing, kalau dua
belah pihak benar-benar bentrok, pihak sendiri dengan kekuatan dua orang ini saja tentu sulit
mengambil kemenangan. Tak berapa jauh, tiba-tiba Bu-bing berhenti dan menyeringai tawa
menunggu mereka dikala Hun Thian-hi berdua mengejar tiba ke sebelah dalam sana, tiba-tiba
berkelebat sesosok bayangan hitam dtsertai gelak tawanya yang nyaring. Tahu-tahu Tok-sim-sinmo
sudah muncul dihadapan mereka.
Keruan Thian-hi berdua terkejut, tapi soal ini sudah mereka duga sebelumnya, setelah tertegun
sebentar, segera menerjang maju tanpa gentar.
Tok-sim-sin-mo mengeluarkan sebatang pedang, berendeng sama Bu-bing dua bilah pedang
dari kiri kanan menyongsong rangsakan Thian-hi dan Pek Si-kiat. Kontan Thian-hi berdua terdesak
mundur setindak.
“Samte!” tiba-tiba Tok-sim-sin-mo menyeringai sadis, “Baik saja selama berpisah?”
Berubah air muka Pek Si-kiat, ia mandah menjengek dingin. Tiba-tiba Tok-sim-sin-mo meraih
ke belakang lalu melemparkan sebatang pedang kepada Pek Si-kiat, serunya, “Kau tidak hiraukan
hubungan persaudaraan kita dulu. tapi aku masih punya rasa kesetiaan akan persaudaraan dulu.
Hari ini meski pun kalian sendiri yang masuk perangkap, tapi sebelum ajal kuhadiahkan sebatang
pedang kepadamu, jangan nanti kau gunakan istilah “kesetiaan” itu untuk menista aku.”
Pek Si-kiat menyambuti pedang itu tanpa bersuara, ia menginsafi situasi sangat mendesak,
maka tanpa sungkan-sungkan ia terima pemberian pedang itu.
“Jangan harap kalian bisa lolos dari kematian.” demikian ejek Tok-sim-sin-mo, tangan diulapkan
enam laki-laki tua yang menenteng pedang segera melangkah keluar. Bukan saja Lam-bing-itthiong
ada diantara mereka, Bing-tiong-mo-tho pun ada bersama.
Sudah tentu kejadian yang tak terduga-duga ini membuat Pek Si-kiat dan Hun Thian-hi sama
kesirap, Bu-bing sendiri pun ikut terlongong, sungguh tak kira Tok-sim-sin-mo punya akal yang
sedemikian lihay dan licik.

Hun Thian-hi menjadi was-was, entah bagaimana keadaan Ham Gwat berempat.
“Kau merasa diluar dugaan bukan? Sebetulnya kan soal gampang saja, siang-siang sudah
kutunggu di sebelah depan, mereka bertiga baru saja sembuh berani angkat senjata melawan aku
memberi kesempatan empat yang lain kabur lebih dulu,” sampai disini ia memicingkan mata
sambil mengulum senyum sadis, lalu sambungnya, “Seluk belukmu aku jelas sekali, kau dapat
menolong mereka sekali tidak mungkin menolong yang kedua kalinya, benar-benar tidak? Hehehe,
obat pemunah itu sayang cuma ada satu bungkus!”
Ia tertawa terpingkal-pingkal, seolah-olah sangat bangga dan puas akan sepak terjangnya ini.
Bahwa segala tindak tanduk Hun Thian-hi tidak lepas dari pengawasannya, ini berarti ia sudah
setingkat menang diatasnya.
Tapi justru perasaan Hun Thian-hi menjadi longgar setelah mendengar penjelasannya ini,
bahwa Ham Gwat berempat tidak mengalami bahaya lagi, sekarang tinggal menunggu keenam
orang ini maju lebih dekat.
Tok-sim-sin-mo tidak memberi kesempatan bagi Thian-hi menimang-nimang, ia melirik
memberi aba-aba kepada Bu-bing Loni, bersama mereka gerakan pedang menyerbu. Lam-bing-ithiong
berenam serempak juga lancarkan serangan pedang, dari delapan panjuru angin, delapan
batang pedang sekaligus menuruk ke arah mereka.
Seketika Hun Thian-hi rasakan tekanan besar bagai gugur gunung melandai dari berbagai arah,
napas menjadi sesak, tapi mati-matian mereka mainkan pedangnya, kedua batang pedang mereka
bergerak mentaburkan jala sinar pedang yang silang menyilang sangat rapat membendung
serbuan kedelapan musuhnya.
Betapapun mereka bersuara, dengan kekuatan dua tenaga mana mampu melawan delapan
orang. Beruntun Thian-hi berdua sudah terdesak mundur enam langkah dengan sempoyongan.
Tok-sim-sin-mo bergelak menggila, tanyanya mengejek kepada Bu-bing Loni, “Suthay
menghendaki mereka segera mampus? Atau akan disiksa dulu biar mati lambat-lambat?”
“Kalau Ham Gwat dan lain-lain menyusul tiba, tentu keadaan sulit diselesaikan, lebih baik bunuh
saja mereka.” demikian sahut Bu-bing.
“Agaknya Suthay terlalu lemah hati,” demikian ujar Tok-sim-sin-mo sambil bergelak tawa pula,
sekali ayun serempak delapan pedang mulai bergerak pula. Sementara itu Hun Thian-hi berdua
sudah terdesak mundur berulang-ulang, terpaut tiga kaki lagi mereka sudah terdesak mepet
dinding.
Sejak tadi Hun Thian-hi sudah waspada menerawang situasi gelanggang, sebelum kedelapan
pedang musuh melancarkan gelombang serangan yang ketiga kali, mendadak ia bersuit nyaring,
seiring dengan itu tubuhnya melejit menerjang ke arah satu jurusan. Tepat pada saat itu pula
kedelapan pedang musuh, susul menyusul sudah merangsak tiba merintangi jalan larinya.
Hun Thian-hi menghardik laksana geledek, dengan dilandasi seluruh kekuatannya pedangnya
melancarkan jurus terakhir dari Gin-ho-sam-sek yang hebat penjagaannya itu, jurus ini memang
peranti untuk membela diri tapi juga berguna balas menyerang, ujung pedangnya sampai menyala
seperti besi terbakar balas menyerang ke arah musuh.
Untungnya gerakan kedelapan pedang musuh kurang serasi dan saling atas-mengatasi sendiri,
justru serangan balasan Hun Thian-hi tepat pada waktunya dan persis pula menyusup ke lobang
kelemahan mereka, ujung pedangnya sekaligus berhasil menyampok miring senjata musuh malah
ada yang sampai terpental terbang. Dengan kesempatan ini ia berhasil menjebol kepungan dan

melesat keluar. Di saat itu juga bau wangi segera berkembang luas di tengah udara. Keruan Toksim-
sin-mo dan Bu-bing Loni sama berjingkrak kaget. Cepat mereka lihat Bing-tiong-mo-tho dan
Lam-bing-it-hiong berenam sedang tongol2 goyang2 kepala mulai siuman dan mendeprok lemas
duduk di tanah.
Dikala Tok-sim-sin-mo dan Bu-bing sama melongo tertegun inilah, Hun Thian-hi dan Pek Si-kiat
sudah melabrak tiba pula lebih sengit dan gemas. Kontan kedua gembong jahat ini menjadi
gelagapan, ciut nyalinya, sekarang mereka yang balik terdesak mundur, tapi ini cuma sementara
waktu karena tadi belum bersiaga, setelah pikiran tenang kini mereka mampu balas menyerang
pula mengatasi situasi.
Dalam pada itu Lam-bing-it-hiong berenam sudah duduk samadi mengempos semangat
memulihkan tenaga. Keruan Hun Thian-hi berdua sangat girang, gabungan permainan pedang
mereka berkembang laksana layar perahu berkembang tertiup angin kencang, sedemikian rapat
mereka menjaga diri tanpa balas menyerang. Tok-sim-sin-mo dan Bu-bing menjadi kewalahan dan
tak mampu berbuat banyak menghadapi kedua musuhnya ini. Mereka insaf kalau terlalu lama bila
keenam orang itu sudah pulih tenaganya, tentu mereka bakal bantu pihak Hun Thian-hi melabrak
diri sendiri, betapapun tinggi ilmu silat mereka mana mampu melawan keroyokan delapan musuh.
Cuma tak habis heran Tok-sim-sin-mo bahwa Hun Thian-hi ternyata masih punya bungkusan
obat pemunah yang lain. Tahu bila dilanjutkan situasi tidak menguntungkan pihaknya akhirnya
Tok-sim-sin-mo berkeputusan, serunya, “Kalian jangan keburu senang, ketahuilah rahasia Badik
buntung itu sudah dapat kupecahkan, aku sudah berhasil menemukan peta yang berada di
kerangka Badik buntung itu!”
Tepat pada saat itu juga dilihatnya Lam-bing-it-hiong berenam sudah membuka mata dan
serempak berdiri sambil menenteng pedang.
Tok-sim-sin-mo bergelak menggila, serunya, “Sementara kami mohon diri, selamat bertemu di
dalam istena sesat!” — bersama Bu-bing, mereka lari ke dalam.
Terpaksa Pek Si-kiat dan Hun Thian-hi pimpin pengejaran. Pada saat itu pula Ham Gwat dan
lain-lain juga tengah mengejar tiba di belakang mereka.
Tok-sim-sin-mo dan Bu-bing Loni iangsung lari ke arah istana sesat. Teringat akan peringatan IIwe-
tok-kun, Hun Thian-hi menjadi gugup, bentaknya, “Jangan masuk kesana!”
Tapi dengan dipimpin Tok-sim-sin-mo diikuti Bu-bing Loni mereka terus menerjang masuk ke
dalam sebuah lorong panjang.
Begitu mendengar derap langkah Hun Thian-hi dibelakang, diam-diam bercekat hatinya,
“Bagaimana membebaskan diri dari kejaran Hun Thian-hi, Ni-hay-ki-tin terletak didasar istana
sesat ini, sekali2 jangan sampai Hun Thian-hi ikut sampai di tempat itu” — serta merta langkah
kakinya dipercepat melesat ke arah depan. Bu-bing mengintil tak jauh dibelakangnya.
Melihat orang menuju kejalan kematian, teriakannya tidak dihiraukan, Thian-hi menjadi
kehabisan akal. Kalau Tok-sim-sin-mo mempercepat langkah, sebaliknya ia harus memperhatikan
berapa kali tikungan kekanan atau kekiri, sehingga langkahhnya tidak bisa cepat, tak lama
kemudian bayangan kedua orang di depan sudah lenyap tak kelihatan.
Thian-hi menjadi gugup, baru saja ia mempercepat langkahnya, mendadak didengarnya suara
jeritan orang yang menusuk kuping, cepat ia melesat ke depan. Tampak disebelah depan sana
ditaburi kabut yang bergulung-gulung, Bu-bing Loni sedang berdiri terpaku ketakutan.

Sementara itu Tok-sim-sin-mo sudah menerjang ke dalam kabut itu. tampak pedangnya
terjatuh di tanah, kedua tangannya saling cengkeram dengan kencang, pelan-pelan badannya
mulai roboh terkapar, tak lama kemudian seluruh tubuhnya mencair menjadi genangan air kuning.
Terbelalak Hun Thian-hi menyaksikan adegan yang seram ini, hatinya mencelos. Ucapan I-lwetok-
kun. memang tidak salah, racun sedemikian jahatnya siapa yang pernah menyaksikan.
Tiba-tiba Bu-bing Loni membalik tubuh, serta dilihatnya Hun Thian-hi mengadang disana,
matanya memencarkan dendam dan gusar yang meluap-luap. Selama ini belum pernah Thian-hi
melihat mimik wajah Bu-bing sedemikian seram, tanpa sadar ia tergetar mundur.
Bu-bing melangkah setindak, pedangnya bergerak ia berkeputusan melancarkan Lian-hoansam-
sek menggempur Hun Thian-hi.
Dalam detik-detik antara mati dan hidup ini, entah darimana kekuatan Hun Thian-hi, mulutnya
menggembor keras, tubuhnya melambung ke tengah udara, Cu-hong-kiam bergetar melancarkan
Wi-thian-cit-ciat-sek, disaat batang pedangnya cuma bergeser beberapa senti itu, tenaga
bergelombang laksana damparan ombak dahsyat melandai ke depan dari tujuh arah sasaran yang
berbeda menyongsong rangsakan Lian-hoan-sam-sek Bu-bing Loni.
Dua macam ilmu pedang tingkat tinggi yang tiada taranya saling mengadu kekuatan, seketika
hawa pedang membuat udara bergolak, cahaya merah dan putih saling berkutat berkembang
menjadi jalur2 laksaan banyaknya. “Tring” maka terlihat Hun Thian-hi terpental mundur melayang
jatuh dengan enteng dan tenang. Sebaliknya, Bu-bing Loni terpental mundur sempoyongan ke
belakang dimana kabut jahat itu menanti kedatangannya.
Mimpi pun Hun Thian-hi tidak menyangka bahwa latihan Wi-thian-cit-ciat-seknya sekarang
sudah berada di atas tingkatan Lian-hoan-sam-sek, karena kegirangan sesaat dia tertegun
melongo, serta dilihatnya Bu-bing hampir roboh ke dalam kabut, kejutnya bukan kepalang, rasa
kemanusiaannya secara reflek menghendaki ia bertindak cepat.
Laksana kilat sembari menghardik ia melesat ke depan sambil meraih baju Bu-bing terus ditarik
balik mentah-mentah. Bu-bing angkat kepala dengan pandangan heran dan kejut ia awasi Hun
Thian-hi, tapi rasa heran dan kejut ini cuma sekilas saja, tiba-tiba pedang panjangnya menabas
miring menyapu pinggang Thian-hi….
Thian-hi tidak kira setelah jiwanya tertolong Bu-bing malah membalas budi dengan dendam.
tak sempat berkelit tahu-tahu bawah ketiak sebelah kanan sudah tergores panjang terluka oleh
pedang panjang Bu-bing.
Sambil menahan sakit ia menyurut mundur dua tindak, dengan pandangan kaget dan tak
mengerti ia awasi Bu-bing. Bu-bing jadi melongo, tabasan pedangnya gerakan secara reflek saja
karena ia menyangka Hun Thian-hi hendak menawan dirinya. Tapi dari sorot mata Hun Thian-hi ini
baru dia menyadari tindakkannya yang salah, tujuan Hun Thian-hi tak lain cuma hendak menolong
jiwanya.
Kematian Tok-sim-sin-mo yang mengerikan itu segera terbayang dalam benaknya, selama
hidup ini baru pertama ini timbul rasa penyesalan dalam sanubarinya.
Sekonyong-konyong seorang Nikoh pertengahan umur berjubah hijau mulus hinggap dihadapan
mereka.

Seketika Hun Thian-hi menjerit heran, Nikoh ini bukan lain yang tempo hari menolong Ma
Gwat-sian dan gurunya. Sebaliknya begitu melihat Nikoh ini seketika pucat muka Bu-bing, badan
gemetar dan lemas, pedang tak kuasa dipegang lagi jatuh berkerontangan di tanah.
Lagi-lagi terdengar seruan kejut, Ham Gwat berlari datang ke depan Thian-hi. serunya sambil
menahan air mata, “Thian-hi bagaimana kau! Kenapa terluka begini berat?”
Hati Thian-hi menjadi sjurr dan hangat, sambil tersenyum manis pelan-pelan ia tarik Ham Gwat
ke dalam pelukannya, sahutnya tertawa, “Adik Ham Gwat, luka ringan saja. tidak menjadi soal!”
Merah jengah selebar muka Ham Gwat, katanya gugup, “Ajah dan ibu juga datang!”
Hun Thjan-hi melengak sebentar. ia pun rada jengah dar terhibur malah, katanya tanpa
berpaling, “Tidak menjadi soal!”
Karena dipeluk Ham Gwat tak enak meronta, terpaksa ia sesapkan kepalanya ke dada Thian-hi.
ia tak berani bersuara saking malu.
Sementara itu Nikoh pertengahan umur sudah berpaling ke arah mereka, katanya, “Ma Gwatsian
dan gurunya berada di tempatku, mereka minta aku menyampaikan salam bahagia terhadap
kalian, keadaan mereka baik-baik saja supaya kalian tak usah kuatir.”
Terangkat kepala Ham Gwat, ia pandang Nikoh pertengahan umur dengan rasa girang dan
bersyukur pula.
Nikoh itu berpaling muka lalu ujarnya pula, “Aku bernama julukan Ceng-i sian-cu! Sekarang aku
harus cepat pulang. Bu-bing kubawa sekalian!” — tanpa menanti penyahutan Thian-hi berdua, ia
tarik Bu-bing terus melayang pergi, sekejap saja menghilang dari pandangan mata.
Ham Gwat dan Hun Thian-hi sesaat melongo. Ceng-i sian-cu, bukankah beliau kekasih Ah-lam
Cuncia yang akhirnya menikah dengan Jing-bau-khek, bibi dari Goan Cong dan Goan Liang, murid
tunggal Hui-sim Sini? Ternyata dia masih hidup.
Tiba-tiba mereka mendengar suara tawa orang banyak, waktu mereka berpaling, dimana berdiri
sebaris orang, Sutouw Ci-ko dan ayah bunda Ham Gwat sama tersenyum girang penuh bahagia.
Saking malu jantung Ham Gwat hampir melonjak keluar, cepat ia sesapkan kepalanya di
pelukan Thian-hi pula. Sekian lama mereka saling berpelukan tanpa bersuara tanpa hiraukan
godaan orang lain lagi.
Entah berapa lama berselang akhirnya Ham Gwat angkat kepala, tampak oleh Thian-hi kedua
pipinya bersemu merah seperti delima matang, paras kulit yang putih halus ini tidak terlihat pucat
seperti dulu lagi, pancaran matanya malah begitu mesra dan penuh cinta kasih.
TAMAT
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat Cersil Cin Tung : Badik Buntung [4] dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat Cersil Cin Tung : Badik Buntung [4] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cerita-silat-cersil-cin-tung-badik_7643.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat Cersil Cin Tung : Badik Buntung [4] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat Cersil Cin Tung : Badik Buntung [4] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat Cersil Cin Tung : Badik Buntung [4] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cerita-silat-cersil-cin-tung-badik_7643.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar