cersil : Pedang Golok Yg Menggetarkan 7 - boe beng tjoe

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 25 Agustus 2011

cersil : Pedang Golok Yg Menggetarkan 7 - boe beng tjoe

JILID 20
"Ya, benar juga," pikir Siauw pek. "Memang, kalau ayah
menyebut she dan nama dia itu, tak usah kita berpusing kepala
seperti sekarang ini. Su Kay Taysu bicara dengan beralasan."
Tapi Ban Liang menggeleng gelengkan kepala. "Dalam hal ini,
aku si tua tak sependapat," katanya.
"Ban Tayhiap memikir apa?" tanya Su Kay. Ia sekarang
mengebut "tay hiap." orang gagah, sebagai tanda menghormat.
"Mungkin sulit buat coh Kam Pek menyebut nama. Ingat saja,
para pengepungnya terdiri selain orang-orang sembilan partai juga
dari sembilan partai lainnya, bukankah jumlah mereka puluhan atau
ratusan?"
"Pendapat Ban Tayhiap ada benarnya juga. Tapi satu hal harus
diketahui. Sembilan partai besar sebenarnya tidak terlalu cocok
dengan sembilan partai lainnya itu. Tak mungkin sembilan partai itu
sudi diperintah-perintah oleh kesembilan partai besar. Maka loolap
percaya kepada satu soal yang masih menjadi rahasia.
Kemungkinannya yaitu mereka menanti atau mengharap sesuatu "
Sekonyong konyong Ban Liang mencelat bangun-
"Taysu, kata katamu ini mengingat aku pada satu hal " serunya.
"Apakah itu, tayhiap?"
"Itu ada hubungannya dengan partai taysu "
"Amida Buddha" Su Kay memuji. "Apakah tayhiap maksudkan
perebutan kekuasaan didalam partai kami dan itu merembetrembet
pada Pek Ho Bun?"
"Benar.Jikalau Su Hong Taysu tidak meninggal dunia, cara
bagaimana It Tie dapat menjadi ketua sebagai penyambung atau
penggantinya?" Su Kay berdiam, dia berpikir keras.
"Bukannya loolap hendak membela partai loolap." katanya
kemudian- "Didalam hal ini banyak sekali bagian-bagiannya yang
tidak dapat diterima..."
"Bagaimana pendapat yang sebenarnya dari taysu?"
"Dosa memberontak terhadap guru adalah lawan pertama untuk
kalangan Rimba Persilatan- Andaikata diantara murid-murid dari
keempat partai ada yang memberontak, yang berniat
membinasakan gurunya, soal itu sulit sekalipun untuk dibicarakan
saja."
"Memang soal murid membunuh guru bukan soal kecil. Memang
soal itu tidak dapat dibicarakan dengan sembarang orang."
Su Kay berkata pula: "Pada saat terjadinya peristiwa itu, keempat
ketua berada bersama. Dengan kepandaian keempat ketua itu,
sewajarnyalah apabila mereka dapat melakukan penyerangan
membalas kepada penyerangnya, bahkan tak sembarang orang
yang dapat bertahan dari balasan itu. Kesudahannya pastilah
mereka mati tak berdaya. Dan lebih lagi, tubuh mereka tidak
meninggalkan bekas penyerangan- Atau musuhnya itu..."
Mendengar itu Siauw Pek berpikir: "Siauw Limpay ternama
bersih, maka biar bagaimana Su Kay tentu tak mau membeber
kekurangan atau cacad partainya. Mestinya dia diberi bukti, baru dia
dapat ditundukkan-.."
Si anak muda berpikir demikian tetapi ia tak mengutarakannya.
Su Kay bicara pula, untuk menjelaskan:
"Maksudku bukan untuk menyingkirkan kecurigaan terhadap
partai kami. Sebaliknya memang partai kami yang harus dicurigai.
Diantara kalangan kami sedang dilakukan penyelidikan buat mencari
bukti, apabila itu berhasil didapat, urusan itu akan jadi sederhana
sekali."
"Taysu, kebijaksanaan partaimu itulah yang kita harapkan sekali,"
kata Siauw Pek memberi hormat.
Su Kay lekas lekas membalas hormat itu.
"Tak dapat loolap sudah berdaya mencari bukti itu, mencari
dengan sungguh. Tadinya loolap harap dalam tempo satu tahun,
atau paling banyak dua tahun, penyelidikan akan berhasil, tidak
disangka telah beberapa tahun, hasilnya tak ada, bahkan nampak
urusan jadi makin ruwet. Menurut penglihatanku sekarang urusan
bukan mengenai Pek Ho Bun saja, tetapi ada hubungannya dengan
seluruh Rimba Persilatan- oleh karena itu, siecu, loolap harap
sukalah kau bekerja sama denganku."
Sampai disitu, siauw Pek segara menaruh kepercayaan
sepenuhnya pada pendeta dari Siauw Lim Sie itu Ia telah melihat
sikap orang yang bersungguh sungguh, sedang tadi orang itu telah
menolong dan dua saudaranya.
"Baiklah" sahutnya. "Segala apa yang aku tahu, akan aku
beritahukan "
Dengan segera Su Kay bangkit berdiri. Katanya: "Loolap punya
janji dengan dua orang sahabatku, karena itu, tak dapat loolap
berdiam lama lama disini. Siecu berempat sudah muncul dalam
dunia Kang ouw, selanjutnya harap kamu berhati hati dengan tindak
tanduk. Lagi setengah tahun, atau sedikitnya tiga bulan ini, loolap
akan menemui siecu sekalian, untuk kita saling tukar pendapat."
"Baiklah, taysu. Maaf kami tak dapat mengantarmu"
Berkata begitu, Siauw Pek menjura.
Pendeta itu membalas hormat, terus ia keluar dari gua, dan
dengan cepat berlalu pergi.
Seperginya siorang suci, Ban Liang tertawa dan berkata: "Pantas
Siauw Lim Sie menjadi gunung Tay san atau bintang utaranya
Rimba Persilatan, walaupun sekarang dia dipengaruhi orang licik,
masih ada anggotanya yang jujur dan tetap menjunjung keadilan,
hingga dia takjeri akan ancaman bahaya, asal dia bekerja untuk
kepentingan umum" Siauw Pek menghela napas.
"Menurut Sukay Taysu, sungguh urusan keluargaku ruwet sekali,"
katanya.
"Memang, urusan sulit" Ban Liang membenarkan- "Aku bingung
dibuatnya."
"Meski begitu, tidak dapat seluruhnya kita mempercayai pendeta
itu," berkata Oey Eng, yang semenjak tadi berdiam saja. Siauw Pek
heran-
" Kenapakah?" tanyanya.
"Jikalau aku tak salah artikan," sahut saudara yang nomor dua
itu, "pendeta itu berkata urusan toako ini ada sangkut pautnya
dengan suatu bencana besar yang licik, akan tetapi yang Pek Ho Po
adalah delapan belas partai. Mustahilkah semua orang partai itu
kena dipermainkan siorang dibelakang layar, si biang keladi ?
Sungguh sukar dipercaya "
Mata siauw Pek memain, tapi mulutnya bungkam, pikirnya: " Ini
pun ada benarnya. Siapakah orang yang bisa menutupi telinga dan
mata semua orang Rimba Persilatan dan membuat mereka itu dapat
diperintah sesukanya?"
"Benar juga," berkata Ban Liang, menghela napas. " Kenapakah
keempat bun, ketiga hwee dan kedua pang dapat dipermainkan
kesembilan pay? Bukankah Pek Ho Bun partai kecil malah tak
memadai dengan keempat bun saja? Sungguh aku tidak mengerti."
"Akulah seorang bodoh, tak berani aku lancang," kata Oey Eng
pula. "Aku cuma bisa mengutarakan apa yang ada dalam hatiku.
Baiklah toako sendiri yang memikirkannya dalam dalam. Tak
mungkin sipendeta tengah mencoba coba hati kita?"
"Jieko, aku tak setuju dengan pikiran jieko ini" Kho Kong campur
bicara. Siauw Pek tahu saudara yang nomor tiga ini sewaktu- waktu
tajam pikirannya.
"shatee, apakah yang kau pikirkan?" ia bertanya.
"Tak perduli pendeta itu jujur atau palsu, yang terang dia telah
menolong kita," berkata sisembrono "Itulah perbuatan yang jujur.
Tentang pengalaman toako berdua Ban Loocianpwee aku tidak
tahu, tapi aku dan jieko, jikalau kami tidak ditolong pendeta itu,
mungkin kami sudah terbinasa ditangan orang orang Siauw Lim pay
dan Bu Tong pay itu. Mustahilkah pertolongannyaitu pertolongan
palsu? "
siauw Pek berpikir. "Aku telah terluka, walaupun Ban
Loocianpwee lihay sekali, tak dapat dia melawan orang-orang lihay
dari keempat partai sedangkan disana ada ketua ketua partai itu.
Jikalau Su Kay membantu kawannya, bukankah itu tak akan bisa
lolos? Kenapa dia justru membantu kita?"
"Sudahlah saudara-saudara tak usah kau menarik urat lagi," Ban
Liang datang sama tengah "Pendapat siapa benar dan salah, tak
dapat kita buktikan sekarang. Disini kita tak dapat berdiam lamalama,
mari kita lekas pergi"
"Loocianpwee memikir hendak pergi kemana?" Siauw Pek tanya.
"Buat seorang kuncu, satu kali dia memberikan janjinya, mati
atau hidup bukan soal lagi," sahut jago tua itu. "Lohu telah berjanji
akan membantu kamu berdaya mencuci bersih sakit hati Pek Ho
Bun, pasti aku akan membantumu sampai berhasilnya usaha kita.
Maka itu, kemana kita akan pergi, terserah kepada kamu." siauw
Pek berpikir.
"Boanpwee mengharap keterangan dipuncak Ciang Gan Hong ini,
siapa tahu, aku kecele," katanya. " Kemana kita pergi sekarang?"
"Jikalau kau setuju, mari kau turut aku mengunjungi satu orang,"
Ban Liang mengajak.
"Su Kay benar, urusan tak demikian sederhana seperti pikiranku."
"Siapakah orang itu?"
"Dalam hal ini, biarlah lohu jual mahal " berkata sijago tua.
"Sebelum orang itu menyatakan suka turun gunung akan membantu
kita, tak dapat lohu lancang memberitahukan she dan namanya,
ataupun tempat tinggalnya..."
" orang macam apakah dia itu?" tanya Kho Kong heran-Ban Liang
tersenyum.
"Asal kamu menemui dia, pasti kamu akan berkesan baik. Tidak
tepat buat sekarang lohu segera menyebutkan namanya."
"Kenapa begitu, locianpwee?"
"Pertama tama disebabkan sudah dua puluh tahun tak pernah
aku bertemu lagi dengannya, hingga aku tak tahu dia masih hidup
atau sudah menutup mata. Seandainya dia sudah tiada, buat apa
menyebut she dan namanya? Kalau dia masih hidup, mestinya
banyak orang yang mengaguminya dan ingin menjenguknya. Dia
mencari tempat tinggal yang sunyi, itulah sebab dia menghentaki
ketenangan, apabila ada banyak orang yang datang berkunjung,
tidakkah itu berarti gangguan untuknya? Itulah semacam
penderitaan baginya Maka lohu tak mau segera menyebut nama
dia."
"Sekarang dia tinggal dimana?" Siauw Pek bertanya.
"Disatu tempat yang jauh, jauh sekali."
"Kita toh bakal pergi kepadanya tetapi nama tempatnya saja kau
tidak mau beritahukan? Tidakkah itu terlalu?" pikir Siauw Pek. Tapi
dialah seorang sabar dan panjang pikiran, dia tidak menjadi tak
puas, sebaliknya, dia tertawa, dia tak menanya lebih jauh. Ban Liang
mendahului keluar dari gua.
"Mari kita berangkat, katanya. Aku si tua akan jalan dimuka" dan
ia membuka tindakan lebar.
Siauw Pek bersama dua saudaranya mengikuti. Mereka jalan
berputaran dilembah. setengah harian kemudian, baru mereka
keluar dari gunung itu.
"Eh, kenapa kamu berdiam saja?" tanya Ban Liang. ia heran
ketiga saudara itu tidak bicara satu dengan lain dan juga tidak
menanya atau menyebut ini dan itu dengannya.
"Apakah yang hendak kami tanyakan?" balik bertanya Kho Kong.
"Kau toh menyimpan rahasia segala apa Percuma kami menanyakan
sesuatu" Ban Liang tidak kecil hati, dia malah tertawa.
"Dikolong langit ini, banyak urusan yang dapat diperbincangkan,"
katanya. Asal kalian tidak menanyakan tentang orang yang kita
bakal kunjungi, apapun yang dipersoalkan, tentu sekali suka aku
menemani bicara."
Siauw Pek berpikir " orang itu tentu ternama besar, atau dia
banyak musuhnya, hingga dia khawatir musuh musuhnya nanti
mengetahui alamatnya hingga dia dapat disatroni. Kalau dugaanku
benar, memang lebih baik untuk tidak menyebut nyebut tentang
dia."
Terus mereka berjalan tanpa berbicara satu dengan lain- Tiba
dijalan umum, disitu tampak sudah mulai banyak orang berlalu
lintas.
Selagi mereka berjalan itu, dari arah depan tampak seorang
penunggang kuda kabur mendatangi. Setelah penunggang kuda itu
mendekati, mendadak dia mengendorkan lari kudanya itu.
Siauw Pek segera menduga kepada salah seorang keempat
partai. Mereka itu lagi berkumpul di Ciong Gan Hong, mesti ada
banyak orang orangnya disekitar puncak itu. Mungkin inilah orang
yang ditugaskan mengawasinya. Maka ia lalu berhati hati.
Walaupun kuda itu dijalankan perlahan, karena siauw Pek
berempat berjalan terus, kedua belah pihak segera saling melewati.
Tapi belum lama, dibelakang rombongan si anak muda terdengar
derap kaki kuda, tatkala mereka menoleh, mereka melihat
penunggang kuda itulah yang lari balik, bahkan dia terus
melewatinya pula. Ban Liang segera tertawa dingin.
"Cara tolol ini sungguh jarang tampak " katanya mengejek.
Sengaja ia membuka suara sedikit keras, supaya orang
mendengarnya. Tadinya, bersama sama Siauw Pek bertiga, iapun
berdiam saja, hanya kecurigaannya yang timbul.
Si anak muda melirik. Ia lihat orang adalah seorang kacung usia
empat atau lima belas tahun, yang mengenakan baju hijau, tetapi
dia cakap ganteng, nampak dia mirip seorang nona remaja.
Bocah itu mendapat dengar kata katanya Ban Liang, parasnya
menjadi merah, akan tetapi tanpa mengatakan sesuatu, dia menarik
les kudanya, sedang cambuknya dibunyikan membuat kudanya lari
keras, hingga debu mengepul dibelakangnya. Ban Liang tertawa
berkakak.
"Dasar bocah baru keluar dari gubuknya" katanya. Itu artinya
"anak yang masih hijau".
Justru itu dari belakang mereka terdengar suara tindakan kaki
yang cepat, ketika mereka berpaling, mereka melihat seorang
hweesio lari mendatangi, tangannya mencekal sebatang tongkat.
Lekas sekali, dia sudah melewati rombongannya si anak muda.
"Mesti dia pendeta dari Siauw Lim sie," Siauw Pek menerka.
Baru berhenti suara si anak muda, tiba tiba dibelakang mereka,
mereka mendengar tawa dingin yang disusul dengan kata kata ini:
"oh tuan tuan baru berjalan sampai disini? Sungguh diluar
sangkaan"
Itulah dua orang imam usia setengah umur yang masing masing
meng gembol pedang, tapi walaupun mereka mengatakan demikian,
mereka barjalan satu lewat disisinya keempat kawan itu, hingga tak
dapat diketahui yang mana yang bicara itu.
Berkata Ban Liang: "Seharusnya kita memikirkan daya untuk
menyamar dan berjalan mencar..."
Satu pendeta dan dua imam sementara itu terlihat berjalan
dibelakang mereka, mendekati kira kira lima tombak. mendadak
ketiganya mempertahankan tindakannya, hingga di lain detik kedua
belah pihak berjalan dengan jarak tak dekat dan juga tak jauh dari
lain-..
"Pastilah mereka orang orang Siauw Lim dan Bu Tong", kata Kho
Kong. "sebelum datang kawan kawannya, baik kita habisi mereka
ini"
Oey Eng tidak menjawab adik itu hanya ia tertawa dingin dan
berkata pada si adik. "Adik, coba kau menoleh dan melihat"
Walaupun kata kata itu diajukan kepada si saudara muda, Siauw
Pek bersama Ban Liang toh berpaling bersama, melihat kebelakang.
sedetik itu, mereka menjadi terjengkan.
Dibelakang mereka itu bukan cuma tampak seorang pendeta dan
dua imam tak hanya sekali tak urung dari empat belas orang,
danjalannya rombongan itu terpisah kira-kira enam atau tujuh
tombak dari mereka berempat. Ban Liang lalu tertawa dingin.
" Untuk sementara ini kita jangan menggubris mereka itu" kata
dia. "inilah jalan umum yang hidup, jikalau bukannya sangat
terpaksa, mereka itu tentu tidak bakal turun tangan"
Berkata begitu, jago tua ini mempercepat langkahnya.
Siauw Pek bertiga mengikuti.
Disebelah depan ada jalan cagak. segera setelah tiba disitu tibatiba
sijago tua berkata: "Kita singgah disini, dan beristirahat.
Setujukah kamu"
"Baik" sahut Siauw Pek, yang terus mendahului duduk di bawah
sebuah pohon ditepi jalan.
Oey Eng dan Kho Kong memilih tempat di sisi ketua itu. Dengan
suara perlahan mereka berdamai bagaimana harus melawan musuh
andaikata mereka diserang.
Rombongan pendeta dan imam itu juga berhenti berjalan.
Agaknya mereka itu tidak memikirkan lagi jalan itu jalan umum yang
hidup bahkan terlihat terang-terang sikap permusuhan dari mereka
semua.
Melihat sikap mereka itu, Ban Liang berkata: "Rupanya mereka
sudah menerima perintah untuk menguntit kita. Mungkin mereka
juga telah menerima pesan buat kalau perlu segera turun tangan
dengan kekerasan-" Kho Kong menurunkan buntalan dari
punggungnya.
"Mereka berterang-terang, kita juga tak usah main sembunyisembunyi
lagi" katanya. "baik kita tempur saja mereka, untuk
mengambil keputusan"
"Jangan terburu" mencegah Ban Liang. "Tak jauh didepan ada
sebuah tempat ramai, kita bersabar sedikit, setibanya disana, baru
kita pikir pula."
"Jangan jangan kita tak akan keburu berjalan lagi," berkata Oey
Eng, yang melihat gelagat.
siauw Pek melihat kebelakang, maka ia mengagetkan sipendeta
dan dua imam juga sudah tidak berjalan lagi, bahkan mereka itu
berdiri bagaikan menghadang ditengah jalan-
"Setan alas" seru Kho Kong gusar. "Tak dapat tidak. kita mesti
turun tangan "
Ban Liang juga melihat suasana buruk. Ia segera berbisik pada
sianak muda: "Kalau pihak Siauw Lim bergabung dengan pihak Bu
Tong mereka sulit dilayani."
" Kenapa begitu?" Kho Kong bertanya, heran-
"Pernahkah kau mendengar tentang barisan rahasia arhat Lo Han
Tin dari Siauw Lim pay dan barisan rahasia pedang Ngo Heng Kiam
Tin dari Bu Tong pay ?"
"Belum. Tolong loocianpwee jelaskan-"
"Lo Han Tin dari siauw Lim Sie terkenal sebagai barisan rahasia
yang aneh dari siauw Lim pay, jikalau mereka bukan menghadapi
lawan yang tangguh, tidak nanti mereka gunakan barisan rahasia
arhat itu bisa diperlebar dan dipersempit sesukanya."
"Barisan rahasia ya barisan rahasia, kenapa dia bisa melar dan
ciut ringkas?" tanya pula Kho Kong.
Ban Liang memandang anak muda itu. Ia berkata, "Siapa pernah
merantau dalam dunia Kang ouw, baik dia dari golongan hitam atau
golongan Putih, mesti dia pernah mendengar tentang Lo Han Tin
dari Siauw Lim pay, karena barisan itu sangat jarang digunakan,
yang mengetahui jelas hanya beberapa orang, lohan ialah arhat dan
tin artinya barisan rahasia, barisan itu dapat diatur dengan sembilan
orang tetapi lebih banyak jumlahnya lebih tangguh lagi. Yang
terbesar ialah dengan jumlah seratus delapan orang. Tentang
jumlah yang terbesar itu, cuma tersiar beritanya, belum pernah
orang menyaksikan digunakannya."
"Bagaimana dengan barisan rahasia pedang Ngo Heng Kiam Tin
dari Bu Tong Pay?" Kho Kong tanya lebih jauh.
"Ngo Heng berarti lima baris, dan kiam tin berarti barisan
pedang, maka itu dia cukup dengan memakai lima orang, walaupun
demikian karena sangat banyak perubahannya, lima orang iut bisa
berubah menjadi berlipat lipat tenaga pengaruhnya."
"Jadi lima orang dapat dikalikan dengan lima menjadi dua puluh
lima?" tanya Siauw Pek.
" Demikianlah. Tentang tersiarnya berita, entah keluar dari mulut
siapa, tetapi itu sudah tersiar umum di dalam dunia kang-ouw. Aku
sendiri dahulu pernah aku melihat cara bekerja Ngo Heng kiam Tin
dari Bu Tong Pay itu, benar benar hebat."
siauw Pek melirik kesekitarnya. Ia melihat para pendeta dan
imam sudah bergerak mendekati mereka, mereka mengambil sikap
mengurung.
Kho Kong habis kesabarannya, ia segera mengeluarkan sepasang
senjatanya poan-koan-pit yang mirip alat tulis itu.
"Bagaimana dengan Lo Han Tin?" Siauw Pek tanya Ban Liang.
"Lo Han Tin lebih besar pengaruhnya daripada Ngo Heng Kiam
Tin-"
"Ah, kalau begitu, kali ini sulit kita menghadapi lawan," kata
sianak muda.
"Begitu kiranya, kita harus menggunakan tenaga dan juga otak."
"Bagaimana pikiran loocianpwee?" tanya Oey Eng.
"Barisan apa juga, keistimewaannya ialah cara bekerja samanya,
lalu kegesitannya, cepatnya hubungan satu dengan lain, kalau kita
bisa mencegah cara kerja itu, dapat kita mengganggunya hingga
barisan itu menjadi kacau."
Oey Eng melirik pohon besar disampingnya "Apakah loocianpee
berniat memakai pohon besar ini untuk mencegahnya?" tanyanya.
"Ya, pohon ini besar dan kokoh kuat, tak mudah dibabat kutung.
Sambil menggunakan pohon ini sebagai penghadang atau tameng
kita coba melukai beberapa anggota tin itu, supaya mereka kacau
dan barisannya buyar. Atau merasa jeri, tak nanti mereka berani
mendesak atau mengejar kita."
Selagi mereka bicara, diempat penjuru para pendeta dan imam
sudah semakin dekat hingga segera terlihat bahwa mereka benar
benar telah mengatur tinnya masing masing untuk mengurung. Si
imam memecah diri ke barat, selatan dan utara, jumlah mereka
masing masing berlima, senjata mereka pedang dan pihak sipendeta
dua belas hweesio menjaga diarah timur barisannya panjang.
siauw Pek dengan cepat menghitung musuh mereka itu, lima
belas imam dan dua belas pendeta, mungkin mereka itu akan
mempunyai bala bantuan-
Hanya sebentar, para pendeta dan imam sudah mengurung
sejarak tujuh atau delapan kaki.
Ban Liang memasang mata keempat penjuru, tenaganya diam
diam dikerahkan ditangannya siap untuk menangkis dan
menyerang.
Rupanya para pendeta dan imam itu dapat menerka lawan
hendak menggunakan pohon selaku tameng, mereka tak bergerak
mendekati terlebih jauh. Dengan begitu, kedua pihak jadi sama
sama berdiam. Memangnya Ban Liang berempat berdiam tak
bergeming.
Dijalan itu berlalu lalang beberapa orang lain tapi ketika mereka
menyaksikan suasana, yaitu sikap kedua rombongan itu, mereka
berjalan terus dengan mengambil lain jalanan. Mereka tak segan
jalan memutar... sekian lama kedua pihak terus berdiam.
Siauw Pek merasa, tidaklah benar apabila mereka berdiam terus
terusan-
"Loocianpwee, cara berdiam saja bukan cara yang sempurna,"
sianak muda berbisik pada Ban Liang. "Kita menjadi menyia nyiakan
waktu saja."
"Toako benar" seru Kho Kong, yang habis kesabarannya. "Kalau
kita mesti mati, kita harus mati secara laki laki Mari kita maju"
Berkata begitu, sisembrono ini lompat maju, untuk terus
menyerang seorang imam. Ia menggunakan sepasang senjatanya.
Imam itu melindungi dadanya dengan pedangnya, kakinya
menggeser kekiri.
Belum sempat Kho Kong menarik kembali senjatanya, tiba tiba
dua batang pedang sudah menyerang kearahnya. Dan cepat ia
menangkis. Tapi tidak menanti pedangnya bentrok, kedua imam itu
sudah lekas menariknya kembali. Dilain pihak. dua pedang lainnya
sudah menggantikan menikam pula
Kho Kong segera kena terdesak hingga dia masuk kedalam tin -
barisan rahasia pihaknya Bu Tong Pay itu: Ngo Heng Kiam Tin
Bahkan baru sepuluh jurus, ia sudah menjadi repot sekali membela
dirinya. Dia kena diserang terus menerus Siauw Pek terkejut.
"Benar benar Ngo Heng Tin liehay" bisiknya pada Ban Liang.
"Barisan rahasia Bu Tong Pay ini membutuhkan sedikit orang
maka itu, mudah diaturnya, sedangkan perubahannya tak sebanyak
Lo Han Tin dari Siauw Lim Pay. Memang dengan mengandalkan ilmu
pedangnya, Bu Tong pay itu memperoleh nama besranya. Di dalam
dunia rimba persilatan, ia dapatlah disebut sebagai yang nomor
satu..."
Tiba tiba Ban Liang bertiga dikejutkan jeritan "aduh" tertahan
dari Kho Kong, Bahu kiri anak muda itu tergores pedang hingga
darah keluar bercucuran dan segera membasahi separuh bajunya...
Dalam kagetnya, Siauw Pek melesat memasuki barisan rahasia,
untuk menghampiri saudara muda itu, sambil menyerang kekiri dan
kanan pedangnya itu bagaikan menjadi dua.
Hanya segerakan itu, Ngo Heng Tin bagaikan bocor disatu arah,
disamping itu, Kho Kong dengan menahan rasa nyerinya juga
menyerang hebat kekiri dan kanannya, memaksa dua orang musuh
mundur.
"Adik, lekas keluar" Siauw Pek serukan saudaranya itu. "Akan
kucoba Ngo Heng Kiam Tin yang sangat termasyhur ini"
Kho Kong tahu diri. Dengan membandel, dia akan menyulitkan
kakak itu. Maka dengan segera dia lompat keluar dari dalam tin itu.
Diselatan dan utara, para imam mendesak. untuk mencegah Kho
Kong. Melihat demikian Ban Liang berseru:
" Lekas mundur" Serentak dengan itu, iapun menyerang, tangan
kanannya menyambar, ia memang telah bersiap sedia sejak tadi.
Justru Kho Kong hampir terkurung pula, justru sambaran "Ngo
Kwie Souw Hu ciu" bekerja dengan cepat sekali. Imam kepala
kelompok selatan dengan seketika telah menurunkan lengan
kanannya, sebab tangan sijago tua tepat menyambarnya. Sedetik
itu juga melompatlah Kho Kong keluar tin
Sebagai sasaran "Ngo Kwie Souw Han Ciu" sambaran tangan
"Lima Hantu Membetot Sukma^ lengan kanan si imam menjadi kaku
mati, hingga tak berdaya dia mencegah lebih jauh mundurnya
siorang she Kho.
" Lekas makan obat ini, supaya lukamu tidak membahayakan"
berkata sijago tua sambil mengeluarkan sebutir pil merah yang terus
diserahkan pada sianak muda.
Kho Kong menyambuti, segera ia telah obat itu, setelah mana
dengan saputangan ia membalut lukanya.
Didalam tin, imam-imam kelompk timur, selatan dan utara, telah
mendesak. tidak demikian yang disebelah barat. Disini, barisan itu
sudah pecah, maka kipalah gerakan seluruhnya. Tapi imam imam
yang ditengah mencoba buat maju juga.
Ban Liang menyaksikan jalannya pertempuran itu, katanya pada
Oey Eng: "Coh Pu cu lie hay sekali. Belum pernah aku siorang tua
melihat ilmu pedang semacam itu. Kalau kita yang maju, baik
kedalam Ngo Heng Tin maupun ke dalam Lo Han Tin, umpama kita
tidak terluka kita akan mati karena keletihan sendiri. Lainlah kalau
kita mengandalkan pada pohon besar itu, bahkan ada kemungkinan
kita bisa melukai satu diantaranya"
Oey Eng membenarkan sijago tua. Iapun telah melihat jalannya
pertempuran itu. ia pula terus menyiapkan pedangnya, untuk
sewaktu-waktu dapat membantu kakaknya.
Sia sia belaka barisan utara membantu barisan barat, bahkan
Siauw Pek membuat mereka terdesak pada satu pojok. Karena itu,
barisan selatan maju, maksudnya untuk mengurung.
Ban Liang melihat gerak gerik lawan, ia tahu apa maksudnya itu,
hatinya menjadi panas.
"Kawanan hidung kerbau tak tahu malu" dampratnya. "Kamu
sudah menggunakan tin, sekarang kamu bertempur silih berganti.
Jikalau perbuatanmu ini tersiar diluaran, dapatkah kamu bergerak
dimuka umum? Tak malukah kamu" Kawanan imam itu tak
menghiraukan dampratan, mereka bagaikan tuli pekak.
"Kita harus memperlihatkan kepada mereka" teriak Kho Kong
mendongkol. "Mereka berlima belas, mereka berkelahi bergantian,
biar toako tangguh, lama lama toako bakal lelah juga."
Didalam tin Siauw Pek sendiri tak menghiraukan jumlah musuh
yang banyak. Tadi ia membuat bagian utara dan barat habis daya,
sekarang ia menyerang yang bagian selatan itu. Hanya sebentar, ia
telah memaksa para penyerangnya terdesak kepojok barat tadi.
Menyaksikan cara bersilat kawannya, kembali Ban Liang kagum
dan memuji. Ia melihat tegas makin lama sianak muda
menggunakan pedangnya makin lincah. Maka ia menonton terus
dengan perasaan hatinya sangat tertarik.
Pihak imam yang terdesak keutaran, mulai menggeser ketimur.
Dilain pihak dua belas pendeta diarah timur mulai bergerak kearah
utara. Seperti kawanan imam merekapun bergerak dengan
perlahan. Terang terlihat, pihak imam sudah kewalahan, maka
mereka mundur mengalah terhadap siauw Lim Pay.
"Tak dapat anak muda itu dibiarkan berlarut-larut melayani lawan
yang besar jumlahnya itu," pikir sijago tua kemudian- " celaka dia
kalau terlalu letih dan kehabisan tenaga. Baik dia ditarik mundur,
supaya kita melawan dengan mengandalkan pohon besar ini..."
Karena memikir begini, la segera berseru: "Saudara kecil, lekas
mundur. Mereka memakai akal bergiliran untuk membuatmu letih
payah" Siauw Pek memutar pedangnya.
"Tahan" tiba tiba ia berseru.
Kawanan imam dan pendeta itu, walaupun semuanya bungkam,
diam diam mengagumi si anak muda. Ketika mereka mendengar
seruan itu, serentak berhenti bertindak maju.
Siauw Pek menyimpan pedangnya kedalam sarungnya, ia
memandang sekalian lawan itu lalu dengan dingin dia berkata: "Para
taysu dan tootiang, kamu sangat mendesak kepadaku rupanya kau
tak rela melepaskan aku, maka itu sekarang aku beritahu, jangan
menyesal kalau aku nanti menggunakan tangan keras" Tajam kata
demi kata sianak muda dan parasnya juga berubah menjadi keren-
Mendengar peringatan itu, para imam dan pendeta tersenyum
tawar. Seorang pendeta, yang mengepalai rombongan itu, yang
tubuhnya tinggi besar, mendadak meluncurkan tongkatnya, untuk
terus diputar, dari sebelah kiri dia menyerang sianak muda.
Sepasang alis Siauw Pek terangkat, tubuhnya mencelat mundur.
Cara ini dipakai untuk menghunus pedang, menyusul mana, baru ia
maju lagi sambil memb ulang balingkannya. Serentak dengan itu
iapun meluncurkan tangan kirinya hingga ia memaksa mundur
seorang imam disebelah kanannya.
Dilain pihak. tahu-tahu dari arah belakang meluncur sebatang
pedang. Tak keburu siauw Pek berkelit atau menangkis, bahunya
kena tergores, bajunya pecah, kulitnya terluka, maka darahnyapun
mengucurlah. Ia terkejut, walaupun luka itu tidak berbahaya. Maka
insyaftah ia akan lihaynya kedua tin itu, yang mestinya dilayani
tanpa boleh lengah. Maka ia segera memikir, Jikalau ia tidak
bersikap keras, pasti pertempuran ini tidak akan ada akhirnya,
bahkan tentu ia bisa celaka.
Setelah berpikir demikian, wajah Siauw Pek menjadi bengis,
kedua biji matanya berputar, sinarnya merah menyorot.
Para pendeta dan imam terkejut menyaksikan roman orang itu,
yang berubah demikian cepat. Tadi tadinya sianak muda bersikap
tenang dan paling-paling beroman keren.
Dibelakang siauw Pek berdiri seorang imam atau murid Bu Tong
Pay. Ia melihat sianak muda berdiam diri saja, bajunya merah
karena darah. Ia menyangka bahwa orang tentunya telah terluka
parah. Bukannya itu kesempatan baginya untuk menyerang, supaya
jasanya tak dirampas pihak Siauw Lim ? Ia kemudian melirik kepada
kawan kawannya, memberi isarat untuk Ngo Heng Kiam bergerak
pula.
Segera dua orang imam, yang berdiri dikiri dan kanan Siauw Pek,
maju dengan berbareng menyerang secara mendadak dari kedua
sisi Itulah gerakan Jie Liong cut Swie", atau "Dua naga keluar dari
air".
Baik orang yang berdiri dibelakang maupun dua yang dikiri kanan
itu, tidak melihat wajah sianak muda, hingga mereka jadi tidak jeri
ataupun bercuriga apa apa. Maka mereka menyerang secara
serempak itu.
Siauw Pek gusar tapi dia waspada: matanya dibuka telinganya
dipasang. Ia tahu ada pembokongan. Dalam gusarnya itu ia berseru
tubuhnya berputar. Luar biasa sebat, goloknya telah terhunus,
sedangkan pedangnya dipakai menangkis. Menyusul tangkisan itu,
Hoan Uh It Too digerakkan
"Aduh" menjerit seorang imam ialah murid Bu Tong Pay yang
dikiri. Tak terlihat tegas bagaimana bergeraknya golok ampuh itu,
tahu tahu si imam sudah roboh dengan memuncratkan darah. Yang
hebat ialah tubuhnya menggeletak ditanah dengan telah menjadi
dua potong kepalanya terpisah dari tubuhnya, sedangkan yang
dikanan, pinggangnya tertabas kutung hingga mayatnyapun roboh
dengan mandi darah Dia ini berteriak "aduh" seperti rekannya itu
Hanya sekejap itu, pecahlah Ngo Heng Kiam Tin.
Tiga imam lainnya, yang termasuk rombongan ketiga yang
dibelakang itu, berdiri terpaku.
Dengan begitu, barisan rahasia Lo Han Tin juga berhenti
sendirinya. Sebab semua imam dan pendeta tak ada yang berdiri
tertegun saja kaget dan heran
Siauw Pek memandang kedua kurbannya, setelah itu ia
mengawasi semua lawannya, terus berkata dengan dingin: "Aku
hendak membuat kamu mengenal kepandaian aku siorang she
Coh..." Ia diam sejenak. kemudian menambahkan, "sekarang aku
hendak membinasakan itu pendeta yang bertubuh jangkung yang
memimpin kelompok kiri..." Dengan perlahan ia mengangkat
tangannya yang memegang golok. untuk diarahkan kepada pendeta
yang ia sebutkan itu.
Tatkala itu yang kaget dan heran itu bukan cuma kawanan
pendeta dan imam itu, tapi juga Ban Liang yang telah hendak turun
tangan guna membantui si anak muda hingga sijago tua ini
menggumam sendiri: "Sungguh liehay Itulah tentu ilmu golok Hoan
uh It Too dari Tiang Go..."
Ketika itu juga pihak lawan, dari bersikap menyerang berubah
menjadi bersikap menjaga untuk membela diri. Tegang hati mereka
semua, apalagi mereka melihat sorot mata berapi dari si anak muda
yang diarahkan kepada pendeta yang ia sebutkan barusan, biar
bagaimana, mereka itu bersiap dengan senjata mereka masing
masing, untuk menyerang bersama...
Dila in pihak. kedua mayat segera disingkirkan oleh orang-orang
Bu Tong Pay itu.
Didalam keadaan seperti itu, sunyilah suasana diantara mereka,
semua berdiam: Yang satu hatinya panas membara, yang lain
gentar sekali. "Awas" sekonyong konyong terdengar seruan
peringatan-Dengan tiba tiba juga, berkelebatlah sinar berkilauan
dari golok.
"Aduh..." menjerit si pendeta, dengan jeritan yang separuh
tertahan- Karena tubuhnya yang besar roboh seketika. Dan ketika
orang banyak mengawasi, ternyata dadanya telah terluka berlubang
dan darahnya muncrat keluar
Ketiga kurban itu mati seketika dan dengan luka-luka berlainan-
Hal itu sangat mengejutkan dan mengherankan- Tapi karena para
pendeta dan imam telah siap sedia, dengan serentak mereka
menyerang dengan masing masing tongkat dan pedangnya, hingga
semua senjata melurukpada si anak muda
Justru itu, Siauw Pek berlompat mundur. Maka semua senjata
jatuh ketanah tanpa mengenai sasarannya. Hal ini juga membuat
para pendeta dan imam jadi saling mengawasi, saking heran dan
bingung.
Sampai disitu, Leng Bu poan Ban Liang bertindak kedepan,
sambil mengawasi semua lawan, dia berkata tawar: "Bagaimana
sekarang, apakah kamu masih ingin melanjutkan pertempuran kita
ini?"
Semua pendeta itu bungkam, mata mereka mendelong. Mereka
masih terpengaruh oleh golok ampuh itu, golok pembasmi, golok
yang mematikan
Masih beberapa detik suasana sunyi itu, baru pada akhirnya
terdengar satu suara helahan napas disusul dengan kata kata ini:
"Sekarang ini biarpun kami bakal dihukum dengan aturan partai
kami, tak mau kami melanjutkan pertempuran ini..." Dialah seorang
pendeta, yang terus membawa tongkatnya dan ngeloyor pergi.
Melihat kawan itu mengangkat kaki, yang lain-nya lalu menyusul,
tak terkecuali sisa imam imam dari Bu Tong Pay.
siauw Pek mengawasi orang berlalu. ia tidak mengatakan apapun
juga. Hanya, setelah orang pergi jauh, mendadak ia melepaskan
goloknya, terus ia menjatuhkan diri dan duduk numprah ditanah
Ban Liang terkejut. Dia lompat menghampiri.
"Kau kenapa, saudara kecil?" tanyanya, sangat prihatin.
Siauw Pek menghela napas panjang.
"Tidak apa apa," sahutnya, setelah beristirahat sebentar, cukup
sudah" Lalu ia memjamkan matanya.
Sementara itu Kho Kong sudah lama selesai membalut lukanya.
Dia tak kurang suatu apa, karena lukanya luka dikulit dan tidak
parah.
Ban Liang yang berpengalaman tahu Siauw Pek letih dan
membutuhkan waktu yang cukup untuk beristirahat, andaikata
musuh datang pula, itulah berbahaya, maka perlu mereka lekas
berlalu dari situ. Maka ia berbisik pada Oey Eng: "Lekas kaupergi
cari kekota, kita mesti segera mengangkat kaki dari sini."
Oey Eng tahu pentingnya kereta dan waktu maka ia segera pergi.
Tidak lama ia sudah kembali bersama sebuah kereta yang ditarik
dua ekor kuda. "Eh, mana kusirnya?" tanya Ban Liang heran-
"Aku telah suruh dia pergi," sahut Oey Eng.
"Bagus" Ban Liang memuji sambil mengangguk. "Asal kita
memberi uang penggantian, itu berarti kita bukan merampas
keretanya ini."
Lalu berdua mereka membantu Siauw Pek naik kereta. Si anak
muda insaf, dia menurut diajak pergi.
"Silahkan loocianpwee juga naik," berbisik Oey Eng. "Untuk
sementara, aku mewakilkan pekerjaan kusir."
Ban Liang merogoh sakunya, mengeluarkan sehelai topeng kulit.
" Kau pakai ini, kau letakkan senjata mu" pesannya.
Oey Eng menurut. ia memakai kedok itu, ia pun meletakkan
pedangnya. Segera setelah itu, ia menyambut membuat kudanya
lari membawa kereta itu.
Ban Liang menyuruh Siauw Pek menyender. Katanya pula:
"Saudara kecil, lekas kau atur pernapasanmu. "
"Tanpa sebab beralasan aku membunuh orang" kata siauw Pek
perlahan- ia menyesal dan menghela napas karenanya. "Tetapi
merekalah yang memaksa aku turun tangan-.."
Memang, tanpa tindakan bengis itu, berempat mereka tak akan
lolos dari kepungan pendeta pendeta dan imam imam itu.
Mengetahui si anak muda menyesal, Ban Liang menghibur:
"Jangan kau berduka, saudara kecil. Siauw Lim dan Bu Tong
ternama besar tapi mereka main keroyok, dengan begitu mereka
telah kehilangan muka, tak apa apabila kau membinasakan tiga
anggotanya. Itu pula suatu tanda peringatan- Sekalipun di muka
umum, orang tak akan menyalahkan kau."
" Walaupun demikian, kita terpaksa menanam bibit permusuhan
dengan kedua partai itu," kata Siauw Pek. Sijago tua tertawa.
"Biar bagaimana, jangan kaupikirkan itu, saudara kecil.
Merekalah yang mengirim orang orangnya yang liehay mengejar
dan mengepung kita, mereka agaknya tak puas sebelum mereka
berhasil menawan kita, mati atau hidup, Apakah kita mesti manda
ditelikung? sudah wajar kita melakukan perlawanan- Didalam
pertempuran, musuh mati atau kita hidup atau sebaliknya, itulah
biasa. Paling benar saudara beristirahat. Mungkin didepan kita
menanti lain rintangan pula, bahkan yang terlebih hebat, maka itu,
perlu kita bersiap sedia menghadapinya"
Siauw Pek menghela napas. ia memejamkan matanya.
Oey Eng melarikan keretanya dijalan kecil yang tidak rata itu,
hingga roda-rodanya menyebabkan ngepulnya debu. Setelah lewat
belasan lie, mereka tiba disuatu jalan cagak.
la lalu menahan kudanya.
"Loocianpwee, kita menuju kemana ?" ia tanya Ban Liang. Jago
tua itu menyingkap tenda kereta, untuk melihat kesekitarnya.
"Kebarat", katanya kemudian.
Oey Eng melarikan keretanya pula. Sampai magrib, kedua kuda
kereta berlari perlahan-Itulah sebab keletihannya. Ban Liang
melongok keluar.
"Perlu kita cari tempat singgah," katanya. "Kita perlu bersantap.
Besok baru kita melanjutkan perjalanan pula . "
Oey Eng mengawasi keempat penjuru. Disebelah barat tampak
sinar api. Maka ia tujukan keretanya kesana.
Cahaya api itu nampak dekat tetapi nyatanya mereka mesti
melewati dahulu perjalanan setengah jam baru bisa mereka sampai
dan mendekatinya. Itulah api dari sebuah gubuk tunggal ditengah
tegalan- Dari dalam gubuk terdengar suara orang membaca kitab.
Kasihan sepasang kuda kereta itu, saking lelahnya keduanya
roboh begitu mereka dihentikan larinya. Ban Liang melihat keluar.
"Dirumah itu tentu ada barang makanan," katanya. "Kita cari
barang hidangan selama itu kuda kita dapat beristirahat dan makan
rumput, setelah itu kita melanjutkan perjalanan kita."
Oey Eng mengangguk sedang hatinya berpikir: "Anak sekolah
tinggal dirumah tunggal ditengah tegalan belukar seperti ini,
sungguh luar biasa Dapatkah dia hidup menyepi dan menderita ?
Dia melebihi sikap orang yang mengerti silat "
Tatkala itu Siauw Pek sudah beristirahat cukup, ia turun dari
keretanya.
Ban Liang melepaskan kedua ekor kuda, sambil bekerja, ia
berkata pada Oey Eng: " Untuk tidak mencurigakan, atau
membuatnya kaget, baik kau yang pergi kegubuk itu Kalau kita
pergi kesana, dalam cuaca segelap ini, kita bisa menerbitkan
kecurigaan orang "
Oey Eng menurut. ia segera pergi kegubuk itu dan mengetuk
pintunya, dua kali, dengan perlahan-
Dari dalam rumah, suara membaca masih terdengar terus.
Nadanya berirama. Rupanya seseorang tengah asyik membaca
hingga ketukan pintu tak terdengar.
Oey Eng mengetuk pula, kali ini dengan lebih keras- Iapun
memperdengarkan suaranya: "Aku orang didalam perjalanan mohon
bertanya"
Baru setelah itu, suara membaca berhenti, disusul dengan
pertanyaan yang terang jelas: "Siapa?"
"Aku mohon bermalam," kata Oey Eng, "Akupun mohon barang
makanan-"
Pintu segera dibuka. Diambang pintu muncul seorang muda
dengan baju biru. Dia membawa lentera, yang diangkatnya tinggi,
untuk menyuluhi. Setelah mengawasi tetamunya, dia berkata:
"Siauw seng tinggal seorang diri disini buat belajar ilmu surat,
aku juga tidak pandai masak. maka aku makan seada-adanya saja,
hingga aku tak dapat melayani hatimu.
Baiklah tuan-tuan pergi kira kira sepuluh lie, disana ada sebuah
penginapan dimana tuan tuan bisa singgah untuk bersantap dan
bermalam juga." Habis berkata begitu, anak muda itu menutup
pintunya.
Oey Eng berdiri tercengang. Inilah penyambutan, diluar
dugaannya. Ketika ia sudah sadar ia lalu menoleh kebelakang.
Kiranya Ban Liang bersama Siauw Pek dan Kho Kong sudah berdiri
dibelakangnya itu.
"Coba tolak pintunya," berkata Ban Liang perlahan-
Oey Eng menurut. Sambil menolak. iapun berkata nyaring:
"Saudara, tolong bukakan pintu Lekas"
Tidak ada jawaban, bahkan apipun padam. Itulah tanda orang
tidak mau, atau tidak berani membukakan pintu.
Si orang she Oey menjadi mendongkol. Katanya didalam hati:
"Anak sekolah harus bermurah hati Siapa tahu dia justru buruk."
Dalam sengitnya, dia menolak pintu dengan keras.
Tak kuat pintu itu bertahan, kedua belah daunnya segera
menjeblak terbuka. Tapi ruang dalam gelap petang, tak nampak
benda apa juga.
"Saudara, tolong nyalakan lilin" Oey Eng minta. "Tak dapat kami
jalan sembarangan di dalam sini, nanti kami kena membikin rusak
barang barang perabotan rumah tangga..."
Belum berhenti suaranya itu, orang she Oey ini tiba-tiba ingat:
"Dia tinggal seorang diri ditempat belukar dan sunyi begini, dia juga
membaca kitab sampai malam, mesti selalu ada kemungkinan dia
nanti disatroni orang jahat. Bisakah dia hanya seorang anak sekolah
? Kenapa dia tak kenal takut ?"
Ketika Oey Eng berpikir demikian saat itulah dia mendengar
suara sabar dari dalam rumah: "Tuan tuan, paling baik kamu
mendengar nasehatku Sebaiknya kamu lekas lekas berlalu dari sini"
Tanpa menjawab, Ban Liang segera meng luarkan bahan apinya,
segera dinyalakan hingga ia bisa melihat tegas ruang rumah itu,
yang luasnya kira kira setombak persegi. Apa yang mereka lihat
membuat mereka terkejut.
Ditengah ruang terletak dua buah peti mati yang diperlengkapi
dengan selembar tirai putih dimana ada dilukiskan gambar seorang
lelaki dengan roman gagah dan seorang nyonya usia pertengahan
yang raut mukanya cantik.
Hanya sedetik siauw Pek semua terkejut, lalu mereka tenang
kembali.
Ban Liang maju satu tindak, menyulut lilin diatas meja abu
didepan sepasang petimati itu, hingga seluruh ruang menjadi
terlebih terang.
Disatu pojok terlihat seorang muda dengan baju biru yang
tangannya mencekal sejilid buku. Nampak parasnya yang murka.
Ketika itu, dia berkata dengan dingin: "Tuan tuan masuk kemari
dengan merusak pintu, tidak bedanya itu dengan perampok"
Oey Eng tidak puas, hendak dia menjawab keras, tetapi Siauw
Pek mendahuluinya. Anak muda ini lalu memberi hormat.
"Maaf, tuan," katanya, "kami tiba disini karena diburu buru
waktu, hingga kami lelah dan kuda kami letih hingga merasa lapar
sekali. Disamping itu kamipun tidak tahu bahwa saudara justru
tengah berkabung, karenanya jadi berbuat keliru. Harap saudara
sudi memaafkan-"
Sementara itu Kho Kong berpikir.
"Besar juga keberanian anak sekolah ini Rumah ini mencil
ditanah belukar, dia mendampingi dua buah peti mati, dia pula
membaca seorang diri diantara api pelita dan sunyi senyap..."
Pemuda itu bertindak mendekati meja, dia menyulut lilin yang
kedua.
"Apakah yang tuan tuan hendak minta dari siauw seng?"
tanyanya. "Silahkan lekas sebutkan"
Suara orang muda ini dingin tetapi ia tetap menyebut "siauw
seng" sebagai gantinya "aku" dengan begitu ia telah merendahkan
dirinya. Siauw seng berarti pelajar kecil (muda).
"Kami sudah lapar sekali, kami minta sedikit saja barang
makanan," berkata Siauw Pek, "Tentu, sekali kami tidak akan makan
cuma cuma, kami akan mengganti sejumlah uang." Pemuda itu
tertawa hambar. Katanya:
"Ditempat sunyi ini dimana ada sedia barang makanan? Aku lihat,
baiklah tuan tuan menahan lapar saja dan lekas pergi kesebelah
depan dimana ada rumah persinggahan dan makanan-.."
Habis sabar Kho Kong, yang semenjak tadi membungkam saja.
"Katamu tempat sunyi dan tak ada makanan," katanya sengit.
"Habis mungkinkah kau hanya makan angin saja?"
Siauw Pek hendak mencegah saudaranya itu tetapi ujung
bajunya secara diam diam ditarik Ban Liang, maka terpaksa ia diam
saja.
Anak muda itu membuka lembaran bukunya, terus ia duduk. dan
berkata: "Kaulah seorang kasar dan sembrono, siauw seng tak mau
berurusan denganmu." Dan terus dia membaca dengan suara
nyaring dan tinggi.
"Anak sekolahan ini sombong, tawar dan mau hidup sendiri, dia
tak mirip miripnya seorang pelajar" kata Kho Kong dongkol sekali,
"tak dapat tidak. dia perlu diacar adat"
"Benar juga," pikir Siauw Pek. Iapun tidak puas terhadap
kelakuan tuan rumah itu. "Kenapa dia nampak sabar sekali tapi
kasar..."
Anak muda itu tidak memperdulikan sikap Kho Kong, dia
membaca terus, suaranya makin tinggi, makin keras. Hingga dia
menyebabkan Oey Eng dan Ban Liang turut mendongkol.
Lalu si jago tua membisiki si orang she Oey : "Pergi kau rampas
bukunya, supaya ia tidak dapat membaca Kita akan lihat, apakah
sikapnya lebih jauh"
Oey Eng mengangguk. ia bertindak menghampiri tuan rumah
yang sikapnya aneh itu.
"Kau membaca buku apa, tuan?" tanyanya. "Bolehkah aku
numpang melihat?" Di mulut ia berkata manis, tahu-tahu tangannya
sudah menyambar, hingga buku pemuda itu sudah berpisah tangan-
Anak muda berbaju biru itu mengawasi perampas bukunya, ia
duduk terus, sama sekali ia tidak gusar atau bersikap menentang.
Dengan buku ditangannya, Oey Eng memandang anak muda itu,
dengan tawar ia berkata^ "Tuan membaca kitab nabi, sudah
selayaknya jikalau tuan bermurah hati. Kenapa buktinya sekarang
tuan begini cupat pikiran?"
Pemuda itu memperlihatkan wajah gusar, dia tidak membantah
hanya dengan dingin dia berkata: "Jikalau tuan-tuan tidak segera
meninggalkan tempat ini, harap jangan menyesaliku apabila aku
berlaku kurang ajar terhadap kalian." Tiba-tiba Ban Liang tertawa
terbahak-bahak.
"Tuan," katanya. "karena tuan berani berdiam ditempat belukar
ini bersama sama dua buah peti mati dan dapat membaca buku
dengan tenang, teranglah bahwa kau bukannya sembarang orang,
kau bukan lagi si pelajar yang tubuhnya lemah tak berdaya..."
"Kamu mau pergi atau tidak?" bentak si anak muda. Dia gusar
sekali. Dia pula tidak mau melayani bicara, dia hanya main usir
"Sungguh mulut besar" berkata Ban Liang. "Aku si tua tidak
maupergi dari sini, kau dapat berbuat apakah?"
"Sudahlah" Siauw Pek datang sama tengah. "oleh karena orang
tidak sudi ketumpangan kita, marilah kita pergi" Ia terus menoleh
kepada Oey Eng, dan menyambungi: "Lekas kau kembalikan
bukunya itu "
Oey Eng paling menghormati ketua itu, tanpa berkata apa-apa
dengan kedua tangannya ia mengangsurkan, mengembalikan buku
orang itu.
Si anak muda menyambuti bukunya, segera tampak hawa
amarahnya berkurang. Tapi segera dia mengulapka n tangannya
sambil berkata pula: "Tuan-tuan berempat, lekaslah kamu pergi.
Dengan sebenar benarnya disini kami tak dapat berdiam lama lama"
Siauw Pek merangkap kedua tangannya memberi hormat.
"Maaf, kami mengganggumu" katanya, terus dia mendahului
memutar tubuh untuk pergi berlalu.
Ban Liang bersama sama Oey Eng dan Kho Kong lalu mengikuti
ketua itu keluar dari rumah gubuk itu.
Segeralah terdengar suara daun pintu menggabruk, pertanda
pintu rumah itu telah ditutup dengan dibanting
"Sungguh manusia cupat pikiran" kata Kho Kong murka.
"Mesti ada sebabnya," berkata Ban Liang. "Perlu kita mencari
tahu..."
Mereka kembali ketempat mereka, untuk merapihkan kuda
kereta, setelah bersama sama mereka mengumpatkan diri diantara
ruyuk di dekat rumah gubuk itu.
siauw Pek tidak menentang perbuatan Ban Liang bertiga. Ia tahu
perbuatan mereka ini tidak pantas sebab itu berarti tak keruan
keruan mengintai orang lain akan tetapi iapun heran atas sikap
orang yang sangat luar biasa itu.
Lewat beberapa saat, cahaya api lilin didalam rumah gubuk
padam. Menyusul itu terdengar suara keras berulang ulang,
mungkin itulah suara orang membuka atau membongkar peti mati.
Itulah mengherankan. Bila tadinya mereka tidak melihat peti mati,
barangkali mereka tidak menerka demikian-
Dengan sendirinya terasalah sesuatu suasana yang
menyeramkansebenarnya
suara itu kesunyian kembali menguasai rumah gubuk
serta sekitarnya. Iapun mengherankan- Hati Ban Liang sangat
terpengaruh.
"Siapa yang mau turut aku pergi menghampiri gubuk itu?" ia
tanya kawan kawannya. "Aku?" menyahut Oey Eng dan Kho Kong
berbareng. Sebab dua dua pemuda ini sangat tertarik hatinya.
Ban Liang mengawasi kedua kawan itu.
"Saudara Oey, mari kau yang turut aku" katanya tertawa. Ia
bangun berdiri, untuk berlompat keluar dari dalam ruyuk. untuk
terus lari kearah rumah. Oey Eng segera mengikuti orang tua itu.
Ban Liang berlaku waspada, bahkan selagi mendekati gubuk ia
perlahankan tindakan kakinya. Ia percaya pemuda baju biru yang
aneh itu pasti mempunyai kepandaian yang istimewa. Gerak gerik
orang itu sangat mencurigakan-
Tiba dijendela, dua orang itu menghentikan tindakannya. Mereka
memasang telinga sambil mengawasi kedalam gubuk. Ruang gelap
sekali karena adanya alingan gorden-Rumahpun sangat sunyi.
Saking penasaran, Ban Liang bertindak kepintu belakang. Disini,
pintu tak ada gorden penghalangnya. Ia menajamkan sebelah
matanya, untuk mengintai kedalam.
Si anak muda berbaju biru tampak duduk di depan peti mati yang
kiri. Tutup peti itu sudah terbuka. Didalam peti itu kelihatan sesosok
tubuh orang lagi duduk dengan sebelah tangan diulur keluar, tangan
itu menampak kedua belah tangannya si anak muda. Mereka berdua
bagaikan saling menolak.
Kaget orang tua ini, hingga dengan hati bercekat ia mundur dua
tindak.
Sebaliknya, Oey Eng bertindak kesisi orang tua, untuk berada
disebelah depannya. Ialah yang sekarang menggantikan mengintai
kedalam rumah gubuk itu, hingga ia menampak pemandangan yang
serupa, yang membuat hatinya gentar.
Oey Eng dapat melihat dengan terlebih tegas. Si pelajar berbaju
biru bukan saja menolakkan kedua belah tangannya kepada tangan
orang yang bercokol didalam peti mati itu, bahkan mulut mereka
seperti menghembuskan asap putih yang bercampur jadi satu
Rupanya yang satu lagi mengeluarkan tenaga dalamnya dan yang
lainnya lagi menyambuti, menerimanya
Oey Eng bernyali besar akan tetapi tak berani ia mengawasi
terlalu lama, iapun lalu mengundurkan diri.
Dengan diam diam keduanya kembali keruyuk mereka tanpa
mereka tahu, si anak muda mengetahui pengintaian mereka atau
tidak. Hanya, sampai mereka berada didalam ruyuk, dari dalam
gubuk tidak terlihat atau terdengar gerak gerik apapun juga.
"Apakah ada sesuatu yang bagus dilihat?" tanya Kho Kong^
"Sungguh tak sedap diminta" sahut Oey Eng menggeleng geleng
kepala.
"Apakah yang tak sedap dipandang?" tanya pula Kho Kong.
Oey Eng memberi keterangan pada saudara keduanya itu
tentang apa yang disaksikannya didalam rumah gubuk itu.
"Begitu?" kata Kho Kong terheran heran- "Apakah dia hendak
menghidupkan pula orang yang telah mati itu?"
"Mungkin- Mungkin orang itu telah terluka parah." berkata Ban
Liang.
"Jikalau itu benar, pastilah si pelajar seorang tabib luar biasa,"
berkata Oey Eng yang heran bercampur kagum.
"orang itu tidak bersangkut paut dengan kita," berkata Siauw
Pek. "Dia tak sudi ketumpangan kita, mungkin itulah sebabnya.
Tidak usah kita berkecil hati. Mari kita lekas melanjutkan perjalanan
kita."
Urusan sipemuda berbaju biru membuat Ban Liang semua lupa
pada perut mereka yang kosong tetapi kata kata siauw Pek ini
mengingatkan mereka, maka kembali mereka merasakan
keinginannya untuk makan yang sangat.
"Marilah " Kho Kong berkata sambil mendahului bangkit. "Perlu
kita cari dahulu rumah makan, buat menangsal perut kita..."
JILID 21
Tapi, belum berhenti suaranya itu, mendadak ia menjatuhkan diri
untuk duduk pula.
Ban Liang tahu apa sebabnya kelakuan kawannya ini. Ia sudah
mendengar suara tindakan kaki yang berat yang mendatangi. Maka
ia segera melongo kearah barat dimana tampak dua sosok tubuh
hitam sedang mendatangi, jalannya sangat perlahan, tindakannya
sangat berat.
"Agaknya rumah gubuk itu menyimpan sesuatu yang aneh," kata
jago tua kemudian-
"Benar," berkata Oey Eng. "Kita telah menemui hal-hal ini, aku
rasa perlu kita cari tahu sampai diakarnya...."
Dua sosok tubuh itu datang semakin dekat, hingga tampak tegas.
Siauw Pekpun melongo, ia melihat, itulah dua orang dengan pakaian
serba hitam tengah menggotong sebuah bale-bale. sekarang
mereka itu berjalan cepat, saban saban mereka pula menyeka peluh
dimuka mereka. Diterangnya bintang-bintang, Siauw Pek melihat
bahwa kedua orang itu rupanya habis melakukan suatu perjalanan
jauh dan agaknya mereka sudah sangat letih hingga tenaganya
hampir habis......
Hati sianak muda tercekat.
"Benar-benar aneh" pikirnya. "Tempat ini sebuah tegalan yang
sunyi sekali. Dan pemuda berbaju biru, pelajar itu, aneh sifatnya
Kenapa dia tinggal menyepi? Kenapa dia tak menyukai tetamu? Dan
orang orang itu? Bukankah mereka orang orang yang telah terluka
parah, yang datang buat minta pertolongan tabib? Aneh pemuda itu
Dia suka menolong orang, kenapa dia tak sudi membagi nasi kepada
kita?"
Saking herannya, siauw Pek menoleh kepada Ban Liang.
"Locianpwe," tanyanya perlahan, "sebenarnya pemuda baju biru
itu sedang melakukan apa didalam rumahnya?"
orang yang ditanya menggeleng kepala.
"Aneh, dia aneh sekali" sahutnya. "Dia nampaknya sedang
menolongi orang, atau dia lagi melakukan suatu percobaan.........."
"Percobaan?" Siauw Pek tanya.
"Benar Mungkin dia lagi mencoba semacam ilmu silat istimewa
Ataupun itulah semacam obat, yang dia mencobanya terhadap
mayat atau orang yang terluka.........."
Kata-katanya si jago tua sederhana saja akan tetapi didalamnya
terselip apa-apa yang mengerikan atau menyeramkan- Disitu
disebutkan hal mayat..... Kho Kong menepuk kepalanya sendiri.
"Locianpwe, percobaan apakah itu?" dia tanya.
Ketika itu dua orang ang menggotong bale bale itu sudah tiba
disamping rumah.
"sukar untuk mengatakannya," sahut Ban Liang atas pertanyaan
sembrono. "Mungkin dia sedang mencoba suatu cara pengobatan
yang luar biasa sekali. coba orang itu berada disini, pasti dia ketahui
apa sebenarnya perbuatan pemuda itu........."
"Siapakah orang yang locianpwe maksudkan itu?" tanya Oey Eng.
"Dialah orang yang kita hendak cari. Dia cerdas melebihi
kebanyakan orang, pada dua puluh tahun yang lampau pernah dia
mengatakan kepada aku bahwa didalam dunia rimba persilatan
tampak alamat pembunuhan hebat, bahwa itu akan terjadi dua
puluh tahun kemudian- Walaupun loohu tahu dia pandai tetapi
ramalannya buat dua puluh tahun mendatang, loohu ganda tertawa
saja. Siapa tahu baru lewat luma atau enam tahun telah terjadi
peristiwa pek ho bun yang hebat dan menyedihkan"
Baru saja sijago tua berkata begitu, tiba tiba dari dalam rumah
gubuk itu terdengar siulan yang nyaring, yang memecah kesunyian
sang malam. Maka jago tua, begitupun ketiga kawannya segera
berpaling kearah rumah gubuk itu Pintu gubuk tampak terpentang.
Dua orang berbaju hitam tadi menggotong bale-balenya masuk
kedalam gubuk itu, segera terlihat nyalanya api. Kemudian, kedua
daun pintu sudah segera ditutup pula.
"Aneh" Siauw Pek berseru perlahan- "Kita telah menyaksikan
kejadian ini, mana dapat kita berdiam saja?"
"Saudara benar," kata Oey Eng. "inilah kejadian aneh, yang perlu
kita selidiki."
Ban Liang sama tertariknya seperti si anak muda walaupun dia
telah sangat banyak pengalamannya. Kejadian seperti ini belum
pernah dia melihat atau mengalaminya .
"Kedua saudaraku tolong kamu berdiam disini" kata Siauw Pek
kemudian, "kamu harus bersiap sedia, supaya bila terjadi sesuatu
diluar dugaan, kamu dapat segera turun tangan, untuk menyambut
kami, bersama Ban Locianpwee hendak aku mendekati gubuk itu
untuk melihat lihat itulah peristiwa jahat dan kejam, tak dapat kita
berpeluk tangan saja membiarkannya"
Oey Eng dan Kho Kong merasa sangat aneh tapi mereka harus
menahan sabar, supaya mereka dapat mentaati kata kata ketua
mereka. Demikian mereka menerima tugas bersiap sedia.
"Baik, toako" kata mereka. "Kami akan berjaga-jaga disini" Siauw
Pek segera berpaling kepada Ban Liang.
"Loocianpwee, mari" ia mengajak. Lalu sambil mendadak. ia
keluar dari dalam gerombolan semak semak itu, untuk berlari
menghampiri rumah gubuk. Tentu saja ia menjaga supaya ia tidak
menerbitkan suara tindakan kakinya. Ban Liang menyusul, tetapi
lebih dahulu ia memesan Oey Eng dan Kho Kong, katanya: "Apa
yang kita lihat sekarang sangat aneh, maka itu, sebelum kita
memperoleh kepastian tidak boleh kita membuat orang merasa
terganggu ketenangan atau usahanya. Kamu berdua saudarasaudara,
kamu harus dapat berlaku sabar, seandainya kamu
menemukan sesuatu, jangan segera kamu turun tangan tapi
berikanlah kabar lebih dulu kepada kami" Oey Eng memberikan
janjinya.
Setombak berpisah dari rumah gubuk. Siauw Pek berhenti. Tak
mau ia membuat sipemuda mendengar gerak geriknya, sambil
berdiri ia mengawasi tajam kearah rumah gubuk. ia melihat samar
samar bergeraknya bayangan orang, rupanya orang tengah sibuk
sekali.
Ban Liang menyusul pemuda itu, ia lalu berbisik: "Dari sini tak
dapat kita melihat tegas. Mari kita pergi kedepan."
Siauw Pek mengangguk, ia mengikuti jago tua itu. Ia langsung
menghampiri pintu, untuk mencoba melihat kedalam. Secara tiba
tiba ia merasakan hatinya kaget, hampir saja ia mengeluarkan
seruan tertahan-
Didalam rumah, keadaan jauh berbeda daripada keadaan tadi.
Kedua peti mati telah terbuka kedua dua tutupnya dan didalamnya
masing masing bercokol seseorang.
orang yang dikiri umurnya lebih kurang empat puluh tahun,
beroman tampan, cuma parasnya pucat pasi, tak ada darahnya
setetes juga. Dia mengenakan karpus bulu dan bajunya dari kain
kasar.
orang didalam peti mati kanan itu adalah seorang wanita usia
pertengahan, parasnya cantik sekali, alisnya lentik bagaikan
rembulan sisir, rambutnya
dibungkus dengan pita putih. Hanya bajunya, pakaian putih
untuk berkabung. Sianak muda tuan rumah juga sudah berganti
dandanan- Secarik kain putih sebatas pinggangnya menutupi
sebagian bajunya. Didepan kedua peti mati terdapat sebuah peti
kayu, yaitu gerobak, yang tutupnya terpentang hingga terlihat
didalamnya beberapa pisau kecil yang tajam mengkilap seperti
banyak peles batu kumala, ada juga sebuah gunting. Kedua orang
berbaju hitam rupanya sudah sangat letih, mereka tidur disisi peti
mati. Muka mereka berdua pucat sekali, hingga nampaknya
menakutkan-Bale-bale yang tadi digotong terletak dengan tertutup
kain hitam, entah apa yang ditutupi, dilihat dari bentuknya itulah
mirip manusia atau orang yang sedang tidur nyenyak.
Suasana didalam ruangan itu menyeramkan-
Selagi Siauw Pek mengawasi, ia melihat kedua mayat dari kedua
peti mati bergerak sedikit, menyusul itu mereka membuka mata
mereka masing-masing Maka mata mereka itu lalu melihat kelilingan
dengan sinarnya yang tajam.
"Liehay tenaga dalam mereka" pikir Siauw Pek terperanjat. Si
anak muda berbaju biru dengan sebat menjemput sebuah botol
kecil dari dalam geroboknya itu, dengan cepat ia menuang isinya,
dua butir obat gulung, obat mana segera dimasukkan ke dalam
mulut dua orang pria dan wanita itu, seorangnya sebutir.
Habis menelan obat, dua orang itu memejamkan mata, terus
mereka merebahkah diri, setelah mana dengan cepat sianak muda
berbaju biru menutup pula masing-masing petinya, kemudian lagi
sehelai papan diletakkan diatas kedua peti mati itu. Diatas papan itu
dia meletakkan bale bale tadi. Paling akhir dia mengambil api lilin,
buat ditaruh diatas peti mati itu.
Terus menerus Siauw Pek mengawasi, sementara hatinya
berpikir: "Dilihat dari gerak geriknya, dialah seorang tabib, akan
tetapi dilihat dari kelakuannya, bukan itu, sebab dia kekurangan
rasa cinta kasih sesamanya. Entah apa yang sedang dia lakukan?"
SElagi anak muda berpikir begitu, ia melihat sianak muda berbaju
biru menyingkap kain penutup bale bale. Dia itu menggunakan
tangan kirinya. Kembali Siauw Pek tercengang. Yang rebah dibale
itu adalah seorang wanita muda yang tidur nyenyak. sebagaimana
terdengar suara dengkurnya dan mukanya merah dadu.
Mulanya anak muda baju biru itu nampak girang, tapi sesaat
kemudian, wajahnya menjadi dingin. Lalu ia menarik sehelai sapu
tangan hitam, yang dia pakai menutupi muka sinona. Lalu dia
meloloskan ikun- atau kain sarungnya sinona. Pada akhirnya, dia
menepuk tiga kali kepada bilik disisinya. Siauw Pek melihat tepukan
itu berat, sampai bilik sedikit menggetar. Menyusul itu, tanah disatu
pojok mendadak terbalik, lalu dari situ dari dalam tanah lompat
seorang kacung umur lima atau enam belas tahun, yang bajunya
hijau. Dia membungkuk kepada sianak muda seraya berkata: "Jieya
memanggil hambamu?"
"Jie ya" ialah sebutan untuk tuan yang nomor dua.
Sianak muda menoleh mengawasi orang dengan tawar, katanya:
"Beri tahu pada toaya supaya dia berhenti dahulu, karena orang
yang kita culik malam ini kembali tak dapat digunakan."
"Toaya" ialah panggilan untuk tuan atau majikan yang nomor
satu. Kacung itu menyahuti, dia melompat keliang darima na dia
datang, lalu dia menghilang. Tutup lantai itu, yang terbuat dari besi,
segera tertutup pula. Pesawat rahasia itu tak nampak. sebab pintu
atau tutup besinya, diberi warna sama dengan warna tanah. Yang
aneh ialah ditempat belukar itu, didalam sebuah rumah gubuk.
mempunyai pintu rahasia semacam itu.
Selagi sianak muda berpikir, telinganya mendengar suaranya Ban
Liang: "Tidak dapat kita berdiam lama ditempat semacam ini, mari
kita lekas berlalu" Dan jago tua itu lalu memutar tubuh dan berlalu
pergi.
Siauw Pek segera menyusul. Ia melihat jago tua itu berlalu
secara kesusu sehingga sebentar saja tiba ditempat Oey Eng dan
Kho Kong.
Tanpa mengatakan sesuatu, dia menarik tangan kedua kawan
itu, buat diajak lari. Pergi
Siauw Pek terus mengikuti, iapun berlari lari. Ban Liang lari terus
sejauh sepuluh lie lebih, baru ia berhenti dibawah sebuah pohon
kayu.
Oey Eng, Kho Kong turut berlari lari tanpa mereka mengerti apa
sebabnya, selama itu, tak sempat mereka menanya sesuatu, sedang
herannya bertambah
tambah. SEtelah berhenti lari, habislah sabar Kho Kong.
"Loocianpwee, apakah artinya kelakuanmu ini?" dia bertanya.
Jago tua itu hela napas berulang ulang.
"Sungguh berbahaya" katanya.
Siauw Pek segera mengerti.
"Locianpwee, apakah kau telah melihat sesuatu mengenai sepak
terjangnya pemuda berbaju biru itu ?" tanyanya. Ban Liang berpikir
sejenak.
"sekarang ini loohu belum bisa mengatakan apa apa" sahutnya,
"hanya melihat keadaan, loohu mau menerka jangan jangan itulah
dia."
"Siapakah dia itu, loocianpwee?" tanya pula sianak muda itu.
"Amat panjang menuturkannya saudaraku" sahut Ban Liang yang
terus menengadah langit mengawasi bintang bintang. ia pun
menghela napas panjang. Dan baru melanjutkan-
"Tiga puluh tahun yang silam, didalam dunia Kang ouw itu telah
terjadi hal yang dikata satu peristiwa besar, yang sangat
menggemparkan, hanya kemudian, kegemparan sirap dengan cepat.
Maka juga, orang yang masih ingat peristiwa itu, tak banyak
lagi........"
"Peristiwa apakah itu?" Kho Kong tanya.
"Pada masa itu dalam dunia Rimba Persilatan telah muncul
seorang yang luar biasa. Dia menyebut dirinya ceng Gie Loojin, yang
berarti si orang tua yang mengutamakan keadilan atau peri
kebajikan. Dia mempunyai kepandaian misalnya saja dapat
menghidupkan orang yang sudah mati. Dan sejak munculnya orang
tua aneh itu maka didalam dunia rimba persilatan telah
bermunculan beberapa orang yang sudah lama sekali lenyap tanpa
berita."
"Apakah ada hubungannya ceng Gie Loojin dengan orang orang
yang telah lama hilang itu tetapi muncul pula secara mendadak?"
"Ya, ada. Mereka adalah orang orang yang ternama."
"Mungkinkah ceng Gie Loojin pandai sekali menyamar hingga dia
dapat memperdayakan orang banyak?" Siauw Pek bertanya.
"Kalau hanya ilmu menyamar yang umum, itu tak akan
menggemparkan dunia" Si anak muda heran sekali.
"Habis cara apakah dia pakai buat membikin orang sama
wajahnya?"
"Itulah suatu pendapatan aneh dalam dunia ketabiban ceng Gie
Loojin itu, asal ia dapat melihat orang satu kali, lantas la bisa
membuat seorang yang mirip segalanya."
"oh, begitu" kata Kho Kong kagum.
"ceng Gie Loojin menyebut dirinya loojin- orang tua tentulah
umurnya sudah tak muda lagi?" berkata Siauw Pek.
"Tidak salah."
"Akan tetapi s i pelajar berbaju biru yang kita ketemukan itu
usianya belum lanjut......"
"Walaupun pelajar berbaju biru itu bukannya ceng Gie Loojin
sendiri, mungkin dialah murid siorang tua." Siauw Pek berpikir.
"Apakah ini cuma terkaan loocianpwee saja?" Ban Liang
menggeleng kepala.
"Bukan- Aku melihat suatu rahasianya."
"Apakah itu? Apakah yang mencurigakan?"
"Itu karena diatas peti obat obatannya aku melihat sebuah cap
yang menjadi tanda dari ceng Gie Loojin."
"Dengan begini-jadinya pada beberapa puluh tahun yang lampau
itu loocianpwee pernah melihat sendiri ceng Gie Loojin-..."
"Ah Iutlah kejadian dari banyak tahun yang berselang. Tatkala itu
dunia Rimba Persilatan sedang gempar dengan nama besar dari
ceng Gie Loojin, walaupun demikian, orang yang pernah bertemu
atau melihatnya sendiri tidak banyak......, itulah pada suatu malam
sudah larut malam, ketika diluar kehendakku, jadi secara kebetulan,
aku mendatangi tempat kediaman sementara orang yang kenamaan
itu....."
"Kalau demikian, pantas loocianpwe berkesan mendalam
mengenai dia."
"Loocianpwee," campur bicara Oey Eng yang diam saja sejak
tadi, "apakah loocianpwee pernah menderita dari dia disebabkan
locianpwe ditempat dia
itu?"
Dan berkata begitu anak muda ini mengawasi muka orang tua
itu. "Tidak Aku tidak sampai diubah macam wajahku oleh dia. Hanya
melihat caranya mereka bekerja menjalin wajah seseorang."
Ban Liang berdiam sejenak. baru dia melanjutkan keterangannya:
"Ketika itu belum lama aku ceburkan diri dalam dunia kang ouw.
Aku telah ditotok jalan darahku, lalu aku digotong kekamar didalam
tanah. Entah karena kealpaan orang2 bawahannya, atau mungkin ia
sengaja berbuat baik kepadaku, mereka telah kelupaan menotok
otot gaguku, bahkan aku masih dapat menggerak geraki
tubuhku....."
"Mungkin itu disebabkan kealpaan." berkata Siauw Pek.
"oleh karena itu dengan mataku aku bisa melihat dan telingaku
bisa aku mendengar. Itu waktu didalam kamar itu sudah terdapat
beberapa orang yang telah dibalut mukanya dengan kain putih...."
"oh begitu?" kata Kho Kong heran, sedangkan hatinya berdenyut.
Ban Liang mengangguk.
"Benar. Loohu tak salah lihat, tak keliru mendengar."
"Kemudian?" tanya lagi Siauw Pek.
"Tiga hari tiga malam Loohu dikurung didalam kamar bawah
tanah, maka Loohu sempat melihat dibukanya pembalutan
padamuka beberapa orang itu. Diantara mereka itu ada dua orang
ang loohu kenali. Yang satu ialah Tiat Tan Kiam Kek Thio Hong
Hong, dan yang lainnya Siang Put Tong dari Thay Im Bun...."
"Siang Put Tong?" Siauw Pek menegasi.
"Benar Apa..... apakah kau pernah bertemu dengan dia?" tanya
Ban Liang.
"Ya, satu kali didalam Hek Siu Po, bahkan aku pernah kena
pukulannya, pukulan Im Hong Touw Kut ciang yang lihay, sampai
hampir aku menemui ajalku."
"Memang ilmu pukulan angin itu adalah ilmu pukulan istimewa
dari Thay Im Bun, hebat siapa terkena pukulan itu. Namanya sangat
terkenal. Luar biasa yang telah kau kena terhajar tetapi kau dapat
tertolong."
"Syukur aku ditolong oleh kedua saudara Oey dan Kho ini, yang
bersusah payah mencarikan tabib. Itu waktu, akupun ditolong Kouw
Heng Taysu, pendeta dari Siauw Thian ong Sie.... lalu loocianpwee,
bagaimana jalannya maka locianpwee bisa lolos dari kamar bawah
tanah itu?"
"Dua orang itu kenal loohu seperti loohupun kenal mereka" Ban
Liang melanjutkan cerita.
"Hanya aneh mereka waktu itu. Mereka mengawasi tapi diam
saja. Itulah bukti mereka tak kenal aku, teranglah mereka orang
orang palsu."
"Tak samanya setiap manusia terletak pada mukanya," berkata
Oey Eng, "tetapi dia dapat membuat orang menyamar demikian
mirip. benarkah ada kepandaian semacam itu?"
"Telah aku saksikan sendiri. Jikalau tidak mustahil kepandaiannya
itu sampai menggemparkan dunia persilatan?"
Habis berkata itu, sijago tua ini menghela napas. Agaknya dia
masih amat kagum.
"Menyaksikan kepandaian orang itu, aku kagum hingga aku
melengak." dia menerangkan lebih jauh, "Akupun khawatir sekali.
Aku memikiri, wajahku sendiri bakal dimiripi dengan siapa.... celaka
kalau sampai terjadi demikian- Maka syukurlah, sebelum orang
turun tangan atas diriku. Thio Hong Hong yang sejati bersama Hie
Sian ciang Peng telah datang, mereka itu menyerbu masuk kedalam
kamar bawah tanah itu. Mereka memang gagah dan namanyapun
telah menggemparkan dunia persilatan- Setelah bertempur hebat
mereka berhasil membinasakan musuh yang bertanggung jawab
atas kamar itu. ceng Gie loojin sebenarnya belum berusia lanjut
amat, meskipun ilmu silatnya tak dapat dicela, dia bukanlah lawan
Thio Hong Hong berdua. Dia terlukakan Thio Hong Hong dan kabur
karenanya.
Thio Hong Hong palsu terbinasa ditangan yang aslinya. Thio
Hong Hong sejati/aslinya kagum bukan main melihat Thio Hong
Hong palsu itu. Loohu kenal kedua orang itu, maka loohu telah
ditolong mereka." Oey Eng menghela napas saking kagumnya.
"Benarlah, didalam dunia Kang ouw yang luas ini, tidak ada yang
tidak aneh" katanya.
"Itulah hal yang sebelumnya belum pernah aku dengar atau lihat,
jikalau yang bicara bukan loocianpwe, pasti aku tak
mempercayainya."
"Kemudian bagaimana?" tanya Kho Kong, "Apakah ceng Gie
loojin muncul pula?"
"Tidak. Selama beberapa puluh tahun ini, belum pernah aku
dengar namanya itu disebut orang pula. Hanya apa yang kini aku
saksikan membuat aku teringat padanya, sehingga loohu mau
menyangka dia telah muncul lagi. Atau sedikitnya, itulah buah hasil
dari warisannya yang mujizat itu....."
orang tua ini bicara secara wajar, akan tetapi kesannya bagi Oey
Eng bertiga mendalam memang aneh orang dapat membuat
manusia palsu yang demikian mirip "
"ceng Gie Loojin aneh, hanya aku tidak mengerti, dia tak cukup
tua tetapi dirinya menyebut siorang tua......" kata Kho Kong "pula
bertentanganlah nama dan perbuatannya itu. Namanya ceng Giee,
adil, perbuatan, kejam Kenapa dia pakai nama aneh itu?"
"Tak banyak cerita tentang ceng Gie loojin. Dahulu dia
menggemparkan, lalu sirap sampai orang melupakannya. Aku
sendiripun lupa. Baru sekarang aku mengingatnya . "
Siauw Pek berpikir keras. Ia percaya, jika benar ada orang
selihay ceng Gie Loojin, pasti bisa terjadi hal hal yang aneh, hebat.
Ban Liang melihat sianak muda diam saja.
"Kau pikirkan apa, saudara kecil?" tegurnya.
"Keterangan loocianpwee ini membuat aku ingat suatu hal"sahut
sianak muda.
"Apakah itu saudara kecil?"
"Itulah peristiwa Pek Ho Bun disebabkan serbuan sesama kaum
rimba persilatan-...."
"Maukah saudara menjelaskan agar mungkin loohu dapat
memikirkannya?"
"Toh benar dalam dunia Kang ouw ada kepandaian menyalin
rupa?"
"Benar. Buktinya telah aku saksikan dahulu itu."
"Maka itu aku memikir, loocianpwee: Bagaimana kalau ada orang
yang menyamar jadi ayahku dan dia sengaja muncul dipuncak Yan
In Hong itu? Bukankah itu tidak sulit? Dengan begitu bukankah
mudah saja orang menimpahkan kesalahan kepada ayahku?
Bagaimanakah anggapan locianpwe?"
"Itulah mungkin"
"Benar" kata Oey Eng dan Kho Kong.
"Mungkin si jahat itu, pada waktu dia turun tangan, dia tetap
menyamar sebagai ayahku."
Ban Liang menganggukkan kepalanya. "Sayangnya kita tak ada
saksi."
"Jika ada orang yang menyamar menjadi ayahku, kenapa tak ada
yang menyamar juga menjadi orang lain?" kata pula sianak muda.
Hati Ban Liang bercekat, ia ingat suatu apa.
"Apakah kamu maksudkan orang menyamar jadi ketua Siauw
Limpay atau Bu Tong pay?" dia menegaskan-
"Ya, sekarang dapat menyamar jadi satu orang, kenapa tidak
tidak lain lain orang lagi?" Oey Engpun berkata. Siauw Pek
menghela napas.
"Yang tidak mengerti ialah kenapa orang menyamar ayahku...."
katanya. "sekarang ini percuma saja kita menerka-nerka," berkata
Ban Liang. "Hanya satu hal yang meninggalkan kesan mendalam
terhadapku. Ya itu peristiwa Pek Ho Bun Sampai sekarang sudah
lewat sepuluh tahun lebih akan tetapi orang Rimba Persilatan belum
melupakannya. Inipun aneh."
Siauw Pek berpikir. Ia bertanya pula: "Mungkin orang berbaju
biru itu ialah murid ceng Gie loojin. Hanya yang mengherankan,
kenapa dia memilih rumah gubuk dan juga ditempat tegalan belukar
semacam itu? Siapakah pria dan wanita itu? Rupanya mereka itu
belum mati, tapi kenapa mereka mau berdiam didalam peti? Apakah
maksud sipelajar berbaju biru menggunakan dua peti mati itu?
Apakah semua itu hanya untuk menyesatkan orang banyak agar tak
ada yang mencurigakannya . "
Ban Liang heran melihat orang berpikir demikian, ia menanyakan
sebabnya. "Aku mengherani orang berbaju biru itu serta sepak
terjangnya. Kalau kita dapat menyelidiki dia, mungkin kita akan
membeber suatu rahasia Rimba Persilatan-...."
"Kau benar juga, saudara kecil. sulitnya bagi kita tak tahu
bagaimana kita harus bekerja"
Siauw Pek berpikir. ^
"AKu memikir sesuatu," katanya kemudian"
Apakah itu, saudara kecil?"
"Inilah pikiran sederhana saja. Kita menyelundup masuk
kegubuknya itu."
"Kita berpura kena ditawan?"
"Ya, salah satu loocianpwee atau saudara Oey atau saudara Kho,
menyaru menjadi orangnya dan aku yang menyamar orang
tawannya. Tidaknya dengan begitu kita masuk kedalam gubuknya?"
Ban Liang berpikir.
"Daya ini baik cuma sangat berbahaya" ujarnya.
"Jalan lain tidak ada. Aku mau menerka rumah itu sebagai pusat
kejahatan-Atau mungin itulah tempat seperti dikatakan Su Kay
taysu, yaitu suatu sarangnya usaha rahasia yang berbahaya, bahwa
peristiwa Pek Ho bun baru peristiwa permulaan saja....."
Dengan tenang anak muda ini menatap kawan kawannya,
terutama Ban Liang. "setelah belasan tahun, peristiwa coh Keepo
menjadi peristiwa yang tergantung," kata ia meneruskan- "Perkara
gantung, sebab tetap tak diketahui sebab musababnya. Pernah aku
menerka ketika ayahku pergi ke Yan In Hong, disana ia telah
memergoki rahasia orang maka ia dicelakai, difitnah....."
"Apakah sekarang saudara kecil merubah perkiraanmu itu?"
Siauw Pek mengangguk.
"Setelah pengalamanku beberapa bulan," katanya, setelah
mendengar kata kata Su Kay Taysu, sekarang aku mengerti bahwa
soal bukannya sesederhana seperti terkaanku semula. Ia menghela
napas, lalu ia menambahkan "Ketika dahulu ketua siauw Limpay itu
terbinasakan orang, mestinya dia ditemani beberapa orang
muridnya. Kenapakah tidak ada diantaranya yang melihat gurunya
dianiaya? Mengenai itu, aku memikir dua kemungkinan-..."
Ban Liang mengangguk angguk. Ia membenarkan jalan pikiran
anak muda ini. Siauw Pek menghela napas. Ia berkata pula:
"Kemungkinan yang pertama yaitu penganiayaan itu telah dipikir
masak masak oleh orang itu, tetapi toh telah diketahui ayahku.
Entahlah bagaimana caranya ayahku memergokinya. Maka itu, Pek
Ho Po diserbu. Maksudnya tak lain tak bukan, untuk membungkam
mulut ayahku."
"Benar BEnar" Ban Liang memuji. Dia menunjukkan-jempoinya.
"Kemungkinan yang lainnya yaitu, keempat ketua partai itu belum
mati." Ban Liang mementang kedua matanya, mendelong menatap
si anak muda.
Iapun bertanya: "Apa? Bukankah hal kematian keempat ketua
partai itu telah diketahui oleh umum? Mungkinkah kematian itu
kematian palsu?" Si anak muda tertawa hambar.
"Yang tampak toh mayat mayat, bukan?" katanya. "Siapakah yag
dapat membuktikan bahwa semua mayat itu benar mayat mayat
ketua keempat partai itu?"
Ban Liang menggumam.
"Ini..... ini...... ada juga kemungkinannya......."
"Jikalau keempat ketua partai itu benar masih hidup," berkata
pula Siauw Pek, "masih ada dua tekanan lainnya lagi. Yang pertama
ialah rencana jahat itu dipikir dan dilaksanakan oleh mereka
berempat, jadi merekalah siorang jahat....."
"Sungguh luar biasa" menyela Ban Liang heran dan kagum
berbareng. "Toh ini kemungkinan yang bukan tak mungkin"
Ban Liang mengangguk.
"Kemungkinan lainnya yang kedua?"
""Mereka telah ditangkap orang, telah dibawa lari dan
disembunyikan....."
" Kenapakah begitu?"
Siauw Pek mengangkat kepala, memandang langit. Ia menghela
napas pula. "Kemungkinan ini, sebabnya sangat ruwet, rumit sekali.
Mungkin disebabkan orang hendak pinjam tenaga mereka. Atau
mereka mau dipaksa untuk menyerahkan sesuatu."
"Saudara kecil," berkata si jago tua kagum, "mungkin
pemikiranmu ini tidak cocok, akan tetapi, karena kau dapat menerka
begini, inilah bukti dari kecerdasanmu yang luar biasa. orang lain
pasti tidak dapat menduga sebagai kau....."
"Itulah sebabnya kenapa aku jadi ingin menyelundup masuk
kedalam rumah gubuk itu, guna membuat penyelidikan- Siapa tahu
kalau hasil penyelidikan ini merupakan bukti yang berhubungan
dengan kematian keempat ketua partai itu ataupun sebaliknya?
Pokoknya kita memperoleh sesuatu hasil penyelidikan."
"Jikalau orang itu benar murid ceng Gie Lojin", berkata Ban Liang
kemudian, "dengan menempuh jalan berbahaya ini, ada
kemungkinan wajah kitapun nanti disalin rupanya atau jiwa kita
terancam maut...."
"Aku tahu itu," kata Siauw Pek, "yang pikirannya sudah tetap.
Waktu kita sempit sekali. Mungkin mereka bakal pindah ketempat
lain Apabila itu sampai terjadi, kemana kita harus cari mereka
didunia yang begini luas ini?"
"Baiklah" kata sijago tua akhirnya, "cuma, untuk memasuki gua
harimau, kita mesti mempunyai rencana dahulu...."
"Tentang itu telah aku pikirkan" siauw Pek berkata.
Ban Liang mengernyitkan alisnya. Pikirnya: "Keras hati anak
muda ini, dia sangat cerdas Benar benarkah dia hendak
menyelundup masuk kedalam rumah
gubuk itu?"
Lalu ia bertanya, "Apakah rencanamu, saudara kecil?"
"Paling dahulu kita bersembunyi didekat rumah gubuk itu. Diam
diam kita menguntit orang orang itu, orang orang yang berpakaian
hitam. Kita lihat mereka pergi kemana dan siapa siapa yang mereka
tawan....."
"Apakah saudara kecil berniat menyaru menjadi seorang
tawanan?"
"Benar. Aku yang menyamar jadi orang tawanan, lalu
loocianpwee atau salah satu diantara kedua saudara Oey dan Kho
yang menjadi orang serba hitam itu."
"Bagus" Kho Kong memuji sambil dia menunjukkan jempolnya.
"Bagus"
"Aku situa memikir sesuatu", berkata Ban Liang. "Aku duga orang
orang berpakaian hitam mesti ada mempunyai isyarat supaya
mereka mengenal satu dengan lain."
"Justru karena itu, kita mesti kuntit dahulu mereka, lihat apa
yang mereka lakukan, sesudah itu baru kita bekuk mereka, untuk
mengorek keterangan dari mulutnya, supaya dengan begitu kita bisa
menyamar dengan sempurna." Ban Liang menghela napas.
"Kalau didalam rumah gubuk itu benar ada ceng Gie loojin"^
katanya masgul, "lebih baik kita tak usah pergi melihatnya....."
Siauw Pek heran- Ia melihat orang tua ini masih ingat lakon
dahulu hari dan dia tetap jeri terhadap ceng Gie loojin, ingin ia mesti
mengatakan apa.
"Mari kita cari penginapan dahulu", katanya kemudian- "Nanti
kita berdamai pula."
Ban Liang menurut, akan tetapi didalam hatinya dia berkata "Aku
mesti berdaya buat membikin anak muda ini membataikan
rencananya....." Setelah melihat keempat penjuru. Siauw Pek
berempat menuju kesebelah depan-Mereka melalui sepuluh mil
lebih, baru mereka dapat rumah penginapan- Karena tempat itu
kecil, penginapan juga satu satunya. Itulah losmen miliknya seorang
setengah tua, yang mewarisinya dari leluhurnya semenjak lima
puluh tahun yang lalu.
Ketika Ban Liang berempat tiba dilosmen, waktu sudah jam lima
pagi. Tuan ruma dan kedua pembantunya sudah pada bangun,
bahkan mereka telah membuka pintu, buat mengantarkan para
tetamunya berangkat pergi sehabisnya tetamu itu sarapan pagi.
Dasar losmen kecil, kamarnya cuma dua dan perabotannya
sangat miskin, orang mesti tidur dilantai, diatas tikar, kalau
tetamunya banyak orang, apakah kita orang semuanya ini mesti
tidur berjejalan....
Dikamar yang satu masih ada seorang tetamu yang masih tidur.
Ban Liang memberi tahu tuan rumah bahwa berempat ia
memborong sebuah kamar, tak ia ketumpangan tetamu lainnya.
Iapun bertanya, apa itu tetamu satu
satunya, bakal berangkat hari ini.
"Ya, kecuali dia mati disini" kata tuan rumah. Kata "mati" itu dia
ucapkan perlahan sekali, agaknya dia kawatir ada orang lain yang
mendengarnya.... Ban Liang batuk batuk. niatnya membuat si
tetamu mendusin, tapi ia gagal, walaupun ia berlaku berisik. orang
tidur bagaikan mayat..... Setelah terang tanah, tuan rumah
menyediakan barang hidangan-
"Masih tetamu yang satu itu belum bangun juga."
"Apakah dia tamu langgananmu?" tanya ban Liang pada tuan
rumah.
"Bukan-"
"Apa pekerjaan dia?"
"Tukang tambal kwali dan tempayan- Sekarang silahkan tuan
tuan sarapan dahulu, sebentar akan aku bangunkan dia, andaikan
dia masih tetap akan bermalam disini, akan aku minta dia pindah
kamar....."
Ban Liang mengangguk. "Kau she apa, tuan?"
"Tan."
"Bagus. Kami akan berdiam disini tiga atau lima malam. Kami
tengah menjanjikan kawan kawan-"
"Baik, tuan-tuan- Terima kasih"
Ban Liang masih mengawasi tetamu yang tidur nyenyak itu, lalu
dia mengajak tiga kawannya pergi keruang depan, tempat
bersantap. Disitu cuma ada tiga buah meja tua serta kursi kursinya,
barang hidangan sudah disiapkan diatas sebuah meja, maka
berempat mereka lalu duduk menangsel perut, lahap makannya.
Tengah mereka bersantap itu, mendadak tuan rumah datang
sambil berlari lari dengan muka pucat dan roman bingung, dengan
gugup, dia kata tak lancar: "Tuan-tuan, maaf, maaf Aku menyesal
sekali..... Tamu tadi itu telah meninggal dunia..... buat tuan-tuan,
akan aku sediakan kamar yang lainnya...."
Ban Liang terperanjat, dia berjingkrak bangun. Ketika tuan rumah
itu mau mengundurkan diri, dia lalu menghadang dan bertanya:
"benarkah dia mati?"
"Benar, tuan- Mana aku berani main-main- Sejak lima puluh
tahun, baru kali ini aku mengalami peristiwa semacam ini...."
"sekarang kau hendak pergi kemana?"
"Inilah jiwa manusia. Maka aku mesti menemui kepala
kampung."
"Tunggu sebentar. Aku mengerti ilmu obat obatan, mari kita
tengok dahulu orang itu."
"Tak usah, tuan- Dia sudah mati, kaki tangannya telah dingin
semua....." Ban Liang mencekal tangan orang itu.
"Inilah kejadian buruk buat losmenmu" katanya, "Mari kita lihat
dahulu, mungkin aku dapat menolong dia......"
Tuan rumah itu kaget. Hebat cekalan itu, hingga dia habis
tenaganya.
"Tuan-... tuan-.... benar.....," katanya menyeringai.
Lalu mereka pergi kekamar tadi. Tamu itu masih rebah seperti
orang tidur nyenyak.
Ban Liang menyingkap selimut. Ia lihat orang itu berumur kira
kira tiga puluh tahun dan mukanya pucat. Ketika ia meraba
kehidung orang itu, ia mendapat kenyataan benar orang itu sudah
berhenti bernapas.
"Benarkah dia sudah mati?" Kho Kong tanya.
Ban Liang meraba nadi orang. Ia masih ingin bukti lebih jauh.
Kalau hidung orang itu tidak bernapas, tidak demikian dengan
nadinya. Nadi itu masih berdenyut.
Lalu Ban Liang mengedipkan mata pada Siauw Pek bertiga,
mengisyaratkan agar mereka itu bersembunyi dibelakang pintu,
setelah itu ia tertawa dingin dan berkata: "Nadimu masih berdenyut
sahabat, itulah bukti bahwa kau masih hidup. Aku si orang she Ban
pernah mengalami taufan dan gelombang dahsyat, mustahil
perahuku karam didalam selokan? Maka, jangan kau bermain gila
lagi sahabat"
orang yang dikatakan sudah mati itu tetap berdiam, tubuhnya tak
bergeming. Tuan rumah menghela napas.
"orang yang sudah putus jiwa mana bisa bicara......." katanya.
Iapun heran-
"Kau tidak tahu diri, sahabat" kata pula Ban Liang, tetap dingin,
"baik, jangan kau katakan aku kejam" Ia mengangkat tangannya
mengancam dada orang.
Tamu itu tetap rebah tak bergerak.
Jago tua itu tidak menghajar dada orang, hanya mendadak
tangannya diarahkan kejalan darah sin hong, untuk menotok.
Baru sekarang ancaman itu ada hasilnya. Tepat jarinya mengenai
baju, tepat tubuh orang itu bergerak menggelinding, lincah sekali
dia bergerak bangun dan duduk. Ban Liang tertawa.
"Aku kira kau tidak takut mati, sahabat" ejeknya, "Kiranya kau
takut juga" orang itu menatap Ban Liang, matanya mencilak. setelah
itu ia mengawasi Siauw Pek dan dua pemuda lainnya. Ia tidak
membuka suara. Ia duduk tetapi kedua tangannya masih
memegangi selimutnya, hingga kedua belah tangannya itu dan
sepasang kakinya tetap ketutupan selimut itu.
sikap tenang itu membuat Siauw pek berempat kagum. Ban liang
menjadi gusar.
"Sahabat, diri asalmu sudah terlihat tegas, kau masih tetap
berpura pura" katanya sengit. "Apakah maksudmu?"
orang itu rebah dengan perlahan lahan- Baru sekarang dia
membuka mulutnya. Katanya: "Aku sedang tidur, apa sangkutnya
aku dengan kamu? Kenapa kau hendak menotok jalan darahku?"
Tanpa menanti jawaban, dia memejamkan matanya, seperti juga dia
telah tidur nyenyak pula.
Siauw Pek heran. juga Ban Liang yang berpengalaman, bicaranya
orang itu beralasan, sulit untuk menjawabnya.
Sedangkan orang berdiam, tuan rumah berkata pada tamunya
itu: "Duduk halnya begini tuan- Keempat tuan ini memborong
kamarku ini, maka itu aku memikir memohon tuan pindah kekamar
yang lain, bagaimana?" orang itu membalik tubuhnya.
"Siapa berusaha dia tahu aturan" tegurnya. "Dan didalam hotel,
ada orang yang datang lebih dulu, ada yang datang belakangan.
Bukankah aku yang lebih dahulu menyewa kamar ini? Kenapa
mereka tak diminta mengambil kamar yang lainnya?"
Tuan rumah bungkam. Tamu itu benar.
Walaupun lagaknya aneh, perbuatan tamu itu cocok dengan peri
kebenaran- Maka itu Ban Liang berempat kalah alasan-
Tapi Kho kong habis sabar melihat sijago tua dan ketuanya diam
saja
"Soal toh sederhana sekali, bukan?" kata dia.
"Kami banyakan, tuan sendirian, jadi kalau kau menukar kamar,
bukankah itu pantas?"
Tiba tiba orang itu berkata: "Baiklah aku akan mengalah"
Kho kong puas. Katanya: "Bagus kau bersedia pindah, tapi
kenapa kau tidak mau pindah segera?"
"Ya, aku akan pindah" berkata orang itu, yang tiba tiba mencelat
bangun untuk melesat keluar kamar. Ia tetap membawa selimutnya
dengan apa ia lalu lenyap bersama Hanya sekelebatan Ban Liang
heran dan kagum, juga ketiga kawannya tak terkecuali tuan rumah,
siauw Pek tidak melihat sesuatu yang mencurigakan- Dengan
perlahan, ia berkata pada tuan rumah: "Nah, kau lihat tuan
Tamumu itu adalah seorang Kang Ouw yang luar biasa"
Tuan rumah yang melengak, berkata: "Ya, aku telah
melihatnya....."
"Karena dia bukan sembarangan tamu, tuan tentu tak usah pakai
segala aturan lagi"
sijago tua berkata pula, "Maukah kau serahkan semua barangnya
dia itu kepada kami?"
Nampaknya tuan rumah itu bersusah hati.
"Bagaimana aku dapat menyerahkannya?" tanyannya. "Aku tidak
mengerti silat, bagaimana kalau dia datang pula untuk memintanya?
Mudah saja buat dia merampas Jiwaku? "
"Biar bagaimana dia sudah membenci" kata Ban Liang tertawa.
"Bukankah kau seperti memaksanya pindah kamar? Selama kami
berada disini, dia tentu tidak berani datang dulu. Tapi nanti
seperginya kami? Nah sama saja bukan?"
Tuan rumah kaget, dia takut, hingga kakinya bergemetar keras.
"Tuan tuan benar. Aku mohon sukalah tuan tuan mendayakan
menolong aku....." Sijago tua berpikir.
"Ada dayanya hanya itu tetap bergantung kepada
peruntunganmu...."
"Asal jiwaku selamat, akan aku lakukan segala apa...."
"Nah, kita kembali pada persoalan- Kau serahkan barang barang
orang itu, untuk kami periksa. Mungkin dari barangnya itu kita
ketahui tentang dia. Kalau dia jahat, jangan khawatir, kami yang
akan mencarinya. Kalau dia orang baik baik, buat urusan begini,
tidak nanti dia minta jiwamu."
"Tuan benar," berkata tuan rumah, hatinya sedikit lega.
"Sebenarnya dia tidak membawa barang apa apa kecuali sebuah
kotak kayu yang atasnya tertuliskan empat huruf menandakan dia
tukang membetulkan kwali dan jamban-..."
"Baiklah, mari kita lihat dulu"
"Tunggu" berkata tuan rumah. Mendadak ia ingat sesuatu. "Nanti
aku periksa dahulu, dia pindah kekamar lain atau tidak kalau dia
tidak pergi, tidak dapat aku ganggu barangnya."
"Baik Mari kita lihat bersama"
Berlima mereka pergi kelain kamar, yang terpisah cuma beberapa
tindak. Pintu kamar masih tertutup, pertanda belum pernah dibuka.
Tuan rumah menghampiri pintu, tapi mendadak dia mundur pula.
"Silahkan tuan tuan yang masuk lebih dahulu" katanya.
Ban Liang tahu orang itu takut, maka dia maju kedepan- Dia
menolak pintu sambil bertindak masuk kedalam kamar itu. Dia
bersiap sedia.
Kamar itu kosong.
"Dia tidak berada dikamar ini Kemanakah dia perginya?" tanya
sijago tua didalam hati. Ia menoleh kepada tuan rumah, lalu. "Apa
kau masih mempunyai kamar lainnya yang dapat ditempati?"
"Tidak."
"Kalau begitu, pergi kau ambil peti kayunya itu"
Tuan rumah menyahut "ya" terus memutar tubuh dan berlalu.
Baru dua tindak, ia sudah memutar pula tubuhnya. Katanya "Siapa
diantara tuan tuan yang turut kepadaku?"
Ban Liang tahu orang itu tetap takut. Ia memberi isyarat pada
Oey Eng dan Kho Kong. Dua saudara itu mengangguk, lalu mereka
ikut tuan rumah. "Aneh orang itu" kata siauw Pek seberlalunya Oey
Eng bertiga, "Dia pergi dengan membawa bawa selimut Tak ku
percaya dia sudah meninggalkan losmen ini"
Ban Liang mengangguk.
"Dia sembunyi entah dimana." katanya, "Aku rasa dia
membutuhkan peti kayunya ini. Baik kita mengintainya apabila dia
datang, kalau perlu kita keroyok dia agar dia dapat dibekuk, kalau
terpaksa tak ada halangannya untuk membunuhnya "
"Mungkinkah dia datang untuk kita?" tanya Siauw Pek.
"Aku menerka demikian-... coba kita tidak mencurigainya,
bagaimana kalau selagi kita tidur dia membokong? Dia lihay, apabila
diam diam dia menotok jalan darah kita, tidakkah itu berbahaya?"
Siauw Pek mengangguk. Lalu dia naik keatas rumah, untuk
memasang mata, Ban Liang berdiam terus didalam kamar,
bersembunyi dibelakang pintu. Tidak lama Oey Eng bertiga sudah
kembali. Dengan mudah saja mereka mendapati kotak kayu itu,
yang benar bertuliskan empat huruf tanda tukang tambal. Ban Liang
menyambut kotak itu, ia tidak segera membuka tutupnya, hanya
dengan keren ia berkata kepada tuan rumah : "Pergi kau kembali
kekamarmu untuk beristirahat. Andaikata orang itu datang meminta
barangnya ini kau katakan bahwa akulah yang mengambilnya, kau
tak akan dibikin susah"
Dengan bersangsi tuan rumah itu mengundurkan diri.
Segera setelah tuan rumah itu berlalu, Ban Liang lompat naik
keatas rumah dimana sambil mengerahkan tenaga dalamnya, ia
berkata "Sahabat, kami telah melihat kepandaian ringan tubuh dari
kau, nyata kau lihay sekali Kau telah datang, tentu dengan maksud
sengaja, kenapa kau tidak sekalian memunculkan dirimu? Silahkan-..
Sahabat, barangmu telah aku ambil, maka itu sebentar, sebelum
tengah hari kau tidak datang mengambilnya, kamu akan membuka
tutupnya buat melihat isinya."
Habis berkata begitu, jago tua itu lompat turun pula, masuk
kedalam kamar, terus berkata pada tiga kawannya, "kita berempat
bergantian menjagai peti kayu ini. Aku telah bicara dengan orang
itu, tak mungkin dia datang membokong kita"
siauw Pek tidak mengerti maksud kawannya ini. "Kenapa kita
tidak mau membukanya sekarang saja?" pikirnya. "Buat apa
menanti sampai tengah hari?" Tak mau ia banyak bertanya. Mesti
ada maksudnya jago tua yang berpengalaman itu.
Maka mereka berempat lalu duduk bersemedhi, yang seorang
sambil memasang mata dan telinga. Sampai mendekati tengah hari,
belum ada gerakan apa apa: tidak terdengar tidak terlihat sesuatu.
Ketika sang tengah hari tiba, cuaca terang benderang. Awan
tidak ada. Waktu itu, Ban Liang berempat telah memperoleh
kesegaran tubuh mereka. Maka jago tua itu lalu menghampiri peti
kayu itu, buat dibawa kehalaman luar, diantara sinarnya matahari
yang terik. Ia tidak mau membuka dengannya, hanya mencari
sepotong bambu galah yang panjang. Sebelum mulai membuka, ia
berkata tidak mau mengambil peti kayunya, karena itu kalau isi peti
bukan barang barang yang tidak berharga, mesti ada sesuatu yang
lainnya yang luar biasa....
Mendengar kata kata itu barulah Siauw Pek tersadar. "Locianpwe
benar Aku kagum" kata ia memuji.
Ban Liang mencekal galahnya dengan erat sambil berbuat begitu,
bersiap sedia, ia berkata pula: "Kita berdiri jauh lima kaki dari peti
kayu, dapat kita peluang untuk menyelamatkan diri kita, akan tetapi
baiklah saudara saudara mengerahkan tenaga dalam kalian, untuk
bersiap sedia terhadap segala kemungkinan" Siauw Pek bertiga
mengangguk. Memangnya mereka sudah berjaga jaga.
Segera juga Ban Liang bekerja. Tepat dia menghajar pintu
kuningan dari peti kayu itu, hingga kunci itu jatuh ketanah. Setelah
itu, ia memasang ujung galah, untuk dipakai menyontek guna
membuka tutup peti. Tapi tiba tiba diantara cahaya matahari terlihat
berkelebatnya satu bayangan hitam, lalu sebatang galah lainnya
menyambar, menghajar galah sijago tua, hingga kedua batang
bambu itu menerbitkan suara nyaring.
Ban Liang terperanjat. Hajaran itu keras sekali sampai ia merasai
lengannya bergetar. Didalam hati ia memuji hajaran hebat itu.
Sedang begitu, dia melihat galah yang dipakai menghajar galahnya
itu sudah menyontek peti kayu yang terus terangkat dan melesat
tinggi.
Semua itu terjadi didalam sekejap.
"Kejar" berseru sijago tua yang juga mendahului lompat kearah
melesatnya peti kayu itu.
coh siauw Pekpun melompat mengejar.
Oey Eng dan Kho Kong kalah sebat, hanya sedetik, mereka
kehilangan Ban Liang dan ketuanya itu.
siauw Pek bertari dengan menggunakan lari cepat. "Pat Pou Kan
siam" - "Delapan tindak menghadang tong geret" lekas sekali ia
sampai dipojok rumah penginapan- Disitu ia tidak melihat orang
tadi, hanya galahnya itu disandarkan ditembok. Tapi ia segera
lompat naik keatas rumah untuk melihat kesekitarnya.
Dusun itu kecil dan terpencil. Kecuali diarah utara, dimana
tampak beberapa rumah, ditimur, selatan dan barat hanya tegalan
belukar. Dibarat terdapat segunduka n pohon lebat, disitu ia sempat
melihat berkelebatnya bayangan orang, yang lenyap dibalik pohon-
Tanpa bersangsi lagi, ia menyusul bayangan itu.
Kira kira dua miljauhnya sianak muda bertari lari, tibalah dia
disebuah tempat dimana ada segumplukanpohon bambu yang kecil,
yang mengitari sebuah kuburan besar. Kuburan itu tertutup pohon
rotan lebat, hampir tidak nampak apabila orang tidak datang
mendekatinya .
Tetap waktu itu terdengar tangisan yang sedih sekali.
Si anak muda memasang telinga. ia terperanjat sendirinya.
Tangisan itu keluar dari dalam kuburan"
Kuburan ini mungkin telah puluhan tahun tak terurus, siapa
sekarang datang menyambanginya dan menangis begini sedih? Pasti
dia mempunyai hubungan sangat erat dengan orang yang terkubur
disini....."
Demikian pikir Siauw Pek yang terus dengan tindakan perlahan
menghampiri kuburan itu. ia melewati pohon pohon bambu yang
merupakan pagar hidup, hingga ia mendapat kenyataan tanah
pekuburan itu lebar kira kira setang a h bahu. Mestinya pohon rotan
dan bambu itu sengaja ditanamkan-
Mengikuti suara tangisan, anak muda itu berjalan terus. Hampir
separuh nyaia memutari kuburan, sampailah dibagian dimana pohon
rotan kosong, sebagai gantinya ada sebuah lubang gua. Dari dalam
situlah tangisan itu keluar.
siauw Pek mengawasi kemulut gua, hingga ia melihat sebuah
pintu kecil. Tanpa perhatian pintu itu tak tampak. sekarang
terdengar nyata, tangisan itu bercampur kata berulang ulang:
"Suhu, suhu, oh, kau mati secara bersengsara sekali..... ilmu silat
muridmu ini telah dimusnahkan orang, andaikata aku berniat
mencari balas tapi aku sudah tidak mampu. Seumur hidupku, aku
telah tidakpunya harapan lagi......"
"Dialah seorang murid yang baik," pikir Siauw Pek, "dia sudah
tidak berdaya akan tetapi dia masih ingat gurunya. Siapakah dia?"
"Suhu" ialah guru.
"Suhu," terdengar pula, "setiap kali muridmu datang menjenguk
suhu disini, setiap kali juga bertambahlah tanggung jawabku. Suhu
pandai ilmu pengobatan, suhu bercita cita menolong dunia, bagitu
mulia angan angan suhu, siapa tahu kau dicelakai manusia hina
dina, bahkan kepandaian itu dipakai untuk rencana yang jahat
sekali.... Suhu, karena itu walaupun suhu berada didunia baka, hati
suhu tak akan tenteram, sedangkan muridmu, dia hidup bagaikan
mati...."
Tanpa merasa, Siauw Pek berkesan baik terhadap orang yang
menangis itu.
"Suhu, sakit rasanya hati muridmu ini," Suara itu terdengar lebih
jauh. "Kepandaian suhu telah digunai sihina dina buat mencelakai
kaum Rimba persilatan- Aku pikir daripada hidup tak berdaya dan
tersiksan bathin dan lahir, lebih baik aku susul suhu didunia baka."
Hati Siauw Pek cemas.
"Rupanya dia bunuh diri, mesti aku cegah, aku mesti
menolongnya," pikirnya. Maka ia lalu menyingkap oyot oyot rotan
yang menghadang, yang menutupi daun pintu, terus ia bertindak
masuk kedalam gua itu.
Gua itu tidak lempeng langsung, untuk tiba didalam, Siauw Pek
mesti mengambil waktu beberapa detik, tatkala ia sampai ia telah
tertambat satu tindak
Dimuka sebuah batu nisan terdapat dua buah lentera kaca,
sumbunya lentera itu dinyalakan, maka ruang itu cukup terang.
Didepan nisan terkuali tubuh seorang laki laki yang bajunya
compang camping, dadanya tertancapkan sebilah golok emas - kim
too -sebagaimana golok itu mengeluarkan sinar kuning. Tapi orang
itu belum putus jiwa, ketika dia mendengar tindakan orang dia
menoleh.
"Murid jahat, kau tertambat" dia mendamprat Siauw Pek. Dia
tertawa hambar. Anak muda itu melompat menghampiri untuk
memegang tubuh orang itu.
"Saudara jangan salah mengerti" katanya cepat "aku
bukannya....."
Hanya sedetik itu, berhentilah napasnya orang yang nekad itu.
Dampratnya itu adalah kata katanya yang terakhir. Siauw Pek
menyesal sekali.
"Kalau aku tidak datang, mungkin dia belum mati...." pikirnya.
"Dia menyangka akulah si murid jahat..... oh Siauw Pek. Siauw Pek.
walau maksud hatimu baik, kaulah seperti pembunuhnya .... "
Tanpa merasa, air mata anak muda ini keluar meleleh. Karena
orang sudah mati, Siauw Pek melepaskan cekalannya. Ia membaca
huruf huruf batu nisan itu: Kuburan ceng Gie Loojin, Goan Kong cie
Tabib yang luar biasa pandai
Terperanjat sianak muda, hingga ia melongo mengawasi batu
nisan itu, sedangkan otaknya bekerja. "ceng Gie Loojin tabib
pandai"
oooooooooo
"Baru saja aku dengar cerita Ban loocianpwe tentang ceng Gie
Loojin-" pikirnya, "sungguh diluar dugaan, sekarang aku
menemukan kuburannya...." Ia tunduk. Mengawasi orang
berpakaian bagaikan pengemis itu.
"Saudara" gumamanya, "asal kau masih hidup setengah harian
lagi saja, pastilah soal rumit kang ouw bakal menjadi terang jelas
Adakah ini kehendak Thian?.... oh saudara, karena disini tidak ada
peti mati, aku tak mau mengganggumu, baiklah kau tetap rebah
disamping gurumu ini....."
Habis berkata, Siauw Pek mencabut golok emas dari dada orang
itu.
Dan Golok Emas itu - kim too - bersinar diantara cahaya api.
Disitu tampak ukiran empat huruf, bunyinya: "ceng Gie Cie Too"
"Golok keadilan" Golok itu harus diambil, buat dibawa pergi atau
dibiarkan didalam kuburan ini.....
"Ah, baiklah aku bawa." pikirnya kemudian. Ia ingat, dengan
membawa pergi golok itu, mungkin ia akan berhasil mencari
keterangan ceng Gie loojin. "Nanti setelah aku berhasil dapat aku
mengembalikannya kemari."
Maka, dengan membawa golok emas itu, ia keluar dari liang
kuburan itu. Kedua daun pintu ia tutup rapat seperti semula. Ketika
ia melihat kelangit, ia tahu bahwa tanpa merasa ia sudah
menggunakan waktu satu jam didalam kuburan itu. Kapan ia ingat
kawan kawannya, yang tentu tengah mengharapnya dilosmen,
segera ia lari pulang. Benarlah dugaannya, Ban Liang bertiga tengah
menunggukannya.
"Saudara kecil, kami lagi menantikanmu untuk bersantap tengah
hari," berkata si jago tua.
"Kemana saja kau pergi?"
"Apakah yang kau peroleh?"
"Dengan tak sengaja aku menemui........"
Ban Liang mengerdipkan mata.
"Mari lekas makan Kita harus lekas lekas melanjutkan perjalanan
kita" berkata jago tua itu, yang mencegah orang bicara terus.
Siauw Pek berhenti bicara, ia mengerti isyarat itu. Ketika ia
menoleh kekiri, ia mendapati dua orang tak dikenal lagi duduk
minum arak. Dua dua orang itu bercacat bekas bacokan golok pada
mukanya masing-masing, sikap mereka sangat tawar.
"Aneh mereka ini"...... pikir sianak muda.
Dua orang itu serupa dandanannya, serupa pula cacat lukanya
itu, masing masing codet alisnya yang kiri ditengah tengah, lalu
bersambung kebatas hidung, terus kepinggiran mulut sampai
dileher.
"Mungkinkah itu cacat asal?" Siauw Pek menerka nerka. "Kalau
itulah luka bacokan, siapakah yang membacoknya hingga demikian
tepat?"
oleh karena itu si anak muda mengawasinya, dua orang itu balik
mengawasi juga. Maka bentroklah sinar mata mereka bertiga
Siauw Pek tahu ia yang salah, lekas lekas ia melengos, berpaling
kearah lain- Ia berpura pura melihat orang tanpa disengaja.
"Lekas makan" kata Ban Liang, perlahan sekali. Dia agaknya
kesusu.
Siauw Pek heran, pikirnya: "Biasanya orang tua ini bangga akan
dirinya sendiri, kenapa sekarang sikapnya berubah, dia seperti jeri
terhadap dua orang itu?"
Oey Eng dan Kho kong berdiam saja. Mereka sudah habis makan,
begitu juga Ban Liang. Bertiga mereka tinggal menantikan ia sendiri.
KArena itu, lekas lekas iapun menangsel perutnya
JILID 22
"Mari " Ban Liang mengajak. melihat kawannya sudah makan
cukup, Ia morogoh sakunya, untuk meninggalkan uang diatas meja.
Terus ia berbangkit dan berjalan terlebih dulu. Oey Eng dan Kho
kong mengikuti. Sianak muda yang berjalan paling belakang.
Setibanya diluar losmen, Seng Supoan mempercepat tindakan
kakinya. Dia jalan seperti berlari lari. Sampai tujuh lie lebih,
baharulah ia berhenti. Dia menoleh kebelakang. Setelah melihat
tidak ada orang lain, ia menghela napas panjang.
"Loocianpwee ada apakah?" tanya Siauwpek. yang baru sempat
berbicara.
"Apakah kau melihat tugas dua orang tadi, yang cacat
mukanya?"
"Macam mereka aneh, sekali lihat saja, sukar untuk
melupakannya"
"Tahu, atau, kenalkau kau kedua orang itu?"
"Tidak"
"Apakah kau belum pernah dengar gurumu menceriterakannya ?"
"Belum."
"Kalau begitu, tak heran- Ah, tidak kusangka mereka berdua
masih hidup," Siauwpek makin tidak mengerti.
"Siapakah mereka, loocianpwee?" tanyanya. "Dapatkah
loocianpwee menjelaskan tentang mereka itu?"
Ban Liang mengangguk.
"Pasti aku akan menuturkannya, dia, inilah perlu Supaya apabila
dilain waktu kamu bertemu dengan mereka itu, lekas lekas
menyingkir menjauhlah .."
"Apakah ilmu silat mereka itu liehay luar biasa?" bertanya
Siauwpek heran-
"Kalau bicara dari hal ilmu silat saja, jangan kata kau tak usah
takut, akupun tak perlu jeri terhadap mereka itu..."
"Mungkinkah mereka itu pandai ilmu membetot sukma atau
menawan roh?" Ban Liang tersenyum.
"Seumurku belum pernah aku menemui ilmu jahat semacam itu"
"Jikalau begitu, pasti ilmu silat mereka luar biasa mahir..."
"Pada beberapa puluh tahun yang lampau, dua jago Rimba
Persilatan yang paling kesohor adalah ong Kiam kie tong dan Ta To
Siang Go," Ban Liang menjelaskan- "Mereka berdualah yang menjadi
sebab kenapa ada kata kata "Dibawah ong kiam tidak ada panglima
yang sanggup bertempur sepuluh jurus dan Dibawah Ta Too tak
ada orang yang beruntung hidup,." Tapi semenjak kedua jago itu
menyeberangi jembatan maut Seng su kio dimana mereka mensunyi
diri, maka didalam dunia Rimba Persilatan, kecuali Siauw limpay, Bu
Tong pay dan lainnya partai partai persilatan besar, ada juga It
ceng, Siang ok dan It San jin.
"It ceng ialah Satu lurus benar, siang ok yaitu sepasang siJahat,
dan It Sanjin seorang bebas merdeka."
Ban Liang melegakan dadanya dengan menarik napas panjang,
baru ia melanjutkan keterangannya. "It ceng itu ialah Tiat Tan Kiam
kek Thio Hong Hong, siJago pedang bernyali besi. Dan It Sanjin
yaitu Hie sian cianpeng si Dewa Ikan-"
"Julukan It ceng dan siang ok sudah jelas sendirinya, artinya
tepat menurut huruf huruf nya. Bagaimana dengan It Sanjin?
Apakah artinya Sanjin itu?"
Ban liang menghela napas pula sebelum dia memberikan
penjelasan lebih jauh. Berkata ia, "Hie Tian cianpeng mempunyai
satu kegemaran, ialah sangat menggemari ikan, tak peduli lkan apa.
Kalau orang minta pertolongannya dengan membawakan seekor
ikan, pasti ia menolongnya. Dia suka sekali mengumpulkan lkan,
asal yang langka, Karena kegemarannya itu, dia tidak menghiraukan
urusan kaum Persilatan- Asal ada orang membawakan ikan yang
luar biasa, dia tidak ambil pusing orang itu orang macam apa. Inilah
sebabnya, dia berkelakuan lurus dan buruk tidak ketentuan-
Biasanya dia dapat melaksanakan segala pertolongan yang diminta
itu. Demikianlah, lantaran sukar menilai dia sebenarnya orang dari
golongan mana, kaum Rimba Persilatan menyebutnya Sanjin, orang
yang bebas merdeka." Siauw pek mengangguk,
"Kiranya begitu." katanya. "Kiranya dia angin anginan-"
"cianpeng bersenjatakan apa loocianpwee?" Oey Eng bertanya.
"Setiap hari dia berkawan dengan lkan senjatanyapun ada
hubungannya dengan binatang air itu. Ialah sebatang joran pancing
dan sebuah jala lkan yang biasa dia gemblok dipunggungnya.
Katanya jalanya itu lebih liehay dari jorannya, hanyalah sangat
jarang orang melihat dia menggunakannya."
"Dua orang yang bercacat golok dimukanya itu, pasti merekalah
siang ok," berkata Sia u Pek kemudian. "Benar saudara coh, kau
cerdas sekali"
"Julukan mereka saudara kembar, maka juga selain macamnya,
tabiat dan kegemarannya, semuanya sama, bahkan mereka sama
kejam dan jahatnya. Ilmu silat mereka berdua berimbang. Kabarnya
beberapa puluh tahun dahulu itu merekalah sisa mampus dibawah
golok ampuh dari Siang Go"
"oh mereka pernah lolos dari Toan Hun It Too?" tegasi Siauwpek.
"Tidak salah Itulah yang mengherankan Biasanya belum pernah
ada orang yang bisa bebas dari golok Siang Go. Ilmu golok siang Go
menjadi semacam rahasia, yang tak ada orang yang dapat
memahaminya."
"Loocianpwee," siauw Pek tanya lebih dulu, katanya sesudah ong
Kiam dan Pa Too mengundurkan diri, baru muncul It ceng, Siang ok
dan it Sanjin, karena itu, bagaimana duduknya maka Siang Ok lolos
dari Pa Too?" Ban Liang tertawa.
"Pertanyaan yang tepat" katanya, saking gembira. "Selama
munculnya ong kiam dan Pa Too mereka berdua ditakuti berbareng
dihormati kaum Rimba persilatan semuanya. Sinar pedang dan
cahaya golok mereka membuat lain orang tak dapat mengangkat
nama. Tentang Siang ok, asal usul mereka tidak diketahui jelas,
hanya tahu-tahu keganasan mereka yang membuat nama mereka
dibuat sebutan. Siapa yang berani main gila terhadapnya, mesti
celaka, bahkan sampai kepada rumah tangga atau anak istrinya.
Kekejaman mereka tidak ada taranya. Mereka galak dan sombong,
sampai mereka berani menentang ong kiam dan Pa Too. Begitulah
orang menyebut mereka Siang ok sepasang sijahat. orang Kang
ouw, baik yang lurus maupun yang sesat, rata-rata membenci
mereka, hingga semuanya ingin mereka itu tersingkir. Siang Go
tidak berketentuan tempat kediamannya, sulit orang mencarinya
guna menyampaikan tantangan Siang ok itu. Tiga tahun telah lewat
sejak tantangan Siang ok, selama itu, kejahatan semakin terkenal,
barulah selewatnya itu mereka bertemu juga dengan Pa Too..."
"Bagaimanakah jalannya maka mereka dapat lolos dari Pa Too?"
tanya siauwpek.
"Tentang duduknya dengan jelas, yang tahu hanya Pa Too dan
Siang ok sendiri," jawab Ban Liang, "Hanya terdengar Siang ok
menentang Pa Too bertarung diluar kota Kim leng. Lewat hari
pertempuran itu, selanjutnya orang tidak melihat atau mendengar
lagi tentang kejahatan Siang ok. Maka orang mereka tentulah
menerka sudah mampus diujung golok. Maka rata rata orang
mendoa bersyukur. orangpun memuji Siang Go yang ditakuti itu,
karena dia telah menyingkirkan bahaya untuk umum. Sesudah
banyak tahun lewat, mereka itu muncul pula dan mengulangi
kegagalan mereka, bahkan berlebihan. Mereka muncul sebab
mereka mendengar kabar bahwa ong kiam dan Pa Too sudah
mengundurkan diri."
"Setelah tidak adanya ong kiam dan Pa too siapa lagi yang dapat
mengekang mereka itu?" Kho kong bertanya.
"Itulah Tiat tan kiam kek Thio Hong Hong dan Hie sian ciang
peng Tatkala itu nama Thio Hong Hong sedang mentereng..."
"Jadi buat kedua kalinya Siang ok telah diusir, hanya kali ini oleh
Thio Hong Hong?"
"Entah bagaimana caranya, Thio Hong Hong berhasil
mengundang Hiesian cian Peng dan bersama samalah mereka
berdua mengalahkan sepasang sijahat itu. Kabarnya Siang ok
terluka parah luka yang dapat mematikannya. Maka adalah diluar
dugaan bahwa mereka itu masih belum mati dan sekarang mereka
muncul di tempat kecil dan sunyi ini "
Jago tua itu menghela napas, lalu ia menambahkan: "Jadi
benarlah kata kata su kay taysu bahwa malapetaka besar kaum
rimba persilatan tengah mendatangi semakin dekat..."
"Tak mungkinkah Siang ok ada hubungannya dengan si pelajar
dari rumah gubuk itu?" kata siauwpek.
"Dan, tak mungkinkah Siang ok pun bersangkut paut dengan
ceng Gi Loojin sudah meninggal dunia," sahut Siauwpek
memberitahukan-
"Apa ?"
"Dia sudah menutup mata, dan kuburannya berada didekat
sini..."
"Bagaimana kau ketahui itu?"
"Karena aku telah melihat kuburan itu."
Ban Liang heran-
"Benarkah ?" dia menegaskanSiauw
Pek merogo sakunya, mengeluarkan kim too golok emas.
"Apakah loocianpwee kenal dengan golok ini ?" tanyanya sambil
menghunjukkan kim too. Ban Liang menyambuti, ia meneliti golok
itu.
"Benar," katanya sejenak kemudian- "Walaupun aku belum
pernah melihatnya tapi tapi..." Ia berpikir sebentar, baru ia
melanjutkan : "Pernah kudengar bahwa selama ceng Gie loojin
merantau, dia suka membawa kimtoo yang terukirkan empat huruf
ceng Gie too. Tak disangka kau telah mendapatkannya."
"Dengan tidak dinyana nyana, aku telah menemui kuburan ceng
Gie lo-jin dan telah masuk kedalamnya," menerangkan Siauwpek.
"hanya aku menyesal, karena itu juga, di luar dugaanku, aku telah
menyebabkan seorang hilang jiwanya... Mengapa dia bukan mati
ditanganku akan tetapi dia kaget karena aku..."
"Kau membuatnya mati lantaran kaget ?"
"Ya. Itulah pengalaman aneh dari aku. Maksudku menceriterakan
pengalamanku itu, tapi dua orang bercacat mukanya itu merintangi
hingga tak sempat aku bicara."
"Benar benar aneh Benar benar dunia kang ouw rumit..."
"Demikian juga kesanku, loocianpwee," berkata Siauwpek. yang
terus menuturkan pengalamannya sejak mendengar suara tangisan
sampai terjadinya peristiwa menyedihkan didalam kuburan ceng Gie
Loojin itu.
Ban Liang bertiga melengak mendengar keterangan anak muda
itu.
"Jikalau begitu, benarlah ceng Gie loojin sudah meninggal dunia,"
katanya masgul. hingga dia menghela napas.
"Kasihan orang compang camping itu. Sayang dia telah
membunuh diri. Kalau tidak, dapat kita minta keterangannya."
"Ya benar benar rumit" kata Ban Liang "inilah urusan yang tak
dapat kita bereskan sendiri. Nah, mari kita lekas berangkat Jikalau
kita berhasil mengundang orang itu, mungkin kita mempunyai
harapan besar, dan dengan begitu dapat kita mengundang dan
bekerja sama dengan su kay taysu dan lain orang satu tujuan-"
"Loocianpwee," Kho kong tanya, "siapakah orang yang hendak
kita cari itu?"
"Sabar, saudara muda. Sebelum aku memperoleh persetujuan
dari orang itu sekarang tak bisa aku menyebut namanya." Ia
mengangkat kepalanya, ia menghela napas, lalu menambahkan :
"Tempat dimana orang itu menyembunyikan diri, mungkin cuma
akulah seorang yang mengetahui, andaikata dia tidak mau keluar
pula, untuk memasuki lagi dunia kangouw percuma menyebut
namanya, bahkan itu bisa membahayakan dia."
"Tak apalah untuk tidak memberitahukan she dan namanya"
berkata Kho Kong, "tetapi kurasa, bukankah boleh akan loocianpwee
menutur perihal dirinya, tentang sifatnya ?"
"Tentang itu boleh." berkata Ban Liang, dengan batuk batuk
perlahan. "Kie Tong dan Siang Go terkenal karena pedang dan golok
mereka, karena ilmu silatnya, tetapi orang ini terkenal dengan ilmu
suratnya, buat kecerdasannya. Setahuku, belum pernah ada orang
lain yang melebihi kepandaiannya itu..."
"Jadi tak mengerti ilmu silat?" tanya Kho Kong, heran.
"Bukan begitu. Dia mengerti ilmu silat, cuma kepandaiannya itu
tak dapat mengangkat namanya."
"Buat membeber rahasia atau rencana jahat segolongan kaum
kangouw sekarang ini kita membutuh kepandaian silat yang mahir
sekali" berkata pula Kho Kong,
"karena orang yang loocianpwee sebutkan berkepandaian silat
tidak berarti, aku pikir, tak usahlah kita cari dia"
Ban Liang tertawa.
"Adikku, bukannya aku si tua mau memberi nasehat kepadamu,"
katanya sabar, "akan tetapi kau harus menginsyafi banyaknya, dan
rupa-rupa ragamnya kaum kangouw. Ilmu silat saja belum cukup,"
Kho Kong penasaran, ia hendak bicara lebih jauh, akan Oey Eng
mengedipkan matanya mencegahnya.
Ban Liang telah banyak pengalamannya ia tahu kawannya itu
tidak puas, maka ia berkata "Engkau tidak puas, bukan?"
"Jikalau loocianpwee hendak memaksa aku membuka mulut,
baiklah, aku akan bicara terus terang "
"Dia sembrono tetapi jujur" pikir sejago tua "dia kata apa yang
dia pikir, kalau hatinya dikekang, dia tak puas. Baiklah aku layani dia
bicara, supaya dia bisa dibikin gembira." Maka ia berkata, "Adikku,
ada apakah pendapatmU? Bicaralah, aku akan mencuci telingaku
untuk mendengarnya." Kho Kong si jujur tertawa.
"Sebenarnya akupun tidak punya pendapat yang berarti" katanya
polos, "Aku cuma belum jelas tentang perbedaan ilmu silat dengan
ilmu surat. Dan bagi kami yang mempelajari ilmu silat, kami
membutuhkan pedang atau golok. dengan menggunakan senjata
itu, kami dapat mengambil keputusan siapa menang siapa kalah.
Tapi, kalau kepandaian ilmu silat kami tidak berarti, apakah artinya
ilmu surat yang luar biasa itu? Nah, loocianpwee, inilah pikiranku,
bagaimana pendapat loocianpwee ?" orang tua itu tertawa.
"Apakah ada pendapat lain ?" tanya ia.
"Kita sekarang lagi merantau, jauh sudah ribuan lie, kita pergi
kebarat dan ketimur, maksud kita mencuci bersih sakit hati ketua
kami" berkata si polos. "Tapi lawan kita sangat banyak jumlahnya,
sedangkan kita, kita cuma beberapa orang saja. Mungkinkah kita
melawan mereka itu? oleh karena itu, menurut pendapatku, kita
perlu mencari kawan-kawan yang liehay untuk membantu kita.
Selekasnya tenaga kita cukup, kita langsung menuju Siauw Lim Sie,
untuk berbicara, untuk mencari siJahat biang keladi"
"Bagus" Ban Liang mengangguk. "Ada apakah lagi?"
"Untuk itu, seperti telah kukatakan, kita membutuhkan kawan
kawan yang liehay ilmu silatnya Tapi ilmu surat, apakah faedahnya
itu?"
"Apakah kau telah bicara cukup, saudara kecil?"
"Sudah, loocianpwee. Kalau loocianpwee bisa membuatku puas,
bila nanti aku bertemu dengan orang itu, pasti aku akan
menghormati dia lebih daripada selayaknya" Sijago tua tersenyum.
"Buat kita orang Kang ouw, ilmu silat memang perlu," katanya,
"akan tetapi disamping itu, kadang kadang kepintaran silat jauh
melebihinya. Tak usah kita melihat yang jauh, kita perhatikan saja
beberapa soal yang kita dengar sekarang, yang kita hadapi, semua
itu tak dapat dibereskan dengan ilmu silat."
"Urusan apakah itu?" Kho Kong menegas.
"Umpamanya rahasia ceng Gie Lo-jin itu. Sekalipun ong kiam
danPa Too muncul pula, belum tentu mereka sanggup
memecahkannya." Kho Kong berdiam beberapa lama. Ban Liang
tertawa perlahan.
"Bagaimana dengan golok warisan ceng Gie loojin itu? kenapa
golok itu dipanggil ceng Gie Too Golok keadilan? Tak mungkin ceng
Gie berarti hanya goloknya ceng Gie loojin? ceng Gie tak dapat
diartikan nama orang saja, itu mestinya ceng-gie keadilan-Golok itu
lupa bukan terbuat dari baja, tak tajam semestinya.Jadi kalau bicara
tentang ilmu silat, apa gunanya golok semacam itu? Menurut
terkaanku, golok itu mestinya mengandung suatu rahasia entah
rahasia apa?..."
"Kalau begitu apakah dengan belajar surat lalu orang dapat
memecahkan rahasia itu?" tanya Kho Kong penasaran-
"orang yang hendak kita cari itu adalah seorang yang luar biasa
pandai. Mengenai ilmu silatnya meski itu bukan kepandaian yang
sangat mahir tetapi dia tak ada disebelah bawahku"
"Jikalau demikian, itulah bukan sembarang ilmu silat" Kho kong
akui.
"Dia terpelajar tinggi, dia misalnya saja telah membaca habis
semua buku diseluruh negara, kalau aku si tua bicara dengannya,
selalu itu terjadi buat beberapa hari lamanya..."
"Apakah yang loocianpwee bicarakan dengannya?" menyela Oey
Eng
"Banyak ragamnya. Apa yang aku pikirkan, lalu dibicarakan.
Umpama soal ilmu meramal, ilmu tabib, ilmu alam dan ilmu bumi.
Tidak ada soal yang dia tidak ketahui."
"Jikalau demikian adanya, membaca itu banyak faedahnya," si
sembrono pikir. "Kalau begitu, perlu aku membaca banyak buku..."
Maka ia berkata pada sijago tua : "Kalau nanti aku bertemu orang
itu, apabila dia dapat membuatku takluk. didepan kau, loocianpwee,
akan aku berlutut dan mengangguk angguk hingga tiga kali."
"Jangan kita berjanji apa apa" kata si jago tua, tertawa. "Lihat
saja nanti setelah kita bertemu dengan orang itu"
Demikian mereka melakukan perjalanan, berhari hari, tanpa
kesepian.
Pada suatu tengah hari, tibalah mereka di kaki sebuah gunung.
DisituBan Liang menghentikan tindakannya.
"Sudah sampai" katanya. "Mari kita beristirahat sebentar, baru
kita pergi menemui orang itu."
Kho kong mendongak mengawasi gunung yang tinggi itu yang
puncaknya bagaikan masuk ke langit.
Ban Liang menggeleng kepala.
"Dia justru tinggal diujung sana, dikaki gunung," katanya.
"Aku pikir tak perlu kita beristirahat lagi, kata si polos. "Kita
sudah sampai, kenapa kita tak mau sekalian beristirahat dirumahnya
saja?
"Saudara Kho," berkata Oey Eng. "locianpwee orang sendiri, kau
dapat bicara seenaknya saja dengannya, akan tetapi sebentar
apabila kita bertemu dengan orang pandai itu, jangan kau
sembarangan bicara^"
Selama beberapa hari itu, baik Oey Eng maupun Siauwpek. telah
dipengaruhi kata katanya Ban Liang tentang sahabatnya yang dipuji
tinggi itu, karena itu, saudara she Oey ini menasehati adik
angkatnya itu agar dia nanti tak salah bicara.
"Baiklah," adik itu berjanji.
setelah beristirahat cukup, Ban Liang mengajak kawan kawannya
berangkat pula.
Kho Kong lalu jalan dimuka, dijalan kecil. sampai mereka
melewati sebuah tikungan-Segera mereka melihat sebuah peng
empang dimana terdapat sepasang angsa putih tengah berenang
mundar mandir. Begitu mereka melihat ada orang asing, kedua
binatang itu segera mementang mulutnya, memperdengarkan suara
yang berisik, terus mereka berenang ketepian, untuk naik kedarat
dan berlari lari kearah sebuah rumah bilik tertutup atap. yang
letaknya dipinggir peng empang .
Ban Liang menghentikan tindakannya, mengawasi kedua
binatang itu.
"Sepasang angsa itu telah dipelihari tiga puluh tahun lamanya,"
katanya seorang diri. Lalu ia mengepriki pakaiannya, terus ia
bertindak kearah rumah gubuk itu.
siauwpek dan Oey Eng bertiga turut merapihkan pakaian mereka.
Mereka mengikuti jago tua itu.
Rumah gubuk itu, bagian depan dan belakangnya, ditumbuhi
banyak rumput dan pepohonan lainnya seperti mengitari
seluruhnya. Itulah mirip gubuk seorang ini, tak sesuai buat ditinggali
seorang ahli surat.
Tiba dimuka pintu, tampak kedua daun pintu tertutup rapat.
Kedua ekor angsa tadi telah pergi entah kemana.
Sunyi keadaan disekitar itu, seakan denyut jantungpun dapat
terdengar.
Ban Liang melirik Siauwpek. ia berkata perlahan : "Harap kamu
menanti sebentar disini, aku hendak mengetuk pintu."
"Silahkan, loocianpwee." sahut si anak muda. Ban Liang
bertindak perlahan menghampiri pintu. Ketika ia mulai mengetuk
iapun mengetuk dengan perlahansiauwpek
memasang telinga. ia mendengar ketukan pintu itu
bagaikan berirama Setelah mengetuk beberapa puluh kali, si jago
tua berhenti. Kho Kong memandang kesekitarnya.
"Beginikah tempat kediaman seorang pandai surat?" pikirnya.
Didalam kesunyian itu, dari dalam rumah terdengar suara yang
halus tetapi terang. "Siapa?"
Suara itu menarik hati terdengarnya.
Ban Liang tercengang. ia rupanya tidak menyangka akan
mendengar suara wanita.
"Aku yang rendah, Ban liang." Sahutnya perlahan-
"Ada pengajaran apa, Ban cianseng?" tanya pula suara merdu
itu. Dia membahasakan sian seng atau tuan- Sesungguhnya, suara
itu sangat menggiurkan.
Oey Eng heran hingga ia berpikir: "Benarkah kata pepatah,
"Digunung yang dalam ada burung yang indah dari rumah gubuk
muncul seorang nona cantik,." Belum pernah aku mendengar suara
wanita begini halus dan merdu."
Ban Liang yang tua dan berpengalamanpun dipengaruhi sekali
suara itu. Baharu lewat sesaat, ia menjawab: "Aku hendak menemui
kakak Hoan- Aku minta sukalah nona tolong memberitahukan
tentang kedatanganku ini."
Sebelum memperoleh jawaban, Ban Liang lebih dulu mendengar
tarikan napas yang panjang.
"Kau datang terlambat. Guruku telah menutup mata sudah lama
sekali."
Itulah jawaban diluar dugaan sijago tua, sehingga dia berdiri
tertegun, hingga tak tahu dia apa yang mesti diucapkan- Diapun
merasakan hatinya sakit bagaikan diiris iris.
Dari dalam rumah gubuk itupun tak terdengar suara apa apa,
sampai lewat sesaat baru si nona menambahkan- "Gubuk kami kecil
dan sempit, tak ada tempat untuk kami menerima tetamu, maka itu
Loocianpwee, silakan"
Baru sekarang Ban Liang dapat membuka pula mulutnya. "Nona,"
tanyanya, "sejak kapankah nona jadi murid kakak Hoanku itu?"
Suara halus dan merdu itu terdengar pula :
"Sudah sejak beberapa tahun. Apakah Ban locianpwee kurang
percaya akan kata kataku ini"
Ban Liang menghela napas.
"Bukannya loohu tidak percaya atau bercuriga, nona," sahutnya.
"Sebabnya ialah belum pernah loohu mendengar bahwa kakak Hoan
ada atau telah menerima murid, hingga aku jadi heran karenanya"
"Walaupun Ban loocianpwee belum pernah mendengar halnya
guruku menerima murid akan tetapi sebaliknya kami, kami telah
mendengar suhu sering bicara tentang loocianpwee," demikian
suara dari dalam itu, yang menyebut "suhu" untuk gurunya. Karena
ia menggunakan kata kata "kami", teranglah nona itu terdiri lebih
dari satu orang. Kembali Ban Liang menghela napas.
"Syukur sahabatku itu tidak melupakan sahabatnya," katanya,
perlahan-Dari dalam gubuk terdengar pula elahan napas perlahan-
"Sayang guru kami itu belum pernah menyebut halnya
loocianpwee adalah sahabat karibnya, kalau tidak- tidak nanti
boanpwee bicara secara begini dengan loocianpwee." kata pula
suara didalam. Ia sekarang membahasakan diri "boan-pwee", orang
dari tingkat muda
"Bagus benar" kata Ban Liang didalam hati. "Bicaramu begini
halus dan merendah, tetapi kau toh tidak sudi membukakan pintu
untuk mempersilahkan aku masuk..."
Siauw Pek bertiga mendapat dengar tegas pembicaraan diantara
dua orang itu, mereka terus mendengari, tetapi Kho Kong tidak
sabaran, maka dia berbisik kepada ketuanya^.
"Pintu gubuk itu tidak kokoh- kuat, dapat kita mendobraknya
terpentang" Ketua itu tersenyum.
"Ban Loocianpwee sendiri tak mau berbuat demikian, kenapa kita
mendahului dia?" katanya. "Pasti ada sebabnya kenapa Ban
loocianpwee bersikap sabar begini.Jangan kita sembrono."
Setelah sesaat, baru terdengar suara sijago tua: "Sudah nona
ketahui bahwa akulah sahabat kekal gurumu, kenapa nona tidak
mau membuka pintu untuk kami bertemu muka ? Akupun perlu
menghunjuk dihadapan abu kakak Hoan itu."
Suara didalam itu menjawab: "Kalau begitu, silahkan loocianpwee
masuk "
Ban Liang segera menolak daun pintu, yang terbuka dengan
segera nyatalah pintu itu hanya dirapatkan- Ketika ia melihat
kedalam, ia mendapatkan seorang nona dengan pakaian hijau
duduk membelakangi pintu, mukanya menghadap kedinding bilik,
dimana tergantung gambar lukisan seorang pria.
Ban Liang segera mengenali gambar sahabatnya, si orang she
Hoan itu, yang sebenarnya bernama tiong heng. Di atas meja ada
hlo louw, tempat abu, yang tertancapkan sebatang hlo, yang apinya
menyala, dan asapnya bergulung naik.
Dengan melihat saja belakang si nona, Ban Liang segera
menerka bahwa orang mestinya cantik sekali. Katanya didalam hati:
"Melihat punggung dia, hati orang sudah berdenyut, kalau melihat
wajahnya, mungkin orang akan berlutut didepannya dan akan
mengaku sebe hambanya..."
Jago tua ini bukan pemogor tetapi toh dia tertarik hatinya.
"Apakah Ban Loocianpwee telah melihat gampar ditembok itu?"
demikian terdengar pertanyaan si nona.
"sudah," sahut orang yang ditanya.
Mendapat jawaban itu, si nona lalu berkata: "Baiklah kalau
begitu. Nah, terimalah hormat boanpwee"
Ban Liang dapat menangkap arti kata kata itu. Si nona minta dia
lekas untuk beri hormat pada gambar itu dan kemudian lekas
mengundurkan diri...
Tapi Ban Liang berpikir. "Saudara Hoan pandai ilmu tabib, tak
mungkin dia mudah mendapat sakit dan menutup mata karenanya
Nona yang begini cantik, mungkin dia ada hubungannya yang erat
dengan kematian saudara Hoan itu..."
Selagi jago tua ini menerka demikian, si nona telah berkata pula:
"Guruku telah menutup mata disebabkan menggunai pikiran terlalu
banyak, boanpwee menghaturkan banyak-banyak terima kasih atas
perhatian loocianpwee ini..."
Mendengar begitu, Ban Liang heran sekali. Teranglah bahwa
orang telah menerka apa yang ia pikir itu. Karena ini, ia jadi
bercuriga. Dengan suara perlahan, ia memuji:
"Kakak Hoan, harap arwahmu mengetahui, jikalau kau mati
dengan mengandung penasaran, tolong kau memberikan alamat
kepadaku..."
Nona itu mendengar suaranya. Ia tahu tetamu itu bercuriga.
Maka ia lalu menjelaskan tentang sakit gurunya itu.
Ban Liang mengawasi gambar didinding itu, ia berkata pula:
"Kakak Hoan, kakak Hoan, bukannya aku bercuriga, tetapi kaulah
seorang pandai, kau tabib bagaikan dapat menghidupkan kembali
orang yang telah menutup mata, karena itu,jangan kata kau
memang selalu sehat walafiat, kau tak mungkin mendapat sakit,
andaikata kesehatanmu terganggu, kau puas, akan sembuh dengan
makan sebungkus atau sebutir saja obatmu, mana dapat kau
meninggal dunia karena capek bekerja?"
Jago tua ini tidak dapat menuduh langsung kepada si nona, maka
dia sengaja bicara kepada gambar si sahabat karib.
Tetapi si nona dapat menangkap maksud orang, maka ia
menghela napas dan berkata pula: "Dengan sebenarnya suhu
menutup mata karena bekerja terlalu keras .Jikalau loocianpwee
tidak percaya, ya, apa boleh buat..."
Itulah semacam tantangan- Tak dapatBan Liang bicara lebih jauh
dengan gambar orang maka ia batuk-batuk dan berkata pada si
nona: "Sebelum ada kepastian, tak berani aku bicara sembarangan-"
"Benarlah seperti kata suhu," berkata si nona. "Memang suhu
pernah mengatakan kepada boanpwee, seandaikata loocianpwee
datang kemari tentulah loocianpwee akan mencurigai wafatnya
suhu..."
"Bagaimana andaikata benar loohu mencurigai?"
"Suhu memesan buat memberi waktu loocianpwee melakukan
penyelidikan-"
"Sahabatku itu pandai, tidak heran apabila dia dapat menerka
begini," pikir Ban Liang. "Hanya nona ini, siapa tahu dia bicara benar
atau dusta?" Maka ia berkata: "Lebih dahulu aku ingin pergi melihat
kuburannya sahabatku itu."
"Baik sekali. silahkan, loocianpwee"
Sekalipun dia sudah bicara begitu lama dengan tetamunya, nona
itu terus duduk madap kedinding, tak pernah sekali juga dia
berpaling. Ini pun mengherankan si jago tua, hingga makin
bertambahlah kecurigaannya.
"Baiklah, nona. Aku minta sukalah nona menunjukkan kuburan
itu."
"Loocianpwee, apakah masih ada kehendakmu yang lain?" si
nona bertanya. "Kalau ada, tolong loocianpwee beritahukan
sekalian- Sebentar, setelah menjenguk kuburan suhu, kukira tak
usah loocianpwee datang pula kemari"
Kata kata itu berarti pengusiran terhadap pihak tetamu akan
tetapi walaupun demikian, suara si nona tetap merdu.
"Ini... ini..." kata Ban Liang, bingung, "sulit aku menerimanya..."
Nona itu menghela napas.
"Ah, benarlah kata suhu," katanya. "Suhu memberitahukan
kepada boanpwee bahwa ianpwee sangat bercuriga."
"Mati atau hidup ada soal besar sekali, nona, karena itu, soal itu
perlu ada kepastian-"
Atas itu maka terdengarlah suara tinggi dari si nona^ "Adikku,
pergi kau ajak Ban loocianpwee menjenguk kuburan suhu"
Mendengar kata-kata itu, Ban liang heran- Apalagi setelah itu
seorang nona segera muncul dari balik gorden disisi mereka. Nona
itu halus jalannya. Ban Liang segera menoleh, untuk mengawasi.
Segera ia tertegun.
Nona itu, baik dandanannya, maupun potongan tubuhnya, sama
benar dengan nona yang lagi duduk itu. Hanya dia ini dapat dilihat
wajahnya dengan jelas. Dia cantik sekali. sepasang alisnya lentik,
kedua matanya tajam dan hidup, hidungnya bangir, mulutnya
mungil, sedangkan bibirnya merah. Dia elok bagai pigura.
Nona itu langsung menghampirkan nona yang memanggil "adik"
kepadanya, dia sedikit membungkuk untuk mukanya mendekati
muka nona yang duduk itu, buat berbicara dengan perlahan, seperti
berbisik. Setelah itu, dengan tindakan perlahan, dia berjalan keluar
rumah.
Kembali Ban Liang heran dibuatnya.
"Nona ini mau mengajak aku melihat kuburan sahabatku, kenapa
dia tak menyapa sedikit juga kepadaku?" tanyanya didalam hati.
Justru jago tua ini keheran heranan, ia mendengar si nona yang
tetap duduk itu berkata kepadanya. "Adikku itu memang tak suka
banyak bicara, loocianpwee baik ikuti saja dia.Jangan loocianpwee
menanyakan apa juga, supaya tidak terjadi sesuatu yang akan
membuat pertemuan ini bubar secara tidak menyenangkan-.."
"Hal bagaimanakah ini?" tanya sijago tua itu didalam hati. ia
heran bukan kepalang. Maka ia lalu menanya : "Nona,
bagaimanakah andaikata ditempat pekuburan itu loohu melihat atau
menemui sesuatu yang mencurigakan? Bagaimana jikalau loohu
memikir untuk menanya dia ? Masih tak bolehkah ?"
"Paling baik loocianpwee jangan bicara dengan adikku,"
menjawab si nona, tenang. "cukup apabila loocianpwee simpan saja
didalam hati" Kembali Ban Liang heran sekali.
Ketika itu si nona penunjuk jalannya sudah keluar sejauh
beberapa tombak dari rumah gubuk. terpaksa jago tua itu pergi
menyusul.
Sementara itu Siauw Pek bertiga menanti dengan sabar, hanya
mereka merasa aneh waktu melihat ada seorang wanita muda
keluar dari rumah gubuk tapi jago tua itu tidak muncul. Mereka
melihat tegas nona itu, yang cantik, yang bertindak dengan
perlahan. Tadinya mereka mau menghampiri rumah, untuk mencari
tahu, tapi justru itu tampak kawan mereka keluar. Segera Siauw Pek
bertindak maju. "Loocianpwea mau pergi kemana?" tanya dia.
"Siapa nona itu?"
"Merekalah murid-murid sahabatku almarhum." sahut Ban Liang.
"Sekarang aku mau ikut nona itu memberi hormat pada arwah
sahabatku itu."
"oh, begitu?" kata Siauw Pek, heran, "Kamu turut atau jangan?"
"Baiklah kita pergi bersama..." berkata Ban Liang. yang tiba-tiba
merandak. "Hanya, nona itu tidak suka banyak bicara, kita jangan
bicara dengannya." Dengan berkata begitu, orang tua itu berjalan
pula akan menyusul si nona.
Siau Pek mengikuti, diturut oleh Oey Eng dan Kho Kong.
Nona itu mengajak para tetamunya berjalan sejauh sampai
empat lima lie, sampai di sebuah lembah yang sunyi. Bahkan itulah
lembah yang mati. Sebab disebelah depannya sebuah puncak tinggi
menutup jalan, dan dikiri dan kanannya adalah dinding dinding bukit
yang tinggi dan licin-
Ban Liang melihat sekeliling, ia tidak mendapati kuburan,
sehinnga segera ia merasakan heran- "Apakah budak itu
memancingku datang kemari?" ia menerka nerka. "Mungkinkah dia
merencanakan sesuatu?"
Selagi jago tua itu menduga, si nona sudah berjalan terus, ia
melewati sebuah batu besar yang seperti menutupi jalanan. ia jalan
disisi batu besar itu.
Ban Liang heran, mau ia menanya, tetapi ia batalkan maksudnya.
Si nona tadi telah memesan dengan sangat supaya ia jangan
berbicara dengan nona pengantar itu. Iapun tadi sudah memesan
Siauw Pek bertiga, maka jikalau ia yang mulai bicara, ketiga
sahabatnya itu pasti menjadi dan akan mentertawakannya. Maka ia
mengekang diri, tidak berkata. sebaliknya, ia mempercepat tindakan
kakinya, untuk menyandak nona itu. ia telah memikir, andainya
sinona melakukan sesuatu tindakan, hendaknya ia mendahului turun
tangan, agar ia atau mereka tak sampai terjebak.
Nona itu berjalan terus. Dia menghampiri sebuah batu karang
yang besar Kembali ia jalan disamping batu itu. Hanya sekarang dia
segera sampai didepan sebuah gua. Di situlah dia memutar tubuh,
berpaling kebelakang, tangannya berulang kali menggapai,
tangannya itu putih bagai batu kemala.
Ban Liang menghampiri nona itu sampai dekat. ia melihat gua itu
bagaikan terkurung dinding batu diempat penjuru. Pikirnya:
"Tanpa memasuki sarang harimau, tak memperoleh anak macan"
maka teruslah ia bertindak masuk.
Bagian dalam dari gua itu merupakan dua ruang yang lebar.
Itulah gua alam, bukan gua buatan- seluruh ruang bersih
keadaannya. Di tengah itu, dekat pada dinding terdapat sebuah peti
mati yang terbuat dari batu. Dan si nona segera menekuk lutut di
depan peti mati itu, kedua pipinya yang merah dadu dilanda air
matanya. Dia menangis sedih tanpa suara.
Memandang petimati itu, tanpa terasa Ban Liangpun
mengucurkan airmata. ia ingat sahabat karibnya Begitu ia datang
dekatpetimati itu, ia menagis menggerung. Tidak dapat ia menahan
duka hatinya.
siauwpek bertiga menyusul masuk. Mereka mendengar tangisan
kawan tua itu, mereka melihat kesedihan sikawan, sedangkan si
nona menangis tanpa suara. Dengan sendirinya mereka turut
terharu, sehingga mereka berdiam saja air muka mereka suram.
siauwpek tak tahu petimati itu jenazah siapa, hanya Ban Liang
telah memberitahukan tentang sahabatnya, slorang she Hoan itu
yang katanya pandai sekali, maka sendirinya ia itu menghargai
sahabat yang sudah menjadi orang halus itu. Bahkan sendirinya ia
bertekuk lutut didepan petimati.
Ban Liang juga berlutut. Sesudah lewat sekian lama, setelah
merasa sedikit tenang, iapun berkata kata seorang diri: "Kakak
Hoan, oh kakak Hoan kau pintar luar biasa, kenapa sekarang kau
meninggaikan dunia secara diam diam begini? Tidakkah ini sangat
menyedihkan? Bukankah kau sangat menderita? Kakak, aku
menyesal tidak mendapat kesempatan bertemu denganmu Kakak. di
saat terakhir ini, tak dapatkah aku melihat wajahmu?"
Kata kata ini diucapkan seorang diri akan tetapi itulah disengaja
oleh sijago tua karena secara tidak langsung, ia tujukan itu kepada
sinona pengantarnya. Itulah pengutaraan dari kecurigaannya. itu
juga menyatakan bahwa ia ingin membuka tutup peti mati...
Mendengar suara orang itu, sinona menyeka air matanya,
kemudian dia berpaling, memandang jago tua itu kedua biji
matanya bersinar sangat tajam. Dia agaknya mau bicara tetapi
batal.
Ban Liang menyesal ia dapat menerka hati sinona, tetapi orang
tidak membuka mulut, ia tidak memperoleh kepastian apa yang si
nona hendak ucapkan, walaupun demikian ia telah mengambil
ketetapan, untuk membuka tutup petimati. Maka dia bertindak
mundur dua langkah, untuk memasang kuda kuda, guna mengulur
kedua tangannya, memegang pinggiran tutup petimati itu. Begitu ia
mengerahkan tenaganya tutupnya segera terangkat naik sambil
memperdengarkan satu suara bergeser keras.
Serentak dengan itu dari dalam peti mengepul asap putih, yang
harum, terus bergulung gulung naik. Bau harum itu menyenangkan-
Sebelum melihat ke dalam peti, Ban Liang lebih dulu menoleh
pada si nona. ia melihat nona itu berlutut di depan peti, kedua
tangannya menututpi muka, kedua bahunya bergerak gerak tidak
hentinya. Teranglah nona itu sangat bersedih dan ia menangis
tanpa suara.
Setelah asap putih membumbung naik, maka didalam petimati itu
tampak sebuah jenazah yang masih utuh, orangnya kurus, usianya
setengah tua, yang bajunya warna yang panjang. Dia rebah dengan
tenang.
Ban Lian mengawasi. Kecuali lebih kurus sedikit, sahabat itu
sama dengan sahabat yang sudah lewat dari beberapa puluh tahun
yang lalu. d isaat mereka berdua berpisahan buat penghabisan kali.
Yang mengherankan, wajah sahabat itu bagaikan orang yang lagi
tidur, tak mirip dengan orang yang tanpa nyawa...
Sebagai jago tua, yang banyak pengalamannya, tahulah Ban
Liang bahwa mayat itu terlindung oleh asap tadi, maka tubuhnya
bertahan tak dapat rusak.
Sementara itu sisa asap hampir habis, Ban Liang menjadi
bingung. ingin ia lekas lekas meletakkan tutup petimati itu untuk
menutupinya lagi, Tapi tiba tiba dibawah kepala mayat tampak
ujung sehelai kertas putih- Maka ia lalu berpikir: Hoan Tiong Beng
pandai luar biasa, dia meninggaikan suratnya ini tentulah menuruti
rencana yang ia telah atur. Mungkinkah kedua nona itu tak
melihatnya? Mungkinkah karena aku membuka tutup peti, surat ini
bergerak sendirinya? Barangkali isi surat ini menjelaskan sebab
musabab dari kematiannya bahkan juga menyebut siapa musuh
yang telah membinasakannya?..."
Karena menerka demikian, sebat luar biasa Ban Liang
menggunakan sebelah tangannya menyambar surat itu, lalu
dimasukkan kedalam sakunya, setelah mana dengan berhati hati ia
meletakkan pula tutup petimati, untuk menutupinya kembali dengan
baik. Si nona berpakaian hijau masih menangis mendekam, tetap
tak terdengar suaranya.
Siauwpek bertiga melihat gerak gerik jago tua itu tetapi mereka
diam saja.
Ban liang bertindak mundur segera setelah peti tertutup rapi.
Sudah tentu tidak ada kesempatan untuknya membaca surat dari
dalam petimati itu, maka ia segera menggunakan Toan Im cie Sut -
Ilmu menyalurkan suara untuk bicara pada Siauw Pek. katanya:
"Kau perhatikan nona ini" Segera setelah itu ia mengundurkan untuk
pergi keluar dari dalam ruang itu
Siauwpek mengerti, diam diam ia menyentuh Oey Eng dan Kho
Kong, untuk mengatur mereka itu, hingga sikap mereka bagaikan
mengurung sinona.
Setiba diluar gua, Ban liang segera mengeluarkan surat tadi
untuk dibaca. Surat itu tertutup rapi, tidak ada tandanya bekas
dibuka, alamatnya yaitu: "Saudara Ban Liang Buka dan baca sendiri
surat ini."
"Ha, kiranya, sebelum sahabatku menutup mata, dia sudah tahu
ajalnya bakal tiba," pikir seng supoan "Iapun telah menerka bahwa
aku bakal datang kemari untuk menjenguknya bahwa tak dapat
tidak. aku pasti bakal membuka petimatinya, maka dia
meninggalkan surat rahasia ini."
Ia lalu membaca bunyinya surat, yang tertulis atas kertas yang
halus. Nah beginilah : "Saudara Ban Liang
Sesampainya surat ini ditanganmu, aku telah menutup mata
sejak beberapa tahun yang lampau. Dan, disaat saudara datang ke
mari melihatku untuk berbela sungkawa, itu pula saatnya yang
dunia kang ouw mulai terancam petaka maha besar..."
Membaca sampai disitu, jago tua ini menghela napas. Didalam
hati ia memuji, "Sungguh lihay HoanTiong beng. Ia telah dapat tahu
dan meramalkan apa yang bakal terjadi setelah dia meninggalkan
dunia yang fana ini..." Kembali ia menghela napas, lalu ia membaca
lebih jauh :
"Rumah gubukku tetap seperti biasanya, pemandangan alam
gubuk ini seperti sedia kala. tetapi saudara, kau tentunya akan
berduka karena kematianku ini, kau pasti mencurigai kedua nona
yang berdiam didalam gubukku - mencurigai tanpa mereka
bersalah..." Membaca tulisan itu, Ban Liang malu pada dirinya
sendiri. Tapi membaca terus :
"Bakatku telah dibatas, maka itu aku tidak berdaya mempelajari
ilmu silat sampai ke puncak kemahiran, karenanya aku merubah cita
citaku, aku terus memahamkan ilmu bintang dan meramal. Didalam
pelajaran ini, aku harus berhati hati supaya aku tidak sampai
tersesat, sebagaimana sering terjadi pada lain orang. oleh karena
sulitnya pelajaran ini maka aku hidup menyendiri, aku menolak
kunjungan siapa juga. Pada saat aku memperoleh kemajuan ilmu
itu, tiba-tiba aku merasakan perubahan pada tubuhku..."
"Ah..." mengeluh Ban Liang. "kiranya dia terlalu letih karena
meyakinkan ilmunya yang baru..." Lalu ia membaca pula :
"Adalah pada saat itu, dengan tiba tiba ada seorang tani datang
padaku, membawakan sepasang bayi padaku. Mereka adalah itu
dua anak perempuan yang saudara menemuinya. Mereka berbakat
luar biasa, merekalah murid muridku yang tepat.
Hanyalah sayang kedua anak manis itu, mereka sama-sama
bercacat. Walaupun mereka berdua cantik luar biasa, mereka ada
kekurangannya masing masing : Sang kakak matanya tak dapat
melihat, sang adik mulutnya tak dapat berbicara..."
Membaca demikian, barulah Ban Liang tersadar. Pantas nona
yang pertama selalu membelakanginya, dan nona ini tak suka bicara
dengannya. Teranglah, nona yang pertama tadi sang kakak. dan
nona ini sang adik.
"Sayang... sayang..." pikirnya, "Mesti mereka berdua sangat
cantik, sebagaimana kata sahabatku ini. Aku telah melihat potongan
tubuh si nona pertama dan mendengar suaranya yang begitu lemah
lembut dan merdu Adiknya inipun elok sekali, wajahnya sangat
menggairahkan. " Kembali ia membaca pula :
"Setelah aku menerima sepasang anak kembar itu, padaku telah
terjadi suatu perubahan besar. Aku telah merawat mereka hingga
besar, setelah mana setiap hari, setiap saat, kami hidup sangat
bergembira ria. Semangatku terbangun, hingga aku tidak memikir
hari-hari penghabisanku. Aku menyayangi mereka, dan mereka
sebaliknya sangat berbakti kepadaku.
Benar dugaanku, mereka berbakat sangat baik, mereka cerdas
sekali, sang kakak tuna netra akan tetapi telinganya celih dan
pandai mendengar dan membedakan segala rupa suara, sedangkan
otaknya sangat tajam dan kuat. Sementara sang adik, walaupun dia
bisu akan tetapi otaknya sangat tajam, ingatannya sangat kuat. Apa
yang telah dia lihat, tak dapat dia lupakan- Asal dia membaca, satu
kali saja, dia ingat untuk selama-lamanya. Dia pandai pula melihat
suasana.
Kedua kakak beradik itu berkumpul setiap waktu, siang dan
malam. Mereka hidup sangat rukun, dapat mereka saling mengalah.
Suara mereka suara bicara dan tertawa sangat menyenangkan siapa
yang mendengarnya, maka juga selama belasan tahun, hatiku
terbuka, aku selalu gembira.
Tentu saja, kakak beradik itu mewujudkan cita-citaku. Semua
kepandaianku, aku wariskan kepada mereka berdua. Hanya sayang,
sebelum mereka dapat menyelesaikan pelajaran mereka, tiba-tiba
kesehatanku terganggu pula. Maka itu, saudara, aku lalu menulis
suratku ini untukmu..."
sampai disitu suratnya Hoan Tiong Beng itu sudah tidak karuan
macam, sudah tidak nyata, dan sukar untuk dimengerti, meski Ban
Liang menerka nerka, ia tak dapat, Maka surat itu ia masukkan pula
kesakunya untuk disimpan- Karena ia memikir, menyimpan itu tidak
ada ruginya. Bahkan menyimpan suratnya seorang sahabat karib
adalah baik sekali, sebagai kenangan/ Siapa tahu kalau surat itu
masih mengandung arti lainnya yang belum sanggup pecahkan?
Mungkin dibelakang hari, ia dapat menyuruh bacakanpada salah
seorang ahli surat.
sambil berpikir jago tua ini kembali kedalam gua, si nona bisu
masih mendekam dan mengangis. Menampak demikian ia jengah, ia
malu sendirinya. Ia menghela napas.
"Sudah, anak. jangan kau menangis," katanya menghibur. ia
anggap pantaslah kalau ia memanggil anak kepada nona itu, sebab
sinona dan saudaranya menjadi anak-anak pungut dari sahabat
kekalnya itu.
Nona itu mengangkat kepalanya, memandang pada orang yang
menyapanya. Mukanya masih penuh dengan air mata. Kemudian, ia
merapikan tutup petimati, habis mana ia bertindak keluar gua.
Masih airmatanya meleleh Walaupun demikian, sikapnya tenang.
Terhadap Siauw pek bertiga, ia menolehpun tidak apa lagi
mengawasi.
"Loocianpwee" berbisik Kho Kong, "kita berdiam disini atau ikut
sinona?"
"Kita ikut dia," menjawab Ban Liang, yang terus mendahului
bertindak keluar.
Siauwpek bertiga mengikuti di belakang jago tua itu, maka
berempat merekapun mengikuti dibelakang sinona, menuju ke
rumah atap.
Kho kong merasai dadanya penuh, beberapa kali ia hendak
menyapa sinona, saban saban ia bisa mencegah hatinya. Ia
mentaati pesan Ban Liang.
Tiba dimuka rumah, nona itu tidak menoleh untuk mengatakan
sesuatu, atau memberi isyarat apa-apa, langsung ia bertindak
masuk ke dalam rumahnya. Ban Liang menghentikan tindakannya.
"Silahkan menanti sebentar disini," katanya pada kawankawannya.
"Hendak aku masuk ke dalam buat dengan kedua
saudara itu."
"Aku rasa tak perlu, loocianpwee," Kho Kong berkata. "Sahabat
loocianpwee sudah meninggal dunia, kedatangan kita kemari sudah
tidak ada hasilnya, apakah faedahnya akan berbicara dengan kedua
anak perempuan itu?"
Ban Liang menjawab kawan ini, sikapnya tenang suaranya adem:
"Walaupun sahabatku itu sudah lama menutup mata tetapi ia telah
meninggalkan suratnya yang ada menyebut nyebut tentang kaum
Kang ouw, perihal apa yang bakal terjadi, bahkan ia telah
mengetahui bahwa aku bakal datang kemari..."
Oey Eng khawatir akan menyebabkan bentrokan, ia lekas datang
sama tengah. Katanya "Karena Hoan Loocianpwee dapat
meramalkan apa yang bakal terjadi didalam dunia Kang ouw,
mungkin dia telah mengatur sesuatu..." Ban liang menghela napas.
ia mengawasi Siauwpek.
"Nona itu sudi atau tidak membantu kita, itulah akan tergantung
kepada untung bagusmu saudara kecil" katanya.
siauw Pek berpikir : Mungkinkah nona itu masih demikian muda,
dapat membantuku. coh Siauwpek, akan menjelaskan sakit hati
ayah bundaku?" Meski ia beragu-ragu itu, ia toh berkata pada
slorang tua^ "Loocianpwee, aku mengenal kepadamu. Terserahlah"
Ban Liang mengangguk. ia berkata: "Aku akan menggunakan
segala kepandaianku untuk meminta mereka ini suka
membantumu..." ia berdongak, ia menghela napas. Lalu ia
menyambungi: "Aku slorang tua, kecuali kedosaanku sering
melakukan pembunuhan kepada orang orang jahat, aku percaya
betul bahwa apa yang aku telah lakukan, semua itu tak ada satu jua
yang tak dapat dikemukakan d ihadapan langit dan matahari
Semoga kedua nona itu telah mewariskan semua kepandaian
sahabat kekalku itu, supaya dengan cara kepandaiannya itu mereka
akan berhasil menolong dunia Kang ouw dari ancaman mara
bencana ..."
Begitu habis berkata, segera orang tua ini membuka langkahnya
bertindak masuk kedalam rumah bilik almarhum Hoan Tiong Beng...
siauw Pek bertiga mengawasi jago tua itu, sianak muda melihat
tindakan orang agaknya berat, Itulah bukti kesangsian sijago tua
tentang maksudnya mengundang sinona nona akan berhasil atau
tidak. Maka ia sendiripun jadi berpikir keras.
Pintu rumah tetap cuma dirapatkan, maka Ban Liang sudah
menolaknya terbuka. Begitu daun pintu terpentang, segera
terdengar suara merdu dari sinona tunanetra: "Adikku telah
memberitahukan aku loocianpwee telah memegang teguh janjimu."
Ban liang mengangkat kepalanya. ia melihat sinona masih tetap
duduk menghadapi dinding.
Hanya sekarang sinona bisu berdiri mendampingi kakaknya itu.
Pada kedua belah pipi merah dadu nona itu masih ada bekas air
matanya.
Dengan sendirinya hati jago tua itu berdenyut Sedetik itu ia
merasa jengah sekali. syukur tadi ia tidak melakukan tindakan
lainnya kecuali mengambil surat wasiat sahabat karibnya. ia
mengangkat kedua tangannya dan berkata perlahan: "Tadi dari
dalam peti mati, loohu telah mengambil surat sahabat karibku, baru
setelah membaca surat itu ternyata loohu telah mencurigaimu, nona
nona. Maka itu sekarang loohu merasa hatiku tidak tenang..."
"Itulah tidak apa, loocianpwee," menjawab si nona, sabar.
"Loocianpwee sangat menyayangi sahabat kekal, perbuatanmu itu
adalah perbuatan yang tak dapat dihindarkan siapa juga."
"Didalam surat wasiatnya itu, sahabatku telah menulis jelas
tentang kamu berdua, nona nona. Ternyata kamu telah mewarisi
seluruh kepandaian kakak Hoan."
"Suhu pandai luar biasa, kami sebaliknya bodoh dan bercacat.
walaupun kami telah mempelajari kepandaian suhu almarhum, apa
yang kami peroleh tidak ada satu perselaksa..."
"Harap nona nona jangan sungkan, tak usah nona nona
merendah," berkata Ban Liang
"Kakak Hoan telah menulis jelas sekali didalam suratnya itu." ia
diam sejenak, baru ia melanjutkan- "Sekarang ini dunia Kang ouw
tengah terancam mala petaka besar, oleh karena itu sesudah nona
nona dapat mewarisi kepandaian sahabatku itu, mana dapat kamu
berdiam saja ditempat ini hingga kamu seperti memendam
kepandaian kamu itu? Maka itu nona nona, baiklah nona turut pada
loohu untuk kita memasuki dunia, guna melakukan sesuatu yang
menggemparkan, buat menolong menyingkirkan ancaman- bencana
bagi khalayak ramai. Secara begitu nona nona kamu jadi tidak akan
menyia nyiakan jerih payah kakak Hoan yang telah mendidik
kamu..."
Setelah kata kata jago tua itu, ruang kamar sunyi senyap. Selagi
sijago tua menantikan jawaban, nona nona itu terdiam semuanya.
"Loocianpwee mengangkat terlalu tinggi kepada kami dua
saudara..." kemudian terdengar suara sinona yang matanya tidak
melihat. Habis itu, ia menghela napas panjang. Masih hening
sekejap. baru ia menambahkan^ "oleh karena loocianpwee menjadi
sahabat suhu, pasti di dalam suratnya suhu menulis jelas sekali
tentang kami dua saudara, sang kakak buta sang adik gagu bahwa
itulah cacat asal..."
"Memang sahabatku ini menulis demikian di dalam suratnya,"
berkata Ban Liang, "akan tetapi disamping itu sahabatku memuji
tinggi kepada kepandaian nona berdua, bahwa bakat nona nona
bagus luar biasa, karenanya dengan menerima warisan kepandaian
gurumu, nona nona bagaikan warna hijau yang asal mulanya warna
biru."
Sinona menghela napas pula. Katanya: "itu juga pujian saja dari
suhu. Meskipun kami berdua telah menerima perlindungan dan
kasih sayang suhu, yang memandang kami bagaikan anak anak
kandung, yang telah mengajari kepandaiannya, toh disebabkan
bakat bebal dari kami, kami telah menyia nyiakan pengharapan
suhu kami itu. cacat kami telah membatasi kesanggupan kami
banyak sekali. oleh karena itu, loocianpwee, tidak sanggup kami
mencegah ancaman dunia Kang ouw itu, karenanya, menyesal kami
harus menyia nyiakan juga pengharapan loocianpwee ini."
Ban Liang melengak. suara gadis itu halus dan merdu, akan
tetapi nadanya pasti.
"Nona nona, kamu tidak berniat muncul di dalam dunia, habis
apakah nona nona hendak tinggal bersembunyi disini buat selama
lamanya?" ia bertanya.
Jago ini menyaksikan perlengkapan rumah sangat sederhana.
Itulah nampaknya pertanda bahwa kedua saudara kembar itu tidak
berniat tinggal menetap di rumah atapnya ini...
Nona yang menghadap kedinding itu menjawab, "Loocianpwee
menjadi sahabat kekal dari suhu, kami tidak berada mendustai
loocianpwee Dengan sebenarnya lagi beberapa hari kami berdua
hendak pindah kedalam gua dari suhu kami, buat tinggal
mendampingi suhu untuk selama lamanya. Tak ada niat kami buat
pergi turun gunung ini..." Ban Liang bingung sendirinya. Hebat
keputusan nona nona ini.
"Akan tetapi, nona," berkata dia, cepat: "Sahabatku telah
mewariskan seluruh kepandaiannya kepada nona-nona, sebaliknya
nona hendak terus tinggal mendampingi jenazahnya tak ingin nona
keluar dari goa itu, memang benar dengan berbuat demikian nona
telah melakukan kebaktian nona-nona, tapi berbareng dengan itu
tidakkah nona juga menyia-nyiakan kepandaian yang telah
diwariskannya itu? Loohu kira itulah bukan pengharapan guru
nona."
Tiba-tiba sinona berpaling. Inilah yang pertama kali ia
memperhatikan mukanya. ia berkata, walaupun dengan sabar:
"Seorang kakak tunanetra dan seorang adik bisu, dan anak
perempuan yang bercacat dan lemah walaupun kami telah
menerima warisan kepandaian suhu kami, apakah yang kami bisa
perbuat didalam dunia Kang ouw, didalam kalangan Rimba
Persilatan ?"
Ban Liang mengawasi sinona. ia kagum bukan main- Nona itu
lebih cantik daripada adiknya. Sepasang alisnya panjang dan lentik,
bila tidak tahu halnya sinona buta, ia pasti tak akan menyangkanya,
ia akan mengira sedang mendiamkan mata saja. ia menghala napas
saking menyesal dan terharu.
"Nona," berkata ia, "walaupun apa juga yang nona katakan tetapi
sura sahabat karibku telah menulis jelas sekali tentang kamu..."
Sinona menyingkap rambut didahinya. ia tertawa hambar.
"Meskipun Loocianpwee menggunakan lidah yang tajam, kami
kakak beradik yang bercacad ini tidak mempunyai hasrat untuk
muncul di dalam dunia persilatan-.." berkata ia suaranya tetap.
"Didalam dunia Kang ouw yang luas, nona tidak ada keanehan
yang tampak," berkata slorang tua membujuk. "Maka itu siapa tahu
andaikata kita akan dapat menemui seorang tabib yang pandai
mengobati mata hingga kedua mata nona nanti dapat melihat pula
serta adikmu nanti dapat bicara seperti kita ?"
"Loocianpwee baik sekali, terima kasih "
JILID 23
Suara si nona tetap hambar. Hanya sebentar, ia menambahkan :
"Loocianpwee, diantara pria dan wanita ada perbedaannya, oleh
karena itu, jikalau sudah tidak ada urusan lainnya, sudah tiba
saatnya buat loocianpwee kembali..."
Ban Liang terperanjat. Ia tidak sangka si nona mengeluarkan
kata-katanya itu. Itu artinya: bahwa ia telah diusir pergi Ia
melengak karenanya. Tapi ia segera sadar.
"Nona," katanya kemudian, "tahukah nona apa yang sahabatku
tulis didalam surat peninggalannya itu?" orang yang ditanya
menggeleng kepala.
"Tidak" sahutnya.
Ban Liang berpikir dengan cepat. Kedua nona ini bercacat, karena
itu tak ingin mereka muncul didalam pergaulan umum. Bukankah
pantas jikalau aku mendustai, memperdayai mereka? Karena
berpiklr demikian, cepat cepat ia berkata: "Nona, bagaimana jikalau
didalam surat wasiat sahabatku itu ada ditulis pesan yang
memerintahkan nona nona mesti keluar dari gunung ini untuk
muncul didalam dunia Kang ouw?" Ditanya begitu, nona itu
tercengang.
"Jikalau benar demikian, sudah selayaknya suhu memberitahukan
aku sebelumnya dulu beliau menutup mata," katanya sejenak
kemudian-
"Pernahkah sahabatku itu memberitahukannya"
"Tidak."
Si nona menggoyang kepala.
"Jikalau sahabatku menulis demikian didalam suratnya itu,
bagaimana pendapat nona, apakah itu dapat dipandang sebagai
perintah guru."
"Jika hal itu benar, memang itu dapat dianggap sebagai suatu
perintah. Hanyalah, aku tak percaya, bahwa dalam surat wasiatnya
itu, suhu benar menghendaki kami muncul didunia."
Ban Liang berpikir cepat. "Memang surat HoanTiong beng cuma
memuai kecerdasan kedua muridnya tetapi tak ada pesan atau
perintah untuk kedua murid itu keluar dari tempat perguruannya. Ia
telah memikir untuk mendustai tapi segera insaf bahwa dialah
seorang tua dan seorang laki laki sejati, tak semestinya ia
mendusta. Atau umpama nona nona itu percaya dia, ada
kemungkinan kelak dibelakang hari mereka bakal menyesal seumur
hidupnya. Maka pada akhirnya ia menghela napas.
"Didalam surat wasiat sahabatku itu tak ada ditulis perintah
untuk nona nona muncul dalam dunia Kang ouw, katanya kemudian,
akan tetapi, menurut bunyinya surat, niat itu telah ternyata, hanya
entah kenapa, gurumu itu tak mau menyebutkannya, mungkin ia
ada memikir lainnya."
"Loocianpwee" tiba tiba si nona bertanya, "dapatkah loocianpwee
menunjukkan surat suhu pada kami untuk kami baca sendiri?"
"Boleh, boleh... menjawab Ban Liang cepat. Ia malah segera
mengeluarkan surat Tiong beng dan diberikan kepada si nona,
sedangkan hatinya berpikir aneh: "Kau tak dapat melihat,
bagaimana kau dapat membaca surat ?"
Si nona tunanetra menyambuti surat itu, yang ia terus serahkan
pada adiknya. "Kau lihat," katanya, "kau beritahukan aku bunyinya."
si nona itu menyambut surat itu, untuk dibuka dan dibeber
ditangan kirinya, sedangkan tangan kanannya diletakkan pada
tangan kakaknya, setelah mana jerijinya dikutik kutik, disentil sentil
perlahan lahan, bagaikan orang menabu kim (Kim kecapi atau gitar
Tiongkok) .
Menyaksikan demikian, Ban Liang mengawasi dengan
tercengang. Inilah pemandangan yang asing baginya. Itulah cara
aneh, yang istimewa sekali, buat seorang bisu bicara dengan
seorang tunanetra
cepat si nona bisu menggerak gerakkan tangannya, lekas sekali
habis sudah ia "membacakan" surat gurunya itu kepada kakaknya.
Si nona cacat mata menghela napas.
"Perintah suhu tak dapat ditentang, kami tidak dapat tak
menerima baik kehendaknya itu," katanya kemudianHeran
Ban Liang, hingga ia melengak pula. Sedang dialah orang
yang meminta, bahkan dengan mendesak, agar nona nona itu sudi
membantu usaha usaha Siauwpek. "Bagaimana nona?" dia
bertanya, Jadi nona sudi keluar dari sini?" Tanpa merasa, jago tua
itu mengajukan pertanyaannya. Nona itu mengangguk.
"Surat suhu untuk loocianpwee jelas sekali bunyinya, berkata ia,
itulah seandainya loocianpwee meminta kami keluar dari sini,
maka..."
"Maka bagaimana, nona?" tanya Ban Liang saking tegang
hatinya. Nona tunanetra itu tertawa perlahan.
"Maka kami tak dapat menolak," sahutnya Masih jago tua itu
heran, ya, heran sekali.
"Nona," katanya, "loohu tidak melihat surat yang bunyinya
demikian."
"Suhu menulis dengan kata kata rahasia," menjawab si nona,
menjelaskan- "Loocianpwee tidak tahu kata kata rahasia itu pasti
loocianpwee tidak melihatnya..."
"Begitu?" kata pula si jago tua. Di akhir suratnya akan tampak
corat coret yang tdak keruan bentuknya. Apakah itu pertanda yang
menyebutnya?"
"Itulah satu urusan lain, loocianpwee. Sekarang tolong
loocianpwee simpan surat ini kelak dibelakang hari masih ada
keperluannya yang berharga besar." Ban Liang menyambut surat
almarhum sahabat kekalnya itu.
"Dahulu semasa hidupnya gurumu, nona, segala perbuatannya
membuat aku si tua bingung tak mengerti," katanya, tidak kusangka
bahwa juga nona nona berdua sekarang telah mewariskan sifat
sahabat karibku ini..." Nona itu menghela napas.
"Itulah soal sulit untuk diterangkan dimuka," katanya "Didalam
segala hal, kami berdua mohon segala petunjuk dari loocianpwee..."
Ban Liang tertawa.
"Loohu bicara dari hal yang benar, nona" katanya. "Sekarang
saja perbuatan nona sudah memperlihatkan sifat gurumu itu."
Kembali si nona menghela napas.
"Sekarang, loocianpwee," katanya, sabar. tolong loocianpwee
berempuk dahulu dengan sekalian sahabat loocianpwee itu, supaya
kamu dapat memberi waktu tiga hari pada kami berdua saudara.
Tiga hari kemudian silakan loocianpwee beserta sahabatmu datang
pula kemari, waktu itu kami kakak beradik akan turut loocianpwee
pergi"
"Memang nona nona harus menyiapkan sesuatu," berkata si
orang tua. "Baiklah, nona, inilah janji kita. Lewat tiga hari, kami
akan datang pula"
segera setelah berkata begitu, Ban Liang memutar tubuhnya buat
bertindak pergi.
Siauw Pek bertiga telah menantikan lama sekali rasanya, mereka
sudah habis sabar, maka itu melihat munculnya si jago tua, ia lalu
menyambut, dan segera bertanya, "Bagaimana loocianpwe, telah
bereskah pembicaraan dengan kedua nona itu?"
"Bagus" jawab Ban Liang separuh berseru, Diapun tertawa.
"Sudah beres cuma mereka minta waktu tiga hari buat mengatur
sesuatu urusan pribadi mereka. Nanti lagi, tiga hari, kita datang pula
kemari menyambut mereka." Siauw Pek mengangguk.
"Ya, kitapun baik menggunakan waktu tiga hari itu untuk
merencanakan tindakan kita selanjutnya," katanya. "Kita harus
pikirkan soal soal Kang ouw sekarang ini..."
"Ada satu hal, yang hendak loohu beritahukan kepadamu,
saudara saudara..."
"Apakah itu, loocianpwee?"
"Setelah kita berhasil mengundang nona itu untuk memohon
bantuannya," Ban Liang menjelaskan, "selanjutnya kita harus turut
setiap kata kata mereka agar dengan begitu mereka jadi merdeka
dan leluasa untuk memperlihatkan kepandaian mereka"
Mendengar demikian Kho Kong yang tidak mengatakan sesuatu,
segera berpikir dalam benak otaknya, "Dua nona yang masih hijau
sekali mana mereka sanggup mengurusi soal soal yang mengenai
dunia Kang ouw?Jika kita harus menuruti segala perkataannya,
tidakkah itu hal yang sangat lucu dan mentertawakan?"
Walaupun ia berpikir demikian, tak berani ia mengutarakannya,
karena ia khawatir nantinya bentrok dengan sijago tua.
Siauw pek mengangguk. memberikan janjinya, sedangkan Oey
Eng tidak mengatakan sesuatu.
Berempat mereka segera meninggalkan rumah atap itu, untuk
memasuki sebuah dusun kecil buat mengisi perut mereka didalam
sebuah rumah makan- Setelah itu mereka berjalan lebih jauh. Ban
Liang berjalan didepan, ia mengajak ketiga kawannya kesebuah
rimba, dimana dia berhenti. Lantas ia tertawa, sambil mengawasi
ketiga kawannya, ia berkata: "Bagaimana kamu lihat tempat ini?"
Siauw pek heran- Kenapa sahabat ini berhenti didalam rimba dan
bertanya drmlikian?
"Apa, loocianpwee?" dia balik bertanya.
"Bagaimana kalau kita melewatkan malam disini?" tanya si orang
tua.
"Kenapa mesti berdiam disini, loocianpwee?" tanya Kho kong
heran- "Di dusun itu toh ada pondokan?"
Ban liang tidak menjawab, sebaliknya dia melompat naik keatas
pohon-
"Saudara coh mari mari" katanya seraya berpaling dan
menunjukkan kesatu arah. "Kau lihat disana"
Si anak muda menurut, ia berlompat naik, bahkan dicabang
teratas. "Ada apa loocianpwee?" tanyanya.
"Lihat disana, tempat apakah itu?" kata pula sijago tua.
Siauw pek memasang mata. Ia melihat sebuah pengempang
ditempat mana ada sebuah rumah atap. Itulah tempat kediaman
kedua nona bercacad yang luar biasa itu. "Itu toh tempat kediaman
kedua nona tadi?" tanya dia.
"Benar" sahutBan Liang, "Kita berdiam di sini, diam diam kita
mengawasi kedua nona itu" ia menghela nafas "siapa tahu bahwa
kedatangan kita ini secara sendirinya telah mengundang ancaman
bahaya untuk kedua nona itu? Bukankah kita bertanggung jawab
untuk melindungi mereka?"
Siauw pek berdiam, tetapi didalam hatinya dia berkata: "Inilah
kekuatiran yang berlebihan-.. "Justru baru berpikir demikian tiba
tiba ia melihat sesosok tubuh manusia muncul dari balik sebuah
pohon besar dan orang itu segera bertindak ke arah rumah atap
Sendirinya ia terperanjat.
Tatkala itu matahari lohor bersinar terang benderang, segala apa
tampak nyata sekali. Sesosok tubuh itu, sesudah maju sekian jauh
mendadak kembali ketempat asalnya dibalik pohon tadi.
"Nah, adik kecil, kau telah melihat, bukan?" kata Ban Liang.
"Ya," sahut kawan yang muda itu, yang kagum sekali terhadap si
orang tua.
Ban liang menghela napas. Katanya perlahan. "Ketika tadi kita
meninggalkan rumah atap itu, aku merasa ada orang yang
menguntit kita, tetapi dia agaknya sangat lihay, dia membuat aku
ragu ragu?"
"Heran, loocianpwee, aku tidak tahu sama sekali, Siauw Pek
mengaku.
"Inilah adik, disebabkan buak hasil pengalamanku beberapa
puluh tahun. Inilah semacam firasat, atau perasaan, yang
istimewa..."
"Bagaimana loocianpwee orang itu justru memperhatikan kalian
nona tadi?"
"Inilah sederhana sekali, anak. orang itu menguntit kita justru
kita baru meninggalkan rumah atap itu. Dia bukannya
memperhatikan si nona nona sejak tadi tadinya. Tegasnya perhatian
dia ketarik sebab kedatangan kita ini. Barusan sengaja aku menuju
ke rimba ini, menghindarkan diri dari perhatian orang itu." Siauw
Pek mengangguk.
"Dapatkah loocianpwee menerka apakah adanya perhatian orang
itu terhadap kedua nona itu? Ya, apakah maksudnya dia?"
"Sukar untuk memastikannya, anak. Kedua nona itu bercacat, toh
mereka tetap cantik dan menarik hati sekali. Buat orang baru tak
mungkin dia mengetahui bahwa nona nona itu ada kekurangannya
masing masing. Siapa tahu kalau orang kemaruk akan paras elok?
Atau lagi, siapa tahu seandainya ada orang Kang ouw yang tahu
nona nona itu murid murid Hoan Tiong Beng dan dia mengandung
sesuatu maksud" Siauw Pek mengerti sekarang.
"Kita hendak melindungi nona nona itu," katanya. "akan tetapi
kita berdiam disini, apakah jarak kita tidak terlalu jauh ?"
"Memang jaraknya agak jauh. Tapi, orang itu mungkin tidak
bakal turun tangan secara sembrono, atau mungkin lain malam..."
"Apakah loocianpwee memikir buat nanti malam kita pergi
kepeng empang sana untuk melindungi kedua nona itu?"
"Tidak salah, benar begitu"
"Bagaimana jikalau orang itu cerdik luar biasa, yaitu dia turun
tangan disiang hari?"
"Maka juga kita harus berdiam diatas pohon ini, untuk selalu
memasang mata." Siauw Pek anggap usul itu baik.
"Kalau begitu saudara-saudara Oey dan Kho turut memasang
mata bersama," katanya.
"Benar. Pergi kau ajak mereka naik kemari" Siauw Pek melompat
turun.
"Toako, kau melihat apa?" Kho kong segera menegur. si polos ini
heran akan sikap si jago tua dan dia menjadi tidak sabaran. Dia pula
tidak mengerti kenapa jago tua itu menghargai secara luar biasa
pada kedua nona tadi
"Aku melihat sesuatu."
"Apakah itu?"
"Melihat ada orang bermaksud jahat terhadap kedua nona itu
tadi"
Si polos terperanjat, diapun heran- hingga dia menggaruk-garuk
kepalanya.
"Toako, aku tidak mengerti" katanya.
Siauw Pek tertawa.
"Katakanlah saudaraku "
"Aku tidak percaya bahwa kedua nona itu pintar sekali atau
memiliki kepandaian " si sembrono mengutarakan isi hatinya.
"Mungkin mereka dapat membantu toako mencuci bersih sakit hati
toako sekeluarga serta menghindari bencana untuk dunia Kang ouw
?" Kembali Siauw Pek tertawa.
"Sebelum ada buktinya, saudaraku jangan kita sembarangan
mengambil keputusan "
Pemuda inipun menyangsikan kepercayaan kuat dari Ban Liang
terhadap kedua nona itu, sebaliknya pengetahuan, atau pengalaman
si jago tua, dihargainya sekali.
"Toakoh " kata pula si polos: "Toako telah memperoleh golok
emas dari ceng gie loojin kenapa toako tidak mau bertindak
langsung yaitu segera memanggil berkumpul rekan rekan kaum
rimba persilatan, buat membeberd ihadapan mereka tentang bahaya
yang lagi mengancam itu, untuk mereka bekerja sama ? Kenapa kita
justru mengundang kedua nona nona yang buta dan gagu itu ?"
"Sabar, saudaraku. Dalam hal ini, kita harus mengandal kepada
ban loocianpwee. Dia sangat berpengalaman dan pengalamannya
itu mesti kita hargakan-"
Kali ini saudara bicara dengan sungguh sungguh, bahkan
nadanya bagaikan menegur sang adik, Kho kong sangat
menghormati ketua ini. ia tunduk.
"Baik, toako, aku akan tidak memperkukuh anggapanku ini,"
katanya.
"Saudara saudara, mari kita lekas naik " tiba tiba terdengar suara
Ban liang di atas pohon- Suara itu terburu, sebagai pertanda adanya
urusan penting.
"Mari" Siauw pek mengajak dan ia mendahului melompat naik.
Kho kong segera menyusul begitupun Oey Eng yang sedari tadi
berdiam saja. Ia ini menurut saja pada ketuanya.
"coba perhatikan disana" kata Ban Liang selekasnya tiga sekawan
itu sudah berada bersama sama diatas pohon- Ia menunjuk
kerumahnya si nona nona tadi.
Siauw pek bertiga mengawasi ke arah rumah atap itu. Mereka
melihat beberapa orang tadi, yang pada memanggul pacul, tengah
bertindak kearah rumah atap itu. Mereka itu datang dari tiga
penjuru, maka keadaan mereka mirip suatu pengurungan-
"Suasana buruk agaknya, loocianpwee..." kata Siauw pek.
"Segala pak tani, dapatkah mereka dicurigai ?" tanya Kho Kong.
"sekarang ini saatnya orang bekerja di sawah," Ban Liang
berkata.
Justru itu tampak orang-orang tani itu mempercepat tindakan
kakinya, semua menuju terus kearah rumah atap itu. Tetapi dilain
saat, mereka pada menyembunyikan diri. Melihat itu, baru Kho kong
turut menjadi bercuriga.
"Benar-benar mencurigakan " katanya. Lalu dia melompat turun,
untuk terus lari kearah peng empang.
"Adik, jangan sembrono " Siauw pek berteriak seraya turut
melompat turun untuk menyusul. Kho Kong berhenti lari
"Menolong orang bagaikan menolong memadamkan api
kebakaran," katanya, "mana boleh kita main ayal ayalan ?"
Ban Liang dan Oey Eng pun melompat turun menyusul dua
kawan itu. Si orang tua segera berkata "Agaknya mereka itu mau
bekerja disiang hari..."
"Benar Kita tak boleh terlambat, mari kita lekas pergi " mengajak
Kho kong. "Tapi, kita pergi secara begini, kita akan mendatangkan
kecurigaan-.."
"Apakah tak dapat kita menyamar ?" tanya kho kong. Ban Liang
melihat kesekitarnya.
Kebetulan sekali tampak seorang anak gembala kerbau tengah
bercokol dipunggung binatang angonannya itu sambil meniup
seruling. Melihat demikian si orang tua itu mendapat pikiran- Maka
berkatalah dia, "Saudara kecil, pergi kau menyamar jadi bocah
angon itu "
Siauw Pek menurut. Ia lalu melompat turun untuk menghampiri
si bocah angon- Ia menyapa bocah itu, ia bicara dengan sabar,
hingga tanpa curiga apa apa anak gembala itu suka meminjamkan
kerbau dan serulingnya. Maka lekas sekali sianak muda menjalankan
kerbaunya kearah peng empang.
Ban Liang lalu menyuruh Oey Eng dan Kho Kong, "kamu berdua,
pergi lekas pinjam atau sewa itu kereta ditepijalan, lalu lekas kamu
menyusul kami "
Oey Eng dan Kho Kong menurut, mereka lekas berlalu. Memang,
tidak jauh dari mereka, ditepijalan, ada sebuah kereta
"Kalau tidak ada kudanya, kita pakai kerbau saja..." kata Oey
Eng. "Ya, apapun boleh, asal kamu lekas-lekas" kata Ban Liang.
Oey Eng lalu menarik tangan Kho Kong untuk diajak pergi kepada
seorang pak tani didekat situ, buat meminjam baju kasarnya serta
paculnya juga, sehingga dengan penyamarannya sebagai pak tani,
dapat dia lekas menuju kerumah atap.
Siauw pek menuju kepeng empang dengan pikiran tak tenang.
Itulah sebab kerbaunya berjalan sangat lambat Karena itu juga
dilain saat, ia telah kena disusul dan dilewati Kho kong yang naik
sebuah kereta kuda, Kata si polos : "Toako,aku jalan lebih dahulu"
Ketua itu lalu berkata dengan saluran Toan Im cie-sut, "Baiklah,
saudaraku Tapi hati-hati, jangan sembrono Kecuali sangat terpaksa,
jangan kamu turun tangan Dan kau mesti dengar Ban loocianpwee"
Hanya sebentar kereta kho kong sudah lewat empat lima
tombak. hingga tak dapat diketahui si polos dapat mendengar
nasehat itu atau tidak.
Ban loocianpwee segera sampai didekat pengempang. Dengan
matanya yang tajam ia bisa melihat disitu, dibawah pohon, antara
gombol-gombolan rumput tebal, tengah bersembunyi sepuluh orang
lebih. Ia terkejut. Ia menerka inilah bukan orang orang kemaruk
paras elok, hanya mungkin mereka itu dipimpin seseorang yang
mempunyai maksud tertentu.
Pintu gubuk dan jendela tertutup rapat Mungkin kedua nona
didalam rumah itu telah mendapat firasat dan telah bersiap sedia
menghadapi ancaman bahaya. Sepasang angsa putih dipengempang
juta entah pergi kemana.
Ketika itu, keretanya Oey Eng dan Kho kong telah mendekati
rumah. Mereka tidak pandai mengendalikan kereta, merekapun
tergopoh gopoh, maka roda-roda kereta melanda tanah berlumpur,
hingga lumpurnya bermuncratanorang
orang yang bersembunyi didekat rumah rupanya telah
menduga kereta itu datang dengan maksud tak baik. dua
diantaranya muncul, guna menghadang. Hingga kereta berhenti
dengan tiba tiba.
"Mau apa kamu menahan kereta kami, tuan tuan?" Oey Eng
bertegur. Ia melihat lagi sepuluh tombak, akan tibalah mereka
didepan rumah.
Dan kedua penghadang itu satu tua dan yang lain muda. Yang
tua usianya diatas lima puluh dan janggut ubatan dan panjang. dan
yang muda lebih kurang dua puluh tahun, kecuali dandanannya tak
mirip dengan orang-orang tani. Yang tua tertawa dingin dan
menegur: "Tuan tuan berdua dari partai mana ? Nyali kamu tidak
kecil, ya?"
"Perlu apa kau menanya begini, tuan?"
"Menurut penglihatanku, kamu bukannya orang orang tani"
jawabnya. Kho Kong menyingkap tenda kereta. "Bagaimanakah
dengan tuan tuan berdua?" orang itu tertawa.
"Memang Memang kami bukannya orang orang tani" dia
mengakui. Mendadak ia menyerang Oey Eng dengan paculnya.
si anak muda waspada, ia berkelit sambil melompat. Hampir
serentak dengan serangan si orang tua itu, si anak muda juga
memacul kho kong.
si polos sudah siap sedia, dengan sebelah pitnya ia menangkis.
sambil menangkis itu, ia juga berlompat keluar dari keretanya.
Oey Eng menghunus pedangnya, ia membalas menyerang pada
si orang tua. Maka disitu terjadilah pertempuran dalam dua
rombongan.
Melihat pertempuran sudah terjadi, Ban Liang tidak bersangsi lagi
untuk berturun
tangan Langsung ia menuju kerumah atap. Lewat disisi sebuah
pohon besar, mendadak ia disambul serangan sepotong loan-pian,
cambuknya lunak yang ujungnya menotok kepadany Dan
penyerangnya adalah seorang tua yang mengenakan thung-sha,
baju panjang.
Dibokong secara begitu, sijago tua menyampok ujung cambuk
lunak itu, tapi segera ia ditotok pula. Lawan itu liehay dengan
cambuknya yang istimewa itu. yang mencari sasar jalan darah
lawan- Dengan begitu, Ban Liang jadi kena dihalangi.
Dan sementara itu muncul pula dua orang lain, yang
bersenjatakan pedang, semua lari menuju kerumah.
"Nona-nona, awas" berseru Ban liang yang menjadi khawatir.
Siauw pek melihat pertempuran sudah berlangsung, ia lari
menghampiri rumah, akan tetapi, belum lagi ia datang dekat, ia
sudah dipegat, dirintangi dua orang lain, yang bertubuh besar. yang
usianya berimbang satu dengan lain- Dan senjata mereka ini masing
masing ialah gaetan dan pedang.
Repot juga sianak muda, sedangkan maksudnya adalah untuk
segera memasuki rumah. Terpaksa ia menggunakan pedangnya,
untuk mendesak kedua lawan itu.
Dipihak lain, dua orang tadi, yang lari kerumah, satu diantaranya
sudah segera sampai, ia segera mendupak pintu, sehingga daun
pintunya terbuka dengan suara nyaring.
Siauw pek melirih ke dalam rumah. Ia melihat kedua nona berdiri
berendeng ditengah ruang.
Pertempuran berlangsung terus. Agaknya semua lawan tangguh.
Ban Liang berempat tidak dapat dengan cepat cepat mengalahkan
atau mengundurkan mereka itu, sedangkan mereka sendiri, ingin
mereka melindungi nona itu. Dan pada akhirnya si jago tua menjadi
gusar sekali, maka ia berseru kepada kawannya : "Saudara coh,
jangan main berkasihan lagi. Biar bagaimana, tak dapat mereka
dibiarkan mencelakai kedua nona yang tak bersalah dosa itu"
Siauwpek menyambut seruan itu. ia menginsyafi bahaya. Ia lalu
mengeluarkan ilmu pedangnya, dengan cepat ia mengurung kedua
lawannya itu dengan sinar Pedangnya.
Tapi dua orang yang menyerbu pintu, sudah mulai bertindak
masuk. Hanya mereka itu yang mencekal pedang, telah
memasukkan pedangnya kedalam sarung masing-masing. Agaknya
mereka ingin menawan hidup, hidup kedua nona itu.
Bukan main gusarnya Siauwpek. maka habislah sabarnya Dalam
murkanya ia menghunus goloknya. sebenarnya, dua lawan yang
dihadapinya itu, sudah repot sekali. Kalau mereka ditikam atau
dibalas, pasti mereka sudah roboh. Apa mau, ilmu pedang Kie Tong
luar biasa, sedang lawan tinggal dibunh saja, ujung pedang
dialihkan, terus dipakai mengurung lagi Hanya pada saat ia
menghunus goloknya, ia terlambat sedikit. Maka kesempatan ini
digunakan lawan itu untuk melompat mundur. Yang satu, yang
bersenjata gaetan, mundur seraya berkata perlahan:
"Terima kasih untuk kebaikanmu" sebab ia manyangka bahwa dia
telah diberi ampun oleh musuh muda itu.
Habis mundur, lawan itu serta kawannya berdiri diam berendeng.
tak ada minat mereka untuk berkelahi lagi atau merintangi si anak
muda, yang mau maju kedalam rumah. Dengan begitu Siauw Pek
jadi tidak terintangkan-
Kedua nona tetap berdiri berendeng, tangan yang satu dari
mereka nempel satu dengan lain, tangan yang lainnya dipakai
menyampok dan menotok berulang ulang kedepan, maksudnya
untuk merintangi majunya kedua lawan itu yang hendak menangkap
mereka. Memang mereka ini ingin menangkap nona nona itu
dengan menangkap tangannya.
"Tahan" bentak Siauw Pek, yang serentak dengan itu sudah
memandang tajam kesekitarnya.
Dari dua orang laki-laki itu, yang satunya segera menghunus pula
pedangnya. Dia menoleh kepada si anak muda, lalu menegur
dengan dingin "siapakah kau?"
Siauw Pek menyimpan kembali goloknya, ia menyiapkan
pedangnya didepan dada. Biarpun ditegur, ia mengawasi sepasang
nona itu. Ia heran atas gerakan tangan nona nona itu. Entah ilmu
silat apa yang mereka berdua gunakan untuk mencegah tangan
mereka tertangkap lawannya.
Sewaktu anak muda ini "menonton-, salah satu lawan sudah
lantas menikam padanya. Rupanya dia habis sabar. Siauw Pek
menyampok. memusnahkan tikaman itu Selagi menyampok itu,
masih ia mengawasi si nona, sedangkan kepada lawannya itu, ia
cuma melirik. Musuh itu penasaran, dia menyerang pula dan dengan
hebat.
Kembali Siauw Pek menangkis, bahkan ketika ia diserang
beruntun hingga tiga kali, semua serangan itu dapat ia tangkis
dengan mudah. Hal ini membuat musuh sangat gusar, lagi sekali dia
mendesak. menyerang berulang ulang.
Baru kali ini, si anak muda memutar pedangnya, mengurung
senjata lawan itu.
Kedua nona itu bertahan- Ketika si bisu melihat perlawanan
Siauwpek. ia bersenyum.
Si anak muda melihat orang bersenyum itu, ia heran dan kagum.
Si nona nampak sangat manis dan menggiurkan.
"Sungguh dia cantik manis luar biasa," pikir si anak muda.
"Sayang, kenapa dia tak dapat bicara? Kenapa dia cacat mulutnya?"
Disaat si anak muda berpikir demikian, tiba tiba orang yang
menyerang nona-nona itu roboh dengan memperdengarkan jeritan
dari kesakitan- Rupanya saking kesengsam dengan kecantikan si
nona-nona serta senyumannya itu, dia sudah berlaku alpa, dia telah
menyentuh salah satu nona
Si nona tunanetra mendengar suara jeritan dan robohnya orang
itu, dia menghela napas dan berkata sendiri: "Kau sendirilah yang
membentur jeriji tanganku, bukannya aku yang sengaja hendak
melukaimu..."
SiauwPek leluasa melihat dan mendengar, karena ketika itu
pedangnya telah mengekang lawannya, yang terkurung tak berdaya
didalam sinar pedangnya.Jangankan melawan, membela diri saja dia
itu sudah putus asa.
Menyaksikan kecantikan si nona tunanetra, si anak muda menjadi
terlebih kagum lagi. sang kakak melebihi kecantikan sang adik.
"Sungguh sepasang nona yang cantik luar biasa" ia memuji,
"sayang... sayang..."
Si nona bisu memandang terus si anak muda, mata jelinya
bermain main, sedangkan tangan kanannya tetap mencekal
pergelangantangan kiri kakaknya. orang akan menyangka dua
saudara itu tengah berpegangan tangan, tak tahunya si adik lagi
memberitahukan segala sesuatu kepada kakaknya itu,
menyampaikan segala apa yang ia lihat dan dengar.
Diluar rumah, pertempuran berlangsung terus. Diantara riuhnya
alat-alat senjata beradu adu terdengar bentakan bentakan
kegusaran dari Kho kong si sembrono yang aseran itu. Mendengar
suara saudaranya itu, Siauw pek insaf akan kehebatan pertempuran
diluar itu. Tanpa menghadapi lawan tangguh, tak akan sang adik
memperdengarkan suaranya tak hentinya. Tak ayal lagi, ia
mendesak lawannya.
"Tahan" tiba2 berseru lawan itu yang memegang pedang, sambil
terus ia melemparkan pedangnya, kemudian dengan tangannya
yang lain, ia menyeka peluhnya. "Aku bukanlah tandinganmu, kita
jangan berkelahi terus..."
Siauw Pek menghentikan desakannya, sebagai gantinya, ia
menotok roboh lawannya itu, setelah mana ia melihat keluar rumah
dimana pertarungan tengah berlangsung hebat sekali.
Ban liang melayani tiga orang lawan, dia nampak menang diatas
angin- Oey Eng bertahan terhadap dua pengepung, Kho Kongpun
dikerubuti berdua, agaknya dia repot sekali. Rupanya itulah yang
menyebabkannya mementang mulutnya lebar lebar.
Ditanah berserakan banyak pacul, yang dilemparkan begitu saja
sebab semua penyerang itu pak tani palsu semuanya pada
membekal senjata masing masing.
Menyaksikan keadaan itu, lega juta hati si anak muda. Tidak ada
kawannya yang terancam bahaya. Tiba-tiba.
"Terima kasih atas bantuanmu ini, saudara"
Itulah suara halus dan merdu, yang berirama, yang datangnya
dari bekalangnya sianak muda.
Siauw Pek tahu kata-kata itu ditujukan kepadanya Tapi ia perlu
melihat kawan kawannya, tak sempat ia memperhatikan lebih jauh
kepada kedua nona itu
"Tak berani aku menerima ucapanmu ini, nona," sahutnya.
"Sudah selayaknya aku berbuat apa yang aku bisa untuk membantu
kalian-"
Berkata begitu, tanpa menoleh lagi, segera ia bertindak keluar.
Tepat ia mendengar dua orang berteriak kesakitan saling susul.
Ban Liang telah merobohkan dua orang lawannya, yang mukanya
masing-masing diberi tanda tiga goresan jeriji tangan.
Maka tahulah si anak muda, jago tua itu sudah menggunakan
pukulan Ngo Kwie Souw Hun ciu yang lihay itu. Karena itu juga,
lawannya yang tinggal satu lalu memutar tubuhnya lari menyingkir
"Hm Mau kabur?" bentak si jago tua, mengejek, sambil melompat
menyambar. "Aduh" jerit orang itu, yang roboh seketika, bahkan
napas nyapun segera berhenti
"Sungguh tangan yang lihay" Siauw Pek memuji kawan itu. Ban
Liang tersenyum.
"Aku menguji pelajaran yang aku telah yakini belasan tahun"
sahutnya. "Rebahlah kamu, hai" mendadak terdengar seruan Kho
Kong.
Siauw Pek dan Ban Liang segera menoleh. Maka terlihatlah oleh
mereka robohnya seorang lawan dari saudaranya yang aseran itu.
Kejadian itu membikin bingung semua musuh lainnya. Mereka
telah melihat empat kawan mereka roboh, sedang dua yang didalam
pemimpin mereka tak terdengar suaranya, tak nampak munculnya.
Karena itu, sisa lawan Kho Kong segera saja lari kabur
Kho Kong gusar, ia melompat mengejar. Baru lima tombak
jauhnya, ia sudah berhasil menyandak. Maka satu toyoran, ia
membuat musuh itu roboh tengkurap ditanah
Hampir serentak dengan kemenangan Kho Kong itu, Oey Eng
berhasil merobohkan kedua lawannya, maka dengan begitu
selesailah pertempuran yang lima rombongan itu.
"Adik kecil, bagaimana dengan kedua nona itu?" Ban Liang
bertanakepada Siauw Pek perlahan- "Apakah mereka kaget ?"
"Jangan kuatir loocianpwee, mereka tidak kurang suatu apa,"
sahut sianak muda, "Mereka mempunyai kepandaian untuk
melindungi diri mereka. Dari dua musuh yang menyerbu kedalam
rumah, yang satu roboh ditangan mereka itu yang lain terkena
totokanku." Ban Liang menghela napas lega.
"Bagus" pujinya. "Sekarang kita bekerja Yang luka harus dibawa
kedalam rumah, yang terbinasa mesti lekas dikubur"
Dari tujuh musuh diluar, lima mati, yang dua terluka. Lalu yang
lima dikubur sekedarnya, dan yang dua digotong kedalam rumah.
Kedua nona itu duduk dikursi, melihat datangnya rombongan
sianak muda, keduanya bangkit, terus mereka memberi hormat.
"Kalian terkejut, nona-nona" berkata Ban Liang. Maaf, kami
datang terlambat."
"Terima kasih loocianpwee," berkata sinona tunanetra. "Tidak
apa-apa."
"Ada satu hal yang kurangaku jelas," kata Siauw Pek. "aku
mohon sukalah nona memberikan keterangan kepada kami."
"Apakah itu, saudara kecil?" Ban Liang bertanya mendahului
sinona.
"Apakah sebelum ini orang-orang ini pernah datang kemari?"
tanya sianak muda.
"Tidak-" sahut nona sang kakak itu, "seingatku, belum pernah
ada orang, berlebih lebih musuh yang datang kemari."
"Jikalau begitu nona, kamilah yang membawakan kepusingan
kepada kalian-.." Sinona berdiam. Itulah pertanda benarnya katakata
sianak muda. Siauw Pek berpaling kepada Ban Liang.
"Apakah loocianpwee dapat mengenali mereka ini dari golongan
mana?" tanyanya. "Dapatkah loocianpwee melihat tanda-tandanya?"
orang yang ditanya menggeleng kepala.
"Loohu tidak tahu, sudah puluhan tahun loohu mengundurkan
diri, maka mengenai kaum Kang ouw, loohu telah jadi asing sekali."
"coba tolong beritahukan boanpwee dandanan dan roman
mereka itu," sinona tunanetra minta.
Ban Liang menarik napas tertahan-
"Menurut penglihatanku, mereka ini bukan termasuk pemimpin
mereka," berkata ia. "Mereka semua menyamar menjadi orang
tani..."
Ketika itu terdengar suara Kho Kong, yang berjaga jaga diluar:
"Ada orang datang"
Mendengar isyarat itu, Siauw Pek segera menanya orang
tawanannya: "Aku ingin menanya satu urusan kepadamu, tuantuan,"
Dari dua orang itu, yang satu terluka parah, napasnya sudah
putus-putus. Yang kedua, yang lukanya lebih ringan, mengawasi
sianak muda dia membungkam. Sementara itu Oey Eng menghunus
pedangnya. "Aku hendak membantu shatee" serunya, sambil ia
terus lari keluar. Melihat lawan berdiam saja, Ban Liang tertawa
dingin.
"Ditanya secara sabar, mana dia mau bicara" katanya, Maka ia
maju untuk menyambar lengan orang itu, dan terus bertanya^ "Eh,
bagaimanakah lukamu?" orang itu berani, dia terus membungkam,
Tak mau dia memandang sijago tua.
"Bagus, sahabat" tertawa si jago tua tawanya dingin. "Hendak
aku coba kau, untuk kau merasai Hun-kit co kut-hoat "
"Hun kit co kut-hoat" ialah ilmu memencet "Memisah otot
menyalahi tulang". Justru itu dari luar terdengar bentakan Kho
Kong, "berhenti"
Ban liang melepaskan Cekalannya, ia berpaling kepada Siauw Pek
seraya berkata: "Saudara kecil tolong kau berdiam disini melindungi
kedua nona, aku hendak melihat siapa itu yang datang."
Tanpa menanti jawaban lagi, jago tua ini segera bertindak keluar.
Siauw Pek mengawasi orang berlalu, lalu ia melihat kepada
kedua nona. ia mendapatkan kedua nona duduk berendeng, masing
masing sebelah tangannya saling berpegangan. Sikap mereka
sangat tenang, agaknya mereka tak guncang pikiran walaupun ada
musuh yang datang mengancam. Kembali ia jadi sangat kagum.
Diam-diam iapun merasa heran sekali. Kecantikan sinona nona
memancarkan sinar keagungan
sinona bisu rupanya melihat sianak muda memperhatikan
mereka, diam diam tangannya menekan tangan kanannya, mementil
mentil.
sekonyong konyong nona yang tak dapat melihat itu tertawa
perlahan.
Siauw Pek mendengar dan melihat, tiba tiba hatinya guncang
sendiri, maka ia lekas lekas ia menoleh, tak berani ia mengawasi
lebih lama. ia memandang keluar, hingga ia dapat melihat siapa itu
yang datang.
Seorang muda dengan pakaian perlente tampak didepan rumah.
Dia menanggung yang bagus. Tempat dia berada itu adalah
dibawah pohon besar, terpisah dari rumah kira-kira dua tombak.
Dengan sepasang mata yang tajam, dia memandang Oey Eng dan
Kho Kong berdua:
Untuk sejenak. Siauw Pek merasa ia kenal anak muda itu akan
tetapi ia tak ingat benar dimana mereka pernah bertemu muka.
Ban Liang berdiri menyender didinding rumah, ia berdiam saja,
agaknya dia lagi memikir sesuatu yang membuatnya sulit.
"Apakah tuan tuan berdua pasti hendak merintangi aku?"
demikian terdengar suara siperlente itu Suara itu tidak keras akan
tetapi dingin, nadanya mengandung kesombongan. Sejak Kho Kong
dan Oey Eng melengak. akan tetapi siaseran segera menjawab
tegas. "Jikalau kami tidak benar bear, apakah kami bersenda gurau
dengan kau?" Berkata begitu sipolos juga mengangkat sepasang
senjatanya.
Anak muda itu tertawa hambar. Dia berkata pula: "Setiap orang
selama hidupnya, dia mati cuma satu kali Karena itu, tuan tuan
berdua apakah benar benar kamu sangat memandang ringan
kepada mati atau hidup kamu?"
Tepat itu waktu Siauw Pek baru ingat bahwa ia pernah ketemu
pemuda itu diJie sie wan-
"Sungguh mulut besar" terdengar suara Kho Kong. "Sebelum kita
bertanding, sungguh sukar buat memastikan kematian ada bagian
siapa"
Agaknya pemuda itu tahu bahwa orang sudah menjadi marah, ia
berkata pula dengan sama hambarnya^ "Kau Kaulah yang pertama
bakal mati" Berkata begitu, sinar matanya menyapun kearah Oey
Eng, kearah Ban Liang dan juga Siauw Pek. Sinar mata itu bagaikan
kilat berkeredep. Dia menambahkan: " juga dia juga itu anak muda
diambang pintu serta orang tua kurus didinding" Bukan main
gusarnya Kho Kong,
Belum pernah aku bertemu orang sesombong kau" bentaknya.
Terus dia menentang kedua belah tangannya, seraya
menambahkan: "Kita baik jangan adu mulut lagi Lekas kau turun
dari kudamu beranikah kau?"
Anak muda itu berdongak, dia tertawa terbahak Tawa itu nyaring
seakan emas dan batu saling bentrokan, iramanya berpengaruh.
Tiba tiba saja Ban Liang yang lagi berpikir keras itu berseru^
"benarlah dianya" Dan segera dia melompat maju untuk lari
kedepan. Ketika itu tiba tiba juga sianak muda melarikan kudanya
maju
Menyusul itu, mendadak Kho Kong yang memegang sepasang
senjatanya roboh sendirinya
Oey Eng yang mendampingi adiknya itu heran dan kaget, hingga
ia berdiam menjublak, dua matanya terpentang lebar. ia heran
sebab ia tidak melihat bagaimana caranya saudara itu dirobohkan
orang
Siorang muda bergerak secara aneh, habis ia merobohkan Kho
kong, terus dia menyerang kepada sianak muda she Oey itu.
Oey Eng kaget, tetapi la gelap. ia insaf akan bahaya, dengan
gesit ia berkelit. Maka ia selamat
Berbareng dengan itu, Ban liang melompat maju
"Liap Hun ciang" seru Seng supoan, sedang dengan tangan
kanannya, dia menyerang dengan menggunakan ilmu Ngo Kwie
Souw hun ciang.
Ilmu silat yang dipakai sianak muda, yang disebut "Liap Hun
ciang", adalah ilmu "Tangan membetot nyawa"
Anak muda itu melihat dan mendengar, ia menerka siorang tua
liehay. maka sambil menarik les kudanya, dia berseru, membuat
kudanya berlompat menyingkir jauh satu tombak lebih.
Siauw Pek terkejut melihat saudaranya roboh, maka ia melompat
maju, sambil berseru: "Turunlah kau" ia menyerang dengan
pedangnya, untuk menyerang dari jarak jauh. Maka meluncurlah
pedangnya itu, bagaikan halilintar.
Sianak muda pernah dipesan gurunya, kecuali terpaksa, tak
dapat ia menggunakan tipu pedang itu. Itulah bukan salah satu
jurus dari Tay pie kiam hoat, Ilmu Pedang Mahakasih, hanya satu
ilmu lain yang diciptakan Kie Tong selama dia menyendiri didalam
lembahnya. Itulah semacam senjata rahasia.
Sianak muda kaget ketika ia melihat melesatnya pedang itu, tak
sempat ia lompat menyingkir, maka ia merosot turun, berputar ke
perut kuda, sesudah mana baru dia menyingkir lebih jauh. Maka
kasihanlah kuda yang bagus itu, dengan turunnya pedang, tubuhnya
berikut pelananya tertebas kutung menjadi dua. Begitu dia selamat,
anak muda terus kabur.
Siauw Pek tidak sempat mengambil pedangnya, dia lari
menghampiri Kho Kong^ "Bagaimana, adik?" dia bertanya.
"Tubuhnya mulai dingin," berkata Oey Eng, yang telah
mendahului menghampiri saudara muda itu. Ia berduka dan
khawatir sekali.
Siauw Pek meraba tangan kiri saudaranya itu benar ia merasa
jeriji tangannya dingin seperti es. Ia mengerutkan alisnya.
sementara itu Ban Liang, yang kagum atas kepandaian si anak
muda, heran melihat anak muda itu diam tertegun darn romannya
berluka. Ia mengerti tentulah Kho kong parah. Maka iapun lari
menghampiri. "Apakah lukanya parah?" tanyanya.
"Mungkin dia terkena pukulan yang beracun," kata Siauw Pek,
menghela napas.
"Jangan putus asa, saudara kecil," berkata sijagotua. "Kakak
Hoan pandai ilmu pengobatan, kedua nona muridnya sudah
menerima warisan kepandaian itu, mungkin nona nona itu sanggup
menolong saudara Kho. Mari kita bawa saudara Kho kepada
mereka..."
Siauw Pek masih bingung. Iapun heran, katanya didalam hati.
Kedua nona itu, yang satu buta, yang satu gagu, benarkah mereka
sanggup mengobati luka saudara Kho ini?
Biar bagaimana itu perlu lekas ditolong, maka bertiga mereka
memperpanjang saudara muda itu, dibawa kedalam rumah.
Kedua nona duduk tenang berendeng, kedua tangan mereka
masih berpegangan satu dengan lain, tetapi ketika si bisu melihat
dibawa masuknya Kho kong, ia terperanjat. Tidak ayal lagi
tangannya yang memegangi tangan kakaknya, dipentil pentilkan-
Segera nona yang satunyapun tampak tegang.
"Apakah dia yang luka, tanyanya.
"Betul, Siauw Pek menjawab.
Dan Ban Liang terus menambahkan. "Kakak Hoan pandai ilmu
ketabiban, apakah nona nona mewarisi kepandaiannya itu?"
Si nona mengangguk sambil menjawab, "Meski suhu pernah
mengajarkan kami akan tetapi kami belum pernah mencoba
menolong orang, karena itu tak tahu kami, kami sanggup mengobati
atau tidak..."
"Ai, Kakak Hoan telah mewariskannya, pasti tak akan gagal," kata
Ban Liang, yang kepercayaannya terhadap Tiong beng teguh sekali.
Si nona bangkit perlahan.
"coba bawa dia kemari," katanya. "Mari aku lihat lukanya."
Siauw pek memondong tubuh Kho kong, didekatkan kepada nona
itu.
"Ini dianya," katanya, "Tolonglah"
Nona itu meraba bahu kiri Kho kong, terus hingga kena di, yang
dipegang dengan dua jeriji tangannya.
"Lukanya parah," katanya selang sesaat.
"Dia kena terhajar angin angin, dia roboh seketika dan pingsan,"
Siauw Pek memberitahukan. "Sejak tadi dia belum sadarkan diri...
Tahukah nona dia terlukakan racun apa ?" Ban Liang tanya. Nona
itu menghela napas.
"Belum pernah aku memeriksa orang sakit," berkata ia terus
terang. "Semenjak aku mulai kenal urusan dunia, kecuali suhu dan
adikku ini, belum pernah aku berurusan dengan siapapun."
Alis Ban Liang berkernyit.
"Dengan begini, jadi artinya nona tidak kenal luka ini luka apa?"
tanyanya.
"Melihat sudah tetapi aku belum berani memastikannya," sahut si
nona.
"Tak apa nona, asal nona sudi memberikan keterangan," kata
Siauwpek. "Nanti kita rundingkan bersama..."
Nona itu berdiam, ketenangannya pulih. Ia berpikir beberapa
lama, baru ia berkata: "Luka ini mestinya disebabkan pukulan angin
dari suatu ilmu silat Gwa kang yang istimewa..."
"Gwa kang" ialah ilmu silat "Bagian Luar". Ilmu silat imbangannya
yaitu "Lay kang" (atau Lweekang), "Bagian Dalam". Lay kang
mementingkan tenaga dalam, dan Gqa kang tenaga luar, yaitu
kekuatan tenaga. Gwa kang disebut juga Nge kang, ilmu "Keras",
dan Lay kang yaitu Nui kang, ilmu "Lunak".
Si nona mengerutkan alis ketika ia berkata pula: "orang itu
mempunyai latihan yang sempurna sekali, dengan sekali saja, dia
melukai orang dibagian dalam, hingga jalan nadinya kena terintangi,
sedang jantung dan lain anggota didalam itu hilang tenaganya..."
"Itulah rupanya yang menyebabkan saudaraku ini pingsan
seketika," kata Siauw Pek.
"Sekarang aku akan mencoba menolongnya," berkata si nona.
"Hanya, seperti aku telah katakan aku tak punya pegangan.Jikalau
pertolonganku gagal, aku minta tuan tuan memaafkan aku,
sebenarnya aku telah mencoba apa yang aku bisa..."
"Silahkan, nona," berkata pula Siauw Pek. "Mati atau hidupnya
seseorang bergantung kepada nasibnya, kalau saudaraku ini tidak
dapat tertolong, apa boleh buat..."
"coba letakkan dia ditanah," berkata si nona. "Akan aku tusuk dia
dengan jarum, untuk mencoba menyadarkannya."
Siauw pek merebahkan saudaranya. Ia berkata perlahanpada si
nona: "Nona, cobalah tolong, apabila nona tidak berhasil, jangan
khawatir, nona tidak bertanggung jawab."
Tiba tiba wajah si nona ditabur dengan senyumannya. Dengan
perlahan dia berjongkok. Tanpa ayal lagi, sepuluh jerijinya yang
lancip. yang putih halus, mulai bergerak gerak ditubuh Kho kong.
Nampak sepuluh jari itu bagaikan bergemeter. Terang si nona
sedang mencari sasarannya. Kemudian jari manisnya yang kiri
berhenti dijalan darah "hok kiat" dari Kho kong dibiarkan disitu,
dilain pihak, tangannya merogoh sakunya, mengeluarkan sepotong
jarum. berbuat begitu, mulutnya berkemak kemik.
Ban Liang dan Siauw Pek mempunyai telinga yang lihay akan
tetapi mereka masih tidak dengar kata-kata si nona Hanya
kemudian si anak muda berkata perlahan sekali: "Jangan ragu ragu,
nona, gunakanlah jarummu" Nona tunanetra itu tertawa perlahan-
"Aku tidak ragu ragu," katanya. akan tetapi walaupun demikian,
kedua tangannya bergemeter keras .Jarum yang sudah diarahkan
kejalan darah hokkiat, tidak segera ditusukkan-..
Siauw Pek hendak menganjurkan pula tetapi Ban Liang
mencegahnya.
Untuk sedetik lagi, nona itu masih bersangsi, tapi dilain saat,
sambil menggerakkan giginya dengan keras, jarumnya lalu
ditusukkan
Berbareng dengan itu, peluh si nona keluar bercucuran, dari
dahinya sampai kepipinya, suatu tanda bahwa hatinya sangat
tegang. Tubuh Kho kong, yang sekian lama itu berdiam saja, terlihat
berkutik.
"Ah, dia mulai sadar" kata Siauw Pek, girang.
"Benarkah?" tanya si nona sambil menyusuli peluhnya.
Belum berhenti suara si nona, tiba-tiba Kho kong sudah
memperdengarkan suaranya.
Wajak si nona menjadi terang, segera dengan tangan kanannya
dia meraba pelipis kiri si anak muda sambil berkata: "jangan
bergerak"
Suara itu halus dan merdu, menyayang bagaikan seorang ibu
yang mencinta. Mendengar itu, Kho Kong berdiam. Tadinya anak
muda ini mau bergerak pula.
Ban Liang berbisik ditelinga Siauwpek: "Nampaknya benar nona
ini sudah mewariskan seluruh kepandaiannya sahabat karibku..."
Si nona merogoh pula kesakunya, mengeluarkan sepotong jarum
lainnya. Ia menggunakan tangan kirinya.
"Rebahlah dengan tenang," katanya, sabar. "Tutup matamu,
jangan melihat..."
Kho kong menurut, baru ia melek tapi lalu memejamkannya pula.
Si nona memindahkan jarum ketangan kanannya, dengan tangan
kirinya, dia menekan jalan darahnya thian-tie, kali ini hanya dengan
berdiam sejenak. dia segera memberikan injeksinya.
Kho kong bergerak sedikit, lalu dia menghela napas lega. Si nona
membuka bibirnya yang merah dadu.
"coba jalankan napasmu," katanya sabar. "coba lihat, ada atau
tidak yang tidak lurus."
Kho kong menurut, lalu ia bernapas. dari perlahan sampai
dipercepat. Tiba tiba semangatnya terbangun-"Semua lurus"
serunya girang. Si nona menghela napas lega. Dia bangkit.
"Syukur aku tidak menyia nyiakan pengharapan kamu..."
katanya.
"Terima kasih, nona" mengucap Siauw pek sembari memberi
hormat.
Si nona tunanetra tidak melihat perbuatan si anak muda akan
tetapi si nona bisu telah memberikan tanda kepadanya, maka juga
lekas sekali dia sudah membalas hormat sambil berkata: "Sekarang
ini biarlah dia beristirahat sebentar, baru jarumnya dapat
dicabut.Jikalau aku tidak keliru, sebentar dia harus diberi makan dua
bungkus obat, setelah beristirahat dua tiga hari, kesehatannya akan
pulih seperti sediakala."
Oey Eng kagum sekali, katanya didalam hatinya: "Dia buta, dia
toh bisa mempelajari ilmu pengobatan penusukan jarum... Dia juga
lemah lembut, dia seperti terpelajar tinggi, sungguh luar biasa..."
Tanpa merasa anak muda ini mengawasi nona itu. hingga ia
melihat tegas sepasang mata yang ditawungi alis lentik, hidung
bangir mulut mungil merah dadu, sepasang mata si nona pun bagus
duduknya, kecuali tampak putihnya saja...
"Kapan jarum ini dapat dicabut?" Siauwpek tanya.
"Paling lama setengah jam lagi," sahut si nona.
Tiba tiba saja Ban Liang bertanya^ "Nona nona, kami belum
ketahui nama kalian-.."
Si nona tidak dapat melihat, tetapi telinganya celi, dengan
mendengar suara saja, segera ia mengenali suaranya sijago tua.
"Loocianpwee menjadi sahabat kekal suhu. Tidak berani kami
yang rendah mendustai loocianpwee." sahutnya, "kami dua saudara
adalah orang orang yang bernasib malang, semenjak kecil kami
dirawat suhu, sampai sekarang kami belum tahushe dan nama kami,
Loocianpwee aku bicara dari hal yang benar," Ia diam sejenak.
untuk menarik napas perlahan, baru ia menambahkan: "Sejak kami
turut suhu, dengan kebaikan hati suhu, kami telah turut she suhu."
"Dengan begitu kamu jadi she Hoan, nona" Sinona mengangguk.
"Benar loocianpwee," sahutnya. "Suhu yang telah memberi nama
kepada kami. Aku ialah Soat Kun, dan adikku ini soat Gie,.."
Ban Liang melengak, kata dia seorang diri: "Rasanya aku pernah
dengar nama ini. Soat Kun-. Soat Gie,.. oh, ya, ada seorang
sahabatku, dia mempunyai seorang anak perempuan yang namanya
Soat Kun-.."
"She dan nama kebetulan sama adalah umum saja," berkata
nona tunanetra itu, "hanya yang beda yaitu lain orang cukup
segalanya dan kami dua saudara tidak beruntung..."
Mendadak sinona bisu menepuk tubuh kakaknya dengan tangan
kanannya hingga dua kali. Itulah kembali isyarat mereka berdua,
yang lain orang tak ketahui artinya.
Karena muka sinona tunanetra tampak merah karena jengah,
terus terdengar suaranya yang perlahan. "Adikku memberitahukan
bahwa kita selanjutnya akan tinggal bersama buat waktu yang lama,
oleh karena itu sudah sepantasnya jikalau kami belajar kenal
dengan loocianpwee sekalian, apakah she dan nama besar
loocianpwee ?"
"Benar, itulah benar," berkata Ban Liang cepat, "Aku siorang tua
bernama Ban Liang." Sinona tertawa.
"Nama locianpwee telah lama kami dengar," katanya. "suhu
sering menyebutnya."
"Aku yang rendah Oey Eng," Oey Eng memperkenalkan dirinya.
"oh, Kakak Oey," berkata sinona.
Kho Kong yang tengah beristirahat turut memperkenalkan
dirinya: "Aku bernama Kho Kong akan tetapi nona nona boleh
panggil saja aku Kho Loo Sam ?"
Berkata begitu, mendadak sipolos ini memutuskan kata katanya.
Ia jengah sendirinya. Ia kuatir nanti disangka mengejek salah satu
dari kedua nona itu, yang bisu. Ia lantas tunduk, tidak berani
mengawasi kedua nona ini.
"Masih ada satu saudara lagi?" bertanya Hoan Soat Kun, karena
ia tidak mendengar orang atau tamunya yang keempat
memberitahukan namanya.
"Aku yang muda coh siauw Pek." sianak muda menjawab,
sedangkan, sejenak tadi dia beragu-ragu harus memperkenalkan diri
dengan sebenarnya atau tidak. Adalah diluar dugaannya, si nona
justru menanyakannya.
"coh Siauw Pek... coh Siauw Pek..." si nona berulang-ulang
menyebut nama orang itu. "Ada seorang nona she coh, Nona Bun
Koan, apakah saudara kenal dia ?" Siauw Pek tercengang. Nama itu
mengejutkannya.
"Dialah kakakku" sahutnya, suaranya menggetar, "bagaimana
nona kenal dia?"
"Nona itu pernah bersama kami dua saudara tinggal satu kamar
buat beberapa hari lamanya," menjawab Soat Kun. "Nona itu baik
sekali, dia tidak menghina kami berdua ya bercacad ini, suka dia
memberitahukan kami tentang keluarganya. Ah, sungguh suatu
pengalaman hidup yang sangat memanaskan hati dan menyedihkan
sekali. Ia sekarang.."
Hati Siauw Pek sangat tegang, hingga sulit dia menguasainya.
"Dimana adanya kakakku itu sekarang?" tanyanya mendesak. Tak
heran adik ini sangat memikirkan kakaknya itu, kakak satu-satunya.
Soat Kun menghela napas.
"Ketika nona coh itu datang kemari, dia membawa sepucuk surat
perantara." katanya. "Dia datang untuk minta suhu menerimanya
sebagai murid..."
"Dan guru nona tak suka menerimanya, bukan?" tanya Siauw
Pek.
"suhu mempunyai kesulitannya sendiri, menyesal ia tak dapat
menerima nona itu sebagai muridnya."
"Setelah ditolak. kemana perginya kakakku itu?" tanya pula siauw
Pek.
"Nona coh berdiam tujuh hari disini, setelah dia pergi,
selanjutnya tak tahu kami berdua dia pergi kemana."
Dengan matanya berCaCad, nona Hoan tidak dapat melihat
perubahan air mukanya Siauw Pek, yang sangat menyesal dan
berkuatir. Ia menghela napas, lalu ia menambahkan: "Nona coh
halus budi pekertinya. Baru berapa hari kita berkenalan, sinona
pergi, pernah aku tanya suhu, kenapa suhu menolak
permintaannya. Nona itu datang dengan penuh pengharapan tetapi
berlalu dengan menyesal dan berduka."
Sebelum orang sempat berbicara terus, Siauw Pek memotong
suaranya tawar : "Tentu itu disebabkan keluarga coh sangat banyak
musuhnya dan guru nona tidak berani menerima dia sebab itu bisa
menyebabkan datangnya bahaya."
soat Kun tidak bisa melihat akan tetapi dari lagu suara Siauw Pek
ia dapat menerka hati anak muda itu, maka lekas-lekas ia berkata:
"Kakak coh keliru menilai suhu. Suhu bukannya manusia yang takut
mati tetapi serakah hidup,"
Siauw Pek mencoba menguasai hatinya.
"Sudikah nona memberi keterangan kepadaku kenapa guru nona
menolak kakakku itu."
"Walaupun kau tidak menanya, aku akan beri tahu, saudara."
berkata si nona. Dia mencari kata-kata yang tepat, baru dia
melanjutkan : "Menurut suhu, suhu menolak sinona disebabkan dua
hal, Pertama yaitu suhu tidak sanggup melindungi keselamatan
Nona coh, dan kedua suhu merasa kesehatannya terganggu hingga
suhu kuatir hidup tak akan lama lagi. Dengan batas waktu yang
pendek. tidak dapat suhu menurunkan semua pelajarannya.
Didalam ilmu silat, kepandaian suhu sangat terbatas, dia tak ada
derajatnya buat menjadi seorang guru."
Siauw Pek menghela napas lega. "oh, kiranya begitu..." katanya
lesu.
"Suhu juga menjelaskan lebih jauh," Nona Hoan menambahkan:
"Katanya, jikalau dia menerima Nona coh, itu bukan saja bakal
mencelakakan sinona, tetapi berbareng melenyapkan kesempatan
kelak dibelakang hari nona itu melakukan pembalasan sakit
hatinya..."
"Bagaimana artinya ini, nona?" tanya Siauw Pek heran-
"Suhu bilang aku, kalau suhu menerima Nona coh, tak sanggup
suhu mewariskan kepandaiannya, kesulitan yang lain ialah sikapnya
delapan belas partai besar nanti. Ada kemungkinan partai-partai itu
tidak mau melepaskan suhu seorang saja, suhu kuatir mereka juga
nanti mencelakai kami dua saudara. celakalah kalau kamipun
dibinasakan, sebab itu berarti batu biasa dan kemala habis terbakar
bersama. Jikalau sampai suhu dan kami terbinasa, lalu kepandaian
tidak dapat diwariskan kepada siapa juga..." Siauw Pek setuju
dengan cara pemikiran itu.
"Benar, katanya.
"Begitulah suhu terpaksa menolak Nona coh Soat Kun"
mengakhiri keterangannya. Siauw Pek menghela napas. Dia
menyesal dan berduka sekali.
"Nona, katanya kemudian, apakah kakakku itu pernah
menuturkan kepada nona nona tentang nasib keluarga Coh? Atau,
pernahkah guru nona menanyakannya?"
JILID 24
"Ya, Nona Coh telah menuturkan segala sesuatu kepada kami.
Suhu juga menanyakan beberapa hal, yang ia anggap
mencurigakan." Mendengar itu. Siauw Pek berpikir. Memang
didalam peristiwa Pek Ho bun itu mesti ada sesuatu yang
tersembunyi. Entah apa saja yang kakakku ceritakan. Dapatkah aku
tanyakan itu kepada nona ini?" Hanya sejenak si anak muda merasa
ragu, segera ia bertanya; "Nona, apa saja kata kakakku itu ?"
"Dari pertanyaan-pertanyaan suhu, sebagian besar nona Coh
tidak dapat jawab," menerangkan nona Hoan.
"Seperginya kakakku itu, apa saja kata Hoan Loocianpwee
kepada nona?"
"Suhu pernah memberitahukan aku bahwa peristiwa Pek Ho bun
itu merupakan pengorbanan dari suatu rencana besar, bahwa
sembilan pay besar beserta empat bun, tiga hwee dan dua pang,
semuanya telah dipermainkan hingga mereka sudah melakukan
kecerobohan, tapi seratus lebih jiwa orang Pek Ho bun itu bukan
kurban kurban percuma cuma..."
"Apakah artinya kata kata itu,nona?" menegasi Siauw Pek, heran.
"Suhu mengatakan bahwa peristiwa Pek Ho bun akan membuat
orang Kang Ouw tersadar, bahwa didalam dunia Kang Ouw secara
diam diam tengah berlangsung suatu perubahan besar yang hebat."
Mendengar itu, si anak muda berpikir. "Kalau begini, biar Hoan
Loocianpwee mempunyai pandangan yang luas, pandangannya itu
CoCok dengan pandangan Su kay taysu. Nona itu pasti mengetahi
lebih banyak lagi." Maka ia lalu menanya lagi". Bagaimana bisa
terjadi demikian, nona?"
"Suhu mengatakan pada kami bahwa orang yang menulis surat
buat si nona adalah seorang gagah yang berhati tawar, yang tidak
suka memperhatikan urusan Rimba Persilatan, kalau toh ia telah
menulis surat untuk nona itu adalah diluar kebiasaannya, bahwa itu
disebabkan akhirnya dia masih tertarik urusan Rimba Persilatan itu"
Siauw pek mengangguk.
"Oh, kiranya begitu," katanya. "Suhu juga mengatakan bahwa
orang yang menulis surat itu berkepandaian silat sangat tinggi," si
nona melanjutkan keterangannya, "bahwa dia termasuk orang
nomor satu dalam dunia Rimba Persilatan. Kata suhu, dengan
menolak si nona, maka orang itu pasti akan
menerimanya dan akan mengajarnya ilmu silat, bahwa meskipun
suhu menolak, nona itu tidak bakal terlantar hidupnya."
"Dengan begitu, nona, segala sesuatu telah berada didalam
terkaan Hoan Loocianpwee?" Hoan Soat Kun mengangguk,
"Begitulah kiranya, katanya. "Suhu pula telah memberitahukan
kami bahwa kelak dibelakang hari kami harus membantu sungguhsungguh
kepada kamu untuk membalaskan dendam kesumat
keluargamu." Siauw pek merangkap kedua tangannya, memberi
hormat.
"Nona, dengan ini terlebih dahulu aku menghaturkan banyak
terima kasih," katanya.
Nona itu tersenyum, akan tetapi pada wajahnya nampak
kedukaan. "Hanya," katanya agak masgul. "selama belasan tahun
dari hidup kami, kami berdua bersaudara, kecuali dengan suhu,
belum pernah kami berurusan dengan lain orang siapa juga,
sedangkan ilmu silat kami sangat tidak berarti, karena itu aku tidak
tahu dengan cara bagaimana kami dapat membantu pada kau
kongcu." Nona itu membahasakan, kongcu kepada si anak muda.
Itulah kata kata tuan muda yang terhormat, yang mirip dengan
anda.
"Itulah bukannya soal, nona? Ban Liang campur bicara. "Memang
kakak Hoan tidak lihay ilmu silatnya akan tetapi kepintarannya luar
biasa, dia pandai ilmu pedang, dia juga berpandangan luas, dia
dapat menerka nerka melebihi lain lain orang. Sekarang ini urusan
Rimba Persilatan sangat rumit, urusan tidak dapat dibereskan
melulu dengan mengandalkan ilmu silat saja..."
soat Kun menghela napas perlahan.
"Semasa hidupnya suhu, sering suhu menganjurkan,
membesarkan hati kami," katanya.
"Pernah suhu berkata, kalau setelah enam tahun suhu kemari,
maka bencana dunia Kang Ouw akan sudah menjadi kenyataan.
Maka setelah itu, walaupun Cukat Kong beng hidup pula, atau Thio
Liang bangkit kembali, bencana itu sudah tidak terhindarkan lagi..."
"Sekarang ini, nona" bertanya Seng supoan yang sangat tertarik
perhatiannya. "batas waktu enam tahun itu sudah lewat atau
belum?"
"Belum. Sejak suhu meninggal dunia, tiga tahun baru berlalu.
Maka itu kedatangan Coh kongcu sekarang ini belumlah terlambat."
Jago tua itu bernapas lega. Dia agaknya menaruh kepercaaan
sangat besar kepada Hoan Tiong beng, sahabat karibnya itu. Lalu ia
memandang anak muda.
"Saudara Coh, katanya.jikalau pertemuan kita terlambat tiga
tahun, jikalau bukannya peristiwa Pek Ho bun telah membangkitkan
rasa tidak puasku, bukan bencana besar kaum Kang Ouw itu telah
berwujud rupa dlkarenakan kita?"
Siauw pek dan dua saudaranya kagum mendengar kata kata
sijago tua itu. Nyata dia sangat memperhatikan dunia Kang Ouw,
atau Rimba Persilatan,jelas hatinya sangat mulia.
"Semasa Coh kongcu belum datang, sebenarnya kami telah
mengharap harapkannya," berkata pula Soat kun, yang bicara
dengan sejujurnya. "Suhu telah memesan, selewatnya enam tahun,
kalau kongcu tidak datang, kami harus pergi kesebuah gunung yang
sunyi, untuk kami tinggal dengan aman dan damai, agar tak usah
kami mencampuri lagi dunia Rimba Persilatan. Akan tetapi sekarang,
setelah kau datang, loocianpwee sekalian, hati kami justru menjadi
tidak tenang..."
Siauw pek heran. "Kenapa begitu, nona?" tanya dia.
"Banyak untuk dikatakan, kongcu," sahut si nona itu. "Kami satu
tak dapat melihat, satu pula tak dapat bicara, sudah bercacad,
tubuh kamipun lemah, karena itu, apakah yang dapat kami perbuat
untuk membantu kongcu?" Ia menghela napas akan tetapi ia lalu
menambahkan: "Tapi suhu telah memesan, tak dapat pesan itu
ditentang. maka itu terpaksa kami si orang orang bercacad mesti
turut kongcu sekalian untuk memasuki dunia Kang Ouw..."
"Keluarganya kamu, nona nona, adalah pengharapan kami,"
berkata Ban Liang, "Sekarang ini keadaan sangat genting. Ceng Gie
Loejin telah menutup mata. Ong kiam dan Pa Too sudah sembunyi,
sebaliknya Siang ok muncul Dilain pihak delapan belas partai
persilatan sejak mereka menyerbu Pek I to-pi", sifatnya telah
berubah menuju keburukan. Yang lebih hebat lagi, sekarangpun
muncul seorang dengan kepandaian sebagai Ceng Gie Loejin itu,
yang pandai ilmu pengobatan, yang menempatkan diri ditanah
belukar, agaknya dia mempunyai suatu rencana besar Nampaknya
tak salah penglihatan kakak Hoan bahwa dunia Kang Ouw bakal
mengalami perubahan, atau kejadian yang maha besar, maha
dahsyat. Nampaknya rencana besar itu sedang berlangsung..."
"Loocianpwee, tahukah kau siapa biang keladi bahaya dan
dimana mulai munculnya?" si nona tanya.
"Sulit untuk menjelaskan, nona. Orang tuanya dapat merasakan
tapi tak dapat meraba. Inilah mungkin sebabnya kenapa kakak Hoan
menghendaki kamu memunculkan diri," nona Hoan Soat Kun
berpikir sejenak, segera ia berkata:
"Baiklah Sekarang silahkan loocianpwee sekalian berdiam
dirumahku ini barang tiga hari itu, kita akan berangkat bersama"
Ban Liang heran tak dapat segera berangkat.
"Nona nona masih mempunyai urusan apakah?" tanyanya.
"Bersama adikku ini, hendak aku pergi ke kuburan suhu."
menjawab si nona. "Disana kami hendak berdiam selama tiga
hari..." Ia berhenti sedikit, baru ia meneruskan;
"Selama tiga hari itu saudara Kho dapat sekalian beristirahat
memelihara lukanya."
"Nona, lukaku telah sembuh," berkata si polos "Aku rasa,
obatpun tak usah aku makan lagi."
"Tak dapat, saudara," mencegah si nona. "Tanpa makan obat,
racun di dalam tubuhmu tidak bakal lenyap seluruhnya, selang
sepuluh atau dua puluh tahun nanti lukamu kan kambuh"
Kho kong terkejut, terus ia membungkam. soat Kun menghela
napas.
"Siapa suka menolong aku mencatat resep?" tanyanya.
"Silahkan sebut nona" menjawab Siauw pek
Nona itu menyebutkan nama nama obat berikut timbangan berat
entengnya, dan sianak muda mencatat semuanya. Setelah itu, si
nona memegang dan melepaskan tangan kanan Soat Gie, sang adik
itu lalu pergi kedalam, untuk kembali didalam tempo pendek dengan
membawa satu bungkusan kecil. Dia terus menghampiri kakaknya.
Sekembali adik itu, Soat kun berkata pula; "Jikalau aku tak keliru,
setelah kami berdua meninggalkan rumah ini, mesti ada orang
orang Rimba Persilatan yang datang menyerang pula kemari. oleh
karena itu baik baiklah tuan tuan melayani mereka itu."
"Tentang ini jangan nona pikirkan," kata Ban Liang.
"Di dalam telah tersedia pembaringan berikut segala
perlengkapannya," berkata pula si nona. "juga sudah disiapkan
barang makanan untuk tiga hari. Selama tiga hari itu, baik baiklah
loocianpwee sekalian berjaga-jaga. Nah kami pergi."
"Perlukah kami mengantar kau?" tanya Ban Liang.
"Tak usah. Terima kasih " Berkata begitu, si nona lalu menarik
tangan adiknya diajak pergi. Oey Eng mengawasi mereka keluar,
baru ia pergi mengambil pedang Siauw pek, setelah kembali pada
kawannya, ia berbisik pada Ban Liang, "Loocianpwee, ada satu hal
yang membuatku merasa sulit..."
"Apakah itu?" tanya sijago tua, heran.
"Tentang nona nona Hoan itu. Nona yang bisu masih tidak apa,
tetapi bagaimana dengan yang tak dapat melihat itu, sedangkan
ilmu silatnya lumayan saja ?Jikalau kita mengajak mereka berdua
merantau bersama, bukankah itu berarti kita mesti berbareng
menjagai mereka ? Tidakkah itu menyulitkan ?"
"Kau benar, adik, Akan tetapi aku percaya hal itu telah dipikirkan
oleh almarhum kakak Hoan."
Oey Eng berdiam. Ia melihat Ban Liang mempunyai kepercayaan
penuh. Meski demikian, dihatinya ia berpikir. "Nona tuna netra itu
benar pintar tapi ilmu silatnya belum cukup untuk membela diri. Dan
bagaimana dengan si nona bisu? Entahlah... Sungguh suatu
pemikiran akan mengajak ajak kedua nona itu merantau tak
ketentuan... Mereka cantik luar biasa, tapi mereka juga bercacat
masing-masing, tidakkah itu membahayakan mereka ? bagaimana
kita harus memecah diri untuk melindungi mereka itu?"
Siauw Pek berpendapat serupa dengan Oey Eng, ia kawatir dan
bingung memikirkan keselamatan nona nona itu, tapiBan Liang
berketetapan hati, maka iapun mesti percaya jago tua itu. Meski
begitu, toh ia masih berpikir juga. "Selanjutnya kita akan berada
bersama-sama kedua nona itu, itu artinya kita semua setiap hari
bakal berada diantara gelombang dayshat. Bagaimana andaikata
nona nona itu tidak dapat melindungi dirinya? Bukankah itu berarti
salah perhitungan."
Karena masing-masing berpikir, ruang rumah itu menjadi sunyi
sekali. Barulah lewat sesaat Ban Liang yang memecah kesunyian.
Katanya "Menurut dugaanku, malam ini pastilah ada musuh yang
datang menyerbu. Kita berempat namun harus dihitung tiga.
Suadara Kho mesti beristirahat..."
"Syukur kedua nona sudah pindah dari sini, kalau tidak, salah
satu dari kita mesti istimewa melindungi dirinya." Ban Liang
mengangguk,
"Satu hal kita harus pikirkan." katanya
"Musuh telah mengalami kekalahan,jikalau mereka datang pula.
mesti mereka telah mengatur suatu rencana..."
"Benar begitu. Habis loocianpwee memikir daya apa ?"
"Dayanya telah kupikir hanya masih belum sempurna." sahut si
orang tua.
Siauw pek yang berdiam sejak tadi, mendadak turut bicara.
Katanya, "Satu kesukaran lagi ialah kita terang mereka gelap. Maka
itu, tak selayaknya kita mengandalkan daya keras lawan keras saja.
Menurut aku, baiklah kita lawan mereka dengan cara terbuka Yaitu
kita berkumpul ditepi pengempang sana."
Si orang tua tersenyum. "Saudara Coh, kita telah menyaksikan
ilmu pedang dan ilmu golokmu," katanya. "maka kita percaya kau
telah mewariskan kesempurnaan kepandaian Thian Kiam dan Pa
Too, hingga selajutnya, kita sangat mengandalkan kepandaianmu
itu. Hanya mengenai keadaan kita sekarang, aku masih tetap
percaya juga pada almarhum sahabat karibku itu. Aku percaya dia
telah mewariskan suatu daya upaya, dan nona nona itu pasti akan
berhasil membantumu menghindari bencana Rimba Persilatan
sekalian membereskan sakit hati keluargamu. Sekarang, saudara,
kau perlu berlaku sabar"
Oey Eng tidak dapat menenangkan diri seluruhnya. Dia berkata:
"Nona nona itu muda dan belum berpengalaman, mereka juga
bercacat, maka itu, sekalipun benar mereka sudah berhasil
mewariskan kepandaian guru mereka, mereka tak dapat
dibandingkan dengan Hoan loocianpwee sendiri."
Ban Liang mengelak sejenak. "Tunggu," katanya kemudian. "Aku
akan ke dalam, untuk melihat kedua nona sudah mengatur sesuatu
atau belum..."
Oey Eng melengak. Dia heran. "Tak mungkin..." katanya, tertawa
hambar. Ban Liang tidak berkata apa apa lagi, ia masuk kedalam.
Tidak lama ia sudah keluar pula, Kalau tadi wajahnya suram,
sekarang terang benderang, ramai. "Benar dugaanku" serunya.
"Kedua nona sudah menalangi kita mengatur daya untuk
menghadapi lawan"
Siorang she Oey tercengang. "Benarkah?" dia menegaskan.
"Kapan loohu pernah mendusta, saudara kecil"
Masih sianak muda ragu ragu. "Bagaimanakah cara bertahan
itu?" tanya dia.
Ban Liang merogoh sakunya, mengeluarkan sepucuk surat.
"Caranya bertahan ada didalam surat ini" Siorang tua meletakkan
sampulnya, dan Oey Eng mendekati, melihatnya. "Tiga jalan untuk
menangkis serangan," demikian tertulis tegas diatas sampul itu, dan
tulisannya halus dan bagus.
Ban Liang membuka sampul, mengeluarkan isinya, lalu
membebernya. Diatas itu terbaca tulisan ini:
"Kami berdua saudara menduga bahwa malam ini bakal ada
musuh datang menyerbu. Tuan tuan berempat berkepandaian tinggi
akan tetapi menurut hemat kami tak usah tuan tuan menggunakan
kekerasan menentangnya Disini ada tiga jalan untuk menghadapi
mereka, silakan pilih satu diantaranya..."
Oey Eng kagum dan heran. Ia menghela nafas. "Seorang muda
yang belum pernah menjelajahi dunia Kang Ouw dapat mengetahui
kebusukan kaum Kang Ouw, sungguh luar biasa Benarkah
kepandaian itu didapan hanya dalam kitab kitab saja?" katanya. Ban
Liang tertawa.
"Inilah keanehan dunia" ujarnya. "Ada orang pandai tapi cuma
pandai surat dan bicara kalau menghadapi kenyataan, dia tidak
berdaya. Dilain pihak ada orang orang lemah sebagai nona nona ini.
Aku ingat pernah kakak Hoan mengatakan kepadaku, bahwa orang
terpelajar tanpa kenyataan lebih baik menjadi orang tani saja*
"Itulah benar. Ban Loocianpwee," Siauw Pek turut bicara.
"Kakak Hoan itu bukan hanya pandai surat tapi juga pandai
bekeeja," berkata siorang tua "Kalau dia bekerja dengan negara, dia
bisa menjadi panglima perang atau perdana menteri yang akan
membuat negaraaman sentosa dan rakyat hidup makmur dan
beruntung."
Ia menengadah kelangit. lalu ia menambahkan, "Kalau dia diberi
kesempatan mengepalai dunia Rimba Persilatan, pasti lenyaplah
segala kejahatan dan kebusukan, maka itu sayang sekali, diatas dia
tidak dikenal kepala pemerintah, di bawah dia tidak ditunjang kaum
Rimba persilatan, hingga sia-sia belaka semua kepintaran dan
kepandaiannya itu." Siauw Pek kagum mend engar kata-kata
kawannya ini, sendirinya ia mengagumi pula Tiong Beng.
Ban Liang memandang ketiga kawannya itu.
"Semoga kita dapat mengharapkan sepenuhnya bantuan nonanona
itu" katanya. "Hasilnya nona-nona itu akan memuaskan arwah
kakak Hoan didunia baka." Oey Eng melongok keluar, melihat
cuaca.
"Loocianpwee, bagaimana tentang ilmu pengobatan Hoan
Loocianpwee itu?" ia tanya.
"Yang nomor satu diseluruh negara."
"Kalau begitu, dapatkah Hoan loocianpwee mengetahui sebab
musabab dari gagu dan butanya kedua nona-nona itu? Menurut
penglihatanku, kedua nona itu tidak ada tanda-tandanya menjadi
bercacat..."
"Kau benar, saudara kecil. Tak selayaknya kakak beradik itu
bercacat. Kalau mereka mulus, semua wanita cantk dikolong Langit
ini akan memandang suram kepada mereka..."
Siauw Pek ngelamun maka juga ia berkata: "Mungkinkah
disebabkan nona-nona itu terlalu cantik maka mereka menjadi
bercacat ?"
"Itulah tak mungkin" kata Kho Kong, "Tak adil kalau begitu "
Dan si orang tua tersenyum.
"Ingatlah ada waktu terang jernih. ada saatnya mendung guram
Bukan bulan biasa bundar dan bersisir? Dimana ada kecantikan yang
sempurna?"
"Sudahlah" Oey Eng menyela. "Hari sudah tidak siang lagi, mari
kita memilih siasat. Ban Liang menurut, maka ia membeber pula
kertasnya, utuk membaca :
"Tipu daya yang kesatu : Aturlah jebakan. Kalau malam ini
musuh datang, pasti mereka datang dengan tenaga penuh.
Meskipun kalian berempat gagah perkasa, akan tetapi tak usah
kalian mengadu kekuaran baiklah kamu mementang pintu lebar
lebar dan menyalakan lilin terang2 untuk menggertak mereka agar
hatinya gentar, agar mereka ragu2. Disamping itu, diatas gunung,
siapkanlah banyak batu, letakkan dan tumpuk secara kacau. Selama
itu tuan tuan boleh beristirahat disuatu tempat yang sunyi. Akupun
telah mengatur perangkap didalam kamar,jikalau musuh merusak
kamarku itu, mereka bakal mendapat bagiannya."
"Bagus" kata Kho kong tertawa. Tapi mendadak dia melihat
sekitarnya dengan mata membelalak, "Eh, dimana dipasangnya
perangkap itu?"
"Mari kita lihat tipu daya yang kedua," berkata Oey Eng. Mereka
lalu melihat bersama: "Tipu daya yang kedua: Tolak musuh dengan
api. Didalam laci mejaku ada tersimpan obat peledak buatan suhu,
ambillah itu untuk dipendam dibeberapa pojok di dalam kamar, juga
diluar diantara gombolan rumput dan dibawah pohon ditepi
empang. Sembunyikanlah sumbuya didalam tanah, siap untuk
disulut."
"Tipu ini baik hanya sayang, rumah ini bakal musnah." kata Oey
Eng.
"Mari kita lihat dahulu yang nomor tiga" berkata Ban Liang.
Mereka melihat pula :
"Tipu daya yang ketiga: Memasang jaring menangkap burung
gereja."
"Namanya saja sudah luar biasa" kata Ban Liang. "Sungguh Hoan
loocianpwee liehay sekali" memuji Siauw pek, "Lebih lebih karena ia
berhasil mewariskan kepandaiannya itu kepada kedua muridnya
yang bercacat ini."
Ban Liang senang mendengar sahabatnya dipuji, ia tertawa.
"Nah, sekarang tahulah kamu bahwa aku si tua tidak mendusta"
katanya. "Kecantikan kedua nona saja telah membuktikan
kecerdasannya"
Kho Kong turut berkata. "Mari kita lihat bagaimana caranya jaring
diatur"
Ban Liang tertawa pula. Kembali mereka membaca.
"Keadaan tubuh suhu berbatas, tak dapat ia meyakinkan ilmu
silat hingga mahir, maka itu ia menukar haluan, ia mempelajari ilmu
surat dan lainnya, seperti melukis dan mengukir. Pernah suhu
mengukir dua potong batu kemala menjadi dua boneka cantik, yang
dalamnya kosong, lalu didalamnya disembunyikan semacam obat,
asal disulut, obat itu merupakan asap yang bisa nyelusup masuk
kedalam telinga. Asap itu demikian halus, hingga sulit untuk dilihat
dengan mata. Yang jelas ialah tersiarnya baunya yang harum. Untuk
mengelabuhi orang, baiklah cari setabung bunga yang harum
ditaruh didalam kamar. Asap itu mengandung racun yang keras,
siapa terkena, meskipun sedikit, akan roboh pingsan. Selama itu
tuan tuan boleh menyembunyikan diri didalam kamar, dikolong meja
dan lainnya, baik untuk turun tangan atau menonton saja. Didalam
sepuluh musuh, tujuh atau delapan pasti akan roboh sendirinya.
Cuma, mengandal asap ini, terserah kepada tuan tuan, apakah
tuan2 sudi..."
"Bagaimana, eh?" tanya Kho kong. "Jika kita bersembunyi di
dalam kamar, bukankah kita sendiri yang paling dahulu akan
terkena racun dan pingsan? Bukankah justru kita yang ditawan
musuh?"
"Sabar saudara. Terus baca dahulu..." Kho kong menurut, ia
membaca pula:
"Patung kemala itu disimpan didalam sebuah kotak. Suhu
menyimpan itu didalam dinding belakang tempat abunya. Didalam
kotak itu terdapat juga sebutir pil.Jikalau tuan tuan menelan obat
itu, kalian akan bebas dari serangan asap yang beracun itu."
Habis membaca. Ban Liang mengawasi Siauw Pek. "Nah, yang
mana yang kau pilih?" tanyanya. Jikalau akupilih yang terakhir," Oey
Eng menjawab lebih dulu, "dengan menawan mereka hidup2, bisa
kita mengorek keterangan dari mulut mereka tentang diri mereka
itu. Kitapun dapat melindungi keutuhan rumah ini."
"Akupun setuju, walaupun cara ini kurang bersifat laki laki," kata
Siauw Pek, Mengandaikan obat, bukan tenaga, bukanlah cara laki
laki sejati, demikian anggapan bangsa kungfu atau engchiong
budiman dan orang gagah.
"Bagaimana andaikata obat itu sudah hilang tenaga kekuatannya
sebab telah tersimpan lama?" Kho kong memperingatkan. "Apakah
itu bukan berarti kegagalan?"
"Aku percaya surat ini bukan ditulis sejak lama, bahkan si nona
pasti sudah memeriksa obat biusnya itu," berkata Siauw Pek,
"Mari kita lihat dahulu boneka kemala itu," Oey Eng
menyarankan.
"Benar" Ban Liang akur. "Mari" Iapun bertindak cepat kemeja
abu. Ketika ia menggeser hio-louw, tempat abu, dibelakangnya ada
semacam knop kecil, Ia memegang knop itu, terus memutarnya
kekanan dua kali. Mendadak terbukalah sebuah lubang pada
dinding. Didalam situ tampak sebuah kotak,
Dengan berhati hati. Ban Liang menarik keluar kotak itu. Ia tutup
pula pintu rahasia dan mengembalikan hiolouw pada tempatnya,
baru ia membuka tutup kotaknya.
Melihat isi kotak, keempat orang itu kagum sekali. Disitu tampak
sepasang boneka kemala, yang indah, yang mirip dengan orang
hidup. Setelah diteliti, kedua boneka mirip dengan Soat Kun dan
Soat Gie. Ban Liang mengangkat satu boneka, untuk diputar balik
satu kali, benarlah perut boneka itu kosong dan dari situ molos
keluar sesuatu yang mirip hio, yang panjangnya kira kira tiga dim,
yang besarnya seperti kelingking.
"Inilah pasti obat bius itu," kata Oey Eng.
"Tidak salah," Ban Liang membenarkan. Ia berdiam sedetik, lalu
ia menambahkan: "Melihat boneka ini, yang begini indah buatannya
aku jadi ingat kepada sahabatku itu. Aku khawatir..."
"Apakah yang dikhawatirkan itu, loocianpwee?" tanya Siauw Pek.
"Boneka ini bukan saja indah," menjawab Ban Liang. "Siapa
memegang kemala ini, dia merasai hawa hanga.t Inilah bukti bahwa
kemala bukan sembarang kemala. Sahabatku itu sangat menyayangi
waktu, tak mau ia menyia nyiakannya, maka itu, boneka ini
tentunya ia buat semenjak lama. Aku percaya, boneka dibuat bukan
melulu guna memuaskan mata, sekarang kemala ini dikeluarkan,
guna melawan musuh, kalau sampai pecah, apakah tak sayang?"
"Jangan khawatir, loocianpwee," kata Kho kong. "Kita taruh
ditempat yang tinggi..."
"Tapi musuh pasti bukan sembarang musuh, sedangkan rumah
ini tingginya cuma setombak lebih..."
"Habis, bagaimana pikiran loocianpwee?" tanya Siauw Pek, "Aku
masih bersangsi..."
"Kalau begitu, kita berhati-hati saja/" berkata Oey Eng.
"Mungkin kedua nona telah memikir juga," kata Ban Liang
kemudian.
Mereka mengambil keputusan memakai tipu yang nomor tiga itu.
Selagi bersiap, sijago tua memesan agar kawan-kawannya berhati
hati menyentuh segala sesuatu dirumah itu. Soat Kun telah
mengatakan bahwa dia telah memasang perangkap.
Sekarang ini semua orang menaruh kepercayaan besar kepada
kedua nona itu, maka itu, pesan sijago tua pun segera diperhatikan.
Mereka lalu mengatur. Ketika mereka selesai, matahari sudah turun
dibarat.
Siauw Pek akan bersembunyi dikolong meja dengan dihalingi dua
tumpuk kayu bakar. Kho Kong diminta bersembunyi diatas penglari
dimana ada tempat buat satu orang. Dari atas pun orang mudah
melihat keseluruh ruang. Hanya saudara itu dipesan mesti berhati
hati, jangan berkelisik,jangan membuka suara.
"Cuma dari atas penglari agak sukar turun tangan," pikir Oey
Eng. Ia justru diminta bersembunyi didalam kamar, maka itu ia
terus masuk kedalam, untuk memeriksa, memilih tempat
sembunyinya.
"Sambil menanti waktu, mari kita beristirahat," mengajak Ban
Liang habis dia mengatur diri itu.
Siauw Pek semua menurut. Maka berdiamlah mereka semua,
hingga rumah menjadi sunyi sekali. Malam tiba dengan cepat, dan
kini keadaan menjadi gelap gulita. suara yang terdengar cuma
hembusan angin malam kepada rumah atap itu.
Ban Liang menyulut lilin. Habis menutup jendela, dia masuk
kedalam kamar, untuk duduk bersila diatas pembaringan, guna
beristirahat sambil menanti musuh. Malam yang gelap dan sunyi
kemudian terganggu oleh satu bentakan keras dari luar rumah:
"Jikalau ada manusia hidup didalam rumah ini lekas keluar"
Siauw Pek semua menutup mulut. "Awas kamu" terdengar pula
suara diluar itu. "Kalau tuan besarmu gusar, akan aku bakar gubuk
kamu ini"
Tetap tidak ada jawaban.
Agaknya orang diluar itu habis sabar. Tidak lama, segera
terdengar suara menjeblaknya pintu, yang telah orang tendang
terpentang. Dengan terbukanya pintu, angin menghembus masuk.
juga sesosok tubuh orang, yang digantung dipintu bergoyang
goyang Ban Liang menaruh api ditempat yang tak tersampaikan
angin, maka apinya itu tidak padam, hingga seluruh ruang takmpak
nyata. Siauw pek dikolong meja sebaliknya bisa melihat tegas
kearah pintu. Diambang pintu tampak berdiri seorang laki-laki lebih
kurang empatpuluh tahun. Dia bertubuh besar, dandanannya
singsat, tangannya mencekal sebatang golok. Dia berdiri diam
mengawasi tubuh yang tergantung itu, rupanya dia sangat
terpengaruh.
"Yang tergantung itu, orang mati atau orang hidup?" terdengar
pertanyaan dari luar, dari orang lain.
Orang yang berdiri diambang pintu itu menjawab, "Dialah salah
satu saudara yang kemarin terluka parah disini "
"Dia sudah mati atau masih hidup?" tanya pula suara itu.
Agaknya dia aseran.
"Nampaknya dia sudah mati..."
"Kalau dia sudah mati, lemparlah mayatnya. Buat apa diawasi
saja*
Orang itu menurut. Dengan goloknya, dia membabat tali pengikat
tubuh mayat, dan dengan yang lain, dia menyambut mayat itu,
untuk segera dilemparkan kesamping
Tapi itulah bukan mayat, itulah salah satu musuh yang tertotok
Siauw Pek, hanya karena tertotok, dia tak dapat bicara, tak dapat
bergerak. karena dia dilemparkan hingga terbanting keras, dia justru
jadi putus jiwa
"Hmm, dua orang budak busuk" mengejek orang bertubuh besar
itu. "Dengan menggantungkan satu mayat, apakah kamu kira dapat
menghalang halangi kami menyerbu masuk?" Lalu, dengan
melindungi diri dengan goloknya, dia bertindak maju. Siauw Pek
memasang mata keluar. Samar samar ia melihat gerak geriknya kira
kira sepuluh orang lebih.
Tiba didalam rumah, orang tadi menyalakan sebuah bambu yang
ia bekal. dengan begitu, dengan adanya api lilin didalam, kamar jadi
terlebih terang, segala apa apa nampak semakin nyata.
Dari luar terdengar pertanyaan keras dan berat. Apakah ada
sesuatu yang mencurigakan? "Tidak ada..." sahut yang baru masuk
itu, matanya celingukan. Segera ia melihat sepasang boneka kemala
diatas meja abunya Hoan Tiong beng. Maka ia lalu menambahkan.
"Di atas meja abu ada dua boneka kemala. Mungkin kedua budak
itu sudah lari kabur..." Kamar itu memang telah dirapikan Ban liang
berempat hingga tak nampak sesuatu bekas yang bisa
mendatangkan kecurigaan.
Lalu terdengar tindakan beberapa pasang kaki. Maka muncullah
diambang pintu empat orang muda berseragam hitam yang
memegang pedang mengiringi seorang yang memakai pakaian
kuning seluruhnya, yang mukanya ditutup dengan topeng. Orang itu
terus masuk, Dibelakang si serba kuning ini terlihat orang lain lagi,
seorang muda dengan dandanan perlente, yang lengan kirinya
terbalut kain putih.
Dengan mata tajam, si serba kuning menanya anak muda
dibelakangnya itu: "Apakah kau melihat tegas sekali"
Nampak pemuda itu sangat menghormati si serba kuning itu,
katanya sambil membungkuk
"Tidak salah Dialah orang itu yang di Jiesiewan mencoba
merampas barang titipan pada Lauw Haycu."
"Hm" si serba kuning mendumal. "Mungkinkah dia benar-benar
turunan si orang she Coh itu yang berhasil menyeberangi jembatan
maut Seng Su Kio?"
"Itulah hamba tidak tahu, tidaklah berani hamba memastika "
berkata pemuda yang lengannya dibalut itu.
"Thian kiam Kie Tong dan Pa Too Siang Go adalah orang orang
yang lihay sekali," berkata pula si serba kuning. "sejak mereka
melintasi Seng Su Kio, selama beberapa puluh tahun, tak terdengar
beritanya apa benar bocah itu dapat kembali dari Seng Su Kio ?
Mungkinkah ?"
Orang berkata kata seorang diri, tiada kawannya yang berani
campur bicara. Maka ia mengocah pula : "Yang aneh Kenapa
mereka itu dapat berhubungan dengan dua orang murid Hoan Tiong
Beng?"
Mendadak si anak muda perlente berkata: "Siapa tahu kalau
kedua budak itu masih bersembunyi didalam rumahnya ini?"
Mendengar begitu, mendadak orang itu bungkam. Tapi matanya
mengawasi tajam kepada kedua boneka kemala. Lalu ia
menghampiri meja. Dia terus mengulur tangannya untuk
menjemput boneka itu. Baru tangannya itu mau menyentuh,
sekonyong konyong dia menarik kembali, batal memegangnya. Lalu
ia mengawasi keseluruh ruang.
"Nona nona" dia berkata nyaring; "Nona nona, sekarang ini kamu
sudah terkurung rapat. Jikalau kamu tidak mau keluar untuk
menemuiku, jangan kamu sesalkan aku keterlaluan. Jangan kamu
menyesal"
Siauw Pek dikolong meja heran mendengar suara orang itu.
Katanya didalam hati. "Suara dia begini luar biasa, mungkin dia
berkepandaian tinggi sekali..."
Si serba kuning tidak memperoleh jawaban, dia gusar. "Masuk"
perintahnya. "Geledah"
"Baik" menjawab dua orang berseragam hitam, yang terus
bertindak masuk kedalam. Tapi mereka bagaikan orang yang
melempat diri kelautan besar, begitu masuk, mereka tak terdengar
suaranya lagi, tak nampak muncul pula.
"Budak-budak tolol dan buta" berteriak siserba kuning. "Kemana
kamu pergi?..." Mendadak dia menutup mulutnya, terus dia menoleh
kepada sipemuda perlente, lalu, mendadak juga dia lari keluar, Dan
si anak muda, diapun turut memutaK tubuh untuk lari.
Menampak demikian, Siauw Pek keluar dari tempat sembunyinya,
ia berlompat untuk menghadang, dan segera menyerang. Tangan
kirinya menyambar siperlente, dan dua jeriji tangan kanannya
menotok si serba kuning.
Si serba kuning menangkis totokan itu.
Siauw Pek terkejut. Pikirnya: "Tenaga dalam dia ini tangguh
Benarkah obat bius dari dalam boneka kemala itu tak mempan
terhadapnya?"
Sementara itu sipemuda perlente, yang juga menangkis
serangan, setelah menangkis itu, terhuyung sendirinya, tubuhnya
roboh, barulah menyusul dia, si serba kuning juga ter-huyung2.
"Dasar kuat tenaga dalamnya dia dapat bertahan," pikir Siauw
Pek, Maka tidak ayal lagi ia lompat maju, akan mengulangi
serangannya, barulah kali ini, lawan itu roboh terguling.
Ketika itu Kho Kong juga lompat turun dari atas penglari, untuk
menyerang dua orang yang berseragam hitam. Mereka ini
menangkis, akan tetapi mereka roboh seketika, sebab saat
itu,pengaruh obat bius sudah bekerja diantara rombongan penyerbu
itu.
Ban Liang muncul ketika dia mendengar suara berisik. "Berhasil?"
tanyanya.
"Semua telah terbekuk " sahut si polos.
"Dialah pemimpinnya," Siauw Pek tanya sambil menunjuk si
serba kuning. "Dengan beradanya dia disini, pasti kawan kawannya
tidak akan berani bertindak sembrono." Ban Liang menghampiri si
serba kuning, ia hendak menjambak, buat mengangkat tubuh orang
itu, tapi mendadak ada anak panah bersuara melesat kearahnya.
"Awas locianpwee" berseru Siauw Pek memperingatkannya. Anak
panah itu melesat ketangan sijagotua. Dan sijago tua itu menarik
tangannya sambil mundur dua tindak, maka Anak panah itu nancap
dipintu.
"Padamkan api" Ban Liang berseru.
"Mari kita bicara dengan mereka itu" Siauw Pek menyahuti,
tangannya dikibaskan memadamkan lilin.
Ban Liang pergi kebelakang pintu, lalu berkata dengan tawar:
"Pemimpin kamu telah kami tawan. Asal kamu masih
menggunakanpanah gelap, akan aku bunuh dia serta juga semua
kawanmu ini"
Dari luar segera terdengar suara yang keras. "Kamu juga telah
kami kurung, Kalau kita sama-sama bertahan, salah satu mesti
roboh"
"Kamu boleh kurung kami tidak takut" sahutBan Liang. "Kami
mempunyai persediaan pangan buat beberapa bulan boleh kamu
coba mengurung buat tiga bulan lamanya."
Suara nyaring itu terdengar pula: "Habis tuan hendak mengatur
bagaimana untuk menyelesaikan urusan kita itu?" suara itu nyaring
tetapi nadanya lunak.
"Si kuning ini agaknya sangat berharga, hanya entah dia
pemimpin utama atau bukan." sijago tua berbisik. "Nanti aku dengar
lebih jauh suara mereka..."
maka ia berkata pula. "Pemimpin kamu telah kami bekuk,
kamulah kawanan naga tanpa kepala, Masih ada mukakah kamu
untuk mengadakan pembicaraan? Untuk kamu tinggal satu jalan:
Letakkan senjata kamu, buat manda diringkus, lalu menantikan
keputusan kami"
"Jangan banyak tingkah, tuan" berkata suara nyaring diluar itu.
"Jikalau kamu keterlaluan, hingga kamu memaksa kami turun
tangan, jangan nanti kamu menyesal sesudah terlambat"
Licik orang itu. Dia tak mau menyebut nama si serba kuning
sebenarnya orang apa, pemimpin mereka atau bukan...
Siauw pek mengawasi keluar. Dan samar samar ia menampak
seorang yang bertubuh tinggi besar sedang berdiri seorang diri
sejarak tiga tombak dari pintu. Mungkin kawan-kawan dia itu
mengatur diri dikedua sisinya. Dialah orang yang bicara dengan
sijago tua. Ban Liang tertawa dan berkata: "Jikalau kau mau main
gila denganku, itulah sia sia belaka. Jikalau aku tidak mau
melepaskan dia serba kuning ini, apa yang bisa kamu perbuat?
Beranikah kamu lancang turun tangan?" Tanpa menanti jawaban, ia
menambahkan, suara sengaja ditinggikan. "Saudara Kho, Coba kau
kasih rasa sedikit kepada bocah itu"
Jago tua ini cuma main-main, untuk menggertak lawan, akan
tetapi Kho Kong berlaku sungguh-sungguh. Ia menghampiri si serba
kuning untuk menjambaknya, setelah mana, tanpa mengawasi lagi
muka orang, dia menampar dua kali.
Si serba kuning itu terkena obat bius, ia juga habis ditotok,
walaupun demikian ia sadar, maka itu, gaplokan si anak muda
membuatnya merasa sangat nyeri. Kendati demikian, ia tak bisa
berbuat apa-apa, ia cuma bisa gusar dan mendongkol, buat
membuka suara dia tak mampu
Diluar terdengar suara yang gusar sekali. Dia rupanya
mendengar suara tamparan yang nyaring itu. Maka ia segera
berkata dengan bengis. "Kamu berlaku ganas, tuan Awas nanti kami
bakar gubuk kamu ini"
"Jikalau kamu masih saja berkepala batu, aku akan hajar lagi dia
ini" kata sijago tua.
Kali ini suara diluar itu bungkam. Maka sepilah didalam maupun
diluar rumah.
Siauw pek sementara itu heran. Orang diluar tadi tak nampak
pula, karenanya ia berpikir: "Mungkin dia tak sudi berbicara lagi
Mungkin dia mau turun tangan." maka ia terus berkata pada Ban
Liang: "Rupanya musuh tidak mau berbicara lagi Mungkin dia mau
melakukan sesuatu Kita harus waspada"
"Tidak salah" berkata Ban Liang. "Lekas bawa siserba kuning dan
kawan-kawannya kedepan, kita pakai mereka sebagai tameng"
Berkata begitu, jago tua ini memperkeras suaranya, supaya musuh
diluar dapat mendengar.
"Betul" berseru Kho Kong. Dan dia gusur si serba kuning
kedepan. Diluar, suasana tetap sunyi, tidak ada serbuan, sedangkan
tadinya mereka agaknya galak sekali, kesunyian berlangsung menit
demi menit.
"Saudara, bagaimana kalau kita pergi melihat keluar?" berbisik
Kho Kong pada Oey Eng, kawannya yang diam saja sejak tadi.
"Jangan sembrono," Ban Liang mewakilkan Oey Eng menjawab,
"siapa tahu jikalau mereka itu tengah mengatur kurungan."
"Lalu apakah kita mau main diam diam saja," tanya si-polos.
"Sekarang gelap petang, kita tunggu datangnya sang siang, baru
kita lihat." berkata sijago tua.
Kho kong berbicara wajar saja, tapi Ban Liang dengan ada
maksudnya, maka suaranya diperkeras.
Benarlah, diluar terdengar suara perlahan dari tindakan banyak
kaki Rupanya suara si jago tua membuat mereka merubah siasat.
"Waspada" Ban Liang memperingatkan. "Mungkin mereka mau
turun tangan sekarang." Lalu Siauw Pek diminta menjaga dikanan
dan Oey Eng dikiri.
Diluar, benar-benar orang sudah mulai bekeeja, Dua orang
mendekati pintu.
Oey Eng menarik tangan Siauw Pek, untuk memberi isyarat.
Maka keduanya bersiap sedia. Ban Liang dan Kho Kong belum tahu
ada gerakan musuh dikir dan kanan, berdua mereka memasang
mata kedepan saja. Setelah datang dekat pada pintu, kedua orang
diluar itu berhenti bertindak,
Oey Eng menjadi curiga. Inilah sebabnya ia tidak bisa melihat
tegas. Maka ia segera berkata nyaring: "Toako, lekas turun tangan"
bersamaan dengan itu, iapun menyerang dengan tangan kanannya.
Siauw Pek menyerang segera setelah ia mendengar suara
kawannya itu. Kedua orang diluar itu tidak menyangka akan
diserang, mereka menangkis dengan gugup.
Yang dikanan, yang menyambut serangan Siauw Pek, tertolak
mundur lima tindak, Lawan Oey Eng terhuyung dua tindak, sebab
serang si orang she Oey tidak sekeras ketuanya.
"Sungguh manusia tolol tak berguna" terdengar dampratan
diluar.
"Lekas pergi" Dua orang yang terpukul mundur itu agak
ketakutan, dengan segera mereka mengundurkan diri, lenyap
didalam kegelapan. Siauw pek mengenali suara yang ternyata bukan
orang yang tadi bicara dengan Ban Liang. Ia heran, kenapa dengan
cepat sekali orang sudah menukar pemimpin? Mungkinkah musuh
telah mendatangkan bala bantuan? Karenanya ia mengawasi tajam
kearah suara orang itu.
Didalam gelap, hanya tampak sesosok tubuh bergelempang, tapi
tak terlihat jelas mukanya.
"Toako melihat apa?" Oey Eng berbisik.
"Aku tidak melihat apa-apa," sahut sianak muda.
"Aku mengira mungkin mereka itu menggunakan sesuatu guna
menutupi tubuh mereka."
"Jikalau tidak salah, toako, musuh telah mendatangkan banyak
bala bantuan," Oey Eng mengutarakan dugaannya.
"Benar, akupun menduga demikian," sahut Siauw pek,
"Sang pagi akan segera tiba," kata Oey Eng pula. "setelah terang
tanah, toako hendak bertindak bagaimana?"
"Biarlah Ban Loocianpwee yang mengambil keputusan." sahut
sianak muda, "kita baik-baik berunding dengan..."
Selagi ia berkata begitu, Siauw pek melihat sesosok tubuh
bergerak keatas rumah. Perlahan sekali bergeraknya orang itu. Oey
Eng mengeluarkan sebatang sumbu.
"Awas, toako" katanya perlahan Terus ia pergi kebelakang pintu.
Disitu, begitu ia mengibaskan tangannya, sumbunya itu menyala
mengeluarkan api. Menyusul itu, dua batang Anak panah
menyambar tangan yang memegang sumbu itu, serangan
datangnya dari luar. Dua dua panah tidak mengenai sasarannya Oey
Eng berlaku sebat, begitu mengibas dia melemparkan sumbunya
keluar,jatuh ditangah sejauh satu tombak lebih, Dengan adanya
sumbu itu, segala apa tampak nyata diluar itu. Orang yang tadi
mendatangi itu, yang merayap mendekam ditanah, tak berkutik.
Siauw Pek melihat tajam.
"Mereka menyamar" ia berteriak. Ia melihat hanya kain hitam.
Suara si anak muda putus dengan mendadak. Ini disebabkan
sebatang panah api
menyambar kearahnya, nancap ditiang pintu. Apinya itu menyala
terus.
"Lekas padamkan" Ban Liang berseru, ia menguatirkan
terbakarnya rumah itu. Iapun menyaksikan si serba kuning. Apakah
dia bukan sipemimpin? Mungkinkah masih ada pemimpin atasnya?
Kalau tidak, kenapa musuh menggunakan api?
Menurut kaum Rimba Persilatan, kalau seorang pemimpin
tertawan dan dikuasai lawan, kawan kawannya tidak boleh
menggunakan api, sebab itu berarti ancaman bahaya kematian bagi
sipemimpin yang tak berdaya ditangan lawan. Andaikata sipemimpin
tidak terancam serangan api membuat lawan bertambah gusar.
Dengan dilepaskannya panah api itu, teranglah bahwa si serba
kuning tidak dihargai sama sekali.
Siauw Pek menghunus pedangnya, ia membabat kearah
api.Justru itu, menyambar pula dua batang panah api lainnya. Ia
menyampok yang satu, yang lainnya ia sambut dan dicekal,
kemudian ia lemparkan kearah tubuh yang mendekam tadi. Setelah
itu, sianak muda lompat mundur kebelakang pintu.
"Bagus" Kho kong memuji ketuanya. "Melihat kepandaian toako,
pasti musuh terbuka matanya"
Tapi Ban Liang berkata sungguh-sungguh: "Siserba kuning
bukanlah pemimpin mereka yang utama. Kita salah menawan orang.
Lihat saja, mereka tak pedulikan lagi siserba kuning hidup atau mati
Kita...:
Suara sijago tua terputus. Mendadak sosok tubuh yang
mendekam itu bergerak bangun dan lari, Dia terkena panah api
yang dilemparkan Siauw Pek, rupanya dia takut atau tak tahan, dia
kaget dan kabur. "Kelihatan benar mereka mendapat bala bantuan,"
Ban Liang berkata pula, "Kita mesti merubah siasat. Mari kita
bersiap" Siauw pek pun merasa musuh tak dapat dipandang ringan.
Sipemuda perlente berkedudukan tinggi, dia kalah dari siserba
kuning tapi sekarang ternyata, diluar itu ada orang yang lebih tinggi
kedudukannya daripada siserba kuning itu.
Perubahan lainnya segera menyusul. Hal itu mengherankan Ban
Liang semua. Itulah karena musuh diluar itu sirap, malam menjadi
sunyi kembali, sampai sekian lama tak terdengar suara apa apa.
"Bagaimana ini, loocianpwee?" Oey Eng berbisik kepada sijago
tua. "Entahlah Rupanya musuh diluar liehay sekali. Kita harus
waspada."
"Entah bagaimana dengan itu nona nona kakak beradik?" Oey
Eng tanya pula. Ia menguatirkan dua saudara bercacat itu.
"Mari kita keluar untuk melihat," berkata Kho Kong, sipolos.
"Barang kali musuh sudah pergi semua."
"Jangan sembrono." Ban Liang mencegah. "Jikalau aku tidak
keliru menerka, sekarang ini justru musuh sudah mengurung kita
berlapis lapis. jikalau kita lalai, kita bisa mendapat rugi..."
"Kalau begitu, loocianpwee," tanya Kho kong "apakah kita harus
main menjaga saja?" Ban Liang tersenyum.
"Kita tunggu sampai terang tanah" sahutnya.
"Sebentar kita melihat keadaan, baru kita pikirkan tindakan kita
selanjutnya"
Ketika itu angin bertiup-tiup, rumah atap turut tertiup pula.
Dengan lewatnya sang waktu diufuk timur tampak cahaya putih
samar samar Dengan perlahan, segala sesuatu diluar terlihat
makinjelas dan terang.
Siauw pek mengintai. Segalanya terang di luar: rumput hijau, air
pengempang bergoyang perlahan. Tak ada bayangan seorang juga.
"Apakah masih ada musuh?" tanya Ban Liang dari belakang
pintu.
"Tidak," sahut Siauw pek, "Tidak ada pertanda apa apa."
"Nanti aku lihat" berkata Kho Kong sambil bergerak. Ban liang
hendak menjaga, tapi ia terlambat.
Anak muda itu lari keluar. Ia memandang ke sekitarnya, Tak
tampak musuh. Suasana tenang sekali. Lalu ia berpikir: "Ban
locianpwe terlalu teliti, da bercuriga tanpa alasan. Musuh toh sudah
pergi..." karenanya, ia bertindak lebih jauh dari muka rumah.
"Saudara Kho,jangan sembrono" Ban Liang berteriak, "Lekas
balik"
"Jangan kuatir, loocianpwee" sahut si anak muda. "Musuh sudah
pergi semua"
Ia berjalan terus kebelakang rumah, sijago tua khawatir, hingga
dia menghela napas. "Saudara Kho sembrono sekali, aku khawatir."
Siauw pek dan Oey Eng kurang berpengalaman, mereka sama
berpikir, walaupun Kho kong sembrono tetapi dia bisa melihat,
mustahil dia tidak tahu kalau ada musuh?" Oleh karena ini, mereka
tidak berpikir seperti sijago tua.
Tapi Kho kong pergi, sampai lama belum kembali, Kedua anak
muda saling melirik.
"Aneh," berbisik Siauw pek, Jangan-jangan benar shatee
mendapat celaka..."
"Nanti aku lihat " berkata Oey Eng sambil bergerak untuk pergi
keluar.
"Tak usah " mencegah sijago tua keras. Sipemuda heran,
"Kenapa loocianpwee."
"Musuh sudah memasang perangkap disekitar rumah ini. asal kau
keluar, kita bakal kehilangan lagi satu tenaga."
"walaupun ada gunung golok dan kwali minyak panas, mesti aku
lihat saudara Kho " berkata Oey Eng.
"Ingatlah, tak sabaran dengan urusan kecil dapat menggagalkan
rencana besar..." si jago tua memperingatkan. Tapi Siauw pek
sependapat dengan Oey Eng Kata dia : "Siapa bersaudara, mereka
mesti mati atau hidup bersama. siapa yang tidak jujur, dia dikutuk
Thian Menyesal, loocianpwee aku mesti sia-siakan kebalkan hatimu"
Berkata begitu, anak muda ini menghunus pedangnya dan
berlompat keluar. Sijago tua menarik napas.
"Kalau diluar ada musuh, kau sendiri dapat melayani mereka,"
katanya.
"Hanya..." Siauw pek merandek.
"Hanya apa, loocianpwee?"
"Menurut apa yang aku duga, saudara Kho tertawan musuh
tanpa dia berkesempatan lagi melakukan perlawanan."
menerangkan sijago tua. "Dia kena tertangkap hidup-hidup."
"Bagaimana pendapatmu ini, loocianpwee "
"Kho kong sembrono tetapi kadang kadang dia teliti." berkata
sijago tua, "dia tak akan pergi terlalujauh dari sekitar rumah ini, dan
kalau dia bertempur dengan musuh pasti kita mendengar suara
bentrokan senjatanya. Atau kalau tidak dengar suara senjata
beradu, pasti terdengar juga terlak-teriakannya..."
Siauw pek mengangguk, "Loocianpwee benar juga." katanya.
"Musuh banyak, kita sedikit, buat dapat kemenangan, kita harus
sabar." berkata pula sijago tua "begini dalam pertempuran kita ini"
"Habis bagaimana, loocianpwee ?" Oey Eng tanya.
"Kita lihat kelebihan kita untuk menghadapi kekurangan lawan..."
"Maukah loocianpwee menjelaskan lebih jauh?"
"Disamping jumlahnya yang besar, musuh sudah mengatur
perangkap disekitar rumah kira ini, asal kita keluar, berarti kita
menyerahkan diri masuk kedalam perangkapnya itu. Sekarang ini
kita menanti saja serangan mereka*
"Jikalau mereka tidak menyerbut, apakah kita harus menanti
terus, biarpun sampai satu tahun?" Oey Eng menegaskan.
"Menurut terkaanku, musuh tak akan lewat kau hari ini. Kalau
mereka tidak menyerbu di waktu sore, pasti sebentar malam.
Mungkin secara besar besaran..." mendadak si orang tua itu
memperlahan suaranya. "Nampaknya si serba kuning ini, benar
orang penting dari rombongan itu. Mereka tidak berani meneruskan
melepas api membakar kita, tentu inilah sebabnya. Yang dicurigai
mereka tentulah kenapa enam orangnya yang menyerbu dapat kita
tawan dengan mudah. Pasti mereka menduga rumah kita ini rumah
perangkap karena mana mereka tidak berani lancang
menyerbunya..."
Kembali sijago tua berpikir, maka ia berhenti sebentar, baru ia
melanjutkan "Hanya orang yang mengepalai rombongan itu
sekarang ini teranglah orang yang lihay, yang sabar luar biasa,
maka juga dia dapat mengatur perangkap diluar, tak mau dia
sembarang menyerbu."
Oey Eng menghela napas, ia berduka. "Kalau kita sampai mag
rib, bukankah sekalipun ada seratus saudara Kho juga akan keburu
dibinasakan semuanya?..." katanya, masgul.
"Pikiranmu beda daripada pikiran kau, saudara kecil," berkata
Ban Liang, tetap sabar. "benar mereka telah menawan saudara Kho
tetapi kitapun telah membekuk orangnya dan si serba kuning ini
orang penting dari mereka itu. Mungkin dia bukan kepalanya tapi
dia toh salah satu orang pentingnya mana mereka berani mereka
menurunkan tangan jahat atas diri saudara Kho."
Ban Liang melihat keluar rumah. Dengan perlahan ia
menambahkan. "Aku masih memikirkan sesuatu yang luar biasa.
Mungkin rombongan musuh kita ini ialah rombongan yang disebut
Su Kay Taysu, mungkin dialah sipengacau dibelakang tirai kaum
Kang Ouw..."
Siauw Pek terperanjat. Segera dia ingat sesuatu. Maka dia
bangkit, terus dia menggusur si serba kuning kemuka pintu, segera
dia meloloskan topeng orang itu.
Enam mata dari si anak muda dan Ban Liang segera diarahkan
kemuka si serba kuning itu, semua merasa heran, hingga mereka
menatap terus : Itulah sebuah wajah yang cantik sebagai wajah
seorang wanita, alisnya lentik, matanya jeli, kulit mukanya halus dan
dadu.
"Mukanyapun berbau pupur, bukan seperti muka pria." kata Oey
Eng.
wajah Ban Liang nampak sungguh-sungguh. Kata dia perlahan.
"Mungkin itu rencana besar dari beberapa puluh tahun, sekarang ini
mulai meletus dan kitalah yang pertama kali menemuinya..."
"Loocianpwee, kata-kata loocianpwee kurang jelas," berkata Oey
Eng. "Selama beberapa puluh tahun aku tinggal menyendiri didalam
lembah yang sunyi sambil mempelajari ilmu Ngo Kwie souw Hun
Ciu, kesabaranku bertambah, demikian juga pengalamanku,"
berkata siorang tua, "setiap kali aku memikir sesuatu hal, dapat aku
memikirkannya dengan tenang dan merdeka, demikian kali ini, aku
telah memikirkan sesuatu."
"Apakah itu, loocianpwee?"
"Coba kau terka, berapa usianya siserba kuning ini?"
"Jikalau dia benar seorang wanita, mengingat tenaga dalamnya
yang mahir, dia paling sedikit diatas tiga puluhan."
"Sekarang coba kau gunakan pedang menyontek bajunya
itu,jikalau dia benar seorang wanita, pasti kita akan menemukan
sesuatu." Oey Eng heran, hatinya jadi tertarik, Tanpa ayal lagi,
dengan ujung pedangnya ia menyontek baju orang tawanannya itu.
Maka terbukalah baju orang itu, hingga terlihatlah dua buah
susunya. Ban Liang mengibas tangannya, akan lekas-lekas menutup
rapat baju itu, kemudian ia menghela napas.
"Orang ini mungkinkah dia..." katanya.
"Siapakah dia loocianpwee?" tanya Oey Eng. Ban Liang hendak
menjawab ketika dia melihat Siauw pek tengah mengawasi
mendelong kepada si serba kuning itu. Ia membatalkan niatnya,
bahkan ia menoleh kepada Oey Eng. Sianak muda mengawasi
ketuanya Iaheran ketua itu nampaknya teng ah berpikir keras.
"Saudara; apa kah kau kenal wanita ini?" Ban Liang bertanya
perlahan.
Siauw pek bagaikan tersadar. Dia menghela napas. "Aku sendiri
mengenal baik padanya," sahutnya, ragu-ragu. "Kau
berpengetahuan luas, loocianpwee, apa kah kau kenal kepadanya ?"
"Tidak," sahut Ban Liang.
"Rasanya aku pernah lihat dia entah dimana..." kata Siauw pek,
"Kita pikir saja perlahan-lahan," kata sijago tua. "Kita mempunyai
cukup waktu akan mengingat-ingat..."
"Sekarang ini aku ragu-ragu, rasanya aku pernah menemui dia,
rasanya tidak, toh rasanya pasti aku mengenalnya baik sekali," kata
pula sianak muda "Ah dasar benak hatiku, rasanya dia telah ada
lukisannya"
"Kenyataan apa kah itu, saudara kecil ?" ^
"Kenyataan bahwa didalam dunia ini ada seorang seperti dia..."
"Kalau begitu saudara, coba kau ingat baik-baik. Adakah seorang
diantara keluarga Pek Ho Bun kamu yang mirip dengan wanita ini?"
"Tidak, aku telah mengingat ingat tetapi aku tidak ingat
kepadanya."
"Aneh" Oey Eng turut bicara, "kau tidak ingat dia, kau belum
pernah melihatnya, tapi kenapa kau rasanya mengenalnya dan dia
terlukis dalam benak hatimu ?"
"Inilah yang membuatku bingung..."
Kembali sianak muda menatap siserba kuning itu.
"Loocianpwee, bagaimanakah ini?" Oey Eng berbisik pada Ban
Liang. Jago tua itu menggeleng kepala.
"Ya, aneh Kalau begini kita harus menanti kembalinya nona
Hoan..."
Oey Eng menghela napas. "Benar-benar dunia Kang Ouw aneh"
katanya.
Dan Ban Liang berpikir keras. "Banyak pengalamanku tetapi yang
seperti ini, inilah yang pertama kali," katanya.
Kedua orang berbicara dengan sangat perlahan. Siauw Pek
seperti mendengarnya. Sebab dia lagi berpikir keras sekali, pikirnya
itu lagi terbenam. Justru itulah mereka mendengar satu suara
nyaring: "Aku hendak bicara dengan kamu,tuan-tuan" Suara itu
keras bagaikan guntur. Semua orang lalu menoleh, maka didepan
pintu terlihatlah seorang bertubuh besar dengan warna pakaian
hitam seluruhnya. Dia bertangan kosong pula.Jarak antara pintu dan
dia kira-kira dua tombak lebih. Habis berkata begitu, dia diam
menanti.
"Ada pengajaran apakah dari kau, tuan?" Ban Liang bertanya.
"Aku mendapat tugas berbicara dengan kamu tuan tuan," ia
mengangkat tangannya dan menggoyang goyangkannya, "Tuantuan
lihat, aku tidak membekal senjata." Ban Liang tertawa dingin.
"Bawa senjata atau tidak, sama saja" kata jago tua ini. "Asal kau
berani main gila. jangan nanti kau sesalkan aku siorang tua paling
dahulu aku akan habiskanjiwa orang berpakaian kuning ini"
JILID 25
Orang itu tertawa.
"Kita terpisah cukup jauh, karena itu bolehkah aku masuk
kedalam rumah?" dia bertanya.
"Masuk boleh, tetapi kau harus hati-hati"Ban Liang
memperingatkan, "Rumah kami ini telah dipasangi berbagai macam
perangkap, asal kau lancang masuk, kau bakal kena terbekuk,
paling baik berdirilah sejarak tujuh atau delapan kaki dari ambang
pintu"
"Aku akan perhatikan pesanmu ini," kata si orang tinggi besar itu.
Ia bertindak maju sejauh yang disebutkan sijago tua. Ban Liang
tetap bersembunyi dibalik pintu, ia cuma menongolkan sedikit
kepalanya.
"Kau hendak bicara apa, tuan?" tanyanya.
"Kami telah menawan seorang tuan she Kho, katanya dialah
sahabat kamu," kata utusan lawan itu.
"Benar. Lalu?"
"Aku ditugaskan membicarakan utusan sahabat kamu itu."
"Maksudmu ?"
"Usul kamu ialah kita saling menukar orang tawanan..."
"Bagaimanakah caranya itu?" tanya Ban Liang tertawa.
"Kita berlaku adil dan pantas, kami menangkap satu orang dan
tuan enam, akan tetapi kami menukar satu dengan satu. Hanya..."
"Hanya, kau maksudkan kau dapat memilih orang yang kamu
hendak tukarkan itu?"
"Benar" sahut siutusan, yang tertawa menyeringai. Disenggapi
sijago tua, dia merasa malu sendirinya. Ban liang tertawa hambar.
"Inilah dapat Cuma, kecuali sibaju kuning, dapat kamu memilih
siapa saja satu diantara lima yang lainnya "
Utusan itu melengak, "Ah..." katanya ragu-ragu. "Aku justru
menerima perintah untuk menukar kawan tuan-tuan dengan orang
yang berbaju kuning itu."
"Jikalau begitu, maaf tuan" Ban Liang menyela. "Menyesal aku
mesti menyia-nyiakan pengharapan kamu ini. Tolong kau sampaikan
kepada pemimpin kamu bahwa siorang baju kuning itu tak ingin
kami menukarnya "
"Aku masih ada sedikit bicara... kata utusan itu
"Silahkan "
"Tuan-tuang telah terkurung didalam rumah atap ini, itu dan
suaru keadaan yang dapat dipertahankan lama lama Jikalau tuantuan
suka menukarkan orang berbaju kuning itu, kami juga akan
segera meninggalkan tempat ini hingga selanjutnya kita tak akan
bentrok pula."
Ban liang menyambut dengan tertawa dingin. "Tuan, nampaknya
kami terlalu memandang ringan kepada soal mati atau hidup kamu
sendiri..." katanya.
Kembali orang itu merasa jengah. Diapun mendongkol tetapi dia
tak dapat mengumbarnya. "Aku bicara dengan sungguh-sungguh,
harap tuan tuan suka memperhatikannya," katanya terpaksa berlaku
sabar.
Ban Liang tertawa dingin, kata dia terus terang: "Kamu
menghendaki sibaju kuning, lima kawanmu yang lainnya kamu
biarkan, kamu tak pedulikan. Nyata kamu kejam sekali. Kau sendiri,
kaulah pesuruh, apakah kekuasanmu? Bukannya aku hendak
memancing kemarahanmu, tapi aku kuatir bahwa kemerdekaan kau
sendirinya jiwamu mungkin tinggal menanti waktu lenyapnya"
Orang itu kalah bicara. Dia rupanya merasai kebenaran kata
orang tua ini. Dengan lesu dia tunduk.
Ban Liang batuk-batuk, lalu berkata pula dengan sabar. "Mereka
itu dapat mengorbankan kelima kawanmu ini, maka itu, apakah
artinya kau seorang diri? Bukankah kau, seperti mereka ini dapat
dikurbankan juga?"
Orang itu mengangkat kepalanya. "Benar," katanya. "Tapi,
baiklah kita kembali kepada pembicaraan tadi. Asal sibaju kuning itu
dibebaskan, siorang she Kho pasti akan dibebaskan pula. Hal ini
tuan tak usah khawatir."
"Kau bersitegang, tuan. Bagaimana jikalau aku tidak
menukarkan?"
"Sahabatmu itu bakal mengalami siksaan yang paling hebat, dia
bakal dihukum picis"
"Jangan lupa,padaku ada enam jiwa Kami pun dapat menyiksa
mereka seperti kamu menyiksa kawan kami"
"Hanya kesempatanmu sudah tidak ada, tuan Jikalau pihak kami
telah memperoleh kepastian bahwa kami tak berdaya menolongi
kawan kami itu maka didalam waktu sekejap kamu bersama dengan
rumah ini bakal menjadi abu."
Ban liang mau percaya gertakan itu, tetapi dia tidak mau kalah
bicara. Maka dia tertawa dan katanya dengan tenang. "Aku percaya
betul, tuan, pemimpin kamu bakal menggunakan seribu satu daya
upaya guna menolong si baju kuning."
"Jelasnya tuan menolak?" tanya utusan itu.
"Ya. Kami menolak syaratmu itu" Siutusan berdiam, dia menarik
napas berduka. Nampak dia mau bicara tetapi batal.
Dengan perlahan dia memalingkan tubuhnya dan bertindak pergi.
Oey Eng mengawasi sijago tua.
"Kenapa kita tidak tukar..." katanya. Tapi mendadak kata yang
nyaring: "Sahabat tunggu Kau..."
Utusan itu mendengar panggilan, dia menghentikan tindakan
kakinya dan berpaling. Nampak dia sedikit gembira.
"Tuan menerima baik syarat kami?" dia tanya.
Oey Eng berpikir dengan cepat. Segera setelah memanggil orang
itu, ia merasa bahwa ia telah kesalahan omong. Karena itu, selagi
orang itu berkata-kata, dengan perlahan ia kata pada Ban Liang.
"Maaf loocianpwee, aku keliru."
Ban Liangpun berkata perlahan. "Jikalau kita tukar sibaju kuning
ini, kita memang bebas dari ancaman malapetaka, tetapi itu buat
sesaat saja, karena dilain detik, pasti kita bakal diserbu mereka.
Pasti itu tak berhenti sebelum kita mati semua" Maka itu, Oey Eng
segera menjawab siutusan
"Tuan, kami benar benar merubah pikiran kami. Aku ingin, agar
pemimpinmu yang sekarang suka datang kemari untuk bicara
langsung dengan kami."
Kalau tadi nampak gembira, utusan itu kini menjadi lesu pula. Ia
menarik napas perlahan, Tapi dia lekas menjawab: "baiklah Akan
aku sampaikan pesan tuan tuan ini, cuma ia suka datang kemari
atau tidak, itulah aku tak tahu."
"Jikalau dia mau datang, datanglah sebelum gelap gulita," Ban
Liang memberitahu. "Jika dia tak mau datang, tak apa. Selekasnya
malam tiba kita tak usah bicara lagi"
Utusan itu tak berkata apa apa, dia memutar tubuh dan pergi.
Dia menuju kebarat. Cepat dia lenyap dari pandangan mata. Oey
Eng bingung. Dia mikirkan Kho Kong.
"Loocianpwee, mereka akan datang, tidak?" tanyanya.
"Mereka tidak datang seandainya pemimpin mereka itu sudah tak
memerlukan lagi siserba kuning ini" sahut Ban Liang.
Oey Eng menghela nafas. Katanya pelan: "Ada harganya juga
jiwa saudara Kho ditukar dengan jiwa enam orang ini, ia tentu akan
dapat memjamkan mata..."
Ban Liangpun menghela napas, mau ia membuka mulut tapi
batal. Ia mendengar kata kata Oey Eng itu. ia mengerti, akan tetapi
dia tak berani sembarangan bicara. Karena mereka berdiam, sang
waktu lewat dengan suasana lengang.
Selang beberapa lama, musuh tadi tampak datang pula. Dia
datang dekat hingga empat atau lima kaki, barulah dia berhenti.
Lalu dia berkata seraya memberi hormat: "Aku telah menyampaikan
pesannya tuan tuan, ketua kami bersedia mengadakan
pertemuan..."
Ban liang berkata cepat "Sang waktu sudah tidak siang lagi kalau
dia mau datang dia harus lekas lekas"
"Pemimpin kami akan segera datang Aku diminta menyampaikan
pesan saja"
Ban Liang berkata pula: "Tolong kau sampaikan kepada
pimimpinmu bahwa waktu adalah uang, cepat dia datang lebih baik
lagi"
Utusan itu melengak. "Akan kuberitahukan," katanya seraya terus
membalik tubuh dan pergi dengan tindakannya yang lebar.
.o.o.O.o.o.
Setelah orang itu pergi, Oey Eng tanya kawannya perlahan:
"Loocianpwee, kalau orang itu bersedia saling menukar orang
tawanan, bagaimana sikap loocianpwee?"
"Sampai sekarang ini, aku belum bisa berkata apa-apa." sahut
Ban Liang. "Kita lihat suasana sebentar saja."
Oey Eng berkata pula; "Kalau loocianpwee mengambil keputusan
tidak mau menukar tawanan, kita mesti segera menempur mereka
Pedang dan golok toako ampuh, tak mungkin orang itu dapat
melawannya. Jikalau kita bisa menangkap lagi salah satu pemimpin
mereka, dia dapat dipakai menukar saudara Kho..."
"Sebegitu jauh belum pernah aku mengira ngira sebelumnya,"
kata Ban Liang.
Oey Eng masih mau bicara ketika ia melihat datangnya dua orang
kacung berbaju hijau yang tangannya memegang pedang. Mereka
berjalan dengan perlahan. Dibelakang mereka tampak tiga orang
lainnya, dua diantaranya yang berjalan dikiri dan kanan mengiringi
seorang berpakaian putih seluruhnya: Pakaiannya putih, ikat
kepalanya putih, putih juga cala mukanya. Mereka menghampiri
rumah atap.
walaupun disiang hari, karena dandanannya yang luar biasa itu,
orang itu mendatangkan rasa heran bahkan sedikit menyeramkan...
"Tuan, silahkan berhenti, sejarak satu tombak" Ban Liang
berkata. "Harap kaujangan datang terlalu dekat dengan rumah kami
ini"
Orang yang berpakaian putih itu mendengar kata, Dia berhenti
kira-kira satu tombak, segera terdengar suaranya yang dingin:
"Tuau-tuan, ada pengajaran apakah dari kamu?" Ban liang pun
bersuara dingin.
"Kami tidak mengundang kamu, tuan" sahutnya. "Adalah tuan
yang mengirimkan utusan kepada kami untuk mendamaikan
sesuatu. Apakah maksud tuan maka tuan menanya begini kepada
kami?"
Orang berbaju putih itu berdiri tegak, sepasang matanya bersorot
tajam mengawasi kearah rumah. Dia tidak membuka suara,
sikapnya dingin sekali.
Kedua kacung yang bersenjatakan pedang juga berdiri diam
laksana patung. Karena itu, suasana diselubungi kesunyian, barulah
lewat sesaat, si serba putih berkata, nadanya menegur, "Andaikata
benar aku yang mengirim utusan buat mengadakan pembicaraan
dilakukan dengan cara ini?"
"Sahabat, kau sabar luar biasa" berkata Ban Liang.
Si baju putih berdiam sejenak, baru dia berkata: "Kami telah
menawan seorang dari kamu..."
Ban Liang segera menyela: "Kami telah menawan enam orang
bawahan kamu, tuan"
"Bukankah ada diantaranya yang berpakaian serba kuning"
"Benar. Jikalau aku si tua tak salah melihat, dialah seorang
wanita"
Orang itu berdiam sejenak, baru dia berkata, "PunCo mengambil
keputusan hendak menukar orang kamu yang tertangkap oleh kami
dengan orang berpakaian kuning itu."
Ban Liang tertawa berkakak, suaranya mendengung keluar
rumah.
"Kenapa kau tertawa tuan?" tanya si baju putih heran, suaranya
dingin. Dia mendongkol orang tidak segera menjawab usulnya.
"Aku tertawakan kau tuan, karena kau..."
"Apakah kamu tidak mau menukarnya?" tanya si baju putih.
"Kecuali si baju kuning, si wanita yang menyamar menjadi pria
itu, dari lima yang lainnya, tuan bebas memilihnya" berkata Ban
Liang tenang tegas.
"Punco justru hendak menukar dengan si baju kuning itu, tidak
dengan yang lain" berkata si baju putih, suaranya keren. Dia pula,
seperti tadi, membahasakan dirinya "punco" itu berarti bahwa
didalam rombongannya; dia punya kedudukan yang tinggi, kepala
dari suatu bahagian.
"Jikalau demikian, tak usah kita bicara lebih jauh" Ban Liang
meneruskan,
"Asal aku berikan perintahku, rumah ini bakal menjadi abu"
berkata si baju putih keren.
"Silahkan kalau tuan tidak memperdulikan lagi jiwa orang orang
kamu itu" Ban Liang menantang.
Si baju putih dengan perlahan mengulur tangannya, mengambil
pedang ditangan sikacung sebelah kiri. Katanya dingin. "Apakah kau
hendak belajar kenal dengan pedang punco?"
"Aku kira tak perlu kita berkenalan pula" sahut Ban Liang,
singkat. Si baju putih tidak menyangka bakal mendapat jawaban
serupa itu, ia sampai berdiam
untuk berpikir.
"Sungguh kau cerdik, tuan" katanya.
"Tuan, pembicaraan kita harus berakhir sampai disini" berkata
Ban Liang tanpa menghiraukan kata kata orang itu. "Oleh karena
sukar didapatkan perdamaian, tidak ada lain jalan kita harus
mengandalkan kepada kepandaian kita masing masing, untuk
memutusakan siapa menang siapa kalah"
"Jadinya kamu hendak merampas jiwa orang." tanya si baju
putih.
"Sabar, tuan,jangan kau risau" kata Ban Liang. "Jikalau hendak
melakukan pembunuhan, lebih dahulu kami habiskan jiwanya itu
orang orang dengan seragam hitam, baru sipemuda perlente, dan
paling akhir barulah si baju kuning"
Tutup muka si baju putih tergoyang tanpa ada angin yang
meniupnya. Teranglah bagaimana tegang rasa hatinya. Karenanya,
dia berdiam sampai beberapa lama. Dan akhirnya dia juga yang
kalah sabar. Dia berkata: "Kecuali saling tukar, untuk membebaskan
orang berbaju kuning itu, masih ada syarat apa lagikah?"
"Syarat apa tuan." sahut Ban Liang dingin, "cuma aku khawatir
engkau tak setuju"
"Apakah itu? Katakanlah"
"Yang pertama tama ialah orang kami itu harus dilepaskan lebih
dahulu"
"Baik," sahut si baju putih, yang terus berkaok
"Bebaskan si orang she Kho "
Hanya sebentar terlihatlah Kho kong muncul dengan tak kurang
suatu apa. Diam diam Oey Eng menghela napas.
"Dasar jahe tua" pujinya didalam hati. "Ban Loocianpwee jauh
lebih menang daripada kita."
Ketika Kho kong berjalan lagi empat atau lima kaki akan sampai
dirumah, mendadak Ban Liang menyerukannya : "berhenti"
Kho kong menurut, Segera dia berhenti bertindak.
Oey Eng heran sekali.
"Kenapa saudara Kho disuruh berhenti, loocianpwee?" tanyanya.
Ban Liang tidak segera menjawab pertanyaan itu, hanya dengan
tajam dia menatap saudara kecil yang polos tapi aseran itu.
"Saudara Kho, apakah kau sadar?" tanyanya.
"Ya" Kho kong menjawab. "Ketika kau dibebaskan,- apakah ada
ditaruhkan sesuatu pada tubuhmu"Ban Liang bertanya.
Kho kong terdiam, terus ia memeriksa tubuhnya.
"Tidak," sahutnya sejenak kemudian. "Jikalau tidak, bertindaklah
perlahan lahan."
Kho kong menurut, ia berjalan maju.
"Mundur" tiba tiba Ban Liang memerintah setelah orang
mendekati pintu. Tapi Kho kong berjalan terus, agaknya dia tidak
dengar perintah itu.
"Tahan dia," seru sijago tua sambil mengibaskan tangannya.
Justru itu bayangan lalu berkelebat, sebab si baju putih bersama
kedua kacungnya sudah berlompat maju untuk menyerbu masuk
kedalam rumah Oey Eng berlompat maju, niatnya mencegah Ban
Liang, supaya Kho kong dapat dibiarkan masuk, akan tetapi
menyaksikan bergeraknya si baju putih, dia terkejut, maka segera ia
menikam si baju putih itu. Si baju putih mengibaskan sebelah
tangannya, segera ada sesuatu tenaga yang menyampok terpendal
pedang si orang she Oey, Dia bertindak sangat cepat, untuk
menyerbu masuk.
Ban liang menggerakkan tangannya, untuk menolak tubuh orang
itu. Kembali si baju putih mengibaskan tangannya. Tanpa dapat
dicegah, sijago tua kena
tertolak mundur. Maka ketiga penyerbu itu segera bertindak ke
ambang pintu. Justru rumah itu bakal kena diserbu, mendadak satu
sinar pedang berkilauan dan angin mendengung dengung,
mendesak ketiga orang itu mundur. Setibanya diluar, si baju putih
memutar pedangnya, untuk mengadakan perlawanan, buat
mencoba memukul mundur sinar pedang itu.
Siauwpek, yang telah berlompat keluar mendesak terus. Ia
memaksa ketiga lawannya mundur.
Ban Liang melihat pada boneka diatas meja, lalu dia berseru:
"Desak terus supaya mereka mudur "
Siauw Pek menyahut, dia mendesak keras. Kedua kacung segera
menyerang dari kiri dan kanan.
Melihat orangnya maju, si baju putih mundur beberapa tindak,
untuk berdiri menonton, dia memperhatikan gerakan gerakan
pedang lawan. Agaknya dia sangat memperhatikan ilmu pedang
lawan.
Kedua kacung itu masih muda, akan tetapi ilmu pedang mereka
baik sekali, mereka dapat bekerja sama, maju dan mundurnya
rapih. Hanya sayang mereka menghadapi Ong Too Kiu Kiam, hingga
mereka tidak berdaya. Dengan segera mereka kena terkekang.
"Berhenti" sekonyong konyong si baju putih berseru.
Kedua bocah mendengar mereka lompat mundur lima kaki.
Siserba putih menatap Siauw Pek, "Pernah apakah kau dengan
Thiam kiam tong tanyanya.
"Beliau adalah guruku" sahut sianak muda terus terang walaupun
ia merasa heran.
Dengan nada dingin, sibaju putih berkata. "Kalau begitu kaulah
Coh Siauw Pek turunan Coh kam pek dari Pek ho bun kaukah yang
telah bisa menyeberangi Seng su kio?"
Sambil berkata begitu, dia mengawasi terus dari atas kebawah
dari bawah keatas.
Siauw pek tidak menyangkal. "Benar" sahutnya gagah. "Akulah
Coh Siauw Pek sisa anggota satu satunya yang masih hidup dari Pek
ho bun"
Siserba putih masih berkata pula, suara tetap dingin. "Belum
tentu Mungkin masih ada satu Coh bun koan, yang masih hidup
dikolong langit ini"
Disebut nama kakaknya itu membuat Siauw pek melengak,
sekalipun dari mulut Soat kun dan Soat Gie telah ia ketahui tentang
masih hidup kakaknya itu. Tapi dia tak berdiam lama.
"Tak usah kau menyusahkan hati memikirkan itu, tuan" katanya.
Sibaju putih mengulapkan tangannya.
"Mari kita pergi" katanya, kepada kawan kawannya. Dan dia
mendahului memutar tubuh untuk berlalu.
Kedua kacung itu menyahut, segera mereka pergi mengintil. Ban
Liang memandang kepada Kho Kong.
"Tangkap dia" ia berseru.
Kho kong hendak memutar tubuhnya, buat ikut sibaju putih
berlalu. Tapi Siauw pek menghadang dihadapannya.
"Adik Kho" kata ketua ini, sabar, "kemana kau mau pergi?"
"Aku pergi untuk melihat lihat, segera aku kembali," sahut sang
adik yang terus berlompat, untuk menerobos cegahan. Siauw pek
memutar pedangnya, mengurung saudara itu, mencegahnya pergi.
"Kau mau lihat apa?" ia tanya. Kho kong mundur dua tindak,
"Untuk melihat mereka itu" sahutnya. Lalu, mendadak dia
mengayun tangan kanannya, menimpukkan suatu sinar terang
kearah ketua itu.
Siauw pek sampok senjata rahasia itu, sebatang jarum racun.
"Dialah orang yang menyamar saudara Kho" teriak Ban Liang.
"Jangan biarkan dia lolos"
Siauw pek berlompat, untuk menikam punggung orang tua itu.
Akan tetapi tidak dapat dia berbuat telengas. walaupun ada kata
kata sijago tua itu ia masih ragu ragu. Orang mirip sekali dengan
adik angkatnya itu. Maka juga pedangnya cuma menggores pecah
baju orang itu.
"Kho kong" rupanya merasa tak ungkulan lolos, dia menyerang
pula dengan senjata rahasianya, secara hebat sekali.
Siauw pek sudah siap sedia, ia berkelit. Toh ia terkejut. Sekarang
ia tahu pasti, bahwa orang bukan Kho kong, karena Kho kong tidak
seliehay itu dan juga dia tidak mempunyai senjata rahasia. Karena
ini, ia maju pula, untuk mengulangi serangannya. Tapi, mendadak ia
menjadi terperanjat bahwa herannya. Karena dengan mendadak
saja Kho kong roboh terkulai...
Itu disebabkan Ban Liang, dengan menggunakan Ngo kwie souw
hun ciu, telah menyerang dari jarak jauh, membuat orang terkena
dan roboh seketika. Hanya ia menggunakan totokan.
Siauw pek berlaku cerdik dan sebat. Tanpa ragu pula, dia sambar
tubuhnya "saudara" itu, buat diangkat, untuk segera dibawa
kedalam rumah
Oey Eng mengawasi adik itu, yang matanya terpejamkan,
nampaknya dia seperti terluka parah. Maka ia menoleh kepada Ban
Liang untuk bertanya: "Loccianpwee, apakah loocianpwee
menyerang hebat kepadanya?"
"Tidak," menjawab Ban Liang, yang segera menotok bebas adik
kecil itu. Kho kong menghela napas, ia membuka matanya, tetapi
lekas juga ia meram kembali. Oey Eng menatap tajam muka orang.
"Mungkinkah didalam dunia ini ada dua orang yang begini mirip
satu dengan lain?" tanyanya. "Mungkinkah orang dapat mencari
manusia yang mirip begini didalam waktu yang begini pendek...?"
Lalu ia menoleh kepada sijago tua, untuk meneruskan berkata: "Aku
lihat dia bukannya orang yang menyamar..."
"Pandanganku lain," berkata sijago tua. Mendadak saja, dengan
luar biasa sebat, dia menyambar muka orang itu, yang kulitnya
dijambak, maka sekejap itu juga, locotlah kulit muka orang itu.
sebenarnya itu bukanlah kulit hanya gips
"Liehay Sungguh liehay" Oey Eng berseru berulang-ulang sambil
menggeleng kepala. "Bagaimana orang begini pandai membuat
penyamaran"
Selagi saudara ini berkata begitu, "Kho kong" sudah berlompat
bangun dan tangannya digerakkan, menimpukkan jarum bisanya.
Tapi, Siauw pek sangat sebat, tangannya menghajar kelengan orang
itu, maka terlepas dan jatuhlah jarumnya itu. Dilain pihak, Ban Liang
juga menghajar bahu orang itu, bahkan dia turun tangan berat
sekali, sampai lengan itu terlepas dan jatuh kelantai. Oey Eng tidak
kurang sebatnya. Dengan pedangnya, dia mengancam dada lawan.
"Siapakah kau?" tanyanya bengis. Orang itu menyeringai
menahan rasa nyerinya, matanya mendelik terhadap anak muda
yang mengancamnya, setelah itu dia memjamkan mata dan
bungkam, giginya dikertak, guna menahan sakitnya.
Ban liang bertindak lebih jauh. Jeriji jeriji tangannya bekerja pada
tenggorokan orang itu, untuk memencet sambil berkata dingin:
"Kamu mau mampus? Tak akan tercapailah maksudmu."
Dengan suara susah, orang itu berkata: "Kamu sudah
terlambat..." Lalu dengan mendadak dia roboh, napasnya berhenti
berjalan
Oey Eng kaget dan heran, hingga dia melengak, "Dia mati..."
"Sayang..." mengeluh Ban Liang, "Aku telah menerkanya tetapi
aku terlambat..."
"Dasar racunnya yang hebat, loocianpwee," kata Oey Eng.
"Sebenarnya loocianpwee telah bertindak cepat sekali."
Ban Liang menggusur tubuh orang, katanya. "Nah, sekarang baru
benar benar kita menghadapi ancaman bencana..."
"Kelihatannya siorang serba kuning penting sekali," berkata Oey
Eng. "Asal kita tak lepaskan dia, musuh mungkin tak berani
bertindak sembarangan."
"Tergantung kepada suasana nanti," kata sijago tua. "Saudara
COh telah turun tangan, ini pula menambah kesulitan. Si serba putih
itu liehay sekali, dia mengenali ilmu silat Thiam Kie Tong."
Semua orang heran liehaynya musuh itu. "Jika begini,
loocianpwee," berkata Oey Eng kemudian, "bukankah sia sia usaha
kedua nona itu?"
"Musuh memang liehay sekali," mengaku sijago tua. "Sayang
kedua nona tak ada bersama kita, kalau mereka hadir, aku percaya
mereka dapat menghadapinya. Atau sedikitnya kita bisa mengatur
daya menentangnya..."
Mata Oey Eng bermain. Dia berpikir keras.
Siauw Pek sebaliknya berdiam saja. Matanya mengawasi sibaju
kuning. Oey Eng heran menyaksikan gerak gerik ketuanya itu, ia
sampai hendaknya akan tetapi Ban Liang keburu mencegah.Jago
tua itu berkata perlahan: "Biarkan saja. Dia tentu memikirkan
sesuatu..."
Setelah lewat berapa lama, terdengar Siauw Pek menghela napas
panjang. Dari duduk, dia berbangkit. "Aneh" terdengar suaranya,
seorang diri.
"Toako, apakah yang aneh?" bertanya Oey Eng, yang tak dapat
lagi menguasai dirinya.
"Ini si serba kuning." menjawab ketua itu.
"Aku seperti telah mengenalnya. Telah aku pikir keras sekali
tetapi aku masih tidak dapat ingat dimana aku pernah bertemu
dengannya"
"Mungkin cuma mirip saja" kata sang adik angkat. Sianak muda
menggeleng kepala.
"Tidak, tidak mungkin," katanya. "Pasti pernah aku bertemu
dengan dia. Kesanku sangat mendalam Kenapakah aku tak dapat
mengingatnya sekarang?"
"Saudara kecil tinggal bertahun tahun dilembah Bu Yu Kok," Ban
Liang membantu mengingat ingat. "lembah disana sangat sunyi,
pastilah saudara menemuinya bukan didalam lembah itu"
"Memang bukan. Di dalam lembah, kecuali kedua guruku, cuma
aku satu2nya orang lain."
"Mungkin saudara akan menemuinya setelah saudara keluar dari
lembah..."
"Bukan" sahut saudara kecil itu, pasti.
"Barangkali diwaktu kau masih kecil, saudara sewaktu kau masih
berada diPek ho-po."
Ban Liang mengingatkan terlebih jauh. Sebagai seorang yang
banyak pengalaman jago tua ini pandai berpikir dan menerka nerka
pelbagai pertanyaan itu dapat membantu membangkitkan ingatan
orang. Siauw pek menghela nafas.
"Aku tidak ingat," sahutnya. "Tapi, ada kemungkinan itu di Pek
Ho Po sebab..." Samapi disitu, ia berhenti. Tak ingat ia hendak
mengatakan apa. Ban Liang menghela napas.
"Sudah jangan pikirkan lagi." dia memberi nasihat. "Baiklah kau
istiratah dulu, lain waktu baru kita mengingat ingat pula."
Sianak muda memejamkan matanya.Justru itu, air mata meleleh
keluar dari kedua matanya ia pula mengernyitkan sepasang alisnya.
Terang iaamat berduka. Oey Eng terperanjat. "Kenapakah kau
toako?" tanyanya khawatir.
Siauw Pek membuka kedua matanya.
"Aku ingat sekarang," sahutnya. "Dia mirip dengan..."
"Dengan siapakah toako?"
"Ah, sudahlah" toako itu menjawab. "Baik aku tak usah
sebutkan..." Tapi ia masih menderita. Ia memandang keluar rumah,
terus ia berkata seorang diri: "Aneh Mungkinkah di dalam dunia ini
ada orang orang yang demikian mirip mirip satu dengan lainnya?..."
Oey Eng heran akan kelakuan ketua itu yang biasanya terus terang.
"Toako. mirip siapakah wanita ini?" dia tanya pula. Dia
bersitegang sendirinya, hingga dia tak dapat menguasai rasa ingin
tahunya.
Siauw Pek menyeringai, ia nampak sangat bersusah hati. Mau ia
bicara tetapi gagal pula:
Ban Liang menarik tangan kawannya. "Sudah,jangan menanya
lebih jauh," katanya. Oey Eng berdiam, herannya tak berkurang.
Siauw Pek bangkit, terus ia bertindak keruang dalam. Ia jalan
mondar mandir.
Oey Eng mengawasi punggung kawannya itu, hatinya berpikir;
Siapakah sebenarnya wanita itu? Kenapa toako sangat berkesan
terhadapnya? Kenapa toako sukar mengingatnya walaupun
kesannya begitu mendalam?"
Siauw Pek berjalan monrfar mandir, tindaknya amat berat. Ia
bagaikan lupa akan dirinya. Kemudian ia masuk kedalam kamar
yang tirainya ia turunkan.
Oey Eng memandang Ban Liang. "Loocianpwee, bagaimana ini?"
ia tanya.
"Ah kasihan, dia tengah berpikir amat berat" menjawab si orang
tua. "Memang pikiran berat hebat deritanya."
Berkata begitu Oey Eng memandang si baju kuning Ia
menambahkan; "Si baju kuning ini membuat aku tak sanggup
berpikir..."
"Mestinya saudara kecil dan wanita ini mempunyai hubungan
yang amat erat satu dengan yang lain" berkata Ban Liang, yang
turut mengawasi siserba kuning itu.
"Nampaknya dia pun sangat dihargai saudara kecil. Kasihan
saudara kecil. dia tetap belum bisa mengeluarkan apa yang dia pikir
itu..."
"Siapakah kiranya dia?"
"Yang terang dialah orang yang lebih tua tingkatnya."
"Mustahil karena memikirkan seorang yang tingkatnya lebih
tinggi toako menghadapi kesulitan dan penderitaan begini?"
"Saudara kecil tengah dalam keragu raguan yang hebat."
"Mungkin aku mengerti sekarang tetapi..."
"Sudahlah, kita jangan pikirkan soalnya ini. Baik kita pikirkan soal
membantu dia berpikir. Ada baiknya kita ingatkan dia akan peristiwa
semasa dia kecil, atau yang mengenai peristiwa Pek Ho Po..."
"Oh ya..."
"Bagaimana kalau kita sadarkan siserba kuning ini, untuk paksa
dia memberitahukan asal usulnya? MUngkin dengan begitu kita
dapat melenyapkan keragu raguan toako..." Ban Liang ragu ragu.
"Sekarang ini mungkin telah habis tenaga tak sadarkan diri dari si
wanita" katanya. "Kalau kita sadarkan dia dan dia melakukan
perlawanan, mungkin kita bakal melakukan pertempuran yang
menyulitkan..." Ia menghela napas.
"Bukannya aku merendahkan diri, saudara kecil, kalau musti
bertempur, mungkin kita berdua bukanlah lawan wanita ini..."
"Bagaimana kalau kita bebaskan dulu otot gagunya?"
Ban Liang bagaikan terperanjat. "Begitupun baik," katanya.
"Mungkin dia seorang dengan kedudukan tinggi. Sekarang kita
mendapat tahu bahwa dia sebenarnya wanita, karena itu, barang
kali dia suka mengatakan sesuatu..."
Oey Eng mengangguk, terus ia bekerja. Ia menotok kedua
lengan si baju kuning, sesudah itu ia menepuk jalan darah yang
dapat membuat orang bicara.
Segera juga si baju kuning membuka kedua belah matanya.
Tajam dia menatap bergantian Ban Liang dengan Oey Eng. Selama
itu dia menutup mulut rapat-rapat.
Ban Liang batuk batuk perlahan. Agaknya dia menyesal. "Kami
telah mendapat kenyataan kau adalah seorang wanita," katanya
sabar, "Itu toh
benar, bukan?"
Si baju kuning tenang, "Kalau kamu telah mengetahuinya,
bagaimana?" dia bertanya. "Kamu tahu, kamu semuanya telah
ditakdirkan mati. Aku tidak khawatir kamu nanti membuka
rahasiaku"
Oey Eng mau bicara akan tetapi sijago tua mencegahnya. "Aku
percaya kaupun sudah mengerti baik sekali," kata sijago tua ini
sabar "Ialah bahwa sebelumnya kami semua binasa, kau bersama
beberapa kawanmu yang telah kami tawan akan mati terlebih
dahulu."
Wanita itu bersikap dingin.
"Aku khawatir kamu telah tidak mempunyai kesempatan untuk
berbuat demikian," katanya tetap sabar.
Ban Liang mengganda tertawa, "Ada beberapa hal yang tidak aku
ketahui," katanya tawar. "Hendak aku beritahukan semua itu
kepadamu."
Wanita itu tersenyum tawar, ia menutup mulutnya.
"Pihakmu telah beberapa kali mengutus orang berbicara dengan
pihak kami," siorang memberi keterangan. "pihakmu telah
mengusulkan untuk kita saling menukar tawanan, untuk menukar
kau."
Ia berdiam sejenak, "dalam urusan kita ini, aku si tua mengerti
suasana. Kami telah terkurung dirumah kamu ini, kalau selama
sehari dan semalam kami masih selamat tak kurang suatu apa. Itu
disebabkan kamu mengandal pengaruhmu. Karena kau berada
bersama kami disini, mereka itu risi hati, mereka tidak berani
lancang turun tangan."
Dan bibir wanita bergerak tetapi dia takjadi bicara.
"Sungguh dia sabar sekali." pikir sijago tua yang meneruskan
berkata: "beberapa kali kami menolak usul menukar orang tawanan
itu. sampai paling belakang, pemimpin kamu muncul sendiri
berbicara dengan kami..."
"Siapakah orang itu?"
"Dialah seorang yang mengenakan pakaian serba putih serta
putih juga penutup mukanya. Dia berdandan serupa caranya
dengan caramu bedanya ialah yang satu kuning, yang lainnya
putih..."
"Kalau begitu, dialah Pek Liong Tong..." kata si wanita, yang
mendadak memutuskan perkataannya.
Jago tua itu tertawa, "Pek Liong Tongcu, bukan?" dia
meneruskan kata kata wanita itu. Kembali si wanita berdiam,
wajahnya tak berubah. Hanya sunyi sejenak, jago tua itu berkata
pula : "Tahukah kau sikap pemimpin itu? Dia sudah tidak
memperdulikan lagi soal hidup atau matimu. Tahukah kau bahwa
dia tengah melakukan persiapan untuk melakukan penyerbuan
besar terhadap kami?"
Soal mati atau hidup adalah soal besar, biar bagaimana hati si
wanita ini tergerak juga. Dari berdiam saja dan memejamkan mata,
sekarang dia membuka matanya itu. "Bagaimana kau ketahui itu ?"
dia tanya.
"Bicara sebenarnya, Pek Liong Tongcu tidak mengatakan itu
kepada kami," menjawab Ban Liang. "Hanya aku si tua, aku
mempunyai pengalaman beberapa puluh tahun. Dari cara bicaranya,
dari gerak-geriknya, mustahil aku tidak dapat membade hatinya ?"
Wanita itu tertawa dingin. Kembali ia memejamkan mata dan
mulutnya tertutup rapat. Oey Eng mengernyitkan alisnya
"Cara bertanya begini..." pikirnya. Hendak ia bicara, tetapi tidak
jadi, karena ia melihat sijago tua melirik kepadanya.
Ban Liang berkata pada dirinya sendiri : "wanita ini gagah
sekali.jikalau timbul bentrokan, kita bukanlah lawan dia. Kalau dia
sanggup membebaskan diri dari totokan. bukankah itu berbahaya,
sebab kitajadi dikepung dari luar dan dalam?..." Oey Eng tidak tahu
maksudnya jago tua itu tetapi dia nyeletuk, "benar"
Oleh karena itu, berkata pula sijago tua. "untuk keselamatan kita
baik kita lebih dahulu memutuskan dua otot pahanya, supaya tidak
bergerak-gerak lagi..."
"Bagus pikiran loocianpwee " menyambut Oey Eng, yang terus
menghunus pedangnya.
"Sret" demikian terdengar suara nyaring dari keluarnya pedang
dari sarungnya. pedang itupun segera memperlihatkan sinar
berkeredepan. dan bahkan tanpa membuang waktu lagi, ujung
pedang itu diteruskan dipakai menyontek celana lawan
Si wanita kaget bukan main. dia membuka kedua matanya.
"Bukankah lebih selamat akan membunuhku mati saja?" katanya,
berani "dengan begitu kamu tak usah mengkhawatirkan apa-apa
lagi"
"Nyata tidak keliru terkaanku" sijago tua berkata. Ia tidak
menghiraukan yang orang lebih suka dibunuh mati. "Nona,
kedudukanmu di dalam golonganmu sama tingginya dengan
kedudukan si orang berpakaian putih itu, apabila sampai teejadi
kami tidak sanggup melawan pihak kamu, kami juga tidak khawatir
bahwa kami bakal celaka, sebab kami mempunyai kau sebagai
orang tanggungan"
Itu artinya sijago tua tidak mau membunuh wanita itu.
"Kamu menerka keliru" berkata wanita itu tawar. "Jikalau dia
tidak mau turun tangan, itulah satu soal, akan tetapi, asal dia mau,
semuanya tidak ada artinya Jangankan baru kamu menahan aku
seorang, meski kamu menahan beberapa puluh orang lagi, semua
percuma "
"Kau bicara sungkan sekali," kata sijago tua, sabar.
"Aku bicara dengan sebenarnya" kata siwanita mengdongkol,
"Kamu percaya atau tidak, terserah Itulah urusan kamu"
"Jadi telah pasti kami bakal mati ?"
"Apa? Jadinya kamu masih memikir buat hidup lebih lama ?"
tanya si wanita kembali.
"Semut masih menyayangi jiwanya, apalagi kita manusia Kalau
bisa, kamu mohon kau tolong tunjukkan kami satu jalan hidup..."
"Jikalau lain orang, masih dapat diurus," berkata siwanita.
"Sekarang kamu berurusan dengan Pek Liong tongcu, soal tak dapat
dipikirkan lagi..."
"Benarkah aku menerka Pek liong tongcu," pikir Ban Liang,
"Nampaknya wanita itu kaget juga," Maka ia lalu berkata; "Jadinya
menurut kau, sudah tidak ada jalan hidup lagi?"
"Sebenarnya masih ada satu jalan," menyahut siwanita.
"Sukarnya yaitu aku khawatir kamu tidak suka mempercayaiku"
"Bagus ya" pikir Ban Liang. "Hendak aku lihat kau" Kemudian ia
bertanya; "Apakah daya itu? Coba kau tuturkan, untuk aku
pahamkan. Asal itu dapat menolongjiwa kami, tidak apa seandainya
kami mesti sedikit menderita kerugian."
Wanita itu berkata dingin. "Jikalau kamu ingin selamat, kamu
harus berani menempuh ancaman petaka supaya kamu lolos dari
kematian"
"Bagaimanakah caranya itu?"
"Kalau aku sebutkan, pasti kamu tidak percaya Lebih baik aku
tidak menyebutkannya."
"Bagus" pikir pula sijago tua "Aku makin maju, makin makin
maju..." Lalu ia kata pula: "Kau sebutkanlah. Mungkin aku situa
masih menyayangi jiwa bangkotanku aku akan menerima baik
jalanmu ini..."
"Pertama-tama yaitu kau bebaskan dahulu totokan atas diriku"
berkata siwanita. Mendengar begitu, Oey Eng tertawa dingin.
"Membebaskan dahulu kau dari totokan?" tanyanya mengejek.
"Jikalau kamu tidak percaya, nah, sudah jangan bicara lagi"
memutus wanita itu. Ia mendongkol, tak sudi ia memperpanjang
pembicaraannya.
"Jangan gusar nona." Ban Liang datang sama tengah. "Dia ini
tidak mengerti urusan, jangan kau sependapat dengannya." Oey
Eng memandang siorang tua, ingin ia bicara tapi ia
membatalkannya.
Siwanita lalu berkata. "Pek Liong Tongcu itu, kepandaiannya
berimbang dengan kepandaianku, namun bicara tentang orangnya,
tentang sepak terjangnya, aku tidak dapat dibandingkan dengannya
"
"Bagus ya Mula-mula kau menggertak aku" pikir sijago tua. "Kau
lihat saja nanti..."
Si Wanita menyambung perkataannya. "Kami berdua, meskipun
kami bekerja sama dan sama juga kedudukan dan tingkat kami tapi
hati kami berlainan, maka itu, jikalau kamu tidak sudi membebaskan
aku, inilah kebetulan, baginya jadi ada kesempatan yang baik untuk
dia turun tangan jahat; untuk dia membiarkan aku binasa ditangan
kamu, atau kita binasa sama-sama didalam rumah."
Oey Eng yang muda, yang kurang pengalaman, tak tahan
hatinya. "Jikalau kami memerdekakan kau," katanya, "maka Pek
Liong Tongcu itu akan tak
berdaya mencelakai kau, dia akan mencelakai kami saja."
"Jikalau kamu membebaskan aku, sewajarnya saja aku akan
melindungi keselamatan kamu. Akan aku suruh orang-orang
bawahanku mengantarkan kamu berlalu dari sini."
"sangat mudah kau menghitungnya. Apakah kau sangka kami
bocah-bocah berusia tiga tahun" berkata Oey Eng.
Ban Liang campur bicara. Lebih dahulu dia menghela napas.
"Perkataanmu bukannya tidak beralasan," katanya. "Tapi karena
itu kata-kata belaka, tidak ada buktinya, sulit buat kami untuk
mempercayainya."
"Dengan orang berkedudukan sebagai aku, apakah kau sangka,
aku bicara cuma buat mendustaimu?" tanya siwanita.
Ban Liang memandang kawannya, lalu ia berkata pada siwanita:
"Aku siorang tua, jiwaku terlindung kebanyakan disebabkan aku
pandai membawa diriku. Seumurku aku tidak mempunyai
kekurangan, kecuali aku tampak akan hidup sebaliknya sangat takut
mati. Menurut pikiranku,jikalau aku percaya kau, bagiku tambah
sedikit pengharapan untuk hidup terus..."
Ia menoleh pula kepada kawannya, untuk menambahkan;
"Hanya adikku ini, dia masih muda, dia selalu menuruti saja
perangainya, semangat dia sedang berkobar karenanya aku
khawatir dia tak sudi menerima baik syaratnya ini"
Wanita itu melihat sekeliling.
"Sekarang ini," katanya "kamu masih terdiri dari berapa orang?"
"Kami tinggal berdua," menyahut Ban Liang "Sebenarnya kami
masih mempunyai dua orang kawan lagi akan tetapi mereka itu
kena ditawan pihakmu."
wanita itu mengawasi dua orang didepannya itu, ketika Siauw
Pek menyingkir kedalam. "Diantara kamu berdua, siapa yang
terlebih liehay ilmu silatnya?"
"Aku!" jawab Ban Liang.
"Jikalau kau yang lebih gagah, bagus" kata wanita itu,
"Sekarang bunuhlah dia" Ban liang melengak, Inilah ia tidak
sangka
"Kejam caranya ini," pikirinya. Tapi ia lekas berkata: "Sulit nona
Benar aku terlebih gagah tetapi tak dapat dengan begini saja aku
membunuhnya. Untuk itu kami harus bertempur dahulu selama tiga
ratus jurus"
Wanita itu bersikap dingin. Dan dingin juga suaranya.
"Asal kamu mau dengar kata kataku," ujarnya "Akan kuajari kau
dua ilmu silat hingga selanjutnya kau akan dapat membunuhnya
dengan mudah bagaikan kau memutar balik telapak tanganmu"
Kembali Ban Liang berpikir: "Mungkin dari ilmu silatnya aku dapat
menerka dia siapa..." Ia lalu menanya. "Ilmu apakah itu yang
demikian liehay?" Oey Eng sementara heran sekali. Ia tidak dapat
menerka hati siwanita, iapun bingung memikirkan kawannya Jago
tua itu lagi menggunakan siasat apakah?
Ia pikir, kalau ia terus berdiam saja, bisa bisa wanita itu
mencurigainya. Maka dengan suara dingin, ia berkata, "Saudara
Ban, apakah kau hendak membereskan aku?"
"Bocah ini cerdas juga"pikir Ban Liang, yang girang mendengar
suara orang. Tapi ia juga berkata dingin; "Kalau kau tak mau
bekerja sama denganku, maka jangan kau sesalkan aku tidak
mengenal kasihan " Oey Eng menghunus pedangnya, akan tetapi
dia menuding sibaju kuning untuk menegur :
"Hai, perempuan celaka bagaimana kau mengadu domba kami
dua saudara? Awas, akan aku bunuh kau"
Baru saja orang berkata begitu, tiba-tiba Ban Liang berlompat
maju. sebelah tangannya dibarengi diulur, buat menjambret lengan
kanan sahabatnya itu. Oey Eng berkelit dengan sebat, hampir
tangannya kena dicekal.
Tanpa memberi kesempatan berbicara kepada anak mudaitu. Ban
Liang berkata: "Sekarang ini kesempatan hidup kami satu-satunya
ialah dengan mengandal kepada siwanita, maka itu jikalau kau
memikir buat mencelakakan dia itu, berarti kau menentang aku "
Siwanita mengawasi kedua orang itu, sikapnya tawar. Ia berdiam
saja.
Oey Eng bagaikan tersadar, ia berkata: "Adalah biasa siapa ingin
hidup dia membenci mati, oleh karena itu aku bukanlah orang yang
memandang jiwa bagaikan permainan anak kecil"
Sekonyong-konyong siwanita tertawa terkekeh. Katanya:
"Kiranya kamu berdua adalah orang-orang yang ingin hidup tetapi
takut mati, kalau begitu, mudahlah untuk bekerja "
"Kami telah bersatu hati, nona, tolong tunjukkan kepada kami
jalan hidup kami," berkata Ban Liang.
"Itulah mudah. Sekarang bebaskan dahulu aku dari totokan "
Ban Liang tertawa didalam hati dan berpikir: "Akulah seorang
dengan banyak pengalaman, mustahil aku kena terpedaya olehmu?"
selagi berpikir itu, ia bertindak menghampiri wanita itu. Oey Eng
bingung sekali.
"Loocianpwee, jangan biarkan diri kita dipedayakan" teriaknya.
"Kalau dia dibebaskan lalu dia tidak memperdulikan kita, bukankah
kita bakal mati tanpa tempat pekuburan?"
Ban Liang tertawa pula dalam hatinya dan berpikir: "bocah ini
masih menyangka bahwa aku bersungguh-sungguh" Ia lalu
menjawab: "Kau benar. Memang berbahaya kalau kita bebaskan
wanita ini dari totokan, akan tetapi aku situa, tidak dapat memikir
jalan lain untuk menyelamatkan diri kita..."
"Siapa tahu selatan, dialah si orang gagah" berkata wanita itu,
mengejek, "Kau benar-benar seorang cerdik" Ban Liang sudah
datang dekat kepada wanita itu, dengan tangan kanannya, ia lalu
menotok hingga dua kali didua tempat. Wanita itu terkejut, dia
menjadi sangat gusar.
"Eh, kau bikin apakah?" tegurnya. "Apakah maksudmu ?" Ban
Liang tertawa, ia menyahut dengan sabar: "Kau berkepandaian
sangat tinggi, pasti
kau dapat membebaskan dirimu dari totokan kami, karena itu,
kalau aku tidak menotokmu pula. bukankah kami terlalu sembrono
?"
Wanita itu tertawa dingin.
"Mustahilkah kamu tak takut mampus?" dia bertanya.
Ban Liang tersenyum. Dia menjawab: "Jikalau kami
membebaskan kau, tak usah menanti tibanya Pek Liong tongcu,
tentulah kami sudah tidak bernyawa lagi"
"Ah, sungguh licin tua bangka ini" pikir si wanita. Maka dia
berkata dengan dingin: "Jikalau kelak dibelakang hari kamu roboh
ditangan punco, tak dapat tidak mesti kami membikin hancur luluh
tubuh kamu"
Ia menggertak gigi, pertanda bahwa kemurkaannya melewati
batas, sedangkan sepasang alisnya bangun berdiri. Ban Liang pun
berkata sama dinginnya: "Urusan dibelakang hari, nanti kita
bicarakan pula dibelakang Hanya sekarang ini, didekat ini, aku situa
mempunyai kesempatan membuat kau mati"
Wanita itu tersenyum jengah.
"Jikalau kau benar benar wanita sejati seharusnya ktia bertempur
jurus demi jurus" tantangnya.
"Peperangan tidak mengenal tipudaya, nona" Ban Liang berkata,
tersenyum. "Selagi hadap berhadapan dengan musuh, orang dapat
menggunakan segala macam akal muslihat. hal itu tidak jelek, tidak
mendatangkan malu"
Justru baru berhenti suara sijago tua, dengan mendadak
terdengar suatu seruan: "Bebaskan dia"
Ban Liang dan Oey Eng berpaling dengan cepah Itulah suara
Siauw Pek,
Dan anak muda itu bertindak mendatangi, wajahnya sangat lesu
dan suram, agaknya dia sangat menderita.
Siwanita juga berpaling, dengan sepasang matanya yang jeli, dia
memandang anak mudaitu. Hanya sejenak itu, hilang lenyap roman
gusarnya. Sebaliknya, dia lantas tampak merasa aneh. Dia
mengawasi dengan tertegun. Siauw pek bertindak terus,
menghampiri si nona sampai dekat. lalu dengan mengulurkan
tangannya, ia menepuk beberapa kali membebaskannya dari
totokan. Sambil berbuat begitu dia berkata: "Nah kau pergilah"
Siserba kuning bangkit dengan perlahan lahan ia merapikan
topengnya. "Kau she apa?" dia bertanya.
"Aku Coh siauw pek, "jawab sianak muda, terus terang. Siwanita
memakai topengnya, tak tampak dia bergusar atau bergirang, yang
terang ialah tubuhnya bergerak-gerak bagaikan orang tengah
bergemetar, suatu pertanda bahwa hatinya tegang sekali. Sesaat
itu, sunyilah rumah itu.
"Hubungan apakah kau dengan Coh kam pek dari Pek ho bun?"
kemudian siwanita bertanya.
"Ialah ayahku almarhum." Tubuh siwanita bergerak pula.
"Apakah dia sudah meninggal dunia?"
"Ayah telah menutup mata sejak lima tahun yang lalu"
"Cara bagaimana dia meninggalnya?"
"Ayah mati dikeroyok didepan jembatan Seng su kio oleh tangan
orang-orang sembilan partai besar yang menyusul dan mengepung
ngepungnya selama delapan tahun terus menerus"
Wanita itu berdiam sejenak, baru dia menanya pula. "Bagaimana
dengan ibumu?"
"Ibu dan kakakku telah turut ayah meninggaikan dunia ini.
Mereka juga berkelahi hingga mati didepan Seng su kio."
Wanita itu menanya pula, tawar. "Kenapa kau tidak
menyembunyikan diri? Kenapa kau justru muncul dimuka umum?"
"Aku memendam sakit hati besar dan dalam bagaikan lautan,
mana dapat aku tidak keluar untuk mencari balas?"
wanita itu berdiam. Terus ia tidak berkata pula sampai ia
memutar tubuhnya dan berjalan pergi. Mulanya dia berlompat jauh
setombak lebih habis itu ia berlari lari keras sekali, hingga dilain
detik, lenyaplah bayangannya sekalipun. Ban Liang menarik napas
perlahan.
"Saudara Coh, apakah kau kenal wanita itu?" tanyanya sabar.
"Rasanya aku kenal," sahut si anak muda. "Dengan perginya
dia,pihak sana tak mengkhawatirkan apa-apa lagi," berkata sijago
tua. "Sekarang ini kita benar benar terancam bahaya"
"Tidak bisa lain, kita harus bersiap mengadu jiwa" berkata Oey
Eng, nekad. Dia heran tetapi dia tidak berani menyesaikan tindakan
ketuanya itu. Ban Liang menatap muka sang ketua.
"Saudara Coh, pernahkah kau memikir tentang diri wanita itu?" ia
tanya pula. Siauw pek memandang jago tua itu dan saudara
mudanya.
"Kamu berdua tentu sangat bercuriga," katanya. "Sebenarnya
malu aku untuk menyebutkannya akan tetapi aku toh mesti
menyebutkannya juga."
"Jikalau toako merasa tak enak buat memberitahukan, lebih baik
jangan kau memberitahukannya," kata Oey Eng.
"Dia mirip dengan satu orang..." kata Siauw Pek, menyeringai.
Dia jengah, dia merandak.
"Dia mirip dengan siapakah, saudara kecil?" Ban Liang tegasi.
"Dengan ibuku..." sahut si anak muda, perlahan. Ban Liang dan
Oey Eng melengak, Inilah diluar dugaannya.
"Benarkah?" berdua mereka menegaskan.
"Benar Tapi ibuku jelas sekali telah terbinasa didepan Seng Su
kio..."
"Didalam dunia ada banyak orang yang mirip satu dengan lain,"
kata Ban Liang. "Mungkin kebetulan saja dia mirip dengan ibumu,
saudara kecil..."
Dilain saat, nampaknya dia tidak menambahkan si anak muda.
"Apakah saudara mempunyai sesuatu buat bukti kenyataan?"
"Seingatku, telinga kiri ibuku ada tai-lalatnya, hitam, sebesar
kacang hijau."
"Apakah saudara tidak salah ingat?"
"Tidak, Tai-lalat itu sangat berkesan dalam hatiku."
Ban Liang menjadi berpikir keras, hingga dia merapatkan kedua
matanya. Ia berdiri menyender didinding. Siauw pek menghela
napas, lalu mendadak dia bertindak keluar. Oey Eng kaget. "Toako
mau pergi kemana?" tanyanya.
"Aku hendak mencari mereka itu untuk menantang bertempur,"
sahut sang ketua. "Aku hendak mengandalkan pedang dan golokku
guna memutuskan siapa menang dan siapa kalah..." Mendadak Ban
Liang membuka lebar kedua matanya.
"Saudara Coh, tunggu dahulu" kata dia. "Urusan kita sekarang ini
bukan lagi urusan yang bisa diselesaikan dengan kekerasan..."
Siauw pek mundur pula. Tapi kembali dia menghela napas.
Katanya masgul: "Loocianpwee mempunyai pendapat apa untuk
memecahkan keragu-raguan ini?" Nada suaranya itu mengandung
kemenyesalan.
"Saudara kecil, apakah kau ingat seseorang bertanya sijago tua.
"Siapakah dia?"
"Ceng Gie Loojin."
"Ceng Gie Loojin" mengulangi si anak muda, agaknya dia
terkejut. Dia bagai ingat sesuatu.
"Benar, Ceng Gie loojin, orang yang pandai luar biasa dalam ilmu
pertabiban. Dia pandai membuat orang berubah wajahnya berubah
jauh sekali"
"Maksud loocianpwee?" Ban Liang tertawa.
"Sekarang ini ada terdapat seorang Kang Ouw yang kejam sekali"
dia berkata. "Dia telah memiliki kepandaian luar biasa seperti
kepandaian Ceng Gie-Loojin itu. Mungkin dia sekarang telah
membangkit salah mengerti didalam dunia Kang Ouw, untuk
membuat sembilan partai besar bentrok dan saling bunuh, supaya di
akhirnya dia menjadi si nelayan yang memperoleh hasil seorang
diri... Ibu saudara sudah mati didepan Seng Su Kio dan kejadian itu
saudara lihat sendiri"
"Jikalau dia itu bukan ibuku, cara bagaimana ia ketahui peristiwa
Pek Ho Bun?"
"Nah, itu soalnya. Kita..."
Jago tua itu berpikir sebentar. "Siapa tahu kalau dia turut ambil
bagian dalam pertempuran di Pek Ho Po itu?" ia menambahkan.
"Atau mungkin dialah si biang keladi yang menciptakan peristiwa
hebat itu... Harap saja perkiraanku ini tidak benar."
"Ah, kita melupakan satu hal." mendadak Oey Eng memecah
kesunyian.
"Apakah itu, saudara kecil?" tanya Ban Liang.
"Orang yang menyamar menjadi saudara Kho Muka dia
dipakaikan gips begitu rupa sampai kita kena dia kali. sayang, tadi
kita lupa memeriksa muka wanita itu, dia memakai gips atau
tidak..."
Ban Liang menggelengkan kepala, "Aku kira tidak,"
"Apakah tai-lalatpun dapat dipalsukan?" tanya Siauw Pek,
"Dapat."
"Meskipun demikian, loocianpwee, tetap aku bersangsi..."
"Aku punya jalan untuk mengetahui asal-usul orang itu..."
"Bagaimana, loocianpwee?"
"Coba saudara ingat baik-baik segala sesuatu dari masa yang
telah lampau, nanti kalau kita bertemu pula dengannya, saudara
tanya dia dengan teliti. seandainya dia dapat menjawab dengan
baik, itulah soal sulit bagiku, tak dapat aku memikirkannya lagi.
Akan tetapi, kalau sebaliknya, yaitu dia tidak dapat menjawab,
terang sudah dialah si orang palsu"
Siauw Pek mengangguk. "Ia, kelihatannya cuma ada ini satu
jalan," katanya. Sampai disini, nampak si anak muda menjadi lebih
tenang. Ban Liang menoleh kepada Oey Eng.
"Tolong saudara sulut obat bius dari patung kemala itu,"
pintanya. "Jikalau aku tidak keliru, didalam tempo satu jam lagi,
musuh pasti bakal datang menyerbu pula, bahkan kali ini secara
besar besaran..." Oey Eng sekarang percaya benar si orang tua,
maka ia lalu melakukan apa yang diminta itu.
Siauw pek ingat kedua Nona Hoan. katanya, "apa mungkin kedua
nona itu dapat memecahkan persoalan ini."
"Kedua nona itu pintar luar biasa, cuma mereka belum
berpengalaman," berkata Ban Liang "Mengenai kaum Kang Ouw,
mereka gelap sekali. Untuk menanyakannya, lebih dulu harus
dituturkan duduknya hal biar jelas kepadanya. Nanti, asal mereka
sudah ikut kita, mereka pasti akan memperoleh kemajuan.
Kecerdasan mereka akan besar sekali faedahnya bagi kaum Rimba
Persilatan."
"Benarkah itu, loocianpwee?" tanya Oey Eng. "Kenapa sekarang
mereka seperti membiarkan kita terkurung didalam rumah ini?"
"Jangan kau lupa, saurtara, orang telah menyediakan kita tiga
tipu daya tetapi kita memilih saja.Jadinya urusan terserah kepada
kita sendiri."
"Loocianpwee benar," kata Siauw Pek, mengangguk.
Ban Liang menghela napas. "Cuma satu hal kedua nona itu lupa,"
katanya. "Mereka tidak meninggalkan daya lainnya andaikata tipu
dayanya ini gagal..."
"Tak dapat kita sesalkan mereka," kata Siauw pek, "Mereka itu
bercacat, mereka juga belum tahu tentang kelicikan kaum Kang
Ouw."
"Lainnya lagi, musuh kita ini sangat tangguh," berkata Oey Eng.
"Sekarang begini," berkata Siauw Pek, mengambil keputusan.
"Kalau musuh datang pula, akan aku hadapi mereka. Hendak aku
coba pedang dan golokku ini "
"Kau sudah muncul, saudara kecil, memang tak usah kau
bersembunyi lebih lama lagi. Baiklah kau pertunjukkan
kegagahanmu terliadap mereka supaya tahu rasa "
Selagi mereka bicara itu, mereka mendengar siulan yang nyaring
dan lama. Hari sudah malam, suara itu agak menyeramkan.
"Ban Loocianpwee, saudara Oey, waspadalah" berkata Siauw
Pek, yang terus saja bertindak keluar.
Oey Eng mau mencegah saudara itu, ia menyambar tangannya,
tetapi ia gagal.
Siauw pek membuka tindakan lebar, hanya sebentar, tibalah ia
diluar. Sejauh tujuh kaki dari pintu, ia berhenti untuk segera
memperdengarkan suaranya yang nyaring: "Tuan tuan siapa
diantara kamu membuat buat menerjang masuk ke rumah kami ini,
mari lewatkan aku dahulu" Kata kata itu ditutup dengan dihunusnya
pedangnya yang tajam, yang sinarnya berkilauan.
Oleh karena mega menutupi si Puteri Malam, malam itu remang
remang, segala sesuatu tampak samar samar.
Siulan terdengar makin lama makin dekat, hingga tampak
terberak geraknya beberapa sosok tubuh.
Itulah tiga orang yang semuanya berdandan dengan singsat,
muka mereka ditutupi sehelai kain hitam sebatas hidung, hingga
nampak mulut mereka saja. Mereka memain bagaikan mata hantu.
Atas bentakan si anak muda, mereka berhenti berlari. Yang luar
biasa ialah mereka itu membungkam.
"Jikalau kamu tak sudi bicara, hunuslah senjata kamu" Siauw Pek
menantang. "Lekas kamu turun tangan"
JILID 26
Tapi orang itu saling mengawasi, lalu mereka mengeluarkan
senjata mereka, yang sama seperti pakaian mereka. Itulah Kwie
tauw loo golok berkepala hantu.
"Tuan tuan, kamu majulah berbareng" berkata si anak muda
yang ditengah.
Musuh itu menangkis, atas mana dua orang kawannya maju
membacok, Suara beradunya senjata lalu terdengar berisik. Setelah
pedangnya ditangkis, Siauw pek meneruskan menangkis kekiri dan
kanan. Dengan begitu, mereka segera mulai bertarung. Kali ini si
anak muda sedang bersemangat, maka juga dengan segera sinar
pedangnya mengurung ketiga lawannya. Mereka itu menjadi repot
menangkis, hingga mereka tak sanggup membalas menyerang.
Ujung pedang tak hentinya bergantian mengancam tubuh dan
lengan mereka, sendirinya mereka menjadi kaget dan berkhawatir.
Ban Liang dan Oey Eng menonton, mereka bersiap sedia untuk
membantu, akan tetapi menyaksikan demikian, mereka menonton
terus.
Lewat sesaat, mendadak tiga orang berpakaian hitam itu lompat
mundur dan kabur. Mereka heran berbareng jeri. Sebab beberapa
kali telah terjadi, selagi mereka terancam tikaman, tahu tahu sianak
muda tidak melukainya. Siauw Pek membatalkan serangan mautnya
itu Maka mereka jadi insaf dan mundur teratur. Oey Eng heran.
"MUsuh banyak dan kita sedikit, kenapa toako tak mau
merobohkan musuh? Kenapa musuh dibiarkan mengangkat kaki?
Perlukah diwaktu begitu kita main belas kasihan?" demikian
katanya.
Ban Liang mengerti, dia tidak merasa heran seperti kawannya
yang muda itu. "Inilah dia arti dari ilmu pedang Kie Tong," katanya,
"pertempuran, Thian kiam belum pernah melukai orang, kecuali
karena sangat terpaksa. Didalam beberapa jurus saja, lawan
biasanya mundur sendirinya. Saudara Siauw Pek telah menerima
warisan ilmu kepandaian jago tua itu, pasti iapun meneladan
gurunya itu."
Oey Eng tetap heran, katanya: "Kalau musuh Thian kiam tidak
melukai orang, bukankah orang jahat tak usah menjadi takut?"
"Sebaliknya, karena orang insyaf, orangpun tak ada yang berani
ngotot berkelahi terus."
"Inilah justru yang membuatku tidak mengerti..."
"Memang demikian. Kalau orang mengerti Thian kiam tidak lagi
dipanggil Thian kiam."
"Bagaimana sebenarnya, loocianpwee?"
"Dahulu itu, ketika Kie Tong masih hidup dalam penjelajahan,
ada lima orang kosen yang ingin mendapatkan ilmu pedangnya itu,"
sijago tua bercerita. "Untuk itu, mereka menggunakan tipu daya,
yang mereka anggap sempurna sekali. Selama tiga tahun mereka
menanti dalam kesabaran. Satu kali, tibalah saat yang mereka cari
itu. Kau tahu, apakah yang mereka perbuat? Yang dua menyerang
Kie Tong, yang tiga menonton sambil bersembunyi. Yang dua itu
berkelahi dengan bergantian. hingga mereka bisa bertempur lama.
Walaupun demikian, yang tiga itu tidak dapat menangkap jurus
jurusnya Thian kiam, hingga akhirnya mereka berlima ngeloyor
pergi dengan masgul dan lesu."
"Benar-benar luar biasa"
"Ya Tak seorangpun yang dapat menyangkok ilmu pedang itu..."
Pembicaraan mereka terputus dengan munculnya empat orang
berseragam hitam, yang bertopeng hitam juga. Mereka datang
dengan membawa obor. Merekapun tak membekal senjata.
"Apakah maunya mereka itu?" tanya Oey Eng heran.
"Mungkin mereka hendak mengajukan jagonya untuk menempur
saudara Coh..." Ban Liang mengutarakan dugaannya. Lalu terdengar
suara nyaring dari seorang berpakaian hitam itu: "Kami datang atas
perintah untuk menyampaikan berita pertempuran."
"Nah, benarlah terkaanku," kata Ban Liang.
Segera muncul empat orang lain. Mereka ini berseragam merah
dan senjatanya masing masing berlainan. Mereka juga mengenakan
topeng, hingga hanya tampak mata dan mulut mereka Saja.
"Terang perbedaan tingkat mereka berada pada warna pakaian
mereka," berkata Ban Liang. "Baik kita memperhatikannya."
"Mungkin warna merah berarti orang orang kosen mereka," Oey
Eng menerka. Ban Liang mengangguk,
"Coba teliti, adakah sesuatu yang beda diantara mereka itu?"
"Aku tidak melihatnya," sahut Oey Eng menggeleng kepala
setelah dia mengawasi sekian lama kepada empat orang itu.
"Coba perhatikan sulaman pada dadanya" Si anak muda
mengawasi pula Sekarang ia melihat sulaman bunga, yang merah
seperti bajunya, setiap orang mempunyai setangkai bunga itu,
semuanya sama jumlah lembarannya. Yang beda ialah warnanya,
merah dan merah muda.
"Dasar orang tua" ia memuji jago tua itu. Sementara itu keempat
orang berseragam merah itu sudah mendekati Siauw pek,
"Loocianpwee, kalau mereka itu mengepung, kita bantu toako
atau Jangan?" Oey Eng tanya.
"Tak usah," sahut sijago tua. "Puluhan tahun Kie Tong malang
melintang dalam dunia Kang Ouw, belum pernah ia menemui lawan
yang sanggup mengalahkannya. Pernah satu kali ia dikepung
delapan belas jago, tetapi belum sampai lima puluh jurus, satu per
satu musuh musuhnya itu mundur sendirinya. Satu lawan satu,
dikeroyok ilmu pedang Kie Tong sama saja."
Kata kata jago tua itu diputuskan oleh satu pertanyaan nyaring
kepada Siauw Pek: "Tuan apakah ilmupedangmu warisan dari Thian
kiam kie tong?"
"Kalau benar, bagaimana?" Siauw pek balik bertanya. Dia tertawa
hambar.
"Ilmu pedang Kie Tong tak takut dikepung," berkata si baju
merah yang berdiri
disebelah kiri. "Kalau benar aku mewarisi Kie Tong, kami
berempat maju berbareng. Kalau tidak, lain soalnya "
Siauw pek mengawasi orang yang disebelah kiri itu, yang ia terka
sebagai pemimpin Pedang dia itu pedang biasa, cuma sedikit lebih
panjang. Yang kedua menggunakan-poan koan pit, senjata mirip
alat tulis (pit), hanya milik dia itu berkilau merah emas dan
panjangnya dua kali daripada yang lazim. Yang ketiga memegang
gaetan gouwkouw kiam, yang ujung tajamnya berwarna biru,
pertanda bahwa senjata itu telah direndamkan bisa. Orang keempat
bersenjatakan sepasang gaetan jit-goat-siang-kauw.
o&DOoio
Empat orang menggunakan empat macam senjata tetapi mereka
mau berkelahi dengan main mengepung, itulah tanda bahwa
mereka telah melatih diri. Siauw Pek tidak takut hanya dia
menegaskan : "Jadi kamu mau maju berbareng ?"
"Bagaimana? Benarkah ilmu pedangmu ilmu pedang Kie Tong?"
lawan itu membaliki. "Tak ingin aku menjawab pertanyaanmu ini"
"Sungguh sombong " berkata orang yang bersenjatakan
sepasang gae tan jit goat siang-kauw itu sambil maju untuk turun
tangan terlebih dahulu. Kedua gaetannya itu, dari kiri dan kanan
nergerak bagaikan "dua ekor naga keluar dari dalam air" {Jie Liong
Cut Swie).
Siauw Pek menyampok kekiri dan kekanan menahan lajunya
gaetan itu.
"Ilmu pedang yang bagus" memuji orang yang bersenjatakan
pedang, yang terus membacok,
"Dia bertenaga besar," pikir Siauw Pek, yang mendengar suara
anginnya pedang. Ia menangkis membuat senjata lawan mental ke
samping.
Sekarang majulah lawan yang bergegaman poau-koau-pit. Dia
menotok dada. Sama seperti melayani musuh yang menggunakan
jit-goat siang kauw, si anak mudapun memegat senjatanya lawan
ini, hanya kali ini, ia dibarengi diserang juga oleh musuh yang
memegang gaetan gouw kauw kiam, yang menikam perut. Kembali
Siauw pek menangkis. Sekarang ia tahu, semua lawan tak boleh
dipandang enteng.
Oey Eng bingung, "Loocianpwee, apakah kita maju sekarang ?"
dia tanya kawannya.
"Tak usah saudara kecil," sahut orang yang ditanya. "Kau lihat,
saudara Coh sedang berkelahi dengan bersemangat sekali,jangan
kita ganggu dia. Pertempuran baru saja dimulai, Tak mudah saudara
Coh terkalahkan. Misalkan kita membantu, faedahnya tidak ada..."
"Tapi tak dapat kita menonton saja " kata Oey Eng, tetap
berkuatir.
"Sabar saudaraku. Aku percaya tak sampai sepuluh jurus,
perubahan bakal terjadi. Lekas juga saudara COh akan mulai
dengan serangan balasannya untuk memecah kurungan..."
Oey Eng menatap kemedan laga. Lekas juga hatinya menjadi
lega. Benar kata Seng Su poan sijago tua yang banyak
pengalamannya itu. Lagi beberapa jurus, Siauw Pek sudah lolos dari
kurungan Dan Ban Liang tersenyum.
"Bagaimana?" tanya pada kawannya.
"Benar dugaan loocianpwee" Oey Eng mengakui.
Diantara cahaya obor, sinar pedang Siauw Pek tampak berkilauan
tak hentinya. sinar itu berputaran terus hingga perlahan lahan
keempat lawannya kena terkurung.
"Sungguh luar biasa" Oey Eng memuji saking kagumnya. Baru
sekarang ia melihat tegas kepandaian ketuanya itu.
Ban Liang berkata keras. "Empat orang itu berkelahi karena
perintah mestinya mereka nekad," katanya. "Kalau saudara Coh
melayani mereka terus secara begini, aku khawatir ia nanti keburu
letih sendirinya..."
Jago tua ini tahu saudara itu masih terlalu muda dan juga kurang
pengalaman.
"Habis bagaimana ?" Oey Eng bertanya.
"Seharusnya dia berlaku keras, sedikitnya dengan melukai empat
musuhnya itu."
"Sebenarnya tak ada halangannya untuk membunuh sekalipun
terhadap mereka " kata Oey Eng pula. "Sudah terang merekalah
orang-orang jahat"
"Untuk melukai mereka, memang lebih cepat lebih baik..."
"Nanti aku peringatkan toako..." kata Oey Eng yang terus
berkaok : "Toako,jangan melayani lama lama mereka itu. Mereka
bukan orang orang baik-baik. Baiknya toako bunuh saja mereka itu"
Siauw Pek sendiri sudah merasa, bertempur lama lama bukanlah
cara yang sempuna. Ia tahu pula, walaupun ia telah berhasil
mengurung, keempat musuh bukan musuh sembarangan. Maka itu,
mendengar suara adiknya, segera ia memperkeras desakannya.
Hanya dalam dua gebrakan, keempat musuh terpaksa
mundur.Justru itu, si anak mudapun menggeser pedangnya
ketangan kiri, sedang tangan kanannya meraba goloknya. Ia
mengawasi tajam kepada semua musuhnya, terus ia berkata dingin:
"Tuan tuan, kamu berempat telah melayani Thian kiam, pedang ini,
apakah kamu ingin juga merasakan Pa Too golokku?"
Empat orang itu mengawasi tanpa bergerak, Rupanya mereka
telah insyaf akan liehaynya pedang penakluk itu. Tapi tak dapat
mereka berdiam lama-lama. Yang bersenjatakan gaetan gouwkauwkiam
lalu berkata kepada kawan kawannya; "Anak ini masih muda,
dia berhasil mempelajari Thian kiam dan juga Pa Too, karena
usianya itu, mungkinkah ilmu goloknya sama liehaynya dengan ilmu
pedangnya?"
"Juga, tak mungkin dia memiliki keuletan," berkata orang yang
menggunakan tan koan pit. "Sebaiknya kita menCoba Coba..."
"Ketiga hu-hoat," berkata orang yang menggunakan gaetanjiegoat
siang kauw, "tolong lindungi aku, aku yang akan menCoba dia"
setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban, dia berlompat
maju.
Siauw pek sudah bersiap sedia, menyakskan majunya orang itu,
ia memasang mata terlebih tajam. Diam-diam dia menghafali katakata
ilmu golok Siang Go. Kata kata si sepasang gaetan itu jumawa,
akan tetapi, selagi majunya mendekati, dia berhati hati, tindakannya
perlahan. Sementara itu ketiga kawannya mengawasi tangan lawan
yang berada diatas gagang golok, Mereka ingin melihat bagaimana
golok itu digerakkan.
"Benar benarkah kau hendak menCoba?" Siauw pek bertanya.
Sang lawan maju terus. Dia membungkam.
"Tuan aku telah beriperingatan kepadamu.Jangan kau salahkan
aku" Masih lawan itu bertindak maju.
"Kau bandel, tuan Jangan kau sesalkan aku Aku terpaksa "
Si baju merah berlagak tuli, dia maju terus. Siauw pek melihat
lawan terpisah darinya tinggal tigakaki lagi, sambil berseru:
"Terimalah bagianmu" ia menghunus goloknya untuk terus
menyerang. "Aduh" demikian jeritan si baju merah, yang darahnya
terus muncrat.
"Benar benar golok Pa Too dari Siang Go" berseru si baju merah
yang bersenjatakan poan koan-pit. Dia kaget tetapi dia masih dapat
mengeluarkan seruannya itu.
"Padamkan api" teriak si baju merah yang memegang gaetan
gauwkauw-kiam.
Hanya sedetik, padamlah semua obor. Maka gelaplah disekitar
mereka semua.
"Toako" terdengar suaranya Oey Eng. "Kau telah melukai satu
orang itu berarti permusuhan makin hebat. Baik toako jangan beri
ampun tiga musuh lainnya itu"
"Ya, saudara kecil" Ban Liang turut berkata. "Rahasia tentang
dirimu sudah pecah, tak dapat kau main kasihan lagi" Siauw Pek
memang lagi mendongkol, mendengar lanjutan kedua kawannya itu,
ia menggerakkan pula goloknya.
"Aduh" demikian satu teriakan lainnya.
Kali ini yang roboh binasa adalah sibaju merah dengan-poan
koan pit ditangannya.
Menyusul itu, riuhlah suara derap kaki orang, sebab didalam
kegelapan itu, dua orang berbaju merah lainnya segera lari sipat
kuping dan perbuatannya itu ditiru oleh empat orang berbaju hitam,
yang tadi membawa obor Siauw pek mengawasi sebentar kepada
mayat mayat kurbannya, ia menghela napas, kemudian ia memutar
tubuh untuk kembali kedalam rumah.
"Sungguh golok tunggal jagat" Ban Liang mengutarakan rasa
kagumnya.
"Terlalu hebat, terlalu telengas..." berkata Siauw Pek, "Asal golok
dihunus, orang tak punya pilihan lagi..."
"Apa katamu, saudara kecil" Ban Liang bertanya.
"Aku bilang, asal golok dihunus, tak ada pilihan lagi..." sahut si
anak muda. Ia menghela napas pula.
"Ada orang-orang berdosa tetapi bukan dosa mati." berkata pula
si anak muda, "cukup kalau dia hilang sebuah tangan atau sebelah
kakinya, akan tetapi, asal aku menghunus golokku, aku tidak dapat
memilih tangan atau kaki..." Mendengar itu Ban Liang terbahak.
"Jikalau kau dapat memilih, lain orangpun dapat berkelit"
katanya. "Kalau sampai terjadi begitu, Hoan Uh It Too bukan lagi
golok tunggal jagat"
Siauw Pek tertegun. "Mungkin kau benar, loocianpwee..."
"Toako, gerakan golokmu sangat cepat, tak sempat orang
melihatnya," kata Oey Eng.
"Ya, begitu cepat hingga lawan tak berdaya sama sekali," Ban
Liang menimpali. Siauw pek berdiam.
Ban Liang menepak bahu kawan itu, ia berkata: "Saudara kecil,
Thian Kiam alat pembela diri dan Pa Too senjata menyerang, kau
telah memiliki dua-duanya, sekarang aku mohon bertanya, dapatkah
kau membedakan keduanya: yang mana yang lebih sempurna?"
Si anak muda menggeleng kepala.
"Sukar, loocianpwee. Tidak ada waktu buat kedua senjata itu
saling bentrok."
"Ya, memang Kie Tong dan Siang Go belum pernah bertempur
satu dengan lain, hingga orang tidak tahu bedakepandaian mereka
berdua."
"Tapi itu ada baiknya," berkata Oey Eng. "Mereka dapat hidup
berdampingan dengan damai..."
"Dan yang menarik hati," Ban Liang menambahkan, "sekarang
Thian Kiam dan Pa Too keluar dua-duanya dan disatu tangan...
Dahulu itu orang mengatakan Kie Tong dan Siang Go sengaja pergi
melintasi Seng Su Kio untuk bertarung mati-hidup disana..."
"Itulah tak lebih tak kurang terkaan rendah saja" Siauw Pek
berkata. "Yang benar, kedua loocianpwee itu hidup dengan damai."
"Kasihan mereka, orang orang yang gagal menyeberangi
jembatan maut itu..." mengeluh Ban Liang.
"Memang seharusnya, Seng su kio sukar dilalui," Siauw pek
beritahu. "Aku sendiri melintasinya tanpa merasa..."
"Itulah untung bagusmu, saudara kecil. Tidak demikian, mana
Thian Kiam dan Pa Too muncul pula?"
"walaupun demikian, aku tak tenang hati. Aku kuatir, aku tidak
dapat memenuhi pengharapan kedua loocianpwee itu, untuk
membuat pamornya tetap bercahaya..."
Tengah mereka bicara itu, tampak sinar api dipuncak gunung.
Melihat itu, tiba-tiba Ban Liang ingat sesuatu, maka ia segera
menarik tangan kedua anak muda disisinya. "Mungkin itulah api
yang dinyalakan kedua nona" berkata ia, "Coba perhatikan, mungkin
api itu merupakan suatu pertanda."
Siauw Pek kedua Oey Eng segera mengawasi. Api itu terpecah
menjadi dua gumpalan asap dan mumbul naik.
"Apakah artinya itu, loocianpwee?" tanya Oey Eng tidak
mengerti. Ban Liang menggeleng kepala. "Didetik ini, akupun tidak
mengerti," sahutnya. Oey Eng heran. Kalau begitu, kenapa jago tua
ini menerka api itu dilepas oleh kedua nona Hoan? Iaheran tapi
matanya mengawasi terus.
Api itu lalu menunjukkan keanehan lainnya. Dari dua, gumpalan
berubah menjadi empat, lalu dari empat, berubah pula menjadi
delapan
"Apakah artinya itu?" tanya Siauw pek yang heran seperti Oey
Eng.
"Mungkin..." berkata Ban Liang, yang ragu ragu juga. Kembali
perubahan pada api itu. Dari delapan gumpalan, muncul pula dua
gumpalan kecil yang terus naik keatas. "Benar-benar pertanda ..."
berkata sijago tua. Tapi perkataannya terputus karena segera
mereka melihat beberapa sosok tubuh muncul dari tempat gelap,
bertindak perlahan kearah mereka, kearah rumah. Diantaranya
orang yang berjalan dimuka mengenakan pakaian putih mulus.
"Pek Liong Tongcu muncul sendiri" berkata sijago tua kepada
kedua kawannya, "Saudara Coh, dialah pemimpin lawan pada
malam ini, jikalau dia dapat dibekuk, tak sukar buat kita lolos dari
ancaman petaka ini..."
"Lihat Lihat api itu" Oey Eng berseru.
Siauw Pek dan Ban. Liang mengawasi kepada api, yang kembali
berubah, hanya kali ini gumpalan-gumpalan itu, walaupun samarsamar,
merupakan hurup "siu". "jaga". Itu berarti. orang harus
berjaga, mempertahankan diri. Si serba putih berjalan terus,
terpisah lima atau enam kaki dari pintu, baru ia menghentikan
tindakan kakinya.
"Coh Siauw Pek silakan keluar untuk bicara" katanya tawar. Si
anak muda tercengang.
"Eh, kenapa dia mengetahui namaku?" pikirnya. Tapi ia bertindak
menghampiri, kemudian terus bertanya: "Kau siapakah, tuan?" Tibatiba
cahaya api berkelebat, maka tampak teranglah diantara
mereka. Dua orang di kiri kanan sibaju putih telah menyulut lentera
angin ditangan mereka masing-masing,
lentera mana terus diangkat tinggi tinggi. Orang baju putih itu
mengenakan topeng.
"Kau Coh Siauw pek?" dia tanya pula habis dia mengimplang. Tak
mau dia menjawab pertanyaan si anak muda.
"Ya, itulah aku," sahut Siauw Pek, sabar.
"Jadi kaulah orang yang dapat menyeberangijembatan Seng Su
kio, yang berhasil memperoleh warisan Thian Kiam kie tong dan Pa
Too siang Go?" dia bertanya pula. melit.
"Tidak salah Habis bagaimana?"
"Apakah kau yang tadi membinasakan dua Ang ie hu hoat dari
pihak kami?" masih siserba putih itu mengajukan pertanyaannya.
"Ang ie hu hoat" ialah "pelindung undang undang berseragam
merah."
"Jikalau kau artikan orang orang yang menyerang aku dan kita
jadi bertempur karenanya, ya"
"Oh, hebat ilmu silatmu" mendadak siserba putih berseru, dia
memuji sambil membentak terus dia tertawa dingin.
"Kau cuma memuji" kata Siauw pek tenang.
"Eh Coh Siauw pek, maukah kau turut punco menjenguk leng
tong?" kembali si serba putih menanya. Dia membahasakan dirinya
punco, makajelaslah bahwa dia menjadi tongcu, kepala, dari Pek
Liong Tong, bahagian "Naga Putih" dari perkumpulannya itu. Dia
pula menyebut "leng tong" yang berarti "ibumu yang terhormat"
sebagai pertanda bahwa dia masih menghormati sianak muda.
Siauw pek terkejut.
Ia merasa seperti juga dadanya tertentu hebat. Ia kaget bahkan
heran toh hatinya terpengaruh juga.
"Ibuku telah mati dalam pertempuran didepan Seng Su kio,"
katanya. Si serba putih tertawa dingin bagai semula.
"Yang mati itulah yang palsu. Ibumu yang melahirkan tuan masih
hidup"
"Aku tak percaya" berseru sianak muda.
"Jikalau tuan tak percaya, mari bersamaku melihatnya, nanti kau
memperoleh kepastian"
Tiba tiba Siauw Pek menghunus pedangnya.
"Aku ingin mencoba dahulu ilmu silatmu tuan" ia menantang.
Siserba putih itu melengak. Ia rupanya tak menyangka akan
tantangan itu. Setelah sadar dia tidak menjawab, hanya dia berkata,
tetap dengan nada dingin: "Tuan jikalau hari ini kau tidak pergi
menemui ibumu aku kuatir lain kali bakal tidak ada kesempatan
lagi!"
Siauw Pek berdiam. Ragu ragu.
Mendadak Ban Liang menyela: "Saudara Coh. Jangan beri dirimu
dipedayakan"
"Jangan khawatir..." berkata si anak muda yang terus menatap
tajam siserba putih, untuk berkata: "Tuan, jikalau kau tak tega
menghunus senjatamu, maaf aku hendak turun tangan"
Masih siserba putih berlaku tenang. Katanya dingin: "Jikalau kau
tidak percaya perkataan punco ini, kelak di belakang hari punco
khawatir kau bakal menjadi sangat menyesal"
Tapi sekarang dia tidak hanya berbicara saja mendadak tangan
kanannya bergerak, maka di lain detik, ditangannya itu telah
tercekal sehelai joan pian, cambuk lunak mirip tubuh ular habis itu
dia menambahkan:
"Andaikata tuan benar mewarisi Thian kiam dan Pa Too, punco
tak takut padamu" Siauw pek sudah mengangkat tangannya, untuk
menyerang, tapi tiba-tiba ia membatalkan.
"Dimanakah ibuku sekarang?" ia tanya.
"Tak jauh dari sini, dirumah seorang petani" sahut siserba putih.
"Saudara COh" Ban Liang berkata keras "Jangan kau lupakan
ilmu tabib liehay dari Ceng gie loojin yang pandai merubah wajah
orang".
Siserba putih berkata "Ilmu tabib yang lihay memang dapat
merubah wajah orang tetapi tidak ingatannya, sifat diantara ibu dan
anaknya"
Ban Liang berlompat keluar. "Saudara Coh, jangan kena tertipu"
ia berseru.
Siserba putih mengawasi tajam sijago tua,
"Kau siapakah?" dia bertanya bengis.
"Seng sultan Ban Liang" siorang tua menjawab.
"Ha ha ha" orang itu tertawa lama. "Aku siapa, kiranya kau Kau
berumur panjang juga"
"Mendengar kata katamu tuan, rupanya kau kenal aku?" kata
sijago tua.
"Pernah kita bertemu beberapa kali."
"Kau siapa, tuan?"
Orang itu tertawa dingin.
"Jikalau kau ingin ketahui namaku, tunggulah lain waktu"
sahutnya.
"Kapankah"
"Sedetik dimuka kematianmu"
Sekarang Ban Liang yang tertawa.
"Masih ada satu waktu lainnya" berkata ia menimpali lagak
orang. "Rupanya tuan melupakan waktu itu"
Si serba putih agak heran. "Kapankah waktu itu?" dia tanya.
Ban Liang tertawa pula. "Sesudah kau mati, tuan. Ketika itu maka
banyaklah waktu luang untuk aku mengenali wajahmu"
Orang tua ini segera berpaling kepada kawannya. "Saudara COh,
jikalau kau dengarkan kata kata dusta manis madu dari orang ini,
bukankah kau jadinya kena terpedayakan?"
"Jikalau dia bicara benar?" Siauw Pek balik bertanya. "Jika kata
katanya benar, maka dia haruslah ditawan. Mustahil kau tak akan
bertemu dengan lengtong?"
Siauw pek berdiam sejenak. "Loocianpwee benar" katanya.
Kemudian dia maju untuk menikam. Si serba putih berkelit.
"Jikalau kau dengar siorang she Ban, kamu bakal menyesalpada
akhirnya" berkata dia.
Siauw pek tidak meladeni kata kata orang itu, ia mengulangi
serangannya. Tak dapat si serba putih tak melayani kecuali dia mau
dapat celaka, maka dia lalu berkelit, untuk balas menerjang. Pandai
dia menggunakan senjatanya, cambuk yang lunak itu. Diapun lincah
sekali Tapi Siauw Pek bukan berkelahi secara biasaia bukan diserang
lebih dulu, ia hanya menyerang, maka ia segera mendesak.
Ia perlihatkan Tay Pie Kiam hoat, Ilmu Pedang Mahakasih.
Baru lima jurus, cambuk lunak mirip ular dari siserba putih sudah
kena terkekang, tak peduli tongcu itu sebenarnya gesit dan lihay.
"Saudara Coh" Ban Liang berseru. "Jangan kau binasakan dia, dia
harus ditangkap hidup"
Itulah kata kata biasa akan tetapi buat si serba putih, itulah
hebat. Dia justru kena terpengaruhkan, karena waktu itu dia telah
insaf bahwa dirinya terancam bahaya, karena dengan joan pian dia
tidak bisa berbuat banyak dia terlalu repot membela diri.
Siauw pek benar benar memperhebat serangannya, hingga orang
cuma bisa berkelit berulang ulang. Sayang orang itu memakai
topeng, jikalau tidak, pasti akan terlihat wajahnya yang
menunjukkan dia sangat bingun dan khawatir. Yang jelas ialah
gerakan gerakan kakinya mulai tak teratur.
Setelah sepuluh jurus tak dapat si serba putih bertahan lagi,
maka tiba tiba dia mencelat keluar dari gelanggang.
Siauw Pek tertawa dingin. Dia memasukkan pedangnya kedalam
sarungnya, dan sebagai gantinya terus ia meraba gagang goloknya.
Ia menghadapi lawan dan bertanya: "Tuan, kau sudah belajar kenal
dengan Thian Kiam Apakah sekarang aku juga mau menCoba Pa
Too?"
Si serba putih tidak menjawab, hanya mendadak dia menepuk
tangan tiga kali. Lalu datang sambutan yang berupa siulan panjang
disusul dengan nyalanya api ditempat gelap sejauh sepuluh tombak,
maka segera tampaklah empat batang obor. Itulah empat orang
berseragam hitam, yang terus bertindak menghampiri. Dibelakang
tiap orang itu mengikut masing masing empat orang lainnya yang
berseragam merah, yang semuanya bersenjatakan Kwie tauw too
golok Kepala Setan yang tebal dan mantap. Cepat datangnya
keempat obor itu sebentar saja mereka sudah berada disisi si serba
putih.
Baru sekarang si serba putih berbicara. Katanya: "Thian kiam kie
tong dengan sebatang pedangnya sudah malang melintang dalam
dunia Kang Ouw puluhan tahun tanpa lawan, maka itu kalau tuan
telah menjadi ahli warisnya, beranikah kau menCoba Cap jie Lian
hoan Too Tin?"
"Cap jie Too tin" ialah barisan teristimewa yang bersenjatakan
golok berantai (too lian hoan) yang terdiri dari dua belas orang
"capjie" Selagi dia bicara itu, dengan sendirinyalah orang orang dari
barisan istimewanya itu sudah segera mengambil sikap mengurung
sianak muda.
Ban Liang yang pengalaman memasang mata yang setajamnya.
"Saudara Coh," dia memperingatkan. "mereka ini hendak
mengepung kau, maka tak usahlah kau main belas kasihan lagi,
sebelum mereka rampung mengatur barisannya, baik kau
mendahului menghajar mereka untuk merobohkan beberapa
diantaranya"
Jago tua ini menjadi ingat "Lo Han Tin", barisan istimewa hehat
dari partai Siauw Limpay. Maka tidak mau ia kawannya nanti
bahaya. Ia tahu, kalau sebuah tin mau dihancurkan, cukup dengan
merobohkan satu atau dua anggotanya. Ia juga heran ada tin terdiri
dari dua belas orang, sedangkan yang biasa hanya lima atau
delapan orang saja.
Luar biasa cepatnya, pasukan istimewa lawan sudah teratur
sempurna.
Siauw pek batal menghunus goloknya, ia mencabut pula
pedangnya. Ia menoleh kepada Ban Liang seraya berkata:
"Loocianpwee, silakan mundur kedalam rumah" Jago tua itu tahu
bahwa dia tidak bisa membantu, terpaksa dia mengundurkan diri. Si
serba putih tertawa selekasnya melihat barisannya sudah teratur
rapih.
"Barisanku ini istimewa untuk menghadapi Thian kiam dari Kie
Tong" katanya tawar.
"Jikalau aku tak dapat lolos dari tin ini, aku akan menggunakan
golokku untuk kau rasakan" berkata si anak muda, sabar tetapi
hambar nadanya. Orang itu tertawa dingin.
"Sekalipun Kie Tong hidup pula, kukira dia pun tak akan mampu
keluar dari barisanku ini" katanya jumawa. Dia merasa pasti dan
bangga sekali.
"Kau ngaco belo" bentak Siauw pek gusar. "Siapa bilang Kie
Loocianpwee sudah menutup mata? Ia masih sehat walaflat sampai
detik ini"
Saking murkanya, anak muda ini segera menyerang kesebelah
timur dimana ada salah seorang musuh yang berdiri paling dekat
dengannya. Musuh itu menangkis dibantu seorang kawannya,
hingga kedua batang golok bentrok dengan pedang, hingga
terdengarlah suaranya yang nyaring.
Segera setelah yang ditimur itu bergerak, bergerak jugalah
anggota anggota lainnya, maka serentak bergeraklah seluruh
barisan istimewa itu, hingga dari segala penjuru datang ancaman
golok tebal dari mereka.
Siauwpek tidak takut, ia memutar pedang serta tubuhnya, guna
menghalau setiap serangan, walaupun masih mengurung, ia toh
masih sempat membalas menyerang karena ia dapat bergerak
dengan lincah. Si serba putih, yang berada diluar medan
pertempuran, terdengar tertawa dingin.
Terus dia berkata keras, tetap dingin: "Empat puluh delapan jago
telah bersatu, berdasarkan pengalaman mereka bertempur dengan
Thian kiam kie tong, mereka memahamkan gerak gerik Thian kiam,
kesudahannya ialah mereka telah menciptakan ini pasukan istimewa
Cap jie Lian hoan Too Tin. Dua belas orang anak muda telah dipilih,
dilatih merupakan barisan golok ini. Maka itu, sekalipun Kie Tong
sendiri yang bertempur disini,jangan dia harap mampu meloloskan
diri, apalagi kau, Coh Siauw Pek Si anak muda"
mendengar kata kata itu, yang bernada ejekan, ia tak
menghiraukan. Ia hanya berseru, lalu menabas beruntun tiga kali.
Cap jie Lianhoan Too Tin benar istimewa sanggup dia mengurung
terus. Setiap anggotanya dapat menangkis serangan lawan yang
dikurungnya itu. Maka itu untuk sementara, kedua belah pihak
nampak sama unggulnya.
Ban Liang mengundurkan diri tetapi dia tidak bersembunyi. Dia
menonton. Maka dia melihat bahwa benar benar tim musuh itu
berbahaya. Dia menjadi heran dan kagum Dia tidak menyangka
saking liehaynya Kie Tong, ada orang orang yang bersatu hati,
berkumpul bersama-sama memahami ilmu pedangnya itu untuk
membangun sebuah ilmu penantangnya. Sekarang tin itu telah
berhasil diciptakan, bahkan sekarang tengah dicoba Liehay adalah
orang yang mendapat pikiran mengumpulkan orang buat memahami
Thian Kiam. Siapakah dia? Kenapa dia dapat memikir dari jauh jauh
hari itu? Ia mengasah otaknya tapi sukar mengingat ingat keempat
puluh delapan orang Rimba Persilatan yang liehay siapa siapakah
mereka itu?
Pertempuran berjalan terus, Siauw Pek tidak terancam bahaya
tetapi ia masih tidak bisa memecahkan barisan istimewa itu hingga
ia belum meloloskan dirinya. Nampak kedua pihak sama kuatnya.
Si serba putih terus menonton. Dia rupanya sangat
memperhatikan jalannya pengurungan. setelah sekian lama itu, tibatiba
dia berseru. "Perkecil barisan" Itulah aba-aba.
Perintah itu diturut segera. 12 pemuda itu lalu merangsak
dengan penyerangannya yang teratur. Bergeraklah golok mereka
juga menjadi lebih cepat, hingga cahayanya makin berkilauan.
Ban Liang mendengar dan melihat, ia tercengang. Ia kagum
berbareng khawatir. Hebat desakan tin itu. Nampaknya sangat
membahayakan. Kalau sebatang golok menyerang maka dua batang
yang lain mencobanya mengekang terlebih dahulu kepada pedang,
supaya pedang itu sukar bergerak ataupun digerakkan. Tidaklah
heran kalau sekarang suara beradunya senjata bertambah hebat,
bertambah nyaring dan berisik.
Oey Eng pun berkhawatir seperti jago tua bahkan dia berlebihlebih.
"Kelihatannya pedang toako kena dikekang musuh." berkata ia
kepada sijago tua.
"Kalau pertempuran in berlangsung terlalu lama, itulah
berbahaya. Bagaimana kalau kita maju untuk membantu?"
"Jangan" berkata Ban Liang. "Kalau kita maju, mungkin kita sukar
berbuat banyak, sebab ada kemungkinan si serba putih nanti
mengambil tindakan lain, bagaimana kalau dia perkuat
kurungannya?"
"Toh tidak dapat kita menonton saja ?"
"Baik kita menanti sebentar lagi," sahut Ban Liang, "Memang
saudara Coh telah kena dikurung, tetapi belum ada tanda-tandanya
dia terdesak atau kewalahan."
Oey Eng berdiam dengan hati yang tetap tegang. Ia menonton
dengan perhatian penuh.
Dan serangan anggota anggota tin makin seru, kalangannya
makin kecil. Nampaknya siauwpek diserang hebat sekali. Walaupun
demikian, si anak muda masih bertahan, dia tak mejadi repot.
Ban Liang heran, dari heran, dia tak tenang hati sendirinya. Dia
berpikir, "Saudara Coh telah kena dikurung. ia terkekang, kenapa ia
tidak juga mencoba membalas kepungan?" Dia juga menjadi tegang
seperti Oey Eng. pada akhirnya dia berseru tanpa merasa:
"Saudara Coh, kau telah terkekang, mengapa kau tidak mau
menggunakan golokmu?" Siauw Pek mendengar suara itu. Tiba-tiba
ia menjadi penasaran. Memang ia telah terkurung rapat, sukar
baginya untuk memecahkan kurungan itu. Ilmu pedangnya cuma
bisa dipakai membela diri, buat melayani lawan, tetapi sulit dipakai
membebaskan diri. Tin itu sangat gesit dan rapat.
"Ya, buat apa aku menanti sampai aku terancam bahaya?"
pikirnya. Segera ia mengambil keputusan. Dengan sebat ia
pindahkan pedangnya ke tangan kiri, dan dengan tangan kanan itu
ia menghunus goloknya. "Awas kamu" ia membentak. "Aduh"
demikian suara sambutannya. "Aduh" begitu satu suara susulan
lainnya.
Dan dua orang anggota Capjie Lian hoan Too Tin roboh
bermandikan darah.
"Saudara Coh" Ban Liang berseru melihat kesudahan bekerjanya
Hoan Uh It Too yang ampuh itu, "Saudara, permusuhan telah
ditanam, kau telah membinasakan dua orang, kau binasakanlah
semua Apa bedanya satu dua jiwa dengan sepuluh jiwa ?" Tapi
habis menyerang Siauw Pek segera menyimpan goloknya yang
hebat itu, untuk menukar dengan pedang pula. Karena dengan
robohnya satu dua anggota saja, tin itu menjadi hilang
kekuatannya, dari mengurung, mereka berbalik terkurung sinar
pedang.
Si serba putih melihat kesudahan itu, diam diam menarik napas
dan berkata seorang diri "benar benarlah, Thian kun It kiam - Hoan
uh It Too Pedang Tunggal Dunia, Golok Tunggal Jagat. Seorang
memiliki dua orang ilmu silat itu, ah, jangan-jangan akan sia sia saja
usaha Kun Cu..."
Suara orang itu berat tetapi peralahan. Ban Liang tidak
mendengar tegas, samar samar ia mendengar sebutannya, "KunCu"
itu. Ia menjadi heran. Siapakah orang Kang Ouw yang mendapat
sebutan itu? "Kun Cu" berarti "raja". Dengan robohnya dua
kawannya anggota anggota tin itu tidak berani bertempur lebih
jauh, sedang Siauw Pekpun menghentikan perlawanannya. Sibaju
putih menghela napas, lalu dia mengibaskan cambuk lunaknya. "
Kamu pulanglah," perintahnya.
Semua orang itu yang tinggal sepuluh lalu mengundurkan diri
danpergi. "Thian kiam dan Pa too benar benar bukan nama kosong
belaka," berkata siserba putih kemudian. "Malam ini mata punco
telah terbuka" Lalu ia memutar tubuhnya, buat ngeloyor pergi.
"Berhenti" membentak Siauw pek, suaranya dingin Ia menyimpan
pedangnya, untuk sebaliknya meraba goloknya. Orang itu berpaling.
"Tuan hendak bicara apa?" dia tanya.
"Apakah kau ingin mencoba golokku?" tanya si anak muda.
"Mataku telah melihat, tak usah aku mencoba lagi," sahut si
serba putih licik,
"Jikalau kau ingin bebas dari Cobaan golok, cuma ada satu
syaratnya"
"Tolong tuan sebutkan syarat itu"
"Kau bebaskan saudaraku, saudara she Kho itu" Orang itu
tertawa dingin.
"Kau menggertak aku?"
"Kau mau bebaskan atau tidak?" Siauw pek tegaskan. Ia
memegang gagang goloknya. Tanpa siuran angin, tutup muka si
serba putih bergerak gerak, Itulah bukti dari tegangnya hati dia.
Sekian lama ia berdiri diam, suatu tanda dia bingung sekali.
Kemudian:
"Lepaskan si orang she Kho" ia berteriak, memberi perintah
kepada pihaknya.
Suara mengiakan terdengar dari tempat beberapa tombak
jauhnya, tampak lentera dinyalakan terus terlihatlah dua orang
berseragam hitam berjalan mendatangi. Mereka itu membekal
golok, Mereka pula mengiringi Kho kong.
Ketika itu pakaian si polos pecah tidak keruan, wajahnya sangat
lesu dan suram. Rupanya dia telah menderita selama ditawan itu.
"Ah, saudara menderita..." kata Siauw Pek berduka.
"Masih sanggup aku bertahan," berkata saudara itu, sebelumnya,
ia berpaling dahulu kepada kedua pengiringnya. Siauw pek masih
meraba goloknya, dengan mata tajam mengawasi si serba putih, ia
kata bengis; "Kau boleh pergi, tuan Semoga mulai hari ini kita tidak
bertemu pula"
Si serba putih tak suka mengalah, katanya: "sungguh tak pernah
punco menyangka bahwa Thian Kiam dan Pa Too berada didalam
satu tangan. Penghinaan malam ini akan punco ingat buat selamalamanya"
Habis mengucap begitu, dengan segera dia memutar
tubuhnya dan berseru. "Jalan" Lantas dia mendahului pergi.
Kedua orang yang membawa lentera berjalan dibelakang
pemimpinnya itu, mereka berjalan cepat sekali, lewat sepuluh
tombak, tapi mereka padamkan, lalu mereka tak tampak lagi.
Sementara itu Ban Liang telah keluar menyambut Kho kong.
"Apakah kau terluka?" tanyanya.
"Cuma dikulit, tidak berarti," sahut pemuda itu. Ban liang
mendongak, ia menghela napas.
"Tadi kedua nona memberi isyarat dengan api," kata ia, "lalu api
itu padam entah telah terjadi apa disana. Harap saja mereka tak
kurang suatu apa..."
Baru saja suara itu berhenti, tiba tiba dari tempat jauhnya
beberapa tombak terdengar suara yang halus dan merdu, "Terima
kasih, loocianpwee, syukur kami sehat-sehat saja"
Itulah suara Soat Kun, yang segera muncul dari tempat gelap,
berjalan berpegang tangan dengan Soat Gie, adiknya. Rambut
mereka yang panjang itu lepas terurai. Mereka berjalan cepat. Lekas
juga mereka tiba didepan rumah. Soat Gie memandang keempat
tetamunya, ia tersenyum, setelah mana Soat Kun berkata:
"Syukur loocianpwee semua tidak kurang suatu apa, jikalau tidak,
pastilah itu karena kesalahan kami meninggalkan pesan tidak
sempurna..."
" Walaupun kami rugi, tidak nanti kami sesalkan nona," kata
Siauw Pek,
Si nona menghela napas perlahan. "Musuh tangguh sekali, inilah
diluar terkaanku," ia mengakui. Ban Liang tertawa lebar katanya;
"Meski musuh tangguh, kitalah yang menang. Benar musuh tidak
musnah tetapi mereka toh kabur sipat kuping"
"Adikku memberitahukan kepada bahwa golok Coh siangkong
bagaikan kilat, asal bergerak tentu ada musuh yang roboh" berkata
si nona tuna netra.
"Apakah kakakku belum penah memberitahukan kamu, nonanona?"
tanya Ban Liang,
"Itulah golok tunggal yang telah malang-melintang didalam dunia
Kang Ouw, yang semenjak munculnya belum pernah ada orang
yang sanggup melayani dalam satu jurus sekalipun. Hingga golok itu
menjadi tanpa lawan"
"Jadi itulah Toan Hun It Too yang termasyhur?" si nona tanya.
"Benar, nona Bukankah kakak Hoan pernah menuturkannya?"
"Semasa hidupnya, suhu pernah membicarakan tentang ahli ahli
silat dijamannya dan ia telah berceritera tentang Kie Tong dan Siang
Go."
"Kakak Hoan cerdas luar biasa, luas pengetahuannya," berkata
Ban Liang, "entah apa katanya mengenai Thian kiam dan Pa Too
itu?"
"Suhu bilang, walaupun Thian kiam liehay, masih ada lowongan
untuk dilawan," sahut si nona, "Orang mesti pandai silat dan cerdas
luar biasa untuk mengetahui kekurangan itu, untuk memahamkan
suatu ilmu untuk menentangnya. Tidak demikian dengan golok
Siang Go, yang sempurna tanpa cacat bagaimana kecil juga"
"Jadinya Thian kiam terbatas dan Pa Too tidak?"
"Bukan begitu seluruhnya, loocianpwee, yang benar, masing
masing ada keistimewaannya. Aku sendiri, aku asing dengan dua
duanya, karena aku tidak pandai silat."
"Nona, apakah sudah lama kamu sampai disini?" kemudianBan
Liang tanya pula.
"Benar. Sengaja kami melepas api diatas gunung dan membuat
api banyak api pecahannya guna diam diam kami berjalan pulang."
"Oh, begitu? Tadinya kami menyangka itulah semacam isyarat..."
Si nona tersenyum.
"Mari kita bicara didalam," ajaknya. Dengan bergandeng seperti
biasanya, kedua nona itu bertindak dapat melihat, dengan bantuan
adiknya, dia bisa berjalan dengan leluasa seperti juga dia tidak
bercacat panca inderanya.
Soat Gie menjemput selembar sumbu diatas meja untuk
menyalakannya, kemudian dipasangnya lilin, setelah mana ia
menyeret kursi buat kakaknya duduk, ia sendiri terus berdiri di
sisinya.
Soat Kun berdiam sebentar, lalu ia berkata "Sebenarnya kami
merencanakan berdiam tiga hari dikuburan suhu, untuk menemani,
buat sekalian memikirkan rencana kita terlebih jauh. Sekarang telah
terjadi peristiwa diluar dugaan ini, terpaksa kami mengambil
keputusan lain. Sulit buat kita tinggal lebih lama pula disini, bahkan
kita mesti berangkat sekarang juga."
"Kakak Hoan pandai luar biasa, sayang semasa hidupnya ia tidak
mengusahakan sesuatu" berkata Ban Liang "Tapi ia telah
mewariskan kepandaiannya kepada nona berdua, tentulah menjadi
harapannya yang nona nona akan meneruskan cita citanya, karena
itu kamipun mengharap nona nona sudi menunjukkan
kepandaianmu guna mengamankan dunia Kang Ouw, supaya hawa
jahat dapat ditumpas, agar matahari dapat memperlihatkan pula
cahayanya yang terang gemilang Dengan berbuat demikian, nona,
kami tidak menyia-nyiakan pengharapan kakak Hoan dan juga
kepandaian kami sendiri " Soat Kun menghela napas.
"Loocianpvee menaruh kepercayaan begini besar kepada kami,
sungguh kami merasa malu sendiri," katanya. "Sayang kami
bercacat, hingga walaupun kami memperoleh bantuan suhu yang
pandai, bakat kami berbatas, kami khawatir nanti menyia-nyiakan
pengharapan loocianpwee sekalian..." Ban Liang tertawa.
"Lain orang lain bicara, tetapi aku, aku tahu baik sekali
kepandaian kakak Hoan," ia berkata. "Nona berdua telah dapat
mewarisi kepandaian kakakku itu, sekarang nona-nona dibantu
saudara Siauw Pek dengan pedang dan goloknya yang istimewa,
aku percaya kamu akan sanggup berbuat banyak guna
kesejahteraan umum"
"Harap loocianpwee jangan terlalu memuji. Aku hanya dapat
berjanji bahwa kami akan lakukan apa yang kami sanggup." Ia
berdiam sejenak, dan segera meneruskan: "Seperti kukatakan tadi,
tempat ini tidak dapat kita diami lebih lama pula, maka itu, marl kita
berangkat sekarang"
Ban Liang berempat mengangguk.
"Nah silahkan nona-nona berkemas kami menantikan diluar,"
kata sijago tua.
Siauw pek mendahului bertindak keluar, diikuti kawan-kawannya.
Oey Eng berbisik pada Ban Liang: "Kedua nona tidak dapat
berjalan dengan leluasa, harus kita mendayakan alat untuk
membantunya..."
"Benar, akupun telah memikirkannya."
"Sulit buat mereka turut kita, bukankah baik kita menyediakan
kereta berkuda?"
Ketika itu kedua nona sudah muncul. Mereka cuma membawa
sebuah bungkusan. Mereka berjalan berendeng, tangan kanan
sikakak dibahu adiknya. "Nona, loohu ingin bicara, harap kamu tidak
berkecil hati," berkata Ban Liang perlahan.
"Apakah itu, loocianpwee? Silahkan"
"Untuk peejalanan kita ini, nona hendak menggunakan cara
apa?" Ban Liang tanya. Soat Kun menghela napas.
"Sudah biasa semenjak kecil kami berjalan kaki saja" sahutnya.
"Peejalanan kita jauh tujuannya," berkata Oey Eng, "entah buat
berapa bulan dan tahun tak tahu dimana kita bakal berhenti, karena
itu, baiklah nonai menggunakan kendaraan..."
Soat Kun berpikir sejenak, lalu dia menjawab: "Baiklah kalau
begitu. Kami menyusahkan saja. Terima kasih"
"Sekarang kita menuju kebarat," kata Ban Liang "Dua puluh lie
disana ada sebuah kota, disana saja kita cari kereta kuda."
"Baiklah, loocianpwee," kata sinona.
"hanya..." ia berhenti sesaat, lalu ia melanjutkan: "Kami baru
mulai memasuki dunia Kang Ouw, pengalaman kami tidak ada,
kamipun bercacat, karena itu, hati kami kurang tenang. Sementara
itu aku menerka mesti ada musuh-musuh kita yang bakal merintangi
kita. dalam hal ini meskipun benar ada adikku, yang akan
memberitahukan sesuatu kepadaku, aku khawatir dia masih kurang
sempurna, karenanya aku harap loocianpwee membantuku
memberitahu setiap gerak gerik musuh, agar kita dapat bersiap
sedia menghadapinya..."
"Itulah pasti, nona." Ban Liang memberikan janjinya. Sementara
itu Oey Eng berpaling kepada Kho kong.
"Saudara dapatkah kau berjalan?" tanyanya.
"Dapat" sahut sang adik, "Lukaku cuma luka dikulit"
"Bagus Nah mari kita berangkat" mengajak Oey Eng.
Kho kong segera berjalan dimuka.
Oey Eng maju, akan mendampingi adik yang polos itu.
Mereka berjalan belum satujam, tiba sudah mereka ditempat
yang dituju. Ditengah jalan mereka tidak menampak rintangan apaapa.
Langsung mereka pergi kerumah penginapan, untuk bersantap
dan beristirahat. Ban Liang menyuruh tuan rumah menolong
membeli sebuah kereta dan dua ekor kudanya yang terpilih. Maka
itu, dengan kedua nona duduk dikereta, mereka melanjutkan
perjalanan,
Tatkala itu matahari sudah mulai Condong kebarat. Dengan
memegang cambuk. Ban Liang sendiri yang mengendarai kereta itu.
"Locianpwee, kita menuju kemana?" tanya Siauw Pek, Mereka
memang harus menentukan arah.
"Ke Siauw Lim Sie" sahut sijago tua.
"Untuk apa loocianpwee ?"
Orang yang ditanya tertawa. "Saudara kecil. namamu sudah
dikenal umum," katanya.
"Itu artinya, kau telah muncul didalam dunia Kang Ouw. Mungkin
sekarang ini namamu sudah menimbulkan kegemparan, bukankah
kau tak perlu menyembunyikan diri lagi?"
"Lalu disana kita meminta penjelasan mengenai peristiwa
keluargamu."
"Maukah It Tie taysu menemui aku? Ciang bunjin dari Siauw lim
sie itu pernah beradu tanganku ketika kami bertemu dipuncak Ciong
Gan Hong digunung Heng San" "Ciangbunjin" ialah ketua partai
persilatan
Ban Liang tersenyum.
"Jikalau dia tak sudi menemui secara baik-baik, tak dapatkah kita
memaksa?" sahutnya. Ia berdongak, untuk melepaskan napas
melegakan hati, "Dunia Kang Ouw sangat kacau, banyak partai,
banyak maunya, beraneka macam sepak terjangnya. Dan musuh
dari Pek Ho Po adalah delapan belas partai. Dapatkah kau
memusuhi semua anggota mereka itu?"
"Aku cuma mau membalas kepada mereka yang menjadi kepala
atau biang keladi, supaya arwah ayah bundaku merasa puas. Tidak
ada niatku akan memusuhi semua orang Rimba Persilatan."
"Itulah benar. Nah, siapa sikepala atau biang keladi itu?"
Siauw Pek terdiam.
"Jumlahnya mungkin. banyak..." sahutnya bingung.
"Kau mencurigai pihak Siauw lim sie atau tidak?"
"Ketika itu dipuncak Ciong Gan HOng hadir ketua dari
keempatpartai besar, semua mereka harus dicurigai."
"Apakah lima pay lainnya, berikut empat bun, tiga hwee, dan dua
pang tak dapat dicurigai juga ?"
"Ah, Mereka juga sukar tak bersangkut paut."
"Jadi dalam Rimba Persilatan, kebanyakan ada musuh-musuh
mu, habis kepada siapakah kau hendak menuntut balas? Kepihak
Siauw lim sie, bukan? Pihak itu paling mencurigakan, kita menuju
kesana lebih dahulu. Kita berlaku terus terang menanyakan soal
peristiwa pek ho po, mungkin kita akan memperoleh penjelasan, lain
dari itu masih ada satu soal lagi..."
"Soal apakah itu ?"
Aku anggap perlu kita menemukan Su kay Taysu. Dialah seorang
loocianpwee yang harus dihargai..."
"Akupun berkesan demikian terhadap dia. Tegakah bicara itu,"
tiba-tiba Soat Kun dari dalam kereta menyela: "Siapa yang dituding
oleh seribu orang masih belum tentu dialah yang harus dibunuh."
Ban Liang menepuk batok kepalanya. "Ah Di dalam kereta ada
Khong beng wanita tetapi kita tidak menanyakannya" katanya.
"Locianpwee memuji saja," berkata sinona. "Jikalau aku ketahui
duduknya hal, mungkin aku dapat membantu memikirkannya..."
Suara itu merendah akan tetapi nadanya tetap pasti.
"Kami menempuh perjalanan ribuan lie justru untuk kamu
berdua, nona nona," berkata Ban Liang. "Mustahil kami tak mau
bicara terus terang kepada kamu ?"
Lalu jago tua ini menuturkan peristiwa hebat dan menyedihkan
dipek ho po itu dimana seratus atau dua ratus lebih orang
terbinasakan bagaimana Coh Siauw pek bersama ayah bunda dan
kedua kakaknya dikejar kejar, sampai akhirnya mereka terbinasakan
dimuka jembatan maut seng su kio, cuma Siauw pek seorang yang
selamat sebab dia keburu menyeberangi jembatan maut itu hingga
dia berhasil mewarisi Thian Kiam dan Pa Too, sedangkan didalam
kuburan Ceng Gie Loojin sianak muda beruntung mendapatkan
Ceng Gie Cie Too, Golok Keadilan dari Ceng Gie Loojin siorang tua
yang liehay itu, juga perempuan malam itu diceritakan dengan jelas
sekali.
Selama penuturannya sijago tua, Siauw pek menambahkan
dimana yangperlu, karena itu Soat Kun jadi mengetahui denganjelas
seluruh peristiwa itu. Tak lupa diterangkan peristiwa di Cong Gan
Hong dimana Siauw pek dijebak sampai dia bertemu dengan Su Kay
Taysu.
Begitupun keterangan hal kakak wanitanya yang katanya masih
hidup.
Selama mendengarkan, Soat Kun berdiam saja, hanya kadangkadang
ia memahamkan keterangan caranya dengan
menggoyangkan tangan memberi isyarat, untuk kedua penutur itu
berhenti sejenak, setelah mana ia memberi tanda agar orang
melanjutkan terus. Halus gerak gerik si nona, yang beberapa kali
tersenyum manis, tetapi beberapa kali ia mengerutkan alisnya yang
lentik,
"Sayang, sayang..." Ban Liang berulang kali mengatakan didalam
hatinya Kenapa nona itu cacat matanya? Coba dia tidak buta, entah
berapa hebat sepak terjangnya kelak...
Satu jam lebih sijago tua memberikan penuturannya, sampai hari
sudah lewat lohor.
Karena sepi-sunyi setelah sijago tua berhenti menutur, melainkan
roda-roda kereta yang memperdengarkan suaranya yang berirama,
bernada itu itu juga.
kapan sang magrib tiba dan samar-samar tampak bintangbintang
di langit. barulah terdengar si nona tuna netra menghela
dan berkata. "Sungguh peristiwa ruwet, bertautan dan
bergelombang. Itu menandakan wajah manusia manusia busuk..."
"Ya, nona, sulit untuk mencari sipemimpin atau biang keladi
peristiwa itu," kata Ban Liang.
"Aneh pula sikap empat ketua partai di Ciong Gan Hong itu,"
Siauw pek turut mengutarakan herannya. "Agaknya mereka sengaja
mengatur perangkap untukku..."
"Yang dinantikan bukannya kau, kebetulan saja kau yang
datang," berkata si nona.
"Bukan aku? tanya si anak muda. "Habis siapakah ?"
"Kamu toh ada menyebut-nyebut hek ie kiam su, bukan ?"
"Benar, benar, ada kemungkinan juga," berkata Ban Liang
"Hek ie Kiamsu" ialah orang orang yang serba hitam itu.
"Sekarang ini masih banyak hal-hal yang berupa tanda tanya,"
berkata lagi si nona,
"semua meminta perpahaman perlahan lahan, satu demi satu."
"Itulah yang menyulitkan kami" Ban Liang berkata, "sekarang
loohu mengajak kamu pergi ke Siauw lim sie, nona, tolong kau
berikan petunjuk kepadaku, tindakanku ini benar atau tidak?"
"Inilah bukan tindakan sempurna, tetapi ini terpaksa. Kita pergi
kesana, lalu kita nanti melihat keselatan," Ban Liang tertawa. Puas
dia
"Syukur pikiranku tidak salah," katanya.
"Loocianpwee tolong jelaskan pikiranmu," si nona meminta. Jago
tua itu kembali tertawa.
"Keponakanku yang cerdik,janganlah kau mengangkat angkat
aku" katanya. Ia sekarang memanggil keponakan. "lebih baik kaulah
yang mengutarakan pendapatmu"
Hoan Soat Kun tersenyum. "Menurut aku, daripada kita pergi
langsung ke Siauw Lim sie, lebih baik kita menggunakan akal..."
"Apakah itu, keponakanku?"
"Kita menyebar berita mau pergi ke Siauw Lim sie, untuk
menanyakan peristiwa Pek Ho po, akan tetapi kereta kita, kita
tujukan keBu TOng San..."
"Bagus" memuji sijago tua. "Ini dia yang dibilang, sumbar ditimur
menyerang kebarat"
"Lalu setelah mendekati Bu Tong San, kita kembali ke Siauw Lim
Sie."
"Eh, kenapa begitu?" tanya Ban Liang heran ia menerka keliru
siasat itu.
"Untuk membuat mereka bingung, agar mereka tak dapat
menerka maksud hati kita"
"Kemudian, keponakanku ?" Mau tidak mau sijago tua jadi
banyak bertanya.
"Kita lihat suasana selanjutnya. Tak dapat aku mengambil
kepastian sekarang. Pihak lawan banyak yang gagah dan cerdik."
"Baiklah, nona."
Jago ini menerka sinona tak mau membocorkan rencananya.
Oey Eng dan Kho kong menganggap pikiran sinona benar, hanya
mereka tidak tahu jelas maksud orang, Oey Eng memikir sesuatu
tetapi ia tak berani mengutarakan itu. Kho kong sebaliknya.
"Bagus" serunya.
"Apakah yang bagus, saudara Kho?" Ban Liang tanya.
"Entahlah, loocianpwee. Aku cuma merasa bagus, lainnya aku
tidak tahu..."
"Oh, begitu..." kata sijago tua itu, yang mendongak melihat
langit. Bulan sisir sudah mulai mengintai.
Ia bertanya, "Keponakanku apakah kita jalan terus malam
malam?"
Sinona mengangguk. "Jikalau terkaanku tak keliru, sekarang ini
kita sudah berada dibawah pengawasan orang" katanya dengan
suaranya yang pasti. Kho kong heran. Dia melihat kesekelilingnya,
yang diselubungi kegelapan. Pikirnya:
"Dalam hal hal ini, aku tidak puas terhadap nona ini. Kalau ada
musuh, mustahil tak tampak tanda tandanya?..." Ban Lian melirik
Siauw Pek,
"Apakah kita jalan terus, keponakanku?" ia mengulangi
pertanyaannya.
"Jam berapa sekarang ini?" si nona tanya.
"Sudah mendekati jam permulaan-..."
"Baiklah sebelum jam kedua kita cari tempat singgah," berkata si
nona. "Kita cari tegalan yang terbuka, supaya kalau perlu kita dapat
berbareng menyerang..."
"Baik"jawab Ban Liang yang segera membunyikan cambuknya,
membuat kudanya lari cepat. Bertiga Siauw pek, Oey Eng dan Kho
kong berlari lari dikedua sisi kereta.
Karena dilarikan keras, roda roda kereta bersuara berisik sekali.
Sebagai seorang yang berpengalaman, sambil memegang kendali.
Ban Liang senantiasa melihat kekiri dan kanan, kadang kadang juga
kebelakang.
Kho kong lari mendampingi Oey Eng. Dia bertanya: "Kakak,
malam begini, selagi rembulan terang, didepan tidak ada musuh
yang memegat, dibelakang tidak ada lwan yang mengejar, buat apa
kita kabur secara begini?..."
Belum habis kata kata si anak muda, dari belakang mereka, ia
mendengar derap kuda. Segera ia berpaling. Ia jadi melengak Ia
melihat empat penunggang kuda kabur mendatangi.
"Ah, benar benar ada musuh" serunya.
"Apakah ada orang menyusul kita?" pertanyaan keluar dari dalam
kereta. Itulah suara merdu dari Soat Kun.
"Ya, empat orang penunggang kuda," Siauw pek menjawab.
"Baik, Pertahankan kereta kita," si nona minta.
Ban Liang menurut. Segera setelah memainkan les kudanya, roda
roda keretanya menggelinding dengan lambat.
JILID 27
"Eh, mereka juga memperlahankan lari kuda mereka," berkata
Siauw pek. yang terus mengawasi kearah penunggang kuda
dibelakang mereka itu.
Lalu terdengar pula si nona: "Mereka menyusul kita secara
terbuka, inilah kembali diluar sangkaku. Dilihat dari siini, orang yang
memimpin rombongan itu bukan seorang yang cerdik."
"Kecuali mereka sudah mengatur rencana sempurna atau mereka
pasti akan menang, tak akan mereka lancang turun tangan." Si
nona berhenti sebentar, lalu dia bertanya: "Apakah ada tempat
berhenti disekitar tempat ini?"
"Diarah timur, lagi satu lie, ada tanah pegunungan," menyahut
Ban Liang. "Mungkin disana ada tempat yang baik..."
Perkataan jago tua ini terputus mendadak disebabkan
terdengarnya satu siulan yang nyaring dan lama. Maka ia
menambahkan. "Agaknya kita sudah masuk kedalam perangkap
mereka itu..."
Soat Kun terdengar menghela napas.
"Bagaimana letak tempat dikiri kanan kita ini?" ia tanya.
"Tanah tegalan tanpa persawahan." Si nona menyingkap tenda
kereta.
"Apakah diantara pengejar ada juga kereta kuda?" ia bertanya
pula.
"sebegitu jauh yang tertampak. tidak..."
Menyusul jawaban sijago tua, dari arah depan dan belakang lalu
terdengar suara roda roda kereta.
Jago tua itu lalu melihat kesekelilingnya.
"celaka nona" ia berkata. "Kita sudah terkurung Didepan dan
belakang benar ada kereta kereta yang mendatangi"
"Lekas kita berlindung," berkata si nona "Jangan sampai kereta
kita bertabrakan dengan kereta kereta itu"
Nona itu menarik kembali tangannya yang menyingkap tenda,
untuk dipakai memegangi kedua tangan adiknya, setelah mana
keduanya melompat turun dari kereta, untuk terus lari ketegalan
yang disebut sijago tua.
"Nanti aku membuka jalan" berkata Ban liang, yang segera
lompat turun, untuk lari disebelah dengan kedua nona itu, lari
ketegalan.
"Aku akan Cepat dibelakang" berkata Siauw Pek. "Jietee, shatee,
menjaga sayap kiri dan kanan"
Ketua itu segera menghunus pedangnya.
Oey Eng dan Kho kong menurut perintah, mereka kemudian
melindUngi kedua nona dikiri dan kanan mereka itu.
Kereta kereta didepan itu kabur keras sekali, hanya sebentar, tiba
sudah mereka ditempat dimana kereta Soat kun ditinggalkan- Maka
juga, dalam waktu sekejap itu terdengarlah suara riuh hebat dari
ringkik kuda, dari tabrakan kereta dengan kereta.
Tapi yang hebat adalah suara ledakan yang menyusulnya, disusul
pula dengan sinar api berlalu dan berkobar, lalu kereta kereta itu
berikut kudanya rubuh bergundukan diantara pengempang darah
semua kuda itu
Teranglah kereta kereta yang datang dari depan dan belakang itu
bermuatkan obat pasang dan minyak, hingga setelah tabrakan dan
meledak. apinya menyala terus, membakar ketiga buah kereta itu
"Sungguh telengas" berkata Kho kong ketika dia menoleh,
melongo, mengawasi kurban ledakan itu. Tubuh kuda hancur
berhamburan
Hoa nsoat kun, yang memperoleh bislkan tangan Soat Gie,
menarik napaspanjang dan berseru^
Hati Ban liang giris, tak perduli segala ragam pengalamannya.
Katanya "Sudah puluhan tahun loohu menjelajah dunia Kang ouw,
baru sekarang loohu menyaksikan ketelengasan semacam ini "
"Setelah mendengar hal munculnya kereta kereta dari depan dan
belakang, aku segera menerka akan maksud jahat musuh," berkata
sinona yang kembali menghela napas. "Nyatalah terkaanku tidak
meleset. Melihat contoh itu, rupanya disebelah depan kita ini tak
akan luput dari pertempuran pertempUran dahsyat. "
"Itulah mUngkin, keponakanku. Keempat penunggang kuda tadi,
yang sekarang menghilang telah melihat kita meninggalkan kereta,
tentu mereka pulang untuk memberi laporan, hingga tak tahulah,
mereka akan mempergunakan tipu daya macam apa lagi..."
"Ketelengasan mereka justru membeber kelemahan mereka,"
berkata si nona kemudian- "Mereka tidak berani menempur kita
secara terang terangan "
Siauw Pek menyimpan pedangnya. Ia melihat, benar keempat
musuh itu sudah tidak tampak sama sekali. Ia lalu berkata^ "Sudah
terang musuh mengincar aku, maka itu, kalau nona sekalian tidak
berada bersama sama aku, kamu tidak akan menghadapi ancaman
malapetaka hebat ini..." Mendengar itu, Soat Kun tertawa manis.
"Sekarang ini," berkata dia, merdu suaranya, "kita semua telah
menjadi incaran mereka bersama, karena itu, walaupun tidak ada
kau, saudara coh, tak akan mereka melepaskan kami"
"Keponakanku benar" Ban Liang turut bicara. "Kejadian ini
memperingatkan kau untuk selanjutnya berlaku waspada."
"Nah, Cukuplah," berkata sinona kemudian. "Yang sudah lewat,
jangan kita bicarakan pula"
"Sungguh dia pintar dan tabah," pikir Kho kong terhadap si nona.
"Benar benar sayang, matanya berCaCat..."
"Kita harus berjalan terus," kata Ban Liang. "Sekarang kita
menuju kemana?" Soat kun berpikir.
"Sekarang ini, yang perlu, pertama tama kita harus memperkUat
diri kita," berkata dia. "LooCianpwee semua gagah, tetapi untuk
kalian melindungi kami berdua, itu berarti tenaga kamu harus
dipecah..."
"Benar. Hanya, keponakanku, disaat semaCam ini, dimana kita
mesti mencari tenaga tenaga bantuan?"
"Ya, ini memang sulit, apa pula buat mencari mereka yang
sehaluan dengan kita dan besar keberaniannya. Buat sementara
perlulah kita menaklukkan sejumlah sesama kaum Rimba
Persilatan..." Ban Liang berdiri diam.
"Sulitnya kita sekarang seperti lagi terkurung," katanya,
perlahan- "Kalau orang orang Rimba Persilatan yang berada dekat
disekitar mereka, mereka itu mungkin sudah terpengaruh oleh pihak
lawan..."
"Bagaimana kalau kita pakai tenaga musuh untuk melawan
musuh?" si nona tanya setelah dia berpikir sesaat.
"Bagaimana itu bisa terjadi, keponakanku?" Ban Liang bertanya
heran. Nona manis itu tersenyum.
"Tak tahu aku apa namanya daya upaya ini." sahutnya. "Kalau
toh mau dinamakan juga , ini dia daya kejam lawan kejam..."
"Baik keponakanku. Nah, bagaimanakah cara diwujudkannya
itu?"
"Mengenai tipudaya itu, semasa hidupku suhu pernah
membicarakan dengan kami. Sudah kukatakan, sebab bakatnya
berbatas suhu tidak dapat belajar silat sempurna. Dilain pihak suhu
cerdas sekali, mungkin sukar lain orang menyainginya. Suhu pernah
memberitahukan aku suatu cara meminjam tenaga lawan-.." Ban
Liang tertawa.
"Memang aku telah menerka bahwa kakak Hoan sudah
mewariskan semua kepandaiannya kepada nona nona?" berkata ia,
girang.
"Suhu pernah memahamkan yoga, lalu dari situ ia berhasil
menciptakan semacam ilmu yang menggunakan jari jari tangan-
Dengan itu kita dapat menotok beberapa jalan darah yang
menyebabkan orang lupa akan dirinya sendiri, hingga kita dapat
menyuruhnya melakukan apa yang kita perintahkan-.. Yang
menyukarkan ialah mataku tidak dapat melihat ilmu silatku sangat
rendah hingga aku tidak sanggup melawan jago jago Rimba
Persilatan, sedangkan untuk itu kita perlu menawan musuh kita."
"Mengalahkan musuh mudah, menangkap hidup sulit," kata
Siauw Pek.
"Asal kita bisa membekuk delapan atau sepuluh musuh, buat
sementara cukup sudah," berkata si nona.
Mendengar itu, Siauw Pek bcrpikir. "cuma delapan atau sepuluh
orang manusia, tidakkah itu berlaku kesombongan?" Lalu ia berkata:
"Buat mengalahkan musuh, cukup asal kita menang seurat..."
"Buat menangkap hidup?" tanya si nona. "Kita mesti lebih pandai
berlipat ganda."
"Jikalau begitu, tak dapatkah kita memasang perangkap supaya
musuh datang menghantarkan diirnya sendiri?"
"Kembali berbau kesombongan, nona," pikir pula si anak muda.
Tapi ia berkata. "Nona, aku rasa nona tentu sudah memikirkan
sesuatu..." Soat kun tertawa perlahan.
"Dayanya ada beberapa rupa, katanya. Untuk itu kita tinggal
memilih tempatnya serta mengaturnya."
"Tempat bagaimanakah yang cocok, nona?" Ban Liang bertanya.
"Yang paling cocok tempat yang membelakangi gunung, yang
ada airnya, umpama sebida tanah yang rendah asal ada dua
jalannya yang bisa dilalui "
"Tempat begitu sukar dicari..."
"Itulah tempat yang utama. Kalau tidak, kita cari yang keduanya.
Tolong nona lukiskan tempat yang kedua itu" Ban Liang minta.
"Itulah sebuah tanah datar yang sekitarnya tak ada rumah rumah
orang. Di tengah tengah itu kita membangun satu rumah yang
kokoh kuat, lebih lebih rumah yang tak takut air atau api."
"Tempat demikian tak sukar dicari. Hanya rumahnya
pembangunannya itu tak rampung dalam waktu satu hari..."
"Karena itu, aku pikir kita perlu mengambil jalan lain..."
"Bagaimana nona?"
Nona itu diam, setelah itu dia memperlihatkan wajah sungguhsungguh.
Dia berkata: "Musuh pastitak mau berhenti sampai disini
saja, kalau kita melanjutkan perjalanan kita, yang jauh, pasti kita
akan menghadapi ancaman bencana lainnya. Seperti kita ketahui,
jumlah kita sedikit, musuh sebanyak banyak. tak dapat kita
mengandalkan tenaga kita saja. celakanya musuh juga tidka
memilih cara lagi."
"Nona benar. Akupun piklr, tak dapat kita berdiam disatu tempat
saja tempat yang musuh dapat satroni dari empat penjuru..."
berkata Ban Liang.
Si nona mengangkat kepalanya, berpaling kepada empat orang
itu.
"Tuan tuan dengan tenaga kamu berempat saja, dapatkah kamu
melawan musuh musuh diseluruh kolong langit ini?" dia bertanya.
"Sangat sukar, nona. malam tadipun beruntung saja kita
memperoleh kemenangan. Sedangkan kali ini, kalau bukan nona
yang duduk kereta, pastilah kita sudah tumpas ditangan musuh
lihay dan kejam itu."
"Maka itu, perlu kita memperkuat dahulu kedudukan kita." Sijago
tua menjadi tidak mengerti.
"Bagaimana maksud nona?" dia tanya. "Tolong nona jelaskan
dulu"
"Maksudku lebih dahulu kita mengumpulkan kekuatan kecil, baru
perlahan lahan kita perbesar. cita-cita kita ialah menjunjung
keadilan- Suhu pernah mengatakan kepada kami bahwa memang
sulit mengamankan dunia Kang ouw..." Siauw Pek kagum. Selama
waktu dua hari ini, dia semakin mengenal si nona.
""Nona, apakah dayamu untuk menegakkan keadilan?" ia
bertanya. "Untuk itu, aku suka maju dimuka, bersedia akan
menyerbu api sekalipun "
"Sekarang ini kita harus melihat selatan. Kita sekarang mau pergi
kesiauw lim atau bu tong kedudukan kita ditempat terang, musuh
sebaliknya berada ditempat yang gelap. Karena itu, kita menjadi
senantiasa bisa terancam kerugian- Maka juga paling dulu kita mesti
dapat menempatkan diri, supaya dengan jumlah sedikit dapat kita
melayani jumlah yang banyak."
"Itulah justru yang tak dapat pikir pemecahannya."
"Dalam keadaan kita ini, loocianpwee, buat sementara terpaksa
kita mesti mengandalkan pada ajaran suhu. Kami berdua saudara
pernah diajari ilmu pembangunan sebuah tin, yaitu barisan istimewa
yang dinamakan Liok Kah tin- Perubahan tin itu dapat membuat
kacau penglihatan musuh. Sulit buat kami menerangkan sejelas
jelasnya tetapi cukup buat mengatakan bahwa kita dapat bekerja
berenam saja, ialah loocianpwee berempat di empat penjuru dan
kami berdua saudara ditengah tengah. Kita akan mengandalkan
perubahan dari bergerak geraknya tin kita itu."
Si nona tampak gembira. Dengan tenang ia membereskan
rambutnya yang bagus.
"Buat sementara kita membutuhkan tempat terbuka luas
beberapa batu, disitu kita akan membangun sebuah kota istimewa
kedalam mana kita nanti memancing musuh datang masuk untuk
kita tangkap dan nanti gunakan tenaganya. Sesudah kita mendapat
tambahan tenaga, baru kita pergi ke Siauw Lim sie. Buat pergi
kesana kita tak usah kesusu, bukan ?" Ban Liang mengawasi Siauw
Pek.
"Baiklah, nona. Kami bersedia mengiringmu" jago tua ini
memberikan janjinya.
"Sayang aku tidak bisa melihat hingga aku tidak mampu mencari
tempat yang kita butuhkan itu," berkata si nona. "Dalam hal ini aku
minta bantuan loocianpwee sekalian. Aku cuma bisa menunjukkan
saja..."
"Asal nona dapat menjelaskan, mungkin kami sanggup
mencarinya," berkata Ban Liang.
"Jikalau kita tidak bisa mendapatkan tempat yang dapat
mengandalkan dinding gunung dan air, cukup sebidang tanah datar
asal disitu tumbuh pepohonan dan rumput, lebih baik lagi kalau ada
tumpukan tumpukan batu serta sebuah rumah yang kokoh kuat..."
Ban Liang berpikir.
"Kedengarannya mudah buat mencari tempat semacam itu tapi
kenyataannya sulit juga . Kita memerlukan waktu bukan cuma satu
atau setengah hari," berkata ia.
"Tak usah kita terburu buru." kata si nona. "Kita cari sambil kita
melanjutkan perjalanan kita ini."
Sampai disitu, mereka mulai berangkat lagi Tanpa kereta, kedua
nona terpaksa mesti berjalan kaki, soat Kun tetap berjalan
berendeng dengan saudaranya. Ban Liang berempat selama itu
selalu memperhatikan tempat disekitarnya.
Dua jam lamanya rombongan ini berjalan, tibalah mereka disuatu
tempat yang sisi jalanannya merupakan pepohonan lebat.
"Tempat ini mirip dengan lukisan nona, cuma tidak ada
rumahnya," berkata Ban Liang
"Asal tempatnya cocok, tak apa tak ada rumahnya," berkata si
nona.
"Baik, nona. Maukah nona mendengar perihal letaknya tempat
ini?"
"Paling baik loocianpwee mengajak aku jalan mengelilinginya
sekalian loocianpwee menceritakan kepadaku tentang keadaan
kaum Kang ouw selama ini."
"Bagus, nona, loohu akan menemani kau." Soat kun meraba
bahu adiknya.
"silahkan jalan, loocianpwee," katanya.
"Baik, nona," sahut si orang tua, didalam hatinya berpikir: "cocok
benar kakak-beradik ini, yang satu buta yang lain gagu. Entah
jalannya, dia bisa cepat atau tidak..."
Untuk menguji Ban Liang berjalan lebih cepat daripada biasanya.
Ia melintasi rimba, jalan diatas rumput, saban saban, secara diam
diam, ia perhatikan kedua nona. Ada alasan baginya untuk sering
menoleh kebelakang. Hanya sebentar, kagumlah jago tua.
Walaupun dia memegangi bahu adiknya, Soat Kun dapat berjalan
cepat seperti penunjuk jalannya. Tak usah disebutkan si nona bisu,
yang matanya dapat melihat. "Heran," kata jago tua itu didalam
hatinya.
"Loocianpwee," kata si nona kemudian, "dengan jalan lekas lekas
begini mungkin kita sukar memperhatikan keadaan disekitar kita..."
Ban Liang menghentikan tindakannya dengan segera.
"Apa nona ingin aku memberi penjelasan tentang letak tempat ini
serta keadaan disekitanya?" dia bertanya.
"Tak usah, loocianpwee, adikku telah melukiskannya."
"oh..." orang tua itu heran hingga ia menatap si bisu.
"Nona," ia bertanya soat Gie saking herannya, "kita berjalan
cepat tapi bagaimana nona bisa memberikan keterangan kepada
kakakmu itu?"
Berkata begitu, mendadak jago tua ini melengak. Tiba tiba ia
ingat bahwa orang gagu, mana bisa dia menjawabnya.
Soat Gie tersenyum, dengan sabar ia menyingkap rambutnya
disamping telinganya.
Mendengar demikian, Soat Kun segera berkata^ "Loocianpwee,
adikku minta tolong ia memberikan jawaban- Sebenarnya adikku
telah memberikan aku segala keterangan dengan jalan sentilan jari2
tangannya kepadaku. " Ban Liang kagum.
Ketika itu diwaktu malam terang bulan, memandang si nona bisu,
jago tua ini bisa melihat tegas Soat Gie cantik, kulitnya halus,
wajahnya manis sekali. Dia tampak lebih menggiurkan karena
rambutnya yang panjang lepas, memain diantara hembusan sang
angin. Kemudian ia berkata^ "Nona, aku tidak heran kamu berdua
dapat berbicara dengan tanda-tanda atau isyarat saja. Yang aku
tidak mengerti ialah bagaimana kamu dapat mengerti satu dengan
lain- Kita toh tidak berjalan lambat lambat hanya cepat cepat..."
"Kami berdua hidup bersama semenjak kecil," berkata soat Kun,
yang mengetahui orang kagum dan heran- "Karena kami masing
masing bercacat, kami mengatur cara tak dapat berhubungan satu
dengan yang lain, kecerdasan kami membantu sehingga kami
mudah saling mengerti seperti berbicara saja." Masih Ban Liang
berkata didalam hatinya:
"Dua bersaudara ini benar benar luar biasa. Sikakak buta tapi ia
cantik dan ototnya kuat sekali, sebab ia berhasil mewarisi
kepandaian kakak Hoan. Si adik juga cantik, tapi ia bisu. Tetapi
diapun cerdas, dia dapat memetakan, atau melukiskan segala
sesuatu hanya dengan gerak gerik jemari tangan. juga heran kakak
Hoan- Dialah seorang tabib pandai sekali, kenapa dia tidak sanggup
menyembuhkan kakak beradik ini? Jika dia tidak mampu, siapa lagi
didalam dunia ini yang dapat mengobati mereka? Sungguh sayang"
Sambil berpikir, Ban liang berjalan terus, tak memperhatikan
letak tempat, guna sinona tuna netra memeriksanya. Di akhirnya
mereka selesai memutari tanah kosong itu, merekapun kembali
ketempat tadi.
"Bagaimana pandangan loocianpwee mengenai tempat ini?" Soat
Kun bertanya sambil mengeluarkan sapu tangan untuk menyusut
muka.
"Tempat yang sunyi," sahut si orang tua. "Pohonpohonnya
tumbuh kacau dengan semak semaknya disana sini." si nona
tertawa.
"Aku setuju tempat ini," ia beritahu.
"Akupun hendak memberikan nama yang menarik hati, ialah
Hong Goan Gi kiong Istana Tegalan Belukar Setuju?"
"Istana Tegalan Belukar" Kho Kong mengulangi kata kata itu Si
nona tertawa pula. Ia berkata manis:
"Ya, pepohonan kacau dan semak semak ini kita pandanglah
sebagai lauwteng, dan dengan tinggal disini, kita berkhayal,
menganggapnya sebagai tempat yang indah, rasa pahit bagaikan
tempat yang manis Tidakkah nama itu cocok?"
"oh begitu seru sipolos.
"Apa benar keponakanku setuju tempat ini?" Ban Liang
menegaskan.
"Karena waktunya tak banyak lagi, mungkin sukar mencari
tempat yang terlebih baik daripada ini"jawab sinona.
"Jika begitu baiklah Sekarang silahkan nona perintahkan apa
yang kami harus lakukan."
"Aku berniatan membuat tanah tegalan ini menjadi semacam
kota yang menakutkan, agar orang orang rimba Persilatan tertarik
hati dan mereka pada datang kemari"
"Sungguh ringan sinona ini memandangnya," pikir Kho kong
"Secara mudah tetapi bagaimana harus membuatnya hingga kaum
Rimba persilatan sudi datang kemari?" Walau ia heran, pemuda ini
membungkam, tak berani dia bertanya sesuatu.
Tidak demikian dengan Ban Liang. "Bagaimana kita membuatnya,
ponakanku?"
"Istana Tegalan Belukas mesti dapat orang datangi tanpa orang
bisa pergi lagi, artinya siapa sudah masuk kesini,jangan harap bisa
meninggalkan pula," berkata sinona, tertawa.
"Perbuatannya sangat sederhana. Kita memerlukan beberapa
batang pohon bambu serta beberapa ikat rumput.
Membangunnyapun dengan waktu yang singat sekali."
"Berapa lama waktu singkat itu, keponakanku?" sijago tua tanya.
"Kira-kira dua atau tiga hari."
Jago tua itu menghela napas. "Diwaktu mendengarnya, aku
menyangka itulah sebuah bangunan sangat besar," katanya. "bahwa
kita membutuhkan waktu sedikitnya satu tahun atau lebih..."
Nona Hoan tersenyum. "Sekarang kita jangan lambat lambatan
lagi, mari kita mulai bekerja," katanya.
"Baklah" seru sijago tua, "Tolong kau sebutkan bahan bahan
yang diperlukan"
"Buat sekarang, tolong tebang sejumlah batang bambu serta
mengumpulkan beberapa tumpuk batu, untuk membangun kota
pembelaan dahulu. Nanti baru kita bangun istananya."
Mendengar ketarangan si nona, Kho Kong tertawa dalam hati.
"GUbuk tetap gubuk, bilang saja gubuk, buat apa dipakai nama
yang mentereng? Istana Oey"
Ban Liang mengangguk. Ia berkata pada Siauw Pek. "Saudara
kecil, kau berdiam disini untuk menemani kedua nona. Aku akan
pergi bersama saudara Oey dan Kho."
Siauw Pek mengangguk sambil mengiyakan. "Harap loocianpwee
lekas pergi dan lekas kembali"
Soat kun berpesan. "Jangan khawatir, keponakanku " berjanji
Ban Liang yang segera berangkat. Oey Eng dan Kho Kong turut
orang tua itu
Seberlalunya ketiga orang itu, Soat kun duduk mendeprok
ditanah jemari tangannya yang halus menggurat-gurat tanah
didepannya itu. Ia agaknya sedang menghitung-hitung. Siauw pek
pergi duduk ditanah yang berumput.
Belum lama, mendadak saja siputeri malam sinar cahaya yang
indah, hingga sang jagat menjadi gelap.
si anak muda mendongakkan kepalanya melihat kelangit Kiranya
awan hitam menutupi sang rembulan. Ia lalu memikir sang hujan-
"Bila air langit turun, kuyuplah kita semua" pikirnya. "Disini tidak
ada tempat untuk melindungi diri dari air hujan-.."
Dan baru saja ia berpikir begitu, pipi sianak muda sudah
kejatuhan beberapa tetes air hujan, hingga tanpa merasa ia berkata
"baru saja aku akan khawatir akan turunnya hujan, sekarang dia
turun sekali" Ia berpaling kepada soat kun-Nona itu masih sama
menghitung-hitung.
Siauw pek bangkit berdiri dan bertindak perlahan menghampiri si
nona,
"Nona, hujan..." sapanya perlahan-Nona itu mengangkat
mukanya, halus gerakannya.
"Aku tahu," sahutnya, juga perlahan, suaranya tetap merdu. Dia
tersenyum manis.
"Aku kuatir hujan menjadi besar dan tak mudah berhenti..." kata
pula sipemuda. Nona itu menghela napas.
"Apakah kau takut hujan?" dia bertanya.
Siauw Pek melengak. "Aku hanya khawatir nanti nona..."
"Terima kasih buat kebaikan hatimu. Tak apa hujan turun..."
Berkata begitu, si nona tunduk. untuk menggurat-gurat lagi
ditanah. Siauw Pek mengundurkan diri. Ia kagum sekali, katanya
didalam hati: "Nona ini meskipun tak sempurna anggota tubuhnya,
tetapi dia sangat tenaga dan bersemangat, tak mirip dia dengan
seorang tanpa daya. Sungguh hebat"
Kekhawatiran si anak muda terbukti dengan segera. Sekonyongkoyong
kilat berkelebat, lalu air hujan turun bagaikan dituang-tuang.
Maka, hanya sebentar, Tegalan itu sudah mulai tergenang air.
Si anak muda menoleh kepada si nona, Aneh nona itu duduk tak
bergeming, jeriji tangannya tetap menggaris gariskan tanah...
sekarang bukan tanah lagi, hanya air
Dan Soat Gie, sang adik, menatap kakaknya itu, terlihat kadang
kadang dia tersenyum manis...
"Sungguh luar biasa," berkata si anak muda didalam hati, heran
dan kagum.
"sudah mereka cerdas sekali, mereka juga begini mantap
semangatnya..."
Hujan sementara itu tak mau segera berhenti, bahkan turunnya
makin besar, hingga kedua nona yang duduk mendeprok itu, telah
terendam air kira kira sebatas lutut...
Baru lewat sesaat pula, tiba tiba terdengar Soat Kun menghela
napas, lalu dia bang kit berdiri, untuk menengadah langit, kemudian
memuji.
"oh, Hong Thian Hong Thian- katanya. "Selewatnya lima hari ini,
masih dapatkah engkau membantuk kepadaku, hambamu ini?"
seorang diri si nona memohon kepada Hong Thian, Langit
Tertinggi (Tuhan).
Karena nona- nona itu berdiam saja, siauw Pek pun turut
berdiam, tak mau dia mengganggu. Hanya kemudian, ketika ia
menoleh sekelilingnya, ia melihat jagat berwarna abu-abu
disebabkan disekitarnya air melulu...
Tepat selagi si anak muda menoleh kepada kedua nona itu,
mendadak Soat Gie bangkit, kedua tangannya dipakai menyambar
kepinggang Soat Kun
Ia terkejut, segera ia melompat berlari menghampiri.
"Apakah nona kurang sehat?" tanyanya kuatir.
"Tidak, tidak apa apa." sahut Soat Kun. "sebentar juga baik..."
"Disekitar kita tak ada tempat berlindung apapun juga ..." kata si
anak muda masgul.
"Tak usah kita mencarinya," berkata si nona. "Hujan ini bakal
segera berhenti."
Siauw pek mendongak, melihat langit. Katanya dalam hati. "Awan
masih begini tebal, jagat masih gelap sekali, lagi dua jam, belum
tentu air langit redam turunnya..."
Si nona sementara itu berkata: "barisan istimewa Liok Kah Tin
masih belum kurencanakan sempurna, hendak aku percepat
menghitungnya, kalau loocianpwee bertiga kembali bersama bambu
dan batu, kita akan segera bekerja membangunnya." Siauw pek
mengangguk.
"Semasa aku mengikuti suhu belajar ilmu pedang," katanya
kemudian, "pernah aku mendengar suhu bicara tentang pelbagai
tin, umpama Pat kwa tin, kiu kiong tin, atau Ngo heng tin akan
tetapi karena kebodohanku, belum pernah aku dengar ada Liok kah
tin-Apakah tin nona ini sama atau mirip dengan pelbagai tin itu?
Diwaktu senggang begini, kalau suka, tolong nona menjelaskan
kepadaku."
"Hampir tak ada bedanya, saudara," sahut si nona.
"Bolehkah kalau aku menanyakan sesuatu?" tanya si anak muda
pula.
"Kau sungkan, saudara coh," sahut si nona "Jikalau ada sesuatu
pengajaran dari kau, silakan sebutkan. Segala apa yang aku tahu,
aku akan beritahukan-"
"Nona membutuhkan bambu dan batu, apakah semua itu hendak
digunakan sebagai pengganti manusia."
"Ya, benarlah itu."
"Bagaimana segala bambu dan batu itu dapat dipakai menentang
musuh? Bukakah semua itu benda- benda tak bergerak?" Soat kun
menepas air hujan pada rambutnya.
"Itulah pertanyaan yang sukar dijelaskan, saudara. Itulah
sebenarnya ada hubungan dengan khayalan saja. Hati atau mata
khayal kita, akan melihat maCam benda, akan tetapi apabila diraba
tak terasa dipegang."
Sianak muda menggeleng kepala, ia menarik napas perlahan-
"Benar tak dapat dimengerti," katanya.
"Liok kah tin, atau Ngo Heng tin, sama saja," berkata sinona
pula. "Itulah khayalan berhitung. Siapa memasuki tin, perlu dapat
menghitung tindakan kakinya, untuk dia bergerak ke kiri atau
kekanan. Siapa bisa menghitung tepat dia seperti juga memasuki
suatu tempat kosong. Tidak demikian apabila dia salah bertindak
salah jalan, maka muncullah khayalan, lalu dia seperti masuk
kedalam thian lo tee bong jaring langit atau jalan bumi, walaupun
dia berjalan sampai letih, tak akan mampu dia keluar lagi."
"Hebat" seru sianak muda. "Hampir sukar dipercaya"
"Dari suhu, pernah aku mempelajari ilmu ini, akan tetapi, belum
pernah aku gunakan," sinona memberi keterangan, "maka itu, aku
cuma tahu hafalannya saja, tidak kenyataan, bagaimana hasilnya,
aku tak tahu juga ..."
"Nona sangat pintar," berkata pula sianak muda. "Lain waktu
ingin sekali aku menerima lebih banyak pengajaran."
"Kau memuji saja, saudara, tak berani aku menerimanya," sinona
merendahkan diri, "justru kamilah yang hendak memohon saudara
mengajari kami ilmu silat."
Ketika itu tiba tiba cuaca terang sekali, hingga pembicaraan itu
terputus seketika juga .
Siauw pek melengak ketika dia dongak melihat langit, lekas juga
dia mengawasi Soat Kun.
Sejenak itu hujan berhenti dengan segera, angin tak bertiup-tiup
lagi, dengan lenyapnya awan tebal, siputri malam muncul pula
dengan indah gemilangnya
"Aneh Sungguh aneh" anak muda ini berkata..
"Apakah rembulan muncul pula?" tanya sinona tunanetra.
Kembali Siauw pek melengak.
"Hebat..Mata dia buta, kenapa dia tahu rembulan bersinar
pula?"pikirnya. Hanya kali ini ia segera berkata pula: "Nona aku
kagum untuk perhitunganmu. Tadi langit gelap. hujan besar
berjatuhan tapi sekarang didalam waktu yang pendek sekali mega
lenyap. hujan berhenti dan si Putri Mlaam muncul dengan cahaya
yang terang luar biasa" Nona itu tertawa.
"Aku sebenarnya cuma menduga-duga," sahutnya merendah.
"Kalau kau dapat melihat," kata siauw pek didalam hatinya,
"mungkin kau tidak berani menerka begini..."
Tengah si anak muda bagaikan ngelamun, telinganya mendengar
suara sinona itu, yang ditujukan kepadanya. "Saudara coh, baiklah
kau gunakan kesempatan ini untuk beristirahat sebab mungkin
sebentar, setelah terang tanah, bakal terjadi pertempuran yang
dahsyat. Aku sendiri hendak melanjutkan berhitung."
Sejak itu sianak muda sudah menaruh keperCayaan besar
terhadap sinona, maka ia menerima anjuran itu. Ialalu duduk
bersemadhi untuk menjalankan pernapasannya.
Berapa lama ia sudah beristirahat, Siauw Pek tidak perhatikan,
ketika ia mendengar suara nona Hoan yang sulung itu: "Saudara
coh, lekas bersembunyi, Ada orang mendatangi."
Ia lalu membuka matanya dan menoleh kearah yang ditunjuk
sinona. samar sama ia melihat empat sosok tubuh lari mendatangi.
Tak ada waktu untuk bertanya, bahkan tanpa bangkit ia
menggulingkan tubuh kebelakangnya dimana ada semak-semak
rumput. Disitu ia bersembunyi.
Empat sosok tubuh itu berlari keras, segera juga mereka sampai
ditempat dimana tadi Siauw Pek berkumpul bersama kedua nona
Hoansiauw
pek mengintai. ia melihat empat orang berseragam hitam,
bahunya masing masing tergemblok golok. Yang luar biasaialah
perut mereka itu besar-besar, hingga ia berpikir: "Mereka bertubuh
besar tetapi tidak gemuk. kenapa perut mereka gendut semua?"
Maka ia mengawasi lebih jauh. Iapun berlaku hati-hati, supaya kalau
terpaksa, tak usah ia muncul.
Lama lama terlihat lebih tegas, perut mereka itu besar bukan
disebabkan gendut, hanya ada benda yang dibawanya, entah benda
apa maka juga dibawanya secara begitu aneh.
"Apakah kau tidak keliru melihat?" terdengar orang yang dikiri
tanya salah seorang kawannya. Mereka berdiri terpisah dua tombak
satu dari yang lain-
"Tak salah" menjawab orang yang dikanan. "Aku berada diatas
pohon aku melihat jelas sekali. Tadi ada dua orang disini..."
"Sinar rembulan kurang terang, tak dapat disamakan dengan
siang hari, mungkin kau melihat samar-samar" kata orang yang
ketiga.
"Tak peduli dia salah lihat, mari kita periksa dahulu" berkata
orang yang keempat. Hati Siauw Pek guncang.
"Kedua nona lagi menyembunyikan diri di dekat sini, kalau
mereka kepergok, sulit untuk melindunginya," pikir sianak muda.
"Baik aku muncul guna memancing musuh pergi dari sini."
Selagi si anak muda berpikir, keempat orang serba hitam itu
sudah mulai bekerja. Mereka telah menghunus goloknya masingmasing.
Mereka mencari dengan berpencar, tetapi jaraknya satu
sama lain cuma empat tindak.
Begitu berpikir, siauw Pek bekerja untuk mewujudkan pikirannya
itu. ia menjemput sebutir batu, dengan itu ia menimpuk perut salah
seorang diantaranya.
Tepat timpukan itu, mereka berdua juga terpisah cuma satu
tombak lebih, perut orang itu kedua terhajar, sampai bajunya robek
sebab batunya kebetulan berujung tajam. Habis menimpuk. sianak
muda melompat keluar dari tempat persembunyiannya, untuk
berlari pergi.
Si serba hitam itu kaget merasa sedikit nyeri. Ketika dia melihat
orang muncul untuk terus lari, dia lompat mengejar, begitupun
ketiga kawannya Tadi Siauw pek melihat tegas, perut gendut itu
hanya sebuah buntal seperti holow atau cupu cupu.
siauw pek khawatir orang tidak mengejarnya, ia lari tidak keras,
ia membuat jarak antara kedua pihak cuma satu tombak lebih.
Nyatanya ia disusul terus, sampai jauh kira- kira empat lie.
"Berhenti" tiba-tiba ia membentak sambil menghentikan
tindakannya dan memutar tubuh guna menghadapi keempat orang
itu. Iapun menghunus pedangnya.
Empat orang itu berhenti berlari, tapi mereka bersikap
mengurung, semua bertindak mendekati. Selama itu sianak muda
terus memperhatikan perut lawannya.
Satu kali sianak muda mengawasi muka lawan, ia heran- "Kenapa
wajah mereka ini bersemangat sekali, bagaikan orang yang maju ke
medan perang dengan tujuan mati? Kenapa?"
Lalu orang yang diarah timur berkata: "Kami telah menerima budi
besar sekali dari tongcu kami, hendak kami membalasnya dengan
kematian "
"Kami lebih suka jadi kemala yang hancur daripada menjadi batu
yang utuh" menimpali yang diselatan-
"Kalau nama tersohor ribuan tahun, apakah artinya mati?"
berkata yang dibarat.
"Kita akan mati bersama, untuk bertemu lagi disurga" berseru
yang diutara. Mendengar orang bagaikan bersumpah, Siauw Pek
heran.
"Apakah maksud mereka berkata begini ?" tanyanya didalam
hati.
Empat orang itu merapat terus, sampai mereka datang dekat
sekali. Melihat demikian, sianak muda tak sudi didahului, ia lalu
menerjang.
Empat orang itu menangkis, habis mereka membalas menyerang.
Mereka mengarah setiap anggota tubuh yang berbahaya, dila in
pihak, mereka tidak mencoba melindungi diri. Nampak mereka
nekad.
"Aku menerka mereka berkelahi mati-matian, tetapi apa
sebabnya?" Siauw pek berpikir tak habis mengerti. Selagi ia berpikir
serangan lawan datang bertubi-tubi, maka terpaksa ita menyampok
golok musuh hingga terpental
Meskipun begitu, bukannya musuh- musuh itu lekas memperbaiki
diri, mereka justru maju serentak. semuanya lompat menerjang
sambil mengajukan tubuh mereka.
Hampir sianak muda tercengang bahaya herannya. Tanpa ayal
lagi, ia lompat mencelat tubuhnya terapung tinggi, melewati salah
seorang lawan- Sambil berlompat itu, ia menusuk kearah depan,
dimana ada sebuah pohon pek yang tinggi dan besar, tepat ujung
pedangnya nancap di batang pohon, hingga tubuhnya bagaikan
tergantung dipohon itu
Keempat musuh yang menerjang dari empat penjuru itu, tidak
menyangka lawan bisa meloloskan diri. Karena mereka berlompat
dengan keras, tidak dapat mereka menahan diri, serentak mereka
saling tubruk. Sebagai kesudahan dari tubrukan hebat itu
terdengarlah ledakan yang nyaring bercampur jeritan-jeritan dari
kesakitan yang terputus dengan mendadak. dan tampak api
menyala seperti kilat, disusul dengan mengepulnya asap menaik
tinggi
siauw Pek diatas pohon mendengar suara itu, sempat pula ia
melihat ledakan, sambil menoleh kebelakang ia mencabut
pedangnya, berlompat turun. sekarang ia melihat satu
pemandangan yang sangat mengiriskan hati
Keempat musuh mati dengan tubuh mereka hancur tangan dan
kaki terpisah dimana-mana tulang-tulang berserakan. Tak lagi dapat
dikenal wujud mereka semua.
"Sungguh kejam..." pikir si anak muda, yang hidungnya mencium
bau wewirang dan sengit. ia menghela napas. Tanpa berkata kata,
ia bertindak kembali ketempat dimana dia berkumpul bersama
kedua nona Hoan- Nona nona itu tengah menantikannya.
"Kau tidak kurang suatu apa, saudara coh?" tanya Soat Kun, si
nona menghela napas.
"Syukur aku tidak kurang suatu apa..." sahut pemuda itu menarik
napas panjang, "sungguh suatu cara penyerangan yang kejam
sekali..."
"Sebenarnya mereka menggunakan akal kuno," sahut si nona.
"Pada tubuh mereka, mereka menyembunyikan obat pasang . . . "
Siauw Pek heran-"Bagaimana nona ketahui itu?"
"Sederhana saja Bukankah mereka telah gagal menabrak kereta
kita? Baru saja kami mendengar suara ledakan, mudah menerka itu
bukan?" Siauw Pek kagum.
"Diantara orang Rimba Persilatan, tak kurang mereka yang berani
mati," berkata ia, "tetapi yang nekad seperti mereka itu berempat
itulah langka. Jikalau aku tidak lompat mengapungi diri, ah, pasti
aku tak luput dari bencana hebat itu..." Giris si anak muda
mengingat kehebatan yang baru saja terjadi itu.
"Diantara pemimpin rombongan itu mesti ada seorang yang
pandai menggunakan bahan peledak." berkata Soat Kun. "Sebaiknya
lebih dahulu kita menyingkirkan dia itu..."
"Itulah benar, nona, cuma sulitnya, kita tak tahu siapa kah
pemimpinnya itu?"
"Sekarang ini saudara coh, haruslah kau bersabar. Baik kita
tunggu sampai kita sudah berhasil mengumpulkan tenaga tenaga,
baru kita tempur mereka perhadap hadapan."
Selagi mereka bicara itu, mereka mendengar tindakan kaku
berlari mendatangi, segera mereka berpaling. Maka mereka melihat
Ban Liang yang bersama Oey Eng dan Kho Kong, yang masing
masing memanggul seikat besar bambu.
"Kamu tidak kurang suatu apa, bukan?" tanya Ban Liang, yang
menarik napas lega. ia dan kedua kawannya itu memandang si
nona- nona dan anak muda.
"SyUkurlah, looCianpwe," menjawab Soat Kun tersenyum,
"saudara coh telah melindungi kami. ia telah memancing musuhmusuh
pergi jauh dari sini. Tapi, saudara coh kaget juga ..."
"Syukur aku lolos dari bahaya," kata Siauw Pek.
"Kami lagi mengumpul bambu ketika mendengar suara ledakan,
maka kami segera lari pulang," berkata sijago tua. "Sekarang hati
kami lega."
"Apakah loocianpwee dapat mengumpul banyak?" tanya si nona.
"Rasanya cukup banyak, keponakanku, hanya entahkah, cukup
atau tidak. Batunya sukar diangkut, maka itu tadi aku telah
menyewa dua buah gerobak." Mulut si nona berkemak-kemik.
"Bambu dan batu telah tersedia," kata ia sesaat kemudian,
"tinggal waktu untuk membangun tin- Kita membutuhkan waktu
satu malam. Itulah saat yang sangat berbahaya. Aku mengharap
sangat bantuan tuan tuan- Kami harus memecahkan diri menjadi
dua rombongan, yang dua membantu kami bekerja, yang dua lagi
bertugas melindungi, yaitu untuk berjaga jaga kalau musuh datang
menyerbu. Sebelum tin rampung, faedahnya tidak ada..."
"Tempat kita ini telah diketahui musuh, yang menyerang,"
berkata Ban Liang.
"Benar. Besok adalah saat tergenting. Tempat ini belukar dan
luas, paling mudah untuk diserang, paling sulit buat membelanya.
Aku juga khawatir tak keburu kita merampungkan pembuatantin
kita ini..." Ban Liang berdiam, pikirannya bekerja keras. Ia heran
pula.
"Si nona ini ketahui tempat ini terbuka, kenapa dia memilih ini?
Musuh banyak, kita sedikit, apakah kita nekad mengadu jiwa?..."
Setelah berdiam sejenak, si nona berkata pula, halus suaranya^
"Selama pertempuran di rumah kami, aku tak jelas akan pihak
musuh, begitulah kita terancam bahaya besar. Sekarang ini aku lain-
Kini aku sudah mulai mengerti mengenai musuh, bahwa makin lama
sang waktu berlarut, makin buruk keadaan kita. Musuh dilain pihak
berhasrat keras untuk menumpas kita..."
"oleh karena itu, nona, perlu kita mempunyai daya yang
sempurna untuk menentang mereka," berkata sijago tua.
"Itulah maksud utama dari aku, loocianpwee. Kalau kita pergi ke
Siauw Lim sie, yang hasilnya masih muram, kita justru seperti
mengundang musuh dari dua jurusan..." Si nona mengangkat
kepala, menengadah langit. Ia mengeluarkan napas lega.
"Disini Jikalau kita bertempur dan memperoleh kemenangan,
nama kita bakal segera tersiar luas," ia berkata pula. "Dengan tidak
langsung, penyerbuan mereka itu juga akan membeber rencana
busuk mereka sendiri..."
"sekarang bagaimana, nona?" Ban Liang tanya.
"Bagaimana pikiran saudara coh, saudara saudara Oey dan Kho?"
si nona balik bertanya.
"Kami menurut nona saja," sahut Siauw Pek. Dia mewakili kedua
saudaranya.
"Tuan tuan begini perCaya aku, baiklah.. Mari kita mulai bekerja"
"Tiga ikat bambu ini berjumlah empat ratus batang lebih, entah
sudah cukup atau belum?" tanya Ban Liang.
"Lebih malahan," berkata si nona. "Aku membutuhkan tiga ratus
enam puluh batang saja.
^Nona, mengenai Liok Kah Tin, kami asing," Ban Liang berkata
pula, "karena itu, bagaimana caranya kami dapat membantumu?"
"Mudah saja, loocianpwee, kamu ikut aku, dimana aku tunjuk.
disitu kamu menancapnya."
"Benar benar sangat sederhana" seru Kho Kong.
"Hanya ingat," memesan si nona sambil tersenyum^ "selekasnya
kamu menancap.jangan kamu berdiam lama-lama disitu"
"Baik, nona. Silahkan nona jalan dimuka" Berkata begitu, Ban
Liang memanggul bambunya.
Soat Kun mengangguk. lalu dengan sebelah tangan memegangi
bahu adiknya. Ia mulai berjalan- Ditangan kanan dia membawa
sebatang bambu kecil. Ban Liang mengikuti, diam diam dia
perhatikan gerak gerik si nona.
Soat Kun merandak setiap enam langkah, dengan bambunya, ia
terus menggurat membuat beberapa bundaran ditanah, habis itu, ia
berkata^ "Tancapkanlah bambu ditengahnya jangan diluar
bundaran"
Ban Liang berempat melakukan tugasnya dengan baik, belum
ada satu jam, habis sudah mereka menancapkan tiga ratus
enampuluh batang bambu itu semua. Ketika mereka mengawasi,
mereka heran, bambu ratusan itu nampak seperti hampir seribu
batang.
"Mungkin benar bambu ini ada keanehannya," pikir sijago tua.
Lalu terdengar suara sulung: "Adik coba kau lihat, apa yang
kurang pada bambu itu?"
Soat Gie, siadik mengawasi keseluruh tin, kemudian ia lari masuk
kedalamnya, untuk membetulkan dua batang.
Kho kong heran, hingga hatinya berdenyutan- Ialah yang sengaja
menancapkan salah kedua batang bambu itu, sebab ia pikir, apa
artinya hanya dua batang, siapa sangka sinona bungsu melihatnya.
Balik kepada kakaknya, Soat Gie memegang tangannya dua kali.
Segera alls sinona berkerenyit. Katanya. "Adikku mengatakan
bahwa dua batang bambu tertancap kearah barat kira- kira satu dim
mencongnya. Nampaknya bambu itu ditancap salah bukan tanpa
sengaja."
Ia menarik napas duka. "Ini dia yang dikatakan, beda sedepa,
salah seribu lie Sekarang silahkan tuan-tuan lihat, setelah letak dua
batang diperbaiki, apakah masih ada yang kurang rapi?"
Disaat itu rembulan bercahaya terang sekali, semua orang bisa
melihat dengan tegas. Ban Liang melihat ada sesuatu yang beda
dari saat tadi dan sekarang, hanya tak dapat ia menjelaskan
perbedaan itu.
"Karena salah tancapnya kedua batang bambu itu bukankah
tampaknya kurang pengaruhnya?" tanya si nona
Ban Liang berempat mengawasi terus. Setelah mendengar suara
sinona itu, barulah mereka melihat, benar ada suatu perbedaan,
suasananya lain sifatnya. Jago tua itu batuk perlahan-lahan.
"Jikalau nona tidak menyebutnya, benar kami tidak melihat apa,"
katanya.
"Sungguh luar biasa"
"ikalau sudah ditambahi dengan batu, suasana ini akan berubah
jauh," berkata pula sinona.
"Tin akan nampak keren sekali." Ban Liang mengangguk berapa
kali.
"Apakah nona berniat berdiam disini?" tanya sijago tua.
"Sukar buat memastikan, loocianpwee. Buat sementara baiklah
kita berdiam disini setengah atau satu bulan..."
"Nona, dapatkah kau menjelaskan lainnya, supaya kami
mengetahui segala sesuatunya lebih terang?" Siauw Pek minta.
"Mungkin penjelasanmu ada faedahnya buat kewaspadaan kami..."
"Kita cuma berenam, kita sebisanya mesti mendapat tambahan
tenaga," kata Soat Kun-
"Bukankah, seperti nona pernah katakan, nona mau pakai tin ini
untuk mendapatkan tambahan tenaga itu?" sijago tua bertanya
pula. Nona itu mengangguk.
"Walau bagaimana, tin ini adalah benda mati. Maka itu, perlu
sekali bantuan tenaga manusia untuk membuatnya menjadi hidup,"
"Bagaimana kami harus membantunya, nona?" Siauw Pek pun
tanya. "kami tidak mengerti."
Nona Hoan tersenyum. "Jangan bingung, saudara coh," katanya,
"Seperti telah kukatakan, tin ini sangat sederhana."
"Nona," Ban Liang bertanya. "bagaimana andaikata musuh tak
mau memasukinya?"
"Dugaanku sebaliknya, loocianpwee. Pasti musuh akan
menerjangnya. Yang perlu sekarang ialah lekas- lekas kita
merampungkannya."
"Baik, nona. Loohu akan segera mengangkut batunya "
"Sekarang ini," Soat Kun memperingatkan, "setiap detik kita
dapat diserbu musuh, karena itu, baiklah loocianpwee menetapkan
suatu isyarat guna satu dengan yang lain saling memberitahukan,
supaya kamu dapat bantu membantu."
"Nona benar," kata sijago tua.
Kho Kong tiba-tiba merangkap kedua belah tangannya. "Nona,"
katanya, "ada sesuatu yang mengganjal dikerongkonganku, tak
dapat aku tak mengeluarkannya..." Soat Kun mengawasi.
"Bukankah kau mau bicara tentang pelatok bambu?" tanyanya.
"kau toh yang sengaja menancap salah?"
"Benar, nona," si polos mengakui, "Aku menyangsikan pelatok
bambu dapat menolak musuh, aku sengaja menancap salah itu
untuk mencoba coba nona dapat melihat atau tidak..."
"sekarang kau percaya atau tidak?"
"Sekarang akupercaya betul. Aku bersedia ditegur nona..."
Dan sikap si nona menjadi sungguh-sungguh hingga dia nampak
keren.
"Menegur kau, itulah aku tidak berani," katanya, "akan tetapi,
ada beberapa kata kataku yang tak dapat aku tidak
mengeluarkannya "
"Silahkan bicara nona, kami bersedia mendengarnya," berkata
Siauw Pek, yang turut bicara, bahkan dia merangkap kedua belah
tangannya.
soat kun tidak bisa melihat, Soat Gie tidak bisa bicara, tetapi,
seperti sudah diketahui, mereka senantiasa dapat berhubungan satu
dengan lain. Asal ia mendengar, si sulung dapat mengerti segala
sesuatu, Dan si bungsu, asal ia melihat dan memberi isyarat kepada
kakaknya lalu si kakak mengetahui apapun dengan jelas. Demikian,
nona nona itu melihat, mendengar dan mengetahui segala sesuatu
disekitarnya.
Soat Kun bangkit berdiri, kemudian membungkuk, guna
membalas hormat.
"Saudara coh terlalu merendah," katanya. "Mengenai kita ini, aku
hendak mengatakan, ular tanpa kepala tak dapat berjalan, burung
tanpa sayap tak dapat terbang. PerbUatan saudara Kho sengaja
salah menancapkan bambu membuat aku berpikir. Kesalahan itu tak
usah diperpanjang, tetapi selanjutnya itulah harus dicegah.
Bagaimana andaikata tenaga kita berhasil ditambah? Bukankah kita
tidakpunya kepala perang dan undang undang tentara? Umpamanya
tenaga ktia jadi besar, bukankah itu hanya segerombolan saja?
Bagaimana mereka bisa dipakai menghajar musuh?"
"Itu benar" berkata Ban Liang. "Akupun telah memikirkannya.
Sekarang, bagaimana kita harus mengaturnya?"
"Itulah sebabnya, loocianpwee," berkata si nona, "aku memikir
tak lebih dulu memilih dan mengangkat pemimpin, lalu mengadakan
aturan untuk mengatur rombongan kita..."
"Aku memilih nona" berkata Siauw Pek. Soat Kun menggeleng
kepala.
"Untuk memikir, mengatur sesuatu, mungkin aku sanggup,"
katanya, "akan tetapi buat memimpin apa pula guna mengepalai
dunia Rimba Persilatan, itulah tidak"
Ia diam sejenak, lalu menambahkan. "Tuan tuan jangan lupa
bahwa akulah orang yang bercacad mata satu, yang tak dapat
melihat segala sesuatu..." Kata kata terakhir ini diucap pelan sekali.
"oleh karena nona menolak. baiklah Ban Loocianpwee saja yang
diangkat," Siauw Pek mengusulkan.
"Tidak dapat" Ban Liang menggeleng kepala. "Dunia Kang ouw
begini kacau dan loohu sudah tua, tak sanggup aku memegang
pimpinan. Aku cuma bisa turut turutan saja..."
Terus dia menatap putera coh Kampek almarhum dan
menambahkan : "Menurut aku, paling baik adalah saudara coh yang
memegang tampuk pimpinan"
"Ya, ya, akupun memikir sama dengan loocianpwee" berkata
Soat Kun. "Saudara coh adalah yang paling tepat"
Pemuda itu hendak menolak usul Ban Liang ketika si nona
memegatnya berbicara, maka ia mesti menanti nona itu bicara
habis, setelah itu:
"Tidak. tidak," katanya. "Aku masih terlalu muda, aku masih
belum tahu apa apa..."
"Toako, terimalah tugas ini" berkata Oey Eng dan Kho Kong
serentak. "Kami sedia menerima segala perintah dari toako" Ban
Liang tertawa lebar.
"Suara terbanyak berarti harapannya orang banyak pula"
katanya. "Saudara kecil, Jikalau kau menolak. kau membuat kami
merasa sulit"
"Tapi... tapi..." kata sianak muda menarik napas.
"Mulai saat ini kami mengangkat kau menjadi Sim Too Bengcu"
berkata Soat kun-
"Kim Too yaitu golok emas dari ceng Gi loojin, menjadi lambang
kita Nanti, sesudah pengaruh kita besar, akan kita maklumkan ini
kepada dunia Rimba Persilatan, agar umum mengetahuinya Biarlah
ceng Gi kim Too Golok Emas Keadilan tersiar luas"
"Aku yang begini muda, bagaimana mungkin aku membuat dunia
Rimba Persilatan mau tunduk dihadapanku?" tanya sianak muda.
"cita Cita atau semangat tidak bergantung kepada usia muda,
saudara kecil." berkata Ban liang. "Nah, marilah SengCu menerima
hormatku"
"Mana... mana dapat?" kata Siauw pek gugup
Akan tetapi sijago tua sudah mendahului menunduk berlutut
memberi hormatnya.
Amat sibuk Siauw pek. Ia menjatuhkan diri berlutut juga ,
mendekam untuk membalas hormat, setelah mana ia
membangunkan orang tua itu.
Oey Eng dan Kho kong segera turut memberi hormat, diturut
oleh soat kun dan Soat Gie Karena mereka bukan tengah bergurau,
mereka berlutut mengangguk angguk berulang ulang. Hingga
kembali pemuda she coh itu repot untuk membalasnya.
Paras muka siauw pek merah karena malu terhadap kedua nona
itu Adat istiadat melarang ia menyentuh tangan orang untuk
membangunkan mereka itu. Ia cuma bisa berkata: "Tak berani, tak
berani aku menerima hormatmu nona..."
Setelah bangkit, Soat Kun berkata sungguh sungguh^ "Sejak
saat ini kaulah bengcu yang dihormati, bahkan mungkin lagi tiga
atau lima bulan, kau akan memimpin rombongan dari beberapa
ratus jago Rimba Persilatan, guna menjunjung keadilan, buat
menyapu bersih hawa busuk dunia Kang ouw Kami berdua bercacat
tetapi kami akan lakukan apa yang bisa untuk menunjangmu,
setelah jiwa kami habis barulah kami puas..." Itulah kata kata berat,
maka juga berat Siauw pek menerima budi itu.
"Dalam hal menerka musuh dan mengambil keputusan, kami
berdua saudara bersedia bertanggung jawab," kemudian berkata
pula Soat Kun sambil menyingkap rambut disisi telinganya
"Untuk memerintah, untuk menghadapi musuh, itulah tugas
bengcu, dapat bengcu mengambil tindakan sendiri"
"Baiklah, nona" katanya akhirnya. "Aku akan lakukan segala apa
dengan setakar tenagaku, hidup atau matiku, tak kupikirkan pula"
"Nona, Jikalau ada titahmu untukku, keluarkanlah" Ban Liang
berkata kepada Soat Kun yang sekarang ia sangat hormati,
"Langkah orang pintar seperti kau, baru beberapa hari, kau telah
perlihatkan kepandaianmu yang luar biasa "
"Suhu Almarhum barulah orang cerdik pandai," berkata si nona
merendah, "Sayang suhu lekas sekali mendahului kami pergi, hingga
kami ditinggalkan tanpa daya. Pelajaran yang kami dapat, dalam
sepuluh, baru tiga atau empat bagian..."
Berkata begitu, wajah si nona lesu dan suram, pertanda bahwa ia
sangat menyesal dan berduka. Kemudian ia menambahkan:
"Semoga arwah suhu akan memberkahi dan melindungi kedua
saudara, supaya kami dapat melakukan sesuatu untuk kebaikan
khalayak ramai..."
Kemudian lagi, dengan suara perlahan, ia memohon, "Ban
Loocianpwee bertiga, tolong kamu lekas bawa kemari batu batu itu,
supaya dapat tiba disini besok sebelum tengah hari, supaya segera
kita dapat merampungkan tin kita ini."
"Baik, nona, menyahutBan Liang. Kami pergi sekarang " Dengan
segera, sijago tua itu mengajak Oey Eng dan Kho Kong berlalu.
Besoknya, dibawah petunjuk Nona Hoan, dengan dibantu Siauw
Pek, Ban Liang bertiga bekerja keras membangun barisan
rahasianya itu, yang memang rampung disaat matahari mulai naik
tinggi Setelah itu, si nona memberi petunjuk bagaimana orang harus
masuk dan keluar dalam tin itu, agar mereka nanti harus melayani
musuh
Ditengah tengah tin, dibangun juga sebuah rumah atap yang
bertingkat, untuk menjadi pusat barisan istimewa.
Selama itu terjadilah hal yang diluar dugaan. Selama dua hari tak
tampak musuh muncul, jangan menyerbu, mengintaipun tidak. Di
hari ketiga, tengah hari, Ban Liang habis sabarnya. "Nona Hoan,
loohu ingin sekali mengutarakan sesuatu"
"Mungkinkah itu urusan selama dua hari musuh tak kunjung
tiba?" bertanya nona.
"Benar begitu, nona "
"Itulah tidak heran, loocianpwee. seperti telah kukira, diantara
musuh ada salah seorang pemimpinnya yang pandai, yang
mengatur segala sesuatu. Begitulah maka gerak gerik musuh sering
ada yang diluar dugaan- Walaupun demikian, aku rasa kesabaran
mereka tetap tidak muncul mungkin besok..."
"Jikalau mereka bakal datang, tak apa mereka datang terlambat
satu hari," kata sijago tua. "Aku hanya mengkhawatirkan mereka
benar- benar tidak datang Itu berarti tidak sia-sia saja kita bersusah
payah membangun tin kita ini..." Nona Hoan tetap tenang sikapnya.
"Barang kali, loocianpwee mereka itu sudah mengirim matamatanya
mengawasi gerak gerik kita," katanya. "Mereka hanya
bekerja secara menggelap dan mereka pula sengaja tidak segera
datang, guna menguji kesabaran kita. Rupanya mereka mengharapharap.
karena habis sabar, kita nanti pergi mengangkat kaki dari
sini. Jikalau aku menerka tepat, pasti sudah mereka telah mengatur
pasukan bersembunyi diempat penjuru kita, setelah habis sabar kita,
sendirinya kita masuk kedalam perangkap mereka itu. maka itu
sengaja aku membangun gubuk kita yang bertingkat ini. Kita harus
tunjukkan kepada mereka bahwa kita mau berdiam lama disini..."
"Bagaimana dengan rangsum kita, nona? Sekarang ini persediaan
paling juga buat dua hari. Selewatnya, musuh datang atau tidak,
kita toh harus keluar dari sini"
Sinona berdiam sejenak "Loocianpwee apakah masih juga
loocianpwee meragu-ragukan aku?" tanyanya kemudian- "Apakah
loocianpwee masih tak jelas mengenai kedudukanku?"
"Nona..." Ban Liang melengak.
"Loocianpwee," berkata pula sinona, suaranya dingin, inilah tak
biasanya: "didalam rombongan kita ini, kecuali bengcu, tidak ada
yang memikul tanggung jawab lagi, yang memegang kekuasaan,
maka itu, kalau ada sesuatu yang hendak diajukan, silahkan
laporkan kepada bengcu"
Soat Kun lekas lekas membungkuk, membalas hormat itu.
"Boanpwee hendak menegakkan aturan, tak dapat boanpwee tak
bersikap begini," katanya. "harap loocianpwee suka memaafkanku."
JILID 28
"Jangan kecil hati, nona, Loohu, tidak mendendam apa apa,"
kata si orang tua.
"Mudah-mudahan," berkata si nona, yang terus memutar tubuh
dan dengan tangan kiri memegang bahu adiknya, dia berjalan pergi
perlahan lahan. Siauw Pek mengawasi kakak beradik itu.
"Nona Hoan telah berubah..." katanya.
"Dia lemah lembut dan manis budi, wajahnya selalu gembira,
tetapi sejak toako menjadi bengcu, tak pernah tampak lagi
tawanya," berkata Oey Eng. "Setiap waktu aku melihat dia
bersungguh sungguh dan keren, bagaikan dia tengah memimpin
satu angkatan perang..."
"Seorang kuncu, apabila dia tidak menghargai dirinya, dia tak
berwibawa," berkata Ban Liang perlahan. "Si nona selanjutnya bakal
membantu bengcu memimpin Rimba Persilatan, tanggung jawabnya
berat, tidak heran kalau dia membawa sikap yang memegang
derajat itu."
"oh, begitu," kata Kho kong bagaikan baru mengerti.
"Dia cantik dan cerdas sekali, akan tetapi karena dia bercacat,
tak luput dia dari rasa rendah diri. Dahulu itu tidak ada soal, tidak
apa- apa, tapi setelah dia mengangkat saudara coh sebagai bengcu,
dengan sendirinya dia menjadi kunsu, ahli pemikir tentara, dari
bengcu. Aku lihat, berhasil atau tidak Kim Too bengcu menguasai
Rimba Persilatan, semua itu akan bergantung kepada si nona itu..."
"Menurut kau, tidaklah ada keadilan, loocianpwee," kata Oey Eng
"Kim Too bengcu boleh berhasil memimpin Rimba Persilatan tetapi
kita turut masuk hitungan berjasa karena kita membantunya"
"Kau benar, saudara," berkata sijago tua, "tetapi kau tidak
berpandangan sebagai si nona. Untuk dia, orang yang paling
berjasa membantunya adalah adiknya yang bisu itu."
"Memang tugas si nona berat," kata Kho kong turut bicara pula,
"Yang terang ialah bantuan kita terlalu sedikit..." Ban Liang
kemudian bicara dari hal lain.
"Ilmu silat kamu, saudara-saudara, sudah termasuk kelas satu,"
demikian katanya. "Hanyalah, musuh-musuh kita itu terlalu
tangguh" ^
"Maka itu, berat tanggung jawab kita," berkata Oey Eng. "Hal itu
membuat hatiku kurang tenang. Aku pikir, selanjutnya baiklah kita
bersungguh-sungguh melatih diri, supaya ilmu silat kita bertambah
maju." Mendengar itu, Ban Liang tertawa.
"Jikalau kamu berminat," katanya, "Jikalau kamu setuju, bersedia
aku menurunkan apa yang aku bisa"
Oey Eng mau bicara pula ketika ia melihat Soat kun keluar dari
dalam rumah. Dengan segera nona itu berkata: "Tuan-tuan berdua,
suhu meninggalkan beberapa macam ilmu silat yang mudah
dipelajari, Jikalau kamu sudi, suka aku mewakili suhu memberi
pelajaran kepadamu."
"Selama kita menghadapi musuh, aku merasa ilmu silatku masih
sangat rendah," berkata Kho kong, yang mengaku dengan jujur,
"dengan kepandaian sebagai itu, sulit tanggung jawab kami, kalau
nona sudi memberi Pelajaran, sungguh kami bersyukur tak habisnya
"
"Jikalau kamu sudi, nah, marilah kita segera mulai" berkata
sinona. Kho kong menoleh pada Oey Eng. "Bagaimana pikiranmu,
kakak?" dia tanya. Oey Eng mengangguk.
"Mari lebih dahulu kita menghaturkan terima kasih kepada nona
Hoan," katanya. Dan dia mendahului memberi hormat dengan
membungkuk. Kho kong meneladani kakak itu.
"Jangan mengucapkan terima kasih," Soat Kun menolak, "Aku
cuma mau mengajari hafalnya saja, kemudian tuan-tuan berdua
hasil atau tidak, itu akan bergantung kepada kesadaran dan
kerajinan kamu sendiri "
"Itu benar" kata Oey Eng.
"Apakah loohu dan bengcu dapat turut masuk ?" Ban Liang
bertanya.
"Jikalau loocianpwee dan bengcu mempunyai kegembiraan,
senang kami menyambutnya " berkata nona manis.
Nona itu segera bertindak masuk. Oey Eng dan Kho Kong segera
menyusul, mereka ini benar- benar sangat menghormat kepada
nona tuna netra itu.
Ban Liang dan Siauw Pek turut masuk, selagi berjalan bersama,
sijago tua membisiki si anak muda: "Seperti pernah aku terangkan,
apa yang aku tahu mengenai kakak Hoan, ialah ilmu surat ia pandai
luar biasa, otaknya cerdas, tapi dalam ilmu silat ia tidak berhasiL.
Meski begitu sering ia membicarakan tentang ilmu silat pelbagai
partai, perihal kekurangannya. Ternyata ia bicara dari hal yang
benar, karena itu loohu percaya, warisannya ini bukan sembarang
ilmu silat."
"Ia dapat membicarakan ilmu silat pelbagai partai, itu saja sudah
menandakan pengetahuannya luas" berkata Siauw Pek, "cuma
heran kenapa tak dapat memahirkan ilmu silatnya."
"Menurut kakak Hoan, itulah karena bakatnya. Belakangan kakak
Hoan tak pernah bicara lagi tentang ilmu silat denganku, mungkin
disebabkan dia menyangka aku tidak percaya segala keterangan itu.
Barulah kemudian, setelah aku mengundurkan diri, sesudah
mendapat kesempatan berpikir, aku mendapat kenyataan bahwa
apa yang kakak Hoan bilang benar semuanya. Tentu sekali sudah
terlambat bagiku, karena tak dapat aku bertemu pula dengannya."
Siauw pek manggut manggut.
"Sayang aku terlahir terlambat beberapa puluh tahun," berkata
sianak muda. "hingga aku tak sempat menemui Hoan Loocianpwee
itu.."
"Kedua nona telah mewarisi kepandaian kakak Hoan, sekarang
kita berkesempatan melihat bagaimana dia memberikan pelajaran
kepada dua saudara Oey dan Kho. Mungkin kita akan mendapat
sesuatu."
Didalam, Oey Eng dan Kho kong sudah bersemadhi, mulut
mereka kemak kemik, entah apa yang diucapkan. Teranglah bahwa
si nona sudah memberikan pelajaran hafalan teori ilmu silat yang
diajarinya itu.
Soat kun berdua berdiri dipinggiran, tangan sinona tetap berada
dibahu adiknya. Mereka berdiam sikapnya sangat bersungguhsungguh.
Ban Liang dan ketuanya bertindak perlahan terus berdiri disisi
lain, untuk mengawasi sambil memasang telinga.
Lewat kira-kira seperminuman teh, mendadak terdengar
pertanyaan nona Hoan^ "Tuan-tuan kamu sudah hafal atau belum
?"
"Sudah" jawab Oey Eng dan Kho kong.
"Bagus!! Silahkan berdiri "
Kedua anak muda itu bergerak bangun, lalu keduanya
mengatakan bahwa ada diantara teori itu yang mereka kurang
paham.
.o.o^o.o.o^o.o.
"Asal kamu berlatih terus menuruti hafalannya, perlahan-lahan
kamu akan mengerti sendiri," berkata sinona "senjata apakah yang
kamu gunakan berdua ?"
"Aku menggunakan pedang," sahut Oey Eng.
"Aku menggunakan poan koan pit," jawab Kho kong.
"Pedang menjadi leluhurnya alat senjata," berkata sinona pula, "
pedang mudah dipelajarinya tapi juga pedanglah yang paling sulit
digunakannya dengan sempurna. Tahukah kau ilmu pedangmu dari
cabang mana ?" Oey Eng melongo.
"GutUku cUma menyebutnya ilmu tetapi tidak asal usulnya."
Si nona menghela napas.
"Kau tak dapat disalahkan," ujarnya. "Banyak pelajar ilmu
pedang,jumlahnya sampai ratusan ribu, tetapi banyak juga yang
tidak tahu asal usulnya."
Kemudian nona itu menceritakan panjang lebar tentang, yang
terutama memerlukan bakat, sebab ketekunan dan kecerdasan saja
masih belum cukup, Ban Liang dan Siauw pek kagum mendengar
penuturan nona itu.
Oey Eng sangat tertarik hingga ia bertanya "Nona, dapatkah aku
belajar pedang sampai mengerti atau sampai sempurna ?"
Ditanya begitu Soat Kun melengak. Ia tidak bisa melihat roman
orang.
"coba kemari " katanya setelah ragu ragu sebentar.
Oey Eng kira dia salah bicara, hatinya tidak tenang, setelah
meletakkan pedangnya, ia menghampiri.
soat kun mengulurkan tangannya, untuk meraba raba belakang
kepala serta bahu sianak anak. setelah mana ia menggelengkan
kepala.
"Melihat tulang tulangmu, lebih baik kau tidak mempelajari ilmu
pedang," katanya kemudian-
"Terima kasih, nona," berkata si anak muda. Iaheran tetapi ia
tidak menanyakan jelas. Perlahan lahan, ia mengundurkan diri.
"Dapatkah nona memeriksa bengcu?" Ban Liang bertanya. Iapun
tidak mengerti, maka ia ingin mencoba Siauw pek Kembali agaknya
si nona ragu ragu^
"Entahlah, bengcu sudi memberi kesempatan kepadaku mencoba
atau tidak..." katanya.
Sebenarnya Siauw pek tidak setuju, tetapi karena Ban Liang telah
menanyakannya dan sinona tidak berkeberatan, terpaksa ia
mengajukan diri.
"Memberabekan saja, nona," ujarnya.
"Tidak menjadi soal, bengcu," berkata sinona, yang terus meraba
belakang kepala serta bahu sianak mudaseperti ia memeriksa Oey
Eng tadi, hanya menggunakan waktu lebih lama. Selama itu nampak
ia berpikir keras, terus ia berdiam saja.
Ban Liang berpikir, Siauw pek tampan danpandai ilmu pedang
Thian Kiam dan golok Pa Too, mestinya ia berbakat baik, mestinya
si nona bakal memuji tinggi kepadanya, maka itu heran ia
menyaksikan nona itu membungkam. Kho Kong tidak sabaran.
"Nona, bagaimana dengan bengcu," tanyanya.
"Tulang bengcu luar biasa, tidak berani aku sembarang
menyebutkannya," sahut si nona.
"Nona," berkata Siauw Pek, yang melihat kesangsian orang,
"biasanya seorang laki laki menanyakan tentang bahaya tetapi tidak
tentang bahagia, demikian dengan aku. silakan nona bicara secara
terus terang saja"
"Aku tidak bisa melihat, bengcu," jawab sinona. "Mungkin
wajahmu beda daripada tulangmu, mungkin pada wajahnya ada
sesuatu yang luar biasa. bicara dari hal tulang saja, walaupun
bengcu berjodoh dengan ilmu pedang, peruntunganmu harus
menemui kesukaran, pelbagai macam... "
Siauw pek tertawa hambar mendengar keterangan itu.
"Dari masa kecilku, yaitu semenjak aku ingat aku sudah hidup
terlunta lunta didalam pelarian," berkata ia. "Setiap kami
menyingkirkan diri dari ancaman ancaman maut. Nona benar
mengatakan nasib celakaku berlapis lapis."
"Ada satu hal lain, yang aku kurang mengerti..." kata si nona
pula.
"Apakah itu, nona?"
"Menurut tulang bengcu, tak selayaknya bengcu siang siang,
kehilangan ayah bundamu, akan tetapi..."
"oh, begitu, nona?" si anak muda menegaskan- Dia heran.
"Ya. Menurut keterangan bengcu sendiri, yang begitu lengkap
bagaikan lukisan gambar, ayah bunda bengcu telah mati dimedan
pertempuran didepan jembatan Seng Su Klo Sebab bengcu ini, aku
jadi tak berani lancang bicara..." Paras Siauw Pek berubah.
"Nona, sukakah kau bicara terus terang, kata ia. "Apakah
ramalan nona itu?"
"Tak selayaknya ayah bunda bengcu menutup mata bersama."
"Apakah nona artikan, salah satu harus masih hidup" sipemuda
tegas kan pula.
"Kira kira begitulah."
"Yang mana, nona? Ayah atau ibuku ?"
"Harusnya ibumu yang masih hidup^.."
Hati Siauw Pek berjekat, sampai ia tertegun.
"Aneh sekali, kata katanya."
"Aku bicara hanya berdasarkan pemeriksaan tulang kepala dan
bahu bengcu," Soat Kun menjelaskan- Ia menghela napas perlahan
"Aku kawatir bahwa ramalanku tidak tepat. Bengcu menyaksikan
sendiri ayah bunda bengcu bertempur didepan jembatan dan telah
terbinasa karenanya, pastilah penglihatan bengcu itu tidak keliru."
Siauw pek mendongak. ia menarik nafas perlahan-
"Yang aku masih tidak mengerti ialah kenapa delapan belas
partai memusuhi ayahku, katanya. Benarkah itu disebabkan
kematian ketua keempat partai? Benarkah mereka itu terbinasa
ditangan ayahku ?"
"Didalam hal ini mesti ada sebabnya," kata Soat Kun menghibur.
"Mungkin ayah bengcu mengetahui sebab itu, hanya ia telah tiada."
"Pernah aku bertanya kepada ayah akan tetapi ayah tidak mau
menuturkannya. Mungkin ada kesulitan, yang membuatnya susah
membuka mulut..."
"Itulah yang membuatku curiga. Dua kemungkinan. ayah tahu
tetapi tidak mau menceritakan, atau ia tak tahu. Kalau ayah tahu,
kenapa kah ayah tidak mau memberi keterangan?"
"Sekarang ini, baiklah bengcu bersabar, perlahan lahan saja,
mengandal kepada kecerdasan kita, kita nanti menyelidikinya," kata
nona. Siauw pek membenarkan pikiran itu.
"Tapi satu hal aku masih tidak mengerti, ingin aku memohon
keterangan nona," katanya.
"Apakah itu, bengcu? Titahkan saja."
"Selama dirumah, musuh mengatakan aku dapat menemui ibuku.
Sekarang menurut ramalan nona, ibuku masih hidup, Bagaimanakah
itu kiranya? Hal ini membuatku tidak tenang..."
"oh, begitu?" Soat Kun heran.
"Benar"
Dan Siauw pek menuturkan apa yang terjadi
"Ya inilah aneh" Sinonapun heran.
"Sebelum ramalan nona, walaupun aku heran aku toh tidak
percaya..."
"sekarang?"
"sekarang aku menjadi setengah percaya setengah tidak..."
"Bengcu, ingin menanyakan sesuatu..."
"Silahkan nona"
"Paling baik, aku tanya satu, bengcu jawab satu."
"Baik nona, silah nona tanyakan."
"Semasa kecil, pernahkah bengcu melihat wajah ibumu?"
"Tentu saja, nona."
"Sekarang ini aku tanya, apa bengcu merasa pasti bahwa wanita
itu benar ibu kandungmu?" Siauw pek melengak.
"Delapan tahun aku hidup bersama ibuku, mungkinkah aku salah
mengenalinya?"
"Aku hanya menanya saja, bengcu. Bagaimana sikap ibumu
terhadap bengcu?"
"Seingatku, ibu berlaku baik kepadaku."
"Mungkin ada bagian bagian yang aneh, yang luar biasa?"
siauw pek berpikir.
"ibuku cuma sedikit bicara."
"Apakah ayah dan ibu bengcu hidup akur satu dengan lain?"
"Selama delapan tahun, belum pernah aku menemukan mereka
selisih mulut."
"Paling belakang, berapa usia bengcu ketika bengcu masih ada
bersama ayah bunda bengcu?"
"Lima belas tahun."
"Apakah ketika itu bengcu sudah mengerti segala sesuatu?"
"Ya. Nona ingin tanyakan hal apakah ?"
"Ketika itu kamu lagi terlunta lunta didalam pengungsian,
mungkin kamu tidak mempunyai kesempatan buat membicarakan
banyak urusan maka dari itu, tentunya bengcu tidak banyak ingat ini
dan itu..."
"Asal yang aku ingat, akan akujawab, nona."
"Ingatkah bengcu kalau bengcu pernah memperhatikan ayah
bundamu, merundingkan soal pengungsian kamu ?"
"Pernah beberapa kali."
Mata sinona bercahaya. Itulah tanda ia merasa aneh. Rupanya
jawaban si anak muda berada diluar sangkanya. Si anak muda itu
menghela napas. "Apakah yang tak seksama, nona ?"
"Apakah bengcu hadir ketika ayah bundamu berunding itu ?"
"Ya. Aku berada bersama kakak kakakku."
Jawaban si anak muda lancar, hal itu membuat si nona
tersenyum.
"Baiklah," katanya. "Sekarang coba ingat-ingat, pernahkah ayah
bunda bengcu membicarakan soal pengungsian berdua saja ?"
"Itulah aku tak ingat jelas."
Nona itu diam, untuk berpikir, agaknya ragu ragu.
"Masih ada pertanyaan, yang ingin aku ajukan, hanya aku ragu
ragu," katanya kemudian. "Kalau aku tidak tanyakan, hatiku belum
puas. Jikalau aku tanya, aku minta bengcu jangan berkecil hati..."
"Bicaralah, nona Walaupun kau bertanya salah, tidak apa."
"Aku mencurigai..." Tiba tiba si nona menutup mulutnya.
"Nona curiga apakah ?" siauw Pek tanya cepat.
"Inilah soal besar. Bagaimana kalau aku pikirkan dahulu, besok
baru aku tanyakan ?" Siauw pek bagaikan ingat sesuatu. Ia
mengangguk. Maka ia tidak mendesak. Soat Kun menghela napas
berduka.
"Sebab musabab peristiwa pek ho bun ini, nampaknya
sederhana. tetapi kenyataannya tidak demikian, sebenarnya rumit
sekali. Dipikir sekilas lalu, soal sukar dipecahkan. Maka itu, baiklah
kita menyelidikinya perlahan lahan saja..."
"Nona," Ba Liang menyela, "bukankah kau hendak mengajari ilmu
silat kepada kedua saudara Oey dan Kho?" ^
"Ya, loocianpwee. Silahkan kamu maju tuan tuan"
Oey Eng dan Kho kong menghampiri.
"Kami bersedia menerima pengajaranmu, nona." kata mereka,
hormat.
"Kamu bersenjata berlainan, sulit mengajarinya berbareng,"
berkata si nona. "Sekarang baik kamu belajar dahulu ilmu tangan
kosong, nanti baru menggunakan senjata."
"Baik, nona, kami menurut saja," kata Oey Eng.
"Sekarang aku ajarkan hafalannya," berkata si nona, perlahan,
"habis itu baru kamu menjalankannya. Untuk belajar sampai
sempurna, itulah mengandal kepada kecerdasan dan latihan
kamu..."
Diam diam siauw Pek mengutik Ban Liang, ia berbisik: "Dengan
berada disini, mungkin kita menghalangi mereka itu belajar." Lalu ia
mendahului pergi keluar.
Ban Liang mengerti, diam-diam ia mengikuti ketua itu. Mereka
sudah mengenal bak tin mereka, dari dalam mereka berjalan terus
menuju keluar barisan istimewa itu.
"Tin bambu dan batu semacam ini bisa menentang musuh, sulit
aku mempercayainya," Ban Liang berbisik.
"Tetapi suasana tin ini demikian rupa hingga aku jadi ingat akan
ilmu sesat, bagaimanakah pendapat bengcu?"
"Menurut suhu dahulu, Pat Kwa Tin, Kiu Kiong Tin dan
sebangsanya memang aneh sifatnya," sahutsi anak muda, "Hanya
mengenai Liok kah tin, belum pernah aku mendengarnya."
Mereka berbicara sambil berjalan, tanpa merasa, tibalah mereka
diluar tin-Justru itu, sekonyong konyong mereka mendengar suara
melesatnya dua batang anak panah, yang diarahkan kepada
mereka.
Dengan sebat Siauw Pek menghunus pedangnya, dengan satu
sampokan saja, mental jatuhlah kedua senjata ringan itu. Setelah
itu, mereka melihat munculnya dua belas orang berseragam hitam,
yang mukanya tertutup topong hitam juga . Semua mereka itu lalu
berbaris.
Ban Liang tertawa dingin-
"Sahabat-sahabat, takutkah kamu melihat orang?" tanyanya,
mengejek.
Dua belas orang itu berdiri bungkam, cuma dua puluh empat biji
mata mereka bersinar bengis.
Kata siauw Pek perlahan: "Silahkan loocianpwee mengabarkan
nona Hoan, aku sendiri akan menghadapi mereka ini"
Ban Liang mauk kedalam. Pikirnya, "celaka kalau tin sampai
dikepung dari empat penjuru"
Ia tetap kurang percaya. Sebelum memutar tubuh, ia pesan:
"berhati-hatilah, bengcu"
Siauw pek lalu menghampiri dua belas orang berpakaian hitam
itu.
"Rupa-rupanya tuan-tuan tak puas, mau juga kamu menyusul
aku," katanya tawar. "Kenapa kamu tak mau melepas topeng kamu,
supaya kita bisa sama sama memperlihatkan wajah sendiri..."
Dua belas orang itu tetap berdiri tegak dan membungkam.
"Aneh mereka ini," pikir si anak muda, Kuat sekali hati mereka.
Maka ia lalu maju, untuk menikam satu diantaranya.
Walaupun sudah diancam pedang, si hitam tetap diam mematung
Karena itu Siauw pek berlaku sebat, ia membatalkan tikamannya, ia
terus menyampok dengan pinggiran pedang itu. Diluar dugaan,
orang itu roboh seketika
"Tepat dugaanku," kata Siauw Pek di dalam hati. "Benarkah
mereka telah ditotok orang maka juga mereka jadi tak berdaya.
Mereka tak bersenjata, pasti dibelakang mereka bersembunyi orang
lain" Maka ia lompat mundur tiga kali. terus ia berkata: "Tuan
pandai dari manakah disana? Silahkan kau keluar menemui aku"
Pertanyaan itu tidak mendapat jawaban. begitu juga ketika
diulangi dan diulangi lagi, hanya si anak muda mendongkol dan
berkata nyaring: "Hm, orang macam apakah main sembunyisembunyi?
"
Baru sekarang terdengar jawaban: "IHm Kau berani mencaci?"
Menyusul itu muncullah orangnya, yang keluar dari antara semak
semak di bawah tempat itu. Dialah seorang wanita dengan pakaian
serba hijau, yang beraman cantik. Melihat nona itu, Siauw Pek
tercengang. "Nona Thio" serunya.
Nona itu tersenyum. Dialah Thio Giok Yauw
"Tak salah?" sahutnya, "Kau masih ingat aku ya?"
"Bagaimana, eh?" tanya si nona, tawar. "Apakah cuma kau yang
diijinkan datang kemari dan aku dilarang?"
"Bukan begitu nona" berkata si anak muda "Nona salah mengerti.
Aku cuma heran di dalam dunia yang begini luas ini kenapa kita
kebetulan bertemu pula ditempat semacam ini disini"
siauw pek melengak. Ia heran sekali sikap orang.
"Sungguh dia nakal" pikirnya. Bagaikan kilat cepatnya, ia melirik
kepada dua belas orang berpakaian hitam itu, terus ia bertanya
"Nonakah yang menotok jalan darah kedua belas orang ini?"
"Kalau bukan aku, habis apakah kau?" nona itu membaliki. Dia
tetap membawa kenakalannya.
"Benar-benar sulit melayani dia" pikir pula sianak muda. Karena
tidak tahu bagaimana harus bicara, ia berdiri diam saja. Mata sinona
memain.
"Kenapa kau berdiam?" tegurnya. "Apakah kau tak senang
melihat aku?"
"oh tidak. tidak. nona" sahut sianak muda.
"Habis kenapa kau tidak mau bicara?"
"Aku bingung, nona. Tak tahu aku bagaimana aku harus bicara"
Nona itu tertawa geli.
"Sebab kau sering salah omong, aku jadi tidak senang" katanya.
"Kapan aku pernah salah omong nona?"
Nona itu tidak menjawab, hanya dia berkata^ "Kita ini bertemu
pula bukannya karena kebetulan, sudah tentu kita bertemu tentu
ada maksudnya."
"Kau mencari aku?"
"Ya"
"Nona mencari aku, ada pelajaran apakah dari kau, nona?"
Thio Giok Yauw mengernyitkan alisnya yang lentik.
"Bagaimana?" tanyanya. "Tak bolehkah aku mencari kau ?"
"Pasti boleh, nona Hanya, ada urusan apakah kau mencari aku ?"
"Pasti ada keperluannya," berkata si nona. romannya sungguh
sungguh . "Jikalau tak ada urusan, siapakah sudi mencari cari kau?"
Kembali Siauw Pek dibuat bingung. ia berbatuk batuk perlahan-"
Jikalau benar ada urusan, nona, katakanlah"
"Siapakah kedua nona itu yang berjalan bersama sama kau itu?"
"oh, kiranya dia sudah lama sampai di sini dan tahu hal kami,"
pikir si anak muda, yang menjawab cepat. "Itulah nona nona Hoan-"
"Siapakah yang tanya she dan nama mereka? Aku hanya tanya
kau, dengan mereka itu kau mempunyai hubungan apa dan
bagaimana duduknya ?"
"Hebat budak ini," pikir Siauw pek. mengerutkan alis. Lalu ia
menjawab hambar. "Kalau bicara, nona, pakailah sedikit aturan..."
Tapi si nona tidak senang.
"Kau larang aku bertanya, benarkah? Aku justru menanya
dengan jelas "
Wajah Siau Pek berubah menjadi pucat
"Nona," katanya, sungguh sungguh. "nona nona Hoan dengan
kau tidak mempunyai budi atau penasaran, kenapa nona menghina
sama orang ?"
"Nona buta... Nona buta... Nah, hendak aku memakinya biar kau
dengar "
"Jangan terlalu menghina, nona" kata Siauw Pek. gusar.
"Walaupun aku sabar akan tetapi ada batasnya"
"Habis kau mau apa?" si nona menantang.
Tepat waktu itu terdengarlah suara nyaring tetapi merdu^
"Bengcu jangan ambil gusar. Memang aku yang rendah buta sejak
dilahirkan tidak apa Jikalau orang mencaci aku "
Mendengar suara itu, Thio Giok Yauw menoleh dengan segera. Ia
melihat, dari antara pepohonan lebat, muncullah dua orang nona
yang cantik sekali.
Siauw pek menghela napas. Lalu ia berkata "Nona Thio ini
berbuat keterlaluan, dia tidak memakai aturan, harap nona tidak
sependapat dengan dia..."
Mendengar suara Soat Kun demikian suara tadi Giok Yauw sudah
merasa malu sendirinya,akan tetapi mendengar suara Siauw pek ini,
dia menjadi tidak senang, Maka dia berkata : "Ia toh dasarnya buta.
Apakah aku mengatakannya salah ?" Soat Kun tertawa hambar.
"Nona, bukankah kita tidak saling mengenal ?" tanyanya.
"Kenapa nampaknya nona sangat membenci aku ? Mungkinkah
pernah melakukan sesuatu kesalahan terhadap nona ?"
Berkata begitu, nona yang lemah lembut ini memberi hormat
dengan liamjim, membungkuk sambil merapatkan tangannya.
Melihat hal itu, Giok Yauw melengak.
"Kau tidak bersalah apa-apa..." sahutnya "Ini cuma sebab coh
"(hilang)"
Soat Kun tersenyum
"Nona, harap kau tidak salah mengerti " katanya, manis. "coh
Siangkong dengan aku pernah tua dengan bawahan..." Giok Yauw
heran.
"Tua dan bawahan ? Bagaimanakah itu ?" dia tanya
"coh Siangkong ialah Kim Too bengcu dan aku adalah seorang
bawahannya."
Nona Thio menatap Siauw pek.
"Kapan kau menjadi kim Too bengcu ?" tanyanya.
Siauw pek masih sebal terhadap sikap kasar nona itu, maka ia
menjawab dingin : "Urusan ini tidak ada sangkutpautnya denganmu,
nona, tak perlu nona susah-susah menanyakannya "
Paras Giok Yauw menjadi pucat Kembali dia menjadi tidak
senang.
"Bagus ya " katanya sengit. "Aku bermaksud baik. aku melakukan
perjalanan ribuan lie untuk menyampaikan kabar dan berita berita
kepadamu, dan tidak kusangka kau yang bersikap begini lupa
terhadapku. Inilah yang dikatakan, anjing menggigit Lu Tong pin.
Tidak tahu kebaikan orang"
Begitu ia berkata, nona itu memutar tubuh, buat lari pergi. "Nona
tunggu" memanggil Soat kun, nyaring.
Baru Giok Yauw pergi lima atau enam tombak jauhnya, tetapi
mendengar panggilan itu ia berhenti berlari.
"Ada apa?" tanyanya dingin seraya menoleh.
Dengan berpegangan pada bahu Soat Gie, Soat Kun bertindak
perlahan menghampiri nona itu. sambil berjalan, ia berkata, sabar :
"Aku ada kata kata yang hendak diutarakan terhadap nona, aku
minta sukalah nona dengar dan memikirkannya." cepat sekali,
sampailah nona Hoan didepan Nona Thio.
Giok Yauw dapat memandang wajah gadis itu dengan jelas
sekali. Ia melihat satu wajah yang Cantik luar biasa, cuma matanya
yang bercacat. Ia menjadi heran dan kagum.
"Jikalau dia tidak buta," pikirnya. Lalu ia menatap soat Gie dan ini
sama cantiknya, yang kalah hanya keayuannya.
"Kami berdua saudara," berkata pula Soat Kun, tetap merdu
suaranya, "yang satu bercacat pada matanya, yang lain pada
mulutnya. Kamilah orang orang yang kurang sempurna, aku harap
nona tidak salah mengerti."
"Salah mengerti apa?" tanya Giok Yauw.
"Salah mengerti mengenai coh Siangkong."
Adalah sering Soat Kun memanggil Siauw pek dengan "siang
kong" yang berarti seorang gentleman muda, atau tuan yang
dihormati. Dengan arti lalu, siangkong juga panggilan untuk suami.
"Dia tak ada hubungan apapun denganku Aku tak usili dia"
berkata Giok Yauw, senang hatinya tak enak... Nona Hoan tertawa
pula.
"Nona, Jikalau kau benar tidak salah mengerti, aku undang
sukalah kau tinggal bersama kami disini, supaya sudi kiranya kau
membantu kami." Tiba tiba Giok yauw merasa mukanya panas. Ia
malu.
"Kenapa aku mesti membunuhnya?" tanyanya keras, tetapi
bernada manja.
"Nona berkata bahwa nona datang dari tempat jauh ribuan lie,
habis, untuk apakah itu?" Nona Hoan tanya.
"Sekarang ini didalam dunia Kang ouw sudah ramai tersiar berita
bahwa turunan keluarga coh dari Pek Ho bun sudah berhasil
memperoleh kepandaian tinggi, bahwa turunannya itu berniat
menuntut balas sakit hati keluarganya, sebab itu pelbagai partai
besar sudah mengirim orang orangnya yang lihay untuk turun
tangan terlebih dahulu. Karena itu, dunia Rimba Persilatan menjadi
berbahaya sekali untuknya. Karena..." Si nona berhenti dengan tiba
tiba, tetapi ia tertawa.
"Karena nona tidak ingin melihat dia dicelakai orang, maka juga
dari tempat ribuan lie kau datang menyusul kemari. Betul begitu ?"
"Ya, benar." Nona Thio mengakui. "Aku menempuh bahaya, aku
bersusah payah mencarinya, barulah aku berhasil mendapat
keterangan perihal perjalanannya ini, maka aku menyusul kemari.
Tak kusangka, dia tidak mengenal budi, dia tak berterima kasih..."
"nona melakukan perjalanan ribuan lie cuma untuk
menyampaikan kabar, itulah maksud yang baik dan mulia sekali,"
berkata Soat Kun ramah tamah, "akan tetapi sekarang setelah
sampai disini dan telah bertemu dengannya, sebelum nona
menyampaikan sepatah kata, nona buru buru mau pergi pula,
bukankah itu akan menyia nyiakan maksud dan susah payah nona"
"Tapi dia sedikit juga dia tak nampak berterima kasih. Karena itu
buat apa aku memperdulikannya lagi?"
"Nona," berkata Soat Kun, "Jikalau nona tak mempersalahkan,
ingin aku bicara sedikit, tentang keadilan..."
"Tapi, apakah aku yang bersalah?" Giok Yauw berkata.
"Tidak nona, coh siang kong juga tak bersalah Sebenarnya nona
tidak pernah memberi kesempatan berbicara padanya."
Giok Yauw berdiam, otaknya bekerja. Tiba tiba dia tersenyum.
"Ah," Soat Kun segera berkata pula: "Nona rumahku rumah
gubuk. pagarku pagar bambu, Jikalau nona sudi, mari singgah
barang satu malam disini"
"Apakah tidak ada halangannya?" tanya Giok Yauw tertawa.
"Sama sekali tidak. Silahkan nona masuk. untuk sekalian melihat
lihat tinku ini "
"Kalau begitu silahkan nona jalan dimuka."
Soat Kun memutar tubuhnya, maka bersama Soat Gie, la
mengajak nona itu masuk,
Giok Yauw mengikuti.
Siauw pek berpaling kepada Ban Liang.
"Loocianpwee..." katanya. Tetapi sijago tua menyela "Jangan,
bengcu..." Berkata begitu, jago tua ini segera menghampiri.
"Ada apa, Loocianpwee?"
"Aku mau bicara tentang nona Hoan itu. Dia telah mengangkat
kau menjadi bengcu, dia juga mau mengadakan peraturan- Aku
pikir, cukup dia mengangkat kau, tetapi peraturannya tak usah
banyak banyak. Banyak aturan berarti mengikat. Bukankah kita
sesama saudara yang bersedia saling menolong"
Ia menengadah kelangit, iapun menghela nafas. Lalu ia
melanjutkan- "Dalam pihak, nona itu benar benar pintar dan pandai
bekerja. Didalam hal, ia cepat mengambil keputusan-"
"segala aturan, untuk apa kita membuatnya?" pikir si anak muda.
Ban Liang berkata pular "Bengcu musuh nampak kuat sekali.
Dapatkah kita mencegahnya bergerak?"
"Akulah Kim Too bengcu, dapatkah musuh menggertak aku?"
Ban Liang menggelengkan kepala.
"Aku tahu maksud nona Hoan- Kalau nanti tenaga kita sudah
terkumpul, tenaga itu terdiri dari pelbagai macam. Tentu dia kawatir
akan sulit mengekang mereka itu, maka ia mau mengadakan aturan
agar mereka tunduk."
"Benar, tentu itulah maksud mengadakan suatu aturan."
"Bukankah nona Hoan berniat mengumpulkan orang yang terdiri
dari orang orang musuh, atau orang Rimba Persilatan lainnya agar
mereka itu bekerja dibawah perintah kita?"
"Benar begitu?"
"Nampaknya dalam hal ini, nona Hoan tidak mau mengadakan
pilihan orang itu baik atau buruk, cukup asal ia itu kosen-"
"Bukankah itu soal tidak mudah sebagaimana kita
memikirkannya?"
"Mungkin nona hoan telah memikirkannya masak masak.
Kecerdasan kita tidak sampai disitu. Aku pikir, baik kita tak usah
memikirkannya..."
"Masih ada satu lagi, loocianpwee..."
"Apakah itu?"
"Urusan Thio Giok Yauw. Kenapa nona Soat Kun memintanya
berdiam disini?"
"Entahlah. Mesti nona Hoan punya rencana."
siauw pek berpikir. Mendadak dia berlompat dan terus lari
kebelakang sebuah batu besar.
"Ada apakah?" tanya Ban Liang heran sambil lari menyusul.
Siauw pek telah sampai lebih dahulu, cepat sekali ia sudah
muncul pula. Hanya, ditangannya, dia menenteng tubuh seorang
serba hitam.
"sudah mati..." katanya.
Ban Liang lihat orang itu membawa busur dan anak panahnya,
dari dada dan punggungnya keluar darah yang masih segar. Itulah
luka pedang yang menembus punggung sampai kedada.
Siauw pek meletakkan mayat itu, ia berkata "Dua belas musuh
didepan tin telah ditotok. ia juga tidak membekal panah atau
senjata lainnya, sebaliknya kita tadi telah disambut dua anak panah.
Setelah itu muncullah nona Thio. Tadi aku melupakan urusan ini,
yang mencurigai baru saja aku ingat pula. Siapa sangka dia ini
sudah mati."
Berkata begitu, sianak muda mengawasi batu, untuk
memperhatikan letak tempat. "Dia pasti terbinasa diujung pedang
Nona Thio," ia menambahkan. Ban Liang mengawasi kedua belas
orang berseragam itu. Dia berpikir.
"Ada bagian yang tak tepat, bengcu," kata sijago tua, yang
menggeleng kepala. "kau lihat"
"Apakah itu, locianpwee ?"
"Mayat ini membekal panah, orang yang memanah kita pastilah
dia."
"Habis?"
"Habis siapakah yang menotok kedua belas orang itu ?"
Siauw Pek tercengang. Memang totokan itu tak dapat dilakukan
Giok Yauw.
"Kalau nona Thio yang menotok. mustahil musuh yang
bersembunyi ini tidak dapat tahu? pula tak mungkin Nona Thio
demikian sebat, habis membunuh sipenyerang gelap ini lalu
menotok dua belas orang itu? Kalau dia yang melakukan itu, pasti
kita melihatnya."
siauw Pek menghampiri dua belas orang itu, untuk
mengawasinya dengan teliti,
sebenarnya mereka membekal senjata hanya senjata mereka itu
belum dihunus. Itulah pertanda bahwa sebelumnya ditotok. mereka
tidak melakukan pertempuran-
"Memang tak mungkin nona Thio yang menotok mereka ini tak
peduli dia berkepandaian liehay luar biasa."
"Lagi satu hal, kalau sipemanah tiba lebih dahulu, tak mungkin
dia tak melihat orang yang menotok itu. Mestinya dia tiba
belakangan, kalau dia sembunyi lebih dulu, juga tak mungkin dia
membiarkan orana menotok dua belas orang ini."
"Ya, aneh" kata Siauw Pek.
"Maka itu, bengcu, aku duga mesti ada seorang kangouw lainnya
yang bersembunyi di dekat tempat ini."
Siauw pek lalu mengawasi sekitarnya. Mari kita cari dia. Ia
mengajak.
"Jikalau dia tidak mau memperlihatkan diri, kita caripun sia sia,"
berkata sijago tua.
Menyusul berhentinya suara sijago tua, terdengarlah tertawa
nyaring dan panjang, yang diikuti kata-kata ini: "Benar2 kamu
pandai berpikir" Dan menyusul kata-kata itu, terlihatlah seorang
melompat turun dari sebuah pohon pek yang besarsejarak lima
tombak dari mereka.
Ban Liang dan Siauw pek terperanjat, mereka lalu mengawasi.
orang itu adalah seorang tua berusia kira- kira enam puluh
tahun, alisnya putih, pakaiannya hitam mulus, kepalanya dibungkus
dengan karpus putih, punggungnya menggendol ikan, tangannya
mencekal joran.
"Ah, aku seperti mengenalnya." pikir Siauw Pek.
"Hie Sian clang Peng" seru sijago tua, agaknya dia heran.
"Tidak salah Itulah aku situa" berkata orang yang baru muncul
itu sambil tertawa lebar.
Ban Liang segera memberi hormat. "Clan tay hiap semenjak kita
berpisah, kau sehat-sehat saja, bukan Aku gembira sekali melihatmu
"
orang tua itu tertawa "Jikalau aku situa tidak salah ingat, kaulah
Seng SU Poan Ban Liang?"
"Itulah aku. syukur Clan tayhiap masih mengingatnya."
"Kita telah bertemu pada dua puluh tahun yang lampau"
memperingatkan Hie Sian si Dewa Ikan.
"Benar Tayhiap. bagaimana kau memperoleh kesempatan datang
ketempat ini ?" Ban Liang menanya setelah menoleh kepada siauw
pek.
"Ah, kalau aku menutur, tak cukup dengan sepatah kata saja,"
berkata si Dewa Ikan, menghela napas. "Seumurku kalau aku
berhubungan dengan orang, belum pernah aku kena dirugikan.
Untukku, seekor ikan berarti satu urusan, aku tidak mau rewel. Tapi
kali ini, aku kena dipedayakan bocah perempuan itu "
Ban Liang merasa geli, tapi pada parasnya ia tidak mengutarakan
itu, sebaliknya ia memperlihatkan sikap sungguh2.
"Bocah siapa telah permainkan kau, tayhiap?" tanyanya.
"Itu, Thio Giok Yauw" sahutnya. "Entah dari mana dapatnya,
bocah itu mempunyai seekor ikan luar biasa. Dia datang kepadaku,
terus dia minta aku untuk membantunya satu urusan-"
"Itulah memang kegemaranmu, tayhiap. kau paling suka
membantu orang, tidak ada rekan Rimba Persilatan yang tidak tahu
tabiatmu itu, maka Thio Giok Yauw tidak terkecuali ?"
"Aku situa tanya dia, sebenarnya dia mempunyai urusan apa."
Cian peng melanjutkan keterangannya. "Dia bilang, dia ingin aku
menemaninya menjelajah. Kalau dia ketemu orang yang
menghajarnya, dia minta aku membantunya untuk memukul
mundur penyerang itu. ketika itu, pikiranku kena dibikin gelap
olehnya, aku terima baik permintaannya itu. Ah, siapa tahu, karena
kekeliruanku itu, aku gagal seluruhnya Sampai sekarang ini sudah
beberapa bulan lamanya aku selalu mengikuti dia pesiar. Dia doyan
mengembara, dia pergi ketimur dan kebarat. dia membuatku situa
letih, dia mencelaka aku mesti senantiasa mengawaninya."
Mendengar begitu, Ban Liang berpikir: "Kau si Dewa Ikan, kaulah
seorang yang cerdik dan teliti sekali, tak mungkin urusan sederhana
ini dapat mempermainkanmu."
Clan Peng melanjutkan ceritanya: "Budak itu sungguh amat
menjemukan. Seharusnya dia menyerahkan ikan satu pasang
kepadaku, tapi kenyataannya dia memberikan satu ekor. Yang
satunya, dia pisahkan. Ketika aku hampir habis sabar, baru dia kata
bahwa dia masih menyimpan seekor pula. Dan dia memberitahukan,
sampai aku telah cukup menemani dia pesiar, baru dia mau
menyerahkan ikan itu"
Ban Liang tertawa didalam hatinya. Ia pikir pula: "Benarlah,
manusia tak boleh loba tamak Si Dewa Ikan ini liehay ilmu silatnya
dia dapat lompat menyingkir dari pengaruh harta dunia, hingga
kaum jalan Putih dan jalan Hitam menghormati dan jeri
terhadapnya, tetapi dia ada satu cacadnya, kedoyanannya kepada
ikan membuatnya menanam permusuhan, sekarang dia lagi
dipermainkan sinona, tentunya dia telah diberikan satu batas waktu
oleh nona Thio itu."
"Telah aku tanyakan dia, kapan batas waktu itu," Cian Peng
meneruskan. "Kau tahu, apakah kata dia? Dia berkata, waktunya
bakal datang tetapi waktu itu tidak ditentukan "
"Loocianpwee," Siauw Pek turut bicara, "seandainya loocianpwee
tinggal pergi saja, nona Thio Giok Yauw tentulah tidak bisa berbuat
apa apa."
"Telah lama aku situa memikir buat tak mempedulikan dia lagi,
cuma..."
Suara sijago tua terputus oleh satu celaan nyaring garing
bagaikan suara kelenengan: "Cuma tentu disebabkan tak rela
melesatkan ikan yang satu ekor lagi itu. Benar bukan?"
Cian peng segera menoleh. Maka ia melihat Thio Giok Yauw
dengan pakaiannya serba hijau lagi bertindak dengan wajah penuh
dengan senyuman, tandanya hatinya riang. nona itu membuka
tindakan lebar. Dibelakang nona itu mengikuti kedua nona Hoan-
"Sungguh hebat Soat kun" berkata Ban Liang didalam hati.
"Didalam waktu yang pendek sekali ia berhasil menjinakkan nona
yang binal sekali "
Melihat sinona yang membuatnya panas dingin, Cian peng
tertawa berkakak.
"Aku hanya bicara main-main" berkata dia. "Mustahil dengan
benar- benar aku hendak meninggalkanmu pergi ?"
"Hm" sinona memperdengarkan suaranya yang tawar. "Telah
kuduga kau tentu tidak berani "
Cian Peng berkedudukan tinggi dalam dunia Rimba Persilatan,
banyak orang menghormatinya, dia juga lihay ilmu silatnya dan
buruk tabiatnya, siapa sangka Giok Yauw dapat berbuat begini tak
mengindahkan terhadapnya. Biasanya kalau memperoleh perlakuan
demikian dari orang lain, si Dewa Ikan sudah mengumbar
kemendongkolannya. Tapi sekarang? Ban Liang heran sekali.
Bukan sekali saja Cian Peng tidak menjadi gusar, sebaliknya, dia
tertawa pula
"Kau benar" katanya. "Jikalau aku si tua berani lari, tentulah aku
sudah kabur " Seng Supan si Hakim Penuntut Hidup mati melengak.
"Benar- benar aneh" katanya pula didalam hati. "Ilmu apa yang si
nona gunakan maka juga tua bangka yang ditakuti kaum Rimba
Persilatan sekarang mati kutunya terhadapnya? Kenapa dia
sekarang menjadi penurut?"
Giok Yauw tertawa cekikikan, katanya "Jikalau kau membantuku,
tak nanti aku membiarkan kau membantu secara cuma cuma.
Percayalah, dibelakang hari aku akan balas kebaikanmu ini, tak akan
kau mendapat rugi."
Kembali Cian peng tertawa terbahak bahak. "Aku si tua percaya
kau, nona," katanya. Giok Yauw menyingkap rambut ditelinganya.
"Sekarang ini aku lagi mengalami satu kesulitan," ia berkata, "aku
minta sukalah kau orang tua membantu aku^"
"Perkara apakah itu? Nona, kau perintahlah" Mudah saja si Dewa
Ikan memberikan kata katanya.
"Kami minta loocianpwee suka membantu kami mengundang
beberapa orang yang lihay ilmu silatnya..."
Cian peng menggoyang goyang tangannya.
"Aku si tua, seumur hidupku, aku tak berhubungan dengan kaum
Rimba Persilatan" berkata dia. "Diantara begitu banyak orang tak
ada jua seorang sahabat karibku. Maka itu, tak dapat aku minta
bantuan orang"
"Tapi aku tahu benar kau toh mempunyai beberapa orang
sahabat kekal," kata Thio Giok Yauw. "Aku percaya, asal kau suka
mengucapkan beberapa kata kataku, pasti mereka datang kemari
membantu kami"
"Siapakah mereka itu? Kenapa aku si tua tidak mengingatnya ?"
"Bukankah disana ada Tau Pa San Liong houw Siang Kiat?"
berkata si nona, menyebutkan Liong Houw Siang kiat sepasang jago
Naga dan Macan dari gunung Tay pa san. "Bukankah disana ada
Tong Loo thaythay, sinyonya tua dari Su coan, yang dengan senjata
rahasia beracun telah menggemparkan dunia persilatan?" Cian peng
tercengang.
"Eh, bagaimanakah kau ketahui semua itu?" dia bertanya.
"Kenapa kau tahu aku bersahabat dengan Liong Houw Siang Kiat?"
"Segala urusanmu, tak ada satu yang tak kuketahui," sahutnya,
tertawa. Cian peng menggaruk garuk kepalanya.
"Sudah belasan tahun aku tidak pernah bertemu Liong Houw
Siang kiat," katanya, "Aku tak tahu juga mereka masih hidup atau
sudah mati... Bukankah sia sia belaka untuk pergi mencari mereka?"
"Tidak apalah," berkata si nona mendesak. "Andaikata kau gagal,
aku tetap akan berterima kasih kepadamu"
Tak bisa berdalih lagi, si Dewa Ikan berkata: "Jikalau aku berhasil
mengundang Liong Houw siang kiat, dapatkah aku si tua
berpamitan dari kamu?"
"Itulah urusan yang setelah sampai waktunya baru dapat kita
bicarakan pula" sahut sinona.
Dengan roman kecewa, Cian peng memandang Ban Liang dan
Siauw Pek^
"Kapan aku berangkat?" ia bertanya. Giok Yauw berpikir, terus
dia menjawab:
"Aku tidak peduli kapan kau berangkat. Hanya mulai hari ini,
didalam waktu tujuh hari sebelumnya matahari selam, kau sudah
harus kembali disini" Si Dewa Ikan berpikir.
"Jikalau begini," kata dia, "aku si tua masih mempunyai waktu
dua hari untuk tidur dulu"
"Terserah kepada kamu, tuan yang baik"
"Tapi mestikah aku kembali sebelum malam pada hari ketujuh?"
sijago tua menegaskan.
"Mestinya, lebih siang pulang,jangan lebih malam" kata si nona
tegas.
"Baiklah Aku situa pamit"
Berkata begitu, Hie Sian Cian Peng segera memutar tubuhnya
untuk berlompat. Hanya sekejap. dia sudah terpisah jauh beberapa
tombak dan disaat lain, lenyaplah ia dari pandangan mata
"Nona Thio" kemudianBan Liang memanggil Giok Yauw tak lagi
binal dan kasar seperti tadi. Dia tersenyum.
"Kau toh Ban loocianpwee?" tanyanya.
"oh nona, bagaimana kau mengenal aku si tua?" Seng Supoan
balik bertanya.
"Tadi Nona Hoan telah menyebut nama tuan tuan semua serta
melukiskan roman wajahnya" sahut sinona, "sedangkan tentang
loocianpwee sudah lama aku mendengar dari ayah bundaku"
"Siapakah lengcun, nona?" Ban Liang bertanya. Iamenyebut
"leng cun" (ayah yang terhormat) buat nama ayah si nona. Leng
tong ibu yang terhormat.
"Ayahku ialah Thio Hong hong," ia menjawab. Mendengar
jawaban itu, Ban Liang tertawa.
"oh, pantaslah" katanya. "Itulah tidak heran, Kiranya kaulah
puteri Tiat Tan Kiam kek Thio Honghong si ahli pedang, Nyali besi
Sungguh benar pepatah yang mengatakan, ayah harimau tak
beranak anjing"
"Loocianpwee memuji saja," kata sinona.
"Nona" sijago tua bertanya, "ada satu hal yang kurang jelas
bagiku, maukah nona menerangkannya? "
"Apakah itu loocianpwee? Asalkan yang aku sanggup,.."
"Inilah mengenai Hie sian Cian Peng. Dialah jago Rimba
Persilatan yang aneh tabiatnya, tapi kenapa nona dapat membentak
bentak dan menyuruh sesukanya?"
Giok Yauw tersenyum. Rupanya pertanyaan itu sangat
menggembirakan hatinya.
"Sebenarnya hal itu tidak aneh," sahutnya. "Ia menjadi jinak
sebab, sebagian dia memandang muka ayahku dan sebagian lagi
karena ada sesuatu yang dia khawatirkan..."
"Apakah itu yang dia khawatirkan, nona?"
saking herannya, Ban liang menjadi ingin tahu jelas semuanya.
"Itulah sungguh tak ada harganya..." menjawab si nona. "Ah,
lebih baik tidak usah aku menyebutnya..."
Tepat si nona berkata begitu, mereka mendengar derapnya kuda
mendatangi dari tempat yang jauh.
"JUmlah mereka sedikitnya belasan orang" berkata Soat Kun
cepat. "Baiklah kita masuk ke dalam tin"
"Di luar masih ada dua belas orang serba hitam" Giok Yauw
memperingatkan- "Mereka itu semua telah tertotok Cian Peng.
Perlukah mereka dibawa kedalam tin?"
"Sudah tak keburu..." kata nona Hoan.
Giok Yauw berubah menjadi jinak sekali, segera dia lari masuk.
Siauw Pek bersama Ban Liang menyusul.
Soat Kun segera memesan: "Terkecuali amat terpaksa, jangan
ada yang keluar tin-"
siauw pek berpaling keluar tin, ia melihat belasan penunggang
kuda mendatangi dengan cepat. Yang mengherankan ialah
seragamnya mereka itu, yang terpecah tiga bagian:
Serba hitam, serba putih, serba merah... Yang merah bagaikan
api, putih bagaikan salju dan yang hitam mirip cat
siauw pek pula menghitung dengan cepat: Dua belas orang
jumlahnya mereka itu- empat hitam, bersenjatakan golok, empat
putih berpedang semuanya, dan empat merah, masing masing
membekal poan koan pit. Tapi mereka itu bukannya datang sendiri.
Mereka mengiringi seorang pelajar serba hijau yang potongan
badannya halus lemah. Terpisah empat, lima tombak dari muka tin
rombongan istimewa itu lalu berhenti.
soat kun lalu memesan Soat Gie. "Adikku, perhatikan segala
sesuatu diluar tin, dan cepat beritahukan aku" Adik itu memberi
tanda mengerti.
Siauw pek berada terdekat dengan garis tin ia melihat tegas
sipelajar, yang berkulit muka pucat. Pelajar itu mengeluarkan sejilid
buku dan sebatang pit, dia mencorat coret di atas buku itu, terus
disimpan disakunya.
Melihat lagak orang itu, diam diam Siauw pek geserkan tubuh
mendekat Soat Kun. "Nona, ada seorang pelajar yang berpakaian
hijau..." bisiknya.
"Ya, aku sudah tahu," sahut si nona.
"Rupanya dia datang untuk melihat lihat saja, tak ada niatnya
menyerbu..."
"Jikalau dia tidak menyerbu, antap aja, kita berpura-pura tidak
tahu, biar mereka bingung sendiri"
siauw Pek berdiam, akan tetapi hatinya berpikir: "Si baju hijau ini
mesti seorang penting dari musuh, Jikalau dia dapat dibekuk, dari
mulutnya tentulah dapat dikorek banyak keterangan-.."
Kembali terdengar derap kuda. Kali ini yang datang ialah seorang
penunggang kuda yang bajunya kuning, janggutnya panjang,
sedangkan tubuhnya tinggi dan besar hingga dia nampak keren.
si baju kuning menghampiri sibaju hijau sampai dekat sekali.
"Apakah sianseng melihat sesuatu?" tanyanya. Panggilan itu
sianseng tuan yang terhormat menand akan orang ini menghargai si
pelajar.
"Belum," sahut orang yang ditanya, yang menggeleng kepalanya.
"Tin ini aneh sekali. Dia bukan Pat Kwa atau Kiu Klong Tin, bukan
juga Ngo Heng Tin-.."
Sikap si kuning terhadap si putih sangat memandang tinggi. Dia
tersenyum dan berkata sabar^ "Jangan risau, sianseng, adalah lebih
penting sianseng menjaga kesehatan dirimu. Perlahan-lahan saja,
kita toh akan ketahui juga rahasianya.^."
Sibaju hijau menggelengkan kepala pula.
"pada masa ini sungguh aku tidak dapat menerka siapa orangnya
yang berhasil membangun tin yang sekalipun aku tidak dapat
mengenalnya," katanya pula.
Siauw pek mendengar kata-kata orang itu.
"Rupanya Liok Kah Tin lebih liehay daripada Kiu klong tin,"
pikirnya. Lalu terdengar si baju kuning berkata pula:
"Kalau begitu baik kita mendatangkan kayu kering, dan umpan
api lainnya, untuk membakarnya dari empat penjUru. Mustahil tin ini
berikut pengUninya tak akan mampus semUa?"
Si mahasiswa berbaju hijau menggoyang goyangkan kepalanya.
"Daya itu terlalu kasar dan juga belum tentu berhasil," katanya. Si
baju kuning agak tidak puas.
"Kenapakah?" tanyanya.
"orang telah mampu membangun tinnya ini, mustahil dia tidak
memikir juga tentang serangan dengan api?" si baju hijau balik
bertanya. Si baju kuning berdiam, lebih- lebih sebab dia tak dapat
memikir lainnya.
Sibaju hijau tiba-tiba menarik tali kudanya, membuat binatang
tunggangan itu membelok ke selatan, berjalan kearah itu.
Selekasnya ia bergerak. barisannya yang berseragam tiga warna itu
segera mengikutinya, dikiri dan kanan dan belakang untuk
melindungi. Penjagaan itu ketat sekali.
"Nampaknya kedudukan si baju hijau ini tinggi sekali," Siauw Pek
menerka-nerka.
Dengan sepergian tiga belas orang itu, tinggallah si baju kuning
seorang diri. Masih dia terdiam saja.
"Hm" kemudian terdengar juga suaranya, hambar. "Kau cuma
mengandalkan Sin- kun yang sangat sayang kepadamu mana kau
jadi begini besar kepala. Sungguh aku tak percaya bahwa tin bambu
semacam ini dapat mengekang orang" Siauw Pek mendengar katakata
orang itu.
"Kalau begitu pemimpin mereka dipanggil Sin- kun..." pikirnya. Ia
belum berani memastikan, sin kun itu berarti dewa atau raja. "Sin"
berarti malaikat atau dewa, dan "kun" berarti tuan atau raja.
Habis mengoceh seorang diri itu, si baju kuning bertindak kearah
tin-
Siauw Pek menyembunyikan diri diatas semak semak rumput,
untuk mengintai, sampai didetik itu, ia masih tidak dapat
mempercayai keterangan soat kun tentang kegaiban Liok Kah tin,
dengan majunya si baju kuning ini, ia jadi akan dapat kesempatan
mengujinya. Begitulah ia tidak muncul untuk menghadang.
Si baju kuning berjalan terus, segera ia sudah memasuki tin,
setelah berjalan empat atau lima kaki, tiba-tiba dia belok kekiri.
Siauw Pek heran-
"Dia toh berjalan lempeng, kenapa dia menyimpang?" pikirnya.
Beberapa tindak sibaju kuning berjalan, tiba tiba ia membelok pula.
"Bagus" Siauw Pek berpikir pula "Kalau orang berjalan secara
begini, seumur hidupnya tak dapat dia keluar dari tin ini..."
Sibaju kuning nampak tenang-tenang saja walaupun dia mesti
berjalan menyimpang sana dan menyimpang sini, tetap ia berjalan
dengan sabar, akan tetapi lewat berapa lama, nampaklah
perubahannya. Dia membuka tindakan cepat, makin lama makin
cepat. Tidaklah heran kalau dilain detik dia sudah mengeluarkan
peluh
Siauw Pek didalam pengintaiannya mulai heran- Untuk kesekian
kalinya, dia berpikir "Tin bambu ini luas tak lebih dari dua bahu,
kalau orang tak dikacau pikirannya, kalau dia berjalan lempang
langsung, sebentar juga dia dapat keluar Kenapa orang ini begini
kebal? Adakah dia tolol?"
Sementara itu terdengarlah suara merdu yang dikenal suara
Nona Hoan Soat kun "Adikku memberi tahu aku bahwa orang
berbaju kuning itu berkepandaian tinggi, bahwa dia bukan
sembarangan orang, dari paling baik dia tangkap hidup hidupan-"
"Entah kepada siapa kata-kata sinona ditujukan?" tanya Siauw
Pek didalam hati, Terus dia melihat dikelilingnya.
segera tampak Thio Giok Yauw berjalan menghampiri sibaju
kuning.
Ketika itu, si baju kuning sudah habis sabarnya. Beberapa kali dia
menyampok nyampok dengan kedua tangannya. Hebat
sampokannya itu, hingga terdengar suara anginnya bagaikan
menderu deru. Batang batang bambu dari tin itu, yang terkena
angin sampokan seperti juga rabah bangun.
Tak terus menerus sibaju kuning membawakan laga seperti
orang kalap itu. Dia segera berhenti menggunakan kedua belah
tangannya. Sekarang dia berdiri tenang. matanya melihat kedepan
mengawasi dengan tertegun.
Sampokan hebat itu membuat dua batang bambu roboh dan
robohnya itu membuat tin sedikit berubah. Karena ini sibaju kuning
bagaikan sebuah perahu sesat yang tiba-tiba melihat menara laut
Thio Giok Yauw lekas juga tiba dibelakang orang itu. Dia
mengulur sebelah tangannya, untuk menotok dengan sebuah
jarinya. Hanya sedetik saja, tubuh sibaju kuning menjadi limbung
dua tindak. terus dia roboh terguling
soat Gie lari menghampiri orang yang jatuh itu, dia bukannya
hendak membangunkan atau menolong, dia hanya mengangkat dua
batang bambu yang roboh itu, buat ditancapkan lagi.
JILID 29
Siauwpek bangkit didalam semaknya, hatinya bekerja, menyusul
mana, dia bertindak, berjalan menjalagi pesan Soat kun. Baru satu
tindak ia sudah menjadi kaget, karena tiba-tiba saja, gelaplah jagad
dihadapannya. Ia seperti disiang hari belong masuk ketempat yang
gelap gulita. Baru sekarang ia insaf, hingga hatinya menjadi kecut.
"Ah, kenapakah tin ini begini liehay?" pikirnya.
Karena ini, ia bertindak pula, ia salah menindak seperti tadi, kali
ini ia menghadapi perubahan yang membuatnya kaget bahkan jeri.
Dihadapannya ia melihat air luas semacam laut dimana orang tak
dapat berjalan setindakpun
ketika sedang bingung, sianak muda merasa tangan kirinya ada
yang menjambret dan tarik mengajaknya kekiri, sedangkan
telinganya mendengar: "Kekiri dua tindak" Ia menurut, baru ia jalan
dua tindak, segera ia melihat suatu perubahan lagi. Ya, ia tetap
berada didalam tin seperti tadinya hanya sekarang ia mendapatkan
Soat kun berdiri didepannya sejauh satu kaki, tangan kanan nona
itu memegangi tangan kirinya.
"Bengcu kaget?" tanya sinona merdu dengan tersenyum manis.
Bengcu itu berdiri tertegun, pipinya terasakan panas sekali.
soat kun bercacad sepasang matanya, ia tidak melihat orang
berdiri dengan likat karena malu, ia tertawa perlahan dan bertanya
halus: "Bengcu melihat apakah ?"
"Air luas tanpa batas tepinya..." sahut si anak muda.
"Itu cuma khayalan, bukannya air tulen," berkata sinona.
Siauwpek bingung, banyak yang ingin ia tanyakan, akan tetapi
mengingat bahwa dia bengcu, ketua dibatalkannya maksudnya itu.
"Hamba telah menawan orang dengan baju kuning itu," berkata
pula sinona manis, "Karena sekarang kita lagi menghadapi lawan,
tak sempat kumemeriksanya, untuk mendengar keterangannya, dia
cuma ditotok saja. Bagaimana pikiran bengcu?"
"Terserah kepada nona," sianak muda menjawab.
"Baiklah, bengcu," berkata sinona itu. Itu artinya dia menerima
titah. Siauwpek menghela napas, ia batuk perlahan, habis itu ia
berdiam saja.
Tiba-tiba terdengarlah kata-kata berisyarat yang perlahan dari
Ban Liang: "Awas, simahasiswa datang pula"
Mendengar suara si jago tua, ketua itu memperoleh alasan,
segera ia memutar tubuh, buat maju dua tindak, untuk bersembunyi
didalam semak-semak. Dari sini seperti tadi, ia bisa mengintai
musuh, kali ini ia tidak berani mengambil jalan yang salah.
Simahasiswa berpakaian hijau itu datang kembali bersama dua
belas orang pengiringnya yang berseragam dalam tiga macam
warna masing-masing merah, putih, hitam. Mereka datang dengan
melarikan kuda mereka. Tepat di tempat yang tadi mereka berhenti.
Simahasiswa memandang kearah seekor kuda yang tengah mundar
mandir dilapangan rumput, sambil menggeleng kepala ia berkata:
"Oey Liong Tongcu terlalu mengandalkan kepada ilmu silatnya
sendiri, dia tak sudi mendengar nasehatku, dia masuk kedalam tin
dan kena tertawan karenanya."
Dua belas pengiring itu bungkam. Agaknya mereka sangat takut
atau menghormati simahasiswa sehingga mereka tidak membuka
mulut.
Habis berkata seorang diri, si mahasiswa menengadah langit,
otaknya bekerja. Tak lama kemudian ia berkata: "Oey Liong Tongcu
mengetahui banyak sekali rahasia kita, sekarang dia tertawan, inilah
berbahaya Kalau dia tak tahan siksaan, ada kemungkinan dia
membecorkan rahasia kita, karena itu agaknya tak dapat tidak mesti
kita Serbu tin ini"
Kembali kedua belas pengiring itu bungkam, hingga simahasiswa
seperti bicara kepada dirinya sendiri.
SiauwPek menggeser tubuh menghampiri Ban Liang.
"Kelihatannya sibaju hijau ini tinggi kedudukannya dalam
rombengannya," katanya perlahan-
"Tak salah," kata si jago tua, mengangguk.
"Jlkalau kita bisa membekuknya hidup hidup," berkata pula
sianak muda, "pasti kita akan dapat mengorek banyak keterangan
penting dari mulutnya. Dan kalau dia kena ditawan, kita jadi telah
memberikan pukulan semangat yang mengejutkan pada pihak
lawan " Ban Liang dapat menerka maksudnya ketua ini, yang ingin
keluar menempur musuh itu.
"Tanpa ada titah dari Nona Hoan, tak dapat kita sembarangan
bergerak," katanya.
Memang Siauw Pek ingin maju dengan si jago tua
mendampinginya, siapa tahu, jawaban kawan itu berupa penolakan
tak langsung, dengan membawa nama Soat kun. Tentu saja ia tidak
dapat kesempatan untuk lebih jauh, maka ia menutup mulut.
Si mahasiswa berbaju hijau itu menggerakkan tangannya. Dari
punggung kudanya dia menjemput sebuah kantung kecil, kemudian
dari dalamnya dikeluarkannya kertas dan pitnya.
Dengan cepat dia menulis diatas sehelai kertas itu yang terus
digulungnya, lalu dari dalam kurungannya yang dia bawa bawa
dikeluarkannya seekor burung kecil mirip burung gereja dan
kemudian sayapnya diikatkan surat itu. Pada akhirnya dia melepas
terbang binatang bersayap itu.
"Dia mengirim surat dengan perantaraan burung," berkata Ban
Liang kepada ketuanya "Dia tentu hendak memanggil kawan.
Teranglah dia telah bertekad bulat untuk melakukan penyerangan
kepada tin kita ini."
"Kalau begitu kita perlu mengabari nona Hoan," kata Siauwpek.
"Kita harus bersiap sedia."
"Tak usah kita mengabari nona Hoan lagi" kata Ban Liang.
"Kenapakah?"
"Nona Soat Gie senantiasa mendampingi kakaknya, tentu ia
sudah memberitahukan segala apa yang dia lihat. Tak usah kita
menawarkan lagi"
"Kita tak usah mau menerjang, apa kita duduk menanti sampai
terjangan telah diwujudkan"
"Manakala kita harus bertindak...."
tampak Nona Thio Giok Yauw datang menghampiri. Terus sinona
berkata perlahan: "Nona Hoan meng undang Bengcu dan Ban
Huhoat"
Sianak muda dan si jago tua saling mengawasi, lalu dengan
tindakan perlahan mereka menuju kedalam. Nona Thio jalan
bersama.
soat kun ditemukan sedang mengernyitkan sepasang alinya yang
bagus, dan sebelah tangannya berada dibahu adiknya. Nampak
tegas dia tengah berpikir keras.
Giok Yauw segera menghampiri nona itu. Aneh sekali, Nona Thio
yang biasanya nakal sekali, yang sangat galak terhadap si Dewa
Ikan cianpeng, terhadap nona tunanetra itu sangat menghormati.
Iapun bertindak berhati hati.
"Mereka sudah datang," katanya setengah berbisik.
Nona Hoan batuk perlahan-
"Apakah bengcu sudah melihat?" tanyanya.
"Melihat apakah, nona?" Siauwpek balik bertanya.
"Si baju hijau mengirim surat dengan perantaraan burungnya
guna mengundang atau memanggil orangnya untuk mulai
menyerang tin kita," si nona menerangkan-
"Sudah nona."
"Lalu bengcu hendak bersiap bagaimanakah untuk
menghadapinya?" Si anak muda terdiam.
"Dalam..., dalam hal ini..., silahkan nona yang mengaturnya,"
sahutnya kemudian-
"Hambamu telah mengetahui segalanya karena keterangan
adikku," Soat Kun berkata^ "Menurut penglihatannya, sibaju hijau
itu tak berkedudukan rendah. Dia juga pasti bukan sembarang
orang. Lihat saja, dia datang dengan diiringi dua belas orang. Kalau
bukannya dia telah ketahui baik tentang kita, tentulah orang
orangnya itu adalah orang orang Kang ouw yang lihay, yang
sanggup melindungi keselamatannya. Hamba telah memilih dua
cara untuk melayani musuh, sekarang silahkan bengcu pilih satu
diantaranya."
"Apakah kedua daya itu, nona?"
"Jalan yang pertama ialah sebelum bala bantuannya tiba, kita
serang dan tawan sibaju hijau itu."
"Yang kedua, nona?"
"Hambamu akan segera menggerakkan tin kita ini, untuk kita
masing masing manjaga satu bagian. Kita bertahan didalam Liok
kah tin-"
"Kenapa tidak mau menggunakan dua duanya serentak?" tanya
Siauw Pek.
"Apakah bengcu maksudkan kita tempur dia dahulu, kalau kita
gagal, baru kita mundur masuk kedalam tin untuk bertahan?"
"Ya, begitulah."
"Kalau begitu, kita akan terlambat, bengcu? Apakah kita gagal
membekuk si baju hijau, lalu kita mundur, aku kuatir tak kita
menggerakkan tin kita ini..."
"Habis bagaimanakah pikiran nona?"
"Telah aku paparkan kedua caraku itu, untuk memilihnya,
terserah kepada bengcu."
"Melihat gerak gerik sibaju hijau, mestinya dla sangat cerdik. Aku
khawatir aku tidak sanggup melayani kecerdikannya itu" sianak
muda mengaku terus terang. "Sekarang aku serahkan pimpinan
kepada nona. Nona boleh lakukan apa yang nona pikir baik, aku
menurut saja"
Hoan Soat Kun tertawa perlahan.
"Baiklah kalau begitu, aku menerima perintah," ujarnya.
Nona ini selalu membawa sikap telitinya itu, untuk memimpin si
ketua sebagai pemimpin, agar orang dapat mengambil keputusan
sendiri. Setelah itu, ia tak tertawa atau tersenyum pula, bahkan
wajahnya menjadi terang dan agung.
"Waktunya sudah tidak banyak lagi, sekarang aku minta tuan
tuan bersiap menantikan segala titahku" katanya sungguh sungguh
Nampaknya musuh bakal melakukan penyerbuan hebat, maka inilah
saat untuk kita menang atau runtuh. Jadijangan kita lalai. Tak peduli
siapa, dia yang mengabaikan tugas pertahanannya, dia akan
dihukum berat tanpa ampun"
"Silahkan perintah, nona," berkata Ban Liang "Kami bersiap sedia
melakukan tugas"
soat kun memegang bambu, dengan itu dia menggores gores
tanah sambil memberi penjelasan bagaimana harus memancing
musuh atau mengejarnya. Semua orang mengawasi dan
mendengarkan dengan penuh perhatian. Jelas keterangannya nona
itu, hingga Siauw Pek semua mengerti baik sekali. Ban Liang
kemudian meneliti cuaca.
"Bagaimana andaikata musuh menerjang di waktu fajar?" ia
bertanya.
"Kapan saja sama juga," sahut Soat Kun, "Semua terserah
kepada tuan tuan sendiri."
"Mungkin nona dapat memberikan suatu penjelasan," kata pula si
jago tua.
"Asal tuan tuan bertindak dengan mengingat pesanku dan disaat
saat genting hati kamu tak gentar, itulah bagus. cuaca gelap akan
menguntungkan kita. Sebaliknya, kalau kita kacau sang malam atau
udara gelap mendatangkan kerugian..."
Tanpa menanti jago tua itu bertanya lagi, Nona Hoan segera
mengatur berbareng mengeluarkan titah titahnya: "Ban IHu hoat,
silakan menjaga ditimur "
"Baik, nona," Seng su Poan menerima tugasnya.
"Kho Kong dan Oey Eng, kamu menjaga masing masing diutara
dan dibarat."
"Hamba turut perintah" menjawab dua orang muda itu.
"Thio Giok Yauw menjaga diselatan," si nona memberi pula
perintahnya sendiri. "Bengcu bersama kami berdua berdiam
ditengah, bersiap siap membantu keempat penjuru di mana yang
perlu."
Ban Liang berempat kemudian berlalu.
"Nona," kata Siauwpek. perlahan, "tin kita luas, mereka menjaga
masing masing satu arah bukankah itu suatu pembalasan yang
sulit? Paling baik..."
"Apakah bengcu masih mempunyai tenaga lainnya yang bisa
diperintahkan?" si nona bertanya. Ketua itu gugup,
"Itulah sebabnya kenapa hambamu minta bengcu berdiam
bersama kami," kata si nona. "seperti aku sebutkan, kita bantu siapa
yang membutuhkan bantuan..." Siauwpek terpaksa berdiam.
"Hambamu masih ada sesuatu yang belum disampaikan," Soat
Kun kemudian berkata pula. "Perlu itu diselesaikan sebelum sang
malam tiba. Maka itu tolong bengcu berdiam dipusat ini untuk
melindungi seluruh tin-"
Berkata begitu, kemudian si nona mengajak adiknya berlalu.
Siauwpek mengawasi punggung kedua nona itu.
sebenarnya ingin ia bicara sesuatu tapi tak sanggup ia
mengutarakannya. Kedua nona berjalan terus masuk kedalam. Ban
Liang berempatpun telah siap diposnya.
Siauwpek berdiam seorang diri, pikirannya bekerja. Ia masih
menyangsikan penjagaan di empat penjuru itu. Wilayahnya luas tapi
yang bertugas cuma empat orang.
"Sanggupkah mereka masing- masing?" tanyanya didalam hati.
"Dipihak musuh itu, tak peduli jumlah mereka berapa besar,
kekuasaan berada pada sibaju hijau, asal aku mengawasi dia, tentu
aku ketahui gerak geriknya, atau mungkin, siang siang aku bisa
menerka apa yang dia hendak kerjakan..."
Karena memikirkan demikian, sianak muda segera lari kepada
Ban liang, disana jago tua itu tengah bersembunyi didalam semak
sambil matanya dipakai mengintai.
Menoleh kepada si baju hijau, Siauwpek melihat orang sudah
turun dari kudanya, dengan tongkat bambu ditangannya, dia itu
tengah mengawasi Liok kah tin- Rupanya dia tengah memahaminya.
Tongkatnya itu telah beberapa kali menggores gores.
Kali ini dibelakang si baju hijau terdapat beberapa pelindungnya
yang semua berbaju merah serta semua menggemblokkan pedang
pada punggungnya. Kalau pedang seumumn panjang tigakaki,
pedang mereka empat kaki lebih. Diam diam Ban Liang
menghampiri ketuanya
"Rupanya sibaju hijau sedang menguraikan tentang perubahan
tin kita ini," katanya, "Nyata sekali dia lagi memberi keterangan
kepada barisan merahnya itu bagaimana mereka itu harus
menerjang."
"Mungkinkah dia telah tahu kegaiban Liok kah tin?"
"Entahlah. Melihat gerak- geriknya dia rupanya belum mengerti
seluruhnya."
"Loocianpwee berpandangan sangat luas," si anak muda memuji.
"Bengcu," berkata jago tua itu, "kau adalah bengcu kami Nona
Hoan telah memilih bengcu dan pintar sekali, mesti ada maksudnya
atas pemilihannya itu. Si nona memanggil aku hu hoat, karena itu
bengcu silahkan memanggil namaku saja"
"Itulah tidak dapat..." berkata sianak muda.
"Tidak demikian, bengcu. Jikalau bengcu tidak membiasakan
membawa diri sebagai orang atasan, bagaimana nanti kau sanggup
memimpin atau mengepalai ratusan atau ribuan jago jago Rimba
Persilatan, untukmu menjagoi dalam dunia Kang ouw?"
Itulah benar. Maka Siauwpek berdiam untuk berpikir. "Hanya...
ya, baiklah aku terpaksa menurut." katanya akhirnya.
"Harap bengcu suka menginsafi bahwa manusia membutuhkan
kewibawaan yang mulia dan diagungkan, baru dia dihormati dan
dijunjung. Nona Hoan telah mengaturnya semua itu untuk bengcu."
Siauwpek menghela napas.
"Lihatlah pedang rombongan berseragam merah itu," katanya
selang sesaat. "Itulah pedang yang beda dengan pedang yang
umumnya."
"Memang, semua pedang itu mestinya telah dibuat secara
istimewa."
"Dari pada kita menanti mereka menyerbu bukankah lebih baik
mendahului?" kata si ketua. "Aku memikir buat menguji mereka..."
"Melihat kepandaian kau, bengcu, tidak ada halangannya buat
aku mendahuluinya menyerang mereka," berkata si jago tua.
"Tetapi, lebih baik bengcu bicara dulu dengan nona Hoan..." Ketua
itu tersenyum.
"Bukankah aku menjadi ketua?" tanyanya.
"Benar. Habis?"
"Maka tidak usah aku bicara dahulu dengannya"
"Meskipun bengcu menjadi ketua, lebih baik bengcu berdama
dahulu," kata si jago tua.
"Aku telah mengambil keputusan..." Ban liang gugup,
"Jangan menempuh bahaya, bengcu" katanya. Dan ia maju
menghadang. Siauwpek berkata dingin "Jikalau kau akui aku
sebagai bengcu, kau minggirlah" Ban liang tercengang, lalu dia
mundur kesisi.
Ketua itu lalu kata lagi "Jikalau aku menang, aku akan kembali.
Apabila aku terkurung dan tertawan, tak usah kamu menolong aku"
"Dalam hal ini, Nona Hoan menanyakan aku katakanlah bahwa
aku telah mengambil keputusan sendiri dan siapa pun tak dapat
merintangi aku." Tanpa menanti jawaban, anak muda ini bertindak
keluar dari tin-
Ban liang bukan main bingungnya, maka dia lari kerumah atup,
untuk menemui Soat Kun, guna memberi laporan.
siauwpek sementara itu maju terus, menghampiri sibaju hijau,
tetapi segera ia dihadang oleh dua orang berseragam merah, yang
berlompat maju dengan membentaknya sambil terus menyerang
Siauwpek meng unus pedangnya dan menangkis.
"Tahan..." bentaknya tertawa dingin. "Aku mau bicara dengan
pemimpinmu" Sibaju ijau mengangkat kepalanya.
"Biarkan dia maju" perintahnya.
siauwpek bertindak maju sampai jarak lima kaki dari sibaju hijau
itu. Disitu ia menghentikan tindakannya sebab enam batang pedang
segera diluncurkan guna mencegah ia maju lebih jauh. Sibaju hijau
tertawa tawar.
"Ada urusan apakah?" sapanya. "Dapat kau bicara sekarang?"
siauwpek memandang, sinar matanya tajam Terus dia berkata^
"Kamu semua bersikap aneh sudah berpakaian beraneka warna
pakai tutup mata segala cuma kau sendiri yang tidak memakai
topeng, kau berani dilihat orang kamu mempunyai tulang laki laki
juga "
Si baju hijau mengimplang, dia tak gusar. Katanya tenang: "Kau
berani maju seorang diri, kau dapat dihitung sebagai orang yang
mempunyai keberanian"
Sementara itu tiga orang berseragam hitam sudah pergi
kebelakang si anak muda, untuk menghadang jalan mundur lawan.
Siauw Pek melirik mereka itu, terus ia kata pada si baju hijau:
"Terima kasih untuk pujianmu. Aku hendak bicara bersediakah kau
mendengarnya?"
"Baik Bicaralah"
"Kita tidak kenal satu dengan lain, kita juga tidak bermusuhan,
kenapa kamu begitu memusuhi dan mendesak kami, selangkahpun
kamu tak mau melepaskannya?"
"Bicara besar" berkata si baju hijau. "Siapakah kau?"
"Kau ingin aku menyebut she dan namaku, itulah tidak sulit.
Hanya, lebih dahulu aku harus ajukan sebuah syaratku"
"Di ini masa, sangat sedikit orang yang berani bicara kepadaku
dengan mengajukan syarat" berkata si baju hijau. "Mendengar katakatamu,
aku merasa aneh. Baiklah, Kau sebutkan, apakah syaratmu
itu?"
"Jikalau aku menyebutkan she dan namaku, kau juga mesti
memberitahukan she dan nama serta kedudukanmu" kata
Siauwpek.
si baju hijau tertawa, katanya: "Agaknya kau memiliki
kepercayaan besar bahwa kau bakal sanggup menerobos kepungan
dari pasukan Tiga Warna"
Siauwpek menjawab tawar^ "Mungkin aku beruntung berhasil
menerobosnya"
Sinar matanya sibaju hijau berkelebat menatap anak muda
didepannya itu. Dia mengawasi orang dari atas hingga kebawah dan
keatas pula. dia cerdas dan teliti, suara dan sikap anak muda ini
membuatnya curiga dan berpikir. Katanya didalam hati: "Ada
pepatah yang mengatakan ^orang yang datang, maksudnya tak
baik, orang yang maksudnya baik, tak akan datang.^ Dia bicara
besar, dia pasti bukan sembarang orang..."
Dia masih menatap. mengawasi wajah orang, pakaian dan
perlengkapannya. Kecurigaannya bertambah setelah dia melihat
pedang dan goloknya sipemuda. Tak biasanya orang membekal
pedang berikut golok.
Selagi orang memperhatikan dia, Siauwpek pun melirik
kesekitarnya. Dia tahu bahwa dirinya sudah terkurung. Melihat lagak
sibaju hijau,tak dapat ia mundur, mesti ia menggunakan kekerasan.
"Punco mengerti" kata si baju hijau kemudian- Dia mengawasi si
anak muda sambil tersenyum.
Didalam hati, siauwpek terperanjat juga .
"Mungkin dia tahu siapa aku?" pikirnya. "Kau mengerti apakah?"
ia tanya.
"Bukankah kau sisa mati satu-satunya dari Pek Ho Po, yaitu coh
Siauwpek yang dapat melintasi Seng Su Kio?" orang itu balik
bertanya.
"Ah, benar- benar dia kenal aku" kata siauwpek didalam hati. ia
terCengang, tetapi ia menabahkan hati.
"Kalau benar, bagaimana?" tanyanya menantang.
"Didalam dunia Rimba Persilatan, keCuali Thian Kiam dan Pa Too,
tidak ada lain orang yang selalu membawa pedang dan juga golok
model kuno"
"Kau benar Cerdik, tuan" si anak muda mengakui. Mendadak ia
menghunus pedangnya, untuk dipakai menangkis kedepan terus
kebelakang, hingga bentroklah tiga batang pedang, dan dua yang
lain terpental, Itu disebabkan dengan mendadak dua orang musuh
mengancam ia dengan pedangnya masing-masing .
"Benar tak keCewa ilmu pedang Thian kiam kie tong" kata sibaju
hijau yang tertawa tawar.
"Kau telah dapat menerka, tak usah aku mendustai kau" kata
Siauwpek. "Tidak salah, akulah yang kebanyakan orang Rimba
Persilatan hendak binasakan, Akulah coh Siauwpek yang
kematiannya baru akan membuat tenang hati mereka itu"
si baju hijau mengibaskan tangannya. Segera pasukan baju
merah dan bersenjatakan pedang bergerak dalam dua bagian,
menuju kearah Liok kah tin- Sembari tertawa berkakak, dia pun
berkata^ "Empat puluh orang baju merah yang bersenjatakan
pedang ini akan menyerang Liok Kah tin" Siauwpek tertawa tawar.
"Jikalau kau cuma meninggalkan dua belas orang, aku khawatir
mereka tidak cukup kuat untuk melindungi keselamatan dirimu"
katanya.
"orang terlalu banyak cuma akan menambah bahaya saja"
berkata sibaju hijau. "Dengan dilindungi dua belas orang ini, aku
sudah merasa aman sekali."
siauwpek menyapu dengan sinar matanya kepada sekalian
musuh, lalu ia berkata dingin "Kamu harus berhati hati melindungi
pemimpin kamu" Habis berkata itu, dengan tiba tiba ia menyerang si
baju hijau itu
Sinar golok golok segera berkelebatan. Empat buah senjata
bergerak menjaga serangan serangan pedang anak muda itu, empat
orang lainnya segera berbaris didepan sibaju hijau.
Menyusul itu empat orang berseragam merah, yang mencekal
poankoanpit, turut bergerak dari barat dan selatan, untuk
mengurung si anak muda. Pengurungan segera diperketat oleh
empat orang lainnya yang berseragam putih, yang senjatanya
pedang pedang panjang. Siauwpek cerdas.
"Tak dapat aku melayani mereka lambat lambatan," pikirnya.
Karena ia berpikir demikian, pikiran sianak muda berubah dengan
tiba tiba. Menuruti rasa hati itu, tangan kanannya segera
memindahkan pedangnya ketangan kirinya, kemudian tangan kanan
itu meraba gagang goloknya. Tanpa bersangsi pula, ia berkata
dengan dingin. "Apakah kamu memikir hendak belajar kenal dengan
pengaruhnya Toan Hoan It Too?"
Justru disaat itu sibaju hijau berteriak dengan perintahnya:
"Lekas turun tangan. Jangan beri kesempatan dia menghunus
golok"
Menyusul itu, segera delapan poankoan pit empat pedang dan
empat golok, bergerak serentak. hingga sinarnya berkilau kilau,
menyambar si anak muda.
Siauwpek berlaku sebat. Ia memutar pedangnya untuk
menangkis dan melindungi dirinya. Maka terdengarlah nyaringnya
suara pelbagai alat senjata yang bentrok satu sama lain- Belasan
senjata lawan itu menyerang dari segala penjuru, rapih caranya,
teratur kedudukannya. Nyata mereka sudah terlatih baik. caranya
ialah dua pedang mengancam lengan kanan lawan, dua lagi siap
menangkis, empat golok untuk keras lawan keras, dan poankoanpit
menusuk menotok keatas, tengah dan bawah. Repot juga Siauw Pek
melayani kepungan teratur itu.
Selagi pertempuran berlangsung, terdengar si baju hijau berkata
nyaring^ "Jikalau aku hidup pada beberapa puluh tahun yang
lampau, tak nanti aku ijinkan Kie Tong menjagoi dunia Rimba
Persilatan dan tak pernah terkalahkan"
Siaue pek tidak menghiraukan suara yang bernada ejekan itu, ia
hanya berpikir: "Jikalau aku tetap melayani mereka seCara begini,
salah salah aku terancam bahaya."
Kembali terdengar suara nyaring sibaju hijau. "Dua belas orang
ini tidak seberapa tinggi ilmu silatnya tetapi mereka pandai bekerja
sama Kie Tong memahirkan ilmu pedangnya, tapi dia bukanlah
seorang Cerdas. coba sekarang dia masih hidup, melihat begini, dia
boleh mati berdiri "
Masih Siauwpek tidak mempedulikan suara itu, ia tetap
memperhatikan perlawanannya. Berkat pengalamannya menderita,
ia kuat hati dan ulet, sembari bertempur diam diam ia memahami
cara berkelahinya kedua belas musuh itu. Ia memang membutuhkan
tambahan pengalaman, dan cara musuh itu asing baginya. Ia pula
masih bersabar untuk tidak segera menggunakan goloknya. Karena
ia menggunakan otaknya ia lalu dapat satu pikiran, bahkan segera
dicobanya.
Dengan mendadak anak muda ini menikam Seorang yang
bersenjata golok. Karena serangannya itu, dengan Sendirinya iga
kirinya lowong. Dua batang pedang musuh segera menyerangnya.
Sudah dikatakan, pihak musuh dapat berkelahi dengan rapih sekali.
Selagi menyerang itu, terpaksa Siauwpek mengegos mengelit
tubuhnya. Berbareng dengan gagalnya pedang, ujung sebuah
poankoanpit tepat mengenai sasarannya
Siauwpek terkejut, ia merasa nyeri. Pundak kirinya telah tertusuk
luka. Sia sia belaka dia mencoba berkelit. Tapi ia menahan rasa
nyerinya, pedangnya bergerak terus Maka menjeritlah musuh yang
bersenjatakan golok itu, karena lengannya kutung.
Menggunakan saatnya itu, Siauwpek berseru hebat pedangnya
bekerja pula. saking sebatnya, dia menancapkan ujung senjatanya
didada musuh yang bergengam poankoanpit itu
Musuh terkejut karena dua orang kawannya terluka itu, cara
mengepungnya sendirinya jadi tidak sempurna lagi.
Tetap siauwpek menahan nyerinya, sekali lagi ia berseru,
pedangnya segera diputar secara hebat. Maka kali ini, saking
terdesak. musuh dari tak sempurna lagi menjadi kaget, terpaksa
mereka mundur tak keruan
Si baju hijau kaget dan heran menyaksikan barisan istimewanya,
yang dia andalkan itu, jadi kacau balau, walaupun demikian, dia
masih mempunyai kesabaran akan tetap menonton.
Di lain pihak. barisan pedang berseragam merah sudah
menerjang masuk kedalam Liok Kah Tin- Maka berisan itu tak dapat
diharap bantuannya. Tengah ia berpikir keras, kembali ia
mendengar bentakan keras dari siauwpek. Kembali seorang yang
bersenjata poankoanpit tertabas roboh, tubuhnya kutung menjadi
dua
Siauw Pek telah mengeluarkan banyak darah tahu dia bahwa dia
bisa roboh lelah, maka itu sambil berseru, dia terpaksa
menggunakan Hoan Uh it Too, merampas jiwa lawan itu.
Pihak lawan sudah kacau balau tapi mereka masih tak sudi kabur,
dari itu menyusullah seorang kawannya lagi, yang bersenjata golok.
Dia ini roboh sebagai kurban golok ampuh. Habis dia, menyusul pula
seorang yang bersenjatakan pedang
Musuh tinggal tujuh, masih mereka mencoba melawan. siauwpek
heran. Kenapa mereka itu demikian tak takut mati? Dalam herannya
timbullah rasa kasihannya. Tapi justru ia merasa kasihan, paha
kanannya kena tergores golok lawan ia merasa nyeri dan kaget, tiba
tiba kaki kirinya lemas, terus ia jatuh roboh. Akan tetapi, walaupun
ia roboh, tangan kirinya masih dapat menggunakan suatu jurus ilmu
pedang Mahakasih, yang istimewa untuk melindungi diri.
Disaat itu, karena gelagat buruk, sibaju hijau kabur dengan
kudanya, meninggalkan barisan istimewanya itu.
Siauwpek melompat bangun, Kembali ia menggunakan goloknya.
Lagi lagi seorang musuh terbang nyawanya. Barulah disaat itu, sisa
musuh kabur.
Siauwpek mengeluarkan napas lega, tengah ia mengawas i
musuh, mendadak ia roboh terkulai. Ia telah mengeluarkan terlalu
banyak darah, ia letih sekali. Inilah pertempuran dahsyat yang baru
ia alami dalam masa hijaunya itu. Tapi inilah yang menambah
pengalamannya.
"Apakah lukamu parah?" demikian satu suara manis, sedangkan
sebuah lengan yang halus menahan lehernya bagian belakang
kepalanya.
Si anak muda mendengar suara itu, ia membuka matanya yang
tadi terpejam. Ia melihat seraut wajah yang cantik, yang kulitnya
halus, wajah yang ayu tercampur roman menyesal, serta sepasang
matajeli agak lesu... Itulah Thio Giok Yauw si nona kosen tetap
nakal Dengan mendadak Siauwpek bergerak bangun. "Terima kasih,
nona" ucapnya.
"Apakah kau terkena racun?" si nona bertanya pula.
"Tidak... cuma pahaku terkena golok dan bahuku tertusuk
poankoanpit..."
"Itu toh golok yang berbisa..." kata si nona
Siauwpek terkejut, ia mengawasi pahanya. Lukanya berwarna
hitam dan darahnya merah gelap.
"Ah, tak kusangka mereka menggunakan golok beracun..."
katanya, menyesal.
"Mungkin kau keracunan hebat, kau mesti lekas dlobati"
Ketika itu terdengar suara halus dari seorang nona lain: "Lekas
rebahkan dia ,Darahnya yang beracun harus dikeluarkan dahulu,
baru dia bisa dlobati"
Giok Yauw berpaling. Maka ia melihat Soat kun mendatangi
dengan perlahan, tangannya berada dibahu adiknya. Siauwpek
tersenyum.
"Tidak apa," katanya. "Belum lama aku terluka, sekalipun aku
terkena racun, racunnya tentu belum bekerja..."
segera Nona Hoan telah datang dekat. Ia berdiri disisi Giok Yauw.
"coba lukiskan lukanya," ia minta kepada nona itu.
"Lukanya lebar dua dim, dalamnya setengah dim, tidak terkena
otot atau tulang."
"Bagaimana warna darahnya?"
"Darahnya merah tua. darah ditempat luka hitam."
"Nona Thio, kau dengar aku."
"Katakanlah"
"Lekas totok tiga jalan darahnya hok touw, hongs ie dan Tiong
geng." Giok Yauw menotok dengan Cepat.
"Lalu?" tanyanya.
"GUnakan pedangmu memotong daging pada lukanya, sampai
darah keluar, baru berhenti." Nona Thio melongo.
"Itu toh akan menerbitkan rasa nyeri"
"inilah mengenai keselamatan jiwa, nyeri sedikit tak apa. Dijaman
dahulu, Kwan in Tiang sampai mesti dikerok tulangnya, sedangkan
luka ini belum sampai keotot atau tulang-tulang .
"Nona benar," berkata si nona nakal, yang telah jadi jinak. segera
dia bekerja, bahkan sebat kerjanya itu.
Siauwpek menahan nyerinya, hingga dahinya bermandikan peluh.
"Telah terlihat darah baru," Giok Yauw memberitahukan-
"Bagus Pondonglah dia pulang kedalam tin-"
Mata jeli sinona Thio memain, mulutnya berkemak kemik tetapi
tak keluar suaranya, tubuhnya tak bergerak.
"Waktu ini waktu apa? Tempat ini tempat apa?" tanya Soat kun-
"Apakah nona masih mengukuhi pantangan pria wanita tak dapat
saling menyentuh tangan-..?" Siauw Pek mendengar, dan melihat,
dia berlompat bangun.
"Tak usah mencapaikan diri, nona Aku masih dapat berjalan "
katanya.
Tapi Soat Kun berkata, perlahan dan merdu: "Sebelum dlobati,
bengcu tak boleh bergerak atau menggunakan tenagamu. Sekarang
ini bengcu ialah siorang sakit dan hambamu tabib, maka wajiblah
bengcu mendengar nasehat tabibmu"
Sementara itu sebat luar biasa, bagaikan tanpa diketahui lagi,
Soat Gle meluncurkan sebelah tangannya, saling susul dia menotok
dua kali pada sianak muda hingga sedetik itu juga robohlah pemuda
itu
Thio Giok Yauw menggerakkan kedua tangannya, untuk
mencegah tubuh orang jatuh ke tanah, karena itu dengan sendirinya
tubuh si anak muda berada didalam rangkulannya
Soat kun segera berkata^ "Didalam tin masih ada sisa musuh,
Nona Thio, mari ikut kami "
"Ya," sahut sinona, yang menjadi sangat jinak. Ialalu memeluk
erat tubuh siauw Pek untuk dipondong, terus ia berjalan dibelakang
kedua nona Hoan, menuju kedalam tinsiauw
Pek telah ditotok tetapi bukannya ditotok pingsan, mata
dan telinganya masih dapat bekerja. Maka itu ia bisa mendengar
dan melihat. Didalam tin tampak sejumlah musuh yang berseragam
merah bersenjatakan pedang itu, semua rebah tak berkutik,
rupanya mereka telah kena tertotok.
"Sungguh hebat tin ini," pikirnya. "Tahu begini, tak usah aku
keluar melayani musuh..."
Tiba didalam rumah, Siauwpek melihat satu pemandangan lainsiorang
bertubuh besar yang berpakaian kuning, yang janggutnya
panjang, bersama belasan orang yang berbaju merah dan
bersenjatakan pedang, lagi duduk bersila dengan mata menutup
dan tubuh menyender pada dinding, nampaknya mereka itu tengah
beristirahat.
"Sekarang dia boleh turun perlahan," terdengar suara Soat Kun,
perlahan. Dengan muka merah, Giok Yauw meletakkan tubuh sianak
muda.
Soat Kun berkata pula pada Nona Thio itu: "Sekarang tolong
nona pergipada Ban Hu hoat serta saudara saudara Oey Eng dan
Kho Kong minta mereka membawa kemari semua musuh yang
tertawan hidup itu."
Giok Yauw menurut, ia mengundurkan diri dengan segera.
Sekarang Nona Hoan berkata pada Siauw pek perlahan: "Luka
bengcu tidak ringan, hambamu mengharap agar kau suka
mendengarkan kata- kataku. Tanggung jawab dan tugas bengcu
sangat berat, tak dapat bengcu memandang diri terlalu enteng.
Ingatlah, sekarang bukan saatnya bengcu mendapat luka, sebab
sekarang kita lagi menghadapi musuh tangguh. coba bengcu
bukannya bengcu yang agung, dan harus dihormati, pasti hambamu
akan mendakwa kau sudah maju berperang tanpa ijin" Tanpa
menanti jawaban orang, sinona berkata kepada adiknya: "Soat Gle,
kau bebaskan totokanmu itu, segera kau oleskan obat bubuk
pemberhenti darah."
Soat Gie melakukan perintah kakak itu. Ia mengmapiri Siauwpek.
untuk menotoknya bebas, setelah itu dari dalam sakunya, ia
mengeluarkan satu peles kecil dari batu hijau, dari dalamnya
dikeluarkan sedikit bubuk warna putih Selesai menyusut
membersihkan sisa darah ditempat luka, terus ia mengobati luka itu.
siauwpek berdiam saja, ia merasa sangat malu dan likat.
Walaupun ia memikir banyak untuk berkata- kata, mulutnya tak
dapat dibuka untuk mengutarakan itu.
Tak lama muncullah Ban Liang berempat, tangannya masingmasing
menenteng atau mengempit dua orang musuh. "Nona
Thio?" Soat Kun bertanya.
"Ya, sahut Giok Yauw, "Ban Hu hoat bersama kedua tua Oey dan
Kho telah datang melaksanakan perintah . :
"Bagus Sekarang tolong bawa masuk semua musuh yang tertawa
n itu," sinona manis.
Ban Liang bertiga menyahut, terus mereka bekerja. Mereka
mundar mandir, empat lima balik, baru selesai tugas mereka, Ban
Liang terus menghitung, lalu melaporkan: "Kecuali yang terbinasa
dan luka parah, masih ada tiga puluh enam anggota musuh yang
berseragam merah bergegaman pedang."
"Setelah kekalahannya, mungkin musuh tak datang pada hari
ini," berkata sinona,
"silahkan Ban Hu hoat menyediakan tiga buah kereta, yang harus
disiapkan diluar tin."
Sebenarnya Ban Liang ingin menanyakan sesuatu tetapi ia
membatalkan keinginannya, ia terus pergi keluar untuk menjalankan
titah itu.
Soat Kun terdengar bicara seorang diri: "Ada tiga puluh enam
orang sebagai pembantu, inilah lumayan, dan bagi Kim Too bengcu,
ini suatu bantuan semangat "
Oey Eng batuk perlahan dan berkata: "Apakah nona bermaksud
memakai tenaga mereka?"
"Tidak salah. Aku membangun tin juga dengan maksud ini." Anak
muda ini melongo.
"cara bagaimana mereka nanti mau tunduk kepada nona ?"
tanyanya. "Ada caranya buat membuat agar mereka menurut,"
sahut Soat Kun-Siauwpek yang duduk bercokol heran.
"Inilah hal aneh. Hendak aku lihat sinona menggunakan daya
apakah."
Soat Kun segera memberikan perintah kepada Oey Eng dan Kho
Kong: "Totok empat jalan darah mereka itu, supaya mereka dapat
melihat, dapat mendengar dan dapat dipikir"
Kedua anak muda itu menjalankan perintah itu. Mulanya mereka
menotok sipemimpin berbaju kuning, lalu bergantian itu tiga puluh
enam orang-orangnya. Dengan begitu sadarlah orang orang
tawanan itu.
Nona Hoan segera menghampiri belakang si orang-orang
berseragam merah dan bersenjatakan pedang itu.
Oey Eng heran menyaksikan gerak gerik si nona, sampai ingin dia
mengajukan pertanyaan, akan tetapi sebelum ia membuka mulutnya
si nona cantik manis tak bandingan itu sudah memperdengarkan
suaranya yang halus merdu "Berikan mereka masing-masing
minuman secawan arak "
Giok Yauw menyahuti, dia muncul dengan sebuah penampan.
Oey Eng dan Kho Kong sudah biasa dengar suara menggiurkan dari
si nona, mereka hanya merasa kagum, tidak demikian dengan
musuh- musuh itu berikut pemimpinnya. Mereka kagum beserta
heran, hingga hati mereka berdenyutan. Inilah yang pertama kali
mereka mendengar suara demikian halus dari seorang anak dara.
Semua segera mengawasi dengan kagum terpesona pada nona itu.
Dilain pihak. mereka juga kagum dengan kecantikannya Nona
Thio yang menghampiri mereka dengan membawa penampan itu.
Mulanya si nona mendekati si orang bertubuh besar berbaju kuning
itu, sang pemimpin.
"Mari minum" dia berkata, suaranya lembut.
Tawanan itu mengawasi si nona dengan sinar mata dingin. Dia
berdiam saja.
"Jikalau mereka tidak sudi minum, totok saja jalan darah thian
kiu-nya" Soat Kun perintah kan-
Oey Eng meng ajukan diri, tanpa berkata apa apa pula, ia
menotok pemimpin itu. Giok Yauw menghampiri seorang berbaju
merah.
"Minumlah" katanya.
orang itu menggeleng kepala, ia memejamkan matanya.
Soat Kun berdiri dibelakang orang itu, walaupun demikian, ia
tahu segala sesuatu dari isyarat adiknya. Maka ia lalu berkata
dingin: "Terhadap mereka, lebih dulu kita memakai aturan, kalau
terpaksa barulah kekerasan Siapa yang tidak sudi minum arak
beracun itu, totok saja jalan darahnya "
Ia menyebut pula jalan darah itu : thian kiu.
Oey Eng heran, katanya didalam hati: "Bagus nona Kau
menyebut arak beracun, sudah wajar saja jikalau mereka tak sudi
meminumnya" Meski ia berpikir begitu, toh bersama Kho Kong ia
bekerja terus, menotok setiap musuh itu, semuanya. "Berapakah
jumlah mereka semuanya?" Nona Hoan tanya.
"Tiga puluh tujuh," sahut Giok Yauw.
"Baik sekarang siapkanlah tiga puluh tujuh batang jarum
beracun, lalu tunggu perintah"
lok Yauw menyahut, ia terus bekerja. Dari sakunya, ia
mengeluarkan jarum yang disebutkan itu. Ia meletakkannya diatas
penampan
Lalu terdengar pula suara Nona Hoan itu : "orang cuma tahu
kalau jalan darah Ngo-im terlukakan, nyerinya seperti laksana semut
masuk kedalam hati, mereka tidak tahu lebih hebatnya kalau kena
ditusuk jarum yang ada bisanya..." Ia berhenti sejenak. lalu ia
menambahkan: "Siapa yang tak sudi minum arak dengan suka rela,
tusuklah jalan darahnya, jalan darah hwee im Tusuk satu kali saja.
Dari jalan darah hwee im itu, racun akan mengalir kejalan darah
kiok kut, Tiong ciu dan kaygoan sampai di thian kiu dan jalan darah.
Biarlah mereka merasakan bagaimana hebatnya penderitaan
racunku itu..."
Suara itu halus dan merdu bagaikan suara burung bincarung,
rambut panjang sinona yang terurai dahulu dan punggungnyapun
bergerak gerak. tetapi pada telinganya orang orang tawanan itu,
suara itu dingin dan menyeramkan
Kembali terdengar suara nona itu, yang menghela nafas: "Tiada
jalan lain, inilah terpaksa. Kamu tunggu sekira waktu sehirupan teh,
jikalau tetap tidak ada orang yang mau minum arak beracun itu
secara sukarela, kamu mulailah menusukkan jarum kepada tubuh
mereka"
Siauw pek juga heran seperti Oey Eng dan Kho Kong, sendirinya
ia mengawasi kepada sekalian musuh itu.
Semua mata orang orang berseragam merah itu diarahkan
kepada cawan arak yang katanya beracun itu, mulut mereka
dirapatkan. Terang mereka beragu ragu sekali, sebab mereka
memikirkan soal mati dan hidupnya...
Segera kembali terdengar suara halus dari Nona Hoan. "Kamu
semua tidak berani membuka mulut untuk berbicara, inilah aku
telah menerka sejak semula. Pastilah kepala atau tuan kamu sudah
menggunakan suatu cara kejam terhadap diri kamu yang membuat
kamu sangat takut terhadapnya, hingga kamu terkekang, hilang
kemerdekaan kamu, takut kamu berkhianat, kamu dicari, untuk
dihukum secara hebat. Tapi, itulah urusan kelak dibelakang hari
Sekarang kamu menghadapi soal mati hidupnya didetik ini jikalau
kamu tidak mau turut kata kataku, kamu bakal mengalami siksaan
yang paling kejam dan menyedihkan di dalam dunia ini... Ah,
mungkin kamu tidak percaya perkataanku. Nanti aku pilihkan
diantara kamu, buat dijadikan contoh, untuk kamu saksikan "
Pikir Siauwpek. "Ancaman begini mana ada hasilnya? Mana
merekat takut? jikalau arak beracun itu dapat dipakai membuat
orang takluk dan menuruti kenapa mereka tak mau dipaksa dicekoki
saja?"
Selagi anak muda itu berpikir, terdengar suara nyaring si nona,
suara yang berwibawa. "Bawa kemari orang berbaju kuning itu"
Oey Eng dan Kho Kong segera menyahut, dan segera juga
mereka menggusur si baju kuning itu ketengah rumah bilik.
Masih Soat kun berada dibelakang orang orang berseragam
merah itu akan tetapi ia ketahui segala sesuatu karena isyarat Soat
Gie.
"Saudara, maafkanlah" terdengar suara sinona kepada si baju
kuning itu. "Kaulah seorang tongcu ketua suatu bagian, diantara
orang orang mu ini, kedudukanmu paling tinggi, maka itu paling
baik kaulah yang lebih dahulu merasakan sarinya arak beracunmu.."
Mendadak orang itu tertawa.
"Baru satu cawan arak beracun. Apakah artinya?" katanya
hambar. "Mari"
"Siapa tahu selatan dialah seorang gagah " berkata si nona.
"Berikan dia satu cawan"
Kho Kong maju, untuk mengambil satu cawan dan dibawa
kepada orang tawanan itu, bawa cawan keluar kebibir orang itu.
Kecuali Soat kun dan Soat Gle, tak ada seorang lain yang
mengetahui apa isi cawan itu. Si baju kuning setelah arak masuk ke
dalam perutnya, mendadak paras mukanya berubah, mendadak
pula dia tertawa berkakak
"Totok otot gagunya" sinona memerintahkan Oey Eng maju
melaksanakan perintah itu.
"Habis apa lagi, nona?" tanya dia.
"Biarkan dia rebah tidur dahulu."
Oey Eng dan Kho Kong tidak tahu maksud mereka sinona.
mereka menurut. Sibaju kuning lantas direbahkan. Dia tak berdaya.
dia diam saja cuma mulutnya seperti mau tertawa. tapi suaranya tak
keluar. Totokan membuat dia tak berdaya dan bisu.
Setelah itu terdengar suara sinona: "Sekarang sudah tidak siang
lagi. Urusan arak beracun ini suatu urusan kecil, tidak dapat
menghalang-halangi usaha kita Nah, kamu siapkan jarum beracun
itu, siapa tidak mau minum arak. segera tusuk jalan darahnya hwee
imnya tanpa ampun lagi"
Oey Eng dan Kho kong menjalankan perintah itu. Karena orang
tetap tidak mau minum mereka menusuk jalan darah hwee im dari
orang orang berseragam merah itu.
Hanya sebentar, semua orang itu segera mengeluarkan peluh
dimukanya masing masing, makin lama makin banyak tetesan
peluhnya mengucur jatuh, kemudian disusul basah kuyup pakaian
mereka disebabkan bukan main banyak keringat yang keluar dari
tubuh mereka
"Mereka mengeluarkan begini banyak peluh tentulah mereka
haus sekali," pikir Siauw pek.
Tiba tiba terdengar satu orang berkata: "Mari arak beracun itu..."
Suara itu sangat memilukan.
Sekarang ini semua orang itu pada mengeluarkan darah dari
mulutnya. Teranglah bahwa mereka sangat dahaga. Mungkin
merekapun sangat lapar. Jangan kata orang habis minum racun,
baru kelaparan dan kehausanpun dapat membuat orang
mengeluarkan darah dari hidung, mulut atau telinganya.
Setelah suara orang yang pertama itu, segera yang lain lainnya
turut minta arak beracun hingga suasana menjadi berisik sekali.
Sampai disitu Soat Kun berkata: "Sekarang ini telah sirna
kejumawaan mereka, hingga tak lagi ada yang mengentang minum
arak beracun. Kasihlah mereka minum, lalu totok otot gagu mereka,
terus biarkan mereka tidur"
Oey Eng dan Kho kong menurut, mereka memberikan arak
kepada semua orang. Selagi berbuat begitu, mereka tak tahu
maksud Nona Hoan juga Giok Yauw heran seperti Siauwpek tak
tahu apa apa. Maka itu mereka hanya menerka nerka.
Habis minum arak dan ditotok. semua orang berseragam merah
itu pada tidur nyenyak.
Selama waktu yang diliwati itu Siauwpek merasa tubuhnya segar.
saking segarnya, tak dapat ia bersabar lagi.
"Nona Hoan," tanya nya "mereka itu tidur demikian nyenyak.
adakah itu akibat arak?"
"Bukan Arak cuma membantu lebih nyenyak tidurnya mereka."
"Apakah ini usaha nona, supaya habis tidur nyenyak^ setelah
terbangun mereka itu akan bagaikan bertukar isi perutnya dan
tulangnya, hingga mereka suka diperintah oleh kita?"
Nona itu berpikir.
"Memang ada apa ilmu yang dinamakan mencuci tulang. Itu
adalah ilmu tenaga dalam dari kaum Rimba Persilatan- Usahaku ini
bukanlah ilmu mencuci tulang itu tetapi hasilnya tak berbeda..."
"oh, begitu" kata siauw Pek kagum.
Soat Kun menghela napas perlahan- Ia berkata pula. "Aku telah
berusaha, nampaknya baik, entah bagaimana kesudahannya nanti,
tak berani aku memastikannya. Kita lihat saja sebentar apabila
mereka sudah tersadar..."
"Bagaimana andaikata mereka tak jadi sebagaimana yang
kuharapkan?"
"Jikalau gagal, gagal pula ilmu ketabibanku " kata si nona.
"Dan bagaimana apabila nona berhasil sebagaimana rencana
nona ?"
"Setelah tidur nyenyak. apabila mereka nanti tersadar, mereka
akan sehat walaftat seperti sediakala, karena racun dalam tubuhnya
telah dapat dimusnahkan seluruhnya. Waktu itu aku hendak
memberi penjelasan dan nasehat kepada mereka, agar mereka
sadar, supaya mereka sudi bekerja sama kita, untuk mereka
membantu ke bengcu. Dan itu artinya, tenaga kita mulai lumayan "
kata si nona.
"Bagaimana andaikata mereka menolak ?" Siauw Pek bertanya
pula. Ia selalu ragu-ragu.
"Setelah kita berusaha begini rupa tapi masih gagal juga,
terpaksa kita mesti binasakan mereka." menjawab si nona.
"Membinasakan mereka bukannya berarti berdosa besar. Mereka
jahat, mereka tak dapat diperbaiki, kalau mereka dibebaskan,
mereka bakal melakukan lebih banyak kejahatan pula. Aku telah
memikir, apabila kita gagal, aku mesti pakai satu cara lain lagi,
untuk memaksa mereka menuruti kehendak kita."
"Bukankah nona, setelah nona musnahkan racun mereka, lalu
nona memasukkan pula lain macam racun kedalam tubuh mereka
itu?"
"Begitulah kiranya, Hanya, selain menggunakan racun, masih ada
daya lainnya."
"Bagus Sekarang, dalam keadaan seperti kita ini, segalanya
terserah kepada nona"
"Hambamu menerima perintah, bengcu." sahut si nona hormat.
Si anak muda melengak.
"Bagus" pikirnya. "Suaranya ini menyatakan bahwa selanjutnya,
dalam urusan apa juga, tak usah aku campur tangan lagi..."
Tak berani si anak muda mengutarakan apa yang ia pikir itu. Ia
melihat sifat si nona tampak makin nyata, bahwa dia tak selembut
semula lagi, bahwa tindakannya makin ketat makin keras.
Ruang sunyi beberapa lama, tapi segera dipecahkan oleh si baju
kuning. Dia terbangun untuk terus memperdengarkan tarikan napas
panjang serta empat anggota tubuhnya bergerak perlahan.
"Dia mulai tersadar" kata Oey Eng yang waspada, agak terkejut.
"Bebaskan totokannya" menitah si nona. Pemuda she Oey itu
melongo dibuatnya.
"Jalan darah apakah?" dia menegaskannya.
"Semua jalan darah yang tadi ditotok"
Kembali si pemuda melengak. Dia tak mengerti. "Tapi, kalau dia
tak sudi tunduk?"
"Tidak apa," berkata si nona menjelaskan, "Didalam waktu
setengah jam, dia tak akan mempunyai tenaga untuk berkelahi."
siauwpek mendengarkan pembicaraan itu, ia tidak mau campur
bicara, hanya diam diam ia menyiapkan diri, tangan kanannya
diletakkan pada gagang goloknya Inilah sebab ia tahu si baju kuning
liehay sekali dan Oey Eng berdua Kho Kong bukanlah lawannya. Ia
telah mengambil kepastian, asal sibaju kuning mengamuk. ia akan
terpaksa menggunakan goloknya guna mencegah risiko yang tak
diinginkan. Ia akan melupakan bahwa dirinya tengah terluka parah.
Soat kun telah menunjukkan kewibawaannya. Oey Eng tidak
berani menentang perintah itu, ia membebaskan totokan kepada si
baju kuning.
Kalau tadi sibaju kuning menggerakkan tubuhnya secara
perlahan sekali, sekarang dia dapat bergerak lebih leluasa, maka
juga tampak dia bergerak untuk duduk dan kedua matanya dibuka
lebar-lebar, melirik kesekitarnya. Dengan perlahan, ia terus bangkit
untuk bangun berdiri.
"cobalah kau kerahkan pernapasanmu, atau tenaga dalammu,"
Nona Hoan berkata hambar pada orang tawanan itu. "coba lihat,
semua racun didalam tubuhmu sudah musnah seluruhnya atau
belum..."
si baju kuning sudah berpikir untuk membuka mulutnya
berbicara, mendengar suara si nona, ia membatalkan niatnya itu.
Segera dipejamkannya kedua matanya dan berdirinya ditegakkan.
"Nona, bagaimana kau ketahui aku telah minum racun?"
tanyanya.
si nona menjawab, dingin: "Jikalau aku tidak tahu kau telah
minum racun, mana dapat aku memberikan kau obat pemunahnya?"
si baju kuning mengangguk. "Aku tahu sekarang, Arak nona itu
bukan arak beracun, itulah justru arak untuk memunahkan bisa"
Soat Kun tidak mengiyakan, juga tidak mengangguk. Sebaliknya
ia berkata tenang^
"sekarang ini racun jahat didalam tubuhmu sudah dipunahkan
dan semua totokan atas dirimu sudah dibebaskan. jikalau kau
hendak berlalu dari sini, inilah saatnya yang paiing baik " katanya
si baju kuning melihat kesekitarnya. "Diluar gubuk ini masih ada
tin yang luar biasa," ia berkata. "Walaupun aku memikir buat
mengangkat kaki, tak tahu aku bagaimana jalannya untuk keluar
dari dalam barisanmu ini "
"Kau pandai melihat kenyataan, tuan"
Si baju kuning mengawasi puluhan orangnya yang tengah tidur
dengan nyenyak itu.
"Pastilah mereka ini telah kau tawan hidup,hidup setelah mereka
menyerbu tin," katanya sambil menunjuk orang-orangnya itu.
Nona Hoan tetap tidak menjawab, hanya dia berkata^ "Tuan,
sekarang ini kau masih menghadapi soal mati atau hidupmu, tapi
toh kau menanyakan urusan lain orang, takkan kau merasa bahwa
kau bertanya terlalu banyak?" Dan si baju kuning melihat pula
keempat penjuru, lalu ia tertawa,
"Nona, kau telah memunahkan racun didalam tubuhku kau juga
membebaskan aku dari totokan, bukankah itu karena ada
maksudmu?" dia bertanya.
"Benar" sahut sinona tawar. Ia pun tertawa.
"Entah dapat atau tidak nona mengutarakan maksud itu untuk
kudengar ?"
"sekarang tolong kau beritahukan dahulu she dan namamu "
"Jikalau aku beritahukan she dan namaku, mungkin kau tidak
tahu." sahut sibaju kuning. "Itulah urusan dari dua puluh tahun
yang lampau."
"Kau sebutkan saja. Asal kau menyebutkan nama orang, pasti
loohu kenal semuanya" demikian menyela satu suara yang dalam
dan mantap.
Agaknya sibaju kuning terperanjat. Ia segera menoleh, Maka
tampaklah Ban Liang tengah mendatangi dengan tindakan lebar.
Setelah mengawasi jago tua itu, si baju kuning berkata dingini
"Lo ciu Lao " Itu artinya "ciu situa, siJenjang Kuning."
Sepasang mata si jago tua dipentang lebar- lebar, dia menatap
muka sibaju kuning itu. Masih agak heran dia bertanya: "Tuan,
jadinya kaulah Oey Ho ciu ceng ciu Tayhiap dahulu hari itu ?"
Sibaju kuning menjawab dingin: "Bagaimana ? Apakah kau
kurang perCaya ?" Ban Liang menggeleng-geleng kepala.
"syukur orang perCaya," sahutnya.
"Kenapakah ?" tegas sibaju kuning itu, yang bernama ciu ceng,
sedang gelarnya ialah Oey Ho, siBurung Jenjang Kuning.
Tay-hiap, orang gagah yang terkenal, adalah kata- kata
panggilan dari Ban Liang terhadapnya.
Ditanya begitu, si jago tua menjawab: "ciu ceng menjadi orang
gagah disatu jaman, didalam dunia Kang ouw, setiap orang
menghormatinya, tapi adakah jago tua itu mirip dengan tuan
sekarang ini ?"
ciu ceng menjadi tidak senang. Dia gusar. "Pernahkah kau
melihat ciu ceng ?" tanya nya keras.
"Belum penah aku bertemu dengannya, tetapi namanya telah
kudengar lama "
"Jikalau kau belum pernah melihatnya, kenapa kau berani
mengatakan loohu bukannya Oey Ho ciu ceng?" bentak sibaju
kuning. sebelum menjawab, Ban Liang tertawa terbahak-bahak.
"Jikalau kau benar ciu ceng jago yang termasyhur itu, kenapa
sekarang kau mau diperintah orang hingga kau menerbitkan
malapetaka bagi Rimba Persilatan ?" Itulah pertanyaan yang berbau
ejekan-Mendadak saja ciu ceng tunduk. mulutnya bungkam. Baru
sekarang Oey Eng campur bicara.
"Tak peduli tuan benar Oey Ho ciu ceng atau bukan," katanya
tenang, "tetapi melihat sikap tuan sebagai orang gagah, aku heran,
kenapa tuan dapat tenggelam didalam kalangan hantu yang sesat
itu ?"
ciu ceng tak menjawab sianak muda. Ia hanya mengangkat
kepala memandang Ban Liang.
"Kau siapakah tuan?" tanyanya perlahan-
"Seng Su Poan Ban Liang" sahut si jago tua sabar.
si baju kuning mengangguk.
"Pernah aku dengar nama tuan itu," katanya.
Soat Kun yang sejak tadi berdiam saja, terdengar menghela
napas, lalu disusul dengan kata katanya ini^ "Dalam urusan ini dia
tak dapat disesalkan. Dia telah ketahui bahwa dia berbuat karena
terpaksa, seorang Kang ouw yang namanya tersohor, mana dia sudi
membiarkan dirinya diperintah orang walaupun dia
menyembunyikan she dan namanya ?"
ciu ceng bagaikan tak mempedulikan kata kata nona itu, dia
memandang pula rombongan seragam merahnya, setelah mana dia
menarik napas panjang.
"Tuan tuan, harap kamu tidak memandang ringan kepada jago
jago pedang berseragam merah ini," katanya. "sebenarnya sebelum
mereka memasuki seng kiong, mereka adalah jago jago
berkenamaan ditempatnya masing-masing"
"Itulah urusan mereka sendiri," berkata Soat kun menyela.
"Sekarang baik kita bicara dari hal kau sendiri, ciu tayhiap."
Meneladani Ban liang, nona itupun memanggil "tay hiap" kepada
orang tawanannya ini.
"Aku tak punya urusan apa-apa lagi..." sahut siJenjang Kuning.
"sekarang ini tuan berniat melakukan apa?"
"Nona rupanya menjadi pemimpin disini?" tanya dia.
"Tay hiap menerka keliru," berkata sinona, tersenyum. "Aku
cuma menjadi pembantu saja. Ketua kami Kim too bengcu, adalah
lain orang." Mata ciu ceng memain, melihat kesekeliling.
"Kim too bengcu?" tanyanya agak heran, "Belum pernah aku
mendengarnya"
"Ketua kami berhasil mendapatkan ceng Gi kimtoo," Nona Hoan
menjelaskan, "maka ia hendak menjalankan keadilan guna
melindungi Rimba Persilatan, guna mencegah keambrukan untuk
membebaskan rekan rekan seperjuangan maka jikalau kita yang
terhitung orang orang Rimba Persilatan, sudah seharusnya kita
menunjang dan mendengar perintahnya. Dengan jalan itu kita
menolong diri sendiri berbareng menolong orang banyak"
Mendengar demikian, mendadak ciu ceng tertawa berkakakan.
"Apakah yang begitu meng gembira kan hingga tayhiap menjadi
begini girang dan tertawa lebar?" Soat kun bertanya.
JILID 30
"Katanya bengcu kamu memperoleh ceng Gi Kim Too, adakah itu
warisan ceng Gie Loojin?" tanya ciu ceng sungguh sungguh.
"Benar"
"Bagus.. Pernah aku dengar bahwa pada golok emasnya ceng Gie
Loojin ada ukirannya, ukiran tiga buah lencana untuk memerintah,
hanya munculnya golok emas itu telah terlambat terlalu malam coba
golok itu muncul lebih siang sepuluh tahUn, mUngkin dia akan
berhasil menghimpUn rekan rekan Rimba Persilatan gUna membela
dUnia persilatan, untuk semua rekan tunduk terhadap golok emas
itu..."
"Bagaimana tayhiap mengatakan telah terlambat ?" si nona
tanya.
"Pada dua puluh tahun yang lalu, baru saja Seng ciong Sin Kun
mulai bergerak" berkata ciu ceng, menerangkan. "Ketika itu
mungkin kita masih dapat menariknya kembali. sekarang sudah
terlalu malam, maka walaupun ceng Gi Loojin menjelma pula, atau
Thian Kiam dan Pa Too muncul lagi, aku khawatir kita tidak mampu
memperbaiki pula perubahan yang telah berlangsung ini..."
"Kim Too Bengcu kami," berkata si nona, menjelaskan terlebih
jauh, dia telah memiliki Thian Kiam dan Pa Too serta ilmunya kedua
rupa senjata itu, ia jugamemperoleh ceng Gi Kim Too, maka itu,
dengan dia bekerja seCara terang-terangan, ia tentu akan berhasil
menumpas segala hantu dunia"
Siauwpek, yang berdiam saja, mendengar suara si nona, ia lihat
sendirinya.
"Sayang," berkata ciu ceng, "orang orang Kang ouw yang pandai
dan gagah, mereka semua sudah dapat dikumpulkan Sin Kun,
hingga sisa yang lainnya, satu atau dua orang, apakah artinya
mereka itu, apakah yang mereka dapat buat?"
"Bukankah orang orang sin Kun yang tayhiap sebutkan itu dapat
kita gunakan tenaga kepandaiannya?" tanya si nona.
"Bagaimanakah pendapatmu ini, nona?"
"Umpama semua orang Sin Kun itu sama seperti kau sendiri,
tayhiap, yaitu mereka telah mempunyai pikiran buat meninggalkan
tempat gelap. maka pastilah bengcu kami sangat gembira
menyambutnya"
"Semua mereka yang dikatakan orang gagah dan pandai, semua
mereka telah ada berapa lapis kalangannya. Andaikata mereka pada
memikir buat meninggalkan tempat yang gelap. mereka toh tak
sanggup pergi ketempat yang terang..."
"Dan bagaimana dengan kau sendiri sekarang tayhiap?"
"Sekarang ini aku tidak kurang suatu apa, aku bebas dari
kekangan."
"Nah, demikianlah Asal mereka itu mau meninggalkan tempat
gelap buat pergi ketempat yang terang, aku bersedia menyingkirkan
kekangan atas diri mereka itu" ciu ceng tertawa lebar.
"Nona" katanya, "mungkin nona mempunyai semaCam
kepandaian, akan tetapi kata katamu yang besar itu sukar buat
orang perCaya" Si nona berlaku sabar. Tetap ia berlaku tenang.
"Sudah banyak tahun kamu hidup di bawah pengaruh sin Kun,
jadi kamu memandang dia bagaikan malaikat dan menakutinya
bagaikan kalajengking, sedangkan sebenarnya dia tak lebih tak
kurang satu manusia biasa sebagai kita, hanya saja dia punya
kepandaian silat yang sedikit lebih tinggi daripada orang lain " ciu
ceng berpikir. Kata kata si nona beralasan-
"Nona benar juga," katanya. "Memang Sin Kun tetap seorang
manusia, Cuma ilmu silatnya mahir sekali."
"Masih ada sesuatu yang tayhiap belum pernah pikir," sinona
berkata lebihjauh. Mendadak ciu ceng berubah sikapnya. Ia
mengangkat kedua tangannya memberi hormat.
"Tolong nona ajari aku," pintanya.
"Seorang manusia didalam hidupnya cuma akan mengalami
kematian satu kali," berkata si nona kemudian- "Dia mati ditangan
Sin Kun atau ditanganku, itulah kematian yang sama."
"Kau benar nona."
"Kematian memang sama, yang beda ialah harganya" Soat kun
berkata. "Itulah beda jauh sekali. Yang satu mati karena melakukan
kejahatan melupakan kebakan, setelah mati dia meninggalkan nama
busuk laksaan tahun. Yang lain melindungi kebalkan untuk
membasmi kejahatan, setelah mati namanya harum untuk selama
lamanya. Mati atau hidup, setiap orang mesti mengalaminya, cuma
didalamnya ada filsafatnya."
Perlahan sekali ciu ceng menghela nafas.
"Tentang itu pernah aku pikirkan pada beberapa tahun yang
lampau," ia akui, "cuma ketika itu aku tidak mengerti jelas seperti
apa yang baru saja nona uralkan, hingga orang menjadi sadar
karenanya."
Soat Kun tetap dengan sikapnya yang halus dan tenang.
"Jikalau tayhiap mengerti itu, tak usah aku mengatakannya lebih
banyak pula," kata dia, "Aku telah selesai bicara, sekarang, tayhiap
sudi bekerja sama atau hendak melanjutkan pertempuran, terserah
kepada tayhiap silahkan tayhiap memikirkannya"
"Apa yang nona katakan semua benar," berkata ciu ceng. "cuma
kalau kalau dengan begini saja aku menghamba kepada Kim Too
bengcu, itulah hal yang membuat hati orang tidak puas"
"Bagaimanakah pikiranmu tayhiap?"
"Aku yang rendah menghendaki nona mempertunjukkan
beberapa rupa kepandaianmu, supaya aku dapat belajar kenal
dengannya supaya aku ini tunduk di mulut dan juga di hati," berkata
si baju kuning. "Sampai waktu kalau aku turut kepada Kim Too
bengcu, aku menurut dengan ada alasannya yang dipertanggung
jawabkan-"
"Maksud tayhiap dapat menimbang, diantara Kim Too Bengcu
dan Sin Kun yang saling berebut pengaruh itu, siapa lebih baik dan
siapa lebih buruk, bukankah?" si nona menegaskan. ciu ceng batuk
batuk.
"Inilah aku... aku..."
"Apakah maksudmu, tayhiap? Katakanlah"
"KeCerdasan nona, aku telah mengakuinya. Aku maksudkan ilmu
silat..." Mendengar itu, siauw Pek bingung sendiri.
"Berabe" keluhnya dalam hati. "Nona Hoan tidak mahir ilmu
silatnya dan orang ini justru hendak mengujinya di dalam ilmu itu."
Tapi, terdengarlah suara sinona: "Tayhiap. kau sudah sadar
sesudah sadarnya akan tetapi kesehatan tubuhmu belum pulih
seluruhnya aku khawatir kau tidak berdaya didalam menempur
aku..."
Diam diam ciu ceng menyalurkan pernapasannya, ia
mengerahkan tenaga dalamnya. "Aku merasa sehat sekali, nona,"
katanya.
"Tayhiap mengatakan tayhiap tidak memperCayai kata kataku,"
kata sinona. "Sekarang begini saja^ Silahkan tayhiap mencoba satu
sampokan. Arakku itu dapat memusnahkan raCun yang mengeram
di dalam tubuh tayhiap. tetapi serentak dengan itu, tanpa
diketahuinya juga dapat membuat orang lenyap ilmu silatnya" ciu
ceng tersenyum.
"Apa benar demikian nona?jika benar begitu, ilmu obat obatan
nona melebihi lihaynya ilmu obat obatan Sin kun"
"coba saja dulu tayhiap"
ciu ceng segera menyampok. tetapi segera mukanya menjadi
pucat, lenyap senyumnya, berganti dengan wajah kerut hendak
menangis.
"Bagaimana?" Soat kun bertanya sambil mengawasi, "Sekarang
kau perCaya atau tidak?" Jago itu menghela napas.
"Selama hidupku, sering aku menemui orang orang pandai silat,
tapi yang seperti Sin kun dan kau nona..." katanya, masgul, tak
dapat dia meneruskannya.
"Ketika tayhiap bertemu dengan orang yang tayhiap sebut sin
kun itu, tayhiap segera tersesat, tayhiap kehilangan dirimu sendiri,"
kata si nona. "Dia menyebabkan kau meruntuhkan dalam sekejap
saja nama besarmu dalam dunia Kang ouw Kini, setelah tayhiap
bertemu denganku, aku membuatmu sadar dan kembali pada diri
asalmu, bahkan kelak kau akan memperoleh kembali nama baikmu
itu" Periahan lahan, ciu ceng tunduk.
"Nona, kata katamu sekarang ini adalah kata kata tak berguna
lagi katanya, masgul. "Kini kesehatanku telah pulih, tetapi tenaga
dan kepandaianku telah, maka itu aku, aku hidup atau mati di mata
nona aku sama saja, tidak nona hargai lagi"
o.o.o.o.o.
"Jangan keliru, tayhiap. Kenyataannya tidak demikian- Dapat aku
melenyapkan tenaga kekuatan tayhiap. dapat pula aku
memulihkannya kembali" Mata jago itu bersinar. Dia menatap tajam.
Dia agak heran.
"Benarkah nona memiliki kepandaian semaCam itu?" dia
menegaskan.
"Asal tayhiap sudi menerima baik kata kataku didalam waktu satu
jam, akan aku pulihkan tenaga dan kepandaian tayhiap" menjawab
sinona suaranya tetap.
Seorang jago silat paling menyayangi kepandaiannya, kepandaian
itu melebihi jiwanya tak heran ciu ceng menjadi sangat tertarik hati.
Demikian juga anggapan siJenjang kuning ini. Dia mengangkat
kepalanya dan menggumam
"Didalam waktu satu jam kepandaianku akan pulih kembali? Ah,
ini tak mungkin..." Siauw Pek dan Ban Liang semua diam terpaku
merekapun heran sekali.
"Hebat sinona" pikir mereka. "Dia dapat membuat ciu ceng yang
gagah dan berpengalaman menjadi limbung seperti sekarang ini
Sungguh dia liehay"
"Apakah tayhiap masih kurang perCaya aku?"
"Aku perCaya kau nona. Nah, apakah yang nona ingin ketahui.
Tanyakanlah" Jago itu memberikan jawaban dengan segera. Ia
berpikir Cepat.
"Maukah kau kembali pada diri asalmu,pada namamu yang
besar? Bersediakah kau bekerja sama guna keadilan dunia Kang
ouw?" tanya sinona.
"Nona, nona... Apakah dengan begini kau hendak memaksa
menekan aku?"
"Jikalau aku berbuat demikian, apa bedanya aku dengan Sin kun
kamu itu? Aku tegaskan, kau bersedia menerima kata kataku ini
atau tidak, tetap aku akan memulihkan tenaga kepandaianmu.
Sengaja aku memunahkan raCun di dalam tubuhmu supaya kau
sehat dan merdeka, supaya kau tak menghawatirkan juga untuk
mengutarakan apa yang kau pikir didalam hatimu."
ciu ceng berdiam sebentar, terus ia menarik napas.
"Nona, kau tidak cuma pandai luar biasa, kau juga sangat murah
hati dan bijaksana, kau membuat orang kagum dan tunduk. Nona,
jikalau tenaga kekuatanku pulih, aku akan ikuti kau untuk dengan
setulusnya hati menerima segala titahmu"
"Berat kata katamu ini, ciu tayhiap." berkata sinona. Hanya
sedetik dia berhenti, lalu ia berkata pula^ "Ambillah sebutir siau yoh
tan dan berikan pada ciu tayhiap"
"Ya" menyahut Thio Giok Yauw, kepada siapa perintah itu
ditunjukkan, lalu terus dia merogo sakunya, mengeluarkan sebuah
peles obat dibukanya tutupnya itu dan dikeluarkannya sebutir piL.
Dengan Sikap menghormat, nona ini menyerahkan obat itu kepada
jago Serba kuning itu
ciu ceng menyambuti, tanpa melihat pula, obat itu dimaSukkan
ke dalam mulutnya dan ditelan.
"Sekarang, ciu Tayhiap. silakan duduk bersila, untuk
bersemedhi," berkata si nona. "Luruskanlah jalan nafas tayhiap.
sebentar, sekira sepertanak nasi, akan pulihlah tenaga kepandaian
tayhiap"
Sekarang ini jago itu sudah perCaya betul kepada si nona, ia
menurut, ia terus duduk. guna memelihara pernafasannya.
Setelah itu, sunyilah ruang rumah gubuk itu. Semua orang
berdiam, cuma hati mereka yang pada bekerja. Kecuali kedua nona
Hoan, semua yang lainnya heran, semua ingin menyaksikan
kegaibannya pil mustajab itu...
"Entah dari apa dibuatnya pil itu," pikir Siauwpek. "Benarkah ciu
ceng akan pulih tenaga kekuatannya? Kalau dia pulih, lalu dia tak
suka tunduk, bukankah itu berarti kita harus bertempur pula seCara
hebat?"
"Kalau dia tidak dikekang, itulah berbahaya" Ban Liang pun
berpikir.
Sementara itu, sang waktu tetap berjalan, tanpa rintangan,
sebab tak ada suatu apa yang dapat menghadangnya. Ruang tetap
dikuasai sang kesunyian- Kesunyianpun penuh dengan suasana
ketegangan-..
Akhirnya, tawa Soat Kun memeCah kesunyian itu. "ciu Tayhiap."
serunya, perlahan "sang waktu telah tiba"
ciu ceng segera melompat bangun. itulah isyarat si nona yang dia
tungguh tunggu. Dia ingin mencoba, menguji. begitu dia bangkit,
begitu dia menyampok kearah luar rumah, Satu sambaran angin
yang keras terasa dan terdengar karenanya Sijago tua girang sekali
tetapi dia tertegun. Dia kekemak.
"Tenaga kekuatanku telah pulih" katanya kemudian singkat saja.
"Bagus" berkata si nona yang tetap bersikap tenang. "Nah,
sekarang, kau hendak mencoba aku dengan cara apa?"
"Hai celaka" berseru Siauw Pek di dalam hati. "Kalau dia lupa,
bUkankah itu baik? Nonaku, oh, mengapa kau menimbulkannya?"
ciu ceng berdiam, paras mukanya nampak berubah ubah. Terang
sekali pikirannya berkutat keras dan hatinya guncang
bergelombang. Tapi selang sesaat, lenyaplah ketegangannya,
sebagai gantinya, dia menarik napas panjang. "Nona aku bersedia
mengikuti kau," katanya kemudian, "tak usah kita pie bu lagi " "Pie
bu" berarti "mengadu kepandaian".
Menyusul itu - "bret" Maka merobeklah baju kuningnya ini,
karena ia telah menggunakan tangannya menyobeknya hancur.
soat Kun lalu berkata sungguh sungguh. "ciu Tayhiap. kau sadar
akan dirimu, sungguh, itulah keberuntungan kaum Rimba Persilatan
ciu Tayhiap. terima kasih"
ciu ceng tidak menjawab, hanya matanya menyapu pada tiga
puluh enam orang bawahannya yang masih rebah tak berkutik di
tanah. Mereka itu masih tidur nyenyak...
"Nona, bagaimana nona hendak berbuat atas diri tiga puluh
enam ang-ie kiam-su ini?" tanyanya kemudian-
"Ang-ie kiamsu" berarti "jago jago pedang berseragam merah".
Ang ie ialah baju merah dan kiamsu,jago pedang.
"Bagaimana pendapat tayhiap" si nona membaliki.
"Mereka ini semua tak lemah ilmu silatnya menurut aku, baiklah
kita pakai tenaga mereka untuk kita." ciu ceng mengutarakan
pikirannya
"Baik," berkata si nona, memutuskan. "Mereka semua aku
serahkan dibawa pimpinanmu"
"Terima kasih nona. Tapi, aku kuatir, diantaranya ada yang tak
sudi menakluk."
"Itupun terserah kepada kau. Kau dapat melepas atau
membunuhnya."
"Baiklah Akan kucoba sebisaku menginsafkan mereka, supaya
mereka mau bekerja sama didalam rombongan Kim Too bun."
Karena Siauwpek memakai lambang Kim Too Golok Emas,
dengan sendirinya golongannya ini merupakan satu partai (bun).
"Numpang tanya, nona," kemudian ciu ceng berkata pula,
"dimanakah adanya bengcu, ingin aku menjumpainya."
Terperanjat juga Siauw Pek mendengar kata-kata orang itu,
pikirnya^ "aku tengah terluka, aku rebah disisimu, nampaknya
mana pantas aku menjadi bengcu ?..."
soat Kun menjawab. "Sekarang ini pergi kau taklukkan dahulu
tiga puluh enam kiam su itu, setelah kau berhasil, baru kau
menemui bengcu. Waktunya masih belum terlambat."
"Baiklah Oey Hu-hoat dan Kho Hu hoat, tolong bebaskan mereka
itu"
Oey Eng dan Kho Kong maju untuk bekerja, hanya sebentar,
selesai sudah mereka melakukan tugas mereka.
"Maukah nona memberikan mereka obat untuk memulihkan
tenaga mereka?"
"Inilah permintaan yang tak dapat sembarang diterima baik,"
sijago tua berpikir "Jikalau mereka itu tak sudi menakluk dan
mereka berontak. itulah artinya satu kesulitan bukan kecil..."
Akan tetapi terdengarlah suara Nona Hoan "berikan mereka
masing masing sebutir pil Hoan Leng Tan "
Terkejut sekali sijago tua, hingga alisnya berkerut. Karena kata
kata si nona merupakan perintah, tak berani mencegah, sebab ada
kemungkinan ia nanti ketemu batunya. Terpaksa ia berdiam saja.
Tetapi, diam diam waspada dan mengerahkan tenaga dalamya, siap
siaga untuk sesuatu...
Tidak lama sadarlah ketiga puluh enam kiam su itu ciu ceng
menantikan sejenak. lalu dia mendehem dehem.
"Apakah kau mengenali punco?" dia tanya orang orang
berseragam itu.
"Oey Liong Tongcu" mereka itu menjawab serentak.
"Benar" berkata ciu ceng. "Diantara keempat tongcu hanya
akulah yang tak gemar memakai topeng..." Ia tertawa, ia mengusap
janggutnya, lalu ia menambahkan. "Pembicaraanku dengan nona ini
tentulah kamu telah mendengarnya, karena itu, mesti kamu telah
mengerti juga dengan baik sekali. Apakah kamu sudah
memikirkannya?"
"Ya sudah" adalah jawaban serentak pula. "Bagus kamu telah
mendengar dan berpikir sekarang aku hendak memberitahukan
kepadamu tentang sikapku. Aku sudah mengambil keputusan
melepaskan diri dari kekuasaan ceng kiong sin kun, untuk
sebaliknya memasuki rombongan Kim Too bun guna bekerja untuk
kebaikan dan keadilan Rimba Persilatan. Bagaimana dengan kamu
sendiri tuan-tuan? Silahkan kamu juga mengambil keputusan sendiri
Siapa mau berdiam disini bersama-sama punco, untuk bekerja bagi
Kim Too bun, punco akan menyambutnya dengan sangat girang
sekali sebaliknya, siapa tidak sudi meninggalkan Mo kiong mereka
merdeka mengambil keputusannya"
Tiga puluh enam orang itu berdiam, mata mereka saling
mengawasi. Mereka heran diubahnya sebutan Seng kiong menjadi
Mo kiong, kalau "Seng kiong" berarti "Istana Nabi" (Dewa) maka
"Mo kiong" adalah "Istana lblis".
"Jikalau kamu tidak sudi, tuan-tuan," ciu ceng menambahkan
menyaksikan keragu raguan orang orang itu, "aku akan mewakili
kamu untuk mengajukan..." Tiba tiba ia berhenti bicara, buat
berpaling kepada Nona Hoan, yang tampak hanya punggungnya,
untuk bertanya: "Numpang tanya, nona, bagaimana kami harus
memanggilmu? Aku..."
"Aku she Hoan," Soat Kun menjawab. "Aku sendiri belum menjadi
anggota Kim Too Bun. Kamu panggil saja aku dengan sheku."
sinar mata ciu ceng memain- Ia mengawasi pula semua kiamsu
itu.
"Jikalau kamu tidak mau berdiam disini, puncopun akan
memohonkan kepada Nona Hoan supaya kamu diantar keluar
dengan baik-baik dari tin ini..."
Lalu terdengar dua orang kiamsu yang disebelah kiri berkata
serentak: "Jikalau tongcu benar hendak berdiam disini, bawahanmu
bersedia mengikuti tongcu" ciu ceng mengangguk. dia tersenyum.
"Selama kita mengikuti Sin kun, kita masing masing berlaku palsu
satu dengan lain, tidak ada yang saling mempercayai," berkata ia,
"karena itu sekarang ini tentulah tuan tuan masih tetap mencurigai
aku si orang she ciu..." Ia berhenti sejenak akan merogoh keluar
sebatang anak panah keCil berwarna kuning emas dari sakunya,
segera ia patahkan itu menjadi dua potong, baru dia melanjutkan:
"ciu ceng memasuki kalangan Kim Too Bun dengan setulus hati,
jikalau aku mendusta, maka dibelakang hari biarlah nasibku menjadi
sebagai anak panah ini"
Besar pengaruh sikap jantan tongcu ini, segera terdengar para
kiamsu itu berkata saling susul: "Kami suka mengikuti tongcu
memasuki Kim Too Bun"
"Bagus" seru tongcu itu, "Nah, tuan-tuan, siapa sudi mengikuti
aku, silahkan tetap duduk. jangan bergerak. Dan, siapa tak sudi,
silahkan bangkit berdiri" Hanya sejenak. maka tampak delapan
kiamsu bangun berdiri. ciu ceng tersenyum mengawasi mereka itu.
"Apakah tenaga kekuatan tuan-tuan sudah pulih?" tanyanya.
"Ya sudah pulih kembali" sahut serentak delapan orang itu.
ciu ceng tetap menatap katanya pula^ "seseorang mempunyai
Cita Cita sendiri, aku tak dapat memaksa kamu, tuan tuan-.." Dia
berpaling, akan mengawasi mereka yang sedang duduk itu, baru dia
menambahkan: "Siapa mau berdiam disini, berdiamlah Siapa tidak
suka, dia dapat pergi berlalu, punco tidak ingin memaksanya. Nah,
siapa lagi yang hendak pergi? Silahkan lekas bangun berdiri"
Pertanyaan itu tidak mendapat jawaban- Tidak. sekalipun sudah
diulangi beberapa kali.
setelah menanti cukup lama, ciu ceng menoleh kepada Soat Kun.
"Nona, ada delapan orang yang tak sudi berdiam disini" ia
melaporkan. "Baik silahkan Ban Hu hoat antar mereka keluar dari
tin"
"Baiklah.. aku yang rendah yang mengantar sendiri," kata ciu
ceng.
"Baik" menjawab sinona, "Ban Hu hoat yang membuka jalan"
"Memporak porandakan-.." kata ciu ceng kepada sijago tua.
Terus ia memandang kedelapan kiamsu itu seraya berkata: "Nah,
tuan tuan dapat pergi sekarang"
Delapan kiamsu saling mengawasi, kemudian mereka mulai
berjalan, mengikuti bekas tongcu mereka, Ban liang membuka jalan,
keluar dari rumah gubuk. Katanya: "Tuan2 telah menyaksikan dan
mengalami sendiri liehaynya tin kami ini, maka itu, ikutilah
dibelakangku, jangan kamu salah jalan satu tindak juga"
Tidak lama, sampailah mereka diluar tin, ciu ceng memberi
hormat kepada delapan kiamsu itu seraya berkata "Kalau sebentar
tuan tuan menghadap Sin kun, pasti kamu sukar luput dari
hukuman, karena itu tidak ada halangannya bagiku andaikata kamu
melepaskan tanggung jawab kamu dan menyerahkannya diatas
pundakku, dengan begitu mungkin kamu tidak akan merasai siksaan
lahir batin..."
Enam belas mata delapan orang itu mengawasi tongcu mereka,
mulut mereka semua bungkam.
ciu ceng batuk batuk. Katanya pula. "Walaupun kamu meng
antar tuan-tuan sampai selaksa lie, pada akhirnya kita toh bakal
berpisah, maka itu tuan-tuan, semoga kamu menjaga diri baik-baik,
maafkan aku, tak dapat aku mengantar lebih jauh pula"
Tongcu itu merangkap kedua tangannya memberi hormat, terus
ia memutar tubuh untuk bersama sama Ban liang kembali kedalam
tin-
Sijago tua tersenyum dan berkata, "Dahulu ciu tayhiap
memperoleh penghargaan kaum Rimba Persilatan, sampai sekarang
ini sifat gagahmu masih tetap seperti dahulu itu"
"o, saudara Ban memuji saja..." kata sibaju kuning, menghela
napas. "Baiklah.. aku bicara terus terang pada kau, saudara Ban
sudah sekian lama tak puas aku menghadapi kekejaman iblis itu,
akan tetapi karena tubuhku terkekang hebat, tak berdaya aku
menghindarkannya, sulit buat aku menguasai diriku sendiri,
terpaksa aku mesti menerima diperintah perintah. sekarang aku
bertemu dengan Nona Hoan, aku telah dibebaskan dari kekangan
atas diriku itu, sekarang aku merdeka, akan aku habiskan seluruh
tenagaku untuk membela keadilan, bersedia aku menerima titah
titah sinona, matipun aku tak akan menyesal"
"Siapakah sebenarnya Beng kiong ma kun itu?" Ban liang
bertanya. "Heran kenapa dia mempunyai kepandaiannya itu untuk
mempengaruhi kau. ciu Tayhiap. sedangkan kau berkepandaian
tinggi..."
"Malu aku buat berbicara, saudara Ban," menyahut orang she ciu
itu malu. "Aku tinggal didalam Seng kiong sudah dua puluh tahun
akan tetapi selama itu belum pernah sekalijua aku melihat wajahnya
yang asli, kita semua cuma memanggil dia Sin Kun..."
"oh, begitu?" kata sijago tua, "sungguh hal yang aneh sekali
Tapi, sekalipun ciu tayhiap belum pernah melihat wajahnya, tentu
tayhiap ketahui baik potongan tubuhnya. Apakah ada sesuatu yang
luar biasa, yang beda dari pada orang kebanyakan?"
ciu ceng menggelengkan kepalanya. "Tidak" sahutnya. "Setiap
kali dia bicara denganku, di depannya tentu ada sebuah tirai ajaib
yang memisah kami satu dari lain"
"Apakah tirai ajaib itu?" Ban Liang bertanya.
"Katanya, kalau dua orang berbicara atau berhadap hadapan
diantara tirai, orang yang disebelah luar tidak dapat melihat orang
yang didalam, sebaliknya orang yang didalam bisa melihat orang
yang diluar dengan leluasa."
"Kiranya begitu," kata sijago tua, yang tetap merasa aneh.
Selama bicara itu, tiba sudah mereka di depan rumah.
"ciu Tayhiap. silahkan" berkata sijago tua. Dia jalan dimuka tapi
segera dia bertindak ke samping untuk membagi jalan-
"Maaf!!" kata ciu ceng, yang terus bertindak masuk. Kepada soat
Kun ia terus memberikan laporannya.
"Apakah mereka sudah pergi semuanya ?" tanya Nona Hoan-
"Sudah, ah, kasihan mereka itu... mereka telah kena ditundukkan
seCara hebat oleh Seng Kong Mo Kun hingga mereka tak berani
meronta atau meninggalkannya."
soat Kun mengangguk, ia tidak bertanya melit. "Ban Huhoat,
apakah kereta kuda sudah siap?" ia balik menanya Ban Liang.
"Sudah siap sekian lama, nona?"
"bagus Sekarang ini tenaga kita masih belum cukup untuk
menentang Beng kiong Mo Kun secara berhadap hadapan, maka itu
, sekarang sudah waktunya kita berangkat"
"Kemana, nona ?
"Aku tahu kemana kita harus pergi, harap tak usah locianpwee
berpayah hati."
"Bagaimana dengan tin kita ini?" tanya Giok Yauw, yang
semenjak tadi berdiam saja. "Kita singkirkan saja pagar bambunya,
kita biarkan mereka masuk untuk melihatnya." Mulu tBan Liang
terbuka tetapi suaranya tak terdengar. Ia tak jadi bicara.
"ciu Tayhiap," berkata soat Kun kepada si orang baru ciu ceng,
"kami didalam Kim Too bun kami tidak mengadakan tingkat derajat
tinggi dan rendah, kecuali bengcu dan aku, semua menjadi huhoat.
Kelak dibelakang hari apabila Kim Too bun sudah memperoleh
kedudukan kuat, baru kami memikir buat menetapkan pangkat"
sinona menghela napas, ia melanjutkan^ "Aku mengharap supaya
lewat setengah tahun Kim Too bn akan memperoleh nama didalam
Rimba Persilatan, supaya orang-orang gagah pada kumpul diantara
kita"
Hebat kata- kata itu, tak mudah orang menerka suara keluar dari
mulut seorang wanita yang nampak demikian lemah lembut, apa
pula dia bercacad matanya.
"Nona benar" ciu ceng menyatakan setuju.
"Dua puluh delapan saudara yang baru masuk itu, buat
sementara kita namakan saja jie sip-pat Ciang," berkata sinona pula.
"Mereka itu aku serahkan kepada ciu Hu hoat untuk memimpinnya .
"
"Jie sip pat ciang", dapat diartikan dua puluh delapan perwira.
"Baik, nona," ciu ceng menerima tugasnya.
"Kita berangkat sekarang," berkata sinona lagi. "Ban Hu hoat, ciu
Hu hoat, silahkan mengajak jiesip pat ciang keluar untuk
menantikan kami."
Kedua Hu hoat itu menyahuti lalu mereka keluar bersama dua
puluh delapan kiamsu itu.
SiauwPek bangkit dengan perlahan-lahan.
"Nona Hoan-.." katanya.
"Ada titah apakah, bengcu?" sinona tanya.
"Apakah nona yakin bahwa ciu ceng benar benar takluk?" tanya
siketua.
"Hambamu percaya dia takluk setulusnya," sahut sinona.
"Sekarang ini kebanyakan orang liehay sudah dikumpulkan oleh
Seng kiong Sin Kun, jikalau kita tidak mengambilnya dari dia itu,
dari mana kita mendapatkannya pula?"
"Nona biasa menerka tepat, mungkin nona tidak keliru"
"Kalau kita bisa mendapatkan salah satu jago Sin Kun, itu berarti
dia kekurangan satu tenaga, kalau kita berhasil berturut-turut
mendapatkannya, tiap hari satu, pastilah tenaga dia itu menjadi
surut dan sebaliknya kita bertambah kuat."
"Nona mau meninggalkan kerangka Liok Kah Tin ini, apakah
musuh tidak menggunakan kesempatan untuk memahamkan
rahasianya ?" Siauw Pek bertanya pula.
"Tidak apa, bengcu, tidak akan ada faedahnya untuk mereka.
Aakn aku hapus beberapa bagiannya yang penting, supaya mereka
tak dapat menerka..."
Habis berkata, sinona menarik napas perlahan, "bagaimana
dengan lukamu, bengcu?" tanyanya prihatin.
"Berkata pertolongan nona, sekarang sudah tidak ada
halangannya."
"Dapatkah bengcu bergerak dengan leluasa?"
Diam- diam sianak muda mengerahkan tenaga dalamnya.
"Buat menempur musuh tangguh, mungkin belum cukup, tapi
buat berjalan saja, aku sanggup,"
"Hambamu telah minta Ban Hu hoat menyediakan tiga buah
kereta, baiklah bengcu menggunakan satu diantaranya supaya
bengcu dapat sekalian beristirahat."
"Tak usahlah, nona."
"Ingatlah akan kesehatanmu, bengcu. Nasib Rimba Persilatan
erat hubungannya dengan kesehatanmu itu, maka juga bengcu
harus pandai merawat diri "
Siauw Pek menghela napas. "Baiklah," katanya terpaksa.
"Terimakasih."
soat Kun lalu membisiki adiknya: "Soat Gie, ubahlah tin kita. Kita
berangkat sekarang "
Soat Gie mempunyai mulut tetapi tak dapat ia berbicara, maka
itu ia cuma tersenyum. segera ia berlalu untuk bekerja.
Giok Yauw kagum bahkan mengiri melihat senyuman si nona
bisu, yang demikian manis dan menggiurkan. Katanya didalam hati:
"Dia begini cantik, sayang dia cacat, hingga dia tak dapat
berbicara..."
Tidak lama, Soat Gie sudah kembali, langsung ia mendampingi
kakaknya. Atas tibanya sang adik, Soat Kun bangkit berdiri "Mari
kita berangkat" katanya, yang terus bertindak.
Siauw Pek dan kawan kawannya lalu mengikuti, beruntun mereka
menuju keluar tin- Di muka tin itu tampak tiga buah kereta kuda,
yang sudah dilindungi dikiri dan kanan dan belakang oleh dua puluh
delapan perwira berbaju merah itu, tangan mereka mencekal
masing masing senjatanya. Ketat penjagaan mereka itu.
"Silahkan nona naik kereta" ciu ceng mengundang sambil
menjura.
soat Kun menoleh, terus ia bertindak Cepat menghampiri
keretanya. Ketika ia menaikinya ia berlompat serentak bersama
adiknya. Setelah itu sang adik menurunkan tenda.
Menanti sampai telah rapi si nona naik kereta, ciu ceng berpaling
kepada siauw Pek, dan berkata^ "Tuan terluka, silahkan tuanpun
naik kereta Kita mau segera bangkit"
orang baru ini tak tahu si anak muda adalah ketuanya, Cara
bicaranya biasa saja, tak pertanda menghormatinya.
Siauw pek tidak mau banyak bicara, ia cuma tersenyum, terus ia
naik.
Oey Eng dan Kho kong naik kereta bersama kakaknya itu.
ciu cEng menoleh kepada Thio Giok Yauw.
"Nona naik kereta atau berjalan kaki?" tanyanya.
"Pasti aku mau naik kereta" sahut nona itu.
ciu ceng pun tak tahu kedudukan nona Hoan ini, ia cuma melihat
orang ini agak binal atau sombong, tak mau ia bicara, ia melainkan
tersenyum. Dengan suara tinggi, ia menanya. "Nona Hoan, apakah
kita segera berangkat?"
"Yaa, segera" ada jawaban dari dalam kereta yang nyaring dan
merdu.
"Baiklah," sahut ciu ceng, yang terus mengulapkan tangannya,
maka berangkatlah ketiga buah kereta, sedangkan dua puluh
delapan pe^rwira itu memeCah diri lebih jauh untuk melindungi
semua kereta kereta itu.
Dengan bersuara berisik, bergeraklah ketiga kereta kearah
depan.
Giok Yauw memandang berkeliling. Ia tidak melihat Hie Sian
cianPeng, ia heran-
"Hm" terdengar suaranya, pertanda dia mendongkol. Segera ia
melompat menaiki kereta yang paling belakang. Baru saja ia
menyingkap tenda kereta, ia mengeluarkan seruan tertahan- Ia
terperanjat saking herannya.
Kereta itu ada isinya, seorang yang merebahkan diri. Dan itulah
si Dewa Ikan, tidak diketahui kapan tibanya. Dia rebah sambil
memejamkan matanya. Giok Yauw menolak tubuh orang itu. "Kapan
kau kembali ?" tegurnya.
cianpeng membuka matanya dengan perlahan-lahan, ia
menatapsi nona seraya ia menggeleng geleng kepala. Tak sepatah
kata keluar dari mulutnya.
Nona Thio mendongkol, hingga mau ia umbar
kemendongkolannya itu, tapi selagi mengawasi sijago tua, ia
tampak sesuatu yang mencurigakan, hingga ia mengernyitkan
alisnya.
"Apakah kau terluka?" ia tanya.
cianPeng mengangguk. Tetapi dia tidak menjawab, bahkan dia
memejamkan pula matanya seperti orang yang mau tidur.
Giok Yauw berdiam, walaupun dia merasa aneh, ia tahu jago tua
itu mempunyai latihan tenaga dalam yang beda daripada orang lain-
Lain orang merawat luka dengan duduk bersemedhi, dia sebaliknya
sambil merebahkan diri. Karena itu tak mau ia mengganggu. Kereta
telah berjalan kira kira satu jam ketika berhentilah roda rodanya.
Giok Yauw ketika itu tengah duduk bersemadhi. Ia menjadi
terperanjat. Dengan segera ia membuka kedua belah matanya.
Begitu ia melihat, ia terkejut, herannya bertambah...
cianPeng sudah lenyap. entah kapan perginya dia. Sebagai ganti
tubuh si Dewa Ikan, di dalam kereta itu terletak sehelai surat.
Tidak ayal lagi Nona Thio menjemput surat itu, untuk dibaCa.
Beginilah bunyinya^
"Perjalanan ini berbahaya, ancamannya tersusun susun.
Dengan mengandalkan tenaga kamu beberapa orang saja,
mungkin kamu akan memperoleh kesulitan- Karena itu waspadalah"
Aneh si Dewa Ikan- Dia menyebutkan di tempat mana bahaya
mengancam, dia tidak menyebutkan daya untuk menghindarkannya.
Dia pula tidak menyatakan bahwa dia akan memberikan
bantuannya. Nona Thio mendelong.
"IHmm, siluman bangkotan. Awas kau Jika nanti aku jumpa kau,
akan kubuat perhitungan" Tiba tiba dari luar kereta terdengar suatu
pertanyaan- "Nona kau gusar kepada siapa?"
Giok Yauw terkejut. Ia tak menyangka kata kata itu ada yang
mendengar. Ia lalu menyingkap tenda kereta. Maka ia melihat Seng
Su Poan Ban Liang. "Aku tengah mendamprat cian Peng si Dewa
Ikan" sahutnya. Ban Liang agaknya heran-
"Eh, dimanakah adanya Cian Tayhiap sekarang?" dia bertanya.
"Hm, apa si tayhiap. Tayhiap saja Dia hanya situabangka tukang
piara ikan" berkata si nona sengit.
Ban Liang melihat kesekitarnya, lalu kepada tenda kereta.
Agaknya ia ingin menyingkap tenda itu, guna melihat kedalam
kereta, tetapi ia tak berani lancang. "Apakah cian Tayhiap sudah
pulang?" tanyanya. Ia tetap menyebut tayhiap.
"Dia baru saja pulang."
"Apakah dia berada didalam kereta nona?"
Ban Liang bertanya begini karena dia tahu tabiat aneh cian Peng,
jadi ada kemungkinan si Dewa Ikan sudah naik kekereta nona itu.
"Hm" Demikian terdengar suara dongkol dari si nona. "Dia telah
kena dihajar orang hingga terluka, dan sembunyi di dalam kereta
untuk beristirahat" Mendengar begitu, Seng Su Poan segera
mengulurkan tangan menyingkap tenda.
"Aku Ban Liang..." katanya untuk memperkenalkan diri, tapi
mendadak dia bungkam dan matanya membelalak. Sebab tak
nampak si Dewa Ikan
"orang belum bicara habis..." berkata si nona, "Buat apa bingung
tak karuan? cian Peng baru saja sampai tapi segera dia berlalu pula
seCara diam diam"
Ban Liang melepaskan tenda, hatinya berpikir: "cian Peng itu
orang dengan kedudukan apa Kau, budak perempuan, mengapa sih
kau tak suka menahan mulutmu? Kalau dia dengar suaramu,
mungkin kau tahu rasa" Tapi ia tak mengutarakan apa yang ia pikir,
ia hanya berkata: "Mungkin cian Tayhiap pergi pula karena ada
urusan yang penting..."
"Andaikata ada urusan, seharusnya dia bicara dahulu, belum
terlambat dia pergi. Kini dia bawa lagak bagai maling, datang dan
juga pergi dengan diam diam. Dapatkah dia disebut seorang
enghiong?Jika nanti aku bertemujua dengannya, tidak dapat tidak.
mesti aku hajar adat, biar dia tahu rasa"
"Hm" Ban Liang berpikir. "Kau mencaci dia, kalau dia dengar,
kaulah yang bakal diajar adat olehnya..."
Karena herannya, jago tua ini menjadi berdiam saja.
Sesaat kemudian, berkuranglah kemendongkolan Giok Yauw.
Karena itu, ia jadi dapat berpikir. Ia ingat kenapa kereta dihentikan
di tengah jalan itu. "Kenapa kita singgah disini ?" kemudian ia
bertanya.
"Mungkin ada sesuatu kesulitan, nona," sahut Ban Liang.
"Silahkan nona beristirahat, loohu hendak pergi kedepan untuk
melihatnya." Habis berkata, sijago tua itu lalu memutar tubuh dan
berjalan.
"Tunggu dulu" Giok- Yauw memanggil.
"Ada apa, nona?"
"Jikalau ada terjadi pertempuran,jangan lupa untuk memanggil
aku..."
Dan baru berkata begitu, tiba-tiba nona ini ingat surat cian Peng,
yang masih dipegangnya. Segera ia angsurkan itu pada sijago tua
sambil menambahkan : "Inilah suratnya cianPeng, tolong sampaikan
pada Nona Hoan"
Ban Liang menyambuti, karena surat tidak tertutup, dapat ia
membaCanya. Ia lalu menghela napas.
"Aku tahu, cian Tayhiap belum pernah bicara dusta, dia telah
meninggal suratnya ini, mesti ada sesuatu yang dia telah lihat.
Karena itu nona, jangan kau menganggapnya remeh..."
"Si tua bangka aneh tukang memelihara ikan itu, walaupun
tabiatku sangat aneh, ilmu silatnya tinggi sekali," berkata si nona,
"jikalau aku tidak memandang mata kepadanya, tidak nanti aku
menghendaki suratnya ini lekas-lekas disampaikan Nona Hoan "
Melihat sepak terjang nona ini terhadap cian Peng, sijago tua
heran sekali. Iapun menyesal bahwa ia belum tahu jelas tentang
pribadi si nona. Rupanya sangat erat perhubungan nona itu dengan
cian Peng, bahkan luar biasa, kalau tidak. tidak nanti Nona Thio
menyebut orang si tua bangka, tua bangka bangkotan cian Peng itu
berusia lanjut dan namanya tersohor dan umumnya kaum Rimba
Persilatan menghormatinya... Tengah jago tua ini berpikir demikian,
dia mendengar siulan panjang. ia terperanjat. "Nona tunggu disini"
katanya Cepat, "Aku hendak pergi kedepan"
Dan ketika itu waktu fajar, CuaCa mulai terang, segala sesuatu
mulai tampak. Giok Yauw memandang pula kesekitarnya, terus ia
pesan "ingat, kalau terjadi pertempuran, jangan lupa memanggil
aku "
"Ya aku ingat" sahut si orang tua, yang terus iari kedepan-
Justru itu ciu ceng bersama empat kiamsu iari mendatangi, tiba
didepan kereta soat Kun dia segera berkata : "Nona, kita telah
masuk kedalam perangkap dari Seng Keng..."
Dari dalam kereta terdengar suara si nona: "Apakah ciu tayhiap
dapat menerka kekuatan pihak sana ?"
"sukar untuk menerka, nona.Jikalau tidak keiiru, merekaiah orang
orang lihay dari Pek Liong Tong "
"Pek Liong Tong" berarti "Rombongan Naga Putih" dari Seng
koing sin kun, sebagaimana ciu ceng sendiri asal Oey Liong tang,
rombongan Naga kuning.
"Tayhiap. apakah orang orang mu itu dapat diandalkan?"
"Tetapkan hati, nona. Mereka berani menentang, tentulah
mereka berani mati, tak nanti hati mereka bercabang pula "
"Jikalau begitu, carilah tempat yang bagus letaknya untuk
pembelaan, disana kita akan melakukan pertempuran yang
memutuskan. Dan ingat baik-baik, berwaspadalah untuk tipu daya
atau serbuan mereka secara membokong "
"Aku tahu, nona, tak usah nona payah-payah memesannya."
Berkata begitu, ciu ceng berpaling pada Ban Liang, bertanya :
"Saudara Ban, aku hendak menanyakan sesuatu "
"Apakah itu, tayhiap? sebutkan saja aku akan bicara terus
terang."
"Bagaimana dengan ilmu silat kedua huhoat Oey dan Kho itu?"
"Kira- kira berimbang dengan loohu," sahut sijago tua. Ia
menyebut demikian karena ia ingat dua orang muda itu sudah
memperoleh pimpinan Soat Kunciu
ceng berkata pula : "orang seng kong banyak dan orang kita
sedikit, dapatkah kedua hu hoat itu diminta menangkis musuh?"
"Dalam hal ini baiklah tayhiap bicara dulu dengan Nona Hoan, Si
nona dapat memberi keputusan "
Belum lagi ciu ceng menanya si nona, dari dalam kereta sudah
terdengar suara Soat Kun- "Terserah kepada pimpinan ciu tayhiap "
"Terima kasih, nona," ciu ceng mengucap. kemudian dengan
suara perlahan, ia menanya sijago tua. "Katanya disini ada seorang
yang ilmu silatnya lihay luar biasa, benarkah?"
"Ya, jauh diatas Oey Eng dan Kho hu hoat" sahut sijago tua.
ciu ceng heran dia tertawa.
"Benarkah itu?"
"Aku bicara sebenarnya "
"Bagaimana dengan saudara yang terluka itu?" ciu ceng bertanya
pula, suaranya perlahan-
Ban Liang menggoyang-goyangkan kepalanya "Tentang lihaynya
dia, tak dapat aku menguraikan "
ciu ceng berkata pula. "orang mesti kenal diri sendiri dan tahu
musuh, baru ada harapan untuk menang. Sekarang ini aku masih
gelap segalanya, harap juga saudara jangan keCil hati kalau aku
banyak bertanya."
Ban Liang tersenyum. "Jangan keliru mengerti, tayhiap. Tentang
kepandaian orang itu benar- benar tak ada dayaku untuk
melukiskannya"
"Kenapa begitu saudara Ban?"
"Dia aneh sekali, hingga sulit untuk menerkanya. "jawab Ban
Liang lagi.
"Begitu?"
"Ya. Aku telah bicara sejujur-jujurnya."
"Saudara Ban, aku mohon penjelasanmu."
"Apa itu, tayhiap? Aku bersedia mendengarnya," katanya lagi.
"orang yang terluka itu demikian lihay, kalau dia tidak dititahkan
maju untuk menangkis musuh, itulah harus sangat disayangi"
"Itu benar" jawabya sangat tegas sekali
"Maka itu aku pikir, kalau dia diminta menangkis semabarangan
saja, itulah berlebihan." berkata pula ciu ceng. "Kehendakku, ialah
untuk melihat dahulu musuh, bagiannya yang mana yang kuat, baru
kita suruh tuan itu yang melawannya. Aku hendak menahan dia
selaku Cadangan... Eh, ya, apakah kedudukan orang itu didalam
Kim Too Bun kita ini?"
Ban Liang tersenyum juga.
"Kedudukannya sesungguhnya tidak rendah," sahutnya. "Kalau
saudara ciu ingin ketahui jelas tentang diri tuan itu, kenapa kau
tidak menanyakannya kepada Nona Hoan saja?"
"oh..." kata Oey Ho si Jenang Kuning, yang kata-katanya
tertahan. Ini disebabkan ia melihat seseorang kiamsu berlari-lari
mendatangi, lalu setelah datang dekat, kiamsu itu memberikan
laporannya, perlahan: "Pihak sana sudah mulai nampak..."
"Siapakah mereka?" tanya ciu ceng, Cepat.
"Dia naik joli dengan tenda putih. Mungkin dia orang penting dari
Seng kiong."
Paras siJenjang kuning sedikit berubah.
"Apakah jolinya itu disulami bunga merah? ia bertanya pula.
Karena terpisahnya masih jauh, hamba tidak dapat melihat itu."
"Nah, pergi mencari tahu lagi" tongcu itu memerintahkan.
Kiamsu itu memutar tubuh dan berlalu dengan lekas.
"Agaknya saudara sangat memperhatikan joli itu?" Ban Liang
bertanya.
"Jikalau dia yang datang, berabe" sahut siJenjang Kuning.
Dengan "dia" itu, ia maksudkan "dia" wanita.
"Siapa kah dia itu?"
"seng kiong Hoa Siang."
"Seng kiong hoa siang orang macam apakah dia?"
"Disisi Sin Kun, dialah salah seorang yang paling dipercaya."
"Apakah ilmu silatnya liehay sekali?"
"Liehay tak dapat dijajaki. Ia dapat pelajaran dari Sin Kun
sendiri."
Tongcu ini menghela napas, lalu ia menambahkan^ "Hanya
sekarang belum bisa dipastikan, benar dia atau bukan. Kalau benar
dia, ah, kita..." Mendadak ia menutup mulutnya.
"Eh, eh, kau kenapakah?" Wajah ciu ceng menjadi suram.
"Kalau benar Hoa siang yang datang, akan aku balas budi Nona
Hoan dengan jiwaku" katanya, pasti.
"Jangan terlalu berduka, ciu Tayhiap." Ban Liang menghibur.
"Walaupun Hoa siang dan sin kun sendiri yang datang, Nona Hoan
pasti mempunyai daya untuk menghadapinya."
Hiburan itu besar pengaruhnya bagi ciu ceng, yang bagaikan
memperoleh semangat.
"Benar.. Dengan adanya Nona Hoan, sekalipun sin Kun datang
sendiri, apa yang harus ditakuti?" katanya.
Ban Liang sebaliknya berpikir. "Sayang disamping Cerdik, Nona
Hoan lemah ilmu silatnya. Bengcu Sedang terluka, dapatkah dia
berkelahi? Mengenai Nona Hoan, dalam ilmu silat, dia masih kalah
unggul denganku..."
Pikiran ini Seng su Poan tidak berani utarakan kepada ciu ceng.
Sementara itu Sang Surya sudah mulai naik, sinar emasnya
berCahaya sekali.
Tepat waktu itu, dua orang kiamsu lari mendatangi.
"Musuh sudah mendatangi semakin dekat," ciu ceng membisiki
sijago tua
Kedua kiamsu segera tiba. Katanya: "orang Seng kiong berada
ditempat dua lie dari sini, dimana mereka menantikan bersama
pasukannya"
"Aku tahu," kata ciu ceng, yang menerima laporan. "Sekarang
beritahukan semua mata mata untuk kembali kesini"
Kedua Kiamsu itu menyahuti, lalu mereka pergi pula.
"Saudara Ban," tanya ciu ceng sambil memandang sijago tua,
"apakah sudah tiba saatnya untuk melaporkan kepada nona Hoan?"
"Ya, sudah waktunya," sahut Ban Liang, yang sebaliknya berpikir
pula: "Inilah saatnya buat menggunakan senjata, buat
mengadujiwa, aku khawatir Nona itu belum mendapat daya untuk
menentang musuh..." ciu ceng bertindak menghampiri kereta.
"Nona Hoan, ia melapor, sambil memberi hormat, "orang Seng
kiong sudah mengatur pasukan disebelah depan dimana mereka
menantikan kita. Hambamu sulit mengambil tindakan maka itu
hambamu mohon keputusan nona..."
Dari dalam kereta terdengar jawaban- "Terhadap lawan jangan
kita berlaku lemah "
"Nona benar," sahut ciu ceng. "Aku akan beri perintah untuk
maju menyambut musuh"
"Dengar dahulu perintahku, baru turun tangan" terdengar pula
suara nona Hoan
"Baik, nona"
Berkata begitu, ciu ceng berpaling kepada Ban Liang, kemudian
katanya: "Aku akan bawa dua puluh delapan perwira maju dimuka,
harap saudara mengajak Oey dan Kho Hu hoat melindungi kereta
nona Hoan"
"Baik saudara ciu" sahut Ban Liang.
Jago tua ini memasang mata. Ia melihat orang berlari lari.
Sebentar saja dua puluh delapan kiam su sudah berkumpul semua.
ciu ceng lalu berkata dengan keras^ "Nona Hoan telah
memerintahkan supaya kita jangan menunjukkan kelemahan
terhadap Seng kiong Nona Hoan telah mempunyai daya upayanya,
walaupun demikian, kita tak akan bebas dari satu pertempuran
dahsyat, maka itu seleksanya pertempuran dimulai, mesti kita
mengadu jiwa kita"
"Kami akan berkelahi hingga mati. Kami tak akan
menyesal"jawab serempak para kiamsu itu.
"Bagus" ciu ceng berseru. Lalu dia maju dimuka.
Dua puluh delapan kiamsu itu menghunus pedang mereka,
mengiringi pemimpinnya itu. Ban Liang sebaliknya menghampiri
kereta. "Nona IHoan" ia memanggil, "Nona Hoan-"
"Ada apa, hu-hoat?" menjawab si nona.
"Nona, aku hendak bicara tentang ciu Tayhiap." berkata sijago
tua. "Kalau kita menemui jago-jago dari Seng kiong, pertempuran
mestinya pertempuran dahsyat sekali. Menurut penglihatanku,
agaknya ciu Tayhiap rada jeri terhadap musuh yang datang ini..."
Soat Kun berdiam untuk berpikir.
"Bagaimana keadaan Bengcu, belum loohu menanyakannya.
Mungkin Bengcu sudah dapat bertempur pula . "
"Pertempuran kali ini sangat penting," berkata sinona. "Mungkin
kesudahannya pertempuran akan mengangkat Kim too bun, untuk
memperkenalkan pengaruh kita dalam dunia Kang ouw, atau
mungkin kita bakal tenggelam hingga tak ada kesempatan buat
bangkit pula..."
"Memang..." pikir Ban Liang. "Berulang kali Seng kiong mengirim
orang orangnya mengepung ngepung kita, kalau terus menerus kita
diganggu dengan pertempuran-pertempuran dahsyat itu memang
menyulitkan, susah buat kita menaruh kaki didalam dunia Kang
ouw..."
Lalu terdengar suara merdu sinona tuna netra "jikalau kita tidak
melakukan pertempuran pertempuran dahsyat dengan orang orang
Seng kiong Mo Kun, tak ada jalan lainnya untuk membuat dunia
Kang ouw mengetahu munculnya ceng Gi., Kim Too, oleh karena itu
tolong Ban Hu hoat menyampaikan kepada bengcu supaya ia dapat
menggunakan kesempatan yang baik ini untuk beristirahat sungguh
sungguh, supaya kalau sampai terpaksa, sebentar kita akan
meminta bantuan tenaganya"
"Lohu tahu," sahutBan Liang, yang segera pergi menyampaikan
pesan sinona kepada ketuanya, dan kemudian ia memberi isyarat
agar ketiga kereta kuda dimajukan terus kedepan-
Baru berjalan kita-kira dua lie, kedua belah pihak sudah
berhadap-hadapan.
Itulah sebuah tanah belukar yang sunyi. Di sebelah depan sana
berkumpul beberapa puluh pekie kiamsu orang orang berseragam
putih dengan pedang ditangan masing masing. Mereka itu berbaris
ditengah jalan, untuk menghadang. Dipihak sini, ciu ceng
menghadapinya bersama dua puluh delapan orang bawahannya.
Jaraknya diantara dua pihak ada sekira dua tombak. Keduanya
tidak segera turun tangan agaknya mereka masih menantikan
sesuatu. Kereta Soat Kun dimajukan sekali.
"ciu Hu hoat, bagaimana gerak gerik musuh?" tanya sinona.
"Musuh kita terdiri dari orang orang Pek Liong Tong," menjawab
hu hoat yang baru itu, "Jikalau mereka tidak mendapat bala
bantuan, tak usah khawatirkan mereka..."
Baru berhenti suara ciu ceng, mendadak terdengar suara melesat
menyambarnya anak panah, menyusul mana dibelakang pasukan
serba putih musuh itu muncul dua belas budak budak perempuan
yang berseragam hijau, yang semuanya bersenjatakan pedang.
Mereka itu mengiringi sebuah joli kecil yang serba putih, yang
digotong mendatangi cepat sekali. Melihat demikian, mua ciu ceng
berubah menjadi pucat.
"Nona Hoan, benar- benar Seng kiong Hoa Siang sendiri yang
datang" katanya.
Ketika itu Thio Giok Yauw, yang naik kereta paling belakang,
melompat turun dari keretanya itu, dia menghampiri kereta Soat
Kun untuk terus melompat naik keatas.
Tindakan Nona Thio ini berdasarkan anjuran Ban Liang.Jago tua
itu ketahui ilmu silat kedua nona Hoan tidak mahir, maka ia anggap
perlulah Giok Yauw mendampinginya untuk membantu mereka itu.
Barisan berseragam putih itu meluruskan tangan mereka
menyambut dengan hormat penghuni joli kecil warna putih itu.Joli
tepat dihentikan dihadapan mereka. Kedua belas budak berseragam
hijau lalu berbaris mendampingi dikiri dan kanan joli.
"ciu Tongcu" tiba tiba terdengar suara nyaring halus keluar dari
dalam joli putih itu.
ciu ceng melengak. tapi lekas juga dia maju. "ciu ceng disini"
sahutnya.
"Tahukah kau undang undang Seng kiong?" terdengar suara
nyaring halus tadi, "Apakah hukumnya terhadap para penghianat?"
"Aku siorang she ciu ketahui itu," sahut ciu ceng setelah ia batukbatuk
perlahan-
Tenda joli tersingkap. lalu tampak penghuninya, yang bertindak
keluar. Dia adalah seorang wanita Cantik dengan pakaian serba
hijau. Dia terus berkata dingin: "ciu Tongcu, tahukah kau siapa
aku?"
"Seng kiong Hoa Siang, Mustahil aku siorang she ciu tidak
mengenalnya?" Nona berbaju hijau itu tersenyum.
"setelah tongcu mengenalku, kenapa kau tidak segera berlutut?"
tegur dia Untuk sejenak. ciu ceng tercengang. Habis itu, dia tertawa
terbahak bahak.
"Jikalau si orang she ciu masih berada di dalam Seng kiong,
sudah selayaknya dia mesti menyambut Hoa seng," sahutnya,
"sekarang ini aku berada didalam rombongan Kim Too Bun"
Si serba hijau itu tertawa hambar. Tak tampak bahwa dia
bergusar.
"Kim Too Bun?" katanya, "Belum pernah aku mendengarnya. oh,
kau rupanya mau nanjak didalam Kim Too Bun, ya?" ciu ceng
bersikap gagah. Dia tertawa.
"Jikalau Hoa Siang memikir hendak menghukum aku buat apa
yang kau nama kan kesalahanku, Caranya cuma satu..."
"Hm Apakah kau menghendaki cara kekerasan?" tanya si wanita.
"Tidak salah.. Selama didalam Seng kiong, telah lama aku si
orang she ciu mendengar tentang kegagahan Hoa Siang, sekarang
syukur kalau aku dapat menerima pelajaran dari kau.Jikalau aku
kalah, aku aku mati rela"
"Benar- benarkah kau ingin belajar kenal dengan kepandaianku?"
wanita itu menegaskan-
"Benar"
Wanita itu tertawa hambar pula .
"Baiklah" serunya. Segera dia mengulapkan sebelah tangannya.
Melihat isyarat itu, empat budak berseragam hijau maju kedepan,
segera dengan masing masing pedangnya, mereka menyerang
bekas tongcu itu.
ciu ceng menyedot napasnya, mendadak tubuhnya mencelat
mundur lima kaki. Dengan begitu ia bebas dari serangan empat
batang pedang. Sebaliknya, sambil berseru, majulah empat ang-ie
kiamsu, menyambut nona-nona itu. Maka kedua belah pihak segera
bertarung. Si wanita serba hijau tertawa terkekeh
"oh, ciu ceng, benar nyalimu tidak kecil" serunya. "Kau benarbenar
berani menggerakkan tanganmu terhadap aku"
ciu ceng tidak menjawab, ia hanya mengawasi jalannya
pertandingan. Ia tahu budak-budak itu adalah murid muridnya Hoa
Siang, yang telah memperoleh kepandaian yang berarti, karena
mana ia khawatir orang orangnya tidak sanggup melawan mereka
itu.
Sementara itu terdengar suara nyaring keren dari Hoa Siang:
"Kamu boleh turun tangan tanpa mengenal kasihan lagi. Kamu
boleh menggunakan tangan tangan kejam"
Keempat budak itu menjawab seCara serentak. menyusul itu,
mereka segera mulai dengan penyerangan mereka yang terlebih
hebat.
Mula mula keempat kiamsu masih dapat bertahan, hingga kedua
pihak nampak seimbang, tapi, segera setelah budak budak itu
menerima perintah pemimpinnya, segera mereka itu terdesak.
bahkan permainan silat mereka menjadi kalut seketika.
ciu ceng mengerutkan alis menyaksikan hal itu. Pikirnya: "Semua
kiamsu adalah ahli silat, tapi mereka masih keteter terhadap
kawanan budak itu, inilah bukti bahwa Hoa Siang lihay bukan
kepalang..."
Tengah tongcu ini berpikir, telinganya mendengar satu jeritan. ia
segera mengangkat kepala. Maka ia melihat seorang kiamsu putus
lengan kanannya. ia kaget, hendak ia maju tetapi ia ingat pesan
Soat Kun. Lalu ia menghampiri nona itu, dengan suara perlahan
memberikan laporannya^ "Nona benar yang datang itu Hoa
Siang..."
"Apakah pertempuran telah dimulai?"
Ya, nona. Karena sangat terdesak. tak keburu hambamu
melaporkan dan memohon perkenan nona..."
"Bukankah pihak kita telah terluka seorang?"
"Benar. Budak budak Hoa Siang itu kosen semuanya, ilmu
pedang mereka luar biasa, rombongan kita bukan lawan mereka itu.
IHamba sedang memikir buat maju sendiri..."
"Bukankah kau memikir buat minta kedua huhoat Oey dan Kho
maju menggantikan kedua puluh delapan perwira itu? Baik Kau
boleh sampaikan titah ku ini"
"Baik, nona" menyahut ciu ceng. Tapi belum sampai ia berbiara
dengan Oey Eng dan Kho Kong, telinganya telah mendengar jeritan
dahsyat pula, sebab kembali dua kiamsu sudah terluka oleh budak
budak berseragam hijau itu, bahkan kiamsu yang satu terus roboh
binasa
Perwira-perwira yang lain ingin maju, akan tetapi, sebelum ada
titah dari pemimpinnya, mereka tidak berani berlaku lancang.
Untuk sejenak, pertempuran telah terhenti. Keempat budak tidak
menyerang terus, karena mereka menantikan dahulu perintah lebih
jauh dari pemimpin mereka.
"ciu ceng" terdengar suara Hoa Siang, "kau telah melihat, bukan?
Ang-ie kiamsu kamu itu tak dapat bertahan terhadap dua belas
orang budakku"
"Hm, Hoa Siang" terdengar suara dingin dari si orang she ciu,
"jangan kau terburu takabur. Baru segebrakan ini masih belum ada
keputusan menang kalahnya"
Wanita itu tak mempedulikan kata katanya. Dia berkata pula
dengan sombong: "ciu ceng, seharusnya kau pasti tidak berani
mendurhaka terhadap Sin Kun. Mesti ada orang yang berdiri
dibelakangmu siapakah itu, yang duduk di dalam kereta bertenda
itu?"
"Tak dapat aku memberitahukan" sahut ciu ceng dingin.
JILID 31
Si wanita tersenyum hambar.
"Jikalau kau tidak berani memberi keterangan, apakah kau
sangka aku tidak mampu membekuknya untuk menyeretnya keluar?
" katanya tetap sombong. Lalu ia mengangkat tangannya kepada
empat budaknya seraya berkata perlahan: "Pergi kamU hampiri
kereta bertenda itu, kamu seret keluar penghuninya"
"Baik" sahut budak-budak itu yang dua orang diantaranya segera
lari ke kereta Soat Kun ciu ceng terkejut, dia hendak melindungi
Nona Hoan. Namun dari dalam kereta terdengar bentakan nyaring
dan halus: "Kamu Cari mampus? " serentak dengan itu tenda kereta
bergerak dan satu sinar emas meluncur keluar.
"Aduh" demikian jeritan kedua budak yang dua-duanya terus
roboh terguling. ciu ceng heran hingga ia melengak. Tentu saja ia
tak sempat turun tangan.
si wanita berbaju hijau mengernyitkan alisnya menyaksikan dua
orangnya terlukakan segera dia bertindak kearah kereta kurung itu.
ciu ceng selalu slap sedia, ia hendak mencegah, tapi ia
mendengar satu seruan berpengaruh, disusul dengan lompat
keluarnya seseorang dari dalam kereta yang kedua. Didalam
sekejap. orang itu sudah menghadang di depan si wanita.
Dengan wajah dingin, wanita itu mengawasi ciu ceng. "Siapakah
dia ini?" dia tanya tongcu itu, suaranya dingin.
ciu ceng begitu melihat orang yang menghadang itu adalah
sianak muda yang sedang merawat lukanya, tak tahu bagaimana ia
harus menjawab si wanita. Sampai pada detik itu Nona Hoan, atau
yang lainnya, belum memberitahukan dia siapa anak muda itu.
Tidak ada orang yang mengajak dia kenal dengannya. terpaksa ia
menoleh kelain arah, berpura-pura tak mendengar pertanyaan itu.
Nampak habislah kesabaran si wanita. Mendadak dia mengayun
tangan kirinya, menerbangkan sinar putih kearah si bekas tongcu.
Serentak dengan bergeraknya tangan si wanita, tangan kanan si
anak muda yang menghadangnyapun bergerak, menghunus
pedangnya untuk menyampok sinar putih berkilau itu. Maka
terdengarlah satusuara bentrokan nyaring, danjatuhlah sinar putih
itu. Si wanita melengak. Dia tidak menyangka orang demikian
hebat.
ciu ceng juga terCengang. Dia saja herannya seperti si wanita
atas kesehatan sianak muda. Mencabut pedang dan menangkis,
buat menyusul senjata rahasia lawan-Bukankah pemuda itu tengah
terluka?
Baru sekarang si wanita tidak berani takabur lagi. Dia menatap si
anak muda.
"Melihat Cara kau menghunus pedangmu, mestinya ilmu silatmu
tak ada Celanya," katanya, tenang. "Mestinya kaulah seolah yang
berkenamaan? "
Anak muda itu, ialah Siauw Pek, memasukkan pedangnya
kedalam sarungnya. Ia bergerak dengan perlahan. Tapi ketika ia
menjawab suaranya tawar. "Aku yang rendah ialah seorang bu beng
siauw cut, oleh karenanya tak usahlah engkau berpayah-payah
menanyakan aku"
"Bu beng siao cut" berarti "prajurit kecil yang tak punya nama"
tapi ada kalanya diartikan "manusia rendah atau hina dina".
Mendengar jawaban itu, si wanita tertawa dingin. Mendadak
tangannya merogoh kedalam sakunya, mengeluarkan sebuah
kantung warna hijau, terus tangan itu dlulurkan kedada sianak
muda.
Siauw Pek waspada, dengan sebat ia menghunus pula
pedangnya, untuk dipakai menangkis dengan sambil menangkis itu,
ia berpikir. "Wanita ini pasti liehaynya luar biasa, dia menggunakan
sebuah kantung sebagai senjata."
Justru itu, bentrokan telah terjadi. Terdengarlah suara "sret"
perlahan-Lalu terjadilah hal yang aneh. Padahal sianak muda
mental. Siauw Pek heran sekali.
"Senjata apakah yang dia pakai itu? " pikirnya cepat.
Ketika orang sedang heran itu, si wanita sudah mengulangi
serangannya. Dia bergerak dengan sebat sekali. Siauw Pek
melayani.
Didalam jurus-jurus pertama, terlihat tegas rangkasan si wanita.
Rupanya dia menghendaki keputusan yang cepat. Tapi dia
menghadapi ong Too Kiu Kiam, semua rangkasannya itu tidak
memberikan hasil. Adalah sebaliknya lewat enamjurus, dialah yang
segera terkurung sinarnya pedang.
ciu ceng berdiri terCengang. Sungguh diluar dugaannya bahwa
anak muda yang tengah terluka itu sedemikian gagah. Karena itu, ia
terus menonton dengan penuh perhatian-Siwanita nampak
penasaran. Beberapa kali dia menggunakan kesempatan untuk
menyerang hebat, niatnya supaya sinar pedang dapat dipecahkan,
agar terlepas dia dari kurungan itu. Senantiasa ia gagaL Tentu
sekali, pada akhirnya, dia menjadi kaget, hatinya guncang.
"oh, Tay Pie Kiam hoat" serunya kemudian suaranya agak
tertahan.
"Tay Pie Kiam hoat ialah ilmu pedang Thian Kiam dari Kie
Tong..." pikir ciu ceng heran dan kagum. "cara bagaimana anak
muda ini berhasil mempelajari ilmu pedang istimewa itu"
Justru waktu itu, empat orang budak maju untuk membantu
pemimpin mereka, guna mengepung sianak muda. Mereka ini
melihat pemimpinnya telah tidak berdaya, maka tanpa perintah atau
isyarat lagi, mereka maju sendiri. ciu ceng tidak puas, maka ia
berteriak.
"Bagaimana he? Apakah Seng kiong Hoa Siang pun mau
berkelahi dengan main keroyokan? " Karena tidak puas, ingin ia
membantusi anak muda. Ia khawatir akan orang yang tengah
terluka itu...
Pertempuran berjalan terus, bahkan cepat sekali keempat budak
itu juga kena terkurung sinar pedang bersama sama pemimpinnya.
ciu ceng melihat itu, dalam herannya, batal ia maju untuk
memberikan bantuannya.
Dengan lewatnya sang matahari, dengan terjadinya
pertempuran-pertempuran saling susul Siauw Pek memperoleh
kemajuan wajar. Ia tambah pengalaman, hingga Tay Pie Kiam hoat
dapat digunakan semakin mahir.
Dua puluh jurus telah berlalu. Tak sanggup Hoa Siang dan
budak-budaknya meloloskan diri dari kurungan sinar pedang.
Bahkan sebaliknya, keadaan mereka menjadi buruk.
Disana masih ada sisa enam budak. karena ada yang dua lagi
kena dirobohkan-Mereka ini melihat pemimpin dan kawan-kawannya
tidak berdaya, serempak mereka maju membantu.
Siauw Pek menyambut rombongan mereka itu ia bersikap tenang
seperti biasa tetapi waspada dan lincah. Didalam beberapa jurus, ia
membuat enam orang tenaga baru itu kena terkurung juga .
ciu ceng sudah maju untuk membantu sianak muda, tapi ia
terpaksa mundur pula. Ia terhalang dengan sinar pedang anak
muda itu, hingga ia jadi tak merdeka menggerak-gerakkan
senjatanya. Terpaksa ia berdiri menonton saja, dengan hatinya
bekerja saking heran dan kagum. Heran pemuda ini Kenapa ilmu
silatnya begini liehay? SekalipUn Sin Kun datang sendiri kemari, tak
nanti dia dapat mengalahkan anak muda itu Kim Too Bun
mempunyai anggota begini liehay, wajar dia menentang Seng kiong
Sin Kun...
Tengah berpiklr begitu, tiba tiba ciu ceng ingat halnya Nona Hoan
pernah mengatakan kepadanya bahwa Kim Too Bengcu memiliki
kepandaian merangkap pedang Thian Kiam dan cut Too.
"Siapakah lagi yang pandai ilmu silat pedang dan golok
berbareng? " pikirnya lebih jauh "Ah jangan-jangan dia inilah Kim
Too Bengcu."
Tongcu ini mengambil kesempatan mengawasi para kiamsu. Ia
melihat suatu perobahan menggembirakan. orang orang
bawahannya itu nampak sedang menonton pertempuran itu. Tadi
sewaktu munculnya Seng kiong Hoa Seng, hati mereka guncang,
nampak wajah mereka tak seperti orang biasa biasanya. Tadi
mereka itu seakan ikhlas akan menemui sang maut. Sekarang wajah
mereka terang Lagi beberapa jurus lewat, Hoa Siang beramai tetap
terkurung sinar pedang. Hanya kali ini, mendadak wanita itu
berseru, sambil menarik kembali pedangnya, dia lompat keluar dari
kurungan Perbuatannya itu diteladani oleh budak-budaknya yang
juga mundur serempak Siauw Pek berdiri diam, dengan tenang dia
mengawasi lawannya. Hoa Siang menatap sianak muda.
"Tuan, adakah kau ahli waris Thian Kiam Kie Tong? " tanyanya
sabar.
"Kalau benar, bagaimana? " Siauw Pek balik bertanya, tawar.
Wanita itu tidak menjawab, hanya dia berpaling kepada ciu ceng,
dan dengan dingin berkata: "Jangan kau merasa dirimu selamat
dengan mengandalkan ahli warisnya Thian Kiam. beberapa tahun
Sin Kun duduk bersamadhi, sekarang ini diapun telah berhasil
menciptakan ilmu silat untuk menghadapi Thian Kiam, bahkan
diapun telah menyadari Toan Hun it too dan tahu bagaimana harus
memunahkan golok ampuh itu. Kaulah orang Seng kiong, kau
ketahui baik kepandaiannya Sin Kun, karena itu kata kataku ini
bukanlah gertakan atau ancaman untukmu"
ciu ceng tertawa atas ancaman yang tersembunyi itu.
“Hoa Siang baik sekali, aku bersyukur tak habisnya" katanya, ia
menengadah, ia tertawa pula, lebih nyaring, terus ia
menambahkan^ "Hoa Siang, kau menghamba kepada Sin Kun,
kaupun tentu bukan karena kerelaanmu sendiri, tidak ada halangan
buat kau Cari aku si orang she ciu, pasti aku akan menolong kau
memohon Nona Hoan membebaskan raCun yang mengekang
tubuhmu "
“Hmm" wanita itu memperdengarkan suaranya, lalu ia menoleh
kepada sekalian budaknya. "Mari kita pergi" IHabis berkata ia
memutar tubuh, kemudian berlompat naik ke atas jolinya, dilain saat
dengan diiringi sisa sepuluh budaknya itu, ia pergi meninggalkan
medan pertempuran itu.
Barisan seragam putih juga turut berlalu, mengikuti joli pemimpin
itu.
Dengan pedang ditangan, Siauw Pek mengawasi musuh
musuhnya berlalu, setelah musuh tak tampak pula. ia menghela
napas panjang, mendadak ia roboh duduk mendeprok ditanah ciu
ceng dan Ban Lian terkejut, keduanya lari menghampiri, untuk
memimpin bangun. "Kau terluka, bengCu? " tanya sijago tua. Siauw
Pek sadar, ia menggelengkan kepala.
"Tidak apa," sahutnya perlahan-"Luka lama kumat asal aku
beristirahat sebentar, aku akan sembuh pula..."
Memang, melayani Hoa Siang, pemuda ini menggunakan tenaga
yang berlebihan, semangatnya dipaksa menghebat, tapi setelah
musuh pergi, hatinya menjadi lemah, saking letih, sedetik itu
tenaganya bagaikan habis maka ia roboh terduduk. Syukur ia
pingsan-Ketika itu tenda kereta Nona Hoan tersingkap Thio Giok
Yauw tampak berloncat keluar lari menghampiri sianak muda.
Ditangan nona Thio ada sebuah peles kumala. Dengan sinar mata
lesu, mendadak dia terharu, nona ini berkata: "Dalam peles ini ada
tiga butir pil, makanlah sebutir tiap dua jam, lalu terus kau rebah
beristirahat."
Siauw Pek menyambut peles obat itu. "Terima kasih," katanya.
Giok Yauw tertawa manis.
"Inilah obat dari Nona Hoan, yang menyuruh aku
menyampaikannya kepada kau" katanya. "perbuatanku ini ialah
yang dibilang, meminjam bunga untuk menghormati sang Buddha,
tak usah kau mengucap terima kasih kepadaku"
Ban Liang tidak memberi kesempatan sianak muda bicara
banyak, ia memimpinnya naik kereta, untuk beristirahat, setelah itu
ia menurunkan tendanya. Dari kereta pertama segera terdengar
suara merdu ini: "Mari kita berangkat "
ciu ceng memberi jawaban, terus ia mengangkat tangannya guna
memberi pertanda untuk ketiga kereta dijalankan, sedangkan para
kiamsu lalu memeCah diri untuk mengiringinya.
Ban Liang yang berjalan disisi ciu ceng berkata: "Saudara ciu,
kau kehilangan empat anggota barisanmu, kau harus tambal itu."
SiJenjang kuning tersenyum sedih.
"Tak mudah untuk menambalnya," sahutnya. "Sekarang ini
kebanyakan orang gagah kaum Kang ouw sudah menghamba
kepada Seng kiong, yang lain lainnya adalah anggota dari sembilan
partai besar, empat bun, tiga hwee dan dua pang. Kemana mesti
mencari orang-orang baru? "
Ban Liang berpikir keras: "Mungkin nona Hoan dapat
memikirkannya," katanya kemudian.
"KeCuali nona Hoan," berkata ciu ceng, "rasanya sukar buat
mencari lain orang yang dapat menandingi Seng kiong Mo Kun..."
"Mungkin..." kata Ban Liang mengangguk. "Saudara ciu, kau
sudah masuk dalam Kim Too Bun, kaulah saudara kita, karena itu
aku hendak bertanya kepadamu mengenai sesuatu yang aku belum
mengerti. Aku harap kau tidak berkecil hati."
"Bicaralah, saudara Ban-Aku hanya khawatir pengetahuanku
terbatas sekali hingga tak sanggup aku menjawab kau..."
Ban Liang tersenyum. "Pertanyaanku adalah ini, Saudara ciu.
Didalam Seng kiong kau menjadi tongcu, pasti kau sangat dihargai
Sin Kun..."
"Walaupun aku menjadi ketua dari Oey liong Tong, mengenai
urusan Seng kiong, sedikit sekali yang aku tahu... Ah, jangan-jangan
selain aku, juga empat tongcu lainnya tak tahu banyak seperti aku.
Kami bekerja cuma setelah menerima perintah "
"Mungkinkah saudara ciu selama duapuluh tahun, kau belum
pernah bertemu muka barang satu kali jua dengan Sin Kun? "
"Mungkin pernah tetapi aku tidak tah ujelas setiap waktu dia
menyalin rupanya, gerak geriknya selalu didalam rahasia."
"Dia menyebut dirinya Seng kiong sin Kun. Demikian letak Seng
kiong, istananya itu? "
ciu ceng berpiklr "Didalam gunung Bu Ie San," sahutnya.
"Bu Ie San luas ribuan lie, dimanakah letaknya istana itu yang
benar? ”
“Kira-kira diperbatasan antara dikedua propinsi Hokkian dan
Kangsay...”
“Jadi saudara belum pernah pergi kesarangnya itu? "
"Sudah pernah aku pergi, bahkan bukan satu kali, tapi Seng
kiong Sin Kun berpandangan jauh, dia sangat berhati hati, siapa
yang dipanggil datang keistananya, dia datang cuma sampai
diperhentian, dibatas kedua propinsi itu. Disana kita semua
dikumpulkan-Diwaktu mau diberangkatkan, kita semua ditotok,
dibuat tak sadarkan diri, pikiran kita tak jelas lagi, kedua mata kita
ditutup rapat. Lalu kita dinaikkan keatas kereta. Rupanya dikaki
gunung kita diharuskan menukar kendaraan-Selanjutnya kita naik
joli yang terdiri dari kursi gotongan. Pada akhirnya tatkala aku
sadar, kita sudah berada didalam istana."
"Bagaimana caranya waktu meninggalkan istana? ”
“Kita diperlakukan sama dengan waktu perginya."
"Sin Kun kosen, dia juga pandai menyamar, mengapa dia sampai
begitu perlu membangun istana rahasia itu? Bukankah
perbuatannya itu seperti menggambar ular dengan ditambahkan
kaki? "
"Benar. Akupun heran, pernah aku menyangka sebenarnya tidak
ada Sin Kun, yang ada hanya sebuah patung belaka. orang
menggUnakan patung itu sebagai alasan-.."
"KalaU begitu, aneh Kalau orangnya tidak ada, kenapa dia dapat
menjadi pemimpin, bahkan dia dapat mempengaruhi begitu banyak
ahli-ahli silat kenamaan? "
"Aku menerka mungkin satu orang, atau dua orang, sengaja
memakai nama Sin Kun itu guna mengelabui khalayak ramai, untuk
dapat menjagoi Rimba Persilatan..."
"Buatku, saudara, kau mau menerka kepada seseorang yang
besar ambisinya, yang luar biasa cita-citanya. Aku percaya dia
sebenarnya salah seorang jago Rimba Persilatan yang dikenal setiap
orang..."
ciu ceng melengak.
"Benar Saudara Ban, kau membuat hatiku terbuka "
"Jikalau orang itu tidak membangun Seng kiong yang terselubung
rahasia ituJikalau dia tidak menggunakan nama sama ran Sin Kun
yang penuh tanda tanya itu, walaupun dia sangat tersohor kosen,
dengan hanya menyebut she dan nama aslinya, tak nanti dia dapat
membuat banyak orang, seperti tayhiap sendiri, suka bekerja mati
matian untuknya”
“Benar, saudara Ban Mungkin tak terlalu sulit menerka siapa
dia..."
"Diantara orang orang gagah pada tiga puluhan tahun yang
lampau," berkata Ban Liang, "yang terutama ialah Thian Kiam Kie
Tong dan Pa Too Siang Go. Akan tetapi mereka berdua telah
melintasi jembatan Seng Su Klo dan sudah mengundurkan diri. Tak
mungkinlah kalau mereka itu."
"Selain mereka berdua, masih ada ceng Gi Loojin...”
“Tak mungkin dia" berkata Ban Liang.
"Kenapakah, saudara Ban? "
"ceng Gi Loojin sudah menutup mata dan kuburannya juga telah
kita ketahui, bahkan kita telah mengambil golok emas Kim Too yang
menjadi warisannya.”
“oh, ya. Kim Too Bun kita toh berdasarkan golok emas itu"
"Kita memakai nama Kim Too bukan karena golok emasnya itu
hanya karena namanya, ceng Gle. Dalam dunia Kang ouw masih
banyak orang yang belum pernah melihat atau bertemu dengan
pemilik golok emas itu akan tetapi namanya setiap orang
mengetahuinya. Pula Cita Citanya menjunjung keadilan telah
membuat banyak orang yang mendapatkan atau menerima
kebaikannya. Bukankah tepat kita pakai Kim Too golok emas untuk
menjalankan ceng Gi keadilan? "
ciu ceng mengangguk.
"Benar Dan dengan Kim Too kita membangun menyadarkan itu
orang-orang gagah yang masih tidur nyenyak dibawah pengaruh Mo
kiong Sin Kun.
Sebagai gantinya Seng kiong istana nabi atau dewa, jago ini
menyebut Mo kiong istana hantu.
"Dan kitapun mengharap mereka itu nanti berbalik suka
menentang dia..."
ciu ceng berdiam untuk berpikir. Lewat sesaat, ia berkata pula:
"Selain Kie Tong dan Siang Go, aku belum pernah memikir lain
orang lagi. Siapakah yang liehay seperti Sin Kun itu? "
Tiba tiba Ban Liang mengingat sesuatu, hingga nampaknya ia
seperti terperanjat. cepat ia bertanya: "Saudara ciu, pernahkah kau
melihat ceng Gi Loojin? ”
“Pernah aku bertemu dengannya," sahut ciu ceng. "Dia beroman
murah hati”
“Apakah ceng Gi Loojin mempunyai seorang sahabat yang paling
karib? " ciu ceng berpikir.
"Aku tidak tahu," sahutnya kemudian.
"Mungkin sahabat karib itu telah berhasil memiliki ilmu ketabiban
luar biasa mahir dari ceng Gi Loojin...”
“Siapakah orang itu? "
Ban Liang berdiam. Terang otaknya bekerja keras.
"Buat sekarang ini, sukar buat dikatakan. Sulit buat menyebut
namanya. Jikalau ada seorang Seng kiong Sin Kun, lalu ada orang
yang menyamar sebagai dia, maka dia itu..."
Sekonyong-konyong jago tua ini menghentikan kata-katanya,
pada benak otaknya berkelebat sesuatu ingatan.
"Tunggu Aku akan tanya nona Hoan-.." Dan segera dia memutar
tubuh, lari kekereta Soat Kun. Iapun segera berkata. "Nona, Ban
Liang hendak menanyakan suatu hal"
Kereta Nona Hoan juga berhenti secara tiba tiba. "Apakah itu,
Ban hu hoatse?"
keluar pertanyaan merdu dari dalam kereta. "Mohon tanya, nona,
kita menuju kemana sekarang? ”
“Ke Bu Tong San "
"Ban Liang ingin bicarakan satu urusan rahasia" kata Ban Liang
pula, perlahan sekali. "Dapatkah aku naik keatas kereta nona? ”
“Baik Silahkan"
Ban Liang menyingkap tendakereta, untuk berlompat naik.
Karena berhentinya kereta si nona, semua prajurit berbaju merah
turut berhenti, mereka lalu mengelilingi kereta itu.
Hanya sekira sedaharan nasi, Ban Liang sudah melompat turun
dari kereta itu. Terus ia menghampiri ciu ceng. Katanya berbisik:
"Telah aku dapat perkenan Nona Hoan-Kita akan merubah tujuan
kita.”
“Kemanakah? " tanya siJenjang Kuning. "Tempat itu tidak ada
namanya, letaknya di tegalan belukar."
ciu ceng tidak menanya jelas. ia tahu jago tua tidak mau
menyebutnya. ia cuma batuk-batuk perlahan, lalu ia bertanya.
"Kearah mana? ”
“Ke utara "
"Bukankah itu berarti balik kembali? "
"Tempat itu adalah terpisah yang tak begitu jauh dari tempat
dibangunnya Liok Kah Tin. Dengan bulak balik ini kita juga akan
membuat Seng kiong Sin Kun pusing kepalanya menerka-nerka . . .
"
"Baik" seru ciu ceng, yang terus mengulapkan tangannya.
Maka berbaliklah semua kereta dan kawanan serba merahpun
tetap mengiringinya.
Kali ini Ban Liang berjalan kedepan-ciu ceng mengawasi kawan
itu. Ia tahu bahwa orang berlaku sangat teliti, rupanya supaya tak
sampai dia tersesat jalan.
Satu siang tidak terjadi sesuatu, diwaktu magrib, tibalah mereka
disebuah tanah tegalan, di tepinya sebuah dusun.
"Kita akan segera tiba di rumah gubuk itu" Ban Liang membisiki
ciu ceng.
"GUbuk apakah itu, saudara Ban? "
"Ah Bukankah telah aku katakan? Tempat itu sukar disebut
namanya dan juga sulit buat diterangkan sejelas-jelasnya Sebentar
saudara ciu, kau akan melihatnya dan mengerti sendiri"
"Sekarang apakah tindakan kita? " Oey Ho ciu Loo tanya.
"Kereta dan rombongan ditunda disini," Ban Liang memberitahu.
"Lalu kau, saudara, memilih beberapa anggotamu yang Cerdik untuk
mereka turut aku pergi kerumah gubuk itu buat melihat
keadaannya.”
“Bagaimana kalau aku ikut bersama? ”
“Kalau saudara turut, itulah lebih baik."
ciu ceng girang sekali. ia pun lalu memilih empat orangnya.
Segera setelah itu, bersama Ban Liang, mereka bertindak kearah
barat. Ketika itu cuaCa sudah remang remang. Sang ma lam lekas
tibanya.
"Aku juga turut, dapatkah? " tiba tiba tanya Thio Giok-Yauw,
yang melompat turun dari keretanya.
Ban Liang menggelengkan kepala.
"Harap nona berdiam disini melindungi Nona Hoan-" ia menolak.
"Nona Hoan menghendaki aku turut bersama kamu"
Ban Liang terCengang. "Benarkah itu? "
"Jikalau kau tidak perCaya, pergilah tanyakan sendiri" Sijago tua
berpikir.
"Jikalau Nona Hoan yang menghendaki, nah, marilah."
Giok Yauw tersenyum. Tanpa mengatakan sesuatu, ia lalu
mengintil.
Tujuh orang itujalan berlari-lari.
Ban Liang lari dimuka.
Kira kira lewat dua puluh lie, tibalah mereka disebuah tempat
terbuka dan sunyi dimana terdapat semak-semak rumput.
Disaat itu sang Putri malam lagi disaputi mega tipis, sinarnya
rada guram, walaupun demikian, disana terlihat sebuah rumah
gubuk yang mencil sendiri yang dikisari pohon dan rumput-rumput
lebat.
"Saudara ciu, apakah kau telah melihat rumah atap itu? " Ban
Liang tanya.
"Ya," sahut orang yang ditanya.
"Didalam rumah itu, didalam tanah, ada sebuah kamar rahasia.
Aneh, hari ini rumah itu tidak ada penerangannya..."
ciu ceng sabar, ia tidak menjawab apa apa. Tidak demikian
dengan Nona Thio.
"Mungkin orang sudah pindah" katanya. "Mari kita masuk saja
melihatnya. Nanti baru kita bicara pula"
"Kita tak boleh sembrono," Ban Liang memperingatkan"
Tapi, kita toh tak dapat berdiam, untuk menanti saja? " kata
Nona Thio. "Sekarang ini keadaannya lain-.."
"Begini saja" kata Ban Liang akhirnya. "Aku akan masuk lebih
dahulu, kamu menunggu disini."
Nona Thio yang binal dan jenaka tertawa.
"Jarum rahasiaku paling tepat untuk menyambut segala sesuatu,"
katanya. "Aku turut kau, bagaimana? "
Ban Liang kewalahan-"Baiklah" sahutnya. "Tapi ingat, nona, tak
dapat kau turun tangan keCuali setelah aku memberi isyarat"
"Asal mereka tidak mendahului, aku akan tunggu perintahmu
Kalau aku didahului, pasti aku akan membalasnya"
"Sungguh nakal budak ini..." kata Ban Liang didalam hati. Lalu ia
bertindak menuju kerumah atap itu.
Pintu pagar tertutup rapat, ada api penerangan, tidak terdengar
juga suara apa-apa didalam rumah itu.
Giok Yauw tidak sabar. Ia menolak pintu pagar, terus ia nyeplos
masuk "Ah, bocah ini" seru Ban Liang didalam hati. Iakhawatir. "Dia
sungguh besar nyalinya"
Giok Yauw maju terus kedepan rumah. Ia melihat kedua belah
daun pintu tertutup, Ingin ia memasuki rumah itu. Maka ia siapkan
jarumnya di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya dipakai
meraba daun pintu itu, untuk ditolak menjeblak hingga terpentang.
Kiranya pintu itu tidak dikunci atau dipalang.
"Waspada, nona" Ban Liang berbisik, mendampingi nona itu. Giok
Yauw khawatir dihalangi si jago tua, ia masuk terus.
Mendongkoljago tua ini tetapi ia membungkam, ia terus mengikuti.
"Apakah ada orang? " tanya si nona suaranya dingin, dan
jarumnya tersiapkan.
Tidak ada suara apa apa dari dalam, walaupun pertanyaan telah
diulangi hingga beberapa kali Ban Liang turut merasa heran, maka
ia merogoh sakunya, mengeluarkan sumbU, yang ia terus kibaskan,
buat menjalankannya.
Diantara sinar api tampak meja didekat jendela. Meja ini penuh
debu. Itulah pertanda bahwa gubuk telah lama dikosongkan dan tak
pernah ada orang yang mendatangi.
"Sudah lama tidak ada bekas bekas manusia disini," berkata si
nona.
Ban Liang pergi kepojok. untuk mengetuk ngetuk. Katanya:
"Pintu ruang dalam tanah masih ada."
"coba kita buka dan lihat dalamnya" berkata pula si nona.
Ban Liang memegang daun pintu dan menariknya.
Pintu itu terbuka dengan mudah, dari dalamnya menghembus
dan denak.
"Ruang dalam tanah ini juga sudah lama dikosongkan," kata
sijago tua itu.
"mari kita masuk untuk melihatnya," sinona mengajak.
Ban Liang mengangguk.
"Nona tunggu disini untuk menantikan aku. Aku yang masuk.”
“Ah, aku yang masuk lebih dulu" kata sinona.
Tanpa menanti jawaban, Giok Yauw melompat turun kedalam
lubang, yang merupakan pintu untuk ruang didalam tanah itu.
Hati Ban Liang tidak tepat, ia segera melompat turun menyusul si
nona itu. Selekasnya dia menginjak tanah, Giok Yauw bertindak
turun.
Sumbu sijago tua sudah habis, maka ia mengeluarkan dan
menyalakan yang lainnya. Dengan bantuan Cahaya api, mereka bisa
melihat kesekitar kamar. Di dalam situ tampak belasan peti mati,
yang teratur berbaris.
"Benar benar mereka sudah pindah" kata Ban Liang tak gembira.
Giok Yauw menghampiri sebuah peti mati.
"Loocianpwee, maukah kau membuka satu peti untuk melihat
isinya? " ia tanya.
"Boleh kita lihat, tapi jangan kita sembrono" sahut orang tua itu.
Kali ini nona Thio tidak membawa adatnya, bahkan ia mundur dua
tindak.
"Loocianpwee berbuat bagaimana? " tanyanya.
Ban Liang mengangkat tinggi apinya, ia mengawasi tajam ke
arah peti mati-peti mati itu. Diatas peti mati ketiga ada sisa
sebatang lilin. ia mengulur tangannya, mengambilnya untuk disulut,
hanya ketika diletakkan pula, ia meletakkannya diatas peti mati
yang kedua. "Nona, siapkan senjatamu" pesannya "Siap buat segala
sesuatu."
"Debu diatas tutup peti mati itu tebal sekali, andaikata ada
orangnya, diapasti sudah lama menjadi mayat" kata si nona.
"Dunia Kang ouw banyak kegaibannya, nona," berkata si orang
tua. "Tidak dapat kita tidak siap siaga. Silakan nona bersiap dengan
senjata rahasiamu, aku akan buka peti mati ini. Asal ada sesuatu
gerakan, segera nona menghadapinya,"
Giok Yauw tertawa hambar.
"Aku percaya pasti, kalau peti itu ada orangnya, mesti orangnya
sudah mati" katanya pula. "Kalau loocianpwee begini kecil hati,
baiklah aku menerima perintahmu"
Ban Liang berkata dingin: "Aku cuma memperingatkan kau,
nona"
Si nona mengulur keluar lidahnya. "Eh, kau mengajari aku? "
tanya dia.
"Mengajari tidak. nona, aku cuma memberitahu" orang tua itu
berkata. "Di dalam dunia Kang ouw ada laksaan tipu daya, nona
tidak boleh terlalu berbesar hati"
Berkata begitu, orang tua itu melangkah mendekati peti mati itu,
dengan hati hati ia mengajukan tangan kanannya, diletakkan diatas
tutup peti, setelah itu, ia mengerahkan tenaganya. Mendadak saja ia
menolak dengan keras sambil ia melompat mundur. selekasnya
tutup peti tergeser terbuka, ada sesuatu yang berbangkit Sama
sekali diluar dugaannya Giok Yauw maka ia terkejut. Ban Liangpun
heran.
Tapi si nona tabah, tak menanti sampai ia dapat melihat tegas
tangan kirinya sudah diayun, maka menyambarlah suatu sinar
kuning emas kearah benda itu dan mengenai den-tepat, hingga
terdengar suara nancapnya.
Baru setelah itu, Nona Thio dapat melihat tegas. Itulah sebuah
tengkorak berikut kerangkanya yang lengkap
“Heran Kenapa tulang belulang dapat bangun berdiri? " katanya,
alisnya berkerut.
Ban Liang mengawasi tajam. Ia melihat kerangka itu diikat
kepala bagian dalam tutup peti mati, karena tutup itu terbuka,
kerangka itu jadi tertarik bangun duduk
“Hm" sinona mengeluh. "Kukira benar kerangka manusia dapat
bangun sendirinya, Kiranya dia diikat dengan kawat."
Ban Liang mendekati peti mati itu. Ia bersiap siaga. Lebih dulu ia
mengawasi bagian dalam peti mati, baru kepada kerangkanya. Ia
menatap. mengawasi tajam, seperti ada sesuatu yang aneh
dilihatnya.
"segala kerangka manusia, ada apa sih yang bagus dilihat? "
berkata Giok Yauw.
"Tulang belulang ini aneh? " berkata sijago tua.
"Apanya yang aneh? " tanya sinona. "Kenapa aku tidak
melihatnya? ”
“coba telitikan, nona Bukankah kurang beberapa batang tulang
iganya? "
Giok Yauw mengawasi. Benar pada dadanya sikerangka kurang
masing-masing dua batang tulang rusuknya.
"Mungkin sudah terlalu lama, tulang itu copot dan jatuh kedalam
peti," katanya.
"Jikalau benar copot sendirinya, tak seharusnya cuma copot dua
batang. Lihat saja didalam peti toh tak ada tulang rusuk lainnya? "
Sebelum Giok Yauw berkata pula, mereka mendengar suara ciu
ceng: "saudara Ban, Nona Thio Dimanakah kamu? "
"Kami berada didalam ruang bawah tanah" Ban Liang menjawab.
"Kamu tak kurang suatu apa, bukan? ”
“Kami semua baik baik saja"
Dilain detik tampak Oey Ho ciu Loo memasuki bawah ruang
tanah itu bersama dua orang pengikutnya. Dia heran menyaksikan
kelakuan sijago tua dan sinona, yang tengah mengawasi kerangka
didalam peti mati itu.
"Kenapa tak ada orang disini? " tanyanya.
"Ya, tinggal segala peti mati" sahutBan Liang. "coba saudara
tengok tengkorak itu.”
“Hm, segala tengkorak Apa sih yang bagus dilihat? " berkata pula
Giok Yauw dingin. ciu ceng bertindak mendekati, ia mengawasi.
Segera perhatiannya sangat tertarik.
Nona Thio mendongkol menyaksikan kelakuan dua orang itu,
maka ia menghampiri sebuah peti yang lainnya.
"Saudara ciu," tanya Ban Liang, "kau lihat keempat tulang rusuk
yang hilang itu. Apakah orang ambil dimasa mayat ini masih hidup?
"
ciu ceng mengawasi tajam.
"Memang," sahutnya. "Tulang tulang itu dicopot semasa
orangnya masih hidup,”
“Demikian juga anggapanku," Ban Liang berkata.
Tengah dua orang ini berbicara itu, mereka mendengar suara
tajam dari Giok Yauw. Nona itu yang menjerit tertahan, tampak lagi
berdiri melongo didepan sebuah peti mati yang tutupnya telah
terbuka. Nampak sesuatu didalam peti mati itu... ciu ceng segera
menghampiri.
"Ada apakah? " tanyanya.
"Lihat orang itu" jawab sinona. "Dia sudah mati atau masih
hidup? "
Sungguh ruang dalam kamar itu sangat menyeramkan. Sudah
banyak peti matinya, ada tengkorak manusia dan kerangkanya, juga
sekarang ada penghuni peti mati yang entah masih hidup atau
sudah mati. Api berkelap kelip Kalau orang yang bernyali keCil yang
berada didalam ruang seperti itu.
ciu ceng batuk batuk. Didalam suasana sangat menegangkan itu,
orang mesti berkepala dingin. Ia mend ekati peti mati untuk
mengawasi tubuh rebah tak berkutik lagi.
orang itu adalah seorang yang bertubuh besar dan mukanya
berewokan. Dia rebah dengan mata terbuka dan berCahaya seperti
mata orang hidup, demikian juga parasnya. Oey Ho ciu Loo
menggelengkan kepala. "Sungguh aneh Sungguh aneh" serunya.
"Apakah yang aneh? " tanya Ban Liang, yang bertindak
menghampiri.
"orang ini mestinya telah berdiam lama di dalam peti mati ini,
mengapa tubuhnya tidak rusak? " kata ciu ceng.
Ban Liang pun heran, dia mengawasi tajam.
"Tubuh orang ini telah diberi obat," katanya kemudian, "maka
juga... eh" Tiba-tiba ia berseru, lalu berhenti setengah jalan.
"Kenapa, saudara Ban? " tanya ciu ceng, menatap. Dia heran
sekali.
"Saudara ciu, kau kenaikah orang ini? " jago tua itu balik
bertanya. ciu ceng mengawasi mayat itu, kali ini luar biasa
perhatiannya.
"Ah" serunya, mukanya berubah. "Inilah Sin Kun Hou-yan kun,
ketua dari Pat Kwa Pay..."
"Benar Benar dia" Ban Liang membenarkan- Ia ingat baik baik
Hou yan Kun, si Tangan Malaikat Sin ciang dari partai Pat Kwa Pay.
"Mungkin tempat ini suatu Cabang dari Mo kiong sin Kun? " kata
ciu ceng menghela napas.
"Saudara ciu, kau sudah lama berdiam didalam Seng kiong,
kedudUkanmupUn tinggi," berkata Ban Liang, "andaikata kau tidak
tahu jelas mengenai Sin Kun, mestinya kau ketahui banyak tentang
rahasia rahasianya. Dapatkah kau melihat kalau-kalau disini ada
sesuatu tanda atau lambang dari Seng kiong? "
ciu ceng meminjam api, dengan itu ia menyuluhi kesekitarnya.
Akhirnya, ia menggeleng geleng kepala.
"Aku tidak melihat apapun juga," katanya. Ban Liang menarik
napas masgul.
"Kalau Nona Hoan berada disini, pasti dia akan dapat melihat
sesuatu..."
"Saudara Ban, semoga kau tidak mencurigai aku," berkata ciu
ceng, sungguh sungguh. "Ingin aku jelaskan-Siapa masuk menjadi
anggota rombongan Sin Kun, tidak saja ia dikekang dengan pelbagai
maCam peraturan supaya orang tak dapat jalan untuk berontak atau
berkhianat terhadapnya, juga kecuali tugasnya sendiri dia dilarang
mencampuri tugas atau urusan lain orang, pantang tanya ini dan
itu. Aku menjadi Oey liong Tong Cu, bawahanku ada beberapa ratus
orang, diantaranya ada kira kira tujuh puluh yang ilmu silatnya baik,
kedudukanku bukannya takpenting, tapi kecuali tugasku, aku tidak
tahu apa-apa mengenai Seng kiong. Bahkan kami juga tidak jelas
mengenai keadaan kaum Rimba Persilatan seumumnya."
"Jikalau begitu, takpeduli siapa, Sin Kun tidak mempercayainya? "
"Memang. Tongcu-tongcu lainnya sama dengan aku, apa yang
mereka ketahui sangat terbatas. Sebegitu jauh yang aku ketahui,
orang orang yang suka diajak berunding dalam urusan rahasia oleh
Sin Kun cuma kira kira lima orang.”
“Bagaimana dengan Seng kiong Hoa siang? " Giok Yauw tanya.
"Agaknya dialah istimewa. Biasanya Sin Kun muncul dengan
pelbagai macam wajah, selama itu kebanyakan Hoa Siang
mendampinginya. Rupanya Hoa Siang mengetahui rahasia tak
sedikit."
"ciu Tayhiap tidak tahu banyak. percuma menanyakannya,"
berkata si nona, berpaling kepada Ban Liang. Dia bicara seCara
polos, seenaknya saja. "Ruang ini berdebu dan bergalasi, sudah
lama tidak ada penghuninya, maka aku pikir baiklah kita bongkar
semua peti mati ini untuk melihat isinya, mungkin diantaranya ada
yang menyimpan sesuatu rahasia."
Ban Liang setuju. "Nona benar," sahutnya.
"Loocianpwee terlalu memuji" berkata si nona, yang segera
mengulurkan tangan kanannya membuka tutuppeti yang ketiga.
Disitu rebah seorang perempuan dengan rambut panjang,
tubuhnya dikerobongi selimut sulam, matanya rapat. Hanya diantara
cahaya api, wajahnya tampak seperti orang hidup, segar bagaikan
bunga. Terang bahwa mayatnya telah dibalsem.
"Nona, apakah isi peti itu? " Ban Liang bertanya. Dia tidak segera
menghampiri.
"Seorang wanita," Giok Yauw jawab.
"Mayat seorang wanita? " ciu ceng menegasi.
"Dia rebah dengan selimut sulam, matanya dirapati, tenang sekali
tidurnya, hingga sukar dipastikan dia lagi tidur atau sudah mati..."
Ban Liang mendekati, habis mengawasi ia berkata. "Nona
mundur, aku hendak menyingkap selimutnya itu."
Nona Thio menurut, dia mundur dua tindak.
Si jago tua batuk-batuk, ia mengulur tangannya kedalam peti
mati. Ketika jeriji tangannya menyentuh selimut, mendadak ia
menariknya kembali, sedang mulutnya ngoceh seorang diri, "Aku
pikir tak usahlah kita menyingkap selimutnya... Dengan mengawasi
mukanya saja, pasti kita akan ketahui dia masih hidup atau sudah
mati..." sambung si jago tua lagi.
Berkata begitu orang tua ini mengangkat lilin, dibawa kedalam
peti mati, untuk didekatkan kepada muka wanita itu.
Mata nona itu tidak tertutup rapat seluruhnya, dan kulit mukanya
putih pucat hingga tak ada setetes jua darahnya.
"Saudara ciu, apakah kau kenal wanita ini? " tanya ia sambil
menoleh. Dan ciu ceng yang turut mengawasi, menggeleng kepala.
"Tidak^" sahutnya, memberi penjelasan-Ban Liang menghela
napas. "Rupanya dia sudah mati..."
"Seseorang rebah didalam peti mati. entah sudah berapa lama,
mesti dia telah mati," berkata si nona, tak sabaran-"Kau sudah
mengawasi setengah harian, apa begini saja yang kau lihat? "
katanya, dan Ban Liang batuk perlahan-
"sebenarnya tak leluasa untuk aku menyingkap selimutnya," kata
si jago tua akhirnya.
“Hm" berkata si nona, "Lebih baik akulah yang melihat Nah,
kalian mundurlah."
Si jago tua melengak. lalu ia mundur. Memang ia ragu-ragu,
orang itu wanita, tak peduli dia hidup atau mati, kalau tubuhnya
telanjang, pasti ia lihat sendirinya. Perbuatan itu pasti kurang pantas
juga.
Giok Yauw lalu maju, terus ia mengulur tangannya yang kulitnya
putih halus, untuk menyingkap selimut. Dan baru ia melihat, ia
sudah mundur parasnya berubah. "Dialah seorang wanita hamil"
kata sinona
"Apa? Wanita hamil? " Ban Liang menegaskan berulang-ulang.
"Kalau begitu, dia pasti masih hidup, Hanya anaknya... anaknya
sudah..."
"Tenang, nona," ciu ceng turut bicara, "bicaralah perlahan-lahan-

“Wanita itu telah dibelek perutnya dan anaknya telah diambil “
“Sungguh kejam" seru Ban Liang sengit.
ciu ceng bagaikan ingat sesuatu, ia diam berpikir. Ketika ia mau
bicara, ia menarik napas lega. Kemudian ia berkata seorang diri.
"Benar... benar... mesti ada sangkut pautnya."
"Saudara ciu, apakah katamu? " tanya Ban Liang. "Maukah
engkau memberi penjelasan? "
"Selama di Seng kiong, pernah aku mendengar orang bicara soal
mengambil bayi yang umurnya sudah cukup tapi belum sampai
lahir”
“Buat apakah bayi macam itu? "
"Itulah tidak jelas bagiku. Sekarang ternyatalah tempat ini ada
sangkut pautnya dengan Seng kiong "
Giok Yauw menutup tubuh siwanita malang.
Bagaimana kalau kita buka semua peti mati disini? " dia
sarankan. "Pikiranmu bagus, nona. cuma kita harus bekerja dengan
teliti."
Giok Yauw segera menggerakkan tangan kanannya. Ketika peti
mati yang keempat terbuka dan ia melongok dalamnya,
mengeluarkan seruan heran keCele. peti mati itu kosong Ban Liang
menghampiri, ia melihat peti mati kosong itu, setelah itu ia
mendekati peti mati yang kelima, yang ia terus buka tutupnya
dengan tangan kanannya, lalu ia melengak peti mati itu berisikan
seorang pemuda beroman gagah, yang pun seperti masih hidup,
Yang luar biasa, yang sangat mengherankan, potongan tubuh dan
romannya mirip sekali dengan coh Siauw Pek Bukan main kaget si
jago tua. Setelah sadar segera ia mengulur tangannya untuk
meraba dada dan nadi orang itu. Nadi dan jantung sudah berhenti
bergerak gerak. Tubuh itupun sudah dingin bagaikan es. Giok Yauw
heran melihat kawan itu tertegun.
"Apakah isi peti mati itu? " tanyanya. "Loocianpwee, kenapa kau
diam saja? ”
“Nona, lihatlah lekas" menjawab sijago tua.
Nona Thio bertindak mendekati, selekasnya dia melihat kedalam
peti mati, diapun melongo. ^
"Oh, sungguh mirip." serunya.
"Tidak salah" kata Ban Liang kemudian-"Ilmu ketabiban dari ceng
Gle Loojin telah orang dapati seluruhnya orang pandai menyalin
rupa orang lainnya"
"Aku mengerti sekarang" berkata Giok Yauw "Dengan berbuat
begini, menyalin roman muka orang, dia hendak mengaCaukan
penglihatan mata serta pendengaran kita." ciu ceng heran,
beberapa lama dia berdiam saja.
"Kau benar, nona," Ban Liang berkata pula. “Hanya kali ini dia tak
berhasil, dia gagal Kenapa dia meninggalkan semua mayat ini? "
Jago tua itu mengangkat tinggi lilinnya, ia tetap menyuluhi.
Bersama sama nona Thio, masih ia mengawasi mayat pemuda yang
mirip dengan Siauw Pek itu.
"Sungguh mereka pandai," kata si nona kemudian, menghela
napas perlahan. "Coba mayat ini mayat, pasti kita sukar
membedakan mana bengcu yang tulen dan mana yang palsu..."
"Inilah hebat" berkata Ban Liang. "Kita mesti lekas lekas memberi
kabar pada Nona Hoan, supaya ia cepat mengambil tindakan guna
mencegah terlaksananya akal bulus pihak lawan ini."
Giok Yauw membenarkan pikiran orang tua itu. "Mari kita
cobacuka peti mati yang keenam,"
sijago tua berkata kemudian-"Anehnya, entah obat apa itu yang
mereka gunakan..." kata Nona Thio, yang terus mendekati peti mati
keenam, untuk segera diangkat tutupnya. Lagi lagi si nona kaget.
peti mati itu ada isinya, dan isi itu ialah Seng Su Poan Ban Liang,
hanyalah Ban Liang ini rebah tak berkutik, mati bagaikan hidup,..
"Ban Loocianpwee, lekas lihat" seru sinona "orang ini sangat
mirip dengan loocianpwee"
Ban Liang menghampiri untuk mengawasi mayat itu, lilinnya
didekatkan. ia lalu mengerutkan alisnya.
"Liehay Liehay, serunya kagum. Sungguh liehay kepandaiannya.
Tidak kusangka kepandaian dari ceng Gle Loojin telah digunakan
orang untuk maksud sejahat itu. ciu ceng, yang turut mengawasi
mayat itu, menggeleng geleng kepala.
Giok Yauw yang telah hilang herannya, membuka lain lain peti
mati lagi, hanya kali ini, ia tak usah bertegang hati Semua sisapeti
mati itu kosong tak ada isinya.
"Mari kita pergi," Ban Liang mengajak. "Tak dapat kita berdiam
lama lama disini. Tempat ini harus dibakar musnah"
"Menurut aku, ciu ceng mengusulkan, baik kita minta nona Hoan
datang kemari untuk ia menyaksikan sendiri, agar kemudian ia
dapat memikir bagaimana harus berdaya menghadapi lawan yang
lihay itu."
"Tak usah," kata Ban Liang. "Kita pulang dan memberi
keterangan kepada nona Hoan, itupun sudah Cukup,"
Maka bertiga mereka berkumpul jadi satu, sijago tua bersiap
untuk mulai menyulutkan lilin Tetapi...
Mendadak saja dimulut jalanan keluar mengepullah debu hebat
menyusuli suatu suara barang berat jatuh ketanah, ketika tiga orang
itu telah tertutup pintu besi. Sebab itulah pintu rahasia, yang jatuh
dengan mendadak menutup jalan keluar itu Selagi suasana sangat
mengagetkan itu, juga dengan mendadak itu mereka mendengar
suara tawa yang menyeramkan dan menggiriskan hati, hingga bulu
roma mereka berdiri Ban Liang dapat lekas menenangkan hatinya.
Dia meletakkan lilin diatas peti mati. "Siapa? " ia menanya.
Sebagai jawaban terdengarlah suara perlahan dari
menggelindingnya roda-roda dari sebuah kereta, yang muncul dari
sebuah pojok yang tak diperhatikan mereka itu.
Ban Liang menoleh dengan cepat. Maka mereka melihat kereta
itu, sebuah kereta yang dijalankan dengan bantuan kedua belah
tangan, duduk seorang tapa daksa yang aneh romannya selain dia
telah kehilangan dua belah kakinya dan rusak wajahnya,
tubuhnyapun kurus kering dan tangannya bagaikan linting. Dengan
kedua tangannya yang kecil itu dia membuat keretanya berjalan
perlahan-Dimata Giok Yauw, roman orang itu lebih menakutkan
daripada mayat-mayat didalam peti mati tadi, hingga walaupun dia
bernyali besar, ia toh mengeluarkan seruan tertahan dan mundur
dua tindak.
"Berhenti" membentak ciu ceng, yang terus menyiapkan
pedangnya.
Sitapa daksa itu menghentikan keretanya, lalu dia berkata: "TUan
tuan, jikalau kamu membunuh aku, kamupun jangan memikir lagi
untuk dapat keluar dari dalam tanah ini, kamu bakal mati kelaparan,
hingga penderitaan kamu tak akan kalah hebatnya daripada
penderitaanku situa"
Berkata begitu, dia tertawa, suaranya sangat membuat hati
orang berdebar. Ban Liang batuk-batuk.
"Kau siapa tuan? " tanyanya sabar, "kenapa kau berada disini?
Mengapa kau berCaCad begini? "
orang itu tertawa dingin-"Aku situa tak perlu prihatin kamu"
katanya ketus.
"Dia berCaCad tapi tabiatnya aneh" pikir Ban Liang. ia
menyabarkan diri dan bertanya pula^ "Selayaknya saja aku
menanyakan kau, tuan-Tak ada maksud jahat dari kami." orang itu
menyapu ketiga orang itu, sinar matanya mencilak bengis.
"Andaikata kamu bermaksud jahat, habis mau apa kamu? "
tanyanya. "Apa yang kamu bisa bikin? "
Tabiat Giok Yauw mulai kumat.
“Hei, kaupakai aturan atau tidak? " tegurnya.
"Jikalau orang dikolong langit kenal aturan tak akan aku bercacad
begini" kata orang itu keras.
"Toh bukan kami yang menganiaya kamu" berkata nona Thio.
orang itu menatap bengis kepada sinona.
"Kau benar juga Tapi sekarang ini cuma terhadap kamu yang aku
bisa membalaskan sakit hatiku"
"Kenapa begitu? Toh bukan kami yang menyiksa kamu" berkata
pula Giok Yauw.
"Jikalau kamu bakar tempat ini, bukankah kamu akan membuat
aku mampus? " kata orang tua itu gusar.
"Diwaktu kami mau membakar, kami tak tahu adanya kau disini"
Giok Yauw menerangkan. Sianeh menghela napas.
"kau benar juga " katanya, akhirnya. "Sayang sudah terlambat.”
“ Kenapa kah terlambat? " Ban Liang tanya.
"Telah aku lepaskan pintu rahasia itu Bukankah itu berarti
terlambat?"
"Kau memang telah menurunkannya," kata Giok Yauw "Tapi
apakah kau tak bisa mengangkatnya naik pula?"
orang aneh itu menggeleng kepala.
"Tidak" sahutnya. Mereka itu mengatakan kepadaku, asal pintu
sudah diturunkan, tak dapat diangkat naik pula"
"Bagus betul" teriak sinona gusar. "biarlah, kami temani kamu
mampus dibakar. Hendak aku lihat, kalau kita semua mampus,
apakah faedahnya untukmu "
Mendadak saja, orang aneh itu tertawa terbahak bahak. Hanya
suara tertawa itu tak sedap untuk telinga, tawa itu bagaikan suara
burung malam yang mengulum sedih.
Giok Yauw gusar sekali, hendak dia membentak^ tapi mendadak
tampai siorang tua mengucurkan air mata deras, terus tawanya
berubah menjadi tangis.
Sendirinya hati sinona menjadi berubah tak tenang, lalu timbul
rasa kasihannya. Ia menghela napas duka.
"Sudah, jangan menangis," ia menghibur. "Kau telah dianiaya
orang menjadi begini rupa, karena tanpa kau sadari, kau telah
menurunkan pintu rahasia itu. Kau berbuat diluar tahumu, tak usah
kau berduka." orang tua itu berhenti menangis.
"Eh, anak perempuan, hatimu baik," katanya yang berubah lagi
suaranya, tak kasar seperti semula. "Mari kau akan aku ajari kau
beberapa jurus ilmu silat"
Giok Yauw melengak.
"Kau aneh" Pikirnya, "kau bercacad, kedua kakimu telah
dikutungi orang, setiap saat keselamatan jiwamu tak terjamin,
bagaimana kau hendak mengajari aku ilmu silat? "
Tapi mata situa mengawasi tajam, agaknya ingin sangat ia
memberikan pelajarannya. Melihat itu, tak tega hati nona Thio.
Terpaksa ia memberanikan diri bertindak menghampiri. Sedikitnya ia
jeri juga ...
Ban Liang pun heran, hingga ia berkata: "Tuan, kau bercacad,
syukur kau masih hidup. Jikalau kau bukannya memiliki kepandaian
luar biasa, mana dapat kau mengajari orang ilmu silat? "
orang tua itu menengadah langit-langit rumah dalam tanah itu.
Dia berpikir keras.
"Inilah karena loolap yang harus disesalkan," berkata dia. Tapi ia
menyebut diri loo-hu, si orang tua, sekarang ia menukarnya dengan
loolap. Loolap ialah sebutan diri untuk pendeta Buddhist yang sudah
tua
"Loolap telah menerima murid yang tidak keruan hingga loolap
berkesusahan begini rupa... Ah, tahun tahun dan bulan bulan, telah
loolap lupakan... Musim panas dan musim dingin telah berganti
ganti, bulan dan matahari telah berputar putar, jikalau loolap ingat
ingat, mungkin belasan tahun sudah berlalu..."
Kembali Ban Liang dibuat heran-"Tuan, kau menyebut diri loolap.
sebenarnya siapakah kau? " ia bertanya.
Si orang tua menatap pula ketiga orang itu, bergantian dari Ban
Liang kepada Giok Yauw dan ciu ceng, lalu kepada sijago tua lagi.
"Jikalau loolap sebut nama suciku, mungkin kebanyakan orang
Rimba Persilatan mengenalnya," sahutnya.
"Tolong suhu menyebut nama sucimu itu? " Ban Liang minta.
"sebutan suci loolap ialah Han In..^"
“Han In Taysu? ..." Ban Liang meneruskan heran-
"Tidak salah" sahut orang tua itu. "Loolap memang Han In"
"Jadi suhu ialah Han in Taysu, ketua Ngo Bie Pay yang dahulu? "
Si orang tua menatup,
"Mungkinkah didalam Rimba Persilatan dijaman ini ada lain
pendeta yang bernama Han In,?" dia tanya.
"Tetapi... bukankah suhu sudah lama menutup mata? "
"Ah, dengan nasib begini..." sahut pendeta itu. "Memang, loolap
hiduppun seperti sudah mati..."
"Bukankah suhu telah terbinasa dipuncak Yan in Hong digunung
Pek Ma San? " Ban Liang bertanya pula, melit. Ini disebabkan
herannya yang tak habisnya. Sinar kedua mata pendeta itu memain
tajam Dia menatap jago tua itu.
"Kau siapakah, tuan? " tanyanya. Sekarang dialah yang balik
bertanya.
oleh karena ia percaya keterangan pendeta itu, hingga ia
mengetahui bahwa dialah ketua Ngo Bie Pay yang tersohor, yang
harus dihormati Ban Liang merubah sikapnya sebelumnya
menjawab, ia mengangkat tangannya untuk memberi hormat.
"Aku yang rendah ialah Ban Liang," sahutnya, sabar. "Akulah
yang dunia Kang ouw sebut Seng Su Poan..." Han in mengawasi,
agaknya ia berpikir.
"Rasanya pernah loolap mendengar namamu ini..." katanya.
"Ah..." Ban Liang mengeluh, "Taysu, semua orang Rimba
Persilatan mengaggap taysu bersama-sama ketua ketua Siauw
Limpay, Bu Tong Pay dan Khong Tong Pay, telah terbinasa dipuncak
Yan in Hong. karena mana telah terbit gelombang dahsyat, yang
menyebabkan rombongan Pek Ho Bun terbinasakan-Sebab di dalam
waktu satu malam, mereka sudah dibasmi habis oleh orang orang
liehay dari sembilan partai besar serta keempat bun, ketiga hwee
kedua pang. Peristiwa itu diketahui oleh dunia tetapi taysu, apakah
taysu tidak tahu? "
"Didalam rapat di Yan In Hong pada bulan tujuh tanggal lima
belas itu memang loolap turut hadir," berkata pendeta dari Ngo Bie
San itu, "akan tetapi waktu itu loolap telah dirobohkan dan tak
sadarkan diri dengan pengaruh hlo yang mengandung obat pulas,
setelah mana loolap terus disiksa dan dikurung hingga selanjutnya
loolap mesti hidup ditempat ini dimana tidak tampak langit.
Sebenarnya ada apakah sangkut pautnya loolap dengan Pek Ho Bun
itu? "
"Sungguh suatu penasaran yang hebat" berkata Ban Liang. "Ah,
sayang bengcu tidak ada disini."
"Siapakah bengcu itu? " ciu ceng tanya.
"coh Siauw Pek orang satu satunya kaum Pek Ho Bun yang masih
hidup setelah dikepung kepung musuhnya yang kejam yang
memusnahkan Pek Kee Po" ciu ceng bagaikan baru sadar.
Ia menepuk belakang kepala. "Adakah dia itu anak muda yang
terluka? " tanyanya. "Tidak salah"
"oh, saudara Ban" seru siJenjang Kuning, mengeluh dan
penasaran-"Kenapa saudara tidak tadi tadi memperkenalkan aku
padanya hingga sampai sebegitu jauh aku jadi sudah berlaku kurang
hormat padanya? "
"Sekarang ini," Giok Yauw menyela, "paling perlu memikirkan
dahulu untuk keluar dari ruang dalam tanah ini. Jika kita tak bisa
keluar perCUma kita ketahui siapa Sin Kun itu”
“Nona benar," berkata ciu ceng.
"Taysu," Ban Liang tanya sipendeta, "kenapa taysu berdiam
disini? Tentu juga ada sebabnya yang luar biasa atau menarik hati,
bukan? " Han In Taysu mengangguk.
"Itulah hal yang banyak minta waktu untuk menceritakannya,"
sahutnya.
"Benar," berkata Ban Liang pula. "Sekarang paling benar kita
bicara soal keluar dari kurungan ini. Apakah taysu tahu jalannya? "
"Sebegitu jauh yang loolap tahu, tidak ada jalan buat
mengangkat atau menyingkirkan pintu besi..." sahut Han In masgul.
Ban Liang bertindak mendekati tembok. Ia mengetuk ngetuk
beberapa kali, terus ia menggeleng gelengkan kepala.
"Tembok ini sangat tebal dan keras dan terpendamnya sangat
dalam. Nampaknya sangat sukar buat keluar dari sini..." ciu ceng
memandang tajam pintu besi itu "Tapi aku perCaya pasti ada
rahasianya untuk membuka pintu ini," katanya. "Asal kita berlaku
sabar mencari pesawat rahasia itu."
Ban Liang menghela napas, matanya mengawasi sisi lilin-"Lilin ini
paling tahan juga kira-kira sesantapan nasi. Selekasnya lilin habis
atau apinya padam, ruang ini bakal menjadi gelap gulita hingga lima
buah jari tangannya pun tak akan tampak lagi. Di dalam gelap.
bagaimana kita bisa mencari alat rahasianya? Pasti sukar..." Han In
juga menghela napas.
"Ketika mereka meninggalkan loolap disini mereka menyediakan
banyak sekali bahan makanan," katanya, "sekarang sisa barang
makanan itu masih ada, buat kita, cukup untuk beberapa hari lagi."
Berkata begitu, pendeta tua ini mengawasi Giok Yauw, kemudian
ia melanjutkan pula "Sebenarnya, selama sepuluh tahun lebih,
mereka telah memindah-mindahkan loolap tak putus-putusnya, baru
paling belakang loolap dipindahkan dan dikurung disini.
Sesungguhnya hidup semacam ini membuat orang putus asa, lebih
baik mati daripada hidup tersiksa. Tetapi kalau loolap masih belum
nekad menghabiskan jiwa tuaku ini, karena masih ada sesuatu yang
belum terlampiaskan-.."
Ban Liang batuk batuk, "Asal kita dapat makan beberapa hari
lagi, jangan kita berputus asa," katanya. "Aku percaya Nona Hoan
dapat menolong kita keluar dari sini. Maka itu, taysu, lebih baik
taysu menutur dahulu tentang dirimu"
"Mereka itu mengurung dan menyiksa loolap maksudnya ialah
untuk memaksa loolap memberitahukan mereka rahasia ilmu silat
istimewa dari Ngo Bie Pay..."
"Apakah taysu masih ingat siapa atau siapa-siapa yang memaksa
taysu itu? " tanya ciu ceng menyela, turut bicara.
"Pemimpin mereka itu sering muncul dengan bermacam wajah
dan dandanan, sebentar dia berjanggut, sebentar dia menjadi
seorang pemuda, walaupun begitu, loolap telah mencoba perhatikan
sesuatu menjadi ciri-cirinya. Nyatanya dialah satu, dan beberapa
puluh macam penyamarannya itu hanyalah untuk mengelabuhi mata
orang guna membuat orang bingung karenanya"
Ban Liang menghela napas.
"Jikalau begitu benarlah Seng kiong Sin Kun itu ada manusianya"
katanya. "Dapatkah taysu ingat ciri-ciri orang itu? "
"Karena dia biasa menyamar itu, loolap jadi memperhatikan
gerak geriknya," semangatnya menjawabnya Han in, "Asal loolap
dapat melihat dia bicara dengannya beberapa patah kata, pasti
loolap mengenalinya," katanya
Anda sedang membaca artikel tentang cersil : Pedang Golok Yg Menggetarkan 7 - boe beng tjoe dan anda bisa menemukan artikel cersil : Pedang Golok Yg Menggetarkan 7 - boe beng tjoe ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cersil-pedang-golok-yg-menggetarkan-7.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel cersil : Pedang Golok Yg Menggetarkan 7 - boe beng tjoe ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link cersil : Pedang Golok Yg Menggetarkan 7 - boe beng tjoe sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post cersil : Pedang Golok Yg Menggetarkan 7 - boe beng tjoe with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cersil-pedang-golok-yg-menggetarkan-7.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar