Cersil : 12 PERguruan SEJATI [1] - khulung

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 25 Agustus 2011

Cersil 12 Perguruan Sejati

Sebuah sungai yang jernih, berliku-liku mengitari kaki gunung. Sepanjang tepian tumbuh
dengan subur pohon-pohon liu yang rimbun. Di bagian sungai yang sempit merentang sebuah
titian kecil, menghubungi undakan tangga batu sebuah gedung besar, yang berdiri dengan
megah di lereng gunung.
Rumah itu berpintu hitam bertembok kuning, di sebelah kanan dan kiri dari pintu muka
terdapat sepasang singa-singaan dari batu. Di bagian timur gedung itu terdapat paviliun yang
digunakan sebagai tempat belajar.
Saat ini diruangan itu guru tua. Akibat teriknya matahari, hawa menjadi panas dan
mendatangkan rasa mengantuk bagi guru itu. Sedangkan suara pelajar-pelajar semakin lama
semakin kendur tapi masioh terus terdengar !
Seorang pelajar mengawasi pada gurunya, lalu menyikut kawan di sebelahnya : “Toa Sun Cu,
sudah waktunya, tunggu apa lagi ?”
“Tunggu sebentar lagi, biar dia pulas benar,” jawab Toa Sun Cu.
“Lihat pit yang dipegang sudah jatuh kelantai, pasti sudah pulas !”
Toa Sun Cu tersenyum girang, digoyangkan tangannya, suara membaca semakin perlahan dan
hilang tidak terdengar lagi, suasana menjadi sunyi. Toa Sun Cu memperhatikan dengan
seksama untuk mengetahui apakah gurunya sudah pulas benar atau belum, setelah yakin guru
itu sudah pulas. Dipeloporinya kawan-kawannya meninggalkan seorang-seorang dengan tertib
tanpa mengeluarkan suara.
Seorang anak berbaju biru tidak turut keluar ia masih tekun dengan bukunya. “In Tiong Giok
!” Toa Sun Cu “ engkau tidak turut ?”
2
“Kalian saja yang pergi, aku masih mau menghafal !”
“Baiklah, nanti kuberi seekor ikan besar, asal saja melindungi kami jika guru marah2 !”
Sebelum berlalu ia masih sempat menjulurkan lidah mengejek yang tidur menggeros-geros.
Baru saja anak-anak berlalu, sang guru membuka matanya sambil tersenyum.
“Tiong Giok marilah kita mulai dengan pelajaran yang benar !” Bagaimana latihan ilmu
dalammu apakah ada kemajuan ?”
“Ya suhu, bahkan telah kunulai kepelajaran Hoan-pou-kuil-cin atau menghilangkan kepalsuan
mencari kebenaran. Hawa sejati rasanya bergolak keras dan mendatangkan rasa sakit.”
“Itu tak apa-apa, nah coba perhatikan padaku!”
In Tiong Giok menyedot napas dalam2 lalu mengeluarkan jeriji kanannya ditotokan kepada
buku yang dipegang gurunya. Siuut ! pukulannya mendatangkan suara dan “beng” berbunyi
sekali, buku yang dipegang gurunya terpental beberapa depa. Waktu diperiksa buku itu telah
berlubang, dilingkaran lubang itu hitam seperti kebakar !
“Ah anak ini luar biasa, dalam waktu lima tahun sudah mencapai taraf ini, waktu aku belajar,
selama delapan tahun tidak selihay dia. Dasar maunya Allah didunia persilatan akan muncul
seorang gagah perkasa. Hatinya merasa girang tapi tidak diutarakan pada parasnya. Ia hanya
menyruh muridnya mengeluarkan buku berbahasa Sangsekerta. “Apakah bahasa asing ini
sudah kau kuasai ?”
“Selama lima tahun kupelajari mati-matian dapat dikatakan sudah kukuasai semua !” jawab In
Tiong Giok.
Sang guru menngujui kepandaian muridnya dalam bahasa Sangsekerta seecara lisan mereka
bertanya jawab dengan tenangnya. Sementara itu diluar terdengar suara Toa Sun Cu dan
kawan-kawannya.
“Tumben mereka kembali secepat ini,” kata sang guru yang terus berlagak tidur lagi seperti
tadi. In Tiong Giok memasukan buku pelajaran bahasa Sangsekertanya kedalam saku. Toa
Sun Cu dating paling dulu, napasnya senen kemis, seolah-olah ia lupa telah berbolos. Datangdatang
berseru : “ Suhu ! Suhu lekas.. lekas lihat ! Singa batu..”
Guru itu pura-pura kaget dan bangun : “Ada apa ribut ribut ?
“Itu…itu singa batu menangis !” jawab Toa Sun Cu.
“Masakah singa batu bisa menangis ?”
“Benar suhu !” jawab yang lain dengan serentak.
“Menangis sampai keluar air mata darah !”
Toa Sun Cu menjelaskan.
“Coba kita periksa” kata sang guru sambil melangkah keluar, diikuti murid-muridnya dari
belakang.
3
Apa yang diterangkan Toa Sun Cu memang benar, bahwa singa-singaan batu mengeluarkan
air mata darah. Guru itu menuil darah itu dan menjilatnya dengan lidah. Ia merasakan dan
tahulah, darah itu darah manusia. Dengan rasa kaget ia celingukkan keempat penjuru. Tapi
tidak mendapatkan sesuatu yang menimbulkan kecurigaan.
“Tentu ada seseorang yang luka tangannya dan memeperkan kemata singa-singaan ini. Toa
Sun Cu ambil kain basah dan bersihkan mata singa-singaan ini. Sesudah itu kalian boleh
pulang, pelajaran hari ini sampai disini saja.”
“Suhu…” kata In Tiong Giok. Dengan pandangan tajam guru itu mengawasi muridnya,
bibirnya bergerak perlahan, lalu membalik badan kembali kedalam kelas.
Diluar tahu kawan-kawannya In Tiong Giok dapat menangkap percakapan gurunya yang
memakai ilmu mengantar suara atau Toan Im. Guru itu memesan kepadanya, malam ini
jangan kemana-mana biarpun mendengar keributan apapun.
Ia menjadi heran, diawasinya guru itu dari belakang, segera juga berbayang-bayang kejadian
lima tahun berselang didepan matanya. Saat itu gurunya pertama kali dating. Ia dasn kawankawannya
sedang asyik mandi disungai. Dengan penuh perhatian guru itu mengawasi mereka
berenang, tapi dengan tiba-tiba is dipanggil naik.
“Siapa namamu nak ? Tahun ini umur berapa ?” tanyanya lemah lembut.
“Namaku In Tiong Giok masa suhu lupa ? Kini berusia tiga belas tahun !”
“Tiong Giok ? Tiga belas tahun ? Itu tanda luka sejak kapan adanya ?”
“menurut ibu sejak kecil sudah ada.”
“Apakah ibumu masih ada?”
Tiong Giok sungguhpun menjawab, hatinya merasa dongkol atas pertanyaan yang kurang
pantas : “Suhu kenapa berkata begitu ? Yang mengundang suhu kemari adalah ayah dan
ibuku, kenapa bertanya lagi ?”
Sang guru berkemak kemik seorang diri.
“Tanda itu…tiga belas tahun…mungkinkah di dunia ini terjadin hal serba kebetulan ?
Ah,…tak mungkin…” Ia berpaling kepada Tiong Giok sambil tersenyum memukul jidatnya
sndiri : “Ha ha ha jangan heran nak, hari ini otakku kurang beres. Sebenarnya bukan apa-apa,
Aku ngeri melihatmu mandi di sungai yang deras, kuatir terbawa hanyut ! Lekaslah pakai
bajumu !”
Kenapa guru itu memperhatikan demikian, terhadap tanda luka di pundaknya ? Kenapa
memberikan pelajaran tenaga dalam dan bahasa Sangsekerta ? Pertanyaan demi pertanyaan
yang tidak terjawab memenuhi benak hatinya : sering ia bertanya soal itu, tapi tak pernah
mendapat jawaban dari gurunya. Dalam lima tahun guru itu sungguh-sungguh mengajarf
dirinya : mula pertama mendatangkan rasa heran, lama kelamaan menjadi biasa lagi.
Malam harinya Tiong Giok tidak bisa tidur bulak balik ia berpikir. “Kenapa singa-singaan itu
bias mengeluarkan air mata darah ? Apa yang dimaksud dengan perkataan keributan” dari
guru itu ? Sungguhpun guru itu melarangnya ia keluar kamar, harinya sudah siang-siang
meninggalkan kamar itu. Tapi semalaman telah berlalu dengan tenang tanpa suatu kejadian
apapun, Baru saja matahari terbit, ia sudah keluar kamar menuju keruang belajar sambil
berseru-seru : “Suhu! Suhu! Suhu!”
4
Begitu masuk ia melihat gurunya sedang memangku tangan berdiri tegak dengan tenang,
memandang kedepan tembok.
Tiong Giok diam-diam menghampiri gurunya, begitu ia memandang ketembok yang diawasi
gurunya, tak alang kepalang kagetnya. Kiranya ditembok itu terlihat tujuh semut mati tertusuk
jarum halus !
Sang guru menatap terus kepada semut-semut itu, dan terdengar ia berkata perlahan. “Dua
puluh tahun tidak bertemu, nyatanya sudah maju banyak…”
“Suhu!” tiba-tiba In Tiong Giok bertanya penuh heran.
“Oh,” jawab guru itu seraya mengebutkan lengan bajunya ketembok, jarum-jarum berikut
semut berguguran jatuh. Dengan lengan baju jarum-jarum itu digulung secara hati-hati. Ia
mengangguk kepada muridnya. “Mari kesini!”
Begitu masuk kedalam kamar, guru itu mengeluarkan sebuah kotak kecil. Jarum-jarum tadi
dimasukkan ke dalam. “Kemauan Tuhan tidak bisa ditentang, tapi biar waktu itu tinggal
sehari, masih dapat dipergunakan sebaik-baiknya!”
“Maksud suhu bagaimana?”
“Jangan bertanya lagi, waktu sangat berharga. Kita sebagai guru dan murid selama lima
tahun, selama itu kita hidup bersama-sama, tapi mulai kini, aku sebagai guru akan
memberikan dua macam ilmu membela diri! Sungguhpun ilmu ini bukan pelajaran yang luar
biasa tapi sangat berguna untuk dikemudian harimu. Maka itu segala keheranan dan
kekusutan pikiranmu kesampimgkan semua, konsentrasi pikiranmu, dan sedapatnya bisa
mengingat pelajaran ini. Sang guru segera menguraikan semacam ilmu yang bernama Kiu
Toan Bie Cong Po atau Sembilan putaran langkah gaib. Lalu disusul dengan semacam ilmu
lagi yang bernama Cap Jie Siang Liong Ciu atau dua belas macam ilmu menangkap naga.
Cara sang guru memberikan pelajaran lain dari biasa, begitu tegas dan mendetail, juga minta
dipraktekkan saat itu juga, setiap kesalahan kecil yang dilakukan mendatangkan makian dan
teguran pedas, sifat welas asih dan sabarnya seperti hilang. Seolah-olah ilmu pelajaran yang
diturunkan itu, harus ditelan muridnya saat itu juga. In Tiong Giok memusatkan segala pikiran
pada pelajaran, sedikitpun tak berani berpikir kearah lain.
Dua pelajaran yang diuraikan sekali itu sudah memakan waktu sampai tengah hari. “Makan
dulu lekas, sekalian beritahu Toa Sun Cu dan yang lain hari ini libur. Setengah jam kemudian
kita lanjutkan ilmu pelajaran ini.”
Seharian penuh guru dan murid tidak keluar dari ruangan belajar, mati-matian memburu
waktu, hal ini membuat nyonya In merasa kuatir dan menitahkan pelayannya dating
menjenguk. “Sian seng nyonya mengatakan ilmu pelajaran memang penting, tapi
kesehatanpun sangat penting, nyonya mengharapkan Kong tju beristirahat, besok baru belajar
lagi.”
5
Guru itu menarik nafas panjang dan berkata. “Ya, memang apa yang diperkatakan nyonya
memang benar, nah Tiong Giok engkau boleh beristirahat, besok kembali lagi kita lanjutkan
pelajaran ini!”
In Tiong Giok segera berlalu, tapi baru saja kakinya melangkah pintu, sang gurusudah
memanggilnya lagi. “Muridku, sebelum tidur pikirkanlah masak-masak, jangan sampai capai
lelah yang menjadi guru hilang percuma! Ini sepucuk surat simpan baik-baik, sebelum fajar
menyingsing, jangan dibuka…” Kata-katanya tidak diucapkan sampai selesai, sedangkan air
matanya tampak tergenang memenuhi kelopak matanya. “Suatu saat anak naga akan terbang
ke angkasa, karena ia bukan cacing dilumpur. Murid yang baik pergi istirahat!” Kata-kata
yang terakhir di ucapkan berbareng sedu sedatnya.
Malam itu In Tiong Giok tidak bisa pulas, pikirannya selalu berputar pada kejadian tadi siang,
kelakuan gurunya hari itu sangat luar biasa, membuatnya tidak habis berpikir. Ia merasakan
sang guru itu pertama kali berbuat demikian selama lima tahun. Mungkinkah soal singa batu
mengalirkan air mata darah merupakan alamat buruk dan bisa mendatangkan bencana?
Ia ingat pada surat gurunya, dibawanya ke bawah sinar lampu, disampulnya tiada tulisan apaapa,
sedangkan didalamnya bukan seperti kertas surat: keras dan ganjil. Surat apa ini ?
Kenapa harus menantikan esok baru boleh di buka ?
Mendadakan saja, keinginan tahu jiwa kecilnya menggolak dan sukar ditahan. “Suhu
menyerahkan surat ini tentu ingin berbicara denganku, tapi kenapa harus menanti sampai
besok, bukankah besok bertemu muka lagi dan bisa bicara langsung, kenapa harus memakai
surat? Surat ini untukku? Ia berpikir lagi, segera bantahan keluar dari dirinya sendiri, tidak !
Biar bagaimana tidak boleh kubuka sebelum pagi, sebagai murid harus taat pesan guru !
Otaknya berjalan terus, Tiong Giok belum juga tidur, pikirannya masih tetap berkecamuk
antara buka dan tidak. Dengan perasaan ingin tahunya yang berlebih-lebihan, surat itu
dibukanya. Di dalam terlihat surat dari kertasbiasa dan sebuah sampul surat dari kulit
kambing yang tertutup rapat. Agaknya seperti surat rahasia saja, dan diluarnya tertulis. Untuk
Thay Cin To Tjiang di Tay Heng San. Siapa Thay Cin To jin ia tidak kenal, maka surat itu
diletakkannya. Ia meneliti surat dari kertas biasa, baru saja membaca sebaris, hatinya sudah
kaget tak keruan. Karena itulah surat perpisahan dari gurunya yang berbunyi kurang lebih
seperti berikut, Muridku yang baik, engkau tak perlu bersedih hati, karena pepatah
mengatakan tiada suatu pesta tanpa perpisahan, demikian juga antara aku dan engkau. Sebagai
guru, aku mengetahui apa yang engkau pikirkan selama lima tahun tentang diriku, demikian
juga dengan aku terhadap dirimu. Bahkan sampai kini soal yang ingin kuketahui masih
merupakan teka-teki yang belum terpecahkan.
Muridku engkau anak yang cerdas, tentu mengetahui juga apa sebabnya singa batu
mengucurkan air mata darah ? Kini boleh kuterangkan, itulah perbuatan dari seorang
musuhku, musuh itu memiliki kepandaian tinggi, ia mencariku sudah dua puluh tahun
lamanya, kini baru bertemu, maka itu pertempuran antara hidup dan mati tidak dapat
kuelakkan. Tapi bagaimanapun tak usah engkau kuatir. Biarpun suhu itu sudah tua akan tetapi
masih percaya takkan dikalahkan, hanya suatu soal saja yang membuatku menyesal, kalah
ataupun menang tidak bisa kembali berkumpul denganmu. Hanya kita yakin, disuatu saast
kita bisa bertemu lagi, maka tak perlu engkau sedihkan perpisahan ini.
6
Sebenarnya sudah kusediakan waktu tujuh tahun untuk menurunkan segala kepandaianku
kepadamu, tapi apa mau dikata sebelum sampai waktunya harus berpisah. Sungguhpun begitu
sebagai orang yang cerdas dan berbakat, engkau dapat melatih sendiri segala pelajaran yang
kuberikan, kudoakan engkau akan berhasil. Kecuali itu kuminta, pertama tama engkau pergi
ke Tay Heng San, dan ingat selama di perjalanan engkau harus menjaga tanda luka di pundak
kiri jangan sampai diketahui oleh orang, karena bisa menbahayakan jiwa. Dan kedua bila ada
orang yang menanyakan usiamu harus menambah dua dan jangan mengatakan yang
sebenarnya. Ketiga ilmu Hiat Cie ling (jari-jari berdarah) jika tak sampai terdesak sekali
jangan dipergunakan.
Empat, begitu bertemu dengan Thay Tjin Tojin harus berlaku hormat. Jika ia menanyakan
nama suhu, engkau boleh mengatakan “Penunggang Hiu dari Honglay, pelajar miskin dari
Pegunungan Salju.” Ia akan mengerti sendiri. Lima tahun kita bersama2, kini harus berpisah
untuk ini ingatlah pesanku yang terakhir. “Laki-laki sejati harus berani menghadapi hidup.”
Dibaris terakhir tiada surat, hanya terdapat garis-garis bulat yang berdempetan.
Begitu In Tiong Giok selesai membaca surat segera ia lari keluar sambil berseru : “Suhu!
Suhu!”
Dipagi sunyi, sinar surya baru saja terlihat diufuk timur dengan samar-samar, sekeliling masih
terbenam kesunyian. In Tiong Giok berlari kearah timur dimana gurunya tinggal. Ia masuk
dan melongo, kamar telahj kosong, gurunya telah pergi tanpa pamitan. Tiada terasa lagi air
matanya bercucuran.
Dengan pandangan guram, ia mengawasi surat kulit kambing untuk Thay Tjin To Djin di Tay
Heng San. Ia tidak mengenal siapa Thay Tjin To djin itu, hanya tahu bahwa surat itu
mengandung rahasia besar, untuk kehidupannya hari kemudian. Ingin ia mengetahui
selekasnya rahasia didalam kulit kambing itu, setelah terpekur agak lama juga, sesuatu
keputusan telah di ambilnya… akan meninggalkan rumah berangkat ke Thay Heng San.
*****
Rumah makan Tiang Thay di kota Hek Ciu sang,at terkenal akan panggang ayam dan
panggang bebeknya, maka itu tidak heran banyak kaum pelancong dari dekat maupun jauh
yang kesitu, untuk mencicipi kedua masakan itu. Saat ini baru tengah hari, tepat waktunya
orang makan, seratus meja lebih dari rumah makan itu yang terdapat di loteng maupun di
bawah telah penuh para tamu.
Tiba-tiba dari arah luar terdengar suara sepatu kuda, dua laki-laki gagah dengan cepat sudah
turun dari kudanya. Yang jalan di depan mukanya berewokan, sedangkan yang satu lagi
mukanya pucat, tubuhnya kurus. Mereka mengenakan pakaian serba hitam, dan menyoren
pedang dipinggang. Pemilik retoran begitu melihat kedatangan dua tamu, wajahnya agak
berubah, cepat-cepat meninggalkan tempat duduknya, menyambut dengan terbungkukbungkuk
“Liok-ya dan lie-ya selamat siang, bagaimana baik-baikkah selama ini ?”
“Apa yang jadai baik ? Tidakkah kau tahu hampir-hampir aku gila karena mendongkol !”
jawab si brewok dengan kasar.
7
“Ya, harap Lie ya jangan gusar, mari minum arak untuk menghilangkan kejengkelan !” kata si
Tauke dengan tersenyum.
“Ya sudah jangan bicara yang tidak keruan kedatanganku kesini sudah tentu ingin minum
arak sediakan lekas !” kata sibrewok dengan kasar.
“Lo lie tak usah meladeni mereka, urusan kita sendiri belum beres, mari kita makan
secepatnya, dan menjelaskan terus pekerjaan kita,” kata si kurus pucat.
Atas kedatangan dua orang ini, suasana ramai dirumah makan menjadi sepi, para tamu makan
sambil tunduk dan tidak berkata-kata, agaknya semua tamu merasa jeri terhadap dua orang
ini.
Diantara sekalian tamu, terdapat seorang muda sederhana. Sedang makan dan minum denga
enaknya. Seorang pelayan denga hormat membungkukkan badan sambil memohon : “Benarbenar
maaf, dapatkah Yuan memberi muka kepadaku agar pindah kemeja sebelah duduk
bersama dengan Tuan ini? Hal ini terpaksa dilakukan kaena tamu keliwat banyak.” Sehabis
berkata, pelayan itu tanpa minta persetujuan lagi, segera memindahkan makanan dan
minuman kedua tamu itu kemeja yang berada disebealah.
Anak muda itu nampaknya tidak puas dan menunjukkan perasaan gusar, untung siorang tua
dengan sabar mencegahnya: “Kongcu tak perlu gusar, orang yang bepergian, kurang sedikit
lebih sedikit tak apa-apa, mari kita pindah.”
Pemuda berbaju biru menoleh kemeja sebelah, dilihat seorang laki berusia tiga puluh enam
tahun, mengenakan pakaian sastrawan, bermata sipit berhidung bengkung, wajahnya penuh
ciri kelicikan. Membuatnya ragu-ragu sejenak. Sedangkan laki-laki itu telah bangun dan
merangkapkan kedua tangannya mempersilahkan duduk: “Kebetulan duduk sendirianpun
merasa sepi, jika tidak keberatan marilah kita duduk bersama-sama.”
Agaknya perkataan laki-laki itu membuat pemuda berbaju biru merasa likat, segera membalas
hormat dan duduk: “Ah, mengganggu Saudara saja, lagi pula dua tamu itu sok betul…”
“Ssst kuharap Lotee mengerti, mereka adalah orang-orang Pok Tian Pang (Perserikatan
pemecah langit), kita sebagai sastrawan yang lemah, tak baik bertengkar dengan meereka!”
Sehabis makan laki-laki itu memperkenalkan diri sebagai Pang Hui, seorang Siucay
pengembara, dan iapun minta kenal dengan sipemuda dan orang tua itu. Agaknya sipemuda
kurang senang terhadap teman semeja itu, ia hanya menjawab singkat: “Namaku In Tiong
Giok, dan orang tua ini adalah pembantu rumahku yang setia!”
Pang Hui banyak bicara kebarat ketimur tak henti-hentinya. Hal ini membuat In Tiong Giok
sebal dan menyesal bisa duduk semeja dengaannya. Biarpun Pang Hui banyak bicara dan
bertanya ini itu, hanya mendapatkan jawaban singkat dan tawar. Karena disamping rasa sebal
kepadanya, perhatiannya lebih banyak dicurahkan kepada dua orang Pok Thian Pang.
Siberewok dan sikurus pucat begitu duduk, segera mengalir makanan dan minuman semeja
penuh. Sambil makan kedua orang itu sambil memaki-maki orang lain, nampaknya sedang
mendongkol benar-benar.”
8
“Ah sialan betul, segala golok dan pedang mudah ditangkis, kenapa kemendongkolanku sukar
dilupakan? Aku orang she Lie hidup puluhan tahun tapi baru kali ini mengalami peristiwa
semacam ini. Yang menjadi atasan kita tahunya setiap hari makan enak dan main perempuan,
sedikitpun tidak mengetahui kesulitan kita, taunya salah sedikit maki-maki dan marahmarah.”
“Tapi tidak bisa menyalahkan atasan kita, iapun mendapat perintah dari Kangcu, engkau
jangan melihat dia galak dan garang, jika sampai dipusat tak ubahnya seperti kura-kura,
kepalanya ngerepot dan lebih-lebih dari kita.” kata sikurus pucat. “Tapi akupun heran kenapa
memerintahkan kita mengerjakan hal yang aneh pikirlah didunia ini berapa banyak pemuda
berusia delapan belas tahun ? Kitapun tak bisa melakukan pemeriksaan satu-satu sambil
membuka baju mereka untuk melihat ada tandanya atau tidak.
“Sabarlah tak usah marah-marah terus, engkaupun harus hati-hati, ini tempat umum,
sedangkan tugas kita harus dirahasiakan betul-betul.
Sibrerewok kaget juga mendengar peringatan temannya, ia celingukan keempat penjuru lalu
duduk lagi sambil berkata keras : “Ya baiklah tidak kukatakan lagi, mari minum !”
In Tiong Giok yang mendengar percakapan mereka menjadi heran sekali, diam-diam ia
menjadi kaget, karena ia tahu pundak kirinya terdapat tanda dan usianyapun delapan belas
tahun. “Untuk apa mereka mencari pemuda itu?” pikirnya dan diam-diam berlaku waspada
pada orang Pok Tian Pang.
Siberewok menyenggol temannya sambil berkata: “Hei, Lo Liok bukankah engkau
mengatakan di penginapan Hong Sin ada pemuda yang patut dicurigakan ? Tapi aku merasa
inipun sia-sia saja, karena berulang kali kita melakukan kesalahan mencurigakan orang yang
tidak bersalah. “Mari kita berangkat.”
“Sekali ini pasti tidak salah, kaena Cu Lay cu melihat denga kepala sendiri waktu pemuda itu
mandi, dipunggungnya terlihat sebuah tanda.”
“Biarpun dipunggungnya ada tanda jika saat ini usianya bukan delapan belas tahun, bukankah
sama denga nol ?”
“Maka itu kita bekerja harus hati-hati.” Kata Skurus pucat, “Sebelum kita menangkap kita
Tanya dulu usianya, dan memaksanya memperlihatkan tanda dipunggungnya, jika benar
segera kita tangkap, jika tidak ya kita lepaskan!”
“Ya benar, pendeknya kalau sekali berhasil, kita akan mendapat uang banyak, dan bisa pergi
cuti untuk bersenang-senang.”
“Kalau sekali ini berhasil kitapun bisa ikut mencari pemuda yang pandai bahasa Sangsekerta
untuk diajukan kepada Pangcu, karena kudengar barang siapa bisa mencari orang yang pandai
bahasa itu akan mendapat upah besar, dan kitapun bisa naik pangkat!”
“Ah sudahlah jangan membicarakan hal itu, mari kita kerjakan yang berada didepan mata.”
Mereka berlalu tanpa membayar.
9
“Ah benar-benarkah mereka mencari orang yang pandai bahasa Sangsekerta?” kata Pang Hui
tanpa terasa. Iapun segera pamitan dari In Tiong Giok dan cepat berlalu.
“Apakah Pang Heng pandai bahasa Sangsekerta?” Tanya In Tiong Giok.
“Ah tidak !” katanya seraya memanggil pelayan. “Berapa semuanya?”
“Dua ketip empat sen.”
“Hitunglah jadi tiga ketip, uang ini sekalian masukkan kedalam rekening In Kong Cu,
lebihnya enam sen boleh kau ambil.”
In Tiong Giok merasa dongkol, ia tidak keberatan untuk membayarkan makanan Pang Hui,
tapi caranya yang berutal dan kurang ajar itu membuatnya mendongkol, sehingga timbul
penilaiannya bahwa Pang Hui lebih busuk dari orang-orang Pok Tian Pang.
“Apakah orang she Pang itu adalah langgananmu?” tegur Tiong Giok pada pelayan.
“Bukan, baru beberapa hari ini saja ia sering dating makan disini.
Pang Kongcu itu orang aneh, setiap makan tidak lebih dari tiga ketip, dan selalu ia makan
dengan kawannya, dan selalu dibayar!”
Hanya hari ini ia datang sendiri. Dan kebetulan pula harus Kongcu yang membayari.” Disini
banyak temannya ia tinggal dihotel Hong Sing…”
Begitu mendengar perkataan Hong Sing, Tiong Giok tergerak dan cepat-cepat menyelak:
“Jauhkah tempat itu dari sini?”
“Tidak, belok dari gang kecil yang didepan sudah sampai !”
In Tiong Giok segera memesan pada In Hok: “Tunggu disini sebentar akau mau kesana.”
Orang tua itu jadi melongo. “Kongcu mau kesana mari kutemani.”
“Tidak usah, hanya sebentar, jika dalam waktu setengah jam tidak kembali engkau boleh
menyusul,” kata Tiong Giok yang segera tanpa menunggu jawaban lagi dari pengikutnya.
“Sesampainya didepan pintu hotel, Tiong Giok tertegun sejenak dan berpikir : “Saat ini baru
jam dua tengah hari, mungkin orang-orang dari Pok Tian Pang berani memeriksa tamu hotel
dengan sewenang-wenang. Dan apa tujuan mereka memeriksa orang muda berusia delapan
belas tahun denga tanda dipunggungnya itu” Lebih lebih mengingat Pang Hui yang
menjemukan, ia tidak masuk, emlainkan menantikan didepan hotel sambil mondar-mandir.
Tak jauh dari diri terlihatnya banyak orang sedang berkerumun, seolah-olah ada pengumuman
penting dari yang berwajib. Begitu ia mendekat terdengar salah seorang berkata : “Ah ini
rejeki nomplok, saying kita tidak mampu, bagaimana kalau kita beritahu Tan pocu, dia orang
terpelajar, pasti bisa melakukan pekerjaan ini !”
10
“Ha ha ha,” yang lain tertawa. “Memang dalam soal pengetahuan. Ia lebih unggul dari kita,
tapi dalam hal ini iapun tak bedanya dengan kita.”
“benar,” sahut yang lain lagi. Kuingat Cie Sian-seng. Ia pedagang keliling, sedikit banyak
menguasai bahasa asing denga baik, coba suruh dia, siapa tahu…”
“Apa? Hm, memang ia bisa berkata-kata sedikit bahasa asing, yang lucu orang asing sendiri
tidak mengerti apa yang di ucapkannya ! Apalagi dalam pengumuman ini terang-terang
mencari seorang yang pandai bahasa Sangsekerta.”
Tiong Giok menyelak diantara orang banyak sambil bertanya: “Cuwie, sebenarnya apa sih
yang dikatakan rezeki nomplok?”
“Kongcu sebagai pelajar, mungkin bisa juga bahasa Sangsekerta. Untuk ini akan mendapat
sepuluh ribu tail emas, didunia tidak ada cara mencari uang yang lebih mudah dari ini !”
“Apa susahnya dengan bahasa Sangsekerta, aku In Tiong Giok sejak usia tiga belas tahun
sudah belajar bahasa ini ?”
“Benar-benarkah Kongcu mengerti?” yanya seorang setengah percaya.
Dalam pengumumam itu dikatakan bahwa Ngo Liu Cung (perkampungan Ngo Liu) mencari
seorang penterjemah yang mahir dalam bahasa Sangsekerta, jika benar-benar orang itu bisa
dipakai akan diberi honorarium sepuluh ribu tail emas. Dan untuk orang yang bisa
memcarikan tenaga yang dibutuhkan itu akan mendapat upah lima puluh tail perak.
“Maafkan aku bukan orang sini, dapatkah Cuwie menunjukkan jalan menuju Ngo Liu Cung
?”
“Tak usah Kongcu pergi jauh-jauh kedua orang itu adalah dari Ngo Liu Cung!”
Tiong Giok menoleh kearah yang ditunjuk, benar saja terlihat dua orang sedang ke hotel Hong
Sing dengan tergesa-gesa. Kedua orang itu setelah ditegasi bukan lain dari pada Si berewok
dan Si kurus pucat yang diketemukan dalam restoran tadi. Cepat-cepat ia melangkah ke hotel.
Kedua orang itu baru sampai didepan pintu hotel, berpapasan dengan seorang muda
berpakaian perlente, hampir mereka saling tubruk.
Dengan sopan santun pemuda perlente memberi hormat dan menghaturkan maaf. Tapi kedua
orang itu bukan saja tidak membalas hormat, melainkan mendelik dan bertanya dengan kasar :
“Hei engkau mau kemana?”
“Mau keluar sebentar, jie wie ada perlu apa”
“Tidak apa-apa, hanya mau bicara sebentar denganmu,” kata sikurus pucat dengan dingin.
“Hal apa yang hendak jie wie bicarakan,” kata sipemuda dengan heran.
“Apakah engkau She Yo?” tegur si berewok.
Pemuda itu menganggukkan kepala.
11
“Apakah usiamu tahun ini delapan belas tahun,”
Sipemuda menganggukkan kepala lagi.
Dua orang itu saling berpandangan dengan puas, siberewok sengaja menepak gagang
pedangnya dan berkata dengan girang: “Hei apakah dipunggungmu terdapat satu tanda?”
Pemuda itu mundur mundur bebrapa langkah “Apakah maksud jie wie bertanya ini?’
“Tidak apa-apa” kata siberewok, “kami hanya menginginkan engkau membuka baju dan
memperlihatkan tanda dipunggung itu.”
Pemuda ini menjadi gugup, sungguhpun begitu ia tidak mau membuka bajunya, sipucat kurus
mendengus sekali dan berkata: “Lo Lie waktunya engkau bertindak.”
Tanpa disuruh kedua kalinya siberewok segera menyambar baju pemuda itu. Tapi dengan
gaya berputar pemuda itu berhasil berkelit dan melakukan balasan. Akibat terlalu memandang
enteng, siberewok kena ditampar, tentu saja membuatnya gusar sekali, pedangnya segera
dihunus. Demikian juga denga sikurus pucat. Aganya pemuda itu hanya memiliki ilmu bela
diri yang sederhana saja. Berbukti setelah ditodong denga dua senjata tajam, ia tidak berdaya,
matanya clingukan mengharapkan bintang penolong, sedangkan keringatnya bercucuran turun
membasahi bajunya.
Akan tetapi seorang yang terlalu didesak akan timbul nekatnya, demikian juga sipemuda itu,
ia tidak menyerah! Waktu sipucat kurus mau menangkapnya ia masih melakukan perlawanan,
tapi bagaimanapun yang lemah itu tidak bisa menang melawan yang kuat. Tak selang lama ia
sudah tertotok dan tidak berdaya.
Siberewok dngan kasar, membeset baju pemuda itu, dan benar saja dipunggungnya terdapat
tanda.
“Lo Lie jaga baik-baik bocah ini, akan kuberi kabar pada Cunggu.” Kata sikurus pucat. Tapi
belum pula ia meninggalkan hotel, dari arah luar telah dating lima kuda memasuki
pekarangan hotel, empat diantaranya mengenakan pakaian Lie dan Liok, sedang yang satu
lagi adalah seorang tua yang sudah lanjut usianya mengenakan pakaian panjang waarna hijau,
janggutnya yang panjang bergoyang-goyang tertiup angin, wajahnya tenang dan berwibaww
dilehernya tergubat sehelai sutra biru yang mengkilap.
Lie dan Liok segera memapak kedatangan lima orang ini, dan memberi hormat pada orang tua
itu. “Yang rendah Lie Guan Ciang dan Liok Beng Can menghaturkan hormat pada Cungcu.”
“Bukankah engkau kutugaskan mencari seseorang,” tegur si Cungcu, “kenapa berada disini?”
“Orang yang dimaksud itu berada dipenginapan ini.” Kata sipucat kurus, “Bahkan sudah
ditangkap!”
“Kebetulan sekali,” kata siorang tua, “bawa kemari orang itu.”
12
Dengan cepat siberewok menenteng pemuda perlente yang telah tertotok kehadapan siorang
tua.
“Buka jalan darahnya!” Perintah orang tua.
Begitu jalan darahnya dibuka pemuda itu menjadi gusar dan melakukan protes keras: “Hei
kalian bangsat dan rampok, ditengah hari bolong berani berlaku sewenang-wenang, memang
didepan mata kalian tidak ada undang-undang Negara?”
“Diam!” seru siorang tua, “ kutanya berapa usiamu kini ?”
“Delapan belas tahun!”
“Coba putar badanmu, ingin kulihat punggungmu!”
“Tidak mau!” seru pemuda dengan bandel.
Liok Beng Can dan Lie Goan Ciang segera merejeng pemuda itu, dan menyingkap bajunya
yang sidah robek.
Orang tua itu memperlihatkan tanda dipunggung pemuda itu, lalu mengeluarkan selembar
kertas dari sakunya. Setelah mengukuri sejenak, kertas itu dilipat kembali dan ia sendiri
tertawa sinis “Lepaskan dia.”
“Cungcu mungkinkah…..” kata Lie dan Liok hampir berbareng.
“Orang yang dikehendaki mempunyai tanda bekas bacokan dipundak kirinya, sedangkan dia
mempunyai tanda dekat pinggang, pasti bukan, maka kulepas, lain kali bekerja lebih cermat
jangan sembarangan lagi!”
In Tiong Giok yang menyaksikan kejadian ini, diam-diam masuk kedalam hotel, tanpa terasa
ia mengusap tanda dipundak kirinya, keringatnya mengucur sendiri: “Tak heran Suhu
memesan jangan sampai tandaku ini dilihat orang, danjangan mengaku usia yang sebenarnya,
kiranya ada bertalian dengan soal misterius yang tidak kumengerti? Ya apapun hubungannya
dengan kedua orang Pok Tian Pang ? Kenapa mereka hendak menciduk pemuda berusia
delapan belas tahun dengan tanda dipundak kiri? Mungkinkah orang yang mereka cari itu aku
adanya?” In Tiong Giok tidak alang kepalang kagetnya sewaktu mendengar orang menegur
padanya. “Anak muda sedang apa kau disini?”
In Tiong Giok kena dikagetkan, dalam sejenak tidak bisa menjawab. “Hei anak muda apakah
engkau tidak mendengar, Cungcu bertanya padamu?” tegur salah seorang pengawal baju
hitam.
“Oh, tidak sedang melihat pengumuman di luar hotel….” Jawabnya agak gugup.
“Siapa namamu?” tegur si Cungcu.
“In Tiong Giok!”
13
“Oh, kiranya engkau, aku dating kesini karena mendengar ada seorang bernama In Tiong
Giok yang pandai bahasa Sasngsekerta, kiranya engkau kata!” Si cungcu dengan nada suara
berubah ramah tamah.
“Ya benar,” jawab Tiong Giok.
“Aku situa ini bernama Tan Toa Tiau tinggal disebelah barat kota yang disebut Ngo Liu
Cung, kedatanganku sengaja untuk mengundang Kong Tju dating kerumahku. Mungkin
Kongtju sudah membaca pengumuman itu dan mengerti apa imbalan jasa yang akan kami
berikan kepada seseorang yang pandai bahasa Ssangsekeerta….”
Ya, memang sudah kubaca, tapi bukan karena aku sok kaya, soal uang tak berarti amat besar
bagiku.”
“Ya, memang uang itu untuk pelajar sejati tidak berarti, itu hanya tandanya hormat dari kami
saja, dan mungkin Kongcu tak berkeberatan bila sekarang juga kuundang datang ke Ngo Liu
Cung.”
“Undangan Cungcu merupakan kehormatan yang tidak bisa kutolak, hanya saja.”
“Apa yang Konngcu kehendaki, tinggal katakana, orang-orangku bisa membantu!”
“Di rumah makan Tiang Thay ada seorang pengikutku yang bernama In Hok, Aku harus
kesana dulu, agar ia tidak kuatir…..”
“Tidak usah Kongcu pergi sendiri, orangku bisa menyampaikan pesan, juga sekalian
mengundang In Hok datang!” Kata Tan Toa Tiau yang segera menyuruh pengawalnya
menjalankan perintah.
Waktu ia mengikuti Tan Toa Tiau, si pemuda She Yo tadi masih ada di depan pintu, saat ini
kebetulan Tiong Giok menoleh kearahnya. Entah bagaimana pemuda itupun sedang
memandang kearahnya,kepalanya goyang sedikit seolah-olah memberi tanda agar ia jangan
mau ikut. Tiong Giok mengangguk dan tersenyum menyatakan terima kasih atas
peringatannya si pemuda itu.
Di tengah perjalanan Tan Toa Tiau banyak bertanya.
“Kongcu berusia berapa?”
“Dua puluh tahun!”
“Kongcu sebagai pelajar, juga seperti seoarang yang mengerti ilmu silat, apakah pandanganku
benar?”
“Seorang pelajar seperti aku ini, memang mempelajari juga ilmu silat, tapi hanya kembangkembangnya
saja, sekedar gerak badan, lain dengan ahli silat dari Rimba Hijau!”
Selanjutnya Tan Toa Tiau menanyakan soal keluarganya denga npanjang lebar, semua ini di
jawab Tiong Giok dengan sejujurnya, Ngo Liu Cungcu menjadi puas, sehingga kata-katanya
semakin ramah-tamah. Tak lama tibalah mereka disebuah benteng yang terbuat dari batu-batu.
14
Benteng ini sekelilingnya di kitari selokan dan tertutup pepohonan yang rimbun. Samar-samar
terlihat penjaga-penjaga benteng yang gagah dari celah-celah pepohonan, nampaknya
penjagaan keras sekali.
Untuk masuk ke benteng itu harus melalui jembatan gantung, Tan Toa Tiau hanya memberi
tanda, penjaga jembatan segera menurunkan. Mereka dengan mudah masuk kedalam benteng.
Di dalam terlihat sebuah bangunan berloteng yang mentereng di pekarangan terlihat lima
batang pohon Liu yang besar-besar.
Tak uash di tebak lagi nama perkampungan Ngo Liu dari situ datangnya.
Dengan ramah Tan Toa Tiau mengajak tamunya masuk kedalam gedung, dan terus naik
keloteng. Baru saja sampai di pintu seorang pengawal menyambut dengan membungkukkan
badan. Mereka bicara sejenak, nampak Tan Toa Tiau bersseri seri dengan kaget. “Ah
kebetulan sekali, dimana dia?”
“Di ruangan tunggu!”
“Suruh dia tunggu, aku segera menemuinya,” kata Tan Toa Tiau, dan lalu berpaling kepada
Tiong Giok. “Kongcu mari ikut denganku.” Diajaknya Tiong Giok masuk kekamar buku.
“Harap Kongcu tunggu sebentar, aku ingin menemui seseorang!”
“Oh, silahkan!” kata Tiong Giok. Seberlalunya si tuan rumah, membuatnya sendirian. Ia
memperhatikan bahwa kamar buku ini dekorasinya begitu indah penuh seni, lemari lemari
penuh dengan buku buku tua, di dinding tergantung lukisan lukisan antik.
Dari segi ini dapat dinilai bahwa tuan rumah seorang, yang banyak pengetahuannya dan
terpelajar tinggi. Jika dibanding dengan keadaan diluar, yakn penting dan pengawai yang
gagah, nyata benar perbedaannya, dan tidak serasi antara luar dan dalam.
Sejenak berlalu Tuan rumah belum kembali membuatnya kesal juga, ditambah kesunyian
kamar tidak alang kepalang. Waktu ia ingin menghilangkan kesal sambil melihat buku, ia
menjadi kaget, karena samar samar mendengar didekat rak buku ada yang sedang berbicara.
Sayang suara itu begitu lemah dan tidak terdengar tegas.
Sikirannya timbul untuk mendengari percakapan disebelah. Baru saja lengannya menyentuh
rak, tiba tiba rak bergerak dan terbuka dengan sendirinya. Dengan gaya reflek yang cepat, ia
menarik sejilid buku sambil mundur dua langkah dan pura pura membaca. Dari arah rak
terlihat Tan Toa Tiau dengan seoarang sastrawan masuk kedalam ruangan.
Sastrawan itu bermata sipit dan berhidung bengkung, yang kaku lain Pang Hui adanya. Ia
menjadi heran, sedang Pang Hui dengan wajah liciknya tersenyum dan memberi hormat: “Tak
dikira kita bisa bertemu lagi, sudah lamakah saudara In ?”
“Oh jiwie nyatanya sudah kenal satu sama lain, tak perlu repot repot aku memperkenalkan
lagi !” kata Tan toa Tiau.
“Ya, aku bersama saudara In secara kebetulan makan bersama sama direstoran Tiang Thay.”
15
“Kini mari ikut denganku, karena minuman dan sedikit hidangan sudah disediakan !”
Diruangan makan benar saja sudah disediakan hidangan mewah, tuan rumah mempersilahkan
tamunya duduk. Pang Hui berlaku tak sungkan, segala ikan dan kidik main caplok, minuman
main tenggak. Sedangkan In Tiong Giok karena pikirannya masih memikir mikir maksud dari
tuan rumah tidak seberapa napsu makan.
“Aku merasa beruntung dalam satu hari bisa mendapat dua orang ahli bahasa Sangsekerta,
untuk secawan arak !”
In Ting Giok merasa heran, karena ia mendengar bahwa Pang Hui sewaktu dirumah makan
mengatakan tidak mengerti bahasa Sangsekerta, kenapa sekarang mengaku bisa. Sungguhpun
ia mengangkat cawan dan mengarangkan keheranannya, tetap ada sedangkan Pang Hui
dengan sikap wajar, tersenyum senyum. “Aku sejak kecil sudah kenyang membaca berbagai
buku ilmu pengetahuan, ditambah sifatku yang senang merantau, waktu kecil sudah pernah ke
India, maka itu pelajaran bahasa sangsekerta kupelajari disana, bahkan bukan itu saja bahasa
asing lainnyapun banyak yang kumengerti, Hari ini kebetulan bertemu Cungcu sehingga
hatiku girang, karena pelajaran yang kumiliki dapat kukembangkan dengan penghargaan
besar.”
In Tiong Giok tahu orang she Pang itu sedang menyombongkan diri, maka dengan cepat ia
berkata : “Kalau begitu pengetahuan Pang Heng luar biasa sekali, sedangkasn aku yang sejak
kecil dirumah melulu, pantas jika minta petunjuk-petunjuk dari Pang Heng,”
“Untuk memberikan pelajaran aku tidak berani, untuk menceritakan pengalamanku diluar
negeri boleh sedia.”
“Yang ingin kuketahui, sejak kapankah India dan Tionghoa mengadakan hubungan ?” tanya
Tiong Giok.
“Oh, tidak heran kalau Lo tee yang masih berusia muda tidak mengetahui hal ini, baiklah
kuterangkan. Ketahuilah pada Ahala Tang ada seorang Biku yang bernama Tong Sam Cong
pergi kebarat atau India untuk mengambil kitab suci, nah sejak itulah perhubungan antara
India dan Tiong Goan dimulai, jelas ?”
Mendengar keterangan itu Tiong Giok merasa ingin tertawa, hampir hampir arak yang berada
di dalam mulutnya tersembur keluar, bahwa gelinya.
“Bagaimana apakah yang juterangkan jurang jelas ?” Tanya Pang Hui.
“Soal Tong Sam Cong mengambil buku suci yang terdapat dicerita See Yu memang benar.
Tapi soal hubungan antara Tionggoan dan India terjadi sejak itu, kurasa tidak tepat !”
“Habis sejak kapan ?” Tanya Pang Hui.
“Menurut sejarah orang pertama yang pergi ke India terjadi di Ahala Kim, yakni waktu Hoat
Sian mempelajari agama Buddha, hal ini terjadi dua ratus tahun sebelum Tong Sam Cong
datang ke India, mungkinkah Pang Heng yang sudah kenyang baca buku, tidak mengetahui
soal ini ?”
16
“Saudara In, untukku segala pengetahuan yang tidak seberapa penting itu tidak kuingat, lebih
lebih kini yang benar benar dibutuhkan Tan Cungcu adalah ahli bahasa Sangsekerta bukan ?”
Untuk apa membicarakan soal yang tidak berguna ! Sehabis berkata ia bergelak-gelak dan
minum arak : “Saudara In mari minum, kuakui untuk mengingat tahun tahun sejarah engkau
lebih mahir dariku, aku menyerah kalah.”
Sebenarnya Tiong Giok ingin membuat susah Pang Hui dalam bahasa Sangsekerta tapi ia
tidak tega berlaku demikian, sedangkan Ngo Liu Cunggu pun hanya tertawa saja tanpa
memberikan komentar.
“Ah nyata-nyata Pang Hui tidak memiliki kepandaian tinggi, tapi berani betul melamar
pekerjaan ini apa maksudnya ? Mungkinkah dirinya itu sebagai orang Pok Thian Pang yang
pura-pura sebagai ahli bahasa, tapi yang sebenarnya untuk mengawasi diriku ? Tengah ia
berpikir dari luar terlihat seorang pengawal memberri laporaan. Pengikut In Kongcu sudah
datang !”
“Suruh dia istirahat dulu, tak usah menemuiku !” kata Tiong Giok yang sedang berpikir keras,
menghadapi situasi keadaan dirinya kini.
Mereka makan minum dari tengah hari sampai lampu-lampu dinyalakan belum juga bubar.
Saat ini dari arah luar terdengar suara tambur tiga kali. Menyusul terlihat seorang pengawal
masuk kedalam. Ia memberi hormat pada Tan Toa Tiau sambil berkata. “Nona Pek Wan Jie
dari markas pusat telah datang.”
Tan Toa Tiau agak terkejut. “Ih ada apa ia datang.”
“Kenapa?” terdengar suara garing dari luar, “tidak senangkah atas kedatanganku sebagai tamu
tak diundang ?”
Tan Toa Tiau tergelak-gelak dan buru-buru menyambut: “Diundang tidak datang tidak
diundang datang, sebenarnya angin apa yang meniup nona datang kesini?”
Gadis itu bukan sendirian, malainkan bertiga. Yang paling depan kira-kira usianya tujuh belas
tahun berbaju merah, raut wajahnya begitu cantik, ditambah ada lesung pipitnya waktu
tertawa, benar-benar membuat silau pemandangan. Dibelakangnya mengikuti dua gadis
berbaju kuning yang ringkas dan bersenjata pedang.
“Paman Tan engkau tidak akan mengira, kedatanganku kesini yakni untuk melihat orang yang
pandai bahasa Sangsekerta !”
“Bagaimana engkau tahu, padahal baru sore tadi kukirim kabar melalui merpati pos?”
“Ya burung itu terbangnya cepat dan sudah tiba dimarkas pusat,” kata Pek Yan sambil
tersenyum.
“Tan Cungcu jangan percaya omongannya, pikir saja dari sini kepusat berapa jauhnya?
Andaikata kami terbangpun, dalam sehari pasti belum sampai kesini,” kata salah seoarng
gadis baju kuning.
17
“Ha ha ha,” Pek Wan Jie tertawa, “kami sebenarnya secara kebetulan saja sedang pesiar ke
Telaga Tong Teng, dan dari orang-orang di sana mendengar bahwa Cungcu berhasil
menemukan In Kongcu yang pandai berbahasa Sangsekerta ? Maka itu buru-buru dating
kesini !” Tiong Giok dan Pang Hui menjadi silau pandangan matanya, tanpa terasa mereka
berdiri dengan berbareng.
Gadis berbaju merah mencegah sambil menggoyangkan tangan: Jiwie tak usah berlaku
demikian, aku Pek Wan Jie dan dua pengikutku Siaw Eng dan Siaw Hong sudah biasa berlaku
ugal-ugalan, maka jangan ditertawakan.”
“Pek Kounio adalah murid satu-satunya dari Pangcu, disayang serta dimanja,” kata Tan Toa
Tiau.
“Ah, paman Tan bagaimana sih, baru ketemu sudah membongkar rahasia orang?” kata Wan
Jie sambil trsenyum dan matanya menyapu tajam sambil bertanya: “Yang mama In Kongcu ?”
In Tiong Giok merangkapkan tangan menghaturkan hormat: “Yang rendah adalah In Tiong
Giok.”
Pek Wan Jie membuka mata lebar-lebar, mengawasi dari atas sampai bawah: “Ah benar
ganteng !”
In Tiong Giok tidak bisa bergurau, wajahnya menjadi merah dan tunduk tak berani menatap
sinona.
Tan Toa Tiau segera memperkenalkan Pang Hui: “Pang Kongcu inipun seorang ahli bahasa
Sangsekerta, bahkan iapun sudah pernah pergi kenegeri barat, misalnya India, Persia dan lainlain.”
“Ah kebenaran sekali, aku ingin bertanya sepatah kata bahasa Persia yang tidak kumengerti,
bolehkah Pang Kongcu mengartikan?”
Pang Hui tampaknya kaget, terpaksa tersenyum: “Boleh saja, perkataan apa yang Kounio
maksud?”
“Pang Kongcu, Asana apa artinya?”
In Tiong Giok maupun Tan Toa Tiau berbareng mengawasi Pang Hui menantikan jawaban.
Tanpa terasa suasana didalam kamar men jadi sunyi sekali. “Asana kata Pang Hui seperti
mengingat-ingat arti dari kata itu. Bagaimanapun ia memeras otak, belum juga ia dapat
artikan, wajahnya menjadi pucat.
“Pang Kongcu perbah pergi ke Persia, masakan “Asana” saja tidak tahu artinya?”
Pang Hui menjadi garuk-garuk kepala tak gatal. Keringatnyapun mengucur semakin deras:
“Asana…Asana…ini…rasanya belum pernah kudengar !”
“Hi HI HI kuterangkan “Asana” adalah nama kucing belangku dari Persia, tak heran engkau
belum pernah mendengar”
18
Tan Toa Tiau dan In Tiong Giok terpingkal-pingkal, sedangkan Pang Hui menarik napas lega,
seolah-olah baru keluar dari lubang jarum.
Ngo Liu Cungcu berlaku telaten pada Wan Jie, ccepat-cepat menyuruh bawahannya
menyiapkan lagi meja baru untuk menjamu tamunya. Tapi sinona dengan tersenyum
mencegahnya: “Tak usah repot-repot sebaiknya suruhlah mereka lekas-lekas menyiapkan
kereta, malam ini juga kami akan berangkat mengajak dua Kongcu ini kepusat. Tak usah
memberabekan orang-orang dipusat dating kemari.”
“Kini sudah malam bagaimanapun Kounio sudi bermalam disini, besok baru berangkat.”
“Kasur disini tak bisa kutiduri,” kata Wan Jie, pokoknya asal paman merasa lega, mumpung
belum terlalu malam kami lantas berangkat.”
Mendengar percakapan ini, In Tiong Giok merasa heran, lalu menanya: “Kedatangan kami
kesini yakni melamar kerjaan pada Ngo Liu Cungcu, kenapa harus pergi kepusat segala ?”
Wan Jie melirik kearah Ngo Liu Cungcu: “Apakah paman belum menjelaskan, pokok
persoalan pada mereka ?”
“Belum sempat kujelaskan, Kounio sudah dating, nah terangkanlah pada mereka sekarang!”
“Oh, In Kongcu belum tahu,” kata Wan Jie. “Sebenarnya tidak terhitung rahasia lagi, kalau
Ngo Liu Cungcu menjabat ketua Pok Tian Pang disini, ketua kami sedang mencari seseorang
yang pandai bahasa Sangsekerta. Maka itu semua ketua cabang menjalankan perintah
melakukan pengumuman keantero semua pelosok mencari seorang yang ahli bahasa itu.
Tugas utama untuk alih bahasa sangsekerta ini, tidak lain sebagai penterjemah, karena dipusat
ada sebuah buku yang ditulis dalam bahasa Ssangsekerta. Nah, tugas Kongcu kepusat tak lain
untuk menterjemahkan buku itu kedalam bahasa Tionghoa!”
“Buku apa yang akan di terjemahkan itu?”
“Mana kutahu, pokoknya setelah kongcu kesana akan mengetahui sejelas-jelasnya.”
“Jauhkah letaknya pusat Pok Tian Pang,” tanya Tiong Giok.
“Dengan kereta dapat di tempuh dalam empat lima hari!”
“Aku sedia melakukan pekerjaan ini, jika buku itu berada disini, kalau terlau jauh..”
“Perjalanan empat lima hari mana terhitung jauh?” sela Wan Jie, “yang aku tahu laki-laki
harus bersifat jantan, Kongcu sudah dating melamar pekerjaan dan di terima, bagaimanapun
harus dilakoni juga!”
Perkataan sinona ini membuat In Tiong Giok tak enak hati: “Ya kalau begitu kuturuti, tapi
patut kujelaskan, jika buku itu termasuk porno tak akan kukerjakan walau dibayar berapa.”
“Syarat Kongcu kami hargakan, aku berani menjamin buku itu bukan porno, Kongcu akan
percaya setelah melihatnya,” kata Wan Jie penuh keyakinan.
19
Sementara mereke berkata, kaum pelayan telah siap dengan meja baru dan segala
hidanganpun baru pula. Nampaknya Ngo Liu Cungcu berdaya sekuatnya untuk menahan
tamunya bermalam juga. Melihat kesungguhan hati tuan rumah Wan Jie mengalah dan
menginap juga semalam.
*****
Hari kedua, Tan Toa Tiau telah menyiapkan sebuah kereta, dan memerintahkan empat
pengawal mengiringi: Tiong Giok dan Pang Hui naik kereta, sedangkan Wan Jie dan dua
pengikutnya naik kuda. Rombongan ini berikut kusir kereta berjumlah sebelas orang,
perlahan-lahan meninggalkan Ngo Liu Cung.
Di tengah perjalanan Pang Hui tidak banyak bicara seperti kemarin, ia lebih banyak tidur!
Sedangkan Tiong Giok selalu menatap keluar, menikmati panorama, seumur hidupnya
pertama kali ini ia melakukan perjalanan, mendatangkan gembira dan kesenangan baginya.
Senja hari rombongan ini tiba di sebuah kota kecil, Wan Jie menyewa losmen bagian
belakang, malam harinya keempat pengawal itu melakukan penjagaan dengan bergilir. Tiong
Giok merasa heran menyaksikan ini, tak ubahnya seperti mau menghadapi musuh saja. Waktu
makan malam ia mengemukakan keheranannya itu pada Pek Wan Jie. Sinona tertawa kecil
dan berkata: “Bukan apa-apa karena kita diikuti terus oleh cecunguk-cecunguk yang tak kenal
mati!”
“Toh kita tidak bermusuhan dengan mereka, kenapa diarah terus?”
“Mungkin mereka senang berbuat demikian siapa yang larang,” kata Pek Wan Jie, “tapi
kongcu sebagai seorang sastrawan, kalau terjadi suatu apa-apa sebaiknya tenang-tenang dan
tak perlu kuatir.”
Malam berlalu dengan tenteram, Tiong Giok terbangun dari tidurnya setelah matahari terbit.
Cepat-cepat ia turun dari pembaringan merapihkan baju, matanya yang tajam melihat secarik
kertas didekat bantal. Cepat dilihatnya kertas yang berbunyin:
Demi hidupnya kawan-kawan di rimba hijau, mau tidak
mau kami memperingatimu sekeras-kerasnya. Batalakan
segera niatmu sebagai penterjemah, dan cepatlah
menyingkir, jika tidak, menyesalpunt tak brguna.”
Tiong Giok merasa kaget, dan tahu ada orang memasuki kamarnya tadi malam tanpa
diketahuinya, jika pendatang itu bermaksud buruk, siang-siang jiwanya bisa melayang. Kaget
tetap kaget, sebisanya di tenangkan dan bagai tidak terjadi apa-apa carikan kertas itu
dikantonginya. Lalu keluar kamar dengan wajar. Dilihatnya yang lain sedang makan pagi,
Wan Jie tersenyum atas kedatangannya yang lambat: “In Kongcu pantasnya tidurnya
nyenyak.”
“Ya nyenyak !”
“Mari kita sarapan dulu, kemudian kita lanjutkan perjalanan !”
20
In Tiong Giok begitu duduk, merasakan bahwa Pang Hui sedang mengawasi kearahnya
dengan sinar mata tajam, waktu ia menoleh cepat menundukkan kepala, gerak geriknya sangat
mencurihakan sekali.
Dalam sekilas saja, hati Tiong Giok jadi bergerak dan berpikir: “Iapun melamar sebagai
penterjemah, apakah iapun menerima surat ancaman juga ? Gerak geriknya selalu
mencurigakan, mungkin suatu ancaman ini perbuatan dia, aku harus menyelidiki darinya.”
Seperti kemarin, Tiong Giok dan Pang Hui bersama-sama naik kereta. Belum pula kereta
berjalan jauh, Tiong Giok yang sedang berpikiran kacau menoleh kearah Pang Hui dan
bertanya : “Pang Heng bagaimana tadi malam, tidur nyenyakkah ?”
“Aku mempunyai suatu kebiasaan tidak bisa tidur nyenyak ditempat baru.”
“Oh, jadi tidak tidur ? Adakah mendengar sesuatu gerakan yang mencurigakan ?”
“Gerakan apa ?” jawab Pang Hui seperti tersinggung ulu hatinya, “sedikitpun tidask
mendengar apa-apa.”
“Aku menerima sepucuk surat ancaman !”
“Surat ancaman ? Bolehkah kulihat ?”
“Seharusnya kaupun menerima sepucuk surat sepertiku,” kata In Tiong Giok menyindir,
‘Mungkjin melihatmu belum tidur, tak berani orang itu memberikannya, kuatir menimbulkan
kegaduhan !”
Sambil memberikan surat itu, Tiong Giok memperhatikan mimik dan ekspresi wajah orang.
Begitu menerima dan membaca surat itu, terlihat lengannya Pang Hui gemetar dan wajahnya
pucat. “Waduh tak terkira pekerjaan ini bisa mendatangkan mala petaka ! Tahu begitu biar
dibayar lebih sepuluh tikel takkan kulakukan !”
“Bagaimana baiknya kalau begini ?”
“Emas memang menggiurkan, tapi jiwa terlebih penting,” kata Pang Hui, “kalau begini
sebaiknya lekas kita membatalkan pekerjaan ini !”
“Tapi pepatah mengatakan semut mati digula, manusia mati diharta,” kata In Tiong Giok,
“betapapun sangat sayang rejeki yang berada di tangan dibuang percuma.”
“Oh, maksudmu biar maut menghadang akan pergi juga ke Pok Tian Pang ?”
“Apa yang harus ditakuti ? Sepuluh ribu tail emas cari dimana lagi ?”
Percakapan mereka terganggu derapan sepatu kuda yang berisik, serentak mata mereka
memandang keluar, tak usah menunggu lama dari balik pepohon sebelah kiri, terlihat tiga
penuggang kuda berbaju hitam yang serupa dengan pengawal Ngo Liu Cung. “Celaka !
Habislah sudah !” seru Pang Hui.
21
Wan Jie dan dua pengikutnya maupun empat pengawal melihat ketiga penunggang kuda itu
mendekat, menghentikan segera kereta. Empat pengawal menghunus senjata hampir
berbareng, menjaga segala kemungkinan.
“Ihh, bukankah mereka pengawal Ngo Liu Cung ?” kata Siau Eng.
“Tak perduli siapa, kita harus waspada !” kata Pek Wan Jie.
JILID 2________
Tiga penunggang kuda melarikan tunggangannya demikian cepat, dan menghentikan
mendadak sekali. Mau tak mau kuda itu mengangkat kaki depannya, debu beterbangan.
Empat pengawal memaki-maki, tapi tak dihiraukan tiga pendatang itu, serentak merentangkan
tangan, senjata bertebaran menembus debu, pengawal tidak siap sedia akan seraangan
mendadak ini. Antaranya dua segera terjungkal dari kuda, melihat serangannya berhasil tiga
pendatang menghunus senjata menerjang kearah kereta. Kejadian ini berlangsung sekejap
mata. Siaw Eng dan Siaw Hong serentak menghadang dua penyerang, sedangkan yang
seorang menggunakan kesempatan lompat dari kudanya menerjang kepintu kereta. Matanya
memancar tajam, saat ini Tiong Giok mengenali penyerang ini, bukan lain pemuda she Yo
yang dijumpainya dipenginapan Hong Sing. Pemuda she Yo itu, segera membuka pintu kereta
matanya memancarkan napsu membunuh. Tiong Giok tahu kedatangannya tidak bermaksud
baik, tapi sebelum ia bisa berbuat apa-apa, merasakan pundaknya dicengkeram orang dan
sedikitpun idak bisa bergerak lagi. Adapun manusia yang mematikan jalan darahnya itu Pang
Hui adanya ! Dikata cepat juga tepat, tiba-tiba saja tubuhnya pemuda she Yo itu gemetar dan
pedang ditangannya menjadi jatuh. Lalu terjungkel dari kereta tanpa berkutik ;agi.
“Pang Heng lepaskan lenganmu, apa-apaan ini?”
“Aduh, maaf…maaf saking takut kupegangi pundakmu… untung pek Kounio turun tangan
tepat pada waktunya!”
“Hm, bilang saja terlalu cepat sedikit!” kata In tiong Giok. Dilihatnya Pek Wan Jie berada
tujuh delapan meter dari keretanya, lengannya menghunus pedang wajahnya terlihat guram.
Disamping kereta menggeletak pemuda She Yo, tubuhnya tidak berkutik lagi, mati terbunuh
senjata rahasia.
Sedangkan dua penyerang lainnya, sudah dibikin satu mati satu menderita luka, yang luka itu
adalah seorang tua bearjanggut putih. Karena tak kuat melawan lagi ia leloloskan diri sekuatkuatnya.
Pek Wan Jie mencegah melakukan pengejaran, ia memeriksa dua pengawal yang
terkena senjata rahasia, untung tidak terkena bagian yang mematikan hanya menderita luka
parah. Lalu ia menghampiri kekereta : “ Kuharap Jiewie Kongcu tidak usah berkecil hati atas
peristiwa ini, kejadian didunia Kang Auw sudah lumrahnya bunuh membunuh. Ada aku
sebagai pengawal, Jiewie pasti akan tiba dengan selamat.”
“Ya mereka seharusnya melakukan pengejaran ke Pok Tian Pang jika benar-benar gagah
berani, kenapa mau membunuhku yang tak berdaya apa-apa?” kata In Tiong Giok.
“Karena mereka ingin mencegah Jiwie bekerja pada Pok Tian Pang,” kata Pek Wan Jie, “tapi
kelakuan yang tak tahu diri ini,hanya mendatangkan kematian bagi mereka.”
22
Pang Hui diam saja, matanya seperti berkaca-kaca, entah terharu mendengar kata-kata Pek
Wan Jie. Sedangkan Tiong Giok tidak alang kepalang geregetannya pada orang She Pang itu,
tapi didiamkan saja dalam hati tanpa dikentarakan. Tak selang lama mereka melanjutkan
perjalanan.
Hari ketiga mereka tiba kota pedesaan, Pek Wan Jie menyuruh kereta kembali, empat
pengawal tidak turut pulang. Tampaknya mereka gembira dan tidak kesal sekali, seolah-olah
sudah tiba ditempat sendiri.
In Tiong Giok menanyakan kenapa kereta disuruh pulang. “Maju lagi kemuka sudah daerah
pegunungan, kereta tidak bisa digunakan lagi. Kongcu kepaksa harus berkuda,” jawab Pek
Wan Jie.
“Bukankah Kounio mengatakan harus menempuh empat sampai lima hari perjalanan?”
“Ya kalau berkereta,” jawab Pek Wan Jie, “tapi perjalanan mengitar makan waktu dan
berbahaya, kupikir untuk secepatnya tiba di tujuan memotong jalan saja. Esok Kongcu harus
berkuda dan pasti meletihkan, nah sebaiknya istirahat siang-siang.”
Tengah malam Tiong Giok bangun dari tidurnya, ia merasa kerongkongannya terasa haus
sekali. Ia tahu akibat terlalu banyak minum arak waktu siangnya. Cepat-cepat ia bangun dari
pembaringan dan mengambil teh, begitu menuangkan the dari teko, timbul curiga, dan hatinya
berpikir: “kenapa the ditengah malam masih hangat sekali!”
Diambilnya sebatang jarum perak dan dicelupkan ke air, ia jadi kaget, sebab jarum perak
menjadi hitam, tanda air beracun. Ia berpikir sejenak, lalu naik lagi kepembaringan tanpa
mengeluarkan suara, pura-pura nyenyak.
Tiba-tiba dari balik jendela erlihat sesosok bayangan hitam, sejali lihat dapat dikenali, tak lain
dari Pang Hui adanya.
“Saudara In ! Saudara In !” Pang Hui memanggil-manggil.
In Tiong Giok pura-pura tidur terus tanpa menjawab.
Setelah memanggil lagi beberapa kali, tanpa mendapat jawaban, Pang Hui membuka jendela
tubuhnya mencelat masuk dengan ringan sekali tanpa menimbulkan sedikit suarapun. Melihat
ilmu meringankan tubuh yang demikian lihay Tiong Giok merasa kaget.
“Hmm, kurang ajar, kau pura-pura berlaku bodoh, tak tahunya berilmu silat tinggi ! Tapi
jangan dikira aku sebagai oang lemah, segala akal kejimu untuk mencelakakan diriku
sebenarnya untuk tujuan apa ?
Begitu masuk kekamar, Pang Hui berlaku hati-hati dan cermat tubuhnya dirapatkan ke
dinding sekian lamanya. Dan memanggil lagi pada Tiong Giok beberapa kali sambil
mendekat pembaringan. Tiong Giok diam-diam sudah siap dengan ilmu Hiat ce lengnya.
Sungguhpun tiada niatnya membunuh Pang Hui, tapi kesiap siagaan untuk menjaga kalau –
kalau merupakan yang wajar untuk membela diri.
23
Pang Hui tidak langsung kepembaringan, ia membuka tutup teko dulu. Begitu dilihatnya air
masih penuh, wajahnya membayang niat membunuh dengan menyala-nyala. Tubuhnya
berputar, belati segera terhunus…” Tok…Tok…Tok…” terdengar pintu diketuk dari arah luar
disusul dengan suara In Hok. “Kongcu…kongcu sudah tidurkah ?”
Pang Hui dengan cepat menyembunyikan belati dibalik lengannya dan mencelat kepojokan
yang lebih gelap.
“Oh siapa ?”
“Aku In Hok, Kongcu cepat buka pintu!”
“Malam-malam begini mau perlu apa ?”
“Kulihat Kongcu banyak minum arak waktu siang, kupikir kalau mendusin tengah malam
akan haus, maka kubawakan air teh hangat !”
In Tiong Giok merasa lucu, kenapa orang tua ini datang secara tepat pada waktunya, bila
terlambat sedikit, dikamar ini mungkin terjadi peristiwa pembunuhan. Begitu pintu dibuka
Tiong giok menunjuk ke atas meja,”aku masih ada air the hangat yang belum diminum”
“Malam ini terakhir diperjalanan, pengawal-pengawal mengatakan penjagaan diperketat.
Kongcu tidur harus menyalakan lampu, dan jangan sembarangan makan atau minum yang
disediakan pelayan-pelayan hotel ini, kuatir diracun…….”
“Apakah engkau melihat Pek Kounio ?”
“Barusan ada di belakang, mungkin tak lama lagi ia memeriksa sampai kesini,” sambil bekata
ia menyalakan pelita. Begitu keadaan terang, Tiong Giok memandang sekeliling ruangan,
bayangan Pang Hui entah sejak kapan tiada di situ lagi!
Keesokannya Tiong giok bertemu Pang Hui di meja makan, begitu bertemu saling
mengucapkan selamat pagi dan saling tersenyum. Pang Hui seperti biasa saja, seolah-olah tadi
malam tidak terjadi apa-apa.
Tak selang lama dari luar terlihat seorang brpakaian kuning diiriingi enam pengawal
berpakaian hitam yang serupa dengan pengawal dari Ngo Liu Cung. Lelaki itu lebih kurang
berusia empat puluh tahun, tubuhnya jangkung, kurus, matanya yang besar memancar tajam,
pinggangnya menyoren pedang ! Bajunya berkilatan tersulam benang emas, tampaknya agak
angker sekali.
Pek Wan Jie dan lelaki berdiri menyambut kedatangan orang itu sambil memberi hormat: “Lie
Congleng (komandan pengawal) kebetulan datang, kemarin diperjalanan terjadi perkelahian,
membuatku cemas dan kuatir, bahkan dua peengawal menderita luka-luka”.
“Pek Kounio perjalanan ini tentu membuatmu sengsara saja!”
“Ah bekrja untuk Lo Cucang (kakek moyang) mana bisa dihitung sengsara !”
24
“Kenapa pengawal-pengawal ini tidak berguna sekali !” kata Lie Congleng dengan wajah
ditekuk.
“Tidak bisa menyalahkan mereka, karena penyerangpun menyamar mengenakan pakaian
hitam yang serupa dengan pengawal kita, kata Pek Wan Jie sambil tersenyum. Lalu ia
memperkenalkan Pang dan In. “Inilah kedua ahli bahasa Sangsekerta yang dibutuhkan, “juga
memperkenalkan Lie Congleng yang bernama Lie Kee Cie kepada Pang dan In.
Dengan sepasang matanya yang tajam Lie Kee Cie menatap In Tiong Giok dan Pang Hui serta
In Hok. Sungguhpun ia tersenyum, pancaran sinar matanya yang tajam membuat orang
menjadi gentar. Pang Hui menundukkan kepala
Dengan cepat Lie Kee Cie menegurnya: “Pang Siangkong, seolah-olah kita pernah bertemu
muka entah dimana ?”
“Benarkah ? Dimana, sedikitpun aku tak bisa ingat lagi.” Jawab Pang Hui terbata-bata.
“Aku mempunyai suatu kebiasaan, yakni paling bisa mengingat seorang yang mengesankan
sungguhpun baru sekali melihatnya. Lebih kurang setengah tahun yang lalu, aku pergi ke
propinsi An, disitulah kuberjumpa dengan Pang siangkong !”
“Ah tidak ! Mungkin Lie Heng salah lihat…”
“Tidak bisa salah” selak Lie Kee Cie dengan tegas. “Kuingat waktu itu Pang siangkong
mengenakan pakaian sastrawan seperti sekarang, coba ingat-ingat.”
“Mungkinkah…tapi…ah tidak bisa kuingat lagi…”
“Jelasnya saat itu Pang Siangkong sedang berada disebuah rumah makan, sedang membuat
sajak dengan asyiknya, tiba-tiba datang seorang pengemis bertekuk lutut dan menyodorkan
tangan meminta-minta, agaknya kedatangan pengemis itu mengganggu keasyikan Siangkong
dan menghilangkan ilham yang sudah ada. Dengan kesal Siangkong mengusir mereka sambil
melemparkan satu tail perak tamu-tamu lain menganggap Siangkong terlalu bodoh dan
menghambur-hamburkan uang, untukku keroyalan Siangkong memberikan kesan yang tidak
bisa dilupakan, sehingga mau tidak mau merasa kagum ! Saat itu Siangkong tidak mungkin
memperhatikan dieiku, karena disamping belum berkenalan juga konsentrasi Siangkong
berada pada sajak-sajak !”
Pang Hui agak terkejut, lalu ia tertawa sambil mengangggukkan kepala : “Oh,
benar…benar…jika tidak dijelaskan kejadian itu hampir-hampir kulupakan !”
Lie Kee Cie pun tertawa, sehingga suasana jadi meriah, akan tetapi alangkah cepatnya
keadaan berubah, tiba-tiba saja Lie Kee Cie mengerlingkan mata pada pengawalnya seraya
berseru : “Ciduk budak She Pang ini !”
Kejadian ini mengherankan sekalian yang hadir, mereka berbareng berdiri sambil mengawasi
kearah Lie Kee Cie, dan sedangkan pengawal yang di perintah telah menghunus senjata
mengurung Pang Hui.
25
“Orang She Pang nyalimu sungguh besar,” kata Lie Kee Cie, menggunakan kesempatan
sebagai ahli bahasa sangsekerta, engkau berani menyelusup ke pusat Pok Tian Pang….?
Hmm, saying nasibmu sial betul, boleh-boleh bertemu denganku!”
“Apa alasanmu berkata begini?” Tanya Pang Hui dengan wajah berubah.
“Hm, baik kuterangkan, apa yang kukatakan tadi hanya karangan belaka, karena hampir
setahun lamanya tak pernah aku meninggalkan pusat Pok Tian Pang? Tak kira engkau yang
menganggap diri pintar, nyata pintar kebelinger!”
“Hm, beruntunglah Pok Tian Pang mempunyai orang semacammu,” kata Pang Hui,” tapi
engkau jangan bergirang dulu, banyak orang bulim yang tidak menyerah pada Pok Tian Pang,
sedangkan buku yang ingin kalian terjemahkan jangan harap terlaksana untuk selamalamanya…”
Sehabis berkata tubuhnya mencelat meninggalkan kursi menyerang pengawal
yang mengurungnya dengan belati di tangan. Ia tidak melarikan diri, melainkan menggunakan
kesempatan didesak, langkahnya mundur ke arah In Tiong Giok, lau mengayunkan belati
pada pemuda kita dengan mendadak.
Sekali-kali Tiong Giok tidak memikir Pang Hui akan mencelatkan dirinya, orang-orang Pok
Tian Pang tidak bisa melakukan pertolongan, karena kejadian terlalu tiba-tiba. Sebenarnya
Tiong Giok bisa mengengoskan diri dengan ilmu Kiu Coan Bie Cong To secara mudah. Tapi
dengan demikian segala rahasia dirinya akan terbuka. Dalam keadaaan bingung, ia merasakan
kakinya seperti didorong orang dan tubuhnya terjerunuk kemuka lalu jatuh tengkurap.
Serangan Pang Hui mengenai angin. Siau Eng dan Siau Hong menggunakan kesempatan
menyelamatkan In Tiong Giok, sedangkan Pang Hui segera terkurung lagi. Menghadapi
keadaan buruk baginya Pang Hui berlaku nekad, belatinya dittikamkan kerongkongannya
sendiri, tapi niatnya itu batal, sebab Lie Kee Cie mengebaskan lengan, tenaga pukulannya
membuat belati menceng, Pang hui hanya luka ringan. Berbareng dengan itu lengannya
merambes cepat, belati ditangan Pang Hui sudah pindah kelengannya, ia tidak brhenti disitu,
sekalipun lengan satunya lagi melakukan totokan, membuat Pang Hui mati kutu dan tak
berkutik.
“Bawa mereka kepusat dan jangan diapa-apakan dulu!” kata Lie Kee Cie pada anak buahnya.
“In Tiong Giok jika engkau menterjemahkan buku mereka, sampai mati dan menjadi satupun
jiwamu tidak akan kuampuni !”
“Oh kiranya berulang kali ia akan mencelakai diriku, semata-mata mencegah aku menjadi
penterjemah buku Pok Tian Pang!” piker In Tiong Giok.
“Oh, kelakuannya yang licin, membuat aku terpedaya, untung Lie Tongleng datang kalau
tidak, bisa-bisa celaka!”
“Sebelum menerangkan pada Kounio sudah kuciduk orang ini, harap maaf saja! Nah,
sekarang bolehlah kita melanjutkan perjalanan lagi !” kata Lie Kee Cie.
“Bukankah Lie Conglengpun harus memeriksa keadaan diriku ?”
26
“Tidak usah! Barusan serangan Pang Hui kepadamu, sudah mewakili aku bertanya denga
jelas!”
“Untung In Kongcu bukan mata-mata, jika tidak bukan saja perjalanan ini sia-sia belaka,
akupun akan menerima dampratan dari Lo Cucong!” kata Pek Wan Jie.
“Mana siorang tua itu, kenapa tak kelihatan” Tanya Lie Kee Cie.
In Tiong Giok celingukan, benar saja tidak terlihat bayangan In Hok. Belum pula ia mencari,
dari kolong meja In Hok merayap keluar dengan bermandikan keringat. Wajahnya pucat,
tubuhnya masih menggetar, rasa kagetnya belum hilang dari otaknya.
Tiba-tiba Tiong Giok ingat barusan seperti ada yang mendorong dirinya dari bawah,
disambung mengingat ketebatan In Hok mengantar air wakltu malam, timbul rasa anehnya,
mungkinkah semua ini In Hok yang… tapi pikirannya cepat berubah, dan ia yakin jongos tua
itu yang sudah puluhan tahun bekerja pada ayahnya hanya manusia biasa yang tidak
berkepandaian sama sekali. Maka tertawalah ia melihat siorang tua yang baru keluar dari
kolong itu, sedangkan Lie Kee Cie dengan pandangan tajam mengawasi dan berpaling kearah
In Tiong Giok: “Siapa orang tua ini?”
“Ia adalah pengikutku namanya In Hok!
“Keadaan dipusat Pok Tian Pang lain seperti disini, tidak sembarangan orang boleh datang
kesitu, menurut hematku sebaiknya orang tua ini diam saja disini tak perlu ikut serta!”
“Kongcu, kejadian diperjalanan selalu berbahaya, sebaiknya pulang saja, untuk apa harus
bekerja, dirumah segala cukup bukan?” kata In Hok.
In Tiong Giok menganggukkan kepala lalu berkata pada Lie Kee Cie: “Ia disuruh kedua orang
tuaku mengikutiku keluar rumah, bukan sembarang orang yang tidak dipercaya. Jika
Congleng tidak mengijinkannya ikut serta akupun tidak mau pergi, mau pulang saja !”
“Lie Congleng, ijinkan saja ia ikut serta, jangan membuat In Kongcu menjadi susah hati !”
kata Pek Wan Jie.
“Aku tidak mengatakan tidak boleh seratus persen, jika Kounio menyuruh aku menurut saja!”
kata Lie Kee Cie.
Dengan cepat rombongan itu meninggalkan penginapan dan berjalan keatas pegunungan.
Pang Hui terikat dan ditaruh dipelana kuda, sedangkan empat pengawal dari Ngo Liu Cung
disuruh pulang. Tak selang lama Lie Kee Cie menyuruh rombongan berhenti, dan dari
sakunya mengeluarkan dua kerudung hitam. “Kupersilahkan Jiewie mengenakan ini.”
“Untuk apa menggunakan belongsong ini ?”
Tanya In Tiong Giok dengan heran.
“Ini peraturan perkumpulan kami, setiap tamu yang datang kepusat hrus mengenakan
belongsong, agr sesuatu mengenai keadaan dipusat tidak bisa dibocorkan keluar!”
27
“Aku adalah tamu undangan untuk bekerja, bukan datang atas kehendakku sendiri,” kata
Tiong Giok merasa tersinggung.
“In Kongcu jangan gusar,” kata Pek Wan Jie, “peraturan yang dikeluarkan Lo Cucong berlaku
pada siapapun, bukan pada Kongcu sendiri, dulu sewaktu Siaw Eng dan Siaw Hong pertama
kali datang, merakapun dikenakan kerudung hitam, hanya anggauta Pok Tian Pang tidak
terkena peraturan ini !”
In Tiong Giok dengan terpaksa mengenakan jiga belongsong hitam itu, pandangannya
menjadi gelap, hanya dibagian mulut dan hidung ada liangnya dan bisa bernapas maupun
berkata-kata dengan bebas.
Lie Kee Cie memeriksa belongsong itu ada yang pecah atau tidak, setelah itu menitahkan Siau
Eng dan Siau Hong menjaga In Tiong Giok, sedangkan In Hok dituntun dua pengawalnya.
In Tiong Giok tidak bisa melihat keadaan, hanya mengandalkan kedua telinganya dan
perasaannya untuk mengira-ngira sudah berjalan berapa jauh dari rumah penginapan yang
disinggahi terakhir.
Iapun merasakan keadaan yang sejuk, dan turun naiknya jalanan, serta terdengar suara aliran
sungai. Perhatiannya kini dipusatkan pada letaknya sungai mengalir hingga belongsong yang
membuatnya seperti berada didalam kegelapan tidak terasa lagi, jadi biasa.
Setelah berjalan lama sekali, suara sungai tidak terdengar lagi, rombongan membelok ke
kanan dan terus kedepan. Kira-kira sepermakanan nasi meraka berhenti, terdengar suara Lie
Kee Cie bercakap dengan ramah tamah, agaknya bertemu denga patroli Pok Tian Pang.
Mereka segera turun dari kuda, Siau Eng membuka belongsong Tiong Giok. Membuat
pemuda kita menarik napas lega. Pandangan matanya bebas, dan bisa melihat keadaan dirinya
berada dilereng gunung, talk berapa jauh farinya terlihat bebrapa rumah batu, disitu terlihat
dua puluh pengawal berpakaian hitam dan seorang tua kira-kira berusia llima puluh tahun
berbaju biru.
“Inilah Kwee Fut Hoat (penasehat) Kim lo Cianpwee,” kata Pek Wan Jie memperkenalkan
kim Fut Hoat itu menggoyangkan tangan tak berapa mau meladeni.
“Kim Fut Hoat tidak berapa suka bicara, tambahan bahasa Tionghoanya tidak lancar, ia orang
asing !”
“Dari mana asal negaranya !” Tanya In Tiong Giok.
“Ia adalah orang-orang yang di bawah Lo Cucong dari Korea, namanya Kim Can ! dua lagi
bernama Wang wang Can dan Pu Ka Lun, mereka sebagai penasehat yang selalu
mendampingi Lo cucong….”
In Tiong Giok memperhatikan Kim Tak Can, dan mendapatkan kesan bahwa orang itu sangat
kasar perawakannya, pipinya penuh berewok, sekali pandangpun bisa tahu orang ini bengis
dan berkepandaian" tinggi. Apakah yang dipanggil Lo Cucong itu ketua Pok Tian Pang ?”
28
“Bukan!” kata Pek Wan Jie, “Lo Cucong adalah Sucouw (kakek guru) ku sedangkan Suhuku
barulah ketua Pok Tian Pang ! Hal ini tidak akan bisa dijelaskan dalam sepatah dua patah !
Nanti engkau akan tahu sendiri !”
“Apakah yang dimaksud pusatg disini tempatnya ?” Tanya in Tiong Giok.
“bukan, ini merupakan pintu gerbang pertama, kesana masih jauh sekali ! Disini kita makan
dan mengaso, juga sampai disini engkau tak usah mengenakan lagi belongsong hitam untuk
seterusnya!”
“Tidakkah kalian kuatir rahasia disini dibocori orang?” Tanya Tiong giok. Belum pula Wan
Jie menjawab, Lie Kee Cie sudah mendahului: “In Kongcu terus terang saja sesampainya
disini, jika tidak mendapat ijin dari kami, siapapun tidak bisa meloloskan diri dari sini!”
“Kenapa begitu ?” tanya In Tiong Giok keheranan.
“Nah coba lihat !” kata Lie Kee Cie menggapaikan tangannya. Tiong Giok menghampiri.
“Cobalah lihat kbawah!”
Begitu mata memandang, baru sadarlah ia berada disuatu bukit yang terpisah dari bukit-bukit
lain, begitu tinggi rasanya. Kebawah hanya yang bisa dapat terlihat batu-batu cadas-cadas
gunung yang runcing dan terjal.
Ia menganggukan kepala dan memuji: “Tempat ini luar biasa dan sukar didatangi orang, tapi
rasanya tadi seperti naik tangga datang kemari ? Dimana tangga itu berada ?”
“Ha ha ha.” Lie Kee Cie tertawa dengan senangnya, “dimana ada tangga? Tadi kita naik
melalui sebuah tangga baja yang dikerek dari atas setelah tak terpakai disimpan lagi.
Pendeknya kita terpisah dari dunia luar, tiada jalan sama sekali, kecuali dengan tangga baja
tadi.”
Melihat keadaan ini Tiong Giok diam-diam merasa kaget: “Aku bisa datang kemari tapi untuk
pulang tiada harapan lagi.”
Sedang otaknya berpikir, seorang pengawal datang memberikan laporam bahwa makanan
sudah disediakan. Dengan tersenyum Pek Wan Jie mengajak tamunya kesebuah rumah batu
yang agak besar. Didalam ruangan diterangi sebuah lampu besar, ditengah-tengah terlihat
meja bulat yang penuh barang hidangan, siorang berbaju biru sudah duduk ditengah-tengah.
Tiong Giok duduk diantara Kee Cie dan Wan Jie. Tanpa menawari lagi Kim Tak Can
menegak arak tiga cawan besar juga tanpa mengucapkan sepatah kata, berlalu kedalam
ruangan belakang seorang diri.
Kepergiannya Kim Tak Can membuat Lie Kee Cie menarik napas panjang, kini Siaw Eng dan
Siaw Hong baru diajak makan bersama-sama.
“Kenapa kim Fut Hoat hanya minum dan tidak makan ?” tanya Tiong Giok.
“Jangan banyak bertanya, kalau dikelaskan bisa-bisa kita tak napsu makan !” kata Pek Wan
Jie.
29
“Memang kenapa ?” Tiong Giok semakin mau tahu.
“Ia tidak makan barang matang, setiap hari ia makan lima kati daging sapi, dua kelinci dan
tiga empat ayam atau bebek, semuanya dalam keadaan mentah-mentah; suka juga makan
darah mentah sebagai kuah! Maka itu ia suka makan sendiri.”
“Orang biadab kalu begitu!” kata Tiong Giok.
“Ssst, bukan biadab tapi setengah biadab!” kata Wan Jie.
Sesudah makan mereka mengaso sejenak lalu melanjutkan perjalanan dengan berkuda lagi.
Kim Tak Can sudah menantikan mereka dimulut gua yang berjeruji besi. Setiap yang melalui
gua harus mengeluarkan tanda pengenal. Lie Kee Cie dan Wan Jie pun tidak terkecuali. Ia
berlaku tegas dan keras menjalankan tugasnya. Tiong Giok dan Pang Hui mempunyai kartu
undangan sebagai tamu, tapi In Hok tidak, maka ditahan dan tidak diijinkan masuk.
“Ia adalah pengikutnya In Kongcu, dan sudah ada izin masuk kedalam!” kata Lie Kee Cie.
“Pokoknya kartu tamu hanya dua berlaku untuk dua orang, bagaimanapun tak boleh masuk.”
Kata Kim Tak Can dengan dingin.
“Bagaimana kalau kartu tamu menyusul belakangan ?” Tanya Lie Kee Cie.
“Pendeknya tiada kartu tamu, tak boleh masuk!” kata Kim Tak Can kukuh.
“Kongcu…..bagaimana?” kata In Hok dengan wajah ketakutan.
“Kalau begitu kunantikan saja sampai ada kartu undangan untuk In Hok baru masuk,” kata In
Tiong Giok.
“Mana bisa, karena Pangcu sudah tahu saat kapan Kongcu tiba, pasti sedang menantikan…”
kata Pek Wan Jie.
“Mana boleh menyalahkan aku, semua ini karena peraturan Pok Tian Pang yang kelewat
baras!”
“Kim Siok-siok berilah ia masuk dulu, aku yang bertanggung jawab, kartu tamu segera
menyusul, bolehkah ?” mohon Wan Jie.
“Satu kartu untuk seorang, tidak ada tawar menawar lagi!” Kim Tak Can tetap pada
pendiriannya.
Untung Wan Jie bisa berpikir cepar, ditunda Pang Hui pada penjaga, lalu diajaknya in Hok
masuk, Kim Tak Can tidak memperdulikan yang lain-lain tahunya satu kartu untuk seorang
tidak perduli orang itu siapa. Mereka masuk kedalam gua yang lebar, panjangnya lebih tiga
meter, setiap sepuluh meter terdapat sinar terang dari atas, membuat keadaan tidak gelap
sekali. Selewatnya terowongan, pandangan mata menjadi luas, tampak gunung-gunung
mengitari air terjun dari gunung berkumpul kelembah, karena tiada jalan keluar air itu
menjadi sebuah danau besar, tak ubahnya seperti laut, ditengah-tengah terlihat tiga pulau.
Pemandangan yang indah itu tak ubahnya dalam lukisan saja.
30
Disini mereka menemui lagi penjaga yang dikepalai seorang tua berbaju biru juga, wajahnya
tersungging senyum, beda denga Kim Tak Can tadi, usianya lebih kurang tujuh puluh tahun,
tapi masih gagah sekali. “Aha Cuwie kenapa terlambat, Pang Cu sudah dua kali menanyakan
Cuwie sudah datang apa belum, sudah kesal menunggu.” kata orang tua itu.
“Hei” kata Tiong Giok pada Wan Jie, siapa dia, kenapa tidak kau perkenalkan dia dengan aku
?”
“Rupanya engkau senang dengan raut wajahnya yang selalu tersenyum.” tanya Wan Jie tidak
menjawab.
“Ya benar, lain dengan Kim Fut Hoat tadi yang begitu bengis.
“Tapi kalau aku disuruh memilih diantara dua orang ini menjadi teman, pasti kupilih Kim Fut
Hoat”, kata Wan Jie.
“Kenapa begitu ?”
“Jangan melihat paras luarnya, kekejamannya luar biasa sekali, kalau engkau pernah
mendengar namanya pasti akan kaget sendiri !”
“Siapa namanya ?”
“Sebenarnya seorang pelajar sepertimu kujelaskan juga tak berguna,” kata Pek Wan Jie,
“untuk tidak penasaran baik kuterangkan, didunia persilatan terdapat tiga belas manusia ajaib
yang lazim disebut Bulim Cap Sa Kie.
Antaranya ada yang disebut tiga besar dari selatan atau Thian Lam Sam Kui, nah dia ini
seorang dari iblis itu yang bernama Tok Kay Tong dengan gelar Bin Busiang, iblis
bersenyum.
“Ya aku tak pernah mendengar soal tiga belas manusia ajaib.” kata In Tiong Giok ,” dapatkah
kuketahui yang dua belas lagi ?”
“Mudah saja jika mau mengetahui mereka asal bisa mengingat Jiak, Sie Koey, Sih, Sian,
Yauw, Mo, Jui, penjelasan selanjutnya nanti saja kalau ada waktu !”
Dari mulut terowongan mereka turun melalui tangga batu sampai dipinggir danau yang luas
mereka naik sebuah perahu yang sudah disediakan dan terus meluncur ketengah menuju
kesalah satu pulau. Tak berapa lama mereka sampai disebuah tempat yang menyerupai
palabuhan pulau itu. Disini terlihat dua puluh perahu yang ditambat, perlahan-lahan sampan
menepi kepantai, didarat terlihat sepuluh pengawal berpakaian hitam sedang menantikan,
begitu melihat perahu segera menyongsong.
Sesudah mendengar Lie Kee Cie berkata pada Pek Wan Jie : “Pek Kounio, karena harus
mengambil kartu undangan untuk Pang Hui aku akan kembali lagi kesana sedangkan soal In
Kongcu kuserahkan pada Kounio !”
31
Pek Wan Jie menganggukkan kepala, lalu menyuruh Siau Eng dan Siau Hong mengajak in
Hok ketempat beristirahat, ia sendiri mengajak In Tiong Giok ke istana Pok Thian Pang
dengan kereta. Sebelum itu ia memerintahkan pada seorang pengawal, untuk melaporkan
bahwa ia dan In Kongcu akan menghadap pangcu.
“Engkau tak perlu khawatir menemui Pangcu atau suhuku, ia sangat baik dan ramah tamah !”
kata Wan Jie.
Dengan cepat mereka telah tiba, Wan Jie mengajak tamunya kedalam sebuah bangunan besar.
Inilah yang disebut istana Pok Thian Pang pikir Tiong Giok. Begitu mewah dan indah,
sebelum masuk kedalam aula, mereka terhalang sehelai horden. Disini Wan Jie memberi
hormat, diikuti In Tiong Giok.
“Jangan sungkan, silahkan masuk,” terdengar suara dari balik horden yang segera terbuka.
Tiong Giok mula pertama berpikir Pok Thian Pang yang ambisius untuk menguasai dunia
persilatan tentu dipimpin seorang gagah berwajah bengis. Tapi begitu mendengar suara garing
yang halus membuatnya tertegun dan pandangannya terbuka, herannya bertambah-tambah,
karena… Pangcu itu adalah seorang wanita cantik berusia tiga puluh lima tahun. Pangcu itu
melihat In Tiong Giok yang begitu tampan kaget pula, matanya mengawasi dengan tajam
penuh keheranan. Pek Wan Jie mempersilahkan tamunya duduk, lalu mendekati pangcunya
sambil menuturkan soal bagaimana Pang Hui berniat jahat dan kena di pecahkan siasatnya
oleh Lie Kee Cie secara singkat.
Wanita berbaju merah itu mendengari sambil tersenyum, sedikitpun tidak menunjukkan rasa
marah, bahkan ia berkata :
“Sebagai pohon perserikatan kita ini semakin besar, maka itu angin yang ingin merobohkan
bertiup semakin besar juga, itu soal biasa ! Beritahu pada Lie Kee Cie jangan menyiksa Pang
Hui, kalau bisa tundukkan dengan lemah lembut, dan taruh di istana pencuci otak, perlakukan
baik-baik!” Dengan tetap tersenyum iapun menyapa In Tiong Giok : “Kudengar In Kongcu
mengetahui pengetahuan yang luas, tentu mendapat didikan di bawah guru yang pandai. Kami
sangat menghargai kepandaian Kongcu, untuk sementara Kongcu boleh istirahat dulu
beberapa hari, jangan sungkan dan likat, anggap bagai rumah sendiri.”
“Terima kasih atas kebaikan Pangcu!” jawab In Tiong Giok seraya memberi hormat.
“Bolehkah kutahu berapa usia Kongcu tahun ini ?” Tanya Pangcu.
“Dua puluh tahun.”
“Orang tuamu tentunya dalam keadaan sehat-sehat saja.”
“Terima kasih atas perhatian Pangcu.”
“Wan Jie sebentar malam engkau gantikan aku menjamu In Kongcu, anak muda bertemu anak
muda lebih cocok bukan ?”
Wan Jie menjadi merah mukanya. “Dimanakah In Kongcu malam ini harus bermalam suhu ?”
“Sementara di Villa tenang saja!”
32
“Bukankah lebih baik di villa bamboo saja ?”
“In Kongcu adalah pelajar, tentu lebih senang ditempat sunyi, lain dengan engkau yang
berlaku ugal-ugalan,” kata Pangcu itu dengan tetap senyum. Sehabis berkata ia bangun, dan
dengan diiringi delapan pelayan berbaju kuning ia masuk ruang belakang.
Pek Wan Jie mengajak Tiong Giok keluar, jelas wajahnya terlihat sedikit murung. “Villa
tenang,” gerutunya tak puas.
“Kounio, gurumu begitu cantik dan masih muda, benar diluar dugaanku… Ya caranya
menempatkan engkau di villa tenanglah diluar perkiraanku!
“Memang kenapa ?”
“Engkau tidak tahu villa Tenang dan Asmara Bambu di mana kutinggal letaknya jauh
sekali…..”
“Jauh dekat tak jadi soal bukan ?”
“Hm, sangat penting, engkau…” Tiba-tiba saja Wan Jie menghentikan kata-katanya, dan lalu
menundukkan kepala, sedangkan dua bayangan merah tertera di kedua belah pipinya.
Tiong Giok merasakan juga goncangan hatinya dan mengerti apa tujuan kata-kata gadis itu,
diam-diam ia tertawa geli dan berkata :
“Biar jauh diseberang lautan, tetap dekat pikiran, kenapa Kounio harus…”
“In Kongcu jangan salah artikan, maksudku ini,” ia menekan suaranya semakin perlahan,
maksudku tidak engkau memikirkan soal nasibmu sendiri ?”
“Soal nasibku ?” Tanya In Tiong Giok menegasi. “Pendeknya engkau harus ingat, disini
penjagaan amat keras, gerak-gerikmu harus hati-hati, jangan sembarangan pergi kemana,
sukar aku menjelaskan.”
“Terima kasih atas perhatian dan nasehat Kounio!”
Mereka berkereta lagi menyusuri jalan kecil dan masuk kessebuah tempat sunyi, disitu
terdapat villa yang terkurung pepohonan, kelihatannya tenang sekali. Villa itu terdiri dari lima
kamar, tiga kamar sangat terang karena sinar matahari masuk sedangkan yang dua agak gelap.
Semuanya teratur rapih dan bersih.
“Mungkin dulunya di sini ada yang tinggal bukan ?”
Wan Jie menganggukkan kepala perlahan.
“Coba, apa yang masih rasa kurang, boleh kutitahkan Siau Hong membawanya ke sini. Aku
piker budak itu sebaiknya tinggal di sini agar bisa merawatmu dengan baik!”
33
“Aku rasa semua sudah cukup, Siau Hong tak usah repot-repot mengurusku, untukku In Hok
sudah cukup!” Tiong Giok melihat-lihat buku yang berada di lemari, lalu mengambilnya
sejilid : “Buku-buku ini sangat antik dan sukar di dapat, mungkin penghuninya dulu seorang
pelajar tinggi, saying aku tidak jodoh menemuinya!”
Wan Jie seperti tidak mendengar apa yang diucapkan Tiong Giok, ia terpekur diam seperti
memikirkan sesuatu yang tidak bisa diutarakan dengan kata-kata.
Walaupun Tiong Giok bergaul baru tiga hari, ia sudah kenal sifat Wan Jie yang periang, tetapi
timbullah herannya, waktu mendengar Pangcunya menetapkan dirinya diam di villa tenang,
terus menerus berwajah murung.
“In Kongcu,” tiba-tiba Wan Jie menegur, “terus terang saja, apakah engkau benar-benar bisa
bahasa Sangsekerta ?”
“Sejak kecil aku sudah mempelajari bahasa itu,” jawab Tiong Giok, “apakah Kounio
meragukan akan kebiasaanku? Jangan samakan diriku dengan Pang Hui!”
“Aku tak berpikir atau curiga seujung rambut padamu. Tetapi jika engkau tidak paham bahasa
Sangsekerta dan datang hanya sebagai mata-mata, mungkin itu lebih baik sedikit.”
“Aku tak mengerti maksud Kounio!”
“Baiklah kujelaskan, susul-menyusul disini pernah itnggal sastrawan yang benar-benar pandai
bahasa Sangsekerta. Kedatangan mereka atas undangan Pangcu sepertimu juga. Tapi setiap
baru mau bekerja, entah bagaimana satu persatu mati terbunuh !”
Tiong Giok merasa kaget : “Disini banyak pengawal, mungkinkah bisa terjadi peristiwa
semacam itu ?”
“Ya, mungkin didalam Pok Thian Pang sendiri ada penghianat,” kata Wan Jie. “Setelah
kejadian itu Lo Cucong marah besar, sampai tiga Tongleng di bunuhnya, belum juga
diketahui siapa penjahatnya!”
“Kalau begitu jiwaku dalam keadaan bahaya dan Pok Thian Pang tidak bisa melindungi bukan
?”
“Tapi setelah terjadi tiga kali peristiwa itu penjagaan sudah diperkuat lipat ganda, tambahan
Lie Kee Cie adalah seorang yang cerdas dan lihay, juga tak seberapa jauh dari sini, adalah
Suhengku, jika terjadi sesuatu, ia bisa memberikan bantuan, mungkin sekali ini tidak akan
terulang kejadian seperti dulu!”
Belum pula suara Wan Jie hilang dari pendengaran, dijendela berkelebat sosok bayangan
hitam. Dengan cepat Wan Jie menegur : “Siapa ?” tidak ada jawaban. Mereka keluar rumah,
dilihatnya seorang muda berbaju merah lebih kurang berusia tujuh belas tahun, wajahnya
tampan, hanya sedikit merah, pucat sedang berdiri ditaman bunga. “Oh, kiranya Suheng,
membuat kami kaget saja !”
Pemuda itu tidak menjawab hanya mengangguk kecil, sedangkan matanya dengan penuh
keangkuhan memandang kepada In Tiong Giok.
34
“Suheng kemari, kukenalkan dengan In Kongcu….”
Tanpa memperdulikan sedang diajak bicara ia ngeloyor pergi dengan wajah sinis. Wan Jie
merasa jengah sendiri tak diladeni…..
“Siapa dia ?” Tanya In Tiong Giok.
“Ia adalah putera tunggal guruku, namanya Pek Kim Kiam Hong, tuh tinggalnya
diperkampungan Awan Putih.
“Dilihatnya macamnya seperti tak senang padaku,” kata in Tiong Giok.
“Tidak!” bantah Wan Jie, “ memang sudah wataknya demikian ia selalu menyendiri dan tidak
dengan siapapun !”
“Mungkin Siau Pangcu tidak ada kepuasaan dalam hidupnya ?”
“Tidak bisa disalahkan, seorang anak tidak berbapak mana bisa hidupnya bahagia ……
“Memang ayahmu kemana ?”
“Tidak kutahu, ini merupakan teka-teki, mungkin di dunia hanya guruku dan Lo Cucong yang
mengetahui, tapi mereka merahasiakan sekali.”
“Apakah Suhengmu tidak menanyakan juga ?”
“Ditanyakan tidak berguna, suhu selalu membelokkan pertanyaan kesoal lain, agaknya berat
untuk menjelaskan kandungan hatinya. Lebih-lebih Lo Cucong bukannya menjawab malahan
memaki-maki.” Lain kali jangan engkau tanya-tanya lagi soal ini, ayahmu adalah manusia
berbudi rendah dan sangat memalukan, sebelum engkau lahir ia sudah mati !”
“Lalu kenapa ia memakai She Pek ?”
“Ia ikut She ibunya, suhuku bernama Pek Cin Nio !”
“Alangkah kasiannya Suhengmu itu, sampai soal ayahnya sendiri tidak diketahuinya, tak
heran kelakuannya suka menyendiri dan berwajah kecut, sungguhpun demikian jika ada
kesempatan ingin aku berkenalan dengannya !”
Ia bersifat dingin sekali, sebaiknya engkau jangan dekat-dekat dengannya !”
Tak selang lama Siau Hong datang mengajak In Hok, mereka memberesi rumah : Wan Jie
meminta disediakan makan dan minuman untuk menjamu tamunya.
Waktu makan Wan Jie mengusulkan lagi agar Tiong Giok suka memakai Siau Hong, tapi
dengan halus ditolaknya. Wan Jie tidak memaksa terus perjamuan ini berjalan tawar, masingmasing
mempunyai pikiran sendiri-sendiri, waktu malam mendatang mereka berpisah.
35
Sehabis mandi Tiong Giok menyuruh In Hok tidur, ia sendir sambil berpangku tangan
berjalan perlahan-lahan keluar rumah. Taman bunga dalam keadaaan tenang, dan dari jauh
terdengar suara berkericok air. Disebelah kiri terdapat Pek In Sancung (perkampungan awan
putih). Sebelah kanan terlihat tembok penjara dengan pengawal-pengawal yang mondar
mandir tak henti-hentinya. Dari keadaan ini dapat dilihat jika orang jahat ingin masuk ke villa
tenang, sukar melalui jalan kiri dan kanan, hanya dari muka dan belakang rumah dimana
terdapat bukit kecil musuh bisa masuk, maka tempat inilah sepatutnya mendapat perhatian.
“Pok Thian Pang berdaya upaya buku berbahasa Sangsekerta yang dimilikinya dapat
diterjemahkan, sebaliknya banyak pula kaum rimba persilatan yang mati-matian
mencegahnya. Di villa ini sudah tiga penerjemah yang mati, dan waktu ditengah jalan Pang
Hui berusaha mencelakakan dirinya. Dari sini dapat ditarik kesimpulan buku itu penting
sekali. Sebenarnya dia datang untuk menterjemahkan buku itu, tapi keanehan buku itu sudah
memikat hatinya, dan ingin ia bisa secepatnya melihat buku itu. Ia mundar-mandir, sedangkan
malam semakin larut, keadaan benar-benar tenang sekali dan sunyi senyap, tiada terdengar
suara apa-apa, sampai suara bernapas In Hok yang tidur dapat terdengar tegas !
Perlahan-lahan ia masuk kekamar, tak siang kepalang kagetnya, begitu kakinya melangkah
pintu kamar, karena ia melihat sesosok tubuh di kursi malas sedang menyandar dan
mengangkat kaki seenaknya !
“Siapa kau !” bentak Tiong Giok.
Tidak ada jawaban, seolah-olah orang itu tidak mendengar, keruan saja Tiong Giok jadi
degdegkan, sambil berlaku waspada ia membentak lagi : “Siapa kau, dan apa maumu datang
kemari ?”
Orang itu dengan perlahan menarik kakinya sehingga wajahnya terlihat tegas, kiranya bukan
lain dari Lie Kee Cie adanya. Semua ini diluar dugaan Tiong Giok, cepat-cepat ia memberi
hormat : “Kiranya Lie Tongleng, maafkan kekurang ajaranku !”
“In Kongcu malam-malam masih jalan-jalan keluar, tak ubahnya seperti seniman pengagum
alam saja,” Lie Kee Cie menyindir dingin.
“Ya untuk orang baru, segala yang baru menarik perhatian, maka itu biarpun diwaktu malam
tetap menarik juga !”
Tiba-tiba saja sepasang mata Lie Kee Cie yang memancarkan sinar tajam dan dingin menyapu
wajah sipemuda. “Apakah In Kongcu mengetahui kejadian dan segala perubahan di rumah ini
?”
“Yang kudengar soal bagaimana matinya tiga penterjemah dirumah ini dari Pek Kounio !”
“Apakah hal ini tidak membuat Kongcu takut ?”
“Ya sejujurnya tabiatku tidak takut pada setan atau iblis !”
“Soal setan atau iblis adalah abstrak, yang benar tiga penterjemah mati terbunuh ! Tapi yang
menurunkan tangan jahat dapat berbuat begitu cermat dan tidak meninggalkan jejak untuk
bahan pengusutan, sehingga kejadian itu tetap gelap.” Ia berhenti sejenak, sepasang matanya
36
mengawasi terus pada In Tiong Giok, sudah selang lama ia berkata : “Kongcu adalah
penterjemah yang keempat datang ke sini, maka itu kuminta Kongcu bisa berlaku hati-hati,
dan bekerjasama denganku !”
“Harus bagaimana aku ini Lie Tongleng ?”
“Maksudku engkau kujadikan umpan untuk memancing penjahat keluar !”
“Ah terlalu bahaya, salah-salah jiwaku bisa melayang !”
“Jangan kuatir, sebelum engkau beres menterjemahkan buku, tak bisa kami membiarkan
engkau gampang-gampang mati !”
Sebaliknya bagaimana kalau pekerjaanku sudah selesai…..”
“Mungkin Pangcu dan lo Cucong bisa memberi kesempatan Kongcu masuk menjadi anggota
?”
“Jika aku tak mau menjadi anggota ?”
“Kongcu pasti mau, karena jalan satu-satunya untuk hidup !” Sehabis berkata Lie Kee Cie
segera berlalu.
Perkataan terakhir dari Tongleng itu membuat Tiong Giok tertegun, tak terasa lagi badannya
jadi bergidik. Tak heran kalau Wan Jie mengatakan, jika engkau tidak bisa bahasa
Ssangsekerta dan hanya sebagai mata-mata akan lebih baik lagi. Bukankah dengan begitu
sinona menjelaskan setelah pekerjaannya selesai dirinya akan dibunuh untuk menutup mulut ?
Lebih-lebih melihat keadaan kini, bagaimana Lie Tongleng keluar masuk kedalam kamarnya
dengan leluasa membuat hatinya semakin ciut. Otaknya berkecamuk tak keruan, akhirnya
keberaniannyapun timbul dan berkata dalam hati secara pasti : “Tujuan mereka tidak baik,
jangan aku bekerja dengan baik pula, ya harus berdaya upaya untuk meloloskan diri
secepatnya !” Akibatnya terlalu banyak berpikir sampai malam hari ia tidak tidur !
Pagi-pagi Wan Jie sudah datang, begitu melihat mata Tiong Giok yang merah karena tak tidur
segera bertanya dengan heran : “Mungkin malam tak tidur ya ? Apakah tempat ini terlalu sepi
dan mendatangkan ketidak betahanmu ?”
“Aku tidak, justeru karena tempat ini terlalu indah sehingga membuatku tak dapat tidur !”
“Keadaan tempat kami ini terpisah-pisah dari dunia luar, sepanjang tahun keadaan alam tidak
berubah, pemandangan selalu indah, jika engkau senang aku bersedia menjadi penunjuk jalan,
keliling keempat penjuru, memuaskan pandangan mata !”
“Mungkinkah aku diijinkan untuk meninjau dan pesiar ditempat ini ?”
“Siapa bilang tidak ? Bahkan suhu sudah memesan agar aku menemani engkau dlam beberapa
hari ini kemana engkau suka, yah mari kita berjalan-jalan !” Tanpa menunggu jawaban,
lengan Tiong Giok ditariknya dan diajak jalan-jalan.
37
In Tiong Giok mengerti inilah siasat Pok Thian Pang yang sengaja menjadikan dirinya
sebagai umpan, dan dipamerkan supaya semua orang tahu dirinya sebagai penterjemah. Guna
menarik perhatian untuk semua orang-orang yang bermaksud buruk : Sebaliknya ia sendiri
menggunakan kesempatan ini untuk mencari jalan meloloskan diri !”
Mereka berjalan-jalan dengan enaknya, tanpa terasa lagi seluruh pulau kena dikelilingi.
Sepanjang jalan Wan Jie tak jeemu-jemunya memberitahu nama-nama tempat. Semakin jalan
perasaan Tiong Giok merasa kesal, kaena melihat dimana-mana penjagaan sangat keras
sekali, bagaimanapun untuk mencari kesempatan lari tak mungkin bisa lari.
Senja hari mereka baru kembali, dengan alas an letih Tiong Giok membuat Wan Jie berlalu, ia
sendiri naik kepembaringan, begitu lesu dan lemas, segala harapan untuk lari menjadi hilang
dan tinggal angan-angan saja ! Akhirnya akibat keletihan yang berlebih-lebihan, ia tertidur
pulas.
Waktu malam Tiong Giok terbangun dengan kaget, karena pintu rumah digedor dari luar.
Dilihatnya In Hok tergesa-gesa membuka pintu dari luar masuk Lie Kee Cie dan seorang lakilaki
beralis tebal, dilihat dari seragamnya menandakan ia wakil Tongleng.
“Cuwie dimalam hari datang kesini ada keperluan apa ?” tegur In Tiong Giok.
Lie Kee Cie dengan pancaran mata yang tajam menyapu keliling ruangan, lalu berkata :
“Bukan soal apa-apa, hanya menjenguk In Kongcu saja, karena ada seorang mata-mata
didaerah sini !”
“Tapi disini aman tak kurang sesuatu apa-apa !”
“Mata-mata itu mencoba mencuri perahu, tapi kepergok dan lari kesini !” kata Lie Kee Cie.
“Tapi kami tidak merasakan ada yang masuk kesini.” Jawab In Tiong Giok.
“Demi keselamatan Kongcu, maka ijinkanlah kami melakukan penggeledahan seisi rumah !”
“Silahkan ! Silahkan ! Jika benar berada disini, ini bukan main-main!”
lie Kee Cie menganggukkan kepala dan menoleh kepada laki-laki beralis kereng : “Suruhlah
pengawal-pengawal melakukan penggeledahan !”
Belasan pengawal dengan obor terang memeriksa kesetiap ruangan. Suasana menjadi hiruk
pikuk. Saat inilah Wan Jie dengan dua pengikutnyapun datang, membantu memeriksa dan
mencari penjahat biarpun sudah diperiksa dengan teliti tidak juga ditemui penjahat yang
dimaksudkan.
Laki-laki beralis kereng merasa penasaran, diambilnya onor dari pengawal dan dia masuki
kamar Tiong Giok dan In Hok, kolong-kolong diperiksa, dan lemari-lemari dibuka, tapi
hasilnya nihil. Heran, mungkinkah ia bisa menghilang ?” gerutunya perlahan.
“Apakah kalian benar-benar melihat tegas penjahat itu masuk kesini ?” tanya Wan Jie.
“Pasti tidak salah,” kata Lie Kee Cie dengan suara mantap.
38
“Apakah taman bunga dan perkampungan Awan Putih sudah diperiksa juga, siapa tahu
penjahat itu bersembunyi disana.” Kata Pek Wan Jie.
“Perkataan Pek Kounio memang benar, disana lebih banyak gunung-gunung yang cocok
untuk menyembunyikan badan” kata Lie Kee Cie yang segera permisi berlalu sambil
membawa anak buahnya.
“Kata apa ?” kata Pek Wan Jie, “keadaanmu selalu dalam bahaya, bagaimana jika benar
penjahat datang, sedangkan kalian tidak bisa bersilat. Mau tidak engkau menrima Siau Hong
sebagai pelindung ?”
“Menurut Lie Tongleng penjahat itu berniat merampas perahu dan bukan untuk mencelakan
aku, dari sini dapat ditarik kesimpulan itu bukan mata-mata melainkan ada seseorang didalam
Pok Thian Pang yang ingin melarikan diri dan berhianat pada perserikatan !”
“Engkau tidak bisa melihat keadaan baik dan buruk, maksudku menaruh Siau Hong disini
demi keselamatanmu, tapi engkau seperti takut padanya, ia toh tidak bisa memakanmu bukan
?”
“Lie Tongleng seorang cerdik dan tangkas adanya dia sebagai penjaga hatiku merasa tentram!
Soal Siau Hong bukan apa-apa hanya…seorang pelajar aku merasa kikuk tinggal bersamasama
dengan seorang gadis !”
“Ah engkau benar-benar pandai menggoyang lidah, membuatku tak berdaya ! kata Pek Wan
Jie, seraya mengajak kedua pengikutnya berlalu.
Dengan cepat dua hari telah berlalu, selama ini In Tiong Giok kurang tidur, malam inipun
tidak terkecuali, perasaannya amat risau. Ia berjalan kejendela memandang keadaan ,alam,
waktu baru tengah malam masih jauh kepagi. Untuk menghilangkan kesalnya ia membaca
buku, untuk ini ia harus menyalakan lampu, malang baginya minyak pelita sudah kering.
Maka dipanggilnya In Hok, tapi tidak mendapat jawaban, hal ini mengherankannya. Biasanya
orang tua itu sekali dipanggil sudah menyahut, kenapa malam ini bisa tidur nyenyak sekali.
Dihampirinya kamar pembantu itu, ia jadi melongo karena In Hok tidak ada dikamar !
Saat inilah dari arah jauh terdengar kentongan bahaya, dalam sekejap suasana jadi ramai dari
teriakan para pengawal. Tiba-tiba dari luar berkelebat sesosok bayangan yang segera
membuka baju dan terus naik ke ranjang makai selimut. Kejadian ini berlangsung hanya
sekilas mata saja, menandakan orang ini memiliki kepandaian yang luar biasa sekali. Tapi
Tiong Giok mengenali orang itu bukan lain dari In Hok adanya !
Penemuan yang tidak disengaja ini membuatnya menggigil tak keruan, hampir-hampir ia
berseru kaget, untung tertahan. In Hok adalah pembantu ayahnya puluhan tahun, tak mungkin
sebagai seorang lihay yang menyembunyikan kepandaian sekian lamanya tanpa ketahuan.
Diluar rumah sudah terdengar langkah-langkah pengawal, Tiong Giok buru-buru masuk
keranjangnya dan pura-pura tidur ! lalu dengan gaya sepeerti barubangun dipanggilnya In
Hok membuka pintu, karena pintu sudah diketuk dari luar.
In Hok benar-benar seperti baru bangun sambil memakai baju ia membuka pintu.
39
Lie Tongleng dan wakilnya tersenyum sinis melangkah masuk dengan sepuluh pengawal.
“Untuk ketiga kalinya aku mengganggu, tapi sekali ini tidak akan salah lagi, dengan mata
kepala sendiri kulihat ada yang masuk kedalam rumah !” Tanpa permisi lagi ia mengeluarkan
perintah pada anak buahnya : “Periksa !”
Laki-laki beralis kereng dengan cerfmat melakukan pemeriksaan demikian juga dengan anak
buahnya, tapi hasilnya tetap nihil !
Lie Tongleng wajahnya menjadi masam, dengan tajam ia memandang kepada In Hok.
Sedangkan yang diawasi sikapnya sangat wajar dan layu, masih mengantuk. Begitu lama Lie
Tongleng mengawasi, belum juga membuka mulut, membuat In Tiong Giok kaget dan cepat
berkata memecahkan kesunyian : “ Cuwie tentu amat letih bertugas sepanjang malam, mari
mengaso dulu, In Hok lekas sediakan the dan jangan membengong saja disini !”
In Hok segera ngeloyor pergi.
“Tidak usah,” kata lie Tongleng, kami masih sedang bertugas, tidak bisa lama-lama berada
disini, atas kejadian ini harap jangan merasa terganggu, semua ini untuk keselamatan Kongcu
!”
“Terima kasih atas kebaikan Tongleng!” kata In Tiong Giok sambil merangkapkan tangan. “
“Bolehkah aku menanyaorang tua ini sudah berapa lama menjadi pembantu dirumahmu ?”
kata Lie Tongleng.
Diam-diam Tiong Giok menjadi kaget, tapi parasnya tetap tenang dan menjawab secara wajar:
“Sejak umur belasan tahun ia membantu ayahku sampai sekarang!”
“Ia pengawal lama dan orang kepercayaan ayahmu, maka itu kesetiaannya tak usah diragukan
lagi bukan ?”
Perkataan Lie Tongleng tidak berarti apa-apa, tapi Tiong Giok sudah mengenal wataknya
yang cerdik, maka iapun menjawab seenaknya: “Ya, memang ia orang kepercayaan ayahku !”
“Ia begitu setia dan bekerja sudah puluhan tahun, apakah sudah berkeluarga ?”
“Ini…” belum pula Tiong Giok berkata habis, In Hok sudah mendahului: “Anakku sudah
sebesar Tongleng!” Jawaban ini hampir-hampir membuat sekalian pengawal tertawa
dibuatnya.
“In Kongcu katamu belum selesai,” kata Lie Tongleng dengan cepat.
“Ini terjadi sebelum aku lahir!” jawab Tiong Giok dengan cepat pula. “Untuk apa Tongleng
bertanya hal ini ?”
“Memang seperti tidak berguna tapi bermanfaat besar bagiku, tunggu saja nanti, aku bisa
memberikan laporan yang benar-benar bisa mengejutkan Kongcu, nah sekarang sudah lama
kami mengganggu dan permisi !” Dengan sekali menggoyang tangan sekalian pengawal
mengiringinya keluar.
40
In Tiong Giok masih terpekur, setelah langkah-langkah para pengawal menjauh ia baru
merasa lega. Cepat ditutupnya pintu, lalu dipanggilnya in Hok: “Engkau sebenarnya siapa,
lekas bilang !”
“Kongcu masakan sama aku si budak tua tidak kenal ? Aku In Hok!”
“Sampai sekarang In Hok belum berkeluarga sebaliknya terus terang saja siapa dirimu ? Dan
In Hok telah engkau apakan ?”
“In Hok tiba-tiba tertawa: “Harap Kongcu tenang, pengikutmu itu tidak kurang suatu apa dan
sudah pulang dengan selamat kerumahmu !”
“Untuk apa engkau menyamar sebagai In Hok, terangkan lekas, jangan sampai aku berteriak
dan membuatmu nanti mati secara sia-sia.”
“Manusia tidak mau mencelakakan Harimau, sebaliknya harimau mau mencelakakan
manusia”, kata In Hok palsu, “tidakkah Kongcu ingat dua kali terlepas bahaya berkat
pertolonganku ?” Berbareng dengan habisnya bicara, lengannya dengan cepat menjambak
dada In Tiong Giok.
Dengan tangkas pemuda kita menggunakan ilmu menggeser tubuh Kiu toan bie cong pou,
tubuhnya berkelebat dan lolos daro serangan.
“Ih, kiranya ada permainannya juga,” kata In Hok sambil mengebaskan tangan membuat
pelita padam. Lalu tubuhnya merendah dan melancarkan serangan Kui ong tan jiau (raja setan
mengcengkeram) kearah ketiak lawan. Tapi dengan cepat dan gusar Tiong Giok melancarkan
serangan balasan kearah jalan darah musuh. Serangannya yang cepat dan tepat membuat In
Hok kaget, dan menarik tangannya sambil berseru : “Ih Siong liong ciu (ilmu menangkap
naga)!”
“Hemm, kau kenal juga, nah ini apa !” kata In Tiong Giok seraya mengumpulkan tenaga
untuk melancarkan ilmu mautnya. Tapi dengan tiba-tiba ia ingat pesan gurunya dan buru-buru
membatalkan niatnya.
Tapi gerakannya saja sudah dikenali In Hok orang tua itu jadi tersenyum. “Hm, tahan dulu si
kutu buku itu apamu ?”
“Aku tidak kenal siapa si kutu buku !”
“Lalu siapa yang memberikan pelajaran Sing Liong ciu dan Hiat cie leng padamu ?”
“Sudah tentu guruku !”
“Siapa gurumu ?”
“Penunggang Hiu dari daerah Honglay, pelajar miskin dari Pegunungan Salju !”
“In Hok menarik nafas panjang, lalu menyalakan pelita. Dibawah sinar lampu. “In Hok telah
bersalin rupa: Rambutnya putih, matanya memancar tajam, usianya lebih tua dari In Hok asli,
tapi wajahnya kemerah-merahan seperti gadis remaja !
41
“Engkau siapa ?”
“Ha ha ha budak cilik, lihatlah yang tegas !” Orang tua itu tertawa dan mengusap wajahnya,
warna kemerah-merahan menjadi hilang berubah kecoklat-coklatan, sikapnya penuh wibawa,
dialah Ngo Liu Cungcu Tan Toa Tiau. In Tiong Giok menyedot nafas, mengumpulkan tenaga
siap dengan Hiat Cie Leng.
“Jangan kesusu, lihat lagi yang tegas,” Lagi-lagi si orang tua bersalin rupa persis seperti Lie
Kee Cie.
In Tiong Giok kebingungan dan menggeleng-gelengkan kepala sambil menarik nafas:
“Engkau sebenarnya siapa ? Setan atau manusia ?”
Orang tua itu mengeset selaput tipis dari wajahnya, menampakkan kembali wajah aslinya
yang kemerah-merahan seperti anak gadis remaja. Ia tertawa puas : “Lohu adalah setengah
manusia setengah setan, ketemu manusia jadi orang ketemu setan jadi iblis ! Bocah, belum
kenal juga padaku ?”
In Tiong Giok menjadi bingung: “Hari-hari belum pernah ketemu mana kukenal engkau siapa,
lagi pula yang mana wajah aslimu !”
“Ah benar-benar celaka sampai orang sendiri tidak dikenal. Menurut tingkatan engkau harus
memanggil Siok-siok (paman) padaku, tak kira berbalik dijadikan pelayanmu !”
“Sebenarnya engkau ini siapa ?”
“Gurumu si kutu buku itu adalah kawan karibku dari banyak tahun,” kata si orang tua.
“Dalam hal menulis dan membuat sajak aku tak memadai kepandaiannya, tapi dalam hal
minum arak dan menggerogot daging anjing aku lebih lihai darinya ! Jika engkau mewarisi
kepandaiannya dan menjadi muridnya, tentu kenal siapa aku ?”
“Suhu tak pernah menceritakan orang-orang Kang Ouw, bahkan sampai namanya sendiri tak
pernah dikatakan!”
JILID 3________
“Ah benar heran, sedang main apa si kutu buku itu… tapi sedikitnya engkau pernah
mendengar apa yang dinamai Bulim Cap sa kie bukan ?”
“Oh yang engkau maksudkan dengan Jiak sie to koey kay sin sian yauw mo kui itu ? aku baru
tahu beberapa hari saja dari Pek Kounio, artinya sama sekali tidak jelas !”
“Ya ketiga belas orang ini empat puluh tahun yang lalu merupakan jago dunia persilatan yang
tiada taranya !”
“Aku heran sepuluh huruf itu kenapa bisa jadi tiga belas orang ?”
“Antaranya yang disebut Yauw ialah Hekpek Siangyauw suami istri, atau dua jejadian hitam
dan putih. Sedangkan To adalah penganut Taois dari Lau Tze bernama Thay Cin Tojin dari
42
pegunungan Hengsan. Kui artinya gadis, yang dimaksud adalah Liap In Eng yang bergelar
Piau Hio Kiam atau sipedang semerbak : Sin mewakili Tong Cian Lie yang bergelar Lui Sin
atau malaikat petir : Sian adalah Gan Kong Hu dengan gelar Sit bok-sian ong atau dewa
bermata hijau, sedangkan Sie mewakili Biku yakni Kay Kong Kiansu : Mo adalah Hiat Mo
setan berdarah Kim Kay, sedangkan kui atau setan mewakili Thian Lam Sam Mo, tiga iblis
dari daerah selatan yang terdiri dari Siau bin Busiang (iblis tersenyum) , Tok Kay fong,
Kiucie Busiang (iblis berjeriji sembilan) Kam Peng Hoo dan Tokpit Busiang (iblis bertangan
satu) Ciau Cie Hiong….”
“Engkau hanya menjelaskan artinya delapan huruf, masih ada Jiak dan Kay yang belum
dijelaskan !”
“Kedua orang itu sebenarnya tak perlu dijelaskan engkau harus tahu sendiri !” kata si orang
tua sambil mengangkat –angkat pundak. “Kelihatannya engkau pintar, nyatanya bodoh dan
harus dikasihani : Jiak adalah pelajar, yakni gurumu si kutu buku Han Bun Siang dengan gelar
Lo-to sen (sipelajar miskin) dan Kay atau pengemis adalah aku Cu lit dengan gelar manis
yakni Cian Bin Sin Kay atau pengemis seribu muka !”
Kaget dan girang bercampur dijiwa Tiong Giok, cepat-cepat ia membungkukkan badan
memberi hormat : “Tak kukira bahwa Lo Cianpwee dan guruku adalah Bulim Cap sakie.
Boanpwee benar-benar tidak tahu dan maaf atas kekuranganku.
“Sudah jangan berkata begitu,” kata Cian Bin Sin Kay,”Sejujurnya dulu bulim capsahkie
namanya tenar, tapi untuk kini telah berubah menjadi Bulim Capsahkie Siu (tiga belas
keburukan)… untuk apa ?”
Bocah apakah engkau tahu kedatanganku ke sini ?”
“Boanpwee tidak tahu,” jawab In Tiong Giok.
“Aku ingin mencari seseorang yang tidak imannya…” mendadak ia diam dan memiringkan
kepala mendengari sesuatu. “Sst jangan bersuara dibelakang rumah datang seseorang
berkepandaian tinggi !” Hm, ingin kulihat manusia macam apa dia itu !”
Cepar-cepat selaput tipis dikenakan kemukanya, membuatnya menjadi In Hok kembali.
“Lo Cianpwee jangan lupa, pura-pura tidak pandai silat, agar tak ketahuan,” kata In Tiong
Giok.
“Ya engkau benar, hampir-hampir kulupa dan terbongkar rahasia kita !”
Berdua-dua mereka berdiam dipojok ruangan ssmbil menahan napas, tak perlu lama-lama
mereka menanti, dibelakang rumah terdengar suara berkeresek… Cianbin Sinkay dengan ilmu
Toan Im (mengirim suara) berbisik pada kawannya “Binatang ini bermaksud tidak baik,
dalam keadaan terpaksa akan kutindak, engkau tetap saja berlagak bodoh !”
Sesosok bayangan hitam masuk kedalam, tubuhnya kurus dan mengenakan pakaian warna
kelabu, wajahnya tertutup kedok, hanya matanya saja terbuka memancar tajam. Ia bersenjata,
gerakannya ringan, dugaan sipengemis tidak salah, tamu tak diundang ini berkepandaian
tinggi. Tiong Giok memperhatikan terus gerak gerik orang itu. Sibaju kelabu seolah-olah
43
mengenal baik keadaan rumah, ia menuju ke kamar In Tiong Giok. Pintu memang setengah
terbuka, tubuhnya memiring dan mencelos masuk tanpa bersuara. Tapi dengan cepat pula is
keluar lagi dari dalam kamar.
“Kawan !” tegur In Tiong Giok, sambil menerkam dan melancarkan serangan Cesiu Puliong
(dengan tangan menjirat naga) mencengkeram kearah pundak. Tanpa menoleh, sibaju kelabu
tiba-tiba mengengos dan menyerosotkan kakinya, tubuhnya sudah berpisah satu meter, lalu
berbalik melepaskan tamparan !
Tiong Giok menyerang tergesa-gesa, cepat-cepat tubuh bagian atas diputar, dan menarik
tangan kanannya, kembali menyiapkan seangannya itu yang dikeluarkan dengan jurus In
Liong Sian Jiau (naga memperlihatkan kuku diawan), tapi gamparan musuh mengandung
kekuatan hebat, tubuhnya hampir terpukul jika tidak ada Cianbin Sinkay yang menalang
menangkis ! Sungguh begitu tak urung terhuyung-huyung tiga empat langkah. Sibaju kelabu
menggunakan kesempatan ini melompat peergi dan terus hilang kearah jendela. Cianbin
Sinkay menyusul dengan cepat, tapi kehilangan jejak, ia merasa kagum, sambil menggoyanggoyang
kepala ia kembali kerumah. “Engkau menyuruh aku menyembunyikan kepandaian,
kenapa engkau sendiri tak tahan menghadapi keadaan ?”
“Sebab dia bukan orang Pok Thian Pang !”
“Bagaimana engkau tahu ?”
Ia berkepandaian tinggi dan tidak bersenjata, begitu masuk lantas kekamarku tapi ia segera
keluar lagi, karena mengetahui kamar kosong. Dari sini kupikir tentu dia orangnya yang tiga
kali berturut-turut membunuh penterjemah bahasa Sangsekerta. Tujuannya dari pembunuhan
untuk mencegah jangan sampai buku yang berada ditangan orang-orang Pok Thian Pang
diterjemahkan, sungguhpun kelakuannya sangat telengas ia berniat melindungi juga kaum
bulim, saying kita tidak berhasil membekuknya !”
“Tapi disini hanya aku dan engkaulah yang terhitung orang luar, jika orang itu bukan anggota
Pok Thian Pang kenapa bisa masuk kesini !”
“Bisa saja, didunia ini apa yang tidak mungkin ?” kata In Tiong Giok. “Buktinya seperti
Locianpwee bisa salin wajah, mungkin dia juga demikian !”
“Ilmu salin rupaku dapat dikatakan tidak ada duanya diatas dunia ini, sehingga mendapat
julukan Cianbin, sungguhpun begitu harus menjadi budakmu dulu baru bisa datang kesini !”
“Tujuannya orang itu mencegah aku menterjemahkan buku, jika kita belum meninggalkan
tempat ini pasti dia akan datang lagi ! Untuk kedua kalinya kita harus berhasil menangkapnya,
mungkin dia itu bisa dijadikan kawan baik !” kata In Tiong Giok, lalu ia ingat perkataan
siorang tua tadi : “Locianpwee ingin mencari orang yang tak kuat imannya itu siapa ?”
“Dia adalah salah seorang Bulim Capsahkie, entash kenapa terdengar diluaran namanya
tercantum sebagai anggota Pok Thian Pang kalau benar terbukti, dengan tangan ini akan
kubunuh dia !”
“Maksudmu Thian Lam Sam Kui ?”
44
“Sam Kui termasuk orang apa ? Yang kumaksud adalah Thay Cin Tojin dari Thay Hengsan !”
“Apa ? Dia juga jadi anggota Pok Thian Pang….. ah mana mungkin !”
“Ini kuketahui dari anggota Pok Thian Pang diluaran, bahkan ia berada diistana “sorga”
menikmati segalanya, sayang usahaku merampas perahu tidak berhasil. Jika tidak, hmm !”
In Tiong Giok turut sedih mendengar itu, karena orang yang dimaksud itu, justeru yang
hendak diketemukannya, jika sampai benar-benar Thay Cin Tojin jadi anggota Pok Thian
Pang bagaimana baiknya ? Biarfpun ia seoarang yang pintar menghadapi keadaan begini jadi
hilang pendapat. Dipegangnya surat kulit kambing di sakunya dengan bengong, tapi tidak
dikeluarkannya untuk diberi tahu pada Cian Bin Sin Kay. “Perkataan sebelah pihak belum
tentu benar biarlah nanti kuselidiki untuk mencari kebenaran !”
“Menyelidiki tidak ada gunanya juga, yang baik kau berusaha mendapatkan sebuah perahu !”
“Ya akan kuusahakan sedapat mungkin, tapi waktu sangat mendesak sekali !”
“Engkau boleh mengulur waktu !”
“Tapi gerak gerik Locianpwee sudah mendatangkan kecurigaan Lie Kee Cie, asal ia mengirim
pos ke Ngo Liu Cung untuk memeriksa keadaan rumahku, segala kebohongan yang diucapkan
Locianpwee bukanlah terbongkar semua ?”
“Aku tak berpikir sampai kesitu, mungkinkah Lie Kee Cie secermat engkau ?”
“Ia licin dan cerdik, buktinya Pang Hui kena dibongkar rahassianya,” kata In Tiong Giok,
lebih-lebih Locianpwee yang berturut-turut dua malam mengganggu mereka, pasti
mendatangkan kecurigaan !”
“Andaikata ia berbuat seperti yang engkau duga, paling sedikit masih ada waktu lima hari.
Waktu ini cukup lama, andaikata ketahuan sekuat tenaga kulindungi engkau sampai berhasil
lolos dari sini, lalu kutempur mereka mati-matian, bagaimana mereka tidak bisa berbuat apaapa
padaku.”
Waktu berjalan dengan cepat, sementara mereka bercakap-cakap, fajar sudah menyingsing.
Tak terasa sudah siang Kongcu sebaiknya istirahat dulu, Lohu akan masak nasi !”
“Ah ada-ada saja, yang pantas Boanpwee menyediakan untuk Locianpwee !”
Biar masih ada lima hari, sandiwara ini sebaiknya berjalan terus, duduklah dan akan
kubuatkan masakan “Ayam pengemis” untukmu !”
In Tiong Giok mengawasi Cu Lit kedapur, perubahan malam ini biarpun sudah membuka
sebagian tabir asap, tapi mendatangkan lagi tabir baru. Bagaimanapun rahasia Cu Lit tidak
bisa bertahan lama. Jangka waktu lima hari dalam sekejap mata akan berlalu, sampai saatnya,
dengan cara apa bisa meloloskan diri dari tempat berbahaya ini ?” Karena merasa risau ia
keluar rumah berjalan-jalan di taman sambil menghirup hawa segar. Ia melangkah perlahan
sambil menundukkan kepala, waktu ia dongkak lagi nampak seorang muda berbaju merah
sedang berdiri disekat gunung-gunungan terpekur dan memandang ketempat jauh.
45
“Nah, ini Pek Kian Hong,” pikirnya, ia berjalan mendekati !
Pek Kiam Hong tetap berdiri tegak memandang kearah jauh sambil berpangku tangan, seolaholah
ia tidak tahu kedatangan In Tiong Giok, juga seperti tahu tapi tidak meladeninya. Melihat
keadaan ini Tiong Giok menghentikan langkah dan niat mundur.
“Pagi benar In Heng bangun ?” tiba-tiba pemuda itu menegur dengan nada dingin.
Cepat In Tiong Giok memberi hormat : “Selamat pagi Siau Pangcu !”
“Untukku sudah tak pagi lagi,” jawabnya kasar, aku berdiri dan berdiri setiap hari ditempat ini
sebelum surya terbit, tanpa terasa sudah sepuluh tahun, selama itu belum pernah absen
seharipun !”
In Tiong Giok tidak tahu harus bagaimana menjawabnya, ia tertawa dan berkata : “Ya sepuluh
tahun seperti sehari, kemantapan Siau Pangcu dan daya tahan yang luar biasa membuatku
kagum.
Seperti tertawa Pek Kiam Hong berkata: “In Heng menganggap kelakuanku aneh dan enggan
bergaul bukan ?”
“Tidak, sedikitpun ridak mengandung maksud begitu, hanya saja.”
“Hanya saja engkau telah dipengaruhi perkataan Pek Sumoy soal diriku yang aneh bukan ?”
“Sebenarnya Pek Kounio tidak mengatakan apa-apa, hanya dengan baik hati ia memesan
jangan mengganggu ketenangan dari Siau Pangcu.”
“Yang dikatakan memang benar, tapi ia tidak mengetahui kepenatan hatiku, perasaan hati
yang terbenam dan tidak diutarakan pada orang lain, sama dengan memelihara adat sendiri
dan timbul keanehan untuk orang lain, sehingga sukar bergaul.”
“Perkataan Siau Pangcu memang benar, masing-masing orang mempunyai tabiat sendirisendiri.
Bagaimanapun kita tertawa untuk menggembirakan orang lain, tidak berarti
kegirangan bagi diri sendiri. Tapi begitu kita sedikit pendiam dianggap sombong dan
menyendiri, ah memang jadi orang tidak mudah !”
Perkataan ini mendatangkan suatu kesenangan bagi Kiam Hong, matanya yang memancar
tajam menatap pada Tiong Giok : “Apakah In Heng mempunyai juga kandungan hati yang tak
bisa diutarakan pada orang lain ?”
“Tidak, tapi aku mengerti apa yang dirasakan Siau Pangcu !”
“Apa yang pernah diucapkan Pek Sumoy kepadamu ?”
“Ia menuturkan secara ringkas hal ikhwal Siau Pangcu…” belum pula Tiong Giok habis
berkata, wajah Kiam Hong sudah ditekuk lagi.
“Ah Pek Sumoy terlalu bawel, kenapa ia berkata begitu pada orang luar !”
46
“Biarpun aku orang luar, apa yang kukatakan adalah kejujuran, harap Siau Pangcu tidak
gusar.”
Agaknya Pek Kiam Hong menjadi malu hati atas kejujuran Tiong Giok, dilihatnya pemuda
kita, parasnya berubah baik, tapi dengan tiba-tiba saja ia berlalu dengan cepat.
In Tiong Giok menggelengkan kepala dan menarik napas panjang melihat sikap si pemuda
itu. Tapi dalam perasaan hatinya bisa menilai bahwa pemuda itu tidak seaneh dan dingin
seperti yang dibicarakan Wan Jie, tapi ia menyesal percakapan berakhir dengan tak sedap.
Sekembalinya kerumah Cu Lit sudah selesai dengan “ayam pengemisnya” yang menebarkan.
“Lekas dicicipi bagaimana rasanya buah tanganku, sudah banyak tahuntak turun tangan
sendiri, entah masih boleh entah tidak !”
Dengan sungkan-sungkan Tiong Giok menggerogoti ayam itu, dalam sebentar saja sudah
tinggal separuh, nyatanya kelezatannya luar biasa sekali. Setelah ayam itu habis semua, baru
ingat bahwa orang tua itu belum makan.
“Tak apa-apa masih ada empat lagi, mari kita makan sepuasnya, lewat lima hari lagi sulit
mencari makan…”
Tiba-tiba dari luar terdengar suara tertawa dari Siau Hong dan Siau Eng :
“Hm, harum benar ! In Kongcu beruntung betul pagi-pagi sudah makan panggang ayam,
bolehkah kami mencoba ?”
“Masih banyak, mari makan,” kata Cu Lit, dan jangan lupa bawakan sebelah untuk Pek
Kounio!”
“Mengapa Pek Kounio tidak turut serta ?” Tanya In Tiong Giok.
“Tiap hari bertemu muka, mungkinkah merasa kangen ?” Tanya Siau Eng.
“Aku ingin membicarakan sesuatu hal yang penting dengannya, bukan main…”
“Kebetulan Kouniopun menyuruh kami menjemput Kongcu kesana !” kata Siau Hong.
“Dimana dia ?”
“Di aula belakang istana !”
In Tiong Giok kaget tapi tak menanyakan lebih lanjut, cepat-cepat ia mengenakan baju,
sebelum keluar ia sempat memesan Cu Lit.
“Siapkan ayam, mungkin aku akan makan siang bersama Kounio disini.”
“Lebih baik kami yang mengambil, karen kemungkinan besar Kounio menahan Kongcu
makan diistana !”
47
In Tiong Giok menganggukkan kepala dan keluar dari villa Tenang bersama-sama kedua
pelayan wanita itu. Diluar telah tersedia kereta, Siau Eng mempersilahkan Tiong Giok masuk.
Begitu ia berada didalam hatinya jadi girang, karena ada Wan Jie ! Sedangkan Siau Eng dan
Siau Hong naik di depan mengendarai kuda.
“Jalan perlahan-lahan,” pesan Wan Jie.
“Ya, nona,”jawab pelayan itu. Benar saja kereta jalannya tak ubah seperti kura-kura merayap.
Di dalam kereta terasa sangat harum dan membuat In Tiong Giok heran, dicekalnya lengan si
gadis, begitu dingin dan sedikit bergetar. Hal ini membuatnya jadi bergetar juga, dilihatnya si
gadis menatap sayu kearahnya, disekalnya lengan si gadis bertambah erat.
“In Kongcu sejak bertemu di Ngo Liu Cung aku sangat menghargaimu, tapi ada satu hal yang
aku minta kejujuranmu, benar-beanrkah engkau bisa berbahasa Sangsekerta ?”
“Mengapa Kounio bertanya lagi, jika tidak mampu apa gunanya aku kemari ?”
“Aku percaya padamu, tetapi suhu dan Lo Cucong merasa curiga, karena mereka mendengar
tadi malam terjadi sesuatu di villa Tenang, benarkah ?”
“Benar, bahkan Lie Tongleng telah melakukan pemeriksaan !”
“Ya, biang kerok justru Lie Tongleng adannya,” kata Pek Wan Jie, “ia melaporkan pada
Pangcu bahwa mata-mata itu In Hok adanya, bahkan engkaupun dicurigai pula.”
“Bagaimana ia boleh sembarngan menfitnah orang baik ?”
“Menurut dia dengan mata kepala sendiri melihat penjahat masuk kedalam villa, dan
potongan tubuhnya mirip In Hok, tetapi waktu memeriksa tak ada bukti. Juga waktu ia
menanya In Hok kau melindunginya !”
“Aneh… biasanya penjahat mendatangkan malapetaka bagi penterjemah,” kata In Tiong
Giok. “Lie Tongleng seharusnnya mengoreksi diri sendiri, Karena sebagai petugas tak
berhasil menjalankan kewajiban, kenapa berbalik menfitnah kami sebagai mata-mata. In Hok
adalah pengikut ayahku dari puluhan tahun, sedikitpun tak bisa silat, mana bisa jadi penjahat !
Ini terang-terang ia tak bisa bekerja ! Apakah Pangcu percaya ocehannya ?”
“Pangcu sebenarnya tak percaya, dan membentaknya buat membuktikan ! Tapi Lo Cucong
yang mengetahui kejadian ini, dia segera memerintahkan mengirim merpati pos, meminta
Ngo Liu Cung menyelidiki sampai kedasarnya, lalu menyuruh aku mengundangmu untuk
dites…”
“ini cara yang baik, bagaimanapun emas murni tidak takut dibakar !” kata In Tiong Giok
memegat pembicaraannya.
“Semoga apa yang kau ucapkan benar semua, ketahuilah Lo Cucong tabiatnya jelek, waktu
menjawab segala pertanyaan harus hati-hati…..ah, hatiku sangat risau, jika dipikir
membuatku kuatir sekali…”
48
“Apa yang engkau kuatirkan ?”
“Ada pirasat seolah-olah kita akan berpisah !” kata Pek Wn Jie dengan suara sedikit bergetar.
“Entah apa sebabnya, hatiku kuatir berpisah denganmu, kemudian hari entah masih bisa
bertemu entah tidak…” Ia terdiam air matanya berderai turun.
Tergetar sanubari Tiong Giok : “Wan Jie engkau menangis ?”
Wan Jie menggeleng kepala, tapi isak tangisnya keluar tanpa dirasa.
Dengan perasaan saying, Tiong Giok merangkul pundak sigadis dan bertanya : “Wan Jie
engkau kenapa begitu baik kepadaku, kenapa ?”
Dengan lemah sigadis menyandarkan tubuhnya kedalam dada Tiong Giok : “Tak dapat
kukatakan kenapa mungkin memang sudah nasib, mau ketemu di Ngo Liu Cung, begitu
melihatmu lantas… ia tidak meneruskan.
“Kounio ! Sudah sampai !” terdengar suara Siau Hong.
Wan Jie melepaskan diri dari Tiong Giok, cepat-cepat menyeka air mata, pintu kereta sudah
dibuka Siau Eng. Kedua orang turun di sebuah taman yang besar dengan beraneka ragam
bunga indah. Dengan merapikan baju Wan Jie membuka jalan diikuti tamunya dari belakang.
Meeka melewati taman bunga dan naik keundakan tangga, dua penjaga dengan senjata
terhunus berdiri tegak, diam tak bertanya. Setibanya mereka didalam, terlihat dua orang
berpakaian biru, satu tinggi satu pendek.
“Kedua orang ini adalah Wang Fut Hoat dan Pu Fut Hoat dari Korea !” kata Wan Jie.
“Tiong Giok merangkapkan tangan memberi hormat : “Yang rendah adalah In Tiong Giok.”
Kedua Fut Hoat itu tidak membalas hormat, dan tidak berkata sepatah katapun, yang jangkung
dengan tiba-tiba saja mencekal kedua tangan Tiong Giok sedangkan yang pendek melakukan
penggeledahan. Setelah itu sijangkung mengangguk kepada Wan Jie, mengizinkan masuk.
Kelakuan ini membuat Tiong Giok tersinggung.
“Sabar,” kata Wan Jie, yang terus melangkah kesebuah kamar. Begitu masuk benar-benar
diluar dugaan, karena Pek Cin Nio berada disitu, kedua Fut Hoat entah kemana tidak terlihat
lagi.
Sang Pangcu duduk dikursi bersarapkan kulit harimau, dikiri kanannya tidak terlihat seorang
pelayanpun. Wajahnya sangat cantik tersenyum manis, begitu ramah seperti kemarin-kemarin.
“In Kongcu silahkan duduk, mari kita membicarakan sesuatu mengenai pekerjaan
menterjemahkan buku Sangsekerta itu.”
Wan Jie berdiri dibelakang gurunya, sedangkan Tiong Giok mengambil tempat duduk di
bagian selatan. Diam-diam Wan Jie memberi kode dengan memoncongkan mulut ke arah
utara, dimana terdapat pintu yang tertutup kain tipis. Seolah-olah menyuruhnya berhati-hati.
49
Pertama-tama Pangcu menanyakan soal keluarga Tiong Giok, yang dijawab dengan
sejujurnya. Disamping menjawab iapun memperhatikan kearah utara, kini ia sadar, kiranya
dibalik kain tipis, samar-samar terlihat bayangan orang. Mungkin itulah yang disebut Lo
Cucong dengan kedua Fut Hoat tadi. Antara pintu berkain tipis dan dimana Tiong Giok duduk
saling berhadapan. Orang-orang dibalik kain tipis itu pasti dapat melihat dengan tegas pemuda
kita, sebaliknya Tiong Giok hanya melihat bayangan-bayangan saja dan tidak bisa melihat
wajah mereka.
“In Kongcu untuk menyingkat waktu, baiklah kita mulai dengan pekerjaan menterjemahkan
itu.” kata Sang Pangcu , seraya menyerahkan sehelai kertas tipis. “Nah Kongcu coba lihat apa
artinya tulisan ini ?”
Dengan kedua tangan Tiong Giok menyambut kertas itu, dan melihat sejenak lalu
menyerahkan kembali dan menjelaskan : “Maknanya dari kata-kata itu bersangkutan
denganilmu silat, Hauw Sian adalah nama dari sipenulis, Ciu Lok tulisan tangan. “Keng Thian
Cit Su” nama dari ilmu itu yang berarti : “Tujuh gerakan menjangkau langit.”
Sang Pangcu mendengari tenang-tenang wajahnya menunjukkan sinar puas. “Kongcu adalah
pemuda berbakat dan berpengetahuan dalam bisa mendapat bantuanmu, peerkumpulan kami
marasa bangga dan beruntung !” Ia tersenyum kearah Wan Jie, sigadis mengerti apa yang
dimaksud gurunya, maju menerima kertas dari gurunya dan melangkah masuk kedalam pintu
berkain tipis.
Bayangan-bayangan orang dibalik kain tipis terlihat bergerak-gerak dan berkata-kata dengan
perlahan, sesudaah itu terlihatlah Wan Jie keluar, ditangannya membawa sehelai kertas lain.
Sang Pangcu menerima dan memberikan pada Tiong Giok sambil berkata : “Silahkan Kongcu
membacakannya, apa artinya tulisan di kertas ini ?”
Setelah membaca sebentar Tiong Giok berkata : “Oh ini prakata dari buku Keng Thian Cit Su,
yang menjelaskan keistimewaan ilmu pedang tujuh gerakan menjangkau langit. Sungguhpun
bernama tujuh jurus, sesungguhnya mencakup keseluruhan ilmu pedang, yang dapat berubah
tak terpanai banyaknya. Maka itu orang-orang yang kurang cerdas dilarang mempelajari
seorang diri, karena bisa tersesat dan gila. Karena pelajaran ini terdiri dari dua jilid, pertama
dan kedua. Untuk dipelajari berdua dan dimainkan berdua juga, dengan bersatu padunya
pemain, kelihayan dan kekuatan ilmu pedang ini baru dapat dikembangkan menjadi kekuatan
yang tiada taranya.
Perbedaan besar dengan ilmu pedang biasa yakni setiap yang mempelajari harus sungguhsungguh
dan tekun…” Tiba-tiba saja dari balik kain tipis berdehemnya suara halus.
“Kongcu benar-benar dikurniakan yang Maha Kuasa kepintaran yang melebihi orang lain!”
kata sang pangcu dengan tersenyum, “untuk mengingat kata-kata ini terlalu panjang, maka itu
kuminta Kongcu untuk menuliskannya dibuku” Ia menoleh pada Wan Jie “sediakan alat-alat
tulis !”
Ia bangun dan masuk kedalam, bayangan-bayangan dibagian kain tipispun bergerak dan
hilang. Wan Jie menarik napas panjang, dan tersenyum kearah Tiong Giok : Senyumnya
mengandung, girang, haru, bersyukur dan banyak-banyak yang tak dapat dituliskan.
“Sekarang engkau percaya padaku ?” tegur in Tiong Giok.
50
“Hm.” Wan Jie mendelik dan terus masuk kedalam mengambil alat-alat tulis, dengan cepat ia
kembali lagi. Diambilnya pit dan ia menulis dimeja : “Jangan terlalu jujur mengeluarkan
keahlian atau kepintaran, kamu pura-pura seperti menghadapi kesulitan, makin lambat makin
baik. Wan Jie cepat-cepat menghapusnnya lagi tulisan itu.
Tak selang lama Sang Pangcu datang lagi dan mengawasi Tiong Giok bekerja, gerak geriknya
demikian ramah dan selalu tersenyum-senyum, sekali-sekali iapun bertanya keistimewaan
dari Sangsekerta kelakuan ini begitu wajar dan bebas, tak ubahnya seperti seorang ibu sedang
mendampingi anaknya.
In Tiong Giok menurut permintaan Wan Jie pura-pura menggigit seperti berpikir, dan menulis
dengan perlahan-lahan. Sampai tengah hari, ia baru berhasil menterjemahkan satu halaman.
Sang Pangcu meneliti hasil teerjemahan iotu, dengan puas dimasukinya kedalam saku : “In
Kongcu, kepandaianmu ini mendatangkan penghargaan Lo Cucong, ia menghadiahkan semeja
makanan dan minuman sebagai imbal jasa jerih payahmu hari ini : Wan Jie temani In Kongcu
makan disini ! Sesudah itu ajaklah berperahu, agar kepenatan hari ini tersapu bersih, dan bisa
memelihara semangat untuk hari esok….. tapi, disebabkan terjadinya dua keributan dimalam
hari, kuminta kalian pergi disiang hari. Dan pekerjaan ini dilakukan pada malam hari !”
Sepuluh pelayan datang membawa hidangan dan minuman, begitu banyak dan harum-harum.
Pangcu sebagai tanda hormatnya, memberikan secawan arak pada Tiong Giok baru berlalu.
Wan Jie makan dengan bernafsu, karena segala kerisauan pikirannya dalam beberapa hari,
sudah hilang pergi berikut perginya sang Pangcu. Sedangkan In Tiong Giok disamping rasa
girang tidak luput timbul rasa kagetnya : yang menggirangkan adalah Sang Pangcu memberi
ijin berperahu, yang mengagetkan pekerjaan menterjemahkan harus dilakukan pada malam
hari. Dengan begini bisa menghambat usahanya bersama Cu Lit untuk melarikan diri.
Kemungkinan disiang hari bisa meloloskan diri. Ya, biar bagaimana tinggi kepandaian Cian
Bin Sin Kay, dengan berdua saja.
“Eh, bagaimana engkau ? Maukah main perahu ?”
“Sudah tentu, siapa mau melewatkan kesempatan ini !”
Wan Jie cepat-cepat meminta kartu perahu dari Pangcu dengan girang ia mengajak Tiong
Giok keluar istana.
“Main perahu paling enak mengayuh sendiri, maka kuminta perahu kecil yang muat dua
orang saja !”
“Hm,” dengus Wan Jie dengan pipi merah,” kutahu engkau mempunyai maksud tak baik !
Nah kuserahkan kartu ini dan engkau pillih sendiri perahunya ! Coba saja lihat, Siau Hong
dan Siau Eng bisa marah-marah !”
In Tiong Giok tidak memperdulikan, ia memilih perahu kecil. Siau Eng danSiau Hong
bertolak pinggang dengan mangkel karena mengerti bakalan tak diajak. “Kalian atak usah
menunggu kami bisa pulang sendiri,” kata Tiong Giok yang terus mengajak Wan Jie naik
perahu. Dengan pesatnya perahu lalu menerjang air membiru, makin lama makin kecil dan
hilang dari pandangan mata.
51
Wan Jie duduk diburitan, mengemudikan perahu, sedangkan Tiong Giok duduk berhadapan
sambil mengayuh perahu. “Kita pergi melihat air terjun dulu, lalu mampir ditempat
pemerahan sapi, minum susu segar, bagaimana ?” Tanya Wan Jie. Tiong Giok
menggelengkan kepala. “Kalau begitu kita pergi dulu kepasir putih, mencari kerang,
bagaimana ?” In Tiong Giok menggelengkan kepala lagi. “Baiklah kuajak kesuatu tempat,
dimana banyak pepohonan yang rindang, perahu kita tambat dan pergi kehutan mendengari
kicauan burung….”In Tiong Giok sudah geleng kepala lagi. “Ih habis mau kemana, jangan
goyang kepala saja !”
“Kuingin pergi kepulau itu, disana kulihat ada rumah seperti dipulau ini setujukah ?” kata In
Tiong Giok.
“Tidak bisa !” kata Wan Jie dengan tegas, “kemana saja boleh engkau pergi, hanya kedua
pulau itu terlarang untukmu !”
“Kenapa ?”
“Pokoknya tidak boleh !”
“Sedikitnya harus kuketahui alasannya, kenapa tidak boleh ?”
“Baiklah kujelaskan padamu, dikedua pulau itu terdapat dua isstana yang bernama “Sorga”
dan “Hayal”…….”
“Menarik benar nama kedua istana itu, alangkah senangnya kalau aku bisa mengunjunginya
kesana !”
“Kedua istana itu khusus untuk menjamu tamu-tamu terhormat !” kata Wan Jie dengan
terpaksa, sedangkan kedua pipinya menjadi merah. “Disana adalah tempat menjijikkan,
guruku melarang gadis-gadis pergi kesana, mengertikah ?”
“Asal pikiran kita benar, melihatpun tidak menjadi soal……..”
“Pokoknya bagaimana engkau maupun tidak kuijinkan !” kata Wan Jie, “lebih-lebih kalau
sampai guruku tahu, bisa didamprat habis-habisan dan membuatku menaruh muka dimana
lagi ?”
“Ya tidak boleh ya sudah ! Marilah kita lihaat air terjun !”
“Perahu laju kearah tujuaan, suara air terjun semakin dekat semakin terdengar. Begitu
membisingkan sekali, jika dongak ke atas, terlihat air itu tak putus-putusnya dari puncakpuncak
terjun kebawah dan terjadilah percikan air tak ubahnya seperti kabut pagi. In Tiong
Giok jagum melihat air terjun ini, tapi tidak menyenangkannya, karena pikirannya masih tetap
mengingat “Istana Sorga” dan “Istana Hayal”. Tiba-tuba saja terpikir olehnya sesuatu akal, ia
pura-pura memandang keindahan alam sekitarnya dan terus berkata : “Tadi engkau
mengatakan dimana terdapat hutan untuk mendengari burung berkicau ?”
“Disebelah barat, nah lihatlah, burung-burung beterbangan disana !’ kata Wan Jie sambil
menunjuk.
52
“Jauh sekali, rasa-rasanya tak kuat aku mengayuh kesana !”
“Ah, dasar pelajar lemah,” kata Wan Jie, dengan sebelah tangan aku masih sanggup
mengayuh pulang pergi, kalau begitu engkau saja yang pegang kemudi !”
In Tiong Giok tak menampik, segera tukar tempat. “Sebagai pelajar, aku kurang bergerak
badan, tidak seperti engkau yang belajar silat” Ia tak dapat melanjutkan kata-katnya, sebab
dengan terjadinya pertukaran tempat, membuat perahu oleng. Tapi dengan ilmu Cian kin tui
(menindih dengan seribu kati) Wan Jie membuat perahu tak bergerak. Sedangkan In Tiong
Giok puntang panting tak keruan, dan baru bisa diam sesudah tangannya memegang tubuh si
gadis yang berdiri tegak.
Entah disengaja atau tidak, dari memegang tahu-tahu menjadi memeluk. “Eh, kirakira…
jangan main-main disini, jika sampai dilihat parng-orang pulau itu, bisa dijadikan bahan
tertawaan!” Iapun segera melepaskan diri dan mengayuh sedang Tiong Giok mengemudi.
Wan Jie hati-hatinya berdebar karena pelukan tadi, maka itu ia mengayuh tanpa menoleh
kanan kiri, melainkan tunduk, karena merasa likat dipandang terus si pemuda. Kesempatan ini
dipergunakan Tiong Giok sebaik-baiknya, perahu itu dikemudikan kearah pulau terlarang.
“Eh…, mengapa engkau diam saja ?” Tanya In Tiong Giok, “maukah engkau mendengar
ceritaku ?”
“Mau” kata Wan Jie dengan tersenyum. Sekali-kali ia tidak mengetahui maksud Tiong Giok,
dengan cerita perhatiannya jadi teralih sedangkan perahu berjalan terus kearah dua pulau.
Waktu aku masih kecil, pernah terserang penyakit keras. Sepanjang haritak makan dan tak
munum juga tak bicara, penyakitnya aneh sekali sampai melihatpun tak bisa mengenali siapasiapa
! Kedua orang tuaku menjadi cemas segala tabib yang pandai diunangnya dari segala
tempat, satupun tak ada yang tahu aku sakit apa, perkiraan mereka aku tidak tertolong lagi “
Orang tuaku bersedih hati, pikiran mereka kematianku takkan lama lagi, maka itu segala
keperluan mati sudah di siapkan. Pada saat itulah tiba-tiba datang seorang Tojin kerumah aku,
sambil nyanyi bagai orang gila.
“Jangan kuatir, jangan susah hati, yang harus mati tak hidup, yang wajib hidup tidak mati,
asal tuan dsan nyonya mau menjamu aku rasanya masih ada harapan untuk menolongnya “
kata Tojin itu. Permintaan itu, saat itu juga dikabulkan, dan Tojin itu makan dengan lahapnya,
sesudah kenyang, dengan tertawa-tawa ia menghampiri aku dan menepuk jidat aku tiga kali
dan menjejali sebutir pil kemulut, lalu membalik badan dan pergi.
Pil itu membuatku mules, waktu buang air tak ada kotoran hanya puluhan cacing hitam yang
keluar. Penyakitkupun menjadi baik…”
“Tojin itu tak ubahnya seperti dewa saja, tidakkah orang tuamu menanyakan namanya ?”
“Oh…, sudah tentu, ia bernama Thay Heng Thay Cin Tojin…”
53
“Apa ?” Tanya Wan Jie terkejut terus bangun membuat perahu goyang. Tiong Giok
menggunakan kesempatan ini pura-pura mau menolong sigadis : “Duduk ! Nanti perahu
terbalik” Tak ampun lagi perahu itu benar-benar terbalik, kedua-duanya masuk ke dalam air.
Wan Jie berlaku sebat, cepat-cepatlah ia mencelat dari air dan melompat keperahu yang sudah
terbalik. Dengan tajam ia memandang sekeliling mencari kawannya. Tiba-tiba terlihat In
Tiong Giok yang tenggelam timbul, segera ia terjun memberi pertolongan. Anehnya sudah
dekat, tubuh pemuda itu hilang entah kemana, membuat cemas sekali. “Kongcu! Kongcu !
Kongcu! Dimana engkau !” teriaknya keras-keras. Sedikitpun ia tidak menduga pelajar lemah
itu, sejak kecil biasa mandi dikali dan pandai berenang. In Tiong Giok muncul lagi beberapa
meter dari sigadis, dengan pura-pura kelelap timbul. Tetapi setiap Wan Jie sampai, ia
menghilang. Dengan begini tanpa terasa sudah mendekat pulau. Sesudah menghitung dengan
cepat, begitu sigadis datang lagi untuk menolongnya, In Tiong Giok mencekal lengan si gadis
kuat-kuat, cara ini memang tepat ! Sedikitpun tidak mendatangkan kecurigaan sigadis, dan tak
membuatnya sulit, karena kepandaiannya lihay, ditotok dulu pemuda itu, baru dibawanya
kedarat.
Dengan cepatTiong Giok ditengkurupi dan diangkat perutnya, kasian pemuda itu tidak
memuntahkan air, tapi terus diurut, sampai yang ada dikantong nasinya semua keluar melalui
mulut.
*****
Saat ini terlihat empat enam orang datang ke arah mereka, dibawah pimpinan seorang lakilaki
tua berewokan. Mereka adalah pengawal-pengawal pulau, begitu melihat Wan Jie
siberewokan segera tersenyum : “Angin apa yang membawa nona kesini ?”
“Kam Lo Cianpwee ia adalah seorang pelajar kau lihat perahu kami terbalik ?” kata Wan Jie.
“Oh terbalik ?” kata siberewok, “dan siapa itu ?”
“Dia adalah penterjemah yang diundang Pangcu, namanya In Tiong Giok !”
“Oh kiranya tamu terhormat,” katanya sambil bergelak-gelak, kedatangannya membuat istana
disini bertambah terang. Ia memanggil kedua pengawalnya untuk membawa Tiong Giok.
“Kam Lo Cianpwee, ia adalah seorang pelajar lemah, asal engkau dapat menyediakan baju
kering sudah cukup, tak perlu mendapatkan segala “servis”….
“Ya baju Kouniopun basah, apa salahnya mampir dulu dan tukar pakaian.”
“Hm, siapa mau memakai pakaian busuk mereka,” kata Wan Jie sambil menggelengkan
kepala, angkat perahu kami, segera beangkat lagi”
Agaknya si berewok itu menghormat betul pada Wan Jie, disuruhnya beberapa pengawal
mengambil perahu, juga memaksa sigadis datang ketempatnya beristirahat. Sedangkan Wan
Jie menggelengkan kepala terus.
In Tiong Giok pura-pura siuman dari pingsannya dan berkata perlahan : “Aduh, perutku sakit,
ada air jahe tidak, ambilkan aku secawan.”
54
“Badan In Kongcu lemah, jangan birakan ia kena inflensa, lekaslah bawa ke istana untuk
pengobatan selanjutnya,” kata si berewok. “Jika Kounio menganggap perempuan-perempuan
disini kotor, kami bisa memerintahkan mereka diam dikamar dan tak boleh berkeliaran !”
Sesudah berpikir sejenak, akhirnya Wan Jie menganggukkan kepala.
Lelaki tua itu membuka jalan, mereka melalui taman-taman yang indah, belok kekanan dan
kiri denagn rumitnya, mendatangkan kesan bagi Tiong Giok, tak sembarang orang bisa datang
kesini, kepemasakan nasi berlalu, mereka sampai disepan sebuah istana.
“Sebaiknya aku tak masuk,” kata Wan Jie.
“Kounio harus tahu orang-orang yang berada di istana “Sorga” ini adalah jago-jago Bulim
kelas wahid, mereka tak berani berlaku tak sopan kepada Kounio ?” kata si berewok, dan
iapun memerintahkan kepada bawahannya membersihkan loteng dan membuatkan pakaian
baru untuk Wan Jie.
Atas perlakuannya yang telaten ini Wan Jie terpaksa takmenolak lagi, dan ikut masuk ke
dalam. Terus naik keatas loteng yang terhias rapi dan indah, dari sini bisa memandang
kepantai, dan menghirup hawa sejuk, membuat Wan Jie senang juga.
Tak selang lama terlihat seorang perempuan pertengahan tahun atang keloteng membawa
pakaian. Begitu ia melihat Wan Jie segera bertekuk lutut memberikan hormat. “Pek Kounio
sudah sepuluh tahun tidak terlihat, masih ingatkah dengan aku yang rendah ini ?”
“Ih, Hoo Hoa kenapa engkau bisa ada disini ?” Tanya Wan Jie keheranan.
“Kounio tentu tahu, sejak terjadi peristiwa hari itu, Lo Cucong memberikan hukuman mati
padaku dan Teng Pauw masih tetap sebagai pengawal sedangkan aku membantu Thay Cin
Tojin mengurus kamar-kamar. Budi kebaikan gurumu, seumur hidup takkan kami lupakan…”
Habis berkata air matanya berderai turun.
“Ah Pek Kounio pertama kali datang kesini engkau jangan membuat hatinya risau dan sedih
!” kata si berewok.
“Jangan perdulikan dia Hoo Hoa, kita bicara urusan kita!” kata Wan Jie, bagaimana selama
sepuluh tahun ini …”
Si berewok hanya tersenyum dan menemui Tiong Giok.
“Kam Lo Cianpwee, jangan engkau mengajak In Kongcu ketempat kotor, sudah salin pakaian
ajak lagi kesini, kami segera berangkat !”
“Jangan kuatir ! Disini tidak ada harimau yang bisa memakan orang !” kata si berewok dan
terus berpaling kearah Tiong Giok. “Penyakitnya perempuan, senang sekali bertemu teman
lama, tak putusnya bercerita, tapi tak lupa mengasi lelaki. Ha ha ha.”
“Maaf Lo Cianpwee, dapatkah kutahu namamu yang besar ?”
55
“Namaku Kam Kong, pengurus istana Sorga.”
In Tiong Giok ingat nama itu, tambahan melihat jeriji orang yang kurang satu. Dialah satu
dari tiga iblis dari selatan yang bergetar, Kiu cie hu siang. Sungguhpun tampangnya kejam
dan jelek tapi kata-katanya lucu dan menarik. Dengan tersenyum Tiong Giok berkata : “Sudah
lama kudengar nama besar Lo Cianpwee, dapatkah kiranya mengijinkan aku meninjau
keadaan Istana Sorga ini ?”
“Kutahu engkau pasti mempunyai keinginan kesitu,” kata Kam Kong dengan bergerak gerik,
lelaki memang bersifat mata keranjang dan senang pelisiran : lebih-lebih keadaan istana Sorga
yang luar biasa hebatnya, pasti memberikan suatu kepuasan padamu. Tapi ingat jangan
sampai dia tahu !”
In Tiong Giok tidak memperdulikan kata-kata orang, ia salin pakaian dan memeriksa sakunya,
untung surat kulit kambing itu tidak basah. Lalu mengikuti Kam Kong meninjau istana Sorga.
“In Kongcu sebaiknya meninjau istana ini silakukan seorang diri, agar kau bebas bergerak
seenak-enaknya !” kata Kam Kong.
“Tapi soalnya aku tak tahu peraturan istana ini…”
Disini tempat bebas, tidak ada peraturan, perempuan-peempuan yang ada semuanya sebagai
pelayan. Yang datang kesini adalah tamu-tamu terhormat dari Pok Thian Pang, mereka boleh
bertindak sesuka hatinya, tidak perlu memikirkan segala ikatan atau peraturan untuk
mengekang diri. Pokoknya engkau boleh pergi keistana luar itu, itu khusus untuk kaum Fut
Hoat mencuci otak. Ia tersenyum dan mengeluarkan palu kecil dari sakunya, dipukulnya genta
kecil tiga kali. Suara genta memecah kesunyian, segera terlihat pintu terbuka, wewangian
menyerang hidung, terlihat dua perempuan muda yang cantik menghadap ke arah mereka.
“Kongcu ini adalah tamu terhormat. San San Ting Ting ! Hati-hatilah mengajak Kongcu !”
kata Kam Kong.
Dengan hormat kedua pelayan itu mengampit Tiong Giok. Mari Kongcu, “ kat amereka
hampir berbareng. Dengan likat In Tiong Giok menoleh kearah Kam Kong, tapi orang tua itu
sudah lari entah kemana.
Tiong Giok diajak masuk kedalam ruangan yang indah sekali dan besar, dikiri kanan terlihat
pintu-pintu kamar yang berhorden kain tipis dn jarang. Ditengah-tengah ruangan terdapat
sebuah kolam dan air mancur yang menerbarkan wewangian. Sebuah patung nud yang
memegang kendi, menumpahkan cairan kuning mengucur kedalam kolam, menebarkan
harumnya arak.
Disekitar kolam terdapat permadani, disitu terlihat belasan perempuan-perempuan muda, ada
yang melonjor, ada yang rebahan, ada yang duduk dan macam-macam. Semuanya cantik dan
menggiurkan, membuat seorang berada dalam mimpi.
Perempuan-perempuan itu dengan kerlingan tajam mengawasi pemuda kita, dengan keheranheranan.
“Sejak istana ini dibangun, kaum tamu terdiri dari orang-orang tua melulu, orang
semacam Kongcu adlah yang pertama kali, tak heran menimbulkan keanehan pelayan-pelayan
disini,” kata san san.
56
Ting Ting mengebutkan lengan bajunya, sebagai sambutan terdengar irama halus yang
mengasyikkan. “Kongcu mau mendengarkan nyanyian merekakah ? Atau minum-minum
anggur dengan mereka ?
“Tidak ! Tidak ! kedatanganku hanya meninjau, asal melihat-lihat ya sudah.” Kata Tiong
Giok.
“Kongcu tak usah ketakutan tak keruan, disini lain dengan istana Hayal, disini bersifat pasif !”
In Tiong Giok menyaksikan belasan dara-dara cantik, hanya mengerlingkan mata dan
bergerak-gerak untuk mendapat perhatian, tapi tak seorangpun yang mendekatinya membuat
Tiong Giok merasa tenang.
San San menuju kolam dan menyendok airnya. “Kongcu coba minum, bagaimana rasanya air
kolam ini ?”
Tiong Giok meminumnya, merasakan harum dan segar, itu bukan air tapi anggur yang enak.
“alangkah harumnya anggur ini “ pujinya.
“Jika Kongcu tidak senang melihat tarian dan mendengar nyanyian, mari kuajak kekolam
Merpati ?” ajak San San.
Belum pula Tiong Giok menjawab, tiba-tiba mendengar suara tertawa yang keras menyusul
terlihat salah satu pintu kamar terbuka dan keluarlah tiga orang. Yang ditengah adalah
seorang tua kurus berpotongan seperti Tojin, usianya lebih dari tujuh puluh tahun, lengan kiri
dan kanannya menggandeng dara-dara cantik usia belasan tahun, mulutnya menyanyi-nyanyi
jalannya terhuyung-huyung, mukanya penuh senyuman cabul, benar-benar tidak senonoh.
Dara-dara yang berada dipinggiran kolam begitu melihat orang tua ini, dulu mendahului
memeluk, ada yang menarik janggutnya, ada yang membuka bajunya, segala kemaksiatan
dilakukan dengan penuh kekotoran, dalam sekejap orang tua itu hilang dibawah timbunan
dara-dara cantik.
Betapa muaknya Tiong Giok menyaksikan kejadian ini. “Siapa orang tua itu ? Kenapa tua-tua
tidak tahu malu ?” Tanya Tiong Giok.
“Oh dia ? Ia terkenal sebagai Tojin gila, setiap hari tidak ketinggalan arak dan perempuan,
pelayan-pelayan disini sudah biasa gila-gilaan menghadapinya, tapi kalau disebutkan
namanya, bisa mengagetkan yang mendengar !”
“Siapa namanya ?”
“Thay Heng Thay Cin Tojin !”
“Apa ?” tanya Tiong Giok kaget, dikucek-kucek matanya dan menegasi : “Dia Thay Cin Tojin
?”
“Benar !” jawab San San, jangan dilihat ia gila-gila dulunya adalah salah seorang jago Rimba
Hijau yang terkenal, tapi sekarang ia menjabat sebagai ketua Fut Hoat di Pok Thian Pang !”
57
In Tiong Giok hampir tak percaya dengan pendengarannya sendiri, karena orang yang dicari
ini didapati dengan mudah, tapi ia menyesal orang yang dicari ini, tak lebih dari seorang tua
bangka yang gila-gilaan dan bejat moralnya.
Saat ini dara-dara cantik telah menggotong sang tojin kesebuah balai-balai, sepatunya dicopot,
rame-rame mengurutnya, sedang kedua tangan Tojin itu tak pernah nganggur, memeluk ini,
meraba sana, tak ubahnya sudah sekarat dn memuaskan nafsu hati sebelum mati.
In Tiong Giok menghampiri, dengan wajah muram ia berkata : “Numpang bertanya apakah
Lo Cianpwee benar Thay Cin dari Thay Heng san ?”
“He he he, kawan cilik aku memang Thay Cin Tojin, ada perlu apa mencaari Lohu, mari
duduk !”
“Boanpwee bernama In Tiong Giok ada sedikit keperluan dengan Locianpwee, bisakah
menyediakan sedikit waktu untuk bicara dengan empat mata ?”
“Mau bicara, silahkan bicara, tak usah empat mata segala ! Mereka boleh menyanyi dan
menari engkau boleh berkata-kata, apa salahnya ?”
“Locianpwee adalah seorang ternama, tapi tak kira bisa berbuat sesat sedalam ini, tidakkah
kuatir jika halini keluar bisa merusak namamu yang besar ?”
“Anak muda apa yang engkau tahu ? Saatnya bersuka ria harus bergirang hati, saatnya sedih
harus menangis, bukankah begitu ? Kehidupan di dunia ini jangan terikat oleh nama kosong,
aku mengerti dulu sebagai salah seorang Bulim Cap sahkie dan terkenal kemana-mana, atas
itu aku bangga dan senang, tapi segalanya itu jika dibanding dengan sekarang, hanya nama
kosong yang tak berarti bukan ?”
“Sebagai seorang yang kenamaan apakah engkau hidup dipiara orang semacam ini ? Biarpun
aku bodoh, tapi bisa menilai perbuatan Tojin ini tidak ada harganya dan rendah dipandang
umum !”
“Dipiara ? Ha ha ha ha !”
“Kira Locianpwee perkataanku lucu dan patut ditertawakan ?”
“Bukan saja harus ditertawakan, juga boleh dikasihani,” kata Thay Cin Tojin. “Anak muda
sebagaimu saatnya mempergunakan waktu sebaik-baiknya, kenapa harus mempunyai pikiran
setolol ini ? Ha ha ha !”
“Oh dengan ini kenallah aku siapa sebenarnya Locianpwee,” kata In Tiong Giok, “sejujurnya
yang harus ditertawakan dan dikasihani bukannya aku, tapi adalah seorang kawan lama
Locianpwee !” sehabis berkata ia mengeluarkan surat kulit kambing dari sakunya dan
melemparkan ke lantai.
“Ha ha ha seorang Tojin mana mempunnyai kawan atau saudara lagi ?” katanya tanpa melihat
apa yang dilempar sianak muda.
58
San san memunggut surat kulit kambing itu dan membuka, ia hanya melihat sebuah gambar
sebatang pohon cemara menjulang tinggi sampai keawan, dibawahnya terlihat bibit cemara
yang baru tumbuh, tak jauh dari pohon tampak seorang petani menyiram tunas yang baru
tumbuh itu. San san tak mengerti apa yang dimaksud dengan gambar itu. “Heran tidak ada
sepotong suratpun hanya sebuah lukisan, apa artinya ini ?”
Thay Cin Tojin hanya melirik sebentar, lalu merampasnya dari San San dan menyobeknyobek
sampai hancur. “Segala gambar setan apa bagusnya ! Ambil arak lekas, kita minumminum
dan menyanyi baru betul !”
In Tiong Giok terkesiap menyaksikan perbuatan si Tojin, tapi tanpa mengeluarkan sepatah
kata, ia berjingkat keluar.
Ia berdaya uapaya sampai ke Istana Sorga, tapi bukannya kegembiraan yang diperoleh,
melainkan kekesalan dan kemendongkolan. Maka itu waktu kembali dari pulau ia termenung,
tanpa bersuara ia mengayuh perahu, sedangkan Wan Jie berhadapan, dengannyapun tampak
diam saja seperti tak gembira.
“Eh kenapa diam saja, tak senangkah ? Apa dongkol kepadaku ?” Tanya Tiong Giok.
“Jangan banyak pikiran tak karuan, aku sedang memikirkan satu hal.”
“Bolehkah kutahu soal itu ?”
“Apakah engkau tahu Teng Jiso tadi siapa ?”
“Bukankah ia bernama Hoo Hoa, seperti yang dia sebutkan tadi ?”
“Ya benar, kalau diceritakan nasibnya kasihan sekali,” kata Wan Jie, dulunya dia adalah
pelayan dari Soat Kouw, waktu kecil ia sering memomongku, entah kenapa pada suatu saat ia
sangat intim dengan seorang pengawal bernama Peng Pauw, diam-diam mereka mengadakan
pertemuan digoa-goa yang terdapat ditaman bunga, hal ini diketahui orang dan membuat Lo
Cucong marah besar dan menjatuhkan mereka hukuman mati, untung ada Soat Kouw dan
guruku yang memintakan ampun, kalau tidak siang-siang mereka sudah mati….”
“Siapa Soat Kouw itu, tak pernah kulihat dia !”kata In Tiong Giok.
“Soat Kouw adalah adik seperguruan suhuku,” kata Wan Jie, waktu suhu jadi Pangcu ia
menjadi wakilnya atau Hupangcu. Lima tahun yang lalu ia menerima tugas dari Lo Cucong,
sejak itu ia tidak kembali lagi !”
“Oh, kata In Tiong Giok, ia heran kenapa sebagai Hupangcu, selama tahun tidak diutarakan ia
hanya berkata. Sekarang Teng Jieso tidak kurang suatu apa, untuk apa memikirkannya lagi ?”
“Bukan soal dia yang kupikirkan, dan engkau tak mengerti, jika bukan sesama anggota, tak
diijinkan menikah !”
“itu sudah tentu, apa herannya. Agar sesuatu rahasia Pok Thian Pang tidak sampai bocor, kata
In Tiong Giok, tapi Teng Pauw dan Hoo Hoa sesama anggota kenapa dilarang menikah dan
dihukum ?”
59
“Hm, cuma-cuma engkau hidup selama dua puluh tahun, sampai soal itu tidak mengeerti !”
bentak Wan Jie marah.
Tiong Giok diam saja, karena benar-benar tidak mengerti. Mereka bicara perahu laju terus
tanpa terasa mereka telah mendarat. Sesampainya di villa Tenang Wan Jie berkata dengan
tawar : “Besok aku datang, agar engkau dapat berpikir menjadi pintar. Malam kukirim kereta
menjemputmu untuk menterjemahkan buku.”
“Apa yang harus kupikirkan ?”
“Memikirkan soal yang engkau tak mengerti !” Tanpa menunggu jawaban lagi Wan Jie
berlalu. In Tiong Giok mengantar kepergian gadis itu dengan pandangan matanya, ia tidak
mengerti disaat mana berlaku salah, kepala digelengkan dan membalik badan masuk dalam
rumah.
Banyak soal yang terbenam dihatinya, cepat-cepat dicarinya Cu Lit untuk menuturkan
kandungan hatinya, “Lo Cianpwee,” serunya.
“Kongcu baru pulang, ada tamu yang menunggumu !” kata Cu Lit sambil menunjuk kedalam
dengan serius sekali.
Tak ia mengira tamunya itu adalah pemuda aneh bernama Pek Kiam Hong. Begitu melihat
tuan rumah masuk, Pek Kiam Hong segera memberi hormat dan berkata dengan manis :
“Siapa yang In Heng maksud Lo Cianpwee ?” tegurnya.
Tiong Giok cukup tangkas menjawab : “Tidak ! Kumaksud Lo Cianpwee seorang yang patut
dihormat. Barusan setelah bekerja sebentar ia menitahkan Wan Jie menemaniku keliling
danau, sehingga baru pulang, sudah lamakah ?”
“Oh, dasar peruntunganmu sangat baik, mendapat hadiah makan dan jalan-jalan dengan
perahu, aku sendiri belum pernah diundang makan bareng sekalipun.”
“In Hok sediakan minuman dan makanan,” kata Tiong Giok.
“Tak usah, barusan dua ekor ayam panggang In Heng telah kumakan, kelezatannya luar biasa
sekali, atas kelancanganku ini harap In Heng maafkan !”
“Oh tidak apa-apa,” kata In Tiong Giok. Ia merasa heran juga pemuda ini bisa berubah sangat
ramah tamah dan tidak seperti kemarin-kemarin.
“Apakah In Heng heran atas kedatanganku yang tidak diundang ?”
“Siau Pangcu tentu mempunyai sesuatu soal barangkali ?” Tanya Tiong Giok.
“Sebenarnya bukan soal apa-apa yang maha penting,” kata Pek Kiam Hong, “tadi pagi setelah
bertemu In Heng aku termenung dan merasakan apa yang kulakukan sangat salah, maka itu
datang kesini meminta maaf.”
“Oh, begitu, sejujurnya aku yang harus meminta maaf kaerna berkata tanpa beerpikir-pikir !”
60
“In Heng, sejak sekarang maukah engkau menjadi kawanku ?”
“Aku sebagai pelajar lemah…”
“Soal berkawan bukan dari kedudukan seseorang,” kata Pek Kiam Hong, “aku kagum atas
kejujuran In Heng, dan patut dijadikan kawan. Sejujurnya apa yang harus kubanggakan
sebagai Siau Pangcu ? Tujuh belas tahun hidup menyendiri, dengan pakaian mentereng ini,
tak ubahnya diriku seperti boneka hidup, atau sebagai mayat hidup dalam bahasa kasarnya…”
“Siau Pangcu jangan berkata begitu…”
“Sudah tujuh belas tahun kata-kata ini terbenam dalam benakku,” kata Pek Kiam Hong, “tapi
belum bisa diutarakan kepada orang lain, karena tidak ada sahabat maupun saudara, diriku ini
seorang tak berayah yang patut dikasihani !”
“Bukan Siau Pangcu seorang saja yang belum pernah melihat ayah sendiri, didunia ini banyak
yang bernasib begitu !”
“Tapi sebagai anak ingin aku melihat ayahku, bagaimana potongan badannya, raut
mukanya…..semua ini hanya hayalan belaka….aku hanya tahu dulunya ayahku seorang jago
persilatan, tapi terbunuh orang sebelum aku lahir.”
“siapa yang membunuhnya ?”
“Mana kutahu !”
“Jika tidak tahu, kenapa tahu ayahmu terbunuh orang ?”
“Ibuku yang menceritakan,” kata Pek Kiam Hong, “pembunuh itu sudah dua puluh tahun
hilang tanpa kerana, mungkin sudah mati !”
“Jika begitu sakit hati ini seumur hidup takkan terbalas !”
“Biar dia sudah mati aku bisa menuntut balas pada anak istrinya,” kata Pek Kiam Hong,
beberapa tahun Pok Thian Pang mengejar dan mencari terus seorang muda yang mempunyai
tanda luka dipundak kirinya…”
“Apakah pemuda yang bertanda dipundak kiri itu sebagai anaknya pembunuh ayahmu ?”
“Benar”
“Kenapa anak itu bisa mempunyai tanda dipundaknya ?”
“Tujuh belas tahun yang lalu, soal ayahku diselakakan orang tersiar luas, ibuku dan Soat
Kouw mengajak jago-jago lainnya mengejar pembunuh itu, sungguhpun dikerubuti penjahat
itu dapat meloloskan diri, tapi anaknya yang digendong dan diajak bertempur itu, terkena
bacokan, jika tidak mati pasti ada tandanya !”
61
“Tujuh belas tahun yang lalu anak itu baru setahun, terkena bacokan golok kurasa lebih
banyak matinya dari pada hidupnya, jika ayah dan anaknya sudah mati, sama dengan dendam
habis sudah. Maka menurutku Siau Pangcu tak usah memikirkan lagi soal itu, masih banyak
pekerjaan menantikan kita lakukan, kenapakah harus berkecamuk terus di dalam soal dendam
selalu.”
“Perkataan In Heng memang benar, tetapi sakit hati orang tua itu beratnya laksana gunung,
dalam seperti lautan, walau bagaimana sebagai anaknya harus membereskan soal ini menurut
Kang Ouw !”
“Ya begitupun tak salahnya, tapi hari-hari berkesal hati, tak ada gunanya bukan ?”
“Benar,” kata Pek Kiam Hong. Entah bagaimana hari ini, sipemuda aneh berubah banyak dan
terus bicara panjang lebar dengan pemuda kita, sampai malam mendatang ia baru pulang.
*****
Seberlalunya Pek Kiam Hong, Tiong Giok baru bisa menuturkan apa yang di alaminya hari
ini kepada Cian Bin Sin Kay.
“Tidakkah engkau melihat salah, buku yang diterjemahkan itu bernama Keng Thian Cit Su ?”
“Mana bisa salah lihat,” kata In Tiong Giok.
:Itu adalah buku luar biasa barangkali !”
“Heran kenapa buku itu bisa jatuh ditangan mereka,” kata Cu Lit. “Ah, waktu sangat
mendesak, biar bagaimana harus meloloskan diri biarlah Tojin keparat hidup beberapa lama
lagi.”
“Burung pos sudah dikirim, dan aku harus mengerjakan buku itu, bagaimana baiknya ?”
“Biar bagaimana buku itu tidak boleh engkau terjemahkan,” kata Cu Lit denagn bersungguhsungguh.
“Sebab menyangkut luas kaum persilatan, jika jatuh ditangan mereka dan dipelajari,
tak ada lagi kekuatan untuk menentang sepak terjang orang-orang Pok Thian Pang !”
“Ya, bagaimana menolak pekerjaan ini ?”
“sedapatnya engkau dapatkan itu lalu kita kabur !”
“Mana semudah itu, begitu ketat sekali….. mana mungkin bisa lolos ?”
“Asal engkau bisa memperoleh buku itu, pokoknya aku bisa berdaya keluar dari sini !”
“Sejujurnya aku tak sanggup mendapatkannya…”
“Ah kenapa bodoh betul ! Engkau sediakan sehelai kertas dan tulisan dalam huruf
Ssangsekerta. Selesai menterjemahkan berikan tulisanmu itu dan ambil yang asli !”
62
“Memang benar, tapi lama kelamaan bisa ketahuan juga !” Disamping itu merekapun
mendapatkan apa yang diterjemahkan, sedikitpun tidak dirugikan bukan ?”
“Menurutmu tidak bisa, hm, lihatlah kerjaanku sebentar malam !” sehabis berkata ia
mengeluarkan kedoknya dan mulai mengolah dengan tekun.
“Apa maksud Lo Cianpwee menyamar sebagai boanpwee ?”
“Benar ! Untuk mendapatkan buku itu menyamar sebagai perempuanpun akan kulakukan !”
“Terlalu berbahaya, jika ketahuan hanya kematian yang menantikan !”
“Hm, kau kira mendapat gelar manis sebagai pengemis berwajah seribu itu mudah ? Pokonya
kau diam-diam dan tahu beres,” Disuruhnya sipemuda menulis bahasa sangsekerta dan begitu
selesai diolahnya kertas itu menjadi serupa yang seperti Tiong Giok lihat.
Waktu malamnya segala persiapan sudah beres, Cu Lit menyamar sebagai Tiong Giok dan
yang belakangan sebagai In Hok. Dengan tenang dinantinya kereta penjemput. In Tiong Giok
tidak bisa mencegah kemauan Cu Lit, ia hanya berdoa agar orang tua itu sukses menjalankan
rolnya.
Tak selang lama Siau Eng datang menjemput. “Hm, baru kesini saja engkau sudah tak sabar,
tadi seharian engkau main perahu membuat kami kesal menanti !”
“Sudahlah, jangan banyak cerita mari kita berangkat !” kata Cu Lit.
In Tiong Giok memandang kepergian mereka dengan berdoa terus. Da terus mundar mandir
dengan kuatir. Ia tidak tidur barang sekejap setiap kentongan peronda berbunyi, hatinya dak
dik duk tak keruan, kuatir rahasia Cu Lit diketahui orang. Dalam keadaan semacam pikiran
selalu berbayang kearah buruknya saja !”
Tiba-tiba hatinya yang sedang risau berdebar semakin keras, karena telinganya mendengar
ketoprakan suara kuda. Pikirnya segala rahasia Cu Lit sudah terbongkar, dengan cepat ia
mematikan lampu, dan siap-siap menghadapi segala kemungkinan dengan Hiat Ci Lengnya.
Ia tidak mau sampai ketangkap hidup-hidup, pikirannya ini sudah mantap, ia mau mengadu
jiwa. Sementara itu suara ketoprakan kuda sudah sampai di depan rumah. Disusuli dengan
ketuknya pintu dan suara orang yang memanggil-manggil. “In Hok, lekas buka pintu !”
Hatinya semakin tak keruan rasa, itulah suara Wan Jie. Tapi ia menjawab juga dengan berat.
“Mau apa malam-malam datang kesini !”
“Lekas buka ! Kongcu jatuh sakit, aku mengantarnya pulang !”
Sakit ? Benarkah Cu Lit sakit ? Cepat ia menyalakan api dan membuka pintu. Tampak Wan
Jie dengan kedua pelayannya berwajah masam dua pengawal memondong Cu Lit, masuk
kedalam. Orang tua itu terlihat meram, lengannya menekap perut, dan merintih terus. Tiong
Giok tak mengerti apa yang terjadi dengan penuh perhatian ia memegang jidat Cu Lit, yang
disebut belakangan menggunakan kesempatan ini membuka mata dan mengedipkannya. “Tak
apa bawa aku keranjang, sebentar lagipun….aduh….perutku seperti diiris-iris….aduh…..”
63
Lekas letakkan In Kongcu dipembaringan, hati-hati jangan menyentuh perutnya,” perintah
Wan Jie.
JILID 4________
Pengawal itu menjalankan perintahnya. Tanpa bersuara, sedangkan In Tiong Giok mengikuti
masuk kekamar, lalu ia berkata pada Wan Jie : “Sejak kecil Kongcu sering sakit perut, asal
sudah berkeringat dan istirahat sebentar akan baik lagi, Kounio tak perlu kuatir !”
“Ah, semua salahku juga,” kata Wan Jie, jika tidak gara-gara siang kecebur didanau mungkin
ia tidak akan sakit !”
“Sudah larut malam, Kounio mencapaikan hati datang kesini mengantar Kongcu, mari duduk
dulu, kusediakan minuman hangat !”
“Tak usah kami segera kembali !” kata Wan Jie, ‘jagalah baik-baik Kongcumu, jika perlu
kupanggilkan tabib !”
“Terima kasih atas pertolongan nona, ini penyakit biasa, tak lama lagi ia akan baik jika sudah
berkeringat !”
Mereka berlalu, tanpi Wan Jie membalik badan dan memanggil “In Hok” Kutahu mungkin
Kongcumu mungkin masih gusar padaku, maka tidak kuganggu lama-lama disini. Jika ia
sudah baik, nasehatkan jangan mengambil dihati apa yang kukatakan hari ini…ah, tidak
kusangka ia begitu bodoh !”
“Jangan kuatir nanti kuberi nasehat !”
“Barusan Pangcu sudah memberikannya obat !” kata Wan Jie, soal menterjemahkan buku tak
usah tergesa-gesa, yang perlu kesehatannya terjaga baik. Untuk ini besok kusuruh Siau Hong
datang menjaganya.
“Tak usah, dengan adanya aku sudah cukup !”
“Jangan lupa pesanku barusan, besok kudatang lagi menjenguknya !” Agaknya ia berat
meninggalkan si pemuda, matanya masih terus memandang Tiong Giok yang meringkel dan
merintih terus dipembaringan.
Begitu kereta pergi dan Tiong Giok masuk kedalam, segala penyakitnya Cu Litpun menjadi
sembuh mendadak. Ia duduk dipembaringan sambil membengong.
“Locianpwee kenapa tiba-tiba berlagak sakit ? Kukira rahasia ketahuan dan ketakutan
setengah mati !”
“Ya hampir-hampir ketahuan, untung aku berlagak sakit, dan berhasil mengelabui mereka.”
“Kenapa bisa terjadi begitu ?”
Cu Lit mengeluarkan sepucuk surat dari sakunya dan menyerahkan pada kawannya. Surat itu
bertulisan sebagai berikut :
64
Siang terkenang malam terbayang.
Makan tak enak tidur tak nyenyak.
Pikiran selalu tergoda.
Ingin hati ke Villa Tenang.
“Locianpwee, tentu Wan Jie yang menulis sajak ini bukan ?”
“Sudah tentu dia, apa itu irama cinta ? Aku tak mengerti sedikit juga, gara-gara dia urusan
malam ini berantakan tak keruan !”
“Ada sangkutan apa sajak ini dengan urusan malam ini ?”
“Malam ini ?”
“Berjalan dengan lancar, kata Cu lit, Pangcu itu setelah menyerahkan helaian kertas yang
harus diterjemahkan lantas berlalu. Kesempatan ini kugunakan dengan cepat untuk mengganti
dengan helaian kertas yang sudah disiapkan. Apa celaka kekasihmu tiba-tiba datang
membrrikan surat ini kepadaku dan berkata manis : Apakah engkau sudah memikirkan
perkataanku tadi siang !”
“Aku bingung, apa maksud surat ini, apa maksud omongannya tidak mengerti sama sekali,
maka itu dengan sejujurnya kujawab tidak mengeerti.
Akh celaka banyak perkataan lain kenapa dijawab tidak mengerti.
“Ya akupun merasa heran setelah mendengar jawabanku, gadis itu mengambang air matanya.
Tak lain jawabanmu selalu tak mengerti : “Kutahu engkau pura-pura bodoh, dan memainkan
api asmara untuk menipu diriku dan memperkacau !”
“Ini sih membuatku penasaran sja !” kata Tiong Giok.
“akupun berkata begitu padanya, tapi ia tak percaya. Sampaipun akan mengerti padanya, siasia
saja aku mencapaikan hati, kembalikan surat itu, katanya dengan marah-marah.”
“Mati-matian tidak kuberikan, sehingga terjadi pergumulan untuk memperebutkan surat ini
akhirnya ia berhasil juga mengambil dari dalam sakuku, tapi bukan surat ini melainkan surat
untuk menukar itu. Ia rupanya sedang sengit tanpa banyakbicara disobek-sobeknya surat itu
lalu dikantongi. Dalam gugupku aku pura-pura sakit perut !”
“Asal ia mau menyambung-nyambung lagi sobekan kertas itu, segala belang kita akan
kelihatan, kata In Tiong Giok. Sudah kukiar jalan ini takkan berhasil, nyatanya benar gagal !”
“Jangan patah semangat, dari soal yang burukpun bisa menadtangkan keuntungan !”
“Aneh dimana ada keuntungan kalau sudah buruk ?”
Cu Lit tidak banyak bicara ia hanya mengubah wajahnya menjadi “In Hok” dan Tiong Giok
diwajah aslinya. Setelah itu tanpa banyak komentar ia mendorong jendela dan mencelat
65
keluar. In Ting Giok tidak sempat bertanya mau kemana orang tua itu, ia hanya bisa
mengusap dada dengan mendongkol.
Lebih setengah jam lamanya Cian Bin Sin Kay telah kembali lagi membawa bungkusan.
Kelas bersiap, mari kita kabur.
Cian Bin Sin Kay membuka bungkusan, disini terdapat baju seragam kuning berbaju emas.
“Ah bukankah ini pakaian Lie Tongleng ?” Tanya Tiong Giok.
“Siapa bilang bukan ?” jawab Cu Lit dan terus menjembreng baju itu, tiba-tiba terdengar
bunyi kelenting, sebuah tanda pengenal dari Pok Thian Pang yang mengkilap jatuh kelantai.
“Sampai tanda pengenalpun didapat, dengan cara apa Lo Cianpwee mendapatkannya ?”
Cu Lit menepuk-nepuk dada, “Bukannya sombong segala manusia disini sedikitpun tidak
menyulitkan diriku ! Engkau tahu hanya sebatang Bie Hun Hio (dupa pemabuk sukma) cukup
membuat Lie Tongleng menyerahkan semua brang-barangnya kepadaku !”
Cu Lit segera mengubah wajahnya menjadi Lie Tongleng, dengan seragam kuning yang sudah
dipakai, siapapun sukar membedakannya, tak cuma-cuma ia memperoleh gelar Cian Bin Sin
Kay. Eh ingat bila terjadi apa-apa jangan bersuara sepatahpun, semuanya serahkan padaku!”
Tiong Giok mengangguk, mereka tertawa dan mematikan lampu, diluar tahu siapapun mereka
meninggalkan Villa Tenang dengan tenang. Tapi diluar dugaan mereka seorang bertopeng
hitam yang berdiam diatas sebatang pohon sejak tadi mengawasi gerak-gerik mereka.
Keadaan malam sangat dingin dan penuh kabut sungguhpun demikian dua pengawal pantai
yang bertugas masih mundar-mandir, dengan rajinnya. “Biasanya kalau malam berkabut,
besok siang pasti cuaca cerah,” kata salah seorang pengawal.
“Ah cuaca ini buruk sekali, malam dingin sekali, siang panasnya gila-gilaan, dan tugas malam
ini hanya orang-orang sial yang melakukan ! Sedangkan atasan enak-enakan tidur !”
Tiba-tiba terdengar derapan sepatu, kedua pengawal itu menoleh kearah suara. Remangremang
ia melihat dua bayangan mendatangi.
“Hei, hati-hati bicara, lihat Lie Tongleng datang memeriksa !” kata pengawal yang bicara
duluan. “lekas banguni teman-teman.”
Dengan cepat pengawal yang satunya berlarian dan memanggil temannya : “Hei lekas ! Lekas
! Lie Tongleng datang memeriksa, sialan lekas bangun !”
Suara ribut terdengar digardu jaga, tujuh delapan pengawal terbangun dari mimpinya, cepatcepat
menyoren pedang dan merapikan baju dengan kagetnya. Waktu mereka “beres” dan
keluar gardu, “Lie Tongleng telah datang. Wajahnya ditekuk demikian masam, dengan sinar
matanya tajam pengawal-pengawal dipelototi. “Hm” dengusnya tanpa membuka mulut.
Pengawal-pengawal itu ketakutan tak seorangpun berani mengangkat kepala. Salah seorang
pengawal maju kedepan dan berkata : “Kami termasuk regu ketujuh, dan yang rendah adalah
komandan regu, harap Tongleng perriksa barisan.”
66
“Hm engkau masih ingat sebagai komandan regu ? Tidakkah sedang bermimpi digardu itu ?”
“Ya memang yang rendah harus mati, demikian juga dengan anak buahku ini, mereka
terlampau letih mama…maka…”
“Maka kalian bergiliran tidur ? Engkau terlampau berani melanggar kewajiban, ketahuilah, ini
tempat terpenting bagi kita, jika sampai penjahat masuk, atau yang dikurung keluar siapa yang
harus bertanggungjawab ? Engkau atau aku ?”
“Harap Tongleng memaafkan kami, lain kali tak berani lagi.”
“Jika bisa memperbaiki kesalahan terhitung baik, tapi disiplin tetap berlaku, dan engkau boleh
menghadap besok untuk menerima ganjaran, sekarang lekas siapkan perahu, aku dan In
Kongcu akan menyeberang !”
Komandan regu cepat-cepat memerintahkan anak buahnya menyiapkan perahu. “Hm, dungu
betul, untuk apa perahu besar ini, aku minta yang kecil ! Kalian tak usah mengawal tidur saja
disini !”
Komandan regu semakin ketakutan, lekas menyuruh bawahannya menyediakan perahu kecil.
Tongleng tetiron segera menuntun Tiong Giok naik, ia berdiri dan memaki lagi pada
komandan regu ia sendiri belakangan, perahu tidak lantas dikayuh, dengan bengis : “Hm,
sudah jaga seenaknya, kerjapun tak benar, engkau sembarangan memberikan perahu ini
sebelum melihat ini ?” kata Cu Lit sambil memperlihatkan tanda pengenal yang mengkilap.
“Tongleng pasti memiliki tanda pengenal, maka itu ditanya tak ditanya sama saja…”
“Hm dasar goblok, ini perahu tak peduli siapa harus diperiksa tanda pengenalnya, ingat sekali
lagi berbuat begini, hukuman akan bertambah berat.”
Komandan regu itu menjadi merah padam, dicaci maki dan diperingati “Tongleng” itu.
Hatinya berdoa agar atasan itu lekas berlalu, permintaannya terkabul, karenaperahu telah
meluncur, ia menarik napas lega. Dan lantas mementang mulut keras-keras. “Gara-gara kalian
enak-enakan tidur, yang kena maki adalah aku, besok semuanya menghadap ke Tongleng
menerima ganjaran !”
*****
Dari tengah-tengah danau In Tiong Giok memandang rumah dipulau, hatinya tiba-tiba saja
mengingat pada Wan Jie. Saat ini gadis itu tentu sedang mimpi, pikirnya sudah pergi. Apakah
peerpisahan ini bisa bertemu lagi.
“Hei, kenapa kau melamun ?” kata Cu Lit, coba lihat kerjaanku, mudah bukan ?”
“Lo Cianpwee jangan terlalu besar hati, perjalanan masih jauh kalau sudah keluar baru kita
bicara !”
“Hm, penjaga pertama adalah To Kay Pong, sejak dulu kepandaiannya kuanggap tak berarti,
seangkan Kim Tak Can itu, kurasa kepandaiannya tidak melebihi siorang she To !”
67
“Maksudmu bukan soal berkelahi,” kata In Tiong Giok, tapi dalam penyamaran ini bisakah
menerobos semua pintu penjagaan itu atau tidak !”
“Dengan tanda pengenal ini semua pintu bisa dilewatkan, apa yang dikuatirkan lagi !”
“Sejujurnya Boanpwee merasa takut dan bagaimana kalau sampai rahasia ketahuan ?”
“Apapun yang terjadi engkau harus berpegang pada satu, tidak boleh turun tangan. Dua
engkau harus berdaya lari, sedangkan aku akan menjadi tameng, biar matipun jadilah asal kau
berhasil lolos !”
Tiba-tiba saja terlihat sinar terang menyorot mereka disusul dengan teguran : “Siapa yang
mengendarai perahu ditengah malam ?”
“Aku Lie Kee Cie !” jawab Cu Lit sambil mengayuh perahunya kepantai. Disitu berdiri
sepuluh pengawal memegang obor berdiri dikiri kanan seorang tua yang bukan lain dari To
Kay Pong adanya.
In Tiong Giok bukan main takutnya, tapi tidak demikian dengan siorang tua dengan cepat
dituntunnya Tiong Giok naik ke darat.
“Sudah begini malam Fut Hoat belum tidur ?” Tanya Cu Lit sambil menjura.
“Oh, kata To Kay Pong dengan tertawa, sebaliknya malam-malam begini Tongleng akan
kemana ?”
“Aku menerima tugas rahasia dari Pangcu, untuk mengantar In Kongcu keluar, tak kira
mengganggu Fut Hoat saja !”
“Soal apa yang begitu penting dan harus dilakukan malam-malam ?” Tanya To Kay Pong
dengan kaget dan hilang senyumnya untuk seketika lamanya.
“Yakni soal yang berhubungan dengan menterjemahkan buku itu,” kata Cu Lit, “tapi ini
dirahasiakan benar, sebelum In Kongcu lagi tak bisa dibocorkan !”
“Tidajkah sebaiknya menunggu siang hari ?
“Soal inipun aku tak jelas, hanya menjalankan ! Yang kutahu In Kongcu menterjemahkan
buku dimalam hari, entah ada kesulitan apa dalam kerjaannya itu. Aku terlalu banyak bicara
untung Fut Hoat bukanlah orang lain, jika tidak bisa aku celaka tak karuan !”
“Aku sedang heran mengapa tergesa-gesa benar, kiranya Lo Cucong yang memerintahkan, ia
memang tak sabaran sekali !”
“Ya …, sebenarnya akupun minta esok saja dilakukan, tapi dihardik sebagai pemalas, mau tak
mau dimalam dingin ini keluar juga…”
“Jika begini harus cepat-cepat keluar,” kata To Kay Pong, “mana tanda pengenal unutk keluar
?”
68
Cu Lit menyerahkan dengan kedua tangan. To Kay Pong memeriksa sejenak dengan cermat,
wajahnya muram, tentu membuat In Tiong Giok kebat-kebit tak tentu rasa.
“Jika Fut Hoat tidak ada pesan lain lagi, kurasa mau…” kata Cu Lit.
“Biasanya Lie Tongleng sangat tertib dan hati-hati, kenapa hari ini kesusu sekali ?” Tanya To
Kay Pong.
“Mungkinkah begitu, tapi aku tak merasakan sedikit juga !”
“apakah engkau tak tahu di danau ini tidak boleh berlabuh perahu bentuk apapun, apakah lupa
? Jika engkau pergi siapa yang harus membawa perahu ini kepangkalan ?”
“Fut Hoat memang benar, tapi sudah kuperintahkan komandan jaga malam ini untuk
mengambil perahu begitu fajar menyingsing!”
“Sungguhpun engkau sebagai Tongleng tapi tak boleh sembarangan melanggar peraturan lain
kali kalau begini lagi jangan salahkan aku berlaku tegas !”
“Ya nasehat ini akan kuingat terus !” kata Cu Lit dengan mendongkol.
To Kay Pong mengembalikan tanda pengenal Cu Lit menerima dengan girang, dengan hormat
ia permisi. Tapi baru saja jalan beberapa langkah terdengar To Kay Pong berseru :
“Stop dulu !”
“Masih ada pesan lagi Fut Hoat ?”
“Jangan tergesa-gesa, apakah tak perlu kuda ?”
“Benar !” jawab Cu Lit dengan kemalu-maluan, “terima kasih atas perhatian Fut Hoat !”
Dengan cepat mereka naik keatas kuda dan menerjang kabut dan melanjutkan perjalanan.
Jika terjadi segala perubahan tenang-tenang saja, sebaliknya jika engkau lolos lekaslah pergi
kekota Ngo be siang, temui seorang yang bernama Lui Sin (dewa petir). Tong Cian Lie,
katakana aku yang menyuruhmu mencarinya.
Dengan cepat mereka sampai didepan pintu keluar, “Buka pintu ! Buka Pintu!” teriak Cu Lit
berulang kali.
“Mau kemana malam begini Tongleng ?” tanya penjaga.
“Apakah tidak melihat tanda pengenal ini ? Lekas buka pintu !” bentak Cu Lit.
“Aku minta Tongleng tunggu sebentar, aku yang rendah akan lapor dulu pada Fut Hoat !”
“Jangan banyak pernik, lekas buka pintu !”
69
“Tongleng jangan gusar, bukan yang rendah tak mau buka pintu, tapi …kuncinya berada pada
Kim Futhoat, setiap yang keluar harus seijin Futhoat!”
“Jika begitu, lekaslah beri tahu Kim Futhoat, lekas !”
Penjaga itu cepat pergi dan kembali lagi dengan Kim Tak Can. Ia memeriksa dulu tanda
pengenal itu dan bertanya :
“Ada urusan apa membuatmu tergesa-gesa ?”
“Atas perintah Pangcu tak dapat aku beritahu padamu, diharap Futhoat memberi jalan setelah
melihat tanda pengenal ini !”
“Siapa yang menerima tugas engkau ataukah dia ?” tunjuknya pada In Tiong Giok.
“Aku dan dia !”
“Tak bisa !” jawab Kim Futhoat. “Untukku hanya berlaku peraturan stu tanda pengenal untuk
satu orang, bukankah sudah kau ketahui ?”
“Tidakkah Kim Futhoat tahu, aku menjalankan atas perintah Lo Cucong ?”
“Pokoknya sekali kubilang tidak ya tidak !”
“Kalau satu tanda pengenal berlaku seorang silahkan In Kongcu yang pergi, karena dialah
yang memerlukan bahan guna pekerjaannya !”
Kim Tak Casn menganggukkan kepala, dan mengeluarkan kunci untuk buka pintu, tetapi
dengan tiba-tiba dari balik gunung tedengar suara genta, dan terlihat di udara tiga pancaran
sinar api.
Pengawal-pengawal disitupun segera mundur dan siap dengan senjata terhunus, karena tanda
itu berarti, semua pintu keluar harus ditutup, ada penjahat didalam. Kim Tak Can tak sudi
membuka pintu !.
Cian Bin Sin Kay tahu rahasianya dipecahkan maka dengan gusar ia menghajar jeruji besi
berantakan, batu gunung meluruk bagaikan hujan. Obor yang dipegang para pengawalpun
menjadi padam. Dengan cepat ia menerobos kedalam terowongan. Tetapi sesampai dimulut
terowongan Kim Tak Can sudah menghadang dengan bertolak pinggang. Begitu kedua
buronan tiba ia membarengi melompat sambil membentangkan kedua tangannya menangkap
kaki depan kedua kuda. Cu Lit tak menduga Kim Tak Can itu berani gegabah semacam itu,
tak sempat buatnya berpikir lama-lama, cepat-cepat melompat sambil menjambrat In Tiong
Giok dan turun kebumi. Kim Tak Can kekuatannya luar biasa, kedua kuda ditangan kiri dan
kanannya di angkat, lalu diputar sekali dan dilemparkannya didalam jurang, kuda-kuda itu
meringkik dan hancur luluh termakan cadas tajam.
Kekuatan dan keberanian Kim Tak Can membuat Cu Lit kagum, dan iapun tahu musuh itu
bukan saja kepandaiannya itu luar biasa juga tenaganya luar biasa. Sedangkan pengawalpengawal
menyerang serentak dengan pedang terhunus. “Hmm, kalian sudah bosan hidup !”
bentak Cu Lit dan terus mengebutkan cambuk kuda yang masih dipegangi terus kearah
70
pengawal. Senjata darurat itu kelihatannya tidak berarti, tapi berada ditangan Cu Lit menjadi
ampuh. Pengawal itu seolah menjadi bingung dan mentah-mentah di lalap cambuk itu,
merupakan korban empuk. Terjungkel tanpa berkutik lagi. Kehebatan dari cambuk ini
membuat pengawal-pengawal lain gentar sendiri, seangan merekapun kendur sendiri. Cu Lit
meraba-raba pinggang mencabut tongkat bamboo yang lunak. Tongkat ini sebesar jeriji
tangan besarnya, warnanya hitam, merupakan hasil dari selatan setelah di olah dengan air obat
bisa menjadi keras dan lunak ujungnya merupakan kaitan yang tajam yang khusus di gunakan
untuk menghancurkan ilmu dalam.
Tongkat ini merupakan pusaka dari kaum pengemis yang bernama Kong Cu Juan Tio (
tongkat bamboo keras dan lunak), puluhan tahun tongkat ini tak pernah digunakan, tak kira
malam ini, untuk menghadapi Kim Tak Can di pakainya juga. Dengan kecepatan luar biasa
tongkat itu berputar untuk membuyarkan kurungan pengawal-pengawal. Dalam sekejap saja,
terdengar bunyi jeritan seram disusul dengan bergelimpangan tujuh delapan pengawal
antaranya ada yang mengenali juga senjata Kong Cu Juan Tio. Terus berseru keras. “Dia
adalah Cian Bin Sin Kay !” Peringatan ini membuat sisa-sisa pengawal mundur teratur.
“Hm, kiranya engkau bukan Lie Kee Cie !” bentak Kim Tak Can.
“Lie Kee Cie biar mau menjadi anakku, aku tampik, karena keliwat bodoh,” jawab Cu Lit dan
terus membuka kedoknya memperlihatkan wajah aslinya.
Kim Tak Can tak mengenali ilmu slain rupa, menggantikan Cu Lit ganti rupa menjadi kaget
mundur beberapa langkah, “Engkau bisa berubah ?”
“Bukan saja bisa berubah, tongkatkupun bisa membungkamkan mulutmu itu ! Orang she
Kim, ilmu pelajaran kamu diperoleh dengan susah payah, maka kunasehatkan berilah jalanku
!”
Kim Tak Can seperti mengerti dan tidak, ia terpekur sejenak, lalu berpaling kebelakang dan
memerintahkan kepada pengawalnya :
“Bawa kemari !”
Tidak selang lama terlihat empat pengawal menggotong dua kantong besar, Kim Tak Can
membuka kantong itu dan mengeluarkan dua senjata aneh yang berbentuk patung berkaki
satu. Patung ini tidak bedanya sebesar anak umur dua belas tahun, mengkilap terbuat dari
tembaga. “Ya untuk memberi jalan mudah tempur aku dulu !” kata Kim Tak Can sambil
mengangkat kedua senjatanya itu, dengan ringan, lalu satu sama lain dibenturkan,
menerbitkan dentingan keras. Tubuhnya berbareng maju, serangannya dilancarkan saat itu
juga.
Cu Lit dengan gagah melayani musuhnya, dalam sekejap dua bayangan merapat dan
merenggang, dan terdengar tiga kali bentrokan senjata. Cu Lit merasakan pergelangan
tangannya mengilu dan tongkatnya hampir-hampir terlepas dari tangan. Sedangkan musuhnya
terhuyung-huyung tujuh delapan langkah dan jatuh terduduk.
Kesempatan ini dipergunakan Cu Lit sebaik-baiknya, kaitan tongkatnya akan di gunakan
untuk menghancurkan kekuatan musuhnya. Tatkala ujung tongkat hampir mengenai sasaran,
Kim Tak Can berseru keras dan melemparkan kedua senjatanya kearah lawan dengan
71
kecepatan tongkat laksana kilat, demikian juga dengan kedua senjata beratnya, kedua-duanya
tak sempat menarik serangan, hanya terdengar suara “buk-buk” dan “euh euh”…
Cian Bin Sin Kay berhasil membuat musuh jungkir balik dan pingsan ketika itu juga,
sedangkan ia sendiri, terhuyung-huyung terkena senjata musuh, “waaak’memuntahkan darah
segar. In Tiong Giok dan sekalian pengawal yang menyaksikan perkelahian ini, terpaku
bengong tanpa bisa mengeluarkan sepatah suarapun. Cian Bin Sin Kay berdiri sambil
menunjangkan tongkatnya, wajahnya pucat, janggut dan bajunya berlepotan darah yang
dimuntahkannya.
Sesaat berlalu, keadaan sunyi sekali, baru terlihat Cu Lit mengangkat tongkatnya dan
menyeka mulutnya, diajaknya In Tiong Giok ketempat tangga. Sekalian pengawal
menyaksikan akan keahlian, atau juga kegagahan orang tua itu dengan kagum, maka tak
merintangi mereka pergi.
Tapi tangga baja yang bisa diturun naikkan itu, saat ini berada ditengah-tengah jurang yang
curam. “Dimana tempat menurun naikkan tangga ?” Tanya Cu Lit sambil mendelik pada
pengawal-pengawal disekitarnya. Tidak ada jawaban sepatahpun.
“Hm jangan dikia aku sudah menderita luka, tapi untuk mengirim kamu ke liang kubur
mudahnya sebagai membalik telapak tangan sendiri !”
“Kami tahu merintangi Lo Cianpwee berarti kematian, tapi memberikan jalanpun mendapat
hukuman mati ! Sedangkan kunci menurunkan naikkan tangga berada ditangan Kim Futhoat.
Untuk ini, kami memohon pengertian dari Lo Cianpwee akan kesulitan kami,” kata seorang
pengawal yang paling tua.
“Kalau begitu kuminta kalian mundur sepuluh langkah kebelakang, jika tidak jangan salahkan
aku berlaku kejam dan ganas …”
Pengawal-pengawal itu saling tatap antara kawannya sendiri,dan tanpa terasa mundur
kebelakang seperti yang diperintahkan. Dengan menarik nafas panjang untuk mengumpulkan
tenaga, Cu Lit menghampiri Kim Tak Can yang pingsan. Dengan tongkatnya ia membuka
baju lalu mengambil kunci dari tubuh musuh. “Nampaknya kitaa masih mujur,” katanya pada
In Tiong Giok.
“Tapi bagaimana denganmu ?” Tanya In Tiong Giok.
“Tidak apa-apa lekas jalan !”
Mereka menuju ketempat alat-alat menurun naikkan tangga. Alat-alatnya sederhana sekali,
terdiri dari dua kerekan yang bertulisan naik dan turun. Cu Lit menggerakkan kerekan turun,
tapi tidak beraksi sedikitpun juga, dicobanya menggerakkan kerekan naik, sama juga hasilnya.
“Kalian bangsat-bangsat berani betul menipiku !” teriaknya dengan gusar.
“Mereka tidak berani menipu Cu-heng,” tiba-tiba terdengar jawaban dari seseorang,
“dikarenakan tergesa-gesa Cu heng lupa bahwa kerekan itu harus digerakkan oleh puluhan
orang, mana bisa oleh seorang ? Tambahan caantelannya belum dibuka ! Ha ha ha !”
72
“Engkau siapa ?” bentak Cu Lit.
“Wah, bagaimana sih sampai kawan lama dilupakan “ Siaw tee To Kap Pong !”
Cu Lit menjadi gugup, dan kekecewaannya tampak diwajahnya. Biasa To Kay Pong itu tidak
dipandang, tapi dalam keadaan luka parah, sukar untuknya memperoleh kemenangan.
Dibisikinya In Tiong Giok “Keadaan sudah terlalu mendesak, engkau diam disini, aku akan
keluar menempur mereka mati-matian !”
“Sejak tadi aku disuruh diam saja, kini saatnya aku bertarung juga !” kata Tiong Giok.
“Tidak ! Engkau tidak boleh berlaku setolol itu !”
“Cu hrng kenapa engkau ragu-ragu ? Kita sebagai kawan lama !” seru seseorang dari luar.
“Itu bukan suara To Kay Pong, siapa dia ?” Tanya In Tiong Giok.
“Itu dia sibangsat yang engkau temukan di istana Sorga !” kata Cu Lit, “tak kukira
perhitunganku bisa menjadi gagal begini !” Sehabis berkata matanya berkac-kaca, dan
bertetesan turun air mata jagonya.
“Apa yang engkau bicarakan, bolehkah kami mendengar ?” seru To Kay Pong.
Dengan tiba-tiba saja Cu Lit menotok kalan darah In Tiong Giok dan mengempitnya keluar
dengan terhuyung-huyung.
Keadaan menjadi terang sebab obor-obor dari pengawal yang baru datang : Disitu terlihat
empat orang berpakaian biru, merka adalah Thay Cin Tojin, To Kay Pong, Kam Kong dan
Ciauw Cie Hiong.
“Tak kukira kalian mau menjadi binatang piaraan dari Pok Thian Pang,” kata Cu Lit
mengejek, “enakan rasanya rasa-rasa makanan yang diberikan pada kalian ?”
“Eh baru beertemu sudah nyindir-nhindir, tabiatmu itu tampaknya belum berubah juga seperti
dulu !” kata Thay Cin Tojin.
“Engkau siapa, rasa-rasanya aku tak kenal!” ejek Cu Lit.
“Ah, bisa saja, aku Thay Cin masa tak kenal ?”
“Oh kiranya engkau, enak ya jadi Fuhoat disini, sebelum mendapat bayaran berapa ?”
“Engkau harus tahu Pok Thian Pang membutuhkan manusia-manusia berbakat, maka itu juka
engkau mau, bisa menjadi Cong Fuhoat (ketua dari penasehat-penasehat)…
“Hm engkau sibusuk ini masih ada muka berkata denganku ?” bentak Cu Lit.
“Hm engkau mencari susah saja, pikirlah bahwa Pok Thian Pang begini kuat bagaimanapun
mana bisa engkau meloloskan diri ?”
73
“Biarpun aku sebagai pengemis yang miskin, untuk bekerja dan menjadi anjing Pok Thian
Pang, merasa haram dan jijik ! Kini mati hidup tidak kupikirkan, terserah kalian mau apa, aku
siap melayani !”
“engkau manusia tak bisa diangkat, kini tak perlu kukekang lagi persahabatan lama, mau coba
kemarilah !”
Perkelahian hampir terjadi lagi, tapi To Kay Pong dengan tiba-tiba tergelak-gelak. “Semuanya
adalah kawan lama, kenapa begitu ketemu saling mendelik dan mau berkelahi, bukankah
damai lebih baik ? Cu heng simpanlah tongkatmu itu !”
“Hm, didepan segala anjing-anjing piaraan Pok Thian Pang bagaimanapun tongkat harus
disiapkan,” jawab Cu Lit.
To Kay Pong tidak gusar, ia tetap tertawa : “Cu heng antara kawan lama sukar mendapatkan
kesempatan berkumpul seperti sekarang, mari kita baik-baik bicara ?”
“Sudahlah jangan banyak bicara, lunak maupun keras tidak kuterima, jika masih mengingat
persahabatan, berikan aku jalan keluar !” Jika tidak…ha…ha!”
“Jika tidak apa yang hendak engkau lakukan ?” tanya Thay Cin Tojin.
“Sebelum mati terpaksa kubunuh dulu bocah ini agar Pok Thian Pang gagal menterjemahkan
buku Keng Thian Cit Su!”
“Hm bocah ini mau mati atau hidup tidak kupikirkan, yang kusayangkan adalah Cu heng !”
kata To Kay Pong. Dimulut ia berkata begitu, dihati merasa kuatir jika Cu Lit benar-benar
membunuh In Tiong Giok. Maka itu mereka saling melirik memberikan kode, lalu
menggeserkaki, membuat kedudukan Cu Lit terkurung.
“Hm, mau apa ?” bentak Cu Lit dan terus memutarkan tongkatnya.
Kam Kong begitu melihat pergerakan lawan, cepat-cepat mengengos dan menjulurkan tangan
mencakar muka musuhnya. Ciu Cie Hong dan To Kay Pong serentak bergerak melakukan
serangan membantu saudaranya.
Cu Lit yang sudah menderita luka dalam, bertahan sekuatnya menghadapi pengepungan ini,
tongkatnya menyabet kebelakang dan menotok kedepan dengan gencarnya. Akibatnya keluar
tenaga paksaan tubuhnya hampir-hampir jatuh sendiri, hal ini rupanya diketahui Sam Kui.
“Cu heng jika kutahu begini tak usah kita panjang lebar mengadu mulut !” kata To Kay Pong.
“Betapapun aku sanggup menghadapi kalian, mari kita coba lagi !”
“Sudah disepan pintu kematian, sombongpun tak berguna”, ejek Ciau Cie Hiong.
Dan terus ia menyergap dengan tangannya yang satu-satunya itu, Cu Lit menggertakkan gigi,
matanya memancar tajam, begitu serangan tiba, menyapu dengan keras ! Sekejap saja
perkelahian berjalan tiga empat jurus. Cu Lit mengeluarkan tenaga terakhir dan memberikan
serangan maut pada musuhnya, terlihat tongkatnya menyabet luar biasa, musuhnya kena
terhajar dan terguling-guling beberapa depa jauhnya. To Kay Pong cepat-cepat menolong,
74
dilihatnya saudaranya itu demikian pucat, dagingnya pecah dan berapa tulang punggungnya
patah.
“Cu heng berkepandaian luar biasa, sayang terlalu telengas !” kata Kam Kong.
“Terhadap anjing-anjing Pok Thian Pang itu masih terlalu ringan !”
Dengan gusar Kam Kong mengeluarkan senjatanya yang bernama Cui hun jiau (gary maut).
“Saudaraku bertangan kosong dan kena kau kalahkan, nah marilah senjata lawan senjata !”
terus melancarkan serangan sambil berputar-putar.
Pandangan mata Cian bin sin kay sudah berkunang-kunang, maka dengan cepat ia meram dan
hanya mengandalkan pendengarannya menghadapi musuh. Ia tahu tidak mempunyai kekuatan
lagi seperti tadi, tapi dengan berdiam tenang begini, ia berniat melancarkan satu serangan
terakhir.
Kam Kong masih berputar-putar dengan cermat, sedikitpun tak berani serampangan seperti
saudaranya. Setelah melihat kesempatan baik, ia menerjang dari samping kanan.
“Hai, bentak Cu Lit dan dengan tenaga terakhirnya ia menyabetkan tongkat kearah kanan,
matanya dibuka dan bagaimana girangnya ia melihat musuhnya itu telah terpukul dan
terhuyung-huyung tujuh delapan langkah. “Ha ha ha hayo maju lagi… wak” Jago tua yang
keras kepala ini, perlahan-lahan jatuh ke tanah yang penuh dengan muntahan darahnya
sendiri.
Thay Cin Tojin menghampiri, membebaskan Tiong Giok dari totokan, dan memasukkan
sebutir pil pada Cu Lit.
Keadaan Villa Tenang tetap seperti dulu. Dibawah pelita yang berkelap kelip terlihat
bayangan orang. Itulah In Tiong Giok adanya. Sejak mengalami peristiwa tiga hari yang lalu
membuatnya sedih dan kesal, untuk ini ia minum arak menghilangkan duka. Minuman itu
hanya bisa menghilangkan duka dalam sejenak, setelah itu kembali lagi membuatnya
terpekur. Bagaimanapun raaut wajah Cian bin sin kay terbayang dialam pikirannya,
disaksikannya orang tua itu dengan gagah menghadapi musuh dan yang paling tak bisa
dilupakan, tatkala Cu Lit luka parah, memuntahkan darah serta suara tertawanya yang
menggoncangkan sukma….”
“Kongcu sudah jauh malam kenapa belum tidur sepanjang hari, jagalah kesehatanmu !”
“Oh, kata Tiong Giok, dan terus mengangkat cawan arak, mengeringkannya dan menambah
lagi, Siau Hong mencekal lengan pemuda kita : “Tidak boleh minum lagi ! Selama tiga hari
engkau mabuk-mabukan ! Pek Kounio sudah menyesalkan aku memberi arak, aku hanya
sebagai pelayan, boleh didengar boleh tidak, tapi kebaikan Kounio harus diterima.!
“Engkau tahu betapa risau hatiku !”
“Kejadian sudah berlalu tak berguna dipikirkan lagi !” kata Siau Hong, “jangan engkau kena
ditipu pengemis lihay itu, sampai Lie Tongleng kena ddiperdayakannya.”
“Pengemis itu dijatuhi hukuman apa ?”
75
“Sebenarnya ia adalah salah seorang dari Bulim Capsahkie, untuk ini Lo Cucong
mengaguminya, dan menempatkannya di Istana Sorga untuk mencuci otaknya dan
membujuknya supaya mau menjadi anggota Pok Thian Pang.”
“Sebagai seorang terkemuka didunia Bulim apakah ia mau menjadi anggota Pok Thian Pang
?”
“menurut hematku lambat laun ia akan menurut !”
“Mungkinkah ?”
“Betapa tidak ! Setiap yang masuk ke Istana Sorga, biar berhati sekeras baja akhirnya lumer
juga !”
IN tiong Giok tidak bertanya lagi, dengan menarik napas panjang ia melangkah keluar rumah.
“Kongcu hendak kemana ?” Tanya Siau Hong.
“Jangan hiraukan diriku, tak lama lagi terang tanah, aku akan jalan-jalan menunggu fajar !”
jawab Tiong Giok dan terus ke taman bunga. Pikirannya melayang ke Istana Sorga, dimana
segala kemaksiatan dan kecabulan memenuhi seisi istana, Cian bin sin kay seorang keras
kepala, tapi andaikata iapun tergoda, bukankah namanya akan rusak ? Dan segalanya ini
terjadi karena dirinya yang mengakibatkan bukan ?
Lamunannya tiba-tiba terhenti, dilihatnya pengawal-pengawal membawa obor, dan sebuah
kereta memasuki perkampungan awan putih. Waktu kereta berhenti, seorang muda turun dari
dalamnya, ia bukan lain dari Pek Kiam Hong adanya. Pemuda itu melihat kearah Tiong Giok,
ia mengurungkan pulang kerumah melainkan menghampiri sambil bertanya : “ In heng belum
tidur ?”
“Arak itu membuatku tak bisa tidur !”
“Jika begitu kebetulan,” kata Pek Kiam Hong, “ada sesuatu soal yang akan kubicarakan
denganmu, bagaimana ?”
Melihat sikap bersungguh-sungguh dirinya, timbul perasaan ingin tahu dari Tiong Giok, maka
dipersilahkan Siau Pangcu kedalam rumah. Siau Hong cepat-cepat mengeluarkan the dan
menyiapkan makanan lainnya.
“Soal ini membuatku tak habis piker,’ pek Kiam Hong memulai berkata. “In heng tentu sudah
tahu orang yang menculikmu itu adalah Cian bin sin kay Cu Lit seorang jago Rimba Hijau
yang terkenal.”
“Benar memang dia, lalu bagaimana ?”
“Ibuku dan Lo Cucong menghormati dia sebagai jago bulim, mengandung pikiran untuk
menjadikannya sebagai anggota perkumpulan kami, maka itu bukan saja tidak diapa-apakan,
bahkan ditempatkan di istana Sorga…”
“Ini sudah kutahu dari Siau Hong, lalu bagaimana ?”
76
Pek Kiam Hong menggeleng-gelengkan kepala. “In heng tidak menduga, kekepala batuan
pengemis itu, begitu sakitnya agak sembuhan, kontan berbalik muka. Bukan saja tak mau
menjadi anggota kami, juga mengacak-acak seisi Istana Sorga, perabotan dari benda-benda
mahal dihancurkan, dara-dara pelayan dan pengawal dihantam dan luka-luka lebih dari
seluruh orang, hampir-hampir tidak ada yang bisa menguasainya.”
“Hal itu ada sangkutnya apa denganmu ?” Tanya Tiong Giok, dihati ia girang mendengar
kebandelan Cian bin sin kay, tapi tidak diutarakan pada parasnya.
“Pengemis itu bandel sekali, untuk ini ibuku mengajakku kesana, entah apa yang dikatakan
ibuku, mendadak saja pengemis itu menjadi lunak. Ia menatap padaku serta membelaiku
sekian lama, air matanya mengembang. Sudahlah katanya dan menganggukkan kepala. Ia
menerima anggota kami dan menjadi Fuhoat…”
Mendengar ini perasaan Tiong Giok tidak ubahnya seperti disambar geledek : “Katamu
pengemis itu mau menjadi anggota Pok Thian Pang ?”
“Ya benar!”
Kecuali menatap dan mengusap-usapmu, tidakkah ia bertanya ini itu padamu ?
“Tidak !”
“Tidakkah saat itu ada orang lain kecuali kamu bertiga ?”
“Ya”
“Ah, benar-benar mengherankan !”
“Ya memang membuatku tidak habis mengerti,” kata Pek Kiam Hong, sejak kecil aku tak
pernah pergi dari sini, siapun belum pernah melihatku, kenapa gerak-geriknya aneh sekali !”
Mungkin ayahmu merupakan sahabat baiknya, dan wajahmu itu mengingatkannya pada
ayahmu dan mendatangkan kenangan sedih baginya !
“Ya merupakan suatu keanehan yang mungkin di ketahui ibumu saja tidakkah engkau
bertanya padanya ?”
“Tentu saja tidak mendapat jawaban yang memuaskan, ia hanya mengatakan nanti engkau
akan mengerti sendiri !”
Siau Hong sudah membawakan hidangan.
“Bawa araknya” minta Tiong Giok.
“Apa ? Mau minum lagi ?”
77
“Ya aku ingin minum sebagai tanda menghormat dan turut bergirang karena Pok Thian Pang
mendapatkan seorang Futhoat baru, kata In Tiong Giok sambil tertawa. Ia tertawa, tapi
wajahnya lebih jelek dari pada menangis….
Entah sudah berapa lama berlalu, waktu Tiong Giok bangun dari mabuknya, Pek Kiam Hong
sudah tidak terlihat lagi. Ia merasakan sekujur badannya lesu, kepalanya pening. Dicobanya
bangun, tak berhasil. Ia bengong dan membuka mata melihat kesana kemari. Bukan main
kagetnya, sebab diluar tahunya, Wan Jie berada di dalam kamar sedang menyeka matanya
yang basah sambil menatap kearahnya.
“Sudah lamakah ?”
“Tidak, hanya satu hari satu malam !”
“Apa, aku mabuk satu hari satu malam ?”
“Apa herannya, ada orang mabuk dan tidur terus sampai tubuhnya menjadi mayat. Itu baru
enak !”
In Tiong Giok mencoba bangun, tapi tetap tak berhasil, matanya berkunang-kunang, napasnya
memburu. Wan Jie dengan penuh perhatian menaruhkan kain basah di keningnya. Ini
mendatangkan kesegaran bagi Tiong Giok.
“Untuk apa segala penderitaanmu itu diperlihatkan padaku ? Jika merasa tidak senang dengan
kehadiranku, aku bisa berlalu…ah…” Suaranya terputus karena datang isakan tangis dan air
mata.
“engkau jangan berkata ! Apa yang kurasakan padamu hanya Tuhan yang tahu, semakin
engkau berlaku baik padaku, semakin risau hatiku. Orang semacamku tak ada harganya untuk
di….”
Wan Jie menekap mulut Tiong Giok dan berkata : “Jangan berkata begitu, aku task
menyalahkan engkau mabuk-mabukan, tapi segala kesalahanmu, kenapa kau tidak utarakan
kepadaku ? Mungkinkah segenap perasaanku kepadamu sedikitpun tidak dimengerti ?”
“Wan Jie, banyak persoalanku yang tak bisa kujelaskan : misalkan sesudah menterjemahkan
buku, jiwaku segera tamat ! Ya kenapa mula-mula bertemu denganmu dan terjerat tali asmara
yang tidak bisa dilepaskan ? Kita dipermainkan nasib, betapa takkan pilu ?”
“Siapa yang memberi tahu riwayatmu tamat berbareng dengan selesainya pekerjaanmu ?”
“Aku sebagai orang luar yang mengetahui dan membaca Keng thian cit su, untuk menjaga
rahasia sudah pasti Lo Cucong takkan memberi ampun kepadaku !”
“Orang luarpun bisa menjaadi anggota, apa susahnya ?”
“Tapi engkau harus tahu tak ada yang minat bagiku menjadi anggota Pok Thian Pang bukan.”
“Kenapa ? Kenapa ? Beritahu kenapa…”
78
“Pendapat dan pendirian seseorang tidak bisa dipaksakan, soalnya kenapa belum bisa kuberi
tahu !”
Wan Jie menangis. “Untukku juga tak bisa engkau beri tahu ?”
“Wan Jie janganlah engkau mendesak…”
“Ya aku tak bisa mendesak, maka gunakanlah saat ini dengan gembira ! Karena kukuatir
dengan berlalunya hari ini, kita bisa main bersama untuk ….” Ia bersedu-sedu dengan
sedihnya.
“Wan Jie jangan berkata sebodoh itu,” kata In Tiong Giok yang turut terisak-isak.
Mereka begitu mencintai satu sama lain dan enggan berpisah. Saat inilah pintu terbuka, Siau
Hong masuk kedalam : “Kounio…” Ia tidak meneruskan buru-buru keluar lagi, karena
melihat api asmara sedang membakar suasana kamar.
Wan Jie cepat-cepat melepaskan Tiong Giok dan bertanya dongkol “Ada urusan apa ?”
“Pangcu dua kali mengirimkan utusan menanyakan Kongcu.”
“Ya, kutahu, katakana Kongcu masih mabuk dan belum bangun..”
“Pangcu mau apa denganku ?” yanya Tiong Giok.
“Tidak apa-apa jangan pedulikan itu sebaliknya kita lewaatkan hari ini dengan gembira…”
“Mungkinkah ia mendesakku untuk bekerja …?”
“Ya Lo Cucong menginginkan buku itu cepat-cepat diterjemahkan, tapi jangan perdulikan.
Terlambat saja !”
“Diperlambatpun akhirnya selesai juga. Sebaiknya lebih cepat beres lebih baik. Wan Jie
sediakan kereta, sekarang juga kuberangkat. !” Ia bangun dengan memaksakan diri, terhuyung
keluar pintu…
Pek Cin Nio duduk dikursinya tenang-tenang. Wan Jie duduk disamping In Tiong Giok yang
sedang berpikir keras menghadapi kertas bertulisan Sangsekerta. Hampir setengah jam
lamanya ia memeras otak, tak sehurufpun yang ditulisnya. Waktu ia dongak, sinar mata sang
Pangcu sedang menatap kearahnya.
Suasana menjadi canggung. Wan Jie memandang juga kearah gurunya.
“Wan Jie engkau kenapa ?” tanya sang guru.
“Kupikir….kupikir…”
“Mau bicara jangan begitu, seperti orang garap saja…”
79
“Kupikir pekerjaan ini bisakah ditunda dalam beberapa hari ini ?” Tanya Wan Jie dengan
sungguh-sungguh. Karena In Kongcu sejak terjadi peristiwa itu seolah-olah mengalami
kekagetan dan pikirannya belum tenang, konsentrasi pikirannya belum pulih seperti dulu.
Tambahnya dengan penjelasan kuat.
“Oh, kata Pek Cin Nio dengan tersenyum. Kiranya begitu, sebaiknya engkau harus tahu
karena terjadinya peristiwa itu, Lo Cucong mendesak agar pekerjaan ini diselesaikan secepatcepatnya.
Tapi jika In Kongcu kurang enak badan, istirahatlah dua tiga hari tidak mengapa.”
“Tidak ! Yang rendah tak perlu istirahat asal saja,” kata In Tiong Giok.
“Asal saja bagaimana ?” Tanya Pek Cin Nio, terus terang saja apakah ada kata-kata
Sangsekerta yang sukar dimengerti ?”
Terhadap bahasa tidak menjadi soal, anehnya intisari dari pelajaran pedangnya membuat
orang tak mengerti.
Dapatkah Kongcu memberikan contoh ?
“Misalnya dalam buku ini, banyak jurus-jurus dari ilmu pedang, penusunannya tidak
sempurna, terbalik-balik dan banyak kekurangannya. Mengakibatkan bahasanya terputusputus
dan sukar diterjemahkan. Entah si penulis ingatannya kurang kuat dan membuat
kekurangan-kekurangan atau memang ilmu pedang ini tidak sempurna. Jika patah demi patah
diterjemahkan, sukar mendapatkan arti yang sempurna, maka itu membuatku berpikir dan
berpikir tanpa menulis !”
Sejak wajah tersenyum dari Pek Cin Nio pudar mengguram : “Pokoknya Kongcu boleh
menterjemahkan patah demi patah, nanti kami bisa membereskan sendiri kekurangannya !”
In Tiong Giok mengangguk, mulailah ia menulis dengan cepat : memang sudah terkandung
niatnya untuk mengganggu Pok Thian Pang, maka itu ia sengaja menjungkir balikkan kalimat
dan membuat terjemahannya itu sukar dimengerti. Dalam sekejap lembar pertama selesai
ditulisnya.
Pek Cin Nio membaca hasil terjemahan itu, keningnya mengkerut-kerut lalu bertanya “Wan
Jie jam berapa sekarang ?”
“Lebih kurang jam tiga !”
Pek Cin Nio mengantongi lembaran asli dan lembaran terjemahan. “ Dikamarku ada obat
penyegar otak, ambillah sebutir untuk In Kongcu dan temaninya disini aku segera kembali
lagi !” Dan terus ia cepat-cepat keluar pintu
“Tatkala engkau menulis, hatipun merasa hancur ! Sehuruf tulisanmu sama dengan
berkuangnya sedikit, pertemuan kita.”
“Pertemuan dan perpisahan adalah gelombang kehidupan, berpisah untuk berkumpul adalah
gembira, sebaliknya berkumpul untuk berpisah mendatangkan duka ! Semua ini tergantung
nasib, maka tak perlu gembira tak perlu duka, terserah kepada yang maha kuasa !”
80
“Aku tak mau menerima nasib begitu saja ! Pokoknya aku sudah bertekad untuk sehidup
semati…”
“Hm, itu tak baik,” jawab In Tiong Giok, andaikan aku harus mati disini paling-paling
menambah jumlah setan-setan penasaran lain tidak toh ?”
“Suhu dan Lo Cucong bisa memanjaku, aku bisa memohon dengan ancaman bunuhnya diri
mungkin persoalan tidak sebeat yang engkau pikirkan…”
Tiba-tiba terdengar langkah kaki diluar, nyata tergesa-gesa benar. Wan Jie menyeka air mata
dengan cepat. “Siapa ?” Tidak ada jawaban ! Dijendela tiba-tiba nongol sebuah wajah tolol
kebego-begoan dari seorang pelayan istana. Ditangannya memegang seekor burung pos, ia
longok kedalam dan baru menjawab pertanyaan Wan Jie sambil ngengir-nyengir : “Pangcu
ada tidak ?”
“A Toh untuk apa mencari Pangcu ?”
“Aku …menangkap…burung pos !” jawab A Toh agak gugup.
“Kembalikan kekandangnya, tak usah ribut-ribut !” bentak Wan Jie.
Mukanya pelayan tolol itu menjadi merah, “Burung ini membawa surat dikakinya !”
“Berikan padaku !” kata Wan Jie.
A Toh nyengir-nyengir tolol terus menerus dan memberikan burung itu papa Wan Jie sambil
menjublek tak mau pergi. Wan Jie mengambil surat dari kaki burung, lalu memberikan
burung kepada A Toh. “Disini seang dilakukan pekerjaan penting, tidak boleh sembarangan
masuk, mengertikah ?”
“Ya mengerti !” jawab A Toh sambil membungkuk dan terus berlalu.
“A Toh biarpun ketolol-tololan, kesetiaannya pada suhuku kuar biasa sekali. Maka itu ia
ditugaskan merawat burung-burung pos, kalau bukan aku jangan harap boleh memegang
burung-burung merpatinya.” Surat itu diluarnya tertera nama Ngo Liu Cung. Dengan cepat
Wan Jie membuka dan membacanya, begitu selesai wajahnya menjadi berubah dengan
mendadak….
“Apa yang tertulis disurat itu ?”
Wan Jie mengantongi surat dan memaksakan diri tersenyum : “Tidak apa-apa,hanya saja…Ih
lihat wajahmu begitu pucat, tunggu kuambilkan obat penyegar otak.”
Wan Jie berlalu. Pek Cin Nio datang. Lengannya memegang sebuah Kotak Kumala. Ia diam
saja tanpa berkata, waktu Wan Jie datang baru membuka mulut. “Beritahu siapapun tidak
boleh masuk kesini,” katanya.
Wan Jie mengangguk dan menjalankan perintah.
81
“Terjemahan Kongcu tadi telah kuperlihatkan kepada Lo Cucong, “ Pek Cin Nio menjelaskan,
“memang banyak tempat yang hilang atau kurang, mak itu meminta Kongcu membaca habis
dulu seluruhnya buku baru menterjemahkannya, dengan begitu memudahkan pekerjaan
bagimu. Tapi sebelum itu perlu kuterangkan bahwasannya buku ini sangat dirahasiakan dan
dipandang Lo Cucong sebagai pusaka yang tidak ternilai harganya. Kecuali dia engkaulah
orang pertama membaca buku ini.”
“Suatu kebanggaan bagiku mendapat kepercayaan sebesar itu, dan akan kucurahkan seluruh
kemampuanku untuk mengerjakannya mungkin !”
“Tapi ingat jika terjadi sesuatu kesalahan berarti bencana bagimu, untuk ini kuharap engkau
berlaku waspada !”
“Oh sudah pasti kan kujaga rahasia ini !”
“Kamipun percaya engkau bisa menyimpan rahasia ! “ katanya dan terus membuka kotak
kumala dan menyerahkan buku pusaka itu.
Buku itu telah kurang hanya dua puluh halaman lebih, dengan tenang Tiong Giok
membacanya. Sebagai orang yang cerdas dan berbakat, setelah mengulangi dua kali, seisi
buku telah melekat dalam ingatannya ! Dikembalikannya buku itu pada sang Pangcu.
“Bagaimana ?” Tanya Pek Cin Nio.
“Sekuat kepandaianku kucurahkan, hanya bisa menterjemahkan sehuruf demi sehuruf.
Terhadap kalimat-kalimat yang terputus-putus atau yang kurang benar membuatku tak
berdaya !”
“Kalau begitu memang dasarnya ilmu pedang ini banyak kekurangannya ?”
“Entahlah,” kata In Tiong Giok. “Tapi bolehkah aku bertanya dari mana Pangcu memperoleh
buku ini ?”
“Terus terang buku ini didapat dengan susah payah dari seorang Bulim yang lihay !”
“Apakah orang Tionghoa atau India jago Bulim itu ?”
“Orang Tionghoa !”
“Masih hidupkah orangnya ?”
Pek Cin Nio mengangguk kepala.
“Diakah yang bernama Hauw Sian ?”
“Untuk apa Kongcu bertanya soal dia ?”
“Dari mula kuduga Hauw Sian sebagai penulis buku ini, dan nama itu bukan nama asing,
maka kuyakin dia bukan orang India. Tapi kuhean kenapa orang Tionghoa menulis buku
dengan bahasa Sangsekerta ? Disini soalnya…..!
82
“Benar apa yang engkau katakana, tapi apakah hubungannya dengan nama itu ?”
“Soal dalam bahasa Sangsekerta banyak istilah-istilah yang sukar diartikan dalam bahasa
Tionghoa secara tepat, lebih-lebih terhadap pelajaran ilmu pedang ini, salah sepatah berarti
menyimpang sepuluh depa, untuk mempertahankan keasliannya maka ia menulis dalam
bahasa Sangsekerta !”
“Mungkin apa yang engkau duga secara cermat betul adanya !”
“Maka itu ingin kutemui orang yang bernama Hauw Sian itu, segala kesulitan dibuku bisa
kutanyai kepadanya !”
“Soalnya kami bisa menemukan orang itu apakah dia mau membantumu ?”
“Memang kenapa ?”
“Orang itu sedah kehilangan bukunya, sudah kesal dan pusing, mana mau lagi membantumu
?”
“Tak usah kuatirkan, asal orang itu dapat kutemui, pasti dapat kupancing yang segala
kuingini”
“Baiklah, soal ini akan kami pertimbangkan nah sekarang engkau boleh pulang beristirahat !”
Dengan cepat sang Pangcu berlalu.
Sekembalinya ke Villa Tenang Wan Jie berwajah murung, seangkan In Tiong Giok juga
terpekur tanpa membuka mulut. Pemuda ini pikirannya melayang-layang kebrbagai soal :
Keng Thian Cit Su, Pang Hui… Cian bin sin Kay… tanda punggungnya…usia delapan belas
tahun…Pek Kiam Hong yang aneh…Wan Jie yang menarik…kini ditambah Wan Jie yang
masih tetap disampingnya.
“Wan Jie, tak usah payah berpikir di soal rumit saja, aku telah membuat Lo Cucong
menghadapi kesukaran : mungkin dalam tiga empat bulan kita masih bisa bersama-sama…”
Wan Jie menangis : “Tidak bisa ! Tidak usah mengulur waktu lagi, engkau harus segera
meninggalkan tempat ini, semakin cepat semakin bagus.”
“Kenapa pendirianmu cepat berubah ?” sukar kukatakan, lihatlah surat ini !”
Itulah surat yang didapat dari burung pos, diatas berbunyi : setelah diperiksa dengan cermat,
In Hok telah kembali dan yang mengiringi In Tiong Giok adalah In Hok palsu. Sedang
pemuda itu usianya selapan belas tahun, mengerti bahasa Sangsekerta. Dapat diketahui pada
pemuda itu, bertanda bacokan dipundak kirinya. Entah apa pemuda itu maksudnya masuk
kemarkas pusat Pok Thian Pang ? Sebaiknya ditangkap dan dikompres untuk mendapat
penjelasan dari Tan Toa Tiau.
Selesai membaca, sekujur badan In Tiong Giok basah dengan keringatnya dingin, gaya
reflexnya memegang pundak kiri. Bajunya sudah terbuka yang dipegang tempat tanda bekas
bacokan.
83
“Untung surat ini jatuh ditanganku, andaikata pada guruku, akibatnya tak bisa kubayngkan,
kini jalan satunya, engkau harus secepatnya meloloskan diri dari sini. Malam ini dengan cara
apapun aku harus mendapatkan tanda jalan untukmu …
Tiong Giok tahu rahasianya sudah diketahui Wan Jie, membuatnya bertambah tenang.
“Tidakkah engkau mau menyelidiki juga soal diriku dan anda ini ?”
“Tak usah kutanya lagi, engkaulah orang yang dicari-cari oleh Pok Thian Pang !”
“Karena ayahmu adalah pembunuh ayahnya Pek Suheng………..
“Yang bisa membunuh ayahnya Kiam Hong tentu jago Bulim juga, sedang ayahku bukan
orang Kang Ouw, maka itu kupikir lucu ?”
“Tapi usiamu dan tanda itu cocok dengan orang yang mau mereka tangkap……”
“Yang berusia delapan belas tahun dan ada tanda dipunggungnya ini bukan aku seorang
mungkinkah semuanya harus ditangkap dan dibunuh ?”
“Soalnya tidak jelas bagiku, yang kutahu jika sampai tertangkap adalah buruk akibatnya, lebih
baik engkau kabur !”
“Kedatanganku kesini untuk mendapat penjelasan dalam soal itu, maka tak ada niat bagiku
berlalu dengan begitu saja !”
“Ah, engkau mau cari mati, atau memaksaku mati….”
Pembicaraan terganggu dengan kedengarannya derapan kuda. Mereka melongok dari jendela
tampak, Lie Tongleng dengan dua pengawal menuju ke villa Tenang. Lie Tongleng merasa
kaget melihat kehadiran Wan Jie didalam kamar, dengan tersenyum ia memberi hormat :
“Pangcu menyuruhku kesini untuk menjemput Kongcu ke istana !”
“Nantikanlah sebentar, aku harus merapikan diri dulu.”
“Engkau belum makan, suruh Siau Hong menyediakan, nanti kita sama-sama kesana.”
“Silahkan Kongcu makan dan mandi dengan tenang, tapi Pangcu menghendaki agar Wan
Kounio tidak turut serta !”
“Kenapa ?”
“Tak tahu, menurut Pangcu soalnya penting dan harus di bicarakan dengan empat mata saja
antara Pangcu dan In Kongcu !”
“Apakah Pangcu benar-benar berkata begitu ?”
“Ya, masakan aku berbohong ?”
84
Tak terasa lagi Wan Jie menjadi kaget dan parasnya berubah pucat. Cepat ia mendekat pada
Tiong Giok. Kau piker baik tau buruk !”
“Serahkan pada nasib ?”
“Bagaimanapun terjadi jangan engkau berkeras dengan Cucong dan guruku, aku bisa
bekerja…”
“Wan Jie jangan ketakutan tak keruan, pokoknya beres !”
Sesudah beres makan dan mandi, Tiong Giok naik kereta menuju istana. Suasana dibelakang
istana itu lain dari biasa, disitu terdapat kereta indah, pengawal-pengawal lebih banyak dari
hari-hari biasa, penjagaan keras sekali. Yang mengherankan sampai sang Pangcupun berada
diantara pengawal. Begitu Tiong Giok turun dari kereta, Pangcu segera memanggil. “ Jangan
buang waktu, silahkan Kongcu naik kereta !”
Tiong Giok naik lagi ke kereta.
“Salah, naiklah kereta ini !” seru Pek Cin Nio.
In Tiong Giok jadi bingung, ia terpaksa pindah kereta, tak selang lama Pangcu itu masuk dan
melihat pemuda kita yang sedang terpekur. Segera duduk disebelahnya dan terus siam juga
seperti si pemuda. Tinggallah In Tiong Giok menjadi serba tak enak, untuk menghilangkan
kecanggungan ia meram ! Telinganya mendengar suara roda kereta, hidungnya mencium
wewangian dari sang Pangcu, hatinya berdebar-debar, pikirannya kacau balau !
Waktu kereta berhenti, mereka telah tiba di suatu tempat sunyi. Disitu terdapat sebuah
bangunan sederhana, Lie Kee Cie mengetuk pintu dan memanggil perlahan.
Tak selang lama pintu terbuka, Pek Cin Nio mengajak Tiong Giok turun dan masuk ke dalam
rumah itu. Dari sini terdapat pintu rahasia yang langsung masuk ke dalam terowongan. Begitu
gelap tampaknya dari luar. Waktu obor-obor menyala dari dalam terlihat seorang Futhoat
berbaju biru menyambut kedatangan mereka dengan hormat sekali. “Yang rendah adalah Ong
Jiok Tong, Congkoan (pengurus) penjara tanah, menghadap pada Pangcu !”
“Tak usah banyak peradatan,” kata Pek Cin Nio.
“ya, ya, ya,” kata Ong Jiok Tong dan terus mundur menyamping, lagak gayanya agak
ketakutan, membuat Tiong Giok geli melihatnya. Dengan didampingi sang Pangcu iapun turut
gagah-gagahan masuk kedalam ruangan bawah tanah. Setelah melewati beberapa langkah,
meraka sampai disuatu ruangan, disitu penerangan mengandalkan obor. Pangcu mengambil
tempat duduk yang sudah dirapikan. Kuminta kamar satu dibersihkan dan semua keperluan
disiapkan.”
Ong Jiok Tong cepat-cepat memerintahkan anak buahnya bekerja. Tak selang lama datang
laporan segala yang dikehendaki Pangcu sudah siap semua.
“In Kongcu terpaksa menyusahkanmu sebentar datang kemari, alat-alat perlengkapan disini
dapat menangkap pembicaraan Kongcu dengan orang tawanan, maka itu berlakulah cerdik !
Ong Congkoan antarkanlah In Kongcu.”
85
Tanpa bertanya ini itu lagi, Tiong Giok mwngikuti Ong Jiok Tong memasuki pintu berjeruji
besi. Dari sini terdapat tangga batu, turun kebawah. Setiap seratus undakan tangga terdapat
sebuah pelita, dibawahnya terdapat pintu jeruji yang rendah, samar-samar dari dalamnya
terdengar suara berkerincingnya rantai besi. Juga setiap pintu itu bertulisan kamar nomor satu
kamar nomor dua dan seterusnya. Inilah penjara didalam tanah yang serupa dengan neraka.
JILID 5________
Dengan perasaan ingin tahu, Tiong Giok melongok kedalam kamar. “Disini tertera kamar
nomor satu, kenapa tak ada orangnya ?”
“Ini penjara biasa, sedangkan Kongcu harus ke penjara Istimewa. Keadaannya berbeda
dengan disini, agak enakan sedikit dan mendapat perlakuan istimewa juga !”
“Siapa saja penghuni penjara istimewa ?”
“Sejujurnya aku tak tahu, karena mereka hanya memakai nomor sebagai pengganti namanya,”
jawab Ong Jiak Tong.
“Tidakkah lengkap menanyai pada mereka ?”
“Narapidana terbagi dua golongan, yang ringan perlu ditanya, dan mereka tidak disini
sedangkan yang berada disini semua menjalani hukuman seumur maka tak perlu lagi
menanya-nanya mereka !”
Sambil bicara sambil berjalan, tak terasa lagi sudah sampai diruangan yang paling bawah.
Disini terdapat ruangan agak besar, dan kamar-kamar berderetan sebanyak enam buah. Diatas
kamar tertulis, kamar Istimewa nomor satu… sampai nomor enam. Dan terdapat juga sipir bui
yang menjaga.
Ong Jiak Tong membuka kamar nomor satu, “Maaf…silahkan masuk !”
In Tiong Giok mengangguk dan masuk kedalam dengan kaki gemetar…sedangkan pintu besi
dikunci dari luar. Hei.. penghuni kamar satu, kuberikan selamat dapat kawan baru !” seru
seorang pengawal.
Keadaan di dalam ruangan begitu semak dan menyesakkan napas. Di atas balai-balai terlihat
seorang tua sedang berbaring, begitu pucat dan kurus, sinar matanya saja menatap terus ke
dirinya.
“Mungkinkah ini orangnya ?” piker Tiong Giok dan terus ia memberi salam sambil menegur :
“Bagaimana pak baik-baik saja ?”
Orang tua itu tidak menjawab hanya menatap terus dengan matanya, seolah-olah tak
mendengar apa yang diucapkan si anak muda.
“Bagaimana pak baik-baik sajakah ?” seru In Tiong Giok lebih keras lagi.
86
Orang tua itu menganggukkan kepala lalu berkata dengan suara yang parau : “Duduklah nak,
ditempat semacam ini tak perlu memakai banyak peradatan.”
“Dapatkah kutahu nama bapak ?”
“Selama tujuh belas tahun tak melihat sinar matahari, membuatku lupa nama sendiri !
Bagaimana denganmu nak masih ingatkah nama sendiri ?”
“Ohn namaku In Tiong Giok.”
“Masih begini muda kenapa engkau bisa masuk kesini ?”
“Sebenarnya aku datang bekerja sebagai penterjemah pada Pok Thian Pang, tapi…”
“Setop dulu….menterjemahkan buku apa ?” sela si orang tua.
“Sebuah buku Sangsekerta…”
“Keng Thian Cit Su bukan buku itu !” lagi-lagi si orang tua memotong bicara.
“Benar, kenapa engkau bisa tahu pak ?”
“Sudah diterjemahkan belum buku itu ?” Tanya si orang tua sambil menggeleng-gelengkan
kepala.
“Belum…”
“Kenapa..?”
“Sudah berapa tahun kupelajari bahasa Sangsekerta, tapi menghadapi buku itu tak berdaya :
banyak yang tidak kutahu, sebab istilah-istilah silat bagiku asing sekali, karena aku tak pandai
silat sedikitpun. Maka sampai kini belum bisa diterjemahkan !”
“Bagus,” kata si orang tua, “ tujuh belas tahun aku disini, nyatanya tak sia-sia “
“Apakah bapak karena buku itu juga masuk kesini ?”
“Ya karena buku itu !”
“Karena tak mau menterjemahkan, apa karena kurang bisa ?”
“Hm, buku itu adalah milikku !”
In Tiong Giok hatinya berdenyut kaget, hampir ia berseru tak terasa, saat ini ia sadar bahwa
capai lelah dari sang Pangcu, semata-mata untuk Keng Thian Cit Su. Dan iapun tahu bahwa
orang tua ini tak lain Hauw Sian adanya.
Untuk memperpanjang waktu In Tiong Giok mencari alas an, sukar dan ingin bertemu dengan
Hauw Sian. Tak tahunya Hauw Sian berada didalam tahanan Pok Thian Pang dan ditemui.
87
Rencananya memperpanjangkan waktu menjadi gagal ! Sungguhpun demikian ia menjadi
girang bisa bertemu dengan orang itu yang telah ditahan selama tujuh belas tahun.
“Tentu engkau merasa aneh nak ?” kata si orang tua lemah lembut. “Hidup di dalam dunia ini
banyak keanehan-keanehan, sepeerti kamu yang masih muda belia dan datang kesini,
seterusnya akan menyia-nyiakan waktu selama-lamanya di tempat ini, inipun kejadian yang
diluar dugaan dan termasuk anehkan ?”
“Tidak ! Aku tidak….” Sebenarnya ia ingin mengatakan dirinya bukan dibui, tapi niatnya itu
gagal, karena mengingat bahwa sang Pangcu sedang mendengari pembicaraan mereka dari
kamar rahasia.
“Ya kutahu engkau tak niat mengalami penderitaan disini, tapi karena menterjemahkan buku
itu engkau baru dibui, betulkah ?”
In Tiong Giok berpikir sejenak, tiba-tiba ia mendapatkan pikiran baik, lalu berkata dengan
didahului tarikan napas panjang :
“Ai…aku tak menyesal masuk penjara ini tetapi menyesal kenapa sudah beberapa tahun
belajar bahasa Sangsekerta belum mampu jua menterjemahkan buku itu, benar-benar
membuatku menyesal dan malu !”
“Menurutku buku itu adalah pelajaran silat yang luar biasa, tapi bahasanya sendiri sederhana
dan mudah, sebenarnya engkau haruslah bisa …”
“Ya, karena hal ini membuatku menyesal, mudah memang mudah tapi apa yang
diterjemahkan sukar mencapai arti sebenarnya ! Misalkan dihalaman ketiga dibaris kedua…
Tiba-tiba bahasanya berubah kebahasa Sangsekerta :
“Aku bukan orang tawanan, melainkan didesak masuk kedalam penjara ini guna menyelidiki
rahasia ilmu pedang Keng thian cit su. Pembicaraan kita sedang didengari mereka harap
bapak berhati-hati dan waspada ! “ Segala yang menyesatkan hatinya telah diutarakan
membuatnya lega, dan terus ia berkata lagi dengan bahasa Tionghoa” penerangan ini tidak
sesuai dengan ilmu silat, jika diterjemahkan huruf perhuruf jadinya tak karuan.”
Orang tua itu dengan sorotan mata kaget memandang sekeliling dan mengerti apa yang
dikehendaki Tiong Giok: “nak bahasa Sangsekerta demikian fasih, mungkinkah kata-kata
yang mudah didalam buku tidak mengerti, menurut peribahasa orang India…” Ia mengubah
memakai bahasa Sangsekerta. “Engkau sebenarnya siapa ? Kenapa bisa datang kemarkas
besar Pok Thian Pang ?”
Tiong Giok seperti girang mendapat jawaban itu. “Setelah mendapat penjelasan dari bapak
kini tahulah bahwa pelajaran di dunia ini tak ada batasnya. Dan memang pengetahuan aku
sangat minim, tapi halaman ketujuh benar-benar sukar.” Lagi-lagi ia beralih kebahasa
Sangsekerta, “Sebenarnya aku mendapat tugas dari guruku mengantar surat kegunung Thay
Heng, tapi sewaktu tiba di Ngo Liu Cung merasa tertarik oleh sebuah pengumuman yang
mencari seorang penterjemah bahasa Sangsekerta dengan honorarium tinggi, karena tahu apa
yang dikehendaki mereka, maka aku melamar dan diterima serta dibawa kemari !”
“Siapa gurumu ?” Tanya siorang tua dengan bahasa Sangsekerta.
88
“Penunggang Hiu dari Honglay, pelajar miskin gunung salju,” jawab Tiong Giok dengan
bahasa yang sama.
“Oh, kata siorang tua dengan girang : “Kalau begitu pantas engkau pandai bahasa
Sangsekerta. Bagaimana apakah engkau sudah ke Thay hengsan ?”
“Belum pergi kesana, tapi telah menemui Thay Cin Tojin, kini ia telah menjadi Futhoat Pok
Thian Pang !”
“Mungkinkah seorang bernama besar seperti dia mau mengabdi pada Pok Thian Pang ?”
“Ini kulihat dengan mata kepala sendiri,” kata Tiong Giok, “Tojin itu benar-benar tidak tahu
malu dan kurang ajar, sampai surat guruku disobek hancur dan dibuang !”
“Tak mungkin ia bisa berlaku demikian… mungkin surat gurumu itu terlalu mengejeknya ?”
“Surat itu tidak berleter, hanya meerupakan gambar; sebuah pohon cemara, dibawahnya
terlihat seorang tua sedang menyiram sebuah pohon yang baru tumbuh…. Kecuali itu tidak
ada lagi !”
Orang tua itu membayangkan rasa kaget, dengan sinar matanya ia menyapu wajah pemuda
kita : “Sebuah surat berbentuk gambar ? Eh beritahuku, apakah engkau berusia delapan belas
tahun ? Dan dipunggungmu terdapat tanda bacokan ?”
“Kenapa bapak bisa tahu ?”
Orang tua itu tiba-tiba saja mengucurkan air mata, dan berkata dengan terharu : “Nak engkau
bukan she In…”
Tiba-tiba saja pintu teerbuka dan Ong Jiak Tong masuk kedalam. Dengan wajah dingin ia
menyapu kedua wajah orang tua dan muda itu bergantian : “Hm, apa yang kalian bicarakan ?
Peraturan disini semua narapidana tak dibolehkan menggunakan bahasa sandi untuk bicara.
Hai ! Bawa tawanan muda ini kelain kamar !”
Dua pengawal segera datang dan menyeret Tiong Giok begitu keluar kamar.
“Ong Congkoan apa artinya ini ?” bentak Tiong Giok begitu keluar kamar.
“Kongcu jangan gusar, semua ini perintah Pangcu, aku hanya menjalankan perintah saja !”
“Pertemuanku diatur oleh Pangcu demikian rupa, mana mungkin dihalang-halangi ?”
Ong Jiak Tong mengangkat pundak dan berkata : “Ya, memang Pangcu mendengari
percakapan kalian dari kamar rahasia, mula pertama ia tersenyum dan menganggukanggukkan
kepala, tapi belakangan mengerutkan kening dan terus memerintahkan padaku
menyuruh Kongcu keluar !”
In Tiong Giok terpekur ejenak, tanpa berkata-kata ia naik tangga meninggalkan tempat itu.
Sesampainya diruangan tengah, sang Pangcu sudah berada disitu, tampak wajahnya muram.
89
“Ada pesan apa Pangcu memanggilku ?” Tanya In Tiong Giok.
“Hm, apa yang dibicarakan Kongcu dengannya tadi ?” sang Pangcu berbalik bertanya dengan
dingin.
“Tidakkah semua percakapanku dengannya telah didengar Pangcu dari kamar rahasia ?”
“Sampai dimana Kongcu memperbincangkan bahasa Sangsekerta itu dengannya ? Dan apa
hasilnya ?”
“Sedang asyiknya percakapan berlangsung, tiba-tiba saja Ong Congkoan datang melarang,
dengan alas an kami berkata-kata dalam bahasa Sangsekerta, hasilnya tentu saja nihil !”
“Semua ini kujalani atas perintah Pangcu.” Ong Jiak Tong membela diri.
“Pangcu memerintahkan aku menemui penghuni kamar istimewa itu, yakni untuk
melancarkan pekerjaanku dalam menterjemahkan buku Sangsekerta. Dengan sendirinya
segala kesulitan dalam bahasa itu, harus diucapkan dalam bahasa Sangsekerta ! Kupikir Ong
Congkoan mempunyai cara yang lebih baik dari itu, maka dengan sangat kumohon petunjukpetunjukmu.
“Ini…ini…” Ong Jiak Tong kelabakan, wajahnya merah kemalu-maluan, sedangkan matanya
menatap kearah Pangcunya seolah-olah memohon bantuan.
Sedangkan sang Pangcu pikirannya menjadi berubah setelah mendengar kata-kata In Tiong
Giok, setelah berpikir sejenak lalu berkata : “Memang benar, bagaimanapun engkau akan
berkata-kata dalam bahasa Ssangsekerta, sesuai dengan kerjaanmu. Ong Congkoan engkau
memang salah !”
“Tapi…,” Pembelaan Ong Jiak Tong tak bisa dilanjutkan, mulutnya menjadi bungkam terkena
delikan mata sang Pangcu. Cepat ia menyerah. “Ya…ya aku salah, mohon Kongcu dan
Pangcu memaafkan kecerobohanku !”
Sang Pangcu tersenyum, lalu melirik kearah Tiong Giok lalu berkata. “Semua ini terjadi
karena salah paham, Kongcu tak perlu menaruh hati ! Sejujurnya adakah hasil yang diperoleh
dari percakapan tadi ?”
“Sejujurnya ada,” kata In Tiong Giok, tadi kukatakan nihil karena masih dongkol pada Ong
Congkoan, atas ini kuminta maaf !”
“Nah apa yang diperoleh sekarang kerjakan dulu, nanti boleh menemuinya lagi !” kata sang
Pangcu, dan terus bangun dari tempat duduknya. Sengaja ia menuntun In Tiong Giok keluar
agar pemuda itu senang dan mau bekerja dengan baik-baik.
Ong Jiak Tong sekalian sipir bui mengantar dengan hormat sambil berbungkuk-bungkuk. In
Tiong Giok merasa tak enak hati pada Ong Jiak Tong. Maka itu sebelum ia naik kereta ia
menepuk-nepuk pundak orang sambil menghibur “Ong Congkoan semua ini disebabkan tugas
dan kewajiban kita, harap kejadian tadi jangan menjadi ganjelan hati !”
90
“Terima kasih! Terima kasih !” Jawab Ong Jiak Tong dengan senang.
Kereta segera bergerak meninggalkan penjara tanah. Kejadian yang dialami membuatnya tak
bisa berpikir : kenapa orang tua itu mengatakan dirinya bukan she In ? Kenapa perkataan aneh
ini bisa diucapkan orang tua itu ? Kenapa orang tua itu mengetahui usianya serta tanda
dipundak kirinya ? Apa hubungannya dengan surat gurunya yang disampaikan kepada Thay
Cin Tojin ?
Soal umur dan tanda luka memang tepat terdapat pada dirinya, mungkinkah sampai soal she
bisa salah ? Semakin berpikir otaknya gelap, dan ia baru tersadar tatkala kereta tiba ditempat
tujuan.
Wan Jie seperti terbang melihat kereta tiba dan terus bertanya pada gurunya yang belum
sempat turun : “Suhu darimana ? Kenapa aku tak diajak ?”
“Ah jangan berlaku setolol ini Wan Jie, tak enak kalau dilihat para pengawal !” jawab sang
guru sambil mendelik.
“Habis terlampau cemas aku ditinggal,” kata Wan Jie,”setiap yang kutanya suhu pergi
kemana, semua mengatakan tidak tahu. Demikian juga dengan Lo Cucong, sampai sekarang
menunggu-nunggu suhu pulang…”
“Lo Cucong ?”
“Ya katanya ada surat dari Soat Kouw. Kecuali itu Wang Futhoat yang bertugas dipintu
masuk berturut-turut tiga kali memberikan tanda bahaya, mungkin ada sesuatu yang terjadi !”
Pek Cin Nio mengerutkan kening, ia berpaling pada Tiong Giok: “Kalau begitu silahkan
Kongcu pulang dengan kereta ini, nanti malam baru…”
“Lo Cucong memesan agar Kongcupun jangan pulang,” sela Wan Jie.
Pek Cin Nio semakin mendelik pada muridnya : “Hari inikenapa engkau begini macam ?”
Bicara terburu-buru, benarkah Lo Cucong memesan begitu ?”
“Kalau suhu tak percaya tanyalah pada Lo Cucong…”
“Ah kenapa kian hari kian kurang ajar ?” tegur Pek Cin Nio, “awas setelah aku bertemu
dengan Lo Cucong akan kuajar !” Ia turun dari kereta dan terus masuk kedalam istana.
Dengan mata merah Wan Jie menahan air matanya, lalu dengan penuh perhatian ia bertanya
pada In Tiong Giok: “Eh suhuku membawamu kemana ? Adakah terjadi sesuatu yang
membahayakanmu ?”
“Tidak apa-apa, ia hanya menyuruhku bertemu dengan seoarang tua yang bersangkutan
dengan buku Keng thian cit su. Lain dari itu semua aman, nah lihatlah apa yang kurang
padaku ?”
“Masih bisa tertawa,” kata Wan Jie dengan aleman, “kau tahu kepergianmu hampir-hampir
membuatku gila, aku cemas dan kuatir atas dirimu !”
91
“Kenapa Lo Cucong menyuruhku diam dulu disini ?”
“Jangan kuatir bukan apa-apa,” hibur Wan Jie.
“Bukankah engkau pernah mengatakan Soat Kouw meninggalkan tampat ini lima tahun ?
Kenapa mendadak ada suratnya ?”
“Ya, apa herannya, ia sering mengirim surat melalui merpati pos,” jawab Wan Jie. “Urusan
sendiri tak diperhatikan, masih mau tahu urusan orang !”
Sedang mereka bercakap-cakap, Lie Kee Cie dengan langkah cepat keluar dari Istana dan
terus memberikan perintah pada anak buahnya : “Pangcu akan kedepan, kamu harus berlaku
waspada, dan siapkan semua senjata !”
In Tiong Giok keheran-heranan, ia memandang pada Wan Jie, yang disebut belakanganpun
menggelengkan kepala tanda tak tahu. Tak selang lama sang Pangcu baru keluar dari istana.
Ia menghampiri Tiong Giok : “Ada sesuatu soal memerlukan tenaga Kongcu, mari kita pergi
bersama-sama !”
Wan Jie menatap kepada gurunya, tanpa berkata-kata, gerak-geriknya kentara sekali ingin
diajak. Pek Cin Nio tersenyum dan berkata : “Mau ikut ya ? Lekas naik !”
Kegirangan Wan Jie tak alang kepalang, ditariknya pintu kereta, dan berkata dengan aleman
pada gurunya : “Terima kasih Suhu !”
Kereta berlari seperti terbang dalam waktu singkat telah tiba dipantai, disitu telah terseia
empat buah perahu untuk melanjutkan perjalanan mereka kegunung depan. Setelah berada
didalam perahu, Pek Cin Nio menjelaskan pada Tiong Giok: “Siang ini digunung depan
datang seorang tua dan seorang muda yang aneh, orang tua itu bermata biru dan tidak bisa
berbahasa Tionghoa; yang muda bisa berbahasa Tionghoa sedikit-sedikit. Mereka menyatakan
sebagai guru dan murid, datang dari India, dan datang kemari untuk berurusan dengan kami.
Wang Futhoat tidak mengerti bahasa mereka, dan tak mengijinkan mereka masuk, akibatnya
mendatangkan makian mereka, bahwa kami sebagai perserikatan besar, tapi tidak mempunyai
seorangpun yang berbahasa Sangsekerta. Lo Cucong merasa tersinggung, dan memerintahkan
aku mengajakmu kesana !”
“Orang di Tionghoa sendiri jarang yang mengetahui tempat ini, kenapa mereka yang dari
India bisa tahu ?” Tanya Tiong Giok.
“Ya kedatangan mereka memang mengagetkan dan mencurigakan,” jawab Pek Cin Nio.
“Maka itu Lo Cucong ingin tahu apa yang dikehendaki mereka, dan mendatangkan Kongcu
kesana sebagai interpreter !”
Begitu mereka mendarat terus mengganti kuda dan masuk kedalam terowongan, begitu keluar
Wang Wang Can tampak menyongsong dengan membukakan pintu berjeruji besi.
Wang Wang Can dulu mendampingi terus Lo Cucong, tapi sejak Kim Tak Can dilukai Cian
bin sin kay, ia dioper kepintu pertama ini. Keadaan disini terasa tegang.
92
“Apakah kedua orang itu masih berada dibawah gunung ?” Tanya Pek Cin Nio.
“Masih ! Lihatlah” kata Wang Wang Can sambil menunjuk.
Benar saja waktu mereka melihat kebawah terlihat dua orang berpakaian merah, satu tua satu
muda. Disebut Hweesio bukan Hweesio dikata Lama juga bukan; juga tidak mirip dengan
Tojin. Pokoknya dandanan mereka tidak keruan, dengan jumawa mereka sedang tergelakgelak,
dengan kelakuan eksentriknya yang berlebih-lebihan.
Mereka tertawa semakin besar begitu melihat Pek Cin Nio, yang tua berkata-kata yang tidak
dimengerti, sedangkan yang muda menjelaskan: “Guruku bertanya yang mana Pangcu Pok
Thian Pang ?”
“Binatang ini terang-terang orang Tionghoa, kenapa tidak bisa berbahasa Tionghoa, janganjangan
seperti Pang Hui….” Kata Wan Jie sambil tersenyum.
“Lie Tongleng jawab pertanyaan mereka !” Pek Cin Nio memerintahkan dengan wajah
muram.
“Pangcu kami ada disini, tuan-tuan berkepentingan apa datang kesini ?” kata Lie Kee Cie.
Orang tua bermata biru menatap Lie Kee Cie dengan mendelik lalu berkata tak keruan yang
sukar dimengerti.
Yang muda segera menjelaskan: “Guruku berkata kenapa kalian sebagai perserikatan besar,
sampai seorang ahli bahasa Ssangsekerta tidak ada ?”
“Hm,” dengus Pek Cin Nio, “ In Kongcu timpalilah mereka dengan bahasa Sangsekerta !”
“Kalian datang kesini sebenarnya mau apa ?” teriak Tiong Giok dengan bahasa Sangsekerta.
Orang tua itu mendadak berhenti tertawa, dan memandang pada Tiong Giok dan terus
mengoceh lagi dengan bahasanya sendiri.
“Apa yang dikatakannya ?” Tanya sang Pangcu.
“Aku tak mengerti, karena yang diucapkannya itu bukan bahasa Sangsekerta !”
“Ah gila orang itu !” kata Pek Cin Nio.
“Biarlah akan kutanya lagi,” kata In Tiong Giok dan terus membuka mulut dengan bahasa
Sangsekerta. “Bukankah kalian ini ingin bicara dengan bahasa Sangsekerta ? Kenapa
menjawab dengan bahasa lain ?”
Orang tua bermata biru, menggelengkan kepalanya, tapi menganggukkan kepala lagi dan terus
berkata-kata seenaknya.
“Kata-katanya bukan bahasa Sangsekerta !” kata In Tiong Giok.
93
Tiba-tiba saja orang yang muda berkata dari bawah :
“Hei, kata guruku engkau masih kecil sudah pandai berbahasa Sangsekerta, apakah datang
dari India ?”
“Aku orang Tionggoan asli !”
“Guruku ingin mengetahui namamu ? Dan bertanya apakah pernah ke India ?
“Namaku In Tiong Giok, menyesal belum pernah ke India sehingga bahasa Sangsekerta yang
diucapkan gurumu tidak aku mengerti !”
Orang tua bermata biru lagi-lagi mengoceh dengan bahasanya, tampaknya sangat cemas
sekali. Dan sedang yang muda tidak hentinya menganggukkan kepala dan terus memandang
kepada In Tiong Giok.
“Guruku mengatakan bahasa Sangsekertamu dipakai dikalangan atas, buat bangsawan dan
pembesar, sedangkan yang dikuasai guruku adalah bahasa rakyat sahaja dari kasta terendah.
Walaupun bahasanya beda, huruf dari bahasa ini sama. Karena tak bisa berkata-kata dengan
suara, ia ngin bercakap-cakap melalui huruf. Sesudah engkau melihat surat guruku, harap
sampaikan pada sang Pangcu, tapi ingat hal ini teramat penting, kecuali dirimu yang lain tidak
boleh tahu. Nah silahkan turunkan tangga, berikan kesempatan aku naik keatas membawa
surat dari guruku.”
“Kongcu boleh mengatakan, bahwa yang muda diperkenankan naik keatas, tetapi yang tua
tidak !” kata Pek Cin Nio.
In Tiong Giok segeras menyampaikan apa yang dikatakan sang Pangcu. Oang tua dan orang
muda dibawah gunung berunding sejenak. Siorang tua tampak mengangguk-angguk, lalu
menulis disebuah Bukhie besi yang biasa dipakai seorang Hweesio dengan jeriji tangannya.
Hal ini membuat sekalian yang menyaksikan menjadi kaget.
Melihat ini Wang Wang Can dan Lie Kee Cie semakin berlaku waspada, baru setelah itu
menurunkan tangga besi, membiarkan orang muda itu naik keatas. Tangga ditarik lagi.
Setibanya diatas, Lie Kee Cie tak mengijinkan orang muda itu dekat-dekat dengan
Pangcunya. Dan orang muda itupun disuruhnya berkui (sembah sujud menekuk lutut).
“Kami hanya bersembah sujud pada Buddha dan Biku, tidak pada orang lain !”
“Sesampainya disini janganlah bersikap sekukuh itu !” kata Lie Kee Cie sambil mendupak
dengan mendadakan.
Orang muda itu dengan gerakan gesit, melompat kedepan dan memutarkan badan sambil
menantikan serangan lagi :
“Engkau mau apa ?” tegurnya tenang-tenang.
“Diam !” bentak Pek Cin Nio, “Lie Tongleng tak usah melalukannya, ambillah Bokhienya itu.
Apa yang ditulis gurunya ingin kulihat !”
94
“Tidak ! Benda ini ingin kuserahkan kepada orang yang pandai bahasa Sangsekerta,
nah…serahkanlah Bokhie itu padaku !”
“Apakah engkau dapat berbuat seperti kata-kata yang tertulis di atas Bokhie ini ?”
“Sudah tentu !”
Pemuda itu memandang keempat penjuru, lalu menganggukkan kepala. “Bokhie ini terbuat
dari besi dan bukannya kayu berat sekali maka hati-hatilah !” Sehabis berkata ia membalikkan
Bokhie itu dan menyerahkan kehadapan In Tiong Giok.
Pada Bokhie itu tertulis : maju lima langkah dan menunduk lihat kebawah. Surat ini hanya
Tiong Giok sendiri yang bisa melihat. Ia heran dan tidak mengerti, diliriknya pemuda itu
dengan penuh tanda Tanya. Tampak wajah orang itu begitu serius dan tenang, mendatangkan
rasa ingin tahunya, dan segera melangkah lima tindak kedepan, lalu menunduk kebawah. Saat
itu ia telah berada ditepian jurang itu, dan dia jadi kaget, karena melihat kedalamannya jurang
itu dan dibawah terlihat empat orang muda yang mengenakan abu-abu, sedang merentangkan
jarring, menantikannya.
Pada saat inilah pemuda itu, melemparkan Bokhienya menyerang kearah Lie Kee Cie
membarengi menyergap pada In Tiong Giok dan terus dibawa terjun kebawah jurang….
“Lepaskan oanah !” teriak Lie Kee Cie.
Anak panah berdesing terlepas dari busurnya seperti hujan. Pemuda berbaju merah
melindungi Tiong Giok dengan badannya. Ditengah udara ia tak bisa berkelit, maka itu
tubuhnya tertancap panah, tak ubahnya seperti landak.
“Stop ! Stop! “ teriak Wan Jie dengan memanah terus bisa melukai In Kongcu !”
“Untuk apa menghiraukannya lagi, andaikan tak mati terpanah tentu akan mati terbanting…”
kata Lie Kee Cie.
“Apaakah kau buta ? Tidakkah melihat jarring dibawah itu ?” potong Wan Jie dengan
mendelik.
Lie Kee Cie melihat kebawah, bukan main dongkolnya. “Kejar!” perintahnya.
Pek Cin Nio memungut Bokhie yang dilemparkan pemuda berbaju merah tadi, setelah melihat
kata-kata itum ia berpaling kearah si Tongleng: “Yang datang itu berilmu tinggi, mereka telah
merencanakan dengan perhitungan matang. Maka itu bawalah lebih banyak pengawal dan
bekerja sama dengan Wang Futhoat untuk mengejarnya ! Disamping itu akan kulaporkan
pada Lo Cucong serta minta bantuan dari jago-jago yang berada di idtana sorga, kejarlah
mereka sampai dapat !”
Perkataan sang Pangcu ini sepatahpun tidak terdengar oleh Wan Jie, ia sedang cemas
memandang kebawah, karena segenap hatinya telah meluncur kebawah terbawa In Tiong
Giok. Dan iapun melihat bagaimana kekasihnya itu jatuh didalam jarring, membal dan
melompat-lompat beberapa kali, kemudian baru diam.
95
Ia menarik napas lega, air matanya mengalir turun, sejenak tak bisa mengatakan sedih ? Duka
? Girang. Ia pernah berharapan besar agar kekasihnya itu melarikan diri, dan kini benar-benar
kekasihnya itu telah meninggalkan dirinya. Disamping rasa senangnya rasa duka dan sedihnya
lebih besar lagi.
Sedangkan Tiong Giok yang jatuh kejaring segera disambut orang tua bermata biru. “Hei
bocah engkau tentu tidak kurang suatu apa ?” kata-katnya diucapkan dalam bahasa Tionghoa
yang fasih sekali.
“Ya aku tidak kena apa-apa, tapi saudara ini…” kata Tiong Giok sambil meringis.
“Ia adalah muridku !” kata orang tua itu sambil memeriksa badan muridnya yang telah
menjadi mayat. “Yang mati tidak akan hidup lagi, mari kita berlalu !” Empat pemuda berbaju
abu-abu segera melemparkan jaringnya dan mengikuti siorang tua masuk kedalam hutan yang
lebat.
Baru mereka berlalu, dari arah belakang terdengar derap kaki kuda. Orang tua bermata biru
segeraberhenti sebentar. Tahanlah gerak majunya ! Katanya memerintahkan pada salah
seorang pemuda berbaju abu-abu, pemuda itu mengangguk dan terus menghunus senjatanya,
maju menyongsong pengejar. Sedangkan siorang tua membawa Tiong Giok dan ketiga
pemuda berbaju abu-abu, melanjutkan perjalanannya.
Lebih kurang berjalan setengah lie kembali terdengar derap kaki kuda dari belakang. “Ah,
musuh tentu lihay !” kata siorang tua. “Nah coba engkau tahan lagi mereka !” Perintahnya
pada seseorang melewati beberapa lie, mereka tiba disebuah sungai kecil, sungguhpun
demikian airnya deras sekali. Tiong Giok ingat waktu ia mau masuk kemarkas Pok Thian
Pang matanya ditutup, tapi mendengar suara sungai, nah inilah sungai itu. Dua pemuda beraju
abu-abu, dari balik semak menarik keluar sebuah perahu kecil. Siorang tua membawa Tiong
Giok keatas perahu, berbareng dengan ini dibelakang mereka terdengar lagi suara pengejar.
“Kalian berdua bisa bertahan berapa lama ?” Tanya siorang tua.
“Kami bisa bertahan sekurang-kurangnya setengah jam !” jawab pemuda berbaju abu-abu.
“Pergilah dan jangan sampai membuat malu yang menjadi guru !”
“Baik suhu !”
Orang tua membuka baju merahnya, dan terlihatlah baju dalamnya yang berwarna hitam.
Dengan cepat ia memutar perahu dan segera laju terbawa air, dalam sekejap hutan lebat telah
tinggal jauh.
Markas Pok Thian Pang dianggap dunia terpencil yang bisa dimasuki tanpa bisa keluar lagi,
tak kira kejasdian yang baru dialami Tiong Giok seperti dalam hayalan saja. Kini ia dengan
mujur bisa meloloskan diri, tapi mengingat pada Cian bin sin kay yang gagah berani dan Wan
Jie yang manis budi serta orang tua yang berada dipenjara tanah, membuatnya berpikir kapan
bisa bertemu lagi dengan mereka. Akibat pikirannya melayang-layang tampaknya seperti
melamun.
96
“Hei bocah, mari kita mendarat !” tiba-tiba siorang tua bermata biru berkata.
“Kenapa berhenti disini ?”
“Jangan kuatir semua sudah diatur !”
Tiong Giok tidak banyak bicara lagi mengikuti siorang tua kedarat. Dan terus mereka berlarilari.
“Siapa ?” tiba-tiba dari balik sebuah batu besar terdengar orang berseru.
“Aku Liok Jie Hui !” jawab seorang tua sambil tertawa.
Mendengar nama itu Tiong Giok menjadi kaget dan sadar, bahwasannya orang tua itu bukan
lain dari salah seorang Capsahkie yang bergelar Sian Ong.
“Oh kira Liok Locianpwee, terimalah hormatku serta rasa terima kasihku atas pertolongan
Cianpwee keluar dari tempat Pok Thian Pang !”
“Jangan berkata begitu !” kata sioarng tua sambil tersenyum.
Tiba-tiba saja dari balik batu datang seorang berumur lima puluh tahun, kurus dan
mengenakan pakaian serba putih, dibelakangnya terlihat Tojin setengah baya berwajah pucat,
disusul dengan seorang tua berbaju belentang belentong dengan wajah dingin, yang terakhir
adalah seorang perempuan berbaju hijau, usianya empat puluhan. Wajahnya cantik dan cukup
menarik, senyumnya selalu menambah keayuannya. Keempat orang ini semua bersenjata
pedang, dan gagah-gagah, sungguhpun demikian terhadap Liok Jie Hui sangat hormat sekali.
“Kami sebagai Tionggoan Su toa kiam pay (empat pendekar pedang dari berbagai aliran)
mengucapkan selamat datang pada Liok Sian Ong !”
Kiranya dibalik batu besar terdapat sebuah gua yang bermulut sempit dan tertutup semaksemak.
Dari luar tidak kentara seperti gua. Mereka segera masuk, didalam terdapat sebuah
ruangan, sebuah meja sederhana yang penuh makanan diatasnya.
Sejak melihat empat orang yang aneh ini, timbul firasat buruk pada Tiong Giok. Maka itu ia
selalu mendekat pada Liok Jie Hui. Orang tua ini mengajaknya duduk dan memberikan arak
serta makanan. “Hei bocah apakah engkau mendengar nama Tiong Goan Su toa kiam pay ?”
Tiong Giok menggelengkan kepala.
“Dunia persilatan banyak yang menggunakan pedang sebagai senjata, tapi selama dua puluh
tahun yang dapat dipuji adalah ilmu pedang dari empat aliran, yakni dari Sie beng, Cong lam,
Oey san dan Lo hut. Kini engkau beruntung bisa bertemu dengan mereka ini ! “ kata Liok Jie
Hui sambil menunjuk kepada empat orang aneh tadi. “Nah sekarang kuperkenalkan merka ini
padamu ! “Maka mulailah orang tua ini menyebutkan nama keempat orang aneh itu !
Perempuan yang berbahu hijau ini bernama Hoo Su Kouw, dari Oey San dengan gelar Oey
san cui hong (cendrawasih hijau dari gunung Oey), Pelajar berbaju putih ini bernama Liu Bu
Kie dari perkampungan Sie beng dengan gelar Hoo heng kiam (sibangau berpedang), Orang
tua kurus ini bernama Kiong Hauw, Ciang bun jin dari perguruan pedang Lo hut, dengan gelar
97
Ku bok kiam kek (pendekar pedang kayu kering). Dan Tojin ini bernama Thian Hong Tojin,
Ciang bun jin dari Ciong lam.
Tiong Giok menghaturkan hormat kepada mereka satu persatu sambil berkata : “Boanpwee In
Tiong Giok seorang pelajar lemah yang beruntung mendapat pertolongan dari Liok Sian Ong
serta bisa bertemu dengan Cuwie sehingga terbebas dari genggaman kaum Pok Thian Pang,
atas ini kuucapkan terima kasih yang tidak terhingga !”
“Ha ha ha, jangan berkata begitu,” kata Liok Jie Hui,”tahukah kenapa kami mau menolong
engkau ?”
“Mungkinkah karena diriku bertugas sebagai penterjemah buku di Pok Thian Pang ?”
“In Kongcu benar-benar pintar, dugaanmu memang tepat !” kata Hoo Su Kouw.
“Kudengar buku yang mau diterjemahkan itu bernama Keng thian cit su, yakni buku pelajaran
ilmu pedang bukan ?” Tanya Liok Jie Hui.
“Benar !”
“Sudahkah engkau menterjemahkannya ?” Tanya Jie Hui lagi.
“Baru sebagian saja…”
“Bagus ! puji Liok Jie Hui, sebab kalau sampai buku ini engkau terjemahkan, sama dengan
Pok Thian Pang sebagai harimau ditambah sayap. Dan pasti mendatangkan bencana besar
dikalangan Rimba Hijau, dan engkau tak ubahnya seperti membantu kejahatan mereka, akan
dikutuk sepanjang masa.
“Ya untung Liok Sian Ong datang tepat pada waktunya !” kata Tiong Giok.
“Sungguhpun begitu buku ini masih tetap berada ditangan Pok Thian Pang, lambat laun pasti
dapat diterjemahkan juga dan menjadi bencana bagi dunia Bulim. Aku dan keempat ahli
pedang ini berkumpul dan mengajakmu kesini tak lain ingin merundingkan sesuatu hal
denganmu: adapun soal ini menyangkut mati hidupnya dunia persilatan, entah engkau
bersedia atau tidak ?”
“Lo Cianpwee sebagai penolongku, kenapa harus berkata begitu, sudah tentu aku bersedia,
asal saja yang dapat kukerjakan !”
“Engkau sudah kenalkah jago-jago pedang dari empat aliran, tapi mereka tak seorangpun
yang dapat menajan kekuatan Keng thian cit su. Maka itu kami berusaha memiliki ilmu
pedang itu agar semua jago-jago silat mempelajarinya, sehingga mempunyai kekuatan
menghadapi kaum Pok Thian Pang.
“Maksud Liok Cianpwee bagaimana ?” Tanya Tiong Giok.
“Engkau adalah satu-satunya yang pernah melihat Keng thian cit su, asal engkau bersedia
membuat kopinya, Pok Thian Pang pasti hancur !”
98
“Ini…. Tiong Giok tertegun sejenak.
“Pok Thian Pang adalah perkumpulan yang ganas, yang menghendaki semua cabang dan
aliran lain tunduk kepadanya. Yang menentang akan dibunuhnya secara sewenang-wenang.
Maka itu untuk mencegah keganasannya itu kami harus menyiapkan diri melatih ilmu yang
ampuh guna menghadapi mereka ! Jika tidak berpikir kesitu untuk apa bercapai lelah dan
mengorbankan keempat muridku menolong dirimu ?”
Kata-kata ini membuat Tiong Giok tergerak, tambahan keempat jago pedangpun memandang
kearahnya dengan penuh harapan. Ya untuk hidupnya kaum Bulim, Boanpwee bersedia
menulis Keng thian cit su, buku itu baru sekali kubaca, kuatir…
“atas kesediaan Kongcu, sebelumnya kami menghaturkan banyak terima kasih,” kata keempat
jago pedang sambil merangkapkan kedua tangannya masing-masing.
“Tak apa, berapa yang engkau ingat tulislah, kekurangannya dapat diperbaiki keempat jago
pedang ini !” kata Liok Jie Hui.
Segera juga Liu Bu Kie menyediakan alat-alat tulis. Tiong Giok tidak membuang waktu, siap
bekerja. Tapi Liok Jie Hui berkata dengan tiba-tiba. “Eh, dengarkan dulu, disini memang
sunyi dan aman, tapi masih dekat dengan Pok Thian Pang ! , untuk mencegah sesuatu yang
tidak diinginkan, kuharap kalian berempat menjaga diluar dengan bergilir !”
Liu Bu Kie berempat saling tatap diantara mereka sendiri, seolah-olah tak seorangpun mau
meninggalkan tempat itu.
“Aku merencanakan hal ini dengan susah payah, mungkinkah tugas yang begitu mudah tak
dapat kalian lakukan ?” tegur Liok Jie Hui sambil mendelik dengan matanya yang biru.
“Bukan begitu,” kata Liu Bu Kie, bajuku sangat menyolok mata, sebaiknya mereka saja yang
bertugas dengan bergilir.”
“Bajuku sendiri belentang belentong dan mudah menarik perhatian orang,” jawab Kiong
Hauw.
“Hm, kata Thian Hong Tojin dengan gusar “kita sudah berjanji, sama-sama bersenang, samasama
bersusah, kenapa musti tarik urat di soal baju : Andaikan baju itu membuat kalian susah,
tukarlah dengan bajuku !”
“Baju ini merupakan cirri khas dari tiap aliran, mana boleh sembarangan ditukar ?” jawab Liu
Bu Kie.
“Siapa yang bilang tidak boleh ?” bentak Thian Hong Tojin.
Akibat soal kecil ini membuat mereka tarik urat dan ribut mulut, hampir-hampir terjadi
perkelahian, “Hm, apa yang diributkan ?” bentak Liok Jie Hui. “Jika kalian mencurigai satu
sama lain, apa yang ditetapkan semula kuanggap batal, dan In Kongcu akan kubawa pergi,
kutanya jika sampai begitu siapa yang rugi ?”
99
“Ya kita sebagai orang-orang yang kenamaan kenapa harus ribut seperti anak kecil, tidak
malukah pada In Kongcu ?” kata Hoo Su Kouw.
Tanpa terasa Liu Bu Kie dan lelaki memandang kearah In Tiong Giok, lalu dengan
menundukkan kepala tak berkata-kata lagi.
“In Kongcu mengerjakan tulisan ini, pasti memakan waktu yang agak lama. Dan kitapun
bertugas dengan bergilir, untuk menetapkan siapa yang harus jaga pertama dan seterusnya
bahkan kita sudi saja,” kata Hoo Su Kouw.
Ketika jago pedang lainnya menganggukkan kepala tanda setuju, Hoo Su Kouw lantas
memulung empat kertas yang sudah ditulis angka satu sampai empat. Setelah diundi nyatanya
Liu Bu Kie mendapat tugas pertama, membuatnya tak bisa membantah lagi, dengan wajah
merana ia pergi keluar.
“Kami berempat sudah bisa bersikap keras-kerasan, dengan begini hubungan kami semakin
intim. Kongcu tak perlu memperdulikan kami, menulis saja dengan tenang,” kata Hoo Su
Kouw.
In Tiong Giok merasa geli melihat kelakuan empat jago pedang yang aneh itu, setelah
menunda sebentar kerjaannya akibat keributan mereka, segera ia melanjutkan lagi menulis.
Dengan kepintarannya yang luar biasa dan daya ingatannya yang hebat. Tiong Giok dapat
menyelesaikan tiga jurus dari Keng thian cit su dalam waktu setengah jam. Apa yang sudah
ditulis itu diambil Liok Jie Hui dan ditaruh di meja, sehingga membuat tiga jago pedang itu
tidak dapat melihatnya. “Demi keadilan, sebelum semuanya ditulis habis, kita jangan melihat
dulu yang ini !”
Kini sampai giliran Thian Hong Tojin bertugas, dengan langkah berat ia ngeloyor juga,
mengaplus Liu Bu Kie.
Kembali setengah jam berlalu, Tiong Giok selesai menulis sampai enam jurus. Sedangkan
yang bertugas jaga sampai pada Tiong Hauw. Ia pergi keluar, tapi sebentar kemudian sudah
kembali kedalam.
“Buku ini hanya tujuh jurus, dengan kecepatan In Kongcu menulis pasti sudah selesai
sebelum giliran Hoo Su Kouw. Maka itu kuanggap disinilah letaknya, rasa kurang adil !”
bantah Hoo Su Kouw.
“Aku bukan mau enak sendiri, tapi tidak mau rugi juga,” kata Tiong Hauw, “kini kuminta
engkau bertugas lebih dulu dn aku belakangan bagaimana ?”
“Ah mana bisa, semua ini sudah diundi…”
“Ya gulungan kertas tadi engkau yang membuat, tentu engkau main curang ! Kau kira aku
bisa ditipu ?”
“Ya gulungan kertas aku yang buat, “ jawab Hoo Su Kouw dengan gusar, “tapi disaksikan
Liok Sian Ong !”
100
“Ha ha ha, “ tiba-tiba dari luar terdengar suara orang tertawa disusul dengan kata-kata “Siapa
yang menjadi saksi ? Kami suami istri bolehkah ?”
Begitu mendengar suara itu Liu Bu Kie menjadi cemas, tanpa piker panjang lagi, ia melompat
dan meraup kertas dimeja itu. Jejaknya diikuti yang lain-lain. Suasana menjadi kalang kabut,
sungguhpun mereka bergerak cepat, masih kalah oleh Liok Jie Hui ! Semua kertas itu dengan
cepat telah masuk kekantongnya dan membuat keempat jago pedang menubruk angin.
“Hm siapa diluar ?” bentak Liok Jie Hui.
“Hei, kawan bermata biru sampaikan kami suami istripun engkau tak kenal ?”
“Hati-hati !” kata Liok Jie Hui perlahan, yang datang adalah Hek pek siang kuoy Na Beng Kie
dan Lau Liu Kim, kedua jejadian ini sangat lihay…”
In Tiong Giok mendengar nama Hek pek siang kuoy, segera tahu adalah orang Cap sah kie
segera ia berdiri ingin melihat bagaimana macamnya kedua jejadian itu.
“Liok Lauko, engkau sok betul, kami sudah menunggu lama belum juga dipersilahkan masuk
!” kata suara dari luar. Menyusul terlihat berkelebatan dua bayangan, mereka adalah seorang
laki-laki dan seorang perempuan. Melihat ini Tiong Giok jadi melongo, karena kedua jejadian
yang dibayangkan sangat menyeramkan itu, ternyata adalah dua bocah cilik. Yang laki-laki
kelihatannya baru usia empat lima belas tahun, dipunggungnya terselip dua pedang. Yang
perempuan sebaya dengan yang laki-laki. Jika tidak mendengar Liok Jie Hui mengatakan
mereka sebagai Hek pek siang kuoy, bagaimanapun ia tidak percaya kedua bocah ini sebagai
jago-jago bulim yang termasuk dalam Bulim Cap sah kie.
“Tiap tahun kejadian-kejadian aneh selalu ada, tapi tidak menang dengan tahun ini Liok
Toako sandiwara model apa yang engkau buat ? Sampai empat bajak laut dari Luan lo engkau
jadikan Su toa kiam pay ?” kata Na Beng Lie sambil melirik kearah Liu Bu Kie dan kawankawannya.
“Pakai banyak tanya-tanya,” kata Lau Liu Kim dari dulu segala busuk dan segala pekerjaan
tak tahu malu Liok Lojie sudah terkenal ! Yang terang kita terlambat selangkah !”
“Tidak ! Tidak ! Bagaimana engkau menertawakan Liok Toako ? Ingatlah kita sebagai kawan
lama dengannya, tentu membuatnya punya ingatan dan tak mungkin menelan sendiri rejeki
yang diperoleh !”
Liok Jie Hui tersenyum sinis dan berkata dengan dingin : “Kalian boleh saling sambutan
dengan kata-kata tapi aku tidak mengerti apa yang kalian maksud !”
“Ah, jangan begitu, sedikit banyak kami harus kecepretan, baru pantas !” kata Na Beng Lie.
“Tidak bisa !” kata Liok Jie Hui, “sudah merupakan kebiasaanku makan apa-apa tidak
meninggalkan sisa, apa lagi yang harus kucepret-cepretkan ?”
“Hm, terus terang sja kami sebagai suami istri yang tak mudah dipermainkan !” kata Lau Liu
kim.
101
“Aku tidak memperhitungkan kearah itu, ha ha,” jawab Liok Jie Hui.
“Sret !” terdengar sekali, karena Lau Liu Kim telah menghunus senjatanya, dan menunjuk
keluar gua: “Disana lega, mari kita kesana !” Sehabis berkata ia mencelat keluar.
“Liok Toako, sudah menjadi tabiatnya demikian, kenapa membuatnya gusar ?” tanya Na
Beng Lie.
“Hm engkaupun sama saja dengan istrimu, pokoknya sebelum berkelahi persoalan ini sukar
menjadi beres !”
“Untuk persoalan sekecil ini kawan lama jadi berkelahi kurasa tak ada artinya !” jawab Ba
Beng Lie, seraya menggoyangkan kipasnya dan mendadakan saja kipasnya merapat dan
ditotokkan kepada Liok Jie Hui.
Kelakuan yang berbeda dengan omongan manisnya inilah ia mendapat gelar Hek sim (sihati
hitam). Jangan lihat ia kecil, gerakannya begitu kejam dan telengas, hampir-hampir Liok Jie
Hui termakan kipasnya.
Tapi Liok Jie Hui yang sudah mengenal tabiat musuh, siang-siang sudah bersedia, maka itu
melihat serangan tongkatnya keluar menangkis dan membarengi mennyodok kedepan.
“Tring” terdengar sekali, karena dua senjata beradu dan memercikkan batu api.
Na Beng Lie merasakan lengannya sedikit kesemutan, dan tahu tak mudah memperoleh
kemenangan, maka itu dengan cepat tubuhnya yang kecil melompat keluar. Sambil berlalu
senjatanya dikebutkan kearah Thian Hong Tojin. Yang disebut belakangan tidak menduga
akan diserang, dengan mudah saja terhajar dan mati saat itu juga dengan kepala remuk.
“Hiang Kuay sangat kejam dan telengas, kalian bukanlah tandingannya,” kata Liok Jie Hui.
“Aku tak takut dengannya, tapi jika berkelahi akan makan waktu, dan orang-orang Pok Thian
Pang bisa datang. Maka itu akan kupancing pergi kedua jejadian itu ketempat jauh, kalian
bawa In Kongcu pada tempat yang sudah kita tentukan, tiga hari aku pasti datang !”
“Tapi bagaimana dengan buku itu ?” tanya Liu Bu Kie.
“Tanpa adanya aku darimana datangnya buku ini ? Apakah engkau tidak percaya padaku ?”
bentak Liok Jie Hui.
“Ya benar !” kata Hoo Su Kouw,” kami mengharapkan saja Liok Sian Ong datang tepat pada
waktunya !”
Liok Jie Hui merasa dongkol dihampirinya Kiong Hauw dan dibisikinya beberapa patah
setelah itu ia berlalu. Tak selang lama setelah perginya Liok Jie Hui diluar terdengar suara
angin menderu-deru, tandanya telah terjadi perkelahian hebat.
“Sialan apa maunya dia ? Tanpa kita iapun tak bisa dengan mudah memiliki buku itu ! Setelah
tak perlu kita ditendang…”
102
“Ssst ! Sabarlah, yang penting kita harus meninggalkan tempat berbahaya ini,” kata Hoo Su
Kouw. “Mari kita pergi,” Dan dituntunnya Tiong Giok keluar gua diikuti yang lain dari
belakang.
Saat ini diluar gua telah menjadi gelap, Tiong Giok diajak berlari-lari keluar masuk rimba dan
hutan, ia tidak tahu kearah mana hendak dibawa, hanya mengikuti terus seperti diseret-seret.
Rasa kuatir dan cemas meliputi segenap jiwa raganya…
Mereka berlari dan berlari. Tatkala fajar menyingsing telah tiba disebuah perkampungan
kecil.
“Tempat ini bagus, kita boleh beristirahat,” kata Hoo Su Kouw. “Kita salin pakaian dan
menangsel perut baru melanjutkan perjalanan lagi !”
“Sebaiknya kita lanjutkan terus perjalanan pada tempat yang dijanjikan Liok Sian Ong,” kata
Kiong Hauw.
“Engkau boleh melanjutkan perjalanan, tapi aku tidak mau,” jawan Hoo Su Kouw.
“Kenapa?” tanya Kiong Hauw.
“Engkau harus tahu siapa Liok Sian Ong itu !” kata Hoo Su Kouw. “Sesuatu barang jika
sudah ada ditangannya, mana mungkin diberikan kepada kita ?”
Kiong Houw seperti tersadar dari tidurnya dan berkata dengan kaget : “Kalau begitu kita
tertipu Liok Sian Ong ?”
“Sekarang baru tahu ? Sudah terlambat !” kata Liu Bu Kie dengan dingin. “Sebab kutahu
kelicikannya, maka sengaja kuribut tak mau menjaga, agar kalian sadar dn menyokongku. Tak
kira Sumoy mencegahku, dan membuatnya enak-enak mengangkanngi buku itu !”
“Jika tidak kurintangi, akibatnya kita akan mati ditangannya !” kata Hoo Su Kouw. “Apakah
dengan kepandaian kita berempat bisa melawannya ?”
“Kalau begitu sama saja kita menelan mentah-mentah kelicikannya itu ?” kata Liu Bu Kie
dengan sengit.
“Hm, biar dia licik dan pandai ia lupa pada satu soal, “ kata Hoo Su Kouw dengan tersenyum
puas. “Ia lupa bahwa In Kongcu ini adalah buku hidup !”
“Pantasan waktu mau berlalu membisikiku agar In Kongcu ditengah jalan !” kata Kiong
Hauw.
“Jika begitu mungkin juga Liok Kukoay itu bisa mengejar kita,” kata Hoo Su Kouw. “Yang
baik kita harus tukar pakaian dan menyamar baru aman ! Nah siapa diantara kalian yang mau
mencari pakaian masuk kampung ?”
“Biar aku yang mencari !” kata Liu BU Kie sambil melangkah.
103
“Baju putihmu terlalu menyolok mata, sebaiknya Kiong Toako saja yang pergi ! Orang yang
sudah tua gampang mendapat simpati rakyat !”
Kiong Houw menganggukkan kepala dan berlalu.
Setelah melihat Kiong Hauw berlalu, Hoo Su Kouw menarik napas panjang dan mendekat
pada Bu Kie : “Kelihatannya soal ini rumit sekali…”
“Kenapa begitu ? Dapatkah kutahu ?”
“Tidak kenapa-napa, tapi kalau dibentangkan…”
“Ya katakana saja, jangan disimpan saja dalam hatinya, akibatnya berabe”.
“Sebenarnya tak patut kukatakan soal ini kepadamu, tapi apa boleh buat ! Kita mengangkat
saudara sudah bertahun-tahun, tapi engkau piker, apa yang terjadi di dalam gua, berhari-hari
melakukan tugas, sampai terjadi keributan dan datangnya Siang Kuoy ! Juga kuheran kenapa
Liok Lokuoy itu hanya memesan Kiong Toako seorang untuk membunuh In Kongcu ? Tentu
disini terselip sesuatu hal yang tidak kita ketahui bukan ? Bukan kata aku terlalu curiga, tapi
semua ini adalah fakta, nah engkau piker saja, kenapa ia mau melanjutkan terus perjalanan
dan takmau beristirahat disini ?”
Liu Bu Kie mendengari tak hentinya menganggukkan kepala. “Benar ! Tentu antara Lo Kuay
dan Kiong Toako ada apa-apanya !”
“Liu Jiko kupikir unutk mempelajari ilmu pedang Keng thian cit su harus punya seorang
kawan yang cocok dan sependirian barubisa berhasil meyakininya. Kini hanya engkaulah
yang kupikir sangat cocok denganku, engkaulah Tiong Toako benar-benar membuatku
dongkol saja !”
“Kalau begitu kita singkirkan saja dia …”
“Jangan berkata begitu,” kata Hoo Su Kouw sambil mendekap mulut Liu Bu Kie.
“Kepandaiannya berada diatas kita berdua jika sampai ia tahu, sama dengan mencari penyakit
senddiri ! Untuk menghadapinya kita harus berlaku cerdik !”
“Hm ! Untuk menghadapinya lihat saja nanti !” kata Liu Bu Kie.
“Kuharap engkau jangan berlaku gegabah, ai ! Jangan ngomong lagi ia sudah pulang !”
Baru saja diantara mereka berhenti bicara Kiong Hauw sudah datang dengan membawa dua
buntelan besar. “Waduh untuk mendapatkan baju bekas saja harus mencapainya lidah dulu !”
katanya sambil tersenyum-senyum.
“Kenapa begitu ?” tanya Hoo Su Kouw.
“Orang-orang bodoh didesa itu mengatakan untuk apa aku membeli baju ? Terpaksa aku
membohong dan mengatakan kepada mereka bahwa aku tinggal dipegunungan dan telah
dirampok habis-habisan…”
104
“Hm ! Kiranya Kiong Toako tukang menipu orang, tapi mulai saat ini kami takkan kena tipu
dayamu !” seru Liu Bu Kie.
Kiong Hauw menjadi kaget sebelum tubuhnya dapat berkisar, pedang Liu Bu Kie telah
menembus tubuhnya. Dengan menahan sakit ia mengebaskan lengan kanannya sebagai gaya
reflex, melakukan serangan. Hal ini diluar dugaan Bu Kie, cepat-cepat ia melepaskan
pedangnya dan melompat ke samping.
“Liu…Liu lojie…engkau sangat kejam,” kata Kiong Hauw terputus-putus, lalu mencabut
pedang yang menancap ditubuhnya, setindak demi setindak mendekat pada Liu Bu Kie.
“Hoo Sumoy ! Lekas habiskan jiwanya.” KataLiu Bu Kie sambil menyengir-nyengir jengah.
“Jangan kuatir, tak lama lagi ia akan mati “ kata Hoo Su Kouw.
“Hm, kiranya…kalian adalah…sepasang anjing…lelaki dan perempuan…yang berkomplot !”
“Engkau sudah mau mati, tak perlu mencaci orang !” bentak Hoo Su Kouw.
Liu Bu Kie mendekat kearah Hoo Su Kouw, “Serahkan pedangmu padaku !” pintanya.
Hoo Su Kouw menyerahkan pedangnya, sedangkan Kiong Hauw melemparkan pedang kearah
Liu Bu Kie dengan kekuatan tenaganya yang terakhir. Waktu Liu Bu Kie akan menangkis
serangan itu, merasakan kedua tangannya tidak bisa digerakkan, Karena telah ditotok jalan
darahnya oleh Hoo Su Kouw. Tak ampun pedangnya yang dipakai menikam Kiong Hauw kini
menubles tubuhnya sendiri. “Sumoy…engkau…”katanya dan terus membungkam untuk
selama-lamanya.
“Jieko engkau harus tahu tamak sudah menjadi sifat manusia, maka jangan menyalahkan aku
! Sekarang tak kubunuh, nanti kau membunuhku bukan ? Mungkin tindakanmu akan lebih
beracun lagi.” Dan terus ia menghabiskan kedua saudara angkatnya itu dengan cepat. Lalu
dengan tangkas kedua mayat itu dikubur. Dengan menarik napas lega ia melirik kearah Tiong
Giok yang pucat menyaksikan peristiwa ini.
“Ah dasar seorang pelajar lemah, rupanya ketakutan sekali, aku harus menghiburnya agar
mau menuliskan buku Keng thian cit su bagiku.” Pikirnya dan terus menghampiri pemuda itu.
“In Kongcu ! Hm, engkau diam saja, tentu menyalahkan aku berlaku jahat pada mereka bukan
? Tapi apa mau dikata, seorang perempuan ditakdirkan sebagai insan yang lemah, kemanamana
selalu dapat penghinaan dan diperlakukan dengan tak wajar, untuk hidup inilah terpaksa
memakai cara ini.”
Ia tidak bicara lagi, sebaliknya meloloskan bajunya dan menukar dengan sehelai pakaian
bekas yang didapat Kiong Hauw. Diam-diam ia melirik kepada si pemuda, ia agak kecewa
karena pemuda itu sedikitpun tidak memperhatikan padanya. In Kongcu, lekaslah tukar
pakaian, boleh kita melanjutkan perjalanan.” Sambil berkata ia mau menepuk pemuda kita.
Dengan cepat sekali Tiong Giok menggeser badan dan membentak : “Engkau mau
mengajakku kemana ?”
105
“Aha pakai banyak bertanya, sudah tentu kesuatu tempat yang nyaman ! Disana hanya kita
berdua saja! Apa yang engkau kehendaki pasti kululusi ! Setelah mahir dengan ilmu Keng
thian cit su kita bisa mengembara kemana saja dengan bersuka ria !”
“Maksudmu pergi ketempat Liok Sian Ong ?”
“Aduh masak kesana !” kata Hoo Su Kouw sambil membereskan bajunya.
“Jika engkau tak mau kesana, beritahu tempatnya dimana aku bisa pergi sendiri !” kata In
Tiong Giok.
“Untuk apa kau menemuinya ? Mau cari mati ?”
“Tak perlu engkau tahu, lekaslah sebutkan dimana tempat itu !”
“Kesanapun tidak ada gunanya, pasti ia tak ada disana ! Karena buku yang dikehendaki telah
diperolehnya !” jawab Hoo Su Kouw, supaya engkau tak penasaran, baik kusebutkan, bahwa
tempat itu bernama Kiu hoa san !”
“Terima kasih atas keteranganmu, dan selamat tinggal !” kata In Tiong Giok.
“Hm engkau hendak kemana ?” kata Hoo Su Kouw sambil merintangi perjalanan Tiong Giok.
“Sudah tentu akan ke Kiu hoa san, jawab Tiong Giok sejujurnya, kuharap engkau memberi
jalan .”
“Tidakkah Kongcu berpikir, apa yang terjadi barusan itu karena apa ?” tanya Hoo Su Kouw.
“Itu urusanmu, tak ada sangkut pautnya denganku!”
“Engkau boleh pergi kesana, sebelum itu harus menuliskan dulu sebuah buku Keng thian cit
su bagiku !”
“Jika aku tak mau bagaimana ?”
“Aku bisa membuatmu mau !”
“Aku rasa engkau tak bisa !”
“Mau coba-coba !” kata Hoo Su Kouw dan terus mengeluarkan jerijinya melakukan totokan,
Sungguhpun begitu ia kuatir Tiong Giok tak kuat menahan serangannya, maka tenaga yang
digunakan hanya tiga bagian saja dan yang diserangpun bukan tempat berbahaya.
Bermimpipun ia tidak berpikir, bahwa pelajar lemah yang dianggapnya empuk ini dengan
mudah saja bisa menghindarkan diri dengan ilmu kiu coan bie cong po. Hoo Su Kouw
mengucak-ngucak mata dan berseru: “Mau lari kemana ?” Dengan cepat ia menyergap lagi,
tapi sekali lagi Tiong Giok dapt menghindarinya. Dan dengan gusar ia membentak:
“Sebenarnya engkau mau apa ?”
106
Sekali ini Hoo Su Kouw melihat dengan tegas, gerak langkah yang digunakan Tiong Giok
begitu aneh dan mengagumkan, keruan datang kagetnya : “Benar-benar aku salah mata, tak
kira Kongcu memiliki ilmu setinggi ini !”
“Engkau jangan berkata begitu, pokoknya berikan aku jalan, jika tidak jangan salahkan
tindakanku !”
“Apa tindakanmu itu ?”
“Engkau telah menotokku dua kali, jika sampai aku menotokmu sekali saja, membuatmu
menyesalpun sudah kasep !”
Hoo Su Kouw tersenyum dan mendekati terus, dengan memasang dadanya yang padat
kehadapan Tiong Giok ia berkata : “Masakah totokanmu begitu lihay ? Nah lancarkanlah
untuk kurasakan…”
JILID 6________
In Tiong Giok menjadi merah padam dan jengah menghadapi perempuan semacam ini, tak
terasa lagi mundur-mundur. Kesempatan ini tidak dilewatkan Hoo Su Kouw begitu saja,
dengan cepat kakinya terangkat melakukan sabetan. Geraknya ini cepat dan kejam, jangankan
Tiong Giok yang tidak berpengalaman andaikata seorang jago Bulim yang berpengalamanpun
sukar menghindarinya. Tak heran pemuda kita yang menduga mendapat serangan mendadak
menjadi jungkir balik terkena dupakan Hoo Su Kouw.
Setelah serangannya berhasil, Hoo Su Kouw melanjutkan lagi serangannya dengan keras,
Tiong Giok menggulingkan badan dan menyambut serangan musuh dengan ilmu In liong sian
jiau (naga terbang menunjukkan cakar). Hoo Su Kouw mengubah serangan, dan disambut
lawannya dengan ilmu Cee siu sing liong (lengan kosong menangkap naga). Tak terasa lagi
lengannya kena tangkap, tak putus asa baginya. Kakinya terangkat kearah selangkangan
musuhnya. Tiong Giok menjadi gusar, ia mengengos lalu melemparkan perempuan itu sejauh
beberapa depa. Hoo Su Kouw benar-benar habis mengerti kenapa pemuda lemah ini memiliki
kepandaian luar biasa. Sekali ini ia tidak memperedulikan dapat tidaknya buku keng thian cit
su pedangnya dihunus dan niatnya membunuh sudah mantap. Terlihat ia menyabetkan
senjatanya dengan ganas, Tiong Giok melihat kekalapan orang menjadi gusar. Sambil
mengengos ia membarengi dengan Hiat cie lengnya yang ampuh. “Sret” terdengar suara
memecah udara, angin keras yang panas tak ubahnya seperti halilintar menyambar kearah
musuhnya. Hoo Su Kouw merasakan hawa panas menerjang dirinya, dengan memutarkan
pedang berusaha membendung serangan musuh. Sungguhpun begitu masih juga baju dan
rambutnya bagian sebelah kiri kena dihanguskan.
“Kongcu begini lihay, dapatkah kutahu nama gurumu ?” katanya dengan wajah pucat.
“Penunggang Hiu dari Hong Lay pelajar miskin dari gunung salju !”
“Oh, kiranya Bulim Capsahkie yang tertua,” kata Hoo Su Kouw dengan melengak.
“Hitung-hitung aku bernasib sial, tidak bisa melihat orang.”
107
“Sifat dan kelakuanmu itu sebenarnya musti dihukum mati !” kata In Tiong Giok, “tapi aku
tak mau membunuhmu, seangkan Hiat cie leng yang kulancarkan semata-mata untuk
membela diri !” segera ia membalik badan dan berlalu.
“Jangan bergerak,” teriak Hoo Su Kouw.
“Apa lagi yang engkau kehendaki ?”
“Ingin kutanya padamu, pantaskah seorang murid kenamaan didunia Bulim menyerahkan
buku Keng thian cit su kepada Sian Ong ? Hal ini sedikit banyak bisa-bisa merusak nama baik
gurumu bukan ?”
“Semua ini karena ditipu, apa salahnya ?”
“Hm, ini engkau tulis sendiri bukan ?” ejek Hoo Su Kouw, “bagaimana jika ilmu pedang
Keng thian cit su digunakan sebagai alat kejahatan oleh Liok Sian Ong ? Semua ini adalah
tanggung jawabmu bukan ?”
“Engkau…”
“Aku kenapa ? semua ini kulihat dengan mata kepala sendiri dan akan kuutarkan didunia
Bulim agar memberikan hukuman yang setimpal bagimu !”
“Hm, buku itu akan kurampas kembali !” kata In Tiong Giok.
“Dengan kepandaianmu ini ingin merampas kembali dari tangan Liok Sian Ong ?”
“Ini urusanku, engkau tak perlu banyak bicara !”
“Ya memang urusanmu ! Andaikan engkau berhasil mengambil kembali, berbagai orang
Bulim pasti akan merampas dari tanganmu, apakah engkau sanggup melindunginya ?” kata
Hoo Su kouw dengan bersungguh-sungguh, “Engkau jangan menganggap omonganku tak
berarti, lihat saja sejak hari ini, bahaya selalu mengancam dirimu. Kini engkau berhasil lolos
dari tanganku, tapi belum tentu berhasil dari jago-jago lain !” Sehabis berkata ia berlalu
dengan cepat.
In Tiong Giok terkesiap mendengar perkataan Hoo Su Kouw itu, ia sadar didunia ini banyak
manusia lebih kejam dan tamak dari Liok Jie Hui, jika mereka mengetahui dirinya bisa
mengingat Keng thian cit su, sudah tentu takkan melepaskan begitu saja. Kepergian Hoo Su
Kouw sudah pasti mendatangkan banyak kesulitan dibelakang hari, mengingat ini
membuatnya menarik napas duka, seolah-olah ada batu besar menekan dadanya dengan berat.
Setelah membengong sekian lamanya, baru ia melangkah dengan berat mencari jalan keluar
dari tempat celaka itu.
Ia berjalan dan berjalan, tatkala surya senja kemerah-merahan menghiasi langit disebelah
barat, ia telah tiba disuatu tempat bernama Ko ho pou. Suasana disini sangat ramai, kecuali
took-toko besar banyak pula rumah makan dan penginapan. Untuk mengisi kekosongan
perutnya ia mampir disebuah restoran yang bernama Tik sian lou. Seorang pelayan
menyambut kedatangannya dengan ramah tamah. “Kongcu sendiri saja, atau mau pesan
tempat untuk beramai-ramai ?”
108
“Aku hanya sendirian saja !” jawab Tiong Giok.
“Silahkan saja keatas, dibawah sudah penuh !”
Ia naik keloteng, tempatnya agak sempit tapi tenang, terdapat beberapa meja dengan beberapa
tamu. Antaranya ada dua orang tua berbaju abu-abu mengawasi dirinya. Ia tidak
memperdulikan dan terus duduk. Tapi dengan tiba-tiba ia ingat seperti pernah bertemu muka
dengansalah seorang kakek tua yang berbaju abu-abu itu. Maka itu ia menoleh untuk
menegasi, bertepatan dengan ini orang tua itupun sedang mengawasi kearahnya. Membuatnya
sukar membuang muka, dan terus mengangguk memberi hormat. Orang tua itu bukan saja tak
membalas hormatnya, malahan membuang muka dan berbisik-bisik dengan kawannya.
Tampak kawannya itupun berubah wajahnya, dan terus memanggil pelayan membayar
rekening dan berlalu dengan cepat.
In Tiong Giok merasa heran, setelah mengingat-ingat sekian lamanya ia tetap tak dapat
mengingat orang tua itu. Saat ini segala hidangan telah datang, ia tidak memperdulikan lagi
yang lain dan terus makan dengan lahapnya. Belum pula perutnya kenyang, seorang pelayan
datang kearahnya dan menyerahkan sepucuk surat.
“Apakah Kongcu she In ?” tegur pelayan itu.
“Benar!”
“Ini surat untukmu !”
“Siapa yang memberi surat padamu ?”
“Seorang tamu tak dikenal dengan memberi upah padaku menyuruh menyampaikan surat ini
seorang tua bebaju abu-abu !”
“Tidak ia masih muda, paling banyak usianya tiga puluh tahun, dan mengenakan pakaian
hijau ! Lagi pula ia menyoren pedang kelihatan sebagai Piausu saja,” jawab sipelayan dan
terus berlalu.
Tiong Giok membuka sampul surat, didalamnya hanya berisi sehelai kertas putih belaka. Ia
menjadi heran dan hilang napsu makannya. Cepat-cepat ia membayar dan menanya kepada
pelayan tadi :
“Disini ada hotel yang tenangkah ?”
“Maksud Kongcu hotel yang baik bukan ? Nah disebelah barat terdapat penginapan In hoo
can katakanlah pelayan restoran Tik siang lou yang memperkenalkan, pasti dapat potongan,
sepuluh persen !”
In Tiong Giok menghaturkan terima kasih dan memohon kepada pelayan itu, jika yang
mengirim menanyakan dirinya, boleh menunjukkan kepenginapan In hoo can. Dengan
langkah cepat ia turun dari loteng dan terus keluar ia berbalu tanpa menoleh kebelakang. Tapi
setelah melewati beberapa took dan masuk kedalam sebuah gang, ia menghentikan langkah
dengan cermat ia memandang kearah rumah makan tadi. Tak selang lama dari sebuah rumah
109
obat yang berada disebelah restoran tadi keluar seorang muda berbaju hijau dengan tergesagesa.
Iapun menyandang pedangnya dan persis seperti yang disebutkan pelayan tadi. Setelah
memandang sekeliling pemuda itu masuk kerestoran Tik sian lou.
“Ah engkau datang tidak kebetulan, karena In Kongcu sudah pergi,” kata pelayan itu.
“Apakah suratku itu sudah diterimanya ?”
“Oh sudah !”
“Ia mengatakan apa setelah melihat surat ?”
“Ia memesan bila ada yang ingin menemuinya harap datang kehotel In hoo can !”
Laki-laki berbaju hijau itu mengangguk dan terus berlalu, tetapi ia tak menuju kebarat dimana
terletak In hoo can, melainkan keutara. Dengan memberanikan diri Tiong Giok menguntit dari
belakang.
Setelah melalui beberapa took dan gang, laki-laki berbaju hijau itu menuju kesebuah
kelenteng tua yang berada diluar kota. Ia tak menoleh kekanan kiri, langsung masuk kedalam
demikian juga dengan Tiong Giok terus membuntuti tanpa diketahui.
Di ruangan depan kelenteng tampak gelap tapi dibagian tengahnya ada sinar api, menerangi
kamar. Tiong Giok yang berada ditempat gelap bisa melihat keadaan didalam yang terang itu,
ia menjadi heran karena disatu ruangan terlihat tujuh orang tua berbaju abu-abu sedang duduk
sila, pakaian mereka semua sama dan pedangnyapun serupa hanya digagangnya masingmasing
ada ronce yang berbeda : terdiri dari warna merah, kuning, biru, putih, hitam, hijau
dan ungu tujuh warna.
Dua di antaranya yang memakai ronce kuning dan ungu adalah yang bertemu dengan In
Tiong gIok di rumah makan Tik sian lou. Saat ini laki-laki berbaju hijau telah selesai
menuturkan soal memberi surat padanya.
Ketujuh orang tua berbaju abu-abu parasnya berubah berbareng.
Orang tua yang beronce putih dipedangnya membuka mulut paling dulu :
“Jikalau begitu apa yang dilihat cit sutee (adik ketujuh) tidak salah pemuda itu adalah yang
dipakai Pok Thian Pang untuk menterjemahkan buku Keng thian cit su, tapi yang membuatku
heran, pelajar lemah itu kenapa bisa lolos dari suatu tempat yang terjaga ketat dari jagonya
pesilat-pesilat ternama.”
“Pok thian pang mungkin sengaja melepas pemuda itu sebagai umpan menumpas kita !” kata
orang tua yang dipedangnya beronce biru.
“Bila ia dijadikan umjpan beracun, tujuannya bukan pada kita Tong teng cit kiam (tujuh
pendekar pedang dari telaga Tong teng), juga pada golongan putih kaum Kang Ouw, atas ini
kita harus berlaku waspada.”
110
Sipedang beronce putih mengangkat pundak, matanya menatap pada orang tua yang
pedangnya beronce ungu; “Cit sutee bagaimana menurut hematmu ?”
Sironce ungu ini adalah orang tua yang seperti di kenali Tiong Giok, begitu di tegur tampak ia
berpikir dengan serius. “Dugaan Suheng memang benar, tapi pemuda itu adalah orang
pertama yang telah membaca isi Keng thian cit su; atauini ia bersangkutan besar dengan
Bulim ataupun Pok Thian Pang sendiri, suheng piker betulkah ?”
Yang mendengar semua menganggukkan kepala tanda setuju.
“Jika begini kita tidak boleh berlaku sangsi-sangsi lagi !” kata sironce ungu.
“Maksud Cit sutee bagaimana ?” tanya sironce putih.
“Biarpun ia merupakan umpan beracun kita harus menelannya juga !”
Perkataan ini agaknya di luar dugaan yang lain, mereka kaget dan terdiam, membuat keadaan
hening sejenak.
Si ronce ungu sudah melanjutkan lagi ucapnya, “Keng thian cit su adalah ilmu pedang yang
luar biasa, bilamana sampai dikuasai Pok Thian Pang sama dengan bahaya besar bagi kita dan
golongan lain. Kini kita dapat kesempatan baik, biar matipun harus dilakoni !”
“Benar ! Biarpun bagaimanapun jadinya,” kata laki-laki berbaju hijau. “Maka itu kuminta
Supek-supek dan Susiok-susiok jangan berpikir terlalu lama, kita harus secepatnya membalas
dendam sakit hati Yo Sutee dan Pang Hui !”
Mendengar nama Pang Hui, hati Tiong Giok menjadi kaget dan terus ia ingat bahwa orang tua
yang dipedangnya beronce ungu yang bagai dikenalnya itu, tak lain orang yang pernah
menyerang kereta waktu ia menuju kemarkas pusat Pok Thian Pang.
Karena kagetnya itu tempat yang dipijaknya menjadi goyang, dan kakinya segera bergerak
pindah. Tiba-tiba “krak” entah apakah yang terinjaknya.
“Siapa ?” bentak dari dalam kelenteng, sinar terangpun padam.
Tiong Giok berlari kearah pendupaan yang terdapat didepan kelenteng dan bersembunyi
disitu. Tampak olehnya dengan berlompatan ketujuh orang tua dan laki-laki berbaju hijau
keluar dari dalam kelenteng. Mereka memandang keadaan sekeliling dengan seksama.
“Mungkin orang-orang Pok Thian Pang sudah datang mencari kita,” kata sironce ungu.
“Jangan pedulikan untung rugi marikita berangkat ke In hoo can !” kata sironce putih.
Dalam sekejap mereka telah berlalu, hilang dalam kegelapan. Setelah menunggu mereka agak
jauhan, In Tiong Giok baru keluar dari tempat persembunyian. Dan terus meninggalkan Ko ho
pou malam itu juga. Baru pula ia jalan setengah malaman, sudah merasa letih. Ia beristirahat
tatkala melihat sebuah batu besar ditepi jalan. Sambil duduk ia jadi berpikir.
111
“Haruskah aku pergi ke kiu hoa san mencari Liok Jie Hui ? Jika kesana dan tidak
menemuinya, sama dengan cuma-cuma saja perjalananku. Andaikata berhasil mendapatkan
lagi Keng thian cit su dari Liok Jie Hui, buku itu akan merupakan barang rebutan yang tidak
ada akhirnya. “Semua pikiran ini membuatnya pusing sendiri. Saat inilah dari kejauhan ia
mendengar berderapnya langkah orang dan disusulnya dengan dua bayangan hitam. Seperti
juga nak burung yang ketakutan ia bersembunyi dibalik batu.
Dua bayangan hitam itu datangnya teramat cepat, dalam sekejap telah tiba dekat batu dimana
Tiong Giok sembunyi. Keduanya itu adalah orang tua berbaju seerba putih, satu jangkung
satukatai, wajahnya pucat pasi. Melihat ini membuat Tiong Giok bergidik takut. Dan ia
menahan napas sewaktu manusia aneh itu berhenti didekat batu dan celingukan kesana kemari
seperti mencari sesuatu. Setelah melihat tak ada yang menimbulkan kecurigaan, merekapun
segera berlalu lagi dengan cepatnya tanpa berkata barang sepatahpun.
In Tiong Giok menarik napas lega, baru bangun dari tempat sembunyinya, kembali ia
mendengar menderunya angin, disusul dengan berkelebatnya tiga sosok bayangan. Semua
mengenakan pakaian hitam yang gedombrongan usianya mereka rata-rata enam puluh tahun
lebih. Wajahnya bengis dan jelas bukan manusia baik-baik.
Setibanya dibatu besar merekapun berhenti sejenak, memasang kuping.
“Ciu heng lebih baik kita mengambil jalan lain dan bakal apa membuntuti kedua orang lain !”
kata seorang yang berada disebelah kiri.
“Jangan-jangan soal ini belum tentu kebenarannya,” jawab orang she Ciu. Pikir saja jika
pelajar itu benar-benar berada dikota Ko hoo pou, mana mungkin sudah pergi sejauh ini.
Sebaiknya kita kembali dan mencarinya didekat kota !”
“Kecurigaan Ciu heng memang betul jangan-jangan kita ditipu Hoo Su Kouw si erempuan
jalang itu,” kata yang ditengah.
“Mana berani ia mempermainkan kita,” kata yang disebelah kanan.” Tambahan Tong teng cit
kiampun melihatnya pelajar itu di dalam kota, maka itu Hoo Su Kouw pasti tidak
membohong.”
“Jika tidak bohong, kemana larinya bocah itu, apakah ia bisa terbang ?” kata si orang she Ciu.
“Andaikata ia bersayap tak mungkin lolos juga dari jala Thian lo te hong (jarring langit dan
bumi) yang sudah disebar kemana-mana ! Mari kita susul sijangkung dan si cebol jangan
sampai keduluan !” kata yang disebelah kanan.
“Untung aku cepat-cepat bersembunyi, jika tidak bisa celaka,” piker Tiong Giok setelah
mendengar percakapan mereka. Mengingat ini ia merasa benci dan menyesal tidak
membereskan nyawanya perempuan jalang itu.
Setelah bersembunyi lagi beberapa saat, tak terlihat ada yang mengejar, ia baru bangun dari
persembunyiannya, dan terus masuk kedalam pepohonan yang lebat. Begitu melewati pohonpohon
tibalah ia ditepi sebuah sungai. Dengan merasa tenang ia menyusuri gili-gili sungai.
112
Sebuah perahu tertambat ditepian sungai, diatasnya terlihat seorang nelayan tua sedang
asiknya mengisap pipanya yang panjang. Hal ini membuat Tiong Giok girang, cepat-cepat ia
menghampiri dan melompat kearah perahu “Lo tia ! Lekaslah antarkan aku menyeberang,
ongkosnya berapa saja akan kubayar !”
“Malam-malam begini engkau mau kemana ?” tanya si orang tua.
“Kemana saja asal menyeberang !”
“Kongcu jangan salah, ini perahu ikan dan bukan perahu tambangan !”
“Ya aku minta tolong,” kata In Tiong Giok setengah memohon, sebab seang dikejar-kejar
orang jahat. Asal bisa menyeberang aku bisa selamat.”
“Ikan-ikan mungkin sudah masuk dalam perangkap, jika dibiarkan sayang sekali, ah dasar
nasib…” kata si orang tua setengah menggerutu. Dan ia tidak melanjutkan perkataannya
sebab didaratan terlihat sesosok bayangan hitam yang menuju kearah perahunya.
Pendatang ini adalah Hoo Su Kouw adanya. Ia menanya kepada tukang perahu : “Ciau Loya
apakah engkau melihat pelajar itu ?”
“Tidak ! Sesosok bayangan manusiapun tidak kulihat .”
“Ciau Loya engkau harus hati-hati, kuyakin ia ada disekitar sini,” kata Hoo Su Kouw yang
terus berlalu lagi dengan cepat.
Perahu dengan cepat meluncur ketengah, Tiong Giok merasa lega, seolah-olah menganggap
bahaya telah berlalu.
In Kongcu dengan cara bagaimana engkau harus menghaturkan terima kasih kepadaku ?”
tegur tukang perahu.
“Engkau…engkau siapa ?”
“Aku Ciau Thian Siang seorang kecil yang mempunyai julukan Si cucut Perak. Dan
pekerjaanku sebagai pengontrol perairan, dari gabungan dua puluh delapan bajak laut.
Sejujurnya pekeerjaan ini kurang menarik perhatianku dan ingin melepaskan secepatcepatnya,
maka itu jika tidak demikian untuk apa malam ini aku menolongmu !”
“Jika begitu kau sebagai kambratnya Hoo Su Kouw juga ?”
“Ya aku salah satu diantara konconya Hoo Su Kouw, seangkan yang lain banyak sekali.
Untung engkau berada denganku, coba jika jatuh ditangan mereka, tak bisa enak-enakan
mengonbrol seperti sekarang !”
“Ya aku harus bagaimana menghaturkan terima kasih padamu ?” tanya Tiong Giok dengan
terpaksa.
“Untuk apa Kongcu bertanya lagi, serahkan saja sejilid buku Keng thian cit su kepadaku
sampai kemanapun akan kuantar !”
113
“Jika aku tak bersedia ?”
“Aku sebagai penolongmu biar bagaimana kau harus melulusi,” kata orang tua itu.
“Terang-terang kutolak permintaanmu !”
“Benar-benar tidak mau ?”
“Ya.”
“Sampai budi pertolonganku pada jiwamu, tidak dibalas ?”
“Jika aku takut mati, siang-siang sudah membuatkan buku itu untuk Hoo Su Kouw ! Segala
pertolongan yang ingin mendapat balasan, tak dapat dinamakan dengan berhutang budi !”
Ciau Thian Siang tertegun sejenak, lalu tergelak-gelak dan berkata : “Kongcu sebagai orang
pintar, bahwa buku itu berada ditangan Pok Thian Pang dan Liok Sian Ong, kini apa salahnya
membuat kopy yang kedua untukku ?”
“Sudah jangan banyak bicara, sekali kubilang tidak mau tetap tidak mau !”
“Hm, jika begitu engkau mencari penyakit sendiri !”
“Engkau tanyakan pada Hoo Su Kouw, apakah potongan semacamku ini mudah dihina ?”
“Semua sudah aku tahu akan kelihayanmu, tapi diatas perahu ini engkau bisa apa ?”
“Ya…engkau mau apa,…” belum pula ucapan Tiong Giok selesai, Ciau Thian Siang dengan
mendadakan telah menterbalikkan itu perahunya. Mereka sama-sama terjatuh kedalam air.
Sebagai seorang yang pandai berenang sedikit tidak memnuat Tiong Giok kaget.
Dengan tenang ia berenang kepinggir. Tiba-tiba saja Ciau Thian Siang memburu dari
belakang. Tak cuma-cuma ia mempunyai gelar sebagai si cucut perak. Begitu gesit dan cepat
geraknya dalam air. Ddalam sekejap ia sudah berada di belakang Tiong Giok dan
menjulurkan tangan menciduk tengkuk pemuda kita.
Tiong Giok terkesiap sejenak, tetapi tidak tinggal diam. Lengannya berbalik begitu cepat
mencekal lengan musuh, sedangkan lengannya yang kiri mendorong kedada musuh.
Gerakannya yang tiba-tiba diluar perhitungan Ciau Thian Siang. Tak sempat untuknya
mengengos dadanya terhajar keras, sakit sampai kehulu hati, terpaksa ia melepaskan Tiong
Giok.
Begitu berpisah, masing-masing itu berlaku waspada. Ciau Thian Siang tak berpikir bahwa
musuhnya itu pandai berenang, sehingga mengalami kerugian yang tidak kecil, kegusarannya
tidak alang kepalang, seperti juga seekor ikan hiu yang terluka ia membalik badan lalu terus
menyelam. Lengannya segera menyambar kaki pemuda kita, di cengkeram dengan keraskerasnya
sampai masuk kedalam bagian daging. Tiong Giok kesakitan dan berbalik mencekek
leher musuhnya sekuat tenaga.
114
Air sungai amar deras, mereka bergumul dengan kerasnya, satu sama lain tidak mau
melepaskan musuh, bergulingan terbawa arus air.
Beberapa tegukan air tertelan Tiong Giok tetap ia tak melepaskan musuhnya. Sedangkan Ciau
Thian Siang lebih parah lagi, lehernya begitu keras, tak bisa bernapas. Matanya mendelik tak
berkutik lagi. Mereka terus terhanyut tanpa sadarkan diri.
Akhirnya mereka terdampar disemak-semak, lengan Tiong Giok masih tetap mencekek Ciau
Thian Siang. Entah sudah berapa lama pemuda kita baru sadar, dan mendapatkan bahwa
musuhnya telah meninggal dunia. Dengan perut kembung dia merayap bangun dan lalu
tengkurap disebuah batu, memuntahkan air kali dari perutnya, setelah itu ia mengaso sambil
memandang mayat musuhnya. Seumur hidupnya pertama kali membunuh orang, ia merasa
berbuat dosa dan sadar semua ini akibat Keng thian cit su.
Dengan perasaan menjejal ia menggali lubang ditepi sungai itu dan mengubur mayat Ciau
Thian Siang secara sederhana. Lalu ia meninggalkan tempat itu dengan pikiran mantap kaena
ia akan melakukan suatu hal yang besar, untuk menggegerkan dunia persilatan.
Kim Leng merupakan kota bersejarah dari abad ke abad. Letaknya dilingkungan pegunungan,
tempat bersejarah dari kuil-kuil yang mengagungkan agama Buddha berdiri dengan megahnya
dilereng-leeng gunung. Aliran sungai Hoay banyak menarik kaum sastrawan, dipuja-puji akan
keagungannya. Sepanjang sungai banyak batu-batu cadas yang indah tempat para burung
wallet bersarang, juga tempat yang biasa dikunjungi pelancong.
Disebelah barat sungai itu terdapat sebuah tempat yang bernama Bun Hoa Kau. Disini banyak
terdapat tukang buku, dan juga perusahaan percetakkan. Yang berkunjung kesini kebanyakan
adalah pelajar dan sastrawan serta kaum cerdik pandai.
Saat ini hari sudah senja, keadaan saat itu telah menjadi sepi dari para kaum pengunjung.
Pegawai-pegawai perusahaan sudah beristirahat, took-tokopun hanya sebagian yang masih
membuka pintu. Tiba-tiba dari mulut gang terlihat seorang muda berbaju biru, celingukan
melihat merek toko-toko, ia berjalan dari ujung ke ujung lalu kembali lagi dan berhenti
didepan sebuah percetakan yang bermerek Angin Menderu, percetakan ini terhitung paling
besar disaat itu. Etalasenya penuh terhias lukisan antik, dan beraneka ragam buku-buku.
Didalam toko terlihat seorang lelaki hitam sedang asyiknya mengisap rokok sambil membaca
buku. Begitu melihat pemuda berbaju biru masuk kedalam, ia melepaskan bukunya dan
memandang pada tamunya sambil tersenyum manis. “Kongcu mau beli gambar atau bukubuku
?” tegurnya sambil bangun dari tempat duduknya.
“Tidak, kedatanganku kesini mau mencetak buku !”
“Oh begitupun baik, buku apa yang mau dicetak ?”
“Buku ini sangat penting dan kuminta bisa diselesaikan esok pagi !”
“Berapa halaman buku itu ? Dan berapa oplasnya ?”
“Hanya sepuluh halaman dan dicetak seribu jilid saja,” kata pemuda itu, “jika tidak keburu
lima ratus saja.”
115
“Dalam semalam sulit menyelesaikan buku itu..,”
“Jadi tidak bisa ?”
“Bisa sih bisa ongkosnya mahal sekali !”
Pemuda itu mengluarkan uang emas dan berkata sambil tersenyum: “Jangan kuatir, berapa
saja kubayar, nah ini sebagai uang muka !”
“Kalau begini apa boleh buat, dan akan kucoba .”
Pemuda itu menjadi girang. “Dapatkah kutahu nama saudara ?”
“Aku Yauw Kian Cee, dan siapa nama Kongcu ?”
Pemuda itu tidak menyebutkan namanya, ia tersenyum dan berkata “Yauw Sacan (sebagai
gelar pertukangan) sebelum engkau kerjakan perlu kujelaskan dulu sedikit, yakni disebabkan
teramat pentingnya buku ini, sebaiknya engkau kerahkan lebih banyak tukang agar selesai
pada waktunya. Disamping itu buku ini tidak boleh bocor sebelum terbit !”
“Adakah Kongcu membawa naskah buku itu ?”
“Ya ada, tapi akan kuserahkan didalam saja !”
“Begitu juga baik,” kata Yauw Kian Cee dan terus menyimpan uang persekot, kedalam
lacinya. Dan memerintahkan bawahannya menutup toko. Diajaknya Tiong Giok masuk ke
dalam.
Di dalam percetakan itu terdapat sebuah taman bunga, dan satu ruangan yang nyaman.
Dekorasinya indah dan menarik, agaknya sang penghuni mengenal betul seni-seni dekorasi.
Di kamar inilah sang pemuda menyerahkan naskahnya. Yauw Kian Cee begitu melihat naskah
ini, wajahnya jadi berubah, cepat-cepat ia menutup lagi naskah itu.
“Kenapa Yauw Sacan tidak meneliti naskah ini ?”
“Sejujurnya aku tak berapa mengenal huruf, membacapun tak ada artinya. Kuharap Kongcu
meninggalkan alamat, besok boleh kukirim buku pesananmu kesana !”
“Tak usah,” kata sianak muda sambil menggelengkan kepala. “Aku ingin memandori sendiri
waktu mencetak buku ini, dan membawanya begitu selesai !”
“Begitupun baik, duduk dululah sebentar, setelah kuatur beres segera kuberi tahu padamu.”
Sehabis berkata ia membawa naskah masuk ke dalam.
Tak selang lama ia muncul lagi dengan seorang tua beruban. Melihat orang tua ini membuat si
pemuda merasa takut tak keruan, karena seumur hidupnya pertama kali melihat orang yang
berwajah demikian buruk.
116
“Kongcu, mari kukenalkan, inilah Pek Wangwee (hartawan) atau majikanku !” kata Yauw
Kian Cee.
“Oh,” kata si pemuda dan segera merangkapkan tangannya memberi hormat. “Pek Wangwee
harap maaf, kedatanganku hanya merepotkan saja !”
“Aku Pek Kiong Hong sebagai pedagang yang mengutamakan untung, maka itu Kongcu tak
perlu berkata begitu !”
Wajah buruk dari Pek Kiong Hong dihias dengan sepasang mata yang satu besar satu kecil,
sungguhpun demikian memancarkan sinar tajam. Melihat ini sang pemuda, merasakan
berhadapan bukan dengan seorang saudagar biasa. Tambahan pula Yauw Kian Cee begitu
hormat sekali, bukan seperti kuli biasa. Pek Kiong Hong membeber naskah yang akan dicetak
diatas meja, dengan serius ia berkata. “Aku sebagai pengusaha, sebenarnya asal mendapat
untung ya sudah, tak perlu bertanya ini itu pada Longcu. Tapi naskah ini menyebutkan, tulisan
In Tiong Giok sebagai kenangan untuk Cian Thian Siang, dapatkah kutahu kedua orang itu
mempunyai hubungan apa dengan Kongcu ?”
“In Tiong Giok adalah aku sendiri, sedangkan Cian Thian Siang adalah salah seorang yang
tidak bisa kulupakan selama hidupku ini !”
“Jika Kongcu sendiri yang menulis naskah ini, sudah tentu tahu isinya bukan ?”
“Benar ! Inilah naskah yang dianggap sebagai benda pusaka kaum Rimba Hijau !”
“Sudah tahu demikian kenapa Kongcu mau menerbitkannya dan mencetak sebanyak itu ?”
“Untuk disebar luaskan, agar penggemar-penggemar silat memilikinya !”
“Tapi perbuatan ini kuanggap kurang wajar !”
“Memang begitu, tapi mau dikata apa, semua ini kulakukan dengan terpaksa !”
“Apa sebabnya engkau sampai terpaksa ?”
“Pek Wangwee begitu melihat buku ini segera tahu kehebatannya, dari sini dapat kutarik
kesimpulan, Wangwee bukan saudagar biasa, lagi pula tidak timbul keinginan memiliki buku
ini. Semua ini membuatku kagum dan ingin tahu siapakah sebenarnya Wangwee ini !”
“Sejujurnya akupun bekas seorang Kang Ouw tapi sudah lama mengundurkan diri, dan hidup
dengan membuka percetakan. Atas ini Kongcu tak usah ragu-ragu atau kuatir pada diriku.
Dan juka engkau ingin tahu Yauw Kian Cee inipun bekas seorang Kang Ouw yang bergelar
Tiat pie sian wan (kera sakti bertangan besi).”
In Tiong Giok setelah mendengar perkataan Pek Kiong Hong, segera menuturkan apa yang
dialaminya sejak keluar rumah.
“Karena mendongkol dikejar-kejar mereka itulah, Kongcu mau mencetak buku ini ?”
117
“Bukan ! Sebab-sebabnya karena menyesal telah membuat sebuah kopy untuk Liok Jie Hui.
Jika ilmu itu dipelajarinya, bisa mendatangkan bencana bagi dunia persilatan. Untuk menebus
kesalahan itu, akan kusebar luaskan buku ini, agar setiap orang bisa mempelajarinya. Dengan
begitu biar Pok Thian Pang atau Liok Jie Hui mahir menggunakan Keng thian cit su tidak
akan berguna banyak lagi.”
“Kongcu seorang yang tidak mau mengangkangi pelajaran yang luar biasa ini, dan akan
menyebar luaskan, tentu bisa menggoncangkan dunia Kang Ouw, atas tindakan Kongcu ini
aku merasa kagum. “Dan terus ia menoleh kepada Yauw Kian Cee. “Kerjakan lekas seperti
yang dipesan In Kongcu. Dan sekalian sediakan makanan.”
In Tiong Giok tidak menduga bahwa roman Pek Kiong Hong yang demikian buruk sangat
ramah tamah dan senang membantu, tanpa terasa datang rasa simpatiknya.
Tak selang lama empat pembantu rumah tangga datang membawa hidangan semeja penuh,
atas kebaikan tuan rumah Tiong Giok tidak menampik. Sambil makan mereka bercakapcakap.
“Aku sudah lama mengundurkan diri dari dunia Kang Ouw, maka itu terhadap soal
Pok Thian Pang hanya mengetahui sedikit sekali, tapi terhadap Liok Jie Hui yang termasuk
diantara Bulim Capsahkie aku kenal sekali. Ia bertabiat licik dan jahat, maka itu jika sampai
diketahuinya In Kongcu mencetak buku Keng thian cit su, pasti ia akan marah, dan berhatihatilah
terhadapnya.” Kata Pek Kiong Hong.
“Soal bagaimana ia akan mencelakakan diriku, sedikitpun tidak kukuatirkan, yang kutakut
ilmu Keng thian cit su telah dikuasainya, sehingga golongan Bulim lainnya belum keburu
mempelajarinya.”
“Hal ini tidak perlu dikhawatirkan, karena ilmu pedang ini luar biasa dlamnya, belum tentu ia
bisa menyelami sampai keakar-akarnya !”
“Ya memang kutahu, jika bukan seorang berbakat dan cerdas sukar mempelajarinya seorang
diri ilmu pedang ini.”
“Karenanya sejak kuingat belum pernah ada yang behasil menguasai ilmu seorang diri. Ada
yang pandai menguasai Keng thian cit su, tapi berdua, yakni Sin kiam siang eng (sepasang
pedang sakti).
“Dapatkah kutahu siapa Sin kiam siang eng itu ?”
“Tiga puluh tahun yang lalu mereka adalah sepasang saudara angkat yang masih muda belia.
Gagah ganteng ada pada mereka, ditambah dengan hatinya yang baik dan juga suka
membantu orang. Dalam sepuluh tahun namanya telah tenar melebihi Bulim Capsahkie yang
telah lebuh muncul didunia Kang Ouw. Untuk mereka ini, di dunia Bulim terkenal pameo
yang berbunyi : tajam-tajamnya tusuk konde tak setajam jarum seaneh-anehnya Bulim
Capsahkie, tidak segaib Sin kiam siang eng. Pameo ini mendatangkan ketidak puasan Lui sin
Tong Cian Lie, maka ia mengundang seluruh Cap sah kie bertemu di gunung Busan, untuk
bertempur dengan Sin kiam siang eng….” Pek Kiong Hong berhenti sejenak.
“Lalu bagaimana ?” tanya Tiong Giok tidak sabaran.
118
“Pada waktu yang telah ditentukan Bulim Capsahkie hanya datang sebelas orang. Thay Kong
Siansu dan Piau hiong kiam Liap In Eng tidak hadir. Sedangkan Sin kiam siang eng dengan
gagah menerima undangan dan datang.
“Bulim Capsahkie sudah lama terkenal dan menjadi kebanggaan kaum Kang Ouw, kami
sebagai golongan yang lebih muda ingin mengadakan hubungan dan kerukunan, guna
kesejahteraan kaum Kang Ouw, maka itu datang kesini bukan niat untuk berkelahi dan
meebutkan pepesan kosong,” kata Sin kiam siang eng. Tak kira Tong Cian Lie yang
berangasan tak mau mendengar, ditambah dengan Kim Thay, Liang yauw, San koei
menyokong untuk berkelahi. Melihat ini gurumu merasa tak enak hati dan menasehati mereka
beberapa patah. Tak kira membuat Kim Thay menjadi gusar tak alang kepalang. Dan
terjadilah perkelahian sengit antara gurumu dengan Kim Thay. Jarum Giam locit ciam Kim
Thay tak dapat melukai gurumu sebaliknya ia terluka oleh Hiat cie leng…akibat ini Siang
yauw menumplekkan kegusaran pada sin kiam siang eng perkelahian tak dapat dicegah lagi,
tapi dalam waktu singkat Siang yauw menjadi pecundang. Sam Koei menyambung, dan terus
bertarung, tapi dalam singkat merekapun harus menyerah. Liok Jie Hui juga turun
gelanggang, hanya dalam waktu dua ratus jurus sudah dikalahkan. Tong Cian Lie baru sadar
kelihayan lawan bukan kosong belaka. Agaknya sudah keterlanjuran baginya untuk turun
tangan, perkelahian sekali ini hebat sekali… Sampai ilmu simpanan pel lek sin kum (lengan
geledek) yang menjadi andalan Tong Cian Lie dikembangkan habis-habisan, tapi tetap hanya
bisa bertahan lima ratus jurus !”
“Sin kiam siang eng lihay sekali !”
“Ya memang lihay ! Tapi ilmu pedang mereka y ang bersatu padu itu, jika dimainkan seorang
diri, tidak ada kekuatan !”
“Bagaimana kalau guruku atau Cian bin sin kay yang menghadapi mereka ?”
“Kepandaian Cian bin sin kay tidak berjauh dengan Tong cian lie, mengenai gurumu yang
pandai Hiat cie leng mungkin bisa bertahan seribu jurus lebih, dengan kesudahan dua-dua
luka parah !”
“Oh…” Tiong Giok baru sadar. “Siapakah nama sebenarnya dari Sin kiam siang eng itu ?”
“Satu bernama Ang Ek Fan satu lagi Thiat Giok Lin.”
“Kenapa nama mereka tidak terdengar lagi ?”
“Ya mereka muncul dan tenar dalam waktu singkat, dan dalam waktu singkat berdua pula
menghilang dari dunia Kang Ouw.”
“Mungkin ada sebab-sebabnya bukan ?”
“Ya memang !” kata Pek Kiong Hong, tapi soal yang sebenarnya tiada yang tahu, hanya
terdengar berita bahwa Thiat Giok Lin telah mati dan Ang Ek Fan menghilang ! Sudah dua
puluh tahun lebih mereka tak muncul lagi didunia Kang Ouw.”
“Pek Locianpwee kenalkah dengan seorang yang bernama Hauw Sian ?”
119
“Hauw Sian ? Darimanakah engkau mendengar nama ini ?”
“Waktu di Pok Thian Pang melihat nama itu tertera dibuku Keng thian cit su yang berbahasa
Sangsekerta,” kata Tiong Giok dan terus menceritakannya bagaimana ia menemui orang tua
itu dipenjara tanah.
“Berapa usia orang tua itu, dan bagaimana potongan badannya dn raut wajahnya ?”
“Usianya lima puluh tahun lebih, sedangkan wajahnya sukar dilukiskan karena sudah terlalu
lama dikeram dalam penjara yang tak beersinar matahari. Tubuhnya sudah kurus sekali, hanya
sinar matanya masih terlihat tajam.”
“Ah mengherankan sekali, apakah ia belum mati !” kata Pek Kiong Hong. “Tidak,
bagaimanapun tak mungkin…”
“Tahukah Lo Cianpwee dengan Hauw Sian itu ?”
“Jika tidak salah orang tua itu adalah salah seorang dari Sin kiam siang eng yang bernama
Thiat Gok Lin !”
“Bukankah ia sudah mati …”
“Ya, benar, tapi Hauw Sian adalah nama samaran dari Thiat Gok Lin, lagi pula ia yang
menulis Keng thian cit su,” baru perkataannya diucapkan sampai disini, didepan toko
terdedngar suara ribut-ribut.
“Lo Yacu didepan banyak tamu yang mau beli gambar !” kata salah seorang pengawal sambil
berlari-lari.
“Katakan sudah tutup dan besok lagi !”
“Sudah dikatakan tapi mereka tidak mau mengerti dan memaksa mau masuk !”
Pek Kiong Hong memanggil Yauw Kian Cee. “Coba engkau lihat siapa yang bikin ribut itu !”
Begitu Yauw Kian Cee keluar tak lama, terdengar suara ribut-ribut bentakan dan saling maki
dengan keras sekali, disusul dengan keributan dari suara orang berkelahi.
In Tiong Giok bangun dari kursinya, tapi disuruh duduk lagi oleh tuan rumah. “Tak usah
menghiraukan kejadian diluar, dengan adanya Yauw Kian Cee sudah cukup, mari minum
araknya.”
Benar saja kira-kira lewat sepermakanan nasi, suara ribut-ribut sudah hilang dan pulih lagi
ketenangan. Yauw Kian Ceepun sudah masuk lagi.
“Siapa mereka itu ?” tanya Pek Kiong Hong.
“Hoo Su Kouw dan sekalian kambratnya.”
“Ah mereka selalu mengejar-ngejarkuo, kenapa bisa tahu aku ada disini ?” kata Tiong Giok.
120
“Mereka mempunyai banyak kaki tangan, tak perlu engkau herankan !” kata Pek Kiong Hong
dan terus berpaling kepada muridnya. “Bagaimana caranya engkau mengusir mereka ?”
“Mula-mula dengan kata-kata, tapi tidak mempan, akhirnya dengan kepalan tangan baru beres
!”
“Manusia-manusia kurcaci itu sangat tamak dan jahat, kini kena batunya ! Tapi setelah
kejadian ini jangan heran kita bisa berusaha lagi disini dengan tenang…!
“Gara-gara boanpwee kesini mendatangkan keributan, bagaimana kalau kucetak ditempat lain
…?”
“Apakah engkau menganggap kami tak sanggup lagi melayani kurcaci-kurcaci itu ? Atau
menganggap aku kelewat sayang dengan perusahaan ini ?”
“Oh tidak !”
“Aku sebagai orang kasar yang bicara dengan blak-blakan, bisa sudah sepuluh tahun
meninggalkan dunia Kang Ouw tapi tak takut menghadapi apapun lebih-lebih pertemuan kita
seperti berjodoh, jikalau engkau ini mau boleh kita berkawan, jika tidak mau kukembalikan
naskah itu dan engkau boleh pergi mencetak dimana saja.”
“Boanpwee tidak bermaksud demikian …”
“Jika begitu baik sekali, sebagai orang Kang Ouw aku paling senang akan kepolosan dan cara
secara terang-terangan ! Engkau begini baik dan mau menyebarkan buku yang dianggap
pusaka Bulim ini kepada mereka. Masak aku harus sayang dengan segala perusahaan ini !”
kata Pek Kiong Hong dengan suara hatinya. “Yauw Kian Cee kuharap buku itu dapat
diselesaikan sebelum terang tanah, dan selalu waspada dengan kurcaci-kurcaci itu agar
kesenanganku mengobrol tidak terganggu.”
“Lo Yacu tenang saja, segala apa serahkan padaku !” jawab Yauw Kian Cee. Dan terus
berlalu sambil membuang senyum kearah tamunya.
“Mari minum lagi,” kata Pek Kiong Hong, “sudah sampai dimana pembicaraan kita ? Oh, soal
meninggalnya Thiat Gok Lin diberitakan dari keluarga sendiri waktu hari pemakaman
jenazah, berbagai golongan jago-jago Rimba Hikau turut menyaksikan. Kini timbul orang
bernama Hauw Sian yang terkurung ditempat Pok Thian Pang benar-benar mengherankan !
Jika mengingat waktunya ia ditahan dan meninggal, membuat hati curiga, karena bersamaan
betul. Mungkinkah dibalik ini terdapat sesuatu rahasia ?”
“Jika Thiat Gok Lin sudah meninggal, kenapa buku Keng thian cit su bisa berada di tangan
Pok Thian Pang ?”
“Engkau menyaksikan kematian Thiat Gok Lin ?”
“Benar !” jawab Tiong Giok. “Kuyakin Thiat Gok Lin belum meninggal, tapi kena ditangkap
oleh Pok Thian Pang dan dirampas bukunya. Sedangkan kabar kematiannya itu sengaja
disebar luaskan untuk menutupi kejahatan kaum Pok Thian Pang.
121
“Kemungkinan ini kecil sekali, sebab yang memberitahukan kematiannya bukan dari Pok
Thian Pang, tapi darai Lin Siok Bwee isterinya Thiat Gok Lin sendiri. Isterinya itu seorang
cermat dan lihay ilmu silatnya, sehingga mendapat julukan pendekar jelita. Tak mungkin ia
terpedaya orang-orang jahat.”
“Jika begitu ingin aku pergi ketempatnya Thiat Gok Lin untuk bertemu dengan isterinya,
setelah urusan disini selesai,” kata In Tiong Giok.
“Tindakanmu cukup bijaksana, tapi tak mudah bisa menemuinya,” kata Pek Kiong Hong.
“Soalnya kenapa ?”
“Lim Siok Bwee bertabiat keras,” kata Pek Kiong Hong, “sejak kematian suaminya ia
menutup pintu rapat-rapat, tidak mau menerima tamu darimanapun, maka itu kupikir sulit
untuk menemuinya.”
“Kedatanganku kesana membawa berita soal suaminya, mungkinkah tidak diterima ?”
“Kematian Thiat Gok Lin sudah belasan tahun, sedangkan engkau seorang anak brusia muda
begini, dan datang menerangkan bahwa dia belum mati, siapa yang mau percaya ?”
“Jika aku mengatakan diutus Pek Locianpwee untuk menemuinya, bisakah diterimanya ?”
“Ha ha ha, aku sudah lama mengundurkan diri, mungkin namaku yang tidak seberapa tenar
sudah dilupakan orang!” kata Pek Kiong Hong. Tiba-tiba ia mengeluarkan batu kumala ungu
dari sakunya. “Engkau dapat berpikir kesitu, melandaskan antara engkau dan aku benar-benar
berjodoh. Kumala ini tak akan berpisah denganku. Dengan benda inilah satu-satunya jalan
yang memungkinkan engkau bertemu dengan Lim Siok Bwee! Tapi jika sampai pendekar
wanita itu menanyakan hubunganmu denganku, engkau harus mengaku sebagai ahli warisku,
bila tidak, bisa membuatnya curiga.”
“Bagaimana…aku belum masuk perguruanmu..mana boleh mengaku sebagai ahli warismu…”
“Engkau benar-benar seorang berakhlak luhur dan berbudi baik.” kata Pek Kiong Hong.
“Maksudku buat demikian semata-mata menudahkan engkau bertemunya. Tapi disebabkan
watakmu yang polos, timbul niatku agar engkau benar-benar menjadi ahli warisku bagaimana
?”
“Tapi…nama dari pintu perguruan Lo Cianpwee belum kuketahui, bagaimana harus kujawab
?”
“Engkau lihat saja batu kumala ini,” kata Pek Kiong Hong.
In Tiong Giok menerima batu itu, dan memeriksa dengan teliti. Disitu terlihat ukiran seekor
naga terbang diawan, dibawahnya tertera beberapa huruf yang berbunyi, Pusaka dari
perguruan Thian Liong Bun (pintu naga langit) Atau dapat disebutkan kumala itu sebagai
tanda seorang Ciang bun jin perguruan Thian Liong bun.
“Benda pusaka ini tak ternilai harganya denga harta, maka itu…”
122
“Kenapa ? Tidak mau menerimanya ?”
“Benda ini sebagai tanda Ciang bun jin daari Thian Liong pay bukan ?”
“Ya benar, karena sampai saat ini belum ada ahli warisku untuk menggantikan kedudukanku
sebagai Ciang bun jin. Jika engkau tak keberatan jabatan Ciang bun jin ini boleh engkau
pegang dari saat ini juga !”
“Antara kita baru pertama kali bertemu, lagi pula aku sudah mempunyai seorang guru…”
“Masing-masing perguruan mempunyai peraturan yang berbeda,” kata Pek Kiong Hong,
“untuk Thian Liong bun tak perduli siapa, asal orang itu berakhlak luhur dan berbudi tinggi,
sudah cukup untuk diterima ! Bahkan dapat diangkat menjadi Ciang bun jin perguruan Thian
Liong bun. Maka itu jangan engkau berpikir dengan menerima benda ini menyuruhmu
melupakan yang semula.”
In Tiong Giok masih ragu-ragu dan tidak bisa menerima.
“Perlu kujelaskan lagi, Thian Liong bun merupakan perguruan yang dimalui dunia Kang
Ouw, tapi tidak mempunyai seorang ahli waris yang benar-benar bisa dijadikan pemimpin
maka itu selama sepuluh tahun aku mengasingkan diri dari dunia persilatan. Jika hal ini terjadi
dengan perguruan lain, mungkin sudah beku dan mati ! Misalkan engkau keberatan menjadi
Ciang bun jin, boleh engkau simpan batu kumala ini dan boleh engkau berikan kepada
seseorang yang dapat dianggap pantas menjadi seorang Ciang bun jin !”
“Kini kuterima untuk sementara waktu batu kumala ini, setelah kembali dari rumah Lim Siok
Bwee akan kukembalikan lagi pada Lo Cianpwee !” kata In Tiong Giok dan terus
memasukkan kumala itu kedlam sakunya. Kelakukannya membuat orang tua itu menjadi
terpekur dan meminum araknya berulang-ulang. Untuk mengalihkan soal ini Tiong Giok
bertanya: “Lo Cianpwee sebagai seorang Ciang bun jin, kenapa hendak mengundurkan diri ?”
Pek Kiong Hong tampak kaget sekali mendengar pertanyaan ini, tapi sekejap perubahan
wajahnya kembali tenang. “Apa yang harus kurindukan alam yang fana ini ? Lebih-lebih kini
sudah tua dan bosan melihatnya !”
“Tapi tiga puluh tahun yang lalu bukankah masih muda ?”
“Badan masih muda, tapi pikiran sudah tua !”
“Pikiran itu berubah menurut irama rasa, mungkinkah perasaan Lo Cianpwee terganggu,” kata
Tiong Giok sok tahu.
“Kenapa engkaubisa menduga kearah itu ?”
“Semua ini hanya dugaanku yang terlalu gegabah,” kata Tiong Giok. “Soalnya seorang Ciang
bun jin yang berhati jantan, tak wajar menyerahkan jabatan begitu saja pada seseorang. Dari
sini kutarik kesimpulan bahwa Lo Cianpwee terganggu perasaannya…”
123
Pek Kiong Hong mengawasi dengan sepasang matanya yang ganjil, diparasnya yang buruk
terlihat senyuman haru. Matanyapun dari terang menjadi guram dan berkaca-kaca.
“Tak kukira apa yang terbenam dihatiku selama tiga puluh tahun dapat engkau terka dengan
kitu. Sesungguhnya inilah yang mengakibatkan aku begini dan maukah engkau mendengar
ceritaku ?” Ia terdiam sejenak, sedangkan Tiong Giok menganggukkan kepala.
“Sejak kecil aku talah yatim piatu, ditambah tampang yang buruk, sehingga hilang harapan
dalam soal “asmara”. Aku hanya berpikir kalau bisa mendapat seorang dusun sebagai istri,
sudah mujur banget ! Siapa tahu kehidupan seseorang bisa berubah. Boleh-boleh aku
mendapatkan berkah dan bisa memiliki ilmu silat yang tinggi. Dan dapat menempatkan diri
sebagai seorang terkemuka di dunia Kang Ouw. Akibat ini membuatku sombong dan angkuh.
Segala perempuan-perempuan biasa kupandang sebelah mata. Dan syarat-syarat mencari istri
bagiku semakin tinggi, dan lupa pada keburukan diri sendiri. Permintaanku semakin tinggi
semakin sukar mendapat istri.
Tapi kehidupan memang aneh, karena type seorang istri yang kuidam-idamkan kutemukan
secara kebetulan. Itu terjadi pada suatu malam waktu aku berjalan-jalan ditelaga So Ouw. Di
sana terdapat sebuah bangunan yang indah dn bertingkat. Saat itu diloteng masih terang
benderang, kulihat seorang gadis sedang terpekur di depan jendela. Aku bukan seorang yang
ceriwis, waktu melihat kecantikan gadis itu, seolah-olah terpukau. Dan terus memandangnya
tanpa berkedip-kedip. Sampai pelita-pelita dimatikan dan gadis itu menutup jendela aku baru
berlalu. Malam kedua, seperti ada kekuatan gaib menyeretku ketempat semalam. Dan terus
menongkrong mengagumi gadis itu seperti malam pertama. Malam ketiga kudatangi lagi dan
terus menatapnya seperti malam-malam yang lalu begini sja membuatku asyik. Tiga hari ini
membuatku gila tak keruan, siang kutidur malam kugadangi gadis itu. Dan kurasakan bukan
saja cantik, tapi sangat agung dan menyamankan hati. Sedikitpun tidak terasa letih atau lapar
asal melihat gadis itu. Tiba-tiba pada malam keempat, seperti biasa kunongkrong dari bawah
seperti seekor kodok merindukan bulan. Entah bagaimana malam itu sinar lampu belum juga
padam, akupun terus berdiri disitu dengan tak jemunya. Aku heran karena lain malam-malam
yang lalu, tapi tak bisa berpikir lama, karena seorang pelayan perempuan menegurku :
“Pek Tayhiap, nonaku mengundang masuk ! Kata nona engkau telah tiga malam berdiri di
sini, maka mengundangnya kedalam !”
“Kenapa engkau tahu tiga malam aku disini, dan kenapa tahu aku she Pek ?”
“Itu soal nonaku, bicaralah dengannya !”
Aku masuk kedalam dn dipersilahkan naik keloteng, disana lampu terang benderang, dimeja
tersedia hidangan dan minuman, dengan kaget aku mendapat jamuan mendadak ! Setelah
mengobrol sejenak, kutahu bukan saja ia berwajah cantik, juga terkenal didunia Kang Ouw
sebagai pendekar wanita yang mulia….
“Siapa namanya ?” selak In Tiong Giok.
“Namanya tak perlu kusebutkan, pokoknya engkau asal tahu saja bahwa ia seorang pendekar,
tok.”
124
“Sejak malam itu kami berkawan, semakin hari semakin intim, benih-benih cintapun sedalam.
Ia pun tak sungkan menerima ajakanku yang pertama memain perahu di telaga dan jalan-jalan
mencari angin. Kesan ini seumur hidupku tak bisa dilupakan, begitu manis dan romantis.
Seumur hidupku hanya sekali itulah merasa bahagia….Akan tetapi jalan-jalan berdua dan
main-main ditelaga itu adalah yang pertama dan terakhir pula, sejak itu kami berpisah dan tak
pernah bertemu muka lagi…”
“Kenapa ?”
“Tak usah heran, seorang lelaki terjelek di dunia berjalan-jalan dengan seorang gadis
tercantik, dimuka umum. Mendapat tertawaan dan jadi tontonan…”
“Ya, memang dunia ini kejam, dan selalu mendatangkan duka !”
“Tapi ini kesalahan aku sendiri, kenapa aku tidak tahu diri mau menyintai seorang cantik
dengan paras yang buruk !”
“Baik buruknya seseorang bukan dari wajah yang jadi ukuran !”
“Benar, tetapi wajahlah yang dilihat !”
“Kuyakin pendekar wanita itu tak berpikir begitu bukan ?”
“Benar demikian ! Bahkan jika kulamar pasti diterima, tetapi apa yang bisa aku berikan
padanya ? Seorang yang buruk ? Buah tertawaan manusia jahil ! Cintaku kepadanya segenap
hati, tapi bisakah membawanya bahagia dengan tampang seburuk ini ? Maka itu setelah
kupikir matang-matang, membuatku tahu diri, dan diam-diam mengasingkan diri. Dengan
begitu aku harap ia bisa mencari lelaki lain yang lebih ganteng dariku, tapi apa yang aku
perbuat ini hanya mendatangkan penyesalan dan kecewa tentu !”
“Mungkinkah sampai sekarang ia tidak bersuamikan ?”
“Tidak saja tak bersuami bahkan masih tetap mencariku kemana-mana !”
“Lalu apa yang membuatmu tak mau ?”
“Kau piker pantaskah aku menjadi suaminya ?”
“Kenapa tidak !”
“Hmm, lebih-lebih sekarang parasku sudah keriputan dan semakin buruk…”
“Ia pun sudah tua dan tak secantik dulu lagi “
“Ia awet muda dan semakin cantik,” kata Pek Kiong Hong.
“Apakah Lo Cianpwee sudah melihat lagi ?”
Pek Kiong Hong menjadi merah, kepalanya mengangguk. “Tiga tahun yang lalu aku
melihatnya dikota, tapi ia sendiri tak melihatku !”
125
“Cinta itu tak memandang bulu, buruk jelek tua muda tidak menjamin ukuran. Kini ia
menanggung rindu puluhan tahun, tidakkah Lo Cianpwee merasa kasihan terhadapnya
maupun pada diri sendiri ? Kukatakan demikian karena Cianpwee masih tetap mencintainya
bukan ? Untuk apa menanggung rindu seumur hidup kepada kekasih yang mencintai jua ! Jika
Lo Cianpwee bertepuk sebelah tangan atau cinta tak sampai boleh berlaku demikian, tapi ini
soalnya saling mencintai. Dan dirusak sendiri oleh perasaan Cianpwee, ini bukan saja berdosa
padanya juga pada diri sendiri.”
Pek Kiong Hong jadi bungkam mendapat nasehat seorang muda belia ! Mungkin dalam soal
asmara, tidak perduli orang tua, akan menjadi bodoh dan tak mali meminta saran pada yang
mudaan! Ya dalam soal asmara ini adalah wajar !
“Sebenarnya perkataanku ini terlalu kurang ajar, tapi untuk cinta murni yang diabaikan begitu
saja terpaksa kuciptakan juga. Dengan harapan perasaan jahanam itu hilang dan timbul
perasaan yang adil ! Kurasa sampai kini belum terlambat, untuk menjalin lagi jodoh yang
terkatung-katung.
“Kau bicara terlalu jauh,” kata Pek Kiong Hong.
Pembicaraan mereka baru sampai disini Yauw Kian Cee sudah datang bersama seorang tua
gemuk keduanya membawa tumpukan buku yang selesai dicetak. Kami telah mengerjakan
sekuat tenaga, tapi hanya berhasil mencetak lima ratus lima puluh buku!” kata Yauw Kian
Cee sambil tersenyum. Nah cobalah In Kongcu periksa !”
In Tiong Giok menoleh kearah jendela, baru merasa bahwa hari sudah remang-remang
menjelang fajar. Cepat ia memeriksa buku-buku itu, dan menghaturkan terima kasih berulangulang.
“Apa yang engkau akan kerjakan dengan buku-buku itu ?” tanya Pek Kiong Hong.
“Sebelum terang tanah, Boanpwee akan menyebarkan dua ratus lima puluh buku ini ditempat
yang ramai, agar setiap yang menghendakinya mudah mendapatkannya, sisanya akan kutitip
di penginapan-penginapan agar orang jauhpun bisa memperolehnya. Dengan demikian dalam
waktu singkat buku ini bisa tersebar habis.”
“Apakah engkau benar-benar sudah mengambil keputusan demikian ?”
“Ya, dengan cara itulah Boanpwee bisa menghilangkan monopoli Keng thian cit su dati
tangan Pok Thian Pang dan Liok Jie Hui.”
“Jika begitu kuminta kau meninggalkan seratus buku disini, “ kata Pek Kiong Hong, akan
kuberikan sendiri pada jago-jago bilim, atau mengecernya didepan, dengan begini
perusahaanku akan mendapat kemajuan yang tidak sedikit !”
“Kuharap Lo Cianpwee berlaku waspada, jangan sampai buku ini mendatangkan hal-hal yang
tidak diinginkan” kata In Tiong Giok sambil memberikan seratus buku.
“Hal ini tak perlu kita kuatirkan” kata Pek Kiong Hong, dan kudoakan agar kau bisa sampai
dirumah Lim Siok Bwee secepatnya tanpa kurang suatu apa.”
126
“Boanpwee berdoa agar Lo Cianpwee bisa melanjutkan jodoh yang terkatung-katung secepatcepatnya
!”
Pek Kiong Hong terbahak-bahak, lalu mengantar pemuda kita keluar rumah, sampai Tiong
Giok pergi jauh dan tidak terlihat lagi, ia baru masuk kedalam sambil berkemak-kemik. “Ia
seorang pemuda yang dikaruniai keberanian dan kepintaran yang luar biasa, susah mencari
orang semacam dia. Ia menoleh pada Yauw Kian Cee dan memesannya. Sejak hari ini
perusahaan kita akan tutup untuk selamanya, maka kumpulkan para pegawai dan berikan
mereka pesangon secukup-cukupnya.
“Apa? Lo Yacu San terjun lagi ke dunia Kang Ouw ?”
“Keadaan dunia Kang Ouw seadng mengalami perubahan, siapa yang bisa tenang
mengsingkan diri untuk melewati hari…”
Benar saja kejadian yang menggemparkan dalam waktu singkat telah terjadi. Buku pusaka
yang bernama Keng thian cit su, dalam waktu sehari telah tersebar luas dikota Kim leng.
Buku yang menjadiu rebutan dengan pertaruhan nyawa, kini dapat diperoleh dengan mudah.
Mulut kemulut peristiwa ini diceritakan orang, dalam waktu tiga hari seisi kota menjadi geger
! Bahkan jago-jago Bulim dari bebagai aliran, berduyun-duyun datang ke kota Kim leng
untuk memperoleh buku pusaka itu. Nama In Tiong Giok dan Keng thian cit su menjadi buah
bibir seluruh penduduk kota. Tambahan pula dengan terbitnya buku itu, In Tiong Giok tak
terlihat lagi mata hidungnya, dan membuat orang menerka, siapa dia ! Ada yang mengatakan
bahwa ia orang India ! Pelarian Pok Thian Pang, atau juga Ciu Thian Siang sendiri, dan ada
juga yang menduga, sebagai ahli waris Sin kiam siang eng….banyak mulut banyak
pembicaraan tapi semuanya merasa kagum dan memuja-mujanya.
*****
In Tiong Giok….In Tiong Giok….dimana-mana terdengar nama ini diperbincangkan orang.
Sedangkan ia sendiri diluar tahu siapapun telah berperahu menuju ke barat.
Perahu yang disewa sangat besar, dan setiap harinya ia mengunci pintu kamar seorang diri.
Disini ia melatih ilmu Keng thian cit su dengan tekun. Tukang perahu merasa heran, tapi tidak
mengatakan apa-apa. Hanya memanggilnya diwaktu makan saja, seperti yang dipesan
penyewanya itu.
Beberapa hari telah berlalu, perjalanan mereka hampir sampai dikota Keng an. Tukang perahu
mengetuk pintu kamar sambil berteriak keras-keras. “Kongcu apakah engkau mau makan
sekarang atau sesudah berlabuh dikota Keng an ?”
In Tiong Giok keluar dari kamarnya dengan berkeringat, ia memandang kepantai, sejenak.
“Kupikir jangan berlabuh ditempat ramai bagaimana ?”
“Terserah pada Kongcu, aku menurut saja,” kata tukang perahu. Dan terus menuju kesebuah
dusun kecil diseberang Keng an. Disini terdapat perkampungan nelayan. Mereka berlabuh
disitu. Tukang perahu dengan dua pembantunya turun kedarat untuk membeli perbekalan.
127
“Isterinya tukang perahu menyediakan Tiong Giok makan. Tak selang lama yang mendarat
telah kembali lagi dengan barang bawaannya. Terlihat mereka tergesa-gesa dan gugup.
“Kongcu celaka!” kata tukang perahu dengan wajah pucat. Kita tidak bisa melewati
pelabuhan Keng an ! Karena dalam beberapa hari ini, menurut kaum nelayan disitu
berkumpul orang-orang Kang Ouw dari berbagai tempat, mereka memaksa semua perahu
menuju ke Kim leng, yang tidak mau, perahunya dirampas, dan orangnya dibunuh.”
JILID 7________
“Tak kusangka perbuatanku mendatangkan bencana bagi kaum nelayan,” pikir Tiong Giok.
“Habis kau pikir bagaimana ?”
“Kupikir sesudah malam baru berlayar lagi dengan begitu mungkin juga kita bisa melalui kota
itu dengan selamat !”
“Begitupun baik, andaikata tidak bisa melalui juga, tidak apa-apa aku bisa mendarat dan tak
merepotkan kalian !”
Saat inilah dengan tiba-tiba dari arah daratan terdengar orang berseru : “Hei ini perahu siapa
dan mau kemana ?”
Tukang perahu menoleh kearah suara, segera juga membuatnya gemetar tidak karuan, karena
disitu berdiri dua orang: satu jangkung satu kurus. Usianya tujuh puluhan, pakaiannya putih,
rambutnyapun putih, bahkan wajahnyapun putih tidak berdarah. Pokoknya serba putih.
“Hei apakah engkau tidak mendengar pertanyaanku ?” kata yang katai dengan dingin dan
menakutkan.
“Oh…mau…mau ke Siang yang…”
“Bawa barang atau penumpang ?”
“Penumpang !”
“Berapa orang ?”
“Ada…hanya seorang…”
“Hm!” sikatai mendengus dingin dan menoleh pada yang jangkung. “Lo toa, kita masih mujur
Keng an sudah dikuasai kaum Pok Thian Pang, tak sangka bisa mendapat perahu disini !”
Sijangkung tak menjawab hanya menganggukkan kepala.
“Kuminta penumpang itu turun, karena kami mau memakai perahumu !” seru sikatai.
“Apakah jie wie mau ke Siang yang juga ?”
“Tidak, kami mau ke Kim leng !” kata sikatai dan terus melompat keprahu dan disusul
kawannya dari belakang.
128
“Maaf saja Jie wie karena perahuku sudah diborong orang. Bisa tidaknya harus kutanyakan
dulu kepadanya…”
“Tidak bisa harus bisa, mau tak mau harus mau !” seru sikatai.
“Ini soal mudah asal saja penumpang itu mau mengalah…”
“Hm, ia pasti mau !” kata sikatai yang terus masuk kedalam lambung perahu.
In Tiong Giok yang sejak tadi mendengari pembicaraan mereka, kini menampilkan diri. “Jie
wie mau memakai perahu ini, berani bayar berapa duit ?”
“Engkau boleh menghargai berapa saja !” kata sikatai.
“Aku menyewa perahu ini dua ratus tail perak, jika Jie wie mau mengganti kerugian, aku
bersedia mengalah !” jawab Tiong Giok.
“Tak kukira engkau mata duitan ! Pokoknya kalau kami senang, bisa memberikan lima puluh
tail emas !”
“Aku sudah membayar terlebih dahulu, kuharapkan engkau sepertiku !”
“Ya hitung-hitung engkau berjasa mengantarkan perahu untuk kami, aku Ouw Kun San mau
juga membayar !” kata sikatai yang terus merogo saku mengeluarkan uang emas. “Uang ini
menyilaukan mata, sukar diterimanya !”
“Kupikir menerima uang paling mudah!” jawab Tiong Giok.
“Nah terimalah !” seru Ouw Kun San yang terus melemparkan uang emas itu kearah pemuda
kita. Begitu cepat dan keras uang itu menyambar, tapi dengan cepat pula pemuda kita
mengeluarkan jarinya, serta terdengar suara nyaring angin yang keluar dari jerijinya, membuat
mandek lajunya uang emas. Secara ringan uang itu ditangkapnya, dan dilemparkan ketukang
perahu. “Terimalah persenan ini !”
“Terima kasih atas kebaikan Kongcu !”
“Jangan kepadaku, berterima kasih pada orang tua ini !”
“Terima kasih atas keroyalan Jie wie !”
“Aku heran kenapa didunia ini ada yang menghambur-hamburkan uang guna memperoleh
sejilid buku tipis ? Ah benar-benar tolol !” kata Tiong Giok yang terus meninggalkan perahu,
sesampainya didarat ia mengeluarkan sejilid buku tipis, lalu membeset-besetnya sampai
hancur. “Buku ini di Kim leng bertumpuk-tumpuk, tak ada harganya, anaeh disini bisa laku
lima puluh tail emas!” Dilemparkannya sobekan buku keair.
Kedua orang tua serba putih memandang ke sungai, dan kebetulan sekali dari sobekan buku
itu, mereka bisa melihat huruf yang berbunyi Keng thian cit su. Wajah mereka segera
129
berubah, dan terus berteriak keras: “Hei bocah jangan pergi dulu !” berbareng dengan
habisnya suara mereka, tubuhnyapun sudah mengapung dan tiba dihadapan Tiong Giok.
“Perahu sudah kuserahkan pada kalian, kini mau apa lagi ?” tanya Tiong Giok dengan
mengejek.
“Engkau jangan berlagak bodoh, ketahuilah kami ini siapa ?” kata Ouw Kun San. “Berani
mengejek dan mempermainkan kami, artinya bosan hidup tahu !”
“Tidak tahu !” jawab Tiong Giok seenaknya.
“Kamu belum pernah melihat kami, seharusnya sudah mendengar nama kami !” seru Ouw
Kun San dengan gusar.
“Tidak kenal bagaimana harus kenal ?”
“Apakah gurumu tidak memberi tahu ?”
“Maaf gurukupun belum pernah menyinggung nama kalian !”
“Dasar bocah tak berpengetahuan, sampai Kui coa jie sau (dua orang tua menyerupai kurakura
dan ular) yang kesohor engkau tak kenal, mau bergelandangan didunia Kang Ouw…”
“Ha ha ha kiranya Kiu coa jie sau ! Oh! Nama ini cocok benar dengan tampang kalian !”
“Mampus lu !” bentak Ouw Kun San yang terus menghajar dengan lengannya. Sijangkung ya
ng bernama Sing Thian Beng sejak tadi diam saja, begitu melihat temannya naik darah dan
melancarkan serangan, buru-buru mencegah. “Sabar dulu,” katanya. Bocah, Han Bun Siong
itu apamu ?”
“Itu guruku !”
“Engkau sendiri bernama apa ?”
“In Tiong Giok !”
“Oh kiranya engkau bernama In Tiong Giok !” seru sikatai yang bernama Ouw Kun San
dengan kaget bercampur girang. “Lo Toa bagaimanapun tak boleh dikasih lolos !”
“Benar ! Tangkap hidup-hidup !” seru Sing Thian Beng yang terus berpangku tangan dan
membiarkan kawannya turun tangan sendiri.
“In Tiong Giok engkau perlu tahu, kami turun gunung separuh buku pusaka itu separuh untuk
menuntut balas pada gurumu. Kini kedua soal itu bergabung padamu sendiri, bocah terimalah
kematianmu!” kata Ouw Kun San yang terus bergerak, lengannya mengebas kearah dada,
cepatnya seperti kilat. Akan tetapi serangan ini dengan mudah kena diengoskan pemuda kita.
Ouw Kun San tertegun sejenak, tak terpikir serangannya yang dilancarkan mendadak dan
cepat itu tak membawa hasil. Api amarah seolah-olah membakar dirinya “Bocah, mampus
kau !” bentaknya geregetan. Ia melompat keudara dan turun menyerang dengan tangannya
kearah batok kepala.
130
Tanpa menoleh, Tiong Giok menggeser kakinya, serangan musuh kembali mengenai angin.
“Hei, sebenarnya kalian mempunyai permusuhan apa dengan guruku ? Dan jangan mengira
aku berkelit melulu karena takut !”
“Kami tidak mempunyai waktu mengadu mulut,” jawab Ouw Kun San, yang jelas engkau tak
bisa lolos dari tanganku !”
“Hm, baik !” kata Tiong Giok, dan terus membungkuk mengambil cabang kayu dari tanah,
“kalian menghendaki ilmu Keng thian cit su, nanti kuturunkan pada kalian, lihat dengan baikbaik
! Agar ilmu yang kalian idam-idamkan ini bisa dipelajari sebaik-baiknya.”
“Bangsat !” bentak Ouw Kun San dan terus menyerang dengan kedua tangannya.
Perlahan tapi cepat, Tiong Giok memutar kakinya, tubuhnya merapung beberapa meter dan
terus membentak: “Jika mau mempelajari ilmu pedang, sebaiknya keluarkan senjatamu !”
Siang Thian Beng yang berpangku tangan sejak tadi, membuka mulut : “Bocah ini jangan
kasih hati ! Lo jie hunuslah senjatamu !”
Tanpa disuruh untuk kedua kalinya, Ouw Kun San melucuti ban pinggangnya yang terbuat
dari benang pelatina. Dan terus diputar, sehingga cahaya putih berkelebatan, mencecar pada
Tiong Giok.
Dengan tenang dan penuh perhitungan Tiong Giok membiarkan senjata musuh mendekat
kearahnya, baru mengengos kesamping, dan batang kayu yang digunakan sebagai senjata
ditotokan kepergelangan lawannya. Begitu cepat dan diluar dugaan siapapun, tepat mengenai
sasaran, Ouw Kun San merasakan lengannya kaku senjatanya hampir terlepas, dengan kaget
ia mundur meninggalkan gelanggang.
“Ingat baik-baik, ini jurus pertama yang bernama It cu keng thian (sebatang kayu menunjang
langit).”
Ouw Kun San murka sekali, senjatanya dikeprakkan ketanah, debu beterbangan, tubuhnya
mencelat kedepan dibawah lindungan senjatanya yang berputar-putar. Menerjang kepada
musuhnya yang mendongkolkan hatinya.
In Tiong Giok tersenyum menyaksikan kekalapan musuh, batang kayunya disabetkan dan
diputar, dalam sekejap batang kayu itu dari satu berubah dua, dan dari dua berubah empat,
dan seterusnya semakin banyak. Sedangkan gerakan ban pinggang Ouw Kun San semakin
sedikit dan akhirnya hilang, berbareng dengan ini tubuhnya terpental beberapa meter dan
jatuh dengan menimbulkan suara yang cukup nyaring.
“Ini perubahan kedua dari jurus pertama yang bernama Cong geng diu siau (malang melintang
diangkasa), jika ujung kayu ini berubah lagi, nyawamu pasti hilang !”
Ouw Kun San mengeluarkan keringat dingin, ia melihat bajunya penuh lubang terkena senjata
musuhnya.
131
“Lo jie, apakah engkau terluka ?” tanya Sing Thian Beng.
“Masih untung tidak sampai terluka,” jawabnya dengan meringis.
“Bocah itu tampaknya sudah memahami ilmu pedang itu !”
“Memang benar !”
“Jika begitu tidak ada harapan menag lagi bagi kita !”
“Ah, belum tentu,” jawab Sing Thian Beng. “sungguhpun ia bisa, tapi belum matang. Jika
serangan dipencarkan, pasti membuatnya kikuk dan gugup !”
“Ya kenapa tak perpikir kesitu,” kata Ouw Kun San, “sampai beberapa kali seranganku
mengalami angin terus.”
“Cek cek cek,” tiba-tiba terdengar suar seseorang, Ouw toako apa-apaan menghadapi anak
kecilsaja samapai mendeprok ? Seiring dengan habisnya suara berkelebat seseorang
dihadapan mereka, dengan pakaian keemas-emasan yang mentereng. Pendatang itu usianya
lebih kurang tiga puluh tahun, tubuhnya ramping, wajahnya putih karena bedak yang tebal.
Bibirnya memakai gincu. Jalannya berlenggang lenggok penuh gaya. Bukan lelaki bukan
perempuan. Dia banci !.
Kedua orang tua memandang penuh jijik. “Hm, kiranya Oey Tin Hong, sudah lama kita tak
bertemu !” kata Ouw Kun San dengan nada dingin.
Tanpa memperdulikan sikap orang yang dingin, dengan bergoyang-goyang ia menghampiri
dan berkata : “Saya mendengar Jie wie Toako turun gunung lagi untuk mencari buku Keng
thian cit su, betulkah ?”
“Kalau benar bagaimana ? Dan jika tidak bagaimana ?” kata Kouw Kun San.
“Menurut berita buku itu muncul di Kim leng dan banyak yang kesana,” kata Oey Tin Hong,
kenapa Jie wie Toako tidak kesana ?”
“Sebaiknya jangan ikut campur dalam urusan kami !”
“Cek, cek, cek, marah dek,” kata Oey Tin Hong dengan lagak bancinya.
“Maksudku baik ! Buku itu merupakan pusaka Rimba Persilatan, jika sampai kehabisan
sayang sekali !”
“Eh bencong, tahubegitu kenapa engkau sendiri tidak ke Kim leng ?” kata Sing Thian Beng.
“Dan apa gunanya ngeberengsek disini ?”
“Oh Sing Toako jangan gitu dong, saya sih bo hok ki, mana bisa dapat buku itu !” jawab Oey
Tin Hong. “Ya ketemu disinipun, kebetulan saja sedang lewat. Dan heran melihat Jie wie
berkelahi dengan seorang bocah.”
“Apa herannya ?” bentak Ouw Kun San.
132
“Sorry ya,” kata Oey Tin Hong. “Apakah perlu bantuanku ?”
“Hm, kutahu engkau menaruh hati pada bocah itu ! Ha ha ha , kata Ouw Kun San sampai
tergelak-gelak. Tgapi ketahuilah siapa bocah ini ?”
“Ketahuilah bocah ini adalah penulis buku Keng thian cit su yang diterbitkan di Kim leng
namanya In Tiong Giok !”
“Oh, tak sangka kecil-kecil bisa menggemparkan rimba hijau, jika Jie wie tidak menerangkan,
bagaimanapun saya tak percaya dia ini In Tiong Giok adanya !”
“Bagaimana ketarikkah ?”
Dengan malu-malu Oey Tin Hong menutup mulutnya, tersenyum sambil melengos. “Saya sih
tidak berani mengatakan apa-apa, asal Jie wie mengijinkan beres deh !”
“Hm, dari tadi saja engkau bilang !” kata Ouw Kun San “tapi jangan anggap enak saja,
engkau belum tentu menang melawan bocah itu!”
Dengan menggoyang-goyangkan kipas Oey Tin Hong tersenyum dikulum. “Ah masa ia lihay
!” Kipasnya dirapatkan dan diselipkan kepinggang, lalu dihampirinya In Tiong Giok. Begitu
hampir dekat, baju luarnya dibuka, dan terlihat celana dalamnya yang merah. Berbareng
dengan ini, bertebaran wewangian keras memenuhi udara.
Sing Thian Beng menyaksikan ini, menggoyangkan mulut pada saaudaranya, dan terus
melompat jauh kebelakang dengan siap siaga.
In Tiong Giok tidak mengenal pada Oey Tin Hong, tapi kelakuannya itu mendatangkan kesan
buruk baginya. Maka itu melihat bencong ini menghampirinya, iapun sudah siap sedia dengan
batang kayunya.
Tiba-tiba saja Oey Tin Hong mencabut lagi kipasnya, dan terus digoyang-goyangkan: “Hei
Kongcu betulkah engkau bernama In Tiong Giok ?”
“Hm, mau berkelahi boleh, jangan banyak bicara!” jawab Tiong Giok.
“Hi hi hi, galak amat,” kata Oey Tin Hong, “baru kenal mau berkelahi ?”
“Jangan banyak bicara mari…” belum seelesai suaranya diucapkan, ia merasakan sesuatu
hawa buruk. Cepat ia gunakan hawa sejatinya untuk mengusir hawa buruk. Usahanya ini
mendatangkan perasaan tidak enak dan sebal, matanya berkunang-kunang dan kabur. Tak
alang kepalang kagetnya, cepat-cepat ia menahan napas dan mundur kebelakang. Oey Tin
Hong membarengi menerjang kedepan, dan menotok dengan kipasnya. “Kalau sudah
merasakan Dupa Lupa Daratan milikku, engkau jangan harap bisa melarikan diri lagi !”
Sungguhpun perasaannya mabuk, Tiong Giok masih bisa bertahan juga, serangan musuh
diengoskan dan terus membarengi dengan sabetan mendadak. “Buk!” terdengar sekali,
kayunya itu tepat mengenai pundak musuh. Sayang tenaga dalamnya sudah buyar, biarpun
133
tepat, tidak mendatangkan hasil yang memuaskan. Oey Tin Hong hanya terhuyung-huyung
beberapa langkah.
Berbareng dengan ini Tiong Giok mengebut dengan langkah seribu. Sang Banci jadi tertegun,
dan baru mengejar setelah musuhnya kabur. Tapi perbuatannya ini dirintangi Kui coa jie sau.
“Lo jie kejar bocah itu, dan serahkan banci ini kepadaku !” Sing Thian Beng, terus saja
melancarkan pukulan pada Oey Tin Hong sedangkan Ouw Kun San memburu pada Tiong
Giok.
“Apa artinya kelakuanmu ini ?” tanya Oey Tin Hong.
“Bocah itu adalah musuhku, siapapun tidak boleh campur tangan !”
“Hm, ini namanya pinjam golok membunuh orang !” kata Oey Tin Hong.
“Benar!” jawab Sing Thian Beng dengan bangga.
Oey Tin Hong membungkuk dan menunjang tubuhnya dengan tangan, lalu berputar-putar
seperti ular, dan melancarkan tendangan-tendangan berangkai yang bertubi-tubi. Orang
jangkung seperti Sing Thian Beng ini bagian bawahnya adalah yang terlemah. Maka itu
dengan kaget ia merapung keatas, sedangkan musuhnya menggunakan kesempatan ini molos
dari selangkangannya dan terus mencelat kedepan. Kipasnya tampak bergerak, mengeluarkan
sinar biru yang menyilaukan mata. Menghantam pada Ouw Kun San.
Sing Thian Beng tahu itulah senjata rahasia, maka ia berteriak nyaring memperingati
saudaranya: “Lo jie awas senjata gelap !”
Saat ini Ouw Kun San sedang mengejar In Tiong Giok dan hampir berhasil, biarpun
mendengar peringatan dari saudaranya, untuk melepaskan buruan merasa sayang, ia hanya
menggesekan kakinya, sedangkan lengan kirinya tetap menjambrret kepundak Tiong Giok,
lengan kanannya mengebas kebelakang. Tak kira sebelum kibasasnnya dilancarkan, pundak
kanannya dirasakan seperti digigit semut dan sakitnya meliputi seluruh punggungnya.
Membuatnya menggigil dan lemaas. In Tiong Giok tidak mau membuang kesempatan, dengan
sekeras-kerasnya itu melancarkan Hiat cie leng. Kasihan Ouw Kun San yang kate itu segera
terhuyung dan ambruk. Ia sendiripun cepat-cepat lari kedalam hutan. Agaknya obat mabuk
bekerja hebat, dengan terhuyung-huyung, ia berlari terus. Samar-samar ia mendengar suara
saling bentak antara Oey Tin Hong dan Sing Thian Beng akhirnya apapun ia tak mendengar
lagi. Karena kakinya memijak Lumpur dan terus roboh tak sadarkan diri….entah sudah
berapa lama waktu berlalu. Waktu ia siuman dari mabuknya mendapatkan dirinya berada
disebuah kolam yang cetek. Sekujur badannya penuh Lumpur. Ia bangun cepat, dan terus
menuju kesebuah sungai yang tak seberapa jauhnya dari kolam. Entah bagaimana rasa mabuk
dan mual sudah hilang sendiri, pikirannya terasa terang, entah apa yang menyebabkan
punahnya mabuk itu. Ia turun kesungai mencuci tangan, lalu membuka bajunya, dicuci
sebersihnya. Setelah diperas pakaian itu dibeber diatas sebuah batu besar. Ia sendiri duduk
dipinggir batu dengan pakaian dalam, menantikan pakaiannya kering tertiup angin malam.
Ia termenung-menung dimalam sunyi sambil mengawasi bintang-bintang dilangit. Saat inilah
telinganya mendengar suara tertawa halus. Tak alang kepalang kagetnya, cepat disambarnya
celana dalam, serta uang dan kumala ungu lalu dilibatkan kepinggangnya, pakaiannya segera
diraup dan terus ia bersembunyi kedalam air sungai. Suara tertawa semakin lama semakin
134
dekat, empat gadis manis, menuju kearah sungai dimana Tiong Giok bersembunyi. Gadisgadis
ini masih muda-muda dan berpakaian seba hijau. “Bagaimana ? Aku bilang disini
terdapat sebuah sungai masih tidak percaya,” kata salah seorang yang paling besar.”
“air sungai ini bening sekali, dingin apa tidak ?” kata yang lain lagi. Dan terus berjongkok
memegang air.
“Bagaimana ? Dinginkah ?” tanya yang disampingnya.
“Sejuk!”
“Hayo kita mandi !” kata yang paling besar dan terus mereka membuka baju.
“Eh, bagaimana kalau dilihat orang ?” tanya yang paling kecil.
“Tak usah takut, malam –malam mana ada orang!” kata yang besar, “Sesudah mandi kit
panggil Tutan, biar dia mandi juga !” Mereka berkecimpung diair, sedangkan bulan
menerangi keadaan. Begitu romantis dan tidak ubahnya seperti jaka tarub jumpai tujuh
bidadari. Tiong Giok menahan napas menyaksikan keadaan ini. Ia mencoba meram, tapi mata
itu melek lagi…melek lagi. Ia berdoa agar gadis-gadis itu cepat-cepat berlalu !.
Sambil bergurau gadis-gadis itu mandi dengan riangnya.
“Eh kita jangan enak sendiri, Tutan mungkin kesal menantikan kita, mari kita pulang !” kata
yang besaran.
“Sebentar lagi dah,” jawab yang lain. “Berapa hari ini kita mengikuti Siocia keberbagai
tempat, capai lelah belum hilang, esok sudah berangkat lagi. Maka apalah salahnya kita
bermainlamaan disini.”
“Ya akupun sama saja dengan kalian.” Jawab yang besaran. “Tapi sangat mengherankan
berbagai tempat dipergi, orang yang dicari tidak ada jejaknnya, mungkin sudah mati.”
“Ya, kebanyakan sudah mati.” kata yang lain, “kalau tidak, kecuali terbuat dari besi !”
“Kupikir juga begitu, kecuali ia sudah mati !”
“Ah mau dikata apa, sebagai budak, kita harus puas menerima keadaan begini,” kata yang
lain.
“Kalau aku jadi Siocia tak mau berbuat sebodoh itu ! Melepaskan kebahagiaan untuk mencari
sengsara…Ah, celaka ada yang datang, mari kita pergi !”
Keempat perempuan itu dulu mendahului berlompat keluar, lari kearah batu dimana mereka
menaruh baju.
Tiong Giok membuka mata memandang sekeliling, dan benar saja melihat seorang sedang
longak longok keempat penjuru. Dibawah penerangan rembulan tegas terlihat bahwa orang itu
bukan lain dari Oey Tin Hong adanya.
135
Keempat perempuan itu baru sempat memakai pakaian bawah saja, sedangkan pakaian
lainnya masih dipegangi. Mereka tidak berkutik diam dibalik batu datang kesitu, sehingga
tidak menyaksikan pemandangan indah disungai itu.
Tiba-tiba dari balik hutan berkelebat dua bayangan menghampiri pada Oey Tin Hong. Mereka
ini adalah Hek pek siang kuay adanya. “Eh, bencong mana orang itu ?” kata Na Beng Sie.
“Orang she In itu sudah kena dupa mabuk biar bagaimana tidak bisa pergi jauh. Paling-paling
ia bersembunyi disekitar sini !”
“Nyatanya bocah itu tidak ada, biar sudah dicari antero hutan ini ! Hmm, engkau jangan
memandang kami seempuk Kui coa jie sau itu !” bentak Na Beng Sie.
“Tidak ! Jangan salah paham, mana berani saya menipu Lo Cianpwee !”
“Pokoknya jika bocah itu tidak ketemu, batok kepalamu pecah tujuh !” ancam Lauw Siu Kim.
“Nyonya jangan marah, saya pasti bisa menemukan bocah ini…”
“Ya…ya…ya” jawab Oey Tin Hong, “barusan saja mendengar suara orang didekat sini, tapi
heran sekarang tidak terdengar lagi !”
“Bocah itu sendirian saja, mau ngomong dengan siapa ?” bentak Na Beng Sie.
“Sayapun heran, mungkinkah ada lagi jago-jago Kang Ouw lainnya yang turut mengejarngejarnya
?”
Na Beng Sie kaget juga mendengar ini, dengan berbisik ia berkata pada isterinya: “ Siu Kim,
berlaku waspadalah !”
“Ha, nyalimu kemana ? Biar siapapun tak perlu kita takuti !” jawab istrinya dengan suara
keras-keras.
“Aku bukan takut hanya memperingati saja padamu ! Bagaimana kalu seperti tempo hari kita
berkelahi dengan Liok Lokoay ? Hanya bercapai lelah tanpa memperoleh hasil.”
“Jangan terlalu percaya omongannya banci itu, mungkin iapun mengandung maksud buruk !”
“Ah…mungkin ia tak berani !”
“Lo Cianpwee coba lihat ! Dikolam ini tertera jejak kaki orang,” teriak Oey Tin Hong.
Siang koay dengan cepat sampai ditempat yang ditunjuk. “Ah benar, telapak ini masih baru,
pasti telapak kaki bocah itu !” kata Na Beng Sie.
“Bocah itu pasti kecebur disini, sehingga obat mabukku punah terkena air, dan pantas dicari
kemana-mana tidak ketemu…”
“Dengan punahnya obat mabuk itu, pasti ia telah pergi jauh !” kata Na Beng Sie.
136
“Tidak, coba lihat jejak kaki ini !” kata Oey Tin Hong. “Sesudah kecebur, pasti badannya
berlumpur, untuk ini ia harus membersihkan disungai ini. Nah lihatlah, bukankah jejak kaki
ini menuju kesungai itu ?”
“Ya, kita harus memeriksa kesungai itu !” kata Na Beng Sie, yang terus berjalan duluan. Dan
benar saja mereka menemukan Lumpur-lumpur kotor didekat sungai itu.
“Celaka! Sekali ini habislah riwayatku,” piker Tiong Giok sambil mengawasi terus gerakgerik
musuhnya.
Supaya dapat melihat terlebih luas, Na Beng Sie melompat keatas batu dipinggir sungai. Tak
kira begitu ia hinggap diatas batu itu, kakinya seperti memijak sarang tikus, “Auw ! Auw !
terdengar seruan kaget dari bawah kakinya dan disusul empat penjuru sambil meneriakkan
tajam. Keruan saja Na Beng Sie menjadi kaget, tubuhnya mencelat gesit. Ia terlalu tergesagesa,
dan waktu turun kebumi hampir-hampir bertubrukan dengan salah satu tikus putih,” dan
terdengar lagi jeritan tajam saat itu juga. Na Beng Sie terhuyung-huyung menghindari diri,
akhirnya terlebih parah lagi, karena lengannya yang terpentang, membentur semacam benda
lunak nan halus.
“Auw mau mampus ! Mau apa kau ?” perempuan itu menjerit sambil menyumpah-nyumpah.
Na Beng Sie baru sadar bahwa yang terpegangnya tadi adalah benda larangan, dengankaget ia
menarik lengannya. Perempuan itu dengan menutupi tubuhnya lari terbirit-birit. Tahu-tahu
Oey Tin Hong menghadangnya sambil membentak: “Diam, Siapa kalian ini ? Dan apa-apaan
sembunyi disini ?”
“Kau sendiri apa-apaan mengintip seorang mandi ? Tak tahu malu !” bentak perempuan itu
dengan gusar.
“Nona jangan marah, saya hanya bertanya waktu mandi tadi, adakah melihat seorang muda
disungai itu ?”
“Cis!” pereempuan itu meludah dan tepat mengenai muka Oey Tin Hong: “Bangsat tak tahu
malu! Kamu anggap kami ini sebagai apa ? Kami tidak melihat pemuda lain kecuali kamu si
bangsat gila ! Minggir !”
Oey Tin Hong mengusap ludah dimukanya, kegusarannya tak alang kepalang: “Hm,kalian
budaj tak tahu mati, tidak tahu siapa saya ini !” Kipasnya segera dibuka dan mau turun
tangan.
“Hm, tiba-tiba Lauw Siu Kim mendengus dengan dingin: “Oey Tin Hong, engkau sudah
bosan hidup ?”
“Hujin budak ini…” kata Oey Tin Hong dengan kaget.
“Phui!” Lauw Siu Kim mambuang ludah dengan gusar; Nyalimu besar betul ! Di depanku
berani mempermainkan perempuan dan memaki mereka budak !”
Oey Tin Hong cukup mengenal tabiat perempuan ini, biarpun perasaan hatinya gusar,tak
berani membantahnya, ia diam sambil menundukkan kepala. Ya maaf bahwa saya salah
bicara !”
137
Perempuan tadi mendapat kesempatan lari dan tidak kelihatan baying-bayangannya lagi.
Sedangkan Lauw Siu Kim masih gusar, dan kedongkolannya ini ditimpakan kepada
suaminya. “Engkau tua bangka tidak tahu diri ! Tidak boleh melihat perempuan muda !
Engkau kira aku ini sebagai apamu ?”
“Siu Kim,” kata Na Beng Sie sambil cengar cengir jengah. “Aku mana memikir bisa sampai
ditempat perempuan-perempuan itu mandi !”
“Jika bakalan tahu begitu, mungkin engkau akan girang terlebih dahulu bukan ?”
Na Beng Sie mengangkat-angkat pundak tak berani menjawab.
“Hm, bagaimana perasaanmu ? Menyesal mengajak aku ?” bentak Lauw Siu Kim.
“Sudahlah! Sudahlah ! Anggap aku yang salah,” kata Na Beng Sie sambil menarik napas
panjang.
“Untuk apa menghela napas ? Menyesal tidak bisa melihat perempuan-perempuan itu terlebih
lama ?” ejek Lauw Siu Kim.
Na Beng Sie tidak bisa menjawab, ia hanya mendongkol, untuk menghilangkan gusar hatinya,
Oey Tin Hong dijadikan bulan-bulanan. “Hm, bencong sial ! Sudah tahu ada perempuan
mandi, kenapa engkau membawa kami kesini ? Enak ya melihatku didamprat bini ?”
“Saya tidak bermaksud begitu,” kata Oey Tin Hong, “jika dipikir perempuan-perempuan itu
dimalam hari mandi disini, sangat mencurigakan sekali ! Tambahan merekapun memiliki ilmu
silat yang cukup tinggi, menyesal tidak bisa kucapai mereka !”
“Kenapa tidak dari tadi engkau terangkan begitu ?” kata Na Beng Sie.
“Saya…” ia melirik pada Lauw Siu Kim, kata-kata yang sudah berada ditepian bibirnya
ditelan kembali dengan terpaksa.
Melihat ini membuat Na Beng Sie semakin gusar. “Semua ini kerjaanmu bukan ? Pokoknya
jika bocah itu tidak kau temukan, berarti celaka bagimu ! Lekas cari !”
Ketiga orang itu perlahan-lahan meninggalkan tepian sungai, makin lama makin menjauh.
Tak selang lama cuacapun menjadi terang.
In Tiong Giok menarik napas lega, dan cepat bangun dari sungai sambil mengenakan
pakaiannya yang basah. Dengan mengambil arah yang berlawanan, ia berlari meninggalkan
tempat itu. Waktu matahari terang benderang ia telah tiba disebuah kota kecil. Sebagaikan
anak burung yang masih ketakutan, segan untuknya masuk kedalam kota, untuk menangsel
perutnya yang lapar, ia mampir disebuah warung nasi dipinggiran kota, setelah kenyang dan
membeli beberapa kue kering, cepat-cepat ia melanjutkan perjalanan.
Tujuannya adalah rumah Lim Giok Bwee di Pek liong san, untuk ini ia selalu menempuh
perjalanan gunung yang sepi. Dengan begini tak mudah dirinya diketemukan orang, dan
bilamana ketemu musuh dapat meloloskan diri kedalam hutan. Disamping keuntungan itu, ada
138
pula kesulitan baginya, yakni sukar mencari makanan. Hari pertama ia menempuh perjalanan
sembilan puluh lie, sejauh ini tidak ada perumahan-perumahan penduduk yang ditemuinya,
membuatnya menahan lapar sepanjang jalan. Waktu hari kedua, sepanjang perjalanan tidak
juga dijumpai rumah orang, laparnya sudah sampai dipuncak. Ia mengaso dibawah pohon
yang rindang. Tak jauh dari situ ia melihat sebuah perkebunan jeruk, sedang berbuah lebat
sekali. Dengan cepat ia menghampiri jeruk-jeruk itu masih hijau selum manis bener. Dalam
keadaan lapar ia tidak perduli matang atau tidak, dipetiknya bebrrapa buah lalu dimakan
dengan lahap. Jeruk itu amat masam tidak saja menghilangkan lapar, bahkan membuat
perutnya semakin perih dan lapar. Ia menekan perut sambil mengawasi buah jeruk yang
hijauitu, saat inilah hidungnya menghirup hawa sedap ! Dengan tergesa-gesa iapun mencari
dari mana datangnya hawa itu. Tak seberapa jauh dari tempat ia memetik jeruk terlihat sebuah
gubuk, dari sinilah terlihat asap membumbung tinggi dan menebarkan wewangian yang sedap
tadi.
Gubuk itu terbuka pintunya, yerlihat seorang gadis yang sedang menundukkan kepala dan
mengipas-ngipas api, memanggang ayam.
Dengan cepat Tiong Giok menghampiri.
“Siapa disitu ?” tegur sigadis sambil menoleh.
In Tiong Giok menjadi kaget, bukan karena kedatangannya diketahui sigadis, melainkan
wajah gadis itu luar biasa sekali. Kiranya separuh dari wajah gadis itu amat cantik, sebaiknya
yang sebelah buruknya bukan b uatan. Jadilah antara cantik dan buruk itu pada datu wajah.
Waktu Tiong Giok melihat adalah bagian yang cantik, dan waktu gadis itu menoleh
memperlihatkan wajahnya yang buruk hampir dia sawan dibuatnya.
Gadis itu memandang tajam kepada Tiong Giok, yang gugup tak bisa menjawab. Entah
kenapa ia menjadi gusar, dilempar kipas dan diambil toya, dengan cepat ia melompat keluar,
nyatanya ia pandai bersilat.
“Karena nona kulihat sendirian saja maka membuatnku gugup bertanya jawab !”
“Apa keperluanmu kesini ?”
“Terus terang perutku lapar! Satu hari satu malam belum makan, bisakah nona memberi
pertolongan ?”
“Sayang kau datang bukan pada waktunya, ayam panggang itu khusus ayah !”
“Tolonglah aku lapar sekali…..”
“Tak bisa ! Ayahku tak dirumah, andaikata ia ada tak mungkin bisa menolongmu !”
“Aku tidak ingin ayam itu, pokoknya asal makan, sudah cukup !”
“Tak bisa !” kata gadis itu. “Kalau ayahku mengetahui, aku bisa didampratnya.”
“Aku lapar sekali…”
139
“Engkau harus tahu, ayahku bertabiat kasar, jika ia pulang melihatmu kukuatir…”
“Aku tak mau menyusahkanmu, asal diberi makan, aku lantas berlalu !”
“Parasmu yang kelaparan, memang harus dikasihani, baiklah kuberikan sedikit makanan, asal
kau cepat-cepat pergi !” kata gadis itu dan terus menggapaikan tangan, mengajak Tiong Giok
masuk.
Didalam rumah yang sederhana itu, hanya terdapat sebuah meja dan beberapa kursi,
perabotannya kurang sekali. Didinding terlihat sebilah golok besar, gagangnya mengkilap,
karena terbuat dari emas. Keadaan ini mendatangkan keheranan bagi pemuda kita, ia tahu
kehidupan penghuni rumah ini amat miskin, tapi goloknya itu merupakan benda yang tidak
ternilai harganya. Mungkinkah ayah beranak ini merupakan jago-jagonya Kang Ouw yang
mengasingkan diri ? Tengah ia berpikir, sigadis sudah keluar dari dapur, membawakan kuah
ayam dan kueh kering. “Lekaslah makan dan cepat pergi !” desak sigadis.
Sambil menghaturkan terima kasih Tiong Giok menerima makanan itu dan terus memakannya
dengan lahap sekali. Sigadis memandang si pemuda kita itu penuh dengan rasa kasihan. IA
masuk lagi kedapur menambah kuah ayam dan sedikit makanan. “Kulihat engkau lapar sekali,
ini ada sedikit tambahnya !”
“Terima kasih atas kebaikan nona,” kata Tiong Giok, “tapi makanan ini untuk ayahmu,
bagaimana kalau tahu, aku kuatir.”
“Engkau ini aneh sekali, tadi meminta-minta sekarang timbul rasa kuatir, apa maksudmu ?”
kata gadis sambil tersenyum. “Semua manusia bisa merasa lapar, kenapa engkau merasa
sungkan ?”
Tiong Giok tersenyum dan terus menghampiri makanan yang diberikan padanya, setelah itu ia
mengeluarkan sebutir mutiara dan memberikan pada sigadis. “Atas pertolonganmu ini seumur
hidupku tak kulupakan, ini sekedar tanda terima kasihku !”
“Hm, dengan ini engkau membayar kuah ayam dan kueh kering itu ?” kata sigadis sambil
melirik sinis.
“Aku tidak bermaksud demikian ! Pemberianku sekedar tanda terima kasihku ! terimalah !”
“Oh kutahu, engkau sengaja memberikan mutiara ini agar ayahku tahu engkau datang,
betulkah begitu ?”
Tiong Giok tak berdaya, wajahnya menjadi merah dan cepat-cepat menyimpan kembali
mutiaranya kedalam saku. “Ah, maafkan nona dapatkah kutahu namamu ? Agar kuingat-ingat
!”
“Hm, maksudmu dengan mengenal namaku engkau mau datang lagi kesini ?”
“Pertemuan ini adalah kebetulan, entah tahun kapan kita bisa bertemu lagi .”
“Hm, artinya belum tentu bisa ketemu lagi, untuk apa mengetahui namaku bukan ?”
140
“Andaikata tidak bertemu lagi, budi yang kuterima ini tak bisa kulupakan. Nah terimalah
terima kasihku dan permisi !” kata Tiong Giok yang terus merangkapkan tangannya memberi
hormat sambil manggut-manggut dan terus keluar dari rumah gubuk itu.
Baru saja ia keluar rumah, gadis itu dengan kecepatan seperti kilat menarik baju Tiong Giok.
“sabar sebentar !” serunya perlahan.
“Engkau tak boleh pergi dulu, ayahku sudah pulang!” kata si gadis dengan wajah khawatir.
Tiong Giok memasang kuping, dan benar saja ia mendengar suara tertawa dari perkebunan
jeruk, dengan mengerutkan alis dia memandang pada si gadis sambil menghibur : “ Nona tak
usah kuatir, jika yahmu bertanya akan kuakui semua, bahwa makanan ini aku yang
memakannya !”
“Engkau tidak mengetahui tabiat ayahku sangat kasar sekali !” kata si gadis.
“Kebun jeruk ini merupakan daerah terlarang bagi orang luar, engkau bukan saja masuk ke
kebun jeruk bahkan masuk kedalam gubuk ini, jika diketahuinya, hanya kematian bagimu !”
“Kenapa ayahmu begitu tidak tahu aturan ?”
“Kini bukan saatnya mengadu aturan, kata sigadis, kuharap engkau bersembunyi dulu, baru
berlalu !”
Suara dari kebun jeruk sudah semakin dekat, yang datang bukan hanya seorang tetapi
banyakan. Sigadis dengan gugup menarik lengan Tiong Giok kedalam rumah. Gubuk itu
hanya mempunyai dua kamar, tidak ada tempat bersembunyi lainnya. Setelah mengerutkan
kening sejenak, gadis itu menarik si pemuda kedalam kamarnya dan mendorong keatas
pembaringan, lalu menurunkan kelambu. “Karena terpaksa kulakukan semua ini, harap
tenanglah diam disini” Ia tidak melanjutkan suaranya karena dari luar sudah terdengar suara
paraunya memanggilnya : “Ciu kauw ! Ciu kauw !”
“Ya Tia !” sahut Ciu kauw dan terus keluar kamar sambil menutup pintunya.
Sesaat didepan pintu rumah terlihat banyak orang, yang paling depan adalah seorang tua yang
berusia enam puluhan, dibelakangnya terlihat dua orang tua berpakaian serba putih disusul
seorang perempuan cantik yang genit. Paling akhir adalah lima laki-laki tinggi besar berbaju
merah.
“Tia tia baru pulang ?” tanya Ciu kouw.
“Hei budak mari kuperkenalkan dengan beberapa Lo Cianpwee ini !” kata orang tua yang
berjalan paling depan.
Perempuan cantik yang genit itu menghampiri pada Ciu Kouw. “Cek, cek, cek, Cie Toako
inikah puterimu itu ?”
“Ya benar, Su kouw coba kau lihat sudah besar bukan ?”
141
“Ah, benar saja !” kata perempuan itu yang bukan lain dari pada Hoo Su Kouw adanya. Lima
belas tahun tidak melihatnya, sudah sebesar ini. Jika ketemu dijalanan pasti aku tidak
mengenalnya lagi. Waktu rasanya cepat berlalu yang kecil telah menjadi besar, dan kita telah
menjadi tua.”
“Ah, siapa bilang kau sudah tua ? Kulihat Su Kouw masih muda seperti dulu, kata salah
seorang laki-laki tinggi besar. Membuat yang mendengar bergelak-gelak.
“Ah, engkau bisa saja, kata ? Hoo S Kouw yang terus memandang pada Ciu Kouw.
“Masih kenalkah denganku ?”
“Ciu kouw menggelengkan kepala, sudah lupa !”
“Ah, masakan sampai bibi Hoo ini kau lupakan ?” kata siorang tua she Cie, atau ayahnya Ciu
kouw.
“Hoo A-ie,” kata Ciu kouw.
“Ah dasar anak pintar,” kata Hoo Su Kouw “lima belas tahun yang lalu engkau baru sebesar
ini !”
Kini Ciu kouw berusia delapan belas tahun, berbadan lebih tinggi dari Hoo Su Kouw sendiri,
kini masih dianggap sebagai bocah cilik terus, mendatangkan rasa pembangkang yang tidak
sedap pada dirinya. Dengan mengerutkan alis ia membuang muka.
Orang tua she Cie menunjuk pada dua orang tua berbaju putih. “Ini adalah Kui coa jie sau dan
yang lima ini terkenal sebagai Lo sie ngo houw (lima macan keluarga Lo) dari Toa pa san
semuanya kawan baikku !”
Ciu kouw menghaturkan hormat pada merekas satu persatu.
Seangkan Tiong Giok mendengari ucapan mereka dari persembunyiannya dengan hati kebatkebit.
Semua yang berada diluar itu adalah musuhnya, untung ia bisa bersembunyi, jika tidak
pasti lebih banyak celakanya daari selamatnya. Ia tidak mengetahui apa hubungannya antara
tuan rumah dengan Hoo Su Kouw ? Tapi dari percakapan mereka dapat diketahui mereka
sebagai kawan lama, berarti tuan rumah itupun sebagai orang jahat juga. Kini ia berada
didalam rumah itu, tak ubahnya seperti berada didalam mulut macan !
Setelah memperkenalkan semua kawannya pada anaknya, orang she Cie itu masuk kedalam
rumah, tiba-tiba saja wajahnya menjadi berubah. “Siapa yang datang kerumah ?” tegurnya
pada Ciu kouw.
“Tidak ada yang datang !”
“Siapa yang habis makan ini ?”
“Oh, ini bekasku makan, dan belum sempat dibenahi !” kata Ciu kouw.
“Makin besar makin malas, lekas beresi,” kata Cie Lo tua (orang tua she Cie).
142
“Dan potong lagi beberapa ekor ayam serta hangati arak, sehabis makan kami masih
mempunyai urusan penting untuk dikerjakan !”
Ciu kouw segera keluar rumah sedangkan tamu-tamunya duduk mengelilingi tuan rumah.
Mengadakan perundingan penting. “Cie Toako tak perlu repot-repot menyediakan ini itu,
yang penting kita harus memburu waktu untuk menciduk budak she In itu,” kata Ouw Kun
San.
“Tak usah kuatir,” kata Cie Lo toa. “asal saja dia jalan kemari, passti takkan lolos !”
“Waktu di Ko ho pou jalan Tian lo te bong sudah ditebar tak urung masih lolos juga !” kata
Hoo Su Kouw.
“Waktu itu jika Ciauw Thian Siang berbuat curang, biar bersayap In Tiong Giok takkan lolos
!” kata Lo Tian Wie salah seorang Lo sie ngo houw yang paling tua.
Cie Lo toa menganggukkan kepala dan berkata : “Ciau Thian Siang adalah bajak lama yang
sejalan dengan kalian, kenapa bisa membantu pemuda itu mencetak buku Keng thian cit su di
kota Kim leng, benar-benar membuatku tak habis mengerti !”
“Jika diceritakan urusan menjadi panjang, yang benar nasib kita belum beruntung,” kata Hoo
Su Kouw.
“Memang kenapa ?” tanya Cie Lo toa.
“Sungguhpun Ciau Thian Siang dapat dikatakan menghianati kami, dan eprbuatannya itu
diluar dugaan. Tapi dasar nasib tidak beruntung mau dikata apa ? Kami sempat menyusul
kekota kim leng untuk mencegah buku itu dicetak, tapi usaha kami itu mendapat halangan.”
“Siapa yang menghalangi ?” tanya Cie Lo toa tidak sabaran.
“Sampai kini siapa orang itu belum dapat kejelasan yang pasti,” kata Hoo Su Kouw,
“pokoknya siapapun tidak akan menyangka seorang pembantu toko yang sederhana, berkelahi
lihay sekali, hampir-hampir aku dan persaudaraan Lo ini menderita kerugian besar.”
“Yang bisa mengalahkan kalian itu tentu bukan manusia sembarangan, masakan sampai
namanya tidak kalian ketahui ?”
“Waktu terjadi perkelahian budak she In itu mungkin berada didalam percetakan itu, hal ini
terbukti keesokan harinya Keng thian cit su tersebar luas dikota Kim leng ! Waktu kami
mendatangi lagi percetakan itu untuk mencari tahu siapa pemiliknya, nyatanya sudah tutup
pintu, sekalian penghuninya sudah pindah semua !”
“Ah kalian nyatanya masih payah betul, masakan dengan tenaga yang begini banyak tidak
bisa mengalahkan pemilik percetakan itu ?”
“Hal ini masih tidak seberapa mendongkolkan perut, yang membuat kami mangkal dibuku
yang dicetak itu ditulis kenangan untuk Ciau Thian Siang ! Dan banyak kawan-kawan lain
setelah mendapatkan buku itu pergi lagi, sedangkan kami biarpun mendapatkan buku itu,
143
tetap akan mencari budak she In itu, untuk memaksanya membeerikan penjelasan bagianbagian
penting dari buku itu, dengan begitu kedongkolan kami baru mereda !”
“Apakah buku yang dicetak itu isinya tidak lengkap ?” tanya Ouw Kun San.
“Sukar diterangkan….tapi kita dapat menduga bahwa budak itu pasti akan menguranginya
bagian-bagian yang penting dari pelajaran itu, baru menyebar luaskan pada halayak ramai.
Maka itu jika berhasil menangkapnya, besar faedahnya untuk kita,” kata Hoo Su Kouw.
Siang Thian Beng yang bersifat pendiam menganggukkan kepala. “Memang benar bahwa
bocah itu agaknya telah menyelami ilmu Keng thian cit su !”
“Bagaimana engkau tahu ?” tanya Cie Lo toa.
“Tiga hari yang lalu kami menemui ditepi sungai…” kata Ouw Kun San.
“Kenapa tidak ditangkap saat itu juga ?” tanya Cie Lo toa.
“Justru itu waktu kami turun tangan menangkapnya, ia melawan dengan menggunakan ilmu
Keng thian cit su, ilmu itu memang luar biasa sekali, tapi ia belum mahir menggunakannya.
Dan masih ungkulan untuk menangkapnya…waktu usaha kami mau berhasil, datang Oey Tin
Hong sibanci celaka itu menggerecok. Dan membuat usahaku gagal ! Kepaksa kuhadapi
sibanci itu untuk mengajar adat, dasar nasibnya masih mujur dalam keadaan terdesak ia
ditolong Hek pek siang yau ! “Ouw Kun San tidak menceritakan ia terluka dan hampir mati
terkena serangan lawannya.
“Tapi sekarang keadaan lain,” kata Hoo Su Kouw, dengan adanya Cie Lo toa kita bisa
bertambah kuat dan takperduli menakuti segala Hek pek siang yau.
Cie Lo toa tergelak-gelak mendengar pujian itu dan berkata: “Ya dengan kekuatan kita
sekarang, aku Kui ciu kim to (lengan setan bergolok emas) bukan tekebur, segala Hek pek
siang yau tidak kupandang sebelah mata, jika bertemu dengannya, ia baru tahu bahwa kui ciu
kim to tidak boleh dipandang enteng.”
“Ya memang sudah kutahu bahwa Cie Toako seorang kawan yang dapat diandalkan, tidak
seperti Tong teng cit kiam dan Cau ouw sam seng tiga orang she Ciu itu setelah mendapat
buku segera pulang kemasing-masing tempatnya, tak mau membantu kami lagi !” kata Hoo
Su Kouw.
Sementara mereka berbicara ke barat ke timur, Ciu kouw telah siap dengan makanan yang
diperlukan. Dalam waktu singkat mereka telah selesai menangsel perut dan terus beristirahat
sejenak, sebelum pergi Cie Lo toa mengambil goloknya dan menyoren dipinggang. “Kami
akan pergi keluar mencari seseorang, makanan malam sebaiknya engkau siapkan dari
sekarang, jika ada seorang yang tidak dikenal datang kemari, tangkap padanya, nanti aku akan
memeriksanya.” Pesan Cie tua pada anaknya.
Ciu kouw mengangguk kepala.
“Andaikata orang yang harus ditangkap berkepandaian tinggi, engkau boleh bersiul panjang,
aku bisa segera membantu !”
144
“Orang tiu adalah pelajar berusia sebaya denganmu putih bersih dan ganteng !” Hoo Su Kouw
menjelaskan. “Mudah dikenal, engkaupun pasti kenal biarpun pertama kali melihatnya !”
“Perkataan A-ie ini seolah-olah memastikan bahwa pemuda itu akan datang kemari !”
“Eh siapa tahu kalau orang itu saat ini ada didalam rumah dan akan pergi keluar begitu kami
berlalu ?” kata Hoo Su Kouw sambil memandang tajam.
Ciu kouw terkejut tak alang kepalang, perubahan parasnya terlihat tegas oleh Hoo Su Kouw,
tapi perempuan ulung itu tidak mendesak terus, melainkan terkekeh-kekeh dan terus berlalu.
Setelah orang-orang itu pergi jauh Ciu kouw mengunci pintu dan terus memburu kekamarnya.
“Eh engkau she apa ? Apakah engkau yang sedang dicari-cari mereka ?” tanya Ciu kouw
tergesa-gesa.
“Benar, orang yang sedang dicari mereka adalah aku, In Tiong Giok !” Sebenarnya dia berniat
membohong guna meloloskan diri, tapi entah kenapa terhsdap gadis ini ia tidak merasa takut,
biarpun sudah jelas baginya, bahwa gadis ini adalah putrinya seorang jahat.
Ciu kouw tampak semakin gugup dan cemas mendapat jawaban sipemuda, “Wah celaka,
harus bagaimana sekarang…”
“Nona tak perlu kuatir, aku merasa berterima kasih atas pertolonganmu,” kata In Tiong Giok.
“Aku bisa meloloskann diri dari bahaya ini, dan kuharapkan nona tak perlu mencampuri
urusanku, nanti bisa kerembet-rembet !”
Ciu kouw menggelengkan kepala. “Engkau tidak bisa meloloskan diri, semua jalan keluar
sudah ditangan mereka !”
“Diam sajapun tak ada gunanya, lebih baik mendengar perkataan Hoo Su Kouw barusan
kemungkinan besar ia akan kembali lagi. Biar bagaimana aku tak bisa berdiam terus disini “
“Sebaiknya nantikan malam baru pergi !” kata Ciu kouw.
“Menantikan malam sama saja menantikan mereka kembali bukan ?”
“Selamanya ayahku tak pernah masuk kedalam kamarku !” kata Ciu kouw dengan
tajammemandang pada sang pemuda, terus menarik napas panjang. “Aku tak mengerti
pemuda semacammu ini kenapa bisa berkecimpung didunia Kang Ouw ? dan kenapa
mempunyai begitu banyak musuh ? Kudengar engkau menterjemahkan buku untuk Pok Thian
Pang, dan terus mencetak buku itu di kota kim leng, serta menyebar luaskan dijalan-jalan
raya, benarkah terjadi peristiwa semacam itu ?”
“Benar!” jawab In Tiong Giok, “buku itu buku milik Pok Thian Pang, juga dalam keadaan
kedesak kulakukan cara itu !”
“In Kongcu bukan kusesalkan tindakanmu tapi dunia Kang Ouw ini penuh bahaya, sembarang
waktu engkau bisa terjerumus kejurang derita, saat itu ingin mencuci tanganpun tak bisa lagi.”
145
Kata Ciu Kouw. “Buku itu dan Pok Thian Pang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya
denganmu, kenapa engkau mau mencari-cari urusan merepotkan diri sendiri ?”
“Perkataanmu memang benar, tapi banyak kejadian disunia ini sukar diperkirakan
kemampuan manusia, semua inii bukan kehendakku, tapi keadaan memaksaku harus
mengalami kejadian-kejadian semacam ini !” kata In Tiong Giok seraya menuturkan dengan
singkat apa yang dialaminya sejak keluar rumah sampai ia tiba dirumah Ciu kouw.
Ciu kouw mendengari penuturan itu dengan tekun, dan menarik napas panjang waktu Tiong
Giok menyelesaikan ceritanya. “Apa yang kau katakana memang benar, bahwa kejadian yang
akan datang itu sukar diperkirakan sebelumnya tak ubahnya seperti ayahku dua tahun
mengasingkan diri dari dunia Kang Ouw, tak kira hari ini di datangi lagi kawan-kawan
lamanya, entah bagaimana kesudahannya belum dapat kubayangkan dari sekarang.”
“Dulu ayahmu tentu seorang jago Kang Ouw yang kenamaan bukan ?”
“Sungguhpun tidak kenamaan tapi cukup terkenal,” kata Ciu kouw. “Ayahku bernama Cie
Peng Lam dengan gelar kui ciu kim to, tiga puluh tahun yang lalu merupakan pentolan
dikalangan perbajakan.”
Sungguhpun ia belum pernah mendengar nama itu, tapi ia bisa menduga bahwa Cie Peng Lam
pasti memiliki ilmu sejajar dengan Kui coa jie sau dan lain-lain. Sedangkan Ciu kouw biarpun
putrid penjahat, tak ubahnya bagaikan teratai yang tumbuh dipencomberan, putih bersih tidak
pernah keceretan Lumpur kotor.
“Ayahmu sebagai seorang kenamaan disunia Kang Ouw kenapa mau mengasingkan diri di
tempat sunyi semacam ini selama dua tahun ?”
“Karena aku dan ibuku !”
“Dimana ibumu kini ?”
“Ia telah meninggal dunia tujuh belas tahun yang lalu !”
“Kalau begitu engkau masih kecil sudah ditinggal ibu ?”
“Ya diwaktu usiaku setahun tiga hari, ibuku wafat !”
“Disebabkan sakitkah ?”
“Bukan” jawab Ciu kouw, “Ia mati dianiaya orang !”
“Oh, siapa penjahatnya itu ?”
“Penjahat itu bernama Ong Jiak Tong.”
“Ong Jiak Tong ?” In Tiong Giok menegasi sambil membuka mata lebar-lebar. “Adakah kini
orang itu berusia enam puluh lebih, anggota badannya kurus panjang dan tampaknya seperti
cengcorang, jika bicara tersenyum sinis ?”
146
“Benar-benar dia kenalkah dengannya ?” kata Ciu kouw, “bertahun-tahun ayahku mencarinya
tidak ketemu, dimana engkau menemuinya ?”
“Tak heran ayahmu tidak menemuinya karena…” In Tiong Giok tidak melanjutkan.
“Katakan dimana ia berada…” kata Ciu kouw. Aku bisa menerangkan dimana orang itu
berada,” kata In Tiong Giok,” tapi kuminta engkau menceritakan dulu persoalannya terlebih
dahulu baru kusebutkan tempatnya is berada.”
“Ini kejadian yang sudah lama sekali,” kata Ciu kouw memulai penuturannya. “Saat itu
sampai kini selang tiga puluh tahun lamanya, ayahku masih muda belia, tapi dalam usia itu
sudah banyak kejahatan diperbuatnya. Ia bersama-sama Kui coa jie sau, Cau ouw sam seng,
Siang kiang jie to bersama-sama terkenal sebagai Kang lam cit sat (tujuh manusia buas dari
selatan) yang terkenal kejam dan buas dalam dunia perampokan.”
“Suatu saat didunia Kang Ouw muncul Sin kiam siang eng yang pandai Keng thian cit su,
banyak penjahat-penjahat dibasminya, antaranya Siang kiang jin to pertama-tama bertempur
dengan sepasang pendekar itu dan menderita kekalahan, sejak itu terus mengundurkan diri
sampai sekarang, sedangkan Kui coa jie sau pada saat yang hampir bersamaan dipecundangi
Han Bun Siang dan terus mengasingkan diri, baru sekarang muncul lagi, sedangkan Sam seng
terhitung manusia yang kenal gelagat, sebelum kena digempur terlebih dahulu bersembunyi
ditelaga Cau Ouw, dengan menempuh penghidupan seperti rakyat biasa, dan sejak itu Kang
lam cit sat bubar dengan sendiri.”
“Ayahku terhitung mujur, selama menjalankan kejahatan belum pernah bertemu dengan
pendekar-pendekar keadilan yang lihay. Waktu melihat kawan-kawannya satu persatu
menghilang dari dunia Kang Ouw, menjadi insyaf sendiri, dan terus mengundurkan diri juga
dari rimba hijau. Ia menikah dengan ibuku dalam usia empat puluh tahun, sedang ibuku baru
berusia tujuh belas tahun, sungguhpun perbedaan umur antara mereka sangat besar, tapi bisa
hidup rukun dan damai. Pernikahan mereka pada tahun kedua dikaruniai seorang putrid yakni
aku, ayahku girang tidak alang kepalang, maka itu waktu ulang tahunku yang pertama ia
mengadakan pesta besar-besaran. Diantara sekalian penduduk yang hadir terdapat seorang
kawan lamanya, yakni Ong Jiak Tong. Pertemuan ini membuat ayahku bergirang hati, maka
itu si orang she Ong ditahannya beberapa hari bermalam dirumah. Entah dikarenakan duludulunya
ayahku mempunyai dosa besar, dan mendapat hokum karma, entah nasibnya buruk.
Sang kawan itu mengatakan telah memasuki senuah perserikatan baru yang kuat, dan
mengajaknya ayahku terjun kembali kedunia Kang Ouw. Dengan tersenyum ayahku menolak
ajakan kawannya itu, karena tekadnya mengundurkan diri dari dunia Kang Ouw sudah mantap
sekali. Ong Jiak Tong pun tidak memaksa, tapi dengan diam-diam mengalihkan perhatiannya
pada ibuku. Tepat pada usiaku setahun dua hari ia menggunakan oabt mabuk membuat
ayahku tak berdaya, lalu masuk kekamar ibuku dengan maksud jahat…, kusesalkan ayahku
berkawan dengan orang tak baik, tapi Tuhan tak buta bangsat itu tak mengetahui bahwa
ibukupun memiliki kepandaian ilmu silat juga. Bukan nafsu binatangnya saja yang tak
kesampaian iapun kena dicakar luka, akibat malunya mendatangkan kegusarannya, dengan
menggunakan sebuah pipa ia menyemburkan racun jahat pada ibuku. Seluruh wajah dan
bagian dada ibuku terkena racun itu, sedangkan aku ditidurkan tak seberapa jauh dari tempat
perkelahian itu, keceretan juga bagian pipi kiriku, dan terus menjerit kesakitan, suaraku
inimembuat bangsat itu ketakutan dan terus merat dari rumah !”
“Bagaimana dengan keadaan ibumu seterusnya ?”
147
Ciu kouw meneteskan air mata sebelum menjawab “Racun itu teramat jahat, ibuku tidak
tertolong, tepat pada usiaku setahun tiga hari ia meninggal dunia, sedangkan wajahku yang
terkena racun, berakibat seperti yang engkau lihat sekarang ! Sedangkan ayahku setelah
diguyur orang baru siuman dari mabuknya, sudah tentu tak bisa mengejar penjahat itu lagi !”
“Saat itu ayahmu kena dibuat mabuk, dan engkau masih kecil, ibumu setelah menderita luka
terus meninggal bukan ? Dari sebab apa mengetahui semua itu perbuatan Ong Jiak Tong ?”
“Sudah tentu perbuatan dia, karena sebagai seorang kawan baik, kenapa setelah terjadi
peristiwa itu tidak terlihat lagi batang hidungnya ? Disamping itu waktu terjadi pergumulan
dengannya, ibuku berhasil merampas sepucuk surat dari badan bangsat itu, sampai mati surat
itu tidak dilepasnya.”
“Surat apa ?”
“Ia pernah mengatakan pada ayahku akan mengirim surat ke Pok Liong San dan kebetulan
yang kena dirampas ibu adalah surat itu !”
“Apa bunyi surat itu dapatkah kutahu ?”
“Dalam garis besarnya surat itu mengatakan bahwa Tiat Gok Lin telah melakukan suatu
kesalahan, dan dimaki habis-habisan.”
“Ah, kesalahan apa yang diperbuat Tiat Gok Lin ? Kenapa surat itu diantar Ong Jiak Tong
mungkinkah….”
“Sungguhpun surat itu tidak sampai pada Tiat Gok Lin, tapi sejak terjadi peristiwa yang
menyedihkan dirumahku, tersiar kabar bahwa Tiat Gok Lin membunuh diri, jika dikaji secara
tenang, apa yang terjadi itu tentu ada hubungannya dengan surat yang dibawa Ong Jiak Tong
bukan ?”
“Surat itu masih adakah ?”
“Sudah tentu ada!” kata Ciu kouw, ini sebagai bukti dari kematian ibuku biar sudah belasan
tahun masih tetap kusimpan rapi .”
“Bisakah kulihat surat itu ?”
“Asal kubisa tahu dimana beradanya penjahat itu, surat itu dapat kau lihat,” kata Ciu kouw.
“Disamping itu ayahkupun akan merasa berterima kasih padamu dan bisa melunakkan kawankawannya
agar tak memusuhi dirimu. Sehabis berkata ia membuka sebuah peti, dan
mengeluarkan sebuah bungkusan kain.
Kain pembungkus itu luntur warna aslinya karena kelewat lama disimpan. Ciu kouw
membuka kain itu, didalamnya masih ada pembungkus lagi dibuka lagi dengan hati-hati,
sampai pada pembungkus yang keempat lapis baru terlihat sepucuk surat yang telah lecek.
Dengan hati-hati surat itu diserahkan pada In Tiong Giok.
JILID 8________
148
Surat itu berbunyi sebagai berikut :
Kepada Tiat Giok Lin yang terhormat.
Mengingat bahwa keluarga Tiat turun temurun sebagai orang-orang yang terhormat dan
dimalui oleh kawan maupun lawan. Tapi sungguh diluar dugaan, engkau sebagai ahli waris
keluarga Tiat yang kesohor diempat penjuru dunia, waktu mengadakan perjalanan ke propinsi
Hoo pak bisa melakukan perbuatan mesum yang memalukan. Engkau telah memperkosa
seorang gadis yang suci bersih secara tak tahu malu, setelah melanggar kehormatan gadis itu
engkaupun merasa malu dan ingin menutup rahasia busukmu dengan membunuh gadis itu.
Perbuatan ini bukan saja memalukan juga dikutuk Tuhan tapi heran, kenapa engkau masih ada
muka hidup di dunia ini ?
Mula pertama kami tidak percaya terjadi hal ini, setelah melakukan penyelidikan secara
seksama baru mempercayainya. Dan sekalian golongan Kang Ouw pun sudah mengetahui
perbuatan busukmu ini ! Segala keharuman keluarga Tiat habis ditanganmu, untuk mencuci
bersih nama keluarga Tiat sebaiknya hukumlah dirimu seadil-adilnya.
Surat itu tidak dibubuhi tanda tangan, perkataan “kami” disurat itu jelas bukan seorang saja
yang menulis, tapi mewakili lebih dari seorang.
Selesai membaca surat itu, Tiong Giok jadi berkeringat , pertama-tama terbayang olehnya
seorang tua di dalam penjara tanah Pok Thian Pang yang bernama Hauw Sian, yang diketahui
pula sebagai Tiat Giok Lin adanya ! Ia sudah bunuh diri, kenapa masih terdapat dipenjara
tanah itu ? Keheranan ini sementara waktu belum bisa dipecahkan Tiong Giok, dengan
terpekur ia mengawasi surat itu sekian lamanya.
“In Kongcu apa yang engkau pikirkan ?”
“Dapatkah surat ini kupinjam untuk sementara waktu ?”
“Apa gunanya bagimu ?”
“Besar gunanya, kata In Tiong Giok, dengan surat ini mungkin bisa membongkar sesuatu
peristiwa misterius di dunia Kang Ouw. Dan bisa juga membongkar kejahatan Pok Thian
Pang serta mengungkap teka-teki kematian Tiat Giok Lin dan hilangnya Ang Ek Fan !”
“Adakah soal Sin kiam sian eng bertalian dengan Pok Thian Pang ?”
“Bukan saja berhubungan dengan Pok Thian Pang bahkan kematian dari ibumu bersangkutan
pula dengan Pok Thian Pang….”
“Benarkah ?”
“Baik kuterangkan bahwa pembunuh ibumu itu yang bernama Ong Jiak Tong kini berada
dimarkas pusat Pok Thian Pang, ia menjadi sebagai pengurus penjara tanah disana.”
“Pantasan ayahku mencari kesana kemari tidak menemuinya, kiranya ia bersembunyi di Pok
Thian Pang !”
149
“Kini sudah kuterangkan dimana beradanya Ong Jiak Ttong,” kata In Tiong Giok “tapi jangan
bergegas hendak membunuhnya, karena kekuatan Pok Thian Pang besar sekali, salah-salah
bukan saja sakit hati ini tidak terbalas, juga bisa membuat ayahmu mendapat celaka.”
“Bagaimanapun aku tak takut !” kata Ciu Kouw, “jika bangsat itu dapat kutemui akan kubeset
kulitnya dan kutusuk jantungnya agar sakit hati ibuku terbalas.”
Saat inilah dari arah jendela terdengar suara berdehem sekali dan disusul perkataan : “Engkau
cukup mempunyai ambekan untuk menuntut balas, tapi perbuatanmu kini apa ? Membohongi
ayah dan melindungi pemuda ini, apa yang harus kukatakan atas kelakuanmu ini ?”
“Siapa ?” bentak Ciu Kouw.
“Hm, anak yang baik, sudah punya pacar sampai A-ie sendiri dikenal !” Seiring dengan
habisnya suara dari luar masuk Hoo Su Kouw sambil tersenyum mengejek.
Ciu Kouw segera keluar, In Tiong Giok menyimpan surat itu lalu menyusul keluar.
Hoo Su Kouw bertolak pinggang sambil tersenyum-senyum. “Tadi siang kulihat perabotan
berantakan, katanya engkau habis makan dan belum sempat memberesi, tak tahunya habis
menjamu kekasih ? In Kongcu sudah lama tidak ketemu, baik-baik sajakah ? Tak sangka kita
bisa bertemu disini bukan ?”
“Hoo Su Kouw antara kita berdua tidak ada permusuhan apa-apa, kenapa engkau selalu
memusuhi diriku terus ? Apa yang engkau kehendaki, yakni buku Keng thian cit su sudah kau
miliki, kenapa masih mendesak terus kepadaku ?”
“Ah yang benar saja, sejak kapan aku memusuhi terus padamu ?” kata Hoo Su Kouw. “Benar
aku telah mendapatkan buku Keng thian cit su tapi bukan sendiri, biar begitu aku
mengucapkan banyak terima kasih juga padamu.”
“Engkau merasa berterima kasih padaku, kenapa mendesakku pula, apa maksudmu ?”
“Sejujurnya buku itu terlalu dalam dan rumit, kumohon bantuanmu untuk memberi petunjuk
!” kata Hoo Su Kouw. “sedangkan pembicaraanmu barusan sudah kudengar semua, jika
engkau mau membantuku, tidak akan kuutar-utarkan keluar soalmu itu, bagaimana ?”
Ciu Kouw memandang keluar rumah dan mengetahui yang kembali kerumah hanya Hoo Su
Kouw sendiri, maka itu melihat keadaan ini membuatnya merasa lega, tiba-tiba saja ia
menyerang Hoo Su Kouw dengan mendadak sambil berseru keras : “In Kongcu, lekas pergi !”
Gerakannya ini sudah jelas, asal In Tiong Giok bisa pergi, tak segan-segan membunuh Hoo
Su Kouw.
Hoo Su Kouw sudah biasa berlaku licik, dengan sendirinya, siang-siang telah menaruh curiga,
begitu Ciu Kouw bergerak, ia mencelat mundur. Wajahnya tampak menjadi masam. “Ciu
Kouw tindakanmu ini salah besar ! Aku tidak memecahkan soal In Kongcu bersembunyi
dikamarmu pada mereka, tapi kenapa engkau menurunkan tangan jahat padaku ? Apakah
engkau menghendaki aku berteriak memanggil ayahmu ?”
150
“Sampai sekarang kau masih mengajak ayahku untuk melakukan kejahatan, untuk ini tidak
akan kuberi ampun!” kata Ciu Kouw yang terus menyerang dengan gencar, serangan putrid
Kui ciu kim to cukup hebat, Hoo Su Kouw dibuatnya mengelak kesana kemari tanpa berdaya
melakukan balasan, saking terdesak Hoo Su Kouw mencelat kebelakang dan terus
mengancam. “Jangan kira aku takut, jangan katakana aku kejam,” katanya dan terus bersiul
keras. Berbareng dengan itu ia menghunus pedang melakukan serangan.
Ciu Kouw tidak gentar menghadapi senjata, dengan gagah ia melawan, disamping itu ia
menyuruh Tiong Giok lekas berlalu.
“Hm, jangan harap engkau bisa meloloskan diri !” Tak lama lagi mereka datang ! Ciu Kouw
apa yang hendak engkau katakana pada ayahmu ?” kata Hoo Su Kouw.
Ciu Kouw membelaku mati-matian, mana boleh aku berlalu begitu saja, Tiong Giok,
perlahan-lahan ia menghampiri medan perkelahian.
“In Kongcu lekas pergi !” desak Ciu Kouw.
“Aku bisa pergi, tapi akan kubantu dulu memberesi manusia rendah ini !”
“Jangan hiraukan diriku, lekas pergi !”
Hoo Su Kouw mendengar ancaman Tiong Giok menjadi kaget, cepat ia menarik serangan dan
terus mabur.
“Celaka !” seru Ciu Kouw sambil memburu.
Tak sangka dalam waktu yang singkat Tiong Giok dapat melakukan satu serangan maut,
peluang itu diisi dengan Hiat cie lengnya yang ampuh. Hoo Su Kouw jatuh ambruk,
pinggangnya telah tertembus hangus dengan jiwa melayang. Ciu Kouw menjadi bengong
menyaksikan kejadian ini. In Tiong Giok sendiri menjadi melongo tak karuan, karena ia
sendiri tidak menduga bahwa ilmu Hiat cie lengnya telah maju sampai ketarap itu !
Saat ini suara berkeresek dari kebun jeruk terdengar tegas.
Ciu Kouw menjadi kaget dan cepat-cepat mendesak pemuda kita pergi dari situ.
In Tiong Giok mengangguk dan terus masuk kedalam kebun jeruk.
Tak selang lama Cie Peng Lam dan kawan-kawannya telah sampai didepan gubuk, mereka
jadi kaget melihat peristiwa didepan rumah itu. Hoo Su Kouw dengan rambut acak-acakan
menggeletak mati, dari pinggangnya terlihat darah mengalir. Disampingnya terlihat Ciu Kouw
menggeletak. Cie Peng Lam dengan wajah pucat memeluk puterinya sambil berseru “Ciu
Kouw ! Ciu Kouw ! Siapa yang melukaimu ?”
Setelah agak lama Ciu Kouw baru membuka mulutnya, sebelum suaranya keluar, ia
menyemburkan darah. “Dia…dia…dia…”
Cie Peng Lam matanya berapi-api, “siapa dia ?” desaknya tak sabaran.
151
Ciu Kouw berlagak megap-megapan dan terus merapatkan matanya tak menjawab. Cie Peng
Lam menjadi gusar : “Tak disangka dalam sekejap bisa terjadi kejadian ini !”
“Cie Toako sabarlah, anakmu menderita luka berat juga, sebaiknya diobati lebih dulu dan
perlahan-lahan boleh menanyanya,” kata Lo Thian Wie.
“Tak perlu ditanya lagi sudah tentu perbuatan budak she In itu,” kata Lo Thian Beng dari Lo
sie ngo houw yang kedua.
“Perkataanmu itu memang benar, karena Hoo Su Kouw terbunuh oleh Hiat cie leng,” kata
Ouw Kun San.
Belakangan ini antara Hoo Su Kouw dan Lo Thian Beng sedang hangat-hangatnya main cinta,
melihat kekasih terbunuh begitu macam, hatinya merasa disayat-sayat dan ingin menuntut
balas saat itu juga. “Sudah tentu bocah itu belum jauh dari sini mari kita kejar !”
Saudara-saudara yang lain membenarkan pendapat saudaranya yang kedua itu, dan siap mau
mengejar, saat inilah Ciu Kouw membuka mulut. “Dia…dia…seorang pelajar, masuk
kerumah !”
“Apakah binatang itu masih bersembunyi di dalam ?” kata Lo Thian Wie.
Perkataan ini membuat yang lain melengak, Lo Thian Beng tanpa berkata lagi menerjang
kedalam rumah.
“Lo jie hati-hati, bocah itu cukup lihay !” Ouw Kun San memperingati.
Lo sie ngo houw yang lain cepat melindungi saudaranya yang kedua, melakukan
pengepungan pada rumah itu. Tapi apa yang didapat pada gubuk kecil itu, sepotong bayangan
manusiapun tidak diketemuinya.
“Ia masuk kerumah dan terus kedapur mencuri makanan ! Waktu kupergoki nyatanya adalah
orang yang sedang dicari-cari !” kata Ciu Kouw.
“Kenapa tidak sejak tadi engkau terangkan,” kata Cie Peng Lam, “sudah tahu pemuda itu
orang yang hendak kita tangkap, kenapa tidak kau tahan !”
“Ia tidak mau, terpaksa kugunakan kekerasan dan terjadi pergumulan denganku, waktu aku
terdesak Hoo A ie datang dan rupanya antara mereka telah mengenal satu sama lain .”
“Memang mereka sudah kenal, lalu bagaimana !” desak Cie Peng Lam.
“Hoo A ie menyuruhku jangan bersuara, dan terus berbicara dengan pemuda itu. Meminta
agar kesulitan-kesulitan pada buku Keng thian cit su dapat dijelaskan, untuk ini ia berjanji
membawa sipemuda meninggalkan tempat yang berbahaya, jika permintaan tidak diluluskan
Hoo A ie mengancam akan memanggil tia dan lain-lainnya mengangkap pemuda itu,” Belum
pula Ciu Kouw melanjutkan perkataannya Ouw Kun San telah bergelak-gelak. “Ha ha ha tak
kira ia mempunyai hati seorang dan menjual kita sekalian untuk kepentingannya sendiri !”
152
“Tapi kenapa mereka sampai berkelahi dan Hoo Su Kouw mati ditangannya ,” kata Lo Thian
Beng membela kekasihnya.
“Pemuda itu tidak melulusi permintaan Hoo A ie dan baru terjadi perkelahian ini !” kata Ciu
Kouw.
Lo Thian Beng wajahnya menjadi merah matang, dan terus bungkam tak bersuara lagi.
“Sudah jelas bahwa Hoo Su Kouw mengalami kegagalan dalam usahanya, baru berkelahi,
setelah terdesak meminta bantuan pada kita. Untuk mengakhiri perkelahian, pemuda itu baru
menggunakan Hiat cie leng,” kata Ouw Kun San.
“Ya, memang begitu,” kata Ciu Kouw, “aku segera membantu Hoo A ie, tapi kena pukulan
pemuda itu dampai mulutku berdarah.”
“Sudahlah tak perlu dibicarakan lagi, semua ini gara-gaar Hoo Su Kouw sendiri yang terlalu
tamak, dan ia mati atas perbuatannya sendiri, tak perlu kita sesalkan. Tentu bocah itu belum
pergi jauh mari kita kejar !” kata Cie Peng Lam,”kearah mana pemuda itu pergi ?”
“Sebenarnya ia pergi kesebelah sana, rupanya mendengar suara datangnya ayah dan lain-lain
ia buru-buru mengganti arah, terus lari kearah timur !”
“Sudah lamakah ?”
“Belum !”
Sing Thian Beng sejak tadi berdiam diri, kini membuka suara. “Menurut hematku, bocah itu
tentu masih berada didlam kebun jeruk !”
“Kulihat ia sudah pergi !” kata Ciu Kouw.
“Ya memang engkau melihat ia pergi kekebun jeruk, tapi tidak melihatnya ia keluar dari situ
bukan ?”
“Setelah kekebun jeruk sudah tentu ia kabur terus bukan ?” kata Ciu Kouw.
“Tapi waktu kita kesini, sepanjang jalan tidak melihat seorang keluar dari kebun jeruk itu.”
Kata Siang Thian Beng, dan sejak tadi aku tidak campur bicara, karena mendengar terus
keadaan dikebun jeruk, sedikitpun tidak ada suara atau gerakan lain, ini menandakan ia
sedang bersembunyi !”
“Pendapat Siang heng memang benar, mari kita periksa !” kata Cie Peng Lam.
“Kebun ini begitu besar, jika dilakukan pemeriksaan secara biasa akan memakan waktu
lama.” Kata Sing Thian Beng dengan berbisik, “jika ia masih bersembunyi cukup dengan
berteriak-teriak membuatnya keluar !”
Mereka segera berseru seperti sibuk memeriksa kebun jeruk itu sambil berteriak-teriak. Benar
saja tak selang lama dari dalam kebun itu terddengar bunyi berkeresek.
153
“Ha ha ha seperti dugaanku semula, mari kita kejar,” kata Sing Thian Beng.
Dengan cepat beberapa orang itu memburu kearah suara, tinggal Ciu Kouw menjadi kuatir
atas keselamatan pemuda itu. Ia tahu jika sampai ketangkap hanya kematian yang akan
dihadapi Tiong Giok. Benar diluar perkiraannya waktu ia sedang cemas-cemasnya dari kebun
jeruk berkelebat sesosok bayangan, yang bukan lain dari pada In Tiong Giok adanya.
“Oh kiranya sura berkeresek itu bukan engkau adanya,” kata Ciu Kouw dengan girang.
“Aku tak sempat melarikan diri dikebun itu,” kata In Tiong Giok, “hatiku tergerak mendengar
perkataan Sing Thian Beng, dan kutangkap seekor tikus, lalu kupatahkan kakinya dan
mengikatnya di ranting kayu hingga menimbulkan suara berkeresek. Mereka memburu kearah
suara dan aku kesini.”
“Akalmu itu hanya bisa menipu mereka sementara saja, begitu mereka tahu pasti akan
mencarimu lagi !”
“Kini hampir gelap, sebelum mereka mengetahui aku bisa meloloskan diri.”
“Kenapa engkau tidak segera pergi sekarang juga ?”
“Aku bisa lantas berlalu, tapi bagaimana dengan Ku ju kee (ilmu menyiksa diri) yang engkau
pakai itu, apakah membuatmu menderita parah ?”
“Jangan banyak bicara, aku tak apa-apa, lekaslah pergi, keselamatanmu lebih penting !” desak
Ciu Kouw.
“Atas budi pertolonganmu kuhaturkan terima kasih sedalam-dalamnya,” kata In Tiong Giok
yang terus meninggalkan Ciu Kouw seorang diri. Gadis itu menjadi terpekur sendir sambil
memandang kepergian sipemuda dengan mata mendelong. Saat ini lupa pada dirinya cantik
atau buruk, ia seperti mendapat sesuatu entah apa, dan seperti kehilangan juga sesuatu. Air
mata ? Adalah suara hati ! Tak bisa ia melukiskan perasaan hatinya ! Ia hanya ingin menangis
dan menggunakan air matanya mencuci segala kepenatan hatinya.
Cuaca perlahan-lahan menjadi gelap. In Tiong Giok berlari dengan deras, dalam waktu
singkat dua puluh lie telah dilaluinya. Waktu ia menoleh sudah tak melihat lagi kebun jeruk
itu, hatinya menjadi lega dan kakinyapun menjadi kendur. Ia memandang sekeliling,
mendapatkan dirinya disuatu tegalan luas, didepannya terlihat bayangan rumah yang samarsamar.
Perlahan-lahan dan tiba-tiba ia menuju kesana, setelah dekat baru melihat tegas, bahwa
bangunan itu adalah sebuah kelenteng tua. Dengan perasaan letih, ia masuk kedalam, dan
mencari tempat yang agak bersih untuk beristirahat. Akibat kelelahan tanpa terasa ia terlena
dengan nyenyaknya, entah berapa saat sudah berlalu tidak diketahuinya. Tiba-tiba saja
terdengar suara “plak”, dan seperti ada sesuatu terjatuh didekat kepalanya. Ia masih
mengantuk benar, dirabanya benda itu, kiranya adalah seekor tikus, otaknya tidak bisa
berpikir kenapa seekor tikus jatuh didekat kepalanya ? Sebab rasa kantuknya tak alang
kepalang. Ia hanya melemparkan bangkai tikus itu dan terus meram lagi…, Tak selang lama,
lagi-lagi terdengar bunyi “plak”, sesuatu jatuh dilehernya. In Tiong Giok mencomot benda itu,
waktu diawasi, nyatanya adalah bangkai tikus tadi. Ia menjadi kaget tak alang
kepalang….karena bangkai tikus itu terikat pada ranting kayu kakinya sudah patah. Ia sadar
bahwa musuhnya telah berada disitu. Ia menyesal usahanya mati-matian untuk meloloskan
154
diri tidak membawa hasil yang memuaskan. Keadaan di dalam kelenteng tua masih gelap, ia
tidak bisa melihat tegas keadaan sekelilingnya, tapi suara dingin dari Ouw Kun San dapat
didengarnya.
“Bocah jangan pura-pura mati ular, permainan apa lagi yang engkau bisa, tak halangan
dikeluarkan semuanya.”
In Tiong Giok mengulet sambil mengucek-ucek mata. Remang-remang terlihat beberapa
bayangan, mengurung dirinya dari tiga penjuru.
“Selamat pagi !” kata In Tiong Giok pura-pura menenagkan diri.
“Jangan pura-pura berlaku tenang, biar brsayap engkau tak bisa lolos lagi dari tanganku !”
kata Ouw Kun San.
“Aku merasa tidak bermusuhan dengan kalian, kenapa dikejar-kejar terus ?” tanya In Tiong
Giok.
“Engkau membunuh Hoo Su Kouw dan melukai Cie Kouw Nio, semua ini merupakan
permusuhan bukan ?” kata Lo Thian Wie.
“Untuk membela diri terpaksa aku melawan, mana boleh menyalahkan diriku !”
“Tutup bacotmu,” bentak Lo Thian Beng, hutang jiwa harus dibayar dengan jiwa. Pedangnya
segera bergerak, untuk melakukan serangan.
“Lo jie sabar, kita harus menyampingkan soal pribadi dan harus membereskan dulu
kepentingan umum,” kata Cie Peng Lam. Dan terus matanya beralih pada Tiong Giok. “Tak
kusangka muda-muda semacammu bernyali begini besar, aku paling menyayang kesatria yang
gagah, dan segan melakukan pengeroyokan padamu, jika engkau tahu diri lebih baik
menyerah untuk dibelenggu !”
“Menyerah, ya menyerah,” kata In Tiong Giok, “kemana kalian akan membawaku aku turut
saja !”
“Sebelum itu kuminta engkau menotok sendiri jalan darahmu, lalu ikut denganku kerumah
gubuk !” kata Cie Peng Lam.
“Kalian begini banyak orang, dan mungkinkah kuatir aku melarikan diri ?”
“Ya benar juga,” kata Cie Peng Lam.
“Cie heng jangan terlalu berbesar hati, biarpun kecil ia murid Han Bun Siang dan pandai pula
Keng thian cit su, biar bagaimana jalan darahnya harus ditotok !” kata Ouw Kun San.
“Hmm, orang kenamaan yang bergelar sebagai ular dan kura-kura, nyatanya bernyali seperti
tikus,” kata In Tiong Giok sambil memainkan bangkai tikus ditangannya.
“Engkau jangan memanaskan aku, biar bagaimana aku tak bisa kena akal licikmu !” kata Ouw
Kun San.
155
“Kalau kalian merasa kuatir dan takut, apa halangan sekarang juga turun tangan menotokku !”
kata In Tiong Giok, “tapi jangan menyesal kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti
Hoo Su Kouw ! Karena segala yang akan kulakukan berdasarkan terdesak dan membela diri.”
“Ouw heng tak usah kuatir pada bocah yang masih bau tetek ini,” kata Cie Peng Lam.
“Jangan berkata begitu, apa yang ada padaku seperti Keng thian cit su dan Hiat cie leng
adalah ilmu yang tidak boleh dipandang ringan, maka itu sebelumnya kalian harus berpikir
masak-masak.”
“Anak muda jangan terlalu tekebur, kami tak perlu berpikir lama-lama,” kata Cie Peng Lam,
permintaanmu supaya tidak ditotok, kululuskan sekarang juga. Jika engkau niat kabur ya
kabur, tapi ingat jika tertangkap lagi, kakimu itu akan kupatahkan !”
“Ini adalah perkataanmu sendiri dan jangan menyesal dibelakang hari !”
“Jangan banyak bicara, hayo jalan !” bentak Cie Peng Lam.
In Tiong Giok menganggukkan kepala dan terus mencelat bangun ! Jangan dilihat pihak Cie
Peng Lam yang begitu banyak mereka semuanya merasa takut pada Keng thian cit su dan Hiat
cie leng, begitu melihat pemuda kita bangun mereka mundur beberapa langkag sambil bersiap
siaga dengan senjatanya, tak ubahnya seperti menghadapi lawan yang tangguh saja.
In Tiong Giok perlahan-lahan keluar dari kelenteng, tangannya masih tetap memainkan
bangkai tikus itu. Saat ini cuaca hampir terang tanah, mereka meninggalkan kelentang itu
sambil mengiring Tiong Giok. Tak lama, Tiong Giok merandek dengan tiba-tiba. “Aku
harapkan salah seorang dari kalian berjalan dimuka karena aku tak mengenal jalan !”
“Pokoknya kau jalan terus, waktu berbelok kekiri kekanan aku bisa memberi tahu !” kata Cie
Peng Lam.
“Kalian hanyalah menjaga diriku dari kiri kanan dan belakang, bagaimana jika aku lari kearah
depan ?” tanya Tiong Giok.
“Itu terserah kepadamu !” kata Cie Peng Lam dengan dingin.
Tiong Giok tak berhasil memecahkan perhatian musuhnya, terpaksa melangkah lagi maju
kedepan. Sambil jalan ia menoleh pada Ouw Kun San yang menjaga sebelah kiri: “Sebaiknya
engkau jangan terlalu dekatku, bagaimana kalau kuserang dengan Hiat cie leng dalam jarak
dekat ini, akibatnnya engkau tahu sendiri !”
“Hmm,” Ouw Kun San mendengus tanpa lagi menghiraukan gertakan lawan.
“Engkau jangan mendengus tak karuan, apa yang kukatakan benar semua !”
“Tutup bacotmu ! Aku tidak sempat mengadu lidah denganmu !” bentak Ouw Kun San.
“Baik ! Tak bicara ya tidak, sayang kebaikanku tak kau terima !” kata In Tiong Giok.
156
“Jika engkau mengoceh terus, lidahmu akan kupotong !” kata Ouw Kun San dengan gusar.
“Ouw heng jangan ladeni ocehannya bocah itu, ia sedang memancing kita memencarkan
perhatian, untuk meloloskan diri !” Cie Peng Lam memperingati. Ouw Kun San segera sadar
dan terus membungkam tak mau melayani lagi Tiong Giok. Membuat pemuda kita cemas
sendiri, tapi ia mencoba lagi mengajak bicara pada orang she Ouw itu. “Eh, ngomong kulupa
menanyakan bagaimana persoalan ji wie dengan Oey Tin Hong itu ?”
Ouw Kun San hampir-hampir menamparnya mendengar perkataan Tiong Giok itu, tetapi
keburu dicegah oleh Sing Thian Beng. “jangan ladeni, biar dia ngoceh terus, masa tak diam !”
“Ah tak lama lagi akan sampai dikebun jeruk itu,” piker Tiong Giok, “mungkinkah aku akan
menyerah begini saja dan terserah mereka ? Tidak ! Bagaimanapun aku harus melarikan diri
dan melawan mereka dengan nekad, jika gagal ya mati, dengan begini matipun tidak
percuma!”
Tidak lama samar-samar kebun jeruk telah terlihat jauh didepan. Tiong Giokpun sudah siap
melakukan kenekatan. Bertepatan dengan jalan pikiran inilah, dari balik kebun jeruk terlihat
selorotan seorang. Setelah tegas terlihat tegas orang itu terdiri dari enam belas gadis
mengiringi sebuah joli yang tertutup rapat.
Enam belas gadis itu empat jalan di muka semuanya mengenakan berpakaian merah. Empat
berada dibelakang, semuanya berpakaian biru, dikiri kanan joli terdapat empat gadis
berpakaian kuning, yang empat lagi mengenakan pakaian hijau dan menggotong joli. Dari
jauh terlihat warna warni ini sangat menarik hati. Sungguhpun semuanya gadis-gadis remaja
langkah kakinya amat cepat dan ringan, menandakan memiliki ilmu yang tinggi.
Empat gadis yang mengenakan pakaian hijau ini mirip dengan gadis yang mandi disungai
tempo hari. Tiong Giok mempercepat langkahnya mendekati joli itu.
“Jangan bergerak, engkau mau apa ?” bentak Cie Peng Lam sambil menghadang.
“Hm, bukankah engkau ingin mengajakku kembali kegubuk itu ? Aku sudah lapar sekali dan
ingin lekas sampai…”
“Hm tidak perlu tergesa-gesa, engkau harus dengar kata, jangan sampai aku hajar disini juga,”
kata Cie Peng Lam sambil melirik rombongan joli itu.
“Adakah yang tak beres ?” tanya Lo Thian Wie.
“Kulihat rombongan joli ini amat mencurigakan,” kata Cie Peng Lam, sambil melirik
rombongan, “sebaiknya nantikanlah mereka pergi baru kita lanjutkan perjalanan !”
Yang lainpun merasakan bahwa rombongan gadis-gadis itu sangat luar biasa sekali, segera
menganggukkan kepala menyetujui usulan Cie Peng Lam. Cepat-cepat mereka menepi dan
siap sedia mengawasi pada In Tiong Giok.
“Aha kenapa ketakutan tak keruan ?” tegur In Tiong Giok, “joli itu joli pengantin, apa yang
harus ditakuti ?”
157
“Diam ! Kularang engkau bicara !” bentak Cie Peng Lam.
In Tiong Giok tersenyum-senyum, dan terus menutup mulut dengan tenang. Sementara itu
rombongan joli sudah mendekat pada mereka, waktu inilah Tiong Giok sengaja berbangkis
keras-keras, lalu menekap mulutnya dengan tangan. Diluar tahu siapa-siapa lengannya itu
sebelum menutup mulut telah melemparkan bangkai tikus kearah rombongan gadis-gadis
penggotong joli. Lemparannya itu tepat mengenakan seorang gadis berbaju hijau dan jatuh
kebawah lalu terpijak yang dibelakangnya. “Auw !” seru gadis itu dengan kaget.
Empat gadis berbaju merah didepan cepat berhenti sambil memutarkan badan, yang berbaju
biru disebelah belakangpun sudah maju ke depan, mengelilingi joli. Serentak mereka
menghunus pedangnya dan memandang kearah rombongan Cie Peng Lam.
“Kenapa kau menjerit ?” tegur salah seorang gadis berbaju kuning pada kawannya yang
berteriak tadi.
Gadis yang menggotong joli itu menunjuk kebawah: “Ada yang melemparkan tikus mati
kepadaku !”
Gadis berbaju kuning itu memunggut bangkai tikus itu, wajahnya tampak gusar sekali.
“Perbuatan siapa ini ?” tegurnya kepada Cie Peng Lam dan kawan-kawan.
“Aku yang melemparkan !” In Tiong Giok mengakui dengan jujur.
“Nampaknya engkau sebagai pemuda sopan, tak kira begitu ceriwis dan genit, kau kira kami
ini mudah dihina ?”
“Nona jangan marah, aku tidak bermaksud begitu,” In Tiong Giok sambil tersenyum, “hanya
saja tikus yang sedang kucekal tiba-tiba saja melompat pergi !”
“Hm, terang-terang tikus mati mana bisa melompat !”
“Nona tidak tahu kejadian aneh selalu ada, lebih-lebih tahun ini banyak sekali…tidakkah
engkau mendengar ada kursi bisa berjalan, dan pohon-pohon bisa bernyanyi…”
“Jangan banyak bicara, tangkap padanya !” teriak perempuan berbaju kuning itu. Dengan
cepat dua gadis berbaju merah menghampiri Tiong Giok.
“Sabar dulu !” kata Ouw Kun San sambil kedepan. “Orang ini tak bisa kuserahkan padamu !”
“Apa katamu ?” dua gadis berbaju merah itu menegasi.
“Maksudnya jika nona ingin menangkapku, harus minta ijin dari mereka !” kata In Tiong
Giok.
“Engkau kira dengan kawan-kawanmu bisa melindungi dirimu ?” kata gadis itu.
“Jika engkau lebih lihay ya bisa, kalau lebih lemah tentu tidak !” kata In Tiong Giok.
158
“Hm, lihat saja buktinya!” kata gadis itu sambil memberi tanda pada temannya. Dan sua yang
berbaju merah lagi segera membantu mereka menerjang kearah In Tiong Giok.
Lo sie ngo houw segera menghunus senjata dan menghadang dengan cepat, sehingga terjadi
perkelahian dengan cepat detik itu juga. Gadis berpakaian birupun segera turun tangan
membantu kawannya. Kui coa jie sau menmyambut kedatangan mereka, dan terjadilah
perkelahian lagi. Sehingga menjadi dua rombongan bergumul dengan hebat, dan membuat
abu mengepul tinggi.
Cie Peng Lam menghunus goloknya sambil memandang pada In Tiong Giok, ia mendapat
pemuda itu sedang berpangku tangan dan tersenyum kepadanya. Ia merasakan senyuman
pemuda itu seperti mengejek seperti juga mengasihani dirinya, begitu aneh dan misterius.
“Bocah jangan bergirang dulu, bagaimanapun engkau jangan harap meloloskan diri !”
“Tenanglah, bagaimanapun aku tak mau melarikan diri sebelum keadaan benar-benar
mengijinkan !” kata In Tiong Giok. “Menurut hematku sebaiknya lekaslah Bantu kawankawanmu
itu, tampaknya mereka sudah kepayahan benar, jika dibiarkan terus pasti akan
menderita rugi!”
“Ha segala budak-budak itu mana mungkin memperoleh kemenangan menghadapi kawankawanku
itu !”
“Ingat masih ada delapan gadis yang belum turun tangan, dan yang didalam joli itu tentu
bukan sembarang orang !”
Peringatan ini membuat Cie Peng Lam kaget, karena gadis-gadis itu berkepandaian sangat
tinggi, lebih-lebih orang yang didalam joli itu, tentu lebih hebat lagi. Ia menoleh pada In
Tiong Giok sambil tersenyum sinis. “Kutahu maksudmu menyuruh membantu kawan dan
engkau bisa melarikan diri bukan ?”
“Lucu ! Sembarang waktu aku bisa pergi!” kat In Tiong Giok. “tapi aku tak mau karena ingin
melihat akhir dari perkelahian ini siapa yang menang siapa yang kalah !”
“Hm, kau kira aku bodoh !” kata Cie Peng Lam yang dengan mendadak, menjulurkan tangan
setannya pada pemuda kita. Gerakannya itu begitu cepat dan mendadak ia bermaksud setelah
menciduk pemuda kita segera membawanya kabur kerumah. Tak kira serangannya yang lihay
itu mengenai angin saja, karena dengan lihaynya Tiong Giok telah mengengos dengan Kiu
coan bie cong pounya yang lihay. Peng Lam kaget dan cepat menarik serangan sambil
melindungi dadanya, begitu ia menegasi lagi tampak Tiong Giok sudah berada dibelakangnya
sambil berpangku tangan, dan tersenyum-senyum kearahnya seperti tidak terjadi sesuatu apa.
Cie Peng Lam berdilak-dilak, dan menarik napas lega…..
“Cie Lo Cianpwee sudah lama engkau mengundurkan diri dari dunia hitam, untuk apa terjun
kembali ?”
“Jangan mengira ilmu yang kau miliki sudah tinggi dan mau menasehatkan aku !” kata Cie
Peng Lam. “Nah sambutlah seranganku ini !” Lengan kirinya terjulur, kakinya melangkah
lebar menyapu kuda-kuda lawannya.
159
In Tiong Giok tidak menyangka bahwa lawannya mempunyai perhitungan matang, ia terdesak
dan tak bisa mengembangkan ilmu memindahkan dirinya yang lihay. Tapi ia tidak takut
serangan musuhnya itu dihadapi dengan Hiat cie leng.
Cie Peng Lam menjadi kaget, ia menarik serangan sambil menghindarkan diri dari bahaya
maut. Apa mau dikata, biarpun Hiat cie leng dilancarkan lebih belakang dari tangan setannya,
tapi sampainya terlebih cepat. “Tring!” terdengar suara memecah angkasa. Serangan Tiong
Giok tepat mengenai gagang goloknya Cie Peng Lam yang terbuat dari emas. Waktu ia
melihat lalu pemiliknya mengawasi, gagang goloknya telah berlubang kecil sebesar kacang
tanah.
“Mengingat bahwa engkau telah insyaf banyak tahun, maka tak kuturunkan tangan jahat, atas
ini engkau harus mengerti sendiri dan lekaslah meninggalkan tempat ini !”
“Bocah engkau telah melukai anakku dan merusak senjataku, mana mungkin beres begini saja
!”
“Yang luka harus diobati, yang rusak bisa diperbaiki,” kata In Tiong Giok, “tapi jika salah
bergaul akibatnya hebat, rumah tangga berantakan dan selamanya tidak bisa diperbaiki.
Apakah selama dua puluh tahun dicelakai kawan-kawan jahat belum membuatmu puas ?”
“Bagaimana engkau bisa tahu soal keadaan rumah tanggaku ?” bentak Cie Peng Lam dengan
mata menyala-nyala.
“Bukan saja kutahu soal keluargamu, bahkan mengetahui pula dimana beradanya Ong Jiak
Tong ! katas In Tiong Giok. “Sayang saja orang she Ong itu mempunyai beking yang kuat
dan sukar buatmu membalas dendam ! Sebab itulah aku tak mau menunjukkan dimana ia
berada, nah pikirlah masak-masak usulku tadi, soal sakit hati lambat laun pasti terbalas !”
“Aku sudah bersabar selama dua puluh tahun !”
“Selama ini engkau bisa bersabar, mungkin tidak bisa bersabar dalam waktu yang lebih
singkat lagi ? Aku hanya mengharapkan kesabaranmu, dengan begitu sakit hatimu baru bisa
terbalas !” kata In Tiong Giok sambil tersenyum. “Selama belum bertemu dengan musuh itu
pelajarilah Keng thian cit su dengan baik, mungkin berguna besar untuk melakukan
pembalasan pada musuh itu”. Selesai bicara ia mengeluarkan sejilid buku Keng thian cit su
dan menyerahkan pada Cie Peng Lam.
Dengan perasaan terima kasih yang tak terhingga, Cie Peng Lam tertegun sejenak, lalu
mengangkat kaki meninggalkan tempat itu.
In Tiong Giok memandang kepergian Cie Peng Lam sambil tersenyum, lalu merapikan baju
dan melangkah pergi dengan bebas. Tapi belum pula beberapa langkah seorang gadis berbaju
kuning telah mengejarnya sambil berseru : “Kongcu jangan pergi dulu !”
“Aku dalam keadaan terpaksa melemparkan bangkai tikus itu, karena berada dalam
kungkungan penjahat-penjahat ini,” kata In Tiong Giok. “Kini akalku berhasil membuatku
lolos dan Kouwnio mengejarku mau apa ?”
160
“Soalmu melemparkan tikus kami maafkan,” kata gadis itu, “tapi Siociaku meminta engkau
menunggu sejenak, ia ingin bicara denganmu.”
In Tiong Giok mengerutkan kening, dan berkata : “Aku tak kenal dengan Siociamu, tambahan
ketujuh orang itu adalah musuh-musuhku, jika diketahui mereka, aku bisa celaka !”
“Kongcu kenapa merendah amat dengan kepandaianmu barusan, tujuh orang itu tak bisa
berbuat apa kepadamu !”
“Pokoknya biar bagaimana sepasang tangan sukar melawan belasan tangan,” kata In Tiong
Giok. “aku dapat meloloskan diri berkat bantuan nona-nona, jika tidak sampai sekarang
mungkin masih menjadi tawanan mereka !”
“Apa lagi kalau begitu sepatutnya Kongcu menghaturkan terima kasih kepada siocia kami !”
Gadis berbaju kuning mengajak Tiong Giok kedepan joli, benar saja Kui coa jie sau dan Lo
sie ngo houw melihatnya. Mereka celingukan tidak melihat Cie Peng Lam, dan menganggap
kawannya itu kena bunuh Tiong Giok saat itu juga mereka menjadi kalap. Tanpa berunding
dulu, masing-masing meninggalkan lawannya, meluruk menerjang Tiong Giok.
Gadis-gadis berbaju kuning mencabut senjata, tapi sebelum mereka turun tangan terdengar
suara yang merdu. “Tutan, suruh sekalian kawan-kawanmu mundur, ingin kulihat manusia
macam apa yang berlaku kurang ajar !”
“Hanya beberapa cecunguk kecil, kami masih sanggup mengatasinya. Siocia tidak perlu turun
tangan !”
“Perintahkan mereka mundur !” jawab Siocia itu dengan penuh wibawa.
Tutan segera memerintahkan kawan-kawannya mundur, sedangkan Kui coa jie sau dan Lo sie
ngo houw sudah sampai didepan joli. Mereka menjadi melengak, sebab kerai joli sudah
terbuka. Mereka melihat seorang perempuan berbaju hitam, begitu cantik dan agung. Dengan
matanya yang tajam ia melirik kepada sekalian penjahat itu, lalu mengawasi pada Tiong Giok.
“Engkau kemari !” katanya perlahan tapi penuh wibawa.
Tanpa terasa lagi Tiong Giok maju kedepan sambil membungkukkan badan. “Aku In Tiong
Giok menghaturkan hormat pada Siocia !”
“Oh, kiranya engkau adalah yang mencetak buku Keng thian cit su ?”
“Benar !”
“Pantasan mereka tak mau melepaskan dirimu,” kata perempuan cantik berbaju hitam itu.
“Tapi dengan adanya aku disampingmu, biar bagaimana mereka tidak berani berbuat kurang
ajar !”
“Terima kasih atas bantuan Siocia !”
“Kemari, coba kulihat !”
161
In Tiong Giok mengerti apa yang hendak dilihatnya, tapi ia menurut perkataan perempuan itu,
maju mendekati. Perempuan itu menjulurkan tangan memegang lengan Tiong Giok dan
berkata dengan mesra. “Kulihat engkau pandai Hiat cie leng, Han Bun Siong itu apamu ?”
“Guruku !”
“Oh, kiranya murid kawanku !” kata perempuan itu sambil tersenyum.
In Tiong Giok terkejut, dan perempuan itu menariknya perlahan kedalam joli. Mengajak
Tiong Giok duduk disebelahnya. Kerai joli diturunkan. “Tutan buka jalan, siapa yang
merintangi bunuh saja !” perintahnya dengan halus.
Joli mulai terangkat lagi dan maju kedepan.
Kui coa jie sau maupun Lo sie ngo houw merasa tersinggung melihat sikap perempuan
berbaju hitam itu. “Mau kemana ?” teriak Ouw Kun San dan terus menghadang, diikuti
kawan-kawannya.
Empat perempuan berbaju kuning itu segera menghadapi mereka, agaknya yang berbaju
kuning ini lebih lihay dari pada yang berbaju merah atau biru. Biar berempat mereka bisa
menghadapi tujuh musuh. Tapi untuk memperoleh kemenangan sukar diramal, karena
musuhnyapun bukan orang-orang sembarangan. Hal ini menjengkelkan betul pada siocia
mereka. Dengan perlahan perempuan berbaju hitam itu turun dari joli, lalu memutarkan
pedangnya menghajar pada Kui coa jie sau, sedangkan gadiss-gadis berbaju kuning
menghadapi Lo sie ngo houw. Dengan turunnya perempuan berbaju hitam itu, dalam sekejap
medan perkelahian berubah dengan mendadak. Dalam dua puluh jurus lebih Kui coa jie sau
dibuatnya tak berdaya, tambahan tenaga aslinya belum pulih betul karena terkena jarum Oey
Tin Hong. Lima jurus kemudian Ouw Kun San kena dilukai, berikutnya Sing Thian Bengpun
menderita luka. Sungguhpun gerak geriknya sangat halus dan lembut, tapi perbuatannya
perempuan berbaju hitam itu sangat telengas. Ia tidak memberi ampun pada musuhnya,
pedangnya bekerja secepat kilat. Dalam sekejap hanya terdengar jeritan susul menyusul dari
Kui coa jie sau mereka menggeletak mati bermandikan darah.
Dipihak lain gadis-gadis berbaju kuningpun sudah membereskan musuh-musuhnya. Jalan
yang sunyi dan sepi, penuh dengan tubuh-tubuh bermandikan darah. Tiong Giok bergidik
sendiri menyaksikan kejadian ini.
Joli berangkat meneruskan perjalanan.
Waktu senja rombongan gadis-gadis itu telah sampai disebuah lereng gunung, disitu berdiri
sebuah gedung besar. Kiri kanannya penuh lebat dengan pepohonan, sangat sunyi dan tenang.
Waktu joli memasuki pekarangan rumah Tiong Giok masih belum merasa karena sedang
asyik bercakap-cakap dengan perempuan berbaju hitam itu. Dari percakapan disepanjang
jalan, ia mengetahui bahwa perempuan berbaju hitam itu adalah salah seorang Cap sah kie
yang bernama Liap In Eng.
“Kongcu boleh tinggal disini sebagai tamuku,” kata Liap In Eng. “Engkau boleh bergerak
bebas sebagai dirumahmu sendiri !”
“Terima kasih atas kebaikan Siocia !” jawab Tiong Giok.
162
“Tutan ajaklah Kongcu beristirahat,” kata Liap In Eng yang terus masuk kedalam rumah.
Tiong Giok mendapat sebuah kamar yang sunyi dan tenang, untuk keperluannya sehari-hari
selalu mendapat pelajaran dari Tutan dengan telaten.
Pada suatu hari terlihat Tiong Giok dengan ditemani Tutan berjalan disekitar rumah. Nampak
ia terpekur dan bingung, lalu berkemak kemik sendiri : “Lagi-lagi waktu senja, burungburung
gagak pulang kekandang, waktu berlalu teramat cepat, tanpa terasa sudah sepuluh hari
aku diam disini !”
“Kongcu apa merasakan bahwa waktu berlalu dengan cepat, apakah merasa tak puas atas
pelayanan kami yang kurang telaten ?”
“Bukan ! Aku bergegas ingin menyambangi Lim Siok Bwe,” kata In Tiong Giok. “Tapi
tertahan Siociamu disini sepuluh hari lamanya, hatiku merasa tak tenang dan ingin lekas-lekas
sampai disana !”
“Oh aku mengerti, bahwa Siocia sengaja menahanmu lama-lama disini, karena menghargai
kepandaianmu ! Dan mengharapkan Kongcu mengajari kami Keng thian cit su ! Apakah
lambat majunya, sehingga membuatmu tertahan lebih lama disini, dan sama dengan
mengabaikan urusan besarmu bukan ?”
“Tutan jangan engkau salah mengerti, hingga Siociamu telah memiliki ilmu yang lihay.
Baginya Keng thian cit su hanya tambahan saja bukan ?”
“Kepandaian Siocia berbeda dengan Keng thian cit su,” kata Tutan. “Ilmu ini merupakan ilmu
yang luar biasa didunia persilatan, menyesal aku tak berbakat, dan tak dapat mengerti serta
mengembangkan keistimewaannya.” Ia berkata kepada Tiong Giok. “Sebelum gelap maukah
engkau mengajari lagi sekali !”
“Bukankah kalian telah mempelajari setengah hari lebih ?”
“Itu belajar cara rombongan, aku minta diajari sendiri, bagaimana ?”
“Keng thian cit su adalah pelajaran yang dalam dan sukar dimengerti, lebih banyak orang
mempelajari lebih baik ! Kini apa yang kubisa sudah kuberikan semua !”
“Aku tak percaya, tentu ada bagian-bagian istimewa yang sengaja tidak diberikan kepada
kami !”
“Tidak ! Sejujurnya apa yang kubisa sudah kuberikan tanpa menyembunyikan sedikitpun.”
“Tidak percaya !”
“Percaya tidaknya terserah padamu, aku bisa berkata apa ?”
“Asal engkau mau menyadari aku seorang diri, baru percaya !”
“Jika engkau memaksa ingin mempelajari sekali seorang diri, aku menurut saja !”
163
“Benar-benar sih ?”
“Perlu apa aku membohong, ambillah dua bilah pedang dan kita pelajari diruangan dalam !”
“Aku tak mau didalam, tapi mempelajari diruangan belakang,” kata Tutan.
Dengan begini yang lain tidak tahu dan tidak bisa mengani bukan !” Ia menggapai mengajak
Tiong Giok pergi kebelakang.
In Tiong Giok mengikuti dengan langkah perlahan, mereka menyusuri pinggiran rumah,
melalui pintu samping masuk kekamar batu dihalaman belakang. Baru saja mereka tiba
didepan pintu batu, dari utara terdengar bunyi mengaung. Tiong Giok berdongak keatas,
tampak seekor burung pos berputar-putar diudara, dan terus terjun kebawah, masuk
kebelakang loteng dimana Liap In Eng tinggal.
Tutan juga melihat burung pos itu, cepat-cepat ia membuka kamar batu mempersilahkan
Tiong Giok masuk. Kongcu duduk dulu didalam, aku pergi dulu sebentar ! Terus ia berlalu
menuju ketempat burung merpati tadi turun.
In Tiong Giok menjadi heran ia berpikir : “Liap In Eng adalah seorang kenamaan yang
mengasingkan diri dari dunia Kang Ouw, kenapa memelihara burung merpati ? Mungkinkah
ia masih mengadakan hunungan dengan dunia luar ? Ya bisa dan tak perlu kuherankan.”
Baru ia duduk sejenak Tutan sudah kembali lagi. “Ah sungguh tak kebenaran, Siocia
menyuruhku memasang hio,” kata Tutan, “sedangkan aku tak berani mengatakan akan
berlatih pedang sendirian, maka itu niat ini terpaksa batal dan maaf mencapaikan Kongcu
datang kesini dengan cuma-cuma !”
“Ah tidak mengapa lain kali masih ada waktu bukan,” kata In Tiong Giok.
“Mari kuantarmu kembali kekamar,” kata Tutan.
“Tak usah aku bisa kembali sendiri, dan ia melangkah, tapi merandek lagi serta bertanya:
“Apa yang disembayangi Siociamu ?”
“Ia menyembayangi ibunya kebiasaan ini dilakukan sudah sepuluh tahun lebih.”
“Ah, ia seorang yang berbakti pad orang tua !” kata In Tiong Giok. “Tadi kulihat seekor
burung pos, apakah peliharaan Siociamu ?”
“Bukan ! Burung itu bukan peliharaan Siocia !” kata Tutan, sungguhpun ia berkata begitu
wajahnya telah berubah gugup. “Pada suatu hari, entah dari mana datangnya burung itu, Giok
Lan yakni kawanku dan lain-lain senang melihatnya. Lalu menangkap dan mengurungnya
burung itu. Namun diketahhui Siocia, dan kami dimaki-maki, terpaksa melepasnya lagi,
sungguhpun begitu ia tak mau pergi kemana-mana, agaknya betah diam disini !”
Sambil berjalan tak hentinya mereka bercakap-cakap, tanpa terasa telah sampai di kamar
Tiong Giok. Tutan pamitan, membiarkan diri Tiong Giok seorang. Malamnya Tiong Giok tak
dapat tidur dengan nyenyak. Pikirannya memikir kesoal burung tadi. Burung itu terlatih baik,
164
kenapa Tutan mengatakan bukan burung piaraan ? Dan apa maksudnya seorang kenamaan
seperti Liap In Eng menahannya disini buat memberikan pelajaran Keng thian cit su pada
pelayan-pelayannya ? Mungkinkah ia sebangsa dengan Liok Sian Ong maupun Hek pek siang
yauw yang menginginkan ilmu itu ?
Semakin berpikir membuatnya semakin kesal, dan ingin ia itu mencuri masuk ketaman
belakang untuk melakukan penyelidikan, tetapi rasionya mencegah berbuat begitu itu, karena
sadar hal itu bisa mendatangkan yang tidak diinginkan. Tapi saking lamanya otaknya bekerja,
akhirnya iapun leetih, ia tertidur juga waktu hampir pagi. Dan ia baru bangun waktu matahari
ssudah diatas. Cepat ia keluar kamar dan membuka pintu, Tutan sudah berada diluar
menantikannya.
“Kongcu tidur nyenyak benar ?” kata Tutan sambil menyediakan handuk dan baskom pencuci
muka.
Tiong Giok tersenyum dan mencuci mukanya di baskom, kesepatan matanya agak hilang.
“Rupanya sudah tengah hari ? Dan suara teman-temanmu ramai betul ?”
“Ya memang sudah tengah hari, mereka sedang sibuk menyapu dan membereskan rumah
maupun taman, karena ada tamu mau datang !”
“Tamu macam apasih disambut sehebat ini ?”
“Sudah tentu tamu terhormat !” jawab Tutan. “Lekaslah cuci muka dan berberes, Siocia sudah
menunggu lama sekali !”
Cepat-cepat Tiong Giok menyisir dan merapikan pakaian, tergesa-gesa masuk keruang
tengah, dan benar saja Liap In Eng sudah berada disitu menantinya.
“Baru bangun ya ? Sudah makan belum ?” tanya Liap In Eng dengan ramah.
“Ah kelewat enak tidur membuat Lo Cianpwee kesal menanti, maafkan atas kemalasanku ini
!”
“Anak muda memang sedang doyan tidur! Jika sudah tua mau tidurpun sukar !” kata Liap In
Eng dengan tenang. “Engkau sudah sepuluh hari datang kesini, selama ini diam terus
dirumah, tentu merasa kesal bukan ? Sebaiknyalah kegunung bersama Tutan, disana bisa
membuatmu gembira, sebab pemandangan indah dan hawanya segar.”
“Ah memberabekan Tutan saja !”
“Hari inii bakal datang tamu, kuatir engkau menjadi likat, maka itu untuk selanjutnya engkau
boleh tidur diloteng belakang, disana lebih bebas untukmu kesana kemari, bagaimana ?”
“Dibelakang adalah kamar Lo Cianpwee dan gadis-gadis ini kukuatir…”
“Takut apa ?” kata Liap In Eng. “Jika menurut umur, antara aku dan gurumu tidak beda
berapa jauh, sedangkan engkau merupakan anak baru gede, kenapa menjadi pemaluan betul
dan takut sama perempuan ?”
165
“In Kongcu dalam segala hal memang baik hanya terlalu mengekang diri bergaul dengan
perempuan,” kata Tutan sambil tersenyum.
“Jangan berlaku kurang ajar !” kata Liap In Eng. “In Kongcu adalah seorang terpelajar yang
mengenal aturan, sudah sepatutnya bersikap begitu ! Jangan seperti kamu terlalu bebas dan
berandalan.”
Tutan menjulurkan lidah, tak berani bersuara lagi.
“Sebenarnya aku sudah terlalu lama diam disini, kini kebetulan ketemu Lo Cianpwee. Dengan
ini kumohon berlalu untuk pergi ke Pek Liong San.”
“Ah rupanya engkau dikatakan sebegitu saja lantas ngambek dan mau pergi ?”
“Bukan,” jawab Tiong Giok, “karena soal sin kiam siang eng sampai sekarang persoalannya
siapa sebenarnya orang tua yang ditahan dalam penjara Pok Thian Pang itu, Tiat Giok Lin
atau bukan.”
“Soal ini memang penting, tapi tak perlu tergesa-gesa dikerjakan,” kata Liap In Eng.
“Kuharapkan engkau berdiam beberapa hari lagi disini, setelah itu baru kesana, begitupun
belum terlambat bukan ?”
In Tiong Giok ingin memaksa hari itu juga pergi, tapi Liap In Eng sudah meninggalkannya,
membuatnya tak sempat membuka mulut.
“Ah gara-gara Kongcu akupun kecepretan makian,” kata Tutan. “sudahlah buat apa banyak
berpikir, lebih baik lekas makan dan turut denganku kegunung.”
In Tiong Giok tidak berdaya, dan mengikuti kehendak pelayan itu.
Setelah beres makan, Tutan mengganti pakaian yang lebih ringkas. Lengannya membawa
rantang berisi bekal. Sepanjang jalan Tutan menunjuk kesana kemari menyebutkan namanama
tempat. Tiong Giok hanya manggut-manggut, karena biarpun dirinya sedang berjalan
ditempat yang permai, hatinya tidak ada disitu. Ia sedang berpikir: “Siapa tamu yang akan
datang itu ? Liap In Eng kenapa mau menempatkan dirinya diloteng belakang ? Dan burung
pos itu milik siapa ? Ia seperti tak mau memperkenalkan tamunya itu padaku.”
“Kita jangan jalan besar, enakan jalan kecil mengelilingi gunung,” kata Tutan.
“Kira-kira berapa lama ?”
“Sebelum gelap kita sudah kembali.”
“Aku tak pandai ilmu meringankan badan mungkin sampai gelappun belum sampai dirumah
!”
“Ilmu silat maupun ilmu dalammu sudah begitu tinggi, masakan sampai ilmu meringankan
tubuh saja tidak bisa ?”
“Belum pernah ada yang mengajari mana bisa !”
166
“Orang yang mempelajari silat paling utama adalah ilmu dalam, setelah menguasai ilmu
dalam yang lain mudah dipelajari. Demikian juga soal ilmu meringankan tubuh, mudah sekali
jika mahir ilmu dalam.”
“Maukah engkau mengajari aku ilmu meringankan tubuh ?”
Tutan menjadi merah mukanya. “Mana berani aku mengajari Kongcu, tapi untuk memberi
petunjuk sih boleh saja,” Ia memandang kesekitar, dan dilihatnya sebuah pohon yang besar,
diajaknya Tiong Giok kesana. “Kongcu lihatlah kuberi contoh dulu padamu,” Sehabis berkata
terus ia menotolkan kakinya kebumi tubuhnya dengan ringan mencelat keatas pohon.
“Bagaimana ?” tanyanya.
“Ah tubuhmu begitu ringan sekali, sampai batang pohon itu tidak terlihat goyang barang
sedikit !”
“Kongcu bisakah melompat setinggi tiga depa ?”
“Jangan tiga depa, sedepapun belum tentu kubisa !”
“Bisakah memanjat pohon ?”
“Manjat pohon sih bisa saja.”
“Nah mari kesini !”
In Tiong Giok dengan cepat naik keatas pohon menghampiri Tutan: “Setelah naik, haarus
bagaimana lagi ?”
“Nah sekarang engkau harus jalan dicabang pohon ini dengan tenang, napasmu harus teratur
rapi, pikiran tidak boleh melayang-layang kesoal lain, harus mengkonsentrasi pikiran pada
pelajaran. Nah cobalah !”
In Tiong Giok menurut kata-kata Tutan berjalan dicabang pohon, pertama ia bisa berjalan
mantap, setelah cabang pohon bertambah kecil dan bergoyang-goyang, hatinyapun turut
berdenyut keras, hampir-hampir ia tak berani melangkah lagi.
“Jangan takut, kumpulkan semangatmu dan perhatikan terus kakimu, Betul ! Maju terus
jangan gentar, biar jatuhpun tidak mengapa, hanya tiga depa tingginya !”
Dahan kayu yang panjangnya beberapa meter itu habis juga dilalui dengan setengah mati.
“Bagaimana tidak sulit bukan ?” kata Tutan.
“Ini mah bukan berlatih meringankan tubuh, tapi melatih keberanian.”
“Benar ! Melompat ketempat tinggi atau dari tempat tinggi melompat turun membutuhkan
keberanian bukan ? Nah sekarang coba jalan lagi terbalik! Perhatikan waktu kaki kiri
melangkah salurkan tenaga pada kaki kanan, waktu kaki kanan melangkah salurkan tenaga
pada kaki kiri dengan begitu keseimbangan badan akan terjaga dengan sempurna.”
167
Tiong Giok menuruti kata-kata Tutan berjalan lagi diatas cabang pohon itu, benar saja dengan
begitu keseimbangan badannya terjamin sekali. Ia bisa berjalan terlebih baik dari tadi. Tanpa
disuruh lagi ia bulak balik beberapa kali.
“Latihan pertama kuanggap selesai dan mari meningkat kepelajaran kedua. Mulai dari
sekarang sambil jalan harus membawa batu seberat tiga puluh kati. Untuk ini kaki harus
diringankan betul, kekuatan berada dipinggang. Jika Kongcu bisa berjalan didahan itu sampai
cabangnya tidak melengkung kebawah artinya sudah berhasil.”
“Baik,” jawab Tiong Giok.
Tutan segera turun kebawah, diambilnya sebuah batu besar dan dilemparkan keatas, Tiong
Giok menanggapi batu itu, lalu mengempitnya dan mulai berjalan didahan tadi. Tak selang
lama batu yang dibawa itu dari kecil ditukar menjadi besar. Dengan tenaga dalamnya yang
tinggi dan bakat yang bagus In Tiong Giok dapat mempelajari ilmu itu dengan mudah.
Tutan melempar batu dari bawah keatas, begitu lama, tak heran lengannya menjadi pegal dan
tak kuat lagi melemparkan batu yang seberatnya seratus kati. “Kongcu engkau sendiri saja
turun dulu dan mengangkat keatas, aku sudah letih sekali.”
Dengan berapi Tiong Giok menarik napas kepusar dan melompat turun, ia bisa tiba ditanah
dengan ringannya. Lalu diambilnya batu seratus kati itu dan dibawanya melompat keatas….
Lebih kurang ia mengapung dua depa tingginya, batu dan dirinya jatuh lagi kebumi.
Tutan menjadi kaget tak alang kepalang ia cepat-cepat menghampiri. “Waduh bagaimana
apamu yang sakit ?”
In Tiong Giok tiba-tiba saja membalikkan badan dan tertawa tergelak-gelak.
“Ah Kongcu gila kau ! Aku ketakutan setengah mati, kiranya engkau bermain dan berpurapura
jatuh !”
Tiong Giok tidak menjawab, sekali ini benar-benar ia melompat. Batu seberat seratus kati itu
kena dibawanya keatas. “Aku berhasil !” serunya girang.
“Ah benar !” kata Tutan. “Coba sekali lagi !”
Tiong Giok turun kebawah dan mencelat lagi keatas terlebih tinggi dari tempat tadi.
Atas hasil itu membuat Tutan kaget bercampur girang. “ Ya Kongcu telah berhasil, dengan
cara apa engkau menghaturkan terima kasih kepadaku ?”
“Kini aku menghaturkan kepadamu, setelah kembali kerumah akan kuhaturkan lagi terima
kasih didepan Liap Locianpwee !”
Tutan menggoyangkan tangan. “Tidak ! Sekali-kali tak boleh diberitahu pada Siocia, sebab
bisa mencelakakan diriku.”
“Memang kenapa ? Bukankah jika Siociamu tahu akan turut bergirang ?”
168
“Tidak! Tidak! Siocia memang bisa bergirang hati, tapi…tapi semua ini adalah bakat Kongcu
yang luar biasa dan ilmu dalam yang tinggi ! Aku hanya berkata main-main saja dan ingat
jangan diberi tahu pada Siocia !”
“Biar ia tahupun tak mengapa bukan ?” Tiong Giok sengaja menggoda dan ingin tahu apa
sebabnya Tutan ketakutan sekali diketahui Siocianya.
“Kongcu kasihanilah aku,” kata tutan hampir menangis. “Sebab ilmu itu adalah kepandaian
Siocia yang dirahasiakan dan tak boleh diajarkan pada orang luar. Sedangkan aku memberi
pelajaran ini tanpa disadari, jika sampai diketahuinya, akan dihajarnya…”
“Aku tak percaya !”
“Aku memberikan pelajaran yang dirahasiakan ini kepada Kongcu, apakah dengan begitu
caranya menghaturkan terima kasih kepadaku ?”
“Hm seorang pandai seperti Liap Locianpwee tak mungkin merahasiakan ilmu kepandaiannya
kepada orang lain.” Kata In Tiong Giok. “Disini tentu terselip sesuatu yang engkau rahasiakan
bukan ? Biar bagaimana harus kau terangkan padaku.”
“Dengan begini kebaikanku hanya mendatangkan bencana, dimana letak keadilan ?”
JILID 9________
“Terus terang saja kenapa tak mau engkau tuturkan apa yang menjadi rahasia hatimu itu ?”
“Tidak ada sesuatu yang menjadi rahasiaku.”
“Baik-baik begitu, tapi terangkan dengan sejujurnya.”
“Kongcu hanya salah paham merpati pos yang kemarin kulihat terang-terang binatang yang
terpelihara, kenapa mengatakan merpati liar yang datang sendiri ?”
Wajah Tutan menjadi berubah, ia sangat kaget, dan kemek-kemek tidak bisa menjawab.
“Lagi pula hari ini akan datang tamu, siapa dia ? Kenapa Siociamu dengan alas an ini
menyingkirkan aku kesini dan memindahkan kamarku kebelaklang ? Seolah0olah tidak boleh
menemui tamu itu ?”
Tutan menangis, air matanya mengallir ke pipi lalu berkata : “Tamu itu adalah kawan lama
Siociaku. Sudah lama Siocia mengharapkan bertemu dengannya, tapi tak berhasil, dan baru
sekarang harapannya selama tiga puluh tahun itu baru terlaksana ! Sudah pasti banyak
omongan yang akan dibicarakan mereka dan terlarang untuk orang luar mengetahuimya !
Maka itu dengan memindahkan Kongcu kebelakang sedikitpun tidak bermaksud jahat !”
“Seharusnya kawan baiknya itu ditempatkan di loteng belakang berdekatan dengan kamar
Siociamu bukan ?”
“Ia adalah seorang laki-laki !”
169
“Oh, kiranya begitu, menyesal aku terlalu bercuriga !” kata In Tiong Giok sambil tersenyum.
“Sudah lama Liap Lo Cianpwee tak bertemu dengannya, tiba-tiba mengetahui kawannya itu
akan datang, tentu burung pos itu yang membawa berita bukan ?”
“Ini…ini…aku tak tahu !”
“Setiap kusinggung mengenai burung pos itu, engkau tak mau mengatakan yang sebenarnya.
Tentu ada apa-apanya bukan ? Mulai hari ini aku pindah keloteng belakang, pasti akan
mendapat kesempatan membongkar rahasia ini dan akan mengetahui soal yang kau rahasiakan
!”
“Bahkan jangan berlaku gegabah, jika diketahui Siocia engkau bisa celaka.”
“Adakah satu rahasia diloteng belakang itu yang tidak boleh diketahui orang luar ?”
“Kongcu jangan bertanya padaku, bagaimanapun aku tak berani menerangkan,” kata Tutan,
“aku hanya mengharapkan Kongcu jangan berlaku demikian, sebab berbahaya sekali…” Ia
tidak mau menerangkan terlebih lanjut. Hanya kepalanya digoyang-goyang dan air mata
mengalir terus dengan deras.
“Katakanlah padaku, aku berjanji tak akan menceritakan lagi pada orang lain !”
“Tutan menoleh kekiri kanan, tampak ketakutan sekali, berapa kali bibirnya bergoyang tapi
tak mengeluarkan suara, seolah-olah jika ia bersuara akan mendatangkan bencana besar
baginya.
“Jangan kuatir, kita hanya berdua saja, tak ada orang lain yang mendengar !”
Tutan menjadi berani juga. “Kongcu sebaiknya lekas pergi dari sini, lebih cepat lebih baik..”
“Siang-siang aku mau pergi, tapi sebab dicegah Siociamu…”
“Pergilah dari sini diluar tahunya !”
Tiba-tiba saja terdengar dengusan seseorang disusul berkelebatnya sesosok tubuh dihadapan
mereka. “Tutan engkau jangan mengaco tak keruan, apa yang kau katakana barusan ?”
Pendatang itu adalah seorang tua berambut putih, dan bermata satu.
“Sun Toa nio,” kata Tutan sambil menarik nafas lega.
Perempuan tua itu mengenakan pakaian serba hitam, lengannya memegang tongkat hitam
yang mengkilap. Ia berjalan menghampiri sepasang muda mudi itu, dari geraknya tampak ia
berilmu itnggi.
“Enkau siapa ? Diamlah disitu kalau mau bicara tak perlu dekat !” kata In Tiong Giok.
Orang tua itu dengan terpaksa menghias wajahnya yang keriput dengan senyuman palsu.
170
“In Kongcu engkau tak kenal denganku, tetapi aku kenal denganmu. Siocia mengetahui tabiat
Tutan ini paling senang mengatakan yang tidak-tidak , maka mengutusku untuk
mengawasinya !”
“Aku tidak menanyakan soal ini, aku hanya ingin tahu engkau siapa ?”
Nenek-nenek itu memancarkan sinar jahat dari matanya, lalu tertawa parau. “Jika ingin tahu
siapa aku, tanyakanlah pada Tutan !”
“Tutan siapa sebenarnya dia ?” tanya In Tiong Giok tak sabaran.
“Ia adalah babu tete Siociaku,” kata Tutan dengan berbisik. “Biar bagaimana Kongcu tak
boleh melepaskan dia, jika tidak kita akan celaka…”
“Tutan, bentak nenek itu memotong percakapan orang. Nyalimu sungguh besar ! Berani
menghasut In Kongcu untuk melawan padaku ?”
“Tidak ! Aku tidak menghasut, aku hanya mengatakan soal yang sebenarnya.”
“Hm, apa yang kau ucapkan patah demi patah terdengar telingaku, mau membohong, kata
nenek itu dengan galak. In Kongcu engkau adlah murid seorang kenamaan didunia persilatan,
sekali-laki jangan mendengari perkataan budak ini ! Tadi ia mengatakan ilmu yang
dirahasiakan dan tak boleh diajarkan pada orang luar dan lain….semua dusta, jika tak percaya
engkau boleh menanyakan semua ini kepada Siocia !”
“Kongcu tak boleh pulang, berarti kematian bagimu,” kata Tutan memperingati.
“Budak hina yang tidak tahu diri, kuhabiskan nyawamu !” teriak Sun Toa nio seraya
menerkam dan menghajarkan tongkatnya pada Tutan.
In Tiong Giok mengebaskan lengan kirinya dan membusungkan dada menghadang Sun Toa
nio. “Sabar dulu, aku mau bicara denganmu !”
Tongkat Sun Toa nio tadi kena disampoh miring lengan Tiong Giok, hal ini mendatangkan
rasa kaget si nenek. Cepat-cepat ia menarik tongkatnya dan berkata : “Kongcu mau
mengatakan apa ?”
“Ingin kutahu Toa nio, tahun ini berusia berapa ?”
“Untuk apa engkau menanyakan umurku ?”
“Kuharap engkau menjelaskan, pasti ada gunanya !”
“Usiaku lima puluh enam tahun !”
“Orang seusiamu itu apakah pantas menjadi babu tete dari Liap Lo Cianpwee ?” kata In Tiong
Giok. “Tiga puluh tahun yang lalu Liap Lo Cianpwee sudah berusia sekitar dua puluh
tahunan, engkau berusia berapa menyusui Siocia itu ?”
Sun Toa nio tak bisa menjawab.
171
“Memang dia ini adalah babu tet yang palsu,” kata Tutan.
Sun Toa nio menjadi gusar, tongkatnya segera terangkat lagi menyerang tutan. Tapi dengan
kecepatan kilat, Tiong Giok menyambar gadis itu dan dibawanya melompat sejauh beberapa
tombak. “Engkau mau apa ?” tanyanya pada si nenek.
“In Kongcu engkaujangan terpincuk paras cantik budak itu dan melakukan pekerjaan yang
sesat ! Lekaslah ikut denganku menghadap pada Siocia, ia sedang menantikanmu dengan
tidak sabar ! Mulutnya berkata lengannyapun tidak tinggal diam, memutar tongkatnya dengan
keras, menghantam ke arah Tiong Giok.
“Kongcu jangan ragu-ragu lagi, hadapilah keparat ini dengan Hiat cie lengmu !” seru Tutan.
Sun Toa nio menyerang Tiong Giok dengan gencar sebanyak tiga jurus. Setelah dengan
mendadak ia membalik tubuh dan menyergap Tutan. Untung yang disebut belakangan dapat
mengengos, membuat tongkat itu menghajar tanah dan menimbulkan suara nyaring. Dengan
gerakan cepat tongkat itu diangkatnya dan disabatkan lagi pada Tutan. Gerakan ini sangat
cepat dan mendadak, sehingga mengenai dengan tepa tperut lawan, Tutan tergeliat dan
nguseruk ditanah. Nenek tua itu tidak puas sampai disitu, tongkatnya terangkat lagi untuk
menghabisi jiwa orang. Pada saat inilah In Tiong Giok melancarkan Hiat cie lengnya dari
belakang musuh, suara seri ilmu mautnya, membuat Sun Toa nio membatalkan niat kejamnya.
Tanpa menoleh lagi ia merebahkan diri.
Tapi tak urung rambutnya sebagian besar telah menjadi hangus terkena angin Hiat cie leng
yang panas laksana api. Dengan cepat ia mencelat bangun dan terus mengambil langkah
seribu.
Tiong Giok menghampiri Tutan, “Bagaimana ? Luka beratkah ?”
Dengan kedua tangan Tutan menekap perutnya, wajahnya pucat pasi, keringat dinginnya
mengucur deras. Dengan menahan sakit ia memaksakan bicara : “Kejar dia ! Jangan biarkan
ia kembali kerumah …”
“Ku obati dulu lukamu…”
“Jangan ! Lekas kejar !”
In Tiong Giok menganggukkan kepala dan terus mengejar Sun Toa nio. Tapi yang dicari itu
dalam waktu sekejap sudah tak terlihat mata hidungnya lagi. Tapi ia sadar bahwa musuhnya
itu pasti berlari pulang kerumah. Maka itu dengan mengumpulkan hawa sejati dipusarnya ia
berlari dengan keras memakai ilmu meringankan tubuh yang baru dipelajari kearah rumah.
Entah sudah berapa lama ia berlari, tahu-tahu didepannya terlihat seorang tua mengenakan
pakaian hitam, ia menjadi girang. Dengan cepat ia mendahului orang tua itu dan berbalik
menghadang jalan. “Mau lari kemana lagi nek ?” katanya begitu berbalik badan. Ia menjadi
gugup dan kemaluan karena orang tua itu bukan nenek-nenek, melainkan adalah kakek-kakek
hanya saja pakaiannya serba hiotam serupa dengan Sun Toa nio.
172
Kakek itu kelihatan bermata tajam, dan gagah, sekali lihatpun bisa diketahui seorang berilmu
itnggi.
“Ah, maafkan aku,” kata In Tiong Giok, “Aku kesalahan pak !”
“Apakah dengan menghaturkan maaf saja soal ini terhitung beres ?” tanya kakek itu dengan
dingin.
“Habis harus bagaimana ?” tanya Tiong Giok.
“Sedikitnya engkau harus saja kui, bertekuk lutut sebanyak tiga kali !”
“Aku sedang tergesa-gesa, tak mempunyai waktu berkelekar denganmu, lain kali saja !” kata
In Tiong Giok dan terus mencelat pergi.
“Kembali !” teriak kakek itu.
Tiong Giok merasakan bajunya ditarik orang dan tak bisa pergi lagi, lalu jatuh lagi ketempat
tadi. “Bocah jangan main gila dihadapanku !” bentak sikakek.
“Kesalahanku tidak seberapa dan sudah kuhaturkan maaf, tapi engkau menghendaki yang
tidak-tidak dariku, perbuatanmu itu kelewat sekali !”
“Justru tabiatku sangatg aneh, setiap yang membangkang perintahku, bagaimanapun harus
kutunduki !”
“Bagaimanapun aku tak bisa dipaksa !”
“Hm engkau sangat bandel ya ! Ketahuilah orang-orang yang bandel dan tidak dengar kata
mulutku akibatnya bagaimana ? Tuh kau lihat contohnya !” katanya sambil menunjukkan
kebawah tebing.
Tiong Giok menengok kearah yang ditunjuk disitu terlihat seorang tergantung rotan, waktu
ditegasi orang itu nyatanya Sun Toa nio adanya. “Nenek ini kurang ajar, berlari cepat
melewatiku, waktu kutahan dan menyuruhnya bertekuk lutut, bukan saja ia tidak mau
malahan menyerang dengan tongkatnya itu,” kata si kakek sambil menunjuk kedekat batu.
Disitu terlihat tongkat Sun Toa nio yang mengkilap tertancap dalam. Kakek itu merebut
tongkat itu, lalu membelit ujung rotan lalu menyentak keatas seperti orang memancing ikan.
Tubuh Sun Toa nio segera terangkat keatas dan jatuh ditanah. Wajahnya pucat pasi, tapi
belum mati. “Dengan kepandaiannya tak seberapa mau melawanku Lui sin Tong Cian Lie,
nah akibatnya begini !” Tampaknya si kakek yang bernama Tong Cian Lie tidak menaruh
belas kasihan pada nenek itu.
Kakinya terangkat mendupak nenek itu dan terpental jatuh kedalam tebing dengan jiwa
melayang.
In Tiong Giok tanpa disuruh lagi bertekuk lutut didepan kakek itu. “Aku In Tiong Giok
menghaturkan hormat pada Tong Lo Cianpwee !”
“Hm mau bertekuk lutut juga ? Engkau pandai dan bisa melihat gelagat, lekas bangun !”
173
“Tadi aku tak tahu bahwa Lo Cianpwee adalah Lui sin, maka aku berlaku kurang ajar …”
“Sesudah tahu buru-buru tekuk lutut, apa maksudmu ?”
“Aku mendapat pesan dari Cian bin sin kay Cu Lit untuk menemui lo Cianpwee di Ciu yang
shia, tapi belum sempat kesana dan kebetulan bertemu disini…”
“Kiranya engkau kenal dengan pengemis bermuka-muka itu ? Ia menyuruhmu menemuiku
untuk apa ?”
“Antaraku dengannya adalah kawan dalam kesusahan” kata in Tiong Giok seraya menuturkan
kisahnya bersama Cu Lit di Pok Thian Pang secara panjang lebar.
“Ah masakan sampai Thay Cin Tojin dan Cu Lit mengabdi pada Pok Thian Pang ?” Aku tidak
percaya !” kata Cian Lie.
“Ya memang mula pertama Cu Lo Cianpwee tak menurut dan mengacau disana, tapi setelah
bertemu dengan sang Pangcu dari Pok Thian Pang segera menurut ! Hal ini kudapat tahu dari
Siau Pangcu !”
“Siau Pangcu ? Berapa usia pemuda itu ? Dan bagaimana parasnya ?”
“Usianya tujuh belas tahun, soal wajahnya sukar dilukiskan dengan kata-kata,” kata Tiong
Giok. “Orangnya pendiam dan tak suka bergaul, menurut katanya ayahnya sudah meninggal.
Dan yang mengherankan sampai nama ayahnya sendiri tidak diketahuinya !”
“Oh seorang anak yang tak berayah, kasihan .”
“Ayahnya dibunuh orang !”
“Siapa yang membunuhnya ?”
“Tidak tahu !”
“Jika tidak tahu mengapa mengetahui ayahnya dibunuh orang ?”
“Hal ini diketahui dari dedengkot Pok Thian Pang yang biasa dipanggil Lo Cucong, hanya
saja ia tidak memberitahu Siau Pangcu itu !”
“Apakah pangcu itu berusia sekitar tiga puluh lima tahun, dan ditengah-tengah alisnya
terdapat tahi lalat merah ? Kalau tersenyum ada lesung pipitnya ?”
“Benar ! Kenapa Lo Cianpwee bisa tahu ?”
“Oh tak heran pengemis itu menyuruhmu menemui diriku kiranya hal itu benar adanya” kata
Tong Cian Lie sambil berkemak kenik sendiri. “Ah bagaimanapun juga jika belum melihat
dengan mata kepala sendiri sukar untuk mempercayainya !”
“Siapa yang ingin Lo Cianpwee lihat ?”
174
Tong Cian Lie tidak menjawab melainkan menyuruh Tiong Giok berjalan “Aku akan bertamu
ke Kek Liong san menemui Lim Siok Bwee.”
“Sekarang belum bisa kesana !”
“Kenapa ?” tanyanya.
Tiong Giok menceritakan pertemuannya dengan Liap in Eng dan kejadian yang baru dialami
tadi.
“Oh kiranya nenek tua ini anak buahnya Liap In Eng!” kata Tong Cian Lie. “Mari kita
temuinya, aku kenal dengannya !”
“Tapi aku harus kegunung dulu disana ada seorang gadis yang menderita luka berat terkena
tongkat Sun Toa nio,” kata In Tiong Giok. “Kuharap Lo Cianpwee menunggu sejenak aku
mau menolongnya.”
“Siapa gadis itu ?”
“Ia adalah pelayannya Liap Lo Cianpwee yang bernama Tutan,” jawab In Tiong Giok. “Saat
itu ia baru mau mengungkapkan rahasia siocianya, tahu-tahu datang Sun Toa nio dan
melukainya.”
“Ilmu meringankan tubuh yang engkau pergunakan tadi adlah pelajaran asli dari Liap In Eng
yang bernama Bunga Jatuh Terbang Melayang, dari siapa engkau memperoleh ilmu itu ?”
“Kudapat dari Tutan !” kata In Tiong Giok.
“Jika begitu Tutan adalah orang bawahan Liap In Eng yang sejati, mari kita tengok !”
Mereka menggunakan ilmu meringankan tubuh kembali ketempat dimana Tutan terluka tapi
diluar dugaan siapapun bahwa Tutan sudah tidak terlihat lagi. Ditempat ia rebah terluka
rumput-rumput berlepotan darah, dan terus terlihat sampai ketepi jurang, disitu terlihat sehelai
baju yang penuh dengan tulisan darah dan berbunyi seperti berikut : “Lukaku sangat berat,
pasti tidak akan tertolong lagi, tambahan kunantikan Kongcu tak kunjung datang, darah
mengalir terus dari mulut, sedangkan napasku semakin sesak. Aku mati dengan penasaran,
karena belum bisa membals budi kebaikan Siocia, andaikata Kongcu bisa membebaskan diri,
jangan lupakan kamar bawah tanah yang terletak diloteng belakang…..” Sampai disini surat
itu habis, agaknya Tutan tidak tahan lagi dan menggelinding kedalam jurang.
“Tutan akulah yang membuatmu mati…” kata Tiong Giok sambil menangis tanpa
mengeluarkan suara.
“Jika bisa membebaskan diri jangan lupakan kamar dibawah tanah yang terletak diloteng
belakang…Hm ! mungkinkah Liap In Eng mempunyai sesuatu rahasia yang tak boleh
diketahui orang ?”
“Tutan mengatakan mati dengan penasaran karena belum bisa membals budi kebaikan
siocianya. Andaikata Liap Lo Cianpwee mempunyai sesuatu rahasia yang tidak boleh
175
diketahui orang luar, sudah tentu Tutan membantunya menyimpan rahasia itu, tapi kenapa ia
memberitahu padaku ?”
“Kalau begini kita harus melihat rahasia apa yang terbenam dikamar tanah itu,” kata Tong
Cian Lie.
“Lo Cianpwee adalah kawan lama dari Liap Lo Cianpwee, bagaimanapun tak pantas
menanyakan secara langsung rahasia dikamar itu bukan ?”
“Tidak bisa berterus terang, kita boleh menyelidiki secara menggelap bukan ?”
“Kalau begitu kita nantikan sampai malam, dan masuk kedalam rumah melalui pintu
belakang, bagaimana oikir Lo Cianpwee bolehkah ?”
“Kenapa tidak boleh ?” jawab Tong Cian Lie.
Tiong Giok memungut rantang yang bersih kue-kue kering lalu membagi Tong Cian Lie,
dengan lahap menghabiskannya dan menghilangkan dahaga dengan air gunung. Sewaktu
senja mendatang baru turun gunung. Mereka menempuh jalanan gunung yang berliku-liku,
dan makan waktu. Maka setibanya dirumah lampu-lampu telah menyala.
Tong Cian Lie memandang rumah itu dengan sinar matanya yang tajam, lalu menanya pada
Tiong Giok. “Bocah apakah engkau pernah menjadi maling ?”
“Apa perlunya Cianpwee menanyakan hal ini ?”
“Sejujurnya puluhan tahun aku berkecimpung didunia Kang Ouw, selama itu pernah mencuri
masuk kerumah orang ! Sekarang pertama kali masuk kerumah orang tanpa diketahui
penghuninya, mau tak mau hatiku kebat kenit tidak keruan ! Lebih-lebih Liap In Eng adalah
kawan lamaku jika kepergok…”
“Tak kira Lo Cianpwee bernyali kecil …”
“Ngaco ! Aku bukan takut, mengerti ! Sebagai laki-laki sejati, bagaimanapun tak boleh
membuang muka didepan perempuan !”
“Habis bagaimana ?”
“Sebaiknya terang-terangan aku masuk dari pintu dan engkau masuk dari pintu belakang !”
“Cara itu kupikir kurang baik,” kata In Tiong Giok. “Bagaimana kalau Lo Cianpwee
menunggu diluar dan aku masuk sendiri ? Andaikata dalam waktu satu jam aku belum keluar
pasti mendapat gangguan, saat itu Cianpwee boleh masuk dari pintu depan menghadap
padanya untuk membebaskan aku…”
“Bagus !” sela Tong Cian Lie, “tak sangka kecil-kecil bisa berpikir panjang, nah pergilah
dengan tenang !”
Tiong Giok tersenyum dan melangkah pergi. Dengan melalui tembok ia sampai dikamar batu
sebelah kiri, dari sini ia melihat sinar lampu terang benderang diloteng belakang. Bayangan
176
orang tampak seliweran, menandakan Liap In Eng dan para pelayannya belum tidur. Ia tak
berani sembarangan bergerak, dengan hati-hati ia mengawasi situasi rumah. Dilihatnya
sebuah gang kecil menuju kesebuah ruang dalam, disamping ruangan itu terdapat sebuah
tangga menuju keloteng. Saat ini dirumah itu tidak ada orang, tapi ada dua lentera yang terang
benderang. Jika berlaku semberono menuju kesana dan ketahuan orang, tidak ada tempat
untuk bersembunyi. Ia menunggu agak lama juga, tapi sinar lampu masih tetap terang. Untuk
tidak membuang waktu dan membuat Tong Cian Lie yang menanti diluar merasa cemas, ia
memberanikan diri menuju keruangan itu. Ia berhasil sampai ditempat yang dituju dan buruburu
menyembunyikan diri dibalik pintu.
Dari sini dia mendengar suara percakapan-percakapan yang bercampur isakan tangis.
“Apakah sudah diutus orang untuk mencari Tutan fan Sun Toa nio ?” terdengar suara Liap In
Eng dengan keras.
“Jung jung sudah pergi mencari, tak lama lagi ia pasti pulang !”
“Kamu tidak bisa diandalkan sama sekali, tepat pada saat-saat yang penting, tidak terlihat
kembali, sudahlah pergi dan turun yang lain menyediakan kuda Pek kounio mau pulang !”
Begitu mendengar “Pek Kuonio” Tiong Giok berdebar-debar tidak keruan. “Mungkinkah dia
?” Belum ia berpikir terlampu jauh kupingnya mendengar suara bercampur tangis. “Tidak !
Aku tidak mau pulang, biar matipun tak mau pulang !” Suara sangat dikenal Tiong Giok,
nyatanya Pek Kounio itu bukan lain dari Pek Wan Jie adanya.
Bukankah Wan Jie berada di Pok Thian Pang ? Kenapa ia bisa berada disini, ia tak bisa
berpikir lama sebab harus mendengar lagi pembicaraan Liap In Eng.
“Wan Jie kuharap kau bisa bersabar, sebaiknya lekas pulang, jika sampai diketahuinya,
engkau berada disini, ia bisa curiga.”
“Aku bisa sembunyi diloteng !”
“Sebaiknya engkau pergi dulu dari sini ! Jika In Tiong Giok kena kutangkap engkau bisa
menemuinya dimarkas pusat”, kata Liap In Eng. “Apa yang kulakukan sudah menyimpang
dari perintah seharusnya, aku musti menangkapmu lebih dulu dan membawa pulang.”
“Aku ingin melihatnya sekali saja, sebab kutahu pulang berarti mati, sungguhpun begitu aku
rela jika sudah melihatnya, barang sekali.”
“Kuharap sebelum ia pulang engkau harus meninggalkan tempat ini. Mie lie, Siu sian
antarkan Pek Kounio pergi !”
“Baik !” sahut dua pelayan itu. Langkah-langkah mereka segera terdengar diatas tangga.
Tiong Giok yang bersembunyi dibalik pintu mudah terlihat dari atas, maka itu menjadi cemas.
Dilihatnya sebuah pintu dibalik tangga yang tidak terlihat dari arah luar. Cepat-cepat is
menuju kesana, untung tidak terkunci dan ia bisa masuk kedalamnya. Ia menjadi melongo
karena kamar yang dimasuki adalah kamar mandi, disitu penuh tergantung pakaian dalam
kaum perempuan dan sebuah kaca besar. Membuatnya jengah sendiri. Dengan menahan napas
177
ia mengintip dari celah pintu. Tampak dua pelayan berbaju kuning sedang turun dari tangga,
dibelakangnya mengikuti Pek Wan jie, gadis idaman hatinya yang tak dapat dilupakannya!
Sudah lama ia tidak bertemu muka dengan kekasihnya itu, rasa rindunya menjadi-jadi setelah
melihat orangnya, hampir-hampir ia melompat keluar jika tidak melihat Liap In Eng berada
disitu.
Dengan wajahnya yang cantik dan agung Liap In Eng menggandeng Wan Jie turun selangkahselangkah
dari tangga. Sambil melangkah ia menghibur dengan suaranya yang halus : “Wan
Jie jangan sesalkan aku, kutahu engkau berani berhianat semata-mata untuk menolongnya
agar tak sampai dibawa kemarkas pusat, tapi engkaupun mengingat selama lima tahun aku
menderita karena apa ?”
“Bukankah benda yang Kouw-kouw (bibi) kehendaki sudah dapat ?”
“Benar benda itu sudah kudapat dan telah kubunuh sijelek, dengan begini capai lelahku
selama lima tahun tak sia-sia ! Tapi bagaimanapun kita tak bisa membiarkan In Tiong Giok,
karena dialah orang luar satu-satunya yang mengetahui rahasia dimarkas pusat ! Juga dengan
tindakannya mencetak buku Keng thian cit su mendatangkan kerugian tidak sedikit bagi kita.”
“Kouw-kouw ! Ampunilah dia, kutahu betul ia tidak memusuhi Pok Thian Pang ! Ia hanya
seorang pelajar lemah, kaum Pok Thian Pang tak usah takut padanya !”
“Engkau salaj, Wan Jie. In Tiong Giok yang sekarang bukan seorang pelajar lemah, iapandai
Hiat cie leng dan Keng thian cit su ditambah bakatnya yang luar biasa, dalam sekejap
kepandaiannya maju terus dengan pesat…”
“Benda yang Kouw-kouw kehendaki sudah didapat, boleh dikatakan kerugian dari Keng thian
cit su sudah tertutup, kenapa masih memusuhi terus pad In Tiong Giok ?”
“Andaikata ia dibawa kepusat belum tentu akan dihukum mati bukan ?”
“Sudah pasti dihukum mati ! Karena begitu mendapat surat dari merpati pos yang Kouwkouw
kirim: Lo Cucong mengatakan “tangkap bawa kesini dan beset kulitnya,” setelah
kudengar perkataan ini dengan tidak memperdulikan apa aku meninggalkan pusat datang
kesini.”
“Lo Cucong hanya keras dimulut, apa yang dikatakan belum tentu dilaksanakan, pokoknya
asal bisa menasehatinya masuk menjadi anggota…”
“Ia pasti tak mau !” potong Wan Jie.
“Hal ini terserah padamu, apakah dengan cinta kasihmu padanya bisa membuatnya menurut
atau tidak semua ini urusanmu ! Pokoknya setelah sampai saatnya, baru kita bicarakan lagi,
jalanlah baik-baik !” sebahis berkata, iapun memberi tanda pada Mei lie dan Sui sian dua
gadis mengambil lampu dan mengajak Wan Jie keluar.
Wan Jie masih memegangi terus baju Kouw-kouwnya sambil meratap: “Kouw-kouw tega
amat sih ? Dulu Hoo Hoa dan Teng Pouw kau tolong masakan aku tidak ?”
178
“Anak dungu pulanglah dengan tenang, pasti akan kumintakan ampun pada Lo Cucong asal
saja engkau mau mendengar kata-kataku !” kata Liap In Eng. “Sekarang engkau pergi dulu ke
lian hoa tong dikaki gunung, begitu Tiong Giok pulang akan kuajak dia kesana bertemu muka
denganmu. Dan sekarang kuantar kau keluar, mari lekas !”
Wan Jie meninggalkan rumah sambil menangis.
Tiong Giok turut menangis menyaksikan kejadian itu, disamping itu iapun sadar bahwa orang
yang mengaku Liap In Eng selama ini adalah Soat Kouw adanya, yakni Hoe Pangcu dari Pok
Thian Pang yang telah menghilang selama lebih kurang lima tahun.
Yang mengherankan, seorang yang memalsu diri orang lain, berani bergerak di dalam dunia
Kang Ouw seperti orang yang sebenarnya tanpa diketahui. Kini kemana perginya Piau siang
kiam Liap In Eng yang sejati ? Sedangkan Tutan pandai dia menggunakan ilmu bunga jatuh
terbang melayang, dan menurut Tong Cian Lie adalah kepandaian sejati dari Liap In Eng.
Tutan itu anak buahnya yang sebenarnya ! Tapi kenapa Soat Kouw bisa mengetahui sampai
kepada anak buah orang yang ia palsukan ?
In Tiong Giok tidak mau berpikir lama-lama dan tak mau pula menolong Wan Jie pada saat
itu, yang dipentingkan adalah mencari rahasia kamar dibawah tanah yang disebutkan Tutan.
Begitu pikirannya sudah mantap, segera mau bergerak. Akan tetapi niatnya batal karena
mendengar langkah kaki, ia mengintai keluar terlihat berkelebat sesosok tubuh berbaju
kuning. Tiong Giok mengenali ini Jung jung yang disuruh mencari Sun Toa nio dan Tutan.
Gadis itu memegang tongkat Sun Toa nio tampak geraknya amat kesusu, ia melihat lentera
ditangga sudah ada, segera berseru keras.
“Giok lan ! Giok lan !” Dari loteng terdengar langkah kaki turun, dan seorang pelayan berbaju
hijau menyahutperlahan. “Jung jung kemana saja engkau ? Siocia berulangkali
menanyakan…”
“Apakah Siocia sudah pergi ?”
“Ia hanya mengantar Pek Kounio keluar…apakah engkau menemukan Sun Toa nio dan Tutan
?”
“Tampaknya kejadian sangat hebat, kutemui tongkat Sun Toa nio disana bercampur dengan
darah segar, sedangkan orangnya tak ada !”
“Sun Toa nio berkepandaian tinggi, apakah mungkin dicelakai orang ?”
“Amat sulit dikatakan ! Apakah Tutan dan In Kongcu sudah pulang ?”
“Belum!” jawabnya.
“Ah benar-benar aneh !” kata Jung jung sambil menarik napas. “adakah Siocia memesan
sesuatu hal untukku ?”
“Ia hanya memesan setelah menangkap In Kongcu, boleh segera turun tangan, akan tetapi
sekarang…”
179
“Adakah dia memesan untuk memindahkan kamar yang dibawah itu ?”
“Seingat saya tidak !”
“Apakah sudah lama Siocia keluar ?”
“Baru saja…” Belum pula perkataan itu habis, Jung jung mengayunkan tongkat ditangannya
kepada Giok lan sekuat tenaganya. Tanpa bersuara lagi Giok lan roboh tanpa berkutik.
Kejadian yang mendadak ini membuat In Tiong Giok melongo dan tak habis mengerti….
Jung jung setelah membunuh Giok lan segera mengambil serenceng kunci dari tubuhnya, dan
menyeret mayat itu kebagian yang agak gelap.
“Jika tidak mengingat keselamatan Siocia, aku tidak bisa bersabar sampai hari ini ! Hm Pok
Thian Pang yang hina, ketahuilah bahwa anak buah Piau siang kiam bukan manusia yang
mudah dihina.” Sehabis berkata sendirian, tubuhnya berputar dan mendorong pintu dimana
Tiong Giok berada.
Hampir-hampir Tiong Giok terdorong mental, dengan gesitnya ia menggunakan kiu coan bie
cong pou, sehingga tubuhnya itu dapat bergerak cepat dan tetap terhalang daun pintu. Jung
jung tak memperhatikan dibelakang tubuhnya ada orang, begitu masuk ia menekan kaca
bergeser terlihat sebuah pintu. Jung jung masuk kedalam, kaca itu tutup lagi sediakala.
In Tiong Giok menjadi girang dapat menemukan rahasia itu, cepat ia menekan kaca itu dan
masuk kedalam. Ia melihat undakan tangga yang cukup banyak, menuju kebawah diujung
sekali terdapat sinar api. Ia emngikuti tangga turun kebawah, dan tiba disebuah ruangan
kamar persegi cukup lebar. Jeruji besi disitu sudah dibuka Jung jung, memudahkan Tiong
Giok masuk kedalam. Ia melihat Jung jung sedang bertekuk lutut sambil menangis dihadapan
seorang perempuan tua kurus berbaju hitam, yang kedua kaki tangannya terbelenggu rantai.
Kehadiran Tiong Giok disitu tidak diketahui Jung jung yang sedang bersedih hati sedangkan
Liap In Eng diam diam saja, menandakan tak tahu juga.
Sambil membuka rantai yang membelenggu Liap In Eng tidak henti-hentinya Jung jung
menangis. “Siocia waktu sangat mendesak, aku datang kemari bertaruh jiwa, kenapa Siocia
tidak mau pergi ?”
“Ah kenapa bodoh betul, tidakkah mengerti kata-kataku ? Mataku telah buta, tidak ada artinya
untuk hidup terus bukan ? Aku hanya menyesal pelajaranku belum semuanya diturunkan pada
kalian, sungguhpun begitu aku harapkan kalian selekasnya menyingkir dari sini dan carilah
tempat yang baik untuk melatih diri, guna menuntut balas dikemudian hari ! Dengan begitu,
berarti kalian telah membalas budi padaku !”
“Jika Siocia tak mau pergi, sampai matipun aku tidak akan mau pergi !”
“Lagi-lagi engkau berkata bodoh, sudah tahu waktu sangat sempit ! Dengan mengajakku
keluar berarti kematian ! Nanti siapa yang akan menuntut balas padanya ?”
180
“Selama setengah tahun kami bersabar, karena Siocia berada ditangan mereka, kini dengan
adanya Siocia ditangan kami, tidak perlu aku takuti lagi mereka. Yakinlah kita snggup
melindungi Siocia dari bahaya apapun !”
“Jangan memandang enteng perempuan hina itu, kepandaian maupun kecerdikannya tidak
berada dibawahku, pendeknya jika kau masih menganggapku Siociamu, lekaslah berlalu dari
sini !”
Jung jung tidak mau menurut, dengan kekerasan ia membawa pergi Siocianya. Hal ini
mendatangkan kemarahan Liap In Eng: “Hei budak apakah engkau tidak dengar kataku dan
mau melanggar peraturan perguruan ?”
“Siocia boleh marah dan mencaciku, tapi ketetapan untuk menolongmu keluar tak bisa
diganggu gugat lagi, sudah mantap !” kata Jung jung sambil berlutut.
“Ai, engkau bukan mau menolongku, melainkan ingin menjerumuskan diriku kejurang derita
! Tegakah engkau melihat aku dalam keadaan begini dihina perempuan bangsat itu ? Apa
artinya lagi hidupku dalam keadaan begini…?”
“Siocia bettahun-tahun engkau menantikan kedatangannya bukan ? Kini ia sudah datang
tidakkah engkau mau menemuinya barang sekali ?”
“Aku mencelakakan diriku juga menceelakakan dirinya, lebih-lebih kedua mataku…”
Suaranya begitu parau dan menyedihkan dari kedua matanya yang buta mengalir air mata.
“Jung jung kini ia datang, tidakkah dicelakakan perempuan hina itu ?”
“Sore tadi aku diutus keluar, sebelum itu tidak terjadi apa-apa, entah keadaan sekarang.
Menurut perkiraanku perempuan hina itu sedang menantikan In Tiong Giok kembali, baru
menghadapi Pek Lo Cianpwee…”
“Kalau begitu lekas kutemuinya, serta minta padanya membawa kalian meninggalkan tempat
yang berbahaya ini !”
“Tanpa adanya Siocia mana mungkin ia percaya ?”
“Apakah ia tidak mencurigakan kepalsuan perempuan hina itu ?”
“Antara Siocia dengannya sudah tiga puluh tahun tidak bertemu muka, mana mungkin ia bisa
membedakan yang tulen dengan yang palsu, kecuali Siocia menemuinya sendiri !”
“Andaikata aku memberikan sesuatu barang padamu dan memperlihatkan padanya pasti ia
akan mempercayai omonganmu !”
“Ya dengan begitu mungkin ia percaya !”
“Dibawah jerami-jerami tempat kutidur terdapat kantong kecil, ambillah !”
Jung jung membalik badan dan pergi mencari barang yang ditunjuk dibawah tumpukan
jerami-jerami kering. Saat inilah dari tempat duduknya Liap In Eng mengeluarkan sebilah
181
belati dan terus menikamkan kedalam ulu hatinya……., Gerakannya sangat cepat, Jung jung
mendengar gerakan ini dan menoleh, ia menjadi kaget dan menubruk Siocianya. Tapi
usahanya itu bagaimanapun tidak berhasil, karena gerakan Liap In Eng terlebih cepat dari
gerakan Jung jung. Dalam keadaaan berbahaya inilah In Tiong Giok turun tangan. “Sreet”
Hiat cie leng yang ampuh membuat belati ditangan Liap In Eng patah dibagian dekat
gagangnya. Liap In Eng menjadi kaget, gagang belati yang dipegang segera jatuh ketanah.
“Hiat cie leng !” Han Sian Ko kah yang datang ?” serunya kaget.
In Tiong Giok maju kedepan sambil bertekuk lutut, “Aku In Tiong Giok.”
“In Tiong Giok ?” kata Liap In Eng, nama ini sangat asing baginya.
“Siocia In Kongcu ini adalah murid Han Lo Cianpwee.”
“Oh, seru Liap In Eng dengan paras terkejut.
“In Kongcu terima kasih atas pertolonganmu, inilah Siocia kami yang sebenarnya !”
“Aku sudah mendengari percakapan kalian dan mengerti duduk persoalannya, kini waktu
sangat mendesak, dan maaf atas kekurangajaranku !” Sehabis berkata ia bangun dengan cepat
dan lantas menotok pada Liap In Eng.
“In Kongcu apa yang hendak engkau perbuat ?” tanya Jung jung.
“Tak lama lagi perempuan itu akan kembali, waktu sangat sempit sekali untuk kita bergerak.
Jika tidak begini Siociamu mana mau keluar dari sini ?”
Jung jung menganggukkan kepala, “Bagaimana dengan Tutan ?”
Tiong Giok menuturkan kematian Tutan dengan ringkas, dan pertemuannya dengan Tong
Cian Lie sekalian dengan matinya Sun Toa nio. “Jika aku dan Tong Cian Lie dapat melawan
si perempuan jahanam itu teramat baik, tapi bilamana gagal kuharapkan kalian tetap pura-pura
menurut kepadanya seperti sediakala. Disamping itu diam-diam menyepakatkan kawankawanmu,
nantikan kesempatan baik membalas dendam. Sedangkan Liap Lo Cianpwee ini
tak perlu kalian pikirkan, aku bisa menyelamatkannya !”
Jung jung menjadi sedih dan terisak-isak mendengar kematian Tutan. “Kongcu akan
membawa Siocia ini kemana ?” tanyanya dengan parau.
“Ke kiu yang shia atau Pek liong san, pokoknya bisa kuatur dengan baik, dan ingat pesanku
barusan !”
“Kalau begitu kami akan menurut kata-kata Kongcu untuk bersiasat, dan menantikan
kesempatan untuk bergerak.” Kata Jung jung. “Keselamaatan Siocia, kami serahkan kepada
Kongcu, atas ini sebelum dan sesudahnya kami menghaturkan banyak terima kasih.”
“Legakan hatimu, dengan jiwa ragaku, kupertanggung jawabkan beban ini.”
Jung jung memberi hormat kepada Liap In Eng sambil mengucurkan air mata, lalu membalik
tubuh…
182
Tiba-tiba Tiong Giok ingat sesuatu dan menanya, “Barusan kudengar engkau menyebut nama
seorang lo Cianpwee, apakah tamu itu yang kau maksud ?”
“Benar !” jawab Jung jung. “Ia adalah kawan peribadi Siociaku dari banyak tahun, sejak
muda mereka merupakan pasangan yang gagah, satu sama lain saling mencintai, tapi entah
karena apa pada suatu ketika satu sama lain berpisah dan tidak bertemu. Karena merindukan
kekasih itu, Siocia sering menangis, sehingga matanya menjadi buta ! Saat itulah perempuan
bangsat yang jahat itu datang kesini pura-pura menjadi pelayan, dan secara menggelap
memberikan Siocia semacam obat, sehingga ilmu kepandaiannya menjadi musnah. Dan
setelah itu dengan cerdiknya ia menjadikan Siocia sebagai sandera, membuat kami tak
berdaya. Dan menyamar sebagai Siocia berkeliling keempat penjuru, mencari Pek Lo
Cianpwee.”
“Untuk apa ia mencari Pel Lo Cianpwee ?”
“Untuk memiliki semacam kitab pelajaran silat yang bernama Thian liong pu buku ini
merupakan buku pusaka sejenis dengan Keng thian cit su…”
“Siapa nama jelas dari Pek Lo Cianpwee ?” potong Tiong Giok.
“Pek King Hong !”
“Ha ? Tanpa terasa Tiong Giok berseru kaget. “Ah celaka !” Dan jelaslah baginya bahwa
kekasih Pek King Hong adlah Liap In Eng adanya. Tiga puluh tahun yang lalu mereka
berkasih-kasihan dan menanamkan bibit cinta, akhirnya bibit itu bersemi dan berbuah getir:
Tiong Giok memandang dengan sedih pada Liap In Eng, ia tidak habis piker seorang
pendekar wanita yang gagah dan cantik pada hari tuanya menjadi begini macam. Tak terasa
lagi air matanya memenuhi kelopak matanya.
“In Kongcu engkau kenapa ?” tanya Jung jung.
In Tiong Giok menggelengkan kepala dan menyeka air matanya. “Semuanya telah menjadi
telat, Pek Lo Cianpwee sudah dicelakakan bangsat itu dan buku Thian liong pu sudah
dirampasnya.”
“Dari mana engkau tahu ?” tanya Jung jung.
“Aku sudah mendengari percakapan mereka sejak tadi dibawah tangga. Dan mengetahui
bahwa Pek Lo Cianpwee sudah dicelakakan !”
“Ah dasar nasib Siociaku yang malang,” kata jung jung dengan bersedu sedan.
Tangisan Jung jung ini membuat Tiong Giok sadar, dan cepat-cepat membopong Liap In Eng
dan mengajak Jung jung keluar.
“In Kongcu jika mungkin, pertemukanlah Siociaku dengan Pek Lo Cianpwee….sungguhpun
ia tidak bisa melihat, tapi rasa rindunya dari banyak tahun akan terhibur juga di saat-saat akhir
hidupnya…”
183
“Kutahu ! Legakan hatimu pasti kuusahakan sedapat mungkin agar mereka bisa berkumpul !”
kata In Tiong Giok, “seka air matamu jangan sampai dilihat perempuan jahanam itu ! Dan
loloskan pedangmu untukku, aku tak bersenjata sama sekali.”
Jung jung menurut dan keluar dari kamar dibawah tanah. Setelah sesaat berlalu Tiong Giok
baru keluar dengan menghunus senjata.
Saat keluar terdengar suara ribut-ribut karena pelayan menemukan mayat Giok lan. “Siapa
yang membunuhnya ?”
“Tentu saja penjahat !”
“Lekas cari !”
“Laporkan pada Siocia !”
Jung jung yang jalan lebih dulu menantikan Tiong Giok dan memberi isyarat dengan
matanya, lalu mengacak-acak rambutnya dan menyobek-nyobek bajunya. Didahului
jeritannya ia menerjang pintu sambil terhuyung-huyung. Diruangan itu ada tiga pelayan
berbaju hijau, melihat keadaan Jung jung menjadi kaget dan berseru dengan berbareng. “Ah,
Jung jung, ada apa ? Ada apa ?”
Dengan suara terputus-putus Jung jung menunjuk kekamar mandi: “Ada…..
penjahat…..dikamar bawah….lekas tangkap !”
Tiga gadis berbaju hijau serentak menghunus senjatanya, dan bertepatan dengan ini, Tiong
Giok muncul sambil membentak : “Yang merintangi binasa ! Lihatlah Giok lan sebagai
buktinya !” Sambil membentak pedangnyapun turut bekerja.
“In Kongcu, Siocia memperlakukan sangat baik, kenapa engkau membalas dengan kejahatyan
!” kata tiga gadis berbaju hijau itu, sambil menghadang.
“Siociamu yang asli adalah yang kubopong ini, kenalilah dengan seksama…”
Tiga gadis berbaju hijau itu tidak memperdulikan perkataan Tiong Giok, mengayunkan
pedangnya dari tiga penjuru menyerang pemuda kita dengan bengisnya.
“Jung jung lekaslah beri laporan pada Siocia, sementara kami melawan dia !”
Tiong Giok merasa heran kenapa tiga gadis berbaju hijau ini tak mengenali Siocia mereka
yang asli ! Dan iapun melakukan serangan dengan setengah-setengah, karena kuatir melukai
mereka, tak heran ia berlaku demikian karena ia tidak mengetahui bahwa gadis-gadis berbaju
hijau adalah anak buah yang sejati dari Soat Kouw, sedangkan anak buah yang berbaju
kuning, merah dan biru milik Liap In Eng.
Jung jung yang melihat keadaan ini dapat membaca pikiran Tiong Giok, cepat-cepat ia
memberi isyarat matanya sambil berseru dengan sengaja: “Hei, kalian kenapa
mempergunakan ilmu pedang dari Pok Thian Pang dan tidak menggunakan ilmu pedang piau
siang kiam yang bernama Su siong tin (barisan empat gajah) ? Lekas gabungkan kekuatan
kalian, baru bisa melawannya !”
184
“Ilmu itu belum paham betul kami gunakan,” jawab salah seorang gadis berbaju hijau,
“sebaiknya lekaslah beeri laporan pada Siocia !”
“Ah dasar, sudah setahun engkau meninggalkan Pok Thian Pang dan mempelajari ilmu itu,
kenapa belum paham-paham juga ? Baiklah kulaporkan pada Siocia, dan hati-hatilah
menghadapinya !”
Perkataannya ini secara tidak langsung memberi tahu pada Tiong Giok bahwa gadis-gadis
berbaju hijau itu bukan anak buah Liap In Eng dan tak perlu kasian-kasian menghadapinya. In
Tiong Giok setelah memberi persoalan itu, segera melancarkan gerakan Keng thian cit su.
Sinar pedangnya itu lalu berubah dengan cepat, bergerak membawa maut, mendesak dan
membuat tiga musuhnya jungkir balik bermandi darah!
“Lekas engkau keluar dari pintu belakang,” kata Jung jung yang terus lari dengan terhuyunghuyung
kearah depan. Tiong Giok keluar dari ruangan itu dan mencelat keatas tembok, dari
sini ia melihat Tong Cian Lie sedang mengawasi ke dalam dengan mata berapi-api. “Bocah
kenapa lama amat ? Membuatku cemas tak keruan !”
Tiong Giok melokmpat turun.
“Ah bukankah ini Liap Kounio ? Kenapa bisa begini ?” tanya Tong Cian Lie.
“Yang menyamar sebagai Liap Lo Cianpwee adalah Hu pangcu dari Pok Thian Pang.” Kata
In Tiong Giok. “Harap Lo Cianpwee membekuknya , aku mau membawa dulu Liap Lo
Cianpwee ketempat aman !”
“Kurang ajar, lekaslah kau menyingkir, akan kuhajar perempuan jahanam itu.”
Tiba-tiba saja mereka menjadi kaget karena melihat api membubung tinggi dari depan rumah.
Dengan gerakan cepat Tong Cian Lie melesat pergi, Tiong Giok pun mengurungkan niatnya
meninggalkan rumah itu, mengikuti jejak Tong Cian Lie dari belakang.
Rumah yang megah dalam kesunyian itu, dalam sekejap telah menjadi lautan api, dihalaman
hanya terlihat bujang-bujang tua yang sedang tergesa-gesa membawa barang, tidak terlihat
Soat Kouw dan pelayan-pelayannya.
“Kemana larinya bangsat perempuan itu ?” tegur Tong Cian Lie pada seorang babu tua.
“Kabur…ia sudah kabur !”
“Mungkin bangsat itu mendengar kedatangan Lo Cianpwee dan ketakutan sendiri, lalu
membakar rumah ini sebelum kabur !”
“Bagaimanapun tak bisa lari jauh ! Matikanlah api ini aku akan mengejarnya.”
“Lo Cianpwee harus waspada bahwa pengiringnya bangsat itu adalah pelayan-pelayan yang
setia pada Liap Lo Cianpwee mereka hanya berpura-pura tunduk pada bangsat itu, karena
sedang menjalankan siasat !”
185
Tong Cian Lie mengangguk dan terus mencelat pergi dengan kencangnya.
Perempuan-perempuan yang ada disitu lebih kurang tujuh delapan orang, sudah tua-tua dan
tidak berilmu silat, sehingga tidak bisa mengangkat air untuk memadamkan api, sedangkan
tenaga Tiong Giok tidak memadai untuk memadamkan api itu. Ia hanya berlari kesebelah
tengah setelah meletakkan Liap In Eng ditempat aman, lalu merobohkan tembok disitu dan
memerintahkan perempuan-perempuan tua mengambil air, dengan begini api tidak bisa
menjalar.
“Apakah kalian melihat tamu she Pek itu ?”
“Ia sudah dibunuh dan mayatnya masih berada diruang itu.” Jawab babu itu sambil menunjuk
kesebuah ruangan yang hampir dijilat api.
Dengan cepat Tiong Giok mengguyur tubuhnya denga air, lalu menerjang keruangan yang
ditunjuk. Hawa api sangat panas, ditambah kepulan assap sangat tebal, membuatnya tidak bisa
melek. Untung ruangan itu adalah bekas kamarnya selama sepuluh hari dan keadaannya
dikenal betul. Dengan meraba-raba seperti seorang buta ia masuk terus. Entah tergesa-gesa
entah gugup, sekian lama ia berputar-putar tidak juga diketemukan tubuh Pek King Hong.
Lidah api berulang kali menjilat tangannya membuatnya kesakitan, nafasnya menjadi sesak
karena asap itu. Ia agak pening juga, tapi tidak putus asa dicoba membuka mata, tapi dengan
cepat menutup lagi karena perih ! Akihirnya ia merangkak, dan diluar tahunya ia masuk
kekolong ranjang. Disinilah ia menyentuh sesosok tubuh, dengan girang diangkatnya tubuh
itu. “Beleduk “ terdengar suara nyaring, karena kepalanya membentur papan ranjang, dan
terpaksa membuatnya merangkak lagi sambil menyeret tubuh itu. Setelah meraba-raba diatas
kepalanya tak ada penghalang lagi, ia baru merangkul tubuh itu dan dibawa keluar dengan
susah payah melalui jendela. Waktu ia sampai ditempat aman, bajunya telah menjadi kering
dan hitam-hitam. Tubuh itu diletakkan perlahan-lahan dan diawasi. Benar saja itulah Pek
King Hong adanya. Wajahnya yangburuk tetap tak berubah seperti pertama kali dijumpainya,
bedanya sekarang tidak bisa berkata-kata lagi seperti dulu. Kedua matanya Pek King Hong
tertutup rapat, nafasnya tak ada lagi, menyatakan sudah berpisah dengan dunia yang fana ini.
Tiong Giok sangat berduka, tubuh itu dibawanya keloteng belakang yang tidak kebakar.
Keadaan disini sangat sunyi dan sepi, berapa batang lilin masih menyala. Udara dikamar
terasa harum semerbak ! Tubuh itu diletakkan dipembaringan, lalu ia turun lagi kebawah dan
membawa tubuh Liap In Eng kedalam kamar. Dan meletakkan disebelah Pek King Hong,
hingga mereka berandengan dalam satu tempat tidur. Melihat ini mendatangkan rasa duka
bagi sipemuda, ia bertekuk lutut didepan kedua jago Bulim itu sambil mengeluarkan air mata
dan berkemak kemik sendiri : “Jie wie Lo Cianpwee cita-citanya ingin berdampingan kini
dapat terlaksana ! Dan maafkan bahwa aku tak membuka jalan darah Liap Lo Cianpwee
karena untuk kebaikan baginya dikemudian hari ! Kudoakan Liap Lo Cianpwee bisa menahan
penderitaan dan percobaan duniawi yang ganas ini dengan tabah ! Semua manusia harus
meninggal dunia, dari sebab mati terjadi perpisahan ! Perpisahan adalah duka ! Tersebab duka
inilah manusia lahir di dunia dan meninggalkan dunia ini ! Kini kudoakan impian dan harapan
mengikuti kehidupanmu, dan atas kedustaan dariku ini kumohon maaf dan kulakukan hanya
untuk sekali saja. “ Sehabis ia berkata, tubuhnya bangkit dan keluar dari pintu kamar sambil
memandang langit yang gelap.
186
Disini ia termanggu dan menduga bahwa tempat dimana kini ia berdiri, mungkin dulunya
adalah tempat dimana Liap In Eng berdiri sambil menggadangi rembulan sambil terpekur
memikiri kekasihnya ! Entah berapa malam dan berapa siang ia kesunyian seorang diri, hanya
rembulan dan awan yang mengetahui. Sedang kekasih yang dicintai tidak terdengar kabar
beritanya !
Kini kekasih sudah berada disampingnya, tapi semuanya telah menjadi lambat : Bukan sebab
Pek King Hong yang salah, ataupun Liap In Eng yang malang, semua itu adalah suratan takdir
!
Malam semakin larut. Embun membasahi baju. Kesiuran angin malam menyapu mukanya,
pipinya terasa dingin, ia baru berasa bahwa dirinya telah bercucuran air mata.
Tong Cian Lie belum kembali, mungkinkah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada dirinya
? Pek Wan Jie melarikan diri dari Pok Thian Pang karena ia, dan apa akibatnya kalau sampai
dibawa kembali kesana ? Kalau sampai disiksa atau dibunuh Lo Cucong , bukankah semua
ini, aku In Tiong Giok yang menyebabkan ? Bukan saja Pek Wan Jie, seorang Pek King Hong
pun mengalami penganiayaan karena aku juga ! Semua ini adalah penyesalan untuk seumur
hidupku….
In Tiong Giok menyesali dirinya sendiri dan berdiri dipelataran terbuka didepan kamar Liap
In Eng. Saat itulah dengan tiba-tiba ia mendengar suara rintihan… Dalam suasana sunyi,
biarpun rintihan itu perlahan, terdengarnya nyata sekali. Ia menjadi kaget dan celingukkan
keempat penjuru, tapi tidak terlihat sesuatu apa yang mencurigakan. Dibukanya pintu kamar,
matnaya melihat kepembaringan tak terasa lagi hatinya berdebar sendiri ! Tubuh Pek King
Hong yang diletakkan terlentang kini telah menjadi miring….mungkinkah ? Ia menjadi girang
dan cepat-cepat masuk kedalam, dirabanya tubuh Pek King Hong. Tetap seperti sedia kala,
tidak bernapas, kaku !
Waktu Tiong Giok mengangkat lengannya dari perut Pek King Hong terdengar suara “sess”
yang lunak, dan tubuh yang miring itu entah bagaimana bergerak dan tengkurap ! Kedua mata
In Tiong Giok terbelak lebar dan menatap terus tanpa berkedip-kedip menyaksikan keajaiban
ini ! Ia melihat dengan tegas waktu tubuh Pek King Hong bergerak, dibagian perutnya
berkutik-kutik sesuatu benda seperti ular !
Dengan bernafsu, dibukanya baju Pek King Hong, dan barulah ia dapat tahu yang berkutikkutik
itu adalah hawa ! Ditubuh seorang yang sudah mati terdapat sisa hawa yang bergerak,
benar-benar menakjubkan !
In Tiong Giok terkejut tapi tidak mau membuang kesempatan untuk mencoba-coba. Segera
lengannya bergerak dan menepuk kelima jalan darah besar Pek King Hong, mendesak agar
sisa hawa tadi bisa tersalur keparu-paru dan terus kekerongkongan.
Tak alang kepalang girangnya Tiong Giok karena usahanya berhasil baik, dan terus
menyalurkan tenaganya dengan baik. Lebih kurang sepemakan nasi lamanya sekujur badan In
Tiong Giok bermandikan keringat. Tapi capai lelahnya ini tidak sia-sia, sebab dengan
mendadakan Pek King Hong membuka matanya. Tapi dalam sekejap saja mata itu rapat
kembali. Parasnya tampak lemah dan menyedihkan.
187
Keletihan Tiong Giok seolah-olah terhapus kegirangan, ia menyalurkan terus tenaganya tanpa
berhenti, dan sekali lagi Pek King Hong membuka mata dan berkedip-kedip sambil
mengucurkan dua tetes air mata.
“Lo Cianpwee pusatkan perhatianmu dan kubantu mengatur hawa untuk menjalankan darah
sebentar lagi pasti berhasil..”
“Tak usah bercapai lelah…nak…tak …ada…gunanya,” jawab Pek King Hong dengan lemah
dan hampir-hampir tidak terdengar.
“Pasti berguna…mati-matian kusalurkan tenaga ini menolong Cianpwee !” Sehabis berkata ia
menyalurkan sekuat tenaga, hawa sejati bergolak semakin cepat dan lebih kuat dari tadi.
Dengan wajah pucat pasi Pek King Hong menggelengkan kepala dan berkata “Engkau
berusaha mati-matian, tapi tidak akan membawa hasil ! Jalan satu-satunya pergunakanlah Hiat
cie leng dan totokkan pada yang terletak disebelah kiri dada. Dengan begini aku mempunyai
kesempatan untuk mengutarakan perasaan hatiku…”
In Tiong Giok sudah kepayahan, tapi dengan tak ayal, ia memeramkan mata sejenak, lalu
melancarkan Hiat cie lengnya. Angin dari jari itu tepat mengenai sasarannya. Pek King Hong
berdehem sekali, kedua matanya sedikit rapat.
Hiat cie leng adalah ilmu maut yang ampuh, sedangkan Cio tay hiat adalah jalan darah
kematian tapi begitu kena diserang bukan saja Pek King Hong tidak menderita luka, bahkan
wajahnya yang pucat pasi perlahan-lahan menjadi semu merah. Waktu matanya melek,
pancaran matanya pulih kembali seperti dulu. Sebaliknya Tiong Giok sendiri telah
melancarkan Hiat cie leng menjadi termangu-mangu, keringatnya mengucur deras, semangat
dan tenaganya seperti habis dan menjadi loyo sendiri.
“Kutahu engkau mengeluarkan tenaga terlalu banyak !” kata Pek King Hong.
“Aku menyuruhmu memakai Hiat cie leng, untuk menjalankan inti darah diurat terakhir,
Engkau berhasil menjalankan darah itu, dan memberi kesempatan untukku mengutarkan
sesuatu kandungan hati. Jika engkau terlalu letih meramkanlah matamu, sambil mengaso
smabil mendengari kata-kataku.”
In Tiong Giok merasa lemas, cepat-cepat ia memejamkan matanya untuk memulihkan
kembali pernafasannya.
“Kisah cintaku sungguhpun malang dan menyedihkan, tapi hari ini aku bisa berkumpul lagi
dengan kekasihku. Tapi mau dikata apa, pertemuan itu hanya sejenak dan setelah itu
adalah…. Tapi apa yang terjadi ini, sedikitpun tidak perlu kusessalkan, semua maunya takdir.
Setelah kumati, engkau adalah Ciang bun jin Thian liong bun, hal ini tak bisa kau tolak lagi.”
Pelajaran dari Thian liong bun sangat luar biasa dan dlam serta luas. Maka itu pereempuan
jahanam itu berdaya upaya untuk merampas Thian liong bun. Dalam buku ini tertulis ilmu
pelajaran telapak tangan, tinju, meringankan tubuh, pedang, jari, lwekang (ilmu dalam).
Mungkin engkau tidak mengetahui bahwa Keng thian cit su adalah ilmu pedang yang tertera
pada Thian liong pu…”
188
“Apa ? Keng thian cit su sebagai ilmu pedang perguruan Thian liong bun ?” tanya Tiong Giok
sambil membuka matanya.
“Sedikitpun tidak salah !” jawab Pek King Hong. “Pernah kuterangkan padamu, bahwa Thian
liong bun memberikan pelajaran silat tanpa mendirikan perkumpulan, hanya jago-jago Bulim
memiliki kepandaian tinggi yang berasal dari Thian liong bun antaranya Sin kiam siang eng.
Untuk lebih jelas beberapa dari Bulim Cap sakie yang berilmu tinggi seperti gurumu yang
memiliki Hiat cie leng, Liap In Eng, Thay Kong Thaysu, Thay Cin Tojin semuanya tak
terlepas dari ilmu yang terdapat di Thian liong pu. Maka itu jika dinilai, Thian liong pu lebih
berharga entah beberapa kali lipat dari Keng thian cit su ! Karena itulah kaum Pok Thian Pang
berdaya upaya mengatur segala siasat mencelakakan diriku untuk memperoleh buku itu.”
“Kalau begini nyatanya sudah terang buku itu kena dirampas perempuan jahanam itu ?” tanya
In Tiong Giok.
“Ya kemarin malam ia menaruhkan obat penghancur hawa sejati didalam makanan yang
diberikan kepadaku, lalu dengan tiba-tiba ia menurunkan tangan jahat, menghancurkan tenaga
pelindung diri, untung aku sudah keburu menurunkan nafas kebagian anggota bawah, dan
mempunyai sisa hawa yang membuat bertahan sampai engkau memberikan pertolongan,”
suaranya terputus dan menjadi kecil,”sedangkan wajahnya menjadi pucat sekali.
“Lo Cianpwee engkau bagaimana ?”
“Bisakah engkau mengumpulkan tenaga lagi membrikan lagi Hiat cie leng ?”
In Tiong Giok mengangguk dan mengumpulkan kekuatannya yang terakhir memberikan
totokan pada Cio tay hiat Pek King Hong. Totokan ini membuat Pek King Hong
mengeluarkan nafas panjang, wajah pucatnya berubah merah kembali. Setelah mengaso
sejenak, semangatnya menyala kembali dan terus berkata : “Wah menyusahkanmu saja.”
JILID 10________
Memang benar, setelah melancarkan dua kali Hiat cie lengnya In Tiong Giok kehabisan
tenaga, napasnya memburu seperti kerbau kepayahan, tapi saat ini dia sudah melupakan
keadaan dirinya, begitu napasnya baikan, segera ia berkata : “Lo Cianpwee katakanlah dengan
jelas cara apa lukamu bisa sembuh ?”
“Isi perutku sudah rusak dan hawa sudah mongering, biar mendapat obat dewapun tak bisa
menyembuhkan. Sedangkan Hiat cie leng adalah ilmu dalam yang memakai tenaga sejati dan
membangkitkan kehidupan padaku untuk sejenak saja, beginipun cukup membuatku
menuturkan kata-kata sebelum meninggal dunia.”
“Bagaimanapun Lo Cianpwee tidak boleh meninggal dunia, untuk Thian liong bun dan untuk
Liap Lo Cianpwee.””Perasaan rindu selama tiga puluh tahun cukup terhibur dengan
pertemuan hari ini, padanya tiada yang kupikirkan lagi, tapi soal buku itu yang menjadi beban
pikiranku !”
“Tak perlu Lo Cianpwee kuatirkan akan kuusahakan merampas kembali buku itu !” kata In
Tiong Giok.
189
“Jangan kau rampas buku itu, pokoknya sanggupilah dua permintaanku.”
“Jangan kata dua, dua puluhpun akan kusanggupi !” jawab Tiong Giok.
“Bagus,” kata Pek King Hong. “Yang pertama setelah ku mati, dalam waktu kurang dari
setahun engkau harus pergi ke Cu cin san dan datanglah di puncak Giok hong hong, di sana
ada sebuah gua, dan ambillah sebuah benda peninggalan di gua itu, lalu menurut kata-kat
yang tertulis di dinding gua itu, untuk dikerjakan. Untuk bisa sampai digunung itu dan masuk
ke dalam gua engkau harus membawa kumala yang tempo hari kuberikan kepadamu, soal
yang kedua jenazahku tidak boleh dikubur, dan letakkan di dalam gua itu…”
“Semua ini kusanggupi, tapi buku itu haruskah dibiarkan terus ditangan Pok Thian Pang ?”
“Benar !”
“Kenapa ?”
“Sebabnya engkau akan mengerti sendiri dikemudian hari, saat ini keadaan dunia persilatan
mungkin sudah berubah lagi tak seperti sekarang !” kata Pek King Hong. Sejenak ia tidak
melanjutkan perkataannya, melainkan melirik kepada Liap In Eng yang berada disebelahnya.
“In Eng ! Engkau begini cantik, kenapa bernasib buruk ? Karena nasibkah ? Ai ! Dalam
kehidupan ini terjadi perpisahan abadi !”
Untuk penitisan kelak tak dapat diharapkan.
Dunia yang fana sebagai impian.
Duka derita bagian kita.
Sehabis membacakan sebait sair itu, sinar mata Pek King Hong menjadi sayu dan buram.
Wajahnyapun turut menjadi pucat dan dengan cepat berkerut-kerut serta menyusut seperti
kayu kering. Waktu Tiong Giok meraba dengan tangannya, sudah dingin membeku. Dengan
air mata bercucuran Tiong Giok menggoyang-goyang kedua tangan Pek King Hong sambil
berseru “Pek Lo Cianpwee ! Pek Lo Cianpwee…” Saat itu ia merasakan bumi berputar, suara
jeritannya menjadi habis, dan jatuh pingsan tanpa merasa…
Entah berapa saat sudah berlalu, waktu ia siuman dari pingsannya, mendapatkan dirinya
berbaring diatas ranjang tertutup selimut hangat. Tak jauh dari pembaringan terlihat seorang
babu sedang berdiri, dan Tong Cian Lie yang sedang duduk bersila. Wajahnya sangat pucat,
kedua matanya dimeramkan, seperti sedang memulihkan pernapasannya.
Tiong Giok kesusahan untuk bangkit, tapi kepalanya seperti mau copot tak bisa diangkat. Dan
mendatangkan rasa sakit yang membuatnya tidur kembali.
“Apakah engkau ingin mati ?” kata Tong Cian Lie sambil membuka mata. “Kuperingati,
jangan bergerak jika mau hidup terus !”
“Aku…aku kenapa ?” tanya Tiong Giok.
190
“Tanya pada dirimu sendiri ! Kenapa rambut hangus, tenaga dan semangat hilang ? Jika aku
tak cepat kembali. Hm, ilmu kekuatanmu siang-siang sudah musnah !”
Tiong Giok menenangkan pikiran. “Bagaimana dengan Liap Lo Cianpwee ?” tanyanya.
“Bocah apakah engkau tak bisa tenang barang sedikit ?” kata Tong Cian Lie.
“Jika engkau ngomong terus, jiwamu pasti tak akan tertolong, dan percuma saja aku
membuang tenaga menolongmu. Soal Liap In Eng tak perlu kau pusingkan, jalan darqahnya
sudah kubuka dan ada diloteng depan sedang tidur nyenyak.”
Tiong Giok menutup mulut tak berani banyak bertanya lagi, hanya sepasang matanya lirik
sana lirik sini memandang Tong Cian Lie dan bujang tua itu bergantian. Sebenarnya ia ingin
menanyakan jenazah Pek King Hong, tapi takut dibentak Tong Cian Lie yang bertabiat
berangasan. Namun gerak geriknya ini tidak luput daripandangan matta Tong Cian Lie, maka
itu ia berkata : “Apakah engkau memikirkan soal jenazah itu ? Tenangkan hatimu, aku sudah
menyuruh orang menggotong pergi…”
“Tong Cianpwee jenazah itu tak boleh dogotong..”
“Apakah harus diletakkan terus dipembaringan Liap Kounio ? Sungguhpun aku tak tahu dia
siapa, kutahu tentu sahabat baikmu, maka kubeli peti mati dan memasukkan kedalamnya,
apakah yang kulakukan salah ?”
“Maksudku bukan begitu…”
“Aku segan menanyakan apa maksudmu, ringkasnya jenazah itu ada dihalaman belakang, dan
pasti tidak akan hilang ! Engkau jangan banyak bicara, mengasolah dengan tenang, nanti
setelah sembuh baru bicara lagi.” Lalu ia menoleh kepada babu tua, “Sekarang engkau boleh
pergi, dan jangan lupa obat itu masak dengan baik, dan pil itu diberikan pada Siociamu
sebutir, perhatikanlah baik-baik, dan jangan sampai ia bangun.”
“Babu tua itu segera berlalu, Tong Cian Lie segera memejamkan mata lagi melakukan
perbaikan jalan napasnya.
Terhadap jago bersifat berangasan ini, disamping menaruh hormat Tiong Giok merasa jerih.
Maka iapun segera memejamkan mata menyalurkan lagi hawa sejati dan lwekangnya. Setelah
melakukan istirahat dan perbaikan atas hawanya, yang dilakukan dengan giat, rasa sakit
dibadannya berangsur-angsur hilang. Waktu ia membuka matanya kembali, matahari telah
condong ke barat. Sedangkan Tong Cian Lie sudah berdiri didepan ranjang sambil
memandang kearahnya. Dan memberikan sebutir obat : “Makanlah obat ini !”
Tiong Giok menerima obat itu dan menelannya, tak selang lama ia merasakan sekujur
badannya menjadi panas dan membuat semangatnya berangsur-angsur pulih. Dicobanya
bangun. Ia berhasil dengan baik, bahwa saking girangnya ia lupa menghaturkan terima kasih
dan langsung saja bertanya.
“Waktu Lo Cianpwee mengejar perempuan jahanam itu, apa Lo Cianpwee tidak melihat
seorang gadis yang bernama Pek Wan Jie ?”
191
“Hm ! Kekuatanmu belum pulih semua, sebaiknya lebih banyak istirahat dari pada berkatakata
!”
“Aku merasakan tujuh puluh lima persen kekuatanku pulih kembali. Jika Lo Cianpwee tak
mau memberitahu hatiku mana bisa beristirahat dengan tenteram.”
“Apakah gadis yang bernama Wan Jie itu mempunyai hubungan yang dalam denganmu ?”
“Ya.”
“Dan berhasilkah Lo Cianpwee mengejar mereka ?”
“Masakan aku tak berhasil mengejar segala perempuan itu !”
“Kalau begitu perempuan jahat itu sudah ditangkap ?”
“Siapa yang mengatakan ?”
“Habis bagaimana ?”
“Aku mempunyai pantangan tidak bisa turun tangan terlebih dahulu terhadap wanita !”
“Kalau begitu kerjaan Lo Cianpwee tidak membawa hasil ?”
“Hm ! Siapa yang bilang ?”
“Habis kalau Lo Cianpwee tidak turun tangan bukankah perempuan-peempuan itu berhasil
meloloskan diri ?”
“Sungguhpun aku mempunyai pantangan yang beitu, tapi jika perempuan itu tidak mau
menurut kata-kataku, akan kuhajar juga, nah Sun Toa nio sebagai contohnya.”
“Selanjutnya bagaimana ?”
“Tatkala kena kukejar, kulihat mereka semuanya adalah perempuan melulu, maka aku tidak
bisa turun tangan terlebih dahulu; kuperingatkan mereka kembali kesini. Bukan saja
perempuan jahanam itu tidak menggubris perintahku, malahan ia menyuruh delapan
pelayannya menghadangku. Akibatnya mereka turun tangan terlebih dahulu dan akupun tidak
sungkan-sungkan lagi.”
“Bukankah pelayan-pelayan itu empat mengenakan pakaian biru dan empat mengenakan
pakaian merah ?”
“Benar !”
“Adakah Lo Cianpwee melukai mereka ?”
“Engkau sudah mengatakan mereka sebagai anak buah Liap In Eng bukan ? Maka itu aku
tidak melukainya, melainkan membekuk satu persatu dan membawanya lagi kemari !”
192
“Ah celaka !” seru Tiong Giok.
“Apa katamu ?”
“Maksudku agar mereka pura-pura tunduk dan ikut kemarkas pusat Pok Thian Pang. Bila
mana sampai saatnya kita melakukan serangan kesana, mereka bisa menyambut dari dalam
dan melicinkan perjuangan kita menghancurkan perserikatan jahat itu tapi tak kira Lo
Cianpwee telah membawa mereka kembali kesini !”
“Untuk usahamu itu tidak perlu memakai banyak orang.” Kata Tong Cian Lie, “tiga orangpun
sudah cukup. Kuajak mereka kembali, mengingat keadaan Liap In Eng sudah buta dan perlu
mendapat perawatan sebaik mungkin dari pelayan-pelayannya.”
“Ya pendapat Lo Cianpwee benar juga, aku tak memikir sampai kesitu.”
“Soal yang engkau tak piker masih banyak, ingin kutanya kepadamu apa Pek Wan Jie itu
benar-benar baik padamu ? Atau hanya pura-pura baik ?”
“Pikir saja ia berani meninggalkan maskas pusat Pok Thian Pang karena diriku, maka
kebaikannya tak perlu diragukan lagi !”
“Hm, engkau mengatakan begitu, yang sebenarnya ia tidak menghianati Pok Thian Pang
seujung rambutpun.”
“Bagaimana Lo Cianpwee berani memastikan ?”
“Waktu kukejar perempuan jahanam itu dan dihalang-halangi pra pelayan, ia berniat
meloloskan diri, tapi dengan pukulan geledek kulihat ia luka parah. Sebenarnya dengan
mudah bisa kutangkap, kalau tidak ditolong Pek Wan Jie ! Untung aku masih mengingat gadis
itu sebagai kawanmu, jika tidak iapun pasti terluka ditanganku !”
“Ah, untung Lo Cianpwee tidak melukainya.”
“Atas inikah engkau bergirang ?”
“Pek Wan Jie seorang gadis yang welas kasih sejak kecil dia dibesaarkan di Pok Thian Pang,
Soat Kouw adalah bibinya, sudah tentu mempunyai hubungan bahtin yang mendalam, tak
heranlah dia memberi pertolongan dikala bibinya menderita luka bukan ? Atas perbuatannya
itu mendapat jasa besar, dan bisa menebus kesalahannya di Pok Thian Pang, karena inilah aku
bergirang hati.”
“Tak kira engkau semuda ini sudah tergila-gila paras cantik.” Kata Tong Cian Lie sambil
menarik napas panjang. “Sedangkan kedudukan Wan Jie sebagai kawan atau lawan belum
bisa diterntukan bukan ? Menurutku lebih baik mengurangi pacar-pacaran dengannya ! Dalam
hal ini aku bermaksud baik, dan engkau jangan salah terima.”
“Aku menerima wejangan dari Lo Cianpwee dengan tulus ikhlas,” kata In Tiong Giok.
“Soal disini sudah beres, apakah engkau masih mau pergi ke Pek liong san ?”
193
“Sudah tentu !”
“Keadaan fisikmu masih lemah…”
“Kurasa tidak menjadi soal,” potong In Tiong Giok. “Tapi sebelum itu, soal Liap Lo
Cianpwee harus dibereskan dulu.”
“Hal ini tak perlu kau kuatirkan, ia bisa menyingkir dulu ke Kiu yang shia dibawah
perlindungan pelayan-pelayannya,” kata Tong Cian Lie. “Jika engkau masih kuatir, aku bisa
minta bantuan kaum pengemis yang menjadi anak buah Cian bin sin kay, untuk melindungi
sampai ketempat tujuan.”
“Liap Lo Cianpwee mau kesana ?”
“Jika menanyakan kepadanya sudah tentu ia tidak mau, kini tak perduli ia mau atau tidak, kita
harus mengusahakan sampai ia mau !”
Setelah mengambil keputusan ini, Tong Cian Lie membubarkan babu-babu tua dengan
memberi uang. Dan memanggil gadis-gadis berbaju biru dan merah, diterangkan pada mereka
apa yang akan diperbuatnya untuk menyelamatkan Liap In Eng; mereka menyetujui usul itu
sambil menghautrkan terima kasih. Dari delapan gadis berbaju merah yang bernama Cu lian
dan Ing jie untuk mendampingi Siocianya disepanjang jalan, sedang yang lain dibagi menjadi
tiga grup untuk berjaga dengan bergilir.
“Soal Liap In Eng bisa diatur, dan soal Pek King Hong adalah urusanmu,” kata Tong Cian
Lie.
“Soal ini sudah kupikirkan !” kata Tiong Giok. Diajaknya Tong Cian Lie, membawa jenazah
Pek King Hong kesebuah kelenteng, berbareng dengan bantuan kaum Kay pang (pengemis)
untuk menyediakan sebuah perahu untuk keperluan Liap In Eng. Setelah mengatur keperluan
dengan beres, Tong Cian Lie dan In Tiong Giok baru naik keloteng menemui Liap In Eng.
Dalam pikiran mereka Liap In Eng tidak akan setuju meninggalkan tempat kediamannya, dan
diluar dugaan mereka begitu naik keloteng, tampak Liap In Eng sudah siap seia dengan
oakaian yang rapih menunggu kedatangan mereka didalam kamar.
Tong Cian Lie dan In Tiong Giok menjadi melengak menyaksikan ini, sehingga tidak bisa
membuka mulut.
“Apakah sudah mendapat perahu, dan kapan berangkat ?” tanya Liap In Eng perlahan.
“Oh kiranya Kounio sudah tahu,” kata Tong Cian Lie sambil tersenyum-senyum. “Kami
mengira Kuonio keberatan meninggalkan tempat ini, karena itulah kami tidak memberitahu.”
“Sewaktu-waktu orang buta lebih tajam perasaannya dari yang melek,” kata Liap In Eng,
tambahan perabotan dari rumah sebesar ini, biarpun sudah terbakar sebagian tak mudah
dibersihi dalam waktu sejenak. Kesibukan-kesibukan dari para pelayanku itu, tak bisa
dibohongi.”
194
“Tempat ini sudah diketahui kaum Pok Thian Pang dan tidak bisa ditinggali terlebih lama
lagi. Untuk sementara sebaiknya mengungsi ketempat aman, balik lagi kesini jika kaum
penjahat itu sudah terbasmi !”
“Soal rumah ini tidak kupikirkan dan kemana kalian mau membawaku, aku menurut saja, tapi
sebelum berangkat tunjukkanlah dimana kuburan dari Pek King Hong.”
“Oh, kiranya segala apa Kounio sudah mengetahui,” kata Tong Cian Lie.
“Jenazah Pek King Hong belum dikebumikan dan sementara waktu dititipkan disebuah
kelenteng. Sudah sepatutnya Kounio memberikan penghormatan terakhir kepadanya sebelum
melakukan perjalanan.”
“Terima kasih atas kebaikan Tong heng, aku biarpun tidak bisa melihat tapi bisa juga meraba
petinya. Setelah itu entah tahun mana bulan mana baru bisa menyambangi kuburannya lagi !”
Tong Cian Lie segera menyuruh kaum pelayan mengajak Siocianya turun dari loteng. Cui lian
dan Ing jie memayang Liap In Eng turun kebawah dan naik keatas joli, terus berangkat
kekelenteng.
Dalam waktu singkat mereka telah tiba ditempat tujuan, keadaan sangat sunyi dan sepi. Joli
berhenti didepan pintu kelenteng, Liap In Eng dibawah payangan kedua pelayannya masuk
kedalam. Ia merandek sejenak dan bertanya : “Kenapa jenazah diletakkan disini dan tidak
dikubur ?”
“Ini kehendak Pek Lo Cianpwee sendiri, agar jenazahnya bisa dibawa kegoa di Hong hong
san !”
“Siapa yang mendampingi sebelum ia menutup mata ?”
“Aku yang mendampingi.”
“Jika begitu waktu perempuan itu menurunkan tangan jahatnya, belum mati ?”
“Ya belum mati, tapi sekuat tenaga kuusahakan untuk menyelamatkan jiwanya, tetap tak
berhasil, karena lukanya kelewat parah.”
“Ah menyusahkan engkau saja…” suaranya bergetar dan tak tersambung lagi datangnya isak
tangis yang memilukan.
Tong Cian Lie mengedipkan para pelayan, agar mendesak Liap In Eng lekas-lekas
menjalankan penghormatan terakhir kepada kekasihnya.
“Siocia jangan bersedih terus, semua kemauan takdir, manusia tidak bisa mencegahnya.
Lakukan upacara duka cita ini selekasnya, agar kita bisa berangkat secepatnya.”
Liap In Eng seperti mendengar seperti tidak perkataan pelayan itu, ia tetap bertanya pada In
Tiong Giok : “Apa yang diucapkan sebelum ia menutup mata ?”
“Pek Lo Cianpwee sebelum menutup mata membacakan sebait sajak yang berbunyi :
195
Dalam kehidupan kini terjadi perpisahan abadi
Untuk penitisan kelak tak dapat diharapkan
Dunia yang fana sebagai impian
Duka derita bagian kita.
Liap In Eng semakin bersedu-sedu mendengar sajak itu, demikian juga dengan Tong Cian Lie
menjadi turut mengucurkan air mata.
Liap In Eng berulang kali membaca sajak itu, agaknya sajak itu membawa hiburan besar
baginya.
“Kounio marilah kita berangkat !” ajak Tong Cian Lie.
“Ya, seharusnya kita cepat berangkat !”
In Tiong Giok merasa ganjil mendengarkan ucapannya. Liap In Eng membenturkan
kepalanya pada peti dengan gerakan kilat. Tong Cian Lie menjambret tangan tapi tak berhasil.
“Bung” terdengar bunyi keras, kepala Liap In Eng tepat mengenai kayu peti yang keras dan
pecah !.
Tong Cian Lie membebaskan totokan Tiong Giok dan kedua pelayan, lalu memeriksa keadaan
Liap In Eng, ia mendapatkan kawan itu telah menutup mata untuk selama-lamanya.
Pelayan-pelayan yang setia menjerit-jerit mengeluarkan tangisan.
Tong Cian Lie terpekur dengan mengucurkan air mata. Ia seorang yang berkedudukan tinggi
di dunia persilatan, seharusnya tidak boleh mendesaknya meninggalkan tempat kediamannya.
“Dan kitapun berlaku lengah tidak menjaga dirinya, tapi semua ini adlah kehendaknya dan
dengan begini ia mencapai kepuasan untuk menghabiskan sisa hidupnya yang penuh derita.”
“Bawalah jenazah Siocia kalian kerumah nanti kami bisa membereskan upacara
penguburannya.”
Dengan kesedihan yang berlimpah-limpah pelayan-pelayan bertekuk lutut dihadapan jenazah
Siocianya, sedangkan Tong Cian Lie dan In Tiong Giok segera berangkat membeli peti dan
keperluan lainnya.
Karena tidak mendapat kuli Tiong Giok membopong peti mati, sedangkan Tong Cian Lie
membawa keperluan sembahyang dan cepat kembali kerumah.
Tak kira begitu mereka masuk kedalam, menjadi terkejut dan melongo melihat pemandangan
didepan matanya. Jenazah Liap In Eng sudah terbungkus rapi kain putih dan dibaringkan
diatas ranjang. Delapan pelayannya yang biasa mengenakan baju biru dan merah, sudah
bersalin pakaian berkabung bertekuk lutut mengelilingi jenazah Siocianya, tapi semuanya
telah mati membunuh diri.
196
Diatas meja terdapat sebuah kain putih bertulisan darah yang berbunyi :
Kami menerima budi besar dari Siocia, biarpun mati budi itu tidak akan terbals. Tapi sewaktu
perempuan jahanam mencelakakan Siocia kami tidak bisa melindungi dan menyelamatkan,
inilah suatu dosa besar bagi kami yang tidak akan tercuci bersih seumur hidup. Dalam
kehidupan menderita dan menerima segala penghinaan dari jahanam itu. Kami terbebas berkat
bantuan dari Jiewie. Antara Siocia dan kami bisa berkumpul lagi menjadi satu, saat ini
menggirangkan kami ! Akan tetapi berjalan terlalu singkat, karena Siocia menghabiskan
jiwanya dengan membunuh diri, sebagai bidak-budak yang ingin tetap beserta di dunia
maupun di akhirat kami mengiringi kepergian Siocia kedunia baqa.
Mudah-mudahan sukalah Jiewie mengubur mayat kami disamping Siocia kami yang tercinta,
atas ini roh-roh kami hanya berdoa atas kebahagiaan Jiewie…..
Tong Cian Lie dan In Tiong Giok keduanya menjublek seperti patung dengan air mata
berlinang-linang. Lama mereka tak bersuara, dan entah keluar dari mulut siapa suara yang
berbunyi : “Ah…perempuan….perempuan !” memecahkan kesunyian itu.
Keesokan harinya ditaman bunga terdapat sebuah kuburan besar yang dikelilingi delapan
kuburan yang agak kecil. Pada batu nisan tertulis. Disinilah tempat beristirahat untuk selamalamanya.
Pendekar wanita Liap In Eng. Dan disetiap kuburan lain tertulis pula nama-nama
dari pelayan-pelayan yang setia itu.
Dengan isakan tangis kecil, Tong Cian Lie maupun In Tiong Giok bertekuk lutut didepan
makam Piau siang kiam Liap In Eng sambil membaca doa didalam hati. Setelah itu dengan
langkah berat mereka meninggalkan tempat itu untuk pergi ke Pek liong san.
Tiat po atau perkampungan Benteng Besi terletak dikaki gunung Pek liong san. Sebab
perkampungan itu dikelilingi pagar tembok yang kokoh dan berwarna kelabu seperti besi,
maka disebut perkampungan Benteng Besi.
Dua puluh tahun yang silam, masa jajahan Sin kiam siang eng didunia persilatan,
perkampungan ini dianggap “keramat” oleh manusia sungai telaga, baik golongan hitam
maupun putih. Kuda dan kereta-kereta dari segala pelosok banyak yang datang kesitu.
Perkampungan Hui-hui yang bertetangga dengan perkampungan Tiap po pun menjadi ramai,
sebab sebelum orang-orang sampai diperkampungan Tiat po harus singgah terlebih dahulu
diperkampungan Hui-hui.
Tapi sejak ketua perkampungan Tiat po yang bernama Tiat Giok Lin meninggal dunia dan
nama Sin kiam siang eng hilang dari dunia Kang Ouw perkampungan itu menjadi sepi, dan
lama kelamaan seperti dilupakan orang.
Jalanan yang menuju perkampungan itu, karena kelewat lama tak dilalui orang telah
ditumbuhi alang-alang; sedangkan losmen-losmen diperkampungan Hui-hui satu demi satu
gulung tikar. Dan tinggal sebuah losmen yang bernama Hiong hin can masih bertahan, inipun
dikarenakan pemiliknya adalah penduduk asli dari perkampungan itu. Sungguhpun begitu
losmen ini telah dibagi dua, separuh untuk berdagang sapi dan separuh tetap sebagai losmen.
Sudah bertahun-tahun losmen ini tidak dikunjungi seorang tamupun. Kesepian ini disebabkan
197
Lim Giok Bwee sejak kematian suaminya, melarang anak buahnya keluar dari perkampungan
itu juga tidak menerima tamu dari luar.
Hari ini mungkin pemilik losmen Hiong hin can yang bernama Ma Hui In dapat rejeki, pagipagi
kedatangan tiga tamu yang mau bermalam. Ketiga tamu itu semuanya berkuda, antaranya
dua masih muda-muda dan satu lagi sudah tua, nampaknya gagah-gagah.
Ma Hui In seperti bertemu dengan malaikat uang, dengan tersenyum-senyum dan terbungkukbungkuk
menyambut tamunya sambil mempersilahkan masuk. Anak bininya sibuk
membersihkan meja dan kamar serta memasak air menyeduh the.
Orang tua itu segera duduk sambil memandang sekeliling, sedangkan yang muda berdiri dikiri
kanannya tak berani duduk.
“Kalianpun duduklah dan berlaku wajarlah agar tidak dicurigai orang,” kata siorang tua.
Kedua orang muda itu mengangguk dan duduk dikiri kanan si orang tua.
Ma Hui In dengan tersenyum-senyum menghampiri tamunya. “Sam wie sudah makankah ?
Disebelah ada jual daging sapi, jika perlu bisa kupesankan….”
“Soal makanan boleh belakangan, sekarang aku perlu bicara dulu denganmu.”
“Baik ! Baik ! Silahkan bicara !”
“Di kampung ini terdapat berapa losmen ?”
Ma Hui In tergelak-gelak mendengar pertanyaan ini. “Pertanyaan tuan memang tepat, terus
terang dulunya dikampung ini terdapat enam tujuh losmen…”
“Yang ditanya adalah sekarang, bukan yang dulu !” kata anak muda disebelah kiri.
Perkataan anak muda itu sangat nyaring dan kasar, membuat Ma Hui In terkejut, sehingga
menjadi gugup. “Ini…ini..engkau…..”
“Jangan takut, jawablah dengan singkat !” kata si orang tua.
Setelah menenangkan diri sejenak Ma Hui In baru berkata: “Aku tak berani membohong,
sekarng tinggal satu satunya ialah losmen ini yang terdapat dikampung ini.”
“Bagus,” kata si orang tua, “losmen ini ada berapa kamar ?”
“Sebenarnya losmen ini; Ma Hui In mengubah kebiasaan bicaranya karena dideliki kedua
anak muda yang galak itu. “Ada lima kamar.”
“Hanya lima ?” kata siorang tua sambil mengerutkan kening. “Mana cukup…”
“Jika merasa kurang banyak, kamarku boleh dipakai dan aku bisa pindah kedapur. Kamarku
cukup besar dan bisa dijadikan dua kamar.”
198
“Baiklah, kuminta selekasnya kamar-kamar dibersihkan termasuk kamarmu itu ! Sejak hari
ini jangan terima tamu lagi !”
“Mengertikah ?” bentak anak muda yang disebelah kiri.
“Mengerti ! Segera kusiapkan !” kata Ma Hui In yang terus berlalu. Tapi baru beberapa
langkah ia dipanggil lagi si orang tua. “Sini dulu, ingin kutanya padamu, apakah dalam satu
dua hari yang lalu, losmen ini pernah menerima tamu ? Atau juga dilalui orang ?”
“Losmenku ini entah bertahun-tahun tidak didatangi tamu !”
“Atau engkau pernah melihat, sewaktu keluar rumah seorang tua dan seorang anak muda di
kampung ini ?”
“Tidak ada ! Benar-benar tidak ada, sebab kampung ini hanya mempunyai satu jalan setiap
orang yang masuk ke kampung ini pasti dapat kuketahui !”
“Nah siapkanlah kamar dan makanan !” kata si orang tua.
Begitu Ma Hui In pergi, orang tua itu dengan tersenyum menoleh kepada anak muda dikiri
kanannya. “Kalau begitu terlebih dulu dari mereka !”
Ma Hui In repot setengah mati memberesi kamar-kamar kosong yang sudah bertahun-tahun
tidak didiami orang. Atas ini orang tua itu memberikan uang lima puluh tail perak.
Tak selang lama diluar losmen datang lagi tiga tamu, orang tua ini segera keluar sambil
tersenyum. Setelah bersalam-salaman mereka masuk ke dalam kamar. Kedua anak muda yang
galak didalam kamar ini kedudukannya tak ubah sebagai pelayan. Repot menuang arak dan
menghidangkan makanan pada tiga tamu yang baru datang.
“Kita berhasil lebih dulu sampai dari mereka,” kata siorang tua. “Tong Cian Lie maupun In
Tiong Giok menurut kabar belum sampai dikampung ini. Kini Jiewie Fut hoat dan Tong leng
juga sampai tepat pada waktunya, selanjutnya bagaimana kita harus menghadapi lawan-lawan
itu, kuserahkan pada Jie wie Fut hoat.”
“Karena Tan Cuncu yang sampai terlebih dulu, sebaiknya engkau saja yang mengatur,” kata
salah seorang Fut hoat yang bukan lain dari Tok Kay Pong adanya.
“Aku hanya sebagai pembuka jalan,” kata Tan Cuncu itu yang bukan lain dari Tan Toa Tiau
adanya. “Sedangkan soal selanjutnya Lo Cucong menyerahkan pada Fut hoat yang
mengaturnya.”
“Baiklah,” jawab Tok Kay Pong. “Aku dan Kam Fut hoat akan menghadapi Tong Cian Lie
soal In Tiong Giok kuserahkan pada Lie Tong Leng dan Tan Cungcu.”
“Tapi tugas utama yang dibebankan Lo Cucong kepad kita, yakni biar Tong Cian Lie lolos,
asal jangan In Tiong Giok !” kata Lie Kee Cie.
“Apakah kita harus menghajarnya begitu mereka sampai disini ?” tanya Lie Kee Cie.
199
“Benar !” jawab Lie Kee Cie.
“Menurut hematku, cara begini sukar dilakukan dan resikonya terlalu besar,” kata Tok Kay
Pong sambil menggelengkan kepala.
“Habis bagaimana ?” tanya Lie Kee Cie.
Didahului dengan tertawanya Tok Kay Pong membuka mulut. “Bukan aku mengecilkan
kekuatan sendiri dan membesarkan kekuatan musuh. Sesungguhnya ialah kekuatan kami
berdua, jika disbanding dengan Tong Cian Lie dalam keadaan berimbang ! Sedangkan In
Tiong Giok jangan dipandang remeh, ia sudah pandai Keng thian cit su ! Tugas yang kita
terima hanya boleh menang tidak boleh kalah ! Untuk memperoleh kemenangan inilah kita
harus berpikir terlebih panjang.”
“Habis bagaimana ?” tanya Tan Toa Tiau.
“Pepatah mengatakan: senjaata terang mudah ditangkis, senjata gelap sukar dijaga !
Menurutku, akan menyediakan dulu suatu perangkap bagi mereka, setelah itu baru
melancarkan cara gelap, kemudian baru cara terang !”
“Aku kurang mengerti, maksud Fut hoat !” kata Tan Toa Tiau.
“Begini…” kata Tok Kay Pong sambil membisiki kuping kawannya.
“Biarpun cara ini sangat baik, tapi kurang sempurna. Kesatu tidak boleh bertemu muka
dengan mereka, karena kenal. Kedua jika mereka langsung ke Tiat po bagaimana ?” kata Tan
Toa Tiau.
“Legakan hatimu, pokoknya beres,” kata Tok Kay Pong. “Jika usaha ini gagal, baru kita
berkelahi secara terang-terangan.”
“Bagaimana pendapat Lie Tong leng ?” tanya Tan Toa Tiau.
“Aku menurut saja seperti yang diatur Tok Fut hoat !” jawab Lie Kee Cie.
“Kam Fut hoat bagaimana ?” tanya Tan Toa Tiau.
Kam Hong yang sejak tadi diam saja karena asyik dengan araknya, hanya menganggukkan
kepala saja.
“Jika begini baiklah kita jalankan siasat Tok Fut hoat,” kata Tan Toa Tiau.
Setelah mereka makan minum dengan kenyang, Tok Kay Pong dan Kam Hong masingmasing
menempati sebuah kamar beristirahat.
Sedangkan Lie Kee Cie tanpa istirahat lagi mengontrol kedalam losmen itu, lalu pergi keluar
untuk memeriksa keadaan kampung.
200
Tan Toa Tiau membisiki Ma Hui In untuk menyiapkan sesuatu kepeerluan dan memberikan
pemilik losmen itu uang emas. Setelah itu pintu losmen dibuka lebar-lebar. Dalam waktu
sekejap Hiong hin can telah berganti rupa, dari kotor dan berantakan menjadi rapi dan bersih.
Dua pengawal yang mengiringi Tan Toa Tiau berubah jadi “pelayan” losmen itu. Di masingmasing
pundaknya terlihat selebet bersih, pura-pura membersihkan ini itu sambil menunggu
tamu yang dinanti-nantikan.
Kini perangkap telah dipasang, menunggu kedatangan mangsanya saja. Tapi yang dinantikan
itu sebegitu lama belum kunjung tiba, membuat kedua pelayan menjadi kesal….Matahari
hampir silam kebarat, kedua pelayan sudah mengantuk, tapi tak berani memeramkan matanya,
karena sedang menjalankan tugas. Matanya telah menjadi panjang dan sepat, kakinya merasa
ngilu, leherpun pegal, masih harus tetap bertugas ditempatnya dengan patuh. Saking kesal
mereka menggerendeng didalam hatinya : “Dasar aku orang bawahan harus terima nasib
seperti ini, coba kalau aku menjadi Fut hoat atau Cung cu, sudah kenyang makan minum, bisa
enak-enakan menggeros diranjang.”
Sedang enak berpikir sambil nyap-nyap, ia dikejutkan dengan derpan suara kuda yang datang
dari mulut kampung ! Mata mereka yang sepat menjadi terang ! Karena yang diharapkan dan
dinantikan akhirnya datang juga!
Derapan kaki kuda semakin lama semakin tegas, tak selang lama dari mulut kampung terlihat
sebuah kereta. Kedua lelaki tanpa berasa mengucak-ucak matanya menegasi, lalu menyekanyeka
meja dan berlaku sewajar mungkin, menantikan kedatangan kereta itu.
Setelah melintasi jalan besar, kereta itu menuju ke losmen Hiong hin can dan berhenti di
depannya. Dari dalam kereta turun seorang laki-laki berusia lebih kurang empat puluh tahun,
wajahnya mengkilap dan berminyak. Tak ubahnya seperti seorang kaya. Tanpa berasa lagi
datang kekecewaan dilubuk hati kedua laki-laki yang berpura-pura menjadi pelayan.
Orang kaya itu mungkin sebagai saudagar yang biasa berkeliling dari satu tempat ke tempat
lain. Begitu memasuki Hiong hin can ia tersenyum sambil menyapa kedua pelayan itu dengan
pandangan matanya. “Hei majikanmu si orang she Ma itu pintar betul, seolah-olah tukang
nujum yang pandai dan bisa mengetahui kedatanganku !”
“Apakah engkau mau menginap ?” tanya salah seorang laki-laki itu.
“Aku Cian Bouw sudah berlangganan dengan Hiong hin can, maka kukatakan majikanmu
seperti tukang nujum, karena kulihat keadaan losmen ini sudah begini rapi dan beres,” kata
tamu itu yang membahasakan dirinya Cian Bouw. “Kuminta engkau memberikan rumput
pada kudaku, nanti kalian kuajak makan bersama-sama.”
“Maaf sekali tuan Cian, tidak ada kamar lagi bagimu, semuanya penuh…”
“Wah angin apa yang membuat losmen ini maju ?” kata Cian Bouw, “untuk ini aku
kenghaturkan selamat untuk majikanmu !” ia terus masuk melangkah kedalam.
Kedua laki-laki itu menjadi bingung dan buru-buru menghadang sambil tersenyum kecut,
“Maaf tuan Cian, kamar benar-benar sudah penuh !”
201
“Siapa yang mengatakan engkau emmbohong ?” kata Cian Bouw sambil tersenyum-senyum.
“Kalian rupanya pegawai baru dan tidak kenal diriku. Tanyakanlah majikanmu siapa aku !
Nanti ia akan memberitahu Cian Bouw adalah langganan lama yang tidak cerewet, biar tidak
tidur diranjang, ngampar-ngampar pun jadi, pokoknya asal bisa bermalam.”
Kedua laki-laki itu memandang pada Ma Hui In yang tampak dalam kecemasan dan diam saja
sedari tadi.
“Eh bagaimana ? Sudah kaya dan bisa memakai pegawai baru rupanya, sampai langganan
lama tak dihiraukan lagi ?”
“Tidak…tidak…hanya…hanya….” Jawab Ma Hui In dengan terbata-bata.
“Sudah terang kau tak memandang mata lagi pada kawan lama !” sindir Cian Bouw sambil
tersenyum-senyum. “Biarpun aku tak mempunyai toko dan hanya sebagai pedagang emas
keliling, tapi tak pernah berlaku pelit kepadamu bukan ? Tahun yang lalu sikapmu masih baik,
kuheran kenapa sekarang seperti tak kenal saja !”
Ma Hui In mencoba mengingat-ingat pedagang emas ini, tapi tetap tak bisa mengenali,
kepaksa ia tersenyum dan berkata : “Tuan Cian jangan marah, aku memperlakukan tamu baru
maupun lama secara adil, tapi jika sudah penuh mau dikata apa…”
“Ya aku mengerti kesulitanmu, tapi sudah kutekankan ngegelarpun jadi ! Aku memaksa,
sebenarnya tak patut, tapi kecuali Hiong hin can, tak ada losmen lain bukan ?”
“Engkau mungkin tak percaya bahwa tempat menggelar tikarpun sudah penuh,” kata Ma Hui
In. Nah silahkan periksa adanya…
“Ha ha ha, sungguh mati aku tak percaya omonganmu,” potong Cian Bouw dan terus
memeriksa kamar demi kamar.
Dalam lima kamar di losmen itu, antaranya empat sudah terisi, dan hanya tinggal sebuah
kamar kosong. Itupun diperuntukkan untuk menjebak In Tiong Giok dan Tong Cian Lie.
Begitu Cian Bouw mendapatkan kamar kosong ia menjadi gusar. “Apa artinya ini ? Terangterang
kamar kosong kenapa dikatakan penuh ? Apakah aku pernah menganglap bayaran
kamar ?”
Ma Hui In menjadi bungkam tak bisa berkata apa-apa lagi, sedangkan dua pelayan palsu itu
menjadi mendongkol dan mau marah, tiba-tiba saja dalam keadaan janggal ini salah satu
kamar membuka pintu. Tok Kay Pong dengan wajah yang selalu tersenyum tampak keluar.
“Tuan Ma setelah kudengar perkataan tuan ini, kuambil kesimpulan engkau salah ! Kenapa
sebagai pengusaha losmen, tidak mau menjawab kamar kosongnya ?”
“Ini….tapi…”
Tok Kay Pong mendahului berkata lagi, membuat Ma Hui In bungkam. “Tak perduli sudah
dipesan orang, pokoknya siapa yang datang duluan dialah yang wajib diterima. Maka itu
kuanjurkan, kamar kosong itu serahkanlah pada tuan ini. Dan jika pemesan tempat itu datang,
baru bicara lagi !”
202
Ma Hui In yang telah dijadikan boneka sudah tentu saja menerima dengan baik usul Tok Kay
Pong. Dan buru-buru membuka pintu kamar mempersilahkan tamunya masuk sambil
menyuguhkan minuman.
“Terima kasih banyak atas bantuan bapak, yang rendah Cian Bouw untuk ini mengajak bapak
minum bersama-sama, sebagai tanda terima kasihku,” kata Cian Bouw.
Tok Kay Pong menolak dengan halus sambil berkata : “Tak usah begitu, sama-sama orang
yang keluar rumah, sudah sepantasnya saling membantu bukan ? Nah, tuan mungkin habis
melakukan perjalanan jauh, silahkan istirahat….”
Cian Bouw mengangguk dengan perasaan terima kasihnya yang berlebih-lebihan, lalu
mengunci kamar dan makan minum seorang diri.
Tok Kay Pong mendekat pada Ma Hui In.
“Apakah engkau kenal dengannya ? Dan betulkah tahun yang lalu ia pernah kesini ?”
“Seingatku tidak pernah ia datang kesini, dan wajahnya tidak kukenal !” jawab Ma Hui In.
“Hm, jalan kesorga tidak ditempuh, kenapa menuju keneraka ? Tak perduli engkau sebagai
saudagar asli atau bukan, takkan kuberi ampun,” piker Tok Kay Pong. Dipanggilnya dua
pegawai yang pura-pura jadi pelayan. “Salah seorang kuminta tetap menjaga diluar, dan
seorang pergi kedapur mengambil arak yang panas.”
Kedua pengawal itu mengangguk dan pergi menjalankan tugasnya dengan patuh. Begitu arak
panas didalam teko diserahkan pengawal padanya, ia merogoh sakunya mengeluarkan sebuah
peles kecil. Dengan hati-hati tutup peles dibuka dan dikeprulkan sedikit puder dari peles itu
kedalam arak. “Ini adalah racun yang bernama Tok ngo san, pedagangitu kujadikan kelinci
percobaan dari keampuhan racun ini,” Nah berikanlah kepadanya, dan katakana arak ini
adalah hadiah dari Ma Hui In sebagai rasa penyesalan atas sikapmu tadi.”
Wajah Ma Hui In menjadi pucat dengan meratap ia memohon. “Aku hanya memiliki losmen
ini sebagai gantungan hidup kumohon jangan sampai terjadi peristiwa jiwa….
“Hm, jangan banyak bicara nanti kusilahkan engkau yang minum !” potong Tok Kay Pong.
Adapun yang dinamai racun Tok ngo san dibuat Thian lam sam kui dari seratus delapan
macam, serbuk kupu-kupu beracun. Dan menjadi semacam puder yang tidak berwarna dan
berbau. Jika dicampur dengan air, biarpun hanya sedikit bisa membuat yang meminumnya
mati mendadak. Sejak memiliki racun ini mereka lantas mengabdikan diri ke Pok Thian Pang.
Untuk mencari muka dari sang Pangcu mereka menyerahkan sepeles pada Pok Thian Pang.
Nah racun yang dipergunakan Soat Kouw untuk mencelakakan Liap In Eng maupun Pek King
Hong adalah Tok ngo san itu.
Kini Tok Kay Pong yang bertugas untuk menciduk Tong Cian Lie dan In Tiong Giok
menyadari dengan kepandaian silatnya tidak bisa memenangkan lawan, maka itu aku
menggunakan racun itu untuk memperoleh kemenangan. Tak kira sebelum racun
dipergunakan, datang Cian Bouw. Untuk tidak mengganggu siasatnya yang telah
direncanakan, maka itu Cian Bouw pun tidak diberi ampun.
203
Cian Bouw memang seorang penggemar arak, begitu melihat pelayan datang dengan seteko
arak panas sebagai tanda maaf atas kelakuan majikannya yang kurang hormat tadi, rasa marah
dan dongkolnya pada pemilik losmen itupun menjadi hilang. Cepat-cepat ia bangun sambil
tertawa. “Katakan pada majikanmu, sebagai kawan lama lebih sedikit kurang sedikit tak
diambil dalam hati. Kini ia membuang uang untuk membelikan aku arak, membuatku tak
enak sendiri !”
Pelayan palsu itu menaruh arak diatas meja dan membawa pergi sisa arak yang tidak beracun
diatas meja.
“Eh jangan pergi dulu, mari temani aku minum !” kata Cian Bouw sambil menarik lengan
pelayan palsu itu.
Keruan saja pengawal itu menjadi kaget dan berkata dengan gugup. “Aku tidak berani minum
arak !”
“Jangan takut, majikanmu pasti tidak akan marah, jika aku yang mengajak minum.”
Pengawal itu mana berani minum, dengan berbagai alas an ia melepaskan diri dari cekalan
Cian Bouw dan terus keluar.
“Ah dasar pegawai baru, masih sok rajin dan takut pada majikan !” sehabis berkata dan ia
segera menuang arak yang masih hangat itu lalu meminumnya. “Ah arak ini kenapa pedas
betul? Ah… perutku kenapa sakit…, Ah celaka ! Tolong !” Tubuhnya segera jatuh kelantai
dan berguling-guling dari mulutnya keluar darah, kaki tangannya berkerejatan, tampaknya
mau mati.
Kam Kong dan Tan Toa Tiau mendengar suara teriakan si saudagar, memburu datang,
menyaksikan mangsanya menggeletak dilantai, tersenyum puas dan berkata : “Ha ha ha Tong
Cian Lie inilah contoh untukmu” Belum kata-katanya diucapkan, pengawas yang bertugas
diluar, datang berlari-lari dengan cemasnya membawa berita “Datang ! Mereka datang !”
“Siapa yang datang, berkatalah dengan perlahan-lahan dan tegas !” kata Tan Toa Tiau.
Pengawal itu menunjuk keluar, “Tong Cian Lie dan In Tiong Giok sudah datang !”
“Berapa jauh lagi dari sini ?”
“Hampir tiba di mulut kampung !”
Tan Toa Tiau menarik napas lega dan berpaling kepada Tok Kay Pong. “Bagaimana dengan
mayat ini ?”
“Jangan gugup jalankan menurut rrencana yang sudah ditentukan,” kata Tok Kay Pong
dengan tenang. “Salah seorang pengawal lekaslah pergi temani mereka, guna menghambat
kedatangannya kesini.”
Pengawal itu mengangguk dan cepat pergi keluar.
204
“Eh kemana perginya Lie Tong Leng ?” tanya Tok Kay Pong tiba-tiba.
“Tadi ia mengatakan ingin melihat keadaan kampung ini…” kata pengawal yang berada
disitu.
“Kalau begitu lekaslah bawa mayat ini kekamar Lie Tong Leng dan bersihkan lantai lekaslekas
!” kata Tok Kay Pong. “Setelah itu engkau atau temanmu lekas ketemu Lie Tong leng
dan pesan padanya jangan kembali dulu kesini, kuatir dikenali bocah she In itu.”
Mereka beramai-ramai membersihkan lantai dan meja, setelah itu Tok Kay Pong, Tan Toa
Tiau dan Sam Kong menurut rencana yang telah diatur kembali kedalam kamarnya.
Kedua penunggang kuda yang bukan lain dari pada In Tiong Giok dan Tong Cian Lie telah
tiba dimuka Hiong hin can, kedatangan mereka disambut, “pelayan palsu” dengan senyuman
ramah. “Jiewie Toaya, silahkan mampir hari hampir malam !”
Tong Cian Lie menengadah keatas sambil berkata : “Ah benar, tanpa terasa hampir malam.”
“Hoo kee (sebutan ramah) pada pelayan losmen aku numpang bertanya, masih jauhkah
letaknya Tiat po ?” tanya In Tiong Giok.
“Oh tidak !” jawab sipelayan. “Tapi cuaca hampir malam, sebaiknya Jiewie toaya bermalam
dulu disini, besok baru kesana !”
“Memang kenapa ?”
“Sudah merupakan kebiasaan bahwa berkunjung kerumah orang dimalam hari, kurasa kurang
pantas !”
“Eh engkau benar !” kata Tong Cian Lie. “Mari kita bermalam dulu disini, besok baru
kesana.”
Tiong Giok pun menurut dan segera turun dari kudanya mengikuti jejak Tong Cian Lie,
sedangkan “pelayan” itu cepat-cepat menambat kuda itu disamaping. Begitu mereka masuk
kedalam losmen Ma Hui In menjadi kebat kebit, dengan terpaksa ia menyapa.
“Silahkan…silahkan duduk” suaranya gemetar, senyumnya lebih kecut dan buruk dari pada
orang manis.
Sikapnya ini ketemu tabiat Tong Cian Lie yang berangasan kontan mendapat semprrotan “Hei
jika segan menerima tamu, tutup saja losmen ini !”
“Oh bukan! Bukan ! Harap jangan salah paham “ kata Ma Hui In sambil menggelengkan
kepala dan menggoyangkan tangan dengan repotnya.
“Toaya jangan gusar, majikan kami penduduk asli kampung ini, tabiatnya kaku dan kurang
pandai menerima tamu,” kata si “pelayan” sambil tersenyum.
“Kalau begitu engkau bukan orang sini ?” tanya Tong Cian Lie.
205
“Orang sini, tapi sejak kecil senang merantau keberbagai tempat, sehingga mempunyai
pengetahuan lebih banyak dari majikanku sendiri.”
“Oh kiranya engkau adalah pelayan yang berpengalaman…” kata Tong Cian Lie dengan
mendelik.
Tiong Giok menyaksikan ini segera menyelak: “Lo Cianpwee apa gunanya ambil pusing
dengan pemilik penginapan ini, sehabis menginap besokpun kita pergi lagi, sama ada soal
yang lebih penting dari pada bertengkar dengan dia.”
“Justru tabiatku amat jahat, apa yang aku lihat tak pantas, ingin kujadikan pantas !” kata Tong
Cian Lie. “Eh Hok kee, sediakanlah kamar yang bersih !”
“Diloteng tersedia kamar yang bersih, silahkan toaya periksa !” berkata pelayan itu. Tong
Cian Lie menganggukkan kepala dan segera melangkah kedalam, sedangkan matanya masih
terus memandang Ma Hui In penasaran, kasihan pemilik losmen itu, biarpun ingin bicara
tidak berani mengeluarkan suaranya, terpaksa menahannya perasaan itu karena takut.
Keadaan kamar memang bersih dan beres. Membuat Tong Cian Lie merasakan puas, “tak
sangka di kampung ini ada losmen yang apik dan bersih. Hei bocah malam ini engkau boleh
tidur nyenyak untuk memulihkan semangatmu untuk dipakai esok di Tiat po !”
“Hok kee adakah lagi kamar semacam ini sebab kami berdua ?” kata Tiong Giok.
“Sayang losmen ini memiliki tidak banyak kamar, dan yang adapun sudah penuh dengan
tetamu. Kamar ini adalah yang terbaik dari sekalian kamar yang ada disini, jamak sajalah Siau
ya bermalam sekamar dengan Toaya ini.”
“Ya tidak apa-apa,” kata Tong Cian Lie, “ranjang ada dua kenapa pakai dua kamar segala ?
Lagi pula sehabis makan aku ingin jalan-jalan keluar, mungkin tengah malam baru pulang !”
“Lo Cianpwee mau kemana ?”
“Aku ingin melihat keadaan di Tiat po guna persiapan dihari esok !”
“Seharusnya aku yang mesti kesana…”
“Engkau akan menjadi tamu Tiat po, maka itu janganlah meninggalkan kesan buruk pada tuan
rumah !” kata Tong Cian Lie. Dan seterusnya ia memesan pada pelayan yang masih berada
disitu untuk menyediakan makanan dan minuman.
Dengan menganggukkan kepala dan badan terbungkuk-bungkuk “pelayan” itu keluar kamar
untuk menyediakan pesanan para tamunya. Sedangkan Tok Kay Pong yang berada disebelah
kamar, melalui lubang kecil mengintai gerak gerik Tong Cian Lie dan In Tiong Giok. Begitu
ia melihat kedua mangsanya menuju ketempat cuci muka yang berada dibelakang kamar,
cepat ia meninggalkan kamarnya dan terus menuju kedapur.
Sayuran maupun minuman telah siap didapur, Tok Kay Pong mengeluarkan Tok ngo san dan
memasukinya kedalam teko arak. “Engkau harus berlaku waspada dan hati-hati menyuguhkan
arak ini, jika berhasil jasamu akan kulaporkan ke pusat dan engkau bisa naik pangkat !”
206
“Terima kasih atas perhatian Fut hoat !” jawab pengawal itu.
“Aku harus kembali dulu kekamar dan akan mengintai pekerjaanmu ini.” Kata Tok Kay Pong.
“Dan beri tahu juga pada Kam Fut hoat dan Tan Cungcu agar berlaku tenang sambil
menunggu perubahan. Sebelum Tong Cian Lie roboh sekali-kali jangan berlaku gegabah.”
Waktu mereka bicara seorang pengawal yang ditugaskan mencari Lee Kee Cie telah kembali
dengan tergesa-gesa dan memberikan laporan : “Sudah kucari keempat pelosok kampung, tapi
tidak juga kutemui bayangan Lie Tong leng !”
Tok Kay Pong terdiam sejenak, lalu tersenyum dingin : “Biarlah ! Hasil sudah didepan mata,
ia tak ada ditempat, sama dengan pahala ini tak ada bagiannya. Sekarang pergilah kedepan
dan awasi Ma Hui In, jangan sampai ia masuk kekamar belakang, setelah usaha kita beres,
bunuh padanya !”
Setelah mengatur segalanya dengan beres, ia masuk kekamarnya sambil memasasng kuping.
Malam semakin larut kesunyian semakin terasa, sungguhpun begitu suasana di losmen Hiong
hin can mengandung hawa pembunuhan yang setiap saat bisa meletus.
Tok Kay Pong, Kam Kong dan Tan Toa Tiau dengan menahan napas, memasang telinga
selebar-lebarnya mendengari gerak-gerik dikamar lawannya dengan hati berdebar-debar.
Mereka sadar jika sampai Tong Cian Lie mengetahui permainan mereka, perkelahian hebat
bisa terjadi, dan jiwa mereka terancam kematian juga.
Sedangkan Ma Hui In dalam keadaan takut, keringat dinginnya membasahi sekujur tubuhnya.
Ia seorang penduduk yang hidup tenang kini menghadapi kejadian pembunuhan di
losmennya, membuatnya tak bisa tidur. Dan ia tahu saudagar she Cian telah dibunuh,
mayatnya berada didalam, jika dua tamunya yang baru datang ini terbunuh juga, akibatnya tak
berani dipikirkan. Ia hanya tahu kampung halamannya ini tak bisa ditinggali lebih lama lagi
jika apa yang dipikirkan itu terjadi semua. Ia harus merantau mengembara kenegeri orang
tanpa modal tanpa sandaran, mengingat ini hatinya semakin cemas dan hampa. Untuk
menghilangkan gejolak kecemasan hati yang berdebar semakin keras, ia berdoa didalam hati,
agar Tong Cian Lie dan In Tiong Giok tidak minum arak racun itu dan selekasnya
meninggalkan kamarnya….dan iapun berpikir bukanlah lebih baik ia meninggalkan tempat itu
sebelum terjadi pembunuhan ? Tapi apa yang menjadi harapannya itu tak bisa dilaksanakan,
berapa kali ia bangkit dari tempat duduknya, tapi dibawah tekanan sinar mata pengawal yang
mengawasi, ia duduk kembali.
Dalam losmen Hiong hin can hanya Tong Cian Lie dan In Tiong Giok yang tidak mempunyai
perasaan apa-apa. Mereka tetap dengan tenang merundingkan persiapan besok untuk
menghadap ke Tiat po, sedangkan “pelayan” sudah membawa segala hidangan dan minuman
kedalam kamar. Tong Cian Lie merasa kecewa melihat teko arak yang kecil dan segera
menegurnya. “Hei, apa-apaan kamu ini ? Arak seteko kecil ini untuk kucingpun tak cukup,
apa lagi kami ! Takut tidak dibayar ya ?
“Ah, Loya bisa saja, bukannya tidak ada teko besar, tapi untuk mempercepat servis
kubawakan teko kecil ini. Nanti setelah arak itu panas lagi akan aku bawakan dengan teko
besar.”
207
“Bawa pergi tukar dengan teko besar lekas,” bentak Tong Cian Lie.
“Pelayan” itu tak berani membangkang, lekas-lekas keluar kamar sambil menggerutu didalam
hati. “Ah, dasar mau cepat-cepat mampus !” Dan cepat-cepat ia kedapur mengambil teko
besar, arak berada didalam teko inipun sudah dicampur racun. Lalu cepat dibawa kekamar
tamunya.
Melihat teko ini Tong cian Lie menjadi puas juga, “tak perlu nongkrong disini lama-lama
lekas masuk lagi biar banyakan, seteko inipun tak cukup menghilangkan rasa hausku !”
Dan pelayan itu mengangguk tapi tetap tak keluar kamar. Ia melayani dengan telaten sambil
menuangkan arak kedalam cawan. “Loya boleh minum dengan tenang, persediaan banyak,
berapa banyak Loya mau bisa saja disediakan, silahkan minum !”
Tong Cian Lie mengangkat cawan arak dan meminumnya, lalu mengawasi warnanya juga.
“Ah arak ini cukup bagus dan tak beracun, kita boleh meminumnya dengan tenang.”
“Loya jangan bergurau,kami sebagai pengusaha kecil, mana berani…..”
“Ha ha ha, bukan aku curiga, setiap orang yang keluar rumah harus waspada dan hati-hati
bukan ? Andaikata ada racunnyapun kamipun tak takut, tapi yang menimbulkan kecurigaanku
adlah majikanmu itu ! Parasnya tak karuan dan tak sedap dipandang mata, mau tak mau
terhadap segala hidangan disini menimbulkan kecurigaan !”
“Loya sudah melihat, biarpun dia berwajah demikian tapi hatinya sangat baik !”
“Memang benar, yang berparas baik sewaktu-waktu jahat, dan yang berparas kriminil hatinya
baik !”
“Apa yang dikatakan Loya memang benar, nah silahkan minum jangan sampai arak ini
menjadi dingin !”
“Ya benar, arak dingin bisa merusak badan bocah mari kita minum !” kata Tong Cian Lie.
Baru saja Tiong Giok mengangkat cawannya dari kamar tengah terdengar suara orang
meerintih : “Aduh…aduh…perutku sakit…”
“Ih siapa yang sedang kesakitan ? Tidakkah Lo Cianpwee mendengarnya juga ?” tanya In
Tiong Giok.
“Ya aku mendengar dari kamar sebelah,” jawab Tong Cian Lie. “Hoo kee siapa yang sedang
kesakitan itu ?”
Pelayan itu menggigil tak keruan, sebab telinganyapun mendengar suara rintihan tadi dan
mengenali itulah suara Cian Bouw si saudagar emas. “Mungkinkah dia belum maati ?”
pikirnya dengan cemas.
“Hei tidakkah kau mendengar pertanyaanku ?” bentak Tong Cian Lie.
208
“Dengar, dengar ! Ya disebelah ada yang sedang sakit, tadi siang sudah diperiksa tabib dan
sedang memakai selimut tebal agar keluar keringat, Jiewie minumlah dengan tenang, akan
kulihat sebentar….”
Belum ia berlalu dari kamar sebelah terdengar lagi suara rintihan. “Aduh….aduh….perutku
sakit. Hoo kee kenapa engkau memberikan aku arak beracun ? Apa salahku apa dosaku dibuat
begini macam ? Aduh…orang jahat dapat balasan jahat, orang baik dapat balasan
baik….aduh….”
Pelayan itu segera keluar, tapi sebelum berhasil keluar pintu, sudah dihadang Tong Cian Lie
yang sudah terlebih cepat berada didepan pintu. “Engkau mau kemana ?” tegurnya sambil
menyeret lengan “pelayan” itu.
“Aku ingin melihat orang sakit itu…”
“Jangan tergesa-gesa, mari temani aku minum arak dulu.” Kata Tong Cian Lie.
Pegawai itu tahu segala perbuatannya sudah diketahui orang, cepat melepaskan diri dan lari
keluar pintu, tetapi tak bisa berlari lagi karena tengkuknya diciduk Tong Cian Lie, “Masih
mau lari ? Jangan pandang enteng pada Tong Cian Lie tahu ?” dengan kekerasan Tong Cian
Lie mencecok “pelayan” itu dengan arak bercampur racun. Dalam sekejap pengawal itu
bergelimpangan dengan kesakitan dan berteriak-teriak minta tolong. “Tok Fut hoat ! Tan
Cung cu tolong !” belum pula ia bisa meminta tolong terlebih lanjut, napsnya sudah berhenti
terlebih dahulu.
“Ah arak ini benar-benar beracun !” kata In Tiong Giok.
“Hei bocah, jangan diam saja, mari kita periksa setiap kamar, tentu masih ada komplotannya !
Baru saja mereka keluar pintu dikiri kanan mereka telah berdiri dengan tegak Kam Kong, Tok
Kay Pong dan Tan Toa Tiau dengan senjata yang sudah terhunus.
“Hm, kiranya yang dipanggil Tok Fut hoat adalah kawan lama juga !” kata Tong Cian Lie
sambil mendelik-delikkan matanya.
“Hm, baru tahu sekarangpun tak berarti lambat, sayang saja sepeles Tok ngo san terbuang
percuma. Dan apakah sudah takdir engkau harus mati basah dibawah senjata Cui hun jiu ku ?”
“Ah tak kukira engkau sebagai orang-orang Cap sah kie yang cukup kenamaan di dunia Kang
Ouw mau menjadi anjing Pok Thian Pang, dan melakukan kerjaan rendah untuk meracuni
diriku !”
“Kami diterima di Pok Thian Pang dengan kedudukan tinggi, sedikitpun tidak memalukan
orang ! Dan kini mendapat tugas untuk menangkap bocah she In ini ! Hal ini sebenarnya tidak
ada hubungannya dengan Tong heng, tapi engkau sendiri yang ikut-ikutan turut campur maka
jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan harap jangan menyesal !”
“Hm, seolah-olah engkau sudah memastikan bahwa kemenangan berad dipihakmu ?”
“Jala langit dan bumi sudah ditebar, biar bersayappun kalian tak bisa meloloskan diri !”
209
“Tapi aku tak mau mendesakmu keterlaluan, jika Tong heng tidak mau mencampuri urusan
bocah ini, kamipun tidak akan mengganggu seujung rambutmu.”
“Hm, aku tak berhasil menikmati Ngo tok san, tak salahnya mencobai Cui hun jiu mu, antara
kita sudah saling mengenal satu sama lain, tak perlu banyak bicara lagi: mari jangan malumalu.”
“Ah engkau mencari mati sendiri,” seru Tan Toa Tiau.
“Hm, engkau siapa ?” tanya Tong Cian Lie dengan kasar.
JILID 11________
“Aku Tan Toa Tiau ketua ranting Pok Thian Pang di Ngo liu cung,” jawab Tan Toa Tiau
dengan bangga.
“Eh bocah sewaktu engkau berada di Ngo liu cung tentu cecunguk ini yang menipumu bukan
?”
“Benar !” jawab Tiong Giok.
“Hm, cecunguk kecil yang tidak ada artinya, katakana padanya aku segan bicara dengannya
dan suruh minggir jauhan !”
Tan Toa Tiau mendengar perkataan ini, gusarnya tak alang kepalang, dengan keras dia
membentak : “ Bangsat she Tong, kematianmu sudah di depan mata, untuk apa banyak
cingcong lagi !”
“Hei, jangan banyak bacot !” bentak Tong Cian Lie sambil menggaplok.
Tan Toa Tiau tak merasa dongkol dipandang enteng ia menangkis sambil menyerang, tapi
begitu kedua tangan bentrok, terdengar suara nyaring….Bukan saja Tan Toa Tiau tidak
kesampaian melancarkan serangan, tubuhnyapun terhuyung tujuh delapan langkah. Dan terus
memuntahkan darah dari mulutnya.
Tok Kay Pong dan Kam Kong segera turun tangan. Tong Cian Lie melancarkan pukulan
geledeknya, membuat suara dasyhat susul menyusul dan membuat goyang seisi rumah. Dalam
suasana hiruk pikuk dari perkelahian terdengar suara seorang berseru keras. “Celaka…..rumah
ini mau roboh !” Menyusul berkelebat sesosok tubuh dari dalam kamar dan terus berlari
keluar. Dari potongan tubuhnya bisa dikenal orang itu adalah sisaudagar emas yang mengaku
bernama Cian Bouw.
Tok Kay Pong dengan cepat menghadang Cian Bouw sambil membentak: “Mau kemana ?”
“Jangan merintangi aku !” kata Cian Bouw, rumah ini akan rubuh aku bisa mati tertimpa
puing-puing. Kamu tahu sendiri manusia mati hanya sekali, masakan aku disuruh mati lagi !”
sambil berkata lengannya menyerang kepada Tok Kay Pong.
Sedikitpun Tok Kay Pong tak berpikir bahwa saudagar itu mempunyai pukulan yang keras
dan tidak berada dibawah kekuatan Tong Cian Lie. Karena lalainya hampir-hampir ia
210
menderita kerugian besar, cepat ia menarik senjatanya melindungi diri dan mundur.
Serangannya si saudagar membawa dirinya keluar pintu losmen dan terus ia ngacir dengan
sekencangnya.
“Bocah ! Ikuti orang itu !” perintah Tong Cian Lie kepada Tiong Giok.
Baru saja Tiong Giok keluar losmen, Tok Kay Pong mengejarnya dari belakang.
Sementara itu Tan Toa Tiau biarpun sudah menderita luka, maju lagi kemedan pertempuran
membantu Kam Kong. Hal ini tak membuat keder sedikitpun pada Tong Cian Lie, dengan
tenang ia melancarkan ilmu pukulan geledek dengan keras, dan bertubi-tubi. Kam Kong
maupun Tan Toa Tiau selangkah demi selangkah terrdesak mundur, mereka berkelahi dari
dalam losmen sampai kejalan besar. Kam Kong dan Tan Toa Tiau tidak sanggup melayani
musuhnya, tanpa berjanji lagi, melancarkan langkah seribu. Tong Cian Lie tidak mengejar, ia
membiarkan kedua musuhnya itu lari, ia kembali kedalam losmen menantikan Tiong Giok.
Sementara itu Tiong Giok yang mengejar Cian Bouw, biarpun menggunakan seluruh
kekuatan tak berhasil mencandaknya. Saking kesal ia berteriak: “Lo Cianpwee tunggu….”
“Siau ya kau boleh lari membawa dirimu, aku membawa diriku, mengapa mengikutiku ?”
“Lo Cianpwee berkepandaian tinggi, tetapi pura-pura sebagai seorang biasa, apa artinya ?”
“Siapa yang berkepandaian tinggi ? Engkau jangan salah, orang yang berkepandaian tinggi
adalah Pangcu dan rombongan dari Pok Thian Pang, tak lama lagi mereka akan datang,
sebaiknya lari cepat-cepat.”
“Apa benar pangcu akan datang ?”
“Percaya tidaknya itu terserah padamu! Jika engkau tak ingin kembali kemarkas pusatnya
meeka, sebaiknya jangan pula pergi ke Tiat po, kuyakin kedatanganmu tidak akan membawa
kebaikan ! Nah kata-kataku sudah selesai kuucapkan, engkauboleh resapkan sendiri, aku tak
bisa menemui orang dan harus berlalu secepatnya dari tempat berbahaya ini, selamat tinggal
!” tubuhnya berlari lagi setelah berkata dalam sekejap sudah hilang dari pandangan.
Saudagar emas itu datang kelosmen Hiong hin can dam memberikan tanda bahaya pada Tiong
Giok, semua ini bukan karena kebetulan, setelah mendengar perkataannya barusan, seolaholah
dia sudah mengenal kepada pemuda kita.
Tiong Giok tidak mengejar lagi, dia hanya berpikir dan menduga-duga siapa orang itu
sebenarnya. Belum pula ia berhasil mengingat orang itu dari belakang terdengar sura dingin.
“Bocah, kini engkau tak bisa kabur lagi !” Inilah suara Tok Kay Pong.
“Engkau mau apa ?”
“Sejak di markas pusat, kita sudah kenal bukan ? Soal engkau melarikan diri dari sana tak ada
sangkut pautnya denganku ! Tapi apa yang kulakukan ini adlah perintah dari atasan, jika tidak
akupun tidak mau mengejar-ngejar dirimu…”
“Ya maksudmu mau apa ?”
211
“Kudengar engkau telah pandai ilmu Keng thian cit su bukan ?”
“Kalau benar memang kenapa ?”
“Aku adalah orang tua yang menyenangi bakat muda sepertimu !” kata Tok Kay Pong.
“Maka itu jika engkau mau memberi petunjuk dimana letak keistimewaan dari ilmu itu….. he
he he, engkau orang pintar tentu mengerti sendiri maksudku bukan ?”
“Oh, jika kau mau memberikan petunjuk-petunjuk ilmu itu artinya kau tak segan-segan
mengkhianati Pok Thian Pang dan membebaskan diriku bukan ?”
“Bukan begitu, aku hanya menyayangi anak muda semacammu jika sampai dibawa kembali
ke markas pusat Pok Thian Pang, mana tahan mengalami siksaan-siksaan keras !”
“Mendengar katamu itu membuat aku menarik napas sesak !”
“Kenapa begitu ?”
“Sesak napasku karena perbuatanmu yang terlalu tidak tahu malu !” katanya lagi.
Tok Kay Pong menjadi semakin marah, matang kedua pipinya mendengar ucapan Tiong Giok
itu. Dari malu timbul rasa gusarnya dan dengan didahului senyuman dingin ia berkata :
“Bocah diajak jalan baik-baik tidak mau, maunya kejalan mati. Engkau jangan menyesal
semua ini dicari sendiri !” Sehabis berkata Cui hun jiaunya menyambar dengan cepat pada
Tiong Giok.
Akan tetapi dengan gerakan Kiu toa bie cong pou Tiong Giok berhasil menghindarkan dirinya
dari serangan, lalu mencari posisi yang baik dan terus melancarkan Hiat cie lengnya yang
ampuh.
Dengan didahului gerakan aneh Tok Kay Pong berbalik menyabetkan Cui hun jiau (cakar
pengejar nyawa), tubuhnya yang besar tak ubahnya seperti anak panah cepatnya, mencelat
dua tiga depa kedepan, menghindarkan Hiat cie leng lawannya.
Berulangkali Tiong Giok melancarkan Hiat cie leng yang menjadi andalannya, tapi sebegitu
jauh belum berhasil menundukkan lawannya. Ia tak berpikir bahwa lawannya begitu gesit dan
serangan dirinya tak membawa hasil. Ia tak mau memboroskan tenaga, maka Hiat cie leng
tidak dipergunakan lagi.
Mereka berkelahi dengan hebat, nanti merapat nanti merenggang, masing-masing tak berani
memandang enteng lawannya. Tok Kay Pong dengan sebelah tangan bersenjata Cui hun jiau,
sebelah tangannya melindungi dadanya. Selangkah-selangkah mendekat lagi, setiap kakinya
diangkat tertera sebuah jejek kakinya yang cukup dalam. Menandakan bahwa seluruh
kekuatannya sedang dipergunakan semaksimum-maksimumnya.
In Tiong Giok sadar bahwa kekuatan ilmu dalamnya belum memadai lawan dan jika
mengandalkan kelincahannya mungkin masih bisa bertahan dan tak sampai dikalahkan. Jika
mengadu kekerasan, dengan bertangan kosong sudah pasti akan menderita kerugian. Untung
212
dia seorang cerdik yang bisa berpikir cepat. Untuk mengatasi situasi yang makin gawat,
segera ia berpura-pura jerih dan mundur-mundur kebelakang. Sesudah lima enam langkah, ia
merandek karena kakinya memijak kayu kering yang mendatangkan bunyi “krak”. In Tiong
Giok berlagak kaget dan melihat kebawah. Dan rupanya Tok Kay Pong tidaklah menyianyiakan
kesempatan baik itu, tubuhnya menyergap dengan cepat pada musuhnya.
Tipu muslihat Tiong Giok yang menginginkan musuh berbuat seperti itu berhasil baik,
tubuhnya berputar dengan cepat, menghindar sambaran senjata musuhnya. Lalu dari tempat
yang enak ia melancarkan pukulan tangan diluar dugaan musuh.
Begitu serangannya tidak membawa hasil, Tok Kay Pong sudah tahu bahaya mengancam
dirinya. Cepat ia mencelat keudara tanpa menoleh lagi dan membalik tangan melakukan
tangkisan. Tiong Giok tidak mau mengadu tangan, ia mengubah serangannya dengan cepat.
Sekali ini ia berhasil, pukulannya tepat mengenai bagian pundak musuhnya. “Buk” terdengar
suara nyaring, tubuh Tok Kay Pong terpental sejauh dua tiga tombak.
Pukulan Tiong Giok itu begitu telak, dan berhasil menghancurkan tulang bahu musuhnya.
Dengan terhuyung-huyung Tok Kay Pong bangkit dari tanah sambil menahan sakit. Sekali ini
Siau bin bu siang atau siiblis selalu tersenyum tidak terlihat lagi senyumannya, ia meringis
kesakitan.
Terhadap musuhnya yang sudah payah Tiong Giok tidak menurunkan tangan lagi, ia menanti
dengan tenang. Tidak ada rasa sombong sedikitpun dirinya, bisa mengalahkan salah seorang
Cap sah kie yang sudah tenar itu.
“Jika engkau kurang puas, aturlah pernapasanmu sampai baik, kita boleh duel lagi !”
“Bocah kemenanganmu ini adalah hasil kelicikanmu, dan bukan kepandaianmu !” tapi dengan
akallah aku memperoleh kemenangan, menandakan aku menang teknik darimu bukan ? Jika
dalam hal ini engkau merasa kecewa, engkau boleh bertanya pada diri sendiri, patutlah
sebagai Thian lam sam kui yang sudah kesohor, mempergunakan racun untuk mencelakakan
musuh ?”
Tok Kay Pong menjadi malu, dan tak ada muka untuk berdiam lama-lama disitu, dengan
perasaan dan malu, ia mencelat pergi dengan cepat sambil menahan sakit dipundaknya.
In Tiong Giok tidak mau mengejar, ia merapikan pakaiannya dan terus menuju ke losmen
untuk menemui Tong Cian Lie. Setibanya dimulut kampung ia menjadi melongo sendiri
karena keadaan sangat sunyi sekali. “Mungkinkah Tong Lo Cianpwee telah…” pikirannya
dengan kaget. Ia sudah mengenal tabiat orang tua itu. Yang andaikan berhasil membereskan
Tan Toa Tiau dan Kam Kong, pasti akan mencari dirinya. Kini sepanjang jalan ia tidak
melihat ada bayangan, juga tidak mendengar suara perkelahian. Mungkinkah kaum Pok Thian
Pang dengan jago-jagonya telah datang dan membuat Tong Cian Lie tidak berdaya ? Dengan
tergesa-gesa ia berlari secepat-cepatnya kearah Hiong hin can. Begitu ia sampai didepan pintu
lagi-lagi membuatnya melongo. Keadaan disitu sunyi sepi, tidak terlihat tanda-tanda belas
perkelahian. Kam Kong maupun Tan Toa Tiau tidak terlihat sama sekali. Pintu rumah masih
terbuka lebar-lebar didalam terlihat sinar api yang kecil, remang-remang terlihat dua orang
sedang terpekur. Yang satu adalah Ma Hui In dan yang satu lagi adalah Tong Cian Lie.
213
Begitu mendengar derapan sepatu Tiong Giok, Tong Cian Lie memandang sambil menegur
“Sudah pulang ?”
“Ya sudah !”
“Tak kena dikejar orang tua itu ?”
“Kena, namun ia tak mau menyebutkan namanya.” Jawab Tiong Giok. “Ia hanya memesan
tak usah pergi ke Pek liong san, dan mengatakan bahwa jago-jago dari Pok Thian Pang
dipimpin Pangcunya sendiri akan kesini dengan menganjurkan kita cepat-cepat berlalu dari
sini.”
“Sayang perkataannya ini diucapkan terlalu lambat juga terlalu siang !” kata Tong Cian Lie.
Mendengar perkataan yang berlawanan dari kawannya itu, Tiong Giok menjadi melongo lagi.
“Lo Cianpwee, engkau…”
“Duduklah dulu dan makan.” Potong Tong Cian Lie. “Hei jangan melamun saja, sediakan
kami minuman dan makanan, sesudah itu kami mau tidur senyenyak-nyenyaknya !”
Ma Hui In segera bangkit dari tempat duduknya, tak selang lama dia kembali lagi dengan
makanan serta minuman. Tong Cian Lie meneguk arak dengan hausnya. “Hei, bocah mari
minum sepuas-puasnya, biar kita mati atau mabuk, dengan begitu segala kepusingan tidak ada
lagi !”
“Lo Cianpwee apa yang terjadi disini ?” tanya Tiong Giok.
“Apapun tidak ada yang terjadi ! Kam Kong si setan cilik adalah pecundangku, apa lagi orang
she Tan itu tak ada artinya bagiku ! Begitu aku mengangkat tangan, mereka sudah lari terbiritbirit
! Sudahlah jangan menceritakan itu, mari minum.”
Tiong Giok tidak berani banyak bertanya, diangkatnya cawan arak dan meneguknya dua kali,
lalu meletakkan lagi dimeja.
Tong Cian Lie meminum arak sepuas-puasnya, tubuhnya bermandi keringat, arak seguci
dalam waktu singkat telah menjadi kering. Ma Hui In mengambil lagi seguci.
“Apa yang harus kulakukan ?”
“Ya apa saja, misalnya soal bagaimana Lo Cianpwee mengalahkan Kam Kong dan Tan Toa
Tiau…”
“Dua cecunguk itu tak ada harganya untuk diceritakan !”
“Atau memberikan pandangannya, siapa sebenarnya pedagang she Cian itu ?”
“Seorang yang berlaku gelap-gelapan dan tak berani berterangan adalah bangsa pengecut, dan
membuang-buang waktu saja menduga-duganya.”
214
“Orang ini seperti seorang yang sudah kukenal, tapi entah betuk entah tidak.” Ia merandek
sejenak, sengaja memancing Tong Cian Lie membuka mulut dan mau mengutarakan isi
hatinya.
Tapi yang diajak bicara itu tak memperdulikannya, terus asyik dengan araknya. “Mau betul
atau tidak, tidak ada urusannya denganku ! Kini iapun sudah pergi, tak usah diingat-ingat lagi,
mari kita minum !”
Segala daya dipergunakan Tiong Giok, Tong Cian Lie trtap tak mau mengutarakan isi hatinya.
Maka iapun meminum lagi araknya. Tak selang lama mereka telah merasa sedikit pusing dan
mabuk, Tong Cian Lie menyuruh Ma Hui In membereskan sisa makanan dan perabotan, lalu
ia berpaling pada Tiong Giok “tak lama lagi akan terang tanah, maka itu tidurlah lekas !”
In Tiong Giok menganggukkan kepala. Di kamar dia bersemedhi, menjalankan pernapasan
sedikitpun tidak tidur. Dan terdengar pula suara bolak balik Tong Cian Lie diatas ranjang,
nyatanya orang tua itupun tidak bisa pulas.
Dengan cepat malam telah berganti siang, setelah beres makan pagi mereka keluar dari
losmen dengan menunggang kuda. Sepanjang jalan Tong Cian Lie mengerutkan kening,
wajah muram terus. Membuat Tiong Giok kesal, tapi ia diam saja tak berani banyak bicara.
Begitu keluar dari kampung itu mereka menuju keutara, dari sini hanya berjalan beberapa lie
saja, perkampungan Tiat po telah terlihat jelas.
Perlahan-lahan mereka mengendarai kudanya mendekati pintu perkampungan. Tampak pintu
perkampungan yang besar tertutup rapat. Hanya pintu samping yang kecil ada terbuka. Dan
dari sinilah orang keluar masuk. Di depan pintu itu dijaga empat pemuda berbaju hijau.
Sesampainya didepan itu Tong Cian Lie terbengong-bengong, sinar matanya menjadi sayu
dan mengembang air mata. “Bocah disinilah kita berpisah, jika ada juga kita bertemu lagi
dikemudian hari !”
“Kenapa Tong Lo Cianpwee tak mau masuk kedalam ?”
Tong Cian Lie tidak menjawab, kepalanya saja digeleng-gelengkan.
“Kenapa hanya dalam waktu semalam saja Lo Cianpwee berubah pikiran ?”
“Ya, akupun merasa malu mengubah kemauan dalam sekejap, tapi mau dikata apa semua ini
kemauan yang maha kuasa, manusia bisa apa……”
“Apa artinya Cianpwee berkata ini ?”
“Sudah kupikirkan tadi malam sebaliknya engkaupun tak usah masuk kedalam perkampungan
Tiat po, tapi kutahu engkau tak bisa dilarang, maka itu sengaja kuantar engkau sampai disini,
dan kita berpisah…” Ia tidak melanjutkan kata-katanya, karena terputus isak tangisnya.
Tiong Giok tidak memaksa meminta keterangan apa sebabnya orang tua itu tak mau masuk ke
Tiat po. Ia hanya berkata : “Lo Cianpwee tak masuk tak apa-apa, tapi ingin kutahu habis dari
sini mau kemana ?”
215
“Tentu pulang ke Kiu yang shia.” Jawab Tong Cian Lie. “Akan kukunci pintu rapat-rapat dan
tak mau menerjunkan diri lagi didunia Kang Ouw. Jika dikemudian hari engkau lewat disana,
tak halangan mampir barang satu dua hari !” Sambil berkata ia mengeluarkan sejilid buku dari
sakunya dan menyerahkan pada In Tiong Giok. “Buku ini adalah buku pelajaran Thian lui tiap
(buku pelajaran pukulan geledek). Sekarang buku ini tak ada gunanya lagi bagiku, nah
terimalah dengan baik sebagai tanda mata dariku. Jika engkau sampai tak diterima Lim Siok
Bwee, perlihatkanlah buku ini, mungkin buku andalanku ini, akan memberi muka kepadanya
guna menerimamu sebagai tamu.”
“Bocah sebenarnya akupun merasa enggan berpisah denganmu, tapi apa mau dikata, sesuatu
yang tidak diinginkan justru terjadinya lebih cepat dari pada yang diharapkan. Kecuali dari
buku ini kupesan juga untukmu, berlakulah welas asih terhadap sesama manusia, biarpun ia
lawan atau kawan !”
Tiong Giok menganggukkan kepala, dan memegang buku itu, sedngkan bayangan Tong Cian
Lie semakin lama semakin kecil dan hilang dari pandangan matanya.
Empat penjaga pintu perkampungan Tiat po melihat Tiong Giok terpekur begitu lama, setelah
berpisah dengan Tong Cian Lie menjadi geli sendiri. Antaranya ada yang berteriak : “Hei
kawan, temanmu sudah pergi jauh !” Seruan ini membuat Tiong Giok tersadar dari
lamunannya. Cepat-cepat ia menyeka air mata dan menuntun kudanya masuk ke Tiat po.
Penjaga itu dengan hormat menyambut Tiong Giok. “Apakah saudara mau masuk ke
kampung ini ?”
“Benar !”
“Untuk keperluan apa ?”
“Aku In Tiong Giok mau menghadap pada Siau siang lie hiap Lim Siok Bwee, dapatkah
engkau menolongku memberi tahu kepadanya ?”
“Mungkin saudara tidak mengetahui bahwa perkampungan ini sudah bertahun-tahun tidak
menerima tamu !”
“Hal ini kuketahui, tapi aku mempunyai suatu hal penting dengannya, dan mohon
pengecualian !”
“Sejak pintu ini tertutup selama dua puluh tahun lebih, banyak tamu-tamu yang datang
dengan berbagai urusan penting dengannya, tapi semuanya ditolak tanpa pengecualian……..”
“Tapi jika urusan penting yang bersangkutan dengan mati hidupnya Po cu disini, tidak diberi
pengecualian juga ?”
“Saudara jangan bergurau, Po cu kami telah meninggal dunia dua puluh tahun yang lalu…”
“Ya tersebab kudengar berita bahwa Po cu disini telah lama meninggal dunia, maka dari
tempat ribuan lie aku datang kesini untuk mewariskan kepada isterinya, keadaan Po cu
belakangan ini…..”
216
Penjaga-penjaga pintu itu mula-mula merasa aneh dan heran mendengar keterangan Tiong
Giok, tapi sekejap kemudian mereka terbahak-bahak. “Ah yang benar saja, Po cu kami sudah
meninggal dunia puluhan tahun mana bisa hidup lagi !”
“Apa yang kukatakan adalah benar !” kata Tiong Giok dengan dongkol.
Penjaga-penjaga itupun menjadi mangkel melihat sikap pemuda kita yang masih tetap
bertahan dan tak mau pergi dari situ. “Hei engkau harus tahu Tiat po ini tempat apa, dan
janganlah membuka mulut sembarnagan tahu, kulihat engkau kurang waras dan lekaslah cari
tabib yang pandai untuk berobat, jangan mengaco terus disini !”
“Aku dalam keadaan sehat walafiat, apa yang kukatakan adalah benar ! Lagi pula hak
menerima tamu berada ditangan Lim lie hiap bukan ditangan kalian ! Kuheran kenapa kalian
tak mau mewartakan kepadanya ?”
Salah seorang penjaga yang paling muda menjadi gusar matanya segera mendelik, dan
bersikap mau mengusir dengan kekerasan. Untung kena dicegah oelh yang lebih tua. Agaknya
ia lebih berpengalaman dan bisa menyabarkan kawannya itu. “Saudara kulihat engkau
seorang pemuda yang tidak berpotongan sebagai penipu, maka itu harus tahu bahwa semasa
hidupnya Po cu kami, terkenal kemana-mana dan tempat tinggalnya maupun orang-orangnya
bukan bangsa tempe yang boleh dihina. Soal kami tidak mewartakan kepada nyonya kami,
adalah kebaikan untukmu sendiri. Jikalau soal mustahil mengenai Po cu kami didengarnya,
engkau mencari penyakit sendiri, maka itu sebaiknya lekaslah engkau berlalu dari sini…..”
“Terima kasih atas kebaikanmu,” sela In Tiong Giok. “Justru karena aku sebagai salah
seorang pengagum Tiat eng hiong, maka jauh-jauh datang kesini dengan membawa berita
penting untuk disampaikan kepada isterinya, tapi kalian tidak mau mewartakan, dan terus
mengatakan bahwa nyonya kalian tidak mau menemuiku !”
“Maksudmu memaksa kami memberitahu kepada Lie pocu ?”
“Sudah tentu !”
“Apakah tidak menyesal dengan akibatnya ?”
“Apa yang perlu kusesalkan ?”
“Baik kuwartakan kedalam dan nantikan disini !” kata orang itu memesan pad temannya
sebelum berlalu. “Jaga baik-baik, jangan kasih diia pergi !”
“Tunggu dulu,” panggil In Tiong Giok. Ia mengeluarkan Thian liong giok hu dari sakunya.
“Benda ini kuharap sekalian perlihatkan pada Lim Lie hiap !”
Orang itu menyambut kumala itu sambil menggerendeng. “Apa artinya benda ini ?”
“Engkau jangan memperdulikan apa artinya benda ini, pokoknya serahkanlah pada lio
pocumu, ia pasti tahu artinya.”
Tak selang lama setelah berlalunya orang itu, dari dalam kampung terdengar derap kaki kuda
yang berisik sekali, penunggang kuda itu adalah seorang tua berusia enam puluhan, kepalanya
217
diikat kain hijau, matanya bersinar tajam, menandakan seorang berkepandaian tinggi. Seorang
lagi adalah gadis berbaju ungu berusia tujuh belas tahun, matanya jeli, pinggangnya ramping,
tampaknya periang sekali. Begitu kedua penunggang kuda keluar pintu, mereka melompat
turun dari tunggangannya dan mengawasi pada Tiong Giok dengan keheran-heranan..
Siorang tua segera menghampiri dengan membungkuk dan memberi hormat. “Numpang
tanya, apa hubungan In siauw hiap dengan Pek Lo cianpwee dari Thian Liong bun ?”
“Oh, berkat kemujuran aku menjadi pewaris dari Thian liong bun….”
Belum pula Tiong Giok menjelaskan perkataannya, orang tua itu segera berlutut. “Aku Tiat
Hok, memberi hormat pada In siauw hiap !”
Sedangkan gadis remaja tadi, dengan hormat mendekati mereka. “Aku Tiat Siauw Bwee
mewakili ibu, mengucapkan selamat datang pada In Siauw hiap !”
Para penjaga pintu tadi, tanpa disuruh lagi sudah bertekuk lutut memberi hormat dan
ketakutan. Tiong Giok sudah tahu bahwa Tiat Giok Lin memperoleh kepandaian silat dari Pek
King Hong, begitu kumala pusaka dari Thian Liong bun diperlihatkan, orang-orang di Tiat po
berlaku demikian memujinya, hal ini benar-benar diluar dugaannya.
Dengan tergopoh-gopoh Tiong Giok membanguni Tiat Hok, “Tak usah banyak peradatan,
bangunlah ! Kedatanganku ini nampaknya mengganggu dan merepotkan saja.”
“Siauw hiap jangan berkata begitu, ketahuilah bahwa Po cu kami menerima pelajaran dari
Thian liong bun, sekalian orang yang berada di dalam Tiat po begitu melihat Thian liong giok
hu sama saja seperti melihat Ciang bun jin, Hujin (nyonya) tidak menyambut keluar, ia
sedang menantikan di dalam lekaslah naik kuda !”
Dengan tersenyum Tiong Giok mencemplak kudanya, mengikuti Tiat Hok dan Siauw Bwee
masuk kedalam. Keadaan didalam Tiat po sangat luas dan terbagi perkampungan depan dan
perkampungan belakang. Mereka bercocok tanam dan menenun kain sebagai mata
pencaharian sehingga bisa hidup dengan damai dari kesibukan dunia luar.
Sejak Tiat Giok Lin mati, tidak pernah seorangpun diijinkan masuk kedalam Tiat po dan
Tiong Giok adalah orang pertama yang diperkenankan masuk kedalam. Sepanjang jalan lakilaki
dan perempuan tua dan muda menyambut kedatangannya dengan meriah.
“Mamaku sedang menanti dengan tak sabaran, Tiat Hok temanilah In Siau hiap aku akan
masuk duluan !” kata Tiat Siau Bwee yang terus memecut kudanya pergi duluan.
Dengan dikawani Tiat Hok, In Tiong Giok melewati perkampungan luar dan memasuki
daerah perkampungan dalam. Adapun perkampungan dalam ini tempat tinggalnya Po cu.
Penduduk biasa yang berada diluar kampung itu, tidak diperbolehkan sembarangan masuk
kedalam.
Lim Siok Bwee sejak ditinggal mati suaminya tidak pernah keluar dari perkampungan dalam,
dan sekarangpun tidak terkecuali, ia hanya berada didalam rumah menantikan kedatangan
tamunya.
218
Kedua penunggang kuda langsung masuk kedalam perkampungan dalam dan berhenti
disebuah taman bunga yang luas. Dari sini mereka masuk kedalam gedung yang besar dan
megah. Keadaan didalam tampaknya sangat tenang dan sepi, dua puluh pelayan gedung yang
berbaris rapi dikiri kanan, tersenyum-senyum menyambut kedatangan tamunya. Dibelakang
barisan pelayan itu terlihat Lim Siok Bwee dan putrinya sedang menantikan tamunya.
Usianya Lim Siok Bwee tidak lebih dari empat puluh tahunan, tapi jika dilihat parasnya yang
pucqat serta baju putih tanda dari berkabung yang masih dikenakan terus walau sudah
puluhan tahun, tampaknya tua sekali.
“Yang rendah In Tiong Giok menghaturkan hormat pada Tiat Hujin,” kata Tiong Giok.
Lim Siok Bwee membalas hormat sambil berkata : “Mendiang suamiku mendapat pelajaran
dari Thian liong bun, dan terhitung sebagai anak buah perguruan itu, maka itu Siau hiap tak
usah terlalu memaksa peradatan. Anggaplah sebagai orang sendiri, mari masuk dan duduk.”
Lim Siok Bwee dan pengiringnya masuk kedalam, demikian juga dengan Tiong Giok, setelah
pada duduk Lim Siok Bwee mengembalikan Thian liong giok hu. “Lebih kurang dua puluh
tahun lamanya tidak melihat kumala ini ! Mendiang suamiku semasa hidupnya tak pernah
melupakan budi kebaikan dari Pek Locianpwee yang memberikan pelajaran silat, sayang dia
sudah meninggal dan tidak bisa kenal dengan Siau hiap.”
“Sejujurnya dengan kebetulan dan berjodoh saja kuperoleh Giok hu ini, sedangkan ilmu
pelajaran dari Thian liong bun belum kuperoleh sedikit juga. Maka itu kalau disbanding
dengan kepandaian po cu masih jauh sekali ! Sedangkan ilmu yang ada padaku sekarang ini
bukan dari Thian liong bun melainkan dari Han Bun Siong.”
“Oh kiranya In Kongcu adalah murid dari Han Bun Siong ?”
“Ya, tapi waktu berguru tidak mengetahui namanya, setelah mengembara didunia baru tahu
bahwa guruku bernama Han Bun Siong !”
“Kenapa begitu ?”
Dengan singkat Tiong Giok menuturkan sejak mempelajari bahasa Sangsekerta, sampai
menjadi penterjemah di Pok Thian Pang, serta pertemuannya dengan orang tua didalam
penjara tanah, secara jelas.
“Menurut dugaan Siau hiap, siapakah orang tua yang dipenjara itu ?” tanya Lim Siok Bwee.
“Justru kedatanganku kesini berhubungan dengan orang tua itu, maka sebelum kujawab
pertanyaan Hujin, dapatkah kiranya kuajukan beberapa pertanyaan ?”
“Silahkan, apa yang kubisa pasti kujawab !”
“Adakah Tiat pocu mempunyai nama samaran Hauw Sian ?”
“Benar !”
219
“Adakah Tiat pocu menulis pelajaran pedang Keng thian cit su dalam bahasa Sangsekerta ?”
“Apa ?”
“Benarkah setelah Tiat Pocu meninggal dunia, buku pelajaran itu hilang ?”
“Benar….Apakah Siau hiap bercuriga bahwa orang tua dipenjara tanah itu sebagai suamiku ?”
“Aku tidak berani memastikan,” jawab Tiong Giok. “Tapi kemungkinan ya juga, sebab orang
tua itu adalah yang menulis buku Keng thian cit su dalam bahasa Sangsekerta, hal ini
kuketahui dari mulutnya sendiri. Tambahan pula ia pandai berbahasa Sangseketa dan sudah
delapan belas tahun dipenjara disitu, jika dilihat dari keadaan ini, dapat dipastikan orang tua
itu adalah Pocu sendiri !” Sehabis menyatakan ini, Tiong Giok memancarkan sinar mata yang
berapi-api menatap pada Lim Siok Bwee, menantikan reaksi dari nyonya itu. Pikirnya sedikit
banyak nyonya rumah akan kaget dan membenarkan perkataannya. Tak kira Lim Siok Bwee
tetap duduk dengan tenang seperti biasa.
“Siau hiap jangan lupa suamiku sudah meninggal dunia belassan tahun lamanya !”
Tiong Giok merasa kecewa mendapat jawaban itu. Tapi ia mendesak lagi dengan
pertanyaannya. “Adakah Hujin disampingnya sewaktu Pocu meninggal dunia ?”
“Tidak, tapi jenazahnya aku sendiri yang memasukkan ke dalam peti !”
“Tahukah hujin sebab kematian Pocu ?”
“Oh…karena bunuh diri !”
“Dimana ia membunuh diri ? Dan karena apa ?”
“Aku sendiri tak tahu sampai sejelas itu.”
“Tiat Hujin sebelumnya kuminta maaf atas pertanyaan-pertanyan tadi,” kata Tiong Giok.
“Dan sekarang dengan gegabah kukemukakan suatu pendapat, harap Hujin jangan marah.
Yakni jika ada seseorang yang mengatur suatu rencana dengan menyediakan sebuah jenazah
yang mirip dengan pocu….”
“Ah dalam hal ini tak mungkin begitu kejadiannya, sebab bukan saja cara itu bisa
mengelabuhiku, tapi kematiannya itu ada yang melihat dan tak usah diragukan lagi !”
“Siapa yang melihat ?”
Lim Siok Bwee berpaling dan menunjuk oada Tiat Hok. “Dialah yang melihat !”
“Benarkah engkau melihat dengan mata kepala sendiri ?”
“Benar !”
“Kenapa engkau tidak mencegah waktu Pocu mau membunuh diri ?”
220
“Waktu itu jarakku dengannya agak jauh, bagaimanapun tidak bisa mencegahnya.”
“Jika begitu segalanya engkau melihat dan bisa menuturkan jalannya tragedy itu bukan ?”
“Hal ini….” Ia tidak melanjutkan hanya memandang kepada Lim Siok Bwee, seolah-olah
minta persetujuan dari nyonya itu baru berani membuka mulut.
“Tiat Hok, In Siau hiap bukan orang lain, tak halangan kau tuturkan kejadian itu kepadanya”
kata Lim Siok Bwee. Lalu ia menggapai pada puterinya.
“Bwee jie lekaslah engkau atur pelayan-pelayan itu menyediakan makanan dan minuman
untuk menjamu In Siau hiap.”
Tiat Siau Bwee sedang asyik mendengarkan percakapan itu, dan enggan pergi dari situ, maka
ia bertanya pada ibunya. “Mama kenapa tidak memperbolehkan aku mengetahui riwayat
mendiang ayah…”
“Engkau m asih kecil tak perlu tahu terlalu banyak,” kata Lim Siok Bwee.
Tiat Siau Bwee merasa segan berlalu dari situ tapi iapun tidak berani membangkang perintah
ibunya, dengan memoyongkan mulut ia pergi dari ruangan itu.
Lim Siok Bweepun menyuruh sekalian pelayan yang berada disitu keluar semua. Melihat
keadaan ini Tiong Giok mendapat kesimpulan bahwa kematian Tiat Giok Lin, mengandung
unsure-unsur pribadi yang dalam dan dirahasiakan. “Hujin soal kematian Tiat Pocu sukar
diutarakan, akupun tidak memaksa….boleh diceritakan boleh tidak !”
“Kematian suamiku bukan saja bersangkutan dengan Tiat po ini, juga bertalian dengan
seorang sahabat baiknya. Belasan tahun soal ini kukeram didalam hati, karena tak
menginginkan peristiwa ini diketahui orang-orang persilatan. Kesatu untuk menjaga nama
baik suamiku, dan timbulnya berita-berita sensasi yang bisa membawa akibat buruk bagi
sahabat suamiku itu. Maka itu setelah Siau hiap mendengar peristiwa dan kejadian ini kuharap
bisa menyimpan rahasia dan jangan menceritakan kepada orang lain lagi !”
“Aku berjanji, tapi dapatkah kutahu siapa-siapa sahabat dari Tiat Pocu itu ?”
“Setelah Siau hiap mendengar cerita Tiat Hok akan tahu sendiri dengan jelas !”
“Tiat Hok engkau boleh bercerita sesuka hatimu, jika ada bagian-bagian yang sukar
diutarakan dengan kata-kata, boleh dilewat saja.”
Didahului dengan deheman kecil Tiat Hok mulai dengan ceritanya.
Dua puluh tahun yang lalu, saat itu nama Sin kiam siang eng terkenal didunia Kang Ouw dan
nama tersebut terlebih semarak lagi setelah terjadi perkenalan di gunung bu san sin lie dimana
mereka dengan gemilang mengalahkan sebagian dari bu lim cap sah kie.
Adapun seperti sudah diketahui bahwa Sin kiam siang eng adalah sepasang pendekar muda,
yang besaran bernama Ang Ek Fan dan yang mudaan bernama Tiat Giok Lin, mereka
mengangkat saudara satu sama lain. Hubungan ini ditambah erat dengan perkawinan mereka:
221
karena istrinya Ang Ek Fan yang bernama Sin Siu Ngo masih terhitung saudara sepupu
dengan istrinya Tiat Giok Lin yang bernama Lim Siok Bwee. Sesungguhnya kedua sasudara
angkat ini tinggal berjauhan, hubungannya tetap akrab dan intim. Pokoknya jika bukan Ang
Ek Fan datang kerumah Tiat Giok Lin, tentu yang disebut belakangan datang kerumah yang
disebutduluan.
Sudah menjadi kebiasaan Sin kiam siang eng jika ingin keluar rumah, terlebih dulu berjanji
ditempat mana mereka harus bertemu. Jika tidak di Tiat po tentu dirumah Ang Ek Fan sendiri.
Setelah itu baru mereka mengembara menjalankan kebaikan didunia Kang Ouw. Nah dalam
tahun ini seharusnya mereka bertemu di Tiat po, tapi tak kira selang tiga hari lagi akan
bertemu, Tiat Giok Lin menerima surat itu tidak ada yang tahu. Hanya saja paras Tiat Giok
Lin menjadi pucat setelah membaca surat itu, mengeram diri dikamar tak mau menemui orang
atau diganggu !
Tiga hari penuh Tiat Giok Lin mengeram dikamar tidak makan dan keluar pintu. Hari pertama
masih terdengar elahan napasnya yang panjang, hari kedua tidak terdengar lagi barang sedikit
suaranya, Lim Siok Bwee merasa tak tenang dan datang sendiri menemuinya.
Akan tetapi Tiat Giok Lin itu tidak membukakan pintu, ia hanya mengatakan sedang melatih
ilmu dalam dan tak mau diganggu.
Soal jago bulim melatih diri dengan semadi dan tak makan maupun minum adalah biasa,
lebih-lebih hanya tiga hari, tidak terhitung. Setelah mendengar suara suaminya Lim Siok
Bwee pun menjadi tenang dan hilang kekuatirannya.
Tiga hari telah berlalu, adalah saatnya bagi Sin eng bertemu, maka itu pagi-pagi sekali Tiat
Giok Lin sudah keluar dari kamarnya. Wajahnya biarpun seperti biasa, tetapi nampaknya
sangat loyo dan kurusan, bagaikan orang baru bangun dari sakit. Dari sini dapat dilihat selama
tiga hari ini bukan melatih ilmu dalam melainkan sedang menderita tekanan bathin.
Begitu keluar kamar ia tidak menemui isterinya, terus berjalan ketaman bunga, dan
memerintahkan pelayan-pelayan menyediakan meja perjamuan sekalian hidangannya. Dan
terus menantikan kehadiran Ang Ek Fan. Segala yang dipinta telah tersedia, tetapi yang
dinantikan belum kunjung tiba. Dari pagi sampai tengah hari, segala makanan telah menjadi
dingin. Tiat Giok Lin masih tetap duduk dikursinya sambil memandang keluar taman
menunggukan orang-orang yang dinantikan. Setengah harian ia diam tak bergerak-gerak.
Melihat keadaan ini sekalian pelayannya menjadi heran, karena kelakuannya itu lain dari
biasa, tapi semuanya diam saja tak berani membuka mulut.
Waktu dengan cepat telah berlalu, dari siang telah menjadi sore dan magribpun tiba. Keadaan
taman bunga masih tetap sepi, tak ada yang membuka mulut sepatah katapun, akhirnya Tiat
Hok memberanikan diri maju kedepan dan ia berkata : “Pocu hari malam, perlukah memasang
lampu dan menghangatkan kembali makanan dan minuman ini ?”
“Sudah jam berapa ?”
“Jam tujuh malam, kuyakin Ang Toaya tidak datang…” belum pula selesai ia mengucapkan
kata-katanya, Tiat Giok Lin sudah membentak :
222
“Ngaco ! Ang Toako tidak pernah melanggar janji !”
“Maksudku nanti malam Toaya baru sampai dan kuharap Pocu makan dulu….”
Tiat Giok Lin menggelengkan kepala dan berkata dengan keras : “Tidak ! Aku harus
menantikannya dan langsung harus menegurnya jika ia masih memandang aku sebagai
saudara angkatnya, bagaimanapun ia harus datang.”
Tiat Hok tak tahan lagi dan ingin mengetahui apa yang sedang dirisaukan tuannya itu. “Pocu
menantikan Toaya, apakah ada soal penting ?”
Tiat Giok Lin tak menjawab, ia hanya menggoyangkan tangan dan berseru : “Nyalakan lampu
dan beresi makanan dan meja-meja ini ! Perintahkan seorang keluar, mungkin ia telah tiba.”
Pelayan-pelayan itu sedari tadi menginnginkan perintah itu, maka dengan cepat api
dinyalakan dan ruangan menjadi terang. Dengan begitu terlihat tegas wajah Tiat Giok Lin
yang pucat seperti kertas, kaki tangannya dan mulut terlihat bergetar tidak keruan.
Melihat keadaan ini Tiat Hok menyuruh orang bawahannya melaporkan pada Lim Siok Bwee
bertepatan dengan ini, dari luar terdengar berderapnya sepatu kuda.
“Toaya datang !” terdengar seruan dari luar.
Tiat Giok Lin bangkit dan melangkah keluar. Dengan cepat suara derapan kuda tidak
terdengar, seorang laki-laki gagah dan ganteng memasuki taman bunga dan bersampokan
dengan Tiat Giok Lin.
“Hian tee kenapa engkau jadi kurus begini macam ?” tegur Ang Ek Fan dengan kaget.
Tiat Giok Lin merangkap sepasang tangannya memberi hormat: “Soal ini tak bisa dituturkan
dengan sepatah sua patah kata silahkan Toako masuk dulu baru kujelaskan !”
Ang Ek Fan sedikitpun tidak merasakan perubahan pada saudara angkatnya, dengan mesra ia
memegang lengan Giok Lin dan melanggeng masuk kedalam dengan gembira, sambil jalan
dan sesampainya duduk diruangan tengah ia menuturkan soal kelambatannya sampai di Tiat
po. Lalu dari bungkusan yang dibawa ia mengeluarkan beberapa potong pakaian anak bayi.
“Menurut peerhitungan anakmu akan lahir tak lama lagi bukan ? Nah ini pakaian orok dibuat
oleh ensomu. Ia sendiri baru bisa datang beberapa hari lagi.”
Tiat Giok Lin menerima pakaian anak orok itu, tanpa melihat lagi atau menghaturkan terima
kasih. Ia hanya berpaling pada Tiat Hok dan sekalian pelayan-pelayan sambil membentak:
“Kalian semua keluar dari sini, siapapun kularang masuk kesini maupun ketaman bunga !”
Setelah sekalian babu dan jongos keluar ruangan, Tiat Giok Lin baru berkata pada Ang Ek
Fan: “Sudah lama kunantikan kedatangan toako, inngin kusampaikan perasaan hatiku secara
berhadapan, tapi sebelum kata-kataku diucapkan aku ingin memperlihatkan dua macam
barang kepada Toako.”
“Antara kita bukan orang lain, mau bicara ya silahkan, tak usah ragu-ragu tak karuan !”
223
Tiat Giok Lin tersenyum dingin, dirogoh sakunya dan mengeluarkan dua benda, satu adalah
sebuah kotak kecil yang satu lagi adalah surat yang diterimanya tiga hari yang lalu.
“Toako tentu tahu apa yang berada di dalam kotak kecil ini bukan ?” kata Tiat Giok Lin
sambil membuka dan memperlihatkan isinya.
Ang Ek Fan melihat didalam kotak itu tertancap sebuah jarum berwarna biru “Oh inilah jarum
yang bernama Pit hong tok ciam (jarum beracun berwarna biru), dari mana Hian tee dapat ?”
“Kudapat dari daerah Biau ciang,” jawab Tiat Giok Lin. Toako tentu mengetahui kelihayan
jarum ini bukan ?”
“Ya memang luar biasa sekali, biarpun orang yang memiliki ilmu bagaimanapun jika terkena
jarum ini, paling lama hanya setengah jam jiwanya tidak akan tertolong lagi !”
“Nah sekarang akan kucoba kelihayan jarum ini !” kata Tiat Giok Lin dengan senyumsinis
dan terus jarum itu ditusukkan ketangan kirinya.
“Hian tee…..” Ang Ek Fan hanya sempat berkata sebegitu, dan tak dapat mendcegah
perbuatan adik angkatnya itu.
Dengan menggertakkan gigi Tiat Giok Lin mencabut lagi jarum itu dan melemparkan di atas
meja.
“Hian tee apa artinya perbuatanmu ini ?”
“Apa artinya ? Mungkinkah Toako tidak tahu ?”
“Aku baru datang sejenak lamanya, dan Hian tee tidak menerangkan barang sedikit soal
apapun darimana aku bisa mengerti…..”
Tiat Giok Lin tersenyum meringis, air matanya mengucur turun saking menahan kesal,
dengan suara gemetar ia berkata: “Toako sejak kita mengangkat saudara selama sepuluh tahun
lebih, perhubungan kita tak ubahnya seperti saudara kandung. Segala kesalahanku besar
maupun kecil selalu kuterangkan pada Toako dan tidak segan aku menerima nasehat darimu.
Tapi aku tak sangka hati Toako demikian kejam dan beracun….”
“Hian tee….”
“Aku tidak mempunyai saudara semacammu, dan akupun tak cocok menjadi saudaramu ! Aku
adalah seorang manusia hina yang tidak tahu malu, untuk apa lagi kau berpura-pura ? Jika
engkau bermaksud meruntuhkan aku tak apa-apa, tapi caramu ini bisa menghancurkan nama
baik Tiat po ! Sepuluh tahun kita bagai saudara, apakah engkau tidak merasa tega barang
sedikit untuk menghancurkan keseluruhan nama baik dari Tiat po ini ?”
Ang Ek Fan menjadi bingung, sejenak ia tidak bisa membuka mulut……
Saat ini wajah Tiat Giok Lin dari pucat menjadi biru, kedua bibirnya menjadi hitam, keringat
sebesar kacang tanah memenuhi dahinya. Napasnya memburu, menandakan racun dari jarum
sedang bekerja hebat.
224
Ang Ek Fan berkata dengan suara bergetar.
“Hian tee segala apa dapat dikatakan perlahan-lahan bukan ? Jika ada kesalahan pada diriku
tak usah ragu-ragu dan tegurlah langsung jangan berlaku diam-diam seperti ini. Dan
ijinkanlah aku mengobati dulu racun ditubuhmu itu….”
Tiat Giok Lin tersenyum dingin dan segera bersiaga dengan tangannya, mencegah didekati
saudaranya. “Engkau tak usah berpura-pura baik ! Sejujurnya jarum beracun ini sedianya akan
kutusukkan kepadamu ! Tapi aku Tiat Giok Lin adalah laki-laki sejati, dan tidak sepertimu,
bajingan keji yang laknat ! Engkau boleh buat sesuatu yang tidak berperasaan, aku tak bisa
melakukan hal yang tidak berbudi ! Biarpun kau menjadi manusia dilaknat dan tak mengenal
kebajikan tapi istrimu itu adalah seorang perempuan yang harus dihormati. Lagi pula aku
segan membuat anakmuj yang mash kecil itu kehilangan bapak. Maka itu tak tega aku
menurunkan tangan jahat kepadamu ! Juga dengan membunuhmu tak berarti nama baik dari
Tiat po bisa dipulihkan ! Maka sengaja aku membunuh diri untuk memuaskan dirimu ! Sejak
hari ini segala nama kebesaran yang kita peroleh bersama menjadi milikmu seorang ! Tapi
engkau harus ingat, segala nama itu akhirnya membawa kehampaan ! Engkau menyingkirkan
aku, tapi tak akan memperoleh apa-apa ! Dihatimu akan datang suatu penyesalan yang tidak
ada taranya. Engkau akan menderita, sebab mempergunakan cara keji dan rendah
mencelakakan kawan karib sendiri. Saat itu menyesalpun sudah terlambat…..”
Segala yang mengeram dalam hatinya dikeluarkan sekaligus, sesudah itu ia diam dan duduk
dengan tubuh bergoyang-goyang.
“Hian tee apa maksudmnu ini ?” tanya Ang Ek Fan yang baru dapat kesempatan membuka
mulut.
Napas Tiat Giok Lin semakin pendek dan sesak. “Ini bukti dari…..kekejianmu, lihatlah
sendiri !” katanya terputus dan terus meraih surat dimeja dan dilemparkan ketanah.
Ang Ek Fan memungut surat itu dan membacanya dengan cepat, keringat dinginnya
membasahi tubuhnya, wajahnya berubah seketika. “Hian tee engkau kena diperdayakan
orang, aku berani bersumpah, tidak….” Ia tidak melanjutkan ucapannya, karena melihat
wajah Tiat Giok Lin berubah dengan mendadak. “Hian tee……serunya seraya melancarkan
jarinya kejalan darah Hoy kay hiat yang terletak ditengah dada untuk memberikan
pertolongan, tak kira sebelum tangannya sampai, dengan mata mendelik Tiat Giok Lin
membentaknya dengan keras “Jangan dekat !” Suaranya keluar, jurus pukulannyapun
menyambar dan tepat mengenai ulu hati Ang Ek Fan yang tidak bersiaga barang sedikitpun.
“Ngek” Ang Ek Fan mengeluarkan suara nyesak dan terhuyung beberapa langkah kebelakang,
pandangan matanya menjadi gelap dan hampir-hampir ia ngusruk. Dengan kekuatan ilmu
dalamnya ia bertahan tidak sampai jatuh dan menekan perasaan, bergolaknya darah, dan
sekali lagi ia mencoba maju untuk memberikan pertolongan pad saudara angkatnya. Tapi
begitu lengannya menyentuh tubuh Tiat Giok Lin kagetnya tak alang kepalang, karena sudah
dingin dan beku !
Perasaan pedih menyelimuti sanubari Ang Ek Fan, ia menahan kesedihan dan jatuhnya air
mata, tapi tak berdaya sama sekali, air mata itu seperti juga banjir berderai turun membasahi
pipinya. “Hian tee…ng…ng kenapa jadi begini …..”
225
Tiat Hok selesai menuturkan kisahnya, air matanyapun telah mengalir tanpa disadarinya.
“Saat itu aku berada ditaman bunga dan melihat kejadian ini, tapi waktu kudatang
memberikan pertolongan, semuanya telah menjadi terlamabt. Dan tepat diwaktu Po cu sudah
meninggal, Hujin baru datang !”
Lim Siok Bwee sesungukan mendengar kisah ini demikan pula dengan In Tiong Giok.
Suasana ruangan menjadi sepi sekian lamanya, akhirnya Tiong Giok membuka mulut terlebih
dahulu. “Sekarang aku mengerti segala malapetaka itu terjadi karena surat itu…”
“Ya karena surat itu, sayang tidak ada yang tahu apa isinya surat itu !” kata Tiat Hok.
“Surat itu berada ditangan Ang Ek Fan bukan ? Kenapa ia tidak memberikan isinya pada
kalian ?”
“Setelah terjadi peristiwa itu kami sangat repot dan tidak mengetahui bahwa Ang Toako
dengan diam-diam membawa pergi surat itu ! Sejak saat itu juga ia hilang dari dunia Kang
Ouw sampai sekarang.”
“Mungkinkah ia berbuat sesuatu hal yang tercela terhadap saudara angkatnya ?”
“Tidak !” jawab Lim Siok Bwee. “Aku memastikan dia bukan manusia rendah macam itu.”
“Jika tidak begitu kenapa ia pergi diam-diam ?”
“Mungkin ia mempunyai suatu kesulitan yang tak bisa diutarakan padaku, misalnya luka
akibat pukulan mendiang suamiku itu atau surat itu mengandung suatu rahasia yang tak boleh
diketahui diriku…”
“Apakah Hu jin bercuriga juga, bahwa semasa hidupnya Tiat Po cu mempunyai kesalahan
yang tak bisa diketahui orang ?”
“Manusia bukan dewa, pasti punya kesalahan bukan ? Tapi kuyakin kesalahan yang diperbuat
mendiang suamiku tak seberat itu !”
“Jika Hu jin beranggapan begitu, aku tidak ragu-ragu lagi untuk memperlihatkan sepucuk
surat kepadamu !” Segera ia memberikan sepucuk surat yang didapat Ciu Kouw kepada Lim
Siok Bwee. Setelah selesai membaca.
“Aku yakin surat yang diterima Tiat Po cu itu semacam surat ini bunyinya,” kata Tiong Giok,
dan menceritakan dimana ia memperoleh surat itu, secara teratur dan rapih.
“Jika begitu mungkin juga orang yang ditahan dalam penjara tanah Pok Thian Pang adalah
Ang Toako adanya !”
“Bagaimana Hu jin bisa berpikir kearah itu ?”
“Kematian suamiku karena surat ini, dan surat ini keluar dari Pok Thian Pang juga, bukankah
dua soalini membuktikan bahwa Ang Toako pun ditahan mereka ?”
“Apakah Keng thian cit su itu dihilangkan Ang Tay Hiap ?”
226
“Sewaktu mereka mendapatkan pelajaran Keng thian cit su dari Pek Lo Cianpwee, suamiku
hanya empat jurus yang didepan dan Ang Toako tiga jurus yang dibelakang. Maka itu
permainan pedang mereka harus bergabung, baru ada kekuatannya. Hal ini membuat mereka
kurang puas, maka itu mereka menyatukan buku itu. Dan bergilir mereka mempelajarinya
buku itu. Waktu terjadi peristiwa suamiku membunuh diri, buku itu giliran dipegang oleh Ang
Toako. Dan sejak itu ia hilang dari dunia persilatan. Aku menunggu sampai Siau Bwee umur
sebulan baru mengunjungi rumah Ang Toako. Namun sesampainya ditempat tujuan itu Ang
Toako sekeluarga tak kujumpai, sedangkan rumahnya telah berantakan menjadi puingan. Aku
cari berita dari berbagai tempat, tapi tak mendapat kabar soal kemana perginya. Jika sekarang
kita berpikir dengan cermat, segala malapetaka itu datangnya akibat Keng thian cit su !
Mungkin pula cici Siu Ngo dan anaknya itu berada di Pok Thian Pang juga !”
“Jika begitu sebaiknya Hu jin datang saja ke markas Pok Thian Pang untuk menyelidiki soal
mereka itu !”
“Ngomong memang gampang, kalau dijalankan sulit ! Sungguhpun begitu untuk mengetahui
nasib dari Ang Toako sekeluarga, ingin juga aku pergi kesana !” baru selesai ucapannya itu,
terdengar suara derapan kuda memasuki taman bunga. Seorang penjaga pintu depan terlihat
masuk memberi laporan, “Hu jin, didepan ada tamu mengaku sebagai Pangcu dari Pok Thian
Pang, untuk bertemu Hu jin !”
Suara penjaga itu membuat kaget pendengaran yang hadir disitu. Dengan heran dan bingung
Lim Siok Bwee menegasi : “Tamu itu siapa ?”
“Pangcu dari Pok Thian Pang !”
“Katakan padanya Tiat po sudah ditutup belasan tahun lamanya, tak menerima tamu luar.”
“Sabar dulu, kutahu betul selamanya Pangcu itu tidak meninggalkan markasnya, tentu ada
soal penting ia datang kesini. Sebaiknya terima saja kedatangannya baru bisa tahu
maksudnya. Disamping itu dengan alasasn melakukan kunjungan balasan kemarkasnya,
sekalian menyelidiki Ang Tay hiap sekeluarga !”
“Begitupun baik, tapi jika ia melihat Kongcu ada disini apa katanya ?”
“Itu soal mudah, aku bisa menyingkir !”
“Jika begitu baiklah,” kata Lim Siok Bwee dan menyuruh penjaga tadi mempersilahkan
tamunya masuk kedalam. Sedangkan In Tiong Giok segera bangkit dan diantar seorang
pelayan pergi kesebuah ruangan kecil ditaman bunga.
Keadaan taman bunga yang berkolam teratai menarik perhatian Tiong Giok. Ia tidak segera
menuju keruangan, tapi berjalan-jalan dulu ditaman sambil menghirupi akan udara segar,
karena mendengar suara tangisan kecil dari arah kupel yang terdapat disudut barat taman itu.
Langkahnya cepat-cepat menuju kesana, disitu ua melihat Siauw Bwee sedang tersedu-sedu
seorang diri.
“Hei, sedang apa ? Menangis ya ?”
227
“Oh…. In Siau Hiap. Silahkan masuk….”
“Apa yang membuatmu bersedih hati ?”
“In siau hiap bisakah engkau menolongku ?”
“Bisa saja jika kusanggup, tapi harus kutahu dulu persoalannya.”
“Kuminta engkau mau membujuk mamaku agar ia mengijinkan aku turut ketempat Pok Thian
Pang,” kata Tiat Siau Bwee.
“Dari mana engkau tahu mau kesana ?”
“Semuanya sudah kutahu, karena aku bersembunyi dibelakang ruangan itu mendengar
percakapan kalian ! Karena inilah aku menangis !”
“Sebab itu engkau menangis ? Aku heran mendengarnya !”
“Ya sebab engkau tidak mengetahui, sejak aku menmgerti urusan ibuku selalu tak mau
menceritakan soal kematian ayahku. Kini aku baru tahu terselip rahasia-rahasia yang belum
diketahui. In siau hiap karena ingin melihat orang tua dipenjara tanah itu, minatku sangat
besar pergi ke Pok Thian Pang, kalau-kalau saja orang tua itu adalah ayahku sendiri !”
“Pergi kesana bukan soal yang silit, hanya saja kalau orang tua itu bukan ayahmu bukankah
mendatangkan kekecewaan bagimu ?”
“Tak perduli orang tua itu ssiapa adanya, yang penting dapat kulihat ! Jika ia bukan ayahku
tapi Ang pek-pek (paman) adanya, kubisa menanya kepadanya, siapa yang membuat sampai
ayahku membunuh diri. Sesudah itu aku akan menuntut balas kepadanya.”
“Kurasa ibumu akan meluluskan permintaanmu itu !”
“Tapi engkau tidak mengetahui tabiat mamaku, ia terlalu memanja dan menyayangku secara
berlebih-lebihan. Karena itulah ia merahasiakan terus sebab-sebabnya kematian ayahku, takut
aku meninggalkan Tiat po untuk mencari balas !”
“Orang tua sudah tentu sayang pada anaknya, lebih-lebih engkau anak satu-satunya bukan ?
Orang tua kuatir engkau mendapat kecelakaan diluaran dan melarangmu kemana-mana.”
“Pokoknya niatku sudah mantap meninggalkan Tiat po.”
“Itu terserah padamu !” kata Tiong Giok.
“Kuminta sekarang juga kau temui mamaku dan omongi soal ini kepadanya !”
“Nanti saja ! Sekarang dia sedang menemui Pangcu dari Pok Thian Pang !”
“Pangcu itu mau apa datang kesini ? Mari ikut denganku, kita dengar pembicaraannya .”
228
Siau Bwee mengajak In Tiong Giok kebelakang ruangan. Disini mereka bersembunyi dibalik
pohon-pohon. Dan celingukan keempat penjuru, setelah melihat sekeliling tidak ada orang
mereka naik kesebuah pohon. Ddari sini bukan saja mereka bisa mendengari percakapan
orang didalam juga bisa melihat keadaan didalam.
Saat ini didalam ruangan terlihat dua tamu yang dikenali In Tiong Giok mereka adalah Pek
Cin Nio dengan anaknya, yakni Pek Kiam Hong. “Heran, kenapa pemuda itu ikut juga ?”
pikir In Tiong Giok.
“…..dengan gegabah aku kemari, semua ini kulakukan untuk anak yang bernasib malang ini.
Hu jin seorang yang cerdik, setelah melihat anak ini tentu mengetahui maksud kedatanganku
bukan ?” kata Pek Cin Nio.
Lim Siok Bwee dengan mata bersinar tajam mengawasi pada Pek Kiam Hong, lalu berkata
“Bagaimanapun engkau harus memberitahu siapa sebenarnya anak ini ?”
“Tak usah mendesak !” kata Pek Cin Nio “sesudah tahu kukuatir mendatangkan suatu pukulan
bagimu….”
“Adakah suatu pukulan batin yang lebih hebat dari kematian suami ? Terangkanlah segera !
Pukulan yang bagaimana hebatpun aku sanggup menerimanya !”
“Soal ini tak berani kuucapkan”, kata Pek Cin Nio , tapi sudah kusediakan dalam bentuk
tulisan, silahkan membacanya. Pek Cin Nio mengeluarkan beberapa lembar kertas dari
sakunya dan menyerahkan pada Lim Siok Bwee. Begitu yang disebut belakangan selesai
membacanya surat itu, wajahnya segera berubah dan terus menangis tersedu-sedu. Surat itu
dimasukkan kedalam sakunya dan berkata: “Soal ini apakah benar-benar ?”
“Bagaimanapun aku tak berani mendustai kalian untuk mengerjakannya,” kata Lim Siok
Bwee. Tapi dengan begitu terlalu membuat kalian menderita….”
“Delapan belas tahun aku cukup bersabar, apa salahnya menanti lagi beberapa tahun ! Yang
penting adalah pengertian dari Hujin, dengan begini kami ibu beranak, merasa bersyukur dan
terima kasih….”
“Jika begitu, sedikit banyak aku harus memberikan sesuatu tanda mata baginya,” kata Lim
Siok Bwee. Dipanggilnya seorang pelayan dan dibisiki sejenak, pelayan itu cepat pergi dan
cepat pula kembali. Ditangannya membawa dua buku tipis berwarna kuning. “Nak,
kemarilah” kata Lim Siok Bwee pada Pek Kiam Hong.
Pek Kiam Hong diam saja dengan bingung, ia memandang pada ibunya tak berani mengambil
keputusan sendiri. “Hong jie” lekaslah terima dan haturkan terima kasih pada Tiat Hu jin,”
kata Pek Cin Nio dengan perlahan.
Dengan kaku Pek Kiam Hong memberi hormat dan menerima buku itu sambil menghaturkan
terima kasih. Lim Siok Bwee memegang pundak pemuda itu dengan air mata berlinang, entah
air mat sedih entah airt mata girang, seorangpun tidak ada yang tahu.
Kiranya yang menangis bukan Lim Siok Bwee sendiri, Pek Cin Nio pun bercucuran air mata.
Atas pemberian nyonya rumah ia menghaturkan lagi terima kasihnya. “Sekali lagi kuhaturkan
229
terima kasihku, budi kebaikan ini selamanya tidak akan kulupakan, dan dengan begitu
urusanku sudah selesai, mohon pamit !”
“Buru-buru amat, masih siang bukan ?”
“Karena masih banyak urusan lain, terpaksa harus pulang cepat-cepat,” kata Pek Cin Nio.
“Ngomong-ngomong mana putrimu, sejak tadi tidak kulihat ?”
JILID 12________
“Waduh, sampai lupa memperkenalkan “ kata Lim Siok Bwee, dipanggilnya seorang pelayan
“Panggil siocia kesini ! Akan kusuruh mengantar tamu !”
Mendengar ini Tiong Giok mendekati Siau Bwee “Lekas turun !”
“Hm, untuk apa menemuinya, melihatnyapun sudah sebal !”
“Engkau harus mengantarnya, ia sebenarnya baik,” bujuk Tiong Giok. “Apa lagi Siau pancu
itu, bukan saja baik juga harus dikasihani, lekaslah !”
“Jika begini siapa yang jadi penjahat ?”
“Sukar kuterangkan dengan sepatah dua patah,” kata Tiong Giok. “Lekaslah jangan sampai
ibumu kesal menunggu. Jika ada kesempatan engkau boleh mengatakan soal keinginan kita
pergi ke Pok Thian Pang pada Siau pangccu itu, pasti ia bisa membantu !”
“Apakah kau sudah kenal dengannya ?”
“Kenal ! Lekaslah !”
Siau Bwee cepat turun dari tempat persembunyian, begitu kakinya memijak tanah seorang
pelayan yang sedang mencarinya berseru girang : “Siocia, lekas. Hujin menyuruhmu
mengantar tamu keluar !”
“Aku sudah tahu !” jawab Siau Bwee dengan ketus dan mendelik.
Dan setelah ditaman tidak ada orang lagi, Tiong Giok baru turun, ia mundar mandir sambil
termenung sesaat lamanya, sesudah merasa pangcu itu pergi, ia baru kembali kedalam
ruangan.
Lim Siok Bwee tidak ada didalam, hanya Tiat Hok saja seorang menantikan dirinya dan
mengatakan bahwa Tiat Hujin kedalam dulu sebentar, tak lama lagi akan datang.
Tiong Giok merasa heran, tapi ia tak mau banyak bertanya, duduk diam menanti dengan
kesal. Selama itu Tiat Hok diam-diam saja. Tak selang lama terdengar langkah kaki, tapi
bukan Lim Siok Bwee yang datang melainkan Tiat Siau Bwee adanya.
Waktu itu gadis itu marah-marah dan merengut, kini ia kembali dengan wajah cerah dan
tersenyum-senyum. “Mama ! Mana Mama ?” teriaknya tatkala mendapatkan ibunya tidak ada
didalam ruangan.
230
“Hujin kedalam dulu, nanti akan datang lagi !” kata Tiat Hok, “Kounio temani dulu In siau
hiap sebentat, aku mau kebelakang.”
“Baiklah ! Sekalian bawakan aku makanan dan minuman !” kata Siau Bwee.
“Nampaknya girang betul, kenapa sih ?” tanya Tiong Giok.
“Apa yang kau katakana nyatanya benar,” kata Tiat Siau Bwee, “bahwa Pangcu dan Siau
Pangcu itu bukan orang jahat ! Tak sangka begitu ramah dan baik budi !”
“Nah sekarang engkau baru percaya omonganku bukan ?”
Tiat Siau Bwee menganggukkan kepala. Lengannya merogoh saku dan mengeluarkan suatu
benda yang mengeluarkan bunyi “tring” waktu diletakkan dimeja.
“Lihat ini apa ?”
“Ah ! Ini tanda pengenal dari Pok Thian Pang, dari mana kau dapat ?”
“Dengan tanda pengenal ini bukankah kita bisa keluar masuk di Pok Thian Pang dengan
bebas ?”
“Benar,” jawab Tiong Giok, “apakah minat kita untuk pergi kesana engkau terangkan pada
pangcu itu ?”
“Engkau kira aku begitu bodoh ? Benda ini ia sendiri yang memberikan padaku tanpa kuminta
!”
“Ha ?”
“Baiklah kujelaskan,” kata Siau Bwee, Ia berhenti sejenak karena datang pelayan
membawakan mereka arak. Dituangkan secawan arak pada Tiong Giok, ia sendiri
mengeringkan juga secawan, baru melanjutkan kata-katanya. “Waktu kuantar mereka keluar,
pangcu itu dengan ramah tamah dan mesra, menanyakan ini itu kepadaku. Aku sedang
dongkol, apa yang ditanyanya tidak kujawab, tapi ia sangat sabar dan nyerocos terus. Katanya
ia mempunyai seorang murid bernama Wan Jie, usianya sebaya denganku. Waktu ia
menyinggung-nyinggung muridnya itu terasa amat bangga baginya. Sayang katanya tidak
diajak serta, jika tidak bisa berkenalan denganku.”
“Kenapa tidak diajak, tanyaku. Dan ia tersenyum-senyum sebelum menjawab. Karena
muridnya itu akan menjadi pengantin !”
“Apa ? Wan jie mau menjadi pengantin, betulkah ?”
“Pangcu itu yang mengatakan masakan bohong !”
“Dikawini siapa ?”
“Bukan orang lain, yakni Pek Kiam Hong yang menjadi Siau pangcu itu.”
231
“Seng!” seolah-olah kepala Tiong Giok disambar geledek. “Ah ! Pek Kiam Hong….mana
mungkin….”
“Kenapa tak mungkin ?” tanya Siau Bwee. “Untuk sang pangcu yang satu sebagai murid yang
satu sebagai anak, sejak kecil mereka dibesarkan bersama-sama dan sudah mengenal watak
satu sama lain, maka itu kurasa cocok sekali pasangan itu. Cuma yang membuatku heran,
mendengar mau dikawaini Siau pangcu itu tidak menampakkan rasa gembira barang seujung
kuku. Seolah-olah yang mau menikah itu adalah orang lain dan bukan dirinya. Waktu inilah
sengaja kukatakan, sayang tidak bisa pergi kesana untuk berkenalan dengan Wan jie sekalian
menyaksikan hari perkawinan medreka. Tak kira pangcu itu segera memberikan aku tanda
pengenal ini untuk kesana….Coba kau piker, kalau rejeki mau datang tak usah dicari tapi
akan datang sendirii bukan ?”
Siau Bwee menuturkan kata-katanya dengan bersemangat, sedikitpun tidak memperhatikan
yang diajak bicara parasnya menjadi pucat pasi dan menggigil…betapa tidak, seorang kekasih
yang diidam-idamkan tahu-tahu terdengar beritanya akan menikah dengan Pek Kiam Hong
kabar ini datang dari seorang pangcu yang dapat dijamin kebenarannya ! Hatinya hancur
luluh….apa yang diceritakan Siau Bwee bagian belakang tidak masuk ketelinganya lagi…
Siau Bwee baru sadar dan kaget melihat mata Tiong Giok tergenag air mata. “In siau
hiap…engkau mengapa menangis ?”
Tiong Giok memaksakan diri tersenyum. “Siapa yang bilang, aku sedang asyik mendengar
ceritamu…coba teruskan akhirnya bagaimana ?”
“Hi hi hi,” Siau Bwee tertawa geli dan menunjuk kemuka Tiong Giok.
“Terang-terang nangis tidak ngaku, malu ! Hm sekarang kutahu sebabnya engkau menangis.
Tentu Wan jie sangat baik denganmu, mendengar kabar ini engkau merasa bersusah hati
bukan ?”
“Tebakanmu salah,” kata Tiong Giok dengan senyum meringis. “Engkau tidak tahu sewaktu
aku disana sangat baik dengan Pek Kiam Hong, kini mendengar ia mau menikah hatiku sangat
gembira, kenapa harus menangis ?”
“Aku tak percaya !”
“Terserah !” kata Tiong Giok. “Eh ngomong-ngomong perlu kutanya, ibumu memberikan apa
pada Pek Kiam Hong ?”
“Untung kau tanya, akupun hampir lupa soal ini kutanya oada mama….” Kata Siau Bwee.
“Karena benda itu adalah buku silsilah dari keluarga Tiat !”
Hampir-hampir Tiong Giok berseru kaget mendengar ucapan itu, untung sebelum ia bersuara
Lim Siok Bwee keburu datang, wajahnya begitu berat tubuhnya sedikit bergetar, dan ia duduk
dikursi tapi bangkit lagi begitu melihat tanda pengenal dari Pok Thian Pang yang diletakkan
putrinya diatas meja. “Bwee jie darai mana engkau mendapat benda ini ?”
232
“Pangcu dari Pok Thian Pang yang memberikan kepadaku,” jawab Siau Bwee. “ia
mengundangku datang ketempatnya untuk turut menyaksikan hari pernikahan Siau Pangcu.”
Lim Siok Bwee memainkan benda itu ditangannya tanpa mengeluarkan sepatah kata.
“Ma bukankah kita berniat pergi kemarkas mereka ? Dengan adanya benda ini…”
Belum selesai Siau Bwee bicara, tak ubahnya seperti gunting Lim Siok Bwee membuat tanda
pengenal dari Pok Thian Pang terpotong menjadi dua. Dengan air mata tergenang ia berkata
dengan parau sambil menggelengkan kepala.
“Kita tak usah pergi kesana !”
“Mama engkau….” Seru Siau Bwee dengan kaget.
Lim Siok Bwee mengangkat tangan melarang puterinya berkata-kata. Sedangkan matanya
mengawasi pada Tiong Giok dengan menyesal dan napasnya ditarik panjuang-panjang.
“In Siau hiap maffkanlah aku menarik janjiku akan ke Pok Thian Pang ! Dan sudah
kupikirkan seumur hidupku takkan keluar dari Tiat po ini atas ini kumohon maaf….”
Suaranya terputus oelh isakan tangis dan banjir air mata.
“Maksud Hujin biarpun yang dipenjarakan dalam tanah disana itu sebagai Tiat Pocupun tidak
akan ditengok ?”
“Aku sudah tahu itu bukan suamiku !”
“Kemungkinan besar adalah Ang Tay hiap, apakah Hujin tidak mau menengoknya juga ?”
“Biar aku bisa kesana apa yang bisa aku perbuat ?”
“Jika mama tidak mau pergi, aku mau bersama-sama In Siau hiap pergi kesana !” kata Siau
Bwee.
“Jangan sembarangan berkata, engkau masih kecil tidak tahu apa-apa !” bentak Lim Siok
Bwee.
“Andaikata orang itu bukan Tia-tia, tapi kitapun tak boleh berpangku tangan tak menolongnya
bukan ?” bantah Siau Bwee. “Kuheran mama bukan seorang yang penakut, kenapa mendadak
jadi berubah dan tegaan betul ? Apakah mama tidak memikirkan lagi nasib dari bibi dan
paman Ang ?”
“Budak apakah engkau sudah jadi gila berani berkata sekurang ajar ini kepadaku ?”
“Aku bukan berlaku kurang ajar, tapi bicara soal yang benar, sudah sakit hati ayah tidak
mama hiraukan, kenapa melarang pula padaku ?”
“Budak jika engkau tidak mendengar kata-kataku, selangkah engkau keluar dari Tiat po tidak
akan kuaku sebagai anak lagi ! Dan aku sudi mencukur rambut menjadi biksuni dari pada
mempunyai anak yang tidak berbakti !”
233
“Ng…ng…ng…mama aku benci padamu…aku benci !” Siau Bwee menjerit-jerit sambil
menangis.
“Bencilah ! Engkau boleh membenci padaku seumur hidupmu, tapi pada suatu saat engkau
akan menyadari kesusahanku…”
Tiat Siau Bwee menutupi mukanya sambil menangis terus dan lari kebelakang.
Melihat keadaan ini In Tiong Giok menarik napas panjang dan segera bangun sambil
merangkapkan kedua tangannya memberi hormat : “Tiat Hujin kehendak manusia tak bisa
berubah demikian macam, gara-gara kedatanganku, atas ini kumohon maaf yang sebesarbesarnya,
dan dengan ini pula kumohon pamit !”
“Aku mempunyai sesuatu soal yang tidak dapat kuterangkan padamu, atas ini akulah yang
harus mohon maaf padamu ! Soal Siau Bwee tak perlu kau pikirkan, itu sudah biasa bagiku !”
“Nah sampai bertemu lagi di lain kesempatan !” kata Tiong Giok.
“Aku tak bisa membantu, tapi akan berdoa demi keselamatanmu dan suksesnya usahamu !”
Tiong Giok meninggalkan Tiat po dibawa antaran mata Tiat hujin sendiri.
Perginya ia sangat bersemangat, kembalinya menjadi lesu. Dengan kudanya ia berlari seperti
terbang, gunung dan sungai dilaluinya, ia kembali lagi kedaerah Kang Lam.
Perjalanan Jauh yang diharapkan, ia kecewa tapi tak putus asa. Tetapi segala sesuatu rencana
untuk menghadapi Pok Thian Pang tak pernah sirna dari lubuk hatinya, ia tidak mau
menyerah begini saja. Tapi ia tahu keadaan Pok Thian Pang sedang jaya, banyak jago-jago
yang memihak kepada perkumpulan itu dan banyak yang mengasingkan diri akibat tekanan
dari mereka. Iapun berpikir bisakah dengan kedua tangannya yang terbatas ini menghadapi
Pok Thian Pang ?
Tiup angin utara dan berderunya air sungai sebagai jawaban, seolah-olah terhadap suka cita
dari pengalamannya itu menaruh kasihan. Dengan menentang dada ia menghirup udara dan
terus meloanjutkan perjalanannya.
Dengan serampangan ia mampir disebuah losmen yang diketemukan dan minum sepuasnya
sampai mabuk, dengan begini segala kekusutan hatinya, buat sementara tersapu bersih. Waktu
ia sadar kembali, hujan turun dengan derasnya. Suara air hujan itu tak ubahnya seperti
seseorang yang sedang menangis sedih. Ia bangkit dari tempat tidurnya, melalui jendela
memandang ketempat jauh, tampak bukit-bukit sambung menyambung menjadi gunung.
Begitu samar dan remang-remang keadaannya dalam musim penghujan. Dan iapun tahu
dibalik untaian gunung raksasa itu adalah markas pusat dari Pok Thian Pang!
Sebulan yang lalu ia melihat Wan jie, entah bagaimana keadaan kasihnya kini ? Sudah
tidurkah ? Atau bangun seperti dirinya karena mendengar suara hujan ? Ataukah sedang
termenung-menung mendengarkan kisah hujan yang menyedihkan ?
234
Atau di Pok Thian Pang sedang ramainya ? Lampu-lampu terang benderang, lilin menyalanyala,
kekasihnya itu sudah selesai melangsungkan upacara pernikahan dengan Pek Kiam
Hong. Dan sedang melewati malam pengantin…..!
Soal yang lalu seperti asap, pergi tidak akan kembali lagi. Tiong Giok termenung di depan
jendela, pandangan matanya semakin lama semakin guram, tak dapat dibedakan lagi antara air
mata dan air hujan……
“Ah aku harus berlaku sabar ! Sabar ! Seperti yang dikatakan Tong Cian Lie” piker Tiong
Giok. “Sudah tidak mempunyai kekasih tidak ada lagi beben pikiran, aku harus lebih giat dari
dulu !” Setelah memikir begini, semangatnya berkobar-kobar disekanya air mata dan
diletakkan beberapa tail uang dimeja, malam itu juga ia menerjang hhujan melanjutkan
perjalanan.
Propinsi In Lam dan Kam Siok adalah dua propinsi yang berdempetan satu sama lain,
keadaan tanahnya berbukit-bukit. Sukar dilalui kenderaan dan terpencil jauh dari keramaian.
Dipegunungan ini tinggal suku Biau yang masih menempuh kehidupan agak primitif dan
miskin.
Gunung Cu cing san terletak ditimur laut propinsi Kam Siok. Puncaknya menjulang tinggi
dan terjal sekali, dilerengnya penuh lembah-lembah yang curam dan mengalir beberapa
sungai. Tahun ketemu tahun cuaca kebanyakan mendung dan sering turun hujan. Hari ini
kebetulan cuaca sanga cerah, didesa Ulus kedatangan seorang pemuda yang membawa dua
ekor kuda. Desa ini merupakan yang terbanyak penduduknya dan mempunyai hubungan
dagang dengan daerah luar. Antara suku Biau dan Han sering berjual beli didesa ini. Bahkan
ada juga beberapa orang Han yang menetap tinggal disini. Orang-orang Biau yang bertempat
tinggal didesa ini kebanyakan sudah pandai berbahasa mandarin. Sehingga pakaian maupun
cara merekapun sudah seperti orang Han. Dan sukar membedakan mana yang suku Biau dan
Han olagi. Agaknya asimilasi berjalan dengan cepat didaerah ini.
Kedatangan pemuda itu yang bukan lain dari pada In Tiong Giok sangat menarik perhatian
penduduk kampung. Karena mereka baru pertama kali melihat seorang pemuda yang
demikian ganteng datang ketempat mereka. Disamping itu mereka menduga bahwa pemuda
kita itu sebagai saudagar besar, karena dikudanya yang tidak ditunggangi tergantung sebuah
tempayan besar yang tertutup rapat.
Saat ini sebuah toko kulit yang diusahakan oleh orang Han dengan merek Tiang sen hoo
sedang sepi sekali. Pengusaha toko ini yang biasanya dipanggil dengan sebuah nama Ciu Lo
pan sedang asyik menghitung dengan sipoanya, tiba-tiba ia menjadi kaget karena datang
seorang gadis Biau berusia tiga empat belas tahun menghampirinya “ Ciu Lo pan, lekas lihat,
ada orang Han datang kesini !”
Ciu Lo pan sedang asyik menghitung, tak mau menghiraukan kata-kata gadis itu.
“Ciu Lo pan lekas, ia menuju kemari !” teriak gadis itu lagi.
“Pergi ! pergi , jangan ribut disini ! Orang Han kek, apa kek , apa bagusnya untuk
ditonton….Ah dasar kau….aku jadi kerok dan salah hitung…pergilah jangan mengerecok
disini….” Begitu ia dongak dan menggebah gadis itu, pandangan matanya melihat seorang
pemuda yang ganteng, sudah berada didepan pintunya.
235
Ciu Lo pan cepat-cepat bangkit dan meninggalkan sipoanya menyambut kedatangan tamunya
sambil berkata ua menyuruh pegawainya mengurus kuda. “Silahkan masuk Kongcu !” sambil
tersenyum pada tamunya, dan melihat terus kepada tempayan yang berada dipunggung kuda.
“Tak sangka anak semuda dia adlah seorang pedagang kulit yang ulung. Membeli kulit
mentah dan menyimpan ditempayan, bukan saja menjaga agar kulit itu tidak kering dan tidak
rusak, tempayan begini besar sedikitnya bisa memuat empat lima ratus lembar kulit macan “,
pikirnya dengan girang. Sebagai seorang pedagang yang berpengalaman dengan segera ia
menyambut tamu dengan segala makanan dan minuman. “Sukar ditempat semacam ini
bertemu dengan orang sekampung, Kongcu silahkan minum !”
Tiong Giok menyambut cawan dan mengeringkannya, Ciu Lo pan mengisi lagi cawan itu,
sambil memperkenalkan diri. “Aku she Ciu bernama Tiang Seng sudah lima belas tahun lebih
tinggal disini mengusahakan perdagangan kulit, setiap kulit yang bagus selalu dibawa orangorang
Biau ke tokoku….”
“Oh” kata Tiong Giok sambil mengeringkan lagi araknya. Dan memperkenalkan pula dirinya,
“Aku bernama In Tiong Giok.”
“In Kongcu masih muda belia tapi bisa keluar masuk daerah sepi ini untuk berusaha,
membuatku benar-benar kagum !”
“Ciu Lo pan salah mengerti, aku bukan seorang pedagang !”
Ciu Tiang Seng melengak dan menggelengkan kepala sambil berkata: “Kongcu jangan
membohongi aku, apa gunanya engkau datang ketempat semacam ini jika tidak berdagang ?”
“Apa gunanya aku berbohong, sejujurnya aku datang kesini bukan berdagang, tapi untuk
mencari tahu sesuatu tempat digunung Cu cing san yang bernama Giok hong hong.”
“Bagaimana ? Apakah Kongcu ingin kesana ?”
“Benar ! Tahukah Ciu Lo pan dimana letaknya tempat itu ?”
“Biar bagaimana tempat itu tidak boleh dikunjungi !”
“Sebabnya ?”
“Jangan bertanya sebabnya, pokoknya sekeliling dari gunung Cu cing san boleh didatangi
hanya Giok hong hong jangan dipergi, berbahaya !”
“Apakah disana banyak binatang buasnya ataukah menjadi sarang penyamun ?”
“Binatang buas dan segala perampok mudah dihadapi, tapi bukan itu yang ditakuti ! Disitu
sarangnya setan-setan yang tidak bisa dilawan manusia !”
In Tiong Giok tertawa mendengar penuturan Ciu Tiang Seng.
“Kongcu jangan tertawa, hal ini bukan bohong-bohong….sudah banyak orang Biau yang
melihat setan itu.”
236
“Mereka itu masih terlalu percaya tahyul,” kata In Tiong Giok. “Jika Ciu Lo pan sudah
melihat dengan mata kepala sendiri baru boleh percaya.”
“Sungguhpun aku belum pernah melihat dengan mata sendiri, tapi seorang Han yang she Ciu
juga sepertiku, pernah melihat setan-setan itu ! Ia seorang jago Kang Ouw yang
mengasingkan diri ketempat ini, kepandaiannya sangat tinggi, tapi setelah menghadapi setansetan
itu, pulangnya sakit keras dan hampir-hampir mati !”
“Apakah orang itu masih ada dikampung ini ?”
“Ada ! Ia tinggal dipinggiran kampung, kerjanya memburu binatang. Ia sangat baik denganku,
dan sering mengobrol kesini…”
“Bisakah mengantarkanku menemui orang itu ?”
“Bisa saja,” jawab Ciu Tiang Seng. “tapi ia bertabiat aneh dan sering tidak dirumah. Hari ini
entah ada entah tidak aku tidak tahu. Kongcu boleh nunggu sebentar, kusuruh orang
memanggilnya kesini !” Cepat-cepat keluar ruangan dan celingukan, kebetulan dilihatnya
anak perempuan tadi masih berada disitu sedang mencuri lihat kedalam. Cepat ia memanggil.
“Alana sini !”
Anak perempuan yang bernama Alana itu meledek sambil menjulurkan lidah dan terus lari.
“Hei kesini aku perlu denganmu, nanti kuberi upah benang sutra !”
Anak perempuan yang sudah pergi itu kembali lagi dan masuk kedalam toko, matanya
mengerling pada Tiong Giok, lalu cepat-cepat tunduk lagi. “Ciu Lo pan mau apa
memanggilku ?”
“Coba kau kebelakang dan lihat Empek berjenggot itu ada dirumah atau tidak….”
“Tidak ! Aku tidak mau ! Benang sutrapun aku tak mau,” potong Alana dan terus lari keluar.
Tapi dengan cepat jalan larinya itu dihalangi Tiong Giok. “Kenapa engkau tak mau ?”
“Empek jenggot itu galak dan jahat aku takut kesana…”
“Ha ha ha kenapa takut, pernahkah ia membunuh orang atau makan orang ?”
“Kuajari, sebelum masuk kau panggil dulu namanya. Jika ia ada dirumah katakana aku
mengundangnya kesini !” kata Ciu Tiang Seng.
“Lekas panggil !” kata Tiong Giok dan ia merogo sakunya mengeluarkan mutiara. “Nih
untukmu lekaslah !”
Alana jadi melongo “Mutiara ini untukku ?”
“Ya untukmu ! Sukakah engkau dengan mutiara ini ?”
237
“Aku…aku,” Alana menganggukkan kepala. “Terima kasih Kongcu !” katanya dan berlari
keluar.
“Sudah lamakah orang itu tinggal disini ?”
“Kurang lebih sudah empat puluh tahun lebih ! Dan usianya kini lebih kurang sembilan puluh
tahun !”
“Benar usiaku sembilan puluh tahun,” tiba-tiba terdengar jawaban dari luar.
Tiong Giok menjadi kaget dan berpaling keluar, disitu sudah ada orang tua berjenggot dan
berambut putih. Tubuhnya pendek, matanya tinggal satu, tapi sangat gagah kelihatannya dan
galak.
“Toa pek sudah beberapa hari kita tidak bertemu, bagaimana baik-baik sajakah ? Mari masuk
kukenalkan In Kongcu ini padamu !”
Dengan matanya yang tinggal satu itu, ia memandang In Tiong Giok dengan tajam: lalu
masuk kedalam toko. Tiong Giok menyambut kedatangannya dengan merangkap tangan. “Ya
kami sedang membicarakan soal loocianpwee, tahu-tahu sudah datang…”
“Lo hu bernama Ciu Kong, dapatkah kutahu namamu ?”
Tiong Giok memperkenalkan diri dan mempersilahkan orang tua itu duduk. Begitu duduk Ciu
Kong tidak malu-malu lagi menuang arak sendiri dan meminumnya. “In Kongcu datang darai
mana, ada urusan apa denganku ?”
In Tiong Giok tersenyum. “Aku baru sampai disini, dari Ciu Lo pan kudapat tahu bahwa Ciu
Lo Cianpwee adalah jago Kang Ouw yang mengundurkan diri ditempat sepi ini, maka itu
kumohon petunjuk-petunjukmu untuk sesuatu soal….”
“Soal apa, katakana saja langsung jangan berbelit-belit !”
“Ya baik, yakni aku menerima pesan dari seseorang untuk pergi ke Giok hong hong…”
“Apa yang hendak kau lakukan disana ?”
“Soal ini mengenai urusan pribadi seseorang maka itu maaf saja tidak dapat kujelaskan !”
Mendengar ini Ciu Kong mendengus dingin. Wajahnya ditekuk demikian rupa dan masam
sekali. “In kongcu terus terang saja karena engkaupun seorang Han, maka mau kuberi nasehat
sebainya urungkanlah niatmu itu !”
Mendengar suaranya yang begitu kasar, Tiong Giok tidak gusar, ia tetap tersenyum. “Ciu Lo
pan pun menyuruhku begitu dan mengatakan disana banyak iblis dan setannya, juga menurut
dia Ciu Lo Cianpwee pernah melihat setan-setan itu, benarkah ?”
“Sedikitpun tidak salah !”
“Dapatkah Ciu Lo Cianpwee menuturkan pengalaman itu barang sedikit padaku ?”
238
“Pokoknya soal setan dan iblis yang terdapat disana adlah benar, soal percaya tidak percaya
terserah padamu ! Jika engkau tertarik dan ingin membuktikan sendiri ada tidaknya setansetan
itu, engkau boleh menyaksikannya sendiri ! Tapi ingat, sudah banyak orang-orang yang
tidak percaya pergi kesana dan tidak kembali lagi untuk selama-lamanya !”
“Lo Cianpwee sudah pernah kesana dan menemui setan-setan itu kenapa bisa kembali dengan
selamat ?”
“Ya Lo hu dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh baru bisa menyelamatkan diri dari
setan-setan itu, tapi tak urung menderita luka-luka parah. Dan sakit itu membuatku meringkuk
sebulan lebih baru sembuh ! Jika engkau menganggap memiliki kemampuan lebih tinggi dari
Lo hu, aku tak berani mengatakan apa-apa !”
“Aku tergolong angkatan muda yang tidak berpengalaman, mana mungkin bisa dibandingi
dengan kepandaian Lo Cianpwee !” kata In Tiong Giok, “tapi aku telah menyanggupi
permintaan seseorang untuk mengunjungi tempat itu. Andaikata ada setan dan bahaya lainpun
aku harus kesana juga, dengan begini aku tidak mengecewakan orang itu.”
Melihat tekad Tiong Giok yang mantap, Ciu Kong menjadi kagum, dengan didahului
anggukkan kepalanya ia berkata : “In Kongcu masih muda tapi mempunyai keberanian luar
biasa, untuk ini aku bersedia mengantarmu kesana…”
“Terima kasih atas bantuan Lo Cianpwee.”
“Tapi aku hanya mengantar sampai ditengah perjalanan, selanjutnya engkau pergi sendiri !”
“Begitupun baik….”
“In Kongcu ini bukan soal main-main, sebaiknya engkau berpikir biar matang,” Ciu Lo pan
menasehati.
“Mati atau hidup soal nasib, aku takkan menyesal !”
“Memang begitu,” kata Ciu Lo pan “tapi engkau harus berpikir bahwa setan-setan itu tidak
seperti manusia, ia bisa pergi sesuka hatinya menurut kesiur angin. Dijaga tidak bisa dijaga
dan lebih baik engkau membatalkan niat yang berbahaya itu !”
Tiong Giok tidak menjawab, ia melemparkan cawan arak keudara, lalu menunjuk jarinya
“Sreet” terdengar suara, cawan diudara bergoyang-goyang dan turun kebawah, lalu diletakkan
diatas meja.Menyaksikan ini Ciu Kong menjadi kaget demikian pula Ciu Lo pan.
“Jika setan-setan itu menampakkan diri, akan kuserang dengan jerijiku ini !” kata Tiong Giok.
“In Kongcu ilmu dalammu luar biasa sekali, tadi aku meremehkan kepandaianmu, kini aku
baru membuka mata !”
“Apakah dengan kepandaian ini kiranya cukup kuat aku menghadapi setan-setan disana ?”
Kata Tiong Giok, dan diluar kesadarannya ia membanggakan diri sendiri tanpa terasa.
239
Ciu Kong menjadi marah, dan sedikit tak senang. “Sejujurnya kepandaianku tidak setinggi
Kongcu, tapi ingat setan-setan disana bisa gentayangan sesuka hatinya, bukan sembarangan
orang bisa melawannya.”
In Tiong Giok sadar bahwa perkataannya tadi telah menyinggung hati Ciu Kong, dan
menimbulkan kesalah pahaman, cepat ia berkata: “Untung Lo Cianpwee menyadarkanku, jika
tidak setan-setan bisa kuanggap sebagai manusia biasa….”
“Biar dia setan atau manusia, pokoknya In Kongcu berkepandaian lebih tinggi dari Lo hu, dan
mudah-mudahan dipuncak itu tidak bertambah satu setan penasaran !”
In Tiong Giok tersenyum meringis mendengar sindiran itu. “Ya jika berumur panjang, aku
mau mentraktir Jie wie mabuk-mabukan !”
“Tapi terlalu sulit !” kata Ciu Kong.
In Tiong Giok tidak mau mengadakan perdebatan terlalu lama, ia mengalihkan persoalan
ketempat lain, “Loocianpwee kapan bisa mengantarkan kesana ?”
“Sekarangpun bisa saja !”
Dengan girang Tiong Giok bangkit dari tempat duduknya dan memberikan Ciu Lo pan uang
emas dan mutiara. “Manusia banyak seperti lautan, bisa bertemu dan berkenalan adalah jodoh.
Kini aku pergi dan menempuh bahaya, entah bisa pulang dengan selamat entah tidak, tidak
ada yang tahu. Yang pasti uang ini sudah tak kubutuhkan lagi, kuserahkan pada Ciu Lo pan
sebagai tanda terima kasihku atas bantuan tadi !”
Terbelalak mata Ciu Lo pan melihat uang emas dan mutiara-mutiara berharga itu, tapi
untuknya tidak ada ketamakan untuk memilikinya, dengan mata merah dan haru ia meminta
lagi agar Tiong Giok membatalkan niatnya.
Tiong Giok memberi hormat sebelum pamitan pada Ciu Lo pan yang baik hati itu.
“Semoga In Kongcu pulang dengan selamat, dan barang-barang ini sementara kusimpan !”
Begitu Tiong Giok dan Ciu Kong keluar toko, diluar berkerumun orang-orang Biau, antaranya
ada seorang tua yang dituntun Alana menghampiri kepadanya sambil menggelengkan kepala
dan kemak kemik entah apa yang diucapkan tidak dimengerti Tiong Giok.
“Nenekku mengatakan kongcu orang baik dan jangan pergi ke Giok hong hong. Yang pergi
kesana pasti mati dan tidak bisa kembali lagi.” Kata Alana menterjemahkan kata-kata
neneknya.
“Katakan pada nenekmu kuhaturkan terima kasih atas nasehatnya itu, tapi kepergianku kesana
tidak bisa dibatalkan, karena penting sekali !”
“Setan-setan jahat suka mengganggu manusia, sebaiknya jangan pergi !” kata Alana dengan
mata berkaca-kaca.
240
“Aku sudah menyanggupi seseorang untuk pergi kesana,mana boleh melanggar janji !
Seseorang paling banyak hanya mati….”
Ciu Kong tak sabaran lagi dengan gusar ia membentak orang-orang Biau itu.
“Jangan banyak rewel, minggir semua !” Suaranya yang keras membuat orang-orang yang
berkerumun itu menjadi buyar.
Alana mundur beberapa langkah, tapi maju lagi dan memberikan Tiong Giok orang-orangan
dari kayu. “Ini jimat penjaga badan, ambillah….” Ia tak sempat menyelesaikan ucapannya
karena Ciu Kong mendelik kearahnya.
“Terima kasih Alana, akan kubawa patung ini !” kata Tiong Giok.
Alana menjadi girang pemberiannya diterima dan terus berlari-lari kearah orang banyak dan
tidak terlihat lagi.
Ciu Kong memandang kepada tempayan dipunggung kuda itu sambil bertanya : “Apakah
tempayan ini akan kau bawa juga ke Giok hong hong ?”
“Benar !” jawab Tiong Giok.
“Jalanan gunung tak bisa dilalui kuda, bagaimana kau bisa membawa benda yang berat itu ?”
“Tempayan ini penting sekali, bagaimanapun harus kubawa !”
“Jika begitu tempayan itu harus ditaruh didalam keranjang dan diikat pada tubuhmu !” kata
Ciu Kong.
“Apapun boleh .” jawab Tiong Giok. “Asal dapat dibawa !”
Dengan memakai keranjang, tempayan itu dimasukkan kedalamnya, lalu diikat tambang
besar, dijadikan semacam ransel. Tiong Giok menggombloknya dibelakang punggung.
Mereka segera pamitan dengan tuan rumah dan berlalu kearah pegunungan. Begitu keluar
kampung, keadaan sudah sunyi dan tidak terlihat lagi para penduduk, mereka segera
menbentangkan ilmu meringankan badan secepatnya. Didalam perjalanan ini Ciu Kong jarang
membuka mulut, hanya matanya sering melirik kearah tempayan yang dibawa Tiong Giok
dengan perasaan heran, sungguhpun begitu ia tak pernah menanyakan apa isinya tempayan
itu.
Tak selang lama mereka mulai memasuki daerah pegunungan yang berhutan lebat. Ciu Kong
memberi isyarat, berhenti mengaso.
Tiong Giok memandang kepada pengantarnya dengan heran, karena sedikitpun pengantarnya
itu tidak menunjukkan rasa letih. “Masih jauhkah letaknya Giok hong hong ?”
“Tidak !” jawab Ciu Kong, “tinggal mengitari lembah itu, kita sampai….” Tambahnya dengan
menunjuk-nunjuk.
241
Tiong Giok memandang tempat yang ditunjuk letaknya tidak seberapa jauh, hanya saja jalan
yang harus ditempuh terdiri dari cadas gunung yang tajam-tajam dan menyeramkan.
“Tak kusangka Giok hong hong letaknya tak seberapa jauh,” kata Tiong Giok, “sebelum
malam aku harus tiba disana, Locianpwee tak usah mengantar lagi, cukup sampai disini saja.”
“Hm, jangan kau lihat perjalanan ini semudah yang kau bayangkan,” kata Ciu Kong, “kuberi
tahu, sekitar lembah itu ada Lumpur yang merapung, asal kena memijak engkau bisa
terbenam di dalamnya. Maka itu harus menggunakan ilmu meringankan tubuh melalui jalan
itu ! Tapi dengan tempayanmu yang besar itu bagaimana engkau bisa ?”
“Jika begitu baiklah kita mengaso sulu disini !” kata Tiong Giok yang terus menurunkan
keranjangnya dari pundak.
“Hati-hati,” kata Ciu Kong disini banyak kerikil tajam. Jika kurang hati-hati tempayanmu bisa
pecah, dan terus ia bantu menurunkan tempayan itu serta meletakkan ditempat yang agak rata,
kini ia baru tahu biarpun tempayan itu besar, tidak seberapa berat, biar begitu ia tetap tidak
menanyakan apa isi tempayan itu.
Tiong Giok segera bersila melakukan semadhi untuk memulihkan kembali tenaganya dan
perjalanan napasnya. Hanya sebentar, semangatnya yang memang tidak seberapa letih telah
segar kembali, ia membuka mata, tampaknya Ciu Kong sedang duduk dibawah pohon yang
rindang sedang mengawasi kearah tempayan dengan terbengong.
Tiong Giok segera bangun dan menggerak-gerakkan kaki tangannya sambil berkata. “Ku
piker sebelum matahari terbenam kita lanjutkan perjalanan ini bagaimana ?”
“Sabar dulu,” kata Ciu Kong. “Sebelum kita melanjutkan perjalanan ini, ingin kutanya dulu
beberapa patah padamu.”
“Silahkan !”
“Aku sebagai orang tua, sebenarnya tidak tega melihat atau membiarkan seorang muda
sepertimu, bilamana harus mengantarkan jiwa dihutan belantara semacam ini ! Soal
keganasan setan dan iblis disini bukan main-main. Aku dapat mengatakan demikian karena
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, untuk inilah kuminta, batalkanlah niatmu itu….”
“Nasehat Locianpwee yang berharga ini kuterima dengan rasa syukur dan terima kasih, tapi
untuk membatalkan niatku kesana tak bisa kululusi …”
“Baiklah jika engkau mau juga kesana,” kata Ciu Kong. “Dapatkah kutahu siapakah yang
menyuruhmu kesana ?”
“Maafkanlah jika aku tak bisa menyebutkan nama kawanku itu,” kata In Tiong Giok. “Ia
adalah seorang jago rimba persilatan yang telah meninggal dunia.”
“Oh,” kata Ciu Kong kecewa. “Jika begitu tempayan yang besar itupun adalah permintaan
orang itu untuk dibawa kesini ?”
“Benar !”
242
“Dapatkah kutahu apa isinya tempayan ini ?”
“Oh,” Tiong Giok terdiam sebentar, lalu melanjutkan kata-katanya. “Isinya adalah rangka
atau tulang belulang dari jago yang telah meninggal dunia itu !”
“Oh, kiranya engkau menempuh perjalanan yang cukup jauh, semata-mata untuk
mengantarkan tulang-tilang orang yang sudah mati ini sampai di Giok hong hong ?”
“Ah karena aku menjalankan permintaan jago tua itu….”
“Giok hong hong adalah tempat sunyi yang penuh iblisnya,” kata Ciu Kong. “Apakah orang
itu tidak mengatakan harus menaruh dimana tulang-tulang ini ? Atau harus menyerahkan pada
seseorang misalnya ?”
“Ia hanya mengatakan sebuah goa di Giok hong hong, tapi tidak mengatakan harus
menyerahkan kepada siapapun !”
“Apakah ia tidak menceritakan soal keangkeran di Giok hong hong ?”
“Tidak !”
“Ia menyuruhmu kesini, kenapa tidak mengatakan soal keadaan disini, aku benar-benar
heran.”
“Mungkin ia sendiri tidak mengetahui soal keangkeran disini !”
Ciu Kong menggelengkan kepala, dan tidak berkata apa-apa lagi. Tiong Giokpun segera
bangun dan membopong lagi tempayannya, lalu memberi hormat pada Ciu Kong. “Jika
Locianpwee tidak ada pesan lagi, aku mau berangkat lagi !”
“Aku mempunyai satu permohonan yang mustahil, tapi kuajukan juga ! Yakni, ijinkanlah aku
melihat tulang-tulang didalam tempayan itu !”
“Maafkanlah aku, sebesar-besarnya bahwa permintaan Lo Cianpwee itu tidak dapat
dikabulkan !”
“Jika engkau keberatan tidak apa-apa, akupun tidak berani memaksa !” kata Ciu Kong. “Nah
disinilah kita berpisah.”
Tiong Giok menghaturkan terima kasih atas bantuan orang tua itu yang mau mencapekan diri
mengantar sampai disini. Lalu membalik tubuh dan melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa
puluh langkah, ia menoleh kebelakang, tampak Ciu Kong masih berdiri dengan tegak
ditempatnya tadi sambil mengawasi kearah dirinya dengan sebuah matanya yang tajam.
Tiong Giok tidak memperdulikan lagi orang tua itu, terus melanjutkan perjalanannya.
Sedangkan matahari telah condong kebarat, ia mempercepat langkah kakinya untuk mengejar
waktu.
243
Sungguhpun ia tidak percaya soal adanya setan, tapi atas keterangan dari Ciu Kong
membuatnya setengah percaya, tapi ia tidak memperdulikan lagi semua ini, tujuannya sudah
bulat harus cepat-cepat sampai di Giok hong hong sebelum malam.
Waktu sampai didekat lembah, ia menyaksikan jalanan yang benar-benar sulit, kini iabaru
percaya apa yang diucapkan Ciu Kong. Lebih-lebih waktu mau melintasi Lumpur terapung
membuatnya menghadapi bukan sedikit kesulitan. Untung Ciu Kong sudah mengatakan
terlebih dahulu, jika tidak tubuhnya bisa terbenam didalamnya dengan jiwa melayang.
Akhirnya ia bisa melewati Lumpur-lumpur itu dengan selamat, tapi waktu yang terbuang
banyak sekali.
Ia semakin cemas, karena malam telah datang, sekeliling menjadi gelap gulita. Didalam
tempat berbahaya ini, jangankan ada setan atau iblis tidak adapun cukup membuat orang
menangis kecil. Biarpun begitu Tiong Giok tidak mau mundur, ia maju terus ! Berkat keuletan
dan ketabahannya ia bisa keluar dari lembah yang berbahaya itu dan tiba dikaki bukit. Disini
ia mendengar berkecuknya selokan gunung, sepanjang selokan itu tumbuh bunga-bunga hutan
yang menebarkan hawa harum, membuat hatinya lapang dan menarik napas dalam-dlam
dengan senangnya.
“Benar-benar diluar dugaan, tempat semacam ini bisa terdapat dunia sendiri yang begitu indah
dan menyenangkan, tak ubahnya seperti didalam dongeng saja,” pikirnya.
Saat inilah dengan tiba-tiba ia mendengar suara “siuuut “
Dengan kaget Tiong Giok berpaling keempat penjuru, keadaan tetap seperti semula sedikitpun
tidak terlihat perubahan, biarpun sudah malam keadaan disini cukup terang, karena bantuan
rembulan dicakrawala.
“Ah, mungkinkah suara setan ?” pikirnya dengan dak dik duk. Sedangkan bulu kuduknya
berdiri tanpa terasa. “Hei, sahabat darimanakah yang main sembunyi-sembunyian ? Untuk apa
berlaku seperti setan ? Keluarlah !” serunya berulang-ulang kali. Keadaan tetap tenang, tidak
ada jawaban yang terdengar, kecuali suara berkerucuknya selokan gunung.
Tiong Giokpun tak mengetahui suara itu manusia atau setan ! Ia berseru semata-mata untuk
membesarkan hatinya yang sedang ketakutan. “Aku sudah datang kesini, biar setan-setan itu
bermunculan aku takkan mundur, yang perlu aku harus secepatnya membawa tulang-tulang
ini kedalam gua. Sehabis berpikir iapun berjalan lagi keatas gunung, menyusuri selokan kecil
yang tampak terang, karena memantulkan cahaya bulan. Ditengah perjalanan, ia baru
melintasi selokan itu yang tak mungkin diikuti terus, karena dulu selokan itu berada diatas
tebing yang tinggi sekali.
Ia mencari-cari jalan untuk naik keatas, dan dilihatnya sekeliling penuh dengan pohon-pohon
bamboo. Berbisik-bisik daun-daun itu dan terus berjalan. Saat inilah dengan tiba-tiba ia
melihat bayangan hitam berkelebat masuk kedalam pohon bamboo, gerakannya begitu cepat
dan luar biasa, dalam sekejap sudah hilang dari penglihatan. Tiong Giok mengucak-ucak
mata, dan begitu membukanya kembali ia melihat benda putih dipohon bamboo, bergoyanggoyang.
Dengan penuh keberanian ia menghampiri benda itu, setelah dekat, ia melihat tegas
itulah Gin coa ( uang orang mati). Cepat-cepat diambilnya, ia jadi kaget lagi, karena kertas itu
berlumuran darah merah ! Tanpa terasa lagi bulu romanya berdiri lagi, tapi ia memaksakan
diri melanjutkan perjalanan lagi tanpa menghiraukan keadaan yang menyeramkan itu.
244
Sungguhpun begitu ia selalu bersikap waspada, dan menggunakan ranting bamboo sebagai
tongkat, untuk menjaga bahaya mengancam dirinya. Sesampainya dilereng puncak, tidak
terjadi sesuatu apa-apa, membuatnya merasa lega. Langkahnyapun bertambah cepat. Soal-soal
setan dan iblis yang ganas sudah dilupakan otaknya, kaena ia merasa senang menemukan
jalan kecil yang menuju kepuncak itu. Disini terdapat banyak gua-gua, tapi tidak satupun yang
cocok seperti yang dikatakan Pek King Hong. Ia mencari terus sampai ketempat yang paling
tinggi. Keadaan disini membuatnya tercengang sendiri, karena tempat yang paling tinggi itu,
terdapat satu daratan yang luasnya dua puluh kaki persegi. Ditempat keliling dataran itu
ditanam pohon-pohon yang besar, rumput-rumput dilapangan itu sangat halus tak ubahnya
seperti permadani hijau. Dan ditengah-tengahnya terdapat meja dan kursi batu, serta bunga
yang teratur rapi, begitu indah dan menyenangkan.
Ditengah dataran itu terdapat jalanan yang terbuat dari batu menuju kesebelah gua yang besar
dan gelap. Gua ini tidak mendatangkan keheranan barang sedikitpun, yang membuatnya heran
dan kaget ! Didepan ada seorang sedang duduk diatas sebuah kursi batu. Didepan ada
seseorang sedang duduk diatas sebuah kursi batu. Orang itu tidak mempunyai kepala. Ia
duduk dengan tenang sambil menyisiri kepalanya yang diletakkan diatas pangkuannya.
Dibawah sinar rembulan yang redup, pemandangan ini membuat bulu kuduk meringkak tak
keruan rasa ! Tiong Giok sendiri hampir-hampir kebawah gunung melihat pemandangan yang
indah ini !
Manusia tidak berkepala itu seperti tak memperhatikan kedatangan Tiong Giok, ia menyisir
terus kepala yang ada dipangkuannya.
Ia menyisir begitu lama, tapi rambutnya yang kusut itu tidak rapi-rapi juga. Agaknya ia sangat
kesal kepala itu diangkatnya diletakkan silehernya, dan terus berkeluh kesah : “Ah sudah tua
tak berguna lagi !”
Suara begit halus dan menusuk perasaan, tapi terdengar tegas dan menyeramkan. Tiong Giok
terpaksa diam, tak tahu entah apa yang harus diperbuat, berlari atau diam saja !”
Orang itu tiba-tiba membalik badan dan memandang kearah Tiong Giok sambil
menggapaikan tangan : “Ceng jie jangan main ayun-ayunan lagi, lekaslah sisiri rambutku !”
Tiong Giok menjadi kaget, ia berpaling kebelakang, waduh, hampir ia menjeerit ! Kiranya tak
berapa jauh darinya terlihat seorang gadis dengan rambut awut-awutan bergantung dipohon
yang tinggi, sedang ayun-ayunan kesana kemari.
Melihat keadaan ini Tiong Giok dari takut timbul nekadnya, dengan menggunakan tongkatnya
ia membentak. “Hei, kalian makhluk apa berani mengotori tempat yang suci ini !”
Berbareng dengan bentakannya Tiong Giok melakukan serangan oada gadis yang tergantung
itu, tak kira belum pula serangannya sampai gadis itu tiba-tiba jatuh ketanah tak berkutik lagi,
karena tambang yang menggantung lehernya putus dengan tiba-tiba.
In Tiong Giok memperhatikan perempuan itu dengan seksama, sesaat berlalu tidak terlihat
gerakan apa-apa. Ia berpaling kearah gua, orang tua disitu sudah tidak terlihat mata
hidungnya. Cepat-cepat ia menurunkan tempayan dari punggungnya dan memberannikan diri
menghampiri perempuan itu sambil mengusik-usik tangannya. Perempuan itu diam saja, maka
245
dipegang lengannya itu dan diperiksa jalan darahnya. Ia merasakan tangan itu dingin sekali,
dan tahu itulah sesosok mayat. Ia masih penasaran dan ingin melihat dengan tegas wajah dari
mayat itu, maka rambut yang menutupi muka perempuan itu disingkap. Kini terlihat tegas
perempuan itu berwajah cantik, matanya meram, usianya lebih kurang lima enam belas tahun.
Inikah yang dimaksud sebagai iblis ganas ? Inikah yang membuat orang-orang Biau takut ?
Inikah yang membuat Ciu Kong terluka parah ? Ia jadi bingung dan menggelengkan kepala
tanpa terasa dan menarik napas panjang…..”
Bertepatan dengan tertarik napsnya, terdengar berkesiur angin, sebuah bayangan hitam
menyambar tempayan dan terus dibawa lari kedalam gua.
Tiong Giok terkesiap dan kalah langkah, lengannya segera digerakkan “sreet” terdengar bunyi
nyaring, karena ilmu mautnya atau Hiat cie leng dipergunakan menyerang bayangan hitam
itu. Akan tetapi dengan mendadak ia merasakan lengannya menjadi kaku, karena pundaknya
dicengkeram lengan dingin dari arah belakang. Hiat cie lengnya tidak dapat dilancarkan
dengan sempurna, sehingga bayangan hitam masuk dan menghilang kedalam gua dengan
aman.
In Tiong Giok menoleh kebelakang, ia merasa lega, karena yang mengcengkeram pundaknya
itu adalah si mayat perempuan. Bukan saja mayat itu hidup kembali, bahkan bisa berseru
nyaring. “Tia-tia ! Yauw Pepek ! Lekaslah aku berhasil menangkapnya !”
Dengan mendengar suaranya perempuan itu membuat Tiong Giok sadar bahwa dirinya bukan
berhadapan dengan iblis tapi manusia biasa yang pura-pura menjadi iblis. Tiba-tiba ia
membalik badan dengan mendadak. “Bangsat, jangan pura-pura menjadi setan, lepaskan
lenganmu !”
Perempuan itu sedang gembira bisa menangkap Tiong Giok, sedikitpun tidak menduga
pemuda itu bisa berontak dan melepaskan diri. Bahkan melakukan serangan mendadak,
sehingga dirinya jungkir balik dalam waktu sekejap. Namun ia segera bangun dan terus
mengayunkan tangannya melakukan serangan, sedangkan mulutnya berseru-seru minta
bantuan. “Tia-tia lekas, terlepas lagi, cepat Bantu aku !”
Dengan cepat Tiong Giok melakukan serangan, membuat perempuan itu terdesak terus.
“Kalian sebenarnya siapa ? Lekas katakana jangan sampai kuturunkan tangan jahat !”
Perempuan itu melawan terus, ilmu pukulannya, sayang kurang matang, sungguhpun begitu ia
masih bisa mengimbangi serangan lawannya dengan baik. “Turunkanlah tangan jahatmu aku
tak takut !” Tantangannya, dan mengobah-obah serangannya dengan aneh, sekali ini Tiong
Giok yang keteter. Untuk mendapat kemenangan hampir-hampir Hiat cie lengnya dilancarkan
lagi, tapi ia tak sampai hati melakukan serangan mautnya. Sebab ia masih memiliki ilmu lain
yang bisa digunakan. Lengannya seolah-olah dijadikan pedang, dan terus ditebaskan dengan
gencar, menurut ilmu pedang Keng thian cit su.
Perempuan itu menyaksikan peerubahan ilmu lawannya menjadi kaget dan cepat-cepat
berseru : “Hei ! Darimana engkau mempelajari ilmu ini ?”
“Tidak ada urusannya denganmu, jika engkau tak sanggup melawanku lagi, panggillah
bapakmu lekas-lekas !”
246
“Jangan terlalu bangga, kata perempuan itu. “Kau kira aku tak tahu bahwa ilmu yang kau
gunakan itu asalnya dari ilmu pedang.”
“Ilmu pukulan atau ilmu pedang tidak bedanya, pandanganmu yang cetek itu, membuat geli
hatiku saja !”
“Hm ilmu pedang tetap ilmu pedang, ilmu pukulan tetap ilmu pukulan, kenapa kau katakana
pandanganku yang cetek ? Dengan ilmu pukulan tangan kosong engkau tak bisa menang
dariku, maka memakai ilmu ini untuk memperoleh kemenangan bukan ?”
“Ilmu apapun yang kupakai tak ada urusannya denganmu !” jawab Tiong Giok.
“Baiklah, rasakan pukulanku !” kata perempuan itu yang benar-benar melancarkan serangan
bertambah gencar.
“Ceng ceng stop !” tiba-tiba terdengar seruan.
In Tiong Giok mencelat mundur dan menoleh kesana, didekat mulut gua ia melihat dua orang
sedang berdiri dan memandang kepada dirinya, antaranya adalah Ciu Kong dan yang satu
lagipun dia kenal, yakni Tiat pie sin wan Yauw Kian Cee. Orang itu pernah bertemu
dengannya dikota Kim leng sewaktu ia mau mencetak buku Keng thian cit su. Ia menjadi
kaget, dibalik merasa lega.
Ciu Kong dan Yauw Kian Cee cepat-cepat menghampiri kearahnya dan terus bertekuk lutut
sambil berkata : “Kami Yauw Kian Cee dan Ciu Kong menghaturkan hormat pada Ciang bun
jin.”
Perempuan berbaju hitam menjadi kaget cepat-cepat iapun bertekuk lutut dan berkata : “Aku
Ciu Ceng menghaturkan hormat pada Ciang bun jun.”
In Tiong Giok membalas hormat mereka sambil berkata : “Aku menerima pesan dari Pek
ciang bun jin kembali ke Cong leng tong hu (gua penyimpan roh) ini lebih kurang sudah
empat bulan lamanya tak kira perpisahannya di Kim leng untuk selama-lamanya. Dan karena
salah paham membuat Ciang bun jin mengalami banyak kesukaran, atas ini kumohon maaf
yang sebesar-besarnya.”
Ciu Kong pun dengan perasaan menyesal turut berkata : “Kami sebagai penjaga gua suci ini
dari banyak tahun, tapi karena tidak kenal wajah Ciang bun jin yang baru, dengan tidak
disengaja berlaku kurang ajar, dengan ini aku minta maaf yang sebesar-besarnya.”
“Jie wie lo cianpwee janganlah berkata begitu, karena suatu keberuntungan aku bertemu
dengan Pek Lo Cianpwee dan menerima Giok hu, serta menjalankan pesanannya untuk
membawakan rangkanya ke Cong leng tong hu ini, Ku mohon diriku ini jangan dianggap
sebagai Ciang bun jin.”
“Setiap orang yang memegang Giok hu, adalah Ciang bun jin dari Thian liong bun, maka itu
kedudukan ini bagaimanapun tak bisa diubah-ubah !” kata Yauw Kian Cee.
247
Dengan rasa hormat mereka mengiringi In Tiong Giok memasuki gua Cong leng tong hu. Gua
ini dari luar tampaknya sangat sempit tapi sangat luas. Dikiri kanan terdapat empat kamar,
tiga diantaranya adalah kamar Yauw Kian Cee, Ciu Kong dan Ciu Ceng Ceng, sedangkan
yang sebuah lagi dipakai tempat latihan silat. Sedangkan perabotan disitu hanya kursi meja
dari batu. Didinding tergantung rupa-rupa kedok seram dan kepala-kepalaan orang. Itulah
alat-alat biasa dipergunakan mereka menyamar sebagai setan dan iblis.
Adapun Ciu Kong asalnya sebagai dedengkot golongan hitam yang kejam dan ganas. Didunia
Kang Ouw ia terkenal dengan julukan “Tok gan sin mo (Iblis bermata satu). Empat puluh
tahun yang lalu disaat namanya sedang tenar ia bertemu dengan Pek King Hong, dan
dipecundangi, sejak itulah ia menjadi pengikut Pek King Hong dan bertugas sebagai penjaga
gua Cong leng tong hu di puncak Giok hong hong sampai sekarang. Sedangkan Ciu Ceng
Ceng asalnya bukan she Ciu, sewaktu masih didalam gendongan ibunya, diajak kedua orang
tuanya berdagang kedaerah Biau ini. Entah bagaimana ayahnya berbuat kesalahan pada
orang-orang Biau sehingga menerima kematian bersama istrtinya. Sewaktu terjadi peristiwa
itu, kebetulan Ciu Kong lewat, dan memberikan pertolongan pada bayi itu, lalu dirawatnya
dan dijadikan sebagai cucunya sendiri. Mereka mendiami Giok hong hong dan berlaku
sebagai setan-setan untuk menakut-nakuti orang Biau agar tidak datang mengganggu gua
yang dianggap suci itu.
In Tiong Giok sewaktu memeriksa Ceng Ceng mendapati gadis itu sudah dingin dan mati tapi
belakangan gadis itu kembali, dan sadarlah bahwa Ceng Ceng menggunakan ilmu Hui kie jip
hiat (mengembalikan hawa kedalam nadi), sehingga bisa pura-pura mati. Sedangkan Ciu
Kong yang bisa mencopot kepalanya dariu leherpun, hanya permainan sulap saja. Dengan
cara itu biasanya mereka bisa membuat orang-orang Biau ketakutan setengah mati dan tak
berani datang lagi kepuncak ini.
Sejak mengenal urusan Ciu Ceng Ceng belum pernah meninggalkan Giok hong hong maka itu
sifatnya sangat polos benar. Kini kedua matanya yang hitam tak henti-hentinya memandang
In Tiong Giok, ia tak habis mengerti, kenapa pemuda itu yang masih muda belia bisa menjadi
Ciang bun jin dan kakeknya yang berusia hampir sembilan puluh tahun harus bertekuk lutut
pada pemuda itu ?
Dan sungguhpun begitu ia tak berani mengatakannya dan diam saja terus sambil
mengikutinya dari belakang. Sedangkan Tiong Giok sesudah masuk memperhatikan didalam,
ia merasa heran dan bertanya : “Pek Lo Cianpwee memesan kepadaku untuk menaruh
rangkanya didalam gua ini dan memberi petunjuk juga harus menuruti kata-kata yang tertulis
didinding melakukannya, kenapa didinding ini tak terlihat barang sehuruf katapun?”
“Tempat untuk meletakkan rangka itu tidak disini,” kata Yauw Kian Cee.
“Mungkinkah masih ada gua lain ?” tanya In Tiong Giok.
“Dibelakang kamar berlatih masih ada ruangan lain lagi,” kata Yauw Kian Cee, “tempat itu
hanya boleh dimasuki seseorang yang berkedudukan sebagai Ciang bun jin, yang lain tidak
boleh masuk.”
“Jika begitu kuminta ditunjukkan tempatnya untuk meletakkan rangka ini,” kata Tiong Giok.
248
Yauw Kian Cee agak sangsi, terbayang wajahnya sangat bingung, akhirnya ia berkata dengan
suara gugup. “Tidaklah sebaiknya Ciang bun jin mengaso dulu ? Rangka itu besokpun
boleh….”
“Aku melakukan perjalanan ribuan lie jauhnya, supaya bisa menempatkan kerangka ini
ditempatnya secepat-cepatnya, jika kejadian ini sudah beres hatiku baru lega, maka itu untuk
apa harus menantikan besok, aku mau sekarang juga dibereskan.”
Yauw Kian Cee berpikir sejenak, lalu tersenyum, “Saat inipun sebenarnya sudah pagi tak
lama lagi akan terang tanah, jika tak bisa bersabar, kami menurut saja apa yang dikehendaki
Ciang bun jin” sehabis berkata ia melirik kearah Ciu Kong dan berbisik perlahan, entah apa
yang dikatakannya, Ciu Kong segera maju kedepan Tiong Giok dan bertekuk lutut “Aku
sebagai penjaga gua ini, mohon diberikan Giok hu untuk membuka pintu.”
Tiong Giok mengeluarkan Giok hu, Ciu Kong menerimanya dengan kedua tangan, setelah
meneliti sejenak, orang tua itu segera membalik badan dan berjalan duluan memimpin Tiong
Giok masuk kedalam kamar latihan.
Ciu Ceng Ceng menyingkap kain di dinding, disitu terlihat sebuah pintu yang tingginya tiga
meter, tertutup rapat oleh sebuah kelotok besar yang terbuat dari emas.
Ciu Kong bertekuk lutut didepan pintu dan berdoa. “Hari Ciu Kong sebagai penjaga gua
mendapat tugas dari Ciang bun jin baru untuk membuka pintu, semoga arwah dari ciang bun
jin yang berada dialam baka, memberi rahmat dan taufiknya bagi ciang bunjin baru dan
kesejahteraan pada sekalian murid-murid dari Thian liong bun. Sehabis begitu ia berdiri
memberi hormat lagi sebanyak tiga kali sambil merangkap kedua tangannya. Tangannya yang
merangkap tiba-tiba dipisahkan, tampak tegas bahwa Giok hu menjadi dua, ditengahnya
terdapat sebuah anakj kunci dari emas. Dengan itu dia membuka pintu. Sesudah itu ia
menundukkan kepala mempersilahkan Tiong Giok masuk, sikapnya ini diikuti pula Yauw
Kian Cee dan Ciu Ceng Ceng. Tiong Giok sendiri menghadapi acara ini menjadi bingung, tapi
ia tidak mau banyak pusing, cepat-cepat diambilnya tempayan yang sudah berada disitu dan
dibawa masuk kedalam gua.
Keadaan didalam sangat gelap, tapi udara disitu diliputi wewangian yang menyegarkan
semangat. Samar-samar ia melihat gua yang dalamnya lima enam puluh meter. Disini terdapat
sebarisan ranjang-ranjang batu dan disetiap ranjang itu terdapat kerangka kerangka manusia,
ada yang mengenakan pakaian Biku, adapula yang mengenakan pakaian biasa, jumlahnya ada
sembilan orang.
In Tiong Giok masuk terus kedasar gua, disini terdapat pula ruangan yang agak besar dan
tidak gelap seperti tadi, karena dari atap masuk sinar terang. Ia mengamat-amati keadaan
sekeliling dengan telitinya sekali, dan melihat banyak huruf-huruf didinding. Setelahmembaca
dan memperhatikan sejenak, barulah ia tahu bagaimana harus meletakkan kerangka Pek King
Hong. Maka dilakukan petunjuk itu dengan baik saat itu juga. Disamping itupun ia
mendapatkan bahwa huruf-huruf ditembok itupun merupakan pelajaran ilmu silat dari Thian
liong bun yang diperuntukkan bagi seorang Ciang bun jin. Karena inilah Tiong Giok, mau tak
mau harus membuang waktu didalam gua itu bersama-sma dengan Yauw Kian Cee dan
kawan-kawan untuk mempelajari ilmu itu.
249
Sementara itu Tiong Giok mempelajari ilmu silat di Giok hong hong, kita alihkan dulu cerita
ini kebagian yang lain.
Waktu berjalan dengan cepatnya, sekejap mata setahun telah berlalu. Kini tepat hari raya
Tiong cu, keadaan telaga See Ouw diterangi rembulan purnama, putih seperti perak, jernih
bagai air. Indah dan permai. Perahu-perahu berhias memenuhi telaga itu, para penumpangnya
mengenakan pakaian baru, makan minum bergembira sambil menyanyi-nyanyi, melewatkan
hari raya dimusim Ciu itu.
Di pinggir telaga banyak restoran terapung diatas air, antaranya yang bernama Hui hong sian,
ini adalah yang terbaik, bertingkat tiga, teratur rapi dan bersih. Dilantai pertama penuh perahu
sewaan, lantai kedua dan tiga terdapat belasan kamar yang menghadap ketelaga.
Disini para tamu yang berpesta pora sambil mendengari lagu yang dibawakan oleh penyanyi
wanita. Para penyanyi itu bertugas merangkap menjadi pelayan juga, memberikan kesenangan
pada tamu, dalam keadaan begini hal-hal asusila terjadi dan berlangsung seperti biasa !
Pokoknya para perempuan itu ditepuk maupun disenggol atau dipeluk sekali, hanya
tersenyum. Bukan karena ia senang dan berwatak demikian, apa yang dilakukannya itu,
semata-mata untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya!
Tamu-tamu makin malam makin mabuk-mabukan suara penyanyi semakin parau, kelakuan
antara wanita dan laki-laki semakin menggila seolah-olah dunia ini hanya untuk begitu saja.
Tapi di dalam keramaian ini, ada seorang tamu yang luar biasa. Ia adalah seorang pemuda
berusia antara tujuh delapan belas tahun. Pakaiannya terbuat dari sutera dan ,mentereng
sekali. Ia berada ditingkat teratas sekali dari Hui hong sian, berdiam seorang diri dikamar
yang termahal. Kamar itu hanya diterangi sinar rembulan, tapi biar begitu wajah pucat
pemuda itu terlihat jelas. Sepasang matanya yang tajam memandang ketempat jauh, bagai
sedang merenungkan kehidupan yang lampau.
Sejak matahari terbenam, pemuda itu datang seorang diri dan terus diam dikamar itu.
Pelayan-pelayan wanita yang cantik-cantik, melihat seorang muda ini, jadi girang, pikir
mereka inilah orang baru yang masih hijau, asal bisa merayu dan jual lagak pasti dapat
mengeruk uang. Tak kira laki-laki muda itu, tak tertarik paras cantik, ia duduk dikamar itu tak
mau ditemani siapapun. Ia minum-minum seorang diri sambil melamun dan terpekur berjamjam
lamanya, arak yang masuk kekerongkongannya sudah banyak, tapi sepatah kata tak
keluar dari mulutnya.
JILID 13________
Pelayan-pelayan berulang kali mencoba mendekatinya menanya ini itu dengan ramah, bukan
saja tidak dihiraukan, malahan diusirnya. Hoo kee dari restoran ini melihat tamu yang aneh
ini, merasa tidak betah dan ingin menanya apa yang dikehendaki pemuda itu, tapi perkataan
mereka yang berada dikerongkongan tak kunjung keluar karena sinar mata pemuda itu yang
tajam dan pedang yang tersoren di pinggangnya membuat mereka takut sendiri.
Pada haru raya yang ramai ini banyak tidak kebagian tempat, dan sudah tentu pemuda itu
tidak boleh menjublek terus-terusan semalam suntuk disitu, ini merugikan pemilik restoran.
Lebih-lebih tempat yang dipakai pemuda itu adalah yang terbaik dan termahal, biar
250
bagaimana kerugian ini harus dicegah, maka itu Hok Kee itu berunding dan mengambil
keputusan untuk melaporkan kejadian ini pada Lau pan atau majikan mereka.
Pemilik Hui hong sian ini adalah Pang Tiong seorang buaya kenamaan di telaga See Ouw.
Biar dia mempunyai alis kereng dan tabiat kasar, tapi cukup berpengetahuan luas, jikalau
tidak mana mungkin seorang buaya semacam dia bisa mendirikan restoran Hui hong sian
yang begitu terkenal.
Mendengar laporan dari Hok keenya, Pang Tiong mengerutkan alis dan bertanya :
“Ei, kalian bisa memastikan ia baru berusia delapan belas tahun ?”
“Ya !”
“Sudah berapa banyak ia minum ? Mabukkah dia ?”
“Sudah minum sepuluh teko, mabuk tidaknya kami tidak tahu !”
“Dilihat tampangnya beruang atau tidak ?”
“Pakaiannya mentereng, kelihatannya sih berduit juga !”
“Ha ha ha, kalau ia beruang soal gampang !” kata Pang Tiong dengan tergelak-gelak.
“Sekarang juga kau jemput Siau Yang Ang, dan hadapi pada pemuda itu, kutanggung bocah
itu akan manggut-manggut….”
“Sekarang adalah hari raya, mungkin Siau Yang Ang tak bisa datang…..”
“Pokoknya, bisa tidak bisa, asal ada uang akan bisa !” kata Pang Tiong.
Hoo kee itu tak berani banyak cerita lagi, segera berlalu untuk menjemput Siau Yan Ang.
Pang Tiong sedangkan tak bisa tenang, cepat-cepat ia mengenakan pakaian barunya dan lalu
terus naik ketingkat tiga.
Kini ia percaya apa yang dikatakan Hok keenya bahwa pemuda itu benar-benar aneh. Dengan
didahului deheman kecil ia masuk ke kamar pemuda itu. Sebelum berkata ia tersenyum dulu.
“Kongcu…” Ia meneruskan menantikan reaksi pemuda itu.
Pemuda itu tidak bereaksi, ia melanjutkan kata-katanya. “Selamat datang di Hui hong sian ini,
restoran ini dibangun tepat ditepi telaga, tak usah repot-repot perahu melalui telaga ini bukan
? Maka itu kupakai nama Hui hong sian. Atau pelangi terbang….
Pemuda itu tersenyum-senyum dan memancarkan sinar gembira pada wajahnya. Pang Tiong
melihatnya mejadi girang, dan melanjutkan kata-katanya.
“Aku sebagai orang bodoh yang kurang sekolah, tapi pengunjung-pengunjung restoran ini,
banyak yang pintar-pintar dan bersekolah tinggi. Menurut mereka nama ini indahnya terletak
pada pemakaian huruf hui atau terbang….”
“Apa indahnya ?”
251
Pang Tiong lupa diri, semakin sok aksi dan kiranya dialem. “Pelangi adalah benda mati,
ditambah huruf terbang, bukankah menjadi hidup ? Hui hong ! Hui hong ! pelangi
terbang….artinya pelangi itu terbang dan tidak mati ! Ia asyik menguraikan nama itu dengan
panjang lebar, dan tidak menduga bahwa pemuda itu tiba-tiba saja menjulurkan tangan
mencekal pergelangannya.
“Hong atau pelangi menurutmu benda mati ?” bentak pemuda itu dengan mata mendelik dan
memancarkan sinar membunuh.
Pang Tiong tak habis mengerti, kemana pemuda ini yang mula-mula sudah tersenyumsenyum
tiba-tiba bisa berubah demikian macam, hatinya gugup dan tidak bisa menjawab.
Begitu sipemuda menggunakan tenaga Pang Tiong merasa sakit yang tidak kepalang. “Hm,
manusia bodoh, engkau harus mengerti bahwa pelangi begitu indah dan bisa memancarkan
berbagai warna yang hidup keempat penjuru, kenapa kau katakana mati ?” Lidahmu harus
kupotong !” Sambil berkata itu pemuda menarik separuh itu. Sejenak berlalu pemuda itu diam
tak menghiraukan.
“Kongcu…” ia mengeraskan suaranya sambil tersenyum terus.
Sekali ini membuat pemuda itu menoleh, dan menggerakkan tangan belakang, menyuruh
Pang Tiong pergi ! Dengan sabar Pang Tiong tersenyum terus, ia tidak keluar, melainkan
maju selangkah sambil memberi hormat. “Aku bernama Pang Tiong pemilik restoran ini….”
Lagi pemuda itu menggoyangkan tangan menyuruhnya berlalu, sikapnya begitu dingin dan
sombong.
Dengan menelan liur, Pang Tiong kumat kamit masih mau melanjutkan kata-katanya, tapi tak
jadi keluar, karena dengan mendadakan pemuda itu membalikkan tubuh, dan membentak:
“pergi !”
“Ya, ya !” jawab Pang Tiong dengan gugup sambil mundur-mundur. “Aku sebagai pemilik
restauran ini berkewajiban melayani tamu….tapi Kongcu tak mau, maka….”
“Kemari !” bentak lagi pemuda itu.
“Kongcu mau apa lagi ?” tanya Pang Tiong.
“Engkau mengaku sebagai pemilik restauran ini ?”
“Benar !”
“Baik ! Sekarang ingin kutanya siapa yang memberi nama Hui hong sian pada restoran ini ?”
Pang Tiong menjadi melengak, tapi dengan cepat ia tersenyum lagi. “Kongcu jangan
menertawakan, aku yang memberi nama itu dengan sekena-kenanya.”
“Hm tentu ada artinya bukan ?”
252
“Ya sedikit banyak ada saja,” kata Pang Tiong. Aku melihat pemandangan ditelaga ini indah
sekali, lebih-lebih sehabis hujan, dilangit terlihat pelangi. Kupikir pelangi itu bentuknya
seperti jembatan.
Sambil berkata pemuda itu menarik separuh pedangnya keluar dari serangka.
Sekujur tubuh Pang Tiong menjadi lemas, tapi seumurnya belum pernah menghadapi anak
muda yang begitu gagah, lekas-lekas ia meratap “Kongcu….soal apapun mudah dibicarakan
tak perlu begini….”
“Trang !” pedang terhunus, Pang Tiong sudah ditarik pemuda itu kepinggir lankan. Melihat
keadaan ini cepat-cepat ia menjerit sekuatnya “Tolong ! Tolong !”
Hoo kee hoo kee mendengar teriakan majikannya, memburu keatas. Pemuda itu menyapu
mereka dengan sinar matanya yang tajam dan dingin : “Maju lagi selangkah, berarti mencari
mati !”
Sinar mata pemuda itu berpengaruh betul si hoo kee manjadi gemetar, dan diam tak bergerak.
Pada saat yang genting inilah tiba-tiba terdengar suara halus yang sangat merdu. “Ai, apaapaan
ini ? Malam indah bulan purnama tidak dinikmati, berbalik main pedang dan golok, ah
benar-benar menakutkan orang !” Seiring dengan suara itu terlihat seorang perempuan berbaju
merah. Usianya lebih kurang dua puluh lima tahun, begitu cantik dan menggiurkan.
Pemuda itu matanya menjadi bersinar, dan..
“Kau…”
“Aku bernama Siau Yan Ang !”
Pemuda itu mengucak-ucak matanya, lalu menatap dalam-dalam. “Ambil lampu !” tiba-tiba ia
membuka mulut.
Setengah malam pemuda itu tak mengijinkan menyalakan lampu, tapi begitu berhadapan
dengan Siau Yan Ang adat kerbaunya menjadi luntur. Pelayan-pelayan menjadi girang dan
berserabutan mau mengambil lampu. Dengan lemah lembut Siau Yan Ang mencegah mereka.
“Kongcu bulan purnama air telaga berkilauan memantulkan cahaya, belum cukup terangkah
?”
“Bunga didalam kabut takkan terlihat tegas,” kata pemuda itu. Tambahan pula aku sedikit
mabuk, kuatir kalau kalau salah mengenali orang.”
“Dengan wajah asli, kuatir tertutup awan ! Juga tak pernah aku mendengar orang menikmati
rembulan sambil memasang lampu !”
Pemuda itu tertegun rak bisa mendebat lagi.
Siau Yan Ang dengan lengannya yang halus menunjuk kelankan. “Pang lau pan ini boleh
dibebaskan dari kesalahannya ?”
253
Pemuda itu memasukkan pedangnya kedalam serangka. “Pergilah !” katanya dengan terpaksa.
Pang Tiong seperti juga terlepas dari bahaya maut menghaturkan terima kasih pada Siau Yan
Ang dengan berlebih-lebihan.
“Sudahlah !” kata Siau Yan Ang. “Kuminta disediakan perahu berhias…”
“Kounio jangan pergi dulu,” salak Pang Tiong.
“Siapa bilang aku mau pergi ?” kata Siau Yan Ang. “Aku mau mengajak Kongcu ini pesiar
dan jangan diam saja seorang diri dimalam romantis ini !”
Pang Tiong baru mengerti maksud Siau Yan Ang, ia menganggukkan kepala dan
memerintahkan bawahannya untuk menyiapkan perahu. Dalam sekejap apa yang diinginkan si
nona sudah tersedia. Dengan tersenyum perempuan itu memandang sipemuda.
“Kongcu, mari !” Sungguh mengherankan, anak muda bertabiat aneh itu, begitu jinak dan
penurut sekali, tanpa berkata ia turut keluar. Sebelum berlalu ia melemparkan uang emas
keatas meja.
Dengan langkah gemulai Siau Yan Ang turun dari loteng diikuti pemuda itu. Sekalian Hoo
kee dan pelayan maupun Pang Tiong sendiri merasa lega dengan kepergian pemud yang galak
itu.
Diatas perahu terdapat beberapa perempuan muda berbaju kuning, mereka menyambut
kedatangan Siau Yan Ang dan pemuda itu. Sebentar kemudian perahu sudah terkayuh
ketengah telaga, persiapan diperahu begitu lengkap, makanan maupun minuman sudah
tersedia, pemuda itu diam terus tanpa membuka mulut, sedangkan Siau Yan Ang duduk
menyandar disebuah kursi yang bersulam sambil tersenyum-senyum pada pemua itu.
Perahu dikemudikan ketempat agak gelap dan meninggalkan keramaian ditelaga. Setelah ini
Siau Yan Ang menggerakkan tangan sambil berseru : “Tak usah dikayuh lagi, kemarilah
kukenalkan kalian pada Siau pangcu !”
Pemuda itu terkesiap, “Kau…kau benar Soat Kouw Kouw…”
Dengan tersenyum dingin Soat Kouw berkata : “Maukah memakai lampu lagi agar dapat
melihat bunga dengan tegas ?”
Pemuda itu berkeringat dingin. “Aku tidak bersalah kenapa Kouw kouw mempersulit diriku
?”
“Hm engkau bernyali besar dan tak memandang sedikit kepadaku,” kata Soat Kouw. “Kau
kira aku benar-benar menjadi perempuan berengsek ?
“Apa yang kulakukan ini keseluruhannya demi Pok Thian Pang, Dengan susah payah aku
kesana kemari mencarimu, tak kira bisa bertemu disini ! Sekarang jelas, dimana dia ?”
‘Siapa ?”
254
“Jangan pura-pura bodoh, tentu Wan jie yang kutanya !”
“Aku tak tahu !”
“Apa ? Tidak tahu ? Kata Soat kouw dengan dingin. “Kamu adalah saudara seperguruan yang
setimpal, kenapa melarikan diri tatkala mau dinikahkan ? Dengan begini engkau sebagai anak
yang tidak berbakti pada orang tua, demikian pula dengan Wan jie, tahukah perbuatan kamu
ini akan mendatangkan akibat apa ?”
“Tapi Kouw kouw harus mengerti, antara Wan jie dan aku dibesarkan bersama-sama,
perasaanku padanya tak ubahnya sebagai saudara, sedikitpun tidak mempunyai perasaan cinta
! Sudah tentu saja perjodohan ini kami tentang…..”
“Ya sekarang kemana perginya Wan jie ? Apakah ia mencari In Tiong Giok ?” tanya Soat
kouw.
“Apa salahnya ia mencari In Tiong Giok ? tanya Pek Kiam Hong.
“Engkau membela In Tiong Giok ?”
“Bukan begitu,” kata Pek Kiam Hong, “sejujurnya harus kukatakan bahwa In Tiong Giok
adalah seorang muda yang baik. Soal dia tidak mau masuk menjadi anggota kita, tidak bisa
dipaksa ! Tambahan ia meninggalkan Pok Thian Pang karena dibawa lari oleh orang lain, dia
sendiri mana boleh disalahkan ? Seorang muda semacam dia kurasa cocok untuk Wan jie….”
Soat kouw menjadi terkekeh-kekeh mendengar perkataan itu.
“Kouw-kouw menganggap lucu dan tertawa, tapi kata-kata ini keluar dari hato yang
sejujurnya,” kata Pek Kiam Hong. “Ai ! Didunia yang dapat mengerti perasaan hatiku
mungkin hanya In Tiong Giok seorang, sayang pertemuanku dengannya hanya sebentar….”
Mendengar ini Soat kouw menjadi kaget, gusar bingung menjadi satu.
Pek Kiam Hong seorang muda yang polos, tidak mengetahui apa yang sedang dirasakan
Kouw kouwnya, ia bicara terus seenaknya; setahun lebih aku meninggalkan rumah, kini bisa
bertemu dengan Kouw kouw, tak ada alas an apa-apa lagi yang akan kutemukan, hanya
kumohon saja, kesalahan yang kuperbuat ini jangan merembet-rembet pada Wan jie.”
Tiba-tiba saja Soat kouw tersenyum. “Engkau sebagai laki-laki yang gagah dan berani
bertanggung jawab. Duduklah, aku masih perlu bertanya padamu.” Tidakkah engkau
terkenang pada ibumu ?”
Pek Kiam Hong menundukkan kepala, matanya menjadi merah. “Budi orang tua
bagaimanapun tak bisa kulupakan, sudah tentu kurindu kepadanya.”
“Jika begitu engkau harus percaya pada Kouw kouw bukan ?”
“Aku tak mengerti apa yang Kouw kouw maksud….”
“Ingin kuberi tahhu suatu soal padamu, apakah engkau percaya ?”
255
“Aku percaya !”
“Apakah kepercayaanmu ini berdasarkan aku sebagai bibimu atau secara tulus ikhlas ?”
“Aku percaya bahwa Kouw kouw tidak akan mempersulit diriku !”
“Jika percaya baiklah kukatakan, aku tak berniat membawamu kembali kemarkas pusat !”
“Ah, Kouw kouw….” Pek Kiam Hong kegirangan sampai tak bisa melanjutkan kata-katanya.
“Jangan terlalu girang, kata-kataku belum selesai,” kata Soat kouw. Aku hanya mengatakan
sekarang membawamu kesana, tapi tidak mengijinkan juga kau berkeliaran terus diluar untuk
selama-lamanya. Engkau sebagai Siau Pangcu bagaimana tak boleh berkhianat pada
perserikatan sendiri….”
“Kehidupan sebagai Siau Pangcu, sudah tentu tak berani berkhianat, apa yang kulakukan
semata-mata untuk menghilangkan kekesalan yang telah mengeram padaku selama tujuh
belas tahun. Pikir saja disana aku tak mempunyai suatu pekerjaan, setiap hari terpekur dan
termenung tak ubahnya seperti bangkai hidup bukan ?”
“Engkau ingin mencari pengalaman didunia Kang Ouw tidak kularang, tapi kaupun harus
meluluskan dua permintaanku !”
“Silahkan Kouw kouw katakana !”
“Kesatu engkau harus mencari Wan jie, dan nasehatkan padanya tidak boleh mengkhianati
perserikatan kita, andaikata ia tak mau kembali kepusat, ia harus melapor terus kemana ia
pergi !”
“Tapi yang diperbuat Wan jie adalah soal seumur hidupnya….”
“Mengenai hal yang menyangkut perkawinanmu tak perlu dipikirkan, kamipun bisa
membicarakan pada Lo Cucong, dan mungkin iapun tak akan memaksa dengan kekerasan,
jika kalian tidak setuju satu sama lain,” kata Soat kouw. “Yang kedua kuharapkan kau bisa
menyerapi dimana In Tiong Giok berada, bagaimanapun ia harus ditangkap….”
“Tidak !” Pek Kiam Hong memprotes dengan spontan.
“Kenapa ?”
“Dalam hal ini bukan saja aku, Wan jiepun pasti tidak mau berbuat semacam itu tadi sudah
kukatakan bahwa In Tiong Giok adalah kawanku yang baik, dan merupakan pula gantungan
hidup Wan jie dikemudian hari.”
“Tapi kau jangan lupa, iapun sebagai pencuri buku ! Perbuatannya itu menyebabkan Keng
thian cit su tersebar luas dikalangan Bulim, karena itulah sampai peresmian Pok Thian Pang
tertunda setahun lebih. Lo Cucong merasa sakit hati dan memerintahkan semua anggota untuk
menangkap dia guna diadili…”
256
“Orang-orang pandai diperserikatan kita bukan sedikit, kenapa Kouw kouw membebankan hal
ini kepadaku ?”
“Jadi engkau ingin tahu sebab-sebabnya, kujelaskan kepadamu !”
“Benar !”
“Hm, karena In Tiong Giok adalah musuhmu !” kata Soat kouw. “Ayahmu meninggal karena
dia !”
“Benarkah ?” tanya Pek Kiam Hong dengan mata mendelik.
“Aku tak mau membohong !” kata Soat kouw dengan tegas. “Engkau tertipu ! Sedikitpun
engkau tak tahu bahwa dia adalah murid Han Bun Siang yang berkepandaian tinggi !
Kepandaiannya itu lebih darimu ! Dengan alassan sebagai penterjemah ia datang ke markas
pusat, semata-mata untuk mencuri buku ! Setelah Cian bin sin kay terbuka kedoknya, segera
ia kabur !”
“Hal ini sedikitpun tidak ada sangkut pautnya dengan kematian ayahku !”
“Sudah tentu kami mempunyai bukti yang tidak dapat dibantah, dipunggungnya In Tiong
Giok tertera tanda luka !”
“Bagaimana Kouw kouw tahu ?”
“Sebelum terjadi peristiwa Cian bin sin kay terbuka kedoknya, Lie Kee Cie telah menaruh
kecurigaan besar pada mereka. Lalu ia memohon agar Lo Cucong mengirim surat ke Ngo Liu
Cung agar Tan Toa Tiau menyelidiki hal ihwal In Tiong Giok pada keluarganya. Ia berhasil
menyelidiki bahwa In Tiong Giok mempunyai tanda luka dipundak kirinya !”
“Waktu ia belum meninggalkan Pok Thian Pang, kenapa tak ditangkap ?”
“Kegagalan ini akibat perbuatan Wan jie !” kata Soat Kouw. “Waktu penyelidikan selesai,
Tan Toa Tiau memberikan laporan melalui merpati pos, apa celaka surat itu Wan jie yang
terima, untuk kepentingan asmaranya inilah, surat itu dipendam dan tidak dilaporkan !”
Pek Kiam Hong menarik napas panjang, apa yang dikatakan Soat Kouw itu soal sakit hatinya.
Dan orang menjadi musuhnya, boleh kenapa In Tiong Giok adanya. Seorang kawan yang
disayanginya. Dibawah sinar rembulan, wajahnya terlihat semakin pucat, dan ia diam tak
mengeluarkan kata-kata lagi. Soat kouw melirik sambil tersenyum, dan menuangkan arak
secawan. “Minumlah dulu apa kesal-kesal !”
Sekali teguk arak itu mengalir kerongkongan Pek Kiam Hong, cawan yang kosong itu
dibanting sampai masuk kedalam meja.
“Kau masih terlalu muda, tidak bisa membedakan antara orang jahat dan orang baik. Hanya
dengan kata-katanya yang manis engkau sudah terpengaruh dan menganggap musuh sebagai
sahabat karib ! Dengan tanpa pengalaman engkau mengembara di dunia Kang Ouw
sebenarnya membuatku tak tenteram. Maka itu sepak terjangmu dikemudian hari harus lebih
hati-hati dan jangan sampai tertipu lagi orang-orang jahat !”
257
Pek Kiam Hong menganggukkan kepala dan berkata : “Aku akan mencari dia biar sampai
keujung langitpun, ingin kulihat dengan mata kepala sendiri tanda luka dipunggung kirinya
dan ingin kutanyakan asal usulnya dengan mulut sendiri !”
Soat kouw tersenyum mendengar perkataan ini, lalu menyuruh pengikutnya mengayuh perahu
menuju pantai. “Agar tak ketahuan jejak kita dari orang luar, kuantarkan engkau sampai
disini. Dan ingatlah akan pesanku !”
Pek Kiam Hong menarik napas, lalu memberi hormat, tubuhnya mencelat dengan gesit ketepi
pantai.
Waktu ia menoleh ketelaga, perahu sudah pergi jauh. Dengan langkah berat ia menuju kekota,
baru beberapa langkah ia berjalan, dengan tiba-tiba dari tempat agak gelap berkelebat sesosok
tubuh ramping yang langsung menegurnya. “Hei, engkau she Pek atau bukan ?”
“Engkau siapa ?”
“Aku yang bertanya lebih dulu, engkau she Pek atau bukan ?”
Kini ia melihat tegas lagi, bahwa orang itu adalah gadis muda yang menggobet kepalanya
dengan kain hijau.Dipunggungnya terdapat pedang panjang. Wajahnya separuh tertutup kain
gubetan tidak terlihat tegas. Pek Kiam Hong mengerutkan alisnya, seolah-olah dia merasa
kenal dengan gadis itu, seketika tidak terpikir olehnya dimana pernah bertemu dengannya.
“aku she Pek atau bukan ada urusan apa denganmu ?”
“Hei, apa kau menjadi besar karena makan batu ?” Ditanya baik kenapa marah-marah ?”
Pek Kiam Hong seorang muda bertabiat aneh ditambah hatinya sedang kesal, mendengar
perkataan sigadis, hatinya menjadi meluap, segera ia membentak, “Hei , budak apakah mau
mampus ?”
Gadis itu sedikitpun tidak menjadi gentar dan membalasnya dengan kata-kata kasar pula :
“Binatang ! Anjing kau, sembarangan memaki orang !”
Pek Kiam Hong tak bisa mengendalikan lagi emosinya, segera maju kedepan dengan pedang
terhunus.
“Trang !” terdengar sekali, gadis itu menghunus pula senjata dan maju menyongsong lawan.
Begitu mereka mendekat dan pandangan mata saling bentrok, mereka saling mengeluh
dengan menarik napas. “Ih, kiranya Tiat Kounio !”
“Ah, engkau benar Siau Pangcu adanya !” kata gadis itu yang bukan lain dari Tiat Siau Bwee
adanya. “Tak kusangka tampang alim sepertimu bisa mencari hiburan dengan perempuan
jalang !”
“Kounio jangan salah paham, perempuan itu adalah kouw kouwku !”
“Hm, aku tak percaya, masakan kouw kouwmu itu berdandan semacam itu dan gerak
geriknya begitu misterius ?”
258
Pek Kiam Hong tahu, diterangkan bagaimanapun tak bisa membuat gadis itu mengerti, maka
itu dengan cepat ia mengalihkan pembicaraan ketempat lain. “Engkau sendiri kenapa bisa
berada ditelaga See Ouw ini ?”
Perkataan ini membuat Siau Bwee terpekur, matanya berkaca-kaca, mendadak lalu menjawab
dengan sedih. “Aku tak diakui anak lagi oleh ibuku !”
“Kenapa bisa begini ?” tanya Pek Kiam Hong dengan kaget.
“Jika dikatakan soalnya panjang,” kata Siau Bwee sambil memonyongkan mulut, “sebaiknya
kutanya dulu padamu, bisakah menolongku ?”
“Asal yang kubisa pasti kutolong !”
“Begini,” Siau Bwee tertegun sejenak, wajahnya mendadak menjadi merah seperti kepiting
direbus, “engkau mengantongkan uang tidak ?”
“Apa maksudmu bertanya soal uang ?”
“Aku…..aku mau pinjam !”
“Untuk apa uang itu ?”
Siau Bwee menjadi mendelik dan bersungut-sungut. “Hm ! Apakah kau tak tahu gunanya
uang ? Terang-terangan saja, kasih pinjam atau tidak ?”
Tidak banyak bicara lagi Pek Kiam Hong merogoh saku dan menyerahkan seraupan uang
emas. “Cukup sebegini ?”
Siau Bwee tersenyum “Waduh banyak betul cukup, cukup! Uang ini tak bisa cepat-cepat
kubayar !”
“Ah, segala uang sebegini, pakailah jangan dihitung utang !”
Siau Bwee mengantongi uang itu. “Atas ini aku menghaturkan banyak terima kasih
kepadamu. Sebenarnya akupun membawa uang dari rumah, tapi sudah habis kuhamburkan
disepanjang jalan, untung hari ini aku bertemu denganmu, kalau tidak aku bisa jatuh susah !”
“Kenapa engkau meninggalkan rumah dan hidup sampai sesusah ini…..” tanya Pek Kiam
Hong.
“Tak usah membicarakan soal itu,” potong Siau Bwee, kau tahu dalam kebokekanku ini sudah
sehari tidak makan nasi, yang perlu harus mencari makanan dulu, mari !”
“Kenapa tidak sedari tadi engkau katakana ?”
“Sudah jangan ngomong melulu, kepalaku terasa pening !” kata Siau Bwee yang terus
berjalan lebih dulu.
259
Pek Kiam Hong menggelengkan kepala, dan terus mengikuti dari belakang.
Mereka memilih sebuah restoran yang terbaik didalam kota dan terus makan dengan
lahapnya. Dalam waktu sejenak, Siau Bwee telah memberesi seekor ayam rebus, dua bakpau
dan semangkok ikan kuah, tampaknya benar-benar dalam kelaparan.
“Masih mau tambahkah ?” tanya Pek Kiam Hong.
“Engkau jangan mengeledek, nanti ada saatnya engkau merasakan tak makan seharian, saat
itulah baru tahu bagaimana rasanya lapar itu !”
“Ya dalam keadaan lapar, makanlah biar banyak, agar tak lapar lapar lagi !”
Siau Bwee mendelik dengan heran. “Kau kira aku tak sanggup makan lagi, berapa piring
lagipun masih sanggup, hanya saja kutak mau !”
“Kenapa tak mau ?”
“Ah, benar-benar….terlalu banyak makan bisa gemuk, anak gadis gemuk-gemuk tidak bagus
mengerti !”
Pek Kiam Hong menjadi melongo. Dan biasanya ia bertabiat aneh, karena terlalu lama hidup
menyendiri tanpa suatu pergaulan, menghadapi gadis semacam Siau Bwee yang bersifat polos
dan berlaku blak-blakan, entah bagaimana jadi banyak bicara dan kekesalan hatinya seperti
hilang dan berubah menjadi manusia baru yang lain dari dulu-dulu. “Sekarang kau sudah
kenyang, boleh bercerita apa sebabnya meninggalkan rumah bukan ?”
“Semuanya ini gara-garamu juga sih !”
“Apa ? Aku ?” Pek Kiam Hong terkejut.
“Ya !” jawab Siau Bwee. “Dapatkah kau terangkan dimana tempatnya Pok Thian Pang ?”
“Untuk apa kau tanyakan ini ?”
“Kau tahu sudah tiga bulan kucari tidak ketemu juga !”
“Oh, kiranya kau meninggalkan rumah untuk ke Pok Thian Pang !”
“Ya ! Sebab ingin ke Pok Thian Pang, aku ribut dengan ibu, sehingga hidup terlunta-lunta
sampai begini !”
“Untuk apa kau pergi ke Pok Thian Pang ?”
“Idih ! Masih tanya-tanya lagi ! Justru gara-garamu mau kawin dengan Wan jie aku diundang
ibumu datang kesana untuk menyaksikan perayaan itu, lupa dah yah ?”
“Oh, begitu ! Untung tak sampai kesana, bila mana tidak kepergianmu tetap sia-sia saja !”
“Eh, memang kenapa ?”
260
“Sejujurnya pernikahan ini bukan kemauanku maupun Wan jie, semua ini kerjaan Lo Cucong
maka sebelum upacara dimulai, kami minggat berdua meninggalkan Pok Thian Pang dan
sampai sekarang belum pulang-pulang !”
“Kalau begitu engkaupun kabur dari rumah seperti aku juga ?”
“Benar !”
“Selamanyakah akan hidup diluaran ?”
“Mungkin selamanya, kalau bisa !”
“Apakah jabatan Siau Pangcu tak kau pegang lagi ?”
“Sedikitpun jabatan Siau Pangcu itu tidak menarik hatiku…”
“Habis dah !” seru Siau Bwee. “apa yang kuharapkan musnah semua, aku harus bagaimana ?”
“Kita bisa berdamai untuk menghadapi sesuatu persoalan, kenapa kau katakana habis ?”
“Engkau kabur dari rumah dan tak pulang lagi, aku tak bisa pergi turut denganmu ke Pok
Thian Pang ! Pulang kerumahpun tak bisa, nah harus kemana ?”
“Asal kau mau aku bisa membantumu pergi ke Pok Thian Pang, asal saja terangkan sebabnya
kenapa kau bernafsu mau kesana !”
“Benar-benar nih ?”
“Kenapa tidak !” kata Pek Kiam Hong, “kau tahu orang yang seperahu denganku tadi adalah
bibiku, jika kau mau ke Pok Thian Pang juga, bisa minta bantuannya ! Tapi harus kujelaskan
bahwa tak sembarang orang luar boleh kesana, jika tak terlalu penting sebaiknya, urungkanlah
kehendakmu itu !”
“Kini engkau telah melepaskan jabatan Siau Pangcu dan tidak kuanggap sebagai orang Pok
Thian Pang lagi,” kata Siau Bwee, “apa yang terkandung dalam hatiku bisa kuterangkan
padamu, tapi ingat tak boleh diceritakan lagi kepada orang kedua !”
“Ya, aku berjanji !”
Siau Bwee tiba-tiba saja mendekati Pek Kiam Hong dan berbisik ditelinga anak muda itu.
“Keinginanku kesana untuk menyelidiki seorang tua yang berada didalam penjara tanah,
menurut kabar orang tua itu adalah ayahku !”
“Sssssssttt !” Siau Bwee memoyongkan mulutnya, memberi isyarat jangan berkata keraskeras.
“Kenapa berkata berbisik ? Takut didengar orang lain ? Ketahuilah hal ini sangat rumit,
biarpun orang tua itu bukan ayahku, pasti punya hubungan erat dengan rahasia keluargaku.
Untuk inilah aku berhasrat pergi kesana !”
261
Pek Kiam Hong menganggukkan kepala, tapi secara itu juga menggelengkan kepala,
keningnya berkerut, agaknya sedang berpikir keras untuk memecahkan soal yang sulit ini.
“Hm,” dengus Siau Bwee, “apa yang kau pikirkan ? Mungkinkah engkau keberatan jika
sampai rahasia Pok Thian Pang kuketahui ? Atau kau sudah tahu orang tua itu siapa ? Tapi
segan memberi tahu kepadaku ?”
“Biarpun aku dibesarkan disana, tapi jarang berkeluyuran, karena itu masih banyak tempat
yang berada di Pok Thian Pang tidak kuketahui ! Demikian pula dengan penjara yang
dimaksud sedikitpun tidak kuketahui dimana letaknya !”
“Kini kuharapkan engkau bisa membantuku bukan ?”
“Sampai disana dengan lancar dan bisa menyelidiki orang tua itu !”
“Aku heran, kenapa bisa tahu disana ada penjara dan orang tua yang ditahan….?”
“Ah, sudah tentu ada yang memberi tahu kepadaku !”
“Aku percaya orang itu tidak membohong !”
“Siapa sebenarnya dia itu ?”
“In Tiong Giok !”
“Oh dia,” kata Pek Kiam Hong dengan kaget, “kapan kau bertemu dengannya ? Kini dimana
dia berada ? Lekas katakana !” Diluar kesadarannya sambil bicara Kiam Hong memegangi
pundak Siau Bwee.
Siau Bwee menjadi merah, “Ngomong-ngomong lepaskan dulu tanganmu, berlaku begini tak
baik dipandang umum !”
“Oh….maaf…aku berlaku kurang ajar diluar kesadaranku, karena In Tiong Giok sedang
kucari-cari, begitu kau sebutkan namanya membuatku terlalu gembira ! Dimana dia, lekaslah
beri tahu padaku !”
“Untuk apa mencarinya ?”
“Banyak soalnya ! Aku dan Wan jie meninggalkan Pok Thian Pang gara-gara dia….
Terangkanlah dimana dia berada !”
“Dimana dia ? Mana kutahu !” kata-kata itu diucapkan setahun yang lalu,” kata Siau Bwee
sambil menuturkan soal In Tiong Giok datang kerumahnya dengan panjang lebar.
Pek Kiam Hong jadi melongo. Kiranya sewaktu aku datang kerumahmu ia sudah ada didalam
? Ah, hanya terhalang tembok saja, tak bisa bertemu ! Dasar nasib !”
“hampir kulupa menanyakan soal Wan jie, katamu sama-sama denganmu meninggalkan Pok
Thian Pang, kini kemana dia ? Kenapa tidak bersamamu ?”
262
“Waktu kami tiba ditelaga Tong Teng, bertemu dengan Tong Teng Cit Kiam, dan berkelahi
dengan mereka ! Tahu-tahu kami jadi berpisah dan sudah lama tak bertemu ! Yang kutahu
iapun sedang mencari In Tiong Giok !”
“Tidakkah ia diciduk musuh dan dianiaya ?”
“Dia memiliki kepandaian tinggi, pasti dapat menyelamatkan diri.” Kata Pek Kiam Hong.
“Jika ia tidak kenapa-napa, pasti ia meneruskan usahanya untuk mencari In Tiong Giok,” kata
Tiat Siau Bwee. “Untuk mencarinya pertama-tama kita harus ke telaga Tong Teng, jika tidak
ada disana kita langsung kerumah In Tiong Giok !”
“Tahukah engkau dimana alamatnya In Tiong Giok ?”
“Tidak tahu !”
“Habis bagaimana ?” tanya Pek Kiam Hong.
“Kita tidak tahu alamatnya, tapi orang-orang Pok Thian Pang pasti tahu,” kata Tiat Siau
Bwee.
“Bukankah mula pertama ia datang kemarkas pusat atas undangan orang-orang Pok Thian
Pang ?”
“Ya, benar,” kata Pek Kiam Hong, orang-orang Ngo Liu Cung pasti tahu, sebab merekalah
yang mendapatkan Tiong Giok sebagai penterjemah. Mari kita kesana saja,” sambil berkata ia
menarik lengan Siau Bwee.
“Hmm, apa-apaan megang-megang lagi, penyakitmu kumat lagi barangkali !”
Pek Kiam Hong cepat-cepat melepaskan tangannya, dan tergelak-gelak tanpa terasa.
“Kupikir sebaiknya ke telaga Tong Teng saja dulu !”
“Begitupun baik !” kata Pek Kiam Hong.
“Tapi, menghendaki perjalanan ini dilakukan didarat, karena aku tak berapa senang naik
perahu,” kata Tiat Siau Bwee.
Pek Kiam Hong setuju saja saran si gadis, maka dibelinya dua ekor kuda yang bagus dengan
harga mahal. Lalu melakukan perjalanan, mereka tak henti-hentinya mengobrol kebarat
ketimur dengan gembira, seolah-olah dunia ini milik mereka berdua saja. Kuda mereka sangat
bagus, ditambah yang menunggangi cantik dan ganteng, menarik perhatian orang sepanjang
jalan, dan memuji mereka sebagai pasangan yang setimpal.
Mula pertama mereka tiba disebuah kota yang bernama King tek sia. Kota ini sangat ternama
karena menghasilkan barang pecah belah yang tiada duanya didaratan Tiongkok. Sepanjang
jalan penuh pedagang barang pecah belah yang indah-indah. Melihat ini siau Bwee berpaling
263
pada Kiam Hong dan menunjuk barang-barang itu. “Hei, lihat anak-anakan dari poslin itu
bagus bukan ? Hei, katakanlah barang apa yang pantas kubeli !”
“Yang manapun boleh kau beli, tapi ingat tangan mengendurkan les kudamu. Jika ia terlepas,
barang orang bisa berantakan !” baru saja Kiam Hong berkata, entah kenapa tunggangan Siau
Bwee benar-benar menyeruduk kedepan dan membuat dagangan orang berantakan dan
banyak yang pecah.
Siau Bwee melompat dari kuda, matanya mendelik kearah Kiam Hong. “Gara-garamu
mengacau tak keruan, kudaku benar terlepas, lihatlah dagangan orang hancur berantakan
begini macam, habis bagaimana ?”
“Pakai tanya lagi, keluarkan uang, ganti kerugian pedagang ini, beres !”
“Mau ganti engkau yang harus keluar uang, kesialan ini datang dari mulutmu, aku tak
tanggung jawab….” Kata Siau Bwee sambil menuntun kudanya hendak berlalu.
Pedagang perabotan itu adalah seorang kasar, dari tadi ia diam saja, tapi begitu melihat Siau
Bwee mauu berlalu, cepat-cepat ia menjambak bulu kuduk kuda Siau Bwee. “Bagaimana,
sudah merusak barang orang tak mau ganti ?”
“Ya, engkau mau apa ? Siapa suruh daganganmu dipajang dipinggir jalan, coba didalam
rumah pasti tak keterjang kudaku ! Siapa yang salah, kau atau aku ?”
“Hm engkau budak tak tahu aturan…pokoknya lekas ganti, jika tidak…..” kata laki-laki itu.
“Hm, engkau berani memaki aku,” teriak Siau Bwee yang terus mengayunkan cambuk pada
laki-laki itu.
“Ah, benar dunia mau kiamat, dimana letak keadilan dan hukum ?” kata laki-laki itu dengan
gusar, sedangkan cambuk berulang-ulang menghajar dirinya dan bajunya menjadi sobeksobek,
tapi badannya tidak terluka barang sedikit. Ia mendekat terus pada Siau Bwee sambil
menjulurkan tangannya kedada lawannya dengan gemas sekali.
Kelakuan laki-laki itu membuat Siau Bwee jengah sendiri, cepat-cepat ia mengengos
kebelakang dan terus melancarkan pukulan keras “beng” terdengar satu kali, lengan Siau
Bwee tepat bersarang ditubuh musuhnya. Heran sekali, laki-laki itu hanya mundur beberapa
langkah, sedikitpun tidak terluka, ia menggelengkan kepala dan maju lagi dengan
menbentangkan kedua tangannya, tak ubahnya seperti singa lapar menerkam mangsanya.
Menyaksikan kejadian ini Pek Kiam Hong menjadi kaget, ia mencelat turun dari kudanya
menghadang laki-laki itu sambil berseru keras. “Stop ! Stop !”
“Engkau mau apa ? Dua lawan satupun aku Tiat Lohan (laki-laki besi) tidak akan mundur
barang setapakpun !” Seiring dengan perkataannya ia melakukan serangan sambil memasang
kuda-kuda. Ilmu pukulannya beda dari permainan silat biasa. Mula pertama pukulannya
meluncur, empat jarinya tertekuk kedalam hanya jari tengahnya tidak ditekuk, begitu hampir
mengenai sasarannya, jari-jarinya merentang dengan mendadadk, dan timbullah satu pukulan
telapak tangan yang luar biasa kerasnya.

Anda sedang membaca artikel tentang Cersil : 12 PERguruan SEJATI [1] - khulung dan anda bisa menemukan artikel Cersil : 12 PERguruan SEJATI [1] - khulung ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cersil-12-perguruan-sejati-1-khulung.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil : 12 PERguruan SEJATI [1] - khulung ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil : 12 PERguruan SEJATI [1] - khulung sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil : 12 PERguruan SEJATI [1] - khulung with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cersil-12-perguruan-sejati-1-khulung.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...