Sepanjang jalan ini diam-diam Thian-hi pasang mata dan kuping, memang kenyataan kekuatan
gerombolan Tok-sim-sin-mo sudah sedemikian luas dan kokoh kuat di daerah utara dan selatan
sungai besar. Banyak aliran lurus di daerah Tionggoan yang digencet dan diancam sehingga
mereka tutup pintu dan menyarungkan pedang. Daerah kekuasaan dan tempat rebutan antara
Partai Merah dan Partai putih sekarang sudah menjadi sarang pusat Tok-sim-sin-mo dengan ganti
nama menjadi Hek-liong-pang.
Singkatnya sepuluh hari kemudian rombongan Thian-hi bertiga tibalah dalam wilajah yang
berdekatan dengan Jian-hud-tong. Dari kejauhan Hun Thian-hi memandang ke arah Jian-hud-tong
yang ditinggalkan beberapa bulan yang lalu, kini sudah ganti rupa, mulut Jian-hud-tong sekarang
sudah diperlebar menjadi semacam pintu gerbang yang megah.
Baru saja mereka tiba diambang pintu gua, Tok-sim-sin-mo sudah menyongsong keluar,
tampak oleh Thian-hi Tok-sim-sin-mo mengenakan pakaian serba hitam, wajahnya berseri tawa
lebar, jenggot dan kumisnya sudah dicukur kelimis, hanya sepasang matanya itu yang tetap
mencorong dingin berkilau seperti mata kucing, hampir Thian-hi tidak kenal bahwa yang dihadapi
ini kiranya adalah Tok-sim-sin-mo.
Berkatalah Tok-sim-sin-mo lemah lembut kepada Pek Si-kiat, “Samte! Watakmu seperti dulu,
antara saudara sendiri kenapa main sungkan-sungkan apa segala. Sekarang kita sudah sama
bebas seharusnyalah kita gabung dan kerja sama lagi untuk menghadapi Ka-yap. kenapa kau suka
menyendiri dan tidak sudi bekerja sama!”
Pek Si-kiat menarik muka dan tidak bersuara.
Kata Tok-sim-sin-mo kepada Hun Thian-hi, “Kau pun ikut datang. Sejak kapan kau bergaul
dengan Samteku, sekarang kami tidak perlu mempersoalkan perhitungan lama, kau sudah gaul
bersama Samte berarti menjadi keluarga kami pula, mari silakan masuk!” — lalu ia mendahului
memberi jalan ke dalam.
Dengan waspada Thian-hi amat-amati beberapa orang di belakang Tok-sim-sin-mo, diam-diam
bercekat sanubarinya, para pengikutnya itu semua adalah tokoh-tokoh lihay atau gembonggembong
silat yang menakutkan, hampir seluruhnya dapat setingkat dijajarkan melawan Situa
Pelita. Entah darimana Tok-sim-sin-mo dapat menggaruk begini banyak botoh2 silat ini!
Dengan lirikan matanya Pek Si-kiat mengajak Hun Thian-hi masuk. Begitu berada di dalam
didapati oleh Thian-hi, keadaan disini tidak banyak berbeda dengan keadaan dulu, hanya sekarang
keadaan di dalam terang benderang ditimpah cahaya sinar mutiara yang diporotkan di atas
dinding di berbagai tempat.
Tampaknya Pek Si-kiat tidak pedulikan keadaan sekelilingnya, dengan langkah lebar ia beranjak
masuk terus ke dalam gua. Akhirnya mereka dibawa masuk ke dalam sebuah kamar batu yang
cukup luas dan besar. Setelah seluruh hadirin mengambil tempat duduk, belum lagi Pek Si-kiat
sempat membuka mulut menuntut kebebasan Sutouw Ci-ko, Tok-sim-sin-mo sudah membuka
suara lebih dulu, katanya, “Samte! Aku punya sebuah barang ingin kuperlihatkan kepada kau!”
Tangannya bertepuk dua kali.
Pek Si-kiat dan Hun Thian-hi sama heran, entah Tok-sim-sin-mo sedang main sandiwara apa!
Segera mereka mendapat jawaban, tampak sebuah dinding di depan sana pelan-pelan terbuka,
seorang berpakaian hijau segera keluar menyanggah sebuah kotak besi panjang dipersembahkan
ke hadapan Tok-sim-sin-mo,
Dengan berseri tawa Tok-sim-sin-mo meraih kotak besi itu terus dibuka, dari dalamnya ia
menjemput keluar sebilah pedang panjang, pedang dan sarungnya lantas ia angsurkan kepada
Pek Si-kiat serta katanya, “Samte! Coba kau periksa, inilah pedang pusaka yang baru saja kusuruh
orang membuatnya, bagaimana menurut penilaianmu?”
Berdetak jantung Pek Si-kiat, kiranya Tok-sim-sin-mo mampu cari seorang ahli untuk
membuatkan pedang pusaka, sekarang diperlihatkan pada dirinya pula, entah kemana maksud
juntrungannya.
Dengan kedua belah tangannya pelan-pelan Pek Si-kiat melolos pedang itu keluar, baru saja
separo diantaranya tercabut selarik sinar kemilau yang menyilaukan mata memancar keluar dari
batang pedang itu. Begitu melihat cahaya berkilau yang menyilaukan mata ini kontan Pek Si-kiat
berjingkrak kaget, otaknya lantas teringat akan seseorang, tanpa merasa mulutnya lantas berseru,
“Ling-lam-kiam-ciang!” hatinya menjadi was-was bila pandai pedang dari Ling-lam ini kena dipelet
oleh Tok-sim-sin-mo, sungguh akibatnya sukar dibayangkan.
Terdengar Tok-sim-sin-mo terkekeh-kekeh dingin, ujarnya, “Benar-benar. Ling-lam-kiam-ciang
Coh Jian-jo memang berada disini, oleh karena itu kau tidak perlu takut lagi bukan!”
Hun Thian-hi juga ikut kaget. Tiada seorang pun kaum persilatan yang tidak tahu dan kenal
akan seorang pandai pedang yang kenamaan macam Coh Jian-jo dari Ling-lam ini. Bukan saja ia
pandai membuat pedang, iapun pandai membuat bermacam2 senjata tajam lainnya yang hebat,
beliau merupakan seorang jenius dari kaum Bulim. Tapi konon sudah ratusan tahun lamanya
menghilang dan tidak pernah membuat lagi senjata tajam, bila sekarang dia masih hidup usianya
paling tidak sudah mencapai seratus lima puluh tahun, siapa nyana sekarang ahli pedang itu kena
dipelet oleh Tok-sian-sin-mo.
Pek Si-kiat bungkam tak bersuara, hatinya semakin mencelos. seperti yang dikatakan Bingtiong-
mo-tho tak perlu takut lagi menghadapi Pan-yok-hian-kang kiranya beginilah kenyataannya
Kalau begitu pasti Tok-sim-sin-mo sudah memperoleh sebuah alat senjata yang jahat dan ganas
dapat memecahkan ilmu Pan-yok-hian-kang itu. Kalau ini benar-benar maka Hun Thian-hi tidak
akan mampu bertahan mengandal Pan-yok-hian-kang latihannya itu menang atau kalah menjadi
sulit diperkirakan lagi.
Terdengar Tok-sim-sin-mo mendesak, “Samte! Sampai detik ini apa pula yang perlu kau
pertimbangkan?”
Pek Si-kiat menunduk berpikir sebentar, mendadak ia angkat kepala serta katanya: Dimana
Sutouw Ciko sekarang?’
“Samte!” ujar Tok-sim-sin-mo, “Kulihat sikapmu sekarang tidak sewajar dulu lagi. Apa kau
belum tahu tabiatku? Dari sikapmu ini jelas kau masih tidak rela bekerja sama dengan aku.
sebetulnya apakah sebabnya?”
Pek Si-kiat tertawa tawar, sahutnya, “Kau tak perlu tanya soal ini. Coh Jian-jo sudah berada
disini, apa pula yang perlu kau takuti? Kaupun tidak perlu menarik diriku supaya bantu kau lagi!”
“Kukira soal apa, kiranya soal sepele ini.” ujar Tok-sim-sin-mo tertawa, “Watakmu seperti dulu,
diantara kita bertiga hanya kaulah yang paling kupercayai, soal ini tiada halangannya kujelaskan
kepada kau. Siapapun tiada yang kutakuti, tapi aku dapat membatasi diri tidak melebarkan
sayapku keluar perbatasan dan juga tidak mencari perkara pada pihak Siau-lim, apa kau tahu apa
sebabnya?”
Pek Si-kiat juga tahu tabiat Tok-sim-sin-mo, maka ia mandah diam saja, terdengar orang
melanjutkan kata-katanya, “Ang-hwat dia tidak akan mau dengar kata-kataku. Kau tahu tabiatku.
lebih baik aku tidak mencari perkara pada pihak Siau-lim dan Ce-hun sitojin kerdil itu, tapi aku
tidak akan membiarkan Ang-hwat bersimaharaja, sekarang diapun tengah mengumpulkan banyak
kaki tangannya, tujuannya hendak mendirikan sebuah aliran yang bertentangan dengan pihak
kami.”
Pek Si-kiat tertawa, katanya, “Ya, tapi bagi kau dia tidak lebih seperti seekor lalat belaka yang
dapat ditimpuk mati.”
Tok-sim-sin-mo menyeringai iblis, ujarnya, “Seluk beluk soal ini belum kau ketahui, meskipun
aku tidak gentar menghadapi dia, tapi Hwe-tok-kun sekarang sedang membantu dia.”
Thian-hi tersentak kaget. Hwe,tok-kun bukankah nama lain dari Mo-bin-suseng? Hampir dia
berjingkrak bangun, setiap kali mendengar nama Mo-bin-suseng, darahnya lantas bergolak
dirongga dadanya.
Dengan kalem Pek Si-kiat manggut-manggut. setelah berpikir sebentar ia berkata, “Darimana
kau toako tahu bahwa Hwe-tok-kun sedang membantu usaha Ang-hwat?”
Tok-sim-sin-mo terkekeh kering. ujarnya, “Kalau bukan dia yang bergerak di belakang layar
pasti Ang-hwat sudah tergenggam dalam telapak tanganku,” lalu ia awasi Pek Si-kiat,
sambungnya, “Samte! Kau tahu maksudku bukan?”
Pek Si-kiat maklum bahwa Tok-sim-sin-mo mengharap dirinya suka bergabung dalam
komplotannya untuk menghadapi Hwe-tok-kun. maka dengan tertawa ewa ia menyahut, “Aku
takkan mampu bantu kau menyelesaikan persoalan ini.”
“Apa betul?” dengus Tok-sim-sui-mo sembari bergegas bangun. kedua biji matanya
memancarkan cahaya berkilat mengandung hawa membunuh.
“Aku punya kepentinganku sendiri yang harus segera kuselesaikan. Sekarang aku sedang
menjelajahi jejak Ji-ci. masa kau sendiri kau tidak pikirkan dia?”
Lekat-lekat Tok-sim-sin-mo awasi Pek Si-kiat, sesaat kemudian, baru berkata, “Kiranya kaupun
tahu soal itu, akupun tidak perlu menjelaskan lagi. Ketahuilah kupanggil kau tujuanku justru
supaya menghadapi dia. Sekarang tentu dia sedang giat memperdalam ilmu Hian-thian-mo-kip
untuk menghadapi aku. Kalau kau tinggal disini pasti dapat mencarinya, bukankah malah
meringankan bebanmu!”
“Tidak, aku tidak sudi melakukan kejahatan lagi. Malah aku sudah menyesal akan perbuatanku
yang penuh noda dulu!”
Terpancang pandangan heran dari biji mata Tok-sim-sin-mo, sesaat kemudian ia bergelak tawa
serunya, “Kau sudah menyesal? Kenapa kau harus menyesal? Apa tidak terlambat kau menyesal
sekarang?”
Kata Pek Si-kiat menghela napas, “Bila kau anggap antara kau dan aku masih punya hubungan
persaudaraan, aku harap kau suka menyerahkan Sutouw Ci-ko kepadaku sekarang juga!”
Tok-sim sin-mo rada melengak, dengan pandangannya berkilat ia menyapu seluruh hadirin lalu
berkata, “Kau minta aku menyerahkan sekarang juga dihadapan sekian banyak orang?” terdengar
hidungnya mendengus lalu melanjutkan, “Memang hubungan kami seperti saudara sekandung
layaknya, bila hanya kepentinganku seorang tentu segera kuserahkan Sutouw Ci-ko kepadamu,
tapi soalnya sekarang berlainan, urusan umum harus diselesaikan secara umum, kecuali kau
masuk menjadi anggota kumpulan kita, kalau tidak aku tidak bisa mementingkan urusan pribadi
mengingkari kepentingan umum.”
Pek Si-kiat tertawa sinis, ia pandang Hun Thian-hi sebentar lalu menyapu pandang semua
orang yang hadir, katanya pula, “Apakah urusan ini tiada kompromi lagi?”
Tiba-tiba Tok-sim-sin-mo terbahak-bahak, ujarnya, “Begitupun baik, berpisah selama lima puluh
tahun, ingin aku melihat sampai dimana kemajuan ilmu silat Samte selama ini?”
Habis berkata dengan lirikan matanya ia pandang Bing-tiong-mo-tho. Bing-tiong-mo-tho segera
bangkit dan berseru kepada Pek Si-kiat, “Sukong Ko ingin mewakili Pangcu mohon pengajaran
kepada Pek-heng!”
Pek Si-kiat bersikap tenang, sembari menyeringai pelan-pelan ia bangkit, tapi Thian-hi yang
berada disampingnya juga melonjak bangun. katanya, “Paman Pek, untuk gebrak ini biarlah aku
saja yang turun gelanggang!”
Sebentar Pek Si-kiat pandang Hun Thian-hi, ia tahu kepandaian dan kemampuan Hun Thian-hi
jauh mencukupi untuk menghadapi musuh, maka dia manggut-manggut lalu mundur dan duduk
kembali.
Sementara Tok-sim-sin-mo malah pandang Hun Thian-hi dan Pek Si-kiat bergantian dengan
perasaan aneh dan heran. Adalah Bing,tiong-mo-tho yang berjingkrak gusar, serunya, “Selamanya
Sukong Ko belum pernah lihat ada orang berani kurang ajar memandang rendah diriku!”
Hun Thian-hi mandah tersenyum manis, ujarnya, “Aku bernama Hun Thian-hi, tidak lebih
sebagai Wanpwe, angkatan muda!” Lalu ia memutar menghahadapi Tok-sim-sin-mo. katanya pula,
“Bila Sukong Ko dapat kukalahkan, apakah Pho-pangcu rela menyerahkan Sutouw Ci-ko kepada
kami?”
Hati Tok-sim-sin-mo rada was-was, biji matanya berjelilatan, katanya, “Jadi maksudmu kau
ingin main taruhan dalam pertandingan babak pertama. ini?”
Hun Thian-hi mandah tersenyum saja tanpa bersuara.
Kata Tok-sim-sin-mo lagi, “Apa yang kau taruhkan dalam pertandingari ini?”
Baru saja Thian-hi mau buka mulut. dari belakang Pek Si-kiat sudah keburu bicara, “Bila dia
kalah, kami berdua suka masuk menjadi anggota. Kau dengar, kami akan bekerja demi
kepentinganmu!”
“Bagus!” teriak Tok-sim-sin-mo menepuk paha. “Aku terima syarat pertandingan ini, bila kau
yang menang, Sutouw Ci-ko segera kuserahkan. tapi bila kalah kalian harus menepati janji dan
harus tunduk pada perintahku!”
Bing-tiong-mo,tho Sukong Ko beranggapan kepandaiannya cukup lihay dan berkedudukan
tinggi pula, kecuali beberapa tokoh silat kosen jaman ini yang ditakuti hanya beberapa orang saja.
ia tidak pernah tunduk pada siapapun juga, sekarang justru harus berhadapan dengan Hun Thianhi
yang dianggap masih pupuk bawang, keruan hatinya murka sekali.
Dengan pandangan berapi-api ia pandang Pek Si-kiat sembari menggerung geram, ia sangka
Pek Si-kiat sengaja memajukan Hun Thian-hi untuk mempermainkan dan menghina dirinya.
Bahwasanya ia tidak pandang Hun Thian-hi sebelah matanya….
Sambil menyungging senyum lebar pelan-pelan Hun Thian-hi beranjak masuk gelanggang,
sikapnya tenang tanpa gentar. Diam-diam Tok-sim-sin-mo terkejut dan tak habis herannya,
melihat kewajaran sikap Thian-hi. seolah-olah ia punya pegangan untuk memenangkan gebrak
pertama ini. Sebaliknya tampak sikap congkak Bing-tiong-mo-tho yang berkelebihan, tanpa merasa
sanubarinya mendapat firasat jelek, seakan-akan Bing-tiong-mo-tho jelas bakal kalah. Ia heran
kenapa dia bisa punya pikiran demikian, memang kepandaian antara Hun Thian-hi dan Bing-tiongmo-
tho dalam pandangannya terpaut antara bumi dan langit. Hun Thian-hi tidak akan kuat
bertahan, sekali pukul.
Begitu Hun Thian-hi memasuki gelanggang Bing Cong-mo-tho lantas menggeram keras seperti
harimau kelaparan, mendadak tubuhnya berkelebat menubruk maju seraya mencengkeram
dengan cakar tangan kanannya. Gebrak pertama ini ia sudah lancarkan kepandaian khususnya
yang sangat dibanggakan yaitu Jian-yu-mo-jiu (cakar iblis beribu bayangan), maksudnya sekali
cengkeram ia hendak membuat Thian-hi sebagai kelinci, makanan empuk yang dapat dibuat
permainan, tindakannya ini bukan saja supaya Pek Si-kiat tahu bahwa dirinya tidak gampang
dihina dan dipermainkan, tujuan yang utama adalah hendak memperlihatkan kepandaian silatnya
sejati.
Gerakannya ini memang cepat luar biasa, telak sekali cengkeramannya ini mengenai pundak
Hun Thian-hi. Tampak biji mata Hun Thian-hi memancarkan sinar aneh, diam-diam ia menerawang
situasi yang tidak menguntungkan ini, maka harus menyelesaikan pertandingan babak pertama ini
secara kilat, maka Pan-yok-hian-kang segera dikerahkan tanpa berkelit lagi.
Begitu tangannya kena mencengkeram pundak orang, kontan berubah airmuka Bin-tiong~motho
Sukong Ko, terpancang rasa heran dalam sorot matanya, begitu kelima jarinya mencengkeram
seketika terasa tangannya kesemutan tak mampu mengerahkan tenaga. Keruan bukan kepalang
kejutnya. Kiranya pemuda yang dihadapi ini membekal ilmu sakti yang hebat sekali, sungguh aku
terlalu memandang ringan padanya!
Dasar ingin menangnya sendiri sedikitpun ia tidak gentar atau mumdur teratur, sambil
mendengus ia kerahkan seluruh kekuatannya dikelima jarinya untuk mencengkeram lebih keras,
pikirnya kecuali Ka-yap Cuncia. tiada seorang pun yang akan mampu bertahan dari cengkeraman
jarinya yang lihay seperti jepitan tanggem besi ini.
Dalam pada itu Thian-hi kerahkan seluruh Lwekangnya untuk bertahan, memangnya iapun rada
memandang ringan pada Bing-tiong-mo-tho, apalagi Cian-kin-hiat dipundak kena dicengkeram,
seolah-olah sipenunggang harimau yang sulit turun. terpaksa ia harus melawan dengan segala
kemampuannya. sebab ia harus menang dalam pertandingan babak pertama ini.
Tampak Tok-sim-sin-mo mengunjuk rasa kaget dan tak habis herannya, kehebatan Lwekang
Thian-hi benar-benar diluar perhitungannya semula. yang lebih mengejutkan hatinya lagi justru
dari tubuh Hun Thian-hi yang berdiri sekokoh gunung itu seolah-olah terbayang duplikat Ka-yap
Cuncia yang sangat ditakuti itu. Bukankah Lwekang yang dikerahkan itu adalah Pan-yok-hian-kang
yang diandalkan Ka-yap Cuncia untuk malang melintang dan menjagoi dunia persilatan dulu?
Sekian lamanya kedua belah pihak bertahan berdiri seperti tonggak kayu, kedua musuh ini
sama tokoh kosen ahli Lwekeh yang lihay, adanya adu kekuatan tenaga dalam ini membuat
seluruh hadirin menonton dengan jantung berdebar dan menahan napas, keadaan ruang batu itu
menjadi sunyi senyap.
Entah berapa lama berselang, mendadak Hun Thian-hi menjebir bibir bersuit lirih pendek.
dimana kelihatan pundaknya sedikit bergerak terdengarlah suara “Duk!” yang keras kontan badan
Bing-tiong-mo-tho yang tinggi besar itu terpental jauh tiga empat tombak terus terbancng roboh
dan berkelejetan, Banyak orang segera merubung maju memajang Bing-tiong-mo-tho ke dalam
untuk diobati.
Pundak kiri Thian-hi sendiri juga terasa sakit dan kesemutan lekas-lekas ia menyedot napas lalu
mengerahkan hawa murninya untuk memulihkan kesegaran badannya. Pek Si-kiat mengunjuk seri
tawa lebar, ia sangat bangga akan hasil kemenangan Hun Thian-hi…. dengan tersenyum sinis ia
pandang Tok-sim-sin-mo.
Tok-sim-sin-mo menggeram gusar, tanyanya kepada Hun Thian-hi, “Apa hubunganmu dengan
Ka-yap? Dimana dia sekarang?”
Lihay benar-benar Tok-sim-sin-mo ini, demikian pikir Thian-hi dengan kaget. Namun lahirnya ia
tetap tenang, sahutnya tawar, “Soal ini dibicarakan nanti. yang terang aku sudah menang lekas
kau serahkan dulu Toaciku!”
Tok-sim,sin-mo menyeringai iblis, jengeknya, “Hari ini bila kalian tidak masuk menjadi anggota,
untuk meninggalkan tempat ini. sesulit memanjat langit!”
Pek Si-kiat berjingkrak bangun, pedang pusaka ditangannya diangsurkan kepada Thian-hi,
serunya, “Jadi kau mau ingkar janji?”
“Samte!” teriak Tok-sim-sin-mo mendongak sambil terbahak-bahak, “Kau sangka aku gentar
oleh sebatang pedang pusaka itu? Aku berani memperlihatkan pedang pusaka itu kepada kau
sebelum kalian menentukan haluan, sudah tentu aku punya cara untuk mengatasi dan
menundukkan Kamu berdua!”
Pek Si-kiat berdua bungkam.
“Kau harus tahu!” sambung Tok-sim-sin-mo, “kenapa aku angkat nama dengan Hek-liong-pang!
— Lalu ia terkekeh-kekeh dingin sambil menyapu pandang keseluruh hadirin.
“Seumpama kau punya tipu daya yang keji kamipun tidak perlu gentar.” demikian ujar Pek Sikiat,
“Kau tahu watakku, apa yang hendak kulakukan kecuali aku lepas tangan, kalau tidak aku tidak
merubah haluan sebelum tujuanku tercapai!”
Tok-sim-sin-mo tertawa kering dua kali, katanya kepada Hun Thian-hi, “Aku tahu tentu kau
pernah bertemu dengan Ka-yap. malah mendapat pelajaran. ilmu saktinya, namun semua
pengalaman itu akupun tidak perlu main selidik lagi. Bila kau mau masuk anggota, kami tidak akan
menyia-nyiakan bakat dan segala kemampuanmu. Apalagi Sutouw Ci-ko masih berada ditanganku,
mau atau tidak, kau harus pilih satu diantaranya. Kalau kau benar-benar keras kepala dan tidak
mau, aku kuatir kelak kau akan menyesal!”
Hun Thian-hi tersenyum manis. katanya, “Setelah kau tahu aku sebagai ahli waris Pan-yokhian-
kang, maka tiada halangannya kita bicara secara blak2an saja. Kau sebagai Pangcu, aku
menuntut supaya Sutouw Ci-ko segera kau lepaskan, soal masuk jadi anggota, saat ini aku tidak
suka membicarakannya, karena kurasa pembicaraan ini tidak akan menguntungkan.”
Lalu bagaimana menurut maksudmu?” semprot Tok-sim-sin-mo dengan mata berapi-api.
“Pak-yok-hian-kang cukup berkelebihan untuk menggetarkan Bulim,” ujar Thian-hi sinis, “Hekliong-
pang kalian mengundang aku masuk menjadi anggota, dengan apa kalian hendak
melemaskan hatiku?”
“Samteku menjabat wakil Pangcu, sedang kau bagaimana kalau kuangkat menjadi kepala dari
empat pelindung kumpulan?”
Hun Thian-hi menggeleng dengan menjebir bibir. jengeknya, “Bila demikian tawaranmu ini
terlalu merendahkan derajatku, tidak sukar kau undang aku menjadi anggota, asal kau mau
serahkan kedudukan Pangcu kepada aku!”
Tok-sim-sin-mo mendongak tertawa menggila, serunya, “Sombong benar-benar, kau belum
pernah lihat dan menjajal kekuatan Hek-liong-pang kami, bukankah kau mengandalkan Pan-yokhian-
kang yang tiada tandingannya di Bulim? Akan kupertunjukkan kepada kalian betapa hebat
dan lihaynya, Pek-tok-kek-liong-ting! (paku naga hitam beratus racun)” — lalu ia ulapkan sebelah
tangannya empat orang berpakaian seragam hitam segera muncul, tangan masing-masing
membawa selaras besi hitam, langsung diarahkan kepada mereka berdua.
Pek Si-kiat kaget bukan main, dengan tajam ia pandang keempat orang itu.
Ia tahu Pek-tok-hek-liong ting khusus untuk memecahkan Lwekang aliran Lwekeh yang
terhebat, cara pemhuatannya sangat sukar, ratusan tahun yang lalu senjata macam ini sudah
lenyap dari percaturan dunia persilatan. Sekarang mendadak muncul disini. jikalau Ling-lam-kiamciang
Coh Jian-jo berada disini, tentu Tok-sim mampu membuat senjata jahat ini, tapi untuk
membuat laras senjata ini diperlukan Besi murni laksaan tahun, entah dari mana Tok-sim-sin-mo
mampu memperoleh bahan bakunya yang sulit didapat ini.
“Dalam dunia ini tokoh mana yang mampu melawan Pek-tok-hek-liong-ting? Pan-yok-hian-kang
memang ilmu sakti yang tiada taranya, namun mana bisa melawan kehebatan Pek-tok-hek-liongting.
Pek Si-kiat menggeram gusar, serunya, “Jangan kau kira setelah memiliki Pek-tok-hek-liong-ting
lantas kau dapat malang-melintang bersimaharaja. Apakah senjatamu itu tulen atau tiruan belum
diketahui, bila benar-benar, kaupun akan kena ditumpas oleh seluruh kekuatan kaum persilatan!”
Tok-sim-sin-mo tertawa besar, ujarnya, “Kau sangka senjataku itu tiruan? Kiu-thian-ham-giok
merupakan bahan terpilih yang paling cocok untuk membuat Pek-tok-hek-liong-ting. Apalagi
kekuatanku sedemikian besar ini masa takut ditumpas kaum persilatan apa segala?”
Hun Thian-hi berpikir sebentar lalu menyela bicara, “Dalam kehidupan di dunia ini terdapat dua
unsur positip dan negatif yang saling berlawanan. Kau sangka Hek-liong-tingmu ini tiada benda
lain yang dapat mengatasinya?”
“Kau hendak mencari tahu? Sayang tiada suatu benda apapUn yang dapat mengatasinya.
Dalam tempo sesulutan batang hio kuberikan kesempatan pada kalian untuk berpikir memberikan
keputusan kalian.” dari samping sana seorang menyulut hio lalu ditancapkan di atas meja.
Thian-hi harus berpikir secara cermat, mencari jalan untuk mengatasi situasi yang gawat ini,
namun sesaat lamanya ia tidak memperoleh jalan keluar untuk menghadapi Tok-sim-sin-mo.
Sementara Pek Si-kiat sendiri pejamkan mata tanpa berkata-kata, ia mengandal kecerdikan
otak Thian-hi, entah punya cara apa yang sempurna, buat dia sendiri tiada punya pegangan.
Tak lama kemudian batang hio itu sudah terbakar separo, Thian-hi lantas buka suara kepada
Tok-sim-sin-mo, “Apakah benar-benar Hek-liong-ting kalian bisa memecahkan segala Lwekang aku
belum tahu, dengan cara ancamanmu ini kau hendak menarik kami menjadi anggota, kukira kalian
bertindak kurang bijaksana.”
“Jadi maksudmu kau ingin tahu kekuatan Hek-liong-ting ini lebih dulu?”
“Begitulah maksudku!”
Pek Si-kiat membuka mata, dia heran kenapa Thian-hi begitu gegabah, masa Hek-hong-ting
dianggap barang mainan yang boleh dicoba apa segala, seumpama pedang pusaka atau senjata
tajam lainnya juga tiada kemungkinan mematahkannya.
“Begitupun baik,” seru Tok-sim-sin-mo terloroh-loroh, “Aku sendiri juga belum tahu apakah
Hek-liong-ting dapat memecahkan Pan-yok-hian-kang, melalui percobaan ini ingin aku saksikan
ilmu saktimu yang hebat itu, terlebih penting akan kuketahui betapa lihay Hek-liong-ting milik kita
ini!”
“Tapi cara bagaimana mencobanya?”
“Gampang saja. Hek-liong-ting seluruhnya ada tujuh batang, kusuruh keempat orang itu
bergantian menyerang kepadamu, kau boleh melawan dengan Pan-yok-hian-kangmu.”
“Cara ini tidak bisa dilaksanakan!” dengus Pek Si-kiat. Dia tahu akan kelicikan pihak lawan, bila
Thian-hi benar-benar tak kuasa bertahan, bukankah bakal menjadi korban secara konyol.
“Kenapa? Kalau tidak begitu cara bagaimana pula?”
Hun Thian-hi tertawa tawar, ujarnya, “Paman Pek, cara ini memang cukup baik, kau tidak perlu
kuatir padaku!”
Dengan sorot heran dan tak mengerti Tok-sim-sin-mo pandang wajah Thian-hi, Hun Thian-hi
berani mempertaruhkan jiwanya untuk percobaan yang berbahaya ini. Bagi perhitungan Hun
Thian-hi bila dia berhasil memunahkan serangan Kek-liong-ting lawan, nyali Tok-sim-sin-mo tentu
ciut dan gentar menghadapi dirinya, serta menyerahkan Sutouw Ci-ko. Seumpama dirinya yang
kalah, dirinya tidak akan hidup lama lagi, maka sasaran utama bagi musuh adalah dirinya, meski
harus ajal di bawah paku naga hitam yang jahat ini, betapapun Pek Si-kiat harus berkesempatan
meloloskan diri dari sarang iblis ini.
Tok-sim-sin-mo menggeram, dalam hati ia mencemooh, “Anak muda, kau terlalu congkak!”
Bahwasanya ia tahu bahwa Hun Thian-hi tidak akan mampu melawan Hek-liong-ting, namun
betapapun ia tidak mau kehilangan kesempatan paling baik yang sukar dicari ini.
Pelan-pelan Hun Thian-hi maju ke tengah gelanggang, pedang disarungkan di dalam
serangkanya, terkilas olehnya akan Wi-thian-cit-ciat-sek, tergeraklah hatinya, bila Hek-liong-ting
benar-benar khusus untuk memecahkan ilmu Lwekang, kenapa aku tidak gunakan saja Wi-thiancit-
ciat-sek untuk memenangkan percobaan ini? Seumpama gagal juga tidak menjadi soal, apalagi
Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan ilmu pedang dari aliran Lwekeh yang tiada taranya, apakah benarbenar
tidak mampu bertahan dari serangan Pek-tok-hek-liong-ting?
Melihat Thian-hi menunduk memandangi pedang di tangannya, seperti sedang memikirkan apaapa,
Tok-sim-sin-mo mengejek dingin, “Kau menggunakan pedang juga boleh, tapi kukuatir Hekliong-
ting tidak semudah itu dapat ditangkis atau dilawan!”
Dengan tangannya Thian-hi obat-abitkan pedangnya sambil tertawa tawar tanpa bersuara.
“Kau sudah siap belum?” tanya Tok-sim-sin-mo.
Hun Thian-hi angkat kepala, dengan pandangannya yang tajam ia awasi seluruh hadirin, lalu
manggut pelan-pelan.
Tok-sim-sin-mo menyeringai iblis seperti serigala yang kelaparan bakal menggares mangsanya,
biji matanya berkilat mengandung hawa membunuh. Dalam angan2nya, Hun Thian-hi segera bakal
mati konyol di hadapannya….
Pelan-pelan ia sedikit angkat tangannya, salah seorang seragam hitam yang berdiri paling
kanan segera angkat longsong besinya serta memijatnya, “cret” setabur sinar hitam kontan
melesat keluar, seluruhnya menerjang ke depan dada Hun Thian-hi.
Sejak menelan buah ajaib jasmani Hun Thian-hi luar biasa melebihi orang bjasa. maka ia
menjadi terkejut waktu melihat Pek-tok-hek-liong-ting melesat mengarah dirinya. Dalam sekilas
pandang saja ia melihat jelas formasi ketujuh Hek-liong-ting yang menerjang datang ini begitu
sempurna dan lihay benar-benar, yang membuatnya terkejut adalah formasinya yang mengincai
berbagai tempat, mungkin tiada seorang tokoh kosen dari Bulim yang mampu terhindar dari
incaran Hek-liong-ting yang ganas ini. Seumpama SitUa Pelita yang mengagulkan ilmu Gin-kang
yang tiada keduanya dijagat ini juga takkan mampu menyelamatkan diri.
Sementara itu laksana kilat ketujuh paku naga hitam itu, sudah meluncur tiba, tiada tempo lagi
bagi Hun Thian-hi untuk berpikir. lekas-lekas ia angkat tangan kiri menepuk ke depan, ia kerahkan
Pan-yok-hian-kang menyongsohg kedatangan ketujuh Hek-liong-ting itu dengan pukulannya.
Baru saja Thian-hi melancarkan pukulannya lantas dia merasa firasat jelek, tampak olehnya
ketujuh Hek-liong.ting itu masih menerjang tiba dengan kecepatan yang ada, sedikitpun tidak
menjadi terhalang atau menyimpang dan merandek oleh tenaga pukulan Thian-hi tadi. Sebat
sekali Thian-hi menggeser mundur seraya mengayun tangan, tahu-tahu pedang pusaka sudah
berada ditangannya terus membalik ke depan, dengan jurus gelombang perak mengalun berderai
salah satu jurus dari Gin-ho-sam-sek ia tangkis ke depan, cahaya pedangnya yang gemerdep
segera mengurung luncuran senjata rahasia musuh.
Ketujuh paku naga hitam itu seperti terhenti sekilas ditengah udara, namun lantas meluncur
maju lagi dengan kekuatan yang sama. Apa boleh buat terpaksa Thian-hi lancarkan Wi-thian-citciat-
sek dengan tujuan men-coba-coba. Dengkul ditekuk tubuhnya rada mendak kebawah pedang
panjangnya lantas teracung miring ke depan, dimana pedangnya sedikit bergerak beberapa mili
saja, (gerak pedang yang hanya beberapa mili ini sulit diikuti oleh pandangan mata) ia sudah
kerahkan seluruh Lwekangnya. seketika hawa pedang mengembang memenuhi udara sekitar
gelanggang, benar-benar juga usahanya ternyata berhasil, ketujuh paku naga hitam beracun itu
kena terhalang.
Keruan girang hati Thian-hi, dengan kekuatan hawa pedangnya ia bermaksud menghancur
leburkan semua paku2 beracun itu, namun begitu pedangnya berputar terdengarlah suara Trangtring
yang ramai, terasa olehnya bahwa ketujuh paku itu adalah sedemikian keras pedangnya tak
berhasil mematahkannya. Sudah tentu kejut sekali hatinya, sembari bersuit nyaring cepat ia putar
pedangnya pula menyapu jatuh ketujuh Hek-liong-ting itu tercerai berai di atas lantai….
Tok-sim-sin-mo kaget bukan main, tanpa kuasa ia melonjak bangun seraya berteriak, “Itulah
Wi-thian-cit-ciat-sek!”
Waktu pertama melihat Hun Thian-hi tidak berhasil melumpuhkan luncuran paku naga hitam
musuh, berubah airmuka Pek Si-kiat. Kini dilihatnya Thian-hi berhasil menyapu rontok seluruh
paku berbisa dan ganas itu, keruan bukan kepalang senang hatinya, dengan suara lantang iapun
berteriak, “Benar-benar, itulah Wi-thian-cit-ciat-sek. Dalam kotong langjt ini siapapun yang mampu
melawan Wi-thian-cit-ciat-sek?”
Tok-sim-sin-mo menggeram gusar, matanya berapi-api. Dilihatnya Thian-hi berdiri tegak lurus
dengan gagahnya pelan-pelan menyarungkan kembali pedangnya. tanpa merasa hatinya menjadi
gentar dan kuncup nyalinya. Sekali sapu Thian-hi dapat menyampok runtuh senjata rahasia yang
paling dibanggakan ini. mungkin Wi-thian-cit-ciat-sek benar-benar sudah sempurna dilatihnya,
betapapun dirinya bukan tandingannya, bagaimana tindakan selanjutnya? Ia menjadi bingung.
Tapi tidak terpikir olehnya bahwa latihan Wi-thian-cit-ciat-sek Thian-hi justru belum sempurna,
sebelumnya tadi ia sudah lancarkan Pan-yok-hian-kang dan sejurus Gin-ho-sam-sek. sehingga
daya luncuran Hek-liong-ting yang keras dan cepat itu kena dipunahkan seoagian besar, begitu ia
lancarkan sejurus Wi-thian-cit-ciat-sek dengan sendirinya mudah sekali ia rontokkan seluruh Hekliong-
ting itu. Bila Tok-tim-sin-mo tadi memberi perintah pada anak buahnya supaya menyerang
bergantian, betapapun tinggi kepandai Hun Thian-hi tidak akan lolos dari renggutan elmaut, dan
kelak ia akan benar-benar dapat menjagoi dan bersimaharaja di seluruh dunia persilatan.
Justru karena kagetnya ini sehingga otak Tok-sim-sin-mo tidak dapat berpikir secara jernih,
sesaat lamanya ia tak kuasa buka suara, entah berapa lama kemudian baru ia berkata, “Kalau
begitu, akupun tidak akan memaksa kalian masuk anggota lagi, Sutouw Ci-ko akan kuserahkan
kepada kalian!”
Thian,hi dan Pek Si-kiat menjadi girang.
“Tapi ada syaratnya!” demikian tambah Tok-sim-sin-mo.
Pek Si-kiat mendengus, jengeknya, “Syarat apa? Apa kau mampu melawan Wi-thian-cit-ciatsek?
Ketahuilah Pek-tok-hek-liong-ting tidak lebih sebagai barang rongsokan belaka!”
“Benar-benar. memang aku tidak kuasa melawan Wi-thian-cit-ciat-sek.” Tok-sim-sin-mo
mengakui terus terang. “Tapi ingat Sutouw Ci-ko masih berada ditanganku, masa kalian berani
mengusik-usik kepada aku?”
Pek Si-kiat terbungkam. Dia tahu tabiat Tok-sim-sin-mo, bila ia sudah nekad segala apapun
berani dilakukan, seumpama gugur bersamapun akan dia lakukan, dalam keadaan yang mendesak
dan genting ini terpaksa ia harus berlaku sabar dan mengalah, maka katanya, “Coba kau katakan
dulu syarat apa yang kau ajukan?”
“Paling tidak sampai pada detik ini, setelah aku menyerahkan Sutouw Ci-ko, diantara kita tiada
ikatan permusuhan dan dendam sakit hati lagi. Kelak peduli apapun yang kami lakukan, kalian
berdua dilarang turut campur dan menghalangi, inilah syaratnya. gampang dan sepele saja apakah
kalian mau setuju dan mematuhi syarat yang kuajukan ini?”
Hun Thian-hi berpikir sebentar, ia insaf bahwa situasi tetap gawat dan belum menguntungkan
pihaknya, bila ia tidak setuju akan syarat yang diajukan ini, bila Tok sim-sin-mo murka dan nekad,
paling-paling kepandaian sendiri setingkat sama Tok-sim belum lagi anak buahnya yang banyak
jumlah dan tinggi kepandainnya, akan merupakan tekanan berat juga bagi pihaknya, maka ia
berkata, “Tapi bila tindakan kalian merugikan sanak kadang dan para sahabat kita bagaimana?”
“Tidak mungkin! Kalian harus cepat membawa Sutouw Ci-ko meninggalkan Tionggoan, sanak
kadang atau teman2 kalian tidak akan kami recoki, bagaimana pendapat kalian?”
Thian-hi berpikir, bila aku mengajukan imbalan yang terlalu rumjt juga belum tentu mereka
mau setuju, pula tidak mungkin hanya karena urusan kecil lantas aku mengingkari urusan besar
ini, akhirnya ia tertawa mauggut2, ujarnya, “Begitupun baiklah!”“
Melihat Hun Thian-hi begitu wajar dan tanpa curiga sedikitpun menyetujui syarat2 yang
diajukan Tok-sim-sin-mo menyeringai tawa lebar, katanya, “Kau harus pegang teguh janji ini, kau
tahu aku pernah kau tipu sekali, tempo hari kau tinggal merat sendiri tanpa hiraukan aku lagi,
apakah kau masih ingat?”
Berdeguk jantung Thian-hi, sahutnya tertawa, “Kau harus percaya kepada ucapanku sekarang!”
Tok-sim-sin-mo tertawa aneh, katanya, “Segera kuantar Sutouw Ci-ko keluar gua, sekarang
kalian boleh keluar dan tunggu diluar.” — habis berkata ia melangkah ke ruang sebelah dan
menghilang. Thian-hi berdua keluar diantar anak buah Tok-sim-sin-mo.
Tak lama kemudian tampak Tok-sim-sin-mo beranjak keluar sambil menggusur Sutouw Ci-ko.
Begitu melihat Hun Thian-hi Sutouw Ci-ko berteriak kegirangan, “Thian-hi, kau sudah pulang!” —
Begitu senang hatinya sampai matanya mengalirkan air mata.
“Mari lekas kita tinggalkan tempat ini!” demikian ujar Thian-hi sambil menggandengnya.
Tok-sim-sin-mo mengunjuk tawa sinis yang aneh, tangannya segera diulapkan, anak buahnya
segera menuntun tiga ekor kuda putih, katanya, “Aku tiada punya tanda mata yang harus
kuberikan, ketiga ekor kuda ini anggap saja sebagai tanda kenangan.”
Pek Si-kiat rada heran dan bertanya-tanya kenapa Tok-sim-sin-mo hari ini begitu sungkan dan
bersikap begitu baik. malah begitu gampang kena diapusi lagi. Siapa pun tahu Hun Thian-hi tidak
mungkin mau pegang janjinya yang merugikan itu, tapi orang mau percaya begitu gampang, tentu
ada udang dibalik batu. Demikian ia menerawang dan berpikir.
Tok-sim-sin-mo mengangsurkan selempit kertas kepada Hun Thian-hi, katanya, “Setelah
meninggalkan tempat ini boleh kau baca surat ini seorang diri!”
Bercekat hati Pek Si-kiat, katanya cepat, “Hun-hiantit, lekas kau lihat, apa yang dia tulis di atas
kertas itu?”
Tanpa bersuara Thian-hi awasi Tok-sim-sin-mo dengan pandangan berkilat. pelan-pelan ia
membuka lempitan kertas itu. Terdengar Tok-sim-sin-mo tertawa dingin, mendadak tubuhnya
berkelebat menghilang kedalaan gua.
Begitu melihat apa yang tertulis di atas kertas itu, sejenak Hun Thian-hi melengak dan
terlongong, lalu ia meremas hancur kertas itu dengan tangan kanannya, katanya kepada Pek Sikiat
dan Sutouw Ci-ko, “Mari lekas berangkat!”
Melihat perobahan sikap Hun Thian-hi yang mendadak ini, Pek Si-kiat dan Sutouw Ci-ko
berbareng mengajukan pertanyaan, “Apa yang tertulis dalam kertas tadi?”
Thian-hi menunduk sambil tertawa tawar, sahutnya, “Tiada persoalan bagi kalian!” mulutnya
bicara begitu, namun jelas ia mengetahui bahwa urusan bakal berlarut-larut berkepanjangan,
karena surat itu berbunyi;
“Sutouw Ci-ko sudah menelan Pek-tok-hoan (pil seratu5 bisa) setiap tahun pada pertengahan
musim rontok, datanglah mengambil obat penawarnya….”
Hun Thian-hi punya perhitungan, bila sekarang dia bersikap keras dan bermusuhan
menghadapi Tok-sim-sin-mo, pihak sendiri terang tidak unggulan, dan pada pihak sendiri yang
bakal konyol lebih baik bersabar dan main ulur waktu sembari menyempurnakan Wi-thian-cit-ciatsek
sebelum Tok-sim-sin-mo menyadari bahwa latihan Wi-thian-cit-ciat-seknya belum sempurna ia
harus cepat-cepat meninggalkan daerah yang penuh ancaman mam bahaya ini. Maka segera ia
keprak kudanya serta berseru kepada mereka berdua, “Kita keluar dulu dari Giok-bun-koan baru
bicara lagi lebih lanjut!” — dalam bicara ini kudanya sudah dibedal sekencang angin.
Terpaksa Sutouw Ci-ko dan Pek Si-kiat mengikuti jejak Thian-hi, merekapun mencongklang
tunggangannya secepat angin pula, debu mengepul tinggi memenuhi angkasa. Sekejap saja
mereka sudah pergi jauh dan tidak kelihatan lagi.
Sementara itu Tok-sim-sin-mo sedang termenung memikirkan keadaan Hun Thian-hi, lambat
laun timbul rasa kecurigaannya. masa Hun Thian-hi mandah saja mau tinggal pergi begitu saja?
Rasanya tidak mungkin, atau mungkinkah dia punya urusan penting lainnya. sehingga harus cepat
menyusul kesana.
Begitulah ia menepekur dan menerawang adegan yang terjadi tadi, semakin dipikir terasa
kejanggalan yang semakin menyolok, dia mendengus lirih, tingkah laku itu Hun Thian-hi terakhir
ini sudah membuatnya curiga, maka terbayang pula. gerak-gerik Hun Thian-hi sejak ia memasuki
Jian-hud-tong tadi. Mendadak terbayang olehnya waktu Hun Thian-hi melolos pedang, sikapnya
rada ragu-ragu dan sangsi. Kontan terpancar sorot “tajam berkilat dari biji matanya, ia berpaling
dilihatnya seluruh anak buahnya berdiri tegak meluruskan tangan. Gerak gerik Hun Thian-hi
selanjutnya lantas terbayang pula di dalam ingatannya. Akhirnya ia menggerung dengan
murkanya, baru sekarang ia paham kenapa Hun Thian-hi bersikap demikian. Adegan Hun Thian-hi
menangkis dan menghadapi Pek-tok-hek-liong-ting tadi lantas terhenti dalam bayangannya. jelas
kelihatan cara Hun Thian-hi menghadapi serangan itu begitu runyam dan terpaksa. Sungguh sesal
dan dongkol dibuatnya kenapa waktu itu dirinya tidak perhatikan jurus permainan Wi-thian-citciat-
sek itu sendiri hakikatnya belum begitu sempurna dilancarkan oleh Hun Thian-hi.
Baru sekarang ia sadar justru dirinyalah yang kena tipu malah. Cepat ia berteriak, “Lekas
siapkan kuda. Kita kejar Hun Thian-hi bertiga!”
Sebagai salah satu Huhoat (pelindungl Hek-liong-pang Bing-tiong-mo-tho merasa berkewajiban
dalam tugas2 berat ini, sejenak ia tertegun lantas berkata, “Mereka sudah berangkat satu jam
yang lalu, apakah sekarang masih dapat kecandak?”
Tok-sim-sin-mo melongo, dengan kertak gigi ia berkata, “Lekas kau lepas burung dara!
perintahkan Siang-tongcu mencegat dan merintangi mereka, kita segera menyusul tiba.
Bagaimana juga aku harus bunuh bocah keparat itu sebelum ia berhasil menyempurnakan Wician-
cit-ciat-sek!”
Bing-tiong-mo-tho rada terkejut cepat ia mengundurkan diri melaksanakan perintah, tak lama
kemudian merexa sudah mencongklang kuda be-ramai-ramai dibedal menuju ke Giok-bun-koan.
Dalam pada itu Hun Thian-hi bertiga tengah membedal kuda masing-masing cepat-cepat,
ditengah jalan ia memperingatkan kepada Pek Si-kiat dan Sutouw Ci-ko, “Tok-sim-sin-mo pasti
mengejar datang. Kita harus cepat keluar dari daerah kekuasaannya.”
“Apa yang dia tulis dalam kertas tadi?” tanya Pek Si-kiat.
“Tidak apa-apa. Tok-sim-sin-mo mampu membunuh kami bertiga, kenapa dia tidak akan
mengejar? Coba pikir apakah dia bisa menepati janjinya?”
Sebagai seorang kawakan Kangouw, serta mengetahui tabiat Tok-sim-sin-mo, sedikit berpikir
lantas Pek Si-kiat maklum akan keadaan yang berbahaya ini. tahu dia kemana juntrungan katakata
Hun Thian-hi.
Begitulah tanpa berhenti dan tidak mengenal lelah mereka bertiga membedal tunggangan
mereka, selama sehari semalam tanpa berhenti istirahat. Untung tujuan Tok-sim-sin-mo semula
supaya mereka lekas pergi dan meninggalkan wilajah kekuasaannya, maka kuda yang diberikan
pada mereka rata2 adalah kuda pilihan yang dapat lari ribuan li sehari. dalam waktu sehari
semalam itu mereka sudah hampir tiba di Giok-bun-koan.
Mereka larikan kudanya berjajar. sebelum memasuki Giok-bun-koan jauh di depan sana tampak
jejak musuh telah menanti dan mencegat ditengah jalan. Pek Si-kiat bertiga tidak tahu siapa dan
apa tujuan mereka mencegat mereka? Apalagi sudah tiba diambang pintu Giok-bun-koan tidak
perlu merasa kuatir yang berkelebihan, segera bersama menghentikan kuda dan menanti
kedatangan rombongan musuh.
Setelah dekat baru Pek Si-kiat melihat tegas, diam-diam hatinya bercekat melihat siapa yang
menjadi pemimpin rombongan pencegat ini, dia bukan lain Lam-bing-it-hiong Siang Bu-wong.
Nama julukan Lam-bing-it-hiong memang tidak begitu tenar di daerah Tionggoan. Tapi Pek Si-kiat
dulu pernah menjajal ilmu silatnya, kepandaian Lam-bing-it-hiong (si durjana dan selatan) tak
terpaut jauh dibawahnya. Sekarang Tok-sim-sin-mo sudah melebarkan sayapnya dan menggaruk
sedemikian banyak gembong-gembong iblis, Siang Bu-wong adalah satu diantara gembonggembong
iblis itu, betapapun kita harus hati-hati menghadapi mereka, demikian Pek Si-kiat.
Sambil memincingkan mata Lam-bing-it-hiong Siang Bu-wong menyapu pandang mereka
bertiga lalu berkata sembari tertawa aneh, “Kiranya Pek-heng masih gemar tamasya naik kuda
untuk melemaskan tulang-ulang tua. Aku mendapat perintah dari Pangcu untuk menahan kalian
bertiga.”
Pek Si-kiat tahu Tok-sim-sin-mo sangat mengandalkan tenaga dan kemampuan Siang Bu-wong
ini, dia merupakan salah seorang tangan kanannya yang paling diandalkan. Dia diutus bercokol di
tempat ini tujuannya adalah untuk menghadapi Kiu-yu-mo-lo yang telah menghilang diluar
perbatatan.
Sambil menjengek dingin segera Pek Si-kiat balas mengolok, “Siang Bu-wong kiranya kau. Kau
hendak menahan aku, haha, mampukah kau?”
Ternyata Lam-bing-it-hiong seorang yang licik dan licin, sedikitpun ia tidak terpengaruh oleh
olok2 ini, dengan sikap dingin mendadak ia angkat sebelah tangannya memperlihatkan sebuah
benda. teriaknya, “Aku sendiri memang tidak mampu, namun kupercaya senjata ini akan mampu
menahan kalian disini.”
Berjingkrak kaget Pek Si-kiat dan Hun Thian-hi, benda yang diacungkan Lam-bing-it-hiong itu
bukan lain adalah laras Pek-tok-hek-liong-ting.
Dengan lirikan matanya Hun Thian-hi memberi aba-aba kepada Pek Si-kiat dan Sutouw Ci-ko,
‘Sreng!’ cba2 tangan kanannya mencabut keluar pedang pusaka itu.
Lam-bing-it-hiong Siang Bu-wong mandah tersenyum sinis, begitu tangan kirinya menepuk ke
atas laras besi panjang itu kontan setabur bayangan hitam kontan menungkrup ke arah Hun
Thian-hi.
Sambil menghardik keras tubuh Thian-hi tiba-tiba mencelat mumbul dari tunggangannya.
pedang pusaka ditangannya lantas melancarkan jurus pedang dari ilmu Wi-thian-cit-ciat-sek, itulah
tipu Thian-wi-te-liu (langit berputar bumi mengalir), hawa pedang yang menyerupai kabut putih
kehijauan pupus menguap keluar dari batang pedang terus memberondong maju menerjang ke
arah samberan Pek-tok-hek-liong-ting.
Dalam pada itu. Pek Si-kiat juga sedang berteriak, “Ci-ko. lekas terjang!” Secepat kitiran kedua
telapak tangannya bergerak. dia kerahkan Pek-kut-sin-kang terus menerjang ke depan dilindungi
kekuatan angin pukulannya terus menyerbu ke arah rombongan Lam-bing-it-hiong.
Lam-bing-it-hiong tahu begitu ia turun tangan. pasti Pek Si-kiat juga tidak akan tinggal diam
dan menerjang pada dirinya. Cepat ia ayun laras Pek-tok-hek-liong-ting, terus menutuk kejalan
darah Siau-hou-hiat ditenggorokan Pek Si-kiat. hebat benar-benar serangan ini, kekuatannya pun
ia kerahkan seluruhnya.
Pek Si-kiat rada kaget menghadapi rangsekan musuh yang lihay, tapi sebagai seorang ahli silat
yang waktu mudanya merupakan seorang Gembong iblis juga kepandaian Pek Si-kiat sudah tentu
tak terukur tingginya, mana ia gentar menghadapi serangan jurus yang lihay ini, tiba-tiba ia
menggentakkan kaki, seketika tubuhnya mencelat tinggi meninggalkan tempat duduknya,
berbareng kedua telapak tangannya terpentang ke kanan kiri terus melancarkan ilmu pukulan Pekkut-
mo-ou-ciang yang pernah menggetarkan kalangan Kangouw dulu, dimana kedua tangannya
bergerak, dengan setaker tenaganya ia balas merangsak kepada Lam-bing-it-hiong.
Dalam pada itu, waktu Hun Thian-hi melancarkan Thian-wi-te-tong dengan seluruh kekuatan
Lwekangnya untuk menghalau senjata rahasia musuh, namun Pek-tok-hek-liong-ting musuh masih
menerjang maju terus sampai ke depan dadanya kira-kira setengah kaki baru kena dihalau dan
tertangkis jatuh tercerai berai. Betapa kejut hatinya bahwa Pek-tok-hek-liong-ting ternyata benarbenar
begitu hebat, bila musuh melancarkan dua laras senjata rahasia yang lihay ini, jelas dirinya
tidak akan mampu melawan. Bila musuh sampai berhasil memproduksi laras2 senjata rahasia yang
hebat ini, mungkin seluruh Kangouw ini tiada seorangpun yang bakal mampu melawan.
Bab20
Pikiran ini hanya berkelebat dalam alam pikirannya, waktu ia berpaling dilihatnya Pek Si-kiat
dan Sutouw Ci-ko memang sudah berhasil mengacau balaukan perlawanan musuh dan berada di
atas angin, namun selama itu belum berhasil menerjang lolos dari kepungan musuh.
Laksana seekor burung garuda tiba-tiba Thian-hi melompat jauh mencemplak ke atas kudanya
terus dikeprak maju, berbareng pedang di tangannya menyerang dengan jurus Gin-go-sam-sek
yang ketiga.
Gin-ho-sam-sek merupakan ilmu pedang yang maha sakti tiada taranya. jurus ketiganya justru
merupakan tipu yang paling hebat dan tepat untuk menggempur kepungan, dimana pedang
panjangnya berkelebat, hawa pedangnya ikut berkembang melebar, kontan Siang Bu-wong kena
terdesak mundur, tanpa ayal mereka bertiga segera menerjang lewat dan terus dibedal menuju ke
Giok-bun-koan.
Melihat Thian-hi bertiga berhasil meloloskan diri dengan menghela napas rawan Siang Bu-wong
mendelong mengawasi bayangan mereka yang semakin kecil dan hilang dikejauhan. Waktu ia
membalik tubuh jauh di arah yang barlawanan sana dilihatnya rombongan Tok-sim-sin-mo tengah
mendatangi dengan cepat, sayang kedatangan mereka setindak telah terlambat, Hun Thian-hi
bertiga sudah tidak kelihatan lagi bayangannya….
Dari jauh Tok-sim-sin-mo sudah melibat bayangan Siang Bu-wong dan anak buahnya, kontan
dingin perasaannya, tahu dia bahwa Hun Thian-hi pasti sudah berhasil meloloskan diri, bila mereka
sudah keluar dari Giok-bun-koan jelas dirinya tidak mungkin dapat membekuknya Kembali.
Setelah dekat mereka memperlambat lari kuda, cepat Siang Bu-wong beramai maju memapak
serunya memberi lapqr, “Aku sendiri tidak becus, mereka bertiga sudah lolos pergi.”
Tok-sim-sin-mo ternyata mandah tertawa besar, ujarnya, “Siang-lote, bukan salahmu, kami
sudah tahu mereka pasti berhasil lolos, cuma coba-coba saja merintangi, bila tidak berhasil tak
perlu diambil dalam hati, kelak tentu aku punya cara untuk mengatasinya, Betapapun Hun Thianhi
pasti akan kembali ke Tionggoan, tatkala itu akan kami beri sebuah jalan kematian kepadanya!”
habis berkata ia bergelak tawa pula.
“Maksud Pangcu adalah….” Siang Bu-wong bicara ragu-ragu.
Dengan pandangan dingin Tok-sim-sin-mo menyapu pandang seluruh anak buahnya, ujarnya,
“Hun Thian-hi tidak lebih seorang bocah angkatan muda, dimana wibawa dan kegagahan kita
pada waktu dulu? Masa takut terhadap bocah keroco itu? Aku bersumpah harus membunuhnya
lebih dulu sebelum Wi-thian-cit-ciat-sek berhasil ia latih sempurna. Aku harus bunuh dia.”
Habis berkata ia menggeram dengan gegetun, lalu katanya pula kepada Siang Bu-wong, “Kau
tetap bertugas disini, bila Hun Thian-hi masuk perbatasan jangan kau ganggu usik dia, cukup asal
kau memberi kabar dengan burung pos.” lalu ia putar kudanya dan kembali ke arah timur diikuti
anak buahnya.
Setelah keluar dari Giok-bun-koan, terbentang padang rumput nan luas di hadapan Hun Thianhi
bertiga. Entah berapa lama kemudian, akhirnya mereka turun dan beristirahat. Sutouw Ci-kolah
yang paling merasa lelah, dengan suara lesu ia berkata tertawa, “Setelah sampai disini, kita tidak
perlu takut lagi terhadap Tok-sim-sin-mo. Dia tidak akan berani mengejar keluar dari Giok-bunkoan.”
Begitulah sambil istirahat mereka menutur pengalaman masing-masing sejak berpisah, kira-kira
satu jam kemudian, setelah badan terasa segar dan perut sudah kenyang, mereka berangkat lagi
menuju ke Hwi-king-ouw (telaga kaca terbang) di Thian-san.
Entah berapa lama sudah mereka, menempuh perjalanan, tiba-tiba di hadapan mereka muncul
seseorang, begitu melihat orang itu Hun Thian-hi lantas berteriak kegirangan, “Siau-suhu!
Bagaimana bisa kau berada disini?” cepat ia turun dan memburu maju.
Hwesio jenaka tertawa lebar, serunya, “Aku sedang tunggu kau disini…. Eh, kenapa kau tidak
panggil Siau-suhu lagi?”
Hun Thian-hi tersipu-sipu malu. Hwesio jenaka berpaling dan merangkap tangan ke arah Pek
Si-kiat, ujarnya, “Tuan ini bukankah Pek Si-kiat Pek-sicu. Apakah Pek-sicu baik selama ini?”
Begitu melihat tegas Hwesio jenaka kontan berubah air muka Pek Si-kiat, serunya kaget, “Kau
kiranya?”
Sambil cengar-cengir Hwesio jenaka manggut-manggut, tangannya sedikit digoyangkan, ia
memberi tanda kepada Pek Si-kiat supaya tidak membocorkan rahasia dirinya. Pek Si-kiat mandah
tersenyum penuh arti tak bicara lagi. Sungguh dia tidak nyana orang ini bisa berubah menjadi
berbentuk seperti sekarang.
Sutouw Ci-ko pernah dengar mengenai Hwesio jenaka ini dari penuturan Thian-hi…. cepat ia
loncat turun dan memberi hormat pada Hwesio jenaka.
Dengan cengar cengir Hwesio jenaka amat-amati Sutouw Ci-ko, lalu katanya berpaling pada
Thian-hi, “Ci-ko sudah berhasil kau tolong. Sekarang kau tidak punya urusan yang lebih penting
bisakah sekarang kau ikut aku ke Bu-la-si?”
Thian-hi bertiga kaget.
“Sekarang?” tanya mereka bersama, “Adakah keperluan penting disana?” tanya Pek Si-kiat lebih
lanjut.
Hwesio jenaka tertawa lebar, katanya pada Pek Si-kiat, “Dalam hal ini kau jangan turut campur
saja.” — Lalu katanya pula pada Hun Thian-hi, “Pergilah nanti kau akan tahu. Kukira kau akan
lebih berprihatin dari aku.”
Thian-hi terlongong sejenak, katanya, “Baiklah sekarang juga aku berangkat, Tapi sebetulnya
ada kejadian apakah, bolehkah kau beritahu aku dulu?”
Hwesio jenaka tertawa, sesaat kemudian baru bicara, “Soal mengenai Ham Gwat.”
Thian-hi melengak, hatinya menjadi gugup, bukankah Ham Gwat diutus Bu-bing Loni untuk
meringkus dirinya pulang? Dengan pulang bertangan kosong tentu Bu-bing Loni akan memberi
hukuman berat padanya. Cepat ia berkata pada Pek Si-kiat, “Paman Pek, terpaksa aku harus pergi
ke Bu-la-si dulu!”
Pek Si-kiat mengerut alis, akhirnya manggut-manggut. Ia tidak bicara karena dalam
anggapannya semula ia mengira hubungan kental Thian-hi dan Sutouw Ci-ko merupakan
pasangan yang setimpal. Tapi dari keadaan sekarang dapatlah da meraba bahwa sebetulnya hati
Thian-hi sudah tertambat pada gadis lain. memang nasib SutOuw Ciko harus menjadi kakak
angkatnya saja.
Kata Thian-hi kepada Sutouw Ci-ko, “Ciko-ci, ada urusan lain yang harus kuselesaikan. Setelah
urusan beres biar kudatang mendenguk kau, tunggulah aku di Hwi-king-ouw.!”
Sutouw Ci-ko sendiri tidak bisa mengatakan bagaimana perasaan hatinya pada saat itu, seakanakan
ia merasa hatinya sangat pedih. namun terasa juga rada girang. Matanya berkejap2, dengan
berseri tawa ia manggut-manggut, katanya, “Pergilah, kutunggu di Hwi-king-ouw, tapi kau harus
hati-hati menghadapi Bu-bing Loni.”
“Terima kasih Ciko-ci, aku akan cepat pulang.” — Lalu ia serahkan kudanya pada Sutouw Ci-ko,
setelah ambil berpisah bersama Hwesio jenaka menuju ke selatan.
Ditengah jalan ia bertanya pada Hwesio jenaka, “Siau-suhu, apa kau tahu bagaimana keadaan
Ham Gwat sekarang?”
Hwesio jenaka berpaling mengawasinya, katanya tertawa, “Kau tak perlu gugup. dia tidak
kurang suatu apa. Bu-bing Loni tidak akan berani menyakiti dia. Tapi Bu-bing Loni sekarang
berada di Bu-la-si, petentengan dengan Ngo-hong Locu, kau sendiri sudah mendapat berkah dari
Ka-yap Cuncia, Wi-thian-cit-ciat-sek sudah kau pelajari meski belum sempurna, perlu juga kau
memburu kesana selekasnya.”
Thian-hi menjadi kaget. kenapa Hwesio jenaka ini begitu jelas segala gerak geriknya, bahwa
latihan Wi-thian-cit-ciat-sek dirinya belum sempurna juga sudah diketahui. Karena pikirannya ini,
dengan heran dan melenggong ia. pandang Hwesio jenaka.
“Kau tak perlu heran, soal ini ada orang yang beritahu kepadaku, baru saja aku menyusul
datang dari Bu-la-si.”
Sambil berlari-lari kencang otak Thian-hi bekerja, tak lama Kemudian ia bertanya lagi,
“Bagaimana keadaan Bun Cu-giok sekarang? Apakah baik-baik saja?”
“Dia kena diusir dari Tionggoan oleh Tok-sim-sin-mo, untung dia didukung oleh gurunya Ce-hun
dan Hoan-hi dua orang. Sam-kong Lama juga mau membantu dia, kalau tidak sejak lama dia
sudah runtuh total, tapi keadaannya sekarang pun sudah payah, jikalau Tok-sim-sin-mo sedang
tekun menghadapi perlawanan Hwe-tok-kun, mungkin dia sudah habis berantakan.”
Thian-hi manggut-manggut, dalam hati ia merasa bahwa Bun Cu-giok hakikatnya bukan
seorang jahat. Hanya jiwanya rada sempit, dalam suatu ketika juntrungannya kurang lapang dan
kurang dapat dihargai. tapi untunglah bila dia tidak sampai dicelakai oleh Tok-sim-sin-mo.
“Sekarang dia sudah menikah dengan putri Ciok Hou-bu!” demikian tutur Hwesio jenaka.
Dingin perasaan hati Thian-hi, entah betapa perasaan sanubarinya sekarang, sebelum ia tahu
hubungan antar Bun Cu-giok dan Sutouw Ci-ko, dia pernah merasa adalah jamak dan lumrah
hubungan eratnya dengan istrinya sekarang. Tapi lain pula keadaan sekarang, terasa olehnya
bahwa Bun Cu-gioklah yang salah dalam hal ini, diam-diam ia sesalkan tindakan Bun Cu-giok yang
tidak punya pribadi seorang laki-laki sejati.
Sesaat lamanya ia berdiam diri, lalu tanyanya lagi, “Untuk apa Bu-bing Loni mencari urusan
dengan Ngo-hong Locu?”
“Mengandal ilmu silatmu sekarang, kau boleh mengetahui.” demikian ujar Hwesio jenaka sambil
tertawa lebar. Sesaat kemudian baru melanjutkan, “Sebab beliau adalah ibunda Ham Gwat.”
Melonjak jantung Thian-hi, saking kaget kakinya sampai berhenti berlari, sekian lama
menjublek ditempat. Ong Gin-sia adalah ibu Ham Gwat? Kalau begitu…. Sungguh hal ini diluar
dugaannya.
Waktu ia angkat kepala, Hwesio jenaka sudah jauh setengah li lebih di depan sana, cepat ia
angkat kaki mengejar dengan kencang, sambil lari pesat hatinya merasa heran, setelah
direnungkan sekian lama baru ia sadar. Tapi hatinya masih dirundung keheranan. Lalu bagaimana
pula bisa terjadi ayah Ham Gwat bisa dibunuh oleh Ang-hwat-lo-mo?
Setelah dekat mengejar Hwesio jenaka ia bertanya, “Siau-suhu, apakah benar-benar ayahnya
mati terbunuh oleh Ang-hwat-lo-mo?”
Hwesio jenaka tidaK hiraukan pertanyaannya, setelah rada jauh mereka berlari baru tiba-tiba ia
berpaling dan jawabnya, “Siapa yang bilang? ayahnya masih sehat baik-baik, bagaimana bisa mati
dibunuh Ang-hwat?”
Thian-hi menjadi bingung. ia heran kenapa segala kejadian itu begitu ganjil, tidak diketahui
olehnya cara bagaimana peristiwa macam itu bisa terjadi. Lebih heran lagi kenapa Bu-bing Loni
bilang kepada Ham Gwat bahwa ayahnya terbunuh oleh Ang-hwat-lo-mo, sehinggga hampir saja
dirinya mati secara konyol oleh Ham Gwat.
Ujar Hvosio jenaka, “Jangan kau percaya obrolan Bu-bing Loni. Semua itu hanyalah bualannya
terhadap Ham Gwat waktu masih kecil, namun sekarang dia sudah dewasa. Bu-bing Loni masih
mengelabui padanya!”
Thian-hi menjadi paham sekarang. Tapi entahlah sekarang Ham Gwat sudah tahu rahaSia ini
belum?
Terdengar Hwesio jenaka berkata pula, “Tapi jangan kau bocorkan rahasia ini kepada siapapun
juga. Kelakuan Bu-bing Loni selamanya sangat kejam dan telengas, tapi terhadap Ham Gwat ia
sangat sayang dan baik. Tapi Ham Gwat cukup cerdik betapa pun Bu-bing tidak kuasa menutupi
bualannya, karena itu entahlah bagaimana kelak akibat dari penyelesaiannya.”
Hun Thian-hi menjadi prihatin akan persoalan ini, sesaat lama kemudian ia bertanya, “Apakah
Ham Gwat sendiri tahu akan hal ini? Apakah dia tahu siapa ayah bundanya?”
Hwesio jenaka tertawa lebar, ujarnya, “Soal ini hanya dia sendiri yang tahu, tiada seorang pun
yang tahu seluk beluknya, tapi nanti bila kau ketemu dia jangan sekali2 kau bocorkan rahasia ini!”
Thian-hi manggut melulusi. Hatinya jadi bertanya-tanya kenapa Hwesio jenaka berpesan wantiwanti
kepadanya mengenai hal ini? Hatinya rada menyesal, waktu Hwesio jenaka membantu
dirinya dulu, kenapa ia tidak melulusi syarat yang diajukan itu. Sekarang untuk bicara rasanya
tidak gampang. Hatinya mendelu dan menyesal.
Begitulah mereka berlari-lari kencang tanpa berhenti, lama kelamaan Hun Thian-hi menjadi
heran. Betapa tinggi Lwekang Hwesio jenaka ini kiranya tidak lebih rendah dari Situa Pelita, namun
kenapa selama ini dirinya beluim pernah. dengar ketenaran namanya dikalangan Kangouw.
Sekejap saja tiga hari sudah berlalu, Thian-hi berdua melanjutkan menuju ke Bu-la-si. Setelah
semakin dekat pada tujuan Hwesio jenaka berkata pada Thian-hi, “Aku tak enak bertemu dengan
Bu-bing Loni, silakan kau masuk sendiri, mungkin beliau masih belum pergi!”
Thian-hi sangsi sebentar, akhirnya ia manggut-manggut, pelan-pelan ia masuk ke dalam biara
besar itu. Baru saja kakinya melangkah masuk tampak Sam-kong Lama sudah menunggu diruang
pendopo, tersipu-sipu ia maju memberi hormat kepada Sam-kong Lama.
Sambil berseri tawa Sam-kong mengawasinya, katanya, “Kata Hwesio jenaka dia pergi mencari
kau, ternyata benar-benar dapat ketemukan kau.”
“Cianpwe, apakah Bu-bing Loni masih berada didalam?”
“Mari ikut aku. Dia masih disini. Baik sekali kau datang, kukira takkan ada persoalan lagi.”
Thian-hi cuma tertawa, dia tahu untuk mengalahkan Bu-bing Loni, saat ini jelas tidak mungkin,
apalagi Su Giok-lan pasti juga mengintil kemari. Entah bagaimana keadaannya sekarang, sebelum
ajal Su Cin kakaknya pernah berpesan supaya aku perhatikan dan mengasuhnya, tapi sekarang
dirinya malah saling bermusuhan.
Begitulah dia ikut di belakang Sam-kong Lama masuk ke dalam, melewati serambi panjang dan
sebuah pekarangan besar, dimana terlihat dua ekor burung dewata bertengger disana, itulah
burung piaraan Bu-bing Loni.
Setelah melewati pekarangan, mereka memasuki sebuah kamar batu. Di dalam kamar batu ini
tampak Ong Ging-sia sedang duduk berhadapan dengan Bu-bing Loni, mereka sama pejamkan
mata dan tidak bergerak. SU Giok-lan berdiri di belakang Bu-bing Loni membelakangi pintu.
Begitu Hun Thian-hi memasuki kamar, tanpa berpaling tiba-tiba Bu-bing Loni mendengus serta
bersuara, “Siapa itu yang datang?”
Hun Thian-hi diam saja. Sepasang biji mata Ong Ging-sia sedikit dibuka, seketika matanya
mengunjuk rasa girang dan aneh.
Su Giok-lan berpaling ke belakang, begitu melihat kehadiran Hun Thian-hi, ia terkejut sampai
mundur setindak. Segera Bu-bing Loni bersuara pula tanya pada Su Giok-lan, “Lan-ji, siapakah
yang datang.”
“Hun Thian-hi!” sahut Su Giok-lah pelan-pelan.
Bu-bing Loni tersentak kaget, kedua biji matanya terbelalak ke depan, hampir dia tidak mau
percaya, begitu mendengar langkah orang lantas dia dapat mengukur betapa tinggi kepandaian
pedatang ini. Meski betapapun besar rejeki Hun Thian-hi, lwekangnya tidak mungkin maju begitu
pesat dan mencapai tingkat teratas, pelan-pelan ia berpaling, dilihatnya yang baru datang ini
memang Hun Thian-hi.
Dengan sinis Hun Thian-hi pandang Bu-bing Loni dan Su Giok-lan, mulutnya bungkam.
Hidung Bu-bing Loni mendengus lirih, sekarang dia harus percaya, sekilas ia pandang Hun
Thian-hi lalu menoleh pula, seolah-olah ia tidak pedulikan kehadiran Thian-hi, namun mulutnya
berkata pada Su Giok-lan, “Lan ji, aku sedang ada urusan disini, coba kau usir dia keluar!”’
Su Giok-giok mengiakan, segera ia melolos pedang.
“Nanti dulu!” seru Thian-hi.
“Toaci!” seru Ong Ging-sia tertawa, “kau tak usah repot2, akulah yang mengundangnya kemari,
bukankah kau hendak mencari dia? Kenapa pula kau usir dia?”
Bibir Bu-bing mengejek, dengusnya, “Itu urusanku kau tak usah ikut campur. Bila Ham Goat
sampai mencari kemari, itulah tanda saat kematiannya!”
Berdetak jantung Thian-hi, ia melangkah maju menjura kepada Ong Ging-sia, “Wanpwe Hun
Thian hi, menghadap pada Cianpwe!”
“Tak usah banyak beradatan, apa kau baik selama ini?” sapa Ong Ging-sia lemah lemhut.
“Berkat doa Cianpwe segalanya baik, terima kasih akan perhatian ini. Cuma tempo hari bikin
repot Cianpwe saja.” — Waktu bicara ia angkat kepala mengawasi Ong Ging-sia. Perasaannya kali
ini jauh berbeda dengan tempo yang lalu, Ong Ging-sia adalah ibunda Ham Gwat, dia menjadi risi
dan kikuk malah entahlah apa yang harus diperbuat selanjutnya.”
BU-bing melirik hina, semprotnya kepada Thian-hi, “Apa saja yang telah kau ucapkan kepada
Ham Gwat? Kemana dia sekarang?”
Sesaat Hun Thian-hi menjublek, “Apa dia sudah pergi?” tanyanya berseri girang.
Bu-bing menggeram marah, jengeknya, “Bila kau mendengar apa dan berani mengadu domba
diantara kami, aku tidak akan gampang memberi ampun pada kau. Selama ini kemana pula kau
berada?”
Hun Thian-hi mandah tertawa tawar, ujarnya, “Apa yang kau tanyakan aku tidak tahu!”
Bu-bing Loni menyeringai sinis, katanya, “Baik. mungkin kau temukan rejeki aneh, ilmu silatmu
sekarang sudah tinggi, aku harus membuat perhitungan selama setahun ini padamu. Lalu ia
berpaling ke arah Su Giok-lan dan berkata pula, “Lan.ji, belakangan ini bagaimana latihan Hui-simkiam-
hoat mu?”
Su Giok-lan bersangsi sejenak, sahutnya, “Murid sendiri kurang jelas, paling tidak dapat
mencapai taraf yang ditentukan oleh Suhu!”
“Itupun sudan cukup,” ujar Bu-bing mendengus, “Gunakanlah Hun Thian-hi untuk mencoba
latihan ilmu pedangmu!”
Su Giok-lan mengiakan dan patuh. Memang kesannya terhadap Hun Thian-hi rada jelek, meski
tempo hari Hun Thian-hi pernah menolong dirinya, namun sekarang dia merasa tidak puas dan
sirik terhadap Thian-hi, orang telah menjerumuskan Ham Gwat, sejak mula Su Giok-lan sangat
simpatik dan patuh sekali terhadap Ham Gwat, terutama beberapa bulan belakangan ini, sikap
Ham Gwat terlalu baik terhadapnya. Sekarang Ham Gwat telah lari mengkhianati gurunya, sebab
musababnya adalah karena Hun Thian-hi yaitu karena Ham Gwat telah melepasnya pula itu berarti
dia membangkang terhadap perintah gurunya.
Su Giok-lan melangkah maju sambil menenteng pedang.
“Nona Su,” kata Hun Thian-hi tertawa, “Apakah harus bergebrak dengan aku?”
“Jangun cerewet.”
Pelan-pelan Hun Thian-hi melolos Hwi-hong-siau dari pinggangnya, ujarnya, “Kalau begjtu
harap nona Su memberi petunjuk!”
Tanpa ayal pedang Su Giok-lan lantas terangkat dan mulai menyerang, beberapa bulan terakhir
ini ia rajin dan tekun melatih Hui-sim-kiam-hoat, Hui-sim-kiam-hoat merupakan ilmu pedang dari
aliran Lwekeh yang tertinggi dan sangat menakjupkan. Begitu Su Giok-lan menggerakkan pedang
sejurus permainannya saja lantas terlihat sinar pedangnya berkelebat memutih laksana lembayung
menggulung ke arah Hun Thian-hi.
Biji mata Hun Thian-hi berputar mengikuti samberan sinar pedang, mulutnya menyungging
senyum manis, sebat sekali ia angkat serulingnya, dengan mengembangkan Gim-ho-sam-sek ia
melawan serangan musuh, pancaran cahaya merah dadu dari seruling ditangannya berkembang
melebar seperti kabut merah, melindungi badannya, sinar pedang Su Giok-lan berubah
berkuntum2, mengembang keempat penjuru merangsak dari berbagai jurusan, sedemikian gencar
serangan pedangnya, namun sedemikian jauh ia tidak mampu mendesak maju setengah
Undakpun.
Begitulah setengah jam sudah lewat, yang satu menyerang dengan bernafsu yang lain bertahan
dengan rapat dan kuat, Hun Thjan-hi cukup menggunakan jurus Gelombang perak mengalun
berderai dari Gin-ho-sam-sek ajaran Soat-san-su-gou, seluruh rangsakan pedang Su Giok-lan
berhasil dihalau ditengah jalan.
Menyaksjkan pertempuran ini, lama kelamaan bercekat hati Bu-bing Loni, mengandal
kepandaian Thian-hi yang tinggi sekarang, jangan kata Su Giok-lan bukan tandingannya,
seumpama dirinya sendiri yang maju juga belum tentu pasti bisa menang dalam waktu singkat
secara gampang.
Beberapa jurus lagi, segera ia berseru, “Lan-ji, kau mundurlah!”
Su Giok-lan menarik pedang mundur beberapa langkah, hatinya pun dirundung keheranan,
kepandaian silat Hun Thian-hi kiranya sudah maju begitu cepat berlipat ganda, sungguh sukar
dipercaya kalau tidak menyaksikan dan membuktikan sendiri.
Disamping heran hatinya pun menjadi dengki, betapapun ilmu silat Hun Thian-hi selalu lebjh
maju lebih tinggi dari kemampuannya, sanubarinya yang paling dalam diam-diam merasa sirik
karena akhir2 ini ia beranggapan setelah pelajaran ilmu pedangnya maju pesat, kecuali Bu-bing
Loni dan Ham Gwat dua orang, seluruh kolong langit ini tiada orang ketiga yang dapat
mengalahkan dirinya.
Sambil tersenyum Hun Thian-hi pun mundur sambil menyimpan serulingnya, sekilas tampak
olehnya rasa kurang puas dari pancaran mata Su Giok-lan, terlihat pula rasa penasaran dan hawa
pembunuh dari sorot mata Bu-bing Loni.
Kata Bu-bing Loni kepada Hun Thian-hi, “Selama ini kemana saja kau pergi?”
Ong Ging-sia malah yang menjawab pertanyaannya ini, “Ketahuilah dia adalah murid angkat
Ka-yap Cuncia.”
Kontan berubah hebat air muka Bu-bing Loni. selama hidupnya ini, otaknya terlalu berangan2
bahwa dirinya tiada tandingannya di seluruh kdlong langjt. konon bahwa Ka-yap jauh lebih kuat
dari dirinya, namun sudah sekian lamanya menghilang dari percaturan dunia persilatan. Siapa
nyana sekarang Hun Thjan-hi diangkat menjadi murid angkat Ka-yap Cuncia. Dari kepandaian
Thian-hi yang begitu hebat dan tinggi ini dapatlah diukur sampai dimana tingkat kepandaian Kayap
Cuncia.
Bu-bing terlongong sesaat lamanya, akhirnya sambil bangkit ia tertawa dingin, “Kalau begitu,
kutantang kau tiga hari lagi bertemu di Yan-bun-koan, kau tidak datang, aku pun bisa temukan
kau dimana saja kau berada.” — Selesai bicara sekilas ia pandang Ong Ging-sia, tampak mulut
orang sudah bergerak, namun urung bicara.
Bu-bing mendengus hidung berjalan di depan ia bawa Su Giok-lan keluar dari kamar batu terus
naik burung dewata, dikejap lain mereka sudah terbang tinggi dan menghilang.
Hun Thian-hi menganiar dengan pandangan matanya, setelah tidak kelihatan lagi baru dia
menoleh kembali. Seketika jantimgnya berdetak keras, tampak sapasang biji mata Ong Ging-sia
mengembang air mata, seolah-olah ada banyak ucapan sedih yang ingin dilimpahkan, namun tak
kuasa diucapkan.
Pelan-pelan Hun Thian-hi menunduk. ia berdiri bungkam.
Sebentar kemudian. Ong Ging-sia menghasut air matanya, serta berkata, “Hun-siauhiap, belum
lama, ini kau pernah ketemu Ham Gwat bukan?”
Thian-hi manggut-manggut. sahutnya, “Jangan Cianpwe panggil aku demikian, panggil aku Hun
Thian-hi saja!”
Pancaran mata Ong Ging-sia mengunjuk rasa senang, katanya, “Baiklah aku pun tidak perlu
sungkan-sungkan, Bu-bing Loni mengurungnya, namun ia berKesempatan melarikan diri dengan
pelayannya. Bu-bing menyangka aku telah membocorkan perkara ini kepada kau, sehingga Ham
Gwat datang kemari menemui aku, ingin dia tahu apakah betul Ham Gwat pernah kemari!”
Thian-hi manggut-manggut lagi tanpa bersuara, diapun tengah heran, sebetulnya kemanakah
Ham Gwat telah pergi?”
Kata Ong Ging-sia pula setelah menghela napas, “Kukira Hwesio jenaka sudah memberitahu
pada kau bahwa Ham Gwat sebetulnya adalah putriku. Waktu kau ketemu dia tempo hari
bagaimana keadaannya?”
Thian-hi tersenyum, sahutnya, “Dia baik sekali, dia….” ia menjadi kememek tak tahu apa yang
harus dia ucapkan….
“Bagaimana kesanmu terhadapnya?” tanya Ong Ging-sia tersenyum.
Merah dan panas muka Thian-hi, ia menunduk malu. sesaat baru menjawab, “Dia seorang baik,
pintar
dan tidak congkak. malah….” sampai disini ia merandek dan tertawa geli sendiri, tak
melanjutkan kata-katanya.
“Benar-benarkah begitu?” seru Ong Ging-sia kegirangan,
“Meski ini menurut ucapanku saja. namun aku bicara setulus hati, aku percaya siapapun bila
kenal dan bergaul dengan dia lantas akan merasakar hal-hal itu.”
Ong Ging-sia menunduk, otaknya tepmenung mengenang kembali masa dua puluh tahun yang
lalu. sampai sekarang berarti dua puluh tahun sudah ia tidak pernah bertemu dengan Ham Gwat
putri tunggalnya sendiri yang sudah dewasa dan tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang
cantik rupawan.
Sungguh ingin sekali ia bertemu, tapi aku…. mukaku seburuk ini, seumpama ketemu Ham
Gwat, hanya membuat hatinya seram belaka, terpikir sampai disini ia menghela napas dengan
rawan dan murung.
Suasana menjadi sepi sekian lama, akhirnya Thian-hi membuka suara pula, “Dia cantik sekali,
Cianpwe ingin bertemu dengan dia?”
Ong Ging-sia angkat kepala, tanyanya, “Dia tahu bahwa aku berada disini?”
“Mungkin dia tidak tahu, kita tahu pasti dia sudah memburu kemari.”
“Jangan kau beritahu dia, kuharap dia tidak menemui aku….” berhenti sebentar lalu
menambahkan, “Bila kau bisa, setelah bertemu dengan dia, beritahu padaku dimana dia berada,
biar aku pergi melihat dia.” — Ia menunduk sambil menitikkan air mata kesedihan.
Thian-hi menjublek tak Bersuara. Ong Ging-sia menggeleng, katanya, “Perjanjian tiga hari itu.
jangan kau layani tantangan Bu-bing. kau kerjakan urusanmu yang lain saja, aku….aku tak
mampu bantu kau untuk menghadapj dia, hatinya kejam dan telengas. yang penting kau harus
sempurnakan dulu Wi-thian-cit-ciat-sek lebih dulu. Sementara ini boleh kau menetap disini saja,
bila Bu-bing meluruk kemari biar aku yang hadapi dia!”
Thian-hi berpikir, akhirnya ia manggut-manggut sahutnya: .Begitu pun baiklah!”
Ong Ging-sia menunduk, diam-diam hatinya senang, Hun Thian-hi terang menaruh cinta
terhadap Ham Gwat. ia berpikir lagi lalu berkata angkat kepala, “Thian-hi pernahkah terpikir
olehmu, kemanakah sebenar-benarnya Ham Gwat telah pergi?”
“Aku juga tidak tahu, tapi pasti ada sasaran tempat bagi tujuannya sehingga dia berani merat.
Kupikir waktu masih ada dua hari, selama ini dapat kusempurnakan pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek,
beberapa hari lagi biar kumencari jejaknya!”
Rasa senang Ong Ging-sia terunjuk pada air muka dan sinar matanya, tentu Hun Thian-hi
sudah sangat rindu dan kangen betul terhadap Ham Gwat, mendapat calon suami seperti Hun
Thian-hi, Ham Gwat pasti bahagia dan akupun harus lega dan terhitung sudah menyempurnakan
tuntutan hidup putrinya.
Melihat reaksi perkataannya mengubah sikap dan air muka Ong Ging-sia, tanpa merasa Thianhi
menjadi tegang sendiri, Ong Ging-sia adalah ibunda Ham Gwat, hubungan dirinya dengan Ham
Gwat belum lagi intim, mana bisa menampilkan rasa hatinya sedemikian rupa, apakah tidak
terburu nafsu? Entah bagaimana pendapat dan penerimaan Ong Ging-sia?
“Kalau begitu bikin susah padamu saja,” ujar Ong Ging-sia tertawa. “Sementara ini kau tinggal
saja di Bu-la-si ini….”
Baru saja ia selesai bicara, mendadak Hwesio jenaka melangkah masuk dari luar, katanya
Kepada Thian-hi, “Aku baru saja tiba. Apa benar-benar kau mau menetap sementara di Bu-la-si?”
Thian-hi manggut-manggut. Ia tidak tahu kemana Hwesio jenaka telah pergi, namun melihat
kedatangannya ini, diam-diam Thian-hi berpikir pasti ada sesuatu peristiwa besar telah terjadi,
terasa olehnya hati seperti dibebani ribuan kati batu besar.
Kata Hwesio jenaka kepada Ong Ging-sia, “Kurasa saat ini tidak mungkin. Ketahuilah Tok-simsin-
mo sudah bersumbar dalam waktu sepuluh hari dia sendiri hendak meluruk ke Siau-lim-si dan
menumpasnya habis2an bila kau tidak menyusul kesana dalam jangka waktu yang ditetapkan ini!”
Berubah air muka Thian-hi, cara kerja Tok-sim-sin-mo sungguh cukup ganas dan jahat, belum
lagi racun di badan Sutouw Ci-ko dipunahkan, sekarang sudah menekannya dengan urusan lain
pula, apakah aku harus kesana masuk perangkapnya?”
Kata Hwesio jenaka pula tertawa, “Ang-hwat-lo-co juga ingin supaya kau pergi ke Thian-lam,
katanya gurumu Kongsun Hong sudah terjatuh di tangannya bila kau meluruk pada tantangan
Tok-sim-sin-mo berarti jiwa Kongsun Hong tak bisa diselamatkan lagi!”
Lebih kejut dan gugup lagi hati Thian-hi, tak tahu apa yang harus dilakukan sekarang.
Akhirnya Ong Ging-sia bersuara sambil menghela napas, “Terpaksa kau harus memburu ke
Tionggoan saja!”
“Benar-benar,” timbrung Hwesio jenaka, “kau pergi ke Siongsan dulu, bekerja menurut situasi
dan keadaan…. Soal Thian-lam biar aku kesana lebih dulu, Ang-hwat tidak akan berani turun
tangan seceroboh itu. Jelasnya kau harus hati-hati melawan kelecikan Tok-sim-sin-mo.”
Thian-hi berpikir mantep, akhirnya ia ambil berpisah dengan Ong Ging-sia, langsung menuju ke
Tionggoan.
Siau-lim-si selama berdirinya tetap digdaya dan diagungkan, banyak anak muridnya yang
pandai dan berbakat tinggi. Bila benar-benar Siau-lim-si runtuh, maka kaum persilatan di daerah
Tionggoan sini pasti akan tenggelam dalam hidup kegelapan, betapapun tinggi kemampuan
seseorang takkan mampu mengembangkan kembali kejayaan semula. seperti sepandai Thiancwan
Taysu yang teragung dan terpandang di mata dunia.
Sekarang terpaksa Thian-hi harus kembali pula ke Tionggoan. mengandal ilmu silat dan
kecerdikan otaknya, mungkin dapatlah menggagalkan atau menolong bencana yang bakal
melanda ke seluruh kepentingan kaum persilatan disini. Tapi betapapun ia tidak tega dan sangat
menguatirkan keselamatan guru pembimbingnya Kongsun Hong yang telah mengasuhnya sejak
kecil.
Selama menempuh perjalanan dari Bu-la-si ke Siau-lim-si, belum pernah pikiran Thian-hi
menjadi tentram. hatinya selalu dirundung kekusutan dan kegugupan. Perjanjian tiga hari dengan
Bu-bing sudah terlupakan olehnya…. Juga tidak terpikir olehnya apakah kelak Bu-bing mandah
mau membiarkan dirinya yang ingkar janji ini?”
Cuaca sudah gelap. Sebuah bayangan hitam melesat terbang diantara semak-semak
pegunungan. orang itu bukan lain adalah Hun Thian-hi adanya. Sekonyong-konyong pekik burung
dewata berkumandang di tengah udara. Thian-hi menjadi tersentak kaget dan sadar, hari ini tepat
tiba perjanjiannya tiga hari itu. Kenapa aku melupakan perjanjian beradu pedang dengan Bu-bing
Loni.
Sesaat ia terlongong dan menghentikan langkahnya, dari tengah udara meluncur turun sesosok
bayangan, sekejap saja sudah berdiri tegak dihadapannya, siapa lagi kalau bukan Bu-bing Loni.
Dengan memicingkan mata Bu-bing pandang Thian-hi dengan sikap kaku, “Kemana kau hendak
lari?” demikian jengeknya.
Mulut Thian-hi terbungkam, ia pandang Bu-bing lekat-lekat. Dia tahu sepak terjang Bu-bing
selalu dilandasi kemauan hati melulu, dia tidak pernah kenal apa itu keadilan, maka dengan tawar
ia menyahut, “Apakah sekarang saja dimulai bertanding pedang,”
Melihat sikap Hun Thian-hi yang demikian congkak, Bu-bing Loni menjadi murka, alisnya
terangkat tinggi, serunya, “Jangan kau kira Pan-yok-hian-kang dan Gin-ho-sam-sekmu dapat
menjagoi di seluruh Kang-ouw. Hari ini akan kuperkenalkan padamu kepandaian ilmu pedang yang
sejati!”
Thian-hi mundur setengah tindak seraya melolos pedang di punggungnya, kedua biji matanya
lekat-lekat mehgawasi gerak gerik Bu-bing Loni.
Pelan dan acuh tak acuh Bu-bing menanggalkan pedang dari serangkanya, pelan-pelan ia
melolosnya keluar, seenaknya saja ia buang serangka pedangnya ke samping, dengan mengawasi
batang pedang mulutnya bicara, “Seluruh kaum persilatan di dunia ini belum ada seorang pun
yang benar-benar pernah melihat Hui-sim-kiam-hoatku seluruhnya. Terutama tiga gerak serangkai
dari jurus yang terakhir, sekarang sebelum kau ajal akan kupertunjukkan kepada kau!”
Melihat Bu-bing Loni bicara begitu enak dan enteng saja, seolah-olah tidak pandang sebelah
mata dirinya, dingin perasaan Thian-hi. Wi-thian-cit-ciat-sek latihan dirinya belum lagi sempurna,
bila sekarang dia kembangkan untuk melawan Hui-sim-kiam-hoat, bukan saja tidak mampu
menandingi tiga rangkai serangan pedang musuh, malah mungkin akan menambah gelora angkara
murka hati Bu-bing Loni untuk melenyapkan dirinya.
Karena pikirannya ini tanpa merasa hatinya menjadi lemas. Tapi dendam ayah belum terbalas,
merabahaya sedang mengancam keselamatan hidup kaum persilatan di seluruh Tionggoan, mana
boleh aku ayal begitu gampang saja.
Pandangan mata Bu-bing dari batang pedang pelan-pelan beralih kemuka Thian-hi. Terasa oleh
Thian-hi dalam pandangan mata Bu-bing Loni ini terkandung rasa penghinaan dan merendahkan
dirinya yang berkelebihan, agaknya hatinya akan menjadi senang setelah melihat orang lain
menjadi mayat.
Sontak terbangkit rasa kejantanannya, alisnya tegak berdiri, darah menggelora, dengan
pandangan berkilat gusar ia balas pandang ke arah Bu-bing Loni.
Melihat Hun Thian-hi tidak mengunjuk rasa gentar atau takut berjengkit alis Bu-bing Loni,
katanya sambil menjengek bjbir, “Mungkin kau belum tahu cara kerjaku. Kau tidak akan bisa
segera mati, akan kusayat dan kukuliti kulit dan dagingmu sedikit2 sampai kau mampus. Aku akan
bekerja pelan-pelan, mungkin tiga hari atau mungkin sampai setengah bulan baru badanmu habis
kusayati!”
Hun Thian-hi mandah menyeringai tawa, ujarnya, “Kedengarannya memang enak dan nikmat
sekali. tapi apakah kau mampu?’“
Bu-bing Loni menggeram gusar sambil membanting kaki, tiba-tiba wajahnya mengunjuk
senyum-tawa yang sangat aneh, katanya, “Mungkin aku tidak mampu, tapi mungkin pula bisa
bukan! Nanti akan kamu buktikan dan kau akan tahu akibatnya!”
Melihat senyum aneh diwajah Bu-bing Loni, sontak terbit suatu rasa ketakutan dalam sanubari
Hun Thian-hi, selamanya belum pernah ia melihat tertawa aneh Bu-bing Loni semacam itu. Bukan
saja tawanya itu tidak bersahabat, malah sebaliknya terasa adanya hawa kesadisan sedang
mengancam setiap waktu di sekelilingnya.
Sekilas saja ai rmuka Bu-bing Loni pulih seperti sedia kala, tanpa expresi ia berkata, “Kau sudah
siap belum? Aku akan segera turun tangan awaslah kau.”
Kaki kanan Hun Thian-hi mundur setengah langkah. pedang siap melintang di depan dada, ia
berdiri tegak siap siaga.
Laksana awan mega nan enteng tubuh Bu-bing Loni melejit maju. ringan tanpa menimbulkan
kesiur angin pedangnya terayun, menjojoh ke depan tengah alis Hun Thian-hi. Sigap sekali dalam
waktu yang bersamaan Hun Thian-hi juga menggerakkan pedangnya dengan jurus Gelombang
perak mengalun berderai dari ilmu Gin-ho-sam-sek untuk memapaki serangan musuh, begitu jurus
permainan kedua belah pihak sedikit kebentur, lantas Hun Thian-hi rasakan gaya gerak pedang
Bu-bing Loni yang kelihatan bergerak enteng itu mengandung tekanan tenaga yang luar biasa
besarnya menggetar mundurkan tubuhnya, keruan kejutnya bukan kepalang, tak berani
menyambut secara kekerasan ia melejit mundur.
Terdengar Bu-bing Loni menjengek dingin. pedangnya terbang membalik lagi. jurus kedua ini
lebih hebat, berbareng dengan samberan batang pedang hawa sekelilingnya seperti menjadi
dingin ikut menerpa ke arah Hun Thian-hi. Thian-hi harus beruntun menggerakkan dua tipu
pedangnya baru berhasil memunahkan daya kekuatan serangan jurus pedang Bu-bing Loni yang
kedua ini. Serta merta timbul keheranan dalam hatinya, karena cara permainan jurus-jurus ilmu
pedang yang dimainkan Bu-bing Loni ini jauh berlainan dengan permainan Su Giok-lan tempo hari.
Terbit pancaran heran dari sorot pandangan Bu-bing Loni melihat Thian-hi mampu memunahkan
gelombang tekanan serangan kekuatan pedangnya, namun rasa heran itu hanya sakilas saja.
Dilain saat tubuhnya sudah melejit mumbul terbang ke tengah udara, berbareng ia lancarkan ilmu
Hui-sim-kiam-hoat yang tulen, seketika Hun Thian-hi terkurung dalam kilatan sinar pedangnya.
Hun Thian-hi menyedot napas dalam-dalam, Pan-yok-hian-kang dikerahkan selurufhnya ke arah
batang pedang, dengan Gin-ho-sam-sek yang kuat dan rapat serta kokoh penjagaannya itu ia
layani rangsak membadai dari serangan pedang BU-bing Loni.
Saking cepat permainan mereka, sekejap saja lima puluh jurus sudah berlalu Sambil mengunjuk
rasa hina dan mengejek Bu-bing Loni mengurung Hun Thian-hi dalam kurungan kilat sinar
pedangnya. Pertempuran mereka berdua kali ini, rasanya jauh lebih hebat dan seru dibanding Bubing
Loni melawan Swat-san-su-gou dipuncak Soat-san setahun yang lalu itu. Begitu menakjupkan
seolah-olah dapat menyedot sukma bagi setiap orang yang menonton. Hanya bedanya kalau dulu
Soat-san-su-gou satu melawan empat, sebaliknya sekarang Thian-hi satu lawan satu, dan keadaan
selama ini masih tetap seimbang.
Selama tempur terasa oleh Thian-hi tekanan dari empat penjuru semakin besar, begitu besar
gencetan ini sampai dada terasa sakit dan susah bernapas. Tapi kelihatannya Bu-bing bergerak
begitu bebas dan seenaknya saja, seperc belum mengerahkan setaker tenaganya. tujuannya tak
lain tak bukan adalah hendak mengurung Thian-hi sampai mati lemas.
Lama kelamaan Thian-hi naik pitam, bahwa dirinya dipermainkan seperii kucing
mempermainkan tikus merupakan suatu penghinaan terhadap dirinya, dengan menghardik keras,
mendadak pedangnya mencorong terang, ia kerahkan seluruh kekuatannya melancarkan jurus
ketiga dari Gin-ho-sam-sek yang terhebat yaitu jurus Ho-jong-boh-hun-siau (bangau terbang
menembus awan mega), dengan kekerasan ia terjang dan merangsak ke arah tembok pertahanan
sinar pedang Bu-bing Loni yang mengepung dirinya
Melihat Hun Thian-hi mendadak melancarkan jurus permainan pedangnya. yang aneh rada
bercekat hati Bu-bing, cepat pedangnya berkelebat membandir dengan jurus Lian-so-kim-liong
(merantai naga mas) pedangnya menekan dan menggubat seluruh badan Hun Thian-hi.
Sudah tentu Thian-hi tidak mau mandah terima binasa begitu saja, mau tak mau ia harus
kerahkan seluruh tenaga dan kemampuan untuk menjebol segala rintangan, kedua belah pihak
menjadi sama kerahkan setaker tenaga masing-masing. Begitu pedang kedua belah pihak saling
bentur “Creng”, kontan tubuh Hun Thian-hi mencelat tinggi ke tengah udara. tubuhnya terbang
keluar dari lingkaran sinar pedang Bu-bing Loni yang mengurung dirinya.
Tapi setelah ia berhasil hinggap di tanah kembali seketika berubah pucat air mukanya, karena
pedang pusaka ditangannya sudah patah menjadi dua tergetar oleh benturan dahsyat tadi. Dilain
pihak Bu-bing Loni juga menarik mukanya yang membeku dingin. Sungguh tak nyana olehnya
kurungan sinar pedangnya yang begitu ampuh dan hebat itu berhasil dijebol oleh Hun Thian-hi.
Dengan kaku dan dingin ia pandang Hun Thian-hi, lama sekali mereka berdiri saling pandang
tanpa buka suara.
Sekonyong-konyong tubuh Bu-bing Loni melambung tinggi lagi, pedang panjang bergerak cepat
menyerang pula kepada Hun Thian-hi. Tak sempat Thian-hi banyak pertimbangan lagi, dimana
tangan kanannya terayun ia sambitkan kutungan pedang buntung itu ke arah Bu-bing sekuat
tenaganya. Tanpa susah Ba-bing Loni menggerakkan pedangnya menyampok jatuh sambitan
kutungan pedang Hun Thian-hi, mulutnya menyungging seringaj sadis. dimana pedangnya terayun
ia menusuk kejalan darah Jian-kin-hiat dipundak Hun Thian-hi.
Gesit sekali Hun Thian-hi meloncat berkelit berbareng tangannya meraih kepinggang merogoh
keluar seruling pemberian Ong Ging-sia. Tanpa, banyak berpikir lagi Hwi-hong-siau menuding
miring ke depan, ia kembangkan jurus Wi-thian-cit-ciat-sek jurus pertama yang dinamakan Thianwi-
te-liu (langit berputar bumi mengalir).
Dengan permainan pedangnya yang hebat tiada taranya itu Bu-bing menyangka jurus serangan
kali ini pasti berhasil melumpuhkan perlawanan Hun Thian-hi, tak lebih tiga jurus belaka.
selanjutnya Hun Thian-hi harus tunduk dan patuh mendengar perintahnya.
Tak nyana begitu tusukan pedangnya dilancarkan, mendadak dilihatnya Hun Thian-hi
mengacungkan senjata seruling, sedikitpun ia tidak ambil perhatian, tapi tiba-tiba tusukan
pedangnya belum lagi mengenai sasarannya mendadak terasa tangan kanannya kesemutan,
segulung angin berkekuatan dahsyat melanda tiba dengan daya kisaran yang hebat sekali. Hampir
saja ia terdesak melepaskan pedang sendiri.
Keruan bukan main rasa kejutnya, lekas-lekas ia menyurut mundur beberapa langkah. dengan
dingin ia tatap muka Hun Thian-hi. Selamanya memang ia belum pemah kebentur dengan Withian-
cit-ciat-sek, tapi sejak lama pernah dengar namanya. Kini Wi-thian-cit-ciat-sek ternyata
muncul atas bocah keras kepala yang menjadi musuhnya ini, bila sekarang tidak diberantas dan
ditumpas, bila dia sampai melatihnya sampai sempurna kelak pasti bakal merupakan lawan
tangguh yang paling berbahaya bagi dirinya.
Dasar culas dengan dingin mulutnya menggeram seperti binatang kelaparan. Thian-hi insaf
tibalah kini saatnya bagi dirinya untuk berjuang bagi hidup dalam menghadapi mara bahaya yang
mengancam ini. Sedikit berpikir segera mulutnya bersuit panjang, tiba-tiba tubuhnya meluncur
terbang lempang dan lurus ke depan, ditengah jalan tubuhnya menjulang ke atas lalu menukik
pula meluncur dengan kecepatan kilat, dimana tubuhnya bergerak memutar seruling ditangan
melancarkan pula tipu-tipu Wi-thian-cit-ciat-sek, yang diarah adalah batok kepala Bu-bing Loni.
Tidak malu Bu-bing Loni diagungkan sebagai jago pedang nomor satu di seluruh dunia ini,
tanpa gugup ia sambut serangan hebat Thian-hi ini dengan tipu-tipu Hui-sim-kiam-hoat yang sakti
itu, dimana kekuatan tenaganya terpancar dari ujung pedangnya serangan seruling Thian-hi kena
tergetar miring. Tapi Wi-Thian-cit-ciat-sek memang bukan olah-olah hebatnya, ditengah udara
Thian-hi terbang berputar, sedikit serulingnya bergerak saja, setabur kekuatan hawa yang berkisar
besar menerjang ke arah Bu-bing Loni.
Dengan tenang Bu-bing Loni pandang permainan Thian-ni, cukup ia gerakkan pedangnya pula
setiap jurus serangan Thian-hi kena dibendung diluar lingkaran. Tapi tak urung hatinya kaget juga.
dia heran bahwa kepandaian Hun Thian-hi bisa maju pesat sedemikian tingginya,
Wi-thian-cit-ciat-selk yang digjaya dan hebat ini memang bukan ilmu sembarang ilmu yang
dapat dihadapi secara serampangan, untung latihan Hun Thian-hi belum matang. Kalau tidak
mungkin hari ini dirinya sendiri yang bakal terjungkal ditangan musuh mudanya ini.
Melihat rangsakannya berulang kali selalu gagal Hun Thian-hi semakin gugup dan kaget.
Memang tidaklah malu Bu-bing Loni disebut tokoh kosen nomor satu di seluruh dunia ini.
dibanding Tiang-pek-lokoay boleh dikata terlalu jauh bedanya, tidaklah heran bahwa Ang-hwat-lomo
juga gentar terhadapnya. malah begitu takut dan takutnya ini tidaklah bukan beralasan.
Sekarang Thian-hi baru insaf jangan kata untuk menang, supaya tidak kalah saja juga rasanya
tidak mungkin lagi, aku tidak bisa mati demikian saja dan tidak bisa mati secara konyol. Sembari
tempur Hun Thian-hi memutar otak, akhirnya ia berkeputusan. seketika tubuhnya melambung
tinggi pula, disaat Bu-bing Loni hanya bertahan menyelami serangan Wi-thian-cit-ciat-sek, tiba-tiba
ia meluncur jauh dan lari sipat kuping ke depan sana.
Bu-bing menggerung gusar, sebagai tokoh yang banyak pengalaman perbuatan Hun Thian-hi
masa dapat mengelabui kejelian matanya, begitu tubuh Hun Thian-hi melambung ke depan, ia
lantas dapat meraba maksud tujuan Hun Thian-hi, tahu-tahu tubuhnya pun sudah berkelebat
mengejar.
“Mau lari kemana kau?” jengeknya sambil menghadang jalan lari Thian-hi.
Thian-hi tidak bicara, serulingnya menggempur dengan seluruh kekuatannya. Bu-bing
menyeringai dingin ringan sekaii ujung pedangnya menutul ke depan, ia balas serang dada Hun
Thian-hi sebelum serangannya tiba.
Sementara itu. tenaga Hun Thian-hi sudah terkuras tidak sedikit, apalagi serangannya selalu
gagal. tenaganya sudah habis lagi, ia insaf bahwa dirinya tidak akan mampu menempur Bu-bing
lebih lanjut terpaksa ia puter tubuh dan lari lagi.
“Mau lari pula kau? Cobalah rasakan Lian-hoan-sam-kiamku ini!” — Pedang panjang ditangan
Kanannya teracung, hawa pedang segera merembes keluar dari batang pedang, seiring dengan
gerak pedang tubuhnya ikut menggeser kedudukan, hawa pedang yang semakin padat laksana
lembayung segera menyapu dan merangsak ke arah Hun Thian-hi.
Thian-hi menyedot napas panjang, ia insaf bahwa dirinya hari ini sulit menyelamatkan diri pula,
terpaksa harus mengadu jiwa. cepat seruling disapukan miring ke depan, ia sambut rangsekan
hebat musuh ini dengan Wi-thian-cit-ciat-sek pula.
Bu-bing sudah tidak perlu gentar menghadapi serangan Wi-thian-cit-ciat-sek, namun ia sendiri
belum mendapatkan cara untuk memecahkan perlawanan Thian-hi ini, kecuali dengan kekuatan
Lwekangnya yang ampuh untuk menekan seret gerak serangan musuh tiada jalan lain untuk
mengatasinya. Begitulah sekilas ia berpikir tiba-tiba tajam pedangnya meluncur laksana bintang
jatuh melesat ke ulu hati Hun Thian-hi.
Thian-hi menekuk dengkul mendakan tubuh untuk menghindar, bersamaan tangannya
menggentak senjata dengan tipu-tipu Wi-thian-cit-ciat-sek menghalau rangsekan Bu-bing
selanjutnya. Bu-bing sudah berkeputusan hari ini betapapun ia harus bunuh Thian-hi dengan
pedangnya, memang dengan perhitungan yang cukup masak, serangan kali ini hanya gertak
sambel belaka, tiba-tiba badannya menerjang maju ke depan, berbareng pedang panjang
dibalikkan berputar terus disambitkan lempang ke depan, ia sudah kerahkan seluruh Lwekangnya
utk melontarkan pedang, tujuannya sekaii gebrak harus berhasil melumpuhkan perlawanan Hun
Thian-hi.
Tapi kepandaian Hun Thian-hi sekarang sudah bukan olah-olah tingginya, begitu melihat
serangan balasan serulingnya mengenai tempat kosong mulutnya lantas membentak mengguntur,
berbareng kaki kiri menggeser setengah langkah badan ikut berputar setengah lingkaran.
serulingnya lantas menjungkit dari bawah ke atas, ia sendal ke arah pedang panjang lawan yang
meluncur tiba dengan kekuatan dahsyat itu.
Usaha Thian-hi memang berhasil, ujung serulingnya telah dapat menyungsang pedang lawan
tapi diluar perhitungannya bahwa lontaran pedang Bu-bing kali ini menggunakan seluruh
Lwekangnya yang ada, apalagi ia hanya sempat menggerakkan tenaga dengan kuda-kuda sedikit
jongkok dan tubuh miring, maka tenaga sendalannya bukan saja tidak berhasil menyampok jatuh
pedang musuh, malah luncuran pedangnya menusuk ke atas sedikit dan tahu-tahu amblas ke
dalam pundak kirinya, begitu deras daya luncuran pedang ini sehingga pundaknya tertembus
lewat sampai ke punggung, keruan sakitnya bukan kepalang, sesaat seperti seluruh badan
menjadi kejang.
Tujuan serangan Bu-bing adalah Jian-kin-hiat, jalan darah di atas pundak, namun hanya
terpaut beberapa mili saja yang kena cuma tulang pundak Thian-hi saja. Tapi hasil tusukan
pedang cukup menghabiskan tenaga perlawanan Hun Thian-hi, mandah saja dicincang atau
disiksa oleh musuh.
Dengan terpaku oleh selaras pedang yang menembus pundak kirinya, Thian-hi mengeraskan
hati berdiri tegak, separo tubuhnya sudah basah kuyup oleh darah, tangan kanan masih kencangkencang
menggenggam seruling, dengan pandangan berapi-api ia deliki Bu-bing Loni.
“Kau masih ingin melawan?” ejek Bu-bing Loni.
Terasa oleh Thian-hi kesakitan yang luar biasa di pundaknya kiri, darah menyembur semakin
deras. seluruh tubuhnya semakin lemah dan seperti hampir lumpuh, diam-diam ia tutup jalan
darah sendiri berusaha membendung darah yang bocor keluar. Tapi luka yang begitu berat, mana
mungkin dapat ia atasi begitu saja di saat ia harus menghadapi musuh yang masih mengancam
jiwanya ini.
Pelan-pelan selangkah demi selangkah Bu-bing mendesak maju. Thian-hi gentakkan
serulingnya menyerang, namun tenaganya sudah lemah, sekali raih saja Bu-bing berhasil
merampas serulingnya, sebat sekali ia merabu beruntun ia tutuk tiga jalan besar di atas tubuh
Thian-hi.
Setelah Thian-hi tidak berdaya, ia menyeringai dingin, otaknya menerawang, cara bagaimana ia
harus memberi hukuman pada Hun Thian-hi. Sekonyong-konyong kupingnya mendengar pekik
burung dewata yang penuh kekuatiran dan takut, berubah air mukanya, cepat ia menengadah ke
belakang sana, hatinya menjadi terkejut, belum pernah terjadi hal seperti sekarang, kecuali
ketemu lawan berat, atau ketemu orang yang sudah dikenal, burung dewata tidak sembarangan
berpekik demikian.
Dengan sebelah tangan mengempit Hun Thian-hi ia berlari-lari menuju ke selatan, setelah
keluar dari hutan, ia mendongak, tampak burung dewata sedang bertempur hebat dengan seekor
burung rajawali yang cukup besar pula.
Beringas muka Bu-bing. Begitu melihat kedatangan Bu-bing burung dewata berusaha menukik
turun, tapi selalu kena dihalangi dan terdesak naik pula ke tengah udara. Bu-bing menjadi gusar
mulutnya menjebir hina, kelihatannya burung rajawali ini peliharaan orang, setelah mengukur
jarak ketinggiannya, hidungnya mendengus, batinnya, “Kau kira jarak begini tinggi aku tidak
mampu naik?” segera ia letakkan tubuh Thian-hi di tanah, tubuhnya mendadak mencelat tinggi ke
tengah udara, laksana burung besar kedua tangannya berkembang terus meluncur tinggi tepat
sekali hinggap di atas punggung burung dewata, berbareng ia ayun pedang di tangannya
membacok ke arah burung rajawali.
Rajawali itu berpekik kejut dan ketakutan, agaknya ia tahu akan kelihayan Bu-bing Loni. cepat
ia melambung tinggi terus terbang meninggi hendak lari. Tapi Bu-bing sudah keburu gusar,
pedang panjang disambitkan seperti anak panah melesat ke arah burung rajawali itu. Burung
rajawali itu memang cukup cerdik ia jumpalitan sekali terus menukik turun, tapi sudah terlambat
tak urung sayapnya sudah tertusuk pedang, terdengar mulutnya berpekik kesakitan, membawa
pedang yang menancap di badannya ia terbang rendah terus menghilang di balik lembah sebelah
sana.
Bu-bing menyeringai sinis dengan kemenangan, waktu ia menunduk melongok ke bawah, Hun
Thian-hi yang diletakkan di tanah tadi sudah tidak kelihatan pula bayangannya, sejenak ia
terlongong, lantas meluncur turun memeriksa dan mencari ubek2an, namun tidak berhasil
menemukan jejaknya.
Sungguh terbakar rongga dadanya, gusarnya bukan kepalang, siapakah yang telah memancing
dirinya dengan burung rajawali tadi lalu menolong pergi Hun Thian-hi. Terpaksa ia naik ke
punggung burung dewata, ia periksa dan obrak-abrik seluruh pelosok gunung ini namun hasilnya
nihil. Akhirnya dengan rasa gusar dan penasaran ia tinggal pergi.
Bu-bing tak habis herannya, ia bertanya-tanya dalam hati siapakah yang tahu jelas akan
tabiatnya dapat mengatur tipu daya sebegitu rapi dan cermat sekali, bukan saja dirinya dapat
dikibuli jejak musuhpun tak berhasil dicarinya.”
Dalam pada itu, Thian-hi sejak ditutuk tiga jalan darah besar di atas tubuhnya lantas jatuh
pingsan, tutukan hebat itu melumpuhkan seluruh sendi2 badannya, apalagi pundaknya terluka
parah, keadaannya sangat lemah dan payah. Entah berapa lama kemudian, waktu pelan-pelan ia
rasakan pulih kesadarannya, pelan-pelan ia membuka mata, terasa ia rebah di atas ranjang batu,
lambat laun pandangan matanya menjadi terang, terlihat bentuk sesosok tubuh orang yang sangat
dikenalnya berdiri di hadapannya, keruan kagetnya bukan main, hampir saja ia melonjak bangun.
Orang yang berdiri di hadapannya ini bukan lain adalah Ham Gwat.
Melihat Thian-hi sadar dan membuka mata. Ham Gwat berkata lirih dan lemah lembut, “Hunsiauhiap!
Bagaimana perasaanmu?”
Dengan terlongong Thian-hi pandang sepasang mata Ham Gwat yang bening cerah, ia heran
bagaimana mungkin dia mendadak muncul di hadapannya, bukankah dia sudah minggat dan
melepaskan diri dari ikatan sama Bu-bing Loni. Sebenar-benarnya apakah yang telah terjadi?
Adakah terjadi sesuatu atas dirinya? Serta merta mulutnya menggumam tanya, “Kenapa kau
berada disini?”
Dengan seksama Ham Gwat juga awasi wajah orang, sahutnya lirih, “Kau jangan kesusu tanya.
Jelasnya sekarang kau sudah aman, Bu-bing Suthay sekarang sudah pergi!”
Sekian lama Thian-hi terlongong, pelan-pelan ia berkata pula, “Kiranya kaulah yang
menolongku!”
Ham Gwat manggut-manggut, pandangannya mendelong ke arah jauh sana, ujarnya, “Bukan
begitu sebetulnya. Luka-lukamu belum lagi sembuh, kelak kau akan tahu duduk perkara sebenarbenarnya.”
Melihat Ham Gwat tak mau banyak bicara, Thian-hi pejamkan matanya, Sungguh tak nyana
bahwa di tempat ini ia bakal bersua kembali dengan Ham Gwat, banyak kata yang sebenarbenarnya
ingin diutarakan, namun tak kuasa diucapkan.
Tiba-tiba Ham Gwat bersuara, “Sudah jangan terlalu banyak pikiran, istirahat saja supaya
lukamu lekas sembuh!”
“Berapa lama lagi baru luka-lukaku bisa sembuh?”
“Tiga lima hari tentu bisa sembuh!”
Mencelos hati Thian-hi, tiga lima hari lagi, bagaimana mungkin dirinya bisa menyusul ke
Siongsan Siau-lim-si dalam jangka waktu sepuluh hari yang ditentukan itu? Bukankah menyianyiakan
perkara besar.
Ham Gwat mengawasinya dengan tajam, katanya, “Tiada gunanya kau menyusul ke Siong-san,
ketahuilah bahwa Tok-sim-sin-mo sudah menyebar jaringan kaki tangannya ke-mana-mana
menanti kau masuk ke dalam perangkapnya. Sekarang dia tidak berani mendesakmu menjadi
anggota, tujuan yang utama adalah melenyapkan jiwamu yang dipandang saingan terberat bagi
kehidupan gerombolannya!”
“Bagaimana juga situasi yang akan kuhadapi nanti, betapapun aku harus menyusul kesana,”
kata Hun Thian-hi tegas.
“Memang kau harus pergi ke sana. Baiklah akan kubantu kau tepat pada waktunya dapat
menyusul ke sana!” — sekian lama ia termangu memandangi Thian-hi lalu katanya pula, “Aku
keluar sebentar, kau istirahatlah baik-baik” ia memutar tubuh terus keluar dari kamar batu itu.
Mengantar punggung Ham Gwat pikiran Thian-hi melayang tak menentu arahnya. Ia merasa
bahwa diri Ham Gwat ini penuh diliputi kemisteriusan, jejaknya tidak menentu dan sulit diraba
juntrungannya.
Entah cara bagaimana ia bisa menolong dirinya dari cengkeraman Bu-bing Loni. Entah berapa
lama ia termangu dan berpikir, selama itu tak memperoleh kesimpulan yang diharapkan, akhirnya
ia menghela napas panjang.
Mendadak didengarnya derap langkah lirih yang mendatangi dengan cepat, waktu ia berpaling,
dilihatnya yang muncul adalah Siau Hong. Sembari berseri tawa Siau Hong maju menghampiri,
serunya lincah, “Sungguh berbahaya keadaanmu kemarin, syukur Siocia menggunakan akal
memancing Suthay dan berhasil menolong kau, kalau tidak mungkin saat ini kau sudah menderita
oleh siksaannya yang kejam itu!”
“Cara bagaimana kau bisa sampai di tempat ini?” tanya Thian-hi.
Siau Hong meleletkan lidahnya, sahutnya, “Aku sendiri juga tidak tahu, siocia yang membawa
aku kemari, kebetulan mendengar pekik burung dewata, siocia lantas suruh aku sembunyi, belum
lama setelah dia pergi, ia perintahkan Kim-ji memancing pergi Suthay, lalu ia berkesempatan
menolong kau kemari. Tapi Kim-ji sendiri sekarang juga terluka parah.”
Bab 21
Hun Thian-hi terlongong heran, tanyanya, “Siapakah Kim-ji itu?”
“Kim-ji adalah seekor burung rajawali yang besar. Pemberian dari seorang kakek tua ubanan
kepada siocia!”
Baru sekarang Thian-hi menjadi sadar, mungkin Ham Gwat memperoleh suatu pengalaman
aneh di tempat ini bersua dengan seorang tokoh kosen aneh, entah siapakah beliau?
“Keadaanmu sungguh sangat berbahaya, banyak orang ingin membekuk kau, sedang kau
berkeras kepala ingin ke Siau-Iim-si, aku menjadi kuatir dan takut bagi keselamatanmu!”
“Kenapa kau kuatir dan takut bagi diriku?”
Siau Hong mengejapkan matanya, sahutnya tertawa jenaka, “Kenapa tidak? Bukankah kau
seorang baik! Sayang nasibmu terlalu jelek, jikalau aku punya kepandaian silat yang tinggi tentu
aku bantu kau!”
“Aduh sungguh bahagia dan terima kasih pada kau!”
“Kau harus terima kasih kepada siocia baru betul!” demikian goda Siau Hong sembari tertawa
penuh arti.
“Sudah tentu, bukankah kali ini dia yang menolong jiwaku.”
“Bukan itu yang kumaksudkan. sungguh bodoh kau, aku tak mau bicara lagi padamu.” — Lalu
ia berlari keluar dan menghilang.
Thian-hi tercengang, ia menjadi bingung, tak tahu dia kemana juntrungan maksud kata-kata
Siau Hong, pikir puhja pikir ia menjadi keletihan, akhirnya ia himpun semangat dan mengatur
napas mulai samadi.
Kecuali luka dipundaknya kiri masih terasa sakit. mungkin karena terlalu banyak mengeluarkan
darah sehingga kepalanya terasa pusing dan mata berkunang-kunang. Serta merta terpikir dan
terbayang lagi wajah Ham Gwat, entah kemana dia selama ini?
Sedang ia termangu, derap langkah lirih mendatangi pelan-pelan, yang muncul memang Ham
Gwat adanya. Setelah tiba disamping Thian-hi, Ham Gwat berkata, “Bagaimana kau ini. dari
keadaanmu ini jelas bahwa tadi kau tidak istirahat secara baik-baik!”
Thian-hi tertawa kikuk, sahutnya, “Banyak urusan yang tidak bisa tidak harus kupikirkan.” —
Tak tertahan ia tertawa geli.
“Kau punya janggalan hati, tiada halangannya turun berjalan-jalan. cuma badanmu rada lemah
karena terlalu banyak keluar darah, jalan-jalan melemaskan otot dan melapangkan pikiran juga
ada faedahnya bukan!”
Thian-hi termangu tak bicara.
“Aku masih ada urusan,” demikian ujar Ham Gwat. “Kau jalan-jalan sendiri atau nanti aku
panggil Siau Hong untuk temani kau?”
Pelan-pelan Thian-hi merangkak bangun, katanya tertawa dibuat-buat, “Tak usahlah! Aku jalanjalan
sendiri saja.”
Ham Gwat termenung sebentar, mulutnya terbuka namun urung bicara, setelah Thian-hi berdiri
ia berkata, “Kalau begitu aku pergi dulu!” — Ia tinggal pergi.
Hun Thian-hi menjadi merasa hambar melihat sikap Ham Gwat yang tidak menentu itu, kadangkadang
hangat simpatik, dilain saat dingin, wajahnya tak pernah mengulum senyum manis,
akhirnya Thian-hi tertawa geli sendiri. Batinnya, “Bagaimana aku ini, seorang laki-laki sejati
kenapa tak punya pendirian tetap, seumpama aku punya rasa cinta terhadap Ham Gwat, tak
seharusnya aku berpikiran tidak genah, apalagi aku belum begitu mengenal pribadi dan
keadaannya, mana bisa bicara soal cinta terhadap dia!” Pelan-pelan ia menggeremet maju dan
keluar dari kamar.
Begitu berada diluar didapatinya dirinya berada di dalam sebuah hutan bambu, hawa disini rada
sejuk dingin, sebuah jalan berliku memanjang tepat di depan pintu. Pelan-pelan Thian-hi
menyelusuri jalan kecil ini keluar dari hutan bambu. Tanah luas dan subur terbentang
dihadapannya, kembang liar tumbuh dimana-mana. Pikiran Hun Thian-hi lantas melayang,
sekarang sudah musim semi, selama kelana setahun ini bukan saja tidak membawa hasil yang
diharapkan malah dirinya memikul dosa berlimpah dan berkepanjangan tiada penyelesaian,
sehingga gurunya sendiri berpendapat bahwa aku sudah tersesat semakin dalam dan mengusir
dari perguruan. Ia menghela napas dengan murung, kepalanya mendongak celingukan
kesekelilingnya.
Terpikir oleh Thian-hi bahwa segala sesuatu dalam lingkungan yang melibatkan dirinya adalah
begitu aneh begitu misterius. Sekarang ini betul-betul ia belum mengetahui keadaan sekeliling
Ham Gwat, sebetulnya siapakah yang telah ditemui oleh Ham Gwat? Ibu Ham Gwat Ong Ging-sia
sangat terkenang dan ingin jumpa dengannya. entah apakah dia tahu bahwa ibu kandungnya
masih hidup dan sehat walafiat di dunia ini, haruskah aku memberitahu hal ini padanya?
Thian-hi sendiri tak kuasa memberi jawaban. Kini pikiranmja melayang pada persoalan dirinya
sendiri, Wi-thian-cit-ciat-sek belum lagi sempurna. Bu-bing Loni begitu lihay pula, bila tidak
ditolong oleh Haim Gwat, mungkin dirinya sudah ajal ditangannya. Begitulah duduk di atas tanah
berumput ia menengadah mengawasi mega yang mengembang dilangit, terpikir olehnya apa yang
harus kulakukan selanjutnya?
Tengah pikirannya melayang mendadak terasa olehnya dibelakangnya ada seseorang, gesit
sekali tiba-tiba ia membalikkan tubuh, pendatang ini kiranya adalah Ham Gwat, ia menghela napas
lega, ujarnya, “Kiranya kau!”
Sorot mata Ham Gwat memancarkan senyum manis, tiba-tiba ia menunduk malu-malu,
katanya, “Tak tahu aku apa yang sedang kau lakukan disini, aku datang menengok kau!”
“Wah banyak terima kasih akan perhatianmu!”
“Tadi kau termangu dan asjik berpikir, kedatanganku malah mengejutkan kau, maaf ya!”
“Aii, berkelebihan ucapanmu. Kau harus salahkan aku berlaku kurang waspada!”
“Tentu kau merasa sangat heran terhadapku bukan?” tiba-tiba tanya Ham Gwat.
“Tidak! Aku hanya merasa kau rada misterius sepak terjangmu Sulit diraba, aku merasa ada
sesuatu yang kurang kupahami atas dirjmu!”
“Kelak pasti kau akan paham!” desis Ham Gwat lirih.
Sampai disini mereka tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. Thian-hi merasa kehabisan
kata-kata, setiap kali berhadapan ia menjadi mati kutu dan tak kuasa membuka isi hatinya.
“Mengandal ketekunan dan keyakinanmu pasti kelak kau berhasil. Wi-thian-cit-ciat-sek sudah
berhasil kau pelajari kelak tentu kau akan menjagoi dan memimpin rimba persilatan. Sayang kau
sekarang belum dapal menyelami intisarinya, perlahan-lahan aku yakin akan dapat membantu
kesukaranmu ini.”
Thian-hi lantas bangkit, katanya, “Kalau begitu kuharap nona sudi memberi petunjuk!”
“Bukan diriku yang kumaksud. Aku kenal seorang kosen yang aneh, tentu beliau dapat bantu
kau, bila Kau sudi, aku dapat membawamu kepada beliau.”
“Apakah beliau sudi menerima aku?”
“Mungkin, tapi coba kutanyakan dulu, kau tunggu sebentar disini!” lalu ia membalik tubuh dan
menghilang di rumpun bambu.
Setelah Ham Gwat tidak kelihatan, Thian-hi bertanya-tanya dalam hati, entah siapakah tokoh
kosen yang dimaksudkan? Tengah pikirannya bekerja, sekonyong-konyong dilihatnya sesosok
bayangan hitam berkelebat lewat, sekilas pandang saja ia dapat mengukur betapa tinggi
kepandaian orang itu, keruan terkejut hatinya.
Memang luncuran tubuh orang itu juga mendadak berhenti, agaknya iapun sudah melihat
kehadiran Thian-hi di tempat itu, kiranya itulah seorang nenek tua renta yang ubanan.
Dengan cermat Thian-hi awasi nenek tua ini tanpa bicara, hatinya kejut dan heran, ilmu silat
nenek tua ini begitu lihay, sekarang berhenti dan mengawasi dirinya, kelihatannya sudah kenal
pada dirinya.
Nenek tua itu menyeringai iblis, katanya, “Kau tidak kenal aku, tapi aku kenal kau, kau adalah
Hun Thian-hi, ya bukan?”
“Siapa kau?” tanya Thian-hi melongo.
“Tiada halangannya kuberitahu pada kau, aku bernama Kiu-yu-mo-lo, kukira kau sudah kenal
nama besarku itu bukan?”
Thian-hi benar-benar terperanjat, batinnya, “Kiu-yu-mo-lo sudah muncul kembali, dia
memperoleh Hian-thian-mo-kip, kepandaian silatnya sekarang tentu sudah teramat lihay, entah
apa tujuannya dengan menampakkan dirinya ini?”
Kiu-yu-mo-lo menyeringai tawa dua kali, ujarnya, “Kiranya kau tidak mampus, dimana Tok-simsin-
mo? Aku ingin mencarinya untuk membuat perhitungan padanya!” — sebelum Thian-hi sempat
menjawab, mendadak Kiu-yu-mo-lo menubruk maju serta berkata, “Mari kau ikut aku saja!”
Hun Thian-hi menjejakkan kakinya mundur dengan cepat, namun kedua telapak tangan Kiu-yomo-
lo bergerak mencomot dan meraih dari kanan kiri, dua gelombang tenaga lunak menerpa
keluar dari telapak tangannya mencengkeram ke arah Hun Thian-hi.
Thian-hi mengeluh dalam hati, sungguh celaka pengalamannya hari ini, baru saja dirinya keluar
jalan-jalan menyegarkan badan tak nyana kepergok oleh Kiu-yu-mo-lo yang kebetulan lewat, dia
punya pertikaian dengan Sutouw Ci-ko yang belum terselesaikan, tentu diapun tak mau
melepaskan dirinya.
Thian-hi berdaya berkelit sekuat tenaganya, sayang darahnya keluar terlalu banyak sehingga
kelincahan gerak-gerik tubuhnya banyak berkurang, namun Lwekangnya memang jauh lebih hebat
dibanding dulu, meski gerak-geriknya rada lamban, sekuatnya ia masih berhasil lolos dari sergapan
Kiu-yu-mo-lo yang pertama. Keruan Kiu-yu-mo-lo sendiripun bukan kepalang kejutnya, jikalau hari
ini ia tidak berhasil membekuk Hun Thian-hi, cara bagaimana ia harus mencari Pek-kut-sin-mo dan
Tok-sim-sin-mo kelak?
Terdengar ia menggeram murka, tubuhnya bergerak begitu lincah dan sebat sekali, sekali
berkelebat, kelima jarinya secepat kilat mencengkeram kejalan darah di pundak Thian-hi.
Insaf bahwa dirinya tidak akan mampu membebaskan diri lagi, saking gugup Thian-hi berteriak,
“Tahan!”
Tapi serangan Kiu-yu-mo-lo tidak berhenti karena bentakannya ini, tahu-tahu Thian-hi rasakan
kepalanya berat, mata berkunang-kunang, pundak kirinya sudah dicengkeram keras oleh jari-jari
Kiu-yu-mo-lo yang kurus dan berkuku runcing itu, jengeknya, “Apa yang hendak kau katakan?”
Memandang muka orang Hun Thian-hi menjadi kecewa dan putus asa, Kiu-yu-mo-lo bicara
setelah berhasil meringkus dirinya, untuk mengulur waktu sudah tak mungkin lagi, tawar2 saja ia
menyahut, “Sekarang tak ada apa-apa lagi!”
“Kau kira aku tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan?” jengek Kiu-yu-mo-lo, “Sangkamu aku
hanya ingin tahu jejak Tok-sim-sin-mo belaka? Apa yang ingin kudapat belum tentu bisa kuperoleh
dari atas tubuhmu!”
Mendengar nada perkataan orang, tahu Thian-hi bahwa Kiu-yu-mo-lo ini tentu sangat congkak
dan takabur akan kepandaian dan kemampuannya sendiri, maka ia bersuara, “Tidak!”
“Kau masih punya teman bukan?” Kiu-yu-mo-lo menyeringai sadis, “Kau main ulur waktu
supaya kawanmu menolong kau bukan?”
“Pikiranmu ini sungguh sangat menggelikan.”
Terpancang hawa membunuh dalam sorot mata Kiu-yu-mo-lo, namun sekilas lantas lenyap.
Ejeknya, “Lalu kau tadi menyuruh aku ‘tahan’ apa maksudmu? Berani kau mentertawakan aku?”
Thian-hi mandah tersenyum ewa, batinnya, “Kiu-yu-mo-lo tentu sudah sekian lama
mengasingkan diri, sembari mengobati luka-lukanya sembari mempelajari ilmu yang diperolehnya
dari Hiari-thian-mo-kip itu. Sekarang sudah berhasil jadi ia berani muncul di Bu-lim untuk mencari
perhitungan sama Tok-sim-sia-mo dan Pek-kut-sin-mo, secara kebetulan di tempat ini melihat
diriku, tahulah dia bahwa Tok-sim-sin-mo tentu juga sudah lolos, dia menyangka bahwa aku tentu
dapat mengetahui dimana jejak Tok-sim-sin-mo, tentu dia minta aku membawanya mencari
musuh besarnya itu….”
Karena rekaannya ini segera ia buka bicara, “Tok-sim-sin-mo sekarang menjadi Pangcu Hekliong-
pang, kekuatannya sudah menjangkau selatan dan utara sungai besar, dia punya
persenjataan Pek-tok-hek-liong-ting yang amat ampuh lagi, kau berani mencari dia, bakal konyol
belaka.”
Kiu-yu-mo-lo menjengek mulut, matanya bersinar beringas, mulutnya terbungkam.
Melihat sikap orang senang hati Thian-hi, ujarnya, “Banyak kejadian di Kangouw belakangan ini
yang tidak kau ketahui. Semua kejadian itu banyak yang punya sangkut paut terhadap dirimu!”
Kiu-yu-mo-lo termangu, entah, apa yang sedang dipikir, sesaat kemudian ia bersuara, “Kau
sudah angkat Tok-sim sebagai gurumu bukan?”
$
“Kau kira aku sudi?” jawab Thian-hi tawar. “Meski ilmu silatku tidak becus masa aku sudi
angkat guru padanya? Ketahuilah dia sedang menarik Pek-cianpwe yaitu saudara kecilmu yang
ketiga untuk membantu pergerakkannya, tapi beliau pun tidak sudi!”
Melihat orang tidak mengunjukan reaksi apa-apa, Thian-hi lantas meneruskan, “Belum lama aku
berpisah dengan beliau, sekarang dia bersama Sutouw Ci-ko!”
“Sangkamu aku mencari kau karena segala urusan tetek bengek itu?” demikian tukas Kiu-yumo-
lo dengan keras, “Ketahuilah aku masih punya urusan lain yang lebih penting.”
“Hwe-tok-kun sekarang bersama Ang-hwat-lo-mo, mereka sama mendirikan sebuah partai lain
sebagai tandingan yang kuat dari Hek-liong-pang pimpinan Tok-sim-sin-mo!”
“Aku tidak peduli segala peristiwa itu, bukan itu tujuanku ….” — tiba-tiba tangannya
mencengkeram lebih keras serta membalik tubuh secara mendadak, sehingga mereka sama
berputar.
Ham Gwat berdiri tegak tiga tombak di belakang sana. Biji matanya memancarkan sorot aneh
mengawasi Kiu-yu-mo-lo.
“Siapa kau?” tanya Kiu-yu-mo-lo.
Ham Gwat berdiri tegap tak bersuara, lambat laun sinar matanya tenang kembali, seakan-akan
selamanya perasaannya begitu tenang tapi dingin dan kaku.
Secara langsung terasa oleh Kiu-yu-mo-lo bahwa Ham Gwat bukanlah orang yang gampang
dapat digertak dan gebah pergi begitu saja, sebelah tangannya membalik beruntun ia menutuk
beberapa jalan darah ditubuh Hun Thian-hi, lalu dengan waspada ia awasi Ham Gwat.
“Kenapa kau harus menutuk jalan darahnya?” tanya Ham Gwat pelan-pelan.
“Persetan dengan kau? Siapa kau?” teriak Kiu-yu-mo-lo, suaranya melengking tinggi.
Kelihatannya Ham Gwat memeras otak, entah apa yang sedang dipikirkan, sekian lama ia
berdiam diri. Kiu-yu-mo-lo sendiri menjadi risi dan bingung, serunya geram, “Kutanya kau apakah
kau tidak dengar?”
Tawar2 saja Ham Gwat pandang orang, ia sedang menggunakan kecerdikan otaknya mencari
akal cara untuk menolong Thian-hi. Tanpa bicara tiba-tiba ia membalik tubuh terus jalan kembali
dari arah datangnya semula.
Dada Kiu-yu-mo-lo menjadi terbakar, dengan wataknya yang begitu berangasan dan congkak
itu, masa dia terima dipandang hina dan tidak direwes oleh Ham Gwat, dengan murka ia
menghardik, “Berhenti!”
Seperti tidak mendengar Ham Gwat terus berjalan ke depan pelan-pelan. sedikitpun ia tidak
peduli apakah orang akan marah atau mencak-mencak. yang terang ia kerahkan Lwekang tingkat
tinggi mengembangkan Ginkang Ling-khong-pou-si, tubuhnya bergerak laksana awan
mengembang dan air mengalir melesat terbang cepat sekali.
Karuan Kiu-yu-mo-lo semakin murka. sambil mengempit Thian-hi segera ia kembangkan ilmu
ringan tubuhnya mengejar ke arah Ham Gwat. Ham Gwat berjalan beberapa langkah lebih dulu,
Kiu-yu-mo-lo sendiri juga mengempit Hun Thian-hi, sudah tentu kecepatan gerak tubuhnya tidak
dapat mengungguli Ham Gwat.
Sementara itu Ham Gwat sudah berkelebat memasuki hutan bambu, semakin murka Kiu-yu-molo
dibuatnya, diam-diam iapun merasa kejut akan Lwekang Ham Gwat yang tinggi dan
Gingkangnya yang lihay, masa gadis kecil yang masih remaja tidak kuasa dikejar olehnya, apa pula
yang telah berhasil dilatih selama beberapa bulan mengasingkan diri belakangan ini. Tok-sim-sinmo
sudah lolos dari belenggu kurungan, dilihat keadaan sekarang, apakah dirinya dapat
menghadapi Tok-sim-sin-mo kelak menjadi suatu pertanyaan besar, tengah pikirannya melayang,
dilihatnya Ham Gwat sudah tiba di belakang sebuah gunung dan membelok kesana terus
memasuki hutan pohon jati dan menghilang.
Kiu-yu-mo-lo menjerit enteng, cepat ia menyedot napas tubuhnya lantas menerjang ke depan
laksana anak panah. Tanpa sangsi dan banyak pikir ia terus menerobos masuk ke dalam hutan jati
itu, namun jejak Ham Gwat sudah menghilang, sambil mengempit Hun Thian-hi ia melangkah
terus ke depan, pikirnya, setelah menembus hutan pohon jati ini hendak kulihat kemana pula kau
lari.
Begitulah Kiu-yu-mo-lo berlari-lari kencang mengejar terus ke depan, kira-kira setengah jam
sudah berlangsung pengejaran itu, selama itu tidak kelihatan bayangan Ham Gwat tapi hutan jati
ini tidak kunjung habis dari kaget lambat laun hati Kiu-yu-mo-lo menjadi ciut dan takut, waktu ia
angkat kepala, pohon nan subur itu sedang berkembang mengluarkan baunya yang wangi, waktu
ia celingukan kian kemari jalan menjadi buntu, sekelilingnya dilingkungi oleh pohon-pohon besar
kecil yang tumbuh subur.
Sekian lama ia berdiri terlongong, semakin pikir hatinya semakin ciut dan kejut, tak tahu dia
cara bagaimana dirinya nanti keluar dari hutan jati yang lebat dan membingungkan ini. Pikir punya
pikir Kiu-yu-mo-lo menggeram dengan aseran, tiba-tiba ia berlari lagi menerobos hutan, tapi
loncatan tubuhnya hanya tiga empat kaki tingginya, seolah-olah daun-daun pohon di atas
kepalanya tak mampu dicapainya.
Bukan kepalang kejut hatinya, seketika ia menjadi sadar dan terpikir olehnya suatu kabar berita
yang pernah didengarnya dulu, seketika mukanya berubah pucat, tangannya menjadi lemas, Hun
Thian-hi yang dikempit di bawah ketiaknya melorot jatuh di tanah. Ia berdiri terlongong dengan
putus asa.
Menurut kedaan yang dihadapinya sekarang, apakah dirinya sudah masuk ke dalam barisan
Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin? Sejak dulu pernah kudengar nama barisan yang hebat itu, apakah
hari ini aku mengalami sendiri jatuh ke dalam barisan penggugah iblis itu?
Karena dipengaruhi oleh pikirannya ia berdiri tegak terkesima dengan muka pucat, bila sudah
terjebak masuk ke dalam barisan menggugah iblis itu seumpama kepandaian maha lihay setinggi
langi tpun jangan harap dapat keluar dari kurungan, demikianlah keadaan dirinya sekarang harus
pasrah nasib jiwa sendiri tergenggaan ditangan orang.
Waktu ia angkat kepala celingukan sekelilingnya hening lelap. Mendadak teringat olehnya akan
Hun Thian-hi segera ia menyeringai dingin, teriaknya, “Apakah jiwa Hun Thian-hi tidak kalian
hiraukan lagi? Awas kubunuh dia!” sembari mengancam ia angkat tangannya mengincar batok
kepala Hun Thian-hi, sedang kuping dipasang serta mata memeriksa keadaan sekelilingnya.
Sekonyong-konyong sebuah suara yang lirih seperti bunyi nyamuk terkiang dipinggir kupingnya,
“Setelah masuk ke dalam Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin masih berani timbul angan2 jahatmu?”
Berubah air muka Kiu-yu-mo-lo, kiranya benar-benar dirinya sudah terjebak ke dalam Thay-siciang-
soat-lian-mo-tin konon kabarnya barisan ini setiap seabad muncul sekali di Kangouw,
tujuannya adalah menggugah kesadaran jiwa setiap gembong iblis yang sudah terlalu banyak
membuat kejahatan, tapi selama itu tiada seorangpun yang tahu alamat dan keadaan sebenarbenarnya
dari barisan yang lihay itu. tapi itu kenyataan bukan khayal belaka, dan buktinya
sekarang dirnya telah berada di dalam barisan yang sangat ditakuti oleh kaum sesat itu.
Ilmu silat yang dipelajari dari Hian-thian-mo-kip belum lagi mendapat hasil yang memuaskan,
sungguh penasaran kalau dirinya harus berkorban secara konyol disini. setelah terlongong,
akhirnya ia berseru, “Hun Thian-hi berada ditanganku, dia menggembol rahasia Ni-hay-ki-tin,
dengan segala rahasia yang berharga itu untuk menebus jiwaku, apakah belum setimpal?
Ingatanku sekarang masih segar bugar, bila kudapati rahasia Ni-hay-ki-tin itu pasti akan
kuhancurkan lebih dulu, kuharap kau tidak menyesal setelah terlambat!”
Sesaat kemudian suara lirih seperti nyamuk itu berkata lagi, “Kejahatan yang kau pernah
lakukan terlalu banyak. dosamu tak berampun, masih kan berani menggunakan Hun Thian-hi
untuk mengancam padaku. dosamu lebih tak bisa diampuni lagi. kau kira kau masih segar dan
belum hilang ingatan? Bila ingatanmu masih segar, sejak tadi kau sudah keluar dari barisan itu!”
— Lenyap suaranya suasana sekelilingnya kembali menjadi lelap.
Dengan rasa kebencian yang berlimpah Kiu-yu-mo-lo mengumpat caci. pelan-pelan tangan
yang terangkat tinggi diturunkan, rasanya kurang tepat bila membunuh Hun Thian-hi sekarang.
pikirnya bila Hun Thian-hi berada ditanganku. dengan adanya sandera yang kuat ini akan kulihat
sampai kapan kau kuat bertahan mengurung aku.
Begitulah ia lantas duduk bersimpuh, tangan kanannya masih mencengkeram pergelangan
tangan Hun Thian-hi, ia pejamkan mata dan pelan-pelan mulai melatih ilmu yang dipelajari dari
Hian-thian-pit-kip.
Angin menghembus sepoi-sepoi, dedaunan pohon disekitarnya terdengar berkeresekan seperti
bergerak. Kiu-yu-mo-lo duduk tenang tanpa bergerak. tahu dia bahwa Thay-si-ciang-soat-lian-motin
sudah mulai bergerak. tapi terpikir olehnya bahwa semua itu tak lebih sebagai pandangan
khayal yang mengaburkan ingatan manusia belaka, asal aku kuat mengendalikan hati dan pikiran,
apa yang harus kutakuti!
Hawa nan sejuk di dalam hutan semakin terasa panas, pohon-pohon disekelilingnya
kelihatannya berubah menjadi serba merah, seluruh hutan jati ini seperti terbakar jago merah
yang membara lambat laun kobaran api semakin besar, seluruh hutan jati ini menjadi lautan api.
Kian lama Kiu-yu-mo-lo merasa seluruh badan makin panas seperti dipanggang, sungguh tidak
tartahan lagi suhu panasnya.
Ia menengadah celingukan ke arah sekitarnya, tampak dimana-mana api sudah menjilat
semakin besar, berulangkali ia ingin bangkit dan lari keluar dari lingkungan kobaran api ini, tapi
selalu gagal dan urung, akhirnya ia duduk bersimpuh kembali.
Akhirnya Kiu-yu-mo-lo berpikir; bila aku benar-benar ingin lari juga tidak mungkin lolos dari
Kepungan kobaran api yang begini besar. Seumpama mati juga ikhlas karena Hun Thian-hi akan
menyertainya ke jalan alam baka, bila kalian memang tidak ingin menyelamatkan jiwa Hun Thianhi,
apa boleh buat, biar aku gugur bersama dia.
Demikian ia berpikiran secara nekat Karena tujuan orang mengurung dirinya di dalam barisan
ini terang bertujuan untuk menolong Hun Thian-hi. Dengan adanya Hun Thian-hi sebagai sandera
apa lagi yang perlu dilakuti.
Sementara itu bara api disekitarnya lambat laun mulai mengecil dan akhirnya padam. Empat
penjuru menjadi gelap gulita, pulih seperti sediakala. hutan jati yang lebat dan sejuk, sunyi dan
lelap.
Kiu-yu-mo-lo menjadi terlongong, baru sekarang ia sadar, kiranya tadi matahari sedang
terbenam, sebaliknya dirinya mengira dirinya terkurung di dalam lautan api. Begitulah ia
termangu-mangu, tiba-tiba terasa hawa mulai dingin dan angin menghembus keras. Kiu-yu-mo-lo
mandah mendengus hidung, waktu ia melirik ke arah Hun Thian-hi yang rebah disampingnya.
tampak orang seperti tertidur pulas tak kurang suatu apa, ia kertak gigi pikirnya pasti aku
terombang-ambing di dunia khayalan belaka, kenapa aku urus segala gejala yang menyesatkan
ini?
Batinnya memang merasa akan gejala yang tidak wajar itu dan tak mau peduli lagi, tapi
hembusan angin kenyataan semakin dingin seperti hampir membekukan seluruh sendi tulangnya.
Ia kertak gigi dan berpikir, “Hembusan angin dingin betapapun tidak akan mempersukar dan
meruntuhkan kekuatan batinku!” — begitulah ia duduk tenang tanpa bergeming.
Berselang tak berapa lama, hawa semakin dingin tiba-tiba ia membuka mata mengawasi Hun
Thian-hi, tiba-tiba timbul pikirannya, “Bila dia siuman bagaimana perasaannya?” — Segera ia
kebutkan lengan, bajunya membebaskan seluruh jalan darah Thian-hi yang tertutuk.
Pelan-pelan Hun Thian-hi siuman dan membuka mata, kuatir orang melarikan diri cepat-cepat
Kiu-yu-mo-lo menggencet urat nadi pergelangannya. Pelan-pelan Hun Thian-hi merangkak bangun
duduk bersila, sekilas ia pandang Kiu-yu-mo-lo tanpa bersuara, ia tidak tahu cara bagaimana
dirinya bisa sampai di tempat itu, yang terang dirinya masih tertawan oleh Kiu-yu-mo-lo jadi Ham
Gwat tak berhasil menolong dirinya.
Sikap Hun Thian-hi tenang dan acuh tak acuh akan keadaan sekelilingnya, Kiu-yu-mo-lo jadi
heran. tanyanya, “Tahukah kau dimana sekarang kita berada?”
Thian-hi memandangnya tawar, ia rada curiga akan sikap pertanyaan Kiu-yu-mo-lo ini,
mimpipun ia tidak mengira bahwa dirinya ternyata ikut terjeblos di dalam barisan menggugah iblis
yang lihay itu. Tanpa bersuara ia menundukkan kepala.
Kata Kiu-yu-mo-lo menjelaskan, “Ketahuilah kita berdua sudah terperangkap ke dalam Thay–siciang-
soat-lian-mo-tin oleh kawan baikmu itu!”
Thian-hi tersentak kaget sambil menengadah mengawasi Kiu-yu-mo-lo, sungguh kejut dan
girang pula hatinya, sungguh tidak nyana bahwa dirinya sekarang berada di dalam Thay-si-ciangsoat-
lian-mo-tin. Entah dengan cara apa Ham Gwat bisa berhasil mengurung Kiu-yu-mo-lo ke
dalam barisan ini.
“Kelihatannya kau sangat girang ya?”
Thian-hi tertunduk diam. Kiu-yu-mo-lo menjadi berang, jengeknya, “Jangan kau merasa senang
lebih dulu. Ketahuilah bila, aku tidak bisa keluar kau pun takkan bisa hidup. Dengan ada kau disini,
betapa pun mereka takkan berani berbuat apa-apa terhadap diriku.”
Thian-hi manggut-manggut, ujarnya, “Benar-benar, aku sendiri menjadi tidak tega bila kau
terkurung sendirian disini, Apalagi bila kau dapat keluar paling tidak dapat memberi tekanan berat
terhadap Tok-sim-sin-mo!”
Mendengar nada perkataan Hun Thian-hi berubah cegitu cepat, sesaat Kiu-yu-mo-lo menjadi
melongo dibuatnya. Tanpa hiraukan Kiu-yu-mo-lo. Thian-hi bersimpuh dan mejamkan mata, pelanpelan
ia kerahkan Pan-yok-hian-kang untuk memulihkan kesegaian badannya.
Sementara itu Kiu-yu-mo-lo sudah merasa hawa semakin dingin sehingga badannya yang tua
renta itu gemetar. Dilihatnya Thian-hi duduk tenang-tenang seperti tidak kurang suatu apa,
hatinya merasa aneh tak habis herannya, akhirnya iapun menghimpun semangat dan memusatkan
pikiran mulai samadi.
Hari kedua, waktu terang tanah badan Hun Thian-hi sudah pulih kesegarannya, sebaliknya
keadaan Kiu-yu-mo-lo semakin lesu dan jompo. Hun Thian-hi menjadi heran dan bertanya-tanya.
Tapi terpikir olehnya mungkin Kiu-yu-mo-lo sudah terseret ke dalam alam khayal yang mulai
menyedot sukmanya yang sesat kalau keadaah begitu terus berlarut dalam jangka dua hari lagi
mungkin dia sendiri takkan kuasa mengendalikan dirinya lagi.
Sebetulnya Kiu-yu-mo-lo juga menyadari akan hal ini. Waktu ia melihat cara latihan Thian-hi
yang begitu wajar dan tenang, Lwekangnya yang tinggi dan ampuh itu sebetulnyalah bahwa
dirinya takkan mampu lagi mengendalikannya, diam-diam terpikir cara lain untuk mengatasinya.
Hun Thian-hi menyedot hawa segar, Kiu-yu-mo-lo segera melepaskan cengkeraman tangannya
katanya, “Jangan mimpi kau dapat lari dari hadapanku!”
Hun Thian-hi mandah tertawa ewa, jalan darah pergelangannya dicengkeram musuh sehingga
ia tak kuasa menyempurnakan latihannya menurut kesukaan hatinya, tapi dari persentukan tangan
ini diam-diam ia dapat mengukur sampai dimana sebenar-benarnya kepandaian sejati Kiu-yu-molo.
sebenar-benarnyalah bahwa Lwekang Kiu-yu-mo-lo jauh di bawah perkiraannya semula, juga
terlalu jauh dibanding dengan Tok-sim-sin-mo. Tak tahu kenapa ia harus kelana pula di Kangouw
sebelum ilmu yang dipelajari dari Hian-thian-mo-kip sempurna, malah katanya hendak membuat
perhitungan dengan Tok-sim-sin-mo apa segala. Atau mungkim dia punya tujuan lain, justru yang
ketemu adalah dirinya.
“Lekas kau suruh perempuan baju hitam itu melepas kita keluar!” demikian desak Kiu-yu-mo-lo
dengan aseran.
Hun Thian-hi tersenyum, sahutnya, “Aku sendiri pun ingin keluar, tapi bila kau ikut keluar pasti
dia tidak akan melepaskan kau. Ka-yap Cuncia sudah membelenggu kau selama lima puluh tahun,
hukuman selama itu masih belum bisa membuat kau bertobat dan mencuci hati membina diri,
kembali menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, sebaliknya kau berbuat kejahatan pula
di Bulim, aku sebagai manusia biasa tak kukenal parbedaan antara berat dan ringan. Coba bila kau
sendiri yang menjadi dia, bagaimana sikap dan apa yang akan kau lakukan?”
Kiu-yu-mo-lo menyeringai sinis. katanya, “Kau menggembol rahasia Ni-hay-ki-tin, bekal yang
kau bawa itu jauh cukup dapat menjadikan kau bersimaharaja di Bulim, masa kau sendiri tidak
tahu atau pura-pura tidak tahu!”
Hun Thian-hi tartawa tawar, ujarnya, “Maksudmu Badik buntung itu bukan? Ketahuilah bahwa
Badik buntung sudah terjatuh ketangan Bu-bing Loni, kau belum tahu.”
Kiu-yu-mo-lo rada tercengang, tanyanya, “Serangkanya juga maksudmu?”
Melonjak keras jantung Hun Thian-hi, pikirnya, “Apakah rahasia Ni-hay-ki-tin itu berada di atas
serangka Badik buntung itu?” — ia manggut-manggut membenar-benarkan.
Kiu-yu-mo,lo menghela napas lesu, dengan putus asa ia menunduk, katanya sesaat kemudian,
“Kalau begitu, tiada halangannya kuberitahu soal ini kepada kau. Ketahuilah rahasia Ni-hay-ki-tin
di seluruh kolong langit ini hanya aku dan Tok-sim-sin-mo serta I-lwe-tok-kun bertiga yang tahu,
Samte atau Pek Si-kiat kita kelabui, sengaja kami tidak mau memberitahu padanya.”
Bercekat hati Hun Thian-hi, kiranya mereka bertiga sama dalam satu gerombolan.
“Bicara terus terang, yang benar-benar tahu jelas segala rahasia ini bukan melulu kami bertiga
saja.” demikian sambung Kiu-yu-mo-lo. “Itulah Ling-lam-kiam-ciang Coh Jian-jo, dia paling tahu
dan jelas sekali mengenai rahasia ini, ketahuilah bahwa Ni-hay-ki-tin adalah warisan dari
leluhurnya. turun temurun sampai jaman ini, tapi Badik buntung selalu berpindah tangan. Kami
bertiga pun tiada yang mau mengalah satu sama lain, kami masing-masing insyaf diri sendiri tidak
akan kuat menghadapi dua orang yang lain maka tiada berani sembarangan turun tangan merebut
Badik buntung itu.”
Sampai disini ia menepekur sekian saat baru melanjutkan, “Coh Jian-jo pernah tertawan oleh
kami bertiga, sayang ia berhasil melarikan diri. Dan tidak lama setelah kejadian itu Si-gwa-sam-mo
sama dikurung oleh Ka-yap Cuncia di dalam Jian-hud-tong!”
“Jadi maksudmu rahasia Ni-hay-ki-tin itu sebetulnya berada di atas serangka Badik buntung
itu?” tanya Hun Thian-hi.
Kiu-yu-mo-lo manggut-manggut, sahutnya, “Mungkin begitu. tapi kebenar-benarannya harus
tanyakan langsung kepada Coh Jian-jo!”
Diam-diam Thian-hi mengutuk kejahatan Mo-bin Su-seng, meski dia sudah dibikin cacat dan
dipunahkan ilmu silatnya oleh Ka-yap Cuncia, namun masih tidak mau menyerah, begitu tamak
dengan segala kelicikan dan kekejamannya berusaha mendapatkan Badik buntung sehingga dunia
persilatan menjadi geger dari kemelut karena perebutan Badik buntung itu, secara licik ia hendak
menunggangi keuntungan dalam perebutan ini, yang diincar melulu serangkanya saja, untung
dalam dua kali peristiwa perebutan itu tidak tercapai harapannya.
Teringat oleh Thian-hi akan serangka Badik buntung yang sekarang masih tersimpan di dalam
kantong bajunya, ingin rasanya dikeluarkan untuk diperiksa, sebetulnya macam apakah rahasia
menemukan Ni-hay-ki-tin itu, sehingga menimbulkan perebutan manusia-manusia tamak dan
mengambil banyak korban.
“Mungkin kau heran, kenapa kami ingin memiliki Ni-hay-ki-tin itu bukan?” demikian tanya Kiuyu-
mo-lo, “Bahwasanya jarang kaum persilatan yang tahu, mereka menyangka disana terpendam
harta benda yang tak ternilai harganya, sebetulnyalah disana tiada sepeserpun barang-barang
berharga, yang ada hanyalah pelajaran ilmu silat yang maha lihay.”
“Tapi sekarang kau telambat untuk dapat memilikinya!”
“Tidak, kukira aku masih punya harapan untuk keluar, setelah keluar aku akan langsung
mencari Bu-bing Loni!”
“Anggapmu Bu-bing Loni kamu keroco? Janganlah kau lupa beliau adalah keturunan dari ilmu
Hui-sim-kian-hoat dari Ngo-bi-pay!”
Kiu-yu-mo-lo menjadi tertegun, katanya, “Kalau keturunan murid Ngo-bi-pay emangnya mau
apa. Anggapmu aku tidak kuasa menempur dia?”
“Kukira kau bukan tandingannya, semestinya kau sendiri juga jelas akan hal ini. Tentu kau
menghadapi kesukaran dalam berlatih Hian-thian-mo-kip bukan?”
Mendelik gusar biji mata Kiu-yu-mo-lo, desisnya, “Darimana kau bisa tahu? Kau ….” mendadak
ia sadar mana boleh dia membocorkan rahasia ini begitu saja sehingga Hun Thian-hi ikut
mengetahui, meskipun batinnya sangat berang, tapi segera ia tutup mulutnya.
“Pelajaran Hian-thian-mo-kip tidak bakal berhasil dilatih dalam waktu singkat, jelas kau pasti
menemui kesukaran, tapi sudah mendapat hasil yang lumajan, kuatir bila Tok-sim-sin-mo lolos dari
belenggu dan sukar diatasi, kau ingin pula mengangkangi Ni-hay-ki-tin itu, maka terpaksa kau
muncul pula di Kangouw, benar-benar tidak?”
Kiu-yu-mo-lo menyeringai dingin, katanya, “Analisamu memang benar-benar, yang penting aku
hanya ingin mencari seseorang, orang ini dapat membantu aku menyempurnakan latihan
pelajaran yang termuat di dalam Hian-thian-mo-kip itu!”
Berkilat mata Hun Thian-hi, mulutnya bungkam.
Kiu-yu-mo-lo menengadah memandangi pohon-pohon jati nan jauh di depan sana, suaranya
lirih, “Kau belum tahu akan kelicikan dan keganasan Tok-sim-sin-mo, dia merupakan satu
pasangan dengan I-lwe-tok-kun itu, tapi daya pikirnya masih rada ketinggalan oleh kecerdikan Ilwe-
tok-kun Kalau aku bisa keluar dari barisan ini tujuan yang pertama aku harus bunuh dia!”
Hun Thian-hi tersenyum geli, katanya, “Duduk saja tenang-tenang, selama hidup ini takkan ada
harapan dapat keluar!”
Kiu-yu-mo-lo menghela napas rawan, ujarnya, “Kau kira Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin ini
begitu gampang? Kecuali yang pasang perangkap sengaja melepas kita, kalau tidak selama hidup
ini kau dan aku memang harus tetap disini, jangan harap bisa keluar!”
Melihat orang menghela napas Hun Thian-hi rada heran, Kiu-yu-mo-lo sudah mulai lemah,
agaknya batinnya mulai sadar. Terpikir olehnya bila setiap hari berada di tempat ini apalagi pikiran
dan pandangan selalu tenggelam dalam khayalan, betapapun sebagai manusia biasa kita takkan
kuat bertahan, justru Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin merupakan alat penyadar dan penggugah
kesesatan yang tidaklah gampang dihadapi begitu saja!
Sambil terengah-engah Kiu-yu-mo-lo bangkit sembari menyeret Hun Thian-hi, katanya, “Kau
ikut aku, jangan mimpi untuk lari. jika kau lari, segera kubunuh kau!” lalu mereka beranjak ke
depan, entah kemana tujuannya.
Begitulah pelan-pelan ia seret Thian-hi maju terus ke depan, entah berapa lama dan berapa
jauhnya, mendadak dilihatnya di depan Sana terbentang daun-daun pohon nan subur menghijau,
itulah rumpun pohon-pohon bambu yang kelihatan sangat menyolok dan menyegarkan.
Dengan kejut ia kucek2 kedua matanya, ia ragu-ragu dengan apa yang dia lihat, tapi kenyataan
apa yang dia lihat ini bukan khayalan belaka, keruan bukan kepalang girang hatinya, syukurlah
akhirnya toh aku bisa keluar dari kurungan pohon jati ini.
Tengah Kiu-yu-mo-lo kegirangan, mendadak terasa tangannya kesendal oleh saluran tenaga
dalam yang kuat, kontan pegangan kelima jarinya terlepas, sembari menggerung gusar ia
membalik tubuh, kedua telapak tangannya bersama menepuk ke arah Hun Thian-hi.
Gesit sekali Hun Thian-hi sudah menyurut mundur terus menggelinding dan menghilang di
dalam rumpun daun-daun semak belukar.
Kiu-yu-mo-lo tidak berani mengejar, ia takut kehilangan kesempatan untuk keluar dari barisan,
terpaksa ia mengumpat caci dan melampiaskan gusarnya dengan menghantamkan tangannya ke
arah semak-semak, keadaan yang rapi dari semak pohon-pohon itu seketika menjadi porak
peronda, daun berguguran.
Waktu Kiu-yu-mo-lo membalik tubuh, tampak daun-daun menghijau di depan Sana masih
kelihatan, pelan-pelan ia lantas beranjak menghampiri, setelah dekat itulah serumpun hutan
bambu, keluar dari hutan bambu ini dihadapannya berdiri tegak sebuah bangunan gedung
berloteng, sejenak ia berdiri menjublek, pikirnya, setelah sampai disini kenapa harus takut-takut
masuk kesana. Begitulah ia maju lagi setiba diambang pintu ia mendongak tempak di atas pintu
bertuliskan empat huruf besar “Thay-si-yu-king” (Alam khayalan), mencelos hatinya, setitik
harapan yang bersemi dalam sanubarinya tadi seketika amblas, kabut berbondong-bondong
mengepul dari tanah disekitar kakinya, lambat laun dirinya seperti dibungkus oleh kabut putih
yang bergulung-gulung itu, selayang pandang melulu warna putih yang tidak berujung pangkal
lagi. Pikirannya Kiu-yu-mo-lo juga menjadi kosong dan seperti memutih sama sekali,
Sekian lama ia menjublek, akhirnya meloso duduk kelelahan. otaknya sudah berhenti bekerja.
yang terasa bahwa sang waktu selalu berhenti di dalam kejap yang sama, dunia ini terasa sepi dan
hening seolah-olah tiada kehidupan lagi dimajapada ini, hatinya semakin dikili2 seperti ingin
meronta, rela sudah bila aku mati saja daripada tersiksa macam ini!
Entah berapa lama, keadaan masih seperti itu, sungguh sedih dan rawan sekali batin Kiu-yumo-
lo, akhirnya ia berteriak-teriak seperti orang gila sesambatan, namun yang didengar hanyalah
gema suaranya sendiri dari empat penjuru. Akhirnya ia berhenti berteriak. dengan putus asa ia
celingukan ke sekitarnya, ‘aku sudah kejeblos ke dalam alam khayal yang menyesatkan pikiran.
mungkin selama hidup ini tidak akan bisa keluar lagi.’
Duduk bersimpuh pikiran Kiu-yu-mo-lo sekarang mulai bekerja, tapi kalut dan berpikir secara
abnormal. Terpikir olehnya bila dia berhasil keluar pekerjaan apa yang harus dia lakukan, aku akan
bunuh seluruh manusia yang tidak kusenangi, aku harus mendapatkan Ni-hay-ki-tin, menjadi jago
silat nomor satu di seluruh kolong langit yang tiada tandingan, barisan macam setan yang
menyesatkan ini akan kuhancur leburkan, tidak ketinggalan pencipta dari barisan gaib inipun akan
kusiksa sampai mampus….
Begitulah alam pikirannya melayang-layang. entah berapa lama ia memutar otak, kadangkadang
mulutnya menggeram, tangan menepuk tanah, matanya berkilat menyapu sekelilingnya,
tapi yang dilihatnya sama adalah alam keputihan yang menyilaukan pandangan matanya, akhirnya
ia menghela napas. Sekarang otaknya terasa kosong pula, yang terpikir tadi melulu hanyalah
khayalan hatinya belaka. pikiran yang tidak mungkin dicapai dan dilakukan olehnya.
Kini teringat olehnya akan waktu mudanya. sejak ia masih bocah mengangkat guru belajar silat
sampai dia kelana di Kangouw, ganti berganti pengalaman dulu terbayang dikelopak matanya,
heran dia kenapa aku bisa mengenangkan masa lalu, belum pernah aku terkenang akan masa
yang telah silam itu tapi masa silam yang penuh kenangan itu sekarang terbayang dalam alam
pikirannya.
Hatinya mulai mengeluh dan merasa derita. Terbayang betapa takut hatinya waktu pertama kali
ia membunuh orang, dari kelakuan lurus aku semakin terperosok kejalan sesat dan menyeleweng
dari ajaran guru, akhirnya malang melintang sebagai salah seorang dari Si-gwa-sam-mo yang
ditakuti, perbandingan dari awal mula dan babak terakhir ini, perubahan yang begitu cepat betulbetul
membuat sanubarinya merasa heran dan kejut.
Dalam Jian-hud-tong tanpa disadarjnya ia menetap lima puluh tahun lamanya, meski dalam
waktu yang begitu lama selalu aku berpikir mencari akal untuk meloloskan diri untuk menuntut
balas kepada Ka-yap Cuncia. terutama waktu secara tak terduga memperoleh Hian-thian-mo-kip,
angan2 untuk menuntut balas semakin membakar sanubarinya. Tatkala itu aku bertahan untuk
hidup dan hidup ini memang untuk menuntut balas, tapi bagaimana sekarang?
Entahlah aku tidak tahu lagi. di dalam dunia kehidupan yang serba memutih ini, apa pula yang
harus kutuntut untuk kubalas? Lambat laun ia menyesal dan putus asa, “Thay-si-ciang-soat-lianmo-
tin tidaklah begitu gampang dibobol atau dipecahkan seperti dugaannya semula, keadaan
yang abstrak tidak berbentuk ini, betapapun jauh lebih hebat lebih sukar dihadapi daripada
belenggu rantai dari Ka-yap Cuncia. Untuk meloloskan diri harapannya sangat nihil.
Kiu-yu-mo-lo menepekur lagi, pikirannya melayang kembali mengenang pengalamannya
dahulu, ia duduk dengan hampa dan perasaan kosong. entah apa yang harus dilakukan, ia
mandah terima nasib saja. Lambat laun ia merasa menyesal dan bertobat. perbuatannya dululah
yang justru membuat dirinya sekarang menerima akibatnya ini. Dengan mendelohg ia pandang ke
sekelilingnya tak berani ia kenang masa silam pula, ia menjadi sebal dan gegetun karena keadaan
sekelilingnya” tetap sama tak pernah berubah seakan-akan sang waktu berhenti berjalan tak
bergerak lagi. Dibanding di dalam Jian-hud-tong jauh lebih sunyi dan lelap.
Tak tahan lagi ia bergegas melompat bangun, kedua telapak tangannya terayun menepuk dan
menghantam serabutan ke segala penjuru, kemana angin pukulannya yang dahsyat itu
menyamber keluar, sedikitpun tidak dengar desir angin atau gelombang pergerakan akibat dari
pukulannya, akhirnya ia berteriak melengking putus asa, tapi gema teriakannya pun tak terdengar
lagi, ia meloso duduk lemas, airmata meleleh keluar. suaranya sendiri pun tak kuasa dikendalikan
lagi.
Dengan lemas ia bersimpuh memejamkan mata, lambat laun timbul rasa sesal dalam benaknya
dan rasa menyesal ini semakin besar sampai mengetuk sanubarinya, ja, sepak terjang dulu waktu
masih muda harus disesalkan, batinnya mulai bertobat.
Hati kecilnya berteriak dengan kekosongan jiwa yang menggersang, sungguh ia sendiri pun
tidak nyana bahwa akhirnya ia harus menyesal, terasa betapa kerdil jiwanya ini begitu bejat dan
kejam serta telengas hidup jiwanya ini, suka membunuh dan selalu ingin membunuh seolah-olah
jiwa manusia tidak berharga sepeserpun, membunuh manusia seperti membabat rumput layaknya.
Sebenar-benarnyalah setiap manusia sangat menghargai jiwa masing-masing. tapi kenapa aku
tidak menghargai jiwa mereka?
Karena rasa sesalnya ini sekian lama ia terlongong. Baru sekarang ya sadar dan insaf
bagaimana mungkin dirinya terjeblos ke dalam barisan penggugah iblis ini, seharusnya ia tidak
punya rasa benci dan dendam, apa pula salahnya jiwaku tergugah dari kesesatan disini! Detik
demi menit berlalu, lambat laun keadaan sekitarnya terasa mulai berubah, keadaan menjadi
terang benderang dan bercahaya menyegarkan hati, namun ia masih duduk tenang tak bergerak.
Dalam pada itu. setelah luput dari pengejaran Kiu-yu-mo-lo Hun Thian-hi berhasil lari sembunyi
ke dalam gerombolan semak-semak rumput tinggi, waktu ia merangkak bangun dan celingtikan
tiba-tiba dari semak-semak rumput di depannya sana muncul sebuah wajah nan jelita, itulah Ham
Gwat yang muncul dari balik semak-semak sana, berdiri tegak dihadapannya, dengan cermat ia
pandang dirinya.
Thian-hi menjadi haru dan sangat berterima kasih, katanya melangkah mendekat, “Kali ini nona
pula yang menolong jiwaku!”
“Bukan aku melulu yang menolong kau,” ujar Ham Gwat pelan-pelan, “Lo-cianpwe yang
kukatakan itu ingin menemui kau, mari kau ikut aku menemui beliau!”
Tanpa bicara Hun Thian-hi ikut di belakang Ham Gwat, hatinya dirundung berbagai pikiran
hatinya rada malu dan menyesal, biasanya aku selalu membanggakan dan mengagulkan
kepandaian sendiri, beberapa kali kena diringkus atau tertawan oleh musuh selalu Ham Gwat yang
menolong diriku.
Tak lama kemudian mereka sudah keluar dari hutan jati, Hun Thian-hi berpaling ke belakang
sungguh ia hampir tidak percaya bahwa hutan jati ini adalah Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin yang
tenar dan ditakuti di Bulim, jadi orang aneh yang ingin ditemui atas prasaran Ham Gwat ini pasti
adalah Thay-si Lojin yang kenamaan di seluruh kolong langit tapi belum ada orang pernah melihat
akan ujudnya. Kalau begitu sungguh beruntung nasib Ham Gwat.
Ham Gwat membawa Thian-hi memasuki sebuah kamar batu, kata Ham Gwat, “Silakan kau
masuk sendiri menemui beliau, kutunggu kau disini!”
“Terima kasih!” kata Thian-hi, sejenak ia pandang Ham Gwat lalu pelan-pelan berjalan-jalan
masuk.
Dalam kamar batu yang remang-remang tampak duduk bersila seorang tua. setelah dekat baru
jelas bahwa kedua kaki orang tua ini sudah buntung, kelihatannya terpotong oleh senjata tajam.
Raut wajah orang tua ini sudah penuh keriput. namun selebar mukanya mengulum senyum
manis, dia mengangguk kepada Thian-hi, segera Thian-hi berlutut dan menyembah, sapanya,
“Wanpwe Hun Thian-hi menghadap Cianpwe!”
“Lekas bangun,” ujar si orang tua lemah lembut, menurut kata Gwat-ji kau adalah keturunan
atau ahli waris dari Wi-thian-cit-ciat-sek?”
Thian-hi manggut-manggut, sahutnya, “Terima kasih pada Cianpwe yang telah menolong
jiwaku.”
Si orang tua menggoyang tangan, ujarnya, “Kau tak usah sungkan, sebagai ahli waris “Withian-
cit-ciat-sek seharusnyalah aku menolong kau, apalagi kau harus segera menyusul ke Siaulim-
si bukan!” Lalu ia melanjutkan, “Menurut Gwat-ji kau hanya memperoleh Kiam-boh dari Withian-
cit-ciat-sek itu, tapi belum mempelajarinya secara sempurna, intisari yang dalam itu?”
Hun Thian-hi manggut-manggut, sahutnya, “Memang begitu, harap Cianpwe suka memberi
petunjuk,” dari lubuk hatinya yang dalam timbul suara perasaan bahwa si orang tua dihadapannya
ini agaknya bersikap sangat baik terhadap Ham Gwat. kalau tidak salah mungkin punya hubungan
dalam yang sangat erat. sehingga iapun bersikap ramah dan baik terhadap aku. tapi dari sorot
matanya itu kelihatan bahwa hatinya pasti dirundung janggalan hati yang belum terlampias.
Kata pula si orang tua sembari tertawa, “Ham Gwat bersikap baik terhadap kau, kaupun bagus,
aku…. kuharap kau ingat kata-kataku ini, berlakulah baik terhadapnya, dia….” sampai disini ia
menghela napas, lalu melanjutkar dengan suara lebih lirih, “Bila kau tahu riwayat hidupnya. pasti
kau akan merasa dan tahu bahwa hidupnya sungguh harus dikasihani!”
Hun Thian-hi terbungkam menunduk, akhirnya tak tertahan ia bertanya, “Cianpwe tahu akan
riwayat hidupnya?”
Pelan-pelan orang tua manggut-manggut, ujarnya, “Ya, tapi dia sendiri justru tidak tahu.”
Heran dan terperanjat hati Thian-hi, heran dia kenapa orang tua ini bisa tahu jelas akan riwayat
hidup Ham Gwat, tapi kenapa tidak memberitahu kepadanya, entah apakah sebabnya.
Dengan seksama orang tua awasi Thian-hi, sesaat baru buka suara, “Kaupun sudah tahu
riwayat hidupnya bukan?”
Thian-hi rada sangsi, dia tidak tahu apa hubungan orang tua ini dengan Ham Gwat, namun
tentu tiada maksud jahat terhadapnya, akhirnya ia manggut-manggut, sahutnya, “Tahu sedikit.”’
Terpancar cahaya tegang dan rasa heran dari sinar mata si orang tua, tanyanya, “Darimana kau
ketahui?
“Kudengar langsung dari penuturan ibundanya!”
Tergetar badan si orang tua, matanya semakin berkilat dan memancarkan sinar aneh, bibirnya
gemetar, agaknya banyak kata-kata yang ingin diucapkan tapi urung, akhirnya ia tertunduk.
Heran Thian-hi dibuatnya, hatinya bertanya-tanya, tapi ia tutup mulut.
Berselang lama si orang tua menepekur, akhirnya ia angkat kepala dan berkata, “Kalau begitu,
banyak omongan yang perlu kuberitahu pada kau. Tapi kau harus berjanji sementara tidak
memberitahu hal ini kepada Ham Gwat!”
Thian-hi menjadi ragu-ragu malah, tanyanya, “Apakah aku perlu mengetahui hal-hal itu?”
Orang tua itupun berpikir, katanya, “Tahukah engkau siapakah aku? Aku adalah Suheng
ibundanya, juga menjadi Suheng dari Bu-bing Loni. Tapi aku banyak berbuat kesalahan terhadap
ayah bundanya, agaknya Ham Gwat sudah mendapat firasat ini, dia selalu tidak mau menerima
segala bantuanku, tapi kali ini demi kau dua kali ia memohon kepada aku!”
Kejut dan girang pula hati Thian-hi, sungguh tak diketahuinya akan terjadinya hal-hal itu. Orang
tua ini pasti sedang menyesali perbuatannya dulu, entahlah kesalahan besar apa yang dulu sudah
dia perbuat atas diri ayah bunda Ham Gwat.
“Selama hidupku ini aku hanya sesalkan perbuatanku itu,” demikian tutur si orang tua, “Tapi
kesalahanku itu selama hidup ini mungkin takkan mungkin dapat kutebus lagi.” ia menghela napas
rawan.
“Tahu bersalah dapat mengubahnya itulah perbuatan seorang susilawan, kenapa pula harus
berkeluh kesah, cobalah kau lakukan segala sesuatunya yang kau pandang baik demi
perikemanusiaan, mungkin Segala perbuatan dharma bhaktimu itu akan menebus segala dosa2
yang lalu. Kau belum lagi pernah melaksanakan darimana kau bisa tahu bahwa kesalahanmu
takkan dapat ditebus”
Orang tua itu manggut-manggut, ujarnya, “Kau sudah pernah ketemu ibunya, kau harus tahu
yang mencelakai ibunya adalah Bu-bing Loni, tapi algojonya adalah aku. Aku pernah sirik dan
menjelusi ayahnya, sehingga aku melakukan segala perbuatan tercela yang tidak mungkin dapat
kusesali pula selama hidup ini, aku ingin menyesal dan sesalanku itu harus kutebus pada diri Ham
Gwat, namun dia selalu menampik secara halus segala bantuanku!”
“Tapi yang jelas akhirnya kau sudah menyesal bukan?” tanya Hun Thian-hi prihatin.
Orang tua tertawa tawar, kepalanya menengadah matanya mengawasi jauh ke depan, sesaat
baru bersuara, “Akhirnya! Akhirnya Bu-bing membacok buntung kedua kakiku ini, mempunahkan
seluruh ilmu silatku lagi, tatkala itu baru aku sadar, baru aku merasa menyesal setelah kasep.
Untung Thay-si Locin sudi menerima aku sebagai muridnya, setelah beliau wafat aku lantas
berdiam disini mengurus dam menjaga Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin ini!”
“Tidak terlambat, belum terlambat, kau sudah pernah menyesal, maka sesalanmu itu belum lagi
terlambat, ketahuilah bahwa kesadaran dari sesal itu selamanya tidak mengenal terlambat.”
Tanya si orang tua ragu-ragu, “Dimanakah ibunda Ham Gwat sekarang? Bagaimana
keadaannya?”
“Beliau sekarang baik-baik, dia tidak akan menyalahkan kau!” jawab Thian-hi tersenyum.
Si orang tua terduduk, akhirnya dia berkata tertawa, “Seumpama dia tidak mau memberi
ampun padaku, akupun harus bertobat kepadanya, aku harus menerima segala hukuman karena
dosa2ku itu!”
Kembali mereka tenggelam dalam alam pikiran masing-masing, sesaat lamanya tak bicara.
“Tak lama lagi kau harus segera menyusul ke Siau-lim-si,” demikian ujar si orang tua membuka
kesunyian. “Sudah tentu, disana kau memerlukan tenagamu sendiri untuk menyelesaikan segala
pertikaian. Wi-thian-cit-ciat-sek belum kau sempurnakan, aku sendiri tiada mampu membantu kau,
cobalah kau gembleng dan kau latih sendiri menurut praktek. Tapi perlu kuberitahu pada kau,
sudah ratusan tahun lamanya Wi-thian-cit-ciat-sek malang melintang di dunia persilatan, dia
melulu hanya sejurus saja, kau harus ingat, sejurus, hanya sejurus saja!”
Bercekat sanubari Thian-hi, maka permainan Wi-thian-cit-ciat-sek secepat kilat lantas terbayang
dalam kelopak matanya, memang melulu hanya sejurus dengan tujuh kembangan yang penuh
variasi yang sulit diraba, menggunakan dasar Lwekang tinggi, serta gerak ilmu pedang yang lihay
tiada taranya, dalam sekejap kilasan mata beruntun melancarkan tujuh gerak kembangan jurus
pedangnya. Otaknya timbul tenggelam membayangkan serentetan ilmu yang sudah menghayati
batinnya.
Betapa girang hatinya, jika bisa terlaksana seperti yang terbayang dalam angan2nya ini
mungkin gerak pedang yang digdaya, ini takkan ada lawannya dikolong langit ini.
Tersipu-sipu ia menyembah serta berseru kegirangau, “Terima kasih akan petunjuk Cianpwe!”
“Tak perlu sungkan-sungkan,” ujar si orang tua tertawa, “apa yang kujelaskan tadi kudapat
baca dari catatan peninggalan Thay-si Locin, sayang ilmu silatku sendiri sudah punah!”
Mulut Thian-hi mengiakan lirih, ia rada kejut, sangkanya sebagai murid Thay-si Lojin tentu ilmu
silatnya lihay luar biasa, siapa nyana beliau ternyata. tak bisa main silat.
“Sekarang kau boleh keluar, Ham Gwat tentu sedang tunggu kau diluar pintu.”
Thian-hi maklum segera ia bangkit dan mohon diri lalu keluar dari kamar batu. Benar-benar
juga Ham Gwat sedang menunggu dirinya diluar, begitu melihat Thian-hi keluar segera ia
bertanya, “Kau kembali dulu mengobati luka-lukamu, setelah sembuh segera menyusul ke Siongsan!”
Thian-hi mengiakan sambil menyatakan terima kasih.
Ham Gwat berdiri menanti sambil mengawasinya tajam, entah mengapa Thian-hi tak berani adu
pandang, cepat ia menunduk menghindari pandangan orang. Terpancar sinar aneh dari biji mata
Ham Gwat, kelihatan sorot matanya itu rada mengandung kekecewaan, akhirnya mulutnya berkata
lirih, “Tak perlu sungkan, kau pun pernah menolong aku!”
Terketuk sanubari Thian-hi, iapun merasakan kemana juntrungan pandangan Ham Gwat tadi, ia
dapat membayangkan apa yang sedang berpikir dalam benak Ham Gwat, tapi bisakah aku
memberitahu kepadanya?
Tak lama kemudian ia sudah berada di kamar batunya, Ham Gwat berdiri sebentar lalu pamit
dan meninggalkannya.
Perasaan Thian-hi menjadi hambar, duduk bersimpuh pelan-pelan ia kerahkan Pan-yok-hiankang
untuk mengobati luka-luka dalamnya.
Sekejap saja tiga hari telah berlalu, kesehatan Hun Thian-hi sudah pulih sebagian besar, selama
tiga hari ini Ham Gwat entah kemana tidak pernah muncul menemui dirinya, mungkin ada
keperluan menempuh perjalanan ke tempat yang jauh.
Thian-hi tanya pada Siau Hong, kelihatannya Siau Hong rada berat menerangkan, katanya Ham
Gwat sudah berpesan supaya dia tidak banyak bicara soal dirinya.
Fajar telah menyingsing, sang surya menyinarkan semarak merah bercahaya. Waktu Hun
Thian-hi bangun tidur, datanglah Siau Hong ke dalam kamarnya, kiranya ia sudah mempersiapkan
hidangan,
Setelah makan sekadarnya Thian-hi berkata, “Siau Hong, aku ingin hari ini juga berangkat.
ingin aku ketemu Siociamu untuk nyatakan terima kasihku padanya!”
Siau Hong tertawa, ujarnya, “Siocia sudah tahu, beliau suruh aku memberitahu pada kau tak
usah banyak sungkan lagi, Kim-ji (burung rajawali) sudah menunggu di depan pintu. kau naik
burung menuju ke Siong-san, kelak masih ada kesempatan bertemu!”
Hun Thian-hi terlongong, mulutnya sudah terbuka tapi tak kuasa berbicara.
Kata Siau Hong pula, “Sudah jangan melamun, kata-kata Siocio tidak akan salah.”
Mendelu rasa hati Thian-hi, pikirnya; kenapa Ham Gwat berlaku demikian terhadap diriku, si
orang tua itu mengatakan bahwa dia sangat baik terhadapku. memang sikap dan lakunya sangat
baik terhadap aku, namun kenapa ia menghindari pertemuan dengan aku, sebelum aku berangkat
untuk meninggalkan dia kenapa tidak mau datang, mungkinkah ada suatu persoalan yang tidak
disenangi akan diriku? Demikian hatinya mereka-reka, akhirnya ia tertunduk.
Melihat keadaan Thian-hi berkilat biji mata Siau Hong, matanya melirik keluar lalu pelan-pelan
maju mendekat dan katanya lirih, “Bodoh. Kelakuan Siocia ini adalah demi kebaikanmu, hayo
berangkat, jangan melamun lagi!”
Tergetar sanubari Thian-hi, dengan kaget ia angkat kepala mengawasi Siau Hong. Siau Hong
kegelian menutup mulut terus berlari keluar.
Thian-hi menjublek lagi ditempatnya, dia masih belum paham kemana maksud juntrungan katakata
Siau Hong tadi, tapi ia percaya bahwa Siau Hong tidak akan ngapusi dirinya, akhirnya
bergegas ia memburu keluar, terpikir olehnya Kim-ji pernah memancing Bu-bing Loni sehingga
terluka parah oleh pedangnya, sekarang aku harus meniliknya dan melihat bagaimana keadaan
sebenar-benarnya.
Diambang pintu kamar batu. Benar-benar juga berdiri seekor burung rajawali besar. Tingginya
melebihi badan manusia, matanya merah berkilat, lehernya berkilau mas membundar, sekilas
pandang perawakannya memang sangat angker dan gagah.
Melihat Thian-hi sudah keluar segera Siau Hong berlari datang, serunya, “Coba kau lihat,
bagaimana Kim-ji ini?”
“Sangat gagah dan kereng, seperti seorang jendral saja layaknya!”
Siau Hong senang dan tertawa geli, dengan tangannya ia peluk leher burung rajawali serta
katanya, “inilah orang yang tempo hari kau tolong itu, dia adalah sahabat karib Siocia kami,
bawalah dia pergi ke Siong-san!”
Rajawali itu berpaling dan memandang tajam kepada Hun Thian-hi, mulutnya bersuara rendah.
Siau Hong menggerakkan tangan minta Hun Thian-hi maju mendekat, dengan tertawa ia berkata
sambil mengelus-elus bulu leher sang burung, “Terima kasih akan pertolonganmu kepadaku tempo
hari!”
Burung itu berpekik keras sekali lalu manggut-manggut. kedua sayapnya dipentang lebar.
Terlihat oleh Thian-hi sepasang sayap burung itu terbentang ada dua tombak lebih, diam-diam ia
kejut dan girang.
Kata Siau Hong, “Dia minta kau lekas naik, cepatlah kau berangkat saja.”
Setelah berada dipunggung burung rajawaJi, Thian-hi mengapai tangan kepada Siau Hong
serunya, “Selamat bertemu!”
Bab 22
Siau Hong membalas lambaian tangan. serunya, “Berangkatlah, mungkin bersama Siocia kami
juga akan menyusul kesana, hati-hatilah kau, Tok-sim-sin-mo sangat jahat.”
Thian-hi manggut-manggut, sementara itu burung rajawali sudah mengembangkan sayapnya
terus melambung ke tengah udara, sebentar saja mereka sudah berada ditengah angkasa menuju
ke Siong-san.
Ooo)*(ooO
Senjakala tiba, Thian-hi pun tiba di Siong-san, burung rajawali segera menukik turun dan
hinggap di atas puncak yang berdekatan. Setelah turun dan menginjak tanah Thian-hi menepuk
leher Kim-ji serta berkata, “Kim-ji! Silakan kau pulang, sampaikan salam hormat dan terima kasih
pada majikanmu!”
Kim-ji berbunyi sekali sambii manggut-manggut terus terbang kembali dan menghilang.
Setelah Kim-ji tidak kelihatan lagi, Thian-hi celingukan memandang sekitarnya, lalu pelan-pelan
ia menuju ke Siau-lim-si. Tempo hari ia pernah ikut Hwesio jenaka kemari tapi diwaktu malam.
keadaan disini tidak diingat terlalu jelas, maka sekarang dia harus main selidik dan celingukan
mencari jalan lalu pelan-pelan menuju ke Siau-lim-si.
***
Setelah melompati pagar tembok Hun Thian-hi melesat naik sembunyi di atas puncak pohon,
dengan ke jelian matanya ia mengawasi keempat penjuru, rada jauh di depan sana terdapat
sebidang hutan bambu, tergerak hati Thian-hi, pikirnya, “Bukankah disana tempat tinggal Thiancwan
Taysu?
Thian-hi berlaku sangat hati-hati, setelah melihat sekelilingnya sunyi sepi tanpa ayal segera ia
melesat ke arah hutan bambu sana, karena sekelilingnya tidak terjaga, maka tubuhnya seenteng
burung langsung meluncur tiba dan hinggap di atas pucuk sebatang bambu. Waktu ia menunduk
memandang kebawah, tampak olehnya seorang Hwesio tengah duduk bersimpuh berhadapan
dengan seorang tua bermata putih kemilau, itulah Thian-cwan Taysu dan Tok-sim-sin-mo dua
orang.
Terdengar Tok-sim-sin-mo sedang berkata pada Than-cwan Taysu, “Hun Thian-hi segera bakal
tiba. Sangat kebetulan kedatangannya, sekaligus aku bisa menumpasnya bersama Siau-lim kalian.”
lalu ia terkekeh-kekeh dingin.
Thian-cwan Taysu pejamkan mata, sesaat baru bicara, “Mungkin tidak begitu gampang,
kunasehati pada kau supaya cepat merubah haluan dan lakukan perhitungan lain, ketahuilah Ilwe-
tok-kun dia tidak akan membiarkan cita-citamu ini terlaksana seenak udelmu sendiri.”
Tok-sim-sin-mo menjengek hidung, ancamnya, “Bila dia berani masuk ke Tionggoan, mungkin
datangnya hidup tapi takkan dapat pulang dengan jiwa masih hidup ke Thian-lam.”
Thian-cwan duduk tenang tak menghiraukan dia lagi.
Dengan pandangan dingin berkilat Tok-sim-sin-mo pandang Thian-cwan Taysu lekat-lekat,
sekonyong-konyong ia menengadah menyapu pandang ke pucuk bambu.
Berdetak jantung Thian-hi, pikirnya, “Hati-hati jangan sampai konangan olehnya!” ia menahan
napas, otaknya harus bekerja cepat mencari cara untuk bertindak nanti.
Tok-sim-sin-mo menunduk lagi. Hun Thian-hi celingukan ke sekelilingnya, tak terlihat sebuah
bayangan orangpun, sebuah pikiran mendadak berkelebat dalam benaknya, “Dalam keadaan
sekarang ini,
Tok-sim-sin-mo hanya. seorang diri, kenapa aku tidak turun saja berhadapan secara langsung?
Dengan kekuatan dua orang untuk membekuk Tok-sim-sin-mo rasanya segampang membalikkan
telapak tangan!”
Karena dilandasi pikirannya ini, segera tubuhnya melejit maju lalu melayang turun dengan
ringan ke bawah.
Begitu mendengar kesiur angin lambaian baju Hun Thian-hi, sebat sekali kelihatan Tok-sim-sinmo
melejit mundur dua tombak, sepasang matanya berkilat mengawasi Hun Thian-hi. Terpancar
rasa heran yang aneh dari sorot matanya itu.
Begitu hinggap di tanah Hun Thian-hi tersenyum simpul, ia celingukan ke kanan kiri lalu maju
dua langkah di hadapan Thian-cwan serta memberi hormat membungkuk badan, “Wanpwe Hun
Thian-hi menghadap pada Taysu!”
Thian-cwan Taysu juga membuka mata mengawasi dirinya dengan heran, katanya, “Hun-sicu
apakah baik selama berpisah ini?”
“Terima kasih akan perhatian Taysu. Kudengar katanya Tok-sim-sin-mo berada disini maka
Wanpwe juga menyusulnya kemari!”
Dengan sikap dingin mulut Tok-sim-sin-mo mengulum seringai sadis, katanya, “Ternyata kau
berani datang seorang diri. Besar benar-benar nyalimu!”
Hun Thian-hi berpaling memandang ke arah Tok-sim-sin-mo sekejap lalu berkata pula kepada
Thian-cwan Taysu, “Taysu! Tok-sim-sin-mo si durjana ini jangan diberi pengampunan lagi….
kenapa tidak dilenyapkan saja!”
Thian-cwan Taysu menghela napas panjang, tak bicara.
Tok-sim-sin-mo tertawa panjang, serunya, “Kau ingin mengeroyok aku bersama dia bukan?
Kalau begitu salah besar perhitunganmu, ketahuilah ilmu silatnya sudah punah sejak lama!”
Tersentak jantung Hun Thian-hi.
Terdengar Tok-sim-sin-mo menjengek pula, “Kedatanganmu hari ini justru menempuh jalan
kematian!” baru habis ucapannya seekor burung dara melayang turun dari angkasa terus hinggap
di tangan Tok-sim-sin-mo.
Berubah air muka Tok-sim-sin-mo, dari kaki burung ia mengambil selarik surat terus dibaca,
tampak berubah hebat air mukanya, desisnya dengan mata mendelik, “Kiranya begitu, jadi kau
sudah berserikat bersama I-lwe-tok-kun.”
Timbul rasa heran dalam benak Thian-hi, kenapa Tok-sim-sin-mo mengajukan pertanyaannya
ini, sepintas lalu pikirannya bekerja, lantas ia menjadi paham, “Mungkin Ang-hwat-lo-mo dan Ilwe-
tok-kun sudah meluruk bersama ke Tionggoan, dan mungkin juga sedang menempuh
perjalanan kesini sehingga dia menuduh diriku punya intrik dengan mereka.”
Tengah mereka bersitegang leher berdiri diam berhadapan, sekonyong-konyong sesosok
bayangan merah melambung datang memasuki gerombol hutam bambu, begitu hinggap di tanah
baru kelihatan jelas, itulah Ang-hwat-lo-mo adanya. Di belakangnya menguntit seorang tua
bertubuh kecil kurus. Begitu hinggap di tanah mereka berpaling ke kanan kiri, akhirnya pandangan
Ang-hwat-lo-mo berhenti pada tubuh Hun Thian-hi.
Dari belakang dibalik rumpun bambu sana terdengar derap lirih orang banyak. tampak Bingtiong-
mo-tho Su-kong Ko dan Lam-bing-it-hiong Siang Bu-wong dan lain-lain beranjak masuk. Ada
dua diantaranya tidak dikenal oleh Thian-hi. Mereka berdiri siap siaga.
Terdengar Ang-hwat-lo-mo berkakakan dua kali sikapnya sangat congkak, setelah berpaling ke
arah Thian-cwan Taysu ia bicara pada Hun Thian-hi, “Berani kau tidak menyusul ke Thian-lam.
Ketahuilah gurumu Lam-siau Kongsun Hong sudah berada di tempat kediamanku, kenapa kau
tidak mau datang?”
Tok-sim-sin-mo tertawa lebar, jengeknya dingin kepada Ang-hwat-lo-mo, “Tak kunyana kau
bisa datang begitu cepat!”
“Benar-benar aku telah datang, dan hanya membawa Seorang sahabat belaka.” sambung Anghwa-
lo-mo dengan sombong sambil menunjuk orang kate di belakangnya, serunya pula, “Mari
kuperkenalKan, inilah Ting-hou-it-koay Lenghou Khek!”
Thian-hi mengamati si orang tua kate, dalam hati ia berkata, “Kiranya orang ini adalah ayah
Kim-i Kongcu yang kubunuh Sing-hou-it-koay, entah mengapa selama ini dia tidak meluruk
mencari diriku.”
Tok-sim-sin-mo mandah tersenyum ejek, tanpa bicara ia maju menghampiri kehadapan Thiancwan
Taysu terus duduk.
Ang-hwat-lo-mo juga tertawa-tawa, dengan ulapan tangan ia mempersilakan Sing-hou-it-koay
duduk, sedang dia sendiri juga lantas duduk. Melihat Tok-sim-sin-mo tetap berdiam diri akhirnya
Ang-hwat-lo-mo bergelak tawa. serunya, “Bagaimana! Apakah si tua dari Si-gwa-sam-mo menjadi
gentar dan ketakutan terhadap diriku?” — ia bergelak tawa pula!”
Tok-sim-sin-mo masih menyeringai iblis saja tanpa memberi reaksi. Sungguh hatinya murka
sekali akan sikap takabur Ang-hwat-lo-mo, namun ia punya perhitungan dalam situasi seperti
sekarang ia harus bertindak hati-hati. terpaksa bersabar ulur waktu dan mencari jalan yang lebih
mantap dan matang.
Menghadapi sikap tenang Tok-sim-sin-mo rada kejut perasaan Ang-hwat-lo-mo, bila Tok-simsin-
mo mengumbar nafsu amarahnya, dia akan merasa terhibur dan senang malah, karena itu
menandakan bahwa pihak lawan tiada persiapan. tapi sekarang Tok-sim-sin-mo bersikap diam
menanti dan tidak banyak bicara. terang kalau punya persiapan yang sudah matang, jangan
karena urusan kecil melalaikan tugas besar? Demikian pedoman kerja pihak lawan. Maka dengan
cermat ia menyelidik keadaan empat penjuru, tapi tiada persiapan apa-apa.
Sekonyong-konyong tampak pula berkelebat dua sosok bayangan hitam yang melesat masuk ke
dalam hutan bambu ini. waktu Thian-hi angkat kepala yang datang ini kiranya adalah salah
seorang dari Tiang-pek-siang-ki yaitu Ciang-ho-it-koay Cukat Tam, seorang yang lain laki-laki tua
beruban yang mengenakan juhah kuning.
Ang-hwat-lo-mo terbahak-bahak. serunya, “Sungguh hari ini sangat beruntung. Tiang-peksiang-
ki sudi berkunjung datang bersama, hari ini Siau-lim-si bakal menjadi tempat kumpulan
tokoh-tokoh kosen yang cukup ramai dan menyenangkan!” — kelihatan betapa rasa girang hatinya
melihat kedatangan kedua orang tokoh dari Tiang-pek-san ini, entah apa tujuan kedatangan
kedua orang ini? Menghadapi dirinya atau mencari perkara kepada Tok-sim-sin-mo?
Tanpa merasa Hun Thian-hi melirik lebih tajam ke arah orang tua berjubah kuning, kiranya
orang tua ini bukan lain adalah Ce-han-it-ki, It-ki dan It-koay sama muncul di tempat ini, entah
apa tujuannya.
Melayangkan pandangan matanya Ce-han-it-ki membuka suara, “Kedatangan kami hanya ingin
ikut menyelesaikan perkara di Siau-lim-si sini, tentu Tok-sim-sin-mo sudah berada disini bukan?”
Sementara itu Ciang-ho-it-koay juga sudah melihat kehadiran Hun Thian-hi. mulutnya
menggerung gusar, matanya mendelik besar ke arah Thian-hi. mukanya diliputi hawa membunuh.
dengan lirikan tajam iapun melerok ke arah Ang-hwat-lo-mo.
Tok-sim-sin-mo masih tetap bersikap tenang tanpa peduli percakapan dan kedatangan lain
orang. Adalah Ang-hwat-lo-mo yang bersorak dalam hati begitu mendengar Ce-han-it-ki hendak
mencari Tok-sim-sin-mo, musuh yang utama justru adalah ToK-sim-sin-mo, maka segera ia
bersuara menuding kepada Tok-Sim-sin-mo, “Tuan inilah tertua dari Si-gwa-sam-mo itu.”
Dengan cermat Ce-han-it-ki mengawasi Tok-sim-sin-mo. mulutnya terkancing tak bersuara.
“Bocah keparat!” seru Ciang-ho-it-koay kepada Hun Thian-hi, “Panjang benar-benar nyawamu,
belum mampus kau ya! Hari ini aku tidak akan memberi ampun lagi pada kau. setelah urusan
disini selesai, kuharap kau jangan lari” — Lalu ia berpaling ke arah Ang-hwat-lo-mo dan
sambungnya, “Demikian juga kau!”
Melihat sikap Tok-sim-sin-mo yang jumawa itu mendengus berang Ce-han-it-ki, kakinya
beranjak menghampiri ke belakang Tok-sim-sin-mo.
Dengan gaya tetap duduk bersila mendadak tubuh Tok-sim-sin-mo mencelat naik ke tengah
udara, berhenti sebentar seperti mengembang lalu terbang berputar setengah lingkaran,
menghindar diri bila Ce-han-it-ki menyergap dari belakang.
Keruan seluruh hadirin melengak dibuatnya, betapa mereka takkan terkejut melihat
pertunjukan Cin-kang Leng-kong-pau-si maha lihay dan menakjubkan itu, seluruh hadirin adalah
tokoh-tokoh kosen yang bisa juga mempertunjukan Ginkang macam begitu, sulitnya untuk
berhenti mengembang sebentar ditengah udara itulah yang tiada seorangpun mampu
melaksanakan, bukanlah tidak beralasan bila mereka sama terkejut.
Dari luar lantas berkelebat masuk pula sebuah bayangan orang, yang datang ini adalah Pek Sikiat.
Begitu tiba sepasang matanya segera menyapu selidik keseluruh gelanggang, melihat Hun
Thian-hi juga sudah hadir, kelihatan ia rada terkejut. Melihat Pek Si-kiat juga datang sungguh
girang Thian-hi bukar main, pihak sendiri terhitung tambah seorang tenaga yang sangat dapat
diandalkan. segera ia memburu maju serta menyapa, “Paman Pek, kau baik!”
Pek Si-kiat manggut-manggut. sahutnya, “Sungguh tidak nyana kaupun sudah tiba, aku
bergegas menyusul kemari dari barat daya. sangkaku bisa datang lebih cepat dari kedatanganmu,
siapa duga aku terlambat satu tindak!”
Ce-han-it-ki dan Ciang-ho-it-koay rada asing terhadap masing-masing Pek Si-kiat dan Tok-simsin-
mo, dengan penuh rasa curiga dan tanda tanya mereka awasi dua orang tokoh dari Si-gwa-jimo
bergaantian. mereka tidak tahu akan hubungan dua orang ini.
Melihat kehadiran Pek Si-kiat, Tok-sim-sin-mo bangkit berdiri, serunya kalem, “Memang
kedatanganmu sedang kutunggu!”
“Masih ada aku seorang lagi!” terdengar orang berkata dingin dari luar hutan dalam kejap lain
ia sudah meluncur turun dan hinggap di tanah. Pendatang baru ini bukan lain adalah Situa Pelita.
Thian-hi kaget dibuatnya, kenapa hari ini seluruh tokoh-tokoh lihay sama meluruk datang.
Situa Pelita mendelik dan berludah ke arah Ang-hwat-lo-mo, pelan-pelan ia memutar tubuh lalu
berkata kepada Tok-sim-sin-mo, “Kau memaksa dan menindas seluruh golongan dan aliran
persilatan di Tionggoan menutup pintu dan menyimpan pedang, sekarang kau pun main kekerasan
pula terhadap Siau-lim, selama kaum gagah masih hidup jangan harap kau dapat melaksanakan
angan2 gilamu, seluruh kaum persilatan akan bangkit dan menumpas kau. Sebentar lagi Ce-hun
dan Hoan-hu juga akan meluruk kemari untuk membuat perhitungan pada kau, jangan kau
takabur dan bersimaharaja disini!”
Tok-sim-sim-mo memicingkan mata, dengan mengejek dingin ia pandang Situa Pelita,
bentaknya, “Besar benar-benar bualanmu, siapa kau?”
Malu dan murka pula hati Situa Pelita, di hadapan sekian banyak tokoh-tokoh kosen Tok-simsin-
mo bersikap begitu merendahkan terhadap dirinya, sambil membanting kaki ia menggerung
gusar. serunya, “Kau dibekap lima puluh tahun oleh Ka-yap Cuncia, sudah tentu kau tidak kenal
aku.”
Pelan-pelan Tok-sim-sin-mo duduk kembali, katanya kalem, “Kalau begitu, kunanti setelah
bantuan kalian datang semua baru bicara lagi!”
Situa Pelita mengalihkan pandangan matanya yang berapi-api ke arah Ang-hwat-lo-mo.
Ce-han-it-ki berpaling ke arah Cukat Tam, ujarnya, “Begitupun baik!” bersama Cukat Tam
mereka duduk berendeng.
Baru sekarang Thian-cwan Taysu membuka mata, dengan pandangan kalem ia awasi seluruh
hadirin satu persatu, akhirnya ia menghela napas panjang.
“Kenapa Taysu menghela napas!” tanya Situa Pelita.
Thian-cwan Taysu menunduk, sesaat kemudian baru bicara, “Jalan suci cukup panjang, akal
iblis harus dijaga, para sicu harus hati-hati, janganlah sampai diperalat oleh musuh.”
Thian-hi pun merasakan akan situasi yang terpecah belah diantara sekian banyak hadirin ini,
hati masing-masing punya rasa permusuhan terhadap yang lain, terutama Ciang-ho-it-koay dan si
Tua Pelita punya pertikaian sama dirinya, entah apa yang bakal mereka lakukan terhadap dirinya
sebelum Ce-hun dan Hoan-hu keburu datang, demikian juga rasa permusuhan mereka terhadap
Ang-hwat-lo-mo.
Terdengar Ang-hwat-lo-mo tertawa besar, serunya, “Harap kutanya pada kalian, apa tujuan kita
kemari?”
Bagi golongan putih semua sama pasang kuping dan meningkatkan kewaspadaan mendengar
pertanyaannya itu, mereka gentar dan rada jeri menghadapi iblis ini, semua orang tahu bahwa
orang ini adalah iblis laknat yang harus ditumpas dari percaturan hidup manusia, entah mengapa
hari ini mendadak mengajukan pertanyaan ini? Entah apa tujuannya!
Thian-cwan Taysu menanggapi dengan helaan napas panjang lagi, matanya dipejamkan.
Kata Ang-hwat-lo-mo pula, “Kita jangan mengulur waktu lagi, dosa2 Tok-sim-sin-mo tidak
terampun lagi, demikian juga aku punya pertikaian terhadap kalian, tapi kenapa sekarang harus
persoalkan pertikaian kecil ini, yang penting kita harus bersatu lebih dulu menumpas kelaknatan
sepak terjang Tok-sim-sin-mo, soal urusan kita marilah kesampingkan dulu!”
Mendengar propokasi ini Tok-sim-sin-mo tidak bisa tinggal diam, segera iapun menimbrung,
“Kau sangka aku gentar terhadap kalian semua!” lalu ia mendengus, pelan-pelan bangkit sambil
mendelik ke arah seluruh hadirin.
Hati Ciang-ho-it-koay menjadi jeri, serunya, “Kalau begitu mari kita sama-sama menumpas Toksim-
sin-mo lebih dulu!”
Situasi menjadi tegang, semua orang saling pandang. Hun Thian-hi dan Pek Si-kiat mundur ke
samping, mereka insaf bahwa Tok-sim-sin-mo bukanlah kaum keroco yang mudah ditundukkan.
Terutama senjata Pek-tok-hek-liong-tingnya itu sulitlah dihadapi, mana boleh bertindak begitu
ceroboh.
Tok-sim-sin-mo menyeringai sadis, sambil tertawa sinis ia pandang Thian-hi berdua lalu
melambaikan tangau. serunya, “Kalian sudahkah pernah dengar nama Pek-tok-hek-liong-ting?”
seiring dengan ucapannya ini dari empat penjuru segera terpancang puluhan laras Pek-tok-hekliong-
ting ke arah seluruh hadirin.
Keruan berubah pucat muka seluruh hadirin, mereka adalah tokoh-tokoh tingkat tinggi adalah
mustahil bila tidak mengenal asal usul kehebatan Pek-tok-hek-liong-ting.
Tok-sim-sin-mo menyeringai lagi. ujarnya, “Kalian sendiri agaknya sudah bosan hidup,
janganlah salahkan aku bila aku turun tangan kejam pada kalian. Tapi aku tidak akan turun tangan
sekarang, tadi kudengar Ce-hun dan Hoan-hu juga akan datang, baiklah aku tunggu kedatangan
mereka baru bekerja!”
Meski Hun Thian-hi dan Pek Si-kiat sudah mundur disamping, namun merekapun masuk dalam
kepungan. Diam-diam ia menerawang situasi dalam gelanggang, ia maklum untuk melarikan diri
sendiri adalah tidak sulit bagi dirinya, apalagi Wi-thian-cit-ciat-sek sekarang sudah dapat diselami
dalam sanubarinya, petunjuk si orang tua itu sungguh sangat berharga sehingga ia dapat
menembus kesukaran yang dialami dalam latihannya. Hanya latihan prakteknya saja memang
belum sempurna dan matang.
Para hadirin terdiri dari golongan sesat dan aliran lurus, kedua belah pihak sama punya rasa
permusuhan yang menghayati sanubari masing-masing, mana mungkin dia turun tangan
menolong mereka?
Sedang Ang-hwat-lo-mo adalah tokoh kosen dari golongan sesat. Meski dalam nada perkataan
Tok-sim-sin-mo tadi tidak menaruh sebelah mata pada dirinya, tapi Thian-hi jelas mengetahui
bahwa Ang-hwat-lo-mo bukan tokoh sembarang tokoh yang boleh dipandang ringan, entah
mengapa Tok-sim-sin-mo begitu menghina dan memandangnya rendah.
Tapi dapatkah dia tidak menolongnya? Bukan saja dia sendiri yang harus lolos, bahwa
seluruhnya hadirin jelas bersikap memusuhi Tok-sim-sin-mo, bila mereka semua roboh Siau-lim-si
pun bakal runtuh secara total dapatkah aku menguasai situasi?
Hatinya sedang bimbang, seluruh hadirin tiada satu pun yang buka suara, seolah-olah mereka
sedang dicekam tekanan batin akan ancaman kematian yang sedang dihadapi ini, begitu Ce-hun
dan Hoan-hu datang, semua orang tidak akan bisa hidup lebih lama lagi.
Sang waktu berjalan terus, hati masing-masing tengah memikirkan urusan sendiri, sudah tentu
apa yang mereka pikirkan satu sama lain berlainan. Tok-sim-sin-mo mengulum senyum sinis, biji
matanya yang memutih berkilat dengan dingin memandangi seluruh hadirin, begitu Ce-hun berdua
tiba. segera ia akan bikin mampus semua orang yang hadir disini.
Mata Hun Thian-hi berkilat, akhirnya sambil kertak gigi ia membuka suara kepada Tok-sim-sinmo,
“Kuharap sementara ini jangan kau terlalu takabur, tempo hari aku tidak berbuat kelebihan
terhadap kau karena Wi-thian-cit-ciat-sek memang belum sempurna kulatih, sekarang, apakah kau
ingin coba perbawa Wi-thian-cit-ciat-sek yang tulen?”
Thian-hi maklum untuk meloloskan diri dari Kepungan adalah mudah. Tujuan Tok-sim-sin-mo
adalah menumpas seluruh hddirin lalu menghadapi dirinya seorang, bagi dirinya untuk mengatasi
situasi gelanggang supaya semua orang dapat menyelamatkan diri adalah terlalu sulit dan berat,
tapi aku sudah hadir dan ikut terjun dalam gelanggang yang genting ini, masa aku harus mundur
dan ragu-ragu, terpaksa harus kucoba lebih dulu.
“Anggapmu dengan kekuatanmu seorang dapat menandingi kakuatan Pek-tok-hek-liong-ting?”
demikian jengek Tok-sim-sin-mo, tiba-tiba tangannya bertepuk lagi, dari empat penjuru muncul
pula puluhan laras Pek-tok-Hek-liong-ting.
Tercekat hati Thian-hi, tanpa ayal segera tubuhnya mencelat terbang lempang ke depan,
sembari melesat terbang ini, tangannya meraih keluar serulingnya terus menerjang keluar.
Tok-sim-sin-mo berjingkrak gusar. tangan kanan segera diangkat tinggi, seketika puluhan laras
Pek-tok-hek-liong-ting terpancang ke arah Hun Thian-hi, dimana terdengar pegas2 berbunyi,
udara seketika diliputi hujan Hek-liong-ting yang menerjang bersama ke arah Thian-hi.
Pek-tok-hek-liong-ting merupakan senjata rahasia yang paling ganas dan jahat dikalangan
persilatan bukan saja perbawanya sangat besar, di bawah ciptaan seorang ahli sehingga dia dapat
meluncur dengan kekuatan deras yang hebat sekali, apalagi setiap pakunya sudah direndam racun
berbisa yang sangat jahat, begitu kena kulit lantas melepuh, meresap ke dalam darah jiwa segera
bakal melayang.
Seluruh hadirin sama merasa kuatir bagi Hun Thian-hi, meskipun diantara mereka ada yang
berasa benci dan ingin membunuhnya, tapi serta melihat sepak terjangnya sekarang tiada yang
tidak merasa kagum dan memuji dalam hati. Sungguh mereka akan merasa sayang dan gegetun
bila seumpama dia berkorban demi keselamatan lain orang, bila diantara mereka ada yang
memiliki kepandaian setinggi dan setingkat dengan Hun Thian-hi belum tentu mereka rela untuk
berkorban diri demi keselamatan orang lain menghadapi keganasan Pek-tok-hek-liong-ting
seorang diri.
Demikianlah sambil mengeluarkan suara desisan yang ramai seluruh paku2 naga hitam yang
tak terhitung banyaknya itu serabutan saling samber ditengah udara. Tampak tubuh Hun Thian-hi
jumpalitan setengah lingkaran ditengah udara, mulutnya bersuit panjang bagai pekik naga yang
marah mengalun tinggi menembus angkasa. Bersama dengan itu Wi-thian-cit-ciat-sek telah
dikembangkan. Dimana seruling pualamnya bergerak seketika terbit gelambung kabut memutih
mengepul kesekitar gelanggang, kelihatan batang seruling itu rada tergetar, diantara pergerakan
yang beberapa mili itu saja ia sudah melancarkan tenaga hebat yang tak terbendung. tujuh jalur
gelombang tenaga dengan kekuatan berkisar yang dahsyat memberondong keluar dari tujuh
jurusan yang berlainan, berbareng menyambut maju ke arah Hei-liong-ting yang beterbangan
diudara.
Para tokoh-tokoh kosen yang hadir semua menjadi melongo dan menahan napas, mereka
manjadi kesima dan seperti lupa diri menyaksikan pertempuran hebat yang tiada bandingannya di
seluruh dunia persilatan.
Seperti telah diketahui bahwa Wi-thian-cit-ciat-sek adalah ilmu pedang tingkat tinggi yang tiada
taranya yang diagungkan dalam dunia persilatan, bersama Hui-sim-kiam-hoat mempunyai
perbawa dan menjunjung keangkerannya masing-masing, tapi dia menpunyai bidang yang lain
dari Hui-sim-kiam-hoat itu yaitu cara Kui-sim-kiam-hoat melancarkan tenaganya memerlukan
gerakan besar, justru berlainan dengan Wi-thian-cit-ciat-sek. cukup dengan gerakan yang
beberapa mili meter belaka sudah dapat mengembangkan tenaga atau melancarkan kekuatan
dahsyat yang tiada bekas dan tidak kelihatan.
Begitu kekuatan dua rangsakan yang berlawanan saling bentrok, Pek-tok-hek-liong-ting
kepergok oleh perbawa kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek, daya luncurannya yang cepat dan hebat itu
seketika menjadi merandek dan lembek tenaganya.
Begitu Hun Thian-hi kerahkan seluruh kekuatan Lwekangnya, seluruh Pek-tok-hek-liong-ting
seperti berhenti ditengah udara, akhirnya bergerak berpular menurut tuntunan tenaga gerakan
seruling Hun Thian-hi terus meluncur keluar dan berjatuhan tercerai berai diluar hutan.
Diam-diam Hun Thian-hi bersyukur, ia sendiri menjadi sangsi bahwa dirinya sekarang telah
membekal Lwekang yang begitu dahsyat. Sebaliknya mata Tok-sim-sin-mo memancarkan sinar
aneh yang menakutkan dengan dada berkembang kempis ia menatap Hun Thian-hi lekat-lekat.
Dari iuar hutan tampak melangkah masuk Ce-hun Totiang dan Hoan-hu Popo. dibelakangnya
mengintil pula Bun Cu-giok dan Ciok Yan, melihat keadaan situasi gelanggang, seketika mereka
pun melengak dan mencelos
Setelah menyapu pandang seluruh hadirin berserulah Tok-sim-sin-mo, “Penyelesaian urusan
hari ini baiklah aku tunda sementara waktu, biar kita selesaikan lain kesempatan saja, sekarang
aku permisi lebih dahulu!” lalu ia pimpin Lam-bing-it-hiong dan lain-lain meninggalkan hutan
bambu itu.
“Nanti dulu!” tiba-tiba terdengar Situa Pelita dan Ciang-ho-it-koay membentak bersama
sebelum Tok-sim-sin-mo dan lain-lain tinggal pergi.
Tok-sim-sin-mo membalikkan tubuh, ganti berganti ia pandang kedua orang ini sambil
memicingkan matanya.
Seru Ci-ing-ho-it-koay Cukat Tam, “Anggapmu hari ini dapat tinggal pergi sesuka hatimu?”
Tok-sim-sin-mo terkekeh dingin, katanya memandang ke arah Hun Thian-hi, “Kekuatan Pektok-
hek-liong-ting tadi kalian sudah menyaksikan, diantara Kalian siapa lagi yang mampu bertahan
dari serangannya?” — Lalu ia menambahkan kepada Hun Thian-hi, “Jangan lupa, Sutouw Ci-ko
sudah minum obat racunku!” lenyap suaranya tubuhnya pun berkelebat keluar menghilang.
Mendengar ucapan Tok-sim-sin-mo sebelum berlalu itu Pek Si-kiat menjadi tertegun. serunya
kepada Thian-hi, “Apa benar-benar ucapannya?”
Pelan-pelan Hun Thian-hi manggut-manggut, ia tidak bersuara lagi.
Seluruh pandangan hadirin tertuju ke arah Hun Thian-hi, semua adalah tokob2 kosen tapi
dalam hati mereka maklum, bahwa tiada diantara mereka yang kuat melawan Hun Thian-hi lagi.
Pek Si-kiat menjadi gugup serunya pula, “Kalau begitu mari lekas kita kejar!”
Hun Thian-hi hanya tersenyum tawar, matanya memandang pada para hadirin.
Situa Pelita segera menjengek dingin, “Ingin lari segampang itu kau?”
Pek Si-kiat menggeram gusar, matanya mendelik, semprotnya kepada Situa Pelita, “Sombong
benar-benar
kau. mengandal kau seorang berani menahan kami?”
Saking murka Situa Pelita tergellak tawa. serunya, “Hun Thian-hi berbuat dosa dan durhaka,
dosa2nya tak berampun lagi, kau sendiri jiwamu belum tentu dapat kau selamatkan berani kau
hendak melindungi orang lain?”
Bertaut alis Pek Si-kiat, bentaknya, “Jikalau Hun Thjan-hi tadi tidak mengunjuk kepandaiannya,
sejak tadi kalian sudah mampus di bawah serangan Pek-tok-hek-liong-ting sekarang berani kau
mengumbar mulut!”
Seketika Situa Pelita terbungkam seribu basa, memang kenyataan ucapan Pek Si-kiat dan tidak
dapat dibantah lagi, betapapun lincah lidahnya pandai bermain sekarang dia terbungkam
mulutnya.
Thian-cwan Taysu pelan-pelan bangit berdiri, katanya, “Kalian harus tahu bahwa kematian Butong
Ciangbunjin Giok-yap Cinjin bukan terbunuh oleh Hun Thian-hi, untuk hal ini aku berani
mengatas nama seluruh keagungan nama Siau-lim-pay sebagai jaminan, bila urusan ini masih
berkepanjangan biar akulah yang bertanggung jawab.”
Ucapan Thian-cwan Taysu ini seketika membuat seluruh hadirin tertegun kaget. Demikian juga
Hun Thian-hi tidak kepalang kejutnya, sungguh haru dan terima kasih yang tak terhingga kepada
padri agung ini. Sungguh tidak habis herannya mengapa Thian-cwan Taysu mau menjamin akan
kesucian dirinya, sebagai bekas Ciangbunjin dari Siau-lim-pay yang terdahulu, ucapannya dapatlah
mewakili nama seluruh partai Siau-lim. Ucapannya ini tak perlu disangsikan lagi sekaligus akan
mencuci bersih segala dosa2 berlimpah yang dituduhkan atas dirinya.
Tapi Ang-hwat-lo-mo memang licik segera ia coba mendebat, “Tapi ada orang melihat dengan
mata kepalanya sendiri bahwa Hun Thian-hilah yang membunuh Gjok-yap. Coba kau jelaskan?”
Dasar licin ia mempunyai perhituagan demi keuntungannya sendiri. Bahwa Hun Than-hi rela
mengabaikan dendam pribadi dan mengunjuk kepandaian yang tiada taranya demi menolong jiwa
seluruh hadirin tadi, meski pun Lam-siau Kongsun Hong berada dicengkeraman tangannya.
Thian-hi pun takkan mau diperas dan diancam oleh dirinya.
Apalagi kepandaian silat Hun Thian-hi sudah begitu hebat, beberapa waktu lagi tentu ilmu
silatnya bakal lebih maju, bila sekarang tidak mencari kesempatan untuk melenyapkan jiwanya,
kelak mungkin merupakan lawan terberat yang bakal merugikan kepentingannya.
Sekarang perhatian seluruh hadirin terpusatkaa pada Thian-cwan Taysu. terdengar sipadri
agung inj menjawab pelan-pelan, “Itu hanya sekedar permainan Mo-bin Suseng belaka, kalian
semua harus percaya akan ucapanku!”
“Ucapan Thian-cwan Taysu selamanya memang benar-benar,” demikian jengek Ang-hwat-lomo,
“Sebagai tokoh yang diagungkan kaum persilatan sudah pantas kalau kami percaya setiap
nasehatnya. Tapi kami pun harus sadar, bahwa ilmu silatnya sudah dipunahkan oleh Tok-sim-sinmo,
kami sendiri pun sudah kenal akan permainan Tok-sim yang keji dan licin itu, apakah Thiancwan
Taysu melulu hanya dipunahkan ilmu silatnya?” — Sampai disini ia bergelak tawa, lalu
sambungnya lagi mempertegas tuduhannya tadi, “Ingat ada orang yang melihat sendiri bahwa
Hun Thian-hilah yang membunuh Giok-yap Cinjin!”
Nada perkataannya jelas menerangkan akan kesangsian hatinya bahwa kemungkinan besar
Thian-cwan Taysu sudah diperalat oleh Tok-sim-sin-mo, entah itu dengan cara obat beracun atau
dengan jalan keji yang lain.
Thian-cwan angkat kepala, pancaran matanya main selidik dimuka semua hadirin. melihat sikap
mereka ia tahu bahwa situasi tidak menguntungkan bagi Hun Thian-hi, terpaksa ia berkata pula,
“Aku hanya dapat menerangkan seringKas tadi, terserah kalian mau percaya? Aku tiada punya hak
untuk tanya pada kalian. Tapi kalian juga harus ingat dan sadar bahwa Ang-hwat adalah gembong
iblis yang durjana pula!”
Lalu ia berpaling ke arah Hun Thian-hi serta katanya pula, “Hun-sicu, karena sedikit
kecerobohan. Lolap sehingga aku perintahkan Suteku pimpin anak muridnya mengejar dan
mengepung Sicu. sekarang aku sudah berusaha sekuat tenagaku untuk menebus kesalahan itu,
harap Hun-sicu suka maklum dan memaafkan dosa2 ini!”
“Terima kasih Lo-cianpwe.” ujar Hun Thian-hi menjura, “Begitu besar kepercayaan Cianpwe
terhadap diriku, betapa besar rasa terima kasih Hun Thian-hi!”
Thian-cwan Taysiu manggut-manggut sembari menghela napas, ia berpaling kekanan diri.
dalam hati ia membatin, “Dengki dan dendam kesumat, membuat semua orang ini luntur hatinya”
— Lalu katanya pula kepada Thian-hi, “Siau-sicu harap berlaku hati-hati. Lolap segera minta diri
terlebih dulu. Siau-sicu kali ini telah menolong bencana yang bakal menimpa dan menimbulkan
kemusnahan bagi Siau-lim kita, Lolap beserta, seluruh anak murid Siau-lim akan selalu mengingat
kebaikan ini sepanjang masa.”— Selesai berkata pelan-pelan ia tinggal keluar hutan bambu. Ia
insaf sebentar lagi tempat ini tentu bakal timbul pertempuran besar.
Melihat Thian-cwan Taysu sudah pergi, tertawalah Ang-hwat-lo-mo, serunya, “Kalian tentu
heran kemanakah juntrunganku bukan? Kenapa aku bicara seperti tadi, kelihatannya sedang
mengadu domba kalian. Bicara terus terang, meskipun karena kalian tapi juga karena aku sendiri.
Dulu aku pernah menolongnya karena dia bejat, tapi ilmu silatnya tidak becus. Dan sekarang dia
tidak berubah baik, malah bergaul keluntang keluntung dengan salah seorang Si-gwa-sam-mo
yaitu Pek-kut-sin-mo itu. tapi ilmu silatnya sudah tinggi tiada tandingan, bila hari ini kita tidak
memberantasnya, kelak siapa yang kuasa mengendalikan dirinya?”
Seluruh hadirin menjadi saling pandang, hampir tiada seorang yang hadir merasa simpatik dan
bersahabat terhadap Hun Thian-hi, pertunjukan kehebatan ilmu pedangnya justru menimbulkan
rasa sirik dan dengki hati mereka, kalau bisa melenyapkan jiwa Hun Thian-hi memang merupakan
keentengan suatu beban yang sekarang terasa memberati sanubari masing-masing.
Pek Si-kiat terkial-kial dingin, suara tawanya panjang bergelombang, dengan tajam ia menyapu
pandang keseluruh hadirin, jengeknya dingin, “Hun Thian-hi adalah ahli waris dari Wi-thian-citciat-
sek. murid angkat dari Ka-yap Cuncia. diantara kalian siapa yang berani bicara bahwa
pandangan kalian jauh lebih cermat dari Ka-yap Cuncia? Demi kepentingan pribadi kalian sendiri
sehingga kalian rela melakukan perbuatan tercela yang memalukan!”
Ce-hun Totiang yang baru datang segera tampil ke depan, katanya dingin, “Siapa yang bisa
memberi bukti bahwa bukan dialah yang membunuh Suhengku Giok-yap Cinjin? Ketahuiliah
banyak orang menyaksikan bahwa dialah yang membunuh Giok-yap Cinjin!”
Terbakar rongga dada Pek Si-kiat, amarahnya tidak terkendali lagi, dengan delikan mata berapiapi
ia pandang Ce-hun Tocang. dengusnya, “Pertanyaanmu memang tepat. Apakah benar-benar
ada seseorang yang telah melihat Hun Thian-hi menghunjamkan Badik buntung kedada Giok-yap
Cinjin? Hayo jawab!”
Ce-hun Totiang tertegun, mulutnya kememek tak mampu menjawab, sesaat kemudian ia
berkata tersekat, “Sudah cukup bila ada orang melihat dia sedang mencabut Badik buntung dari
dada Suhengku. Apalagi Badik buntung memang miliknya dan berada ditangannya, jelas tiada lain
orang yang mampu berbuat demikian, kecuali dia sendiri bisa membuktikan bahwa bukan dialah
yang melakukan pembunuhan itu.”
“Besar benar-benar mulutmu, ja” jengek Pek Si-kiat.
“Pek-kut!” teriak Situa Pelita, “Kaupun seharusnya sudah bertobat. Ka-yap Cuncia
mengurungmu lima puluh tahun, kau masih belum mampus. justru hari inilah saat kematianmu.”
Pek Si-kiat menggeram sambil menahan gusar dan kertak gigi, pelan-pelan ia membalik dan
setindak demi setindak menghampiri ke arah Situa Pelita.
Ciut nyali Situa Pelita, serta merta kakinya melangkah mundur. Terdengar Ciang-ho-it-koay
menggerung juga. ia maju selangkah mendekat ke arah Situi Pelita. Bertambah besar nyali Situa
Pelita. segera ia berdiri tegak sambil mengerahkan tenaganya.
Pek Si-kiat melangkah lagi setindak. Berbareng Si tua Pelita dan Ciang-ho-it-koay melejit maju
seraya melancarkan serangannya dari kanan kiri ke arah Pek-kut-sin-mo. Mereka sama sebagai
tokoh kosen tingkat tinggi, dengan serangan gabungan, sudah tentu perbawanya bukan kepalang
hebatnya, seluruh hadirin menjadi berdetak jantungnya.
Terdengar Pek Si-kiat menjerit lantang, sebagai Si-gwa-sam-mo sudah tentu kepandaiannya
merupakan ilmu2 yang hebat pula. sedikit bergerak miring kekanan kiri, enteng sekali kedua
telapak tangannya ditepuk menyongsong ke depan, berbareng kakinya bergerak selincah kera
melejit keluar dari lingkungan kedua musuhnya berbareng membalikkan pukulan balas menyerang
Situa Pelita dan Cian-ho-it-koay sama bercekat hatinya, tak terduga oleh mereka bahwa Pek Si-kiat
bergerak segesit itu, baru sekarang terpikir oleh mereka bahwa julukan nama Si-gwa-sam-mo
niscaja bukan nama kosong belaka, kepandaian Pek Si-kiat yang terkecil dari Si-gwa-sam-mo
sudah begitu hebat apalagi kepandaian Tok-sim-sin-mo dapatlah dibayangkan….
Begitulah Situa Pelita berdua pun bergerak tidak kalah sebatnya, begitu berputar berbareng
layangkan pukulannya menyambut dengan gertakan, tapi ditengah jalan tiba-tiba mereka
mencelat berpisah dan menubruk pula kepada Pek Si-kiat.
Pek Si-kiat menjadi murka. tahu dirinya diledek demikian rupa, serentak ia tambah tenaga dan
pergencar serangan. Diam-diam ia sudah menerawang situasi gelanggang, seluruh hadirin adalah
tokoh-tokoh yang berkepandaian silat cukup lihay, dengan satu lawan dua ia percaya dirinya tidak
akan terkalahkan. tapi untuk menang ia pun rada ragu-ragu.
Sekonyong-konyong ia mencelat mundur rada jauh. menjengek dingin kepada dua lawannya
lalu berpaling kepada Hun Thian-hi, katanya, “Kau terjang dulu keluar, biarlah aku yang
menghalangi sepak terjang mereka.”
“Masa ada kejadian begitu gampang.” demikian seru Ang-hwat-lo-mo sambil bergelak tawa.
Dimana ia menggerakkan tangan tahu-tahu sebilah pedang pendek yang memancarkan, sinar
kekuning mas sudah dicekal ditangannya, pedang ini panjang tiga kaki sinarnya nenyilaukan mata.
Terang bukan senjata sembarangan.
“Kau tidak lebih hanya seorang Siaupwe saja. jangan anggap bahwa kau tiada tandingannya di
jagat ini!” demiKian maki Pek Si-kiat dengan nada menghina.
Ang-hwat-lo-mo tertawa panjang, pedang ditangan kanan terayun kontan ia lancarkan jurus
ciptaan tunggalnya yang ganas yaitu Jan-thian-ciat-te (mencacat langit pelenyap bumi) taburan
sinar kuning keemasan seperti lembayung memancar ke tengah udara terus menungkrup ke atas
kepada Pek Si-kiat.
Rada terkejut hati Pek Si-kiat menghadapi serangan hebat ini, sekilas pandang saja lantas ia
dapat menjajaki bahwa kepandaian dan Lwekang Ang-hwat-lo-mo sebetulnya memang sangat
tinggi tak dapat dipandang ringan. terutama Lwekangnya jauh lebih tinggi dari bayangannya
semula, memang tidaklah bernama kosong dan tiada sebabnya bila Ang-hwat-lo-mo diagungkan
sebagai gembong iblis yang ditakuti pada jaman ini, dibanding dirinya sendiri kiranya juga cuma
terpaut beberapa tingkat saja. Apalagi sekarang Ang-hwat-lo-mo menyerang dengan senjata tajam
yang luar biasa menghadapi kedua tangannya yang kosong. jelas dia sudah mengambil
keuntungan.
Pek Si-kiat menjadi beringas, seluruh kekuatan Pek-kut-sin-kangnya dikerahkan untuk
menghantam dan melawan rangsakan pedang lawan, hawa memutih dari uap pukulan tangannya
yang sakti meluber laksana air bah terus melandai ke depan menyongsong pedang lawan, pikirnya
bila perlu biar gugur bersama, betapa pun ia pantang mundur.
Sedetik sebelum kekuatan dua belah pihak yang dahsyat itu saling bentur, tiba-tiba Hun Thianhi
bersuit panjang, tubuhnya mencelat tinggi ke atas, Dari samping ia menonton dengan jelas bila
kedua belah pihak benar-benar mengadu kekuatan secara kekerasan pasti berakhir dengan sama
luka parah kalau tidak sampai meninggal, sudah tentu Thian-hi tidak menghendaki bila Pek Si-kiat
sampai terluka parah, maka begitu tubuhnya mencelat mumbul lempang. serulingnya segera
menutuk ditengah antara kedua rangsakan tenaga raksasa yang hampir bentrok itu, dengan jurus
Burung bangau menjulang tinggi menembus awan ia pecahkan kekuatan tenaga yang hampir
saling bentur itu, berbareng seperti menunggang awan tubuhnya mengikuti gelombang tenaga
dua belah pihak yang bocor itu terus jumpalitan turun pada diarah yang berlawanan.
Bercekat hati Ang-hwat-lo-mo sekian lama ia terlongong-longong memandangi diri Thian-hi.
Sementara Thian-hi sendiri juga dirundung keheranan, waktu tubuhnya mencelat tinggi tadi ia
sudah memperhitungkan hendak melancarkan sejurus dari kembangan Wi-thian-cit-ciat-sek. tapi
serta sudah berlangsung ditengah jalan tanpa disadari ia melancarkan jurus ketiga dari Gin-hosam-
sek itu ternyata hasilnya juga begitu memuaskan dan diluar perkiraannya, begitu mudah ia
memisah suatu bentrokan yang sulit dibayangkan akibatnya sebelumnya. Maka terasa olehnya
sendiri bahwa Lwekangnya sekarang sudah maju pula berlipat ganda, tenaganya dapat
dikendalikan sesuka penggunaannya.
Dalam pada Itu Ce-han-it-ki juga tengah memandang Thian-hi dengan rasa heran. tanyanya,
“Apa hubunganmu dengan Soat-san-su-gou?”
Semula Thian-hi melengak mendengar pertanyaan ini. Sudah lama ia tidak dengar orang
menyinggung nama Soat san-su-gou, sekarang Ce-han-it-ki menyinggung nama suci para beliau
itu mungkinkah orang ini punya hubungan yang sangat erat dengan mereka? Soat-san-Su-gou
tergolong lurus dan bermartabat gagah, betapa tinggi kepandaian silat mereka. rasanya tidak lebih
rendah dari setiap hadirin disini. Kebaikan para beliau2 itu rasanya hanya guru budiman Kongsun
Hong yang memgasuh dan membesarkan dirinya yang bisa membandingi.
Dengan tersenyum ia menjawab, “Entah apa hubungan Cianpwe dengan mereka berempat?”
Mendadak Ang-hwat-lo-mo menghardik murka, rambutnya sampai berdiri dan mata beringas ia
menubruk pula, kali ini pedangnya bergerak menyerang dengan jurus Thian-ko-te-wi langit tinggi
bumi berputar sasarannya adalah perut Hun Thian-hi.
Laksana ular hidup berlaksa banyaknya yang melenggang dari segala penjuru sekaligus
merangsek bersama ke arah Thian-hi. Terangkat tinggi alis Thian-hi, seruling segera diacungkan
miring, kontan ia lancarkan sejurus Wi-thian-cit-ciat-sek. seluruh kekuatan rangsakan Ang-hwat-lomo
kena tergulung berkisar hebat menerpa balik keempat penjuru pula.
Dipihak lain sepasang biji mata Situa Pelita pun Sudah memancarkan sorot berkilat yang
menakutkan, seluruh keluarganya dibabat habis oleh kekejaman Ang-hwat-lo-mo, selama ini ia
sudah tekun dan rajin belajar mempertinggi kepandaian silatnya. sekarang kebetulan secara
langsung sudah berhadap dengan musuh besarnya, tapi dia punya pikiran dan perhitungan pula.
dia ingin supaya Ang-hwat-lo-mo menempur Hun Thian-hi lebih dahulu, adalah lebih baik dan
menguntungkan bila kedua belah pibak sama gugur. Tapi dilihatnya waktu Ang-hwat-lo-mo
melancarkan Pencacat langit dan pelenyap bumi ternyata dapat dipecahkan oleh Thian-hi begitu
gampang, sekarang mengembangkan pula langit tinggi dan bumi berputar. Maka terbayanglah
akan adegan dimana seluruh keluarganya kena dibabat dibacok dan ditendang serta entah
diapakan lagi dengan cara kekejaman yang luar biasa, timbul kesadaran dalam benaknya akan
sifat egoisnya sehingga sanubaarinya terketuk, badannya gemetar tanpa kedinginan. sungguh ia
merasa sangat sesal, dia beranggapan bahwa dirinya sudah melepas budi setinggi2nya kepada
Hun Thian-hi. sekarang dia menjadi heran kenapa aku mendadak mengharap Hun Thian-hi gugur
bersama musuh besarnya ini?
Sungguh dia tidak habis herannya tak tahulah kenapa mendadak punya perasaan yang tercela
ini, mungkin secara mendadak ia merasakan bahwa beranggapan dirinya telah kena ditipu oleh
Hun Thian-hi, rasa harga dirinya yang melibatkan pendiriannya ke arah yang nyeleweng ini,
sehingga tanpa beralasan tanpa punya dasar yang kuat ia mengharap Hun Thian-hi gugur,
seumpama ia sudah menyadari bahwa angan2nya itu salah. namun ia pun takkan mau
memperbaiki kesalahannya itu pula.
Baru sekarang Situa Pelita mulai insaf, ia sadar dan menyesal, untunglah ia belum terlibat untuk
memberikan kepercayaannya terhadap Hun Thian-hi. Sesaat ia menenangkan pikirannya waktu ia
mendongak melihat keadaan gelanggang pertempuran. situasi sudah banyak berubah, tampak
Ang-hwat-lo-mo, Ce-han-it-ki, Ciang-ho-it-koay dan Ce-hun Totiang serta Hoan-hu Popo bersama
sedang menempur Hun Thian-hi dan Pek Si-kiat. Keadaan mereka berdua sudah rada payah.
Keruan ia tersentak kaget, seluruh tokoh-tokoh silat yang hadir sudah menerjunkan diri dalam
pertempuran sengit ini, masa dirinya masih menjublek dan melamun….
Dengan sekuat tenaga dan seluruh kemampuannya Hun Thian-hi layani segala serangan dan
rangsakan musuh2 kuatnya. Betapa ilmu silat Ang-hwat ia sudah dapat menyelaminya.
Kepandaian Ce-hun Totiang dan Ce-han-it-ki secara diluar dugaannya kiranya juga tidak lebih
rendah dari Ang-hwat-lo-mo,
Betapapun Hun Thian-hi tidak akan menyerah, dengan sengit ia tempur lawan2nya, namun
lama kelamaan ia rasakan tekanan dari empat penjuru semakin berat hampir ia susah bernapas.
Insaf dia bahwa untuk menang hari ini agaknya sangat sulit dan tak mungkin lagi. Harapannya
terakhir hanyalah melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek. memang secara coba-coba saja meski tidak
berguna paling tidak Pek Si-kiat akan dapat diberi peluang untuk meloloskan dirinya.
Sesaat lamanya Situa Pelita masih bingung, entah apa yang harus dilakukannya, ingin dia
membantu Hun Thian-hi supaya orang dapat menerjang keluar kepungan, tapi apakah
kekuatannya mampu untuk menjebol masih tanda tanya, bukan mustahil malah dirinya bakal
menimbulkan rasa marah mereka dan aku sendiri yang bakal konyol nanti. Pikirnya ia hendak
meminjam tenaga orang banyak untuk membunuh Ang-hwat. tapi keadaan yang sengit ini tak
mungkin keinginannya bisa tercapai.
Hun Thian-hi bersuit panjang, seruling teracung miring ke atas, terpaksa ia harus lancarkan Withian-
cit-ciat-sek, semua pengepungnya terdesak mundur, kesempatan yang baik ini segera
mereka menjejakkan kaki bersama Pek Si-kiat terbang keluar melarikan diri.
Ang-hwat-lo-mo segera melancarkan pula Jan-thian-ciat-te yang ganas itu untuk menyerang
dari belakang. Tanpa berjanji Thian-hi berdua membalik tubuh menangkis, musuh yang lain jadi
berkesempatan memburu tiba pula, Hun Thian-hi berdua terkepung pula.
Soalnya Thian-hi segan melukai siapa saja bagi setiap pengerojoknya ini, tapi dalam keadaan
terpepet, setelah usahanya meloloskan diri gagal, sekarang terkepung lagi, sinar matanya menjadi
berkilat, akhirnya dalam hati ia ambil ketetapan, sang waktu tidak boleh diulur pula. Untunglah
tepat pada saat itu juga Situa Pelita menghardik keras, tubuhnya terbang mencelat menubruk ke
arah Ang-hwat-lo-mo, sebelah tangannya dengan kekuatan dahsyat menggempur ke punggung
Ang-hwat-lo-mo.
Keruan Ang-hwat-lo-mo terkejut, sungguh ia tidak menduga dalam situasi gawat yang
menguntungkan ini mendadak Situa Pelita menyerang dirinya, dengan mendengus gusar, pedang
masnya membabat balik ke belakang, secara gencar iapun balas menyerang ke pada Situa Pelita.
Dasar cerdik dan cukup cekatan Hun Thian-hi tidak menyia-nyiakan kesempatan yang baik ini
sekonyong-konyong serulingnya menyelonong miring ke depan menutuk jalan darah mematikan di
depan dada Ang-hwat-lo-mo. Tapi bersamaan waktunya Ciang-ho-it-koay pun sedang
memukulkan kedua telapak tangannya menghantam punggung Thian-hi.
Begitu merasa angin keras menyerang tiba terkejut Ang-hwat-lo-mo dibuatnya, sungguh tak
nyana olehnya di bawah serangan gencar para musuhnya itu Thian-hi masih sempat menyerang
balik kepada dirinya pula, agaknya ia tidak hiraukan keselamatan diri sendiri pula, mungkin sudah
nekad. Namun bila lawan main nekad dan ingin gugur bersama, adalah dirinya tidak mau roboh
begitu saja secara konyol, apalagi seruling Hun Thian-hi menutuk begitu telak, sehingga ia
kehilangan kesempatan untuk balas menyerang kepada Situa Pelita, yang terpenting sekarang
adalah menyelamatkan diri sendiri.
Dengan sendirinya Situa Pelita juga tak mau kehilangan kesempatan untuk melukai musuh. Di
bawah gencetan dari dua jurusan rangsakan dua tokoh hebat Ang-hwat-lo-mo masih berusaha
berkelit tapi tak urung lengan kirinya kena tertutuk seruling Thian-hi, demikian juga pukulan keras
Situa Pelita telak sekali mengenai sebelah kiri punggungnya. Kontan Ang-hwat menjerit keras,
darah segera menyemprot dari mulutnya, tubuhhja pun terhujung hampir roboh.
Tujuan tutukan Hun Thian-hi akan menamatkan riwayat Ang-hwat-lo-mo, sayang rangsakan
Ciang-ho-it-koay yang memukul dari belakang itu pun tak kuasa dihindari lagi, betapa hebat
pukulannya, kontan iapun tersampuk sempoyongan ke samping, lengannya kanan kesakitan dan
kesemutan, hampir saja ia tidak kuasa memegang serulingnya lagi.
Terdengar pula suara bentakan dan teriakan keras saling bersahutan. Sekuat tenaga Ang-hwat
menghimpun tenaga dan semangatnya menggempur balik ke arah Situa Pelita, kedua belah pihak
gunakan kekerasan untuk saling serang dengan seru, keadaan pertempuran semakin gegap
gempita.
Meski Hun Thian-hi membekal Lwekang maha tinggi, karena lengan kanan sudah terluka
tenaganya menjadi banyak berkurang, cara gerak jurus permainannya sudah tidak sehebat dan
sekuat tadi.
Sementara itu Situa Pelita pun ikut terkepung di tengah keroyokan orang banyak, terdengar ia
berteriak, “Kenapa kalian tidak bunuh Ang-hwat si durjana ini?”
Ciang-ho-it-koay menggeram jengeknya, “Setelah bunuh Hun Thian-hi masih belum terlambat
melenyapkan Ang-hwat sekalian. Kejahatan dan ketelengasan Hun Thian-hi jauh lebih berbahaya
dari Ang-hwat si iblis laknat ini.”
Hun Thian-hi menengadah bergelak panjang, serunya pada Pek Si-kiat dan Situa Pelita, “Mari
kubantu kalian, membobol keluar kepungan dulu!”
“Boleh kau coba!” jengek Ce-han-it-ki seraya melintangkan pedang panjangnya untuk
membendung arus rangsakan seruling Hun Thian-hi.
Badan Hun Thian-hi terbang lempang ke depan serulingnya menukik dari atas kebawah, dimana
ia kerahkan tenaga dalam kembangan jurus Wi-thian-cit-ciat-sek. kontan para pengepungnya
seperti terdorong mundur oleh tenaga dahsyat seperti air bah yang tidak kelihatan, kepungan
yang rapat saketika menjadi bobol. yang lebih hebat lagi kedua senjata ditangan Bun Cu-giok dan
Ciok Yan kontan terbang lepas dari cekalannya. Bersamaan waktunya terdengar Ce-hun Totiang
dan Hoan-hu Popo membentak berbareng seraya membacok dan menusuk pedang masing-masing
ke arah Hun Thian-hi, mati-matian mereka bekerja keras untuk mencegat jalan lari mereka
bertiga.
Tapi Hun Thian-hi sudah menyerbu membabi buta. seperti banteng ketaton, sayang lengan
kanannya terluka, terpaksa ia harus mundur ditengah jalan. kepungan kembali diperketat, kedua
belah pihak kembali terlibat dalam pertempuran mati-matian yang cukup seru.
Dalam sekejap lagi cuaca bakal gelap gulita meskipun mereka sudah bekerja sekuat tenaga tapi
selama itu mereka tak berhasil merobohkan musuh dan tidak mungkin berhenti begitu saja
ditengah jalan. dalam keadaan saling berkutat dan bisa maju dan tak mungkin mundur,
pertempuran berjalan terus sama kuat, kegelapan sang malam akhirnya berganti dengan sang
fajar yang telah menyingsing tiba. Jadi mereka sudah bertempur sehari semalam tanpa ada
kesudahan yang menentukan.
Sebenar-benarnya Ang-hwat-lo-mo sudah tidak kuat bertahan lagi. Dia tabu bahwa luka-luka
tubuhnya tidaklah ringan. tapi betapa pun ia tidak rela melepas kesempatan yang bagus ini, kalau
sekarang dia melepas Hun Thian-hi pergi, mungkin kelak bakal menjadikan bibit bencana atau
perintang utama bagi pergerakan cita-citanya. Apalagi Hun Thian-hi sendiri juga sudah terluka,
sekejap lagi tidak akan kuat bertahan. dan akhirnya yang bakal roboh justru Hun Thian-hi sendiri.
Luka lama Hun Thian-hi belum lagi sembuh dan pulih seluruhnya, kini ia terluka pula tidak
ringan, apalagi sudah bertempur sekian lama badan pun sudah lelah dan kehabisan tenaga.
Nuraninya benar-benar berharap, meski pun ini hanya angan2 kosong supaya Ham Gwat bisa
segera tiba menolong dirinya seperti kejadian beberapa waktu yang lalu…. Bukan saja dirinya
bakal bebas dari ancaman bencana, Ang-hwat-lo-mo juga pasti dapat ditumpas.
Pertempuran terus berlangsung, masing-masing pihak terus berkutat dan tiada yang mau
mengalah, segala kepandaian dan ilmu dibojong keluar demi mempertahankan hidup dan mati,
tapi selama itu keadaan tetap sama kuat alias setanding.
Suatu kesempatan Hun Thian-hi mendongak melihat Angkasa, tampak rasa putua asa
membayang dalam sinar matanya, bila Ham Gwat mau datang sejak tadi ia sudah hadir dalam
pertempuran ini, atau mungkinkah dia punya urusan lain yang tebih penting?
Ce-han-it-ki dapat melihat perubahan air muka Hun Thian-hi segera ia memberi isyarat kedipan
mata pada teman2 lainnya, serempak mereka merabu lagi dengan segala daya upaya, udara
seperti menjadi bergolak dan angin badai kontan menerpa ke arah Hun Thian-hi bertiga.
Hun Thian-hi kertak gigi, baru saja ia menghimpun seluruh kekuatan untuk melawan secara
kekerasan, sekonyong-konyong dari luar hutan bambu sana terdengar irama harpa yang dipetik
ringan lincah. seketika perasaan Hun Thian-hi menjadi enteng dan segar kembali semangatnya.
Bukankah itu irama Kekal abadi? Serta merta mulutnya mencebir dan bersuit panjang mengalun
tinggi. ia empos seluruh tenaga dan kekuatannya terus diberondong keluar, Pek Si-kiat dan Situa
Pelita segera juga membantu dengan setaker tenaga masing-masing, seketika mereka merasa
tekanan dari luar menjadi enteng, berbareng mereka mencelat jauh dan keluar dan kepungan.
Tampak Po-ci dan Ma Gwat-sian melangkah ringan memasuki hutan bambu ini, sebelah tangan
Po-ci mengemban sebuah harpa kuno biji matanya yang jeli pelan-pelan dan kalem menyapu
pandang seluruh hadirin.
Tersipu-sipu Hun Thian-hi maju menjura serta sapanya, “Terimakasih akan budi pertolongan
Cianpwe” — dalam berkala2 ini tarasa kepalanya menjadi pening pandangan menjadi gelap, tahu
dia tadi terlalu banyak mengeluarkan tenaga sehingga kedua kakinya menjadi lamas, lekas ia
mengendalikan badan berdiri tegak pula.
Lekas-lekas Ma Gwat-sian memburu maju dan memapah badan Hun Thian-hi, ujarnya dengan
lemah lembut dan prihatin, “Bagaimana keadaanmu?”
Melihat laku Ma Gwat-sian yang begitu wajar dan menunjukkan perhatian yang berkelebihan
dihadapan umum, merah jengah selebar muka Hun Thian-hi. Cepat ia menyahut: .,Terima kasih,
aku tidak apa-apa.”
Ma Gwat-sian tersenyum manis, Katanya. “Baru saja Suhu dan aku menyusul tiba. Begitu
memasuki wilajah Conggoan lantas kami mendengar kabar. katanya kau meluruk ke Siau-lim-si,
maka bergegas kami menyusul kau kemari!”
Hun Thian-hi rada kikuk. sesaat ia bungkam tertawa. “Kalau begitu aku harus lebih berterima
kasih
akan kebaikan kalian!” demikian kata Thian-hi sesaat kemudian.
Ma Gwat-sian pandang wajah Thian-hi lekat-lekat. sesaat baru ia bersuara pula dengan suara
lirih, “Kau…. diantara kau dan aku kenapa harus berlaku begitu sungkan. kenapa kau harus
berterima kasih pula padaku?”
Tergetar jantung Thian-hi, tak tertahan ia tunduk diam. Ucapan Ma Gwat-sian sudah sangat
jelas kemana juntrungannya, bagaimana aku harus bersikap terhadapnya? Demikian ia bertanya
terhadap dirinya sendiri. Sulit ia mengambil ketetapan.
Melihat hubungan mereka yang kelihatan begitu intim Pek Si-kiat menjadi maklum. gadis
remaja dihadapannya ini pasti bukan perempuan yang bernama Ham Gwat itu, kalau begitu….ai….
asmara…. tak berani ia memikirkan lebih lanjut.
Tanpa bersuara dengan tenang Po-ci awasi mereka berdua dengan muka berseri, disangkanya
bahwa Hun Thian-hi memang ada ketarik terhadap Ma Gwat-sian, kalau tidak masa sikapnya
kelihatan begitu mesra. Mana dia tahu bahwa sebenar-benarnyalah dalam benak Hun Thian-hi
sudah terkait oleh Ham Gwat, batinnya tengah bergejolak, entah cara bagaimana ia harus
menempatkan dirinya.
Sambil menenteng pedangnya panjang Ce-hun Totiang maju menghampiri Po-ci, serunya,
“Siapa kau? Kau ingin membantu Hun Thian-hi dan mencari permusuhan dengan seluruh kaum
persilatan?”
Bab 23
Dengan lirikan hina Po Ci menyapu pandang para hadirin. sahutnya, “Baru hari ini aku pertama
kali kebetulan hadir dalam pertemuan besar kaum persilatan. Ternyata golongan kependekaran
Bulim di Tionggoan juga cuma begini saja!”
Ce-hun semakin berang, hardiknya, “Siapa kau?”
Po-ci menyahut tawar, “Jangan kau urus siapa diriku. terangkat jari-jarinya dengan lincah
memetik senar, Hun Thian-hi akan kubawa pergi. Siapa diantara kalian yang tidak terima silakan
mencari perkara terhadapku. Ketahuilah aku tidak gentar kalian keroyok!”
“Kenapa harua keroyok, biar aku saja yang mencoba sampai dimana kepandaianmu sejati,
berani kau bicara takabur disini!” seiring dengan kata-katanya Ce-hun Totiang lancarkan sejurus
serangan dengan tipu Poh-hun-kian-jit (menyingkap awan melihat matahari), sekaligus ujung
pedang panjang bergerak begitu cepat menusuk beberapa kali mengarah jalan darah yang
berlainan diberbagai tempat ditubuh Po-ci.
Poci mandah tertawa ejek, dimana tangan kirinya bergerak serentetan irama musik lantas
mengalun dari nada yang rendah terus menjulang tinggi seperti hampir menembus angkasa.
samar-samar terasa adanya nafsu memburnuh yang segera melingkupi perasaan orang, seketika
hati semua hadirin menjadi tertekan tegang, yang paling hebat justru Ce-hun seperti kena pukulan
godam, belum lagi serangan pedangnya mengenai sasarannya, dadanya sudah sesak dan
sempoyongan mundur, keruan kagetnya bukan main, lekas ia empos semangat dan kendalikan
napas, berbareng pedangnya dibolang balikkan di depan dada, tapi tak urung mukanya sudah
basah oleh keringat dingin.
Hun Thian-hi sendiri juga ikut terkejut, waktu Poci mengembangkan irama kekal abadi tempo
hari. kepandaiannya tidak begitu lihay seperti sekarang. Kiranya tempo hari sengaja ia memberi
kelonggaran.
Melihat Ce-hun payah kepontang panting Hoan-hu juga terkejut, cepat ia meraih sebatang
pedang terus menubruk maju, pedangnya berubah menjadi setabur titik-titik kunang-kunang kecil
terus merangsak kepada Poci.
Kelopak mata Poci sedikit pun tidak bergerak, sikapnya tetap tenang. Waktu ia mulai memasuki
wilajah Tionggoan lantas ia dengar kabar katanya Ce-hun dan Hoan-hu berada diluar perbatasan
mendapat perlindungan dari Sam-kong Lama, dia jelas mengetahui hubungan kental antara Samkong
dengan Hun Thian-hi. Sekarang seumpama Hun Thian-hi memang dipihak yang salah paling
tidak mereka harus memberi muka dan kesempatan, bukan saja mereka tidak merasa sungkan
malah meluruk ke Tionggoan dan mencari perkara disini.
Memang sengaja ia hendak memperlihatkan akan kelihayan Tay-seng-ci-kou untuk menghajar
adat pada kedua orang tua2 yang sudah dianggapnnya pikun ini. kelihatan lengan kirinya
terangkat dan naik turun jari-jarinya bergerak lincah, suasana semakin tegang dengan lingkupan
hawa membunuh yang semakin tebal. Batok dan leher Hoan-hu sudah basah kuyup oleh keringat
tak kuasa ia pegang pedangnya lagi, terpaksa duduk bersimpuh mengerahkan Lwekang untuk
melawan mati-matian.
Dilain pihak Ang-hwat-lo-mo yang licik dan mengenal gelagat itu bercekat pula hatinya, bahwa
pendatang ini membekal ilmu Tay-seng-ci-lou yang dikabarkan sudah putus turunan itu. dalam
gerak gerik beberapa jari yang lincah memetik harpa itu telah berhasil merobohkan Ce-hun dan
Hoan-hu berdua. Insaf ia bahwa dirinya pun bukan tandingan, apalagi dirinya terluka berat,
kecuali melarikan diri tiada jaian lain untuk hidup lebih lanjut.
Karena pikirannya ini sepasang biji matanya segera melirik, menerawang situasi gelanggang
dicarinya kesempatan untuk melarikan diri. Karena Tay-seng-ci-lou tidak bisa dibanding senjata
tajam umumnya, dia dapat dilancarkan dilain bentuk yang tidak kelihatan, untuk lari kecuali dapat
menyandak jarak yang cukup jauh dalam sekejap waktu, seumpama kedua tangan menutupi
kuping pun tidak akan kuat bertahan dari getaran musik yang hebat itu!
Orang yang paling diperhatikan Situa Pelita. justru musuh besarnya yaitu Ang-hwat-lo-mo
begitu biji mata Ang-hwat pelirak-pelirik, ia lantas dapat menebak isi hati orang segera ia bersiap
siaga melejit ke depan terus menubruk ke arah musuh besarnya ini. mulutnya menjengek, “Apa
hari ini kau masih ingin lari?”
Ang-hwat-lo-mo tertawa dingin, serunya, “Bila aku memang mau pergi. masa kau mampu
merintangi.”
Dengan gerungan yang mengguntur Situa Pelita dorongkan kedua telapak tangannya
menggenjot kedada musuh. Ang-hwat-lo-mo melintangkan pedangnya membabat dan menutuk
kejalan darah ditelapak tangan lawan, tapi gerak gerik Situa Pelita yang cukup lincah dengan
kehebatan Ginkangnya sudah tentu tak begitu gampang mandah tangannya dilukai. Dengan sengit
ia rangsak semakin gencar, begitulah mereka bertempur seru pula tanpa dapat diketahui siapa
yang lebih unggul. Soalnya Ang-hwat sudah terluka, tapi ia membekal pedhng menghadapi
sepasang pukulan Situa Pelita, untuk waktu dekat Situa Pelita tiada mampu merobohkan lawan.
sebaliknya Ang-hwat punya rencananya sendiri untuk lari, maka pun tiada minat untuk mengejar
kemenangan.
Mata Po Ci menyapu pandang ke arah mereka berdua, katanya kepada Hoan-hu dan Ce-hun,
“Meski kalian tidak kenal aku, tapi aku kenal kalian, di daerah barat daya sana kalian sudah
menerima budi kebaikan orang, bukan saja tidak berusaha untuk membalasnya, sekarang berbalik
kerja sama dengan manusia macam Ang-hwat-lo-mo untuk mengeroyok Hun Thian-hi. Kalian juga
tahu bahwa Hun Thian-hi adalah sahabat kental Sam-kong Lama, murid angkat Ka-yap Cuncia,
apakah kalian anggap punya pandangan yang lebih cemerlang dari Ka-yap Cuncia?”
Lambat laun lemas semangat Ce-hun, tangan yang menyekal pedang semampai turun, biji
matanya memancarkan rasa penyesalan yang tak terhingga, sungguh kata-kata orang sangat
menusuk perasaannya, akhirnya ia tertunduk dengan penuh sesal, setelah membanting kaki tanpa
bicara lagi terus berlari pergi. Melihat kelakuan orang Hoan-hu mendelik ke arah Poci, lalu ia
memberi isyarat kepada Bun Cu-giok dan Ciok Yan, bersama mereka mengundurkan diri.
Sementara itu pertempuran Ang-hwat-lo-mo melawan si Tua Pelita masih berlangsung terus
dengan serunya, sambil tempur Ang-hwat-lo-mo main mundur dan semakin jauh dari gelanggang
pertempuran semula.
Terdengar Poci berkata pula, “Marilah kita pergi, urusan orang-orang Tionggoan biar
diselesaikan mereka sendiri, buat apa kita lama-lama di tempat ini.”
Ang-hwat-lo-mo menjadi berlega hati, sebat sekali ia melejit jauh terus terbang lari sekencang
angin. Dengan kencang Situa Pelita mengejar di belakangnya, tampak Siang-hou-it-koay juga
berlari mengejar.
Semua hadirin satu persatu bubar. Sementara itu dengan menengadah mengawasi awan di
atas langit lapat-lapat terasa sesal dalam benak Hun Thian-hi, kenyataan Ham Gwat tidak kunjung
datang seperti yang diharapkan, justru yang datang malah Ma Gwat-sian, sungguh kedatangannya
diluar dugaannya, demikian ia berpikir.
Melihat sikap Hun Thian-hi yang kaku itu dingin perasaan Ma Gwat-sian, sebagai seorang yang
cerdik dan dapat melihat gelagat, terasa olehnya bahwa sikap Hun Thian-hi terasa kurang hangat
dan simpatik, tidak seperti harapan dalam angan2 pikirannya sebelum tiba disini. Kelihatannya
Hun Thian-hi sedang dirundung kekesalan hati dan entah apakah yang sedang dipikirkan, mungkin
dia sedang menguatirkan seseorang lain, demikian ia memtatin, tanpa merasa hatinya menjadi
pilu, air mata hampir menetes keluar.
Dari samping dengan tenang Poci awasi kedua insan muda ini, iapun merasa perkembangan
keadaan sekarang benar-benar sangat menyesatkan perasaan, berdiri berendeng seolah-olah
mereka tenggelam dalam alam pikiran masing-masing.
Terdengar Pek Si-kiat membuka suara kepada Hun Thian-hi, “Hun-hiantit, kau harus
menyembuhkan lukamu dulu, aku masih ada urusan lain yang perlu kuselesaikan, kelak kita jumpa
lagi.”
Hun Thian-hi maklum bahwa Pek Si-kiat tidak ingin mengganggu dirinya. maka setelah
merenung ia menjawab, “Begitupun baik, dalam satu bulan ini aku pasti kembali, harap paman
tidak usah kuatir akan diriku.”
Pek Si-kiat minta diri terus tinggal pergi.
Pelan-pelan Ma Gwat-sian membalik tubuh, katanya tertawa kepada Hun Thian-hi, “Thian-hi
Toako. kau sedang terluka sementara biarlah bersama kami saja, setelah luka-lukamu sembuh
nanti kita bicarakan lagi tindakan selanjutnya!”
Hun Thian-hi tersenyum dipaksakan, sahutnya, “Kalau begitu merepotkan kalian saja.”
Segera Ma Gwat-sian melangkah maju, lengan baju Hun Thian-hi segera disobek, katanya, “Biar
kuperiksa dulu bagaimana keadaan lukamu.”
Hun Thian-hi menjadi kikuk dan risi, tapi. Ma Gwat-sian bermaksud baik, tempat itu kecuali
tinggal gurunya tiada orang luar lainnya, akhirnya ia membiarkan saja orang memeriksa lukanya.
Dengan seksama Ma Gwat-sian memeriksa luka-luka Hun Thian-hi, diam-diam hatinya mendelu,
air mukanya yang kaku prihatin, setelah terluka Thian-hi harus menguras tenaga lagi, sehingga
seluruh pundaknya sudah berubah warna hitam karena darah bumpet dan membeku.
Hun Thian-hi memang merasa pundaknya kaku kesakitan, waktu ia menunduk tiba-tiba di atas
kepalanya terdengar pekik burung yang nyaring itulah suara rajawali besar itu yang terbang
melayang di atas kepalanya, begitu cepat daya terbang burung itu samar-samar dilihatnya
bayangan Ham Gwat di atas punggungnya.
Mencelos perasaan Hun Thian-hi dengan mendelong ia awasi arah dimana burung rajawali tadi
menghilang. Tahu dia bahwa Ham Gwat telah tinggal pergi lagi, bagaimana juga dia tidak akan
muncul di saat keadaan yang serba runyam ini, lalu selanjutnya.
Ma Gwat-sian juga menengadah dan terlongong memandang ke arah hilangnya burung rajawali
sana, pelan-pelan ia turunkan kedua tangannya, hatinya terasa pilu dan sedih, tak tertahan air
mata mengalir dari ujung matanya.
Poci mandah menghela napas panjang dengan rawan, ia bungkam.
Entah berapa lama Thian-hi menjublek di tempatnya, pelan-pelan akhirnya ia menunduk,
dilihatnya Ma Gwat-sian mengembeng air mata, tahu dia bahwa bayangan yang dilihatnya tadipun
telah dilihat pula oleh Ma Gwat-sian, sesaat ia menjadi bingung cara bagaimana ia harus berbuat.
Pelan-pelan Ma Gwat-sian membalik tubuh, terus melangkah keluar hutan bambu.
Hun Thian-hi sangat menyesal. Bahwa Ma Gwat-sian dari tempat yang begitu jauh menyusul
dirinya kemari, menolong jiwanya lagi dalam keadaan gawat tadi, kenyataan dirinya bersikap
begitu dingin dan tak berperasaan sama sekali. Setelah rada sangsi. dengan tertawa dibuat-buat ia
memanggil, “Gwat-sian!”
Ma Gwat-sian berpaling sambil mengembeng air mata, mulutnya tetap bungkam. Sesaat Hun
Thian-hi kehilangan kata-kata. dengan mendelong ia awasi Ma Gwat-sian.
Poci melangkah ke depan Hun Thian-hi dan pandang muka orang dengan seksama, Thian-hi
tertunduk malu. pelan-pelan Poci bertanya, “Dia siapakah, dia?”
“Ham Gwat! Murid Bu-bing Loni!” sahut Hun Thian-hi dengan suara tertelan di tenggorokan.
Poci menjadi serba runyam, ia pandang Ma Gwat-sian lalu berkata kepada Hun Thian-hi, “Mari
kesini, ada omongan yang perlu kubicarakan dengan kau!” lalu ia mendahului melangkah keluar
hutan.
Dengan penuh perasaan dan prihatin Hun Thian-hi pandang Ma Gwat-sian sekejap lalu
membuntut di belakang Poci. Sementara Ma Gwat-sian masih menunduk tenggelam dalam alam
pikirannya sendiri. melirik pun tidak ke arah Hun Thian-hi.
Tiba di tempat yang rindang Poci segera membalik tubuh dan berkata pada Hun Thian-hi, “Nak!
Ada suatu hal yang perlu kujelaskan kepada kau. selanjutnya terserah bagaimana kau hendak
menyelesaikannya!”
Kata Poci selanjutnya, suaranya tertekan, “Gwat-sian adalah warga dari Thian-bi-kok, menurut
aturan tidak pantas kubawa dia ke Tionggoan sini. Bagaimana juga aku tidak akan melakukan
pelanggaran ini. Tapi kenyataan aku sudah membawanya ke Tionggoan sekarang, malah langsung
kubawa dia ke Siau-lim-si sini. Apa kau tahu. kenapa aku lakukan hal ini?”
Hun Thian-hi bungkam tak bersuara.
Poci meneruskan dengan tertawa tawar, “Mungkin kau beranggapan karena dia cinta pada kau
maka lantas kukabulkan permintaannya untuk menyusul kau ke Tionggoan bukan?”
Kali ini Thian-hi angkat kepala, sahutnya tertawa getir, “Bahwasanya Wanpwe tidak tahu
apakah alasannya!”
“Sejak kecil Gwat-sian angkat guru kepadaku,” demikian Poci melanjutkan, “Dengan tekun
kuajarkan Tay-seng-ci-lou kepadanya, tapi apakah kau tahu kenapa aku tidak ajarkan dia ilmu
silat? Bakatnya luar biasa, otaknya cerdik dan pandai lagi, aku hanya ajarkan seni musik macam
Tay-seng-ci-lou dan tidak memberi ajaran silat, menurut umumnya adalah tidak adil dan kurang
bijaksana!”
Tergerak hati Thian-hi, batinnya waktu aku pertama ketemu Ma Gwat-sian juga timbul
pertanyaanku ini, kuduga dia merupakan tokoh terpendam yang kosen, siapa duga bahwa dia
sama sekali tidak pandai main silat.
Poci tertawa rawan, sambungnya, “Sebab hakikatnya dia tidak mungkin bisa berlatih silat. Sejak
kecil dia sudah kena penyakit Liok-im-coat-tin, (bisul dalam urat nadi) setelah usianya mencapai
dua puluh tahun ia bakal meninggal dunia!”
Tergentak jantung Hun Thian-hi, sesaat ia berdiri kesima, katanya, “Apa? Gwat-sian….dia….”
mimpi juga tidak terpikir olehnya bahwa Ma Gwat-sian sudah terserang penyakit berbahaya yang
mematikan itu, malah tidak akan lebih melampaui dua puluh tahun dalam usianya yang masih
remaja ini. mungkinkah terjadi?
“Dengan mengajarkan Tay-seng-ci-lou maksudku demi untuk mengurangi tekanan batinnya
yang selalu dirundung kemurungan, mungkin dengan keriangan hatinya jiwanya akan bertambah
lama hidup, tapi….” sampai disini Poci tak kuasa melanjutkan, ia menghapus air matanya. Lalu
sambungnya lagi, “Tapi akhirnya kudapati pula bahwa seluruh usahaku akhirnya bakal sia-sia
belaka, sekarang jiwanya tinggal tiga bulan lagi untuk hidup, dia sendiri masih belum tahu akan
keadaannya yang sebenar-benarnya!”
Hun Thian-hi menjublek di tempatnya, seolah-olah jantungnya dipukul godam yang berat,
sungguh pedih dan seperti ditusuk sembilu perasaan hatinya, aku masih demikian kikir
memberikan cintaku terhadap seorang gadis remaja yang aju rupawan dan lemah dan sekarang
jiwanya tidak kurang cukup hidup tiga bulan belaka, kenapa selama ini aku menyembunyikan
perasaanku, apakah Ma Gwat-sian buruk rupa? Apakah dia berhati jahat? Tidak! Wajahnya begitu
rupawan tidak kalah dibanding Ham Gwat, malah dia punya kelebihan dari sifat kelincahan pada
gadis remaja umumnya.
Apakah Ma Gwat-sian goblok? Tidak sama sekali, kepintarannya dalam segala bidang aku Hun
Thian-hi sedikitpun tak mampu memadainya, tapi kenapa selama ini belum pernah bersemi rasa
cintaku terhadapnya? Sungguh diapun merasa heran!
Akhirnya Poci membuka kesunyian pula, katanya menghela napas, “Cintanya terhadap kau
adalah sedemikian murni, begitu suci dan luhur, aku sendiri berharap dalam jangka sisa hidupnya
yang masih ketinggalan tiga bulan ini dapat membawa kebahagiaan dan kesenangan terhadapnya.
Aku tidak akan paksa kau, boleh kau pikirkan sendiri, terserah bagaimana keputusanmu!”
Kembali Hun Thian-hi menengadah ke atas langit. Sementara Poci pelan-pelan tinggal pergi.
Hun Thian-hi maklum kemana juntrungan ucapan Poci tadi, harapan orang adalah dirinya bisa
hidup bahagia bersama Ma Gwat-sian dalam jangka melulu tiga bulan ini.
Thian-hi meragukan akan hal ini, bayangan Ham Gwat selalu terbayang di kelopak matanya,
tapi sebagai manusia yang punya nalar sehat dan dapat menerima rasio dengan perasaan hati
membuat Hun Thian-hi merasa simpatik dan kasihan akan nasib Ma Gwat-sian, timbul dalam
benaknya bahwa dia harus memberikan kesenangan dan kebahagiaan itu kepada Ma Gwat-sian
dalam jangka tiga bulan yang pendek itu, aku harus berbuat sekuat mungkin demi keluhuran jiwa
manusia. Karena keputusan lahir batin ini akhirnya ia pelan-pelan menyusul ke dalam hutan sana.
Teringat Ham Gwat ia menjadi kuatir bagaimana orang akan bersikap kepadanya kelak.
mungkin Ham Gwat bisa salah paham kepada dirinya, tapi ia yakin bahwa pengorbanannya kali ini
adalah benar-benar demi kemanusiaan, yakin siapa saja bagi orang yang punya perasaan akan
menempuh jalan yang sama dengan keputusannya ini.
Ketika tiba di dalam hutan ia menjadi terlongong, suasana di dalam hutan hening lelap tiada
kelihatan bayangan seorangpun, Ma Gwat-sian telah menghilang tanpa bekas, kiranya sejak tadi ia
telah meninggalkan hutan bamfou ini.
Resah dan gelisah pula perasaan Hun Thian-hi, sunggguh ia merasa betapa dirinya tidak dapat
diberi maaf lagi, teringat olehnya, sejak dirinya memasuki Thian-bi-kok dulu, hati kecilnya telah
terisi pula bayangan bentuk Ma Gwat-sian, selama hidupnya ini dia tidak akan pula melupakan raut
wajah nan aju semampai itu. Selama hidup dan mengalami berbagai kesulitan betapa Ma Gwatsian
telah memberikan bantuannya yang tak ternilai kepadanya, jelas bahwa hidupnya ini tidak
mungkin membebaskan diri dari kebaikan2 Ma Gwat-sian itu.
Kini setelah kembali ke Tionggoan, jarak yang ribuan li jauhnya, namun Ma Gwat-sian telah
menyusulnya kemari, bukan saja dia harus meninggalkan negara dan kampung halamannya,
tempat indah dimana ia dilahirkan, dan yang terutama bahwa dia telah mengejar cinta pada
dirinya, tepat kedatangannya dan menolong pula jiwanya dari renggutan dewa elmaut. Sekarang
justru karena keingkaran hatinya ia telah tinggal pergi, bagi siapapun bila dia menempatkan
dirinya dipihak Ma Gwat-sian dia pun pasti akan tinggal pergi, entah dia pergi kemana, meski ia
harus hidup merana yang terang karena dia masih punya harga diri, dan bagi dirinya mungkin
harga diri ini jauh lebih tebal dari milik orang lain.
Begitulah Hun Thian-hi terlongong ditempatnya. Sementara itu Poci juga sudah pergi entah
kemana, ia pergi meninggalkan Ma Gwat-sian untuk dirinya, tanpa banyak bicara aku telah
menerima peninggalan ini, namun sekarang terjata Ma Gwat-sian juga telah pergi dan menghilang,
entah kemana.
Entah berapa lama kemudian mendadak ia tersentak sadar dari lamunannya, didapatinya ia
masih menjublek ditempatnya, lekas-lekas ia membanting kaki, seketika tubuhnya melenting tinggi
menerobos pohon-pohon terus mengejar keluar hutan.
Betapa sedih dan pilu hati Ma Gwat-sian waktu ia tahu bahwa relung hati Hun Thlan-hi kiranya
sudah terisi blbit asmara bagi orang lain. Meski Po-ci mengira bahwa Ma Gwat-sian tidak tahu
bahwa jiwanya tinggal bisa hidup tiga bulan lagi. memang meski Ma Gwat-sian tidak tahu bahwa
dirinya tinggal dapat hidup tiga bulan lagi, tapi ia sudah mendapat firasat bahwa tubuhnya rada
berlainan dengan orang lain. Sering ia merasakan tubuhnya letih dan lemas, apalagi Poci bersikap
begitu baik, segala permintaannya pasti dituruti, insyaf dia bahwa sikap sang guru ini bukan
mustahil ada latar belakang tertentu atas tubuhnya yaitu bahwa dia sedang terserang suatu
penyakit yang tidak mungkin tersembuhkan, kalau tidak. tidak mungkin Poci bersikap begitu manja
dan mengumbar pada dirinya.
Demi gengsi dan harga dirinya, ia tidak rela bila Hun Thian-hi berkasihan pada dirinya dan
menyerahkan cinta orang lain kepada dirinya.
Setelah Poci dan Hun Thian-hi menyingkir jauh pelan-pelan iapun meninggalkan hutan bambu
itu, langsung menuju ke arah hutan yang lebih lebat jauh lebih belukar dan menanjak tinggi.
Setelah berada diatas. Ma Gwat-sian berpaling, tampak gereja Siau-lim jauh di belakang bawah
sana, dengan ringan ia mengnela napas panjang, hampir tanpa tujuan kaki melangkah menuju ke
arah yang tidak menentu, bagaimana selanjutnya aku harus menempatkan diriku? Hal ini tidak
pernah terpikir olehnya!
Beberapa kejap kemudian tiba-tiba ia menghentikan langkahnya, sepasang matanya yang jeli
berkedip mengawasi ke depan dengan terbelalak. Dihadapannya berdiri seorang gadis rupawan
mengenakan pakaian serba hitam, disampingnya berdiri pula seekor rajawali, orang pun sedang
mengawasi dirinya dengan sikap dingin dan kaku. Tahu Ma Gwat-sian bahwa inilah orang yang
terbang melampaui di atas kepalanya tadi, inilah murid Bu-bing Loni yang bernama Ham Gwat.
Begitulah untuk sekian lamanya kedua belah pihak saling pandang tanpa berkesip. Gwat-sian
tidak tahu bagaimana perasaan hatinya saat itu. hampir ia merasakan akan kerendahan dirinya
Bukankah dia dihinggapi penyakit yang tidak dapat ditolong lagi!
Sebetulnya ia sangat bangga, akan dirinya, akau kepintaran dan bentuk wajahnya sendiri. Kalau
dulu ia merasa bahwa kecantikan dirinya adalah yang nomor satu di seluruh kolong langit ini, tapi
Ham Gwat yang berdiri dihadapannya sekarang kiranya juga mempunyai bentuk wajah yang tidak
kalah agung dan cantiknya. Dia bangga bahwa Tay-seng-ci-lou atau ilmu yang dipelajarinya itu
tiada tandingan di seluruh jagat, tapi jelas bahwa Ham Gwat yang berdiri dihadapannya ini justru
adalah ahli waris Hui-sim-kiam-hoat, itu ilmu pedang nomor wahid tanpa tandingan di seluruh
dunia persilatan.
Adalah aku sendiri sedikitpun tidak pandai bermain silat.
Akhirnya Ma Gwat-sian tertunduk dengan sedih, tapi dilain saat ia angkat kepala pula tidak mau
tunduk begitu saja, begitulah ia adu pandang pula dengan Ham Gwat.
Entah berapa lama mereka beradu pandang tanpa berkesip, dalam hati kecil Ma Gwat-sian
mengharap Ham Gwat suka mengalah setindak padanya, tapi kenyataan tidak, dari sorot
pandangan Ham Gwat ia merasakan, bahwa sedikitpun Ham Gwat tidak akan mengalah pada
dirinya.
Serta merta terasa oleh Ma Gwat-sian air mata telah mengembeng memenuhi kelopak
matanya, lekas-lekas ia menunduk dan memejamkan mata, sambii mengemban harpanya ia
berlari kencang ke depan lewat samping Ham Gwat.
Tanpa bergeming Ham Gwat tetap berdiri, biji matanya memancarkan sorot cahaya yang
sangat aneh, kelihatannya seperti senang, tapi seperti sedih dan menyesal pula, akhirnya ia pelanpelan
membalik tubuh, dipandangnya punggung Ma Gwat-sian yang mengghilang dikejauhan.
Sambii tertunduk ia berpikir, kakinya melangkah pelan, sekonyong-konyong terasa angin
berkesiur sesosok bayangan orang melayang hinggap di depannya. Itulah Poci yang mendatangi
pelan-pelan. Dengan pandangan penuh selidik ia pandang Poci yang semakin dekat.
Untuk sesaat lama Poci harus mengendalikan perasaan sebelum bicara, akhirnya ia membuka
suara dengan suara tertekan, “Nona Ham Gwat, ada beberapa patah kata yang perlu kusampaikan
kepada kau, apakah kau sudi mendengar?”
Sebetulnya Ham Gwat rada heran pada sepak terjang Poci dan tingkah laku Ma Gwat-sian,
mungkinkah mereka tadi sudah bertengkar dengan Hun Thian-hi? Karena rekaan hatinya ini, ia
manggut-manggut.
Setelah menghela napas Poci berkata, “Betapa dalam dan suci cinta Hun Thian-hi terhadap kau.
hal ini aku tahu dengan jelas. “demikian ia mulai dengan uraiannya. Sampai disini ia berhenti.
Ia pandang air muka Ham Gwat, melihat orang tidak mengunjuk perubahan pada mimik
mukanya, lalu ia melanjutkan, “Tapi haruslah kau ketahui bahwa Ma Gwat-sian juga kepincut
terhadap Hun Thian-hi, begitu besar rasa cintanya terhadap Hun Thian-hi seperti cinta Hun Thianhi
terhadap kau. Tapi dia….”
Tersekat sekian saat Poci tak kuasa melanjutkan kata-katanya karena terganggu oleh perasaan
hatinya, “Ma Gwat-sian sendiri juga belum tahu,” demikian ia melanjutkan lagi, “Bahwa jiwanya
kini tinggal dapat hidup tiga bulan lagi, ini adalah tinggal harapannya yang terakhir, kuharap nona
suka berkorban diri demi kebahagiaannya yang sangat pendek ini.”
Begitu mendengar penjelasan terakhir ini, otak Ham Gwat seperti dipalu godam, terhujung
mundur sempoyongan, matanya terbelaiak dan menjublek ditempatnya, sesaat kemudian baru ia
kuasa membuka suara, “Baru saja dia lewat kesana!”
Poci tertegun. Ia sangka Ma Gwat-sian masih berada dihutan bambu dan sekarang tengah
bersama Hun Thian-hi, tapi ternyata kejadian benar-benar diluar perhitungannya, keruan ia
tersentak kaget, teriaknya, “Apa?” — tanpa banyak bicara lagi segera ia berlari mengejar.
Ham Gwat menjadi melongo, sunguh ia tidak tahu bahwa Ma Gwat-sian tinggal dapat hidup
selama tiga bulan lagi, Ma Gwat-sian menyusul dari tempat yang ribuan li jauhnya, Poci tidak akan
menipu dirinya akan hal-hal yang tidak benar-benar. Sebetulnya. rasa cintanya terhadap Hun
Thian-hi setinggi gunung sedalam lautan, adakah jiwaku begitu sempit, begitu tega aku tanpa
memberi sedikitpun kelonggaran terhadap seorang gadis remaja yang tinggal hidup tiga bulan lagi.
Dengan mengeluh ia mendongaK memandang ke-cakrawala. Sekarang hanya ada satu jalan
dapat menolong keadaan yang sudah kronis ini, kalau jalan ini dapat ditempuh dan bisa terlaksana
betapa ringan perasaan yang mengunjal sanubarinya. Sebat sekali segera ia melesat ke arah,
Siau-llm-si.
Setelah melewati Ham Gwat, sanubari Ma Gwat-sian seperti diserang rasa sedih yang
bergelombang tak kenal putus, air mata tak terbendung lagi mengalir dikedua pipinya, hampir saja
ia berteriak nyaring dengan tangis yang gerung-gerung.
Dia terus berjalan ke depan tanpa membedakan arah, mendadak rasa letih menyerang seluruh
sendi2 tulang dan urat nadinya, tubuhnya terasa lemas lunglai, ia berdiri sekejap memejamkan
mata, waktu ia buka mata lalu menuju ke arah sebuah gua yang dilihat ada di depan sana.
Semakin jauh aku pergi meninggalkan mereka akan lebih enak dan ringan perasaanku, biar
mereka selama hidup ini tidak akan menemukan aku lagi, tanpa sangsi2 langsung ia memasuki
gua itu. Begitu berada di dalam ia celingukan kian kemari, meski tidak besar dan luas, tapi
lorongnya cukup panjang ke dalam sana. entah bakal menembus kemana.
Rada sangsi sebentar Ma Gwat-sian lalu beranjak maju lebih lanjut, semakin dalam ia berjalan
badan semakin lemas, tiba-tiba dilihatnya sebentuk batu giok putih menggeletak di atas tanah,
karena ketarik tanpa ambil pusing dijemputnya terus melanjutkan ke depan.
Beberapa puluh langkah kemudian rasa letih dan pening mendadak merangsang kepala dan
kaki tangannya, serta merta ia lantas berdiri menggelendot didinding gua, sekian lama ia berdiam
diri sambii memejamkan mata.
Sekonyong-konyong ia tersentak bangun oleh langkah-langkah kaki ringan yang mendekat,
waktu ia membuka mata dengan siaga, dilihatnya seorang laki-laki tua dengan muka kurus berdiri
dihadapannya, dengan penuh perhatian orang pandang dirinya.
Terkejut hati Ma Gwat-sian, batinnya, “Kiranya gua ini ada penghuninya.” dengan seksama dan
tanpa berkesip iapun pandang orang tua. entahlah apa yang akan diperbuat pada dirnya.
“Nak,” tiba-tiba orang tua itu tertawa lebar penuh welas asih, “Kenapa kau tertidur di tempat
ini, bila ada ular atau sebangsa binatang buas lainnya bagaimana kau.” — terangkat sebelah
tangannya untuk mengelus-elus rambut Ma Gwat-sian.
Dengan kejut dan takut Ma Gwat-sian berusaha mundur menghindar, serta melihat orang tua
dihadapannya ini tidak mengandung maksud jahat, ia biarkan saja kepalanya diusap2.
Sekian lama si orang tua mengelus-elus rambut Ma Gwat-sian sembari menghela napas rawan,
lalu ia pun tenggelam dalam renungannya, akhirnya ia angkat kepala dan tertawa, katanya, “Nak.
kau tadi pernah menangis kenapa?”
Serta merta terbit rasa hormat dan bersahabat dalam relung hati Ma Gwat-sian. sambil angkat
kepala ia balas bertanya, “Paman tua, kenapa seorang diri kau menetap di dalam gua ini?”
Si orang tua tersenyum ewa, katanya, “Cahaya disini kurang terang, mari kau ikut aku.” — lalu
diajaknya Ma Gwat-sian menuju kegua yang lebih dalam.
Semakin dalam keadaan gua semakin terang dan lebar, setelah membelok beberapa kali
lekukan. tibalah mereka disebuah kamar batu, kamar batu ini hanya terdapat sebuah dipan dan
sebuah meja kecuali itu banyak buku tertumpuk disana.
Dari luar kamar batu sebelah sana menyorot masuk cahaya terang, jauh diluar sana tampak
sebuah air terjun mencurah tumpah dengan mengeluarkan suaranya yang gegap gempita. dari
reflek cahaya air terjun inilah, keadaan kamar batu itu semakin terang benderang.
Sembari tertawa lebar si orang tua menggerakkan tangan supaya Ma Gwat-sian duduk, dia
sendiri juga lantas duduk di atas dipan
Ma Gwat-sian beragu sebentar, pelan-pelan ia duduk. Kata si orang tua dengan tertawa.
“Sudah lima aku tidak pernah ketemu dengan orang asing, entah cara bagaimana kau bisa masuk
kamari?”
Sembari berkata itu si orang tua mengamati Ma Gwat-sian dengan seksama. tiba-tiba dilihatnya
sebentuk batu giok pttih ditangan Ma Gwat-sian, serunya terkejut, “Kau tidak bisa main silat?”
Ma Gwat-sian manggut-manggut. Heran dia mengapa orang mengajukan pertanyaan ini,
kedengarannya seperti daerah ini adalah tempat terlarang bagi orang luar. terutama bagi orangorang
yang pandai main silat menjadi pantangan untuk memasuki daerah itu.
Si orang tua menghela napas ringan, ujarnya, “Para padri dari Siau-lim-si masa tiada
seorangpun yang merintangi kau?”
Ma Gwat-sian menggeleng. sahutnya. “Mereka sendiri sekarang sedang repot. mana ada waktu
merintangi kedatanganku kemari?”
Si orang tua menghela napas lega, katanya kalem, “Kau sudah datang sudah tentu kau
memang berjodoh denganku. Tapi kau harus tahu, bahwa batu giok yang kau pegang itu adalah
Sim-giok-ling milik Bu-bing Loni, setelah melihat Sin-giok-ling bukan saja kau tidak mundur dan
meninggalkan tempat ini malah kau jemput dan kau anggap sebagai mainan. Bu-bing Loni” tidak
akan membiarkan kau hidup lebih lama!”
Ma Gwat-sian mandah tertawa tawar, ujarnya, “Jadi miliknyakah batu giok ini!” — kelihatannya
sendikitpun ia tidak ambil perhatian akan mara bahaya yang bakal menimpa dirinya. Dia tahu
nama dan siapakah itu Bu-bing Loni. tapi ia tidak tahu Sin-giok-ling itu. Dia percaya dengan
kehebatan Tay-seng-ci-lou gurunya, apa perluja takut menghadapi Hui-sim-kiara-hoat Bu-bing
Loni? Kenapa pula harus takut menghadapi dia?
Terunjuk rasa heran dan kesangsian pada sorot mata si orang tua, hatinya bertanya-tanya
siapakah sebenar-benarnya Ma Gwat-sian ini? Dikata dia tidak bisa main silat, tapi kelihatannya
koq tidak gentar menghadapi Bu-bing Loni, bila dikata ia bisa main silat, siapa pula orangnya
dikolong langit ini yang pandai main silat yang tidak gentar menghadapi Bu-bing Loni?
Demikian ia. merenung, akhirnya ia berkata tertawa. “Nak, siapakah tadi yang telah menyakiti
hatimu, kenapa kau bersedih hati?”
Tersentak Ma Gwat-sian dibuatnya, cepat ia angkat kepala memandang si orang tua. tampak
orang tersenyum welas asih serta memandanginya dengan kasih sayang, seolah-olah jalan pikiran
dan janggalan hatinya sudah dapat diraba dan diketahui semua.
“Tidak apa-apa!” akhirnya Ma Gwat-sian menjawab singkat setelah termenung sesaat lamanya.
“Jangan kau kelabui aku,” ujar si orang tua tertawa. “Kalau kau katakan mungkin tekanan
batinmu akan lebih ringan, jangan kau sekam perasaan hatimu sehingga nanti bisa merusak
kesehatanmu sendiri. Kau masih muda maka kau harus dapat membuka dada dan berpandangan
jauh ke depan,”
Ma Gwat-sian tertawa. sahutnya, “Paman, tak perlu membicarakan soal itu. kenapa seorang diri
kau tinggal di tempat ini? Apalagi kau tadi berkata sudah lama tidak pernah ketemu orang luar?”
“Aku bernama, Kiang Cong-bing!” akhirnya si orang tua memperkenalkan diri, “Nak.
pertanyaanku tadi belum lagi kau jawab bukan!”
Melihat orang menarik kembali kepersoalan semula Ma Gwat-sian menjadi bimbang sahutnya,
“Sebetulnya tiada apa-apa, hanya karena badanku terasa kurang sehat belaka!”
Si orang tua menghela napas, untuk sekian lama mereka sama bungkam, suasana menjadi
lelap. Sebetulnya terketuk perasaan Ma Gwat-sian, si orang tua bersikap begitu baik malah sudah
memperkenalkan nama dirinya, sebaliknya aku masih mengelabui keadaan diriku yang sebenarbenarnya
sudah tentu teraSa betapa hancur sanubarinya, setelah sangsi sekian lama akhirnya
bibirnya bergerak namun suaranya tertelan kembali.
Mendadak si orang tua tertawa, ujarnya. “Sebetulnyalah aku tidak pantas banyak bertanya
pada kau, seumpama aku tahu kesulitanmu akupun tidak bakal bisa bantu kau mengatasi
persoalanmu, soalnya, entah mengapa aku menjadi ketarik terhadap segala persoalan yang
menyangkut dirimu itu.” Sampai disini ia menghela napas, lalu sambungnya pula, “Mungkin aku
hanya terbawa oleh keadaan yang kuhadapi ini sehingga mengetuk lubuk hatiku saja. Ketahuilah
akupun punya seorang putri, mungkin sekarang juga sebesar kau ini!”
“Dimanakah dia sekarang?” tanya Ma Gwat-sian.
Kiang Tiong bing menghela napas, sahutnya, “Akupun tidak tahu dimana dia sekarang. Raut
wajah dan bentuk tubuhnya sama benar-benar dengan ibunya, sekarang sudah dua puluh tahun,
bila dia berada disini, mungkin secantik kau ini.”
“Apakah kau dikurung Bu-bing Loni di tempat ini? tiba-tiba Ma Gwat-sian bertanya.
Kiang Tiong-bing manggut-manggut, katanya perlahan. “Ya, dua puluh tahun sudah aku
terkurung disini!”
“Apakah aku bisa bantu mengatasi kesulitan paman?”
“Banyak terima kasih. Kau sudah menjemput Sinn-giok-ling itu. kukira takkan lama lagi Bu-bing
Loni bakal kemari. Bila dia benar-benar datang aku kuatir kau tidak akan bisa melarikan diri.”
“Begitu juga baik, aku tidak takut!”
“Apa!’ teriak Kiang Tiong-bing tersentak kaget, “Apa! katamu” serunya pula menegas.
Sungguh tak habis herannya, kenapa Ma Gwat-sian punya nyali begini besar?. Apakah benarbenar
dia kuat menerima akibat yang bakal menimpa dirinya nanti?
Ma Gwat-sian berkata terbawa oleh perasaan hatinya, setelah melihat reaksi dari Kiang Tiongbing
hatinya menjadi menyesal, serta didesak pertanyaan oleh Kiang Tiong-bing pula ia hanya
menjawab tawar, “Berani Bu-bing Loni membunuh aku? Pasti guruku juga akan bunuh dia.”
Kiang Tiong-bing tercengang, tanya, “Gurumu adalah….”
“Aku datang dari Thian-bi-kok, bukan warga dari Tionggoan sini….!”
Kiang Tiong-bing manggut-manggut, katanya kalem, “Benar-benarkah gurumu mampu
membunuh Bu-bing Loni?”
Melihat mimik wajah Kiang Tiong-bing yang begitu serius tergerak hati Ma Gwat-sian, katanya
tertawa, “Tay-seng-ci-lou apakah paman Kiang pernah mendengar akan ilmu ini.”
“Jadi nona adalah ahli waris dari Tay-seng-ci-lou?”
“Tapi sekarang aku tidak tahu entah dimana guruku berada!”
Seolah-olah Kiang Tiong-bing tidak mendengar lagi ucapannya, kepalanya menengadah
memandangi air terjun, air tampak berpercik berhamburan kemana-mana, terbitlah cahaya reflek
dari timpaan sinar matahari yang indah dan menakjupkan, titik harapan tampak semakin tumbuh
dalam cahaya lembayung yang dilihatnya itu.
Melihat orang tenggelam dalam pikirannya, Ma Gwat-sian maklum bahwa orang tentu pernah
mengalami masa2 kehidupan pahit getir yang sangat menekan batinnya, sekarang biarlah ia
berkesempatan menikmati harapan hidup baru dalam angan2-nya.
Tak lama kemudian Kiang Tiong-bing tersentak dari lamunannya, ia menunduk lalu tertawa dan
berkata pada Ma Gwat-sian, “Sesaat aku menjadi kehilangan akal dan nalar, harap nona jangan
salah paham!”
“Bukan maksudku membuat Lo-ciangpwe terlalu bergirang hati, kalau tidak keputus-asaan
bakal menimpa lebih berat lagi. Saat ini aku tidak tahu dimana guruku berada, apalagi menurut
apa yang dia pernah katakan bahwa Hui-sim-kiam-hoat tidak boleh dipandang enteng, dia
sendiripun tiada punya pegangan dapat mengalahkannya!”
Dengan mendelong Kiang Tiong-bing menatap Ma Gwat-sian.
Ma Gwat-sian tertunduk, lalu dengan suara kering ia berkata, “Tapi aku tahu ada seseorang
yang dapat membantu pada kau. Orang ini adalah ahli waris dari Wi-thian-cit-ciat-sek.”
“Siapakah dia?” seru Kiang Tiong-bing kegirangan.
Sekonyong-konyong didapatinya nada ucapan Ma Gwat-sian ada ganjil, seolah-olah ada sesuatu
ganjalan hati yang menyekam sanubarinya, dengan rasa penuh tanda tanya ia awasi Gwat-sian.
“Dia bernama Hun Thian-hi!” sahut Ma Gwat-sian sembari tertawa getir.
“Apakah dia seorang pemuda?”
Terketuk lubuk hati Ma Gwat-sian, terangkat kepalanya, matanya terkesima menatap Kiang
Tiong-bing, wajahnya rada bersemu merah, seperti ia merasa bahwa Kiang Tiong-bing telah dapat
mengorek rahasia hatinya yang sesungguhnya.
Sambil tersenyum Kiang Tiong-bing berkata pelan-pelan, “Aku punya seorang putri tahun ini
berusia dua puluh. Begitu melihat nona lantas aku teringat padanya.” sampai disini ia berhenti
sambil tersenyum lebar, lalu melanjutkan, “Aku belum lagi mengetahui nama harum kau nona.”
“Aku bernama Ma Gwat-sian!” sahut Ma Gwat-sian lirih, “Apakah paman tidak percaya akan
ilmu silat Hun Thian-hi?”
Terasa dari pertanyaan orang tadi bahwa Kiang Tiong-bing rada menyangsikan kepandaian
sejati Hun Thian-hi, agaknya ia menyangsikan apakah benar-benar Hun Thian-hi mampu
membantu dirinya, maka selanjutnya ia tidak banyak bertanya pula.
“Gwat-sian, Gwat-sian, Gwat-sian!” mulut Kiang Tiong-bing menggumam, dengan cermat ia
tatap Ma Gwat-sian sekian lamanya, akhirnya menghela napas, katanya, “Berapa usiamu
sekarang?”
Dengan menahan sabar Ma Gwat-sian menyahut, “Hampir dua puluh!”
Kiang Tiong-bing tersenyum lebar, tanyanya pula, “Lalu berapa usia Hun Thian-ni?”
“Kurang lebih dua puluh tahun juga!”
“Dua puluhan tahun sudah,” akhirnya Kiang Tiong-bing terhenyak. “hampir dua puluh tahun
sudah aku menetap disini.”
Habis berkata ia menghela napas dengan rawan.
Ma Gwat-sian juga menghela napas, pikirnya, “Bila Hun Thian-hi terketuk sanubarinya dan
menyesal serta mengejar kemari, alhasil yang ditemui pasti hanyalah Ham Gwat belaka, setelah
ketemu dengan Ham Gwat mungkinkah dia mau kemari lagi?”
Terdengar Kiang Tiong-bing berkata pula dengan suara kalem, “Sudah dua puluh tahun aku
terkurung disini, aku tidak perlu takut mati. tapi aku tidak berani keluar, soalnya, kalau aku keluar
putriku itu akan dibunuh oleh Bu-bing Loni!”
Mendengar penjelasan ini Ma Gwat-sian berjingkrak bangun, matanya terbelalak besar menatap
Kiang Tiong-bing, bibirnya bergerak berkata lirih tertekan, “Jadi kau adalah ayahnya Ham Gwat!”
Kiang Tiong-bing juga tersentak bangun, teriaknya, “Ham Gwat! Apakah kau pernah
melihatnya?”
Ma Gwat-sian meloso duduk lagi dengan lunglai, sahutnya pelan, “Baru belum lama berselang
diluar gua yang tak jauh sana kulihat dia, tapi sekarang…. mungkin dia sudah pergi!”
Terbayang perasaan hambar dari sorot mata Kiang Tiong-bing, iapun jatuh terduduk lagi
dengan lesu dan murung, sekonyong-konyong kepalanya terangkat dan bertanya pada Gwat-sian,
“Apakah Ham Gwat bersama Hun Thian-hi itu?”
Ma Gwat-sian menggeleng, ia tertunduk tak buka suara.
“Ai, akhirnya dia datang juga,” demikian keluh Kiang Tiong-bing, “Tapi dia tidak tahu bahwa
ayah kandungnya sedang merana di tempat ini, tidak diketahui pula olehnya bahwa ibunya berada
jauh diujung langit sana!” — tanpa kuasa air mata mengalir membasahi pipinya.
Tiba-tiba terasa oleh Ma Gwat-sian bahwa riwayat hidup Ham Gwat kiranya juga begitu kasihan
dan penuh liku-liku yang tidak diketahui olehnya sendiri. Sejak kecil dia dibesarkan dan dibimbing
oleh musuh besarnya sendiri tanpa dia sadari, malah diangkat sebagai ahliwarisnya lagi.
Baru pertama kali ini ia dapat mengecap betapa manisnya madu cinta itu, namun sayang
harapan yang dinantikan setiap saat itu ternyata telah terebut oleh orang lain, betapa hati ini
takkan merana, betapa hati ini takkan menjadi gersang. Oh, nasib, apakah aku memang
ditakdirkan lahir dalam kehidupan yang sengsara penuh derita ini? Air mata meleleh deras
menetes ke atas tanah dan terhisap tanpa bekas.
Dengan rada terkejut Kiang Tiong-bing meng-amat-amati Ma Gwat-sian, ternyata Ma Gwat-sian
pun dirundung rasa kesedihan yang begitu berlimpah, tapi apakah sebab kesedihannya?
“Paman!” ujar Ma Gwat-sian sambil bangkit berdiri, “Mari kubantu kau keluar mencari dia
mungkin saatt ini dia belum lagi pergi, atau biar aku saja yang mencarinya kemari!”
Dengan penuh haru dan rasa terima kasih yang tak terhingga Kiang Tiong-bing berkata,
“Terima kasih akan kebaikanmu. Nona Ma, kukira dia sudah tiada lagi disana. Jangan kau
mencapaikan dirimu!”
“Tapi ada lebih baik ku-coba-coba pergi mencarinya!”
Melihat sikap dan kekukuhan hati Ma Gwat-sian ini, Kiang Tiong-bing maklum bahwa Ma Gwatsian
pasti berdiri di pihak lawan berat dalam bidang asmara, tapi adalah sikap Ma Gwat-sian yang
tanpa pamrih ini sungguh mengetuk jiwanya, sungguh haru dan pilu benar-benar hati si orang tua
yang hidup penuh derita ini.
Maju dua langkah ia rangkul Ma Gwat-sian ke dalam pelukannya, ujarnya sesenggukan, “Nak,
aku
entahlah cara bagaimana aku harus membalas kebaikanmu ini!”
Tak tertahan air mata Ma Gwat-sian pun mengalir dengan derasnya.
Berselang lama baru Ma Gwat-sian kuasa buka suara, “Biarlah aku segera keluar, kalau
terlambat kuatir dia sudah pergi!” — begitu ia putar tubuh seketika ia menjerit kaget dan mundur
dua langkah. Tampak seorang Nikoh tua sedang berdiri tegak di ambang mulut gua, dengan
wajahnya yang membeku dingin, sorot matanya yang kaku ia awasi mereka berdua tanpa
bersuara.
Betapa kejut hati Ma Gwat-sian, tahu dia bahwa si Nikoh tua pasti Bu-bing Loni adanya….
Beranjak masuk ke dalam kamar batu dengan pandangannya yang dingin Bu-bing Loni
menjengek sinis, dengusnya, “Tak usah pergi. Sudah sejak tadi Ham Gwat meninggalkan tempat
ini.”
Kiang Tiong-bing maju dua langkah, tampak air mukanya mengunjuk kekerasan hatinya yang
nekad, dengan kedua tangannya ia tarik Ma Gwat-sian ke dekat tubuhnya, matanya setajam pisau
mengawasi Bu-bing Loni.
Bu-bing Loni mendengus hidung, katanya kepada Ma Gwat-sian, “Siapa kau? Begitu besar
nyalimu berani masuk kemari setelah melihat Sin-giok-ling!”
Ma Gwat-sian tertawa tawar, sahutnya, “Guruku berada di sekitar sini, segera dia bakal kemari.
Tay-seng-ci-lou apakah kau pernah dengar?”
Terpancar sorot cahaya aneh berkelebat di rona Bu-bing Loni, sesaat ia berpikir lalu katanya,
“Tapi mungkin kedatangannya sudah terlambat nanti! Karena sekarang juga kau sudah harus
menuju ke alam baka!” selesai berkata setindak demi setindak ia menghampiri Ma Gwat-sian.
“Tak kuijinkan kau mengusik dia!” bentak Kiang Tiong bing menghadang ke depan.
Terpancar pula rasa aneh di kelopak mata Bu-bing Loni, serta merta kakinya merandek,
kepalanya tertunduk berpikir, sekian lamanya ia bungkam. Akhirnya ia angkat kepala pula serta
ujarnya, “Apakah itu permintaanmu kepadaku?”
Kiang Tiong-bing mandah menjengek saja tanpa bersuara.
Kata Bu-bing Loni pula, “Bila kau yang memohon kepadaku segala permintaanmu pasti
kukabulkan!”
“Tutup mulutmu!” bentak Kiang Tiong-bing. “Kalau begitu aku minta segeralah Kau mampus!”
Beringas muka Bu-bing Loni, tampak hawa marah telah membakar dadanya, maju dua langkah
telapak tangannya lantas menampar ke arah Kiang Tiong-bing.
“Plak”, kontan Kiang Tiong-bing terhujung mundur dua langkah, pipinya bengap, Ma Gwat-sian
terlepas dari cekalannya, ujung mulutnya mengalirkan darah segar, tapi tanpa takut dengan muka
gusar dan pandangan berapi-api yang penuh dendam ia deliki Bu-bing Loni.
Bu-bing Loni terlongong menjublek di tempatnya, sesaat baru ia bersuara dengan penuh derita,
“Tiong-bing, begitu baik sikapku terhadap kau, sebaliknya kau selalu begitu….”
“Benar-benarkah kau bersikap baik terhadapku?” teriak Kiang Tiong-bing, “Apa yang telah kau
lakukan terhadap Ging-sia, kau telah merusak wajahnya, kau mengurungnya selama dua puluhan
tahun, apakah perbuatan kejimu ini kau anggap baik terhadapku?” — waktu berkata-kata ia
mengepal tangan, sungguh betapa murka dan gemas hatinya.
“Semua perbuatanku ini karena cintaku terhadap kau. Kenapa sampai sekarang kau masih
merindukan
Ging-sia saja. Dalam hal apa dia lebih baik dari aku?”
“Hatinya lebih baik, jiwanya jauh lebih baik dari kau. Sebaliknya hatimu jauh lebih jahat dari
bisa ular, apakah yang kau lakukan kukira kau sendiri paham!”
Dicercah sedemikian rendah sungguh bukan kepalang murka Bu-bing Loni, matanya
membelalak gusar menatap Kiang Tiong-bing.
Dari samping Ma Gwat-sian mengelus dada, ia paham apa yang telah terjadi, tidak lebih karena
ikatan asmara pula. Tampak olehnya dari muka Bu-bing yang semakin beringas sebuas binatang
itu, timbul nafsunya untuk membunuh. Sesaat ia beragu lalu tanpa ayal lagi segera jarinya
bergerak lincah memetik harpanya, begitu irama lagu mendengung kontan menerjang ke arah Bubing
Loni.
Begitu mendadak mendengar getaran irama harpa yang deras itu, cepat Bu-bing berpaling ke
arah Ma Gwat-sian, hawa membunuh semakin tebal menyelubungi wajahnya.
Lekas Ma Gwat-sian duduk bersimpuh, kedua jari tangannya bergerak lincah, irama lagunya
segera memberondong keluar dengan tekanan berat mengandung nafsu2 membunuh.
Ooo)*(ooO
Hun Thian-hi meloncat naik kepucuk hutan bambu. matanya celingukan ke arah sekitarnya,
namun bayangan Ma Gwat-sian sudah tidak kelihatan lagi, sesaat ia beragu dan menjadi kesal,
entah kejurusan mana Ma Gwat-sian telah pergi.
Mendadak terpikir olehnya, “Mungkinkah Ma Gwat-sian beranjak ke arah biara? Bila dia masuk
kesana sebaliknya aku mencarinya di luar sudah tentu takkan ketemu lagi” karena pikirannya ini
segera ia terbang melesat ke arah gereja Siau-lim….
Para padri dalam biara besar itu kelihatannya sedang sibuk. kelihatan mereka berlalu lalang
kian kemari, sekilas pandang dilihatnya sebentuk tubuh yang dikenalnya, lekas ia meluncur turun,
setelah dekat betul juga padri itu bukan lain adalah Ti-hay. segera ia menjura dan menyapa
kepada Ti-hay.
“Ti-hiay Suheng. Harap tanya apakah kau ada lihat seorang perempuan masuk kemari?”
Ti-hay beranngkap tangan dan menjawab dengan penuh hormat. “Kiranya Hun-sicu, sejak tadi
aku berada di sekitar ini, tiada kulihat ada seorang perempuan masuk kemari!”
Berkerut alis Hun Thian-hi, katanya pula, “Terima kasih akan penjelasanmu, aku sedang
mencari seseorang, maaf tidak dapat kuberada disini terlalu lama, harap sampaikan salam
hormatku kepada Suhumu!” — Habis berkata lantas ia terbang melesat dan menghilang.
Sepanjang jalan ini ia keheranan dibuatnya, kemanakah sebenar-benarnya Ma Gwat-sian.
Demikianlah, dalam berpikir itu tubuhnya melesat terus ke depan. laksana bintang jatuh mengejar
ke arah jalanan yang menuju kebawah gunung. Tapi sampai di bawah gunung bayangan Ma
Gwat-sian masih belum dilihatnya, dengan putus asa ia menengadah mengawasi mega di atas
langit.
Mendadak tampak di ujung barat sebelah sana terbang mendatangi seekor burung rajawali
yang teramat besar, tergetar hatinya, bukanlah itu Ham Gwat yang putar balik pula? Sungguh
girang dan kuatir pula hatinya, sesaat waktu ia kebingunan, disaat burung rajawali sudah semakin
dekat tiba-tiba ia membelok dan terbang ke arah timur sana terus menuju ke arah yang lain.
Hun Thian-hi terlongong ditempatnya, kenapa Ham Gwat membelok ke arah lain pula?
Demikian ia bertanya-tanya, sekonyong-konyong dilihatnya pula dua burung dewata, muncul
diujung barat sebelah sana, berdebur keras jantung Thian-hi, Bu-bing Loni muncul pula di tempat
ini, tidak heran Ham Gwat segera harus tinggal pergi, tapi untuk apakah Bu-bing Loni ke tempat
ini?
Ditengah jalan kedua burung dewata itu berpencar. seekor langsung menuju ke arah dirinya,
sedang seekor yang lain putar kesamping terus menukik ke arah pegunungan sana. Setelah dekat
dan hinggap di tanah baru terlihat oleh Thian-hi Su Giok-lan meloncat turun dari burung dewata.
Agaknya Su Giok-lan juga terkejut melihat kehadiran Thian-hi ditetmpat itu.
Sesaat Hun Thian-hi menjadi serba salah, sikap Su Giok-lan terhadap dirinya masih rada
disangsikan, entah kawan atau lawan, dilain saat terpaksa ia maju menyapa, “Nona Su apa kau
baik!” — Mulutnya bicara. hatipun berpikir; ‘mungkin Ma Gwat-sian menuju ke arah pegunungan
yang lebat sana. Sekarang Bu-bing pun menyusul kesana, apakah yang harus kulakukan?
Mendengar sapa Huh Thian-hi Su Giok-lan mandah mendengus hidung saja. setiap kali melihat
pemuda ini selalu hatinya merasakan sesuatu yang ganjii, terasa olehnya selalu ia pasti merasa
ingin bermusuhan saja tapi setelah kejadian berlangsung akhirnya pasti ia akan menyesal sendiri.
Ia maklum bahwa Hun Thian-hj bahwasanya tidak pernah berlaku kasar atau membuat suatu dosa
terhadap dirinya, bicara secara lahir batin. justru dirinyalah yang berbuat salah dan menyakiti hati
Hun Thian-hi malah, apalagi selama beberapa bulan terakhir ini terasakan pula olehnya betapa
kejam dan telengas segala tindak tanduk dari perbuatan Bu-bing Loni, terlihat kedok aslinya yang
sudah terbuka itu. Tapi kenapakah aku harus menlcari permusuhan dengan Hun Thian-hi? Entah
dia sendiri pun tak kuasa menjawab pertanyaan hatinya.
Memang Hun Thian-hi sendiri juga masih beragu apakah Su Giok-lan dipihak lawan atau
menjadi kawan, melihat sikap uring-uringan Su Giok-lan, ia berkata. “Aku punya urusan yang
harus kukerjakan dipedalaman sebelah sana!” — demikian katanya sambil menunjuk kemana tadi
Bu-bing Loni menghilang.
“Guruku berpesan melarang siapapun menuju ke tempat sana!” demikian Kata Su Giok-lan
tegas.
“Jadi gurumu datang karena persoalan itu,” demikian kata Hun Thian-hi tawar, “Tapi Tok-simsin-
mo dan gembong silat lainnya sudah pergi semua!”
Begitu ketemu Hum Thian-hi lantas hendak pergi. sudah tentu Su Giok-lan merasakan sesuatu
kejanggalan sikapnya ini. katanya, “Guruku tidak menjelaskan tentang persoalannya, yang jelas
kau dilarang kesana!”
“Maksud nona Su aku benar-benar dilarang kesana?”
“Ya siapapun dilarang kesana!’
“Nona Su,” ujar Thian-hi tertawa, “Kau angkat Bu-bing Suthay sebagai gurumu, bermula aku
ikut bergirang bagi kau, sebaD ilmu silat Bu-bing Suthay nomor satu di seluruh jagad, dengan
memperoleh petunjuk dan bimbingannya pastilah harapan dan masa depanmu tak dapat diukur.
Tapi toh akhirnya aku merasa kuatir dan kasihan pula terhadap nasibmu, ketahuilah bahwa
kekejaman hati Bu-bing Suthay juga merupakan rahasia umum lagi, bila kau selalu tunduk dan
harus tunduk melakukan perintahnya aku kuatir kau harus melakukan perbuatan yang melanggar
azas2 kemanusiaan. Misalnya aku inilah. sejak berkecimpung di dunia persilatan, segala sepaK
terjangku kau pernah melihat dan pernah mendengar pula. satu hal yang paling membuatku
paling menyesal adalah bahwa aku telah mempelajari ilmu ganas dari Ang-hwaat-lo-mo!”
sampai disini ia menghela napas dengan kesal. waktu ia pandang Su Giok-lan tampak orang
menuduk dengan muka pucat dan murung. Giok-lan maklum bahwa segala pengalaman Thian-hi
itu adalah akibat dari perbuatan paman, engkohnya dan dirinya bertiga.
Thian-hi berkata lagi, “Sebenar-benarnya tidak menjadi soal mempelajari jurus ganas itu, tapi
bagi seorang yang Lwekangnya belum mencapai tingkat yang dibutuhkan bukan saja tidak dapat
memanfaatkan ajaran itu menurut kehendak hatinya, malah kadang kala terbawa oleh nafsu
kesetanan, tanpa disadarinya bahwa dirinya telah diperalat untuk membunuh manusia.” — sampai
disini ia menghela napas lalu sambungnya, “Waktu pertama kali aku melancarkan jurus ganas itu
kau pun pernah menyaksikan. Dan akibatnya kau sendiripun telah lihat dengan mata kepalamu
sendiri.”
Su Giok-lan terbungkam seribu basa, ia maklum bahwa Hun Thian-hi tengah membujuk dirinya
supaya jangan mau diperalat oleh Bu-bing Loni, mau tidak mau ia harus berpikir dan merenungkan
persoalan ini, akhirnya ia berkata tawar, “Seluruh tokoh silat di kolong langit ini adakah seseorang
yang ilmu silatnya lebih unggul dari Bu-bing Suthay?”
“Benar-benar, seumpama ilmu silatnya tiada tandingannya di seluruh dunia, bagaimana juga ia
tidak kuasa mengubah jalannya sejarah dan jaman, mampukah dia mengendalikan hati nurani
manusia?”
Su Giok-lan menggeleng dengan pilu, ia menunduk.
“Bu-bing Suthay sedang mencarinya ke-mana-mana, bila ketemu pasti celakalah akibatnya.
Tapi mungkin ada seseorang tokoh lihay yang sengaja menyembunyikan dirinya kalau tidak
mengandal ketajaman mata burung dewata, betapapun ia tidak bakal bisa menghilangkan
jejaknya, kalau aku bicara
terus terang, aku tidak berani!”
Hun Thiani-hi menghela napas, tak bicara lagi.
Su Giok-lan tidak tahu entah mengapa mendadak timbul rasa haru dan terima kasihnya
terhadap Hun Thian-hi, terketuk benar-benar hatinya bahwa sedemikian besar perhatian Hun
Thian-hi terhadap dirinya. Akhirnya ia buka suara pula, “Mo-bin Suseng mengutus seseorang
meminta pada beliau untuk membunuh kalian semua, lekaslah kau tinggalksn tempat ini, kalau
sampai kepergok dengan dia bagaimana jadinya nanti!”
Bercekat hati Thian-hi, “Mo-bin Suseng!” mulutnya menggumam lirih Seketika berkobar amara
hatinya bahwa Mo-bin Suseng kiranya berintrik dengan Bu-bing Loni, terbayang olehnya waktu
pertama kali di puncak gunung salju berjumpa dengan Bu-bing Loni, tatkala itu Soat-san-su-gou
ada menyinggung nama Mo-bin Suseng tampak biji mata Bu-bing Loni memancarkan sinar aneh
yang menakutkan sekali.
Rongga dadanya hampir meledak rasanya, namun ia masih tetap berdiri dengan tenang, dua
puluh tahun, dua puluh tahun yang lalu, keluarga Ham Gwat tertimpa bencana, dan ayahnya pun
karena Badik Buntung sehingga menemui ajalnya dibunuh oleh Mo-bin Suseng, bukankah sangat
kebetulan sekali. yang lebih kebetulan lagi justru pada dua puluh tahun yang lalu dikala Ka-yap
Cuncia meninggalkan Tionggoan menuju ke Thian-bi-kok, pasti semua kejadian ini bukan terjadi
secara kebetulan belaka!”
“Kenapa kau?” tanya Su Giok-lan terkejut melihat perubahan air muka orang.
Hun Thian-hi tersentak sadar, ia menyedot hawa dalam-dalam, katanya, “Tiada apa, mungkin
sejak mula kita sudah salah langkah, yang terang kita hanya dipermainkan dalam genggaman
telapak tangan Mo-bin Suseng tanpa kita sadari, sebaliknya kita anggap diri sendiri terlalu pintar,
tapi sampai pada detik ini, belum pernah aku melihat tampang asli dari Mo-bin Suseng!”
“Lalu bagaimana sekarang aku harus bersikap?”
“Kemana tujuan Bu-bing Loni tadi?”
“Aku tidak tahu, kemana dia pergi selamanya tidak pernah beritahu padaku, apalagi tanpa
ajakannya kita dilarang ikut, kalau kita membandel kematianlah bagiannya.”
Hun Thian-hi beragu, kemanakah Bu-bing Loni, ia insaf bahwa kepandaian sendiri masih bukan
tandingan Bu-bing Loni, menyusul kesanapun hanya mengantar jiwa saja. Sedang ia berdiri
bingung sesosok tubuh kecil pendek tiba-tiba muncul di balik pohon-pohon sana, seketika ia
berteriak kejut:
“Siau-suhu!”
Hwesio jenaka berjalan keluar, katanya tertawa, “Kau baik?”
“Siau-suhu, bukankah kau berada di Thian-lam? Masa begitu cepat bisa sampai di Siong-san
apakah kau ada ketemu dengan guruku?”
“Gurumu sudah ditolong keluar, kau tidak usah kuatir!” ujar Hwesio jenaka, lalu sambungnya
kepada Su Giok-lan, “Bukankah nona Su Giok-lan adalah murid Pedang utara Siau-sicu?”
Mendengar orang menyinggung gurunya yang lama yaitu Pedang utara Siau Ling, Giok-lan
menjadi hambar, sahutnya, “Wanpwe memang Su Giok-lan, apakah Siau-suhu ada ketemu dengan
guruku?”
“Suami istri Pedang utara gurumu itu sekarang sedang bersama dengan guru Hun Thian-hi
Seruling selatan Kongsun Hong. Mereka baik-baik saja, cuma mereka rada kangen pada kau.”
Su Giok-lan menunduk rawan, sejak kecil dia dan engkohnya dibesarkan dan dibimbing oleh
Pak-kiam suami istri, dianggapnya mereka sebagai anak kandung sendiri, sekarang engkohnya
sudah meninggal, sedang dirinya bertekuk lutut angkat guru kepada Bu-bing Loni, sekian lamanya
ia tidak pernah jumpa lagi dengan guru tercinta, betapa hati takkan bersedih, terutama bahwa
dirinya telah ingkar terhadap ajaran2nya.
Begitulah ia berpikir dan menerawang sepak terjangnya selama ini, ia menista dan menyesali
perbuatannya yang dianggap durhaka, akhirnya dengan tekad yang keras ia angkat kepala
memandang Hun Thian-hi lalu bertanya pada Hwesio jenaka, “Dimana sekarang mereka berada?”
Hun Thian-hi sendiri juga sedang dirundung berbagai pertanyaan dan keheranan, gerak-gerik
Hwesio jenaka yang serba cepat dan cekatan ini benar-benar sangat mengejutkan dan
mencurigakan, kecuali siang malam Hwesio jenaka tidak berhenti menempuh perjalanan dan
begitu sampai lantas putar balik, kalau tidak mustahil bisa begitu cepat dia muncul lagi di Siongsan
sini.
Bab 24
Hwesio jenaka tertawa katanya, “Kau sekarang sudah menjadi murid Bu-bing Loni, apakah dia
mau membiarkan kau pergi?”
Apa boleh buat Su Giok-lan pandang Hun Thian-hi katanya, “Bagaimanakah aku ini?”
“Lam-siau dan Pak-kiam sekarang sama menetap di Jian-hong-kok dipuncak Ui-san. Kalau
dugaanku tidak salah dalam waktu dekat ini Bu-bing Loni tidak akan keluar, harus bagaimana
kukira kau sendirilah yang mesti memutuskannya.”
Su Giok-lan tertunduk diam, otaknya bekerja. Lalu Hwesio jenaka berkata kepada Hun Thian-hi.
“Hun-sicu, bila kau tidak anggap aku lancang mulut, menurut hemadku seharusnyalah segera kau
berangkat ke Cian-hud-tOng.”
Tergetar hati Hun Thian-hi, kepalanya terangkat dan pandangannya penuh selidik batinnya,
“Kenapa? Ada peristiwa apa pula yang terjadi? Gelombang pertikaian lama belum lagi menjadi
tenang gelombang pertikaian baru bergejolak lagi, aku sendiri belum lagi menemukan Ma Gwatsian,
mana bisa pergi ke tempat yang begitu jauh? Apakah benar-benar terjadi perkara besar
disana?”
“Sudah tentu, pergi atau tidak terserah kepada kau!” demikian tambah Hwesio jenaka tertawa,
“Tapi perlu kau ketahui, bahwa tuan penolong jiwamu sekarang sedang menempuh perjalanan
kematian!”
“Siapa yang Siau-suhu maksudkan?”
“Seharusnya kau tahu, orang itu tak lain adalah Ling-lam-kiam-ciang Coh Jian-jo!”
“Coh Jian-jo,” keluar dengusan lirih dari mulut Thian-hi, dia merasa sedikit terkejut, dan karena
kejutnya ini timbul rasa kecurigaannya….
Hwesio jenaka manggut-manggut mengiakan, “Bila tiada Coh Jian-jo sejak lama kau sudah
mampus di bawah berondongan Pek-tok-hek-liong-ting, seharusnya kau paham. Tok-sim-sin-mo
pun sudah tahu seluk beluk rahasia ini, maka cepat-cepat ia balik pulang ke Jian-hud-tong.
Tindakan Coh Jian-jo membuat segala rencananya gagal total, sekembali disarangnya dapatlah
kau bayangkan tindakan apa yang akan dia lakukan terhadap Coh Jian-jo?”
Thian-hi terlongong, memang dia harus segera menyusul ke Jian-hud-tong. tapi bagaimana
pula ia lega meninggalkan Ma Gwat-sian? Seorang diri Ma Gwat-sian menghilang. dapatkah aku
tinggal pergi dengan lega hati?
“Nak,” ujar Hwesio jenaka menarik muka, “Jangan kau terbelenggu oleh ikatan asmara. segala
perbuatan Bu-bing Loni itu justru karena dikejar oleh perasaan tali asmarat itu pula. Janganlah kau
tenggelam menjadi pikun karena cinta. pula!”
“Siau-suhu” ujar Thian-hi menghela napas, “Ada kalanya sesuatu urusan yang tidak dapat kau
selami dari pendirianmu, tapi aku akan bekerja menurut petunjukmu juga,” lalu ia berpaling ke
arah Su Giok-lan, katanya, “Nona Su. selamat ketemu!”
“Nanti dulu,” seru Su Giok-lan, “Mari kuantar dengan burung dewata.”
Sesaat Thian-hi bimbang akhirnya manggut-manggut. “Urusan disini biarlah aku bantu kau
menyelesaikan. hati-hatilah sepanjang jalan ini,” demikian Hwesio jenaka berpesan dan berjanji.
Lekas-lekas Su Giok-lan naik kepunggung burung dewata diikuti Hun Thian-h:. Kejap lain
mereka sudah terbang tinggi ditengah angkasa dan menghilang di ufuk barat.
Hati masing-masing dirundung pikiran, sekian lama mereka terbang meninggi tanpa bicara,
akhirnya Su Giok-lan yang membuka suara tanyanya, “Tahukah kau orang macam apakah
sebenar-benarnya Hwesio jenaka itu?”
“Kurang jelas,” sahut Thian-hi menggeleng, “Tapi dia sering membantu banyak kepadaku,
beberapa kali malah dia telah menolong- jiwaku.”
Su Giok-lan manggutZ, dengan suara penuh perasaan ia berkata, “Hun-toakO, setelah urusan di
Jian-hud-tong selesai, kita bersama pulang ke Jian-hong-kok menengok guru kita bagaimana?”
“Sudah tentu baik sekali.” sahut Thian-hi tertawa dibuat-buat. “Kuatirnya waktunya sangat
mendesak, aku masih perlu mengerjakan sesuatu di Siong-an.”
“Kenapa? Urusan penting apa lagi yang perlu kau kerjakan?”
Sudah tentu Thian-hi tidak enak menjelaskan, sahutnya meng-ada2, “Urusan Kecil belaka, tapi
cukup penting dan mendesak, kalau tidak aku bakal menyesal dan selalu akan mengganjal dalam
sanubariku.”
Su Giok-lan terdiam, lapat-lapat ia merasa kemana juntrungan kata-kata Thian-hi ini. Bukankah
tadi Hwesio jenaka ada memberi nasehat pada Thian-hi supaya jangan kelelap karena ikatan
asmara, dan yang dimaksudkan sudah pasti bukan diriku, maka segera ia bertanya lebih lanjut.
Apakah urusan itu yang dimaksud oleh Hwesio jenaka tadi?”
“Giok-lan,” ujar Thian-hi menghela napas, “Aaa. ucapani yang perlu kukatakan pada kau, coba,
Kutanya kau, sudikah kau selamanya menjadi adikku? Aku akan berusaha mencintaimu seperti
engkohmu dulu.”
Merah mata Su Giok-lan, airmata meleleh keluar, ia tertunduk diam.
Thian-hi tahu urusan ini harus secepatnya dijelaskan, supaya kedua belah pihak tidak
terjerumus semakin dalam karena ikatan perasaan yang tidak terlampias. Katanya pula, “Adik
Giok-lan, isi hatiku selamanya belum pernah kulimpahkan kepada siapapun juga, ketahuilah orang
yang paling kucintu dalah Sucimu!”
“Ham Gwat Suci!” seru Su Giok-lan sambil berpaling ke belakang, berpaling kemuka hatinya
berpikir; ‘kiranya Ham Gwatlah yang dicintai Hun Thian-hi, untuk ini ia tidak perlu banyak
komentar lagi. Giok-lan tahu dibanding Ham Gwat dirinya jauh ketinggalan dalam segala bidang,
sampaipun dalam pengendalian perasaan, diapun tidak selembut dan seagung Ham Gwat, begitu
suci dan murni, rupawan lagi.’
Su Giok-lan terlongong diam, entah apa yang sedang dipikirkan, mendapat hati Hun Thian-hi
bicara lebih lanjut, “Aku sendiri belum tahu bagaimana sikapnya terhadapku, tapi dia sudah
beberapa kali menolong aku.”
Sekarang Su Giok-lan angkat kepala, katanya, “Perasaan Ham Gwat Suci jarang dicurahkan
dilahirnya, tapi sebenar-benarnyalah dia seorang gadis yang baik dan bijaksana, dia sangat baik
sekali terhadapku.”
Mendengar ucapan Giok-lan ini, legalah hati Thian-hi, sunggguh ia tidak menduga bahwa Ham
Gwat bisa membawa diri begitu rupa sehingga Su Giok-lan bersikap begitu hormat dan simpatik
terhadap dirinya, ini betul-betul aneh dan mengherankan.
“Yang menolong aku tempo hari adalah Sucimu pula, dia menolong diriku dari cengkeraman
Bu-bing Loni, malah dengan burung rajawalinya dia antar aku ke Siong-san, tadi pun dia muncul di
Siong-san, tapi entah kemana dia sekarang.”
“Apakah tadi kau sedang menunggu dia?”
“Bukan, aku sedang mencari seorang lain!”
“Kau sedang mencari seorang perempuan lain?”
Thian-hi manggut-manggut, dengan ringkas pelan-pelan ia menceritakan perihal Ma Gwat-sian
kepada Su Giok-lan.
Su Giok-lan mendengar begitu asjik, sesaat ia berpikir lantas bertanya, “Dia cantik bukan? Dan
lagi kau pun rada ketarik pula padanya?”
Thian-hi manggut dengan keraguan, ujarnya, “Itu pun benar-benar, waktu pertama kali
kuketemu dia memang hatiku sudah kecantol, akhirnya karena kutahu dia terlalu pintar aku
menjadi takut malah, meskipun diapun sangat cantik tapi dibanding dengan Sucimu,
kecantikannya tidak lebih unggul dari Ham Gwat!”
“Ketahuilah Ham Gwat Suci juga sangat pintar, kelak kaupun bakal takut padanya?” demikian
goda Su Giok-lan.
“Rada2 saja,” sahut Thian-hi tersenyum geli, “Bukan karena dia terlalu pintar, adalah karena
selama ini aku belum pernah melihat senyum manis di Wajahnya yang kaku dingin itu.”
“Ajah bunda Ham Gwat Suci sudah meninggal semua, riwayat hidupnya sangat mengenaskan.”
“Tidak! Aku pernah jumpa beberapa kali dengan ibundanya, sedang ayahnya dikurung di suatu
tempat oleh Bu-bing Loni. Ayah ibunya masih hidup dan sehat, cuma dia sendiri tidak tahu!”
Su Giok-lan tercengang, serunya, “Kau tahu hal ini kenapa tidak beritahu kepadanya?”
“Dimana ayahnya berada aku belum tahu, sedang jbunya ada pesan supaya aku tidak
memberitahu dulu kepadanya.” — lalu ia tuturkan pertemuannya dengan Ong Ging-sia tempo hari.
Su Giok-lan terlongong-longong tak bersuara, begitu kejam dan keji benar-benar tindanan Bubing
Loni sampai adik kandung sendiri pun disiksa dan dibuat cacat begitu rupa, kalau dipikirkan
sungguh mendirikan bulu roma.
Jalan punya jalan tak lama kemudian mereka sudah tiba di Jian-hud-tong, setelah turun di
tanah Giok-lan mengulap tangan membiarkan burung dewata terbang pergi, langsung mereka
menuju ke mulut Jian-hud-tong.
Kata Hun Thian-hi, “Mungkin Tok-sim-sin-mo sekarang belum pulang, mari kita masuk
menyelidiki dulu, lebih baik kalau dapat menolong Coh Jian-jo keluar, supaya tidak menimbulkan
bencana di kelak kemudian!”
“Tapi siapa tahu dimana Coh Jian-jo berada?”
“Kita terobos dulu ke dalam saja!”
Tempo Hun Thian-hi dan Sutouw Ci-ko terkurung di Jian-hud-tong dulu, Hun Thian-hi tertolong
keluar oleh Ka-yap Cuncia, waktu keluar melalui sebuah jalanan rahasia lain. Maka kali ini Thian-hi
membawa Su Giok-lan ke belakang gunung dan menyelinap masuk ke dalam Jian-hud-tong
melalui jalan rahasia itu.
Beberapa kejap kemudian tampak bayang2 manusia di depan lorong Sana, tampak di berbagai
pengkolan dipasang penjaga dan peronda hilir mudik. Thian-hi memperhatikan dengan cermat.
pikirnya alat2 rahasia tentu sudah tersebar dimana-mana, dimana letak kurungan Coh Jian-jo
belum lagi diketahui, aku harus bertindak hati-hati dan jangan sampai konangan lagi, kalau tidak,
besar akibatnya.
Sesaat ia menjadi bingung mengawasi orang-orang di dalam gua sana, tak tahu cara
bagaimana untuk mencari tahu dimana Coh Jian-jo disekap, dan yang terpenting cara bagaimana
nanti dapat membawanya keluar dengan selamat tanpa kurang suatu apa.
Su Giok-lan pun mengerutkan alis, hatinya gundah, pikirnya: kecuali menerjang dengan
kekerasan, kalau tidak mana mungkin Coh-jian-jo dapat ditolong keluar.
Thian-hi celingukan kesekitarnya, tiba-tiba ia berkelebat sembunyi ke dalam sebuah lorong lain,
cepat-cepat Su Giok-lan mengikuti jejaknya, mereka sama sebagai tokoh persilatan tingkat wahid,
gerak-gerik cukup cermat lagi, maka tindakan mereka sedikit pun tidak bersuara.
Tak lama kemudian tampak sepasukan peronda dari anak buah Hek-liong-pang mendatangi,
penjaga di berbagai pos itu satu persatu diganti, kiranya tibalah saatnya aplusan, begitu
rombongan peronda itu lewat di depan, sebat sekali Thian-hi ulur tangannya mencengkeram satu
diantaranya yang berjalan paling belakang terus diseret ke dalam lorong.
Sayang gerak tangannya yang begitu cepat itu toh masih konangan juga, kontan suitan
panjang tanda bahaya segera melengking keras dan bersahutan di empat penjuru. Keruan kejut
Thian-hi, cepat ia seret orang itu ke dalam lorong terus mepet dinding bersama Su Giok-lan.
Suasana dalam Jian-hud-tong menjadi gempar, anak buah Hek-liong-pang sama
mengacungkan obor tinggi2, mereka mulai menggeledah dan memeriksa keberbagai tempat.
Gugup hati Thian-hi, sungguh diluar tahunya bahwa penjagaan di dalam Jian-hud-tong ternyata
begitu keras dan ketat.
Mereka ubek2an tanpa hasil, lambat laun suasana menjadi sepi dan akhirnya terang kembali
Hun Thian-hi jadi berlega hati. Sekonyong-konyong tampak seorang laki-laki bertubuh tinggi besar
berusia pertengahan lambat-lambat beranjak mendatangi, kelihatannya orang ini adalah
komandan jaga, sepasang biji matanya berkilat terang, kelihatannya seorang tokoh persilatan.
Sembari jalan kedua biji matanya menjelajah keadaan sekitarnya. Terkejut Thian-hi dibuatnya
orang ini begitu cermat, bukan mustahil jejak dirinya bakal konangan olehnya.
Akhirnya sepasang mata orang itu mencapai ke atas gua, tanpa ayal segera Hun Thian-hi
lemparkan tawanannya ke arah orang itu, lalu bersama Giok-lan melesat turun dan lari sipat
kuping kelorong lainnya….
Gesit sekali orang itu melejit kesamping berbareng sebelah tangan menyanggah ke atas,
sedang tangan kanannya terayun ke belakang, rombongan pemanah dibelakangnya segera
menghujani Thian-hi berdua dengan berondongan anak panah. Bagaikan asap entengnya Thian-hi
berdua sudah menyelinap hilang ke lorong yang lain.
Orang itu mendengus dingin, ia berpaling kekanan kiri lalu berseru dengan suara berat,
“Turunkan dua pintu dinding dikedua samping, periksa lagi lebih ketat, paksa mereka
mengunjukan diri!” dia juga heran bahwa pendatang gelap ini berkepandaian begitu tinggi,
sungguh ia tidak dapat membayangkan cara bagimana dia berhasil menyelinap masuk ke dalam
gua bagian belakang yang serba rahasia. disangkanya orang menyelundup dari pintu muka.
Terdengarlah suara gemuruh, pintu samping diantara lorong2 yang menembus kesana sini
mulai diturunkan. Thian-hi berdua sembunyi disebelah lain, melihat pintu dinding yang besar dan
tebal itu pelan-pelan turun, terkejut dan bimbang pula mereka, tapi urusan sudah sedemikian
lanjut terpaksa bertindak menurut perkembangan selanjutnya.
Cahaya obor terang benderang menerangi segala pelosok gua, sorotan cahaya pelita
berseliweran disamping tubuh mereka. Thian-hi sedang berpikir, jeli dan tajam benar-benar sinar
mata orang tadi, agaknya ia punya sedikit kesan terhadap orang itu, hanya bayangannya rada
kabur.
Tiba-tiba, selarik sinar tepat menyorot kemukanya, mendadak teringat olehnya, bukankah
orang ini tokoh yang terkenal di Bulim dengan julukan Wan-pi-sin-gan Nyo Ceng yang kenamaan
itu? Siapa nyana dia pun terima menjadi antek Tok-sim-sin-mo.
Pikiran ini berkelebat cepat dibenaknya, pandangannya serasa kabur, tahu-tahu sebatang
tombak melesat menusuk ketenggorokannya.
Thian-hi mengayun tangan kanan menyampok jatuh tombak itu, berbareng ia tarik Giok-lan
melompat menghilang kebagian lain yang gelap.
Sambil menyoroti dengan sinar pelita ke arah mereka, anak buah Hek-liong-pang itu memburu
datang sembari berkaok2.
Seketika anak buah Hek-liong-pang memburu datang dari empat penjuru. Thian-hi menggerung
gemas, seenaknya ia mencomot kedinding terus meremas hancur menjadi kerikil batu dinding
yang keras itu terus disambitkan ke depan, terdengarlah suara kesakitan beberapa orang, obor2 di
tangan merekapun padamlah keadaan menjadi gelap gulita.
Beruntun jari jemari Thian-hi menjentik dua butir kerikil ke atas dinding terus terbang ke
depan, laksana dua orang terbang lewat menyentuh dinding ke depan. Seketika semua orang
berlari mengejar ke arah sana. Sesaat mereka kena ditipu oleh cara sambitan batu Thian-hi ini.
Wan-pi-sin-gan (mata sakti berlengan kera) Nyo Ceng melayang datang, suaranya berat
berwibawa, “Jangan ribut!” kedua matanya menyapu lambat-lambat kesekitarnya.
Thian-hi berdua berdiri pematung diam, Nyo Ceng pandang mereka dengan tajam, dengusnya,
“Ternyata Hun Thian-hi adanya, besar nyalimu berani menerjang masuk kemari!”
Thian-hi tertawa tawar, jengeknya, “Aku bisa terjang masuk kesini tidak perlu dibuat heran.
yang lucu dan mengherankan justru Wan-pi-sin-gan Nyo Ceng ternyata terima menjadi antek Toksim-
sin-mo.”
Wan-pi-sin-gan Nyo Ceng adalah seorang tokoh suci yang kenamaan akan kelurusan dan
kejujuran hatinya, sejak lahir ia mempunyai pembawaan yang luar biasa, yaitu sepasang matanya
tajam luar biasa melebihi orang lain, ilmu silatnya jarang orang mengetahui sampai dimana
tingkatannya, soalnya selamanya jarang ia pamer kepandaian sendiri dihadapan orang, tapi konon
kabarnya kepandaiannya tidak lebih rendah dari Giok-yap Cinjin dan Thian-cwan Taysu dari Siaulim.
Entah mengapa sekarang ternyata terima mengekor menjadi anak buah Tok sim-sin-mo.
Dingin-dingin saja Nyo Ceng pandang mereka, jengeknya, “Kalian datang karena Ling-lamkiam-
ciang Coh Jian-jo bukan? Hm, kau kira dia sudi pergi bersama kalian?”
Hati Thian-hi semakin heran, kiranya Nyo Ceng sudah tahu akan hal ini, diluar tahunya bawa
dim-na ia main terobosan ini justru tempat sekitar dimana Coh Jian-jo disekap, maka penjagaan
disini justru diperketat dan keras sekali.
“Ada aku disini, jangan harap kalian bisa keluar dari tempat ini.” demikian ancam Nyo Ceng
menyeringai dingin.
Su Giok-lan melolos pedang dari punggungnya, serunya sambil maju ke depan, “Ingin aku
mencoba apakah kau punya kepandaian asli sejati, berani kau takabur!”
Nyo Ceng menyeringai lebar…. tangannya terangkat lagi, hujan anak panah memberondong
pula ke arah mereka berdua, Thian-hi menekuk dengkul jadi tubuhnya rada mendak kebawah
berbareng kedua telapak tangannya didorong ke depan, Pan-yok-hian-kang dikerahkan menerpa
ke depan, kontan hujan anak panah kena disapu runtuh berjatuhan di tanah.
“Blang” tiba-tiba sebuah pintu batu disamping sana meluncur jatuh pula, sekarang mereka
menjadi terhimpit diantara alingan dua pintu batu yang tebal.
Dari luar suara Nyo Ceng terdengar dingin, “Selama hidupku bila tidak terpaksa tidak pernah
aku main silat dengan orang lain!”
Thian-hi pandang kedua dinding pintu yang tebal itu, beratnya paling ringan ribuan kati, jarak
antar kedua pintu ini empat kaki, bila tidak bisa keluar, ter paksa mereka harus menunggu ajal
terkurung disitu.
Su Giok-lan menyimpan pedangnya, dengan kedua tangan ia menepuk2 pintu, terdengar suara
mendengung yang berat, sedikitpun pintu itu tidak bergeming.
Thian-hi berpikir dengan gabungan tenaga dalam dua orang mungkin dapat merobohkan, tapi
lalu cara bagaimana menolong Coh Jian-jo? Kelihatannya panjang lorong ini setiap berjarak empat
lima meter pasti terpasang sebuah daun pintu, mungkinkah satu persatu dapat membobolnya?
Akhirnya Su Giok-lan menghela napas, tanyanya. “Hun-toako, bagaimana sekarang?”
Thian-hi melolos serulingnya, katanya, “Giok-lan! Akan kugempur pintu ini, begitu pintu ini
runtuh kau harus cepat menerjang keluar. Jangan sampai Nyo Ceng melarikan diri!”
Mendengar ucapan Thian-hi begitu mantap Su Giok-lan manggut-manggut, pedang dikeluarkan
dan siap-siap. ‘
Hun Thian-hi mengerahkan ilmu saktinya, tiba-tiba tubuhnya melambung ke tengah udara
berputar satu lingkaran terus menutulkan serulingnya keluar, begitu Wi-thian-cit-ciat-sek
dilancarkan pintu itu tergoyang gontai lalu pelan-pelan ambruk ke arah samping sana. “Blum!”
batu krikil dan pasir serta debu bertebangan. laksana anak panah Su Giok-lan melesat keluar,
dimana ia gerakkan pedangnya dengan jurus Jiu-si-jjan-tiu setabir sinar pedang laksana ribuan
benang sutera mengurung semua hadirin.
Berubah air muka Nyo Ceng, setindak pun ia tidak berani maju. dengan bungkam ia menatap
Thian-hi berdua. Ujung pedang mengancam tenggorokan.
Thian-hi tersenyum manis, serunya, “Nyo-tayhiap! Sekarang boleh kau ajak kami menemui Coh
Jian-jo bukan?”
Nyo Ceng tertawa-tawa, sahutnya. “Kalian ingin benar-benar kesana? Aku kuatir kau dapat
masuk takkan dapat keluar pula!”
“Kalau kita mau pergi sudah tentu ada kau Nyo Tayhiap yang menunjukkan jalannya, tidak
menjadi soal tak bisa keluar. Pintu2 penghalang macam ini tidak menjadi soal bagi aku!”
Nyo Ceng tertawa, ujarnya, “Sekarang aku sudah bekerja bagi Tok-sim-sin-mo, sudah tentu aku
harus setia pada tugasku, jangan kau nanti salahkan aku, dapat masuk tak dapat keluar, hal ini
kutegaskan sekali lagi pada kau!”
“Aku tidak ambil perhatian soal itu!” sahut Thian-hi dengan sikap wajar.
Nyo Ceng tertawa lebar, tanpa bicara lagi ia mendahului jalan di depan, Thian-hi menyapu lihat
kedua dinding samping, benar-benar juga banyak terdapat daun pintu yang terporot didinding2
itu, penjagaan diatur sedemikian rapi dan ketat, sungguh sulit dibayangkan.
Rada jauh mereka berjalan belak belok akhirnya tercegat sebuah daon pintu yang terbuat dari
besi, tebal pintu besi ini kira-kira setengah kaki. pintu bisa tertutup dari luar. Nyo Ceng berkata,
sambil tertawa, “Kunasehatkan pada kalian sekali lagi, janganlah masuk kesana!”
Sambil memincingkan mata Thian-hi pandang Nyo Ceng, terasa olehnya bahwa kata-katanya ini
memang bermaksud baik, sesaat ia berpikir lalu sahutnya tertawa, “Bagaimana juga aku harus
masuk kesana!”
Sesaat Nyo Ceng termeming lalu ia beranjak masuk lebih dulu, katanya, “Aku tiada punya
permusuhan apa dengan kalian, kenapa kalian harus memaksa aku?”
“Lekas jalan!” bentak Su Giok-lan, “Kita masih punya urusan penting yang lain.”
Pandangan Nyo Ceng rada kecewa, akhirnija ia membalik tubuh dan melangkah lebih lanjut,
pintu besi itu pelan-pelan tertutup sendiri dengan mengeluarkan suara gemuruh dan “Blum”
tertutup rapat dan kokoh.
Nyo Ceag berpaling kepada mereka. ia melanjutkan ke depan. Thian-hi merasa memang tidak
mungkin keluar pula dari sini. Setelah menyelusuri lorOng panjang tibalah mereka disebuah kamar
persegi, dalam kamar ini terdapat banyak perabot dan peralatan besi, seorang laki-laki tua
beruban tampak duduk di atas kursi sedang tenggelam dalam lamunannya.
Begitu mendengar langkah kaki orang ia tersentak kaget dan angkat kepala, dengan
pandangan dingin dan tak bersahabat ia lirik mereka bertiga lalu tunduk menepekur lagi.
Nyo Ceng tertawa, katanya, “Dia itulah Ling-lam-kiam-ciang Coh Jian-jo.”
Segera Thian-hi tampil ke depan Coh Jian-jo, katanya. “Wanpwe Hun Thian-hi, sengaja kemari
untuk nyatakan terima kasih akan budi pertolongan Cianpwe.”
Coh Jian-jo angkat kepala, ia pandang Thian-hi lekat-lekat. sesaat baru bersuara, “Aku belum
pernah menolong jiwamu!”
“Kalau bukan Cianpwe, sejak lama aku sudah mampus di bawah serangan Pek-tok-hek-liongting
milik Tok-sim-sin-mo itu!”
Kelihatannya Coh Jian-jo mulai ketarik, dengan nanar ia pandang Thian-hi lalu pelan-pelan
berdiri, dengan menggendong tangan ia berjalan sebundaran dalam kamar, katanya, “Meski aku
telah mengubah sedikit peralatan itu, mengandal kau rasanya tidak mungkin. terhindar dari
bencana!”
“Cianpwe!” sela Nyo Ceng. “Kau harus tahu dia ahli waris dari Wi-thian-cit-ciat-sek!”
Agaknya Coh Jian-jo rada terkejut, ia pandang Thian-hi lekat-lekat dengan rasa kurang percaya,
ia berpikir sejenak lalu geleng-geleng kepala, agaknya ia tidak mau percaya,
Nyo Ceng tertawa, katanya. “Sekarang kita takkan mampu keluar dari sini, seluruh pintu sudah
tertutup rapat dan tak mungkin terbuka lagi!”
“Kenapa kau datang kemari?” tanya Coh Jian-dio aseran.
“Tok-sim-sin-mo sudah tahu akan kesengajaanmu memperlemah daya kekuatan Pek-tok-hekliong-
ting itu, tak lama lagi ia bakal kembali, maka kuanggap mungkin cianpwe perlu sesuatu
bantuan dari aku!”
Coh Jian-jo manggut-manggut, katanya, “Apa gunanya kau menyusul kemari? Bila mereka
berani bunuh aku, sejak lama mereka sudah mencabut jiwaku, aku tidak akan bisa hidup sampai
sekarang. Perbuatan kalian ini boleh dikata berkelebihan belaka, malah bisa bikin susah aku pula,
apakah kalian bisa keluar sendiri dari sini?”
“Bukan melulu karena persoalan itu saja kami k-mari, kecuali itu besar harapan kami dapat
menyambut Cianpwe keluar dengan bebas.”
Coh Jian-jo pandang mereka dengan bingung, ia tertunduk bungkam, dengan langkah cepat ia
berjalan putar kayun dalam bilik batu itu, agaknya ia sulit mengambil suatu keputusan.
“Tiada gunanya Cianpwe tinggal terlalu lama disini”, demikian bujuk Thian-hi, “Kalau toh bisa
keluar kenapa pula harus main ulur waktu dan menyekat diri terima derita.”
Terangkat kepala Coh Jian-jo, pandangan matanya mendelik gusar, serunya, “Lekas kau pergi!
Tak butuh kudengar ocehanmu. Aku sendiri yang suka tinggal disini, kau ingin bawa aku lari,
sedang kau sendiri saja belum tentu mampu keluar dari sini.”
Thian-hi tertegun, sungguh tidak nyana bahwa Coh Jian-jo bersikap begitu keras kepala, sesaat
ia menjadi kememek dan tak tahu apa yang harus dilakukan karena kebandelan orang.
Ooo)*(ooO
Melihat Bu-bing Loni sudah dihayati nafsu membunuh, terpaksa Ma Gwat-sian memetik
harpanya melagukan Tay-seng-ci-lou untuk membela diri. Begitu irama harpa mengalun, Bu-bing
Loni mendelik gusar kepada Ma Gwat-sian, Gwat-sian pejamkan mata, kedua jari jemarinya
selincah kupu2 menari di atas kuntum bunga, laksana air mengalir awan mengembang irama
harpanya mengalun enteng terus berkembang.
Bu-bing menggerung murka, ia kerahkan ilmu sakti pelindung badan untuk pertahankan urat
nadi dan dadanya, setindak demi setindak ia mendesak maju.
Melihat rangsekan irama lagunya tidak kuasa merintangi Bu-bing Loni, semakin gugup dan
gelisah hati Ma Gwat-sian, tapi keadaan sudah sedemikian gawat, dengan segala kemampuan
yang ia pelajari selama ini mulailah ia kerahkan tenaga mengembangkan lagu Tay-seng-ci-lou
cukup untuk membela diri saja.
Meski tidak takut Bu-bing Loni segan membuka suara, diam-diam hatinya pun kaget, bila guru
gadis ini tiba, kalah atau menang sulit ditentukan, bila sekarang tidak lekas-lekas melenyapkan
gadis ini kelak pasti merupakan bibit bencana. Karena tekadnya ini pelan-pelan ia melolos pedang
dari punggungnya.
“Jangan kau usik dia!” bentak Kiang Tiong-bing murka.
Kiang Tiong-bing menoleh ke arah Ma Gwat-sian, ia maklum bila urusan berlarut begitu terus
Ma Gwat-sian pasti berkorban ditangan Bi-bing Loni, maka segera ia menambahi, “Kau sebagai
seorang tokoh kenamaan di Bulim, tidakkah kau malu menghadapi seorang gadis remaja!”
Bu-bing tertawa sinis. ie menyedot napas melindungi urat nadinya lalu berkata, “Hari ini tak
kubunuh dia, besok tentu dia yang akan membunuh aku!”
“Dia adalah anak angkatku, bila kau berani bunuh dia, selama sehari aku masih hidnp, akan
kubunuh kau juga!” demikian ancaman Kiang Tiong-bing,
Bu-bing Loni terbungkam. pelan-pelan ia simpan kembali pedangnya, dengan dingin ia sapu
pandang mereka berdua serta katanya, “Kecuali selama hidup ini tinggal disini, kalau tidak
kubunuh dia, meski sembunyi ke ujung langit.” berhenti sebentar lalu ia menambahi, “Dan juga
Ham Gwat sekalian!”
Kiang Tiong-bing diam saja, ia maklum bahwa Bubing Loni bisa melakukan apa saja sesuai
dengan ancamannya, sikap dan kekkuannya terhadap dirinya ini boleh dikata merupakan
pemberian ampun dan mengalah.
Habis mengancam tadi Bu-bing Loni lantas putar tubuh tinggal pergi.
Tersipu-sipu Gwat-sian bangkit, katanya, “Terima kasih banyak akan pertolonganmu paman.”
“Nak,” sahut Kiang Tiong-bing, “tak perlu kau sungkan-sungkan, terpaksa aku harus bertindak
keras, tujuannya juga bukan melulu demi kepentingan kau, aku pun mengambil keuntungannya!’
“Betapa pun kau telah menolong aku!’ ujar Ma Gwat-sian tertawa getir.
Begitu pahit dan getir tawa Ma Gwat-sian. hal ini terasakan oleh Kiang Tiong-bing, dia pun
tersenyum kecut, katanya, “Nak, harus tahu, ada kalanya hidup manusia itu bukan melulu demi
kehidupannya sendiri!”
Ma Gwat-sian terlongong sekian lamanya, tak tertahan lagi ia menubruk ke dalam pelukan
Kiang Tiong-bing dan menangis gerung-gerung. Begitulah mereka bertangis2an.
“Nak.” ujar Kiang Tiong-hing sesaat kemudian. “Sudah jangan nangis lagi!”
“Paman! Benar-benarkah kau sudi angkat aku sebagai putrimu?”
“Oh, nak sungguh aku girang memperoleh anak seperti kau!” kata Kiang Tiong-bing
mengembeng air
mata. “Yah! kaupun tidak perlu menangis lagi!”
Pandangan Kiong Tiong-bing melayang ke arah air terjun diluar sana, terpikir olehnya bila Ham
Gwat juga berada disitu betapa senang dan bahagia hatinya. tanpa merasa ia menghela napas
kesal, katanya, “Nak, ada sesuatu yang perlu kukatakan kepada kau.”
Ma Gwat-sian duduk bersimpuh di bawah lutut Kiang Tiong-bing. Setelah menghela napas dan
memandang keluar Kiang Tiong-bing mulai bicara, “Empat puluh tahun lebih, Bu-bing Loni masih
begini kejam!” demikian gumamnya, lalu ia melanjutkan kepada Ma Gwat-sian, “Nak, urusan ini
selamanya belum pernah kututurkan kepada siapapun, inginkah kau mengetahui persoalanku
dengan Bu-bing Loni?”
Ma Gwat-sian manggut-manggut. ia duduk diam dan tenang.
“Dulu,” dutur Kiang Tiong-bing tersenyum, Kangouw Ngo-hong adalah kaum remaja yang
menjadi incaran dan kejaran pemuda2 persilatan pada masa itu, Ngo-hong sama punya
kepandaian silat yang tinggi, sama cantiknya pula!”’ merendek sebentar lalu melanjutkan, “Tatkala
itu aku baru saja berkecimpung dikalangan Kangouw. Ngo-hong Locu adalah sahabat kental dari
keluargaku, sudah tentu dalam pengembaraanku itu aku harus mampir kesana menyampaikan
sembah sujud dan hormatku kepada beliau.”
Mendengar sampai disini lantas Ma Gwat-sian dapat menebak kejadian apa selanjutnya yang
telah dialaminya.
Kiang Tiong-bing tersenyum geli, sambungnya. “Adalah jamak kalau akupun bertemu dengan
kelima putrinya yang remaja itu. Nama asli Bu-bing Loni adalah Ong Ging-hong. dialah yang
terbesar diantara lima bersaudara. Sedang ibu Ham Gwat justru yang paling kecil.”
Sampai disini ia berhenti dan tertawa-tawa, agaknya geli tapi juga seperti menyesali nasibnya
sendiri, kelihatannya ia sangat prihatin dan menderita, “sudah tentu!” demikian ia melanjutkan,
“Akhirnya aku menikah dengan ibunda Ham Gwat. Ngo-hong Locu -sang Mertua juga paling
sayang pada ibunya Ham Gwat, waktu itu ia jatuh sakit dan keadaan sudah payah, maka ia
wariskan kekuasaan dari Ngohong Locu kepada ibunya Ham Gwat.” sampai disini ia terbatuk lirih
dan menghela napas.
“Maklum sebagai anak yang tertua tidak mendapat warisan keluarga, cintanya pun tidak
terbalas lagi, maka akhirnya Bu-bing Loni menghilang dari kalangan Kangouw. Tahun kedua
mendadak muncul pula di Bulim, wajahnya kelihatan sudah sepuluh tahun lebih tua, tapi justru ia
telah memperoleh pelajaran ilmu silat mujijat. Selama kelana di Kangouw, barang siapa sampai
mengganggu atau menyakiti hatinya tentu dibunuh tanpa belas kasihan. Betapa kejam dan
Telengas perbuatannya itu sungguh menggiriskan hati.” sampai disini ia geleng-geleng dan
mengkirik membayangkan kekejaman2 yang diperbuat Bu-bong Loni dahulu.
Sambungnya:”Sudah tentu kau dapat membayangkan, cara bagaimana selanjutnya dia
menghadapi kami berdua, meski adik kandung sendiri pun tidak terlepas dari perbuatan keji dan
kekejamannya.”
Mencelos hati Ma Gwat-sian, terasakan olehnya, kasihan riwayat hidup Ham Gwat, adalah
lumrah kalau dia mengalah, setindak demi kebahagiaan Ham Gwat….
Kiang Tiong-bing tertawa getir, tuturnya “waktu dirumah ia sesumbar bila anak pertamaku lahir
itulah saatnya bencana bakal menimpa keluarga kami. Setelah itu tinggal pergi, semula kami takut
melahirkan anak! Tapi betapa pun kita harus keturunan! Akhirnya Ham Gwat lahir, kami lantas lari
ke tempat yang jauh tersembunyi, tapi kemana pun kami lari tidak terlepas dari kejaran burung
dewata bermata jeli dan tajam itu. Aih!”
Mendadak tawa digin yang menggiriskan terkiang dipinggir kuping mereka, dengan kaget
mereka tersentak bangun. tampak Bu-bing Loni berdiri diluar kamar batu, mulutnya mengulum
seringai sadis setindak demi setindak ia melangkah masuk, giginya gemeratak desisnya, “Semua
mengkhianati aku, kalian semua adalah berhati busuk dan pembual.”
Kiang Tiong-bing tertegun sebentar. katanya dengan nada berat, “Segala akibat hari ini adalah
maha karya kekejamanmu. tidakkan kau lihat kepada kedua tanganmu sudah berlepotan darah?”
Bu-bing menyeringai semakin beringas desisnya, “Aku bersikap sangat baik terhadap kalian,
tapi kalian berkhianat terhadapku!” sekonyong-konyong ia terkial-kial tawa seperti kicauan kokok
beluk dimalam sunyi.
Kiang Tiong-bing diam saja, ia tahu bahwa orang tentu telah tinggal minggat dan tidak
hiraukan lagi pesan dan perintahnya.
Pelan-pelan Bu-bing Loni menghunus pedang. katanya, “Selama hidupku ini aku bersikap paling
baik terhadap kau. Tapi adalah kau pula yang bersikap paling buruk terhadapku.” — rona
wajahnya semakin kaku dan diselubungi bahwa memutih, jelas napasnya membunuh semakin
berkobar.
Kiang Tiong-bing tertawa tawar, ujarnya, “Jadi Ham Gwat telah meninggalkan kau?”
“Sudah lama ia meninggalkan aku!” gerung Bu-bing Loni menyeringai iblis.
Bukankah itu baik malah?” seru Kiang Tiong tertawa girang. “Dia akan lebih aman dan terjamin
keselamatannya bila meninggalkan kau, bila berada di sampingmu. kalau kau sedang marah2
mungkin jiwanya bisa terancam!”
Tangan Bu-bing yang memegang pedang menjadi lemas semampai. mendadak ia angkat
kepala, katanya beringas, “Kau tahu. sesaat aku menemukan dia saat itu pula tibalah ajalnya!”
Mencekat hati Kiang Tiong-bing. Bu-bing bisa melaksanakan segala ancamannya.
Sinar matanya yang dingin menatap ke arah Ma Gwat-sian, katanya, “Dan kau pun tidak usah
ingin lebih lama lagi. Giok-lan pun berani mengkhianati aku, tiada gunanya kau tetap hidup….”
Tadi kau sendiri berkata membebaskan dia dari renggutan pedangmu,” demikian bentak Kiang
Tiong-bing. Kenapa sekarang kau jilat ludahmu sendiri”
Baru tadi aku tahu. kau bersikap begitu kasar terhadapku karena aku bersikap terlalu baik
terhadap kau. Aku tidak bunuh Ging-sia dan mengasuh Ham Gwat sampai dewasa memberi
pelajaran ilmu silat. semua itu hanya untuk Kau seorang, dan sekarang akan kusuruh kau melihat
dengan mata kepalamu sendiri, akan kubunuh semua orang yang kau kenal dihadapanmu.”
Kiang Tiong-bing bergidik seram, kekejaman Bu-bing Loni tidak perlu disangsikan lagi akan
ancamannya yang serius ini. Ia mandah tertawa getir, katanya, “Mungkin kau mampu melakukan
segala ancamanmu, tapi mungkin pula kau tidak mampu melaksanakan hasratmu. Aku tidak akan
sudi menonton atau menjadi penonton, seumpama aku harus mati aku tidak akan mau
menonton.”
“Aku kuatir hal ini tidak segampang menurut kemauanmu saja. Kau harus tunduk akan perintah
dan kemauanku!”
Kiang Tiong-bing pandang Ma Gwat-sian dengan rasa iba, pelan-pelan ia bangkit lalu keluar
menuju ke air terjun. Sekali melejit Bu-bing Loni mencengkeram Kiang Tiong-bing, kontan tutuk
jalan darah pelemas tubuhnya terus membaringkannya di atas dipan, seringainya, “Kau harus
menjadi penonton!”
Kiang Tiong-bing pejamkan matanya. Bu-bing Loni tertawa dingin. ujarnya, “Meski tidak
melihat, kau pun bisa mendengar, akan kubuat kau mendengar mereka satu persatu meregang
jiwa….”
Selama itu dengan tenang Ma Gwat-sian duduk ditempatnya, dengan wajar ia awasi Bu-bing
Loni, ia saksikan kelakuan orang yang hampir setengah gila ini, setelah membaringkan Kiang
Tiong-bing sekarang dia menghampiri ke arah dirinya.
Pelan-pelan ia menghela napas panjang, dia sudah siap siaga, bila Bu-bing Loni benar-benar
mendesak dirinya, ia sudah berkeputusan untuk bunuh diri dengan kekuatan getaran senai
harpanya, untuk sesaat hatinya menjadi pilu dan bersedih, sebentuk bayangan yang sangat
dikenalnya terbayang dikelopak matanya. Hun Thian-hi bersikap gagah dan ganteng. tapi dia
kelihatan berdiri berendeng disana bersama Ham Gwat. Biji matanya basah oleh air mata,
engkohnya dan para famili nan jauh dinegeri kelahiran sana terbayang dalam bintik2 air matanya
dan menjadi buram dan akhirnya menghilang menetes di tanah.
Bu-bing Loni mendesak lebih dekat, tiba-tiba terbayang bentuk tubuh gurunya Poci diambang
kelopak matanya yang terkaca2. Akhirnya ia tertunduk, tangannya kanan terangkat siap memetik
senar harpa.
“Jangan begerak!” Poci membentak keras.
Ma Gwat-sian tersentak kaget, cepat ia angkat kepala, bayangan yang dilihat tadi ternyata
bukan ciptaan alam pikirannya belaka, tampak Poci berdiri angker sambil memeluk sebuah harpa
yang lain pula, sikapnya dingin dan gusar memandang Bu-bing Loni.
Bu-bing Loni menyeringai dingin, sebetulnya hatinya rada gentar, dengan penuh selidik ia awasi
Poci, begitulah mereka jadi berdiri berhadapan saling pandang, tiada yang berani bergerak lebih
dulu….
Akhirnya Poci membuka suara lebih dulu, “Bu-bing! Kau seorang tokoh nomor satu di seluruh
Bulim, tidakkah kau malu menggerakan pedang terhadap seorang bocah kecil?”
“Siapa kau?”
“Persetan dengan siapa aku,” jengek Poci, “Cukup kau tahu saja akulah gurunya!” karena yang
dihadapi Bu-bing Loni. tokoh kosen yang lihay, hingga sedikitpun ia tidak berani melirik ke arah Ma
Gwat-sian, sedikit lalai besar akibatnya.
“Kudengar kau sebagai ahli waiis Tay-seng-ci-lou. Kau berani meluruk ke Tionggoan sebagai
lazimnya. satu gunung pantang hidup dua harimau yang menjagai, cepat atau lambat memang
kita harus berhadapan, kini tibalah saatnya kita tentukan siapa unggul siapa asor” habis katakatanya
pedangnya terangkat terus membabat miring.
Tampak tangan kiri Poci bergerak, irama kekal abadi kontan berkembang seiring dengan gerak
gerik jarinya yang lincah di atas senar harpanya. Seketika Bu-bing Loni berdegup jantungnya,
keruan kejutnya bukan main, selanjutnya ia harus bertindak sangat hati-hati, namun setiap gerak
pandangnya selalu kandas ditengah jalan, akhirnya ia duduk bersimpuh mengerahkan Lwekang
untuk melawan.
Puci sendiri sedikitpun tidak berani takabur menghadapi ahli waris Hui-sim-kiam-hoat
pertemuan kali ini merupakan pertempuran yang menentukan mati hidup, bila dirinya kalah bukan
saja dirinya bakal konyol. Ma Gwat-sian pun takkan tertolong jiwanya.
Akhirnya iapun duduk bersila, lagu kekal abadi terus dikembangkan mencapai puncaknya.
Ma Gwat-sian dan Kiang Tiong-bing menonton dengan mata terbelalak, sungguh takjub mereka
menyaksikan pertempuran lucu dari kedua tokoh terbesar jaman kini. pertempuran macam ini
jarang terjadi selama ratusan tahun terakhir ini.
Begitulah Bu-bing duduk mematung seperti semadi, jari-jari Poci sementara itu terus bergerak
dengan lincah, kedua belah pihak tetap bertahan sampai setengah jam. Mendadak Bu-bing Loni
membuka mata, sorot tajam berkilat dari biji matanya menatap ke arah Poci laksana ujung pisau
tajamnya, sekonyong-konyong tubuhnya bergerak mencelat bangun, pelan-pelan pedang dilolos
keluar pula. Sembari menggerung rendah kaki kanannya terangkat pelan-pelan maju selangkah.
Demikian juga tiba-tiba Pici membelalakkan biji matanya, kedua tangannya berhenti bergerak,
seketika irama musiknya terputus berhenti. Lekas-lekas Bu-bing Loni menarik balik kaki kanan
yang sudah melangkah ke depan itu.
Hawa dalam kamar batu rasanya menjadi bergolak tegang, suasana sangat hening lelap
sehingga bernapaspun ditahan.
Ma Gwat-sian tahu bahwa Poci gurunya sedang mempersiapkan diri untuk melancarkan
gelombang suara musiknya yang lihay yaitu Toan-liong-loh-yun, bila perlu biar gugur bersama
musuh.
Kedua belah pihak harus hati-hati sebelum bertindak, karena sedikit salah langkah akibanya
bakal hancur lebur. Dengan cermat Poci awasi setiap tingkah laku Bu-bing Loni, setelah berdiam
diri sekian lamanya, lagi-lagi ia angkat kakinya hendak melangkah maju.
Sekali lagi tangan kiri Poci menjentik senar, lengking irama harpa yang meninggi terbang keluar
langsung menerjang ke arah Bu-bing Loni.
Lakas2 pedang ditangan Bu-bing Loni disampokkan ke depan, batang pedangnya memancarkan
cahaya kemilau. sekuat tenaga ia berusaha menangkal balik gelombang suara harpa. Tapi
kelihatan usahanya sangat memakan tenaga, apa boleh buat kaki kanannya harus ditarik mundur
pula.
Rona wajah Poci kaku serius, selama ia mempelajari Yay-seng-ci-lou baru hari ini pertama kali
menggunakan ilmu saktinya untuk menghadapi musuh tangguh, justru lawannya adalah jago
nomor satu dari Tionggoan, yaitu Bu-bing Loni.
Lagi-lagi jari-jari tangan kirinya bergerak, serangkaian suara musik bergelombang mengalun
pula menyerang ke arah Bu-bing Loni. Kedua biji mata Bu-bing Loni menatap lurus ke depan,
seolah-olah ia sedang memikirkan sesuatu persoalan yang maha penting, pedang ditangan
kanannya bergerak pula maju mundur lalu menusuk ke depan menghalau seluruh rangsakan irama
harpa, tapi tak urung ia terdesak mundur sampai dua tindak ke belakang.
Poci tercekat, sekarang kelima jari tangan kiri-kanannya menjentik bergantian, dengan seluruh
yang paling dahsyat. Dia sudah berkeputusan hari ini kekuatan latihannya, ia lancarkan jurus
serangan harus merobohkan Bu-bing Loni atau dirinyalah yang bakal terjungkal kalah.
Sementara itu Bu-bing Loni sedang menerawang cara bagaimana memecahkan gempuran
musuh yang dahsyat, tapi irama lagu lawan sambung menyambung melandai bagai gelombang
samudra membuat segala daya pkirannya kena dikacau balaukan, terpaksa ia pusatkan
perhatiannya untuk melawan serangan musuh.
Tampak tangan kanan Poci bergerak pula, Bu-bing Loni angkat kepala, air mukanya kelihatan.
rada pucat, namun sorot matanya malah mengunjuk rasa girang yang terpendam. lekas
pedangnya dilayangkan ke depan, dengan hawa pedangnya yang membentuk seperti kabut putih
mengembang lebar menerpa ke depan ia tangkis gelombang suara lawan.
Bahwa seluruh usaha penyerangannya selaliu gagal membuat Poci semakin gugup dan kaget,
jari telunjuknya segera membelesot di atas senar, suaranya persis seperti gambreng digesek
menusuk telinga melesat ke depan. Bu-bing Loni mandah tertawa dingin, pedangnya melintang
maju terus diputar ke atas lalu disendal ke samping, gelombang suara musuh kena didesak bujar
oleh kekuatan hawa pedangnya. Sekarang Bu-bing Loni mendesak maju sambil melintang
pedangnya, selangkah demi selangkah ia menghampiri Poci. Jidat Poci sudah basah oleh keringat
dimana telunjuk jari tangan kirinya menggantol. sebuah lengking suara senar harpanya menerjang
pula ke arah Bu-bing Loni.
Pelan-pelan Bu-bing masih melangkah ke depan, dengan ketajaman pedang dan kekuatan
hawa pedangnya ia menyampok pula serangan musuh kesamping, ujung mulutnya mengulum
senyum sinis yang dingin, seolah-olah Poci sudah bakal dicengkeram dalam genggamannya.
Beruntun Poci kirimkan tiga gelombang suaranya yang berlainan bentuk dahsyat dan hebat
serangan tiga rangkaian gelombang musiknya ini sehingga Bu-bing terdesak dan tidak sempat lagi
menangkis dengan pedang, ia terdesak mundur setindak, tapi dilain saat kaKinya mendesak maju
pula pelan-pelan. Mau tidak mau ia harus meningkatkan kewaspadaan, baru sekarang ia sadari
bahwa Tay-seng-ci-lou tidak boleh dihadapi secara hadap berhadapan.
Poci diam tak bergerak, biji matanya menatap Bu-bing Loni lekat-lekat. Sudah lama ia
mendengar ketenaran nama Bu-bing Loni, kenyataan sekarang ia sudah merasakan kelihayan
orang. Bila Bu-bing Loni berani maju setindak lagi apa boleh buat dia harus lancarkan gelombang
putus dari senar harpanya untuk gugur bersama Bu-bing Loni.
Melihat Poci tidak bergerak Bu-bing Loni juga tidak berani sembarangan maju. Dia tahu akan
kehebatan Tay-seng-ci-lou adalah pantang untuk memandang ringan pada musuh, soalnya
kepandaian silat sejati Poci terpaut terlalu jauh dibanding dirinya, kalau tidak mungkin sejak tadi
Bu-bing Loni sudah menggeletak tak bernyawa lagi.
Bu-bing Loni melangkah pula, Poci masih tak mau bergerak, kedua biji matanya tajam laksana
ujung pisau menatap muka Bu-bing, sedikitpun tidak kelihatan rasa takutnya. Adalah Bu-bing
sendiri yang menjadi merinding dan berdiri bulu romanya dipandang begitu rupa, serta merta ia
menghentikan langkahnya, sesaat ia menjadi bingung maju atau mundur. ia tahu bahwa Poci pasti
masih menyimpan jurus-jurus terlihay yang belum dilancarkan, soalnya menanti kesempatan
terakhir untuk merobohkan dirinya. Untuk sesaat ia menjadi ragu-ragu, ia berpikir cara bagaimana
ia harus meruntuhkan rangsakan musuh yang teramat hebat itu.
Suasana gelanggang menjadi sunyi senyap. Ma Gwat-sian terlongong mematung, biji matanya
saja yang bergerak. ganti berganti ia melirik ke arah Poci dan Bu-bing Loni. Ia insaf bahwa Poci
sudah terdesak di bawah angin, kelihatannya ia sudah bertekad untuk gugur berrama Bu-bjng
Loni.
Pelan-pelan Bu-bing menudingkan pedangnya ke depan. diapun sudah berkeputusan
menggunakan tiga jurus terakhir dari Hui-sim-kiam-hoat untuk menempuh kemenangan, jalan
inilah yang dianggapnya paling aman untuk menyelamatkan jiwa sendiri.
Poci juga percaya akan kekuatan Hui-sim-kiam-hoat yang tenar itu, pelan-pelan ia angkat jarijarinya
siap untuk bergerak bila pedang Bu-bing Loni menyerang, dengan irama musiknyai a harus
bertahan dan mengadu kekuatan terakhir.
Tapi Bu-bing menjadi bimbang lagi, sedetik sebelum mengambil keputusan. terasakan olehnya
kacuali ia menghentikan pertempuran hari ini sampai disini, kalau tidak bila keadaan sama
bertahan begini terus berlangsung dan tiada kesudahannya.
Pedangnya sudah teracung sampai titik ketinggian diharapkan, kebetulan lurus dan selaras
dengan alisnya. Inilah letak posisi yang paling serba guna untuk menyerang musuh dan untuk
menjaga diri. Sekian lama ia tatap muka Poci, pedang sudah siap dilancarkan dengan serangan
yang paling ganas sekonyong-konyong biji matanya memancarkan rasa takut dan gusar yang
berlimpah2. Ujung pedangnya yang lempang ke depan itu tampak sedikit gemetar. Ah, besar
tekadnya untuk segera mulai menyerang tapi entah mengapa hatinya seperti mengkeret dan tak
berani lagi turun tangan.
Pandangan Poci mengunjuk rasa hambar dan kosong, tak tahu dia siapakah yang telah muncul
karena dia tidak berani menoleh. Pedang Bu-bing masih teracung ke arah dirinya. mungkin orang
segera lancarkan serangan fatal yang menentukan.
Ooo)*(ooO
Melihat Coh Jian-jo tiba-tiba murka Hun Thia-hi tertawa tawar, katanya, “Cianpwe! Meski
kedatanganku untuk nyatakan terima kasih akan budi pertolonganmu, tapi kau harus tahu, betapa
banyak orang telah menjadi korban di bawah keganasan Pek-tok-hek-liong-ting, mereka akan
menuntut jiwa mereka kepada kau!”
Biar mereka kemari!” bentak Coh Jian-jo dengan suara serak. “Aku toh tidak kenal mereka, tapi
justru sanak kadangku harus menjadi korban kelicikan Tok-sim-sin-mo. Itulah yang paling
kuperhatikan!”
Hun Thian-hi bergelak tawa, serunya, “Kau tidak kenal mereka, memangnya aku kenal
mereka!” lalu berpaling pada Su Giok-lan, katanya, “Sungguh kami menyesal telah datang kemari,
marilah kita pulang!”
Coh Jian-jo terlongong memandangi punggung mereka. mendadak ia berseru, “Apakah kalian
mampu keluar? Pintu besi diluar sudah tertutup semua!”
Thian-hi berdua tidak hiraukan seruannya, bersama Su Giok-lan beranjak terus ke depan.
Su Giok-lan tidak tahu apa maksud kelakuan Hun Thian-hi ini ia duga mungkin punya tujuan
tertentu maka ia menurut saja diseret oleh Thian-hi.
Coh Jian-jo menjublek tak bersuara, matanya berkilat-kilat, agaknya sedang memutuskan suatu
perkara besar. namun ia masih ragu-ragu dan bimbang untuk memberikan jawabannya.
Akhirnya Hun Thian-hi berdua tiba diambang pintu besi, kata Su Giok-lan, “Hun-toako, bisakah
kita keluar?”
Hun Thian-hi tertawa getir, sahutnya, “Tidak, bisa keluar!”
Su Giok-lan jadi melongo, kedengarannya nada ucapan Thian-hi begitu wajar, begitu acuh tak
acuh, seakan-akan soal pintu besi yang menghalang jalan ini tidak menjadikan persoalan baginya.
Hatinya menjadi heran, tak kuasa ia bertanya lagi, “Lalu untuk apa kita berada disini?”
“Selama hidup aku tidak sudi bergaul dengan dua macam manusia,” demikian sahut Thian-hi
dengan suara lantang. “Seseorang yang sangat pelit dan ogoistis, dan seorang lain yang berhati
ganas dan telengas tidak punya rasa prikemanusian. Umpama tok-sim-sin-mo dan Bu-bing Loni
merupakan manusia terganas dan keji, sedang Coh Jian-jo ini justru lebih jahat dan lebih
menjemukan, sungguh aku menjadi muak melihat tampangnya pula!”
Su Giok-lan melengak, pikirnya, “Sejelek2 Coh Jian-jo juga tidak seburuk yang dikatakan ini.
Soalnya sanak kadangnya sendiri kena ditawan dan dijadikan sandera oleh Tok-sim-sin-mo
sehingga kena diperalat untuk menciptakan berbagai alat senjata rahasia demi kepentingan
Toksim-sin-mo!”
Coh Jian-jo dan Nyo Ceng menyusul keluar. dengan muka beringas Coh Jian-jo berkata, “Coba
kau jelaskan, bagaimana aku jauh lebih buruk dari Tok-sim-sin-mo?”
Thian-hi tertawa tawar, katanya kepada Su Giok-lan, “Mari kita istirahat sebentar, kalau Toksim-
sin-mo kembali suatu kesempatan bagi kita untuk menjebol alat2 rahasia itu untuk lari keluar!”
— dalam bicara sedikitpun ia tidak hiraukan kehadiran Coh Jian-jo dan Nyo Ceng, setelah
mendapatkan tempat yang rada bersih ia duduk bersimpuh dan tak peduli orang lain.
Sekilas Su Giok-lan pandang muka Coh Jian-jo, sekarang ia rada paham kemana juntrungan
maksud Hun Thian-hi terhadap Coh Jian-jo ini, iapun mencari tempat untuk duduk istirahat,
Ganti berganti Coh Jian-jo pandang mereka berdua, air mukanya ganti berganti putih hitam dan
merah pula, sesaat mulutnya menggerung lalu katanya, “Kalian hendak memancing kegusaranku
bukan? Sayang aku tidak bakal tertipu oleh kalian, selama hidup ini kalian jangan harap bisa
keluar. Bila Tok-sim pulang. dia tidak akan begitu gampang mau melepaS kalian dari sini.”
Thian-hi pejamkan mata, anggap tidak dengar akan ocehan Coh Jian-jo, ujung mulutnya malah
menyungging senyum hina dan pandang rendah.
Coh Jian-jo menggeram sambil membanting kaki, badannya sudah berputar hendak tinggal
pergi. tapi matanya masih pandang Hun Thian-hi, melihat orang tidak mengunjuk reaksi apa? ia
hentikan pula kakinya. serunya, “Bila kau tidak katakan alasanmu, aku bisa membuat jiwamu
melayang ke alam baka, jangan kau sangka dengan sembarangan obral mulut lantas kau dapat
memancing aku.”
Sesaat kedua belah pihak sama menjublek tak bicara, akhirnya Hun Thian-hi membuka mata.
ujarnya, “Bukan saja aku beranggapan demikian, mungkin seluruh manusia di kolong langit inipun
punya keyakinan yang sama. Meski kau mampu bunuh aku, apakah kau mampu bunuh seluruh
manusia di kolong langit ini? Percaya hati nuranimu tidak akan tentram, kau akan menyesal dan
dirundung kekesalan selama hidup!”
Agaknya hati Coh Jian-jo menjadi lemas. katanya, “Kalau kau punya alasan dan itu benarbenar.
coba terangkan, ingin aku mendengar lebih lanjut.”
“Masa kau sendiri belum tahu?” ejek Thian-hi, “Bila kau suruh s(eseorang membunuh orang.
dosamu yang lebih besar apa dosa orang itu yang lebih besar?”
Coh Jian-jo berpikir sebentar, sahutnya, “Cucuku perampuan dijadikah sandera, dia menekan
aku untuk membuatkan alat2 itu, apakah ini terhitung aku yang suruh dia membunuh orang.”
Hun Thian-hi tertawa, katanya, “Tahu betapa besar akibat dari perbuatanmu, tapi tetap kau
laksanakan inilah merupakan dosa terbesar dosa yang tak berampun lagi.”
Coh Jian-jo terlongong diam. Thian-hi lanjutkan, “Kau tidak kenal mereka, demikian pula aku
tidak kenal mereka, tapi ingat bahwa mereka juga punya sanak kandang, apakah kita pantang
berbuat sedikit kebaikan demi keselamatan atau kehidupan orang lain?”
Coh Jian-jo tertunduk ia menghela napas panjang lalu berbalik berjalan masuk ke dalam kamar.
Dari belakang Hun Thian-hi berseru pula, “Mungkin aku sendiri juga rada egois, supaya kau
mau membantu sengaja aku menjatuhkan dosa2mu lebih berat, sebenar-benarnya dosa2 itu tidak
seberat seperti yang kuucapkan tadi. Bila kau mau, kau rela, aku harap dapat membantu kau!”
Coh Jian Jo geleng-geleng kepala, ujarnya, “Biar kubantu kau membuka pintu besi ini, boleh
silakan kau pergi. Ynag terang kau tidak akan dapat bantu apa-apa padaku, dan bagimu tiada
daya untuk membantu apa-apa kepadamu!”
“Tujuan kedatanganku kemari bukan hanya itu belaka, bila ntuk meloloskan diri saja aku pikir
tidak perlu datang Hwesio Jenaka membujuk aku supaya kemari menyatakan terima kasihku
kepada kau orang tua. Tapi aku maklum tujuan yang sebenar-benarnya adalah agar aku bisa
menolong kau dan cucumu keluar dari tempat kotor ini. Dan sekarang aku sudah datang sudah
tentu pantang pulang dengan tangan kosong.”
Coh Jian Jo mengacungkan tangan, selanya, “Kau memang pandai bicara, tapi pandai bicara
belum tentu dapat menangkan suatu perkara.”
Bab 25
“Bila kau sudi membantu kami, itu berarti sudah menambal kekurangan itu!”
Coh Jian-jo tertawa ewa, katanya, “Apa gunanya kau tolong aku keluar? Setelah berada diluar,
dalam tiga hari pasti aku bakal mampus, apa pula gunanya?”
Thian-hi terlengak, pikirnya, “Kiranya begitu, Tok-sim-sin-mo pasti mencekoki semacam obat
beracun padanya, obat pemunah Sutouw Ci-ko belum lagi dapat dicari, kecuali aku mendapatkan
obat pemunah itu, tiada jalan lain untuk dapat melemaskan hatinya. Dalam waktu dekat ini terang
tiada daya untuk menolong Coh Jian-jo keluar.”
Coh Jian-jo masuk ke dalam kamar, tak lama kemudian keluar pula dengan membawa sebuah
gergaji, panjang gergaji ini cuma satu kaki tapi mengkilap hitam agaknya terbuat dari Kiu-thianham-
giok, tanpa banyak kata segera ia berkerja menggergaji sela-sela antara pintu besi dan batu
karang itu, lalu tertawa berkata kepada Hun Thian-hi, “Sekarang kalian boleh tinggal pergi!” Lalu
ia membalik tubuh masuk ke dalam pula….
Sekonyong-konyong teringat suatu hal oleh Thian-hi, cepat ia berseru keras, “Coh-cianpwe.
harap tunggu sebentar!”
Coh Jian-jo merendek dan berpaling ke arah Hun Thian-hi, katanya, “Aku sendiri punya
perhitunganku, kau tidak usah kuatir akan diriku, tak lama lagi kau akan tahu sendiri!”
“Bukan itu maksud saya,” ujar Hun Thian-hi.
“Ada sebuah benda yang ingin kuperlihatkan kepada kau!”
Coh Jian-jo melenggong. tak tahu ia benda apa yang akan diperlihatkan kepadanya. Tampak
Hun Thian-hi pelan-pelan merogoh keluar sarung Badik buntung dari dalam bajunya terus
diangsurkan kepada Coh Jian-jo.
Mengawasi, sarung Badik buntung itu terpancar sorot aneh dan berkilat dari biji mata Coh Jianjo,
begitu kesima ia mengawasinya tanpa berkedip, akhirnya dia tertawa ujarnya, “Jadi sarung
Badik buntung berada ditangan Hun-siauhiap?”
Thian-hi manggut-manggut, sahutnya. “Wanpwe ada dengar kabarnya rahasia dari Ni-hay-ki-tin
hanya Cianpwe seorang saja yang tahu, maka dengan lancang berani kukeluarkan sarung Badik
buntung ini mohon petunjuk. Ingin aku tahu mengapa kaum persiliatan sama ingin memperoleh
Ni-hay-ki-tin itu?”
Coh Jian-jo tertawa tawar, katanya, “Mengenai soal itu. hakikatnya aku tidak tahu menahu
mungkin Hun-siauhiap salah dengar dari obrolan orang yang suka membual!”
Tahu bahwa Coh Jian-jo segan membocorkan rahasia ini. Hun Thian-hi pun tertawa saja,
katanya, “Sarung Badik buntung ini tiada gunanya selalu ku-bawa2, harap Cianpwe suka
menerimanya, mungkin jauh lebih selamat bila Selalu ku-bawa2.” — Lalu ia berikan sarung Badik
buntung itu kepada Coh Jian-jo lalu menyeret tangan Su Giok-lan menerjang-keluar.
Sambil memegangi sarung Badik buntung Coh Jian-jo terlogong ditempatnya, sesaat ia menjadi
bingung apa yang harus dilakukan. Sungguh mimpi juga ia tidak mengira bahwa Hun Thian-hi sudi
menyerahkan sarung Badik buntung itu kepada dirinya.
Melihat Hun Thian-hi berdua hendak pergi. cepat Nyo Ceng berseru, “Hun tayhiap, diluar ada
Biau-biau-cu berjaga, jangan Hun-siauhiap memandangnya terlalu enteng!”
“Blang” tanpa banyak pikir Hun Thian-hi tendang pintu besi itu hingga terpental ambruk. Ia
insaf sepanjang jalan lorong2 ini pasti terpasang berbagai alat rahasia, yang berbahaya, bersama
mengembangkan Ginkang Ling-khong-pu-si (berjalan di tengah udara) mereka berdua melesat
keluar laksana anak panah.
Peringatan Nyo Ceng akan Biau-biau-cu yang berjaga diluar menimbulkan kewaspadaan Hun
Thian-hi, karena Bu-ing-sin-sa atau pasir beracun tiada bayangan Biau-biau-cu merupakan
kepandaian tunggal yang paling disegani juga di Bulim.
Begitu menerjang keluar dari kamar batu mereka melesat terus ke depan, beberapa jauh
kemudian tiba-tiba di depan mereka tampak berdiri seorang Tosu tua, sekilas pandang lantas
Thian-hi tahu, pasti dia itulah Biau-biau-cu, cepat ia melolos keluar Serulingnya, bersama Su Gioklan
mereka menerjang terus ke depan.
“Berhenti!” Biau-biau-cu membentak dengan suara berat.
Hun Thian-hi. tertawa besar. serunya, “Tergantung dari kepandaianmu sejati!” -dia pernah
dengar bahwa sambitan Bu-ing-sin-sa tiada mengeluarkan suara dan tiada bayangannya, maka
sedikitpun ia tidak berani lalai, seruling ditangannya segera ditaburkan dengan putaran cepat
seperti kitiran untuk melindungi badan sendiri dan Su Giok-lan.
Keruan Biau-biau-cu naik pitam bahwa seruannya tidak digubris, sambil menggerung gusar
kedua telapak tangannya dihantamkan ke depan menyongsong ke arah Thian-hi.
Sementara itu Su Giok-lan juga sudah mengeluarkan pedangnya panjang, bersama ia putar
senjatanya menyerbu kepada musuh.
Melihat betapa hebat dan dahsyat gabungan rangsakan kedua musuh mudanya ini, bukan
kepalang kejut Biau-biau-cu, insaf bahwa dirinya terang bukan tanjngan, dasar berotak cerjk,
lekas-lekas ia melejit mundur dan mundur terus.
Hun Thian-hi menarik Su Giok-lan berlari terus ke depan, sepanjang jalan ini mereka menjadi
leluasa terus menerobos melalui serambi panjang dan lorong sempit akhirnya tibalah mereka
dijalan rahasia yang menembus keluar itu.
Setelah berada diluar gua mereka sama berpandangan. sejenak Hun Thian-hi berpikir lalu
katanya kepada Su Giok-lan, “Giok-lan, kau berangkat dulu ke Jian-hong-kok bagaimana? Setelah
urusan disini selesai segera aku menyusul kesana!”
Su Giok-lan beragu, katanya tertawa, “Kenapa harus begitu? Biar kutunggu kau menyelesaikan
urusan disini lalu berangkat bersama. Kau ingin menolong, Coh Jian-jo dan pula harus
mendapatkan obat pemunahnya itu bukan?”
Thian-hi manggut-manggut, ujarnya. Urusan ini sangat mendesak, menurut perhitunganku.
mungkin Tok-sim-sin-mo segera bakal tiba paling lambat besok pagi. Maka°aku harus bekerja
secepatnya sebelum dia kembali! Kalau tidak mereka berjumlah begitu banyak. seorang diri mana
aku kuasa melawan mereka.”
Su Giok-lan manggut-manggut katanya, “Tapi Coh Jian-jo toh tidak mau keluar!”
“Dia akan mau keluar. Betapapun aku tidak akan meninggalkan dia seorang diri bukan saja
Tok-sim akan menyiksanya dengan berbagai cara keji, apalagi kepandaian tehniknya yang hebat
tadi sudah kita saksikan’ sendiri. Betapa tinggi kepandaiannya itu cukup hanya beberapa gerakan
tangan yang tidak berarti saja dia mampu membuka pintu besi. Bila dia sampai kena diperalat oleh
Tok-sim, dapatlah kau bayangkan akibatnya!”
Lalu ia merenung sebentar, katanya, “Dan bukan itu saja persoalannya. Menurut apa yang
kudengar dari penuluran Kiu-yu-mo-lo, hanya dialah satu-satunya orang yang jelas tahu akan
rahasia disarung Badik buntung itu. Maka dia pulalah orang yang sedang diperebutkan antara Ilwe-
tok-kun dan Tok~sim-sin-mo. Maka aku harus dapat menolongnya keluar dari mara bahaya
ini, malah harus kulindungi keselamatan jiwanya!”
Su Giok-lan tunduk diam, hatinya berpikir. “Entah orang macam apakah sebenar-benarnya Mobin
Suseng itu, kenapa selama ini belum pernah muncul, tapi dengan langkah-langkahnya yang
tersembunyi itu cukup dapat membuat geger seluruh dunia persilatan, sebetulnya apakah tujuan
sebenar-benarnya? Apakah benar-benar dia adalah duplikat I-lwe-tok-kun? Hal inilah yang cukup
mencurigakan, bila benar-benar dia adalah i-lwe-tok-kun. sudah pasti banyak orang yang
mengenalnya, lalu kenapa pula dia harus merahasiakan muka aslinya, bertindak serba misterius?”
“Sudah lama gurumu tidak melihat kau, adalah baik bisa sekarang kau menjenguk mereka
kesana.” demikian ujar Thian-hi, “Kalau Tok-sim-sin-mO belum kembali, urusan disini cukup dapat
kuatasi sendiri. Jika dia sudah pulang. meski kau bantu juga bukan menjadi tandingan mereka!”’
Su Giok-lan masih tunduk menepekur tak bersuara. Thian-hi lantas melanjutkan, “Tolonglah
setiba disana kau sampaikan salam hormatku kepada guruku, katakan tak lama lagi aku akan
segera menyusul datang menghadap pada beliau. Sudah begitu saja, berangkatlah!”
Melihat Thian-hi bersitegas menyuruh dirinya pergi Su Giok-lan menjadi geli. katanya,
“Terpaksa aku mengalah saja!” — mereka memutar kegunung depan memanggiil burung dewata,
dilain saat Su Giok-lan sudah terbang tinggi dipunggung burung dewata.
Setelah bayangan Su Giok-lan dan burung dewata tidak kelihatan Hun Thian-hi dapat menghela
napas lega, sesaat ia menepekur memikirkan cara bagaimana untuk mendapatkan obat pemunah
itu untuk menolong Coh Jian-jo dan cucunya perempuan.
Mendadak didengarnya langkah kaki yang sangat perlahan di belakang tubuhnya, sudah tentu
kagetnya bukan main, di tempat dan disaat seperti itu, ada orang muncul disini, tidak perlu
diragukan lagi pasti dia komplotan dari Hek-liong-pang. Sigap sekali ia memutar tubuh, tampak
seorang Hwesio tua sedang tersenyum manis menghadapi dirinya.
Hun Thian-hi berjingkrak kegirangan seperti putus lotre, Hwesio tua ini bukan lain adalah padri
tua yang memberikan buah ajaib dulu kepadanya. Terlihat olehnya si Hwesio tua ini masih segar
bugar, wajahnya masih kelihatan begitu welas asih penuh kerendahan hati, namun kedua biji
matanya tetap terpejam.
Tersipu-sipu Thian-hi maju memberi hormat, sapanya, “Losuhu, apakah kau baik!”
Hwesio itu tertawa. sahutnya, “Nak! Apakah kau baik selama berpisah?”
Thian-hi membungkuk tubuh, sahutnya, “Terima kasih atas perhatian dan bimbingan Losuhu
tempo hari!”
Dengan lekat Thian-hi amati muka orang, tampak orang masih mengunjuk senyum dikulum,
timbul rasa hormat dalam hati, tanyanya, “Apakah nama julukan Losuhu adalah Go-cu?”
Padri tua itu tertawa-tawa, sahutnya menggeleng, “Salah! Ada seorang lain yang bernama Gocu
Tay-su. Aku bukan Go-cu Taysu!”
Hun Thian-hi melengak keheranan, banyak orang mengatakan bahwa padri tua yang ditemui
itu adalah Go-cu Taysu, tapi secara langsung sekarang disangkal oleh sipadri tua ini, lalu siapakah
sebenar-benarnya padri tua ini? Mungkin seorang Cianpwe lain yang menyembunyikan nama dan
asal usulnya. tapi entah apakah nama julukannya?
Kata padri tua jambil tersenyum, “Hun-sicu tak perlu banyak pikiran, soal ini kelak Hun-sicu
bakal tahu sendiri, tapi sekarang ada sebuah urusan yang perlu kuberitahukan kepada Hun-sicu!”
“Ada urusan apa pula harap Cianpwe suka memberi petunjuk!”
“Apakah Hun-sicu tahu bahwa Mo-bin Suseng sekarang sudah tiba di Tionggoan. Dan sekarang
kira-kira sudah berada disekitar Jian-hud-tong ini. Dia ingin menculik Coh Jian-jo dari sarang
musuhnya.”
Thian-hi tercengang, sejenak ia celingukan keempat penjuru, ingin dia menemukan dimana
jejak Mo-bin Suseng.
Padri tua tertawa dan katanya, “Hun-sica sekarang tidak akan dapat melihatnya, tapi akan
kuberitahu kepada kau, hal ini sudah lama ingin kau ketahui, walaupun sebetulnya sudah kau
ketahui, cuma apa yang kau ketahui itu belum lagi pasti dan tepat!”
Merandek sebentar lantas ia melanjutkan, “Ketahuilah Mo-bin Suseng bukan I-lwe-tok-kun!”
“Bukan?” desis Hun Thian-hi sesaat kemudian.
Padri tua manggut-manggut, ujarnya, “Tapi Mo-bin Suseng adalah murid I-lwe-tok-kun,
selamanya tiada seorang pun yang pernah melihat wajah aslinya, tapi bila kau sendiri yang
melihat dia, pasti kau kenal padanya!”
Hun Thian-hi garuk2 kepalanya yang tidak gatal, ia tidak paham kemana juntrangan kata-kata
sipadri tua ini!
Terdengar ia melanjutkan, “Mo-bin Suseng adalah saudara kembar Hwesio jenaka! Bentuk
tubuh dan wajah mereka satu sama lain sangat mirip sekali!”
Lagi-lagi Thian-hi melengak dibuatnya, teringat olehnya waktu ia mendapatkan buah ajaib dulu,
adalah Hwesio jenaka yang membantunya sehingga ia berhasil mendapatkan buah ajaib itu.
Pernah juga Hwesio jenaka mengajukan syarat yang ditampiknya saat itu, kiranya….Thian-hi
menjadi
serba sulit, betapa besar budi bantuan Hwesio jenaka terhadapnya, laksana gunung tingginya
sedalam lautan pula, bila Hwesio jenaka minta dia menghapus dendam kesumat ini,
bagaimanakah dia harus menjawab?
Sekian lama mereka berdiam diri, akhirnya si padri tua berkata pula, “Perlu kau ketahui bahwa
mereka tiga bersaudara kembar. Orang yang pertama kau temui itu bukan Hwesio jenaka, yang
membantu kau dulu adalah muridku, seorang iblis kenamaan di Bulim dulu yang bernama julukan
Siau-bin-mo-in (orok iblis bermuka tawa), sekarang nama gelarnya adalah Ngo-sing!”
Thian-hi semakin menjublek ditempatnya, tak tahu dia bagaimana perasaannya setelah
mengetahui rahasia ini. Kiranya mereka tiga bersaudara kembar, teringat olehnya waktu Pek Sikiat
pertama kali ketemu dengan Hwesio jenaka sikap dan lagak mereka kelihatannya seperti
sudah kenal lama, tapi siapa tahu bahwa Hwesio tambun itu kiranya adalah Siau-bin-mo-in.
Terdengar sipadri tua menghela napas. lalu sambungnya, “Diantara mereka tiga bersaudara,
Mo-bin Suseng adalah yang tertua, Hwesio jenaka paling kecil. Tapi Hwesio jenaka alalah murid
Siau-bin-kim-hud Hoat-pun yang kenamaan itu. Hubungan mereka bertiga justru sangat akrab dan
kental sekali, sayang menyajangi. Mo-bin Suseng berbuat begitu lantaran dia harus menolong
gurunya, dia ingin membantu gurunya untuk memulihkan ilmunya yang dicapainya dulu, diluar
kesadarannya bahwa perbuatannya itu justru telah menimbulkan gelombang pertikaian yang
berkepanjangan di Bulim!”
Thian-hi menunduk prihatin, akhirnya ia bertanya, “Dapatkah Wanpwe tahu nama gelaran Losuhu
yang mulia?”
Padri tua tertawa ewa, katanya, “Ka-yap sudah meninggal, dalam dunia ini mungkin tiada lagi
seorang yang mengenal siapa aku. Tidak tahu lebih baik, aku harus segera pergi, kau harus jaga
dirimu baik-baik!”
Melihat sipadri tua tidak mau memperkenalkan diri, Thian-hi menjadi bungkam.
Padri tua sudah memutar tubuh ke arah hutan, tiba-tiba ia memutar ke arah Thian-ni serta
serunya, “Tiada seorangpun dikolong langit ini yang dapat mengatasi tipu daya kelicikan Mo-bin
Suseng, kau harus lebih hati-hati.” habis berkata tubuhnya melayang pergi.
Thian-hi terlongong ke depan, entahlah bagaimana perasaan hatinya sekarang. Hanya terasa
olehnya bahwa segala sesuatu yang diketahuinya sekarang adalah diluar dugaan dan
perhitungannya. Hwesio jenaka ternyata ada tiga orang, sedang padri tua ini bukan Go-cu pula,
entah siapakah dia, pastilah tingkat kedudukannya sangat tinggi tidak di bawah tingkatan Ka-yap
Cuncia.
Pikir punya pikir akhirnya ia menghela napas panjang, pelan-pelan kakinya melangkah ke
belakang gunung dalam hati ia membatin, “Sementara kukesampingkan dulu soal ini, yang penting
sekarang aku harus menolong Coh Jian-jo dan cucunya perempuan!”
Begitu ia tiba di belakang gunung, mendadak ia berdiri melongo, seseorang yang bentuk dan
raut mukanya persis Hwesio jenaka tengah bertengger di puncak sebuah batu besar diketinggian
sana, orang itu tersenyum lebar memandang dirinya.
Sudah tentu Hun Thian-hi terperanjat, tadi si-hwesio tua yang buta itu memberitahu, padanya
bahwa Mo-bin Suseng dan Hwesio jenaka adalah saudara kembar yang sangat mirip rupa satu
sama lain. Terpikir olehnya bahwa Siau-bin-mo-in tentu masih berada dibarat laut, sedang Hwesio
jenaka jauh berada di Siongsan, jadi Hwesio cebol gemuk dihadapannya ini terang adalah Mo-bin
Suseng adanya, mengawasi musuh besar dihadapannya ini seketika menggelora darah dalam
ronggo dadanya.
Sebaliknya Hwesio cebol gemuk itu masih berseri-seri tawa menghampiri ke arah Hun Thian-hi,
ujar-nya, “Hun-sicu, kau tidak menyangka aku bisa selekas ini muncul pula disini bukan!”
Dengan cermat kedua pasang mata Hun Thian-hi menatap Hwesio cebol di depannya ini, orang
ini memang sangat mirip sekali dengan Hwesio jenaka, mendadak teringat olehnya, walaupun
Siau-bin-mo-in berada dibarat laut, tapi dia masih ada kemungkinan bisa muncul juga di tempat
ini. Bukankah dirinya sendiri baru saja berpisah dengan Hwesio jenaka di Siong-san toh kenyataan
sekarang aku sudan berada disini. Maka bukan mustahil bahwa Hwesio jenaka bisa juga muncul
disini?
Dalam pada itu Hwesio cebol itu setindak demi setindak menghampiri ke arah Thian-hi. Sesaat
itu Thian-hi menjadi bingung tak dapat ia membedakan siapakah sebenar-benarnya orang tambun
yang berada di depannya ini, hatinya lebih condong bahwa pastilah orang ini adalah samaran. dari
Mo-bin Suseng, karena katanya ia berada di sekitar Jian-hud-tong.
Orang tambun itu mendekat lagi dua langkah, hati Thian-hi masih dirundung kegoncangan
yang belum menentu. Jika benar-benar adalah Mo-bin Suseng, betapa pun tidak boleh
membiarkan orang mendekati diriku, sebaliknya bila benar-benar adalah Hwesio jenaka atau Siaubin-
mo-in yang bergelar Ngo-sing lalu bagaimana? Pikir punya pikir tanpa merasa jidatnya basah
oleh keringat. Sulit ia menarik suatu kesimpulan.
Akhitnya ia kertak gigi, pikirnya, “Tak peduli apa pun yang akan terjadi nanti, bila dia, berani
mendekati lebih jauh, akan kupancing siapakah sebenar-benarnya kau adanya!”
Begitu diam-diam Thian-hi sudah bertekad dalam hati, sementara dengan tajam ia awasi orang
tanpa bergerak.
Mendadak orang tambun itu menghentikan langkahnya agaknya ia heran akan sikap kaku Hun
Thian-hi yang ganji ini, tanyanya, “Hun-sicu kenapakah kau? Apakah nona Su telah menghilang?”
Hun Thian-hi melengak, pikirnya; apakah benar-benar Hwesio jenaka adanya? Kalau bukan
kenapa ia bisa tahu bahwa Su Giok-lan ada bersama diriku? Karena rekaannya ini mulutnya sudah
bergerak hendak bicara, tapi ia menarik kesimpulan lain pula, bukan mustahil Mo bin Suseng tadi
sudah melihat pula bahwa aku berada bersama Su Giok-lan, maka tidak perlu diherankan jika dia
mengajukan pertanyaannya ini.
Tergerak hatinya, jangan harap kau dapat mengelabui aku, baik biarlah kucoba isi hatinya.
segera ia bertanya, “Siau-suhu! Begitu cepat kau dapat menyusul kemari dari Thay-san yang
begitu jauh!” Setelah mengajukan pertanyaan ini hatinya berpikir; ‘coba kulihat cara bagaimana ia
menjawab pertanyaanku ini, dari jawabannya akan kuketahui siapa kau sebenar-benarnya!’
Orang itu agaknya melengak, sahutnya, “Hun-sicu, apa yang kau tanyakan?”
Hun Thian-hi menyedot napas. pikirnya, “Sebenar-benarnya Hwesio jenaka atau Mo-bin
Susengkah orang ini?” — Terpaksa ia bertanya pula, “Kenapa Siau-suhu menyusul kemari pula dari
Thay-san?” dengan lekat ia awasi perubahan air muka orang…. pikirnya; betapapun licik kau akan
kukenali siapa kau sebenar-benarnya.
Ingin Hun Thian-hi coba mencari tahu siapakah orang dihadapannya ini, Hwesio jenaka asli
atau Mo-bin Suseng? Maka ia ajukan pertanyaannya pula, “Siau-suhu, bukankah kau berada di
Thay-san? Kenapa menyusul kemari pula?”
Sejenak orang itu tertegun. sahutnya, “Apa katamu?”
Berkilat sorot mata Hun Thian-hi, ia ulangi pertanyaannya.
Orang itu tertawa, sahutnya, “Kudengar katanya Mo-bin Suseng hendak kemari, maka cepatcepat
aku susul kemari!”
Mendengar jawaban orang Thian-hi membatin pula, “Pintar kau main pura-pura, meski Hwesio
jenaka! menanam budi sedalam lautan padaku, terpaksa kebaikannya itu kubalas kelak kemudian
hari. Kalau kau ingin lolos dari tanganku, mungkin kau sedang mimpi” Ujung mulutnya mengulum
senyum dingin, pelan-pelan ia maju menghampiri ke depan Mo-bin Suseng, mulutnya pun berkata,
“Sungguh cepat langkah Siausiuhu!”
Agaknya Mo-bin Suseng dirundung persoalan lain, ia berpaling terlongong ke arah hutan lebat
di belakang sana, mulutnya pun bersuara, “Urusan ini cukup serius, sudah tentu harus kususul
secepatnya?”
SetetLah berada di depan Mo-bin Suseng, tangan kanan Hun Thian-hi meraba seruling
dipinggangnya, katanya dingin, “Siau-suhu! Apakah kau langsung menyusul kemari dari Thaysan?”
Mo-bin Suseng tertawa, katanya, “Hun sicu! Ada sebuah hal perlu kuberitabukan kepada kau!”
Menghadapi Mo-bin Suseng dendam kesumat bertahun2 yang mengeram dalam rongga dada
Hun Thian-hi seketika bergolak seperti api membara. tapi bagaimana juga ia masih rada gentar
menghadapi Mo-bin Suseng musuh besar yang belum pernah dilihatnya ini. Betapa licik dan jahat
tipu daya Mo-bin Suseng ia tahu dengan jelas, sekarang ia tidak boleh memberi kesempatan pula
pada orang untuk melaksanakan muslihatnya.
Dia sudah tidak kuat menahan sabar lagi, kalau ia tahu apa akibatnya bagi diri sendiri bila ia
terlambat turun tangan. Dia belum tahu bagaimana kepandaian silat Mo-bin Suseng, bila sekali
sergap tidak berhasil pasti sulitlah dibayangkan bagaimana nanti kesudahannya.
Pikiran ini secepat kilat berkelebat dalam benaknya, serta merta ia menjengek dingin dan
tertawa terkial-kial. serunya, “Mo-bin Suseng, kembalikanlah jiwa orang-orang yang menjadi
korban keganasanmu dulu!” — seiring dengan bentakannya seruling ditangannya sudah teracung
tinggi melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek menyerang Mo-bin Suseng.
Sekilas tampak sorot mata Mo-bin Suseng mengunjuk rasa takut dan heran yang aneh,
mulutnya sudah bergerak hendak bicara, tapi rangsakan jurus Wi-thian-cit-ciat-sek yang hebat itu
sudah melandai tiba, sekuat tenaga ia jejakkan kakinya melompat mundur jumpalitan, berbareng
kedua telapak tangannya berputar menepuk ke atas menyongsong ke arah gelombang tekanan
serangan Hun Thian-hi.
Namun betapa hebat dan dahsyat kekuatan serangan Wi-thian-cit-ciat-sek ini, menghadapi
musuh besar pula sudah tentu Hun Thian-hi menyerang dengan sekuat tenaga. Bagaimana cepat
dan gesit Mo-bin Suseng berusaha berkelit atau menghindar diri, tak urung ia terpental juga oleh
terjangan tenaga dahsyat bagai gugur gunung yang menerpa datang, terdengar mulutnya.
menguak seperti babi disembelih kontan badannya terguling2 menyemburkan darah, empat jalan
darah mematikan di tubuhnya kena tertutuk buntu, seumpama dewa juga tidak akan mampu
hidup kembali.
Hun Thian-hi menarik kembali serangan selanjutnya yang sudah disiapkan, dengan berdiri
terlongo ia pandang tubuh Mo-bin Suseng yang menggeletak tidak bergerak. Sekarang dendam
sudah terlampias, ia sudah menuntut balas sakit hati keluarganya. Tapi benar-benarkah ia sudah
menuntut balas? Hati kecilnya tidak merasakan kepuasan sesuai dengan tuntutan nuraninya.
Sekarang terbayang olehnya sorot mata dan air muka Mo-bin Suseng sesaat sebelum serangannya
mengenai badan orang, terketuk dalam relung hatinya suatu firasat jelek yang menghantui
sanubarinya.
Mendadak tampak olehnya badan Bo-bin Suseng bergerak-gerak, rasa ketakutan menggedor
hati Hun Thian-hi, serta merta kakinya menyurut mundur. Dengan pandangan tidak mengerti ia
pandang badan Mo-bin Suseng yang berkelejetan itu. Ternyata Mo-bin Suseng belum lagi mati,
sungguh ia tidaK berani membayangkan, setelah kena tertutuk empat jalan darah kematian di
tubuhnya orang ternyata masih mampu bertahan hidup sekian saat.
Dengan kencang Thian-hi genggam serulingnya, meski ia tahu seumpama Mo-bin Suseng tidak
segera mampus, terang jiwanya juga tidak mungkin diselamatkan lagi. Bagi manusla yang tertutuk
buntu jalan darah kematiannya adalah tidak mungkin berkepanjangan umurnya, apalagi kena
diterjang begitu hebat oleh kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek yang begitu ampuh, terang urat nadi
dan sendi tulangnya sudah putus dan hancur, harapan hidup sudah tiada lagi.
Mo-bin Suseng menggeliat tubuh dan terbalik celentang, dengan susah payah ia berusaha
merangkak bangun. Menyaksikan keadaan yang menyedihkan ini telapak tangan Hun Thian-hi
berkeringat dingin, ia tak tahu kekuatan darimana yang dapat melandasi kekerasan hati Mo-bin
Suseng sehingga ia mampu bertahan hidup, suatu hal yang mustahil dan tak mungkin terjadi, tapi
kenyataan disaksikan di depan matanya.
Mo-bin Suseng meronta bangkit dua kali, dua2nya gagal dan akhirnya ia rebah kelemasan,
dengan putus asa ia menghela napas panjang, terdengar suaranya lirih dan kalem, “Hun-sicu! Aku
bukan Mo-bin Suseng. Kemarilah kau, ada beberapa patah yang perlu kusampaikan kepadamu!”
Seakan-akan kepala Thian-hi dipukul godam mendengar ucapan orang, terasa olehnya
ketulusan ucapan seseorang yang menjelang ajal adalah jujur, seketika pucat pasi selebar
mukanya, keringat segede kacang mengalir dari jidatnya, dengan tertegun mulutnya bicara, “Apa?
Kau bukan Mo-bin Suseng? Benar-benarkah itu? Lalu Siapa kau sebenar-benarnya?”
Orang itu menghela napas tak bersuara, sesaat setelah menghimpun tenaga baru bersuara lagi,
“Kemarilah kau!”
Tiba-tiba Hun Thian-hi seperti tersadar siapa sebetulnya orang di hadapannya, serunya
terlongong, “Jadi kau adalah Ngo-sing Suhu?”
Orang itu berdiam diri!
Hati Hun Thian-hi seperti menciut, rasa ketakutan menjalar seluruh sanubarinya bergegas ia
memburu maju serta berjongkok disamping orang terus memampah badannya.
Pelan-pelan orang itu membuka mata, katanya dengan suara tak bertenaga, “Hun-sicu, aku
tidak akan tertolong lagi, tapi sebelum ajal ada sebuah permohonanku terhadap kau, kau harus
memberi persetujuanmu….”
Hwesio cebol yang tambun ini ternyata benar-benar adalah Ngo-sing adanya, sungguh pedih
dan seperti ditusuk sembilu perasaan hati Hun Thian-hi, air mata meleleh deras membasahi
pipinya, sungguh ia menyesal akan perbuatannya yang gegabah dan ceroboh, sedikitpun tidak
terpikir olehnya bahwa bukan mustahil orang yang dihadapi ini adalah Ngo-sing Suhu alias Siaubin-
mo-in.
Ngo-sing tertawa halus, katanya lirih, “Hun-sicu tidak perlu bersedih, dosa2ku dulu terlalu
keliwat takaran, memang aku sudah ditakdirkan begini, Hun-sicu tidak perlu menyalahkan diri dan
menyiksa dirimu karena nasib yang menimpa diriku ini, ini sudah suratan takdir!”
“Ngo-sing Suhu!” ujar Hun Thian-hi mengembeng air mata, “sungguh aku sangat menyesal
akan perbuatanku yang bodoh ini!”
Ngo-sing pejamkan mata sesaat lamanya, baru kuasa bicara lagi, “Hun-sicu! Selama hidupku ini
ada sebuah cita-citaku yang belum terlaksana kukerjakan, aku ingin mohon supaya Hun-sicu suka
mewakili aku mengabulkan cita-citaku ini.”
“Ngo-sing Suhu silakan katakan saja, selama jiwa masih dikandung badan Hun Thian-hi pasti
akan melaksanakan pesanmu sekuat tenaga!”
Ngo-sing menghela napas lega, katanya tertawa, “Semula aku tidak paham kenapa kau bisa
panggil aku Mo-bin Suseng, sampai detik terakhir ini baru aku sadar, tentu kau tadi sudah ketemu
dengan guruku bukan?”
Hun Thian-hi manggut sambil sesenggukkan, sahutnya, “Benar-benar, baru saja aku jumpa
dengan beliau. Menurut katanya Mo-bin Suseng ada memperlihatkan jejaknya di sekitar Jian-hudtong,
dan kenyataan kaulah yang muncul, maka kusangka kaulah Mo-bin Suseng adanya!”
“Itulah yang dinamakan takdir,” demikian kata Ngo-sing perlahan, “Kudengar Mo-bin suseng
akan tiba disini, dia adalah engkohku tertua maka hendak kutolong jiwanya. sekali2 dia tidak boleh
bertemu muka dengan kau, siapa nyana justru kau telah tahu beluk-beluk persoalan ini.” —
sampai disini napasnya memburu dan berhenti bicara, sesaat kemudian baru melanjutkan lagi,
“Hwesio jenaka ada beritahu padaku dia berada di Siong-san, sebaliknya pertanyaanmu bilang aku
menyusul datang dari Thay-san Kusangka entah karena urusan apa Hwesio jenaka telah pergi ke
Thay-san pula.”
Sungguh Thian-hi menyesal dan gegetun lagi akan perbuatan bodohnya yang tidak punya
perhitungan ini, ingin untung menjadi buntung, orang baik-baik macam Ngo-sing yang beberapa
kali pernah membantu dirinya disangkanya Mo-bin Suseng dan melukai berat begini rupa, terang
tiada harapan hidup lagi,
Ngo-sing tersenyum halus. katanya: .Hun-sicu tidak usah menyesal dan salahkan diri sendiri,
nasiibku ini memang sudah suratan takdir aku tidak salahkan kau. Mungkin hanya guruku seorang
yang mengetahui rahasia persaudaraanku ini di seluruh dunia.”
Meski Ngo-sing berkata tanpa pamrih, tapi betapa pedih dan pilu perasaan Hun Thian-hi
sungguh susah dilukiskan. Dia kuasa menerima segala cercah dan nista yang ditimpakan dirinya
oleh seluruh golongan persilatan di Bulim, tapi dia tidak akan kuasa menerima kesalahan yang
diperbuatnya hari ini. Tempo hari dirinya telah dibebani dosa tak berampun oleh seluruh kaum
persilatan. tapi dia tolak mentah-mentah. Justru hari ini Ngo-sing mewakili dirinya menolak pula
dosa2 ini pula, meski perbuatan ini merupakan suatu kesalah pahaman yang tidak dimengerti, tapi
ia tahu, bahwa segala akibat dari perbuatan kelalaian ini harus menjadi beban dan tanggung
jawabnya.
Sekian lama Ngo-sing pejamkan mata, tiba-tiba ia membuka suara pula, “Guruku itu adalah
Suheng Ka-yap Cuncia, beliau bernama gelar Ah-lam Cuncia. Ka-yap Cuncia juga sudah anggap
beliau sudah wafat. Beliau paling pantang seseorang mengetahui nama dan asal usulnya.”
Terbayang oleh Thian-hi akan Hwesio tua yang picak itu, sungguh tidak nyana bahwa Hwesio
tua itu ternyata adalah Suheng Ka-yap Cuncia
Ngo-sing berkata pula, “Selama hidupku inj tidak sedikit aku menerima budi besar dari beliau
orang tua. tapi kedua matanya yang picak sehingga seluruh kepandaian silatnya pun musnah
menjadi cacat badan juga lantaran diriku!”
Hun Thian-hi berdiam diri. terasa hatinya hambar dan kosong, dia berdiri menjublek tak tahu
apa yang sedang terpikir dalam benaknya.
“Ai, beliau terkena racun Ban-lian-ceng. meski kepandaian silatnya setinggi langit, tapi sekarang
sudah punah dan tak berguna lagi. Untuk menyembuhkan sepasang mata dan memulihkan
Lwekangnya kembali. cuma dapat memohon pada seseorang saja!” demikian Ngo-sing
melanjutkan ceritanya.
Mendadak tersedar Thian-hi dari lamunannya, tanyanya, “Maksud Ngo-sing Suhu supaya aku
pergi mencari orang itu bukan? ‘
Ngo-sing harus mengempos semangat dan mengatur napas sebentar baru bisa melanjutkan
bicara, “Orang ini adalah Suheng Thaysi Lojin yang kenamaan di Bulim dulu bemama Jing-sankhek.
Dulu aku pernah ketemu beliau, tapi selama hidup ini dia membisu diri tak mau bicara
sekecap pun Orang ini merupakan seorang cerdik pandai, tiada persoalan yang tidak dapat
dibereskan oleh beliau. Akhirnya dapat kuselidiki alasan kenapa dia membisu diri, ternyata karena
dia kehilangan semacam barang, dan barang itu adalah milik istrinya yang tercinta. Bila kau dapat
menemukan barang itu dan menghadap pada beliau, pasti hasilnya diluar dugaan.” — Sampai
disini napasnya menburu lagi dan terbatuk2 hebat, akhirnya jatuh kelemasan.
Cepat-cepat Thian-hi memajangnya bangun, tanyanya cepat, “Barang apakah itu?”
Dengan lemah Ngo-sing membuka mata, suaranya tergagap. “Kata mereka….itulah
….seekor….seekor kuda….kuda hijau….sampai disini melayanglah jiwanya.
Dengan mengembeng air mata pelan-pelan Thian-hi letakkan badan orang terus berdiri,
otaknya seperti butek dan tidak punya pegangan lagi, mulutnya menggumam, “Kuda hijau? Kuda
yang berwarna hijau?” -Mana mungkin ada kuda warna hijau di dunia ini? Dan lagi Ngo-sing sudah
meninggal, dia meninggal begitu saja. Betapa aku takkan malu berhadapan dengan para sahabat
Kangouw?
Tengah ia terlongong, tiba-tiba dilihatnya Hwesio tua picak yang bernama Ah-lam Cuncia
seperti penuturan Ngo-sing berjalan keluar dari hutan.
Dengan mendelong Hun Thian-hi pandang Ah-lam Cuncia, hatinya menjadi was-was dan takut,
hampir saja ia melarikan diri, Ah-lam Cuncia pernah menanam budi pada dirinya, demikian juga
Ngo-sing tidak kecil pula bantuannya terhadap dirinya, Tapi kenyataan Ngo-sing sekarang sudah
menjadi korban kelalaiannya.
Dengan, perasaan hampa segera ia melangkah kehadapan Ah-lam Cuncia, terus bertekuk lutut
dan menangis gerung-gerung dihadapan kaki orang.
Ah-lam Cuncia mengelus-elus kepalanya, rada lama kemudian baru ia bersuara, “Dalam hati
Siau-sicu sekarang sedang berpikir apa, apakah Siau-sicu sendiri tahu?”
Hun Thian-hi geleng-geleng kepala sahutnya sambil sesenggukan, “Wanpwe tidak tahu, harap
Taysu suka memberi petunjuk!”
Ah-lam Cucia berkata pelan-pelan, “Kalau Siau-sicu sendiri tidak tahu, lalu siapa bakal tahu?”
Tergetar dada Thian-hi walau Ah-lam Cuncia mengucapkan kata-katanya ini sangat lirih dan
enteng, namun setiap katanya seperti meresap dan memasuki sanubarinya.
Sekonyong-konyong sadarlah ia dari pulasnya, bayangan masa lampau dari segala sepak
terjangnya yang penuh noda2 berdarah laksana air bah yang menerjang ke dalam relung hatinya,
sadarlah ia bahwa dosa2nya membunuh terlalu berat, akhirnya ia berkata perlahan, “Untuk
selanjutnya Tecu pasti tidak akan membunuh sembarangan orang!”
Lalu perlahan-lahan ia mendongak melihat wajah Ah-lam Cuncia, seketika ia melenggong kaget,
tampak kedua biji mata Ah-lam Cuncia terbuka melek, dengan senyum welas asih ia pandang
dirinya, biji matanya memancarkan sorot tajam yang menembus kerelung hati orang. Hun Thian-hi
masih berlutut dengan mendelong ia pandang muka Ah-lam Cuncia.
Ah-lam cuncia tampak tersenyum, ujarnya, “Hawa membunuh Siau-sicu sudah kabur, namun
nafsu asmara masih bersemi dalam hati, selanjutnya kau masih perlu berhati-hati dalam segala
tindak tanduk. Loceng segera minta diri bila kelak masih jodoh, pasti akan jumpa pula!” habis
berkata
dimana lengan jubahnya mengebut jenazah Ngo-sing tahu-tahu sudah berada dikempitannya,
sekali berkelebat dilain saat beliau sudah melesat menghilang tanpa bekas.
Hun Thian-hi menjublek ditempatnya, hampir ia tidak percaya pada penglihatan matanya
sendiri, Ah-lam Cuncia sudah sembuh kembali, kedua matanya sudah melek dan dapat melihat,
betapa tinggi Kepandaiannya, sungguh sukar diukur dan sangat menakjubkan. Apa yang sekarang
disaksikan sungguh berbeda terlampau jauh dari penuturan Ngo-sing tadi.
Entah berapa lama Hun Thian-hi terlongong tenggelam dalam lamunannya, tiba-tiba ia
tersentak sadar akan tugas apa yang harus segera dilaksanaKan sekarang, cepat ia berlari menuju
kejalan rahasia yang menembus kegua seribu Buddha.
Baru saja ia berada di dalam kegelapan lorong gua, mendadak terasa dua gelombang angin
deras menerjang tiba dari kanan kiri, betapa kuat terpaan jalur kedua angin pukulan ini, benarbenar
merupakan rangsakan dari tokoh kelas wahid dalam kalangan persilatan umumnya.
Sedikit terkejut lantas Hun Thian-hi siaga dengan seluruh kemampuannya, ia insaf bahwa jalan
rahasia ini sudah konangan orang lain, malah musuh kedatangan bala bantuan lagi, atau mungkin
Tok-sim-sin-mo sendiri sudah kembali pulang dan berada si Jian-hud-tong pula sekarang.
Tanpa ada tempo untuk banyak pikir, sebat sekali ia berkelit mundur seraya mengembangkan
kedua tangannya kekanan kiri untuk menyampok serangan musuh, berbareng kakinya menjejak
tanah, kontan tubuhnya menerjang maju ke depan, lolos dari gencetan dua arus pukulan dahsyat.
Begitu menerobos lewat dari gencetan dua arus pukulan angin musuh, gesit sekali ia berdiri
membalik dan memasang kuda-kuda siap waspada, dilihatnya dari tempat gelap dari dua samping
muncul Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho. Tahu dia sekarang bahwa Tok-sim-sin-mo pasti
benar-benar sudah kembali, tanpa merasa berdegup keras jantungnya.
Melihat Hun Thian-hi mampu meloloskan diri dari serangan gabungan yang begitu dahsyat
dilancarkan secara membokong lagi, sungguh Biau biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho menjadi
kesengsem, tanpa banyak bicara mereka bergerak pula dari jurusan masing-masing dengan
serangan telak ke arah Hun Thian-hi Tiba-tiba tergerak hati Hun Thian-hi, ia menduga bahwa
kedua musuhnya ini pasti belum sempat memberitahu akan jalan rahasia yang ditemukan ini pada
kawan2nya yang lain, maka ia berpikir harus bertindak secepatnya, sebaliknya kedua lawannyapun
ingin dapat membekuk Hun Thian-hi secara diam-diam pula tanpa mendapat bantuan orang lain
yang berarti menurunkan derajat dan mengurangi jasa2 mereka pada pemimpinnya. Begitulah
kedua belah pihak sama bertekad untuk merobohkan lawannya. maka masing-masing
melancarkan ilmu pukulan dan tipu-tipu yang paling diandalkan.
Tiga gelombang pukulan dahsyat seketika berkutet dan saling bentur dengan kekerasan yang
dahsyat sehingga menimbulkan suara ledakan yang gemuruh. Badan Hun Thian-hi tergetar
sempoyongan tersurut mundur ke belakang. Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho serempak
menghardik Keras, mereka mengejar datang pula serta menambahi pula dengan tamparan dan
sodokan yang mematikan, sementara kelima jari Bing-tiong-mo-tho terjulur panjang mencakar
kemuka Hun Thian-hi. Demikian juga Biau-biau-cu merubah sodokan sikutnya dengan sebuah
tutukan jari yang mengarah jalan darah Yu-kin-hiat. Besar hasrat mereka dalam serangan
serempak yang dahsyat ini dapat membinasakan Hun Thlan hi seketika itu juga.
Tiba-tiba Hun Thian-hi menjengkangkan atas tubuhnya ke belakang, berbareng kedua kakinya
terangkat ke atas bergantian menendang ketenggorokan kedua musuhnya yang menyerang maju
dengan nafsu yang berkobar itu.
Keruan kedua musuhnya kaget bukan kepalang, sungguh mereka tidak nyana bahwa Hun
Thian-hi dapat bergerak begitu lincah dan pintar, dalam keadaan terdesak berbalik balas
menyerang dengan serangan telak yang sekaligus telah membebaskan diri dari renggutan maut
serangan musuh.
Lebih diluar dugaan pula bagi kedua musuhnya bahwa gerak serangan Hun Thian-hi ini melulu
hanyalah serangan pancingan belaka, begitu kedua kakinya terangkat dan menendang, mendadak
tubuhnya melejit mumbul ke atas berbareng berputar satu lingkaran, dimana kedua tangannya
menyamber kontan kedua lawannya kena terpukul mundur sempoyongan.
Keruan ciut nyali Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho bahwa dengan dua lawan satu ternyata
Hun Thian-hi masih mampu mendesak kedua lawannya dan berada di atas angin, bila pihak sendiri
tidak mengundang bala bantuan pasti sulit dapat mengatasi keadaan yang terdesak ini.
Mendapat angin Hun Thian-hi pun melancarkan serangan yang lebih dahsyat, begitu lincah
gerak geriknya terus mendesak maju, sekonyong-konyong kedua telapak tangannya terkembang
terus menepuk ke atas batok kepala kedua musuhnya.
Melihat Hun Thian-hi melancarkan serangan denganb kekerasan tanpa menjaga lobang
kelemahan tubuhnya Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho mendengus gusar, serempak mereka
memiringkan tubuh mkenyongsongkan telapak tangan masing-masing menyambut pukulan Hun
Thian-hi, cara tangkisan mereka ini cukup licik bukan saja dapat memunahkan sebagian tenaga
pukulan Hun Thian-hi berbareng mereka susulkan pula pukulan telapak tangan yang lain dengan
tenaga yang lebih dahsyat.
Tapi Hun Thian-hi punya perhitungannya sendiri, mana begitu gampang ia bisa dikelabuhi oleh
kedua musuhnya. Ia insyaf bila bertempur secara kekerasan jelas dirinya bukan tandingan Biaubiau-
cu dan Bing-tiong-mo-tho. Tapi bila kedua musuhnya ini tidak dapat bekerja sama dan dirinya
dapat bertindak menggempur kelemahan mereka masing-masing, meski satu lawan dua ia percaya
masih mampu mengatasi, malah ia percaya dapat menang’ mengandal kecerdikan otaknya.
Begitulah seiring dengan jalan pikirannya ini, tampak kedua musuhnya sudah melancarkan pula
serangan yang bertujuan sama hendak menggempur dadanya, seketika otaknya yang cerdik dapat
meraba cara bagaimana ia harus bertindak, sebat sekali kedua telapak tangannya terkembang
berputar di tengah jalan ia robah pukulan telapak tangan menjadi tutukan jari yang mengarah
jalan darah Sim-hu-hiat di depan dada kedua lawannya.
Sim-hu-hiat adalah salah satu jalan darah mematikan yang berjumlah tiga puluh enam di
seluruh tubuh manusia, begitu kena tertutuk jiwa segera melayang. Angin tutukan jari Hun Thianhi
laksana ujung pedang tajamnya, menembus lewat dari arus pukulan mereka sendiri terus
menerjang kejalan darah Sim-hu-hiat.
Serasa arwah terbang keluar dari badan kasar Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho, mereka
insyaf bila dengan gabungan mereka berdua main adu kekerasan sama Hun Thian-hi belum tentu
dapat menamatkan jiwa Hun Thian-hi, malah bukan mustahil pihak sendiri yang terkapar binasa di
tanah, sedetik sebelum benturan yang menentukan terjadi sebat sekali mereka menarik diri terus
menyurut mundur, sekali mundur terus mundur berulang-ulang.
Siang-siang Hun Thian-hi sudah bersiap dan sudah memperhitungannya bahwa kedua
musuhnya pasti
akan mundur. maka segala persiapannya segera diberondong keluar dengan tubrukan maju
serta gempuran yang dahsyat dilandasi Pan-yok-hian-kang. gelombang angin pukulan laksana
angin topan dan prahara menerpa mereka berdua.
Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho terdesak mundur terus tanpa mampu balas menyerang,
tubuh mereka sungsang sumbel gentayangan, sementara Hun Thian-hi terus mendesak maju
dengan gempuran yang susul menyusul, sehingga mereka berdua kena terdesak mundur keluar
lorong sempit jalan rahasia itu.
Tanpa memberi kesempatan pada kedua musuhnya untuk bertindak sesuatu yang
memungkinkan, cepat-cepat Thian-hi angkat sebuah batu besar terus disumbatkan kemulut gua,
dilain saat ia sudah berlari keluar dan menghilang dari belokan jalan rahasia yang lain. Begitu
Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho terdesak keluar gua setelah dapat menenangkan diri baru
tahu bahwa mulut gua sudah tersumbat oleh batu besar, sesaat mereka berdiri berpandangan,
serempak mereka lancarkan dua pukulan telapak tangan, “Blang” batu besar itu kena dibobol
hancur berantakan.
Tapi keadaan dalam gua sunyi senyap tak kelihatan bayangan orang. Mereka tidak tahu apakah
Hun Thian-hi masih berada di dalam sana untuk menyergap mereka bila menerjang masuk ke
dalam gua.
Untuk sesaat lamanya mereka berdiri tertegun tak berani bergerak, sekian lama mereka
menjadi serba susah dan kebingunan.
Sesaat lamanya mereka berpandangan, dasar licik masing-masing tidak mau mendahului
menerjang masuk supaya tidak menjadi korban lebih dahulu, tapi apakah selamanya mereka harus
berdiri terlongong di tempat itu? Bila Hun Thian-hi masih berada disana itulah mending, bila dia
sudah merat dan menerjang ke dalam gua sebelah dalam dan menimbulkan huru hara, bukankah
celaka dan merupakan dosa bagi mereka yang kurang cermat menjalankan tugas? Karena terpikir
akan akibat dari hukuman yang berat, akhirnya mereka nekad, perlahan-lahan mereka
menggeremet maju bersama memasuki gua rahasia disebelah depan.
Begitu sampai di dalam bayangan Hun Thian-hi sudah tidak kelihatan lagi, keruan mereka
berseru kaget, bergegas mereka lari mengejar kesebelah dalam.
Sementara itu, setelah Thian-hi keluar dari lorong rahasia, dia tidak berani lari menuju langsung
ke tempat tahanan Coh Jian-jo, bila dirinya sampai terkurung lagi disana, mungkin sangat fatal
bagi dirinya untuk membebaskan diri.
Apalagi Tok-sim-sin-mo sudah kembali, bukan mustahil saat ini dia berada disana pula, lalu apa
gunanya aku meluruk langsung kesana. Adalah lebih baik disaat Tok-sim-sin-mo tidak berada
ditempatnya bila aku dapat mencari obat pemunah itu, dan tindakan selanjutnya baiklah bekerja
melihat gelagat.
Begitulah sambil menerawang tindakan selanjutnya kakinya berlari-lari kecil ke depan. Jalanjalan
lorong dalam Jian-hud-tong itu seperti jaringan laba-laba yang rumit sekali, sesaat Hun
Thian-hi menjadi bingung dan mengerutkan alis, entah kemana ia harus mencari jurusan yang
benar-benar!.
Setelah menempuh perjalanan belak belok yang cukup jauh, mendadak dilihatnya Tok-sim-sinmo
sedang berjalan mendatangi dari arah sebelah sana. Berdetak jantung Hun Thian-hi,
pikirannya, “mungkin Tok-sim-sin-mo hendak menuju ke tempat kurungan Ling-lam-kiam-ciang
Coh Jian-jo.”
Dalam pada itu tampak kaki Tok-sim-sin-mo melangkah enteng lewat di bawah Hun Thian-hi
terus beranjak ke depan.
Secara kebetulan baru saja ia lewat di bawah Hun Thian-hi, mendadak ia menghentikan
langkahnya, sejenak ia berdiri terlongong seperti sedang memikirkan sesuatu lalu bergegas
melanjutkan kelorong sebelah samping.
Diam-diam Hun Thian-hi merasa heran. entah mengapa setelah beberapa tindak ke depan Toksim-
sin-mo memutar kesamping sana, apakah dia sudah mengetahui akan jejakku? Atau
melupakan sesuatu? Demikian ia mereka-reka dalam hati.
Karena ingin tahu secara diam-diam ia menguntit di belakang Tok-sim-sin-mo, ingin ia tahu
kemana tujuan orang. Tampak Tok-sim-sin-mo terus maju ke arah depan tanpa menoleh lagi,
tidak lama kemudian ia membelok kesebuah pengkolan, mendadak keadaan disini tampak menjadi
terang benderang, kesanalah Tok-sim-sin-mo terus beranjak masuk.
Hun Thian-hi menguntit terus, baru saja ia tiba di tempat terang itu, tampak Tok-sim-sin-mo
membelok pula ke arah sebuah tikungan di sebelah sana, baru saja ia hendak menyusul kesana,
sekonyong-konyong terdengar suara gemuruh dibelakangnya. Sungguh kejut Thian-hi bukan main,
ternyata jalan mundur dibelakangnya kini telah tertutup rapat oleh pintu besi, tahu dia bahwa ia
masuk perangkap, cepat ia berlari ke depan mejusul ke arah dimana Tok-sim-sin-mo tadi
menghilang.
Keruan Thian-hi melengak keheranan. sungguh ia tidak habis mengerti cara bagaimana Toksim-
sin-mo dapat mengetahui bahwa dirinya sedang menguntit dibelakangnya. Apa boleh buat
dengan langkah lemas lunglai pelan-pelan ia melanjutkan ke depan. Bahwa Tok-sim-sin-mo
sengaja memancing dan mengurung dirinya di tempat ini pasti dia mempunyai tujuan tertentu.
Waktu Thian-hi angkat kepala mendongak ke atas dinding, dengan seksama ia memeriksa
keadaan sekitarnya. Bahwa Tok-sim-sin-mo dapat menghilangkan jejaknya dalam waktu yang
begitu singkat, pastilah tempat itu ada sebuah jalan rahasianya yang tersembunyi tapi dimana
letaknya.
Mendadak dilihatnya mutiara besar yang terporotkan di atas dinding itu terbayang bentuk
badannya sendiri, baru sekarang ia sadar, meski tadi dirinya sembunyi di atas dinding yang
tersembunyi tapi dari bayangan yang terkaca di atas mutiara itu pastilah Tok-sim-sin-mo sudah
mengetahui jejaknya, bukan mustahil bahwa dia sudah mengetahui akan kehadiran dirinya. di
dalam sarangnya ini.
Teringat olehnya waktu Tok-sim-sin-mo mendadak menghentikan langkahnya tadi.
persoalannya pasti tidak begitu gampang, tentu dia sedang menerawang cara bagaimana mencari
akal untuk menghadapi atau menjebak dirinya. Bila Ling-lam-kiam-ciang terkurung disekitar sjni,
bukan mustahil bahwa dalam lorong2 gua yang sempit itu tersembunyi berbagai alat rahasia.
Adalah jamak bila Tok-sim-sin-mo tidak sudi mengeluarkan banyak tenaga dan pikiran, cukup
dengan alat2 rahasia sudah berkelebihan untuk menghadapi dirinya.
Keadaan gua dimana sekarang ia berada jauh lebih benderang dari keadaan gua yang lain.
Sesaat Hun Thian-hi menjadi was-was dan curiga. Dari suara gemuruh turunnya pintu besi yang
tebal itu dapatlah ia mengukur bahwa mengandal tenaganya tidaklah mungkin ia kuat
mencebolnya keluar.
Tok-sim-sin-mo sekarang sudah menghilang, kecuali dapat menemukan alat rahasia dan jalan
keluarnya, kalau tidak dirinya harus terima nasib mati kelaparan atau bunuh diri saja.
Dengan cermat Thian-hi meraba-raba dinding sekitarnya, diperiksanya setiap jengkal dinding
batu yang dicurigai apakah disana letak alat rahasia yang bakal menolong dirinya keluar. Tapi
kecuali mutiara yang cerlang cemerlang terporot di atas dinding itu…. ia tidak menemukan sesuatu
yang dapat menolong dirinya.
Mendadak ia seperti menemukan sesuatu yang menimbulkan perhatiannya, di bawah mutiara
itu, lapat-lapat seperti ada sebuah goresan anak panah yang menunjuk kesuatu arah tertentu,
goresan itu begitu ringan sekali sehingga sukar dapat dipandang dengan mata biasa, tapi bagi
sepasang biji mata Thian-hi yang jeli dengan bekal Lwekangnya yang tinggi. ia dapat melihat
dengan jelas sekali, memang bila tidak diperhatikan orang tidak akan tahu adanya tanda rahasia
ini.
Berdetak jantung Thian-hi. dengan adanya petunjuk ini apa pula yang perlu kutakuti,
mengiringi petunjukan tanda rahasia yang tergores di bawah mutiara2 itu setindak demi setindak
ia maju ke depan.
Beberapa lama kemudian mendadak ia mendapat firasat yang kurang baik, penerangan dalam
gua tetap sama, tapi lambat laun tanah sekitarnya semakin lembab dan basah, empat dinding
sekitarnya kelihatan basah dan meneteskan air.
Wilajah Tun-hong terkenal dengan gurun pasir yang teramat luas. tanah disini tandus dan
kering, letak Jian-hud-tong berada di dalam pegunungan tandus yang geesang pula, tapi kenapa
dirinya seperti berada di dalam bawah tanah yang sangat rendah, pikir punya pikir lambat laun
timbul rasa ketakutan yang semakin menghantui sanubarinya, pikirnya; ‘Entah apakah yang
berada disebelah dalam sana?’
Thian-hi merasakan keganjilan rasa dalam relung hatinya, timbul was-was dan
kewaspadaannya, pelan-pelan ia beranjak maju terus ke depan.
Tapi mendadak ia melihat sesuatu yang luar biasa ganjilnya muncul di depan sana, sudah tentu
kejutnya bukan kepalang, tanpa terasa ia tersentak mundur selangkah.
Dalam lobang gua sebelah dalam sana, ada seseorang sedang berjalan mondar-mandir, orang
itu berpotongan sebagai Tojin dan sekilas pandang saja cukup jelas bahwa Tosu ini bukan lain
adalah Giok-yap Cinjin itu Cianbunjin Bu-tong-pay yang pernah dikenalnya dan akhirnya terbunuh
secara gelap.
Jantung Thian-hi melonjak-lonjak sangat keras, apa yang dilihatnya sekarang sungguh sangat
mengejutkan hati dan perasaannya, bahwa Giok-yap ternyata belum mati dan muncul di tempat
ini, adalah Tok-sim-sin-mo pula yang sengaja memancing dirinya kemari. entahlah kemana
maksud tujuannya!
Thian-hi menahan gejolak hatinya, sebuah pikiran berkelebat dalam benaknya, tiba-tiba terpikir
olehnya, tadi aku hanya melihat dari bayangan samping orang itu, mungkin memang bentuk tubuh
dan raut muka orang itu rada mirip dengan Giok-yap Cinjin, yang benar-benar dia adalah seorang
yang lain. Tujuan Tok-sim-sin-mo memancingku kemari adalah supaya orang ini membunuh aku.
Karena pikirannya ini ia melongokkan kepalanya pula ke dalam, pandangan sekali ini, hampir saja
membuat semangat dan arwahnya seperti copot dari badan kasarnya.
Ternyata Tosu itu sekarang tahu-tahu sudah berdiri dihadapannya tanpa mengeluarkan
sedikitpun suara. Begitu ia melongok ke dalam hampir saja ia beradu muka dengan orang,
sekarang lebih jelas dan boleh dipastikan, siapa lagi kalau Tosu ini bukan Giok-yap Cinjin adanya?
Meski Hun Thian-hi membekal kepandaian silat setinggi langit, walaupun nyalinya sebesar
gajah, menghadapi keadaan yang seram ini tanpa merasa ia tersurut mundur berulang-ulang,
seluruh tubuhnya gemetar merinding, dengan pandangan penuh ketakutan ia pandang ke dalam
lorong sana.
Ooo)*(ooO
Munculnya Ham Gwat secara mendadak sungguh merupakan suatu pukulan batin bagi Bu-bing
Loni, sedikit terkejut konsentrasinya menjadi bujar, pedang yang sudah bergerak hendak
menyerang menjadi batal di tengah jalan.
Sesuai dengan tatapan matanya yang dingin Ham Gwat menyapu pandang para hadirin dalam
gua itu, rona wajahnya masih kelihatan begitu beku dan kaku
Sekonyong-konyong terketuk rasa ketakutan yang menyelubungi sanubari Bu-bing Loni,
agaknya ia merasa terketuk dan gentar menghadapi sinar mata Ham Gwat yang kaku dingin dan
cemerlang itu, apalagi secara langsung dihadapan Kiang Tiong-bing.
Mendadak ia merasa terketuk pula bahwa wibawa dan keangkeran dirinya sudah diinjak2, Ham
Gwat adalah asuhannya sejak kecil, sekarang berada di hadapannya berani begitu kurang ajar
tidak tahu sopan santun dan tata krama, maka dengan rasa gusar yang berapi-api ia deliki Ham
Gwat, mulutnya pun menggeram desisnya, “Ham Gwat! Di hadapanku berani kau berlaku kurang
hormat ya!”
Sekilas agaknya Ham Gwat terpengaruh akan wibawa dan kekerasan gurunya, pelan-pelan
pandangannya tertunduk kebawah, namun dalam kejap lain ia sudah angkat kepala lagi
memandang Bu-bing Loni dengan tidak bersuara dan tidak berkedip.
Kedua biji mata Bu-bing pun menatap Ham Gwat lekat-lekat, kalau menurut adat kebiasaannya,
sejak tadi ia sudah pukul mampus Ham Gwat, tapi betapa pun Ham Gwat adalah buah asuhannya
sejak masih baji, seluruh harapan hidupnya ia tumplekkan kepada bimbingannya kepada Ham
Gwat pula, sungguh ia tidak rela begitu saja melenyapkan Ham Gwat dari kehidupan ini, apalagi
masih ada Poci pula, bila dirinya menyerang Ham Gwat bukan mustahil dia akan bantu
mengeroyok dirinya.
Bagaimana kepandaian silat Ham Gwat ia paling jelas, tingkat kepandaian silat Ham Gwat tidak
terlalu jauh bedanya dengan kemampuannya terutama Ginkangnya malah sudah sebanding
dengan dirinya.
Bu-bing mendengus, jengeknya gusar, “Dua puluh tahun jerih payah mengasuh dan
membesarkan kau sampai sekarang, dan apa yang kudapat sekarang adalah sikap kurang
ajaranmu kepadaku ini?”
Ham Gwat tidak gubris ucapannya, pelan-pelan sepasang biji matanya beralih memandang ke
arah Kiang Tiong-bing, agaknya ia merasakan sesuatu yang aneh, terketuk perasaan sanubarinya
bahwa orang tua laki-laki di hadapannya ini seolah-olah adalah familinya yang terdekat, terpancar
dalam sorot matanya harapan akan buaian cinta kasih yang belum pernah dirasakan dan diresapi
selama hidup ini.
Dari samping Poci membuka suara, “Orang tua itu adalah ayah kandungmu!”
Tergetar hati Ham Gwat, terasakan olehnya berita yang datang secara mendadak merupakan
suatu pukulan yang sulit untuk diterima dengan nalarnya yang masih kebingungan, hampir ia tidak
percaya akan pendengaran telinganya, sesaat ia terlongong dan menjublek di tempatnya.
Jang paling terkejut justru adalah Bu-bing Loni, ia tahu bahwa rahasia ini sekali2 pantang
diketahui oleh Ham Gwat, karena bila Ham Gwat mengetahui seluk beluk persoalan ini, bagaimana
akibatnya siang-siang ia sudah dapat membayangkan. Demikian juga Poci telah mengetahui
rahasia ini, bertambah pula rasa kejutnya, tapi ini memang akibat yang pasti terjadi, kalau toh
Ham Gwat mendadak bisa muncul disini, mana mampu dirinya menutupi atau merahasiakan terus
persoalan ini.
Sekonyong-konyong berkobar nafsunya, biji matanya berubah buas dan beringas kenyataan
mendesak dia harus cepat-cepat turun tangan sebelum Ham Gwat dapat memulihkan kesadaran
pikirannya. Bila terlambat lagi sesaat lamanya, mungkin kesempatan yang ada dan baik ini sulit
dicapai lagi.
Pedang di tangan kanannya terayun melengkung, sinar pedangnya berkelebat laksana biang
lala menusuk dan membabat ketubuh Ham Gwat dalam dua sasaran atas dan tengah.
Melihat Ham Gwat mendadak terlongong mematung di tempatnya, tiba-tiba terasa oleh Poci
keadaan yang membahayakan jiwanya ini, Poci menjadi sadar bahwa ucapannya tadi sudah terlalu
pagi di katakan sehingga terjadi akibat yang diluar dugaan ini.
Begitu pedang Bu-bing Loni menyamber ke arah Ham Gwat segera ia berteriak
memperingatkan;
“Awas!” — baru mulutnya berseru, sebuah pikiran berkelebat pula dalam benaknya, secara
reflek tangan kanannyapun segera bekerja menarik kelima senar harpanya keras-keras, begitu
kelima senar harpanya putus dan mengeluarkan gelombang suara yang nyaring melengking
menembus langit menerjang ke depan, Sungguh dahsyat dan hebat benar-benar suara kelima
senar harpa yang terputus itu.
Bu-bing Loni tidak men-duga-duga. tubuhnya bergetat hebat. sedang pedang panjang
ditangannya pun terlepas jatuh di atas tanah, sekilas pandangan matanya mendelik berapi-api
penuh dendam kebencian ke arah Poci, sebat sekali tiba-tiba tubuhnya berkelebat melayang keluar
gua dan menghilang
Poci masih duduk bersimpuh di tanah, begitu bayangan Bu-bing lenyap kontan mulutnya
terpentang menyemburkan darah segar, badannya pun terus roboh lemas.
Lekas-lekas Ma Gwat-sian dan Ham Gwat memburu maju. dengan raut muka dibasahi air mata
Ma Gwat-sian berteriak-teriak, “Suhu! Suhu! Bagaimana keadaanmu?
Perlahan-lahan Poci membuka mata, ia tersenyum manis ke arah Ma Gwat-sian, ujarnya, “Nak,
aku tidak apa-apa, kau tak usah kuatir!”
Lalu ia berpaling ke arah Ham Gwat serta sambungnya, “Lekas kau tengok keadaan ayahmu!”
Sungguh Ham Gwat merasa sesal dan terima kasih pula, tahu dia bahwa Bu-bing Loni pasti
terluka dalam yang cukup parah karena serangan getaran suara kelima senar harpa yang putus
tadi, kalau tidak masa ia melarikan diri. Tapi luka dalam yang diderita Poci rasanya jauh lebih
berat pula, demi akulah sehingga orang terluka berat, tapi sikapnya masih begitu baik pula
terhadap aku, demikian batin Ham Gwat dengan haru.
Maka dengan penuh keharuan Ham Gwat berkata, “Terima kasih Cianpwe. kelak Wanpwe pasti
akan membalas budi kebaikan ini!” — Lalu tersipu-sipu ia berlari ke arah Kiang Tiong-bing dan
membuka jalan darah yang tertutuk ditubuhnya.
Mengawasi Ham Gwat tak tertahan lagi mengalir deras air mata Kiang Tiong-bing, tiba-tiba ia
peluk Ham Gwat erat-erat, katanya sesunggukan, “Nak! Beberapa tahun ini sungguh kau banyak
menderita.”
Mendadak Ham Gwat seperti merasai hatinya menjadi kosong. terasa bahwa kekesalan lubuk
hatinya selama ini mendadak meledak dan semua membanjir keluar, baru pertama kali ini ia
mengalirkan air mata, malah begitu deras dan tak terbendung lagi air mata kesedihan dan
kegirangan, serta merta mulutnya berteriak seperti orang histeri, “Ayah! ayah….”
Ma Gwat-sian terketuk sanubarinya, perlahan-lahan ia menundukkan kepala, tanpa tertahan air
matanya pun mengalir juga.
Baru sekarang ia mendadak memahami, lambat laun dirinya semakin terpaut menjauh dari rasa
kebahagiaan yang didambakan selama ini, berlawanan dengan keadaannya Ham Gwat ia sedang
melangkah menuju ke arah bahagia yang sudah tiba diambang sanubarinya, ia sadar bahwa ia
harus lekas-lekas kembali ke Thian-bi-kok.
Bab 26
Dalam pada itu, Kiang Tiong-bing dan Ham Gwat masih berpelukan dan bertangisan entah
berapa lama kemudian. Kiang Tiong-bing tertawa serta berkata, “Nak. sudah jangan bertangisan
lagi. Coba kulihat kau!”
Lalu ia cekal kedua pundak Ham Gwat dan dipanpangnya dihadapan mukanya dengan cermat
ia amati wajah Ham Gwat yang aju rupawan itu, berselang lama baru terdengar pula suaranya
tertawa girang, “Dua puluh tahun lamanya, kau sudah tumbuh sedemikian besar, sungguh mirip
benar-benar dengan ibumu semasa muda. malah kecantikan ibumu rasanya masih kalah tiga
bagian dibanding kau sekarang!”
Pertama Kali mendapat pujian dan yang memuji justru ayahnya sendiri Ham Gwat menjadi
kegirangan dan malu-malu kucing, lekas ia menunduk dan memukul lengan ayahnya dengan
aleman.
Kiang Tiong-bing terlongong memandangi muka Ham Gwat, akhirnya ia menghela napas,
ujarnya, “Tapi. entah dimana sekarang dia berada!” — Ucapannya penuh nada derita dan pilu.
“Benar-benar ayah, dimanakah ibu sekarang berada?” tanya Ham Gwat.
Pelan-pelan Kiang Tiong-bing menggeleng kepala. sahutnya tertawa getir, “Ma Gwat-sian
adalah seorang anak yang baik, aku sudah menerima dia sebagai putri angkatku. Gurunya tadi
pun sudah menolong jiwamu kelak jangan kau membuatnya kecewa!”
Ham Gwat mengiakan, dipandangnya Ma Gwat-sian.
Ma Gwat-sian maju menghampiri katanya tersenyum, “Ham Gwat Cici, selamat akan pertemuan
kalian ayah dan anak!”
“Teriina kasih padamu Gwat-sian!” sahut Ham Gwat terharu.
Sekarang terasa oleh Ma Gwat-sian bahwa sebenar-benarnyalah Ham Gwat jauh lebih sjmpatik
dan gampang bergaul dari dugaannya semula. Memang lahirnya bersikap kaku dan berwibawa
tidak boleh sembarangan diganggu usik, dia punya keagungan yang suci dan dapat melumpuhkan
semangat orang, tapi bila sudah dapat berdekatan dengan akrab akan terasakan bahwasanya
iapun mempunyai perasaan luhur yang wajar Tidak congkak atau sombong oleh perasaan
sementara orang yang segan kepadanya.
Kata Ma Gwat-sian, “Tadi ayahpun telah melindungi aku, kalau tidak mungkin sejak tadi aku
sudah mampus oleh keganasan Bu-bing Loni!”
Ham Gwat pandang muka Gwat-sian lalu menunduk berpikir, teringat olehnya akan penuturan
Poci itu. sadar ia cara bagaimana ia harus bersikap dalam persoalan ini. Meski pun Ma Gwat-sian
sangat pintar, tapi dalam hal buah pikiran dia masih belum cukup matang.
Sesaat kemudian baru Ham Gwat membuka suara, katanya, “Hun Thian-hi sekarang sedang
mencari kau, hati kecilnya sangatlah merindukan kau. soalnya karena kau terlalu baik
terhadapnya. Kau harus tahu, bila seorang laki-laki merasa sangat berterima kasih dan jatuh cinta,
ada kalanya ia tidak berani menyampaikan rasa cintanya itu secara berhadapan terhadap
kekasihnya!”
Ma Gwat-sian tertunduk dalam, ucapan Ham Gwat terlalu mendadak bagi relung hatinya untuk
menerima dengan nalar dan pikirannya. malah iapun merasa rada kurang senang karena anggap
Ham Gwat hanya membujuk dan ngapusi dirinya sebagai anak2 yang mendambakan kasih sayang
dan cinta kasih.
Namun setelah ia mendongak melihat sorot mata Ham Gwat tulus ikhlas, hatinya menjadi
menyesal pula, menyesal akan perasaan curiganya terhadap kebaikan Ham Gwat.
Terdengar Ham Gwat telah berkata pula, “Kau sudah lama bergaul bersama dia, seharusnya
kau tahu, bahwa ia terlalu banyak menerima budi kebaikan orang lain, maka dia tidak mau lagi
menerima budi pertolongan orang lain, inilah yang dinamakan harga diri dan gengsi. Adalah aku
murid dari musuh besarnya!”
Ma Gwat-sian tertawa, ujarnya, “Ham Gwat Cici, kumohon kau tak perlu membicarakan
persoalan ini!”
Ham Gwat manggut-manggut, segera ia menghampiri Poci, katanya, “Cianpwe terluka parah,
aku bisa bantu kau berobat diri, marilah lancarkan jalan darah dulu!” ~tanpa menanti jawaban
Poci kedua telapak tangannya segera menempel dipunggungnya, segera ia kerahkan tenaga
dalamnya disalurkan melalui telapak tangannya menembus berbagai jalan darah ditubuh Poci yang
buntu.
Sebenar-benarnya Poci hendak menolak, tapi belum sempat membuka mulut orang sudah
bekerja dengan cekatan, ia tahu bahwa tindakan Ham Gwat ini memang dapat membantu
penyembuhan dirinya lebih cepat, tapi akan banyak menguras tenaga Ham Gwat, apalagi bila Bubing
Loni datang kembali pada saat yang genting ini, mungkin tiada seorang pun yang bisa
menyelamatkan diri dari keganasannya.
Kira-kira gelombang hawa panas mengalir tiga putaran, seluruh jalan darah dan hawa murni
Poci sudah lancar dan bekerja secara normal kembali. Tapi tak urung mereka berdua pun lemas
tak bertenaga. Saat itu pula terdengar lambaian baju melayang masuk ke dalam kamar batu itu,
tahu-tahu Bu-bing Loni telah muncul pula diambang pintu.
Keruan semua yang hadir dalam kamar batu sama terkejut, sekilas Bu-bing melirik ke arah Poci
dan Ham Gwat lalu jengeknya dingin, “Kalian heran kenapa aku balik kembali bukan?” — ia
tertawa terkekeh-kekeh lalu sambungnya, “Selamanya aku tidak pernah menyerah kalah, dan
memang tidak pernah kalah, hari ini seumpama aku yang kalah, aku tidak akan begitu saja lantas
mengundurkan diri”, sampai disini mulutnya menggeram dan hidung mendengus, ejeknya pula,
“APalagi aku belum lagi kalah, luka-luka yang kau derita jauh lebih berat dibanding luka-lukaku!”
Lalu ia berpaling ke arah Ham Gwat, katanya pula, “Sejak kau lahir lantas kuasuh dan kurawat
sehingga kau dewasa, kau anggap aku tidak menyelami watak dan perangaimu? Kau pasti akan
memberi pertolongan dengan cara pengobatan khusus, sudah kuperhitungkan waktunya, meski
aku datang terlambat setindak, tapi masih keburu waktu.” Seringainya semakin beringas, mukanya
masam dan biji matanya sudah berubah buas seperti binatang kelaparan.
Ham Gwat pelan-pelan bangkit berdiri, katanya, “Tahukah kau siapa yang menolong Hun Thianhi
dari tanganmu? Itulah aku adanya!”
Bu-bing Loni rada melengak heran, mulutnya menggeram gusar.
Terdengar Ham Gwat melanjutkan kata-katanya, “Kau heran bukan? Kau kira kau hanya takut
terhadap Ka-yap Cuncia atau Ah-lam Cuncia, jangan kau melupakan seorang yang lain, orang
inilah yang merupakan tandinganmu setimpal, seharusnya kau sadar siapakah orang yang
kumaksudkan ini. Dan yang lebih penting kau harus menyadari kenapa aku harus meninggalkan
kau, kenyataan bahwa kau tidak mampu menemukan jejakku.”
Bu-bing Loni tertawa sinis, katanya, “Ham Gwat! Sejak kecil kau kubesarkan, sekarang kau
mengkhianati aku, malah sekongkol dengan orang luar melawan aku. Bagaimana sepak terjangmu
dahulu aku tidak peduli, yang jelas sekarang kau harus mampus ditanganku!”
Dengan tenang dan bersikap tetap dingin Ham Gwat balas menjengek tanpa gentar. “Kau
masih ingat Thay-si Lojin tidak?”
Berubah air muka Bu-bing Loni, ia tahu bahwa Thay-si Lojin tidak gampang dilayani. Masih
segar dalam ingatannya pada dua puluh tahun yang lalu Thay-si Lojin telah menolong seseorang
dari cengkeraman tangannya, ia tidak akan melupakan peristiwa itu, itulah tragedi rahasia
pribadinya yang disembunyikan kejadiannya, kalau toh Ham Gwat menyinggung soal itu, pasti ia
sudah tahu seluk beluk peristiwa itu, sejak waktu itu selama dua puluhan tahun terakhir ini ia
sedapat mungkin mengekang diri, tidak lagi mengumbar nafsu dan sifat jahatnya, hari ini
betapapun harus menghindari bentrokan dengan orang tua itu.
Dahulu Mo-bin Suseng bekerja sama dengan dirinya, hasil dari intrik mereka ia dapat mencapai
keinginannya, dan semua itu adalah hasil tipu daya yang diatur oleh Mo-bin Suseng, sekejap saja
dua puluh tahun telah berselang, segala akibat yang dihadapi sekarang adalah karena kesalahan
pikiran belaka, adalah karena Mo-bin Suseng yang mensetir segala kejadian itu dari belakang.
Berkilat-kilat sinar mata Bu-bing Loni, katanya, “Apa gunanya kau katakan itu semua, kau
sangka aku takut? Bagaimanapun nanti kesudahannya kau harus mati lebih dulu dari aku!
Camkanlah, dengan kedua tanganku inilah aku bimbing kau sampai besar, tapi dengan sepasang
tanganku ini pula akan kurenggut jiwamu, memangnya kau anggap aku hendak melepas kau pergi
begini saja?”
Sikap Ham Gwat juga tidak kalah dinginnya, ujarnya, “Hun Thian-hi juga berada disekitar
tempat ini, demikian juga Giok-lan, Hun Thian-hi sudah mengenal burung rajawaliku, bilamana
mereka menyusul tiba janganlah saat itu kau menyesal. Wi-thian-cit-ciat-sek latihan Hun Thian-hi
sudah jauh lebih maju lagi setelah mendapat petunjuk dari orang tua itu. Kau kan tahu bila Withian-
cit-ciat-sek sudah sempurna jauh lebih hebat dan unggul dari tiga rangkaian pedang
kepandaianmu itu!”
Bu-bing Loni menjemput pedangnya yang menggeletak di tanah tadi, pelan-pelan ia maju
menghampiri ke arah Ham Gwat.
Diam-diam Ham Gwat menarik napas panjang, tenaga dalamnya belum lagi pulih, ia tahu
bahwa Bu-bing Loni tidak akan mau menyerah kalah begitu saja, pedang panjang ditangannya
sementara itu sudah terbang menyamber tiba. yang diarah adalah tenggorokan Ham Gwat.
Begitu Bu-bing Loni menggerakkan pedangnya lantas Ham Gwat dapat meraba jurus tipu apa
yang dilancarkannya. Tapi tidak mudah untuk menangkis atau melawan, bila ia lancarkan
serangan balasan atau menangkis tentu Bu-bing Loni sudah tahu juga jurus apa pula yang
dilancarkan dirinya. Antara guru dan murid sama membekal kepandaian yang serupa, betapapun
sang murid bukan menjadi tandingan sang guru.
Beruntun ia menangkis dua kali, Bu-bing Loni mandah menjengek dingin, mulutnya,
haha….hehe…. mengejek, tapi sebetulnya iapun heran dan takjup akan kemajuan ilmu silat Ham
Gwat yang diluar ukurannya, tapi kenyataan sekarang Ham Gwat membekal Lwekang yang tinggi
diluar tahunya.
Sementara itu Bu-bing Loni sudah melancarkan lima gelombang jurus pedangnya, jurus demi
jurus semakin gencar dan ganas, baru saja Ham Gwat angkat pedangnya untuk menangkis tahutahu
pedang Bu-bing sudah menyelonong tiba menutup jalannya mundur, begitulah berulang kali
terjadi, sedang Ham Gwat sendiri tidak berani menggunakan kekerasan, terpaksa ia mandah
terdesak mundur, begitu lima jurus kemudian Ham Gwat sudah terdesak mundur dan mundur
terus mepet dinding.
Poci menjadi kaget, cepat ia rebut harpa yang dipegang Ma Gwat-sian terus jari-jarinya
dimainkan, dengan gelombang suara harpa ia berusaha menyerang Bu-bing Loni.
Bu-bing menyeringai dingin, tiba-tiba pedangnya berputar balik terus disambitkan ke arah Poci,
dimana selarik sinar pedang menyamber tiba kontan harpa dipangkuan Poci tertusuk pecah
menjadi dua.
Setelah menyambitkan pedangnya Bu-bing Loni menyeringai bengis, Poci sampai merinding
melihat tampangnya yang sadis itu. Bahwa Bu-bing berani putar balik pastilah dia sudah bertekad
bulat, meski dirinya pun sudah terluka parah betapapun ia tidak rela melepas beberapa orang
yang merupakan makanan empuk ini, betapa hebat Lwekang yang dibekalnya itu sungguh sangat
mengagumkan memang sulit dicari tandingan.
Begitu Bu-bing Loni menyambitkan pedangnya, Ham Gwat menjadi berkesempatan balik
menyerang, beruntun ia lancarkan serangan pedang yang hebat. Tapi Bu-bing Loni berani
menyambitkan pedangnya pasti dia mempunyai perhitungan yang matang, setiap jurus setiap tipu
permainan Ham Gwat adalah hasil ajarannya, dimana badannya berkelebat dan melejit sana
melompat sini ia hindari setiap rangsakan Ham Gwat yang hebat, soalnya iapun sudah apal benarbenar
jurus apa yang akan dilancarkan Ham Gwat selanjutnya. Meskipun ia sudah tumplek seluruh
kepandaiannya kepada Ham Gwat, tapi sedikit banyak masih ada lobang kelengahan yang belum
sempurna terlatih oleh Ham Gwat, dan kelemahan2 itu sampai saat itupun belum lagi
disempurnakan, justru adanya kelemahan itu pula menjadi kebetulan pula bagi Bu-bing sekarang.
Apalagi Ham Gwat sekarang mengkhianati dirinya, meski gencar rangsakan Ham Gwat
seenaknya saja seperti berlenggang Bu-bing Loni dapat menghindarkan diri.
Sekejap mata puluhan jurus sudah berlangsung. tiba-tiba Ham Gwat lancarkan pula sejurus
ilmu pedang, mendadak badan Bu-bing mencelat mumbul ke atas, berbareng kaki kanannya
mendadak menendang ke arah jidat Ham Gwat. Terpaksa Ham Gwat harus menolak badan atas ke
belakang berbareng ujung pedangnya menusuk ke atas pula tak duga kaki kiri Bu-bing ternyata
pun sudah menyusul dengan tendangan yang telak pula, ‘Tring’. Ham Gwat tak kuasa menyekal
pedangnya lagi, kontan terbang ke tengah udara dan menancap di atas dinding batu.
Bu-bing terloroh-loroh panjang, tubuhnya jumpalitan hinggap di tanah, dengan nanar ia
pandang Ham Gwat. Tanpa gentar Ham Gwat juga mendelik pandang, ia insaf kekalahan hari ini
menjadikan harapan untuk hidup semakin mengecil, bagaimana cara Bu-bing Loni menghadapi
musuhnya ia tahu jelas.
Apalagi kalau dirinya tertawan hidup2, untuk mencari kematian sendiripun tidak mungkin lagi,
bagi dirinya sih tidak menjadi goal, bagaimana dengan keadaan ayahnya, Poci dan Ma Gwat-sian?
Akhirnya ia berkeputusan dengan suatu akibat yang cukup mending.
Terdengar Bu-bing menjengek dingin, “Tidak berguna, kau kan tahu bagaimana kesukaanku.
Dulu waktu aku menempur Soat-san-su-gou bukankah kau juga hadir, dengan Gin-ho-sam-sek
mereka berempat mengepung diriku, akhirnya kuberi kelonggaran bagi mereka untuk bunuh diri,
kau kira persoalan itu begitu gampang dan begitu sederhana? Sebenar-benarnyalah bahwa aku
sebelumnya sudah ada perjanjian dengan Mo-bing Suseng, dia minta supaya aku memberi cara
kematian yang cukup nyaman bagi mereka, meskipun mereka berempat tidak tahu siapakah Mobin
Suseng itu sebenar-benarnya, tapi adalah sebaliknya dia tahu siapa mereka berempat. Karena
mereka berempat adalah sahabat kentalnya.”
Ham Gwat masih bungkam. Bu-bing melanjutkan, “Bagaimana juga diantara kau dan aku masih
ada hubungan guru dan murid, akupun tidak akan berlaku keterlaluan terhadap kau, cukup
dengan minyak mendidih akan aku goreng daging dan tulang-ulangmu sampai mati.”
Lagi-lagi ia terloroh-loroh panjang seperti sudah kesetanan, tapi tiba-tiba sebuah suara tawa
dingin yang menggiriskan terdengar pula bergelombang dalam ruang batu itu, keruan Bu-bing Loni
tersentak kaget bukan main, sebat sekali ia memutar tubuh dilihatnya di ambang pintu sana
berdiri seorang nenek peot yang tua renta.
Begitu melihat orang ini timbul setitik harapan dalam benak Ham Gwat, karena nenek tua ini
bukan lain adalah Kiu-yu-mo-lo, segera ia menghela napas lega. Tapi ia masih bingung kenapa
orang tua itu bersikap begitu baik terhadap dirinya, dalam hal ini pasti ada latar belakang yang
cukup rumit.
Bu-bing Loni membalik ke arah Kiu-yu-mo-lo, dengusnya dingin, “Siapa kau?”
Kiu-yu-mo-lo terloroh-loroh katanya, “Jangan kau pura-pura alim, sebenar-benarnyaJah hatimu
lebih jahat dari ular, jauh lebih jahat dari aku dulu, terhadap murid sendiri pun kau begitu jahat”
Menjengkit alis Bu-bing Loni, ada orang berani bicara begitu takabur padanya, tapi kalau ia
begitu besar nyalinya berani bicara besar tentu dia punya pegangan untuk datang kemari, maka
selagi ia mendesak, “Siapa kau? Untuk apa kau kemari?”
“Akulah Kiu-yu-mo-lo dari salah satu Si-gwa-sam-mo,” sahut Kiu-yu-mo-lo, “Konon kabarnya
belakangan ini kalangan Kangouw muncul pula seorang tokoh macam tampangmu ini. tapi
mengandal kau masih berani kau mengagulkan she dan nama busukmu ya!”
Bu-bing tertawa dingin, tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas mencabut pedang Ham Gwat yang
menancap dilangit2, disaat tubuhnya meluncur turun pedang ditangannya diobat-abitkan langsung
menerjang ke arah Kiu-yu-mo-lo, sinar pedangnya laksana bianglala. menungkrup ke atas kepala
Kiu-yu-mo-lo.
Bukan dia takut menghadapi Kiu-yu-mo-lo, tapi nama Kiu-yu-mo-lo sebagai salah setorang Sigwa-
sam-mo bukanlah diperoleh secara kebetulan belaka, maka dia harus bertindak lebih dulu dan
lebih ijepat. Apalagi Ham Gwat masih ada kemampuan untuk berkelahi, kalau ia tidak bertindak
secara kilat mengakhiri pertempuran disini, mungkin dia sendirilah yang bakal dikeroyok dan
akibatnya pasti konyol bagi dirinya.
Sebenar-benarnyalah hatinya masih dirundung keheranan, kenapa Kiu-yu-mo-lo bisa ikut
campur dan menolong keadaan Ham Gwat yang terdesak ini, hakikatnya Ham Gwat tidak pernah
saling berkenalan dengan Kiu-yu-mo-lo dan tidak punya sangkut paut apa-apa. Demikian juga
dirinya tiada punya dendam permusuhan dengan Si-gwa-sam-mo, kenapa dia meluruk kemari
mencari permusuhan. Demikian Bu-bing berpikir2 dalam hati.
Setelah memasuki Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin pikiran sesat Kiu-yu-mo-lo akhirnya dapat
digugah dan sadar dari penyelewengannya dan karena kembali kejalan lurus dengan pikiran yang
sudah jernih itulah maka ia dapat keluar dari sana, setelah mendapat petunjuk serta petuah dari si
orang tua itu lantas ia menyusul kemari.
Dengan pedang berada ditangan Bu-bing Loni seperti harimau tumbuh sayap, adakah ilmu Huisim-
kiam-hoat terkenal hebat sekali. maka ribuan sinar pedang Bu-bing bukan kepalang lihaynya
dalam gebrak permulaan Kiu-yu-mo-lo rada memandang rendah musuh sehingga ia terdesak
mundur terus.
Terdengar Bu-bing Loni mendengus hina, hatinya membatin; Si-gwa-sam-imo kiranya juga
cuma sebegini saja kemampuannya.
Begitulah sinar pedangnya berputar, kontan ia lancarkan Lian-hoan-Ban-kiam, jurus ilmu
pedang terakhir dari Hui-sim-kiam-hoat yang terdahsyat dan terlihay, besar hasratnya dalam
gebrak terakhir ini ia bikin mampus jiwa Kiu-yu-mo-lo, adalah gampang nanti untuk membereskan
yang lain.
Begitu sinar pedang Bu-bing menimbulkan gelombang sinar berlapis2 lekas-lekas Ham Gwat
menjemput pedang Bu-bing Loni yang ditimpukan tadi. langsung ia merabu dari belakang ke arah
Bu-bing. Disebelah depan sana Kiu-yu-mo-lo juga menarikan sepasang telapak tangannya untuk
menjaga diri dan balas menyerang.
Bu-bing menjengek dingin, tanpa berpaling ia sudah tahu jurus dan tipu serangan apa yang
akan dilancarkan Ham Gwat, adalah mudah sekali ia dapat memunahkan serangan bokongan ini.
Tapi baru sekarang pula ia mendapatkan bahwa Lwekang Kiu-yu-mo-lo ternyata tidak serendah
seperti yang dikiranya tadi bila dalam waktu singkat ia tidak mampu mengalahkan kedua
musuhnya ini, akibatnya pasti sangat fatal bagi dirinya karena dikepung dari muka dan belakang.
Biji matanya berjelilatan, bagaimana juga ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang
sangat pendek ini untuk mengambil kemenangan, menurut perhitungannya meski Ham Gwat ikut
menerjunkan diri dalam pertempuran. tapi mereka belum dapat bergabung dan bekerja sama
dengan rapat, diantara lobang kelemahan yang sulit didapat ini bila aku tidak memanfaatkan
dengan tepat, aku sendirilah yang bakal cidera.
Sebagai seorang tokoh nomor satu dalam kalangan persilatan pandangan Bu-bing sudah tentu
cukup luas, seiring dengan keputusan tekadnya, gerak badannya mendadak berhenti, tahu-tahu
membalik tubuh tangkas sekali tumit kakinya melayang ke atas menendang batang pedang Ham
Gwat. Tujuan Bu-bing adalah sementara mengendorkan dulu tekanan serangan Ham Gwat dari
belakang dengan kesempatan ini ia tumplek seluruh kekuatan dirinya untuk merangsak dan
merohohkan Kiu-yu-mo-lo.
Tapi begitu kakinya melayang. Ham Gwat juga sudah tahu kemana tujuan serangan Bu-bing ini,
maka sengaja ia buang pedangnya, tahu-tahu telapak tangannya yang menyelonong ke depan
menepuk keleher Bu-bing Loni.
Begitu tendangannya. luput lantas Bu-bing bercekat hatinya. seketika ia rasakan dua arus
gelomhang pukulan dahsyat melandai tiba dari belakang dan depan. Terdengar ‘mulutnya berpekik
panjang dan nyaring, pedang panjangnya berputar disekitar tubuhnya, dengan seluruh sisa
tenaganya iapun berondong keluar kekuatannya untuk menangkis.
“Blang” pukulan dan pedang saling beradu ditengah jalan. Ham Gwat dan Kiu-yu-mo-lo tersurut
mundur dan berputar-putar, sebaliknya air muka Bu-bing kelihatan tambah pucat pias, ia
terhujung dua langkah baru bisa berdiri tegak lagi, pedang panjang ditangan kanannya tergetar
mengeluarkan su-ra mendenging.
Setelah berdiri tegak dan memasang kuda-kuda Kiu-yu-mo-lo dan Ham Gwat saling pandang
sebentar, serempak mereka berjongkok dua telapak tangan masing-masing didorong ke depan
memukul ke arah Bu-bing dari dua jurusan yang berlawanan.
Tiba-tiba badan Bu-bing Loni melejit mumbul ditengah udara badannya berputar satu lingkaran,
gerak geriknya cukup sigap sehingga ia dapat terhindar dari benturan tenaga yang dahsyat dan
begitu kaki hinggap pula tubuhnya sudah berdiri diambang pintu air mukanya masih pucat dan
kaku tanpa menunjukkan perasaan hatinya.
Ham Gwat dan KAu-yu-mo-lo merasa diluar dugaan, sungguh mereka tidak nyana dalam
keadaan terluka dalam begitu berat Bu-bing Loni masih mampu bergerak begitu lincah
menghindari diri dari serangan yang dahsyat itu.
Bu-bing maklum bahwa dirinya hari ini tidak akan dapat menang, tapi demi nama dan
gengsinya ia tidak rela tinggal pergi begitu saja, apalagi mandah menyerah kalah, terlebih pula
bila membebaskan hukuman mati orang-orang dihadapannya ini. Begitulah sambil menenteng
pedangnya ia berdiri di ambang pintu dengan pandangan mata berapi-api.
Kiu-yu-mo-lo menjadi murka, dengan sengit ia terjang ke arah Bu-bing. sebetulnyalah ia tidak
pandang sebelah mata Bu-bing Loni. tapi baru saja bergebrak lantas ia kena terdesak di bawah
angin. Sergapan Bu-bing selanjutnya yang lebih hebat tadi kalau dirinya tidak memperoleh
bantuan Ham Gwat mungkin tubuhnya sudah berlobang dan mampus oleh tusukan pedang lawan.
Adalah sekarang Bu-bing sendiri sudah terluka parah. ia harus mengambil keuntungan secara licik
mengadu kekuatan dengan satu lawan satu ingin ia menjajaki sampai dimana tinggi
kepandaiannya.
Melihat hanya Kiu-yu-mo-lo seorang yang mendesak madiu. dengan pandangan dingin Bu-bing
menanti, dalam hati rada menganggap ringan, maka matanya segera menantang ke arah Ham
Gwat, maksudnya supaya kau pun maju sekalian memang aku gentar?
Tapi Ham Gwat tahu maksud Kiu-yu-mo-lo yang ingin bertanding sendiri melawan Bu-bing Loni.
maka iapun tinggal diam saja berdiri ditempatnya, bila Kiu-yu-mo-lo memang terdesak dan hampir
kalah terpaksa aku harus bantu dia. Bu-bing sendiri sudah terluka dalam betapapun Kiu-yu-mo-lo
tidak bakal kena dikalahkan dalam gebrak permulaan. Maka ia jemput pula pedangnya dan berdiri
siap waspada.
Sementara itu Kiu-yu-mo-lo sudah semakin dekat. Bu-bing mendengus hidung, pedang
panjangnya teracung tinggi ke samping terus membabat miring ke arah Kiu-yu-mo-lo. Bu-bing
sendiri juga maklum begitu Kiu-yu-mo-lo terdesak pasti Ham Gwat akan segera menerjunkan diri
dalam pertempuran ini, luka dalamnya cukup parah, betapapun ia pantang menggunakan tenaga
dalam yang berkelebihan untuk melawan kekerasan dengan Kiu-yu-mo-lo, kiranya cukup ia hadapi
dengan kelihayan gerak pedangnya untuk merobohkan musuh saja. Memang bila perlu harus
terluka lebih parah juga tidak jadi soal, asal dengan kekuatan terakhir dapat merobohkan atau
membunuh Kiu-yu-mo-lo. Demikian Bu-bing sudah bertekad dalam hati.
Kiu-yu-mo-lo juga sudah kerahkan tenaganya, kedua telapak tangannya terangkat naik
kesamping menyampok batang pedang, ia insaf dalam keadaan terluka parah tentu Bu-bing cukup
mengandalkan kehebatan permainan pedangnya, maka ia harus tumplek seluruh perhatiannya
kebatang pedang musuh yang hebat itu. Apalagi setelah luka parah Bu-bing tidak ngacir pergi,
pastilah ia bertekad untuk gugur bersama. Kalau musuh ingin mati adalah ia masih ingin hidup,
maka telapak tangannya bergerak lincah memngiringi serangan permainan pedang lawan,
disamping main sergap ia pun mencari kelemahan musuh untuk bertindak. ingin dia bentrok
secara kekerasan untuk menetukan siapa unggul dan siapa asor.
Permainan pedang Bu-bing memang sangat lihay, kelihatannya pedangnya melayang miring
dengan babatan biasa saja, namun sebetulnya mengandung tusukan berlainan yang cukup
mematikan bila mengenai sasarannya. Kiu-yu-mo-lo tahu akan kelihayan perubahan permainan
pedang ini, maka kedua tangannya menyamping dan ditekuk ke atas menggetar batang pedang
Bu-bing, sehingga serangan lawan kena dipunahkan ditengah jalan.
Bu-bing menggeram gusar, ia tarik kembali pedangnya, ia tahu cara permainan Kiu-yu-mo-lo
hendak mengulur waktu dan menguras habis tenaganya, cara bertempur begini sangat tidak
menguntungkan pihaknya, kalau tidak menggunakan kekerasan sulit dapat memperoleh
kemenangan. maka ia harus memancing supaya Kiu-yu-mo-lo menyerang edan2an dengan seluruh
kekuatannya.
Pikiran ini berkelebat dalam benaknya, sebat sekali mendadak ia lancarkan pula sebuah tusukan
yang berbahaia, cara tusukannya ini sengaja diperlihatkan seperti tenaganya sudah hampir habis
ditengah jalan dan tak bisa menyambung lagi, tapi ia masih berlaku nekad melancarkan
serangannya untuk menutupi kelemahan sendiri!
Melihat keadaan Bu-bing, sebagai seorang kawakan Kangouw Kiu-yu-mo-lo maklum akan tipu
pancingan lawan, teringat olehnya tadi Bu-bing dapat meloloskan diri dari serangan gabungan
yang begitu dahsyat, sekarang dia berbuat demikian bukan mustahil memang sengaja hendak
menjebak dirinya.
Tapi kenyataan Bu-bing memang sudah terluka parah, tapi toh ia masih dapat lolos dari
rangsakan, yang hebat tadi.
Sesaat lamanya Kiu-yu-mo-lo menjadi bimbang.
kalau Bu-bing terluka pasti lambat laun tenaga dalamnya pasti bakal terkuras habis, kenapa aku
tergesa-gesa, yang penting berlaku hati-hati jangan sampai tertipu olehnya,.
Begitulah gebrak2 selanjutnya kedua belah pihak masih sama dalam taraf coba-coba dan saling
memancing saja, beruntun beberapa jurus sudah berlalu, selama ini Bu-bing Loni belum lagi
menunjukkan keletihannya dalam gebrak2 yang berlalu itu kedua belah pihak belum lagi
menggunakan tenaga yang berarti.
Akhirnya Kiu-yu-mo-lo yang berangasan itu menggerung gusar, kedua telapak tangannya
dengan deras melancarkan pukulan sengit, setelah tangannya mencengkeram pundak sedang
tangan yang lain menjojoh lambung.
Tubuh Bu-bing mendadak bergerak dengan gesit, beruntun ia berloncatan menghindar
berbareng pedangnya berputar memunahkan kekuatan tenaga serangan Kiu-yu-mo-lo. Melihat
serangannya yang lihay kena dipunahkan musuh, hati Kiu-yu-mo-lo menjadi lesu, mendadak
dilihatnya pula gerak pedang Bu-bing Loni mengendor dan gemetar.
Berkilat biji mata Kiu-yu-mo-lo, sekarang ditemukan titik kelemahan Bu-bing Loni, sudah
berulang kall Bu-bing sengaja menutupi titik kelemahannya ini, tapi sekarang ia tidak mudah lagi
dikelabui. Maka sambil menjengek dingin mendadak sepasang telapak tangannya menyerang
ketiak dari lambung Bu-bing Loni dengan dilandasi seluruh kekuatannya.
Girang hati Bu-bing Loni bahwa pancingannya berhasil, tapi air mukanya malah mengunjuk rasa
gugup yang dibuat-buat. Semenbara sepasang telapak tangan Kiu-yu-mo-lo memberondong
dengan serangan berantai yang ketat, beruntun Bu-bing menyambut dan menangkis dengan tajam
pedangnya.
Sekonyong-konyong Kiu-yiu-mo-lo merasakan suatu keganjilan, tadi ia tidak kerahkan setaker
tenaganya, sebaliknya Bu-bing mengunjuk rasa kejut dan gugup, sekarang setelah dirinya
menggempur mati-matian dengan penuh kekuatannya, sedikitpun tiada berhasil mendesak
mundur setapakpun kepada Bu-bing Loni. jelas sekali bahwa mungkin dirinya sudah masuk dalam
perangkap kelicikan musuh. Karena rekaannya ini serta merta hatinya menjadi was-was dan gerak
geriknya menjadi lamban.
Waktu ia angkat kepala mengawasi Bu-bing tampak sorot matanya tetap tajam tidak kelihatan
rasa keletihan sedikitpun juga, sebaliknya orang seperti tumplek seluruh perhatian untuk mencari
titik kelemahannya sendiri, keruan terperanjat ia dibuatnya. Begitu merasakan tekanan serangan
lawan mengendor lantas pedang Bu-bing teracung ke atas, tapi Kiu-yu-mo-lo berlaku nekad tanpa
memikirkan keselamatannya, sepasang telapak tangannya ia menindih kebatang pedang Bu-bing
Loni.
Dasar licik sedikitpun Bu-bing tidak kena kecundang, sebat sekali ia menyurut mundur
berbareng pedang ditarik mundur terus terbang ke belakang. Keruan sepasang telapak tangan
Kiu-yu-mo-lo menindih tempat kosong. terdengar Bu-bing menyeringai dingin dari jarak yang
cukup jauh itu tiba-tiba ia timpukkan pedang panjangnya, pedang meluncur ketenggorokan Kiuyu-
mo-lo.
Sudah tentu kejut Ham Gwat bukan main, meski ia dapat meraba bahwa Kiu-yu-mo-lo masuk
dalam perangkap Bu-bing Loni. tapi sungguh diluar dugaannya bahwa situasi bakal berubah begitu
buruk.
Karena tidak bersiaga sebelumnya. tahu-tahu pedang Bu-bing sudah meluncur ditengah jalan,
untuk menolong terang tidak sempat lagi, terpaksa ia pun timpukkan pedangnya sendiri ke arah
Bu-bing Loni, berbareng tubuhnya juga mencelat terbang menyusul ke arah Kiu-yu-mo-lo, sedapat
mungkin ia harus selamatkan jiwa orang tua ini.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan tubuh manusia berkelebat masuk dari luar, tepat sekali
kedatangannya, begitu tiba kedua telapak tangannya segera menyamber miring memukul jatuh
pedang sambitan Bu-bing Loni, tahu-tahu dalam gelanggang tambah seorang laki-laki tua.
Waktu Kiu-yiu-mo-lo angkat kepala dengan jantung berdebar, serta merta ia berteriak
kegirangan
“Samte, kaukah itu!” Pendatang ini bukan lain adalah tokoh terkecil dari Si-gwa-sam-mo yaitu
Pek-kut-sin-mo Pek Si-kiat.
Pek Si-kiat tertawa, sahutnya, “Ya, ditengah jalan tadi kulihat kau, maka kuikuti jejakmu kesini”
Dalam pada itu Bu-bing Loni berkelebat kesamping menangkap kembali pedangnya yang
disambitkan, oleh Ham Gwat, inilah pedang miliknya yang tadi ditimpukkan untuk menghancurkan
harpa itu kembali ketangannya. Air mukanya berubah ganti berganti. dari pucat menjadi merah
dan berubah hijau pula. sorot matanya penuh kegusaran mendelik ke Pek Si-kiat yang telah
menggagalkan usahanya.
Pek Si-kiat juga angkat kepala mengawasi Bu-bing lekat-lekat ujarnya, “Kau anggap tiada
tandingan di seluruh kolong langit. Jangan kau lupa, bukan melulu kau seorang hidup dalam
dunia, ini.”
Tiba-tiba laksana kilat Bu-bing melejit ke tengah gelanggang beruntun pedangnya berkelebat
laksana bianglala memencar ketiga jurusan menyerang mereka bertiga dengan sembilan taburan
kilat pedang yang hebat.
Ham Gwat bertiga menjadi kelabakan membela diri dengan tarian sepasang telapak tangan
masing-masing. Sungguh mereka sangat terkejut akan kehebatan Lwekang Bu-bing Loni yang
tigggi ini, tidaklah malu ia berani malang-melintangdi Kangouw dengan bekal kepandaiannya ini,
sudah terluka parah, namun masih berani melancarkan serangan kekerasan yang mengandung
banyak risiko.
Pelan-pelan Ham Gwat bertiga berpencar ketiga jurusan, kedududkan mereka berbentuk segi
tiga, dari jurusan masing-masing mereka bergantian menggempur dengan gencar.
Rangsakan kesembilan jurus kilatan pedang Bu-bing Loni tadi maki hebat, dan ketiga musuhnya
terkejut akan kehebatan lwekangnya yang tiada taranya itu, namun Bu-bing sendiri maklum
bahwa tenaga sendiri sudah hampir ludes, sekarang ia harus gunakan sisa tenaganya u8ntuk
bertahan supaya mengelabui musuh, tapi pengerahan tenaga yang berkelebihan sudah ia rasakan
akibatnya, dalam tubuh, urat nadinya sudah semakin lemah, semakin lama ia rasakan hawa murni
sudah tak mampu disalurkan kembali. Jelas harapan untuk menang tidak mungkin lagi.
Si-gwa-sam-mo sudah muncul dua diantara tiga, ditambah Ham Gwat yang cukup lihay, bila
pertempuran diteruskan, mungkin jiwa sendiri bakal melayang secara konyol ada lebih baik gugur
bersama, cuma kuatir usahanya bakal sia-sia.
Timbul niat melarikan diri secara teratur, diam-diam ia menerawang keadaan, hari masih cukup
panjang, tanpa harus tergesa-gesa dalam waktu singkat ini. kalau Poci dengan suara harpanya
tadi itulah yang menyebabkan keadaan menjadi fatal, kalau tidak dengan dua lawan satu jelas ia
akan unggul berkelebihan. Getaran senar putus yang hebat itu telah membuat kedua pihak terluka
berat, menurut pendapatnya kekuatannya jauh lebih hebat tiga bagian dari perbawa Wi-thian-citciet-
sek yang dipelajari Hun Thian-hi.
Sekarang Bu-bing berdiri tegak mengkonsentrasikan seluruh perhatian dan semangatnya. Ham
Gwat bertiga juga was-was akan kehebatan rangkaian sembilan jurus pedang kilatnya itu sehingga
tak berani sembarangan bergerak. Untung Bu-bing sudah kelelahan dan cukup payah, kalau tidak
betapa hebat Lian-hoan-sam-kiamnya itu, terang tak mungkin mereka bertiga mampu terhindar
dari bencana.
Begitulah empat orang sama berdiri diam, tekad Bu-bing Loni untuk mengundurkan diri
semakin besar, dirinya tidak rela berkorban secara konyol dan sia-sia, tapi sebelumnya ia harus
menggempur ketiga musuhnya ini pontang-panting, ia tidak percaya mereka bertiga mampu
bekerja sama menjalin kekuatan yang tak terpecahkan.
Setelah tetap keputusannya serta tenagapun sudah terhimpun kembali mendadak Bu-bing
angkat pedangnya di depan dada, matanya menyapu pada tiga musuhnya.
Bercekat hati ketiga lawannya, dengan rasa tegang mereka meningkatkan kewaspadaan.
Sekonyong-konyong badan Bu-bing terbang ke tengah udara. dimana pedangnya berputar dan
membacok turun serta membabat miring, beruntun ia lancarkan pula Lian-hoan-sam-kiam yang
paling diandalkan, tiga jurus ilmu pedang sekaligus meluncur laksana lembayung menukik turun
menyapu deras ke arah lawannya,
SerempaK Ham Gwat bertiga kerahkan tenaga dan menggabungkan tenaga pukulan telapak
tangannya untuk membendung rangsakan tenaga kibasan pedang yang hebat itu, sementara
mereka repot membela diri, tahu-tahu badan Bu-bing terus meluncur keluar hendaK tinggal merat.
Ham Gwat sudah maklum akan sepak terjang Bu-bing ini sebelumnya, maka ia pula yang
mendahului mengejar ke arah Bu-bing, begitulah Pek-si-k-at berdua juga segera mengejar datang,
mereka insahari bila b ini Bu-bing sampai berhasil melarikan diri, gelombang pertikaian dikalangan
Kangouw tidak akan pernah berhenti.
Begita tiba diambang pintu gua terdengar Bu-bing bersuit nyaring panjang, dari luar seekor
burung dewata segera menukik turun.
Ham Gwat sudah hampir dapat menyusul, tiba-tiba dilihatnya langkah Bu-bing Loni
sempoyongan sejalur darah segar menyembur dari mulutnya. tubuhnya pun tersungkur ke depan
dan kebetulan jatuh jatas punggunng burung dewata, dalam kejap lain burung itu sudah terbang
tinggi tak terkejar lagi.
Ham Gwat menjadi melongo, ia tidak” mengejar lebih lanjut. Betapapun Bu-bing Loni adalah
bekas gurunya yang mengasuh dirinya sejak kecil. dulu ia malang melintang tiada tandingan,
namun hari ini ia harus terima kekalahannya secara total malah terluka parah lagi. tak tertahan
lagi hatinya menjadi tidak tega dan bersedih.
Sementara burung dewata sudah melesat terbang pesat sekali. dalam kejap lain tinggal setitik
bayangan yang menghilang dibalik awan.
Ooo)*(ooO
MendadaK melihat Giok-yap Cinjin muncul dihadapannya, malah berada di dalam Jian-hud-tong
lagi, karuan kejut Hun Thian-hi seperti arwahnya luput dari badan kasarnya, beruntun ia menyurut
mundur ketakutan.
Waktu ia mempertegas memang raut wajah orang ini persis benar-benar dengan, Giok-yap
Cinjin, cuma rada pucat dan sepasang biji matanya pun rada lesu. seperti muka mayat hidup. Tapi
sepasang matanya itu dengan tajam menatap lempang kepada dirinya, seakan-akan sedang
menyeringai dingin.
Tiba-tiba hidungnya dirangsang bau amis yang memualkan. serta merta Hun Thian-hi menyurut
mundur lagi, dari pinggangnya dicabutnya seruling jade, dengan nanar ia awasi orang di
hadapannya ini.
Mendadak dilihatnya di atas muka orang itu terdapat bundaran benang merah, mendadak ia
julurkan keluar kedua telapak tangannya seperti cakar setan, setiap jari-jarinya berwarna hitam,
begitu kesepuluh jarinya saling jentik bergantian, segulung kabut hitam kontan menyerbu ke arah
Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi terperanjat, entah siapakah orang ini sebenar-benarnya, tapi jelas bahwa orang
ini bukan
Giok-yap Cinjin yang sudah meninggal itu. Ia membekal ilmu jahat yang sangat berbisa,
sungguh sangat menggetarkan sukma dan nyali orang.
Cepat ia tepukkan telapak tangan kiri untuk menangkis dengan dilandasi Pan-yok-hian-kang,
seketika kabut hitam itu bujar tercerai-berai tersapu balik.
Gerak-gerik orang itu cukup cekatan, mendadak ia berkelebat. Lagi-lagi Thian-hi kaget
dibuatnya, ia tahu lawan sengaja hendak mencegat jalan mundurnya. sebat sekali ia melompat
mundur, telapak tangannya melintang dengan pukulan angin yang cukup keras, ia berusaha
merintangi sepak terjang orang,
Tapi dalam gerak berkelebat ini orang dapat menerobos lewat dari jurusan tidak terduga sama
sekali oleh Hun Thian-hi, sekarang berbalk Hun Thian-hi yang tercegat jalan mundurnya, malah.
Sejenak Hun Thian-hi terlongong, dengan pandangan rasa keheranan dan was-was ia pandang
orang itu. Sungguh ia tidak mengerti darimana Tok-sim-sin-mo dapat mengundang tokoh aneh
macam ini, sungguh menggiriskan dan menciutkan nyali manusia….
Betapa aneh dan lihay ilmu silat orang ini benar-benar belum pernah dilihatnya, bilamana ilmu
silatnya memang tinggi dan aneh, tak mungkin ia mandah dikurung begitu saja di tempat itu,
benar-benarkah ia terbelenggu oleh Tok-sim-sin-mo, masih merupakan tanda tanya, entah
mengapa ia rela tinggal menetap di tempat itu?
Setelah dapat mencegat jalan mundur Hun Thian-hi dengan seksama orang itu juga
mengamatinya. sorot matanya mengunjuk rasa keheranan, sekian lama mereka beradu pandang,
tiba-tiba orang itu berkelebat pula merangsak maju pula.
Melihat orang begitu berani bertangan kosong menempur senjata serulingnya, mau tak mau
Hun Thian-hi merasa kagum, seumpama Bu-bing Loni sendiri juga tidak akan berani begitu
takabur memandang pada dirinya.
Seruling Hun Thian-hi mendadak terangkat ke atas ujungnya telak sekali mengarah jalan darah
Hou-kiat-hiat. Tapi baru saja ia bergerak, tiba-tiba serasa pandangan matanya kabur, berbareng
serumpun angin keras menerjang ke arah badannya, entah cara bagaimana tahu-tahu orang itu
sudah mendesak tiba sampai dekat sekali dihadapannya, sebelah telapak tangannya menyelonong
tiba terpaut satu dim dari tulang iganya.
Keruan Hun Thian-hi terkejut, cepat ia tarik serulingnya terus putar balik menutuk punggung
orang, berbareng kakinya menggeser mundur mencari posisi yang lebih menguntungkan, dalam
jarak yang hanya terpaut beberapa mili saja secara untung2an ia berhasil terhindar dari pukulan
musuh. Tapi tak urung keringat dingin sudah membasahi punggungnya saking kagetnya. Gerak
gerik yang begitu aneh benar-benar belum pernah dilihat selama ini, apalagi orang aneh ini
membekal racun berbisa yang teramat jahat, sedikit kena seumpama tidak mati pasti celaka
jiwanya.
Melihat Hun Thian-hi dapat berkelit dari rangsekan pukulannya orang itupun mengunjuk rasa
heran, adalah sangat mustahil ada orang yang bisa lolos dari serangan jahat yang sangat berbisa
dan ampuh dari pukulan mautnya.
Tidak heran kalau Hun Thian-hi mengalirkan keringat dingin, tujuan Tok-sim-sin-mo cukup keji,
jelas ia sengaja menjebak dirinya kemari supaya dirinya mampus di tangan manusia berbisa yang
lihay ini. Begitulah dengan pandangan mata berkilat warna kebiruan, beruntun ia lancarkan pula
tiga pukulan berantai yang aneh, Hun Thian-hi menjadi kelabakan tak tahu dia cara bagaimana ia
harus menghadapi atau melawan ilmu silat yang aneh dan lucu itu, terpaksa ia mundur dan
menjaga diri.
Semakin dalam, keadaan gua di dalam semakin gelap gulita, kelima jari sendiripun tidak
kelihatan lagi. Tiga pukulan berantai musuh berturut-turut telah disambut oleh Hun Thian-hi
secara kekerasan sembari mundur, sampai babak terakhir ini baru Thian-hi mendapatkan bahwa
Lwekang musuh ternyata tidak sehebat seperti permainan pukulannya yang lihay dan aneh itu,
orang tidak lain cuma mengandalkan gerak tubuh dan langkah kakinya yang aneh.
Dalam pada itu, orang laki-laki itu telah melancarkan pula sebuah pukulan kepada Thian-hi.
Sekonyong-konyong Hun Thian-hi merasakan sesuatu keganjilan. terasa olehnya orang ini
merabukan serangkaian pukulannya dengan gencar tujuannya tak lain tak bukan hanya mendesak
dirinya masuk mundur ke dalam gua yang lebih gelap sana, cepat timbul rasa was-was dalam
hatinya, entah ada apa di dalam gua gelap dibelakangnya sana, betapapun harus hati-hati supaya
tidak terjebak oleh musuh.
Karena kekuatirannya ini segera ia layangkan serulingnya dengan jurus Liu-si-jian-tiu melintang
ke depan, sekonyong-konyong ia mendapat firasat jelek, betapapun ia tidak bisa mundur lebih
lanjut ke dalam gua gelap sana.
Jurus permainan seruling Thian-hi ini punya ragam yang berlainan, dapat menyerang juga
dapat menjaga diri, tapi lagi-lagi orang itu menggerakan badannya dengan kelakuan yang teramat
aneh, tahu-tahu sebelah telapak tangannya sudah menyelonong tiba, tiba-tiba pula tubuhnya
sudah menyelundup masuk ke dalam taburan sinar serulingnya.
Semakin ciut nyali Thian-hi, sungguh tidak habis otaknya berpikir cara rangsakan serulingnya
yang rapat itu tidak mampu merintangi gerak tubuh lawan menurut penilaiannya jurus Liu-si-jiangtiu
merupakan tipu penjagaan yang teramat rapat dan ketat sekali tiada jurus tipu permainan silat
lainnya yang dapat dibanding dengan kehebatannya. Tapi kenyataan dihadapi olehnya sendiri
bahwa musuh begitu gampang menyelundup masuk ke dalam tabir sinar serulingnya yang ketat
itu, betapa hatinya takkan ciut dan gentar.
Terpaksa Hun Thian-hi mencelat jauh ke belakang, baru saja kakinya menyentuh tanah.
mendadak segulung angin keras menerjang tiba dari arah belakangnya, terjangan angin keras ini
begitu pesat dan besar sekali, sehingga Hun Thian-hi tambah terkejut. Cepat seruling diayun ke
belakang dengan seluruh kekuatannya ia sambut terjangan angin keras itu.
Tapi terjangan angin keras itu seperti hidup saja mendadak membelok ke atas mengarah jalan
darah mematikan dipunggung Thian-hi, jaraknya terpaut tiga dim saja. Jantung Thian-hi seperti
hampir meledak saking kejut dan takutnya, cara gerak serangan yang membokong dari belakang
ini hakikatnya sama dengan permainan Tosu di hadapannya ini, malah cara serangan dan
tenaganya yang aneh itu jauh lebih hebat….
Untuk berkelit terang tidak sempat lagi, terpaksa Hun Thian-hi menghardik keras secara reflek
serulingnya menyendal ke atas pula melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek, dengan kekuatan jurus ilmu
pedang yang tiada taranya ini. segulung tenaga Lwekang yang ampuh berputar menggulung balik
menyongsong serangan musuh.
Betul juga usahanya rada berhasil, terjangan angin keras di belakang itu sementara kena
dibendung mundur, cepat Hun Thian-hi berdiri mepet dinding dan memiringkan badannya, waktu
ia berpaling ke arah sana dilihatnya yang menyerang dari belakang tadi kiranya seekor ular warna
putih laksana salju. Panjang ular ini tidak lebih tiga kaki, kedua biji matanya merah darah
menyorong menakutkan, pelan-pelan badannya melingkar dan melata dari tempat yang gelap
sana, dengan tajam kepalanya terangkat mengawasi Hun Thian-hi, mulutnya terpentang dan
lidahnya terjulur keluar.
Tosu tinggi besar itu mencegat jalan keluar, dengan pandangan keheranan ia awasi Thian-hi,
kesudahan dari gebrak terakhir antara Hun Thian-hi melawan ular putih itu sungguh diluar
perhitungannya. Sungguh hebat Hun Thian-hi dapat menangkis serangan si ular putih kecil yang
hebat itu. Tidaklah berkelebihan rasa kejutnya itu karena ia pun mengenali Wi-thian-cit-ciat-sek
yang dilancarkan oleh Thian-hi.
Semakin mencelos hati Thian-hi, si Tosu seorang sudah begitu lihay dan sulit dilayani, kini
ketambahan seekor ular yang tidak kalah hebatnya, betapapun dirinya tidak akan mampu
melawan, untuk lolos dari kepungan seorang manusia dan ular berbisa yang lihai ini, boleh dikata
sesulit memanjat ke atas langit.
Sambil memicingkan mata setindak demi setindak si Tosu tinggi besar itu mendesak maju. Hun
Thian-hi berdiri tegak melintangkan seruling di depan dada dan otaknya beruntun memikirkan
berbagai persoalan yang tidak terpecahkan olehnya. Ia curiga akan pengalaman yang aneh ini,
masakah aku harus mati secara konyol di tempat ini? Bagaimana mungkin Tosu tinggi besar ini
berbentuk begitu mirip dengan Giok-yap Cinjin, apakah dia punya sangkut paut dengan
Ciangbunjin Bu-tong-pay itu? Mungkin seperti Hwesio jenaka dan Mo-bin Suseng mereka adalah
saudara kembar.
Tengah pikirannya melayang, Tosu itu sudah mendesak dekat, Hun Thian-hi mengertak gigi
seruling ditangannya teracung miring ke depan dengan setaker tenaganya ia lancarkan pula Withian-
cit-ciat-sek seiring dengan gerak serulingnya badannya pun menerjang maju ke depan.
sergapan mendadak Hun Thian-hi memang cukup dahsyat. Tosu besar itu rada terkejut dan
menyurut mundur ke belakang. Dengan melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek tujuan Thian-hi bukan
melukai orang, maka begitu badannya terbang ke depan terus menerjang kemulut gua. Tapi ular
putih kecil di belakangnya itupun tidak tinggal diam laksana anak panah iapun terbang mengejar,
secepat kilat mematuk kepunggung Thian-hi.
Keruan Thian-hi menjadi merinding dan terperanjat, ia tahu bahwa ular macam itu pasti sangat
beracun, sedikit kulit kena terluka oleh giginya jelas tidak akan tertolong lagi jiwanya, terpaksa ia
harus membalikan tubuh dengan Wi-thian-cit-ciat-sek untuk membela diri mendesak mundur siular
putih itu.
Sedikit merandek karena gangguan serangan siular kecil ini kesempatan lolos Hun Thian-hi
menjadi sia-sia, ia terkepung pula diantara gencetan si Tosu dan ular putih kecil yang lihay itu.
Kedua belah pihak sama berdiam diri sama memikirkan cara untuk merobohkan lawan,
ketegangan mencekam sanubari mereka.
Tanpa berjanji sebelumnya, mendadak si Tosu dan ular kecil itu sama bergerak dari dua
jurusan menerjang kepada Hun Thian-hi. Bercekat jantung Thian-hi, terpaksa serulingnya
ditaburkan pula dengan Wi-thian-cit-ciat-sek, tujuh gelombang angin dahsyat menerpa hebat ke
arah si Tosu dan ular kecil itu.
Gesit dan lincah sekali tiba-tiba ular putih melejit lebih tinggi dan menyendal maju melesat
ketenggorokan Hun Thian-hi. Keruan bukan kepalang kejut Thian-hi, bahwa si ular kecil tidak takut
keterjang tenaga pukulan Wi-thian-cit-ciat-sek yang dahsyat itu, ia berdiri mepet dinding untuk
mundur sudah tidak bisa lagi, terpaksa hanya mengandal keampuhan Wi-thian-cit-ciat-sek saja
untuk menggempur dan merintangi serangan ular putih itu.
Diluar dugaan ular kecil itu tersapu mental tiga tombak jauhnya oleh ketukan seruling Hun
Thian-hi, tapi karena sampokan kepada ular putih itu sehingga gerakan seruling Hun Thian-hi rada
lamban. dan kesempatan ini dipergunakan pula oleh si Tosu untuk mendesak maju dengan
tepukan kedua telapak tangan kedada Hun Thian-hi.
Tanpa banyak pikir Hun Thian-hi berkelit kesamping, tapi sudah terlambat, pukulan lengan
orang itu telak sekali mengenai pundak kiri Hun Thian-hi, seketika Thian-hi rasakan seluruh
pudaknya kiri kesemutan dan hilang rasa. Waktu ia menoleh dalam sekejap waktu seluruh lengan
kirinya sudah melepuh besar tiga kali lipat.
Thian-hi insaf bahwa ia telah kena racun yang teramat jahat, mungkin jiwa sendiri sudah tidak
tertolong lagi, dengan rasa kecewa dan lesu perlahan-lahan ia meloso duduk bersimpuh.
Begitu pukulannya berhasil melukai Hun Thian-hi Tosu itupun lantas mundur. gesit sekali ia
melejit ke arah ular putih serta memeriksanya dengan teliti. Ular putih itu rebah dengan lemas,
agaknya jatuh pingsan, rada lama kemudian baru bisa bergerak dan melata dengan amat
payahnya.
Melihat siular putih sudah dapat bergerak baru si Tosu berdiri lagi. dengan pandangan dingin
mengancam ia awasi Hun Thian-hi.
Sementara itu Thian-hi kerahkan lwekangnya untuk mendesak hawa racun supaya tidak
menjalar lebih jauh ke dalam tubuhnya.
Tosu itu menyeringai, jengeknya, “Ilmu silatmu cukup tinggi, tapi akan kubuat kau mati
berangsur-angsur. Kau sudah terkena racunku, kau kira kau bisa mendesaknya supaya tidak
menjalar ke dalam tubuhmu?”
Dengan tajam Thian-hi pun pandang orang itu, sesaat kemudian ia bertanya, “Siapa kau
sebenar-benarnya? Kenapa kau harus bunuh aku?”
“Jangan kau peduli siapa aku,” jengek orang itu pula. “Siapapun yang masuk kemari jangan
harap bisa hidup ditanganku, dan kenapa sebabnya kau tidak perlu tahu!”
Waktu berkata-kata sedikitpun Tosu ini tidak menunjukkan perasaan hatinya, semakin
mencelos hati Thian-hi menghadapi manusia sadis yang tidak diketahui asal-usulnya ini. Dari nada
perkataan orang kedengarannya jiwa sendiri terang tidak tertolong lagi. Terpaksa ia tinggal diam
saja dan memejamkan mata, ia duduk bersimpuh dengan tenang dan mengerahkan tenaga.
Orang itu mengamat-amati Thian-hi lagi, hatinya rada heran, dengan usia Hun Thian-hi yang
masih begitu muda, ilmu silatnya ternyata begitu lihay, betul-betul sangat mengejutkan hatinya,
kalau tidak menghadapi sendiri ia tidak akan mau percaya.
Mendadak hatinya seperti semakin menciut dan mencelos, air muka Hun Thian-hi tadi sudah
berubah ungu dan membiru, tapi sekarang lambat laun semakin menghilang dan segar bugar
kembali, ini boleh dikata suatu hal yang luar biasa dan tidak mungkin terjadi. Barang siapa yang
terkena racunnya, mana dapat hidup? Ia yakin betapapun tinggi ilmu silat orang itu umpama
setinggi langitpun jangan harap bisa mendesak bujar racun yang mengeram dalam tubuhnya.
Apalagi racun itu adalah racun ciptaannya yang teramat jahat,
Saking tidak percaya akhirnya ia bertanya pada Thian-hi, “Siapa kau? Apa tujuanmu kemari?”
Dengan Lwekangnya Thian-hi berusaha membendung menjalarnya racun dalam tubuhnya,
namun hasilnya tetap nihil karena hawa racun terus merembes masuk melalui sendi urat nadinya
tersebar luas di seluruh tubuh, ia menjadi putus asa, dengan, membuka mata ia berkata tawar,
“Sekarang baru kau bertanya, apa gunanya?”
Orang itu mendengus, katanya, “Ingin aku tahu siapa kau sebenar-benarnya?”
Thian-hi pejamkan mata lagi tanpa bersuara. sesaat kemudian baru ia berkata dengan kalem,
“Apa kau ingin mendirikan batu nisanku? Kukira tidak perlulah.”
Orang itu rada terkejut, katanya dingin, “Kau tidak akan mati. Cuma aku ingin tahu dengan
cara apa kau dapat memunahkan racunku itu.”
Thian-hi tersentak kaget sambil membelalakkan matanya, lambat laun memang ia merasakan
semangat semakin segar dan pulih kembali seperti sedia kala, dengan cermat ia menepekur sekian
lamanya ia belum mendapat jawaban yang tepat. Sekonyong-konyong hatinya seperti sadar. Buah
ajaib! Tentu oleh khasiat buah ajaib itulah. Bukankah ia pernah menelan beberapa butir buah
ajaib, maka seluruh tubuhnya sekarang tidak perlu takut menghadapi segala bisa atau racun.
Hatinya menjadi girang, katanya riang, “Kalau kau ingin tahu sudah tentu boleh kuberitahu
kepada kau. Tapi kau harus beritahu lebih dulu padaku, siapa kau sebenar-benarnya. Kenapa
bentuk wajahnya serupa benar-benar dengan Ciangbunjin Bu-tong-pay?”
Raut muka orang itu berkerut-kerut agaknya ia menjadi berang, dengusnya, “Tapi akupun perlu
tanya kau lebih dulu. Untuk apa kau kemari? Untuk mencari harta benda itu bukan?”
Bab 27
Thian-hi melengak, bahwasanya ia tidak tahu bahwa di dalam Jian-hud-tong ini ada tersimpan
harta benda apa maka ia menyahut tawar, “Untuk mencari harta? Kalau untuk harta benda apa
perluku kemari. yang terang aku dipancing Tok-sim-sin-mo masuk ke tempat ini.”
Agaknya orang itu juga merasa diluar dugaan.
“Tok-sim-sin-mo?” gumamnya, matanya segera memancarkan rasa gusar yang berapi-api,
sesaat kemudian baru ia bersuara pula, “Kau ahliwaris dari Wi-thian-cit-ciat-sek? Siapa kau? Dan
murid siapa?”
Melihat sikap orang sudah tidak segarang semula, Thian-hi menjadi lega, sahutnya kemudian,
“Benar-benar aku ahliwaris Wi-thian-cit-ciat-sek, Aku bernama Hun Thian-hi. Murid Lam-siau!”
“Lam-siau?” dengus orang itu.
“Ya!” sahut Thian-hi tersenyum ewa. “Tapi Ka-yap Cuncia menganugerahkan Wi-thian-cit-ciatsek
kepada aku, apakah ada salahnya? Sudan banyak yang kau tanyakan padaku, sekarang
giliranku bertanya pada kau. Siapa kau sebenar-benarnya?”
Agaknya orang itu rada melengak akan jawaban dan pertanyaan Thian-hi, sesaat baru ia
menjawab, “Tak menjadi soal kau tahu siapa aku. Akulah Pek-tok-kau Kaucu Pek-tok Lojin!”
Thian-hi tercengang. Pek-tok-kau bercokol di daerah barat daya. Pek-tok Lojin merupakan calon
seorang iblis yang sangat disegani pada jamannya dulu, sepuluh tahun yang lalu mendadak
menghilang dari percaturan dunia persilatan hingga kini belum diketemukan jejaknya, sehingga
Pek-tok-kau pun menjadi cerai berai dan bubar karena tiada orang yang memimpinnya. Siapa
duga sepuluh tahun kemudian, Pek-tok Lojin muncul pula di dalam gua yang sempit dan gelap ini,
malah membekal ilmu silat yang lebih aneh dan lihay lagi. sungguh sulit dibayangkan akan
kebenar-benarannya.
Dan yang menambah keheranannya bahwa Pek-tok Lojin kenapa bermuka mirip sekali dengan
Giok-yap Cinjin. Tokoh macam Pek-tok Lojin yang diberitakan di Kangouw dulu tidak menyerupai
bentuknya sekarang.
Agaknya Pek-tok Lojin tahu apa yang tengah di sangsikan oleh Thian-hi, katanya tertawa
dingin, “Kau heran kenapa aku berubah seperti bentukku ini bukan? Baiklah kujelaskan. Sepuluh
tahun yang lalu aku masuk ke Jian-hud-tong dengan tujuan mencari Ni-kay-ki-tin, tapi sepuluh
tahun kemudian baru aku berhasil dapat keluar.”
Tersentak hati Thian-hi, serunya, “Ni-hay-ki-tin?” — Hampir ia tidak percaya pada
pendengarannya bahwa Ni-hay-ki-tin berada di dalam Jian-hud-tong ini, mimpi juga tidak
menduga sebelumnya.
“Ya, berada di dalam gua ini,” jengek Pek-tok Lojin. “Jika masuk lebih dalam sana tibalah di Mikiong
(istana sesat), aku masuk kesana dan menghabiskan waktu sepuluh tahun baru berhasil
keluar. Waktu berjalan keluar aku sudah kehabisan tenaga, kebetulan bentrok dengan Tok-simsin-
mo. Dalam keadaan payah sudah tentu aku bukan tandingannya, gampang saja aku teringkus
olehnya, dia mengupas kulit mukaku dan mengganti dengan bentuk lain, ia menekan aku harus
mendengar perintahnya!” ~ sampai disini ia bergelak tawa saking murka dan penasaran.
Sekarang baru jelas bagi Thian-hi duduk perkara sebenar-benarnya Tok-sim-sin-mo memang
sengaja hendak membuat geger dunia persilatan dengan rencana jangka panjang secara diamdiam
ia menculik jasat Giok-yap Cinjin dan mengelupas kulit mukanya untuk ditempelkan di muka
Pek-tok Lojin, secara berani ia coba-coba melaksanakan rencana jahatnya. Untung Pek-tok Lojin
tidak sampai kena diperalat olehnya, kalau tidak entah bagaimana jadinya dengan gelombang
pertikaian dunia persilatan.
Terdengar pula Pek-tok Lojin melanjutkan, “Beruntung akhirnya aku dapat lolos dari
genggamannya itu, aku sembunyi di tempat ini dan kebetulan ketemu dengan Siau pek-mo (siular
putih kecil, pernah terjadi hampir saja Tok-sim~sin-mo menemui ajalnya di bawah keganasan bisa
Siau-pek-mo. Sayang ia takut melihat sinar cahaya!” — Sampai disini ia merandek lalu
sambungnya mendengus dingin, “Kalau tidak mungkin sejak lama bersama Siau-pek-mo aku
sudah keluar dari gua ini. Tapi selama mengeram diri disini aku berhasil juga mempelajari Lingcoa-
pou, tapi aku tak kuasa meninggalkan tempat ini.”
Hun Thian-hi berpikir sejenak. lalu katanya, “Cara Bagaimana kau bisa punya hasrat untuk
mencari Ni-hay-ki-tin itu. Kalau kau tidak memiliki Badik buntung mana bisa menemukan Ni-hayki-
tin itu?”
Pek-tok Lojin terkekeh dua kali, ujarnya, “Bagaimana juga, aku harus menemukan Ni-hay-ki-tin
itu. Sepuluh. tahun aku berdiam dalam gua ini, selama sepuluh tuhun ini aku sudah menjelajahi
seluruh Mi-kiong (istana sesat), di setiap tempat penting ada kutinggalkan tanda2 rahasia, aku
tahu cara bagaimana masuk juga tahu cara bagaimana keluar. Aku percaya sekali lagi aku masuk
kesana pasti dapat menemukan Ni-hay-ki-tin itu!”
Hun Thian-hi tertawa tawar, katanya, “Mungkin kau bisa, apakah kau yakin benar-benar sekali
lagi hendak kesana, kau tidak bakal tinggal terkurung lagi selama sepuluh tahun?” — berhenti
sejenak lalu ia melanjutkan, “Kau sudah berkorban sepuluh tahun, sehingga Pek-tok-bun lenyap
dan dilupakan para sahabat Kangouw, kau mendapat lebih banyak atau kehilangan lebih banyak?
Coba kau renungkan antara untung dan ruginya.”
Pek-tok Lojin menggeram, ia menunduk tanpa bersuara.
Hun Thian-hi berkata lebih. lanjut, “Kalau kau sudah tahu bahwa Ni-hay-ki-tin pasti tersimpan
di dalam Jian-hud-tong, masa tiada orang lain pula yang tahu? Kenapa mereka tidak meluruk
kemari? Bukan mustahil kehilangan atau kerugian yang mereka derita jauh lebih besar dari apa
yang mereka dapatkan.”
Pek-tok Lojin menggeram sekali lagi, meski wataknya keras dan seperti penasaran tapi hatinya
sudah mulai menyesal, tekadnya mencari Ni-hay-ki-tin semula memang menyala-nyala, dan
usahanya ini merupakan suatu taruhan yang sangat berbahaya bagi jiwa dan raganya. Alhasil ia
kalah dalam taruhan, apakah aku harus melanjutkan permainan judi ini? Atau berhenti sampai
disini saja? begitulah ia sedang menerawang apa yang harus dia lakukan selanjutnya.
Sementara itu Hun Thian-hi juga sedang melayangkan pikirannya, ia rasakan betapa culas dan
keji jiwa Pek-tok Lojin ini, bila sekarang dia dapat keluar, pasti harus dua orang bersamaan, tak
mungkin seorang diri ia keluar dengan selamat tanpa kurang suatu apa. Tapi bila dapat keluar.
pasti Pek-tok Lojin bakal menimbulkan bencana bagi kaum persilatan umumnya, ini merupakan
suatu persoalan pelik yang sulit dipecahkan.
Ia berpikir cara bagaimana supaya Pek-tok Lojin tidak mengganas pula di Bulim bila nanti bisa
keluar? Kecuali Pek-tok Lojin’ dapat digugah watak dan pikiran sesat menjadi lurus, kalau tidak
tiada jalan lain yang lebih sempurna.
Akhirnya Pek-tok Lojin angkat kepala, katanya kepada Hun Thian-hi, “Apa yang sedang kau
pikirkan?”
“Aku terpikir bila seseorang dapat melanjutkan kehidupannya dalam keadaan keputus-asaan,
lalu apa yang harus dia lakukan?”
Berkilat biji mata Pek-tok Lojin, dua kali hidungnya mendengus, katanya, “Aku pun tidak tahu.
Kenapa kau harus berpikir sedemikian banyak dan begitu rumit?”
Thian-hi menyahut pelan-pelan, “Aku merasa itu sangat penting. Sekarang kita harus siap dan
menyadari lebih dulu apa yang harus kulakukan sesudah aku dapat keluar?”
“Jangan kau berangan2.” demikian jengek Pek-tok Lojin, “Kita berdua tidak akan mampu
keluar, seorang diri aku sudah terkurung sepuluh tahun, mendapat kau sebagai teman juga
bolehlah”
“Memang mungkin tak bisa keluar. Tapi apakah kau tidak ingin keluar?”
“Keluar? Kerdil benar-benar pikiranmu. Seumpama tiada orang yang merintangi kau, kau takkan
mampu keluar seorang diri, apalagi Tok-sin-sim-mo ada diluar sana, memasang berbagai alat
rahasia lagi. untuk keluar sesulit memanjat ke atas langit.”
Hun Thian-hi tersenyum, katanya, “Betapapun sukarnya, aku harus keluar. Masih banyak tugas
yang harus kurkerjakan, aku harus keluar!”
“Anggapmu aku sendiri tidak punya urusan?”
Hun Than hi pandang Pek-tok Lojin, terlihat sorot matanya mengunjuk rasa kepedihan hatinya
ia tertawa lalu berkata, “O, begitu? Semula kusangka kau tidak ingin keluar?”
Melihat sikap Pek-tok Lojin, ia mereka-reka orang pasti mempunyai ganjalan dalam lubuk
hatinya, tapi entah persoalan apa. Pikirnya siapa saja, setiap manusia bila dia masih punya rasa
perikemanusiaan. hatinya tentu takkan terlalu bejat, sebelum watak kemanusiaannya pudar pasti
dia dapat diinsafkan dari perbuatan jahatnya, manusia sejak dilahirkan memang bersifat bijaksana
dan kenal cinta kasih. soalnya cara bagaimana ia menjalani hidupnya dalam pergaulan
masyarakat. Demikianlah Pek-tok Lojin, meskipun ia jahat dan keji. namun dia masih mempunyai
kesadaran jiwa yang masih bisa ditolong dari jurang kesesatannya.
Pek-tok Lojin menjengek hidung, ia menengadah dan berpikir.
Hun Thian-hi tertawa-tawar, katanya, “Di mulut saja aku bicara; tapi asal percaya bahwa setiap
orang tentu mempunyai gagasan hidupnya. masih banyak urusan yang mesti kukerjakan. Dan
karena semua urusan itulah aku harus berjuang untuk hidup, maka aku harus keluar dengan tetap
hidup. Entahlah dengan persoalanmu!’“
“Seumpama kau tadi sudah ajal di tanganku bagaimana?”
“Kenyataan aku masih hidup! Sepuluh tahun lamanya kau tersekap dalam gua ini kau masih
tetap hidup, kenapa?”
Pek-tok Lojin tertunduk lebih dalam. terketuk sanubarinya.
Hun Thian-hi berkata pula, “Selama kita masih hidup, meski hanya satu hari. maka kita harus
menjadi manusia, secara baik-baik. Kau tahu apakah manusia itu? Manusia itu adalah yang punya
jiwa dan prikemanusiaan, bila seseorang telah kehilangan prikemanusiaan, maka dia bukan
manusia lagi.”
Mendadak Pek-tok Lojin angkat kepala, matanya mendelik gusar kepada Thian-hi desisnya,
“Kau sedang memberi pengajaran kepadaku?”
“Kau tersinggung?” ujar Thian-hi tawar, “Aku tidak tahu asal-usulmu, tidak tahu karaktermu,
mana bisa aku menyinggung kau?” sampai disini ia menepekur sebentar lalu sambungnya, “Kau
pun tidak tahu riwayat hidupku. Ketahuilah ayahku menjadi korban secara konyol karena memiliki
Badik buntung, akhirnya beliau meninggal di tangan Mo-bin Suseng.” dengan kalem lalu ia
menceritakan pengalaman hidupnya selama ini.
Pek-tok Lojin mendengarkan dengan seksama, hatinya mulai tergugah, lambat laun ia seperti
baru siuman dari tidurnya yang pulas dan masih ragu-ragu akan impian yang dialaminya. dalam
tidur pulasnya itu. Dia masih belum mau percaya begitu saja akan ketulusan hati Thian-hi
menceritakan segala urusan yang melibatkan dirinya dengan panjang lebar. Tapi keadaan mau
tidak mau mengharuskan dia mesti percaya. Segala urusan sampai yang paling mendetail semua
diceritakan oleh Hun Thian-hi tanpa malu-malu, satupun tiada yang disembunyikan.
Begitulah dalam pendegaran itu, hatinya pun ikut bergejolak akan situasi Kangouw yang timbul
tenggelam, ia merasa kuatir pula akan urusan dirinya yang masih mengganjal dalam sanubarinya
Ia merasa masih banyak urusan atau pekerjaan yang harus segera ia lakukan.
Sesaat lamanya cerita Hun Thian-hi berakhir, sambil tertawa ia menambahkan, “Adalah sangat
gampang bagi seorang manusia untuk berbuat kelewat batas diluar kesadarannya, sebuah urusan
yang dianggap sepele atau tidak berarti bagi orang itu, dapat meninggalkan kesan yang mendalam
dan diukir di lubuk hati orang lain. Umpamanya aku dengan menggunakan jurus Pencacat langit
pelenyap bumi sekaligus kubunuh puluhan jiwa manusia, tatkala itu aku merasa aku tidak berdosa,
mungkin tujuanku melulu untuk membela diri dan demi keselamatan jiwa, tapi orang lain
sebanyak puluhan orang harus dikorbankan, seumpama mereka tidak menyesali perbuatanku, aku
pun akan menyesal dan selalu menjanggal dalam sanubariku…. yang jelas keluarga atau sanak
famili orang-orang yang menjadi korban itu akan membenci dan dendam kepadaku selama hidup
ini!”
Pek-tok Lojin menepekur diam, agaknya benaknya mulai menyadari akan perbedaan antara
baik dan buruk, asal kita berbuat berlandaskan kebenar-benaran dengan kebijaksanaan pula,
dengan adanya cinta kasih bagi sesama umat manusia pula, orang akan tergugah dari pikiran
sesatnya dan kembali ke jalan benar-benar.
Dengan tertawa Hun Thian-hi menandaskan, “Aku harus keluar, bagaimanapun akibatnya!.”
Pek-tok Lojin menunduk, tekad Hun Thian-hi begitu besar, membuat hatinya merasa sesal dan
terketuk, akhirnya ia membuka mulut dan tersenyum, katanya, “Sepuluh tahun yang lalu waktu
aku meninggalkan rumah, keluargaku melarang aku kemari, tapi akhirnya aku kemari juga.
Diwaktu aku terkenang pada mereka, mereka sudah tidak berada di sampingku lagi!”
Mendengar ucapan dan sikap Pek-tok Lojin, sungguh berjingkrak hati Thian-hi katanya,
“Mengandal kekuatan kita bersama, mungkin dapat menjebol keluar gua.”
Pek-tok Lojin menunjuk memandangi si ular putih kecil yang melingkar di tanah, sambil
menghela napas ia ulapkan tangannya ke arah si ular putih serta berkata, “Kau masuklah, aku
hendak pergi, kelak kutengok disini.”
Ular kecil putih itu seperti bisa mendengar ucapan manusia, ia berputar satu lingkaran di bawah
kaki Pek-tok Lojin sambil menengadahkan kepalanya lalu melata masuk ke dalam gua yang dalam
dan gelap sana.
Setelah melihat si ular putih itu menghilang, Pek-tok Lojin menghela napas panjang, keadaan
memaksa dia harus meninggalkan tempat ini, mendadak merasa kepercayaan pada dirinya
bertambah kuat dan teguh, seolah-olah ia sudah mendapat firasat dan yakin benar-benar bersama
Hun Thian-hi mereka akan dengan mudah bebas dari kurungan.
Akhirnya ia berpaling ke arah Thian-hi, katanya, “Baik, mari kita berangkat!”
Hun Thian-hi tertawa lebar dan puas, terasa olehnya bahwa sekarang Pek-tok Lojin sudah pulih
kembali akan kesadaran kemanusiaannya, seolah-olah ia seperti kehilangan suatu tekanan
sehingga hatinya terasa longgar dan enteng. Sementara racun di lengan tangannya pun sudah
lenyap dan sudah pulih seperti sediakala. Begitulah mereka beranjak keluar, dia belum tahu
apakah mereka bakal mampu menerjang keluar dari kepungan yang ketat dalam gua yang penuh
alat2 rahasia, tapi mereka harus mencoba dan berjuang.
Setelah Tok-sim-sin-mo memancing dan menjebak Hun Thian-hi masuk ke jalan rahasia itu,
akhirnya ia meloloskan diri melalui jalan rahasia lainnya, sambil mengulum senyum kemenangan
dan sinis ia tinggal pergi, ia tahu akan tabiat Pek-tok Lojin kalau Hun Thian-hi masuk ke sana jelas
kematianlah yang bakal menimpa dirinya, apalagi. muka Pek-tok Lojin sudah dikelupas dan diganti
dengan kulit muka Giok-yap Cinjin, dalam keadaan kaget dan ketakutan melihat keadaan yang
seram itu, bukan mustahil Hun Thian-hi mesti terbunuh oleh Pek-tok Lojin yang ganas itu.
Begitulah sambil berpikir2 dengan keriangan hatinya langsung ia melangkah ke kamar tahanan
Coh Jian-jo. Kira-kira beberapa kejap kemudian, waktu ia tiba di sebuah jalan lorong yang lurus,
dilihatnya Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho berlari-lari mendatangi tergesa-gesa, kontan ia
mengerut alis, cepat Bing-tiong-mo-tho maju memberi hormat serta memberi lapor, “Pangcu! Hun
Thian-hi sudah menyelundup masuk di Jian-hud-tong!”’
Tok-sim-sin-mo menyapu pandang mereka, katanya, “Dia sudah kupancing menuju ke tempat
Pek-tok Lojin, mari kita tengok keadaan Coh Jian-jo!”
Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho saling pandang dengan terkejut, mereka terbungkam
seribu basa, betapapun Tok-sim-sin-mo jauh lebih hebat dan lihay dalam segala tindak tanduk,
begitulah mereka mengintil di belakang orang.
Waktu mereka sampai di kamar batu itu, tampak Coh Jian-jo sedang duduk terpekur entah
memikirkan apa. Pelan-pelan Tok-sim-sin-mo maju menghampiri, katanya menjengek dingin, “Coh
Jian-jo! Pek-tok-hek-liong-ting buatanmu itu sungguh baik sekali, ja, aku harus berterima kasih
kepada kau. Apakah kau pernah memikirkan cucumu perempuan?” — Nadanya sinis matanya
berapi-api mengunjuk hawa membunuh.
Pelan-pelan Coh Jian-jo bangkit sahutnya, “Hal itu sejak mula memang kuketahui, meski aku
tahu cara membuatnya, tapi baru pertama kali itu kupraktekkan pembuatannya bukan mustahil
ada kekurangannya.”
Tiba-tiba telapak tangan Tok-sim-sin-mo melayang dan “Plok” Coh Jian-jo ditamparnya sampai
tersungkur jatuh, mulut Tok-sim-sin-mo mendesis dengan kejam, “Benar-benarkah begitu?”
Perlahan-lahan Coh Jian-jo merangkak bangun, dengan bungkam ia berdiri tegak.
Tok-sim-sin-mo menj< i katanya, “Tidak menjadi soal bila kau ingin modar, tapi kau harus ingat cucumu perempuan berada ditanganku, hati-hatilah aku bisa menyiksanya dengan berbagai alat kompes, tahu!” Raut mata Coh Jan-jo berkerut-kerut dan gemetar, katanya, “Kau tak perlu berlaku kasar padaku, bila kau baik kepadanya, aku akan bekerja lebih baik bagi kau, persetan dengan orang lain yang terang kau harus baik-baik terhadap cucuku.” Biji mata Tok-sim-sin-mo jelalatan, katanya, “Jangan kau main-main dengan aku, bila hasilnya tidak memuaskan, akan kupertontonkan kepadamu betapa dia menderita!” Ternyata Coh Jan-jo menyahut dengan tawar, “Hun Thian-hi memperoleh Wi-thian-cit-ciat-sek, meski sekarang belum sempurna latihannya sehingga Lwekangnya tidak bisa disalurkan sampai puncak tertinggi, tapi kau sendiri punya perhitungan dan tahu benar-benar lambat atau cepat Pektok- hok-liong-ting tidak akan dapat melawannya. Jikalau aku tidak bantu kau, kau akan roboh dan jatuh di tangannya.” Mendengar nada ucapan Coh Jan-jo mendadak berubah begitu ketus jauh berlainan dengan sikapnya semula, Tok-sim-sin-mo rada diluar dugaan, namun dasar cerdik terpikir olehnya dengan sikap Con Jian-jo yang aneh ini, pasti dia mempunyai suatu rahasia yang belum diketahui orang lain, kenapa aku tidak memanfaatkan tenaga dan pikirannya demi kepentinganku? Serta merta ia tertawa menyeringai lagi, ujarnya, “Sayang ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek sekarang sudah mampus!” Coh Jian-jo tersentak tertegun, ia tunduk termenung tanpa bersuara lagi! “Bagaimana?” desak Tok-sim-sin-mo. “Adakah yang perlu kau beritahukan kepadaku? Kalau tidak segera aku harus segera kembali, ingat cucumu perempuan berada di genggamanku!” Coh Jian-jo tertawa tawar, katanya, “Kalau kau mau melulusi satu permintaanku, akan kubuatkan semacam alat rahasia yang teramat jahat dan berbisa pada Kau, para orang-orang gagah di seluruh kolong langit ini tiada seorang pun yang mampu menyelamatkan diri dari serangan buah tanganku ini” Terpancar sinar terang dari biji mata Tok-sim-kin-mo, katanya, “Senjata rahasia apa, coba kau sebutkan dulu!” “Setelah alat rahasia itu dapat kuciptakan, seluruh kaum persilatan di Bulim pasti takkan memberi pengampunan kepadaku, tatkala itu seumpama kau melepas aku pergi, akupun takkan dapat keluar seorang diri. Tapi hanya satu pengharapanku kepada kau, lepaskan cucuku perempuan. sungguh aku akan sangat berterima kasih kepadamu!” Tok-sim-sin-mo terkekeh-kekeh, sejenak ia berpikir lalu katanya. “Kau katakan dulu barang apakah ciptaan barumu itu?” “Tidak!” sahut Coh Jian-jo menggeleng kepala. Kali ini aku tidak akan sebutkan lebih dulu!” Tok-sim-sin-mo tertawa kering, katanya, “Kau harus tahu. sekarang kaulah yang memohon kepadaku bukan aku yang meminta2 kepada kau, sedang cucu perempuanmu masih di tanganku, ingatkah kau!” “Aku tidak akan dapat kau ancam pula sekarang. kau sendiri akan paham, selamanya adalah kau yang meminta2 kepadaku, soalnya karena kau tangkap cucuku untuk dijadikan sandera belaka. Seumpama benar-benar Hun Thian-hi sudah meninggal, toh aku bukan tidak tahu orang pandai dan lihay di dunia ini bukan melulu dia seorang…. Terutama Ka-yap Cuncia belum lagi muncul, Bu-bing Loni kau jauh bukan tandingannya. meski jiwamu seorang dapat kau pertaruhkan atas jiwa kita kakek dan cucu tapi cobalah kau berpikir sekali lagi atau akan kutunggu sampai kau berpikir dua belas kali.” Berkilat-kilat sorot kekejaman dimata Tok-sim-sin-mo, dengan geram ia membanting kaki, dengusnya, “Urusan tidak segampang seperti yang kau katakan, aku boleh mati ditangan Ka-yap Cuncia, atau terbunuh oleh Bu-bing Loni, tapi mungkin cucumu bisa segera mampus dihadapanmu.” Coh Jian-jo rada terpengaruh akan ancaman ini, katanya sember, “Kau pun tahu Ka-yap Cuncia selamanya tidak membunuh orang, bila dia meringkus kau, mungkin kau bisa disekap lagi selama lima puluh tahun!” Biji mata Tok-sim-sin-mo semakin mendelik gusar, desisnya, “Kau sangka aku bakal tunduk akan ancamanmu?” “Aku tidak tahu apakah kau bakal menyerah,” ujar Coh Jian-jo, “Tapi bila kau melebarkan pandanganmu mungkin kau akan berbuat menurut usulku!” “Coba kau terangkan dulu, senjata rahasia macam apa?” Sesaat Coh Jian-jo beragu, akhirnya ia membuka mulut, “Namanya Kiu-siau-biat-hun-tan! Terbikin dari bahan pembakar yang paling ganas, tiada seorang pun yang kuat bertahan dari semburan api yang dahsyat.” ‘ “Baik. sesaat berpikir Tok-sim-sin-mo lantas menyetujui, “Sekarang juga kusiapkan peralatannya, besok dapat kau mulai bekerja” — lalu ia menyeringai dingin dengan penuh kemenangan, bergegas ia membalik terus tinggal pergi. Setelah Tok-sim-sin-mo pergi Coh Jian-jo menghela napas, dilihat dari sikap orang terang dia tidak punya ketulusan hati sesuai dengan janjinya, entah apa pula alasan yang diajukan besok pagi, urusan sudah telanjur sedemikian jauh, inilah tindakan terakhir bagi jalan yang harus ditempuh dirinya, jikalau tidak berhasil terpaksa ia harus berbuat menurut rencana, begitulah sambil berpikir2 ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Betapapun Tok-sim-sin-mo tidak perlu disangsikan akan keculasan hatinya, kelihatannya memang dia rada mengalah, namun bukan mustahil dia memang punya rencana dan caranya sendiri. Dia tahu bahwa yang dikuatirkan Coh Jian-jo melulu keselamatan cucunya perempuan, bila cucunya dilepas jadi dia tidak punya kekuatiran pula, maka selanjutnya tidak perlu membuat segala peralatan untuk dirinya. yang terpenting sekarang ia harus cepat bertindak, kelihatannya sikap Coh Jian-jo mulai ketus dan teguh pendirian, kalau salah langkah pasti segalanya akan menjadi runyam, bukan mustahil pula orang akan rela gugur bersama!” Cepat sekali, hari kedua sudah tiba, disaat Coh Jian-jo masih mondar-mandir berpikir2 Tok-simsin- mo sudah mendatangi. Segera ia perintah anak buahnya meletakkan segala peralatan di pinggir kamar, lalu berkata pada Coh Jian-jo, “Silakan sekarang kau mulai bekerja!” Coh Jian-jo malah tinggal duduk tenang tanpa bersuara, dengan tenang ia pandang Tok-simsin- mo. Hatinya mulai gundah, ia tahu bahwa Tok-sim-sin-mo tidak akan menepati janjinya, dengan kesabaran dan ketenangan ia duduk ingin ia melihat apa yang hendak dilakukan Tok-simTiraikasih Website http://kangzusi.com/ sin-mo. Semalam suntuk ia tidak pejamkan mata, betapapun ia tidak boleh mundur setapakpun dari urusan ini! Tok-sim-sin-mo menyeringai, katanya, “Kau persoalkan cucumu perempuan bukan? Biar kuberitahu padamu, tidak mungkin kulepas dia!” Coh Jian-jo mandah tertawa hambar tak bersuara. “Bila kulepas dia tiada membawa manfaat bagi kau, sewaktu2 aku bisa menangkapnya kembali, apalagi bila dia tidak tergenggam olehku, maukah kau membuatkan peralatan senjata rahasia itu kepadaku?” “Persetan bagaimana kelak jadinya yang terang sekarang juga kau harus melepas dia pergi, segala urusan aku tidak perlu urus dan tidak mau tahu.” “Besok kuringkus dia kembali, kau tidak mau peduli?” “Itupun tiada halangannya!” Tok-sim-sin-mo melangkah kehadapan Coh Jian-jo, ancamannya, “Jangan kau main-main dengan tipu daya kepadaku, kau tahu, aku tidak bakal tertipu olehmu!” “Mau tidak kau melepas cucuku terserah pada kau. Tapi kelak bila Kiu-siau-biat-hun-tan terjadi pula kerewelan jangan kau salahkan aku!” Bukan kepalang gusar Tok-sim-sin-mo kontan tangannya terayun, Coh Jian-jo kena dihantamnya roboh telentang di tanah. Bersamaan itu terdengar suara gemerincing, Tok-sim-sin-mo berseru heran, dilihatnya sebuah serangka pedang pendek menggeletak di tanah, sambil menyeringai dingin pelan-pelan dijemputnya, katanya tertawa lebar, “Ternyata serangka Badik buntung berada di tanganmu. Tapi diluaran sana sedang geger saling berebutan karena barang ini!” Pukulan Tok-sim-sin-mo cukup keras, sekian lamanya Coh Jian-jo rebah di tanah, sesaat lamanya baru pelan-pelan merangkak bangun lagi. “Hayo cepat kerjakan,” bentak Tok-sim-sin-mo, “Kalau tidak awas akan kubeset kulit cucumu, kau tahu, aku dapat berbuat sesuai dengan ancamanku.” Melihat Badik buntung jatuh ke tanah Tok-sim-sin-mo sungguh Coh Jian-jo sangat menyesal. Kenapa ia tidak beritahukan saja rahasia di dalam sarung Badik buntung itu kepada Hun Thian-hi, sekarang terjatuh ke tangan manusia durjana ini, dia pasti akan memaksa pula, aku membocorkan rahasianya, bagaimanakah baiknya? Tok-sim-sin-mo mengamat-amati sarung Badik buntung dengan seksama, akhirnya ia menyeringai senang, katanya, “Coh Jian-jo, orang yang mengetahui rahasia Ni-hay-ki-tin mungkin cuma kau seorang, banyak orang saling memperebutkan sarung badik ini, aku tidak perlu capai mengeluarkan tenaga, soalnya kau berada di tanganku, sekarang….” “Bahan bakar Kiu-siau-biat-hun-tan perlu diramu dan diaduk sembilan kali, cobalah kau saksikan hasil buatanku yang pertama, bila kau merasa puas silakan kau bebaskan cucuku, sebaliknya bila hasil kerjaku tidak memuaskan terserah apa yang kau hendak lakukan terhadapnya, setuju?” Tok-sim-sin-mo berpikir sebentar, katanya, “Baik, syaratmu ini dapat kusetujui, memang jalan inilah satu-satunya yang harus ditempuh. Tapi aku berpendapat ada lebih baik bila dia kubawa kemari supaya dekat dengan kau?” “Tidak perlu, aku tidak perlu dia berada disini!” Berubah air muka Tok-sim-sin-mo, tanyanya, “Kenapa? Apakah kau punya sesuatu rencana keji?” “Dia masih merupakan gadis kecil yang hijau, setiap hari harus hidup dalam kegelapan dan dalam kamar tahanan yang lembab, kukira kurang baik bagi kesehatannya.” “Sebaliknya aku berpendapat lain!” jengek Tok-sim-sin-mo lalu ia ulapkan tangannya keluar serta berteriak, “Gusur cucunya kemari, biar mereka kakek dan cucu bersua disini!” seringainya lebih sadis, ia mendekat lagi serta katanya, “Sekarang tibalah saatnya kutanyakan soal rahasia Nihay- ki-tin itu, sebenar-benarnya dimanakah tersimpan Ni-kay-ki-tin itu, cepat beritahu kepadaku!” “Sarung badik buntung ini adalah peninggalan leluhurku,” demikian sahut Coh Jian-jo tertawa ewa, “Tapi baru beberapa hari yang lalu Hun Thian-hi memberikan kepadaku, aku belum lagi membukanya, darimana aku bisa tahu?” “Takdir sudah menentukan aku bakal sukses, tak mengapa kau tidak mau buka mulut, coba nantikan bila cucumu perempuan sudah diantar kemari!” Coh Jian-jo berjalan dua lingkaran dalam kamar itu, ia insaf bahwa ia harus nekad melaksanakan tekadnya. Sementara terdengar pula Tok-sim-sin-mo berkata, “Jangan kau mengatur tipu dayamu terhadapku, cucumu perempuan berada di tanganku, bila sampai terjadi hasil kerjamu kurang memuaskan atau kurang sempurna, cucumulah yang akan menerima akibatnya!” Baru saja kata-katanya habis diucapkan, dari luar pintu terdengar seseorang menyanggah, “Belum tentu!” Tok-sim-sin-mo tersentak kaget. cepat ia memutar tubuh, tampak di ambang pintu kamar tahanan itu berdiri tegak Hun Thian-hi, di sampingnya berdiri pula seorang gadis remaja berpakaian kuning, dia bukan lain adalah cucu Coh Jian-jo yang bernama Coh Siau-ceng! Sudah jamak kalau Tok-sim-sin-mo merasa kaget karena ia menyangka Hun Thian-hi pasti mampus di dalam gua sana, sungguh diluar dugaannya bahwa mendadak Hun Thian-hi muncul dihadapannya laksana setan gentayangan. malah menolong keluar pula cucu Coh Jian-jo dari tempat kurungannya yang terjaga kuat dan terahasia. itu. Setelah menenangkan hati dan gejolak darahnya, ia menyeringai dua kali lalu katanya dingin, “Hun Thian-hi, kiranya kau belum mampus!” “Benar-benar!” sahut Hun Thian-hi mendengus, “Aku tidak mati, diluar dugaanmu bukan? Bukan saja tidak mati malah sekarang kuberdiri dihadapanmu!” “Kau beruntung terhindar dari kematian, tapi kau tidak akan mampu lari keluar dari Jian-hudtong. hari ini kau akan mampus dalam gua ini tanpa ada tempat untuk mengubur kau!” “Masa begitu gampang? Apakah tidak pernah terpikir oleh kau cara bagaimana aku bisa keluar? Berani kau takabur mengobral bacotmu!” “Apa bedanya. Setelah kubunuh kau, buat apa memeras keringat memikirkan cara kau lolos keluar! yang jelas kau bakal mati!” Tiba-tiba Hun Thian-hi menggapai ke samping, katanya, “Coba kau lihat siapa dia!” Bagai dedemit tiba-tiba Pek-tok Lojin muncul di samping Hun Thian-hi. Sudah tentu bukan kepalang kejut Tok-sim-sin-mo, begitu hebat terguncang perasaannya sampai ia tersurut mundur. Sungguh tidak habis terpikir olehnya bahwa Pek-tok Lojin bakal bergabung dengan Hun Thian-hi untuk menjebol kurungan. Betapa jahat racun Pek-tok Lojin ia tahu betul, ditambah Wi-thian-citciat- sek” Hun Thian-hi yang tiada taranya itu. mau tidak mau hatinya menjadi ciut dan gentar ketakutan. Pek-tok Lojin batuk2 dua kali lalu menyeringai tawa, serunya, “Tok-sim-sin-mo selamat jumpa kembali! Aku akan bertindak menurut budi dan dendam. Cara bagaimana tempo hari kau perlakukan diriku, kurasa masih segar dalam ingatanmu bukan, sekarang tibalah saatnya aku membalas, akan kukupas pula kulit muka dan seluruh tubuhmu!” Tok-sim-sin-mo melangkah mundur setindak saking ngeri mendengar ancaman orang. namun dasar licik ia masih main garang, jengeknya. “Jangan kau lupa, Jian-hud-tong berada dicengkeraman kekuasaanku. dalam waktu singkat bakal ada bala bantuanku yang datang, hatihatilah kalian, setelah tiba saatnya bukan aku yang mati tapi adalah kalian yang mampus.” Pek-tok Lojin melangkah maju mendesak ke arah Tok-sim-sin-mo, tiba-tiba kedua tangannya didorong ke depan menepuk ke arah lawan. Tok-sim menjengek dingin, kedua tangannya pun diangkat terus menyongsong ke depan merangsak juga ke arah Pek-tok Lojin. Tiba-tiba Tubuh Pek-tok Lojin gentayangan seperti hampir roboh, dengan menggunakan langkah Ling-coa-poiu, tiba-tiba tubuhnya menyusup ke dalam angin pukulan musuh, kedua cakar tangannya langsung mengancam kemuka dan tenggorokan orang…. Pandangan Tok-sim-sin-mo menjadi kabur dan tahu-tahu Pek-tok Lojin sudah mendesak tiba di depan, hidungnya, keruan kejutnya seperti disengat kala, sebat sekali kakinya menjejak badannya lantas mencelat mundur ke belakang, tapi tak urung baju di depan dadanya kena tercengkeram robek oleh cakar Pek-tok Lojin. Bergidik dan gemetar seluruh tubuh Tok-sim-sin-mo, bulu romanya berdiri merinding. Melihat kedua cakar tangan Pek-tok Lojin yang mempunyai kuku yang panjang dan runcing melengkung penuh ditaburi racun2 berbisa, hatinya menjadi dingin dan merinding. Dulu waktu Pek-tok Lojin melarikan diri, ia mengejar dan akhirnya kebentur mundur karena terdesak oleh siular kecil putih yang lihay sekali itu. Sekarang gerak-gerik aneh dan lucu itu sudah dapat dipelajari oleh Pek-tok Lojin, untuk menempur dan mengalahkannya dalam waktu dekat rasanya bukan soal gampang. Pek-tok Lojin melangkah ke depan, sebaliknya Tok-sim-sin-mo mundur terdesak, Pek-tok Lojin mengejek, “Kiranya kau pun tahu rasanya ketakutan sekarang?” Dalam pada itu Coh Jian-jo sudah memburu ke depan saling berpelukan dengan cucunya Coh Siau-ceng dan bertangisan gerung-gerung. Cepat Hun Thian-hi berkata, “Sebentar lagi pasti ada orang datang, mari lekas kita mundur.” Baru saja ucapannya selesai, didengarnya derap langkah orang banyak berlari mendatangi, Keruan Thian-hi terperanjat, tahu dia bahwa orang-orang yang tadi kena mereka tutuk jalan darahnya itu sekarang sudah keburu datang bersama kawan2nya yang lain. Mendadak Tok-sim-sin-mo mendongak dan bergelak tawa. Pek-tok Lojin mendengus ejek, “Hidupku sudah kebacut hampa, tiada tujuan tiada keperluan, dan yang perlu kuperjuangkan hanyalah mencabut jiwamu! Anak buahmu datang pun tak berguna, yang terang kau bakal mampus ditanganku.” Tok-sim-sin-mo memusatkan perhatian dan mengerahkan tenaga. dengan waspada ia hadapi musuh dihadapannya ini, sedikitpun tak berani lalai. soalnya bila dia mendapat kesempatan lebih dulu melancarkan dua kali serangan sudah pasti ia dapat mengambil inisiatif pertempuran, dari terdesak menjadi dipihak yang mendesak dan menang. Tiba-tiba Pek-tok Lojin bergerak pula dengan langkah gentayangan dan badan berlegat-legot menyerupai gerak-gerik ular, begitu aneh ia bergerak tahu-tahu sudah melancarkan serangannya yang sangat berbahaya. Saking gentarnya Tok-sim-sin-mo mengembangkan kelincahan tubuhnya, sebat sekali ia berloncatan terbang, namun gerak gerik Pek-tok Lojin cukup lincah dan aneh pula, kemanapun Tok-sim-sin-mo melejit menghindar selalu diikuti dengan ketat, bagaimana juga ia tidak mampu lolos dari kejaran dan ancaman elmaut. Seperti layaknya seekor anjing yang kepepet dan dihajar pun akan nekad berani melawan dan menggigit majikannya. Demikianlah keadaan Tok-sim-sin-mo, dalam ruang kamar yang tidak begitu besar ia menjadi kelabakan lari pontang-panting seperti tikus dipermainkan kucing, akhirnya ia nekad dan menghardik keras, berbareng kedua telapak tangannya memukul sekuat tenaga kemuka dan perut Pek-tok Lojin. Mulut Pek-tok terdengar mengeram, tubuhnya berkelebat menghilang tahu-tahu melejit tiba di belakang Tok-sim-sin-mo, dengan cara penyerangan yang aneh, ia menyerang sambil membelakangi badan dan yang diarah adalah panggung Tok-sim-sin-mo pula. Begitu mendadak merasakan angin kencang melandai dari belakang, lagi-lagi Tok-sim-sin-mo berjingkrak kaget dibuatnya, sebetulnya ia sudah siap melompat mundur bila serangannya tidak membawa hasil, dan sekarang terpaksa dia harus menghindar ke depan, memang keadaan yang tegang dan membahayakan jiwanya ini memaksa dia harus menjatuhkan diri ke depan. Begitu Tok-sim-sin-mo roboh menyentuh tanah, Pek-tok mengira bahwa serangannya telah mengenai sasaran, ternyatalah Tok-sim cukup licik dan cerdik menghindar dengan cara yang tak terduga. Keruan gusarnya bukan kepalang, dengan sengit ia angkat kakinya kanan terus mendepak ke belakang dan telak sekali tubuh Tok-sim kena didepak mencelat terbang, tanpa menghiraukan keadaan tubuh yang luka-luka Tok-sim berusaha mengendalikan tubuh mengerahkan tenaga untuk meluncur turun pula di tanah sehingga tidak terbanting jatuh. Tatkala itu diluar kamar tahanan sudah penuh sesak berjubel anak buah Hek-liong-pang, diantara mereka terdapat Bing-tiong-mo-tho, Biau-biau-cu, Lan-bing-it-hiong dan lain-lain yang setingkat dengan mereka serta kaki tangannya, mereka berusaha menerjang masuk ke dalam kamar batu itu, namun tak berani sembarangan bertindak. Sejenak Hun Thian-hi menerawang situasi, dengan tajam ia awasi mereka, ia insaf hari ini takkan terhindar dari pertempuran sengit, menang atau kalah sulit diduga pula sebelumnya. Kebetulan Tok-sim-sin-mo melorot jatuh di sebelah samping kamar, tubuhnya sebelah kiri bagian yang kena didepak terasa kesemutan, seolah-olah seluruh tulang belulangnya sudah pecah dan berantakan, tapi ia masih bersyukur dalam hati, untung ia kena tedepak oleh kakinya Pek-tok Lojin, bila kena terpukul atau kesentuh tangannya, jiwanya pasti takkan dapat hidup lebih lama lagi. Jarak tempat dimana ia berdiri dengan Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain kira-kira cuma tiga tombak. tapi dia tidak berani meloncat terbang langsung ke arah mereka. soalnya ia tahu luka-luka dalamnya tidaklah ringan, sedikit bergerak pasti dapat diketahui oleh lawan, apalagi bila Hun Thian-hi melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek menyergap dirinya di tengah jalan, celakalah dirinya. Karena adanya perhitungan ini, sambil menahan sakit ia menyedot napas lalu berseru tertawa, “Kalian berempat hari ini jangan harap dapat lolos dari kamar batu ini!” — lalu ia mengumbar tawa gelak-gelak. Hun Thian-hi mengawasi terus segala gerak-gerik lawan, ia tahu bahwa Tok-sim-sin-mo pasti terluka, entahlah berat atau ringan luka-lukanya itu, cara untuk dapat menyelamatkan diri cuma berusaha meringkus benggolannya ini dan dijadikan sandera baru mereka dapat melarikan diri. Melihat Thian-hi mengamat-amati dirinya, rada bercekat Tok-sim-sin-mo, nelan2 kakinya bergerak menggelemet keluar, tiba-tiba ia mengulapkan tangan, memberi syarat kepada anak buahnya untuk mengepung dan meluruk ke arah mereka berempat. Thian-hi kaget, sekarang ia yakin bahwa luka-luka Tok-sim-sin-mo pasti cukup parah kalau tidak masa dia nekad memberi perintah pada anak buahnya. Dalam pada itu Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain sudah menubruk tiba, kontan Hun Thian-hi merasa bila ia tidak segera mencegat jalan mundur dan berusaha meringkus musuh utama ini, keselamatan mereka bakal terancam bahaya, kecuali secara mengadu untung dapat membekuk Tok-sim-sin-mo sebagai sandera untuk lolos, tiada cara lain lagi. Cepat ia mengerahkan hawa murni dari pusernya, mulut bersuit panjang, berbareng seruling jadenya terlolos keluar terus teracung miring ke depan melancarkan Wi-thian-ci-ciat-sek, tabir perak terpancar cemerlang. dalam kamar batu itu terus menerjang ke arah Bing-tiong-mo-tho dan kawan2nya. Memang tiada jalan lain kecuali tindakannya yang terpaksa ini, harapannya cuma begitu ia lancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek, secepat itu pula Pek-tok Lojin dapat menyadari kemana tujuannya, disaat ia membendung serbuan dari luar, dengan kesempatan ini Pek-tok Lojin harus melaksanakan tugasnya membekuk Tok-sim-sin-mo, inilah jalan yang paling sempurna untuk mereka berempat lolos. Bing-tiong-mo-tho dan kawan2nya bukanlah lawan lemah. sebelum Hun Thian-hi melancarkan serangannya, mereka sudah sama-sama melolos senjata, serempak sinar pedang berkelebat gemerlapan, kekuatan bergabung membendung serangan Hun Thian-hi yang hebat itu. Dalam detik-detik yang sangat berharga itu, dalam waktu dekat Pek-tok Lojin tidak bisa menyimpulkan kemana tujuan Hun Thian-hi sebenar-benarnya, sambil menggerung keras ia melejit ke tengah udara terus menerjang ke arah pintu, niatnya membantu Hun Thian-hi namun ditengah jalan lantas ia sadar akan kesalahannya bertindak, cepat ia menekuk tubuh dan mencelat balik. Dilain pihak begitu melihat Hun Thian-hi melancarkan serangannya yang hebat itu lantas Toksim- sin-mo dapat meraba kemana tujuan Thian-hi sebenar-benarnya, dasar cerdik sekilas berpikir saja lantas ia mendapat akal, tidak lari keluar sebaliknya ia menubruk ke arah Coh Jian-jo yang masih berpelukan dengan cucunya. Sudah tentu Pek-tok Lojin menjadi kaget luar biasa, sungguh hatinya menyesal akan tindakannya yang salah langkah, kenapa tidak sejak tadi meringkus Tok-sim-sin mo saja. Ternyata Tok-sim-sin-mo dapat bertindak selangkah lebih cepat, dimana tangannya meraih, Coh Jian-jo beserta cucunya kena diseret mepet dinding, dengan menyeringai ia berkata pada Pektok Lojin, “Berani kau maju selangkah kedua orang ini akan melayang jiwanya!” Yang paling terkejut mendengar ancaman ini adalah Hun Thian-hi, ia mengeluh bahwa usahanya ternyata gagal di tengah jalan, Coh Jian-jo jatuh ke tangan musuh, apakah mereka berdua harus menyerah dan terima diringkus pula? Apalagi saat mana ia tengah menghadapi tekanan kekuatan besar dari sekelilingnya, setiap kali Wi-thian-cit-ciat-sek dikembangkan, cukup dalam pergeseran gerak serulingnya dalam jarak beberapa mili saja menyalurkan seluruh kekuatan Lwekangnya untuk menyerang musuh, tapi sekarang ia menghadapi tekanan gabungan dari para musuhnya yang teramat hebat dan kuat, sehingga tekanan yang hebat ini menyulitkan dirinya sampai Wi-thian-cit-ciat-sek sulit dikembangkan lebih lanjut. Ia tahu dan insaf bahwa percaturannya telah kalah dan gagal, Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain pun melancarkan rangsakan yang lebih hebat, mereka berusaha menjebol kekuatan Wi-thian-citciat- sek untuk menerjang masuk ke dalam kamar. Tiba-tiba, berkelebat sebuah pikiran dalam benak Thian-hi. ‘Bukankah Tok-sim-sin-mo masih berada di dalam kamar itu pula, asal orang tidak sampai lolos keluar serta kuat bertahan membendung Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain tidak menerjang masuk, keadaan yang kaku dan sama bertahan ini, akan jauh lebih menguntungkan bagi harapan hidup mereka berempat.’ Sekilas memperoleh ilhamnya ini, Thian-hi serempak menghardik keras, seruling jadenya menggentak ke atas melancarkan sisa kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek yang belum selesai dilancarkan tadi, beruntung ia dapat mendesak Bing-tiong-mo-tho keluar kamar. mulutnya lantas berterlak, “Kalian dilarang masuk kamar, kalau tidak Pangcu kalian segera kubunuh tahu!” Lawan2nya menjadi keder dan sesaat kebingungan. Di belakang sana Tok-sim-sin-mo mengejek tawa, “Hun Thian-hi, kau harus tahu, Coh Jian-jo dan cucunya berada di tanganku, sembarang waktu aku dapat bikin mampus mereka!” Dengan membelakangi Tok-sim-sin-imo. Thian-hi balas mengancam tanpa berpaling, “Masa kau berani?” suaranya begitu tegas dan penuh rasa kecongkakan, mau tak mau membuat Tok-sim-sinmo bergidik dan merinding. Tok-sim-sin-mo maklum bila Thian-hi melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek menyerang dirinya, pasti jiwanya bakal melayang, tapi dia mengeraskan kepala berseru ke arah Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain, “Kalian terjang masuk saja, dia takkan berani berbuat banyak!” — dalam berkata-kata itu ia sendiri menjadi ragu-ragu, bagaimana akibatnya nanti hal itulah yang ditakutkan. Sementara Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain masih beragu, maju atau mundur mereka susah berkepastian. Ucapan Tok-sim-sin-mo seperti menganjurkan mereka menerjang masuk, tapi kedengarannya juga seperti menjajal reaksi Hun Thian-hi. “Silakan kalian coba-coba.” demikian tantang Hun Thian-hi. Nadanya begitu tegas dan berwibawa, sehingga keberanian Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain untuk maju menjadi sirna. Beruntun Tok-sim-sin-mo menjengek dua kali, ia sudah dapat menerawang situasi, pihaknya berada dalam posisi yang menguntungkan, Hun Thian-hi tidak lebih seperti binatang buas yang terperangkap dalam kurungan, setindak ia salah langkah begitu Hun Thian-hi nekad dan mengadu jiwa untuk gugur bersama. pasti runyam akibatnya. Sebenar-benarnyalah ia hanya menggertak saja, hakikatnya ia tidak suka menyuruh Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain menerjang masuk. Menyusul ia menggoyangkan tangan memberi isyarat kepada Bing-tiong-mo-tho supaya tidak usah masuk kemari, matanya berkilat-kilat ia pandangi punggung Hun Thian-hi, sementara Pek-tok Lojin berdiri di samping sana mengawasi dirinya. Tok-sim-sin-mo tahu untuk mencapai kemenangan secara gemilang terang tidak mungkin. Cara yang terbaik adalah bertahan seperti sekarang, disamping itu mencari daya upaya untuk tetap menahan Coh Jian-jo dan cucunya di lain pihak berusaha mengantar Hun Thian-hi dan Pek-tok Lojin keluar. Atau tetap menahan Pek-tok Lojin pula dan hanya melepas Hun Thian-hi seorang? Tapi soalnya cara bagaimana ia melaksanakan daya pikirannya ini. Ini tergantung cara bagaimana ia dapat menguasai situasi yang dihadapi sekarang. Sebaliknya Hun Thian-hi seorang yang cerdik pandai, kalau Tok-sim-sin-mo dapat berpikir ke arah itu masa Hun Thian-hi tidak berpikir lebih sempurna, apa yang terpikir oleh lawan paling tidak dapat terpikir pula delapan sembilan bagian dari keseluruhan tujuan Tok-sim-sin-mo. Dalam hati ia sedang memperhitungkan, untuk mundur secara sempurna tanpa kurang suatu apa, kecuali ia menunggu sesuatu keajaiban yang bakal muncul secara kenyataan, untuk dapat keluar iapun harus menunggu perkembangan selanjutnya, tindakan apa yang akan dilakukan oleh Tok-sim-sinmo. Adalah Pek-tok Lojin yang paling menyesal, bila tadi ia bisa bertindak secara cermat dan berhasil membekuk Tok-sim-sin-mo, jelas mereka berempat pasti dapat keluar dengan selamat dan tidak kurang suatu apa, sekarang keadaan menjadi sama bertahan dan entah bagaimana perkembangan selanjutnya. Tok-sim-sin-mo terus memutar otak mencari akal, tiba-tiba ia berkata, “Hun Thian-hi, ingatkah kau sekarang berada di Jian-hu-tong, disini adalah tempat kekuasaanku, kalau bertahan lebih lanjut, keadaan akan lebih memburuk bagi kalian!” “Hal itu aku tidak banyak tahu dan tidak perlu tahu, yang terang sekarang kau berada dikekuasaanku. sembarang waktu aku dapat menghabisi jiwamu!” Keruan Tok-sim-sin-mo menjadi berjingkrak gusar, “Kau berani?” seringainya geram. “Kenapa tidak berani!” jengek Hun Thian-hi, “Yang mengganas dan bersimaharaja di dunia persilatan kau yang paling menonjol, kalau bisa melenyapkan manusia semacam kau, terhitung aku telah mendharma baktikan diriku bagi kepentingan masyarakat umumnya, seumpama harus berkorban akupun tidak perlu menyesal.” “Mari, boleh kau coba-coba!” demikian tantang Tok-sim-sin-mo. “Aku berani meluruk kemari sudah tentu tidak kuhiraukan keselamatan diriku, tapi bukan itu maksud tujuanku yang sebenar-benarnya!” Selama bicara itu Hun Thian-hi tetap menghadap ke ambang pintu dan tidak memutar balik menghadapi Tok-sim-sin-mo, Tok-sim-sin-mo menjadi mati kutu, ujarnya, “Manusia mana di dunia ini yang tidak takut mati? Bila aku mati, maka kalian berempat juga akan mampus dengan tiada tempat untuk mengubur kalian, orang mati takkan hidup kembali. dendam ayahmu belum lagi terbalas, kau harus berpikir pula sebelum mengambil keputusan terakhir!” Mendengar ucapan yang terakhir terbayang dalam benak Thian-hi akan wajah Siau-bin-mo-in, tanpa merasa hatinya menjadi pilu. dilain kejap terbayang pula akan wajah Ma Gwat-sian, Ham Gwat. Mukanya masam terpengaruh oleh perasaan hatinya, sesaat ia menjadi terbungkam. Biji mata Tok-sim-sin-mo berjelalatan, ia sedang meraba-raba jalan pikiran Hun Thian-hi, akhirnya pelan-pelan ia berkata lagi, “Apalagi kau satu-satunya ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek kau pula calon utama dari pimpinan kaum persilatan golongan kependekaran yang akan datang. Cuma Wi-thian-cit-ciat-sek pula yang cukup kuat dan berharga dapat menandingi Hui-sim-kiam-hoat yang hebat itu.” “Apakah benar-benar seperti katamu?” “Benar-benar atau tidak kau sendiri lebih paham dari aku!” Secara langsung Hun Thian-hi merasakan akan kebenar-benaran kata-kata Tok-sim-sin-mo mengenai dirinya. Bukan mustahil pula Tok-sim-sin-mo sudah merebut serangka Badik buntung dari tangan Coh Jian-jo, sehingga ia berani begitu takabur, kalau tidak tentu dia akan mengukuhi pendapatnya semula dan tidak akan rela melepas dirinya pergi. Dan itu tidak akan menjadi hal yang mustahil pula bila dia sudah mengetahui rahasia Ni-hay-ki-tin itu. Terdengar Tok-sim-sin-smo berkata pula, “Tapi kau pun harus ingat, bahwa kau merupakan musuhku yang paling utama inilah kesempatanku yang paling baik untuk melenyapkan kau dari muka bumi ini. Tapi selama hidup ini aku belum pernah ketemu tandingan yang setimpal, dan kau pulalah justru yang menjadi musuhku yang setanding. Sekarang dengan senang hati dengan kelapangan dadaku kulepas kau keluar, ingin aku mengadu segala kepintaran dan kecerdikan, kutantang kau untuk mengadu kekuatan dalam langkah-langkah selanjutnya, biarlah kenyataan yang menjadi wasit siapa lebih unggul atau asor!” “Kau melepas aku, banyak terima kasih. Tapi kau harus tahu apakah aku sudi melepas kau?” Terdengar Pek-tok Lojin yang berdiam sejak tadi tertawa terloroh-loroh, selama ini hatinya selalu bersitegang leher. Ia kuatir kalau Hun Thian-hi tinggal pergi begitu saja. tanpa hiraukan pula dirinya, sebagai ahli waris Wi-thian-cit-ciait-sek tidak mungkin ia bisa menjadi korban secara konyol di tempat ini, betapapun hatinya akan penasaran sekali sekarang setelah mendengar ucapan Hun Thian-hi, mau tak mau ia memuji dan merasa kagum akan sikap Thian-hi, lain hal bila dirinya lolos dulu lebih penting, soal membalas dendam baiklah diperhitungkan kelak. Saking gusar Tok-sim-sin-mo sampai membanting kaki seraya menggeram, serunya, “Kecuali kau ingin melihat Coh Jian-jo dan cucunya kupukul mampus, Kalau tidak kuperingati kepada kau jangan sembarang bergerak!” Coh Jian-jo tertawa getir dengan penuh kesedihan, serunya, “Hun-siauhiap jangan kau hiraukan aku, aku sudah tua renta tak berguna lagi. tapi berulangkali menyulitkan Hun-siauhiap saja!” “Coh Jian-jo!” bentak Tok-sim-sin-mo, “Jangan lupa pada cucumu perempuan.” Bergetar badan Coh Jian-jo, ia melirik melihat ke arah cucunya perempuan, tampak dengan lemah dan penuh ketakutan cucunya sedang angkat kepala memandang ke arah dirinya, cepat Coh Jian-jo tertunduk, katanya dengan suara lirih tak bertenaga, “Aku kuatir justru sekarang kau tidak berani mengganggu usik seujung rambutnya pun!” Tok-sim-sim-mo terkekeh menyeringai mengunjuk gigi2nya yang sudah banyak ompong sekali gentak ia dorong cucu Coh Jian-jo tersungkur jatuh di tanah. Tapi gadis remaja itu tidak mengenal takut malah. dengan mata mendelik dan berapi-api penuh kebencian ia mendeliki Tok-sim-sin-mo. Berubah hebat air muka Coh Jian-jo, tak tertahan lagi air mata mengalir deras, ia berteriak dengan suara gemetar dan tersendat, “Siau-ceng! Siau-ceng!” betapa pedih dan pilu rasa hatinya. Tiba-tiba Hun Thian-hi membalikkan badan. matanya mendelik tajam ke arah Tok-sim-sin-mo, begitu biji mata Tok-sim-sin-mo bentrok dengan sorot mata tajam Hun Thian-hi, kontan ia merasa bulu tengkuknya merinding, badan gemetar. Sekilas memandang ke arah Coh Siau-ceng Hun Thian-hi lalu berkata dengan suara berat, “Agaknya kau suka memilih untuk gugur bersama dalam kamar ini bersama Kita? Jangan kau beranggapan setelah kubunuh kau lantas kita tak mampu keluar, seumpama memang tidak berhasil, paling tidak anak buah Hek-liong-pang pasti banyak yang menjadi pengiring kita!” Tok-sim-sin-mo menyeringai lebar, sekarang hatinya lebih mantap bahwa Hun Thian-si sudah merasakan punya pertanggungan jawab yang besar, maka ia berkata dingin, “Sangkamu setelah kau bunuh aku kalian masih bisa keluar? Meski Wi-thian-cit-ciat-sek sangat hebat, paling-paling kau baru mempelajari kulitnya belaka, masa kau ingin merebut kemenangan, masih terpaut terlalu jauh!” Tergerak hati Thian-hi, diam-diam ia mengeluh dalam hati, bila Tok-sim-sin-mo diberi angin dan berada di atas angin dalam perang urat syaraf ini, sungguh konyol dan memalukan, pelan-pelan dengan sikap dingin membeku ia mengacungkan seruling jadenya. Tok-sim-sin-mo juga tidak mau unjuk kelemahan, pelan-pelan ia menggeser kaki kirinya mendekat ke arah Coh Siau-ceng, maksudnya bila Hun Thian-hi berani maju selangkah atau banyak bertingkah, Coh Siau-ceng akan segera diinjaknya mampus. Biji mata Hun Thian-hi tidak tenang, sanubarinya sedang bergejolak menghadapi suatu pertempuran lahir dan batin, darah seperti berontak dalam rongga dadanya, diam-diam ia berkeputusan dalam hati, hanya jalan satu-satunya itulah yang harus ditempuh, atau paling sedikit pihak sendiri harus berkorban dua orang, betapapun dalam saat begini dirinya pantang mengunjuk kelemahan. Seruling jade ditangan Thian-hi semakin terangkat tinggi. Semua orang yang hadir sama menahan napas dan tutup mulut, perhatian semua orang terhanyut oleh ketegangan yang melingkup sanubari mereka. Pek-tok Lojin berkilat biji matanya, diam-diam ia menerawang situasi sekeliingnya, kegagalannya tadi merupakan suatu pengalaman pahit yang harus ditebus mahal dengan perkembangan yang berbuntut seperti keadaan sekarang ini, maka sekarang ia harus meningkatkan kewaspadaannya, ia harus menjaga dan bila perlu mengadu jiwa andaikata Bingtiong- mo-tho dan lain-lain menerjang masuk. Coh Jian-jo sudah tak kuasa berdiri lagi, matanya dipejamkan dengan mengalirkan air mata, kaki Tok-sim-sin-mo sudah terangkat tinggi di atas jidat Coh Siau-ceng, Coh Siau-ceng sendiri rebah celentang tak bergerak, kedua biji matanya dengan penuh ketekadan dan keberanian yang menyala-nyala mendelik kepada Tok-sim-sin-mo. Rona wajah Hun Thian-hi memperlihatkan keteguhan hatinya, tiba-tiba mulutnya bersuit melengking panjang, pergelangan tangannya rada ditarik menekan kebawah. Sekonyong-konyong Tok-sim-sin-mo merasakan hatinya seperti tertekan berat dan dilumuri ketakutan yang luar biasa, ia yakin benar-benar seyakin2nya bahwa Hun Thian-hi tidak akan berani melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek, tapi ia tidak kuasa menerima rasa ketakutan yang luar biasa ini, memang gampang saja bila dia mau sedikit tenaga saja cukup menamatkan jiwa Coh Siau-ceng, namun ia tidak berani membayangkan apa akibat dari perkembangan selanjutnya. Seluruh tubuhnya menjadi basah kuyup oleh keringatnya dingin, tiba-tiba ia berseru keras, “Nanti dulu!” Hun Thian-hi menunda gerakan tangannya, telapak tangannya pun sudah basah oleh keringat, dia sendiri juga menyadari akibat apa yang bakal dihadapi, soalnya keadaan sudah kepepet kecuali ia berani bertindak secara drastis pihaknya tidak akan menang. Disebelah sana Tok-sim-sin-mo sudah menarik turun kakinya, baru pertama kali ini ia kena dikalahkan dalam situasi yang tegang ini, ia menjadi patah semangat dan lesu serta uring-uringan, katanya menjengek, “Hari ini terhitung kau yang menang, apa maumu? Coba kau katakan!” “Mari kita adakan pertukaran yang adil, kami tidak akan mempersukar kau, dan kaupun harus melepas kami berempat keluar dari Jian-hud-tong!” “Apakah pertukaran ini kau anggap adil?” “Dengan mempertaruhkan jiwa ragamu, masa kurang setimpal?” “Aku tidak punya jiwa yang sedemikian besar dan berharga!” Thian-hi terdiam, ia tahu bahwa Tok-sim-sin-mo tidak akan mau menyetujui usulnya, ia lantas berpikir, bila tadi waktu berada di atas angin lantas aku bertindak lebih lanjut mungkin hasilnya bakal diluar dugaan. Maka dengan tertawa tawar ia berkata, “Akupun tahu kau tidak setimpal dan tidak berharga bagi aku, tapi masa tidak berharga bagi kau sendiri?” terkilas senyum dikulum mulutnya. “Jangan kau lupa Coh Jian-jo dan cucunya masih berada digenggamanku, bila kau tidak merasa gentar dan memikirkan keselamatan mereka, cobalah sekarang kau bertindak!” “Agaknya kau memang keras kepala dan mengukuhi pendapatmu, tidak menjadi soal untuk mencobanya sekali lagi!” Tok-sim-sin-mo mengawasi Hun Thian-hi dengan cermat, dalam hati ia mereka-reka, apakah kata-kata Hun Thian-hi betul-betul berani dilaksanakan ataukah melulu gertakan sambel belaka? Kalau dirinya mengukuhi dan tak mau mengalah, apakah dia bakal berlaku nekad tanpa memikirkan akibatnya? Dia tenggelam dalam pemikiran dan pertimbangan, soalnya gebrak selanjutnya merupakan langkah yang menentukan bagi mati hidupnya. Sementara Hun Thian-hi sendiri juga sedang menerawang, entah apa yang sedang dipikirkan oleh Tok-sim-sin-mo, akhirnya ia bersuara, “Suheng Ka-yap Cuncia yang bergelar Ah-lam Cuncia sekarang sudah muncul, ilmu silatnya pun sudah pulih kembali, kau tak usah menguatirkan aku tiada seorang yang dapat menguasai Bu-bing Loni, bila Ah-lam Cuncia sudi mengulurkan tangannya, dua orang Bu-bing Loni juga tidak perlu ditakuti lagi!” Bercekat hati Tok-sim-sin-mo, sedapat mungkin ia tekan gejolak hatinya supaya tidak sampai kentara pada roma wajahnya, ia berpikir sekarang tinggal beberapa langkah permainan caturku saja bila terus kujalankan, dunia persilatan bakal geger, soalnya cara bagaimana ia bisa keluar dengan selamat dan tidak kurang suatu apa. Bab 28 Teringat akan langkah-langkah permainannya Tok-sim-sin-mo jadi menyesal, kenapa ia pancing Hun Thian-hi ke tempat Pek-tok Lojin, sekarang segala rencananya semula gagal total malah. Begitulah ia berpikir2, mendadak ia tersentak sadar kenapa aku berpikiran tidak karuan, yang penting bagaimana aku harus menghadapi kenyataan di hadapanku ini? Maka ia angkat kepala meanandang ke arah Hun Thian-hi, Katanya kalem, “Kalau begitu bila kulepas kau, bukankah keselamatan jiwaku malah terancam bahaya?” “Lalu bagaimana menurut kemauanmu?” “Kau seorang tokoh Bulim kelas wahid, demikianlah aku pula, mari jadikan pertukaran antara aku dan kau saja, akan kuantar kau keluar dari Jian-hud-tong!” “Demikian saja?” ejek Hun Thian-hi. “Umpama usulmu ini kuterima, apakah kau tidak beranggapan tindakanmu ini malah lebih menguntungkan bagi aku?” Tok-sim-sin-mo terbungkam. diam-diam ia mengakui akan kecerdikan Hun Thian-hi, sungguh ia merasa kaget dan heran akan diplomasi Hun Thian-hi yang cukup lihay ini, sesaat ia menjadi terbungkam tak kuasa menjawab. Hun Thian-hi menarik muka lalu melanjutkan, “Menguntungkan bagi aku, tapi sangat tidak adil bagi mereka bertiga!” — Lalu ia tuding ke arah Pek-tok Lojin, sambungnya, “Bila kau bikin dia gusar, lalu menyerang pula kepada kau aku yakin kau bakal konyol pada detik-detik yang mendatang!” ia menyeringai dingin dan sinis, katanya pula, “Kalau begitu bukankah kau terlebih rendah menilai dirimu sendiri?” “Agaknya kau tidak sudi gugur bersama, marilah kita cari jalan atau penyelesaian lainnya. Marilah kita bicara terus terang. dan sebelumnya perlu kutandaskan bila mau kulepas paling banyak cukup dua orang saja, yaitu kau dan Pek-tok Coh Jian-jo berdua harus tetap tinggal disini, aku masih memerlukan tenaga mereka.” Hun Thian-hi tertawa besar serunya, “Sungguh menggelikan ucapanmu ini, kalau begitu kami menjadi kena dirugikan seorang. tadi bila kami bertiga tidak muncul kemari bagaimana kau selanjutnya?” “Bicaramu jangan begitu muluk2, seumpama kalian tidak kemari, betapapun tidak mungkin kalian bisa keluar dengan selamat dari gua ini, apa lagi bertiga!” “Belum tentu, aku mampu menolongnya keluar sudah tentu aku punya caraku untuk mengantarnya keluar!” Tok-sim-sin-mo terdiam lagi. dalam hati ia sudah berkeputusan untuk bertindak menurut rencananya, kalau tidak ia bakal kehilangan segala miliknya. Andai itu sampai terjadi sungguh merupakan Suatu hal yang luar biasa. Hun Thian-hi tertawa tawar pula, katanya, “Kenyataan aku telah muncul bers;ma. malah terkurung di dalam kamar batu ini, tujuanku kemari demi tolong Coh Jian-jo tapi tidak berhasil. Musuh sasaran yang utama adalah aku, menurut hematku biarlah aku saja yang tinggal disini dan biarkan mereka bertiga keluar, bagaimana?”
ALWAYS Link ABG BUGIL : Cerita ABG Terbaru , Disklamer, Cerita Dewasa, Foto 2am di jakarta fantastikpop festival,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita Silat Cersil Cin Tung : Badik Buntung [2]
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar