CERSIL : KUDA PUTIH

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 26 Agustus 2011

KUDAPUTIH

~ Pek Ma Siauw Sie Hong~
Karya : OKT

I
Dengan bersuara berketoprakan dalam maka dua ekor
kuda telah dikaburkan di antara tanah yang berpasir kuning di
gurun dari wilayah Hweekiang, hingga di belakangnya menaik
mengutaklah debu tinggi sekira dua tombak. Dua ekor kuda
itu kabur bagaikan berkejar-kejaran, karena yang seekor di
depan, yang lainnya disebelah belakang.
Kuda yang di sebelah depan itu, yang tinggi, berbulu putih
dan tinggi besar badannya. Penunggangnya adalah seorang
nyonya muda di dalam tangan siapa ada terangkul seorang
nona umur tujuh atau delapan tahun. Kuda yang di belakang,
yang berbulu merah marong, penunggangnya adalah seorang
pria yang tubuhnya jangkung kurus. Hanya di punggung kiri
dia ini ada menancap sebatang anak panah, terus
mengeluarkan darah, hingga darahnya itu mengalir ke
kudanya, terus menetes jatuh ke pasir, terus meresap ke
dalam tanah...
Tidak berani pria itu mencabut anak panah yang
mencelakainya itu. Ia jeri. Ia menginsafinya, asal ia
mencabutnya, pasti ia bakal roboh dari kudanya itu. Ia tidak
takut mati apabila itu perlu, hanya... Siapa nanti mengurus
isterinya yang cantik itu, serta anaknya yang manis, yang
tengah kabur di sebelah depannya itu? Sedang di belakang
mereka ada lagi mengejar musuh-musuh mereka yang
telengas...
Kuda merah itu sudah lari beberapa puluh li, hampir habis
tenaganya, bekas dicambuki dan didupaki, atau dijepit
perutnya, dia sampai susah bernapas, badannya bermandikan
keringat, mulutnya mengeluarkan busa putih. Toh dia masih
dipaksa lari keras. Maka akhir-akhirnya, kaki depannya lemas
dan tertekuk, menyebabkan badannya roboh ngusruk!

Si pria mempertahankan diri, ia tidak kurang suatu apa,
akan tetapi kudanya itu, setelah meringkik menyayatkan satu
kali, rebah tanpa berkutik lagi...
"Engko!..." ia memanggil. "Engko, kau... kau...
bagaimana?"
Pria yang dipanggil engko itu mengerutkan kening dan
menggelengkan kepala.
Di belakang mereka, jauhnya masih beberapa lie, terlihat
debu mengepul tinggi. Itulah tanda dari rombongan si
pengejar...
Nyonya muda itu memutar balik kudanya, untuk
menghampirkan suaminya. Ia sekarang melihat anak panah di
punggung suami itu, melihat darah hidupnya bercucuran.
Sang suami hampir pingsan. Ia menjadi sangat kaget.
"Ayah!... ayah!" si anak berkata kaget. "Punggungmu ada
anak panahnya..."
"Tidak apa!" berkata si pria, menyeringai, lantas tubuhnya
mencelat, berlompat naik ke punggung kuda di belakang
isterinya. Dia telah terluka tetapi gerakannya masih gesit dan
lincah.
Sang isteri menoleh, mengawasi dengan mata menyayang.
"Engko, kau..." katanya halus. Sang engko tidak menyahuti,
hanya kedua kakinya menjepit perut kuda mereka, atas mana
si kuda putih berjingkrak dan lari kabur pula.
Kuda ini kuda jempolan, dia telah lari pesat berpuluh-puluh
lie, dia masih terus dapat lari keras, hanya kali ini, larinya
menjadi berkurang kecepatannya. Semenjak tadi dia belum
dapat mengaso sedikit juga, sekarang penunggangnya
bertambah, tidak heran apabila sangat sulit untuknya dapat
mempertahankan kekuatannya terus menerus, tetapi dia tetap
kabur, dia seperti mengerti yang majikannya itu tengah
menghadapi ancaman mara bahaya...

Di sebelah belakang, rombongan pengejar mendatangi
semakin dekat, setindak demi setindak. Sama sekali mereka
itu berjumlah enam puluh tiga orang, mereka pun membekal
seratus sembilan puluh ekor kuda, dengan begitu setiap ada
kuda yang letih, kuda itu lantas ditukar. Benar semua kuda itu
sama-sama lari tetapi tanpa penunggangnya, letihnya kurang
banyak. Dari caranya mereka itu mengejar, terang sudah,
mereka bertekad bulat untuk mendapatkan orang-orang yang
dikejar itu, ialah si suami isteri serta anak daranya yang masih
kecil itu.
Selagi mengaburkan kudanya, si pria jangkung kurus itu
berpaling ke belakang. Ia mengawasi. Dengan datangnya
orang semakin dekat, ia bisa melihat kepada mereka itu,
makin lama makin tegas.
"Adik Hong, aku hendak mohon sesuatu dari kau!" katanya
kemudian. Sebelumnya membuka mulut, ia menggigit dulu
kedua giginya erat-erat. "Sudikah kau meluluskannya?..."
Si nyonya muda, sang isteri, menoleh. Ia tertawa manis.
"Selama hidup kita bersama, pernahkah sekali jua aku
menampik keinginanmu?" ia balas menanya, suaranya halus.
"Bagus!" berkata suami itu. "Hong, sekarang kau bawa
kabur si Siu, anak kita ini. Biarlah dia dapat melindungi darah
daging kita berdua! Biarlah dia pun dapat menyelamatkan
peta Istana Rahasia Kobu!..."
Isteri itu menyahuti, suaranya bergemetar.
"Engko," katanya, "apa tidak baik peta ini kita serahkan
pada mereka dan kita menyerah kalah? Dirimu... dirimu lebih
penting..."
Mendadak sang suami mencium pipi kiri isterinya itu.
"Hong...," katanya, suaranya lembut, "kita berdua sudah
mengalami banyak sekali bahaya, selamanya kita dapat lolos,
maka mungkin kali ini kita bakal lolos juga... Kau harus

ketahui, Luliang Samkiat bukan melainkan mengarah peta ini,
mereka... mereka juga menghendaki parasmu yang cantik!"
"Justeru karena itu, mungkin aku dapat minta mereka..."
"Tapi!" memotong suami itu, "apakah kita menunduki
kepala untuk memohon sesuatu dari lain orang? Kuda ini tidak
kuat membawa kita bertiga, maka itu lekaslah kau pergi!..."
Sekonyong-konyong ia mencelat, kedua tangannya
dilepaskan, tubuhnya terangkat dari punggung kuda, maka
jatuhlah ia ke tanah, terdengar jeritannya: "Aduh!..."
Nyonya itu terkejut. Segera ia menahan kudanya, untuk
dikasih balik, guna menghampirkan suaminya. Ia mengulurkan
sebelah tangannya, dengan niatan menarik suami itu untuk
naik pula atas kudanya. Tapi sang suami menolak, matanya
bersorot gusar, dia mengawasi bengis! Adalah biasanya, ia
senantiasa menurut kepada suaminya itu, maka juga kali ini,
dengan merasa sangat tertindih hatinya, ia memutar pula
kudanya, untuk dikasih lari pergi, meninggalkan suami itu
bercokol seorang diri di tanah pasir dengan lukanya yang
parah itu...
Rombongan pengejar yang terdiri dan enam puluh tiga
orang itu melihat orang jatuh dari kudanya dan ditinggal
pergi isterinya, mereka itu bersorak-sorai, di antaranya ada
yang berteriak-teriak: "Pekma Lie Sam roboh! Pekma Lie Sam
roboh!" Mereka lantas terpecah menjadi dua rombongan, yang
belasan menghampirkan langsung Pekma Lie Sam itu, yang
empat puluh lebih mengejar terus si nyonya dan puteri
ciliknya.
Laki-laki itu rebah meringkuk di atas pasir, tubuhnya tidak
bergerak, seperti dia telah putus jiwanya.
Salah satu pengejar, yang memegang tombak, sudah lantas
menombak pundak orang yang kanan. Mangsa itu tidak
bersuara, juga tidak bergerak, dan tempo tombak dicabut, dia
tetap berdiam saja.

"Dia sudah mampus!" berkata seorang, yang berewokan.
Rupanya dialah si pemimpin. "Jangan takut! Geledah
tubuhnya! Lekas!"
Dua orang lompat turun dari masing-masing kudanya, guna
menghampiri tubuhnya Pekma Lie Sam, si Kuda Putih itu.
Dengan lantas mereka membalik tubuh orang, untuk
digeledah seperti dititahkan pemimpin mereka.
Sekonyong-konyong saja sebatang golok putih mengkilap
berkelebat, terus dua orang itu menjerit tertahan dan roboh
terguling. Itulah goloknya Pekma Lie Sam, yang meminta
kurban!
Semua orang kaget sekali. Tidak satu di antaranya
menyangka, Lie Sam dapat berpura-pura mati demikian
sempurna, sampai dia tidak menghiraukan tombakan kepada
pundaknya. Dengan sendirinya semua orang mengasih
mundur kuda mereka.
Si pemimpin yang berewokan itu memutar goloknya, golok
Ganleng to.
"Lie Sam, kau benar-benar tangguh!" serunya. Lantas
goloknya menyambar, ke arah kepala orang.
Lie Sam menangkis. Tapi ia telah terluka, tenaganya
berkurang banyak, ketika ia mundur hingga tiga tindak, ia
lantas muntah darah. Justeru itu, semua musuhnya
merangsak, semua menurunkan senjatanya masing-masing.
Benar-benar Lie Sam tangguh, dia gagah sekali, dia
melakukan perlawanan. Masih dua orang kena dirobohkan,
setelah mana, arwahnya berangkat pulang ke alam baka,
tubuhnya terlukakan tidak keruan...
Si nyonya muda belum lari jauh, maka itu ia telah
mendengar seman nyaring dari suaminya itu, hatinya bagaikan
diiris-iris.

"Dia telah mati, buat apa aku hidup terus?" pikirnya. Ia
menjadi nekat. Dari sakunya, ia menarik keluar sehelai peta
yang terbuat dari kulit kambing, ia belesaki itu ke dalam saku
puterinya yang masih kecil itu. Ia kata: "Anak Siu, kau uruslah
dirimu!" Habis berkata, ia menepuk kudanya, untuk membikin
binatang itu lompat berjingkrak, ia sendiri membarengi
mencelat dari punggung kuda. Maka juga, selagi ia jatuh
turun, kudanya itu terus kabur bagaikan melesatnya anak
panah. Agaknya ia puas, karena ia melegakan hatinya: "Kuda
itu kuat lari tak tandingan, anak Siu pun bertubuh enteng
sekali, pastilah mereka ini tidak bakal dapat menyandak!"
Lantas ia memuji: "Thian, oh Thian, tolonglah lindungi anak
Siu, semoga dia menjadi besar dan dapat menikah suami
seperti suamiku yang baik ini, biarnya hidup merantau
tetapi kita berbahagia!"
Segera setelah memuji itu, nyonya ini merapikan
rambutnya dan pakaiannya juga, terus ia memutar tubuhnya,
untuk menghadap rombongan pengejarnya yang dengan
cepat telah tiba di hadapannya.
Tentu sekali yang sampai terdepan ialah Luliang Samkiat,
tiga jago dari Luliang.
Merekalah tiga saudara angkat. Yang tertua yaitu Sinto Cin
Kwansee Hok Goan Liong, jago Kwansee Golok Sakti. Dialah si
berewokan yang bertubuh besar, yang telah membinasakan
Pekma Lie Sam barusan. Yang kedua, Bweehoa Chio Su Tiong
Cun, si Tombak Bunga Bwee. Dia bertubuh kurus kering.
Yang ketiga, yang termuda, Cheebong Kiam Tan Tat Hian si
Pedang Ular Naga Hijau, tubuhnya kate dan kecil. Dia asal
begal kuda di Shoatang, belakangan dia tinggal menetap di
Shoasay, bersahabat erat dengan llok Goan Liong dan Su
Tiong Cun, bersama-sama mereka mengusahakan
perusahaan piauwkiok di kecamatan Thaykok, Shoasay,
dengan memakai merek chin Wie Piauwkiok.

Ada hubungannya di antara Su liong Cun dan isterinya
Pekma Lie Sam itu. Nyonya Lie asalnya ialah Nona Siangkoan
Hong dan dengan Tiong Cun pernah su-heng dengan sumoay,
kakak dan adik seperguruan. Semenjak masih kecil mereka
belajar silat bersama tidak heran kalau Tiong Cun kemudian
mencintai sumoay-nya yang cantik dan lemah-lembut itu.
Mereka memang setimpal. Sampai dengan kebetulan
Siangkoan Hong bertemu sama Pekma Lie Sam, keduanya
lantas saling mencinta, hanya sayang, pihak orang tua tidak
menyetujui perjodohan mereka itu, lantaran mana terpaksa
mereka minggat. Tiong Cun jadi sangat berduka, ia mendapat
sakit, setelah sembuh, tabiatnya menjadi berubah.
Sepuluh tahun sudah berlalu semenjak lelakon asmara
mereka itu atau dengan cara kebetulan, Luliang Samkiat
bertemu sama Pekma Lie Sam suami isteri serta anak daranya
yang masih kecil itu di jalan Kamliang, rombongan sembilan
kecamatan di propinsi Kamsiok, bahkan karena perebutan
sehelai peta, kedua pihak menjadi benterok dan bertempur.
Su Tiong Cun tetap tidak bisa melupai adik seperguruannya
itu, karena cintanya itu yang gagal, dia terus tidak menikah,
maka sekarang, justeru ada benterokan ini, dia jadi sangat
membenci Lie Sam, hingga dialah jadi lawan yang paling
bengis.
Dikepung enam puluh orang lebih, Lie Sam dan isterinya
tidak berdaya, dari itu, mereka melawan sambil melarikan diri.
Dari jalan Kamliang itu mereka dikejar terus-terusan sampai di
wilayah Hweekiang ini. Anak panah di punggung Lie Sam ialah
anak panah yang dilepaskan Su Tiong Cun secara
membokong. Akhirnya Lie Sam menemui ajalnya secara
menyedihkan itu. Kapan Tiong Cun memandang Siangkoan
Hong, hatinya tergerak, maka ia pikir: "Aku telah
membinasakan suaminya, maka selanjutnya aku harus
merawati dia baik-baik..."

Nyonya Lie Sam berdiri di atas pasir, pakaiannya berkibar di
antara desiran angin gurun. Dia masih sama cantiknya seperti
masa mudanya sepuluh tahun yang lampau, semasa mereka
masih sama-sama belajar silat. Dia bersenjatakan sepasang
pedang yang luar biasa, sebab yang satu bergagang emas,
yang lain bergagang perak, maka juga ia dijuluki Kimgin
Siauwkiam Sam Niocu," si Nona Pedang Emas Perak. Nyonya
muda ini mengasih lihat senyuman tawar.
Mendadak Su Tiong Cun mendapat harapan, dadanya
dirasakan panas, mukanya merah sendirinya. Ia menancap
tombaknya di samping pelananya, lantas ia lompat turun dari
kudanya, guna menghampirkan si nyonya.
"Sumoay!" ia memanggil, seperti biasanya.
"Lie Sam telah mati," berkata si nyonya, tenang.
Tiong Cun mengangguk.
"Sumoay," katanya, "sepuluh tahun kita telah berpisah,
aku... setiap hari aku memikirkan kau..."
"Benarkah itu?" si nyonya muda tertawa. "Kau tentu lagi
memperdayakan orang..."
Hatinya Tiong Cun goncang. Siangkoan Hong tetap manis
seperti pada sepuluh tahun yang telah berlalu itu, dia mirip
sebagai masa gadisnya.
"Sumoay," katanya, perlahan, "kalau selanjutnya kau turut
aku, aku tanggung kau tidak bakal ngalami penderitaan, tidak
sedikit juga..."
Matanya Siangkoan Hong mendadak bercahaya.
"Suko, kau baik sekali!" ujarnya. Mendadak ia mementang
kedua tangannya, untuk menjatuhkan diri di dada si bekas
kekasih.
Bukan main girangnya Tiong Cun, ia lantas membalas
merangkul.

Hok Goan Liong, yang telah menyusul, tertawa saling
mengawasi dengan Tan Tat Hian. Di dalam hatinya, mereka
kata: "Dua puluh tahun mereka saling mencintai, baru
sekarang harapan mereka terkabul, cita-cita mereka
tercapai..."
Pikirannya Tiong Cun melayang-layang. Hidungnya telah
mencium bau yang harum, yang menggiurkan hatinya. Ia
sampai beragu-ragu yang Siangkoan Hong pun merangkul ia
demikian erat. Hanya tengah ia kelelap itu, atau tak sadarkan
diri, tiba-tiba ia merasakan sakit pada perutnya, sakit sekali,
seperti tertubles sesuatu. Ia kaget hingga ia menjerit, kedua
tangannya menolak tubuh si kekasih. Akan tetapi Siangkoan
Hong memeluk sangat keras, tubuhnya itu tidak dapat ditolak
terlepas. Karena jago Luliang mencoba berontak, keduanya
terguling bersama.
Hok Goan Liong dan Tan Tat Hian kaget bukan main.
Keduanya lompat turun dari kuda mereka, guna
menghampirkan saudara angkatnya itu.
Yang lainnya semua tidak kurang kagetnya, mereka heran
sekali.
Ketika tubuhnya Siangkoan liong diangkat untuk dipisahkan
dari tubuh Su Tiong Cun, kelihatan dadanya mengalirkan
darah, yang disebabkan nancapnya sebuah pisau belati kecil
bergagang emas, sedang pada perutnya Tiong Cun nancap
sebuah pisau belati lain, yang bergagang perak. Maka
teranglah sekarang, karena Sam Niocu hendak bersetia
kepada suaminya, ia mengurbankan dirinya sambil membalas
sakit hati. Ia mencari mati karena pun sudah putus asa. Hebat
tikaman pisau belati itu, keduanya nancap dalam sekali. Si
nyonya mati seketika, si pria terlukakan hebat.
"Shatee, lekas bantui aku, supaya aku tidak menderita lebih
lama," Tiong Cun minta pada Tat Hian.

Adik itu mengawasi Goan Liong, kakaknya, untuk mohon
keputusan.
Kakak itu mengawasi adiknya yang terluka parah itu, ia
mengangguk. Atas itu, dengan mengertak gigi, Tat Hian
menikam uluhati kakaknya yang kedua itu, maka Tiong Ijun
meram matanya, napasnya berhenti berjalan, la mati dalam
kesedihan, karena menjadi kurban sumoay-nya.
"Aku tidak sangka Kimgin Siauwkiam Sam Niocu begini
keras hatinya," kata Goan Liong berduka.
Ketika itu salah satu tauvvbak datang melaporkan pada
Goan Liong bahwa tubuhnya Lie Sam sudah diperiksa terliti
tetapi peta tak kedapatan.
"Kalau begitu, tentu ada di tubuhnya," kata Goan Liong
menunjuk tubuh Sam Niocu.
Pengggeledahan dilakukan atas tubuh si nyonya, hasilnya
sia-sia belaka, peta tidak ada, yang kedapatan hanya perak
hancur serta beberapa potong pakaian.
Goan Liong dan Tat Hian saling mengawasi, mereka putus
asa, mereka heran. Heran sebab tidak nanti peta itu
disingkirkan Lie Sam, baik dengan dipendam maupun dengan
diserahkan kepada lain orang. Mereka menguntit terus hingga
pasti tidak ada kesempatan suami isteri itu menyingkirkannya.
Tan Tat Hian penasaran, ia periksa pula bungkusan si
nyonya. Ketika ia mendapatkan beberapa potong pakaian
anak kecil, ia ingat anak orang.
"Toako, mari kita lekas kejar si bocah!" katanya berseru. Ia
baru ingat anaknya Lie Sam.
Hok Goan Liong pun mendusin. "Jangan bingung," katanya.
"Di gurun ini ke mana bocah itu bisa pergi? Dua orang
berdiam di sini, untuk mengurus jenazah Su jieya, yang
lainnya semua turut aku."

Ia lantas melarikan kudanya, diikuti orang-orangnya kecuali
yang dua itu.
Si nona telah dibawa lari kabur si kuda putih, jauhnya
sudah dua puluh lie lebih.
Di gurun pasir tidak ada pepohonan, orang bisa
memandang jauh sekali, maka itu, sembari mengejar, Goan
Liong semua memandang jauh ke depan. Mereka
mengaburkan kuda mereka. Mendekati magrib, mendadak Tan
Tat Hian berseru: "Lihat! Itulah dia di depan!"
Jauh di empat seperti bertemunya langit dan bumi, di sana
ada sebuah titik. Itulah si kuda putih, yang dari jauh-jauh toh
nampaknya hitam. Kuda itu letih sekali meskipun dia dapat lari
keras dan sekarang penunggangnya seorang bocah yang
tubuhnya enteng. Di lain pihak, Goan Liong semua terus main
tukar kuda.
Bocah itu-ialah Lie Bun Siu-duduk mendekam di atas
kudanya, la pun sangat lelah, hingga tanpa merasa, ia
kepulasan di atas kudanya itu. Pula itu antero hari ia tidak
dahar dan minum, sedang matahari panas terik, dari itu mulut
dan lidahnya kering semua.
Kuda putih itu seperti dapat perasaan, dia kabur ke arah
timur di mana matahari yang bersinar merah marong
menggenclang. Tiba di suatu tempat, mendadak dia
mengangkat kedua kaki depannya, mulutnya meringkik keras,
hidungnya pun mengendus-endus. Dia membaui sesuatu.
Suara meringkiknya itu seperti menunjuk dia mengetahui apaapa.
Hok Goan Liong dan Tan Tat Hian yang tenaga dalamnya
lihai pun merasakan sesuatu, yaitu napas mereka rasanya
sesak.
"Shatee, rasanya tak beres ini!" kata kakak itu.

Sebelum menyahuti, Tat Hian melihat ke sekitarnya. Di
barat daya, di antara sinar layung Batara Surya, nampak mega
kuning bergelempang bagaikan kabut, di antara itu ada sinar
ungu yang berkilauan. Pemandangan itu luar biasa sekali.
"Mari, toako, kita melihat ke sana!" katanya seraya ia
melarikan kudanya.
Tidak antara lama, mega kuning itu telah meluas seperti
sudah menutupi separuh langit.
Ketika itu pun orang telah bermandikan keringat dan napas
mereka mendesak.
"Toako, mungkin badai bakal datang...," akhirnya kata Tat
Hian.
"Benar!" Goan Liong insaf. "Mari lekas, kita bekuk dulu
bocah itu, baru kita mencari perlindungan!..."
Belum berhenti suara si berewokan ini, angin telah meniup
keras, pasir, terbang berhamburan, menyampok muka
mereka, sampai mereka tidak dapat membuka mulut. Lebih
celaka ketika tujuh atau delapan orang roboh dari atas
kudanya tertiup angin itu.
"Semua turun dari kuda, berkumpul menjadi satu!" Goan
Liong paksakan berbicara.
Dengan serentak orang bekerja. Kuda mereka ditarik,
dikumpulkan menjadi satu dipaksa rebah, mereka sendiri turut
rebah juga, mcnyelindung di perut kuda. Sebisa-bisa mereka
saling berpegangan tangan. Mereka merasakan sakit pada
muka mereka, yang tersampok pasir, muka itu baret juga
lengan mereka. Semua ketakutan. Sebab angin makin besar,
tubuh mereka teruruk pasir...
Goan Liong dan Tat Hian pun berkuatir, hingga mereka
pikir: "Tidak keruan-keruan kita mencari Istana Rahasia Kobu,
dari Shoasay kita sampai di gurun ini... Mungkin di sini kita
terpendam di dalam pasir..."

Hebat suara badai itu, seperti itu suaranya kawanan
hantu...
II
Dari magrib itu, badai bekerja terus Seantero malam,
besoknya pagi baru reda. Kembali sang gurun menjadi tenang.
Goan Liong beramai merangkak bangun. Syukur mereka
tidak menampak kerugian besar. Dua orangnya mati
disebabkan napas sesak dan lima ekor kuda menjadi bangkai.
Tinggal semua letih dan lemas. Dengan mengimbangi
penderitaan mereka, mereka menduga si bocah dan kuda
putihnya tentulah, dalam sepuluh, sembilan bagian telah mati
menjadi kurban badai itu. Bukankah mereka semua bertubuh
tangguh tetapi mereka hampir tak kuat bertahan?
Mereka lantas menyalakan api untuk memasak nasi, guna
menangsel perut.
Mereka tidak putus asa. Hok Goan Liong telah menyerukan:
"Siapa yang mendapatkan bekas-bekasnya si bocah dan kuda
putihnya, dia bakal dapat upah uang emas lima puluh tail!"
Inilah hadiah besar, janji itu disambut dengan tempik
sorak. Bagaikan payung yang dibuka lebar, lima puluh lebih
orang itu lantas pergi berpencaran, untuk mencari di sekitar
gurun itu. Di setiap otak mereka terbentang: "Kuda putih...
bocah wanita... lima puluh tail emas..."
Lebih dulu daripada itu mereka telah berjanji, di waktu
magrib mereka harus berkumpul di barat enam puluh lie dari
tempat bermalam ini.
Liangtauw Coa Tang Yong, si Ular Kepala Dua, dengan
seekor kuda pilihan, menuju ke barat daya Ialah piauwsu yang
telah berpengalaman belasan tahun, meski dalam ilmu silat ia

bukan tergolong kelas satu, ia cerdik sekali, untuk Luliang
Samkiat, ialah pembantu yang berharga. Sebentar saja ia
telah pergi dua puluh lie lebih, hingga ia mencil sendirian.
Setelah itu baru ia merasa jeri juga. Sunyi di sekitarnya. Ia
mendaki sebuah bukit pasir, untuk melihat kelilingan. Maka ia
girang sekali kapan matanya melihat ke ujung barat daya itu,
di sana nampak cahaya hijau dari tujuh atau delapan buah
pohon kayu. Heran ia di gurun pasir ada tumbuh-tumbuhan.
"Mungkin di situ tidak ada rumah orang, dengan ada
pepohonan, di situ tentu ada air," ia berpikir. "Itulah tempat
bagus untuk rombonganku beristirahat."
Maka ia naik pula kudanya, ia kabur ke ujung barat daya
itu.
Itulah seperjalanan sepuluh lie lebih. Dari jauh-jauh telah
terlihat banyak kerbau dan kambing di daerah pegunungan
yang tumbuh pepohonan dan rumput itu. Bahkan di baratnya
terdapat banyak sekali tenda gurun, mungkin dua sampai tiga
ribu buah. Ia menjadi heran, ia terkejut. Yang ia pernah lihat,
paling banyak gundukan tenda dari tiga atau empat puluh
buah. Dan ini ribuan. Inilah gundukan suku bangsa gurun
pasir paling besar yang ia pernah ketemukan. Dilihat dari
macamnya tenda, itu pasti kepunyaan suku Kazakh.
Untuk wilayah Hweekiang, suku Kazakh adalah suku paling
gagah. Anak-anaknya, lelaki atau perempuan, semenjak umur
enam atau tujuh tahun, sudah belajar menunggang kuda,
sesuatunya membawa golok, pandai main panah, alat-alat
untuk membela diri dan menyerang. Di antara mereka ada
tersebar peribahasa: "Satu orang Kazakh dapat melawan
seratus orang. Seratus orang Kazakh dapat malang melintang
di Hweekiang."
Tang Yong ketahui peribahasa itu, maka ia kata di dalam
hatinya: "Aku berada di wilayah orang Kazakh ini, aku harus
berlaku hati-hati."

Di timur laut, di kakinya sebuah bukit, ada sebuah rumah
mencil sendirian, yang terbuat tembok tanah dan mirip sama
rumah-rumah di Tionggoan. Itulah beda sekali dari tendatenda
orang Kazakh.
"Baiklah aku pergi ke sana, untuk melihat," pikir Liangtauw
Coa. Ia menduga-duga apa mungkin itu rumahnya orang Hai.
Ia mengeprak kudanya, untuk dikasih lari ke arah rumah itu.
Tapi kudanya melihat rumput di sepanjang jalan, dia repot
gegares, jalannya menjadi perlahan. Ia menjadi sengit, ia
mendupak. Dengan begitu barulah kuda itu lari ke arah rumah
kecil itu.
Dengan matanya yang tajam, Tang Yong dapat melihat
seekor kuda putih tertambat di belakang rumah, kuda mana
tinggi dan besar dan surinya panjang. Ia segera mengenali
kudanya Pekma Lie Sam. Tanpa dapat mengendalikan diri, ia
berseru sendirinya: "Kuda putih! Kuda putih di sini!" Lantas ia
mendapat akal. Maka ia lompat turun dari kudanya. Dari kaos
kakinya, ia mencabut goloknya yang pendek dan tajam, ia
sembunyikan itu di tangan kirinya, tergubat ujung bajunya.
Setelah itu dengan berindap-indap, ia pergi ke belakang
rumah itu. la tengah mengintai di jendela ketika mendadak
kuda putih itu meringkik, sebagai juga tanda peringatan
kepada tuan rumah bahwa ada orang datang...
"Binatang!" Tang Yong mencaci di dalam hatinya. Ia
menciutkan diri sebentar ia mengintai pula. Justeru itu ada
kepala orang nongol di jendela, hingga hidung mereka hampir
beradu. Ia terkejut. Ia menampak sebuah muka yang
keriputan, yang matanya bercahaya tajam. Ia lantas lompat
bangun. "Siapa?" ia menegur. "Kau siapa?" balik tanya orang
itu, suaranya dingin. "Apa perlunya kau datang kemari?"
Orang itu bicara dalam bahasa Tionghoa.
Untuk sejenak, Tang Yong terdiam. Selekasnya ia dapat
menenangkan diri, ia lantas bersenyum.

"Aku Tang Yong," sahutnya. "Dengan kebetulan saja aku
tiba di sini dan mengganggu lootiang. Bolehkah aku mendapat
ketahui lootiang she dan nama apa?" "Aku she Kee,"
menyahut orang itu.
"Oh, Kee Lootiang," kata Tang Yong pula. la tertawa. "Aku
girang sekali dapat bertemu orang bangsa sendiri di sini. Kalau
sudi, aku mohon seceglukan teh."
"Kau ada bersama siapa-siapa lagi?" si orang tua tanya.
"Aku bersendirian saja."
"Apakah tuan dari perusahaan piauwkiok?" si orang tua
menanya pula.
Tang Yong terkejut. "Tajam matanya orang tua ini,"
pikirnya. "Di jidatku toh tidak ada mereknya piauwkiokku..." Ia
memikir untuk mendusta tetapi sebab si orang tua telah
mengatakannya, ia membatalkan itu. Ia menjawab: "Benar.
Bagaimana lootiang mengetahuinya?"
"Kebanyakan piauwsu bermacam bangsat," kata si orang
tua tawar, sedang matanya yang bersinar dingin menyapu
beberapa kali ke muka orang.
Mukanya Tang Yong menjadi merah, tetapi ia berpikir:
"Biarlah, akan aku cari tahu dulu tentang dia..." Karena itu, ia
hanya menyeringai.
"Kalau mau minum, ambillah jalan pintu depan, jangan
merayap di jendela!" berkata pula si empee.
"Ya, ya," sahut si piauwsu, yang terpaksa merendahkan
diri. Ia jalan mutar ke depan, untuk terus masuk ke dalam,
hingga ia melihat perlengkapan miskin dari rumah itu, hanya
semua ada bersih. Setelah duduk, ia mengawasi ke sekitarnya.
Tidak lama muncul seorang nona kecil, yang membawa
secangkir teh. Ketika sinar mata mereka bentrok, nona itu

kaget, cawannya terlepas, jatuh ke tanah hingga pecah
hancur!
Bocah itu pun berdiri melongo. Tang Yong lantas mengasih
lihat senyumannya. Ia girang bukan main. Inilah bocah yang
dicari mereka, untuk siapa Hok Goan Liong menjanjikan upah
lima puluh tail uang emas. Dengan melihat kuda putih tadi. ia
sudah menduga-duga, sekarang dugaannya itu merupakan
kenyataan.
Lie Bun Siu telah dibawa kabur kudanya, hingga dia tak
ingat suatu apa. Kuda putih dapat membaui bau rumput dan
air, dia kabur menerjang badai, sampai di tempat yang banyak
pepohonannya ini. Segera dia bertemu sama orang tua she
Kee itu, yang menolonginya.
Tengah malam Bun Siu sadar, ia tidak melihat ayah dan
ibunya, lantas ia menangis, hingga Kee Loojin membujukinya.
Orang tua itu lantas merasa suka, ia mengasihaninya.
Di dalam usianya itu, Bun Siu belum mengerti banyak.
Ditanya ayahnya, ia menyebut Pekma Lie Sam. Ditanya
tentang ibunya, ia cuma dapat menyebut "ibu", atau "Sam
Niocu", seperti disebut berulang-ulang oleh "orang jahat" yang
mengejar mereka. Tentu sekali, ia pun tidak tahu apa perlunya
mereka bertiga datang ke wilayah Hweckiang ini.
"Pekma Lie Sam, Pekma Lie Sam..." Kee Loojin menyebut
berulang-ulang. "Ya, aku ingat dia... Pada sepuluh tahun yang
lampau, dialah bandit haguna yang malang melintang di
Kanglam. Kenapa dia datang kemari?"
Orang tua ini mengasih si nona minum susu, ia
membujukinya hingga nona itu tidur pulas di pembaringannya.
Ia sendiri, sebaliknya, menjadi tidak dapat tidur, la memikiri
segala kejadian pada sepuluh tahun yang lampau itu.
Besoknya pagi, Bun Siu mendusin dari tidurnya. Segera ia
minta si orang tua mengajak ia pergi mencari ayah dan

ibunya. Tepat selagi Kee Loojin membujuki, dia mempergoki
lagak bangsat dari Liangtauw Coa Tang Yong si Ular Kepala
Dua itu.
Dengan jatuh pecahnya cangkir, Kee Loojin muncul dengan
segera. Melihat orang tua itu, Bun Siu lari untuk menubruk
sambil berkata: "Yaya, yaya, dialah si orang jahat yang
mengejar-ngejar aku!..."
Orang tua itu mengusap-usap rambut si anak, sikapnya
lembut.
"Jangan takut, jangan takut," membujuknya. "Dia bukan
orang jahat..."
"Benar, dia si jahat!" kata nona itu. "Dia bersama puluhan
orang lain mengejar ayah dan ibu, mereka menyerangnya..."
Kee Loojin sementara itu berpikir: "Yang satu bandit
haguna, yang lainnya piauwsu, tentulah karena urusan piauw,
mereka benterok, mereka menyusul sampai di sini... Tidak
dapat aku mencampuri urusan mereka itu."
Tang Yong mengawasi si orang tua, yang rambutnya
ubanan, tubuhnya bongkok melengkung, tubuh itu besar
melebihkan ia. Ia pikir: "Orang tua ini, kalau dia belum
berumur seratus tahun, sembilan puluh tentunya ada. Di sini
tidak ada lain orang, kalau aku hajar dia pingsan, dapat aku
bawah kabur bocah ini serta kuda putihnya. Aku mesti
bekerja cepat, supaya tak menanti terjadinya perubahan..."
"Apakah kamu kehilangan piauw?" si orang tua tanya.
"Berapa harganya itu?"
"Harganya tidak seberapa, hanya namanya Chin Wie
Piauwkiok menjadi runtuh. Syukur jumlah itu telah didapat
pulang seluruhnya," sahut orang yang ditanya.
Orang tua itu mengangguk. "Chin Wie Piauwkiok?" katanya.
"Jadi Luliang Samkiat pun datang semuanya?"

Tang Yong heran. Kenapa orang tua ini ketahui piauwkioknya
dan ketiga majikannya itu? Bukankah orang ini tua dan
wilayah Hweekiang ini jauh dari Tionggoan? Apa benar nama
Luliang Samkiat demikian tersohor, sampai di tanah
perbatasan? Mungkinkah ini orang tua asal piauwsu juga?
"Ya," ia menyahuti. Terus ia memasang kuping, kakinya
pun bertindak ke jendela. "Nah, lihatlah! Bukankah mereka di
sana tengah mendatangi?"
Kee Loojin tidak mendengar tindakan kaki kuda, akan tetapi
mendengar perkataan Tang Yong itu, ia bertindak ke jendela,
untuk melihat. Ia tidak menampak siapa juga di sekitarnya,
hanya kerbau dan kambing lagi memakani rumput di tegalan.
"Mana ada orang?" kata ia pada tetamunya seraya ia
menoleh.
Justeru itu Tang Yong mengasih dengar tertawanya yang
seram, yang disusuli angin serangannya. Sebab tengah si aki
melongok keluar, dia membokong.
Orang tua itu bongkok, agaknya dia bercacad, akan tetapi
dia berkuping terang, matanya celi, gerakannya sebat. Ketika
tinju hampir tiba di kepalanya, ia berkelit, sebelah tangannya
diangkat, untuk dipakai menangkis sambil membangkol. Ia
nyata menggunai jurus Kimnahoat, "Tangkapan", maka
tangan kanan si piauwsu lantas kena dicekal.
Tang Yong terkejut, tetapi kepalang tanggung, ia beraksi
terus. Ia mengelit tangan kanannya itu, untuk dilepaskan dari
cekalan orang, ia gagal, atas mana, tangan kirinya meluncur.
Di tangan kiri ini tersembunyi golok pendeknya, maka golok
itu mengasih lihat sinar berkelebat, menyambar ke punggung
yang naik tinggi seperti punggung unta dari si empee, tepat
kenanya.
Lie Bun Siu kaget hingga dia menjerit, lantas dia lompat,
untuk dengan kedua tangannya menghajar punggung si
piauwsu di betulan pinggang. Selama dua tahun, dia telah

mulai belajar silat dari ayah dan ibunya. Hanyalah, dua
kepalannya masih kecil, seperti tenaganya pun belum besar.
Kee Loojin juga tidak berdiam saja. Ia menyikut dengan
tangan kirinya, mengenai uluhati dari Tang Yong, hingga
piauwsu ini menjerit tertahan, tubuhnya membungkuk, terus
roboh terkulai di lantai.
"Yaya..." kata si nona, yang kaget dan ngeri melihat golok
nancap di punggung si orang tua, "golok di punggungmu
itu..."
Kee Loojin berpaling, ia melihat roman si nona.
"Anak ini berhati baik," pikirnya.
"Yaya, lukamu..." kata pula Bun Siu. "Nanti aku cabut golok
itu..." Ia mengulur tangannya, niat mencabut senjata tajam
itu.
"Jangan pedulikan aku!" kata si orang tua. Mendadak dia
beroman gusar, suaranya pun keras. Dia memegangi meja,
tubuhnya terhuyung. Dengan limbung ia berjalan masuk ke
dalam, di sana terdengar suara berisik dari pintu yang ditutup
menggabruk.
Bun Siu heran dan takut melihat air mukanya orang tua itu.
la pun ngeri melihat Tang Yong rebah melingkar, ia takut
orang nanti bangun pula. Bagaimana kalau piauwsu ini
bangun dan menerjang padanya? Saking takutnya ia memikir
untuk lari ke luar. Tapi, ketika ia ingat si orang tua, yang
terluka dan bersendirian saja, ia batalkan niatnya itu. Setelah
ragu-ragu sebentar, ia menghampirkan pintu dalam. Ia
mengetuk perlahan, beberapa kali, kupingnya dipasang. Tidak
ada jawaban. "Yaya," ia memanggil. "Yaya, apakah kau sakit?"
Baru sekarang terdengar suara kasar dari dalam: "Pergi!
Pergi! Jangan gerecoki aku!"

Bun Siu heran dan kaget. Suara itu beda sekali daripada
semula. Ia lantas berduduk diam di lanah, saking bingung, ia
menangis.
Tiba-tiba pintu berbunyi, lalu terbuka. Lantas si nona
merasai rambutnya dielus-elus perlahan, kupingnya pun
mendengar bujukan halus: "Jangan nangis, jangan nangis.
Luka yaya-mu tidak berbahaya..."
Si nona mengangkat kepalanya. Ia melihat si empee
bersenyum. Dasar anak kecil, mendadak ia menjadi girang
sekali, hingga dari menangis, ia menjadi tertawa.
"Kau menangis, lalu tertawa, apa kau tidak malu?" kata Kee
Loojin tertawa juga.
Bun Siu menusupkan kepalanya di dada aki-aki itu untuk
sekejap itu, ia merasai kehangatannya orang tuanya
Kee Loojin sendiri mengerutkan kening. Matanya
mengawasi ke mayatnya Tang Yong. Hebat sikutnya, yang
telah mengenai uluhati orang, hingga piauwsu itu mati
seketika. Ia memikir: "Dia dan aku tidak bermusuh hebat,
kenapa aku menurunkan tangan jahat terhadapnya?" Ia
seperti lupa bahwa justeru ia yang disateroni dan ditikam
terlebih dulu.
"Yaya, apa lukamu sudah baik?" kemudian si nona cilik
menanya pula. Ia ingat lukanya si aki.
Ketika itu Kee Loojin telah menukar bajunya, entah
bagaimana lukanya, tapi ketika ditanya, mendadak ia menjadi
gusar kembali. Mungkin ia merasai tikamannya Tang Yong
suatu penghinaan untuknya.
"Mau apa kau rewel?" dia membentak.
Bun Siu kaget, ia menjadi ketakutan pula.
Justeru itu, di luar terdengar suara meringkiknya si kuda
putih. Si aki sadar secara tiba-tiba. Maka ia pikir: "OrangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
orang Chin Wie Piauwkiok mencari bocah ini, maka itu Tang
Yong menurunkan tangan jahat atas diriku." Lalu ia berpikir
pula, habis mana dia lantas pergi ke dapur. Di sana ada
tahang dengan air berwarna kuning, ialah air sepuhan peranti
penggembala kambing memberi warna tanda kepada
ternaknya, la bawa itu keluar, ia menuntun si kuda putih,
lantas bulu kuda yang bagus itu ia poles kuning, dari kepala
sampai di ekornya, hingga menjadi kuning seluruhnya.
Kemudian lekas-lekas ia pergi ke tendanya seorang Kazakh,
untuk minta seperangkat pakaian bocah laki-laki, dengan itu ia
menyuruh Lie Bun Siu menyalin pakaian, hingga si nona
menjadi bersalin rupa.. Bun Siu cerdas. "Yaya," katanya, "kau
hendak membikin si orang jahat tidak mengenali aku?"
Empee itu mengangguk, terus ia menghela napas.
"Aku sudah tua, kalau tidak, biarnya si jahat besar
jumlahnya, aku tidak takut," ujarnya. "Lihat saja barusan, dia
toh berhasil membacok aku..."
Bun Siu berdiam. Walaupun si empee yang mulai bicara, ia
tidak berani menyambuti.
Habis itu, Kee Loojin bekerja pula, secara kesusu. Ialah ia
menggali tanah untuk memendam mayatnya Tang Yong,
sedang kuda orang, ia sembelih. Ia menyingkirkan segala apa,
yang dapat menjadi tanda. Akhirnya ia duduk bercokol di
depan pintu, duduk seraya menggosok sebilah golok
panjang...
Tidaklah sia-sia siasat orang tua ini. Sore itu Hok Goan
Liong bersama Tan Tat Hian serta rombongannya tiba di tanah
datar berumput itu. Mereka melakukan perampasan atas
beberapa ratus ekor kerbau dan kambing yang gemuk-gemuk.
Orang-orang Kazakh seperti kena dibokong. Wilayah mereka
aman, tidak biasanya datang penyamun. Mereka melakukan
perlawanan secara sia-sia, kecuali rugi ternak, tujuh orang pria
terbinasakan dan lima orang wanita kena diculik.

Rombongan itu juga menyateroni Kee Loojin, hanya
mereka tidak menyangka jelek kepada orang tua itu, yang
rumahnya buruk. Mereka juga tidak bercuriga terhadap Bun
Siu, yang mirip anak Kazakh, yang sembunyi di pojokan
rumah, mukanya dekil. Pula tidak ada seorang juga, yang
melihat matanya yang tajam. Ia sebaliknya melihat tegas,
golok ayahnya tergantung di pinggangnya Tan Tat Hian dan
pedang ibunya berada di pinggangnya Hok Goan Liong. Ia
mengenali baik senjata orang tuanya itu, yang tak pernah
terpisah dari tubuh mereka, maka tahulah ia, pasti ayah dan
ibunya telah bercelaka...
Besoknya, orang-orang Kazakh itu dapat menggabung diri,
mereka lantas mencari kawanan penyamun, untuk menuntut
balas, tetapi rombongan Chin Wie Piauwkiok telah pergi ke
mana tahu di gurun yang luas itu. Yang dapat diketemukan
ialah mayatnya ke lima wanita bangsanya, yang menggeletak
di tempat terbuka dengan tubuh telanjang bulat, keadaannya
sangat menyedihkan.
Kemudian mereka menemukan juga mayatnya Lie Sam dan
isterinya.
Lie Bun Siu ada bersama, ia menubruk dan memeluki
mayat ayah ibunya itu, ia menangis sedih sekali, sekalipun
begitu, ia toh dirangket seorang Kazakh, yang terus mendupak
padanya sambil mulutnya mengutuk: "Tuhan tidak
memberkahi kamu penyamun llan!"
Kee Loojin memondong tubuh bocah itu, ia tidak mau
melayani orang Kazakh yang lagi seperti kalap itu. Bun Siu
sendiri bersedih dan bingung, hingga ia kata di dalam hatinya:
"Kenapa ada begini banyak orang jahat? Kenapa siapa pun
menghina aku?..."
III

Lie Bun Siu mendusin pada waktu tengah malam, ia
mendusin untuk lantas menangis. Rupanya ia bermimpi hebat.
Ketika ia membuka matanya, ia kaget hingga ia berteriak. Di
atas pembaringannya itu ada berduduk seorang lain. la pun
bangun untuk berduduk. Hanya sebentai ia terkejut.
Kee Loojin mengawasi dengan romannya sabar, tangannya
pun mengelus-ngelus rambut perlahan sekali.
"Jangan takut, jangan lakui inilah yaya-mu..." kata ia. Ia
menyebut dirinya yaya, ia pun dipanggil yaya. Yaya itu kakek.
Memang tepat ia menjadi kakek mengingat perbedaan usia
mereka berdua.
Bun Siu menangis, air matanya bercucuran deras, ia
nelusup di dada aki itu, hinga tangan baju si orang tua basah
"Anak," kata si aki perlahan, "kau sudah tidak punya ayah
dan ibu, kau anggaplah aku sebagai kakekmu tulen. Mari kita
tinggal bersama, kakekmu sanggup merawati kau..."
Bun Siu mengangguk. "Kenapa semua orang menghina
aku? Aku toh tidak berbuat jahat?" ia bertanya, la ingat
bagaimana ia dan orang tuanya dimusuhkan orang, ia sendiri
pun dibenci dan dianiaya si orang Kazakh yang kasar itu. Ia
tahu ia tidak bersalah.
Orang tua itu menghela napas. "Di dalam dunia ini, mereka
yang suka menderita justerulah mereka yang belum
pernah melakukan kejahatan..." katanya. Ia menuang susu
hangatnya, untuk diminum. Ia pun membagi si bocah.
Sembari merapikan tempat tidur bocah itu, ia menambahkan
pula "Anak Siu, orang Kazakh yang menendangmu itu
bernama Suruke, sebenarnya dia seorang baik..."
Bun Siu heran, ia mementang kedua matanya.
"Dia... dia orang baik?" ia menegaskan.

"Benar, dia orang baik," si kakek menyahuti, "dia sama
baiknya seperti kau. Di dalam satu hari, dia kematian dua
orang yang ia paling mencintakannya... Yang satu isterinya,
yang lain putera sulungnya... dan mereka semua terbinasa di
tangannya rombongan penyamun jahat dan kejam itu. Dia
menyangka orang Han orang jahat semua, maka juga didalam
bahasanya, dia mengutuk kau sebagai orang Han jahat yang
tidak diberkahi Tuhan. Kau jangan membenci dia, dia lagi sakit
hatinya, seperti sekarang hatimu pun sakit. Dia sudah berusia
lanjut, bisalah dimengerti kalau dia jadi terlebih sakit
hatinya..."
Bun Siu mendelong mendengar si orang tua. Sebenarnya
dia pun tidak membenci orang Kazakh berewokan itu, hanya
dia jeri melihat roman orang yang bengis. Sekarang dia ingat,
di matanya orang Kazakh itu pun ada mengembeng air mata.
Tentu sekali dia tidak mengerti perkataan yaya-nya, kenapa
orang tua itu lebih menderita daripadanya. Sekarang dia
berkesan baik terhadap orang tua itu...
Tidak antara lama, dari luar jendela terdengar suara
burung, halus dan menggiurkan hati. Suara itu agak jauh
tetapi tedas. Ia memasang kupingnya. Ia merasakan suara itu
manis. Itulah mirip nyanyiannya seorang nona...
Ia memasang kuping terus. Nyanyian burung itu terdengar
jauh, lalu lenyap. Ia menjadi masgul, hingga ia terus berdiam
saja Lama ia tidak bersuara, lalu: "Yaya, suara burung itu
enak didengarnya," katanya.
"Memang, merdu nyanyiannya burung itu," menyahuti si
empee. "Itulah burung nilam malam di padang rumput ini.
Orang Kazakh membilang burung itu penitisan seorang nona
paling cantik dan yang paling pandai bernyanyi. Katanya dia
tidak disukai kekasihnya, dia mati mereras..." Bun Siu heran.
"Dia paling cantik, dia juga paling pandai bernyanyi, kenapa
dia tidak dicintai?" ia tanya.

Ditanya begitu, orang tua itu agak kaget, bahkan air
mukanya segera berubah.
"Ya, dia demikian cantik, kenapa dia tidak dicintai?"
katanya keras.
Bun Siu kaget, dia mengawasi, matanya mendelong.
Hanya sejenak, si empee menghela napas. Ia jadi sabar
pula.
"Di dalam dunia ini, ada banyak sekali hal yang kau tidak
mengerti, anak," katanya kemudian.
Kembali Bun Siu mendengar burung tadi bernyanyi,
suaranya semakin menggiurkan hatinya, manis tetapi sedih. Ia
sampai melupakan sikap aneh dari si orang tua...
***
Demikian Lie Bun Siu tinggal ili rumah Kee Loojin, si orang
tua vang hidup menyendiri di wilayah orang Kazakh itu. Ia
membantu menanak nasi dan menggembala kambing. Mereka
hidup sebagai kakek dan cucu. Hanya kalau malam, sukasuka
si nona mendusin dengan kaget, akan mendengar
suara si burung malam dari padang rumput itu, yang
nyanyiannya mengagumkan dia, yang membuatnya merasa
tergiur dan berduka. Kalau dia bermimpi, maka dia
memimpikan keindahan wilayah Kanglam di mana dia berada
dalam rangkulan ayah atau ibunya...
Musim rontok lewat, musim dingin pun lewat, selama itu,
tenteram hidupnya puteri dari Pekma Lie Sam atau Siangkoan
Hong, selama itu, ia telah dapat bicara dalam bahasa Kazakh,
ia mulai mengerti banyak perihal segala apa di dataran rumput
itu.

Pada suatu malam, kembali Nona Lie mendengar nyanyian
si burung malam. Jauh suara burung itu, terbawa sang angin,
sebentar terdengar, sebentar lenyap Ia bangun untuk
mengenakan bajunya, diam-diam ia pergi keluar di mana ia
tuntun kudanya, si kuda putih, ia berlaku hati-hati untuk tidak
membikin Kee Loojin kaget dan mendusin. Setelah berada
jauh dari rumah, baru ia naik atas kudanya, untuk sambil
menunggang kuda mengikuti suara burung itu.
Sang malam di dataran rumput, langit rasanya tinggi sekali,
warnanya biru, bintang-bintang terang berkilau. Rumput segar
dan bunga-bunga menyiarkan bau yang harum.
Suara nyanyian terdengar tegas sekarang, benar-benar
menggiurkan. Di dalam hatinya, Bun Siu mengikuti
bernyanyi. Ia menjadi girang sekali. Ia lompat turun dari
kudanya, membiarkan kuda itu mencari makan, ia sendiri
rebah telentang di atas rumput, matanya memandangi langit.
Ia terbenam dalam nyanyian sang burung...
Selang sekian lama, burung itu berpindah tempat, suaranya
terdengar jauh. Maka si nona merayap bangun, ia bertindak
menyusul, mengikuti, hingga sekarang ia menampak
romannya burung itu, yang bulunya kuning muda. Burung itu
beterbangan di tanah, mematuk sesuatu, lalu terbang, lalu
mematuk pula, saban-saban dia bernyanyi...
Mendadak terdengar satu suara keras, serupa barang hitam
menyambar kepada burung malam itu. Si nona kaget hingga
ia berseru, bercampur seruannya seorang lain. Kalau Bun Siu
kaget maka orang itu kegirangan. Dia muncul dari
gegombolan pohon. Nyata dialah seorang anak laki-laki
Kazakh, yang berseru: "Kena! Kena!"
Dengan baju luarnya, dia menungkrap burung itu, yang
kena ditangkap. Burung itu lantas berbunyi berisik sekali,
kaget dan ketakutan.
"He, kau bikin apa?" Bun Siu menegur, gusar.

"Aku menangkap burung ini," menjawab orang yang
ditegur. "Apakah kau juga menangkap burung?"
"Kenapa kau menangkap dia?" Bun Siu menegur pula.
"Bukankah lebih baik membiarkan dia merdeka dan
bernyanyi?"
"Dengan ditangkap, dia dapat dibuat main," menyahut anak
Kazakh itu. Dengan tangan kanannya merogoh ke dalam
bajunya, ia memegang burung kuning dan kecil itu, yang siasia
saja berontak untuk mencoba terbang pergi.
"Kau lepaslah!" kata Bun Siu kemudian. "Lihat, dia harus
dikasihani..."
"Di sepanjang jalan aku menyebar gandum, memancing dia
makan hingga di sini," kata anak Kazakh itu. "Siapa suruh dia
makani gandumku? Haha!"
Bun Siu terbengong. Inilah yang pertama kali ia mengenal
perangkap. Burung itu diberi umpan, dia memakannya, dia
mengantarkan diri, lalu tertangkap artinya, dia mencari
matinya sendiri. Ia masih terlalu muda dan mendapat tahu
bunyinya pepatah: "Jin wie cay su, niauw wie sit bong", ialah
"Orang mati karena harta, burung mampus karena makanan."
Bocah Kazakh itu membuat main burungnya, hingga
burung ini berbunyi tak hentinya.
"Maukah kau kasihkan burung ini padaku?" akhirnya Bun
Siu minta. Ia merasa kasihan.
"Habis kau memberikan apa padaku?" tanya si anak
Kazakh. Dia minta penggantian atau penukaran.
Bun Siu meraba sakunya, ia tidak mempunyai apa-apa. Ia
menjadi berdiam untuk berpikir. Kemudian ia menyahuti:
"Besok aku nanti menjahit, membikin kantung, untuk kau
pakai..."
"Aku tidak mau diakali. Besok kau menyangkal..."

Mukanya si nona menjadi merah.
"Aku telah berjanji, tentu aku akan memberikan," ia
mengasih kepastian. "Kenapa aku mesti menyangkal?"
"Ah, aku tidak percaya!" bocah ini menggeleng kepala. Tapi
di terangnya rembulan, ia melihat gelang kumala, yang
bersinar di lengan kiri orang, maka ia menambahkan: "Kecuali
kau berikan gelangmu itu!"
Itulah gelang yang Bun Siu il.ipat dari ibunya, kecuali itu, ia
udak punya tanda mata apa jua dari ibunya. Berat ia
menyerahkan itu, akan tetapi, kalau ia melihat burung itu, ia
berkasihan.
"Baiklah, ini aku kasihkan kau," katanya akhirnya. Ia
meloloskan gelangnya dan menyerahkannya.
Bocah itu agaknya heran, ia menyambuti.
"Apakah kau tidak bakal memintanya pulang?" ia
menegasi.
"Tidak!"
"Baik!" Dan ia menyerahkan burungnya.
Dengan kedua tangannya, Bun Siu menyambuti burung itu.
Ketika tangan mereka beradu, si bocah Kazakh merasakan
sebuah tangan yang halus dan hangat, hingga ia seperti
merasakan guncangnya hati si nona.
Nona itu mengusap-usap sayap burung dengan tiga buah
jari tangannya, perlahan-lahan, kemudian ia melepaskan
tangannya seraya ia berkata: "Kau pergilah! Lain kali kau
mesti berhati-hati supaya orang tidak kena tangkap pula!"
Burung itu terbang, menghilang di gombolan rumput.
Si bocah Kazakh heran.

"Kenapa kau lepas burung itu?" ia tanya. "Bukankah kau
telah tukar itu dengan gelang kumala?" Dia memegang eraterat
gelangnya, kuatir si nona meminta pulang.
"Dia dapat terbang pula," menyahut Bun Siu, "dia bakal
bernyanyi kembali! Tidakkah itu senang untuknya?"
Bocah itu heran dan kagum. Ia mengimplang.
"Kau siapa?" ia tanya kemudian. "Aku Lie Bun Siu. Kau
sendiri?"
"Aku Supu." Habis menyahuti, dia berjingkrak dan berseru
nyaring.
Supu lebih tua dua tahun, tubuhnya jangkung, kalau dia
berdiri, nampaknya dia gagah.
"Tenagamu besar, bukankah?" Bun Siu tanya.
Supu tengah kegirangan, pertanyaan si nona
membangkitkan keangkuhannya. Dari
pinggangnya, ia menarik keluar sebuah golok pendek. Ia
berkata: "Baru bulan yang sudah aku membunuh seekor
serigala!"
"Kau begitu kosen?" tanya Bun Siu heran.
Supu jadi bangga sekali. Ia kata pula: "Sebenarnya dua
ekor serigala yang datang menyerbu kambing kami. Ayahku
kebetulan tidak ada di rumah, jadi aku yang keluar membawa
golok mengejarnya. Serigala yang besaran melihat api, dia
kabur, aku bunuh yang satunya."
"Jadi kau membunuh yang kecilan?'"
Supu likat, ia mengangguk, tetapi ia menambahkan:
"Jikalau serigala yang besar itu tidak kabur, tentu aku bunuh
juga padanya!"
Dari suaranya, ia agak ragu-ragu.

Bun Siu percaya keterangan itu. Ia kata: "Serigala yang
jahat makan kambing, dia memang harus dibunuh. Kalau nanti
kau membunuh serigala pula, maukah kau memanggil aku
untuk aku melihatnya?" Supu girang.
"Baik! Lain kali aku akan mengeset kulitnya, untuk
dihaturkan padamu!"
"Terima kasih!" Bun Siu pun girang. "Nanti aku membikin
alas kulit serigala peranti yaya duduk, kepunyaannya telah
diberikan padaku."
"Dengan begitu. Aku berikan itu pada kau, itu artinya
untukmu sendiri. Kepunyaan yaya-mu kau kembalikan saja."
"Begitu pun baik," si nona mengangguk.
Kedua bocah ini lantas menjadi sahabat satu dengan lain.
Erat pergaulan mereka, meski yang satu ada anak Kazakh
yang sikap dedaknya kasar, dan yang lain seorang nona Han
yang halus.
Lewat beberapa hari, Lie Bun Siu menganggap bocah itu
sahabat, buat sebuah kantung kecil, yang ia isikan kembang
gula dan menghadiahkannya kepada Supu. Bocah ini heran.
Untuknya sudah cukup burungnya ditukar dengan gelang
kumala. Karena dia jujur, dia hendak membalas budi. Maka
malamnya, satu malam suntuk dia tidak tidur, dia menunggui
burung, hasilnya, dia dapat menjebak dua ekor burung nilam.
Besoknya pagi, dia serahkan burungnya itu pada sahabatnya.
Melihat perbuatan Supu, Bun Siu menganggap bocah itu
salah mengerti, maka dengan banyak kata-kata ia
menjelaskan, ia menyukai burung bukan untuk dipiara, ia
hanya menyukai kemerdekaannya burung itu, sedang kalau
dipiara, burung itu jadi tersiksa. Supu dapat dikasih mengerti
tetapi toh ia tetap heran untuk sikap nona, yang ia kata
aneh...

Dengan lewatnya banyak hari, mimpinya Bun Siu, mimpi
ayah dan ibunya, menjadi berkurang. Itu berarti, basahnya
bantalnya karena air matanya pun jadi berkurang |uga. Di lain
pihak, pada parasnya lebih sering tertampak senyuman, ia jadi
lebih gemar bernyanyi. Demikian, kalau dia dan Supu
menggembala kambing, sering lei dengar nyanyian mereka,
nyanyian yang mengandung asmara. Sering mereka
bernyanyi saling sahutan. Tapi Bun Siu bernyanyi karena
kegemarannya, artinya nyanyian belum masuk di olaknya. Ia
bahkan heran kenapa muda-mudi gemar bernyanyi berduaduaan,
mereka tertarik satu kepada lain. Ia tidak mengerti
kenapa hatinya memukul kalau ia mendengar tindakannya si
bocah Kazakh. Tapi yang benar, suara nyanyiannya memang
merdu, siapa yang mendengarnya memuji: "Merdu suaranya
bocah itu, mirip dengan suaranya si burung nilam dataran
rumput..."
Kapan telah datang musim dingin, burung nilam terbang
pindah ke Selatan, yang hawanya hangat, akan tetapi di
padang rumput itu, ada pengganti suaranya, sebab ada
nyanyiannya Bun Siu yang merdu itu:
"Gembala muda yang manis, Aku tanya kau, tahun ini
usiamu berapa?
Kalau di tengah malam kau bersendirian di gurun, Maukah
kau ditemani olehku? "
Biasanya nyanyian berhenti sampai di situ, sesaat kemudian
barulah disambungi:
"Ah, kekasihku, jangan gusar. Siapa baik siapa buruk, sukar
dibilang, Kalau gurun hendak dijadikan teman.
Maka mestilah sepasang orang baik kumpul bersama..."
Supu adalah orang yang paling sering mendengar nyanyian
itu. Dia juga tidak memahami artinya nyanyian asmara itu,
sampai pada suatu hari di atas salju mereka bersomplokan
sama seekor ajag.

Sangat mendadak munculnya binatang alas yang jahat itu.
Supu dan Bun Siu tengah duduk berendeng di atas sebuah
tanjakan, mata mereka memandang rombongan
kambing mereka yang lagi mencari makan di padang rumput.
Seperti biasanya, si nona mendongeng, tiga bagian menurut
cerita ibunya, tiga bagian menurut cerita Kee Loojin, yang
lainnya karangannya sendiri. Supu paling suka mendengar
ceritanya Kee Loojin, sebab itu ada mengenai peristiwaperistiwa
hebat. Yang ia paling tidak sukai ialah cerita
karangannya si nona sendiri, karena itulah semua cerita
kekanak-kanakan. Mendadak Bun Siu menjerit, tubuhnya
roboh ke belakang, sebab seekor serigala menerkam dengan
tiba-tiba. Binatang jahat itu datang dengan perlahan-lahan
dari arah belakang, kedua bocah masing-masing sedang
asyik bercerita dan mendengari, mereka tidak mendengar
apa-apa sampai terkaman datang. Si nona berkelit, karenanya
dia roboh.
Supu kaget. Serigala itu besar sekali. Tapi melihat si nona
didalam bahaya, ia menghunus golok pendeknya, terus ia
membacok. Binatang itu berkelit, punggungnya tergores
kulitnya. Karena itu dia menjadi gusar, sambil mementang
mulutnya yang lebar, memperlihatkan giginya yang tajam, dia
menubruk bocah itu, dia hendak menggigit muka orang!
Saking kaget, Supu roboh. Ia tentu telah kena digigit kalau
tidak Bun Siu lompat maju, untuk menangkap ekor binatang
itu, untuk ditarik, hingga si serigala mundur setindak. Tapi
binatang ini kuat, dia berontak, dia menerkam pula. Kali ini
giginya nempel pada pundak kiri si bocah pria. Dalam kaget
dan takut, si nona menarik sekuatnya. Tidak urung, pundak
Supu telah mengucurkan darah.
Dalam keadaan seperti itu, Supu melupakan segala apa, ia
menikam. Tepat ia menikam perut, di bagian yang berbahaya.
Serigala itu berlompat, terus roboh. Supu masih hendak
menikam, ketika tubuh binatang itu terus berdiam.

Bun Siu pun jatuh terguling. Ia bertahan, si serigala
menarik keras. Meskipun begitu, ia tidak melepaskan
cekalannya sampai binatang itu rebah tak berkutik lagi.
"Aku membunuh serigala!" seru Supu kemudian. "Aku
membunuh serigala!" Ia lantas mengasih bangun pada si
nona, seraya ia berkata: "Lihat, Siu, aku telah bunuh mati
seekor serigala!". Ia gembira hingga ia melupakan pundaknya
yang borboran darah.
"Aku tidak takut sakit!" kata Supu sambil menggeleng
kepala, sikapnya gagah.
Sekonyong-konyong terdengar teguran di belakang
mereka: "Eh, Pu kau lagi bikin apa?"
Keduanya terkejut, sama-sama mereka berpaling.
Bun Siu melihat seorang yang mukanya berewokan, yang
tubuhnya besar bercokol di atas kuda. Supu sendiri segera
berkata: "Ayah, lihat! Aku telah bunuh seekor serigala!"
Nampaknya orang itu girang. Ia lompat turun dari kudanya.
Ia memandangi anaknya, Bun Siu dan bangkai serigala.
"Kau kena digigit serigala?" ia menanya.
"Ya," si anak mengangguk. "Kita lagi duduk di sini, aku
mendengari dia mendongeng mendadak serigala itu muncul
dan menerkam dia..."
Si berewokan itu mengawasi pula Bun Siu, mendadak di
menegur: "Kau toh si anak perempuan Han yang tidak
diberkahi Tuhan?" tegurnya.
Bun Siu terkejut. Ia sekarang mengenali si berewokan ini
adalah mang yang telah menendang ia it-lagi ia memeluki
mayat ayah dan ibunya. Dialah Suruke yang menurut Kee
Loojin, isteri dan anaknya telah dibinasakan penyamun
didalam satu malaman. Ia mengangguk, ingin ia
mengatakan: "Ayah dan ibuku juga telah dibunuh oleh

kawanan penyamun itu..." atau mendadak ia menjadi kaget.
Tahu-tahu Supu telah dicambuk ayahnya, hingga mukanya
balan, sedang ayah itu berseru: "Aku telah menyuruh kau
turun-temurun membenci orang Han, mengapa kau melupai
pesanku? Kenapa kau justeru bermain-main sama anak Han
ini dan mengadu jiwa untuknya hingga kau mengucurkan
darah?" Lalu cambuknya menyambar pula secara membabi
buta!
Supu berdiam saja, bahkan dia memandang Bun Siu dan
bertanya: "Apakah dia si wanita Han yang tidak diberkahi
Tuhan?"
"Mustahil bukan?" bentak si ayah, yang tangannya diayun
ke samping, maka menjeritlah si nona yang kaget dan
kesakitan, sebab cambuk menyambar mukanya!
Justeru itu, Supu roboh, sebab tak tahan ia akan sabatan
ayahnya itu. Ia telah terluka diterkam serigala, ia pun
dirangket berulang-ulang, selagi ia telah mengeluarkan banyak
darah dan lelah, ia pun melihat si nona dicambuk, maka ia
sakit, lelah dan menceios hatinya berbareng.
Suruke kaget. Ia lompat kepada anaknya, ia pondong
tubuhnya, buat diajak naik ke atas kudanya, kemudian ia
kabur dengan mengalak bangkai serigala, maka ketika ia
melarikan kudanya itu, bangkai binatang itu terseret-seret
pergi. Ia masih menoleh kepada Bun Siu, yang berdiri
tercengang, di dalam hatinya ia kata: "Kalau lain kali kau
bertemu pula dengan aku, lihat apabila aku tidak menghajar
pula padamu!"
Bun Siu tidak takut lagi si berewokan itu, hanya hatinya
kosong. Ia merasa bahwa selanjutnya ia bakal tidak bertemu
pula sama Supu, kawan satu-satunya dengan siapa ia dapat
bermain-main dengan gembira, kawan yang suka mendengari
nyanyiannya. Setelah itu, ia merasai mukanya sakit. Tidak
lama ia berdiam di situ, dengan tidak keruan rasa ia
menggiring kambingnya pulang.

Kee Loojin heran melihat tubuh si nona kecipratan darah
dan mukanya balan, bertanda bekas sabatan cambuk.
"Apakah sudah terjadi?" tanyanya lekas.
"Aku terjatuh..." Bun Siu mendusta, suaranya tawar.
Orang tua itu tidak mau percaya tetapi setelah ditegasi, si
nona tetap sama jawabannya itu, bahkan dia lantas menangis,
hingga ia menjadi kewalahan dan bingung.
Malam itu tubuh Bun Siu panas sekali, mukanya menjadi
merah, berulangkah dia mengaco: "Serigala! Serigala! Supu!
Supu! Tolong! ....Orang Han yang tidak diberkahi Tuhan!"
Bukan main bingungnya orang tua ini. Maka syukur,
mendekati pagi, hawa panasnya si nona berkurang banyak,
lantas dia dapat tidur pulas.
Dengan sakitnya ini, satu bulan terus Bun Siu mesti rebah
di pembaringan, ketika kemudian ia sembuh, musim dingin
sudah lewat, di tanah datar rumput telah mengeluarkan semi
baru yang halus...
Lewat beberapa hari, nona Lie merasa tubuhnya sehat
betul, maka itu ingin ia pergi menggembala seperti biasa.
Ketika ia heran akan mendapatkan ada sehelai kulit serigala
terletak di depan pintunya, kulit itu sudah dijadikan alas
duduk, lebih heran pula apabila ia periksa, di betulan perut
kulit itu ada pecahan bekas tusukan senjata tajam. Ia lantas
mengenali itulah serigala yang menerkam ia, yang dibinasakan
Supu. Hatinya berdebaran kalau ia ingat Supu tidak menyalahi
janji, hanya bocah itu datangnya secara diam-diam. Ia angkat
kulit itu, untuk disimpan di dalam kamarnya. Ia tidak mau
memberitahukan pada Kee Loojin. Habis itu pergilah ia
menggembala kambingnya, di tempat yang biasa.
Sampai magrib, Supu tidak muncul, ada juga kambingnya,
yang sekarang diangon oleh seorang muda lain umur tujuh
atau delapan belas tahun, la menjadi berpikir.

Mungkinkah lukanya Supu belum sembuh? Kalau begitu,
bagaimana dia dapat mengantarkan kulit serigalanya itu?
Ingin ia pergi melongok ke tenda kawan itu tetapi ia batal
sendirinya kapan ia ingat si berewokan yang bengis. Maka ia
sudi bersangsi.
Malam itu sampai tengah malam Bun Siu tidak dapat pulas.
Akhirnya ia mengambil keputusannya juga. Diam-diam ia pergi
ke tendanya Supu, ke sebelah belakangnya. Ia tidak tahu pasti
apa perlunya ia menjenguk sahabatnya itu. Untuk hanya
menghaturkan terima kasih untuk kulit serigala itu? Untuk
menanyakan lukanya bekas digigit serigala? Ia berdiam di
belakang tenda, seperti Menyembunyikan diri. Tidak berani ia
memanggil-manggil kawannya ini Sampai ia disamperi
anjingnya Supu, yang mencium-cium Hibahnya. Anjing itu
tidak mengasih dengar suara apa-apa.
Di dalam tenda, lilin dipasang terang-terang. Di situ
terdengar suara keras dari Suruke. Kaget Bun Siu, setiap kali
mendengar suara orang, hatinya berdenyutan.
Sebab orang Kazakh itu lagi murka.
"Kulit serigalamu kau kasihkan pada perempuan itu?"
demikian suara si ayah. "Binatang, kecil-kecil kau sudah
mengerti menyerahkan hasil pemburuanmu yang pertama
kepada nona kecintaanmu!"
Bun Siu ingat ceritanya Supu hal kebiasaannya bangsa
Kazakh, bahwa pemuda bangsa itu paling menghargai hasil
pemburuannya yang pertama kali, bahwa itu selalu diberikan
kepada kekasihnya, untuk mengutarakan cintanya. Maka
mukanya menjadi merah sendirinya. Maka terbangunlah
keangkuhannya. Ia, seperti Supu juga, masih terlalu
muda, melainkan samar-samar mereka mengenal asmara.
"Bukankah kau memberikannya kepada itu nona Han yang
tidak diberkahi Tuhan, itu anak hina-dina?" terdengar pula

suaranya Suruke. "Kau tidak mau bicara? Baik! Kau lihat, kau
yang tangguh atau cambuk ayahmu!"
Lantas Bun Siu mendengar rangketan beberapa kali, suara
cambuk mengenai tubuh.
Seperti kebanyakan orang Kazakh, demikian Suruke. Ia
percaya cambuk akan menciptakan orang bangsanya yang
gagah. Jadi untuk mendidik anak, tidak dapat kelunakan
dipakai. Dulu kakeknya telah menghajar dia, maka sekarang
dia menghajar anaknya. Itulah pengajaran, itu tidak
melenyapkan kasih sayang orang tua pada anaknya. Terhadap
sahabat, kepalan dan cambuk yang dipakai. Menghadapi
lawan, ialah golok pendek dan pedang panjang.
Hanyalah, mendengar rangketan itu, Bun Siu merasai ialah
yang tersiksa itu...
"Kau masih tidak mau menjawab? Kau masih tidak mau
menjawab? Baik! Aku merasa pasti kau menyerahkan kulit
serigala itu kepada perempuan Han itu! Kau rasai!"
Lalu hujan cambuk, terdengar nyata.
Akhir-akhirnya Supu menangis.
Tak dapat ia menahan sakit hanya dengan mengertak gigi
saja.
"Sudah, ayah, jangan pukul, jangan pukul," katanya.
"Aduh... aduh..."
"Nah, bilanglah, bukankah kau menyerahkan kulit itu pada
perempuan Han itu? Ibumu mati di tangan penyamun Han!
Kakakmu terbinasa di tangan penyamun Han! Apakah kau
tidak ketahui itu? Orang menyebutnya aku orang kosen nomor
satu dari bangsa Kazakh tetapi isteri dan anakku dibunuh
penyamun bangsa Han! Apakah itu bukannya suatu
kehinaan? Sayang hari itu aku justeru tidak ada di rumah! Aku
menyesal tidak dapat aku cari penyamun itu untuk
membalaskan sakit hatinya ibu dan kakakmu itu!"

IV
Cambuknya Suruke bukan lagi dipakai untuk mengajar anak
hanya guna melampiaskan kebenciannya, dia mencambuk
bukan lagi anaknya sendiri hanya musuh, la kata sengit:
"Kenapa kawanan anjing itu bukan menempur aku terangterangan?
Kau bilang, bilanglah! Apakah aku tidak sanggup
melawan beberapa bangsat anjing Han itu?"
Anak yang dibinasakan rombongan Hok Goan Liong ada
anaknya Suruke yang paling disayang, dan isterinya yang
terbinasa itu adalah isteri yang mencintainya semenjak
mereka masih kecil dan biasa bermain-main bersama, sedang
ialah orang Kazakh tergagah, maka itu, bisa dimengerti
kemurkaannya itu.
Bun Siu berduka, la merasa sangat kasihan terhadap Supu.
Tidak dapat ia mendengar tangisan kawannya itu. Dengan
merasa berat, dengan tindakan perlahan, ia berjalan pulang.
Ia menarik keluar kulit serigala dari bawah kasurnya, ia
memandangi itu sekian lama. Dalam kesunyian itu, ia seperti
mendengar samar-samar
tangisannya Supu, meski terpisahnya tenda Supu dan
rumah Kee Loojin ada sekira dua lie. Ia seperti mendengar
juga cambukannya Suruke, si orang tua berewokan yang
romannya bengis itu. la sangat menyukai kulit itu tetapi ia
telah mengambil keputusan untuk mengurbankannya.
***
Besoknya pagi Suruke keluar dari tendanya, kedua matanya
merah. Segera telinganya mendengar nyanyiannya Cherku,

yang sembari bernyanyi mengawasi kepadanya dengan kepala
dimiringkan, mukanya tersungging senyuman persahabatan.
Cherku pun seorang Kazakh termasuk jago. Orang tahu dia
pandai sekali membikin jinak kuda dan larinya sangat keras,
hingga orang mengatakannya, di dalam satu lie, tidak ada
kuda pilihan yang dapat menyandak padanya, atau sedikitnya,
dia cuma kalah sejarak Indung, sebab hidungnya yang
mancung...
Sebenarnya di antara Suruke dan Cherku tidak ada
persahabatan erat, bahkan kesan mereka satu dengan lain
tidak baik. Inilah sebab kegagahannya Suruke membuatnya
Cherku iri. Cherku lebih muda sepuluh tahun, akan tetapi
ketika satu kali mereka mengadu golok, pundaknya kena
dihampiri goloknya Suruke. Atas itu ia kata: "Sekarang aku
kalah, tapi lain kali, lagi lima tahun, atau lagi sepuluh tahun,
kita nanti bertanding pula!" Dan Suruke menyahuti: "Lagi dua
puluh tahun, kalau kita bertanding pula, tanganku tak ada
seenteng kali ini!"
Akan tetapi hari ini, sikapnya Cherku tidak bermusuhan.
Hanya kesan buruk dari Suruke belum lenyap, dia balik
mengawasi dengan mata mendelik.
Cherku tertawa dan berkata: "Sahabatku Su, anakmu lihai
matanya!"
"Kau maksudkan Supu?" Suruke tanya. Dia meraba gagang
goloknya, matanya bersinar bengis. Di dalam hatinya ia kata:
"Kau hendak menyindir aku karena anakku telah memberikan
kulit serigala kepada itu perempuan Han?"
Cherku mau menyahuti: "Kalau bukan Supu, mungkinkah
kau mempunyai anak yang lain?" tapi batal, sembari
bersenyum ia menjawab: "Memang Supu! Anak itu baik
romannya, dia pandai bekerja, aku senang dengannya."

Seorang tua pastilah senang anaknya dipuji orang tetapi ia
tak akur dengan Cherku maka Suruke kata: "Apakah kau
mengiri? Sayang kau tidak mendapatkan anak laki-laki."
Cherku tidak gusar, dia bahkan tertawa.
"Anak perempuanku, si Aman juga tidak ada kecelaannya,
kalau tidak, mustahil anakmu penuju kepadanya?" sahutnya.
"Fui, jangan ngaco!" kata Suruke. "Siapa bilang anakku
penuju si Aman?"
Cherku mendekati, untuk menarik tangan orang.
"Mari turut aku, aku memberi kau melihat sesuatu!"
katanya. Suruke heran, ia mengikuti. Sembari jalan, Cherku
kata: "Beberapa hari yang lalu anakmu membunuh seekor
serigala itulah hebat! Bukankah dia masih kecil? Maka kalau
dia sudah besar, tidakkah dia akan mirip seperti ayahnya?
Ayahnya jago, anaknya gagah!"
Suruke berdiam. Ia menduga orang lagi memasang
perangkap. Maka ia mau berhati-hati.
Kira-kira satu lie dua orang ini jalan di padang rumput,
tibalah mereka di tenda Cherku. Segera Suruke melihat
digantungnya sehelai kulit serigala di luar tenda. Segera ia
mengenali kulit serigala yang dibunuh anaknya itu. Ia menjadi
bingung.
"Aku, aku salah..." pikirnya. "Aku menyalahkan si Pu, aku
pun telah menghajarnya, kiranya kulit ini ia menyerahkannya
kepada si Aman, bukan kepada itu wanita Han... Anak celaka,
kenapa dia tidak mau bicara sebenarnya?
Mungkin kulitnya tipis, dia malu bicara? Ah, kalau ibunya
masih ada, ibunya tentu bisa membujuki aku, menasihati aku
jangan memukul dia. Memang anak-anak lebih bisa bicara
dengan ibunya..."

"Mari minum satu cangkir arak!" berkata Cherku sambil ia
menepuk pundak orang, selagi orang ngelamun. "Kau belum
pernah datang ke rumahku."
Tenda Cherku terawat baik dan bersih, di sekitarnya
digantungi permadani tenunan bulu kambing merah. Seorang
nona yang bertubuh langsing menyuguhkan arak.
"Aman, inilah ayahnya Supu," kata Cherku tertawa pada si
nona. "Kau takut atau tidak? Lihat berewokannya yang
menakuti!"
Muka si nona menjadi bertambah dadu, tetapi matanya
bersinar. Ia seperti menjawab: "Aku tidak takut..."
Suruke tertawa, ia kata: "Sahabat Cher, orang membilang
kau mempunyai seorang anak yang bagaikan bunga yang bisa
berjalan di padang rumput kita ini, benar-benar, inilah bunga
yang dapat berjalan!"
Setelah seperti saling mendendam belasan tahun, maka
dua orang ini sekarang menjadi sebagai sahabat-sahabat
kekal, keduanya bicara dan minum dengan gembira sekali.
Akhirnya Suruke mabuk keras dan pulang dengan mendekam
di atas kudanya.
Selang dua hari, Cherku mengantarkan dua helai
permadani kulit kambing yang indah, katanya yang besaran
untuk si tua, yang kecilan untuk si muda-artinya, untuk Suruke
dan Supu.
Ketika Supu memeriksa sehelai, ia mendapatkan sulaman
yang merupakan seorang laki-laki yang tubuhnya besar,
dengan sebilah golok panjang, lagi membacok seekor
harimau, sedang seekor harimau lain lari sambil
menggoyang ekor. Di permadani yang lain, sulamannya ialah
halnya seorang bocah menikam mati seekor serigala. Dua-dua
orang itu, lua dan muda, sama-sama beroman gagah.

"Bagus!" Suruke memuji kegirangan. "Sulaman yang
indah!"
Di wilayah Hweekiang ada sangat sedikit harimau, tapi
tahun i lu, entah dari mana datangnya, lelah muncul dua ekor
yang menjadi ancaman bencana untuk manusia dan ternak.
Ketika itu Suruke sedang gagahnya. Dengan membawa golok
panjang, ia memasuki gunung, ia cari binatang alas itu, ia
membunuh yang seekor, ia melukai seekor yang lain, yang
kabur ke gunung bersalju. Dan menyulamkan perbuatan
gagah itu di atas permadaninya
Karena Cherku mengantar permadani itu, ketika ia pulang,
ia mabuk arak, ia menggantikan mendekam di atas kudanya,
hingga Suruke menyuruh Supu mengantarkannya pulang.
Di dalam tenda Cherku, Supu melihat kulit serigalanya. Ia
menjadi heran sekali. Sedang begitu Aman, dengan muka
dadu, menghaturkan terima kasih kepadanya. Ia heran tetapi
ia tidak berani menanyakan. Ia bicara sama Aman tanpa
junterungan. Karena ini besoknya, ia lantas pergi ke tempat di
mana ia membunuh serigala. Ia mau cari Lie Bun Siu, untuk
minta keterangan, tetapi hari itu si nona tidak muncul.
Besoknya ia pergi pula, tetapi ia tetap menantikan dengan
sia-sia. Maka di hari ketiga, dengan memberanikan diri, ia
pergi ke rumah Kee Loojin.
Bun Siu membuka pintu, ketika ia melihat anak Kazakh itu,
ia kata: "Sejak sekarang ini tidak dapat aku menemui kau
pula!" Lalu ia menutup pintunya
Supu melongo, ia pulang dengan pikiran ruwet, ia sangat
bingung.
Pemuda ini pulang tanpa ia mengetahui, Bun Siu menangis
di belakang pintunya itu. Si nona senang bergaul dengannya
tetapi dia takut kepada ayahnya yang galak itu. Dia tahu,
kalau mereka bergaul pula, Supu bakal dihajar lagi ayahnya.

Demikian, hari lewat hari, maka kedua bocah itu pun,
dengan lewatnya hari-hari itu, menjadi besar, menjadi
dewasa. Yang satu cantik manis, yang lain tampan dan gagah.
Dan sang burung nilam pun bernyanyi makin merdu, Hanya
sekarang, nyanyiannya jarang sekali, nyanyinya pun di tengah
malam setelah tidak ada orang lainnya, bernyanyi seorang diri
di bukit di mana Supu telah membunuh serigala...
Kalau dulu Bun Siu tidak mengerti apa yang ia biasa
nyanyikan bersama Supu, sekarang ia mengerti berlebihan.
Coba ia masih tidak mengerti, kedukaannya mungkin
berkurang. Sekarang lain, sekarang sering ia tidak tidur
semalaman...
Pada suatu malam di musim semi, seorang diri Bun Siu naik
kuda putihnya pergi ke bukit yang ia kenal itu. Berdiri di atas
bukit, ia memandangi tenda-tenda orang-orang Kazakh itu di
mana orang tengah menyalakan unggun, di mana mereka
itu bergirang bersorak-sorai. Sebab hari itu kebetulan hari
besar mereka, yang mereka rayakan bersama di tepi unggun,
menari-nari dan bernyanyi-nyanyi.
"Pasti dia dan ia hari ini bergirang luar biasa," Bun Siu kata
di dalam hatinya. Dengan "dia" taklah lain orang kecuali Supu,
dan dengan "ia" ialah si nona yang menjadi "bunga yang
dapat berjalan..."
Tapi terkaannya Bun Siu salah. Ketika itu Supu dan Aman
tidak lagi bergirang hanya hati Supu sedang tegangnya. Dia
tengah bergulat bersama seorang muda lain, yang tubuhnya
jangkung dan kurus. Itulah adu gulat yang terpenting di
harian pesta itu. Siapa yang menang, dia memperoleh tiga
buah hadiah, ialah: seekor kuda pilihan, seekor kerbau gemuk,
serta sehelai permadani indah.
Supu telah menjatuhkan empat lawannya, sekarang ia
lagi menghadapi si jangkung ini, Sangszer. Mereka ada
sahabat-sahabat kekal, tapi sekarang mereka mesti mencari
keputusan. Sangszer juga telah mengalahkan empat lawan

lainnya. Pula Sangszer pun mengharap "si bunga yang dapat
berjalan", yang demikian cantik manis, yang pandai
menenun dan menyulam. Sangszer tahu Supu dan Aman
hidup rukun semenjak masih kecil tetapi ia ingin
mendapatkannya juga di tempat umum ini. Ia percaya, kalau
ia menang, Aman akan menyukainya. Maka selama tiga tahun,
ia rajin berlajar ilmu gulat itu, sedang gurunya ialah Cherku,
ayah si Aman...
Supu sendiri ada murid ayahnya sendiri.
Gulat Kazakh bukan gulat belaka, kepalan pun dapat
dimainkan, juga kaki, untuk menggaet atau merengkas, guna
menyengkelit. Maka satu kali, ketika kepala Sangszer kena
dihajar, dia roboh terguling. Di lain pihak, tempo Supu digaet,
dia roboh juga. Sama-sama mereka bangun pula.
Suruke menyayangi kegagalan anaknya itu, sampai ia
merasakan tangannya dingin.
Cherku menyaksikan adu gulat itu dengan pikiran kacau. Ia
tahu Aman, anaknya, menyukai Supu, Di lain pihak, Sangszer
adalah muridnya yang disayang, ingin ia muridnya itu menang,
supaya ia mendapat muka terang. Kesudahan gulat ini pun
akan membuatnya si pemenang menjadi "orang kosen nomor
satu". Ia menyukai Supu tetapi ia ingin Sangszer yang
menang...
Para penonton bersorak untuk para jago muda itu. Supu
bertubuh besar dan kuat, tapi Sangszer selain kuat pun lincah.
Jadi sukar untuk menerka, siapa bakal keluar sebagai juara
Ramai suara penonton di kedua pihak: "Supu, lekas,
lekas!..., ..Saszer, bangun, serang pula!" Masing-masing
menganjurkan jagonya. Samar-samar Bun Siu mendengar:
"Supu! Supu!" Ia heran mengapa ia hanya mendengar suara
untuk Supu itu. Maka akhirnya, ia mengajukan kudanya,
mendekati. Ia bersembunyi di belakang sebuah pohon besar.

Sekarang ia melihat Supu dan Sangszer lagi berkutat dan para
penonton ribut dengan sorak-sorai mereka.
Di antara penonton, Bun Siu melihat Aman. Nona itu
tegang hatinya, dia pun sebentar bergirang dan sebentar
berkuatir. Terang dia menyukai Supu.
Mendadak orang bersorak ramai, lalu sirap. Supu dan
Sangszer bergumul di tanah, hingga tubuh mereka tak
tertampak si Nona Lie. Sekian lama orang bersikap tegang. Di
akhirnya riuhlah seruan orang banyak: "Supu! Supu!" Lantas
terlihat Aman menuntun tangannya si juara.
Bun Siu girang berbareng berduka. Ia putar kudanya, untuk
dikasih jalan pulang dengan perlahan-lahan. Tidak ada orang
yang melihatnya, atau memperhatikannya. Ia tidak
menarik tali les, ia membiarkan si kuda putih jalan sendiri. Ia
baru terkejut ketika ia mendapatkan ia berada di ujung
padang rumput, atau di permulaan Gobi, gurun pasir.
"Eh, perlu apa kau bawa aku kemari?" katanya kepada
kudanya. Tentu sekali ia tidak memperoleh jawaban, hanya di
lain pihak ia melihat munculnya dua penunggang kuda, disusul
oleh dua yang lain, yang semuanya membawa golok panjang.
Mereka itu dandan sebagai orang Han. Ia kaget sekali. Ia
lantas ingat pada si penyamun Han.
"Kuda putih! Kuda putih!" begitu ia mendengar beberapa
orang itu berteriak-teriak selekasnya mereka itu melihat
kudanya, lantas mereka kabur mendatangi. Antaranya ada
yang menyerukan: "Berhenti! Berhenti!"
Dalam takutnya, Bun Siu menyerukan kudanya: "Lari!" la
mengeprak kuda itu lari ke jalanan kembali. Tapi ia kaget akan
melihat, sekarang di depannya pun ada beberapa penunggang
kuda lain, begitu pun di lain arah. Ia terpegat di timur, selatan
dan utara. Maka ia kabur ke barat, di mana gurun pasir tak
berujung pangkal...

Mengenai gurun itu, di antara orang Kazakh ada ceritera
atau dongeng, padang pasir ada memedinya, bahwa siapa
memasuki gurun, dia bakal tak kembali dengan masih hidup,
bahwa sekalipun telah menjadi memedi, si memedi tak akan
dapat keluar lagi dari wilayah tandus itu...
V
Bun Siu pun pernah dengar ceritanya Supu bahwa siapa
memasuki Gobi, dia bakal jalan terputar-putar saja di daerah
pasir itu, sesudah berlari-lari sekian lama, dia bakal menjadi
girang berbareng duka. Girang sebab dia mendapatkan tapak
kaki. Tapi segera dia akan menjadi berduka. Sebab itulah
tapak kakinya sendiri. Katanya, akhirnya orang bakal mati, dan
setelah menjadi setan, dia tidak akan dapat beristirahat. Supu
pernah menambahkan: "Manusia masih beruntung. Dia mati,
dia menjadi setan. Tapi setan, kalau dia mati, dia tetap jadi
setan juga..."
Juga pernah Bun Siu menanya Kee Loojin, apa benar Gobi
demikian menakuti, bahwa orang dapat memasukinya tetapi
tidak bakal keluar pula dari situ. Ditanya begitu, orang tua itu
menunjuk roman kaget dan suram yang menakuti, matanya
mendelong keluar jendela, seperti dia menampak memedi.
Belum pernah Bun Siu melihat orang bersikap demikian,
maka ia tidak mengulangi pertanyaannya itu. Ia mau
percaya, orang tua itu pernah melihat setan...
Sekarang dia kabur di Gobi itu, hatinya takut bukan main.
Toh dia lari terus. Dia lebih takut menghadapi beberapa
pengejarnya itu. Dia ingat kepada kematian ayah dan ibunya,
kebinasaan ibu dan kakaknya Supu. Kalau dia kecandak,
pastilah dia bakal terbinasa di tangan orang-orang jahat itu.
Hampir dia menahan kudanya kapan dia ingat memedi di
gurun pasir itu...

Satu kali dia menoleh ke belakang, dia tidak melihat lagi
tenda-tendanya si orang-orang Kazakh, tak nampak pula
padang rumput yang hijau. Dia sekarang melihat, dua orang
jauh ketinggalan di belakang, lima lagi tetap menyusul,
mereka itu berseru-seru tidak berhentinya. Dia mendengar
jelas: "Benarlah itu kuda putih! Bekuk dia! Bekuk dia!"
Di saat berbahaya itu, Bun Siu sempat berpikir: "Teranglah
aku tidak akan sanggup membalaskan sakit hati ayah dan
ibuku, maka biarlah aku pancing mereka ke i'iirun, untuk kita
mati bersama! Biarlah, satu jiwaku ditukar dengan lima jiwa
mereka! Laginya, apakah .ulinya hidup di dalam dunia kalau
aku tetap sebatang kara begini?"
Air matanya nona ini mengembeng, lalu mengucur turun,
tapi tekadnya telah bulat. Maka ia melarikan terus kudanya,
terus menuju ke arah barat, untuk tiba di tempat ada
memedi...
Kelima orang itu benar-benar penyamun-penyamun yang
menyerbu rombongannya Suruke. Merekalah lima orangnya
Hok man Liong dan Tan Tat Hian. Mereka pulang habis
membereskan Lie Sam dan isteri dan sia-sia belaka mencari
Bun Siu. Peta dari istana rahasia Kobu membuatnya mereka
penasaran, maka mereka ingin sekali mendapatkan peta itu.
Katanya di dalam istana itu ada tersimpan banyak sekali
mustika atau barang permata. Demikian mereka mencari tak
hentinya. Untuk hidupnya, di sana ada kerbau, kambing dan
untanya penduduk gurun, yang mereka dapat menjadikan
kurban mereka. Untuk itu cukup asal mereka menghunus
senjata mereka, membunuh, membakar, merampas, bahkan
memperkosa...
Kuda putih sudah tua, tenaganya telah berkurang, tetapi
dia seperti mengerti majikannya terancam bahaya, dia lari
keras, maka itu mendekati fajar, dia membikin lima
pengejarnya jauh ketinggalan di belakang, mereka itu tidak
nampak lagi, suara mereka pun tak terdengar pula. Hanya Bun

Siu tahu, mereka bisa mengikuti tapak kaki, mereka nanti
menyusul pula, dari itu, ia lari terus. Sampai lagi kira-kira
sepuluh lie, sekonyong-konyong kuda itu meringkik, lantas
dia lari luar biasa keras, tetap menuju ke barat. Dia seperti
dapat mencium bau rumput dan air...
Tidak lama, benarlah ilham bawaan kuda itu. Di arah barat
laut lantas terlihat gunung dengan pepohonannya yang lebat.
Tapi Bun Siu terkejut. Ia ingat: "Apa inikah gunung memedi?
Kenapa di gurun ada tempat seperti ini? Belum pernah aku
mendengarnya... Tapi biarlah, gunung memedi lebih baik, ke
sini aku pancing kawanan penyamun kejam itu!"
Keras larinya kuda putih itu, segera dia tiba di depan
gunung, terus dia masuk ke dalam selat. Dia hendak mencari
air, untuk melenyapkan dahaganya. Di situ ada mengalir
sebuah kali kecil. Bun Siu turut lompat turun, menghampirkan
air, untuk menyaup air dengan kedua tangannya, guna
mencuci muka menghilangkan debu, setelah mana ia minum
beberapa ceglukan. Ia merasa puas sekali. Air itu rasanya
manis dan menyegarkan mulutnya.
Sekonyong-konyong ia menjadi terkejut. Mendadak saja ia
merasakan sesuatu yang berat menekan punggungnya.
Segera kupingnya pun mendengar pertanyaan dengan suara
parau: "Kau siapa? Mau apa kau datang ke sini?"
Itulah pertanyaan dalam bahasa Tionghoa.
Bun Siu hendak memutar tubuhnya ketika ia mendengar
pula suara parau itu: "Inilah ujung tongkat di arah jalan
darahmu sinto hiat! Asal sedikit saja kau mengerahkan
tenagamu, jalan darahmu bakal terluka hingga kau bisa
terbinasa!"
Bun Siu benar-benar merasai ujung tongkat terasa lebih
berat, hingga ia menjadi sesemutan. Ia pernah belajar silat
sama ayah ibunya tetapi tentang tiamhiat hoat, ilmu menotok
jalan darah atau otot-otot yang penting, ia belum tahu sama

sekali, meski begitu, ia tidak berani bergerak. Ia hanya pikir:
"Orang ini dapat berbicara, dia pasti bukannya memedi. Dia
juga menanya aku apa perlunya aku datang kemari,
pertanyaannya itu membuktikan dia mestinya penduduk sini,
dia bukannya penyamun. Hanya, kenapa dia mendekati aku
tanpa aku mengetahui?"
Lagi pertanyaan: "Aku tanya kau! Mengapa kau tidak
menjawab?"
"Ada orang jahat mengejar aku, aku lari sampai di sini,"
akhirnya si nona menyahut.
"Orang jahat bagaimana?" tanya pula suara itu.
"Sejumlah penyamun." "Penyamun apa itu? Apakah nama
mereka?"
"Aku tidak tahu nama mereka. Mulanya mereka piauwsu,
sampai di wilayah Hwcekiang, mereka lantas menjadi
penyamun."
"Kau sendiri, apakah namamu? Siapa ayahmu? Siapakah
gurumu?" "Aku Lie Bun Siu. Ayahku Pekma Lie Sam dan ibuku
Kimgin Siauwkiam Sam Niocu. Aku tidak mempunyai guru."
"Oh!" kata orang itu. "Kiranya Kimgin Siauwkiam Sam Niocu
telah menikah sama Pekma Lie Sam! Mana dia ayah dan
ibumu itu?"
"Ayah dan ibu telah dibunuh kawanan penyamun itu dan
sekarang mereka hendak membunuh aku juga..." "Ah! Kau
bangunlah!" Bun Siu menurut, ia berdiri. "Kau putar
tubuhmu!" Bun Siu menurut, ia memutar tubuh dengan
perlahan.
Orang itu mengangkat tongkatnya, hanya sekarang ia
mengancam jalan darah khiesiahiat di kerongkongan.
Bun Siu heran sekali. Ia menyangka orang beroman bengis
dan menakuti. Ketika ia sudah berpaling, maka ia menampak

seorang usia lima puluh tahun kira-kira, dandanannya sebagai
pelajar, tubuhnya sangat kurus, sepasang alisnya mengkerut.
Ia mendapatkan seorang yang romannya sangat berduka.
"Empee, apakah she-mu?" ia balik menanya. "Tempat ini
tempat apakah?"
Orang itu berdiri tercengang. Ia rupanya tidak menyangka
sekali akan berhadapan sama seorang anak dara demikian
cantik.
"Aku tidak mempunyai nama. Aku juga tidak tahu tempat
ini apa namanya," sahutnya sejenak kemudian.
Justeru terdengar suara samar-samar dari tindakan kaki
kuda. Bun Siu kaget sekali.
"Penyamun datang!" serunya, takut. "Empee, lekas
sembunyi!"
"Kenapa kau menyuruh aku bersembunyi?" si empee tanya.
"Kawanan penyamun itu sangat telengas, melihat kau, dia
akan membunuhmu!"
Orang kurus kering itu mengawasi tajam.
"Kita tidak mengenal satu dengan lain, mengapa kau
memperhatikan keselamatanku?"
Ketika itu, suara tindakan kuda terdengar semakin nyata.
Bun Siu takut sekali, maka tanpa mempedulikan bahwa ia
lagi diancam, ia memegang tongkat orang itu, untuk ditarik,
buat diajak pergi. Ia pun berkata mendesak: "Empee, mari
lekas! Kita naik kuda bersama! Ayal sedikit, kita bakal
terlambat..."
Orang itu menarik tongkatnya, untuk melepaskannya dari
cekalan, tetapi ia agaknya bertenaga terlalu kecil, ia tidak
berhasil.

"Apakah kau sakit, empee?" tanya Bun Siu heran. "Mari aku
bantu kau naik atas kudaku..."
Nona ini benar-benar bekerja. Dengan kedua tangannya
ia mengangkat tubuh si kurus kering itu. la mendapatkan,
walaupun orang laki-laki, tubuh orang itu kalah berat dengan
tubuhnya. Di atas kuda, orang itu masih terhuyung, duduknya
tak tegak. Dia seperti lagi menderita sakit berat.
Bun Siu naik belakangan, ia duduk di belakang orang, maka
itu, ia memegang kendali sambil membantui menjagai tubuh si
kurus itu untuk mencegah tergulingnya. Ia mengaburkan
kudanya ke sebelah dalam gunung.
Karena mesti berbicara sama si empee, Bun Siu telah
mensia-siakan tempo. Ia lantas mendengar suara nyaring dan
bengis dari ke lima penyamun, yang telah memasuki selat.
Mendadak si empee menoleh.
"Kau datang bersama-sama mereka itu?" ia menegur.
"Benarkah? Kamu telah mengatur tipu daya, buat
memperdayakan aku?"
Bun Siu terkejut, apapula akan menampak roman orang
mendadak menjadi bengis, sinar matanya sangat tajam.
"Bukan, bukan!..." ia menyangkal. "Belum pernah aku kenal
kau, buat apa aku memperdayakanmu?"
"Kau toh hendak memperdayakan aku supaya aku ajak kau
ke Istana Rahasia Kobu?" katanya pula tetap bengis. Hanya ia
menghentikan kata-katanya dengan tiba-tiba, agaknya ia telah
menyesal mengatakan demikian.
Bun Siu heran. Tentang istana rahasia itu, beberapa kali ia
pernah mendengar dari mulut ayah dan ibunya semenjak ia
turut mereka menyingkir sampai di wilayah Hweekiang, hanya
ia tidak mengerti apa-apa. Sampai sekarang sudah belasan
tahun atau ia mendengarnya pula, hingga ia lupa sebenarnya
ia pernah mendengar dari siapa.

"Istana Rahasia Kobu?" tanyanya "Apakah itu?"
Roman si kurus tak tegang lagi seperti tadi, ia melihat si
nona seperti tidak lagi mendusta.
"Benar-benarkah kau tidak tahu tentang istana rahasia itu?"
ia menegasi.
"Tidak," menyahut Bun Siu, menggeleng kepala. "Ah, ya..."
"Ya apakah?" membentak si kurus kering cepat.
"Aku ingat sekarang," menyahut si nona, polos. "Tempo
ayah dan ibu mulai memasuki wilayah Hweekiang, aku
mendengar mereka menyebut-nyebut istana rahasia itu.
Apakah itu suatu istana yang indah?"
"Apa lagi ayah dan ibumu bilang?" tanya si pelajar, tetap
bengis. "Aku larang kau mendusta!"
"Sebenarnya ingin aku mengingat lebih banyak kata-kata
ibuku," menyahut Bun Siu berduka. "Menambah satu katakata
saja, alangkah baiknya. Sayang aku tidak mendapat
dengar pembicaraan mereka terlebih jauh. Empee, memang
sering aku pikirkan, bahkan aku mengharap-harap ayah dan
ibu dapat hidup lebih lama satu hari saja, supaya dapat aku
melihat mereka lagi. Asal ayah dan ibu masih hidup, biarnya
aku dirangket setiap hari, aku senang..."
Pelajar itu nampak menjadi sedikit sabar, la mengeluarkan
suara: "Ah ..." perlahan.
"Kau sudah menikah atau belum?" mendadak ia bertanya,
suaranya keras.
Mukanya si nona menjadi merah. Tidak dapat ia menjawab,
maka ia menggeleng kepala.
"Selama beberapa tahun, dengan siapa saja kau ada
bersama?"

"Dengan Kee Yaya." "Kee Yaya? Berapa umurnya dia?
Bagaimana macamnya?"
Ketika itu, Bun Siu justeru membentak kudanya: "Lekas
lari! Penyamun datang!" Ia pun pikir, lusa melayani
pembicaraan yang ia anggapnya tak keruan nmterungannya
itu? Meski ia beipikir demikian, akhirnya ia toh menyahuti
juga.
"Kee Yaya mungkin telah berusia delapan puluh tahun. Dia
bongkok dan mukanya keriputan. Ia perlakukan aku baik
sekali."
"Di Hweekiang ini, kau kenal siapa-siapa lagi?" orang itu
menanya pula. "Di rumah Kee Yaya itu masih ada siapa?"
"Di rumah Kee Yaya tidak ada lain orang lagi, seorang pun
tidak. Jangan kata orang Han, orang Kazakh pun tidak ada
yang aku kenal." Ia tidak mau menyebutkan Supu dan Aman,
ia anggap itu tidak ada perlunya.
Selagi mereka bicara, lima penyamun pun telah mendatangi
semakin dekat. Juga mereka mendengar sar-sernya suara
anak panah, yang menyambar ke samping mereka kiri dan
kanan. Itulah panah gertakan belaka, sebab kawanan
penyamun itu tidak memikir untuk menangkap mayat.
"Kau pegang jarumku ini," berkata si pelajar tiba-tiba.
"Hati-hati jangan kau membikin dirimu tertusuk!"
Bun Siu melihat orang mencekal sebatang jarum, yang
dijepit dengan dua jari tangannya. Ia menyambuti tanpa ia
mengerti maksud orang.
Si pelajar berkata pula: "Ujung jarum itu ada racunnya
yang lihai, begitu menusuk orang dan mengeluarkan darah,
racunnya akan bekerja menutup tenggorokan. Kalau
penyamun itu menangkap kau, kau tusuk dia, biarnya
ketusuknya perlahan, dia bakal segera terbinasa."

Si nona terkejut, sedang barusan selagi menyambuti, ia
kurang perhatian, la pun merasa, kalau si pelajar tidak senang
padanya, ia bisa lantas mati ditusuk dia. Ia lantas berpikir:
"Aku ada bagian mati, baik aku mati bersama kelima
penyamun itu, biar empee ini kabur seorang diri..."
Maka mendadak ia berlompat turun dari belakang kuda,
sembari lompat ia menepuk kempolan kudanya seraya
berseru: "Kuda putih, kuda putih! Lekas kau ajak empee
menyingkirkan diri!"
Si pelajar tercengang. Ia tidak menyangka nona ini
demikian murah hati.
Ketika itu kelima penyamun telah tiba dengan segera dan
Bun Siu lantas dikurung. Mereka telah mendapati seorang
nona yang muda remaja dan cantik, tentu sekali mereka tidak
memperdulikan pula si pelajar tua bangkotan...
Berlima mereka lompat turun dari kuda mereka masingmasing.
Mereka mengurung si nona sambil mengasih lihat
senyum menyeringai.
Hatinya Bun Siu berdenyutan. la berkuatir dan bersangsi. Ia
menyangsikan keterangannya si pelajar perihal
kemustajaban jarumnya itu. Bagaimana dengan sebatang
jarum itu ia dapat memberikan perlawanannya kepada lima
orang jahat itu. Umpama kata satu terbinasa, masih ada
empat lainnya. Ia menjadi menyesal telah tidak membekal
pisau dengan mana ia dapat membunuh diri, untuk menolong
diri dari penghinaan.
"Sungguh cantik!" kata satu berandal. "Sungguh manis!"
Sedang dua ant. ranya berlompat maju.
Satu berandal, yang berada di sebelah kiri, mendadak
meninju orang yang di dekatnya hingga orang itu terguling.
Dia menegur: "Kau berani berebutan denganku?" Tanpa
menanti jawaban, ia menubruk Bun Siu, untuk dirangkul.

Nona Lie kaget bukan main, ia melawan. Dengan jarumnya
la menusuk lengan orang seraya berseru: "Penyamun jahat,
lepaskan aku! Lepaskan aku!"
Orang itu, yang tubuhnya besar, berdiri melengak, terus dia
mundur dua tindak, mulutnya dipentang lebar-lebar, matanya
terbuka mengawasi si nona.
Penyamun yang roboh itu mengulur tangannya, akan
menyambar kaki si nona, untuk ditarik jatuh.
Bun Siu menggunai tangan kirinya, guna melawan, sedang
dengan tangan kanannya, ia menusuk dada penyamun yang
ganas itu. Si penyamun tengah tertawa lebar sebab ia sudah
memegang erat-erat si nona ketika dadanya tertusuk, lantas ia
berhenti tertawa, mulutnya tinggal celangap, dengan
membuka mulut lebar itu dan mata mendelong, ia berdiri diam
saja.
Bun Siu lantas merayap bangun, untuk lari ke arah seekor
kuda, untuk segera lompat naik ke punggungnya, terus ia
melarikannya, keras, ke arah gunung.
Ketiga berandal lainnya berdiri tercengang. Mereka
menyangka si nona telah menotok kedua kawannya itu. Kalau
si nona demikian lihai, mana mereka berani maju mendekati?
Dari itu mereka membiarkan si nona kabur, mereka sendiri
menghampirkan kedua kawan itu, niatnya untuk dibawa
kepada Hok Goan Liong, pemimpin mereka, untuk ditolongi.
Hanya ketika tubuh dua orang itu diraba, ketiga kawan itu
kaget tidak terkira. Tubuh mereka itu sudah lantas mulai
dingin dan napasnya telah berhenti berjalan...
Salah satu penyamun, seorang she Song, memberanikan
diri. Ia membuka baju seorang kawannya, lalu kawan yang
kedua, untuk diperiksa. Ia mendapatkan titik hitam di masingmasing
lengan dan dada mereka itu, pada itu ada liang kecil
sebesar jarum. Maka sadarlah dia. Terus dia kata nyaring:
"Bocah itu mempunyai jarum beracun!"

"Jangan takut!" kata kawannya, si orang she Coan. "Kita
jangan dekati dia, dari jauh-jauh kita menghajarnya dengan
senjata rahasia. Mari kita kejar dia!"
"Mari kita kejar!" berseru kawan yang ketiga.
Bertiga mereka lompat naik atas kuda mereka, dengan
meninggalkan mayat kedua kawan itu, mereka kabur
mengejar Bun Siu.
Nona Lie kabur dengan hatinya girang, heran dan kagum.
Sekarang ia membuktikan lihainya jarum si pelajar. Tentu
saja, ia menjadi berani. Ia telah memikir untuk melawan
musuh-musuhnya. Ia hanya berkuatir orang nanti tidak
memberikan ketika ia menusuk mereka itu satu demi satu...
"Ke sini!" mendadak ia mendengar selagi kudanya lari.
Suara itu datang dari sebelah kiri. Itulah suara si pelajar
tua.
Karena mengenali suara itu, Bun Siu menghampirkan.
Dengan lantas ia lompat turun dari kudanya. Suara itu
datangnya dari sebuah gua kecil di pinggiran sebelah kiri itu.
"Bagaimana?" menanya si pelajar, yang berdiri di mulut
gua. "Aku... aku telah menusuk dua penyamun..." sahut si
nona gugup.
"Bagus!" kata si pelajar. "Mari masuk! Kita sembunyi di
sini!"
Tanpa bersangsi, Bun Siu mengikut masuk. Gua itu dalam,
makin dalam makin sempit, sampai hanya muat sebuah tubuh
di mana orang mesti jalan merayap.
Sesudah jalan terus sekira beberapa puluh tombak,
mendadak terlihat cahaya terang di hadapan mereka berdua.
Nyata itulah tempat terbuka, yang lebar, yang dapat memuat
kira-kira dua ratus orang.

"Kita berjaga di mulut terowongan, tiga penjahat itu
tentulah tidak berani menyerbu masuk," berkata si pelajar.
"Dengan begitu, kita juga sukar keluar dari sini," kata Bun
Siu, masgul. "Apakah ada lain jalan keluar?"
"Ada jalan tetapi tidak terus," sahut si pelajar.
Bun Siu berdiam, hatinya berdebaran. la membayangi
bahaya yang tadi mengancamnya.
"Empee," katanya. "Dua penjahat itu kena aku tusuk
dengan jarum, lantas mereka tidak dapat bergerak. Apakah
mereka itu mati?"
"Mana ada orang yang dapat hidup karena tusukan
jarumku?" menyahut pelajar itu, romannya jumawa.
Bun Siu mengulur tangannya. Ia mengembalikan jarum
orang.
Si empee telah mengulur juga tangannya ketika mendadak
ia menariknya pulang.
"Kau letaki di tanah!" katanya.
Si nona menurut.
"Kau mundur tiga tindak," katanya pula.
Bun Siu heran tetapi ia mundur.
Pelajar itu menjemput jarumnya, untuk dimasuki ke dalam
satu bungbung kecil.
Baru sekarang Bun Siu mengerti. Si empee mencurigai
padanya. Tapi ia diam saja.
"Kita tidak mengenal satu pada lain, kenapa tadi kau
menyerahkan kudamu padaku, supaya aku dapat
menyingkirkan diri?" si pelajar tanya.

"Aku juga tidak tahu," menyahut si nona bersenyum. "Aku
lihat kau lagi sakit, aku tidak tega kau terbinasa di tangan
orang-orang jahat itu..."
Tubuh orang itu limbung.
"Mengapa kau tahu aku... a... aku lagi...?" katanya
tertahan. Tiba-tiba jidatnya memperlihatkan pelbagai ototnya,
mukanya meringis, tanda bahwa ia lagi menahan rasa nyeri
yang hebat. Keringat pun lantas turun berketel-ketel dari
jidatnya itu. Tidak lama ia mempertahankan diri, mendadak ia
berseru, terus ia roboh bergulingan. Sekarang ia merintihrintih.
Bun Siu kaget hingga ia menjadi bingung sekali. Ia lantas
melihat tubuh orang melengkung, tangan dan kakinya datang
dekat satu pada lain.
"Apakah punggungmu sakit?" si nona tanya. Ia lantas
menumbuk perlahan-lahan punggung si pelajar itu, kemudian
ia menepuk-nepuk sambungan lengan dan kakinya.
Selang sedikit lama, si pelajar nampak rada ringanan. Ia
mengangguk kepada si nona, untuk menyatakan syukurnya.
Lagi sekian lama, barulah ia dapat bangun berdiri. Terang
telah lenyap penderitaannya barusan.
"Tahukah kau, aku ini siapa?" kemudian ia tanya.
"Aku tidak tahu," menyahut si nona, menggeleng kepala.
"Aku she Hoa, namaku Hui," si empee memperkenalkan
diri. "Akulah yang orang kangouw menyebutnya Itcie Cin
Thianlam."
"Oh, Empee Hoa," berkata si nona.
"Apakah kau belum pernah mendengar namaku?" Hoa Hui
tanya, agaknya ia kecewa.

Tentu sekali Bun Siu tidak lahu yang Hoa Hui bergelar Itcie
Cin Thianlam, si Jeriji Menggetarkan Langit Selatan, atau
jelasnya, jago Selatan, telah menggoncangkan selatan dan
utara Sungai Besar, dan namanya itu diketahui oleh dunia
Rimba Persilatan.
"Ayah dan ibuku pasti mengetahui nama empee," Bun Siu
menambahkan. "Aku tiba di Hweekiang dalam usia delapan
tahun, apa juga aku tidak mengerti..."
"Itu benar," kata Hoa Hui. Dari romannya, nampak ia tak
kecewa seperti tadi. "Kau..."
Baru ia berkata demikian, dari luar gua terdengar suara:
"Pasti dia sembunyi di dalam gua ini! Hati-hati untuk jarumnya
yang berbisa!..." Lantas terdengar tindakan kaki berlari-lari
dari tiga orang.
Hoa Hui berhenti bicara, ia mengeluarkan jarumnya tadi,
yang ia terus pasang di ujung tongkatnya, kemudian sembari
menyerahkan tongkat itu pada Bun Siu, ia menunjuk ke
samping mulut gua sembari berkata perlahan: "Kalau sebentar
mereka masuk, kau tikam punggungnya. Jangan terburu
napsu hingga kau kena menikam dadanya."
Si nona berdiam, karena hatinya berpikir: "Mulut jalanan
begini sempit, bukankah terlebih baik akan menikam
dadanya?"
Hoa Hui rupanya dapat menduga kesangsian orang, ia kata
bengis: "Hidup atau mati kita adalah di sekejap ini, maka
beranikah kau tidak mendengar titahku?"
Hampir berbareng sama suaranya jago Selatan ini, terlihat
berkelebatannya golok, suatu tanda pihak penyamun bersiap
sedia menjaga diri dari serangan gelap. Menyusul itu, sesosok
tubuh nampak merayap masuk. Dialah si penjahat she In.
Bun Siu lari bersembunyi di samping mulut gua, ia bersiap
tanpa berani berkutik.

Lantas terdengar suara dingin dari Hoa Hui: "Kau lihat di
tanganku, aku mencekal barang apa?" Tangan itu pun
dikibaskan.
Penjahat she In itu mengawasi ke arah Hoa Hui, goloknya
disiapkan terus, la maju dengan berhati-hati.
Bun Siu menggunai saatnya yang baik, ia menusuk
punggung penjahat itu. Ia berlaku hati-hati, dan ia berhasil
menusuknya, perlahan tetapi tepat.
Penjahat itu merasakan punggungnya tertusuk seperti
diantup tawon, dia kaget dan merasa sakit, dia berteriak.
Cuma sekali, lantas dia berdiam, tubuhnya kejang.
Di belakang penjahat she In ini mengikut si penjahat she
Coan. la kaget bukan main. Ia menduga Hoa Hui menyerang
dengan jarum beracun. Tanpa memutar tubuh lagi, ia
merayap mundur.
Menyaksikan itu, Hoa Hui menghela napas.
"Jikalau ilmu silatku tidak ludas, baru lima penjahat
semacam mereka ini tidak ada artinya sama sekali..." katanya
menyesal. "Hari ini aku menang cuma sebab aku mempunyai
kedudukan yang baik."
Bun Siu heran. Bukankah orang jago Selatan, yang
tangannya lihai? Kenapa empee ini menyingkir dari lima
penjahat itu dan sekarang bekerja sembunyi tangan?
"Empee Hoa," katanya, "karena kau lagi sakit, kau tidak
dapat bersilat. Benarkah?"
"Bukan, bukan," menyahut orang yang ditanya. "Yang
benar ialah aku telah mengangkat sumpah berat, kecuali di
saat mati atau hidup, aku tidak dapat sembarang menggunai
ilmu silatku..."

Bun Siu heran sekali. Tadi empee mengatakan ilmu silatnya
ludas, sekarang dia menyebut-nyebut sumpah berat. Karena
orang sungkan bicara, ia tidak mau menanyakan pula.
Hoa Hui rupanya merasa keterangannya bertentangan, ia
menyimpanginya. Katanya: "Kau tahu kenapa aku menyuruh
kau menikam punggungnya si penjahat? Selagi dia masuk, dia
mengutamakan perhatiannya ke depan. Kau tidak mengerti
ilmu silat, dengan menyerang dari depan, kau tidak bakal
memperoleh hasil. Maka aku sengaja menarik perhatiannya
itu, supaya kau bisa menikamnya dengan berhasil."
"Bagus akal empee!" memuji si nona mengangguk.
Hoa Hui tidak membilang apa-apa, hanya dari sakunya ia
mengeluarkan sebungkus manisan semangka kering, yang
mana ia angsurkan kepada si nona.
"Kau daharlah dulu," katanya. "Dua penjahat itu tidak nanti
berani lantas masuk pula, akan tetapi kita juga tidak bisa
lantas keluar dari sini. Biarlah aku memikirkan akal untuk
membinasakan mereka dua-duanya. Kalau mereka terbunuh
cuma satu, yang lainnya dapat pergi memberi kabar pada
kawan-kawannya. Jikalau mereka datang dalam jumlah besar,
itulah berbahaya."
Bun Siu menganggap orang bicara tepat, karena itu, ia
menurut saja. Ia makan semangkanya. Habis itu, ia
beristirahat sambil menyender di batu yang seperti tembok.
Berselang dua jam, Hoa Hui dapat mencium bau barang
hangus, lantas dia batuk-batuk.
"Celaka!" ia berseru, kaget. "Penjahat menggunai api untuk
mempuput kita, agar kita mati karena asap. Lekas tutup mulut
terowongan!"
Bun Siu mengerti, ia menginsafi bahaya, maka ia lantas
bekerja. Ia mengambil batu dan pasir, guna menyumbat mulut
terowongan itu. Karena mulut terowongan kecil, tidak lama

gangguan asap berkurang. Pula, karena lebarnya tempat di
mana mereka berada, begitu masuk, asap lantas buyar. Itulah
menandakan, gua itu mempunyai lain jalan keluar.
Dengan begitu, sang tempo berlalu tanpa kejadian sesuatu.
Bun Siu melihat sinar matahari dari bagian belakang gua, ia
menduga itu waktu sudah tengah hari.
Tiba-tiba Nona Lie menjadi kaget. Tidak keruan-keruan,
Hoa Hui menjerit sendirinya, terus tubuhnya roboh, kaki
tangannya digerak-geraki kalang-kabutan. Dalam kagetnya, ia
ingat untuk menolongi. Maka ia
menghampirkan, untuk mengurut-urut dan menepuk-nepuk
pula seperti yang pertama kali.
Lewat beberapa saat, penderitaan Hoa Hui menjadi
kurangan.
"Nona..." katanya, "kali ini mungkin aku tidak dapat
bertahan lagi..."
"Jangan memikir yang tidak-tidak, empee," Bun Siu
menghibur. "Kita bertemu sama orang jahat, empee jadi
menggunai tenaga terlalu besar. Baik empee beristirahat,
sebentar kesehatanmu akan pulih."
"Tidak, tidak bisa..." kata Hoa Hui. "Biar aku omong terusterang.
Sebenarnya jalan darah punggungku telah terkena...
telah terkena jarum berbisa!..." Bun Siu kaget. "Ah, terkena
jarum berbisa?" ia mengulangi. "Kapankah terkenanya?
Apakah tadi?"
"Bukan," menjawab jago Selatan itu. "Aku terkena pada
dua puluh tahun dulu..."
Kembali Bun Siu kaget, sekarang saking heran.
"Adakah itu jarum beracun yang selihai ini?" ia tanya.

"Benar. Hanyalah karena tenaga dalamku mahir,
bekerjanya racun menjadi perlahan sekali. Aku pun telah
makan obat untuk melawannya, hingga aku dapat hidup
sampai hari ini. Hanya kali ini, aku tidak dapat bertahan terus.
Karena di tubuhku telah nancap jarum berbisa itu, maka
selama dua puluh tahun, setiap tengah hari aku mesti
menderita kesakitan hebat seperti ini. Kalau tahu begini, lebih
baik aku tidak makan obat pemunahnya... Apakah gunanya
menahan sakit sampai dua puluh tahun?"
Mendengar itu, Bun Siu pun ingat suatu hal. Coba pada
sepuluh tahun yang lampau ia pun turut ayah dan ibunya
mati, tentulah tak usah ia menderita sekian lama. Ya, apakah
faedahnya hidupnya bersengsara ini?
Hoa Hui menggertak gigi, melawan rasa nyerinya itu.
"Empee," kata Bun Siu, "apa tidak baik kau cabut saja
jarum di tubuhmu itu, mungkin kau tidak usah menderita lebih
lama pula?"
"Ngaco!" mendadak si empee membentak. "Bukankah siapa
pun dapat mengatakannya demikian? Tapi aku berada
sebatang kara di gunung ini, siapakah yang dapat menolongi
aku mencabutnya? Lagi pula, siapa yang datang kemari, dia
tidak mengandung maksud baik! Hm!"
Bun Siu melengak, ia heran bukan main. Tanyanya dalam
hatinya: "Kenapa dia tidak mau pergi mencari pertolongan
tabib? Mengapa ia tinggal bersendirian di gunung belukar dan
sunyi ini sampai sepuluh tahun? Apakah maksudnya? Mengapa
untuk memakai obat dia mesti main sembunyi-sembunyi?"
Biarnya orang mencurigai dia, nona ini tetap merasa
berkasihan.
"Empee," katanya pula, "mari kasih aku mencoba. Kau
jangan takut, aku tidak nanti mencelakai kau."

Hoa Hui mengawasi, keningnya mengkerut. Ia agaknya
berpikir banyak tetapi tetap ia tidak dapat mengambil
keputusan.
Bun Siu mencabut jarum beracun dari ujung tongkat, untuk
dipulangi.
"Mari kasih aku melihat luka di punggungmu itu," katanya
pula. "Jikalau aku mengandung maksud jahat, kau tusuklah
aku dengan jarummu ini!"
Hoa Hui mengawasi tajam. "Baiklah!" akhirnya ia kata. Dan
ia lantas membuka bajunya, untuk memperlihatkan
punggungnya.
Mengawasi punggung orang itu, Bun Siu mengeluarkan
seruan perlahan, la menampak banyak sekali titik hitam, tanda
luka. Entah berapa ratus jumlahnya titik itu.
Hoa Hui rupanya dapat menduga apa yang si nona pikir, ia
kata: "Aku telah menggunai segala macam daya, aku tetap
tidak dapat mencabut semua jarum itu."
Lukanya Itcie Cin Thianlam ini disebabkan kecuali jarum
juga bekas terkena batu tajam, bekas digaruk. Bun Siu tidak
mengenali, yang mana ada jarumnya yang berbisa. Ia ngeri,
terharu dan bingung.
"Sebenarnya di mana jarum itu nancapnya?" akhirnya ia
tanya.
"Semuanya tiga batang," Hoa Hui menjawab. "Yang satu
dijalan darah pekhu hiat, satu lagi di jalan darah ciesit hiat,
dan yang ketiga ialah di jalan darah ceyang hiat..."
Sembari berkata begitu, ia mengusap ke punggungnya,
untuk menjelaskan ketiga jalan darah itu. Benar-benar sulit
untuk mengetahui bekas tusukan jarum itu. Bun Siu terkejut.
"Semuanya tiga batang?" katanya. "Empee bilang satu..."

Kembali Hoa Hui gusar, ia membentak: "Mulanya kau tidak
menyebut hendak mencabut jarum itu! Buat apa aku omong
terus terang padamu?"
Bun Siu mengerti kenapa orang mendusta, tiga batang
dikatakan satu. Teranglah ia telah dicurigai keras sekali.
Rupanya dia terkena tiga batang, karenanya kepandaian
silatnya ludas, lalu dia membohong bersumpah tak sudi
sembarangan menggunai ilmu silatnya. Ia tidak suka cara
orang ini tetapi ia berkasihan, ingin ia memberikan
pertolongannya. Maka ia tidak memperdulikan sikap kasar dan
aneh itu. Ia sekarang memikirkan daya untuk mencabut ketiga
batang jarum itu.
"Apakah kau telah dapat melihatnya?" Hoa Hui tanya.
"Aku tidak melihat gagangnya jarum, empee. Bagaimana
itu harus dicabutnya?"
"Seharusnya digunai senjata tajam memotong dagingnya,
baru jarum itu dapat dilihat. Jarum itu telah masuk beberapa
dim, memang sukar untuk melihatnya..."
Kata-kata yang belakangan dikeluarkan dengan sedikit
gemetar.
"Sayang aku tidak punya pisau kecil," kata si nona.
"Aku juga tidak punya... Eh, itu golok panjang!" ia
menunjuk ke tanah. "Kau pakai itu saja!"
Golok itu tajam dan mengkilap, terletak melintang di
samping tubuhnya si penjahat she In. Si penyamun sudah
mati, goloknya masih ada, golok itu mendatangkan rasa jeri.
Bun Siu pun bersangsi untuk memakai golok itu.
Hoa Hui mengawasi, ia bisa menerka kesangsian si nona,
lalu ia kata perlahan dan sabar: "Nona Lie, asal kau menolongi
aku mencabut semua jarum itu, akan aku menghadiahkan kau
banyak barang permata. Tidak nanti aku memperdayakan kau.
Benar-benar aku mempunyai banyak sekali permata!"

"Aku tidak menghendaki barang permata, aku pun tidak
ingin ucapan terima kasihmu," menyahut Bun Siu. "Asal kau
tidak merasa sakit, itu sudah cukup untukku."
"Baiklah kalau begitu!" kata Hoa Hui. "Sekarang kau boleh
mulai!"
Bun Siu mengambil golok itu.
"Empee," katanya, "aku akan perbuat apa yang aku bisa,
harap kau menahan sakit."
Lantas nona ini memotong-motong bajunya si penyamun
she In, untuk membuat juiran-juiran, guna nanti dipakai
menepas darah dan membalut, setelah itu, lebih dulu ia
memperhatikan jalan darah pekhu hiat, lalu dia mulai bekerja.
Ketika kulit dan daging Hoa Hui dipotong, darahnya lantas
mengalir keluar.
Hoa Hui tidak kesakitan, mengeluh pun tidak.
"Sudah kelihatan?" bahkan dia menanya.
Bun Siu tidak lantas menyahuti, ia mencabut tusuk
kondenya, guna memakai itu untuk mencari jarum. Selang
sejenak, ia berhasil. Jarum itu telah nancap ke tulang. Maka ia
lantas memakai dua jari tangannya, akan menjepit gagang
jarum, buat terus menariknya.
Hoa Hui menjerit, dia pingsan. Bun Siu tidak heran atau
kaget, bahkan itu ada baiknya, untuk mengurangi rasa nyeri
orang, la menggunai ketika baik ini untuk lekas-lekas
membelek lagi dua kali, untuk mencabut dua batang jarum
lainnya. Maka tak lama, selesailah ia. Terus ia membalut lukaluka
itu.
Selang sekian lama, Hoa Hui tersadar perlahan-lahan. Ia
membuka matanya. Lantas ia melihat tiga batang jarum, yang
hitam warnanya, la tahu itulah jarum beracun, yang telah
menyiksa padanya. Maka ia kata sengit pada jarum itu: "Dua

belas tahun lamanya kamu mengeram di dalam dagingku,
baru hari ini kamu keluar!" Terus ia menghadapi Bun Siu, akan
berkata: "Nona Lie, kau telah menolongku, aku tidak dapat
membalas budimu, maka ini tiga batang jarum aku haturkan
kepadamu. Jangan kau mencela karena jarum ini telah dua
belas tahun terpendam di dalam tubuhku, sebenarnya
racunnya tidak menjadi berkurang."
Bun Siu menggeleng kepala. "Aku tidak menghendaki itu,"
bilangnya.
Hoa Hui heran. "Bukankah kau telah menyaksikannya
sendiri lihainya jarum ini?" katanya. "Dengan kau mempunyai
sebatang saja dari jarum ini, orang sudah jeri bukan main
terhadapmu."
"Aku tidak menginginkan lain orang takut padaku," kata si
nona perlahan. Di dalam hatinya, ia pikir: "Asal orang
menyukai aku, itulah terlebih baik daripada jarum ini..."
Hoa Hui berdiam. Karena ia mengeluarkan banyak darah
bekas dibelek dagingnya ia menjadi lemah, akan tetapi
sebaliknya, ia merasa lega, semangatnya terbangun. Ia lantas
merapatkan matanya, untuk beristirahat, untuk tidur. Kira satu
jam kemudian, ia mendusin dengan kaget. Ia mendengar
suara berisik, dari cacian dan teriakan berulang-ulang di luar
gua. Itulah suaranya si penyamun she Song, yang rupanya
telah datang pula.
Ia mengeluarkan kata-kata kotor, untuk alamatnya Bun Siu
dan Hoa Hui. Ia tidak berani lancang masuk, ia sengaja
memancing agar orang menjadi panas hatinya dan keluar.
Hoa Hui berbangkit dengan hatinya panas.
"Jarum di tubuhku telah dicabut keluar, orang mengira aku
takut!" katanya mendongkol. Akan tetapi ketika ia
mengerahkan tenaganya, ia gagal. Ia masih terlalu lemah. Ia
menghela napas. Ia kata: "Sudah terlalu lama jarum
mengeram di dalam tubuhku, agaknya dengan beristirahat

tiga empat bulan, belum tentukesehatan dan tenagaku pulih
kembali..."
Di luar, si Song masih saja memuntahkan kata-katanya
yang kotor. Berulangkali dia mendamprat: "Bangsat tua!
Bangsat tua bangka!"
Dalam panasnya, Hoa Hui kata: "Apakah aku mesti menanti
kau mencaci aku sampai empat bulan lamanya?" Lantas ia
mendapat satu pikiran. Maka ia kata pada Bun Siu: "Nona Lie,
mari aku ajarkan kau ilmu silat, lantas kau keluar, kau hajar
binatang itu!"
"Berapa lama aku mesti meyakinkannya untuk aku bisa
menggunainya?" Bun Siu tanya. "Toh tidak dapat terlalu lekas,
bukan?"
"Jikalau aku mengajarkan kau ilmu jari tanganku, untuk
menotok," menjawab Hoa Hui, "atau lainnya ilmu seperti
tangan kosong atau golok, sedikitnya kau membutuhkan
tempo setengah tahun, tetapi sekarang temponya mendesak,
kau harus belajar dengan cepat. Untuk ini ada jalannya, ialah
kau membutuhkan senjata yang istimewa. Cukup kau
menggunai satu atau dua jurus. Hanya di dalam gua ini, di
mana bisa didapatkan alat senjata yang diperlukan itu?"
Habis berkata begitu, Hoa Hui berdiam, otaknya bekerja.
Bun Siu pun berdiam saja, ia tidak tahu apa itu yang
dimaksudkan senjata istimewa.
Hanya sejenak Hoa Hui berpikir, segera ia mengasih lihat
roman girang.
"Ada!" katanya. "Pergi kau ambil itu dua buah labu dan
juga sehelai rotan. Mari kita main bandering liusengtwie!" Ia
menunjuk.
Bun Siu melihat buah labu tergantung di mulut gua,
semuanya sudah kering. Ia pergi mengambil dua buah, yang

ia kutungi, lalu mengambil juga rotan yang diminta. Ia
serahkan itu kepada si empee kurus kering.
"Bagus!" kata Hoa Hui girang. "Coba kau membuat sebuah
liang kecil pada labu itu, lalu isikan pasir."
Si nona menurut, ia lantas bekerja. Benarlah labu itu,
setelah diisi pasir dan beratnya masing-masing tujuh atau
delapan kati, dapat merupakan bandering.
"Sekarang aku akan mengajari kau satu jurus Senggoat
cenghui," kata Hoa Hui sambil menyambut! buah labu dari
tangan si nona. "Aku akan menjalankan jurus itu, kau lihatlah
baik-baik dan ingati di luar kepala."
Benar-benar, dengan perlahan, jago Selatan itu memutar
banderingnya yang istimewa itu.
Bun Siu mamasang mata, ia mengingat baik-baik.
"Senggoat cenghui" itu, yang berarti jurus "Bintang dan
rembulan bersaingan kegemilangan", yang kiri untuk
menyerang jalan darah siangkiok hiat di antara dada dan
perut, yang kanan guna menyerang punggung di mana ada
jalan darah lengtay hiat.
"Sekarang kau coba," kata si pelajar kemudian.
Bun Siu menuruti, menelad pelajar itu. Ia telah mempunyai
dasar, ia dapat mengingat dengan baik dan cepat. Setelah
beberapa kali penghunjukan, ia bisa menjalankannya dengan
baik, maka itu, mulai dari perlahan, ia mencepatkan. Sesudah
paham benar, ia baru berlatih dengan sungguh-sungguh. Ia
telah bermandikan keringat setelah berlatih satu jam tanpa
salah.
"Aku bebal, belajar sebegini saja aku memakai banyak
tempo," katanya seraya menyusuri peluhnya.
"Kau tidak bebal, sebaliknya kau cerdas sekali!" Hoa Hui
memuji. "Kau jangan meragukan kefaedahannya jurus ini.

Untuk lain orang, dia perlu tempo delapan sampai sepuluh hari
untuk dapat belajar lekas seperti kau ini. Untuk melawan
seorang ahli, jurus ini tidak berarti, tetapi buat merobohkan
dua bangsat di luar, itulah berlebihan. Sekarang kau
beristirahat dulu, sebentar kau ke luar dan kau labraklah
mereka!"
Bun Siu heran bukan main. "Cukup dengan ini satu jurus?"
ia tanya.
Hoa Hui bersenyum. "Ya," sahutnya. "Dengan ini satu
jurus, kau telah terhitung sebagai muridku. Muridnya Itcie Cin
Thianlam tak memerlukan dua jurus guna menghadapi kedua
kurcaci itu! Apakah kau pun tidak kuatir nanti merusak nama
gurumu?"
Bun Siu girang sekali. Ia pun sangat cerdik, maka lantas ia
berlutut, untuk mengangguk-angguk dengan hormatnya, guna
mengangkat guru. Ia pun menghaturkan terima kasihnya. Hoa
Hui girang berbareng duka.
"Tidak kukira, di saat kematianku, aku dapat menerima
murid secerdik kau ini," katanya, bersyukur.
"Murid pun, kecuali yaya Kee Loojin itu, tidak punya sanak
atau kadang lagi," berkata Bun Siu, menjelaskan. "Aku justeru
merasa sangat beruntung memperoleh guru sebagai suhu."
"Sudahlah," kata Hoa Hui. "Hari bakal lekas malam, pergi
kau ke luar, kau labrak kedua kurcaci itu! Kau cari tempat
yang lega di mana kau bisa bersilat dengan leluasa."
Bun Siu bersangsi. Sebenarnya, ia rada jeri.
"Jikalau kau tidak percaya aku, buat apa kau mengangkat
aku jadi gurumu?" Hoa Hui lantas menjadi gusar. "Kau tahu,
dulu hari, Binpok Sianghiong, yaitu dua jago dari Hokkian
Utara, telah terbinasa dua-duanya dengan jurus ini! Apakah
kau kira Binpok Sianghiong kalah daripada dua kurcaci itu?"

Bun Siu tidak kenal dua jago dari Hokkian Utara yang
disebutkan itu tetapi karena orang bergusar, ia paksa
membesarkan nyalinya, ia membuka sumbatan pintu gua,
lantas ia nerobos keluar, tangan kanannya memegang
banderingnya yang istimewa itu, tangan kirinya mencekal
jarum berbisa. Ia pun membarengi berseru: "Kurcaci, lihat
jarum berbisa!"
Penjahat itu, ialah si orang she Song bersama si orang she
Coan, yang menjaga di mulut gua, terkejut mendengar
disebutnya jarum berbisa, dengan lantas keduanya lari
mundur. Si orang she Song mundur juga meskipun ia telah
memikir, kalau si nona menyerang dengan jarum, tidak nanti
nona itu mengancam dulu...
Bun Siu sampai di luar dengan terus lari ke tempat lega
jauhnya belasan tombak, ketika ia berhenti dan berpaling, ia
melihat si Coan memburu kepadanya, ia lantas mengayun
tangan kirinya ke arah penjahat itu. Si Coan terkejut, dia
hendak berkelit, apamau dia terpeleset, terus saja dia
terguling.
Si Song melihat kawannya roboh, dia kaget, dia lantas
memburu. Tapi kawannya itu sudah lantas bangun pula. Maka
berdua mereka merangsak. Hampir berbareng mereka kata:
"Di sini kita bereskan budak ini! Kalau dia menggunai
jarumnya, kita bisa melihatnya!"
Ketika itu matahari telah bersinar layung, kedua penjahat
itu justeru menghadapi matahari, maka mereka lantas
melengos. Sekarang mereka dapat melihat nyata senjata di
tangan si nona. Keduanya tertawa.
Hatinya Bun Siu berdebar juga. Ia benar-benar
menyangsikan ilmu banderingnya itu, sedang ilmu silat ajaran
ayah dan ibunya belum berarti. Kedua musuh itu sebaliknya
nampak sangat bengis. Tapi ia cerdik, ia berseru: "Jikalau
kamu tidak lekas mengangkat kaki, guruku bakal segera
keluar! Kau tahu guruku--Itcie Cin Thianlam? Awas kamu

terhadap jarum berbisanya! Beranikah kamu menyaterukan
guruku itu? Berapa besar nyalimu? Guruku dapat mengambil
jiwa kamu sama gampangnya seperti ia merogoh sakunya!"
Meski mereka ada orang-orang kangouw, si Coan dan si
Song itu tidak kenal Hoa Hui, dari itu sambil saling melirik,
mereka pikir: "Paling benar aku lekas-lekas membekuk dia
untuk dihadapkan kepada Hok Toaya dan Tan Jieya! Inilah
jasa! Peduli apa aku dengan Itcie Cin Thianlam?" Maka
berbareng mereka maju dari kiri dan kanan.
Hati Bun Siu gentar. "Dia maju berbareng, bagaimana aku
mesti menghajar mereka?..." pikirnya, ragu-ragu dan
berkuatir. Maka bukan ia maju melawan, ia justeru lompat
mundur tiga tindak.
Si Coan, diikuti si Song, maju terus.
Nona Lie menjadi terdesak, ia merasa ia terancam bahaya,
tidak bisa lain, terpaksa ia menggeraki tangannya, menggunai
banderingnya. Syukur ia masih ingat latihannya.
Si Coan maju di sebelah kanan, ia belum datang dekat
ketika tahu-tahu dadanya ialah jalan darah siangkiok hiat,
kena terhajar bandering istimewa itu, sedang bandering yang
kanan menghantam terbang goloknya. Hanya celaka, labu itu
pecah terbacok, pasirnya lantas terbang berhamburan!
Si Song lagi maju, tentu sekali dia tidak menduga kepada
pasir itu, maka dengan lantas dia kelilipan, hingga dia menjadi
kelabakan, tangannya dipakai untuk menutupi matanya, untuk
dikucak-kucak. Justeru dia repot sendirinya, bandering yang
lain menyambar tubuhnya, hingga segera dia terhuyung ke
arah si nona, yang dia terus sambar.
Nona Lie kaget hingga ia berteriak, dengan tangan kirinya
ia menolak tubuh si kurcaci. Tepat jarum di tangannya
menusuk perut si Song itu, hingga dia menjerit. Cuma
sekejap, penjahat ini lantas roboh binasa. Hanya, karena dia

telah dapat menjambret, dia tetap masih memeluki, si nona
sendiri tidak dapat segera berontak melepaskan diri.
Ketika itu Hoa Hui telah menyusul keluar, ketika ia melihat
keadaan muridnya itu, ia menghela napas dan berkata: "Ha,
budak tolol, budak tolol! Tadi kau dapat berlatih bagus sekali,
sekarang kau kaget dan bingung, kacau ilmu silatmu..."
Ia lantas maju mendekati, untuk mendupak si Song, atas
mana barulah penjahat itu melepaskan rangkulannya dan
roboh binasa.
Bun Siu berdiri diam, saking bingung, ia tidak dapat pulang
ketabahannya dengan lekas. Sinar matanya telah benterok
sama matanya si Song, yang tubuhnya rebah jengkar,
matanya melotot, sebab dia pun mati tiba-tiba. Kemudian ia
mengawasi mayat si Coan. Hatinya lantas bekerja, memikirkan
bagaimana dalam tempo yang pendek ia telah membinasakan
lima jiwa manusia. Benar dengan begitu ia berhasil
membalaskan sakit hati ayah dan ibunya, toh hatinya tidak
tenang. Ia agaknya berduka
"Bagaimana?" berkata Hoa Hui tertawa. "Bukankah telah
terbukti kefaedahannya satu jurus ilmu silat ajarannya gurumu
ini?"
"Hanya sayang muridmu menjalankannya tidak sempurna,"
kata si nona menyesal.
"Tidak apa," kata guru itu, sabar. "Kau tunggu pulihnya
tenaga dan kepandaianku, nanti aku mewariskan semua itu
kepadamu, setelah itu kita kembali ke Tionggoan, untuk
malang melintang! Siapa dapat menghalang-halangi kami?
Sekarang mari kita kembali ke rumah, untuk minum teh!"
Tanpa menanti jawaban, guru ini menarik tangan
muridnya. Mereka pergi ke kiri rimba, melewati sekumpulan
pohon yangliu, lantas sampai di sebuah gubuk.

Bun Siu turut masuk ke dalam gubuk yang buruk
perlengkapannya tetapi segalanya bersih, bahkan di tengahtengah
ruang ada sepasang papan dengan masing-masing
bertuliskan lian atau syair. Ia belum mengerti banyak surat.
Lian yang sebelah ia dapat baca, yang sebelah lagi, gelap
baginya. Tanpa ia merasa, ia membaca berulang-ulang lian
yang sebelah itu, yang berbunyi:
"Bersahabat sama-sama sehingga tua ada seumpama
memegang gagang pedang."
"Apakah kau pernah baca syair ini?" Hoa Hui tanya.
"Belum," menjawab si murid. "Suhu, apakah artinya itu?"
Guru itu berdiam sejenak. Ia menjadi ingat bahwa telah
dua belas tahun ia mengeram di wilayah Hweekiang ini.
Dulunya ia mempelajari ilmu surat, lalu batal, ia menukar
dengan ilmu silat, meski begitu, ia tetap dandan sebagai
pelajar. Inilah disebabkan ia masih menggemari pelajaran
surat itu.
"Itulah syairnya Ong Wie," ia menyahut sesaat kemudian.
"Yang di atas itu berarti, meskipun kau mempunyai seorang
sahabat kekal dengan siapa kau hidup bersama-sama sampai
di hari tua, kau toh tetap tidak dapat mempercayai sahabatmu
itu, sebab secara diam-diam dia dapat mencelakai kau, maka,
meskipun dia berjalan di sebelah depan, baiklah kau terus
meraba gagang pedangmu. Tegasnya, hati manusia itu
jungkir balik bagaikan gelombang. Artinya syair yang di bawah
yakni bahwa sahabatmu itu telah menjadi beruntung dan telah
menjadi orang berpangkat besar, meski begitu seandai kau
mengharap bantuannya, untuk membantu mengangkat kau,
pengharapanmu itu melainkan membangkitkan tertawaannya
saja."
Mendengar keterangan itu, Bun Siu mengerti kenapa guru
ini senantiasa mencurigai ia, meskipun terhadap si guru tidak
ada niatnya mencelakai. Maka ia mau percaya, mungkin

tadinya guru ini pernah dicelakai orang, karena mana dia
menulis syair peringatan itu untuk mencatat hati manusia
yang gampang berubah.
Habis itu, Nona Lie masak air, untuk menyeduh teh, maka
tidak lama kemudian, setelah minum air panas, mereka
merasa segar sekali.
"Suhu, aku hendak pulang," kata Bun Siu sekian lama.
Hoa Hui melengak, ia mengawasi. Agaknya ia putus asa.
"Kau mau pergi?" katanya, menyesal. "Jadi kau tidak mau
turut aku untuk belajar silat lebih jauh?"
"Bukan begitu, suhu," kata si nona, menerangkan. "Satu
malam aku tidak pulang, tentulah Kee Loojin berkuatir dan
memikirkannya tak habisnya. Sekarang aku hendak pulang
untuk memberi keterangan padanya, habis itu, baru aku akan
kembali."
Mendadak Itcie Cin Thianlam menjadi gusar.
"Jikalau kau memberi keterangan padanya, nah untuk
selamanya kau jangan kembali padaku!" ia membentak.
Bun Siu kaget dan takut, ia menjadi bingung.
"Aku tidak dapat tidak memberi keterangan pada Kee
Loojin," katanya perlahan. "Dia itu baik sekali dan sangat
menyayangi aku..."
"Terhadap siapa pun kau tidak boleh omong tentang kita di
sini!" kata Hoa Hui, bengis. "Kau mesti angkat sumpah untuk
tidak menyebutkan apa juga mengenai kita, atau aku akan
tidak ijinkan kau berlalu dari sini!" Baru ia menyebut "sini" itu
atau ia menjerit "Aduh!" keras sekali dan tubuhnya segera
roboh, bahkan ia terus pingsan. Itulah disebabkan ia berbicara
keras-keras, lukanya mendatangkan rasa nyeri yang hebat.

Bun Siu kaget sekali, tapi ia masih ingat untuk mengasih
bangun, guna menolongi. Ia membasahkan jidat orang
dengan air dingin.
Selang sesaat, Hoa Hui mendusin.
"Eh, kau masih belum pergi?" tanyanya heran.
"Suhu, apakah punggungmu masih sakit?" si nona balik
menanya. Ia tidak sempat menjawab.
"Sedikit mendingan," sahut guru itu. "Kau membilang
hendak pergi pulang, kenapa kau belum pergi?"
"Sebelum suhu sembuh, aku tidak mau pergi," sahut Bun
Siu. "Biar aku menanti pula beberapa hari lagi." Di dalam
hatinya, ia pikir: "Kee Loojin paling juga memikirkan aku tetapi
suhu perlu rawatan."
Senang Hoa Hui mendengar jawaban itu, karenanya ia
tidak bergusar terus.
Bun Siu pun senang. Ia hanya merasa sulit untuk tabiat
aneh guru ini. Ia lantas mencari rumput kering, untuk
dijadikan kasur darurat, yang mana ia gelar di ruang depan
itu. Ketika ia tidur pulas, beberapa kali ia mendusin dengan
mendadak. Ia terganggu impian-impian yang dahsyat,
umpamanya penjahat datang membekuk padanya, atau
setannya si penjahat, dengan berlepotan darah, datang
menagih jiwa terhadapnya...
Besoknya pagi, Bun Siu mendusin dengan hati lega. Ia
mendapatkan gurunya segar sekali. Ia lantas masak nasi,
untuk mereka dahar. Setelah datangnya waktu senggang, Hoa
Hui lantas memberikan pelajaran silat. Dia mulai dengan
pokoknya lweekang, atau ilmu dalam.
"Kau telah berusia tinggi, untuk belajar silat, kau
memerlukan tempo lebih banyak daripada seharusnya," Hoa
Hui memberi keterangan. "Tapi kau jangan kuatir, meski
usiamu tinggi, itu dapat ditutup dengan kecerdasanmu serta

dengan adanya guru bukan sembarang guru. Didalam lima
tahun aku tanggung kau akan jarang tandingannya di dalam
Rimba Persilatan."
Bun Siu tidak bilang apa-apa kecuali menghaturkan terima
kasih. Ia belajar dengan rajin dan tekun. Didalam tempo
delapan hari, ia telah memperoleh kemajuan, sedang lukanya
Hoa Hui mulai sembuh. Baru setelah itu ia kasih tahu gurunya
ini untuk pulang dulu, guna menemui Kee Loojin. Kali ini Hoa
Hui tidak main bentakbentak lagi, dia tidak sampai memaksa
muridnya mengangkat sumpah. Begitulah ia pulang dengan
menunggang kuda putihnya. Ia menetapi janji, ia tidak
mengasih tahu Kee Loojin tentang pertemuannya sama Hoa
Hui disebabkan ia terancam bahaya, la mendusta bahwa ia
kesasar di Gobi, sampai ia bertemu dan ketolongan
serombongan kafilah.
Kee Loojin percaya keterangan itu, maka dia tidak menanya
melit-melit, dia hanya merasa girang.
Semenjak itu setiap sepuluh hari atau setengah bulan, Bun
Siu pergi kepada Hoa Hui, untuk berdiam dengannya beberapa
hari. Selama beberapa hari itu, ia belajar dengan rajin sedang
gurunya mengajari dengan sungguh-sungguh. Karena ia tidak
memikirkan lain, gangguan apa jua tidak ada, ia memperoleh
kemajuan pesat. Jadi benar pembilangan gurunya, ialah murid
cerdas, dan si guru bukan sembarang guru...
Tanpa merasa, tiga tahun telah lewat.
Satu kali dengan girang Hoa Hui kata pada muridnya:
"Dengan kepandaian kau sekarang, kau telah termasuk kaum
kangouw kelas satu. Kalau kau pulaug ke Tionggoan, asal kau
memperlihatkan kepandaianmu, kau akan menjadi kesohor."
Bun Siu merasa senang tetapi ia tahu ia baru menyangkok
kepandaian gurunya dua tiga bagian, maka ia belajar terus
dengan tetap rajin. Karena itu selanjutnya lebih sedikit harinya
ia berdiam sama Kee Loojin, lebih banyak ia tinggal bersama

gurunya itu. Beberapa kali sudah Kee Loojin menanya ia pergi
ke mana saja, ia menggunai pelbagai alasan untuk menutup
rahasianya, agar ia tidak melanggar pesan gurunya.
Selanjutnya, Kee Loojin tidak pernah menanyakan lagi.
Pada suatu hari Bun Siu pulang dari rumah gurunya.
Biasanya ia mengambil jalan mutar, tidak mau ia melintasi
bukit kecil tempat terbunuhnya serigala, tetapi kali ini, ia
terpaksa jalan di situ. Sebabnya ialah mega mendung dan
angin utara bertiup keras, tandanya bakal datang badai salju.
Ia pun melarikan kudanya keras-keras. Ia melihat kawanan
penggembala repot menggiring kambing mereka pulang. Di
tengah udara tak nampak seekor jua burung gagak. Justeru
itu, untuk herannya, ia mendapatkan satu penunggang kuda
tengah mendatangi dengan binatang tunggangannya
dikaburkan. Ia menjadi heran.
"Badai salju segera bakal datang, kenapa dia justeru keluar
dari rumahnya?" ia pikir. Maka ia mengawasi.
Kapan penunggang kuda itu telah datang cukup dekat, Bun
Siu melihat seorang nona Kazakh yang mengerobongi tubuh
dengan mantel merah. Ia pula lantas mengenali Aman, yang
tubuhnya langsing dan romannya cantik. Karena, ia tidak ingin
menemui nona itu, ia larikan kudanya ke belakang bukit,
untuk mengintai.
Tiba di depan bukit, Aman bersiul nyaring, atas mana,
siulannya itu mendapat jawaban yang serupa, disusul
munculnya seorang anak muda, yang datang menghampirkan,
maka sebentar saja, keduanya sudah saling rangkul. Pula
ramai suara mereka tertawa.
"Badai salju bakal lekas datang, kenapa kau keluar juga?"
demikian si pemuda tanya.
Bun Siu mengenali suaranya Supu, sahabat kekalnya itu.

"Hai, si cilik tolol!" kata Aman, tertawa. "Kau tahu badai
salju bakal turun, kenapa kau juga keluar dan menantikan aku
di sini?"
Supu tertawa
"Setiap hari kita bertemu di sini” katanya, gembira.
"Pertemuan kita ini lebih penting daripada makan nasi! Biarnya
ada ancaman golok atau pedang, pasti aku akan menunggui
kau di sini!"
Aman tertawa pula.
Keduanya lantas duduk berendeng di bukit kecil itu,
keduanya bicara tak hentinya.
Mereka bicara tentang asmara
Bun Siu mengintai di balik beberapa pohon besar, ia berdiri
tercengang. Ia telah mendengar nyata setiap perkataan
pemuda dan pemudi itu, kecuali di saat mereka itu seperti
berbisik. Kemudian lagi, ia terkejut ketika tidak keruan-keruan
pasangan muda-mudi itu tertawa dengan keras.
Nona Lie mendengar seperti tidak mendengar. Melihat
tingkah laku muda-mudi itu, di depan matanya berbayang
peristiwa dari masa ia masih kecil. Di situ pun ada berduduk
berendeng dua bocah, yang satu pria, yang lain wanita.
Mereka itu erat sekali perhubungannya. Merekalah Supu dan
ia sendiri. Di sana mereka biasa saling mendongeng, sampai
itu hari mereka diserang serigala yang ganas. Apa yang
mereka biasa omongi, ia seperti sudah lupa. Sebab sepuluh
tahun telah berselang. Hanya sekarang, melihat Supu bersama
Aman itu, ia terkenang akan masa yang lampau itu.
Segera sang salju mulai turun, sedikit demi sedikit, tetapi
lama-lama, kuda mereka, pula kepala mereka bertiga, mulai
putih ketutupan bunga salju. Juga tubuh mereka mulai
ketutupan. Supu dan Aman seperti tidak menghiraukan salju
itu. Dan Bun Siu pun tidak mempedulikannya.

Lagi sekian lama, barulah Supu dan Aman dibikin kaget
hingga keduanya berlompat bangun. Di pohon kayu di dekat
mereka terdengar suara berisik.
"Ha, air batu turun!" seru si pemuda. "Mari lekas pulang!"
Aman menurut, tanpa banyak omong lagi, mereka naik
kuda mereka dan melarikannya.
Bun Siu bagaikan tersadar mendengar seman mereka itu.
Ia pun lantas merasakan jatuhnya hujan air batu itu, yang
mengenakan kepalanya, mukanya dan tangannya, hingga ia
merasa sakit. Tanpa ayal lagi, ia lari pulang. Begitu ia tiba di
depan rumahnya, ia heran. Di muka rumah ada tertambat dua
ekor kuda, satu antaranya ia kenali adalah kudanya Aman.
"Mau apa mereka datang ke rumahku?" pikirnya. Sambil
menerka-nerka, ia turun dari kudanya, untuk dituntun ke
belakang. Hujan air batu bertambah keras turunnya.
Setelah ia memasuki ruang belakang dari rumahnya, Bun
Siu mendapat dengar suaranya Supu, katanya: "Paman, hujan
es turun secara besar-besaran, terpaksa kita mesti berdiam
lamaan di sini."
"Tetapi ingat, di hari-hari biasa, walaupun aku
mengundang, tidak nanti kau datang ke mari," terdengar
suaranya Kee Loojin.
"Tunggu, nanti aku mengambil air teh."
Memang juga, sekarang ini sukar untuk Kee Loojin,
umpamanya...... hendak mengundang Supu. Semenjak orangorang
Chin Wie Piauwkiok mengganas, orang Kazakh jadi
sangat mencurigai orang Han. Benar Kee Loojin sudah tinggal
lama di antara mereka itu dan terkenal baik, tetapi orang jadi
tidak suka bergaul dengannya. Bagusnya, dia tidak sampai
diusir pergi. Sebaliknya, tendanya Supu dan Aman telah
dipindah semakin jauh, hingga sukar mereka datang ke rumah

Kee Loojin itu. Kali ini kebetulan saja mereka ini ditimpa hujan
es.
Kee Loojin pergi ke dapur. Ia heran melihat Bun Siu sudah
pulang dan lagi berdiri bengong muka merah.
"Kau... sudah pulang?" katanya. Orang tua itu heran akan
tetapi ia mengangguk.
Tidak lama maka Kee Loojin sudah keluar dengan
membawa susu kambing, koumiss dan teh merah, untuk
menyuguhkan tetamunya.
Bun Siu duduk di dekat dapur, sambil menghangatkan diri,
ia memasang kuping. Ia mendengar suaranya Supu dan
Aman, yang kadang-kadang tertawa. Hampir ia berbangkit,
untuk pergi ke luar, untuk berbicara sama mereka itu.
"Tidak ada halangannya toh?" pikirnya Hanya, dalam
sekejap, ia menahan hati. Itulah sebab ia lantas ingat
sikapnya ayah Supu, yang galak, mulutnya gampang
mendamprat, cambuknya gampang merangket.
Ketika Kee Loojin kembali ke dapur, untuk membagi susu
dan teh pada si nona, ia heran melihat sinar mata nona itu.
Sudah belasan tahun mereka tinggal bersama, mereka mirip
kakek dan cucu sejati, tetapi mereka tetap bukan asal sedarah
sedaging, si empee sukar menjajaki hati si nona.
Setelah mengawasi, mendadak Bun Siu kata pada si
empee: "Aku hendak menyamar sebagai seorang nona
Kazakh, aku akan datang untuk numpang berlindung dari
hujan es, jangan yaya membuka rahasia." Tanpa menanti
jawaban, ia lekas pergi ke kamarnya, untuk dandan, pula ia
rubah sanggulnya. Sudah lama ia tinggal di wilayah
Hweekiang ini, ia jadi mirip dengan bangsa Kazakh. Habis
dandan, ia pergi pula ke dapur, kepada si empee, memberi
tanda dengannya. Baru ia pergi ke luar, untuk berlalu dengan
kudanya dengan manda ditimpa hujan es. Hanya kabur belum
satu lie, ia sudah lari kembali. Di depan rumahnya, ia

mengetuk pintu. Ia jeri juga ketika melihat cuaca yang luar
biasa. Sudah sepuluh tahun lebih ia tinggal di Hweekiang ini,
belum pernah ada hujan es lebat begini, dan awan pun
mendung sekali. Sambil mengetuk-ngetuk pintu, ia mengasih
dengar suaranya: "Mohon numpang! Mohon numpang!"
Kee Loojin membukai pintu. "Nona ada urusan apa?" ia
tanya.
"Hujan es hebat sekali, aku mohon menumpang
berlindung," menyahut Bun Siu.
"Boleh, boleh!" menyahut si empee, yang terpaksa main
sandiwara. "Di dalam pun ada dua sahabat lagi menumpang
berlindung. Mari masuk, nona!"
"Aku hendak pergi ke Huangsha Weitze, dari sini
perjalanannya masih berapa jauh lagi?" Bun Siu berlagak
menanya. Ia menggunai bahasa Kazakh. Ia senang si empee
dapat main sandiwara baik sekali. Kee Loojin berlagak kaget.
"Nona mau pergi ke sana? Ah, tidak dapat! Dengan cuaca
seburuk ini, tidak nanti kau dapat tiba di sana. Lebih baik nona
singgah satu malam di sini, besok baru kau melanjuti
perjalananmu. Kalau kau tersesat, itulah celaka..."
Bun Siu bertindak masuk, ia menggibriki es dari bajunya. Ia
melihat Supu dan Aman duduk berendeng menghadapi api.
Aman melihat yang datang adalah seorang nona, ia lantas
berkata manis: "Kakak, kita ketimpa hujan, mari
menghangatkan diri di sini!"
"Baiklah, terima kasih!" Bun Siu menyahuti. Ia lantas duduk
di samping nona Kazakh itu. Supu mengangguk seraya
bersenyum. Ia tidak mengenali nona itu, yang telah berpisah
dari ianya selama delapan atau sembilan tahun. Sekarang si
nona cilik telah menjadi dewasa, dandanannya pun lain sekali.
Kee Loojin menambah susu dan teh, ia bicara sama
tetamunya ini seperti mereka adalah orang-orang asing benarTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
benar. Bun Siu pun belajar kenal pada pemuda dan pemudi
itu. Ia sendiri mengaku bernama Tangsanli, gadisnya pemilik
sebuah peternakan di tempat jauhnya dua ratus lie dari situ.
Supu beberapa kali melongok ke jendela, untuk melihat
udara, meskipun sebenarnya, dengan mendengar suara hujan,
ia sudah dapat tahu hujan tak akan berhenti lekas-lekas.
Aman berkuatir, diam-diam ia tanya Supu kalau-kalau
gubuknya si orang tua ini tidak bakal ambruk diserang hujan
dan angin keras itu.
"Aku hanya menguatirkan wuwungan tidak dapat menahan
beratnya es dan salju," kata Supu. "Nanti aku naik ke atas,
untuk menyingkirkannya."
"Awas, nanti kau kena tertiup angin dan terbawa pergi!"
kata si pemudi.
Supu tertawa ketika ia menjawab: "Di tanah telah
bertumpuk banyak salju, umpama kata benar aku jatuh, toh
tidak nanti membahayakan!..."
Pikiran Bun Siu kusut. Ketika ia mengangkat cawannya,
tangannya bergemetaran. Ia mesti menyaksikan eratnya
hubungan muda-mudi itu. Ia sendiri tidak tahu mesti
mengatakan apa. Sahabatnya di masa kecil duduk dekatnya
tetapi mereka tidak dapat bicara satu dengan lain dengan
leluasa seperti duluhari. la pun memikirkan apa benar-benar
Supu tidak mengenalinya. Di lain pihak, ia ingin Aman tidak
mengetahui tentang persahabatan mereka...
Hari makin gelap. Diam-diam Bun Siu menggeser diri,
supaya Aman dan Supu dapat ketika untuk saling
menggenggam tangan mereka, untuk bicara tanpa terdengar
lain orang. Cahaya api, yang memain, pula memain di antara
mukanya muda-mudi itu. Cuma muka Bun Siu tak terlihat,
sebab ia berpisah cukup jauh dari unggun itu.

Kembali Kee Loojin menyajikan barang makanan. Hanya
mereka bertiga agaknya tidak ada napsu daharnya...
Selagi ruang ada sangat sunyi itu, di luar terdengar suara
larinya kuda di atas salju. Bun Siu mendengar, orang lagi
mendatangi ke gubuknya itu. Ia pun mengetahui, kuda itu
seperti sudah letih sekali.
Kee Loojin dapat mendengar suara kuda setelah datangnya
sudah dekat sekali.
"Kembali ada orang berlindung dari angin dan hujan..."
katanya
Supu berdua Aman mungkin mendengar dan mungkin
tidak, mereka tidak mempedulikan, mereka lebih asyik
menggenggam terus tangan mereka satu dengan lain, untuk
bicara saling berbisik...
Hanyalah sesaat, seorang penunggang kuda tiba lebih dulu.
Lantas terdengar ia menggedor pintu, bukan lagi mengetuk,
dan suaranya pun keras dan kaku, tidak miripnya orang yang
mau mohon menumpang singgah.
Dengan alis berkerut, terpaksa Kee Loojin membukai pintu.
Di depannya terlihat seorang yang tubuhnya besar, yang
mengenakan baju lapis kulit kambing, sedang di pinggangnya
tergantung pedang.
"Angin dan salju besar sekali, kudaku tidak dapat berjalan
terus!" dia kata keras. Dia bicara dalam bahasa Kazakh akan
tetapi tidak lancar dan suaranya pun tidak wajar. Dengan
mata tajam, ia memandangi semua orang yang berada di
dalam ruang itu.
"Silahkan masuk," Kee Loojin mengundang. "Silahkan
duduk! Mari minum arak!"
Tuan rumah yang tua ini ramah-tamah, ia lantas menuangi
arak dan menyuguhkannya.

Tetamu itu meminum araknya sekali cegluk, lantas dia
duduk di dekat api. Dia membuka baju luarnya, hingga di kiri
kanan pinggangnya terlihat juga sepasang pedang kecil
dengan gagang emas yang berkeredepan.
Bun Siu dapat melihat sepasang pedang itu, hatinya
bercekat, kerongkongannya seperti tersumbat sesuatu. Yang
lebih hebat matanya menjadi kabur, kepalanya menjadi
pusing. Tapi ia masih dapat berkata di dalam hatinya: "Inilah
pedang ibu!"
Meskipun waktu ibunya terbinasa ia masih berusia belum
sepuluh tahun, pedang ibunya itu Bun Siu ingat baik sekali, ia
mengenalinya tanpa keliru. Maka ia lantas melirik pada ini
tetamu yang kasar. Segera ia ingat orang ini ada satu di
antara tiga kepala penyamun yang mengejar-ngejar mereka
satu keluarga. Ia sendiri telah berubah banyak tetapi penjahat
itu, yang dulu berumur tiga puluh lebih dan sekarang menjadi
empat puluh lebih, sedikit perubahannya. Tapi ia kuatir orang
nanti mengenali padanya, ia tidak mau mengasih lihat
mukanya. Ia pikir pula: "Coba angin dan salju tak sebesar ini
tidak nanti aku bertemu sama Supu dan ini manusia jahat."
"Tuan dari mana?" Kee Loojin bertanya. "Tentu dari tempat
jauh ya?"
"Hm!" jawabnya tetamu itu, yang kembali menenggak
secawan arak.
Itu waktu tibalah penunggang kuda yang kedua. Kali ini
pintu diketuk dengan perlahan, seperti juga orang itu takut
membikin kaget tuan rumah.
Kee Loojin kembali membukai pintu, mengundang
tetamunya masuk.
Tubuh orang itu menggigil, mukanya pun ditutupi sabuk
bulu kambing dan kopiahnya dibelesaki menutupi seluruh
jidatnya, hingga ia terlihat saja kedua matanya. Ia mengasih
dengar suara aa-u-u dan kedua tangannya digerak-geraki.

Nyata ia seorang gagu.
Dengan gerakan tangan, Kee Loojin mengundang orang
berduduk, terus ia menyuguhkan arak.
Si gagu memberi hormat sambil menjura dalam, kepalanya
digoyangi. Ia menolak meminum arak. Dengan itu ia
menghaturkan terima kasihnya. Ia kedinginan sangat, meski
sudah mendampingi api, ia masih tidak mau membuka baju
atau kopiahnya atau sabuknya. Ia bahkan duduk merengkat.
"Kau minum arak, rasa dingin akan berkurang," kata Bun
Siu, yang merasa berkasihan.
Kembali si gagu aa-u-u ia seperti tak mengerti omongan
orang.
"Siapa gagu, dia pun tuli," kata Kee Loojin. "Dia ini tidak
mendengar suara orang." Bun Siu tertawa "Ya, aku lupa!"
katanya Di situ berkumpul semuanya enam orang bersama
mereka, Supu dan Aman tidak dapat lagi berbisik-bisik. Ketika
Supu sudah mengawasi tuan rumah sekian lama, ia berkata:
"Empee, kaulah orang Han. Dapatlah aku menanyakan
tentang sesuatu orang?"
"Siapa ya?" si empee balik menanya.
"Dialah seorang nona Han dengan siapa aku pernah hidup
bersama selagi kita masih kecil, sering kita main-main
berdua," menerangkan Supu.
Bun Siu terkejut, ia lekas melengos.
"Dia bernama Lie Bun Siu," Supu menambahkan
sebelumnya si orang tua menyahuti. "Sudah selang delapan
atau sembilan tahun kita berpisah lantas kita tidak bertemu
pula satu dengan lain. Aku ingat dia membilangnya bahwa ia
tinggal bersama seorang tua yang bungkuk punggungnya.
Bukankah orang tua itu empee adanya?"

Kee Loojin batuk-batuk. Ia ingin memperoleh
penghunjukan dari Bun Siu tetapi si nona lagi berpaling ke lain
arah. Ia menjadi bingung hingga ia cuma dapat berkata: "Ah,
ah..."
"Dialah nona yang nyanyinya paling merdu," berkata pula
Supu, "hingga orang mengatakan suaranya lebih merdu
daripada nyanyiannya si burung nilam. Selama beberapa
tahun ini tidak pernah aku mendengar pula nyanyiannya itu.
Empee, apakah dia masih tinggal bersama empee disini?"
"Tidak... tidak..." kata si empee, tak lancar. "Dia tidak..."
"Oh, kau maksudkan si nona Han yang dulu tinggal
bersama empee ini..." tiba-tiba Bun Siu campur bicara. "Aku
kenal dia Dia telah meninggal dunia pada enam atau tujuh
tahun yang lalu!"
Pemuda Kazakh itu kaget.
"Ah, dia telah meninggal dunia!" serunya. "Kenapa dia
mati?"
Kee Loojin melirik Bun Siu. "Dia sakit... sakit..." ia
menyahuti.
Matanya Supu menjadi merah.
"Ketika kita masih kecil, biasa kita menggembala kambing
bersama," ia bilang, suaranya parau. "Dia sering bernyanyi
untuk aku mendengari, dia juga gemar mendongeng. Baru
beberapa tahun tidak bertemu, aku tidak sangka dia telah
menutup mata."
"Ya, kasihan anak itu..." kata Kee Loojin.
Supu mendelong mengawasi perapian.
"Dia pernah membilangi aku bahwa ayah dan ibunya telah
dibinasakan orang jahat," katanya pula kemudian, "karenanya
dia jadi hidup sebatang kara dan menderita di sini..."

"Apakah nona itu cantik?" Aman tanya. Baru sekarang dia
turut bicara.
"Ketika itu aku masih kecil, aku tidak ingat jelas,"
menjawab Supu. "Aku cuma tahu dia pandai bernyanyi,
suaranya merdu, serta dia gemar bercerita, dan ceritanya
menarik hati..."
Sekonyong-konyong si orang kasar menyeletuk: "Kau
maksudkan si bocah Han? Kau bilang dia she Lie? Bahwa ayah
dan ibunya terbinasakan orang hingga dia terlantar seorang
diri?"
Nyerocos pertanyaannya orang asing ini.
"Benar. Kau juga kenal dia?" Supu menjawab seraya balik
bertanya.
Orang itu tidak menjawab, hanya dia menanya pula: "Dia
menunggang seekor kuda putih, bukankah?"
"Benar," menyahut Supu. "Jadi kau pun telah mengenal
dia."
Mendadak orang itu berbangkit.
"Dia mati di sini?" dia tanya Kee Loojin, bengis.
"Ya," menyahut si orang tua, yang terpaksa bersandiwara
terus.
"Kau tentunya menyimpan baik-baik segala barang
peninggalannya?" tanya orang asing itu.
Kee Loojin heran, ia mengawasi orang sambil melirik.
"Apa hubungannya barang orang itu denganmu?" ia tanya.
"Ada serupa barangku telah dicuri nona itu!" menyahut si
tetamu kasar. "Aku telah cari dia di mana-mana kiranya dia
sudah mampus..."
Tiba-tiba Supu berbangkit.

"Kau ngoceh tidak keruan!" bentaknya. "Cara bagaimana
Nona Lie dapat mencuri barangmu?"
"He, kau tahu apa?" balik tanya orang itu.
"Nona Lie bersama aku hidup bersama-sama semenjak
masih kecil," kata Supu.
"Aku tahu dialah satu nona yang baik hatinya, tidak nanti
dia mencuri barang orang!"
Orang itu melirik, sikapnya tawar.
"Dia justru telah mencuri barangku!" ejeknya.
Supu memegang gagang golok di pinggangnya.
"Siapa namamu?" dia tanya. "Aku lihat kau bukan orang
Kazakh! Mungkin kaulah si penyamun bangsa Han!"
Orang itu tidak menyahuti, dia hanya bertindak ke pintu,
lalu mementangnya, hingga angin dingin menghembus masuk,
membawa sekalian banyak lempengan salju. Di luar, salju
melulahan di mana-mana orang dan binatang pasti tidak dapat
berlalu-lintas lagi di sana Dia pikir: "Di waktu begini tentulah
tidak bakal ada orang datang kemari! Di sini ada dua nona
yang lemah, seorang tua yang lemah juga dan si gagu itu
yang bercacad, asal aku menggeraki tanganku, dia tentu
roboh! Tinggal ini satu pemuda, yang romannya kekar, dia
mungkin memerlukan beberapa jurus untuk merobohkannya."
Karena berpikir demikian, ia lantas mengambil keputusan.
"Benar aku orang Han!" katanya, menantang. "Habis kau
mau apa? Aku she Tan, namaku Tat Hian, orang kangouw
menyebutnya Cheebong Kiam, si Pedang Ular Naga Hijau!
Binatang cilik, kau dengar tidak?"
Supu tidak mengetahui tentang kaum kangouw ia
menggeleng kepala.
"Aku belum pernah mendengar," sahutnya. "Kau jadinya
penyamun bangsa Han?"

"Tuan besarmu satu piauwsu, hidupnya justru membasmi
perampokan!" kata Tat Hian pula "Mengapa kau bilang aku
penyamun?"
Mendengar orang bukannya penyamun dan keterangan itu
ia mau percaya, sikapnya pemuda Kazakh ini menjadi sabar.
Ia kata: "Bagus kalau kau bukan penyamun bangsa Han! Aku
memang tahu banyak orang Han orang baik-baik, tetapi
banyak bangsaku yang tidak mempercayainya. Untuk kau,
baiklah kau jangan menyebut-nyebut pula bahwa Nona Lie itu
telah mengambil milikmu!"
Tapi Tan Tat Hian tertawa dingin.
"Perempuan itu sudah mati, untuk apa kau masih
mengingati dia?" katanya.
"Semasa hidupnya, kita adalah sahabat-sahabat baik,"
berkata Supu, "maka itu setelah dia menutup mata, dia tetap
sahabatku. Aku melarang orang omong jelek tentangnya!"
Tat Hian tidak ingin berebut mulut, maka ia menoleh
kepada Kee Loojin.
"Mana barang-barangnya si nona?" tanyanya.
Sementara itu Bun Siu bersyukur yang Supu masih ingat ia
dan membelanya. "Dia tidak melupai aku, dia tidak melupai
aku," katanya dalam hatinya "Dia tetap baik terhadapku..."
Tapi ia heran untuk sikapnya Tat Hian itu. Pikirnya: "Tidak
pernah aku mengambil barang dia, kenapa dia menuduh aku
mencurinya?" Ia tak sadar akan kelicikan orang.
"Kau kehilangan barang apa, tuan?" tanya si empee Kee.
"Nona kecil itu polos dan jujur, inilah aku ketahui, maka itu
tidak dapat dia mengambil barang lain orang."
"Itulah sehelai peta!" menyahut Tat Hian setelah berdiam
sejenak. "Untuk lain orang, peta itu tidak ada artinya, sebab...
Itulah gambar lukisan yang dibuat almarhum ayahku, maka

perlu aku mendapatkannya pulang. Nona Lie tinggal di
rumahmu ini kau tentunya pernah melihat itu."
"Bagaimana sebenarnya lukisan itu? Apakah gambar sansui
atau orang?" Kee Loojin menanya pula.
"Ya, gambar sansui..." sahut Tat Hian.
"Hm!" Supu tertawa dingin. "Gambar atau peta apa masih
tidak tahu tetapi berani sembarang menuduh orang!"
Gusar Tat Hian, maka ia menghunus pedang kecilnya.
"Bangsat kecil, apakah kau sudah bosan hidup?" dia
menegur. "Tuan besarmu biasa membunuh orang tanpa
menutup matanya!"
Supu pun menghunus golok pendeknya.
"Tidak gampang untuk membunuh seorang Kazakh!"
katanya menantang, suaranya dingin.
"Supu, jangan ladeni dia!" berkata Aman.
Supu mendengar kata, dengan ayal-ayalan ia masuki
goloknya ke dalam sarungnya.
Telah bulat tekadnya Tan Tat Hian mendapatkan peta dari
Istana Rahasia Kobu, untuk itu sudah belasan tahun dia dan
kawan-kawannya hidup di wilayah Hweekiang ini di mana
mereka merantau ke banyak tempat, sekarang dia mendapat
endusan tentang si Nona Lie, turunannya Pekma Lie Sam,
mana dia mau melepaskannya dengan gampang? Dia memang
bangsa kasar, tetapi dia bisa berpikir. Dia mengerti, tak sabar
artinya gagal. Maka dia cuma mendelik kepada Supu, lalu dia
berpaling pula kepada tuan rumah yang tua itu.
"Peta itu ialah sebuah gambar," katanya. "Itulah lukisan
dari pemandangan alam di suatu tempat di gurun pasir, ada
gunungnya, ada kalinya..."
Hati si empee terkesiap, sedang tubuh si gagu menggigil.

"Kenapa kau ketahui peta atau gambar itu ada di
tangannya si Nona Lie?" empee Kee tanya pula kemudian.
"Apa yang aku bilang ini ada hal yang benar," menyahut
Tat Hian. "Jikalau kau serahkan peta itu padaku, suka aku
memberi hadiah besar padamu." Ia lantas merogoh keluar dua
potong goanpoo emas, yang ia terus letaki di atas meja. Uang
emas itu mengeluarkan sinar berkeredepan yang
menggiurkan. Empee Kee berdiam berpikir. "Sebenarnya aku
belum pernah melihat barang itu," katanya.
"Aku hendak melihat semua barang peninggalannya nona
kecil itu!" kata Tat Hian.
"Ini... ini..." empee itu bersangsi. Tangan kirinya Tat
Hian bergerak, maka sebatang pedang kecilnya nancap di
meja.
"Ini... ini...apa?" bentaknya. "Nanti aku lihat sendiri!" la
menyulut sebatang lilin, dengan bengis ia menolak pintu
dalam, untuk masuk ke kamar. Paling dulu ia masuki
kamarnya si empee. Ia membalik-balik tempat pakaian.
Kemudian ia masuk ke kamarnya Bun Siu. Di sini ia
mendapatkan baju si nona, yang tadi dia loloskan, untuk
menyalin pakaian sebagai nona Kazakh.
"Ha dia mati sesudah besar!" katanya si piauwsu
penyamun. Ia lantas memeriksa dengan terliti.
Di situ ada pakaiannya Nona Lie semenjak dia masih kecil,
benar pakaian itu sudah tidak dapat dipakai tetapi sebab itu
buatan ibunya sendiri, dia menyimpannya terus. Melihat
pakaian itu, Tat Hian samar-samar mengingat roman dan
potongan tubuh Bun Siu semasa kecilnya itu, ketika mereka
mengejar-ngejarnya di gurun pasir.
"Benar! Benar!" katanya girang. "Benar dia!" Hanya setelah
mencari sekian lama, ia tidak mendapatkan barang yang ia
cari.

Supu gusar bukan main menyaksikan orang mengadukaduk
pakaian Bun Siu, beberapa kali sudah ia memegang
goloknya, untuk dicabut, saban-saban Aman mencegahnya.
Kee Loojin sendiri saban-saban melirik kepada Bun Siu,
sinar mata siapa menyala bagaikan api, hanya nona itu,
mengenai sepak terjangnya Tat Hian, seperti tidak melihatnya.
Maka masgullah orang tua ini. Ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Bagaimana kalau penyamun ini mengenali si nona?
Bun Siu memperhatikan sikapnya Supu. Ia berduka, ia pun
merasa puas.
"Benar-benar dia masih ingat aku," pikirnya. "Agaknya dia
bersedia bertempur untuk membelai barang-barangku." Di lain
pihak, ia tetap heran atas sikapnya si orang jahat. Pikirnya:
"Mengapa dia berkeras menuduh aku mencuri barangnya?
Peta apakah itu?"
Memang duluhari Bun Siu disesapkan peta oleh ibunya
hanya ia belum tahu apa-apa, ibunya pun tidak sempat lagi
memberi keterangan padanya, la juga tidak tahu yang
kawanan piauwsu dari Chin Wie Piauwkiok, yang berubah
menjadi penyamun, telah mencari itu selama sepuluh tahun
lebih.
Sia-sia Tat Hian menggeledah sekian lama, ia nampak
masgul dan putus asa. Tapi tidak lama, mendadak dia
menanya bengis: "Di manakah kuburannya?"
Kee Loojin melengak. Itulah pertanyaan yang ia tidak
sangka.
“Dia dikubur jauh, jauh sekali..." sahutnya gugup.
Tat Hian menurunkan pacul dari dinding.
"Mari antar aku!" katanya.
Supu berbangkit.
"Kau hendak bikin apa?" ia tanya.

"Perlu apa kau campur urusanku?" bentak Tat Hian. "Aku
hendak membongkar kuburannya, untuk memeriksa. Mungkin
dia membawanya peta itu ke liang kubur!"
Supu menghunus goloknya, ia menghalang di pintu.
"Aku larang kau menggali kuburannya!" ia kata nyaring.
"Minggir!" bentak Tat Hian. la mengayun paculnya,
menyerang.
Supu berkelit ke kiri, terus ia menyerang.
Tat Hian melemparkan paculnya, ia mencabut pedangnya.
Maka "Trang!" kedua senjata mereka beradu keras. Atas itu
keduanya sama-sama lompat mundur setelah mana, mereka
maju pula, untuk bertempur di dalam ruang yang tak lebar itu.
Kee Loojin lantas menyingkir ke pinggiran, juga si gagu dan
Aman. Cuma Bun Siu yang berdiri diam di dekat jendela.
Kemudian Aman mencabut pedang pendeknya Tat Hian,
yang nancap di meja, dia berniat membantu Supu akan tetapi
dia tidak memperoleh kesempatan guna menyelak di antara
mereka
Supu telah mendapatkan pelajaran dari ayahnya, ia
berkelahi bengis sekali.
Tat Hian heran hingga ia berpikir: "Aku tidak menyangka
bocah Kazakh ini gagah sebagai erang gagah dari
Tionggoan..."
Tengah ia berpikir itu, ia kaget akan mendengar suara
angin di belakangnya, dari datangnya senjata tajam. Sebab
Aman, yang tidak bisa maju, lantas menimpuk dengan pedang
pendek. Ia berkelit ke kanan. Justeru ia berkelit, justeru tiba
serangannya Supu, maka lengannya kena tergores golok, siasia
ia mencoba berkelit lebih jauh. Ia menjadi gusar sekali,
lantas ia membalas menyerang. Tiga kali beruntun ia menikam

dengan jurus-jurus dari ilmu silat pedangnya, "Cheebong
Kiamhoat" atau Ilmu Pedang Ular Naga Hijau.
Supu kaget melihat datangnya serangan saling susul,
sedang sinar pedang membuat matanya silau. Tahu-tahu
lehernya telah kena dimampirkan pedang lawan itu hingga
darahnya mengalir keluar.
Tat Hian memperoleh hati, ia mendesak terus. Di lain saat,
lengan Supu kena kelanggar pedang, sampai dia merasakan
sakit, goloknya terlepas dari cekalannya dan jatuh.
Di saat tikaman yang ketiga mengancam dan Supu agaknya
mati daya, Bun Siu maju satu tindak, untuk menolongi. la
hendak menggunai ilmu Tay Kimna Ciu, guna menangkap
tangannya Tat Hian. Akan tetapi mendahului ia, Aman telah
berlompat ke depan Supu sambil berseru: "Jangan melukakan
dia!"
Melihat nona Kazakh yang elok itu, tapi yang romannya
ketakutan, batal Tat Hian menikam terus. Dengan mengancam
sama ujung pedangnya, ia tertawa dan tanya nona itu: "Kau
begini memperhatikan dia! Adakah dia kekasihmu?"
Muka Aman merah tetapi ia mengangguk.
"Kau menyayangi dia, baik!" kata Tat Hian pula. "Aku nanti
memberi ampun padanya asal besok badai berhenti, kau turut
aku!"
Supu menjadi sangat mendongkol, sambil berseru, ia maju
ke depan Aman, hendak ia menerjang musuhnya itu.
Tat Hian berlaku awas dan sebat, dengan ujung pedangnya
masih mengancam, ia menggeraki kaki kirinya ke kaki orang,
maka tanpa ampun lagi, robohlah pemuda Kazakh itu. Coba
pedang ditusukkan terus, akan tertumblaslah tenggorokannya
si anak muda
Didalam keadaan seperti itu, Bun Siu masih mengawasi
saja Ia memasang mata, ia bersiap sedia menggunai ilmu

totoknya, karena peryakinannya atas ilmu Itcie Cin Thianlam,
telah menyampai kemahiran tujuh atau delapan bagian. Hanya
Aman tidak tahu bahwa seorang penolong siap sedia di
dampingnya, karena mana, ia menyerah atas desakan si
penyamun. Ia memberikan penyahutannya: "Baiklah, aku
terima permintaanmu, asal kau jangan bunuh dia!"
Tat Hian girang sekali. Tapi pedangnya ia masih belum mau
mengisarkannya.
"Kau menerima baik akan turut aku besok, jangan kau
menyesal," ia bilang.
"Aku tidak menyesal," jawab Aman seraya menggigit
giginya. "Singkirkan pedangmu!" Tat Hian tertawa lebar.
"Taruh kata kau menyesal dan menyangkal kau toh tidak
bakal lolos dari tanganku!" katanya, la menarik pedangnya,
untuk dikasih masuk ke dalam sarungnya, terus ia menjumput
goloknya Supu. Ia memandang ke luar jendela, lantas ia
berkata: "Sekarang kita tidak dapat pergi membongkar
kuburan kita tunggu saja sampai langit sudah terang." Ia
menjadi berbesar hati, karena di situ cuma ia sendiri yang
bersenjata.
Sampai sebegitu jauh, ia belum melihat gerak-geriknya Bun
Siu.
Aman mempepayang Supu untuk dibawa ke pinggir. Ia
melihat darah masih mengalir keluar dari leher si pemuda. Ia
menjadi bingung, hingga ia mau menyobek ujung bajunya
untuk dipakai membalut.
"Pakai ini saja," kata Supu, ia mengeluarkan sehelai sapu
tangan dari sakunya.
Aman membalut, habis itu, sendirinya ia menangis. Ia
memikirkan nasibnya, yang telah terjatuh ke tangan
penyamun itu. Dapatkah ia nanti meloloskan dirinya?

"Bangsat anjing! Jahanam!" Supu mendamprat perlahan. Ia
tidak berdaya tetapi ia tidak takut. Kalau terjadi orang
memaksa membawa Aman, ia bersedia untuk mengurbankan
jiwanya guna melindungi nona itu.
Setelah pertempuran itu, ke enam orang itu duduk diam
mengitari perapian, akan tetapi suasana tetap tegang. Sebelah
tangannya Tan Tat Hian tidak pernah melepaskan goloknya.
Untuk menenggak arak, ia menggunai tangan kiri. Senantiasa
ia memandang Aman dan melirik Supu.
Di luar, badai masih mengamuk. Sering lempengan salju
beterbangan menghajar tembok atau wuwungan hingga
mendatangkan rasa kaget dan kuatir. Semua orang menutup
mulutnya.
Sang waktu dilewatkan Bun Siu dengan segala ketenangan
hatinya. Sejak semula ia sudah pikir untuk berlaku sabar. Tadi
pun ia baru menindak atau Aman mendahului ia. Katanya di
dalam hatinya: "Biarlah jahanam ini bertingkah lagi sekian
waktu, tak usah aku tergesa-gesa..."
Dalam kesunyian itu, mendadak api meletus. Ada kayu
yang terbang terbakar meledak, mulanya gelap, lalu terang
luar biasa hingga mereka dapat melihat tegas sekali wajah
masing-masing.
Bun Siu tercengang ketika ia mendapat lihat sapu tangan di
lehernya Supu, hingga ia mengawasi terus.
Kee Loojin, yang memperhatikan nona ini, turut melihat ke
arah Supu, hingga ia melihatnya juga sapu tangan itu. Bahkan
ia lantas menanya: "Eh, Supu, dari mana kau dapatkan sapu
tanganmu itu?"
Si anak muda Kazakh melengak. Ia meraba ke lehernya.
"Kau maksudkan sapu tangan ini?" dia balik menanya. "Inilah
si nona Lie yang telah mati itu yang memberikannya padaku.
Di waktu masih kecil kita menggembala kambing bersamasama,
pada suatu hari ada serigala yang menerkam kami

berdua, lantas aku membinasakan anjing liar itu. Aku terluka
sedikit, si nona membalutnya dengan sapu tangan ini..."
Bun Siu mendengar kata-kata itu, matanya terus
mengawasi sapu tangan. Sekarang penglihatannya rada
kabur. Tanpa merasa, air matanya telah mengembeng.
Empee Kee masuk ke dalam kamarnya, untuk mengambil
sehelai sapu tangan putih. Si penyamun mengawasi gerakgeriknya,
ia tidak menghiraukan.
"Kau balut lukamu dengan sapu tangan ini," kata si empee
pada si pemuda "Mari sapu tanganmu itu, kasih aku lihat."
"Kenapakah?" tanya Supu heran.
Oleh karena pembicaraan itu, Tat Hian turut
memperhatikan sapu tangan di leher si pemuda.
Mendadak ia berlompat bangun, goloknya diangkat.
"Kau disuruh membuka sapu tangan itu, kau bukalah!" ia
membentak. Nampaknya ia seperti gusar sebab si anak muda
main ayal-ayalan atas permintaannya si tuan rumah.
Supu berdiam, dengan mata gusar, ia memandangi
penyamun itu.
Aman takut orang menggunai kekerasan, lantas ia
mewakilkan Supu membuka sapu tangan itu, untuk diserahkan
kepada Kee Loojin, terus dengan sapu tangan yang putih, ia
membalutnya pula luka si pemuda
Tuan rumah lantas membeber sapu tangan yang
berlepotan darah itu di atas meja. Ia pun membesarkan pelita
minyaknya. Dengan terliti ia lantas mengawasi.
Tan Tat Hian turut mengawasi juga.
"Benar! Benar!" mendadak dia berseru seorang diri,
sesudah meneliti sekian lama. "Inilah itu peta Istana Rahasia
Kobu!" Dan ia mengulurkan tangannya untuk merampas!

Sebat tangannya piauwsu ini tetapi lebih sebat si empee
Kee, ketika tangannya lagi tiga dim akan mengenai sapu
tangan itu, sapu tangannya sendiri sudah tersambar si empee.
Berbareng dengan itu, suatu sinar terang menyambar
bagaikan kilat, lantas Tat Hian menjerit kesakitan, sebab
sebatang pisau belati sudah nancap di belakang tangan
kanannya itu, pisaunya tembus nancap ke meja sebatas
gagangnya Pula si empee menunjuki lain kesehatannya, ialah
dengan tangan kirinya ia sudah merampas golok panjang dari
si penyamun, untuk segera diancamkan ke tenggorokan
penyamun itu!
Hebat empee bungkuk sebagai unta ini, ia gesit luar biasa,
ia lihai sekali.
Tan Tat Hian berdiri dengan muka meringis, tubuhnya
menggigil, tangan dan kakinya tidak berani digeraki, terutama
tangan kanannya yang terpanggang pisau belati itu. Cuma
matanya yang dapat main, mengawasi si empee dan ke
sekitarnya
Bun Siu kagum bukan main. Selama sepuluh tahun ia
tinggal bersama si empee, cuma satu kali ia menyaksikan
empee itu mempertunjuki kepandaiannya, yaitu ketika dia
membinasakan Liangtauw Coa Tang Yong si Ular Kepala Dua.
Pula ketika itu dapat dibilang karena kebetulan. Sekarang Kee
Loojin memperlihatkan kepandaiannya yang istimewa.
Pertama-tama tikaman pisau belatinya yang sangat cepat dan
tepat. Kedua ialah caranya ia merampas goloknya Tat
Hian. Jurusnya ini ialah yang dinamakan "Menunjang
penglari, menukar tiang", suatu jurus lihai dari ilmu tangan
kosong merampas senjata tajam. Itulah sama dengan ilmu
Kimna Ciu, yang gurunya Hoa Hui mengajarinya. Ia sendiri, ia
percaya, tidak nanti dapat bergerak dengan sebat.
Habis itu Kee Loojin mengulur pula tangannya, untuk
mengambil pedang pendek bergagang emas dan perak dari
pinggangnya si penyamun, terus ia menyerahkan itu kepada si

nona seraya ia berkata: "Nona, tolong kau mengambilkan
sehelai tambang."
Bun Siu menyambuti pedang ibunya, tangannya
bergemetaran, lantas ia lari ke belakang, untuk mengambil
tambang yang diminta si empee, maka di lain saat empee itu
sudah lantas mencabut pisau belatinya yang memanggang
tangan si penyamun, tangan siapa terus ditelikung ke
belakang sambil ia berkata pula: "Nona, belenggulah bangsat
jahat ini!"
Bun Siu berdiri bengong, tangannya masih memegangi
pedang pendek ibunya, sedang kedua matanya basah dengan
air matanya. Ia seperti tidak mendengar perkataannya si
empee. Karena itu Supu yang menghampirkan, membantu
tuan rumah mengikat Tat Hian, kedua tangan dan kedua
kakinya, kedua tangannya itu tetap ditelikung.
Setelah itu, di antara sinar api, Kee Loojin mengawasi sapu
tangan yang si penyamun menyebutnya peta Istana Rahasia
Kobu. Terang ia nampak heran.
"Bolehkah kau menyerahkan sapu tangan ini padaku?"
kemudian ia tanya Supu.
Supu memperlihatkan roman bersangsi dan bersusah hati.
Empee ini sudah menolongi ia dan Aman, sepantasnya ia
mesti membalas budi, tidak peduli dengan mustika. Hanya...
hanya inilah sapu tangan tanda mata dari si nona Lie. Mana
dapat ia menyerahkan itu kepada lain orang?
Empee Kee mengawasi, ia dapat menduga hati orang.
"Begini saja," katanya kemudian. "Kau kasih aku pinjam
lihat untuk satu hari, besok aku akan membayar pulang
padamu."
Mendengar ini, girang Supu.
"Asal empee sudi membayar pulang, kau boleh pinjam itu
untuk sepuluh hari atau setengah bulan."

Aman tidak mengerti, ia heran sekali.
"Empee," ia tanya, "barusan penyamun ini menyebut
bahwa sapu tangan ini ialah peta, entah peta apa Sebenarnya,
apakah artinya ini?"
Kee Loojin melirik kepada Bun Siu.
"Sebenarnya aku pun belum mengerti jelas," sahutnya.
"Aku masih hendak memikirkannya dahulu."
"Bangsat tua!" mendadak Tan Tat Hian mencaci tuan
rumah. "Kau telah menangkap aku! Mau apa sekarang? Kau
hendak membunuh aku atau menghukum picis? Lakukanlah!
Kalau aku mengerutkan saja alisku, aku si orang she Tan
bukannya satu hoohan!"
Kee Loojin mengawasi, ia menyahuti dengan tawar: "Kita
tidak berselisih, kita tidak bermusuhan, perlu apa aku
membunuh kau? Kau dan kawan-kawanmu telah mengganas
di gurun pasir ini, kamu main rampas, main membakar, main
membunuh manusia, sangat banyak kejahatanmu, untuk itu
bakal ada orang yang nanti membuat perhitungan denganmu.
Kau tunggulah sampai besok terang tanah, Supu nanti
menggusur kau kepada ketuanya, di sana orang nanti
menghukummu!" Supu berjingkrak. "Empee!" katanya,
separuh berseru, "apakah manusia jahat ini dari
rombongannya penyamun itu?"
"Kau tanyalah dia sendiri!" menjawab si empee singkat.
Supu mengangkat goloknya, ia menghampirkan Tat Hian.
"Kawanan bangsat yang membunuh ibu dan kakakku, jadi
itulah rombonganmu, jahanam?" dia tanya.
"Memang kawanan penyamun di gurun pasir itu ialah
rombongan tuan besarmu ini!" menyahut Tat Hian dengan
berani, mulutnya dipentang lebar, untuk sekalian mencaci.
"Jikalau kau berani mengganggu selembar saja rambutku
maka besok nusa semua saudaraku bakal meluruk kemari

untuk menuntut balas! Nanti semua kamu dibasmi berikut
segala ayam dan anjingmu!"
Supu gusar sekali, ia ingat sakit hati ibu dan kakaknya.
Maka ia mengayun goloknya.
Tan Tat Hian tertawa dingin, ia kata pula mengejek: "Orang
lain yang menangkap aku, kaulah yang enak saja hendak
membacoknya! Sudah aku bilang memang orang Kazakh
bangsa bernyali kecil dan sangat tidak tahu malu!"
Supu batal membacok, tapi ia pun tertawa ewah, ia kata:
"Baiklah, sekarang aku tidak akan bunuh mampus padamu,
tetapi besok, besok aku akan minta ayahku yang membikin
perhitungan denganmu! Kau tahu, orang tuaku itu telah
mencari kawanan bangsatmu sampai sepuluh tahun tetapi
masih belum bertemu juga! Besok kau nanti lihat sifatnya
orang-orang gagah bangsa Kazakh!"
Supu tahu memang keinginan utama dari ayahnya ialah
membinasakan dengan tangan sendiri musuh isteri dan
puteranya itu, maka adalah paling benar menyerahkan
penyamun ini kepada ayahnya. Karena itu, ia lantas kembali
ke tempatnya duduk.
Tan Tat Hian tertawa dingin. Dia kata: "Anak tolol, lekas
kau rampas pulang sapu tanganmu itu! Dengan mengasih
pinjam sapu tangan itu satu hari pada tua bangka ini maka itu
berarti bahwa harta besar dan mustika bangsamu, bangsa
Kazakh, telah..."
"Tutup bacotmu!" menyelak Kee Loojin. "Kau ngaco belo!
Apakah kau hendak adu kami satu dengan lain? Hm!"
Tan Tat Hian membandel.
"Itulah peta dari Istana Rahasia Kobu, bukankah?" kata dia
pula. "Eh, Supu, apakah kau menyangka tua bangka ini
manusia baik-baik? Haha! Anak tolol! Dia justeru hendak
mengangkangi harta karun kamu!"

Kee Loojin seperti habis sabarnya, maka sebelah tangannya
terayun, sebilah pisau belatinya menyambar ke arah uluhati
penyamun besar kepala itu!
Tat Hian terikat kaki tangannya, ia melihat datangnya
serangan, ia tidak bisa berbuat lain daripada berkelit bersamasama
tubuhnya. Mungkin, masih tidak dapat ia bebas
anteronya. Di saat ia terancam bahaya maut itu, tangannya
Bun Siu terayun, lantas pedang pendeknya meleset,
menyambar pisau belati si empee, maka kedua senjata
beradu, terus membentur tembok di mana keduanya nancap!
Orang kaget menyaksikan kepandaiannya Bun Siu itu,
seorang nona yang nampaknya bertubuh lemah, yang sekian
lama berdiam saja. Kee Loojin heran hingga ia melongo,
mulutnya celangap. Bukankah ia telah tinggal bersama nona
itu sepuluh tahun lebih? Adalah si gagu yang tertawa a-a-u-u
sambil bertepuk tangan.
"Kee Lootiang," berkata Bun Siu tawar, "saudara ini telah
membilangnya besok pagi orang ini hendak diserahkan kepada
orang tuanya untuk diperiksa dan dihukum, oleh karena itu
sekarang ini tak usahlah kau membinasakan dia. Hanya,
mengenai istana Rahasia Kobu itu, aku ingin mendengarnya!
Bagaimana itu sebenarnya? Umpama dia hanya ngaco belo,
kita boleh membiarkannya, kita mengganda tertawa saja! Buat
apa kita bersungguh-sungguh terhadapnya?"
"Kakak ini benar," berkata Aman. "Supu, tidakkah ini aneh?
Kenapa sapu tangan sahabatmu itu justeru suatu peta?"
Kee Loojin kenal baik tabiatnya Bun Siu, biarnya dia lemah
lembut, kemauannya keras, sukar dicegah, maka itu, ia suka
membiarkan Tan Tat Hian bercerita.
Penyamun itu kata dengan nyaring: "Tuan besarmu telah
terjatuh ke dalam tangan kamu, tuan besarmu tidak takut apa
juga! Biarlah aku menuturkan tentang peta ini! Lukisan di
dalam sapu tangan ini adalah lukisan atau peta dari Istana

Rahasia Kobu itu. Coba kamu mengawasinya dengan saksama,
kamu meneliti sutera dan benang yang dipakai menyulam dan
menjahitnya, yang merupakan gunung, air dan gurun.
Tidakkah itu ada sutera dan benang wol kuning, yang sama
warnanya hingga sangat sukar untuk dibedakannya? Coba itu
sutera dan benang wol terkena darah, lantas menjadi nyata
perbedaannya. Lihatlah sekarang? Bukankah benang wol itu
lebih banyak menyedot darah daripada benang sutera?"
Bun Siu mengangkat sapu tangan itu, untuk meneliti.
Benarlah keterangan Tat Hian itu. Benang yang menyedot
darah menjadi merah, yang tidak, tetap kuning, karena mana,
gambar nampak menjadi jelas sekali. Baru sekarang ia
mengerti, sapu tangan itu menggenggam rahasia, dan itulah
peta Istana Rahasia Kobu.
Tan Tat Hian melanjuti kata-katanya: "Rahasianya Istana
Kohii itu dibawa oleh seorang edan. Inilah kejadian pada
belasan tahun yang lampau. Di kota Lokyang ada hidup satu
jago tua she The bernama Kiu In. Pada suatu hari dia
mengadakan pesta ulang tahun kedelapan puluh. Banyak
orang gagah yang datang untuk memberi selamat padanya.
Selagi pesta berjalan, muncullah si edan itu, dia tertawa lebar,
tangannya menggenggam pelbagai macam mutiara, kumala
dan lainnya batu permata. Dia lantas meletakinya semua itu di
atas meja sambil berkata: 'Suhu, aku membawa hadiah
untukmu!" Memang benar, ialah muridnya The Kiu In. Semua
tetamu menjadi berkunang-kunang matanya menyaksikan
harta besar itu, yang semuanya indah. Aneh adalah si edan
itu, habis tertawa, dia menangis, lalu dia tertawa pula,
menangis lagi. Ketika dia ditanya, dari mana dia
memperolehnya barang-barang permata itu, dia menjawab:
"Istana Rahasia Kobu! Istana Rahasia Kobu! Istana Rahasia
Kobu!" Ketika itu The Kiu In tidak mau banyak tanya-tanya
lagi, ia menyuruh membawa muridnya itu masuk untuk
beristirahat."

Inilah cerita yang menarik hati, orang banyak ketarik untuk
mendengarinya.
Tat Hian melanjuti pula: "Di antara hadirin ada banyak
orang yang lihai, di antara mereka banyak juga yang matanya
menjadi merah sebab melihat permata-permata yang berharga
besar itu, mereka itu menanya si gila di mana letaknya Istana
Kobu itu. Si gila menjawab tidak keruan, omongannya putar
balik. Pertanyaan The Kiu In sendiri dijawab sama tidak
keruan junterungannya. Tiga hari telah lewat atau pada
tengah malamnya tuan rumah kedapatan terbunuh secara
gelap. Berbareng dengan itu, si edan pun lenyap. Di dadanya
The Kiu In menancap senjata yang menyebabkan
kebinasaannya itu, ialah sebatang pusut yang menjadi
senjatanya si edan, sebelah sepatu siapa pun ketinggalan di
depan pembaringan, sepatu itu berlepotan darah. Di lantai ada
tapak-tapak kaki, yang cocok waktu diakuri sama sepatunya si
edan. Maka orang menduga si edan kalap dan membunuh
gurunya sendiri dan terus menghilang. Karena itu orang
melainkan bisa menyesali nasibnya jago tua yang malang itu.
Hanya, apa yang heran, kenapa The Kiu In yang demikian lihai
kalah oleh muridnya dan kenapa di kamarnya tak ada bekasbekasnya
pertempuran atau pergulatan? Keluarga The, dan
juga beberapa sahabatnya, lantas pergi mencari si edan itu,
tetapi dia tidak kedapatan, dia tidak ada tanda-tanda atau
bekas-bekasnya, hingga orang mau menduga, kalau dia tidak
terjeblos di jurang mungkin dia mati membuang diri ke sungai.
Di lain pihak semenjak itu, halnya Istana Rahasia Kobu itu
lantas menjadi buah pembicaraan dan lantas juga menjadi
semacam gelombang di antara kaum Rimba Persilatan. Dua
tahun setelah itu, lalu tersiar kabar angin bahwa ada orang
yang menemui peta istana rahasia itu di tengah jalan. Peta itu
dihubungi sama harta besar itu, yang orang percaya masih
tersimpan banyak di dalam istana rahasia. Karena ini, peta itu
menjadi perebutan di antara jago-jago, hingga ada jago-jago
yang membuang jiwanya secara sia-sia. Kemudian lagi, ialah

belasan tahun yang lalu, peta itu terjatuh di tangannya Pekma
Lie Sam dan isterinya Kimgin Siauwkiam Sam Niocu.
Sedapatnya peta itu, Lie Sam dan isterinya itu sudah lantas
berangkat ke Hweekiang. Hanyalah, entah kenapa, kemudian
kedapatan suami isteri itu telah mati di wilayah asing itu..."
VI
Mendengar sampai di situ, Bun Siu kata dengan dingin:
"Menurut apa yang aku dengar, Lie Sam suami isteri telah
terbinasa di tangannya rombongan orang-orang Chin Wie
Piauwkiok. Itulah artinya perbuatan kau sendiri, Tan
Toapiauwtauw!"
Tan Tat Hian bercekat hati, tubuhnya menggigil. Ia pun
merasa tertusuk dengan sebutan toapiauwtauw itu, artinya,
piauwsu yang terbesar. Tapi ia berani, ia menjawab dengan
terus terang.
"Tidak salah!" katanya. "Suami isteri Lie Sam itu
dibinasakan oleh aku dan saudara-saudaraku itu. Kami telah
menggeledah tubuh suami isteri itu, peta tersebut tidak
kedapatan pada mereka Maka itu mestinya peta ada di tangan
anak perempuan mereka, yang lolos dari tangan kami. Maka
kami lantas mencari anak itu, sampai sekarang ini sudah
belasan tahun, tanpa ada hasilnya. Selama itu kami telah
menjelajah bagian selatan dan utara pegunungan Thiansan.
Sungguh kebetulan, hari ini aku menemuinya di sini! Bukankah
itu berarti Thian telah menakdirkan kita berenam supaya
menjadi beruntung? Kamu hendak membunuh aku, tidak apa!
Tapi, kalau kamu memikir sebaliknya; umpama dari
musuh kita menjadi sahabat-sahabat, bukankah itu ada
baiknya? Nanti aku mengajak kamu pergi mencari Istana
Rahasia Kobu itu, jikalau kita berhasil, kita membagi rata.
Tidakkah itu berarti kita sama-sama memperoleh harta besar?

Jikalau peta ini terjatuh ke dalam tangan si tua bangka
bongkok sebagai unta, pastilah dia menelannya sendiri harta
besar itu!"
Sengaja Tat Hian mengucapkan kata-kata terakhir itu,
untuk mengadu Bun Siu sekalian terhadap Kee Loojin, supaya
mereka berselisih dan saling bunuh. Ia mengharap mereka itu
timbul keserakahannya.
Kee Loojin tertawa dingin. "Dengan telah mempunyai
petanya, mustahilkah kami tidak dapat pergi mencarinya
sendiri?" kata dia.
Tan Tat Hian berkata pula. Kalau tadi ia menggunai bahasa
Kazakh, sekarang ia mengubahnya dengan bahasa Tionghoa.
Ia kata: "Umpama kata kamu dapat mencari istana rahasia itu
dan mengambil memperolehnya harta besarnya, tetapi ingat,
harta itu ialah hartanya bangsa Kazakh, maka maukah bangsa
ini menyerahkannya kepada kamu? Kamu bangsa Han?"
"Menurut kau, bagaimana?" Kee Loojin tanya Ia ingin
ketahui pikiran orang.
"Marilah kita bekerja sama," mengajak Tat Hian. "Paling
dulu kita binasakan semua orang Kazakh di dalam rumah ini.
Perbuatan ini cuma kau dan aku yang mengetahuinya, dari itu
tidak ada kekuatiran untuk nanti bocor. Lantas kita pergi
mencari harta karun itu. Kalau kita berhasil, kau boleh ambil
tujuh bagian, untukku cukup tiga bagian saja..."
"Kenapa kau suka mengalah demikian banyak?" si empee
tanya.
"Aku kalah gagah dari kau, kau berhak mendapat lebih
banyak. Umpama kata kau suka menyerahkan nona Kazakh
yang cantik ini padaku, aku suka mengalah lebih jauh, kau
boleh ambil delapan bagian."
Pembicaraan itu tidak dimengerti oleh Supu dan Aman,
mereka berdiam saja. Tidak demikian dengan Bun Siu, yang

menjadi marah sekali. Di dalam hatinya, ia kata: "Bangsat, kau
sangat jahat! Bukankah kematianmu sudah di hadapan mata?
Kenapa kau masih memikir busuk sekali?"
Kee Loojin berkata: "Ini satu nona Kazakh lihai sekali,
belum tentu kita dapat melawan dia..."
"Kau dapat membokong dia. Dia tentunya tidak bersiaga."
Kee Loojin berdiam, agaknya ia berpikir.
"Ah, begini saja," katanya sesaat kemudian. "Diam-diam
aku mengutungi tambang belenggumu, aku berikan kau golok,
lantas kau menghampirkan dia, untuk kau membacok
punggungnya..."
"Nona ini sangat cantik, sayang kalau dia terbinasa," kata
Tat Hian. "Karena tidak ada lain jalan, baiklah..."
Bun Siu dapat menerka maksudnya Kee Loojin. Terang si
orang tua ingin ialah yang membinasakan penjahat ini.
Selagi Tat Hian dan Kee Loojin berdamai sampai di situ,
dari kejauhan terdengar suara orang memanggil: "Supu!
Supu!" disusul sama "Aman! Aman!"
Hampir berbareng, Supu dan Aman berlompat bangun.
"Ayah, aku di sini!" mereka pun menyahuti.
Kemudian keduanya berlari-lari ke luar, Supu di depan,
Aman di belakang. Mereka tidak menghiraukan lagi angin
besar dan salju berhamburan, hingga mereka sukar bernapas.
Hari itu Cherku minum arak di rumah Suruke, ketika turun
hujan salju dan angin keras dan sampai sore anak-anak
mereka belum muncul, keduanya menjadi berkuatir, mereka
lantas pergi mencari, di sepanjang jalan mereka memanggilmanggil.
Girang mereka akan menemui anak mereka tidak
kurang suatu apa. Supu dan Aman lantas mengajak mereka ke
rumah Kee Loojin.

Tiba di depan pintu, mendadak Suruke berkata: "Bukankah
ini i umahnya si orang Han yang harus mampus? Tidak, aku
tidak sudi masuk ke rumahnya!"
"Tidak mau masuk?" kata Cherku. "Habis kita berlindung di
mana? Kupingku, hidungku, telah pada beku..."
Suruke ada membekal buli-buli berisi arak, di sepanjang
jalan ia menenggak araknya untuk melawan hawa dingin,
karena itu, ia sudah terpengaruhi susu macan. Maka ia kata:
"Aku lebih suka batok kepalaku beku semua, tidak nanti aku
masuk ke rumah orang Han ini!"
"Lihat anakku yang menjadi mustikaku ini," berkata Cherku.
"Kalau dia kenapa-kenapa karena beku, akan aku membuat
perhitungan denganmu! Aman, mari kita masuk!"
Suruke tidak menyahuti, sebaliknya, ia melirik puteranya.
Mendadak ia berseru: "Hm, kau telah pergi ke rumahnya
orang Han, anak mau mampus!" Terus ia mengayun
tangannya hingga tubuh Supu terhuyung. Anak ini tidak
menangkis atau berkelit. Ia membentur Aman, hingga si nona
roboh ke salju.
Cherku menjadi gusar. "He, kau berani memukul anakku?"
ia menegur. "Dia belum menjadi nona mantumu, sudah berani
kau memukulnya! Tidakkah di belakang hari dia bakal disiksa
mampus olehmu?"
"Kalau aku suka memukul, aku memukul, mana dapat kau
melarang aku?" kata Suruke sembarangan. Tidak dapat ia
mengatasi lagi pengaruh air kata-katanya.
Cherku pun menjadi gusar. "Kalau kau laki-laki, mari kita
bertempur pula!" dia menantang.
"Baik, mari, mari!" Suruke menyambut, dan lantas
kepalannya melayang, bahkan tepat mengenai dadanya
lawan.

Cherku pun sudah mulai dipengaruhi arak, maka beda dari
biasanya, ia melayani. Ia tidak roboh karena tinju itu, lantas ia
membalas, dengan mengayunkan sebelah kakinya, guna
menggaet. Tanpa ampun, Suruke roboh. Tapi dia jatuh sambil
tangannya menyambar ke paha, maka keduanya jatuh
berguling ke salju di mana mereka berkelahi terus sambil
bergulingan.
Supu dan Aman menjadi bingung, sia-sia belaka mereka
mencoba memisahkan. Dengan suara saja, mereka tidak
berhasil.
Selagi bergulat itu, Suruke menjumput salju, ia menyumbat
mulut Cherku, hingga lawan ini gelagapan. Ia tertawa lebar.
Justeru itu, Cherku memuntahkan salju di mulutnya itu, terus
dia meninju, telak mengenai hidung. Suruke tidak kesakitan,
hanya hidungnya mengeluarkan darah. Masih ia tertawa.
Sekarang ia menjambak rambutnya Cherku.
Merekalah orang-orang kosen bangsa Kazakh tetapi di
dalam sinting itu, lagak mereka mirip dua orang bocah.
Kee Loojin bersama Bun Siu lari ke luar, mereka mendengar
suara berisik dari dua orang yang bergulat itu. Si gagu turut
keluar juga.
Sekarang ini, Supu dan Aman tidak bingung lagi,
sebaliknya, mereka tertawa. Mereka ketahui ayah mereka lagi
sinting.
Dalam pergulatan lebih jauh, Suruke jatuh di bawah, dia
kena tertindih, sia-sia dia berontak, akhirnya dia diam saja.
Supu kaget.
"Lepaskan ayahku!" ia berteriak seraya menghampirkan,
untuk menarik Cherku. Ia kuatir ayahnya terluka. Di luar
dugaannya, setelah mendekati, ia mendapatkan ayahnya itu
lagi tidur menggeros...

Akhirnya semua orang tertawa. Suruke dikasih bangun,
diajak masuk ke dalam. Cherku dipegangi Aman, ia turut
masuk. Suruke lantas ngoceh: "Haha! Kau tidak dapat
melawan aku! Akulah jago Kazakh nomor satu, Supu yang
nomor dua, nanti anak Supu yang nomor tiga! Kau, Cherku,
kau yang nomor empat..." Lantas ia bernyanyi.
Cherku pun sinting tetapi ia turut tertawa.
Begitu mereka tiba di dalam, Bun Siu berseru kaget. Di situ
tidak ada Tan Tat Hian, yang ada hanya beberapa helai
tambang belengguannya, yang ujungnya pada hangus,
tandanya si penyamun membakar tambang itu untuk
membebaskan diri dan lalu kabur dari pintu belakang. Di atas
meja, selainnya golok, sapu tangan yang merupakan peta pun
lenyap.
Dalam kagetnya, Kee Loojin lari ke belakang untuk
mengejar.
Pintu belakang madap ke utara, begitu pintu dipentang,
angin dan salju meniup keras, sampai empee Kee itu
bersangsi untuk nerobos terus. Tengah ia bersangsi itu Bun
Siu menghampirkan padanya, untuk berkata dengan perlahan:
"Angin dan salju begini besar, dia tidak dapat kabur jauh,
kalau dia paksa menyingkir juga, mesti dia mati di tengah
jalan. Baiklah kita menanti sampai langit sudah terang dan
badai reda, baru kita pergi mencari mayatnya."
Kee Loojin setuju, ia mengangguk. Ia menutup pula
pintunya, lalu berdua mereka kembali ke ruang depan. Di sana
tak nampak si gagu yang agak tolol.
Bun Siu merasa kasihan pada si gagu itu, ia membuka pintu
depan. Ia memanggil berulang-ulang, tanpa ada yang
menyahuti.
"Dia tuli, dia tidak mendengar!" kata empee Kee.
Bun Siu masih melihat kelilingan, baru ia kembali ke dalam.

Sampai fajar, baru badai mulai reda.
Suruke sadar dengan tidak ingat lelakonnya di waktu
mabuk, melihat Kee Loojin, ia menjadi gusar, tapi Supu dan
Aman segera membujuki seraya menuturkan bahwa orang tua
bangsa Han inilah yang menolongi mereka dari penyamun.
"Oh, kaulah yang menolongi anakku!" kata Suruke. "Kau
orang baik, aku berterima kasih padamu!" Ia lantas memberi
hormat. Kemudian ia menambahkan: "Mari kita susul
penyamun itu, agar dia tidak lolos!"
Cherku pun turut menghaturkan terima kasih.
Sebenarnya Kee Loojin tidak setuju pergi beramai-ramai
tetapi sebab tidak dapat alasan untuk menolak, ia terpaksa
pergi bersama. Ia membekal rangsum kering.
Tan Tat Hian menyingkir selagi hujan salju, tapak kakinya
telah lenyap pula, tetapi Suruke dan Cherku ada penduduk
gurun asli, mereka bisa lihat tanda-tanda yang luar biasa,
tanda itu membuatnya menduga si orang jahat.
Tujuan mereka ke arah barat. Itu artinya tujuan gurun
pasir besar. Empat orang Kazakh itu lantas ingat dongeng hal
memedi di gurun, air muka mereka lantas bersinar lain.
Suruke besar nyalinya, ia kata nyaring: "Biarnya benar-benar
kita bertemu memedi, mesti kita bekuk manusia jahat itu!
Supu, mau tidak kau membalaskan sakit hati ibu dan
kakakmu?"
"Tentu, ayah!" jawab sang anak. "Aku akan turut ayah!
Aman, kau baiklah pulang."
Si nona pun berani.
"Kau dapat pergi, aku dapat!" jawabnya. Di dalam hatinya
ia hendak membilang: "Kalau kau mati, mana bisa aku hidup
sendiri saja?"

"Aman, lebih baik kau turut ayahmu pulang," Suruke
membujuk. "Cherku bernyali kecil, dia paling takut setan!"
Mata Cherku mendelik, dia lantas melombai jalan di depan.
Berjalan di gurun, yang ditakuti ialah tidak ada air, maka air
itulah bekal utama. Kali ini habis hujan salju, pasir pun tidak
beterbangan, perjalanan rombongan ini tak ada rintangannya.
Makin ke barat, tanda-tandanya Tan Tat Hian makin nyata.
Bahkan kemudian, terlihat tegaslah tapak kakinya, yang tidak
ketutupan salju lagi. Itulah bukti bahwa dia telah tiba di situ
sesudah salju berhenti.
"Sungguh lihai jahanam itu!" kata Kee Loojin seperti
mendumal. "Tadi malam badai dahsyat tetapi dia tidak
mampus dan dapat berjalan terus hingga kemari!"
"Eh, masih ada tapak kaki seorang lain!" Suruke berseru
mendadak. Dia menunjuk tapak kaki Tan Tat Hian. "Orang ini
jalan tepat di tapak kakinya si manusia jahat! Tanpa
perhatian, tak akan terlihat tapak kaki yang menyusun ini."
Mendengar begitu, semua orang membungkuk, untuk
meneliti. Benar, tapak kaki itu berbekas lebih mendalam
daripada biasanya.
"Mustahilkah ini tapak kaki si gagu?" kata Bun Siu. Tadi
malam ia telah melihat sinar mata aneh dari si gagu dan itu
mendatangkan kecurigaannya. Hanyalah tapak kaki yang
kedua ini rada enteng, bukti bahwa orang ringan tubuhnya.
Mungkinkah benar dia si gagu dan dia sebenarnya lihai?
Kee Loojin tidak membilang apa-apa, dengan mengikuti
tapak kaki itu, ia berjalan terus. Ia ingin cepat menyandak. Tat
Hian seorang ia tidak begitu kuatirkan, ia takut penyamun itu
memperoleh kawan yang lebih lihai.
Jalan di salju ini sulit juga. Makin ke depan, salju makin
tebal, sampai mendam ke lutut. Perlahan jalan mereka, hingga
kejadian mereka mesti singgah, bermalam di tengah jalan.

Mereka menggali salju, hingga nampak pasir, untuk rebah di
dalam liang, tubuh mereka digulung dengan permadani.
Mereka tidur bergeletakan di atas pasir.
Ketika besoknya pagi Bun Siu mendusin, ia mendengar
Suruke dan Cherku membikin banyak berisik. Sebabnya ialah
Kee Loojin telah lenyap, rupanya dia berangkat malam-malam
atau mendekati fajar. Ia heran sekali sedang ia tahu, selama
perkenalan kira-kira sepuluh tahun, empee itu agaknya tawar
sama harta. Kenapa, setelah mendengar halnya istana rahasia,
dia menjadi demikian ketarik hatinya, hingga dia seperti
berubah menjadi seorang lain?
Dari enam orang, sekarang jumlah mereka menjadi tinggal
lima. Mereka melanjuti perjalanan mereka, untuk menyusul si
penjahat, untuk menyusul juga Kee Loojin, si kawan yang
menjadi aneh kelakuannya itu.
Bun Siu kemudian mengenali, jalanan yang dilalui ialah
jalanan yang ia kenal baik. Itulah jalanan untuk pergi ke
rumah Hoa Hui, gurunya. Ia jadi berpikir: "Baiklah aku ajak
suhu pergi bersama. Dia luas pengetahuannya, dia dapat
membantu banyak..."
Bun Siu mau mencari Istana Rahasia Kobu bukan untuk
hartanya. Ia hanya ingin mewujudkan cita-cita ayah dan
ibunya, untuk dapat tiba di sana. Segera mereka mulai
memasuki daerah pegunungan. Di sini Bun Siu sengaja
berjalan perlahan hingga ia ketinggalan jauh di belakang.
Lekas-lekas ia pergi ke gubuk gurunya. Untuk herannya, sang
guru tidak kedapatan. Ia menduga guru itu lagi pergi berburu
atau mencari bahan obat-obatan. Perbuatan itu biasa
dilakukan setiap habis hujan salju. Karena ia tidak dapat
menanti, ia lantas mencoret-coret beberapa huruf di atas
tanah, untuk gurunya itu, lalu lekas-lekas ia menyusul
rombongan Suruke.
Mereka memasuki wilayah pegunungan, yang makin lama
makin sukar dilaluinya, banyak pohon duri dan lainnya.

Syukur, tapak kaki masih terlihat di antara sisa-sisa salju.
Maka mereka maju terus.
Herannya ialah, istana rahasia belum tampak tandatandanya...
Aman memangnya berkuatir ia menjadi takut. Ia ingat
cerita halnya di gurun pasir ada mernedinya. Tapak-tapak kaki
yang mereka ikuti itu, di matanya, ada bagaikan jalanan untuk
ke neraka...
Juga Suruke dan Cherku bersangsi, mereka berkuatir,
hanya di mulut, mereka masih omong besar, mereka tidak
mau saling kalah, bahkan mereka bertengkar.
"Cherku, kau lihat, tubuhmu bergemetar," kata Suruke.
"Kalau kau jatuh sakit karena ketakutan, inilah bukannya
main-main.
Baiklah kau berdiam di sini saja menantikan kami, jikalau
aku mendapatkan harta, tentu aku akan membagi kau satu
bagian..."
"Di saat ini jangan orang berlagak kosen!" kata Cherku.
"Lihat sebentar, kalau memedi muncul, siapakah yang bakal
kabur lebih dulu? Mungkin kau atau anakmu!...”
"Memang, kami ayah dan anak, kalau kami melihat
memedi, kami bakal lari kabur!" kata Suruke pula. "Tapi kami
bukannya seperti kau, melihat memedi, kau ketakutan sampai
kau bertekuk lutut di tanah dan tubuhmu menggigil?"
Pulang pergi, mereka itu menyebut-nyebut iblis gurun...
Jalan lagi sekian lama, langit mulai gelap.
"Ayah, mari kita bermalam di sini," berkata Supu. "Besok
pagi kita berangkat pula."

"Bagus!" berkata Cherku tertawa sebelum Suruke
menyahuti anaknya. "Kamu dan anak boleh singgah di sini,
untuk menyingkir dari bahaya! Aman, mari kau ikut ayahmu!"
"Fui!" Suruke berludah, lalu ia maju di depan, mendahului
yang lain.
Supu memunguti cabang-cabang kering, untuk membuat
obor. Maka itu, malam-malam, di dalam hutan, mereka
berjalan terus. Sulit perjalanan itu, sebab mereka sekalian
mesti mencari tapak kaki TatHian. Suasana pun seram kapan
sang burung malam mengasih dengar suaranya. Orang kaget
setiap kali dari atas pohon terjatuh kepingan salju, yang
mendatangkan suara berisik, hingga hati mereka berdebaran.
"Ah, celaka!" berseru Aman tiba-tiba selagi ia berjalan
dengan hati kebat-kebit.
"Ada apa?" tanya Supu kaget. "Lihat, itulah gelangku yang
kemarin ini aku kena bikin lenyap!"
kata Aman, tangannya menunjuk ke depan di mana ada
sebuah benda dengan cahaya berkilauan.
Gelang itu terletak sejarak tiga tombak dari lima orang itu.
Memang aneh gelang itu
didapatkan di situ.
"Tadinya aku memikir untuk mencarinya, kenapa sekarang
gelang ini berada di sini?" kata Aman.
"Kau periksa dulu, benar atau tidak itulah kepunyaanmu,"
kata Cherku, sang ayah.
Aman jeri, ia tidak berani pergi menghampirkan. Maka
Supu yang maju dan memungutnya.
"Memang, inilah kepunyaanmu!" kata si pemuda sebelum si
pemudi memeriksanya. Lantas dia menyerahkannya. Aman
masih takut untuk menyambuti.

"Kau buang saja," katanya. suaranya parau.
"Mustahilkah ini perbuatan memedi?” kata Supu, yang air
mukanya lantas berubah, demikian juga yang lain-lainnya.
Semua berdiam.
"Mungkinlah ini lebih bebat dari gangguan memedi,” kata
Bun Siu kemudian. "Mari kita ambil jalan yang kuna, jalanan
ini ada jalanan bekas kita..."
Mereka terpengaruh oleh kepercayaan halnya sesat jalan,
hingga mereka bakal terputar-putar di situ juga sampai
mereka mati sendirinya...
Suruke mau menyangsikan kekuatiran Bun Siu tetapi
buktinya ialah keanehan dari gelangnya Aman itu.
Tanpa banyak omong, mereka itu berjalan terus. Gelang
diletaki di tanah. Mereka berjalan sekian lama, lantas mereka
melihat gelang itu!
Suruke dan Cherku bungkam. Mereka tidak berani bicara
besar lagi atau saling mengejek.
"Kita mengikuti si penyamun dan Kee Loojin,** berkata Bun
Siu, "kalau mereka kesasar, mereka pun bakal kembali kemari,
maka itu mari kita berhenti di sini. Kita menantikan mereka
itu...”
Pikiran ini mendapat kesetujuan, maka mereka, lantas pada
menyingkirkan salju, untuk mencari tempat duduk
masingmasing. Supu menyalakan api, membuat unggun,
mereka duduk mengitari itu. Masih mereka berdiam, tidak ada
yang niat berbicara, tidak ada yang berkeinginan tidur. Semua
menantikan munculnya Tan Tat Hian dan si empee Kee,
semua mereka berdenyutan hatinya. Bagaimana kalau benarbenar
Tat Hian dan Kee Loojin tersesat dan muncul di depan
mereka? Tidakkah itu berarti celakanya nasib mereka
semua?...

Sekian lama mereka berdiam dalam kesunyian, atau
mendadak kuping mereka menangkap suara tindakan kaki.
Mereka terkejut, hati mereka terkesiap. Hampir berbareng,
mereka berlompat bangun. Hanya sejenak, suara tindakan
kaki itu lenyap Hingga tinggallah hati mereka yang
berdebaran, yang memukul.
Lagi sejenak, tindakan kaki itu terdengar pula, agaknya lagi
menuju ke arah barat daya, malah terdengarnya main jauh,
akan kemudian lenyap sebab diganggu berkesirnya angin yang
keras, yang membawa datang salju, hingga unggun mereka
padam dalam sekejap kena tertimpa salju itu.
Dengan padamnya api, gelaplah pandangan mata mereka.
Justeru itu, kuping mereka mendengar suara apa-apa.
Kecuali Aman, Suruke berempat menghunus senjata
mereka. Aman menjerit, ia menubruk Sapu ke dada siapa ia
menyedapkan kepalanya.
Kembali terdengar suara tindakan kaki itu yang teras
lenyap di kejauhan.
Habis itu, terus sampai fajar tidak ada terjadi peristiwa apa
juga. Munculnya matahari membuat hati mereka tenang
kembali. Dengan lantas mereka melanjuti perjalanan mereka
itu.
Aman berlaku hati-hati maka ia melihat di kirinya, ada
cabang-cabang pohon yang rebah dan patah.
"Lihat ini!" katanya tiba-tiba
Supu menyingkap cabang yang rebah itu, di bawah itu ia
melihat dua buah tapak kaki, hingga ia menjadi girang luar
biasa.
"Di sini mereka!" ia berseru.
"Inilah jalan yang mereka ambil!"

"Mungkin penyamun itu keliru melihat petanya," kata
Aman. "Dia tersesat, dia kena jalan terputar-putar di sini
hingga dia menyebabkan kagetnya kita semua..."
Suruke tertawa lebar.
"Benar!" katanya nyaring. "Dua anggauta keluarga Cherku
bernyali kecil, mereka ketakutan mernedi selama satu
malaman! Keluarga Suruke sebaliknya gagah, mereka justeni
mengharap-harap munculnya si memedi, untuk dijiwir
kupingnya, guna melihatnya tegas-tegasi”
Cherku tidak melayani, dia pun memandang ke lata arah,
hanya mendadak dia memutar tubuh, sebelah tangannya
menyambar!
Suruke tidak menyangka jelek, tahu-tahu sebelah
kupingnya telah kena tercekal dan tertarik Cherku, hingga dia
kaget Tidak ayal lagi, dia meninju. Meski begitu, Cherku tidak
roboh, karena tubuhnya terhnyung, ia menarik kuping orang
yang dipeganginya itu.
Suruke kaget dan kesakitan, kupingnya itu pecah dan
mengeluarkan darah. Kalau kuping itu terlarik lebih keras
sedikit, mungkin akan copot
Bun Siu mau tertawa melihat kelakuannya dua orang
Kazakh yang Jenaka itu, tidak peduli usia mereka sudah empat
puluh lebih, lagak mereka mirip bocah, sebentar baik,
sebentar bertengkar, sebentar lagi bertarung. Ketika mereka
terpisah, disebabkan saling tinju, yang satu hidungnya matang
biru, yang lain matanya bengap!
Mereka melanjuti terus perjalanan mereka. Jalanan kali ini
berliku-liku, sukar dilaluinya. Ada kalanya mereka melintasi
mengitari bukit, ada kalanya masuk kedalam gua, melintasi
terowongan wajar. Syukur ada salju, terus-terusan mereka
melihat tapak kaki, yang terus mereka ikuti. Aman bermata
celi, kalau tapak suram atau lenyap, dialah yang meneliti.

Dalam batinya Bun Stu kata: "Istana rahasia itu benarbenar
luar biasai Tanpa peta, bagaimana dia dapat dicari?"
Jalan sampai tengah hari, sebab satu malam mereka tidak
tidur, semua orang menjadi letih sekali, kecuali Bun Siu, yang
ilmu dalamnya sudah ada dasarnya, dia masih segar seperti
biasanya.
"Ayah, Aman sudah tidak kuat jalan, kita singgah di sini,"
kata Suptt pada ayahnya.
Belum lagi ayah itu menyahuti atau mereka mendengar
seruannya Cherku, yang jalan di paling depan. Suruke lompat
ke depan, guna menghampirkan kawannya, yang teraling
dengan segumpalan pepohonan. Selewatnya itu, matanya
dibikin silau dengan cahaya kuning emas yang berkilauan,
hingga sukar untuk ia melihatnya.
VII
Dengan terpaksa ayahnya Supu ini memeramkan matanya.
Sampai sekian lama, baru ia membukanya perlahan-lahan.
Masih ia merasa silau, sampai berkunang-kunang. Untak dapat
melibat terus, ia memiringkan tubuhnya. Ketika ia telah
melihat tegas, ia menjadi heran dan kagum. Di depan ia ada
sebuah bukit, di atas itu ada sebuah pintu yang terlapiskan
emas. Itulah sinar yang menyilaukan mata, sebab emas itu
ditojo matahari dan menjadi memancarkan sinar berkeredepan
itu.
Cherku melihat pintu itu maka dia berseru. Suruke pun
mengasih dengar seruannya, disusul oleh Bun Siu, Supu dan
Aman» yang menyusul belakangan ini juga, mulanya merasa
silau.
"Istana Rahasia Kobu!" demikian suara mereka serempak.
Mereka tidak sangsi pula atas penemuan mereka itu.

Suruke lari menghampirkan pintu, ia menolak dengan
kedua tangannya. Pintu itu tidak bergerak.
Cherku maju bersama, untuk membantui, sia-sia saja,
meskipun mereka telah mencoba menggunai pundak mereka.
Pintu, yang berdaun dua, kuat sekail
"Penyamun jahanam itu berada di dalam, dia menguncikan
pintu!" kata Suruke gusar.
Aman memandangi pintu itu, ia tidak melihat apa-apa yang
mencurigai. Ia lantas meraba gelang pintu, ia putar itu ke kiri.
Pintu itu tetap tidak bergerak. Ia memutar pula, sekarang ke
kanan. Untuk herannya, ia merasa putarannya longgar. Ia
lantas memutar pula, terus, sampai beberapa kali.
Suruke dan Cherku mencoba pula membentur pintu dengan
tubuh mereka. Kali ini mereka berhasil. Dengan mendadak
kedua daun pintu menjebtak terbuka. Ini pun di luar dugaan
mereka. Tentu sekali, mereka menjadi sangat girang. Sambit
tertawa, mereka merayap bangun, sebab dengan
menjeblaknya pintu, mereka roboh bersama! Di sebelah dafam
tampak gelap. Itukah bukan ruang hanya lorong, jalanannya
seperti gang. Maka Supu lantas menyalakan obor, untuk
menyuluhi. Dengan sebelah tangan menyekat goloknya, ia
maju di muka.
Tiba di ujung lorong, mereka menghadapi jalan cagak tiga.
Di dalam istana ini tidak ada salju, jadi tidak dapat mereka
melihat tapak kakinya si penyamun atau empee Kee. Cagak
mana mereka harus ambil?
Kembali Aman menunjuk keterlitiannya. Ia membungkuk
untuk dapat memperiapkan lantai. Ia mendapatkan, cagak kiri
dan kanan ada tapak kakinya yang enteng, yang tipis sekali.
Ia memberitahukan apa yang ia lihat itu.
"Sekarang begini," berkata Suruke. "Kita pun memecah diri,
ialah tiga di kiri, dua di kanan. Di dalam baru kita bertemu."

"Tidak dapat kita berbuat demikian," kata Bun Siu. "Istana
ini dinamakan istana rahasia, sudah pasti jalannya pun jalan
terahasia. Menurut aku paling benar kita tetap berjalan
bersama-sama."
Suruke menggeleng kepala, "Berapakah luasnya gua ini?"
katanya. "Anak perempuan bernyali kecil, sungguh aku
kewalahan!"
Meskipun ia membilang demikian, kejadiannya mereka
berlima berjalan bersama, mereka tidak memecah diri. Lebih
dnlu mereka mengambil jalan cagak kanan, yang kelihatan
lebar.
Baru jalan sepuluh tombak, Suruke berpikir. Sekarang ia
baru percaya Bun Siu berpikiran lebih panjang. Pula di depan
mereka terdapat lagi jalan pecahan. Maka lagi sekari mereka
memperhatikan lantai, untuk mengambil jalan yang ada tapak
kakinya.
Sekian lama mereka berjalan, mereka melihat bahwa
saban-saban ada jalan cagak.
Aman berlaku cerdik, senantiasa ia menggunai pisau
membuat tanda di tembok yaag dilewati. Dengan begitu
mereka bisa mencegah yang mereka mundar-mandir di situsitu
juga
Akhir-akhirnya tibalah mereka di tempat yang terang.
Mereka mendapat sebuah ruang kosong. Di tempat terbuka
ini, mereka mendapatkan pula sebuah pintu berdaun dua.
Supu memegang gelang pintu, ia memutar itu. Pintu itu
lantas terbuka. Mereka lantas melihat sebuah ruang bagaikan
pendopo yang di tembok sekitarnya penuh dengan pelbagai
patung malaikat, ada yang terbuat dari emas, ada yang
terbikin dari batu kumala dengan biji matanya dari mutiara

atau batu permata lainnya, hingga semua mata itu menjadi
hidup. Maka tercenganglah lima orang ini.
Melewati ruang ini, mereka mendapatkan pelbagai ruang
lainnya, mirip dengan kotak-kotak kamar di mana pun ada
masing-masing patungnya beserta batu-batu permatanya. Di
sini pun antaranya ada terdapat tulisan-tulisan huruf Tionghoa
di tembok, seperti "Raja dari negara Kao diang", "Wen Tai"
dan "Kerajaan Tong, tahun Cengkoan XIII".
Kao Chang itu adalah sebuah negara jaman dahulu di
wilayah barat yang rakyatnya makmur dan pemerintahannya
kuat. Di jaman Tong tahun Cengkoan, raja Kao Chang yang
bernama Chu Wen Tai, menyatakan takluk kepada kerajaan
Tong, akan tetapi karena negaranya makmur dan kuat, dia
berlaku tidak menghormati kaisar Tong itu, dari itu kaisar
Tong mengirim utusannya ke Kao Chang- Kepada utusan itu,
raja Kao Chang itu mengatakan: "Burung garuda terbang di
langit, ayam hutan betina mendekam di gunung, kucing pesiar
di ruang dalam, tikus bersembunyi di liangnya. Mereka itu
mendapati tempatnya masing-masing, bagaimana mereka
tidak memperoleh kemerdekaannya?" Dengan itu raja
maksudkan: "Meskipun kaulah burung garuda yang bengis dan
aku hanya ayam hutan yang tidak mempunyai guna, tetapi
kau terbang di udara, aku sembunyi di dalam hutan, kau tidak
nanti sanggup membunuh aku! Meskipun kau adalah kucing
dan aku hanya tikus, tetapi kau mundar-mandir di dalam
ruang saja, aku sembunyi di dalam liangku, apa kau bisa bikin
terhadap aku?"
Itulah tantangan. Mendengar itu. Kaisar Tong Tay Cong
menjadi gusar. Sudah begitu lantas terjadi negeri Kao Chang
itu menyerang tetangganya, Yenchi, negara yang
menghormati sekali Tong itu. Negara Yenchi itu lantas minta
bantuan, atas mana kaisar Tong mengirim panglima
perangnya, Hauw Kun Cip, menyerang negeri Kao Chang itu.

Ketika Chu Wen Tai mendengar kabar negerinya mau
diserang, dia kata pada sekalian menterinya: "Negara Tong itu
terpisah dari kita tujuh ribu lie, di antaranya dua ribu lie
jalanan gurun pasir di mana tidak ada rumput dan air, yang
anginnya meniup tajam seperti golok dan panasnya terik
bagaikan membakar diri ini, cara bagaimana dia dapat
mengirim angkatan perangnya tiba kemari? Jikalau jumlah
angkatan perangnya terlalu besar, pasti dia tidak dapat
mengangkut cukup rangsumnya. Dan kalau jumlah lenteranya
kurang dari tiga puluh ribu jiwa maka kita tidak usahlah takut
Kita nanti melayani musuh dengan sabar, kita main melindungi
kota kita saja, di dalam tempo dua puluh hari, nanti
rangsumnya habis, lantas dia bakal mundur sendirinya!"
Chu Wen Tai mengetahui baik kegagahannya angkatan
perang kerajaan Tong itu maka ia lantas menetapkan siasat
tidak berperang itu, siasat menjaga diri saja. Ia
mengumpulkan banyak kuli, di sebuah tempat yang
tersembunyi dia membangun sebuah istana rahasia. Inilah
untuk persediaan guna mengundurkan diri andaikata ia tidak
sanggup melawan musuh/ Negeri Kao Chang sedang makmur,
di wilayah barat itu banyak tukang yang pandai, maka itu ia
dapat membuat istana yang luar biasa itu di mana pun ia
menyembunyikan hartanya yang berupa pelbagai batu
permata. Ia telah memikir, umpama kata musuh dapat
menyerbu ke istana rahasia itu, ia dan hartanya itu tidak bakal
dapat diketernukan.
Hauw Kun Cip adalah seorang panglima yang pernah turut
Lie Ceng belajar ilmu perang, dia pandai memimpin angkatan
perangnya, di sepanjang jalan ia dapat maju-dengari cepat,
setiap pasukan musuh yang menghadang dapat dilabrak, dari
itu ia berhasil melintasi gurun pasir besar. Maka kagetlah raja
Kao Chang itu ketika ia: dilaporkan tibanya musuh demikian
pesat, dia kaget dan ketakutan hingga dia mati. Dia lantas
digantikan oleh pulennya, Chu Oun Sheng. Dia ini membuat

perlawanan, tapi setiap Hauw Kun Cip datang menyerang di
luar kota, pasukannya kena dikalahkan.
Didalam peperangan ini, Hauw Kun Cip menggunai alat
yang dinamakan "Kereta Sarang", yang tingginya sampai
sepuluh tombak, hingga mirip dengan sarang burung, hingga
alat itu mendapat namanya itu. Kereta itu ditolak sampai di
tembok kota, hingga keadaannya lebih tinggi dari tembok kota
itu, lalu dari atas, tentera Tong menyerang dengan hujan
panah dan batu. Tentara Kao Chang kewalahan, akhirnya Chu
Chih Sheng menyerah.
Negara Kao Chang itu dibangun oleh Chu Chia Li, turun
temurun sampai sembilan turunan, lamanya seratus tiga puluh
empat tahun, sampai pada tahun Cengkoan ke 14 dari
Kerajaan Tong itu, bara dia musnah. Dialah sebuah negara
besar di wilayah barat, sebab luasnya daerah ialah delapan
ratus lie di timur dan barat dan lima ratus lie di selatan dan
utara.
Hauw Kun Cip pulang perang dengan mengangkut Raja Kao
Chang beserta seratus pembesamya sipil dan militer dan
lainnya, dibawa pulang ke kota raja Tiang-an.
Raja Kao Chang menjadi orang tawanan, tetapi istana
rahasia buatan ayahnya itu tidak tercocorkan. Selama seribu
tahun lebih, di gurun pun terjadi perubahan, di sana tumbuh
pepohonan, maka juga istana itu menjadi bagaikan terlebih
terahasia pula, tanpa peta, tidak nanti orang dapat
menemuinya.
Suruke berjalan terus, memasuki sebuah kamar,
melewatinya, lalu memasuki kamar yang lain dan melewatinya
pula. Kebanyakan kamar itu sudah rusak, ada temboknya yang
gempur. Di sana-sini pun kedapatan tumpukan-tumpukan
pasir kuning, hingga ada pintu kamar yang telah teruruk
tertutup. Jalanan berliku-liku, ditambah sama segala yang
uruk itu, dilaluinya jadi semakin sukar, kepala pun menjadi
pusing. Di samping itu orang kadang-kadang melihat tulangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
belulang manusia, yang putihmeletak, pula uang emas dan
perak dan barang permata, yang membuatnya mata silau.
"Entah ke mana kaburnya Tan Tat Hian si jahanam," pikir
Bun Siu, "Dia tidak kedapatan di sini. Mungkin, walaupun dia
berada di sini, sukar untuk mencarinya. Harap saja istana ini
tidak ada pintu belakangnya-, agar dia dapat dipegat di pintu
depan di saat dia hendak mengangkat kaki dengan
mengangkut harta karun ini..."
"Mana ayahku?" mendadak Nona Lie mendengar suaranya
Aman selagi ia seperti ngelamun itu. Ia lantas menoleh, la
menampak Aman dan Supu memasuki sebuah kamar kiri,
Suruke dan Cherku tidak kelihatan, la lantas mendekati kedua
muda-mudi itu.
"Nona Kang," tanya Supu pada Bun Siu----yang sekian lama
oleh. empee Kee disebut "Nona Kang"----"apakah kau melihat
ayah kami?"
"Tidak," menyahut Bun Siu. "Baru saja kita ada bersama,
kenapa mereka lantas tak nampak? Mari kita cari! Awas, istana
ini istana rahasia, jangan kita nyasar."
Supu dan Aman menurut, maka bertiga mereka lantas
mencari. Supu saban-saban berteriak memanggil ayahnya
serta Cherku, akan tetapi ia tidak memperoleh jawaban, hanya
kupingnya mendengar kumandang yang mendengung di ruang
itu.
Bernapsu mereka bertiga mencari sampai Aman lupa
membuat tanda di tempat-tempat yang mereka lewatkan,
hingga untuk sementara, sukar dibedakan mereka telah
kembali ke tempat yang telah dilewatkan itu atau belum. Juga
mereka tidak dapat melihat rata ke depan, karena kedudukan
istana rahasia itu ada di lamping gunung, jadi ada kalanya
kedudukannya tinggi, ada kalanya pun sangat rendah hingga
orang mesti berdiri di tempat yang tinggi untuk dapat
memandang ke bawah itu. Oleh karena wuwungan adalah

bagian atas dari gunung, orang tidak dapat melihat dari atas.
Orang tidak bisa naik ke atas wuwungan, yang sebenarnya
tidak ada, sebab yang dinamai wuwungan mirip lelangit
lauwteng.
Aman menjadi sangat berkuatir-.. dan berduka hingga air
matanya berlinang-linang. Sia-sia Supu membujuki dan
menghibur. Saking ruwetnya pikirannya itu, nona itu sampai
tidak memanggil-manggil pula ayahnya.
Mereka lagi berjalan terus ketika dengan mendadak mereka
mendengar suara keras di tembok sebelah kamar: "Eh,
Cherku, kenapa kau membacok aku?"
Ketiga muda-mudi itu mclcngak. Itulah suaranya Suruke.
Segera terdengar suaranya Cherku: "Kau--- kau bikin apa
ini?"
Setelah itu kuping mereka mendengar suara beradunya
senjata tajam, disusul pula oleh bentakan-bentakan
kemarahan Suruke dan
Cherku saling ganti.
Mereka ini bertiga girang berbareng kaget dan kuatir.
"Ayah!" Aman berteriak. "Jangan berkelahi …Jangan
berkelahi!"
Di kanan mereka tidak ada pintu, maka Supu lari ke kiri. Ia
bermaksud menghampirkan ayahnya dan Cherku, sang
paman itu, untuk melihat, guna memisahkan mereka.
Sebab aneh mereka itu bertempur satu dengan lain. Hanyalah,
pintu yang ada teras menerus di sebelah kiri, dengan begitu,
ia bukan tiba ke kamar sebelah itu, ia justeni pergi semakin
jauh... Bun Siu dan Aman mengikuti, mereka pun tidak
berdaya. Maka kemudian mereka lari balik. Justeni itu mereka
dengar, dari kamar di sebelah itu, jeritan yang menyayatkan
hati dari Suruke, lantas sunyilah segala apa. Mereka kaget
bukan mam.

Supu menjadi seperti kalap, dia lompat menubruk dengan
pundaknya. Tapi ia gagal. Pintu itu kuat sekali dan tak
bergeming.
Aman yang terliti memasang mata. Ia melihat sebuah batu
di pojokan, yang agaknya terlepas, maka ia menghampirkan
itu, ia mencekalnya, lantas ia menarik. Ia gagal. Ia lantas
dibantu Bun Siu dan Supu. Kali ini mereka berhasil, dengan
begitu, dari bekas lolosnya batu itu, mereka bisa mengintai ke
kamar sebelah sana. Supu bekerja terus membongkarnya,
hingga ia dapat memasuki tubuhnya, molos dari liang itu.
"Ayah! Ayah!" ia memanggil berulang-ulang.
Segera juga pemuda ini nampak apa yang hebat. Di kamar
sebelah itu terlihat tubuh seorang rebah di lantai, di dadanya
menancap sebatang golok panjang. Ia mengenalinya, ia
lompat menubruk, untuk mengangkat. Atau ia mendapatkan
ayahnya itu telah putus jiwanya!
"Ayah! Ayah!” ia berteriak-teriak, sambil menangis.
Bun Siu dan Aman menyusul masuk, mereka berdiri diam di
samping Supu. Mereka bingung dan berduka.
Supu mencabut galat di tubuh ayahnya itu. Itulah goloknya
Cherku.
"Supu..." Aman memanggil seraya ia menarik tangannya si
pemuda. Ia niat menghibur, hanya tak tahu ia harus
mengatakan apa.
Supu tengah sangat berduka dan gusar, tangannya
melayang ke arah si nona sambil mulutnya menanya bengis:
"Mana ayahmu? Mana ayahmu?"
Ketika itu di mulut pintu nongol kepala dari satu orang,
yang tubuhnya terlihat hanya bagaikan bayangan. Cuma
sejenak, kepala itu lantas ditarik pulang, terus dia lari pergi.
Walaupun sejenak, itu sudah cukup untuk Supu guna

mengenali orang adalah Cherku yang mukanya berlumuran
darah, Supu berteriak, tubuhnya bergerak, niatnya memburu.
"Supu!" memanggil Aman, tangannya menarik.
"Lepas!" bentak si anak muda. "Supu" kata si nona, "aku
mau bicara; sepatah kata saja."
"Baik! Bilanglah!" kata Supu, mendongkol.
"Ingatkah kau aturan kaum kita tentang perkelahian
perseorangan?" tanya Aman.
Supu mengertak gigi. “Ingat!**sahumya kaku. Dengan
lantas pula wajahnya tampak kesangsian
Bangsa Kazakh bangsa gagah, di antara mereka, asal
benterok, perselisihan biasa diakhiri dengan menghunus
senjata. Demikian di antara kaumnya Supu, yang termasuk
golongan Tiehyen. Dulunya kaum ini gemar sekali berkelahi,
lama-lama, jumlah pria mereka jadi tinggal sedikit, sebaliknya,
wanitanya tambah banyak, berlebihan. Maka itu, melibat
ancaman bahaya itu bahwa golongannya akan kekurangan
pria, selang seratus tahun yang lalu satu ketuanya
mengadakan aturan untuk mencegahnya. Ialah: "Siapa
membunuh orang, hukuman atasnya hukuman mati." Biarnya
orang piebu, yaitu bertempur satu sama satu dengan cara
terang, ancamannya tetap hukuman mati. Karena adanya
hukuman ini, pertempuran menjadi dapat dicegah,
.pertambahan anggauta pria lantas bertambah. Aturan ini,
aturan lisan, dituturkan oleh setiap orang tua kepada anakanak
muda, agar semua orang mengetahuinya. Maka itu,
aturan itu ditaati turun-temurun.
Aman menangis, ia kata: "Ayahku telah kesalahan
membunuh ayahmu, dia bakal diadili oleh, tertua-tertua kita
yang akan menghukumnya, maka itu kau.. jangan kau
membunuh ayahku."

Nona ini bingung bukan main. Ia menginsafi kesalahan
ayahnya, kalau ayah itu sampai dihukum, bercelakalah ia.
Sedangnya ia bingung ini, sekarang ia melihat sikapnya Supu.
Ia bisa mengerti yang pemuda ini hendak menuntut balas.
Biar bagaimana, tidak ingin ia si pemuda melakukan
pelanggaran pula seperti ayahnya itu.
Supu memandang mayat ayahnya. Ia pun menginsafi
aturan, yang keras itu.
"Baik," katanya, "aku tidak akan bunuh ayahmu. Aku cuma
hendak menangkapnya!"
Lantas anak muda ini lari, mulutnya berkaokan: "Cherku!
Kau hendak kabur ke mana?" Tidak lagi ia memanggil paman.
Tiba-tiba datang jawabannya Cherku: "Aku di sini! Kenapa
aku mesti kabur?"
Cherku berada tidak jauh dari situ. Dia benar berlepotan
darah pada mukanya.
Dengan golok di tangannya dia berdiri tegar, romannya
bengis.
Supu menghampirkan. Ia membawa goloknya tetapi
senjata itp ia tidak lantas menggunakannya. Cuma obor di
tangan kirinya, yang ia tancapkan di pasir. Ia kata dengan
keren: "Letaki senjatamu! Aku tidak akan bunuh kau!"
"Kenapa aku mesti meletaki senjataku?" Cherku membaliki.
"Hm! Apakah kau mengira kau dapat membunuh aku?"
Bun Siu dan Aman menyusul. Mereka mendapatkan dua
orang itu berdiri berhadapan dengan masing-masing
senjatanya di tangan, roman mereka bengis, sikap mereka
tegang.
"Ayah, sukalah kau lepaskan golokmu," berkata Aman
kepada orang tuanya itu. "Supu telah berjanji tidak akan
membunuh kau..."

"Kau suruh dia meletaki senjatanya!" kata Cherku dengan
jumawa. "Aku juga berjanji tidak akan membunuh dia!"
"Benarkah kau tidak hendak melepaskan senjatamu?" tanya
Supu bengis, hatinya panas. "Mungkinkah kau benar hendak
membunuh aku?"
Cherku tertawa berkakak "Kau, bocah, kau memikir untuk
membunuh aku?" dia kata, mengejek. "Jikalau kau mempunyai
kepandaian, nah, kau cobalah!"
"Kenapa kau membunuh ayahku?" tanya Supu sengit. Ia
berteriak. "Aku... aku hendak menuntut balas untuk ayahku
itu!"
Belum lagi Cherku menyahuti ketika mendadak ada angin
bertiup keras, hingga obor padam seketika. Hingga ruang
menjadi gelap petang. Tibanya sang gelap gulita itu dibarengi
sama bentakan dari kemurkaan dari Supu, disusul sama
benteroknya senjata, disusul pula dengan robohnya tubuh
Cherku...
"Jangan berkelahi! Jangan berkelahi!" Aman berteriakteriak,
kuatimya bukan main.
Bun Siu sendiri lantas berdaya menyulut api.
Setelah obor menyala pula, terlihat Cherku rebah dengan
tubuhnya tertancap golok. Dia mati sama seperti matinya
Suruke. Di situ Supu berdiri diam dengan tangan kosong, dia
menjublak saja.
Aman lantas menubruk mayat ayahnya, ia pingsan.
Bun Siu maju, guna menolongi nona itu.
Sebentar kemudian, Aman tersadar.
"Bagaimana, Aman?" tanya Supu, menghibur.
Aman gusar. Ia menjawab sengit: "Kau telah membunuh
ayahku! Semenjak hari ini, jangan kau bicara pula denganku!"

Ia mencabut tusuk kondenya, terus ia mematahkannya, terus
ia melemparkannya ke tanah.
"Aku tidak membunuh ayahmu!" berkata Supu,
menyangkal.
"Kau masih menyangkal?" kata Aman, sengit sekali. Dia
menuding kepada golok di dada ayahnya Dia kata pula:
"Apakah itu bukan golokmu? Jikalau bukannya kau yang
membunuh ayahku, habis apakah aku? Ataukah kakak Kang?"
Supu terdesak hingga ia tidak dapat bicara, kepalanya
tunduk.
***
Didalam suku Kazakh bagian Tiehyen itu ada tiga orang
tertuanya. Mereka telah mengadakan sidang di mana mereka
mendengari tuduhannya Aman serta penyangkalan atau
keterangannya Supu, setelah itu mereka berunding sekian
lama. Keputusan mereka dinantikan oleh orang-orang
bangsanya.
Selang sekian lama, ketua yang usianya paling lanjut, yang
kumisnya telah ubanan, berbangkit dari kursinya, lalu dengan
suara nyaring dan tenang ia mengasih dengar perkataannya:
"Adalah aturan dari kaum kita semenjak seratus tahun yang
lampau yang melarang pembunuhan di antara kita sendiri,
bahwa siapa membunuh, hukumannya ialah hukuman mati.
Supu telah membunuh Cherku, maka itu dia harus dihukum
mati!"
Semua orang berdiam sambil berduduk.
Supu sendiri seperti mendumal ketika ia berkata: "Aku tidak
membunuh Cherku... Aku tidak membunuh Cherku..."
Di dalam kesunyian itu, sekonyong-konyong seorang
bangun berdiri. Dialah Sangszer, yang terus berkata dengan
nyaring: "Cherku ialah guruku, dia dibunuh Supu, perbuatan
Supu tidak selayaknya. Tapi di samping itu, terlebih dulu

guruku telah membunuh ayahnya Supu, bisa dimengerti yang
Supu menjadi berduka dan bergusar hingga dia telah
membuatnya pembalasan. Maka itu, kesalahan Supu tidak
dapat dipandang dan disamakan dangan pembunuhan yang
biasa."
Sangszer ini adalah musuhnya Supu, setiap orang
mengetahuinya, sekarang dia menunjuki sikapnya ini, sikap
dari satu laki-laki, dia membuatnya orang kagum hingga
semua mata diarahkan kepadanya. Supu pun mengawasi
dengan sinar mata yang bersyukur. Tatkala Supu berpaling
kepada Aman, si nona menoleh ke lain arah, untuk mencegah
bentroknya sinar mata mereka.
Si tertua yang kumisnya ubanan itu mengangguk.
"Kami bertiga pun sama pendapat," ia berkata, tenang.
"Supu pun membilang bahwa dia telah menolongi suku kita
mendapatkan suatu tempat penyimpanan harta besar dengan
apa suku kita bisa menjadi makmur dan berbahagia, hingga
jasanya itu bukannya kecil, hingga dapat dia menebus
dosanya dengan jasanya itu. Supu dapat bebas dari hukuman
mati tidak dari hukuman hidup, maka itu putusan sidang ialah:
"Mulai hari ini dia diusir untuk selamanya dari kaum Tiehyen
kami, dia dilarang pulang, jikalau kedapatan dia pulang secara
diam-diam, dia akan dihukum mati tanpa ampun pula!"
Supu tunduk, dengan perlahan ia kata: "Aku tidak
membunuh Cherku! Tapi, siapa pun tidak percaya aku, bahkan
Aman tidak mempercayainya... “
VIII
Supu pergi seorang diri dengan pikirannya tidak keruan
rasa. Ia menggendol sebuah bungkusan serta sebuah kantung
air. Ia berjalan di antara jalanan yang bersalju. Ia telah diusir
dari kaumnya, dari tanah tempat kelahirannya. Ia diusir untuk

selama-lamanya hingga tidak dapat ia kembali ke kampung
halamannya itu. Ayahnya, yang ia cintai, telah mati, dan
kekasihnya, Aman, telah menjadi musuhnya. Di dalam dunia
yang luas ini, ia sekarang menjadi sebatang kara.
Ada satu pertanyaan yang tidak mau pergi dari dalam
hatinya. Itulah hal yang sangat membikin ia heran, yang tak ia
mengerti. Inilah dia: "Terang sekali aku tidak membunuh
Cherku! Kenapa golokku dapat nancap di dadanya? Ketika di
saat itu api padam dengan tiba-tiba, aku cuma merasa ada
orang menyamber dan merampas golok dari tanganku.
Adakah perampas itu Cherku, yang karena telah membunuh
ayahku, lalu menjadi malu sendirinya dan merampas golokku
untuk membunuh diri? inilah tidak mungkin terjadi! Cherku
bukan semacam laki-laki! Dia pun mempunyai goloknya
sendiri, perlu apa dia merampas golokku? Mungkinkah, dalam
saat murka itu, aku sampai lupa akan diriku, aku membunuh
Cherku di luar tahuku? Ya, inilah mungkin, inilah mungkin..."
Ia berjalan terus, pikirannya itu pun bekerja teras. Ia
menimbang-nimbang, ia menanya dirinya sendiri, tetapi tidak
dapat ia memberikan jawabannya. Pikirnya pula: "Tidak, itulah
tidak mungkin. Ketika itu, pikiranku sehat sekali, pikiranku
tidak kacau! Luar biasa aku membunuh orang tetapi aku tidak
tahu! Cherku musuhku, sebab dia membunuh ayahku, dengan
membunuh dia, aku tidak menyesal, hanya aneh adalah
duduknya peristiwa! Aku tidak membunuh dia! Habis,
siapakah? Mungkinkah benar, di dalam istana rahasia itu ada
memedinya?"
Lama Supu berjalan, lama ia berpikir, akhirnya, ia
mengarahkan kudanya ke istana rahasia. Ia merasa kesepian.
Ketika beberapa hari yang lalu ia pergi mencari istana itu, ia
ada bersama ayahnya serta Aman, juga beserta si nona Kang
yang pendiam, yang sinar matanya bagus dan tajam
"Sekarang setelah ayahku mati, aku hidup bersendirian.
Dengan Aman aku tidak bakai bertemu pula untuk selamaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
lamanya. Umpama kata kita dapat bertemu, dia sangat
membenci aku. Bagaimana dengan si nona Kang? Dia pun
setahu telah pergi ke mana... Semenjak berlalu dari istana
rahasia, terus aku tidak melihatnya...**
Demikian pemuda-ini ngelamun dalam pikirannya. Ia
berduka, ia mendongkol, ia pun bercuriga, ragu-ragu. Ia
berada dalam kesunyian tetapi ia tidak takut. Maka ia telah
mengambil keputusan guna mencari sesuatu di dalam istana
rahasia. Ia menganggap lebih baik lagi kalau ia dibinasakan
memedi gurun! Bukankah di dalam dunia ini sudah tidak ada
apa-apa lagi yang berarti?
Sementara itu di dalam salah saru kamar di Istana Rahasia
Kobu, Hok Goan Liong dan Tan Tat Hian lagi duduk
berhadapan, bergantian atau berbareng mereka tertawa
terbahak-bahak, saking girangnya, saking puasnya, hati
mereka. Bersama mereka pula turut bergembira tiga puluh
lebih pengikut-pengikut mereka. Sebab kantong dari setiap
dari mereka telah penuh isinya yang berupa barang-barang
permata yang banyak sekali, bahkan umpama kata setiapnya
membawa sepuluh buah kantong, tempat itu masih
kekurangan guna dapat mengangkut semua harta karun dari
kamar rahasia itu-tak satu perseratus atau satu
perseribunya...
"Shatee," berkata Goan Liong, "kita telah berlalu dari
rumah belasan tahun lamanya, sekarang ini barulah maksud
hati kita tercapai. Semua ini ialah karena jasa kau yang bukan
kecil itu. Duluhari kita bersusah hari karena kita tidak bisa
mencari harta karun ini. sekarang ini kita bersusah hati
disebabkan kita tidak sanggup mengangkut aemua harta ini
karena jumlahnya harta sangat banyak! Bagaimana harta ini
dapat diangkut semua?"
Tat Hian tertawa tetapi ia berkata: "Apa yang aku buat
susah hati sekarang adalah satu urusan lain..." -

"Apakah itu, shatee?" Goan Liong tanya. "Adakah dia si tua
bangka bongkok seperti unta itu? Kalau dia, meskipun dia
terlebih lihai lagi, dengan dua tangannya dia tidak dapat
melawan empat buah kepalan. Mungkinkah dia berani
menepuk laler di kepalanya harimau?" ia menoleh kepada
sebawahannya, yang menjadi tauwbak atau kepala
rombongan seraya berkata: "Eh, Lao Sin, pagi kau mengajak
sepuluh saudara, kau tengok segala bagian dari istana ini,
periksa biar tertib!"
Tauwbak she Sin itu mengangguk, dengan lantas ia berlalu
bersama sepuluh kawannya. Di antara mereka itu ada yang
tidak sabaran, sembari jalan dia mengoceh: "Memeriksa saja
tak hentinya! Di sini di mana ada si bungkuk unta?"
Supu di lain bagian telah menyembunyikan diri, ia mepet di
tembok di belakang pintu, membiarkan rombongan si Sin itu
lewat. Ia tiba di dalam istana rahasia itu di saat yang tepat
Beruntung untuknya, si Sin tidak bercuriga bahwa di belakang
pintu ada yang bersembunyi, mereka itu lewat terus sambil
membawa obor sebagai alat penerangan.
Supu lantas mendengar pula suaranya Tat Hian: "Si tua
bangka bungkuk tetaplah seorang tua bangka, orang yang aku
kualirkan ialah si orang Kazakh.-"
Supu jadi sangat ketarik, hingga ia memasang kuping
dengan perhatian sepenuhnya.
"Mereka itu terdiri dari lima orang, mereka telah mengikuti
jejak tapak kakiku," si orang she Tan melanjuti. "Entah
kenapa, dua di antaranya, dua orang,.pria yang telah berusia
lanjut, telah kedapatan mati di dalam istana ini..."
Sebenarnya Supu mau menduga Cherku dibinasakan Tat
Hian, tetapi mendengar perkataan ini, penyamun itu tidak
dapat diterka. Maka itu, siapakah pembunuhnya Cherku?

Hok Goan Liong tertawa, "Mereka itu telah melihat harta
karun ini, tidaklah aneh jikalau mereka jadi mata gelap dan
saling bunuh," katanya. "Itu pun masuk akal."
"Yang aku paling kuatirkan," kata pula Tat Hian, "ialah itu
tiga muda-mudi anjing Kazakh... Kalau mereka pulang kepada
bangsanya, bisa jadi mereka bakal datang pula dalam satu
pasukan besar untuk mengangkut semua harta karun ini..."
Mendadak Goan Liong berjingkrak bangun.
"Shatee, kau benari" serunya. "Sebetulnya mereka itu
bertiga harus bekerja diam-diam mengangkut harta ini, tetapi
mereka muda dan tolol, memang mungkin mereka
memberitahukannya kepada bangsanya. Taruh kata mereka
berdiam-diam saja, di belakang hari, rahasia mereka itu bakal
bocor sendirinya. Sekarang, shatee, bagaimana pikiranmu?"
"Telah lama aku pikirkan itu, aku masih belum berhasil
memperoleh jalannya yang sempurna," menyahut Tat Hian.
"Mereka berjumlah banyakan, jumlah kita kecil sekali, jikalau
kita melawan bertempur, sulit untuk kita memperoleh
kemenangan. Aku pikir, paling benar ialah kita yang turun
tangan terlebih dahulu..."
"Bagaimana itu?"
"Secara diam-diam kita menyateroni ke tempat mereka.
Kita menyerang sambil membakar..."
Perkataannya Tat Hian berhenti secara mendadak.
Kebetulan sekali, mereka mendengar jeritan nyaring, yang
nadanya menyayatkan. Keduanya kaget dan heran, keduanya
lantas menyiapkan senjatanya masing-masing. Segera setelah
itu, mereka mendengar tindakan kaki berlari-lari, disusul
munculnya seorang sebawahannya, yang terus melaporkan:
"Toa... toapiauwtauw dan sampiauwtauw, Lao Sin jatuh
kecemplung!..."
"Jatuh kecemplung?" tanya Goan Liong heran.

"Benar. Lao Sin kena injak perangkap, dia terjeblos jatuh
dalam..."
Tat Hian mengangguk. "Di dalam istana rahasia ini ada
perangkapnya, inilah tidak aneh," katanya. "Mari kita pergi
melihat!"
Goan Liong setuju, maka berdua mereka pergi. Si pelapor
jalan di muka sebagai penunjuk, yang lainnya mengikuti
Mereka melintasi delapan kamar, sampai di sebuah yang
lain di mana berkumpul semua kawan, yang ribut bicara satu
dengan lain, mata mereka melongok ke lantai, roman mereka
tegang. Di lantai ada sebuah liang besar luas setombak,
tempo disuluhkan, di dalam liang itu tidak nampak apa-apa
saking gelap dan dalam. Jadi itulah liang seperti tanpa dasar.
"Tadi Lao Sin jalan di muka," seorang memberi keterangan,
"mendadak dia terjeblos dan kecemplung..."
Tat Hian melongok ke liang perangkap.
"Lao Sin! Lao Sin!" ia memanggil-manggil.
Tidak ada jawaban kecuali jawaban sang kumandang dari
dalam liang itu.
Tat Hian memandang Goan Liong, Goan Liong mengawasi
padanya, hati mereka sama-sama bekerja. Dengan sendirinya
mereka merasa jeri.
"Di dalam istana ini disimpan harta besar, pantas kalau
perangkap dipasang untuk menjaga gangguan pencuri," kata
Tat Hian kemudian. "Mungkin masih ada perangkap lainnya
lagi, maka itu selanjurnya kita harus berhati-hati."
Goan Liong tidak bilang suatu apa hanya ia memandang
satu tauwbak she Pit
"Lao Pit," katanya, "coba kau ikat tubuhmu dengan dadung,
lalu kau turun, untuk lihat Lao Sin, untuk mencoba menolongi
dia."

Tauwbak itu berdiam, wajahnya menunjuk kesangsiannya.
Ia rupanya jeri memasuki liang itu, yang tak ketahuan
dasarnya.
"Apa? Apakah kau tidak dengar?" tanya Goan Liong,
wajannya suram.
"Toapiauwtauw," sahut si tauwbak. "Si Sin terjeblos lama
juga, suaranya tidak ada sama sekali, tentu dia sudah mati..."
"Tapi aku menyuruh kau turun untuk melihat, untuk
menolongi kalau perlu!" kata pemimpin itu, gusar. "Kalau
benar dia sudah mati, mayatnya harus diangkat."
"Apakah artinya kalau dia mati?" tauwbak ita tanya sambil
tertawa. "Untuk kita, matinya satu orang berarti kurangnya
satu orang, dan itu berarti juga kurangnya bagiannya satu
orang atau berarti kita mendapat bagian lebih banyak...”
Hok Goan Liong tertawa, ia mengangguk.
"Kau benar!" bilangnya. "Mati satu orang berarti kurang
satu orang!..."
Mendadak tangannya pemimpin ini melayang, dengan satu
suara nyaring, tubuh si Pit terpelanting, jatuh ke dalam liang
perangkap!
Bukan main si Pit merasakan sakit dan kaget, dia menjerit
keras, tangannya menjambret, guna menolong dirinya. Ia
tidak herhasil memegang dadung, yang melongsor turun di
pinggiran liang itu, dengan tangannya merosot, tubuhnya
turun terus. Karena tertarik, dadung itu membikin tembokan
tergerak dan gempur.
Tat Hian kaget sekali, tetapi ia masih ingat untuk
membabat ke arah dadung, hingga tembokan tidak tertarik
terus, tidak turut gempur semuanya. Cuma tubuhnya si Pit,
yang tak tertahan lagi jatuhnya.
Semua orang kaget hingga mereka melongo.

"Sungguh berbahaya! Sungguh berbahaya!" kata beberapa
orang.
"Syukur sampiauwtauw sebat, kalau tidak, kita bisa roboh
semua dan keunikan pasir!"
Tat Hian tidak membilang apa-apa hanya lantas ia
memeriksa liang perangkap itu. la mendapatkan sebuah
gelang, ketika ia menarik itu, papan batu jebakannya
bergerak, naik sendirinya, hingga liang jadi tertutup pula
seperti biasa, lenyap tanda-tandanya perangkap itu.
"Sungguh pandai orang yang memasang perangkap ini!"
Goan Liong memuji. Dia seperti ingat lagi bahwa baru saja dia
menghukum satu tauwbak-nya. "Kalau begini, pasti sudah si
tua bungkuk itu telah mati di dalam istana ini, jadi tidak usah
kita mencari dia terlebih jauh!"
Ia lantas mengajak semua orang kembali ke ruang kamar
tadi
"Toako, di luar dugaan kita menemui istana ini, itu artinya
untung kita," kata Tat Hian. "Sekarang kita pun mendapatkan
liang perangkap itu, maka aku pikir, kalau benar orang-orang
Kazakh datang kemari, baik kita jebak mereka di liang
perangkap itu. Aku percaya, seratus atau dua ratus musuh
tidak ada artinya untuk kita..."
Goan Liong bertepuk tangan.
"Bagus!" serunya. "Ya, kita jebak mereka! Datang satu mati
satu, datang dua mati sepasang!"
Supu bergidik. Ia telah mendengar dan melibat semua. Ia
menjadi ingat kepada Aman. Nona itu tentu bakal mengajak
orang-orang bangsanya datang ke istana ini untuk mengambil
harta karun. Kalau mereka datang, mereka pasti akan
terancam bahaya besar. Dapatkah ia berdiam saja? Tidak,
ia mesti cegah mereka itu-ia mesti menolongi mereka!

Maka tanpa ragu-ragu lagi, diam-diam ia berjalan keluar
dari istana itu.
Ia mau melakukan perjalanan pulang, guna memegat
rombongannya Aman, untuk memperingati mereka itu dari
bahaya yang mengancam mereka. Tengah ia berjalan itu,
mendadak ia mendengar bentakan: "Siapa kau?" Bentakan itu
disusul sama satu bacokan ke arah kepala.
Dalam kagetnya, Supu lompat berkelit- Ia tidak menjawab
hanya lari terus.
Masih ada seorang lain yang merintangi pemuda ini Dia
melihat si pemuda, si pemuda sebaliknya tidak. Dia muncul
dengan mendadak, tanpa bersuara, dia menyerang dengan
kakinya dia menyapu. Supu tidak berdaya lagi, ia roboh. Tapi,
ketika dia ditubruk, untuk dibekuk, ia ingat membela diri,
maka ia lantas menyambut! dengan tikaman. Orang itu tidak
menyangka, dia tidak bisa menangkis atau berkelit.
Cuma sekali dia menjerit keras, lantas tubuhnya roboh,
jiwanya melayang. Hanyalah Supu, tidak dapat ia meloloskan
diri. Belum lagi ia sempat berlompat bangun, sebatang golok
sudah ditempelkan ke batang lehernya.
"Jangan bergerak!" demikian ia mendengar ancaman.
Selagi tengkurap, Supu tidak bisa melihat siapa orang itu.
Ia terpaksa berdiam saja sambil mendekam. Orang itu
sebaliknya mengawasi kepada kawannya, waktu dia mendapat
kenyataan si kawan telah terbinasa, dia menjadi gusar, dia
lantas mengayun goloknya kepada lehernya si pemuda
Selagi Supu tidak berdaya dan tangan orang itu terayun, di
situ terlihat menyambarnya barang putih berkilauan, barang
mana —— serupa pedang kecil menancap di dada si
pengancam itu, hingga dia menjerit dan roboh terjengkang,
goloknya terlepas, jatuh di tanah.

Baru sekarang Supu, yang merasa heran, dapat berlompat
bangun. Ia mendapat kenyataan pedang pendek itu nancap di
dada dan merampas jiwa kurbannya. Ia menjadi heran. Ia
menduga-duga, siapa penolongnya itu. Selagi ia berdiam,
seorang nona muncul dari belakang pepohonan, nona itu
lantas mengambil pedang pendek itu dari dada si penjahat,
terus darahnya disusuri.
Melihat nona itu, Supu terkejut berbareng girang.
"Nona Kang” serunya. “Terima kasih untuk
pertolonganmu.”
Nona itu Bun Siu adanya. Dia bersenyum. Lantas dia
menggusur mayatnya kedua penjahat itu, di lelaki saling
berhadapan, tangan mereka dibikin masing-masing mencekal
pisau belati, pisau mana saling nancap di dada mereka.
Dengan begitu nampak mereka seperti saling menikam.
"Bagusi" berseru Supu memuji. Ia dapat membade maksud
si nona. "Kalau kawan mereka ini mendapati mereka, mereka
itu bisa menyangka mereka saling bunuh. Nona Kang,
setindak saja kau datang lambat, tentulah aku sudah
bercelaka..."
Di dalam hatinya, Bun Siu tertawa
"Kau mana tahu yang aku senantiasa mengintil di
belakangmu? Mana bisa menjadi aku datang terlambat?"
Memang benar Nona Lie senantiasa menguntit Supu
semenjak mereka ke luar dari istana rahasia. Kalau Supu
mengikuti Aman, untuk menghadap tertua mereka, ia diamdiam
menghilang, untuk di lain saat menjadi seperti bayangan
si anak muda. Begitulah ia mendapat tahu Supu diusir, lalu
Supu pergi tanpa tujuan, sampai orang menuju ke istana
rahasia itu. Supu mendengar dan melihat aksinya Tan Tat
Hian semua, Bun Siu sebaliknya melihat gerak-geriknya itu. la
lihai ilmunya enteng tubuh, sedang Supu melainkan seorang
kuat di antara pemuda-pemuda Kazakh.

"Sekarang mari kita lekas pergi," kata Bun Siu kemudian.
"Kalau musuh keluar semua, tidak dapat kita melawan
mereka."
Supu pun insaf akan bahaya, maka ia menurut. Lebih dulu
mereka masuk ke pepohonan lebat, dari situ mereka berjalan
pulang. Di sepanjang jalan, Supu memberi keterangan dari
halnya dia telah diusir dari kaumnya.
"Nona Kang, benar-benar Cherku bukan dibunuh olehku,"
kemudian ia memberi kepastian, "kecuali saking gusar dan
bersusah hati, aku membunuhnya di luar tahuku..."
Bun Siu kenal pemuda ini semenjak masih kecil, ia percaya
kejujurannya, hanya pembunuhan terhadap Cherku memang
aneh sekali. Di dalam istana itu tidak ada lain orang. Ialah
yang mengunci pintu. Kalau si pembunuh bukan Supu, habis
siapa? Tidak mungkin Aman membunuh ayahnya.
"Benarkah Aman membunuh ayahnya sendiri?" ia tanya
dirinya. Ia menggigil kalau ia membayangi benar-benar Aman
berbuat demikian. "Tapi tidak, itulah tak dapat! Hanya, benar
juga di dalam dunia suka terjadi hal yang luar biasa sekali...
Sekarang satu dalam dunia, Supu jujur atau Aman si
pembunuh..."
Perjalanan mereka berdua di lanjuti. Sekarang mereka
berada di jalan berpasir yang penuh salju. Mereka berjalan
dengan merendengi kuda mereka. Inilah saat yang Bun Siu
mengharap-harapnya. Ia merasa senang berbareng berduka.
Supu sebaliknya senantiasa mengingat Aman, kalau ia
membuka mulut, nama Aman adalah yang dibuat sebutan.
Demikian katanya: "Kalau Aman membawa orang-orang
bangsanya datang mengambil harta, mereka pasti bakal
bercelaka di tangan kawanan penyamun yang licin itu, maka
itu, nona Kang, mesti aku bicara dengan mereka, untuk
memberi keterangan. Aman harus dikisiki."

"Benar. Dia mesti dipesan untuk waspada," Bun Siu bilang-
Supu mengangguk. "Nona Kang," katanya pula selang sesaat,
"benar-benar bukan aku yang membunuh Cherku, maka itu
tolong kau pikirkan jalan untukku dapat akur pula dengan
Aman..." Ia menjambak rambutnya saking masgul. Ia
menambahkan:
"Kalau aku menemukan Aman, mungkin dia membunuh
aku, kalau tidak, mungkin aku tidak bakal hidup lebih lama
pula..."
"Sabar saja," kata Nona Lie. "Mungkin kau dapat
melupakan dia. Kau tahu, duluhari, semasa aku masih kecil,
aku sangat menyukai satu anak laki-laki. Sayang kemudian dia
tidak mernperdulikan aku, hingga aku jadi bersusah hari,
hingga aku menyesal tidak dapat aku mati saja. Selewatnya
beberapa tahun, aku lantas tidak memikir pula untuk mati..."
"Kalau begitu, anak laki-laki itu satu telur busuk!" kata
Supu. "Kaulah satu nona yang baik sekali, mengapa dia tidak
mempedulikanmu?" . Bun Siu menggeleng kepala. "Bukan,
anak itu bukan telur busuk," katanya. "Adalah ayahnya yang
melarang aku menemuinya."
"Ah, kalau begitu, ayahnya itulah si manusia tolol dungu!"
kata Supu pula. Ia mengawasi si nona, ia menambahkan:
"Ayahku adalah seorang ayah yang baik, dia senang dengan
Aman, dia mengharap-harap aku menikah Aman, maka— —
ah —— sayang sekali, Cherku telah membunuh ayahku..." Bun
Siu pun mengawasi. "Kalau semenjak sekarang kau tidak
melihat lagi Aman, mungkin kau dapat melupai dia," katanya,
suaranya rada bergemetar. "Dan mungkin kau akan bertemu
seorang nona lain yang cantik..."
“Tidak, untuk selamanya tidak dapat aku melupakan
Aman!" kata Supu, tegas. "Lain nona cantik tidak ada di
mataku!" Ia berhenti sebentar, lalu ia tertawa. Ia menyesal
ketika ia berkata: "Kaulah penolongku, terhadapmu aku
sangat bersyukur. Pula aku sangat menghormati kau!"

Bun Siu berdiam, hatinya bekerja.
Magrib itu mereka singgah, untuk masing-masing menggali
salju dan pasir, untuk menempatkan diri melewati sang malam
Di antara kedua liang, mereka menyalakan unggun. Di atas
mereka terlihat langit yang biru dengan bintang-bintangnya
berkelak-kelik. Angin mendesir-desir, membuat salju
beterbangan.
Kebetulan ada dua lempengan salju yang terbang
berbareng, sambil menunjuk itu Bun Siu kata: "Kau lihat,
bukankah itu mirip sepasang kupu-kupu?"
"Ya, mirip sekali," menyahut Supu. "Sudah lama, lama
sekali, ada seorang nona Han yang mendongeng kepadaku
tentang seorang pemuda Han nama Nio San Pek serta seorang
nona Han nama Ciok Eng Tay, bahwa mereka itu berdua
bersahabat kekal satu pada lain, hanya kemudian ternyata,
ayahnya Eng Tay melarang anaknya menikah sama San Pek.
Atas itu, San Pek menjadi sangat berduka, dia jatuh sakit dan
mati karenanya. Pada suatu hari Ciok Eng Tay lewat di tempat
pekuburannya Nio San Pek, dia mampir, dia menangis di
kuburan itu...”
Mendengar itu, Bun Siu membayangi kejadian pada kirakira
sembilan tahun yang lalu: Itu waktu di sebuah bukit kecil
ada berduduk berendeng sepasang muda-mudi cilik, sambil
menilik kambing mereka, mereka memasang omong. Si
pemudi bercerita, si pemuda, mendengari. Bercerita sampai di
bagian yang menarik hati, mata si pemudi mengembang air,
wajah si pemuda berduka. Sekarang Bun Siu tahu, si pemuda
adalah Supu di depannya ini, Supu sebaliknya menganggap si
pemudi telah meninggal dunia...
"Ciok Eng Tay mendekam di kuburan itu, dia menangis
sedih sekali," Supu melanjuti ceritanya. "Mendadak kuburan
itu melekah, lantas Eng Tay lompat masuk ke dalamnya.
Setelah itu, Nio San Pek dan Ciok Eng Tay tercipta menjadi

sepasang kupu-kupu, dan untuk selanjutnya mereka tidak
pernah berpisah lagi."
"Ceritamu ini menarik hati," kata Bun Siu "Sekarang mana
si nona yang bercerita padamu itu? Ke mana dia perginya?"
"Dia telah meninggal dunia. Itu sapu tangan dengan peta
istana rahasia adalah sapu tangan yang dipakai membalut
lukaku.”
"Apakah kau masih ingat dia?”
"Tentu saja. Aku sering memikirkannya!*'
"Kenapa kau tidak pergi menjenguk kuburannya?"
"Aku akan pergi melihatnya nanti setelah aku dapat
mencari si orang tua bungkuk itu. Aku hendak mengajak dia
bersama.”
"Umpama kata kuburannya itu melekah, dapatkah kau
lompat masuk ke dalamnya?"
Supu tertawa.
"Cerita itu ialah dongeng, itu bukan kejadian yang benar."
"Umpama kata nona itu sangat memikirkan kau dan dia
mengharapi siang dan malam untuk kau senantiasa menemui
dia, karena mana benar-benar terjadi kuburannya melekah,
maukah kau melompatnya untuk dapat menemani dia?"
Supu menghela napas.
"Tidak," sahurnya, jujur.
"Nona itu melainkan sahabat eratku semasa masih kecil,
sedang aku sendiri, selama hidupku ini, aku cuma mengharapi
Aman yang senantiasa menemani aku."
Bun Siu menanya terlebih jauh. la telah menemui jawaban
yang ia harap-harap. Kalau ia menanya terus, mungkin ia akan
jadi sangat bersusah hati.

Dalam kesunyian itu, tiba-tiba seekor burung malam nilam
mengasih dengar suaranyasuara
yang menggiurkan tetapi juga menyedihkan.
"Duluhari itu aku suka menangkap burung nilam untuk
dibuat main hingga dia mati," berkata Supu, "akan tetapi
setelah aku bertemu sama nona itu, aku dapat menyingkirkan
kebiasaanku itu. Si nona sangat menyukai burung nilam,
waktu aku menangkapnya seekor, ia mengasihkan aku gelang
kumala asal aku melepaskan burung itu. Sejak itu aku talak
menangkap lagi burung, hanya aku terus mendengari
suaranya setiap malam Kau dengar, tidakkah lagunya sangat
menarik hati?" Bun Siu agak terkejut "Bagaimana dengan
gelang kumala itu?" ia tanya. "Apakah itu masih ada padamu?"
"Itulah kejadian sudah lama. Gelang itu telah pecah, sudah
hilang."
"Ya, itu kejadian sudah lama, gelang itu telah pecah, sudah
hilang..." katanya, mengulangi Sang burung bernyanyi terus.
Supu tidur bermimpi, memimpikan Aman membujuk! ia agar ia
jangan masgul. Ketika ia sadar, ia kata pada kawannya: "Nona
Kang, aku mimpi bertemu Aman..."
Tapi ia tidak memperoleh jawaban. Si "Nona Kang" telah
tidak ada di dekatnya. Entah kapan perginya dia. Entah ke
mana perginya...
IX
Supu mengawasi ke tempat tidurnya Bun Siu. Ia merasa si
nona aneh kelakuannya. Ia cuma heran, ia tidak memikirkan
lama. Lantas ia meraup salju, untuk mencuci mukanya, untuk
dimakan juga. Setelah itu ia naik kudanya dan pergi.
Kira-kira tengah hari, pemuda ini mendengar ramainya
tindakan kaki kuda. Ia menuntun kudanya mendekati bukit,

untuk melihat Ia mengawasi sampai ia melihat nyata. Itulah
rombongan orang-orang Tiehyen yang menjadi suku
bangsanya. Ia mengenali dari dandanan mereka. Mereka pada
membeka! senjata, jumlahnya lebih daripada tiga ratus jiwa.
Yang jalan di depan ada Aman serta tiga ketua mereka. Di
damping Aman masih ada seorang lain, satu pemuda, ialah
Sangszer. Setiap orang itu membawa kantung. Terang mereka
itu mau pergi ke istana rahasia untuk mengeduk harta karun.
"Syukur,” pikir Supu, "coba aku tidak mendengar
pembicaraan kawanan penyamun itu, yang hendak menggurui
akal licin, pasti mereka ini akan terjebak semuanya ke dalam
liang perangkap...” Maka ia lantas lompat naik atas kudanya,
ia melarikannya untuk memapak! rombongan bangsanya itu.
Ia berteriak-teriak: "Aku Supu! Aku hendak bicara! Ada urusan
sangat penting!**
Si ketua yang kumisnya ubanan mengenali si anak muda, ia
menjadi gusar.
"Supu” tegurnya, "apa maumu datang kemari? Tahukah
kau aturan kaum kita terhadap orang yang sudah diusir?"
Bangsa Kazakh ini bangsa penggembala yang tidak
ketentuan tempat kediamannya, mereka pergi ke mana
mereka suka, meski begitu, ke mana juga mereka pergi,
seorang bangsanya yang telah diusir tidak dapat menemui
mereka pula, dan orang itu juga tidak dapat bicara sama
mereka. Maka itu, perbuatan Supu ini melanggar aturan
mereka itu.
"Aku hendak membicarakan urusan sangat penting," kata
Supu, membelai.
"Kau masih tidak mau lekas pergi?" si ketua menegur. "Asal
kau berani bicara lagi satu patah, aku akan menitahkan
melepaskan anak panah!" Ia lantas meneruskan kepada
Sangszer: "Siapkan panahmu!"
Sangszer menurut, ia laatas bersiap.

Tapi Supu tidak mau pergi, bahkan dia kaburkan kudanya
datang mendekati
"Aman!" katanya pada kekasihnya, "jangan kau pergi ke
istana rahasia! Berbahaya!"
Matanya si nona berlinang.
"Lekas kau pergi!" bilangnya. "Jangan kau bicara sama
aku!"
Sementara itu Supu melihat ancaman anak-anak panah.
Tapi ia ingat baik-baik ancaman bahaya dari Hok Goan Liong.
Maka ia kata: "Aku mesti bicara denganmu!"
"Panah!".berseru si ketua, murka.
Sangszer lantas melepaskan cekatannya kepada tali
panahnya, yang telah ditarik sedari tadi.
Supu kaget. Tapi anak panah mengenai leher kuda tanpa
melukakan. Anak panah itu telah dibuang tajamnya.
"Supu, dengar!" kata pemuda itu. "Mengingat persahabatan
kita duluhari, panahku itu tidak ada kepalanya, tetapi jikalau
kau tetap tidak mau mendengar titahnya ketua kita, panahku
yang kedua tidak mengenal kasihan lagi!"
Dan ia menyiapkan anak panahnya yang kedua itu. Benar,
anak. panah ini berkepala tajam, kepala itu bersinar di cahaya
matahari.
"Bapak ketua, istana rahasia berbahaya..." kata Supu. Dia
belum menutup mulurnya, atau si ketua telah memerintahkan:
"Panah!"
Menyusul itu beberapa batang anak panah menyambar ke
arah Supu, suaranya mengaung. Hanya semua itu lewat di
samping si anak muda. Inilah tanda, orang masih mengingat
sesama suku.

Si ketua lantas menyiapkan panahnya, ketika ia hendak
memanah. Aman maju dengan kudanya, menghalang di
hadapannya. Nona ini berkata kepada Supu: "Supu, pergi
lekas! Kau telah membunuh ayahku, untuk selamanya tidak
dapat aku baik kembali denganmu!..."
Justru itu sebatang anak panah menyamber pundaknya
anak muda itu!
Supu melihat bahwa ia telah tidak mempunyai harapan
pula, dengan terpaksa, ia kaburkan kudanya. Ia menahan
sakit, setelah mencabut anak panah di pundaknya itu, ia
membalut lukanya. Ia masih melihat tiga ratus lebih orangorang
bangsanya menuju ke arah istana rahasia. Ia pun
melihat Aman beberapa kali menoleh kepadanya, sinar
matanya menunjuk entah dia mencinta atau membenci,
berduka atau menyesal...
Sambil menungkuli rasa sakitnya, Supu berpikir. Dapatkah
ia membiarkan orang-orang bangsanya itu menempuh
bahaya?
Di antara mereka itu banyak kawan-kawan akrabnya. Tidak
I Ia mengambil putusan. Maka setelah rasa nyerinya
berkurang, ia naik atas kudanya, untuk mengaburkannya,
guna menyusul rombongan bangsanya itu.
Hari ini Supu mesti mundar-mandir tetapi ia melupakan
letihnya. Sampai sore baru ia dapat singgah, sedikit jauh diluar
tendanya rombongan bangsanya itu. Ia tidak berani menemui
Aman atau lainnya orang. Demikian pula pada besoknya.
Hanya ia melombai mereka, hingga ia sampai terlebih dulu di
muka istana rahasia. Ia bersembunyi di antara pepohonan.
Dari magrib ia menunggu sampai tengah malam, baru ia
melihat rombongan bangsanya tiba. Terus saja, dengan
banyak berisik, rombongan itu masuk ke dalam gua. Ia
menguntit mereka Karena ia sudah kenal baik istana itu, ia
mengambil lain jalan.

Aman yang memimpin rombongannya Ia mengambil jalan
yang ia telah kenal. Setibanya di dalam, ia berduka, lenyap
kegembiraannya selama di tengah jalan. Di sini ia ingat
ayahnya, kebinasaan ayah itu serta ayah Supu, bagaimana
karenanya ia menjadi berpisah dari Supu.
"Supu cuma menakut-nakuti kita!" berkata si ketua selagi
mereka berjalan terus. "Katanya istana rahasia ini berbahaya,
buktinya di sini aman! Makin besar dia jadi makin tidak
keruan, sampai dia berani mendustai"
Mereka maju terus. Sesudah melewati beberapa kamar,
lantas mata semua orang menjadi silau. Di depan mereka
berserakan banyak emas, perak dan mutiara: Semua orang
menjadi heran dan kagum. Mereka girang luar biasa. Sesudah
tercengang sejenak, lantas semua bekerja, mengisikan
kantung bekalan mereka dengan semua barang berharga itu.
Tengah mereka itu bekerja, tiba-tiba pintu di samping
mereka terpentang, di situ muncul seorang Han dengan
tangan memegang golok panjang. Dia lantas membentak:
"Kawanan budak tidak tahu mampus! Kenapa kamu berani
memasuki istana ini dan mencuri hartaku? Lekas antari
jiwamu!"
Orang-orang Kazakh itu menjadi kaget
"Berandal Han! Berandal Han!" mereka berteriak-teriak.
Lalu dua anak muda mendahului maju menyerang.
Berandal itu gagah, setelah beberapa jurus, ia berhasil
melukakan pundaknya satu pemuda. Atas itu, lagi dua
pemuda maju, untuk membantui kawannya. Si berandal
mundur, ia dirangsak. Tiba-tiba ada lagi pintu terbuka, lagi
satu orang muncul. Dia memegang tombak, ujung tombaknya
tahu-tahu telah nancap di dadanya seorang muda, hingga dia
ini lantas roboh, jiwanya melayang!
Semua orang Kazakh terkejut Si ketua menghela napas, ia
berkata perlahan: "Semua mengepung dulu berandal! Harta ini

kita urus belakangan!” Di dalam hatinya, ia pun pikir: "Kalau
begini, Supu tidak mendusta..."
Kedua penjahat Han itu dikejar melintasi beberapa kamar,
lantas mereka memisah ke kiri dan kanan.
"Rombongan kesatu dan kedua pergi ke kiri, mengejar
berandal itu!” si ketua berseru. "Rombongan ketiga dan
keempat turut aku ke kanan!”
Perintah itu diturut. Rombongan Kazakh itu memang telah
dipecah empat, masing-masing ada pemimpinnya sendiri.
Ketua ini dan rombongannya maju cepat. Di sebuah pintu
pinggiran, yang daun pintunya terpentang secara tiba-tiba,
mereka dipegat seorang Han, yang menyerang mereka.
Mereka melawan. Hanya sebentar, berandal itu lari balik.
"Kejar!” si ketua menitahkan. Berandal itu bertemu sama
kawannya, terus mereka lari berpisahan.
"Rombongan ketiga mengejar ke kiri!” si ketua
memerintahkan.
"Rombongan keempat turut aku” Dan ia mengubar ke
kanan.
"Bapak ketua!” mendadak Aman berkata. "Jangan-jangan
berandal menggunai tipu, mereka menghendaki kita berccraiberai!"
Si ketua mengangguk. "Jangan takut! Orang kita besar
jumlahnya!*' katanya kemudian.
Benar saja, di sebelah depan muncul pula lain berandal, dia
bergabung sama berandal yang lagi dikejar itu. Hanya
sebentar, mereka pun lari berpisahan.
Kali ini si ketua tidak memisah rombongannya, ia hanya
menitah mengejar terus berandai yang lari ke kiri.

Penjahat itu berlari bergantian ke kiri dan kanan, lantas dia
menolak pintu, untuk masuk ke dalam sebuah kamar besar.
Dia baru masuk atau dari belakang pintu berkelebat sebuah
sinar mengkilap, terus dia berteriak dan roboh terluka, sebab
kakinya kena terbacok dan goloknya terlepas mental.
Segera rombongannya si ketua mengenali, penyerang itu
ialah Supu.
Ketua itu melengak. Tidak dapat ia mengusir orang yang
membantuinya.
"Bapak ketua, inilah tempat perangkap!** Supu berkata.
"Benarkah?" tanya ketua itu singkat, ragu-ragu.
Melihat ketuanya menyangsikan ia, Supu mengangkat
tubuh si penjahat dan melemparkannya ke tengah ruang.
Tubuh itu terbanting dan menerbitkan suara, lantai lantas
menjeblak, memperlihatkan sebuah liang besar. Ke dalam situ
tubuh si penjahat kecemplung seraya penjahatnya berteriak
menyayatkan hati, lalu suaranya sirap.
Semua orang Kazakh itu berdiri menjublak.
"Supu, syukur kau menolongi kami!" kata si ketua
kemudian.
"Istana rahasia ini banyak perangkapnya," berkata Supu.
"Mungkin tiga rombongan yang lainnya telah terjebak
kawanan penjahat, yang pada menyembunyikan diri di sini."
Ketua itu sadar, dia kaget
"Benar!" serunya. "Mari kita lihat!"
Tanpa banyak bicara, Supu lantas membuka'jalan.
"Aduh!" mereka mendengar sesudah melewati beberapa
pengkolan.
Mereka kaget, semua lantas memburu. Lantas terlihat di
depan mereka tubuhnya seorang Kazakh yang mandi darah,

waktu diperiksa, dia telah putus jiwa. Hal ini membangkitkan
hawa amarah mereka itu.
Tengah mereka itu bergusar, di atasan kepala mereka
terdengar suara berkeresek, lalu tertampak turunnya
perangkap terali besi
"Lekas lari!" Supu berteriak. Dialah yang paling dulu
melihatnya, dia pun terus lompat ke luar kamar.
Empat pemuda turut berlompat yang lainnya kena
terkurung. Terali itu turun sangat cepat
Di dalam kaget dan takutnya, orang-orang Kazakh itu
menyerang terali itu. Sia-sia saja usaha mereka. Terali besi
tidak mempan senjata, bahkan senjata yang menjadi gompal.
Selagi orang tidak berdaya, dari luar pintu muncul lima
orang, yang jalan di muka ialah Tan Tat Hian. Dia ini lantas
menghampirkan pesawat rahasia, untuk dikerjakan, maka dari
lelangit kamar lantas meluruk turun pasir dalam jumlah besar.
Kembali orang kaget, semua menjerit.
Supu dan empat pemuda, yang berada di luar, maju
menerjang Tat Hian serta rombongannya itu. Mereka lantas
bertarung seru. Selama itu, pasir masih meluruk turun, hingga
sebentar saja sudah naik tinggi sebatas dengkul..
Supu bingung bukan main. Kalau kawanan penjahat ini
tidak dapat dipukul mundur, pasir itu bakal meluruk terus dan
akan memendam mati semua orang bangsanya itu, sedang di
antaranya ada Aman. Tat Hian dan keempat kawannya itu
Iihay, terutama Tat Hian sendiri. Sebentar saja, dua pemuda
telah roboh binasa dan yang ketiga roboh terluka. Tinggallah
Supu serta satu pemuda lainnya. Di dalam terali, parir sudah
lantas sampai di dada, hingga orang sukar menggeraki
tubuhnya.
Supu menjadi lebih bingung lagi ketika kawannya yang
terakhir pun roboh di tangannya Tat Hian, hingga lantas ia

dikepung berlima. Tat Hian juga lantas dapat memukul
terlepas goloknya Supu, hingga di lain saat dia ini mesti berdiri
diam saja di bawah ancaman pedangnya penjahat itu.
Mendadak saja di situ muncul seorang lain, yang
bersenjatakan bandring. Belum sempat Tat Hian berdaya,
pedangnya sudah terhajar bandring itu dan jatuh ke lantai.
Empat penjahat kaget tapi mereka maju menyerang. Atas itu
Tat Hian bisa menjumput pula pedangnya, guna membantu
mengepung.
Supu sadar, ia lantas lari ke pesawat rahasia, maka di lain
saat, berhentilah meluruknya pasir.
Semua orang Kazakh itu bernapas lega. Ketika mereka
memandang ke arah penjahat serta orang yang baru datang
itu, mereka heran. Orang itu satu pemuda yang tampan,
dengan dandanan Tionghoa mirip si kawanan penjahat. Entah
kenapa, mereka itu telah bertempur satu dengan lain.
Pemuda itu pandai menggunai bandringnya, setelah
belasan jurus, dia berhasil merobohkan saling susul pada
empat konconya Tat Hian, melihat mana, dia ini lantas kabur
mengangkat kaki.
Supu lantas mencari pesawat rahasia lainnya, guna
mengangkat naik terali besi itu. Maka sekarang semua orang
baru benar-benar bernapas lega. Dengan susah payah mereka
membebaskan diri dari urukan pasir itu.
Orang hendak membilang terima kasih pada si pemuda
penolong, tapi orang sudah tidak ada, entah ke mana
perginya.
Semua orang bersyukur berbareng heran. "Tanpa dia,
celakalah kita," kata yang satu. "Ke mana perginya dia ? Ah,
kiranya di antara orang-orang Han ada juga yang baik..."
"Bapak ketua," kata Supu tanpa mempedulikan suara
Orang banyak itu, "istana ini berbahaya, baiklah lekas

rhengumpuli semua orang bangsa kita, supaya mereka tidak
terjebak penjahat"
Ketua itu setuju. "Mari kita bekerja!" katanya. Ia
menitahkan semua orang mengambil jalan mundur menuruti
jalan dari mana tadi mereka masuk. Mereka pun bunyikan
terompet, tanda memanggil berkumpul tiga rombongan
lainnya, untuk berkumpul di luar istana.
Rombongan ini tiba di luar, lantas mereka menantikan.
Mulanya muncul rombongan ketiga, kemudian rombongan
kesatu. Rombongan kedua dinantikan dengan sia-sia.
Kembali terompet ditiup nyaring dan riuh. Istana tetap
sunyi
"Jangan-jangan mereka terjebak," kata si ketua kemudian.
"Mari kita masuk bersama untuk melihat mereka."
Usul ini disetujui Lantas mereka berbaris rapi. Belum lagi
mereka bergerak, dari dalam terlihat munculnya orang-orang
dari rombongan yang kedua itu. Mereka ini muncul saling
susul, dalam rombongan dari dua tiga orang, dengan roman
mereka tidak keruan. Dua orang pun menggotong satu orang,
yang tubuhnya terpanah, yang mandi darah. Yang muncul
paling belakang ialah Sangszer, goloknya di tangan, mukanya
berlepotan darah.
"Bagaimana?" tanya si ketua, kaget dan berkuatir.
"Hampir kita tidak dapat bertemu lagi," menjawab pemuda
itu. "Kami telah masuk dalam perangkap penjahat. Di dalam
sebuah kamar, mendadak kami diserang banyak anak panah,
yang datangnya dari empat penjuru. Syukur ada satu anak
muda kosen, yang membantu kami Dia telah menggagalkan
bekerjanya pesawat rahasia."
Baru mereka bicara sampai di situ, di situ muncul si anak
muda yang disebutkan Sangszer ini. Anak muda itu

menggusur satu penjahat, ialah Hok Goan Liong, yang dia
lantas lempar roboh ke tanah.
Semua orang Kazakh bergarang "Terima kasih! Terima
kasih!" mereka mengucap: Si ketua menghampirkan anak
muda itu, guna menghaturkan terima kasihnya yang hangat
seraya menanyakan she dan nama orang.
"Aku she Lie," menyahut si anak muda. "Namaku tidak ada,
panggil saja aku Lie Pek Ma."
Di antara mereka itu. Aman dan Supu segera mengenali si
anak muda.
"Dia toh nona Kang," pikirnya. "Kenapa sekarang dia
menjadi seorang muda bangsa Han? Bagaimana sebenarnya,
apa dulu itu dia menyamar jadi wanita atau sekarang dia
menyaru menjadi pria? Atau mungkin si nona Kang hanya lain
orang dan orang itu melainkan mirip romannya?"
Supu tidak dapat menahan hati. "Kau... kau toh nona
Kang?" ia menanya.
Lie Bun Siu tertawa lebar. "Tadinya aku menyamar menjadi
nona Kazakh, kamu tidak mengenali aku" katanya. "Aku tahu
kamu membenci orang Han, aku tidak berani berdandan
seperti orang bangsaku."
Si ketua nampak likat.
"Baru hari ini kami ketahui, orang Han juga ada yang baik
hatinya," kata ia, mengaku. "Tanpa pertolongan kau, tuan Lie,
hari ini kami semua pasti bakal mati terpendam di dalam
istana rahasia ini."
Bun Siu tidak menyahuti, ia hanya menoleh kepada Supu.
"Sayang ayahmu telah menutup mata," pikirnya, "maka ia
menjadi tidak ketahui, di antara orang Han pun ada yang
baik..." Kemudian ia kata, tawar "Di antara bangsa Han ada

orang-orang jahat dan orang baik pula, si jahat biasa
mencelakai si baik. Tapi si jahat pun tidak bisa hidup selamat!"
Semua orang Kazakh itu berdiam. Mereka pikir pemuda ini
benar.
"Tuan Lie, tolong kau menunjuki kami jalan," berkata si
ketua kemudian. "Kami mau masuk untuk menyerang
kawanan penjahat itu!"
"Ya, kita menyerbu, kita membalaskan sakit hatinya
saudara-saudara kita yang terbinasa!" berseru orang-orang
Kazakh itu.
"Istana rahasia ini banyak perangkapnya, tanpa peta, tidak
dapat kita lancang memasukinya," berkata Lie Bun Siu. "Kalau
kita memaksa masuk, kita bisa menjadi kurban. Kalau
disetujui, aku mempunyai suatu pikiran. Ini hanya meminta
tempo."
"Silahkan berikan petunjukmu, tuan Lie!" kata si ketua. Bun
Siu bersenyum. "Aku ingin mengajukan satu permintaan,
maukah bapak ketua meluluskannya?" katanya.
"Tuan adalah penolong kami, titahkan saja, pasti kami akan
kerjakan," menyahut ketua itu.
Bun Siu lantas menunjuk kepada Supu.
"Kakak Supu ini telah diusir dari kaumnya," ia berkata,
"barusan dia telah bertempur dengan orang jahat, dia
menolongi semua saudara dari perangkap musuh, dari itu aku
pikir baiklah jasanya ini dipakai menebus dosanya, supaya
bapak ketua menarik pulang hukuman kepadanya, agar dia
dapat berkumpul pula dengan sesama bangsanya. Inilah
permintaan yang kecil sekail Dapatkah bapak ketua
menerimanya?"
Ketua itu berdiam untuk berpikir, terus ia berdamai sama
dua pembantunya. Tidak lama, ia menghampirkan Bun Siu,
untuk memberikan jawabannya.

"Mengingat budi tuan serta dia benar telah membelai kami,
kami suka meluluskan permintaanmu, tuan," berkata dia
"Sekarang Supu dapat kembali kepada bangsanya."
Supu menjudi girang sekali. Ia pun mengucap terima kasih
kepada Bun Siu.
Ketua itu lantas bicara kepada orang-orang bangsanya,
untuk mengumumkan bahwa hukuman buang Supu telah
dihapus, karena mana pemuda itu dapat kembali di antara
mereka. Sebagai alasan dikemukakan permintaan Lie Bun Siu,
penolong mereka, dan bahwa Supu telah berjasa sudah
memperingati adanya ancaman bahaya dan tadi Supu juga
telah mengadu jiwa menolongi mereka.
Pengumuman itu disambut sorak-sorai yang ramai.
Setelah sirap suara orang banyak itu, sang ketua lantas
tanya Bun Siu bagaimana akalnya untuk membekuk semua
penjahat
Bun Siu menuding kepada Goan Liong.
"Dialah si kepala penjahat!" sahutnya. "Coba geledah
padanya, mungkin dia menyimpan peta bumi atau petanya
istana ini.”
Tanpa diperintah lagi, Supu maju.
Hok Goan Liong sudah tidak berdaya akan tetapi dia murka
sekali, dia mementang matanya dan membuka mulutnya
mencaci.
Bangsa Kazakh menghormati orang bernyali besar, mereka
kewalahan.
"Peta itu telah kita bakar!" kata Goan Liong nyaring.
"Kamu, kawanan anjing Kazakh, jikalau nyalimu besar, kamu
terjanglah istana ini! Mari kita bertempur! Untuk mendapatkan
peta, jangan harap!"

Perkataan berandal ini benar. Supu menggeledah tanpa
hasil.
"Sekarang begini," berkata Bun Siu. "Semua orang berdiam
di sini, kita mendirikan tenda. Sejumlah orang harus pulang
guna mengambil rangsum dan lainnya keperluan. Di depan
istana kita menggali liang perangkap serta tambang-tambang
kalakan. Kita menanti sampai kawanan penjahat kelaparan,
mesti mereka keluar. Paling lama mereka dapat bertahan
delapan atau sepuluh, hari. Jikalau mereka keluar, kita bekuk
satu demi satu. Dengan begitu tidak usah kita menempuh
bahaya dengan menyerbu ke dalam istana."
Pikiran ini baik, sang ketua menerimanya dengan girang.
Bahkan ia lantas bekerja. Rombongan ketiga diperintah
pulang, buat mengambil rangsum, dan yang lainnya terus
bekerja, memasang tenda dan menggali liang jebakan yang
lebar dan dalamnya rata-rata lima tombak, atasnya ditutup
dengan rumput yang ditutup pula dengan salju. Mata-mata
pun dipasang.
Selang lima hari, rombongan ketiga kembali dengan
rangsum berikut kerbau dan kambing hidup.
Dugaannya Bun Siu tepat. Lagi dua hari, kawanan penjahat
muncul saling susul. Benar-benar mereka tak tahan lapar.
Mereka kelaparan hingga kepala mereka pusing, maka mereka
kabur, tenaga mereka habis. Mereka terjeblos ke dalam liang
perangkap di mana mereka dibekuk tanpa perlawanan.
Hanyalah, ketika penjahat yang terakhir muncul, dia tidak
diikuti Tan Tat Hian.
"Ke mana dia pergi?" tanya Bun Siu kepada setiap penjahat
"Entahlah," dia mendapat jawaban. "Kita tak melihat dia
selama beberapa hari yang paling belakang. Mungkin dia
terbinasa di perangkap dalam istana."

Keterangan itu tidak lantas di percaya. Sang ketua masih
bersabar menanti lagi dua hari. Habis itu barulah ia berlega
hati
"Sekarang mari kita masuk ke istana," katanya, la
mengajak orang untuk mengambil harta besar itu.
Bun Siu sendiri memikirkan Kee Loojin. Sudah beberapa kali
ia memasuki istana, tidak juga ia dapat menemui orang tua
itu. Ia jadi sangat berkuatir si orang tua telah roboh di tangan
jahat dari Tat Hian. Tentu sekali sukar ia melupai budi orang
tua itu, yang ia telah pandang sebagai kakeknya sendiri. Ia
telah menanyakan beberapa penjahat, semua menerangkan
tidak pernah melihat orang tua yang bertubuh bongkok
bagaikan unta itu..
Yang aneh untuk nona Lie ini yang juga ia buat pikiran,
ialah lenyapnya Hoa Hui, gurunya. Guru itu bilang tidak
keruan paran. Pernah Bun Siu pergi ke tempat kediamannya,
di sana dia tidak kedapatan. Pula tidak ada tanda-tanda
bahwa guru itu pernah pulang.
Orang-orang Kazakh itu lebih dulu mengurus mayatnya
orang-orang bangsanya serta mayat-mayat si penjabat,
selesainya itu baru mereka mengangkut harta karun itu.
Ketiga ketua mereka telah memutuskan, semua orang
memperoleh hak sama rata. Artinya, mereka tidak boleh
berebutan. Keluarga kurban jiwa mendapatkan bagian dua
lipat
Selagi orang mengambil harta, Supu melihat Lie Bun Siu
diam saja di pinggiran, la lantas membawa sekantung harta
dan meletakinya di depan orang.
"Saudara Lie," katanya, "ketua kami membilang, tanpa
pertolongan kau, kami semua pasti membuang jiwa di sini,
maka itu ia mengatakan, kau boleh mengambil harta ini
sesukamu, umpama kata kau tidak dapat mengangkutnya,
nanti kami menolong kau membawanya."

Bun Siu menggelengkan kepala.
"Aku tidak menghendaki emas dan perak serta mutiara,"
sahutnya.
"Kau menginginkan apa, nanti aku pergi mengambilkan,"
berkata Supu.
"Yang aku kehendaki, itu tak terdapatkan. Yang aku
dapatkan, aku tidak menghendakinya,” berkata Bun Siu. Dan
ia menuntun kudanya. "Sekarang aku mau pergi...”
"Jangan, jangan, saudara Lie!” berkata Supu. "Kau mesti
mengambil sesuatu! Barang apa itu yang kau tidak
mendapatkannya?"
"Itulah kejadian yang telah lama. Yang aku kehendaki itu
ialah sehelai kulit serigala."
Tadinya Supu masgul, tetapi mendengar kata-kata orang,
air mukanya menjadi terang.
"Kulit serigala?" katanya, gembira. "Itulah gampang sekali.
Nanti aku mengambilkan sepuluh helai untukmu!"
"Hanya sekarang ini aku tidak menghendaki itu..."
Kembali orang Kazakh itu menjadi heran, hingga ia
menggaruk-garuk kepala. Ia menganggap orang aneh sekali.
Mau, tidak mau-tidak mau, mau. Habis bagaimana? Maka ia
membuka kantungnya,
memperlihatkan isinya, semua mutiara bergemerlapan.
"Nah, ambillah apa saja!" bilangnya
Lie Bun Siu mengawasi harta besar itu, ia menjumput
sepotong gelang kumala yang kecil.
"Biarlah aku ambil ini saja," bilangnya. Ia berhenti
sebentar, untuk menambahkan: "Dulu juga aku mempunyai
sepotong gelang semacam ini, gelang itu aku telah berikan

kepada seorang, yang telah membikinnya pecah hancur,
hingga sekarang ini lenyaplah!"
Ia masuki gelang itu ke lengannya, terus ia melarikan
kudanya.
Supu heran. Ia menggaruk kepalanya pula. Ia bengong
mengawasi punggung orang sampai orang tak nampak lagi.
Lewat beberapa hari, selesai sudah orang-orang Kazakh
mengangkut harta karun, lantas mereka berangkat pulang.
Mereka menyembelih kerbau dan kambing, untuk membikin
pesta besar. Itu waktu salju sudah lumer, maka di padang
rumput mereka menyalakan unggun. Terutama rombongan
muda-mudi, gembiranya luar biasa. Cuma Aman yang berada
bersendirian.
"Aman," kata si ketua, yang menghampirkannya, "kau
sebatang kara, baiklah kau menikah sama Supu."
"Apa, Supu?" Aman kata. "Dia telah membunuh ayahku!
Mana dapat aku menikah padanya?"
"Memang benar dia telah membunuh ayahmu akan tetapi
kemudian dia telah menolong kau dan kita semua,” berkata si
ketua, membujuk. "Kejadian itu ialah kehendak Allah
junjungan kita dan sekarang permusuhan hendaknya dibikin
habis.”
"Jadi bapak membilang itulah kehendak Junjungan kita?"
Aman tanya.
"Benar.”
"Bapak... Sebenarnya aku menyukai Supu, tetapi, tetapi,
dia telah membunuh ayahku, hatiku jadi... aku selalu
penasaran terhadapnya... Kalau peristiwa benar ada kehendak
Junjungan kita, kalau aku mesti menikah pada Supu, itu baru
bisa terjadi setelah satu pertandingan besar dan tak ada orang
lain yang dapat mengalahkannya. ..”

Ketua itu tertawa bergelak. "Jadi kau menghendaki
diadakan satu pertandingan besar, untuk melihat siapa yang
paling kosen?"
"Untuk itu aku hendak bersembahyang dahulu kepada Allah
Yang Maha Kuasa," berkata Aman. "Jikalau Junjungan kita
dapat mengampuni dia, dia bakat menjadi si pemenang,
jikalau tidak, dia bakal kena dikalahkan, dengan begitu, tidak
dapat aku menikah dengannya."
"Bagusi” memuji si ketua. "Kau percaya kepada Junjungan
kita, itulah bagus sekail Pasti Junjungan kita akan
memilihkanmu seorang suami jempolan."
Justeru orang-orang bangsanya itu lagi berkumpul, ketua
ini berbangkit menghadap mereka, untuk menepuk tangan
tiga kali.
Dengan serempak, semua orang berdiam, mengawasi dan
mendengari.
Ketua itu mengawasi semua orang, ia berkata: "Kita telah
mendapatkan istana rahasia, kita berhasil mendapatkan harta
besar serta membekuk juga musuh-musuh kita, dalam pada
itu, orang yang paling berjasa ialah lima orang. Pertama-tama
saudara Lie si orang Han. Sayang dia tidak ada di sini. Yang
kedua ialah Suruke dan Cherku. Sayang sekali, mereka berdua
telah menutup mata di dalam istana Yang dua lagi ialah Supu
dan Aman. Jasa Supu sangat besar, sayang ia telah
membunuh Cherku, hingga jasanya itu mesti dipakai menebus
dosanya. Karena itu sekarang tinggal Aman satu orang.
Bagaimana kita harus menghargai jasanya Aman ini?"
"Baiklah dia mendapatkan mutiara dua lipat!" seorang
usulkan.
"Tambahkan dia dua puluh ekor kerbau serta seratus ekor
kambing!" kata yang lain.

"Boleh kita memberikannya pula lima puluh pikul bulu
kambing!" yang lainnya lagi memberi pikiran.
Si ketua menggoyangi tangan, ia tertawa riang,
"Tidak, tidak tepat!" katanya. "Aman tidak menghendaki
kerbau dan kambing atau bulu kambing! Mutiara pun ia telah
mempunyai banyak! Habis, dia membutuhkan apa? Dia masih
belum menikah, maka perlulah kita mencarikan dia seorang
suami!"
Semua orang girang sekali, semuanya bersorak.
"Akur! Akur!" seru mereka. "Mari kita mencarikan suami
jempol untuk Aman!"
Hati Supu berdebaran. Semenjak mereka pulang, tidak
pernah Aman bicara padanya. Ia telah menanya dia, dia tidak
mau menyahut Kalau ia mendekati, dia menyingkir. Sekarang
ada usul si ketua ini! Bagaimana akhirnya? Siapa yang si ketua
pilih? Atau, siapa yang Aman telah pilih sendiri? Mungkinkah
Sangszer?
"Siapakah bakal jadi suami paling baik bagi Aman?" berkata
si ketua. "Kami bangsa Kazakh, pria kami semuanya baik-baik
sebagai penggembala, sebagai pemburu, sebagai penunggang
kuda, sebagai orang kosen juga! Hanyalah, siapalah yang
paling diberkahi Junjungan kita? Seharusnya saja, orang muda
yang paling kosen dialah yang mesti mendapatkan isteri paling
cantik!"
"Benar, benar!" orang banyak berseru-seru. "Pemuda kita
yang paling gagah mesti menikah dengan pemudi kita paling
cantik!"
Semua mata lantas dialihkan kepada Supu dan Sangszer,
ada juga kepada beberapa pemuda lainnya.
Aman, dengan wajah merah, juga memandang kepada
setiap anak muda. Setiap pemuda, yang sinar matanya
bentrok, hatinya berdenyutan, otaknya bekerja, dia kata

dalam hatinya: "Siapa dapat menjadi suami nona begini
cantik, ia sungguh beruntung!"
Sementara itu, Aman tidak memandang Supu, ia
menyingkir dari sinar matanya si pemuda.
"Maka itu sekarang aku ingin diadakan pertandingan guna
memilih pasangannya Aman," berkata pula si ketua kemudian.
"Untuk itu orang harus dapat turut ambil bagian di dalam
empat macam pertandingan. Tiga yang pertama ialah pacuan
kuda, mengadu panah dan rebutan kambing. Untuk merebut
kambing lima ekor, orang mesti tinggal lima Inilah calon
terakhir, yang akan mengadu tenaga dan kepandaian satu
dengan lain. Siapa yang menang dialah orang yang paling
kosen."
"Dan dialah yang mendapatkan nona kita paling cantik!"
orang banyak menyambungi.
Si ketua mengangguk. Ia berkata pula: "Sekarang sudah
jauh malam! Siapa sudah mempunyai isteri, siapa sudah
mempunyai kekasih, kamu boleh terus pelesiran! Siapa mau
turut pertandingan, pergilah masuk tidur, untuk beristirahat
untuk bersiap sedia! Kita akan mulai besok pagi! Nanti kita
lihat, siapakah yang dipilih Junjungan kita!"
Bangsa Kazakh beragama Islam, maka itu mereka percaya,
mati dan hidup mereka ada di tangan Tuhan Yang Maha
Kuasa, Junjungannya.
Besoknya pagi di padang rumput telah berkumpul seratus
lebih pemuda, semua dengan kudanya masing-masing, kuda
pilihan. Cuma Supu yang berduduk dengan masgul. Ia kata di
dalam hatinya: "Aman membenci aku, percuma aku
mengalahkan orang, dia tidak bakal menikah padaku...” Tidak
lama terdengarlah suara terompet. Semua anak muda, dengan
menuntun kuda mereka, lantas berdiri berbaris. Supu tetap
berduduk saja, ia ragu-ragu. Mendadak kupingnya mendengar
teguran: "Kenapa kau tidak turut bertanding?" Ia terperanjat.

Itulah suaranya Aman. Ia menoleh. Ia masih mau menduga
nona itu bicara dengan lain orang. Tapi di situ cuma ada ia
sendiri. Ia lantas melihat mata Aman ditujukan tajam
kepadanya. Mendadak ia menjadi girang sekali.
"Oh, Aman, kiranya kau dapat memaafkan aku?..." katanya.
Nona itu menggelengkan kepala.
"Aku tidak tahu..." sahutnya. Ia berhenti sejenak, lalu ia
menanya: "Kau... kenapa kau tidak turut bertanding?"
Supu tidak menyahut, hanya dia berjingkrak bangun, terus
dia menuntun kudanya dan pergi berbaris.
Segera juga terdengar pula suara terompet, setelah tiga
kali, maka seratus lebih penunggang kuda itu sudah mulai
membalap, dari barat mereka kabur ke timur.
Matanya Aman tidak pernah berpisah dari kuda bulu dawuk
dari Supu. Setindak derra setindak, kuda itu melewati yang
lain-lainnya. Tiba di timur, batas ujung, orang lari kembali
dengan memutar. Ketika orang akhirnya tiba di barat, di batas
penghabisan, kuda Supu ialah yang kedelapan. Kuda nomor
satu, yang bulunya putih, penunggangnya mengenakan
topeng dari sapu tangan, hingga nampak sepasang matanya
saja yang bercahaya.
Si ketua segera mengumumkan, yang dapat bertanding
terus ialah yang kudanya terhitung sampai nomor lima puluh.
Sekarang orang mulai dengan adu panah. Untuk itu di tengah
padang rumput itu ditancap papan sebagai tameng atau
sasaran. Sambil menunggang kuda, pemuda-pemuda itu.
memanah bergantian. Setiap kali sasaran terkena tepat, orang
semua bertepuk tangan bertampik sorak.
Setelah penghitungan ternyata, di dalam sepuluh kali
panah, Supu dapat mengenai delapan kali. Yang sepuluh kati
memanah tanpa lolos ialah si penunggang kuda bertopeng.

"Eh, siapakah dia?” demikian orang saling bertanya.
"Kudanya lari paling keras, ilmu panahnya pun paling mahir!”
Si ketua sudah lantas mengumumkan siapa dalam sepuluh
kali dapat memanah enam, dia berhak turut dalam
pertandingan yang ketiga. Acaranya ialah merebut kambing.
Lalu ternyata, dari lima puluh calon, tiga puluh berhak
bertanding lebih jauh.
Rebutan kambing adalah olah raga kepelesiran paling
digemari bangsa Kazakh. Cara merebutnya ialah seekor
kambing dilepas di tengah kalangan, lantas sambil
menunggang kuda orang merebutnya, siapa yang akhirnya
mendapatkan itu, dialah yang menang,, dia berhak memiliki
kambing itu serta diakui juga sebagai orang kosen. Untuk ini
orang mesti pandai menunggang kuda, bermata celi,
bertenaga besar dan sebal Itulah perebutan di antara puluhan
lawan.
Kali ini digunakan lima ekor kambing. Nampaknya
perlombaan menjadi terlebih riang. Tentu sekali, yang
diperebuti bukan kambing lagi hanya Aman. Maka juga
perasaan setiap peserta menjadi tegang luar biasa. Pula setiap
sanak atau keluarga atau sahabatnya si pemuda bersorak
menganjurkan anak atau sanaknya itu. Maka ramailah
gemuruh sorak-sorai. Siapa telah mendapatkannya, kambing
itu masih dapat dirampas lain orang. Maka siapa berhasil, dia
mesti bisa kabur naik ke atas bukit ialah tempat terakhir di
mana orang tidak dapat merampasnya lebih jauh.
Kemudian ternyata, di antara lima calon yang berhasil itu,
ada Supu, ada Sangszer, ada si penunggang kuda bertopeng
itu.
Sampai di sini orang mulai dengan acara terakhir: Mengadu
kepandaian berkelahi. Menurut undian, Sangszer dapat lawan
seorang pemuda yang dijuluki si "banteng gede”. Lawannya
Supu ialah seorang pemuda tinggi sekali dan kurus, hingga dia

biasanya jalan dengan punggung melengkung agar tidak
terlalu menyolok kalau dia jalan beramai-ramai. Dia dipanggil
si "unta”. Meski lawannya Sangszer ada satu banteng tetapi ia
sangat gesit dan cerdik, belum lama, dengan satu gaetan kaki,
ia dapat membikin lawan itu roboh, lalu ditindih hingga tidak
berdaya.
Si unta sebaliknya sulit untuk dijatuhkan Supu. Beberapa
kali dia kena dirobohkan, saban-saban dia dapat meronta dan
bangun pula, hingga dia mendatangkan ramai tempik sorak.
Tadinya orang menyangka Supu bakal menang, kemudian lalu
menduga si unta yang ulat ini.
Supu bermandikan peluh, kaki dan tangannya berkurang
kecekatannya, napasnya pun memburu. Lawannya sebaliknya
nampak lebih segar hanya dia pun tidak bisa merebut
kemenangan. Maka mereka jadi bertarung seru sekali.
Saking letih, kemudian Supu kena dibanting jatuh,
tubuhnya terus ditindih. Ia berontak, sia-sia saja. Banyak
orang lantas berkaok-kaok: “Si unta menang! Si unta
menang!*'
Supu bergelisah bukan main. Tiba-tiba sinar matanya
bentrok sama sinar matanya seorang lain. Itulah sinar mata
yang bergelisah, yang seperti sangat memperhatikan padanya.
Mendadak ia mendapat tenaga baru, ketika ia berontak, ia
dapat menggulingkan si unta, hingga sekarang ialah yang
berbalik menindih lawannya.
Dengan tangan kirinya ia menekuk tangan kanan si unta,
lehernya dia itu ia tekan. Maka habislah tenaga si jangkung
kurus itu!
Di antara sorakan riuh sekali, Supu dinyatakan menang, la
bangun berdiri dengan napas menggotong. Justeru itu
Sangszer berkata padanya: "Supu, kau beristirahatlah! Aku
akan melayani dulu ini saudara!” Dia berbicara tanpa memberi
ketika lawannya beristirahat dulu. Habis berkata, dia

menghampirkan si calon yang nomor lima, yang belum ada
tandingannya. Dia berkata dengan tangannya: "Saudara, mari
aku melayani kau bertanding. Sekarang kau tentu dapat
meloloskan topengmu..."
"Tak dapatkah tanpa diloloskan?" menjawab si lawan.
Supu mendengar suara orang, hatinya bertekat Semenjak
tadi ia menduga kepada si pemuda yang menyebut dirinya Lie
Pekma, sekarang ia mendapat kepastian. Hanya, karenanya, ia
menjadi berpikir: "Sudah terang Sangszer dan aku bukan
tandingannya. Dia selalu berada di antara kita, kiranya dia pun
mengarah Aman..."
Pemuda itu memang Lie Bun Siu.
Sangszer tertawa dan berkata: "Untukku sendiri, tidak ada
halangannya aku tidak melihat wajahmu, tapi kita tinggal
bertiga. kalau aku dan Supu kalah, mungkinkah Aman
menikah suami yang tidak ada mukanya?"
"Baiklah “ menjawab Bun Siu. yang lantas menarik sapu
tangannya.
"Lie Pekma!" Sangszer berseru kaget
Orang banyak pun heran.
"Lie Pekma! Lie Pelana!" mereka berseru-seru. "Dialah
orang Han!"
"Tidak! Gadis cantik kita tidak dapat menikah sama orang
Han!" ada lagi yang berteriak-teriak.
Yang hebat adalah yang berteriak: "Orang Han menjadi
penjahat! Orang Han telah merampok dan membunuh orang
bangsa kita!" Mereka kurban-kurban keganasannya
rombongan Hok Goan Liong.
"Orang gagah she Lie mi bukan orang jahat!" ada juga
yang mengasih dengar suara lain.

"Dialah yang menolong kita di istana rahasia!"
"Dialah penolong bangsa kita! Dia lain dari orang-orang
Han yang jahat!"
Maka ramailah suara-suara yang bertentangan itu.
"Baiklah kita mendengar ketua kita!" akhirnya ada yang
berteriak.
St ketua berbangkit, tiga kali ia menepuk tangan.
"Saudara-saudara, tenang!" ia berkata, nyaring. "Saudara
Lie ini bukannya orang jahat! Tanpa dia, kita semua tentu
telah habis terbinasa di dalam istana rahasia! Maka itu benar,
dialah penolong kita! Pula harus diketahui, di antara orang
Han juga ada banyak yang baik, dan saudara Lie ini orang
baik itu!" Ia berhenti sejenak, lalu ia meneruskan: "Sekarang
mari kita bicara dari hal pertandingan ini. Inilah pertandingan
yang mengenakan jodohnya Aman. Di dalam ini hal, kita
mengharap petunjuk Allah Junjungan kita, ingin kita mendapat
tahu Tuhan berkenan memberi ampun atau tidak kepada
Supu. Jikalau Supu diberkahi, dia tentulah yang menang dan
dia bakal menikah sama Aman. Kita ada penganut-penganut
dari agama Islam, kita tidak dapat menikah sama orang dari
lain agama."
Mendengar itu, Lie Bun Siu campur bicara.
"Di antara orang Han juga ada yang memeluk agama
Islam," katanya. "Aku mempunyai minat untuk memuja Tuhan
Junjungan kamu!"
Ketua itu menjadi serba salah. Tidak ada alasan untuk
menolak Bun Siu. Pula, sebagai seorang budiman, ia tetap
bersyukur dan berterima kasih pada pemuda ini. Bun Siu
bukan hanya menolong dia tetapi semua bangsanya. Di
sebelah itu, ia hanya terpengaruh sama hari kecilnya. Ia juga
tidak puas yang gadis bangsanya yang paling cantik

dinikahkan kepada orang Han. Ia terpengaruh keras rasa
kebangsaannya.
"Soal ini sangat sulit, tidak dapat aku memutuskan sendiri,"
akhirnya ia kata. "Di dalam ini hal kita harus menanyakan
pendapatnya Hapulam, tertua kita yang paling terpelajar*'
Hapulam itu adalah orang tua suku bangsa Tiehyen yang
paling paham tentang kitab suci. Si ketua lantas
menghampirkan ahli kitab itu, yang berada di antara mereka
"Hapulam," tanyanya, lantas, "pernahkah bangsa kita
mengalami peristiwa seperti ini? Aku minta sukalah kau
memberikan keterangan yang jelas."
Ditanya begitu, Hapulam tunduk. Ia berpikir.
"Pelajaranku sangat rendah, apa pun aku tidak mengerti,"
sahutnya selang sesaat.
"Jikalau Hapulam yang terpelajar masih menyebutkan tidak
tahu apa-apa maka lain orang pastilah terlebih tidak tahu apaapa
lagi!" kata si ketua.
Didesak demikian, Hapulam berkata juga: "Kuran Surah 49
ayat 13 mengajarkan:-'Manusia, seorang pria dan seorang
wanita, membuatmu menjadi sekian bangsa dan agama,
untuk menggampangkan kamu saling mengenal, maka dalam
pandangan Tuhan, yang paling mulia di antara kamu ialah
yang paling baik. Di dalam dunia ini, pelbagai bangsa dan
agama, semua ada ciptaan Allah, maka juga Allah bilang, yang
paling baik ialah paling mulia. Pula ada ajaran yang
menganjurkan untuk kita mencintai tetangga kita dekat dan
jauh, kawan, dan melayani baik-baik tetamu kita. Orang Han
ialah tetangga kita yang jauh, asal mereka tidak mengganggu
kita, kita harus mencintai serta melayaninya."
"Kau benar," berkata si ketua. "Tetapi anak perempuan
kita, dapatkah dia dinikah orang Han?"

"Surah 2 ayat 221 membilang," berkata Hapulam: "'Jangan
kamu nikah wanita yang memuja boneka sampai mereka telah
mempercayai agama kita-jangan kamu
menikahkan anak perempuan kepada pria yang memuja
boneka sampai pria itu mempercayai agama kita. Surah 4 ayat
23 pun melarang menikah dengan wanita yang ada suaminya
atau sanak langsung, selainnya itu, semua diperbolehkan
sampai pun pada bujang dan budak. Maka kenapa dia tidak
dapat menikah sama orang Han?"
Selama Hapulam berkhotbah itu, orang banyak berdiri
mendengari dengan tenang dan perhatian, maka itu mereka
menjadi mengerti baik sekali. Dari itu, lantas
mereka pada membilang: "Petunjuk Alto tidak bisa salah
lagi!" Pula ada yang memuji Hapunun dengan berkat* "Apa
pun yang kita tidak mengerti, kita boleh pergi menanyakan
kepada Hapolam, dia pasti dapat rnenjehtskannya dengan
baik."
"Baiklah!" berkata si ketua. "Kuran menyatakan demikian
maka orang Han yang baik ialah saudara yang baik dari kita
bangsa Kazakh! Saudara Lie hendak menikah sama Aman,
Junjungan kita telah mengizinkannya, maka itu sekarang kamu
boleh mulai!"
Semenjak kecil Lie Bun Siu tidak dapat melupai Supu,
rintangannya ayah Supu membuat mereka renggang, sebab
ayah Supu membenci orang Han, sekarang ia maju untuk
memperebuti Aman, sengaja ia dandan sebagai pemuda, ingin
ia membikin bangsa ini mempercayai bahwa orang Han juga
ada yang baik. Dengan begitu juga dengan sendirinya dapat ia
memberi penjelasan kepada Supu hal kekeliruan pandangan
ayah pemuda itu. Mengenai pertandingan ini, ia mempunyai
maksudnya sendiri, meski di muka umum terang nampak ia
menyalak di antara Supu dan Sangszer untuk merebut Aman.

X
Sangszer ketahui lihainya Lie Bun Siu di dalam hal
mengguaai senjata tajam, la telah melihat bagaimana nona itu
menempur kawanan berandal. Maka ia bersangsi.
Sebaliknya, ia mempercayai benar ilmu gulat atau peluk
banting bangsanya, dari itu ia memilih ilmu kepandaiannya ini.
Lantas ia memasang kuda-kudanya.
"Saudara Lie, silahkan maju!" ia menantang.
"Baik!" menyahut Bun Siu, yang lantas menyingkap ujung
bajunya yang panjang, untuk diselipkan ke pinggangnya,
setelah itu ia bertindak ke gelanggang, berdiri di depan
penantangnya itu Di mana kedua pihak sudah siap sedia,
Sangszer lantas membuka kedua tangannya, sambil
mementang, ia maju untuk menubruk. Atau mendadak Bun
Siu berseru kaget, terus dia lari ke arah kiri dimana adapepohonan
lebat Dia seperti melihat sesuatu, yang dia lantas
kejar.
Semua orang menjadi heran, terutama Sangszer. Semua
orang tidak mengerti, kenapa di saat seperti itu, si pemuda
Han lari kabur. Hingga ada yang menduga-duga mungkin dia
jeri terhadap si pemuda Kazakh...
Sangszer berdiri sekian lama, kemudian ia kata kepada
Supu: "Supu, saudara Lie telah pergi, maka itu marilah kita
berdua saja yang bertempur.''
Supu menerima baik tantangan itu, meski sebenarnya ia
masih mengherani Bun Siu.
"Ya, marilah!” ia menjawab, bahkan ia terus maju. Maka
tidak tempo lagi, keduanya lantas bergulat.
Dua orang muda ini ada tandingan yang setimpal.
Semenjak masih kecil mereka suka berkelahi, mereka menang

dan kalah bergantian, hanya kali ini, dalam usia dewasa,
mereka harus mencari keputusan,. Maka bisa dimengerti yang
mereka berkelahi dengan sungguh-sungguh.
Sedari berumur lima belas tahun, Sangszer sudah menaruh
hati kepada Aman, disebabkan rapatnya pergaulan Aman
dengan Supu, ia menjadi tidak dapat menyelak di antara
mereka, ia cuma bisa menindas hatinya sendiri. Sampai
sekarang ia masih tidak berani mendekati Aman walaupun
Supu telah menjadi musuh Aman, disebabkan Supu dibuang
karena tuduhan telah membunuh Cherku. Barulah menit ini
harapannya timbul. Bukankah Aman sendiri yang
menghendaki ini pertarungan umum? Dengan ini nanti terlihat
kesudahannya Allah mengampuni Supu atau tidak...
Umumnya Supu menang unggul sedikit daripada Sangszer,
tetapi setelah tadi ia mesti membanting tulang melayani si
untai ia masih terpengaruh keletihannya, dari itu, segera
ternyata, lawannya itu menang di atas angin. Pula ia keras
memikirkan Lie Bun Siu, yang pergi tanpa sebab.
Sebenarnya Bun Siu kabur karena sejenak itu matanya
melihat satu orang yang berkelebat di dalam rimba, berkelebat
cepat bagaikan bayangan tetapi toh ia mengenali baik
potongan tubuh Tan Tat Hian, tanpa pikir panjang lagi, ia lari
mengubar. Laginya untuk ia, pertandingan itu tidak ada
artinya. Taruh kata ia menang, ia toh tidak- bisa menikah
dengan Aman- Di samping itu, Tat Hian ialah musuh besarnya.
Akan tetapi, sesampainya ia di dalam rimba, Tat Hian telah
lenyap tidak keruan peran, sia-sia belaka ia mencarinya.
Kemudian ia mendengar suara kuda kabur ke arah barat daya,
ia lantas menduga kepada musuh itu. Saking tergesa-gesa, ia
tidak dapat kembali kepada kuda putihnya, ia kabur menyusul
dengan menjembat seekor kuda yang lagi makan rumput di
dekatnya.
Sesudah berlari-lari beberapa lie, Bun Siu tiba di gurun
pasir. Ia mendaki tanjakan pasir bagaikan bukit, untuk melihat

kehlingan. Di sini ia bisa memandang ke sekitarnya dengan
leluasa, tidak seperti tadi semasa di padang rumput Ia lantas
melihat di arah barat daya itu —- jauh letaknya seekor kuda
lagi berdiri diam dan di samping binatang itu ada satu tubuh
manusia rebah tak berkutik. Ia menduga kepada Tan Tat Hian,
ia lantas mengeprak kudanya untuk lari keras ke arah itu.
Tidak lama maka tibalah ia di tempat kuda dan orang itu
rebah menggeletak. Ia berkuatir orang hanya berpura-pura
mati, dari itu sebelum mendatangi dekat, ia menggunai
bandringnya, guna menotok jalan darah tiongteng dari orang
itu. Setelah mendapat kenyataan orang terus berdiam sajasuatu
bukti benar dia telah mati - barulah ia datang
menghampirkan.
Benar-benar orang itu Tan Tat Hian adanya!
"Heran!" pikirnya. Tat Hian mati dengan mulut
mengeluarkan darah, suatu tanda bahwa ia telah teriuka di
dalam. Ia sudah putus jiwa akan tetapi tubuhnya masih
hangat. Jadi dia mati belum lama. Bun Siu menggeledah
tubuhnya, maka terlihat kulit dadanya bertanda mataag biru
sebesar telapakan tangan dan tujuh atau delapan tulang
iganya patah.
"Entah siapa yang menghajar dia?" pikir nona ini. "Lihai
penyerang itu!"
Karena ini, ia lantas melihat ke sekitarnya. Ia masih sempat
melihat satu titik hitam di tempat jauh. Inilah satu
penunggang kuda, yang kudanya dilarikan. Ia menjadi
mencurigai penunggang kuda itu, sebab kantung gendolan
dan sakunya Tat Hian bekas dirobek dengan pisau, dan peta
tidak ada di tubuhnya itu.
"Istana rahasia sudah didapatkan, apa perlunya orang itu
dengan peta tersebut?" ia berpikir. Ia berdiri berdiam sekian
lama di samping tubuh musuhnya itu. Lega juga hatinya
walaupun musuh ini terbinasakan lain orang. Kemudian ia

lantas menaiki kudanya, untuk kembali kepada orang-orang
Kazakh. Tepat ia mendengar gemuruh ramai: "Sangszer
menang! Sangszer menang!" Ia terperanjat. Pikirnya: "Kalau
Sangszer menikah dengan Aman dan aku memberitahukan
Supu bahwa akulah kawannya semenjak masih kecil,
bagaimana pilarnya?'' Memikir begitu, ia likat sendirinya. Tapi
ia berjalan terus mendekati rombongan.
Supu masih rebah di tanah, ia mencoba terbangkit bangun
tetapi sukar. Ia merayap, ia berdiri, lalu terhuyung dan roboh
pula. Sangszer mengasih bangun "Supu," katanya, "jikalau kau
penasaran, kau beristirahatlah, nanti kita mengulangi
pertandingan kita ini."
Supu menggeleng kepala, matanya mengawasi Aman, sinar
matanya itu menandakan remuknya hatinya.
Aman bisa melihat sinar mata itu, tanpa merasa, air
matanya mengalir.
"Benar-benar mereka sangat mencinta satu pada lain," pikir
Lie Bun Siu, yang bisa melihat roman muda-mudi Itu. "Dalam
hidupnya, pastilah Supu tidak dapat mencintai lain orang lagi
Pula Aman, kalau dia menikah sama Sangszer, tidak nanti dia
dapat melupai Supu, tidak nanti dia menyenangi Sangszer,
maka untuk kedua belah pihak tidak ada kebaikannya..."
Kembali Bun Siu mengawasi Supu. Pemuda itu pergi ke
pinggiran, jalannya masih rada limbung, tangannya
memegangi kepalanya, rupanya dia merasa pusing. Di
pinggiran itu, dia duduk dengan napasnya masih belum
tenang. Ia menjadi merasa kasihan pada kawannya itu. Maka
ia masuk ke dalam gelanggang.
"Sangszer," katanya, "tadi aku pergi mengejar satu orang,
pertandingan kita gagal. Maka itu mari sekarang kita
mengulanginya." Ia berhenti sejenak, baru ia menambahkan:
"Kau tentunya masih lelah, aku sebaliknya masih segar, kalau

kita bertanding sekarang, tidak adil. Maka ini baiklah kita atur
begini, hari ini pertandingan ditunda sampai besok!"
Sangszer rada jeri pada lawannya itu.
"Baik," sahutnya. "Kita bertanding besok."
Bangsa Kazakh mengira, setelah Sangszer mengalahkan
Supu, Aman bakal menikah sama si pemenang ini, tidak
tahunya si pemuda gagah she Lie telah muncul pula dan
menantang Sangszer, dengan begitu, urusan menjadi
tertunda. Karena itu, sampai malamnya, mereka masih
menduga-duga entah siapa yang bakal menjadi pemenang
terakhir. Umumnya mereka menduga Bun Siu yang bakal
menang, hanya mereka heran, pemuda itu bertubuh halus dan
romannya tampan sekali, siapa tahu, dia bertenaga kuat dan
ilmu berkelahinya mahir, lapi dia bakal berkelahi dengan
tangan kosong. Dapatkah dia mengalahkan Sangszer? Kenapa
tadi dia kabur tidak keruan?
Besoknya lohor, orang berkumpul pula di tegalan.
Setelah beristirahat dan dapat tidur satu malaman,
Sangsfeer menjadi segar sekali. Ia telah memikirkan siasat
berkelahinya: "Dia pandai silat, dari itu tidak dapat aku
berkelahi renggang, sebaliknya, aku mesti merapatkan dia.
Begitu bergerak aku mesti ringkus, untuk kita mengadu
tenaga..."
Siasat ini benar-benar digunakan.
Lie Bun Siu berkelit ketika ia ditubruk, tangan kanannya
dipakai menangkis berbareng menarik, sedang kaki kanannya
membentur kaki orang. Dengan begitu, tidak ampun lagi,
robohlah lawan itu
"Kau kurang berhati-hati!" ia kata tertawa. “Mari maju lagi!"
Sangszer berlompat bangun. Ia tetap sama siasatnya, yang
ia telah pikir matang. Begitu berhadapan, ia menubruk dengan
gesit

Bun Siu kembali menggunai Kimnaciu, ialah ilmu silat
menangkap. Ia menangkap dan memutar, tangan kirinya
menolak. Lagi sekali Sangszer roboh terguling, bahkan kali ini,
tangannya keseleo sebab dia mencoba meronta. Karena
merasa sakit, terpaksa ia mendekam terus.
"Kau bangun!" berkata Bun Siu tertawa. "Mari mencoba
lagi!"
Nona ini mempelajari Kimnaciu yang terdiri dari tiga puluh
enam jurus berikut pecahannya tiga puluh enam jurus lainnya,
maka itu, mana bisa Sangszer melawannya? Maka juga, lagilagi
pemuda Kazakh itu kena dirobohkan. Delapan kali dia
diberikan ketika, akhirnya dia menggeleng kepala dan berkata:
"Aku tidak sanggup melawan kau, pergi kau nikah Amani..." -
la mengundurkan dai sambit tunduk.
Bun Siu tidak lantas rnenunta hadiahnya.
"Supu, mari!" ia kata pada si anak muda. "Mari kini
bertanding!" Supu menggeleng kepada. "Aku tidak sanggup
melawan kau," katanya. Ia tahu kekuatannya berimbang sama
Sangszer, percuma ia melawan.
"Belum tentu," kata Bun Siu. "Mari kita coba dulu;"
Supu melirik kepada Aman, ia melihat sinar mata si nona
seperti menganjuri.
"Baik!" sahurnya seraya terus menyingsat pakaiannyn. Ia
menggunai cara seperti Sangszer, begitu berhadapan, ia
menubruk.
Bun Siu berkelahi seperti melawan Sangszer tadi, empat
kali beruntun ia membuat lawannya mencium tanah, hanya
ketika ke lima kalinya ia membikin orang roboh dan ia
menekan punggung orang, ia berbisik: "Kau meronta, kau
sambar punggungku, nanti kau menangi"
Supu heran, tetapi ia tidak sempat berpikir lama. Mendadak
ia mengerahkan tenaganya, ia bangun, tangannya menyambar

punggungnya lawan itu, maka di lain saat Bun Siu telah kena
dirobohkan, ditekan pada tanah! Bun Siu tidak dapat berontak.
Tapi Supu berpikir:
"Kemenangan ini bukannya kemenangan." la mengasih
orang bangun seraya berkata: "Mari kita mencoba pula!"
Bun Siu menerima baik. Mereka kembali bergulat. "Ingat
tipu-tipu tadi," kata Bun Siu, perlahan. "Jangan lupa!”
Di saat genting, kembali Bun Siu membiarkan ia
dirobohkan. Saban-saban ia mengisiki akan lawan ingat
tipunya itu. Semua itu terjadi hingga enam kali. Selama itu,
tidak ada seorang jua yang mendengar kisikan itu, hingga
orang cuma. heran, tidak ada yang bercuriga. Kelihatannya
wajar Supu menjatuhkan lawannya itu. Hanya Supu sendiri
yang heran bukan main. Terang ia kalah tetapi ia diajari tipu
dan dibiarkan menang. Ia tidak dapat membade hati orang. Ia
heran kenapa pemuda ini tidak mengharapi Aman yang
demikian cantik manis.
Di akhirnya, habis dirobohkan, Bun Siu bangun berdiri dan
berkata nyaring: "Sudah, tidak sanggup aku melawan kau, aku
tidak mau memperebuti Aman!"
Supu jujur, ia merasa tidak enak. "Kau mengalah," katanya.
"Jangan sungkan," kata Bun Siu. "Aku sudah kalah! Aku
menyerah! Kalah dari kau, aku tidak malu!"
Si ketua pun heran, ia menjadi bingung juga. Siapa si
pemenang terakhir? Supu kalah dari Sangszer, Sangszer
terkalahkan Lie. Bun Siu, tetapi Supu menang dari pemuda
Han ini? Bagaimana?
Beberapa orang menyatakan pikirannya: "Kalau begitu,
biarlah Supu dan Sangzer mengulangi pertandingannya.
Mereka itu sama-sama kalah dan sama-sama menang."
Pikiran ini dapat kesetujuan umum .dan lantas diterima
baik. Bahkan pertandingan lantas diadakan seketika juga. Kali

ini mereka itu sama-sama habis bertempur, jadi mereka sama
letihnya.
Supu dan Sangszer menerima baik pertimbangan itu.
Pertandingan dimulai setelah kedua pihak sudah siap sedia
dan pertandaan diberikan.
Selama itu Supu mencoba mengingat-ingat tujuh jurus
ajarannya Lie Bun Siu, ia mengingat baik hanya tiga tipu,
tetapi ini pun sudah cukup. Demikian, di saat ia terancam
bahaya, ia menggunai tipu ajaran orang Han itu, karenanya,
saban» saban ia menang di saat terakhir. Sangszer
kewalahan, akhirnya dia menyerah kalah.
"Sesudah bergulat dua hari, Supu memperoleh
kemenangan terakhir!" berkata si ketua dengan keputusannya.
"Itulah bukti yang Allah telah mengampuni Supu, maka
dapatlah dia menikah- sama Aman"
Muka Aman merah tetapi hatinya girang tidak terkirakirakan.
Orang banyak pun bergirang. Itulah perjodohan yang hebat
Supu hendak memberi hormat kepada Bun Siu, untuk
menghaturkan terima kasih, tidak tahunya, ketika ia mencari
pemuda itu, si pemuda sudah naik atas kuda putihnya dan
pergi dengan diam-diam hingga dia tidak dapat disusul lagi!
Malam itu, dengan mengitari unggun, bangsa Kazakh
membuat pesta.
Sangszer kalah tetapi dia terbukti gagah, ada empat nona
manis lainnya yang mengerumuni, yang menghibur dan
menyanyi untuknya. Mulanya ia berduka. Lama-lama ia
terhibur juga. Akhirnya ia bingung, siapa yang ia mesti pilih di
antara empat nona-nona itu. Mereka itu, kecuali cantik,
masing-masing mempunyai kelebihannya sendiri, umpama
yang satu halus budi pekertinya, yang lain' merdu
nyanyiannya, yang lain lagi lemah gemulai tariannya...

"Apakah baik aku memilih yang lainnya saja?" demikian ia
pikir. Lalu, dia pun mengingat, yang kitab sucinya mengizinkan
ia menikah empat isteri...
Tengah pesta berlangsung itu. sekonyong-konyong ada
terdengar tiga kail suara jeritan mengerikan seperti suara
burung malam, datangnya dari arah barat. Semua orang
terkejut, semua mata memandang ke barat itu.
Suara yang membangunkan bulu roma itu keluarnya dari
satu orang yang luar biasa. Dia datang menyusuli suara
anehnya itu, datangnya sambil berlari-lari keras, tubuhnya
nampaknya putih. Lantas dia berhenti di jarak empat tombak
dari orang banyak. Sekarang terlihat tegas dia mengenakan
jubah putih yang berlepotan darah, seperti mukanya berdarah
juga. Dia lebih tinggi dua kaki dari orang yang kebanyakan.
Ketika dia mengangkat dan mengulur kedua tangannya,
terlihat sepuluh jarinya panjang sekali dan sepuluh jari itu pun
berdarah.
Semua orang mejengak, hati mereka berdebaran.
Hanya sebentar, manusia luar biasa itu lantas mengasih
dengar suaranya yang tajam "Siapa sudah curi mustika dari
istanaku? Lekas bayar pulang! Kalau tidak, satu demi satu,
aku akan membuatnya mati tak wajar! Sudah seribu tahun
aku tinggal di dalam istanaku itu, siapa juga tidak berani
memasukinya, tetapi kamu, kamu besar sekali nyali kamal"
Habis berkata, dengan perlahan dia memutar tubuhnya,
dia menunjuk -kepada seekor kuda terpisah tiga tombak
jauhnya, dia berkata: "Mampuslah kau!" Setelah itu mendadak
dia memutar tubuhnya dan lari, sekejap saja, tubuhnya
lenyap.
Semua -orang kaget dan tercengang. Manusia aneh itu
muncul dan leayap secara mendadak dan kelakuannya juga
aneh. Lantas menyusul lain keanehan. Ialah kuda yang dia
tunjuk itu mendadak roboh dan mati, ketika orang

merumuninya, binatang itu tidak terluka, tidak keluar darah
dari mulut dan hidungnya, agaknya mati wajar.
"Hantu.. Hantu!" kate banyak orang.
"Telah aku kata di Gobi ada setannya!"
"Sudah seribu tahun istana tua itu tidak didatangi manusia,
pasti ada memedi yang menjaganya!"
"Katanya hantu tidak ada kakinya, mari kita lihat, dia ini
ada tapaknya atau tidak..."
Beberapa orang membesarkan hati, dengan membawa obor
mereka maju. Tidak tampak tapak kaki, ada juga liang kecil
setiap jarak lima kaki. Tapak kaki manusia tidak sekecil itu.
Juga jarak tepak kaki tidak dapat serenggang itu.
Sampai di situ, orang menduga iblis penunggu istana main
gila, maka ada yang berkata: "Semua yang memasuki istana,
dia akan celaka... Lihatlah Suruke dan Cherku! Bukankah
mereka terbinasa di. sana? Tentu si hantu membikin Cherku
kalap, Cherku disuruh, membinasakan Suruke, kemudian Supu
dibikin tak sadar dan diperintahkan membunuh Cherku..."
"Ya, lihat itu kawanan penjahat Han, sudah sepuluh tabun
mereka mengganas di gurun pasir, Orang kewalahan
karenanya, tetapi sekali mereka memasuki istana rahasia itu,
beginilah kesudahannya..."
"Dan orang bangsa kita, bukankah telah banyak yang mati
di dalam istana itu?" kata lagi suara lainnya.
Di akhirnya ada yang memperingatkan suatu dongeng
tua, begini: Seorang secara mendadak mendapati harta karun
di padaag pasir, harta itu diangkut pulang, hanya aneh, unta
yang menjadi binatang tunggangannya tidak dapat pulang,
cuma mondar-mandir di situ-situ juga. Katenya, si penunggu
tidak membiarkan orang mencuri harta itu, kaki unta
"dipegangi". Setelah harta itu dikembalikan, baru orang itu

dapat pulang. Inilah dongeng yang setiap orang Kazakh
mengetahuinya.
Maka akhirnya seorang mengusulkan kepada ketuanya:
"Baiklah semua harta itu dikembalikan, supaya mereka
terhindar dari mara bahaya. Tapi orang berat ' .untuk
mengembalikannya, mereka bersangsi.
Malam itu tidak ada kepatutannya.
Segera datang malam yang kedua. Kembali orang
berkumpul di tegalan itu. Semua berkuatir "hantu" tadi malam
nanti datang pula. Maka itu mereka lebih suka berkumpul
bersama, hati mereka menjadi terlebih tenang. Karena tidak
ada orang suka berdiam sendirian di tenda mereka, jumlah
mereka menjadi jauh terlebih besar.
Mulai tengah malam, dari arah barat daya terdengar suara
jeritan seperti malam pertama. Datangnya juga dari jurusan
yang sama. Semua orang menjadi kaget, bulu roma mereka
lantas pada bangun. Mereka tidak usah menanti lama akan
melihat munculnya si "hantu" yang kemarin itu, yang bajunya
putih dan berdarah. Dia datang bagaikan terbang, lantas dia
terdiri di muka orang banyak. Dia pun segera mengasih
dengar suaranya seperti kemarinnya: "Siapa sudah mencuri
mustika dari istanaku? Lekas bayar pulang! Kalau tidak, satu
demi satu, akan aku membuatnya mati tak wajar! Sudah
seribu tahun aku tinggal di dalam istanaku itu, siapa juga tidak
dapat memasukinya, tetapi kamu, kamu besar sekali nyali
kamu!"
Sehabis berkata, si hantu memutar tubuhnya. Dengan
perlahan ia mengangkat tangannya, untuk menunjuk satu
pemuda, yang terpisah jauh juga darinya. Lantas ia kata
nyaring: "Kau matilah!" Kata-kata itu disusul sama gerakan
tubuhnya, yang diputar balik, terus dia berjalan pergi, maka di
lain derik lenyaplah dia dari pandangan mata semua orang!

Menyusul itu terjadi hal aneh dan hebat atas diri si anak
muda yang ditunjuk tadi. Dengan sendirinya pemuda itu
menjadi lesu, sepatah kata juga dia tidak mengeluarkannya,
lantas dia berubah kulit mukanya menjadi hitam, dan dia mati!
Kecuali itu, tidak ada tanda lainnya lagi. Dia tidak terluka.
Tidak cukup kemarin malam membunuh seekor kuda, kali
ini hantu itu membinasakan seorang muda segar bugar. Ialah
salah satu anak muda yang pernah turut memasuki istana
rahasia.
Orang semua menjadi takut dan bingung, semua terbenam
dalam kekuatiran. Benar selewatnya tidak ada bahaya lagi,
akan tetapi di lain malamnya-malam ketiga tidak
ada seorang jua yang berani muncul di tegalan, semua
menyekap diri-di dalam tenda, yang ditutup rapat-rapat Malam
itu jadi sangat sunyi senyap.
Malam tenang-tenang saja sampai tiba jam haysie, seperti
kemarin-kemarinnya. Dengan tiba-tiba terdengar pula jeritan
yang menakuti itu, disusul sama kata-kata yang serupa,
disusul sama seman terakhir: "Kau matilah!"
Habis ancaman itu kembali malam rnembuat.sunyi, hanya
tidak lama, ketenangan terganggu tangisan sedih yang keluar
.dari sebuah tenda. Itulah bukti bahwa si hantu telah datangi
tenda itu, menyingkap tendanya dan membunuh mati seorang
mudai
Orang menjadi takut, tetapi mereka tidak berdaya. Juga di
waktu siang, ketakutan mereka tetap tidak berubah. Mereka
lantas berdoa, memuji kepada nabi mereka memohon
perlindungan. Lain jalan tidak ada.
Sia-sia belaka doa mereka, di malam keempat, kembali
seorang muda binasa secara serupa. Maka itu, ketika tiba
kurban yang ke empat, si ketua menjadi putus asa, terpaksa ia
mengajak semua orang bangsanya mengangkut pulang harta
karun ke istana rahasia, tidak ada orang yang berani

menyembunyikan sekalipun sepotong kecil emas atau perak.
Sepulangnya barulah hati mereka lega sedikit. Mereka mau
percaya si hantu tidak bakal datang pula untuk mengganggu.
Akan tetapi, peristiwa tidak gampang-gampang habis...
Untuk pulang dari istana rahasia, di malam pertama,
mereka mesti bermalam di tengah gurun pasir. Malam itu si
hantu muncul di antara mereka, bantu itu berkata: "Kamu baik
sekali, semua harta telah kamu kembalikan padaku. - Aku
memajikan Semak kamu makmur, kamu sendiri selamat tidak
kurang suatu apa! Hanya itu anak perempuan, yang
mengantarkan kamu ke istaa rahasia, dia hendak aku
menghukumnya!" Habis berkata begitu, dia lantas lenyap.
Aman adalah si anak perempuan yang dimaksudkan itu,
maka bukan main takutnya ia. Dengan ia, turut berkuatir juga
Supu, maka besoknya malam- bersama empat kawannya
pemuda lain, dengan menyiapkan golok, Supu menjagai
kekasihnya Itu.
Kapan sang tengah malam tiba, si hantu putih yang
berlepotan darah itu muncul pula. Supu berlima mengitari
Aman, akan tetapi belum sempat mereka berbuat apa-apa,
lantas mereka merasakan punggung mereka sesemutan dan
kaku, lantas mereka roboh tak sadarkan diri. Ketika mereka
mendusin sesudah langit menjadi terang, Aman lenyap tidak
keruan paran. Mereka menjadi kaget Si empat anak muda
lantas naik kuda mereka, untuk kabur pulang. Supu pun
menunggang kuda dan kabur, hanya dia mengambil arah
kembali ke istana rahasia
*Wah, Supu, kau mau bikin apa?" orang bertenak-teriak
menanya.
Sambil kabur terus, Supu menyahuti: "Aku hendak mati
bersama Aman!...”
Orang; hendak mencegah tapi pemuda itu sudah kabur
jauh.

Supu hancur hatinya. Ia pergi ke istana bukan untuk
menolong kekasihnya, hanya benar-benar buat mati bersama
Magribnya di hari keempat, tibalah Supu di depan pintu
emas dari istana rahasia. Dia benar-benar telah menjadi
nekat. Tepat di depan pintu, dia berteriak-teriak: “Hai, hantu
jahat dari istana rahasia! Kau telah membikin mati kepada
Aman, maka kau bunuhlah aku sekaitan! Akulah yang bersama
Aman mengantarkan orang-orang bangsaku datang, kemari
untuk mengangkut harta karun! Aku Supu, aku tidak-takut
mati!"
Supu telah menunjuk keberaniannya itu, akan tetapi sia-sia
belaka ia berkaok-kaok di muka pintu emas dari istana itu,
tidak ada orang yang menyahuti padanya, tidak ada orang
yang melayani bicara. Ia penasaran, maka ia berseru pula:
"He, hantu jahat, apakah kau takut padaku? Haha! Aku justeru
tidak takuti kau, tidak takut meski kau hantu jahat!” Ia lantas
membulang-balingkan goloknya bagaikan orang kalap.
Selagi pemuda ini masih kalap, mendadak ia mendengar
suara halus di sebelah belakangnya: "Supu, kau lagi bikin
apa?” Ia terperanjat; dengan segera ia memutar tabuhnya.
Maka ia melihat seorang wanita Han. Malam remang-remang,
sinarnya si pulen malam tidak cukup kuat untuk membikin
wajah orang nampak jelas.
"Kau mencaci kalang kabutan, siapakah yang kau maki?"
tanya pula wanita itu.
Sapu mendengar nyata suara orang. Itulah suara yang ia
kenal baik.
"Kau... kau toh tuan Lie?" tanyanya akhirnya. "Mengapa
kau... kau kembali menjadi wanita?"
Nona itu memang Lie Bun Siu. Dia bersenyum
"Sebenarnya kau bikin apa di sini?" dia menanya tanpa
menjawab.

"Lekas kau menyingkir!" kata Supu, yang jnga tidak
menyahuti. "Istana rahasia ini ada hantunya yang jahat! Kalau
sebentar dia keluar, dia dapat membikin celaka padamu..."
"Kenapa kau sendiri tidak takut?" balik tanya si nona. Supu
menjadi sengit. "Setan jahat itu telah mencelakai Aman!"
sahurnya. "Aku tidak ingin hidup pula!"
Bun Sui nampak kaget . "Bagaimana bisa ada bantu jahat
di istana?” katanya-: "Kenapa din mencelakai Aman?" .
Supu lantas memberi penjelasan hal munculnya si hantu
baju putih, yang mengganggu orang Kazakh hingga ada yang
mati dan Aman diculik, karena mana ia datang menyusul,
guna menyerahkan jiwanya juga.
Bun Siu berdiam untuk berpikir. Ia heran dan curiga.
"Ada tanda apa di tubuhnya kurban-kurban jiwa itu?" ia
tanya kemudian. "Benar-benarkah tidak teriuka sama sekali?"
"Benar tidak ada tanda apa-apa," menyahut Supu.
"Hanya….." tiba-tiba ia ingat suatu apa, "hanya kulit muka
mereka menjadi hitam seperti dilabur lumpur..."
Bun Siu berdiam, hatinya bekerja: "Aku tidak percaya ada
hantu di dalam dunia ini... Mungkin seorang lihai tengah main
sandiwara dengan menyamar menjadi iblis. Hanya, mengapa
tidak ada tapak kakinya di atas pasir? Kenapa hanya dengan
satu kali mengulur tangan dia dapat membinasakan orang?..."
"Tuan Lie," berkata Supu selagi orang berpikir, "kau baik
sekali, kau membantu aku mendapatkan Aman, maka sayang
peruntunganku tipis, sekarang Aman dibikin celaka hantu.-Aku
datang kemari untuk mengantarkan jiwa, biar si hantu - jahat
membinasakan aku sekalian. Tuan Lie, mari kita berpisah,
agar kita bertemu pula nanti di lain penitisan..."
Bun Siu terharu dan bingung. Menurut penuturan Supu,
"hantu” itu sangat lihai. Rasanya tidak sanggup ia melawan
bantu itu. Ia bingung mengingat anak muda ini mengurbankan

diri untuk Aman. Itulah cinta sejati. Itu membuatnya terbaru.
Ia kata di dalam hatinya: "Kau bersedia mati untuk Aman,
kenapa aku tidak bersedia mati juga untuk kau?..."
Maka ia lantas kata: "Mari aku temani kaul"
Supu terkejut Ia heran. Ia lantas mementang matanya
lebar-lebar, sedang hadnya berpikir "Kenapa kau begini baik
terhadap aku? Mustahilkah..." Ia tidak berani memikir terus,
hanya segera ia berkata: "Lekas kau menyingkir dari sini!
Lebih jauh lebih baiki" Tapi si nona tidak pergi. "Kau dengar
aku," ia berkata. "Itulah bukannya hantu! Aku percaya dialah
orang yang menyamarnya! Mari kita bekerja sama untuk
menempur dia!" Supu menggeleng, kepala. "Kau belum
pernah melihat hantu itu!" katanya. "Kau tidak tabu dia lihai
sekali! Tuan Lie, aku sangat berterima kasih kepada
kau.tetapi.. kau baiklah lekas pergi, lekas!"
Lie Bun Siu tertawa, walaupun tertawa dengan air naiki
berduka. Ia menghunus pedangnya, sedang dengan tangan
yang lain ia menolak pintu istana rahasia itu.
"Kau pasang obor!" ia pun berkata. "Mari kita menolongi
Aman!”
Hati Supu tergetar mendengar suara orang itu. Tiba-tiba ia
mendapat harapan
"Apakah Aman belum mati?" dia bertanya, matanya
mendelong.
"Aku percaya belumi" menjawab Bun Siu.
Tiba-tiba pemuda Kazakh itu bergembira.
"Baik" dia berseru. "Mari kita tolong! Aman!"
Dia lantas menyulut obor, bahkan dia mendahului masuk ke
istana.
Demikian muda-mudi ini masuk ke dalam istana. Mereka
jalan berliku-liku. Sudah sekian lama, mereka belum juga

memperoleh hasil, Supu tidak takut, saban-saban ia berteriakteriak
memanggil-manggil: "Aman! Aman! Kau di mana?" Tapi
tidak juga ia memperoleh jawaban.
"Kau teriak bahwa pasukan besar kita datang menolongi,"
Bun Siu menganjur. "Mungkin si hantu takut dan nanti
menyingkirkan dirinya..."
Supu menurut, ia berteriak-teriak pula: "Aman! Aman!
Jangan takut! Kami datang dalam jumlah besar untuk
meoolongi kau!"
Masib tidak ada jawaban, maka mereka maju terus.
Sekonyong-konyong terdengar jeritan di sebelah depan.
Itulah jeritan wanita. Mungkin sekali itulah Aman. Maka Supu
lantas lari. Di depan sebuah kamar, ia segera menolak daun
pintu. Untuk kagetnya, ia melihat Aman di satu pojok, tangan
dan kakinya dibelenggu. Dia kaget melihat Supu, dia menjerit,
Supu juga menjerit saking terkejut, dan girangnya.
Supu lompat maju, untuk mendekati. Dengan cepat ia
meloloskan belengguan si nona.
"Mana dia si hantu jahat?" tanya dia selagi menolongi
membebaskan.
"Dia bukannya hantu, hanya manusia," Aman menjawab.
"Hanya di dalam gelap, aku tidak bisa melihat tegas wajahnya.
Dia bertangan panas. Barusan dia ada di sini, begitu dia
mendengar suara kau, lantas dia pergi menyingkir!" Supu
bernapas lega. "Orang macam bagaimana dia itu?" ia
menanya. "Kenapa dia menangkap dan menculik kau?"
"Entahlah," Aman menjawab. "Selama di tengah jalan dia
telah menutup mataku. Di dalam istana ini, seluruh ruangan
gelap sekali, dari itu belum pernah aku dapat melihat jelas
mukanya."

Supu berpaling kepada Bun Siu, sinar matanya menunjuki
sangat bersyukur. Sebab benar katanya si nona. Aman belum
mati.,.
Bun Siu juga memandang si anak muda, ketika ia berkata:
"Supu! Bukankah kau bilang bukannya kau yang membunuh
ayahnya Aman? Sekarang aku percaya kau! Si pembunuh
mungkinlah.ini.manusia jahat yang menyamar menjadi hantu!”
. Supu berjingkrak. Ia seperti telah disadarkan.
"Tidak salah! Tidak salah!" serunya. "Mungkin dia jugalah
yang membunuh ayahku! Mari kita cari dia!”
Begitu lekas mengetahui si hantu jahat hanya manusia
belaka, keberaniannya pemuda Kazakh ini bangkit pula. Tapi,
cuma sejenak, ia lantas ingat suatu hal lainnya.
"Tuan Lie, dapatkah kita melawan dia?” ia menanya. Ia
baru ingat bahwa penjahat itu lihai sekali.
Bun Siu pun berpikir, ia bersangsi, terus ia menggeleng
kepala.
"Dalam sepuluh, sembilan kita susah menang," sahutnya
terus terang. "Supu, baiklah kau bersama Aman lekas pulang,
lantas kau mengajak rombongan bangsamu datang kemari,
kau pasti bakal dapat membekuk dia."
"Rasanya sulit," berkata Supu, juga Aman. "Mereka,itu
takut bantu, mana bisa mereka diajak datang kemari?" Bun
Siu berpikir pula.
"Aku ada akal, entahlah kau, kau berani atau tidak."
katanya.
"Bilanglah, apa aku mesti kerjakan, nanti aku kerjakan!"
kata si anak muda.
Bun Siu berduka. Ia .kata di dalam batinya: "Kalau aku
menyuruh kau jangan mencintai Aman hanya aku, dapatkah
kau mendengar kata-kataku?" Tapi ia tidak mengatakan

demikian. Dengan perlahan ia kata: "Mari kita berdua berpurapura
bertengkar dan bertempur, kita pergi ke itu kamar di
mana ayahmu dan Cherku telah terbinasa. Mungkin si orang
jahat muncul. Kalau benar, kita serang dia secara mendadak"
Supu setuju.
"Bagusi" katanya. "Mari kita mulai!"
"Dia lihai sekali, kau mesti waspada," Bun Siu pesan.
Supu mengangkat kepalanya, sikapnya gagah.
Bun Siu lantas tertawa dingin.
"Kau bernyali besar! lihat golok!" dia berseru, lantas dia
menyerang.
Supu kaget, dia lompat berkelit "Tuan Lie...” serunya. Atau
ia mendusta. Maka ia membalas membacok sambil menegur.
“Kau berani kurang ajar? Kau berani menyerang aku? Lihat,
aku bunuh mampus padamu” la lantas mengangkat goloknya.
Aman sudah lantas mengerti peranannya. Ia mengangkat
obor tinggi-tinggi ia berteriak-teriak: "Jangan berkelahi!
Jangan berkelahi! Eh, kenapa tidak keruan-keruan kamu
berkelahi?"
Cegahan itu tidak diambil mumat, keduanya lantas saling
bacok. Golok dan golok bentrok, berbunyi nyaring tidak
hentinya. Dari kamar itu mereka berkisar ke arah kamar di
mana Cherku dan Suruke terbinasa. Supu di depan, Bun Siu di
belakang. Supu terdesak, dia lari, Bun Siu merangsak,
mengejar.
Meskipun mereka bersandiwara, kedua muda-mudi ini
kurang tenteram hatinya. Bukankah mereka lagi bersandiwara
untuk menghadapi ancaman bencana?
Tengah mereka "bertarung" itu, mendadak terdengar suara
apa-apa yang nyaring di tembok, terus terasa menyambarnya

angin dingin Hebat tiupan angin itu, obor di tangannya Aman
padam seketika.
Supu dapat menjalankan peranannya baik sekait Ia
menjerit "Aduh!" dan tubuhnya terus roboh terguling
Di lain pihak Bun Sie terkejut. Di dalam kamar yang gelap
itu, ia merasa ada tangan yang dingin mengenakan
lengannya, tangan mana mau merampas senjata di tangannya
itu. Ia memang sudah siap sedia, maka sambil mencoba
mengelit tangannya, kaki kirinya terangkat, menendang ke
perut orang. Sebat gerakannya, tepat tendangannya, yang
mengenai sasarannya hingga terdengar Suara keras. Tapi
penyerang gelap itu keras cekalannya, dia tidak mau
melepaskan tangan orang tidak perduli dia telah tertendang.
Bun Siu mengayun tangan kirinya ke muka musuh.
Musuh itu berkelit sambil mendak, dengan tangan larinya,
ia membalas menyerang.
Dengan begitu, mereka lantas bertempur.
Supu tidak lantas bangun, ia hanya berguling
menghampirkan untuk menyambar kaki musuh itu. Tapi ia
salah memekik
"Salah" berseru Bun Siu lekas. "Inilah kakiku! Aman,
nyalakan api!"
Justeru ia membuka suara, pundaknya Bun Siu kena ditinju.
Ia merasakan sakit hingga ia menjerit. Atas itu, musuh bekerja
terus. Ia memegang keras lengan kanan si nona untuk
mencoba merampas golok orang.
Di dalam keadaan yang berbahaya kembali terdengar
siuran angin, tanda dari datangnya seorang lain, lantas
terdengar bentakan; "Jangan bergerak!"
Suara bentakan itu belum berhenti, atau menyusul yang
lain: "Jangan bergerak!"

Agaknya dua orang itu kaget, sebab berbareng terdengar
suara mereka: "Siapa kau?"
Inilah suara saling tanya. Tapi mereka tidak menjawab satu
pada lain sebaliknya, sebagai gantinya, terdengar suara
beradunya senjata-
Bun Siu terkejut dan heran. Dengan mendadak ia
menghajar dada orang. Telak tinjunya ini, hanya orang itu
berdiam saja, dia tidak berkelit, dia tidak berteriak kesakitan.
Karena orang berdiam saja dan tangannya yang dicekal
pun bebas, Bun Siu lantas menyalakan api, maka sekarang ia
bisa melihat dengan nyata keadaan di dalam kamar itu. Tentu
sekali, ia menjadi bertambah heran.
Dua orang yang lagi berkelahi itu ialah Kee Loojin serta Hoa
Hui, yang satu penolongnya, yang lain gurunya: dua-duanya
orang yang ia buat pikiran, yang ia hendak cari.
"Suhu!" ia lantas berteriak. "Kakek Kee! Tahan! Tahan!
Semua orang sendiri!"
Teriakan itu membikin dua orang itu heran, keduanya
sama-sama lompat mundur.
Bun Siu sendiri segera mengawasi orang yang mau
merampas goloknya, yang masih berdiri diam saja Sebab dia
kurban totokan pada jalan darahnya. Ia tidak dapat mengenali
orang, yang usianya kurang lebih empat puluh tahun,
mukanya berewokan, rambutnya awut-awutan, dan mukanya
itu juga tersilangkan tapak golok.
"Suhu! Kakek Kee!" kemudian si nona berkata. "Syukur
kamu datang menolongi aku, jikalau tidak, aku bisa mati di
tangannya ini manusia yang menyamar menjadi hantu!"
Orang itu tidak dapat berkutik tetapi ia bisa membuka
mulutnya. Dia tertawa dingin dan berkata: "Yang menyamar
menjadi hantu bukannya aku hanya Ma Kee Cunl" Dan
tangannya menunjuk Mendengar disebutnya nama "Ma Kee

Cun" itu, dua-dua Hoa Hui dan Kee Loojin terperanjat, mereka
seperti merasakan tubuh mereka ditusuk jarum panas,
keduanya sama-sama berlompat mundur. Wajahnya Kee
Loojin nampak bengis tetapi bergelisah, dan wajah Hoa Hui
gusar sekali. Kemudian Kee Loojin nampak menjadi kurangan
bengisnya, tertukar dengan roman jeri.
Hoa Hui mengawasi orang tua she Kee itu, dan atas ke
bawah dan sebaliknya.
Kee Loojin bertindak mundur lebih jauh. sinar matanya
berjelalatan. Ia agaknya berniat mencari jalan untuk lari
kabur.
Sekonyong-konyong Hoa Hui berseru; "Kee Cun, diam!"
Kee Loojin berdiam, ia mengangkat goloknya, sikapnya
mengancam. Ia mengawasi Hoa Hui.
"Bagus, bagus!" katanya. "Kau benar belum mati!"
Suaranya perlahan.
Hoa Hui juga mengawasi tajam sekali, tak sekejap jua ia
mengedip.
Kee Loojin tidak mundur lagi, ia terus menatap, rubuhnya
lantas bergemetaran.
"Suhu!" tiba-tiba ia berseru, lalu dia menjatuhkan diri,
berlutut di depan si orang she Hoa.
Lie Bun Siu heran bukan kepalang.
"Kenapa Kee Yaya pun memanggil guru kepada guruku?" ia
tanya dalam hatinya. "Dia jauh terlebih tua daripada suhu..."
Hoa Hui tertawa dingin "Hm! kau masih ingat aku sebagai
guru?" katanya tajam. "Ketika dulu kau menggunai jarum
beracun menyerang aku, kau toh tidak ingat gurumu, bukan?"
Kee Loojin mengangguk berulang-ulang.

"Ya, muridmu bersalah, muridmu bersalah" katanya.
"Muridmu harus mati." Lie Bun Siu baru sadar. "Ah, kiranya
tiga batang jarum di punggung suhu dilepaskan oleh Kee
Loojin/' “pikirnya.
Selagi yatim piatu, dan usianya demikian kecil, ia dirawat si
kakek itu hingga sepuluh tahun, tentu sekali ia ingat budi
kebaikan itu, maka sekarang, melihat sikap demikian galak
dari gurunya kepada si kakek penolongnya itu, ia merasa
berkasihan.
"Suhu," ia berkata, "Kee Loojin telah membokong kau,
perbuatannya itu sangat tidak selayaknya, akan tetapi aku
minta sukalah kau memberi ampun kepadanya. Selama
sepuluh tahun Kee Yaya telah merawat aku baik-baik."
Hoa Hui tertawa dingin.
"Hm, apa itu Kee Yaya?" katanya, bengis. "Dia she Ma,
namanya Kee Cunl Apakah kau kira dia benar-benar bungkuk
unta?" Tanpa hening lagi, ia membentak pada Kee Loojin:
"Lekas singkirkan semua penyamaranmu"
Kee Loojin berbangkit dengan perlahan-lahan, terus ia
membuka bajunya, hingga di punggungnya tertampak
tergemblok sebuah buntalan besar. Ia turunkan buntalan itu.
Kemudian ia menyusut mukanya dengan tangan bajunya,
maka di lain detik, tampak mukanya yang putih dan tampan,
la sekarang terlihat tegas sebagai seorang umur tiga puluh
lebih, romannya gagah.
Lie Bu Siu sangat heran. "Kee Yaya, kiranya.." katanya
tertahan, "kiranya kau masih begini muda?.,."
Kee Loojin menyeringai. "Aku bernama Ma Kee Cun,"
bilangnya. "Bukankah selama sepuluh tahun aku telah
merawati kau tanpa kecelaan?" Bun Siu mengangguk. "Kau
memperlakukan aku baik sekali," sahutnya. "Selanjutnya
baiklah aku memanggil kau paman Ma."

Hoa Hui mengambil buntalan orang, yang dijadikan alat
membikin punggung bungkuk, ia membuka ikatannya dan
membelarakkan, maka disitu terlihat sepotong jubah putih
yang berlepotan darah, yang dilihatnya mendatangkan rasa
ngeri
"Ohl" Supu berseru sedang sedari tadi dia berdiam saja.
"Kiranya kaulah yang menyamar menjadi si hantu jahat"
Terhadap Hoa Hui, Ma Kee Cun bersikap sangat
menghormat, akan tetapi mengawasi Supu, ia beroman sangat
garang.
"Benar aku!" jawabnya, jumawa. "Dengan menyamar
sebagai si bungkuk, aku berdiam di gurun pasir selama
belasan tahun, selama itu aku sangat menderita; maka itu apa
kau kira aku suka membiarkan harta karun di dalam istana
rahasia diangkut kamu?"
Supu pun gusar.
"Dengan menggunai ilmu siluman kau telah membinasakan
tidak sedikit orang bangsaku!" katanya bengis. "Kenapa kau
juga menculik Aman?"
Kee Cun tetap berlaku jumawa.
"Aku mempunyai harta besar begini, bagaimana aku bisa
tidak mendapatkan isteri yang cantik sebagai kawan?" dia
balik tanya. Dia lantas berpaling kepada Hoa Hui, gurunya,
untuk berkata terus: "Suhu, harta di istana rahasia ini, semua
ada kepunyaanmu, aku melainkan ingin minta dibagi satu
bagian saja dalam sepuluh, jumlah itu sudah dapat
memuaskan batiku. Nanti aku membinasakan dulu ini bocah
Kazakh, lantas kita berempat mengangkut harta ini pulang ke
Tionggoan..."
"Tidak.. tidak dapat kau membunuh dia!" Bun Siu
menyelak.

Ma Kee Cun menghela napas. "Baiklah," katanya. "Aku tahu
kau memang menyayangi bocah Kazakh ini. Bersama dia kau
menggembala kambing dan bernyanyi, semua aku telah
melihatnya! Jikalau bukannya kau sangat menyayangi dia, aku
juga, tidak nanti menculik Aman. Baiklah, aku tidak akan
membunuh dia. Kau dapat Supu, aku mendapat Aman, dan
suhu mendapatkan harta besar! Jadi kita bertiga telah
mendapatkan masing-masing bagiannya..."
“Kee Yaya..." berkata Bun Siu menghela napas: "Eh, salah,
aku harus memanggil paman padamu! Paman, suatu benda
bukan kepunyaanmu, kau ingin memiliki itu untuk selamalamanya,
itulah tak dapat.."
Selagi orang berbicara, Supu mengawasi si nona..la pun
lantas mengingat banyak hal... Tapi Hoa Hui gusar. "Anak
Siul" katanya keras, "orang ini berdosa besar, apakah kau
masih mau meminta keampunan baginya? Kau tahu, semua
kepandaiannya akulah yang mengajari, aku mengajak dia
datang ke gurun pasir ini mencari istana rahasia, justeru kita
mulai mendapat endusan, dia lantas timbul keserakahannya
terhadap harta karun, dia menurunkan tangan jahat
membokong aku dengan tiga batang jarum beracun, maka
selama beberapa tahun, entah berapa hebat penderitaanku,
coba aku tidak ditolong kau, tidak nanti aku hidup sampai
sekarang ini." Bun Siu memandang Ma Kee Cun.
"Paman, inilah salahmu!" katanya.
"Nona Lie," kata Supu tiba-tiba, "dia pandai menggunai
ilmu siluman, awasi"
"Dia bukan menggunai ilmu siluman," si nona bilang. "Dia
hanya menggunai senjata rahasia yang berupa jarum berbisa
yang halus, yang mengenai tenggorokan, maka kurbankurbannya
tidak memperlihatkan tanda luka apa-apa. Bahwa
dia menjadi bertubuh tinggi, itu juga disebabkan kakinya
ditambah sama jejangkungan dan jubahnya panjang dan
gerombongan hingga kaki palsunya itu tak nampak"

Supu mengangguk. "Kau benar juga," bilangnya.
"Kau telah membokong aku dengan jarum," berkata Hoa
Hui, dingin, kepada muridnya itu, "meski kau tahu bahwa aku
tidak bakal hidup lama, kau tetap jeri kepadaku, kau takut
aku mencarimu, dari itu kau menyamar menjadi si bungkuk.
Hm! Coba habis berbuat jahat itu kau menyesal, lantas kau
pulang ke Tionggoan, pasti aku tidak bakal dapat mencarimu,
tetapi kau berat meninggalkan harta karun di sini! Coba kau
tidak datang kemari, habis perkara, tetapi kau loba, tamak
hatimu, maka itu, mana bisa kau lolos dari pengawasanku?
Haha! Kau dapat menakut-nakuti bangsa Kazakh kau
membuatnya mereka itu mengantar pulang harta karun ini,
akalmu itu .bagus sekali! Kau telah membinasakan Tan Tat
Hian, juga tindakanmu itu baik! Hanya sayang kau tidak
mengetahui, selama itu, gurumu senantiasa mengutil di
belakangmu tanpa kau mengetahui!”
Ma Kee Cun tunduk, ia masgul sekali, ia menutup mulut
Ketika itu Supu mendadak berlompat maju, goloknya ia
cekal keras.
"Kenapa kau membunuh ayahku?" ia tanya, bengis.
"Kenapa kau membinasakan Cherku?”
Belum lagi Ma Kee Cun menjawab, maka orang yang
ditotok hingga tidak berdaya itu tertawa berkakak dan
berseru: "Akulah yang membunuh! Akulah yang membunuh!
Haha! Haha!"
"Kau siapa?" tanya Supu. "Kau siapa?" Bun Siu pun
menanya, berbareng.
"Akulah si edan!" menjawab orang itu. "Orang membunuh
guruku, maka aku membunuh orang! Eh, Hoa Hui, bukankah
guruku terbinasakan kau?"
"Benar!" menjawab Hoa Hui, dingin. "Kau jadinya bukan
edan!"

Mendadak tangan kanannya terayun, tiga batang jarumnya
menyamber.
Orang yang mengaku edan itu lagi tertawa, sekejap juga,
terhentilah tertawanya itu, jiwanya terbang melayang. Karena
ia tertawa, wajahnya terus masih tertawa... ' "
Bun Siu kaget dan heran. Ia tidak menyangka gurunya
bertindak demikian bengis.
"Dia... dia siapakah?" ia tanya. Hoa Hui agaknya berpikir, ia
tidak lantas dapat menjawab.
Tapi Ma Kee Cun mendadak campur bicara.
"Si edan ini muridnya The Kiu In!" katanya.
Hoa Hui mengangguk "Benar, dialah murid The Kiu In," ia
bilang. Ia mengawasi kurbannya itu, yang wajahnya tetap
tertawa, lantas ia membayangkan wajahnya The Kiu In yang
disebutkan muridnya itu. "Ketika itu jago tua she The
merayakan hari ulang tahunnya, banyak tetamunya yang
hadir, aku ialah satu di antaranya. Tengah pesta
berlangsung, si edan ini muncul secara tiba-tiba dan dia
membawa banyak sekali batu permata dengan apa dia
menghadiahkan gurunya itu. Dia mengatakan tidak jelas, dia
cuma menyebut-nyebut Istana Rahasia Kobu... Malam itu juga
aku menyatroni kamar tidur The Kiu In. Aku ingin mencari
tahu tentang istana rahasia itu. The Kiu In mendusin, dia
mempergoki aku, sambil tertawa dingin, dia kata padaku: “Tok
cie Cin Thianlam, kau juga mengarah harta karun? Aku
menganggap turun tangan terlebih dulu paling baik, maka
tanpa membilang suatu apa, aku serang ia dengan jarum
rahasiaku. Lantas aku mengatur akal, ialah goloknya si edan
ini aku tancap di dada The Kiu In, sedang si edan aku culik
Aku mau membikin orang percaya si edan membunuh
gurunya. Aku menculik si edan, aku membawanya ke tempat
yang sunyi. Di sana aku mengorek keterangan dari mulutnya.
Aku mesti menggunai segala macam akal. Sampai tiga bulan

barulah aku berhasil. Si edan membilang! aku bahwa ia
mendapat peta istana. rahasia secara kebetulan saja, karena
ketarik hatinya, dia berangkat ke wilayah Hweekiang ini. Dia
berhasil mendapatkan istana rahasia berikut harta karunnya
yang berjumlah besar luar biasa. Lantas dia mengingat
gurunya, maka dia berniat pulang dengan membawa oleholehnya
itu. Meski begitu, dia terganggu rahasianya istana ini,
dia tidak bisa keluar, dia terputar-putar, kelaparan dan
berdahaga. Selanjurnya dia tidak bisa menjelaskan bagaimana
caranya dia dapat keluar dan pulang ke Tionggoan. Setelah
memperoleh keterangannya itu, aku bawa dia datang kemari.
Aku pun mengajak Ma Kee Cun bersama. Di luar sangkaan ku,
pada suatu malam, Ma Kee Cun membokong aku hingga aku
terluka parah. Hanya ketika itu, sambil mengerahkan tenaga
dalamku, untuk mempertahankan diri, aku dapat bersikap
seperti tak terluka. Kee Cun ketakutan, dia kabur. Justeru itu
si edan juga kabur dengan membawa peta istana itu. Ah, aku
tidak sangka murid yang aku paling percaya, yang aku
pandang sebagai anak sendiri, telah mendurhaka
terhadapku... Tidak lama kemudian maka di dalam kalangan
kangouw tersiarlah berita halnya aku membokong The Kiu In.
Mungkin si edan yang telah membuka rahasia itu. Kemudian
lagi, setahu bagaimana duduknya, peta itu telah terjatuh ke
dalam tangannya Pekma Lie Sam... Karena aku terluka parah
dan aku takut keluarga dan murid-muridnya The Kiu In nanti
mencari aku untuk menuntut balas, aku tidak berani pulang ke
Tionggoan. Pula, aku pun tidak berhasil mencari pula jalanan
ke istana rahasia ini... Selanjutnya aku mesti tersiksa karena
luka di punggungku, sampai itu hari aku bertemu kau, Bun
Siu, dan kau menolong aku mengeluarkan jarum itu... Aku
tidak menduga, selang banyak bulan, aku mendapatkan
orang-orang Kazakh mengangkut harta karun dari istana ini
Lalu, aku pun menyaksikan sepak terjang si orang tua
bungkuk unta... Haha! Aku telah melihat dia mencelakai orang
dengan jarum rahasianya, maka aku lantas ingat dia siapa.

Jikalau tidak, tidak nanti aku mendapat tahu bahwa dialah Ma
Kee Cun, murid yang aku sayang."
Sembari mengatakan yang paling belakang ini, Hoa Hui
memandang tajam-tajam muridnya itu, kemudian ia
memandang si edan, mayat yang tertawa. Katanya di dalam
haunya: "Kau sudah mati, perlu apa kau tertawa terus?" Habis
itu, ia melanjuti pula keterangannya: "Aku tidak tahu kapan
kumatnya si edan ini dan bahwa dia telah bersembunyi di
dalam ini istana. Mungkin dia hendak mencari balas untuk
gurunya sebab dia membenci aku, yang memfitnah padanya.
Begitu, dengan meneladi caraku, dia membunuh si orang
Kazakh yang bernama Suruke, begitu juga yang bernama
Cherku itu. Dengan perbuatannya itu, meniru aku, si edan ini
berlaku Jenaka... Karena harta karun ini, telah banyak jiwa
yang melayang, dan sekarang- haha!-semua adalah milikku!-
Aku Tok cie Cin Thianlam Hoa Hui si Jeriji Satu Menggetarkan
Langit Selatan! Tapi ini si Kee Cun yang berhati serigala
berjantung anjing, dia mengharap satu bagian dari harta ini,
dia benar-benar lagi bermimpi! Ha-hai Haha! Mesti aku
mengasih rasa padanya, supaya dia mati perlahan-lahan...
Haha! Haha!"
Tepat tengah tertawa itu, tiba-tiba mata Hoa Hui seperti
kabur, di depannya itu ia seperti melihat The Kiu In yang ia
binasakan, mata Kiu In mengancam padanya. Mendadak ia
berseru-seru: "Setan! Setan! Kau toh The Kiu In?"
Hoa Hui bukan melihat Kiu Su, ia hanya melihat mukanya
Kee Cun. Muka Kee Cun masih belum bersih betul bekas
penyamarannya. Matanya seperti kabur, ia menjadi salah
melihat. Ia pun sedang jeri sebab mengingat Kiu In. Maka
menjeritlah ia tanpa merasa...
"Aku bukannya The Kiu In!" Kee Cun pun berkata, dingin
suaranya. "The Kiu In berdiri di belakangmu!"
Hoa Hui kaget, segera ia memutar tubuhnya.

"Mana? Mana?" tanyanya. Justeru orang berbalik, Kee Cun
membacok ke punggung gurunya itu.
Hoa Hui menjerit keras, sambil memutar pula, kedua
tangannya melayang!
"Buk!" demikian satu suara nyaring. Serangan itu mengenai
dada si murid.
Bun Siu kaget sekaji, hendak ia menolong, tetapi sudah
kasep.
Guru dan murid itu pun rubuh berbareng. Ia lantas
memeriksa gurunya, Guru itu sudah lantas berhenti bernapas.
Ketika ia melihat Kee Loojin, orang tua palsu ini masih dapat
membuka matanya dan berkata dengan sukar. "Bun Siu,
sebenarnya aku hendak menyerang dengan jarum rahasia,
sayang ada kau berdiri di dekatnya, aku kualir jarumku nyasar
melukai kau-" Bun Siu lantas menangis. "Paman Ma, keliru
segala perbuatanmu..." katanya, "tetapi kau baik sekali
terhadap aku..."
Kee Cun menyeringai, lantas kepalanya teklok. Maka
pergilah arwahnya.
Bun Siu berduka bukan main.
"Harta ini bukan kepunyaanmu, buat apa kau
memperebutinya?..." katanya perlahan.
***
Lewat beberapa hari, Supu dan Aman telah pulang kepada
bangsanya. Ia menuturkan segala apa, tetapi ketika ia
membilang di dalam Istana Rahasia Kobu tidak ada setannya,
tidak ada seorang juga yang mau percaya. Karena ini
selanjutnya harta karun itu tetap terpendam di dalam istana
yang hilang itu.
***

Sementara itu di padang pasir yang menuju ke kota
Giokhunkwan, di sana nampak seorang penunggang kuda
yang dari barat berjalan ke timur. Ialah seorang nona cantik,
yang di pinggangnya tergantung pedang. Kudanya kuda
berbulu pulih, kuda itu besar dan bagus.
"Jalanan istana rahasia berliku-liku tetapi hati manusia
melebihkan itu," demikian si nona ngelamun. "Siapa sangka
Kee Yaya yang bungkuk itu baru berusia tiga puluh lebih?
Siapa menduga, guru dan murid yang dulu bagaikan ayah dan
anak, akhirnya menjadi seperti musuh, hingga setelah
menderita, mereka sama-sama terbinasa di dalam istana
rahasia? Toh Paman Ma memperlakukan aku baik sekali...
Suhu seorang buruk, dia juga baik sekari terhadap aku... Dan
Supu demikian baik hati, sayang dia cuma mengingat Aman
satu orang-"
Si kuda putih tidak tahu apa yang nonanya pikirkan, dia
bertindak terus menuju ke wilayah Tionggoan, untuk berjalan
pulang, ia tidak gentar untuk perjalanan yang jauh dan
sukar...
TAMAT
Anda sedang membaca artikel tentang CERSIL : KUDA PUTIH dan anda bisa menemukan artikel CERSIL : KUDA PUTIH ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cersil-kuda-putih.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel CERSIL : KUDA PUTIH ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link CERSIL : KUDA PUTIH sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post CERSIL : KUDA PUTIH with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cersil-kuda-putih.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar