Cersil : 12 PERguruan SEJATI [2] - khulung

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 25 Agustus 2011

Cersil : 12 PERguruan SEJATI [1] - khulung

264
Melihat kepandaian silatnya orang itu sudah cukup tinggi, dan begitu aneh Pek Kiam Hong
tidak berani memandang enteng. Ia berseru “hait” kedua tangannya melancarkan tangkisan.
Dua pukulan beradu ditengah jalan menimbulkan suara nyaring. Laki-laki itu menggunakan
sebelah tangan, hanya tergetar pundaknya, sedangkan Pek Kiam Hong sendiri hampir
terjengkang kebelakang. Melihat ini Siau Bwee menjadi kaget senjatanya dengan cepat telah
terhunus.
“Siau Bwee jangan turun tangan, aku masih sanggup menghadapinya,” seru Pek Kiam Hong.
Saat ini laki-laki itu telah melancarkan serangannya yang sangat luar biasa, ia tak beranni
menangkis dengan keras, tubuhnya diengoskan dan menempatkan dirinya disebelah samping.
Lalu membarengi dengan satu pukulan keras. Laki-laki itu nampaknya hanya bisa
menyeruduk kedepan dan tidak bisa berkelit, tak ampun lagi tergebuk telak. Tubuhnya
terhuyung beberapa langkah, dan ambruk menimpa barang dagangan orang-orang dipinggir
jalan. Suara orang dan preng prong terdengar nyaring, kaena segala barang pecah belah itu
benar-benar ,menjadi pecah belah tertimpa tubuh laki-laki yang besar itu.
Dengan cepat laki-laki itu dengan wajah meeringis ketolol-tololan bangun lagi, ia mengebasngebas
bajunya, sedikitpun tidak terlihat luka terkena pukulan atau tusukan benda-benda yang
pecah. Dengan gagah ia maju lagi menghadapi lawannya. Nampak bandel sekali ! Pek Kiam
Hong mengandalkan kegesitan tubuhnya berulang-ulang membuat laki-laki itu jungkir balik !
Sebegitu jauh laki-laki itu tetap tak luka barang sedetik, dan benar-benar menjadi Tiat Lo han
(laki-laki besi). Akibat perkelahian ini mendatangkan kesialan pada pedagang disitu, setiap
kali laki-laki itu jatuh pasti membawa korban dagangan orang-orang disitu.
Pedagang-pedagang perabotan pecah belah lari berserabutan keempat penjuru, ada juga yang
berbenah menyelamatkan barang dagangannya, ada juga yang berkerubung menonton
perkelahian ini… Didalam suasana kalut-kalutnya ini, tampak penonton yang meriung itu
seperti terkena suatu tenaga gaib, pad minggir kesamping, dan terbukalah suatu jalan kecil,
dari sini muncul siorang tua berbaju hitam. Ia memegang tongkat panjang yang aneh, sinar
matanya sangat tajam dan biru, setiap ia melangkah orang-orang yang berada didepannya
minggir sendiri terkena tenaga dorongannya. “Stop !” teriakan orang tua bermata biru dengan
tiba-tiba. Begitu nyaring dan membisingkan pendengaran. Siau Bwee segera menghadang
dengan pedangnya, sedangkan Pek Kiam Hong dan laki-laki itu segera berhenti.
“Hei, orang tua apa yang kau kehendaki ?” tanya laki-laki itu dengan kasar sambil mendelik.
Orang tua bermata biru tidak menjawab, sinar matanya memandang pada Pek Kiam Hong
agak lama, lalu tersenyum. “Sebenarnya apa yang kalian ributkan sampai berkelahi macam ini
?”
“Gara-gara laki-laki tolol ini, mulutnya tidak dikeramasi dan seenaknya memaki orang.” Kata
Siau Bwee.
“Dia dulu yang memecahkan barang daganganku,” sela laki-laki itu dengan kasar. “Sudah
salah tidak mau mengganti, malahan memukuli diriku…” “Ha ha ha soal kecil ini saja sampai
berkelahi,” kata orang tua itu.
“Orang muda berdarah panas, tapi harus dipikir, perkelahian ini untung apa rugi ? Lebih
sedikit kurang sedikit bisa berdamai tak perlu tonjok-tonkokan bukan ?”
265
“Perkelahian ini sangat berharga !” bantah laki-laki itu, “karena harga dari barang-barngku tak
kurang dari sepuluh tail perak, mengerti ? Kehidupanku dan ibuku mengandalkan daganganku
ini, kini dihancurkan…”
“Sudahlah…uang sebegitu bisa kuganti,” kata orang tua itu.
Laki-laki itu menjadi kaget, tapi cepat-cepat menggelengkan kepala. “Barangku bukan engkau
yang memecahkan, aku tak mau menerima gantinya darimu, aku mau dia yang keluar duit,
baru puas !”
“Uang dia maupun uangku terbuat dari perak, sama bukan ? Nah terimalah !”
Laki-laki itu terdiam sejenak, lalu menjulurkan tangannya….” Sabar, uang ini tetap milikmu,
tapi ingin kutanya dulu, siapa namamu dan siapa gurumu ?” kata orang tua itu.
“Namaku Oey Toa Gu,” jawab laki-laki itu, “seumur hidup tak punya guru.”
“Tapi ilmu Kin cong co (kebal) yang kau miliki itu darimana kau dapat ?”
“Oh ini yang hendak kau tahu ? Waktu kukecil sering dipukul ibu, aku tak pernah mengengos
atau lari tetap memasang badan ! Aku tak menangis membuat ibuku bertambah sengit,
akibtnya sekujur tubuhku menjadi babak belur ! Sungguhpun begitu aku masih tetap tak
berkisar dan terus menerima pukulan itu ! Waktu inilah kebetulan datang seorang Hweesio, ia
merasa kasihan padaku dan memberikan ilmu pelajaran tahan digebuk beberapa tahun
lamanya. Membuat tubuhku jadi kuat seperti besi ! Ha ha ha lihat buktinya, barusan dipukul
dia tetap tak luka, asal lamaan sedikit ia pasti kena kugebuk, dan pasti babak belur ! Untung
engkau datang…”
“Aku tak menanyakan soal ini, yang ingin kutahu siapa namanya Hweesio itu ?” tanya si
orang tua.
“Oh Hweesio itu setelah mengajari ilmu tahan dipukul, ia menawari pula ilmu untuk
menggebuk. Tentu saja aku menjadi girang dan menerima baik tawarannya itu, baru pula aku
menerima pelajarannya beberapa hari, sudah dipraktekkan akibatnya orang-orang sekampung
kubikin babak belur semuanya aku jadi jagoan dengan mendadak. Melihat keadaanku yang
suka berkelahi ini, Hweesio itu tidak mau memberikan pelajaran lebih banyak lagi, dan iapun
terus menghilang entah kemana, sampai sekarang belum pernah kulihat lagi…..” ia bicara
penuh semangat, sampai air liurnya turut muncrat dan berterbangan keempat peenjuru,
antaranya memeercik kepada orang tua itu.
Agaknya orang tua itu tidak berasa terkena ludah karena otaknya sedang berpikir keras
mengingat-ngat Hweesio itu. Akhirnya ia bicara sendiri dengan perlahan. “Pantasan ilmu
pukulannya mirip dengan “kui hut kun” (pukulan patung besi) sikepala botak itu….”
Sungguhpun suaranya diucapkannya.
“Apakah engkau masih mau mempelajari ilmu memukul orang ?” tanya orang tua itu.
“Ingin sih ingin, tapi dengan keadaanku sekarang, kukuatir bisa memukul mati orang,” kata
Oey Toa gu.
266
“Ilmu itu boleh kau pelajari dulu,” kata si orang tua, “soal memukul orang tergantung
kepadamu, pokoknya ilmu itu tidak merugikanmu.”
“Ya aku mau,” kata Oey Toa Gu sambil menganggukkan kepala.
Orang tua bermata biru itu menyerahkan uang pada Toa Gu. “Uang ini kau berikan pada
ibumu, dan nantikan aku dirumah, aku bisa mencarimu.”
Toa Gu setengah percaya setengah tidak, tapi ia tidak mau memperdulikan lagi keadaan itu.
Cepat ia mengantongi uang dan terus berlalu.
“Lo tioang (membahasakan orang tua dengan hormat) kita baru bertemu, kenapa harus
membuang uang dengan percuma ?” tanya Kiam Hong.
“Soal kecil ini jangan dipikirkan,” berkata orang tua itu. “aku paling senang pad anak muda
yang pandai silat, maukah kalian menemaniku mengobrol sejenak ?”
Dan sebelum Pek Kiam Hong menjawab, Siau Bwee sudah membuka mulut. “Di depan ada
restoran, mari kita kesana, kita bisa ngobrol sambil mengisi perut !”
“Ya kesana pun baik,” kata orang tua itu, pokoknya kalian boleh makan sepuasnya aku yang
membayar !”
“Kalau begitu Lo tiang boleh pesan dululah makan dan minuman itu, kami harus
membereskan dulu barang-barang orang yang pecah ini,” kata Siau Bwee.
Orang tua itu mengguman begitu perlahan, Siau Bwee mendengar juga hatinya jadi tergerak
dan terus mengawasi kepada orang tua itu dengan waspada.
Orang tua itu mengangguk dan terus melangkah pergi.
Siau Bwee mengeluarkan uang emas, dan menyerahkan pada seorang pedagang yang paling
tua untuk dibagi-bagi sebagai penggantian pada barang-barang dagangan mereka yang telah
hancur akibat perkelahian antara Kiam Hong dan Toa Gu. Setelah itu ia menuntun kudanya,
karena Pek Kiam Hong menuju ke restoran. “Eh, apakah kau kenal dengan orang tua bermata
biru itu ?” tanya Siau Bwee pada kawannya.
“Tidak,” kata Kiam Hong, “dari parasnya tegas sekali bahwa orang tua itu berkepandaian
sangat tinggi !”
“Dari sinar matanya yang biru itu membuatku ingat pada salah seorang Bulim Capsahkie yang
bernama Liok Jie Hui dan bergelar Liok sian ong.”
“Liok Jie Hui itu berwatak buruk atau baik ?” tanya Kiam Hong.
“Buruk, baiknya sukar ditentukan, menurut ibuku kelakuannya Liok Jie Hui berada antara
baik dan buruk, sedang-sedanglah !” kata Siau Bwee. “Tapi kalau kena bicara ia sangat
pandai, selalu membicarakan soal kebajikan dan kebaikan, sedangkan dihatinya penuh siasat
akal-akal serta licin. Maka berlaku hati-hatilah !”
267
“Jika sudah ketahuan tabiatnya begitu, untuk apa kita berkenalan dengannya ?”
“Ah, jangan bicara lagi, lihat orang tua itu sudah memasang mata memandang kearah kita,
berlakulah tenang, jangan sampai dicurigai….”
“Untuk apa berlaku begitu, kembalikan saja uangnya yang sepuluh tail itu dan terus kita pergi,
untuk apa kenal dengan orang begitu….”
“Engkau kenapa sih bodoh dan kukuh betul, aku hanya menduga orang tua ini Liok Jie Hui
adanya, betul tidaknya akupun tidak berani memastikan. Andaikata benar, kitapun tak boleh
berlaku kurang ajar padanya bukan ? Dia toh orang tua yang kenamaan.”
“Dia ternama dan tua, aku harus bagaimana menghadapinya ?”
“Berlakulah hati-hati dan waspada,” kata Tiat Siau Bwee. “Pokoknya jangan banyak bicara,
serahkan padaku !”
Pek Kiam Hong menganggukkan kepala.
“Begitu mereka tiba didepan restoran, seorang pelayan menyambutnya dengan tersenyum
menerima kuda mereka. “Liok sian seng sudah lama menunggu Jie wie diatas loteng, silahkan
naik, dan serahkan kuda ini untuk kukombongi.”
Siau Bwee dan Kiam Hong segera naik keloteng, kedatangannya disambut dengan senyuman
oleh orang tua bermata biru itu. Mereka tak sungkan-sungkan mengambil tempat duduk.
“Dapatkah kutahu nama kalian ?” tanya siorang tua.
“Seharusnya kami sebagai yang mudaan harus menanyakan dulu nama besar bapak,” kata
Siau Bwee.
“Nona sangat pintar bicara,” kata siorang tua, “tentu kalian pernah mendengar nama Liok sian
ong Liok Jie Hui bukan ?”
“Ah, benar-benar kami beruntung bisa menemukan Lo Cianpwee disini,” kata Siau Bwee dan
Kiam Hong.
“Ha ha ha,” Liok Jie Hui tergelak-gelak, “kalian kalau tak salah tentu bersaudara bukan ?”
“Benar,” jawab Siau Bwee,” Ia adalah kakakku, akuadalah adiknya !”
“Ha ha ha, yang pantas Kounio menjadi kakaknya, dan dia jadi adikmu !”
“Lo Cianpwee tidak tahu sifat kakakku, biar dia lelaki, tapi pendiam betul; sedangkan aku
beda betul dengannya, dalam segala urusan aku yang menimbulkan, tapi yang berkelahi adlah
dia !”
Liok Jie Hui tertawa lagi.
Pelayan-pelayan membawa arak dan hidangan lain.
268
“Kounio bicara dan bicara, tapi masih belum memperkenalkan diri,” kata Liok Jie Hui.
“Oh….kakakku bernama Cie Goan, aku sendiri bernama Cie Giok,” kata Siau Bwee dan terus
bangun. “Koko mari kita menghormat pada Liok Lo Cianpwee dengan secawan arak !”
Liok Jie Hui pun mengangkat cawannya dan mengeringkan seperti dua muda-mudi itu, lalu
berkata: “kalian memiliki ilmu silat yang baik, apakah ayah kalianpun sebagai orang Bulim ?
Dan darimana ilmu itu kalian dapat ?”
“Kami adalah anak yatim yang tidak mempunyai ayah….sedangkan ilmu kudapat dari
seorang guru yang segan kusebut namanya !”
“Biarpun kusebutkan Lo Cianpwee pasti tidak kenal akan guruku itu !”
“Coba saja kau sebutkan, mungkin kutahu juga !”
“Apakah Lo Cianpwee pernah mendengar perguruan Thian liong bun ?”
“Thian liong bun ? Ah, benar-benar aku belum pernah mendengarnya, apakah kalian dari
perguruan ini ?”
Siau Bwee menganggukkan kepalanya.
“Dapatkah kutahu dimana tempatnya perguruan Thian liong bun itu ?”
“Ini rahasia perguruan, tak bisa kuteangkan !”
Liok Jie Hui tidak berhenti sampai disitu, ia bertanya lagi : “Siapakah Ciang bun jin dari
Thian liong bun ?”
“Terangkan saja !” kata Pek Kiam Hong yang diam saja sedari tadi.
“Ciang bun jin kami bernama In Tiong Giok !” kata Siau Bwee.
“Apa ? In…Tiong Giok ?”
“Apakah Lo Cianpwee kenal dengannya ?”
“In Tiong Giok adalah seorang pelajar, usianya lebih kurang dua puluh tahun bukan ? Dan
pernah pergi kemarkas pusat Pok Thian Pang untuk menterjemahkan buku Keng thian cit su,
lalu buku itu dicetaknya dan disebar luaskan keempat penjuru dunia…Cie Kounio, apakah In
Tiong Giok inikah yang kau maksud ?”
“Benar, dialah orangnya !” kata Siau Bwee.
“Heran….seorang pelajar lemah bisa menjadi Ciang bun jin sebuah perguruan silat ? Ini
benar-benar membuat orang heran saja….”
269
Pek Kiam Hong tak mengetahui bahwa In Tiong Giok benar-benar sebagai Ciang bun jin dari
Thian liong bun, pikirnya Siau Bwee ini sedang mengibuli orang tua itu, keruan saja hatinya
jadi cemas. “Kenapa engkau menyebut In Tiong Giok, sudah pasti orang tua ini kenal
dengannya, dan omongan bohongmu akan ketahuan,” pikir Pek Kiam Hong. Dan ia melihat
pada Siau Bwee agar segera bisa berlalu dari tempat itu.
Biarpun melihat dengan nyata isyarat yang diberikan Kiam Hong, gadis itu pura-pura tak
melihat, malahan dengan wajar berkata lagi kepada Liok Jie Hui. “Adapun Ciang bun jin dari
Thian liong bun dipilih dari seseorang yang berjiwa baik dan berbakat besar ! Tidak
memperdulikan soal usia tua atau muda, bahkan memiliki ilmu silat atau tidakpun bisa sja
menjadi Ciang bun jin, bakat adalah kurnianya Tuhan, sedangkan ilmu pelajaran bisa didapat
dengan bakat dan kerajinan !”
“Sejak kapan In Tiong Giok menjadi Ciang bun jin Thian liong bun ?” tanya Liok Jie Hui
dengan sikap tak percaya.
“Lebih kurang setahun lamanya !”
“Kalau begitu setelah meninggalkan Pok Thian Pang ia baru menjadi Ciang bun jin ?”
“Benar !”
“Jikalau begitu kalian lebih dulu menjadi anggota Thian liong bun dari padanya ?”
“Ya, benar !”
“Banyakkah anggota dari Thian liong bun ?”
“Meliputi seluruh dunia, banyaknya tak terhingga !”
“Pelajaran apa yang kalian utamai ?”
“Yang kami utamakan banyak sekali, semuanya itu adalah ilmu yang luar biasa, misalnya
dalam ilmu pedang orang anggap Keng thian cit su sebagai pelajaran nomor satu, untuk Thian
liong bun ilmu pedang itu dianggap kuranglah lengkap dan sempurna sebab hanya
sebagian…”
“Perkataanmu sukar dipercaya, karena semua jago silat berpandangan bahwa Keng thian cit
cu adalah ilmu pedang yang nomor wahid dikolong langit, buktinya Siang eng dengan ilmu
pedang itu, menjuarai dunia persilatan.”
“Ha ha ha, Lo Cianpwee mungkin tidak tahu bahwa Sin kiam siang eng itu adalah anggota
Thian liong bun !”
“Apa benar ?”
“Kenapa tidak ? Mungkin Lo Cianpwee kurang percaya, apa salahnya datang ke Pek liong san
dan tanya sendiri pada Siau siang lie hiap, Lim Siok Bwee, disitu tempatnya mendapat
jawaban benar tidaknya apa yang kukatakan !”
270
“Setelah mendengar ucapan Lounio, aku baru sadar, pengalaman sangat minim,” kata Jie Hui.
“Jika kalian keluaran Thian liong bun tentu memiliki ilmu yang berkepandaian tinggi, bukan ?
Sayang aku sudah tua, bilamana tidak, tentu akan meminta beberapa jurus pelajaran dari
kalian.”
“Lo Cianpwee terlalu merendah,” kata Siau Bwee “dunia kangouw tergetar oleh Capsahkie
sedangkan Lo Cianpwee adalah salah satu diantara mereka !”
“Itu nama kosong belaka !” jawab Jie Hui.
“Dari omongan Lo Cianpwee seolah-olah kenal dengan Ciang bun jin kami ?” kata Siau
Bwee.
“Bukan kenal lagi, hubunganku dengannya tak ubahnya seperti anak dan orang tua ! Kau
tahu, siap yang menolongnya keluar dari Pok Thian Pang sewaktu menghadapi bahaya ?” Ia
menanti jawaban pada dua pemuda itu, menatap tajam, “bukan orang lain, akulah yang
menolongnya !”
“Oh, aku ingat. Tentulah Lo Cianpwee yang menyamar sebagai orang India dan menolong In
siau hiap dari Pok Thian Pang ?”
“Benar!” kata Liok Jie Hui. “Kini ia menjadi seorang Ciang bun jin dari Thian liong bun,
benar-benar diluar dugaanku !” Ia bicara dengan suara perlahan dan membayangkan
kesedihan didalam hati, ia seorang ulung apa yang dibawakan benar tidak kentara, sehingga
kedua anak muda yang masih hijau merasa heran dan dipengaruhi.
“Kenapa Cianpwee mengatakan begitu dan tampaknya sedih mendengar In siau hiap menjadi
Ciang bun jin kami ?” tanya Siau Bwee.
“Ya dapat dikatakan memang nasibku yang buruk, jika kutahu ia mau menjadi seorang Ciang
bun jin, siang-siang sudah kujadikan, dan tidak sampai keduluan orang lain ! Kini aku luntang
lantung kesana kemari dalam kesulitan, seorang muridpun aku tak punya, hingga segala
sesuatu harus dikerjakan sendiri, coba jika dia masih bersamaku, tak sampai aku merasa
begini macam !”
“Memang Lo Cianpwee mempunyai kesulitan apa ?” tanya Siau Bwee.
“Jika mengenang In Siau hiap antara kalian dan aku masih dapat dikatakan orang sendiri, dan
sepatutnya menuturkan kandungan hatiku kepada kalian, tapi dlam saat ini kurasa kurang
pantas, sebab bisa menghilangkan kegembiraan makan minum. Maka sebaiknya kita minum
sepuas-puasnya dan jangan membicarakan soal itu. Mari ….” Ia mengangkat cawan dan
menegaknya berulang-ulang.
“Jika Lo Cianpwee menganggap kami sebagai orang sendiri, katakanlah apa yang menjadi
kesulitan Lo Cianpwee, jika tidak aku tak mau minum arak ini,” kata Tiat Siau Bwee.
“Sebenarnya tidak menjadi soal, sebab aku sendiri masih bisa menghadapinya.” Kata Liok Jie
Hui sambil menarik napas. “Lebih baik tidak mengungkit soal ini, makin diomongi makin
mendongkolkan hati.”
271
“Kenapa berkata begitu ? Jika Lo Cianpwee menganggap kami bukan sebagai kawan, kami
segera pamitan !” kata Pek Kiam Hong.
Liok Jie Hui menggoyangkan tangan, dan berlagak seperti terpaksa. “Baiklah jika kalian ingin
tahu kuterangkan juga, tapi kalian tidak boleh mencampuri urusan ini….”
“Hm, lekaslah katakana,” dengus Pek Kiam Hong tidak sabaran.
Diam-diam Liok Jie Hui menjadi senang, didahului elahan napas ia berkata dengan serius.
“Terjadinya hal ini dapat dikatakan akibat dari lolosnya In Siau hiap dari Pok Thian Pang,
kalian tentu tahu bahwa Keng thian cit su milik Sin kiam siang eng jatuh ditangan Pok Thian
Pang, karena inilah In Siau hiap diundang kesana sebagai penterjemah….”
“Hal ini sudah kuketahui, tak perlu Lo Cianpwee mengatakan lagi, yang kami inginkan
dimana letak kesulitanmu ?”
“Jika kututurkan terus, kalian bisa mengetahui sendiri kesulitanku,” kata Liok Jie Hui, yang
terus melanjutkan ceritanya. “Begitu lolos dari Pok Thian Pang, dengan penuh semangat In
Siau hiap menterjemahkan Keng thian cit su, dan meminta bantuanku untuk menyebar
luaskan buku itu. Agar sekalian orang baik dari rimba hijau mempelajari ilmu itu dan bisa
mengadakan perlawanan pada Pok Thian Pang. Tak kira sebelum usaha ini berjalan, terjadi
sesuatu yang diluar dugaan….”
“Terjadi apa ?” selak Siau Bwee.
“Soal In Siau hiap menterjemahkan buku ini, entah bagaimana menjadi bocor dan tersebar
luas diluaran, begitu kuperoleh buku yang baru diterjemahkan, Hek pek siang koay tiba-tiba
muncul dan mengurung diriku, dalam perkelahian itu buku itu kena dirampasnya ! Tersebab
inilah In Siau hiap mencetak buku itu di Kim leng dan menyebar luaskan seorang diri.”
“Oh, karena hal inilah ia berbuat begitu ?” kata Pek Kiam Hong.
“Ya,” jawab Liok Jie Hui. “Apa yang dilakukan itu karena terpaksa, karena ia mengetahui
bahwa Hek pek siang koay adalah orang jahat sepeerti kaum Pok Thian Pang. Andaikata
kedua orang itu bekerja sama dengan Pok Thian Pang akan mendatangkan bencana maut pada
jago-jago dari golongan putih. Sebab ini In Siau hiap berlaku seperti yang dituturkan tadi.
Tapi caranyapun kurang baik, karena ia tidak memilih bulu, siapapun diberikan buku itu !
Sehingga orang-orang jahatpun banyak memperolehnya, pikirlah, bukankah dengan begitu
iapun membantu penjahat-penjahat itu ? Mengetahui keadaan ini, aku turut berduka dan
merasa berdosa pada In Siau hiap. Untuk menebus dosa ini aku bercapai lelah selama setahun
lebih, dan terhitunglah usahaku tidak sia-sia, karena kuperoleh satu peluang baik untuk
menutup dosa-dosaku !”
“Peluang apa yang Lo cianpwee dapati ?”
“Satu peluang baik untuk memperoleh sebilahj pedang pusaka !” kata Liok Jie Hui. “biarpun
orang-orang jahat itu memiliki ilmu pedang yang bagaimana tinggipun dapat ditundukkan
pedang wasiat itu !”
“Dimana pedang itu berada ?” tanya Siau Bwee.
272
“Disuatu lembah yang curam terdapat sebuah danau, disitu pemandangannya sangat indah,
bilamana saatnya tiba akan terlihat suatu cahaya bergemerlapan menerangi kegelapan malam.
Alkisah, itulah sinar pedang wasiat yang akan menjelma didunia.”
“Nampaknya yang mengetahui adanya pedang wasiat ini bukan aku sendiri, sehingga
mendatangkan kecemasanku, aku merasa kuatir terulang lagi kejadian hilangnya buku seperti
dulu, sebab kekuatanku hanya seorang diri, mengingat ini hatiku merasa cemas dan sedih !”
Siau Bwee dan Pek Kiam Hong adalah pemuda-pemuda yang kurang berpengalaman,
mendengar perkataan Liok Jie Hui yang ingin menebus dosa pada In Tiong Giok, hati mereka
tergerak timbul niat mereka untuk membantu Liok Jie Hui memperoleh benda wasiat itu.
Maka Siau Bwee segera berkata : “Lo Cianpwee tak usah pusing dalam soal itu, biarpun
kepandaian kami tak seberapa tinggi, untuk menghadapi orang-orang biasa masih boleh
diandalkan.”
“Kesediaanmu kuterima didalam hati, “ kata Liok Jie Hui.
“Sebab yang datang itu adalah jago-jago dari rimba hijau, maka itu aku tak bisa mengajak
kalian menempuh bahaya maut. Semata-mata untuk kepentinganku !”
JILID 14________
“Apakah Lo Cianpwee menganggap kepandaian kami terlalu rendah dan bisa merepotkan Lo
Cianpwee ?” tanya Pek Kiam Hong.
“Bukan begitu, karena yang datang itu disamping berkepandaian tinggi, jumlahnyapun
banyak sekali ! Aku sendiripun bisa menghadapi mereka dengan nekad, hidup atau mati
terserah kepada Tuhan ! Sedangkan kalian bagaimanapun tak boleh mencampuri urusanku ini
!”
“Bolehkah kutahu musuh-musuh dari golongan mana ?” tanya Siau Bwee.
“Yang sudah kuketahui saja sudah tiga golongan, yakni dari Pok Thian Pang, Hek pek siang
koay dan lou san siang cat ( dua manusia cacat dari gunung Lou san). Disamping itu masih
banyak lagi yang lain dan belum kuketahui dai golongan apa !”
“Dimana letaknya lembah itu ? Dan kapan pedang itu menjelma kedunia ?” tanya Siau Bwee.
“Letaknya tak seberapa jauh , yakni dilembah gunung Huay giok san,” kata Liok Jie Hui.
“Sedangkan saatnya pedang itu menjelma sudah dekat juga, lebih kurang lima enam hari lagi,
atau selambat-lambatnya sepuluh hari lagi.”
“Jika Lo Cianpwee tak mau mengajak juga, kami bisa pergi sendiri,” kata Siau Bwee. “Toako
mari kita berangkat sekarang juga.” Pek Kiam Hong tak ayal lagi segera bangkit dari tempat
duduknya.
Melihat keadaan ini hati Liok Jie Hui menjadi geli, karena siasatnya berhasil baik. Tapi
wajahnya seperti kaget dan cemas, buru-buru mencegah. “Kalian jangan berlaku gegabah, aku
mencegah kalian dengan maksud baik….”
273
“Hm,” Siau Bwee tersenyum dingin. “Kami sebagai anggota dari Thian liong bun
bagaimanapun mempunyai kewajiban untuk mencegah agar pedang wasiat itu tidak jatuh
ditangan orang jahat.”
Liok Jie Hui yang licin dengan perkataannya yang lemah lembut, berhasil membuat kedua
muda mudi itu duduk kembali dikursinya: “Jika kalian memaksa juga, apa boleh buat,
ikutlaah denganku, sebab pedang yang bakalan diperoleh itu untuk diserahkan pada In Siau
hiap yang menjadi Ciang bun jin kaum Thian liong bun !”
“Bilamana kita berangkat ?” tanya Siau Bwee tak sabaran.
“Sebenarnya lebih cepat lebih baik,” kata Liok Jie Hui. Ia terpekur sejenak seperti berpikir
keras. “Tapi aku masih mempunyai sesuatu urusan yang perlu diselesaikan dulu. Kalian
duduk-duduk dulu disini, aku hanya sebentar.”
“Silahkan,” kata Siau Bwee, “kami akan menunggu disini !”
“Ah, pikiranmu bagaimana sih ? Liok Jie Hui adalah jago kang ouw yang lihay, bilamana
rahasianya dipecahkan itu akan gusar dan kita bisa dibunuhnya, mengerti ?”
“Takut apa, lawan saja !”
“Ketakutan kita ditambah selipat lagipun tak bisa menang !”
“Jika begitu mumpung ia belum datang kita pergi buru…..’
‘Jika kita pergi sama dengan melepaskan begitu saja pedang wasiat itu bukan ?”
“Sebenarnya apa sih yang engkau akan perbuat ?” tanya Pek Kiam Hong.
“Aku mempunyai siasat baik menghapinya, tolol !” bisik Siau Bwee.
“Duduklah yang tenang, tak lama lagi dia akan kembali…”
Benar saja dari arah tangga terdengar derapan langkah-langkah berjalan. Disusul dengan
munculnnya Liok Jie Hui dan seorang laki-laki yang membawa bungkusan besar
dipunggungnya. Orang yang membawa bungkusan bukan lain dari sipedagang barang pecah
belah yang bernama Oey Toa Gu.
“Wah mungkin kalian kesal menantikan aku bukan ?” kata Liok Jie Hui.
“Lo Cianpwee pergi begitu lama dan kembali membawa orang kasar ini untuk apa ?” tanya
Siau Bwee.
“Usiaku sudah begini lanjut tapi belum mempunyai seorang muridpun untuk dijadikan
pewaris pelajaranku,” kata Liok Jie Hui. “Kulihat anak ini berbakat besar, bila dididik akan
menjadi orang berguna dikemudian hari, maka kuterima menjadi murid.”
274
Siau Bwee melirik kepada Toa Gu sambil mengerutkan kening, sedangkan yang disebut
belakangan nyengir-nyengir dan berkata “Siau Kounio , apakah engkau akan turut juga keatas
gunung, mempelajari ilmu menggebuk orang ?”
“Toa Gu jangan ngaco belo ! Sungguhpun usia mereka masih muda-muda tapi adalah kawankawanku,
engkau harus menganggap mereka ini sebagai paman atau bibi, mengerti ? Nah
lekaslah haturkan maaf atas kecerobohanmu tadi !”
Toa Gu menjadi melongo dan segera membantah. “Soal perkelahian dengannya, bukan
salahku dia yang mulai…..”
“Aku sebagai suhumu, apa yang kukatakan tak boleh kau bantah, lekas haturkan maaf !”
bentak Liok Jie Hui.
Sebenarnya Toa Gu tak ikhlas melakukan hal yang berlawanan dengan hatinya, tapi dalam
tekanan gurunya, apa boleh buat dia maju kehadapan Siau Bwee dan Pek Kiam Hong
“Hitung-hitung aku sedang sial dan terimalah permintaan maafku ini !”
Melihat Toa Gu ini, Siau Bwee merasa geli rasa dongkolnyapun menjadi hilang, dengan
tersenyum ia membalas hormat. Sedangkan Pek Kiam Hong masih merasa gondok, ia diam
terus tanpa meladeni Toa Gu.
“Kalian sudah makan, mari kita berangkat !” kata Liok Jie Hui.
Siau Bwee segera bangkit, dan terus menendang Pek Kiam Hong yang masih cemberut. “Ah
mengapa menjumblek terus, mau ditinggal ?”
Dengan ogah-ogahan Pek Kiam Hong bangkit dan terus mengikuti dari belakang tanpa
mengeluarkan sepatah kata.
Didekat kuda Siau Bwee dan Kiam Hong tampak dua ekor kuda lain. “Ini adalah kuda yang
baru kubeli,” kata Liok Jie Hui. “Tadi kupergi lama, disamping membeli kuda, juga
membereskan soal ibunnya Toa Gu. Kini tidak ada yang menjadi beban pikirannya lagi, ia
bisa mengikutinya dengan tenang.”
Dengan berkuda mereka menuju ke Hoay Giok san. Disepanjang jalan Kiam Hong
membungkam seribu bahasa, demikian pula dengan Toa Gu jika tidak ditanya tidak mau
berkata hanya Siau Bwee sepanjang jalan mengobrol dengan Liok Jie Hui tanpa hentihentinya.
Lambat laun Hoay Giok san sudah semakin dekat, sepanjang jalan yang menuju kesana,
didepan atau belakang mereka, adalah orang Bulim yang mempunyai maksud serupa dengan
mereka. Anehnya orang-orang itu selalu berjalan berdua, tidak terlihat yang berjalan seorang
diri.
Sekarang Siau Bwee baru percaya bahwa cerita Liok Jie Hui tentang pedang wasiat itu, tidak
bohong. Dan ia tahu orang yang berjalan berdua itu, pasti sudah mempelajari ilmu Keng thian
cit su dan datang ke Hoay Giok san untuk mendapatkan pedang wasiat. Ia merasa girang
disamping rasa tegang. Didekatinya Pek Kiam Hong yang berjalan dibelakangnya.
“Perhatikanlah keadaan dijalanan ini, banyak orang-orang yang menuju ke Hoay Giok san,
275
tentu untuk memperolah pedang wasiat itu. Dan kita harus waspada jangan sampai diperalat
oelh Liok Jie Hui !”
“Jika soal pedang itu benar, apa gunanya ia memperalat kita ?” tanya Kiam Hong.
“Dalam soal silat ia tak butuh bantuan,” kata Siau Bwee. “Tapi jika tak memerlukan bantuan
pasti ia tidak akan mengajak kita maupun si Toa Gu yang tolol itu !”
“Ia mengandung maksud apa ?” tanya Pek Kiam Hong.
“Kesatu dengan tenaganya sendiri ia tidak sanggup menghadapi musuh, kedua tempat pedang
itu pasti berbahaya, dan akan menyuruh kita atau Toa Gu yang mengambilnya, sedangkan dia
sendiri uncang-uncang kaki, menunggu hasilnya.”
“Bukankah pedang itu berada disuatu danau ?”
“Benar !” jawab Siau Bwee, “tempat-tempat barang pusaka kebanyakan dijaga binatangbinatang
buas, karena inilah ia mengajak kita !”
“Habis harus bagaimana menghadapinya ?”
“Sebelum persoalan menjadi jelas, sukar untuk menentukan suatu cara untuk menghadapinya.
Pokoknya dalam segala hal engkau harus menurut dibawah komandoku, jika ia menyuruhmu
melakukan sesuatu hal, engkau harus melihat kepadaku jika aku mengangguk engkau boleh
melakukannya, jika aku diam janganlah kau lakukan !”
“Ya, aku sih menuruti saja, dan andaikata terjadi sesuatu kerugian bagi kita, engkau jangan
menyesalkan diriku !”
Diwaktu senja mereka telah tiba di sebuah perkampungan kecil yang berada dikaki gunung
Hoay Giok san. Disini hanya terdapat sebuah losmen kecil yang sederhana betul. Mereka
mampir disitu. Sehabis makan, Liok Jie Hui memanggil pelayan. “Apakah engkau tahu ada
berapa warung nasi dikampung ini ?”
“Lebih kurang ada lima buah warung !”
“Adakah mereka menjual makanan kering ?”
“Ada juga, tapi tidak sebagus seperti yang terdapat dikota besar !”
“Itu tidak menjadi soal, aku ingin membeli agak banyak, yakni untuk dimakan seratus orang
dan bisa bertahan sepuluh hari !” kata Liok Jie Hui dan terus mengeluarkan uang. Juga tidak
lupa ia memberikan persenan kepada pelayan itu dan pelayan itupun girang dan bertanya :
“Bilamana makanan itu dibutuhkan ?”
“Jika bisa, sebelum kentongan ketiga malam ini terdengar, makanan itu sudah kau siapi !”
Tidak ayal lagi pelayan itu melakukan apa yang dikehendaki Liok Jie Hui saat itu juga.
276
Liok Jie Hui dengan tersenyum memandang kepada tiga yang lain. “Sebelum kentongan
keempat berbunyi kita harus lanjutkan perjalanan, kini sebaiknya tidurlah, mumpung ada
waktu !”
“Untuk apa membeli makanan kering sebanyak itu ?” tanya Siau Bwee.
“Hmmm, dengan begini, kawan-kawan yang setujuan dengan kita akan kehabisan makanan
bukan ?”
Siau Bwee baru mengerti bahwa Liok Jie Hui benar seorang licik yang banyak akalnya.
Mereka segera tidur. Dan bangun sewaktu pelayan itu kembali bersama-sama tukang
makanan. Begitu banyak dan masih hangat tampaknya. Tak salahlah agaknya para pedagang
itu mengerjakan makanan-makanan itu dengan mengebut sekuat-kuatnya.
Setelah merapikan pakaian, mereka keluar . Liok Jie Hui memilih makanan yang baik-baik
dimasukkan kedalam keranjang besar, Toa Gu ditugaskan membawanya. Sedangkan sidanya
yang berpikul-pikul disuruh pelayan itu membawanya keluar kota. Disana terdapat sebuah
danau yang besar, makanan itu dibuang kedalam air setelah dan pembantu-pembantunya
berlalu.
Liok Jie Hui mengepalai rombongan menuju kedaerah pegunungan, ia mengambil jalan kecil
yang berliku-liku. Setelah menempuh perjalanan sehari lebih, mereka tiba disebuah lembah,
keadaan didalam lembah sangat luas, sedangkan mulutnya sangat sempit, merupakan tempat
yang baik untuk bertahan jika menghadapi musuh yang lebih besar jumlahnya. Ditengahtengah
lembah itu terdapat sebuah danau airnya hijau membiru, tidak terlihat dasarnya.
Ditengah danau itu terlihat user-user air yang kempot.
“Apa namanya danau ini ?” tanya Siau Bwee setelah memperhatikan agak lama.
“Tempat ini jarang dikunjungi orang, sehingga tidak ada yang mengetahui apa namanya
danau ini,” kata Liok Jie Hui. “Tapi didalam danau ini terdapat dua bilah pedang pusaka,
maka itu kita namai saja Danau pedang !”
“Lo Cianpwee kenapa engkau mengetahui didalam danau ini terdapat dua pedang ?” tanya
Siau Bwee.
“Bila malam hari dari dalam danau itu memancar dua sinar yang berbeda, dari sinilah dapat
diduga bahwa pedang itu ada dua bilah.”
“Seumurku belum pernah melihat sinar pedang, semacam itu,” kata Siau Bwee. “Apakah
karena kelewat lama pedang itu berada didalam air, menjelma menjadi siluman dan
mengeluarkan cahaya ?”
“Soal itu aku tidak tahu, tapi engkau bisa melihatnya sinar pedang ini dimalam hari !”
“Apakah pedang itupun turut keatas permukaan air ?”
“Oh tidak !”
“Aku heran kenapa ia bisa bercahaya ?”
277
“Setiap benda-benda pusaka, biarpun dipendam dalam tanah ataupun didalam air, bila tiba
saatnya akan menjelma, ia akan memancarkan sinar ! Misalnya batu cincin yang mempunyai
kasiatnya, bilamana akan menjelma ia akan memancarkan sinarnya. Hanya orang-orang yang
berjodoh dengannya baru bisa mendapatkannya, bilamana tidak, biar digadangi setiap malam,
benda itu tidak bisa diperoleh. Nah ini satu keajaiban, bilamana kurang percaya buktikanlah
malam ini !”
“Lo Cianpwee bisa mendapatkan dan tahu tempatnya pedang ini, tentu sangat berjodoh,” kata
Siau Bwee.
Liok Jie Hui bergelak-gelak kegirangan mendapatkan umpakan itu.
“Ya mungkin juga karena pembawaanku yang jujur dan bersih sehingga bisa mengetahui
tempat pedang ini.” Katanya dengan bangga. “Sedangkan Hek pek siang yau dan kaum Pok
Thian Pang yang durhaka itu, sampai kini belum mengetahui dimana tempat pedang itu
berada.”
“Tak tahu malu !” maki Siau Bwee didalam hatinya. Walaupun hatinya mendongkol,
wajahnya tetap tersenyum. “Lo Cianpwee sebaiknya jangan buang kesempatan, sekarang saja
ambil pedang itu, mumpung musuh-musuh itu belum pada datang.”
“Mengambil benda pusaka tidak boleh sembarangan.” Kata Liok Jie Hui. “Apalagi sekarang
masih siang, cahaya tidak terlihat, sukar menemuinya !”
“Apakah Lo Cianpwee merasa takut ?”
“Bukan takut, tapi berhati-hati !”
“Suhu !” seru Toa Gu dengan tiba-tiba. “bolehkah aku makan dulu, sudah lapar benar !”
Lio Jie Hui memandang sambil tersenyum. “Ya, sebaiknya kita makan dulu, agar semangat
kita bertambah.”
Empat orang duduk ditepi danau, Toa Gu membuka rantang, mengambil makanan kering dan
menyapoknya tanpa mengunyah lagi. Makanan itu kering dan peret, sukar masuk kedalam
kerongkongan, membuatnya kelolotan ! Mendelik ketelak makanan itu, membuatnya gugup,
dan cepat-cepat lari kepinggir danau dan minum.
Liok Jie Hui cepat-cepat mencegah, “Air ini kelihatannya kurang bersih, entah bisa diminum
atau tidak, sebaiknya engkau keluar lembah, disana ada selokan air, minumlah disana,
sekalian ambilkan barang seember !”
Toa Gu mengangguk dan lari keluar lembah sambil membawa ember.
Liok Jie Hui menantikan Toa Gu sudah jauh baru berpaling kepada Siau Bwee dan Kiam
Hong. “Atas bantuan kalian untuk mengambil pedang ini, kuucapkan banyak terima kasih.
Yang datang untuk mengambil pedang kesini, nyatanya banyak sekali, kita harus berlaku
terlebih waspada lagi.”
278
Pek Kiam Hong tidak mau bicara, ia asyik makan kueh kering.
“Sudahkah Lo Cianpwee melakukan persiapan untuk menghadapi mereka ?” tanya Siau
Bwee.
“Kita berjumlah empat orang,” kata Liok Jie Hui, “aku harus membawa Toa Gu ke danau ini
mengambil pedang, dan kuminta kalian menjaga mulut lembah, merintangi setiap orang yang
mau masuk kesini.”
“Kepandaian kami tidak seberapa, mungkin tak dapat menahan orang-orang itu,” sela Siau
Bwee.
“Dalam hal ini Kounio tak usah kuatir, aku sudah berpikir bahwa letaknya mulut lembah
kesini tidak seberapa jauh, jika kalian menghadapi kesukaran boleh memberi tanda bahaya
aku bisa datang membantu,” kata Liok Jie Hui.
“Musuh-musuh itu bisa datang setiap saat bukan ?” kata Siau Bwee.
“Jika musuh datang sebelum kami mengambil pedang, kalian bisa berseru minta bantuan, aku
segera datang membantu, jika saatnya aku mengambil pedang dan musuh datang, tahanlah
mereka sejenak, begitu selesai mengambil pedang aku bisa datang menghalau mereka !”
“Jika saat ini mereka sudah datang ?”
“Disiang hari sinar pedang tidak memancar keluar, mereka tidak dapat mencari tempat ini
begitu cepat !” kata Liok Jie Hui. “Untuk melewati waktu kita boleh bersembunyi ditempat
gelap, biar mereka sampai kesini, jika tidak melihat kita akan pergi lagi bukan ?”
“Kulihat air ini menyeramkan sekali, ditambah Toa Gu tolol sekali, bisakah pedang itu
diambil dengan tenaga berdua ?” tanya Siau Bwee.
“Biarpun air ini menyeramkan kami masih sanggup mengatasinya, asal saja kalian bisa
melakukan tugas dengan baik dimulut lembah.”
“Kedatangan kami kesini justru untuk membantu Lo Cianpwee menghadapi musuh-musuh
itu, sudah tentu akan menjalankan tugas sebisa mungkin, tapi…..” Ia tidak meneruskan katakatanya
dan merandek dengan mendadak.
“Tapi….tapi kenapa, katakanlah !”
“Kumohon Lo Cianpwee melulusi satu permohonanku !”
“Asal yang kubisa, pasti kululusi, katakanlah !”
“Sebenarnya bukan apa yang kami minta,” kata Siau Bwee. “Aku hanya ingin melihat
bagaimana rupanya sinar pedang itu, dan bagaimana caranya Lo Cianpwee mengambilnya.”
“Ini….habis siapa yang menjaga mulut lembah ?”
279
“Ada kokoku yang menjaga,” jawab Siau Bwee. “Jaraknya toh dekat sekali, jika ada bahaya
aku bisa lari membantunya, jika tak ada apa-apa aku diam disini, bagaimana ?”
Liok Jie Hui tidak setuju Siau Bwee berada ditepi danau, maka ia berkata : “Sebaiknya
Kounio menjaga mulut lembah itu jika tidak ada musuh yang datang, aku bisa memberi tahu
saatnya pengambilan pedang itu, dan engkau boleh datang melihatnya.”
“Benar-benar nih ? Harap Lo Cianpwee jangan lupa ya .”
“Pasti tidak lupa !”
“Biar bagaimana aku harus melihat dengan mata sendiri, peristiwa yang jarang terjadi ini, “
kata Siau Bwee. “Aku berdoa agar musuh-musuh yang mau mengambil pedang ini pergi jauhjauh….”
Belum pula ia menyelesaikan perkataannya, matanya melihat Toa Gu dengan menenteng
ember yang terisi air, sedang berlari dengan tergesa-gesa.
Tampaknya sitolol masih belum menelan makanan kering yang menyumbat kerongkongannya
itu, begitu sampai lengannya memeta, nunjuk-nunjuk keluar lembah, dan berkata dengan
terbata-bata : “Suhu….lekas….lekas lihat.”
“Lihat apa ? Bicara yang benar !” bentak Liok Jie Hui.
Toa Gu menghirup air dan menelan makanan dikerongkongannya, lalu berkata dengan cepat :
“Diluar ada dua anak kecil berkelahi dengan seorang Tojin tua, anak kecil itu berhasil
membunuh Tojin itu…”
“Jauhkah dari sini ?” tanya Liok Jie Hui.
“Tuh diluar lembah itu,” kata Toa Gu, “kedua anak kecil itu setelah membunuh berlari kearah
sini.”
Liok Jie Hui menjadi kaget, dan mengulap-ulapkan tangannya dan berkata : “Lekas
bersembunyi, yang datang pasti Hek pek siang kuay.”
Keempat orang dengan cepat bersembunyi kedalam pepohonan yang rimbun. Tak selang lama
dari mulut lembah berkelebatan dua sosok bayangan dengan cepat.
Hanya sekejap dua orang itu telah berada ditepian danau, sedikitpun tak salah apa yang
diucapkan Liok Jie Hui, bahwa anak kecil itu benar-benar Hek pek siang kuay adanya.
Tiat Siau Bwee maupun Pek Kiam Hong pertama kali melihat suami istri yang serupa bocahbocah
cilik itu, menjadi heran sendiri, bilamana tak diterangkan lebih dulu, ia takkan percaya
bahwa Hek pek siang kuay yang terkenal keganasannya didunia persilatan berbentuk tak
ubahnya seperti bocah belasan tahun.
Siang kuay berhenti ditengah danau, mata mereka jelilatan kesekeliling lembah. Na Beng Sie
menganggukkan kepala sambil berkata. “Pantasan kedua bedebah itu meronda disini, kiranya
lembah ini sangat menarik perhatian.”
280
“Coba terangkan padaku, dimana letak yang menarik perhatian ?” kata Lauw Siu Kim.
Dengan ujung jarinya, Na Beng Sie menunjuk kearah lembah sambil memberi komentar :
“Lihatlah lembah ini bermulut kecil, sedangkan perutnya sangat lebar, dalam ilmu berperang,
lembah ini menguntungkan yang bertahan dan menyulitkan si penyerang…”
“Hm,” selak Lauw Siu Kim, “aku menginginkan kau menyebut dimana tempat pedang itu,
dan tidak menanyakan soal ilmu perang !”
“Jangan bergegas memutus pembicaraanku,” kata Na Beng Sie, “dengarkanlah nanti engkau
bisa menarik kesimpulan sendiri, dimana tempat pedang itu berada ! Lembah ini bersangkutan
sekali dengan tempat pedang itu, pikirlah pedang wasiat itu kenapa bisa berada ditempat
sesunyi ini, tak perlu kujelaskan lagi, tentu ada orang yang membawa dan menyembunyikan
disini….”
“Aku juga tahu pedang itu disembunyikan orang, tapi dimana disembunyikan ? Lekas
katakana.” Lagi-lagi Siu Kim memotong pembicaraan suaminya.
“Apa yang kukatakan belum selesai, dengarkan terus, engkau akan tahu sendiri dan tahu
dimana letaknya tempat pedang itu !”
“Katakanlah yang penting dahulu, jangan mengoceh kebarat ketimur seperti dalang saja,”
bentak Lauw Siu Kim, “ketahuilah berbagai golongan telah berada disekitar gunung ini
bilamana engkau melalaikan waktu dengan cuma-cuma, kemungkinan besar pedang itu sudah
berada ditangan orang lain bukan ?”
“Dalam hal ini engkau tak perlu kuatir, kata Na Beng Sie dengan tenang. “Barang siapa berani
berlaku gegabah, dua bedebah tadi adalah contoh yang baik !”
“Jangan tekebur, diatas yang kuat masih ada yang kuat, lebih-lebih tenaga kita hanya berdua,
mana mungkin menundukkan seluruh jago persilatan ?”
“Bilamana pedang itu berada ditangan kita, dengan sendirinya kitalah yang menjadi jago
nomor satu dikolong langit ini bukan ?”
“Benar ! Lekaslah ambil pedang itu !” ejek Lauw Siu Kim.
“Baiklah kuteruskan kata-kataku tadi,” kata Na Beng Sie, karena tempat ini sangat aneh maka
menarik perhatianku dan timbul dugaan bahwa pedang itu berada dilembah ini…”
“Dimana ?” tanya Lauw Siu Kim dengan bernapsu.
“Aku hanya menduga, benar tidaknya harus dilakukan pengecekan yang cermat !”
“Hm, kalau begitu engkaupun tidak tahu bukan ?”
“Biar tidak tahu, aku bisa menduga, sedikitnya ramalan ayau dugaan itu, mendekat pada
kebenaran….”
281
“Jika begitu lekaslah kita memeriksa dan meneliti lembah ini !” kata Lauw Siu Kim yang
lantas bergerak terlebih dulu.
“Sabar !” seru Na Beng Sie.
“Ada apa lagi ?”
“Disiang hari mana bisa kita mencari pedang wasiat itu ?” kata Na Beng Sie. “Kita harus
menanti sampai malam hari, pedang wasiat itu pasti memancarkan sinar yang berkilauan, dan
memudahkan kita mencarinya.”
“Maksudmu kita nongkrong terus disini sampai gelap gulita ?”
“Dalam hal ini kita harus mengutamakan kesabaran,” kata Na Beng Sie. “Kini kita jadikan
tempat ini yang diutamakan, lalu kita mencari lagi beberapa tempat yang lain yang cukup
menarik perhatian, sesudah malam baru kita lakukan pemeriksaan.”
“Jika kita pergi, nanti ada yang datang kesini bagaimana ?”
“Kita bisa memberikan tanda peringatan diluar lembah, melarang mereka masuk ! Itu sih
sama saja memberi tahu pada orang lain bahwa disinilah tempatnya pedang wasiat berada !”
kata Lauw Siu Kim. Kupikir lebih baik aku menjaga disini sampai malam dan engkau pergi
menyelidiki tempat lain seorang diri.”
“Bagaimana kalau musuh datang waktu kita berpisah ? Tenaga kita jadi terpencar, pasti
celaka bukan ?”
“Habis bagaimana ?”
“Sebaiknya kita memeriksa berdua, tapi tak perlu jauh-jauh. Begitu kita melihat sinar pedang
buru-buru kita kembali !”
Lauw Siu Kim terpekur agak lama, seolah-olah sedang berpikir, tapi tak ada jalan yang lebih
baik dari itu, ia menganggukkan kepala dan terus mengajak suaminya berlalu untuk
memeriksa tempat lain.
Setelah Siang kuay pergi jauh, Liok Jie Hui baru menarik napas dalam-dalam. “Jika menurut
cara Lauw Siu Kim, menongkrongi terus danau itu bisa berabe tak keruan !”
“Kulihat sepasang suami istri itu mungil dan lucu, berpotongan seperti bocah-bocah kecil.
Yang perempuan galak dan yang lelaki sabar, pasangan berat sebelah !” kata Siau Bwee.
“Kenapa berat sebelah ?” tanya Toa Gu.
“Tentu berat sebelah, karena laki-laki itu takut bini !” kata Siau Bwee.
“Engkau jangan memandang lucu kesua suami istri itu, mereka terkenal sangat buas dan
kejam, tidak sedikit jago-jago bulim terbunuh di tangannya !”
282
“Bagaimana kalau dibandingkan dengan kepandaian siang kuay dengan Lo Cianpwee ?”
tanya Siau Bwee.
“Satu lawan satu aku menang seurat, jika mereka bergabung aku kalah seurat !” jawab Liok
Jie Hui.
“Kalau begitu aku dan kokoku mana bisa menahan mereka, jika sebentar malam mereka
kembali lagi ?”
“Jangan kuatir, sekarang masih ada waktu,” kata Liok Jie Hui, “kita boleh menganyam tikar
yang besat untuk menutupi danau itu agar sinar pedang tidak memancar keluar !”
“Cara ini mana bisa dilakukan, sebab danau itu sangat lebar !” kata Siau Bwee.
Mereka bicara sedangkan sebarisan orang telah memasuki lembah ini dengan mendadak.
Untung mereka berada ditempat persembunyian dan tidak terlihat orang ini, semakin lama
oranag-orang ini semakin dekat dan dapat dilihat dengan tegas. Mereka jadi kaget, lebih-lebih
lagi Pek Kiam Hong, karena barisan ini dipelopori seorang perempuan cantik berbaju hitam
yang bukan lain dari Soat Kouw adanya, dikiri kanannya mengikuti tiga perempuan berbaju
kuning, yang bukan lain dari pada Jung jung dan kawan-kawannya.
Liok Jie Huipun tak kurang kagetnya, karena dibelakang perempuan itu, ada Thian lam siang
kui dan Thay Cin Tojin. Dibelakang jago-jago kenamaan ini terdapat seorang Tauto (kaum
Hipies jaman bahela) dan dua pengawal.
Tauto ini adalah ketua cabang Pek Thian pang didaerah Hoau yang, ia bernama Hoat ceng dan
bergelar Houw bin Heng cia (Hwesio bermuka macan), tenaganya sangat kuat, karena itu ia
memakai senjata yang berupa garu dan beratnya seratus kati. Sebenarnya Hoat ceng adalah
Hwesio dari Ngo Tay San, dikarenakan sifatnya yang berangasan, sehingga sering membunuh
orang, dan diusir dari sana. Ia keluar dari kuil itu, mengembara di dunia Kang Ouw sambil
memelihara rambut menjadi Tauto dan akhirnya mengabdi pada Pok Thian pang, karena
kepandaiannya sangat tinggi, dalam waktu pendek ia telah menjadi ketua cabang, dan
mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada Tan Toa Tiau yang hanya menjadi ketua
ranting.
Dalam waktu singkat rombongan ini telah sampai dipinggir danau, Soat Kouw yang menjadi
ketua rombongan, celingukan keempat penjuru, lalu berkata : “lembah ini sangat sunyi dan
tersembunyi lebih-lebih danau ini, suatu tempat yang cocok untuk menyembunyikan pedang
pusaka, kulihat pedang yang kita cari depalan puluh persen berada didanau ini.”
“Keadaan tempat ini memang sangat cocok tapi tak salahnya kalau kita mencari tempat lain,”
kata Tok Kay Pong dengan tersenyum.
“Benar !” kata Soat Kouw. “Akupun merasa heran, kenapa dilembah ini tidak terlihat barang
seorang, padahal yang datang ke Hoay Giok san ini banyak sekali, buktinya kita bisa melihat
dua mayat diluar lembah, menandakan bahwa mereka telah saling bunuh untuk
memperebutkan pedang pusaka.”
“Mungkin mereka mula-mula menganggap lembah ini tempatnya pedang itu, kemudian baru
tahu bahwa tempat ini adalah kosong !” kata Tok Kay Pong.
283
“Menurut Fuhoat sendiri, bagaimana keadaan lembah ini ?” tanya Soat Kouw.
“Aku tak berani mengatakan ini itu, yang perlu kita harus menjelajah tempat lain juga.”
Soat Kouw tersenyum, “engkau cukup bijaksana.” Dan dilihatnya Thay Cin Tojin,
“Bagaimana pandangan Totiang ?”
“Benda-benda pusaka biasanya suka memancarkan sinar dimalam hari, maka itu jika engkau
menaruh curiga pada lembah ini, tak salahnya menaruh beberapa pengawal disini, dan
menantikan malam, jika benar pedang itu ada disini pengawal itu bisa melihat cahayanya dan
memberikan laporan pada kita.”
“Baiklah !” kata Soat Kouw. Dan terus memberi isyarat pada Houw bin Hong cia agar kedua
pengawawlnya menjaga lembah ini.
“Kalian diamlah disini, jika ada yang masuk kesini bunuh saja,” kata Houw bin Heng cia,
“jika musuh kita boleh lepaskan panah api sebagai isyarat minta bantuan.”
"Siap !” seru kedua pengawal itu.
Soat Kouw segera memimpin lagi anak buahnya memeriksa ketempat lain.
“Lo Cianpwee, bagaimana sekarang ?” tanya Siau Bwee.
“Dua pengawal itu tidak ada artinya, nantikanlah malam tiba, masih belum terlambat
membereskan mereka !” jawab Liok Jie Hui.
“Nampaknya jago-jago dari berbagai aliran berkumpul di Hoay Giok san, andaikan kita
berhasil memperoleh pedang itu, belum tentu bisa lolos dari tangan mereka,” kata Siau Bwee
mengutarakan kekuatirannya.
“Ha ha ha,” Liok Jie Hui tergelak-gelak, “Pokoknya bilamana pedang itu berada ditanganku,
siapa yang bisa melawan lagi ?”
“Tapi Toa Gu hanya memiliki tenaga kerbau, tidak memiliki ginkang, andaikata menemui
musuh kuat….”
“Semua ini sudah dalam perhitunganku, engkau tak usah merasa cemas,” jawab Liok Jie Hui
dengan tersenyum sinis.
Senyuman aneh itu mendatangkan perasaan tak enak bagi Siau Bwee, ia menjadi diam tak
berkata-kata lagi.
Sejak itu tak terlihat lagi rombongan lain datang kelembah itu, suasana menjadi sunyi sekali.
Sedangkan Liok Jie Hui duduk bersila memelihara semangatnya untuk sebentar malam.
Pek Kiam Hong tampak beringsang betul, gagang pedangnya dipegang erat-erat, matanya
sebentar-sebentar melirik pada Siau Bwee. Hal ini membuat sigadis menjadi risau, karena
284
iapun sedang memeras otaknya untuk mencari jalan keluar. Hanya Toa Gu seorang yang tidak
memperdulikan keadaan, ia masih mengunyah dengan asyiknya makanan yang dibawa.
Siau Bwee merasaa kasihan pada sitolol itu karena ia sadar bahwa Liok Jie Hui mengandung
maksud tak baik kepadanya. Toa Gu sendiri karena menganggap Liok Jie Hui sebagai
gurunya, sedikitpun tak merasa kuatir atau curiga, kalau dirinya dalam bahaya.
Biarpun Siau Bwee sudah tahu apa yang akan terjadi, tapi tak mempunyai daya untuk
mengatasinya. Karena bukan saja Liok Jie Hui yang harus dihadapi, masih banyak lagi jagojago
lainnya, bilamana terjadi perkelahian, bisakah ia bersama Pek Kiam Hong meninggalkan
lembah itu dengan selamat ? Semua ini merupakan tanda tanya yang tidak ada jawabannya.
Keadaan semakin sunyi, kepusingan Siau Bwee semakin bertambah, saat inilah Toa Gu yang
sedang asyik makan, tergesa-gesa bangun dari tempat duduknya, sambil menekan perutnya ia
berlari kecil pada Liok Jie Hui. “Perutku mules daningin buang air.”
“Kenapa mendadak menjadi sakit ?” tanya Liok Jie Hui dengan mendelik.
“Mungkin minum air mentah itu.”
“Kini masih siang, engkau tak bisa kedanau itu membuang hajat karena dijaga pengawal dari
Pok Thian Pang, kupikir tahan saja segala rasa sakit itu !”
“Apakah suhu menghendaki aku berak dicelana ?”
“Ada-ada saja,” keluh Liok Jie Hui. “Kalau begini rencana itu harus dipercepat. “
Dipanggilnya Siau Bwee dan Kiam Hong, lalu dibisikinya. “Beresilah pengawal yang
menjaga mulut lembah secepatnya, jangan sampai ia melepaskan tanda bahaya bagi kawankawannya.”
“Baik,” kata Siau Bwee dan terus mengajak Kiam Hong. “Mari kita berangkat.”
“Bilamana pengawal itu sudah diberesi, kuminta kalian menjaga mulut lembah itu,” kata Liok
Jie Hui.
“Baik,” jawab Siau Bwee, “tapi waktu mengambil pedang itu, Lo Cianpwee jangan lupa
memanggilku !”
“Tentu kuingat !” jawab Liok Jie Hui.
Baru saja Siau Bwee dan Kiam Hong berlalu Toa Gu sudah lari kebawah pohon membuka
celana untuk membuang hajat.
Pek Kiam Hong sedari tadi membungkam terus begitu berada berduaan saja dengan Siau
Bwee segera ia berkata dengan perlahan. “Kenapa engkau mau saja diperbudak menjaga
mulut lembah, sedangkan dia sendiri enak-enakan mengambil pedang itu ?”
“Ya !” jawab Siau Bwee.
285
“Engkau sudah gila ?” Hek pek siang yauw, Thian Lam Samkui, Thay Cin Tojin dan bibiku,
orang macam mereka mana bisa kita tahu.”
“Ya, karena jago-jago terlalu banyak, sementara waktu kita harus bekerja sama dengan Liok
Jie Hui, jika tidak demikian pedang itu mana bisa kita peroleh.”
“Dengan cara apa pedang itu bisa didapat ?”
“Dengan tipu muslihat !”
“Aku tak mengerti…..”
“Jika tak mengerti jangan banyak tanya ! Dalam suasana rumit semacam ini kita harus
bergerak melihat keadaan, sebaiknya engkau menurut kata-kata, pasti tidak salah !”
“Begitupun baik, tapi engkau harus berpikir harus bagaimana aku nanti menghadapi kaum
Pok Thian Pang !”
“Soal kecil, waktu turun tangan, kita bisa bertopeng bukan ? Tambahan yang dititik beratkan
adalah pedang, bukan berkelahi !”
Dan bertanya jawab sambil berjalan, tanpa terasa mereka telah tiba di mulut lembah. Dengan
menyelinap dibalik pohon mereka melangkah setapak demi setapak kearah pengawal yang
sedang berjaga.
Penjaga itu agaknya kelewat letih, tampak sedang duduk sambil menundukkan kepala,
rupanya ia tidur ! Maka iti tak heran jika kedatangan Siau Bwee dan Kiam Hong belum
diketahuinya.
“Bagaimana ? Engkau atau aku yang turun tangan ?” bisik Siau Bwee.
“Engkau saja ! Tapi jangan mencelakakan jiwanya.” Kata Kiam Hong.
Siau Bwee mengangguk, lalu mencelat dengan cepat dan menerkam pengawal itu. Dan
lengannya beruntun memberi totokan yang telak, membuat pengawal itu terjungkal. Kiam
Hong segera menghampiri, membantu Siau Bwee menggotong tubuh pengawal itu kebalik
semak-semak. “Lekas bersembunyi ada musuh !” seru Siau Bwee separuh berbisik.
Kiam hong membalik tubuh dan memandang keempat penjuru, ia tidak melihat sepotongpun
bayangan manusia. “Mana ada musuh ?” tegurnya.
“Engkau lihat ! Pengawal ini sudah mati ! Padahal bukan aku yang membunuhnya.”
Mereka memeriksa tubuh pengawal itu dan mendapatkan ditengah-tengah alisnya sebuah
lubang sebesar jarum, tertutup darah membeku.
“Siapa yang menurunkan tangan jahat ini ?” tanya Kiam Hong.
“Belum bisa diketahui !” jawab Siau Bwee. “Yang perlu kita harus bertopeng dan kembali
secepatnya kedalam lembah.”
286
Sedangkan Liok Jie Hui yang bertugas menyingkirkan pengawal ditepi danau, begitu keluar
dari tempat persembunyiannya , mendengar deheman orang….
Pengawal itupun mendengar juga, segera ia membalik badan, dan dilihatnya Liok Jie Hui ada
dibelakangnya. Segera ia menghunus pedangnya dan membentak : “Engkau bernyali besar
beranni memasuki tempat larangan kaum Pok Thian Pang, siapa namamu ?”
Liok Jie Hui sadar disekitar situ telah berada musuh yang tangguh, maka dengan tak ayal lagi
pengawal itu diserang dengan tongkatnya. Dengan berani pengawal itu menangkis dengan
pedangnya. Begitu dua senjata bentrok, terdengar suara “trang” yang amat nyaring. Dan
pengawal itu pedangnya terlepas dari lengannya, ia sadar menghadapi musuh yang lihay,
cepat-cepat mengundurkan diri, mau melepaskan panah api minta bantuan.
Liok Jie Hui mana mau memberikan kesempatan, tubuhnya memburu dengan cepat,
sedangkan tongkatnya tiba-tiba berbunyi “krak” dan tiba-tiba menjadi dua bilah pedang yang
tajam, begitu sinar pedang berkelebat, langsung menembus tubuh pengawal itu. Liok Jie Hui
mencabut pedangnya dan membarengi dengan satu tendangan. Tanpa bersuara lagi pengawal
itu telah mati. Tubuhnya mental dan masuk kedalam danau. Terlihat air danau berputar-putar
menyedot tubuh itu, dalam sekejap air telah menjadi tenang kembali, sedangkan tubuh
pengawal itu sudah tidak terlihat lagi.
Liok Jie Hui biasanya menggunakan tongkat sebagai senjata, kini tongkatnya itu berubah
menjadi pedang, dan jurus yang dipakai tadi adalah Tiang hong su jit (pelanngi membidik
matahari) salah satu gerak serangan dari Keng thian cit su. Nyatanya ia telah pandai ilmu
pedang itu, tak heranlah jika hasratnya memiliki pedang wasiat begitu besar, karena ingin
menjadi jago Kang Ouw yang tak terkalahkan.
“Ha ha ha !” tiba-tiba terdengar suara tertawa mengejek.
“Siapa ? Lekas keluar ! Jangan sembunyi-sembunyi !”
Didahului dengan kesiuran angin terdengar jawaban keras. “Aku Bayangan darah !” Belum
pula suaranya hilang dari pendengaran, telah tiba bayangan merah dihadapan Liok Jie Hui.
Orang ini tinggi besar, usianya lebih kurang tujuh puluh tahun, wajahnya merah, demikian
pula dengan janggutnya, ditambah pakaiannya yang merah juga, sekilas pandang tak ubahnya
dengan Toapekong Api. Ia bertangan kosong, tak membawa senjata apapun. Bahkan lengan
kirinya masih tergantung dalam kain yang diselendangkan kepundak, menyatakan ia sedang
menderita luka, akan tetapi lengan kanannya tak ubahnya kebelakang yang kuat menentang
tubuh Toa Gu yang besar.
“Liok Toako masakan sampai aku siorang she Kim ini dilupakan juga ?”
“Oh kiranya hiat mo Kim Tay,” kata Liok Jie Hui dengan kaget. “Rupanya engkau masih
senang memakai baju penganten yang serba merah ya ? Sudah tua tabiatmu masih begitubegitu.”
“Aku tidak bisa tukar pakaian, tapi engkau sendiripun tak bisa mengubah tabiatmu ! Entah
dengan tipu apa engkau bisa memperbudak kedua anak muda itu !”
287
Liok Jie Hui memandang kesekelilling lembah dan tidak melihat Siau Bwee dan Kiam Hong,
hatinya menjadi lega. Cepat-cepat ia tersenyum. “Nampaknya kedatangan Kim heng kesini
tentu ada yang diinginkan bukan ?”
“Sudah tahu ya sudah, buat apa tanya lagi ?”
“Sudah lamakah Kim heng kesini ?”
“Tidak seberapa lama, tepat seberlalunya orang-orang Pok Thian Pang aku datang kesini,
memang kenapa ?”
“Bukankah di mulut lembah itu dijaga seorang pengawal dari Pok Thian Pang ?”
“Segala keroco begitu apa artinya ?” kata Kim Tay. “Aku tidak sepertimu begitu repot
memberesi seorang keroco !”
Perkataan ini membuat wajah Liok Jie Hui merah padam, tapi ia licik sedikitpun tak jadi
gusar terkena sindiran itu. Malahan ia tahu bahwa orang she Kim itu kini memiliki ilmu yang
tinggi dan lebih maju dari dulu-dulunya. Andaikata ia dongkol dan marah, pasti dirinya
sendiri yang akan rugi, maka itu segala kedongkolan itu ditelannya dengan paksa, dan terus
tersenyum-senyum.
“Waduh kepandaian Kim heng luar biasa sekali majunya, kalau begitu tak ada harapan lagi
bagiku untuk memperoleh segala benda pusaka, untuk ini terpaksa aku harus mengundurkan
diri.”
“Apakah dengan ikhlas engkau mengundurkan diri begitu saja ?”
Liok Jie Hui yang licik segera mengeluarkan wajah yang minta dikasihani, sambil menarik
napas panjang, ia mengangkat pundak, “Mau tak mau harus mau toh ? Aku hanya sendirian
sedangkan orang-orang Pok Thian Pang demikian banyak, demikian juga dengan Hek pek
siang kuay pokoknya mereka lebih unggul…”
“Ha ha ha,” Kim Tay tergelak-gelak memotong pembicaraan orang. “Orang she Liok didepan
kawan lama tidak usah menyanyikan lagu lama, terus terang saja katakana kita perlu kerja
sama dan mendapat pedang itu seorang satu, begitu bukan ?”
“Oh tidak ! Sejujurnya aku tak ingin memperoleh pedang itu lagi ! Jika Kim heng masih
menginginkan juga, silahkan aku hanya sebagai penonton saja !”
“Engkau ingin menonton perkelahian antara aku dan mereka ? Lalu memancing ikan diair
keruh ? Ha ha ha ! Lagi-lagi ilmu lama, apa tidak ada yang baru ?”
“Kim heng jangan berkata begitu, sesungguhnya aku tak bisa menghadapi orang-orang Pok
Thian Pang yang begitu banyak.”
“Lalu apa maksudmu datang kesini ?”
“Mula pertama aku tak memikir bahwa Pok Thian Pang bisa mengerahkan orang Cap sahkie
yang begitu banyak, ditambah Kim heng pun datang…ada harapan apa lagi bagiku ?”
288
“Aku selamanya berlaku jujur, maka itu sudah kutawari untuk bekerja sama engkau tak mau,”
kata Kim Tay. “Untuk ini tidak apa, tapi anak buahmu ini tak boleh dibawa.”
“Apa perlunya Kim heng dengannya ?”
“Jadi pembantuku, dan menyuruhnya turun kedalam danau mengambil pedang itu !”
“Permintaanmu tak dapat kululusi !”
“Maka itu kerja samalah ! Keuntungan fifty-fifty, tak usah pura-pura lagi.” Kata Kim Tay
dengan adem.
Liok Jie Hui terpekur sejenak seperti mempertimbangkan ajakan orang yang diajukan
berulang-ulang. “Memang bersatu tapi bagaimana dengan luka ditanganmu itu ?”
“Hm, luka kecil ini sedikitpun tak membuatku pusing !” jawab Kim Tay dengan mantap,
“Pokoknya engkau boleh mengambil pedang itu dan aku yang menghadang musuh.
Percayalah dalam seribu jurus tak bisa mereka mengalahkanku.”
“Kalau begitu baiklah !” kata Liok Jie Hui.
“Tunggu dulu, aku masih mempunyai satu syarat.”
“Katakanlah !”
“Untuk mencegah terjadinya persimpangan dari perjanjian semula sebelum anak buahmu ini
turun mengambil pedang tubuhnya akan kutusuk dulu dengan Giam lo ciam (jarum elmaut).
Setelah pedang itu diserahkan padaku, baru kuberi obat pemunahnya.”
Mendengar ini Liok Jie Hui menjadi girang.
“Justru aku sedang pusing mencari daya untuk melenyapkan saksi ini, tak kira engkau
menganggapnya sebagai muridku. Hm, sama dengan engkau mencari penyakit sendiri, dan
harus bertanggung jawab pad Hwesio tua sedang aku makan nangkanya engkau kena
getahnya.” Pikirnya dengan tenang. Sungguhpun begitu apa yang terasa didalam hatinya
sedikitpun tidak kentara diwajahnya. “Jikalau begitu Kim heng seperti tak percaya pada
teman, dan untuk apa bekerja sama ?”
“Kita toh pertama kali mengadakan kerja sama bukan ? Bagaimanapun aku harus bercuriga !”
“Tapi jarum itu beracun muridku berkepandaian tak seberapa tinggi, mana ia tahan ?”
“Aku mempunyai semacam pil yang bisa mencegah racun itu, selama satu jam, waktu itu
cukup untuknya mengambil pedang.”
“Tapi apa yang dapat kuperbuat, andaikata engkau menghendaki kedua-duanya pedang itu,
dengan menggunakan jiwa muridku sebagai sanderan ?”
289
“Pedang pusaka semacam itu, satupun sudah cukup bagiku ! Pokoknya aku tak bisa
melanggar peraturan, asal engkaupun bisa memegang janji !” Sesudah berkata ia letakkan Toa
Gu ditanah dan memasukkannya kedalam dengan jarum yang baru dikeluarkan dari sakunya.
Setelah itu memberikan Toa Gu sebuah pil.
Segala kejadian itu terlihat dan terdengar tegas oleh Siau Bwee maupun Kiam Hong yang
bersembunyi didalam lembah itu.
“Bedebah ! Orang she Liok itu benar-benar orang jahanam ! Mulutnya manis hatinya beracun
! Ia mengatakan pedang itu diberikan pada In Siau hiap, nyatanya suatu dusta yang keji,” kata
Kiam Hong dengan dongkol.
“Siang-siang sudah kukatakan Liok Jie Hui bukan orang baik, engkau tak percaya,” kata Siau
Bwee.
“Kita tak boleh berpangku tangan melihat Toa Gu dalam bahaya ! Ia kena dijual jahanam itu
!”
“Tapi engkau harus berpikir, Kim Tay dan Liok Jie Hui memiliki kepandaian lebih tinggi dari
kita, biar bagaimana dongkolpun harus bersabar, dan nantikanlah perubahan yang akan terjadi
sampai pedang itu diambil mereka.”
“Setelah mereka memiliki pedang itu, segalanyapun akan menjadi kasep !”
“Persoalan tak semudah yang engkau pikirkan,” kata Siau Bwee. Orang semacam Liok Jie
Hui yang begitu licik, bagaimanapun akan berdaya upaya menyingkirkan Kim Tay untuk
memperoleh kedua-duanya pedang itu. Disamping itu iapun harus menghadapi orang-orang
Pok Thian Pang. Pokoknya diamlah, malam ini pasti ada tontonan ramai !”
Mereka mengawasi lagi kearah danau, tampak Toa Gu sudah dibebaskan dari totokan. Ia
marah-marah dan berkata : “Engkau kenapa mengganggu orang yang lagi berak ? Dan kenapa
menusuk pantatku dengan jarum ?”
“Toa Gu engkau tak boleh berlaku kurang ajar. Lo Cianpwee ini adalah kawan suhu, kau
harus menghaturkan maaf kepadanya !”
“Kalau ia kawan suhu sepatutnya tak baik menusuk pantatku dengan jarum bukan ?”
“Aku menusukmu dengan jarum, karena suhumu akan menugaskan engkau melakukan
sesuatu pekerjaan besar. Tusukan jarum itu adalah bantuan padamu, supaya memperoleh
sukses dalam tugasmu !”
“Suhu, betulkah yang dikatakan itu ? Dan tugas apa yang suhu hendak berikan padaku ?”
“Benar ! Suhu akan memberikan engkau kesempatan membuat pahala besar, maukah ?”
“Mau !” jawab Toa Gu sambil menganggukkan kepala.
Liok Jie Hui menunjuk ke danau dan berkata : “Aku pernah mengatakan di dalam danau ini
terdapat dua bilah pedang pusaka, kini kutugaskan engkau mengambilnya !”
290
“Oh, kiranya menyuruhku mengambil pedang itu !” kata Toa Gu. “Pedang itu milik suhu atau
milik Lo Cianpwee ini ?”
Liok Jie Hui jadi melengak hampir-hampir tak bisa menjawab, setelah berpikir ia tersenyum,
baru menjawab. “Sudah terang pedang itu bukan milikku maupun milik Kim Lo Cianpwee
ini. Pedang itu entah sudah berapa puluh tahun terbenam dalam danau, jika kita yang
mengambilnya berarti milik kita.”
Mendengar ini Toa Gu menggelengkan kepala. “Segala pekerjaan dapat kulakukan, tapi kalau
disuruh mengambil barang lain orang aku tak mau, sebaliknya suhu saja yang mengambil
sendiri !”
“Barang itu tidak ada pemiliknya, tidak bisa disamakan sebagai pencuri !” kata Liok Jie Hui.
Toa Gu tetap menggelengkan kepala. “Pokoknya biar tidak ada pemiliknyapun tidak boleh
sembarang ambil. Dulu waktu kukecil pernah memungut sebuah apel dijalanan, dan kena
dipukuli ibu, mengatakan bukan barang sendiri tidak boleh sembarangan ambil, tak perduli
ada tidak pemiliknya !”
Biarpun Toa Gu seorang awam yang sederhana, apa yang dikatakan semuanya benar,
sehingga Liok Jie Hui menjadi merah padam mendapat kuliah ini.
Kim Tay jadi tersenyum melihat Liok Jie Hui yang kemalu-maluan, lalu ia tersenyum.
“Muridmu ini seorang jujur yang patut dijadikan tauladan, dan membuatmu merasa malu
bukan ? Tapi yang penting, jangan sampai kata-kata muridmu ini, mengurungkan niatmu
memiliki pedang itu !”
“Itu soalku kan muridku, engkau tak perlu campur bicara !” jawab Liok Jie Hui.
“Engkau boleh berkata begitu, tapi ingat sekitar sini banyak musuh-musuh yang bisa datang
setiap saat….”
“Kutahu !” jawab Liok Jie Hui ketus, dan terus ia berkata lagi pada Toa Gu. “Aku kagum atas
kekerasan dan kejujuranmu, karena sifatmu inilah kujadikan murid ! Engkau mengatakan
ingin belajar ilmu memukul orang bukan ? Tahukah engkau ilmu memukul orang itu
bagaimana ?”
“Kuberitahu ilmu memukul orang itu, tak lain tak bukan, adalah ilmu pedang yang luar biasa !
Setelah engkau pandai ilmu pedang itu, boleh malang melintang dikolong langit secara bebas
! Orang-orang akan takut padamu, saat itu jika engkau bilang hitam orang-orang itu akan
mengatakan hitam jika engkau mengatakan putih merekapun akan mengatakan putih,
pokoknya segala keinginanmu akan kau peroleh secara mudah.”
“Apa artinya semua itu bagiku ?” selak Toa Gu.
“Artinya besar sekali, engkau bisa hidup senang tanpa bekerja keras, dan tak perlu lagi
menjual barang pecah belah sepanjang hari. Asal engkau mendehem, orang bisa
mengantarkan uang padamu !”
291
“Soal itu mudah saja, tapi yang membuatku pusing, engkau belum mempunyai senjata untuk
memulai pelajaran pedang itu !”
“Oh, kiranya harus memiliki pedang dulu ?”
“Sudah terang ! Kalau tidak bagaimana engkau bisa menghadapi musuh yang bersenjata ?”
kata Liok Jie Hui dengan tersenyum, “karena inilah aku menyuruhmu mengambil pedang itu
didalam danau !”
“Aku tidak mempunyai musuh yang bersenjata, maka itu tak perlu mempelajari ilmu pedang
cukup ilmu memukul orang saja !”
“Betapa ilmu itu tinggi, tanpa senjata sama saja dengan nol besar !”
“Suhu harus tahu aku mempelajari ilmu memukul orang bukan berarti ilmu membunuh orang
atau dibunuh orang, sehingga apa jadinya dengan ibuku ! Ia sudah tua tidak ada yang merawat
lagi bukan ? Maka itu aku tak perlu dengan pedang itu !”
Kim Tay tertawa mendengar perkataan itu, sedangkan Liok Jie Hui menjadi pucat, ia
menggelengkan kepala sambil menarik napas menghadapi Toa Gu sitolol itu.
“Liok heng aku merasa bangga engkau mempunyai murid yang demikian suci dan baik,” kata
Kim Tay “sayangnya ia berguru pada alamat yang salah.”
Liok Jie Hui merasa tersinggung mendengar perkataan itu. “Dalam keadaan begini engkau
masih ngeledek saja, apa maumu ? Ketahuilah bocah ini bertabiat seperti kerbau, kau kira
engkau bisa menundukkannya ?”
“Jika tak bisa dengan kata-kata, kekerasan bisa dipakai bukan ?” kata Kim Tay, “engkau
boleh mengancamnya pasti ia takut dan menurut bukan ?”
“Engkau tidak tahu tabiatnya, ia lebih suka mati daripada melakukan apa yang tidak
dikehendakinya !”
“Jika begini terus, sampai kapan engkau bisa membujuknya ?”
Liok Jie Hui tidak menjawab, ia memeras otaknya sedapat mungkin, tiba-tiba terpikir olehnya
suatu cara yang dianggap baik. Maka ia pura-pura lemas dan putus asa, ditepuk-tepuknya
pundak Toa Gu , “engkau tak mau mengambil pedang itu akupun tak bisa memaksa, tapi
dihari kemudian engkau jangan menyesalkan aku yang menjadi guru.”
“Apa alasannya aku menyesalkan guru ?”
“Rupanya engkau belum mengerti betul, apa maksudku mengambil pedang didalam danau itu
!”
“Aku sudah mengerti, suhu bermaksud menurunkan ilmu pedang dan menyuruhku membunuh
orang !”
292
“Itu soal kecil yang kurang berarti, yang penting aku menghendaki pedang itu engkau
membunuh seorang iblis diatas gunung, dan memakai pedang itu mencukil matanya untuk
menolong seseorang.”
“Menolong siapa ?”
“Menolong seorang buta !”
“Iblis itu apa ? Dan apa gunanya mencukil mata ?”
“Iblis itu adalah jejadian yang luar biasa dan tidak mempan dibacok senjata biasa, sedangkan
matanya itu bisa dijadikan obat yang luar biasa. Orang buta asal ditetesi cairan mata iblis itu
akan melekat kembali. Sebab ibumu telah hilang penglihatannya, aku baru mau menjadikan
kau murid, dengan tujuan mengambil pedang didanau ini. Dengan senjata pusaka ini engkau
boleh membunuh iblis itu, dan mencukil matanya untuk mengobati ibumu yang telah buta,
sebagai anak engkau harus berbakti dan membuat senang yang menjadi orang tua.”
“Oh kiranya suhu bermaksud mengobati mata ibuku ?”
“Siapa bilang bukan ? Tadinya tidak akan kuberi tahu dulu kepadamu, biar engkau girang
belakangan, tapi kuterangkan juga sekarang karena engkau tak mau mengambil pedang itu !
Nah sekarang telah kujelaskan engkau boleh tidak mengambil pedang itu, tapi jangan
menyesalkan aku tak bisa mengobati mata ibumu.”
Mendengar ini Toa Gu tergugah hati kecilnya, air matanya memenuhi kelopak matanya.
Dengan suara parau ia menjawab : “Suhu dimana iblis itu berada ? Aku akan mengadu jiwa
dan mengambil matanya !”
“Tanpa pedang pusaka usahamu akan sia-sia melawan iblis itu !”
“Aku mau mengambil pedang itu, tapi bagaimana kalau ketahuan ibuku, pasti akan dicaci
maki….”
“Engkau mengambil pedang untuk menolongnya, mana mungkin ia marah ? Lagi pula setelah
beres membunuh iblis itu, pedang ini bisa kita taruh lagi didalam danau, hitung-hitung pinjam
pakai !”
“Kenapa sedari tadi tidak suhu katakana pinjam pakai ? Nah sekarang aku mau
mengambilnya, tapi setelah beres membunuh iblis itu harus mengembalikan lagi kesini !”
“Oh sudah tentu harus begitu, masakan sebagai guru mau membohongi murid.”
“Baiklah ! Apakah sekarang juga mengambilnya ?”
Melihat sediaan Toa Gu mengambil pedang Kim Tay menjadi girang. “Liok heng engkau
benar-benar pintar, hayo lekas, tunggu apa lagi !”
Toa Gu sedang membuka baju mendengar ini, segera berhenti dan berkata dengan serius :
“Engkau jangan bergirang dulu, pedang itu hanya dipinjam bukan dimiliki !”
293
Liok Jie Hui memberi isyarat pada Kim Tay sambil berkata pada Toa Gu. “Oh sudah pasti
harus mengembalikan lagi kesini. Barang siapa berani membohong tidak akan kuberi ampun
!” Setelah itu ia mengikat ujung rotan pada sebuah pohon, ujung satunya lagi diikatkan pada
tubuh Toa Gu. Lalu memberikan pula sebilah belati pada sitolol itu sambil memesannya
dengan berbisik : “Sebelum engkau turun ke air sebaiknya minum arak, dan pergunakanlah
belati ini jika menemui makhluk-mahkluk jahat didalam air. Belati ini sudah direndam dalam
racun, asal saja yang terkena ujungnya, biar sedikit akan segera mati !”
Toa Gu hanya memakai celana dalam saja dan siap turun kedalam danau. “Rotan ini bisa
putus apa tidak ?”
“Jangan kuatir biarpun kecil rotan ini sangat kuat, lagi pula ada suhu yang menjagai, asal ada
sesuatu yang kurang beres engkau boleh menarik-nariknya sebagai kode aku segera menarik
keluar dari air itu.”
“Pedang itu ada dimana, sulit apa tidak mencarinya ?”
“Gampang sekali mencarinya, asal engkau sampai didasar danau ini dan meilhat cahaya yang
terang-terang, artinya pedang itu berada disitu, dan engkau boleh mengambilnya.”
Toa Gu tidak berkata-kata lagi, ia minum arak beberapa tegukan, lalu menerjunkan diri ke
dalam danau.
Putaran air danau itu bukan main kerasnya, dalam sekejap saja, Toa Gu tersedot kedalamnya,
dan rotan yang berada diluar dengan cepat terulur masuk beberapa depa panjangnya.
Liok Jie Hui dan kim Tay dengan tak berkedip-kedip memperhatikan permukaan air danau,
demikian pula dengan Pek Kiam Hong maupun Siau Bwee, mereka berdoa untuk keselamatan
Toa Gu.
Dalam sekejap rotan diluar terlihat bergerak kesana kemari, permukaan danau menjadi merah
oleh darah, tapi hanya sebentar saja, karena darah itu sudah hilang kedalam dasar lagi.
Sedangkan rotan itu ditarik-tarik dari dalam. Liok Jie Hui cepat-cepat menarik rotan
mengangkat Toa Gu. Tampak dilengannya dan pundaknya bekas gigitan binatang, napasnya
sudah senen kemis. “Ada apa dan bagaimana ?” tanya Liok Jie Hui.
“Danau unu dalam betul sampai ditengah-tengah, aku dihadang seekor ular air yang besar.
Aku digigitnya beberapa kali, untung aku memiliki ilmu kebal, kalau tidak sudah mati konyol
!”
Jilid 15________
“Dengan adanya makhluk penunggu itu, pasti ada benda pusaka !” kata Kim Tay.
“Engkau benar-benar sebagai muridku yang jempolan, apakah ular itu sudah kau bunuh ?”
tanya Liok Jie Hui.
“Aku sudah menikamnya beberapa kali, entah mati atau hidup aku tak tahu !”
294
“Pokoknya asal kena sekali pasti ia akan mati, apa lagi kalau berkali-kali. Nah minum lagi
arak ini, engkau pasti berhasil memperoleh pedang itu !”
Toa Gu segera menyelam lagi kedalam air, Liok Jie Hui dengan lihay melirik pada kim Tay,
tampak kawan itu sedang terbengong mengawasi permukaan air, melihat ini timbul pikiran
jahatnya didalam benaknya. “Akan kubereskan lawan tangguh ini dengan menggelap,”
pikirnya, sambil berpura-pura mengawasi kepermukaan air. Padahal dengan diam-diam ia
mengumpulkan tenaga, dan mau segera menurunkan tangan jahatnya…..pada saat inilah dari
mulut lembah terdengar suara nyaring yang amat panjang. Berbareng dengan suara itu tampak
dua bayangan yang sangat cepat melayang kedalam lembah. Mereka bukan lain dari pada Hek
pek siang kuay suami istri.
Begitu Liok Jie Hui melihat, hatinya tak alang kepalang kagetnya, dan yang membuatnya
dongkol, kedua jejadian itu dengan mudah saja masuk kedalam lembah, sedangkan Siau Bwee
dan Kiam Hong yang ditugaskan disana kemana perginya ? Saat ini ia tidak bisa berpikir
terlalu lama kaena Hek pek siang kuay telah tiba didepannya. “Kim heng semoga engkau tak
lupa dengan janji semula !”
Kim Tay tersenyum mendengar kekuatiran kawannya itu, ia segera menghadang Hek pek
siang kuay. “Bagaimana tuan dan nyonya, apakah baik-baik saja ? Sudah lama kita tidak
bertemu !”
Begitu masuk kedalam lembah, Hek pek siang kuay melihat pakaian Toa Gu dipinggir danau,
dan rotannya terikat pada pohon sedang dipegangi Liok Jie Hui, pemandangan ini
membuatnya kaget, membuat mereka mengawasi ketengah danau tanpa menghiraukan
pertanyaan Kim Tay.
Liaw Siu Kim wajahnya terlihat asam, ia sudah merasa gusar melihat keadaan di danau. “Hei
bangkai, engkau tidak mendengar kataku, nah apa yang mau engkau katakana lagi ?” Ia
menyesali suaminya dengan kata-kata kasar.
“Ha ha ha !” Na Beng Sie tergelak-gelak. “Benar-benar didunia ini banyak keanehan….”
“Tutup mulutmu ! Dimaki masih bisa tertawa benar-benar menyebalkan ! Engkau tahu barang
itu sudah dimiliki orang, apa-apaan ketawa lagi, mau di gaplok barangkali ?”
“Kita malang melintang puluhan tahun, selama ini belum pernah tunduk pada siapapun, tapi
mulai hari ini, mau tak mau harus tunduk pada orang lain !”
Lauw Siu Kim tidak mengerti, matanya mendelik selebar-lebarnya. “Kenapa harus tunduk ?”
Dengan kipasnya Na Beng Sie menunjuk kepada Kim Tay, sedangkan matanya melirik pada
Liok Jie Hui : “Puluhan tahun yang lalu, antara tiga belas jago-jago bulim, mempunyai nama
dan kedudukan yang sederajat, tapi tak kira saat ini sudah berubah begitu jauh.”
“Dulu dan sekarang apa bedanya, aku tak mengerti kata-katamu !” bentak Lauw Siu Kim.
“Diantara tiga belas jago-jago Bulim, yang bertabiat berangasan adalah Tong Cian Lie,
sedangkan yang angkuh adalah Kim Tay bukan ? Tapi kenapa orang angkuh bertabiat tinggi
295
serta tidak mau tunduk kepada orang lain dimasa lalu kini bisa tunduk dan mau menjadi
tukang pukul orang lain ? Benar-benar aneh bukan ?”
“Mungkin ia sudah pikun !” kata Lauw Siu Kim.
Suami istri yang kelihatannya mungil-mungil ini mulutnya lemas sekali, tanya jawab antara
mereka ini membuat Kim Tay merah padam karena ia tersindir sebagai tukang pukul Liok Jie
Hui, sungguhpun begitu ia tidak sampai marah. Ia tetap tersenyum dan berkata : “Sudah
bertahun-tahun kita tak bertemu, tak kira mulut Na heng masih lemas seperti dulu, he he
he…” Ia mengakui berdebat mulut tak bisa menandingi Na Beng Sie, maka kata-katanya
ditutup dengan tertawa sinis.
Sedangkan Liok Jie Hui kuatir Kim Tay kena propakasi musuh, cepat menyambung perkataan
kawannya. “Kami tidak mempunyai saudara dan tidak pula mempunyai istri, maka itu apa
salahnya bekerja sama ?”
“Liok toako paling pintar mencari teman, dulu memperalat empat bajak dari Kuan lo dan
menyulap mereka menjadi ahli-ahli pedang dari empat perguruan, akhirnya keempat bajak itu
terbunuh mati, sedangkan Keng thian cit su jatuh pada Liok toako seorang. Rupanya cara itu
sedang dipraktekkan disini.”
“Ha ha ha kitab itu hanya satu, sedang pedang ini ada dua ! Lagi pula Kim heng bukan orang
tolol seperti empat bajak itu !”
“Kuyakin apa yang tuan dan nyonya kehendaki akan gagal seperti tempo hari ! Ha ha ha !”
“Beng Sie jangan banyak bicara dengannya pokoknya pedang itu bukan miliknya, siapapun
boleh mengambilnya ! Serang !” teriak Lauw Siu Kim dengan tak sabar.
Melihat sikap Lauw Siu Kim yang mau menyerang ini, Kim Tay telah siap sedia dengan
Jarum Elmautnya. “Sebenarnya antara kita bukan orang lain, kenapa harus bertengkar,”
katanya menenagkan situasi gawat.
“Orang lain boleh takut dengan jarummu, aku tidak memandang sebelah mata…” ia menoleh
pada suaminya. “Jangan siam saja, hayo kerjakan orang she Liok itu !” Lauw Siu Kim
membuktikan perkataannya, sepadang pedangnya dengan gencar menyerang pada Kim Tay.
Yang disebut belakangan sedikitpun tak merasa jerih, sepasang lengannya melancarkan ilmu
Pek kong ciang, mengimbangi ilmu pedang lawannya. Mereka berkelahi dengan sungguhsungguh
sehingga seru sekali, dalam beberapa jurus itu, keadaan tetap berimbang.
“Kim heng kuminta engkau menghentikan dulu perkelahian ini !” seru Na Beng Sie. “Aku
mau bicara denganmu !”
Kim Tay berkelit dari serangan, lalu melompat keluar arena perkelahian. “Apa maumu lekas
katakana !”
“Kim heng sebagai jago sejati kenapa mau bekerja sama dengan manusia licik yang rendah ini
? Lagi pula lihatlah keadaan dan situasi sudah terang bahwa Kim heng menghadapi kami
berdua belum tentu menang bukan ? Andaikat menangpun tak berarti apa-apa ! Karena dalam
keadaan letih dan lemas itu, Liok Jie Hui akan menyerangmu..ha..ha…ha…alhasil nol besar
296
bagi capai lelahmu sebagai tukang pukul. Kupikir lebih baik engkau bekerja sama dengan
kami dan hasilnya bagi paro bagaimana ?”
Mendengar ini Liok Jie Hui menjadi kaget, cepat-cepat ia menyelrtuk, “Akalmu memang
baik, dengan kekuatan bertiga ingin menumpas aku seorang setelah itu dengan kekuatanmu
berdua untuk menumpas seorang bukan ? Akhirnya kedua pedang itu menjadi milikmu
berdua…ha…ha…ha…!”
“Mulutku biar jahat boleh dipercaya tidak sepertimu mulut manis hati busuk !” kata Na Beng
Sie.
“Engkau boleh mengatakan aku jahat dan busuk, tapi dalam hal kerja sama ini aku
mengeluarkan modal, sedangkan kalian hanya mengandalkan omong kosong saja !” kata Liok
Jie Hui.
Kim Tay menjadi serba susah, sebab jika menimbang keadaan dan situasi, tawaran Na Beng
Sie sangat menarik hati. Tapi kalau dipikir lebih jauh apa yang dikatakan Liok Jie Hui lebih
masuk akal. Setelah berpikir agak lama ia mengambil keputusan untuk terus memihak pada
Liok Jie Hui. “Laki-laki berkata hanya sekali, kini aku sudah bekerja sama dengan Liok heng
bagaimanapun tak bisa mengubah lagi keputusan yang telah kuambil !”
“Mendengar ini Liok Jie Hui kegirangan segera ia berkata, “Ini baru keputusan jantan !”
“Tapi aku hanya mengambil bagianku saja, lain dari itu bukan urusanku !” kata Kim Tay.
Kata-katanya itu berarti, setelah mendapat bagian ia berlalu dari situ. Soal suami istri itu mau
merebut bagian Liok Jie Hui ia tidak mau mencampurinya.
“Hm jangan dengar omongannya dan tak perlu banyak bicara dengan cecunguk-cecunguk ini.
Mari kita serang !” kata Lauw Siu Kim. Berbareng dengan habisnya perkataan ia menerjang
lagi pada Kim Tay.
Na Beng Sie tidak bisa berkata apa-apa lagi, segera membantu istrinya mengerubuti Kim Tay
seorang. Kipasnya bekerja dengan tangkas dan cepat, menotok kearah dada musuh,
serangannya yang telengas ini dilakukan dengan mendadak, membuat Kim Tay kelabakan,
hampir-hampir kena tertotok, ia membuang diri dengan terhuyung-huyung. Tapi tak urung
lengannya terkena pula senjata musuh, membuatnya kesakitan, ia menjadi marah dan gusar
dan geregetan, tapi sebelum ia memperbaiki keadaan dirinya, serangan dari Lauw Siu Kim
sudah tiba. Kepaksa ia mencelat keatas dan jarumnya yang sudah dikenal sedari tadi
ditebarkan kearah Na Beng Sie. Jarum itu berjumlah lima batang dilepaskan sekaligus
menerjang kiri dan kanan, atas bawah dan tengah. Na Beng Sie cukup lihay ia membuka
kipasnya menyampok yang kebawah, kiri dan kanan, sedangkan yang keatas dan ketengah
diegoskan dengan membanting diri kebelakang. Biarpun begitu tak urung bajunya kena
terserempet juga ujung jarum masuk. Bagitu Kim Tay turun ketanah, ia menyiapkan lagi
dengan tujuh jarum. “Orang she Na rasakanlah Tujuh Jarum Pencabut Nyawa.”
Na Beng Sie menjadi kaget, cepat mengajak istrinya melompat mundur sejauh beberapa
tombak, mereka tidak berani mendekat lagi, hanya mulutnya saja memaki-maki kalang
kabutan….
297
Kim Tay tergelak-gelak tertawa melihat keadaan ini, Liok Jie Hui pun turut tergelak-gelak
dengan girangnya.
Saat inilah rotan tergetar-getar, dengan cepat Liok Jie Hui menarik keatas. Toa Gu muncul
dengan tangan hampa membuat Liok Jie Hui kecewa. “Engkau turun begitu lama, tidakkah
berhasil menemui pedang itu ?”
Toa Gu menggelengkan kepala. “Danau ini dalam sekali, sukar mencapai dasarnya ! Aku
mencarinya setengah mati, yang kudapati hanya sebuah gua, didalamnya cukup terang seperti
cahaya pelita…..”
“Kenapa engkau tidak masuk kedalamnya ?” potong Liok Jie Hui.
“Kulihat didalam gua itu ada kursi dan meja, seolah-olah ada penghuninya, aku tak berani
sembarangan masuk, maka kuketuk dinding baru agak lama, tak ada yang datang….”
“Anak tolol, iti tentu kamar penyimpan pedang pusaka, tak ada penghuninya, lekas engkau
menyelam lagi, tak perlu mengetuk pintu, masuk saja dan ambil pedang itu.”
“Enak saja main masuk, jika benar-benar ada orang bagaimana ?”
“Jangan berlaku tolol, mana bisa orang tinggal diair.” Kata Liok Jie Hui yang segera
memberesi lagi Toa Gu kedalam air.
Kini keadaan jadi sunyi, semua pandangan mata dari orang-orang yang berada disitu tertuju
ke dalam danau, tapi begitu lama berlalu belum pula terlihat Toa Gu muncul.
Siau Bwee yang bersembunyi, berbisik pada Kiam Hong. “Hek pek siang kuay merasa jerih
pada Giam lo ciam Kim Tay, kini mereka diam-diam, tentu akan bergerak lagi setelah Toa Gu
berhasil mendapatkan pedang. Kini ketenangan mereka akan kuacak-acak.”
“Bagaimana caranya mengacak-acak mereka ?” tanya Kiam Hong.
Siau Bwee mengeluarkan panah api yang didapat dari pengawal Pok Thian Pang. “engkau
diam-diam disini, aku mau pergi dulu melepaskan panah ini.” Sehabis berkata ia menyelinap
pergi keluar lembah. Dalam waktu sekejap sinar terang membubung naik dari lembah sambil
menperdengarkan suara nyaring.
Keempat orang yang berada dipinggir danau melihat panah api itu. Mereka kaget tak alang
kepalang. “Liok heng kalau orang-orang Pok Thian Pang benar-benar datang, urusan jadi
berengsek !” kata Kim Tay.
Bertepatan dengan waktu ini, rotan bergetar-getar. Liok Jie Hui segera menarik dengan cepat,
air bergulung-gulung dan keluarlah Toa Gu dari dalamnya, tapi tetap dengan tangan hampa
seperti tadi. “apakah kau tidak masuk kedalam gua itu ?” tegur Liok Jie Hui dengan napsu.
“Masuk,” jawab Toa Gu sambil menganggukkan kepala.
“Ketemu pedang itu ?” desak Liok Jie Hui.
298
“Ketemu !”
Keempat orang dengan sinar mata mambulat, memandang pada Toa Gu, Hek pek siang kuay
maju beberapa langkah.
“Sudah ketemu kenapa tidak diambil ?” kata Liok Jie Hui sambil menelan liurnya.
“Tidak bisa diambil, di dalam gua itu ada orangnya!”
“Ada orangnya ?”
“Ya, seorang Tojin tua, pedang itu berada dalam peti dan diletakkan didepannya, cahayanya
terang dan indah.”
Liok Jie Hui jadi heran, gejolak hatinya memukul keras, andaikata tidak ada Kim Tay dan
Hek pek siang kuay siang-siang ia sudah terjun sendiri kedalam danau. Kini ia cuma
“Oh….”terus menelan liurnya, dan dengan serius ia bertanya lagi. “apakah Tojin itu melihat
kedatanganmu ?”
“Tidak !”
“Sedang apa Tojin itu ?”
“Sedang tidur !”
Liok Jie Hui merasa kaget dan sadar, giginya berkeretekan bahwa mangkelnya. “Hei engkau
kenapa begitu goblok ? Mungkin tidak bisa membedakan orang hidup atau mati ?”
“Suhu kalau tidak kau sebutkan hampir aku tidak ingat perbedaan orang mati dan hidup. Ah,
sekarang berani kupastikan dia sudah mati ! Seharian kuledek ia diam saja tanpa
menghiraukan, duduk saja dengan tenang !”
“Waduh, moyang goblok, tidak tahan aku ! Lekas pergi deh,” Liok Jie Hui menarik napas
sesak sehabis berkata.
Toa Gu menyedot hawa dan menyelam kembali ke dalam air.
Suasana berbalik jadi sunyi lagi, mereka menantikan Toa Gu muncul dengan dua pedang
pusaka, dan berpikir bagaimana caranya untuk memiliki pedang itu.
Liok Jie Hui berpikir bagaimana caranya meloloskan diri setelah dapat pedang itu.
Kim Tay pun sedang menghitung-hitung, bagaimana caranya menghadapi Liok Jie Hui
andaikata kawan itu ingkar janji, dan bagaimana pula menghadapi siang yauw.
Sedangkan Hek pek siang yauw sudah memastikan diri akan merampas pedang itu. Mereka
mengawasi dengan tenang menantikan saat yang ditunggu….tapi malangnya mereka harus
menahan ketegangan begitu lama karena Toa Gu belum muncul juga.
299
Liok Jie Hui berkali-kali membetot-betot rotan, mendesak Toa Gu yang berada di dalam air
tapi tidak mendapat balasan. Malahan orang-orang disitu mendengar kesiuran angin susul
menyusul, dari jauh semakin dekat…., tak alang kepalang kagetnya Liok Jie Hui yang licik,
cepat-cepat ia memperingati kim Tay. “Hati-hatilah orang-orang Pok Thian Pang telah datang
!” Begitu perkataannya selesai diucapkan orang-orang Pok Thian Pang sudah masuk kedalam
lembah dan berbaris mendekati danau.
Kim Tay melihat diantara orang-orang Pok Thian Pang terdapat sam kui dan Thay Cin Tojin
wajahnya menjadi sedikit berubah, diam-diam jarum Giam lo ciamnya digengam semakin
erat, sedangkan hatinya berdebar-debar keras. Ia seorang angkuh yang berkepandaian tinggi,
tapi jika menghadapi sam kui dan Thay Cin Tojin sekaligus, rasa jerihnya datang sendiri.
Lebih-lebih disamping mereka masih ada Hek pek siang yauw yang menantikan kesempatan
untuk turun tangtan, keadaan ini benar-benar bahaya bagi dirinya.
Soat Kouw yang menjadi pemimpin rombongan, dengan mata mendelik menyapu keempat
orang yang berada disitu sambil membentak dengan kasar : “Siapa yang bernyali besar berani
membunuh anak buah kaum Pok Thian Pang ?”
Liok Jie Hui dan Kim Tay diam saja pura-pura tidak mendengar. Hal ini membuat Na Beng
Sie tersenyum dingin. “Liok toako dan Kim toako jika jantan sejati, berani berbuat berani
bertanggung jawab, kenapa diam-diam saja, sejak kapan menjadi gagu ?” Dengan
perkataannnya ini Na Beng Sie sama dengan mengatakan bahwa anak buah Pok Thian Pang
bukan mereka yang membunuh.
“Hm, kalau takut kena urusan kenapa masih nongkrong disini, pergilah biar jangan !” kata
Kim Tay. Lalu memandang pada Soat Kouw dan tersenyum kecut. “Anak buahmu masih
sudah waktunya, kenapa engkau marah-marah ?”
“Engkau manusia macam apa, berani gila-gilaan disini ?” tanya Soat Kouw.
“Engkau siapa mau tahu namaku ?” ejek Kim Tay.
Soat Kouw menjadi gusar, ia mengangkat tangan mengeluarkan perintah. “Ciduk manusia
keparat ini !”
Tiga pengiringnya segera menghunus senjat siap menjalankan perintah. Tapi keburu dihalangi
Tok Kay Pong. “Sabar dulu !” Cepat-cepat ia menghampiri Soat Kouw dan membisiki
beberapa kata, lalu dengan wajahnya yang selalu tersenyum ia memberi hormat kepada
lawan-lawannya. “Kim heng, Liok heng, Tuan dan nyonya Na adalah jago-jago bulim yang
kenamaan, marilah kukenalkan pada Soat Kouw nio ini, ia adalah Hu pangcu dari Pok Thian
Pang…..”
Perhatian Liok Jie Hui tertuju kedalam danau, sedikitpun tidak menghiraukan perkataan itu,
sedangkan Kim Tay berdongak kelangit tak meladeni, ia bersikap angkuh dan jumawa,
sedangkan Lauw Siu Kim yang berangasan sudah tak sabar lagi melihat tingkah laku Tok Kay
Pong, ia meludah dengan sengit : “Model dari seorang budak yang bisa jadi juara kalau
dipamerkan.”
Tok Kay Pong tidak menghiraukan ia tersenyum terus dan melanjutkan kata-katanya. “Lo
Cucong kaum Pok Thian Pang yang semalanya menghormati dan memperlakukan dengan
300
baik setiap jago-jago dunia persilatan. Lebih-lebih terhadap Bulim Cap Sahkie ! Maka itu
kebetulan kita bertemu disini, sekalian mengajak saudara-saudara menjadi anggota Pok Thian
Pang.”
“Aku bisa mempunyai kedudukan apa andaikata masuk menjadi anggota Pok Thian Pang ?”
tanya Kim Tay seenaknya.
“Oh bisa berkedudukan tinggi, misalnya menjadi Futhoat.”
“Itu sih kedudukan rendah untuk bangsa anjing-anjing buduk, aku tak mau !” kata Kim Tay.
“Kalau jadi Pangcu sih boleh kupikir-pikir !” sehabis berkata ia tergelak-gelak.
Wajah Tok Kay Pong menjadi merah seperti bara, sejenak berlalu ia baru bisa membuka
mulut lagi. “Itu adalah kebaikan dariku, jika Kim heng menampik berarti mencari susah
sendiri.”
“Sebelum kudapati pedang pusaka, siapapun tak bisa mengusir aku dari sini, sesudah kudapat
pedang pusaka siapapun tak bisa merintangiku ! Ha ha ha.”
“Engkau jangan menganggap paling jago, diluar langit masih ada langit !” kata Soat Kouw.
“Pokoknya yang kurang senang boleh maju !”
“Hai bangsat jangan sombong !” bentak Houw Bin Hengcia yang terus menggunakan senjata
beratnya melakukan serangan dengan mendadak.
“Hm, engkau ini kurcaci dari mana ?” tegur Kim Tay sembari mengengosi serangan, dan
membarengi dengan jarum mautnya.
Houw Bin Hengcia hanya melihat jarum-jarum yang berkeredepan tanpa bisa berbuat sesuatu
apa. Tubuhnya terkena tujuh jarum dan segera terjungkel dan berkerejetan sejenak, terus tak
berkutik lagi dengan jiwa melayang.
Dengan sekali kebut membuat jiwa musuh melayang, Kim Tay sengaja memamerkan
keampuhannya. Dan ia berhasil membuat keder atau jerih kaum Pok Thian Pang, tapi berbalik
membuat Hek pek siang yauw senang. Begitu jarumnya terlepas, sepasang suami istri itu
segera menggunakan kesempatan ini melakukan serangan. Kim Tay tidak mempunyai waktu
merogoh jarumnya, ia dikepung terus dengan bertangan kosong, dalam sejenak telah berada
dibawah angin.
Tok Kay Pong dengan tersenyum memandang pada Soat Kouw, “Kounio sudah sampai
saatnya kita turun tangan!”
“Benar !” jawab Soat Kouw. “Sam wie boleh mengawasi Kim Tay dan Siang Yauw, Tojin
dan aku menghadapi Liok Jie Hui, sedang Jung jung bertiga harus bersiap-siap kalau ada
musuh lagi dari luar !” begitu Soat Kouw beres mengatur dan mau turun tangan. Tiba-tiba
saja ditengah danau terlihat suatu pemandangan yang menakjubkan. Saat ini hampir gelap,
ditengah-tengah danau terlihat berkilaunya suatu sinar menerangi sekeliling.
301
Kaum Pok Thian Pang menjadi terpesona oleh pemandangan ini, mereka urung melakukan
serangan, perhatiannya tertuju kedalam danau, demikian pula Kim Tay dan Siang Yauw telah
menghentikan perkelahiannya dan mengawasi ke danau.
Liok Jie Hui girangnya bukan main, kedua tangannya menarik rotan, dengan cepat sinar itu
semakin lama semakin terang, dari gulungan air yang memecah tampak Toa Gu keluar. Kedua
tangannya masing-masing memegang pedang, satu merah, satu putih, bercahaya dan
berkilauan menyilaukan mata.
Liok Jie Hui dengan tangan bergetar menggapai-gapai pada Toa Gu sambil berseru-seru :
“Muridku yang baik, lekas serahkan pedang itu pada suhu…”
Perkataan dari Liok Jie Hui ini membuat sekalian yang berada disitu menjadi sadar, Siang
Yauw dengan cepat berlari kearah pohon, mau menguasai rotan yang tertambat disitu. Tapi
Kaum Pok Thian Pang pun menuju kesitu untuk menguasai rotan itu pula, pikir mereka jika
bisa menguasai rotan itu sama dengan menguasai Toa Gu, tapi pikiran mereka ini salah karena
dengan begitu Liok Jie Hui yang memegang tengah rotan yang merentang antara pohon itu
dan Toa Gu mendapat keuntungan tanpa ada gangguan.
“Liok toako lekas ambil pedang itu, jika mereka berani mendekat akan kusapu dengan jarum
!” seru Kim Tay.
Kaum Pok Thian Pang dan Hek pek siang Yauw sadar tak ada gunanya menguasai rotan
dipohon itu, mereka meluruk ketepi danau lagi dengan serabutan. Kim Tay sudah siap sedia,
begitu mereka mendekat lengannya segera bergerak, sekalian orang itu dengan sendirinya
terhalang dan tidak bisa mendekat.
“Suhu mereka sedang berbuat apa ?” tiba-tiba Toa Gu membuka mulut .
“Jangan banyak bicara lekas serahkan pedang itu pada suhu !” kata Liok Jie Hui yang terus
menarik Toa Gu kepinggir danau.
Begitu hampir kepinggir, Toa Gu memegang kedua pedang itu dengan tangan kirinya, lengan
kanannya dijulurkan minta Liok Jie Hui mengangkatnya. “Suhu tariklah aku, tenagaku sudah
habis !” katanya.
Liok Jie Hui segera memegang lengan Toa Gu, apa celaka murid yang bodoh itu menariknya
dengan kencang, tak ampun lagi tubuhnya kecebur kedalam danau, sebelum ia bisa berbuat
apa-apa sudah tersedot air yang mutar itu, sedangkan Toa Gu telah naik kedarat, sambil
memandang kedanau dan berteriak-teriak : “Suhu ! Suhu !”
“Toa Gu berikan pedang itu kepadaku !” teriak Kim Tay.
“Ini pedang untuk suhu, kenapa harus kuserahkan kepadamu ?” jawab Toa Gu.
Kim Tay menjadi sengit, dengan cepat ia menyergap kearah Toa Gu.
“Engkau mau merampas ha !” bentak Toa Gu sambil menggerakkan lengan kirinya
mempertahankan diri. Gerakan yang dilancarkan itu adalah salah satu dari tipu Keng thian cit
su yang bernama pelangi menyambar matahari, keruan saja Kim Tay menjadi kaget dan
302
cepat-cepat menarik lengannya sambil melompat mundur, sungguhpun begitu tak urung
lengan bajunya tersobek pedang Toa Gu. Setelah berhasil memukul mundur musuhnya, Toa
Gu segera lari sekencang-kencangnya sambil berteriak “Suhu !”
Kaum Pok Thian Pang dan Hek pek siang yauw tidak mengetahui asal usulnya toa Gu,
mereka merasa heran melihat Kim Tay mundur teratur tanpa berjanji, ramai-ramai
mengepung Toa Gu. Diantara mereka Na Beng Sie bertindak paling gesit, dalam sekejap mata
telah mencandak Toa Gu, kipasnya dirapatkan, dengan penuh kekuatan ditotokkan
kepunggung orang. Tiba-tiba saja Toa Gu membalik badan dan melancarkan serangan, lagilagi
ia menggunakan salah satu jurus dari Keng thian cit su yang bernama kuda banal
mengejar kilat. Na Bedng Sie tidak menduga, ia kaget dan dengan cepat menarik serangannya
sambil mengundurkan diri, tapi tidak luput, topinya terlepas sobek, membuatnya bergidik
sendiri.
“Baagaimana lukakah ?” tanya Lauw Siu Kim yang menyusul belakangan. Na Beng Sie
menjulurkan lidah. “Tidak ! tetapi bocah itu entah apanya Liok Jie Hui, ia pandai
menggunakan ilmu pedang Keng thian cit su.”
“Mari kita kejar lagi !” ajak Lauw Siu Kim.
Karena mereka agak merandek, kaumnya Pok Thian Pang sudah mendahului mereka dan
berada disebelah depan. Adapun Toa Gu berlari-lari memutari danau, yang lainpun turutan
memutari danau itu, sangat lucu dilihatnya tak ubahnya seperti anak kecil sedang main petak.
Ia tak bisa berlari dengan kencang dalam sekejap sudah kesusul musuh-musuhnya, tapi setiap
kali ia berhasil emnggebah musuh dengan serangan pedangnya yang luar biasa. Setelah
memutari danau, Toa Gu berlari keluar lembah sekuat tenaga, yang mengepungpun sudah
menyusul mengikutinya dari belakang.
Dengan cepat Kim Tay mendahului yang lain dan berhasil menghadang jalan Toa Gu,
demikian pula dengan Thian lam sam kui dan lain-lain. Beramai-ramai mereka mengurung
Toa Gu seorang diri.
Hek pek siang yauw datang agak terlambat, ia tak memperdulikan hitam dan putih, segera
memecah kurungan dan maju kedalam. Sehingga membuat Kim Tay terdesak keluar. Ia jadi
gusar, jarumnya yang tinggal dua disiapkan, dan kebetulan dilihatnya Soat Kouw telah
mendekat pada Toa Gu, tak ayal lagi ia mengayunkan lengannya. Melihat ini Tok Kay Pong
berseru keras memperingati Soat Kouw dan membuat yang disebut belakangan bisa
menghindar oleh ancaman maut itu.
Kim Tay berhasil maju kedepan dan lagi-lagi terhalang Hek pek siang yauw, mereka jadi
berkelahi lagi…. Dalam perkelahian yang acak-acakan ini, masing-masing tidak
memperdulikan lagi antara kawan dan lawan, yang jadi tujuan mereka yakni mendapat pedang
pusaka!
Kini kaum Pok Thian Pang bisa berada didepan, melihat ini Hek pek siang yauw dan Kim Tay
berhenti berkelahi, mereka bersama-sama bergumul dengan orang-orang Pok Thian Pang !”
“Toa Gu dalam bahaya, kita harus menolongnya !” kata Siau Bwee.
“Yang mengurungnya, adalah jago-jago kenamaan, kita mana bisa menolongnya ?”
303
“Kita tak perdulikan mereka jago yang bagaimana,” kata Siau Bwee. “Asal bisa menolong
Toa Gu keluar dari lembah ini sudah bagus…..pakailah kain dan tutup muka kita, jangan
sampai dikenali mereka….”
Saat inlah mereka mendengar suatu bunyi nyaring memecah udaraq dari luar lembah.
“Sabar, siapa lagi yang datang itu ?” kata Kiam Hong.
Dengan cepat mereka bisa melihat berkelebatnya empat bayangan, yang tahu-tahu sudah
berada didekat danau. Keempat orang ini semuanya bertopeng dan berlengan kosong, tapi
kalau dilihat gerakannya tadi, menyatakan memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Tak perduli kaum Pok Thian Pang maupun Hek pek siang yauw dan Kim Tay semuanya
menghentikan perkelahian mereka begitu melihat kedatangan empat orang bertopeng ini.
Mereka dengan mata membulat mengawasi penuh perhatian, yang pertama-tama sampai
adalah seorang pelajar muda, disusul seorang gadis yang dua lagi adalah seorang tua
bertangan panjang dan seorang tua bermata satu.
Pemuda pelajar itu melirik kekiri dan kanan lalu menggoyangkan tangan dengan perlahan
kedua orang yang menjadi pengikutnya segera kekanan dan kekiri lalu mengangkat empat
tangan mereka menggempur pada Thay Cin Tojin yang paling dekat dengan mereka.
“Beng !” terdengar bunyi nyaring, akibat bentrokan tenaga diudara, dimana Thay Cin Tojin
telah melakukan tangkisan. Berbareng dengan hilangnya bunyi suara, tampak tubuh Tojin itu
terpental keudara dan jatuh ke tanah dengan terguling-guling dan hampir nyebur di danau.
Salah seorang Bulim Cap Sahkie yang kenamaan sebagai Thay Cin Tojin hanya dalam jurus
pertama sudah dirobohkan, membuat yang menyaksikan menjadi kagum dan gentar atas
kekuatan kedua orang tua itu.
Kini kedua orang tua itu sudah melancarkan pukulan tangannya kearah Thian lam sam kui.
Yang disebut belakangan mengetahui tidak memiliki ilmu setinggi Thay Cin Tojin maka tak
berani menerima pukulan itu dengan kekerasan, mereka melompat mundur, menjauhkan diri
tak berani dekat-dekat.
Kedua orang tua itu membuka jalan, sedangkan pemuda pelajar dan si gadis mengikuti
dibelakang siorang tua dengan tenang, begitu mereka sampai didepan Toa Gu. Pemuda pelajar
yang bertopeng, memperlihatkan pada Toa Gu semacam benda dan terus berkata dengan
perlahan. “Serahkan pedang itu kepadaku !”
Toa Gu memperhatikan benda ditangan pemuda itu, lalu ia tersenyum. “Hati-hatilah hadapi
manusia-manusia ini, mereka lihay-lihay !”
“Tak usah cemas !” kata sipemuda pelajar.
Toa Gu tidak banyak bicara lagi, menyerahkan pedang-pedang itu kepada si pemuda.
“Terima kasih banyak atas kebaikanmu ini,” kata sipemuda, seraya memberikan sebilah
pedang pada si gadis, tubuhnya berputar mengajak kawan-kawannya berlalu.
304
Jago-jago yang berada disitu dibuat kesima dan memandang kepergian empat orang itu
dengan mendelong. Tapi kejadian ini hanya berjalan sejenak saja, mereka sadar kembali dan
buru-buru melakukan pengejaran.
“Hei, bocah tinggalkan pedang itu !” seru Kim Tay sambil melakukan serangan pada pemuda
itu.
Dengan tersenyum dingin, terlihat pemuda itu menghalau serangan musuhnya dengan tangan
kiri sedangkan pedangnya membarengi gerakan itu. Begitu cepat dan luar biasa, Kim Tay tak
sempat mengengos, tahu-tahu pundaknya sudah terkena pedang tubuhnya terhuyung dan jatuh
ditanah….
Dibagian lain pada saat yang bersamaan. Siang yauw menyergap si gadis dengan berbareng.
Dengan tenang kedatangan dua musuh itu dipakai dengan pedang. Na Beng Sie menjadi
kaget, ia tidak mengira gadis muda itu mempunyai kekuatan hebat, untung ia betubuh kecil
dengan menggelinding bisa menyelamatkan diri dari bahaya. Demikian pula dengan Lauw Siu
Kim terpaksa mundur teratur.
Dengan mata berapi-api Lauw Siu Kim naik pitam sedangkan Na Beng Sie dengan mulut
mengangnga dan mata mendelik, melihat gadis itu pergi jauh.
Sedangkan dua orang tua lainnya dengan telapak tangannya yang bertenaga kuat, memukul
mundur Sam kui dan lain-lainnya, setelah itu menyusul si pemuda dan si gadis menuju keluar
lembah.
Dengan gusar Soat Kouw mengeluarkan komando : “Kejar !”
Susul menyusul orang-orangnya berserabutan pergi, melakukan pengejaran.
Siang yauw pun menyusul pula, setelah tertegun seketika lamanya, dengan cepat keadaan
dilembah itu menjadi sunyi.
Kim Tay biar menderita luka tidak sampai membahayakan dirinya, tampak ia bangun dan niat
menyusul pula. Tapi kena dirintangi Toa Gu. “Kim Lo Cianpwee jangan lupa, masih ada
satuurusan antara kau dan aku yang perlu dibereskan !”
“Soal apa ?” bentak Kim Tay.
Dengan tersenyum Toa Gu berkata. “Lo Cianpwee boleh pergi tapi berikan dulu obat
pemunah padaku ! Jarummu itu beracun aku bisa mati kalau kau pergi !”
“Hmm, obat itu bisa kuberikan tapi kau harus mengatakan dulu, siapa gurumu dan siapa
keempat orang bertopeng tadi !”
“Kalau aku tak sudi memberikan keterangan bagaimana ?”
“Bagaimanapun harus mau….” Kata Kim Tay sambil mengumpulkan tenaga dan selangkah
demi selangkah mendekati Toa Gu.
305
“Dengan luka-luka yang Cianpwee derita, bisa berbuat apa kepadaku ?”
“Segala luka ringan begini sedikitpun tidak kurasa, aku masih mampu membunuhmu !”
“Engkau bisa membunuhku, tapi ada orang lain bisa membunuhmu pula !”
Dengan kaget Kim Tay celingukan keempat penjuru ia tidak melihat barang seorangpun,
maka ia tertawa mengejek : “Engkau menakut-nakuti aku ya ?”
“Aha yang kukatakan benar belaka, tapi aku tak bisa memaksamu percaya bukan ?”
“Pokoknya seumur hidupku tak pernah takut pada siapapun !”
“Orang lain boleh tidak ditakuti, tapi kalau dia….ha ha ha !”
“Siapa dia ?”
“Guruku !”
“Ha ha ha, gurumu itu mungkin sudah jadi santapan ikan di danau ! Ia sudah mati kelelap !”
“O Mie To Hud ! Sie cu kenapa memaki aku dari belakang ?” tiba-tiba terdengar suara
jawaban dari belakang.
Kim Tay segera membalik badan, kagetnya tak alang kepalang, karena tak seberapa jauh dari
dirinya terlihat seorang Hwesio sedang duduk diatas batu dengan tenangnya.
“Engkau…..engkau….” kata Kim Tay dengan nada terputus-putus karena kagetnya.
“Mungkin kesibukan sehari-hari, membuat Sie cu lupa padaku bukan ?” kata Hwesio itu
dengan tenang.
“Thay kong siansu,” kata Kim Tay sambil mundur-mundur, dia cepat-cepat memberikan Toa
Gu obat pemunah, setelah itu tubuhnya dengan cepat mencelat pergi dari situ.
Dengan tersenyum-senyum Toa Gu memungut obat itu dan menghampiri si Hwesio, ia
memberi hormat dan berkata : “Supek (paman guru) kapan datang ?”
Dengan tersenyum Hwesio itu turun dari batu. “Aku tak menyangka engkau terkena jarumnya
Kim Tay ! Untuk inilah aku datang kemari menyamar sebagai Hwesio, kalau tidak begitu,
mana mungkin ia menyerahkan obat pemunah itu !”
“Kenapa harus menyamar, katanya Supek cukup gagah ! Masakan takut dengannya ?”
“Engkau tidak tahu Kim Tay seorang beradat tinggi yang sombong sekali, tapi iapaling takut
pada Tay kong Sian su,” kata hwesio tetiron itu. “Andaikata aku sanggup mengelahkannya,
tapi tak semudah begini ia menyerahkan obatnya itu.” Sehabis berkata ia mengusap mukanya
membuka kedoknya, segera tampak wajah aslinya. Seorang tua berambut putih berusia tujuh
puluhan.
306
“Supek, kapankah engkau memberikan ilmu ganti muka ini padaku ?”
“Itu urusan nanti, sekarang mari kita pergi ! Makanan itu masih berguna bawalah sekalian !”
“Urusan sudah beres untuk apa makanan ini ?”
“Jangan banyak berkata, bawalah !”
Dengan tenang-tenang mereka meninggalkan lembah itu.
Pek Kiam Hong memandang kepergian mereka dengan mengerutkan kening dan berkata-kata
seorang diri: “Heran ! Kenapa bisa dia…?”
“Apa yang engkau katakana ?” tanya Siau Bwee.
‘Aku heran pada Hwesio tetiron itu !”
“Engkau kenal dengannya ?”
“Ya, dia adalah Cian bin sin kay Cu Lit !”
“Pantas ia bisa menyamar begitu sempurna !”
“Yang kutahu ia berada dimarkas pusat Pok Thian Pang, kenapa bisa ada disini ! Lagi pula ia
sudah menjadi anggota Pok Thian Pang, kenapa membantu pihak musuh ?”
“Kau maksudkan ia membantu keempat orang bertopeng tadi ?”
“Ya,” jawwab Pek Kiam Hong, “keempat orang bertopeng itu datangnya begitu cepat,
peginya pun sama juga, mereka lihay sekali, entah dari perguruan mana, tapi kalau diingatingat
pemuda pelajar yang bertopeng itu seperti kenal saja, entah dimana aku pernah bertemu
dengannya.”
Belum habis ia bicara, Siau Bwee sudah membekap mulutnya dan menariknya kesamping.
“Lihat ! Ada apa didanau itu !”
Pek Kiam Hong mengawasi kedanau, benar saja rumput-rumput yang berada dipinggir danau
bergoyang-goyang, disusul dengan terlihatnya seorang merayap keluar. Mereka segera
merebahkan diri sambil menahan napas dan memasang mata kearah orang itu, kini mereka
melihat tegas, orang itu bukan siapa-siapa, dia Liok Jie Hui adanya, basah kuyup dan
berlepotan Lumpur, tampaknya ia berkutet melawan sedotan air dengan mati-matian, baru
bisa menolong jiwa tuanya itu.
Liok Jie Hui merasa tinggal dia saja didalam lembah itu, seenaknya saja membuka baju. Lalu
memerasnya, lalu membuka celananya pula. Begitu mereka mengawasi lagi Liok Jie Hui
sudah berjalan keluar sambil membawa tongkatnya. Mulutnya menggerutu terus, “Sial bocahbocah
itu, kalau ketemu lagi tidak kuberi ampun, akan kukesek-kesek badannya !”
“Hi hi hi !” Siau Bwee baru berani tertawa setelah melihat orang tua itu pergi jauh. “Kau
dengar tidak dia memaki-maki kita, lain kali kalau ketemu dia lagi kita harus hati-hati.”
307
“Tentu saja dia marah, ia mengharapkan kita menjaga mulut lembah itu, bukan saja tugas itu
tidak dijalankan, bahkan kita mendatangkan kaum Pok Thian Pang dengan panah api !”
“Yang kuheran Toa Gu sitolol itu, bisa betul ia pura-pura bego, padahal ilmu kepandaiannya
luar biasa sekali ! Sampai Liok Jie Hui siraja licik kena dikelabuinya, benar-benar lucu !”
“Bukan saja Liok Jie Hui, kitapun kena dikelabuhinya juga bukan ?”
“Ia membahasakan Cu Lit sebagai Supek, mungkinkah ia muridnya pengemis itu ?”
“Cu Lit tidak memiliki ilmu Keng thian cit su, mungkin bukan muridnya !”
“Apa herannya, sekarang ini ilmu pedang itu sudah pasaran, sudah banyak yang bisa !”
“Biarpun bisa tidak sepandai Toa Gu !” kata Pek Kiam Hong, “tidak ingatkah waktu kita
berkelahi dengannya, ilmu pukulannya begitu aneh dan luar biasa ?” Kupikir ia mempunyai
hubungan erat dengan keempat orang bertopeng tadi…”
“Oh….kini aku ingat orang itu, seperti In Tiong Giok !” kata Siau Bwee.
“Benar ! Benar dia, dari tadi kupikir, kiranya dia !” kata Pek Kiam Hong.
“Kenapa tidak terpikir sedari tadi, mari kita susul !” ia menarik lengan Siau Bwee berlari-lari
keluar dari lembah itu.
Malam telah berlalu matahari telah terbit dunia terang kembali. Tak seberapa jauh dari Danau
Pedang menjulang tinggi sebuah gunung. Jika dilihat selayang pandang, gunung ini biasa saja,
tidak ada keistimewaannya. Tapi kalau sedikit diperhatikan, bisa melihat bahwa lereng
gunung sebelah barat penuh ditumbuhi pohon, merupakan hutan belukar. Sebaliknya lereng
sebelah timur, begitu gundul dan tak terlihat tumbuh-tumbuhan barang sebatangpun. Orang
bisa berpikir bahwa lereng timur itu tentu tanahnya terdiri dari batu-batu cadas yang tak bisa
ditumbuhi pohon, memang benar keadaannya cadas melulu. Disamping itu ada gua batu yang
sangat aneh sekali. Gua itu menembus lumbung gunung dari barat sampai ke timur sehingga
merupakan terowongan yang panjang. Mulut gua yang disebelah barat lebih besar dari yang
sebelah timur. Menandakan bahwa yang sebelah barat adalah bagian depannya dan yang
sebelah timur adalah belakangnya. Biarpun mulut gua yang sebelah barat lebih besar,
terhalang pohon-pohon besar, sehingga tak mudah terlihat dari luar. Disamping itu letaknya
gua itu dari kaki gunung ratusan meter.
Sinar ini sinar matahari yang kemerah-merahan menyorot cadas-cadas yang gundul, sehingga
menjadi merah, sedangkan bagian barat dari lereng itu masih gelap.
Ditempat rimbun karena lebatnya pohon-pohon itu, terlihat seorang gadis berpakaian hitam,
sedang memungngut ranting pohon. Dan membuatnya api unggun, lalu ia menunduk sambil
mengerjakan tangannya, kiranya tiga ekor kelinci yang sudah dikuliti, disitu dan
dipanggangnya agar matang merata.
Rambutnya yang panjang menutupi sebagian wajahnya, tapi dari gerak geriknya dan cara ia
melakukan pekerjaan itu. Tiba-tiba ia menoleh keempat penjuru sambil membentak keras,
308
“Siapa yang datang, lekas keluar !” Berbareng dengan suaranya, lengannya melemparkan
potongan ranting kesalah satu arah yang dicurigai.
“Kounio jangan marah, aku Toa Gu !”
“Aku tak kenal dengan Toa Gu, pokoknya lekas keluar !”
“Ya aku keluar !” Dan benar-benarlah Toa Gu keluar dari balik pohon, dilengannya masih
menenteng rantangan makanan. “Nona jangan marah, kedatanganku kesini bukan kehendakku
sendiri supekku yang menyuruh….”
“Oh….kiranya engkau…maafkan aku,” kata gadis itu.
“Oh….Kounio kenal dimana denganku ?” tanya Toa Gu.
“Kenapa tidak kenal, tadi malam engkau menyerahkan pedang kepada kami masakan sudah
lupa ?”
“Oh…rupanya engkaulah salah seorang dari empat orang bertopeng itu ? Kulihat wajahmu
cukup cantik, kenapa harus ditutup-tutupi ?”
“Bukan begitu, kami bermaksud tidak dikenali ! Aku bernama Ciu Ceng Ceng, dan maaf atas
perbuatanku tadi !”
“Tidak apa-apa !” jawab Toa Gu.
“Kemarilah kukenalkan dengan Siau cu jin (tuan muda) kami !” Toa Gu mengikuti Ceng
Ceng kemulut gua, saat ini dari dalam tampak tiga orang sedang keluar. Yang satu bukan lain
dari In Tiong Giok adanya, sedangkan yang berada dikiri kanannya adalah Yauw Kian Cii dan
Ciu Kong. Mereka tidak mengenakan topeng lagi, Ciu Kong dan Yauw Kian Cee masingmasing
memegang pedang yang tadi malam diperolehnya.
Toa Gu meletakkan rantang makanan, lalu memberi hormat dan berkata : “Aku Toa Gu
memberi hormat pada In Siau hiap !”
“Tak perlu melakukan banyak hormat-hormatan, mari duduk !” katanya, “ada perlu apa Oey
heng datang kesini ?”
“Aku disuruh supek kemari !”
“Kenapa Cu Locianpwee tidak turut serta ?”
“Katanya tidak bisa datang !”
“Kenapa ?”
“Ia mengatakan tidak bisa ya tidak bisa, mana bisa kutahu ! Ia menyuruhku datang kesini
membawa sepucuk surat !” Segera ia menyerahkan sepucuk surat yang diambil dari dalam
sakunya.
309
Tiong Giok segera membaca surat itu, tiba-tiba wajahnya sedikit berubah, “sudah lamakah Cu
Locianpwee pergi ?” tanyanya sedikit napsu.
“Ia sudah pergi sejam lamanya !”
Tiong Giok bangun dari tempat duduknya, dan mundar mandir sambil berkemak kemik : “Ai !
Ada-ada saja……”
“Siau cu jin memang kenapa ?” tanya Yauw Kian Cee dan Ciu Kong.
Tiong Giok tidak menjawab, ia menyerahkan surat yang dipegangnya kepada mereka. Mereka
segera membaca surat itu yang berbunyi lebih kurang sebagai beerikut :
Tiong Giok sejak kita berpisah dimarkas besar Pok Thian Pang belum bertemu lagi, selama
itu aku tidak bisa melupakan dirimu, tadi malam aku melihatmu tak kurang suatu apa, atas ini
hatiku merasa girang. Engkau masih muda tapi memiliki kepandaian yang luar biasa
membuatku yang tua ini merasa bangga sekali. Sebaiknya aku merasa sedih dan malu sendiri
mau menyerah dan tunduk pada orang-orang Pok Thian Pang. Maka itu aku tak mempunyai
muka bertemu denganmu, sungguhpun begitu perasaan hatiku ingin menyampaikan beberapa
perkataan padamu, maka menyuruh orang ini membawa surat. Harap engkau jangan berkecil
hati padaku dan merasa benci. Apa yang kuperbuat ini pada suatu hari engkau akan tahu
sendiri, karena saat sekarang kaum kang ouw yang sejati masih terlalu lemah dan tak berdaya
atas kekuatan kaum Pok Thian Pang. Besar harapanku engkau dengan pedang pusaka yang
baru dimiliki ini bias melakukan suatu pekerjaan besar dan membebaskan kembali orangorang
kang ouw dari tekanan kaum Pok Thian Pang. Mengenai soal Thay Cin Tojin perlu
kuberikan penjelasan agar kau tidak terus-terusan membencinnya. Ia berlaku demikian
semata-mata bisa mendapat kepercayaan penuh orang Pok Thian Pang, padahal dibalik itu ia
mengganggu terus orang Pok Thian Pang dari dalam. Mungkin engkau masih ingat cerita
penterjemah bahasa Sangsekerta yang mati terbunuh dengan misterius di villa tenang bukan ?
Semua itu adalah kerja Thay Cin Tojin ini, demikian pula kita hampir-hampir dicelakakan
karena dikiranya engkau sungguh-sungguh mau melakukan pekerjaan itu. Ia sangat hati-hati
sekali, sampai kita menganggap dia sudah tak guna dan mau menjadi anjing Pok Thian Pang.
Setelah aku jadi anggota, beberapa lama adanya dia baru menceritakan kandungan hatinya.
Hebat bukan ?
Disamping itu mungkin ada suatu hal yang perlu kujelaskan juga kepadamu : yakni soal
saudagar Cian yang terkena racun dilosmen Hiong hian can. Cian itu bukan lain diriku
sendiri. Waktu Lie Keee Cie si Tongleng jahanam itu mendapat tugas bersama-sama dengan
Sam Kui mengejar dirimu, aku sangat kuatir sekali. Maka dengan tipu daya dan ilmu
menyamar, kubunuh Tongleng itu sedangkan aku menyamar sebagainya mengikuti Tok Kay
Pong dan kawannya menuju ke Tiat Po.
Sesampainya di Hui hui cun aku keluar dari losmen Hiong hin can dengan alas an menyelidiki
keadaan padahal aku pergi menyamar sebagai saudagar Cian agar bisa memberikan bantuan
kepadamu dengan leluasa. Akalku ini berhasil dan bisa mengelabui mereka dan menolongmu
berikut Tong Cian Lie. Saat itu aku tak bisa menemuimu karena engkau bersama Tong Cian
Lie yang bertabiat berangasan aku kuatir ia tak mengerti kenapa aku menjadi anggota Pok
Thian Pang sehingga timbul keruwetan yang tidak berguna. Maka aku berlalu dengan begitu
saja !
310
Engkaupun rupanya masih penasaran kenapa seorang bertabiat keras sebagaiku mau menjadi
anggota Pok Thian Pang juga, karena soal Pek Kiam Hong seorang.
Anak ini perlu dikasihani, jika dihari kemudian engkau menemui didunia Kang Ouw harap
perhatikanlah ! Sementara aku tak mau menjelaskan dulu hal dia ini sejelas-jelasnya, sebelum
kaum Pok Thian Pang hancur !
Sedangkan Oey Toa Gu ini karena soal pedang pusaka menjadi musuh orang kang ouw untuk
keselamatannya dia ini, sukalah engkau menerimanya sebagai pembantumu. Ia sangat jujur
dan memiliki bakat yang baik, mungkin bisa berguna dihari kemudian.
Kepandaianmu kian hari kian maju, ditambah dengan dua bilah pedang pusaka, tak ubahnya
sangat cemerlang sekali. Untuk ini aku bersyukur. Tapi engkaupun harus ingat janganlah
kepandaian itu untuk melakukan hal yang merugikan dunia kang ouw ! Engkau harus bangkit
dan berjuang demi keamanan dan ketenangan dunia kang ouw !
Kini engkau berada didalam gua batu sebelah barat ! Jika sempat masuklah terus kesebelah
dalam, mungkin engkau akan mendapatkan sesuatu yang luar biasa ! Nah suratku sampai
disini saja !
Yauw Kian Cee dan Ciu Kong dengan cepat membaca habis surat itu, lalu mengembalikan
lagi pada In Tiong Giok. “Heran, memang apa hubungannya antara dia dengan Pek Kiam
Hong,” kata Yauw Kian Cee.
“Sewaktu bersama-sama denganku dimarkas pusat Pok Thian Pang, ia berkeras ingin
menghajar Thay Cin Tojin, dan mengamuk dengan mati-matian menghajar orang Pok Thian
Pang tapi entah kenapa setelah Pangcu dan Pek Kiam Hong menemuinya, ia mau tunduk dan
menjadi anggota Pok Thian Pang ? Sayang dalam hal ini ia tidak menjelaskan !”
“Sabar saja, nantipun kita bakal tahu sebab musababnya ia berlaku demikian,” kata Ciu Ceng
Ceng.
“Sejak aku mengeram setahun lebih di Cu Cing San, guna mempelajari ilmu silat, soal dunia
kang ouw tidak kutahu lagi, ingin aku bertemu dengan Cu Lo Cianpwee untuk menanyakan
ini itu, sayang ia sudah pergi !”
“Ya banyak jago-jago semacam Cu Lit mau menjadi anggota Pok Thian Pang karena soal Pek
Kiam Hong, kita bisa mengetahui sebabnya jika bertemu Pek Kiam Hong sendiri !” kata
Yauw Kian Cee.
“Ia sendiri tidak mengetahui asal usulnya dirinya sendiri, mana ia tahu soal orang lain ?” kata
In Tiong Giok.
Membicarakan soal Pek Kiam Hong membuat In Tiong Giok ingat pada Wan Jie, kekasihnya
yang sudah lama ditinggalkannya. Membuatnya menarik napas !
“Siau cu jin kenapa menarik napas ?” tanya Ciu Ceng Ceng.
311
“Aku menarik napas lega dan bukan menarik napas sesak ! Pikirlah Cu Lo Cianpwee sudah
berhasil keluar dari Pok Thian Pang. Dan kita tidak perlu memikirkannya lagi, yang penting
kita menurut suratnya, menyelidiki keadaan didalam gua ini.”
“Gua ini sangat dalam, demi keselamatan Siau cu jin ijinkanlah kami turut serta melakukan
penyelidikan !” kata Ciu Kong.
“Lo Cianpwee tidak perlu khawatir, bahaya yang bagaimana besarpun bisa kuhadapi !” kata
In Tiong Giok.
“Tapi sebaiknya kita menyelidiki beramai-ramai !” kata Yauw Kian Cee.
“Tak usah ! Sebaiknya Jie wie Lo Cianpwee menjaga gua ini, biarkan aku bersama Ceng
Ceng yang melakukan penyelidikan.”
“Tia tia legakanlah hatimu, dengan adanya aku disamping Siau cu jin, aku jamin segalanya
beres….” Kata Ceng Ceng.
“Hmm, kamu….” Dengus Ciu Kong sambil mendelik dengan sebelah matanya tanpa
melanjutkan kata-katanya.
“Kurasa Ceng Ceng cukup untuk mendampingi Siau cu jin !” kata Yauw Kian Cee. “Tetapi
untuk membuat kami tenang, sebaiknya dibatasi waktu untuk menyelidiki itu, misalnya satu
jam atau dua jam, bilamana dalam waktu itu belum kembali, kami bisa masuk kedalam !”
“Begitupun baik !” kata In Tiong Giok.
Tua dan muda masing-masing duduk makan bawaan Toa Gu, setelah itu mereka beristirahat
sejenak. In Tiong Giok dan Ciu Ceng Ceng segera memasuki gua yang dalam itu.
Keadaan dalam gua lebih lebar dari luarnya, begitu masuk beberapa meter, terdapat sebuah
kamar, disitu terdapat kursi dan meja batu, tadi malam Tiong Giok berempat setelah mendapat
pedang bermalam disitu. Dibawah kamar gua itu terdapat sebuah pintu yang hitam, inilah
jalan yang bisa menembus kedalam lambung gunung. In Tiong Giok dan yang lainnya belum
pernah mencoba masuk kedalam.
Begitu Tiong Giok dan Ceng Ceng masuk kedalam Yauw Kian Cee dan Ciu Kong segera
menjaga pintu itu dikiri dan dikanan. Sedangkan Toa Gu bertugas sebagai pengintai diluar
gua.
Keadaan didalam gua gelap sekali, mereka melangkah hati-hati dan meraba-raba dinding gua.
Soal yang membuat kaget semakin masuk semakin dingin, lain dengan keadaan di kamar di
sebelah luar. Dengan menggertakkan gigi dan menyalurkan hawa sejatinya Tiong Giok
menahan serangan dingin itu. “Biasanya keadaan didalam gua amat panas, tak kira ini
sebaliknya, begini dingin sekali rasanya, kita harus berlaku waspada sekali !”
“Untukku keadaan gua yang begini tak heran lagi !” kata Ciu Ceng Ceng. “Sebaiknya aku
yang jalan dimuka guna membuka jalan !”
312
“Begitupun baik !” kata Tiong Giok. Mereka berjalan terus didalam gelap berkat bantuan
kedua pedang pusaka yang memancarkan sinar putih dan merah.
“Aneh aku sebaliknya merasa hangat !” kata Ciu Ceng Ceng.
“Ditempat begini engkau jangan bergurau !” kata In Tiong Giok.
“Jika engkau benar dingin, berikanlah aku jalan dimuka, untuk membuka jalan !”
“Begitupun baik !” kata In Tiong Giok.
“Pedang ini ada dua, sebaiknya kita membawa seorang sebilah !” kata Ceng Ceng sambil
menyerahkan pedang yang memancarkan sinar merah kepada Tiong Giok, begitu pedang itu
berada ditangan Tiong Giok ia merasakan hawa hangat yang nyaman sekali, rasa dinginnya
segera hilang tanpa terasa, kini ia mau percaya apa yang dikatakan Ceng Ceng.
Dengan bantuan sinar pedang pusaka itu mereka masuk terus, gua itu sebentar belok kekiri
sebentar belok kenanan, berliku-liku sekali. Setelah mereka menempuh perjalanan jauh,
anehnya mendapatkan dirinya berada ditempat semula waktu mau memasuki gua itu. “Heran,
jalan gua toh cuma satu, kita kenapa bisa kembali lagi kesini ?”
“Ah rupanya engkau keliru, kita tidak kembali lagi ketempat semula, hanya saja tempat ini
serupa dengan yang didepan !” kata In Tiong Giok. “Buktinya kalau kita kembali lagi
ketempat semula, tentu disitu ada Yauw dan Ciu Lo Cianpwee !”
“Benar,” kata Ciu Ceng Ceng, “tempat ini serupa betul dengan yang didepan, entah sudah
berapa banyak orang yang tertipu ditempat ini !” sehabis berkata ia membungkukkan badan
mencelos kedalam pintu.
“Hati-hati !” kata In Tiong Giok.
“Jangan kuatir !” kata Ceng Ceng seenaknya.
Tapi begitu iaberkata, lantas menjerit ketakutan, tubuhnya terjengkang kebelakang. Dengan
tangkas Tiong Giok menanggapi tubuh si gadis dan cepat-cepat membawa keluar lagi. Ia
mengawasi kearah pintu dengan siap sedia, tapi keadaan tetap seperti semula, sedangkan
Ceng Ceng masih tetap dalam ketakutan.
“Apa yang kau lihat ?” tanya Tiong Giok.
“Didalam ada orang……..Oh, bukan orang…….makhluk aneh…..”
“Hm. Rupanya engkau yang sudah biasa menjadi “setan” di Cu cing san dan pernah menakutnakuti
kini kena batunya !”
“Siau cu jin engkau jangan bergurau lagi ini……benar-benar !”
“Samakah bentuknya dengan setan di Cu cing san ?”
313
“Lain ! Bentuknya sukar kukatakan, begitu melihat rohku hampir hilang, tidak bisa melihat
dengan tegas.”
“Jika begini batallah tugasmu sebagai pengawalku bukan ?”
“Masih tetap !” kata Ciu Ceng Ceng sambil menenangkan pikirannya.
“Diamlah disini, biar aku yang hadapi !”
“Tidak boleh ! Jika Siau cu jin kenapa-napa bagaimana aku harus bertanggung jawab pada
ayahku ?”
“Ceng Ceng kau tak perlu kuatir ! Bilamana gua ini berbahaya, tentu Cu Lo Cianpwee akan
menerangkan dalam suratnya. Lagipula dengan pedang pusaka dan kepandaian yang kumiliki,
kiranya sudah cukup menghadapi segala bahaya !”
“Tapi sebaliknya aku saja yang masuk lagi.”
“Jangan !” kata Tiong Giok, “pikiranmu sudah kalut, bisa-bisa merepotkan aku !”
“Tapi tugasku sebagai pengawal bukan ?”
“Hm, itu tugas dari ayahmu, aku sebagai Ciang bun jin mencabut tugas itu dan menjadikan
engkau seorang pengiring saja !”
“Kalau begitu aku tak bisa mengatakan apa-apa lagi !” kata Ceng Ceng.
“Sekarang kutugaskan kau menjaga pintu ini, aku mau masuk !” kata Tiong Giok.
“Aku menurut ! Sebaiknya pedang ini kau bawa dua-duanya !”
“Ya,” kata Tiong Giok, “jika makhluk itu lari keluar, tangkaplah ! “ Sehabis berkata ia
menghirup hawa dan terus merapat kepintu sambil memasang telinga, sedikitpun ia tidak
mendengar suara apa-apa, kedua pedangnya dipegang dengan tangan kiri, sedangkan lengan
kanannya mengeluarkan jarinya “Hiat cie leng” nya yang ampuh dilancarkan kedalam,
sedangkan pedangnya diputarkan, tubuhnya membarengi masuk kedalam. Keadaan tetap tidak
berubah, ia masuk dengan aman tanpa sesuatu gangguan. Dengan penuh perhatian ia
memandang sekeliling, saat inilah ia mendengar suara halus seperti bunyi nyamuk : “Anak
muda gegabah betul, masuk-masuk kesini ?”
In Tiong Giok menjadi kaget, dan matanyapun segera melihat sebuah ranjang salju yang
putih, diatasnya terlihat seorang yang tidak mengenakan pakaian sedikitpun. Tubuhnya begitu
kurus, kepalanya botak, usianya sudah tua sekali. Yang membuat orang heran, tubuh orang
tua itu hampir merupakan lingkaran bulat, karena kedua kakinya melengkung kebelakang dan
berada dipundaknya, dan dengan kedua tangan dan perutnya menahan tubuhnya itu.
Tampaknya seperti makhluk aneh, tak heran membuat Ceng Ceng ketakutan.
Tiong Giok memberanikan diri maju kedepan sambil memberikan hormat : “Lo Cianpwee,
sebenarnya engkau siapa, dan kenapa bisa berada disini ?”
314
Dengan kedua matanya yang tajam, orang tua itu memandang Tiong Giok penuh perhatian.
“Ini adalah tempat persembunyianku ! Engkau sangat gegabah masuk kesini, dengan tujuan
apa ?”
“Aku hanya kebetulan saja menemukan gua dilereng gunung ini, sekali-kali tidak mengetahui
bahwa tempat ini adalah tempat pertapaan Lo Cianpwee !”
“Hm, kenapa engkau tidak mengatakan, kedatanganmu kesini atas petunjuk pengemis itu ?”
In Tiong Giok menjadi melengak, tapi dengan cepat ia menganggukkan kepala. “Benar !
Semua ini adalah Cu Lo Cianpwee yang memberi tahu, tapi ia tidak mengatakan tempat ini
didiami orang !”
Jilid 16 .....
“Pengemis itu entah bagaimana bisa datang menemuiku tiga hari yang lalu, sejak itu kutahu
akan banyak kerepotan yang harus kuhadapi, nyatanya benar saja engkau telah datang atas
petunjuknya. Pengemis itu benar-benar membuatku dongkol !”
“Kedatanganku kesini tidak berniat mengganggu Lo Cianpwee, bilamana Lo Cianpwee
merasa terganggu, sekarang juga aku keluar !” kata In Tiong Giok.
“Hm, sekeluarnya engkau dari sini, tentu akan menceritakan kepada orang lain, mereka pasti
datang dan membuatku pusing bukan ?”
“Aku bersumpah tidak akan mengatakan hal ini kepada siapapun !”
“Aku sudah bosan mendengar sumpah-sumpah itu ! Semuanya tidak ada yang manjur !”
“Habis dengan cara apa Lo Cianpwee baru percaya ?”
“Hm, didunia ini penuh dengan manusia-manusia rendah yang berhati keji, pokoknya aku tak
bisa mempercayai lagi apapun yang dinamai orang !”
“Aku sudah datang dan melihat Lo Cianpwee, habis harus bagaimana ?” tanyanya.
“Hm kau kira dengan ilmu Hiat cie lengmu tadi itu, tak bisa aku membunuhmu ?” kata si
orang tua dengan mendelik. “Usiamu masih muda tapi begitu sombong bilamana tidak dihajar
mungkin tidak tahu kalau diluar dunia masih ada dunia.” Sehabis berkata, lengannya menepak
baju, tubuhnya segera merapung ke atas, tapi dengan cepat pula ia jatuh ke ranjangnya sambil
merintih, wajahnya menjadi pucat keringatnya mengucur dengan deras tampaknya dia
kesakitan sekali.
Tiong Giok segera mendekati, “Lo Cianpwee engkau kenapa ?” tanyanya.
“Habis, Selama empat puluh tahun aku melatih diri, tapi tak membawa hasil barang
sedikitpun ! bangsat itu benar-benar jahat, aku dibuatnya tidak berdaya….aku tak bisa
mengatakan apa-apa lagi, bunuhlah aku !”
315
Sebelum Tiong Giok membuka mulut, dari luar kamar terdengar suara Ceng Ceng : “Siau cu
jin, adakah engkau melihat makhluk gaib itu ? Perlukah bantuanku ?”
“Engkau membawa teman juga ? Suruh mereka masuk ! Aku lebih senang mati dari pada
memberikan ilmu Liap hun sim hoat (ilmu hipnotis).
“Lo Cianpwee jangan salah mengerti, kedatanganku kesini sekali-kali tidak menginginkan apa
yang kau sebut Liap hun sim hoat itu !”
“Jangan berdusta ! Tiga hari yang lalu pengemis itu menggedeng terus padaku, dan kutolak
mentah-mentah permintaannya, kini dengan cara halus engkau mau ngelecehin aku, jangan
harap !”
“Lo Cianpwee jangan kuatir, aku tak berbiat membohongimu, kedatanganku kemari bukan
menghendaki sesuatu darimu !” kata In Tiong Giok. “Sebenarnya sekarangpun aku bisa
berlalu dari sini, tapi kulihat Lo Cianpwee sedang menderita sekali, selayaknya sesama
manusia tolong menolong bukan ? Jika Lo Cianpwee percaya, bolehkah kubebeaskan dirimu
dari penderitaan ini ?”
“Engkau siapa ? Dan apa hubunganmu dengan pengemis itu ?”
“Cu Lo Cianpwee itu adalah sahabat baikku,” kata In Tiong Giok seraya memperkenalkan diri
dan menerangkan pula kedudukannya sebagai Ciang bun jin dari Thian liong bun.
“Muda-muda sudah jadi Ciang bun jin ? Bagaimana dengan Pek King Hong ?”
“Beliau telah meninggal dunia !”
“Ya lebih enak meninggal dunia tidak memusingkan lagi soal dunia yang kotor ini !”
“Ya memang demikian ! Tapi alangkah baiknya dalam hidup ini kita bisa membereskan diri
dari dunia yang kotor bukan ? Dengan begitu kita mendapat kestabilan hidup yang abadi, dan
lebih menang dari pada mati dengan begitu saja !”
“Engkau masih muda tapi berpandangan sangat dalam,” kata orang tua itu. “apa yang engkau
katakana memang benar, tidak sepertiku ini biarpun menyendiri selama empat puluh tahun di
dalam gua yang sunyi, tidak memeproleh kestabilan hidup itu, semua ini dikarenakan terkena
tenaga jahat manusia iblis yang berhati binatang. Jalan darahku ini terkena totokan berat
darinya, aku berusaha membebaskan diri dari siksaan ini selama empat puluh tahun, nyatanya
sia-sia saja !”
“Siapakah yang mencelakakan Lo Cianpwee ?”
“Soal yang telah lama tak usah kau tanyakan ! Semua penderitaan yang kualami ini
berdasarkan diri ketamakan diri, maka itu aku tak menyesal menderita seperti ini !”
“Dapatkah kutahu nama Lo Cianpwee ?”
“Biar kusebutkan engkau tak bakal tahu soal diriku !”
316
“Sekedar ingin tahu toh boleh bukan ?”
“Pernah engkau mendengar Tiga pendekar daari Perguruan Sejati atau Kong bun sam kiat ?”
“Tidak !”
“Akupun menganggap engkau tak bakalan tahu,” kata orang tua itu, “sewaktu kami
mengembara di dunia Kang Ouw mungkin engkau belum lahir di dunia ! Kejadian ini sudah
empat puluh tahun, Kong bun sam kiat sudah dilupakan orang…….”
“Kalau begitu Lo Cianpwee pastilah salah seorang dari Kong bun sam kiat bukan ?”
Orang tua itu tidak menjawab, ia hanya tersenyum : “yang dinamai tiga pendekar dari
perguruan sejati terdiri dari seorang Hwesio, seorang Nikouw dan seorang Tojin. Kesemuanya
bukan dari Tionggoan, Hwesio itu adalah Kouwcu dari Tibet bergelar It Piau Taysu, Tojin itu
bernama Fut In Ciu dari Lamhay, dan bergelar Lie hwee Cinjin, sedangkan Nikouw itu dari
Thian san bergelar Houw gee Suthay. Ketiga dari mereka ini jarang berhubungan satu sama
lain, karena tempat tinggal mereka sangat jauh-jauh.”
“Entah bagaimana pada suatu hari ketiga-tiganya bisa bertemu diperjalanan. Kesempatan
berkumpul ini tidak dilewatkan begitu saja, dipergunakan berdiskusi soal ilmu silat, masingmasing
mengagumi satu sama lain, dan saling hormat menghormati. Disamping itu kamipun
bersama-sama mengunjungi berbagai tempat yang kenamaan di Tiong Goan. Sewaktu kami
sampai di telaga See Ouw mendapat dengar dari orang-orang Kang Ouw juga ada dua bilah
pedang mustika, satu bernama Hong hiat berkhasiat mencegah segala kejahatan, dan satu lagi
bernama Lie hwee berkhasiat mencegah api. Menurut cerita pedang itu jelmaan dari binatang
air dan api, bukan saja sangat tajam juga bisa mencegah banjir maupun kebakaran. Tak kira
pedang yang maha hebat itu mendatangkan bencana bagi Kong bun sam kiat…..” Orang tua
itu diam saja tidak meneruskan lagi ceritanya.
“Kenapa bisa mendatangkan bencana ?”
“Ah jangan ngomong saja, bisakah engkau mengambilkan aku sedikit makanan ?”
“Oh bisa saja, nantikanlah sebentar, aku bisa menyuruh Ceng Ceng mengambil keluar….”
“Tak usah keluar !” kata orang tua itu, ambil saja salju dan tanah itu, aduk-aduk biar halus
sudah cukup ! Selama empat puluh tahun aku sudah biasa makan dengan begini. Engkau
jangan menganggap kotor, itu adalah akar dari pohon-pohonan yang mengandung khasiat
menguatkan tubuh, sekali kumakan cukup untuk sepuluh hari !”
Tiong Giok menurut permintaan orang tua itu. “Kenapa Lo Cianpwee tidak mau
meninggalkan gua ini ?”
“Aku menderita luka hebat, jika tidak tinggal diranjang es ini siang-siang jiwaku sudah
melayang !”
Tiong Giok menganggukkan kepala. Lalu bertanya lagi : “Kong bun sam kiat adalah orangorang
yang menyucikan diri bukan, kenapa bisa menderita bencana pedang wasiat itu ?”
317
“Walaupun mereka sebagai orang yang menempuh kehidupan sebagai orang suci, kalau
pikirannya masih “tamak” tidak akan terluput dari penderitaan ! Pikirlah pedang itu hanya
dua, sedangkan mereka bertiga, bagaimana cara membaginya ?”
“Oh kalau begitu mereka memperebutkan pedang itu ?”
“Benar !” kata orang tua itu. “Mula pertama mereka bergirang hati, memperoleh pedang itu,
belakangan menjadi pusing sendiri untuk membaginya ! Karena itu masing-masing diam saja
tidak memberi usul untuk membagi pedang itu, lama kelamaan Houw Gee Suthay jadi tak
sabaran, ia mengajak It Piau Thaysu keatas gunung Hong hong san dan menegurnya : “Kita
bertiga sedangkan pedang itu hanya dua, harus bagaimana membaginya dengan cara yang adil
?”
It Piau Thaysu tidak bisa menjawab, iapun sedang pusing mencari daya untuk membagi
pedang itu secara adil.
“Pikir Suthay bagaimana baiknya ?” It Piau Thaysu berbalik bertanya.
“Tidak ada jalan lain untuk membaginya, kecuali salah satu dari kita ini ada yang mati,” kata
Houw Gee Suthay.
“O Mie To Hud,” kata It Piau Thaysu, “sebagai orang suci mana boleh Suthay mengeluarkan
perkataan itu ?”
“Oh, kalau begitu Thaysu mau mengalah dan menyerahkan pedang itu pada kami ?”
“Tidak……”
“Jika begitu kita harus bertanding untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan pedang
itu bukan ?”
“Jika begitu Suthay menginginkan terjadinya perkelahian bukan ?”
“Ini bukan saranku, tapi kehendak dari Fut In Cu !”
“Kenapa ia menghendaki begitu, apa alasannya ?”
“Ia mengatakan Lie Hwee Kiam cocok dengan gelarnya Lie hwee cinjin, maka pedang itu
sudah harus jadi miliknya, sedangkan Hong hiat kiam harus dibagi antara Thaysu dan aku !”
Mendengar ini It Piau Thaysu menjadi guasr : “Pedang itu dapat bertiga seharusnya cara
membaginya dirundingkan betiga juga, kenapa ia berani memutuskan seorang diri ? Dan apa
kebiasaannya sampai berani mengambil langkah ini ? Pokoknya aku tak setuju !”
“Akupun tidak setuju sarannya itu, maka mengajak Thaysu kemari untuk berunding…..”
“Tak ada perundingan lagi, mari kita temukan dia, dan tanyakan langsung apa maunya kalau
kita tak setuju atas sarannya !”
318
“Kita sama-sama sebagai pemeluk agama Buddha, bilamana dilihatnya kita bekerja sama
dianggapnya memusuhi dia yang berlainan agama bukan ? Dia bisa mengatakan kita orang
sentimen agama !”
“Semua ini karena kesalahan dia, tidak ada sangkut pautnya dengan agama !”
“Jika Thaysu menganggap dia salah, apakah salahnya kalau kita singkirkan ? Agar tak ada
bencana dihari kemudian ?”
Mendengar ini It Piau Thaysu menggigil ketakutan. “O Mie To Hud !” serunya.
“Dalam keadaan terpaksa apa salahnya kita membunuh, jika tidak demikian kita akan
dibunuhnya !”
It Piau Thaysu masih diam saja, sedangkan Houw Gee Suthay menghasut terus membuat It
Piau Thaysu menurut juga perkataan Nikouw itu. Dengan cepat mereka kembali ketempat
bermalam untuk menyingkirkan Fut In Cu. Tak kira yang disebut belakangan telah
mendengari apa yang dikatakan mereka dengan jelas. Maka itu dengan tak pikir panjang lagi,
sudah mendahului pulang dan membawa kabut kedua pedang pusaka. Hal ini membuat Houw
Gee maupun It Piau menubruk angin, mereka semakin gusar bersama-sama melakukan
pengejaran. Sesampainya di dekat gunung Hoay Giok San baru berhasil mencandaknya, saat
itu terjadi perkelahian hebat…….”
“Akhirnya bagaimana ?” tanya Tiong Giok.
“Diantara tiga jago itu kepandaiannya berimbang, tapi dengan satu lawan dua sudah pasti
yang satu tidak akan menang !” kata si orang tua, “tapi dengan mengandalkan kedua bilah
pedang pusaka itu, It Piau dan Houw Gee kena dilukai juga dam membuat Fut In Cu berhasil
keluar dari kepungan dan kabur ! Mereka tak berhasil merampas pedang itu…………”
Setelah mereka mengaso terus berputar-putar disekitar pegunungan itu selama tiga hari tiga
malam untuk mencari jejak dari Tojin itu, tapi selama itu juga usaha mereka tidak membawa
hasil. Fut In Cu tidak diketemui.”
“Thaysu sebaiknya kita cari berpencar…..”
“Dengan sendiri-sendiri jika bertemu mana bisa menundukkannya, buktinya dalam kepungan
kita berdua bisa meloloskan diri,” kata It Piau mengingatkan kejadian baru lalu.
“Ia hanya mengandalkan pedang pusaka itu, andaikata mengandalkan kepandaiannya saja,
satu lawan satu belum tentu ia bisa menang !”
“Benaar !” jawab It Piau Thaysu. “Tapi pedang itu masih berada ditangannya !”
“Untuk inilah kita harus menyatukan keduakepandaian kita untuk mengalahkannya.”
“Maksudmu bagaimana ?”
“Kita saling tukar ilmu !”
319
It Piau tidak segera menjawab, ia termenung sejenak, akhirnya dengan berat ia
menganggukkan kepala juga, “untuk menghilangkan bencana dikemudian hari aku bersedia
saling menukar ilmu ! Akan tetapi……”
“Dalam hal ini Thaysu tak perlu ragu-ragu, aku bersedia memberikan dahulu ilmu yang aku
miliki……”
It Piau Thaysu menjadi malu hati sendirinya, “Tak usah begitu, aku sebagai laki-laki
sepatutnya memberikan dulu kepadamu, menerima barulah belakangan.”
Houw Gee Suthay tak mau menerima tawaran itu, ia pura-pura adil dan jujur. “Aku tak mau
menerima caramu itu, untuk keadilan, baiklah kita main tebak-tebakan, yang menang boleh
menerima dulu pelajaran dan yang kalah itu harus belakangan.”
It Piau Thaysu menganggukkan kepala.
Houw Gee segera memungut batu dan mengepalnya, lalu meminta kawannya menebak batu
yang digengam itu ganjil atau genap. Tanpa banyak pikir It Piau Taysu menebak ganjil tapi
ternyata genap, satu nol keadaan buat Houw Gee.
Waktu giliran It Piau yang menggengam batu Houw Gee dapat menebak, kemenangan ada
pada Houw Gee.
“It Piau tahu bahwa dirinya dicurangi, tapi ia tak perduli, dengan patuh ia memberikan
pelajaran kepada kawannya itu sejujurnya……”
“Kenapa curang ?” tanya In Tiong Giok.
“Ya, sebab waktu It Piau berhasil menerka batu yang digengam itu, Houw Gee menggunakan
ilmu dalamnya memecahkan batu itu, sehingga jadi ganjil !”
“Mula pertama It Piau membiarkan atas kecurangannya, dengan jujur menurunkan ilmunya
itu kepada kawan itu, dan sewaktu tiba giliran Houw Gee memberikan pelajaran, terbukalah
kedok kejahatannya. Waktu itu It Piau disuruh bersemedi, ia menurut saja tanpa curiga, saat
inilah dengan tiba-tiba Houw Gee menurunkan tangan jahat…..”
“Ha, sekarang kutahu Lo Cianpweelah salah satu dari Kong bun sam kiat yang bernama It
Piau Thaysu bukan ?”
“Engkau benar !”
“Lalu kenapa Lo Cianpwee bisa berada didalam gua ini ?”
“Waktu ia menotok diriku, aku menggunakan ilmu dalam, menghentikan aliran napas,
tubuhku menjadi dingin, dan dikiranya sudah mati. Ditinggalkan olehnya begitu saja. Aku
berusaha memulihkan lagi tenagaku, dan berhasil mendapatkan gua ini, aku diam disini
sambil menyembuhkan luka yang diderita akibat totokan mautnya itu…..Kecuali itu dengan
cara yang kebetulan aku mendapat dua serangka pedang….nah ambillah, kusimpan dibawah
balai-balai itu.”
320
Dengan cepat In Tiong Giok mendapatkan kedua benda itu.
“Coba masukkan pedangnya kedalam serangka ini, cocok atau tidak !”
“Bukan saja cocok, memang serangkanya kedua pedang ini,” kata In Tiong Giok.
“Ya mereka telah berpisah selama empat puluh tahun dan baru bertemu kembali,” kata It Piau
Thaysu. “Bolehkah engkau menuturkannya, bagaimana pedang-pedang ini didapat ?”
Dengan singkat In Tiong Giok menceritakan jalannya mendapatkan pedang-pedang itu. It
Piau mengangguk-anggukkan kepala sambil mengeluh perlahan : “Seperti dugaanku semula,
ia mati juga…..”
“Siapa dia ?”
“Fut In Cu,” kata It Piau Thaysu. “Karena luka-lukanya itulah ia menemui ajal ! Tapi ia tidak
segera mati, melainkan menyembunyikan diri dulu didalam gua ini, karena kedua serangka
kudapat disini, setelah itu pasti ia tahu bahwa jiwa tidak akan tertolong lagi, lalu membunuh
diri di dalam danau itu.”
“Karena pedang-pedang ini Fut In Cu meninggal dunia dan Thaysu sendiri menderita selama
empat puluh tahun bukan ? Kesemua ini adalah kerjaan Houw Gee yang dengki itu !”
“Pikirku semua itu karena nasib !” kata It Piau Thaysu, “kini aku bisa bertemu denganmu,
karena nasib juga bukan ? Kedua serangka pedang ini kuhadiahkan kepadamu. Aku
mengharapkan dengan kedua pedang ini engkau bisa membasmi orang-orang jahat dan
menegakkan keadilan demi kesejahteraan rakyat banyak.”
“Atas pemberian Lo Cianpwee ini kuhaturkan banyak-banyak terima kasih,” kata In Tiong
Giok, “disamping itu dapatkah aku melakukan sesuatu untuk dirimu sendiri ?”
“Apa yang bisa kau lakukan pada diriku ?”
“Mengobati luka Cianpwee !”
“Kurasa luka ini sangat parah sekali, sia-sia saja diapakan juga, buktinya selama empat puluh
tahun ku obati, sedikitpun tak membawa hasil !”
“Segalanya tergantung nasib bukan ? Apa salahnya kalau mencobanya ?”
“Apa yang kau miliki, sampai berani berkat begitu ?”
“Aku pernah mempelajari ilmu Hiat Cie leng dan lain-lainnya !”
“Apa ?” tanya It Piau dengan kaget, “sudah taraf apa kepandaianmu itu ?”
“Lebih kurang tujuh puluh persen !”
“Coba kau mundur beberapa langkah, dan gunakan ilmu itu pada balai-balai es ini.”
321
Tiong Giok mundur beberapa langkah, lalu mengangkat tangan melancarkan Hiat cie lengnya
kearah balai-balai es. “Sreeet” terdengar bunyi keras memenuhi gua itu, balai-balai es itu
menjadi hancur dibuatnya, “Kini kuminta Thaysu mengendurkan tulang-tulangmu, dan
pencarkan hawa didarah, aku akan mulai dengan pengobatan.”
Orang tua itu baru mau menurut setelah menyaksikan kehebatan pemuda kita, Tiong Giok
segera melakukan pengobatan dengan cepat, mula-mula ia menotok dulu tiga puluh dua jalan
darah Thaysu itu, lalu dengan telapak tangannya ia menyalurkan tenaga dalam kepunggung
sang Thaysu.
Tak selang lama, Tiong Giok menjadi mandi keringat, disusul dengan terlihatnya uap putih
mengepul dari ubun-ubunnya, ia bekerja dengan sekuat tenaga. Sedangkan It Piau yang pucat
mulai terlihat segaran, mukanya menjadi merah seperti darah, napasnyapun memburu keras.
Tapi sekejap kemudian warna merah itu hilang dan menjadi dadu napasnyapun tenang
kembali. Sedangkan Tiong Giok melepaskan kedua tangannya, seolah-olah tubuhnya menjadi
kosong dan lemas, ia duduk memulihkan tenaganya yang hilang dengan bersemadhi.
Sedangkan It Piau menjadi pulas dengan nyenyaknya.
Suasana di dalam gua itu menjadi sunyi, hanya napas mereka yang terdengar. Satu jam
kemudian, tampak It Piau Thaysu bangun terlebih dulu, sedangkan Tiong Giok masih tetap
memeramkan matanya. Hweesio itu menggerak-gerakkan tubuhnya, segala sakitnya tidak
terasa lagi, dengan girang ia tesenyum kepada pemuda kita. Lalu mengangkat tangannya dan
menepuk kearah ubun-ubun Tiong Giok, sesudah itu dari salah satu sudut gua ia
mengeluarkan sebuah buntelan, itulah pakaian kuningnya. Disamping itu terlihat pula sejilid
buku kecil. Ia mengenakan pakaiannya itu dan menyelipkan buku kecil itu kedalam saku
Tiong Giok.
Dengan perasaan berat ia meninggalkan gua itu. Ciu Ceng Ceng sedang cemas menantikan
dimulut gua, tiba-tiba ia melihat berkelebat sesosok bayangan, dikiranya In Tiong Giok, maka
ia menyapa, “Siau cu jin, engkau……” Sesudah tegas, ia menjadi heran, kaena yang berada
didepannya adalah seorang Hweesio tua berjubah kuning. Ia menjadi kaget dan segera
membentak. “Hweesio tua, siapa engkau ?”
“Coba saja engkau perhatikan, siapa aku ?” kata It Piau sambil tersenyum.
Ciu Ceng Ceng mengawasi dengan kedua matanya, tiba-tiba saja ia merasakan sesuatu yang
tidak beres setelah pandangan matanya bentrok dengan sinar mata tajam It Piau. Anehnya ia
menjadi limbung, dan hampir-hampir tak kuat berdiri, tubuhnya terhuyung-huyung beberapa
langkah kebelakang.
Pancaran mata It Piau yang tajam mencecer kearah Ceng Ceng, begitu kuat dan tajam
membuat Ceng Ceng linglung dan tak sadar.
Ceng Ceng terpengaruh sinar gaib pancaran mata It Piau, membuatnya tak berdaya sama
sekali, karena dirinya sudah terpengaruh kebaiban itu. It Piau mendekati dan menepuk
pundaknya sambil berkata dengan perlahan: “Apakah engkau kenal denganku ?”
Ceng Ceng menganggukkan kepala “Ya aku kenal !”
“Bagus kalau kenal, dan siapa namamu ?”
322
“Namaku Ciu Ceng Ceng !”
“Engkau anak yang baik,” kata It Piau, “kemarikan tangan kananmu nak !”
Ceng Ceng segera menjulurkan tangan kanannya. Dan It Piau memeriksanya dengan teliti.
“Engkau adalah orang pertama yang kutemukan sejak bebas dari penderitaan selama empat
puluh tahun ! Maka itu akan kuberikan sedikit tanda mata padamu, sayang aku tak memiliki
apa-apa saat ini. Dilihat dari tanganmu, biarpun masih muda, engkau berbakat besar dan
berjiwa setia….” Setelah berdiam sejenak, ia mencopoti sebuah kancing dari jubahnya yang
terbuat dari batu kumala. “Benda ini tidak berarti apa-apa, hanya merupakan tanda mata
dariku ! Soal Siau cu jinmu tak usah engkau risaukan, ia sedang mengaso, sebentar lagi ia
bangun, diam-diamlah disini menantikannya !”
“Ya aku mengerti,” jawab Ciu Ceng Ceng.
“Nah, duduklah disana,” kata It Piau Thaysu.
Apa yang diperintahkan It Piau selalu dituruti Ceng Ceng, karena hweesio itu dengan
kekuatan mata gaibnya yang mengandung daya hipnotis, sudah menundukkan si gadis itu.
“Ilmu sejatiku masih ampuh, sayang diriku sudah begini tua !” kata It Piau dan terus
melangkah keluar.
Tak selang lama Ceng Ceng sadar dari mabuk ia celingukan keempat penjuru tapi keadaan
tetap seperti semula, bayangan It Piau Thaysu sudah hilang dari pandangan matanya. Ia diam
sejenak, mengkonsentrasikan pikirannya, mengingat-ingat apa yang dialaminya tadi. Ia jadi
ragu, apakah kejadian tadi merupakan kenyataan ataukah impian ? Tapi kancing kumala yang
berada ditangannya masih tetap ada ! Semua itu adalah kejadian benar-benar. Tapi kemana
perginya Hweesio itu ? Dan kenapa ia tidak bisa mencegahnya ? Kini ia ingat sedang
mengawal In Tiong Giok ! Hatinya menjadi kaget, mengingat keselamatan Siau cu jin itu,
cepat-cepat ia masuk kedalam. Keadaan di dalam tetap tenang seperti tadi. Hatinya menjadi
lega setelah melihat Tiong Giok yang sedang semedhi, tanpa kurang suatu apa. Ia diam
disampingnya tanpa bergerak-gerak.
Tak selang lama, Tiong Giok telah selesai melakukan semedhinya, ia membuka mata dan
melihat Ceng Ceng berada disampingnya. Segera ia bertanya dengan nada heran : “Apakah
engkau melihat seorang Hweesio tua ?”
“Hweesio tua yang kurus itu ?”
“Benar ! Kemana dia pergi ?”
“Dia sudah pergi !”
“Ah, Lo Cianpwee itu kenapa bergegas-gegas meninggalkan tempat ini ?” kat Tiong Giok.
Ciu Ceng Ceng memperlihatkan kancing kumala pemberian Hweesio itu, sambil menuturkan
apa yang dialaminya tadi secara jelas.
323
“Oh, tentu ia menggunakan ilmu Liap hun tay hoat (semacam ilmu hipnotis tingkat atas)
mengawasi dirimu ! Diluar masih ada Yauw Lo Cianpwee dan ayahmu yang menjaga gua,
kukuatir terjadi slah paham dengan Hweesio itu, mari kita tengok !” Segera ia mencelat
bangun dan berlari keluar diikuti Ceng Ceng dari belakang.
Begitu mereka sampai diluar, mata mereka melihat Yauw Kian Cee dan Ciu Kong sedang
asyik mendengkur-dengkur dengan nyenyaknya.
Disamping itu tampak juga tujuh delapan mayat yang berserakan di depan gua, dari pakaian
mereka dapat dikenali, itulah pengawal-pengawal dari Pok Thian Pang.
Toa Gu sedikitpun tidak menderita luka, hanya saja tertotok urat pulasnya. Tiong Giok segera
membebaskannya. Begitu ia bangun Toa Gu segera menanya. “Mana Hweesio tua itu ?”
“Justru aku mau menanya, apa yang sudah terjaadi disini ?” tanya Tiong Giok.
“Oh, tidak apa-apa, hanya beberapa kurcaci ini datang kemaari, mereka berkelahi denganku,
sedang asyiknya, tiba-tiba tampak seorang Hweesio tua, muncul dari dalam gua ! Entah
bagaimana kedua orang tua ini dibuatnya menjaddi penurut sekali, sedangkan aku segera
merintangi jalannya. Hweesio itu tersenyum kepadaku, aku tak memperdulikan, segera
menusuknya dengan pedang. Ia sangat luar biasa, hanya sekali kebut, senjat ini jadi
buntung….Hweesio itu tidak menyerang, ia hanya tersenyum terus dan menatap dengan
matanya. Akupun mendelik terus….” Engkau adalah manusia pertama yang berhati polos,
hingga Liap hun tay hoat tak mempan pada dirimu ! Maukah kau menjadi muridku ?”
“Engkau sangat beruntung !” kata Tiong Giok.
“Hm, apanya yang beruntung !” kata Toa Gu, “kau kira aku mau menjadi muridnya ? Tidak !
Sedikitpun tidak mau !”
“Memang kenapa ? Ia adalah seorang luar biasa yang berilmu tinggi !”
“Sudah tentu aku tak mau ! Kenapa ia mengatakan polos ! Kata ini sangat kubenci ! Dulu
ibuku memberikan pakaian polos untukku, sedangkan ibunya Asam membelikan pakaian
berkembang pada anaknya, nyatanya pakaian berkembang lebih bagus dari yang polos ! Maka
itu, begitu ia mengatakan polos padaku, aku membalas mengatakan dia bodoh. Hweesio itu
tidak marah, ia tersenyum terus dan mendesak terus kepadaku, mau tidak mau menjadi
muridnya, aku tetap tak mau !”
“Sayang,” kata Tiong Giok.
“Ya, sayang kesempatan ini sudah sia-sia !”
“Andaikata mau mempelajari ilmu itu, aku tak mau belajar darinya, aku lebih senang belajar
darimu !”
“Ilmu Liap hun tay hoat adalah ilmu kepandaian tunggalnya, aku tak bisa memberikan ilmu
itu kepadamu !”
“Tapi Hweesio itu mengatakan engkau pandai ilmu itu !”
324
“Ia mengatakan begitu …..?”
“Ya, waktu ia berlalu berkata begini padaku. “Jika engkau tak mau menjadi muridku, aku tak
memaksa, mungkin bukan jodoh, untung Siau cu jinmu sudah memiliki ilmu ini, dan engkau
bisa belajar darinya !”
“Benar-benar ia berkata begitu ?”
“Lailah, mas bohong ! Sebab percaya omongannya itu, aku menjadi lengah dan ditotok
olehnya, selanjutnya apa yang terjadi aku tak tahu !”
Tiong Giok menjadi bingung memikirkan perkataan Toa Gu, tapi dengan cepat ia menjadi
sadar, cepat ia merogo sakunya, dan benar saja ia mendapatkan buku kecil. Dengan judul
“Ilmu Liap hun tay hoat.”
“Ah, Lo Cianpwee itu, seolah-olah tidak mau menerima budi dariku, ia membalas
memberikan ilmu pusakanya kepadaku.”
Tengah hari teriknya matahari bukan buatan dijalan raya tampak empat laki-laki tua dan muda
beserta seorang gadis, dengan kudanya yang sudah letih sedang melanjutkan perjalanan
dengan perlahan. Rombongan ini bukan lain dari pada In Tiong Giok dan kawan-kawannya.
Sewaktu mereka memasuki perjalanan gunung, segera berhenti dan membawa kuda meeka
mengaso ditempat teduh. Dengan matanya yang tajam In Tiong Giok mengawasi keatas
gunung. “Lihatlah diatas itu ada sebuah solokan kecil, kalau kita menyusuri solokan itu dan
terus memutar kesebelah timur, akan tiba dikampung halamanku.”
Dengan mata tunggalnya yang tajam Ciu Kong menatap kearah yang ditunjuk. “Ya,
kelihatannya sangat dekat, tapi kalau dijalani cukup jauh ! Sebaiknya kita istirahat agak lama
!”
“Sebenarnya aku tak sabar lagi, ingin sekali sampai dirumah tapi kalau yang lain sudah letih,
lebih baik istirahat dulu.”
“Kami tidak letih !” kata Yauw Kian Cee, “yang letih adalah kuda-kuda ini !”
“Ya, kutahu. Kuda-kuda ini sudah lemas sekali !” kata In Tiong Giok.
Toa Gu memberi minum kuda-kuda itu, sedangkan Tiong Giok mengobrol dengan Ceng
Ceng. Ciu Kong berjalan-jalan keatas bukit mengawasi keadaan sekeliling dengan cermatnya.
Tampak wajahnya sangat serius sekali, seolah-olah ada sesuatu yang dianggapnya tidak baik
sedang membayangi rombongan mereka. Waktu ia turun Yauw Kian Cee segera menegurnya
dengan kedipan mata. Ciu Kong tidak menjawab, ia mengeluarkan tiga jari dan terus duduk
dirumput.
“Tambah dua lagi !” tanya Yauw Kian Cee.
“Ya,” jawab Ciu Kong, “keduanya adalah wanita muda !”
“Adakah mereka mengikuti kemari ?”
325
“Mereka telah memotong jalan dan sudah berada didepan kita, agaknya mereka sudah tahu
tempat tujuan kita !”
“Manusia tak tahu mati ini bandel, kita harus membasminya sampai habis ! Kalau begitu
baiknya aku pergi duluan, menghajar mereka…..” kata Yauw Kian Cee minta pendapat Ciu
Kong.
“Tak usah repot-repot,” tiba-tiba saja Tiong Giok bersuara. “Segala kurcaci begituan tak perlu
diladeni !”
“Oh, kiranya Siau cu jin sudah tahu !” kata Ciu Kong dengan kaget.
“Sejak kita meninggalkan gua, mereka telah membuntuti kita ! Hanya saja tak kuhiraukan.”
“Kami tidak menguatirkan mereka menyerang kita, yang kupikir adalah keselamatan orang
tuamu !” kata Ciu Kong.
“Aku mengerti keselamatan Lo Cianpwee, tapi kuyakin mereka tidak menurunkan tangan
pada saat ini !” kata Tiong Giok. “Selama tiga tahun aku mengembara didunia Kang Ouw, ras
rindu pada kampung halaman besar sekali, ingin secepatnya sampai disana, disamping rindu
yang meluap-luap, rasa cemaspun sangat mengganggu perasaan hatiku ! Pikirlah, andai kata
aku sampai di rumah, kedua orang tuaku, misalnya sudah dianiaya kaum Pok Thian Pang
semua ini merupakan hukuman bathin untuk seumur hidupku…….ai……semua tak dapat
ditutup-tutupi dengan omongan maupun senyuman.”
“Jika kaum Pok Thian Pang berani mencelakakan kedua orang tuamu yang tak berdosa itu,
segera kita satroni markas besarnya dan kita basmi sampai keakar-akarnya,” kata Ceng Ceng.
“Ah engkau anak kecil tahu apa ! Andaikata apa yang telah dipikirkan Siau cu jin menjadi
kenyataan, biarpun semua kaum Pok Thian Pang dibasmi habis, rasa duka itu tetap takkan
hilang, kita hanya berdoa janganlah itu terjadi !”
“Baik buruknya belum bisa ditentukan ! Setibanya dirumah baru bisa kita ketahui dengan
jelas ! Sebaiknya marilah kita lanjutkan perjalanan !”
Toa Gu segera menuntun kuda, Yauw Kian Cee mendahului yang lain, menjeplak
tunggangannya. “Aku jalan dulu,” sebelum Tiong Giok menjawab, ia telah melarikan
kudanya dengan cepat.
Tiong Giok menggelengkan kepala, dan terus mengajak yang lain melanjutkan perjalanan.
Setelah melalui belasan lie, mereka segera melihat sebuah sungai dan sebuah gedung.
Jembatan kecil yang menghunungi kedua tepian masih tetap seperti dulu, demikian juga
singa-singaan batu masih tetap berada ditempatnya, keadaan kampung halaman Tiong Giok
ini masih seperti dulu, sedikitpun tidak mengalami perubahan. Bedanya, kalau dulu disungai
ini banyak anak-anak nakal yang mandi dan menangkap ikan, kini sunyi sepi tak terlihat
barang seorangpun.
Dengan air mata mengambang, Tiong Giok mengawasi rumahnya, kudanya dibedal kearah
pekarangan rumahnya. Setibanya dijembatan kecil dirinya disosong Yauw Kian Cee dan
326
seorang tua. Begitu ia mengawasi, Tiong Giok segera mengenali orang tua itu In Hok adanya.
Sekejap itu, membuatnya tak tahu girang entah sedih, segera ia lompat dari kudanya dan
berlari kecil, menubruk orang tua itu. Dengan suara bergetar menahan sedih berkata : “In
Hok, masih kenalkah denganku ?”
In Hok mengucak-ucak matanya. “Oh…..Kongcu….kongcu sudah kembali, tiga tahun telah
berlalu, akhirnya engkau kembali dengan selamat !”
“Bagaimana keadaan ayah dan ibuku ?”
“Engkau telah terlambat….”
Belum habis mendengar perkataan yang diucapkan In Hok, wajah Tiong Giok telah menjadi
pucat pasi, tubuhnya menggigil tidak keruan dan hampir-hampir ia jatuh duduk. Untung Ciu
Kong dan Ciu Ceng Ceng berlaku tangkas, mereka segra memayang Siau cu jin dengan
serentak.
“Tenanglah, tenanglah Siau cu jin,” kata Yauw Kian Cee.
In Tiong Giok menguatkan diri, air matanya berderai turun, dengan suara parau ia berkata :
“Sudah lamakah ? Dan apa sebabnya ?”
“Sejak kongcu meninggalkan rumah, kedua orang tuamu menjadi sedih, mereka memikirkan
terus dirimu siang dan malam, akibat ini mereka menjadi sakit, dan berpulang ke alam baka
susul menyusul.”
“Kenapa tidak digantung teng putih tanda berduka cita ?” tegur Tiong Giok.
“Loya memesan jangan memasang teng itu !”
“Apa sebabnya, dapatkah kau tahu ?”
“Sebelum meninggal Loya membubarkan pengawal-pengawal, lalu meminta jenasahnya
dikubur bersama-sama Hujin menghadap kejalan gunung. Artinya mereka menantikan
kedatangan kongcu kembali !”
Tiong Giok menangis dengan sedih, demikian juga yang lain tak bisa menghibur Siau cu
jinnya, mereka malahan turut meneteskan air mata.
“Sudahlah jangan terlalu bersedih, kedua orang tuamu sudah berusia lanjut lambat laun akan
meninggalkan dunia ini. Sebaiknya Kongcu berjiarah kemakam mereka sekarang juga !”
Toa Gu menuntun kuda-kuda kedalam pekarangan, lalu mengikuti jalan lain menuju
kekuburan orang tuanya In Tiong Giok. Kuburan itu letaknya dibelakang bukit, menghadap
kejalan gunung. Dikedua sisinya terdapat dua kupel, dari sini bisa melihat setiap orang yang
mau datang kerumah. Tiong Giok mengawasi kuburan orang tuanya dengan sedih, sedangkan
In Hok menyiapkan peralatan sembahyang.
Bentuk kuburan itu membuat Tiong Giok heran, karena lain dari kuburan biasa, sebab
kuburan itu mempunyai pintu disebelah sampingnya, hal ini membuatnya tak habis mengerti.
327
Sehabis selesai sembahyang ditanyanya In Hok, kenapa kuburan itu berpintu ? Dan siapa
yang membuatnya ?”
“Kuburan ini aku sendiri yang membuatnya dikarenakan belum dilakukan upacara
penguburan secara layaknya, maka kubuatkan pintu agar mudah memindahkan peti itu, jika
kongcu mau melakukan upacara penguburan !”
Pikir Tiong Giok apa yang dikatakan In Hok memang masuk akal, maka ia tidak bertanya
lagi. Sekembalinya dirumah, cuaca telah menjelang senja, dua pelayan datang menemui In
Tiong Giok. Yang satu dikenalinya sebagai pelayan ibunya yang bernama Tio Ma, sedangkan
yang satu lagi tidak dikenalnya.
Pelayan baru itu memperkenalkan diri sebagai Lie Ma dan baru masuk kerja menemani Tio
Ma setelah tuan dan nyonya rumah meninggal dunia.
In Tiong Giok tidak menyelidiki terlebih dulu, sehabis makan ia memanggil In Hok datang
kekamarnya. “In Hok katakanlah dengan sejujurnya, apakah kematian kedua orang tuaku itu
benar-benar dikarenakan sedih dan sakit ?”
“Apa yang kukatakan adalah benar !”
“Setelah menderita sakit tidakkah mereka berobat ?”
“Sudah tentu mereka beobat, aku sendiri yang memanggil tabib Oey dari kota, menurutnya
penyakit mereka tidak bisa baik lagi, nyatanya benar juga, berbungkus-bungkus obat diminum
mereka, tapi tak membawa hasil.”
“Siapa dulu diantara mereka yang meninggal dunia ?”
“Hujin dulu yang meninggal, semalam kenudian baru Loya, begitu berdekatan akan waktunya
itu.”
“Sejak aku pergi, pernahkah orang-orang Ngo liu cung datang kesini ?”
In Hok menjadi kaget : “Ini….ini…..”
“Dikamar ini hanya kita berdua, katakanlah jangan ragu-ragu !”
“Sejak kita berpisah disana, pernah ada yang datang kemari, kejadian ini membuat kedua
orang tuamu sangat cemas dan kuatir sekali.”
In Hok tidak melanjutkan perkataannya.
Telinga Tiong Giok yang tajam, mendengar tarikan napas halus dari jendela, ia mengerutkan
alis : “Siapa ?” bentaknya.
Tidak terdengar jawaban.
Tiong Giok membuka jendela mengawasi keluar, ia tidak melihat sesuatu apa-apa.
328
Tiong Giok membuka kursinya. “In Hok tak usah takut, tuturkanlah terus apa yang terjadi !”
“Sejak saat itu tidak terjadi apa-apa lagi, maksudku selagi toya dan Hujin belum
meninggal…”
“Setelah mereka meninggal ?”
“Terus terang orang-orang Pok Thian Pang pernah…”
Perkataan In Hok menjadi putus dengan terjadinya kegaduhan diluar kamar, seolah-olah ada
yang berkelahi. “Engkau diam-diam saja disini, aku mau melihat apa yang terjadi diluar !”
Begitu ia berkata tubuhnyapun telah mencelat keluar melalui jendela. Sebelum ia memijak
bumi kedua matanya telah menyapu keadaan sekelilingnya. Dan tampak dibagian timur taman
bunga sesosok tubuh orang ia mengenali itulah Ciu Kong.
“Aku mendengar napas orang diluar jendela tapi waktu kutegur tidak ada jawaban, apakah Lo
Cianpwee melihat orang itu ?”
“Ya kulihat seseorang sedang mengintai kedalam kamarmu, maka kuhajar orang itu,
akibatnya membuat Siau cu jin kaget saja !”
“Siapa orang itu ? Kenapa tidak diciduk ?”
“Orang itu mengenakan topeng, sukar dikenali. Waktu kuserang ia melarikan diri keluar
tembok.”
Saat inilah terdengar teriakan tertahan dari arah kamar : “Kongcu….”
Tiong Giok jadi kaget, dengan cepat ia kembali kedalam kamar, begitu ia masuk, tubuhnya
bersamplokan dengan tubuh seseorang yang mau keluar dari kamar. Dengan satu gerakan,
Menangkap naga, orang itu dicekalnya. Tapi lengannya meresakan benda lunak, seolah-olah
bantal guling adanya. Ia menjadi kaget, sebelum tahu apa yang terjadi, kembali sesosok tubuh
mencelat pergi. Tiong Giok tahu dirinya tertipu musuh, sebelum ia sempat mengejar musuh
sudah kabur keluar kamar. Ia bisa lolos dari tangan In Tiong Giok, tapi tak berpikir masih ada
Ciu Kong. Tubuhnya disambut pikilan maut simata satu dengan telak. “Lo Cianpwee, tangkap
hidup-hidup !” teriak Tiong Giok. Tapi sudah terlambat, orang itu telah terjungkal dan tak
berkutik lagi. Tiong Giok menghampiri, orang itu berseragam hitam dan bertopeng. Begitu
diperiksa nyatanya sudah mati. Topengnya diangkat, dan orang itu bukan lain dari pada yang
mengaku sebagai Lie Ma, seorang pelayan baru tadi.
“Sayang ia sudah mati,” kata in Tiong Giok.
Mereka cepat-cepat memeriksa keadaan In Hok.
Orang tua itu menggeletak dilantai, punggungnya tertancap sebilah belati, napasnya begitu
lemah. Tiong Giok buru-buru menutup jalan darah punggung In Hok dengan satu totokan.
Waktu mau mencabut belati Ciu Kong cepat-cepat mencegahnya : “Jangan !” serunya.
“Kenapa ?”
329
“Lihatlah tempat yang terluka berwarna hitam, sedikitpun tidak mengeluarkan darah,
menandakan belati ini sangat beracun. Bilamana dicabut jiwa segera melayang sedangkan kita
memerlukan sesuatu keterangan darinya !”
“Apakah jiwanya tak dapat ditolong ?”
Ciu Kong menggoyangkan kepala sambil mengeluh : “Ia sudah tua , lukanya begini berat,
susah menolongnya !”
“Semua ini akibat kelalaianku, ai….”
“Cepat-cepatlah tanyakan kepadanya apa yang ingin kau tahu !”
Tiong Giok menotok jalan darah kesadaran ditubuh jongos tua itu, dalam sekejap In Hok bisa
membuka matanya, ditatapnya majikannya dengan mata sayu. Air mata tuanya tampak
tergenang, mulutnya kemak kemik tapi tidak mengeluarkan suara sepatahpun. Melihat ini Ciu
Kong cepat-cepat melakukan totokan disebelah kiri dadanya. Dan membuat In Hok bisa
berkata-kata dengan perlahan. “Kongcu….lekaslah….”
“Berkatalah perlahan-lahan, penjahat itu sudah dibunuh, jangan kuatir lagi !”
In Hok menganggukkan kepala. “Aku tahu Lie Ma itu adalah utusan Pok Thian Pang yang
sengaja dikirim kesini untuk mengawasi kita.”
“Loya,” kata Ciu Kong, “waktu sangat sempit lekaslah katakana yang perlu saja !”
“Pergilah kekuburan, dan masuk kekupel kiri, ditiang ketiganya bagian bawah, terdapat
sebuah gelang kecil…” Tariklah tiga kali panjang sekali pendek…” Suaranya segera hilang
tak terdengar lagi.
“Siau cu jin lekaslah kesana, soal disini serahkan kepadaku !” desak Ciu Kong.
“In Hok adalah jongos yang setia, kuharapkan Lo Cianpwee bisa menolongnya….”
“Legakan hatimu akan kuusahakan sedapat mungkin !”
Dengan menyeka air mata, In Tiong Giok meninggalkan tempat itu, menuju ke perkuburan.
Dengan cepat ia telah sampai ditempat tujuan segera ia memeriksa tiang-tiang yang berada di
kupel itu, semuanya ada lima, dan benar saja disalah satu tiang itu terdapat sebuah gelanggelangan.
Ia menurut apa yang dikatakan In Hok, tiga kali menarik panjang dan sekali
menarik pendek. Baru pula ia melepaskan gelang-gelang itu, dibelakang tubuhnya
berkesiurlah angin dingin. Tapi secara reflek ia melakukan tangkisan dengan pedang Hong
hiat kiam. Begitu senjatanya bentrok dengan senjata sipembokong, tubuhnya sudah berbalik.
Nampaklah musuh membengong mengawasi senjatanya yang telah buntung. Sedangkan ia
sendiripun menjadi terbengong. “Engkau…..ah….” katanya tanpa disadari.
Kiranya entah sedari kapan pintu yang terdapat disamping kuburan telah terbuka, pembokong
itu keluar dari situ. Ia adalah seorang gadis berbaju merah, yang selalu menjadi buah pikiran
In Tiong Giok, yakni bukan lain dari Wan Jie adanya.
330
Wan Jie pun terperanjat melihat kekasihnya berada didepan mata, tanpa sadar ia mundurmundur
beberapa langkah “Engkau….engkau…..”
“Ya aku In Tiong Giok, Wan Jie lupakah kepadaku ?”
Setelah terpukau beberapa saat, Wan Jie segera sadar, pedangnya yang buntung dilemparkan,
tubuhnya maju melompat, masuk kedalam pelukan Tiong Giok, sedu sedannya segera
terdengar, “Kutahu engkau pasti pulang, dan benar saja dugaanku ini….” Suaranya terputusputus
isak tangisnya, ia tidak sedih melainkan rasa haru dan girang, membuatnya hujan air
mata.
Tiong Giok merasakan bahagia disaat itu, penuh omongan yang akan dikatakan, tapi tak tahu
harus dari bagian mana mulai pembicaraan. Sejenak mereka terbenam dalam kehangatan jiwa
remaja, tanpa berkata-kata.
“Wan Jie, baik-baikkah selama berpisah ?” akhirnya Tiong Giok membuka mulut.
Wan Jie tidak menjawab, ia lebih senang membenamkan dirinya semakin keras kedalam
pelukan kekasihnya.
“Wan Jie kenapa engkau berada disini ?”
“Aku sudah setahun tinggal disini, menantikan kedatanganmu !”
“Setahun lebih diam didalam kuburan ?”
Wan Jie menganggukkan kepala, “Bagaimana kau tahu aku disini, tentu In Hok yang
memberitahu bukan ?”
“Hanya memberitahu soal menarik gelang-gelangan itu, dan tidak mengatakan engkau berada
disini !”
“Pantasan kudengar bel berbunyi tiga kali panjang sekali pendek, tapi waktu kubuka pintu
kuburan bukan In Hok yang menarik bel, hampir-hampir aku melukaimu !” kata Wan Jie.
“Apa lagi yang dikatakan In Hok ?”
“Tidak ada lagi, hanya mengatakan itu saja” jawab In Tiong Giok. “Senja ini aku baru sampai
dirumah, tak kira beberapa jam dirumah, In Hok sudah dilukai kaum Pok Thian Pang, didalam
keadaan luka parah itu ia menyuruhku cepat-cepat kemari.”
“Jika begitu jangan mengobrol saja disini, kemarilah kuperlihatkan seseorang padamu.”
“Siapakah dia ?”
“Setelah bertemu engkau akan tahu sendiri,” jawab Wan Jie seraya melepaskan diri dari
pelukan kekasihnya dan cepat-cepat menuntun Tiong Giok kepintu kuburan. Biarpun diliputi
rasa herannya, Tiong Giok tidak menanya ini dan itu, ia mengikuti saja kehendak kekasihnya
itu. Saat mereka mau masuk, tiba-tiba terdengar suara dari belakang. Mereka kaget dan
berpaling dengan berbareng. Tampak dua gadis berbaju kuning dan seorang lelaki berbaju
331
hijau menghampiri mereka. Gadis-gadis itu segera memberi hormat kepada Wan Jie dan
bertekuk lutut.
“Oooh…..kiranya engkau berdua !” seru In Tiong Giok tanpa terasa.
“Ya,” jawab gadis-gadis itu, “kami ini adalah Siau Hong dan Siau Eng !”
Sedangkan lelaki itu dengan sedekap tangan memberi hormat. “Wan Kounio, kenalkah aku ?”
Wan Jie dengan wajah tak senang berkata acuh, “kiranya Lie Cit Long, melihat dandananmu
ini agaknya engkau naik pangkat bukan ?”
“Berkat rejeki dari Wan Kounio, aku dijadikan ketua ranting di Ngo Liu Cung !”
“Apa maksud kedatanganmu kesini ? Mau memaksaku pulang ?”
“Kami tak berani menyuruh Kounio pulang,” kata Siau Hong, “tapi sedang menjalankan tugas
dari Lo Cucong agar Kounio kembali !”
“Ya, persoalan memang tak seberapa,” sambung Lie Cit Long. “Bilamana Wan Kounio tidak
mau menikah dengan Siau Pangcu, apa salahnya memberi tahu pada Lo Cucong dan tidak
usah kabur-kaburan bukan ?”
“Engkau memberi nasehat atau ngejek ?”
“Aku mana berani memberi nasehat ataupun mengejek, aku mengatakan apa yang terkandung
didalam hatiku,” kata Lie Cit Long, “Karena Wan Kounio sangat disayang oleh Lo Cucong
maupun Pangcu, segala kesalahan kecil itu tentu bisa dimaafkan dan tak usah Kounio kabur
dari sana !”
“Memang benar, sejak kecil aku dibesarkan oleh mereka, andaikata mereka menyuruh aku
mati akupun tak membangkang, tetapi kalu menyuruh kawin dengan orang yang tidak kusukai
akibatnya begini, kutinggalkan mereka !”
“Kini Lo Cucong sudah menyesal, menghendaki Kounio pulang !”
“Kukenal betul watak Lo Cucong, tak ada menyesal, maka tak perlu kau membujukku !”
“Kounio….!” Seru Siau Eng dan Siau Hong dengan berbareng.
“Sudahlah jangan mendesakku,” kata Wan Jie, “antara aku dan kalian namanya saja nona dan
pelayan, sebenarnya melebihi saudara kandung sendiri. Aku tak mau menyusahkan kalian dan
kumohon kalian pun jangan mendesakku.”
“Kounio memperlakukan kami begitu baik, maka ada beberapa patah yang bagaimanapun
harus kami katakana. Yakni Lo Cucong telah mengeluarkan pengumuman, jika Kounio tidak
mau pulang lagi, akan dianggap sebagai pengkhianat ! Coba pikirkan.”
“Maksud kalian bila aku tidak ingin pulang akan dilakukan dengan kekerasan ?”
332
“Kami ini mana berani !” kata Siau Eng dan Siau Hong seraya mundur beberapa langkah dan
bertekuk lutut, “kami mohon Kounio diharap kembali. Hanya itu.”
Wan Jie jadi melongo menghadapi kedua pelayan yang setia itu.
“Kenapa Lo Cucong mengetahui aku disini ?”
“Sejujurnya tidak ada seorang anggota Pok Thian Pang yang tahu Kounio berada disini,” kata
Siau Eng. “Tapi orang-orang Ngo Liu Cung selalu memasang mata, begitu In kongcu masuk
kedaerah Ek ciu mereka segera memberi laporan kepusat. Pangcu beserta kami segera
menyusul kemari.”
“Apakah suhukupun datang ?”
“Benar,” jawab Lie Cit Long,”beliau berada di Ngo Liu Cung !”
Wan Jie menarik napas, wajahnya berubah pucat, dan tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Matanya memandang pada In Tiong Giok dan pintu kuburan, begitu sayu dan berkaca-kaca.
Sesaat telah berlalu ia baru membuka mulut, “Jika suhuku sudah datang, segera kutemuinya,
sekarang kuminta kalian pulang dulu, besok baru kutemuinya !”
“Terima kasih atas kesediaan Kounio,” kata Siau Hong dan Siau Eng sambil bertekuk lutut.
“Pergilah !” seru Wan Jie. Kedua pelayan itu bangkit dari tanah dan memberi hormat lagi, Lie
Cit Long pun mengucapkan terima kasih baru berlalu.
“Wan Jie apakah benar engkau akan kembali ke Pok Thian Pang ?” tanya In Tiong Giok.
“Sungguhpun aku tak mau, dalam keadaan begini harus mau juga !”
“Bagaimana aku akan mencegah engkau kembali kesana !”
“Baiklah,” kata Wan Jie, “setahun lebih kutunggu engkau kembali, banyak soal yang akan
dibicarakan, marilah turut denganku !” Terus diajaknya Tiong Giok masuk kedalam kuburan.
Begitu pintu ditutup lagi, keadaan sangat gelap gulita.
Wan Jie menyalakan lampu pelita dan mengangkatnya tinggi-tinggi. “Jangan bersuara dan
jalan perlahan-lahan, orang tua itu entah sudah bangun entah belum, tak baik
mengganggunya.”
“Siapa orang itu ?”
Wan Jie tak menjawab, ia menuntun Tiong Giok menghampiri dua peti mati. Kuburan ini
cukup luas, bagi mereka cukup leluasa untuk bergerak. Wan Jie menghampiri kesalah satu
peti, dan mengangkat tutupnya dengan mudah. Tiong Giok melongok kedalamnya, ia tidak
mendapatkan jenazah orang tuanya, peti itu kosong melompong. Dan merupakan sebuah jalan
rahasia yang berbentuk terowongan dibawah tanah.
“Apakah peti yang satu ini kosong juga ?” tanya Tiong Giok.
333
“Tidak !” jawab Wan Jie, “itu peti ayahmu !”
“Lalu kemanakah jenazah ibuku ?”
“Sebenarnya inilah peti ibumu, kini sudah dipindahkan kekamar rahasia yang berada didalam
tanah.”
“Kenapa engkau memindahkan jenazah ibuku ?”
Wan Jie tidak menjawab, ia melangkah masuk kedalam peeti itu, Tiong Giok mengikuti dari
belakang. Terowongan itu, bertangga yang menurun kedalam tanah. Setelah melalui tangga
itu, mereka harus melalui terowongan pendek, dari sini masuk kesebelah pelita kecil. Wan Jie
menggantungkan pelitanya. Mendapatkan bahwa kamar itu terdiri dari dua ruangan, depan
dan belakang. Ruangan depan dijadikan sebagai ruang tamu, sedang ruang belakang
berhorden dan dijadikan kamar tidur.
“Duduk dulu,” kata Wan Jie dengan perlahan.
“Wan Jie siapa yang sedang tidur itu ?”
“Kecuali ibumu, ada siapa lagi ?”
“Tidakkah ibuku sudah meninggal dunia ?”
“Kuminta jangan keras-keras, nanti ibumu kaget !”
“Aku ingin melihatnya, apakah ibuku itu masih hidup atau sudah mati ! Kuminta engkau
jangan bergurau !”
“Wan Jie siapa yang bicara ?” tiba-tiba dari kamar tidur itu terdengar suara parau.
“Ini gara-garamu membuatnya terbangun !” kata Wan Jie, “Ibu sudah bangun ?”
Tiong Giok tidak bisa menahan emosi lagi, ia mendahului Wan Jie masuk kekamar dan terus
memanggil-manggil. “Ibu ! Ibu, aku sudah kembali !”
Dikamar itu terdapat sebuah balai, yang dibaringi seorang tua berambut putih, “Oh Tiong
Giok…… engkau telah kembali……!”
Tiong Giok segera merangkul ibunya. “Ya bu anakmu yang berdosa dan tak berbakti ini telah
kembali.”
“Akhirnya engkau kembali juga nak,” kata orang tua itu sambil mengusap-usap kepala
anaknya dengan penuh kasih sayang.
“Bu, kenapa dengan matamu ini ?” tegur Tiong Giok dengan kaget, karena melihat ibunya
seperti tidak melihat dirinya saja.
334
Pertanyaan ini membuat orang tua itu tersenyum sambil menangis, “Tidak kenapa-napa !
Tadinya memang sudah berpenyakitan, ditambah menangis saja pad hari-hari belakangan ini,
sehingga tidak melihat lagi !”
Tiong Giok menjadi sedih, dirangkulnya ibunya erat-erat sambil menangis dengan kerasnya.
Ibu dan anak bertangis-tangisan menjadi satu membuat Wan Jie turut menangis…..mereka
menangis sepuas-puasnya ! Akhirnya Wan Jie juga yang sadar terlebih dahulu, didorongnya
Tiong Giok dengan perlahan dan dibisikinya. “Jangan menangis, tak baik membuat ibu
bersedih, kita harus membuatnya senang !”
“Tiga tahun kutinggalkan rumah tak kusangka keadaan yang tenang dan tenteram jadi
berantakan begini tragis ! Untung Tuhan masih mengasihani, masih dapat bertemu dengan
ibu, kalau tidak, entah bagaimana perasaan hatiku ini ! Aku anak durhaka dan berdosa pada
orang tua !”
“Karena Wan Jie aku bisa hidup sampai sekarang….ketahuilah dia telah kujadikan anak
angkat !”
“Kebaikan dari Wan Jie takkan kulupakan untuk selama-lamanya !” kata Tiong Giok. “Ibu
dapatkah menceritakan apa yang telah terjadi, sewaktu aku tak dirumah ?”
“Sejak engkau meninggalkan rumah dan pergi ke markas Pok Thian Pang, siang dan malam
membuat kami bersedih dan kuatir, ayahmu sampai sakit dan tak bisa bangun dari ranjang.
Sewaktu akan meninggal dunia, Wan Jie datang kemari, darinya kami mengetahui bahwa
engkau telah meloloskan diri dari sarang Pok Thian Pang. Hal ini membuat kami bersuka tapi
membuat kami cemas juga, karena orang-orang Pok Thian Pang datang kesini untuk
mencelakakan kami. Untung Wan Jie sangat pandai, ia memberikan aku obat pulas selama
lima hari lima malam dan mennyuruh In Hok membuat kuburan istimewa. Waktu ayahmu
meninggal, ia mengatakan akupun meninggal dunia sehingga orang-orang Pok Thian Pang
kena dikelabui. Sungguhpun begitu waktu jenazah kami dimasukkan kedalam peti, orangorang
Pok Thian Pang pada banyak yang datang untuk mencek benar tidaknya tentang
kematian kami ini. Untunglah mereka kena ditipu. Dan sejak itu kami bersembunyi didalam
kuburan ini, sedangkan soal makan dan lain-lain, In Hok yang melakukan dengan diam-diam.
Disamping melewatkan hari, kamipun sangat mengharapkan engkau kembali, nyatanya
harapan kami tidak sia-sia, kau benar-benar kembali. Andaikata tiada Wan Jie mungkin aku
sudah mati, atas ini engkau harus berterima kasih kepadanya.”
“Ibu untuk apa mengatakan begitu, membuat aku malu saja !” kata Wan Jie.
“Kuingat waktu berada dimarkas Pok Thian Pang jika tidak ada Wan Jie akupun mungkin
sudah mati ! Budi ini sangat besar sekali dan belum bisa kubalas, kini ditambah lagi dengan
soal ibu, budi itu bertambah tebal dan entah bagaimana harus kubalas…..”
“Engkau jangan mengatakan begitu, sejak aku meninggalkan markas Pok Thian Pang tidak
mempunyai rumah, untung ibumu mau mengaku anak kepadaku dan membuat aku
mempunyai tempat tinggal, atas ini seharusnya akulah yang menghaturkan terima kasih
kepada keluargamu !”
335
“Jika tidak kau sebutkan aku sampai lupa bertanya….” Kata In Tiong Giok sendiri tersenyum
meringis. “Dengar-dengar engkau telah menikah dengan Pek Suhengmu bukan ? Kemudian
kenapa engkau melarikan diri dari sana ?”
“Hm untuk apa bertanya soal itu ?”
“Ingin tahu saja memang kenapa ? Katanya Pek Kiam Hong pun turut kabur bersamamu
bukan ?”
“Untukku ? Memang kenapa ?”
“Pek Suheng adalah orang aneh, sejak kecil tidak mempunyai seorang sahabatpun ! Tapi sejak
kenal denganmu tabiatnya banyak berubah dan menganggap engkaulah satu-satunya sahabat
yang mengerti keadaan dirinya. Karena inilah waktu kami dinikahkan, bukan saja tak setuju ia
pun menentangnya dengan keras, karena ia tahu bahwa aku. Untuk inilah kami minggat dari
sana !”
“Kini dimana ia berada ?”
“Entahlah ! Kami sudah lama berpisah satu sama lain, gara-gara ketemu tong teng cit kiam
ditelaga See Ouw !”
Sebenarnya ia anak yang baik, dikarenakan suasana yang menekan, membuatnya menjadi
manusia aneh ! Bilamana bertemu lagi aku harus bergaul terlebih rapat dengannya.”
Wan Jie menarik napas perlahan, penuh kedukaan. “Kupikir, sebaiknya engkau jangan
bergaul terlalu rapat dengannya.”
“Memang kenapa ?”
“Apakah engkau lupa dengan tanda luka dipunggungmu ?”
“Didunia ini banyak yang mempunyai tanda luka dipunggungnya, kebetulan akupun memiliki
tanda ini, mana boleh ditentukan begitu saja sebagai musuhnya ?”
“Ini bukan kebetulan ! Dirimu pasti bersangkutan dengan kematian ayahnya Pek Suheng.”
“Kudengar sendiri Pek Kiam Hong mengatakan ayahnya dibunuh seorang jago silat;
sedangkan ayahku bukan ahli silat, jika tidak percaya, tanyakanlah pada ibuku…..”
“Justru karena sudah menanyakan hal ini kepada ibumu, aku baru berani mengatakan begitu
!”
In Tiong Giok menoleh kepada ibunya dengan wajah bertanya-tanya. Sebelum ia menanya,
ibunya telah menganggukkan kepala membenarkan Wan Jie. “Sedikitpun tidak salah,” kata
orang tua itu.
Tiong Giok semakin heran, seolah-olah ia tak percaya pada pendengarannya sendiri. “Apakah
ayah pandai bersilat ?” tegurnya dengan heran.
336
“Tidak !”
“Lalu kenapa ayah bisa membunuh orang Kang Ouw ?”
Sang ibu tidak menjawab, ia menyuruh Wan Jie mengambil sesuatu benda dari lemari. Sang
gadis dengan cepat telah mengambil suatu kas kecil dari lemari. Orang tua itu menyambut kas
itu dengan lengan bergetar, air matanyapun entah bagaimana menetes turun. “Tiong Giok
dengarkan baik-baik ceritaku, jangan kaget, jangan pula sedih, kejadian ini lambat laun harus
engkau ketahui juga……”
“Apakah yang ibu akan katakana ? Dan apa pula isinya kas ini ?”
“Kas ini berisi suatu rahasia besar tentang dirimu ! Selama belasan tahun kurahasiakan, kini
kurasa sudah tiba saatnya untuk kau ketahui semua itu ! Tapi sebelum kubuka rahasia ini,
sebaiknya engkau perhatikan isinya kas ini !” Segera ia membuka kas itu. Dengan cepat Tiong
Giok melongok kedalamnya, ia melihat kerudung bayi yang sudah lapuk dan bernoda darah
serta pakaian anak kecil yang berdarah juga. “Apa artinya benda-benda ini bu ?”
“Coba kau jembreng dan kau perhatikan baju kecil ini !”
Tiong Giok membuka baju kecil itu, tampak digabian pundak kirinya robek, dan dibagian
dalamnya tersulam dua huruf kecil berbunyi Sian Gan.
“Baju kecil ini satu-satunya bukti yang menyangkut tentang rahasia dirimu, sedangkan dua
huruf Sian Gan itu, dapat dijadikan unsure untuk engkau mencari ibu kandungmu…….”
“Ibu, maksudmu aku ini……”
“Ya, engkau bukan she In, engkau hanya sebagai anak pungut kami !”
“Ibu………” seru Tiong Giok dengan nada gemetar.
“Tiong Giok tenanglah !” pinta Wan Jie.
Tiong Giok menggeleng-gelengkan kepalanya, air matanya mengembang dikelopak matanya.
“Tidak ! Semua ini bohong ! Bohong !”
Jilid 17 .....
Sang Ibu dengan lengan tuanya mengusap-usap pipi anaknya dengan penuh kasih sayang.
“Anakku semua ini benar adanya ! Selama belasan tahun engkau kami rawat, dengan rasa
penuh kasih sayang. Disamping itu kami berdoa agar kelak engkau bisa menemukan orang
tuamu yang sejati…..engkau mungkin belum mengerti apa yang terjadi akan dirimu
ini……baiklah kututurkan bagaimana aku menemuimu. Tujuh belas tahun yang lalu, diawal
musim semi, air sungai yang beku mulai berair, sedangkan tanggul-tanggul sungai banyak
yang rusak, akibatnya akan timbul bahaya banjir. Penduduk kampung bergotong royong dan
bermusyawarah untuk mengatasi bencana yang tidak diinginkan itu, demikian pula dengan
ayahmu sering pergi bermusyawarah ke kabupaten. Pada suatu hari, diperjalanan pulang. Ia
melihat sebuah kas kayu yang terumbang ambing di atas sungai. Entah bagaimana
337
perhatiannya sangat tertarik dengan kas itu, dan disuruhnya tukang perahu mengambilnya.
Begitu dibuka kas itu, ia menjadi melongo, karena didalamnya terlihat anak kecil berusia
setahun lebih, penuh dengan darah. Mula pertama orang-orang yang melihat kejadian ini,
menganggap anak itu sudah mati. Tapi setelah dipeeriksa dengan cermat, nyatanya anak itu
masih bernyawa. Ayahmu segera membawa pulang, dan memanggil tabib mengobati anak
kecil yang malang itu. Sebulan kemudian anak itu sudah sehat walafiat. Ia sangat mungil dan
manis, siapapun senang kepadanya. Lagi pula kami yang berusia hampir setengah baya belum
dikaruniakan barang seorang anak, begitu mandapatkan anak ini, bukan buatan girangnya dan
bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tiong Giok seperti mimpi mendengar perkataan ibunya itu, sedangkan air matanya mengalir
terus tanpa dirasa.
“Kecuali keredong dan pakaian yang menempel ditubuhmu di dalam kas itu tidak terdapat
benda lainnya lagi, sehingga kami hanya bisa menduga bahwa keluargamu ketemu perampok
dan teraniaya…..”
“Bilamana orang tuaku itu mati, siapa pula yang menaruhku kedalam kas itu ?”
“Sukar diketahui !” jawab ibunya. “Untuk menyelidiki siapa sebenarnya engkau ini, ayahmu
telah pergi menyusuri sungai ratusan lie jauhnya, menanyakan kepada penduduk disekitar
situ, kalau-kalau mengetahui siapa yang menghanyutkan anak itu. Tapi tidak ada seorangpun
yang tahu ! Memang sangat aneh dan sukar dimengerti, bilamana ayahmu terbunuh kaum
perampok, siapa yang menghanyutkan engkau kekali ? Bilamana ayahmu tidak terampok,
kenapa engkau kecil-kecil sudah luka parah ? Dan yang mengherankan, disekitar situ tidak
terdengar adanya perampokan maupun pembunuhan….”
“Ibu, atas pertolongan ayah dan rawatanmu aku menjadi dewasa, tapi aku tidak bisa
membalas guna, meninggalkan rumah, membuat ayah dan ibu bersedih; bahkan
mendatangkan bencana dari kaum Pok Thian Pang, semua adalah dosa ! Oh…..ibu ampunilah
anakmu yang tidak berbakti ini !”
“Anak yang baik, janganlah berkata sedungu itu ! Soal umur ada ditangan yang maha kuasa,
ayahmu sudah tua, sudah seharusnya kembali kedunia baka. Tak perlu engkau sesalkan !
Yang membuat kami sedih, selama ini belum bisa melihat engkau berkumpul dengan orang
tua kandungmu !”
“Ibu kenapa mengatakan soal yang menyedihkan saja ,” Wan Jie turut bersuara. “Kini Tiong
Giok sudah kembali soal orang tuanya itu mudah diketahui ! Lagi pula bilamana ia kembali
kepangkuan orang tuanya ibu tak perlu berkecil hati, masih ada aku yang bisa merawatmu.”
Orang tua itu tersenyum meringis. “Engkau salah mengartikan kata-kataku, aku bukannya
sombong, pikiranku tidak sesempit itu. Bukan saja bersedih jika Tiong Giok kembali
kepangkuan ibu kandungnya malahan girang !”
“Cuma saja kemana harus mencari orang tuanya itu ?”
“Kupikir soalnya mudah sekali,” kata Wan Jie. “Soalnya ialah ditanda luka itu, kuyakin betul
berhubungan dengan dendam Pek Suheng. Soal ini dapat kuketahui dari Suhuku atau Lo
Cucong.”
338
“Andaikata benar begitu, mungkin kita menanyakan pada mereka ?” kata Tiong Giok.
“Tak usah menanyakan pada mereka, kita bisa menanyakan pada orang lain !”
“Makdusmu menanyakan pada Pek Kiam Hong ?”
“Bukan ! Coba kau pikir, banyak jago-jago Bulim yang mengetahui rahasia Pek Suheng
bukan ? Coba-coba kau pikir……”
“Benar ! Dari dirinya Pek Kiam Hong banyak soal aneh-aneh !” kata Tiong Giok. “Tong Cian
Lie mengasingkan diri, orang-orang Tiat Po tak berani berbuat apa-apa pada Pok Thian
Pang……semuanya ini menyangkut dengan Pek Kiam Hong.”
“Heran bukan ? Sampai jago-jago itu rela tunduk pada Pok Thian Pang, karena soal Pek
Suheng ? Bukan itu saja merekapun tutup mulut tak berani mengatakan apa-apa kepada
siapapun.”
“Jika kuminta Tong Cian Lie akan menuturkan soal ini.”
“Engkau yakin betul pada dirimu ?”
“Aku bersahabat baik dengannya, dan ia telah memberikan buku Lui tiap padaku, kuyakin ia
akan memberi tahu. Bagaimana kalau besok kita bawa ibu ke Kiu Yang Shia, selanjutnya tak
kuatir orang-orang Pok Thian Pang mengganggunya lagi.”
“Cara ini memang baik, tapi perjalanan sangat jauh, sedangkan kedua mata ibumu sudah tak
bisa melihat, banyak berabenya.”
“Hal ini tak perlu dikuatirkan….”
“Kalau begitu soal ibu ini kuserahkan padamu….”
“Apakah dengan penyerahan ini, engkau mau pulang ke Pok Thian Pang ?”
“Aku hanya ingin menemukan guruku saja, dan tidak pergi ke markas pusat Pok Thian Pang
!”
“Kuharapkan engkau bisa mengurungkan niatmu itu,” bujuk In Tiong Giok. “Sekali engkau
berada ditangan mereka, pasti akan memaksamu kembali ke pusat.”
“Guruku sangat sayang padaku, kuyakin ia tak mau mendesakku kembali ke pusat.”
“Tapi engkau lupa, bahwa gurumu biarpun menjadi Pangcu, tidak berkuasa ! Yang berkuasa
adalah Lo Cucong.”
“Sejak kecil aku dirawat dan dibesarkan Pek Cin Nio, namanya guru dan murid, padahal
hubungan kami tak ubahnya seperti anak dan ibu…..Tambahan aku sudah menjanjikan
mereka untuk ke Ngo Liu Cung. Dalam hal ini kuminta engkau mengerti kesulitanku.”
339
“biar bagaimanapun aku melarangmu kembali kemulut macan ! Jika engkau mau pergi juga
kesana, baiklah akupun turut serta !”
“Hm ! Engkau rela meninggalkan ibumu ?”
“Soal ibu dapat kuminta Ciu dan Yauw Lo Cianpwee yang mengurus sampai ke Kiu Yang
Shia, kita menyusul belakangan !”
“Engkau tidak mengerti, Lie Cit Long sudah mengetahui diriku berada disini, sudah pasti tak
gampang pergi begitu saja ! Kuyakin sekitar ini sudah penuh dengan jago-jago Pok Thian
Pang, bilamana aku berkeras tak pergi menemui guruku, bisa-bisa membuat kalian susah
sendiri. Mengertikah maksudku ?”
“Ha ha ha, engkau jangan menyamakan In Tiong Giok yang dulu dengan sekarang ! Baru
beberapa jago-jago begitu, sedikitpun tidak kupandang sebelah mata !”
“Mungkin selama berpisah ini, engkau memperoleh ilmu yang luar biasa ?”
“Bukan sombong, selama satu tahun telah kupelajari Thian liong dengan baik, kukira ilmu itu
cukup kuat untuk melindungi engkau dan ibuku !”
“Oh….benar ! Kupercaya keteranganmu, karena waktu kuserang tadi, engkau bisa menangkis
dan mematahkan pedangku !”
“Kepatahan pedangmu, bukan disebabkan kelihayan ilmuku.”
“Habis karena apa ?”
“Karena pedang pusaka ini !” jawab Tiong Giok. “Wan Jie, sekarang engkau percaya akan
ketangguhanku bukan ?”
“Ya kupercaya sepenuhnya, karena bukan saja kepandaianmu sudah tinggi, juga memiliki
pedang pusaka !”
“Kalau begitu niatmu ke Ngo Liu Cung menjadi batal bukan ?”
“Aku bisa membatalkan niatku, tapi sebelum itu engkau harus meluluskan dua
permintaanku.”
“Katakanlah apa permintaanmu itu !”
“Kesatu engkau harus memaklumi, bahwa diriku ini dibesarkan oleh orang-orang Pok Thian
Pang, bagaimanapun aku tak bisa berkhianat pada mereka.”
“Engkau seorang yang mengenal budi, sudah tentu permintaanmu ini kululusi, dan yang satu
lagi ?”
“Yang kedua, kuharap engkau berlaku murah jika berkelahi dengan guruku !”
“Itu mudah ! Nah bersiap-siaplah untuk berangkat !”
340
Dikamar itu memang tak ada perabotan yang bisa dibawa, Wan Jie hanya membundel pakaian
sehari-hari. “Hayolah kita berangkat !”
“Ibu tak bisa berjalan sendiri, marilah kugendong !” kata Tiong Giok.
“Sebaiknya aku yang menggendong ! Dengan begini kalau ketemu musuh engkau bisa
melawannya !” Tanpa menunggu jawaban dari Tiong Giok, Wan Jie segera menggendong
orang tua itu. Baru saja berjalan beberapa langkah, tiba-tiba terdengar bel berbunyi, tiga kali
panjang sekali pendek, “Siapa yang mengebel ?” tanya Wan Jie.
“Mungkin Ciu Lo Cianpwee, biar kubukakan pintu, dan kau tunggu dulu disini !” kata Tiong
Giok yang terus berlari keluar. Begitu ia membuka pintu kuburan, tampak seseorang sedang
langak longok di pintu kuburan, orang itu adalah Toa Gu adanya, tentu saja membuat Tiong
Giok heran. “Toa Gu ada keperluan apa kau kemari ?” Toa Gu menjadi kaget, tapi begitu
mengenali yang menanya itu Tiong Giok adanya, ia tersenyum-senyum sambil menepaknepak
dada. “Aduh, membuatku kaget saja ! Siau cu jin apa-apaan bersembunyi didalam
kuburan ?”
Tiong Giok tak menjelaskan atas keheranan sitolol, malahan lantas bertanya : “Siapa yang
menyuruhmu kesini ?”
“Ciu Lo Cianpwee yang menyuruh !” jawab Toa Gu. “Katanya disekitar rumah penuh dengan
musuh-musuh, apakah perlu dihajar atay bagaimana itu terserah pada Siau cu jin !”
“Berapa banyak musuh-musuh itu ?”
“Keadaan gelap tak bisa melihat tegas, pokoknya banyak !”
“Apakah mereka sudah masuk kerumah ?”
“Buh….kalau sudah masuk kerumah sih sudah beres, dan tak perlu menanya Siau cu jin lagi
!”
“Baiklah, beri tahu Ciu Lo Cianpwee jangan ladeni musuh-musuh itu. Dan minta semuanya
datang kemari !”
Toa Gu segera berlalu.
Saat ini Wan Jie yang menggendong ibunya Tiong Giok telah sampai diluar kuburan.
“Bagaimana ada apa ?” tanyanya.
“Gurumu sudah mengepalai anak buahnya melakukan pengepungan pada rumahku, biar
bagaimana perkelahian tak bisa dihindarkan lagi !”
“Ah, kenapa guruku berlaku begini ?”
“Sedapat mungkin kita hindarkan eprkelahian, kalau terpaksa baru melawan !” jawab Tiong
Giok.
341
“Sebaiknya sabarlah dan jangan membunuh orang,” kata ibunya Tiong Giok.
Tak selang lama Ciu Ceng Ceng tampak datang, ia menggendong Tio Ma, disusul oleh Ciu
Kong yang membawa tubuh In Hok.
“Aku berusaha sedapat-dapatnya, tapi racun ini telah membuatnya mati…..” kata Ciu Kong.
Tiong Giok mengulapkan tangan, jangan sampai Ciu Kong berkata terus dan didengar ibunya.
Ia mengangkat tubuh In Hok dan membawanya kedalam kuburan. Dan diletakkan pada peti
kosong, setelah itu ia bertekuk lutut sambil berdoa : “Semoga arwahmu diterima dialam baka
dalam ketenangan, dan kuhaturkan hormatku yang terakhir sebagai tanda terima kasihku yang
tak terhingga. Kini dalam keadaan bahaya aku tak bisa melakukan upacara penguburan
sebagaimana layaknya, tapi setelah segala urusan beres, jenazahmu akan dikebumikan secara
wajar.”
Ia bangun dan keluar darai kuburan, diliputi kesedihan yang tak alang kepalang.
“Keadaan sangat genting sekali, Siau cu jin menitahkan kami meninggalkan rumah,
selanjutnya langkah apa yang harus kutempuh ?” tanya Ciu Kong.
“Untuk meninggalkan tempat ini, kita harus menjadi dua rombongan yang berpisah. Satu
mengambil jalan biasa untuk memancing musuh pergi, satu rombongan lagi mengambil jalan
pegunungan yang bisa sampai diluar daerah Ek Ciu. Tujuh hari kemudian kita bisa berkumpul
lagi dikota Lam Ciong dan terus ke Kiu Yang Shia.
“Nah sekarang saja Siau cu jin atur orang-orang kita ini !”
In Tiong Giok berpikir sejenak. “Wan Jie dan Ceng Ceng ikut denganku mengambil jalan
gunung, sedangkan Lo Cianpwee dan Toa Gu mengambil jalan besar !”
Tiong Giok sengaja menempatkan kedua gadis itu turut dengannya, kesatu Wan Jie tidak bisa
terang-terangan menghadapi kaum Pok Thian Pang, kedua gadis itu dibutuhkan menggendong
Tio Ma dan ibunya sendiri. Ketiga Ciu Kong yang ditugaskan memancing musuh, tanpa
dibebani kaum lemah, bisa bergerak bebas.
Sebaliknya Ciu Kong menguatirkan keselamatan Siau cu jin, maka itu mendengar keputusan
ini, alisnya jadi berkerut : “Siau cu jin sebagai Ciang bun jin dari Thian liong pay, bilamana
memisahkan diri dari kami, rasa kuatir itu tak bisa hilang, sebaiknya salah satu diantara aku
atau Yauw heng, mengikuti Siau cu jin.”
“Tidak usah !” kata Tiong Giok. “Tujuanku mengambil jalan kecil ini, untuk menghindarkan
mata-mata musuh, bilamana terlalu banyak orang mudah diketahui mereka. Dan andaikata
masih juga dipergoki musuh, kepandaianku masih cukup menghadapi mereka !”
Ciu Kong tidak mengatakan apa-apa lagi, ia melirik pada anaknya sambil memesan dengan
wanti-wanti : “Berlaku rangkas dan cermatlah di perjalanan, bila terjadi apa-apa pada diri
Siau cu jin , jangan harap bertemu muka lagi.”
“Idih ! Tia tia bisanya memarahi aku saja,” kata Ceng Ceng.
342
Tiong Giok tersenyum dan mengangkat tangan, menyetop pembicaraan antara Ceng Ceng dan
ayahnya. “Sekarang sudah eaktunya kita berpisahan !”
Ciu Kong dan Yauw Kian Cee masing-masing memegang sebelah tangan Toa Gu terus
berlalu di dalam kegelapan malam.
Belum selang lama berangkat, dari balik gunung terlihat panah api menerangi jagat raya.
Tiong Giok tahu itulah tanda rahasia orang-orang Pok Thian Pang. Dengan padamnya panah
api itu terdengar pekikan di empat penjuru memburu kearah Ciu Kong dan kawan-kawannya
melarikan diri.
Tiong Giok tersenyum melihat siasatnya memancing musuh berhasil dengan baik. Cepatcepat
diajaknya Wan Jie yang menggendong ibunya dan Ciu Ceng Ceng yang menggendong
Tio Ma meninggalkan tempat itu. Kedua orang tua itu masing-masing tidur dengan
nyenyaknya diatas gendongan. Karena sudah ditotok urat tidurnya. Mereka mengambil jalan
gunung yang berliku-liku.
“Jalanan ini bisa menembus kedaerah Tong San tanpa melalui Ek Ciu atau Ngo Liu Cung,
jika kita berhasil sampai disana, tidak kuatir lagi terkejar orang Pok Thian Pang !” kata Tiong
Giok.
Setelah mereka melalui belasan lie jauhnya, jalanan gunung semakin menanjak, dan
memasuki sebuah jalanan sempit yang dihimpit tebing kiri kanannya. “Jalanan ini hanya satu
lie panjangnya, tapi merupakan tempat yang paling berbahaya, maka itu aku minta kalian
mengaso sulu sebelum melalui kalan ini !” kata Tiong Giok.
“Aku tak merasa letih,” kata Ciu Ceng Ceng, “aku pikir sebaiknya kita lekas lalui jalan ini
lebih baik bukan ?”
“Wan Jie bagaimana denganmu, letihkah ?” tanya Tiong Giok.
“Tidak !” jawab Wan Jie.
“Baiklah kalau begitu tidak usah kita beristirahat lagi !” kata Tiong Giok. Ia memberikan
pedang Lie hwee kiam pada Ceng Ceng, “Engkau berjaga di paling belakang, Wan Jie
ditengah, aku didepan !”
Padahal Wan Jie sudah letih sekali, tetapi ia tak mau kalah oleh Ceng Ceng. Biarpun di dalam
hatinya mengetahui anak gadis yang sebaya dengannya itu memiliki kepandaian yang bila
dibandingkan lebih tinggi darinya. Ia memaksakan diri mengikuti Tiong Giok masuk kejalan
sempit yang berbahaya itu dengan termegap-megap. Disamping itu ia sangat memperhatikan
bahwa Tiong Giok begitu telaten sekali pada Ceng Ceng, mau tak mau perasaan cemburu
timbul didalam hatinya. Sehingga tanpa disadari lagi, mendatangkan duka pada dirinya.
Sedangkan Ceng Ceng yang sejak kecil dibesarkan oleh Ciu Kong sudah biasa berjalan
dipegunungan, tambahan ilmunyapun cukup tinggi, perjalanan itu memang benar-benar tidak
membuatnya letih barang sedikitpun. Wan Jie yang sejak kecil mempelajari silat dibawah
asuhan Pek Cin Nio, biar terhitung seorang jago, tetap belum bisa menandingi Ceng Ceng.
343
Belum lama mereka berjalan, Wan Jie sudah kepayahan, Ceng Ceng yang berada
dibelakangnya mengetahui kesemua ini. “Wan Kounio bagaimana ? Sudah letihkah ? Mari
kubantu !”
Nyatanya Wan Jie sudah lemas sekali, sebelum mendapat bantuan dari Ceng Ceng, tubuhnya
telah limbung dan jatuh duduk dengan mendadak.
“Wan Jie engkau kenapa ?” tanya Tiong Giok.
“Wan Kounio kecapaian sehingga jatuh,” jawab Ceng Ceng dari belakang.
“Kalau begitu kita beristirahat dulu disini,” kata Tiong Giok.
Ciu Ceng Ceng yang tidak tahu apa-apa membuka mulut lagi. “Mana boleh kita beristirahat
ditempat berbahaya ini, biar bagaimana kita harus keluar dulu dari sini baru istirahat.”
Tanpa memperdulikan orang, Wan Jie melepaskan ibu angkatnya dari punggungnya.
“Tiong Giok lekaslah engkau bawa ibu keluar dari jalan berbahaya ini. Dan biarkan aku
disini….”
“Wan Jie memang kenapa ? Bagaimanapun kita harus sama-sama senang dan sama-sama
menderita !”
“Sebenarnya tak pantas aku turut denganmu karena merupakan beban saja……” kata Wan Jie
sambil menangis.
“Aku tidak menyalahkan dirimu…..”
“Aku menyesalkan diriku sendiri, aku menyesal ! Aku lebih senang kembali lagi ke Pok
Thian Pang dari pada turut denganmu !”
“Hei, kenapa jadi marah-marah ? Aku salah apa ?”
Wan Jie tidak menjawab, ia mengangis semakin keras.
“Sebaiknya jangan bicara disini, kalau orang-orang Pok Thian Pang kemari bisa celaka !”
Mendengar ini Wan Jie jadi gusar, ia berhenti menangis, dan cepat-cepat menyerahkan ibunya
dan buntalan pada Tiong Giok. “Kuharapkan baik-baiklah menjaga diri…..kuucapkan selamat
berpisah….” Sambil menangis ia melompat melalui Ceng Ceng dan terus berlari ketempat
tadi.
“Wan Jie ! Wan Jie !” teriak In Tiong Giok.
Wan Jie tidak memperdulikan, ia berlari terus dengan terhuyung-huyung.
Tiong Giok menjadi bingung dan panik.
“Sedang enak-enaknya berjalan, kenapa kembali lagi ?” kata Ceng Ceng.
344
“Jangan banyak bicara lagi, lekas buntuti !” bentak In Tiong Giok.
Waktu mereka berhasil mencandak Wan Jie tiba-tiba melihat sinar api menerangi tebing.
“Hi hi hi….nyatanya kalian tetap tak lepas dari tanganku !” terdengar suara dingin yang
menyeramkan.
Tiong Giok memandang kearah suara tampak beberapa orang Pok Thian Pang dibawah
pimpinan Soat Kouw menghadang perjalanan mereka.
Tiong Giok menjadi kaget, cepat-cepat menyuruh kedua gadis diam dibelakangnya. Ia sendiri
dengan pedang ditangan maju menghadapi musuh dengan gagah. “Kutanya kalian mau apa ?”
“Oh, kiranya pedang mustika inipun jatuh ditangan In Kongcu, tak kukira orang bertopeng
yang berhasil mendapatkan pedang ini engkau adanya….saat itu benar-benar tidak
kukenali….” Kata Soat Kouw, ia pun melirik kearah Wan Jie, “Hm, Wan Jie nyalimu sangat
besar, sudah melihat Soat Kouw masih pura-pura bodoh !”
“Kou kou terima hormatku !” kata Wan Jie.
“Wan Jie sekarang tak ubahnya seperti harimau tumbuh sayap, aku tak berani menerima
hormatmu !”
Wan Jie menundukkan kepala tanpa menjawab.
“Kemarilah !” Atau diseret dulu baru datang ?”
Dengan perasaan sedih Wan Jie memandang In Tiong Giok, lalu menggerakkan kaki
perlahan–lahan.
“Wan Jie, engkau gila !” bentak In Tiong Giok sambil menghalang-halangi.
“In Kongcu sebagai lelaki sejati, tak pantas berbuat begitu pada gadis baik-baik bukan ?”
“Memang dia kuapakan !” bentak In Tiong Giok.
“Kuminta kemurahanmu, ijinkanlah aku kembali !” kata Wan Jie.
“Sampai matipun tidak kuijinkan !” kata In Tiong Giok.
Wan Jie menangis, air matanya turun seperti hujan, membuat Soat Kouw heran sendiri. “Wan
Jie, jika engkau menyesal masih ada kesempatan untuk kembali, jangan sampai gurumu
datang !”
Wan Jie dalam keadaan terdesak, mengeraskan hati dan berlari kearah Soat Kouw. Tiong
Giok menggendong ibunya, sebelah tangan lagi mencekal pedang. Cepat ia meletakkan
ibunya, dan menyuruh Ceng Ceng menjaga. Setelah itu baru memburu kearah Wan Jie,
gerakannya sangat cepat sekali. Wan Jie kena dijambretnya dan dibawa kembali kedalam
tebing. Beberapa anggota Pok Thian Pang mencoba merintangi, tapi dalam beberapa gebrakan
345
saja telah dibikin terjungkel. Tiong Giok melewati Ceng Ceng kembali kedalam tebing. “Wan
Jie ! Wan Jie !” kata Tiong Giok sambil meletakkan kekasih itu. “Andaikata aku bersalah
jelaskanlah baru kuijinkan engkau pergi, bilamana tidak matipun tidak kuijinkan !”
“Tiong Giok lupakanlah aku ! Anggaplah antara kita belum pernah berkenalan satu sama
lain….atau anggaplah aku sudah mati….sulit untuk kujelaskan kandungan hatiku, anggaplah
aku sudah tiada.”
“Tapi kita sudah berkenalan,” jawab Tiong Giok. “Dan engkau masih hidup disunia ini….ini
fakta….mana bisa kulupakan ? Aku tak mengerti mengapa cintamu begitu kejam ?”
“Aku tak tahu ! Jangan desak diriku…”
“Kudengar dari mulutmu sendiri, akan turut denganku selama-lamanya….”
“Itu soal dulu….siapa tak tahu bisa menghadapi hari ini….”
“Dulu dan sekarang apa bedanya ? Engkau telah berubah !”
“Tidak ! Sedikitpun aku tidak berubah ! Tapi waktu dan keadaan bisa membuat kehidupan
orang menjadi berubah….”
“Perkataan dungu apa gunanya diucapkan,” selak Tiong Giok ddengan gemas. “Jika tidak
berubah….kenapa mau meninggalkan aku ? Kini kuminta kesediaanmu turut bersamaku
untuk selama-lamanya !”
“Engkau mau kemana ?”
“Kemana saja, keujung langit kek, engkau harus besertaku !”
“Tapi antara engkau dan aku tak bisa…”
“Kenapa tidak ?”
Wan Jie menangis semakin sedih.
Mereka berkata dan berkata, sedangkan dimulut tebing, sangat rusuh sekali oleh orang-orang
Pok Thian Pang. Tiong Giok segera mencelat, menghampiri Ceng Ceng. “Bagaimana keadaan
sekarang ?”
“Mereka semakin banyak !” jawab Ceng Ceng.
“Sebaiknya kita berusaha meninggalkan tempat ini sebelum terang tanah !”
“Hm jangan bermimpi !” tiba-tiba terdengar suara ejekan dari sebelah luar. “Engkau kira kami
bodoh, ketahuilah jalan keluar disebelah sana sudah kami jaga, pokoknya tidak ada jalan lagi
untuk kalian, kecuali bunuh diri !”
Suara ini membuat Wan Jie berkat seorang diri : “Ah….suhu sudah datang !”
346
“Hm sudah tahu aku datang, kenapa tidak lekas-lekas keluar ?”
Wan Jie menghampiri Tiong Giok, “Bagaimana sekarang ?”
“Jangan takut, ada aku !” jawab Tiong Giok. Sungguhpun begitu, dihatinya ia pun
memikirkan keadaan yang sulit ini. Mereka hanya berlima sedangkan dua orang tua
disamping tidak bisa membantu mereka, juga cukup merepotkan. Untuk mereka meloloskan
diri dari jalan itu sulitnya bukan main. Tapi ia seorang anak muda yang tidak lekas putus asa.
Dihiburnya Wan Jie dengan lemah lembut : “Jangan kuatir, asalkan kita bisa berlaku tenang
segala kesusahan ini bisa kita atasi.”
“Biarkan aku keluar menemui guruku, kuyakin dengan permohonanku yang sangat, beliau
akan mengabulkan untuk membebaskan kalian pergi.”
“Saat ini belum waktunya minta belas kasihannya,” jawab Tiong Giok.
“Habis apa yang harus kuperbuat ?”
“Kuinginkan kita bisa sehidup semati menghadapi bahaya yang bagaimana besarpun….”
Wan Jie membekap mulut Tiong Giok : “Aku tak berharga dibela mati-matian macam itu !”
“Jangan berkata begitu !” kata Tiong Giok. “Sejak kita bertemu entah berapa banyak kami
menerima budi darimu, jika dikatakan dirimu tak berharga, itu salah yang tak berharga adalah
aku.”
“Jangan mengungkit-ungkit masa lalu, yang lalu biarlah berlalu !” ratap Wan Jie. “Aku hanya
menyesal, kenapa keduakaan selalu membayangi diriku terus ? Kini hanya memohon belas
kasihan dari guruku tak ada jalan lain lagi untuk hidup bukan ?”
“Pokonya asal engkau bertekad tak kembali lagi ke Pok Thian Pang, aku masih berdaya untuk
meloloskan diri dari bahaya ini !”
“Keyakinanmu berlebih-lebihan, lihatlah kenyataannya….”
“Keyakinanlah modal utama untuk menanggulangi segala kesulitan.”
“Baiklah kusanggupi kehendakmu, tapi luluskan juga sebuah permintaanku.”
“Katakanlah sayang,” kata Tiong Giok.
“Engkau tahu antara dendam dan budi terpisah satu sama lain, budi yang kuterima dari
guruku, tujuh belas tahun dididik dan dibesarkan dengan kasih sayangnya, kini ia berada
didepanku, sepatutnya aku menemuinya bukan ? Andaikata ia mendesakku sampai matipun
aku tak mau kembali ke Pok Thian Pang, tetapi yang kujalankan hanya kewajiban seorang
murid pada gurunya……”
“Baiklah, mari kutemani menemuinya.”
347
“Baik ! Untuk menjaga mukaku janganlah engkau turun tangan kepadanya.”
Tiong Giok menganggukkan kepala dan segera memerintahkan Ceng Ceng untuk menjaga
kedua orang tua, lalu menemani Wan Jie keluar dari tebing itu.
Cahaya api terang benderang, Pek Cin Nio dan Soat Kouw berdampingan satu sama lain
diluar tebing itu. Dikiri kanannya tampak Thian Lam Sam Kui, Lie Cit Liong, Siau Hong dan
Siau Eng. Sedang pengawal yang berjumlah seratus lebih, berada disekelilingnya, siap dengan
senjata terhunus.
Setibanya dimulut tebing, Wan Jie bertekuk lutut sambil berkata : “Suhu, terimalah hormat
dariku.”
In Tiong Giok pun maju bersoja memberi hormat tanpa berkata.
Sepasang mata Pek Cin Nio, memandang dengan tajam menatap pemuda kita, kepalanya
mengangguk perlahan membalas hormat itu, lalu melirik kearah muridnya dan berkata dengan
dingin : “Budak, nyatanya engkau masih punya pikiran, mengakui aku sebagai guru !”
“Seumur hidupku tak pernah mengandung pikiran membalik membelakangi guru,” jawab
Wan Jie, “dibalik ini banyak kesulitanku, harap suhu maklum adanya.”
“Apa kesulitanmu ?” ejek Pek Cin Nio. “Engkau mencuri Leng pay untuk meninggalkan
markas pusat. Hal ini masih dapat kumaklumi, tapi begitu lama bahkan sampai aku sendiri
yang datang kemari engkau belum mau kembali ? Inikah kesulitanmu ? Bukankah ini terangterangan
membelakangi seorang guru ?”
Wan Jie terisak-isak tanpa menjawab.
“Sejak dari gendongan kurawat engkau sampai dewasa, kuurus dan kudidik siang maupun
malam. Waktu sakit, siang kudampingi malam kugadangi kucurahkan kasih sayang lebih dari
seorang ibu. Setelah dewasa, kujodohkan dengan Kiam Hong, karena kuingat anakku itu
dalam hal potongan, kepandaian dan lain-lain cukup sepadan denganmu, tapi kenapa engkau
tak mau ? Apa alasanmu ? Dan kenapa engkau tidak mengatakan keberatanmu bilamana tidak
setuju ? Kau pikir beginikah caranya engkau membalas budi pada seorang guru ? Pikirlah…..”
Pek Cin Nio semakin berkata suaranya itu semakin parau, dan begitu juga dia akhirnya tak
bisa melanjutkan kata-katanya kareana terhalang isak tangis yang ditahan-tahan.
“Suhu…….memang aku salah….tapi Pek Suheng pun menentang perjodohan ini….karena
inilah kami kabur,” kata Wan Jie sambil menangis.
“Biarpun kalian tidak setuju satu sama lain, tak sepatutnya berlaku demikian,” kata Pek Cin
Nio, “Satu adalah muridku, satu adalah anakku, begitu tak mengenal budi dan kasih sayang,
pikirlah kalau begini semua, siapa yang mau menjadi orang tua dibumi ini ?”
“Segala kasih sayang yang dicurahkan suhu tak bisa kulupakan seujung rambutpun, untuk ini
aku bersedia mati menurut kehendak suhu. Tapi kalau dijodohkan dengan orang yang tak
kusetujui, berarti menyiksa bahtin dan ragaku seumur hidup bukan ? Apakah kasih sayang
suhu dan membesarkan diriku untuk itu ?”
348
“Kata-katamu ini berarti ingin mendurhakai seorang guru bukan ?”
“Murid tidak berani……”
“Kalau begitu, serahkan dirimu untuk menunggu hukuman….” Kata Pek Cin Nio perlahan.
“Lekas ! Apakah menunggu aku turun tangan ?”
“Suhu……..!” Wan Jie melelehkan air mata sambil menangis.
Tiong Giok segera tampil kedepan, sebelum berkata ia memberi hormat lagi. “Pek Paangcu
bolehkah aku mengemukakan beberapa kata ?”
“In Kongcu engkau seorang terpelajar tinggi yang maha pintar, harus tahu urusanku
dengannya adalah soal peribadi dan interen.”
“Karena soal interen inilah, membuatku mau berkata-kata.”
“Engkau mau mengurus soal orang lain ?”
“Namanya interen yakni soal kekeluargaan.”
“Engkau sebagai apanya ?”
“Sebagai kakaknya !”
“Apa…..?” Pek Cin Nio jadi melengak dan memandang tajam kepada Tiong Giok penuh
perhatian.
Tiong Giok menegaskannya serius : “Pangcu mungkin tidak tahu bahwa Wan Jie telah
dijadikan anak angkat ibuku. Karena inilah aku berhak mengurus soal interen ini.”
“Oh…..begitu !” kata Pek Cin Nio setelah melongo sesaat lamanya. “Maafkanlah aku yang
kurang pendengaran dan pengetahuan. Sejak kapankah ia menjadi adik angkatmu ?”
“Setahun lebih !” jawab Tiong Giok.
“Baik langkah apa yang hendak kau ambil sebagai seorang kakak ?”
“Ingin kuberi tahu pada Pangcu, bahwasannya soal pernikahan itu adalah soal seumur hidup.
Disamping saling mencintai satu sama lain, juga harus mendapat restu satu sama lain kan ?
Kini ingin kuketahui, pernikahan Wan Jie ini apa mendapat persetujuan dari orang tuanya ?”
“Sejak kecil ia telah yatim piatu, dapat dikatakan aku sebagai ibunya….”
“Itu urusan lama,”potong Tiong Giok. “Pangcu jangan lupa sekarang ini ia mempunyai ibu
dan kakak. Pangcu telah menikahkannya dengan anak sendiri, sama dengan menjadi orang tua
dari dua rumah, dimana ada peraturan semacam ini ?”
“Boleh engkau mengatakan aku tak berwenang mengurus soal pernikahannya, tapi ia sebagai
murid yang murtad, tentu berhak untuk mengurusnya bukan ?”
349
“Benar, tapi sampai detik ini Wan Jie tidak mendurhaka oada gurunya maupun berkhianat
pada perserikatannya bukan ?”
“Hmm, engkau pandai memutar lidah, apa alasannya ?”
“Bilamana ia mendurhaka pada guru maupun perserikatannya, tentu telah melakukan
perlawanan dengan senjata, dan tak mungkin mau bertekuk lutut semacam ini !”
“Apa yang dilakukannya ini karena sudah putus asa bukan ?”
“Hmm, putus asa ? Sejujurnya dengan ilmu kepandaian yang kumiliki ditambah dua pedang
wasiatku, belum tentu pihakmu yang menang !”
“Ha ha ha, andaikata bnar, bahwa dirinya tidak mendurhakai guru dan perserikatan, kuminta
sekarang juga kembali kemarkas pusat !”
“Wan Jie pasti akan pulang, tapi bukan sekarang !”
“Kapan ia mau pulang ?”
“Dimana dunia Bulim telah menjadi aman, dan Pok Thian Pang telah menjadi perserikatan
baik, Wan Jie pasti kembali kesana untuk berbakti pada gurunya.”
“Hmm, nyatanya engkau bukan saja pandai bahasa Sangsekerta, juga pandai berdebat.”
“Apa yang kukatakan semata-mata membela diri,” kata Tiong Giok, “tak bisa diartikan
sebagai tukang debat bukan ?”
“Apa urusan ini kau pikir bisa selesai dengan perkataanmu itu ? Tidak ! Sekali-kali tidak.
Pokoknya biarpun ditubuhmu tumbuh sayap, jangan harap bisa meloloskan diri dari kepungan
ini, sebaiknya berlaku tahu dirilah dan menyerahlah siang-siang !”
“Kalau kami tidak menyerah ?”
“Mudah saja, asal engkau bisa meloloskan diri dari kepungan ini berarti selamat !”
“Kutahu betul Pangcu bukan seorang yang senang membunuh,” kata Tiong Giok, “tapi bila
mana terjadi perkelahian pasti banyak yang luka-luka terbunuh, juga yang kalah tentu pihak
kami.”
“Hmm, dalam perkelahian sifatnya bunuh membunuh, tapi engkau harus ingat juga dengan
keselamatan ibumu !”
Tiong Giok tidak menjawab, ia menoleh pada Wan Jie. “Engkau sudah mendengar semua
kecuali menyerah kita harus berkelahi bukan, mari kita kembali !”
“Suhu tidakkah engkau bisa membebaskan kami sekali ini saja ?” mohon Wan Jie sambil
menangis.
350
“Engkau seorang murid yang murtad, sejak hari ini hubungan antara guru dan murid sudah
putus, siapapun berhak menciduk dirimu !”
Wan Jie tahu tidak ada pengampunan bagi dirinya, ia memberi hormat lagi, dan terus bangun
mengikuti In Tiong Giok kembali kedalam tebing.
Dengan air mata berlinang-linang Pek Cin Nio memandang kepergian muridnya dengan hati
hancur, ia memaksakan mengeluarkan perintah. “Serang !” Sedang tubuhnya melengos kearah
lain, tidak mau menyaksikan anak buahnya yang berduyun-duyun mengerepuk muridnya
sendiri.
In Tiong Giok dan Wan Jie baru saja masuk kedalam cela-cela tebing, orang-orang Pok Thian
Pang telah sampai. Ciu Ceng Ceng yang menjaga dimulut tebing tidak tinggal diam,
diserangnya musuh-musuh itu dengan pedang wasiat, sinar pedang berkeredepan dibawah
sinar api, diiringi jeritan-jeritan yang mendirikan bulu roma. Jangan dianggap Ceng Ceng si
gadis dusun tak berkepandaian, ilmu Thian liong kiamnya yang lihay ditambah dengan Hwee
lie kiam ditangannya, cukup membuat orang-orang Pok Thian Pang kalang kabut, dalam
sekejap sua puluh orang kena dilukai dan terbunuh.
Jalanan tebing itu bermulut kecil, membuat orang-orang Pok Thian Pang tak bisa mengurung
dari empat penjuru, maka menguntungkan benar pihak Tiong Giok. Biarpun begitu, Ceng
Ceng dibuat kewalahan juga, karena yang menyerang itu bergelombang adanya, satu mati
datang dua, dua mati datang empat dan seterusnya.
“Ceng Ceng bagaimana ?” tegur Tiong Giok.
“Saat ini belum apa-apa, tapi mereka banyak sekali dan tak habis-habisnya, lama-lama bisa
mendatangkan kesulitan juga !”
“Kuharap engkau bertahan sekuat-kuatnya, aku mau melihat keadaan dibelakang, kalau-kalau
ada musuh yang membokong !” kata Tiong Giok. Ia memesan pula pada Wan Jie. “Jangan
kuatir aku pergi hanya sejenak dan jagalah keselamatan dua orang tua ini .”
Wan Jie menganggukkan kepala. “Tapi….lekas kembali….”
Tiong Giok berlari kearah belakang, tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar suara aneh. Ia
jadi heran dan maju terus, kini ia baru tahu bahwa jalan keluar dari tebing itu telah disumbat
ranting kayu kering. Yang masih terus dilempari dari atas tebing kedalam jalan kecil itu.
Jatuhnya kayu-kayu itu menerbitkan suara krak krek krok yang didengar Tiong Giok tadi.
Perbuatan orang-orang Pok Thian Pang benar-benar kejam sekali, pikirlah bilamana kayukayu
itu dibakar orang yang berada dibawah celah-celah tebing itu bukankah bisa mati
tertembus hidup-hidup.
Kayu-kayu masih dilempari terus ke dalam tebing itu, Tiong Giok tahu jalan maju dan
mundur sudah dikuasai musuh, ia menjadi cemas sendiri. Tapi sudah menjadi kebiasaan,
seseorang bisa menjadi pintar dan cerdas dalam keadaan terjepit. Demikian pula dengannya,
tiba-tiba kayu-kayu itu menarik perhatiannya sekali. Alangkah baiknya kalau kayu-kayu itu
kujadikan tangga sebelum dibakar. Dengan ini kami bisa meloloskan diri ! Tapi kayu-kayu itu
pendek, bisa dijadikan anak tangga, tapi tidak ada yang panjang untuk dijadikan ibunya. Tapi
351
hanya sekejap kesulitan itu hilang….cepat-cepat diambilnya beberapa puluh batang kayu itu,
ujungnya cepat-cepat diruncingi. Karena ia memakai pedang mustika, maka soal itu dapat
dikerjakan cepat dan mudah. Setelah itu dengan kekuatan tenaganya kayu itu ditancapkan di
tebing, sebatang menyusul yang kedua dan seterusnya……
Dengan pertolongan patok-patok yang berupa tangga ini, Tiong Giok bisa sampai diatas
tebing itu. Disini ia melihat lima puluh orang-orang Pok Thian Pang dibawah pimpinan Kam
Kong masih terus menjatuhkan kayu-kayu kedalam tebing. Ia tahu bila mana harus bertindak,
mesti menggunakan gerak kilat yang luar biasa sekali, kalau tidak, cukup salah seorang
diantara mereka melemparkan obornya kebawah, untuk menjadikan lautan api celah-celah
tebing yang sempit itu. Dengan begitu Wan Jie berempat tak bisa meloloskan diri lagi.
Ia merayap mendekati musuh, sepasang matanya memandang tajam, siap-siap mencari
kesempatan untuk turun tangan….
Nyatanya bukan In Tiong Giok saja yang sedang mengawasi Kam Hong, masih ada dua orang
muda mudi yang mengawasi seperti dia. Dua anak muda ini mengenakan topeng hitam,
bersembunyi di dalam pepohonan sudah sekian lamanya.
“Hei, sebenarnya apa yang sedang diperbuat mereka ?” bisik yang perempuan pada
kawannya.
“Oh, mereka sedang siap-siap menantikan isyarat untuk menyalakan api…”
“Kutahu mereka mau menyalakan api, tapi untuk apa ?”
“Tentu membakar musuh mereka…”
“Siapa yang menjadi musuh mereka ?”
“Mana kutahu…”
“Oh….yang bermusuhan dengan kaum Pok Thian Pang kebanyakan dari golongan benar !”
Mari kita tolong mereka !”
“Engkau jangan sembarangan bergerak, Kam Hong bukan lawan empuk !”
“Kalau kita kalah, buka saja topengmu, pasti ia takut !”
“Ngomong memang enak, kalau mau membuka topeng ini, untuk apa sembunyi-sembunyi
sekian lamanya ?”
“Lambat laun kau toh harus membuka topeng itu bukan ? Jangan kuatir biar dia lihay, akan
kulawan terus !” kata sigadis dengan bernafsu dan segera keluar dari persembunyiannya.
Sipemuda berusaha mencegahnya, tapi tak keburu, bukan saja si gadis telah keluar, juga suara
mereka telah didengar musuh.
“Hei, kalian siapa ?” bentak Kam Kong. Sekalian anak buahnyapun menghunus senjata
dengan berbareng, dan memandang sua muda mudi itu dengan bengis.
352
“Aku !” seru si gadis dengan lantang. Si pemuda dengan terpaksa mengikuti kawannya dari
belakang.
Kam Kong merasa tak betah melihat orang bertopeng, dengan didahului tersenyum sinis ia
berkata : “Hm, kalian bernyali besar beetul ya, berani datang kemari dengan bertopeng, lekas
buka perlihatkan tampang kalian yang tulen !”
Gadis itu berani sekali, perkataan Kam Kong dianggap sepi. Ia bertolak pinggang seenaknya
dengan lagak menantang. “Topeng ini mau dipakai atau tidak bergantung pada kami,
emangnya kau jadi apa, main perintah saja !”
“Hei budak ! Engkau siapa ?”
“Aku pengembara yang kebetulan lewat disini,” jawab si gadis. “Kulihat kalian mengangkut
kayu-kayu kering dan melemparkan kedalam tebing, apa maksud perbuatan demikian ? Mau
mencelakakan orang barangkali ya ?”
“Ha ha ha, apa urusannya denganmu ? Mau membakar gunung kek, orang kek, siapa yang
berani larang ?”
“Nih aku yang melarang !”
“Engkau bisa apa, berani melarang-larang aku ?” kata Kam Kong dengan tergelak-gelak
dengan jumawa. “Yang penting sebutkan dulu namamu, jangan sampai aku salah tangan !”
“Apa perlunya nanya-nanya namaku ?”
“Ha ha ha, sudah kukatakan takut salah tangan, akibatnya mencelakakan orang sendiri. Nah
katakanlah namamu dan nama orang tuamu sekalian….”
“Hm, orang tuaku pasti tak mempunyai hubungan dengan iblis semacam tampangmu !”
“Memang, akulah salah satu iblis yang bergelar Thian lam sam kui, rupanya kau kenal
denganku ?”
“Kenal tidak kenal memang kenapa ?”
“Soalnya engkau telah melakukan suatu kesalahan besar !”
“Kesalahan apa ?”
“Yakni datang kemari mencampuri urusan kami ! Kalau kau kenal denganku masih bisa
kumaafkan, kalau tidak….”
“Kalau tidak, memang kenapa ?”
“Akan kubunuh !”
353
“Hi hi hi, engkau si Kam Kong yang bergelar Kui cie bu siang atau si iblis berjari sembilan,
boleh menakut-nakuti orang lain, tapi jangan harap membuatku takut !”
“Engkau terlalu kurang ajar ! Bagaimanapun harus diajar adat !”
“Boleh saja, silahkan…..silahkan !”
“Tangkap budak ini !” perintah Kam Kong pada anak buahnya. Dua pengawalnya segera
menyergap gadis itu dari kiri dan kanan.
“Hm, tak tahu diri !” bentak si gadis sambil menggerakkan pedangnya. Dua pengawal itu
dalam waktu hampir bersamaan terjungkal dengan jiwa melayang. Gerakan si gadis begitu
cepat dan luar biasa, membuat Kam Kong terkejut juga.
Sedangkan si pemuda hanya menarik napas saja, melihat perbuatan kawannya.
Pengawal-pengawal yang lain menjadi murka melihat kawannya terbunuh mati, mereka
berteriak-teriak dan maju berduyun-duyun dengan berbareng.
“Mundur !” teriak Kam Kong, yang terus mendahului sekalian pengawalnya menghampiri si
gadis seorang diri. “Ilmu pedang keng thian cit su yang kau lancarkan cukup baik sekali, kini
sekali lagi kutanya, sebenarnya engkau siapa ?”
“Rupanya engkau ingin tahu benar soal diriku, baiklah !” kata si gadis dengan tersenyumsenyum.
“Tapi sebelum itu kau harus menerangkan sulu siapa yang hendak kalian celakakan
itu !”
“Oh, kiranya kedatangan kalian kesini untuk orang-orang dibawah itu ?”
“Mungkin benar, mungkin salah,” kata si gadis. “Terangkanlah siapa orang itu !”
“Jika ingin tahu juga baiklah, mereka berjumlah lima orang, antaranya terdapat seorang muda
bernama In Tiong Giok dan seorang gadis bernama Wan Jie….”
“Benarkah ?” potong si gadis.
“Seratus persen benar !”
Sigadis memandang kepada kawannya. “Tidakkah kau mendengar ? Tunggu kapan lagi ?”
katanya sambil membalik tubuh dan menikam kepada Kam Kong secara mendadak.
Kam Kong cukup berpengalaman, ia sudah menduga si gadis bisa menyerang dengan
mendadak, maka dengan tenang ia menyampok badan pedang dengan lengan kirinya,
sedangkan lengan kanannya menyerang pergelangan tangan si gadis. Berbareng dengan ini
iapun berseru keras : “Bocah, lepaskan pedangmu !”
Gerakan kedua belah pihak begitu cepat dan mendadak, sigadis sudah keterlanjuran
menikamkan pedangnya dan tak bisa menarik pulang lagi. Dengan begini pergelangan
tangannya terancam bahaya, ia menjadi nekad dan menikamkan terus pedangnya kedepan,
dengan perhitungan luka bersama.
354
Kam Kong dibuatnya mendelik dan membentak keras : “Bocah, kau kira gila-gilaan begini
bisa berhasil ?” Berbareng dengan itu, tubuhnya mengengos kesamping, lengan kanannya
menepuk badan pedang, lengan kirinya menyabet kearah kerongkongan, perubahan dari gerak
silatnya cepat dan tangkas, dalam beberapa setik saja, jiwa sigadis terancam maut.
Untuk menolong kawannya, sipemuda tidak menghunus senjata, ia hanya berteriak keras :
“Kam Futhoat tahan !”
Seruan si pemuda membuat Kam Kong kaget, serangannya ditarik dalam sedetik,
tubuhnyapun mencelat kesamping, dalam sekejap ia telah keluar dari gelanggang:
“Engkau….engkau…..”
“Ya aku !” jawab sipemuda sambil mencopot topengnya, “aku Pek Kiam Hong.”
Kam Kong dan sekalian anak buahnya jadi melengak, cepat mereka memberi hormat :
“Kiranya Siau Pangcu, maafkanlah perbuatan kami barusan !”
“Kam Futhoat tak usah melakukan banyak penghormatan,” kata Pek Kiam Hong. “Aku ingin
tahu juga, betulkah diantara yang mau dibakar itu terdapat In Tiong Giok dan Wan Jie ?”
“Benar !”
“Kenapa mereka ? Dan atas perintah siapa, membakar mereka ?”
“Pertanyaan Siau Pangcu, sukar kujawabnya !” kata Kam Kong.
“Jangan kuatir, katakanlah apa yang sudah terjadi secara blak-blakan.”
“Soal ini In Tiong Giok melarikan diri dari markas pusat, tentu Siau Pangcu sudah tahu bukan
?” kata Kam Kong. “Demikian pula soal Wan Jie berkhianat pada guru dan
perserikatan….eh….seharusnya Siau Pangcu mengetahui lebih jelas dariku bukan ?”
Wajah Pek Kiam Hong menjadi merah. “Engkau sudah salah mengartikan perkataanku !
Maksudku kenapa mereka dikurung didalam tebing ini ?”
“Jelasnya akupun tidak tahu,” kata Kam Kong. “Aku hanya mendengar bahwa Lo Cucong
mendapat info, bahwa In Tiong Giok pulang ke kampung halamannya. Dan segera
memerintahkan kami dan lain-lain untuk menciduk pemuda itu. Sungguh diluar dugaan,
kamipun menemukan Wan Jie berada dirumah pemuda itu….waktu ditangkap mereka
melarikan diri dan terkurung di sini !”
“Sudah lamakah mereka terkepung di dalam tebing ini ?”
“Lebih kurang setengah malam lebih !” jawab Kam Kong.
“Siapa saja dari anggota kita yang melakukan pengepungan atas mereka ?”
“Pangcu sendiri, Hu Pangcu dan lain-lainnya.”
355
Pek Kiam Hong jadi tertegun mendengar ibunya sampai turun tangan sendiri. “Kam Futhoat
tentu tahu bahwa Wan Jie meninggalkan rumah bersama-sama denganku, dan berani kujamin
ia tidak punya pikiran berkhianat pada guru maupun perserikatan….bisakah Kam Futhoat
mempercayai omonganku ini ?”
“Kalau Siau Pangcu yang berkata, mau tak mau aku percaya juga !”
“Mengenai In Tiong Giok akupun berani menjamin bahwa ia tidak bermusuhan dengan pihak
kita barang sedikitpun !” kata Pek Kiam Hong dengan tegas. “Soal ia meninggalkan markas
pusat, bukan atas kehendak sendiri, tapi dilarikan Liok Jie Hui, maka tak boleh
menyalahkannya bukan ?”
“Apa maksud Siau Pangcu mengemukakan soal ini kepadaku ?”
“Oh….” Pek Kiam Hong diam jadi tertegun. “Aku….aku hendak membersihkan nama
mereka dari segala tuduhan itu dan memohon pada Kam Futhoat untuk membebaskan mereka
dari kesulitan sekarang !”
“Sebelumnya kuminta maaf terlebih dahulu,” kata Kam Kong. “Dalam soal ini aku tak
berwenang, tak berani ambil keputusan sendiri, harus kulapor dulu pada Pangcu !”
“Hm, biar bagaimana toh pangkatmu cukup besar dan harus bisa mengambil keputusan
sendiri !” kata si gadis.
“Bocah nyalimu sangat besar, sebenarnya engkau siapa ?”
“Kalau tidak diterangkan rupanya engkau masih penasaran dan bertanya terus ! Baiklah,
dengar, aku bernama Tiat Siau Bwee, tempat tinggalku di Tiat Po, jika dikemudian hari
merasa tidak senang engkau boleh datang mencarai disana !”
Kam Kong mengangguk-anggukkan kepala dan berkata : “Oh, kukira siapa, tak tahunya ahli
waris dari Sin kiam siang eng, pantas ilmu pedangmu begitu lihay !”
“Aku tak membutuhkan umpakan,” kata Siau Bwee ketus, “yang kuinginkan engkau bisa
melihat selatan, meluluskan permintaanku agar orang-orang dibawah itu bisa dibebaskan dari
bahaya mati ! Kalau tidak jangan menyesal dikemudian hari !”
“Tapi….tapi aku tak bisa mengambil keputusan,” kata Kam Kong, “bilamana ibuku marah,
engkau boleh melepaskan tanggung jawab dan tublekan semua kesalahan atas diriku !”
“Tapi sekarang ini Siau Pangcu sudah…….”
“Maksudmu sudah dipecat ? Ha ha ha, siapa yang bilang ?” kata Pek Kiam Hong sambil
mendelik dengan angker.
“Ini…..ini….”Kam Kong tidak bisa menjawab.
“Hm ! Pokoknya Kam Futhoat boleh melaporkan kejadian ini dengan sebenar-benarnya pada
Pangcu, sedangkan tanggung jawab ada padaku !” Sehabis berkata ia mengeluarkan sebuah
356
lencana emas dan menyerahkan pada Kam Kong. “Jika engkau masih ragu-ragu, bawalah
lencana ini dan serahkan pada Pangcu, engkau pasti tidak dipersalahkan lagi !”
Kam Kong menerima lencana itu, sedangkan matanya sebentar-bentar memandang kebawah
tebing, akhirnya ia menganggukkan kepala juga. “Baiklah kuterima permintaanmu dan
ijinkanlah aku pergi ! Ia merangkapkan tangan memberi hormat, lalu mengajak anak buahnya
meninggalkan tempat itu.
Siau Bwee segera tergelak-gelak melihat kepergian musuh. “Tak sangka pangkatmu sebagai
Siau Pangcu masih ada gunanya juga ya ?”
“Ya untuk saat ini masih berguna,” kata Pek Kiam Hong, “tapi sekembalinya aku dirumah
entah hukuman aoa yang harus kuterima.”
“Jangan pulang, mereka bisa apa ? Tinggal bersama-samaku di Tiat Po tanggung aman !”
“Engkau sendiri berani pulang atau tidak ?”
Siau Bwee jadi malu dan cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, “Sudahlah jangan ngomong
melulu, marilah kita temui In toako.”
Kiam Hong tampaknya ragu-ragu, wajahnyapun begitu muram, “Siau Bwee, aku enggan
menemuinya….”
“Bukankah jauh-jauh dari markas Pok Thian Pang datang kesini untuk mencarinya ? Kenapa
sudah dekat dengannya, pikiranmu berubah ?”
“Benar, aku meninggalkan rumah dengan tekad menemuinya….tapi kukuatirkan pertemuan
ini akan menghapus persahabatanku dengannya. Untuk inilah timbul keragu-raguan pada
diriku.”
“Tadinya mau menemuinya, sekarang ragu-ragu, heran !”
“Soal ini sukar kujelaskan dengan sepatah dua patah, lambat laun engkau akan tahu sendiri.
Pokoknya kamu saja yang menemuinya, dan tolong tanyakan…..”
“Pokoknya mau menemuiny atau tidak ?” gertak Siau Bwee sambil nyelonong kedepan. Ia
menoleh lagi sesudah berjalan beberapa langkah, tampak Kiam Hong masih menjublek di
tempatnya, sedikitpun tidak bergeser.
Kini ia percaya bahwa temannya itu benar-benar tidak mau menemui In Tiong Giok.
“Siau Bwee bilamana bertemu dengan In Toako, tanyakanlah padanya….”
“Tanya saja sendiri, kenapa harus menyuruhku ?” potong Siau Bwee dengan gemas.
“Kalau kumau menemuinya tak perlu minta pertolonganmu…..”
“Ya dah ! Apa ?”
357
“Tolong tanyakan apakah dibelakang punggungnya In Toako betul-betul terdapat sebuah
tanda luka atau tidak ?”
“Huh ! Kukira nanyakan urusan apa, kiranya soal beginian….lainnya apa lagi ?”
“Cukup sebegitu saja !” kata Pek Kiam Hong. “Pergilah kau temui In Toako, aku mau berlalu
sekarang juga. Sepuluh hari kemudian aku bisa mencarimu lagi….” Sehabis berkata tubuhnya
segera berlalu dan hilang dikegelapan malam.
Siau Bwee tidak mengejar, dia terpukau siam dengan keheranan, “Aneh segala urusan sekecil
itu, membuatnya gugup sekali.” Katanya tanpa terasa.
“Urusan itu tidak kecil !” tiba-tiba terdengar suara jawaban dengan mendadak. “Itu urusan
besar baginya !”
Siau Bwee memandang kearah suara, samar-samar tampak seorang muda menghampiri
dirinya. Begitu dekat ia dapat melihat tegas, dialah In Tiong Giok adanya. “In tayhiap !”
serunya sambil menyongsong kedepan.
“Jangan panggil In tayhiap, panggil saja In toako !”
“In Toako ! Akhirnya dapat juga kutemuimu ! Apakah pembicaraanku barusan sudah kau
dengar semua ?”
“Ya semuanya sudah kudengar dengan jelas, sayang ia berlalu begitu cepat sehingga tidak ada
kesempatan menjelaskan salah paham antara dia denganku.” Kata Tiong Giok dengan kemak
kemik, “Eh….hampir kulupa bagaimana engkau bisa meninggalkan Tiat Po dan berada
bersama Pek Kiam Hong ?”
“Oh itu….jangan tanya-tanya dah, soalnya panjang, nanti saja kututurkan kalau sudah sempat.
Yang penting marilah kita bekerja secepatnya menolong orang-orang yang berada dibawah
tebing.”
“Benar !” jawab Tiong Giok sambil menganggukkan kepala.
Dengan cepat mereka membuat sebuah tambang dari kulit kayu. Tiong Giok membawa turun
kebawah, sedangkan ujungnya dipegangi oleh Siau Bwee. Ibunya dan Tio Ma bergantian
dikerek naik, sedangkan Ceng Ceng dan Wan Jie bisa naik melalui patok-patok yang dibuat
Tiong Giok tadi.
Setelah semuanya berhasil naik keatas dengan selamat, Siau Bwee segera membakar kayukayu
kering yang ditimbun Kam Kong. Dengan cepat api menyala terang, menghalanghalangi
orang-orang Pok Thian Pang yang mencoba mengejar mereka.
Lima hari telah berlalu sejak In Tiong Giok dan lain-lain berhasil menyelamatkan diri dari
kepungan orang-orang Pok Thian Pang. Kini mereka telah tiba dikota Lam Ciong. Selama
diperjalanan Tiong Giok dan Wan Jie telah baik kembali, rasa cemburu Wan Jie pada Ceng
Ceng telah hilang juga. Sehingga ia agak malu sendiri kalau mengingat kejadian didalam
tebing itu. Kini ia bisa mengatakan apa yang dirasakan itu adalah cemburu buta. Karena inilah
didalam perjalanan ia jarang membuka mulut, demikian pula dengan Tiong Giok. Mereka
358
berlaku alim-aliman, lain dengan Ceng Ceng dan Siau Bwee, kedua-duanya masih muda,
sama-sama senang ngobrol dan bercanda tak heran dalam waktu singkat, hubungan mereka
sudah seperti saudara kandung.
Diwaktu senja keadaan kota Lam Ciong masih tetap ramai, penduduknya padat, toko-toko dan
perusahaan tumbuh dimana-mana. Waktu rombongan mereka masuk kekota, ribuan mata
orang-orang yang berlalu lalang menatap kearah mereka. Lelaki muda maupun tua, yang mata
keranjang atau yang tidak memandang dengan mendelong atas kecantikan Wan Jie, Siau
Bwee dan Ceng Ceng.
Tiong Giok mengetahui bahwa rombongannya diperhatikan orang. Ia kuatir terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan. Maka cepat-cepat mengajak rombongannya masuk kesebuah
penginapan yang bernama Hoo Peng.
Disewanya empat kamar besar yang terletak diruangan belakang.
Mereka mengatur kamar dan berberes, terus mandi dan makan.
Hari hampir malam, Tiong Giok memanggil ketiga gadis keruang tamu. “Kau jangan kemanamana,
aku mau pergi keluar mencari Yauw Lo Cianpwee dan lain-lain. Barangkali merekapun
sudah tiba dikota ini.”
“Diam dihotel saja membosankan aku mau ikut jalan-jalan denganmu,” kata Tiat Siau Bwee.
“Akupun mau ikut,” Ceng Ceng menimbrung.
“Bukan kata aku tak mau mengajak kalian keluar,” kata In Tiong Giok. “Tapi pikirlah baikbaik,
disinipun pasti banyak kaki tangan kaum Pok Thian Pang. Tenaga kalian kubutuhkan
untuk melindungi dua orang tua itu, tahu ?”
Jilid 18 .....
Sebagai seorang murid dari Thian liong bun, Ceng Ceng tak berani membantah pada Siau cu
jinnya, lain dengan Tiat Siau Bwee, ia agak bandel. “Disini ada cici Wan Jie yang menjaga,
apapun tak perlu dikuatitkan bukan ? Apa salahnya mengajak kami berjalan-jalan, melihat
keramaian kota Lam Ciong ini ?”
“Aku bukan pergi jalan-jalan…..”
“Tidak jalan-jalanpun biar, pokoknya soal ikut keluar, diam-diam saja dikamar sanagt
membosankan,” bantah Siau Bwee.
“Sudahlah, Wan Jie turut bicara, “engkau sebagai Toako apa salahnya mengajak mereka
berjalan-jalan, biar mereka tambah pengalaman. Soal disini biar aku saja yang menjaga,
jangan lama-lama saja.”
Atas desakan Wan Jie ini Tiong Giok terpaksa menganggukkan kepala.
Ceng Ceng tidak membuang kesempatan baik, ia minta ketegasan dari Siau cu jinnya,
“Bolehkah aku turut juga ?” tanyanya perlahan.
359
“Baiklah, tapi kalian harus dengar kata dan jangan membuat onar diluaran !”
“Baik,” jawab Siau Bwee dan Ceng Ceng hampir berbareng. “Pokoknya asal kita tutup mulut
dan diam-diam sudah cukup bukan ?”
“Aku tidak melarang kamu membuka mulut, yang penting jangan usilan terhadap urusan
diluar.”
Karena ingin diajak segala perkataan Tiong Giok di ya kan terus kedua gadis itu. Mereka
segera meninggalkan hotel itu menuju keluar.
Setiap ketemu penginapan, mereka pasti masuk dan menyerap –nyerapi apakah rombongan
Yauw Kian Cee sudah tiba apa belum. Entah berapa banyak penginapan yang didatangi, tapi
yang dicari belum juga diketemukan. Sungguh begitu mereka tak bosan, mencari dan mencari
terus.
Sewaktu mereka memasuki sebuah gang, Siau Bwee berkata dengan perlahan kepada Tiong
Giok. “Toako ada yang menguntiti kita sedari tadi.”
“Mana ?” tanya Tiong Giok.
“Engkau jangan menoleh dulu, ia berada dibelakang kita.”
Tiong Giok mengangguk dan terus berjalan lagi dengan dua kawannya pura-pura tidak
mengetahui sedang diikuti orang. Setelah beberapa tindak, dengan tiba-tiba ia
membungkukkan tubuh, pura-pura membetulkan sepatunya. Padahal melalui
selangkangannya sendiri, ia melihat kebelakang. Tampak olehnya seorang laki-laki setengah
tua, dengan pakaian serba hitam, dan jenggot yang panjang, bertopi tikar yang dibelesaki
sampai kedekat mata, sedang memperlahan langkahnya, mengintil terus dibelakang.
“Ah, buaya tik tok semacam itu tak perlu diladeni !” kata Tiong Giok. Yang terus berjalan
kemuka, mencari lagi penginapan-penginapan seperti tadi. Tapi yang dicari belum juga
diketemukan, dan membuatnya mengambil kesimpulan bahwa Yauw Kian Cee dan lainlainnya
belum tiba dikota itu. “Mari kita pulang,” kata Tiong Giok mengajak kawankawannya.
Sehabis berkata ia membalik badan, sehingga bersampokan mata dengan laki-laki penguntit
itu. Tampak dengan tegas laki-laki itu menjadi gugup dan bingung, untuk menghilangkan
kegugupannya ini, ia menbalik badan dan terus masuk kesebuah gang.
“Hm, kurcaci semacam itu jangan dikasih hati !” kata Siau Bwee.
“Sudah kukatakan manusia semacam itu tak perlu diladeni !”
“Tapi Toako harus ingat soal kecil bisa berakibat besar, janganlah tergelincir karena kerikil
kecil !”
Tiong Giok berpikir, apa yang diucapkan si gadis memang benar, maka berkatalah ia : “Kalau
begitu kalian tunggu disini, biar kuciduk buaya tik tok itu !” Ia berlari mengejar laki-laki tadi
360
kedalam gang. Setelah berjalan beberapa puluh langkah, ia mendapatkan gang itu buntu. Ia
jadi heran, kemana perginya laki-laki itu ?
Timbul penasarannya, dicarinya orang itu dengan pandangan mata. Ia melihat gang itu cukup
ramai, banyak pedagang yang menggelar dagangannya dibalai-balai, disamping itu terdapat
warung kopi dan beberapa tukang loak. Tiba-tiba saja ia melihat baju hitam dan topi tikar
yang dipakai laki-laki tadi sudah melumbuk dikeranjang tukang loak. Tukang loak itu berusia
setengah tua, kepalanya botak dan licin, sedang asyik menghitung duit receh sambil
menundukkan kepala.
Tiong Giok dengan cepat menghampiri tukang loak itu. Ia bertolak pinggang dan berdiri
didepan tukang loak itu. Sibotak tetap menghitung uangnya, seperti tidak melihat kedatangan
pemuda kita.
“Pak banyak untung, menghitung uang terus ?” tegur Tiong Giok setengah berguyon.
Mendengar teguran ini sibotak mendongak, ia tersenyum-senyum : “Oh, Kongcu mau beli apa
?”
Tiong Giok menegasi tukang loak itu, ia heran sendiri, karena sibotak itu bukan laki-laki yang
sedang dicarinya. Ia pura-pura sebagai pembeli sambil memegang baju hitam itu. “Apakah
baju ini dijual pak ?”
“Benar…..yang ada disini semuanya barang dagangan, tapi…tapi….untuk apa Kongcu
membeli baju bekas ?”
“Oh…tadi kulihat seorang sahabat memakai pakaian hitam dan topi tikar semacam ini begitu
pantas dan keren, maka timbul niatku membelinya juga.”
“Ha ha ha, apakah sahabatmu itu seorang setengah baya yang berjanggut ?” situkang loak
menegasi.
“Benar ! Apakah bapak melihatnya juga ?”
“Bukan melihat lagi, lebih dari itu ! Pakaian ini kubeli darinya….”
“Oh…begitu !”
“Untuk apa aku membohong, itu tidak baik. Pakaian hitam dan topi tikar ini kubeli darinya 50
cie, kalau Kongcu penuju bayari saja modalnya !”
“Apakah yang menjual baju ini sudah pergi jauh ?”
“Ya barusan saja ia pergi…kalau Kongcu tidak percaya kubeli dengan harga 50 cie,
tanyakanlah padanya ia baru keluar gang….”
“Aku bukan tidak percaya, tapi kebanyakan tukang dagang suka membohong, sekarang
kucoba menanyakan dulu padanya…” Tiong Giok terus keluar gang meninggalkan tukang
loak itu.
361
Sesampainya diluar menjadi heran, bukan saja laki-laki berjenggot itu tidak kelihatan, Siau
Bwee dan Ceng Ceng yang disuruh menunggu diluar gang pun tidak kelihatan mata
hidungnya. Biarpun begitu ia tidak merasa terlalu kuatir, karena ia yakin benar, bahwa kedua
gadis itu pasti tidak kenapa-napa, karena memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Dan ia hanya
menduga bahwa kedua gadis itu sudah pulang terlebih dahulu kehotel. Maka ia pun tidak mau
lama-lama disitu atau mencari lagi laki-laki ebrjenggot tadi, tergesa-gesa pulang kehotel.
Begitu ia masuk, mendapatkan ibunya dan Tio Ma sudah tidur nyenyak. Sedangkan Wan Jie
belum tidur, ia asyik terpekur seorang diri, entah apa yang sedang direnungkan.
“Mana yang lain ?” tanya Wan Jie.
“Apakah mereka belum pulang ?” Tiong Giok balik bertanya.
“Justru aku menanya padamu kemana yang lain ?”
“Kalau begitu mereka belum pulang, aku harus mencarinya !”
“Kenapa bisa begitu ?”
Tiong Giok menceritakan apa yang dialaminya barusan.
“Kalau begitu lekaslah cari mereka, tapi jangan lama-lama,” pesan Wan jie.
Dengan mengambil jalan tadi Tiong Giok keluar hotel mencari Ceng Ceng dan Siau Bwee.
Keadaan dijalan sudah agak sepi, toko-toko sudah banyak yang tutup, jalan raya tampaknya
menjadi legaan. Ia berjalan dengan langkah lebar. Entah berapa lama ia berjalan ubek-ubekan
belum juga menemui kedua kawannya itu. Saking kesalnya, ia memutuskan tidak melanjutkan
untuk mencari, dan cepat-cepat pulang kehotel.
Diperjalanan pulang, dirinya dibuat terkejut tak alang kepalang, sesosok tubuh yang bergerak
cepat menyambar seorang laki-laki berbaju kelabu. Terus dibawa keatas genteng.
Perbuatannya itu luar biasa berani. Dan memang benar gerak cepatnya membuat orang-orang
itu melongo dibuatnya. Tiong Giok mengawasi terus keatas, lalu menyusul dari bawah,
setelah berada di tempat sepi, iapun mencelat keatas genteng dan mengejar bayangan itu.
Semakin lama ia berhasil mendekati orang itu, yang dikejarpun mengetahui dirinya dibayangi
orang, maka berlari semakin cepat. Kepandaian meringankan tubuh orang itu membuat Tiong
Giok kagum. Dalam waktu singkat ia tak berhasil mencandak.
“Hei kawan ! Bisakah berhenti sejenak ?” teriak Tiong Giok.
Seruan ini tidak digubris, karena bayangan itu berlari semakin cepat. “Jika engkau tak mau
berhenti, jangan sesalkan tindakanku yang kurang sopan !” ancam Tiong Giok.
Bayangan itu tetap tidak memperdulikan peringatan Tiong Giok, bahkan ia berlari semakin
kencang.
Tiong Giok menjadi mangkel, ia mempercepat larinya dan membuktikan ancamannya. “Nah
sambutlah seranganku !”
362
Orang itu tidak berhenti, tapi membalik tubuh sambil berlari terus. Orang yang dikempitnya
dilemparkan pada Tiong Giok dijadikan tameng. Dengan terpaksa Tiong Giok menghentikan
serangannya, menaggapi orang itu.
“Siau cu jin jangan menyerang lagi aku Ceng Ceng !” seru bayangan itu.
“Hm apa yang sedang kau perbuat ? Dan siapa orang ini ?” bentak Tiong Giok dengan gusar
sambil mendelik.
“Siau cu jin jangan gusar, dengarkanlah dulu ceritaku !” kata Ceng Ceng sambil
menundukkan kepala. “Waktu kau masuk kedalam gang mengejar laki-laki berjenggot, kami
menunggu didepan. Kami melihat orang itu telah mengganti baju hijau, untuk melaporkan
kepadamu sangat makan waktu, maka kami bersepakat bersama Siau Bwee membuntuti orang
itu. Usaha kami berhasil dan mengetahui dimana sarang mereka. Siau Bwee sedang
menunggu disana, sedang aku disuruh pulang untuk melapor kepadamu. Ddan tak kira begitu
sampai didepan hotel kulihat Siau cu jin berada diluar, sedang dibuntuti orang ini. Selanjutnya
apa yang kuperbuat Siau cu jin tahu sendiri tak perlu kujelaskan lagi !”
“Untung kau berlaku waspada dan bisa membekuk bangsat ini,” kata Tiong Giok sambil
menurunkan laki-laki itu dari tangannya. Ia menjadi kaget karena laki-laki itu sudah
meninggal dunia. Ia menyesali Ceng Ceng berlaku kelewat kejam, tapi pendapatnya itu lekas
berubah, karena melihat bibir laki-laki itu sangat biru, ditambah liang hidung dan kupingnya
mengalirkan darah, menandakan ia terkena racun yang hebat sekali. “Orang ini pasti salah
satu anggota perkumpulan yang mempunyai peraturan keras dan kejam. Lihatlah ! Untuk
menutup mulut ia berani membunuh diri !” Ia mmeriksa tubuh orang dengan teliti, sedikitpun
tidak mendapat sesuatu benda yang dapat dipakai mengusut asal usul orang itu. Guna
mencegah terjadinya heboh dikota itu, tubuh itu dikuburnya dengan rapi.
“Siau Bwee dimana, ajak aku kesana !”
Ceng Ceng menganggukkan kepala dan berjalan kearah timur dengan cepat, Tiong Giok
mengikuti dari belakang dengan cepat juga.
“Siau Bwee berada disebuah kuil tua yang dijadikan sarang penjahat !” kata Ceng Ceng.
“Lekaslah kesana jangan ngomong saja,” kata Tiong Giok.
Kuil tua yang dituju mereka bernama Hoo Sin (malaikat sungai) dan letaknya ditepian sebuah
sungai yang lebar. Dahulunya kuil itu dijadikan tempat sembahyang oleh penduduk Lam
Ciong, lebih-lebih kalau terjadi banjir, yang dianggap oleh penduduk bahwa malaikat sungai
mengamuk dan meminta sesajian. Maka berduyun-duyunlah penduduk itu datang
bersembahyang, meminta berkah dan keselamatan. Akan tetapi pada tahun-tahun belakangan,
setelah pemerintah mengadakan perbaikan irigasi bencana banjir tak pernah terulang lagi.
Penduduk yang biasa datang bersembahyangpun turut berkurang. Kuil itu makin lama makin
sepi, akhirnya tidak ada yang mengurus lagi.
Kerusakan demi kerusakan terjadi terus tanpa perbaikan, sehingga menjadi bobrok sekali.
Pohon liu yang tumbuh disekitar kuil sudah tua dan rimbun menutupi jendela-jendela,
membuat keadaan didalamnya gelap dan angker.
363
Tiong Giok dan Ceng Ceng tiba dikuil, mereka tidak langsung masuk. Mengamat-amati dulu
keadaan kuil dari sebelah luar. Keadaan masih gelap benar, ditambah rimbunnya pohon liu
itu, keadaan didalam kuil tampaknya semakin gelap gulita. Waktu mereka melompati tembok
pekarangan dan masuk kepelataran kuil dari atas pohon liu melayang sesosok tubuh.
“In Toako kenapa telat betul ?” seru bayangan itu yang bukan lain dari Tiat Siau Bwee
adanya.
“Enak saja kau ngomong,” kata Ceng Ceng.
“Tidak dimaki-maki Siau cu jin ku sudah bagus, berani ngomel lagi.”
Siau Bwee melirik pada Tiong Giok sambil tersenyum: “Oh…kita wajib diomelin, karena
pergi kesini tanpa seijinnya. Tapi dengan jasa yang kita perbuat ini, kesalahan itu bisa
ditebus.”
Tiong Giok tak bisa berbuat apa-apa pada Siau Bwee yang nakal ini, ia pun turut tersenyum :
“Jasa yang kau perbuat itu cukup atau tidak untuk menebus kesalahanmu itu, kalau tidak
hm…..”
“Hm…apaan ? Jasa ini bukan saja cukup, bahkan berlebihan tahu !” kata Siau Bwee penuh
keyakinan, “mari ikut denganku !” Ia mengajak kedua temannya menuju kearah samping kuil.
Disini terlihat cahaya api keluar dari jendela. Mereka mendekati dengan berindap-indap, tanpa
mengeluarkan suara barang sedikitpun. Didalam sangat terang benderang sedang diluar gelap
sekali. Sehingga mereka bisa melihat keadaan didalam dengan enak sedangkan yang didalam
tak bisa melihat mereka.
Dibawah cahaya lilin yang terang benderang Tiong Giok dan kawan-kawannya menyaksikan
keadaan didalam kuil dengan kagum. Karena bukan saja rusak dan kotor seperti yang
diruangan depan, disini terlihat begtu resik dan apik, keadaan dindingnya serba bersih dan
terhias lukisan-likisan indah. Lantainya memakai permadani. Ditengah-tengah ruangan
terdapat meja dan kursi yang serba lux. Disebuah kursi yang beralaskan kulit harimau dan
terukir indah duduk seorang tua dengan pakaian mentereng. Dibelakangnya berdiri empat
orang pelayan cantik, didepannya tampak seorang botak membungkukkan badan memberikan
laporan. Didepan pintu terlihat empat pemuda menyoren pedang dengan gagahnya. Keadaan
ini membuat Tiong Giok kaget sekali, karena ia mengenal orang tua itu adalah Liok Jie Hui,
sedangkan sibotak bukan lain dari tukang loak yang pernah ditemukannya digang buntu.
Sambil mengusap-usap jenggotnya Liok Jie Hui tersenyum-senyum dan berkata dengan keras.
“Bagus ! Bagus ! Engkau memang pandai dan cekatan, tak sia-sia jerih payahku mendidik
kalian dalam beberapa bulan ini ! Tapi kau harus tahu In Tiong Giok manusia cerdik, akalmu
hanya berlaku satu kali saja, lain kali tidak bisa dipergunakan lagi padanya. Kecuali itu sejak
hari ini kularang engkau berkeliaran lagi didalam kota, kalau diketemukannya bisa berabe
untuk semua, mengerti ?”
Sibotak mengangguk-anggukkan kepala : “Jangan kuatir, akupun berpikir begitu ! Maka tugas
mengawasi bocah itu sudah kuserahkan pada Lauw It Houw, ia pasti menjalankan tugasnya
dengan baik.”
364
“Begitu baru baik !” kata Liok Jie Hui sambil tersenyum. “Jam berapa sekarang ?” tanyanya
pada pelayan-pelayan dibelakangnya.
“Lebih kurang jam satu pagi,” jawab seorang pelayan dengan cepatnya.
“Oh sudah pagi,” katanya seraya bangkit dari kursinya dan memanggil keempat pemuda yang
sedang menjaga pintu. “Mari sini !”
Empat pemuda itu dengan penuh hormat maju kehadapan Liok Jie Hui dengan hormat sekali.
“Sungguhpun kalian baru beberapa bulan saja menjadi muridku, tapi ilmu pelajaran yang
kuberikan kepadamu sudah cukup banyak. Sehingga kepandaian kalian sudah boleh dipakai
untuk menundukkan orang-orang Kang Ouw yang biasa !”
“Inilah kehebatan dari ilmu pedang Keng thian cit su ! Tapi sayang sekali ilmu ini baru bisa
mendatangkan kehebatan kalau dimainkan berdua, sebaliknya tidak ada kemampuannya
bilamana dimainkan seorang diri !”
“Bukankah suhu pernah mengatakan ilmu ini bisa dipelajari seorang diri, tanpa mengurangi
kemampuannya ?” tanya salah seorang pemuda itu.
“Menang benar ! Tapi buku yang kudapati ini kurang lengkap, sehingga aku tak bisa
memberikan pelajaran yang khusus untuk seorang-seorang ! Inilah kekurangannya dari buku
yang kumiliki ini !”
“Kenapa suhu tidak mencari buku yang lengkap ?” tanya seorang pemuda lainnya.
“Kemana aku harus mencarinya ?” tanya Liok Jie Hui sambil menarik napas.
“Bukankah beberapa tahun yang lalu buku itu tersebar luas dikota Kim leng ?” tanya pemuda
tadi.
“Benar !” jawab Liok Jie Hui.
“Semua dari buku itu sama seperti yang kumiliki, yakni tidak sempurna ! Bagian-bagian yang
penting dari pelajaran ilmu pedang ini sengaja dihilangkan, membuat seorang yang
bagaimana berbakat dan rajinpun tak bisa mempelajarinya seorang diri ! Hal ini membuatku
sedih bercampur gusar pada penulis buku yang curang itu, tapi apa mau dikata, semuanya ini
maunya takdir…”
“Kalau begitu jago-jago Kang Ouw yang memperoleh buku Keng thian cit su dikota Kim
lengpun tak bisa memainkan seorang diri ?”
“Benar ! Semuanya tidak bisa, yang bisa hanya penulisnya itu seorang !”
“Siapakah penulis yang licik dan jahat itu suhu ?”
“Ha ha ha penulisnya itu bukan lain dari pada In Tiong Giok, hal ini mungkin kamu sudah
mendengar bukan ? Tapi orangnya mungkin kalian belum kenal. Kini ia sudah berada dikota
365
Lam Ciong, maka kita mendapatkan kesempatan untuk menciduknya dan memaksanya
membuat buku yang lengkap…”
“Apakah In Tiong Giok adalah pemuda yang tadi senja masuk kekota ini ?”
“Benar, dia In Tiong Giok adanya !”
“Bisakah suhu mengijinkan kami berangkat sekarang juga, guna membekuk bocah itu ?”
“Sabar ! In Tiong Giok biar masih muda kepandaiannya sudah tinggi, tenaga kalian berempat,
belum bisa mengalahkannya, tahu !”
“Kalah menang tak kami pikirkan, pokoknya berilah kami kesempatan membekuknya dan
menyerahkan pada suhu !”
“Aku sebagai guru bertanggung jawab kepada kalian bagaimana aku tak bisa membenarkan
tindakan yang terlalu gegabah ini. Tenanglah dan gunakanlah kecerdikan mengatasi soal ini.”
“Caranya suhu ?”
“Ha ha ha soalnya teramat mudah ! Diantara mereka terdapat dua orang tua itu dapat kita
jadikan sandaran, In Tiong Giok pasti mau menebusnya dengan Keng thian cit su yang
sempurna itu !”
Keempat pemuda itu menjadi girang mendengar penjelasan itu. “Bolehkah kami turun tangan
sekarang juga ?”
“Jangan nafsu, tenanglah ! Tunggu sampai Lauw It Houw kembali baru bergerak,” kata Liok
Jie Hui. Sehabis berkata ia merapikan pakaiannya.
“Kini sudah pagi, kalian boleh istirahat, aku masih mempunyai sesuatu urusan yang perlu
diselesaikan sekarang juga !”
Dengan berlenggang kangkung, Liok Jie Hui keluar dari dalam kuil. Sinar lampupun menjadi
padam, Tiong Giok mengajak kedua temannya mengikuti orang tua itu dari kejauhan.
“Kuminta kalian kembali ke hotel !” kata Tiong Giok.
“Bukankah mereka menantikan Lauw It Houw dulu baru bergerak ?” kata Siau Bwee.
“Kita harus sedia paying sebelum hujan.”
“Jika begitu kita beresi saja dulu murid-muridnya Liok Jie Hui sekarang juga, biar tak jadi
penyakit dikemudian hari,” kata Siau Bwee.
“Yang perlu kita hadapi adalah Liok Jie Hui dan bukan murid-muridnya itu,” kata Tiong
Giok. “Pokoknya sekarang juga kuminta kalian kembali ke hotel !”
“Waktu berpisah, Siau cu jin mendengar sendiri Tia tia ku memesan dengan sangat, untuk
mendampingi terus dan menjaga keselamatan Siau cu jin bukan ?”
366
“Hm, sayang perkataan ayahmu itu baru terpikir olehmu sekarang ini !” sindir Tiong Giok.
“Sedari tadipun sudah terpikir.”
“Berpikir sih bisa meninggalkan aku ?”
“Itu….. Tiat Kounio…..”
“Jangan berdebat lagi, sekarang juga kuminta kalian pulang !” Ceng Ceng diam saja, Siau
Bwee pun merasa bersalah, mereka mengganggukkan kepala dan cepat-cepat kembali ke
hotel.
Baiklah kita ikuti In Tiong Giok yang sedang menguntit Liok Jie Hui menyusuri gili-gili
sungai. Ia membayangi musuh dengan jarak tertentu, sehingga tidak diketahui. Beberapa lie
kemudian tibalah mereka disebuah perkampungan nelayan. Liok Jie Hui nampaknya sudah
mengenal betul seluk beluk keadaan kampung itu. Ia masuk dengan leluasa, dan keluar lagi
bersama seorang nelayan. Menuju kepinggir sungai , naik kesebuah perahu yang terus
dikayuh kearah utara.
In Tiong Giok tidak mau ketinggalan, dicarinya sebuah sampan kecil yang tertambat disungai
itu.
Dan mengayuhnya perlahan-lahan tanpa mengeluarkan suara.
Sungai yang mereka layari bermuara kesebuah danau besar. Ditengah-tengah danau terdapat
sebuah pulau kecil. Liok Jie Hui menuju kearah pulau itu dengan mengambil jalan lurus.
Karena letak pulau dan perkampungan nelayan tak seberapa jauh, dalam waktu yang tak
seberapa lama mereka telah tiba dipulau itu.
Kedatangan mereka disambut beberapa penjaga pulau. Liok Jie Hui diam saja diperahu
dengan tenang, sedangkan sinelayan berkata-kata dengan penjaga itu. Entah apa yang mereka
katakana tidak dapat didengar Tiong Giok. Sipemuda sendiri tahu tidak bisa mendarat seperti
Liok Jie Hui, maka itu dikayuhynya sampan ketempat sepi yang tidak ada penjaganya.
Dengan begitu ia mendahului Liok Jie Hui naik kepulau, dan menyelinap mendekati pos
penjagaan.
Liok Jie Hui belum mendarat. Sedangkan penjaga pantai masuk kedalam menuju sebuah
benteng tembok melaporkan kedatangannya itu. Tak selang lama dari dalam benteng tampak
keluar seorang setengah baya yang berpakaian sebagai pelajar bersama penjaga pos tadi.
Begitu orang setengah baya itu sampai dipantai dan melihat Liok Jie Hui, wajahnya berubah
dengan mendadak. Sambil merangkapkan tangan ia memberi hormat dan berkata : “Ada
kepentingan apa Liok Lo Cianpwee gelap-gelap datang kepulau ini ?”
“Aku ingin bertemu dengan kedua Tay siangmu (ketua) !”
“Tidakkah Liok Lo Cianpwee tahu, kedua Tay siangku sedang bepergian ?”
367
“Siau Siang seng tak perlu mencari alas an ini dan itu, aku sudah mengetahui dengan jelas
kedua ketuamu ini tidak kemana-mana ! Kabarkanlah kepada mereka bahwa kedatanganku ini
membawa kabar penting sekali untuk mereka !”
“Maaf Liok Lo Cianpwee apa yang kukatakan adalah benar, bahwa kedua ketuaku tidak ada
ditempat !”
“Aku cukup mengenal tabiat kedua ketuamu itu ! Mereka memang tak senang menerima
tamu, tapi terhadapku adalah pengecualian ! Hal ini kuharapkan bantuanmu juga, guna
melaporkan kepadanya kedatanganku sekarang juga !”
“Jika Liok Lo Cianpwee ingin bertemu juga ikutlah denganku !”
“Ha ha ha begini harusnya bersahabat !” kata Liok Jie Hui sambil mencelat kedarat dan terus
mengikuti tuan rumah kebenteng tembok.
Belum pula mereka masuk kedalam benteng dari dalam terlihat seorang berbaju kuning
menuju keluar. Orang itu begitu melihat Liok Jie Hui berusaha menghindari diri dan mau
masuk lagi.
“Oey Siangkong sudah lama tidak bertemu, rupanya diam-diam sudah mempunyai kedudukan
baik dipulau ini ?” tegur Liok Jie Hui.
Laki-laki berbaju kuning terpaksa membalik badan lagi dan memberi hormat pada Liok Jie
Hui sambil tersenyum. “Liok Lo Cianpwee bisa saja nih, sebenarnya sudah lama aku ingin
berkenalan denganmu, tapi baru hari ini rupanya niat itu terkabul !”
“Lima hari yang lalu kulihat engkau berbelanja dengan sibuk dikota Lam Ciong, sebetulnya
ingin kupanggil, tapi kau keburu pergi !”
“Aduh, kalau begitu aku kurang hormat dong, maaf deh ! Liok Lo Cianpwee sudah lama
menetap di Lam Ciong ?”
“Baru saja sepuluh hari,” sahut Liok Jie Hui tersenyum. “Kedatanganku kesini belum melapor
pada kedua Tay Siangmu, maka merasa kurang tenteram ! Kumohon bantuanmu menyatakan
rasa penyesalan ini, sebelum aku bertemu dengan kedua ketuamu itu !”
Laki-laki berbaju kuning itu mempersilahkan Liok Jie Hui masuk kedalam benteng dan terus
menyuguhkan the, ia sendiri menyeret laki-laki setengah baya kebelakang benteng.
In Tiong Giok melihat tegas bahwa laki-laki berpakaian kuning itu bukan lain dari Oey Tin
Hong si banci itu. Ia jadi geli sendiri, jikalau inagt pengalamannya dulu menghadapi banci itu,
hampir ia tertawa sendiri.
Sedangkan Oey Tin Hong begitu sampai dibelakang benteng, dengan bersungut-sungut
menyesalkan kawannya. “Engkau bagaimana sih ? Kapan sudah tahu ketua kita tidak mau
menemui tamu bukan ?”
“Ia mendesak terus dan tak percaya apa yang kuucapkan terpaksa kuajak masuk…..”
368
“Kau harus tahu, tua bangka itu sangat licik dan busuk, kedatangannya pasti untuk tujuan
yang tidak baik !”
“Ah jangan bercuriga, pokoknya beritahulah soal kedatangannya pada ketua !”
In Tiong Giok berniat membuntuti Oey Tin Hong, tapi dengan cepat pikirannya berubah.
Bagaimanapun dua ketuanya itu akan kesini, lebih baik aku mencaari tempat sembunyi. Dan
diam-diam disitu menantikan segala perubahan dari pada menampakkan diri membuat mereka
terkejut tak karuan.
Setelah mengambil keputusan ia ccelingukan mencari tempat yang baik, tampak oelhnya
sebuah menara pengintai yang cukup tinggi didepan benteng. Disitu terlihat seoraang penjaga
sedang bertugas. Cepat-cepat ia keluar dari persembunyiannya, berindap-indap mendekati
menara itu dan terus mencelat keatas tanpa bersuara, sedangkan kepandaiannya yang dimiliki
kini, dipakai menghadapi penjaga semacam itu mudahnya bukan main. Begitu tangannya
bekerja, pengawal itu tertotok tanpa berkutik. Dari sini ia dapat melihat keadaan di dalam
benteng dengan bebas sekali.
Lebih kurang sepemakan nasi lamanya ia melihat sinar obor datang dari jurusan dalam. Makin
lama makin dekat hingga membuatnya melihat tegas. Delapan bocah-bocah kecil dengan
bersenjata pedang, mengawal ddua bocah kecil lainnya. Tiong Giok mengenali dua bocah
yang diiring itu adalah Hek pek siang yauw, Na Beng Sie dan Lauw Siu Kim.
Dengan gagah suami istri itu masuk kedalam benteng, barisan pengawal yang menjaga pantai
berbaris dengan rapi dibawah komando laki-laki setengah baya tadi. “Yang rendah Siau Lam
Siong memberi hormat pada Jie Wie Tay siang.” Belum lagi ia selesai bicara, Lauw Siu Kim
yang berangasan sudah membentaknya : “Engkau bernyali besar, berani mengajak orang luar
masuk kedalam benteng ini !”
“Ini….” Siau Lam Siong membela diri dengan wajah pucat. “Sebab…..sebab…..”
“Tutup mulut ! Kesalahan ini tak dapat aku ampuni ! Pengawal ringkus dia !” seru Lauw Siu
Kim dengan bengis. Dua bocah bersenjatakan pedang maju kedepan menjalankan perintah.
Pada saat inilah Liok Jie Hui menampakkan diri. Ia memberi hormat terlebih dahulu pada tuan
rumah, lalu membuka mulut : “Toaso jangan marah, ini bukan kesalahannya aku……”
“Liok Toako ketahuilah ! Engkau bicara dimana ? Apakah kau ingin membuat kam malu
didepan anak buah ini ?” kata Lauw Siu Kim dengan ketus.
“Tidak, sekali-kali tidak ! Aku hanya memohon sedikit muka darimu, agar orang ini
diampuni……”
“Baiklah !” kata Lauw Siu Kim dengan nada dongkol. “Apa maksudnya datang kemari ?”
“Ada sebuah kabar penting yang hendak kusampaikan kepada Toako dan Toaso,” kata Liok
Jie Hui dengan tersenyum-senyum. Sedikitpun ia tak merasa tersinggung atas sikap tuan
rumah yang berangasan itu.
“Kabar apa ?” tanya Lauw Siu Kim dengan ketus.
369
“Yakni ekor peristiwa Hoay Giok San….”
“Hm ! Soal di Hoay Giok San ? Engkau masih ingat kejadian itu ?”
“He he he rupanya Toaso masih dendam dan tak bisa memaafkan kesalahanku itu ? Baiklah
kuterangkan maksudku kesini yakni buat memberi kabar penting untuk menebus kesalahan
itu….”
“Hm, jadi engkau berasa punya kesalahan kepada kami ?” ejek Na Beng Sie yang sejak tadi
diam-diam saja.
“Setiap orang tidak luput dari kesalahan, artinya maju bukan ? Kuakui waktu di Hoay Giok
san mempunyai niat untuk menyerahkan dua pedang mustika itu ! Tapi kuyakin pula setiap
yang datang kesana mempunyai niat yang sepertiku juga , betul tidak ? Yang lucu kita yang
berkelahi orang lain yang mendapat untung !”
“Untuk apa kau menyebut-nyebut soal yang sudah lampau ?” tanya Na Beng Sie.
“Toako jangan mengira soal Hoay Giok san sudah beres…”
“He he he, masih ada ekornya !” kata Liok Jie Hui.
“Apa ekornya ?” bentak Lauw Siu Kim.
“Aku bermaksud baik untuk menyampaikan kabar penting ini, tapi sikap Toako dan Toaso
demikian macam, membuatku tak bisa mengatakan apa-apa lagi !” sehabis berkata Liok Jie
Hui membalik tubuh, hendak berlalu.
“Stop !” seru Lauw Siu Kim.
“Apakah Toaso tak mengijinkan aku pulang ?
“Biar tempatku semacam ini, tapi tak kuijinkan sembarang orang keluar masuk seenaknya
mengerti ? Sebelum engkau terangkan sejelas-jelasnya ekor peristiwa Hoay Giok san, jangan
harap bisa berlalu seenak hati !”
“Habis sikapmu itu seperti menghadapi musuh saja, maka lebih baik kupulang saja !”
“Pokoknya kuminta engkau menjelaskan ! Ingat ini tempatku !” ancam Lauw Siu Kim.
“Tapi sikap Toako dan Toaso begitu macam, seolah-olah tidak percaya saja, mana mau aku
menjelaskan.”
“Liok Toako jangan gusar, sebagai sahabat lama tentu tahu tabiat istriku ini, kuharap engkau
jangan marah !” kata Na Beng Sie.
“Mana berani aku marah-marah.”
“Nah bicaralah…..” desak Na Beng Sie.
370
“Baiklah,” kata Liok Jie Hui, “aku mendengar kabar bahwa kedua pedang pusaka yang
terdapat didaerah Hoay Giok san jatuh ke tangan seseorang….”
“Orang itu siapa ?” tanya Na Beng Sie.
“Kalau kusebutkan, Toako dan Toaso bisa kaget sendiri, ia akan datang mengobrak-abrik
pulau Hiu ini…” Liok Jie Hui sengaja tak meneruskan perkataannya, menunggu reaksi
sipendengar.
Lauw Siu Kim jadi geregetan menghadapi tamunya yang licik ini, ia tak bisa berbuat apa-apa
kecuali bersabar, karena ingin mengetahui siap orang itu yang ingin mengobrak-abrik sarang
mereka.
“Liok Toako perkenalan kita bukan sekarang-sekarang saja, engkau harus tahu sendiri tabiat
istriku, tak perlu diambil dihati akan sikapnya tadi.” Na Beng Sie mulai melunak dan bersikap
ramah. “Sejujurnya seumur hidup kami tidak ada yang kami takutkan, tapi mendengar
perkataanmu barusan, membuat kami ingin tahu siapa manusia yang berani membuka mulut
lebar itu !”
“Na Toako, kabar ini kuketahui secara kebetulan saja, bilamana tidak akupun tak bisa
tahu….” Liok Jie Hui masih tetap belum mau menerangkan dengan jelas.
“Atas kebaikanmu ini kuhaturkan terima kasih,” kata Na Beng Sie.
“Atas ini tak perlu Toako menghaturkan terima kasih,” kata Liok Jie Hui. “Sudah sepantasnya
aku mewartakan kabar ini pada Jie wie. “Ya kabar apa ?” bentak Lauw Siu Kim dengan gusar.
“Soalnya begini,” Liok Jie Hui mulai mengarang cerita yang tidak-tidak. “Toako dan Toaso
mungkin tidak tahu, pedang pusaka yang diperebutkan kita tempo hari jatuh ditangan In
Tiong Giok.”
“Ha ha ha jadi bocah itu yang kau maksud mau mengobrak-abrik tempatku ini ?” tanya Lauw
Siu Kim.
“Toaso jangan pandang enteng kepadanya,” kata Liok Jie Hui, “dengarkanlah dulu ceritaku !
In Tiong Giok sekarang bukan seperti In Tiong Giok yang dulu. Ia sudah lihay sekali, karena
telah mempelajari Keng thian cit su secara sempurna. Bahkan telah menjadi ahli pedang kelas
wahid. Soal ia lihay tidak kuhiraukan, yang membuatku sakit hati adalah perbuatan
curangnya….”
“Kenapa curang ?” tanya Na Beng Sie.
“Apakah Toaso tidak tahu, sejak Keng thian cit su meluas didunia Kang Ouw, berbagai
cabang persilatan mempelajari ilmu itu dengan tekun. Sehingga dalam waktu singkat ini
mereka telah mendapatkan suatu hasil yang boleh juga. Maka itu kalau kita jalan-jalan
didunia Kang Ouw bisa melihat pasangan-pasangan muda berjalan bersama-sama kesana
kemari. Tahukah, kenapa mereka berjalan berpasangan ?”
“Karena mereka meyakinkan Keng thian cit su dengan brdua dengan begitu kedahsyatannya
ilmu pedang itu baru bisa dikembangkan bukan ?”
371
“Apakah Na Tgoako mempelajari ilmu pedang itu berdua juga ?”
“Dalam buku itu sudah jelas diterangkan, ilmu pelajaran itu harus dipelajari berdua bukan ?”
“Itu salah, yang benar semua kaum bulim kena ditipu In Tiong Giok !” kata Liok Jie Hui. “Ia
menulis buku itu tidak lengkap, sedangkan untuknya sendiri adalah yang lengkap !”
Na Beng Sie dan Lauw Siu Kim setengah percaya setengah tidak keterangan tamunya yang
licik itu. “Dari mana engkau bisa memastikannya berlaku curang ?”
“Mula pertama akupun tidak menyangka buruk pada pemuda itu, dan mempelajari Keng thian
cit su dengan tekun, tapi bagaimana kupelajari ada beberapa bagian yang tidak bisa merangkai
satu sama lain. Mula pertama kuanggap pelajaran itu memang sukar dimengerti dan harus
sabar menyelaminya. Tapi tak kira bocah itu dalam waktu singkat sudah begitu pandai dan
lihay…semua ini karena ia memiliki buku yang lengkap dan sempurna!”
“kelihayannya itu dibesar-besarkan saja, padahal belum tentu begitu kenyataannya !” kata Na
Beng Sie.
“Tadinya kuanggap memang begitu, tapi kudengar lagi berita selanjutnya dengan seorang diri
In Tiong Giok membuat orang-orang Pok Thian Pang kocar kacir !”
“Mungkinkah terjadi hal itu ?”
“Untuk membuktikan soal ini aku membuang waktu lama sekali, dan baru bisa bertemu
dengannya dikota Lam Ciong. Apa yang dikatakan orang-orang Kang Ouw soal kelihayan
pemuda itu sedikitpun tak salah, ia telah memiliki kepandaian yang benar-benar luar biasa….”
“Hmm, bocah itu, bocah itu berada dikota Lam Ciong ?” tanya Lauw Siu Kim.
“Benar ! Tujuannya yakni untuk menaklukkan kalian berdua !”
“Kalau dipikir panjang, bocah itu tidak punya permusuhan apa-apa dengan kami, kenapa mau
mengobrak-abrik tempat ini ?” kata Na Beng Sie.
“Karena waktu terjadi perebutan pedang pusaka Toako dan Toaso ikut serta bukan ? Nah
setiap yang ikut memperebutkan pedang itu satu persatu akan dihantamnya….”
“Panggil dia kemari, aku tidak takut !” teriakLauw Siu Kim.
“Toaso jangan gusar apa yang kukatakan ini adalah benar dan tak salahnya berlaku waspada,
hitung-hiutng sebelum hujan sedia paying.”
“Hm, menghadapi bocah semacam itu tak perlu berjaga-jaga !”
“Toaso jangan memandang enteng, jaman ini hanya dia yang pandai Keng thian cit su secara
sempurna.”
372
“Tak perlu menunggu ia datang, aku bisa mencarinya dikota Lam Ciong,” kata Lauw Siu
Kim.
“Anak-anak siapkan perahu !” perintahnya saat itu juga.
“Buat apa begitu bernafsu, kalau ia mau datang kemari, tak perlu kita mencarinya,” cegah Na
Beng Sie.
Lauw Siu Kim yang berangasan, mana mau mendengar nasehat suaminya lagi, ia mau
berangkat saat itu juga.
“Toako tak usah tergesa-gesa, untuk menghadapinya aku mempunyai satu akal baik.”
“Akal apa ?” tanya Na Beng Sie.
Liok Jie Hui segera membisiki Na Beng Sie dengan perlahan, setelah itu tuan rumah
membisiki istrinya. Kemudian dipanggilnya Oey Tin Hong dan memesannya beberapa patah
kata. “Lekas jalankan perintahku ini !”
Oey Tin Hong dengan tergesa-gesa meninggalkan ruangan itu, berlari keluar. Dan tak selang
lama dari empat penjuru terdengar genta berbunyi, disusul dengan terlihatnya cahaya api yang
terang benderang diempat penjuru, dalam waktu sekejap saja pulau kecil itu sudah menjadi
ramai dan gaduh serta tegang.
Melihat kejadian ini, Tiong Giok tahu bahwa kehadiran dirinya siang-siang sudah diketahui
Liok Jie Hui yang licik itu. Baru tubuhnya mau pindah ketempat lain…..
Liok Jie Hui sudah bergelak-gelak dengan keras : “Na Toako bagaimana ? Percaya tidak akan
kata-kataku ?”
Na Beng Sie dan Lauw Siu Kim bersama dengan delapan bocah-bocah kecil dengan cepat
memburu kearah menara pengintai.
“Liok Jie Hui mulutmu beracun sekali,” kata In Tiong Giok. “Namun jangan harap kau
berhasil meminjam golok membunuh orang !” kata In Tiong Giok seraya mencelat pergi,
gerakan tubuhnya luar biasa sekali, membuat Hek pek siang yauw terheran-heran.
“Bocah, engkau jangan bermulut besar, biar bagaimana engkau tak bisa meninggalkan pulau
dalam keadaan hidup,” jawab Liok Jie Hui.
“Kejar !” teriak Lauw Siu Kim.
In Tiong Giok todak mau ribut, ia berlari dengan cepat ketempat dimana perahu ditambat.
Begitu ia sampai hatinya menjadi mencelos, karena perahunya sudah hilang. Sedang pengejar
susul menyusul sudah tiba dibelakangnya.
“Bocah she In, perahu sudah kusimpan ketengah-tengah danau ! Kecuali terbang jangan harap
bisa meninggalkan pulau ini !” ejek Na Beng Sie.
373
In Tiong Giok sedikitpun tidak takut menghadapi Siang Yauw, tapi ia tahu bilamana terjadi
perkelahian antara dia dengan Siang Yauw yang untung adalah Liok Jie Hui. Maka itu ia
berlari lagi menghindari perkelahian. Karena ia sadar, Liok Jie Hui ingin memperalat Siang
Yauw untuk kepentingan dirinya, disamping itu iapun ingin menggunakan tenaga Tiong Giok
untuk menyingkirkan Siang Yauw. Dengan begini ia bisa bebas dan tidak kuatir pada siapasiapa
lagi, guna merampas pedang dari tangan Tiong Giok.
Siang Yauw mengejar terus, sedangkan Liok Jie Hui tidak henti-hentinya menghasut suami
istri itu.
“In Tiong Giok untuk apa berlari-lari seperti maling kesiangan, kau kira bisa lolos dari tangan
Hek pek siang yauw yang tersohor lihay ?”
Na Beng Sie tidak termakan propokasi itu, tapi Lauw Siu Kim lain dengan suaminya,
amarahnya menjadi-jadi, maka dikejarnya pemuda kita dengan sekuat tenaga.
“Toaso hati-hati, ilmu pedang bocah ini lihay sekali !” seru Liok Jie Hui.
Tiong Giok tidak kenal keadaan, tak selang lama dirinya kena dikejar nyonya rumah yang
terus melakukan serangan dengan kedua bilah pedangnya secara bengis.
Tiong Giok mengandalkan telinganya yang lihay mengetahui bagian dadanya diserang musuh,
maka dengan mendadak ia berhenti berlari, dan membungkukkan tubuh menghindarkan
serangan. Lauw Siu Kim kelewat bernafsu kurang mengontrol dirinya, maka menyelonong
terus kedepan dan jungkir balik terganjel tubuh lawannya. Saat itu kalau Tiong Giok mau
berlaku kejam, orang she Lauw itu akan berhenti menjadi orang dibawah hiat cie lengnya
yang ampuh.
Na Beng Sie yang menyaksikan kejadian ini hampir-hampir berteriak bahwa kagetnya. Tapi
Tiong Giok tidak menurunkan tangan melakukan serangan, tubuhnya berbalik dan lari lagi.
Pengejar berkelebat-kelebat dari empat penjuru, dalam sekejap Tiong Giok telah terkepung.
“Kenapa Lo Cianpwee mendesak sekali ?” tanya Tiong Giok memasang mata.
Siang Yauw belum menjawab, Liok Jie Hui telah mendahului. “Bocah apa tujuanmu datang
kepulau ini tanpa diundang ? Kini apa lagi yang hendak kau katakana ? Sebaiknya lekaslah
menyerah !”
Tiong Giok tersenyum meringis. “Aku ingat jasamu membebaskan aku dari Pok Thian Pang
dan menghargai engkau sebagai Bulim Cap Sah Kie. Tapi tak kira sebagai orang tuaan bukan
saja engkau tak bisa memberi contoh baik kepada yang mudaan, malahan berlaku sebagai
dorna yang mengadu domba sesama orang Kang Ouw demi kepentingan sendiri.”
“Hm, sudah tahu dirimu keluar dari Pok Thian Pang karena jasaku, kenapa sikapmu
memusuhi aku, ini boceng (tidak membalas guna) untuk ini engkau harus mampus,” kata Liok
Jie Hui seenaknya dan terus membelah tongkatnya menjadi dua pedang. “Na Toako aku
sebagi tamu, sebenarnya tak pantas menindak bocah ini, tapi perbuatannya kelewat kurang
ajar, kumohon diberi ijin menghajarnya sekarang juga.”
374
Liok Jie hui sengaja mengatakan demikian dan bersikap mau menyerang padahal aksinya itu
hanya gertakan saja. Akal liciknya ini benar-benar membawa hasil, Lauw Siu Kim yang
berangasan merasa mangkel kena dijungkalkan ia mau membalas dendam. Dan tak mau
didahului tamunya. “Sabar !” serunya. “Ini adalah tempatku, takperlu engkau turun tangan,
kami masih sanggup membekuknya.” Digapainya empat bocah kecil yang berpedang. Dan
disuruhnya mereka melawan Tiong Giok. Empat bocah itu manggut-manggut dan terus
memecahkan diri, dua kekanan dua kekiri.
Dengan tak diduga-duga empat bocah ini melakukan serangan dengan berbareng, yang kiri
melancarkan jurus Dua Pedang Melintas Di Utara, yang dikanan melancarkan jurus
permukaan luar menyambung awan. Dua jurus ini adalah gerakan maut dari Keng thian cit su.
Menyaksikan kelihayan bocah-bocah kecil yang berbakat besar ini, timbul rasa sayang Tiong
Giok pada mereka.
Dengan tersenyum ia menggerakkan sepasang lengannya, melancarkan jurus Tujuh keindahan
yang bergabung, mematahkan serangan-serangan bocah kecil itu. Ia bergerak belakangan tapi
serangannya lebih dulu sampai dari lawan-lawannya. Lagi pula ilmu kepandaiannya telah
tinggi jauh dari bocah-bocah cilik itu.
Maka biar bertangan kosong ia tetap lebih unggul banyak, dan dalam waktu segebrakan saja,
keempat bocah-bocah cilik itu susul menyusul dilucuti senjatanya tanpa berdaya.
Bocah-bocah itu yang tampaknya mungil-mungil, terpaku dengan keheran-heranan seperti
terkesima.
“Kalian masih kecil sudah punya kepandaian Keng thian cit su dengan baik. Pedang kalian
kena kulucuti, karena kalian melakukan kesalahan. Pertama empat orang maju berbareng
dengan dua jurus, daya serangannya kurang kuat dan ampuh, seharusnya memakai empat
jurus sekaligus.”
“Kedua jurus yang barusan seharusnya dipakai menyerang keatas dan kebawah, tak boleh rata
seperti barusan, nah ingatlah baik-baik.”
Keempat bocah tampaknya masih ragu, tanpa bilang apa-apa lagi mereka memungut
pedangnya masing-masing dan mundur teratur.
Menyaksikan kejadian ini Lauw Siu Kim naik pitam, dengan keras ia membentak : “Bocah
keparat, coba pecahkan seranganku ini !” Tubuhnya dengan kecepatan kilat melompat
keudara, dengan sedikit gerakan pinggangnya ia menukik turun membawa serangan dahsyat
dengan jurus Dua Pedang melintang diudara.
Satu jurus yang serupa dengan Keng thian cit su, seperti yang digunakan bocah-bocah tadi.
Tapi berubah begitu hebat dan luar biasa daya serangannya.
Tiong Giok menatap keatas dengan perasaan kagum, ia tak berani gegabah seperti menhadapi
bocah-bocah tadi. Kaki kirinya dengan cepat bergerak kesamping, lengan kanannya serentak
menghunus Hong siat kiam. Kemilauan sinar pedang pusaka membuat lIok Jie Hui dan Na
Beng Sie terkesiap. Demikian pula dengan Lauw Siu Kim, ia tak bisa menarik lagi
serangannya. Maka itu pedangnya sekali bentrok telah menjadi patah. Tubuhnyapun turun
375
terus mendekat pedang pusaka yang luar biasa itu. Ia tak berani membuka mata lagi, pikirnya
akan mati terbelah detik itu juga….
“Siu Kim…” teriak Na Beng Sie. Ia mencintai istrinya melebihi dirinya sendiri. Kini ia harus
menyaksikan kematian istrinya tanpa berdaya, ia merasa sedih sekali dan putus asa. Ia
memeramkan mata dengan berduka….
Tapi diluar dugaan Siang Yauw sekali lagi Tiong Giok berbuat baik, ia menarik pedangnya
kesamping dan membiarkan bahu kirinya ketempat pedang buntung musuhnya, sehingga
terluka dan berdarah.
Lauw Siu Kim sangat lihay, begitu pedangnya menyerempet musuh, segera bersalto dan turun
dibumi dengan mata menuding seolah-olah ia tidak percaya musuh itu berlaku murah
kepadanya.
Biarpun lukanya mengeluarkan darah, tak membahayakan jiwa, maka Tiong Giok tak
menghiraukannya barang sedikitpun. Ia memasukkan pedangnya kedalam serangka. Lalu
merangkapkan tangan memberi hormat kepada nyonya rumah : “Dengan sejujurnya jurus
yang dilancarkan Lo Cianpwee sudah sempurna sekali dan tak bisa dipecahkan. Aku
mengandalkan ketajaman pedang pusaka inilah baru berhasil menyelamatkan diri.”
Lauw Siu Kim masih menjublek seperti patung, seperti mendengar seperti tidak mendengar
apa yang diucapkan lawannya.
Sedangkan Na Beng Sie sewaktu membuka mata kembali, melihat istrinya tidak kurang suatu
apa, segera berjingkrakan dengan girangnya. Dipeluknya sang istri sambil menanya dengan
telaten : “Siu Kim kau tidak kenapa-napa ?”
Lauw Siu Kim menjadi sadar begitu saja terpeluk suaminya. “Hm, apakah engkau menyesal
aku tak mampus siang-siang ?”
“Siu Kim apa maksudmu berkata begitu ? Lihatlah bocah ini akan kuhajar, biar hatimu
menjadi puas !”
“Hm, barang siapa berani mengganggu barang seujung rambut dari In Siau hiap ini harus
berhitungan denganku !” kata Lauw Siu Kim.
“Apa ? Bagaimana ?” tanya Na Beng Sie merasa serba salah menghadapi istrinya ini.
Lauw Siu Kim menoleh kearah Liok Jie Hui. “Orang she Liok, bagaimanapun engkau adalah
tamuku, maka tak bisa aku berlaku kurang pantas padamu. Tapi kalau lain hari engkau berani
memijakkan kaki kepulau ini, tiada ampun bagimu !”
Liok Jie Hui adalah orang cerdik, ia mengerti aya yang dialami nyonya rumah barusan.
“Toaso apa artinya budi sekecil itu, sampai harus mengusirku pergi ?”
“Tutup mulutmu jangan sampai aku membalik muka sekarang juga, lenyaplah dari sini !”
“Baik…baik, aku segera pergi….”
376
“Ingat sejak hari ini aku tak mau kenal lagi dengan manusia licik sepertimu ! Engkau tukang
tipu yang pandai mengadu domba sesama orang Kang Ouw ! Engkau mengatakan In Siau
hiap datang untuk mengobrak-abrik tempat ini, nyatanya mana ?”
“Ini….ini…sebab….”
“Jangan banyak mulut lagi, pergilah lekas ! Kalau merasa kurang puas engkau boleh
mengumpulkan kawan-kawanmu, aku menanti setiap saat !” kata Lauw Siu Kim dengan
mendelik. “Siapkan perahu dan bawa dia pergi !”
Tang ! Tang ! Tang ! terdengar bunyi genta tiga kali, ini adalah isyarat bahaya telah berlalu.
Perahu-perahupun berkumpul lagi dipantai.
Dengan diiringi empat bocah kecil Liok Jie Hui diantar sampai keperahu. Ia tersenyum dingin
atas perlakuan tuan rumah, tapi tak berani berkata apa-apa lagi.
Lauw Siu Kim memandang Tiong Giok sambil tersenyum. “In Siau hiap aku menghaturkan
banyak terima kasih atas kemurahan hatimu ! Bilamana tidak, mungkin aku sudah menjadi
setan gentayangan.”
“Lo Cianpwee jangan berkata begitu, semua ini gara-gara Liok Jie Hui yang jahat itu,” kata
Tiong Giok. Seraya menuturkan bagaimana ia menguntit sidorna itu dan sampai dipulau Hiu
ini. “Atas kelancanganku ini aku minta dimaafkan.”
“Jangan berkata begitu, biarpun orang-orang Kang Ouw menganggap Hek pek siang yauw
sebagai momok yang kejam. Tapi didalam hal membedakan antara budi dan dendam kami
punya garis yang tegas. Maka kebaikanmu itu biar bagaimana tak bisa kulupakan. Andaikata
dibelakang hari In Siau hiap membutuhkan bantuan kami, biarpun menerjang lautan api kami
bersiap sedia. Kini berilah muka dan mampir ditempat tinggalku.”
Melihat kesungguhan dari tuan rumah, Tiong Giok tidak berani menolak, maka ia mengikuti
masuk kedalam rumah. Dan dipersilahkan duduk disebuah aula yang luas dan terang
benderang karena banyaknya lilin yang dipasang.
Beberapa pelayan datang membawa obat luka, Tiong Giok diobati secara telaten sekali,
membuatnya merasa syukur dan terima kasih.
Oey Tin Hong menghampiri sambil memberi hormat, lagaknya tidak seperti dulu, mungkin
dikarenakan tambah usia sifatnyapun jadi berubah.
Berikutnya Siau Lam Siong datang memberi hormat seperti yang dilakukan banci tadi.
Setelah beres kenalan, hidangan dan minuman berturut-turut datang. Dan terjadilah pesta
secara mendadakan dengan meriahnya.
Sambil makan dan minum Lauw Siu Kim maupun Na Beng Sie tak henti-hentinya bertanya
ini itu pada tamunya. Tiong Giok tanpa ragu-ragu menceritakan segala pengalamannya
dengan jujur, sehingga tuan dan nyonya rumah merasa puas.
377
“Jadi orang tuamu ada di Lam Ciong ? Kupikir dari pada dibawa ke Kiu yang shia, lebih baik
dibawa kemari !” kata Lauw Siu Kim.
“Soalnya bukan menolak nih,” kata Tiong Giok. “Aku sudah berjanji dengan Tong Cian Lie
akan membawa ibuku kesana, atas kebaikan Jie wie Lo Cianpwee kuhaturkan banyak terima
kasih.”
Setelah mendengar penjelasan dan alasan Tiong Giok, Siang Yauw tidak mendesak lagi.
Perjamuan atau pesta itu berlangsung sampai terang tanah, In Tiong Giok pun baru
diperkenankan pulang oleh tuan rumah. Dengan rasa berat mereka melepaskan Tiong Giok
pulang, tapi memesannya berulang-ulang agar pemuda itu sering-sering datang ketempatnya.
Atas ini Tiong Giok menghaturkan terima kasih dan terus naik perahu meninggalkan pulau
itu……
Sesampainya di hotel, merasa heran sekali, karena melihat banyak orang yang berkerumun,
melongok-longok kebagian belakang dari hotel Huo Peng. Cepat-cepat ia melangkah
kedalam. Pemilik hotel begitu melihat dirinya segera menyambut dengan tesenyum dan
membungkuk-bungkuk. “Kongcu kasihanilah kami, hotel ini adalah sumber pencaharian kami
yang sebenar-benarnya……maka tolonglah kami.”
“Memang kenapa ?”
“Kumohon dengan sangat agar Kongcu mau pindah dari penginapanku ini,” ratap pemilik
hotel. “Soal pembayaran jangan dipikirkan….tolonglah kami !”
“Sebenarnya apa yang terjadi dan membuatmu memaksa kami pindah dengan mendadak
begini ?”
“Soalnya….kawan-kawanmu membuat ribut dan berkelahi….aku takut….kerembet-rembet,”
kata pemilik hotel dengan terbata-bata.
“Oh begitu,” kata Tiong Giok. Dan cepat-cepat membalik tubuh menuju kebelakang. Saat ini
kebetulan sekali Ceng Ceng keluar. “Sebenarnya apa yang telah terjadi di hotel ini ?”
“Oh…..soal kecil yang tak berarti,” jawab Ceng Ceng. “Tapi pemilik hotel sengaja
membesar-besarkan dan ketakutan tak keruan…..”
“Bukannya kami mengusir, tapi minta tolong,” ratap pemilik hotel. “Ini terpaksa kulakukan
karena…..karena takut balasan mereka.”
“Tentunya orang-orang Liok Jie Hui…..”
“Benar !” sahut Ceng Ceng. “Siau cu jin tak perlu kuatir, segala cecunguk-cecunguk semacam
itu biar datang terlebih banyak lagi aku masih sanggup menyikatnya. Mari masuk, mereka
menantikanmu dengan cemas !”
“Engkau tak usah kuatir, soalku pasti takkan merembet-rembet dirimu,” hibur Tiong Giok
pada pemilik hotel. “Soal pindah harus kudamaikan dulu dengan kawan-kawanku….”
378
“Terima kasih…terima kasih,” pemilik hotel berulang-ulang memberi hormat dengan
terbungkuk-bungkuk.
Didalam kamar tampak ibunya, Tio Ma dan Wan Jie sedang memperbincangkan soal dirinya
yang tidak pulang semalam suntuk. Bagitu ia melangkah masuk, mereka menjadi girang, dan
menanya ini itu secara melit. Dengan penuh kesabaran Tiong Giok menuturkan apa yang
dialaminya secara ringkas tapi jelas.
“Kupikir engkau kemana pergi begitu lama, kiranya pergi ke pulau Hiu segala,” Wan Jie
sedikit menggerendeng.
“Kalau kupikir kejadian semalam seperti mimpi saja, disana aku bertempur, tak tahunya
disinipun kamu bertempur,” kata Tiong Giok.
“Ya waktu itu aku seorang diri menghadapi empat musuh, keadaan benar-benar gawat sekali.
Untunglah Ceng Ceng dan Siau Bwee keburu datang. Sehingga dalam waktu sekejap kami
berhasil membunuh dua musuh ! Yang dua lagi segera lari ! Waktu mau terang tanah tiba-tiba
Liok Jie Hui sendiri yang datang, kupikir akan terjadi lagi perkelahian, tak kira orang tua licik
itu tak mau berkelahi, ia hanya membawa mayat anak buahnya, pergi dan tak datang lagi.”
“Untung Siau cu jin berlaku cerdik,” kata Ceng Ceng. “Dan bisa menebak kehendak musuh,
kalau mengikuti cara Tiat Kounio kita pasti terjebak siasat busuk Liok Jie Hui. Bangsat itu
pasti sudah mengetahui bahwa jejaknya diikuti kita, sengaja ia meninggalkan kuil tua untuk
memancing Siau cu jin pergi, diam-diam ia menyuruh anak buahnya datang kemari. Untung
kami keburu pulang, kalau tidak entah apa yang bakal terjadi atas diri ibumu, Tio Ma dan
Wan Kounio !”
“Oh….pantasan pemilik hotel ituketakutan sekali,” kata Tiong Giok. “Kiranya terjadi
perkelahian yang memakan korban jiwa, kalau begini biar bagaimana kita harus pindah dari
hotel ini.”
“Tampang bangkai pemilik hotel yang ketakutan itu menyebalkan sekali,” kata Ceng Ceng.
“Pagi-pagi buta sudah menggebah kita pergi….biar saja kita disini, agar dia ketakutan
setengah mati !”
“Tak bisa berlaku begitu, ia pedagang yang menyayangi sumber pencahariannya, kalau kita
berkelahi terus disini, hotelnya ini bisa tak laku, sama dengan memecahkan mangkok nasinya
bukan ?”
“Sebaiknya peristiwa disini oasti sudah tersebar luas keseluruh kota Lam Ciong, mana ada
penginapan yang mau menampung kita lagi ?” kata Wan Jie.
“Oh…..kuingat Siang Yauw menawarkan tempat, tidakkah lebih baik kita kesana ?” kata
Tiong Giok.
“Jangan kuatir manusia semacam Siang Yauw sembarang waktu bisa berbalik pikir dan
merepotkan kita,” Wan Jie memprotes.
“Tapi sebagai orang kenamaan didunia Kang Ouw kuyakin Siang Yauw bisa dipercaya…”
379
Wan Jie menggelengkan kepala. “Kita harus menjaga sesuatu yang diluar dugaan dan
bercuriga atas kebaikan orang !”
“Ada suatu tempat yang indah dan aman, letaknya tak seberapa jauh.”
“Dimana ?” tanya Tiong Giok.
“Dikuil tua sarangnya Liok Lo Koay !”
“Benar !” kata Tiong Giok. “Liok Lo Koay yang pasti akan pindah dan takut kita satroni.
Baiklah kita nantikan sampai malam baru kesana.”
“Ya kalau pergi sekarang mana bisa. Siau Bwee belum pulang, kita harus menunggunya,”
kata Wan Jie.
“Memang dia pergi kemana ?”
“Ia mencarimu,” kata Wan Jie. “Sebelum itu sudah berjanji berhasil tidaknya akan kembali
disiang hari.”
Tiong Giok menggelengkan kepala. “Kenapa kau ijinkan ia pergi ?”
“Mana bisa kularang ?” sahut Wan Jie.
Sementara itu pemilik hotel sudah datang lagi dan memohon agar mereka lekas pindah
tempat. Sikapnya tidak membuat Tiong Giok gusar, dengan sabar ia menjelaskan akan pindah
setengah malam.
Pemilik hotel mau mengerti juga dan tidak berkata apa-apa lagi.
Sambil menunggu waktu, mereka telah berkemas-kemas dengan rapi. Haripun perlahan-lahan
telah menjadi siang, tapi Siau Bwee belum kelihatan mata hidungnya. Tiong Giok kuatir
terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan pada diri gadis itu.
Maka ia memesan pada Wan Jie dan Ceng Ceng untuk berlaku waspada, ia sendiri segera
pergi keluar untuk mencari Siau Bwee.
Ia tidak berputar-putar kedalam kota mencari gadis itu, tapi langsung menuju kedekat kuil tua,
dimana tadi mereka berpisah. Lalu kekampung nelayan yang dikunjungi tadi malam.
Ditanyanya nelayan-nelayan disitu kalau-kalau melihat dirinya Siau Bwee, tapi semuanya
menjawab tidak melihat gadis yang dimaksud.
Tiong Giok menjadi cemas, tambahan hari sudah hampir senja, maka ia tidak melanjutkan
mencari sigadis, melainkan pergi kekuil tua untuk memeriksa keadaan. Ia mendapatkan kuil
itu sepi dan kosong, nyatanya Liok Jie Hui telah pergi. Setelah memeriksa keadaan kuil
dengan seksama ia pun pulang lagi. Waktu mau memasuki pintu kota, dirinya hampir
bersampokan dengan seorang yang tergesa-gesa, Ia mengawasi orang itu, hatinya girang
dengan mendadak, karena orang itu adalah Ciu Kong.
Jilid 19 .....
380
“Ciu Lo Cianpwee kapan tiba ?” tanya Tiong Giok sambil memegang lengan orang tua itu.
“Kami baru saja sampai belum lama,” jawab Ciu Kong.
“Mana Yauw Lo Cianpwee dan Toa Gu ?”
“Mereka sedang menantikanmu dipenginapan Hoo Peng !”
“Oh kebetulan sekali Lo Cianpwee menginap disana, tentu sudah bertemu dengan Wan Jie
dan lain-lain bukan ?”
“Ya,” jawab Ciu Kong. “Bahkan aku mencarimu setelah mendapat tahu dari Wan Jie.”
“Ada seorang gadis bernama Siau Bwee apakah sudah pulang ke hotel ?”
“Entahlah, aku terburu-buru mencari Siau cu jin, tidak memperhatikan keadaan di hotel, rasarasanya
sih belum pulang !”
Dengan cepat mereka kembali ke hotel, Tiong Giok melihat Yauw Kian Cee dan Toa Gu dan
lain-lain hanya Siau Bwee yang tidak ada.
“Engkau pergi begitu lama, ketemukah dengan Siau Bwee ?” tanya Wan Jie.
“Sudah kucari kesana kemari, tapi tidak kutemui.”
“Kalau begitu urusan yang tidak diinginkan benar-benar terjadi !” kata Wan Jie.
“Soal apa ?” tanya In Tiong Giok dengan heran.
“Lihatlah ini,” kata Wan Jie sambil mengambil sehelai surat. “Begitu engkau pergi, ada
seorang anak membawa surat ini. Bacalah engkau akan mengerti sendiri.”
Tiong Giok melihat surat itu berbunyi : “Kuminta kalian semuannya menggunakan kereta
yang tertutup datang ke kota Hong Shia. Soal lainnya akan ditentukan dikemudian. Perintah
ini harus dipatuhi bilamana jiwa Siau Bwee dan Pek Kiam Hong terancam kematian. Pikirlah
masak-masak, jangan sampai menyesal belakangan.”
Surat itu tidak dibubuhi tanda tangan maupun tulisan lainnya.
“Ini pasti surat Liok Jie Hui,” kata In Tiong Giok. “Dengan menjadikan Siau Bwee dan Kiam
Hong sebagai sandera, ia hendak memaksaku menyerahkan pedang mustika !”
“Kenapa Pek Suheng bisa jatuh ditangan mereka ?” tanya Wan Jie.
“Ia mempunyai janji dengan Siau Bwee,” kata Tiong Giok. “Rupanya waktu Siau Bwee
keluar mencari bertemu dengan Kiam Hong sehingga lupa pulang. Sedangkan Liok Jie Hui
yang mempunyai banyak kaki tangan didalam kota ini mengetahui mereka berdua saja, maka
menangkapnya dengan mudah untuk dijadikan sandera seperti yang kukatakan tadi.”
381
“Jika ia menginnginkan hal itu, kenapa tidak melakukannya di Lam Ciong ini ? Dan apapula
maksudnya menyuruh kita naik kereta segala macam ?” kata Yauw Jian Cee.
“Liok Jie Hui manusia licik yang aneh, ia sudah memperhitungkan, bahwa kota Lam Ciong
berdekatan dengan pulau Hiu, kuatir Hek pek siang yauw mendapat kabar dan mencampuri
urusan ini.”
“Soalnya sudah begini, langkah apa yang harus diambil ?” tanya Ceng Ceng.
“Hm, apa yang engkau bisa ?” bentak Ciu Kong.
“Soalnya ia menginginkan pedang mustika, sebelum benda itu diperolehnya ia tak
mencelakakan Tiat Kounio maupun Pek Kiam Hong. Maka itu ada kesempatan bagi kita
mengirim kabar ke Pok Thian Pang. Perserikatan ini pasti mencari Liok Jie Hui untuk
membebaskan Siau Pangcu mereka bukan ?”
“Pok Thian Pang menolong Pek Kiam Hong. Lalu siapa yang menolong Tiat Kounio ?” tanya
Ciu Kong.
“Tia tia tidak tahu, kalau Pek Kiam Hong bebas, Tiat Kounio pun pasti bebas !”
“Hmm, cara memancing si air keruh bukan kerjaan kita ! Sebaiknya engkau jangan bicara dan
pergi jauhan ke sana !”
“Tia tia bisanya memaki dan membentak aku saja,” kata Ceng Ceng.
“Namanya tukar pikiran, siapapun boleh mengeluarkan pendapatnya, andaikata saranku ini
kurang baik, boleh ditolak jangan dimaki-maki.”
“Sudah, pergi jauhan kesana !” bentak Ciu Kong.
“Baik-baik,” kata Ceng Ceng sambil berlari kebelakang Wan Jie.
“Ia bisa berpikir begitu masih baik, dari pada diam-diam saja seperti si tolol !” kata Wan Jie
yang terus merangkul Ceng Ceng.
“Hm, pantasan kian hari lagaknya kian menjadi-jadi, kiranya ada bekingnya !” kata Ciu Kong.
Wan Jie tidak menjawab, ia tersenyum pada Ceng Ceng. Dan mengusap-usap dengan
sayangnya. Kalau ia ingat kejadian didalam tebing, dan marah-marah pada gadis ini
dikarenakan cemburunya, ia menjadi malu sendiri.
“Sebaiknya kita turut saja kehendak musuh,” kata In Tiong Giok. “Ceng Ceng carilah dua
kereta untuk masuk ke kota Hong Shia. Sekalian beritahu pemilik hotel agar menyediakan
makanan untuk lima orang, setelah itu kita berangkat.”
Ciu Kong dan Yauw Kian Cee saling menatap satu sama lain, mereka tidak mengetahui apa
yang akan diperbuat Siau cu jinnya. “Apakah Siau cu jin memastikan diri untuk berangkat dan
menuruti kehendak musuh ?” tanya Ciu Kong.
382
Tiong Giok mengangguk. “Lo Cianpwee bertiga kuminta berangkat belakangan, dengan
begini siasat musuh dapat kita pecahkan.”
Waktu senja mendatang dari arah kota Lam Ciong tampak dua kereta beriring-iring menuju ke
kota Hong Shia. Kereta yang didepan ditumpangi Wan Jie dan ibu angkatnya, yang
dibelakangnya Ceng Ceng dan Tio Ma. Sedangkan Tiong Giok mengikuti kedua kereta
perlahan-lahan, dengan alas an agar orang tua tidak terlalu bergoyang-goyang. Padahal ia
memberi kesempatan pada rombongan Ciu Kong bisa menyusulnya.
Seperti kita ketahui Liok Jie Hui memerintahkan mereka ke kota Hong Shia untuk menerima
petunjuk yang selanjutnya lagi. Tiong Giok ingin benar mengetahui dengan cara apa pihak
musuh itu menyampaikan petunjuknya yang kedua itu.
Disamping itu iapun menduga musuh pasti mengawasi gerak gerik mereka, atau menyuruh
lagi seseorang mengantarkan surat seperti cara pertama. Jika sampai terjadi lagi hal-hal ini
Ciu Kong dan kawan-kawan pasti akan berhasil menjalankan tugasnya.
Akan tetapi sampai jauh malam tidak terjadi sesuatu yang penting ditengah perjalanan itu.
Jarak antara Lam Ciong dan Hong Shia hanya seratus lie, kalau kereta jalan cepat mereka
seharusnya sudah tiba ditempat tujuan. Kini dikarenakan jalannya perlahan mereka baru tiba
ditengah-tengah yakni sebuah kota kecil yang bernama Tong Shia.
Tiong Giok mampir disebuah penginapan reot, untuk mengajak rombongannya bermalam. Ia
sendiri mengawasi kepada kusir-kudir kereta yang sedang mengombongi kuda-kuda mereka
distal. Tiba-tiba saja ia melihat dipunggung salah seorang kusir itu, perlahan-lahan ia
menghampiri dan mengambil kain itu tanpa diketahui sang kusir.
“Terima kasih atas kepatuhanmu atas peerintahku, soal Tiat dan Pek tak usah dikuatirkan,
mereka dalam keadaan sehat-sehat. Lanjutkanlah perjalanan ke kota Hong Shia. Kami bisa
memberi petunjuk yang ketiga.
Sehabis membaca surat itu Tiong Giok celingukan keempat penjuru, ia tidak mendapatkan
seorang yang bisa dicurigakan. Membuatnya semakin heran saja. Ia merasa penasaran sekali,
karena sepanjang jalan kereta-kereta itu tidak luput dari pengawasannya, kenapa tiba-tiba saja
terjadi hal ini tanpa diketahuinya. Sungguhpun begitu ia tetap bersikap tenang seperti tidak
terjadi apa-apa.
Tiong Giok membatalkan niatnya bermalam dikota Tong Shia dan bergegas untuk
melanjutkan perjalanannya. Mendengar ini salah seorang kusir menunjukkan muka tak puas.
“Kalau ingin cepat-cepat sampai kenapa menitahkan kami berjalan lambat-lambatan ?”
“Untuk ini kami menambah uang sewa satu kali lipat dari harga semula, bagaimana ? “ bujuk
Tiong Giok.
“Kami bisa bertahan, tapi kasihan kuda-kuda itu, mereka kelewat letih dan bisa mati dijalanan
!”
“Kalau kamu tidak bisa melanjutkan perjalanan, kepaksa kucari kereta lain, untuk ini
pembayaran kuminta dikurangi !”
383
“Ya begitu lebih baik,” jawab kusir itu, “kami lebih senang pembayaran dikurangi dari pada
melanjutkan perjalanan. Untuk ini Kongcu tak perlu memusingkan diri, kami bisa mencarikan
kereta untuk melanjutkan perjalanan.”
In Tiong Giok membayar ongkos kereta.
Kusir yang satu lagi dari tadi diam saja, waktu Tiong Giok mengusungkan uang ia menolak
dan menyatakan mau melanjutkan perjalanan asal tambahnya besar.
“Apakah engkau tidak takut kudamu mati dijalanan ?”
“Kudaku cukup perawatan, pasti bisa melanjutkan perjalanan.”
“Kalau begitu baik, bisakah keretamu muat empat orang ?” tanya Tiong Giok.
“Asal mau berdempetan bisa saja !”
“Baiklah, aku tak perlu repot-repot mencari kereta lain.”
Sewaktu mau berangkat dari arah luar datang tiga penunggang kuda, mereka bukan lain dari
rombongan Ciu Kong adanya. In Tiong Giok pura-pura tidak kenal, tapi waktu berpapasan
dengan cepat ia memberikan secarik kertas pada kawannya itu tanpa diketahui siapa-siapa.
Setelah kereta berangkat agak lama, Ciu Kong membuka kertas tadi, disitu tertulis sebagai
berikut : “Perhatikan kusir kereta, kemungkinan besar anak buahnya Liok Jie Hui.”
Diperjalanan tidak ada yang perlu diceritakan sewaktu mereka tiba dikota Hong Shia sudah
terang tanah. Jalanan disini sangat ramai biarpun masih pagi. Kereta berjalan semakin
perlahan. Seorang muda berbaju hijau tampak mengejar-ngejar kereta. Tiong Giok jadi curiga
dan memerintahkan kereta berhenti.
“Apakah kereta ini rombongan dari In Kongcu ?” tanya pemuda itu.
“Benar ! bagaimana kau tahu ?” tanya Tiong Giok.
“Kalau begitu ikutlah denganku,” kata pemuda itu.
Pemuda itu mengajak mereka masuk kesebuah penginapan yang bermerek Empat Lautan. “In
Kongcu sudah tiba ! In Kongcu sudah tiba !” seru sipemuda yang terus masuk kedalam hotel.
Empat lima pelayan bergegas-gegas keluar menyambut kedatangan kereta dengan telaten
sekali. Mereka membuka pintu kereta dan mempersilahkan penumpangnya masuk kedalam
dengan ramah tamah.
Pelayan-pelayan itu mengajak para tamunya kesebuah meja yang penuh hidangan. Pemuda
berbaju hijau mempersilahkan mereka duduk sambil melayani dengan tersenyum-senyum.
“Yang rendah adalah pemilik hotel ini, bilamana ada pelayanan yang kurang memuaskan
kuharap dimaafkan saja.”
384
“Ah, kau memperlakukan kami dengan baik sekali,” kata Tiong Giok.
“Persiapan ini tergesa-gesa, mungkin masih banyak kekurangannya,” kata pemilik hotel itu.
“Siapakah yang menyuruhmu melakukan persediaan ini ?”
“Teman In Kongcu yang memesan, dan iapun meninggalkan sepucuk surat untukmu.” Kata
pemilik hotel sambil menyerahkan surat itu.
Tiong Giok tahu surat itu pasti dari Liok Jie Hui dan cepat-cepat dibacanya. “Mengingat
tempat ini sangat asing bagimu, maka segala keperluanmu dalam hal menginap dan makan
sudah kuatur serapi mungkin. Kuyakin engkau menjalankan perintahku. Maka kuminta besok
pagi engkau datang seorang diri ketepi sungai Hong kang sekalian bawa buku Keng thian cit
su dan pedang pusaka. Bilamana lebih dari seorang yang datang aku tak berani menjamin
keselamatan Pek dan Tiat.
“Ah, benar saja temanku itu baik sekali,” kata In Tiong Giok sambil memasukkan surat itu
kedalam sakunya.
Sesudah bersantap Wan Jie dan Ceng Ceng mengajak kedua orang tua masuk kekamar,
sedangkan In Tiong Giok membayar ongkos kereta. Anehnya tukang kereta itu setelah
menerima uang, cepat pulang tanpa istirahat lagi.
Tiong Giok masuk kekamar, memperhatikan surat tadi kepada Wan Jie dan Ceng Ceng.
“Kuduga pemilik hotel inipun bukan komplotan Liok Jie Hui, tapi dihotel ini pasti ada kaki
tangannya. Mulai detik ini kuminta kalian berlaku waspada dan giliran berjaga. Aku sendiri
harus berpikir dan memusatkan perhatian untuk esok.”
“Apakah engkau benar-benar mau menemui Liok Jie Hui ?” tanya Wan Jie.
“Benar !”
“Apakah permintaannya kau turuti juga ?”
“Untuk keselamatan Siau Bwee dan Kiam Hong segala permintaannya akan kuturuti !”
“Tapi pikirlah masak-masak, kedua pedang pusaka itu kalau jatuh ketangan Liok Jie Hui akan
merupakan bencana dikemudian hari.”
“Pokoknya asal kubisa menolong Pek dan Tiat berdua, kuyakin pedang ini akan kembali lagi
ketanganku, kecuali nasibku kelewat buruk.”
“Semoga bisa begitu hendaknya,” Wan Jie berdoa.
“Keesokan harinya, dengan pakaian serba ringkas Tiong Giok membawa pedang pusaka dan
Keng thian cit su menuju sungai Hong kang. Ia bisa sampai disungai itu setelah bertanya
kesana kemari. Sesampainya disitu iapun menjadi bingung, sebab ia tidak tahu harus
menunggu dimana, karena disurat itu tidak menyuruh ketempat yang tertentu. Ia mondar
mandir ditepi sungai sambil melihat-lihat kalau-kalau ada yang dicurigakan. Entah sudah
385
berapa lama ia berjalan, belum pula bertemu dengan Liok Jie Hui. Sedangkan mata hari terasa
semakin panas, ia mampir disebuah warung kopi, untuk menghilangkan dahaga. Baru saja ia
minum, ada seorang bocah menghampiri dan bertanya dengan perlahan.
“Apakah Kongcu she In ?”
“Benar,” jawab Tiong Giok.
“Ada seorang menyewa perahu ayahku, dan menyuruh Kongcu menyebrang.”
“Dimana perahunya, hayo ajak aku kesana,” kata Tiong Giok seraya bangkit dari duduknya
dan membayar minumannya.
Anak itu mengajak Tiong Giok kesebuah tempat yang sunyi disana benar saja telah siap
sebuah perahu kecil.
“Siau Kongcu, apakah ini Kongcu ?” tanya tukang perahu.
“Benar…..” jawab si bocah yang ternyata bernama Siau Kongcu itu.
Tiong Giok melompat keprahu itu dan turun dengan ringan tak ubahnya seperti daun kering
yang gugur kebumi. Tukang perahu maupun sibocah merasa kagum atas kepandaian pemuda
kita tapi tak mengatakan apa-apa. Siau Kongcu melepaskan tambatan perahu dan bersamasama
ayahnya mengayuh ketengah sungai.
“Apakah yang menyuruhmu itu menentukan sesuatu tempat untuk mendarat ?” tanya In Tiong
Giok.
“Tidak,” jawab tukang perahu, “ia hanya menyuruhku membawa Kongcu menyebrang,
sesampai disana ada orang lain yang bisa menjemput Kongcu dengan kuda.”
“Kuda ? Apakah perjalanan masih jauh ?”
“Ini…. Aku tak tahu,” kata situkang perahu dengan perlahan.
“Kongcu lihat !” seru Siau Kongcu, “Disana ada yang menuntun kuda !”
Tiong Giok memandang kedepan, dan benar saja dibawah pohon liu yang rindang terlihat
seorang berbaju hitam menuntun dua ekor kuda. Orang itu kepalanya botak mengkilap sekali
lihatpun Tiong Giok mengenal, dialah tukang loak di gang yang pernah diketemukannya.
Tidak menantikan perahu merapat kepantai, Tiong Giok sudah mencelat pergi dengan satu
lompatan.
“Ya Allah….inilah dewa yang pandai terbang,” puji Siau Kongcu tanpa terasa.
Sibotak jadi tertegun melihat kepandaian pemuda kita, tapi ia pura-pura tenang, dan
menyambut sambil tersenyum. “In Kongcu tentu sudah tahu, ketuaku bermaksud mengadakan
pertemuan ini tanpa diketahui orang lain bukan ? Caramu memamerkan kepandaian ini
membuatku jadi curiga…..”
386
“Curiga tidak curiga terserah kepadamu,” jawab In Tiong Giok. “Dimana ketuamu ?”
“Ia sedang menantikan kedatanganmu, ikutlah denganku,” kata si botak.
“Waktu di Lam Ciong engkau pernah menipuku dengan akal busukmu,” kata Tiong Giok.
“Sampai sekarang masih kuingat terus, dapatkah kutahu namamu ?”
“Daya ingat Kongcu kuat sekali,” kata sibotak. “Namaku Siu Lang.”
“Oh….Siu Lang (serigala botak), bukankah engkau salah satu dari It Lang Jie Po (satu
serigala dan dua macan tutul) dari Heng San ?”
“Benar, itu soal dulu, sekarang kami mengabdi pada Liok Lo Cianpwee.”
“Bukankah berdiri sendiri lebih baik dari pada mengabdi pada orang lain ?”
“Itu urusan pribadi kami, Kongcu tak usah tahu,” jawab Siu Lang dengan ketus.
“Begitupun baik,” kata Tiong Giok tawar.
“Kembali soal perjanjian dimana aku harus menemui ketuamu itu ? Masih jauhkah dari sini ?”
“Disebut jauh tka jauh, disebut dekat tidak dekat, pokoknya marilah naik kuda dan ikut
denganku.”
“Baiklah selanjutnya aku hanya mengikuti engkau,” kata Tiong Giok mendongkol.
Siau Lang tidak banyak cerita lagi, membedal tunggangannya kebarat daya. Tiong Giok
mengikuti dari belakang, semakin jauh perjalanan semakin sepi. Selama itu mereka tak pernah
berkata-kata. Biarpun begitu Tiong Giok memperhatikan jalanan yang ditempuh, ia menjadi
heran, karena sibotak mengajak jalan berliku-liku, nanti kebarat, nanti keutara seenaknya saja.
Mula pertama ia masih bisa berlaku sabar, tapi setelah beberapa jam berlalu, ia mendapatkan
perjalanan dari utara balik lagi ke barat, dari barat langsung ke selatan kembali ketempat
semula. Hatinya jadi panas dan membuatnya naik pitam. “Hm, dengan cara ini sampai kapan
bisa tiba ?”
“Hm, pokoknya tahu beres saja,” jawab Siu Lang.
“Ingat sembarang waktu jiwamu bisa kubunuh !”
“Kalau berani boleh coba.”
“Kau kira aku takut ?”
“Jangan lupa kematianku bisa membuat Tiat dan Pek mati juga !”
“Engkaupun jangan lupa, kalau Tiat dan Pek mati, Liok Lo Koay (jejadian tua) pun akan mati
pula.”
387
“Kuyakin Kongcu tak menghendaki hal itu sampai terjadi bukan ?”
Tiong Giok tidak menjawab, karena membenarkan apa yang dikatakan sibotak didalam hati.
“Baiklah kuikuti terus caramu ini sampai diakhirnya.”
Dari siang mereka berjalan sampai senja, akhirnya tiba ditempat mula pertama Tiong Giok
mendarat tadi. Kini ia sadar Liok Lo Koay yang licik sudah memperhitungkan secara cermat
sekali. Perbuatan Siau Lang yang mengajaknya berputar-putar, semata-mata hendak
mengetahui apakah dibelakang Tiong Giok ada yang mengikuti atau tidak. Biarpun ia
mangkel dipermainkan begitu macam, tetapi kagum atas kelihayan lawan.
Si botak turun dari tunggangannya, lalu mengambil tikar yang tergantung dipelana kudanya.
Ia mencari tempat yang rata guna menggelar tikarnya. Diambilnya pula bungkusan lain yang
berisi makanan kering dan minuman. “Kita sudah menempuh perjalanan jauh. Mari makan
minum dulu.”
“Aku belum lapar !”
“Apakah Kongcu kuatir makanan dan minuman ini beracun ?”
“Itu soal lain, yang terang aku belum lapar ! Cepatlah makan nanti kita ubek-ubekan lagi
seperti tadi.”
“Ha ha ha, Kongcu jangan salah paham,” jawab Siu Lang. “Biarpun perjalanan tadi kurang
menyenangkan, tapi lebih sip dan banyak untungnya dari pada langsung ketempat tujuan.
Pikirlah engkau membawa pedang mustika, tentu banyak orang-orang jahat yang ingin dan
merampasnya bukan ? Untuk menghindari merekalah, aku menerima perintah mengajakmu
berputar-putar seperti tadi.”
“Apakah dunia ini masih ada orang jahat yang melebihi Liok Lo Koay ?” selak Tiong Giok.
“Pendapat Kongcu berdasarkan sentimen.”
“Aku segan banyak bicara, jelaskan kapan Liok Lo Koay itu mau bertemu denganku ?”
“Dalam hal ini, bukan saja Kongcu yang tidak tahu, akupun sami mawon !”
“Apa engkau tidak tahu ?”
“Benar ! Aku hanya menjalankan tugas seperti tadi, lalu diam disini menantikan perintah
selanjutnya.”
“Hm, engkau berani mempermainkan aku,” kata Tiong Giok sambil melompat turun dan
memberikan beberapa tamparan pada sibotak. Siu Lang begitu-begitu juga seorang Kang Ouw
mencoba melawan. Tapi sia-sia saja, mukanya kena digampar tanpa berdaya.
“Aku benar-benar tidak tahu ! Jangan kata digampar dibunuhpun aku tak bisa mengatakan
soal yang tidak kutahu !”
388
“Kalau engkau tak tahu, siapa yang bisa tahu perintah selanjutnya itu ?” tegur Tiong Giok
sambil memberikan gaplokan nyaring dikepala botak Siu Lang.
“Aduh ! Ngomong-ngomong jangan main tampar, main gatak…..sakit,” kata Siu Lang sambil
mengusap-usap kepalanya yang menjenut benjol. “Ketuaku mengatakan sesudah malam,
bakal ada cahaya api yang memberikan petunjuk !”
“Baiklah kutunggu sampai malam, kalau tidak ada, kepala botakmu akan pecah !”
Siu Lang melanjutkan lagi makan minum dengan meringis.
Sementara itu perlahan-lahan haripun menjadi gelap.
“Mana sinar api itu ?” tanya Tiong Giok tak sabaran.
“Sabar Kongcu, haripun baru saja gelap, masih jauh ke pagi !”
“Pletok,” terdengar getakan nyaring dari kepala botak Siu Lang. “Ngomong lagi masih jauh
kepagi !” bentak Tiong Giok.
“Nah…..lihat ! Itu api !” seru Siu Lang sambil menunjuk keutara.
Tiong Giok mengawasi kearah yang ditunjuk, disitu terlihat sinar api bergerak-gerak tertiup
angin.
“Bagaimana kau tahu api itu petunjuk bagi kita ?”
“Soalnya sukar kujelaskan, mari kita kesana.”
“Hm, awas kepalamu, kalau bohong !” ancam Tiong Giok sambil mengikuti sibotak kearah
api.
Setelah dekat Tiong Giok melihat tegas sebuah lentera tergantung disebuah pohon. Dibatang
pohon terlihat sebuah goresan panah yang menunjuk kearah barat laut. Dengan mengikuti
arah panah mereka melarikan tunggangan mereka ketempat yang ditunjuk. Lebih kurang
berjalan sepuluh lie jauhnya, lagi-lagi terlihat sebuah lentera disebuah pohon, disini terdapat
goresan yang menunjuk kebarat.
“Liok Lo Koay menganggap dirinya pintar,” ejek Tiong Giok. “Tapi dengan cara ini, kiranya
tak ada yang bisa mengikuti jejekanya ? Kuyakin dibelakang kita sudah ada yang
mengikuti……”
“Kongcu jangan meremehkan kelihayan Liok Lo Cianpwee,” kata Siu Lang membela
ketuanya. “Sebelum hal ini dijalankan, siang-siang ia telah memeriksa keadaan sejauh dua
lie…..Ia mendapatkan tiada orang lain lagi yang mencurigakan !”
“Hm,” dengus Tiong Giok sambil membathin. “Engkau tak tahu, dibelakangku ada Ciu Kong
dan kawan-kawan, yang tidak kau ketahui.”
389
Sepanjang jalan selalu ada lentera yang menunjuk kearah mana mereka harus pergi. Makin
lama perjalanan semakin menurun, berliku-liku menyusuri perjalanan gunung. Tiong Giok
mulai merasakan perjalanan agak berat, dan tahu tempat tujuan sudah tak jauh lagi.
Lentera terakhir terdapat disebuah tebing gunung, disitu tidak ada panah penunjuk lagi seperti
tadi.
Tiba-tiba dari atas tebing terdengar suara nyaring : “Apakah yang datang itu In Siau hiap
adanya ?”
“Benar, aku datang bersama Siu Lang !”
“Diminta dengan hormat Siau Hiap menghentikan langkah,” kata suara diatas. “Siu Lang
dianggap sudah selesai menjalankan tugas, diminta mundur dan jangan maju!”
Mendengar perintah itu Siu Lang segera memutar kudanya.
“Jangan pergi dulu !” cegah Tiong Giok. “Terangkan dimana Liok Lo Koay bersembunyi ?”
“Ia menunggu Siau Hiap diatas gunung itu.”
“Sebelum kutemui Liok Lo Koay tugasmu kuanggap belum selesai.”
“Apakah Siau Hiap tidak percaya bahwa Liok Lo Cianpwee sedang menantikan kamu ?”
“Sebelum kutemui Liok Lo Koay kuharap engkau selalu bersamaku !”
“Ha ha ha tak sangka orang sesohor dan segagahmu, nyatanya bernyali tikus !” ejek Siu Lang.
“Bukan aku bernyali kecil,” jawab Tiong Giok. “Tapi berurusan dengan Liok Lo Koay
bagaimanapun harus terlebih hati-hati !” Dengan gerakan kilat ia menangkap lengan Siu Lang
dan memelintirnya. “Antarkan aku menemui bangsat she Liok itu !”
“Orang she In lepaskan saudaraku !” terdengar teriakan dari atas. Disusul dengan bunyi yang
menggelegar keras, dari jatuhnya sebuah batu besar kehadapan mereka.
“Lauw Jie Houw, aku dalam keadaan tak berdaya, engkau jangan….” Belum pula Siu Lang
selesai berkata, lagi-lagi terlihat dua batu besar turun kebawah.
Bukan saja suara menggelegar terdengar lagi, bahkan pecahan batu mencerat keempat
penjuru. Tiong Giok sangat lihay, sebelum batu itu sampai, telah membarengi lompat dari
kudanya sambil menenteng Siu Lang keatas tebing. Gerakannya tidak berhenti disitu, ia
mencelat terus dengan gesitnya. Dalam sekejap telah berada diatas tebing. Disini ia melihat
seorang sedang mendorong-dorong batu untuk diturunkan lagi kebawah, ia bukan lain dari
pada Lauw Jie Houw. Sedikitpun ia tidak menduga bahwa Tiong Giok sudah berada
dibelakangnya. Begitu ia tahu cepat-cepat ditinggalkan batu itu dan mencabut golok.
“Hm,” ejek Tiong Giok dengan gemas, karena ia mengenali Jie Houw adalah tukang kereta
yang mengantarkannya sampai dikota Hong Shia. Sebelum golok musuh sampai ia
390
membarengi dengan Hiat cie lengnya. “Siuuuuut,” terdengar desiran angin dari jarinya. Golok
musuh dibikin terlepas dari tangan, dan terus ia membarengi memberikan totokan, sehingga
musuh itu terjungkel tanpa berdaya.
“Ha ha ha……..” tiba-tiba terdengar suara terbahak-bahak. “Anak-anak nyalakan api, dan
sambutlah tamu ini.”
Berbareng dengan hilangnya suara itu, terlihat puluhan obor menyala dengan serentak,
mengusir kegelapan malam. Dibawah sinar api yang terang benderang Tiong Giok melihat
sebidang tanah datar berukuran lebih kurang sepuluh meter persegi, berhadap-hadapan dengan
lereng bukit dimana ia berdiri. Antara lereng bukit dan tanah datar itu dipisah oleh sebuah
jurang yang lebarnya dua puluh meter lebih. Disitu terlihat merentang seutas tambang besi
yang berupa jembatan.
Obor-obor itu berada ditanah datar, disitu terlihat Liok Jie Hui sedang duduk dikursi
beralaskan kulit macan, dibelakangnya terlihat empat pelayan wanita, dikiri kanannya berdiri
dua muridnya. Ia sangat licik, maka memilih tempat ini untuk bertemu. Dengan begitu ia bisa
melihat dan bicara dengan musuh tanpa kuatir mendapat serangan.
Jarak dua puluh meter lebih sebetulnya bukan rintangan besar bagi Tiong Giok. Tapi jelas
baginya, kalau berani melintas tambang besi itu.
Ia mengernyitkan kening berpikir keras, akhirnya memutuskan tidak mau menyebrang.
Sedangkan Siu Lang segera dibebaskannya. “Aku sudah bertemu dan melihat Liok Jie Hui,
tiba waktunya membebaskan dirimu seperti yang pernah kukatakan.”
Kejadian ini benar-benar diluar dugaan Siu Lang, ia menarik napas lega dan menunjuk kepada
kawannya. “Dia adalah salah satu dari Jie Pauw yang bernama Lauw Jie Houw. Dikarenakan
saudara kandungnya yang bernama Lauw It Houw mati ditangan anak buahnya waktu di Lam
Ciong, maka itu ia berlaku nekad untuk mencelakakanmu, atas tindakannya yang gegabah ini
kuminta belas kasihanmu untuk mengampuninya.”
“Itu soal mudah, tapi bukan sekarang,” jawab Tiong Giok.
“Habis kapan ?”
“Ia masih kuperlukan, sesudah itu baru kubebaskan,” kata Tiong Giok dengan tegas.
“Sekarang pergilah, dan beritahu pada Liok Lo Koay kedatanganku kesini untuk menepati
janji dengan penuh kesungguhan. Dan pedang mustika yang dikehendaki sudah kubawa,
mengenai buku Keng thian cit su yang ada padanya sudah lengkap dan sempurna. Mengenai
cara mempelajarinya bisa berdua, bisa seorang, itu tergantung kepada bakat dan kemauan
yang belajar sekali-kali jangan menganggap aku membuat buku dengan curang dan
menghilangkan bagian-bagian yang penting. Hal ini dapat dibuktikan buku yang kutilis
untuknya dan yang dicetak dikota Kim Leng serupa adanya. Bilamana aku berlaku curang
tentu kedua buku itu ada bedanya.”
“Soal Lauw Jie houw sementara kutahan dulu, sebelum urusanku dengan Liok Lo Koay
selesai. Bilamana ketuamu mau menyimpang dari perjanjian yang dikehendaki itu, aku tak
bisa berbuat apa-apa, itu terserah kepadanya.”
391
“Baiklah, kata-katamu akan kusampaikan kepadanya,” kata Siu Lang sambil membalik badan
dan terus berlari dengan cepat melalui tambang besi yang merentang ditengah jurang.
Lauw Jie Houw tertotok urat nadinya, ia tergeletak diatas tanah. Sedangkan Tiong Giok
dengan tenang duduk didekat tambang besi sambil mengawasi gerak gerik musuhnya.
Dua puluh meter bukan jarak yang jauh, masing-masing pihak bisa melihat dengan tegas satu
sama lain. Sebenarnya Tiong Giok bisa mengutarakan isi hatinya secara langsung kepada
yang berkepentingan, tapi sengaja menggunakan Siu Lang sebagai perantara untuk
menyampaikan kata-katanya, dengan tujuan menghambat waktu dan memberi kesempatan
Ciu Kong dan kawan-kawan datang.
Setelah Liok Jie Hui mendengar laporan dari Siu Lang ia terpekur sejenak, lalu berkata :
“Soal penukaran orang dan pedang adalah kehendakku sendiri, sudah tentu hal ini harus
kujalankan. Akan tetapi ia harus membebaskan Lauw Jie Houw dulu kepadaku, bilamana
pedang itu benar-benar dan tulen baru kubebaskan Tiat dan Pek !”
Siu Lang cepat-cepat balik pada Tiong Giok guna menyampaikan apa yang dikehendaki
ketuanya.
“Soal membebaskan Lauw Jie Houw bisa kululuskan, tapi aku keberatan kalau harus
menyerahkan dulu pedang mestika ini.”
Siu Lang kembali lagi kesebrang menyampaikan apa yang diucapkan Tiong Giok, setelah itu
balik lagi dengan cepat. “Ketuaku menghendaki agar engkau menyerahkan dulu sebilah
pedang pada Lauw Jie Houw, dan ia akan membebaskan Pek Kiam Hong. Setelah itu aku
akan membawa Tiat Siau Bwee ketengah-tengah “Jembatan” danmenukar dengan pedangmu
yang satu lagi.”
“Cara ini terlalu berbelit-belit, kuminta sekaligus saja Tiat dan Pek dibawa ketengah jembatan
dan dilakukan tukar menukar dengan pedang, kurasa cara ini lebih praktis.”
Setelah mendengar laporan dari Siu Lang, Liok Jie Hui merasa keberatan dan tak mau
menerima saran musuhnya. Ia pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri kelihayan
pemuda kita waktu dipulau Hiu. Ia kuatir kehilangan sanderanya, bilamana musuh membalik
muka.
Siu Lang bolak balik beberapa kali, masing-masing mempertahankan pendapatnya, keputusan
belum didapat juga. Sedangkan waktu perlahan-lahan mendekat pagi.
“Pedang adalah benda mati, orang adalah benda hidup. Jika ia tidak memenuhi kehendakku,
mari kita berangkat sambil membawa dua orang ini,” kata Liok Jie Hui dengan gusar.
In Tiong Giok tak dapat memperlambat waktu lagi, sedang Ciu Kong dan kawan-kawannya
belum tiba juga, kepaksa ia mengalah. Tapi ia pun mengajukan permintaan lagi, yakni
sebelum terjadi tukar menukar, minta melihat dulu keadaan Tiat Siau Bwee dan Pek Kiam
Hong.
Siu Lang menyampaikan kehendak pemuda kita pada ketuanya.
392
“Ha ha ha, hm itu soal yang pantas, bawalah dua orang itu kemari. Besarkan nyala apinya
agar ia melhat tegas keadaan kawan-kawannya yang tidak kurang suatu apapun.”
Tampak dua muridnya Liok Lo Koay menuju kebelakang kursi, mereka mendorong sebuah
batu besar……. Kiranya batu itu menutupi sebuah liang gua yang hitam. Dikarenakan
terhalang kursi yang diduduki Liok Jie Hui, Tiong Giok tidak bisa melihat mulut gua itu. Tak
selang lama Kiam Hong dan Siau Bwee diseret keluar dari gua itu dan dibawa kedekat jurang.
Melihat in Tiong Giok hampir-hampir tak bisa menguasai dirinya dan ingin melintasi
tambang besi untuk memberikan pertolongan kepada dua kawannya itu. Untung ia masih bisa
mengekang emosinya dan tetap diam diujung jembatan sambil menatap keseberang tanpa
berkedip-kedip.
Pek Kiam Hong dan Tiat Siau Bwee pakaiannya kotor-kotor, dekil dan mesum, agaknya
mereka sudah lama disekap dalam gua itu. Kini anak buahnya Liok Jie Hui menyeret lagi
mereka kedekat kursi ketuanya Tiong Giok tahu kedua kawannya tidak bisa bergerak karena
tertotok.
“Apakah kau sudah melihat tegas ? Nah giliranmu menyerahkan pedang,” kata Liok Jie Hui
sambil menyeringai.
“Aku sebagai kesatria sejati, pasti aku akan menepati janji, tapi perlu kujelaskan beberapa
patah. Bilamana kudapatkan kedua kawanku ini menderita luka atau sesuatu yang
membahayakan jiwanya dikemudian hari, engkau harus bertanggung jawab.”
“Engkau jangan kuatir, masih banyak kesempatan untuk memeriksa mereka,” kata Liok Jie
Hui dengan tergelak-gelak..
Tiong Giok segera membebaskan Lauw Jie Houw dari totokan dan menyerahkan sebilah
pedangnya kepada tawanan itu. “Berikanlah kepada ketuamu yang licik itu.”
Dengan cepat Lauw Jie Houw pergi menyeberang melalui tambang besi. Liok Jie Hui berasa
girang tidak alang kepalang, dengan berjingkrak-jingkrak ia meninggalkan kursinya
menyongsong kedatangan anak buahnya, lengannya tampak gemetar waktu menerima pedang
dari Lauw Jie Houw. Dengan bernafsu pedang itu dicabutnya. Pedang Hui lie kiam segera
memancarkan sinar merah yang berkilauan.
“Ha ha ha benar-benar pedang wasiat ! Tak kusangka akhirnya pedang yang kuidam-idamkan,
akhirnya jatuh juga ditanganku !”
“Engkau jangan terlalu girang dan lupa daratan !” seru Tiong Giok. “Ini masih ada sebilah
lagi !”
“Benar ! Benar !” kata Liok Jie Hui. “Lepaskan bocah she Pek itu !”
Siu Lang segera saja membebaskan Kiam Hong dari totokan. “Siau pangcu silahkan
menyeberang !”
Pek Kiam Hong tidak menjawab, ia masih tetap berdiam diri tanpa melangkah, Siu Lang
menuntunnya kedekat jembatan.
393
“Saudara Pek apakah engkau menderita luka ?”
Pek Kiam Hong menggelengkan kepala sambil melangkahkan kakinya keatas tambang besi.
Namun bukan ia menyeberang, melainkan dengan kecepatan luar biasa ia menyerang pada si
botak.
Siu Lang ridak menduga bakal diserang, ia tidak bersiaga, tak beguru berkelit lagi, tambahan
ilmunya tak seberapa tinggi. Tubuhnya terpukul roboh dan tergelincir kedalam jurang detik
itu juga. Pek Kiam Hong tidak berhenti sampai disitu saja. Tubuhnya seperti badai yang
dashyat menyambar Siau Bwee dan dibawa lari.
Kejadian ini terlalu mendadak dan diluar dugaan. Biar Lauw Jie Houw maupun keempat
pelayan wanita serta dua murid Liok Lo Koay disitu, mereka tak berbuat apa-apa seperti
terkesima saja.
“Apa kalian bangkai semua ? Kejar !” teriak Liok Jie Hui tak kurang kagetnya.
Suara bentakan Liok Jie Hui tak ubahnya seperti air dingin mengguyur anak buahnya yang
sedang pulas. Mereka terkejut dan sadar, terus mengejar ketambang besi.
Tiong Giok yang menyaksikan perbuatan Pek Kiam Hong dari seberang, menyadari urusan
jadi berabe. Maka itu waktu Kiam Hong memijak tambang besi ia sudah bersiap sedia.
Tubuhnya mencelat tinggi melalui kepala kawannya dan menghadang musuh-musuh yang
mengejar. Pedang wasiatnya berputar keras, dua murid Liok Jie Hui yang berada dipaling
depan, dalam sekejap telah dibikin terguling kedalam jurang, setelah mereka Lauw Jie Houw
menemui nasib yang sama. Keempat pelayan Liok Jie Hui karena berlaku lambat, belum
memijakkan kaki di jembatan buru-buru mundur teratut.
Sedangkan Liok Jie Hui tidak mau berkelahi ia menyabetkan pedang pusaka keatas tambang
besi.
Pek Kiam Hong yang membawa Siau Bwee masih berada diatas tambang, demikian pula
dengan In Tiong Giok. Bilamana tambang ini putus sama dengan putus pula nyawa mereka.
Dalam keadaan yang membahayakan ini dengan tiba-tiba In Tiong Giok mendapat akal,
lengannya segera bergerak, tampaklah Hong hiat kiam yang bersinar putih terlepas dari
tangannya dan terbang menyambar pada musuhnya, berbareng dengan tubuhnyapun terbang
kedepan menyambar kedua ujung tambang yang baru putus dengan kedua tangannya.
Putusnya tambang besi, meluncurnya pedang terbangnya manusia, seolah-olah terjadi dalam
satu detik yang bersamaan. Hanya sayang usaha Tiong Giok tidak membawa hasil yang
memuaskan. Pedangnya itu hanya mengenai bahu kiri musuhnya. Sesungguhnya begitu Liok
Jie Hui merasa kaget sekali dan menjerit kesakitan sambil melompat mundur lima enam
langkah kebelakang dengan terhuyung-huyung.
“In Toako !” seru Kiam Hong.
“Lekas bawa Siau Bwee keseberang !” seru Tiong Giok.
Dengan menahan air mata Kiam Hong lekas-lekas menyeberang.
394
Liok Jie Hui dengan keempat pelayan sudah kembali dalam detik itu juga.
Ssambil menggertakkan gigi dan mata berdelik-delik Liok Jie Hui menyeringai kepada
musuhnya. “Kini kudua pedang pusaka sudah kuperoleh, untuk ini aku memderita luka
ringan. Sebaliknya jiwamu berada ditanganku, semua ini kehendak takdir.”
Diam-diam Tiong Giok merasa kaget, ia diam tidak menjawab, karena kedua tangannya tidak
dilepaskan, berhubung Pek Kiam Hong belum sampai keseberang.
“Anak-anakku, berikanlah beberapa bacokan pada bocah ini, jangan sampai dia jatuh
kesakitan didalam jurang !” peerintah Liok Jie Hui..
“Baik ! sahut keempat pelayan wanita itu seraya menghunus senjatanya dan siap menabas
kearah In Tiong Giok.
“Budak tak kenal mati, jangan coba-coba melukai Siau cu jin kami !” tiba-tiba terdengar suara
bentakan menyusul terlihat berkelebatnya tiga bayangan datang ketanah datar itu. Mereka
bukan lain dari Ciu Kong, Yauw Kian Cee dan Toa Gu.
Liok Jie Hui mundur dua langkah dengan wajah berubah, “Kalian….siapa ?”
“Hm, ingatanmu buruk sekali, aku Ciu Kong masa sudah lupa ?”
Liok Jie Hui menjadi kaget, ia menjaga diri dengan dua pedang pusaka, sedangkan mulutnya
memerintahkan pelayan-pelayan turun tangan secepat-cepatnya. Pelayan-pelayan itu segera
menabaskan pedang mereka dengan berbareng kepada Tiong Giok.
“Kurang ajar !” bentak Yauw Kian Cee seraya menggerakkan tangannya, sehingga keempat
perempuan itu susul menyusul terjungkal kedalam kurang sebelum kesampaian maksudnya.
Liok Jie Hui semakin kaget dan gentar, ia tahu dirinya dalam keadaan bahaya, maka itu kedua
pedang pusaka diputar memakai jurus-jurus dari Keng thian cit su menghantam kearah Ciu
dan Yauw.
Keng thian cit su yang dimainkan Liok Jie Hui tidak selihay Tiong Giok, maka itu dengan
kekuatan bergabung Ciu dan Yauw mengimbangi mereka.
Toa Gu menghampiri Tiong Giok untuk memberikan pertolongan. Hal ini diketahui Liok Jie
Hui, maka si tolol ini diserangnya dari belakang.
Toa Gu sangat mengandalkan kekebalan dirinya, serangan musuh itu dianggap sepi dan
dibiarkan. Karuan saja In Tiong Giok menjadi kaget sekali menyaksikan hal ini, dengan keras
ia memperingati. “Toa Gu lekas menyingkir, itu pedang pusaka !”
Toa Gu masih tetap diam saja, sedangkan bahaya semakin dekat, Tiong Giok dengan terpaksa
melepaskan kedua tangannya dari tambang besi dan melancarkan Hiat cie leng kearah musuh.
Liok Jie Hui tak menduga serangan mendadak, lengannya sudah terkena angin panas dan
kesakitan, kedua pedang pusaka segera terlepas dari tangannya. Berbareng dengan itu angin
395
pukulan Ciu dan Yauw datang dengan dashyat, situa licik ini segera terjungkal kedalam
jurang.
Demikian pula dengan Tiong Giok sehabis melakukan serangan, segera jatuh kedalam jurang
! Tinggal Toa Gu melongo dipinggir jurang sambil berteriak-teriaak : “Siau cu jin ! Siau cu
jin !”
Dalam keadaan tidak sadar, seolah-olah telah berlalu seratus tahun, seribu tahun…..
Tatkala In Tiong Giok membuka mata kembali, melihat bulan sabit dan taburan bintang
dicakrawala. Saat itu seolah-olah baru jam dua belas tengah malam. Ia mendapatkan dirinya
berada disebuah lubang tanah yang dlamnya tiga empat meter. Lubang itu seperti baru saja
digali, berukuran satu kali dua meter tidak terlalu lebar maupun panjang, pas muat untuk
rebahan seorang.
Ia menjadi bingung dan heran, karena sewaktu jatuh kedalam jurang, telah membayangkan
bagaimana tubuhnya akan hancur terkena batu-batu cadas yang tajam. Tapi sekarang ini
kenapa dirinya berada dilubang tanah ? Mimpikah ia ?”
Sruk ! Sruk ! ada tanah meluruk ketubuhnya. Lamunannya jadi hiloang, ia mencoba mencelat
bangun, tapi tak bisa, karena punggungnya terasa ia teraduh-aduh sendiri….
“Tia tia, kudengar orang dibawah ini merintih-rintih,” terdengar suara orang diatas lubang
tanah itu.
“Ah ngaco saja. Kita sudah menunggu tig ahari tiga malam ia tetap tak bergerak-gerak,
napasnya sudah tak ada. Mungkin itu hanya perasaanmu saja ! Lekas kubur jangan berpikir
yang bukan-bukan !”
“Ingin kuperiksa dulu, sebab kudengar ia merintih. Diatas lubang kuburan terlihat seorang
anak berusia lima belas tahun, melongok-longok kedalam liang. “Tia tia coba lihat,
matanyapun melek ! Ia belum mati !”
“Heran ! Coba kulihat !”
Kini Tiong Giok melihat seorang tua, mengawasi dirinya dengan wajah keheran-heranan.
“Pan aku…aku….”
“Thian Sek lekas angkat dia nak !” seru orang tua itu.
Anak tanggung yang bernama Thian Sek itu, cepat-cepat melemparkan sekopnya dan turun
kedalam lubang. Dibopongnya tubuh Tiong Giok dan dibawa lompat dari liang kuburan itu.
Tiong Giok memandang sekeliling, ia mendapatkan dirinya benar-benar berada didalam
jurang maut yang menyeramkan itu. Disitu berdiri seorang tua yang berkaki satu, didekatnya
berdiri sebuah kuburan baru yang bertulisan.
Disini tempat mengaso Liok Jie Hui untuk selama-lamanya.
396
Orang tua itu rambutnya riap-riapan, usianya sekitar tujuh puluhan. Lengannya mengempit
tongkat untuk berdiri, sedngkan kedua matanya berkilat-kilat tajam. Menandakan bahwa
orang tua ini memiliki ilmu silat yang sangat tinggi.
Dengan cermat dan seksama orang tua itu memegang urat nadi Tiong Giok, wajahnya tibatiba
menunjukkan keheranan, “Bawa pulang, ia belum mati !”
Anak tanggung itu berlari seperti terbang, dlam sekejap ia sudah sampai dibawah tebing
curam, dari sini ia mencelat keatas setinggi belasan meter. Terus hinggap disebuah cegakan
tebing, tubuhnya membungkuk masuk kedalam sebuah gua yang gelap gulita. Mulut gua agak
kecil, semakin masuk semakin luas. Disitu terdapat perabotan kkasar yang berupa ranjang dan
bangku, semuanya terbuat dari batu. Yang paling mengherankan disitupun terdapat pelita
sebagai penerangan gua.
Anak tanggung itu merebahkan Tiong Giok diatas ranjang batu, seiring dengan itu, orang tua
berkaki satupun telah berada didalam gua.
“Aku haus, tolonglah ambilkan air !” ratap In Tiong Giok.
Thian Sek cepar mengambil air, tapi dicegah siorang tua itu. “Lukanya sangat berat, jika ia
minum mudah menimbulkan pendarahan sebaiknya kau petik dedaunan obat bawa kemari
cepat !”
Thian Sek berlalu keluar gua. Sedang siorang tua menghampiri Tiong Giok, jerijinya segera
menotok, mengunci jalan darah agar tak mengalir terus. “Aku ingin bertanya kepadamu,” kata
orang itu.
“Sebetulnya tidak pantas aku bertanya disaat ini, tetapi karena soalnya teramat penting maka
aku tanya juga. Kuharap engkau berlaku jujur.”
“Terima kasih atas pertolonganmu pak, tanyalah aku…”
“Tak usah menghaturkan terima kasih, kami tak menolongmu, semua ini dikarenakan
Hokkiemu keelewat besar, boleh-boleh terjatuh kedalam pukat burungku, barusan kalau
engkau tidak cepat siuman, mungkin sudah aku kubur hidup-hidup. Sekarang beritahu siapa
namamu ?”
“Namaku In Tiong Giok.”
“Apa hubunganmu dengan Thian Liong Bun ?”
“Aku adalah Ciang bun jin dari Thian Liong Bun.”
Orang tua itu merasa kaget, sepasang matanya mengawasi kepada Tiong Giok sambil
bertanya lagi : “Engkau yang semuda ini sebagai Ciang bun jin ?”
“Ya, dikarenakan secara kebetulan….”
“Aku Bok Tiong mempunyai mata seperti buta,” kata siorang tua sambil memberi hormat.
397
“Apakah Bok Lo Cianpwee sebagai anggota Thian Liong Bun juga ?”
“Biarpun bukan anggota Thian Liong Bun tetapi mempunyai hubungan yang erat sekali
dengan perguruan itu, majikanku adalah murid Pek King Hong dari Thian Liong Bun.”
“Oh….bolehkah kutahu majikanmu itu ?”
Diparas Bok Tiong tampak tanda-tanda duka, ia menarik napas sebelum berkata : “Majikanku
adalah seorang pendekar yang sama-sama kesohornya dengan Tiat Giok Lin, ia bernama Ang
Ek Fan mereka mempunyai julukan Sin kiam siang eng…”
“Oh….kiranya Lo Cianpwee ini mengabdi pada Ang Tayhiap.”
“Benar,” jawab Bok Tiong, ia merogo sakunya mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dan
meletakkan disisi tubuh Tiong Giok.
“Karena Siau Hiap sebagai ketua dari Thian Liong Bun sama dengan majikanku juga. Aku
harapkan maafmu atas kekurang ajaranku tadi. Sekarang silahkan Siau Hiap beristirahat.”
“Ini bungkusan apa ?” tanya In Tiong Giok. Bok Tiong tersenyum. “Ini bungkusan dari benda
yang kau bawa-bawa. Karena selama tiga hari tiga malam engkau tidak sadarkan diri aku
anggap sudah meninggal dunia, maka itu kuambil barang-barang ini diantaranya ada Kumala
ungu dan sepotong baju berdarah, soal ini membuat kami curiga dan menanyakan kepadamu,
sekarang segala syakwasangka sudah hilang, maka kukembalikan lagi.”
Saat ini Thian Sek sudah kembali membawa dedaunan dan akar obat-obatan. Bok Tiong
menerima ramuan obat itu, lalu mengunyahnya sampai lembut. Ia pun menyediakan air pula.
“Disini sukar mencari obat-obat seperti dikota, akan tetapi ramuan ini manjur sekali untuk
luka luar. Waktu dipakai bisa mendatangkan rasa nyeri yang sangat….”
“Biar nyeri akan kutahan asal bisa sembuh.”
Bok Tiong menyuruh Thian Sek membalikkan tubuh Tiong Giok, setelah tengkurap ia
mencuci tempat luka dengan air, membersihkan darah-darah kotor…. Tiba-tiba Bok Tiong
jadi tertegun, karena disamping luka-luka yang baru dipunggung Tiong Giok didapati bekas
tanda luka. “Apakah punggungmu ini menderita luka juga ?”
“Benar, luka itu kudapati sejak kuingat menjadi manusia, menurut orang tuaku, luka itu
berasal dari bacokan musuh sewaktu aku berusia setahun.”
“Benarkah begitu ? Siapa musuh itu ?”
“Kejadian yang sesungguhnyapun kurang jelas, sebab usiaku masih terlalu kecil. Tapi
belakangan kudapat tahu, setelah terbacok ada seorang yang baik hati, menaruhkan disebuah
kas kayu menghanyutkan kesungai, sehingga aku tertolong ayah angkatku dan bisa hidup
sampai sekarang.”
“Apakah sepotong baju yangberdarah itu adalah baju yang kau pakai sewaktu dibacok orang
?”
398
“Benar !”
“Jika begitu engkau bukan she In !”
“She In kudapat dari ayah angkatku, soal she yang sebenarnya sampai sekarang aku tak tahu,”
jawab Tiong Giok, “Lo Cianpwee kenapa bisa tahu begitu banyak soal diriku ini ?”
Bok Tiong tidak menjawab, kelopak matanya tergenang air yang tiba-tiba berderai turun.
“Kalau begitu engkau adalah putra dari majikanku !”
“Apa ?” Tiong Giok menegasi.
“Waktu kulihat baju berdarah itu aku sudah berpikir kearah itu tapi engkau mengaku she In,
maka itu tak berani mengatakan hal itu. Sekarang baiklah kujelaskan….dua puluh tahun yang
lalu sebagai pengawal ayahmu, pada suatu ketika aku mengantar ibumu pergi ke Tiat Po. Tak
kira ditengah perjalanan dihadang orang-orang bertopeng. Disitu terjadi perkelahian hebat.
Aku berjuang mati-matian melindungi ibumu dan dirimu sendiri. Penjahat itu mengejar-ngejar
terus, sesampainya didekat hutan bamboo dekat sebuah sungai, ibumu sudah kepayahan
sekali, ia menyerahkan dirimu kepadaku sambil memesan: “Aku sudah tak kuat lagi, lekaslah
bawa anakku ini, jika selamat, nama keluarga Ang masih punya keturunan dibelakang hari.”
“Aku tak mau meninggalkan ibumu dalam keadaan setengah mati, sikap ini membuatnya
marah-marah. Kepaksa kugendong dirimu yang masih kecil, lalu berpisah dengan ibumu itu.
Sedangkan kawanan penjahat masih mengejar-ngejar terus. Aku berlari-lari terus. Sewaktu
sampai disebuah bukit aku merasa aman dan mengaso. Tak kira disitupun ada lima penjahat
bersembunyi. Aku dikurung dan dikerubuti, dengan mati-matian kuhadapi mereka.”
“Aku berhasil merobohkan tiga musuh, sebaliknya aku menderita empat bacokan dan jatuh
dari bukit itu, menggelinding kesebuah sungai. Saat itu kulihat engkaupun terkena bacokan,
napasmu sudah senen kemis, melihat ini aku sangat berduka cita sekali…..tapi apa mau dikata
lagi dalam keadaan luka parah itu, musuh masih membayangi diriku, aku tak berdaya untuk
melindungimu lagi jiwamu itu. Dasar masih panjang umurmu, disungai itu kulihat kas kayu.
Tak pikir panjang lagi, kuletakkan dirimu disitu kuhanyutkan….aku sendiri bersembunyi
dipinggiran sungai, setelah musuh-musuh pergi baru berani keluar.”
“Saat itu pertama-tama yang hendak kulakukan memberi kabar kepada Ang Tayhiap, tak kira
diperjalanan kudengar soal tragedy di Tiat Po, dimana Tiat Giok Lim meninggal dunia dengan
mendadak, soal hidup matinya majikanku belum jelas. Tak selang lama kudengar pula Giok
liong po yakni tempat tinggal kami sudah dibumi ratakan kawanan musuh. Kabar ini
membuatku kaget dan sedih….tapi apa yang bisa kulakukan ? Kepaksa aku berkelana didunia
Kang Ouw dalam beberapa bulan itu. Pada suatu hari sampailah aku dikota Lam
Ciong….dasar lagi sial kedatangan ini rupanya diketahui kawanan penjahat. Waktu aku tidur
nyenyak ditengah malam buta mereka mengurungku. Mati-matian kuhadapi mereka dan
memecahkan kepungan dan terus kulari dan lari, sedangkan mereka mengejar-ngejar terus.
Satu hari satu malam aku dikejar-kejar, akhirnya sampailah ditempat ini. Aku sangat letih
sekali sudah tak berdaya menghadapi mereka, kepaksa terjun kedalam jurang ini.”
Mungkin belum takdirnya harus mati, biarpun jatuh dari tempat tinggi itu, aku hanya patah
kaki, dan bisa hidup sampai sekarang. Tempat ini terkurung tebing-tebing yang curam,
terpisah dari dunia luar. Untuk hidup terus aku memukat burung, memakan dedaunan, dan
399
tinggal didalam gua. Sepuluh tahun aku hidup seorang diri. Sedangkan Thian Sek adalah anak
yang terjatuh sepuluh tahun yang lalu ke jurang ini, ia tak mati karena menyangkut dijala
burungku. Tak kira tiga hari yang lalu Thian mempertemukan Siau cu jin denganku.”
Sambil berbicara Bok Tiong telah selesai mengobati Tiong Giok, penuturan yang dilakukan
membuat yang diobati tidak merasa nyeri.
“Thian Sek lekaslah kau haturkan hormat kepada Siau cu jin,” kata Bok Tiong.
Thian Sek tanpa disuruh kedua kali telah memberi hormat.
“Tak usah terlalu memakai peradatan,” cegah Tiong Giok. “Kehidupan ini memang aneh,
tidak disangka-sangka aku bisa bertemu kalian disini. Thian Sek atau Kurnia Allah , namamu
bagus dan sesuai dengan apa yang dialaminya.”
“Tadinya bukan Thian Sek, tapi sejak tergelincir kejurang ini Gie hu memberi nama Thian
Sek !”
“Waktu kau masuk kejurang ini masih kecil betul….ada lima tahun ?”
“Menurut Gie hu waktu itu usiaku ya lebih kurang sebegitu !”
“Sepuluh tahun engkau menemani Bok Lo cianpwee disini, jasamu sangat besar sekali. Kalau
kita bisa keluar dari sini, maukah engkau menjadi murid dari Thian Liong Bun ?”
“Bocah tolol lekas engkau haturkan terima kasih atas kebaikan Siau cu jin, kau harus tahu
ilmu silat dari Thian Liong Bun luar baisa sekali, bila mana engkau paham tiga empat jurus
saja sudah cukup untuk malang meolintang didunia Kang Ouw.”
Thian Sek segera berlutut sebagai tanda bersedia menjadi murid, Tiong Giok membiarkan
anak itu menjalankan peraturan dan menerimanya dengan tersenyum.
“Sekarang sebaiknya Siau cu jin beristirahat,” kata Bok Tiong.
Tiong Giok menganggukkan kepala.
Entah sudah beberapa lama berlalu, Tiong Giok tertidur dengan nyenyak sekali. Waktu ia
bangun, cuma melihat pelita kecil, sedangkan Bok Tiong dan anaknya tidak terlihat. Ia tidak
tahu waktu ini siang atau malam. Ia mencoba membalik badan, rasa sakit dipunggungnya
seperti hilang, ia menjadi girang. Dengan bantuan kedua tangannya ia mencoba bangun, saat
inilah Thian Sek masuk kedalam gua dan mencegahnya dengan segera : “Siau cu jin lukamu
belum sembuh betul, lebih baik jangan banyak bergerak.”
Jilid 20 .....
“Kurasakan agak mendingan dan ingin duduk,” kata Tiong Giok sambil tersenyum. “Mana
ayahmu ?”
“Ayahku menjaga dimulut gua ia kuatir ada orang jatuh kejurang.”
400
“Masakan ditempat begini bisa didatangi orang ?”
“Sejak Siau cu jin jatuh kesini, setiap hari ada orang yang menyelidiki tempat ini. Ayahku
kuatir diantara mereka ada yang jatuh, maka setiap hari bersiap sedia dimulut gua.”
“Apakah sewaktu kujatuh tak sadarkan diri selama tiga hari tiga malam itu banyak orang
menyelidiki jurang ini ?”
“Benar.”
“Apakah sekarang ada yang datang ?”
“Sekarang sudah tidak ada lagi, mungkin mereka sudah pergi,” kata Thian Sek, “sungguhpun
begitu ayahku masih kuatir dan tetap saja menjaga-jaga diluar.”
“Oh, kalau begitu mereka menganggap aku sudahmati dan berlalu….” Kata Tiong giok
dengan perlahan.
“Apakah Siau cu jin tahu orang-orang itu siapa ?”
In Tiong Giok hanya tersenyum meringis tanpa memberikan jawaban, ia jadi terpekur, ia
memikirkan banyak soal, misalnya Pek Kiam Hong dan Tiat Siau Bwee setelah terlepas dari
bahaya maut akan pergi kemana ? Ciu Kong dan lain-lain akan berbuat apa setelah
kehilanganku ? Bagaimana ibunya dan Wan Jie yang masih didalam hotel ? Betapa kaget dan
kecewa mereka, tatkala mendengar berita, aku tergelincir kedalam jurang, semua kejadian
yang rumit ini biar bagaimana dijelaskan Thian Sek sukar mengerfti, maka itu Tiong Giok
diam terus walaupun ditanya lagi.
“Siau cu jin sebaiknya istirahat lagi, aku mau memanggil ayah pulang,” kata Thian Sek
setelah melihat Tiong Giok terpekur terus,
“Aku tak merasa letih barang sedikitpun, sebaiknya marilah kita mengobrol,” ajak Tiong
Giok.
Dari percakapan singkat Tiong Giok mengetahui sejak Thian Sek jatuh kedalam jurang
mendapat pelajaran silat dari Bok Tiong, seingat ia mempunyai pelajaran dasar yang kuat
selama sepuluh tahun.
“Engkau telah pandai bersilat, kenapa tak berusaha meninggalkan tempat ini ?”
“Sebenarnya aku jatuh kesini sudah sepantasnya mati konyol, akan tetapi berkat pertolongan
ayah angkatku, aku bisa hidup sampai sekarang. Maka itu aku sudah bertekad bilamana tidak
bersama-sama ayah keluar dari jurang ini, lebih baik aku mati tua disini !”
“Itu adalah rasa baktimu kepada orang tua yang berlebih-lebihan, kenapa engkau tidak
amenyelidiki keadaan disini dan berusaha mencari jalan keluar ?”
“Jurang ini mulutnya kecil dasarnya luas sekelilingnya adalah tebing yang buntu. Hanya gua
ini yang menembus kedalam perut gunung, disitu terdapat mata air yang jernih berupa kolam,
dalamnya entah bebreapa meter belum pernah dijajaki, menurut ayah kolam itu adalah sungai
401
didalam tanah yang berkemungkinan bisa menembus keluar. Ayah sudah pincang maka itu
tak bisa menyelam, karena itu tak pernah mencobanya.”
“Dimana kolam itu ?”
“Didalam gua ini, lebih kurang satu lie dari sini.”
“Coba ajak aku kesana !” kata Tiong Giok.
“Nanti saja setelah Siau cu jin baik betul baru kesana,” kata Thian Sek.
“Oh luka luar ini tidak berbahaya, juga sudah baikkan,” kata Tiong Giok memaksa. “Aku
hanya ingin melihat kolam itu, siapa tahu ada kemungkinan jalan keluar dari lembah ini.”
Thian Sek tidak banyak bercerita lagi, diambilnya pelita dan dipayangnya Tiong Giok.
“Tak usah aku bisa berjalan sendiri,” kata Tiong Giok. Yang terus jalan perlahan-lahan sambil
memegangi dinding gua.
Dibelakang gua, benar-benar terdapat sebuah terowongan yang luas, berliku-liku menembus
lambung gunung. Diujung terowongan benar-benar terdapat sebuah kolam ukuran lima meter.
Air kolam terlihat bergelora dan mengalir deras.
Dalam penyelidikan pertama, Tiong Giok merebahkan diri mendengari aliran air. “Tak salah
ini adalah sungai dibawah tanah, satu-satunya jalan keluar dari lembah mati ini. Namun
didalamnya entah berapa meter dan berapa panjang ditanah sukar diketahui.”
“Manurut perkiraan Siau cu jin, bisakah seorang melalui sungai ini pergi keluar ?”
“Andaikata sungai ini hanya lima lie berada didalam tanah, bisa saja dilalui…..tapi kalau
lebih dari itu, aku tak bisa mengatakan bisa atau tidak, itu tergantung pada nasib. Nasib bagus
ya bisa, nasib buruk ya mati.”
Waktu mereka bicara, tiba-tiba Bok Tiong datang tergesa-gesa, yang terus menegur anaknya.
“Waduh, kenapa engkau bawa-bawa Siau cu jin kesini, jatuh belum sembuh betul, kalau
terjadi apa-apa siapa yang bertanggung jawab ?”
“Bok Lo Cianpwee jangan gusar, aku yang mendesaknya mengantar kemari dan bukan dia.”
“Mungkin Siau cu jin pun tak bisa menduga sungai inilah satu-satunya jalan keluar dari
lembah mati, tapi bahayanya sampai ditaraf apa belum bisa kuselidiki. Kupikir setelah Siau cu
jin sembuh betul baru menyelidikinya….”
“Memang dalam hal ini kita harus sabar dan hati-hati, tergesa-gesa tidak ada gunanya,” kata
Tiong Giok.
Sekembalinya kedepan gua, In Tiong Giok membaringkan diri sambil terpekur, sedangkan
Bok Tiong sedang sibuk menyediakan makanan. Sungguhpun tidak ada ayam atau itik, Bok
Tiong dengan pukatnya berhasil menangkap dua ekor elang, setelah diolah daging elang itu
cukup lezat bagi mereka.
402
Sambil makan daging elang, Tiong Giok mengerutkan kening dan mengawasi pada Bok
Tiong. “Lo Cianpwee mengikuti ayahku sudah lama, tentu mengetahui juga hubungannya
dengan Tiat Pocu sangat intim sekali bukan ? Akan tetapi dibalik itu ada sesuatu yang ingin
kutanyakan kepadamu !”
“Silahkan Siau cu jin bertanya, apa yang kutahu akan kujelaskan,” jawab Bok Tiong.
Tiong Giok terpekur sejenak. “Menurut berita, sewaktu ayah mengunjungi Tiat Po kena
disemprot dan dimaki habis-habisan oleh tuan rumah. Setelah itu Tiat Giok Lin membunuh
diri dengan jarum beracun, apakah engkau tahu soal ini ?”
“Dari siapa Siau cu jin mendengar berita ini ?” tanya Bok Tiong sambil mengawasi dengan
tajam.
“Siau siang Lie hiap sendiri yang mengatakannya kepadaku.”
“Menurut keyakinanku ayahmu adalah seorang berbudi luhur, bagaimanapun ia tak bisa
menjual teman. Sebaliknya adalah orang-orang dari Tiat Po yang berlaku tidak bersahabat
kepada ayahmu !”
“Apa alasanmu mengatakan begitu ?”
“Sudah terang ada alasannya,” jawab Bok Tiong perlahan, “dengan mata kepala sendiri
kusaksikan bahwa yang menghadang kami diperjalanan adalah orang-orang dari Tiat Po !”
“Benarkah begitu ?”
“Ini bukan soal main-main, aku takberani membohong!” kata Bok Tiong dengan serius, ia
tertegun sejenak sambil menelan ludah. Lalu melanjutkan ceritanya penuh emosi. “Orang
yang menghadang kami satupun tidak ada yang kukenal, merekapun tidak mengenal aku
maupun ibumu. Begitu menghadang mereka pura-pura menanyakan ibumu berada dikereta
yang mana. Setelah ditunjukkan, tiba-tiba saja mereka melakukan serangan sambil memakimaki.
Bunuh keluarga bangsat she Ang ini, ia menjual teman sendiri demi keuntungan
peribadinya, mari kita tuntut balas darinya.”
“Waktu mendengar ini, ibumu menjadi kaget dan mengatakan bahwa ia akan pergi ke Tiat Po.
Segala urusan yang bagaimana hebatpun dapat diselesaikan disana.”
“Penghadang-penghadang itu bukan saja tidak mendengar perkataan ini, merekapun segera
turun tangan dengan bengis. Ibumu dan aku melakukan perlawanan mati-matian, karena tidak
percaya bahwa orang Tiat Po bisa berlaku sekeji dan serendah itu, tak kira setelah kulolos dari
bahaya. Kudengar bahwa Tiat Pocu telah meninggal dunia. Didunia Kang Ouw tersebar luas
dari mulut ke mulut bahwa ayahmu karena ingin mengangkangi Keng thian cit su, sampai
mencelakakan Tiat Giok Lin, dari sudut inilah aku berani mengatakan bahwa yang
menghadang dijalan itu adalah orang-orangnya Tiat Pocu…..”
“Tebakanmu itu meleset, soal yang menghadang kuyakin dari Tiat Po, sebaliknya kita dan
Tiat Po lah yang kena diadu domba dan dicelakakan. Semua ini siasat dari Pok Thian Pang
yang sekali panah dua burung.”
403
“Pok Thian Pang ? Apa itu ?” tanya Bok Tiong keheranan.
Tiong Giok tidak heran kalau orang tua itu tidak pernah tahu soal Pok Thian Pang, maka
dengan tekun ia menjelaskan keadaan dunia persilatan selama dua puluh tahun belakangan ini
dengan panjang lebar dan jelas.
Membuat Bok Tiong manggut-manggut mendengarkan verita itu, dan mengetahui kini, apa
sebenarnya Pok Thian Pang itu, “Jika begitu biang berengsek didunia Kang Ouw adalah Pok
Thian Pang ?”
“Ya dapat dikatakan begitu !” kata Tiong Giok, “jika lolos dari sini, pasti perserikatan itu
akan kugempur !”
“Sudah jangan berpikir terlalu jauh dulu, saat ini yang penting Siau cu jin harus banyak
istirahat dulu untuk memulihkan kesehatan dulu. Nah istirahatlah baik-baik, aku akan mencari
obat-obatan lagi untukmu !”
Keadaan Tiong Giok kiam hari kian baikan, untuk menghilangkan kesal ia mempelajari ilmu
Liap hun hoat dari It Piau Taysu. Dikarenakan dasar ilmunya sudah baik, ia bisa mengikuti
pelajaran itu dengan baik.
Waktu berlalu denganb cepat, dalam sekejap mata sepuluh hari telah dilalui Tiong Giok
didalam gua. Berkat perawatan Bok Tiong dan Thian Sek luka yang dideritanya telah sembuh
seperti sediakala. Kesehatanm tubuhnya ini mendatangkan harapan besar baginya untuk
mencari jalan keluar dari gua itu, tak heran ia menyelidiki kesetiap pelosok lembah itu, kalaukalau
ada jalan keluar lain. Sementara jalan yang dicari belum didapat, kedua pedang pusaka
yang jatuh bersama-sama Liok Jie Hui dapat diketemukan. Ingin ia menggunakan ketajaman
pedang itu untuk menggali dinding tebing, terus naik keatas seperti tangga. Tapi ia menjadi
kecewa, karena tebing itu tidak semuanya keras, ada bagian-bagian yang tidak padat, begitu
digali tanahnya segera meluruk. Akhirnya ia thau jalan keluar bagaimanapun harus melalui
kolam didalam gua itu. Ia pun tahu bilamana rencananya ini dibicarakan, Bok Tiong pasti
akan mencegahnya. Jika tidak dibicarakan, ia membutuhkan pembantu, tanpa pembantu
usahanya takkan berhasil. Setelah membulatkan tekad, dicarinya Bok Thian Sek, dan
diajaknya ketempat sunyi diluar tahu Bok Tiong. Kandungan hatinya dibicarakan pada
pemuda itu.
“Tempo hari, waktu kuantarkan Siau cu jin kekolam itu, ayah marah betul. Maka itu dlam hal
ini aku harus memberi tahu dulu pada ayah….”
“Jika ayahmu sampai tahu, apa gunanya kubicarakan hal ini kepadamu ?” kata Tiong Giok.
“Pikirku mau mencoba keluar dari sini melalui kolam itu, sebab lain jalan tidak ada lagi. Lagi
pula belum tentu berbahaya, tak perlu membuat orang tua itu cemas atau kuatir.”
“Siau cu jin tentu tahu tabiat ayahku,” kata Thian Sek. “Biar tidak berbahaya, asal dia tahu
pasti tidak ada ampun bagi diriku !”
“Jangan kuatir aku bisa bertanggung jawab atas hal ini.”
404
“Ayahku tak bisa berbuat apa-apa pada Siau cu jin, tapi aku bagaimana ? Kupikir biar
bagaimana harus memberi tahu dulu padanya.”
Tiong Giok tahu dengan membujuk tidak ada gunanya, maka dengan wajah serius ia
menggertak. “Hm, engkau sebagai murid dari Thian Liong Bun, sedangkan aku sebagai
ketuanya apa yang dikatakan seorang ketua harus kau patuhi bilamana tidak hukumannya
adalah penggal kepala.”
Bok Thian Sek menjadi melengak dan tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.
“Sekarang kuperintahkan dirimu menyediakan rotan yang panjang, dan bawa ketepi kolam !
Soal ini tidak boleh diketahui ayahmu !”
“Baik ! Tapi kalau ayah tahu….”
“Jangan banyak bicara lagi, lekas pergi !”
Bok Thian Sek tidak berani berkata apa-apa lagi, cepat ia mencari rotan dan membawanya
kedalam gua. Tiong Giok menantikan sejenak, ia celingukan keempat penjuru, setelah yakin
Bok Tiong tidak ada disitu, cepat-cepat ia menyusul Thian Sek kedalam gua.
Sesampainya didalam gua, dengan cepat Tiong Giok mengikat dirinya dengan rotan, ujungnya
diberikan pada Thian Sek. “Aku ingin mengetahui kolam ini berapa dalamnya….jika ada
bahaya aku bisa menarik tiga kali, engkau harus cepat-cepat menarik diriku.”
Thian Sek menganggukkan kepala. “Siau cu jin sebagai Ciang bun jin dari Thian Liong Bun
sebaiknya akulah yang turun kedalam kolam ini.”
“Kepandaianmu masih rendah, tak tahan lama didalam air, sedangkan aku sudah mempelajari
ilmu dalam yang bisa menutup pernapasan agak lama, mengertikah ?” kata Tiong Giok sambil
menepuk-nepuk bahu pemuda itu. Diambilnya dua pedang pusaka, lalu terjun ketengahtengah
kolam.
Arus air sangat deras, sukar untuk seseorang selam kedalam. Tiong Giok menutup
pernapasannya dan menjalankan ilmu Cian kin tui…..tubuhnya mulai masuk kedalam
air….sepuluh meter…..dua puluh meter, akhirnya sampailah didasar kolam itu. Arus air
semakin keras ia menempelkan dirinya didinding kolam sambil mengawasi situasi dan
keadaan disitu. Kini ia mendapat tahu bahwa kolam itu merupakan huruf “X” terbalik. Dan ia
pun bisa membedakan bahwa air masuk dari sebelah kanan dan keluar kearah kiri. Setelah itu
kakinya menjejak dasar kolam merapung keatas.
Bok Thian Sek sedang terpekur ketengah-tengah kolam sambil memegangi ujung rotan,
begitu melihat Tiong Giok timbul ia menjadi girang. “Bagaimana ? Adakah jalan keluar ?”
“Kuyakin ada ! Sekarang ingin kucoba lagi, tapi tidak usah memakai rotan ini !”
“Mana boleh begitu, kalau ada bahaya bagaimana ?”
“Jangan kuatir, aku berani berbuat begini karena ada sebabnya,” kata Tiong Giok. “Kesatu
kolam melainkan sebagian permukaan air dari sebuah sungai yang melalui tanah. Kedua
405
sungai ini tentu mempunyai bagian hulu atau hilir yang tidak melalui tanah. Ketiga sudah
kuselidiki bagian kanan hulu bagian kiri adalah hilir. Artinya sungai ini mengalir dari bagian
kanan ke bagian kiri.”
“Bilamana dugaan Siau cu jin benar, dapatkah kita ketahui berapa jauh sungai ini melalui
tanah ?”
“Mana bisa kutahu,” jawab Tiong Giok. “Inilah yang harus kucoba !”
“Andaikata bagian sungai yang ditanah ini sungai panjang, bagaimana ? Bukankah berbahaya
?”
“Itu terserah kepada takdir !” jawab Tiong Giok. “Mungkin bagian yang berada didalam tanah
ini, satu lie panjangnya, mungkin seratus lie…pokoknya harus kucoba !”
“Bagaimanapun aku tak bisa mengijinkan Siau cu jin menempuh bahaya ini, sebelum
memberitahu pada ayah….”
“Diam terus didalam gua ini akan mati juga, jika sampai mati karena tak berusaha aku merasa
tak puas. Sebaliknya aku akan merasa puas bilamana mati karena berusaha mencari hidup !”
“Bagaimanapun Siau cu jin tak boleh pergi,” kata Thian Sek seraya membentangkan tangan
mau merangkul Tiong Giok.
Dengan kecepatan kilat, Tiong Giok membalikkan tangan, membuat Thian Sek tertotok dan
tak berdaya. “Terpaksa kutotok dirimu ! Ingatlah jika aku tak kembali lagi, berarti mati
terbenam didalam sungai ini. Kalian tak perlu mencoba lagi jalan ini. “ Sehabis berkata ia
menyerahkan Thian Liong Giok Hu pada Thian Sek. “Jika aku tidak kembali lagi, engkaulah
yang menjadi Ciang bun jin dari Thian Liong Bun. Ingatlah jika disuatu hari engkau bisa
keluar dari lembah ini, datanglah ke Ciu cing san dan untuk menerima jabatan Ciang bun jin
secara resmi.”
Thian Sek tidak dapat bergerak, tapi apa yang dibicarakan Tiong Giok terdengar jelas
olehnya. Ia menjadi sedih, air matanya membasahi pipi.
“Tak usah bersedih hati ! Kehidupan dasarnya adalah penderitaan. Lambat atau cepat aku
akan mati dan berpisah dengan dunia fana ini ! Bilamana belum takdirnya mati, bahaya yang
bagaimanapun hebatnya bisa dilalui dengan selamat. Buktinya, aku terjatuh dari atas bukit itu
dengan ayah angkatmu, maupun engkau sendiri, tapi sampai sekarang masih tetap hidup,
karena belum takdirnya mati ! Sekarang akan kuterjang bahaya ini bilamana belum takdirnya
mati, tetap akan selamat. Totokan ini akan punah sendiri selang satu jam, ingatlah pesanku
tadi !” kata Tiong Giok yang segera terjun kedalam air.
Arus air yang keras, tanpa mengeluarkan tenaga lagi, tubuhnya terhanyut cepat didalam
terowongan sungai. Dengan memasang mata, ia melewati beberapa tikungan berbahaya.
Kepandaiannya telah tinggi, ia bisa menggunakan ilmu dalam menyimpan pernapasan,
sehingga bisa bertahan berjam-jam didalam air.
Arus air yang keras, dalam beberapa menit telah menghanyutkan dirinya beberapa ratus meter
jauhnya dari gua tadi. Ia tetap menggunakan kekuatan air membiarkan dirinya hanyut. Tapi
406
setelah beberapa menit lagi berlalu, arus air menjadi kendor. Terowongan tidak penuh berisi
air seperti semula. Ia jadi girang, karena memudahkan baginya bernapas. Kini ia berenang dan
berenang untuk keluar dari terowongan itu, hatinya menjadi girang, karena tak lama kemudian
bisa melihat sinar terang masuk kedalam terowongan. Ia tahu jalan hidup sudah terbentang
didepan mata. Dengan cepat ia menggerakkan kaki tangannya agar cepat-cepat sampai diluar,
akan tetapi sebelum ia sampai diluar tampak berkelebatan sesosok bayangan masuk kedalam
terowongan. Ia menjadi kaget, sebelum sempat berbuat apa-apa, tubuhnya telah tertangkap.
Bayangan itu memiliki kepandaian luar biasa didalam air, tenaganya luar biasa. Tiong Giok
dibuatnya tak berdaya, dan mandah saja dikempit dan dibawa keluar !
“Dapat ! Dapat !” teriak yang mengempit Tiong Giok itu sekeluarnya dari dalam terowongan.
Tiong Giok menjadi girang, karena bisa melihat jelas, orang yang mengempit dirinya itu
adalah Toa Gu sitolol itu. Dimulut terowongan tampak Yauw Kian Cee dan Ciu Kong. Begitu
mereka melihat Tiong Giok, segera memberi hormat sambil memanggil “Siau cu jin” dengan
suara parau. Sedangkan mata mereka tergenang air dan berkaca-kaca bahwa girangnya.
“Eh….katanya ingin betul bertemu dengan Siau cu jin, dan menyuruhku masuk kedalam gua
air untuk mencarinya, kini sudah bertemu kenapa berlagak sedih ?” kata Toa Gu.
Mendengar ini Tiong Giok tersenyum juga, cepat ia membalas hormat kedua orang tua itu
sambil berkata. “Apa yang diucapkan Toa Gu adalah benar, pertemuan ini sangat
menggirangkan bukan, untuk apa bersedih ?”
“Waktu Siau cu jin jatuh kedalam jurang, kami tidak berdaya memberikan pertolongan.
Untung Tuhan maha adil, melindungi Siau cu jin dari bahaya maut. Bilamana tidak, rasa sesal
kami ini bisa terbawa mati !”
“Sudahlah,” kata Tiong Giok. “Eh…kalian kenapa bisa berada disini ?”
“Biarpun Siau cu jin sudah jatuh, kami masih tetap bertekad untuk menemukan, maka itu
dalam beberapa hari, kami menyelidiki keadaan disekitar ini, menjadi curiga, maka itu
kusuruh Toa Gu menyelidikinya. Tak kira begitu dicoba, berhasil menemukan Siau cu jin !”
Tiong Giok menuturkan dengan ringkas keadaan dirinya sehabis jatuh dari atas bukit itu.
Bagaimana keadaan Wan Jie dan ibuku ?” tanya Tiong Giok.
“Tak perlu kuatir, mereka meneruskan perjalanan ke Kiu Yang Shia dibawah perlindungan
Pek Kiam Hong dan Tiat Siau Bwee,” jawab Ciu Kong.
“Oh….Pek Kiam Hong dan Tiat Siau Bwee, mau mereka kesana ?”
“Karena pertolongan dari Siau cu jin, Pek Kiam Hong memohon sendiri untuk mengantarkan
ibumu kesana, kami tak bisa mencegah dan membiarkannya pergi. Sedangkan kami terus
berada disekitar sini, untuk mencari jalan menemui Siau cu jin,” kata Yauw Kian Cee.
“Apakah Wan Jie dan Ceng Ceng turut juga kesana ?”
“Ini….ya mereka turut juga kesana…” kata Ciu Kong agak gugup.
407
“Siau cu jin….” Kata Toa Gu yang terus membungkam lagi, karena dienterap Yauw Kian
Cee. “Toa Gu, Siau cu jin tentu masih letih sekali lekaslah ambil arak dan makanan, bawa
kesini.”
Toa Gu kepaksa tak bisa melanjutkan pertanyaan, cepat ia pergi menjalankan perintah Yauw
Kian Cee.
Tiong Giok bukan manusia bodoh, ia kenal betul sifat polos dari Toa Gu, maka sambil
tersenyum ia berkata : “Ada apa sih yang dirahasiakan kepadaku ?”
“Siau cu jin jangan berkata begitu, sedikitpun tidak ada yang kamu rahasiakan,” kata Yauw
Kian Cee.
“Memang kuharapkan demikian adanya, tapi kenapa Yauw Lo Cianpwee mencegah apa yang
hendak diucapkan Toa Gu ?”
Yauw Kian Cee dan Ciu Kong menundukkan kepala, yang aneh dari mata tunggalnya Ciu
Kong meneteskan air mata.
“Apa yang sudah terjadi, jelaskanlah !” kata Tiong Giok ingin mengetahui penjelasan.
“Keadaan Siau cu jin baru lepas dari bahaya, maka segan untuk menuturkan secara jujur,
nanti saja…..” kata Yauw Kian Cee.
“Tidak !” kata Tiong Giok, “Kuminta penjelasannya sekarang juga !” katanya lagi.
Yauw Kian Cee dan Ciu Kong tetap membungkam. Saat ini Toa Gu sudah kembali dengan
arak dan makanan. Begitu ia mengetahui kehendak Tiong Giok segera ia tertawa. “Aku tak
bisa berdusta, sejak tadipun sudah ingin kukatakan.”
“Nah, katakanlah lekas !” seru Tiong Giok.
“Dua Lo Cianpwee ini membohongi Siau cu jin ! Karena Wan Kounio dan Ceng Ceng tidak
ikut ke Kiu Yang Shia, mereka…..ng….ng….ng” Toa Gu dengan mendadakan menangis dan
tidak bisa meneruskan kata-katanya lagi.
“Katakan ! Katakan ! Apa yang terjadi pada mereka ?” teriak In Tiong Giok.
“Wan Kounio ditangkap kaum Pok Thian Pang, Ceng Ceng melindungi, tapi tak berdaya,
menderita luka parah….hampir…mati…ng….ng….”
Tiong Giok menarik napas, “Apakah betul ?”
Yauw Kian Cee menganggukkan kepala.
“Kini Ceng jie berada dimana ?”
“Disebuah gua yang tak seberapa jauh dari sini…..” kata Ciu Kong.
408
“Antarkan aku menemuinya,” kata Tiong Giok. Segera ia berjalan, tapi baru beberapa
langkah, ia berhenti dengan tiba-tiba. “Toa Gu memiliki kepandaian di air yang luar biasa,
kutugaskan untuk menolong Bok Tiong dan anaknya.” Diterangkannya dengan jelas keadaan
terowongan air, dan letaknya kolam didalam gua dimana Bok Tiong berada. Disamping itu
iapun menugaskan Yauw Kian Cee menjaga dimulut terowongan, sedangkan Ciu Kong
diajaknya pergi untuk menemui Ceng Ceng.
“Hm, gara-garamu membuat Siau cu jin berduka,” kata Yauw Kian Cee setelah berada
berduaan dengan Toa Gu.
“Apa yang kukatakan semuanya benar, apa salahnya ?”
“Jangan ngomong saja, lekaslah masuk keair!”
Toa Gu segera terjun kedalam air untuk menjalankan tugasnya.
Sementara itu dengan cepat Ciu Kong telah mengajak Tiong Giok memasuki sebuah gua. Gua
itu tidak lembab karena diserapi jerami-jerami kering, disitu terdapat persediaan makanan
yang cukup. Agaknya mereka telah beberapa hari berdiam didalam gua itu.
Disalah satu sudut gua terdapat tumpukan jerami yang tebal, diatasnya tampak tergeletak
tubuh Ceng ceng. Rambutnya riap-riapan wajahnya pucat sekali. Melihat sigadis yang biasa
lincah dan bersemangat menjadi semacam ini, Tiong Giok menjadi pedih. Dan cepat dipegang
pergelangan si gadis, setelah memeriksa hatinya menjadi legaan, karena sigadis belum mati.
“Ceng Ceng ! Ceng Ceng !” panggilnya dengan perlahan.
Ceng Ceng seperti mendengar perkataan itu, tampak ia memaksakan diri membuka matanya.
Ia berhasil melihat, tetapi sepasang matanya yang tajam seperti rabun dan hilang
kesegarannya, kuyu dan mati, sedikitpun tidak bersinar. Bibirnya seolah-olah ingin bergerak,
tapi tak sepatah katapun yang keluar.
Tanpa terasa Tiong Giok mencucurkan air mata, dengan suara parau tersumbat isak tangisnya
ia berkata : “Kenapa ia bisa menderita begini macam ?”
“Waktu melindungi Wan Kounio kena dilukai seseorang yang berkepandaian tinggi, sehingga
isi perutnya berubah hebat…disamping itu dalam beberapa hari kami sibuk mencari Siau cu
jin, membuatnya kurang terawat benar,” kata Ciu Kong.
“Ceng Ceng memiliki kepandaian yang amat tinggi, jarang orang di Pok Thian Pang yang bisa
menandingi kepandaiannya, aneh…siapa yang bisa melukainya begini macam ?”
“Benar, orang biasa tak melukai Ceng Ceng tapi orang itu berkepandaiannya luar biasa sekali.
Kekuatanku berdua Yauw Kian Cee baru bisa mengimbanginya, maka tak heran Ceng Ceng
kena dilukai macam begini….”
“Ya, siapa orang itu ?”
“Kami tidak mengenalnya,” kata Ciu Kong. “Tapi Wan Kounio memanggilnya Lo Cucong,
mukanya tertutup kain cagas, sehingga tak terlihat wajah aslinya.”
409
“Oh….kiranya dia, tak sangka sampai iapun turun tangan sendiri,” kata In Tiong Giok dengan
kaget.
“Apakah Siau cu jin kenal dengannya ?”
In Tiong Giok menganggukkan kepala, tetapi dengan cepat menggelengkannya lagi. “Aku
hanya mengetahui orang itu sebagai pemimpin tertinggi kaum Pok Thian Pang, biasa
dipanggil Lo Cucong, seorang misterius yang berbahaya sekali, aku pernah melihat
bayangannya sekali tapi belum pernah melihat parasnya.”
“Lo Cucong kepandaiannya tinggi sekali, dengan mudah ia menciduk Wan Kounio, Ceng
Ceng segera memberi pertolongan, tapi hanya sekali kebut, budak ini menderita luka parah.
Yauw Kian Cee bersamaku segera menyerang ia memberi tangkisan keras, kami dibikin
mundur dua langkah…pada detik itulah Wan Kounio kena dibawa lari.”
“Bilamana hal ini terjadinya ?”
“Yakni waktu Siau cu jin pergi mencari Liok Jie Hui, mereka datang menyerang. Untung
kami keburu sampai dan berhasil menyelamatkan ibumu dan Tio Ma. Maka dikarenakan
halangan itu, kedatangan itu, kedatangan agak terlambat dan tak berhasil menolong Siau cu
jin….”
“Oh kalau begitu di siang hari bolong ia melakukan penangkapan itu ?”
“Benar !” kata Ciu Kong. “Setelah mereka pergi, kami segera datang ketempat Siau cu jin
bertemu dengan Liok Jie Hui, kami melihat Siau cu jin terjatuh kedalam jurang….kami
menjadi cemas sekali ! Untung Pek Kiam Hong dan Tiat Kounio menampilkan diri untuk
mengajak ibumu ke Kiu Yang Shia sedangkan kami terus mencari Siau cu jin.”
“Dengan adanya Pek dan Tiat yang mengantar kedua orang tua itu, aku merasa lega, yang
penting sekarang juga harus menolong Ceng Ceng. Sekarang juga aku akan mengobati Ceng
Ceng dengan tenaga dalam, kuminta Ciu Lo Cianpwee menjaga diluar gua. Setelah Ceng
Ceng sembuh, kita harus pergi kemarkas Pok Thian Pang untuk menolong Wan Jie.”
“Siau cu jin baru sembuh dari sakit, mana boleh sembarang menghamburkan tenaga sejati.
Dalam hal ini biarlah aku dan Yauw Kian Cee yang mengerjakan.”
“Pokoknya kuminta Ciu Lo Cianpwee menurut apa yang kukatakan…”
“Janganlah untuk budak ini sampai merusak dirimu…..”
“Jangan kuatir, paling lama dua hari dua malam, kujalankan pengobatan ini. Kuminta Ciu Lo
Cianpwee menunggu didepan gua, bilamana Yauw Lo Cianpwee telah kembali, suruhlah
mereka menantikan didepan. Lekaslah !”
Ciu Kong tidak bisa membangkang lagi, dengan seddih ia menuju keluar.
Dua puluh empat jam terhitung satu hari satu malam. Keadaan didalam maupun diluar gua
begitu sunyi sekali. Seolah-olah tidak ada kehidupan di dalam kesunyian yang mencekam
perasaan itu.
410
Sinar surya perlahan-lahan bergeser terus, begitu lama dan menyebalkan. Akhirnya sampailah
disenja hari kedua. Tiong Giok belum pula selesaikan melakukan pengobatan. Sedangkan
Yauw Kian Cee disaat inilah baru terlihat muncul bersama Toa Gu, Bok Tiong dan Bok Thian
Sek. Ciu Kong segera menyambut kedatangan mereka dan menceritakan pula apa yang
dikerjakan Tiong Giok.
“Siau cu jin baru sembuh dari lukanya, dan baru pula keluar dari tempat bahaya, kenapa Ciu
heng tidak mencegahnya ?” Yauw Kian Cee menyesali kawannya.
“Sudah kucegah, tapi tabiatnya yang kukuh membuatku tak berdaya !”
“Kejadian ini sebenarnya tidak patut Siau cu jin mengetahuinya, sekarang, tapi gara-gara Toa
Gu yang tolol dan goblok ini membuat urusan berengsek ! ‘ gerendeng Yauw Kian Cee.
Wajah Toa Gu menjadi merah matang, ia menundukkan kepala tanpa mengucapkan sepatah
katapun.
“Kejadian ini sudah begini maunya, tak perlu saling menyesalkan, yang penting, kita harus
menjaga keselamatan Siau cu jin,” kata Bok Tiong.
“Benar,” kata Ciu Kong. “Sewaktu menjalankan pengobatan dengan ilmu dalam Siau cu jin
tidak boleh terganggu oleh apapun. Maka itu kita harus melakukan penjagaan yang ketat. Dua
anak muda ini kita tempatkan diluar, sedangkan kita menjaga disini !”
“Dengar tidak ?” tanya Yauw Kian Cee pada Toa Gu. “Berlakulah hati-hati, kalau ada bahaya
lekas beri laporan.”
“Mengerti,” jawab Toa Gu singkat.
“Tapi jangan sembarangan membuka mulut sebab suaramu itu bisa membuat Siau cu jin
celaka.”
Bok Tiong mengulapkan tangan kepada anaknya : “Ikutlah dengannya, dan berhati-hatilah !”
Thian Sek menganggukkan kepala, terus membuntuti Toa Gu dari belakang.
Dalam sekejap mereka telah sampai disuatu tempat yang tinggi, sejauh seratus meter dari gua.
Toa Gu masih mendongkol, begitu melihat Thian Sek menghampiri dirinya segera
menggebahnya : “Jangan dekatku, aku lagi sial ! Nanti dirimu kebawa-bawa !”
“Tempat ini adalah yang paling cocok untuk berjaga, dari sini bisa melihat keadaan sekeliling
bukan ?” kata Thian Sek. “Lagi pula berjaga-jaga seorang diri sangat sepi, maka apa salahnya
sebagai sute menemani orang suheng ?”
“Ha ? Aku Suheng ? Tapi engkau tidak tahu, sejak aku masuk sebagai anggota Thian Liong
Bun, diajari apa oleh Yauw Lo Ya itu ?”
“Tentu ilmu yang tinggi-tinggi !”
411
“Hm, engkau salah ! Ia hanya pandai memaki-makiku, goblok tolol….belajar cara begini biar
seratus tahun tidak ada hasilnya….”
“Kenapa bisa begitu ?”
“Sebab ia menganggapku goblok sekali dan memberikan pelajaran tidur !”
“Tidur ?”
“Ya, tidur ! Pikirlah apa gunanya belajar tidur ?” kata Toa Gu dengan gemes. “Sekarang baru
kutahu, ia kuatir terkalahkan olehku, baru berbuat begini macam, betul tidak ?”
“Yang kutahu seorang guru mengharapkan muridnya pandai, maka dugaanmu itu salah besar
!”
“Hm, rupanya engkau tak percaya !” kata Toa Gu. “Baiklah kujelaskan pelajaran tidur itu
kepadamu Thian Sek, tiduran diatas sebuah batu lalu mengatakan cara-carfanya yang didapat
dari Yauw Kian Cee pada Thian Sek.”
Thian Sek menurut saja apa yang diajari Toa Gu. Ia menjadi kaget, karena setelah
menjalankan ilmu ajaran Toa Gu, peredaran darah maupun napas menjadi lambat dan kendur.
Tak selang lama sekujur badannya menjadi lemas, rasa kantukpun menyerang dengan
hebatnya. Sungguhpun begitu terasa pula bdan menjadi nyaman sekali.
“Bagaimana rasanya ? Mengantuk dan ingin tidur bukan ? Pikirlah ilmu macam ini apa
gunanya ?”
Keadaan Thian Sek sedang berada dialam tiada aku, apa yang diucapkan Toa Gu sedikitpun
tidak terdengar. Membuat sitolol tersenyum-senyum, “Ha ha ha budak ini berbakat sekali,
begitu diajari lantas pulas ! Pelajaran macam ini cocok baginya, tapi tidak untukku !”
Pada saat inilah telinganya mendengar suara orang berkata, “Anak tolol apakah engkau tidak
tahu inilah pelajaran Hoan poo poi kui cin untuk melatih ilmu dalam dari Thian Liong Bun
yang terkenal lihay ? Bukan ilmu tidur seperti yang kau katakan !”
Toa Gu segera berpaling. Dibawah sinar rembulan yang redup, ia melihat sesosok tubuh
kurus. Dengan memberanikan diri ia menegur. “Engkau siapa ?”
Si tubuh kurus itu menghampiri, lalu tersenyum kepadanya. “Manusia polos, kenalkah
denganku ?”
Toa Gu tanpa terasa membuka mata semakin lebar, sedang tubuh kurus yang dihadapi tetap
kurus. Cuma ia bisa tahu orang kurus itu berkepala botak dan mengenakan baju kasa, ia
seorang Hweesio. Ia seperti kenal tetapi tidak ingat dimana ia pernah bertemu. Hweesio itu
tetap tersenyum menantikan jawaban.
“Aku kenal….tapi lupa lagi dimana pernah bertemu !”
“Ingat-ingatlah, siapa aku ini !”
412
“Engkau Hweesio !”
“Benar ! Aku Hweesio ! Namun dimana kita pernah bertemu ? Mungkinkah engkau lupa
sama sekali ?” kata si Hweesio kurus itu.
Toa Gu mencoba mengingat-ingat, tapi tidak berhasil, ia membanting-banting kaki dengan
gemes, atas daya ingatnya yang buruk itu.
“Orang polos…..dasar polos….”
Perkataan polos ini mendatangkan ingatan padanya. “Aku ingat !” serunya dengan tiba-tiba.
“Engkau Hweesio yang keluar dari gua di Hoay Giok san….kuingat engkau mengatakan aku
orang polos dan bernafsu mengangkat diriku menjadi murid tapi aku tidak mau….betul tidak
?”
“Bagus ! Nyatanya kau masih ingat kepadaku, ya akulah It Piau !”
“Benar ! Engkau It Piau !” kata Toa Gu. “Waktu itu seberlalunya engkau Siau cu jin
mengatakan engkau adalah seorang aneh berkepandaian tinggi, aku dikatakan tolol tidak mau
diangkat murid…..ha ha ha, tak kira sekarang aku bertemu lagi denganmu.”
“Aku kebetulan sedang lewat disini,” kata It Piau, “aku mendengar suaramu dan melihat
bagaimana caranya engkau memberikan pelajaran “tidur” kepada kawanmu. Ha ha ha engkau
harus tahu ini pelajaran sejati dari Thian Liong Bun tahu ? Mana Ciang Bun Jinmu ?”
“Ada….ada…..ada….”
“Baikkah ?”
“Baik….baik….sangat baik….eh tidak, sedikitpuntidak baik ! Kami sedang sial berulangulang
mendapat kenaasan kini engkau datang, kuras tepat betul ! Tentu engkau bisa
membantu Siau cu jin kami, karena engkau lihay bukan ?”
“Apa yang terjadi atas diri In Siau hiap ?”
“Siau cu jin baik-baik, yang mendapat kecelakaan adalah Ceng Ceng. Sebenarnya Siau cu
jinpun pernah celaka tapi sudah selamat.”
“Beritakanlah yang baik, aku bingung mendengar keteranganmu yang berbelit-belit macam
itu.”
“Aku orang bodoh maka tak bisa bercerita dengan baik, beginilah : tunggu disini
kupanggilkan Yauw dan Ciu Lo yacu, mereka pasti dapat menjelaskan dengan terang dan
membuatmu puas.”
“Siapa itu Yauw dan Ciu Lo yacu ?”
“Ha ha ha masakan engkau lupa ? Mereka pernah engkau robohkan dengan ilmu gaibmu di
Hoay Giok san.”
413
“Oh kiranya mereka, dimana sekarang mereka berada ?”
“Tuh disana, tidak seberapa jauh !”
“Ajaklah aku kesana menemui mereka.”
“Tidak mau ! Siau cu jin tidak bias menerima tamu, kedatanganmu kesini harus kuberi tahhu
dulu pada mereka, kalau datang-datang bertemu dengan mereka, aku bisa dicaci maki !”
“Lekaslah beri tahu mereka, akan kutunggu disini !”
Toa Gu segera berlalu, tapi cepat-cepat balik lagi. “Ia adalah suteeku, jika ia bangun….”
Katanya sambil menunjuk pada Thian Sek diatas batu.
“Jangan kuatir aku telah membantunya pulas benar-benar, dalam waktu sekejap ia tak
mungkin bangun, pergilah lekas !”
“Kalau begitu gantikan aku jaga sebentar, jangan lupa bilamana ada orang yang mencurigakan
jangan ribut-ribut, harus cepat-cepat memberi laporan kepadaku.”
“Ya aku mengerti, lekaslah, aku tak mempunyai banyak waktu nongkrong terus disini !”
Dengan cepat Toa Gu telah sampai didepan gua, ia melihat Yauw dan Ciu sedang bersila
didepan gua sedangkan Bok Tiong yang berkepandaian agak rendah berada disebelah dalam
gua. Begitu mereka melihat Toa Gu datang, menjadi kaget tak keruan, dan cepat-cepat bangun
dari tempat silanya.
“Ada apa membuatmu tergesa-gesa ?” tanya Yauw Kian Cee.
“Lo Yacu lekas kesini, ada orang….”
“Siapa yang datang ? Ada berapa orang ?”
“Hanya seorang Hweesio, ia bergelar It….Pi Hweesio….”
“It Pi Hweesio…apakah Yauw heng kenal dengannya ?” tanya Ciu Kong.
“Tidak !” jawab Yauw Kian Cee.
“Sungguhpun Lo Yacu tidak kenal namanya tapi pernah bertemu dengannya, bahkan pernah
pula dirugikan.”
“Siapa sebenarnya Hweesio itu ?” Yauw Kian Cee menegasi dengan kaget.
“Hai…..masakan daya ingat Lo Yacu lebih payah dariku…Hweesio yang di Hoay Giok San
itu…..yang membuat Lo Yacu tidur pulas…ingat tidak ?”
“Aapakah yang kau maksud itu salah satu jago daari Kong bun sam kiat yang bernama It Piau
Taysu ?” tanya Yauw Kian Cee.
414
“Benar dia !”
“Kenapa kau katakan It Pi ? Membingungkan orang saja !” kata Yauw Kian Cee.
“It Piau Taysu seorang manusia aneh yang memiliki kepandaian tinggi, bagaimanapun kita
harus menyambutnya dengan baik. Tapi tugas kita menjaga Siau cu jin belum selesai,
sebaiknya engkau saja Toa Gu yang mengundang dia kemari,” kata Ciu Kong.
“Sabar dulu !” seru Yauw Kian Cee.
“Apa lagi ?” tanya Ciu Kong.
“Bagaimanapun kita tidak bisa meraba kandungan hati seseorang, sebaiknya kita tanyakan
dulu apa maksudnya datang kemari,” kata Yauw Kian Cee.
“Kalau begitu jagalah baik disini, aku pergi menemuinya,” kata Ciu Kong.
“Bukan kata pikiranku sempit, tapi dalam keadaan begini mau tak mau harus bercuriga.
Kuharap sebelum Ciu heng mengetahui maksud kedatangannya yang sebenarnya, berlaku
hati-hatilah.”
“Aku mengerti,” kata Ciu Kong. Yang terus mengajak Toa Gu menemui It Piau Taysu.
Sesampainya disana mereka melihat It Piau sedang bersila disamping Thian Sek yang masih
tidur diatas batu.
Ciu Kong menghentikan kaki dalam jarak sepuluh meter dari tempat It Piau. “Yang rendah
Ciu Kong memberi hormat kepada Taysu,” katanya sambil merangkapkan tangan memberi
hormat.
Dengan tersenyum It Piau membuka mata lalu berkata : “Bagaimana keadaan Sicu, baik-baik
sajakah ?”
Begitu pandangan Ciu Kong beradu dengan sinar mata It Piau, ia menjadi kaget, cepat-cepat
menundukkan kepala dan berkata : “Atas sikap kami yang ceroboh sewaktu di Hoay Giok
San, harap Taysu maafkan….”
“Ha ha ha ha itu soal lama….lagi pula yang salah adalah Lona sendiri, Sicu tak perlu berkata
begitu….kini Sicu berdiri begitu jauh dariku, apakah masih kuatir pada diriku ? Apakah masih
mengingat terus kejadian di Hoay Giok San ?”
“Taysu jangan berkata begitu aku bukan manusia yang berpikiran cupet….”
“Oh kalau begitu baiklah, mari duduk dekatku….”
Ciu Kong segera menghampiri.
“Lona kebetulan lewat disini, bisa bertemu dengan teman-teman lama, merasa girang
sekali….tapi kegirangan ini mendadak hilang….” “Pikirlah dari sini kedalam gua itu hanya
415
seratus meter lebih, biar kepandaianku tak seberapa besar, jarak ini tidak berarti apa-apa bagi
diriku….”
Ciu Kong mengerti bahwa Hweesio itu telah mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan
Yauw Kian Cee tadi. Ia menjadi jengah sendiri. “Taysu kalau sudah tahu apa yang kami
bicarakan tadi adalah baik ! Kenapa kami bisa berlaku curiga, semua ini demi keselamatan
Siau cu jin kami. Atas ini kami mohon maaf kepadamu !”
It Piau tersenyum-senyum. “Kalian adalah orang-orang yang jujur dan setia, tapi kurang
berpikir ! Pikirlah, andai kata aku bermaksud kurang baik kepada Siau cu jin kalian, siangsiang
sudah kulakukan di Hoay Giok San, kenapa harus menunggu sampai sekarang ?”
“Sekali lagi kami minta maaf atas sikap kami yang terlalu curiga itu,” kata Ciu Kong.
“Marilah kita kegua dan bicara disana.”
“Tak usah, yang perlu jelaskanlah kesulitan In Siau hiap dewasa ini kepadaku !”
“Soalnya anak angkatku menderita luka parah, sekarang sedang menerima pengobatan dari In
Siau hiap, maka itu kami menjaganya siang dan malam agar usahanya itu tidak terganggu !”
“Apakah puterimu itu seorang gadis enam belas tahun ? Yang senang mengenakan pakaian
serba hitam dan pernah bertemu denganku sewaktu di Hoay Giok San ?”
“Benar, dialah Ceng Ceng !”
“Dibagian mana ia menderita luka, dan siapa yang melukainya ?”
“Ia menderita luka dibagian dadanya, yang melukainya adalah Lo Cucong !”
“Puterimu itu sudah berkepandaian tinggi, siapa itu Lo Cucong ?”
“Maaf, kami hanya tahu namanya tidak tahu siapa orangnya.”
“Bolehkah aku memeriksa keadaan luka puterimu ?”
“Ini…..ini…..”
“Hm, lukanya didada bukan ? Itu tidak apa-apa ! Lona seorang Hweesio yang sudah tua,
mungkin masih…..”
“Taysu jangan salah mengerti, soalnya bukan disitu ! Soalnya saat ini Siau cu jin sedang
menjalankan pengobatan kepada anakku itu, dan baru selesai besok sore !”
“Oh….kalau begitu baiklah kutunggu sampai besok sore !”
Ciu Kong tidak bicara lagi, lantas memberi hormat dan kembali lagi kegua.
It Piau Taysu melihat Toa Gu tidak turut kembali, maka dipanggilnya : “Hei orang polos,
kemari kau ! Mari kita ngobrol !”
416
Toa Gu menghampiri, wajahnya cemberut, “Ngobrol memang menyenangkan, tapi janganlah
engkau memanggilku “polos”, aku tak senang dianggap sebagai manusia polos !”
“Kenapa tidak senang ?”
“Pokoknya tidak senang saja !” jawab Toa Gu.
“Begitupun baiklah,” kata It Piau. “Ibarat sebuah batu kumala yang belum terasah, tidak
memancarkan sinar indah, melainkan serupa dengan batu biasa. Toa Gu engkau tidak senang
mempelajari ilmu dari Thian Liong Bun bukan ? Maukah menjadi muridku dan mempelajari
ilmuku ?”
“Tidak mau !”
“Kenapa ?”
“Aku sudah menjadi murid dari Thian Liong Bun, bagaimana bisa menjadi muridmu lagi ?”
“Jika kuminta In Siau hiap menyerahkan dirimu, untuk kujadikan murid, bagaimana ?”
“Hm, ini bukan soal dagang, pokoknya aku manusia dan bukan barang, biar Siau cu jinku
meluluskan permohonanmu, kalau aku tak setuju, engkau bisa apa ?”
“Sayang bakat yang baik ini tidak bisa kupupuk. Baiklah, dengan waktu yang singkat ini,
kubantu dirimu !” Sehabis berkata, lengannya dengan kecepatan kilat menotok kedada Toa
Gu. Membuat yang disebut belakangan tidak bisa berkutik lagi. “Ah…Hweesio apa yang
hendak kau perbuat pada diriku ?” tanya Toa Gu yang masih bisa bebas berkata-kata.
It Piau tidak menjawab, lengannya bergerak lagi, tubuh Toa Gu seperti kena magnit,
menempel ditangannya, tak bisa berkutik barang sedikitpun, tubuh itu diletakkan diatas batu,
lalu ditotok jalan darahnya. Setelah itu It Piau mengeluarkan sebuah kotak kumala, begitu
tutup kotak dibuka, bertebaran hawa harum yang sejuk. Kotak itu berisi sebuah kolesom yang
sudah tua sekali. Bentuknya seperti orang, biasa dianggap mustika dunia Kang Ouw. It Piau
membuka mulut Toa Gu dan menjejalkan kolesom itu tak ubahnya seperti tepung halus.
Begitu kena air ludah sitolol, terus masuk kedalam perut dengan mudahnya. Berbareng
dengan ini It Piau menepak-nepak sekujur tubuh sitolol. Dalam sekejap tampak perubahan
hebat pada Toa Gu, perutnya turun naik dengan cepat, dan keringatnya mengucur deras
seperti air hujan. Sesudah hal itu berlangsung sejam lebih, Toa Gu menjadi pulas dengan
tenangnya.
Bintang mulai menyepi, malampun menjadi hilang. Pagi telah datang, dengan seorang diri It
Piau Taysu datang kegua. “Waktunya sudah sampai dapatkah Lona menemui In Siau hiap ?”
Yauw Ciu dan Bok dengan serempak memberikan hormat pada Hweesio itu.
“Sungguhpun waktunya sudah sampai, tapi Siau cu jin kami belum selesai dengan
pengobatannya harap Taysu bersabar sejenak.” It Piau Taysu mengangguk, sungguhpun
begitu ia menghampiri mulut gua telinganya ditempelkan pada dinding gua. Sejenak wajah
Hweesio itu berubah dengan mendadak: “Sam wie benar-benar lalai lekaslah berikan bantuan
pada In Siau hiap, yang hampir kehabisan tenaga !”
417
Ciu Kong bertiga ragu-ragu atas keterangan Hweesio itu. Tapi dengan cepat mereka menjadi
kaget, karena dari dalam gua terdengar suara bluk perlahan, seperti suara tubuh orang jatuh
ketanah. Serentak pula wajah mereka berubah pucat setelah menyaksikan keadaan didalam.
Terlihat Ceng Ceng menggeletak, wajahnya yang pucat telah menjadi semu dadu, tetap belum
sadarkan diri. Lengan kirinya Tiong Giok masih menempel diubun-ubun gadis itu. Sedangkan
lengan kanannya, menempel kedinding gua, menunjang tubuhnya yang telah bermandi
keringat. Agaknya ia telah jatuh sekali, karena kehabisan tenaga, kini terlihat lengannya itu
bergetar keras….
Ciu Kong dan Yauw Kian Cee dengan cepat mengeluarkan sebuah lengannya, menunjuang
pinggang Tiong Giok sambil menyalurkan tenaga dalamnya.
Bok Tiong tak bisa berbuat apa-apa, dalam bingungnya ia mendengar It Piau berkata dengan
perlahan : “Lekaslah ambil secawan air bening ! Ia terlalu menforsir tenaganya sampai habishabisan,
takmudah tertolong dengan cara begini !”
Bok Tiong dengan cepat keluar dan kembali lagi dengan air bening.
It Piau Taysu mengeluarkan sebuah peles kecil dari lengan bajunya, lalu memasukkan
kedalam cawan. Setelah obat itu diaduk rata dengan jarinya, diserahkan lagi pada Bok Tiong.
“Siap sedialah dengan obat ini ! Perhatikan baik-baik, begitu Lona menarik lengan kirinya In
Siau hiap, sicu harus memberikan obat ini, waktunya harus tepat, tidak boleh kecepatan atau
kebelakangan !”
“Ya, silahkan Taysu bekerja !”
It Piau Taysu dengan hati-hati, meletakkan lengan kirinya kekening Ceng Ceng, sedangkan
lengan kanannya memegang lengan Tiong Giok. “Kasih obat !” katanya dengan perlahan,
sambil menarik lengan kiri pemuda kita.
“Sing” terdengar suara halus seperti balon kemps, keluar dari lengan kiri Tiong
Giok.Berbareng dengan itu tubuhnyapun jatuh kebelakang. Bok Tiong dengan tangkas
membuka mulut si pemuda dan mencekoki obat dalam waktu yang bersamaan dengan
perintah It Piau Taysu.
Sambil menarik napas panjang It Piau mengeluarkan lagi dua pil, satu dimasukkan kemulut
Tiong Giok, sebutir lagi kemulut Ceng Ceng. “Untung aku kembali ke Tibet dan membawa
obat-obatan ini, bilamana tidak entah bagaimana jadinya dengan In Siau hiap dan Ceng Ceng
ini.”
“Atas pertolongan ini, aku sibudak tua mengucapkan banyak terima kasih kepada Taysu,”
kata Bok Tiong.
“Budak ? Apakah engkau pegawai dari keluarga In Siau hiap ?”
“Ya, aku Bok Tiong pegawai dari keluarga In Siau hiap !”
“Itu pemuda she Bok yang berada diluar pernah apa dengan sicu ?”
418
“Ia adalah anak angkatku,” berkata sampai disini, tiba-tiba Bok Tiong ingat bahwa anaknya
itu dan Toa Gu bersama-sama Hweesio ini diluar gua, kenapa sampai saat ini tidak kelihatan
mata kepalanya. Berpikir sampai disini cepat ia memberi hormat. “Silahkan Taysu istirahat
sejenak, aku keluar !”
“Silahkan !” kata It Piau.
In Tiong Giok belum sadar, ia masih dibantu terus oleh Yauw Kian Cee dan Ciu Kong,
sedangkan Ceng Ceng seperti tidur pulas. Perlahan-lahan It Piau mendekati lengannya terlihat
menyingkap baju sigadis, sepasang buah dada yang begitu indah berada didepan matanya, ia
memeriksa dengan seksama. Tampaklah sebuah telapak tangan yang berwarna merah tertanda
yang berada dikulit si gadis itu. Melihat ini It Piau menjadi kaget sekali. “Hiat ciu ing”
(telapak tangan darah) ! Kiranya dia !” Suaranyapun bergetar penuh kecemasan. Dan cepat ia
mengeluarkan jerijinya dan menggoreskan ke dinding gua, setelah itu iapun berlalu tanpa
pamit lagi….waktu Bok Tiong kembali kedalam gua, bayangan It Piau sudah tiada lagi.
Pada saat inilah Ceng Ceng mendusin dari tidurnya, begitu ia melek dan melihat bajunya yang
tersingsing dan lalu bangun merapikan pakaiannya.
“Nona apakah engkau melihat kemana perginya Hweesio itu ?”
“Hm, aku tak perduli dengan Hweesio itu, tapi ingin kutanya, engkau manusia macam apa
tua-tua tidak tahu diri ?”
“Kenapa nona bertanya begitu, aku salah apa ?”
“Hm, pura-pura gila, nih rasakan dulu hajaranku !” seru Ceng Ceng yang terus menggerakkan
tangan. Serangannya begitu cepat sekali, sebelum Bok Tiong bisa berbuat apa-apa, lengannya
telah dipelintir !”
“Nona apa-apa…..aduuuuh….” teriak Bok Tiong.
“Hm, kuhabiskan kau tua bangka tidak tahu diri, yang berani mengganggu perempuan baikbaik
!”
Bok Tiong tidak bisa berbuat apa-apa, nampaknya ia akan celaka ditangan Ceng Ceng yang
sedang marah itu.
“Ceng Ceng jangan semberono, lepaskan dia !” tiba-tiba terdengar suara halus memberikan
pertolongan pada Bok Tiong. Tampak Yauw Kian Cee dengan mandi keringat telah bangun
dan mencegah Ceng Ceng mencelakakan Bok Tiong. Menyusul terlihat In Tiong Giok dan
Ciu Kong sudah bangun juga dengan mandi keringat pula seperti Yauw Kian Cee.
Tampaknya mereka letih sekali dan lemas. Ceng Ceng melepaskan Bok Tiong dan menubruk
kepada Tiong Giok. “Siau cu jin, tidakkah aku sedang bermimpi ?”
Tiong Giok membiarkan dirinya dipeluk si gadis, karena ia bisa memaklumi kegirangan gadis
itu. Dengan tersenyum diusap-usap rambut gadis itu. “Inilah kenyataan bukan impian !”
419
“Hei budak tolol, lekas haturkan terima kasih kepada Siau cu jin, ialah yang menolong
jiwamu dari kematian !” bentak Ciu Kong.
Si gadis menekuk lutu, tapi cepat-cepat dibanguni Tiong Giok. Mereka ini saling tatap, penuh
girang dan terharu. “Akulah yang harus berterima kasih kepadamu, untuk menolong Wan Jie
engkau menderita begini macam.”
Ceng Ceng segera menjawab. “Siau cu jin jangan gusar, karena kepandaianku yang rendah
ini, tak mampu melindungi Wan Kounio.”
“Engkau telah berusaha mati-matian, tapi mau dikata apa kalau takdir maunya begitu,” hibur
Tiong Giok. Ia berpaling pada Bok Tiong yang masih kesakitan dan mengurut-urut
lengannya, bekas dipelintir Ceng Ceng.
“Apa yang terjadi barusan ? Kenapa engkau menyerang Bok Lo Cianpwee ?”
Ceng Ceng menundukkan kepala dan menjawab dengan perlahan. “Aku tak kenal
dengannya….tapi….ia berani membuka bajuku…”
Mendengar ini Yauw Ciu dan In Tiong Giok menjadi kaget, mereka dengan tajam
memandang Bok Tiong seorang. Kasihan orang tua ini, ia menjadi bingung mendapat tuduhan
semacam ini. Muka tuanya menjadi matang biru, lengannya segera digoyang-goyangkan.
“Pikirlah aku sudah setua ini, mana bisa berlaku semacam ini….aku baru kembali dari luar
dan datang mencari It Piau Taysu kemari, Hweesio tidak kutemui, sebaliknya mmebuat Ciu
Kounio bangun…tahu-tahu aku diserangnya….”
“Ha ha ha,” Ciu Kong tertawa geli, karena ia ingat bahwa Hweesio itu pernah mengatakan
mau melihat tempat luka Ceng Ceng. Dan tentu hal ini dilakukan, sedangkan Bok Tiong yang
tidak tahu apa-apa ketiban sial membuatnya tertawa terpingkal-pingkal.
Yang lain menjadi heran, dan terus memandang jago tua bermata satu itu dengan tanda tanya.
“Apa yang ayah tertawakan ?” tanya Ceng Ceng.
“Aku tertawakan kesialan dari Bok heng !” jawab Ciu Kong sambil menjelaskan kandungan
hatinya.
“Kini kemana perginya Hweesio itu ?” tanya Ceng Ceng.
“Entahlah !” kata Bok Tiong. “Bukan saja ia membuka bajumu, Toa Gu dan Thian Sek pun
dibikin tidur, sehingga belum pernah mendusin sampai sekarang !”
“Kapan dia datang kemari ?” tanya Tiong Giok.
Ciu Kong segera menuturkan kedatangan Hweesio itu dengan jelas.
“It Piau Taysu seorang bulim yang luar biasa, pasti tindak tanduknya takkan bisa merugikan
Toa Gu maupun Thian Sek. Dan iapun segera pergi setelah memeriksa luka Ceng Ceng,”
Tiong Giok berhenti bicara dan terus menunjuk kedinding gua. “Bukankah itu tulisannya ?”
420
Dengan serentak sekalian yang berada disitu memandang kearah yang ditunjuk, benar saja
didinding gua itu terlihat tulisan yang berbunyi : Suatu firasat buruk membuatku cemas dan
pergi tanpa pamit pedang pusaka kupinjam untuk membasmi kejahatan.
Jilid 21 .....
Benar saja salah satu pedang pusaka yang bernama Lie hwe kiam sudah hilang dari
tempatnya. “Hweesio itu sangat aneh, ia pergi tanpa pamit dan membawa pedang untuk apa
?” kata Yauw Kian Cee.
“Mungkin firasat buruknya itu dikarenakan ia melihat luka Ceng Ceng,” kata Ciu Kong.
“Tapi Toa Gu dan Thian Sek sampai sekarang belum bangun, hal ini mendatangkan firasat
buruk bagiku !” kata Bok Tiong.
“Jika begitu sebaiknya Lo Cianpwee coba tengok mereka, jika belum bangun gotong saja
kemari !” kata In Tiong Giok.
“Bolehkah aku menemani Lo yacu keluar ?” tanya Ceng Ceng.
Tiong Giok tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ceng Ceng cepat-cepat mengikuti Bok
Tiong keluar gua, dalam sejenak ia membuat kesan baik pada orang tua itu, sehingga salah
paham tadi hilang dalam waktu sekejap.
Seberlalunya kedua orang itu, Tiong Giok berpaling pada Yauw Kian Cee dan berkata dengan
serius : “Kuminta Yauw Lo Cianpwee memcapaikan diri pergi ke Siau sa san untuk menemui
Hek pek siang yauw, dan mohon pada mereka sepuluh orang yang pandai berenang lengkap
dengan alat-alat selamnya. Dan suruh mereka menantikan di Chin San sia dalam minggu ini
juga.” Ia pun menyerahkan pedang Hong siat kiam pada Yauw Kian Cee. “Jika mereka tak
yakin, perlihatkanlah pedang sebagai bukti..” Disamping itu ia pun menyerahkan Thian Lui
tiap pada Ciu Kong.
“Kuminta Lo Cianpwee memcapaikan diri membawa buku ini sebagai benda kepercayaan
untuk menyambangi Tong Cian Lie di Kiu Yang Shia. Katakan kepadanya aku menghaturkan
terima kasih atas kesediaannya menerima ibuku disamping itu minta pula kepadanya untuk
menahan Pek Kiam Hong dalam waktu setengah bulan, jangan sampai meninggalkan Kiu
Yang Shia.”
Yauw Kian Cee dan Ciu Kong saling tatap, dengan wajah guram. Akhirnya Yauw Kian Cee
bertanya dengan heran:“
Apakah Siau cu jin sudah bertekad untuk menolong Wan Kounio dari cengkeraman kaum Pok
Thian Pang ?”
“Benar ! Tapi niatku pergi kesana semata-mata bukan karena urusan Wan Kounio saja, masih
ada yang lebih penting lagi dari itu !”
“Bolehkah kutahu hal yang penting itu ?” tanya Ciu Kong.
“Niatku pergi kemarkas kaum Pok Thian Pang disamping untuk menolong Wan Kounio, yang
terpenting untuk menemui orang tua di dalam penjara tanah itu !”
421
“Apakah Siau cu jin tahu siapa orang itu ?”
“Menurut dugaanku, orang tua itu bukan lain dari pada ayahku sendiri !”
Ciu Kong dan Yauw Kian Cee menundukkan kepala tanpa berkata-kata lagi. Setelah itu
dengan berbareng mereka merangkapkan tangan. “Kalau begitu sekarang juga kami pergi !”
“Baik, lebih cepat lebih baik !” kata Tiong Giok yang terus mengantar kedua orang tua itu
keluar gua.
Baru Yauw dan Ciu berlalu, tampak Bok Tiong bersama-sama Ceng Ceng, Toa Gu dan Thian
Sek kembali ke gua. Diantara mereka tampak Thian Sek paling gembira: “Siau cu jin
mungkin engkau takkan percaya dalam waktu semalam aku dapat memahami ilmu Samadhi
dari Thian Liong Bun !”
“Betulkah ? Siapa yang mengajarimu ?” tanya Tiong Giok.
Thian Sek menunjuk pada Toa Gu. “Oey Suheng yang mengajari !”
Keruan saja Tiong Giok dibikin melengak karena ia tahu sendiri Toa GU sendiri sangat
goblok dan tak bisa memahami ilmu itu, apalagi mengajari orang lain. “Ha ha ha ha betulbetulkah
dia yang mengajarimu ?”
Toa Gu merasa jengah sendiri. “Aku tak mengajari apa-apa, hanya menyuruhnya tidur ! Tapi
ia mengatakan memperoleh hasil yang luar biasa sekali ! Sebaliknya akupun tidur, dan benarbenar
merasakan ada kemajuan ! Tubuh rasanya melar mau meledak saja ! Kalau dipikir lebih
mendalam membuatku seram….jangan-jangan tempat ini angker dan kami kemasukan
sesuatu jin atau iblis, bisa begitu tidak ?”
Tiong Giok tertawa tergelak-gelak, disamping itu ia memperhatikan pada si tolol itu memang
beda kelihatannya dari kemarin-kemarin. Sinar matanya begitu tajam, menandakan ilmu
dalamnya sudah tinggi. “Ya mungkin kemasukan roh halus, sehingga membuatmu kuat dan
gagah ! Coba kau hajar dinding gua itu !”
“Aku tak berani !” kata Toa Gu.
“Takut sakit ?” tanya Tiong Giok.
“Bukan ! Kutakut dinding itu roboh !”
“Hi hi hi hi ngomong seenaknya ! Apa kebiasaanmu bicara sesombong itu ?” ejek Ceng Ceng.
“Lihatlah !” seru Toa Gu dengan sengit, karena dipandang enteng. “Hut” angin pukulan
terlepas dari tangannya. Melihat ini Tiong giok menjadi kaget, cepat ia menarik Ceng Ceng
dan Thian Sek keluar, sedang Bok Tiong pun mengikuti keluar. Bersamaan dengan itu
terdengar bunyi keras, dari ambruknya dinding gua, nyatanya pukulan Toa Gu membuat
dinding itu roboh.
422
Ceng Ceng menjadi cemas dan menyesalkan dirinya sendiri. “Siau cu jin akulah yang
mencelakakannya, ia mati teruruk dinding yang roboh itu.”
“Adikku yang baik tak perlu cemas, aku tak bisa mati !” tiba-tiba terdengar suara Toa Gu dari
gua. Nyatanya dengan kekuatan tangannya ia membuat batu-batu yang menyumbat gua itu
berterbangan keluar. Ia sangat kebal, batu-batu yang menimpa dirinya tidak membuat luka
cuma bajunya pecah-pecah.
“Toa Gu engkau sangat lihay !” puji Tiong Giok waktu melihatnya keluar dari gua. “Sejak
saat ini bukan saja tahan pukul, bahkan bisa memukul juga !” “Mari kita berangkat !”
“Beangkat kemana ?” tanya Toa Gu.
“Memukul orang yang pantas dipukul !” kata Tiong Giok yang terus meninggalkan tempat
itu, diikuti yang lain-lain dari belakang.
Ciu San shia letaknya dekat pegunungan, merupakan pedesaan yang tidak seberapa ramai.
Sungguhpun begitu jalannya cukup besar dan sangat bersih, banyak kaum pelancong yang
bertamasya kedaerah itu. Atau melewatkan waktu liburan dengan bermalam dipenginapanpenginapan
yang terdapat disitu. Diantara penginapan-penginapan yang terkenal adalah
penginapan Bwe Kie. Letaknya diarah selatan jalan raya. Gedungnya terdiri dari tiga
wuwungan, halamannya luas dan indah.
Didepan gedung terdapat tempat menambat dan mengombongi kuda.
Tangga-tangga batu yang berundak-undak menghubungi jalan raya halaman gedung.
Sedangkan merek penginapan terpancang sanagt megahnya diatas pintu, dari jauh orang bisa
melihatnya.
Pegawai-pegawai yang bekerja dipenginapan itu lebih kurang empat puluh orang lebih,
kebanyakan mereka menganggur sekali. Sebab pada hari-hari biasa jarang ada tamu yang
datang kesitu, kebanyakan menggunakan kelas dua yang murah harganya.
Biarpun begitu pegawai yang bekerja disitu tetap dipakai dan tidak pernah ada yang
diberhentikan dengan dalih sepi ataupun alasan yang lain. Hal ini mengherankan dan
membingungkan kaum pedagang, sebab terang-terang mereka melakukan usaha rugi !
Tapi untuk yang mengetahui rahasia penginapan itu sedikitpun tidak merasa heran. Karena
penginapan itu milik kaum Pok Thian Pang ! Dan dijadikan pos penghubung markas pusat
mereka. Lama kelamaan orang pun tahu bahwa penginapan itu hanya pelabi saja dan tidak ada
yang mau lagi bermalam atau mampir disitu. Tapi sungguh aneh dalam hari-hari belakangan
ini penginapan ini banyak tamunya ! Tamu-tamu itu bukan orang-orang biasa, mereka adalah
jago-jago Kang Ouw yang berpakaian serba ringkas dan menyoren senjata. Keadaan
penginapan menjadi ramai, tapi tiga hari kemudian tamu itu semuanya pergi, tinggallah
seorang tua saja yang masih selalu menginap disitu. Orang tua itu tampaknya ia sangat gagah
sekali, biarpun usianya diantara tujuh puluh tahun. Pipinya merah sehat, dan sering
tersenyum-senyum dengan ramahnya bila bertemu seseorang yang dikenal maupun yang tidak
dikenal. Ia menyewa kamar kesatu dibagian rumah yang berwuwungan paling belakang
423
kerjanya kebanyakan mengunci pintu kamar, sampai makanan dan minuman setiap harinya
dibawakan oleh pemilik penginapan itu yang lazim dipanggil Ciang kui..
Ciang kui itu seorang pertengahan umur yang kurus kecil, matanya sipit tapi tajam, tak
ubahnya dengan mata tikus, demikian pula dengan kumisnya yang jarang menyerupai tikus
juga. Anak buahnya biasa memanggilnya Sun Ciang kui.
Hari ini dijalan raya yang sepi dikota pedesaan Cin San shia terlihat seorang laki-laki
mengendarai kudanya dengan kerasnya. Ia menuju kepenginapan Bwee Kie. Begitu ia melalui
tangga batu, tubuhnya segera terjungkel dari tunggangannya. Ia mencoba bangun dengan
terhuyung-huyung sambil menekan perutnya.
Dua pegawai penginapan cepat-cepat memberi pertolongan, laki-laki itu dipapahnya dari kiri
dan kanan dan terus dibawa masuk kedalam penginapan.
Sun Ciang kui menghampiri tamu itu, ia menjadi kaget, karena diperutnya tampak sebuah
luka besar yang mengalirkan darah dengan hebatnya.
Dengan napas tersengal-sengal laki-laki itu membuka mulut : “Da…..dari…..ca…..bang…..
Jiau ciu….”
“Mana tanda pengenalmu ?”
Laki-laki itu menunjuk-nunjuk sakunya, setelah itu kepalanya segera terkulai napasnya
terhenti. Ia mati.
Sun Ciang kui memeriksa sakunya laki-laki itu, ia mendapatkan sebuah kantong kulit yang
berlepotan darah. Ia membuka kantong itu dan mengambil isinya, setelah itu melangkah
masuk kedalam sambil memesan anak buahnya : “Kuburlah jenazah ini baik-baik !”
Wajah pucat Sun Ciang kui semakin pucat setelah membaca habis isi surat. Cepat-cepat ia
berlari-lari kebelakang. Terus masuk kekamar siorang tua bermuka merah tanpa mengetuk
pintu. Orang tua itu sedang semedi, gangguan ini membuatnya tak senang, dengan mendelik
ia menegur : “Ada apa membuatmu kelabakan tak keruan ?”
“Cabang di Jiauw cu habis disapu musuh, ketua cabang dan sekalian anak buahnya mati
terbunuh !”
“Darimana kau dapat berita ini ?”
“Seorang informan yang menyampaikan, tapi ia sendiri luka parah dan sudah mati !”
“Musuh itu dari golongan mana ?”
“Silahkan To Futhoat baca surat ini !”
Orang tua itu segera menyambut surat dari Sun Ciang kui dan membacanya dengan cepat.
“Heran kenapa Hek pek siang yauw bisa lakukan hal ini ? Ia berani menentang Pok Thian
Pang dengan cara yang berani, secara terang-terangan, sungguh luar biasa sekali !”
424
Dikembalikannya surat itu pada Sun Ciang kui. “Segera laporkan dengan kilat ke markas
pusat, biar Lo Cucong sendiri yang mengambil keputusan !”
Sun Ciang kui mengangguk dan membalik badan untuk berlalu, tapi menjadi urung karena
orang tua itu menanyakan lagi. “Ada berita dari Kiu kiang atau tidak ?”
“Belum,” jawab Sun Ciang kui. “Kuyakin bocah she In itu tidak mempunyai keberanian
sebesar yang kita duga…..”
Orang tua itu menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Engkau jangan memandang enteng
kepadanya, kalau ia tahu Wan Jie kena tangkap, jangan kata ke markas Pok Thian Pang
keujung langit pun pasti ia datang !”
“Apakah ia berani menempuh bahaya guna menolong Wan Jie ?”
“Kalau ia takut namanya bukan In Tiong Giok, bocah itu tabiatnya keras, nyalinya besar,
dibenaknya tak ada bahaya atau takut !”
“Aku menjadi anggota Pok Thian Pang belum berapa lama, sehingga kurang mengetahui
riwayat bocah itu ! Tapi untuk menghadapi bocah semacam itu, tak usah terlalu repot-repot !
Andaikata ia datang, belum tentu ia bisa melewati cabang-cabang kita untuk apa repot-repot
menyiapkan jago-jaggo kelas berat, menghadapi bocah saja ?”
“Engkau belum menghadapi sendiri bocah itu, tak heran berani membuka mulut seenakmu,
tapi kalau sudah bertemu…..”
“Kalau sudah bertemu, hm….akan kubeset kulitnya !”
“Jangan-jangan mulutmu yang kena dibeset !” kata orang tua itu, “Sudahlah jangan banyak
omong !”
Sun Ciang kui segera mengangguk dan terus keluar. Dipanggilnya anak buahnya yang cekatan
dan disuruhnya mengantarkan surat dari Jiauw Ciu itu kemarkas pusat mereka.
Waktu sore, Sun Ciang kui seperti biasa membawakan makanan untuk orang tua yang tinggal
dikamar belakang. Baru pula ia mau kesana, dari luar terdengar suara berisik beberapa orang,
ia mengawasi sambil menunda niatnya kebelakang. Tampak empat laki-laki dan seorang
gadis. Satupun tidak ada yang dikenalnya. Ia menjadi bingung demikian pula dengan anak
buahnya, sehingga kedatangan tamu itu tidak ada yang menyambut.
“Ini penginapan bukan Lo heng ?” tanya tamu itu kepada pelaytan sambil tersenyum.
“Benar ! Benar !” sahut salah seorang pelayan yang lebih cerdik. “Saudara-saudara dapat
bermalam dan sekalian makan dipenginapan ini.”
“Bila begitu kami tidak salah masuk !” kata tamu tadi sambil tersenyum-senyum, “kami mau
bermalam….adakah kamar yang bersih ?”
“Banyak ! Banyak ! Mari masuk !” kata Sun Ciang kui, sambil berkata ia mengerlingkan
matanya pada anak buahnya, untuk mengajak para tamu masuk kedalam.
425
“Aku masih ingat betul pernah bermalam dipenginapan ini, dan mengambil tempat diruangan
paling belakang….” kata salah seorang tamunya.
“Oh rupanya saudara tahu, bahwa ruangan paling belakang lebih jauh dari jalan besar dan
lebih tenang keadaannya bukan ?”
“Benar ! Disamping itu, dapat bermalam lagi ditempat lama lebih enak dan membangkitkan
kenangan manis !”
Pelayan itu agak bingung karena ia tahu diruangan belakang ada siorang tua berwajah merah,
maka ia menjadi sangsi….. Saat inilah Sun Ciang kui datang dan terus membentak anak
buahnya ! “Sebagai pengusaha kita harus mengikuti kehendak para tamu ! Engkau ini kenapa
tidak kenal etika sekali ? Kalau semua pegawai semacammu, bisa-bisa usaha ini gulung tikar
!” kata Sun Ciang kui tandas sekali.
Sipelayan cepat-cepat mengundurkan diri tanpa mengatakan barang sepatah katapun. Sedang
Sun Ciang kui dengan cepat tersenyum kepada para tamunya. Saudara-saudara mari ikut
denganku !” dan terus diajaknya kebelakang.
“Bolehkah kutahu nama Lo heng ?” tanya tamu itu.
“Oh…namaku biasa disebut Sun Ciang kui. Dan siapa nama saudara ?”
“Namaku In Tiong Giok….”
“In Tiong Giok ?”
“Benar ! Memang kenapa ?”
“Tidak ! Tidak kenapa-napa ! Hanya saja pernah kudengar di dunia Kang Ouw ada seorang
jago muda yang telah menjadi ketua salah satu perguruan silat bernama persis seperti
saudara….”
“Saudara Sun sebagai pengusaha rupanya memperhatikan juga keadaan dunia Kang Ouw
bukan ?”
“Oh…karena banyaknya tamu-tamu dipenginapan ini, sedikit banyak kudengar juga perihal
kejadian didunia Kang Ouw…”
Sambil berkata tanpa terasa mereka telah berada didepan kamar si orang tua berwajah merah.
In Tiong Giok tiba-tiba berhenti sebentar dan mengawasi kedalam kamar.
“Kamar ini sudah berisi…” kata Sun Ciang kui.
“Oh…” kata Tiong Giok yang melangkah lagi kekamar lain.
Akhirnya mereka berlima menyewa empat kamar, Bok Tiong dan Thian Sek memakai
sekamar, Toa Gu dan Ceng Ceng masing-masing sekamar, demikian pula dengan Tiong Giok.
426
Sun Ciang kui secara ramah tamah dan telaten melayani para tamunya, setelah semuanya
beres baru mengundurkan diri. Tapi dengan tiba-tiba Tiong Giok memanggilnya lagi. “Sun
Ciang kui bolehkah kutahu siapa-siapa yang mendiami kamar tadai itu ?”
“Kulupa, harus kulihat lagi daftar tamu…” jawab Sun Ciang kui.
“Tak usah memeriksa lagi,” cegah Tiong Giok. “Kumohon bantuanmu untuk menyampaikan
terima kasihku kepadanya ! Karena ia mengirim orang-orangnya emnyambut kami di Kiu
Kiang ! dalam hal ini kami tidak menyalahkan dirinya, hanya saja kuharapkan mulai hari ini
tanpa seijinku, orang itu tidak boleh keluar dari kamarnya !”
“Baik ! Baik !” jawab Sun Ciang kui sambil mengangguk-anggukkan kepala. Dan terus
berlari keluar memberi laporan kepada orang berwajah merah itu.
“Hei ! Kenapa ?” tanya si orang tua itu keheranan melihat paras gugup dari Sun Ciang kui.
“Celaka ! Celaka !” kata Sun Ciang kui sambil menuturkan apa yang dikehendaki In Tiong
Giok pada orang tua berwajah merah itu.
“Barusan kudengar langkah-langkah kaki diluar kamar, apakah mereka adanya ?”
“Benar !” jawab Sun Ciang kui. “Nyatanya bocah itu sangaat lihay ! Kita sudah mengirim
beberapa penyelidik untuk mengetahui jejak mereka, tak tahunya mereka sudah datang kemari
tanpa diketahui barang sedikitpun. Bahkan dengan berani mengadakan Show of dorce disini,
tindakannya itu benar-benar keterlaluan sekali !”
“Ha ha ha, yang kukuatirkan tidak mendapat tahu jejak mereka, kini sebagai ikan mereka
masuk kedalam bubu, tidak ada yang lebih baik dari jalan ini ! Berapa jumlah mereka semua
?”
“Seorang tua berkaki satu, dua pemuda kasar, seorang gadis berbaju hitam, bersama In Tiong
Giok sendiri, berjumlah lima orang !”
“Siapa orang tua berkaki satu itu ?”
“Entahlah sejak masuk kesini tidak berkata barang sepatahpun, agaknya kepandaiannya tinggi
sekali, perlukah hal ini dilaporkan kemarkas ?” tanya Sun Ciang kui pada kawannya.
“Kejadian terlalu cepat berubahnya, harus aku sendiri yang pulang melaporkan hal ini kepada
Lo Cucong !”
“Tapi In Tiong Giok telah memesan, bilamana kamu hendak keluar dari kamar ini harus
seijinnya dulu…..”
“Ha ha ha, kau kira aku ini manusia macam apa yang bisa ditakut-takuti ? Pokoknya asal
kumau keluar dari kamar ini siapapun tidak bisa melarang !”
“Kamu bisa pergi, tapi bagaimana denganku sendiri ?”
427
“Ha ha ha rupanya engkau ketakutan sekali bukan ? Kau toh sebagai pengusaha penginapan
ini bukan ? Tak mungkin mereka membuatmu susah ! Lagi pula kepulanganku paling lama
dua hari, setelah itu orang-orang dipusat bisa membereskan hal disini !”
“Baiklah….”
“Sediakan makan malam secepatnya, setelah itu siapkan seekor kuda, malam ini juga aku mau
berangkat !”
Tanpa berkata lagi Sun Ciang kui keluar dari kamar untuk menyediakan makanan orang tua
itu. Begitu datang malam cepat ia memerintahkan anak buahnya menyediakan kuda, ia sendiri
membawa makanan itu kekamar siorang tua. Tak kira ditengah jalan ia dirintangi laki-laki
tegap yang bukan lain dari Toa Gu adanya. “Oh….saudara belum tidur ?”
“Belum,” jawab Toa Gu tersenyum. “Entah apa yang kau bawa ini ?”
“Makanan untuk dikamar itu !” jawab Sun Ciang kui sejujurnya.
“Ha ha ha kebenaran sekali perutku lagi lapar, bolehkah kumakan dulu bagiannya tamu itu ?”
kata si pemuda penghadang itu.
“Tidak bisa, ini pesanannya. Jika kau mau boleh kubikin lagi, tapi yang ini tidak boleh !”
Toa Gu jadi mendelik, dengan cepat makanan itu dirampasnya. “Aku sudah lapar, mana bisa
menahan terlebih lama lagi, bisa-bisa cacing-cacing diperutku mengamuk semua !”
Sun Ciang kui tidak mau ribut, kepaksa ia mengalah dan terus berlalu sambil menggelengkan
kepala.
Saat ini si orang tua berwajah merah sedang mondar mandir didalam kamarnya, sayup-sayup
ia mendengar langkah yang semakin dekat kekamarnya. Begitu langkah itu berhenti didepan
kamarnya segera ia menegur. “Siapa ?”
“Aku mengantarkan makanan untukmu !” jawab dari luar. Berbareng dengan itu pintupun
terbuka dan Toa Gu menyelonong kedalam.
“Oh ! Kiranya engkau !” kata siorang tua.
“Eh Tok Kay Pong kukira siapa, kenapa engkau ngeram terus didalam kamar ?” jawab Toa
Gu.
Orang tua itu memang Tok Kay Pong adanya, ia kenal Toa Gu sewaktu terjadi perebutan
pedang mustika di Hoay Giok San.
Toa Gu dengan tersenyum-senyum meletakkan makanan diatas meja. “Aku disuruh Siau cu
jin datang kemari untuk menyampaikan pesannya, yakni tanpa seijin dia engkau tak boleh
keluar dari kamar ini, mengerti ? Jika engkau tahu diri dan dengar kata tidak diapa-apakan,
sebaliknya kalau engkau membandel kami akan menindak tanpa kasihan, jelas tidak ?”
Selesai berkata Toa Gu nyelonong lagi keluar. Kelakuannya itu kasar sekali, seenaknya keluar
428
masuk kekamar orang, tanpa ijin dan permisi. Keeruan saja membuat Tok Kay Pong menjadi
gusar, sungguhpun begitu ia diam saja tidak mencegah apa yang dilakukan Toa Gu.
“Eh, selanjutnya jangan seperti gadis pingitan, diam saja didalam kamar…..” kata Toa Gu dari
luar.
“Eh, babi, kemari !” teriak Tok Kay Pong dengan sengitnya.
“Siapa yang memakiku babi ?” teriak Toa Gu tidak kurang kalapnya.
“Aku ! Kau babi tak tahu diri, mencari mati sendiri !” bentak Tok Kay Pong. Berbareng
dengan itu ia mengcengkeram pada sitolol dengan lima jarinya.
“Orang tua tolol, nyatanya kau sendiri yang cari penyakit sendiri !” kata Toa Gu tanpa
berkelit sedikitpun menghadapi serangan musuhnya.
Keruan saja cengkeraman Tok Kay Pong dengan empuk mengenai pundak Toa Gu, anehnya
bagaimanapun ia mengeraskan cengkeraman itu, sedikitpun tidak membuat lawannya berasa.
Jika diganti orang lain, cengkeramannya itu sedikitnya akan membuat korban pingsan.
“Bagaimana sudah kau pakai tenaga penuh apa belum ?” tanya Toa Gu. “Nah, rasakan juga
lenganku ini.” Benar-benar ia menebaskan tangannya kepinggang musuh.
Tok Kay Pong adalah jago tua yang cukup berpengalaman, begitu cengkeramannya tidak
membuat musuh roboh, sadar menghadapi seorang yang memiliki ilmu kebal. Maka itu
dengan cepat ia menghindarkan diri dari serangan lawannya, sambil melompat. Ruangan
kamar tidak seberapa besar, begitu ia lompat serangan Toa Gu menghajar tembok. Segera
terdengar bunyi keras, tembok itu gugur.
Serangan Toa Gu dilancarkan berulang-ulang, membuat kamar itu tergetar, dan ambruk !
Sedangkan Tok Kay Pong siang-siang keluar dari dalam kamar. Sedikitpun ia tidak menduga
seorang bocah tolol, memiliki kepandaian sebegitu hebat, tapi jago tua itu sedang bernasib
buruk, begitu ia lompat dari kamar dan hinggap dibumi, kakinya terjirat tambang dan terus
jatuh.
Kiranya Bok Thian Sek siang-siang sudah menantikannya diluar, begitu dilihatnya Tok Kay
Pong keluar, ia menjiret dengan tambang dan terus melakukan totokan. Kasihan salah astu
jago dari bulim Cap sah kie diciduk bocah-bocah ingusan secara mudah.
“Suheng ! Kemari, babi ini sudah kubekuk !” teriak Bok Thian Sek.
“Hm, kukira ia lihay sekali, nyatanya kepandaiannya begini-begini saja, tahu begini seorang
diripun aku sanggup menciduknya !” kata Toa Gu.
“Jangan pandang enteng kepadanya. Barusan jika tidak kugunakan cara menangkap kelinci
barang kali ia sudah lolos !”
“Mari kita bawa kedalam !” kata Toa Gu.
Kasihan Tok Kay Pong sudah tak berdaya, masih diseret lagi.
429
Tok Kay Pong dibawa kesebuah kamar yang terang benderang, disitu ada In Tiong Giok dan
Bok Tiong, rupanya ia sudah menantikan agak lama juga.
Toa Gu dan Bok Thian Sek dengan seenaknya menggabrukkan Tok Kay Pong yang sudah
mati kutu.
“Jangan berlaku kurang ajar, bebaskan totokan Tok Lo Cianpwee dan sediakan kursi
untuknya duduk !” kata In Tiong Giok.
Ciu Ceng Ceng segera menyediakan kursi, sedangkan Bok Thian Sek mendudukan Tok Kay
Pong keatas sambil membebaskan dari totokan.
Begitu ia bebas Tok Kay Pong segera bangun dan berkata dengan gusar : “Hm, kau kira aku
kena digertak dengan kekerasan ? Bocah bukalah matamu aku ini siapa ?”
“Tok Lo Cianpwee setelah kubebaskan dari ikatan dan totokan ini, tidak berarti bebas untuk
pergi semaumu, mengerti ?” kata In Tiong Giok.
“Aku tak percaya….” Baru pula ia berkata sampai disini, pandangan matanya bentrok dengan
sinar mata In Tiong Giok. Ia merasakan sinar mata si pemuda itu tak ubahnya seperti seperti
luasnya lautan, begitu indah dan hangat, menghilangkan segala rasa gusar, danberbalik tenang
penuh kedamaian. Tok Kay Pong menjadi kaget, ia tidak bisa meneruskan kata-katanya
karena otaknya seperti juga mabuk dan merasakan dirinya merapung-rapung disebuah dunia
khayal.
“Tok Lo Cianpwee percayakah atas kata-kataku ?” Tiong Giok menegasi.
Sungguh aneh dengan waktu sebentar, pendirian Tok Kay Pong jadi berubah, ia
menganggukkan kepala sambil menjawab : “Ya aku percaya !”
“Kalau percaya ya baik !” kata In Tiong Giok. “Aku sebagai manusia yang mempunyai
perasaan, aku tak bisa melupakan kebaikanmu sewaktu dimarkas pusat Pok Thian Pang, dan
tidak pula menghilangkan kebaikan saudaramu Kam Kong ditebing Bukit, karena inilah aku
tak mau menimbulkan suatu bencana pembunuhan pada sesama manusia.”
Tok Kay Pong hanya menganggukkan kepala berulang-ulang kali tanpa membantah atau
mengeluarkan perkataan.
“Baiklah hal ini tidak dibicarakan sekarang. Pokoknya engkau harus mengerti bahwa
pembalasan untuk kaum Pok Thian Pang sudah diambang pintu. Aku mengharapkan
bantuanmu berikut kedua saudaramu itu ! Lekaslah mengundurkan diri dari dunia kejahatan
untuk kembali kedunia baik. Bilamana kalian bisa menjalankan permintaanku ini, segala
permusuhan yang terjadi diantara kita berarti habis sampai disini. Bagaimana apakah
permintaanku ini Cianpwee setujui ?”
Saat ini keadaan Tok Kay Pong sudah terpengaruh ilmu Liap hun toa hoat dari Tiong Giok,
tentu saja disamping mengiakan apa yang dikatakan si pemuda tidak ada jawaban lain
darinya.
430
“Jika begitu, sebelumnya kuhaturkan banyak terima kasih,” kata Tiong Giok sambil
tersenyum. “Disamping itu, penginapan ini yang jelas sebagai pos penghubung kaum Pok
Thian Pang, maka akan kuambil alih. Agar hubungan pusat Pok Thian Pang dan cabangcabangnya
terputus, jika hal ini aku yang lakukan, mungkin akan mengakibatkan jatuhnya
banyak korban, maka itu kuminta bantuanmu untuk mengurusnya dalam beberapa hari !”
“Baik !” kata Tok Kay Pong dengan spontan.
“Jika begitu kuminta Lo Cianpwee menyerahkan tanda pengenal dari Pok Thian Pang,” kata
In Tiong Giok.
Saat ini Tok Kay Pong menurut terus apa yang dikehendaki Tiong Giok. Ia merogoh saku
mengeluarkan tanda pengenal untuk keluar masuk markas pusat Pok Thian Pang pada Tiong
Giok.
Setelah menerima tanda pengenal itu, Tiong Giok menyuruh Thian Sek memanggil Sun Ciang
kui, tak selang lama Sun Ciang kui masuk kedalam kamar. Begitu ia masuk menjadi
melengak melihat keadaan didalam kamar itu. Karena ia melihat Tok Kay Pong diam saja,
sedangkan Tiong Giok memainkan tanda pengenal dari Pok Thian Pang. “Tak usah kaget,”
kata In Tiong Giok. “Aku sudah berunding dengan Tok Futhoat yakni mulai detik ini,
penginapan ini kuambil alih !”
“Apa ? Kongcu mau mengambil alih penginapan ini ?” Sun Ciang kui semakin kaget.
“Benar ! Tapi engkau tak perlu cemas, biarpun sudah kuambil alih, engkau sendiri tetap
sebagai pengurus, pokoknya dalam segala hal berlakulah seperti biasa….kami hanya
menggunakan tempat ini kurang lebih tujuh hari saja. Akan tetapi selama tujuh hari ini,
siapapun tidak kuperkenankan mengadakan hubungan dengan Pok Thian Pang ! Bilamana
diwaktu itu orang-orang dari markas pusatmu itu datang kemari, harus diciduk dan ditahan.
Barang siapa berani melanggar peraturan ini, kupaksa harus dibunuh ! Kalian harus tahu
bahwa Pok Thian Pang adalah perserikatan sesat yang jahat, maka itu sekarang datang
kesempatan baik untuk kalian memperbaiki diri. Ini sudah kubicarakan dengan Tok Fut hoat
dan telah mendapat restunya !”
Sun Ciang kui keheranan, ia memandang kepada Tok Kay Pong dengan tanda tanya. Melihat
ini Tiong Giok menjadi tersenyum. “Tok Lo Cianpwee bukankah maksudmu seperti
kukatakan tadi ?”
“Benar !” jawab Tok Kay Pong sambil menganggukkan kepala.
“Nah, kalau begitu perintahkanlah pada Sun Ciang kui ini untuk menjalankan tugasnya !”
“Hei, jalankan perintah kongcu ini sebaik-baiknya !” seru Tok Kay Pong.
“Ya ! Ya ! Segera kujalankan !” jawab Sun Ciang kui sambil memutar diri keluar dari kamar.
“Sabar dulu,” tahan Tiong Giok.
“Apa lagi yang kongcu kehendaki ?”
431
“Kulihat engkau sebagai orang cerdik yang memiliki ilmu tinggi, kenpa bisa bekerja untuk
Pok Thian Pang ?”
“Karena terpaksa !”
Tiong Giok menganggukkan kepala. “Mungkin kami masih perlu mendapat bantuanmu,
sekarang maupun dikemudian hari !”
Sun Ciang kui menganggukkan kepala smbil memberi hormat dan ngeloyor pergi.
In Tiong Giok menghantar kepergian orang dengan pandangan matanya yang tajam setelah itu
disuruhnya pula Ceng Ceng untuk membayangi Sun Ciang kui. “Perhatikan dia, berilmu
tinggi !”
Ceng Ceng menganggukkan kepala dan terus berlalu menjalankan tugas.
Tok Kay Pong masih tetap duduk seperti arca. Tiong Giok menghampirinya dan menepuk
pundak orang tua itu sambil berkata : “Sudah malam, tidurlah !”
“Ya sudah jauh malam, harus tidur,” jawab Tok Kay Pong yang terus saja celentang dan pulas
dalam sekejap.
“Toa Gu letakkan tubuhnya diatas pembaringan,” kata Tiong Giok, “sudah itu kalianpun
boleh mengaso !”
Toa Gu mengangkat tubuh Tok Kay Pong dan meletaakkan dipembaringan.
“Kalau dia bangun dan kabur bagaimana ?” tanyanya perlahan.
“Jika tidak kubanguni, dalam waktu tujuh hari tujuh malam ia tak bisa bangun,” jawab Tiong
Giok.
“Kalau begitu dia dengar kata betul ya ?” tanya Toa Gu.
“Ya,” jawab Tiong Giok.
Pada saat inilah dengan tiba-tiba Ceng Ceng masuk kedalam.
“Bagaimana ?” tanya Tiong Giok.
“Sun Ciang kui menjalankan perintah Siau cu jin dengan baik, setelah itu ia masuk kekamar
dan tidur,” kata Ceng Ceng.
“Heran, biasanya penglihatanku tidak ngawur, aku yakin Sun Ciang kui itu bukan orang
sembarangan….Apakah ia tahu kau buntuti ?”
“Berani kupastikan ia tidak melihat !” jawab Ceng Ceng.
Tiong Giok terpaksa menganggukkan kepala. Tapi rasa curigaku dalam sekali pada Sun Ciang
kui itu…..beginilah : Kita harus mengawasi terus gerak geriknya selama tujuh hari ini.”
432
“Jika Siau cu jin merasa curiga, gunakan saja Liap hun toa hoat kepadanya….” Kata Bok
Tiong.
“Oh tidak bisa, karfena ia diperlukan untuk menjaga penginapan ini, agar orang-orang Pok
Thian Pang yang datang dari berbagai cabang maupun ranting tidak merasa curiga, bahwa
penginapanj ini telah kita kuasai. Pokoknya awasilah dengan ketat, agar rencana kita tidak
gagal !”
Waktu berjalan dengan cepat, beberapa hari telah berlalu, sedikitpun tidak ada kejadian apaapa
dipenginapan Bwee Kie. Sedangkan Sun Ciang kui menjalankan pekerjaan seperti biasa,
bedanya sekarang ini ia dibantu oleh orang tua berkaki satu yakni Bok Tiong yang bertugas
mengawasinya.
Tapi satu hal yang mengherankan, semua tamu yang masuk penginapan itu, setelah diterima
oleh Sun Ciang kui dan dihadapkan pada Tiong Giok. Entah bagaimana jadi doyan tidur.
Mereka baru bangun untuk makan jika Tiong Giok membanguni, setelah itu tidur lagi.
Hari seperti biasa, Sun Ciang kui dan Bok Tiong berada didepan, tak selang lama datang
empat penunggang kuda. Begitu Bok Tiong melihat tamu-tamu ini, hatinya menjadi girang,
cepat-cepat ia menyongsong keluar rumah. “Yauw heng, saat ini baru datang ?”
Memang tamu yang baru datang itu adalah Yauw Kian Cee, sedangkan yang lain adalah Hek
pek siang yauw dan Siau Lam Siong.
“Bagaimana dengan Siau cu jin ?” tanya Yauw Kian Cee.
“Ada didalam !”
“Laporkan pada Siau cu jin bahwa Na Toako dan Toaso serta Siau heng sudah datang dari
pulau hiu.”
Bok Tiong cepat mengajak para tamunya masuk kedalam, sekalian menyuruh salah seorang
pelayan melaporkan pada In Tiong Giok.
Selang tidak lama Tiong Giok muncul dan segera memberi hormat : “Waduh, kami hanya
minta bantuan orang-orang Lo Cianpwee, tak kira Lo Cianpwee sendiri yang datang, benarbenar
merepotkan saja !”
“Sudah kukatakan asal In Siau hiap menghendaki bantuan kami, bair kelautan api akan
kulayani. Lebih-lebih hal ini adalah untuk mendatangkan suatu keramaian, biar tidak
diundang pun aku harus menghadiri juga,” kata Na Beng Sie sikecil mungil yang pandai
bicara.
Sekali lagi Tiong Giok menghaturkan banyak terima kasih dan terus mengajak tamunya
masuk keruang dalam. “Sebenarnya kami hanya memerlukan orang yang pandai berenang
sudah cukup, kenapa Lo Cianpwee mencapaikan diri saja ?”
433
“Omongan begini tak usah diucapkan lagi !” kata Lauw Siu Kim. “Yang penting tontonan ini
harus kusaksikan !”
Tiong Giok tidak bisa mengatakan itu lagi, ia memperkenalkan kawan-kawannya pada
tamunya itu. Dan diadakan penyambutan dengan makanan dan hidangan yang lezat. Mereka
duduk mengelilingi meja. Setelah minum beberapa cawan, Na Beng Sie bertanya : “Aku
dengar tempat Pok Thian Pang itu cukup berbahaya apakah In Siau hiap sudah membuat
rencana guna menggempurnya ?”
“Dalam beberapa hari ini, aku telah menyelidiki keadaan Pok Thian Pang. Soal bagaimana
masuk kemarkas mereka tak usah dibicarfakan lagi. Yang penting bilamana kita sudah masuk
dan menyerang mereka, jangan sampai aada seorang pun yang lolos !”
“Mungkinkah engkau telah mempunyai rencana yangbaik masuk kedalam markas Pok Thian
Pang itu ?” tanya Lauw Siu Kim.
“Biarpun belum direncanakan sebagai mana mustinya, tapi tidak sulit asal berani menempuh
bahaya !”
“Dapatkah kutahu caranya ?” tanya Siu Kim.
“Situasi dan keadaan markas Pok Thian Pang berada dilereng gunung, jika dilihat sepintas
lalu hanya ada jalan dari depan saja melalui tangga baja yang bisa dikerek turun naik. Lain
dari itu seperti tidak ada jalan lagi. Akan tetapi jika diperhatikan air terjun dari bukit yang
terjun kedanau sepanjang tahun tak hentinya. Jika dikaji terlebih dalam air danau itu biasa
bukan ? Anehnya air itu belum pernah meluap membuat banjir untuk ketiga pulau yang
berada ditengahnya. Karena itu aku menduga tentu ada mendapatkan jalan keluar dari air itu
sama dengan jalan masuk kemarkas Pok Thian Pang tak jadi soal lagi !”
“Apa yang kau katakan memang betul, tapi jalan keluar dari air itu sukar untuk ditemukan
bukan ? Andaikata diketemukan sukar pula dilaluinya….apa hal ini sudah dipikirkan juga ?”
kata Na Beng Sie.
“Air tentu mengalir dari atas kebawah, bila mana dibagian bawah terdapat sungai yang dekat
dengan pegunungan itu, sudah dapat dipastikan beasal dari danau yang diatas itu. Kita bisa
mengikuti sungai itu untuk mencapai sumbernya ! Soal kesulitan lainnya, bagaimanapun
dapat saja kita atasi asal ada kemauan !”
“Oh….kiranya engkau membutuhkan sepuluh orang ahli diair ini untuk mencari sumber air
itu ?” kata Lauw Siu Kim.
“Benar !” jawab Tiong Giok. “Disamping itu masih ada juga jalan lain, yakni pintu depan !”
“Pintu depan ?” tanya Na Beng Sie.
“Begini, pintu depan itu dijaga seorang Korea yang bertabiat kaku dan keras, namanya Kim
Tak Can. Ia berilmu cukup tinggi, tapi sedikit bodoh. Asal kita gunakan akal bisa
mengelabuinya ! Dulu pernah ia dihajar sampai luka parah oloeh Cian bin sin kay, sehingga
pintu itu dijaga oleh orang lain….”
434
“Kalau sudah dijaga oleh orang lain untuk apa menyebut-nyebut namanya lagi ?” kata Lauw
Siu Kim.
“Tapi belakangan ini katanya ia sudah sembuh dan bertugas menjaga lagi pintu itu,” kata
Tiong Giok.
“Kalau begitu apa sudahnya lagi ?” tanya Lauw Siu Kim.
“Ia manusia kasar yang kaku dan bodoh. Setiap yang mau masuk kedalam harus mempunyai
tanda pengenal, ia tidak perduli siapa asal mempunyai tanda pengenal ini diijinkan masuk.
Asal kita mendapatkan tanda-tanda pengenal itu dan menyamar sebagi orang-orang Pok Thian
Pang bukankah bisa masuk melalui pintu ini ?”
“Mungkin tanda pengenal bisa kita palsukan tapi bagaimana harus menyamar ?” kata Lauw
siu Kim. “Jika Cian bin sin kay ada disini soalnya gampang.”
Belum sempat Tiong Giok berkata lagi, tampak Bok Thian Sek masuk. “siau cu jin Sun Ciang
kui mau bertemu denganmu !” katanya perlahan.
“Ada urusan apa ?”
“Katanya ada orang dari markas pusat Pok Thian Pang….”
“Siapa dia ?” tanyanya sedikit kaget.
“Katanya seorang Futhoat bernama Tay Cin Tojin,” jawabnya menjelaskan.
“Dia ?” kata Tiong Giok sedikit heran. Sedangkan yang lainnya menjadi turut heran. Ia
menganggukkan kepala. “Suruh Sun Ciang kui menantikan diruangan tengah, aku segera
menemuinya,” setelah itu Tiong Giok meminta diri kepada tamunya dan terus keluar.
Yauw Kian Cee memberikan isyarat kepada Ceng Ceng. Sigadis berkata itu ini segera keluar
membuntuti Siau cu jinnya. Toa Gu tanpa disuruhpun mengikuti keluar. Namun niatnya
menjadi batal, karena si gadis mendelik kearahnya. Herannya Toa Gu yang tidak takut langit
dan bumi begitu melihat delikan si gadis menjadi kuncup.
Dan tanpa pikir lagi untuk membantunya, Toa Gu diam dan kembali lagi kedalam.
Begitu Tiong Giok tiba diruangan tengah, Tay Cin Tojin sambil bergelak-gelak menyapanya
secara berguyon. “Eh….manusia ini aneh dimanapun bisa bertemu, In Siau hiap selamat
bertemu lagi !”
“Akan tetapi pertemuan ini beda dengan dulu !” jawab Tiong Giok. “ yang terus mengambil
tempat duduk, sedangkan Ceng Ceng dengan siap berdiri disampingnya sebagai pengawal
yang setia. Bok Tiong yang bertugas didepan kini sudah ada disitu juga dan ia mengambil
tempat duduk disamping pintu.
“Tak usah berlaku begini,” kata Tiong Giok pada pengikutnya. “Kedatangan Lo Cianpwee ini
adalah sebagai tamu, dan kita harus baik-baik memperlakukan seorang tamu.”
435
“Apa yang Siau hiap katakan memang benar, pertemuan unu lain dengan dulu. Dulu
penginapan Bwee Kie ini dikuasai Pok Thian Pang sekarang dikuasai olehmu. Dulu dengan
kedudukan sebagai Futhoat di Pok Thian Pang pelayan-pelayan akan meny7ambut dan
memperhatikanku dengan telaten sekali. Sehingga rasa gagah dan bangga memenuhi rongga
dadaku, tak kira kini dianggap sepi semacam ini dan terkurung tak keruan sekali, Siau hiap
memberikan perintah tulang tuaku bisa dikeroyok hancur….didunia ini aneh, antara senang
dan susah ini datang bergiliran diluar kehendak kita.”
“Memang benar, giliran susah atau duka itu akan tiba setelah kesenangan berlalu, semasa
senang orrang lupa dengan kesusahan. Kuingat apa yang pernah kulihat, dimana Totiang
dengan ditemanni dara-dara cantik, mabuk-mabukan dan rangkul-rangkulan dengan lupa
diri.”
“Dulu sekarang, pikiran orang mudah berubah ! Dulu Siau hiap mau menjadi penterjemah
kaum Pok Thian Pang bukan, tapi sekarang kuyakin tidak !”
“Benar,” kata Tiong Giok. “Sekarang apa yang hendak Totiang maksud dengan pertemuan ini
?”
“Aku sebagi Futhoat kaum Pok Thian Pang, datang dari markas pusat untuk menyelidiki
kenapa dengan tiba-tiba hubungan antara penginapan Bwee Kie dan markas menjadi putus.
Sesampainya disini kubaru tahu bahwa pengurus penginapan ini sudah berganti orang !”
“Totiang sangat lihay bisa mengetahui penginapan orang ini begitu cepat !”
“Soalnya mudah, karena Sun Ciang kui aku yang memasukkan menjadi pengurus penginapan
ini. Hari ini tidak terlihat ia menyambutku seperti waktu-waktu yang lalu, dan segera kuduga
bahwa penginapan ini telah berubah !”
“Jika Totiang sudah tahu penginapan ini berada dibawah kekuasaanku, kenapa tidak cepatcepat
kembali memberi laporan kemarkas pusat, dan apa-apaan ingin bertemuku, apakah
Totiang sudah menganggap memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Tok Kay Pong ?”
“Tok Kay Pong denganku lain, nasibnya berbeda juga, maka itu kuyakin Siau hiap tidak bisa
memperlakukan diriku seperti dia !”
“Kenapa tidak bisa ? Apakah mau bukti ….?”
“Soalnya gurumu dengan diriku mempunyai hubungan yang erat sekali. Sedangkan In Siau
hiap sangat menghormati kepada guru, maka kuyakin menghormat pula kepadaku !”
“Jangan membawa-bawa hubungan antara guruku dengan dirimu ! Ingatlah apa yang terjadi
di Istana Sorga, dimana engkau menyobek-nyobek surat dari guruku ! Ddan sengaja
mendemontrasikan perbuatan maksiat dihadapanku ! Perlukah kiranya orang tua bertabiat
begitu mendapat penghormattan dari yang muda ? Kalau aku menjadi dirimu, malu
mengeluarkan perkataan itu !”
“Bukankah sudah kukatakan lain dulu lain sekarang ?”
“Soal hubungan guruku dengan dirimu tak usah dibicarakan lagi….”
436
“Baik !” jawab Tay Cin Tojin. “Mari kita bicarakan soal kepentingan bersama !”
“Aku tidak mempunyai kepentingan bersama dengan seorang tua yang tidak tahu malu !” kata
Tiong Giok dengan sedikit kasar.
Tay Cin Tojin tidak marah, ia tersenyum-senyum. “Soal kepentingan bersama bukan
urusanmu denganku berdua, tapi meliputi kesemua orang didunia ini. Engkau boleh
memakiku tidak tahu malu atau apa saja yang lebih buruk dari itu, yang lebih kotor dari itu,
tetapi apa yang kuperbuat itu tidak sekotor yang engkau pikirkan.”
Tiong Giok merasakan bahwa perkataannya tadi memang terlalu keras, maka dengan tenang
ia berkata : “Lalu apa yang Totiang mau katakan ?”
Tay Cin Tojin menghirup dulu araknya, dan berkata dengan perlahan. “Sebelum aku bicara,
ingin kutahu dulu, apakah In Siau hiap sudah bertekad betul mau menggempur Pok Thian
Pang ?”
“Hal ini tak perlu ditanyakan lagi !”
“Apakah kenekatan Siau hiap ini guna menolong Pek Wan Jie ?”
“Engkau boleh mengatakan begitu, tapi yang sebenarnya untuk menghilangkan satu momok
dan bencana didunia Kang Ouw ! Sebelum Pok Thian Pang musnah dunia Kang Ouw tidak
bisa aman dan tenteram !”
“Oh…jadinya Siau hiap bersumpah tidak mau hidup bersama dengan kaum Pok Thian Pang
?”
“Sudah terang antara kebenaran dan kelaknatan tak bisa hidup bersama dibumi ini, untuk apa
ditanyakan lagi ?”
“Tapi apa yang dikehendaki Siau hiap itu adalah perbuatan bodoh yang harus dikasihani !”
“Hm, apakah Totiang ingin mencegah apa yang hendak kulakukan ?”
“Bukan ! Tapi untuk mengutarakan sesuatu kenyataan yangterjadi didunia Kang Ouw ini !
Lihatlah dalam waktu singkat Pok Thian Pang bisa berdiri dan bangkit menjadi sebuah
perserikatan besar. Segala perguruan yang ada didunia Kang Ouw satu persatu menyembah
pada mereka. Kini dengan kekuatan Siau hiap ingin menghadapi mereka ?”
“Siapa tahu setelah aku bergerak banyak orang-orang Kang Ouw bergerak pula dan
menumpas mereka ?” kata Tiong Giok. “Andaikata tidak, tenaga yang berada ditanganku ini
masih sanggup menghancur leburkan mereka !”
“Andaiakata gagal, bukankah orang-orang Pok Thian Pang itu semakin kuat dan bisa berlaku
sewenang-wenang lebih dari sekarang ?” kata Tay Cin Tojin. “Jika sampai terjadi begitu,
yang mati itu bisakah ikhlas didunia baka ?”
“Totiang mengucapkan kata-kata ini seperti lupa dengan Futhoatmu bukan ?”
437
“Ingat, tapi yang dibicarakan adalah kepentingan bersama, bukan soal peribadi !”
“Tapi pembicaraan Totiang didasarkan kegagalan semua, dan bagaimana kalau usahaku ini
berhasil ?”
“Kalau berhasil kuucapkan syukur….”
“Hm, tak kira Totiang bisa berperan sebagai manusia bermuka dua,” ejek Tiong Giok.
Merah padam wajah Tay Cin Tojin, untunglah dalam suasana tak enak bagi dirinya ini, Sun
Ciang kui tiba-tiba muncul. Tangannya memegang sehelai surat. “In Siau hiap ada yang
memberikan surat untukmu !” begitu ia menyerahkan surat segera pergi lagi.
Tiong Giok membuka surat itu.
Engkau jangan terlalu mendesak pada Tay Cin Tojin, ia bukan manusia jahat itu seperti kau
pikirkan. Apakah engkau lupa dengan suratku dulu yang pernah engkau terima melalui Toa
Gu, sekian.
Tiong Giok menjadi melongo, karena surat itu datangnya dari Cian bin sin kay Cu Lit. Dan
sudah tentu peringatan itu membuatnya ingat, bahwa Tay Cin Tojin itu adalah seorang yang
kepaksa dan berpura-pura mengabdi pada Pok Thian Pang. Dan yakin kedatangannya ini
untuk kebaikan dirinya.
Sungguhpun begitu dia tetap berpura-pura seperti tadi. Surat itu dimasukkan kedalam saku.
“Maaf surat ini membuat pembicaraan kita terganggu. Balik lagi kesoal tadi aku sudah
bertekad untuk menggempur Pok Thian Pang !”
“Engkau akan gagal ! Sebab ilmu kepandaian Lo Cucong itu bukan main tingginya, dalam hal
ini bukan kata aku merendahkan ilmumu, tapi dengan sebenarnya kepandaian dia itu sudah
tinggi sekali.” Habis berkata Tay Cin Tojin segera bangkit dan permisi pergi.
Tiong Giok memandang kepergian tamunya sambil menggelengkan kepala. “Aneh didunia ini
bisa ada orang semacam dia !”
Perlahan-lahan Tay Cin Tojin melintasi jalan raya, sesampainya diujung jalan ia menoleh
kekiri dan kekanan, mendapatkan tidak ada yang mengikuti dirinya. Tiba-tiba saja langkahnya
menjadi cepat dan terus berbelok masuk kesebuah gang kecil dan terus masuk kesebuah
rumah bertingkat.
Penghuni rumah itu adalah seorang tua dengan seorang anak perempuannya. Saat ini orang
tua itu sedang berada diluar pintu, duduk dikursi malas sedang asyik menghisap pipanya.
Sedang anaknya berparas sangat buruk sedang menenun kain diruangan dalam.
Sebelum masuk kedalam rumah Tay Cin Tojin berdehem sekali, langkahnyapun
diperlahankan. Orang tua yang berada didepan pintu memandang sejenak, lalu mengetuk
pipanya empat kali ketanah, setelah itu menghisapnya lagi tanpa berkata-kata.
Tubuh Tay Cin Tojin berkelebat masuk kedalam ruangan.
438
“Diloteng !” kata si gadis tanpa menoleh bekerja terus.
Loteng itu lebarnya lima meter persegi, berjendela satu. Dari sini bisa melihat keadaan
pwwnginapan Bwee Kie dengan tegas. Saat ini diloteng itu ada dua orang tua sedang
memasang mata mengawasi kepenginapan Bwee Kie.
Begitu masuk, Tay Cin Tojin segera menghampiri kedua orang tua itu dan terus duduk.
“Sudahlah tak perlu melihat lagi. Aku telah menyampaikan kata-kata kepadanya, dan kembali
memberi laporan pada kalian.”
Kedua orang tua itu dengan tersenyum memandang si Tojin, yang disebelah kirinya adalah
Tong Cian Lie, sedangkan yang disebelah kanan adalah gurunya In Tiong Giok….Han Bun
Siang.
“Hidung kerbau, nasibmu sangat bagus, tidak diapa-apakan bocah itu !” kata Tong Cian Lie
setengah bergurau.
“Sungguhpun begitu membuatku mendongkol setengah mati ! Tahukah apa yang dikatakan
bocah itu ?”
“Apa yang dikatakannya ?” tanya Han Bun Siang.
“Hm, semua ini terjadi karena engkau !” kata Tay Cin Tojin. “Bilamana tidak kuingat soal ini
menyangkut mati hidupnya dunia Kang Ouw, siang-siang sudah kugaplok bocah itu !”
“Kenapa engkau menyalahkan diriku ?” tanya Han Bun Siang.
“Sebab engkau adalah gurunya, itu hasil didikan darimu !”
“Eh, bolehnya renyem ! Pikir dong…apa kerjamu waktu disitu….itu !” kata Han Bun Siang.
“Bagus, guru yang kencing berdiri selalu akan membela murid yang kencing berlari bukan ?
Engkau harus tahu suratmu yang merupakan gambar itu bilamana tidak segera kusobek suatu
saat akan jatuh ditangan musuh ! Kau kira mereka itu bodoh dan tidak mengerti makna dari
gambar itu ?”
“Sudahlah !” sela Tong Cian Lie. “Hitung-hitung engkau lagi sial saja, nanti akan kusuruh
bocah itu menghaturkan maaf kepadamu, kini kita bicarakan soal yang sebenarnya, apa yang
diutarakan bocah itu ?”
“Bocah itu terlalu kepala batu, nomong apapun tidak ada yang masuk keotaknya, ia tetap
bersikeras mau masuk kemarkas pusat Pok Thian Pang.”
“Sudah kupikir ia akan berbuat demikian,” kata Tong Cian Lie sambil memandang pada Han
Bun Siang.
“Sifat keras dari anak ini mirip dengan ayahnya,” kata Han Bun Siang. “Jika ia mau berbuat
begitu juga, tidak ada jalan lain bagi kita, kecuali membantunya bukan ?”
439
“Kalian boleh berdamai sepuas-puas kalian, terus terang aku sendiri tidak bisa membantu
karena penjaga pintu pertama yang bernama Kim Tak Can itu orang yang keras kepala.”
“Pokoknya kalau kita memperoleh tanda pengenal kaum Pok Thian Pang bukan secara mudah
kita melalui Kim Tak Can ?” kata Tong Cian Lie.
“Pikiranmu tak ubahnya seperti bocah ingusan saja !” kata Tay Cin Tojin. “Engkau bisa
mengelabui Kim Tak Can, tapi pengawal-pengawal disitu bukan patung mati, mereka pasti
akan meneliti tanda pengenal setiap yang masuk dan tak gampang-gampang menurunkan
tangga.”
“Gampang !” kata Tong Cian Lie. “Suruh si Cu Lit mengubah wajah kita menjadi orangorang
Pok Thian Pang…beres bukan ?”
“Memang ngomong gampang, tapi bagaimana kalau ditanya mereka secara melit dan
akhirnya ketahuan kedok kita, bukankah sama dengan cari penyakit sendiri ? Kupikir caramu
itu tidak kepakai sedikit juga !”
“Semakin diomongi rasanya makin susah saja,” kata Tong Cian Lie sambil terpekur. “Eh,
kupikir bagaimana kalau engkau mencapaikan diri sekali lagi untuk menurunkan tangga besi
itu ?”
“Aku sih mau saja, tapi cara yang kurang baik ini kalau mengakibatkan kegagalan, siapa yang
bertanggung jawab pada Ang Tayhiap dan Lim Siok Bwee ?”
Perkataan Tay Cin Tojin ini membuat Tong Cian Lie bungkam.
“Cara bukan tidak ada. Ini bergantung dari peruntungan…” kata Tay Cin Tojin.
“Cara apa coba terangkan,” desak Tong Cian Lie tak sabaran.
“Keadaan di Pok Thian Pang sangat hebat, segala kebutuhan dari ransum diusahakan sendiri
tidak tergantung dari luar. Hanya saja mereka membutuhkan…..” perkataan Tay Cin Tojin
terputus, karena ia melihat penunggang kuda mampir dipenginapan Bwe Kie. Mereka
mengenakan pakaian warna hijau diantaranya berusia lima puluhan, wajah mereka, badannya
gemuk. Yang satu lagi berusia tiga puluhan, badanya tegap, dipelana kudanya tergantung
sebuah kantong besar yang kosong.
“Caranya masuk kemarkas Pok Thian Pang berada ditangan keddua orang itu…” kata Tay Cin
Tojin.
“Siapa kedua orang itu ?” tanya Han Bun Siang ingin tahu keterangan dua orang itu.
“yang tuaan bernama Liong Jan Sie, pangkatnya Cong Koan atau mandor dapur, yang mudaan
bernama Ciu yauw hui, pangkatnya Cee cu atau kasir dapur,” kata Tay Cin Tojin.
“Segala koki begitu….” Kata Tong Cian Lie.
“Biarpun pangkatnya kecil,” potong Tay Cin Tojin, “jabatannya besar ! Pikirlah tanpa makan
manusia bisa hidup atau tidak ?”
440
“Ya jelaskan dulu kegunaan mereka itu….” Kata Tong Cian Lie, kawannya itu.
Jilid 22 .....
“Sudah, lihat nanti !” Lagi-lagi Tay Cin Tojin memotong perkataan kawannya. Diambilnya
kertas dan pit, cepat-cepat ditulisnya sepucuk surat. Dimasukkan kedalam sampul dan dilem.
“Kumohon engkau menulis namamu disampul surat ini.”
Han Bun Siang tidak bertanya ini itu, segera menulis namanya disampul itu. Melihat ini Tong
Cian Lie jadi geregetan. “Engkau hidung kerbau itu bilamana tidak segera kusobek suatu saat
kau mau main apa ? Han Toako engkau gampang dikibulii, surat itu toh belum kau baca,
kenapa mau menulis namamu?”
Tay Cin Tojin tidak menghiraukan dan pura-pura tidak mendengar, ia mengangkat tangan
mengetuk-ngetuk meja tiga kali. Tak selang lama datanglah si gadis berparas buruk keatas
loteng.
“Ciu Kouw, dalam beberapa hari ini kepaksa kami membuatmu dan ayahmu repot sekali….ini
sepucuk surat, sampaikanlah pada In Siau hiap….soal kami bertiga tak perlu engkau tuturkan
kepadanya, lekaslah !”
Ciu Kouw menerima surat itu, tapi tidak segera pergi, tampaknya ia sedang bingung.
“Lekaslah jangan ragu-ragu, surat ini penting sekali dan bersangkutan dengan hari untukmu
membalas dendam. Bahkan wajahmu yang sebelah itu tak lama lagi akan seperti sediakala,
bilamana mendapat obatnya.”
“Terima kasih,” jawab Ciu Kouw yang terus berlalu.
“Apa yang bisa kukerjakan sudah kukerjakan kini aku mau tidur….aaah…” Tay Cin Tojin
menutup perkataannya sambil menguap.
“Sebelum kau jelaskan isi surat itu, bagaimanapun tak bisa kau tidur !” bentak Tong Cian Lie.
“Hei hidung kerbau, apakah aku lupa tabiat Tong Toako ?” kata Han Bun Siang. “Surat itu
sudah diantar, sepatutnya kau jelaskan isinya kepada kami.”
Tay Cin Tojin tidak menjawab, ia mendorong meja dan terus merebahkan dirinya dibalai
sambil menggerendeng. “Sejak dulu berlaku baik tak mendapat balasan baik, dikarenakan
didunia terlalu banyak manusia goblok. Lihatlah ! jangan mengganggu aku lagi !”
Han Bun Siang dan Tong Cian Lie melihat keatas meja itu terlihat sederetan huruf yang
berbunyi : Pok Thian Pang bisa berswasembada dalam makanan, tapi memerlukan garam dari
luar. Jika merasa ada kesulitan, mintalah bantuan Cian bin sin kay.”
“Sialan kiranya kau memakai ilmu dalam menembus kertas dan menulis dimeja ini,” kata
Tong Cian Lie.
441
“Ya, sewaktu-sewaktu ilmu dalam ini bisa juga mengelabui manusia goblok !” kata Tay Cin
Tojin.
Tong Cian Lie menjadi sengit, waktu ia mau membuka mulut lagi, tampak Tay Cin Tojin
menempelkan jerijinya kemulut : “Ssssst jangan berisik aku mau tidur !”
Sementara itu Liong Yan Sie dan Cu Yau hui begitu masuk kedalam penginapan Bwee Kie,
menerima nasib seperti tamu-tamu lainnya…..tidur terus !
Setelah Tay Cin Tojin pergi, Tiong Giok terpekur terus, ia merasa curiga atas surat Cian bin
sin kay yang tiba-tiba saja datangnya. Maka dipanggilnya Sun Ciang kui kedalam kamarnya.
“Kongcu memanggilku ?” tanya Sun Ciang kui.
“Benar, duduklah dulu aku perlu bicara denganmu !” kata Tiong Giok. “Darimana kau dapat
surat ini ?”
“Oh…seorang pelayan yang menyampaikan kepadaku, lalu aku menyampaikan pada Kongcu
memang kenapa ?”
“Tidak apa-apa, hanya saja….” Perkataan Tiong Giok terputus, karena Ceng Ceng masuk
dengan tiba-tiba. “Ada apa ?”
“Ada yang ingin bertemu dengan Siau cu jin,” kata Ceng Ceng.
“Suruh tunggu saja dulu….”
“Ia ingin sekarang juga bertemu,” katanya.
“Suruh kemari !”
Tak selang lama Ceng Ceng mengajak masuk , Tiong Giok menjadi kaget, dan girang, karena
wajahnya yang buruk Ciu Kouw mudah dikenali. Ia bangun dari tempat duduknya dan
memberi hormat. “Kukira siapa, tak tahunya engkau !”
Ciu Kouw sangat girang bertemu dengan Tiong Giok. Ia segera duduk, sambil mengawasi
pada Sun Ciang kui.
“Kongcu , silahkan bicara aku permisi keluar dulu,” kata Sun Ciang kui.
“Tak usah !” kata Tiong Giok. “Tenang-tenanglah dikursimu, ia bukan siapa-siapa, tapi
seorang kenalan lama yang pernah menolong jiwaku !”
“In Siau hiap kedatanganku kesini untuk menyampaikan sepucuk surat,” kata Ciu Kouw yang
segera memberikan surat.
Dengan cepat Tiong Giok menerima surat itu, ia melihat nama gurunya disampul surat itu,
tentu saja menjadi girang sekali. Guru itu tak pernah ada beritanya sejak meninggalkan
dirinya beberapa tahun yang lalu. Sampul surat itu dibukanya. Wajahnya berubah cerah
sekali….surat itu dimasukkan kedalam sakunya. Tubuhnya tiba-tiba bergerak dengan cepat
442
kearah Sun Ciang kui, kasian pengurus hotel itu tidak menduga bisa diserang secara
mendadak oleh pemuda kita. Ia kaget dan bingung….tahu-tahu diluar kesadarannya sebuah
kedok sudah dicopot dari mukanya dan berada ditangan Tiong Giok.
Memang benar bahwa Sun Ciang kui itu adalah Cian bin sin kay adanya. Sejak mula pertama
Tiong Giok sudah bercuriga pada pengurus penginapan ini hal itu bertambah-tambah sewaktu
ia memberikan surat dan sesudah membaca surat Tay Cin Tojin yang dibawa Ciu Kouw.
Tiong Giok yakin benar Sun Ciang kui adalah Cu Lit.
“Ciu Kouw siapa yang memberikan surat itu ?” tanya Cian bin sin kay. Rupanya antara
mereka sudah kenal satu sama lain dan telah lama tinggal di Cin Ssan Shia.
“Tay Cin Tojin !” kata Ciu Kouw.
“Sialan sihidung kerbau itu !” kata Cu Lit.
“Aku harus berhitungan dengannya !”
“Sekarang dimana dia berada ?” tanya Tiong Giok.
“Dirumahku !”
“Cu Lo Cianpwee, marilah kita kesana !” kata Tiong Giok.
Mereka keluar kamar dengan wajah terang, Ceng Ceng turut keluar. “Ceng Ceng sampaikan
pada yang lain bahwa aku mau pergi dulu sebentar !”
Yauw Kian Cee kelihatan datang tergesa-gesa begitu mendapat tahu Tiong Giok mau pergi,
“Siau cu jin mau kemana ?”
Tiong Giok membisikkannya sebentar, membuat Yuw Kian Cee manggut-manggut dan
melirik –lirik pada Cu Lit. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa, karena saat ini Cu Lit masih
tetap mengenakan topeng sebagai Sun Ciang kui.
“Siau cu jin aku turut bersamamu !” kata Ceng Ceng.
Tiong Giok tahu bahwa pengawal ini bagaimanapun harus diajak juga. “Baiklah !”
Dalam waktu sebentar mereka sudah sampai dirumah Ciu Kouw, ayah dari si gadis jelek
bukan lain dari Peng Cie Lam yang msaih duduk di depan rumah sambil mengisap pipanya.
Begitu dia melihat putrinya kembali bangun.
“Tia tia,” kata Ciu Kouw, “masih kenalkah dengan pemuda ini ?”
Peng Cie Lam memandang Tiong Giok dengan seksama. “Oh kiranya ……engkau !”
Tiong Giok memberi hormat. “Benar aku In Tiong Giok !”
“Kejadaian yang cepat berlalu, berapa tahun tidak bertemu wajahmu tampak semakin gagah
saja ! Tidak seperti dulu.”
443
“Tia tia sudahlah, kejadian yang lalu biarlah berlalu tak usah diungkit-ungkit lagi !” kata Ciu
Kouw. “Aku bukan mengangkat tapi mengangkat !” kata Peng Cie Lam.
“Apakah Lo Cianpwee masih kesal soal kuah ayammu yang kumakan ?” kata Tiong Giok
bergurau.
“Ah bisa saja…atas kejadian dulu aku harus menghaturkan maaf kepadamu !” kata Peng Cie
Lam.
“Tidak, aku yang harus menghaturkan maaf dan terima kasih pada Ciu Kouw maupun
padamu sendiri.”
Sambil berkata mereka diruangan dalam. Peng Cie Lam mengetukkan pipanya dua kali keatas
tanah. Tiba-tiba saja dari atas loteng turun dua orang yang bukan lain dari Han Bun Siong dan
Tong Cian Lie.
Tiong Giok seperti bermimpi menemukan kedua orang tua itu, dengan ras haru dan
menggenang air mata ia bertekuk lutut di depan kedua orang tua itu. “Suhu !” Tong Lo
Cianpwee,” katanya dengan parau.
“Tiong Giok nyatanya tidak sia-sia harapanku, apa yang kukerjakan dulu baru sekarang
kelihatan hasilnya, bangunlah nak !” kata Han Bun Siong dengan suara bergetar.
Tiong Giok bangun dan memeluk gurunya tanpa disadari, ia menangis seperti anak kecil.
“Suhu….suhu…ayah sudah meninggal !”
Sejenak berbayanglah kejadian-kejadian masa silam, dipelupuk mata Han Bun Siong. Masih
melekat betul dalam ingatannya mula pertama ia menemukan Tiong Giok….anak kecil yang
sedang mandi dengan tanda luka dipunggung….iapun ingat Toa Suncu dan lain-lain muridnya
yang nakal-nakal….dan sampai saatnya ia pergi tanpa diketahui muridnya, dikarenakan harus
memenuhi tantangan Kim Tay. Dimana dengan kelebihannya ia dapat mengalahkan lawan itu
sampai patah tangan !
“Suhu….” kata Tiong Goiok.
Han Bun Siong tersadar dari lamunannya, diusap-usap muridnya itu sambil menghibur.
“Kehidupan adalah penderitaan, kematian adalah akhir dari penderitaan. Engkau tak perlu
bersedih !”
Semua orang yang berada disitu merasa terharu, menyaksikan pertemuan guru dan murid ini.
Mereka menundukkan kepala dengan mata berkaca-kaca.
“Sudahlah jangan menangis saja, tiba-tiba Cu Lit berkata dengan suara keras. “Mana si
hidung kerbau, aku mau berhitungan dengannya !”
“Di atas,” kata Tong Cian Lie.
Dengan sekali lompat Cu Lit sudah ada diatas dan terus masuk kedalam ruangan. Tampak
olehnya Tay Cin Tojin sedang mendengkur-dengkur diatas balai. Ia membanguni dengan
444
mengitik-itik pinggang si Tojin. Agaknya terlalu nyenyak Tojin itu tidur, sedikitpun ia tidak
berasa.
“Jangan dikitik-kitik, gebuk saja masakan ia tidak bangun,” kata Tong Cian Lie sambil
melangkah masuk kedalam ruangan itu.
“Benar hidung kerbau ini raganya sedang mimpi ke istana sorga,” kata Cu Lit sambil
memberikan satu tamparan keras.
“Heit !” seru Tay Cin Tojin sambil menangkis.
“Apa-apaan ini ?”
“Hm, kenapa kau pecahkan rahasiaku pada di Tiong Giok ?” tanya Cu Lit.
“Tidak ! Tidak ! Surat itu toh dari Han Toako !” kata Tay Cin Tojin sambil membuka mata
lebar-lebar. Rupanya rasa kantuknya telah hilang tertampar Cu Lit.
“Hei, tua-tua kayak anak kecil !” tiba-tiba terdengar suara Han Bun Siong. “Tiong Giok tiba
saatnya untuk menghaturkan maaf pada Tay Cin Tojin.”
Tiong Giok dengan patuh menghaturkan maaf pada Tojin itu, sambil bertekuk lutut.
“Maafkan, kalau sudah tahu salah ya salah, lain kali jangan berbuat lagi !” kata Tay Cin Tojin
dengan ketus.
“Hm, sok galak !” ejek Tong Cian Lie.
“Sudahlah,” kata Han Bun Siong. “Kini kita berkumpul marilah kita mengandalkan
musyawarah untuk membantu muridku ini menghantam Pok Thian Pang.”
Mereka segera berunding dan mengatur siasat. Setelah segala sesuatu diatur rapi, Tiong Giok,
Cu Lit dan Ceng Ceng kembali kepenginapan untuk menjalankan tugasnya.
Markas pusat Pok Thian Pang berada di daerah pegunungan yang jauh dari sana sini kecuali
garam yang lainnya mereka bisa berswasembada sendiri. Maka itu pada waktu tertentu
mereka harus membeli garam keluar. Setiap kali membeli, jumlahnya besar sekali, dan harus
diangkut dengan gerobak-gerobak.
Untuk menutupi letak dan tempat mereka, gerobak-gerobak garam itu dibuat sendiri dan
disimpan pada penginapan Bwee Kie. Jadinya garam-garam yang mereka beli dari kota-kota
yang berdekatan dipul pada penginapan itu. Dari sini baru diangkut ketempat mereka. Dengan
sendirinya pegawai-pegawai dari penginapan Bwee Kielah yang merupakan juga anggotaanggota
Pok Thian Pang, membawa garam-garam itu kemarkas pusat mereka. Sungguhpun
begitu pengawal-pengawal itu hanya membawa garam-garam itu sampai dipintu penjagaan
pertama, kemudian diambil oleh anggota-anggota lain yang diam di pusat. Mereka sendiri
tidak diperkenankan masuk kedalam !
Sekali inipun tidak kecuali yakni Liong Jan Sie dan Cu Jauw Hui setelah selesai membeli
garam membawa barang beliannya itu bergerobak-berobak banyaknya menuju kemarkas
mereka..
445
Sesampainya dipintu yang pertama, haripun sudah malam.
Penjaga-penjaga yang bertugas, begitu melihat gerobak-gerobak garam segera menyalakan
lentera. Keadaan menjadi terang, mereka bisa melihat tegas orang-orang yang berada
disebelah bawah.
Liong Jan Sie kesilauan, begitu memandang keatas. “Hei turunkan tangga !” teriaknya sambil
memperlihatkan tanda pengenalnya.
Penjaga-penjaga itu umumnya kenal baik dengan Liong Jan Sie maupun Cu Jauw Hui, karena
setiap pengurus dapur dan kasir dapur itu berbelanja keluar, mereka mendapat uang tip. Biasa
penjaga-penjaga itu akan menurunkan tangga besi dengan cepat bilamana melihat kedua
orang itu kembali. Tapi sekali ini mereka tidak berani menurunkan tangga seperti dulu-dulu,
sebelum mendapat ijin dari Kim Tak Can.
Dengan kegagahan dan keangkuhan Kim Tak Can bangkit dari tempat duduknya begitu
menerima laporan dari anak buahnya. “Suruh mereka menyerahkan dulu tanda pengenalnya !”
Penjaga itu segera keluar. “Atas perintah Kim Futhoat Jie wie harus menyerahkan dulu
pengenalnya !” teriaknya sambil menurunkan keranjang terikat tambang.
“Ini peraturan apa ? Biasanya tanda pengenal baru diserahkan setelah berada diatas bukan ?”
kata Liong Jan Sie.
“Ya ini peraturan baru yang dikeluarkan Lo Cucong !” jawab penjaga itu.
Tanpa membilang ini itu lagi, Liong Jan Sie dan Cu Jauw Hui meletakkan tanda pengenalnya
kedalam keranjang dan dikerek naik penjaga-penjaga diatas.
Kim Tak Can memeriksa dengan cermat tanda-tanda pengenal itu, setelah yakin kedua tanda
pengenal itu bukan palsu, ia keluar dan memandang kebawah sambil bertanya. “Tanda
pengenal nomor tujuh milik siapa ?”
“Nomor tujuh milik Cu Jauw Hui yang nomor enam belas milikku sendiri !” jawab Liong Jan
Sie dengan cepat.
“Kuminta yang memiliki tanda pengenal nomor tujuh naik dulu, kau tunggu dulu !” seru Kim
Tak Can. Ia menggoyangkan tangan, penjaga-penjaga segera menurunkan keranjang besar
terikat tambang besar kebawah bukit.
“Apa artinya ini ?” tanya Liong Jan Sie tidak senang.
“Liong Cong Koan jangan gusar, kau mengerti sediri tabiat dari Kim Futhoat bukan ?”
“Tapi peraturan ini baru sekali kualami, apakah ada peraturan baru sejak kutinggalkan markas
pusat ini ?” Liong Jan Sie penasaran.
“Benar !” jawab penjaga itu. “Menurut selentingan, keadaan sangat gawat, maka Lo Cucong
mengeluarkan peraturan baru ini.”
446
“Baiklah !” jawab Liong Jan Sie. “Cu Cesu, naiklah lekas, biarlah dia periksa sepuas-puasnya
!”
Cu Jauw Hui segera naik keatas keranjang dan dikerek naik. Begitu sampai diatas ia
menggerendeng “Sudah lama aku menjaga Pok Thian Pang, tapi peraturan semacam ini
pertama kali kudapati…..”
“Saudara Cu jangan gusar semua ini peraturan baru, kami hanya menjalankan perintah saja !”
kata pengawal itu.
“Silahkan periksa !” seru Cu Jauw Hui.
Pengawal-pengawal itu mengangkat sebuah lentera dan memeriksa Cu Jauw Hui.
“Bagaimana betulkah dia ?” tanya Kim Tak Can.
“Benar sedikitpun tidak salah, ini memang Cu Jauw Hui !” kata pengawal itu.
“Periksa belakang lehernya ada kedok dari kulit manusia atau tidak ?”
Tidak menunggu sampai diperiksa lagi, Cu Jauw Hui membalik tubuh dan membuka krah
bajunya sambil berkata dengan keras. “Hm, lihat nih biar tegas !”
Pengawal itu karena sudah yakin Cu Jauw Hui itu tidak palsu tanpa memeriksa lagi dia
berkata. “Tidak salah ini memang Cu Jauw Hui dan tidak ada kulit manusia dilehernya.”
Kim Tak Can mengangguk-anggukkan kepala.
“Baik, sekarang boleh turunkan tangga baja !”
“Hm,” dengus Cu Jauw Hui dengan perasaan tidak puas, padahal dibalik itu ia menarik napas
lega.
Suara berkerek dari turunnya tangga baja memecahkan keheningan malam. Tak kira bebelum
tangga itu sampai dibawah dan masih berada ditengah-tengah, dari dalam terdengar suara
perempuan. Kim Tak Can segera emngeluarkan perintah, “hentikan dulu tangga baja !” Ia
sendiri buru-buru masuk kedalam, tampak olehnya dibalik pintu berjeriji besi, Soat Kouw dan
tiga pengiringnya.
Dengan tersenyum Soat Kouw mengeluarkan tanda pengenalnya. “Periksa dulu tanda ini !”
Kim Tak Can memeriksa tanda pengenal itu dengan teliti, setelah itu baru membuka pintu
jeruji itu. Soat Kouw dan tiga pengiringnya segera keluar dan memeriksa keadaan.
“Bagaimana keadaan disini ?” tanyanya.
“Tenang-tenang dan tidak ada apa-apa !” jawab Kim Tak Can.
Tiba-tiba Soat Kouw melihat Cu Jauw Hui ada disitu. “Oh…..kiranya Cu Cee Siopun adas
disini ? Bagaimana apakah garam-garam itu sudah dibeli ?”
447
“Dengan membungkukkan badan Cu Jauw Hui memberi hormat. “Sudah, sekarang ada
dibawah !”
“Kenapa tidak tampak Liong Cong Koan ?” tanya Soat Kouw.
“Liong Cong Koan ada dibawah,” jawab Cu Jauw Hui, “berhubung Kim Futhoat
menginginkan pemeriksaan badan satu persatu, sehingga Liong Cong Koan belum naik
kemari.”
Soat Kouw melirik pada Kim Tak Can dengan tersenyum. “Peraturan ini baru dikeluarkan Lo
Cucong kemarin dulu, tak kira kalian yang pertama harus terkena peraturan ini ! Sudah
diperiksakah ?”
“Sudah !” jawaab kim Tak Can.
“Jika begitu baiklah,” kata Soat Kouw.
Kim Tak Can segera menurunkan tangga baja dan mengatur anak buahnya untuk mengambil
garam-garam itu.
Soat Kouw berjalan ketepi tebing memandang kepada kereta-kereta garam, agaknya ia merasa
puas sekali, lalu berkata pada Cu Jauw Hui. “Cu Ce su apakah waktu membeli garam-garam
ini tidak bertemu dengan Tok Futhoat ?”
“Bertemu dipenginapan !”
“Tidakkah ia menceritakan sesuatu tentang keadaan diluar ?”
“Tidak ! Ia hanya memberikan sepucuk surat ke Liong Cong Koan, mungkin surat itu
membawa kabar yang Hu Pangcu kehendaki !”
“Wah tentu disurat itu ada kabar penting,” kata Soat Kouw. “Sudah kuduga berita
penangkapan pada Wan Jie, jika terdengar In Tiong Giok, ia tidak akan diam-diam saja dan
pasti akan menolongnya, asal ia berani kesini…..pokoknya beres !”
Tangga baja sudah diturunkan pengawal-pengawal segerea turun kebawah..
“Karena tidak dapat membeli garam bubuk, kami membeli garam batangan, sehingga dalam
satu kantong beratnya berlipat ganda, untuk ini saudara-saudara harus mengeluarkan tenaga
berlipat ganda tapi jangan kuatir, untuk mengopi sih pasti ada !”
Mendengar akan mendapat uang kopi karuan saja pengawal-pengawal itu menjadi girang,
mereka menggulung tangan terus mengangkat garam-garam itu keatas. “Wah, benar-benar
berat !” seru mereka. Sungguhpun begitu mereka bisa juga mengangkat naik sampai diatas.
Pengawal-pengawal itu sudah membawa naik sepuluh kantong, sisanya masih sepuluh
kantong, atas persetujuan Soat Kouw tikang dorong kereta diperbolehkan membawa sisa-sisa
dari garam itu, karena sepuluh pengawal itu tampaknya sebalik saja sudah kepayahan sekali.
448
Begitu tukang dorong selesai mengangkat garam-garam keatas bukit, mereka tidak segera
turun melainkan berdesak-desakan kedalam terowongan.
Kim Tak Can segera membentak : “Diam kalian mau kemana ?”
“Salah seorang pendorong gerobak yang bertubuh tegap menjawab dengan berani : “Kami
sebagai anggota Pok Thian Pang juga, tetapi belum pernah melihat Danau yang terkenal
sangat indah didalam markas pusat. Sekali ini tidak mau membuang kesempatan untuk
menyaksikan danau itu !”
“Hm, engkau kira boleh sembarangan lihat ? Hayo pergi !” bentak Kim Tak Can.
“Hm, mentang-mentang jadi penjaga pintu sudah sok ! kau tahu pangkatmu biar besar tak
ubahnya seperti anjing ! Anjing penjaga pintu !” jawab pendorong gerobak itu.
Kim Tak Can gusarnya tak alang kepalang, ia berseru keras : “Bunuh bangsat ini !”
Penjaga-penjaga segera menghunus senjata mereka, begitu mendengar perintah atasannya.
Sedangkan pendorong gerobakpun tidak kalah gertak mereka mencabut senjata juga. “Kalian
kira kami takut, mari bekerja !”
Berbareng dengan itu, kantong-kantong garampun pada sobek dan dari dlamnya bermunculan
orang-orang dengan senjata terhunus.
Mereka adalah Ciu Ceng Ceng dan Bok Tiong dan anaknya Peng Cie Lam dan puterinya, Hek
pek siang yauw dan lain-lainnya. Sedangkan pendorong gerobak garam yang berani itu adalah
Toa Gu dan Siau Lam Siong serta anak buahnya.
Sedangkan Liong yan Sie tetiron itu adalah Tiong Giok dan Cu Yauw Hui palsu adalah yauw
Kian Cee. Sedangkan Cian bin sin kay, Han Bun Siong, Tay Cin Tojin tidak turut serta,
mereka bertugas menjaga Tok Kay Pong dan kawan-kawannya dipenginapan Bwee Kie.
Perkelahian segera terjadi dengan hebatnya. Pengawal yang bertugas disitu bukan merupakan
taandingan pendorong-pendorong gerobak garam. Dalam waktu singkat separuh dari mereka
terbunuh mati.
Kim Tak Can tak sempat mengambil senjatanya, dengan mengeram keras ia memutarkan
sepasang tangannya menyergap kearah penyerang. Toa Gu tidak tinggal diam, dengan
menentang dada merintangi lajunya musuh. “Hei orang biadab kusengar engkau memiliki
ilmu kebal, mari kita mengadu kekuatan dan jangan menggeram tidak keruan !”
Tanpa menjawab Kim Tak Can maju selangkah dan memberikan pukulan pada Toa Gu sekuat
tenaga. “Buk” bunyi pukulan tepat mengenai tubuh sitolol dengan kerasnya, ia terhuyunghuyung
beberapa langkah kebelakang, tapi tak membuatnya menggelosor. Dengan tersenyum
ia maju lagi : “Hei, orang biadab pukulanmu cukup keras ! Jika tidak kubalas rasanya kurang
hormat, terimalah pukulanku !” berbareng dengan habisnya perkataan, lengan kirinya terayun
dan dihajarkan ketubuh musuh.
449
Kim Tak Can merasa dirinya cukup kuat menahan serangan itu, dengan berani ia menentang
dada dan membiarkan dipukul tanpa menangkis, tak kira begitu tubuhnya terhujam bogem
mentah lawannya, ia merasakan dadanya seperti meledak tersambar geledek, tubuhnya
terpental melayang kebawah bukit dengan jiwanya melayang !
“Aduh ! Kukira dia kuat, tidak tahunya bangpak betul !” seru Toa Gu sambil memandang
tubuh musuhnya yang jatuh kebawah.
Kekagetan Soat Kouw tak alang kepalang, ia tak menyangka Kim Tak Can yang demikian
gagah sekali gebrak kena dibinasakan dengan mudah, cepat-cepat diperintahkan ketiga
pengiringnya untuk membendung serangan musuh. Ia sendiri melepaskan panah api
keangkasa, memberikan isyarat bahaya dan minta bantuan dari dalam.
Ketiga pengiring itu adalah bekas murid-murid Liap In Eng yang bukan lain dari Jung Jung,
Sui Sian dan Mo Lie. Mereka bertahun-tahun mengabdi pada Soat Kouw, untuk mencari
kesempatan guna membalas sakit gurunya. Kini mereka sudah tahu saat yang dinantikan itu
sudah tiba. Maka begitu Soat Kouw memerintahkan mereka menghadang musuh, mereka
segera menghunus senjata dan melakukan serangan, mereka bukan menyrang musuh,
melainkan menyerang pada Soat Kouw secara berbareng dan diluar dugaan. Secara reflek
Soat Kouw menangkis serangan pedang dengan lengan kanannya, tentu saja lengan itu segera
menjadi buntung. Ia mengerang kesakitan sambil membentak : “Kalian sudah gila ?”
“Hm, bisa pula engkau berkata begitu ? Tidak ingatkah bagaimana Liap suhu memperlakukan
dirimu ? Akhirnya apa yang engkau perbuat pada beliau ? Dendam ini akan kami balas !”
“Hm, kiranya kalian masih mengingat kejadian sudah lama itu ?”
“Sampai matipun tidak akan kami lupakan !” jawab Jung Jung yang terus melakukan
serangan.
“Kami menahan sabar mengabdi dan menjadi budakmu dlam beberapa tahun ini tak lain tak
bukan untuk menantikan datangnya hari ini !” seru Mo Lie.
“Kami sudah sumpah untuk mencincang-cincang tubuhmu !” kata Sui Sian.
Sambil berkata serangan mereka semakin gencar. Soat Kouw yang kecolongan dalam jurus
pertama, tangannya buntung dan mengeluarkan darah tak henti-hentinya. Beberapa tikaman
sudah mengenai tubuhnya lagi, ia tahu bahaya kematian mengancam dirinya, dengan sekuat
tenaga ia mempertahankan diri dan lari kedalam terowongan.
Jung Jung, Mo Lie dan Sui Sian secara berbareng mengejar dan berhasil menancapkan pedang
mereka ditubuh Hu Pangcu dari Pok Thian Pang itu dengan berbareng pula.
Akan tetapi dengan tiba-tiba saja terjadi suatu perubahan yang mendadak tubuh mereka susul
menyusul terpental keluar terowongan. Jatuh kebumi tanpa berkutik lagi.
Yauw Kian Cee menjadi kaget, diraba-raba nadinya Jung Jung, nyatanya gadis itu sudah tak
bernyawa lagi, demikian pula dengan Mo Lie dan Sui Sian.
“Bagaimana keadaan mereka ?” tanya Tiong Giok.
450
“Mereka sudah meninggal !” jawab Yauw Jian Cee. “Agaknya didalam terowongan ini
bersembunyi seorang yang berkepandaian tinggi.”
“Benar-benar aneh,” kata Tiong Giok yang memeriksa juga keadaan gadis-gadis itu yang
benar-benar sudah mati.
“Mungkin perempuan busuk itu pura-pura mati dan mencelakakan gadis-gadis ini !” kata
Peng Cie Lam.
“Tidak !” kata Yauw Kian Cee. “Soat Kouw sudah mati tertikam pedang mereka…..”
“Benar !” sela Ceng Ceng. “Jangan-jangan mereka terkena serangan Lo Cucong dari Pok
Thian Pang ! Dia itu lihay sekali, akupun pernah merasakan serangan dan hampir-hampir mati
konyol !”
Mendengar ini In Tiong Giok menjadi kaget, cepat-cepat ia mengulapkan tangan menyuruh
sekalian jago-jago yang berada disitu mundur. Berbareng dengan itu dari dalam terowongan
terdengar suara dengusan dan tertawa dingin yang benar-benar menyeramkan.
Terowongan yang gelap tiba-tiba saja menjadi terang benderang.
Tubuh Soat Kouw tidak terlihat lagi. Sebagai gantinya, ditempat ini tampak seorang Biksuni
berbaju lurik. Dikiri kanannya berdiri jago-jago dari Pok Thian Pang, yakni Pu Kun Lun,
Wang Wang Can, Kam Kong, Ciau Cie Hiong dan lain-lain. Dibagian belakang tampak Pek
Cin Nio dengan pengawal-pengawalnya.
Tiong Giok sadar bahwa Biksuni yang dihadapinya itu adalah Lo Cucong yang lihay. Ia
bertubuh sedang mukanya tertutup cadar yang terbuat dari kain halus, sinar matanya yang
tajam seolah-olah menembus kain tipis yang menatap pada In Tiong Giok. Sedangkan lengan
yang satu memegang Hudtim dan yang satu lainnya memegang Hud cu.
Tiong Giok tidak takut, ia berlaku tenang sekali. Kehadiran Lo Cucong itu tidak dihiraukan.
Ia memandang pada Pek Cin Nio sambil merangkapkan sepasang tangannya. “Selamat
bertemu Pangcu, baik-baik sajakah selama ini ?”
Pek Cin Nio menjadi kaget, tapi iapun membals hormat itu sambil menganggukkan kepala.
“In Siau hiap mari kukenalkan dengan Lo Cucong !”
“Apa kedudukannya Lo Cucong didalam perserikatanmu ? Setelah jelas barulah berkenalan !”
kata Tiong Giok angkuh dengan dibuat-buat.
“Oh mungkin In Siau hiap tidak tahu, Lo Cucong adalah Tay Siang Pang cu dari Pok Thian
Pang artinya berkedudukan diatas Pangcu !”
“Kedudukannya sangat tinggi, kenapa tidak membuka muka untuk menemui orang dan
ditutupi dengan kain ? Maafkan jika aku tak mau berkenalan dengan seorang yang selalu
bersembunyi-sembunyi dan tak mau memperlihatkan wajah aslinya !”
Jawaban ini membuat Pek Cin Nio menjadi terkejut, wajahnya seketika menjadi pucat.
451
Sedangkan Lo Cucong, dengan terkekeh-kekeh membuka suaranya. “Bocah jangan terlalu
lancing, tidakkah kau menyadari kematian sudah berada didepan mata ?”
“Hm, dalam perkelahian yang belum dimulai ini, dan belum ada kesudahannya bagaimana
bisa dipastikan, bahwa kematian menjadi bagianku ?” ejek Tiong Giok.
“Yang terang engkau bisa kemari tapi tak bisa keluar lagi !” kata Lo Cucong.
“Ngomong memang gampang, tapi lihatlah buktinya !” jawab Tiong Giok.
“Hm, bocah tak tahu diri, ini tampat apa ?”
“Tangkap !” seru Lo Cucong.
Pu Kun Lun tampil sambil membusungkan dadanya.
Toa Gu segera keluar pula sambil berseru : “Nih lawan dulu aku !”
“Hei engkau siapa ?” tanya Pu Kun Lun.
“Mau tahu ? Aku adalah Lo Cucongmu !”
“Mau manpus ?” teriak Pu Kun Lun dengan gusar dan terus melancarkan serangan tangannya.
Toa Gu tak merasa gentar, dengan aksi ia mengembangkan perutnya menadah pukulan
musuh. “Duk ! perutnya terpukul telak. Tetapi seperti tidak dirasa saja. Dengan tersenyum ia
berkata : “Hayo pukul lagi !”
Pu Kun Lun semakin sengit ia memukul dua kali dengan tangan kiri dan kanannya, sekali ini
Toa Gu kena dibuat mundur tujuh delapan langkah.
“Sekarang terimalah balasanku !” seru Toa Gu.
Pu Kun Lun mengetahui sedang menghadapi lawan yang tangguh, mana mau membiarkan diri
dipukul. Ia mengengos dengan cepat. Berbareng itu Lo Cucong mengebutkan Hud timnya
memecahkan pukulan Toa Gu yang keras itu lalu ia berkata kepada Pu Kun Lun dengan
bahasa Korea.
Toa Gu masih penasaran, ia merangsak lagi kepada musuhnya. Pu Kun Lun yang telah
mendapat petunjuk dari Lo Cucong cepat mengengos dan melancarkan jarinya melakukan
totokan ketempat berbahaya dari si tolol.
Toa Gu jadi gelabakan menghadapi musuh ini, dalam keadaan gawat, tiba-tiba ia mendengar
suara halus : “Lekas memutar kekiri dan menendang kakinya.”
Toa Gu cepat-cepat mengikuti petunjuk itu, entah bagaimana benar-benar manjur anjuran itu,
tendangannya dengan telak membuat musuh terpental beberapa tombak tingginya. Tubuhnya
itu terbentur dengan terowongan tak ampun lagi menjadi remuk, ia jatuh kebumi tanpa
bernyawa lagi.
452
“Bagaimana ? Boleh juga tidak ?” kata Toa Gu pada Thian Sek.
“Begitu maut !” tanya Thian Sek.
“Bukankah kau sendiri yang menyuruh berputar dan menendangnya ?”
“Aku mana bisa mengajari Suheng ilmu semacam itu ?”
“Heran ! Tidakkah aku sedang bermimpi ?” kata Toa Gu.
“Kematianmu sudah didepan mata, mana bisa bermimpi lagi !” kata Wang Wang Can.
“Mau melawan aku ? Ha ha ha ha !” Toa Gu tergelak-gelak. “Kau tahu dua temanmu sudah
mati ditanganku, sayangilah jiwamu !”
Wang Wang Can semakin gusar, cepat ia melancarkan serangan. Pada saat inilah Yauw Kian
Cee menghadang musuh itu sambil menyuruh Toa Gu pergi.
“Apa hubunganmu dengan anak gila itu ?” tanya Wang Wang Can.
“Aku gurunya !”
“Jika engkau gurunya akan kubunuh untuk membalas sakit hati kedua saudaraku !” kata
Wang Wang can yang segera menghunus goloknya. “Keluarkan senjatamu lekas, mari kita
mulai !”
“Maaf, selamanya aku tak pernah memakai senjata !” jawab Yauw Kian Cee sambil
tersenyum-senyum.
Dalam sekejap bayangan golok dan manusia berputar kesana kemari menjadi satu, begitu
cepat dan luar biasa sekali. Tiba-tiba mereka berhenti bergerak…..dikening yauw Kian Cee
tampak goresan merah….ia terluka dan berdarah. Sedangkan Wang Wang Can tampak
menjadi pucat dan bernafas sengal-sengal, lengannya bergetar, goloknya seperti mau terlepas
dari tangannya.
Sejenak berlalu, mereka saling pandang dengan tajam. Wang Wang Can menarik napas
dalam-dalam, lalu melancarkan serangan lagi.
Sejak tadi yauw Kian Cee tidak melancarkan serangan balasan, sekali ini ia tidak mengengos
lagi lengannya berbalik cepat dan melepaskan pukulan. Dua tubuh tampak merapat, tapi
dengan cepat pula berpisah lagi ! Karena Wang Wang Cacn terhajar pukulan keras Yauw
Kian Cee sampai terpental tinggi dan beradu dengan dinding terowongan seperti Pu Kun Lun
tadi, lalu jatuh lagi kebawah dengan jiwa melayang.
Pada saat inilah In Tiong Giok berseru dengan keras : “Awas !”
Yauw Kian Cee menggulingkan badan dengan cepat karena Lo Cucong melancarkan serangan
gelap dengan mutiara-mutiaranya berantai. Ia berlaku cepat, tapi tak urung pundaknya terkena
453
juga sebutir mutiara itu, jalan darahnya menjadi tertutup membuatnya tak bisa bergerak lagi.
Tiong Giok berlaku gesit tubuh kawannya disambar, dan dibuka jalan darahnya.
“Ceng Ceng, Toa Gu dan Thian Sek jagalah tangga besi itu, jika terjadi sesuatu yang tidak
baik, lekas bawa yang luka dari sini…..” pesan Tiong Giok.
“Siau cu jin, engkau sendiri ?” tanya Ceng Ceng.
“Ini perintah, jangan banyak tanya !” jawab Tiong Giok. Ia tahu sudah waktunya turun
gelanggang. Dihampirinya Lo Cucong dan ditudingnya secara kasar : “Tak tahu malu,
menyerang secara menggelap ! Pantasan wajahmu itu ditutup-tutup, karena terlalu tebal !”
“Hm, dalam perkelahian tak ada perkataan gelap dan terang, pokoknya yang pintar dialah
yang menang !” kata Lo Cucong.
Dengan pedang terhunus Tiong Giok tersenyum dongkol atas jawaban lawannya.
“Baiklah !” katanya keras. “Mari kita mencari ketentuan. Tapi sebelum itu bukalah cadarmu
itu !”
“He he he he” Lo Cucong tergelak-gelak. “Engkau si bocah tak tahu diri dengan kepandaian
apa mau melawanku ? Tahukah engkau pada jaman dahulu ada tiga pendekar dari perguruan
sejati ? Dua diantaranya sudah mampus dan tinggal aku sendiri Siang Eng kena kuhancurkan,
Bulim cap sah kie menjadi bubar. Semua ini kujelaskan agar engkau mati tak menyesal !”
Lengannya segera membuka cadar mukanya, tampaklah wajahnya yang memerah dengan
sepasang mata seperti alap-alap, mulutnya lebar giginya bercaling sangat menyeramkan untuk
dipandang.
Bukan saja In Tiong Giok dan kawan-kawannya kaget, orang-orang Pok Thian Pang pun
menjadi kaget, hanya Pek Cin Nio seorang, tak berubah melihat wajah gurunya, mungkin
sudah biasa.
“Oh…..kiranya engkaulah si Houw Gee adanya ! Karena merebutkan pedang ini engkau
mencelakakan Fut In Cu dan It Piau Taysu….digunung Haoy Giok San !”
“Bocah engkau mengetahui terlalu banyak soalku ini, biar bagaimanapun harus mampus !”
seru Lo Cucong yang memang bukan lain dari pada Houw Gee adanya.
Tiong Giok tidak banyak cerita ia menikam dengan pedangnya, begitu hebat sekali. Kilauan
pedang pusaka yang bernama Hong siat menerangi muka terowongan itu.
Lo Cucong merasa berkepandaian tinggi, ia tidak memandang mata pada serangan musuhnya,
cukup mengengos kekanan dan kekiri. Hud timnya diputar-puarkan kekiri kekanan.
Kelihatannya ia menggoyangkan Hud timnya sangat perlahan, tapi tenaga yang dibikin
mundur oleh kekuatan tenaga yang besar itu.
454
Tiong Giok sekarang bukan Tiong Giok dulu lagi, ia melakukan perlawanan dengan tenang,
pedngnya melancarkan ilmu Keng thian cit su secara luar biasa, serangan musuh maupun
tenaga desakannya yang keras itu dapat diimbangi secara tekun dan mantap.
Tubuh mereka dlam sekejap seolah-olah menjadi satu, bergulung-gulung terbungkus kilauan
pedang Hong siat. Sukar dibedakan yang mana Tiong Giok. Hal ini berlaku lama juga.
Houw Gee merasa heran atas kelihayan si anak muda, ia tak mau memberikan pukulan
mautnya yang bernama Hiat ciu lang. Sedangkan Tiong Giok pun takmau berlaku gegabah
melancarkan Hiat cie lengnya, masing-masing berlaku waspada satu sama lain.
Tiba-tiba mereka berhenti berputar-putar, antara Hud tim dan pedang pusaka saling temple
rupanya masing-masing menggunakan tenaga dalam. Dibalik itu anehnya dengan sebuah
tangan Houw Gee, sebuah tangannya masih bisa digerakkan dengan leluasa. Ia menjadi girang
pikirnya dengan begini pukulan mautnya bisa dilancarkan saat itu juga. Sebaliknya iapun
tidak berpikir bahwa Tiong Giok akan melancarkan Hiat cie lengnya. Tak heranlah begitu
lengan Houw Gee terangkat, tampak menjadi merah seperti darah. Tiong Giok pun tengah
melancarkan Hiat cie lengnya, dua ilmu tangan yang ampuh bentrok satu sama lain.
Apa yang terjadi ? Dua kekuatan dashyat bentrok satu sama lain, menimbulkan bunyi keras
laksana guntur ! Hud tim dan pedangpun terlepas satu sama lain.
Kejadian ini membuat kedua belah pihak melongo !
Houw Gee melengak, takmenyangka pukulannya bisa ditangkis musuh.
Tiong Giok heran, ilmu andalannya tak membawa hasil.
Mereka saling tatap dengan waspada untuk melanjutkan perkelahian yang belum
berkesudahan itu. Ketegangan meliputi kedua belah pihak, masing-masing menahan napas
dan beerdoa untuk kemenangan jagonya ! Keheningan terasa semakin mencekam……
“O mi to hud,” tiba-tiba suasana hening terpecahkan suara pujian umat Buddha.
Berbareng dengan itu berkelebat sesosok tubuh kedalam gelanggang perkelahian. Seorang
Hweesio kurus berjubah kuning yang bukan lain dari pada It Piau Taysu sudah berdiri disitu
dengan tangan masih dirangkapkan.
Kedatangan It Piau Taysu membuat Houw Gee bergetar tak keruan. “Kau…kau belum mati
?” tegurnya dengan ketelepasan tanpa disadari.
“Berkat yang maha mulia dan maha pengasih aku masih tetap hidup sampai sekarang,” jawab
It Piau dengan tenang dan ramah.
“Hm, engkau tidak tahu diri,” bentak Houw Gee sambil menyeringai. “Empat puluh tahun
yang lalu engkau tak mampus, seharusnya engkau sadar danbisa tahu gelagat, …he he he kini
apa-apaan datang kemari, bukankah sama dengan mencari mati ?”
455
“Soal mati ditangan Tuhan !” jawab It Piau Taysu. “Jika mau matipun sudah….karena empat
puluh tahun dalam penderitaan, membuatku tambah pengertian tentang jalanny ahisup dan
akupun yakin selama puluhan tahun itu engkaupun banyak mengerti soal kehidupan ini…..”
“Hm, memang kuyakin bahwa kematianmu sudah diambang pintu !” sela Houw Gee dengan
ketus.
“Engkau salah !” seru It Piau Taysu dengan tersenyum. “Engkau boleh berusaha mati-matian
untuk menjagoi dan menguasai dunia persilatan, akan tetapi kehidupan ini akan membuatmu
tua dan mati. Maka itu apa yang kau lakukan tak lebih dari sebuah impian….”
“Tapi engkau harus tahu kehidupan manusia tidak luput dari cita-citanya,” lagi-lagi Houw
Gee menyelak. “Dengan tercapainya cita-cita itu, biar sehari atau sedetik matipun baru merasa
puas !”
“Tidakkah engkau menyadari bahwa kebesaran Pok Thian Pang dalam beberapa tahun ini
hebat sekali ? Makan pakai berlebihan, mau apa tinggal atau perintah ! Tapi semua itu tidak
membuatmu puas bukan ? Andaikata cita-citanya berhasil menguasai dunia persilatan ini,
kuyakin tidak membuatmu puas juga disebabkan engkau belum menyadari apa artinya hidup
!”
“Tutup mulutmu !” bentak Houw Gee. “Sekarang kutanya, apa tujuanmu kesini ? Mau
menuntut balaskah ?”
“Dalam menjalankan sisa hidup tuaku ini, soal dendam dan sakit hati sudah musnah dari
ingatanku !” kata It Piau Taysu dengan tenang. “Tujuanku, yakni untuk menyadari seorang
sahabat lamaku, agar ia terbebas dari penderitaan dan mau bersama-sama denganku mencapai
nirwana sesuai dengan apa yang dicita-citakan setiap umat Buddha !”
“Oh begitu ?” ejek Houw Gee seenaknya. “Sebagai sahabat, akupun ingin membuatmu
denganikhlas dan syukur,” kata It Piau Taysu dengan tersenyum dan merangkapkan kedua
tangannya. “Akan tetapi bilamana bantuanmu tak berhasil bagaimana ?”
“He he he he sadaralah….pukulan telapak tangan berdarah yang kuyakini bertahun-tahun ini
jauh berbeda dengan empat puluh tahun yang lalu,” kata Houw Gee.
“Ya kuyakin engkau memperoleh banyak kemajuan dalam ilmu silatmu, tapi yang
kutanyakan, bagaimana kalau engkau gagal ?”
“He he he he andaikata gagal, aku bersedia membubarkan Pok Thian Pang dan mengikuti
jejakmu menjadi seorang Budhis yang saleh !”
“Sian cai, sian cai ! Seorang yang bagaimana jahatpun, bilamana mau sadar pintu nirwana
selalu terbuka untuk menerimanya !” sehabis berkata It Piau Taysu duduk bersila sambil
merangkapkan kedua tangannya dan meram.
Sekalian yang menyaksikan keadaan ini menahan nafas sesak. Mereka tidak mengerti apa
yang akan diperbuat Hweesio itu.
“Apakah engkau akan menerima pukulanku tanpa melawan ?” tanya Houw Gee.
456
“Benar !” jawab It Piau Taysu.
Tiong Giok tahu It Piau berilmu tinggi, tapi meragukan kekuatannya untuk menahan pukulan
maut dari lawannya secara mandah dan tak melawan. Sedangkan Houw Gee pun menjadi
tercengang mendapat jawaban musuhnya itu, ia jadi berpikir : “Mungkinkah ia memakai baju
wasiat yang dapat menahan pukulan mautku ?”
“Jangan ragu-ragu,” desak It Piau.
“Engkau akan menerima pukulan tanpa mengengos atau berkelit bukan ?” Houw Gee
menegasi lagi, karena kurang yakin.
“Benar !” jawab It Piau tandas.
“Bilamana engkau menggunakan sesuatu benda untuk melindungi tubuhmu dari pukulanku,
apa yang kukatakan tadi dianggap tak berlaku !”
“Benar ! Nah silahkan !”
Dengan kejam Houw Gee mengangkat tangannya dan dipukulkan ketubuh It Piau Taysu yang
kurus sekeras-kerasnya.
“Buk !” terdengar bunyi nyaring.
“Omitohud !” kata It Piau sambil mencelat bangun dan menghunus Hwee he kiam
menghampiri lawannya.
Houw Gee terkesiap melihat ketangguhan lawan ia tak menyangka pukulan mautnya bisa
gagal secara menyedihkan sekali. Wajahnya menjadi pucat, tubuhnya mematung seperti
kesima ! Bilamana It Piau mau, dengan serangan entengpun bisa membuat Houw Gee binasa.
“Bunuh ! Bunuh !” teriak kawan-kawan In Tiong Giok secara riuh.
It Piau mengangkat pedangnya, lalu menubleskan dengan keras.
“Auw !” teriak Pek Cin Nio merasa kaget.
Akan tetapi kekagetannya Pangcu itu menjadi lenyap. Sebab pedang pusaka itu tidak
tertancap ditubuh gurunya, tapi menancap ditanah dekat kaki gurunya.
“Bunuh membunuh sampai kapan bisa habis. Balas membalas sampai kapan bisa berakhir.
Houw Gee ! Houw Gee ! Houw Gee sudah waktunya engkau sadar !” kata It Piau Taysu itu.
Houw Gee mundur-mundur beberapa langkah. “Engkau…..engkau….” katanya kemak kemik.
It Piau membuka bajunya memperlihatkan dadanya. “Aku tak mengenakan apa-apa, aku tak
berlaku curang bukan ?” kata It Piau lagi.
457
Houw Gee tak bisa mengatakan apa-apa lagi, tubuhnya menjadi lemas, ia bertekuk lutut
didepan It Piau. “Kebesaran Buddha tak ada taranya ! Aku bersedia mengikuti jejakmu seperti
yang telah kuucapkan !” katanya.
“Omitohud !” puji It Piau sambil tersenyum.
Pek Cin Nio dan sekalian jago-jago Pok Thian Pang melihat Lo Cucong mereka berlutut
didepan It Piau Taysu, tanpa disuruh lagi semuanya bertekuk lutut dengan hormatnya.
“Omitohud ! Laut penderitaan maha luas dan tak bertepi, kesadaran adalah cahaya dan
pedoman bagi setiap insane terbebas dari penderitaan,” kata It Piau. Setelah itu berpaling
kepada Tiong Giok. “Dimana masih ada tempat melangkah, kita harus memberi pengampunan
! Kuyakin Siecu sependapat dengan Lona bukan ?”
Tiong Giok dengan rendah hati berlutut pada Bikkhu itu sambil berkata : “Benar ! Semoga
kasih sayang dari ajaran Buddha yang Taysu amalkan membawa perdamaian didunia
persilatan, kini maupun nanti. Segala kebatilan akan musnah oleh rasa kasih sayang untuk
selama-lamanya.”
Tatkala Houw Gee mendengar perkataan In Tiong Giok, ia memandang pemuda itu dengan
air mata berlinang-linang. Tiba-tiba ia mencabut Hwee li kiam dari tanah, sinar pedang
berkelebatan dengan cepat, lengan kirinya tertabas buntung. Dengan suara bergetar ia berkata
pada Pek Cin Nio : “Mulai detik ini bubarkan Pok Thian Pang, anggota-anggota yang baik
berikan kapital untuk berusaha secara halal, yang membangkang musnahkan ilmu silatnya….”
Sambil berkata ia memungut lengan kirinya dan menyerahkan pada In Tiong Giok. “Segala
kekacauan dudunia Kang Ouw akibat dari perbuatanku, segalanya menjadi tanggung jawabku
! Bawalah lengan ini dan pakailah sembahyang dikuburan Liap In Eng, semoga arwahnya
mendapat ketenangan dialam baka.”
“Demikian pula dengan kalian, semoga bisa memberikan pengampunan pada Soat Kouw, agar
ia bisa mengaso dengan tenang dialam baka.”
“Bilamana Suthay sudah insyaf dari segala kesalahan-kesalahan itu, akupun tak mau
memperhitungkan soal dendam lagi,” kata Tiong Giok. “Dan kenapa Suthay sampai meniksa
diri sendiri macam begini ?”
“Aku seorang berdosa, bisa hidup sampai sekarang ini berkat kelapangan dada dari taysu dan
Siau hiap,” kata Houw Gee dengan perlahan. “Biarpun diberikan pemgampunan oleh
siapapun orang berdosa semacamku tetap tak bisa menghilangkan rasa sesal yang sangat
akibat-akibat perbuatanku, kini lengan ini kubuntungkan tak berarti dosa-dosaku
hilang….hanya saja untuk meringankan tekanan bahtin pada diriku….In Siau hiap
menyangkut soal lain-lainnya, engkau boleh bertanya dan berurusan dengan Pek Cin Nio !”
“Orang-orang yang bijaksana selalu berlapang dada,” kata It Piau. “Maka itu sudah waktunya
Suthay ikut denganku, guna menjalankan ajaran-ajaran Sang Buddha yang maha bijaksana !”
Perlahan-lahan It Piau berlalu, diikuti Houw Gee dari belakang.
“Suhu !” tiba-tiba Pek Cin Nio mengejar gurunya. “Aku turut denganmu !”
458
“Tidak ! Tugasmu masih banyak, kerjakanlah pesanku sebaik-baiknya !”
Segala yang terjadi ini semuanya diluar dugaan In Tiong Giok maupun yang lain-lain. Mereka
tidak menyangka kejadian bisa berjalan dengan mudah.
Pek Cin Nio mengajak musuh-musuhnya yang kini dijadikan tamu masuk kedalam markas
pusat Pok Thian Pang.
Dengan singkat dapat diterangkan, bagaimana ras haru dan girangnya Tiong Giok
menemukan ayahnya, dan bagaimana rindu dendamnya mendapat obat penawar sewaktu
bertemu wan Jie hal ini semoga pembaca dapat membayangkan sendiri.
Ong Jiak Tong yang menjaga pembuian, adalah musuh keras Ciu Kouw dan Peng Cie Lam
tapi setelah bertemu mereka tidak bisa berkelahi, kaena suasana hangat dan tegang dari rasa
dendam itu telah pudar…..berganti kedamaian yang baru.
Ong Jiak Tong bertekuk lutut memohon ampun dari Peng Cie Lam, sambil menyerahkan obat
untuk menyembuhkan Ciu Kouw.
Peng Cie Lam menarik napas lega, ia membuang muka setelah menerima obat itu. Ciu Kouw
yang berparas buruk setelah mendapat obat itu, pulih menjadi gadis cantik sekali.
Tiat Po yang terletak di Pek Liong San dalam suasana gembira. Pintu gerbang yang tertutup
selama belasan tahun, kini terbuka lebar dan terhias indah. Sepanjang jalan yang menuju
kerumah Lim Siok Bwee penuh tamu-tamu dari berbagai golongan. Ini tak perlu diherankan
karena hari ini Tiat Po sedang mengadakan upacara ganti she dari Pek Kiam Hong yang telah
kembali ke Tiat Po.
Sebenarnya sewaktu Pek Cin Nio menyambangi Tiat Po, Lim Siok Bwee telah menyerahkan
buku silsilah keluarga Tiat pada umumnya. Tapi sebelum Pok Thian Pang bubar, upacara
penggantian she dari Kiam Hong belum dpat diresmikan, dan baru sekarang dilakukannya.
Tamu-tamu yang datang itu berkumpul di ruangan besar terhias indah, saat itu hari sudah
mulai malam. Lilin dan lentera-lentera memenuhi ruangan, hingga menjadi terang benderang.
Lim Siok Bwee dan Pek Cin Nio masih berada diruang belakang, sedangkan Pek Kiam Hong
sibuk bersalin pakaian. Para tamu itu disambut oleh In Tiong Giok. Ang Ek Fan dan lain-lain.
“Pek Kiam Hong sudah ganti she dan kembali ke Tiat Po, bagaimana dengan In Siau hiap
kapan mengadakan upacara ganti she ?” tanya Tong Cian Lie pada Ang Ek Fan.
“Benar ! Benar !” jawab yang lain-lain.
Dengan tersenyum-senyum Ang Ek Fan memberi hormat sambil berkata : “Atas perhatian
dari saudara-saudara sekalian kuhaturkan banyak terima kasih, soal ini lambat atau cepat akan
kukerjakan tapi tepatnya tak dapat ditentukan sekarang, pokoknya nanti anda akanlah kami
undang !”
“Masakan soal hari saja tak bisa ditentukan ?” tanya Lauw Siu Kim.
459
“Tidaklah sekarang saja hal ini dilakukan berbareng dengan Pek Kiam Hong terlebih baik ?”
kata Cu Lit.
“Memang soalnya snagat mudah, tapi menurut hematku sebelum sua hal dapat kuselesaikan,
hal ini belum bisa kulaksanakan,” kata Ang Ek Fan.
“Soal apa ?” tanya mereka dengan berbareng.
“Kesatu aku harus membangun kembali Giok Liong Po. Kedua soal istriku sampai sekarang
belum ada kabarnya, sehingga soal ini belum bisa dilaksanakan !”
“Ya, benar juga,” jawab penanya-penanya itu dengan sedikit agak kecewa. Karena tanpa
menyadari lagi, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mereka mendatangkan kesedihan pada
Ang Ek Fan.
“Atas perhatian saudara sekalian sekali lagi kuhaturkan banyak terima kasih. Kini saudarasaudara
sudah berkumpul disini, dan mungkin masih ada yang ingin tahu, kenapa Pek Kiam
Hong, dengan tiba-tiba manjadi she Tiat dan kembali ke Tiat Po ? Setelah berdamai dengan
Lim Lie hiap, ia menyetujui untuk kututurkan seluk beluk hal ini pada saudara-saudara….”
Suasana menjadi sepi, sesungguhnyalah soal ini banyak yang tidak mengetahui dengan
mendetail, mereka hanya heran kenapa setelah Pok Thian Pang bubar, Pek Cin Nio, Pek Kiam
Hong menjuadi warga Tiat Po ?
“…………sebenarnya kejadian yang telah lampau ini, merupakan soal peribadi orang-orang
Tiat Po, mungkin diantara saudara yang hadir disini, hanya sebagian dari Bulim cap sah kie
yang mengetahui soal ini, sedngkan yang lain tidak mengetahui bukan ? Nah baiklah kumulai
saja cerita ini.”
Ddelapan belas tahun yang lalu, hubungan antara Giok Liong Po dan Tiat Po sangat erat
sekali, hal ini diketahui benar-benaar oleh saudara-saudara bukan ? Saat itu hampir tiga bulan
sekali, kami harus bertemu muka satu sama lain, selambat-lambatnya setahun sekali harus
bertemu. Sewaktu-waktu aku yang datang ke Tiat Po, sewaktu-waktu Tiat Giok Limk datang
ke Giok Liong Po. Hal ini tidak aneh dan tidak mengherankan untuk siapapun. Akan tetapi
pertemuan semacam ini ada cacatnya, pernah terjadi aku mengunjungi Tiat Po, sedangkan dia
datang ke Giok Liong Po, astu sama lain jadi tak bertemu. Karena hal ini untuk pertemuanpertemuan
terlebih lanjut, kami mengirim surat terlebih dulu bilamana mau datang.
Pada suatu hari aku menerima suratnya, dan ia menjanjikan aku bertemu di Lok Yang pada
tanggal lima belas bulan delapan, untuk bersama-sama menuju ke Bong San guna
menghancurkan perempuan jahat bernama Cia Lok Ang.
Begitu kuterima surat itu segera kupergi ke Lok Yang, tepat pada tanggal lima belas pagi aku
tiba dikota itu. Malang bagiku aku tak menemuinya, sebab ia datang terlebih cepat dua hari
dariku. Rupanya ia tak sabaran menantikan diriku. Pada tanggal empat belas malam ia menuju
ke Bong San seorang diri. Sebelum bernagkat ia menititpkan surat untukku, yang mengatakan
bahwa ia akan kembali besok sore.
Kunantikan ia dengan sabar, tapi tidak muncul-muncul. Sedangkan hari telah menjadi malam,
aku menjadi tak sabaran, segera kususul ke Bong San malam itu juga.
460
Suasana makam sanga tindah, rembulan bercahaya terang. Tapi tiada hati guna meresapi
panorama dan suasana itu. Aku bergegas-gegas ketempat tujuan. Sesampainya disana, kulihat
sepuluh wanita-wanita murid dari Cia Lok Ang bergeletakan dilereng gunung. Tak jauh dari
situ kudapati pula tubuh Cia Lok Ang yang telah menajdi mayat. Ditubuhnya masih tertancap
sebilah pedang milik Tiat Giok Lin. Sedangkan orangnya tidak tampak disitu, aku menjadi
kaget dan heran, sepatutnya musuh sudah terbunuh, ia selamat kenapa sampai pedangnya
tidak dicabut ? Apa yang terjadi pada dirinya ?
“Tatkala inilah aku mendengar jeritan suara perempuan dari dalam hutan, segera kulari kearah
suara……ah, sungguh diluar dugaan, bahwa saudara Tiat sedang berhadap-hadapan dengan
seorang perempuan yang cantik. Pakaian mereka sudah tak keruan dan beres. Saudara Tiat
menjadi malu begitu melihat kehadiranku, ia menjadi khilaf dan mau membunuh perempuan
itu, untung bisa kucegah sehingga perempuan itu tidak mati konyol. Setelah berpakaian
perempuan itu cepat-cepat melarikan diri kedalam hutan.
Belakangan saudara Tiat menerangkan kepadaku, sewaktu ia berkelahi dengan Cia Lok Ang
telah kena obat perangsang dari perempuan jaha itu. Begitu perempuan itu terbunuh obat baru
bekerja dengan dashyatnya. Kebetulan pada saat itulah ia melihat gadis itu melintasi hutan,
maka terjadilah hal yang tidak diinginkan itu.
Soal ini membuatnya menjadi menyesal dan malu, beberapa kali ia mau bunuh diri, kepaksa
kugunakan kekerasan, Kutotok badannya, setelah itu kuhibur dan menerangkan bahwa
perbuatannya itu dikarenakan obat perangsang Cia Lok Ang, dirinya bagaimanapun tak dapat
disalahkan. Setelah kujelaskan dan kuhibur ia mengerti juga, totokannya kubuka dan ia sadar,
nekadnyapun hilang.
Disamping itu akupun berjanji kepadanya bahwa hal ini takkan kuceritakan kepada orang lain.
Lama kelamaan hal ini berlarut hilang dan seperti belum pernah terjadi.
Waktu berjalan sanga cepat, tanpa terasa setengah tahun telah berlalu. Saat itulah aku
menerima sepucuk suratnya, agar secepatnya aku datang ke Tiat Po karena ada urusan penting
yang perlu dibicarakan denganku. Saat itu sebetulnya aku sedang sakit, tapi mengingat
soalnya sangat penting, aku memaksakan diri pergi kesana. Istriku sebetulnya mau berangkat
bersama-sama, tapi dikarenakan satu hal dan lain hal kepaksa ia menunda keberangkatannya,
beberapa hari kemudian.
Sesampainya di Tiat Po, aku dimaki-maki dan dicap sebagai penjual kawan. Setelah puas
memaki-maki ia membunuh diri dengan jarum beracun…..ia berlaku senekad itu dikarenakan
menerima sepucuk surat kaleng yang berisi umpatan dan makian padanya dalam soal
memperkosa gadis dihutan. Ia menuduh aku yang menguarkan soal ini di dunia Kang Ouw,
sehingga mengambil jalan pendek seperti kuceritakan diatas.
Saat itu aku masih keadaan sakit, tambahan sewaktu mencegah ia membunuh diri terkena
pukulannya, sehingga menderita luka dalam. Ditambah lagi isi surat itu bernada begitu keji
dan menyakiti hati….membuatku tak bisa berkata apa-apa…kupikir Giok Lim sudah
meninggal dunia, bagaimanapun surat kaleng itu tak bisa kuserahkan pada istrinya, tanpa pikir
panjang lagi aku berlari keluar dari Tiat Po dalam keadaan luka. Tak kira baru saja beberapa
lie kutinggalkan Tiat Po, ditengah jalan dihadang orang-orang bertopeng. Aku sedang luka,
tak bisa memberikan perlawanan sebagaimana mestinya dlam waktu yang sanga tsingkat aku
461
dapat ditawan….soal selanjutnya tak perlu kuceritakan lagi, karena saudara-saudara
mengetahuinya….
“Hm, pantas Tong Toako, Tay Cin Tojin dan yang lain takberani menghantam Pok Thian
Pang, kiranya untuk menjaga nama baik dari Tiat Po. Kini soalnya sudah jelas surat kaleng
maupun kekacauan yang terjadi didunia Kang Ouw ini semata-mata dikarenakan Houw Gee
seorang !”
“Memang benar ! Tapi kejadian ini bukan direncanakan, tapi terjadi secara kebetulan setelah
peristiwa Bong San. Dimana Pek Cin Nio diketemukan olehnya dalam keadaan hamil ! Apa
yang diinginkan Houw Gee tidak terlaksana, berbalik ia membesarkan Kiam Hong menjadi
dewasa. Tiat Giok Lin telah meninggal dunia sungguhpun begitu ia masih mempunyai
keturunan yang dapat diandalkan dikemudian hari.”
Saat inilah terdengar bunyi lonceng, pertanda bahwa upacara penggantian she Kiam Hong
telah dimulai.
Ang Ek Fan dengan menuntun lengan Tiong Giok dan Wan Jie datang memberikan selamat
pada Kiam Hong dan Lim Siok Bwee serta Pek Cin Nio. Disusul oleh Yauw Kian Cee, Ciu
Kong, Bok Tiong, Ceng Ceng, Toa Gu dan Thian Sek.
Sedangkan Han Bun Siong, Tong Cian Lie, Tay Cin Tojin, Cu Lit dan lain-lain setelah
memberi selamat pada Pek Kiam Hong, ramai-ramai memberi selamat pada Ang Ek Fan….
“Kuucapkan selamat Ang Toako mendapat mantu,” kata mereka beramai-ramai.
“Selamat menempuh hidup baru !” kata Siau Bwee yang tiba-tiba muncul dan memberi
selamat kepada Tiong Giok dan Wan Jie. Keruan saja jago-jago kita ini menjadi merah
padam.
Sedangkan Toa Gu memandang pada Ceng Ceng. “Kenapa tidak ada yang memberi selamat
pada kita ?”
“Tutup mulutmu, nanti kubeset !” bentak Ceng Ceng dengan gemes, tapi tak urung ia
tersenyum juga.
Ang Ek Fan menerima kemesraan yang mengharukan itu dengan berlinang air mata. Sebentar
ia memandang pada anaknya sebentar pada Wan Jie, lalu menarik napas panjang seolah-olah
penderitaannya selama belasan tahun didalam penjara hilang dalam seembusan napasnya.
Akan tetapi dibalik itu iapun mengenang pada istrinya dan berkata didalam hatinya : “Giok
Liong Po pasti bangun kembali. Istriku pasti akan kembali. Saat itu keadaan rumahku akan
lebih ramai dari dulu-dulu……..
T A M A T .....__
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil : 12 PERguruan SEJATI [2] - khulung dan anda bisa menemukan artikel Cersil : 12 PERguruan SEJATI [2] - khulung ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cersil-12-perguruan-sejati-1-khulung_25.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil : 12 PERguruan SEJATI [2] - khulung ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil : 12 PERguruan SEJATI [2] - khulung sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil : 12 PERguruan SEJATI [2] - khulung with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cersil-12-perguruan-sejati-1-khulung_25.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...